MONITORING
KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) SELAT BUNGA LAUT, KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT
2015
Editor: Muhammad Abrar
COREMAP CTI Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) SELAT BUNGA LAUT, KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT © 2015 COREMAP CTI - LIPI Penulis : Muhammad Abrar, Muhammad Adrim, Pramudji, Muhmmad Husni Askab, Muhammad Hafizt, Selvi Octaviany, Samsuardi, Hendri Guswanto, M. Yusuf Amrullah, Asep Rasyidin, LH Purnomo, Riris Hermawan Desain Sampul & Isi : Dewirina Zulfianita
Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia COREMAP CTI - LIPI Gedung LIPI Jl. Raden Saleh No. 43 Jakarta 10330 Telp. 021-3143080 Fax. 021-3143082 Url. http://www.coremap.or.id
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
– Jakarta : COREMAP CTI - LIPI 2015 Xiv + 73 hlm.; 21 x 29.7 cm ISBN 978-602-9445-61-9 1. Terumbu karang
MONITORING MONITORING MONITORING MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KESEHATAN TERUMBU KARANG
KESEHATAN TERUMBU KARANG KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DAN EKOSISTEM TERKAIT DAN EKOSISTEM TERKAIT DAN EKOSISTEM TERKAIT DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP)(TWP) SELAT BUNGA LAUT,LAUT, DI TAMAN WISATA PERAIRAN SELAT BUNGA DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) SELATSELAT BUNGA LAUT, DIKABUPATEN TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) BUNGA LAUT, KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARATBARAT KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA
2015 2015 2015 2015
Penyusun:: Penyusun:: Penyusun:: Penyusun:: Muhammad Muhammad Abrar, Abrar, Adrim, Muhammad Abrar, Muhammad Abrar,Adrim, Muhammad Muhammad Pramudji, Muhammad Adrim,Pramudji, Muhammad Adrim, Husni Pramudji, Pramudji, Muhmmad Muhmmad Husni Husni Askab,Askab, Muhammad Hafizt, Selvi Muhmmad HusniMuhammad Hafizt, Askab, Muhmmad Husni Askab, Muhammad Hafizt, Octaviany, Samsuardi, Muhammad Hafizt, Muhammad Hafizt, Selvi Octaviany, Samsuardi, Selvi Octaviany, Samsuardi, HendriHendri Guswanto, Selvi Octaviany, Samsuardi, Selvi Octaviany, Samsuardi, Hendri Guswanto, Guswanto, Yusuf Hendri Guswanto, Hendri M. Yusuf M.Guswanto, Yusuf Amrullah, Amrullah, LH Asep Rasyidin, M. YusufM. Amrullah, Yusuf Amrullah, Asep Rasyidin, Asep Rasyidin, Asep Rasyidin, Asep Rasyidin, LHPurnomo, Purnomo, LH Purnomo, LH Purnomo, LH Hermawan Purnomo, Riris Riris Hermawan Riris Hermawan Riris Hermawan
COREMAP CTI PROGRAM PROGRAM COREMAP-CTI COREMAP-CTI CoralPROGRAM Reef CoralInformation Reef Information And Training And Training CenterCenter (CRITC)(CRITC) Pusat Penelitian Oseanografi COREMAP-CTI PROGRAM COREMAP-CTI Lembaga Lembaga Pengetahuan Ilmu Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Coral Reef Information And Training Center (CRITC) Coral Reef Information And Pengetahuan Training Center (CRITC) LembagaLembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaIndonesia Ilmu Pengetahuan
MONITORING
KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) SELAT BUNGA LAUT, KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT
2015
Editor: Muhammad Abrar
PROGRAM COREMAP-CTI Coral Reef Information And Training Center (CRITC) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) SELAT BUNGA LAUT, KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT © 2015 CRITC COREMAP II LIPI Penulis : Muhammad Abrar, Muhammad Adrim, Pramudji, Muhmmad Husni Askab, Muhammad Hafizt, Selvi Octaviany, Samsuardi, Hendri Guswanto, M. Yusuf Amrullah, Asep Rasyidin, LH Purnomo, Riris Hermawan Desain Sampul & Isi : Dewirina Zulfianita
Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC COREMAP CTI LIPI Gedung LIPI Jl. Raden Saleh No. 43 Jakarta 10330 Telp. 021-3143080 Fax. 021-3143082 Url. http://www.coremap.or.id
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
–-Jakarta : COREMAP CTI LIPI 2015 xii+ 40 hlm.; 21 x 29.7 cm ISBN ........................ 1. Terumbu karang
MONITORING
KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) SELAT BUNGA LAUT, KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT
2015
Penyusun:: Muhammad Abrar, Muhammad Adrim, Pramudji, Muhmmad Husni Askab, Muhammad Hafizt, Selvi Octaviany, Samsuardi, Hendri Guswanto, M. Yusuf Amrullah, Asep Rasyidin, LH Purnomo, Riris Hermawan
PROGRAM COREMAP-CTI Coral Reef Information And Training Center (CRITC) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kemudahan sehingga laporan teknis dengan judul ‘ Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Tahun 2015 dapat diselesaikan dengan baik. Laporan monitoring ini memberikan informasi hasil kegiatan lapangan penilaian kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan sumberdaya selama monitoring dilakukan. Laporan monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di TWP Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat Tahun 2015 menjadi data tahun ke-1 (T1) untuk dibandingkan dengan tahun ke-0 (T0) pada Tahun 2014. Ketersedian data dan informasi dalam laporan ini juga memberikan gambaran terkini potensi dan kondisi sumberdaya hayati, sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi dan acuan pengukuran efektifitas pengelolalaan kawasan. Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama staf lapangan Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Yayasan Minang Bahari serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, sehingga akhirnya laporan monitoring kesehatan karang dan ekosistem terkait lainya dapat diselesaikan. Kami juga mengharapkan masukan dan saran untuk kesempurnaan laporan ini, semoga bermanfaat.
Jakarta, Desember 2015 PIU CRITC-COREMAP CTI - LIPI Drs. Susetiono, M.Sc.
i
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional untuk upaya rehablitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait secara bekelanjutan. Program COREMAP tersebut dirancang dalam tiga (3) fase seri waktu terdiri dari COREMAP Fase I Inisiasi 1998-2004, COREMAP Fase II Akselerasi 2005-2011 dan COREMAP Fase III Institutional 2014-2019. Dalam perkembangannya, COREMAP Fase III disejalankan dan diselaraskan dengan program nasional dan regional pengelolaan dan konservasi terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI), sehingga COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP-CTI. Program COREMAP-CTI bertujuan untuk mendorong penguatan kelembagaan yang terdesentralisasi dan terintegrasi untuk pengelolaan sumberdaya terumbu karang, ekosistem terkait dan keanearagaman hayati secara berkelanjutan bagi kesejahteran masyarakat pesisir. Sejumlah indikator dimunculkan untuk mengukur keberhasilan Program COREMAP-CTI, salah satunya adalah meningkatnya status kesehatan terumbu karang dengan parameter yang diukur tutupan karang hidup, populasi ikan karang dan megabenthos. Sedangkan indikator dalam jangka menengah adalah tidak berkurangnya luasan ekosistem terkait padang lamun dan mangrove dengan parameter yang diukur luasan tutupan. Pengukuran juga dilakukan pada daerah yang tidak diintervensi oleh program COREMAP-CTI atau dikenal juga dengan lokasi kontrol sebagai pembanding. Untuk mendapatkan data dan informasi yang terukur, akurat dan valid perlu dilakukan penilaian/pengukuran terhadap parameter indikator keberhasilan program dalam seri waktu dan rentang spasial yang terwakili melalui kegiatan monitoring. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Baratmerupakan salah satu lokasi pelaksanaan Program COREMAP-CTI dan lokasi monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya. Pencadangan KKPD tersebut didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 188.45-142 Tahun 2012, sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah dengan status Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pencadangan kawasan tersebut didasarkan pada komitmen yang kuat pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk melestarikan dan melindungi potensi, nilai ekologis dan ekonomis sumberdaya alam yang terkandung di dalam kawasan.
ii
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Kawasan TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya memiliki luas 172.191 hektar, meliputi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perairan lepas di sepanjang Selat Bunga Laut. Perairan Selat Bunga Laut berada antara selatan Pulau Siberut dan utara Pulau Sipora merupakan lokasi tangkap perikanan terumbu karang, demersal dan laut lepas (pelagis). Disamping itu perairan yang persis berada di depan Samudera Hindia memiliki gelombang dan alun cukup besar, telah dimanfaatkan untuk aktifitas selancar bertaraf internasional. Ketersedian pulau-pulau kecil dalam kawasan dengan kondisi alam dan perairan yang masih alami serta kehidupan sosial budaya masyarkat yang unik merupakan potensi dan telah dimanfaatkan sebagai lokasi wisata bahari dan wisata budaya. Nilai ekologis kawasan dengan tiga ekosistem utama mangrove, padang lamun dan terumbu karang menjadikan TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya sebagai habitat, tempat memijah dan daerah asuh berbagai biota laut. Disamping itu juga terlihat kemunculan biota langka, dilindungi dan endemik dalam kawasan sebagai target spesies untuk dikonservasi. Efektifitas dan keberhasilan pelaksanaan program COREMAP-CTI di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Mentawaidiukur dari terjaga atau meningkatnya indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu telah dilakukan monitoring tahun ke-1 (T1) di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Tujuan monitoring adalah menyediakan data tahun ke-1 (T1) kondisi kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainya. Pengukuran meliputi tutupan karang hidup (Hard Coral) dan substrat dasar perairan lainnya, kelimpahan megabenthos, kelimpahan dan biomassa ikan karang, kerapatan vegetasi lamun serta kerapatan dan tutupan kanopi tumbuhan mangrove. Hasil pengukuran dibandingkan baik secara temporal dan spasial dengan data hasil baseline survei tahun ke-0 (T0) di tahun 2014.
METODOLOGI
1. Review Peta Habitat Laut Dangkal Pemetaan dilakukan melalui data Citra Satelit Landsat 8 kombinasi Citra SPOT-5 multispektral yang memiliki resolusi 10 meter dan diuji kebenarannya berdasarkan pengamatan dilapangan (ground truth). Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma maximum likelihood. 2. Terumbu Karang Pengukuran tutupan karang hidup dan kategori bentik terumbu lainnya dengan menggunakan metode Underwater Photo Transect (UPT) dalam area potret 2552 cm2 sebanyak 50 frame foto dengan 30 titik acak/frame. Pengambilan foto dilakukan secara acak tersistematik disepanjang kiri dan kanan transek permanen yang telah dipasang saat baseline survei 2014, bergantian dengan jarak 1 meter. Perhitungan tutupan karang hidup dan kategori bentik lainnya, didasarkan pada jumlah setiap kategori
iii
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
bentik yang tersebar pada 30 titik acak pada setiap frame foto, pengolahan dan anlisis data menggunakan perangkat lunak Coral Point Count for exel (CPCe). Kekayaan jenis biota karang dilakukan dengan inventarisasi langsung melalui penyelaman SCUBA, ekplorasi dilakukan sepanjang transek permanen dan sampai kedalaman masih ditemukan karang hidup dan aman bagi penyelaman. Untuk kebutuhan identifikasi dilakukan pemotretan langsung setiap jenis karang yang ditemukan dan dikoleksi untuk kebutuhan identifikasi lebih lanjut menggunakan buku referensi Veron (2000) “Coral of the World Volume 1-3”, Suharsono (2010) “ Jenis Jenis Karang di Indonesia” dan referensi online www.marinespecies.org. 3. Ikan Karang Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Manuputty et al, 2006) dan kombinasi pendugaan panjang ikan (metode stick). Pemantauan dilakukan pada transek permanen yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Pengamatan dilakukan disepanjang garis transek permanen dimana ikan-ikan yang ada pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenisnya beserta jumlah individu dan ukuran untuk 6 famili kelompok ikan target dan satu famili ikan indikator, kelompok ikan karang khas lokasi akan menjadi catatan. Pengolahan dan analisa data menggunakan aplikasi Exel meliputi keragaman jenis, kelimpahan dan biomassa. Identifikasi ikan karang mengacu pada banyak buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996; Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994). 4. Megabenthos Pengamatan megabentos dilakukan menggunakan metode Reef Check Benthos (RCB). Semua biota benthos target yang berassosiasi dengan terumbu dicata nama jenis dan jumlah individunya dalam luasan 1 meter di sebelah kiri dan kanan transek permanen sepanjang 70 meter, sehingga luas bidang yang teramati adalah 140 m2.Pengolahan dan analisa data menggunakan aplikasi Exel meliputi keragaman jenis dan kelimpahan biota megabenthos target monitoring. 5. Mangrove Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi mangrove di kawasan lokasi monitoring akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Penarikan garist transek dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus pantai ke arah darat dengan membuat petakan (Cox, 1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya. Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting, 1956). Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Pengukuran tutupan vegetasi mangrove dilakukan dengan metode hemispherical photography.
iv
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
6. Padang Lamun Pengamatan dan pengukuran populasi vegetasi lamun dilakukan dengan metode transek kuadrat. Transek permanen sepanjang 50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dipasang masing-masing di setiap transek. Selanjutnya, dua belas bingkai kuadrat berukuran 0,25 m2 ditempatkan secara acak di sepanjang transek mengarah ke sisi pantai. Parameter yang diukur adalah komposisi jenis, persentase penutupan lamun (total dan perjenis), serta kehadiran biota lainnya seperti algae, moluska, dan biota lainnya, faktor abiotik yang diamati adalah karakteristik substrat.
HASIL Gambaran Umum Secara umum, sebarab terumbu karang, padang lamun Dan mangrove ditemukan dalam kawasan TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Pulau-pulau kecil dalam kawasan termasuk kategori pulua-pulau sangat kecil, kecuali pulau utama Siberut dan Sipora, merupakan pulau yang berpenghuni dan sebagian tidak berpenduduk, dengan pantai berpasir putih ditutupi vegetasi utama kelapa dan vegetasi khas daearah pesisir dan pulau kecil seperti Ketapang dan Baringtonia. Lingkungan fisik perairan bervariasi berupa tanjung, teluk dan selat, sangat terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat, terutama pada sisi barat pulau yang berdapan langsung dengan Samudera Hindia. Review Peta Habita Laut Dangkal dan Mangrove Berdasarkan peta sebaran habitat laut dangkal yang dihasilkan bahwa perairan laut dangkal di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Baratterdiri dari terumbu karang, padang lamun dan substrat campuran. Habitat terumbu karang terdiri dari bagian rataaan terumbu (fringing reef) dan gosong karang (patch reef) dengan total luasan mencapai 59,469 km2, terdiri rataan terumbu tanpa ditutupi makroalgae. Luas habitat laut dangkal lainnya, padang lamun mencapai 0,426 km2, sedangkan kategori substrat yang terdiri dari pasir dan patahan karang mati memiliki luas 7,024 km2. Luasan hutan mangrove di sepanjang pesisir dan pulau kecil dalam kawasan mencapai 14,23 km2. Hasil review menunjukan adanya sedikit perbedaan dibandingan dengan luasan habitat laut dangkal dan mangrove pada pengukuran tahun 2014. Perubahan luas habitat dangkal dan mangrove tersebut sedikit lebih rendah dibanding tahun 2014, disebabkan oleh koreksian peta citra yang lebih detail berdasarkan objek. Kondisi Terumbu Karang Hasil pengukuran menunjukan tutupan bentik terumbu didominasi oleh karang mati ditutupi algae (DCA) yaitu 29,98 % dan dasar berpasir/lumpur 28,88 %. Hasil pengukuran persentase tutupan karang hidup rata-rata 23,3 % sehingga secara umum berada pada kondisi KURANG BAIK, yang mana kondisi ini turun dibanding tahun 2014 yaitu CUKUP BAIK dengan tutupan 25,67%. Jumlah spsesies karang yang ditemukan mencapai 165 spesies, dimana jedis-jenis karang Pociloporiid dan Acroporiid sangat umum.
v
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Populasi Ikan Karang Penilaian ikan karang untuk kesehatan terumbu karang COREMAP-CTI dihubungkan dengan perubahan populasi kelompok ikan indikator dan ikan target. Perubahan populasi tersebut dengan menghitung kelimpahan dan biomassa kelompok ikan target yang sudah ditetapkan yaitu ikan kakatua (SCARIDAE), ikan kerapu (SERRANIDAE), ikan kakap (LUTJANIDAE), ikan baronang (SIGANIDAE), ikan bibir tebal (HAEMULIDAE) dan ikan lencam (LETHRINIDAE), sedangkan ikan indikator dari kelompok ikan kepe-kepe (CHAETODONTIDAE) . Hasil pengamatan ditemukan 19 jenis ikan indikator, lebih sedikit dibanding tahun 2014 yaitu 20 jenis. Berbeda dengan keragaman jenis ikan target, ditemukan lebih banyak yaitu 42 jenis dibanding tahun 2014 hanya 37 jenis. Begitu juga dengan kelimpahan ikan indikator lebih rendah yaitu 9400 individu/hektar dibanding tahun 2014 yaitu 1053 individu/hektar. Sebaliknya kelimpahan ikan target lebih tinggi yaitu 1676 individu/ha dibanding tahun 2014 yaitu 1489 individu/ha. Namun demikian biomassa ikan target mengalami penurunan dari 382 kg/ha tahun 2014 menjadi 262 kg/ ha di tahun 2015. Hal ini menunjukan bahwa kelimpahan ikan target didominasi oleh ikan dengan ukuran kecil atau adanya peringkanan tangkap berlebihan (over fishing) pada ikan ukuran lebih besar. Populasi Megabenthos Target Megabenthos merupakan kelompok biota benthos penghuni habitat terumbu sejati yang diidentifikasi memberikan fungsi ekologis penting dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Kelimpahan individu megabenthos target yang ditemukan adalah 289 individu, lebih tinggi dibanding tahun 2014 yaitu 173 individu. Kelompok bulu babi (Diadema spp) tetap mendominasi dan terjadi peningkatan jumlah individunya yaitu 175 individu (60.55%) dibanding tahun 2014 yaitu 100 individu (57,8%). Jumlah individu predator pemangsa polip karang, keong Drupella spp yaitu 17 individu (5,9 %) lebih rendah dibanding tahun 2014 yaitu 41 individu (28,082%). Predator polip karang lainnya, bintang mahkota duri Acanthaster planci ditemukan sangat sedikit hanya 2 individu dan lebih rendah dibanding tahun 2014 yaitu 10 individu (6,84%). Kima ditemukan sedikit lebih banyak yaitu 59 individu dibanding tahun 2014 hanya 51 individu (29,48 %), sedangkan teripang mengalami penurunan. Teripang dan keong lola sedikit mengalami penurunan. Bulu babi memberikan indikasi kerusakan karang dan dominasi filamantous algae (turf algae) sebagai sumber makanannya, sedangkan Drupella dan Acanthaster planci diidentifikasi sebagai biota bentos pemakan polip karang. Bintang laut biru Linkia laevigata megabenthos target baru yang mulai dimonitoring pada tahun 2015. Kondisi Padang Lamun Ekosistem padang lamun tersebar di perairan dangkal rataan terumbu dengan substrat dasar berpasir sampai patahan karang mati. Bersama dengan ekosistem pesisir dan pulau kecil lainnya, padang lamun merupakan habitat, tempat memijah dan daerah asuh bagi berbagai biota laut. Kondisi padang lamun di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Metawai, mulai diukur pada tahun 2014 sebagai data awal (T0). Hasil pengamatan ditemukan 8 jenis tumbuhan lamun, lebih banyak dibanding tahun 2014 yaitu 6 jenis, namun tetap didominasi oleh jenis yang sama Thallasia hemprichii. Tutupan tumbuhan lamun hasil monitoring berkisar antara 30,85 – 91,5 % dengan rata-rata 52,63 % sehingga berada dalam kondisi sehat, dimana lebih tinggi dibanding tahun 2014 yaitu 29,2 – 49,55 % dengan kondisi kurang sehat. Dengan demikian kondisi padang lamun sampai tahun ke-1 (T1) mengalami peningkatan dari kondisi kurang sehat menjadi sehat.
vi
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Kondisi Mangrove Sebaran hutan mangrove ditemukan di sepanjang pesisir daratan utama Pulau Siberut, Pulau Sipora dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kondisi mangrove di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Metawai, mulai diukur pada tahun 2014 sebagai data awal (T0).Secara keseluruhan kondisi mangrove tergolong baik dengan kerapatan 1313,88 pohon/ha dengan tutupan 66,16 % dengan kriteria sedang. Kondisi mangrove tersebut jika dibandingkan dengan tahun 2014 mengalami penurunan baik kerapatan maupun tutupannya, sehingga kondisinya dari sangat baik menjadi baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait pada 2015 atau tahun ke-1 (T1) di KKPD Selat Bunga Laut Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kesehatan terumbu karang pada tahun 2015 berada dalam kondisi kurang baik sampai baik dan secara umum dalam kondisi kurang baik. Persentase tutupan karang hidup yang mengalami peningkatan hanya pada 5 stasiun monitoring dari total 9 stasiun atau sekitar 55,55% jika dibandingkan dengan tahun 2014. Tutupan rata-rata karang hidup(HC) pada tahun 2015 lebih rendah dan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2014, sehingga kondisinya juga turun dari cukup baik menjadi kurang baik. 2. Jumlah spesies atau kelompok spesies megabenthos target monitoring yang ditemukan pada tahun 2015 sama dengan tahun 2014. Kelimpahan bulu babi mendominasi kelompok megabenthos target monitoring, namun kelimpahannya mengalami penurunan dibanding tahun 2014. Kelompok megabenthos indikator cenderung mengalami peningkatan, sebalik megabenthos bernilai ekonomis mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2014. 3. Jumlah jenis ikan indikator pada tahun 2015 lebih sedikit, namun kelimphannya cenderung lebih tinggi dibanding tahun 2014. Jumlah jenis ikan target pada tahun 2015 lebih banyak baik per famili ataupun per stasiun dibanding tahun 2014, sedangkan biomassanya lebih tinggi, walaupun kelimpahannnya lebih rendah. 4. Komunitas lamun berkembang dan tumbuh lebih baik, sehingga terjadi peningkatan baik dalam jumlah jenis, kerapatan dan status kondisinya. 5. Hasil monitoring tahun 2015, ekosistem mangrove berada dalam kondisi sedang dengan tutupan kanopi juga sedang. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, tutupan kanopi tumbuhan mengalami penurunan, begitu juga dengan kerapatan tumbuhan mangrove juga mengalami penurunan, sehingga kondisinya mengalami perubahan dari sangat baik menjadi sedang. Potensi pemulihan mangrove cukup baik dengan kemunculan anakan (seedling) yang cukup tinggi. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan beberap hal sebagai berikut: 1. Mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait antara lain mengurangi atau pelarangan penambangan pasir dan penebangan hutan mangrove dalam kawasan koservasi perairan daerah. 2. Penataan ulang kegiatan perikanan baik produk ikan maupun non ikan dengan mendorong perikanan ramah lingkungan, anatara lain membatasi jumlah armada tangkap dan jenis alat tangkap yang digunakan dan selektif terhadap ukuran ikan yang ditangkap. 3. Memaksimalkan fungsi penataan kawasan (zonasi) dan meningkatkan upaya pengawasan di kawasan konservasi peraiaran daerah. 4. Membuka peluang untuk budidaya dan pembesaran produk non ikan antara lain kima, lobster dan kerang lola, serta pengolahan produk perikanan.
