LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2014 PUSAT PENELITIAN BIOMATERIAL LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Editor: Kurnia Wiji P Triyani Fajriutami Fathul Bari Ari Kusumaningtyas
Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, 2014
KATA PENGANTAR Dalam Tahun Anggaran 2014, kegiatan penelitian dan penguasaan teknologi Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI memiliki 7 tema kegiatan besar, yaitu (1) Pengembangan Potensi Mikroba Entomopatogen dan Bahan Alam, (2) Aplikasi Biokomposit Untuk Media Tanam Vertikal, (3) Pengembangan Teknologi dan Inovasi Eco-House dengan Memanfaatkan Biomaterial untuk Rumah Tahan Gempa-Pengembangan Beton Ringan Berbasis Limbah Kerang, (4) Karakterisasi dan Pemanfaatan Kayu Jati Platinum Yang Berpotensi untuk Dikembangkan Pada Program Invagro, (5) Penerapan Konsep Biorefinery pada Produksi Bioetanol dari Ampas Tebu, (6) Pembuatan Bio-nanokomposit Berbasis Mikrofibril Selulosa untuk Bahan Baku Industri (7) Pengembangan Teknologi Pelengkungan Kayu untuk Diaplikasikan pada Pusat Pengrajin Di Kabupaten Sumedang. Buku ini memuat laporan hasil-hasil penelitian dari ketujuh kegiatan di atas dan disusun oleh masing-masing peneliti/penanggung jawab kegiatan penelitian. Laporan ini merupakan pertanggungjawaban kegiatan proyek yang harus dilaporkan pada akhir tahun kegiatan. Penelitian dan penguasaan teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya hayati, penggalian potensi baru, diversivikasi produk dan efisiensi proses pengolahan yang ramah lingkungan. Kami mengucapkan terimakasih kepada para peneliti dan semua pihak yang telah terlibat baik dalam kegiatan proyek secara keseluruhan, kegiatan penelitian, maupun dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua. Cibinong, Desember 2014 Kepala Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI Prof. Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. NIP. 195812021985031001
i
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................
i ii
UJI TOKSISITAS SKALA LABORATORIUM ISOLAT LOKAL CENDAWAN ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOLARVASIDA TERHADAP CULEX SP. ......................................................................
1
TERMITICIDAL ACTIVITY OF AN EXTRACT OF Brugmansia candida LEAVES AGAINST A SUBTERRANEAN TERMITE Coptotermes gestroi Wasmann AND A DRYWOOD TERMITE Cryptotermes cynocephalus Light.................................... PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM VERTIKAL ........................................................................ PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM VERTIKAL ........................................................................ PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG KERANG PADA NON AUTOCLAVED-AERATED CONCRETE (NAAC) .................. PENGARUH RASIO AIR DAN BINDER DALAM PEMBUATAN NON AUTOCLAVED-AERATED CONCRETE (NAAC) ............................................................................................... MORPHOLOGY AND PHYSICAL CHARACTERISTICS OF POLYPROPYLENE-PULPED EMPTY FRUIT BUNCH FIBER COMPOSITES WITH CHITOSAN AS FILLER ............................ PENGARUH UMUR TERHADAP KOMPONEN KIMIA KAYU JATI PLATINUM .............................................................................. SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU JATI PLATINUM PADA 2 KELAS UMUR .................................................................... HIDROLISIS ASAM SULFAT PADA SELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI GULA PEREDUKSI .......................... PRODUKSI ETANOL DARI AMPAS TEBU TERDELIGNIFIKASI ALKALI MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK ...................... PRODUKSI ETANOL DARI AMPAS TEBU TERDELIGNIFIKASI ALKALI MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK ......................
ii
Laporan Teknik Akhir tahun 2006. UPT BPP Biomaterial-LIPI
9 16 23 30 34 38 46 54 61 70 78
UJI TOKSISITAS SKALA LABORATORIUM ISOLAT LOKAL CENDAWAN ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOLARVASIDA TERHADAP CULEX SP. Apriwi Zulfitri* dan Deni Zulfiana Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *E-mail:
[email protected] ABSTRAK Lymphatic filariasis (LF) telah dinyatakan sebagai salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan dunia oleh WHO. Penggunaan insektisida dan pemberian obat LF secara serentak merupakan program WHO untuk memberantas LF. Namun demikian, hasil yang didapatkan belum sesuai target, terutama di Indonesia. Peningkatan resistensi serangga terhadap insektisida dan residu bahan kimia yang berbahaya terhadap lingkungan memunculkan alternatif penggunaan agen biokontrol. Tujuan penelitian ini ialah untuk menguji toksisitas empat isolat cendawan entomopatogen asal Indonesia sebagai larvasida terhadap serangga vektor LF, Culex sp. Pada penelitian ini dua formulasi cendawan digunakan yaitu filtrat cendawan dan tepung konidia. Formulasi filtrat cendawan lebih efektif dan menunjukkan efek toksisitas yang lebih cepat terhadap larva Culex sp. dibandingkan tepung konidia. Hal ini mengindikasikan bahwa mortalitas larva tidak hanya disebabkan oleh spora yang menginvasi larva tetapi diduga karena kandungan senyawa yang disekresikan kedalam media tumbuh pada perlakuan filtrat karena kandungan spora dalam filtrat lebih sedikit akibat proses penyaringan. Persentase kematian larva Culex sp. tertinggi dihasilkan oleh perlakuan filtrat Beauveria bassiana sebesar 92,65% tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan filtrat Nomuraea sp. Hasil uji toksisitas menunjukkan filtrat isolat lokal cendawan entomopatogen Nomuraea sp dan Beauveria bassiana berpotensi sebagai larvasida terhadap larva Culex sp. Kata kunci: Cendawan entomopatogen, Larvasida, Culex sp., Biokontrol PENDAHULUAN Lymphatic filariasis (LF) atau kaki gajah adalah penyakit khas iklim tropis dan subtropis yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi nematoda parasit pada manusia yang bersarang di sistem getah bening. Di Indonesia, LF umumnya disebabkan oleh nematoda Brugia malayi, B. timori dan Wuchereria bancrofti (Sudomo et al, 2002). LF diakui World Health Organization (WHO) sebagai salah satu masalah kesehatan dunia sehingga target pemberian obat serentak atau Mass Drug Administrations (MDA) dalam program Global plan to combat neglected tropical diseases 2008-2015 karena memiliki dampak sangat signifikan terhadap kualitas kehidupan manusia walaupun tidak mematikan seperti HIV/AIDS (WHO,2007). Pada tahun 2009, program tersebut melaporkan sekitar 66% total populasi global yang berpotensi terinfeksi LF berada di wilayah Asia Tenggara. Diantara 9 negara endemik, hanya Indonesia yang belum menyelesaikan pemetaan fokus penggunaan MDA (WHO, 2009). Di distrik Asmat Papua, salah satu daerah endemik LF, program pemberian obat serentak oleh WHO hanya mencapai 58% dari target populasi karena Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
1
mengalami kesulitan akses dan kurang diapresiasi oleh masyarakat (Bhullar dan Maikere, 2010). Selain pemberian obat terhadap masyarakat yang rentan terinfeksi, upaya pemberantasan LF dapat dilakukan melalui pengendalian vektor penularan nyamuk Culex sp. baik pada fase dewasa maupun larva. Insektisida berbahan aktif organophosphate telah digunakan secara luas sebagai larvasida pada Culex sp, namun terjadi peningkatan resistensi larva terhadap insektisida sehingga menurunkan tingkat efektifitasnya (WHO, 2001). Masalah lain yang ditimbulkan insektisida kimiawi ialah menjadi polutan bagi lingkungan dan kesehatan pengguna. Salah satu alternatif usaha pengendalian tersebut ialah menggunakan mikroorganisme sebagai agen biokontrol. Menurut Lacey et al. (2001), Beberapa manfaat dari penggunaan mikroba sebagai agen biokontrol antara lain aman bagi manusia, spesies non target, mengurangi pemakaian pestisida dan residu pestisida pada lingkungan. Jika dibandingkan dengan insektisida kimia, agen biokontrol memiliki beberapa kelemahan, yaitu kemampuannya hanya mengontrol satu atau beberapa spesies, daya kerjanya lambat dan memiliki viabilitas yang pendek. Walaupun demikian, penelitian dan pengkajian dibidang ini terus berlanjut karena agen biokontrol bersifat ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak negatif serta laju resistensi yang lebih lambat. Data hasil penelitian penggunaan produk cendawan dalam usaha pengendalian nyamuk vektor penyakit pada manusia skala laboratorium dan lapangan telah banyak diulas (Scholte et al., 2004, Singh dan Parakash, 2014). Produk cendawan yang digunakan antara lain dalam bentuk tepung konidia, metabolit sekunder, protein, enzim, mikotoksin dan nanopartikel (Singh dan Prakash, 2014) Upaya eksplorasi terhadap mikroorganisme lokal Indonesia yang melimpah memungkinkan untuk ditemukannya isolat-isolat baru cendawan entomopatogen yang berpotensi sebagai agen biokontrol yang efektif terhadap Culex sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas 4 isolat lokal cendawan entomopatogen sebagai biolarvasida terhadap nyamuk Culex sp. METODE PENELITIAN Isolat Cendawan Sebanyak empat isolat lokal cendawan entomopatogen digunakan dalam penelitian ini, yaitu Metarhizium sp., Beauveria bassiana, Nomuraea sp. asal Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta, dan Humicola sp. koleksi Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biomaterial LIPI. Larva Culex sp. Larva nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini ialah Culex sp. instar 3-4 asal Cibinong koleksi Laboratorium uji terpadu Pusat Penelitian Biomaterial. Produksi Filtrat Hasil Fermentasi Cendawan Entomopatogen Media fermentasi yang digunakan ialah 100 mL media cair Czapex-Dox (KH2PO4, 0,5g/L; MgSO4.7H2O; 0,5 g/L; KCl, 0,5 g/L; CaCl2.2H2O, 0,1 g/L; dan NaNO3, 3g/L) yang mengandung yeast extract (30g/L) sebagai sumber nitrogen dalam erlenmeyer 250 mL. Sebanyak 1 mL starter cendawan entomopatogen yang telah dikulturkan dalam Potato Dextrose Broth (PDB) dengan kerapatan konidia 107/mL diinokulasikan ke dalam media fermentasi. Kultur diinkubasi pada suhu ruang diatas rotary shaker dengan agitasi 120 rpm selama 8 hari. 2
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Setelah pemanenan, kultur disaring dengan kertas saring untuk memisahkan filtrat dengan miselium. Ekstrak kasar hasil penyaringan selanjutnya diujikan toksisitasnya terhadap larva Culex sp. Produksi Tepung Konidia Cendawan Entomopatogen Beras yang telah dicuci dan dikukus setengah matang ditimbang sebanyak 100 gr kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dan diautoklaf pada 121 °C, 1 atm selama 15 menit. Kedalam beras diinokulasikan 1 mL starter cendawan entomopatogen seperti pada produksi filtrat dan diinkubasi hingga seluruh butir beras terkolonisasi oleh cendawan. Sebagai kontrol digunakan 1 mL PDB. Beras yang telah diinokulasi selanjutnya dikeringanginkan selama 3 hari dan dihaluskan menggunakan blender. Tepung selanjutnya diuji toksisitasnya sebagai perbandingan terhadap penggunaan filtrat cendawan sebagai biolarvasida. Uji Toksisitas Filtrat Cendawan Entomopatogen Terhadap Larva Nyamuk Culex sp. Uji toksisitas filtrat cendawan entompatogen pada larva Culex sp. dilakukan dengan menambahkan 15 mL filtrat kedalam 85 mL air sumur dalam gelas plastik berukuran 200 mL. Sebanyak 25 ekor larva nyamuk selanjutnya dimasukkan ke dalam masing-masing gelas pengujian dan ditutup dengan kain kasa. Sebagai kontrol, gelas plastik hanya diisi dengan 100 mL air sumur. Larva pada gelas kontrol maupun perlakuan di beri makan hati ayam rebus yang telah dihaluskan sekali sehari. Pengamatan mortalitas larva dilakukan pada 1, 2, 3, 4, 24 dan 48 jam setelah aplikasi perlakuan. Uji Toksisitas Tepung Konidia Cendawan Entomopatogen Terhadap Larva Nyamuk Culex sp. Sebanyak 0,5 g tepung dilarutkan dalam 100 mL air sumur ke dalam gelas berukuran 200 mL. Selanjutnya ditambahkan lima tetes tween 20 untuk mengurangi tegangan permukaan sehingga tepung lebih mudah larut. Jumlah ulangan yang digunakan dalam uji toksisitas adalah sebanyak 3 ulangan untuk tiap perlakuan. Penghitungan Spora Dalam Tepung Konidia Sebanyak 1g tepung dilarutkan dalam 9 mL air dan divortex selama 5-10 menit. Larutan didiamkan hingga seluruh tepung yang tidak terlarut mengendap. Penghitungan spora dilakukan dengan menggunakan Haemacytometer dibawah mikroskop pada perbesaran 400x. Analisis Data Larva dikategorikan mati ketika tidak bergerak saat disentuh pada bagian siphon (corong pernapasan) (WHO, 2005). Persentase mortalitas larva dihitung dengan cara membandingkan jumlah larva yang mati setelah perlakuan dengan jumlah larva yang diinfestasikan saat awal perlakuan. Persentase mortalitas larva dari setiap perlakuan dikoreksi dengan persentase mortalitas larva kontrol menggunakan rumus Abbott (Abbott, 1925). Data mortalitas larva nyamuk dianalisis mengunakan analisis ANOVA dan uji lanjut Duncan.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Efektifitas Filtrat Cendawan Entomopatogen Terhadap Mortalitas Larva Culex sp. Pengaruh filtrat kasar hasil fermentasi cendawan entomopatogen terhadap ratarata persentase mortalitas larva nyamuk Culex sp. dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil pengamatan yang dilakukan pada 1, 2, 3, 4, 24 dan 48 jam setelah perlakuan menunjukkan pola kematian larva yang meningkat seiring dengan lama waktu pengamatan. Rata-rata persentase mortalitas kumulatif larva Culex sp. tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan dengan filtrat hasil fermentasi B. bassiana sebesar 92% pada 48 jam setelah perlakuan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 1a. Tetapi hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan filtrat Nomuraea sp pada taraf 0,05. Rata-rata 4% larva Culex sp yang diuji dengan B. bassiana mati setelah 2 jam perlakuan. Peningkatan rata-rata persentase mortalitas larva teramati setelah 24 jam perlakuan dan terlihat peningkatan tajam hingga 48 jam setelah perlakuan yaitu dari 20,59 ke 92,65%. Sedangkan toksisitas Nomuraea sp. terhadap larva Culex sp. terjadi setelah 2 jam pengamatan dan terus meningkat seiring dengan lama waktu pengamatan. B. bassiana telah banyak dikaji tentang potensialnya sebagai agen biokontrol terhadap serangga vektor penyakit dalam fase larva dan dewasa (Singh dan Prakash, 2010, Kikankie et al. 2010) sedangkan Nomuraea sp. selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai bioinsektisida hama serangga pertanian dan pemanfaatannya untuk mengendalikan nyamuk belum banyak diteliti. Walaupun angka mortalitas terhadap larva Culex sp pada perlakuan Nomuraea sp lebih rendah dibandingkan B.bassiana, hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak berbeda nyata sehingga Nomuraea sp. diduga memiliki potensi sebagai larvasida terhadap Culex sp.
a b Gambar 1. Rata-rata persentase mortalitas larva Culex sp. dengan perlakuan empat isolat lokal cendawan entomopatogen. a. filtrat dan b. tepung konidia. Efektifitas Tepung Konidia Cendawan Entomopatogen Terhadap Mortalitas Larva Culex sp. Hasil uji toksisitas cendawan entomopatogen dalam formulasi tepung konidia terhadap kematian larva Culex sp. ditampilkan pada Gambar 1b. Pada formulasi tepung konidia, didapatkan rata-rata persentase kumulatif kematian larva yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan filtrat kasar cendawan. Pada penggunaan formulasi tepung konidia didapatkan pola peningkatan kematian larva seiring dengan lama waktu pengamatan seperti halnya pada penggunaan formulasi filtrat. Perlakuan dengan cendawan Nomuraea sp. memberikan rata-rata persentase kematian larva tertinggi dibandingkan penggunaan cendawan lainnya. 4
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Sedangkan cendawan Metarhizium sp. dan Humicola sp. tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kematian larva Culex sp. dibandingkan kontrol. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dikemukakan oleh Yasmin dan Fitri (2010), Metarhizium anisopliae dalam formulasi tepung jagung memberikan efektifitas yang baik sebagai larvasida Aedes aegypti yaitu sebesar 75% pada 4 dan 6 jam pengamatan. Hal ini diduga karena adanya perbedaan jumlah konidiospora yang terkandung dalam tepung. Tepung jagung M. anisopliae pada penelitian terdahulu mengandung 0,4x107 konidiospora/mL sedangkan pada penelitian ini tepung Metarhizium sp. mengandung lebih sedikit konidiospora yaitu 1,8x106/mL. Selain itu perbedaan efektifitas dimungkinkan karena adanya variasi tingkat resistensi spesies nyamuk terhadap konsentrasi dan jenis larvasida yang diujikan (Campos dan Andrade, 2003, Soni dan Prakash, 2012). Pengaruh Jumlah Konidiospora Dalam Tepung Konidia Terhadap Mortalitas Larva Culex sp. Hasil uji lanjut interaksi antara jenis dan formulasi isolat lokal cendawan entomopatogen menunjukkan Nomuraea sp. dan B. bassiana dalam formulasi filtrat berpengaruh nyata terhadap kematian larva Culex sp. dibandingkan perlakuan lainnya pada taraf 0,05. Tingkat mortalitas larva yang lebih rendah pada formulasi tepung konidia mungkin disebabkan oleh menurunnya tingkat viabilitas konidia akibat berbagai perlakuan pada proses pembuatan tepung. Penghitungan jumlah konidia pada tepung dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, jumlah kandungan konidiospora dalam tepung cendawan tidak berpengaruh terhadap rata-rata persentase mortalitas larva. Tepung Metarhizium sp. memiliki jumlah rata-rata konidiospora tertinggi tetapi cendawan ini memberikan rata-rata mortalitas terendah dibandingkan perlakuan cendawan lainnya dan memberikan pengaruh yang sama dengan kontrol. Tabel 1. Rata-rata jumlah konidiaspora dalam tepung konidia terhadap rata-rata persentase mortalitas larva Culex sp.(log10/mL) Isolat Rata-rata jumlah Rata-rata persentase konidiaspora (log10/mL) mortalitas larva Culex sp. 0c
4c
B. bassiana
6.12ab
20b
Humicola sp.
5.51bc
4c
Metarhizium sp
6.26a
5.33c
Nomuraea sp.
6.03ab
41.33a
Kontrol
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Tepung konidia Nomuraea sp. dan B. bassiana, dengan jumlah kandungan konidiospora yang tidak berbeda nyata dengan Metarhizium sp., memiliki perbedaan nyata terhadap mortalitas larva sebagaimana pada uji toksisitas dengan formulasi filtrat. Pengamatan mikroskopis larva Culex sp. Larva Culex sp. pada perlakuan kontrol terlihat utuh saat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x (Gambar 2a). Sedangkan pada larva yang terinfeksi filtrat cendawan entomopatogen terlihat rusak terutama pada bagian thoraks (dada). Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
5
Terlihat daerah dada dan sekitar larva dipenuhi oleh materi yang diduga konidiospora yang tertelan oleh larva. Semua perlakuan dengan filtrat isolat cendawan memberikan efek yang sama terhadap larva yang mati. A
2
1 B
1 2 Gambar 2. Perbandingan larva Culex sp.instar 3 pada perlakuan A. filtrat cendawan B. bassiana dan B. tepung konidia B. bassiana. 1:kontrol dan 2: terinfeksi cendawan. Pada larva kontrol dengan perlakuan tepung konidia, didapatkan bagian kepala dan dada larva tidak mengalami kerusakan tetapi penuh terisi tepung sedangkan pada larva yang mati terinfeksi didapatkan ciri yang sama dengan larva mati akibat filtrat cendawan (Gambar 2b). Mekanisme virulensi cendawan entomopatogen terhadap mortalitas larva Culex sp. Berdasarkan pengamatan Scanning electrone microscope (SEM) pada rayap yang terinfeksi cendawan entomopatogen, terdapat indikasi bahwa kematian rayap diawali dengan perkecambahan spora yang membentuk miselia kemudian menginvasi tubuh rayap melalui kutikel (Zulfiana et al., 2010) Tahap selanjutnya miselium berkecambah menghasilkan konidiospora yang akan memenuhi bagian kepala, dada dan perut. Pada penelitian ini, perlakuan filtrat Nomuraea sp. dan B. bassiana menunjukkan virulensinya terhadap larva saat 2 jam setelah aplikasi. Namun demikian, pada formulasi tepung konidia, kedua isolat tersebut baru menunjukkan toksisitasnya masing-masing 4 dan 24 jam setelah aplikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa mortalitas larva tidak hanya disebabkan oleh spora yang menginvasi larva tetapi diduga terdapat kandungan metabolit sekunder yang disekresikan kedalam media tumbuh pada perlakuan filtrat karena kandungan spora dalam filtrat lebih sedikit akibat proses penyaringan. Cendawan entomopatogen seperti Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana telah lama diketahui mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti enzim pendegradasi kutikel serta memfasilitasi pembentukan toksin pada
6
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
serangga yang bersifat racun yang menyebabkan kematian pada inang, melawan sistem pertahanan inang dan menekan kompetisi patogen lain di habitatnya (Charnley, 2003, Zulfiana et al., 2009). Namun demikian, kandungan metabolit sekunder Nomuraea sp. belum banyak dikaji sebagai agen biokontrol terhadap larva Culex sp. Upaya mengidentifikasi virulensi cendawan entomopatogen telah dilakukan oleh Alves et al. (2002). Penelitian ini berusaha menjelaskan penyebab mortalitas larva Culex quinquefasciatus yang berasosiasi dengan konidia Metarhizium anisopliae apakah disebabkan oleh eksotoksin atau infeksi langsung konidiospora. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut tidak dapat mengkonfirmasi peranan toksin cendawan dalam mortalitas larva ketika larva mencerna konidia yang telah diberi perlakuan UV dan panas untuk menginaktivasi konidia agar tidak berkecambah. KESIMPULAN Isolat lokal cendawan entomopatogen Nomuraea sp. dan B. bassiana berpotensi sebagai larvasida terhadap Culex sp. Formulasi cendawan dalam bentuk filtrat lebih efektif dibandingkan formulasi tepung konidia. DAFTAR PUSTAKA Abbott WS, 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. Journal of Economic Entomology 18:265–266. Alves, S.B. dkk., 2002. Potential of some Metarhizium anisopliae isolates for control of Culex quinquefasciatus (Dipt., Culicidae). Journal Of Applied Enthomology 126:504–509. Bhullar, N., Jacob Maikere, 2010. Challenges in Mass Drug Administration for Treating Lymphatic Filariasis in Papua, Indonesia. Parasites and Vectors 3:70. Campos, J. dan Carlos F S Andrade. (2003). Larval susceptibility of Aedes aegypti and Culex quinquefasciatus populations to chemical insecticides. Revista De Saúde Pública 37(4), 523-527. Charnley, A.K., 2003. Fungal pathogens of insects: cuticle degrading enzymes and toxins. Advances In Botanical Research 40:241-321. Kikankie, C. dkk., 2010. The infectivity of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana to insecticide-resistant and susceptible Anopheles arabiensis mosquitoes at two different temperatures. Malaria Journal 9:71. Lacey, L.A., R. Frutos, H.K. kaya, and P. Vail, 2001. Insect Pathogens as Biological Control Agents: Do They Have a Future?. Biological Control :21:230-248. Scholte, E.J., Knols, B.G.J.K. Samson,R.A and Takken, W., 2004. Entomopathogenic fungi for mosquito control: a review. Journal of Insect Science 4:19. Singh, G dan Soam Prakash, 2010. Fungi Beauveria bassiana (Balsamo) metabolites for controlling Malaria and Filaria in Tropical countries. Advances In Biomedical Research 21: 238-242. Singh, G., Soam Prakash, 2014. New prospective on fungal pathogens for mosquitoes a and vectors control technology. Journal of Mosquito Research 4(7):36-52. Soni, N. dan S. Prakash, 2012. Larvicidal effect of Verticillium lecanii metabolites on Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti larvae. Asian Pacific Journal Of Tropical Disease 2(3):220-224. Sudomo, A., Ali Izhar dan Sri Oemijati, 2002. Lymphatic Filariasis in Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan 1(1):37-43.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
7
World Health Organization, 2001. Defining The Roles Of Vector Control And Xenomonitoring In The Global Programme To Eliminate Lymphatic Filariasis. Report of The Informal Consultation, Communicable Disease Control, Prevention and Eradication Parasitic Diseases and Vector Control. Geneva: World Health Organization World Health Organization, 2005. Guidelines for laboratory and field testing of mosquito larvicides. WHO/CDS/ WHOPES/GCDPP/2005. 13. World Health Organization,2007. Global Plan to combat Neglected Tropical Diseases, 2008–2015.WHO/CDS/NTD/2007.3. World Health Organization, 2009. Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis. Weekly Epidemiological Record 79:417-424. Yasmin, Y dan Leni Fitri, 2010.The effect of Metarhizium anisopliae fungi on Mortality of Aedes Aegyti larvae. Jurnal Natural 10:1. Zulfiana, D., Titik Kartika, Didi Tarmadi, 2009. Pengaruh komposisi media fermentasi Metarhizium sp. terhadap mortalitas larva Aedes Aegypti. Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Zulfiana D, D. Tarmadi, M. Ismiyati dan S. Yusuf, 2010. Pathogenicity of M.anisopliae to subterranean termites Coptotermes sp. Pathogenicity of M. anisopliae, 2010. Proceeding of The Seventh Conference of The Pacific-Rim Termite Research Group 5:6-11.
