LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013
UNIT PELAKSANA TEKNIS BALAI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOMATERIAL LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Editor: Ismail Budiman Ari Kusumaningtyas
UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
Pertumbuhan dan Viabilitas Jamur Entomopatogen yang Diproduksi Secara Massal pada Substrat Beras ..............................................................................
1
Pengaruh Ekstrak Kayu Bawang (Scorodocarpus Borneensis) pada Perlakuan Tanah (Soil Treatment) ....................................................................
5
Efikasi Asam Oleat Hasil Isolasi dari Ekstrak Biji Bintaro (Cerbera Manghas) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes Gestroi Wasmann dan Rayap Kayu Kering Cryptotermes Cynocephalus Ligh ...................................
10
Pretreatment Naoh dan Hidrolisis Enzimatis pada Ampas Tebu .....................
18
Pengaruh Pretreatment Ca(Oh)2 dan Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi Gula Pereduksi pada Ampas Tebu ...................................................................
29
Sintesis Sodium Lignosulfonat dari Limbah Lignin Pretreatment Ampas Tebu..................................................................................................................
41
Physical and Mechanical Properties Of Polylactic Acid-Filled Chitin and Chitosan Composites ........................................................................................
46
Characteristics Of Composites From Recycled Polypropelene and Three Kinds Of Indonesian Bamboos Fiber ..............................................................
51
Pengaruh Rasio Air dengan Bahan Pengikat pada Autoclaved Aerated Concrete (Aac) Berbasis Limbah Cangkang Kerang .......................................
58
Mechanical Properties and Chemical Changes Of Mahoni Wood (Swietenia Mahagoni) By Close System Compression Hot Press Machine.......................
64
Karakteristik Kayu Kompresi dengan Metode Close System Compression (Csc) pada Kondisi Kering ...............................................................................
72
Pengaruh Waktu Pengepresan Terhadap Perubahan Komponen Kimia Kayu Durian Kompresi Skala Pemakaian ..................................................................
79
Teknologi Pertanian Organik Untuk Biovillage ...............................................
87
Pemanfaatan Komposit Serat Alam Untuk Media Tanam Vertikal .................
92
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
i
PERTUMBUHAN DAN VIABILITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN YANG DIPRODUKSI SECARA MASSAL PADA SUBSTRAT BERAS Deni Zulfiana UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa jamur entomopatogen yang diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui fermentasi padat selama 14 hari. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa jamur entomopatogen Metarhizium sp., Beauveria sp., dan Humicola menunjukan pertumbuhan yang baik pada media beras dibandingkan dengan Nomurea sp. dan Phaecylomyces sp. Hal ini berdasarkan pada pengamatan daya kecambah, jumlah konidia dan viabilitas konidia jamur. Kata kunci: Jamur entomopatogen, substrat beras, konidia, viabilitas PENDAHULUAN Jamur entomopatogen seperti Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Phaecilomyces sp., dan Nomurea rileyi adalah patogen terhadap lebih dari 40 spesies serangga hama baik hama pertanian, vektor penyakit, hama gudang dan hama rumah tangga. Seperti pemanfaatan jamur entomopatogen untuk mengendalikan berbagai beberapa jenis hama yang menyerang kubis, belalang, aphid, beberapa jenis hama gudang, hama penggerek buah kopi, hama rayap, penggerek batang tebu, dan hama wereng coklat, Nilaparvata lugens. (Butt et al. 1994; Brinkmann et al. 1997; Sun et al. 2003). Mekanisme infeksi jamur terhadap serangga diawali pada saat jamur yang dalam bentuk spora atau konidia menempel pada permukaan tubuh serangga. Konidia tersebut menempel pada lapisan dinding atau kulit luar (integumen) serangga. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai, konidia akan tumbuh dan menembus tubuh serangga. Jamur akan memperbanyak diri di dalam sebuh serangga sehingga tubuh serangga tertutup miselium yang berupa benang-benang halus. Dalam bentuk seperti ini diistilahkan sebagai propagul. Penetrasi jamur ke dalam tubuh serangga bisa melalui proses mekanis dan kimia. Hal tersebut terjadi karena jamur memproduksi enzim tertentu seperti enzim kitinase, glukanase, dan protease yang dapat meluruhkan kulit luar serangga, kemudian setelah konidia tumbuh, miselium akan mengeluarkan senyawa aktif yang bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat proses metabolisme di dalam sel serangga. Lacey, 1997) Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan jamur entomopatogen yaitu mudah menginfeksi serangga target, tidak membunuh serangga bukan hama, mempunyai banyak strain, dan aman terhadap lingkungan (Butt, 1994; St Leger et al. 1992). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui cara untuk memperbanyak jamur entomopatogen untuk produksi secara massal, antara lain dengan cara fermentasi
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
1
cair (subemerged culture), submerged conidia, miselium kering (serta dengan perbanyakan konidia pada media cair (Ferron 1978). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa jamur entomopatogen yang diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui fermentasi padat. BAHAN DAN METODOLOGI Perbanyakan jamur entomopatogen pada medi PDB (potato dextrose broth) Jamur entomopatogen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi, UPT. BPP. Biomaterial-LIPI. Jamur yang dibiakkan pada PDA (potato dextrosa agar) sebanyak satu loop penuh dengan kerapatan konidia kira-kira 107 konidia/ml dipindahkan ke dalam botol yang berisi 50 ml media PDB. Mulut botol media PDB yang telah diisi dengan jamur kemudian ditutup dengan aluminium foil, biakan kemudian digoyang pada 150 rpm selama 12 jam dan diinkubasikan selama 3 hari. Pertumbuhan jamur pada media PDB diamati secara visual. Persiapan media substrat pertumbuhan jamur entomopatogen Beras dibersihkan/dicuci kemuadian direbus sampai setengah matang dan sedikit lunak dalam dandang selama 20 menit. Sebanyak 300 g beras dimasukkan ke dalam kantong plastik, kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada 121 oC selama 15 menit. Kemudian dibiarkan dingin selama ±12 jam. Selanjutnya sebanyak 10 ml biakan jamur dalam media PDB (setelah 3 hari inkubasi) diinokulasikan ke dalam kantong plastik berisi substrat beras. Kantong berisi biakan ini kemudian ditutup dan distapler. Selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang selama 14 hari, sampai substrat ditutupi oleh miselium jamur. Biakan dalam kantong plastik ini diperiksa setiap 2 hari sekali sambil diaduk-aduk secara steril. Setelah 14 hari biakan pada substrat dipanen. Sebagian digunakan untuk analisis jumlah konidia dan viabilitas konidia, sisanya dioven pada suhu 60 oC selama 3 hari, dan diblender untuk dikemas sebagai tepung konidia. Untuk analisis konidia, setiap kantong dari masing-masing media substrat diambil sebanyak 10 g, diaduk dengan 90 ml air steril dan ditambahkan 0,05% tween, kemudian diamati: a. Persentase perkecambahan konidia (daya kecambah) diketahui dengan cara mengambil suspensi biakan dengan densitas 100 konidia yang dituangkan ke dalam petridis yang berisi media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar. Masing-masing suspensi biakan diulang tiga kali, persentase perkecambahan konidia dihitung setelah 24 jam. b. Jumlah konidia/g substrat/ml diamati melalui pengenceran secara berseri. Jumlah konidia g substrat/ml dihitung menggunakan haemacytometer. c. Viabilitas konidia diamati dengan cara 0,1 ml suspensi konidia dari pengenceran 105 dituangkan dan diratakan pada petridis steril. Media PDA pada temperatur 45 o C dituangkan ke dalam petridis yang telah berisi suspensi konidia dan diinkubasikan selama 5 hari pada suhu kamar. Viabilitas konidia dihitung berdasarkan jumlah konidia yang tumbuh berupa koloni pada media PDA dalam petridis. Data dari persentase perkecambahan spora, jumlah konidia per g substrat/ml dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.
2
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
HASIL DAN PEMBAHASAN Jamur entomopatogen yang ditumbuhkan media substrat beras menunjukan pertumbuhan yang cukup baik selama masa 14 hari inkubasi. Pertumbuhan Metarhizium, Humicola dan Beauveria pada media substrat beras terlihat lebih baik karena seluruh permukaan substrat tertutup miselium dibanding Nomurea dan Phaecilomyces yang hanya sebagian substrat tertutup oleh miselium jamur.
(a)
(b)
(c)
(d) (e) Gambar 1. Tepung konodia jamur entomopatogen yang ditumbuhkan pada substrat beras. (a) Metarhizium (b) Beauveria (c) Humicola (d) Nomurea, dan (e) Phaecilomyces Jamur Metarizium, Humicola dan Beauveria yang dibiakkan pada substrat beras memiliki jumlah konidia per g substrat yang nyata lebih banyak dengan daya kecambah dan viabilitas yang nyata lebih tinggi dibandingkan jamur Nomurea dan Phaecilomyces yang dibiakkan pada substrat yang sama (Tabel 1). Tabel 1. Daya kecambah jamur entomopatogen, jumlah konidia/g substrat dan viabilitas konidia/ml yang dibiakkan pada substrat beras Jenis jamur Daya kecambah Jumlah konidia Viabilitas konidia (%) (%) x105 konidia/ml 8 Metarhizium sp. 83,75 a 2,6 x 10 a 24,6 a Humicola sp. 79,45 a 1,87 x 108 a 16,4 a Beaveria sp. 33,67 a 1,20 x 106 b 4,7 b 5 Nomurea sp. 25,00 a 4,86 x 10 b 1,5 b Paecilomyces sp. 22,67 a 3,35 x 105 b 1,02 b Tingginya daya kecambah, jumlah konidia, dan viabilitas jamur Metarhizium, Humicola dan Beauveria pada beras, karena beras mengandung cukup karbohidrat dan protein yang dibutuhkan oleh ketiga jamur tersebut untuk perkecambahan, pertumbuhan dan sporulasinya, sehingga pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dua jenis jamur entomopatogen lain. Hasil penelitian Junianto & Semangun (2000) memperoleh konidia 2,7 x 1010 konidia/g substrat dengan masa panen 10 hari. Tingkat perkecambahan akan tinggi (95–100%). Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
3
Penggunaan bahan berkarbohidrat dan protein tinggi akan mendorong pertumbuhan vegetatif jamur. Komposisi hara media mempengaruhi produksi mikotoxin jamur entomopatogen dan media terbaik untuk memroduksi racun proteolitik kompleks harus mengandung karbohidrat, yeast ekstrak dan ekstrak daun. KESIMPULAN Media beras merupakan substrat yang bagus untuk produksi secara massal jamur entomopatogen Metarhizium sp. Humicola sp. dan Beauveria sp. DAFTAR PUSTAKA Brinkmann, M.A., B.W. Fuller, and M.B. Hildret. 1997. Effect of Beauveria bassiana on migratory grasshoppers (Orthoptera: Acrididae) in spraytower bioassay. J. Agric. Entomol. 14:121-127. Butt, T.M., L. Ibrahim, B.W. Ball, and S.J. Clark. 1994. Pathogenicity of the entomogenous fung Metarrhizium anisopliae and Beauveria bassiana against crucifer pests and honey bee. Biocontrol Sci. Technol. 4:207-214. Ferron, P. 1978. Biological control of insect pest by entomogenous fungi. Annu. Rev. Entomol. 23:409- 442. Junianto Y.D. dan H. Semangun. 2000. Susu skim dan Monosodium glutamat sebagai media pensuspensi dalam pengering bekuan spora B. bassiana. J. Pelita Perkebunan 11(2) Lacey, L.A. 1997. Initial handling and diagnosis of diseases insect. In Lacey, L.A. (Ed.). Biological Tech- niques. Manual of techniques in Insect Pathology. Academic Press. London. p.1–30. St. Leger, R.J., Allee, L. L., May, B., Staples, R. C., and Roberts, D. W. 1992. World wide distribution of genetic variation among isolates of Beuveria spp. Mycol. Res. 96:1007-1015. Sun. J., J.R. Fuxa and G. Henderson. 2003. Effect of virulence, sporulation and temperature on Metarhizium anisopliae and Beuveria bassiana labo- ratory transmission in Coptotermes formosanus. Interv. Pathol. 84:38-46.
4
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PENGARUH EKSTRAK KAYU BAWANG (SCORODOCARPUS BORNEENSIS) PADA PERLAKUAN TANAH (SOIL TREATMENT) Didi Tarmadi1, Ikhsan Guswenrivo1, Deni Zulfiana1, Ngatiman2, Sulaeman Yusuf1 1)
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 e-mail:
[email protected] 2)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Jl. A. Wahab Syahranie No. 68 Sempaja Selatan, Samarinda, Kalimantan Timur ABSTRAK Perlakuan/peracunan tanah (soil treatment) masih menjadi solusi terbaik dalam kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) pada perlakukan/peracunan tanah. Pengujian mengacu pada Standar JWPA No. 13-1992. Ekstrak kulit dan daun kayu bawang dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% diaplikasikan pada pasir kemudian diaplikasikan pada botol ‘H’. Hasil pengujian menunjukkan bawah ekstrak kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% tergolong ke dalam kriteria tidak andal sehingga aktivitas termitisidal nya tidak sesuai pada parlakuan/peracunan tanah. Kata
kunci: Perlakuan/peracunan tanah, kayu borneensis),rayap tanah Coptotermes gestroi
Bawang
(Scorodocarpus
PENDAHULUAN Sampai saat ini proteksi bangunan merupakan treatment yang masih sangat diperlukan mengingat komponen selulosa masih menjadi material utama dalam bangunan. Secara alami materil selulosa tersebut merupakan sumber makanan serangga perusak bangunan seperti rayap tanah. Indonesia dengan iklim tropisnya menjadi habitat yang sangat cocok sebagai tempat perkembangbiakan rayap. Tak kurang 200 jenis rayap dikenal di Indonesia. Ditaksir kerugian ekonomis akibat serangan rayap mencapai 200 milyar/pertahun (Prasetiyo dan Yusuf, 2004). Kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap salah satunya yang umum dilakukan yaitu soil treatment (perlakuan tanah). Dimana bahan termitisida diinjeksi ke area sekitar bangunan sehingga akan tercipta chemical barrier sehingga rayap tanah tidak bisa masuk ke dalam bangunan dan material selulosa dalam bangunan tersebut aman terhadap serangan rayap tanah dalam jangka waktu tertentu. Soil treatment masih umum digunakan mengingat kayu masih dipakai sebagai komponen utama bangunan. Dan kayu yang digunakan umumnya berkeawetan sedang sampai rendah. Hal ini karena supply kayu berkeawetan tinggi dari hutan alam atau hutan rakyat sudah semakin langka dan harganya mahal. Pemanfaatan kayu berkeawetan rendah memiliki konsekuensi fatal yaitu rentah terhadap serangan rayap tanah. Bahan termitisida yang beredar dipasaran umumnya bahan kimia. Bahan kimia tersebut akan berkontak langsung dengan tanah saat ditaburkan atau diinjeksi. Sehingga
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
5
dikhawatirkan bahan kimia tersebut dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga perlu dicari alternatif bahan termitisida yang lebih ramah terhadap lingungan. Penelitian terhadap ekstrak bahan alam yang memiliki aktivitas termitisidal sedang gencar dilakukan sebagai upaya mensubstitusi bahan termitisida kimia dan mencari alternatif teknologi proteksi bangunan yang lebih aman terhadap manusia dan lingkungan. Beberapa bahan ekstrak yang telah diteliti sebagai soil treatment diantaranya ekstrak biji Bintaro (Cerbera manghas L) biji Pinang (Areca catechu L) dan daun Saga (Tarmadi et al. 2010). Kayu Bawang salah satu jenis tanaman yang banyak ditemui di Kalimantan. Menurut penelitian Sudrajat (2012), ekstrak kayu Bawang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus dan memiliki peluang untuk dikembangan sebagai termitisida alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu Bawang pada perlakuan/peracunan tanah (soil treatment) METODE PENELITIAN 1.
Prosedur Ekstraksi Kulit dan daun kayu Bawang yang diperoleh dari Kalimantan Timur terlebih dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masingmasing serbuk kering seberat 150 g diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi. Ekstrasi dilakukan selama empat kali untuk mendapatan larutan ekstrak maksimal. Larutan ekstrak kemudian dievaporator pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering. 2.
Prosedur pengujian Prosedur pengujian mengacu pada standard JWPA (Japan Wood Preserving Association) no. 13 tahun 1992. Ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% dicampur merata dengan pasir (berukuran lolos saringan 20 mesh). Pasir kemudian diangin-angin lalu dikeringkan. Pasir yang telah diberi perlakuan kemudian dimasukkan ke dalam tabung gelas dengan diameter 1.5 cm dan panjang 5 cm secara horisontal. Tabung tersebut dihubungkan dengan botol gelas berdiameter 5 cm di bagian kanan dan kiri yang telah diisi dengan pasir. Pada salah satu sisi gelas diisi dengan rayap pekerja dari jenis Coptotermes gestroi sebanyak 200 ekor sedangkan di sisi lain diletakkan umpan kayu karet sehingga diharapkan rayap akan menuju makanan yang sebelumnya harus melalui pasir yang telah diberi perlakuan. Unit-unit gelas tersebut disimpan ke dalam tempat yang gelap bersuhu 28 2C dengan kelembaban di atas 85 %.
6
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 1. Gelas uji penetrasi horisontal (sumber JWPA No. 13-1992) 3.
Pengamatan dan Kriteria efikasi Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 21 hari untuk mengetahui panjang penetrasi yang dilakukan oleh rayap. Persentase penetrasi rayap tanah terhadap panjang pasir contoh uji dihitung dengan rumus : Persen Penetrasi = ( P / Po ) x 100%, dimana : P = panjang penetrasi rayap pada tanah/pasir contoh uji (mm) Po = panjang tanah/pasir contoh uji (mm) Kriteria efikasi contoh uji terhadap rayap pada perlakuan pasir dibuat berdasarkan kriteria keandalan seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria efikasi berdasarkan kepada panjang penetrasi rayap masuk ke dalam pasir yang telah diberi perlakuan bahan kimia. (Sumber : JWPA standard No. 13-1992) Panjang Penetrasi Skor Kriteria Keandalan (cm) 0,0 0 Sangat Tinggi 0,1 - 1,0 1 Tinggi 1,1 - 2,0 2 Sedang 2,1 - 3,0 3 Rendah > 3,0 4 Tidak andal HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran panjang penetrasi rayap terhadap pasir yang diberi perlakuan ekstrak dengan tingkat konsentrasi tertentu yang diaplikasikan dalam sumbu horizontal botol H menjadi variabel yang sangat penting dalam penilaian kriteria keandalan. Semakin rendah penetrasi maka semakin andal ekstrak tersebut. Kriteria keandalan akan menentukkan lamanya proteksi bahan ekstrak tersebut melindungi bangunan dari serangan rayap tanah.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
7
Panjang penetrasi dari ekstrak kasar kayu Bawang disajikan pada Tabel 2. Pada ekstrak kulit kayu Bawang dengan konsentrasi 2%, 4% dan 6%, rayap tanah Coptotremes gestroi mampu menembus pasir perlakuan pada pengamatan hari kedua, sedangkan pada konsentrasi 8%, rayap hanya membutuhkan waktu selama enam hari untuk menembus pasir perlakuan. Hal senada terlihat pada ekstrak daun. Rayap mampu menembus pasir perlakuan dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% pada hari kedua pengamatan. Tabel 2. Panjang penetrasi rayap pada pasir yang telah diberi perlakuan ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang. Persentase penetrasi pada pengamatan hari ke-
Jenis Bahan Ekstrak
Konsentrasi (%)
H2
H4
Kulit
2 4 6 8
100 100 87,33 51,33
100 100 100 72,67
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
Daun
2 4 6 8
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
Kontrol
0
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
H6
H8
H10
H12
H14
H16
H18
H20
H21
Karakteristik senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak kayu Bawang tidak tergolong ke dalam racun kontak. Pada perlakuan/peracuanan tanah senyawa bioaktif yang sesuai yaitu yaitu memiliki karakteristik sebagai repelen atau racun kontak. Senyawa bioaktif tersebut menjadi hambatan (barrier) bagi rayap tanah Coptotermes gestroi untuk menembus pasir. Senyawa bioaktif ini menyebabkan kematian pada rayap ketika melakukan aktivitas penetrasi. Senyawa bioaktif yang bersifat repelen akan memaksa rayap kembali ke salah satu botol H yang tidak ada makanan sehingga perlahan-lahan rayap akan mati. Kematian rayap tanah yang menjadi indikator penunjang keberhasilan pada peracunan tanah tidak menunjukkan hasil yang bagus (Tabel 3). Sampai dengan enam hari pengamatan, kematian rayap pada ekstrak kulit dan daun kayu Bawang, menunjukkan nilai yang sama dengan kontrol. Tabel 3. Persentase mortalitas rayap sampai dengan 6 hari pengamatan Jenis Bahan Ekstrak Konsentrasi (%) Mortalitas (%) 2 2 4 2,54 Kulit 6 3 8 4 2 2 4 2 Daun 6 2,89 8 2,93 Kontrol 0 2
8
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Dari Tabel 4 terlihat dengan jelas kriteria keandalan dari masing-masing jenis ekstrak dan konsentrasinya. Ekstrak kulit dan daun Bawang pada semua konsentrasi yang diuji tergolong ke dalam kriteria tidak andal. Hal ini menunjukkan bawak ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang tidak dapat mencegah serangan rayap tanah, sehingga aktivitas termitisidalnya tidak cocok pada peracunan tanah. Tabel 4. Kriteria keandalan ekstrak kulit dan daun kayu Bawang Jenis Bahan Konsentrasi Panjang Persentase Skor Ekstrak (%) Penetrasi (Cm) Penetrasi 2 5 100 4 4 5 100 4 Kulit 6 5 100 4 8 5 100 4 2 5 100 4 4 5 100 4 Daun 6 5 100 4 8 5 100 4 Kontrol 0 5 100 4
Kriteria Keandalan Tidak andal Tidak andal Tidak andal Tidak andal Tidak andal Tidak andal Tidak andal Tidak andal Tidak andal
KESIMPULAN Ekstrak kulit dan daun kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% tergolong ke dalam kriteria keandalan tidak andal, sehingga aktivitas termitisidalnya tidak cocok pada perlakuan tanah. DAFTAR PUSTAKA Anonim . 1992. Japan Wood Preserving Asociation, Japan. Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf. 2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka. Jakarta. Sudrajat. 2012. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA BIOAKTIF ZAT EKSTRAKTIF TUMBUHAN KAYU BAWANG (Scorodocarpus borneensis Becc) SEBAGAI TERMISIDA RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae). Mulawarman Scientifie (11): 219-227. Tarmadi, D., M. Ismayati, K.H. Setiawan, S. Yusuf. 2011. Evaluasi Aktivitas Ekstrak Bahan Alam pada Perlakuan Tanah (Soil Treatment). Prosiding Seminar Nasional XIII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Bali, 10-11 November 2010
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
9
EFIKASI ASAM OLEAT HASIL ISOLASI DARI EKSTRAK BIJI BINTARO (CERBERA MANGHAS) TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DAN RAYAP KAYU KERING CRYPTOTERMES CYNOCEPHALUS LIGHT Didi Tarmadi, Ikhsan Guswenrivo, Deni Zulfiana, Sulaeman Yusuf UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian terhadap pemanfaatan ekstrak bahan alam sebagai biotermitisida semakin meningkat seiiring dengan dampak negatif termitisda konvensional terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Identifikasi asam oleat menggunakan Gas Chromatography (GC-MS) and Nuclear magnetic resonance spectroscopy (NMR). Dari hasil tahapan kromatografi kolom diperoleh 10 sub fraksi dan rendemen paling tinggi terdapat pada sub fraksi 3. Hasil analisis kandungan senyawa kimia pada sub fraksi 3 diketahui sebagai asam oleat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah terhadap tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Walaupun demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Kata kunci: Cerbera manghas, Coptotermes gestroi, Cryptotermes cynocephalus PENDAHULUAN Rayap tanah khususnya Coptotermes gestroi merupakan hama pertanian dan perkebunan yang memiliki sebaran yang luas (Jenkins et al. 2007). Kerugian akibat serangan rayap tanah di Amerika Serikat mencapai US$5 juta pertahun (Peterson 2010). Penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut secara luas untuk aplikasi pertanian maupun pemukiman, tentunya sangat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan (Wright et al. 1994). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional telah menimbulkan masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan (Yoon et al. 2007). Salah satu alternatif pengendalian yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat tertentu (Promsiri et al. 2008). Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif (Wink 1993). Binatro (Cerbera manghas) merupakan pohon beracun dari famili Apocynacea. yang menyebabkan 10% kasus keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004). Mengandung dua cardenolide yang diidentifikasi dari akar C. manghas sebagai agent antiproliferatif dan antiestrogenik ketika dievaluasi terhadap sel kanker usus besar manusia (Chang et al. 2000). Dalam buah juga terkandung tanghinigenin dan neriifolin
10
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
masuk dalam kelas steroid sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et al. 2010; Zhao et al. 2011). Cerbera manghas bersifat toksik terhadap organisme hama seperti rayap tanah Coptotermes gestori (Tarmadi et al. 2010), hama tanamana perkebunan Eurema spp (Utami 2010), serangga hama gudang Sitophilus oryzae (Tarmadi et al. 2013). Ekstrak metanol C. odollam menunjukkan aktivitas anti jamur yang tinggi terhadap Trametes versicolor, Pycnoporus sanguineus, dan Schizophyllum commune (Hashim et al. 2009). Asam oleat merupakan asam lemak terbanyak penyusun trigliserida minyak biji Bintaro yaitu sebesar 36,46% (Endriana 2007). Asam lemak yang diisolasi dari biji Nimba memiliki bersifat toksik terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dengan nilai LC50 = 78, 45 ppm. Asam oleat dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Dilika et al. 2000). Menurut Rahuman et al. 2008, asam oleat dan asam oleic cukup mematikan terhadap larva Aedes aegypti L. (LC50 8.80, 18.20 and LC90 35.39, 96.33 ppm), Anopheles stephensi Liston (LC50 9.79, 11.49 and LC90 37.42, 47.35 ppm), and Culex quinquefasciatus Say (LC50 7.66, 27.24 and LC90 30.71, 70.38 ppm). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. METODE PENELITIAN Isolasi asam oleat Sebanyak 2000 gram ekstrak kering biji bintaro diekstraksi menggunakan pelarut metanol dengan metode maserasi. 175 gram ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian ditambahkan aquades sampai diperoleh 300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan dalam corong pisah 1000 ml dan diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana sebanyak 300 ml (1:1). Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan nheksana berinterksi lalu diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara kedua pelarut. Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya. Fraksi tidak terlarut diekstraksi kembali dengan pelarut berikutnya yaitu etil asetat. Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil asetat yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering. Delapan gram ekstrak kering fraksi etil asetat dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Eleun yang digunakan yaitu kombinasi pelarut n-heksan dan kloroform. Dengan perbandingan n-heksan dan kloroform (100:0, 50:1, 25:1, 10:1, 9:1, 8:1, 7:1, 6:1, 5:1, 4:1, 3:1, 2:1, 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, 1:7, 1:8, 1:9, 1:10, 1:25, 1:50, 0:100) Selanjutnya ekstrak yang keluar dari kolom ditampung tiap 20 ml dalam botol. Senyawa dalam tiap botol dilihat spotnya dengan KLT, Senyawa yang memiliki nilai Rf yang sama disatukan menjadi satu fraksi. Dari kegiatan kromatografi kolom didapatkan 10 sub fraksi. Asam oleat diperoleh dari sub fraksi 3 (senyawa tunggal). Identifikasi senyawa asam olet menggunakan GC-MS.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
11
Uji bioassay terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Uji bioassay dilakukan dengan mengujikan larutan asam oleat yang telah ditentukan konsentrasinya yaitu 1%, 2%, 3%, 4% (w/v). Sebanyak 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes gestroi serta paper disc (sebagai umpan) yang telah ditetesi larutan asam oleat dimasukkan bersama-sama ke dalam cawan petri yang telah dilapisi plaster paris setebal 3 mm. Sebelum diumpankan, paper disc yang telah ditetesi larutan asam oleat terlebih dahulu divaccum di desikator selama 6 jam untuk menghilangkan pelarut. Pada penelitian ini menggunakan metode umpan paksa (forced feeding test) rayap dipaksa memakan paper disc yang telah ditetesi oleh ekstrak. Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang diamati yaitu persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat paper disc. Uji bioassay terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light Pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7207-2006, dengan menggunakan metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Larutan asam oleat dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% (w/v) dilaburkan pada seluruh permukaan kayu karet (Hevea brasiliensis) dengan ukuran (5 x 2,5 x 2) cm. Kayu uji kemudian diangin-anginkan selama 15 hari pada suhu kamar sampai menjadi kering udara kembali. Pada salah satu sisi terlebar dari masing-masing kayu uji dipasangkan tabung gelas/pipa kaca berdiameter 1,8 cm dan tinggi 4 cm. Selanjutnya, 50 ekor kasta pekerja rayap kayu kering yang sehat dan aktif dimasukkan ke dalam tabung gelas tersebut. Lubang tabung gelas yang satu lagi disumbat dengan kapas (Gambar 2). Unit perlakuan yang sudah berisi rayap tersebut kemudian disimpan di tempat gelap. Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang diamati yaitu persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat kayu uji.