vii
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
viii
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Sasaran BAB II. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Metode Pemetaan Habitat Laut Dangkal dan Mangrove Metode Penilaian Kesehatan Terumbu Karang Terumbu Karang Megabenthos Ikan Karang Metode Penilaian Kondisi Padang Lamun Metode Penilaian Mangrove BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemataan Habitat Kondisi Kesehatan Terumbu Karang Kondisi Terumbu Karang Stasiun Monitoring Kekayaan Jenis Karang Keras Mega Benthos Megabenthos Target Ikan Karang Ikan indikator : keanekaragaman jenis dan kelimpahan Ikan target : keanekaragaman jenis, kelimpahan dan biomassa Kondisi Kesehatan Padang Lamun Kondisi Kesehatan Mangrove BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
i ii ix x xii xiv 2 2 3 4 4 5 7 7 9 10 10 11 14 14 20 20 28 29 32 42 42 45 48 53 60 60 60
ix
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Wilayah perairan Taman Wisata PerairanSelat Bunga Laut dan Sekitaranya di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sebaran stasiun monitoring di selatan Pulau Siberut (A), stasiun monitoring di utara Pulau Sipora (B). Gambar 2. Teknik Photo Transect. Hafizt (2014) Gambar 3. Komposit citra menggunakan saluran biru sintetis Gambar 4. Hasil segementasi pada tiap level Gambar 5. Hasil segmentasi pada tiap level Gambar 6. Peta tentative habitat bentik sebagian perairan Kab. Mentawai Gambar 7. Diagram perbedaan tutuapn terumbu karang dari tahun 2014 hingga 2015 Gambar 8. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL06, pesisir timur Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 9. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL07, Pulau Libut, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 10. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL08, Pulau Nyangnyang, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 11. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL09, Pulau Botiek, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 12. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL05, Pulau Pitoieat Sabeu, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 13. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL04 (R), pesisir, Desa Katurei, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 14. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL02, Pulau Putoutougat, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 15. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL03, pesisir timur Pulau Panjang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai Gambar 16. Persentase tutupan kategori bentik terumbupada masing-masing stasiun permanen di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Gambar 17. Persentase tutupan kategori bentik terumbupada masing-masing stasiun permanen di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Gambar 18. Perbandingan persentase tutupan karang hidup (HC) tahun 2014 dengan tahun 2015 di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat Gambar 19. Diagram perbandingan jumlah individu dari masing-masing spesies megabenthos target di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 20. Diagram persentase kehadiran masing-masing spesies megabenthos pada masing-masing stasiun di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 21. Beberapa jenis bulu babi yang ditemukan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
x
4 6 14 15 16 16 18 20 21 22 22 24 24 25 26 27 27 28 31 31 33
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 22. Variasi warna bintang laut biru yang ditemukan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 23. Siput Drupella sp. yang ditemukan di beberapa tipe pertumbuhan karang maupun di karang mati di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 24. Bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci yang ditemukan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 (foto Abrar 2015) Gambar 25. Beberapa variasi kerang kima yang ditemukan di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 26. Keong lola yang ditemukan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 27. Beberapa jenis teripang yang ditemukan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 (Foto 1 dan Foto 9: M. Abrar) Gambar 28. Keanekaragaman jenis (a) dan kelimpahan (b) ikan indikator pada setiap lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 29. Keanekaragaman jenis (a) dan kelimpahan (b) ikan indikator pada setiap lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 30. Keanekaragaman jenis ikan target berdasarkan famili (a) dan lokasi pengamatan (b) di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Gambar 31. Keanekaragaman jenis ikan target berdasarkan famili (a) dan lokasi pengamatan (b) di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 dan 2014 Gambar 32. Lokasi Dusun Masilok, Desa Katurei (StasiunMTWLM01) (kiri), tipe tunggal Thalassia hemprichii dengan perairan yang keruh (kanan). Gambar 33. Lokasi Dusun Malilimok, Desa Katurei (Stasiun MTWLM02) (kiri). Padang lamun di MTWLM02, tipe campuran Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii (kiri). Gambar 34. Lokasi Pulau Nyangnyang, Desa Katurei (Stasiun MTWLM03) (kiri) dan Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii dengan perairan yang keruh (kanan). Gambar 35. Lokasi Pulau Simakakang, Desa Katurei (SatsiunMTWLM04) (kiri), padang lamun C. Rotundata dan Haludule uninervis (kana Gambar 36. Lokasi Pesisir Desa Tuapejat (SatsiunMTWLM05) (kiri) dengan padang lamun dari jenis Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium (kanan) Gambar 37. Gambaran umum kondisi hutan mangrove di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai yang relative baik (a); Kerapatan seedling juga cukup tinggi (b). Gambar 38. Tipe gundukan pecahan koral yang terhampar sejajar garis pantai yang membatasi mangrove di depan garis pantai dan dibelakang garis pantai di daerah Masilok, Malilimok maupun di pesisir Pulau Nyangnyang (2015). Gambar 39. Gundukan pasir yang lebih lembut (ukuran butirannya lebih kecil) di kawasan pesisir Pulau Sipora dan sekitarnya (pesisir Desa Tuabejat, Pulau Pototogat, dan Pulau Simakaka) Gambar 40. Tingginya sedimentasi menyebabkan seedling maupun perakaran jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora lamarchii terkubur, sehingga akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan (2015) Gambar 41. Informasi tentang penebangan tumbuhan mangrove pada plot permanen, maupun di diluar plot permanen yang dilakukan masyarakat setempat (2015). Gambar 42. Pada beberapa lokasi mangrove di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai, nampak terlihat adanya fenomena alami, yakni hutan mangrove terlihat mati
34 35 36 38 39 41 43 44 45 46 50 50 51 51 52 53 54 54 56 57 57
xi
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13 . Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17.
xii
Karakteristik Citra SPOT-5 Kode masing-masing kategori bentik terumbu karang (biota dan substrat). Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup) Spesies atau kelompok spesies megabentos target yang menjadi objek monitoring kesehatan terumbu karang Nilai yang digunakan pada setiap parameter pada tiap kelas dalam proses segmentasi Luasan setiap kelas tutupan objek Hasil perhitungan confusion matrix pada setiap kelas objek yang dipetakan Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Daftar spesies, kelimpahan dan kehadiran ikan indikator pada setiap lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Estimasi kelimpahan ikan target pada masing-masing lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Estimasi biomassa ikan target pada masing-masing lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Keragaman jenis lamun diperairan TWPSelat Bunga Laut dan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai, Tahun 2015(Klasifikasi Phillips & Menez 1988; Kuo&Comb 1989; Den Hartog Kuo 2006). Tutupan dan dominansi jenis lamun di peraiaran TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi mangrove yang ditemukan di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Juni 2015) Nilai kerapatan seedling jenis tumbuhan Rhiszophora apiculata dan Rhizophora lamarchii di beberapa lokasi di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya,KabupatenKepulauan Mentawai (2015) Nilai kerapatan pohon dan persentase tutupan (% cover) mangrove di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai (2015) Nilai kerapatan pohon dan persentase tutupan (% cover) mangrove di TWP Selat Bunga Lautbdan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai pada tahun 2014 dan 2015
5 8 8 9 15 17 19 29 44 47 48 49 49 54 56 58 58
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
xiii
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Sebaran stasiun monitoring kesehatan terumbu karang di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera arat tahun 2015 Lampiran 2. Lokasi Pengambilan Sampel Lamun di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tahun 2015 Lampiran 3. Posisi stasiun pengambilan data status kondisi mangrove di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lampiran 4. Data pengamatan monitoring megabenthos di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tahun 2015 Lampiran 5 Daftar kekayan jenis karang keras di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai
xiv
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
1
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional untuk upaya rehablitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait secara bekelanjutan. Program COREMAP telah memasuki Fase III, yang mana dalam perkembangannya disejalankan dan diselaraskan dengan program nasional dan regional pengelolaan dan konservasi terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI), sehingga COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP-CTI. Program COREMAP-CTI bertujuan untuk mendorong penguatan kelembagaan yang terdesentralisasi dan terintegrasi dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang, ekosistem terkait dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan bagi kesejahteran masyarakat pesisir. Sejumlah indikator dimunculkan untuk mengukur keberhasilan Program COREMAP-CTI, salah satunya adalah peningkatan status kesehatan terumbu karang di lokasi program. Parameter yang dijadikan ukuran kesehatan terumbu karang adalah tutupan karang hidup, populasi megabenthos dan populasi ikan karang karang indikator dengan target terpelihara atau mengalami peningkatan. Indikator lain dalam jangka waktu menengah adalah status kesehatan ekosistem terkait padang lamun dan mangrove dengan parameter yang diukur adalah tutupan areanya di lokasi program. Untuk mendapatkan data dan informasi yang terukur, akurat dan valid perlu dilakukan penilaian/pengukuran terhadap indikator keberhasilan program tersebut dalam seri waktu dan rentang spasial yang terwakili melalui kegiatan monitoring.Disamping itu kegiatan monitoring juga melengkapi data terkini (update) kondisi terumbu karang baik di wilayah barat maupundi wilayah timur Indonesia. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Baratmerupakan salah satu lokasi pelaksanaan Program COREMAP-CTI dan lokasi monitorig kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya. Pencadangan KKPD tersebut didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 188.45-142 Tahun 2012, yang dicadangkan sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pencadangan kawasan saat ini sudah ditindaklanjuti dengan zonasi dan rencana pengelolaan kawasan melalui Surat Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 46 Tahun 2016. Pencadangan kawasan tersebut didasarkan pada komitmen yang kuat pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk melestarikan dan melindungi potensi, nilai ekologis dan ekonomis sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Kawasan TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya memiliki luas 172.191 hektar, meliputi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perairan lepas di sepanjang Selat Bunga Laut. Perairan Selat Bunga Laut berada antara selatan Pulau Siberut dan utara Pulau Sipora merupakan lokasi tangkap perikanan terumbu karang, demersal dan laut lepas (pelagis). Disamping itu perairan yang persis berada di depan Samudera Hindia memiliki gelombang dan alun cukup besar, telah dimanfaatkan untuk aktifitas selancar bertaraf internasional. Ketersedian pulau-pulau kecil dalam kawasan dengan kondisi alam dan perairan yang
2
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
masih alami serta kehidupan sosial budaya masyarkat yang unik merupakan potensi dan telah dimanfaatkan sebagai lokasi wisata bahari dan wisata budaya. Nilai ekologis kawasan dengan tiga ekosistem utama mangrove, padang lamun dan terumbu karang menjadikan TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya sebagai habitat, tempat memijah dan daerah asuh berbagai biota laut. Disamping itu juga terlihat kemunculan biota langka, dilindungi dan endemik yang menjadi target spesies untuk dikonservasi. Baseline survei di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya telah dilakukan pada tahun 2014. Hasil pemetaan menunjukan bahwa luasan terumbu karang dalam kawasan mencapai 1.334 ha, padang lamun 646 ha, mangrove 3,068 ha dan substrat terbuka mencapai 5.517 ha. Tutupan karang hidup berada pada kisaran 1,67% sampai 70,375 %, sehingga berada dalam kondisi kurang baik sampai baik dan secara keseluruhan dalam kondisi sedang (persentase tutupan rata-rata 25,67%). Ikan indikator dari Famili Chaetodontidae terdiri dari 16 jenis dengan kelimpahan 1035 individu/ha, sedangkan ikan target ditemukan sebanyak 37 jenis, yang mana kelimpahan rata-rata mencapai 1489 individu/ha serta biomassa sebesar 382 kg/ha. Tujuh dari sembilan kelompok megabenthos target ditemukan dengan total 173 individu, dimana bulu babi dan kimia ditemukan lebih mendominasi yaitu 100 individu (57%) dan 51 individu (29,48%). Kondisi ekosistem mangrove sangat baik dengan kerapatan 1,516.67 ± 675.84 pohon/ha dan tutupan 69,14% ± 6,00%, (kondisi sedang) didominasi oleh genus Rhizopora. Total vegetasi lamun yang ditemukan sebanyak 6 jenis, dimana Cymodocea rotunda memiliki frekuensi kehadiran paling tinggi (Siringoringo et al 2014). Penilaian kesehatan terumbu karang tahun 2015 merupakan monitoring tahun ke-1 (T1), dimana data yang tersedia dapat dibandingkan dengan data awal (T0) tahun 2014, baik secara spasial dan temporal. Monitoring ini akan menjawab bagaimana kondisi kesehatan terumbu karang terkini dan ekosistem terkait (tahun 2015) serta bagaimana statusnya setalah satu tahun menurut ruang dan waktu. Oleh karena itu telah dilakukan monitoring tahun ke-1 (T1) di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Monitoring meliputi pengukuran tutupan karang hidup (Hard Coral) dan bentik terumbu lainnya, kelimpahan megabenthos, kelimpahan dan biomassa ikan karang, tutupan vegetasi lamun serta kerapatan dan tutupan kanopi tumbuhan mangrove. Hasil pengukuran dibandingkan baik secara temporal dan spasial dengan data hasil baseline survei tahun ke-0 (T0) di tahun 2014.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan monitoring ini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait pada tahun ke-1 (T1) di perairan TWP Selat Bunga Laut Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat serta membandingkannya dengan hasil baseline tahun 2014. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah: • Pemetaan dan review luasan habitat laut dangkal dan ekosistem mangrove • Mengetahui persentase tutupan karang hidup dan kategori bentik terumbu lainnya • Mengetahui kepadatan kelimpahan dan biomassa ikan karang, baik kelompok ikan indikator maupun kelompokikan target • Mengetahui kepadatan megabenthos sebagai indikator kesehatan terumbu karang maupun yang bernilai ekonomis • Mengetahui persentase tutupan padang lamun dan keanekaragamannya • Menegetahui kerapatan dan persentase tutupan mangrove serta keanekaragaan vegetasinya
3
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
BAB 2 METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Monitoring tahun 2015 dilakukan pada tanggal 4 – 15 Juni 2015, merupakan periode awal musim timur. Lokasi penelitian berada di kawasan konservasi perairan daerah Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu perairan di sepanjang pesisir utara Pulau Sipora dan selatan Pulau Siberut dan pulau-pulau kecil. Stasiun monitoring pada lokasi tersebut terdiri dari 9 stasiun monitoring terumbu karang, 5 stasiun padang lamun dan 6 stasiun mangrove merupakan stasiun yang sama pada saat baseline survei tahun 2014 (Gambar 1 dan Lampiran 1, 2, dan 3)
4
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 1. Wilayah perairan Taman Wisata PerairanSelat Bunga Laut dan Sekitaranya di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sebaran stasiun monitoring di selatan Pulau Siberut (A), stasiun monitoring di utara Pulau Sipora (B).
Metode Pemetaan Habitat Laut Dangkal dan Mangrve
Metode yang digunakan dalam pembuatan peta habitat laut dangkal adalah klasifikasi citra berbasis objek berdasarkan data lapangan yang diperoleh menggunakan metode photo transect (Roelfsema and Phinn, 2009). Sedangkan bahan yang digunakan adalah Citra SPOT-5 multispektral yang memiliki resolusi 10 meter (Tabel 1). Teknik pengolahan citra yang digunakan diantaranya adalah klasifikasi citra menggunakan metode Object Based Image Analysis (OBIA)(Phinnet et al, 2012) dengan memanfaatkan saluran biru sintetis (Knudsen, 2003). Teknik klasifikasi OBIA menggunakan parameter spektral dan juga spasial citra dalam membedakan setiap objek melalui tahapan segmentasi dan klasifikasi citra. Tabel 1. Karakteristik Citra SPOT-5 ID citra
LPN_SP5_267_354_20130530033820_MS_ORT
perekaman
2013-05-30
Resolusi spasial
10 meter
Resolusi radiometrik
8 BITS
Resolusi spectral
Red, Green, NIR, SWIR B1: 0,50 – 0,59 µm B2: 0,61 – 0,68 µm B3: 0,79 – 0,89 µm B4: 1,58 – 1,75 µm
Reoslusi temporal
26 hari
5
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Metode Photo Transect memanfaatkan video underwater dan GPS pada saat pengambilan sampel (Gambar 2). Video underwater berfungsi dalam merekam objek dasar perairan dimana posisi objek direkam secara bersamaan melalui GPS hendheld. Untuk pembuatan band biru sintetis dilakukan melalui persamaan dari Knudsen yaitu:
((0.70*B3)+(0.24*B2)-(0.14*B1)). Persamaan tersebut pada awalnya dikembangkan secara khusus untuk foto udara. Tetapi pada kegiatan ini, dijadikan sebagai salah satu solusi untuk memenuhi kekurangan band biru pada citra SPOT-5 sehingga memudahkan pada proses interpretasi dan segmentasi citra.
Gambar 2. Teknik Photo Transect. Hafizt (2014)
Setelah diperoleh peta tentatif habitat bentik, selanjutnya dilakukan perhitungan akurasi peta menggunakan table confussion matrix(Danoedoro 2012). Melalui tabel tersebut selain dapat diperoleh nilai akurasi secara keseluruhan (overall accuracy) dan juga dapat dihitung besarnya akurasi pada tiap kelas baik dari segi user accuracy maupun producer accuracy. Adapun persamaan yang digunakan dalam table confussion matrix diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Overall accuracy menunjukkan besarnya akurasi seluruh kelas citra yang dihitung dengan persamaan dibawah.
2. Producer accuracy menunjukkan nilai probabilitas setiap kelas yang terklasifikasi secara benar berdasarkan sampel lapangan yang dihitung dengan persamaan dibawah.
6
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Persentase kesalahan hasil klasifikasi yang tidak sesuai dengan sampel lapangan dihitung menggunakan persamaan dibawah.
3. User accuracy menunjukkan nilai probabilitas piksel pada setiap kelas terklasifikan secara benar berdasarkan sampel lapangan yang dihitung dengan persamaan dibawah.
Besarnya nilai kesalahan setiap piksel yang terklasifikasi sebagai kelas lainnya dihitung menggunakan persamaan dibawah.
4. Kappa coeficient menunjukkan konsistensi akurasi hasil klasifikasi yang dihitung menggunakan persamaan dibawah.
Keterangan N : total sampel untuk uji akurasi Xkk : jumlahpiksel yang terklasifikasi secara benar XkƩXk : jumlah sampel untuk ujiakurasi untuk tiap-tiap kelas dikalikan jumlah piksel yang terklasifikasikan pada kelas tersebut dan ditambahkan untuk semua
Metode Penilaian Kesehatan Terumbu Karang Terumbu Karang Pengambilan data bentik terumbu dimulai dengan pengamatan visual gambaran umum kondisi fisik perairan dan pesisir di sekitar stasiun secara bebas. Pengamatan meliputi kondisi fisik pantai hingga ke bagian terumbu tempat dilakukannya transek di masingmasing stasiun penelitian. Setelah itu dilakukan pengambilan data menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian. Teknik pengambilan data menggunakan metode UPT dilakukan dengan penyelaman SCUBA langsung menggunakan kamera bawah air. Pemasangan transek dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian, pita meteran (roll meter) sepanjang 50 meter sebagai garis transek diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang umum dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 5-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran, posisi daratan pulau berada di bagian kiri. Selanjutnya dilakukan pemotretan sepanjang
7
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
garis transek mulai meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil dilakukan di sebelah kanan garis transek, sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap (frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap frame pemotretan sekitar 2500 m2. Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto, dan pada setiap titik tersebut diidentifikasibentuk hidup bentik yang berada persis di bawahnya, sesuai dengan kode masing-masing kategori bentik (Tabel 2). Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap frame foto menggunakan rumus:
Tabel 2. Kode masing-masing kategori bentik terumbu karang (biota dan substrat). Kode LC
Keterangan Live Coral = Karang batu hidup = karang hidup = AC+NA
- AC
Acropora = karang batu marga Acropora
- NA
Non Acropora = karang batu selain marga Acropora
DC
Dead Coral = karang mati
DCA
Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi alga
SC
Soft Coral = karang lunak
SP
Sponge = spon
FS
Fleshy Seaweed = alga
OT
Other Fauna = fauna lain
R
Rubble = pecahan karang
S
Sand = pasir
SI
Silt = lumpur
RK
Rock = batuan
Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi kondisi terumbu karang seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) disajikan pada Tabel 3 berikut ini Tabel 3. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup) Tutupan Karang Hidup (%)
8
Kriteria Penilaian
75 – 100
Sangat baik
50 – 74,9
Baik
25 – 49,9
CukupBaik
0 – 24,9
Kurang Baik
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Megabenthos Pengamatan megabenthos target dilakukan dengan metode Benthos Belt Transect yang dikembangkan dari metode belt transect (Loya, 1978) pada sembilan stasiun permanen dengan bantuan peralatan selam SCUBA (Brower & Zar, 1997). Transek disinkronkan dengan transek untuk pengamatan bentik terumbu dan ikan karang pada sebuah transek permanen. Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis sejajar garis pantai pada kedalaman 5 – 7 meter dengan panjang transek 70 meter dan lebar pengamatan satu meter ke arah kiri dan satu meter ke arah kanan garis transek (140 m2). Semua megabentos target yang ditemukan dalam transek dicatat nama spesiesnya atau kelompok spesies serta jumlah individunya. Megabentos target merupakan biota yang memiliki nilai ekonimis tinggi dan memiliki peran penting terhadap kesehatan karang yang terdiri dari tujuh kelompok biota seperti yang disajikan pada Tabel 4. Identifikasi merujuk pada Abbott & Dance (1990), Matsuura et al,. (2000), Clark & Rowe (1971), Neira & Cantera (2005) dan Colin & Arneson (1995). Pencatatan spesies atau kelompok spesies megabentos target monitoring serta jumlahnya selain yang ditemukan di dalam transek, juga terhadap keberadaan spesies atau kelompok spesies megabenthos target monitoring yang berada di luar transek sebagai catatan khusus. Pendatatan juga dilakukan untuk spesies atau kelompok spesies megabenthos lainnya yang tidak termasuk target monitoring apabila terdapat fenomena yang tidak biasa, terutama untuk spesies atau kelompok spesies megabenthos yang berukuran besar. Fenomena tidak biasa tersebut misalnya mengenai keberadaan spesies atau kelompok spesies megabenthos yang ditemukan dalam jumlah melimpah pada suatu lokasi. Contoh lainnya seperti keberadaan spesies atau kelompok spesies megabenthos yang berstatus sebagai biota dilindungi juga menjadi perhatian sebagai catatan khusus. Tabel 4. Spesies atau kelompok spesies megabentos target yang menjadi objek monitoring kesehatan terumbu karang No.