8
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
TERMITICIDAL ACTIVITY OF AN EXTRACT OF Brugmansia candida LEAVES AGAINST A SUBTERRANEAN TERMITE Coptotermes gestroi Wasmann AND A DRYWOOD TERMITE Cryptotermes cynocephalus Light Didi Tarmadi1,*, S. Khoirul Himmi1,2, Sulaeman Yusuf1, Deni Zulfiana1, Ikhsan Guswenrivo1, Arief Heru Prianto1, Apriwi Zulfiri1 1
Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jl. Raya Bogor KM. 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia 2 Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH), Kyoto University, Gokasho, Uji, Kyoto 611-0011, Japan *Corresponding author:
[email protected] ABSTRACT Termiticidal activity of B. candida leaves against a subterranean termite Coptotermes gestroi and a drywood termite, Cryptotermes cynocephalus were conducted. The extraction of B. candida leaves resulted in three major fractions, nhexane, ethyl acetate and aquadest. Bioassay against C. gestroi and C. cynocephalus were evaluated by a no-choice feeding test, JWPA no 12 1992 and forced-feeding test, respectively. The result of bioassay against C. gestroi and C. cynocephalus indicated that n-hexane fraction and ethyl fraction delivered higher termite mortality compared to the aquadest fraction. The results of soil treatment against C. gestroi also indicated that all fractions of B. candida were not able to meet proper efficacy. Weight loss of the samples was not significantly different between the three fractions in bioassay against C. gestroi, but the weight-loss results were significantly related to concentration. The weight loss of the samples after bioassay against C. cynocephalus suggested that the nhexane and ethyl acetate fractions delivered moderate protection at the highest concentration tested, while the aquadest fraction delivered low efficacy. Keywords: termiticidal activity, Brugmansia Cryptotermes cynocephalus.
candida,
Coptotermes
gestroi,
INTRODUCTION Termites are widely considered destructive polyphagous insect pests, which largely damage house-hold materials, finished goods, plants and agricultural crops such as sugarcane, millet, barley and paddy (Elango et al. 2012). The Asian subterranean termite, Coptotermes gestroi, is a major pest in the Asia Pacific region, recognized as a destructive and economically important species (Scheffrahn and Su, 2000). Another important termite species in the region is the Indo-Malaya drywood termite, Cryptotermes cynocephalus. Both termites cause serious damage to buildings and structures, estimated at more than $400 million per year in Southeast Asia alone (Yeap et al. 2011). Subterranean termite control is very important to protect structures and its components. The control options include wood treatments, soil barrier treatments, and population control using bait systems (Himmi et al. 2012). However, most termicides are chemicals identified as Persistent Organic Pollutants (POPs) such as aldrin, coldrane, dieldrin, endrin, etc. (UNEP, 2000). The utilization of plant extractives as Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
9
natural preservatives is the appropriate solution along with the rising corcern toward a sustainable green-environment. The effort on developing some suitable natural preservatives aims to reduce the use of chemicals-toxic pesticide (Tarmadi et al. 2010). Plant extracts have been reported to have repellent and toxic effect against termite (Bläske and Hertel, 2001), and can be promising alternatives for pest control in the future (Ohmura et al. 20120. Crude extracts of B. candida leaves has been reported to have insecticidal actitvity against subterranean termite C. gestroi (Tarmadi et al. 2007). The aim of this study was to evaluate termiticidal activity of B. candida leaves against a subterranean termite C. gestroi and a drywood termite, C. cynocephalus. MATERIALS AND METHODS Fractionation Procedure B. candida was obtained from Bogor, Indonesia. Leaves of B. candida were sun dried and powdered through 40 mesh screen. 2500 g leafpowder was macerated using methanol, and filtrate collected and separated from residue. The filtrate was evaporated by rotary evaporator (RV 10 Digital, IKA Works GmbH & Co., Germany) at 40 0C to obtain dried extract. 200 g dried extract was dissolved on 600 ml aquadest and n-hexane (1:1) solution and extracted by separating funnel. Aquadest fraction was separated and added by 300 ml ethyl acetate (EA) for further extraction. Bioassay Test Bioassay against C. gestroi was referred to no-choice feeding test according to Ohmura et. al. (2000). A test container was made of a glass petri dish (rim diameter 6cm height 5cm) with 3 mm hard plaster of Paris at the bottom and moistened with 2 ml of deionizer water. Paper discs (diameter 13 mm; Whatman International) were permeated with extract fraction of B. candida in various concentrations 1%, 2%, 3%, 4% and 5% (w/v). The treatment retention was 1.0% (w/w) per disc. The control discs were untreated. The discs were dried at 60~ for 12h followed by drying in a vacuum desiccator for 1 day. Fifty workers and 5 soldiers, and treated paper disc were entered into a test container. Bioassay was carried out for 14 days. Termite mortality was observed every two days and in the final period observation, the mass loss of paper disc was evaluated. Soil barrier: extract fractions were mixed with methanol at various concentrations (1%; 2%; 3%; 4% and 5%) for the soil barrier test. Each treatment (2.5 ml) was mixed with 7 g of 20 mesh sandy soil. Soil treatments were made 48 h before each test to allow the solvent to evaporate. Not-treated sandy soil was used as control for this experiment. “Bottle H” test units, designed according to JWPA Standard 13 (1992), were used to evaluate horizontal tunnelling by termites. Sandy soil was used as supplementary,easy access for termites toward the test substances. One hundred and fifty workers and 15 soldiers were placed in one side of the bottle H glass container, while rubber wood (20 mm x 20 ml x 10 mm) was placed in the opposite side as food. Bottle H units were kept in a dark place with controlled temperature 28 + 2 C and humidity above 85%. The test was held for 21 days and observations conducted every day by recording the length of tunnel penetration (mm) made by termites. Termite survival rate was observed after the test.
10
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Table 1. Efficacy Parameter of Soil Barrier Test Penetration (cm) Score 0 0 0,1 - 1,0 1 1,1 - 2,0 2 2,1 - 3,0 3 > 3,0 4
Efficacy criteria Very High High Moderate Low Ineffective
Bioassays against C. cynocephalus were carried out by non-choice feeding test. Wood samples with dimension of 2 cm × 2 cm × 1 cm were treated with extract fractions of B. candida in various concentrations 1%, 2%, 3%, 4% and 5% (v/v), and then placed into a glass box size 4 × 4 × 4-cm with 50 workers and 5 soldier. Termite mortality was observed once per week for 6 weeks and termite mortality and weight loss of wood sample (rubber wood) was determined at the end of test. Generalization of efficacy level was conducted based on efficacy criteria presented in table 2. Table 2. Efficacy/durability criteria against drywood termite Class Efficacy/Durability Weight loss (%) I Sound < 2.0 II High 2.0 – 4.4 III Moderate 4.4 – 8.2 IV Low 8.2 – 28.1 V Susceptible > 28.1 Statistical Analysis The relationship test between concentration and mortality was carried out by linear regression (P < 0.05), while comparison of mortality rates and weight lost of the samples between the three fractions (n-Hexane, ethyl acetate, and aquadest) were analyzed by using ANOVA (Tukey’s test, P < 0.05) (SPSS PASW 18.0). RESULTS AND DISCUSSION Fig.1. Shows termite mortality by extract fraction derived from B. candida leaves at various concentrations. n-Hexane fraction was very toxic agaisnt C. gestroi as it delivered 100% mortality at concentration 3% and more, and the data indicated mortality was not significantly related with concentration (R 2= 72,8%, p = 0.06) (P < 0.05). Unlike n-hexane, both ethyl acetate and aquadest showed relation between concentration and mortality (R2= 95,0%, p = 0.005 and R2=98,7, p = 0.01, respectively) (P < 0.05). The higher the concentration, the higher mortality rate.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
11
Termite mortality (%)
100 80 60 40 20 0 0 1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5% Untreated
n-Hexane
Ethyl acetate Fraction
Aquadest
Figure 1. Daily observation of mortality rate of subterranean termite, C. gestroi Fig. 1 Shows that n-Hexane fraction delivered higher mortality than either the ethyl acetate or aquadest fractions at the same concentration. The data suggest significantly different mortality between the fractions of n-Hexane, ethyl acetate and aquadest (p = 0.002, Tukey`s test: P < 0.05). The n-Hexane fraction indicated no significant difference with the ethyl acetate fraction (p = 0.538, Tukey`s test: P > 0.05), but was significantly different from the aquadest fraction, (p = 0.02, Tukey`s test: P < 0.05). Based on this result we conclude, that the n-hexane and ethyl acetate fractions have higher termiticidal activity against subterranean C. gestroi compared to the aquadest fraction. Table 3. Efficacy criteria of extract fraction derived from B. candida leaves after 3 weeks Concentration Fraction Penetration (cm) Score Efficacy criteria (%) Untreated 0 5±0 4 Ineffective 1 5±0 4 Ineffective 2 5±0 4 Ineffective n-Hexane 3 5±0 4 Ineffective 4 5±0 4 Ineffective 5 3,77±0,38 4 Ineffective 1 5±0 4 Ineffective 2 5±0 4 Ineffective Ethyl 3 5±0 4 Ineffective acetate 4 5±0 4 Ineffective 5 4,63±0,35 4 Ineffective 1 5±0 4 Ineffective 2 5±0 4 Ineffective Aquadest 3 5±0 4 Ineffective 4 5±0 4 Ineffective 5 5±0 4 Ineffective 12
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Termite mortality (%)
Table 3 Shows the efficacy criteria of the extract fraction derived from B. candida leaves after 3 weeks. The results show that the extract fraction from B. candida leaves (n-hexane, ethyl acetate and aquadest fraction) at concentration of 1%, 2%, 3%, 4%, 5% were classified as ineffective. It was indicated that the termiticidal activity of the extract fraction derived from B. candida leaves is not suitable as a soil barrier. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
0
1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5%
Untreated
n-Hexane
Ethyl acetate Fraction
Aquadest
Figure 2. Mortality of drywood termite, C. cynocephalus after 3 weeks in bioassay.
Weight Loss (%)
60 50 40 30 20
10 0 0
1
Untreated
2
3
4
n-Hexane
5
1
2
3
4
Ethyl acetate Fraction
5
1
2
3
4
5
Water
Figure 3. Weight loss of the samples after 14 days in bioassay with C. gestroi Fig. 2 displays the mortality of C. cynocephalus after 3 weeks in bioassay on wood treated with an extract of B. candida leaves at various concentrations. The nHexane fraction delivered 100% termite mortality at 4% and 5% concentration, while the ethyl acetate fraction delivered 90,67% and 99,3% respectively. The aquadest fraction delivered lower mortality than n-hexane and ethyl acetate fractions, as it caused 73,33% mortality at 5% concentration. The data suggest that mortality was significantly different between the fractions (p = 0.031, Tukey`s test: P < 0.05). Mortality rate of nHexane fraction was not significantly different from the ethyl acetate fraction (p =
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
13
0.471, Tukey`s test: P < 0.05) but was significantly different than the aquadest fraction (p = 0.026, Tukey`s test: P < 0.05). The result was in accordance with the C. gestroi bioassay, suggesting that the n-hexane and ethyl acetate fractions have better termiticidal activity than aquadest fraction. Table 4. Sample weight loss after termite bioassay Fraction Untreated
Concentration (%)
Weight loss (%)*
0 10,21±0,88 1 9,89±0,74 2 9,44±0,37 n-Hexane 3 8,82±0,32 4 8,06±0,13 5 7,09±0,78 1 10,53±0,31 2 10,06±0,93 Ethyl acetate 3 9,53±0,42 4 9,04±0,28 5 8,09±0,11 1 10,95±0,72 2 10,39±0,37 Aquadest 3 9,92±0,25 4 9,47±0,13 5 8,89±0,13 * Values are means ± standard deviations from three replications.
Efficay (Class) Low (IV) Low (IV) Low (IV) Low (IV) Moderate (III) Moderate (III) Low (IV) Low (IV) Low (IV) Low (IV) Moderate (III) Low (IV) Low (IV) Low (IV) Low (IV) Low (IV)
Fig. 3 shows the mortality of C. gestroi the after 14 days in bioassay. The results suggest there were no significant differences between fractions (p = 0.095, Tukey`s test: P < 0.05), thus generalization for efficacy performance of the fractions should rely on termite mortality. Weightloss was significantly related with concentration in all fractions (linear regression test, P < 0.05), n-Hexane (R2= 98,6%, p = 0.001), ethyl acetate (R2= 94,9%, p = 0.005) and aquadest (R2= 94,9%, p = 0.005). The higher the concentration, the lower the weight-loss and the better protection provided by the fractions. Table 4 shows weight loss of the samples after the force-feeding test against C. cynocephalus. Generalization of efficacy performance was evaluated according to scale on table 1. The data suggested that the n-hexane fraction delivered moderate efficacy at the 4% concentration and more, while the ethyl acetate fraction provided moderate efficacy at the 5% concentration. Other concentrations provided lower efficacy, and all treatments of aquadest fraction did not meet the standard. Linear regression analysis (P < 0.05) indicated that weight loss was significantly related with concentration in all fractions, n-Hexane (R2= 98,0%, p = 0.01), ethyl acetate (R2= 97,7%, p = 0.001) and aquadest (R2= 92,3%, p = 0.009). The higher the concentration, the lower the weightloss and the better protection was provided by the fractions.
14
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
SUMMARY The extraction of B. candida leaves resulted in three major fractions, n-hexane, ethyl acetate and aquadest. Based on the bioassay of the extract of B. candida leaves against C. gestroi and C. cynocephalus the n-hexane and ethyl fraction had better termiticidal activity compared to the aquadest fraction. The results also indicated that all fractions of B. candida were not suitable for soil treatment. REFERENCES Bläske VU., H. Hertel. 2001. Repellent and Toxic Effects of Plant Extracts on Subterranean Termites (Isoptera: Rhinotermitidae). Journal of Economic Entomology 94 (5), 1200-1208. Elango, G., AA. Rahuman, C. Kamaraj, A. Bagavan, A. Abduz Zahir, T. Santhoshkumar, S. Marimuthu, K. Velayutham, C. Jayaseelan, A. Vishnu Kirthi, G. Rajakumar. 2012. Efficacy of medicinal plant extracts against Formosan subterranean termite, Coptotermes formosanus. Industrial Crops and Products 36, 524–530. Himmi, SK., D.Tarmadi, M. Ismayati, S. Yusuf. 2012. Bioefficacy performance of neem-based formulation on wood protection and soil barrier against subterranean termite, Coptotermes gestroi Wasmann (Isoptera: Rhinotermitidae). Pro. Env. Sci 17, 135–141. Ohmura W., D. Shuichi, M. Aoyama, S. Ohara. 2012. Antifeedant activity of flavonoids and related compounds against the subterranean termite Coptotermes formosanus Shiraki. J Wood Sci 46 (2), 149-153. Scheffrahn RH, & Su NY. 2000. Asian Subterranean Termite, Coptotermes gestroi (=havilandi) (Wasmann) (Insecta: Isoptera: Rhinotermitidae). University of Florida IFAS Extension (EENY128): 1-5. Tarmadi, D., M. Ismayati, SK. Himmi, S. Yusuf. 2010. Antitermite activitiy of Carbera manghas L seeds extracts. Proc. the 7th Pacific Rim Termite Research Group. Singapore, 28-31. Tarmadi, D., AH. Prianto., I. Guswenrivo., T. Kartika., S. Yusuf. 2007. Influence of Bintaro (Carbera odollam Gaertn) and Kecubung (Brugmansia candida Pers) Extract against Subterranean Coptotermes sp. (in Indonesian). J. wood sci. tech 5 (1): 38 – 42. UNEP/FAO/Global IPM Facility Expert Group on Termite and Biology Management. 2000. Finding Alternatives to Persistent Organic Pollutants (POPs) for Termite Management. United Nations Environment Programme (UNEP). Yeap BK, AS. Othman AS, CY. Lee. 2011. Genetic Analysis of Population Structure of Coptotermes gestroi (Isoptera: Rhinotermitidae) in Native and Introduced Populations. Environmental Entomology 40 (2): 470-476.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
15
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM VERTIKAL Mohamad Gopar dan Ismadi Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia ABSTRAK Konsep vertical garden city (sistem taman vertikal) merupakan sebuah tren baru dewasa ini didalam dunia arsitektur tata ruang perkotaan (landscaping) dan dapat diaplikasikan dalam skala perumahan pada daerah sub-urban. Salah satu permasalahan yang ada pada pengembangan sistem ini adalah material untuk media tanam. Modul atau media tanam, umumnya terbuat dari bahan polimer seperti polipropilena atau bahan sintetis geo-tekstil. Disamping bahan sintetis tersebut, bahan alam seperti pohon pakis (Cycas rumphii miq) dapat dijadikan sebagai modul media tanam vertikal. Namun, bahan-bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan, mahal, bahkan tanaman pakis merupakan pohon konservasi yang dilindungi pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan alternatif media tanam yang dapat mensubstitusi material konvensional yang ada. Pada penelitian ini dibuat sebuah modul media tanam vertikal yang terbuat dari serat alam yaitu pelepah kelapa sawit dan bambu. Teknologi yang dikembangkan merupakan teknologi pembuatan papan komposit namun dengan kerapatan (densitas) yang rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan modul media tanam vertikal dari batang pakis. Bahan yang digunakan adalah partikel bambu dan pelepah kelapa sawit yang sebelumnya dilakukan perlakuan rendaman dalam air selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu baru dibuat komposit dengan kerapatan 0.4 g/cm 3. Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 12%. Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 2 cm pada suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan acuan standar JIS A-5908. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman pangan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi komposit serat alam sebagai media tanam vertikal yang memenuhi kebutuhan pasar seperti karakteristik kekuatan, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, estetika serta kelayakan ekonomis. Dampak lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, pengembangan sistem pertanian modern (garden agriculture) serta menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman. Kata kunci: sistem tanam vertikal, media tanam, pelepah kelapa sawit dan bambu, komposit. PENDAHULUAN Pertumbuhan pembangunan perkotaan di negara maju yang kian pesat mengakibatkan daerah perkotaan semakin kehilangan area hijau nya. Keberadaan ruang terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun berkisar -22755.3 hektar (-159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan 16
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
sebagai areal urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24411.0 hektar (72.7 %). (Suwargana, 2005). Kondisi pemukiman yang padat memiliki andil negatif dalam kehidupan perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan. Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga, 2011). Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah. Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa ketempat pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi yang akan dibuat taman vertikal. Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam (biokomposit). Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003 dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah, meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM. METODE DAN BAHAN Pelepah kelapa sawit dan sagu yang masih basah dibersihkan dari daun-daun yang terikut. Pelepah kemudian di pipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga pelepah terpipihkan dan sebagian cairan yang terkandung pada pelepah akan terpisahkan. Serat pelepah kelapa sawit kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 5-6 cm mempergunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oCatau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam kantong plastik kedap udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
17
perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Bambu betung basah dengan umur tanam 5 tahun dipotong-potong dengan ukuran kurang lebih 2 meter kemudian dibelah dua untuk bambu berdiameter kecil (<7 cm) yang berdiameter besar (>7 cm) dibelah empat. Bambu setelah dibelah kemudian dipipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga diperoleh serat bambu. Serat kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-6 cm dengan menggunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oC atau dijemur hingga kadar airnya +5%. Serat kering disimpan dalam plastic kedap udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hinggakadarairnya -+5%. Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebanyak 12% berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul panel komposit yang dibuat adalah 0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3 cm. Selanjutnya sampel diuji fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 59082003. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman tanaman hias. Panel komposit untuk uji tanam dibuat modul media tanam vertikal yaitu panel dicetak dengan cetakan yang salah satu permukaannya dibuat beralurl. Cetakan tersebut berbahan aluminium dengan panjang 155 cm, lebar 55 cm dan beralur dengan kedalaman alur 1,5 cm. Untuk mendapatkan modul tanaman vertikal dengan ketebalan 3,5 cm, digunakan pembatas /stopper. Setelah dikempa panas, komposit tersebut dirapihkan dengan dipotong keempat sisi pinggirnya. Ukuran yang diinginkan adalah panjang 150 cm dan lebar 48 cm. Selanjutnya untuk menyesuaikan dengan kondisi penanaman, modul komposit untuk tanaman vertikal dilubangi dengan diameter 10 mm dan jarak 10 cm. Lubang ini digunakan sebagai tempat meletakkan tanaman. Letak lubang-lubang pada modul komposit menyesuaikan dengan pola-pola tanaman yang diinginkan, sehingga membentuk pola gambar yang indah. Proses selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan modul tanaman vertikal adalah seting modul pada bingkai. Bingkai yang digunakan berbahan baja ringan galvanis dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 49 cm dan tebal 4 cm. Modul komposit yang telah berpola pada bidang belakang (bagian berprofil) dibungkus dengan filter geotextile kemudian dimasukkan pada bingkai plat baja ringan. Lapisan geotextile ini berfungsi sebagai alas/filter cairan hara dari kompos. Proses selanjutnya adalah pengisian modul tanaman vertikal dengan media tanam yang berupa kompos dan pupuk organik. Selanjutnya modul tanaman vertika disiram air dan ditanami sesuai pola warna tanaman yang diinginkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Fisik Mekanik Kuat Lentur (MOR) Nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 0,85 – 2,68 MPa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit serat bambu yang direndam 4 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit
18
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
dari serat pepelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. 3
2.46
Modulus of Rupture
2.5
2.68 2.07
2
1.5
1.06
1
0.85
1.08
0.5 0 Pelepah Pelepa 4 Pelepah Bambu 2 Bambu 4 Bambu 6 2 minggu minggy 6 minggu minggu minggu minggu
Gambar 1. Grafik MOR vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat Berdasarkan data pada Gambar 1 nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapasawit dengan penambahan waktu rendam cenderung turun kemudian naik lagi dan papan komposit serat bambu cenderung naik kemudian turun. Hal ini menujukkan bahwa penambahan waktu rendam mempengaruhi ikatan antara serat dengan perekat Phenol Formaldehyde (PF) Berdasarkan data pada Ganbar 1 Nilai MOR untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOR. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOR yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. Modulus Elastisitas (MOE) Nilai modulus elastisitas dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 88,59 – 222,26 Mpa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam selama 2 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. 250
222.26
220.97
203.89
Modulus of Elasticity
200 150 101.62 100
88.59
99.47
50 0 Pelepah Pelepa 4 Pelepah Bambu 2 Bambu 4 Bambu 6 2 minggu minggy 6 minggu minggu minggu minggu
Gambar 2 Grafik MOEvs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
19
Berdasarkan data pada Ganbar 2 Nilai MOE untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 2 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOE. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOE yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.