Gambar 1. Skema uji pengujian rayap kayu kering HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan identifikasi asam oleat Dari hasil tahapan kromatografi kolom didapatkan 10 sub fraksi dengan tingkat rendemen yang bervariasi (Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa rendemen terbanyak terdapat pada sub fraksi 3 yaitu sebesar 0,95 %. Setelah dilakukan analisis awal menggunakan KLT, sub fraksi 3 memiliki senyawa tunggal, sedangkan sub fraksi
12
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
lainnya masih mengandung beberapa senyawa. Selanjutnya dari sub fraksi 3 dilanjutkan analisis kandungan senyawa kimia menggunakan GC-MS dan NMR. Tabel 1. Rendemen sub fraksi Sub fraksi fraksi 1 fraksi 2 fraksi 3 fraksi 4 fraksi 5 fraksi 6 fraksi 7 fraksi 8 fraksi 9 Fraksi 10
Rendemen (%) 0,218 0,389 0,95 0,301 0,389 0,212 0,478 0,376 0,218 0,297
Berdasarkan hasil pengukuran spektrum 1H-NMR (CDCl3, 500 MHz), H 0,88 (t, J = 7,2 Hz) merupakan gugus metil (-CH3), dan metilen (CH2 H 1,25-1,31 (24H, 12 x CH2, bs), 1,63 (2H, CH2, qintet, J = 7,1 Hz), 2,01 (bd, CH2, J = 5,4 Hz) dan 2,34 (CH2, t, J = H 5,35 (m, J = 3,9 Hz). Berdasarkan hasil ini diduga merupakan asam oleat, dengan rumus molekul C18H34O2 (BM 282,46).
14 x CH2
HC=CH
CH2
CH3
CH2 CH2
Gambar 2. Spektrum 1H-NMR
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
13
OH O
oleic acid Gambar 3. Struktur Molekul Asam oleat
Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil pengukuran 13C-NMR terlihat adanya C 180,54 (C 130,21 dan 14,30 (CH ) dan gugus metilen (CH C 3 2) pada dC antara 22,88; 24,87; 29,26-29,88 dan 32,13.
-COOH -CH3
HC=CH
CH2
Gambar 4. Spektrum 13C-NMR Disamping itu bila dibandingkan data spektrum asam oleat hasil presiksi, menunjukkan adanya kesamaan/kemiripan nilai geseran kimianya maka dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah asam oleat. Hasil uji bioassay efikasi asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus Tabel 2 menunjukkan tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah memakan paper disc yang ditetesi larutan asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari Tabel 2 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi memberikan pengaruh terhadap mortalitas rayap tanah C. gestroi. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi
14
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
mortalitas rayap tanah C. gestroi. Pada konsentrasi tertinggi (4 %) memberikan tingkat mortalitas sebesar 33 % sampai dengan akhir pengamatan, sedangkan pada konsentrasi 1%, 2% dan 3% hanya menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 30%. Pada perlakukan kontrol, tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi sebesar 19,33% sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa, asam oleat memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas rayap tanah C. gestroi. Tabel 2. Mortalitas rayap tanah C. gestroi selama 14 hari pengamatan Concentration (% )
Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev) 2
4
6
8
10
12
14
Methanol solvent
5,33± 1,15
9,33±1,15
13,33±3,06
16,00±0,00
18,00±2,00
18,00±2,00
18,00±2,00
Untreated
6,67±1,15
10,00±2,00
14,67±1,15
17,33±1,15
18,67±2,31
19,33±1,15
19,33±1,15
1
6,67±1,15
10,67±1,15
14,00±2,00
18,00±2,00
18,67±1,15
19,33±1,15
20,00±0,00
2
6,67±1,15
11,33±1,15
15,33±3,06
18,67±1,15
19,33±1,15
20,67±2,31
21,33±1,15
3
8,00±2,00
13,33±1,15
19,33±1,15
21,33±1,15
24,67±1,15
26,00±0,00
30,00±2,00
4
9,33±1,15
19,33±1,15
21,33±1,15
24,67±2,31
27,33±2,31
30,67±1,15
33,33±1,15
Tabel 3 menunjukkan tingkat mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus setelah terpapar asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari Tabel 3 terlihat bahwa pada konsentrasi terbesar yaitu 4% hanya memberikan persentase tingkat mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus sebesar 15,33 %. Pada konsentrasi 1%, 2% dan 3%, menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 15%. Hal ini mengindikasikan bahwa asam oleat memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus. Tabel 3. Mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus selama 14 hari pengamatan Concentration (% )
Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev) 2
4
6
8
10
12
14
Methanol solvent
1,33±1,15
2,67±1,15
5,33±1,15
6,67±2,31
9,33±2,31
10,00±2,00
Untreated
0,67±1,15
1,33±1,15
3,33±1,15
4,67±1,15
6,67±1,15
8,00±0,00
8,67±1,15
1
0,67±1,15
0,67±1,15
2,00±2,00
4,00±2,00
7,33±1,15
8,67±1,15
10,00±0,00
2
0,67±1,15
1,33±1,15
2,00±0,00
4,67±1,15
8,00±2,00
10,67±1.15
11,33±1.15
3
1,33±1,15
2,67±1,15
4,00±0,00
5,33±1,15
8,67±3,06
11,33±1,15
12,67±1,15
4
2,00±0,00
3,33±1,15
5,33±1,15
7,33±1,15
8,67±1,15
13,33±1,15
15,33±1,15
10,67±1,15
Tabel 4. Persentase penuruan berat sampel uji selama 14 hari pengujian Weight loss (%) Concentration Subterranean termite Dry wood termite C. cynocephalus C. gestroi Methanol 50,00±2,71 1,68±0,20 solvent Untrated 49,57±4,85 1,83±0,05 1% 49,84±7,82 1,60±0,14 2% 48,54±2,57 1,56±0,10 3% 42,30±3,02 1,44±0,13 4% 36,80±2,92 1,25±0,16 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
15
Tingkat konsumsi rayap terhadap sampel uji menjadi salah satu parameter yang diamati dalam penelitian ini. Besarnya tingkat konsumsi rayap terhadap paper disc dan kayu yang telah diberi perlakuan asam oleat dinyatakan dalam persentase penurunan berat. Persentase penurunan berat menjadi indikator yang sangat penting karena berpengaruh terhadap efektivitas asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi daan C. cynocephalus. Penurunan berat paper disc akibat peningkatan konsentrasi ekstrak menunjukkan penambahan ekstrak memberikan peningkatan ketahanan paper disc terhadap serangan rayap (Fallah 2005). Tabel 4 menunjukkan persentase penurunan berat sampel uji yang telah diberi perlakuan asam oleat kemudian diumpankan terhadap rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Dari Tabel 4 terlihat bahwa terdapat kecendrungan penuruan persentase penurunan berat paper sampel uji seiring dengan peningkatan konsentrasi baik pada uji terhadap rayap tanah C. gestroi maupun rayap kayu kering C. cynocephalus. Jika dibandingkan dengan kontrol, pemberian perlakukan asam oleat memberikan pengaruh terhadap penurunan persentase penurunan berat. Walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan tetapi dapat diasumsikan bahwa asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. KESIMPULAN Asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah terhadap tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Walaupun demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. DAFTAR PUSTAKA Chang LC, Joell JG, Krishna PL, Lumonadio L, Norman RF, John MP, A. Douglas K. 2000. Activity-Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with Antiproliferative and Antiestrogenic Activities. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters. 10 2431-2434 Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel (metil ester) dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera manghas ) Hasil Ekstraksi. Kimia MIPA-UI, depok. Falah, S., T. Katayama, Mulyaningrum. 2005. Utilization of Bark Extractives from Some Tropical Hardwoods as Natural Wood Preservatives: Termitidial Activities of Extractives from Barks of Some Tropical Hardwoods. Proceeding of the 6th International Wood Science Symposium. Bali, August, 29-31. pp. 323-328 Gillard Y, Ananthasankaran, K Fabien B. 2004. Cerbera odollam: a ‘suicide tree’ and cause of death in the state of Kerala, India. J. Ethnopharmacology .95 123–126 Hashim R, Boon JG, Sulaiman O, Kawamura F, Lee CY. 2009. Evaluation of the decay resistance properties of Cerbera odollam extracts and their influence on properties of particleboard. International Biodeterioration & Biodegradation 63: 1013–1017 Jenkins TC, Jones SC, Lee CY, Forschler BT, Chen Z,Martinez GL, Gallagher NT, Brown G, Neal M,Thistleton B, Kleinschmidt S. (2007). Phylogeography illuminates maternal origins of exotic Coptotermes gestroi (Isoptera: Rhinotermitidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 42, 612–621
16
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Peterson C. Considerations of Soil-Applied Insecticides for Termite Control. Outlooks Pest. Manag. 2010; 21: 89 93. Promsiri S, Amara N, Maleeya K, Usavadee T. 2006. Evaluations of larvicidal activity of medicinal plant extractsto Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) and other effects ona non target fish. Insect Science. 13: 179-188. Tarmadi D, M. ismayati, KH. Setiawan, S. Yusuf. 2010. Antitermite activitiy of Carbera manghas L seeds extracts. Proceeding of The 7th Pacific Rim Termite Research Group. Singapura, 1-2 Maret 2010. Tarmadi D, Guswenrivo I, Prianto AH, Yusuf S. 2013. The effect of Cerbera manghas (Apocynaceae) Seed Extract against Storage Product Pest Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae). Proceeding of The 2th International Symposium of Sustainable Humanosphere. Bandung, 29 August 2012. Utami S. 2010. Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Terhadap Hama Eurema spp. Pada Skala Laboratorium. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7: 211-220. Wang GF, Yue WG, Bo F, Liang L, Cai GH, Bing HJ. 2010. Tanghinigenin from seeds of Cerbera manghas L. induces apoptosis in human promyelocytic leukemia HL60 cells. Environmental Toxicology and Pharmacology. 30 31–36 Wink, M., 1993. Production and application of phytochemicals from an agricultural perspective. In: van Beek, T.A., Breteler, H. (Eds.), Phytochemistry and Agriculture, Vol. 34. Clarendon, Oxford, UK, pp. 171–213 Wright, C.G., R.B. Leidy and H.E. Dupree, Jr. 1994. Chlorpyrifos in the air and soil of houses eight years after its application for termite control. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 52(1):131-134 Yoon C, SH. Kang, SA. Jang, YJ. Kim, GH. Kim. 2007. Reppelent efficacy of Caraway and Grapefruit Oils for Sitphilus oryzae (Colepotera: Curculionidae). Journal of Asia-Pacific Entomol. 10(3): 263-267 Zhao Q, Yuewei G, Bo F, Liang L, Caiguo H, Binghua J. 2011. Neriifolin from seeds of Cerbera manghas L. induces cell cycle arrest and apoptosis in human hepatocellular carcinoma HepG2 cells. Fitoterapia .82 735–741.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
17
PRETREATMENT NaOH DAN HIDROLISIS ENZIMATIS PADA AMPAS TEBU Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis Hermiati UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 *Email:
[email protected] ABSTRAK Bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi kedua masih terus dikembangkan dan diteliti secara mendalam. Kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu yang besar menjadikan alternatif pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol cukup strategis dan menjanjikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment NaOH encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol. Hasil pretreatment dengan NaOH dan waktu pemanasan pada ampas tebu mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan ligninnya. Pada penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan 60 menit di suhu 121°C dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula pereduksi sebanyak 33.97 g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu. Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment NaOH, gula pereduksi, hidrolisis enzim PENDAHULUAN Salah satu penelitian bioenergi yang ditekuni saat ini adalah bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi kedua. Generasi pertama bioetanol bersumber dari pati yang umumnya merupakan bahan pangan bagi penduduk dunia. Generasi pertama tersebut menciptakan beberapa masalah, diantaranya terganggunya ketersediaan pangan dan kenaikan harga pangan dunia. Oleh karena itu, dikembangkan penelitian untuk mengkonversi bahan lain selain pangan, misalnya lignoselulosa, menjadi bioetanol. Di dalam penerapan transportasi, bahan bakar etanol yang terbuat dari bahan lignoselulosa mengurangi 91% emisi gas rumah kaca dibandingkan bahan bakar fosil, sedangkan bahan bakar etanol yang terbuat dari pati jagung hanya mengurangi 22% emisi gas rumah kaca (Menon and Rao, 2012). Salah satu sumber biomassa lignoselulosa yang potensial di dunia adalah ampas tebu. Di Indonesia, produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan terdapat 58 pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari (TTH) (Hermiati et al., 2010). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan dalam pengolahan nira tebu cukup besar, yaitu sekitar 35 - 40% dari bobot tebu dengan kandungan air 48 - 52%, gula 2.5 - 6%, dan serat 44 - 48%. Kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu yang besar menjadikan alternatif pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol cukup strategis dan menjanjikan (Hambali et al., 2007).
18
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol memerlukan beberapa tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol. Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Tahap ini dinilai sebagai tahap yang paling mahal. Oleh karena itu, pretreatment merupakan tantangan utama dalam proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Hermiati et al., 2010). Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses pretreatment masih terbuka lebar. Pretreatment dapat dilakukan secara mekanik, kimia, biologi, dan kombinasi dari cara tersebut (Sun and Cheng, 2002). Penelitian kali ini menggunakan larutan NaOH yang menurut penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Sudiyani et al., (2010) melaporkan bahwa pretreatment alkali (NaOH 1N) pada tandan kosong kelapa sawit lebih mampu menghilangkan lignin dibandingkan dengan asam dan persen kehilangan lignin yang optimal adalah 45,8%. Nlewem and Thrash Jr. (2010) membandingkan pretreatment terhadap switchgrass dengan 0,5-10% NaOH, 80-90°C, 1 jam; asam sulfat 0,5-6%, 121°C, 1 jam; dan air panas 100°C, 1 jam. Hasilnya adalah konsentrasi gula lebih tinggi diperoleh pada pretreatment NaOH 0.5% dibandingkan dengan lainnya. McIntosh and Vancov (2011) melaporkan bahwa kisaran delignifikasi jerami gandum sebesar 33-72% pada suhu 121°C dengan menggunakan konsentrasi 0,75-2% NaOH. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment NaOH encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol. BAHAN DAN METODE Persiapan Bahan Baku Ampas tebu diperoleh dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat yang kemudian dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Sebelum digunakan untuk proses selanjutnya, ampas tebu tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. Pretreatment Larutan NaOH dipersiapkan dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3% (b/v). Selanjutnya 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya dimasukkan dalam labu erlenmeyer volume 250 ml dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH atau 150 ml air suling sebagai pembanding. Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90 menit dalam pemanas bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya. Pulp ampas tebu dibilas beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya. Sebagian pulp ampas tebu yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari, dan sebagian lainnya tetap disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis enzimatis. Hidrolisis enzimatis Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial (Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml, sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
19
Proses hidrolisis dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment NaOH. Sebanyak 0.1 g pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml larutan sodium azide 20 mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 ml (untuk konsentrasi enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20 FPU/g). Larutan buffer sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai 10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses hidrolisis dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama 48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim. Analisa Ampas tebu sebelum pretreatment dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar ekstraktif, kadar lignin, kadar hemiselulosa dan kadar alfaselulosa. Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Analisa gugus fungsi ampas tebu dilakukan dengan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectometric. Sebanyak 4 mg serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1 dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-500 cm-1. Pulp ampas tebu setelah pretreatment yang sudah dikeringkan di oven 60°C dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya. Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan terhadap pulp ampas tebu setelah pretreatment yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer). Filtrat hasil hidrolisis enzimatis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula pereduksi pada kontrol buffer dan kontrol enzim. HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen kimia ampas tebu sebelum proses pretreatment dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen terbesar pada ampas tebu adalah alfaselulosa, yaitu 41.35%. Alfaselulosa merupakan polimer glukosa yang menjadikan ampas tebu berpotensi besar sebagai sumber gula untuk produksi bioetanol. Namun, untuk memaksimalkan produksi gula pada bahan lignoselulosa seperti ampas tebu, diperlukan proses penghilangan lignin atau delignifikasi terlebih dahulu. Tabel 1. Komponen kimia ampas tebu sebelum pretreatment No Komponen Persentase (% berat kering) 1 Alfaselulosa 41.35 2 Hemiselulosa 31.11 3 Lignin 20.16 4 Ekstraktif 8.73 5 Abu 1.47
20
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Pada penelitian ini, setelah ampas tebu diberi perlakuan NaOH, kehilangan lignin dan kehilangan ekstraktif dihitung berdasarkan kehilangan berat rata-rata ampas tebu. Gambar 1 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan berat ampas tebu. Konsentrasi NaOH berpengaruh terhadap kehilangan berat ampas tebu (p<0.05). Penggunaan larutan NaOH 1% sebagai pengganti air mengurangi berat ampas tebu sebanyak 10-20 kali lipat pada proses pretreatment. Berdasarkan perhitungan uji lanjut, pengaruh konsentrasi NaOH yang menghasilkan perbedaan nyata kehilangan berat ampas tebu tersebut hanya terjadi antara konsentrasi 1% NaOH dan 3% NaOH. Salah satu yang mengurangi berat ampas tebu adalah kehilangan ekstraktif. Gambar 2 memperlihatkan kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah proses pretreatment. Kehilangan ekstraktif ini dipengaruhi oleh penggunaan NaOH (p<0.05). Pelarut NaOH dengan konsentrasi sama dengan atau lebih dari 2% mampu mengurangi kandungan ekstraktif lebih banyak dibandingkan dengan pelarut air. Namun kehilangan ekstraktif tidak berbeda nyata hanya dengan menaikkan konsentrasi NaOH sampai dengan 3%.
Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C Waktu pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif, dan kehilangan lignin pada ampas tebu setelah pretreatment NaOH (p<0.05). Lama pemanasan 60 menit mengurangi komponen lebih banyak dibandingkan 30 menit. Namun, memperpanjang waktu selama 90 menit tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap kehilangan komponen ampas tebu. Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
21
Kehilangan lignin merupakan salah satu indikator terpenting dalam penilaian efektifitas sebuah metode pretreatment. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan lignin ampas tebu. Kehilangan lignin sangat dipengaruhi oleh penggunaan NaOH dibandingkan air (p<0.05). Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin banyak kehilangan lignin ampas tebu. Analisa SEM dilakukan pada ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment dengan air dan NaOH 3%. Ampas tebu awal terlihat permukaannya sedikit terkoyak akibat proses penggilingan (Gambar 4a). Namun lignin masih berikatan dengan karbohidrat sehingga serat ampas tebu masih dominan terlihat rata. Kemudian serat ampas tebu memperlihatkan pola yang berbeda setelah diberi perlakuan dengan air dan NaOH. Dengan menggunakan pelarut air, serat ampas tebu hanya menerima perlakuan fisik, oleh karena itu permukaan ampas tebu yang makin terkoyak dan pecah (Gambar 4b). Sedangkan pretreatment NaOH memperlihatkan bahwa kerusakan serat ampas tebu dimulai dari permukaan ke dalam sehingga diharapkan ikatan struktur lignoselulosa mulai terbuka dan menyediakan permukaan yang semakin luas untuk reaksi hidrolisis enzimatis berikutnya (Gambar 4c).
Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan NaOH 3% pada suhu 121°C
22
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Tabel 2. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829 Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109 Ampas tebu pretreatment NaOH 1.070 0.880 1.216 Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Tabel 2 memperlihatkan terjadinya penurunan LOI setelah ampas tebu diberi perlakuan dengan air dan NaOH pada suhu 121°C. Hal ini mungkin disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta pembesaran rasio pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan memperbaiki digestibilitas enzim dalam proses hidrolisis. Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment NaOH (33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda dimana pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan dengan NaOH. Hal ini karena pretreatment NaOH lebih menyerang polimer lignin. Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1 pada spektrum FTIR identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Gambar 5a menunjukkan spektrum FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum FTIR setelah pretreatment air dan NaOH 3% secara berurutan. Berdasarkan spektrum FTIR tersebut tampak jelas bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di sampel tanpa dan dengan perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1 (11) untuk unit guaiasil dan 1327 cm-1 (10) untuk unit siringil. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan laju delignifikasi pada ampas tebu. Tabel 3. Rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan pretreatment NaOH dan air Unit Propana Tinggi puncak Lignin Ampas tebu awal Ampas tebu-NaOH Ampas tebu-Air Siringil (10) 0.70 1.15 1.20 Guaiasil (11) 0.78 1.03 1.29 Rasio S/G 0.89 1.12 0.93
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
23
Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas tebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan NaOH 3% pada suhu 121°C Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment dapat dilihat pada Tabel 4. Tampak bahwa pretreatment NaOH dan air menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Pretreatment dengan NaOH dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas area dan lebar puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1 yang berkaitan dengan regangan dari gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan intermolekul pada gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011). Pretreatment NaOH menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa, sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa. Setelah diberi perlakuan pendahuluan, pulp ampas tebu yang dihasilkan dihidrolisis secara enzimatis dengan enzim selulase. Rendemen gula pereduksi per 100 g ampas tebu kering dapat dilihat pada Gambar 6 (untuk konsentrasi enzim selulase 10 FPU/g) dan Gambar 7 (untuk konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g). Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, peningkatan konsentrasi enzim dari 10 FPU/g menjadi 20 FPU/g tidak berbeda secara nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05). Perlakuan pretreatment sebelum hidrolisis dengan penambahan konsentrasi NaOH sampai dengan 3% serta lama pemanasan pretreatment sampai dengan 90 menit juga tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05).