Megabenthos Target
Nama Spesies / Kelompok Spesies
Group
1.
Bintang Laut Berduri
Acanthaster planci
Echinodermata
2.
Bulu Babi
Echinoidea
Echinodermata
3.
Teripang
Holothuroidea
Echinodermata
4.
Bintang Laut Biru
Linckia laevigata
Echinodermata
5.
Kerang Kima
Tridacna spp., Hippopus spp.
Mollusca
6.
Siput Drupella
Drupella spp.
Mollusca
7.
Keong Lola
Trochus spp., Tectus spp.
Mollusca
8.
Udang Karang
Lobsters
Crustacea
9
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Ikan Karang Metode yang digunakan dalam penelitian ikan karang ini mengikuti English et al,. (1997) dengan beberapa modifikasi. Peralatan yang digunakan adalah peralatan selam (SCUBA), alat tulis bawah air, dan meteran tali (roll meter). Pengamatan ikan karang dilakukan dengan Underwater Visual Census (UVC) dengan mencatat jenis dan kelimpahan ikan karang yang dijumpai sepanjang garis transek 70 m dengan batas kanan dan kiri masing-masing berjarak 2,5 m sehingga diperoleh total area yang diteliti seluas 350 m2. Optimalisasi hasil pengamatan juga dilakukan dengan pengambilan data foto dan video bawah air. Reidentifikasi ikan jenis-jenis tertentu melalui foto atau video dilakukan antara lain berdasarkan Masuda et al,. (1984), Allen & Adrim (2003), Allen et al,. (2009), dan Fishbase (2014). Analisa data ikan karang yang dilakukan pada pengamatan ini, terdiri dari: 1. Keanekaragaman jenis Keanekaragaman jenis adalah total dari spesies ikan karang yang diamati selama monitoring di suatu lokasi terumbu karang. 2. Densitas Densitas(D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.
3. Hubungan Panjang Berat Hubungan panjang berat adalah berat individu ikan target (W-gram) sama dengan indeks spesifik spesies (a) dikalikan dengan estimasi panjang total dipangkat indeks spesies 4. Biomassa Biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area pengamatan.
5. Biomasa (B) tersebut dikonversikan menjadi satuan hektar (Ha) dan hasilnya merupakan hasil angka teoritis, untuk mengestimasi potensi kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Metode Penilaian Kondisi Padang Lamun
Untuk mengetahui keberadaan, tutupan, dominansi, distribusi, keragaman dan komposisi jenis lamun, dilakukan pengamatan langsung dan transek (Rahmawati et al,, 2015).Untuk mengetahui keragaman dan komposisi jenis vegetasi lamun dilakukan pengamatan langsung dengan ”snorkling” pada setiap stasiun permanen. Untuk mengetahui tutupan dan dominansi jenis lamun, dilakukan dengan menarik garis transek vertikal dari garis pantai ke arah laut sebagai garis bantu. Pada setiap garis transek bantuk tersebut dilakukan pengamatan lamun menggunakan metode transek kuadrat ukuran 50 x 50cm,
10
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Titik pertama transek disisi pantai yang ditarik kearah tubir (100m). Untuk kawasan yang sempit (tidak mencapai 100m) dilakukan sesuai kondisi di area pengamatan. Penentuan titik pertama, 5-10 m dari awal ditemukan lamun. 2. Titik awal transek persis pada tanda permanen patok besi dengan pelampung kecil yang dipasang saat baseline survei. 3. Kepastian posisi transek disesuiakan dengan titik koordinat yang telah ada saat baseline survei, dimana titik awal transek No.1 berada pada meter ke-0. 4. Kuadrat 50 x 50cm (dibagi 4 kotak) ditempatkan pada titik 0 m di transek permanen. 5. Catat persentase tutupan lamun pada setiap kotak, catat nama jenis dan tutupannya serta substrat dasar perairan 6. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter persis pada patok tanda permenen berikutnya. 7. Ulangi tahapan di atas pada garis transek bantuke-2 dan ke-3 dengan jarak antar transek 50m. Untuk Analisis Pengolahan data lapangan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. persentase tutupan dan dominansi jenis lamun diperoleh dengan menggunakan
rumus sebagai berikut: Penilaian kategori tutupan lamun menurut Rahmawati et al,, 2015 ada empat kategori yaitu: 1. jarang (0-25%), 2. cukup padat (26-50%), 3. padat (51-75%), dan 4. sangat padat. Sedangkan untuk kondisi padang lamun berdasarkan tutupan dibagi, yaitu: 1. kaya/sehat (> 60%), 2. kurang kaya/kurang sehat (30-59,9%), dan 3. miskin (< 29,9%) (KMLH, 2004).
Metode Penilaian Mangrove
Monitoring kondisi ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan metode yang sama saat baseline survei yaitu Transek Kuadrat dan Hemispherical Photography yang mengacu pada referensi Jenning et al,. (1999) dan Dharmawan & Pramudji (2014). Pengamatan dilakukanpada plot-plot permanen yang telah dibuat saat baseline survei dengan penanda pipa paralon yang digantung dan diberi cat warna merah. Pencatatan data dilakukan pada masing-masing plot permanen meliputi pengukuran diameter pohon pada ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang minimal 16 cm. Setiap plot, dilakukan pengukuran persentase tutupan (% cover) vegetasi mangrove, dengan cara membagi menjadi empat kuadran dengan ukuran 5 x 5 m2, dan disetiap kuadran dilakukan pengambilan foto hemisphere dengan cara tegak lurus ke atas/langit. Data lingkar batang atau diameter pohon (Ø cm) digunakan untuk menentukan indikator ekologi mangrove, yang meliputi kerapatan pohon, basal area dan indeks nilai penting jenis. Sedangkan hasil foto/pemotretan selanjutnya akan dianalisis untuk menentukan nilai persentase tutupan (% cover) hutan mangrove di dalam suatu kawasan.
11
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Inventarisasi jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi mangrove juga dilakukan didaerah transek maupun daerah disekitarnya, yang dapat mewakili daerah tersebut. Identifikasi jenis tumbuhan mangrove maupun tumbuhan asosiasi mangrove yang belum diketahui di lapangan, diambil bagian dari bunga, buah, daun, dan difoto bagian batang dan akarnya. Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan buku dari Tomlinson (1986), Giesen et al,. (2002), Noor et al,. (2002), dan Dharmawan & Pramudji (2015).
12
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
13
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemataan Habitat Kegiatan pemetaan habitat perairan dangkal dan pesisir berbasis penginderaan jauh merupakan aktivitas pengenalan objek dasar perairan dangkal (terumbu karang, padang lamun, dan mangrove) melalui citra penginderaan jauh. Aktivitas tersebut dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu pre-processing, survei lapangan, dan post-processing. Preprocessing merupakan tahapan awal dalam pengolahan citra penginderaan jauh yang dilakukan sebelum kegiatan lapangan. Tahapan pre-processing terdiri dari persiapan data citra dan koreksi citra. Pada tahapan persiapan data penginderaan jauh, dilakukan pembuatan saluran/band biru sintetis. Saluran tersebut selanjutnya digunakan dalam proses segmentasi dan klasifikasi berbasis objek. Saluran biru sintetis yang diperoleh melalui persamaan Knudsen dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Komposit citra menggunakan saluran biru sintetis
Saluran biru sintetis selanjutnya menjadi saluran tambahan pada proses segmentasi dan klasifikasi berbasis objek. Klasifikasi berbasis objek mengelompokkan objek berdasarkan karakteristik spektral dan spasial pada tiap segmennya (Danoedoro, 2012). Hasil
14
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
segmentasi pada citra SPOT-5 menggunakan tambahan saluran/band biru sintesis dapat dilihat pada Gambar 4. Tahapan segmentasi pada Gambar 4 dilakukan secara bertingkat berdasarkan kelas objek perairan paling umum hingga paling detail. Selain itu, algoritma yang digunakan pada proses segmentasi ini adalah multiresolution segmentation dan chessboard segmentation. Besarnya nilai yang digunakan pada setiap parameter yang digunakan pada tahapan segmentasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai yang digunakan pada setiap parameter pada tiap kelas dalam proses segmentasi Layer weight
Scale parameter
Shape
Compactness
NIR:5
80
0,2
0,5
Perairan dangkal
Blue:3, green:2, NIR:1, red:2, SWIR: 1
25
0,1
0,5
Ekosistem perairan dangkal
Blue:2, green:2, NIR:1, red:2, SWIR: 1
2
0,1
0,5
Kelas Laut dan darat
Gambar 4. Hasil segementasi pada tiap level
Penambahan saluran biru pada proses segmentasi memberikan hasil yang berbeda pada citra tanpa menggunakan saluran biru, yaitu diperoleh hasil yang lebih akurat dalam membatasi area-area terumbu karang. Terutama pada zona pecah gelombang yang memiliki batasan tegas antara perairan laut dangkal dan laut dalam. Selain itu, pemisahan area daratan dan perairan juga diperlukan agar hasil segmentasi pada area perairan lebih akurat membatasi variasi kenampakan objek homogen. Hasil segmentasi pada setiap level selanjutnya digunakan dalam proses klasifikasi berbasis objek berdasarkan rule. Klasifikasi dilakukan secara bertingkat sesuai dengan level segmentasi. Semakin tinggi tingkatan level (level1-3), semakin detail ukuran segment. Hasil segmentasi pada level umum digunakan untuk mengkelaskan area antara perairan dangkal dan perairan dalam, dimana pada perairan dangkal tersebut merupakan area eksosistem terumbu karang dan padang lamun. Klasifikasi pada level dua merupakan pendetilan area kelas perairan dangkal untuk membedakan kelas ekosistem yang terdiri dari seagrass, reef flat, reef crest, reef slope. Pada beberapa area tersebut dapat dikatakan sebagai area morfologi terumbu karang karena terdapat terumbu karang dan padang lamun pada area-area tersebut (NOAA 2005). Setiap kelas pada level dua selanjutnya didetilkan berdasarkan ukuran piksel untuk memperoleh kelas tutupan habitat bentik. Hasil klasifikai habitat bentik menggunakan metode berbasis objek berdasakan rule pada citra SPOT-5 dapat dilihat pada Gambar 5. Adapun algoritma yang digunakan dalam proses pengkelasan objek diantaranya adalah nilai mean tiap saluran, brightness dan saluran NDVI.
15
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 5. Hasil segmentasi pada tiap level
Kelas objek pada level satu terdiri dari objek darat dan perairan laut. Pemisahan area darat dan laut menggunakan saluran infra-merah yang memberikan kenampakan perbedaan tegas antara laut dan daratan. Oleh sebab itu kedua kelas objek tersebut dapat dibedakan secara visual maupun spectral. Pemisahan area darat dan laut ini sama halnya dengan pembuatan masking area darat sehingga pada tahapan segmentasi level berikut memberikan hasil yang lebih detail. Sedangkan tahapan segmentasi pada level dua merupakan pemisahan area perairan dangkal (shallow water) dan perairan dalam (deep water). Perairan dalam dapat dilihat secara jelas pada area dengan rona biru gelap yang terjadi akibat attenuasi maksimal energi elektromagnetik pada tubuh perairan dalam. Hal tersebut berbeda pada perairan dangkal yang memiliki banyak variasi rona karena adanya variasi tutupan dasar perairan yang dapat dijangkau oleh energi elektromagnetik. Pengkelasan objek pada level dua untuk membatasi area morfologi karang dan nonkarang yang dilakukan untuk proses lanjutan segmentasi dan klasifikasi pada level 3 yaitu pengkelasan ekosistem di perairan dangkal. Klasifikasi objek pada level dua memisahkan kenampakan morfologi terumbu karang (reef flat, reef crest dan reef slope). Klasifikasi berbasis objek sangat baik dalam mengekelaskan objek-objek pada level dua karena klasifikasi tersebut juga menggunakan informasi spasial dari setiap segmen. Selanjutnya hasil klasifikasi level dua menjadi batasan area dalam pendetilan kelas hingga level ekosistem (coral, sand, dan seagrass).Sedangkan kelas tutupan mangrove diperoleh melalui interprestasi visual pada citra komposit (NIR, SWIR, Blue Syntetis) dan citra hasil segmentasi. Hasil klasifikasi habitat bentik dan mangrove pada level 3 merupakan hasil akhir pada kagiatan ini yang selanjutnya dijadikan sebagai peta tentative habitat bentik sebagian perairan Kabupaten Mentawai (Gambar 6).
16
Gambar 6. Peta tentative habitat bentik sebagian perairan Kab. Mentawai
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Kelas karang pada Gambar 6 diatas dibedakan menjadi terumbu karang tepi (fringing reef) dan paparan terumbu karang (reef flat) yang dikelaskan sebagai terumbu karang campuran (mix-coral). Karena klasifikasi berbasis objek mampu memisahkan kedua objek yan berbeda tersebut walaupun pada akhirnya akan mengikuti kelas general sebagai karang (Prayuda 2014). Kelas terumbu tepi (fringing reef) merupakan area karang yang berada pada zona pecah gelombang (breaker zone). Pada area ini, formasi terumbu karang berada pada kedalaman yang relative dangkal dengan tutupan yang homogen yaitu tidak bercampur dengan lamun atau pasir. Melalui citra penginderaan jauh yang digunakan, area tersebut dapat terpisahkan dengan area terumbu karang lainnya, karena sebagian besar tutupan pada area tersebut adalah terumbu karang walaupun termasuk dalam kondisi buruk. Sedangkan kelas terumbu karang campuran yang terdapat pada area reef flat merupakan area yang memiliki tutupan terumbu karang bercampur dengan objek lainnya yang dapat berupa pasiran, lamun, dan bedrock. Kelas terumbu karang campuran berada pada area reef flat yang merupakan paparan karang dengan variasi tutupan objek dasar yang tinggi. Melalui peta tentative terumbu karang pada Gambar 6 dapat dihitung luasan setiap kelas habitat bentik secara cepat melalui analisis GIS, luas setiap kelas hasil analisis tahun 2015 dan juga tahun 2014 sebagai perbandingan dapat dilihat pada Tabel 5. Total luas habitat bentik termasuk mangrove pada kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Mentawai adalah sebesar 81,149 km2. Luasan tutupan paling tinggi adalah tutupan terumbu karang yaitu sebesar 59,5 km2, atau mendominasi sebesar 73,3% luas ekosistem pesisir seluruhnya. Luas tutupan karang ini termasuk kelas dominan terumbu karang dan campuran karang (Gambar 6) yang merupakan area hidup ekosistem terumbu karang. Tutupan habitat bentik paling kecil adalah padang lamun (seagrass) sebesar 0,426 km2, atau 0,525 % dari luas seluruh ekosistem pesisir. Sedangkan tutupan mangrove pada lokasi kajian memiliki luas 14,23 km2. Dimana sebagian besar mangrove terdapat pada muara-muara sungai. Pada tabel 6 juga ditampilkan luasan ekosistem pesisir hasil kegiatan monitoring yang dilakukan pada tahun 2014(Rikoh et al 2014).Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa subtrat terbuka memiliki luasan yang paling tinggi yaitu sebesar 35,17 km2, dimana subtrat tersebut terdiri dari objek pasir, pecahan karang dan karang mati. Sedangkan tutupan terumbu karang merupakan tutupan objek karang hidup. Tutupan mangrove hasil analisis tahun 2014 juga memiliki tutupan yang tergolong tinggi yaitu sebesar 30,68 km2. Total seluruh tutupan habitat bentik termasuk tutupan mangrove pada tahun 2014 adalah sebesar 85,75 km2. Besarnya total tutupan ekosistem antara tahun 2014 dan tahun 2015 memiliki perbedaan yang tidak terlalu besar. Akan tetapi setiap tutupan objek habitat bentik termasuk mangrove memiliki perbedaan yang cukup besar. Perbedaan tutupan pada setiap tutupan objek tersebut dapat dilihat melalui diagram pada Gambar 7. Tabel 6. Luasan setiap kelas tutupan objek Habitat 2015
Total Km2 (2014)
Persentase
Total Km2 (2015)
Persentase
Selisih Luas
Terumbu karang
13,44
15,673
59,469
73,284
-2,233
Padang lamun
6,46
7,534
0,426
0,525
-1,074
Substrat
35,17
41,015
7,024
8,656
-5,845
mangrove
30,68
35,778
14,23
17,536
-5,098
Total
85,75
100
81,149
100
-14,250
17
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa hasil analisis tutupan karang pada tahun 2014 jauh lebih tinggi dari pada tutupan karang pada tahun 2015, dimana dapat dikatakan mengalami penurunan. Sedangkan pada objek lainnya, tutupan padang lamun, substrat terbuka, dan mangrove lebih lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil analisis tutupan pada tahun 2015. Pada tahun 2014, tutupan karang jauh lebih tinggi sedangkan substrat terbuka jeuh lebih rendah. Hal tesebut berbeda pada tahun 2015 dimana sebaliknya tutupan karang menjadi rendah dan sutrat terbuka jauh lebih tinggi. Adanya perbedaan luasan objek habitat bentik dan mangrove antara tahun 2014 dan tahun 2015 bukan disebabkan karena meningkatnya kerusakan terumbu karang atau meningkatnya perubahan tutupan mangrove dalam rentang setahun. Tetapi kerana perbedaan citra dan metode yang digunakan.
Gambar 7. Diagram perbedaan tutuapn terumbu karang dari tahun 2014 hingga 2015
Analisis tutupan habitat bentik dan mangrove pada tahun 2014 memanfaatkan citra Landsat yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 meter, lebih kasar dari pada resolusi spasial citra SPOT-5 yang digunakan untuk analisis tahun 2015. Begitu pula dengan metode klasifikasi pada tahun 2014 menggunakan metode klasifikasi berbasis piksel (pixel based) sedangkan pada analisis tahun 2015 menggunakan pendekatan berbasis objek (object based). Adanya perbedaan citra yang digunakan berpengaruh terhadap luasan tiap objek yang dihasilkan. Penggunaan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi menyebabkan pengkelasan objek lebih presisi. Peta habitat bentik yang telah dihasilkan masih perlu dilakukan perhitungan akurasi. Tujuannya untuk mengetahui kualitas peta sehingga dapat dinyatakan layak untuk digunakan. Kualitas yang baik dicirikan dari besarnya persentasi akurasi peta yang dihitung melalui persamaan pada table confussion matrix. Batas minimal nilai akurasi yang dapat diterima berdasarkan (Prayuda 2014) adalah 60%. Berdasarkan hasil perhitungan akurasi pada Tabel 7, kualitas peta habitat bentik kawasan konservasi perairan daerahKabupaten Kepulauan Mentawai dapat diterima karena memiliki nilai overall accuracy melebihi nilai batas yaitu sebesar 75,26%. Akan tetapi, nilai akurasi yang perlu menjadi perhatian adalah pada nilai user accuracy dan producer accuracy. Pada kolom nilai user accuracy, padang lamun memiliki nilai paling tinggi. Hal tersebut berarti probabilitas setiap piksel atau area terklasifikasi benar sebagai lamun adalah 89,87%, sehingga besarnya kesalahan klasifikasi (error) sebesar 10,127. Begitu pula halnya dengan nilai user accuracy karang yang juga tergolong tinggi (85,714%). Perbedaan yang signifikan adalah pada objek
18
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
subtrat terbuka dimana nilai user accuracy terlalu rendah yaitu sebesar 9,091%. Hal tersebut berarti persentase kebenaran setiap piksel yang dikelaskan sebagai subtrat terbuka hanya sebesar 9,1%. Nilai tersebut tergolong sangat rendah sehingga perlu menjadi perhatian mengingat tutupan objek subtract terbuka pada peta habitat bentik cukup luas. Berdasarkan besarnya nilai user accuracy pada setiap kelas tersebut maka kelas pasir memiliki kesalahan klasifikasi yang sangat tinggi walaupun nilai overall accuracy tergolong baik. Selain perhitungan user accuracy, table confusion matrix juga dapat menghitung besarnya nilai producer accuracy yang menunjukkan besarnya tingkat kebenaran pada setiap kelas dalam suatu batasan area pemetaan. Berdasarkan Tabel 7 dibawah dapat diketahui bahwa tutupan terumbu karang memiliki persentasi producer accuracy paling tinggi. Hal tersebut berarti seluruh area karang pada peta memiliki probabilitas kebenaran sesuai dengan kondisi lapangan adalah sebesar 79,558 %. Sama halnya dengan padang lamun yang juga memiliki nilai producer accuracy yang termasuk tinggi yaitu 72,449%. Akan tetapi nilai producer accuracy tetap rendah seperti nilai user accuracy yaitu 33,33%. Nilai user accuracy maupun producer accuracy yang rendah pada beberapa kelas bukan berarti peta habitat bentik yang dihasilkan salah, tetapi kelas sample lapangan yang dihasilkan melalui metode video phototransect terlalu detail dan sangat efektif untuk pemetaan menggunakan citra resolusi tinggi (WorldView dan QuickBird). Sedangkan pada peta habitat yang dihasilkan mengikuti pedoman (Prayuda 2014), dimana peta habitat bentik skala 1:50.000 hanya menggunakan kelas terumbu karang, padang lamun, subtrat terbuka dan laut dalam. Untuk meningkat nilai kurasi peta habitat bentik tersebut maka dibutuhkan pengembangan metode lapangan yang ada sehingga dapat mereprentasikan setiap kelas objek dalam satuan area segmen, bukan satuan area piksel. Pada kelas mangrove tidak dapat dihitung akurasi karena tidak ada sample untuk uji akurasi yang diambil. Titik lokasi mangrove yang dimiliki hanya titik monitoring yang sudah pasti terdapat tutupan mangrove. Selain itu jumlah titik lokasi monitoring mangrove juga tidak terlalu banyak. Tabel 7. Hasil perhitungan confusion matrix pada setiap kelas objek yang dipetakan
19
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Kondisi Kesehatan Terumbu Karang Kondisi Terumbu Karang Stasiun Monitoring Stasiun MTWL06 Stasiun MTWL06 berada di sisi timur-selatan daratan utama Pulau Siberut yaitu daerah pesisir dekat pulau sangat kecil Beuasak dan Sibitti, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya. Pantai berpasir putih dan sedikit vegetasi mangrove, memiliki muara sungai, terlihat adanya abrasidi sepanjang pesisir ditandai dengan pohon kelapa yang tumbang, vegetasi umumnya kelapa, tumbuhan pesisir berupa semak dan sedikit mangrove. Daerah pesisir dengan jarang penduduk, kawasan perairan termasuk kawasan konservasi perairan daerah sebagai zona perikanan berkelanjutan, merupakan lokasi wisata selancar dan daerah tangkap nelayan lokal. Perairan terbuka, saat monitoring dilakukan cuaca cerah, agak berawan dengan gelombang besar dan arus cukup kuat, perairan keruh, dengan jarak pandang 3 meter. Rataan terumbu cukup luas dengan sebaran mengelompok (patch reef), jarak dari titik stasiun monitoring sekitar 150 meter, dasar perairan berpasir halus dan patahan karang mati dan substrat keras dari batuan karang ditutupi sedimen pasir halus dan lumpur. Transek berada dirataan terumbu pada kedalaman kedalaman 3 meter,berada sekitar 100 meter dari pantai, sangat landai, dasar berpasir halus dan campuran lumpur. Tubir karang (reef front) tidak kelihatan jelas, berada pada kedalaman 4-5 meter, lereng terumbu sangat landai sampai kedalaman 6-7 meter. Karang hidup yang dijumpai terutama dari karang kelompok Acropora bercabang (branching) dan berbentuk menjari (digitate) serta karang dari Famili Pocilloporidae. Biota lain yang ditemukan anatara lain bintang laut biru Linkia dan Karang Lunak (soft coral). Hasil monitoring menunjukan tutupan karang hidupnya 25,67 % sehingga berada dalam kondisi cukup baik, namun lebih rendah dibanding tahun 2014 yaitu sebesar 44,53%. Dengan demikian terjadi penurunan persentase tutupan karang hidup sebesar – 18,86 %, sesuai dengan kriteria kesehatan terumbu karang, kondisinyamasih sama dengan tahun 2014 yaitu cukup baik.