Thickness Swelling
Thickness Swelling Nilai pengembangan tebal dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 6,36 – 14,26 %. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam selama 6 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14.26
11.2 7.49
7.15
6.36
7.55
Pelepah Pelepah Pelepah Bambu 2 Bambu 4 Bambu 6 2 mingu 4 minggu 6 minggu minggu minggu minggu
Gambar 3. Grafik TS vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat. Berdasarkan data pada Ganbar 3 Nilai TS untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai terendah yang paling bagus. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai TS. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai TS yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. Karakterisasi Kualitatif Untuk modul media tanam telah dicoba ditanami tanaman hias. Uji coba tanam pada modul media tanam ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5. Dari uji tanam tersebut diketahui bahwa modul tanaman vertical dari bahan serat bambu yang direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu, tanaman bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan, sedangkan dari uji tanam pada modul dari bahan pelepah kelapa sawit yang direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu setelah seminggu mati kemudian ditanami lagi seminggu kemudian mati, kemudian ditanami lagi sudah bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan (Gambar 5).
20
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
(a) (b) (c) Gambar 4. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat bambu direndam 2 minggu; (b) serat bambu direndam 4 minggu; (c) serat bambu direndam 6 minggu.
(a) (b) (c) Gambar 5. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat pelepah kelapa sawit direndam 2 minggu; (b) serat pelepah kelapa sawit direndam 4 minggu; (c) serat pelepah kelapa sawit direndam 6 minggu. Dari Gambar 5 dan gambar 6 terlihat bahwa dalam masa tanam +- 3 minggu, modul media tanam dari serat bambu memiliki kemampuan tanam yang bagus. Dan modul media tanam dari serat pelepah kelapa sawit memiliki mampu tanam yang rendah. Dari hasil uji coba tanam, terlihat bahwa semakin semakin lama direndam makin bagus tingkat pertumbuhannya. Meskipun semua komposit yang dibuat bisa ditanami akan tetapi yang lebih bagus yang memiliki nilai MOR yang tertinggi dan yang memiliki nilai TS terendah. Papan komposit yang akan diproduksi untuk modul media tanam vertikal serat bambu sebelum di cetak jadi komposit direndam air dahulu selama 4 minggu. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa papan komposit serat alam dapat dimanfaatkan sebagai media tanam vertikal. Perlakuan terbaik secara mekanik dan memenuhi syarat untuk penanaman adalah perlakuan perendaman serat bambu
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
21
selama 4 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan mekanik papan komposit, dapat dilakukan dengan pembuatan penampang papan komposit yang berprofil atau beralur. DAFTAR PUSTAKA Cochrane T, 2010, Growing up the wall, The Guru, 36, pp. 04-06 Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from renewable resources: Opportunities and challenges in the green materials world. J. Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26. Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in polylactic acid (PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 13171324. Suwargana, N. dan Susanto Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005. Taman vertikal V-ga,2010/11, http://www.facebook.com/pages/Taman-Vertikal-Vga/125313897553090. Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass In Fibre Reinforced Plastics. Composites Science and Technology 63: 1259-1264. Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.
22
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM VERTIKAL M. Gopar dan Ismadi Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia ABSTRAK Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil penelitian mengenai modul media tanam vertikal yang terbuat dari serat alam. Modul media tanam vertikal merupakan pengembangan papan komposit dari serat alam yang digunakan sebagai media tanam. Serat yang digunakan adalah serat bambu dan akar pakis. Teknologi yang dikembangkan merupakan teknologi pembuatan papan komposit dengan kerapatan rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan media tanam alami secara umum. Bahan yang digunakan adalah serat akar pakis, dan serat bambu dengan kerapatan komposit 0.3 g/cm3. Rasio komposisi serat akar pakis dan serat bambu yang digunakan adalah 100:0, 75:25, 50:50, 25:75, 0:100. Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 10%. Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 3 cm pada suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan acuan standar JIS A-5908, untuk mengetahui nilai MOR (Modulus Of Rupture), MOE ( Modulus of Elasticity), SW (Screw With Drawl) dan TS (Thickness Swelling). Dari uji mekanik didapatkan nilai MOE dan MOR tertinggi sebesar 102.39 MPa dan 1.79 MPa untuk komposisi 75% serat pakis dan 25 % serat bambu. Nilai SW tertinggi dan TS terendah adalah pada komposisi 100% serat bambu sebesar 131.961 N, TS sebesar 4.7%. Untuk uji kemampuan hidup tanaman digunakan bermacam jenis tanaman hias. Uji coba pada modul dari bahan campuran 25% serat bambu dengan 75% akar pakis, memiliki kemampuan tanam yang bagus bagi tanaman. Kata kunci : sistem tanam vertikal, media tanam, serat pakis, serat bambu. PENDAHULUAN Pembangunan di daerah perkotaan telah memaksa menyusutnya ruang terbuka hijau (RTH). Sebagai contoh Kota Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun berkisar 22755.3 hektar (159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan sebagai areal urban, dimana area urban mengalami kenaikan berkisar 72.7 %. (Suwargana, 2005). Kondisi pemukiman yang sesak tersebut memiliki andil negatif dalam kehidupan perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan. Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga, 2011). Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
23
Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah. Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa ketempat pemasangannya. Selagi dilakukan persemaian, dilakukan persiapan pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi yang akan dibuat taman vertikal. Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam (biokomposit). Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003 dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah, meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM. METODE DAN BAHAN Sebagai bahan penguat digunakan kombinasi serat alam yang berupa serat bambu betung ukuran 5-6 cm dan akar pakis. Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebesar 10% berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul panel komposit yang dibuat adalah 0.3-0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3 cm. Perbandingan komposisi serat akar pakis terhadap serat bambu yang digunakan adalah 100, 75, 50, 25 dan 0%. Selanjutnya sampel diuji karakteristik fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 5908-2003. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Fisik Mekanik Nilai hasil pengujian bending yang meliputi nilai MOR dan MOE ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 1 dan 2.
24
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Modulus of Rupture (N/mm2)
2 1.5 1 0.5 0 Pakis 100%
Pakis 75% Pakis 50% Pakis 25% Bambu 100% Komposisi Serat Pakis- Bambu
Gambar 1. Grafik MOR vs Komposisi komposit akar pakis-bambu.
Modulus of Elasticity (N/mm2)
Dari hasil pengujian didapatkan nilai MOR & MOE komposisi 75% akar pakis dan 25 % serat bambu memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 1.78 MPa dan 102,39 MPa. 120 100 80 60 40 20 0 Pakis Pakis 75%Pakis 50%Pakis 25% Bambu 100% 100% Komposisi Serat Pakis-Bambu
Gambar 2. Grafik MOE vs Komposisi komposit akar pakis-bambu. Dari nilai MOR dan MOE terlihat adanya kecenderungan komposisi papan komposit yang memiliki nilia-nilai tertinggi, yaitu komposisi akar pakis 75%, bambu 100% dan akar pakis 100%. Meskipun demikian nilai MOE yang dimiliki masihlah terlalu rendah. Untuk meningkatkan nilai MOE modul tanaman vertikal, digunakan cetakan berprofil. Dari pengujian tarik sekrup didapatkan nilai seperti yang ditunjukan oleh Gambar 3.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
25
Screw Withdrawl (N)
140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 Pakis 100%
Pakis 75% Pakis 50% Pakis 25%
Bambu 100%
Komposisi Serat Pakis - Bambu
Gambar 3. Grafik SW vs Komposisi komposit akar pakis-bambu. Dari Gambar 3 didapatkan hasil tertinggi untuk SW adalah komposisi 100% serat bambu sebesar 131.96 N, diikuti oleh komposisi 25% akar pakis sebesar 96.63 N. Nilai paling rendah dimiliki oleh komposisi 75% akar pakis , sebesar 31.09 N. Gambar 4 menunjukkan nilai pengembangan tebal papan komposit yang diuji.
Thickness Swelling (%)
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Pakis 100% Pakis 75% Pakis 50% Pakis 25%
Bambu 100%
Komposisi Serat Pakis- Bambu
Gambar 4. Grafik TS vs Komposisi komposit akar pakis-bambu. Dari Gambar 4 terlihat bahwa nilai pengembangan tebal tertinggi dimiliki oleh komposisi akar pakis 100% dan nilainya makin mengecil seiring dengan konsentrasi akar pakis. Nilai TS untuk 100% akar pakis adalah 12.99%, diikuti oleh komposisi 75% akar pakis sebesar 10%, dan yang paling rendah adalah komposisi 100% bambu yaitu 4.7%. Karakterisasi Kualitatif Untuk modul media tanam telah dicoba ditanami tanaman hias. Uji coba tanam pada modul media tanam ditunjukkan oleh Gambar 5. Dari uji tanam tersebut diketahui bahwa modul tanaman vertical dengan komposisi bahan 100% serat bambu, tanaman bisa hidup hingga satu minggu tapi lama kelamaan mulai layu. Uji coba pada modul dari bahan campuran bambu 50% dengan 50% akar pakis selama tiga minggu bisa hidup bagus tapi lama kelamaan layu. Uji coba pada modul dari bahan campuran 25% 26
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
serat bambu dengan 75% akar pakis bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan. Dengan demikian, meskipun modul tanaman dengan komposisi bambu 100% memiliki nilai MOR dan MOE yang tinggi, tidak digunakan untuk produksi modul tanaman selanjutnya karena tidak begitu baik dalam uji coba penanaman.
(a) (b) (c) Gambar 5. Uji coba penanaman ; usia tanam 2 bulan. (a) 100% serat bambu (b) 25% serat bambu dengan 75% akar pakis pakis, (c) 50% serat bambu dengan 50% akar pakis Dari Gambar 5 tersebut terlihat bahwa dalam masa tanam +- 2 bulan, modul tanam dengan komposisi terbesar pakis 75% memiliki kemampuan tanam yang bagus. Dan modul tanam dengan komposisi bambu yang tinggi memiliki mampu tanam yang rendah. Dari hasil uji coba tanam, terlihat bahwa semakin tinggi kandungan serat bambu maka makin tinggi tingkat kematian tanaman. Pada modul media tanam dengan kandungan serat bambu yang tinggi, dalam waktu lama terkena air akan timbul jamur yang bersifat toksik sehingga menyebabkan tanaman mati. Sehingga dari hasil uji coba tanam tersebut, komposisi yang memiliki kandungan pakis 100%, dan 75 % digunakan sebagai media tanam vertikal. Pemanfaatan Setelah dilakukan berbagai tahapan pengujian, mulai dari uji mekanik hingga uji tanam, modul tanaman vertical dibuat prototipenya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6 & 7.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
27
Gambar 6. Tanaman Sayuran pada media tanam vertical
Gambar 7. Pola tanaman hias yang siap digunakan. Modul tanaman vertikal tersebut bisa ditempatkan pada ruang-ruang terbatas. Baik di daerah pemukiman yang memiliki halaman sempit maupun pada pemukiman dengan system vertical (apartemen). Tanaman yang ditanampun bisa beragam sesuai dengan rancangan dan keinginan penghuni. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa papan komposit serat alam dapat dimanfaatkan sebagai media tanam vertikal. Komposisi terbaik secara mekanik dan memenuhi syarat untuk penanaman adalah komposisi pakis 75% akar pakis dan 25% serat bambu, dan komposisi 100% akar pakis. Untuk meningkatkan kekuatan mekanik papan komposit, dapat dilakukan dengan pembuatan penampang papan komposit yang berprofil. DAFTAR PUSTAKA Cochrane T, 2010, Growing up the wall, The Guru, 36, pp. 04-06 Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from renewable resources: Opportunities and challenges in the green materials world. J. Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26.
28
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in polylactic acid (PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 13171324. Suwargana, N. dan Susanto Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005. Taman vertikal V-ga,2010/11, http://www.facebook.com/pages/Taman-Vertikal-Vga/125313897553090. Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass In Fibre Reinforced Plastics. Composites Science and Technology 63: 1259-1264. Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
29
PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG KERANG PADA NON AUTOCLAVED-AERATED CONCRETE (NAAC) Utilization of Shells-waste in Autoclaved-aerated Concrete (AAC) Ananto Nugroho, Triastuti Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia ABSTRAK Beton aerasi dimana ruang udara yang terjebak dalam matrik motar dengan menggunakan agen aerating yang cocok dihasilkan dari semen atau kapur, pasir silica dan material pozolan dan diklasifikasikan sebagai beton ringan. Berdasarkan formasi pori, beton aerasi diklasifikasikan menjadi 3 group yaitu metode penambahkan gelembung udara (beton udara), metode menambah busa (beton busa) dan metode kombinasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan serbuk cangkang kerang dan fly ash sebagai material pengikat terhadap sifat-sifat fisik dan mekanik NAAC serta mengetahui komposisi tebaik dalam pembuatan NAAC. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa mix design no II menghasilkan kuat tekan yang paling tinggi yaitu sebesar 1,42 MPa dengan density kering rata-rata sebesar 887,71 kg/m3 dan kadar air rata-rata sebesar 4,77 % Kata kunci: non autoclaved-aerated concrete, kuat tekan, density, limbah cangkang kerang PENDAHULUAN Pengembangan teknologi bahan bangunan di negara-negara berteknologi tinggi bertujuan untuk menghemat biaya, penggunaan bahan-bahan yang tepat guna, mengurangi biaya-biaya listrik dan konsumsi bahan-bahan baku. [1-3] Beton aerasi dimana ruang udara yang terjebak dalam matrik motar dengan menggunakan agen aerating yang cocok dihasilkan dari semen atau kapur, pasir silica dan material pozolan dan diklasifikasikan sebagai beton ringan. Berdasarkan formasi pori, beton aerasi diklasifikasikan menjadi 3 group yaitu metode penambahkan gelembung udara (beton udara), metode menambah busa (beton busa) dan metode kombinasi [4]. Metode penambahan udara dibuat secara kimia dengan mencampurkan antara mortar kapur dan semen selama fase cair atau plastis, hasilnya akan menaikkan volume dan ketika gas nya keluar akan meninggalkan struktur yang berongga. Bahan kimianya dapat berupa Alumunium powder, hydrogen peroksida / bubuk pemutih dan kalsium carbide yang melepaskan hydrogen, oksigen, dan acetylene. Dari bahan-bahan kimia tersebut alumunium powder adalah yang biasa digunakan sebagai agen aerasi. Efisiensi dari alumunium powder dipengaruhi oleh kehalusan, kemurnian dan alkaline dari semen, dimana hal ini untuk mencegah keluarnya gas sebelum mortar mengeras. Metode menambahkan busa (beton busa) merupakan proses yang paling ekonomis dan pembentukan rongga udara dapat dikontrol [5,6] dimana tidak ada reaksi kimia yang dilibatkan. Pembentukan ronga-rongga udara diperoleh melalui mekanik dimana sebelum pembentukan busa (agen busa dicampur dengan campuran mortar). Variasi agen busa yang digunakan antara lain deterjen, resin sabun, resin lem, saponin, protein 30
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
hydrolysed seperti keratin dll [3]. Metode kombinasi merupakan metode dengan mencampurkan metode busa dan metode menambahkan udara dengan menggunakan alumunium powder dan glue resin [6]. Berdasarkan metode perawatan (curing) beton aerasi dapat dibagi dua yaitu non autoclaved (NAAC) atau autoclaved (AAC) [3]. Limbah cangkang kerang memiliki komposisi kimia seperti kapur pada semen karena mengandung kalsium oksida (CaO 66,7%), alumina (Al2O3 1,25%), besi III oksida (Fe2O3 0,03%), magnesium oksida (MgO 22,28%) dan senyawa silikat (SiO2 7,88%) [7]. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan serbuk cangkang kerang dan fly ash sebagai material pengikat terhadap sifat-sifat fisik dan mekanik NAAC serta mengetahui komposisi tebaik dalam pembuatan NAAC. Hasil penelitan ini diharapkan dapat menghasilkan NAAC sebagai bahan alternatif dari bata untuk bahan pengisi pada bangunan yang bernilai ekonomis dan lebih ramah lingkungan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan bahan-bahan semen Portland tipe I, Pulverized Fly Ash (PVA), serbuk kerang, pasir lokal dan alumunium powder. Pulverized Fly Ash (PVA) yang digunakan memiliki karakteristik SiO2 (45-51%), Al2O3 (27-32%), Fe2O3 (7 - 11 %) , CaO ( 1- 5 ), MgO ( 1- 4 %), K2O ( 1- 5 % ), Na2O3 ( 0,8 - 2 %) dan lolos saringan No.200. Sedangkan Alumunium Powder yang digunakan adalah Alumunium Powder teknis. Limbah cangkang kerang terlebih dahulu dibersihkan kemudian dibakar pada suhu 7000ºC selama 2 jam. Hasil pembakaran kemudian dihaluskan dengan menggunakan alat mortar sehingga dihasilkan serbuk kerang. Serbuk kerang yang digunakan dalam campuran AAC adalah serbuk yang lolos saringan No.100. Mix design yang dipakai dalam penelitian ini seperti yang terlihat pada Tabel 1. Benda uji yang digunakan adalah benda uji berbentuk silinder dengan diameter 3 inchi dan tinggi 6 inchi. Pasir, semen, Pulverized Fly Ash (PVA) , serbuk kerang dan alumunium powder diaduk sampai homogen. Setelah itu ditambahkan air dan diaduk sampai menjadi adukan pasta. Kemudian adukan beton dicetak ke dalam cetakan silinder dengan ukuran diameter 3 inchi dan 6 inchi. Campuran adukan beton yang dimasukkan ke dalam cetakan hanya setengah dari tinggi cetakan. Setelah 24 jam benda uji ditaruh dalam ruangan dengan suhu 230 C - 250 C. Tabel 1. Mix Design Bahan bahan Pasir Semen Pulverized Fly Ash Serbuk kerang Alumunium Powder
I 50 35 5 10 0.3
Persen (%) II 50 35 7.5 7.5 0.3
III 50 35 10 5 0.3
Dalam penelitian ini pengujian yang dilakukan meliputi dimensi benda uji, kuat tekan dan kadar air. Pengujian kuat tekan berdasarkan ASTM C-495. HASIL DAN PEMBAHASAN
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
31
Dimensi benda uji, metode pembentukan rongga-rongga udara, pembebanan langsung, umur, kandungan air, sifat-sifat bahan baku adalah faktor-faktor yang bepengaruh terhadap kuat tekan yang dihasilkan oleh beton aerasi [5, 8,9,10,11,12]. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil Pengujian Density Kering Rerata Kuat Tekan Rerata Kadar Air Rerata Kode Kg/m3 Mpa % I 950.07 1.30 7.06 II 887.71 1.42 4.77 II 735.96 1.10 5.10 Dari table 2 terlihat bahwa density kering rerata pada penelitian ini nilainya semakin menurun, hal ini dikarenakan adanya rongga-rongga makro (macropores). Rongga-rongga makro (macropores) terbentuk akibat adanya pengembangan berat yang disebabkan adanya udara yang terjebak dan terlihatnya rongga-rongga mikro (micropores) pada dinding antara rongga-rongga makro (macropores) [13]. Peningkatan kuat tekan sangat tergantung dari besarnya density [14]. Kenaikan kuat tekan berbanding lurus dengan kenaikan besarnya density [15]. Namun dalam penelitian ini didapat bahwa kuat tekan terbesar diperoleh pada benda uji dengan kode II sebesar 1.42 Mpa. Pada kuat tekan benda uji no II ini density yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan benda uji no I dan lebih besar dibandingkan dnegan benda uji no II. Hal ini bisa terjadi karena adanya penambahan Pulverized Fly Ash (PVA) yang bereaksi dengan Alumunium Powder menghasilkan rongga-rongga makro maupun mikro sehingga dihasilakan kadar air rata-rata yang lebih kecil dibandingkan dengan benda uji kode I dan III. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini didapat bahwa mix design no II menghasilkan kuat tekan yang paling tinggi yaitu sebesar 1,42 MPa dengan density kering rata-rata sebesar 887,71 kg/m3 dan kadar air rata-rata sebesar 4,77 % DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6]
32
Sanytsky M.A, Pozniak O.R, Marushchack U.D. Energy saving technologies in building. Lviv Polytechnic Publishing House, 2013 – 236 p Kryvenko P.V., Petropavlovskyy O.N., Gelevera O.H. Cement with a high contenct of mineral supplements, natural and anthropogenic. Construction of Ukraine. 2006. No. 1 p39-45 Narayanan N., Ramamurthy K. Structure and Properties of aerated concrete : a review. Cement and Concret Composite 22 (2000) 321-329. Poznyak, O., Melnyk, A. Non-Autoclaved aerated concrete madeof modified binding composition containing supplementary cementitious materials. Budownictwo I Architektura 13(2) (2014) 127-134. Valore RC. Cellular concrete-composite and methods of preparation. J. Am Concr Inst 1954: 25:773-95. Rudnai G. Light weight concrete. Budapest : Akademi Kiado 1963