24
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Tabel 4. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu Pretreatment No
Raw
Water
Functional Groups
NaOH
References
-1
Wave number (cm ) Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3) and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013; intermolecular in cellulose Corrales et al 2012 C-H alifatic axial deformation Corrales et al. 2012
1 3410
3410
3410
2 2916
2901
2901
C-H stretching in methyl and metylene group
Nomanbhay et al. 2013
3 1728
1728
-
Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose)
Pandey and Pitman, 2003
4 1659
1651
1636
C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O
Lai and Idris 2013
Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin
Isroi et al. 2012
5 1605
-
-
C-Ph vibration
Carroles et al. 2012
6 -
1597
-
Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch
Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013
S > G; G condensed > G etherified
Isroi et al. 2012
7 1443
1443
-
8 -
-
1435
9 1381
-
1373
C=O (in ring) 2 bands Lai and Idris 2013 C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai lignin and carbohydrate and Idris 2013 C-H deformation in cellulose and hemicellulose Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003
10 1327
1327
1327
C-H vibration in cellulose
Pandey and Pitman, 2003
C1-O vibration in syringyl derivates
Lai and Idris 2013
11 1250
1250
1257
12 1165
1165
1165
13 1111
1111
1111
14 1041
1041
1034
15 903
903
895
16 833
-
-
C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008 C-O stretching of phenol
Corrales et al. 2012
O-H stretching of secondary alcohol; Corrales et al. 2012 C-O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose, CHe et al. 2012; Isroi et al. 2012 C plus C-O plus C-O-C stretching , β-xylan Corrales et al. 2012; He et al. 2008 C-O stretch in cellulose and hemicellulose Pandey and Pitman, 2003 C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman between the sugar units 2003 Lai and Idris 2013; Corrales et al. 2012; Nomanbhay et al. 2013 C-H vibration Cheng et al. 2013
Gambar 6. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama 48 jam pada suhu 50°C
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
25
Gambar 7. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama 48 jam pada suhu 50°C Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi berlaku jika membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan NaOH (p<0.05). Delignifikasi ampas tebu oleh NaOH yang menghasilkan kehilangan lignin 63-78% diikuti proses hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 28-39 g/100 g ampas tebu kering. Sedangkan delignifikasi oleh air yang menghasilkan kehilangan lignin 0.14% menghasilkan rendemen gula pereduksi yang juga rendah, yaitu 2-3 g/100 g ampas tebu kering. Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering. Oleh karena itu, pretreatment NaOH encer pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar 31-50% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu. KESIMPULAN Penggunaan larutan NaOH dan lama pemanasan berpengaruh terhadap kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin pada proses pretreatment ampas tebu. Namun, untuk mengefisienkan proses pretreatment, cukup menggunakan NaOH 1% dan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C. Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment NaOH (33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda dimana pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan dengan NaOH. Sedangkan pretreatment NaOH lebih menyerang polimer lignin dibandingkan dengan selulosa. Rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air yang menunjukkan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan laju delignifikasi pada ampas tebu. Pretreatment NaOH menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa, sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa. Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim Meicellase yang dapat dipilih adalah 10 FPU/g dibandingkan 20 FPU/g sebagai efisiensi proses. Pada penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan 60 menit di suhu 121°C dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula pereduksi sebanyak 33.97 g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari 26
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu. SARAN Untuk meningkatkan rendemen gula pereduksi, penelitian lebih lanjut dapat diutamakan pada proses hidrolisis ampas tebu setelah pretreatment NaOH, misalnya dengan optimalisasi kondisi hidrolisis. Untuk mendukung data pretreatment NaOH perlu dilakukan analisa lebih lengkap tentang kehilangan selulosa dan hemiselulosa. UCAPAN TERIMA KASIH Kami sangat menghargai kerja sama Sudarmanto dan Rizky Rissa Bella dalam menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Cheng, D., S. Jiang, and Q. Zhang. 2013. Effect of hydrothermal treatment with different aqueous solutions on the mold resistance of Moso bamboo with chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382. Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud, E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel 5(36): 1-8. Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden. Hambali, E., S. Mudjalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi: Biodiesel, Bioetanol, Biogas, Pure Plant Oil, Biobriket, dan Bio-Oil. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781. Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130. Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J. Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB) after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012. Lai, Long-Wee and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by microwave-alkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804. McIntosh, S. and T. Vancov. 2011. Optimisation of dilute alkaline pretreatment for enzymatic saccharification of wheat straw. Biomass and Bioenergy 35: 30943103. Menon, V. and M. Rao. 2012. Trends in bioconversion of lignocellulose: Biofuels, platform chemicals & biorefinery concept. Progress in Energy and Combustion Science. doi:10.1016/j.pecs.2012.02.002.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
27
Nelson, M.L., and R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341. Nlewem, K.C. and M.E. Thrash Jr. 2010. Comparison of different pretreatment methods based on residual lignin effect on the enzymatic hydrolysis of switchgrass. Bioresource Technology 101: 5426–5430. Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable Bioenergy System 3: 7-17. Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry following decay by brown-rot and white-rot fungi. International Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160. Sudiyani, Y., K.C. Sembiring, H. Hendarsyah dan S. Alawiyah. 2010. Pengolahan awal dengan basa NaOH dan sakarifikasi enzimatis serat tandan kosong kelapa sawit (TKKS) untuk produksi etanol. Menara Perkebunan 78(2): 73-77. Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: a review. Bioresource Technology 83: 1–11. Sun, J.X., X.F. Sun, R.C. Sun, F. Paul, and S.B. Mark. 2003. Inhomogeneities in the chemical structure of sugarcane bagasse lignin. J.Agric.Food.Chem 51: 67196729.
28
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PENGARUH PRETREATMENT Ca(OH)2 DAN HIDROLISIS ENZIMATIS TERHADAP PRODUKSI GULA PEREDUKSI PADA AMPAS TEBU Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis Hermiati UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 *Email:
[email protected] ABSTRAK Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih disukai oleh industri. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat potensial sebagai bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Penelitian ini menggunakan Ca(OH)2 karena keuntungannya adalah tidak mahal dan aman untuk digunakan. Pretreatment Ca(OH)2 dengan konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim selulase selama 48 jam pada suhu 50°C menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12 g/100 g ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi maksimal dari ampas tebu. Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment Ca(OH)2, gula pereduksi, hidrolisis enzim PENDAHULUAN Solusi untuk menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa mendatang adalah pengembangan bioenergi. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2012-2050 menetapkan bahwa peran energi baru dan terbarukan tahun 2025 minimal 25% dan tahun 2050 minimal 40%. Sedangkan peranan minyak bumi akan dikurangi menjadi kurang dari 25% di tahun 2025 dan kurang dari 20% di tahun 2050 (ESDM, 2012). Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih disukai oleh industri. Biomassa lignoselulosa dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku untuk produksi bioetanol. Ketika menggunakan pati atau molase, bahan baku tersebut menghabiskan sekitar 40-70% biaya produksi (Dalgaard et al., 2006; Sendelius, 2005; Quintero et al., 2008). Limbah industri pertanian, dalam penelitian ini adalah ampas tebu, diharapkan mampu menjadi salah satu bahan baku yang melimpah dan murah sehingga dapat mengurangi biaya produksi bioetanol. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat potensial sebagai bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Indonesia pun memiliki banyak pabrik gula tebu yang dikelola oleh Negara (PT Perkebunan Nusantara/PTPN) maupun swasta. Produksi gula selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan Dirjen Perkebunan pada tahun 2009, produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan saat ini terdapat 58 pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari. Sementara itu, data P3GI pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 15 perusahaan dengan 62 pabrik gula dengan jumlah tebu yang digiling 29,911 juta ton. Berdasarkan
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
29
data P3GI tersebut, dilakukan perhitungan mengikuti metoda Badger dengan asumsi ampas tebu kering 10% dari tebu giling, kadar selulosa (glukan) dan hemiselulosa (xilan) ampas tebu masing-masing 40% dan 20%, efisiensi sakarifikasi glukan dan xilan masing-masing 76% dan 90%, serta efisiensi fermentasi glukosa dan xilosa masingmasing 75% dan 50%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi etanol yang dapat dihasilkan berkisar 467-112.552 kL/tahun dan potensi total untuk seluruh Indonesia adalah 614.827 kL/tahun (Hermiati et al., 2010). Pretreatment Ca(OH)2 merupakan metode kimia dan seperti perlakuan alkali lainnya, efek pretreatment ini adalah menghilangkan lignin. Selain itu, grup asetil dihilangkan yang akan meningkatkan digestibilitas dan menghilangkan inhibitor komponen dalam fermentasi etanol. Pretreatment Ca(OH)2 menawarkan tiga keuntungan dibanding pretreatment lainnya, yaitu tidak banyak mendegradasi selulosa dan hemiselulosa, tidak mahal sehingga bisa diaplikasikan pada produksi energi tidak terbarukan dan bahan kimia, dan aman untuk digunakan (Sierra et al., 2009). Pretreatment Ca(OH)2 dilakukan pada kisaran suhu 25-200°C dengan selang waktu jam sampai mingguan. Pretreatment Ca(OH)2 dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan lama waktunya, yaitu pretreatment jangka panjang (1-8 minggu), pretreatment jangka pendek (1-24 jam), dan pretreatment sederhana (1 jam dalam air mendidih) (Sierra et al., 2009). Beberapa laporan penelitian yang menghasilkan kondisi optimum penggunaan basa Ca(OH)2 pada pretreatment lignoselulosa, yaitu pretreatment switchgrass dengan kisaran suhu 100–120°C selama 2 jam (Chang et al., 1997); dan corn stover dengan suhu 120°C selama 4 jam (Kaar and Holtzapple, 2000). Kim and Holtzapple (2005) juga melaporkan bahwa delignifikasi corn stover sampai dengan 57.8%, 66.2%, 80.9%, dan 87.5% pada suhu 25, 35, 45, dan 55°C selama 16 minggu perlakuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment Ca(OH)2 pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol. BAHAN DAN METODE Ampas tebu dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Ampas tebu tersebut mengandung 41.35% alfaselulosa, 31.11% hemiselulosa, 20.16% lignin, 8.73% ekstraktif dan 1.47% abu. Ampas tebu disimpan dalam wadah tertutup rapat sebelum digunakan. Pretreatment dilakukan dengan menimbang 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya kemudian dimasukkan dalam labu erlenmeyer volume 250 ml. Konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan adalah 0.1, 0.2 dan 0.3 g/g ampas tebu. Oleh karena itu, serbuk Ca(OH)2 ditimbang sebanyak 1 gram, 2 gram dan 3 gram untuk dicampurkan bersama ampas tebu yang sudah ditimbang sebelumnya. Kemudian ditambahkan air sebanyak 15 g/g ampas tebu atau 150 g air. Diasumsikan berat jenis air adalah 1 g/ml, sehingga air yang ditambahkan ke dalam campuran adalah 150 ml. Sebagai pembanding hanya ditambahkan 150 ml air bersama dengan ampas tebu. Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90 menit dalam pemanas bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya. Pulp ampas tebu dibilas beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya. Sebagian pulp ampas tebu yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari, dan sebagian lainnya tetap
30
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis enzimatis. Pulp ampas tebu kering dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya. Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan terhadap pulp ampas tebu basah yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer). Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Persiapan analisa FTIR dilakukan dengan mencampur 4 mg serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1 dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1. Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial (Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml, sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml. Proses hidrolisis dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment Ca(OH)2. Sebanyak 0.1 g pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml larutan sodium azide 20 mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 ml (untuk konsentrasi enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20 FPU/g). Larutan buffer sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai 10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses hidrolisis dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama 48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim. Kemudian filtrat hasil hidrolisis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula pereduksi kontrol buffer dan kontrol enzim. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ca(OH)2 secara signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu dibandingkan dengan air (p<0.05). Namun peningkatan konsentrasi Ca(OH)2 dari 0.1 g/g sampai dengan 0.3 g/g tidak berpengaruh terhadap kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu (p>0.05). Lama pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu (p<0.05). Kehilangan komponen ampas tebu tersebut paling banyak terjadi setelah pemanasan 60 menit pada temperatur 121°C. Gambar 1 memperlihatkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan berat pada ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan ampas tebu sebesar 2.40% jika hanya dengan perlakuan air. Dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu selama 60 menit, kehilangan berat ampas tebu sebanyak 19.53%.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
31
Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C Gambar 2 menunjukkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan ekstraktif ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, ampas tebu berkurang kandungan ekstraktifnya sebesar 78.77% jika diberi perlakuan air, sedangkan jika diberi perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu maka kehilangan ekstraktifnya sebanyak 89.39%.
Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C Seperti alkali lainnya, perlakuan Ca(OH)2 akan berdampak pada kehilangan lignin bahan lignoselulosa. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan lignin pada ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan lignin dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu mampu mengurangi lignin sebanyak 25.65% pada ampas tebu. Walaupun Ca(OH)2 cukup selektif dalam mendegradasi lignin, dibandingkan dengan NaOH misalnya, degradasi beberapa jenis karbohidrat juga terjadi. Namun, pada pretreatment jangka pendek, telah dibuktikan bahwa karbohidrat masih banyak yang bisa dipertahankan pada pretreatment Ca(OH)2 (Sierra et al., 2009).
32
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C Dapat dilihat pada hasil analisa struktur serat ampas tebu pada Gambar 4. Lubang-lubang yang terdapat pada struktur serat setelah pretreatment Ca(OH)2 (Gambar 4c) menunjukkan adanya degradasi hemiselulosa, akibat dari rusaknya ikatan lignin dan hemiselulosa yang mulai terjadi. Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Absorbansi pada bilangan gelombang 1427 dan 898 cm-1 sebagai ciri selulosa dapat digunakan untuk mempelajari perubahan kristalinitas selulosa. Tabel 1 menunjukkan terjadi penurunan LOI setelah ampas tebu diberi perlakuan dengan air dan Ca(OH)2 pada suhu 121°C. Hal ini mungkin disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta pembesaran rasio pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan memperbaiki digestibilitas enzim dalam proses hidrolisis. Pembesaran pori-pori tersebut akibat dari aktifitas pemecahan gugus ester pada ikatan silang antara lignin dan xylan (Tarkow and Feist, 1969). Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment Ca(OH)2 (36.74%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda. Seperti perlakuan NaOH di penelitian sebelumnya, pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan dengan alkali. Hal ini karena pretreatment alkali lebih menyerang polimer lignin dibandingkan dengan selulosa. Tabel 1. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829 Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109 Ampas tebu pretreatment Ca(OH)2 1.290 1.110 1.162
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
33
Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g pada suhu 121°C Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1 pada spektrum FTIR identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Ampas tebu yang termasuk dalam kelompok rumput-rumputan mengandung tiga kelompok lignin yaitu unit guaiasil propana yang mengandung satu gugus metoksil, unit siringil propana dengan dua gugus metoksil dan para-coumaryl alkohol tanpa gugus metoksil. Besar kandungan unit lignin tersebut pada umumnya adalah 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% para-coumaryl alkohol. Gambar 5a menunjukkan spektrum FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum FTIR setelah pretreatment air dan Ca(OH)2 0.3 g/g ampas tebu secara berurutan. Berdasarkan spektrum FTIR tersebut tampak jelas bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di sampel tanpa dan dengan perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1 (11) untuk unit guaiasil dan 1327 cm-1 (10) untuk unit siringil. Perbandingan siringil dan guaiasil (Rasio S/G) dapat digunakan untuk melihat pola degradasi unit penyusun polimer lignin lebih dalam dimana makin tinggi rasio s/g menunjukkan peningkatan laju delignifikasi. Jumlah gugus metoksil pada unit siringil yang menyebabkan proses substitusi dengan gugus lain terjadi lebih mudah. Rasio s/g pada ampas tebu dengan perlakuan Ca(OH)2 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan alkali meningkatkan laju delignifikasi pada ampas tebu.
34
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas ebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g ampas tebu pada suhu 121°C Tabel 2. Rasio siringil/ guaiasil ampas tebu dengan pretreatment Ca(OH)2 dan air Unit Propana Lignin Tinggi puncak Ampas tebu awal Ampas tebu-Ca(OH)2 Ampas tebu-Air Siringil (10) 0.70 1.39 1.20 Guaiasil (11) 0.78 1.30 1.29 Rasio S/G 0.89 1.07 0.93 Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment dapat dilihat pada Tabel 3. Tampak bahwa pretreatment Ca(OH)2 dan air menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Absorbansi yang lebar pada bilangan gelombang 3394-3390 cm-1 berkaitan dengan gugus OH, sedangkan bilangan gelombang 2900-2800 cm-1 menunjukkan regangan O-H (Wang et al., 2007). Pretreatment dengan Ca(OH)2 dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas area dan lebar puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1 yang berkaitan dengan regangan dari gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan intermolekul pada gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011)
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
35
Tabel 3. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu
No
Pretreatment Ca(OH Raw Water )2
References
Functional Groups
-1
Wave number (cm )
1 3410
3410
2 2916
2901
3 1728
1728
4 1659
1651
Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3) and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013; intermolecular in cellulose Corrales et al 2012 Corrales et al. 2012 2901 C-H alifatic axial deformation
3410
-
C-H stretching in methyl and metylene group
Nomanbhay et al. 2013
Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose)
Pandey and Pitman, 2003
1636 C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O -
Lai and Idris 2013
Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin
Isroi et al. 2012
C-Ph vibration
Carroles et al. 2012
5 1605
-
6-
1597
1597 Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch
7 1443
1443
8-
-
9 1381
-
Lai and Idris 2013 C=O (in ring) 2 bands C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai 1427 and Idris 2013 lignin and carbohydrate Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003 1373 C-H deformation in cellulose and hemicellulose
1327
1327 C-H vibration in cellulose
S > G; G condensed > G etherified
10 1327
Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013 Isroi et al. 2012
-
C1-O vibration in syringyl derivates
Pandey and Pitman, 2003 Lai and Idris 2013
11 1250
1250
1250 C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008
12 1165
1165
13 1111
1111
Corrales et al. 2012 1165 O-H stretching of secondary alcohol; C-O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose, CHe et al. 2012; Isroi et al. 2012 C plus C-O plus Corrales et al. 2012; He et al. 2008 1111 C-O-C stretching , β-xylan
14 1041
1041
15 903
903
16 833
-
C-O stretching of phenol
Corrales et al. 2012
Pandey and Pitman, 2003 1034 C-O stretch in cellulose and hemicellulose C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman 895 2003 between the sugar units Lai and Idris 2013; Corrales et al. 2012; Nomanbhay et al. 2013 Cheng et al. 2013 C-H vibration -
Pretreatment Ca(OH)2, seperti halnya pretreatment NaOH pada penelitian sebelumnya, menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa(3), sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa (9). Gugus fungsi C-O-C dalam hemiselulosa dan C-H dalam selulosa tetap ada dalam ampas tebu setelah pretreatment air dan Ca(OH)2, hanya terjadi perbedaan tingkat intensitas diantara perlakuan. Hal ini karena dalam aktifitas penyerangan polimer lignin, pretreatment juga menyebabkan terjadinya kehilangan karbohidrat terutama hemiselulosa. Struktur rantai bercabang pada hemiselulosa dan derajat polimerisasi yang lebih rendah pada hemiselulosa menyebabkan polimer ini lebih mudah terdegradasi dibandingkan dengan selulosa yang didominasi struktur kristalin. Rendemen gula pereduksi per 100 g ampas tebu kering dapat dilihat pada Gambar 6 (untuk konsentrasi enzim selulase 10 FPU/g) dan Gambar 7 (untuk
36
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g). Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10 FPU/g (p<0.05). Perlakuan pretreatment sebelum hidrolisis dengan penambahan konsentrasi Ca(OH)2 berpengaruh nyata terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan maka gula pereduksinya semakin tinggi. Sedangkan waktu pemanasan saat pretreatment tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05).
Gambar 6. Pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama 48 jam pada suhu 50°C
Gambar 7. Pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama 48 jam pada suhu 50°C Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi juga berlaku jika membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan Ca(OH)2 (p<0.05). Delignifikasi ampas tebu oleh Ca(OH)2 yang menghasilkan kehilangan lignin 3.8-29.6% diikuti proses hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 16-29 g/100 g ampas tebu kering. Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering. Oleh karena itu, pretreatment Ca(OH)2 pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar 20-36% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
37
KESIMPULAN Pengaruh Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C secara signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu dibandingkan dengan air. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan lignin dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu mampu mengurangi lignin sebanyak 25.65% pada ampas tebu. Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment Ca(OH)2 (36.74%). Begitu juga rasio s/g pretreatment Ca(OH)2 lebih besar dibandingkan air. Hal ini menunjukkan laju delignifikasi Ca(OH)2 cukup menjanjikan seperti halnya laju delignifikasi di pretreatment NaOH pada penelitian sebelumnya dengan waktu dan suhu yang sama. Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10 FPU/g pada ampas tebu yang telah diberi pretreatment Ca(OH)2. Oleh karena itu, berdasarkan profil delignifikasi sebelumnya, dapat dipilih Ca(OH) 2 dengan konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim selulase selama 48 jam pada suhu 50°C. Kondisi perlakuan tersebut akan menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12 g/100 g ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi maksimal dari ampas tebu. SARAN Pretreatment Ca(OH)2 merupakan pretreatment alkali yang memiliki banyak keuntungan. Oleh karena itu perlu dioptimalkan kondisi pretreatment yang tepat untuk ampas tebu menggunakan Ca(OH)2. Kondisi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah pemilihan temperatur dan waktu pretreatment. Kemudian setelah itu optimalisasi hidrolisis enzim selulase juga perlu dikembangkan. Oleh karena itu perlu dianalisa kandungan selulosa dan hemiselulosa ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment Ca(OH)2. UCAPAN TERIMA KASIH Kami sangat menghargai kerja sama Sudarmanto dan Rizky Rissa Bella dalam menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Chang, V.S, B. Burr, M.T. Holtzapple. 1997. Lime pretreatment of switchgrass, Applied Biochemistry and Biotechnology 63-65:3-19. Cheng, D., S. Jiang, and Q. Zhang. 2013. Effect of hydrothermal treatment with different aqueous solutions on the mold resistance of Moso bamboo with chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382. Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud, E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel 5(36): 1-8.
38
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Dalgaard, T., U. Jorgensen, J.E. Olesen, E.S. Jensen, and E.S. Kristensen. 2006. Looking at biofuels and bioenergy. Science 312, pp 1743. ESDM. 2012. 10 Jawaban Kenaikan Harga BBM. http://prokum.esdm.go.id/Lainlain/10%20Jawaban%20Kenaikan%20Harga%20BBM.pdf (diakses tanggal 26 Oktober 2012). Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden. He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781. Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130. Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J. Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB) after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012. Kaar, W.E and M.T. Holtzapple. 2000. Using lime pretreatment to facilitate the enzyme hydrolysis of corn stover. Biomass and Bioenergy 18(3):189-199. Kim, S. and M.T. Holtzapple. 2005. Lime pretreatment and enzymatic hydrolysis of corn stover. Bioresource Technology 96:1994–2006. Lai, L. and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by microwavealkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804. Nelson, M.L., and R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341. Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable Bioenergy System 3: 7-17. Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry following decay by brown-rot and white-rot fungi. International Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160. Quintero, J.A., M.I. Montoya, O.J. Sánchez, O.H. Giraldo, and C.A. Cardona. 2008. Fuel ethanol production from sugarcane and corn: Comparative analysis for a Colombian case. Energy 33, pp 385–399. Sendelius, J, 2005. Steam pretreatment optimisation for sugarcane bagasse in bioethanol production. Master of Science Thesis. Department of Chemical Engineering, Lund University, Sweden. http://www.chemeng.lth.se/exjobb/063.pdf (diakses tanggal 19 September 2011). Sierra, R., C.B. Granda, and M.T. Holtzapple. 2009. Chapter 9: Lime Pretreatment. Biofuels: Methods and Protocols. Methods in Molecular Biology, vol. 581. Jonathan R. Mielenz (ed.). Humana Press, a part of Springer Science+Business Media. Sun, J.X., X.F. Sun, R.C. Sun, F. Paul, and S.B. Mark. 2003. Inhomogeneities in the chemical structure of sugarcane bagasse lignin. J.Agric.Food.Chem 51: 67196729.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
39
Tarkow, H. and W. Feist. 1969. A mechanism for improving the digestibility of lignocellulosic materials with dilute alkali and liquid amonia. Adv.Chem.Ser.95:197-218. Wang, L.L., G.T. Han, Y.M. Zhang. 2007. Comparative study of composition, structure and properties of Apocynum venetum fibers under different pretreatments. Carbohydrate Polymer 69:391-397.