Gambar 8. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL06, pesisir timur Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai
20
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Stasiun MTWL07 Stasiun MTWL07 merupakan perairan pulau kecilLibut persis di depan Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya. Pantai berpasir putih, dan bermangrove, ditumbuhi vegetasi pesisir alami dan phohn kelapa, terjadi abrasi di sepanjangn pesisir. Termasuk dalam kawasan konservasi perairan daerah sebagai zona pemanfaatan, Pulau Libut tidak berpenduduk, pasir pulau ditambang untuk bahan bangunan, perairan daerah labuh dan berlindung kapal ikan dari luar, lokasi tangkap nelayan lokal. Perairan cukup terlindung, berada depan mulut teluk, saat monitoring dilakukan cuaca agak berawan, gelombang kecil namun arus cukup kuat, perairan keruh dengan jarak pandangan 4 meter. Rataan terumbu tidak terlalu lebar, sekitar 200 meter dari pantai arah ke tubir karang, substrat dasar perairan dari patahan karang mati, pasir dan karang hidup umumnya berbentuk lembaran (foliose) dan bercabang. Tubir karang cukup jelas berada sekitar 150-200 meter dari garis pantai, berad di kedalaman 1-2 meter. Transek permanen berada di lereng terumbu pada kedalaman 3 meter, landai dengan kemiringan sekitar 20 derajatsampai kedalaman 5-7 meter, Karang hidup pada ratan terumbu umumnyakarang lembaran dan karang sub masif dari kelompok Pocilloporidae, sedangkan di daerah tubir karang sampai lereng terumbu lebih banyak karang bercabang dari kelompok Montipora. biota lain yang ditemukan sangat jarang, keragaman ikan rendah, terlihat kehadiran ikan indikator Chaetodontidae, sedangkan ikan target jarang. Hasil penilaian tutupan bentik terumbu diperoleh tutupan karang hidup sebesar 51,01%, sehingga berada dalam kondisi baik. Jika dibanding tahun 2014 yaitu 48,67 terjadi peningkatan tutupan karang sebesar 2,43%sehingga kondisi cukup baik menjadi baik.
Gambar 9. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL07, Pulau Libut, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Stasiun MTWL08 Stasiun MTWL08 berada di pesisir pulau kecil Nyangnyang, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berpasir putih, sebagain ditumbuhi mangrove dengan vegetasi pesisir umumnya kelapa, terjadi abrasi pantai di sepanjang pesisirnya. Daerah pesisir tidak berpenduduk, terdapat resort yang dikelola oleh arang asing, perairan termasuk dalam kawasan konservasi daerah berada dalam zona pemanfaatan, daerah wisata selancar dan lokasi tangkap perikanan nelayan lokal dan nelayan dari luar. Perairan terbuka, merupakan selat kecil dengan Pulau Siloina, saat monitoring dilakukan cuaca mendung berawan, angin tenang, gelombang dan alun cukup besar, arus cukup kuat, perairan keruh dengan jarak pandang 5 meter.Rataan terumbu
21
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
tidak terlalu lebar, sekitar 200 meter dari transek, substrat dasar karang mati ditumbuhi algae dan patahan karang mati (rubble), tubir karang tidak terlalu jelas, berada di kedalaman 4-5 meter, lereng terumbu landai dengan kemiringan 30 derajat sampai kedalaman 12 meter. Transek permanen berada di kedalaman 4 meter, pada lereng terumbu dengan kemiringan 30 derajat. Biota bentik di rataan terumbu umumnya karang hidup dari Acropora tabulate, bercabang dan montipora, biota lain yang ditemukan makro algae Turbinaria dan algae berkapur Halimeda, ikan karang cukup beragam, terlihat kehadiran ikan indikator dan target, sedangkan biota lain yang berassosiasi dengan terumbu sangat jarang. Hasil penilaian tutupan bentik terumbu didapatkan tutupan karang hidup hanya 5,73%, sehingga kondisinya kurang baik. Jika dibanding tutupan karang hidup tahun 2014 yaitu 1,67% terjadi peningkatan sebesar 4,06 %, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu kurang baik.
Gambar 10. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL08, Pulau Nyangnyang, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Stasiun MTWL09 Stasiun MTWL09 berada di daerah pesisir sisi utara pulau kecil Botik, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berpasir putih, vegetasi dominan kelapa dan tumbuhan khas pesisir. Pulau kecil tidak berpenduduk, terdapat resort yang dikelola orang asing, daerah perairan termasuk kawasan konesrvasi perairan daerah berada dalam zona pemanfaatan, pada sisi barat terdapat zona lainnya untuk perlindungan penyu, perairan sekitarnyanya terutama sisi barat merupakan lokasi wisata selancar dan peringkanan tangkap terutama nelayan dari luar. Perairan sangat terbuka, merupakan selat antara pulau kecil Mainuk di sisi utara-timur dan Pulau Karang Majat di sisi selatan. Pada saat monitoring dilakukan cuaca berawan dengan gelombang cukup besar, arus kuat,perairan relatif jernih dengan jarak pandang 12 meter.Rataan terumbu tidak lebar sekitar 50 meter dari pantai ke arah transek permanen,substrat dasar dominan patahan karang mati, pasir dan dan karang mati ditumbuhi algae. Tubir karang tidak terlalu jelas berada di kedalaman 3-4 meter, lereng terumbu landai dengan kemiringan 20 derajat, karang hidup ditemukan sampai kedalaman 10 meter. Transek permanen berada di kedalaman 5 meter pada lereng terumbu, landai dengan kemiringan 30 derajat. Biota bentik di rataan, tubir dan lereng terumbu umumnya karang hidup kelompok AcroporadanPocillopora. Kehadiran ikan karang cukup beragama, biota assosiasi terumbu karang terlihat dari kelompok sponge. Hasil penilaian kondisi tutupan bentik
22
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
terumbu didapatkan tutupan karang hidup 10%, sehingga kondisinya kurang baik. Jika dibanding dengan tutupan karang hidup tahun 2014 yaitu 4,93%, terjadi peningkatan sebesar 5,07, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu kurang baik.
Gambar 11. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL09, Pulau Botiek, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Stasiun MTWL05 Stasiun MTWL05 berada di sisi barat selatan pulau kecil Pitoiat Sabeu, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berpasir dengan vegetasi pantai masih alami dan sedikit tumbuhan kelapa. Pesisir pulau tidak berpenduduk, daerah perairan termasuk kawasan konservasi perairan daerah termasuk dalam zona inti. Pemanfaatan daerah perairan sekitarnya sebagai lokasi tangkap nelayan lokal dan menjadi daerah labuh dan berlindung kapal nelayan dan kapal wisata . Perairan agak terlindung dalam teluk, saat monitoring dilakukan cuaca berawan, perairan dengan gelombang kecil, arus relatif tenang, perairan agak keruh dengan jarak pandang 10 meter. Rataan terumbu tidak lebar dengan jarak sekitar 30 meter dari pantai arah tubir, substrat dasar perairan substrat keras dari batuan karang, patahan karang mati ditumbuhi algae dan karang hidup. Tubir karang sangat jelas berada di kedalaman 2-3 meter, lereng terumbu agak curam dengan kemiringan 40 derajat, karang hidup ditemukan sampai kedalaman 13 meterTransek permanen berada di lereng terumbu kedalaman 4,8 meter, pada lereng terumbu agak curam dengan kemiringan 40o. Rataan terumbu sampai lereng terumbu didominasi karang hidup terutama dari Pocillopora, Acropora dan Porites bercabang. Kehadiran Biota lain terlihat dari kelompok Tunicata encrusting dan karang lunak, keragaman ikan karang cukup tinggi, terlihat kehadiran ikan indikator Chaetodontidae, beberapa kelompok ikan target ekor kuning dan ikan kakap. Hasil penilaian kondisi tutupan bentik terumbu didapatkan tutupan karang hidup 61 %, sehingga kondisinya baik. Jika dibanding tutupan karang hidup tahun 2014 yaitu 70,37%, terjadi penurunan sebesar 9,37%, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu baik.
23
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 12. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL05, Pulau Pitoieat Sabeu, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Stasiun MTWL 04 (R) Pesisir Pulau Sipora, pada sisi barat-utara, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berpasir putih , terdapat muara sungai, bermangrove danvegetasi pesisir alami. Pada dataran pesisir terdapat pemukiman penduduk, daerah perairan masuk kawasan konservasi perairan daerah dalam zona perikanan berkelanjutan, lokasi tangkap nelayan lokal dan daerah labuh dan berlindung kapal ikan dari luar. Perairan agak terlindung dalam teluk, saat monitoring cuaca cerah, gelombang kecil dan arus tidak kuat, perairan keruh dengan dengan jarak pandang 2 meter. Rataan terumbu tidak terlalu lebar sekitar 100 meter dari pantai arah tubir, substrat dasar perairan umumnya patahan karang mati, sedimen pasir dan lumpur, bongkahan karang mati ditumbuhi algae. Transek permanen berada pada kedalaman 5 meter, di lereng terumbu, landai kemiringan 20derajat. Biota bentik di rataan terumbu sampai tubir karang umumnya karang hidup masif dari kelompok Porites, sedangkan pada lereng terumbu umumnya Montipora bercabang dan Fungia, biota lain jarang, ikan karang tidak beragam, ikan indikator dan target jarang terlihat. Hasil penilaian kondisi tutupan bentik terumbu didapatkan tutupan karang hidup 14,27 %, sehingga kondisinya kurang baik. Jika dibanding tutupan karang hidup tahun 2014 yaitu 13,2%, terjadi peningkatan sebesar 1,07%, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu kurang baik
Gambar 13. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL04 (R), pesisir, Desa Katurei, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai
24
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Stasiun MTWL02 Stasiun MTWL02 berada di pesisir pulau kecil Putoutougat (atau Pulau Hawera) sisi selatan-timur, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berpasir putih, vegetasi umumnya tanaman kelapa, vegetasi berupa semak dan tumbuhan merambat. Pulau tidak berpenduduk, terlihat adak aktifitas penambangan pasir oleh masyarakat, stasiun monitoring berada dalam kawasan konservasi perairan daerah di zona inti. Pemanfaatan wilayah perairan antara lain sebagai lokasi tangkap nelayan lokal, sedangkan perairan sisi barat-utara sebagai lokasi wisata selancar dan penyelaman. Perairan lokasi stasiun permanen cukup terbukadan merupakan selat kecil dengan daratan utama Pulau Sipora. Saat monitoring dilakukan cuaca cerah dengan gelombang dan arus tidak terlalu luat, perairan agak jernih dengan jarak pandang 15 meter. Rataan terumbu pendek sekitar 50 meter dari pantai arah tubir, dengan substrat dasar berpasir, patahan dan bongkahan karang mati. Tubir karang tidak terlalu jelas berada pada kedalaman 2-3 meter, lereng terumbu agak landai dengan kemiringan 30 derajat, karang hidup dijumpai sampai kedalaman 15-20 meter. Transek permanen berada di kedalaman 4 meter pada lereng terubu dengan kemiringan 20 derajat. Biota bentik di rataan terumbu umumnya karang hidup dari kelompok Acropora dan Porites, dan biota laindari kelompok sponge. Hasil penilaian kondisi tutupan bentik terumbu didapatkan tutupan karang hidup 12,73 %, sehingga kondisinya kurang baik. Jika dibanding tutupan karang hidup tahun 2014 yaitu 11,93%, terjadi peningkatan sebesar 1,2 %, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu kurang baik
Gambar 14. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL02, Pulau Putoutougat, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Stasiun MTWL03 Stasiun MTWL03 berada di sisi Pesisir timur Pulau Panjang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berbatu, dan sedikit bagian berpasir, terdapat tanaman kelapa, kebun cengkeh, vegetasi pesisir yang masih alami. Daerah pesisir tidak berpenduduk, terdapat lahan untuk kebun cengkeh, daerah perairan lokasi stasiun permanen merupakan kawasan konservasi daerah dengan zona perikanan berkelanjutan. Perairan sangat terbuka, saat monitoring dilakukan cuaca cerah,berawan, gelombang dan arus tidak terlalu kuat, jernih dengan kecerahan 20 meter. Rataan terumbu tidak lebar sekitar 50 meter dari pantai arah tubir, substratedasar perairan terdiri dari substrat keras dari batuan karang dan patahan karang mati (rubble). Tubir karang cukup jelas berada di kedalaman 4-5 meter, lereng agak curam dengan kemiringan 50 derajat, karang hidup ditemukan sampai kedalaman 20 meter. Transek permanen berada di kedalaman 6,5 meter pada di lereng terumbu dengan kemiringan 40 derajat.
25
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Biota bentos di rataan terumbu umumnya karang hidup dari kelompok Pocilopora, Acropora tabulate, biota lain yang ditemukan sponge, pada transek permanen ke-2 dan ke-3 terdapat patahan karang mati yang sudah mulai stabil dan mulai ditempelin anakan karang. Hasil penilaian tutupan bentik terumbu didapatkan tutupan karang hidup 16,98 %, sehingga kondisinya kurang baik. Jika dibanding kandengan tutupan karang hidup pada tahun 2014 yaitu 20,6%, terjadi penurunan sebesar -3,62 %, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu kurang baik
Gambar 15. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL03, pesisir timur Pulau Panjang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Stasiun MTWL010 (R) Stasiun MTWL10 (R) beradadiselatan pesisir Pulau Simakakang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pantai berpasir putih, bermangrove, vegetasi umumnya tanaman kelapa dan, terdapat kebun cengkehdi dataan yang lebih tinggi. Pulau kecil tidak berpenduduk, daerah perairan sebagai kawasan konservasi perairan daerah termasuk dalam zona inti. Perairan terlindung, merupakan selat kecil dengan Pulau Putotogat, saat monitoring dilakukan cuaca cerah agak berawan, arus dan gelombang sangat tenang, perairan jernih dengan kecerahan 20 meter. Rataan terumbu tidak lebar sekitar 50 meter dari pantai arah tubir,substrat dasar perairan berpasir, patahan karang mati dantutupan bkarang hidup dan sponge. Tubir karang tidak jelas berada di kedalaman 2-3 meter, lereng terumbu landai dengan kemiringan 30 derajat, karang hidup ditemukan sampai kedalaman 15 meter. Transek permanen berada di kedalaman 4 meter, pada lereng terumbu dengan kemiringan 30 derajat. Karang hidup di rataan terumbu sampai tubir dan lereng terumbu umumnya Porites bercabang, biota lain didominasi sponge, ikan karang cukup beragam, terlihat kehadiran ikan indikator Chaetodontidae dan ikan target. Hasil penilaian kondisi tutupan bentik terumbu didapatkan tutupan karang hidup 12,73 %, sehingga terumbu karangnya berada dalam kondisi kurang baik. Jika dibanding dengantutupan karang hidup pada tahun 2014 yaitu 15,13%, terjadi penurunan sebesar -2,4 %, namun tetap dalam kondisi yang sama yaitu kurang baik
26
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 16. Gambaran pesisir dan terumbu karang di stasiun MTWL10 (R), sisi selatan Pulau Simakakang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai
Kondisi Kesehatan Terumbu Karang Secara umum pada keseluruhan stasiun, tutupan substrat dasar perairan didominasi oleh tutupan karang mati ditumbuhi algae (DCA) dengan tutupanrata-rata 29,98 %, diikuti oleh tutupan dasar berlumpur (SI) yaitu 28,88 % (Gambar 17). Tutupan karang hidup tidak terlalu tinggi (HC) yaitu dengan tutupan rata-rata hanya 23,36%, sedangkan tutupan kategori bentik lainnya berada di bawah 10%.
Gambar 17. Persentase tutupan kategori bentik terumbupada masing-masing stasiun permanen di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Tutupan karang hidup sebagai indikator langsung kesehatan terumbu karang terlihat bervariasi pada setiap stasiun yaitu berkisar 10 % - 61 % dengan tutupan rata-rata 23,36%. Dengan demikian kesehatan terumbu karang di perairan TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan Mentawai berada dalam kondisi kurang baik sampai baik, namun secara keseluruhan kondisinya kurang baik. Hal ini dapat dilihatpada Gambar 18, yang mana tujuh dari sembilan stasiun monitoring yang diukur, tutupan ratarata karang hidupnya berada di bawah 25% sebagai indikasi kondisi terumbu karang yang kurang baik.
27
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Lima stasiun dari total sembilan stasiun mengalami kenaikan, namun tidak merubah status kondisi kesehatan terumbu karang karang, kecuali pada Stasiun MTWL07 dari cukup baik menjadi baik. Penurunan tutupan karang hidup sangat jelas terlihat pada Stasiun MTWL06 yaitu 44,53% pada tahun 2014 menjadi 25,67% pada tahun 2015 atau turun sekitar – 18,86 %, walupun tidak merubah status kesehatan terumbu karangnya. Stasiun MTWL05 berada pada zona inti juga mengalami penurunan dari 70,73 % pada tahun 2014 menjadi 60 % pada tahun 2015 atau turun sekitar -10,73 %. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus, apakah penurunan tutupan karang hidup terjadi secara alami atau ada tekanan aktifitas manusia.
Gambar 18. Perbandingan persentase tutupan karang hidup (HC) tahun 2014 dengan tahun 2015 di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
Indikator keberhasilan pengelolaan terumbu karang yang dintervensi oleh Program COREMAP-CTI adalah terjadinya peningkatan atau terjaganya status kesehatan terumbu karang. Salah satu variabel yang menjadi ukuran kesehatan terumbu karang adalah tutupan karang hidup (HC), yang mana nilainya terjaga atau meningkat dari nilai awal saat baseline survei dan di akhir program paling tidak 70% dari jumlah stasiun yang dimonitoring nilainya tetap atau meningkat. Persentase tutupan karang hidup hasil monitoring tahun 2015 jika dibandingkan dengan 2014, terjadi peningkatan tutupan karang hidup pada lima stasiun dari total sembilan stasiun yang dimintoring. Dengan demikian persentase jumlah stasiun yang mengalami peningkatan tutupan karang hidupnya adalah 55,55% atau kurang dari 70% sebagai indikasi keberhasilan minimal yang dipersyaratkan. Kekayaan Jenis Karang Keras Monioring COREMAP-CTI dilakukan pada daerah konservasi perairan baik daerah maupun nasional dengan tujuan perlindungan jenis tertentu serta upaya mempertahan kekayaan jenis (biodiversitas) dalam kawasan. Inventarisasi jenis-jenis karang dalam kegiatan monitoring tahun ke-1 (T1) akan memberikan data dan informasi penambahan kekayaan jenis dan melengkapi daftar kekayaan jenis karang yang sudah ada saat baseline survey tahun 2014.
28
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Jenis-jenis karang yang dicatat dan diinventarisasi adalah karang keras dan karang lunak pembentuk terumbu. Jumlah jenis karang yang ditemukan mencapai165 jenis meliputi 47 genus karang keras dan3 genus karang lunak dalam 14 Famili (Lampiran 5). Jenisjenis karang dari Famili Acroporidae dan Pocilloporidae sangat umum, dimana genus Acropora, Montipora dan Pocillopora ditemukan di setiap stasiun. Kepuauan Mentawai termasuk dalam ecoregion sebaran jenis karang wilayah Barat Sumatera (West Sumatera) dimana jumlah jenis mencapai 386 jenis dengan kisaran 351-400 jenis, namun tidak termasuk dalam pusat segitiga keanekaragaman karang dunia (coral triangle), (Veron et al, 2009). Wilayah perairan Samudera Hindia dikenal sebagai sebaran maksimal untuk jenis-jenis karang dalam Famili Pocilloporidae dan beberapa spesies seperti Acropora rudis tersebar terbatas diwilayah ini (Veron et al, 1977 ; Veron, 2000 ; Veron et al, 2009). Disamping itu wilayan Samudera Hindia merupakan wilayah merah kejadian pemutihan karang karena perubahan suhu air laut Tahun 1997/19978, 2007 dan 2010 dan memiliki kecenderungan berulang dalam periode waktu berikutnya.
Mega Benthos Dari sembilan stasiun permanen yang diamati, delapan spesies atau kelompok spesies megabenthos target monitoring berhasil ditemukan di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai.Pada pengamatan di seluruh stasiun didapatkan sebanyak 289 individu megabenthos target monitoring dengan pola kehadiran spesies atau kelompok spesies megabenthos seperti yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 No. Megabenthos
STASIUN MTWL 02
03
04R
05
06
1
Acanthaster planci
2
Bulu babi
+
+
3
Teripang
+
+
4
Kima
+
+
+
+
5
Drupella spp.