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
[7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] 14] [15]
Siti Maryam. 2006. Pengaruh serbuk cangkang kerang sebagai filler terhadap sifat-sifat dari mortar. Skripsi. FMIPA. USU. Pospisil F, Jambor J, Belko J. Unit weight reduction of fly ash aerated concrete. In : Wittmann FH, editor. Advance in Autoclaved Aerated Concrete. A.A. Balkema, 1992. P. 43-52 Narayanan N. Influence of composition on the structure and properties of aerated concrete. M.S thesis. IT Madras, 199 Hanecka C, Koronthalyova O, Matiasovsky P. The carbonation of autoclaved aerated concrete. Cem. Concr Res 1997; 27:589-99. Isu N, Ishida H, Mitsuda T. Influence of quartz particle size on the chemical and mechanical properties of autoclaved aerated concrete-tobermorite formation. Cem Concr Res 1995; 25:243-8 Odler I, Robler M. Investigations on the relationship between porosity, structure and strength of hydrated Portland cement pastes : Effect of pore structure and degree of hydration. Cem Concr Res 1985;15:401-10. Alexanderson J. Relations between structure and mechanical properties of autoclaved aerated concrete. Cem Concr Res 1979; 9 : 507-14. Just and B. Middendorf, “Microstructure of high-strength foam concrete” Material Characterization, vol. 60, no7, pp 741-748. 2009. Hamad, A.J, Materials, Production, Properties and Aplication of Aerated Lightweight Concrete : Review. International Journal of Materials Sciences and Engineering Vol. 2. No. 2 . December 2014.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
33
PENGARUH RASIO AIR DAN BINDER DALAM PEMBUATAN NON AUTOCLAVED-AERATED CONCRETE (NAAC) Ananto Nugroho, Triastuti Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia ABSTRAK Beton aerasi dimana ruang udara yang terjebak dalam matrik motar dengan menggunakan agen aerating yang cocok dihasilkan dari semen atau kapur, pasir silica dan material pozolan dan diklasifikasikan sebagai beton ringan. Berdasarkan formasi pori, beton aerasi diklasifikasikan menjadi 3 group yaitu metode penambahkan gelembung udara (beton udara), metode menambah busa (beton busa) dan metode kombinasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh rasio antara air dan binder terhadap sifat-sifat fisik dan mekanik NAAC. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa kuat tekan terbesar sebesar 2 Mpa dengan persentase serbuk kerang sebesar 0%, serta rasio air dan bahan pengikat 0,8. Penggunaan serbuk kerang sebagai bahan penganti pasir ternyata menghasilkan penurunan kuat tekan serta rasio air dan bahan pengikat. Kata kunci: non autoclaved-aerated concrete, kuat tekan, density, limbah cangkang kerang, rasio air-bahan pengikat PENDAHULUAN Pengembangan teknologi bahan bangunan di negara-negara berteknologi tinggi bertujuan untuk menghemat biaya, penggunaan bahan-bahan yang tepat guna, mengurangi biaya-biaya listrik dan konsumsi bahan-bahan baku. [1-3] Beton aerasi dimana ruang udara yang terjebak dalam matrik motar dengan menggunakan agen aerating yang cocok dihasilkan dari semen atau kapur, pasir silica dan material pozolan dan diklasifikasikan sebagai beton ringan. Berdasarkan formasi pori, beton aerasi diklasifikasikan menjadi 3 group yaitu metode penambahkan gelembung udara (beton udara), metode menambah busa (beton busa) dan metode kombinasi [4]. Berdasarkan metode perawatan (curing) beton aerasi dapat dibagi dua yaitu non autoclaved (NAAC) atau autoclaved (AAC) [3]. Limbah cangkang kerang memiliki komposisi kimia seperti kapur pada semen karena mengandung kalsium oksida (CaO 66,7%), alumina (Al 2O3 1,25%), besi III oksida (Fe2O3 0,03%), magnesium oksida (MgO 22,28%) dan senyawa silikat (SiO2 7,88%) [6]. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh rasio antara air dan binder terhadap sifat-sifat fisik dan mekanik NAAC. Hasil penelitan ini diharapkan dapat menghasilkan NAAC sebagai bahan alternatif dari bata untuk bahan pengisi pada bangunan yang bernilai ekonomis dan lebih ramah lingkungan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan bahan-bahan semen Portland tipe I, serbuk kerang, pasir lokal dan gypsum. Limbah cangkang kerang terlebih dahulu dibersihkan 34
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
kemudian dibakar pada suhu 7000ºC selama 2 jam. Hasil pembakaran kemudian dihaluskan dengan menggunakan alat mortar sehingga dihasilkan serbuk kerang. Serbuk kerang yang digunakan dalam campuran AAC adalah serbuk yang lolos saringan No.100. Mix design yang dipakai dalam penelitian ini seperti yang terlihat pada Tabel 1. Sedangkan Rasio Air dan Binder dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Mix Design Beton Aerasi Non Autoclaved Persen (%) Bahan bahan I II III IV Semen 28 28 28 28 Pasir 70 65 60 55 Serbuk kerang 0 5 10 15 Gypsum 2 2 2 2 Tabel 2. Rasio Air dan Binder Komposisi I Rasio 0.8
II 0.78
III 0.76
IV 0.74
V
VI 28 50 20 2
V
28 45 25 2
VI 0.72
0.7
Benda uji yang digunakan adalah benda uji berbentuk silinder dengan diameter 3 inchi dan tinggi 6 inchi. Pasir, semen, Gypsum dan serbuk kerang diaduk sampai homogen. Setelah itu ditambahkan air dan diaduk sampai menjadi adukan pasta. Kemudian adukan beton dicetak ke dalam cetakan silinder dengan ukuran diameter 3 inchi dan 6 inchi. Campuran adukan beton yang dimasukkan ke dalam cetakan hanya setengah dari tinggi cetakan. Setelah 24 jam benda uji ditaruh dalam ruangan dengan suhu 230 C - 250 C. Pengukuran dimensi benda uji dengan mengukur diamater dan tinggi benda uji menggunakan kaliper. Sedangkan pengujian kuat tekan menggunakan standard ASTM C-495 Dalam penelitian ini pengujian yang dilakukan meliputi dimensi benda uji dan kuat tekan. Pengujian kuat tekan berdasarkan ASTM C-495. HASIL DAN PEMBAHASAN Dimensi benda uji, metode pembentukan rongga-rongga udara, pembebanan langsung, umur, kandungan air, sifat-sifat bahan baku adalah faktor-faktor yang bepengaruh terhadap kuat tekan yang dihasilkan oleh beton aerasi [7,8,9,10,11,12]. Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, 2 dan 3 berikut ini.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
35
2.50
KUAT TEKAN (MPA)
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
5
10
15
20
25
PERSENTASE SERBUK KERANG (%)
Gambar 1. Hubungan Antara Kuat Tekan dengan persentase Serbuk Kerang 2.50
KUAT TEKAN (MPA)
2.00 1.50 1.00
0.50 0.00 0.7
0.72 0.74 0.76 0.78 RASIO AIR DAN BAHAN PENGIKAT (BINDER)
0.8
Gambar 2. Hubungan Antara Kuat Tekan dengan Rasio Air dan Bahan Pengikat (Binder) Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa Kuat Tekan yang dihasilkan akan menurun jika persentase serbuk kerang semakin besar. Gambar 2 memperlihatkan bahwa kuat tekan yang dihasilkan akan berbanding lurus kenaikannya dengan besarnya rasio air dan bahan pengikat. Gambar 3 menunjukkan bahwa persentase serbuk kerang berbanding terbalik dengan rasio air dan bahan pengikat. Sehingga semakin besar persentase serbuk kerang yang digunakan maka rasio air dan bahan pengikat semakin kecil. PERSENTASE SERBUK KERANG
30 25 20 15 10 5 0 0.7
0.75 0.8 RASIO AIR DAN BAHAN PENGIKAT (BINDER)
Gambar 3. Hubungan Antara Persentase Serbuk Kerang dengan Rasio Air dan Bahan Pengikat(binder)
36
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini didapat bahwa kuat tekan terbesar sebesar 2 Mpa dengan persentase serbuk kerang sebesar 0%, serta rasio air dan bahan pengikat 0,8. Penggunaan serbuk kerang sebagai bahan penganti pasir ternyata menghasilkan penurunan kuat tekan serta rasio air dan bahan pengikat. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12]
Sanytsky M.A, Pozniak O.R, Marushchack U.D. Energy saving technologies in building. Lviv Polytechnic Publishing House, 2013 – 236 p Kryvenko P.V., Petropavlovskyy O.N., Gelevera O.H. Cement with a high contenct of mineral supplements, natural and anthropogenic. Construction of Ukraine. 2006. No. 1 p39-45 Narayanan N., Ramamurthy K. Structure and Properties of aerated concrete : a review. Cement and Concret Composite 22 (2000) 321-329. Poznyak, O., Melnyk, A. Non-Autoclaved aerated concrete madeof modified binding composition containing supplementary cementitious materials. Budownictwo I Architektura 13(2) (2014) 127-134. Siti Maryam. 2006. Pengaruh serbuk cangkang kerang sebagai filler terhadap sifat-sifat dari mortar. Skripsi. FMIPA. USU. Valore RC. Cellular concrete-composite and methods of preparation. J. Am Concr Inst 1954: 25:773-95. Pospisil F, Jambor J, Belko J. Unit weight reduction of fly ash aerated concrete. In : Wittmann FH, editor. Advance in Autoclaved Aerated Concrete. A.A. Balkema, 1992. P. 43-52 Narayanan N. Influence of composition on the structure and properties of aerated concrete. M.S thesis. IT Madras, 199 Hanecka C, Koronthalyova O, Matiasovsky P. The carbonation of autoclaved aerated concrete. Cem. Concr Res 1997; 27:589-99. Isu N, Ishida H, Mitsuda T. Influence of quartz particle size on the chemical and mechanical properties of autoclaved aerated concrete-tobermorite formation. Cem Concr Res 1995; 25:243-8 Odler I, Robler M. Investigations on the relationship between porosity, structure and strength of hydrated Portland cement pastes : Effect of pore structure and degree of hydration. Cem Concr Res 1985;15:401-10
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
37
MORPHOLOGY AND PHYSICAL CHARACTERISTICS OF POLYPROPYLENE-PULPED EMPTY FRUIT BUNCH FIBER COMPOSITES WITH CHITOSAN AS FILLER Kurnia Wiji Prasetiyo* and Lisman Suryanegara Research Centre for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia ABSTRACT Thermoplastic composites is still dominated by petroleum-based polymers. This condition encourage many studies on the possibility of using natural fibers or organic materials as filler in place of synthetic fibers or inorganic materials to reduce the dominance of synthetic polymers. The purpose of this research was to examine the effect of added chitosan as filler on morphology and physical characteristics of polypropylene-pulped empty fruit bunch fiber composites. Variations in the size and concentration of chitosan used as a parameter in this study. The compound of composites were processed by laboplastomill using the dry method at a temperature of 180o C, 60 rpm for 20 minutes. Composites were molded in sheet form size 11 x 11 x 0.2 cm with temperature of 180° C, pressure of 1 MPa for 30 seconds and 10 minutes followed felt cold. The morphology and physical properties of composites were evaluated by light microscope, SEM, FTIR, TGA and physical test. Result showed that variations in the size and concentration of chitosan affects the homogeneity of the mixture and thus affects the physical and morphological characteristics of composites. Keywords:polypropylene, pulped empty fruit bunch fiber, chitosan, filler, composites, morphology and physical characteristics INTRODUCTION High oil process have induced a change in consumption habits. Renewable and low energy cost materials are gaining popularity. This condition encourage many studies on the possibility of using natural fibers or organic materials as filler in place of synthetic fibers or inorganic materials to reduce the dominance of synthetic polymers. The use of light weight, renewable natural materials instead of heavy metal or mineralbased materials is important to generate lighter materials. It has been used as a filler in thermoplastic composites. However, the main disadvantage in natural fibers-synthetic polymer composites is the poor compatibility between the hydrophobic properties from polymer matrix and the hydrophilic properties of natural fibers. Polypropylene (PP) is the most important commercial plastic currently used as the matrix polymer in composites because of its relatively superior properties such as high melting temperature (Tm), excellent mechanical and thermal properties, and low density (Husseinsyah et.al. 2010). Natural fiber-PP composites have acceptable mechanical properties but surface incompatibility and water absorption from composites are still major problems. These problems are caused by the hydrophilic hydroxyl groups existing in the natural fiber’s structure. Chitosan polymers is natural aminopolysaccharides having unique structures, multidimentional properties, highly sophisticated functions and wide ranging applications in biomedical and other industrial areas (Muzzarelli et al. 2005). Chitosan 38
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
is a biopolymer and biodegradable in the natural environment. Some researchs have been done to improve the properties of thermoplastic composites for example with chitosan as filler. According Husseisyah et al. (2011), chitosan as filler with chemical modification by acrylic acid could be increased Young’s modulus of PP composites. This phenomena shows that chitosan promise as a bio-filler in composites to replace various materials such as synthetic polymer plastic and construction materials products. In this research, homopolymer polypropylene was used as the matrix and pulped empty fruit bunch fiber used as the reinforcing filler to prepare composites. Poor interfacial bonding between PP and pulped empty fruit bunch fiber reduces the homogeneity and compatibility of the composites. Therefore, the addition of chitosan as filler be expected to improve the properties of PP-pulped empty fruit bunch fiber composites with variations in the size and concentration of chitosan used as a parameter. The presence of free amino groups in chitosan can be a coupling agent between PP and pulped empty fruit bunch fiber. The aims of this research was to investigate the effect of added chitosan as filler on morphology and physical characteristics of polypropylene-pulped empty fruit bunch fiber composites. MATERIALS AND METHODS Homopolymer polypropylene (PP) used in this study was obtained from PT. Tri Polyta Cilegon Banten Indonesia with type HI10HO. Chitosan was industrial grade obtained from PT. Biotech Surindo Cirebon Indonesia with degree of deacetylation (DD) of 90%. Maleic anhydride polypropylene (MAPP) UMEX 1001 Lot No. GI8070244 from Sanyo Chemical Industries Kyoto Japan was used in this study. The composites production process begin with the manufacture of pulp fibers empty fruit bunch using soda pulping process that draws on research Gopar et al. [4] where the fiber bundle of empty fruit bunch fiber was cutted about 2 to 3 cm using ring flaker machines. Fibers was immersed in a solution of 4% NaOH ratio (1 : 5) for 24 hours. Proceed with the manufacture of pulped empty fruit bunch fiber was used disc refiner machine. The process of making thermoplastic composites with PP matrix was carried out with dry method which refers to the results of research Subyakto et al. (2010). Pulped fibers from empty fruit bunch made into a fairly thin sheet of paper with a filter size of 40 mesh gauze and dried, then shredded into small size. Empty fruit bunch fibers then blended with PP in comparison 50 : 45 (%) then added with 5% MAPP (referring to research Gopar et al. 2010) of the total weight of the composites as a coupling agent in the laboplastomill machine. PP substitution with chitosan are varied in composition chitosan : PP (%) = 0 : 100, 10 : 90, 20 : 80, 30 : 70 and 40 : 60 of the total 45% from the overall PP in thermoplastic composites then processed with laboplastomill at a temperature of 180° C, 60 rpm for 20 minutes. Composites samples were sheet from with length x width x thickness = 11 x 11 x 0.2 cm. This samples made using hot press machine at a temperature of 180º C, a pressure of 1 MPa for 30 seconds followed felt cool 10 minutes by cold press machine were referred from research Subyakto et al. (2010) with a target density of 1.0 g/cm3. The morphology and physical properties of composites were evaluated by light microscope, SEM, FTIR, TGA and physical test. RESULTS AND DISCUSSION Phisically, all the material of thermoplastics composites has been mixed during Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
39
mixing process in laboplastomill. However, the results of imaging with light microscope for PP-pulped empty fruit bunch fiber composites still visible white spots from chitosan filler that has not decomposed perfectly (Figure 3-4).
Figure 1. Surface of composite without chitosan
Figure 2. Surface of tensile fracture from composite without chitosan In the other hands, it is possible to observe the appearance of pulped empty fruit bunch fiber on the surface of composites without chitosan (Figure 1-2) due to the use of the fiber in microsize.
Figure 3. Surface of composite by chitosan filler
40
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Figure 4. Surface of tensile fracture from composite by chitosan filler The SEM micrographs of the tensile fracture surface from composites without chitosan (Figure 5) exhibit poor wetting of pulped empty fruit bunch fiber by the PP matrix. It can be seen that the fracture occurred at the interface of fiber and the matrix that the fiber was pulled out because of the insufficient adhesion between pulped empty fruit bunch fiber and the PP matrix. This fact also can be call agglomeration. The occurrence of agglomeration is due to differences between the decomposition temperature of chitosan materials were particularly higher than PP matrix, fibers and hot temperatures are used. Decomposition temperature difference between material causes mixing process is not perfect so there is still material to agglomerate in some areas. However, for composites by chitosan filler (Figure 6-7), the fractured surfaces show that chitosan was covered by layers and there was less pull-out from PP matrix. This result showed that adding chitosan has improved interfacial bonding between chitosan an the matrix and increased the homogeneity and compatiblity of composites.
Figure 5. SEM micrograph of tensile-fractured surface from composites without chitosan at magnification 100x
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
41
Figure 6.
SEM micrograph of tensile-fractured surface from composites by chitosan (20 to 40 mesh in size) at magnification 100x
Figure 7.
SEM micrograph of tensile-fractured surface from composites by chitosan (10 mesh in size) at magnification 100x
Figure 8-9 shows the thermogravimetric analysis (TGA) of PP-pulped empty fruit bunch fiber (Figure 9) and PP-pulped empty fruit bunch fiber-chitosan (Figure 8) composites. The phenomena of persistence from chitosan spots at composites related to the decomposition temperature of chitosan itself which results from concerning TGA test (Figure 8) for chitosan is approximately 270o C-450o C. In this range corresponds to the degradation and deacetylation of chitosan. So, the mixing and hot pressing temparature at 180o C have not been able to melt and composed chitosan filler completely. According Kaban (2009), chitosan tends to decompose rather than melt at the time of heating. In figure 9 can be seen that composites without chitosan filler might undergo a one-step degradation process from 300o C-450o C. This result confirmed that PP has carbon-carbon bonds in the main chain that allow a temperature increase to promote random scission with associated thermal degradation and thermal depolymerization occurring at the weak sites of the chain. So, increasing chitosan filler had a positive effect on thermal stability of the composites due to enhanced interfacial adhesion and formation of the covalent bond between the chitosan amino group and PP-pulped empty fruit bunch fiber.
42
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Figure 8. TGA curves of PP-pulped empty fruit bunch cmposites by chitosan filler.
Figure 9.
TGA curves of PP-pulped empty fruit bunch composites without chitosan filler.
According Bangyekan et al. (2006), structure of chitosan is similar to cellulose but contains NH2 group at position C-2 hydroxyl group. So it is possible that wave absorption band is found in the FTIR spectra are similar between the composite control with the composite by chitosan filler. The difference of decomposition temperature between PP and fiber which lower than chitosan resulted unperfect compound mixing. This is evidenced by the absence of new functional groups that would indicate the occurrence of chemical bonds between the chitosan with PP and fibers. The increasing of absorption wave from 1050 cm-1 (Figure 10) to 1114 cm-1 (Figure 11) have not shown the occurrence of chemical bonds but only an indication of the physical bond between chitosan with PP matrix and fibers. According to Kaban (2009), that blends physics is physically blending process between two or more types of polymers that have different structures and do not form covalent bonds between components. Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
43
Figure 10. FTIR spectra of PP-pulped empty fruit bunch composites without chitosan filler.