40
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
SINTESIS SODIUM LIGNOSULFONAT DARI LIMBAH LIGNIN PRETREATMENT AMPAS TEBU Fitria*, Widya Fatriasari, Faizatul Falah, Triyani Fajriutami dan Euis Hermiati UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 *Email:
[email protected] ABSTRAK Studi pemanfaatan limbah cair pengolahan ampas tebu menjadi lignosulfonat telah dilakukan. Lignin dari lindi hitam yang berasal dari perlakuan alkali NaOH terhadap ampas tebu ini diisolasi dan selanjutnya diproses menjadi sodium lignosulfonat. Dari 9 jenis perlakuan pendahuluan pada ampas tebu menggunakan kombinasi perlakuan alkali NaOH dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3 % serta lama pemanasan 30, 60 dan 90 menit di dalam autoclave, dilakukan proses isolasi lignin pada lindi hitam yang dihasilkan dan selanjutnya sodium lignosulfonat disintesis dari lignin ini. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi alkali dan lama pemanasan, semakin besar kadar lignin yang didapatkan. Analisis spektroskopi FTIR menunjukkan bahwa sodium lignosulfonat yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik daripada sodium lignosulfonat komersil. Kata kunci: lignin, sodium lignosulfonat, pretreatment ampas tebu PENDAHULUAN Salah satu tantangan terbesar dari produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa adalah penggunaan limbah yang terbuang dari keseluruhan proses. Oleh karena itu berkembang strategi produksi bioetanol dari ampas tebu bersama dengan pengembangan konsep biorefinery. Biorefinery merupakan suatu proses produksi berbagai produk kimiawi dan biofuel dari suatu biomassa dengan teknologi ramah lingkungan yang menghasilkan sedikit limbah (Li et al., 2008). Konsep ini dapat diterapkan pada proses konversi ampas tebu menjadi bioetanol. Hasil samping dari proses produksi bioetanol dapat langsung digunakan atau dikonversi dengan cara kimiawi, enzimatik atau biologis. Beberapa manfaat dari konsep biorefinary ini adalah meningkatkan nilai tambah produk samping, meningkatkan nilai ekonomis lignoselulosa, meminimalkan penggunaan air dan mengurangi ketergantungan terhadap produk berbahan dasar minyak bumi. Biorefinery menawarkan peluang ekonomi baru untuk industri pertanian dan kimia dengan menghasilkan bermacam-macam produk kimia, bahan bakar transportasi, dan energi (FitzPatrick et al., 2010). Konsep biorefinery digunakan oleh Rabelo et al. (2011) untuk mengintegrasikan proses produksi bioetanol dari ampas tebu dengan produksi biogas. Mariano et al. (2012) menerapkan biorefinery tebu untuk menghasilkan gula, etanol dan butanol. Limbah buangan lignin bila tidak dimanfaatkan dapat mencemari lingkungan karena sulit terdegradasi dalam kondisi anaerob (Ahring and Westermann, 2007). Pada umumnya sebagian lignin dibakar untuk menyediakan panas dan kelistrikan pada proses, dan sisanya dijual sebagai produk samping untuk bahan bakar (Galbe and
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
41
Zacchi, 2007) atau sebagai campuran atau pengikat (binder) dalam pakan ternak (ruminansia). Salah satu usaha untuk memanfaatkan limbah cair yang mengandung lignin adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan perekat kayu atau mereaksikannya dengan senyawa bisulfit sehingga menjadi lignosulfonat yang secara luas dikenal sebagai bahan tambahan pada semen, pupuk, paper coating, dan lain-lain. Proses sulfonasi pada lignin mengubah sifat hidrofilitas dari lignin yang kurang polar dengan memasukkan gugus sulfonat yang lebih polar dari gugus hidroksil. Hal ini menyebabkan meningkatnya sifat hidrofilitas dan menjadikan lignosulfonat larut dalam air. Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi lignin yang terdapat dalam limbah pretreatment alkali (lindi hitam) terhadap ambas tebu dan selanjutnya disulfonasi untuk menghasilkan sodium lignosulfonat. Sehingga dapat diketahui pengaruh beda perlakuan pendahuluan ini terhadap rendemen padatan limbah, rendemen lignin dan karakter sodium lignosulfonat yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair (lindi hitam) pretreatment ampas tebu pada penelitian sebelumnya. Pretreatment ampas tebu tersebut dilakukan dengan mencampur 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH 1%, 2% dan 3% (b/v) dengan lama waktu pemanasan dalam autoclave selama 30, 60 dan 90 menit. Metode isolasi lignin mengacu pada Falah (2012). Dalam proses isolasi lignin, sebanyak 100 ml lindi hitam pretreatment ampas tebu dimasukkan ke dalam gelas beaker 300 ml kemudian ditetesi dengan H2SO4 2 N hingga pH 2 di atas stirrer plate. Selanjutnya larutan ini dibiarkan selama 24 jam hingga mengendap kemudian disaring menggunakan kertas saring. Hasil saringannya dilarutkan kembali dengan NaOH 1 N dan selanjutnya ditetesi kembali dengan H2SO4 2N hingga pH 2, didiamkan selama 24 jam hingga terbentuk endapan. Berikutnya disaring dengan kertas saring dan dikeringkan dalam oven suhu 60°C hingga berat konstan. Rendemen lignin yang dihasilkan dihitung berdasarkan berat padatan lindi hitam. Proses sintesis sodium lignosulfonat dilakukan dengan mencampur serbuk lignin hasil isolasi lindi hitam (hasil perlakuan NaOH 3% selama 30 menit pemanasan) dan NaHSO3 dengan perbandingan 2:1, kemudian ditambahkan air suling sebanyak 30 ml per gram lignin (Sirait dkk, 2013). Dalam hal ini, 2.501 g serbuk lignin dicampur dengan 0.93 ml larutan NaHSO3 (1 L = 1.34 kg), ditambah dengan 75 ml air suling dalam erlenmeyer 100 ml, dengan pH diatur antara 5-7 dengan penambahan NaOH 15%. Campuran ini diaduk selama 3 jam pada suhu 100°C di atas hot plate stirrer. Selanjutnya larutan ini disaring dengan kertas saring dan dioven pada suhu 60°C hingga berat konstan. Rendemen sodium lignosulfonat yang dihasilkan dihitung dari masukan lignin dan NaHSO3 awal. Spektroskopi FTIR dilakukan terhadap lignin N330 (lignin hasil isolasi limbah pretreatment NaOH 3% selama 30 menit), SLS N330 (sodium lignosulfonat dari lignin N330) dan sodium lignosulfonat (SLS) komersial (Borresperse NA produksi Borregaard LignoTech, Norway). Sebanyak 4 mg sampel dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi
42
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1 dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar padatan tertinggi terdapat pada lindi hitam hasil perlakuan ampas tebu dengan NaOH 3% selama 90 menit pemanasan dengan autoclave, sedangkan kadar padatan terendah dimiliki oleh lindi hitam hasil perlakuan NaOH 1 % selama 30 menit dengan autoclave. Selain itu, dapat dilihat adanya kecenderungan peningkatan kadar padatan dengan semakin besarnya konsentrasi NaOH dan lama pemanasan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh makin banyaknya struktur lignoselulosa ampas tebu yang terombak dengan makin tingginya konsentrasi alkali dan makin lamanya pemanasan. Dengan makin lama waktu pemanasan, penetrasi larutan ini semakin dalam ke dalam sel ampas tebu, yang mengakibatkan tidak hanya struktur lignin yang terombak namun holoselulosa kemungkinan juga makin banyak terombak. Pada akhirnya, komponen yang terdegradasi ini membuat kadar padatan dalam lindi makin meningkat.
Gambar 1. Kadar padatan dan rendemen lignin dari lindi hitam tiap perlakuan pendahuluan (Nxy=NaOH x% dengan waktu pemanasan autoclave y menit) Untuk rendemen lignin, Gambar 1 memperlihatkan kecenderungan yang cukup unik, yaitu nilainya tinggi pada konsentrasi alkali rendah dan waktu pemanasan pendek kemudian berfluktuasi hingga meningkat lagi pada konsentrasi alkali tinggi. Hal ini disebabkan dengan makin tingginya konsentrasi alkali dan makin lamanya pemanasan, struktur sel yang terombak tidak hanya lignin namun juga struktur selulosa dan hemiselulosa, terutama struktur hemiselulosa. Dengan demikian, kadar padatan pada lindi hitam akan semakin tinggi namun persentase lignin secara keseluruhan akan berkurang. Adapun bila dilihat berdasarkan berat lignin yang berhasil diisolasi per 100 ml lindi hitam, cenderung bahwa lignin yang diperoleh tetap meningkat dengan semakin besarnya konsentrasi alkali dan lama pemanasan yang dapat dilihat pada Gambar 2. Rendemen sodium lignosulfonat yang disintesis dari lignin yang diisolasi dari lindi hitam dengan perlakuan NaOH 3% dengan pemanasan 30 adalah 73%. Hasil ini cukup positif dan berada dalam kisaran rendemen SLS seperti yang dilakukan oleh Sirait dkk (2013). Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
43
Gambar 2. Kadar lignin dari lindi hitam tiap perlakuan pendahuluan (Nxy=NaOH x% dengan waktu pemanasan autoclave y menit) Perbandingan spektrum FTIR lignin N330, SLS N330 dan SLS komersial dapat dilihat pada Gambar 3. Spektrum FTIR menggambarkan hampir semua karakteristik pita serapan pada struktur kimia yang berbeda. Analisis ini dilakukan untuk melihat terjadinya proses sulfonasi pada sintesis SLS.
Gambar 3. Spektrum FTIR lignin N330, sodium lignosulfonat N330 dan sodium lignosulfonat komersial Dari hasil analisis spektroskopi FTIR secara umum terlihat bahwa kualitas SLS N330 lebih baik dari pada SLS komersial dimana intensitas gugus sulfonat (SO3) pada SLS N330 lebih tinggi dibandingkan dengan SLS komersial (1120-1230 cm-1) serta intensitas vibrasi cincin aromatic-nya pada bilangan gelombang 1512 cm-1 juga lebih tinggi dibandingkan pada SLS komersial. Pada Gambar 4 dapat dilihat secara visual lignin N330, SLS N330 dan SLS komersial. KESIMPULAN Semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama waktu pemanasan pada pretreatment NaOH pada ampas tebu, semakin besar total padatan dan kadar lignin yang diperoleh. Kualitas SLS dari hasil isolasi lindi hitam lebih baik dari pada SLS komersial.
44
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 4. Lignin N330 (kiri), sodium lignosulfonat N330 (tengah), dan sodium lignosulfonat komersial (kanan) SARAN Untuk selanjutnya perlu dilakukan uji kemurnian sodium lignosulfonat untuk mengetahui efektifitas proses sintesis yang dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Ahring, B.K. and P. Westermann. 2007. Coproduction of Bioethanol with Other Biofuels. Advance Biochemical Engineering/Biotechnology 108, pp 289-302. Falah, F. 2012. Pemanfaatan limbah lignin dari proses pembuatan bioetanol dari TKKS sebagai bahan aditif pada mortar. Tesis. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. Depok. Fitzpatrick, M., P. Champagne, M.F. Cunningham, and R.A. Whitney. 2010. A biorefinery processing perspective: treatment of lignocellulosic materials for the production of value-added products. Bioresource Technology 101, pp 8915-8922. Galbe, M. and G. Zacchi. 2007. Pretreatment of Lignocellulosic Materials for Efficient Bioethanol Production. Advance Biochemical Engineering/Biotechnology 108, pp 41-65. Li, Y., M. Horsman, N. Wu, C.Q. Lan and N.D. Calero. 2008. Biocatalysis and Bioreactor Design: Biofuels from Microalgae. Biotechnol. Prog. 24, pp. 815-820. Mariano, A.P., M.O.S. Dias, T.L. Junqueira, M.P. Cunha, A. Bonomi, and R.M. Filho. 2012. Butanol production in a first-generation Brazilian sugarcane biorefinery: technical aspects and economics of greenfield projects. Bioresource Technology, doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2012.09.109 Rabelo, S.C., H. Carrere, R. Maciel Filho, and A.C. Costa. 2011. Production of bioethanol, methane and heat from sugarcane bagasse in a biorefinery concept. Bioresource Technology 102, pp 7887–7895. Sirait, JPR., N. Sihombing, Z. Masyithah, 2013. Pengaruh suhu dan kecepatan pengadukan pada proses pembuatan surfaktan natrium lignosulfonat dari tempurung kelapa. Jurnal teknik kimia USU, vol. 2 no. 1. Pp. 21-25
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
45
PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF POLYLACTIC ACIDFILLED CHITIN AND CHITOSAN COMPOSITES Kurnia Wiji Prasetiyo*, Lisman Suryanegara and Subyakto Research & Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor 16911, Indonesia *Corresponding author:
[email protected] ABSTRACT Polylactic acid (PLA) is a kind of biodegradable materials with low toxicity and excellent biocompatibility. PLA has a great potential to replace petroleum-based plastics due to its high stiffness and strength. Among many biodegradable polyesters, PLA has attracted the most attention because it is not only higly biodegradable, but can also be derived from renewable natural resources susch as corn starch. In addition, PLA can be processed using similar equipments that used for convential plastics such as polypropylene (PP). However, the drawbacks of PLA are low toughness. The purpose of this research was to examine the effect of added chitin and chitosan filler on the physical and mechanical properties of composites. PLA was mixed with chitin and chitosan in acetone. After well mixed, the mixture was dried at room temperature for 24 hours followed by drying in oven at 55 C for 12 hours. The physical properties of composites were evaluated by light microscope and the mechanical properties by Universal Testing Machine (UTM). Result showed that the tensile strength and elongation at break decreased but the tensile modulus of the composites increased with increasing chitin and chitosan filler. Keywords: polylactic acid, chitin, chitosan, composites, physical and mechanical properties INTRODUCTION Polylactid acid (PLA) as a high strength, high modulus polymer has received much attention in the research of alternative biodegradable and biocompatible polymers produced from renewable resources. This fact is responsible for a growing interest in PLA for many applications, as it is expected to reduce an impact on the environment caused by the production and utilization of petrochemical polymers [1]. Amorphous PLA is rigid and brittle due to the high glass transition temperature (Tg) in the range of 50-60o C. So below this temperature, the low deformation at break limits the application of PLA materials. Therefore, considerable efforts have been made to improve the ability to plastic deformation. Some chemical modifications with plasticizers have been done to improve the flexibility of PLA for example citrate ester [2], polypropelene glycol (PPG) [3], triacetine [4], oligomeric lactic acid and glycerol [5]. However, the addition of plasticizers generally deteriorates the precious strength and modulus of PLA. Chitin and chitosan polymers are natural aminopolysaccharides having unique structures, multidimentional properties, highly sophisticated functions and wide ranging applications in biomedical and other industrial areas [6]. Some researchs have been 46
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
done to improve the properties of thermoplastic composites for example with chitin and chitosan as filler. According Husseisyah et al [7], chitosan as filler with chemical modification by acrylic acid could be increased Young’s modulus of PP composites. Therefore, the addition of chitin and chitosan as filler be expected to improve the properties of PLA composites with chemical treatment by acetone solvent. The aims of this research was to investigate the characteristics of amorphous polylactid acid composites with chitin and chitosan as filler also chemical treatment with acetone solvent. MATERIALS AND METHODS Amorphous polylactid acid (PLA) used in this study was of injection molding grade from Japan with code number H4060D. Chitin was obtained from Japan and chitosan was industrial grade obtained from PT. Biotech Surindo Cirebon Indonesia with degree of deacetylation (DD) of 90%. Technical acetone solution was used in this study. Almost 45 g (90% w/w) amorphous PLA was dissolved in 350 ml aceton solution at room temperature. The mixture was mechanically stirred for 4 hours in order to make it homogenous. After homogenous, the chitin or chitosan powder was added with concentration is 10% w/w (5 g). Mixing was continued for another 1 hour at overhead stirrer. After well mixed, the mixture was casted in the mold and dried at room temperature for 24 hours followed by drying in oven at 55o C for 12 hours. Than, the mixture was kneaded in laboplastomill at 140o C, 40 rpm for 10 minutes. Samples of composites were molded in a electrically heated hydraulic press at 140o C, 1 MPa for 15 minutes. In this study was made chitin-amorphous PLA composites without dissolved in acetone solution previously. The mixture was direct kneaded in laboplastomill at same procedures. The physical properties of composites were evaluated by light microscope and the mechanical properties by Universal Testing Machine (UTM) according to ASTM D-638 and ASTM D-790. RESULTS AND DISCUSSION Phisically, all the material of thermoplastics composites has been mixed during mixing process in laboplastomill. But, the results of imaging with light microscope for PLA-chitin or chitosan composites still visible white spots from chitin and chitosan powder that has not decomposed perfectly (Figure 1: middle and right).
Figure 1.
Composites of pure amorphus PLA (left), amorphus PLA + chitin (middle) and amorphus PLA + chitosan (right) at light microscope (50x)
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
47
The phenomenon of persistence from chitin and chitosan spots at composites related to the decomposition temperature of chitin and chitosan itself which results from concerning thermogravimetric analysis (TGA) test for chitin and chitosan are approximately 270o C-320o C [8]. So, the mixing and hot pressing temparature at 140o C have not been able to melt and composed chitin or chitosan powder completely. According Kaban [9], chitin and chitosan tends to decompose rather than melt at the time of heating. Figure 2 shows the effect of chitin and chitosan filler on the tensile strength of PLA composites. The results exhibit that with adding of polymer filler the tensile strength of composites decreased than pure PLA. Results of the test showed that composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading posses the highest tensile strength which is 42,3 MPa and the lowest is chitosan 5% by dissolved in aceton-kneading with approximately 24,6 MPa. This might be due to poor interfacial bonding between filler and matrix polymer. The chemical treatment of chitin and chitosan with solved in aceton have not been able to improve the tensile strength of composites significantly. The tensile strength of composites with direct kneading and unsolved in aceton are higher than other treatments.
Figure 2. Tensile strength histogram of composites According Husseinsyah et al. [10], the higher of chitosan percentage could be reduced the tensile strength of composites. Chitin or chitosan as filler could be reduced the stiffning and decreased deformability of composites so this condition related to the tensile strength of composites.
48
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Figure 3. Tensile modulus histogram of composites The tensile modulus (MOE) is one of the most important mechanical properties of composites. MOE describe the stiffness of materials. The higher MOE the higher stiffness of materials. Results of the test showed that composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading posses the highest MOE which is 3,50 GPa and the lowest is chitosan 5% by dissolved in aceton-kneading with approximately 3,08 GPa (Figure 3). Adding the filler chitin and chemical treatment by aceton could improved of composites than other processes. Though unsignificant, it is believed that the modification of chitin and chitosan with aceton had a positive effect on the tensile modulus because of reduced agglomeration and increased interfacial adhesion between chitin or chitosan and the PLA matrix. The effect of chitin and chitosan fillers adding on the elongation of composites is given in Figure 4. Adding the chitin and chitosan fillers and chemical treatment by aceton significantly reduced the elongation of composites than pure PLA. Results of the test showed that composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading posses the highest elongation which is 3,14% and the lowest is chitosan 5% by dissolved in aceton-kneading with approximately 2,61%.
Figure 4. Elongation histogram of composites This observation might be due to the stiffning effect of chitin or chitosan and decreased deformability of a rigid interface between filler and PLA matrix. Adding Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
49
chitin or chitosan fillers and chemical treatment by aceton solvent resulted in good stress propagation and improved the tensile modulus but made the composites more brittle than the PLA matrix. This condition has been influenced for the elongation of composites because of the composites ductility made decreased. CONCLUSION Physically, composites with chitin and chitosan fillers have in good stress propagation but made more brittle than the PLA matrix. As for the effect of chemical treatment with aceton solvent and adding of chitin and chitosan fillers has improved the tensile modulus, but reduced the tensile strength and the elongation of composites though unsignificant. The increased tensile modulus was attributed to improved interfacial adhesion between chitin or chitosan filler and the amorphous PLA matrix. ACKNOWLEDGMENTS This work was supported by Competitive Program of Indonesian Institute of Sciences 2013. This paper is also a part of the outcome of the DIPA Program of LIPI 2013: The Manufacture of Bionanocomposites Based on Microfibril Cellulose for Raw Materials Industry. REFERENCES [1]
Yu L, Dean K. 2006. Polymer blends and composites from renewable resources. Prog Polymer Science. 31: 576-602. [2] Labrecque LV., Dave RA., and Gross RA. 1997. Citrate esters as plasticizers for poly(lactid acid). Journal Appl Polymer Science. 66: 1507-1513. [3] Kulinski Z., Piorkowska E., and Gadzinowska K. 2006. Plasticization of poly (Llactide) with poly(propelene glycol). Biomacromolecules. 7: 2128-2135. [4] Ljunberg N., and Wesslen B. 2005. Preparation and properties of plasticized poly(lactid acid) films. Biomacromolecules. 6: 1789-1796. [5] Martin O., and Ave’rous L. 2001. Poly(lactid acid): Plasticization and properties of biodegradable multiphase systems. Polymer. 42: 6209-6219. [6] Muzzarelli RAA, Muzzarelli C. 2005. Chitosan chemistry: relevance to the biomedical sciences. Advanced Polymer Science. 186: 151-209. [7] Husseinsyah, S., Amri, F., Husin, K., and Ismail, H. 2011. Mechanical and thermal properties of chitosan-filled polypropylene composites: The effect of acrylic acid. Journal of vinyl and additive techology. [8] Prasetiyo, KW. 2012. Polypropelene Substitution by Chitosan on PolypropeleneEmpty Fruit Bunch Fiber of Oil Palm Microfibril Thermoplastic Composites. Thesis: Post Graduate of IPB. [9] Kaban. 2009. Chemical Modification of Chitosan and Product Application. Inagural Speech: Noth Sumatra University-Medan. [10] Husseinsyah, S., Amri, F., and Husin, K. 2010. Chemical modification of chitosan-filled polypropylene (PP) composites: The effect of 3Aminopropyltriethoxysilane on mechanical and thermal properties. International Journal of Polymeric Materials, 60:429-440
50
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
CHARACTERISTICS OF COMPOSITES FROM RECYCLED POLYPROPELENE AND THREE KINDS OF INDONESIAN BAMBOOS FIBER Kurnia Wiji Prasetiyo1*, Lilik Astari1 and M. Yusram Massijaya2 1
R&D Unit for Biomatetials, Indonesian Institute of Sciences, Jalan Raya Bogor KM 46 Cibinong Bogor Indonesia 2 Forest Product Departmen, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Dramaga, Bogor Indonesia ABSTRACT
Plastic composite can be defined as a composite that contains natural fibers and thermosets or thermoplastics materials. Natural fibers, for example from bamboo, generally utilize as reinforce and filler that able to enhance the strength and stiffness of composites. Besides, natural fibers are low cost, lightweight and recycleable. This research was conducted to investigate the effect of bamboo species variation and ratio of recycled polypropelene with bamboo fiber to the characteristics of composites. Three species of bamboo that used were Bamboo Betung, Bamboo Sembilang and Bamboo Kuning. Bamboo clum were reduced in size and sieved with disc mill into pass through 40 mesh. Composition of recycled polypropelene and bamboo fiber were 50:50, mixed materials were molded in circle form, 14 cm diameter and 3 mm thickness with target density 1,0 g/cm3. The materials then hot pressed at 185⁰C, 1 MPa for 15 minutes. Mechanical properties of composites were tested according to ASTM D 638 and ASTM D 790. Keywords: plastic composites, bamboo species, ratio of recycled polypropelene : bamboo fiber, mechanical properties INTRODUCTION The decerese of live quality is occur globally, this situation demands an effort to minimize the degradation of nature that usually caused by plastic wastes. Ashori[1] mentioned that from 34,12 million tons wastes from urban area in Indonesia around 3,17 million tons are plastic wastes. That’s huge number of plastic waste forecasted contaminate soil and water in the future. The case above is serious problem that urgently need preventation and solution. The enomous number of plastic wastes is a great potency as a raw material for plastic composites. Recycled polypropelene (RPP) that gained from plastic wastes can be occupied to substitute pure plastics such as polypropelene (PP). Plastic composites or well-known with wood plastic composites (WPC) is a green material or green composites that have a wide potencies in usage and sustainable. Plastic composites could be defined as a composite that contains natural fiber (wood and non-wood) with thermosets or thermoplastics materials. Nowadays, condition of WPC industries as the supplier for furniture products, household and pipes experience a problem in lack of availability of wood as raw material polymer petroleum based. Those conditions encourage the utilization of non-wood natural fiber
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
51
as a filler to replace wood fiber and recycled PP to substitute pure PP. Non-wood fiber are abundant and easy to gather as well as RPP, this is a beneficial conditions. Furthermore, the utilization of non-wood fiber and RPP assisting the effort to prevent deforestration and decrease the consumption of petroleum. The term WPCs refers to any composites that contain plant including wood and non-wood fibers and thermosets or thermoplastics. Thermosets are plastics that, once cured, cannot be melted by repeating. These include resins such as epoxies and phenolics, plastics with which the forest products industry is most familiar. Thermoplastics are plastics that can be repeatedly melted. This property allows other materials, such as wood fibers, to be mixed with the plastic to form a composite product. Polypropylene (PP), polyethylene (PE) and polyvinyl chloride (PVC) are the widely used thermoplastics for WPCs and currently they are very common in building, construction, furniture and automotive products[2]. The possibility of using recycled materials in the development of composites is very attractive, especially with respect to the large quantity of wood fiber/plastic waste generated daily. Waste paper can meet all the requirements in order to replace inorganic fillers in thermoplastic composites. Advantages associated with biocomposite products include lighter weight and improved acoustic, impact and heat reformability properties-all at a cost less than that of comparable products made from plastics alone. In addition these composites may possibly be reclaimed and recycled for the production of second-generation composites[3]. One of the non-wood natural fiber as substitution for wood fiber for WPC is bamboo which is lignocellulosic materials. Bamboo are abundant in nature, easy to grown and a kind of fast growing plant. According to Dransfield and Widjaja [4], there are 60 species of bamboo from around 200 species in South East Asia. Bamboo are grow and adapt with almost all type of soil except soil with high alkali, desert and swamp. In Indonesia bamboo are commonly found in dry and open space area, spread from low land to about 300 meter above sea level. In the world bamboo are vegetation with very fast growing time this is due to bamboo have uniquely dependtrhizome system where in a day bamboo able to grow about 60 cm (24 inch) even more, depend on the conditions of soil and climatology of the area. The aims of this research was to investigate the characteristics of plastics recycled polypropelene composites with non-wood natural fibers from 3 kinds of bamboo: Bamboo Betung (Dendrocalamus asper Backer), Bamboo Sembilang (Dendrocalamus giganteus) and Bamboo Kuning (Bambusa vulgaris Schrad). MATERIALS AND METHODS Bamboo materials gained from bamboo collection of R&D Unit for Biomaterials, Indonesia Institute of Science, Cibinong, Bogor. The bamboo are those with age about 2-3 years. There were 3 kinds of bamboo : Bamboo Betung, Bamboo Sembilang and Bamboo Kuning. Bamboo had been cutted and processed with ring flaker, so that results into particle of bamboo. Bamboo chips then air dried, followed by milled using disc mill until the particle size passed through 40 mesh and held at 60 mesh. Powder then oven dried at 60⁰C until the water content 5% reached. Polymer occupied on this research are recycled polypropelene (RPP) with ratio between RPP and bamboo powder are 50 : 50 (%) based on weight. The form of composite samples are circle with diameter 14 cm, thickness 3 mm, target of density 1,0
52
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
g/cm3 . Composites were hot pressed at 185⁰C with gradually pressure for 15 minutes. After hot pressed, composites cooled in steel plat in order to gain the excellent surface. Composites conditioned at room temperature for 2 weeks. Following this, composites cutted into samples testing and tested for its mechanical properties according to ASTM D 638 and ASTM D 790.