+
+
+
+
6
Lola
+
+
+
7
Lobster
8
Bintang laut biru
+ +
+
+
+
07
+
08
09
+
+
+
+
+
10R
+ +
+ +
+
+ +
+
+
+ +
+
Dibandingkan dengan hasil tahun sebelumnya (2014), hasil yang didapatkan pada tahun ini terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan terjadi baik dalam hal pola kehadiran spesies atau kelompok spesies megabenthos pada masing-masing stasiun maupun jumlah individu masing-masing spesies atau kelompok spesies pada masing-masing stasiun. Bulu babi tetap merupakan kelompok spesies megabenthos yang memiliki pola sebaran yang paling merata, begitu pula halnya dengan Acanthaster planci yang merupakan spesies megabenthos yang memiliki sebaran yang paling tidak merata. Beberapa spesies atau
29
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
kelompok spesies tercatat di beberapa stasiun pada pengamatan tahun lalu dan tetap tercatat di beberapa stasiun pada pengamatan kali ini namun dari stasiun yang berbeda. Jika dilihat dari jumlah individu tiap spesies atau kelompok spesies megabenthos yang didapatkan di seluruh stasiun monitoring, terlihat bahwa terdapat dua spesies atau kelompok spesies megabenthos yang ditemukan dalam jumlah yang mendominasi. Kedua spesies atau kelompok spesies megabenthos tersebut yaitu bulu babi dan kerang kima. Dari seluruh megabenthos target yang ditemukan, bulu babi ditemukan sebanyak 60,554% (175 individu), dan kerang kima ditemukan sebanyak 20,415% (59 individu). Sedangkan spesies atau kelompok spesies megabenthos yang ditemukan dalam jumlah sedang antara lain siput Drupella, keong lola, lobster dan teripang. Dari total megabenthos target yang ditemukan, siput Drupella ditemukan sebanyak 5,882% (17 individu), keong lola ditemukan sebanyak 5,19% (15 individu), lobster ditemukan sebanyak 3,114% (9 individu) dan teripang ditemukan sebanyak 2,422% (7 individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos lainnya yang ditemukan dalam jumlah sedikit, yaitu bintang laut biru Linckia laevigata yang ditemukan sebanyak 1,73% (5 individu) dan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci yang ditemukan sebanyak 0,692% (2 individu). Gambaran mengenai persentase megabenthos target yang ditemukan selama penelitian disajikan pada Gambar 19. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya (tahun 2014), terlihat adanya beberapa yang berkaitan dengan prosentase kehadiran masing-masing spesies atau kelompok spesies megabenthos. Dua spesies atau kelompok spesies megabenthos yang mendominasi masih tetap sama yaitu bulu babi dan kima. Bulu babi mengalami peningkatan jumlah maupun prosentase yaitu dari 100 individu menjadi 175 individu, atau dari 57,803% menjadi 60,554%. Kerang kima walaupun mengalami peningkatan jumlah individu (dari 51 individu menjadi 59 individu), namun secara keseluruhan mengalami penurunan persentase (dari 29,480% menjadi 20,415%). Siput pemakan polip karang Drupella spp. mengalami penurunan baik jumlah individu (dari 24 individu menjadi 17 individu) maupun persentase (dari 13,873% menjadi 5,882%). Sebaliknya, keong lola/ Trochus spp. dan Tectus spp. (Famili Trochidae) justru mengalami peningkatan baik dalam hal jumlah individu (dari 3 individu menjadi 15 individu) maupun persentase (dari 1,734% menjadi 5,19%). Sedangkan untuk lobster walaupun mengalami peningkatan jumlah individu (dari 7 individu menjadi 9 individu) namun prosentasenya sedikit mengalami penurunan (dari 4,046% menjadi 3,114%). Kondisi yang patut menjadi catatan penting adalah untuk teripang, dimana baik secara jumlah individu maupun persentase mengalami penurunan, yaitu dari 18 individu (10,405%) menjadi 7 individu (2,422%). Acanthaster planci walaupun mengalami sedikit penambahan jumlah individu (dari 1 individu menjadi 2 individu), namun prosentasenya tidak banyak mengalami peningkatan (dari 0,578% menjadi 0,692%). Sedangkan khusus untuk bintang laut biru Linckia laevigata tidak dapat dibandingkan karena merupakan spesies target monitoring baru sehingga pada tahun sebelumnya tidak dilakukan pencatatan jumlah individunya.
30
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 19. Diagram perbandingan jumlah individu dari masing-masing spesies megabenthos target di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Dilihat dari prosentase kehadiran masing-masing spesies fauna megabenthos pada tiap stasiun, terlihat Stasiun MTWL 04R memiliki fauna megabenthos yang paling miskin, yaitu hanya terdapat dua spesies atau kelompok spesies megabenthos. Sedangkan Stasiun MTWL 02 dan Stasiun MTWL 03 merupakan dua stasiun yang memiliki megabenthos yang paling beranekaragam, yaitu masing-masing terdiri dari enam spesies atau kelompok spesies megabenthos. Keberadaan setiap spesies atau kelompok spesies megabenthos tidak lepas dari kondisi kesehatan terumbu karang. Gambaran mengenai prosentase kehadiran masing-masing spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada masing-masing stasiun disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Diagram persentase kehadiran masing-masing spesies megabenthos pada masing-masing stasiun di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
31
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Dibandingkan dengan hasil tahun sebelumnya, dari diagram yang dihasilkan terlihat adanya perubahan komposisi spesies atau kelompok spesies pada masing-masing stasiun. Pada pengamatan tahun sebelumnya, stasiun yang memiliki fauna megabenthos yang paling miskin (terdiri dari duaspesies atau kelompok spesies megabenthos) adalah Stasiun MTWL 07, sedangkan pada pengamatan kali ini adalah Stasiun MTWL 04R. Pada pengamatan tahun sebelumnya, hanya Stasiun MTWL 03 yang merupakan stasiun yang memiliki megabenthos yang paling beranekaragam, yaitu terdiri dari enam spesies atau kelompok spesies megabenthos. Namun pada pengamatan kali ini, selain Stasiun MTWL 03, pada Stasiun MTWL 02 juga ditemukan enam spesies atau kelompok spesies megabenthos target. Perubahan komposisi spesies atau kelompok spesies megabenthos tidak hanya terjadi pada ketiga stasiun tersebut, tetapi juga terjadi di stasiun-staiun lainnya. Megabenthos Target Hasil pengamatan menunjukkan bahwa megabenthos yang memiliki nilai ekologis penting bagi terumbu karang sebagai bioindikator kesehatan (bulu babi dan bintang laut biru Linckia laevigata) ditemukan di beberapa stasiun.Bulu babi ditemukan di semua stasiun, bahkan pada Stasiun MTWL 08 dan Stasiun MTWL 09 ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu masing-masing 69 individu dan 57 individu. Jumlah individu yang didapatkan kemungkinan berkaitan erat dengan kondisi substrat dan ketersediaan algae sebagai makanan dari bulu babi. Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya, terdapat sedikit perubahan pola sebaran dan jumlah individu pada masingmasing stasiun. Ditemukannya bulu babi (Gambar 21), terutama jenis Diadema setosum menunjukkan bahwa karang di wilayah tersebut dalam kondisi tidak sehat. Bulu babi adalah indikator kesehatan karang, dimana kehadiran dalam jumlah besar mengindikasikan karang yang tidak sehat (Vimono, 2007). Diadema setosum memangsa algae yang tumbuh pada karang yang telah mati, hal ini sesuai dengan sifat dari sebagian besar bulu babi sebagai grazer (algae feeder). Kehadiran bulu babi di satu sisi pada dasarnya memiliki peran yang menguntungkan bagi ekosistem terumbu karang karena turut membersihkan algae, sehingga memungkinkan karang untuk tumbuh setelah substrat dibersihkan oleh Diadema setosum dari algae. Pada lokasi yang terumbu karang yang telah mengalami kerusakan tetapi tidak terdapat bulu babi umumnya banyak ditumbuhi oleh algae, bahkan mendominasi bentik life form. Berbeda kondisinya jika di lokasi tersebut banyat terdapat bulu babi, pertumbuhan algae akan dikontrol sehingga kesempatan karang untuk melakukan pemulihan (recruitment) lebih tinggi.
32
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 21. Beberapa jenis bulu babi yang ditemukan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Bintang laut biru Linckia laevigata ditemukan di dalam transek pada Stasiun MTWL 02, Stasiun MTWL 06 dan Stasiun MTWL 10R. Beberapa stasiun lainnya sebenarnya juga dapat ditemukan bintang laut biru ini, akan tetapi karena posisinya berada di luar transek (terutama di sekitar rataan terumbu) sehingga datanya tidak ditampilkan. Namun demikian, informasi tentang keberadaan bintang laut biru di luar tetap dicatat sebagai informasi tambahan. Ukuran individu hampir seragam, dan berdasarkan pengamatan di tempat lain pun sangat sulit menemukan individu dengan ukuran kecil. Hasil yang didapatkan dalam pengamatan kali ini tidak bisa dibandingkan dengan pengamatan tahun-tahun sebelumnya karena biota ini merupakan spesies megabenthos target monitoring yang baru ditetapkan mulai pengamatan tahun ini. Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia laevigata (Gambar 22) ini bagi terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota ini berpotensi sebagai bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak dimanfaatkan oleh nelayan sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini sebarannya merata di seluruh perairan tropis. Minimnya Linckia laevigata di lokasi monitoring hampir sama hasilnya dengan perairan barat Sumatra secara umum. Jika dibandingkan dengan hasil monitoring di perairan Lampung Selatan (Lampung), perairan Pulau Pieh (Sumatra Barat), perairan Tapanuli Utara (Sumatra Utara), serta perairan Kepulauan Nias (Sumatra Utara) kondisinya juga minim ditemukan bintang laut biru. Kondisi tersebut berbeda jauh apabila dibangingkan dengan hasil pengamatan di wilayah Indonesia timur seperti perairan Gili Matra (NTB), perairan Teluk Maumere (NTT), perairan Raja Ampat (Papua Barat), dan beberapa perairan lainnya. Minimnya jumlah individu bintang laut biru yang ditemukan kemungkinan karena pengaruh batasan geografis yang mempengaruhi sebarannya.
33
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 22. Variasi warna bintang laut biru yang ditemukan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa megabenthos yang memiliki nilai ekologis penting bagi terumbu karang sebagai pemakan polip karang (siput pemakan polip karang Drupella spp. dan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci) dapat ditemukan di beberapa stasiun. Drupella spp. tidak ditemukan hanya di Stasiun MTWL02, Stasiun MTWL03, Stasiun MTWL05, Stasiun MTWL06, Stasiun MTWL07 dan Stasiun MTWL10R. Jumlah individu yang ditemukan relatif sedikit, bahkan pada Stasiun MTWL05, Stasiun MTWL07 dan Stasiun MTWL10R. Walaupun jumlah individu yang didapatkan tidak terlalu banyak, namun keberadaan biota ini terhadap terumbu karang tetap menjadi peringatan yang perlu untuk diwaspadai. Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya, hasil pengamatan kali ini terlihat adanya perubahan pola sebaran. Akan tetapi perubahannya tidak terlalu signifikan karena hanya terdapat penambahan catatan ditemukannya siput Drupella pada Stasiun MTWL07, selebihnya kondisinya sama. Perbedaan lainnya terletak pada jumlah individu yang ditemukan pada masing-masing stasiun. Jika tahun sebelumnya terlihat adanya pemutihan karang pada beberapa stasiun, pada pengamatan kali ini hampir tidak terlihat adanya fenomena tersebut. Drupella spp. (Gambar 23) merupakan kelompok siput yang memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari kelompok Acropora dan Pocillopora) maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009). Namun demikian, terlihat siput ini juga memakan polip karang pada jenis karang submasif maupun karang daun. Dalam jumlah sedikit kelompok siput ini memang tidak membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi karang, namun jika pada kondisi terjadi ledakan populasi (outbreaks) siput ini besa berakibat fatal bagi kerusakan karang. Tingginya populasi siput Drupella di suatu lokasi kemungkinan juga terkait dengan over fishing di lokasi tersebut.
34
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Beberapa kelompok ikan (triggerfish, porcupinefish, wrasses, snappers dan emperor breams) merupakan predator alami bagi siput parasit Drupella spp, namun jumlahnya di alam semakin menurun karena penangkapan berlebih. Pada dasarnya, secara ekologis keong pemakang polip karang ini memiliki peran sebagai pengendali alami bagi keseimbangan ekosistem terumbu karang. Akan tetapi pengaruh yang ditimbulkan akan cukup signifikan dalam mematikan karang apabila hadir dalam agregasi yang relatif besar. Ledakan populasi Drupella spp. pernah menyebabkan kematian massal karang di Great Barier Reef, Australia (Turner,1994). Beberapa teori mengatakan bahwa ledakan populasinya berkaitan dengan fenomena global, misalnya ENSO (El Nino Southern Oscillation), perubahan salinitas dan perubahan suhu.
Gambar 23. Siput Drupella sp. yang ditemukan di beberapa tipe pertumbuhan karang maupun di karang mati di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Biota pemakan polip karang lainnya adalah Acanthaster planci atau bintang laut bermahkota duri.Acanthaster planci (Gambar 24) merupakan biota pemakan polip karang yang populer karena dampak kematian karang yang ditimbulkan cukup serius. Spesies ini ditemukan hanya di dua stasiun, yaitu di Stasiun MTWL08 dan Stasiun MTWL09 dimana masing-masing terdapat satu individu.Walaupun hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil, namun hal ini patut diwaspadai mengingat begitu cepatnya pertumbuhan populasi dari spesies ini. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hanya ditemukan dalam jumlah sedikit, dalam kurun waktu yang tidak begitu lama setelah itu bintang laut ini sudah memberikan ancaman serius bagi kondisi karang. Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya terdapat perbedaan, baik dalam jumlah individu maupun lokasi ditemukannya spesies ini. Pada pengamatan tahun sebelumnya, spesies pemakan polip karang ini hanya ditemukan satu individu di satu stasiun saja,
35
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
sedangkan pada pengamatan kali ini ditemukan sebanyak dua individu. Pada pengamatan tahun sebelumnya, Acanthaster planci ditemukan di Stasiun MTWL05, sedangkan pada pengamatan kali ini di stasiun tersebut tidak ditemukan, tetapi di Stasiun MTWL08 dan Stasiun MTWL09. Pada kondisi yang tertekan, Acanthaster planci akan mempercepat proses pematangan gonad dan segera melakukan pemijahan dengan mengeluarkan telur dalam jumlah besar (Setyastuti, 2010). Di samping itu, bintang laut bermahkota duri dapat meregenerasi diri menjadi individu baru yang utuh dari potongan tubuh karena tercabik. Spesies ini juga diketahui memiliki umur larva planktonik yang relatif lama yang memungkinkan untuk menyebar luas ke seluruh dunia mengikuti pola arus. Dengan kata lain, walaupun pada suatu lokasi tidak ditemukan bintang laut bermahkota duri ini, bukan berarti bebas dari ancaman pemangsaan. Bisa jadi, pada lain waktu arus membawa larva Acanthaster planci ke tempat tersebut karena perairan laut di seluruh dunia terkoneksi satu sama lain. Dan akhirnya pemakan polip karang ini akan tumbuh dan berkembang biak setelah menemukan habitat yang cocok. Disisi lain, tidak adanya predator alaminya juga menjadi faktor yang layak dikhawatirkan. Siput Charonia tritonis atau triton dan Casis cornuta atau siput kepala kambing merupakan predator alami dari Acanthaster planci. Bahkan pada suatu kesempatan, terlihat seorang nelayan sedang membawa Casis cornuta sebagai tangkapan sampingan selain ikan sebagai tangkapan utamanya. Bukti lainnya yang ditemukan di sekitar Stasiun MTWL10R adalah cukup banyaknya cangkang Casis cornuta yang terlihat berserakan di pantai setelah dagingnya diambil oleh nelayan.
Gambar 24, Bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci yang ditemukan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 (foto Abrar 2015)
36
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Kelompok megabenthos yang memiliki nilai ekonomis penting yang berasosiasi dengan terumbu karang (seperti kerang kima, teripang dan keong lola) juga masih dapat ditemukan. Kehadiran megabenthos yang memiliki nilai ekonomis penting pada ekosistem terumbu karang seringkali menjadi indikator bahwa karang di lokasi tersebut masih sehat, atau kalaupun karang telah mengalami kerusakan, kondisi lingkungan cukup mendukung kehidupan kelompok tersebut. Namun demikian, ketidakhadiran kelompok spesies megabenthos tidak selalu disebabkan oleh kondisi kesehatan karang atau kondisi lingkungan karena ada faktor lain yang juga berperan, yaitu perburuan oleh nelayan untuk dikonsumsi atau sebagai biota hias. Statusnya sebagai biota ekonomis penting yang menjadi target buruan bagi nelayan menjadikannya terancam. Harganya yang terbilang mahal dan permintaan pasar yang tinggi menjadikannya over eksploitasi di beberapa daerah. Ekonomis penting dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan bahan pangan tetapi juga untuk kepentingan lain. Selain dagingnya dikonsumsi, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk diperjualbelikan, beberapa kelompok megabenthos dimanfaatkan sebagai barang dagangan dalam bisnis biota hias maupun bahan baku kerajinan tangan. Kerang kima (Gambar 25) ditemukan hampir di semua stasiun kecuali Stasiun MTWL04R dan Stasiun MTWL07. Kima ditemukan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak pada masing-masing stasiun, yaitu kurang dari 10 individu, bahkan di Stasiun MTWL08 hanya ditemukan satu individu saja. Namun demikian di Stasiun MTWL 02 kima ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu 34 individu, walaupun didominasi oleh spesies yang berukuran kecil sampai fase dewasa (Tridacna crocea). Ditemukan atau tidak ditemukannya kerang kima kemungkinan sangat tergantung oleh kesesuaian atau ketidaksesuaian habitat, baik dalam hal substrat maupun kondisi perairan maupun faktor lainnya. Kima yang ditemukan kebanyakan masih berukuran kecil, dengan ukuran panjang cangkang sekitar 10 cm, hanya beberapa individu saja yang memiliki ukuran panjang cangkang lebih dari 10 cm. Fakta lainnya menunjukkan bahwa di beberapa stasiun kima dapat ditemukan dengan relatif mudah di luar transek, bahkan sebarannya sampai di zona pertumbuhan lamun. Di beberapa lokasi, juga ditemukan cangkang kerang kima yang diduga sengaja ditinggalkan oleh nelayan setelah diambil dagingnya. Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya, hasil pengamatan kali ini tidak jauh berbeda, baik dalam hal jumlah individu maupun pola sebaran pada masingmasing stasiun. Pada pengamatan tahun sebelumnya, kima ditemukan sebanyak 51 individu, sedangkan pada pengamatan kali ini ditemukan sebanyak 59 individu. Pada pengamatan tahun sebelumnua kima ditemukan di enam stasiun (Stasiun MTWL02, MTWL03, MTWL05, MTWL06, MTWL09 dan MTWL10R). Pada pengamatan kali ini kima ditemukan di tujuh stasiun, yaitu selain di keenam stasiun yang ditemukan di tahun sebelumnya juga satu stasiun lainnya yang baru ditemukan (Stasiun MTWL08). Beberapa kerang kima berukuran besar yang pada pengamatan tahun sebelumnya tercatat, pada pengamatan kali ini masih dapat ditemukan ditempat yang sama. Hal ini tentu saja merupakan salah satu kabar yang menggembirakan mengingat salah satu target monitoring kesehatan terumbu karang adalah meningkatkan kondisinya menjadi lebih baik, atau minimal kondisinya sama dengan kondisi seperti tahun sebelumnya. Kerang kima yang termasuk dalam Subfamili Tridacninae, Famili Cardiidae terdiri dari delapan spesies dalam dua genus, yaitu Tridacna dan Hippopus dimana tujuh diantaranya dapat ditemukan di Indonesia (Arbi, 2009). Kerang kima biasanya jarang ditemukan berada
37
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
di habitat dengan perairan yang keruh, dan sebaliknya relatif mudah ditemukan di perairan yang jernih. Tridacna crocea umumnya hidup di substrat yang berupa batu, sedangkan Tridacna squamosa biasanya ditemukan di sela-sela karang bercabang. Keberadaan kima memiliki tingkat keterancaman yang cukup tinggi karena selain keberadaanya terutama di perairan dangkal yang mudah dijangkau, juga karena tingginya pengambilan oleh nelayan. Kima memiliki nilai ekonomis tinggi, karena daging dan cangkangnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dagingnya sangat laku dalam perdagangan perikanan non ikan karena kelezatannya, sedangkan cangkangnya seringkali dijadikan sebagai bahan baku kerajinan untuk souvenir. Masyarakat Amerika dan Eropa menggemari berbagai jenis kima sebagai salah satu biota hias karena mantelnya yang berwama-wami.
Gambar 25. Beberapa variasi kerang kima yang ditemukan di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Keong lola (Gambar 26) hanya ditemukan di empat stasiun, Stasiun MTWL02, Stasiun MTWL03, Stasiun MTWL05 dan Stasiun MTWL08. Di perairan TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai ini keong lola tidak mudah ditemukan, bahkan di beberapa tipe habitat yang umumnya dapat dengan mudah dijumpai keong lola. Beberapa stasiun menunjukkan bahwa makanan keong lola yang berupa algae sebenarnya cukup tersedia, namum jumlah keong lola yang ditemukan tidak sebanding dengan melimpahnya sumber makanan. Kemungkinannya adalah karena kondisi lingkungan yang tidak cocok bagi keong tersebut atau karena pengambilan berlebih di masa lalu oleh nelayan. Di Stasiun MTWL08, beberapa individu keong lola masih dapat ditemukan di luar transek, tetapi ukurannya masih kecil dan kemungkinan untuk diambil oleh nelayan sangat kecil. Selain itu, dari semua individu yang ditemukan, tidak satupun yang termasuk Trochus niloticus, spesies yang merujuk ke keong lola.
38
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya terdapat perbedaan, baik dalam hal jumlah individu maupun sebaran individu pada masing-masing stasiun. Hasil pada pengamatan kali ini memperlihatkan adanya peningkatan jumlah individu menjadi 15 individu, dibandingkan dengan pengamatan tahun sebelumnya yang hanya tiga individu saja. Pada pengamatan tahun sebelumnya, sebaran ditemukannya keong lola hanya di tiga stasiun (Stasiun MTWL 03, Stasiun MTWL 06 dan Stasiun MTWL 09), sedangkan pada pengamatan kali ini ditemukan di lima stasiun yang berbeda, kecuali pada Stasiun MTWL 03. Hal ini tentu saja juga merupakan fakta yang menggembirakan sebagai salah satu keberhasilan dari program monitoring. Keong lola umumnya memang relatif sulit ditemukan karena biasanya hidup menyembunyikan diri di balik karang pada siang hari. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang lebih aktif pada malam hari atau nokturnal. Jenis keong ini biasanya hidup di antara patahan karang, karang mati dan celah karang pada terumbu karang daerah intertidal sampai subtidal dangkal (Arbi, 2009). Kondisi perairan yang keruh dan karang yang tumbuh umumnya bukan merupakan jenis karang yang ideal sebagai tempat persembunyian keong tersebut diduga berperan terhadap minimnya jumlah keong lola yang dapat ditemukan di dalam transek. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya menemukan biota ini adalah aktivitas penangkapan oleh nelayan. Berdasarkan informasi, nelayan setempat menjadikan biota ini sebagai salah satu target tangkapan sampingan nelayan karena memiliki harga daging maupun cangkang yang cukup mahal. Keong lola dikenal sejak dahulu oleh masyarakat nelayan karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Di samping dagingnya dapat dimakan, cangkangnya selain sebagai bahan baku pembuatan kancing baju dan perhiasan, juga sebagai media perangsang pembentukan mutiara pada budidaya kerang mutiara.
Gambar 26.Keong lola yang ditemukan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
39
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Teripang (Gambar 27) ditemukan di empat stasiun yaitu Stasiun MTWL02, Stasiun MTWL03, Stasiun MTWL07 dan Stasiun MTWL10R. Teripang yang ditemukan umumnya merupakan jenis-jenis yang memiliki nilai jual di dunia perdagangan teripang yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, ukuran individu teripang yang ditemukan hampir semuanya masih kecil, atau berada pada kisaran ukuran yang belum layak jual. Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya, hasil pengamatan tahun ini mengalami perubahan, baik dalam hal jumlah individu maupun sebaran individu pada masing-masing stasiun. Pada pengamatan tahun sebelumnya, teripang ditemukan di enam stasiun (Stasiun MTWL02, Stasiun03, Stasiun MTWL04R, Stasiun MTWL07, Stasiun MTWL08 dan Stasiun MTWL09). Sedangkan untuk hasil pengamatan pengamatan kali ini, teripang hanya ditemukan di empat stasiun (Stasiun MTWL02, Stasiun MTWL03, Stasiun MTWL07 dan Stasiun MTWL10R). Dalam hal sebaran individu, pada penelitian tahun sebelumnya teripang ditemukan dalam jumlah cukup banyak, sedangkan pada pengamatan kali ini hanya ditemukan 7 individu. Perbedaan jumlah individu maupun sebaran individu pada masingmasing stasiun disebabkan karena pada pengamatan tahun sebelumnya dilakukan pencacahan Synapta spp. dan Synaptula spp. Pada pengamatan kali ini tidak dilakukan pencacahan untuk kedua kelompok spesies tersebut karena teripang yang menjadi target monitoring hanyalah jenis-jenis timun laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Teripang (holothurians) hidup pada substrat pasir, lumpur maupun dalam lingkungan terumbu. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan (food chain) di daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik (trophic levels), berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensifeeder) (Darsono, 2002). Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, terjadilah pengadukan lapisan atas sedimen di goba, terumbu maupun habitat lain yang memungkinkan terjadi oksigenisasi lapisan sedimen. Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisma patogen. Teripang adalah komoditi perikanan yang diperdagangkan secara internasional, dan eksploitasinya telah berlangsung sejak ratusan tahun. Teripang diketahui sebagai bahan makanan tradisional yang diminati di beberapa negara di Asia karena kandungan zat-zat obat (medicinal properties), berkhasiat dalam proses penyembuhan (curative), dan diyakini mengandung zat untuk meningkatkan vitalitas (aphrodisiac). Ancaman utama keberadaan teripang di alam justru berasal dari tangkapan yang berlebih (over exploitation). Berdasarkan informasi dari nelayan setempatuntuk mendapatkan teripang di wilayah Kepulauan Mentawai di masa lalu cukup mudah, namun tingginya pengambilan di masa lalu membuat kondisinya saat ini sudah sangat jauh berbeda. Bahkan dari pengamatan di luar transek pun tidak dijumpai teripang, padahal di lokasi lain walaupun di dalam transek tidak tercatat adanya teripang namun di kedalaman tertentu masih dapat ditemukan beberapa jenis teripang. Kadang kala, yang ditemukan selama penyelaman bukan teripang tetapi benang-benang putih yang merupakan isi perut yang dikeluarkan oleh teripang sebagai alat pertahanan diri dari musuh terlihat membelit di antara percabangan karang.
40
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 27. Beberapa jenis teripang yang ditemukan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015(Foto 1 dan Foto 9: M. Abrar)
Lobster ditemukan di tiga stasiun, yaitu di Stasiun MTWL03, Stasiun MTWL04R dan Stasiun MTWL08. Lobster yang ditemukan dibedakan menjadi dua yaitu lobster sebagai biota dikonsumsi dan lobster sebagai biota hias. Lobster yang biasa dikonsumsi terlihat mencolok karena memiliki ukuran tubuh yang relatif besar dengan antena yang panjang, sedangkan lobster untuk biota hias biasanya berukuran kecil dan lebih sulit ditemukan. Dibandingkan dengan hasil pengamatan tahun sebelumnya, hasil penelitian kali ini menunjukkan perbedaan, baik dalam hal jumlah individu maupun sebaran individu masingmasing stasiun. Pada pengamatan tahun sebelumnya, lobster ditemukan sebanyak tujuh individu, sedangkan pada pengamatan kali ini sebanyak sembilan individu. Pada pengamatan tahun sebelumnya, lobster tersebar pada empat stasiun yaitu di Stasiun MTWL03, Stasiun MTWL04R, Stasiun MTWL06 dan Stasiun MTWL08. Sedangkan pada pengamatan kali ini tidak ditemukan lobster di Stasiun MTWL06. Lobster merupakan kelompok megabenthos yang memiliki nilai ekonomis penting tetapi sulit ditemukan di wilayah perairan Kepulauan Mentawai. Sulitnya menemukan lobster diduga terkait oleh beberapa hal yang berkaitan dengan sifat ekologinya. Pertama, lobster bersifat nokturnal atau aktif di malam hari, sedangkan pengamatan dilakukan di siang hari. Kedua, lobster umumnya hidup di perairan yang relatif jernih dengan masa air yang dinamis. Ketiga, lobster lebih menyukai hidup di tebing atau karang berbentuk boulder sebagai tempat persembunyiannya. Berdasarkan ketiga faktor ekologis tersebut, lokasi monitoring si perairan Kepulauan Mentawai memang kurang sesuai bagi lobster untuk berkembang dengan baik. Berdasarkan informasi dari nelayan, lobster memang sangat jarang ditemukan sejak dahulu, padahal permintaan komoditas tersebut cukup tinggi.
41
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Permintaan lobster, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, terus meningkat sehingga nelayan terus berupaya menangkap lobster dari alam (Setyono, 2006). Tingginya nilai ekonomi beberapa spesies atau kelompok spesies megabenthos menyebabkan tekanan terhadap keberadaannya terus meningkat. Beberapa spesies bahkan hampir mengalami kepunahan karena pengambilan di alam secara besarbesaran (over exploitation), maupun akibat kerusakan habitat. Berdasarkan kenyataan ini, pemerintah Indonesia segera tanggap dengan mengeluarkan beberapa perundangundangan sebagai upaya pelestarian sumber daya hayati, diantaranya menetapkan beberapa jenis biota sebagai hewan yang dilindungi. Ketentuan internasional juga telah menetapkan beberapa jenis biota laut tersebut dalam kategori endangered dan tercantum dalam Red Data Book. Pengawasan bagi perdagangannya dicantumkan dalam Apendiks II CITES yang artinya dapat dimanfaatkan dengan kuota atau dibatasi. Kerang kima merupakan biota yang termasuk dalam pengawasan perundang-undangan tersebut. Beberapa jenis teripang, lobster dan kerang lola sedang dalam wacana untuk dilindungi karena keberadaannya di alam yang semakin menipis. Keberadaan megabenthos yang memiliki nilai ekonomis tinggi walaupun masih dapat ditemukan di kawasan perairan Kepulauan Mentawai, namun kemungkinan akan sulit mengalami pemulihan jumlah di masa yang akan datang. Hal ini mengingat posisi perairan yang berada pada wilayah yang ekosistemnya mengalami tekanan yang cukup tinggi baik dari kegiatan industri, lalu lintas perairan, pemukiman penduduk maupun pertanian dan perkebunan. Status kawasan konservasi pun apabila diberlakukan di beberapa titik yang memiliki harapan untuk dipulihkan tidak mudah untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di sisi lain, keberadaan megabenthos yang memiliki nilai ekologis tinggi terutama biota pemakan polip karang (siput Drupella dan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci) juga patut diperhatikan karena menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan karang. Secara umum, jika dibandingkan hasil yang didapatkan dari stasiun-stasiun yang berada di sekitar perairan Pulau Siberut dan Pulau Sipora, terlihat adanya kecenderungan kondisi megabenthos di sekitar perairan Pulau Sipora lebih baik dibandingkan dengan kondisi megabenthos di sekitar Pulau Siberut.
Ikan Karang Ikan indikator : keanekaragaman jenis dan kelimpahan Selama pengamatan pada sembilan stasiun monitoring, diketahui terdapat 19 jenis ikan indikator (Famili Chaetodontidae) yang berhasil diidentifikasi. Sembilan belas spesies tersebut terdiri dari genus Chaetodon (14 jenis), Forcipiger (1 jenis), Hemytaurichthys (1 jenis) dan Heniochus (1 jenis). Keanekaragaman jenis ikan indikator bervariasi pada setiap stasiun monitoring (Gambar 28). Keanekaragaman jenis tertinggi terdapat pada lokasi MTWL02 yaitu sebanyak 16 jenis, sedangkan yang paling rendah yaitu 3 jenis yang terdapat pada lokasi MTWL08. Perbedaan keanekaragaman jenis pada setiap lokasi pengamatan disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi habitat. Hal ini sesuai pernyataan Arifin dan Yulianda (2003), yang menyebutkan bahwa pola penyebaran ikan pada ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem itu sendiri.
42
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 28. Keanekaragaman jenis (a) dan kelimpahan (b) ikan indikator pada setiap lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Sama halnya dengan keanekaragaman jenis, kelimpahan individu juga bervariasi pada setiap lokasi pengamatan (Gambar 28). Kelimpahan individu terbesar terdapat lokasi MTWL05 dengan nilai sebesar 81 individu/350m² (Gambar 28). Posisi selanjutnya diikuti oleh lokasi MTWL07 (64 individu/350 m²), MTWL02 (53 individu/350 m²). MTWL10R (51 individu/350 m²), MTWL03 (44 individu/350 m²), MTWL04R(13 individu/350 m²), MTWL06 (9 individu/350 m²) dan yang paling rendah terdapat pada lokasi MTWL08 dan MTWL09 (7 individu/350m²). Perbandingan nilai keanekaragaman jenis ikan indikator selama dua tahun pengamatan disajikan pada Gambar 29. Masing-masing nilai bervariasi pada setiap lokasi pengamatan untuk setiap tahunnya. Pada tahun 2014, keanekaragaman jenis tertinggi terdapat pada lokasi MTWL 03 yakni sebanyak 12 jenis, sedangkan lokasi MTWL 08 diketahui sebagai lokasi dengan keanekaragaman jenis terendah selama dua tahun pengamatan (Gambar 29). Kondisi terumbu karang pada lokasi MTWL 08 tidak begitu baik dengan tutupan karang yang cukup rendah dan sebagian besar terdiri dari karang mati yang telah ditumbuhi oleh alga. Oleh karena itu, diduga hal tersebut menyebabkan keanekaragaman Sama halnya dengan Gambar 29a, pada Gambar 29b juga dapat dilihat bahwa nilai kelimpahan individu ikan indikator bervariasi pada setiap lokasi pengamatan. Selama dua tahun pengamatan, kelimpahan individu tertinggi terdapat pada lokasi MTWL05 dengan nilai 67 individu/350 m² (tahun 2014) dan 81 individu/350 m² (tahun 2015). Lokasi ini sangat sesuai sebagai tempat ikan hidup dan berkembang karena memiliki kondisi ekosistem terumbu karang yang cukup baik dengan tutupan karang yang tinggi (lebih dari 50%). Namun, berbeda halnya dengan lokasi MTWL08 yang memiliki kondisi ekosistem terumbu karang yang kurang baik sehingga menyebabkan lokasi ini juga memiliki nilai kelimpahan terendah selama dua tahun pengamatan.
43
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 29. Keanekaragaman jenis (a) dan kelimpahan (b) ikan indikator pada setiap lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
Nilai persentase kelimpahan dan kehadiran setiap ikan indikator disajikan pada Tabel 9. Jenis ikan yang memiliki persentasi kelimpahan dan kehadiran terbesar adalah Chaetodon trifasciatus dengan nilai 42,72% untuk kelimpahan dan kehadiran100%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ini paling dominan dan dijumpai pada seluruh lokasi pengamatan dibandingkan dengan jenis ikan indikator lainnya. Jenis lain yang memiliki nilai persentase kelimpahan terbesar kedua adalah Heniochus pleurotaenia yaitu sebesar 15,81% dengan persentase kehadiran 66,7%. Sedangkan Chaetodon citrinellus, Chaetodon meyersi, Hemytauricththys zoster dan Heniochus acuminatus memiliki kelimpahan terendah yaitu sebesar 0,30% dan nilai kehadiran 11,1%. Pada pengamatan tahun sebelumnya yaitu tahun 2014, dua jenis ikan indikator yaitu Chaetodon trifasciatus dan Heniochus pleurotaenia juga diketahui sebagai jenis ikan yang dominan dan paling umum dijumpai pada lokasi pengamatan. Menurut Allen et al. (2003), daerah distribusi kedua jenis ikan ini adalah di sekitar perairan Samudera Hindia. Oleh karena itu, Chaetodon trifasciatus dan Heniochus pleurotaenia banyak ditemukan di Perairan Mentawai yang memiliki akses terbuka dengan Samudera Hindia.
44
2
Chaetodon citrinellus
3
Chaetodon collare
+
4
Chaetodon ephippium
+
5
Chaetodon falcula
+
6
Chaetodon kleinii
+
7
Chaetodon meyersi
+
8
Chaetodon oxycephalus
+
+
0.30
11.1
8.81
44.4
0.61
11.1
3.95
66.7
1.82
22.2
0.30
11.1
0.91
22.2
+
+
+
+ +
+
+
+
MTWL10R
22.2
MTWL09
0.91
MTWL08
+
MTWL07
MTWL06
+
% Kehadiran
Chaetodon bennetti
% Kelimpahan
1
MTWL05
MTWL04R
Species
MTWL03
No
MTWL02
Tabel 9. Daftar spesies, kelimpahan dan kehadiran ikan indikator pada setiap lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
+
+
% Kelimpahan
% Kehadiran 33.3
+
1.22
33.3
47.72
100.0
3.65
55.6
2.13
22.2
+
0.30
11.1
Heniochus acuminatus
+
0.30
11.1
18
Heniochus pleurotaenia
+
+
15.81
66.7
19
Heniochus singularis
+
+
0.91
22.2
Kelimpahan Individu / Stasiun
53
44
13
81
9
64
7
7
51
Keragaman jenis / Stasiun
16
8
4
6
4
7
3
5
4
Chaetodon semeion
+
11
Chaetodon triangulum
+
12
Chaetodon trifascialis
+
+
13
Chaetodon trifasciatus
+
+
14
Chaetodon vagabundus
+
+
15
Forcipiger flavissimus
+
+
16
Hemytauricththys zoster
17
Keterangan:
+
+
+
+
+
+
+
+
MTWL09
3.65
10
+
MTWL08
+
+
MTWL07
11.1
+
MTWL06
0.61
Chaetodon rafflesi
Species
MTWL05
55.6
9
No
MTWL04R
6.08
MTWL03
+
MTWL02
MTWL10R
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
+
+
+
+
+
+
+
+
+ : hadir
Ikan target : keanekaragaman jenis, kelimpahan dan biomassa Pengamatan terhadap ikan target dilakukan pada 7 famili yaitu Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Siganidae, Haemulidae, Acanthuridae dan Scaridae. Pada sembilan lokasi pengamatan terdapat 42 jenis ikan target yang berhasil teridentifikasi yang terdiri dari Acanthuridae (12 jenis), Haemulidae (2 jenis), Lethrinidae (3 jenis), Lutjanidae (6 jenis), Scaridae (12 jenis), Serranidae (8 jenis) dan Siganidae (5 jenis) (Gambar 30). Berdasarkan lokasi pengamatan, keanekaragaman jenis ikan target tertinggi terdapat pada lokasi MTWL02 yaitu sebanyak 27 jenis, sedangkan lokasi MTWL04R, MTWL06 dan MTWL08 memiliki kelimpahan terendah yaitu hanya 6 jenis (Gambar 30). Lokasi MTWL02 memiliki kondisi terumbu karang yang cukup baik sehingga keanekaragaman jenis ikan target di lokasi ini besar.
Gambar 30.Keanekaragaman jenis ikan target berdasarkan famili (a) dan lokasi pengamatan (b) di TWP Selat Bungat Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
45
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Pada Gambar 31 disajikan perbandingan nilai keanekaragaman jenis ikan target berdasarkan famili dan lokasi selama dua tahun pengamatan. Terdapat tujuh famili yang dianggap sebagai kelompok ikan target (Gambar 31). Ketujuh famili tersebut merupakan kelompok ikan yang banyak ditangkap karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Pada tahun 2014, famili yang paling banyak ditemukan adalah Serranidae dengan jumlah 15 jenis, sedangkan famili Haemulidae memiliki jumlah terendah baik pada tahun 2014 dan 2015. Sedangkan jika disajikan berdasarkan lokasi pengamatan, diketahui bahwa pada tahun 2015 terjadi peningkatan keanekaragaman jenis pada lokasi MTWL02 dan MTWL03 dibandingkan dengan pengamatan tahun sebelumnya (Gambar 31). Namun secara umum, dalam dua tahun pengamatan nilai keanekaragaman jenis ikan target masih dalam kondisi sedang.
Gambar 31. Keanekaragaman jenis ikan target berdasarkan famili (a) dan lokasi pengamatan (b) di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 dan 2014
Kelimpahan ikan target bervariasi pada setiap famili lokasi pengamatan (Tabel 10). Kelompok Acanthuridae memiliki kelimpahan rata-rata terbesar yaitu 26 individu/350 m² atau 752 individu/hektar dan 1 individu/350 m² atau 16 individu/hektar untuk kelompok Haemulidae yang merupakan famili dengan nilai kelimpahan terendah. Berdasarkan lokasi pengamatan, kelimpahan terbesar dimiliki oleh MTWL02 dengan 226 individu/350 m², kemudian disusul oleh MTWL10R dan MTWL03 dengan nilai 177 individu/350 m² dan 112 individu/350 m², sedangkan nilai kelimpahan terendah terdapat pada lokasi MTWL08 dengan nilai 12 individu/350 m². Rata-rata kelimpahan ikan target pada seluruh lokasi pengamatan adalah 59 individu/350 m² atau jika dikonversi dalam bentuk hektar adalah 1676 individu/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan ikan target di Perairan Mentawai pada tahun 2015 yang terdiri dari 7 famili memiliki nilai estimasi sebesar 1676 individu per 1 hektar luas ekosistem terumbu karang. Jika dibandingkan dengan pengamatan tahun sebelumnya, estimasi rata-rata kelimpahan ikan target mengalami peningkatan sebesar 167 individu per hektar.
46
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Tabel 10. Estimasi kelimpahan ikan target pada masing-masing lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
MTWL03
MTWL04R
MTWL05
MTWL06
MTWL07
MTWL08
MTWL09
Kelimpahan ratarata (Indiv/ Ha)
MTWL02
Kelimpahan rata-rata (Indiv/350 m²)
MTWL10R
Kelimpahan/stasiun pengamatan
1
ACANTHURIDAE
23
74
69
1
36
7
5
5
17
26
752
2
HAEMULIDAE
-
-
-
4
-
-
-
-
1
1
16
3
LETHRINIDAE
106
82
3
-
-
-
-
-
-
21
606
4
LUTJANIDAE
7
11
2
6
2
10
7
5
7
6
181
5
SCARIDAE
13
33
27
-
7
-
-
-
3
9
263
6
SERRANIDAE
12
10
10
2
3
1
1
2
2
5
137
7
SIGANIDAE
16
16
1
-
6
-
1
-
-
4
127
Kelimpahan (Indiv/350 m²)
177
226
112
13
54
18
14
12
30
0.91
22.2
Kelimpahan Rata-rata (Indiv/350 m²)
59 1543
514
400
343
857
No
Famili
Kelimpahan (Indiv/Ha)
5057
Kelimpahan Rata-rata (Indiv/Ha)
1676
6457 3200 371
Estimasi biomassa ikan target pada setiap lokasi pengamatan di Perairan Mentawai disajikan pada Tabel 11. Berbeda dengan kelimpahan, estimasi biomassa terbesar terdapat pada lokasi MTWL02 dengan nilai sebesar 48 kg/350 m². Posisi selanjutnya diperoleh pada MTWL03 sebesar 18 kg/350 m², diikuti oleh MTWL03 18 kg/350 m². Sedangkan MTWL07 dan 08 memiliki nilai estimasi biomassa terendah yaitu 1 kg/350 m². Rata-rata estimasi biomassa pada seluruh lokasi pengamatan 1 kg/350 m² atau jika dikonversi dalam bentuk hektar diperoleh nilai 262 kg/hektar. Berdasarkan famili, kelompok Scaridae memiliki estimasi biomassa rata-rata terbesar yaitu 463 kg/350 m² atau 132,4 kg/hektar, diikuti oleh kelompok Acanthuridae (93,6 kg/hektar), Lethrinidae (51,6 individu/hektar), sedangkan nilai terendah dijumpai pada kelompok Haemulidae dengan nilai 8 kg/hektar. Estimasi biomassa rata-rata pada pengamatan tahun ini lebih rendah dibandingkan dengan pengamatan tahun 2014, meskipun kelimpahannya lebih besar. Pada tahun 2014, estimasi biomassa rata-rata yang didapatkan adalah 382 kg/ha. Hal ini diduga karena pada pengamatan tahun ini cukup banyak ikan target yang ditemukan pada ukuran yang masih kecil sehingga mempengaruhi nilai dari biomassa secara keseluruhan. Adanya ikan-ikan berukuran kecil tersebut dapat menjadi ciri bahwa terjadi proses rekruitmen dari beberapa jenis ikan di sekitar Perairan Mentawai.
47
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Tabel 11 Estimasi biomassa ikan target pada masing-masing lokasi pengamatan di TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015
MTWL03
MTWL04R
MTWL05
MTWL06
MTWL07
MTWL08
MTWL09
Kelimpahan rata-rata (Indiv/ Ha)
MTWL02
Kelimpahan rata-rata (Indiv/350 m²)
MTWL10R
Biomasa/stasiun pengamatan
1
ACANTHURIDAE
3.40
6.58
9.12
0.01
2.31
1.18
0.57
0.39
5.94
3.28
93.6
2
HAEMULIDAE
-
-
-
1.81
-
-
-
-
0.71
0.28
8.0
3
LETHRINIDAE
5.17
10.76
0.34
-
-
-
-
-
-
1.81
51.6
4
LUTJANIDAE
0.63
1.06
0.23
0.53
0.32
0.25 0.25
0.26
4.31
0.87
24.9
5
SCARIDAE
2.47
25.47
7.07
-
2.95
2.95
-
0.78
4.63
132.4
6
SERRANIDAE
1.82
1.33
1.06
0.06
1.09
0.22 0.03
0.23
0.24
0.68
19.3
7
SIGANIDAE
0.47
3.17
0.10
-
0.41
-
0.04
-
-
0.47
13.3
Biomasa (kg/350 m²)
14
48
18
2
7
2
1
1
12
Biomasa Rata-rata (Kg/350 m²)
9 1382
512
69
7
2
1
1
12
No
Famili
Biomasa (Kg/Ha)
399
Biomasa Rata-rata (Kg/Ha)
262
-
Kondisi Kesehatan Padang Lamun Keragaman jenis dan sebaran vegetasi lamun pada masing-masing stasiun disajikan pada Tabel 12. Hasil identifikasi, tercatat delapan jenis lamun antara lain: Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassiahemprichii dan Halophila ovalis. Keragaman, kompoisi dan distribusi lamun dari masing-masing stasiun bervariasi dengan tipe campuran (mixed vegetation), yaitu ditemukan lebih dari satu jenis lamun. Pada Tabel 12 terlihat, ada empat jenis lamun yang selalu ditemukan pada setiap stasiun yaitu jenis lamun Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides danThalassia hemprichii.Secara umum substrat dari setiap stasiun adalah pasir, pasir lumpuran, pasir bercampur karang mati dan patahan karang mati (rubble).
48
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Tabel 12. Keragaman jenis lamun diperairan TWPSelat Bunga Laut dan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai, Tahun 2015(Klasifikasi Phillips & Menez 1988; Kuo&Comb 1989; Den Hartog Kuo 2006). J E N I S
MTWLM01
MTWLM02
MTWLM03
MTWLM04
MTWLM05
1. Halodule pinifolia
+
-
-
-
+
2. Halodule uninervis
+
+
+
+
+
3. Cymodocea rotundata
+
+
+
+
+
4. Cymodocea serrulata
-
+
+
-
-
5. Syringodium isoetifolium
-
-
-
-
+
6. Enhalus acoroides
+
+
+
+
+
7. Thalassia hemprichii
+
+
+
+
+
8. Halophila ovalis
-
-
-
+
+
5
5
5
5
7
I. SUKU: CYMODOCEACEAE
II.SUKU: HYDROCHARITACEAE
Jumlah Jenis. Keterangan : (+)= ada
(-) = tidak ada
Tabel 13. Tutupan dan dominansi jenis lamun di peraiaran TWP Selat Bungat Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015 Stasiun
Tutupan (%)
Dominansi
1.
Dusun Masilok, Pulau Siberut (MTWLM01)
30,85
Thalassia hemprichii
2.
Dusun Malilimok, Pulau Siberut (MTWLM02)
35,00
Cymodocea rotundata
3.
Pulau Nyangnyang (MTWLM03)
91,25
Thalassia hemprichii Cymodocea serrulata
4.
Pulau Simakakang (MTWLM04)
38,39
Cymodocea rotundata
5.
Pulau Sipora (MTWLM05)
53,70
Cymdoocea rotundata
Rata-rata Stdev
52,63 23,86
Stasiun MTWLM01, Dusun Masilok, Desa Katurei Pada Stasiun MTWLM01, Dusun Masilok, Desa Katurei (Gambar 32) tercatat lima jenis lamun yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Thahassiahemprichii. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan tahun 2014 (T0) (Siringoringo et al., 2014), hanya tercatat tiga jenis yaitu, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Thahassiahemprichii.Pengamatan pada garis transek hanya empat jenis yang tercatat dalam bingkai (frame), yaitu: Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Thahassiahemprichii. Tabel 11 menunjukkan bahwa tutupan lamun di Stasiun MTWLM01 adalah rata-rata 30,8% yang didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan substrat pasir dan pecahan karang. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah cukup padat (26-50%), sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya (30-59,9%).
49
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 32. Lokasi Dusun Masilok, Desa Katurei (StasiunMTWLM01) (kiri), tipe tunggalThalassia hemprichii dengan perairan yang keruh (kanan).
Stasiun MTWLM02. Dusun Malilimok, Desa Katurei Pada Stasiun MTWLM02, Dusun lokasi Malilimok, Desa Katurei (Gambar 33) tercatat lima jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Tetapi yang tercatat pada bingkai transek hanya tiga jenis lamun yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii. Pengamatan yang dilakukan pada tahun 2014 (T0) hanya ditemukan tiga jenis lamun, yaituCymodocea rotundata, C. serrulata dan Thalassia hemprichii (Siringoringo et al., 2014). Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 35,00% yang didominasi oleh Cymodocea rotundata dengan substrat pecahan karang bercampur pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah cukup padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya (Rahmawati et al., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 33. Lokasi Dusun Malilimok, Desa Katurei (Stasiun MTWLM02) (kiri). Padang lamun di MTWLM02, tipe campuran Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii (kiri).
Stasiun MTWLM03, Pulau Nyangnyang Pada Satsiun MTWLM03, lokasi Pulau Nyangnyang, Desa Katurei (Gambar 34) tercatat lima jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii (Tabel12). Lamun yang tercatat pada bingkai transek juga ada lima, yaitu Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Begitu juga pada pengamatan yang dilakukan pada tahun 2014 (T0) juga ditemukan lima jenis lamun, yaitu: Halodule uninervis Cymodocea rotundata, C. serrulata Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichii (Siringoringo et al., 2014). Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 91,25%
50
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
yang didominasi oleh Thalassia hemprichii dan Cymodocea serrulata dengan substrat lumpur berpasir dan pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah sangat padat padat (76-100%), sedangkan kondisi padang lamunnya adalah sehat/kaya (> 60%).
Gambar 34. Lokasi Pulau Nyangnyang, Desa Katurei (Stasiun MTWLM03) (kiri) dan Cymodoceaserrulata dan Thalassia hemprichii dengan perairan yang keruh (kanan).
Stasiun MTWLM04, Pulau Simakakang Pada Stasiun MTWLM04, lokasi Pulau Pulau Simakang, Desa Katurei (Gambar 35) tercatat tercatat lima jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Tetapi yang tercatat pada bingkai transek hanya tiga jenis lamun yaitu Halodule uninervis, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Pengamatan yang dilakukan pada tahun 2014 (T0) hanya ditemukan satu jenis lamun, yaituCymodocea rotundata (Siringoringo et al., 2014). Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata tutupan lamunnya adalah 38,39% yang didominasi oleh Cymdoocea rotundata dengan substrat pasir-pecahan karang mati. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah cukup padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya (Rahmawati et al., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 35. Lokasi Pulau Simakakang, Desa Katurei (SatsiunMTWLM04) (kiri), padang lamun C. Rotundatadan Haludule uninervis (kanan),
Stasiun MTWLM05, Desa Tuapejat Pada Stasiun MTWLM05. Desa Tuapejat, (Gambar 36) yang merupakan gabungan dari Stasiun 5 dan 6 pada pengamatan tahun 2014 (Siringoringo et al, 2014). Stasiun 5 dan Stasiun 6 disatukan, karena lokasinya berhimpit pada saat dilakukan transek. Pada Stasiun kelima (MTWLM05) tercatat enam jenis lamun (mixed vegetation) yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides dan
51
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Thalassia hemprichii (Tabel 10). Tetapi yang tercatat pada bingkai transek hanya tiga jenis lamun yaitu Cymodocea rotundata, Syringodium isooetifolium dan Thalassia hemprichii. Pengamatan yang dilakukan pada tahun 2014 (T0) hanya ditemukan satu jenis lamun, yaitu Cymodocea rotundata (Siringoringo et al., 2014). Hasil pengamatan menunjukkan tutupan lamun 53,70% dengan substrat pasir dan karang mati. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah cukup padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya (Rahmawati et al., 2015; KMLH, 2004). Hasil pengamatan kondisi padang lamun tahun 2015 (T1) berbeda dengan hasil pengamatan tahun 2014 (T0), baik keragaman jenis, maupun kategori dan kondisi tutupan. Pengamatan monitoring tahun 2015 (T1) secara keseluruhan, baik keragaman jenis lamun, maupun kategori tutupan dan status kondisi padang lamun yang ditemukan mengalami peningkatan (Tabel 11 dan 12; Lampiran). Hal ini dimungkinkan, karena jumlah transek (3 transek) pada setiap stasiun pengamatan tahun 2015 (T1) lebih banyak dari pada pengamatan tahun 2014 (T0), hanya satu transek. Di samping itu, pengamatan keberadaan lamun pada tahun 2015 dilakukan lebih saksama dengan pengamatan jenis lamun di luar transek.
Gambar 36. LLokasi Pesisir Desa Tuapejat (SatsiunMTWLM05) (kiri) dengan padanglamun dari jenisCymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium (kanan)
Secara keseluruhan hasil pengamatan monitoring di TWPSelat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, adalah ditemukan delapan jenis lamun yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassiahemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 11). Sedangkan tutupan lamun adalah rata-rata 52,63+23,86%, dominasi jenis dari masing-masing stasiun bervariasi. Stasiun MTWLM01 didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii (58%),Stasiun MTWLM02 didominasi oleh jenis Cymoodcea rotundata (62%),Stasiun MTWLM03 didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii (44%) dan Cymodocea serrulata (43%),Stasiun MTWLM04 didominasi oleh jenis Cymoodcea rotundata (61%),danStasiun MTWLM5 didominasi oleh jenis Cymoodcea rotundata (70%).Jenis Cymodocea rotundata ditemukan merata di semua stasiun pengamatan.
52
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Kondisi Kesehatan Mangrove Hasil inventarisasi jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi mangrove yang dilakukan di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai, Sumatera Barat, diperoleh sebanyak 29 jenis. Namun demikian, keragaman jenis tumbuhan mangrove di kawasan pesisir Pulau Siberut lebih rendah bila dibandingkan dengan Pulau Sipora. Secara keseluruhan, keragaman jenis tumbuhan mangrove di Kepulauan Mentawai lebih tinggi bila dibandingkan di pesisir Tapian Nauli dan Pulau Mansalar, Sibolga (Pramudji et al, 2015). Dari 29 jenis tersebut, 15 jenis diantaranya adalah tumbuhan mangrove, sedangkan 14 jenis lainnya adalah tumbuhan asosiasi mangrove. Secara umum, hutan mangrove dikawasan pesisir Siberut maupun di Sipora kondisinya masih baik dengan diameter batang yang besar, serta kerapatan seedling yang cukup tinggi (Gambar 37). Substrat lumpur lunak dan daerah yang terlindung merupakan faktor yang ikut berperan terhadap eksistensi hutan mangrove di daerah tersebut. Walaupun kondisi lingkungan pesisir di daerah ini terlindung, namun karena berada pada kawasan Samudera Hindia yang selalu bergelombang, sehingga menyebabkan pengendapan sedimen pecahan coral dengan ukuran kecil hingga ukuran besar membentuk gundukan sepanjang garis pantai cukup lebar dan menjadi pembatas antara mangrove garis pantai dengan mangrove di belakang garis pantai.
Gambar 37 Gambaran umum kondisi hutan mangrove di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai yang relative baik (a); Kerapatan seedling juga cukup tinggi (b).
Dilihat dari ukuran sedimen yang membentuk gundukan memanjang yang sejajar dan mengikuti garis pantai, maka secara umum dapat dibedakan yakni bahwa sedimen yang berasal dari batu karang yang mati di kawasan Pulau Siberut lebih besar dan sekitarnya memiliki ukuran yang lebih besar (Gambar 38). Sedangkan gundukan sedimen yang ada di Pulau Sipora dan sekitarnya, memiliki ukuran kecil atau berupa pasir putih (Gambar 39). Pola gundukan yang berupa coral kasar disepanjang pesisir yang memiliki lebar antara 5-15 meter yang berperan sebagai pembatas tersebut juga hampir ditemukan disepanjang di kawasan pesisir Teluk Tapian Nauli, Sibolga (Pramudji et al, 2015). Kasus seperti di atas, nampaknya kedepan perlu dikaji dari aspek fisika oseanografi.
53
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 38. Tipe gundukan pecahan koral yang terhampar sejajar garis pantai yang membatasi mangrove di depan garis pantai dan dibelakang garis pantai di daerah Masilok, Malilimok maupun di pesisir Pulau Nyangnyang (2015).
Gambar 39.. Gundukan pasir yang lebih lembut (ukuran butirannya lebih kecil) di kawasan pesisir Pulau Sipora dan sekitarnya (pesisir Desa Tuabejat, Pulau Pototogat, danPulau Simakaka) Tabel 14. Jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi mangrove yang ditemukan di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Juni 2015) No
54
Jenis Tumbuhan
Lokasi MTWM 02
04
06
07
08
09
1
Rhizophora apiculata
+
+
+
+
+
+
2
Rhiziphora lamarchii
+
-
+
+
+
+
3
Rhizophora mucronata
+
-
-
-
-
+
4
Bruguiera gymnorrhiza
+
+
+
-
+
+
5
Bruguiera sexangula
+
+
-
-
-
+
6
Ceriops tagal
+
+
-
-
+
+
7
Lumnitzera littorea
+
-
-
+
+
+
8
Xylocarpus granatum
+
+
-
-
-
+
9
Nypa fruticans
+
-
-
-
-
+
10
Shyphipora hydrophyllacea
-
-
-
+
-
-
11
Excoecaria agalocha
+
-
-
-
-
-
12
Phemphis acidula
-
-
+
-
-
-
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
No
Jenis Tumbuhan
Lokasi MTWM 02
04
06
07
08
09
13
Scyphiphora hydrophyllacea
-
-
+
-
-
-
14
Sonneratia alba
+
-
-
-
-
+
15
Avicennia lannata
+
-
-
-
-
+
16
Pandanus tectorius
+
+
+
-
+
+
17
Hibiscus tiliaceus
+
+
+
+
+
+
18
Pongamia pinnata
+
+
+
+
+
+
19
Ipomea pres-capre
+
+
-
-
-
-
20
Achanthus ilicifolius
+
-
+
+
-
+
21
Derris trifoliate
+
+
+
+
+
+
22
Vigna maritime
+
+
+
+
+
+
23
Crinum asiaticum
+
+
-
+
+
+
24
Widelia biflora
+
+
+
+
+
+
25
Hernandia ovigera
+
+
-
-
-
+
26
Guetterda spesiosa
+
+
+
+
+
+
27
Terminalia catappa
+
+
+
+
+
+
28
Baringtonia asiatica
+
+
+
+
-
+
29
Thespesia populnea
+
+
+
+
-
+
Berdasarkan hasil analisis seedling mangrove (Rhizophora apicukata, Rhizophora lamarchii, dan Bruguiera gymnorrhiza) yang ada pada lima lokasi di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai, diperoleh gambaran bahwa daerah tersebut masih memiliki nilai kerapatan yang sangat tinggi, yakni berkisar antara 105.000 phn ha -1 - 162.000 phn ha -1. Secara rinci, nilai kerapatan seedling di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai dapat dilihat pada Tabel 15. Kondisi seperti ini memberikan indikasi bahwa hutan mangrove di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai memiliki potensi untuk berkembang. Namun demikian, dibeberapa lokasi, banyak seedling mangrove dari jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora lamarchhi terendam oleh sedimen (pasir putih), sebagai akibat terjadinya sedimentasi yang sangat tinggi, seperti di MTWM02 (Pulau Putotogat) dan di lokasi MTWM09 (Pulau Simakaka). Selain seedling, perakaran tumbuhan mangrove Rhizophora apiculata juga terendam oleh pasir halus (Gambar 40). Sedimentasi tersebut berasal dari semenanjung di sebelah selatan hutan mangrove yang hanya ditumbuhi oleh vegetasi tanaman merayap, seperti Ipomea pres-capare, Vigna maritime, dan Scaevola taccada, sehingga tidak mampu menahan gempuran ombak maupun gerakan air pasang-surut.
55
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Tabel 14. Nilai kerapatan seedling jenis tumbuhan Rhiszophora apiculata dan Rhizophora lamarchii di beberapa lokasi di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya,KabupatenKepulauan Mentawai (2015) No
Stasiun
Kerapatan (phn Ha-1)
Keterangan
1
MTWM09
105.000
lumpur liat
2
MTWM02
162.000
lumpur liat
3
MTWM08
110.000
lumpur liat
4
MTWM04
139.000
lumpur
5
MTWM07
158.000
lumpur
4
MTWM04
139.000
lumpur
5
MTWM07
158.000
lumpur
Gambar 40. Tingginya sedimentasi menyebabkan seedling maupun perakaran jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora lamarchii terkubur, sehingga akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan (2015).
Pemilihan lokasi untuk penentuan plot permanen terkait dengan monitoring status atau kondisi ekosistem mangrove seyogyanya dipilih pada lokasi yang jauh dari masyarakat, tetapi aksesnya mudah dijangkau untuk kegiatan monitoring, sehingga perilaku kegiatan pengrusakan atau penebangan mangrove oleh masysarakat diharapkan tidak terjadi. Namun demikian, sangat disayangkan masih terlihat adanya penebangan mangrove oleh masyarakat pada plot permanen maupun di luar plot pernmanen mangrove di Pulau Simakakang (MTWM09), dan Pulau Putotogat (MTWM02), sedangkan untuk kawasan pesisir Pulau Nyangnyang (MTWM08), hanya dilakukan diluar plot permanen (Gambar 41). Oleh karena itu, terkait dengan penebangan mangrove di lokasi tersebut, pemerintah daerah setempat beserta institusi terkait perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, tentang peran dan fungsi hutan mangrove terhadap keberadaan biota laut yang dibutuhkan masyarakat. Upaya tersebut diharapkan agar eksistensi hutan mangrove di kawasan tersebut tidak terganggu.
56
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Gambar 41. Informasi tentang penebangan tumbuhan mangrove pada plot permanen, maupun di diluar plot permanen yang dilakukan masyarakat setempat (2015).
Pada beberapa lokasi mangrove di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, nampak terlihat adanya fenomena alami, yakni hutan mangrove terlihat mati (Gambar 42). Fenomena yang sama juga ditemukan di daerah pantai utara Pulau Jawa (pantura), khususnya di Kampung Bali, Indramayu, Jawa Barat. Fenomena kematian hutan mangrove tersebut disebabkan karena keberadaan mangrove selalu terendam oleh air pasang atau ROB, sebagai akibat penurunan tanah atau kenaikan muka air laut.
Gambar 42. Pada beberapa lokasi mangrove di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, nampak terlihat adanya fenomena alami, yakni hutan mangrove terlihat mati
Dari hasil analisis data hemispherical photography yang digunakan untuk mengetahui persentasi tutupan tajuk (% canopy) mangrove yang dilakukan pada enam lokasi, dan berdasarkan kriteria yang disepakati pada buku panduan monitoring ekosistem mangrove (Dharmawan & Pramudji, 2015), maka secara umum status ekosistem hutan mangrove di kawasan Kepulauan Mentawai masih dalam kondisi sedang. Secara terperinci nilai persentase tutupan tajuk dan kerapatan hutan mangrove di kawasan pesisir Kepulauan Mentawai dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup No: 201 tahun 2004, tentang kriteria baku penentuan kerusakan mangrove, yaitu bahwa mangrove dengan kerapatan ≥1.500 batang ha-1 adalah dikategorikan dengan kondisi sangat baik; kemudian tumbuhan mangrove dengan kerapatan 1.000 -1.500 batang ha-1, dikategorikan sedang; dan kerapatan < 1.000 batang ha-1, adalah termasuk dalam kategori tidak baik. Sedangkan menurut Chapman (1976), bahwa kriteria hutan mangrove yang dalam kondisi baik adalah
57
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
memiliki kerapatan antara 500 – 1.000 batang ha-1, dengan diameter batang (ǿ) antara 10 – 30 cm. Terkait dengan hal tersebut, maka kondisi mangrove yang masih dalam kriteria “sangat baik” adalah di Pulau Nyangnyang (1800 ± 265 phn ha-1) dan Pulau Putotogat (1733 ± 379 phn ha-1). Sedangkan untuk kondisi mangrove dalam criteria “sedang” adalah di daerah Malilimok (1400 ± 436 phn ha-1), daerah Masilok (1117 ± 407 phn ha-1), dan Pulau Simakaka (1100 ± 265 phn ha-1). Kemudian kondisi ekosistem mangrove yang termasuk criteria “tidak baik” adalah di daerah Tuapejat, yakni sekitar 733 ± 252 phn ha-1 Tabel 16. Nilai kerapatan pohon dan persentase tutupan (% cover) mangrove di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai (2015)
Lokasi
Stasiun
% cover (tutupan)
Putotogat
MTWM02
64.73 ± 9.27
Tuapejat
MTWM04
Masilok
Kerapatan (pohon/Ha)
Nilai penting Min
Max.
Status
1733 ± 379
16.89
164.88
Sedang
66.29 ± 6.15
733 ± 252
31.57
211.24
Sedang
MTWM06
66.13 ± 8.03
1117 ± 407
119.57
180.43
Sedang
Malilimok
MTWM07
66.71 ± 11.58
1400 ± 436
146.43
153.57
Sedang
Nyangnyang
MTWM08
70.25 ± 10.61
1800 ± 265
79.12
220.88
Sedang
Simakaka
MTWM09
62.85 ± 6.81
1100 ± 265
17.06
139.59
Sedang
Tabel 17. Nilai kerapatan pohon dan persentase tutupan (% cover) mangrove di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, KabupatenKepulauan Mentawai pada tahun 2014 dan 2015 Lokasi
58
% cover
Stasiun
Kerapatan (phn Ha-1)
2014
2015
2014
2015
Putotogat
MTWM02
70,78 ± 5,29
64.73 ± 9.27
2000 ±755
1733 ± 379
Tuapejat
MTWM04
67,70 ± 3,72
66.29 ± 6.15
700 ± 265
733 ± 252
Masilok
MTWM06
67,69 ± 2,46
66.13 ± 8.03
2266 ± 115
1117 ± 407
Malilimok
MTWM07
72,05 ± 5,17
66.71 ± 11.58
1300 ± 436
1400 ± 436
Nyangnyang
MTWM08
66, ± 8,78
70.25 ± 10.61
1800 ± 360
1800 ± 265
Simakaka
MTWM09
70,59 ± 6
62.85 ± 6.81
1517 ± 676
1100 ± 265
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Apabila nilai persentase tutupan maupun kerapatan pada tahun 2014 kita bandingkan dengan dengan tahun 2015 (Tabel %), maka terlihat adanya beberapa perubahan nilai. Mengacu pada perubahan nilai persentase tutupan tajuk, masih beralasan (logis). Hal ini karena terjadi pergeseran posisi pengambilan gambar, sehingga nilai tutupan juga berubah, namun masih pada kriteria “sedang”. Selanjutnya perubahan nilai kerapatan pohon pada lokasi MTWM02 dan MTWM09, disebabkan karena pada lokasi tersebut terjadi penebangan mangrove. Namun pada lokasi MTWM06 di daerah Masilok, terjadi penurunan nilai yang sangat mencolok, yakni dari kriteria sangat baik menjadi sedang. Hal ini terjadi karena pada waktu pengukuran, terjadi air pasang yang sangat tinggi, sehingga menyulitkan dalam pengukuran, terutama pada jenis tumbuhan yang terendam air pasang.
59
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait pada 2015 atau tahun ke-1 (T1) di KKPD Selat Bunga LautKabupatenKepulauan Mentawai, Sumatera Barat dapat disimpulkan beberapa halsebagai berikut: 1. Kesehatan terumbukarang pada tahun 2015 berada dalam kondisikurang baiksampai baikdan secara umum dalam kondisi kurang baik. Persentase tutupan karang hidup yang mengalami peningkatan hanya pada 5 stasiun monitoring dari total 9 stasiun atau sekitar 55,55% jika dibandingkan dengan tahun 2014. Tutupan rata-rata karang hidup(HC) pada tahun 2015 lebih rendah dan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2014, sehingga kondisinya juga turun dari cukup baik menjadi kurang baik. 2. Jumlah spesies atau kelompok spesies megabenthos target monitoring yang ditemukan pada tahun 2015 sama dengan tahun 2014. Kelimpahan bulu babi mendominasi kelompok megabenthos target monitoring, namun kelimpahannya mengalami penurunan dibanding tahun 2014. Kelompok megabenthos indikator cenderung mengalami peningkatan, sebalik megabenthos bernilai ekonomis mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2014. 3. Jumlah jenis ikan indikator pada tahun 2015 lebih sedikit, namun kelimphannya cenderung lebih tinggi dibanding tahun 2014. Jumlah jenis ikan target pada tahun 2015 lebih banyak baik per famili ataupun per stasiun dibanding tahun 2014, sedangkan biomassanya lebih tinggi, walaupun kelimpahannnya lebih rendah. 4. Komunitas lamun berkembang dan tumbuh lebih baik, sehingga terjadi peningkatan baik dalam jumlah jenis, kerapatan dan status kondisinya. 5. Hasil monitoring tahun 2015, ekosistem mangrove berada dalam kondisi sedang dengan tutupan kanopi juga sedang. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, tutupan kanopi tumbuhan mengalami penurunan, begitu juga dengan kerapatan tumbuhan mangrove juga mengalami penurunan, sehingga kondisinya mengalami perubahan dari sangat baik menjadi sedang.Potensi pemulihan mangrove cukup baik dengan kemunculan anakan (seedling) yang cukup tinggi.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan beberap hal sebagai berikut: 1. Mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait antara lain mengurangi atau pelarangan penambangan pasir dan penebangan hutan mangrove dalam kawasan koservasi perairan daerah. 2. Penataan ulang kegiatan perikanan baik produk ikan maupun non ikan dengan mendorong perikanan ramah lingkungan, anatara lain membatasi jumlah armada tangkap dan jenis alat tangkap yang digunakan dan selektifterhadap ukuran ikan yang ditangkap. 3. Memaksimalkan fungsi penataan kawasan (zonasi) dan meningkatkan upaya pengawasan di kawasan konservasi peraiaran daerah. 4. Membuka peluang untuk budidaya dan pembesaran produk non ikan antara lain kima, lobster dan kerang lola, serta pengolahan produk perikanan.
60
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
61
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang. Oseana XXXIV(3): 19-24. Arbi, U.Y. 2009. Beberapa jenis Moluska yang Dilindungi di Indonesia. Oseana XXXIV(4): 25-33. Abbott, R.T., and P. Dance. 1990. Compendium of Seashell. Crawford. House Press, Australia: 411 pp. Allen, G.R., R. Steene, P. Humann, and N. Deloach 2009. Reef Fish Identification, Tropical Pacifi c. New World Publications, Inc. El Cajon CA. 480 pp. Allen, G. R. and M. Adrim 2003. Review article; Coral reef fi shes of Indonesia. Zoological Studies. 42 (1); 1-72. Arifin MA dan F. Yulianda. 2003. Keanekaragaman Ikan Karang di Perairan Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia 3(1): 19-26. Anonimous 2014. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup N0 201, 2014, tentang criteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove. Dharmawan, I.W.K., dan Pramudji. 2015. Panduan Monitoring Status Ekosistem Mangrove. COREMAP-CTI LIPI. 35 hal. Brower, J.E. & J.H. Zar 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. MWC Brawn Company Publishing, Iowa: 194 pp. Clark, A.M. and F.E.W. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo-West Pacific Echinoderms. British Museum (Natural History), London: 238 pp. Colin, P. L. and C. Arneson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press. California: 341 pp. C. Roelfsema & S. Phinn. 2009. A Manual for Conducting Georeferenced Photo Transects Surveys to Assess the Benthos of Coral Reef and Seagrass Habitats. 33. Brisbane: Centre for Remote Sensing & Spatial Information Science School of Geography, Planning & Environmental Management University of Queensland. Darsono, P. 2002. Perlukah teripang (holothurians) dilindungi?. Oseana XXVII(3): 1-9. Den Hartog, C. and J. Kuo 2006. Taxonomy and biogeography of seagrasses. In: Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation (W.D. Larkum, R.J.Orth and C.M. Duarte, eds.) Springer, Nedherlands, pp.1-23 Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting & M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.Jakarta: Pradnya Paramita. Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital.Yogyakarta: Andi Offset. English, S., C. Wilkinson and V. Baker 1997. Survey manual for tropical marine resources. Second edition. Australian Institute of Marine Science. Townsville: 390 pp. English, S., C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey manual for tropical marine resources. Published on behalf of the ASEAN-Australia Marine Science. Townswile. pp 367.
62
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Edmund P. Green, Peter J. Mumby, Alasdair J. Edwards & C. D. Clark. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. http://unesdoc.unesco.org/ images/0011/001197/119752E.pdf (last accessed. Fonseca, M.S. 1987. The management of seagrass system. Trop,Coast,Area.Manag. ICLARM.Newsletter 2 (2): 5-7. Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada penggunaan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (1): 1-18. Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma & Suharsono. 2010. Effisiensi dan akurasi pada proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1): 111-130. Giyanto. 2012b. Penilaian kondisi terumbu karang dengan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3):377-389. Giesen, W., S. Wulfraat, M. Zieren and L. Scholten. 2009. Mangrove guidebook for Southeast Asia. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Maliwan Mansion, Phra Atit Road, Bangkok 10200, Thailand. p 769. Hafizt, M. 2014. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Untuk Analisis Perubahan Tutupan Mangrove Di Delta Wulan, Kabupaten Demak. In Perubahan Iklim dan Pemanfaatan SIG di Kawasan Pesisir, 272. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Indonesia, K. S. N. R. 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.ed. K. S. N. R. Indonesia. Kohler, K.E; M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): a visual basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Comput Geosci 32(9):1259-1269. Kementerian Lingkungan Hidup (KMLH) 2004. Kepmen. No. 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, 16 hal Kuo, J. and A.J. McComb 1989. Seagrass taxonomy, structure and development. In: A.W.D. Larkum, A.J. Comb and S.A. Shephered (eds). Biology of seagrasses : a treatise on the biology of seagrasses with special reference to Australian region. Elsier, Amsterdam, 6-73. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago and S. Baba. 1999. Handbook of mangroves in Indonesia. Printed by Saritaksu, Denpasar, Bali Indonesia. 119 p. Knudsen, T. 2003. “True” Colour Presentation of Suburban Areas from Colour-Infrared Aerial Photos. 38. Denmark: National Survey and Cadastre. Loya, Y. 1978. Plotless and Transect Methods, in: Stoddard, D.R., and R.E. Johannes, Coral Reef Research Methods, Paris (UNESCO): 22–32. Matsuura, K., O.K. Sumadiharga and K. Tsukamoto. 2000. Field Guide to Lombok Island. Identification Guide to Marine Organism in Seagrass Beds of Lombok Island, Indonesia. University of Tokyo: 449 pp. Masuda, H., K. Amaoka, C. Araga, T. Uyano, and T. Yoshino. 1984. The fi shes of the Japan Archipelago. Tokai, Japan, Tokai University Press, 2 vol. 435 pp. Martosubroto, P. and Sudradjat. 1974. Study on some ecological aspects and fisheries of Segara Anakan in Indonesia. Fish. Res. Inst. LPPL 1/73: 63-74. Neira, R.O. and J.R.K. Cantera. 2005. Composición Taxonómica y Distribución de las Asociaciones de Equinodermos en los Ecosistemas Litorales del Pacifico Colombiano. Rev. Biol. Trop. 53 (3): 195-206.
63
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Nienhuis, P.H.. J. Coosen and W. Kiswara 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2): 192-214. NOAA. 2005. Shallow-Water Benthic Habitats of American Samoa, Guam, and the Commonwealth of the Northern Mariana Islands. NOAA. Phillips, R. C. and E.G. Menez 1988. Seagrasses. Smitthsonian Inst. Press., Washington, 104 p. Pramudji, Purnomo L.H., Purba, R. dan R. Zulukhu. 2015. Monitoring Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Nias Utara (tidak dipublikasi). Primavera, J.H., R.B. Sabada, M.J.H.I. Lebata and J.P. Altamirano. 2004. Handbook of mangroves in the Philippines – Panay. Publiished by Aquaculture Departement, Southeast Asian Fisheries Development Centre. Tigbauan, oilo, Philippines. 106 p. Phinn, S. R., C. M. Roelfsema & P. J. Mumby (2012) Multi-scale, object-based image analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. International Journal of Remote Sensing, 33, 3768-3797. Prayuda, B. 2014. Pemetaan Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal.ed. Suyarso, 29. Jakarta: P2O-LIPI. Rahmawati, S. , H. Hindarto, M.H. Azkab dan W. Kiswara 2015. Panduan Monitoring Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta, 34 hal. Rikoh, M. S., S. Rizkie, A. Muhammad, H. Bambang, W. Kunto, A. Ucu, Mudjiono., E. Wayan, R. Susi & S. R. 2014. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Kesehatan Ekosistem Terkait di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jakarta: LIPI. Siringoringo, R.M., R. Satria, M. Abrar, B. Hermanto, K. Wibowo, U. Arbi, Mudjiono, W. Eka, S. Rahmawati dan R. Sutiadi 2014. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Kesehatan Ekosistem Terkait di Kabupaten Kepulauan Mentawai. P2O-LIPI, Jakarta, 42 hal. Salm, R.V. 1984. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers: IUCN & Natural Resources Gland. Switzerland: 370pp. Sastrapradja, D., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja and M.A. Rifai, 1989, Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Puslitbang Bioteknologi LIPI, Jakarta. Sediadi, A. 1999. Pemantauan Keanekaragaman Hayati di Terumbu Karang. Prosiding Seminar tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam Rangka Penghargaan kepada Prof. Dr. Aprilani Soegiarto, M.Sc., APU. 1999: 205–210. Setyastuti, A. 2010. Tunjauan ledakan populasi dari bintang laut bermahkota duri,Acanthaster planci. Oseana XXXV(3): 1-6. Setyono, D.E.D. 2006. Budidaya pembesaran udang karang (Panulirus spp.). Oseana XXXI(4): 39-48 Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Turner, S.J. 1994. The Biology and Population Outbreaks of the Corallivorous Gastropod Drupella on Indo-Pacific Reefs. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 32: 461-530. Thorhaug, A and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with economic analysis. Environ. Conserv. 3(4): 259-267. Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently established Zostera marina community. EstuarineRes. 1 : 518-540.
64
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Published by the Press Syndicate of the University of Cambridge. The Pitt Building, Trumpington Street, Cambridge CH2 IRP 32 East 57th Street, New York, 10022 USA, 10 Stamford Road, Oakleigh, Melbourne 3166, Australia. pp 399. Vimono, I.B. 2007. Sekilas mengenai landak laut. Oseana XXXII(3): 15-21.
65
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
LAMPIRAN Lampiran 1.Sebaran stasiun monitoring kesehatan terumbu karang di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat tahun 2015 No
Stasiun
1
Koordinat
Nama Lokasi
Bujur
Lintang
MTWL 02
99.57780
-2.02500
Pulau Putoutogat, Desa Tua Peijat, Kecamatan Sipora Utara
2
MTWL 03
99.59967
-1.98093
Pulau Panjang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara
3
MTWL 04R
99.54128
-2.14322
Pesisir barat Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara
4
MTWL 05
99.53700
-2.13300
Pulau Pitoiat Sabaeu, Desa Tua Pejat, Kecamatan Sipora Utara
5
MTWL 06
99.30110
-1.69577
Dusun Malilimok, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya
6
MTWL 07
99.27022
-1.75085
Pulau Libbut, Desa Katurei, Kecmatan Siberut Barat Daya
7
MTWL 08
99.29150
-1.81112
Pulau Nyangnyang, Desa Katurei, Kecmatan Siberut Barat Daya
8
MTWL 09
99.28552
-1.87213
Pulau Botiek, Desa Katurei, Kecmatan Siberut Barat Daya
9
MTWL 10R
99.57481
-2.00214
Pulau Simakakang, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara
Lampiran 2.Lokasi Pengambilan Sampel Lamun di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tahun 2015Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat tahun 2015 No.Sta.
66
Stasiun
Posisi
Deskripsi substrat
MTWLM01 Dusun Masilok, Pulau Siberut
Lat.-1.715950 Lon.99.299770
Pasir, pecahan karang
MTWLM02 Dusun Malilimok, Pulau Siberut
Lat.-1.751650 Lon.99.277500
Pasir, pecahan karang
MTWLM03 Pulau Nyangnyang
Lat.-1.812190 Lon.99.288190
Lumpur, pasir
MTWLM04 Pulau Simakakang
Lat.-2.003070 Lon.99.577470
Pasir, pecahan karang
MTWLM05 Pulau Sipora
Lat.-2.120290 Lon.99.560460
Pasir, pecahan karang
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Lampiran 3. Posisi stasiun pengambilan data status kondisi mangrove di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. No
Stasiun
1
Koordinat
Nama Lokasi
Bujur
Lintang
MTWM02
02.01532° S
099.57780° E
Lumpur liat
2
MTWM04
02.12043° S
099.56343° E
Lumpur pasiran
3
MTWM06
01.71418° S
099.29698° E
Lumpur lunak
4
MTWM07
01.74628° S
099.27636° E
Lumpur pasiran
5
MTWM08
01.81134° S
099.28787° E
lumpur liat
6
MTWM09
02.00023° S
099.57489° E
lumpur liat
Lampiran 4. Data pengamatan monitoring megabenthos di TWP Selat Bunga Lautdan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tahun 2015 No. Megabenthos
STASIUN MTWL
Jumlah
02
03
04R
05
06
07
08
09
10R
-
-
-
-
-
-
1
1
-
2
1
Acanthaster planci
2
Bulu babi
21
13
5
1
6
1
69
57
2
175
3
Teripang
1
1
-
-
-
3
-
-
2
7
4
Kima
34
6
-
3
7
-
1
3
5
59
5
Drupella spp.
6
6
-
1
2
1
-
-
1
17
6
Lola
1
1
-
2
-
-
11
-
-
15
7
Lobster
-
2
1
-
-
-
6
-
-
9
8
Linckia laevigata
1
-
-
-
2
-
-
-
2
5
64
29
6
7
17
5
88
61
12
289
Jumlah
67
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
Lampiran 5. Daftar kekayan jenis karang keras di TWP Selat Bunga Laut dan Sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai
68
MTWL04(R)
MTWL05
MTWL02
+
+
+
+
MTWL10
MTWL09
+
MTWL03
MTWL08
I
Suku / Jenis
MTWL07
No.
MTWL06
Lokasi Penelitian
POCILLOPORIDAE
1
Pocillopora damicornis
2
P. danae
3
P. eydouxi
4
P. kelleheri
5
P. meandrina
6
P. verrucosa
7
P. woodjonesi
8
Seriatopora caliendrum
9
S. hystrix
10
S. stellata
11
Stylopora pistilata
12
S. Subseriata
II
ACROPORIDAE
+ + +
+ +
+ +
+
+ + +
+
+
+
+ +
+
+ +
+
+
+
+ +
+
+ +
+ +
13
Montipora aequituberculata
+
14
M. angulata
+
15
M. calciculata
16
M. corbettensis
17
M. digitata
18
M. danae
19
M. foliosa
20
M. faveolata
21
M. grisea
22
M. informis
23
M. monasteriata
24
M. venosa
25
M. orientalis
26
M. peltiformis
+
+
+
+ + +
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
+
+
29
M. samarensis
+
30
M. stellata
+
31
M. turtlensis
32
M. tuberculosa
33
M. undata
34
M. vietnamensis
+
35
M. effusa
+
36
Acropora abrolhosensis
37
A. abrotanoides
38
A. cerealis
39
A. digitifera
40
A. divaricata
41
A. elseyi
42
A. florida
43
A. formosa
44
A. gemmifera
45
A. gomezi
+
46
A. globiceps
+
47
A. grandis
48
A. humilis
+
+
49
A. hyacinthus
+
+
50
A. Iregularis
51
A. loripes
+
+
52
A. microphthalma
+
+
53
A. millepora
+
+
54
A. palifera
A. yongei
57
A. rosaria
58
A. spicifera
+
+
+
+
MTWL10
M. incrassata
MTWL03
28
56
MTWL02
+
A. valencienesi
+
MTWL05
+
55
+
MTWL04(R)
MTWL07
M. eflorescen
Suku / Jenis
MTWL09
MTWL06
27
No.
MTWL08
Lokasi Penelitian
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+
+ + +
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+ + + +
+
+ +
+
+
69
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
A. aspera
+
60
A. selago
+
61
A. samoensis
62
A. solitaryensis
63
A. subulata
64
A. tenuis
+
65
A. valida
+
66
A. verweyi
67
Astreopora myriophthalma
68
Anacropora forbesi
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
PORITIDAE
69
Porites. attenuata
70
P. deformis
71
P. lobata
72
P. lutea
73
P. nigrescen
+
74
P. cylindrica
+
75
P. lichen
76
P. rus
77
Goniopora colummna
IV
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
SIDERASTREIDAE
78
Pseudosiderastrea tayami
+
79
Siderastrea savignyana
+
80
Psammocora contigua
81
P. digitata
+
82
P. superficialis
+
83
Coscinaraea columna
84
MTWL10
+
MTWL03
MTWL04(R) +
MTWL02
MTWL09 +
MTWL05
MTWL08 +
59
III
70
Suku / Jenis
MTWL07
No.
MTWL06
Lokasi Penelitian
C. crassa
+
+
+
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
+
+
+
+
+
+
MTWL10
+
MTWL03
+
MTWL02
MTWL08
MTWL05
+
86
P. varians
+
87
P. venosa
+
88
Coeloseris mayeri
89
Leptoseris tubulifera
90
L. incrustan
91
L. Scabra
92
Pachyseris foliosa
93
P. rugosa
94
P. speciosa
95
Gardineroseris planulata
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ + +
+
+ +
+
+
+ +
+
FUNGIIDAE
96
Fungia fungites
97
F. Danai
98
F. horrida
99
F. repanda
+
100
F. granulosa
+
101
F. scabra
+
102
F. corona
+
+
103
F. Paumotensis
+
+
104
F. Scutaria
105
Ctenactis echinata
106
C. crassa
107
Lithophyllon lobata
108
L. mokai
109
Herpolitha limax
110
MTWL04(R)
P. explanulata
VII
+
AGARICIIDAE
85
VI
MTWL09
V
Suku / Jenis
MTWL07
No.
MTWL06
Lokasi Penelitian
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+ + + +
+
OCULINIDAE G. fascicularis
+
+
+
+
+
+
+
71
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
+
+
113
E. Echinata
+
114
Oxypora lacera
+
115
Mycedium mancaoi
+
116
Pectinia paeonia
117
P. Alcicornis
IX
EUPHYLLIDAE
PECTINIIDAE
118 Euphyllia glabrescens X
72
+
+
+
+
+
+
+
+
MERULINIDAE
120
H. microconos
121
H. grandis
122
H. rigida
123
Merulina ampliata
+
124
M. scabricula
+
XI
MTWL10
E. echinoporoides
MTWL03
112
MTWL02
MTWL05 +
MTWL09
+
MTWL08
Echinophyllia aspera
VIII
Suku / Jenis
MTWL07
111
No.
MTWL06
MTWL04(R)
Lokasi Penelitian
+
+ +
+
+
+
+
FAVIIDAE
125
Favia favus
+
126
F. pallida
127
F. stelligera
128
F. matthaii
129
F. speciosa
130
Favites abdita
131
F. stylifera
+
132
F. halicora
+
133
F. micropentagona
134
F. pentagona
135
Platygyra carnosus
136
P. daedalea
137
P. pini
138
Leptastrea transversa
139
L. purpurea
140
Cyphastrea chalcidicum
+
+
+
+
+
+
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait Lainnya Di Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan
141
C. serailia
+
142
C. micropthalma
143
Echinopora horrida
144
E. lamellosa
+
+
145
E. gemmacea
+
+
146
Montastrea valenciennesi
+
147
Goniastrea edwardsi
+
148
G. minuta
149
G. pectinata
150
Barabatoia amicorum
151
Leptoria phrygia
+
152
Oulophyllia crispa
+
153
Diploastrea heliopora
XII
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
MUSSIDAE
154
Lobophyllia hemprichii
+
155
L. flabeliformis
+
156
Symphyllia valenciennesi
157
S. agaricia
158
S. recta
+
159
Achantastrea faviaformis
+
XIII
+ +
+
+
+
MILLEPORIDAE
160
Millepora platyphylla
+
161
M. dichotoma
+
162
M. Complanata
XIV
MTWL10
+
MTWL03
MTWL05
+
MTWL02
MTWL04(R)
Cyphastrea chalcidicum
Suku / Jenis
MTWL09
MTWL08
+
MTWL07
+
140
No.
MTWL06
Lokasi Penelitian
+ +
+
HELIOPORIDAE
163
Heliopora coerulea
164
Tubifora musica
165
Tubastrea micranta
Jumlah Jenis
+
+
+ +
54
40
43
48
43
84
30
51
26
73