Figure 11. FTIR spectra of PP-pulped empty fruit bunch composites by chitosan filler. CONCLUSION The influence of added chitosan filler on the morphology and physical properties of composites were examined. Commonly, the results showed that variations in the size and concentration of chitosan affects the homogeneity of the mixture and thus affects the physical and morphological characteristics of composites. Decomposition temperature difference between material causes mixing process is not perfect so there is still material to agglomerate in some areas. Studies by SEM, the fractured surfaces on composites by chitosan showed that chitosan was covered by layers and there was less pull-out from PP matrix. This result showed that adding chitosan has improved interfacial bonding between chitosan an the matrix and increased the homogeneity and compatiblity of composites. The increasing of absorption wave have not shown the
44
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
occurrence of chemical bonds but only an indication of the physical bond between chitosan with PP matrix and fibers, however the thermal stability of composites by chitosan filler was higher than composites without chitosan. ACKNOWLEDGMENT This work was supported by Competitive Program of Indonesian Institute of Sciences 2014. This paper is also a part of the outcome of the DIPA Program of LIPI 2014: The Manufacture of Bionanocomposites Based on Microfibril Cellulose for Raw Materials Industry. REFERENCES Bangyekan, C., Aht-Ong, D. and Srikulkit, K. 2006. Preparation and Properties Evaluation of Chitosan Coated Cassava Starch Films. Journal of Carbohydrate Polymers, 63, 61-71. Gopar, M., Subyakto, Prasetiyo, K.W. and Ismadi. 2010. Characteristics of Plastic Biocomposites from Empty Fruit Bunch Microfibers. Proceedings The 13th National Seminar of MAPEKI 10-11 Nov. Sanur, Bali. Husseinsyah, S., Amri, F., and Husin, K. 2010. Chemical modification of chitosan-filled polypropylene (PP) composites: The effect of 3-Aminopropyltriethoxysilane on mechanical and thermal properties. International Journal of Polymeric Materials, 60:429-440. Husseinsyah, S., Amri, F., Husin, K., and Ismail, H. 2011. Mechanical and thermal properties of chitosan-filled polypropylene composites: The effect of acrylic acid. Journal of vinyl and additive techology. Kaban, J. 2009. Chemical Modification of Chitosan and Product Application. Inagural Speech: Noth Sumatra University-Medan. Muzzarelli RAA. and Muzzarelli C. 2005. Chitosan chemistry: relevance to the biomedical sciences. Advanced Polymer Science. 186: 151-209. Subyakto, Hermiati, E., Yanto, D.D.H, Masruchin, N., Fitria, Prasetiyo, K.W and Ismadi. 2010. Biocomposites of PLA Reinforced with Sisal or Bamboo Microfibers. Proceedings The First International Symposium of IWORS 2-3 Nov. pp. 106-110.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
45
PENGARUH UMUR TERHADAP KOMPONEN KIMIA KAYU JATI PLATINUM Ika Wahyuni*, Danang S. Adi, Dwi Ajias P., Yusup Amin, Teguh Darmawan, Jayadi, Sudarmanto, Wahyu Dwianto Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *E-mail:
[email protected] ABSTRAK Kayu Jati Platinum merupakan salah satu jenis kayu Jati hasil kultur jaringan yang dikembangkan oleh LIPI. Dikarenakan keterbatasan informasi terkait komponen kimia Kayu Jati Platinum, sehingga penelitian ini bertujuan memberikan informasi terkait pengaruh perubahan komponen kimia berdasarkan umur 2 dan 5 tahun dengan posisi aksial. Pengukuran komponen kimia yang dilakukan berdasarkan standar Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000). Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan komponen kimia sejalan dengan bertambahnya umur kayu Jati Platinum, khususnya nilai kandungan zat ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena dan holoselulosa. Selain itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa Jati Platinum umur 5 tahun memiliki komponen kimia mendekati dengan Jati konvensional dan lebih baik dibandingkan dengan Jati Platinum umur 2 tahun. Sehingga diharapkan Jati Platinum 5 tahun dapat dimanfaatkan sebagaiman Jati Konvensional. Kata kunci : Kayu Jati Platinum, Komponen Kimia, Umur, Aksial PENDAHULUAN Kayu merupakan sumber daya alam yang banyak dimanfaatkan dalam kehidupan manusia karena sifatnya yang berkelanjutan (sustainable), dapat diperbaharui (renewable), ekonomis, dan membutuhkan energi yang lebih rendah untuk mengolahnya daripada jenis bahan lain. Akan tetapi, adanya eksploitasi yang berlebihan terhadap hutan alam menyebabkan saat ini ketersediaan bahan baku kayu komersial unggulan semakin menipis dan jika ada pun harganya semakin mahal. Kayu Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial berkualitas tinggi yang telah dikenal dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun, tingginya permintaan terhadap kayu ini tidak disertai dengan berlimpahnya pasokan kayu, karena kayu ini memiliki rotasi tanaman yang panjang (masa panen pada usia 60 tahun). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan kayu jati adalah dengan mengembangkan kayu jati cepat tumbuh melalui metode kultur jaringan. Tanaman jati yang diperoleh dari metode ini diharapkan memiliki pertumbuhan 3 – 4 kali lebih cepat daripada jati induknya yang dikembangkan dengan perkecambahan biji (Krisdianto, 2006; Muslich & Hadjib, 2010), sehingga umur tebangnya pun dapat dipercepat menjadi 20 – 30 tahun (Lukmandaru & Takahashi, 2008). Adanya percepatan pertumbuhan dan masa panen pada tanaman jati diduga akan mempengaruhi kualitas kayu tersebut. Hal ini disebabkan pada kayu yang berasal dari tegakan muda, umumnya memiliki bagian kayu gubal dan kayu muda lebih besar, sehingga sifatnya mungkin berbeda dari kayu yang diambil dari tegakan tua. 46
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Saat ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memiliki tegakan Jati Platinum dari hasil penelitian Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jati Platinum merupakan varietas unggulan dari tanaman Jati (Tectona grandis) yang diperoleh dari hasil mutasi tanaman Jati Berlian melaui kultur jaringan dan radiasi. Tanaman hasil radiasi ini kemudian diperbanyak kembali dengan teknik kultur jaringan, sehingga dihasilkan tanaman dengan pertumbuhan lebih cepat dan berukuran besar. Akan tetapi, berdasarkan hasil pengujian DNA, gen pohon hasil radiasi berbeda dengan induknya. Perbedaan susunan DNA ini akan mengakibatkan adanya perbedaan sifat dasar kayu hasil mutasi dengan kayu Jati induknya. Oleh karena itu, perlu dilakukan karakteristik sifat dasar kayu Jati Platinum, salah satunya adalah sifat kimia kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kadar beberapa komponen kimia di antara dua umur kayu Jati Platinum (2 dan 5 tahun). Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk menentukan waktu tebang yang terbaik dan pemanfaatan akhir yang tepat dari kayu ini. METODE Bahan dan Alat Bahan kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Jati Platinum berusia 2 dan 5 tahun yang berasal dari kebun bibit di Cibinong Science Center. Dari setiap usia diambil masing-masing satu pohon yang dapat mewakili Jati Platinum. Bahan kimia yang digunakan adalah: asam sulfat (H 2SO4) 72 %, asam asetat (CH3COOH) absolut, asam asetat (CH3COOH) 10 %, benzena, alkohol absolut, natrium klorit (NaClO2) 80 %, aseton, natrium hidroksida (NaOH) 17,5 %, dan aquades. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat-alat gelas, oven, penangas air, hot plate, ekstraktor soxhlet, pompa vakum, dan autoklaf. Pembuatan Contoh Uji Bagian pohon Jati Platinum yang dipilih sebagai contoh uji adalah batang bebas cabang dan memiliki cacat paling sedikit. Pohon dengan usia 2 dan 5 tahun yang digunakan pada penelitian ini dipotong menjadi 3 bagian berdasarkan posisi aksial kayu, yaitu pangkal (A), tengah (B), dan ujung (C) seperti terlihat pada Gambar 1. Kemudian pada pohon dengan usia 5 tahun ditentukan posisi radialnya pada masingmasing bagian, berdasarkan kayu gubal (G) dan teras (T). Pembagian posisi secara radial tidak dapat dilakukan pada kayu Jati 2 tahun karena perbedaan kayu gubal dan terasnya belum terlalu signifikan. Selanjutnya, potongan kayu dari setiap bagian kemudian dicacah, digiling, dan diayak sehingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 – 60 mesh. Sampel serbuk kayu dikeringudarakan lalu disimpan dalam kantong plastik untuk kemudian digunakan sebagai contoh uji dalam analisis komponen kimia kayu Jati Platinum. Analisis Komponen Kimia Kayu Analisis komponen kimia kayu dilakukan dengan menggunakan standar Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000). Parameter yang diamati adalah kadar ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena, lignin, holoselulosa, dan -selulosa.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
47
C
Ujung
Teras (T)
B
Tengah
Gubal (G) A
Pangkal
Jati Platinum 5 tahun Jati Platinum 2 dan 5 tahun
Gambar 1. Skema pembuatan contoh uji HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil rerata komponen kimia kayu Jati Platinum yang terdiri atas ekstraktif larut alkohol-benzena, lignin, holoselulosa, dan -Selulosa pada dua umur kayu ditunjukkan pada Gambar 2.
80
Umur 2
Umur 5
Kadar (%)
70 60 50 40 30 20 10 0
Gambar 2. Komponen kimia kayu Jati Platinum umur 2 dan 5 tahun Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa ada perubahan komponen kimia dengan bertambahnya umur kayu Jati Platinum, khususnya nilai kandungan zat ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena dan holoselulosa. Hasil ini sesuai dengan penelitian yg dilakukan oleh Bedmansyah (2000) dan Mauludi (2000). Sementara itu, kadar lignin
48
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
dan -selulosa tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dengan meningkatnya umur kayu dari 2 ke 5 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa kedua komponen tersebut sulit dipengaruhi oleh umur kayu (Santana et al., 2012). Zat Ekstraktif Larut Alkohol-Benzena Gambar 2 menunjukkan bahwa peningkatan umur pohon menyebabkan meningkatnya kadar zat ekstraktif. Kisaran kadar zat ekstraktif larut alkohol-benzena pada umur 2 dan 5 tahun berturut-turut adalah 1,07 dan 4,96 %. Seiring bertambahnya umur kayu, volume kayu teras meningkat, persentase sel parenkim yang merupakan tempat diendapkannya zat ekstraktif akan meningkat, sehingga kandungan zat ekstraktifnya juga meningkat (Hamidah et al., 2009; Kasmani et al., 2011). Tabel 1. Klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia berdasarkan komponen kimianya. Klasifikasi Komponen Kimia Kayu Jati Platinum Komposisi Kimia (%) Tinggi Sedang Rendah Ekstraktif larut 1,07 – 4,96 2–4 4 2 alkohol benzena 30,14 – 30,48 Lignin 21 – 24 24 21 69,54 – 73,91 Holoselulosa 18 – 33 33 18 44,37 – 44, 73 40 – 45 -Selulosa 45 40 Sumber: Vadamecum Kehutanan Indonesia, 1967. Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian. Apabila komponen kimia kayu Jati Platinum dihubungkan dengan klasifikasi jenis daun lebar Indonesia (Tabel 1), ternyata kandungan zat ekstraktif larut dalam alkohol-benzena untuk umur 2 tahun termasuk komponen rendah, sedangkan untuk umur 5 tahun termasuk kategori sedang sampai tinggi. Rendahnya nilai zat ektraktif pada kayu Jati Platinum umur 2 tahun mungkin disebabkan kayu ini masih tergolong kayu muda yang didominasi oleh kayu gubal dan juvenil (Lukmandaru dan Sayudha, 2011) dan belum terbentuk kayu teras. Hal ini tentunya berpengaruh pada tingkat keawetan dari kayu Jati Platinum 2 tahun dan rencana pemanfaatannya. Distribusi komponen kimia kayu sangat bervariasi, karena dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh, iklim, dan letaknya di dalam batang atau cabang (Achmadi, 1990; Dumanauw, 2001). Tabel 2 menunjukkan distribusi komponen kimia kayu berdasarkan posisi aksial. Jika dilihat distribusi zat ekstraktif berdasarkan posisi pada batang, terlihat bahwa pada jati 2 dan 5 tahun zat ekstraktif tertinggi berturut-turut berada pada bagian ujung (1,19 %) dan tengah batang (5,86 %). Akan tetapi perbedaan persentase zat ekstraktif antara posisi pada batang (pangkal, tengah, dan ujung) tidak terlalu signifikan dari nilai persentase. Hal ini berbeda dengan pendapat dari Prayitno (1992) yang mengemukakan kayu bagian pangkal pohon mempunyai persentase zat ekstraktif yang lebih tinggi karena bagian pangkal mempunyai persentase kayu teras yang lebih banyak.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
49
Tabel 2. Komponen kimia kayu Jati Platinum berdasarkan posisi aksial kayu Umur Posisi AB Lignin Holoselulosa -Selulosa (tahun) (%) (%) (%) (%) 2 Ujung 1.19 31.24 72.92 44.18 Tengah 1.11 30.17 73.87 43.04 Pangkal 0.92 29.01 74.94 46.98 Rata-rata 1.07 30.14 73.91 44.73 5 Ujung 5.18 29.50 69.49 44.83 Tengah 5.86 30.22 68.26 43.29 Pangkal 3.85 31.73 70.86 44.99 Rata-rata 4.96 30.48 69.54 44.37 Zat ekstraktif pada jati 2 dan 5 tahun yang meningkat seiring lokasi pada batang kemungkinan disebabkan jenis jati yang digunakan merupakan hasil kultur jaringan yang memiliki sifat sedikit berbeda dengan jati konvensional. Kemungkinan lainnya disebabkan kandungan zat ekstraktif yang diperoleh dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya ukuran serbuk, kadar air, jenis pelarut, dan frekuensi pengadukan (Hamidah et al. 2009). Lignin Hasil analisis kadar lignin kayu Jati Platinum usia 2 dan 5 tahun menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan (Gambar 2). Kisaran nilai lignin pada umur 2 dan 5 tahun berturut-turut 30,14 dan 30,48 %. Berdasarkan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (Tabel 1), maka kadar lignin kayu Jati platinum termasuk dalam kategori tinggi. Distribusi kandungan lignin pada batang kayu Jati Platinum umur 2 tahun pada arah aksial memiliki kecenderungan meningkat dari pangkal ke ujung (Tabel 2). Sedangkan pada kayu yang berumur 5 memiliki pola sebaliknya. Kandungan lignin sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan pohon (Haygreen & Bowyer, 1996). Sehingga perbedaan ini mungkin disebabkan kayu Jati Platinum usia 2 tahun masih merupakan kayu muda yang mengandung kayu juvenil. Hasil ini sesuai dengan penelitian Zaki et al. (2012), yang melakukan penelitian dengan menggunakan Kayu Karet Juvenil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kandungan lignin meningkat dari pangkal ke ujung, karena di bagian ujung masih banyak terdapat sel-sel baru. Sedangkan pada kayu Jati Platinum umur 5 tahun kandungan lignin lebih tinggi pada bagian pangkal dibandingkan bagian tengah dan ujung karena sel-sel pada bagian pangkal telah mengalami lignifikasi sehingga lignin tidak saja terdapat pada lamela tengah tetapi juga pada dinding primer dan sekunder (Wardenaar et al.) Holoselulosa Menurut Ritter dan Kurth (1993) dalam Fengel dan Wegener (1995) holoselulosa merupakan produk yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu, maka holoselulosa mewakili jumlah selulosa dan hemiselulosa (karbohidrat). Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur kayu maka kandungan holoselulosa mengalami penurunan. Kandungan holoselulosa kayu Jati Platinum 5 tahun (69,54 %) lebih rendah daripada kayu yang berusia 2 tahun (73,91 %). Pada kayu keras, bertambahnya umur pohon maka persentase hemiselulosa akan menurun (Bedmansyah 2000). Oleh karena itu, penurunan kandungan holoselulosa adalah karena menurunnya kandungan hemiselulosa.
50
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Jika dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (Tabel 1) maka tergolong kelompok kayu dengan kandungan holoselulosa tinggi, yaitu di atas 60 %. Distribusi holoselulosa pada kayu Jati Platinum umur 2 tahun cenderung menurun dari pangkal ke ujung, sedangkan pada umur 5 tahun nilai holoselulosa terendah adalah di bagian tengah batang (68,26 %). Penurunan nilai holoselulosa dari pangkal ke ujung karena bagian ujung masih aktif memproduksi sel-sel baru (Zaki et al., 2012). Kadar holoselulosa pada Jati Platinum 2 tahun berbeda dengan pola kadar ekstraktif dan lignin, yang mana pada kayu 2 tahun bagian pangkal memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan bagian yang lain. Menurut Sunyata (2011) menyatakan bahwa bagian pangkal umumnya mempunyai ketebalan dinding sel kayu yang lebih tinggi sehingga holoselulosa sebagai fraksi karbohidrat penyusun dinding sel sekunder lebih tinggi. Kadar holoselulosa yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan kadar holoselulosa kayu daun lebar (76%) menurut Pergamon (1967) pada Bedmansyah (2000). -Selulosa Hasil analisis kadar -Selulosa kayu Jati Platinum usia 2 dan 5 tahun menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan (Gambar 2). Kisaran nilai -Selulosa pada umur 2 dan 5 tahun berturut-turut 44,73 dan 44,37 %. Kadar Selulosa kayu Jati platinum jika dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (Tabel 1), maka kadar kayu termasuk dalam kategori sedang. Distribusi -Selulosa pada kayu Jati Platinum umur 2 dan 5 tahun memiliki pola yang sama, yaitu tinggi pada bagian pangkal, menurun pada bagian tengah, lalu naik kembali pada bagian ujung. Walaupun perbedaan nilai di antara ketiga posisi tidak terlalu berbeda secara signifikan. Penurunan nilai -Selulosa dari pangkal ke bagian tengah karena menurut Kollman & Cote (1975) dalam Zaki et al (2012), pada bagian pangkal banyak terdiri dari sel-sel dewasa (Zaki et al., 2012). Perbandingan Kayu Jati Platinum dengan Kayu Jati Lainnya Tabel 3 menunjukkan perbandingan komponen kimia Jati Platinum umur 2 dan 5 tahun dengan Jati lainnya yang didapat dari beberapa literatur, hal ini dimaksudkan untuk melihat komponen kimia dari masing-masing jenis Jati. Tabel 3. Perbandingan komponen kimia Jati Platinum dan Jati lainnya Kadar (%) Ekstraktif larut Jenis Jati Holo Lignin alkohol-benzena selulosa Jati Platinum 2 tahun 1,07 30,14 73,91 Jati Platinum 5 tahun 4,96 30,48 69,54 Jati KU 1 dari KPH 3,16 24,73 70,65 Purwakarta * Jati konvensional** 4,60 29,90 Ket :*)Bedmansyah, 2000;**) Martawijaya et al., 1981
Selulosa 44,73 44,37 37,41 -
Dari Tabel 3 terlihat bahwa kayu Jati Platinum umur 5 tahun memiliki nilai zat ekstraktif yang hampir mendekati Jati konvensional dan lebih tinggi dari Jati KU 1. Hal ini menunjukkan bahwa kayu Jati Platinum umur 5 tahun dapat dimanfaatkan lebih
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
51
lanjut sebagaimana kayu Jati konvensional dengan adanya bagian teras yang terbentuk yang mana dalam hal ini tidak terbentuk pada kayu Jati Platinum umur 2 tahun. Sedangkan kompenen lignin baik Jati Platinum umur 2 dan 5 tahun memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan Jati KU 1 dan Jati konvensional. Kadar holoselulosa Jati Platinum umur 2 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan Jati KU 1, hal ini berbeda dengan holoselulosa umur 5 tahun yang lebih rendah dibandingkan Jati KU 1. -Selulosa kedua jati platinum memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan Jati KU 1 Variasi kadar komponen kima yang berada pada Jati Platinum dibandingkan dengan Jati KU 1 dan jati konvensional dimungkinkan karena jati ini merupakan hasil kultur jaringan, sehingga terdapat perbedaan beberapa sifat kimia yang dapat berpengaruh terhadap keawetan dan ketahanan dari jati itu sendiri. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat membandingkan komponen kimia Jati Platinum dibandingkan dengan Jati hasil kultur jaringan lainnya serta Jati konvensional dengan variasi umur yang lebih luas. KESIMPULAN Perbandingan komponen kimia Jati Platinum antara umur Jati 2 dan 5 tahun terlihat bahwa terdapat perubahan komponen kimia sejalan dengan bertambahnya umur kayu Jati Platinum, khususnya nilai kandungan zat ekstraktif terlarut dalam alkoholbenzena dan holoselulosa. Secara umum Jati Platinum umur 5 tahun memiliki komponen kimia yang lebih baik dibandingkan dengan Jati Platinum umur 2 tahun serta mendekati dengan Jati konvensional. Sehingga diharapkan Jati Platinum ini menjadi salah satu kayu yang berprospek dimanfaatkan sebagaiman Jati Konvensional dengan masa tanam yang lebih singkat. Namun tetap diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat perbandingan komponen kimia dan pengaruhnya terhadap keawaten dari kayu Jati dengan variasi bahan baku Jati hasil kultur jaringan lainnya dan Jati konvensional dengan variasi umur yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Suminar. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bedmansyah.2000. Komponen Kimia Kayu Jati (Tectona grandis L. f.) pada Berbagai Kelas Umur dari KPH Purwakarta. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Departemen Pertanian. 1976. Vedemacum Kehutanan Indonesia, Balai Penjelidikan Kehutanan, Jakarta. Dumanauw, J.F. 2001. Mengenal Kayu. Kanisius. Yogyakarta. Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan Harjono Sastrohamijoyo. Yogyakarta : Gajah mada University Press. Hamidah, S., Burhanudin, V., Istikowati, W.T. 2009. Kajian Sifat-Sifat Dasar Kayu Manis Sebagai Pertimbangan Pemanfaatan Limbah Pemanenan Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Blume). Jurnal Hutan Tropis Borneo 10(26): 210-223. Haygreen, J. G. dan J. L. Browyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu (terj. Sutjipto, A. H.) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