(A)
Figure 1.
(B)
(C) Composites from recycled polypropelene and three kinds of Indonesian bamboos fiber : Sembilang (A), Betung (B) and Kuning (C) RESULTS AND DISCUSSION
Modulus of Elasticity (MOE) Modulus of elasticity (MOE) is one of the most important from mechanical properties of composites. MOE describe the stiffness of materials. The higher MOE means the higher stiffness of materials. Results of the test showed that Bamboo Betung posses the highest MOE which is 2,63 GPa and the lowest is Bamboo Kuning with approximately 2,02 GPa (Figures 2).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
53
Figure 2. Modulus of elasticity from composites Flexural Strength (FS). Flexural strength (FS) is an indicator for the composites strength to hold the load. Diagram below shows that Bamboo Betung is the highest FS with about 36,17 MPa and Bamboo Kuning is the lowest with 25,37 MPa.
Figure 3. Flexural strength from composites Tensile Strength Similar to MOE and MOR, for tensile strength WPC from Bamboo Betung in the first position of the highest value is 10,26 MPa than Bamboo Sembilang WPC is 8,28 MPa and Bamboo Kuning WPC is 4,74 MPa. This indicate that Bamboo Betung 54
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
able to hold load better than both Bamboo Kuning and Bamboo Sembilang. This might be due to good interfacial bonding between Bamboo Betung fiber and matrix polimer RPP than Bamboo Kuning and Bamboo Sembilang fibers as filler at composites.
Figure 4. Tensile strength from composites Elongation From the diagram it is clearly shown that Bamboo Betung samples have the highest elongation for about 7,58%. Bamboo Sembilang WPC posses inconsiderable difference from Bamboo Betung which is 7,01% and Bamboo Kuning is the lowest with approximately 4,84%.
Figure 5. Elongation from composites
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
55
From the data above composites with natural fiber from Bamboo Betung have the best mechanical properties of composites among 3 kinds of bamboo that utilize in this research. Physical properties such as density and bamboo age are some of main consideration in determine particular bamboo species as raw materials for biocomposite. Wahab et al.[5] mentioned that bamboo properties such as age, moisure content, internode diameter, internode length and basic density are main factors to determine bamboo for various applications and chemical treatments. Moreover, a critical parameter that affected plastic composites strength is a density of fiber or dust fiber. As known that, dust of bamboo betung have higher density and larger structure compared to Bamboo Sembilang dan Bamboo Kuning. Hassine et al., Migneault et al.,Sain et al.[6-8] mentioned that some factors such as fiber dimension, chemical compositions, density, thickness, amount and type of bonding agent could influenced the strength of plastic composites. All bamboos that occupied in this research was approxymately 10 year in age, thus the bamboo are sufficient in term of age. The higher results shown by composite with Bamboo Betung (Dendrocalamus asper) probably affected by properties of its cell walls. Gritsch, Kleist and Murphy[9] investigated Bamboo Betung’s cell wall properties and found that cell wall of Bamboo Betung is multilayered which is different from the others bamboo. CONCLUSION Plastics composites made from recycled polypropelene and Bamboo Betung fiber presents higher mechanical properties (MOE, flexural strength, tensile strength and elongation) compared to plastics composites from Bamboo Sembilang and Bamboo Kuning. The differences are influenced by density of Bamboo Betung that relatively higher than Bamboo Sembilang and Kuning. To conclude, the difference of density and species of bamboo closely related to the mechanical properties of plastic composites that comprises of recycled PP and dusty-fiber of three species bamboo. REFERENCES [1]
[2]
[3] [4] [5]
56
Ashori, A. Review Paper : Wood-plastics composites as promising greencomposites for automotive industries. Bioresource Technology. 2008, 99, 4661– 4667. Panthapulakkal, S., Zereshkian, A., and Sain, M. Preparation and characterization of wheat straw fibers for reinforcing application injection molded thermoplastic composites. Bioresource Technology. 2006, 97 (2), 265–272. Ashori, A and Amir Nourbaksh. Characteristics of wood–fiber plastic composites made of recycled materials. Waste Management. 2009, 29, 1291–1295. Dransfield, S. and Widjaja, E. A., eds. Plant resources of South-east Asia, no. 7: Bamboos. Prosea, Bogor, Indonesia. 1995. Wahab, R., Mohamed, A., Mustafa, M.T., and Hassan, A. Physical properties and anatomical properties of cultivated bamboo (Bambusa vulgaris Schrad.) culms. Journal of Biological Science. 2009, 9 (7), 753-759.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
[6]
[7]
[8]
[9]
Hassine, B., Ahmed K., Patrick P., and Alain C. Effects of fiber characteristics on the physical and mechanical properties of wood plastic composites. Composites: Part A, 2009, 40: 1975–1981. Migneault, S., Ahmed K., Fouad E., Abdelkader C., Karl E., and Michael P.Wolcott. Effects of processing method and fiber size on the structure and properties of wood–plastic composites. Composites: Part A. 2009, 40: 80–85. Sain, M., Suhara, P., Law, S. and Bouilloux, A. Interface modification and mechanical properties of natural fiber-polyolefin composite products. Journal of Reinforced Plastics and Composites. 2005, 24 (2): 121–130. Gritsch, C.S., Kleist, G. and Murphy, R.J. Development changes in cell wall structure of phloem fiber of bamboo Dendrocalamus asper. Annals of Botany. 2004, 94: 497-505.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
57
PENGARUH RASIO AIR DENGAN BAHAN PENGIKAT PADA AUTOCLAVED AERATED CONCRETE (AAC) BERBASIS LIMBAH CANGKANG KERANG UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 ABSTRAK Salah satu permasalahan yang ada saat sekarang ini adalah kebutuhan akan batu bata sebagai bahan dinding pada bangunan. Proses pembakaran batu bata merupakan salah satu sumber gas CO2 yang pada akhirnya mengakibatkan efek rumah kaca dan menimbulkan pemanasan global, oleh karena itu perlu dicari material yang dapat digunakan sebagai pengganti tanah liat pada produksi bata. Limbah serbuk kulit kerang memiliki sifat bahan seperti pozzolan karena mengandung senyawa kapur (CaO), alumina (Al2O3) dan senyawa silikat (SiO2) sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan campuran beton. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh rasio air dengan bahan pengikat (semen dan serbuk kerang) terhadap sifat-sifat karakterisasi dan juga nilai kekuatannya. Dalam penelitian ini beton ringan aerasi (AAC) dibuat dengan menggunakan bahan serbuk kulit kerang sebagai pengikat pengganti semen. Pembuatan dan pengujian beton ringan dilakukan pada skala laboratorium dengan sampel benda uji 5 x 5 x 5 cm dengan komposisi 40 persen bahan pengikat, 60 persen bahan pasir dan hydrogen peroxide bersama dengan cacium hypocloride sebagai bahan peng-aerasi. Rasio air dengan bahan pengikat yang dipakai adalah sebesar 0,55 dan 0,65. Sedangkan untuk proses pengerasan beton ringan aerasi dilakukan dengan steam uap bertekanan dengan menggunakan autoclave selama 1 jam. Pengujian density dan kuat tekan dilakukan pada umur 7, 21 dan 28 hari. Hasil pengujian menunjukkan bahwa AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat 0,55 menghasilkan kuat tekan yang lebih besar daripada kuat tekan yang dihasilkan oleh AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,65. Density yang dihasilkan pada kedua komposisi tidak berbeda jauh, sehingga rasio perbandingan antara larutan Hydrogen peroxide dengan bahan pengikat tidak berpengaruh terhadap density yang dihasilkan. Kata kunci: beton ringan aerasi (AAC), autoclave, kuat tekan, density, serbuk kerang PENDAHULUAN AAC pertama kali dikembangkan di Swedia pada tahun 1923, kemudian dikembangkan lagi oleh Joseph Hebel di Jerman pada tahun 1943. Di Indonesia sendiri AAC mulai dikenal pada tahun 1995, dengan berdirinya PT Hebel Indonesia di Karawang Timur, Jawa Barat. AAC mempunyai sifat yang ramah lingkungan, tahan lama, kuat, mudah dibentuk, efisien dan berdaya guna tinggi. Autoclaved Aerated Concrete atau disebut juga beton aerasi adalah beton dengan campuran antara semen, pasir, air dan buih. Tujuan dari penggunaan buih disini adalah untuk membuat rongga-rongga udara yang dapat menghasilkan pori-pori halus pada beton. AAC dapat dibuat dengan berbagai cara, antara lain dengan menggunakan agregat ringan (fly ash, batu apung, expanded
58
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
polystyrene/EPS dan lain-lain), campuran antara semen, silika atau pozolan dengan cairan kimia penghasil gelembunga udara. Beton aerasi (AAC) memiliki pori sekitar 50 – 70 % yang berupa rongga-rongga udara , hal ini membuat beton aerasi memiliki density kurang dari 1.200 kg/m3. Kelebihan dari penggunaan beton ringan antara lain memiliki berat jenis yang sangat kecil dibandingkan dengan beton normal pada umumnya; mudah dalam pemasangan, sangat bagus untuk peredaman panas dan peredaman suara, serta waktu konstruksi akan berlangsung dengan cepat. Chemical aerated agent yang dapat digunakan dalam pembuatan AAC diantaranya : serbuk alumina (Alumunium powder), Hydrogen Peroxide dan bleaching powder. Pada penelitian ini, menggunakan gabungan Hydrogen Peroxide dan Bleacing Powder yang berupa kaporit sebagai chemical aerated agent. Penelitian ini menggunakan limbah cangkang kerang sebagai bahan pengganti semen Portland untuk memperoleh pembiayaan beton yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Pemilihan serbuk kerang sebagai pengganti Semen Portland, dikarenakan dalam serbuk kerang mengandung senyawa kapur yaitu CaO, sehingga diharapkan dapat bereaksi dengan chemical aerated agent membentuk gelembung oksigen dalam adukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio air dengan bahan pengikat terhadap karakteristik dan kekuatan AAC. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan AAC yang lebih ramah lingkungan. BAHAN DAN METODE 1. Bahan Penelitian Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari serbuk kerang, semen Portland, pasir, Hydrogen Peroxide (H2O2), Kalsium Hipoklorit dan air. Limbah cangkang kerang terlebih dahulu dihaluskan menjadi serbuk kerang. Penelitian ini menggunakan serbuk kerang yang lolos saringan No. 100, semen Portland Tipe I yang dikenal dengan Ordinary Portland Cement dan pasir dengan BJ 2,4 gr/cm3. Sebelumnya pasir diayak dengan menggunakan saringan No.20 dan tertahan pada saringan No.40. Bahan pengaerasi dalam penelitian ini adalah larutan Hydrogen Peroxide dengan kadar 10%. 2. Metode Penelitian Pembuatan AAC skala laboratorium ini menggunakan benda uji berbentuk kubus dengan ukuran 5 x 5 x 5 cm, dengan komposisi campuran 60% agregat halus dan 40% bahan pengikat yang terdiri dari semen dan serbuk kerang. Rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat (binder) sebanyak 0,55 dan 0,65 serta penambahan bahan additive Kalsium Hipoklorit sebanyak 3% dari berat total campuran yang bertujuan untuk meningkatkan gelembung oksigen dan homogenitas dalam campuran. Variable serbuk kerang yang digunakan sebagai pengganti semen adalah interval 5% terhadap berat total campuran. Mix design penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
59
Tabel 1. Mix Design dengan rasio larutan Hydrogen Perokside dan bahan pengikat 0,55 No 1 2 3 4
Pasir
Semen
gr 1800 1800 1800 1800
gr 1200 1050 900 750
Serbuk Kerang % 0 5 10 15
gr 0 150 300 450
H2O2 ml 660 660 660 660
Ca(OCL)2 Kaporit gr 90 90 90 90
Tabel 2. Mix Design dengan rasio larutan Hydrogen Perokside dan bahan pengikat 0,65 No 1 2 3 4
Pasir
Semen
gr 1800 1800 1800 1800
gr 1200 1050 900 750
Serbuk kerang % 0 5 10 15
Ca(OCL)2 Kaporit gr 90 90 90 90
H2O2 gr 0 150 300 450
ml 780 780 780 780
Pasir, dan Semen Portland terlebih dahulu dicampur dalam mixer selama 1 menit, setelah itu serbuk kerang dicampur dalam mixer sampai tercampur dengan rata. Kemudian ditambahkan dengan Kalsium Hipoklorit, larutan Hydrogen Peroxide dan aduk rata sampai adonan tercampur serta mengalami pengembangan volume. Adukan kemudian dimasukkan ke dalam cetakan kubus ukuran 5 x 5 x 5 cm sambil dipadatkan. Adukan didiamkan selama 24 jam kemudian dikeluarkan dari cetakan. Selanjutnya kubus-kubus tersebut dimasukkan ke dalam autoclave selama 1 jam dengan tekanan 0,05 – 0,14 Mpa dan suhu autoclave sekitar 108 – 1260C. Setelah 1 jam, kubus-kubus tersebut dikeluarkan dari autoclave dan didinginkan sampai waktu pengujian yaitu ketika kubus-kubus tersebut berumur 7, 21 dan 28 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengujian Kuat Tekan Berdasarkan European Norm, kelas kuat tekan AAC dapat dibagi menjadi (prEN 12602,1999 ; Tasdemir et all, 2002) : Jenis AAC 1,5 AAC 2 AAC 2,5 AAC 3 AAC 3,5 1,5 2 2,5 3 3,5 Kuat Tekan (Mpa) Jenis AAC 4 AAC 4,5 AAC 5 AAC 6 AAC 7 4 4,5 5 6 7 Kuat Tekan (Mpa) Sedangkan menurut RILEM, Klasifikasi menjadi (RILEM, 1993 p.4): Sifat Kuat Tekan (Mpa) Modulus Young Density Thermal Conductivity ( dry) (W/m K)
AAC berdasarkan kuat tekan dapat dibedakan Rendah ˂ 1,8 ˂ 900 200 - 400 ˂ 0,1
Medium 1,8 – 4,0 900 - 2500 300 - 600 0,01 – 0,14
Tinggi ˃ 4,0 ˃ 2500 500 - 1000 ˃ 0,12
Gambar 1 menunjukkan bahwa kuat tekan yang dihasilkan menghasilkan kuat tekan pada umur 28 hari rata-rata diatas 4 Mpa. Berdasarkan European Norms, AAC 60
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
berbasis serbuk kerang termasuk ke dalam Kelas kuat AAC jenis AAC 4 sampai AAC 7. Namun berdasarkan RILEM, AAC berbasis serbuk kerang termasuk ke dalam jenis AAC Tinggi dengan kuat tekan melebihi 4 Mpa. Berdasarkan grafik yang dihasilkan persentase serbuk kerang sebesar 7 persen menghasilkan kuat tekan maksimum untuk rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar 0,65 dan 0,55. Pada Gambar 1.B terlihat bahwa pada umur 7 hari, setiap komposisi AAC menghasilkan kuat tekan rata-rata yang tidak jauh berbeda. Keempat komposisi menghasilkan kuat tekan rata-rata sebesar 6 MPa. Kenaikan kuat tekan rata-rata pada umur 21 dan 28 hari tidak terlalu tinggi, rata-rata kenaikannya sebesar 1 Mpa pada masing-masing komposisi campuran maupun komposisi rasio larutan Hydrogen peroxide dengan bahan pengikat.
(a) (b) Gambar 1. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan persentase serbuk kerang yang digunakan dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,55 dan (B) 0,65 Gambar 2.A menunjukkan grafik kenaikan kuat tekan rata-rata yang dihasilkan AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,55. Dari grafik diatas dapat terlihat bahwa pada umur 7 hari, pada persentase serbuk kerang sebesar 0%, 5% dan 15% menghasilkan kuat tekan rata-rata yang sama, yaitu sekitar 6 Mpa. Setelah umur 14 hari, kuat tekan rata-rata yang dihasilkan pada persentase serbuk kerang 0%, 5%, dan 15% sudah maksimal dan tidak terjadi kenaikan kuat tekan. Hal ini dimungkinkan karena air yang terjebak dalam AAC sudah menguap dan menghasilkan rongga-rongga udara. Pada umur 14 hari kuat tekan rata-rata tertinggi dihasilkan oleh komposisi dengan persentase serbuk kerang 0% (Kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa penggantian serbuk kerang pada komposisi dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide tidak berpengaruh pada peningkatan kuat tekan AAC. Gambar 2.B memperlihatkan grafik kenaikan kuat tekan rata-rata pada rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,65. Pada gambar ini memperlihatkan bahwa kuat tekan rata-rata tertinggi pada umur 7 hari dihasilkan oleh komposisi campuran yang menggunakan 10% serbuk kerang sebagai penganti semen Portland. Namun pada umur 21 dan 28 hari, kuat tekan rata-rata tertinggi terjadi pada komposisi 5% serbuk kerang. Pada komposisi 15% serbuk kerang, di umur 21 hari kuat tekannya sudah mencapai maksimal. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pengaruh umur terhadap penambahan nilai kuat tekannya setelah umur 21 hari. Serbuk kerang sebagai pengganti Semen Portland pada rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,65, dapat menghasilkan kuat tekan yang melebihi kuat tekan yang menggunakan Sement Portland sebagai bahan pengikatnya. Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
61
(a) (b) Gambar 2. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan umur AAC dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,65 dan (B) 0,55 Hasil pengujian density untuk kedua rasio larutan Hydrogen Peroxide dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3.A dan Gambar 3.B terlihat bahwa density AAC yang dihasilkan pada setiap komposisi, di setiap umur pengujian tidak jauh berbeda. Semua density yang dihasilkan rata-rata di bawah 1800 kg/m3, hal ini menunjukkan bahwa AAC dalam penelitian ini termasuk jenis beton ringan. Namun pada komposisi AAC menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar 0,55, density yang dihasilkan pada umur 14 hari lebih rendah daripada umur 7 hari, 21 hari dan 28 hari. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pemadatan yang kurang ataupun karena adanya rongga-rongga udara yang terjadi lebih besar. Density yang dihasilkan pada kedua komposisi lebih besar dari density yang disarankan oleh RILEM yaitu sebesar 500 – 1000 kg/m3, sedangkan density yang dihasilkan oleh kedua komposisi berkisar antara 1400 – 1500 kg/m3. Density dipengaruhi oleh dengan rasio air dan semen dari sebuah campuran, karena rasio air dan semen ini sangat berpengaruh terhadap penguapan yang terjadi pada beton (Aldoson, 2006). Pada penelitian ini rasio lautan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat 0,55 menghasilkan density lebih besar daripada rasio Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat 0,66 pada umur 7 hari yaitu 1600 kg/m3. Hal ini terjadi karena pada umur 7 hari air belum menguap semuanya sehingga masih terjebak dalam adukan.
(a) (b) Gambar 3. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan umur AAC dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,55 dan (B) 0,65
62
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
KESIMPULAN Hasil pengujian menunjukkan bahwa AAC dengan komposisi 60% agregat halus (pasir) dan 40% bahan pengikat (semen Portland dan atau serbuk kerang) dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,55 menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan AAC yang menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,65. Kuat tekan rata-rata tertinggi didapat pada komposisi 0% serbuk kerang yaitu sebesar 8,73 MPa. Density yang dihasilkan berkisar 1400 – 1600 kg/m3, dibawah density beton ringgan yang disyaratkan. DAFTAR PUSTAKA prEN 12602, 1999. “Prefabricated Reinforced Components of Autoclaved Aerated Concrete”. Februari, 128 pp. RILEM, 1993. Recommended practice – RILEM Technical Commities : 78-MCA and 51 – ALC. Autoclaved Aerated Concrete – Properties, Testing and Design. S. Aroni, G.J. de Groot, M. J. Robinson, G. Svanholm and F.H. Wittman ed. Taylor & Francis Group, London and New York. Tasdemir, C. & N. Ertokat., (2002), “Gazbetonum Fiziksel ve Mekanik Ozellikleri Uzerine Bir Degerlendir, in” Proceedings of 1 Ulusal Yapi Malzemesi Kongresi ve Sergisi, Vol. (2) pp. 425 – 437. Aldolsun, Simge (2006), “ A Study on Material Properties of Autoclaved Aerated Concrete (AAC) and Its Complementary Wall Elements : Their Compatibility in Contemporary and Historocal Wall Sections”. Master Thesis, Graduate School of Natural and Applied Sciences, Middle East Techical University, Turki
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
63
MECHANICAL PROPERTIES AND CHEMICAL CHANGES OF MAHONI WOOD (SWIETENIA MAHAGONI) BY CLOSE SYSTEM COMPRESSION HOT PRESS MACHINE W. Dwianto1, T. Darmawan1, D.S. Adi1, Y. Amin1, I. Wahyuni1, Fitria1, M. Karina2 1
Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km.46, Bogor 16911, Indonesia 2 Research Center for Physics, Indonesian Institute of Sciences, Jl. Cisitu 21/154, Bandung 40135, Indonesia
This paper deals with mechanical properties of compressed wood by Close System Compression (CSC) and its chemical component changes. A conventional hot press was equipped with an air-tight seal frame placed between the two hot plates of the machine. The wood with high moisture content was laid in the CSC and pressed. The trapped wood moisture produced steam and acted as a self steam treatment. Previous study showed that permanent fixation by a conventional hot press could be achieved at a heating temperature of 180ºC for 20h and accompanied by a great reduction of mechanical properties of the compressed wood. On the other hand, that for steam treatment in an autoclave was achieved at 180ºC for 10 min and no marked decrease in the modulus of rupture was observed. The wood species used in this research was Mahoni (Swietenia mahagoni), with 0.39 ~ 0.42 g/cm3 density and 61% moisture content. The wood specimens were cut into 30 cm (L) x 2 cm (T) x 2 cm (R) and compressed into 50% of their initial thickness in radial direction inside the CSC at 160, 180, and 200ºC for 10 and 20 min. Chemical components of 40 ~ 60 mesh wood powder were also analyzed to observe the changes of their holocellulose, α-celulose, lignin and extractives contents. The result showed that the density of the compressed woods increased between 0.58 ~ 0.81 g/ cm3; fixation was achieved at 180ºC for 20 min with recovery of set (RS) of 0.36% and mechanical properties increased by 50% compression level. However, mechanical properties decreased with the increasing of temperature and time. It also revealed that holocellulose and α-cellulose decreased around 13 ~ 33% and 1 ~ 10%, respectively. Therefore, we considered that the fixation of compressive deformation by CSC resulted from the release of internal stresses stored in the cell wall by a structural change in the cellulose and partial hydrolysis of hemicelluloses due to their degradations. Keywords: compressed wood, CSC, fixation, mechanical properties, chemical changes INTRODUCTION Compressed wood intends to enhance its surface hardness and strength through the increasing of its density. Compression process of wood could be devided into three stages, i.e softening, deforming dan fixing [1]. When a compressed wet wood specimen is dried under restraint, the stress gradually decreases until it disappears and the wood is fixed in the deformed state. However, the fixation of deformation is impermanent [2], because it can be almost
64
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
completely reversed by boiling. Therefore, permanent fixation of deformation is required to utilize compressed wood. Many attempts have been made to fix the compressive deformation of wood permanently. Resin treatments in which impregnated resins are polymerized during the deformation stage of wood [3][4][5] and chemical modifications of compressed wood [6][7] are some of the effective methods of fixing. Heat treatment, i.e. heating of wood under dry conditions at high temperatures, is another effective method of fixing. Seborg et al. [8] reported that solid wood could be compressed to a densified-product known as Staypak. Inoue and Norimoto [9] investigated the permanent fixation of compressive deformation of Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) wood by heat treatment under dry conditions. They reported that permanent fixation could be achieved at heating temperature of 180ºC for 20h, 200ºC for 5h or 220ºC for 3h. Heat treatment can be performed easily using a conventional hot press and is of practical use for small-scale production. Unfortunately, not only it takes a long time to achieve complete fixation, it also causes a great reduction of mechanical properties of the compressed wood. Steam treatment, i.e. heating of wet wood or having high moisture content at high temperatures, is also an effective method of fixing the compressive deformation of wood. Steaming is performed in an autoclave [10] or using a hot press equipped with an airtight seal [11]. Inoue et al. [10] compressed wood under restraint at vapor pressures of 9 to 20 kgf/cm2 in an autoclave. They reported that permanent fixation was achieved at 180ºC for 10 min or at 200ºC for 1 min. They also observed no effect of steam treatment on fixation for dry specimens by using a hot press equipped with an airtight seal [11], and concluded that the moisture content of the wood affected fixation. No marked decrease in the modulus of rupture or drastic color changes, which were seen following heat treatment of wood, were observed with steam treatment. Ito et al. [12] attempted to mold Sugi logs to squares and to fix the shape permanently by steaming using a pressure vessel in which a press cylinder was installed. They reported that sufficient fixation was achieved by steaming at 200ºC for 3 min. They concluded that fixation was caused by a structural change in the cellulose [13]. Hsu et al. [14] increased dimensional stability by pre steaming fibers at 200ºC for 3 to 4 min before compressing them into fiberboards. They suggested that steam treatment could cause partial hydrolysis of hemicelluloses without any apparent changes in the cellulose or lignin content which markedly increased the compressibility of wood and in turn significantly reduced the build-up of internal stresses in composites during hot pressing. These results suggested that the mechanism of fixation was an increase in cellulose crystallinity and release of internal stresses stored in the cell wall during compression by partial hydrolysis of hemicelluloses. Although complete fixation can be achieved by steaming in a very short time, the apparatus is expensive and the operation is difficult. This problem can be solved by Close System Compression (CSC) method. A conventional hot press is equipped with an air-tight seal frame placed between the two hot plates of the machine. The wood with high moisture content is laid in the CSC frame and pressed. The trapped wood moisture will produce steam and act as self steam treatment [11]. Amin and Dwianto [15] reported that wood compressed by using CSC method at 180ºC temperature for 30 min with vapor pressure of 9.5 kg/cm2 was still recovered to a 8.92% from its initial thickness and lost 12.79% of its weight. Moisture content of the wood, pressing temperature and time, and vapor pressure has an effect on the
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
65
decreasing of recovery of set (RS). It needed 180ºC temperature and 10 kg/cm2 vapor pressure to get the permanent fixation. Therefore, it was necessary to add water to produce the steam pressure besides the one that was produced from the evaporation of wood moisture content. Wood is lignocellulosic material which is susceptible against thermal degradation. Steam treatment inside the CSC frame is needed to fix the deformation, though it causes degradation of its chemical components. Amin dan Dwianto [15] stated that weight loss of compressed wood by CSC method was higher than that by heat treatment [16], because heated wood in wet condition had more degraded wood chemical components. However, how much the degradation of its chemical components has been not yet known. This paper deals with mechanical properties of compressed wood by CSC method and its chemical component changes. The aim of this research was to observe the changes of its holocellulose, α-celulose, lignin and extractive contents and the decreasing of mechanical properties at the fixation state. MATERIALS AND METHODS The wood species used in this research was Mahoni (Swietenia mahagoni), with 0.39 ~ 0.42 g/cm3 density (average = 0.41 g/ cm3) and 61% moisture content. The wood specimens were cut into 30 cm in longitudinal (L) x 2 cm in tangential (T) x 2 cm in radial (R) and compressed into 50% of their initial thickness in R direction inside the CSC frame at 160, 180 and 200ºC for 10 and 20 min. The compressed wood specimens were then dried at 60ºC under restraint for 24h. Density and fixation measurements were conducted based on their oven dried weight. The wood specimen size was 2 cm (L) x 2 cm (T) x 1 cm (R). Fixation level was calculated by a formulation as follows [9]: RS (%) = [(Tr – Tc) / (To – Tc)] x 100, where To = thickness of wood specimen before compression (mm), Tc = thickness after compression (mm), dan Tr = thickness after boiling for 30 min. (mm). Static bending tests were done by using Universal Testing Machine (UTM) according to ASTM D 143-94 [17]. The wood specimen size after compression was 30 cm (L) x 2 cm (T) x 1 cm (R). Chemical components of 40 ~ 60 mesh wood powder were also analyzed based on Mokushitsu Kagaku Jiken Manual [18] to observe the changes of their holocellulose, α-celulose, lignin and extractives contents. Chemical components of initial wood and after treatments were then compared to obtain the percentage of loss. RESULTS AND DISCUSSION Physical Properties The results show that density of compressed woods were between 0.58 ~ 0.81 g/ cm3 (average = 0.69 g/ cm3), increased almost 2-fold compared to the average density of uncompressed wood. Narrowing of wood pores by the compression caused the increase of wood density [19]. These results fitted the experiments done by Murhofiq [20] that 50% compression increased the density of agathis wood from 0.41 g/ cm3 to 0.79 g/
66
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
cm3 and sengon wood from 0.23 g/ cm3 to 0.48 g/ cm3. Sulistyono [21] also observed that the density of agathis wood increased between 0.43 ~ 0.46 g/ cm3 to 0.70 ~ 0.85 g/ cm3 by 50% compression. RS decreased with the increasing pressing temperature and time. Fixation state has been achieved at 180ºC temperature for 20 min, resulting in RS = 0.36%. This result was better than the previous research done by Amin and Dwianto [15]. This was due to the vapour pressure inside CSC frame was maintained at 10 kg/cm2. However, the compressed woods were damaged at 200ºC because pressing time to reach fixation at this temperature was shorter [10][12]. Mechanical Properties The results of static bending tests were shown by Modulus of Elasticity (MOE) and Modulus of Rupture (MOR) values (Figure 1).
Figure 1.
MOE and MOR values of compressed wood by CSC method with various pressing temperatures and times.
By 50% compression, MOE and MOR values increased more than 2-fold compared to the uncompressed wood. Besides as the effect of the increase of wood density, these values were probably due to the partly formed crystalline cellulose [22]. The highest MOE value was achieved at pressing temperature of 180ºC for 10 min, while the highest MOR value was reached at pressing temperature of 160ºC for 10 min. However, the values declined with the increase of pressing temperature and time, especially at 200ºC temperature. The decline of MOE and MOR values indicated the starting degradations of chemical components of wood occurred. MOE dan MOR values at the fixation state were 114.3 x 103 kg/cm2 and 830.9 kg/cm2, respectively. Chemical Component Analysis Wood chemical component analysis of holocellulose, α-cellulose, lignin and extractive content are given in Table 1. It can be seen that the higher the temperature and the longer the pressing time, the lower holocellulose content. According to Fengel and Wegener [23], when lignin is removed from wood, the holocellulose represents the amount of cellulose and hemicellulose. The low level of the holocellulose was suspected as the effect of thermal degradation of hemicellulose since the content of αcellulose did not significantly change. Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
67
Hsu et al. [14] stated that the steam treatment can cause wood fixation due to the hydrolysis of hemicellulose. Hemicellulose has a lower degree of polymerization compared to cellulose [24], and has lower and unstable molecular chains that are easily degraded by heat. Besides, hemicellulose is a polymer consisted of six carbon sugars such as mannose, galactose, glucose and 4-O-methyl-D-glucuronic acid, and five carbon sugars such as xylose and arabinose [25][26]. Therefore, as the pressure and pressing time increase, the sugar polymer chains of hemicellulose will be broken and turn into simple sugars. These simple sugars will become more unstable against temperature which leads to the excessive degradation. The decrease of α-cellulose at fixation state, at the temperature of 180ºC for 20 min, was 10.52% of the initial, where the degraded part was suspected to be its amorphous region. At the same time, the holocellulose was degraded for 33.17% of the initial, in which most of this was its hemicellulose fraction. It is assumed that the fixation occured was due to the removal of some of OHfunctional group that decreased the ability of wood cellulose to bind water (hygroscopicity). This removal of some hemicellulose fraction would lead the contiguous cellulose components to link to each other or to form new chemical bond, i.e. ether linkage [24]. Actually, the α-cellulose fraction did not degrade significantly since it has long molecular chain with high degree of polymerization [24] that makes it resistant to heat degradation under 200ºC. Table 1. Wood chemical component analysis 160ºC Chemical Control components (%) 10' 20' Holocellulose 77.6 66.8 66.43 α-cellulose 47.89 44.12 45.76 Lignin 26.1 35.31 34.28 Extractive content 4.98 4.61 4.53
180ºC 10' 20' 58.57 51.86 45.34 42.85 35.88 35.36 5.96 7.64
200ºC 10' 20' 55.72 53.84 47.11 47.84 33.95 33.99 8.69 10.61
To clarify the mechanism of the permanent fixation of compressive deformation of wood by high temperature steaming, the stress relaxation and stress-strain relationships in the radial compression for Sugi wood has been measured under steam at temperatures up to 200ºC by Dwianto [27][28]. The relationship between the residual stress and RS at the end of relaxation measurements could be expressed by a single curve regardless of time and temperature. This fact proved that the permanent fixation of compressive deformation was resulted from the release of stresses stored in the cell wall polymers by their degradation. Table 1 also shows that the lignin content increases with increasing pressing temperature and time. This trend of increasing lignin content is relatively similar to the research conducted by Akyildiz et al. [29]. The same result was also uncovered by Fengel and Wegener [23] that the lignin content remains constant in a wide temperature range and will increase at the temperature above 140 ~ 150ºC. At temperature above 200ºC, lignin will be degraded while at the temperature below 200ºC, it will only soften. Glassy transition of lignin occurs at temperature of 130 ~ 150ºC [25]. Lignin is thermoplastic, which will soften at its glass transition temperature and will harden below that temperature.
68
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
The extractive content will increase with the increase of pressing temperature and time. This contradicts the existing theory. Extractives are extraneous components that are not included as the integral part of cell wall, but they settle in cell cavities and penetrate into the micro cavities of cell wall [24]. Therefore, the extractives would be vanished from cell cavities and micro cavities of cell wall due to the effect of pressing and steam pressure in the CSC. Moisture content of wood in CSC method will be transformed into high pressure hot steam. This hot steam will diffuse into the inner part of wood structure [30] that will trigger steam pressure (internal vapour pressure) in wood cell cavities [31]. As a consequence, the extractives in cell cavities will be force out of the wood. Apart from this, this hot treatment will cause chemical composition change of the extractives that will evaporate out of the wood, especially the unsaturated compounds, fats and fatty acids [23]. The increase of extractive quantification on that table is estimated as the soluble compound that was dissolved in alcohol-benzene solution from hemicellulose degradation, not extractives. As mentioned before, hemicellulose tends to degrade into simple sugars due to the split of molecular linkage caused by heat. Sugars, oils, resins, waxs, fats, starch, colour pigments, etc are included in extractives dissolved in neutral solvents [24]. As a result, the broken linkage in hemicellulose will lead to the formation of simple sugars dissolved in alcohol-benzene. However, further study is needed to confirm these compounds. CONCLUSION The density of woods compressed into 50% of their initial thickness almost increased by 2-fold, i.e. from the average of 0.41 g/ cm3 to 0.69 g/ cm3. The increase of pressing temperature and time decreased the value of RS. Fixation was achieved for the specimen pressed at temperature of 180ºC for 20 min, with RS value of 0.36%. With 50% compression level, the values of MOE and MOR increased more than 2-fold compared to the initial values. The MOE and MOR values at fixation state were 114.3 x 103 kg/cm2 and 830.9 kg/cm2, respectively. The decrease of α-cellulose content at fixation state was 10.52% of the initial which was assumed to be its amorphous region. At the same time, the degraded holocellulose was 33.17% of the initial with most of it was hemicellulose. It also revealed that holocellulose and α-cellulose decreased around 13 ~ 33% and 1 ~ 10%, respectively. Therefore, we considered that the fixation of compressive deformation by CSC was resulted from the release of internal stresses stored in the cell wall by a structural change in the cellulose and partial hydrolysis of hemicelluloses due to their degradations. REFERENCES [1]
[2]
Grill J., Norimoto M. Compression of wood at high temperature, COST 508Wood Mechanics, Workshop on Plasticity and Damage, University of Limerick, Ireland, April 1–2, 1993. Norimoto, M.; Gril, J. J. Microwave Power and Electromagnetic Energy 1989, 24 (4), 203–212.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
69
[3] [4]
[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11]
[12] [13]
[14]
[15]
[16] [17] [18] [19]
[20]
[21]
70
Stamm, A.J.; Seborg, R.M. Resin-treated, laminated, compressed wood. Trans. Am. Inst. Chern. Eng. 1941, 37, 385–397. Inoue, M.; Norimoto, M.; Otsuka, Y.; Yamada, T. Surface compression of coniferous lumber II: Permanent set of the surface compression wood by a low molecular weight phenolic resin and some physical properties of the products. Mokuzai Gakkaishi 1991, 37 (3), 227–233. Itoh, T.; Ishihara, S. Mokuzai Gakkaishi 1997, 43 (1), 52–60. Fujimoto, H. New Zealand FRI Bull. 1992, 176, 87–96. Inoue, M.; Minato, K.; Norimoto, M. Mokuzai Gakkaishi 1994, 40 (9), 931–936. Seborg, R.M.; Millet, M.A.; Stamm, A.J. Heat-stabilized compressed wood, Staypak. Mech. Eng. 1945, 67 (1), 25–31. Inoue, M.; Norimoto, M. Permanen fixation of compressive deformation in wood by heat treatment. Wood Research and Technical Notes 1991, 27, 31–40. Inoue, M.; Norimoto, M.; Tanahashi, M.; Rowell, R.M. Steam or heat fixation of compressed wood. Wood and Fiber Science 1993, 25 (3), 224–235. Inoue, M.; Norimoto, M. The Proceedings of the International Symposium on the Utilization of Fast-Growing Trees. China Forestry Publishing House, Beijing 1994, 56–64. Ito, Y.; Tanahashi, M.; Shigematsu, M.; Shinoda, Y.; Ohta, C. Holzforchung 1998, 52 (2), 211–216. Ito, Y.; Tanahashi, M.; Shigematsu, M.; Shinoda, Y. Compresive-molding of wood by high-pressure steam treatment: Part 2. Mechanism of permanent fixation. Holzforchung, 1998, 52 (2), 217–221. Hsu, W.E.; Schwald, W.; Schwald, J; Shields. J.A. Chemical and physical changes for producing dimensionally stable wood-based composites. Part I: Steam pretreatment. Wood Sci. Technol. 1988, 22, 281–289. Amin, Y.; Dwianto, W. Temperature and steam pressure dependency on the fixation of compressed wood by close system compression. Journal of Tropical Wood Science and Technology 2006, 4 (2), 55–60. Dwianto, W.; Inoue, M.; Norimoto, M. Fixation of compressive deformation of wood by heat treatment. Mokuzai Gakkaishi 1997, 43 (4), 303–309. American Standard Testing Method (ASTM). D143-94 : Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber, 2005. Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, Japan Wood Research Society Publisher, 2000. Darwis, A.; Dwianto, W.; Wahyudi, I. Fixation of Agathis and Gmelina densified woods at radial directions and observation of their anatomical structure. Proceedings of the First International Symposium of Indonesian Wood Research Society. Bogor. 2009, 71–78 Murhofiq, S. Pengaruh pemadatan arah radial disertai suhu tinggi terhadap sifat fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen). Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Unpublished, 2000 (In Indonesian). Sulistyono; Nugroho, N.; Surjokusumo, S. Teknik Rekayasa Pemadatan Kayu II: Sifat fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) terpadatkan dalam konstruksi bangunan. Buletin Teknik Pertanian 2003, 17 (1) (In Indonesian).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
[22] Hartono, R. Peningkatan kualitas batang Kelapa Sawit bagian dalam dengan close system compression dan kompregnasi phenol formaldehyde. Program Studi Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana IPB. Thesis Doktor. Unpublished, 2011. [23] Fengel D., Wegener, G. Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions. New York. De Gruyter, 1984. [24] Prawirohatmodjo, S. Kimia Kayu. Diktat Kuliah Kimia Kayu Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996 (In Indonesian). [25] Biermann, C.J. Hand Book of Pulping and Papermaking. Second Edition. Academic Press. California. USA, 1996. [26] Marsoem, S. N. Pulp dan Kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005 (In Indonesian). [27] Dwianto, W.; Morooka, T.; Norimoto, M. 1998c. A Method of Measuring Viscoelastic Properties of Wood under High-Temperature and High-Pressure Steam Conditions. Mokuzai Gakkaishi 44 (2): 77-81. [28] Dwianto, W.; Morooka, T.; Norimoto, M.; Kitajima, T. Stress relaxation of Sugi (Cryptomeriajaponica D. Don) wood in radial compression under hightemperature steam. Holzforschung 1999, 53 (5), 541–546. [29] Akyildiz, H.M.; Ates, S.; Osdemir, H. Technological and chemical properties of heat treated Anatolian Black Pine wood. African Journal of Biotechnology 2009, 8 (11), 2565–2572. [30] Kawai, S.; Sasaki, H. Steam injection compressing technology. Proc. of the First International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan, 1996. [31] Krisdianto. Aplikasi teknologi microwave dalam meningkatkan kualitas kayu. Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor, 2004 (In Indonesian).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
71
KARAKTERISTIK KAYU KOMPRESI DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION (CSC) PADA KONDISI KERING Teguh Darmawan*, Danang Sudarwoko Adi, Yusup Amin, Ika Wahyuni, dan Wahyu Dwianto UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 *E-mail:
[email protected] ABSTRAK Alat Close System Compression (CSC) menerapkan teknik pemadatan kayu dengan memanfaatkan kadar air tinggi yang tersimpan dalam kayu sebagai sumber uap. Kadar air kayu yang tinggi tersebut dapat membantu pelunakan dan fiksasi kayu kompresi. Namun pada kondisi pelunakkan dan diberikan pembebanan berupa suhu dan tekanan dari luar yang tinggi, seringkali menghasilkan kayu kompresi yang kurang baik atau bahkan terjadi kerusakan. Pemadatan kayu kering dan perlakuan uap lebih lanjut dapat dijadikan alternatif proses densifikasi kayu. Untuk mendapatkan kayu kompresi dengan nilai Recovery of Set (RS) optimum, penggunaan kayu kering membutuhkan perlakuan uap yang lebih lama apabila dibandingkan dengan metode CSC pada kondisi kayu basah. Namun, penggunaan kayu kering menghasilkan kayu kompresi yang lebih baik dilihat dari target tebal dan pengamatan visual kayu kompresi yang dihasilkan. Kata kunci : Kayu kompresi, Close Sytem Compression (CSC), Recovery of set (RS). PENDAHULUAN Upaya peningkatan sifat kayu dapat dilakukan dengan memampatkan kayu sehingga kerapatan kayunya meningkat. Teknik pemadatan kayu pada umumnya diterapkan untuk meningkatkan kualitas dari jenis kayu berkerapatan rendah-sedang, dimana jenis-jenis kayu tersebut biasanya memiliki nilai sifat mekanis yang rendah. Permasalahan utama dalam pemadatan kayu adalah fiksasi atau stabilitas dimensi dari pengaruh kondisi kelembaban udara, air, ataupun kondisi lingkungan lainnya. Oleh karena itu, studi tentang teknologi dan mekanisme fiksasi kayu kompresi terus dikembangkan. Menurut Morsing (2000), ada tiga mekanisme memperbaiki atau mempertahankan kayu kompresi, yaitu mencegah terjadinya pelunakan kayu kompresi dengan mengubah higroskopisitas dinding sel sehingga dinding sel tidak dapat diakses air, membentuk ikatan silang kovalen antara komponen kayu di dalam kayu kompresi, dan merelaksasi tegangan yang tersimpan di dalam mikrofibril dan polimer matriks selama kompresi. Mendeformasi kayu melalui kompresi harus dilakukan pada di atas suhu transisi glass (Tg) dari komponen dinding sel kayu, sehingga tidak terjadi kerusakan. Selama proses kompresi, daerah kristal dari mikrofibril bersifat elastis. Energi regangan elastis disimpan dalam makromolekul selulosa, dan pelepasan energi ini dianggap menyebabkan pemulihan tebal. Selain itu, diyakini bahwa selama proses tersebut, tegangan internal juga terbentuk dan disimpan dalam amorphous hemiselulosa dan
72
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
lignin dan semi-kristal selulosa (Dwianto et al. 1998, Dwianto et al. 1999, Fang et al. 2012) Inoue et al. (1993) menyatakan bahwa fiksasi dapat dicapai dengan perlakuan uap lanjut pada suhu 200 oC selama 1 menit atau 180 oC selama 8 menit. Reynolds (2004) menyimpulkan bahwa pengembangan tebal bisa secara signifikan dikurangi dengan perlakuan uap jenuh pada suhu 200 oC. Sebuah studi oleh Dwianto et al. (1999) menunjukkan bahwa pemulihan tekanan deformasi (recovery of compressive deformation) menurun dengan perlakuan uap dan selama 10 menit pada suhu 200 oC terjadi relaksasi tegangan. Navi dan Heger (2004) melaporkan bahwa fiksasi kayu kompresi dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan berbagai kondisi uap jenuh, yaitu 165 oC selama 30 menit, 190 oC selama 8 menit, atau 200 oC selama 2 menit. Teknik pemadatan kayu dengan memanfaatkan kadar air yang tersimpan dalam kayu basah sebagai sumber uap, diterapkan pada alat Close System Compression (CSC). Terdapat tiga tahapan dalam metode ini, yaitu (1) Proses pelunakan, kayu dalam kondisi titik jenuh air (TJS) di panaskan di atas suhu Tg di dalam alat CSC di antara pelat hotpress, (2) Pengempaan, kayu yang sudah mulai melunak dimampatkan secara perlahan sampai target ketebalan tercapai dan alat CSC tertutup, (3) Proses Fiksasi, perlakuan uap dengan memanfaatkan kadar air yang tersimpan dalam kayu. Karena kondisi kayu yang terlalu lunak dan karakteristik mekanik yang rendah, perlakuan tekanan dan suhu tinggi seringkali menghasilkan kayu kompresi dengan bentuk dan ukuran yang kurang baik, atau bahkan terjadi kerusakan. Selain itu, perlakuan uap dapat mengakibatkan kehilangan berat pada kayu kompresi yang dihasilkan. Pemberian tekanan uap dan suhu yang semakin tinggi dengan metode CSC mengakibatkan kehilangan berat yang semakin tinggi (Amin et al. 2006). Menurut Adi (2009) proses pemadatan kayu dengan metode CSC mengakibatkan terdegradasinya komponen kimia kayu yaitu hemiselulosa antara 13-33% dan α-selulosa 1-10%. Terdegradasinya komponen penyusun kayu akibat perlakuan tekanan uap yang terlalu tinggi diindikasikan sebagai salah satu penyebab kerusakan kayu kompresi yang dihasilkan. Penelitian ini berkaitan dengan pengamatan karakteristik kayu dari kayu kompresi yang di kempa panas pada kondisi kering dan dilanjutkan dengan perlakuan uap pada chamber CSC dibandingkan dengan pembuatan kayu kompresi pada kondisi basah atau (TJS) dengan metode CSC. Bahan dan Metode Contoh uji menggunakan kayu sengon (Albizia falcataria L. Nielsen) bebas cacat dengan ukuran 50 mm (longitudinal) x 50 mm (tangensial) x 40mm (radial). Pemadatan kayu dilakukan pada arah radial sebesar 50 % atau dengan target tebal 20 mm. Contoh uji memiliki kerapatan kering oven ± 0.23 g/cm3. Proses Kompresi Kayu Kering Pada kondisi kering oven, dilakukan pengukuran untuk mendapatkan tebal (t o), berat (wo), dan kerapatan (bjo). Pemadatan kayu dilakukan dengan kempa panas dengan suhu 170 oC. Sebelum contoh uji dikempa, terlebih dahulu diberikan pemanasan awal selama 10 menit dengan cara meletakkan di antara pelat. Pengempaan dilakukan selama 30 menit setelah target ketebalan tercapai. Selanjutnya contoh uji kayu dimasukan ke dalam desikator untuk meminimalisir kontak langsung dengan udara ruang. Contoh uji yang telah dikompresi (kondisi setting) diberikan perlakuan uap lebih lanjut didalam alat CSC yang dikempa panas. Air dimasukkan ke dalam alat CSC sebagai sumber uap,
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
73
dengan suhu 170 dan 180 oC selama 15, 30, 45, dan 60 menit. Selanjutnya dioven pada suhu 105 oC selama 24 jam dan dilakukan pengukuran tebal (tc), berat (wc). Proses Kompresi Kayu Basah Pengukuran awal dilakukan seperti pada contoh uji kompresi kondisi kayu kering. Selanjutnya contoh uji direndam air sampai kadar air ± 125 %. Proses pemadatan kayu dilakukan dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit. Selanjutnya dikering ovenkan dan dilakukan pengukuran tebal (tc), berat (wc). Pengujian Karakteristik kayu kompresi yang diamati diantaranya pengamatan tebal dan peningkatan kerapatan dilakukan pada kondisi kering oven. Sedangkan untuk mengetahui fiksasi atau nilai rasio Recovery of Set (RS), kayu kompresi direbus ke dalam air mendidih (± 100 oC) selama 60 menit, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Selanjutnya diukur pengembangan tebalnya (tr). Nilai rasio RS dihitung dengan menggunakan rumus: RS =
tr -tc to -tc
100 ( )
Sedangkan rasio kehilangan berat (WL) dihitung dengan rumus : WL =
wo -wc wo
100 ( )
HASIL DAN PEMBAHASAN Penyimpangan Ketebalan Secara visual perlakuan uap pada suhu dan waktu yang sama (180 oC, 30 menit) menghasilkan kayu kompresi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 a dan b. Secara umum kayu kompresi dari kondisi kering menghasilkan bentuk dan ukuran yang lebih baik. Perlakuan uap dengan suhu dan tekanan juga dapat mengakibatkan kerusakan kayu kompresi (Gambar 1 c).
Gambar 1. Hasil kayu kompresi dari kayu (a) kering, (b) basah, dan (c) kerusakan kayu kompresi dengan metode CSC pada kondisi kayu basah. Ukuran tebal dari contoh uji kayu kompresi setelah perlakuan uap ditunjukkan pada Gambar 2. Perlakuan panas memberikan pengaruh pada target ketebalan yang dihasilkan, baik contoh uji pada dari kondisi kering maupun basah. Contoh uji kayu kompresi dengan metode CSC yang menggunakan kayu basah memiliki ukuran tebal yang lebih kecil atau terjadi penyimpangan ketebalan yang lebih besar, dan penggunaan kayu kering menghasikan kayu kompresi dengan ketebalan lebih mendekati ketebalan yang ditargetkan.
74
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 2. Ukuran tebal hasil kayu kompresi Dalam kondisi basah (TJS), kayu akan cenderung lebih mudah melunak. Peningkatan suhu dan atau kadar air kayu akan melunakkan struktur kayu (Lenth and Kamke 2001), sehingga komponen-komponen polimer amorphous kayu berada pada kondisi di atas suhu Tg dan berarti bahwa kayu berada dalam keadaan melunak (Lenth and Haslett 2003; Dwianto et al. 1999). Kawai (1996), Krisdianto (2004) dalam Amin dan Dwianto (2006) memaparkan bahwa kadar air kayu yang berubah menjadi uap panas dapat terdifusi ke bagian dalam struktur kayu, sehingga akan menimbulkan tekanan uap (internal vapour pressure) di dalam rongga sel kayu. Dengan demikian kadar air yang lebih tinggi membantu terbentuknya kondisi lunak yang lebih cepat sejalan dengan tekanan uap yang semakin tinggi. Kayu yang melunak dan di dalam ruang bertekanan dan panas yang tinggi, mengakibatkan kayu terdeformasi melebihi dari ketebalan yang ditentukan dan juga dapat mengakibatkan kerusakan kayu kompresi (Gambar 1. b, c). Hal tersebut juga disebabkan oleh penggunaan contoh uji dari jenis kayu dengan kerapatan rendah, yang pada umumnya memiliki dinding sel tipis. Peningkatan Kerapatan Kayu (BJ) Pembebanan pada permukaan kayu akan mendesak dinding sel dan pori-pori kayu lebih rapat sehingga kayu akan menjadi lebih padat. Pada contoh uji yang menggunakan kayu basah menghasilkan nilai kerapatan lebih tinggi dengan nilai lebih dari 0.45 g/cm2 atau naik sekitar 117 % dari kerapatan awal (Gambar 3).
Gambar 3. Peningkatan kerapatan kayu kompresi.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
75
Sedangkan perlakuan suhu dan lama pengempaan pada contoh uji yang menggunakan kayu kering terjadi BJ rata-rata sebesar 102% untuk suhu 170 oC dan 95 % untuk perlakuan suhu 180 oC. Metode CSC yang menggunakan kayu kondisi basah mampu memampatkan kayu melebihi target ketebalan yang ditetapkan. Hal tersebut menjadi faktor utama peningkatan BJ yang lebih tinggi dibanding BJ dari kayu kompresi dari kayu kondisi kering baik pada perlakuan suhu 170 oC maupun 180 oC.
RS (%)
Rasio Recovery of Set (RS) Perlakuan uap dengan perbedaan suhu dan waktu pada proses pembuatan kayu kompresi baik dengan metode CSC dengan menggunakan kayu basah maupun yang menggunakan kayu kering mampu menghasilkan kayu kompresi yang permanen. Nilai RS ditunjukkan pada Gambar 4. Pada penggunaan kayu kering, perlakuan suhu 170 oC membutuhkan waktu lebih dari 60 menit untuk mencapai fiksasi, dan untuk suhu 180 o C membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Sedangkan penggunaan metode CSC pada kayu basah suhu 180 oC dengan waktu pengempaan 30 menit lebih dari cukup untuk menjadikan fiksasi pada kayu kompresi. Proses fiksasi dengan menggunakan uap secara umum lebih cepat apabila dibandingkan dengan perlakuan dengan pemanasan oven dengan suhu yang sama atau lebih pada tekanan udara ruang. Darwis et al. (2009) dengan perlakuan panas (oven) 180 oC selama 20 jam belum mendapatkan kayu kompresi yang bersifat permanen. Perbedaan suhu yang diberikan akan menentukan kecepatan terbentuknya tekanan uap di dalam ruang CSC. Pada suhu lebih rendah, akan membentuk tekanan uap yang lebih rendah, sehingga relaksasi tegangan yang terjadi cenderung lebih lama Pada penggunaan kayu kering, perlakuan suhu 170 oC membutuhkan waktu lebih dari 60 menit untuk mencapai fiksasi, dan untuk suhu 180 oC membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Sedangkan penggunaan metode CSC pada kayu basah, perlakuan suhu 180 oC dengan waktu pengempaan 30 menit lebih dari cukup untuk menjadikan fiksasi kayu kompresi yang permanen.
Gambar 4. Rasio recovery of Set (RS) Kehilangan Berat (WL) Perlakuan uap pada proses pemadatan kayu akan mengakibatkan WL pada kayu kompresi yang dihasilkan. Sebagian komposisi kimia kayu akan terdegradasi akibat perlakuan panas dan uap yang diberikan. Amin dan Dwianto (2006) mencatat bahwa densifikasi kayu dengan metode CSC pada kondisi kayu jenuh serat mengakibatkan kehilangan berat 7.2 - 12.7 %. Adi et al. (2009) melaporkan bahwa penggunaan metode
76
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
WL (%)
CSC mendegradasi hemiselulosa antara 13 - 33% dan α-selulosa 1 - 10% pada kayu Mahoni (Swietenia mahagoni). Pengaruh suhu dan lama perlakuan uap pada proses pemadatan kayu terhadap nilai WL ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Kehilangan berat. Pada penggunaan kayu kering, semakin lama perlakuan uap dan semakin tinggi suhu terjadi WL yang semakin tinggi. Pengunaan kayu basah terjadi WL yang lebih tinggi sebesar 6,8 % pada kondisi suhu dan lama perlakuan uap yang sama (180 oC, 30 menit) apabila dibandingkan dengan kayu kering sebesar 4,7 %. Namun pada kondisi perlakuan tersebut, kayu kompresi dari kayu kering belum terjadi fiksasi (Gambar 4). KESIMPULAN Memadatkan kayu pada kondisi kering dan perlakuan uap lebih lanjut dapat dijadikan alternatif proses densifikasi kayu. Densifikasi kayu kering membutuhkan perlakuan uap yang lebih lama apabila dibandingkan dengan proses densifikasi kayu metode CSC pada kayu basah. Namun, penggunaan kayu kering menghasilkan kayu kompresi yang lebih baik dilihat dari hasil target tebal dan pengamatan visual kayu kompresi yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Adi, D. S., I. Wahyuni, Y. Amin, T. Darmawan, W. Dwianto. 2009. Degradasi Komponen Kimia Kayu Akibat Proses Densifikasi Kayu dengan Metode Close Sytem Compression (CSC). Prosiding Simposium Nasional I FTHH, Bogor 3031 Oktober 2009.197-202. Amin, Y. dan W. Dwianto. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(2) : 55 – 60 Darwis, A.; W, Dwianto, I. Wahyudi. 2009 Fixation of Agathis and Gmelina Densified Woods at Radial Directions and Observation of their Anatomical Strukture. Proceedings of the1st International Symposium of Indonesian Wood Research Society. Bogor. 71:78 Dwianto, W.; M Norimoto; T Morooka; F Tanaka; M Inoue; Y Liu. 1998. Holz Roh Werkst. 56:403
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
77
Dwianto, W.; T Morooka; M Norimoto; T Kitajima. 1999. Stress relaxation of Sugi (Cryptomeria japonica D.Don) wood in radial compression. Holzforschung 53(5):541–546. Fang, C.H.; N Mariotti, A Cloutier, A Koubaa, P Blanchet. 2012. Densification of wood veneers by compression combined with heat and steam. Eur. J. Wood Prod. 70:155–163 Inoue M, M Norimoto, M Tanahashi, Rowell RM. 1993. Steam or heat fixation of compressed wood. Wood Fib Sci. 25:224–235 Kawai, S and H. Sasaki. 1996. Steam Injection Compressing Technology. Proc. of the First International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan Krisdianto. 2004. Aplikasi Teknologi Microwave dalam Meningkatkan Kualitas Kayu. Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor Lenth CA, A.N. Haslett (2003) Moisture uptake patterns in pressure steaming of Radiata Pine. Holz als Roh- und Werkstoff 61:444–448 Lenth CA, Kamke FA. 2001. Moisture dependent softening behavior of wood. Wood and Fiber Sci 33(3):492–507 Morsing, N. 2000. Densification of wood. The influence of hygrothermal treatment on compression of beech perpendicular to the grain. PhD thesis. Technical University of Denmark. Department of structural engineering and materials. Navi, P.; Heger, F. 2004. Combined densification and Thermo-Hydro-Mechanical processing of wood. Mater Res Society Bull, 332–336. Reynolds, M.S. 2004. Hydro-thermal stabilization of wood-based materials. Master thesis, Virginia Tech
78
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PENGARUH WAKTU PENGEPRESAN TERHADAP PERUBAHAN KOMPONEN KIMIA KAYU DURIAN KOMPRESI SKALA PEMAKAIAN Ika Wahyuni, Danang S. Adi, Teguh Darmawan, Sudarmanto, Wahyu Dwianto UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI ABSTRACT This study evaluated the effect of pressing time on chemical composition of fullscale compressed wood. It is also concerned on the changes of wood chemical components within the wood after compression. The full-scale compression process of Durian (Durio zibetinus) wood into 33 % and 50 % of their initial thickness had successfully been done by utilizing the full scale compression machine. Wood blocks with dimension 4 m (L) 12 cm (R) 12 cm (T) were compressed in a radial direction at 180C for two different time levels (60 and 120 min). Wet chemical analysis was conducted following the relevant Mokushitsu Kagaku Jiken Manual. The results showed that the pressing time generally affected the changes of chemical composition within Durian compressed wood; however, it was quite significant. The alcoholbenzene solubility content decreased (12 %) due to evaporation. Holocellulose decreased considerably (6368 %) as an effect of hemicellulose degradation, while lignin increased by 3637 %. As a result of thermal existence (180 C) and longer pressing time (120 min), lignin and alcohol-benzene solubility contents in wood surface were higher than in the middle part, proving that there were lignin movement and extractive evaporation within compressed wood. Keywords: Durian, components.
full-scale,
compression,
compressed
wood,
chemical
PENDAHULUAN Kayu kurang dikenal (lesser-known species) dan kayu hutan rakyat umumnya memiliki sifat fisik-mekanik yang lebih rendah dari pada kayu-kayu komersial. Kayu ini masih sedikit mendapat perhatian untuk dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai tinggi, seperti halnya bahan konstruksi atau lantai kayu. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penggunaannya, kualitas jenis kayu rakyat ini perlu ditingkatkan terlebih dahulu dengan suatu teknologi yang tepat. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas kayu adalah dengan proses densifikasi kayu. Teknologi ini merupakan teknik pengempaan/ pengepresan kayu utuh (solid) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu (kekerasan dan kekuatan). Teknik ini dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu cepat tumbuh yang pada umumnya berkualitas rendah (Amin et al. 2007). Tahun 2009, telah dilakukan rancang bangun mesin kempa skala pemakaian (full-scale compression machine) di UPT Balitbang Biomaterial LIPI dan telah dilakukan uji proses pembuatan dan karakterisasi kayu kompresi skala pemakaian terhadap kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Randu (Ceiba pentandra) berukuran 400 cm (P) 12 cm (L) 12 cm (T) dengan perlakuan suhu 180 C dan waktu kempa 60 menit. Hasil uji coba dan karakterisasi pembuatan kayu kompresi skala pemakaian menunjukkan Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
79
bahwa pembuatan produk kayu kompresi berbahan baku kayu Sengon dengan target kompresi 50% memberikan hasil yang terbaik (Amin 2011). Akan tetapi masih perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mendapatkan metode dan formulasi perlakuan yang tepat agar dapat meningkatkan produktifitas mesin dan meningkatkan kualitas produk kayu kompresi skala pemakaian, terutama dalam hal kestabilan dimensi (fixation) kayu kompresi. Parameter penting yang mempengaruhi keberhasilan proses densifikasi kayu diantaranya adalah suhu dan waktu pengempaan (Arinana dan Diba 2009). Salah satu cara meningkatkan kestabilan dimensi kayu kompresi dapat diperoleh dengan memberi perlakuan panas (heat treatment) selama jangka waktu tertentu. Inoue et al. (1991) mencoba meningkatkan kestabilan dimensi dengan memanaskan kayu Sugi (Cryptomeria japonica) pada kondisi kering dalam kondisi kayu terkompresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemulihan tebal kayu kompresi dipengaruhi oleh suhu dan waktu pemanasan. Dinding sel kayu merupakan bahan berlignoselulosa yang terdiri dari tiga komponen polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Umumnya, komponen kimia tersebut akan stabil pada perlakuan suhu sampai 100 C selama 48 jam (Fengel dan Wegener, 1995). Pada perlakuan suhu di atas itu maka akan mulai terjadi perubahan struktur kimia kayu yang disebabkan oleh reaksi autokatalisis dalam dinding sel (Grinins et al. 2012). Windeisen et al. (2007) dalam Cademartori et al. (2013), menyatakan bahwa perubahan struktur kayu oleh perlakuan suhu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu, waktu pemanasan, jenis spesimen dan kondisi perlakuan (Cademartori et al. 2013). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji coba densifikasi kayu Durian skala pemakaian dengan perlakuan suhu 180 C pada kondisi kering dan waktu kempa selama 60 dan 120 menit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan suhu dan waktu kempa terhadap perubahan komponen kimia di dalam kayu kompresi skala pemakaian, sehingga dapat diperoleh kombinasi perlakuan yang optimal. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan kayu Durian (Durio zibetinus) dengan kerapatan 0,47 0,56 g/cm3. Pemotongan kayu dilakukan sedemikian sehingga diperoleh potongan berbentuk balok tangensial berukuran panjang 400 cm; lebar 12 cm; dan tebal 12 cm. Kemudian balok-balok tersebut dikering-udarakan sampai kadar airnya berkisar 14 ~ 18 %. Proses Densifikasi Modifikasi kayu dilakukan dengan menggunakan Alat Kompresi Kayu Skala Pemakaian, dengan ukuran 415 cm x 70 cm x 10 cm (Gambar 1) dan suhu modifikasi 180 C (dengan waktu pengempaan 60 dan 120 menit).
80
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 1. Full-Scale Wood Compression Machine. Proses densifikasi kayu skala pemakaian pada penelitian ini meliputi empat tahap, yaitu : (1) pengkondisian mesin dengan mengatur suhu plat pada 180 C; (2) pelunakan kayu (softening) dengan cara pemberian perlakuan panas (heat treatment) pada suhu 180 C selama 1 jam terhadap balok kayu yang akan dipadatkan; (3) densifikasi kayu Durian (forming) pada arah radial (R), dengan metode kering, target densifikasi 33% (tebal 8 cm) dan 50% (tebal 6 cm), serta waktu kempa 60 dan 120 menit ; (4) penurunan suhu. Analisis Komponen Kimia Kayu Contoh uji untuk analisis komponen kimia kayu diambil dari bagian ujung dari balok kayu. Kemudian analisis kimia kayu kontrol dan kayu hasil densifikasi dilakukan dengan sampel berupa serbuk berukuran 40 ~ 60 mesh berdasarkan posisi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Persiapan contoh uji serbuk dan analisis komponen kimia kayu. Pada Gambar 2, huruf A menunjukkan posisi permukaan atas, B adalah posisi inti/tengah, dan C adalah posisi permukaan bawah. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu kompresi terhadap distribusi komponen kimia dalam kayu
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
81
kompresi skala pemakaian. Parameter yang diamati adalah kadar ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena, holoselulosa, -selulosa, dan lignin berdasarkan standar Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Waktu Pengempaan Hasil rata-rata analisis komponen kimia kayu Durian kompresi yang terdiri dari ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena, lignin, holoselulosa, dan -selulosa ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi komponen kimia kayu Durian kompresi. Komponen kayu (%) Perlakuan Target (%)/ Ekstraktif terlarut Lignin Holoselulosa Waktu (min) alkohol-benzena Kontrol 3,84 32,32 68,04 D33/60 1,90 36,41 68,34 D33/120 2,07 36,54 63,20 D50/60 1,39 37,80 65,22 D50/120 1,26 37,44 64,56 Keterangan: D33 = Durian, target kompresi 33 % D50 = Durian, target kompresi 50 %
-selulosa 39,46 39,82 31,17 37,81 40,48
Tabel 1 menunjukkan bahwa adanya perlakuan suhu dan waktu kempa telah menimbulkan perubahan komposisi komponen kimia dalam kayu Durian kompresi jika dibandingkan dengan kayu yang tidak diberi perlakuan. Kandungan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol-benzena pada kayu Durian kompresi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kayu kontrol. Nilai kandungan zat ekstraktif terendah (1,26 %) terjadi pada saat pengempaan selama 120 menit dengan suhu 180 C dan target kompresi 50 %. Hal ini sesuai dengan teori yang ada, karena zat ekstraktif bukan merupakan bagian integral dinding sel melainkan hanya komponen luar (extraneous components), sehingga akan mudah dipisahkan dari dinding sel (Prawirohatmodjo, 1996). Oleh karena itu, umumnya zat ekstraktif akan terdegradasi atau menguap dengan mudah selama perlakuan panas (Ates, 2009; Grinins, 2012). Semakin lama waktu kempa, maka kayu akan semakin lama terpapar oleh panas, akibatnya semakin banyak zat ekstraktif terdegradasi. Oleh karena itu, nilai kandungan zat ekstraktif dalam kayu Durian kompresi akan semakin rendah jika dibandingkan dengan kayu kontrol. Perubahan kandungan holoselulosa memiliki korelasi yang negatif dengan bertambah-lamanya waktu kempa. Semakin lama waktu kempa maka kandungan holoselulosa dalam kayu Durian kompresi semakin rendah, baik D33 maupun D50. Kandungan holoselulosa terendah ditemukan pada kayu D33 yang dikempa selama 120 menit, yaitu sebesar 63,20 %. Menurut Prawirohatmodjo (1996), holoselulosa menggambarkan fraksi karbohidrat total yang di dalamnya terkandung hemiselulosa. Penurunan kadar holoselulosa ini kemungkinan besar disebabkan oleh menurunnya kandungan hemiselulosa akibat perlakuan panas (Adi et al.2009; Gonzales-Pena et al. 2009; Ates et al. 2009; Cademartori et al. 2013). Goldstein (1991) dalam GonzalesPena et al. (2009) menyatakan bahwa hemiselulosa ini merupakan karbohidrat yang 82
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
paling rentan terhadap perlakuan panas dan akan terdegradasi lebih dulu dibandingkan selulosa karena strukturnya yang amorf dan memiliki berat molekul lebih rendah daripada selulosa. Hasil analisis komponen kimia pada Tabel 1 secara umum menunjukkan bahwa kandungan -selulosa kayu Durian kompresi tidak berbeda signifikan dari kayu kontrol. Hal ini dapat dikaitkan dengan strukturnya yang kristalin sehingga lebih stabil terhadap perlakuan panas (Esteves dan Pereira 2009). Pada D33/120 dan D50/60 kandungan -selulosa dalam kayu kompresi menurun jika dibandingkan kayu kontrol (39,46 %), berturut-turut 31,17 % dan 37,81 % . Fenomena ini serupa dengan penelitian densifikasi kayu Mahoni (Adi et al. 2009), hal ini diduga karena adanya bagian amorf dari selulosa yang terdegradasi. Kandungan lignin kayu Durian kompresi meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengempaan. Nilai tertinggi diperoleh pada kayu Durian kompresi dengan target kompresi 50 % selama 120 menit, yaitu sebesar 37,80 %. Hal ini menunjukkan bahwa lignin merupakan komponen kimia kayu yang paling stabil baik terhadap perlakuan panas maupun waktu kempa. Kenaikan nilai Klason lignin ini disebabkan degradasi dari hemiselulosa dan selulosa yang berstruktur amorf sehingga proporsi lignin seolah-olah naik (Boonstra dan Tjeerdsna 2006). Dilaporkan pula bahwa kenaikan kandungan lignin dapat disebabkan oleh reaksi polikondensasi lignin dengan komponen dinding sel yang lain menghasilkan ikatan silang (cross-linking) dan meningkatkan kandungan lignin. Pendapat lain menyatakan bahwa analisa lignin dengan metode Klason memungkinkan ada beberapa produk degradasi karbohidrat kayu yang tertahan dalam fraksi lignin, sehingga kandungan lignin meningkat (Yildiz et al. 2006).
D33 (60 mnt) Posisi A
Komponen kimia
D33 (60 mnt) Posisi B
Kadar (%)
Kadar (%)
Distribusi Komponen Kimia pada Balok Kayu Kompresi Skala Pemakaian Pada penelitian ini, proses kompresi dilakukan pada kondisi kering dengan menggunakan mesin kompresi skala pemakaian yang dilengkapi dengan plat hot press. Untuk mencapai keadaan fiksasi maka kayu Durian diberi perlakuan panas (180 C) dan waktu kempa (60 dan 120 menit). Gambar 3 menunjukkan distribusi komponen kimia pada balok kayu kompresi skala pemakaian dalam rangka untuk mengetahui pengaruh kompresi terhadap perubahan komponen kimia pada balok kayu Durian kompresi.
D33 (60 mnt) Posisi C
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
D33 (120 mnt) Posisi A D33 (120 mnt) Posisi B
Komponen kimia
D33 (120 mnt) Posisi C
83
Kadar (%)
Kadar (%)
D50 (60 mnt) Posisi A
D50 (120 mnt) Posisi A
D50 (60 mnt) Posisi B Komponen kima
D50 (60 mnt) Posisi C
D50 (120 mnt) Posisi B Komponen kimia
D50 (120 mnt) Posisi C
Gambar 3. Grafik distribusi komponen kima pada balok kayu Durian kompresi Gambar 3 menunjukkan secara umum bahwa nilai zat ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena di dalam balok kayu Durian kompresi masih relatif seragam yaitu berkisar antara 1,832,27 %. Akan tetapi setelah pemanasan selama 120 menit mulai terlihat bahwa nilai zat ekstraktif di bagian permukaan atas kayu kompresi lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian tengah dan bawah. Nilai kandungan zat ekstraktif tertinggi terjadi pada permukaan atas kayu Durian yang dikompresi dengan target 50 % selama 120 menit. Hal ini menguatkan pernyataan sebelumnya bahwa zat ekstraktif merupakan komponen luar yang akan menguap dengan mudah selama proses kompresi dengan perlakuan panas. Fenomena serupa juga terjadi pada nilai lignin di bagian permukaan kayu yang lebih tinggi jika dibandingkan bagian tengah. Hal ini disebabkan dengan perlakuan suhu 180 C belum cukup membuat lignin terdegradasi. Adi et al. (2009) menyatakan bahwa pada lignin hanya akan mengalami pelunakan pada suhu perlakuan di bawah 200 C. Hasil ini sesuai dengan penelitian densifikasi parsial dari kayu Akasia dan Agatis dengan perlakuan panas pada suhu 170 C, 180 C, dan 190 C (Hadiyane, 2011). Penulis menyatakan bahwa proses kompresi mampu merelokasi lignin dari bagian dalam ke bagian permukaan. Phuong, Shida, dan Saito (2007) menyatakan bahwa relokasi lignin ini mulai terjadi pada suhu perlakuan 160 C. Gambar 4 menunjukkan bahwa distribusi komponen holoselulosa di bagian permukaan dan bagian tengah tidak terlalu berbeda secara signifikan. Hanya pada balok kayu Durian yang dikompresi dengan target 50 % selama 120 menit, nilai kandungan holoselulosa di bagian tengah lebih tinggi daripada di bagian permukaan, yaitu sebesar 67,10 %. Hal ini mungkin disebabkan pada bagian permukaan lebih banyak hemiselulosa yang terdegradasi akibat langsung bersentuhan dengan plat hot press, sehingga lebih banyak terpapar dengan panas. KESIMPULAN Secara umum perlakuan suhu dan waktu kempa pada penelitian ini mengakibatkan perubahan komponen kimia kayu kompresi. Semakin lama waktu pengepresan maka akan semakin lama kayu terpapar oleh panas, sehingga komponen kimia yang terdegradasi akan semakin besar. Penurunan kandungan zat ekstraktif yang larut dalam alkohol-benzena (12 %) adalah akibat penguapan zat tersebut. Kandungan holoselulosa juga menurun (6368 %) jika dibandingkan dengan kayu yang tidak
84
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
dikompresi karena adanya degradasi hemiselulosa. Sedangkan nilai lignin kayu Durian kompresi meningkat menjadi 3637 % terkait dengan adanya degradasi holoselulosa. Selain itu, perlakuan panas dan (180 C) dan waktu kempa yang lebih lama (120 min) menyebabkan terjadinya pergerakan lignin dan penguapan zat ekstraktif sehingga kandungan keduanya di bagian permukaan lebih tinggi daripada di bagian tengah. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa parameter proses berupa suhu kempa 180 C dan waktu kempa 60 dan 120 menit belum memberikan perubahan komponen kimia kayu kompresi skala pemakaian secara signifikan sehingga berpengaruh pada tingkat fiksasi kayu kompresi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan parameter proses yang dapat memberikan tingkat fiksasi yang optimal dari produk kayu kompresi skala pemakaian. DAFTAR PUSTAKA Adi, D.S., Wahyuni, I., Amin, Y., Darmawan, T., Dwianto, W. 2009. Prosiding Simposium Nasional I Forum Teknologi Hasil Hutan(FTHH). 30-31 Oktober 2009. Bogor, Indonesia. Amin, Y., Darmawan, T., Wahyuni, I., Dwianto, W. 2007. Pengaruh Perendaman dalam NaOH terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System Compression. 2007. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia X, Pontianak. Amin, Y. 2011. Uji Proses Pembuatan dan Karakterisasi Kayu Kompresi Skala Pemakaian. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI. Arinana, Diba, F. 2009. Kualitas Kayu Pulai (Alstonia scholaris) Terdensifikasi (Sifat Fisis, Mekanis, dan Keawetan). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 2 (2): 7888. Ates, S., Akyildiz, M. H., Ozdemir, H. 2009. Effects of Heat Treatment On Calabrian Pine (Pinus brutia Ten.) Wood. BioResources 4 (3): 1032-1043. Boonstra, M. J., Tjeerdsma, B. 2006. Chemical Analysis of Heat Treated Softwoods. Holz als Roh-und Werkstoff 64: 204-211. Cademartori, P. H. G., dos Santos, P. S. B., Serrano, L., Labidi, J., Gatto, D. A. 2013. Effect of thermal treatment on physicochemical properties of Gympie messmate wood. Industrial Crops and Products 45: 360-366. Esteves, B. M., Pereira, H. M. 2009. Wood Modification By Heat Treatment: A Review. BioResources 4 (1): 370-404. Fengel, D., Wegener, G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan Harjono Sastrohamijoyo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gonzales-Pena, M. M., Curling, S. F., Hale, M. D. C. 2009. On the effect of heat on the chemical composition and dimensions of thermally-modified wood. Polymer Degradation and Stability 94(12): 2184-2193 Grinins, J., Andersons, B., Biziks, V., Andersone, I., Dobele, G. 2013. Analytical pyrolysis as an instrument to study the chemical transformations of hydrothermally modified wood. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 103: 36-41. Hadiyane, A., Coto, Z., Wahyudi, I., Febrianto, F., Pari, G. 2011. Perubahan Komponen Kimia Kayu Terpadatkan Secara Parsial. Prosiding Seminar Nasional Mapeki XIV. 2 November 2011. Yogyakarta, Indonesia.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
85
Inoue, M., Norimoto, M. 1991. Permanent Fixation of Compressive Deformation of Wood. Proceedings of the International Symposium on Chemical Modification of Wood. May 17-18. Kyoto, Japan. Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000, Japan Wood Research Society Publisher. Phuong , L.X., Shida , S., Saito , Y., 2007. Effects of heat treatment on brittleness of Styrax tonkinensis wood. J Wood Sci, 53: 181-186. Prawirohatmodjo, S., Prof.,Dr., 1996. Kimia Kayu. Diktat Kuliah Kimia Kayu Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada (Untuk Kalangan Sendiri). Yogyakarta. Yildiz, S., Gezer, E. D., Yildiz, U. C. 2006. Mechanical and Chemical Behavior of Spruce Wood Modified by Heat. Build. Environ. 41(12): 1762-1765
86
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK UNTUK BIOVILLAGE Arief Heru Prianto, Helbert, Lisman Suryanegara, Ari K. Anggita SP UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 ABSTRAK Biovillage merupakan konsep pengembangan wilayah yang diarahkan untuk mengatasi masalah pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha kemandirian dan kegiatan perekonomian masyarakat desa. Komponen biovillage antara lain mobilisasi sosial, pembentukan kelompok/komunitas, perencanaan aktivitas, diklat/training, monitoring dan evaluasi serta networking/jaringan. Pengembangan biovillage dapat dilakukan dengan implementasi teknologi yang memanfaatkan sumber daya alam setempat. Dalam pemanfaatan sumber daya alam setempat, khususnya bidang pertanian diperlukan suatu teknologi yang dapat menjamin keberlangsungan proses produksi/budidaya yang mandiri dan berkelanjutan serta ramah lingkungan. Salah satu teknologi pertanian yang dapat memberikan solusi untuk permasalahan ini adalah teknologi pertanian organik. Paket teknologi pertanian organik harus bisa meningkatkan kesuburan tanah, baik dalam sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Untuk itu dalam penelitian ini akan diimplementasikan paket teknologi pertanian organik yang meliputi paket produksi kompos hayati, pupuk organik cair, maupun nutrisi untuk pengembangan biovillage. Pengembangan biovillage dilakukan dengan membentuk suatu unit usaha kecil sebagai implementor teknologi hasil penelitian dalam hal ini untuk memproduksi dan agen penyedia pupuk organik. Produk ini akan dimanfaatkan oleh komunitas pertanian organik. Komunitas ini diharapkan dapat memanfaatkan secara optimal teknologi pertanian organik, sehingga perlu dilakukan pelatihan pemanfaatan paket teknologi tersebut. Agar terjadi sustainability kegiatan ekonomi ini perlu dijamin akses market dan penyediaan bahan baku produksi serta akses terhadap lembaga keuangan. Pada penelitian ini, akan dibuat model biovillage berbasis pertanian organik dengan komponen utama yang akan dibentuk adalah unit pemasok bahan baku, unit produksi pupuk organik, dan komunitas pertanian organik. Kata kunci: biovillage, system teknologi pertanian organik. PENDAHULUAN Biovillage merupakan konsep pengembangan wilayah yang ditujukan untuk mengatasi masalah pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha kemandirian dan kegiatan perekonomian masyarakat desa. Pengembangan biovillage yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya alam daerah tersebut. Untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien dan ramah lingkungan, maka perlu diperkenalkan kepada masyarakat tentang pertanian organik. Pertanian organik dapat didefenisikan sebagai sistem pengelolaan produksi pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, dengan menekankan
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
87
pada penggunaan input dari dalam dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis dan kultural. Dalam sistem pertanian organik masukan (input) dari luar (eksternal) akan dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahanbahan sintetis lainnya. Mikroba tanah dimanfaatkan untuk meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah karena mampu melakukan daur ulang hara, menghasilkan senyawa-senyawa berguna bagi tanah dan tanaman. Keberhasilan konsep biovillage dengan pertanian organik harus mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Teknologi pertanian organik memanfaatkan mikroorganisme yang akan digunakan sebagai biofertilizer dan biokontrol.Transfer teknologi tersebut harus dilakukan kepada petani agar mereka mandiri akan pupuk organik hayati dan pengendali hama yang ramah lingkungan Permasalahan teknologi pertanian organik tersebut merupakan kendala bagi petani yang mempunyai keterbatasan penguasaan teknologi untuk memproduksi pupuk hayati dan biokontrol pada skala perbanyakan. Melalui kegiatan ini, UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI mendeseminasikan teknologi produksi pupuk organik dan aplikasinya pada tanaman padi dan hortikultura POKOK PERMASALAHAN Lahan pertanian untuk tanaman sayuran di desa Mlatiharjo terbatas, dilain pihak tenaga kerja wanita di desa Mlatiharjo yang tergabung dalam Komunitas Wanita Tani (KWT) mempunyai potensi yang besar. Wanita - wanita tani ini sangat antusias dalam kegiatan pertanian organik dalam greenhouse. Kegiatan pertanian organik ini harus tidak mengganggu aktifitas mereka sebagai ibu rumahtangga. METODE KEGIATAN Metode pada kegiatan biovillage di desa Mlatiharjo dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan sosialisasi kegiatan konsep biovillage pada masyarakat desa. Tahap kedua dilakukan produksi indukan miroba yang terdiri atas Lactobacillus, Azotobacter, Rhizobium, Pseudomonas, dan Aspergillus niger. Starter untuk produksi pupuk organik diperbanyak masing-masing pada media yang sesuai dengan mikrobanya. Tahap ketiga adalah pembuatan unit produksi pupuk organik cair dan padat sebagai penunjang pertanian organik yang dikelola oleh warga masyarakat. Sebelum dibuatkan unit produksi pupuk organik, dilakukan pelatihan pembuatan pupuk organik sebagai transfer teknologi kepada warga masyarakat. Alih teknologi ini sangat penting untuk mendukung keberlangsungan kegiatan yaitu dengan meningkatkan kemandirian masyarakat akan kebutuhan pupuk. Tahap terakhir yaitu aplikasi pupuk organik pada tanaman oleh Komunitas wanita tani dilakukan dengan konsep vertikulture dalam greenhouse. Siklus penanaman berikutnya secara terus menerus akan disiapkan oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Sosialisasi kegiatan Sosialisasi ditingkat aparat desa dan masyarakat telah dilakukan agar mereka lebih memahami tujuan dari kegiatan dan keberlangsungan biovillage ke depannya. Sosialisasi kegiatan meliputi konsep kegiatan biovillage, aplikasi pupuk organik dalam budidaya organik, dan budidaya sayuran dengan teknik vertikultur. Budidaya sayuran secara vertikultur dilakukan dalam grenhouse berukuran 4x3 meter persegi. Warga yang
88
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
memiliki halaman yang mencukupi dan bersedia lahannya ditempati greenhouse ada 40 keluarga. Produksi mikrobia Produksi mikroba dimulai dari perbanyakan indukan (stock culture) yang terdiri dari 5 isolat yaitu : Pseudomonas sp., Lactobacillus sp., Azotobacter sp., Rhizobium sp.n dan Aspergillus niger. Kelima isolat ini diperbanyak dengan media yang sesuai untuk mendapatkan pre-culture. Masing-masing pre-culture diperbanyak dalam fermentor sehingga diperoleh starter. Starter ini yang digunakan unit usaha pupuk organik di desa Mlatihardjo untuk memproduksi pupuk organik.
Biakan mikrobia
Produksi starter
Pelatihan Untuk mewujudkan komunitas biovillage mandiri yang berkelanjutan, diperlukan alih teknologi kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan diantaranya pelatihan teknologi pembuatan pupuk dan budidaya sayuran secara vertikultur. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun kemandirian dan meningkatkan pendapatan. Pelatihan dapat mengubah cara pandang masyarakat akan pertanian yang lebih sehat, ramah lingkungan dan dapat memanfaatkan lahan sempit disekitar rumah untuk vertikultur. Pelatihan teknologi diperlukan untuk menginisiasi masyarakat dengan teknologi baru yang mampu membantu meningkatkan efisiensi pekerjaan, meningkatkan produktivitas, meningkatkan daya saing, dan meningkatkan harga jual yang berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Pelatihan pembuatan POC Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
89
Pada kasus pelatihan pada hortikultur biovillage, maka pelatihan teknologi yang diberikan antara lain pelatihan dasar mengenai teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman melalui pupuk yang diproduksi secara mandiri, teknologi pencegahan hama, hingga teknologi pengolahan hasil panen yang dapat menjaga mutu produk baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat meningkatkan harga jual produk. Aplikasi pupuk organik Dalam aplikasi pupuk organik dalam pertanian organik, telah dilakukan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada petani dan petugas penyuluh lapangan di desa Mlatiharjo, Demak. Bersamaan dengan itu, dilakukan penanaman sayuran di desa tersebut sebagai tempat aplikasi pupuk organik yang dihasilkan. Budidaya sayuran dilakukan dalam greenhouse ukuran 4x3 m2 sebanyak 40 buah greenhouse. Greenhouse ini menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari pelatihan sebelumnya. Pengendalian hama dilakukan dengan biokontrol diproduksi di tingkat petani pelaksana. Agar melengkapi organik village yang sedang dikembangkan, pupuk organik yang dihasilkan akan diaplikasikan pada budidaya hortikultura.
Produksi POC
POC “Biomat” yang dipakai petani
Greenhouse dihalaman rumah
Tanaman dalam greenhouse
STRATEGI PENGEMBANGAN Pengembangan biovillage kedepan dilakukan dengan membentuk suatu unit usaha kecil sebagai implementor teknologi pupuk hayati, yaitu menjamin kebutuhan masyarakat petani akan pupuk hayati. Produk pupuk organik diharapkan dapat terus 90
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
dimanfaatkan masyarakat petani secara berkesinambungan, sehingga supervisi kualitas pupuk organik yang dihasilkan terus dikontrol oleh UPT. Balai litbang Biomaterial. Dimasa datang perlu dilakukan kerjasama dengan litbang daerah sehingga lebih dekat untuk melakukan koordinasi dengan mereka. Akses masyarakat petani terhadap bahan baku dan pasar harus selalu mendapat perhatian. Kapasitas maksimal produksi produksi pupuk organik cair di desa Mlatihardjo sebesar 4000 liter per bulan. Kapasitas yang cukup besar tersebut dapat dimanfaatkan oleh lahan seluas 400 Ha, dengan luas lahan desa disekitar Mlatihardjo yang sekitar 105 Ha maka pupuk cair tersebut sudah cukup untuk dimanfaatkan pada desa sekitar. PEMANFAATAN HASIL Pupuk organik cair dan padat telah diproduksi secara mandiri oleh petani di desa Mlatihardjo. Produksi yang cukup besar membuat stok pupuk berlebih sehinggga mereka sudah menularkan keterampilannya pada petani pada desa lainnya. Penggunaan pupuk organik cair dan padat telah dirasakan memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan tanaman. Petani merasakan manfaat dari penggunaan pupuk organik sehingga produksi pupuk organik terus dilakukan. KESIMPULAN Keberhasilan pertanian organik untuk bioviilage dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kesiapan teknologi, antusiasme masyarakat desa, aparat pemerintah desa, dan dukungan pemerintah daerah. Teknologi yang akan diseminasikan dalam biovillage harus dapat menggunakan sumberdaya alam yang tersedia di desa tersebut. Pelatihan pembuatan pupuk organik mutlak diperlukan untuk menambah kemandirian sumberdaya manusia desa akan teknologi pembuatan pupuk. Setelah masyarakat petani merasakan manfaat dari kegiatan tersebut, mereka lebih antusias untuk melanjutkan pertanian organiknya. DAFTAR PUSTAKA Chopra, S., and Meindl, P. (2001). Supply chain management-Strategy, planning, and operations. New Jersey - Prentice-Hall. LPDB-KUMKM.2011. Peraturan Direksi Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Nomor- 011/Per/Lpdb/2011tentang Petunjuk Teknis Pemberian Pinjaman Kepada Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta. Swaminathan, M.S.. 2006. Biovillage programme at Kodathur (Pondicherry). IndiaAMM Prints. Swaminathan, M.S.. 2004. Ecoenterprises for Sustainable Livelihoods. India- AMM Prints. Pkapbn.KEM dan PPKF 2013 Disampaikan Kepada DPR RI.2012. http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
91
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM VERTIKAL Mohamad Gopar, Ismadi, Sudarmanto, Fazhar Akbar UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 ABSTRAK Konsep vertical garden city (sistem taman vertikal) merupakan sebuah tren baru dewasa ini didalam dunia arsitektur tata ruang perkotaan (landscaping) dan dapat diaplikasikan dalam skala perumahan pada daerah sub-urban. Salah satu permasalahan yang ada pada pengembangan sistem ini adalah material untuk media tanam. Modul atau media tanam, umumnya terbuat dari bahan polimer seperti polipropilena atau bahan sintetis geo-tekstil. Disamping bahan sintetis tersebut, bahan alam seperti pohon pakis (Cycas rumphii miq) dapat dijadikan sebagai modul media tanam vertikal. Namun, bahan-bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan, mahal, bahkan tanaman pakis merupakan pohon konservasi yang dilindungi pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan alternatif media tanam yang dapat mensubstitusi material konvensional yang ada. Pada penelitian ini dibuat sebuah modul media tanam vertikal yang terbuat dari serat alam yaitu pelepah kelapa sawit dan bambu. Teknologi yang dikembangkan merupakan teknologi pembuatan papan komposit namun dengan kerapatan (densitas) yang rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan modul media tanam vertikal dari batang pakis. Bahan yang digunakan adalah partikel bambu dan pelepah kelapa sawit yang sebelumnya dilakukan perlakuan rendaman dalam air selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu baru dibuat komposit dengan kerapatan 0.4 g/cm3. Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 12%. Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 2 cm pada suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan acuan standar JIS A-5908. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman pangan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi komposit serat alam sebagai media tanam vertikal yang memenuhi kebutuhan pasar seperti karakteristik kekuatan, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, estetika serta kelayakan ekonomis. Dampak lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, pengembangan sistem pertanian modern (garden agriculture) serta menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman. Kata kunci : sistem tanam vertikal, media tanam, pelepah kelapa sawit dan bambu, komposit. PENDAHULUAN Pertumbuhan pembangunan perkotaan di negara maju yang kian pesat mengakibatkan daerah perkotaan semakin kehilangan area hijau nya. Keberadaan ruang terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun
92
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
berkisar -22755.3 hektar (-159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan sebagai areal urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24411.0 hektar (72.7 %). (Suwargana, 2005). Kondisi pemukiman yang padat memiliki andil negatif dalam kehidupan perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan. Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga, 2011). Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah. Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa ketempat pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi yang akan dibuat taman vertikal. Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam (biokomposit). Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003 dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah, meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM. METODE DAN BAHAN Pelepah kelapa sawit dan sagu yang masih basah dibersihkan dari daun-daun yang terikut. Pelepah kemudian di pipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga pelepah terpipihkan dan sebagian cairan yang terkandung pada pelepah akan terpisahkan. Serat pelepah kelapa sawit kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 5-6 cm mempergunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
93
yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oCatau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam kantong plastik kedap udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Bambu betung basah dengan umur tanam 5 tahun dipotong-potong dengan ukuran kurang lebih 2 meter kemudian dibelah dua untuk bambu berdiameter kecil (<7 cm) yang berdiameter besar (>7 cm) dibelah empat. Bambu setelah dibelah kemudian dipipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga diperoleh serat bambu. Serat kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-6 cm dengan menggunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oC atau dijemur hingga kadar airnya +5%. Serat kering disimpan dalam plastic kedap udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hinggakadarairnya -+5%. Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebanyak 12% berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul panel komposit yang dibuat adalah 0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3 cm. Selanjutnya sampel diuji fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 59082003. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman tanaman hias. Panel komposit untuk uji tanam dibuat modul media tanam vertikal yaitu panel dicetak dengan cetakan yang salah satu permukaannya dibuat beralurl. Cetakan tersebut berbahan aluminium dengan panjang 155 cm, lebar 55 cm dan beralur dengan kedalaman alur 1,5 cm. Untuk mendapatkan modul tanaman vertikal dengan ketebalan 3,5 cm, digunakan pembatas /stopper. Setelah dikempa panas, komposit tersebut dirapihkan dengan dipotong keempat sisi pinggirnya. Ukuran yang diinginkan adalah panjang 150 cm dan lebar 48 cm. Selanjutnya untuk menyesuaikan dengan kondisi penanaman, modul komposit untuk tanaman vertikal dilubangi dengan diameter 10 mm dan jarak 10 cm. Lubang ini digunakan sebagai tempat meletakkan tanaman. Letak lubang-lubang pada modul komposit menyesuaikan dengan pola-pola tanaman yang diinginkan, sehingga membentuk pola gambar yang indah. Proses selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan modul tanaman vertikal adalah seting modul pada bingkai. Bingkai yang digunakan berbahan baja ringan galvanis dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 49 cm dan tebal 4 cm. Modul komposit yang telah berpola pada bidang belakang (bagian berprofil) dibungkus dengan filter geotextile kemudian dimasukkan pada bingkai plat baja ringan. Lapisan geotextile ini berfungsi sebagai alas/filter cairan hara dari kompos. Proses selanjutnya adalah pengisian modul tanaman vertikal dengan media tanam yang berupa kompos dan pupuk organik. Selanjutnya modul tanaman vertika disiram air dan ditanami sesuai pola warna tanaman yang diinginkan.
94
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Fisik Mekanik Kuat Lentur (MOR) Nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 0,85 – 2,68 MPa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit serat bambu yang direndam 4 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat pepelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Grafik MOR vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat Berdasarkan data pada Gambar 1 nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapasawit dengan penambahan waktu rendam cenderung turun kemudian naik lagi dan papan komposit serat bambu cenderung naik kemudian turun. Hal ini menujukkan bahwa penambahan waktu rendam mempengaruhi ikatan antara serat dengan perekat Phenol Formaldehyde (PF) Berdasarkan data pada Ganbar 1 Nilai MOR untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOR. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOR yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. Modulus Elastisitas (MOE) Nilai modulus elastisitas dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 88,59 – 222,26 Mpa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam selama 2 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
95
Gambar 2. Grafik MOEvs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat Berdasarkan data pada Ganbar 2 Nilai MOE untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 2 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOE. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOE yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. Thickness Swelling Nilai pengembangan tebal dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 6,36 – 14,26 %. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam selama 6 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Grafik TS vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat. Berdasarkan data pada Ganbar 3 Nilai TS untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai terendah yang paling bagus. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai TS. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai TS yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. 96
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Karakterisasi Kualitatif Untuk modul media tanam telah dicoba ditanami tanaman hias. Uji coba tanam pada modul media tanam ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5. Dari uji tanam tersebut diketahui bahwa modul tanaman vertical dari bahan serat bambu yang direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu, tanaman bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan, sedangkan dari uji tanam pada modul dari bahan pelepah kelapa sawit yang direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu setelah seminggu mati kemudian ditanami lagi seminggu kemudian mati, kemudian ditanami lagi sudah bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan (Gambar 5).
(a) (b) (c) Gambar 4. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat bambu direndam 2 minggu; (b) serat bambu direndam 4 minggu; (c) serat bambu direndam 6 minggu.
(a) (b) (c) Gambar 5. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat pelepah kelapa sawit direndam 2 minggu; (b) serat pelepah kelapa sawit direndam 4 minggu; (c) serat pelepah kelapa sawit direndam 6 minggu. Dari Gambar 5 dan gambar 6 terlihat bahwa dalam masa tanam +- 3 minggu, modul media tanam dari serat bambu memiliki kemampuan tanam yang bagus. Dan modul media tanam dari serat pelepah kelapa sawit memiliki mampu tanam yang rendah. Dari hasil uji coba tanam, terlihat bahwa semakin semakin lama direndam makin bagus tingkat pertumbuhannya.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
97
Meskipun semua komposit yang dibuat bisa ditanami akan tetapi yang lebih bagus yang memiliki nilai MOR yang tertinggi dan yang memiliki nilai TS terendah. Papan komposit yang akan diproduksi untuk modul media tanam vertikal serat bambu sebelum di cetak jadi komposit direndam air dahulu selama 4 minggu. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa papan komposit serat alam dapat dimanfaatkan sebagai media tanam vertikal. Perlakuan terbaik secara mekanik dan memenuhi syarat untuk penanaman adalah perlakuan perendaman serat bambu selama 4 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan mekanik papan komposit, dapat dilakukan dengan pembuatan penampang papan komposit yang berprofil atau beralur. DAFTAR PUSTAKA Cochrane T, 2010, Growing up the wall, The Guru, 36, pp. 04-06 Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from renewable resources: Opportunities and challenges in the green materials world. J. Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26. Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in polylactic acid (PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 13171324. Suwargana, N. dan Susanto Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005. Taman vertikal V-ga,2010/11, http://www.facebook.com/pages/Taman-Vertikal-Vga/125313897553090. Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass In Fibre Reinforced Plastics. Composites Science and Technology 63: 1259-1264. Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.
98
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI