TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri
)
LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI II DPR RI DENGAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X DAN SRI PAKU ALAM X SELASA, 1 MARET 2011 -----------------------------------------------------------------------------------------------------Tahun Sidang : 2010-2011 Masa Persidangan : III Rapat Ke : -Sifat : Terbuka Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Dengan : Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX (dihadiri 6 Anggota Komite I DPD RI) Hari/Tanggal : Selasa, 1 Maret 2011 Pukul : 14.00 WIB - selesai Tempat : Ruang Rapat Komisi II DPR RI (Gd. Nusantara/KK.III) Ketua Rapat : H. Chairuman Harahap, SH.,MH/Ketua Komisi II DPR RI Sekretaris Rapat : Arini Wijayanti, SH.,MH/Kabag.Set Komisi II DPR RI Acara : Mencari Masukan terkait dengan RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kehadiran : 37 dari 49 Anggota Komisi II DPR RI 12 Anggota izin HADIR : H. Chairuman Harahap, SH.,MH Dr. Drs. H. Taufiq Effendi, MBA Ganjar Pranowo Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si H. Abdul Wahab Dalimunte, SH Drs. H. Amrun Daulay, MM Muslim, SH Rusminiati, SH Kasma Bouty, SE.,MM Ignatius Mulyono Dra. Gray Koes Moertiyah, M.Pd Khatibul Umam Wiranu, SH.,M.Hum Drs. H. Djufri Ir. Nanang Samodra KA, M.Sc Drs. H. Abdul Gafar Patappe Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM Agustina Basik-Basik, S.Sos.,MM.,M.Pd Nurul Arifin S.IP.,M.Si Hj. Nurokhmah Ahmad Hidayat Mus IZIN : Dr. H. Subiyakto, SH.,MH.,MH Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc IP.,M.Si Drs. Taufiq Hidayat, M.Si Dr. M. Idrus Marham Drs. Soewarno Arif Wibowo
Drs. H. Murad U. Nasir, M.Si Dr. Yasona H. Laoly, SH.,MH Vanda Sarundajang Alexander Litaay H. Rahadi Zakaria, S.IP.,MH Drs. Almuzzamil Yusuf TB. Soemandjaja.SD Hermanto, SE.,MM Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si Drs. H. Fauzan Syai e H. Chairul Naim, M.Anik, SH.,MH Drs. H. Nu man Abdul Hakim Dra. Hj. Ida Fauziyah Abdul Malik Haramain, M.Si Hj. Mastitah S.Ag.,M.Pd.I Drs. H. Harun Al-Rasyid, M.Si Miryam S. Haryani, SE.,M.Si Mestariany Habie, SH
Budiman Sudjatmiko, M.Sc.,M.Phill Agus Purnomo, S.IP Aus Hidayat Nur H. M. Izzul Islam Dr. AW. Thalib, M.Si Drs. Akbar Faizal, M.Si
I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX dan dihadiri 6 Anggota Komite I DPD RI dibuka pukul 14.15 WIB oleh Ketua Komisi II DPR RI, Yth. H. Chairuman Harahap, SH.,MH/F-PG. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX menyampaikan paparan sebagai berikut: 1. Sri Sultan Hamengku Buwono X menambahkan aspek penting yang harus dijawab dalam menyusun Undang-Undang, apa argumentasi rasionalitas/relevansi perlunya disusun sebuah Undang-Undang dan apakah Undang-Undang tersebut mampu memenuhi tujuan utamanya mengingat suatu peraturan hukum dipandang efektif bila kebijakan tersebut dapat memenuhi tujuan utamanya. Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta ini terdapat beberapa alasan: Alasan historis bahwa kelahiran Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum Belanda berkuasa di Jawa diawali dengan berdirinya Kerajaan Mataram Islam (1613-1646) dan Belanda akui kedaulatan Mataram sehingga dibuatlah politik kontrak oleh Belanda saat menduduki Jawa. Menjelang Mataram bertekuk kepada Belanda (masa Paku Buwono II), Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan sampai akhirnya terjadi perjanjian Giyanti (1755) yang membagi dua kerajaan Mataram, dimana Pangeran Mangkubumi memperoleh wilayah yang kemudian dibangun menjadi Negeri Yogyakarta. Selajutnya ketika Inggris ambil alih kekuasaan Belanda lahirlah Kerajaan Kadipaten Paku Alaman yang wilayahnya diambil dari sebagian Negeri Yogyakarta. Pada jaman pendudukan Jepang pun eksistensi Negeri Yogyakarta dan Paku Alaman diakuinya. Saat Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945) Sultan HB IX dan Paku Alaman VIII mengucapkan Selamat kepada Presiden Sukarno dan menyampaikan sikap politiknya untuk berintegrasi dengan Republik Indonesia, yang selanjutnya dibalas oleh Presiden Sukarno dengan pemberian Piagam Penetapan / Kedudukan (19 Agustus 1845), yang intinya Sukarno menetapkan Sultan HB dan Paku Alaman tetap pada kedudukannya dengan kepercayaan akan mencurahkan segala piiran, tenaga, jiwa dan raga untuk Keselamatan DIY sebagai bagian dari NKRI. Selanjutnya tanggal 5 September 1945, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan sebuah amanat yang dikenal sebagai Maklumat 5 September 1945. Alasan Filosofis, dimana sebelum kelahiran NKRI ada 250 masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen) yang memiliki otonomi yang sangat luas termasuk Yogyakarta dan Pakualaman. Masyarakat hukum adat tersebut diikat secara politis oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan kontrak pendek (korte verklaring) dan kotrak panjang (lange contracten). Dan Yogyakarta serta Pakualaman saat itu telah mempunyai dasar hukum yang diakui oleh Ratu Belanda Wilhelmina sebagai daerah yang berdaulat sehingga secara hukum internasional kedudukanya sama dengan sebuah negara, sehingga pada jaman RIS, Belanda tidak dapat masuk ke Yogyakarta dan oleh karenanya Yogyakarta dijadikan ibukota RI. Sultan HB X menghimbau fakta politis empiris ini tidak mudah dihapuskan. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaannya Indonesia pada waktu itu sangat membutuhkan pengakuan dari negeri lain sehingga bergabungnya Yogyakarta dan Pakualaman ke Republik Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi Indonesia, mengingat dalam hal ini Yogyakarta telah memberikan wilayahnya dan penduduknya kepada Indonesia. Analogi inilah yang disebut dengan Ijab Qabul dimana ada pihak yang menyerahkan dan ada yang menerima yang selanjutnya Indondesia memberikan mahar kepada Yogyakarta
bahwa daerah yogyakarta adalah daerah setingkat provinsi dengan sifat Istimewa. Dalam hal ini Sultan HB IX mewakili Negeri Yogyakarta dan Paku Alam VIII mewakili Pakualaman dan Presiden Sukarno mewakili Republik Indonesia. Dengan demikian tidak bisa begitu saja menafikan daya Ijab Qabul yang telah disepakati bersama tersebut. Dalam hukum internasional perjanjian kedua negara tersebut biasa dikenal sebagai Bilateral Treaties. Asas hukum Pacta Sunt Servada yang menyatakan bahwa perjanjian bersifat mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan dimaksud. Setelah berintegrasinya DIY ke NKRI praktis penyelenggaraan pemerintahannya mengikuti sistem yang dianut oleh Republik Indonesia kecuali satu hal yaitu mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak terikat syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya mengingat kepemimpinan DIY bersifat turun temurun dan inilah ruh Keistimewaan DIY sehingga penyelenggaraan pemerintahan DIY tidak bisa disebut Monarchy karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kekuasaan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alasan yuridis dimana mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY telah berjalan selama ini secara konstitusional yaitu sejalan dengan UUD 1945 Pasal 18B, UU No.1 Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Komite Nasional Daerah (KND) diadakan kecuali di Surakarta dan Yogyakarta yang dalam penjelasan disebutkan bahwa pengecualian tersebut merupakan implikasi dari Piagam Kedudukan / Penetapanyang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno pada 19 Agustus 1945. Kemudian juga sejalan dengan UU No.22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No.18 tahun 1965, UU No.5 Tahun 1974. UU No.22 tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 pasal 225 yang masih menyebutkan bahwa daerah-daerah yang memiliki status Istimewa dan diberikan otonomi khusus. Dan sampai saat ini DIY satu-satunya daerah yang belum diatur secara khusus dalam UU tersendiri, sebagaimana amanat Konstitusi. Dan selama ini pengaturan DIY seolah hanya ditempelkan dalam UU Pemerintahan Daerah saja. Seharusnya DIY diatur dalam UU tersendiri seperti Aceh, Papua serta DKI Jakarta dengan mengakomodir teori bentuk desentralisasi asimetris dimana derajat antar unit pemerintahan yang satu denngan lainnya dibedakan dengan maksud tetap mewujudkan kesejahteran rakyat dan stabilitas nasional. Alasan Sosiologis, dimana bagi masyarakat DIY perihal Keistimewaan tidak hanya bermakna pemberian hak previlage bagi keturunan Sultan dan Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur melainkan untuk tetap mempertahankan kehormatan dan harga diri rakyat DIY yang dalam perjalanan sejarah bangsa ini Yogyakarta telah diberi tempat dan diakui secara konstitusional. Meskipun ada yang beranggapan pemerintahan di DIY dianggapnya tidak sesuai dengan demokratisasi namun perlu diingat bahwa pandangan demokrasi di Indonesia telah terwadahi dalam Sila IV Pancasila. Berdasarkan ketentuan tersebut maka apa yang telah berjalan di DIY selama ini dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakilnya dapat dikatakan telah berjalan demokratis. Dengan demikian tidaklah berlebihan bila pengakuan Keistimewaan DIY tetap dipertahankan karena juga masih didukung oleh sebagian masyarakat DIY, Keputusan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota serta DPD RI. Alasan Teoritis dimana berdasarkan perspektif filsafat ilmu hukum seharusnya Keistimewaan DIY harus difahami secara utuh agar mampu memahami simbolsimbol dan makna yang ada di lingkungan masyarakat DIY sebagai satu kesatuan.
2. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX menyampaikan tinjauan secara khusus terhadap RUUK DIY yang telah disampaikan pemerintah, yakni: Judul RUU tentang Keistimewaan Provinsi DIY tidak tepat karena tidak merujuk original intent bunyi Pasal 18B ayat 1 selain itu juga tidak sesuai dengan UU No.3 Tahun 1950 tentang UU Pembentukan DIY yang secara eksplisit menyebut setingkat Provinsi yang dapat diartikan tidak sama dengan Provinsi. Akan lebih tepat judulnya RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta atau Keistimewaan DIY. Dan tidak menggunakan kata Provinsi. Kemudian dalam konsideran menimbang tidak dicantumkan dasar filsafat Pancasila yang menjiwai seluruh produk UU. Dengan tidak menyebutkan dasar filosofis Pancasila dapat menimbulkan ancaman serius yang mengarah liberalisasi. Penggunaan nomerklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) bahwa Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi adalah Gubernur dan keberadaan Gubernur Utama akan menciptakan dualisme pemerintahan yang secara mutatis mutandis melanggar prinsip negara hukum cq kepastian hukum. Dan kalau yang dimaksud Gubernur Utama dan Wakil Gubenur Utama sekedar persitilahan atau pengganti Parardhya maka secara filosofis bertentangan dengan ruh Keisitmewaan DIY. Karena raja yang berkuasa pada saat itu ketika berintegrasi kedalam Republik Indonesia selanjutnya menjelma menjadi Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur dan Wakil Gubernur. Manakala ada pihak-pihak yang melakukan Judicial Review ke MK terhadap Gubernur Utama dan Wakil Gubenur Utama dan si penggugat dinyatakan menang (dikabulkan) maka pada saat bersamaan Keistimewaan DIY hilang. Pasal 1 angka 14 perihal Perdais bukan menjadi ciri asli Keistimewaan DIY, melainkan lebih meniru model Konun di NAD (Aceh) dan MRP Papua. Akan lebih tepat diatur dengan Perda Biasa saja sebagaimana telah berjalan selama ini karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Pada Bab II RUUK DIY batas dan Pembagian Wilayah, Pasal 2 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa sebelah timur dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah, padahal secara riil berbatasan juga dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri. Pertanahan dan Pentaaan ruang Pasal 26 ayat (1) disebutkan Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum. Bunyi pasal ini tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yagn menyebutkan sebagai badan hokum kebudayaan (masih mengacu konsep Parardhya). Ada Kekhawatiran janganjangan Naskah Akademisnya sama dengan sebelumnya ? yang berubah hanya RUU nya. Bila demikian keutuhan latar belakang dalam naskah akademis menjadi tidak sinkron dengan RUU nya. Terkait bidang Pertanahan, Kalau Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai Badan Hukum, pertanyaan sebagai Badan Hukum privat atau public? lalu bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini dikelola oleh masyarakat dan dilepaskan kepada pihak lain, apakah kemudian harus dibatalkan? Bila demikian akan lebih tepat Kasultanan dan Pakualaman ditegaskan sebagai subyek hak atas tanah. Penggunaan terminology Pembagian Kekuasaan pada Pasal 5 ayat (2) huruf c tidak tepat karena pada prinsipnya pemerintahan daerah sudah berada pada cabang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif ini tentunya tidak tidak dapat dibagi lagi, sehingga lebih tepat pembagian kewenangan antara DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur.
III. KESIMPULAN/PENUTUP Terhadap masukan dan pendapat yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX, akan dijadikan sebagai bahan masukan bagi fraksi-fraksi dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) guna dibahas lebih lanjut pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Pemerintah. Rapat ditutup pukul 17.30 WIB. JAKARTA, 1 MARET 2011 PIMPINAN KOMISI II DPR RI KETUA, ttd
H. CHAIRUMAN HARAHAP, SH.,MH A-178