52
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Kasmani, J.E., Nemati, M., Samariha, A., Chitsazi, H., Mohammade, N.S., Nosrati, H. 2011. Studying The Effect of The Age in Eucalyptus camaldulensis Species on Wood Chemical Compounds Used in Pulping Process. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 11(6): 854-856. Krisdianto dan Sumarni G. 2006. Perbandingan persentase volume teras kayu jati cepat tumbuh dan konvensional umur 7 tahun asal penajam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(5). Lukmandaru, G. dan Sayudha, I.G.N.D. 2012. Komposisi Ekstraktif pada Kayu Jati juvenil. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIV, Yogyakarta. Lukmandaru, G. and Takahashi, K. 2008. Variation in the natural termite resistance of Teak (Tectona grandis Linn. fil) wood as a function of tree age. Ann. For. Sci. 65: 708. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., Prawira, S. A. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan Bogor. Mauludi, A.S. 2000. Komponen Kimia Kayu Jati(Tectona grandis L.f.) pada Berbagai Kelas Umur dari KPH Saradan. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000, Japan Wood Research Society Publisher. Muslich, M. dan Hadjib, N. 2010. Peningkatan Pemanfaatn Jati Plus Perhutani (JPP) Untuk Kayu Lamina. Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(3). Prayitno TA. 1992. Sifat Kimia Kayu Salam (Zyzigium poliantha Wight). Bulletin No:22:53-65. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Santana W.M., Calegario, N., Arantes, M.D.C., Trugilho, P.F. 2011. Effect of Age and Diameter Class On The Properties of Wood From Clonal Eucalyptus. Cerne Lavras 18(1): 1-8. Sunyata A. 2011. Sifat Kimia Kayu Huru Kuning. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta. Wardenaar E., Mariani, Y., Husni, H., Diba, F., Yanti, H. Distribusi Komponen Kimia Kayu Mahang (Macaranga hosei King). jurnal.untan.ac.id/index.php/tengkawang/article/view/4088/4102 Zaki, J. A., Muhammed, S., Shafie, A., Daud, W.R.W. 2012. Chemical Properties Of Juvenile Latex Timber Clone Rubberwood Trees. The Malaysian Journal of Analytical Sciences 16(3): 228-234.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
53
SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU JATI PLATINUM PADA 2 KELAS UMUR Danang Sudarwoko Adi, Ika Wahyuni, Dwi Ajias Pramasari, Teguh Darmawan, Yusup Amin, Jayadi, Sudarmanto, Wahyu Dwianto Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia Email:
[email protected] ABSTRAK Tingginya permintaan kayu Jati (Tectona grandis) ternyata tidak diimbangi pasokan dari hutan. Salah satu penyebab langkanya Jati adalah daur yang sangat panjang, diatas 60 tahun. Perkembangan ilmu rekayasa tanaman menjadikan Jati yang mampu tumbuh lebih cepat, salah satunya Jati Platinum. Namun sayangnya kualitasnya belum diketahui. Penelitian ini mempelajari kualitas kayu dari sifat fisika dan mekanika kayunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas Jati Platinum 5 tahun lebih baik daripada Jati Rakyat berumur 9-10 tahun dan Jati Plus Perhutani hasil progeny test, bahkan mendekati kualitas Jati konvensional berumur 20-30 tahun dari Perhutani. Namun, stabilitas dimensinya termasuk rendah, sehingga rawan terhadap cacat yang ditimbulkan oleh pelepasan air dari kayu. Kata Kunci: Tectona grandis, Jati Platinum, sifat fisika, sifat mekanika PENDAHULUAN Kayu jati (Tectona grandis) merupakan jenis kayu yang sangat digemari oleh masyarakat. Kayu jati mempunyai nilai ekonomis tinggi karena disamping mempunyai kekuatan dan keawetan alami yang baik, kayu ini menonjolkan keindahan dari tekstur kayunya, dan memberikan kesan mewah bagi pemiliknya karena harganya yang relatif mahal. Permintaan kayu jati meningkat seiring dengan perkembangan industri perkayuan, namun permintaan kayu ini ternyata tidak bisa diimbangi oleh pasokan kayu dari hutan jati, baik dari hutan Perhutani maupun hutan rakyat. Na’iem (2005) mengatakan bahwa kebutuhan industri kayu di Jawa mencapai 8,23 juta m3, sementara pasokan kayu dari Perum Perhutani maupun dari hutan rakyat baru mencapai 2,76 juta m3 atau sekitar 33,5% dari kebutuhan kayu. Berbagai faktor yang menyebabkan pasokan kayu menurun diantaranya adalah laju deforestasi maupun degradasi lahan hutan menjadi lahan pemukiman, pencurian dan perambahan hutan, kebakaran hutan, dan masih banyak yang lain. Dari berbagai faktor tersebut, daur pohon yang sangat panjang merupakan salah satu alasan utama penyebab terbatasnya pasokan kayu dari hutan. Masa tebang jati pada awalnya dilakukan pada kelas umur (KU) VIII atau berumur 80 tahun, saat ini diperpendek menjadi berumur 60 tahun (KU VI). Namun percepatan ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas kayu jati yang dihasilkan. Kualitas kayu dipengaruhi oleh kerapatannya dimana kerapatan ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur kayu karena sel-sel kayu menjadi semakin masak (Panshin dan de Zeeuw, 1980). Beberapa penelitian kualitas jati pada daur dibawah kelas umur (KU) VI telah dilakukan pada kayu Jati hasil penjarangan 54
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
pada KU III (umur 20-30 tahun) dari KPH Purwakarta (Suprapto dan Marsoem, 2007). Penelitian lain dilakukan pada jati konvensional berumur 8 tahun yang berasal dari Semarang (Wahyudi dan Arifien, 2005). Kedua penelitian tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa semakin bertambah umur pohon, kekuatan yang dihasilkan oleh kayu juga semakin tinggi. Perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu rekayasa tanaman atau pemuliaan tanaman yang pesat akhir-akhir ini menjadi titik terang untuk mengatasi permasalahan diatas, diantaranya untuk menghasilkan anakan pohon yang baik. Beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan membuat bibit dari biji yang dihasilkan oleh pohon induk jati plus untuk mendapatkan klon unggul maupun menggunakan teknik kultur jaringan. Penggunaan teknik kultur jaringan mengalami perkembangan pesat karena dapat memperbanyak pohon dari berbagai jaringan tanaman, dengan hasil yang baik, cepat tumbuh, dan mempunyai sifat yang sama dengan induknya (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Tini dan Amri, 2008)). Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) melalui Puslit Bioteknologi telah mengembangkan Jati Platinum melalui suatu rekayasa genetika untuk menghasilkan Jati yang cepat tumbuh dan diharapkan sama kualitasnya dengan induknya. Melalui program Invagro yang merupakan program lintas satuan kerja di bawah Kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) dengan mengembangkan Jati Platinum sebagai basis utama dalam program tersebut, saat ini Jati Platinum yang ditanam telah berumur 2 dan 5 tahun. Namun, informasi tentang kualitas kayunya sangat terbatas. Kualitas kayu pada dasarnya dapat dilihat dari sifat dasar kayunya, salah satunya adalah sifat fisika dan mekanika kayu. Oleh karena itu, penelitian tentang kedua sifat ini sangat penting untuk dilakukan dengan tujuan mengetahui kualitas Jati Platinum. METODOLOGI PENELITIAN Bahan penelitian yang digunakan adalah Jati Platinum berumur 2 dan 5 taun yang ditanam di Cibinong Science Center, Bogor. Parameter pengujian terdiri dari umur (2 dan 5 tahun), posisi batang arah aksial (pangkal, tengah, ujung), dan arah radial. Sifat fisika kayu yang diuji adalah kerapatan dan stabilitas, sedangkan sifat mekanika yang diamati adalah lengkung statik, keteguhan tekan tegak lurus serat, dan keteguhan tekan sejajar serat. Jati Platinum berumur 2 tahun hanya diuji sifat fisikanya saja karena diameter batangnya yang masih kecil. Metode pengujian sifat fisika dan mekanika kayu dilakukan dengan metode British Standard (BS) 373 tahun 1957. Gambar pemotongan sampel dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah :
Gambar 1. Pemotongan Sampel Sifat Fisika dari Disk Kayu Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
55
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang hubungan kerapatan dengan MOR dan MOE pada Jati Platinum berumur 5 tahun dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Dari kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa berat jenis dan MOR maupun MOE mempunyai kecenderungan turun dari arah kulit menuju empulur, kemudian naik dari empulur menuju kulit dibagian lainnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh semakin tingginya prosentase kayu masak dibandingkan dengan kayu juvenil menuju ke arah kulit, dengan ciri-ciri dinding selnya lebih tebal, kenaikan panjang serat, selnya lebih stabil, dsb. Panshin dan de Zeeuw (1980) dan Bowyer et al. (2003) mengatakan bahwa kerapatan naik dari empulur menuju kulit. Kekuatan kayu yang digambarkan dengan MOR dan MOE juga berhubungan lurus dengan kerapatan kayu, artinya semakin tinggri kerapatan, semakin tinggi MOR dan MOE kayunya.
Gambar 2. Hubungan BJ dan MOR
56
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Gambar 3. Hubungan BJ dan MOE Pada arah aksial (Gambar 4), berat jenis mempunyai kecenderungan dengan semakin rendah nilainya dari pangkal menuju ujung, begitu juga dengan kekuatan kayunya. Hal ini disebabkan karena proporsi kayu masak akan cenderung semakin rendah menuju ujung batang pohon (Panshin dan de Zeeuw, 1980; Bowyer et al. 2003).
Gambar 4. Hubungan BJ, MOR, MOE pada arah longitudinal
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
57
Tabel 1. Perbandingan Jati Platinum dan Jati lainnya Jenis Jati MOR Umur 10a Umur 8*
MOE (X103) kg/cm2 860.35 85.29
BJ 0.48
800-900
60~80
0.47-0.7
934,39
103,38
0.63
Jati Konvensional***
1031
127,7
0.67
Jati Platinum 5 tahun
919.79
100.3
0.52
Jati Rakyat (9-10 th)
736
84
0.42
Umur 20-30 th**
Ket : a) Negara dan Marsoem 2014 *)Wahyudi dan Arifien, 2005;**)Suprapto dan Marsoem, 2007;***)Martawijaya et al., 1981 Tabel 1 terlihat bahwa Jati Platinum mempunyai MOR dan berat jenis yang lebih tinggi daripada Jati Rakyat berumur 9-10 tahun, ataupun Jati Perhutani berumur 8 tahun, bahkan kualitasnya hampir sama dengan Jati Perhutani berumur 20-30 tahun. Hal ini disebabkan oleh kerapatannya yang lebih rendah daripada Jati bermur 20-30 tahun. Pada dasarnya, kerapatan akan naik sebanding dengan bertambahnya umur pohon (panshin dan de Zeeuw, 1980). Jika dibandingkan dengan Jati Perhutani hasil progeny test berumur 10 tahun, nampak terlihat bahwa Jati Platinum mempunyai peluang yang baik sebagai bahan baku konstruksi. Tabel 2. Perbandingan Penyusutan dan Stabilitas Dimensi Jati Platinum dan Jati PENYUSUTAN PENYUSUTAN KERING UDARA KERING TANUR Penelitian Jati pada Rasio (%) (%) berbagai Umur T/R L T R L T R Umur 10 thn 0.51 3.93 1.16 0.94 6.17 2.42 2.27 Umur 20-30 thn 0.52 2.61 1.65 0.77 5.31 3.53 1.51 Jati Konvensional 5.2 2.8 1.86 Jati Platinum 5 tahun 4.83 1.9 8.23 3.81 2.16 Jati Platinum 2 tahun 2.32 2.75 4.63 5 0.93 Jati Rakyat (9-10 th) 3.2 1.69 6.08 2.82 2.16 Keterangan: L : arah longitudinal T : arah tangensial R : arah radial Tabel 2 menunjukkan bahwa stabilitas dan penyusutan Jati Platinum lebih rendah daripada Jati konvensional maupun berumur 20-30 tahun. Umur dari pohon sangat berpengaruh terhadap proporsi dari kayu dewasa atau masak, dimana semakin tua umur pohon maka semakin bertambah juga proporsi sel masaknya. Sel masak mempunyai stabilitas yang lebih baik daripada sel yang masih muda (juvenil). Jika dibandingkan dengan Jati Platinum dan Jati Rakyat, stabilitas yang ditunjukkan oleh T/R rasio menunjukkan bahwa Jati Platinum mempunyai stabilitas yang hampir sama dengan kedua jenis Jati yang lain. Dengan umur yang relatif lebih muda dari Jati Perhutani hasil 58
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
progeny test dan Jati Rakyat, Jati Platinum juga mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai salah satu alternatif bahan baku kayu Jati dimasa mendatang. Namun, tingginya angka penyusutan dan rasio T/R mengakibatkan kayu rentan terhadap perubahan cuaca, terutama kadar air lingkungan sekitar. Oleh karena itu, strategi dalam pengeringan maupun pemrosesan kayu Jati Platinum perlu diperhatikan. KESIMPULAN Jati Platinum mempunyai prospek yang sangat bagus untuk terus dikembangkan dan dibudidayakan sebagai alternatif sumber kayu Jati di masa mendatang. Kualitas Jati platinum berumur 5 tahun ternyata mempunyai kekuatan yang lebih baik daripada Jati Rakyat yang berumur 9-10 tahun, artinya bahwa dengan umur yang hanya setengah dari Jati Rakyat, menghasilkan kekuatan yang lebih baik yang berarti sangat mempunyai prospek untuk dipanen dalam waktu singkat dengan kualitas yang baik. Bahkan, kualita dari Jati tersebut mendekati Jati berumur 20-30 tahun dari Perhutani. Hanya saja, stabilitas dimensi yang termasuk agak rendah mengharuskan dilakukan strategi dalam mengeringkan kayu agr tidak terjadi cacat-cacat pengeringan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1957. Standar British 373, 1957. Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber, London. Bowyer, J. L., J. G. Haygreen, dan R. Schmulsky. 2003. Forest Products and Wood Science : An Introduction. 4th Ed. Iowa State Press. USA. Hendaryono, D. P. S. dan Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Diakses dari www.books.google.com/books?hl=en&lr=&id=GxmM8rmUBOcC&oi=fnd&pg =PA5&dq=kultur+jaringan+jati&ots=86j6uiY59v&sig=jBdmShFVDsdudqk4Qe 4xt1ZGMOA#PPA30,M1. Diakses tanggal 23 Mei 2009. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., Prawira, S. A. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan Bogor. Naiem, M. 2005. Masyarakat Cenderung Tanam Jati secara Paksa. http://www.bernas.co.id/news/CyberMetro/METRO/1722.htm. Diakses tanggal 23 Mei 2009. Negara, L.A. dan Marsoem, S. N. 2014. Variasi Aksial dan Radial terhadap Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Jati Perhutani Plus Berumur 10 Tahun. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Panshin, A.J dan C. de Zeeuw, 1980. Textbook of wood technology. 4th ed. Structure, identification, properties, and uses of the commercial woods of the United States and Canada, Mc Graw-Hill Book Company, New York. Suprapto, E. dan Marsoem, S. N., 2007. Variasi Aksial dan Radial Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Jati (Tectona grandis Linn.F) Tebangan Penjarangan (KU III) dari KPH Purwakarta. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tini, N. dan Amri, K. 2008. Mengebunkan Jati Unggul : Pilihan Investasi Prospektif. http://www.kutukutubuku.com/2008/open/5442/mengebunkan_jati_unggul_piliha n_investasi_prospektif. Diakses tanggal 27 Mei 2009.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
59
Wahyudi, I. dan Arifien, A. F. 2005. Perbandingan Anamtomis, Sifat Fisis, dan Sifat Mekanis Kayu Jati Unggul dan Kayu Jati Konvensional. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 3(2): 53-59
60
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
HIDROLISIS ASAM SULFAT PADA SELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI GULA PEREDUKSI Triyani Fajriutami*, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis Hermiati Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *Email:
[email protected] ABSTRAK Untuk memperluas pemanfaatan bahan alam, bahan bakar nabati berbasis biomassa dapat diproduksi dari biomassa lignoselulosa. Penelitian ini untuk mempelajari proses pretreatment basa dilanjutkan dengan hidrolisis asam pada ampas tebu untuk memproduksi gula pereduksi yang akan digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku bioetanol. Ampas tebu diberi perlakuan pendahuluan dengan 2 reagen basa, yaitu masing-masing NaOH (1%, 2%, 3%) dan Ca(OH)2 (0.1, 0.2, 0.3 g Ca(OH)2/g bahan) pada 121°C selama 30, 60 dan 90 menit. Asam sulfat dengan konsentrasi rendah (2% b/v) selanjutnya digunakan untuk menghidrolisis ampas tebu hasil perlakuan pendahuluan yang dibantu dengan iradiasi gelombang mikro (330 W, 2.5-12.5 menit). Kehilangan lignin yang terjadi selama proses pretreatment basa tidak berbanding lurus dengan produksi gula pereduksi setelah proses hidrolisis. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh banyaknya selulosa yang terdegradasi saat proses pretreatment. Kata kunci: Pretreatment basa, hidrolisis asam sulfat, iradiasi gelombang mikro, gula pereduksi, ampas tebu PENDAHULUAN Salah satu problem besar yang dihadapi oleh banyak negara adalah berkurangnya ketersediaan minyak bumi. Problem ini sangat serius di negara- negara yang sedang berkembang, karena pertumbuhan ekonominya sangat tergantung pada minyak sebagai sumber energi. Di lain pihak, pemanasan global yang diakibatkan oleh pemakaian bahan bakar berbasis minyak bumi (lebih umum bahan baku fosil) makin terasa. Kedua hal tersebut mendorong dikembangkannya bahan bakar alternatif yang bersifat terbarukan dan yang tidak berakibat pada pemanasan global. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2012-2050 menetapkan bahwa peran energi baru dan terbarukan tahun 2025 minimal 25% dan tahun 2050 minimal 40%. Sedangkan peranan minyak bumi akan dikurangi menjadi kurang dari 25% di tahun 2025 dan kurang dari 20% di tahun 2050 (ESDM, 2012). Dalam hal ini bioetanol adalah salah satu alternatif yang menjanjikan. Bioetanol dibuat dari biomassa yang berasal dari CO2 dari udara, sehingga jika dibakar, meskipun menghasilkan CO2, namun secara netto tidak terjadi penambahan CO2 di atmosfer. Dalam hal skala besar produksi bioetanol, sebagai salah satu jenis energi terbarukan, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih disukai oleh industri. Biomassa lignoselulosa dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku untuk produksi bioetanol. Ketika menggunakan pati atau molase, bahan baku tersebut menghabiskan sekitar 4070% biaya produksi (Dalgaard et al., 2006; Sendelius, 2005; Quintero et al., 2008). Limbah industri pertanian, dalam penelitian ini adalah ampas tebu, diharapkan mampu Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
61
menjadi salah satu bahan baku yang melimpah dan murah sehingga dapat mengurangi biaya produksi bioetanol. Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol memerlukan beberapa tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol. Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Tahap ini dinilai sebagai tahap yang paling mahal. Oleh karena itu, pretreatment merupakan tantangan utama dalam proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Hermiati et al., 2010). Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses pretreatment masih terbuka lebar. Pretreatment dapat dilakukan secara mekanik, kimia, biologi, dan kombinasi dari cara tersebut (Sun and Cheng, 2002). Beberapa penelitian sudah dilakukan tentang keunggulan basa NaOH sebagai metode pretreatment lignoselulosa (Sudiyani et al., 2010; Nlewem and Thrash Jr., 2010; McIntosh and Vancov, 2011). Di sisi lain, pretreatment Ca(OH)2 menawarkan tiga keuntungan dibanding pretreatment lainnya, yaitu tidak banyak mendegradasi selulosa dan hemiselulosa, tidak mahal sehingga bisa diaplikasikan pada produksi energi tidak terbarukan dan bahan kimia, dan aman untuk digunakan (Sierra et al., 2009). Beberapa penelitian sudah dilaporkan yang menghasilkan kondisi optimum penggunaan basa Ca(OH)2 pada pretreatment lignoselulosa (Chang et al., 1997; Kaar and Holtzapple, 2000; Kim and Holtzapple, 2005). Hidrolisis merupakan reaksi kimia yang memecah molekul menjadi dua bagian dengan penambahan molekul air (H2O), dengan tujuan untuk mengkonversi polisakarida menjadi monomer-monomer sederhana. Satu bagian dari molekul memiliki ion hidrogen (H+) dan bagian lain memiliki ion hidroksil (OH-). Umumnya hidrolisis ini terjadi saat garam dari asam lemah atau basa lemah (atau keduanya) terlarut di dalam air. Akan tetapi, dalam kondisi normal hanya beberapa reaksi yang dapat terjadi antara air dengan komponen organik. Penambahan asam, basa, atau enzim umumnya dilakukan untuk membuat reaksi hidrolisis dapat terjadi pada kondisi penambahan air tidak memberikan efek hidrolisis. Asam, basa maupun enzim dalam reaksi hidrolisis disebut sebagai katalis, yakni zat yang dapat mempercepat terjadinya reaksi (Lowry, 1987 di dalam Osvaldo et al., 2012).Walaupun terdapat berbagai macam metode hidrolisa untuk bahan-bahan lignosellulosa, hidrolisa asam dan hidrolisa enzimatik merupakan dua metode utama yang banyak digunakan khususnya untuk bahan-bahan lignosellulosa dari limbah pertanian dan potongan-potongan kayu (Badger, 2002). Dipilih hidrolisis asam karena membutuhkan biaya relatif murah dan memerlukan waktu tidak terlalu lama (Megawati et al., 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment NaOH dan Ca(OH)2 pada kehilangan berat dan kehilangan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis asam sulfat untuk produksi bioetanol. BAHAN DAN METODE Persiapan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan adalah bahan baku ampas tebu yang diperoleh dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat yang kemudian dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Sebelum digunakan untuk proses selanjutnya, ampas tebu tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.
62
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Pretreatment Ampas Tebu dengan Basa Proses pretreatment diawali dengan menimbang 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya kemudian dimasukkan dalam labu erlenmeyer volume 250 ml. Larutan NaOH dipersiapkan dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3% (b/v), kemudian diambil 150 ml larutan NaOH dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer berisi ampas tebu tersebut. Pada pretreatment dengan basa Ca(OH)2, konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan adalah 0.1, 0.2 dan 0.3 g/g ampas tebu. Oleh karena itu, serbuk Ca(OH)2 ditimbang sebanyak 1 gram, 2 gram dan 3 gram untuk dicampurkan bersama ampas tebu yang sudah ditimbang sebelumnya. Kemudian ditambahkan air sebanyak 15 g/g ampas tebu atau 150 g air. Diasumsikan berat jenis air adalah 1 g/ml, sehingga air yang ditambahkan ke dalam campuran adalah 150 ml. Sebagai pembanding kedua pretreatment tersebut (kontrol), digunakan 150 ml air suling sebagai pengganti basa. Kemudian labu yang sudah berisi campuran ampas tebu dan larutan yang disebutkan di atas dipanaskan selama 30, 60, dan 90 menit dalam pemanas bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya. Pulp ampas tebu dibilas beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya. Sebagian pulp ampas tebu yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari, dan sebagian lainnya tetap disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis. Pulp ampas tebu setelah pretreatment yang sudah dikeringkan dianalisa komponen kimianya kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat dan kehilangan lignin. Hidrolisis Asam Sulfat dengan Iradiasi Gelombang Mikro Sebelum hidrolisis dimulai, semua sampel ampas tebu yang telah melalui proses pretreatment diukur kadar airnya. Kemudian dipersiapkan larutan asam sulfat dengan konsentrasi 2% (b/v). Sebanyak 2.5 gram contoh kering ampas tebu hasil pretreatment dimasukkan ke dalam tabung (vessel) yang terbuat dari teflon, kemudian ditambahkan larutan asam sulfat 2% (b/v) dengan perbandingan 1:15 (berat contoh:volume asam sulfat 2%). Campuran diaduk selama 10 menit dengan kecepatan 250 rpm. Bahan dalam vessel dipaparkan pada oven gelombang mikro pada tingkat daya 30% (330 Watt) selama 2.5, 5, 7.5, 10, dan 12.5 menit. Oven gelombang mikro yang digunakan adalah oven gelombang mikro untuk rumah tangga (SHARP Model R-360J(S), 2450 MHz) dengan daya keluaran 1100 Watt. Setelah waktu yang diinginkan tercapai, bahan dikeluarkan dari dalam oven dan segera didinginkan dengan cara merendamnya dalam air es. Selanjutnya, hidrolisat dianalisis kadar gula pereduksi (metode Nelson-Somogyi) dan total padatan terlarut dengan refraktometer. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Ampas Tebu Tabel 1 memperlihatkan komposisi kimia ampas tebu yang digunakan dalam penelitian ini. Komponen terbesar ampas tebu, yaitu alfaselulosa yang merupakan polimer glukosa. Kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu yang besar menjadikan alternatif pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol cukup strategis dan menjanjikan (Hambali et al., 2007). Hal ini didukung oleh produksi tebu nasional yang sebesar 33 juta ton/tahun dan terdapat 58 pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari (TTH) (Hermiati et al., 2010). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan dalam pengolahan nira tebu cukup besar, yaitu sekitar 35 40% dari bobot tebu dengan kandungan air 48 - 52%, gula 2.5 - 6%, dan serat 44 48%. Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
63
Tabel 1. Komposisi kimia ampas tebu sebelum pretreatment Komponen Persentase (%)* Alfaselulosa 34.48 ± 0.2032 Hemiselulosa 27.48 ± 0.2032 Lignin 22.45 ± 0.0095 Ekstraktif 1.58 ± 0.1983 Abu 2.13 ± 0.3756 *: Basis kering Pretreatment Ampas Tebu Gambar 1 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan berat ampas tebu. Konsentrasi NaOH berpengaruh terhadap kehilangan berat ampas tebu. Penggunaan larutan NaOH sebagai pengganti air mengurangi berat ampas tebu sebanyak 10-16 kali lipat pada proses pretreatment. Kehilangan berat paling besar, yaitu 39.74% terjadi setelah pretreatment NaOH 3% dan 60 menit autoklaf.
Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 2. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C Sedangkan kehilangan berat ampas tebu akibat pretreatment Ca(OH)2 dapat dilihat pada Gambar 2. Kehilangan berat terbesar, yaitu 19.53% terjadi setelah pretreatment Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu dan 60 menit autoklaf. Kehilangan berat ampas tebu tidak sebanyak yang dihasilkan oleh pretreatment NaOH. Selain kemampuan delignifikasi yang lebih rendah, pretreatment Ca(OH)2 tidak banyak 64
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
mendegradasi selulosa dan hemiselulosa, sehingga tidak banyak kehilangan berat (Sierra et al., 2009).
Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 4. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C Gambar 3 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan lignin ampas tebu. Kehilangan lignin sangat dipengaruhi oleh penggunaan NaOH dibandingkan air. Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin banyak kehilangan lignin ampas tebu. Kehilangan lignin tertinggi, yaitu 80.70% terjadi setelah pretreatment NaOH 3% selama autoklaf 60 menit. Hal ini pula yang menyebabkan kehilangan berat tertinggi pada kondisi yang sama (Gambar 1). Kehilangan lignin akibat pengaruh Ca(OH)2 dapat dilihat pada Gambar 4. Kehilangan lignin tertinggi, yaitu 35.69% terjadi setelah pretreatment Ca(OH)2 0.2 g/g ampas tebu selama autoklaf 60 menit. Seperti NaOH, perlakuan Ca(OH)2 akan berdampak pada kehilangan lignin bahan lignoselulosa. Walaupun Ca(OH)2 cukup selektif dalam mendegradasi lignin, degradasi beberapa jenis karbohidrat juga terjadi. Namun, pada pretreatment jangka pendek, telah dibuktikan bahwa karbohidrat masih banyak yang bisa dipertahankan pada pretreatment Ca(OH)2 (Sierra et al., 2009). Hidrolisis asam sulfat dengan iradiasi gelombang mikro pada ampas tebu hasil pretreatment basa Hidrolisis asam dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan karbohidrat (dalam hal ini selulosa/hemiselulosa), pH hidrolisa, waktu hidrolisis, dan suhu (Roiz, Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
65
2001 di dalam Osvaldo et al., 2012). Semakin lama pemanasan, warna akan semakin keruh dan semakin besar konversi yang dihasilkan. Waktu yang diperlukan untuk proses hidrolisa asam sekitar 1 hingga 3 jam untuk proses konvensional, namun hal ini dapat jauh dipersingkat dengan penggunaan iradiasi gelombang mikro Hasil hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dengan bantuan 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan variasi konsentrasi pretreatment NaOH dan Ca(OH)2 dengan waktu autoklaf 30 menit dapat dilihat pada Gambar 5. Rendemen gula pereduksi tertinggi, yaitu 17.86%, dihasilkan dari 12.5 menit hidrolisis gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment NaOH 1%. Hal ini didukung oleh nilai total padatan terlarutnya yang juga paling tinggi, yaitu 1.95°Brix, yang menunjukkan kandungan gula tertinggi pada filtrat hasil hidrolisis.
Gambar 5. Rendemen gula pereduksi dan total padatan terlarut setelah hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dengan bantuan 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment alkali-autoklaf 30 menit Hasil hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dengan bantuan 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan variasi konsentrasi pretreatment NaOH dan Ca(OH)2 dengan waktu autoklaf 60 menit dapat dilihat pada Gambar 6. Rendemen gula pereduksi tertinggi, yaitu 16.94%, dihasilkan dari 12.5 menit hidrolisis gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment NaOH 2%. Sedangkan hasil hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dengan bantuan 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan variasi konsentrasi pretreatment NaOH dan Ca(OH)2 dengan waktu autoklaf 90 menit dapat dilihat pada Gambar 7. Rendemen gula pereduksi tertinggi, yaitu 16.67%, dihasilkan dari 12.5 menit hidrolisis gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment 0.1 g Ca(OH)2/g ampas tebu.
66
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Gambar 6. Rendemen gula pereduksi dan total padatan terlarut setelah hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dengan bantuan 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment alkali-autoklaf 60 menit
Gambar 7. Rendemen gula pereduksi dan total padatan terlarut setelah hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dengan bantuan 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment alkali autoklaf 90 menit
KESIMPULAN Kehilangan lignin tertinggi, yaitu 80.70% terjadi setelah proses pretreatment NaOH 3% selama 60 menit autoklaf. Namun, proses hidrolisis asam sulfat 2% (b/v) dibantu 330 Watt gelombang mikro pada sampel ampas tebu hasil pretreatment basa, dihasilkan rendemen gula pereduksi tertinggi, yaitu 17.86% yang dihasilkan dari 12.5 menit hidrolisis gelombang mikro pada sampel ampas tebu dengan pretreatment NaOH 1% dengan waktu autoklaf 30 menit. Hal ini menunjukkan bahwa kehilangan lignin Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
67
tidak berbanding lurus dengan produksi gula pereduksi, karena jika tingginya kehilangan lignin diikuti dengan besarnya selulosa yang hilang, maka proses hidrolisis selanjutnya hanya akan menghasilkan jumlah akhir gula pereduksi yang rendah. Oleh karena itu, disarankan untuk analisa lebih lanjut mengenai kehilangan selulosa dan hemiselulosa yang terjadi selama proses pretreatment. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tujukan kepada LIPI atas didanainya penelitian ini melalui DIPA 2014. Kami juga sangat menghargai kerja sama Chintia Nurmalinda Suganda dalam membantu teknis penelitian ini sehingga selesai tepat waktu. DAFTAR PUSTAKA Arthur, S. And M. Thomas, 2001. Effects of temperature and relative humidity on sporulation of M. Anisopliae var acridum in mycosed cadavers of Schistocerca gregaria. J. Invertebr. Pathol., 78: 59-65. Badger, P.C. 2002. Ethanol from cellulose: A general review. Trends in new crops and new uses. J. Janick and A. Whipkey (eds.). ASHS Press, Alexandria, VA. p. 17– 21. Chang, V.S, B. Burr, M.T. Holtzapple. 1997. Lime pretreatment of switchgrass, Applied Biochemistry and Biotechnology 63-65:3-19. Dalgaard, T., U. Jorgensen, J.E. Olesen, E.S. Jensen, and E.S. Kristensen. 2006. Looking at biofuels and bioenergy. Science 312, pp 1743. ESDM. 2012. 10 Jawaban Kenaikan Harga BBM. http://prokum.esdm.go.id/Lainlain/10%20Jawaban%20Kenaikan%20Harga%20BBM.pdf (diakses tanggal 26 Oktober 2012). Hambali, E., S. Mudjalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi: Biodiesel, Bioetanol, Biogas, Pure Plant Oil, Biobriket, dan Bio-Oil. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130. Kaar, W.E and M.T. Holtzapple. 2000. Using lime pretreatment to facilitate the enzyme hydrolysis of corn stover. Biomass and Bioenergy 18(3):189-199. Kim, S. and M.T. Holtzapple. 2005. Lime pretreatment and enzymatic hydrolysis of corn stover. Bioresource Technology 96:1994–2006.McIntosh and Vancov, 2011). McIntosh, S. and T. Vancov. 2011. Optimisation of dilute alkaline pretreatment for enzymatic saccharification of wheat straw. Biomass and Bioenergy 35: 30943103. Megawati, W.B. Sediawan, H. Sulistyo, dan M. Hidayat. 2009. Kinetika reaksi hidrolisis ranting kering dengan asam encer pada kondisi non-isotermis. Reaktor 12(4): 211-217. Nlewem, K.C. and M.E. Thrash Jr. 2010. Comparison of different pretreatment methods based on residual lignin effect on the enzymatic hydrolysis of switchgrass. Bioresource Technology 101: 5426–5430.
68
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Osvaldo, Z.S., Panca Putra S., M. Faizal. 2012. Pengaruh konsentrasi asam dan waktu pada proses hidrolisis dan fermentasi pembuatan bioetanol dari alang-alang. Jurnal Teknik Kimia 2(18):52-62 Quintero, J.A., M.I. Montoya, O.J. Sánchez, O.H. Giraldo, and C.A. Cardona. 2008. Fuel ethanol production from sugarcane and corn: Comparative analysis for a Colombian case. Energy 33, pp 385–399. Sendelius, J, 2005. Steam pretreatment optimisation for sugarcane bagasse in bioethanol production. Master of Science Thesis. Department of Chemical Engineering, Lund University, Sweden. http://www.chemeng.lth.se/exjobb/063.pdf (diakses tanggal 19 September 2011). Sierra, R., C.B. Granda, and M.T. Holtzapple. 2009. Chapter 9: Lime Pretreatment. Biofuels: Methods and Protocols. Methods in Molecular Biology, vol. 581. Jonathan R. Mielenz (ed.). Humana Press, a part of Springer Science+Business Media. Sudiyani, Y., K.C. Sembiring, H. Hendarsyah dan S. Alawiyah. 2010. Pengolahan awal dengan basa NaOH dan sakarifikasi enzimatis serat tandan kosong kelapa sawit (TKKS) untuk produksi etanol. Menara Perkebunan 78(2): 73-77. Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: a review. Bioresource Technology 83: 1–11.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
69
PRODUKSI ETANOL DARI AMPAS TEBU TERDELIGNIFIKASI ALKALI MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK Maulida Oktaviani*, Triyani Fajriutami, dan Euis Hermiati Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *Email:
[email protected] ABSTRACT The aim of this study was to investigate optimum enzyme loading and incubation time to produce ethanol from alkali-pretreated sugarcane bagasse via simultaneous saccharification and fermentation (SSF). The bagasse was delignified with 1% NaOH at 121˚C for 60 minutes and then used as a substrate for SSF. The SSF was conducted using the commercial cellulase (Meicellase, Meiji Seka Co. Ltd.) and baker yeast Saccharomyces cerevisiae. As a variable was variation on the cellulase enzyme 10-50 fpu gds-1 with 10 fpu gds-1 on intervals. The SSF process was carried out at 38˚C, 130 rpm for 72 hours. Parameters such as ethanol concentration, ethanol yield, reducing sugar concentration, and pH of the fermentation medium were determined at 24 hours intervals. The results showed that the highest ethanol concentration was obtained after 48 hours of SSF, resulted in ethanol concentration of 12,23 g/L and yield of 15,76% ethanol per dry gram of bagasse. Reducing sugar analysis showed that sugar concentration increased untill 48 hours of SSF and after that it decreased steadily untill 72 hours of SSF. The pH values of the fermentation medium after SSF ranged between 4,5 and 5,0. Keywords: Alkali pretreatment, bioethanol, simultaneous saccharification and fermentation, sugarcane bagasse PENDAHULUAN Kebutuhan dan konsumsi energi yang semakin meningkat setiap tahun telah mendorong semakin intensifnya penelitian akan produksi bioetanol sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Bioetanol dapat diperoleh melalui proses fermentasi gula dari biomassa yang mengandung karbohidrat (jagung, gandum), sukrosa (tebu) atau bahan lignoselulosa (ampas tebu/, tandan kosong kelapa sawit, dsb.) (Dias et. al. 2009). Bahan lignoselulosa seperti limbah ampas tebu merupakan bahan baku etanol yang menjanjikan disebabkan keberadaannya yang melimpah, murah, serta tidak digunakan sebagai bahan pangan sehingga tidak mengganggu pasokan pangan. Di Indonesia sendiri, potensi perolehan etanol dari ampas tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula mencapai 614.827 kL/tahun (Hermiati et. al. 2010). Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol memerlukan beberapa tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol. Hidrolisis dan fermentasi serentak atau Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam rangka mencapai proses konversi etanol dari bahan berlignoselulosa yang lebih efektif. SSF merupakan kombinasi dari tahap hidrolisis selulosa menjadi glukosa dan dilanjutkan fermentasi glukosa menjadi etanol yang berlangsung dalam 70
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
satu tempat atau reaktor (Isci et. al. 2008). SSF memiliki banyak kelebihan apabila dibandingkan dengan Hidrolisis dan Fermentasi Terpisah (SHF). SSF dapat menghasilkan etanol yield yang lebih tinggi karena meminimalisasi inhibisi produk akhir serta meminimalisasi kontaminasi bakteri yang mungkin terjadi apabila proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan terpisah (Liden et. al. 2008). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pretreatment menggunakan NaOH 1% dan pemanasan pada 121˚ C selama 60 menit, dilanjutkan dengan proses hidrolisis menggunakan enzim selulase 10 FPU, merupakan kondisi pretreatment optimal yang dapat menghasilkan total gula pereduksi sebesar 33,97 g (per 100 g bagas) (Fajriutami et. al. 2013). Berdasarkan hasil tersebut, dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui jumlah etanol yang dapat diproduksi melalui proses SSF dengan menggunakan enzim selulase dan khamir Saccharomyces cerevisiae. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi enzim dan lama waktu fermentasi terhadap produksi etanol dari ampas tebu terdelignifikasi NaOH 1%. Selain itu juga dilakukan analisis terhadap faktor-faktor lain yang memengaruhi keberhasilan SSF seperti temperatur, pH, dan konsentrasi inokulum. BAHAN DAN METODE Ampas tebu Ampas tebu yang digunakan dalam proses SSF telah melalui proses pretreatment menggunakan NaOH 1% dan pemanasan pada121˚ C selama 60 menit. Enzim Enzim yang digunakan dalam proses SSF adalah selulase (Meicellase, Meiji Seka Co. Ltd.) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Akuades steril disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Variabel enzim yang digunakan adalah 10 – 50 FPU. Mikroorganisme dan media kultur Khamir Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Kultur kerja S. cerevisiae dipreservasi pada Potato Dextrose Agar (PDA) 2% miring dan diinkubasi selama 1—2 hari pada suhu 28˚ C. Kultur kerja disimpan pada lemari pendingin (4˚ C) sebelum digunakan atau diprekultur kembali setelah satu bulan preservasi. Persiapan Starter Yeast Starter dibuat dengan menginokulasikan satu loop penuh kultur kerja S. cerevisiae ke dalam flask erlenmeyer yang berisi 50 ml media YPD 5% (10 g.l -1 Yeast Extract; 20 g.l-1 pepton; 50 g.l-1 glukosa). Biakan kemudian diagitasi pada 120 rpm selama 24 jam pada suhu 30˚ C. Inokulum dibuat dengan menginokulasikan starter sebanyak 10 % (v/v) ke dalam flask erlenmeyer berukuran 500 ml yang berisi 225 ml media YPD 5%. Inokulum kemudian diagitasi pada 120 rpm selama 16-20 jam pada suhu 30˚ C. Optical Density (OD) inokulum kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. OD inokulum dijaga agar tetap di bawah 0.800 (fase log/eksponensial). Volume inokulum yang akan digunakan dalam proses SSF ditentukan dengan rumus:
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
71
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒗𝒐𝒍. 𝒊𝒏𝒐𝒌𝒖𝒍𝒖𝒎 (𝒎𝑳) 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑺𝑺𝑭 (𝒎𝑳𝟎 𝒙 𝟎, 𝟓 ] 𝒙 (𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒇𝒍𝒂𝒔𝒌 𝑺𝑺𝑭 𝒎 + 𝟏 ) =[ 𝑶𝑫 𝒊𝒏𝒐𝒌𝒖𝒍𝒖𝒎 Sebelum digunakan, inokulum disentrifugasi pada suhu 4˚ C, kecepatan 9500 rpm selama 30 menit. Supernatan dibuang dan sel kemudian disuspensikan menggunakan NaCl steril sebanyak 1/10 volume awal. Suspensi inilah yang akan menjadi inokulum SSF. Hidrolisis dan Fermentasi Serentak (Simultaneous Saccharification and Fermentation/SSF) Proses SSF dilakukan sesuai dengan NREL LAP (TP-510-42630). Sebanyak 26.95 g (berat basah) atau 3.88 g (berat kering) pulp ampas tebu (4% selulosa) ditimbang dalam flask 250 ml yang telah diketahui beratnya. Ampas tebu tersebut kemudian disterilisasi terlebih dahulu dengan pemanas bertekanan (autoklaf) pada 121˚ C selama 15 menit. Setelah dingin, flask berisikan ampas tebu yang telah steril ditimbang kembali untuk mengetahui kehilangan air akibat pemanasan bertekanan. Media fermentasi (5 ml) yang terdiri dari 100 g.l-1 Yeast Extract; 200 g.l-1 Pepton, 1 M larutan penyangga sodium sitrat (2.5 ml), 10% (v/v) inokulum Yeast, dan enzim ditambahkan ke dalam flask berisikan ampas tebu. Akuades steril ditambahkan ke dalam flask hingga berat total campuran mencapai 50 g. Kecuali enzim, media fermentasi dan larutan buffer yang digunakan telah disterilisasi terlebih dahulu dengan autoklaf pada 121˚ C selama 15 menit. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol enzim (tanpa substrat). Flask SSF kemudian dilengkapi dengan leher angsa sebagai gas trapped. Proses SSF dilakukan dalam shaking incubator 130 rpm pada suhu 38˚ C selama 72 jam. Penentuan Komponen Kimia Ampas Tebu setelah Pretretament Ampas tebu setelah pretreatment dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar ekstraktif, kadar lignin, kadar hemiselulosa dan kadar alfaselulosa. Kadar alfaselulosa inilah yang akan menjadi acuan untuk menentukan jumlah solid loading ketika SSF. Penentuan Kadar Gula Pereduksi Filtrat hasil hidrolisis enzimatis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode Nelson-Somogyi. Gula pereduksi pada perlakuan dihitung setelah dikurangi dengan gula pereduksi pada kontrol. Penghitungan Jumlah Yeast sebelum dan setelah SSF Jumlah Yeast sebelum dan setelah proses SSF dihitung dengan metode direct count method dengan menggunakan kamar hitung Improved Neubauer dan pewarnaan Trypan Blue. Penentuan Konsentrasi Ethanol Sampel diambil setelah 24, 48, dan 72 jam inkubasi. Sampel kemudian disentrifugasi pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan diambil untuk kemudian diukur konsentrasi etanolnya dengan menggunakan Gas Chromatography (GC) Shimadzu 14B, Packed Column Carbowax 20m = 2m, Final temperatur 70˚ C dengan rate 10˚ C/menit, selama 10 menit. Kondisi tekanan N2 = 260 KPa, H2 = 70 kPa, Udara 50 kPa. Suhu injektor 150˚ C, suhu detektor 250˚ C, dan volume injeksi sebesar 5µl. 72
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Sampel disimpan dalam botol vial pada 4˚ C apabila analisis ethanol dilakukan di kemudian hari. Konversi selulosa (%) dari yield secara teori dihitung berdasarkan rumus: 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝒔𝒆𝒍𝒖𝒍𝒐𝒔𝒂 (%) =
𝒌𝒐𝒏𝒔𝒆𝒏𝒕𝒓𝒂𝒔𝒊 𝒆𝒕𝒂𝒏𝒐𝒍 (𝒈/𝑳) 𝒙𝟏𝟎𝟎% 𝟎, 𝟓𝟏 𝒙 (𝟎𝟓𝟏𝟒𝟗 𝒙 𝟕𝟕, 𝟔 𝒙 𝟏, 𝟏𝟏𝟏)
dengan 0,51 merupakan faktor konversi glukosa menjadi etanol berdasarkan stoikiometri biokimia Yeast; 0,5149 merupakan kadar selulosa berat kering substrat (g/g); 77,6 merupakan konsentrasi berat kering substrat pada awal SSF (g/L); serta 1,111 merupakan faktor konversi selulosa menjadi glukosa HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, ampas tebu yang digunakan sebagai substrat telah mengalami pretreatment menggunakan NaOH 1% dan pemanasan pada 121˚ C. Tabel 1 menunjukkan komposisi komponen kimia ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment. Alfaselulosa merupakan komponen penting yang berperan dalam konversi gula menjadi ethanol. Hasil menunjukkan bahwa pretreatment NaOH 1% telah berhasil menghilangkan lignin secara signifikan sehingga kadar selulosa pun meningkat. Tabel 1. Komponen kimia ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment Komponen Ash Content Extractive in EtOH-Benzene Klason Lignin Holocellulose : αcellulose Hemicellulose
Bagas Mentah [% berat kering] 2,13 ± 0,38 1,58 ± 0,20 22,45 ± 0,01
Pretreatment NaOH 1% [% berat kering] 0,64 ± 0,06 0,61 ± 0,14 9,00 ± 0,12
34,48 ± 0,20
51,49 ± 0,44
27,48 ± 0,20
27,96 ± 0,44
Gambar 1 menunjukkan profil gula pereduksi total yang diperoleh setelah SSF. Gula pereduksi total pada tiga variasi konsentrasi enzim (20, 30, dan 50 FPU) menunjukkan tren yang sama, di mana konsentrasi gula pereduksi meningkat pada 24 jam pertama SSF sebelum kemudian menurun hingga 48 jam SSF. Konsentrasi gula pereduksi total tertinggi (22,83 g/L) diperoleh pada perlakuan konsentrasi enzim 50 FPU dengan waktu inkubasi 24 jam. Konsentrasi gula pereduksi yang tingi sampai pada 24 jam pertama SSF menunjukkan bahwa telah terjadi akumulasi gula pereduksi sebagai akibat dari hidrolisis selulosa oleh enzim selulase serta masih sedikitnya jumlah gula yang dikonsumsi oleh Yeast. Konsentrasi gula pereduksi kemudian menurun setelah 24 jam SSF disebabkan karena pada fase ini perumbuhan Yeast mulai beralih dari fase eksponensial ke fase stasioner sehingga konsumsi gula oleh Yeast semakin meningkat dan mengurangi konsentrasi gula pereduksi dalam medium SSF (Gambar 3). Konversi selulosa menjadi etanol ditunjukkan oleh gambar 2. Berdasarkan hasil dapat diketahui bahwa konversi selulosa tertinggi adalah sebesar 118,49% dari nilai konversi maksimal secara teoritis. Nilai tersebut diperoleh pada konsentrasi enzim 50 FPU dengan waktu inkubasi 48 jam. Peningkatan konsentrasi enzim memiliki pengaruh Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
73
yang signifikan terhadap konversi selulosa menjadi etanol (Lu et. al. 2012). Walaupun berdasarkan profil, penambahan enzim sebesar 20 – 40 FPU tidak memberikan efek signifikan terhadap nilai konversi etanol dibandingkan dengan konsentrasi enzim 50 FPU, namun dapat disimpulkan bahwa ketika konsentrasi enzim loading meningkat maka nilai konversi selulosa menjadi meningkat.
Gambar 1. Produksi gula pereduksi total dari ampas tebu terdelignifikasi NaOH 1% setelah SSF pada 38 ˚ C selama 72 jam Konversi Selulosa (%)
140 120 100
80 60 40
20 0 0
10 fpu
24
20 fpu
48 Waktu (Jam)
30 fpu
72
40 fpu
50 fpu
Gambar 2. Konversi selulosa menjadi etanol (dibandingkan dengan konversi maksimal secara teoritis) melalui SSF selama 72 jam
74
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Gambar 3. Pola pertumbuhan S. cerevisiae selama SSF Pada penelitian ini, SSF dilakukan dengan memanfaatkan yeast S. cerevisiae pada 38˚ C, 130 rpm. Hasil pengukuran dengan GC menunjukkan bahwa konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada konsentrasi enzim 50 FPU dengan waktu fermentasi selama 48 jam, yaitu sebesar 26,83 g/L (Gambar 4). Yield ethanol tertinggi yang diperoleh adalah sebesar 34,57 % per gram berat kering, yang diperoleh dari berat ethanol tertinggi dibandingkan dengan berat sampel kering (3,88 g) (Gambar 5). Apabila dihubungkan dengan kurva pertumbuhan Yeast, jelas sekali terlihat bahwa konsentrasi dan yield etanol tertinggi dicapai ketika Yeast telah memasuki fase stasioner di mana tidak ada lagi pertumbuhan sel sehingga produksi etanol cenderung konstan. Konsentrasi etanol cenderung menurun ketika waktu inkubasi diperpanjang hingga 72 jam. Hal ini dapat terjadi karena Yeast telah memasuki fase kematian sehingga tidak lagi efektif memfermentasi glukosa menjadi etanol.
Gambar 4. Konsentrasi etanol dari ampas tebu terdelignifikasi NaOH 1% setelah SSF pada 38˚ C selama 72 jam
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
75
35
Yield Etanol (%)
30 25 20 15 10
5 0 0 10 fpu
24 48 Waktu (Jam) 20 fpu
30 fpu
72 40 fpu
50 fpu
Konsentrasi Etanol (g/L)
Gambar 5. Rendemen etanol dari ampas tebu terdelignifikasi NaOH 1% setelah SSF pada 38˚ C selama 72 jam 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
10% Inoculum 20% Inoculum 30% Inoculum
0
24
48
72
Wa ktu (Ja m)
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi inokulum terhadap produksi etanol Salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan SSF adalah pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH medium pada semua perlakuan berkisar pada 4,5 – 5,0 selama SSF. Hal ini menunjukkan bahwa pH 4,5 – 5,0 merupakan kisaran pH optimal bagi SSF. Lu et. al. (2012) menyebutkan bahwa nilai konversi selulosa menjadi lebih tinggi karena penggunaan buffer sodium sitrat efektif meningkatkan kerja enzim serta mampu mengontrol pH medium selama proses SSF berlangsung. Gomes et. al. (2006) menyebutkan bahwa selulase bekerja lebih efektif pada lingkungan yang asam (4,5 – 5). Kisaran pH tersebut juga sangat penting bagi pertumbuhan yeast yang secara natural optimal tumbuh pada lingkungan asam dan aktivitas metabolismenya untuk memfermentasi glukosa menjadi etanol secara efisien. Tiga konsentrasi inokulum yang berbeda, 10%, 20%, dan 30% (v/v), diinokulasikan ke dalam flask SSF untuk mengetahui pengaruh konsentrasi inokulum terhadap produksi etanol. Sampling dilakukan bersamaan dengan sampling etanol, dan jumlah sel setelah SSF dihitung dengan menggunakan kamar hitung. Hasil pengamatan (Gambar 6) menunjukkan bahwa kadar etanol tertinggi, yaitu sebanyak 17,59 g/L, diperoleh pada flask dengan inokulum 30% dan waktu fermentasi selama 72 jam. Kurva pertumbuhan pada SSF dengan inokulum 30% juga menunjukkan fase stasioner yang berlangsung sedikit lebih lama daripada SSF dengan inokulum 10% dan 20%. Produksi
76
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
etanol meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi inokulum. Hal ini disebabkan karena semakin banyak yeast yang diinokulasikan, maka semakin banyak yeast yang dapat mengonversi gula menjadi etanol. Walaupun demikian, masih harus dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui konsentrasi inokulum yang optimal bagi SSF. KESIMPULAN Semakin tinggi konsentrasi enzim selulase yang digunakan, maka semakin tinggi konsentrasi etanol yang dihasilkan selama SSF. Konsentrasi enzim 50 FPU dengan waktu inkubasi 48 jam menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 26,83 g/L dan yield etanol sebesar 34,57% per gram berat kering bagass. Konsentrasi enzim selulase 50 FPU, waktu inkubasi 48 jam, serta pH 4,5 – 5 merupakan kondisi optimal bagi SSF ini. DAFTAR PUSTAKA Fajriutami, T., W. Fatriasari, R. P. B. Laksana, E. Hermiati. 2013. Pretreatment NaOH dan hidrolisis enzimatis pada ampas tebu. Laporan Teknik Akhir Tahun 2013 UPT BPP Biomaterial, LIPI. Dias, M. O. S., A. V. Ensias, S. A. Nebra, R. M. Filho, C. E. V. Rossell, M. R. W. Maciel. 2009. Production of bioethanol and other bio-based materials from sugarcane bagasse: Integration to conventional bioethanol production process. Chemical Engineering Research and Design: 1206-1216. Dowe, N., J. McMillan. 2001. SSF experimental protocols-Lignocellulosic biomass hydrolysis and fermentation. National Renewable Energy Laboratory NREL/TP510-42630 Hermiati, E., D. Mangunwidjaja, T. C. Sunarti, O. Suparno, B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan biomassa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130. Isci, A., P. T. Murphy, R. P. Anex, K. J. Moore. 2006. A rapid simultaneous saccharification and fermentation (SSF) technique to determine ethanol yields. Bioenerg. Res. (1): 163-169. Liden G, Olofsson K, Bertilsson M. 2008. A short review on SSF —an interesting process option for ethanol production from lignocellulosic feedstocks. Biotechnol Biofuels 1:7 Lu, J., X. Li, J. Zhao, Y. Qu. 2012. Enzymatic saccharification and ethanol fermentation of reed pretreated with liquid hot water. Journal of Biomedicine and Biotechnology : 1-9.
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
77
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PELENGKUNGAN KAYU UNTUK DIAPLIKASIKAN PADA PUSAT PENGRAJIN DI KABUPATEN SUMEDANG Wahyu Dwianto1*, Sasa S. Munawar2, Yusup Amin1, Teguh Darmawan1, Danang S. Adi1 1
Pusat Penelitian Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia *E-mail:
[email protected] 2
Pusat Inovasi LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia ABSTRAK Kayu berbentuk lengkung telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan umumnya diaplikasikan pada produk-produk meubel, maupun pada komponen bangunan perumahan (kusen pintu/jendela), peralatan musik dan olah raga, mainan, serta keperluan lainnya. Cara konvensional yang umum dilakukan untuk mendapatkan kayu berbentuk lengkung adalah dengan memotong balok kayu menjadi bentuk lengkung dan disambung, sehingga didapatkan bentuk lengkung yang diinginkan. Ditinjau dari prosesnya, cara konvensional ini mudah dikerjakan, karena hanya menggunakan teknik dan peralatan kayu yang sederhana. Kekurangan dan kerugian dari proses pengerjaan kayu konvesional ini adalah pemborosan bahan baku kayu, menurunkan kekuatan kayu karena terpotongnya arah serat, serta mengurangi keindahan arah serat kayu. Permasalahan ini dapat diatasi dengan metode pelengkungan kayu solid. Pelengkungan kayu solid dapat dilakukan dengan memanfaatkan sifat viscoelastis kayu (Dwianto et al., 2004). Pelengkungan kayu solid ini memerlukan teknik dan peralatan khusus, sehingga apabila akan dikembangkan secara komersil, diperlukan pengetahuan dasar pelengkungan kayu dan selanjutnya dapat diupayakan suatu proses produksi massal, cepat, dan ekonomis, serta disesuaikan dengan bentuk kayu lengkung yang diinginkan (ukuran pemakaian). Kegiatan pelatihan ini akan dilaksanakan di Kec. Paseh sebagai sentra meubeler di Kab. Sumedang. Kata Kunci: kayu lengkung, cara konvensional, sifat viscoelastis kayu PENDAHULUAN Kayu berbentuk lengkung telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan umumnya diaplikasikan pada produk-produk meubel, maupun pada komponen bangunan perumahan (kusen pintu/jendela), peralatan musik dan olah raga, mainan, serta keperluan lainnya. Cara konvensional yang umum dilakukan untuk mendapatkan kayu berbentuk lengkung adalah dengan memotong balok kayu menjadi bentuk lengkung dan disambung, sehingga didapatkan bentuk lengkung yang diinginkan. Ditinjau dari prosesnya, cara konvensional ini mudah dikerjakan, karena hanya menggunakan teknik dan peralatan kayu yang sederhana. Kekurangan dan kerugian dari proses pengerjaan kayu konvesional ini adalah pemborosan bahan baku kayu, menurunkan kekuatan kayu karena terpotongnya arah serat, serta mengurangi 78
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
keindahan arah serat kayu. Permasalahan ini dapat diatasi dengan metode pelengkungan kayu solid. Pelengkungan kayu solid dapat dilakukan dengan memanfaatkan sifat viscoelastis kayu (Dwianto et al., 2004), yaitu (I) pelunakan (softening): dapat dicapai dengan merendam kayu sampai jenuh air dan dilanjutkan dengan perlakuan panas; (II) pelengkungan (forming): pelengkungan dapat dimungkinkan pada saat kayu masih lunak jika dibandingkan dengan kayu kering; (III) drying set (setting): drying set merupakan proses pengeringan pada saat kayu dalam kondisi lengkung; (IV) fiksasi (fixation): fiksasi merupakan usaha/perlakuan tertentu agar kayu yang telah dilengkungkan tidak kembali ke bentuk semula atau bersifat permanen. Kayu dan bahan berlignoselulosa lainnya dapat dibentuk dengan cara dipanaskan dalam keadaan basah (Hillis dan Rozsa, 1978). Kayu dapat mengalami pelunakan pada batas tertentu apabila dipanaskan dalam keadaan basah. Pada saat melunak kayu tersebut dapat dilengkungkan. Akan tetapi ada sebagian jenis kayu yang dapat dengan mudah dilengkungkan dan ada yang sulit. Berbagai penelitian mengenai perilaku beberapa jenis kayu yang diberi panas pada kondisi basah telah banyak dilakukan. Perlakuan tersebut antara lain adalah dengan perendaman air panas, pemanasan dengan microwave, atau pemberian uap panas (steaming). Pada penelitian sebelumnya untuk mengetahui jenis-jenis kayu yang mudah dilengkungkan dengan pengujian lentur statis contoh uji bebat cacat pada kondisi pelunakan menunjukkan bahwa nilai Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) menurun pada kondisi jenuh air jika dibandingkan dengan kondisi kering udara (Dwianto et al., 2004). Selanjutnya diketahui bahwa pelengkungan kayu membutuhkan kecepatan yang sangat rendah untuk mencegah agar kayu tidak mengalami kerusakan, yaitu 5 mm/menit. Jenis kayu yang berhasil dilengkungkan secara manual adalah kayu Afrika, Akasia, Albizia, Ambon, Angsana, Bacang, Cemara, Jengkol, Pinus dan Randu. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa faktor penyebab keberhasilan pelengkungan kayu merupakan kombinasi antara kerapatan kayu, nilai relatif MOE, MOR dan nilai defleksi pada saat patah, dimana kayu yang mudah dilengkungkan adalah kayu yang mempunyai kerapatan rendah sampai dengan sedang; nilai relatif MOE, MOR rendah; dan nilai defleksi tinggi (Prianto et al., 2004). Pelengkungan kayu yang bersifat permanen dapat diusahakan dengan mengunakan metode (1) perekatan, (2) perlakuan suhu tinggi pada kondisi kayu kering (heat treatment) dan (3) perlakuan uap air suhu tinggi pada kondisi kayu basah (steam treatment). Penelitian mengenai fiksasi kayu lengkung dengan perlakuan uap panas telah dilakukan antara lain oleh Makinaga et al. (1997). Mereka melaporkan bahwa untuk men menit. Upaya fiksasi dengan perlakuan panas telah dilakukan oleh Darmawan et al. (2005, 2006, 2007), serta menggunakan perekat pada pembuatan LVL lengkung (Darmawan et al., 2009). Pelengkungan kayu solid ini memerlukan teknik dan peralatan khusus, sehingga apabila akan dikembangkan secara komersil, diperlukan pengetahuan dasar pelengkungan kayu dan selanjutnya dapat diupayakan suatu proses produksi massal, cepat, dan ekonomis, serta disesuaikan dengan bentuk kayu lengkung yang diinginkan (ukuran pemakaian). BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Paseh sebagai sentra meubeler di Kabupaten Sumedang. Bahan yang digunakan adalah lembaran veneer, Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
79
perekat kayu dan peralatan pelengkungan kayu. Metode pelaksanaannya adalah (1) Koordinasi Internal dengan Para Peneliti yang terlibat langsung pada penelitian ini; (2) Koordinasi Eksternal, yaitu mengadakan kunjungan ke sentra meubeler di Kabupaten Sumedang, serta pertemuan dengan Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Sumedang dan Pejabat terkait; (3) Memberikan pelatihan teoritis dan praktek teknik pelengkungan kayu di Kec. Paseh. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum mengadakan Koordinasi Ekternal dengan Kepala Dinas Perindustrian Kab. Sumedang, Pelaksana Kegiatan Iptekda (Team) mempelajari dulu PETA PANDUAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI KABUPATEN SUMEDANG 2012 – 2015 berdasarkan PERMEN PERINDUSTRIAN RI NO. 133/MIND/PER/12/20110, sehingga dapat diketahui SASARAN dan STRATEGI/ KERANGKA PENGEMBANGAN, POKOK – POKOK RENCANA AKSI Jangka Menengah (2012 – 2015) dan Jangka Panjang (2012 – 2025), serta UNSUR PENUNJANG-nya. Dari PETA PANDUAN tersebut, maka fokus Kegiatan IPTEKDA ini adalah ke Rencana Aksi Jangka Menengah mereka, yaitu peningkatan kemampuan produksi furnitur produk jadi melalui pelatihan dan pendampingan pelaku usaha. Selain itu, kegiatannya dapat dikembangkan pada ketersediaan bahan baku dengan memperkenalkan Jati LIPI dan penelitian TTG pemanfaatan limbah menjadi particleboard. Instansi-instansi yang terkait pada pengembangan Pengrajin Kayu di Sumedang adalah: 1. Kemenhut, Kemenperindag. 2. Dinas Kehutanan, Disperindag. 3. Pemkab Sumedang, DPRD, Bappeda. 4. Perhutani, Balai Besar Kehutanan. 5. UPT Kayu Sumedang, SMK Pertukangan. 6. Tenaga Penyuluh, Pelaku Usaha, Pengrajin Jepara. Kunjungan dalam rangka sosialisasi dan koordinasi dengan instansi terkait baru dapat dilaksanakan oleh Dr. Wahyu Dwianto, M.Agr dan Dr. Sasa S. Munawar, M.Si pada tanggal 1 – 3 April lalu, yaitu bertemu dengan ke Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Sumedang dan survey ke Pengrajin Kayu di Kec. Paseh. Pada kesempatan tersebut dijelaskan selintas mengenai Teknologi Pelengkungan Kayu, beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh UPT Biomaterial, tujuan, sasaran dan kegiatan IPTEKDA yang akan dilakukan, serta usulan bersinergi dengan instansi terkait lainnya. Selain itu telah dibicarakan pula rencana Pelatihan Teoritis dan Praktek Teknik Pelengkungan Kayu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Sumedang. Untuk keperluan tersebut, Team IPTEKDA diundang kembali pada tanggal 15 – 17 April untuk menghadiri Pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Kab. Sumedang. Berikut ini adalah data-data yang telah didapat sampai dengan saat ini, meliputi nilai investasi IKM keseluruhan, faktor pendukung, permasalahan, komoditas unggulan, serta sebaran lokasi, kekuatan, peluang, kelemahan, dan ancaman IKM Mebel: Nilai investasi IKM di Kab. Sumedang = 21 milyar/5700 unit usaha/20.800 tenaga kerja. Faktor pendukung: (1) jalur perlintasan Bandung – Cirebon; (2) akan dibangun Bandara Jatiwangi dan Tol Cisumdawu. 80
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Permasalahan Index Pembangunan Manusia (IPM) rendah. Komoditas Unggulan: 1. Pangan Agro 2. Industri Kimia & Bangunan 3. Industri Kerajinan 4. Sandang dan Kulit 5. Logam & Elektronika IKM Mebel = 176 unit/1.430 orang Sebaran Lokasi: 1. Paseh (55 unit) 2. Conggeang (18 unit) 3. Sumedang Selatan (12 Unit) 4. Tomo (11 unit) 5. Jatinangor (10 unit) Kekuatan: 1. Jaringan pengusaha dan pemasaran 2. SDM/tenaga kerja 3. Dukungan Perguruan Tinggi Desain (ITB) Peluang: 1. Posisi strategis Bandung – Cirebon 2. Rencana Pembangunan Bandara di Jatiwangi Kelemahan: 1. Ketergantungan pemasaran pada pihak ke 3 2. Kemampuan desain terbatas Ancaman: 1. Kompetisi tinggi 2. Bahan baku langka & mahal.
Gambar 1. Berdiskusi dengan Kepala Dinas dan Kepala Bidang Disperidag
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
81
Gambar 2. Bimbingan Teknis Desain Furniture Kayu Disperindag Pem-Prov Jabar, 15 April 2014. KESIMPULAN 1. Pusat Pengrajin Kayu di Kab. Jepara masih jauh lebih baik perkembangannya jika dibandingkan dengan di Kab. Sumedang. Oleh karena itu harus dilakukan pembinaan yang berkelanjutan dari instansi terkait. 2. Keberlanjutan Pengrajin Kayu di Kab. Sumedang harus diupayakan mulai dari penyediaan bahan baku sampai dengan pemasaran produk-produknya. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi yang sinergi dari instansi terkait. 3. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Sumedang menyambut baik kegiatan IPTEKDA ini, namun karena tidak adanya anggaran sejak Triwulan II maka kegiatan ini tidak dapat dilanjutkan. DAFTAR PUSTAKA Darmawan, T; Jayadi; Sudijono; Y. Amin; I. Wahyuni; W. Dwianto. 2005. Modifikasi Alat Pelengkung Kayu Skala Pilot dengan menggunakan Pemanas. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4 (1): 1-8. Darmawan, T.; W. Dwianto; Y. Amin; Sudarmanto; I. Wahyuni. 2006. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan terhadap Tingkat Fiksasi Pelengkungan Kayu Kepuk (Sterculia sp.) Skala Pemakaian. Prosiding Seminar Nasional IX MAPEKI, Banjarbaru. Darmawan, T.; W. Dwianto; Y. Amin. 2007. Fiksasi Kayu Lengkung dengan Pemanasan Oven. Prosiding Seminar Nasional X MAPEKI, Pontianak. Darmawan, T; W. Dwianto; Y. Amin; K.W. Prasetiyo; Bambang Subiyanto. 2009. Karakteristik LVL Lenkung dengan Proses Kempa Dingin. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 7 (2): 62-66. Dwianto, W.; A.H. Prianto; Y. Amin,. Metode Pemilihan Jenis untuk Kayu Lengkung II – Pengujian Tekan Sejajar Serat pada Kondisi Pelunakan. Prosiding Seminar Nasional VII MAPEKI, Makasar 5-6 Agustus 2004. Hillis, W.E and A.N Rozsa. 1978. The softening temperature of wood. Holzforchung 32 (2), 68 – 73. Makinaga, M., Norimoto, M., and Inoue, M. 1997. Permanent fixation of bending deformation of wood by steam treatment. Wood Research 84, 39 - 41.
82
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI