LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI XI DPR RI KUNKER SPESIFIK KE PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 3 – 5 SEPTEMBER 2015
I. PENDAHULUAN Dalam
rangka
proses
pembahasan
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP), Tim Kunjungan Kerja Panja RUU tentang PNBP Komisi XI DPR RI melakukan Kunjungan Kerja ke Provinsi Kalimantan Timur untuk memperoleh masukan seluas mungkin dari masyarakat dan para pemangku kepentingan agar RUU yang akan dibahas sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Masukan dari hasil Kunjungan Kerja ini juga akan menjadi salah satu bahan dalam rangka penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bagi masing-masing Fraksi di DPR dan penyempurnaan draft terkait pokok-pokok substansi yang perlu diatur dalam RUU PNBP, mengingat Draft RUU berasal dari Pemerintah. Guna menjalankan tugas tersebut, Panja RUU PNBP Komisi XI DPR RI saat ini melakukan kunjungan kerja ke 3 (tiga) provinsi, diantaranya Provinsi Kalimantan Timur. Terpilihnya Provinsi Kalimantan Timur sebagai tempat tujuan kunjungan kerja antara lain didasarkan pada pertimbangan kondisi perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur yang cukup baik dan terdapat aktivitas pertambangan sebagai salah satu penyumbang penerimaan negara. Informasi data Kementerian Keuangan tercatat bahwa PNBP di 2014 sebesar 398.59 Triliun Rupiah atau setara dengan 25% dari total sumber penerimaan utama APBN. Kontribusi PNBP di 2014 lebih kecil dibandingkan tahun 2011 yang mencatat angka 27%. Undang-Undang tentang PNBP berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan pemungutan dan penyetoran PNBP serta pengelolaan PNBP secara umum yang berlaku bagi masyarakat selaku wajib bayar dan bagi Instansi Pemerintah atau Kementerian Negara/Lembaga selaku Instansi yang mengelola PNBP.
Dalam sistem pengelolaan keuangan negara, PNBP memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi budgetary dan regulatory. Selaku fungsi budgetary, PNBP berperan besar dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan Negara. PNBP merupakan penyumbang pendapatan negara terbesar kedua setelah pendapatan perpajakan. Sebagai fungsi regulatory, PNBP merupakan instrumen strategis dalam mengarahkan dan menetapkan regulasi dan kebijakan Pemerintah Pusat di berbagai sektor pemerintahan. Dengan harapan memperoleh bahan masukan yang penting bagi proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, terdapat beberapa permasalahan yang sudah diidentifikasi dalam proses penyusunan konsep Naskah Akademik dan RUU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang secara garis besar meliputi: 1.
Pelaksanaan pengelolaan PNBP: a. pembayaran dan penyetoran PNBP, b. dasar hukum pemungutan dan penetapan tarif PNBP, c. perencanaan PNBP dan penggunaan dana yang bersumber dari PNBP, serta d. pengawasan dan pemeriksaan PNBP.
2.
Tantangan yang akan dihadapi ke depan dalam pengelolaan PNBP: a. tuntutan masyarakat atas pelayanan yang lebih baik yang dilaksanakan pemerintah, b. kebutuhan fleksibiltas dan ketepatan dalam merumuskan kebijakan di bidang PNBP, dan c. kebutuhan pembangunan dan penyempurnaan sistem pengelolaan PNBP berbasis teknologi informasi.
3.
Pelaksanaan
pengelolaan
PNBP
yang
dilaksanakan
oleh
Kementerian
Negara/Lembaga antara lain: a. adanya Kementerian Negara/Lembaga yang tidak dapat memenuhi ketentuan penyetoran langsung secepatnya ke Kas Negara, b. adanya PNBP yang dipungut tanpa dasar hukum atau tidak ada Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan Tarif PNBP c. besaran tarif yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat, d. penggunaan PNBP yang kurang fleksibel,
e. masih adanya beberapa Kementerian Negara/Lembaga yang tidak patuh dalam menyampaikan rencana dan target PNBP, serta penagihan dan pengelolaan piutang PNBP yang kurang optimal. Oleh karena itu Komisi XI DPR RI telah melakukan Kunjungan Kerja ke Provinsi Kalimantan Timur pada Tanggal 3-5 September 2015 untuk memperoleh berbagai data, informasi, dan masukan terhadap RUU PNBP di Kalangan Usaha Minerba yang ada di Kalimantan. Adapun dengan susunan delegasi sebagai berikut: No
Nama
No. Angg
Fraksi
Jabatan Ketua Tim
1.
Ir. Marwan Cik Asan
410
F. DEMOKRAT
2.
Ir. Muhammad Prakosa
183
F. PDI P
Wkl. Ketua Komisi Anggota
3.
Indah Kurnia
189
F. PDI P
Anggota
4.
Ir. Andreas Eddy Susetyo, MM.
195
F. PDI P
Anggota
5.
Dr. H. Ade Komarudin, MH.
262
F. P. GOLKAR
Anggota
6.
H. Amin Santono, S.Sos
421
F.DEMOKRAT
Anggota
7.
H. Biem Triani Benjamin
341
F.P GERINDRA
Anggota
8.
Ahmad Najib Qudratullah, SE.
471
F. P A N
Anggota
9.
Bertu Merlas
41
F. P K B
Anggota
10
Dr. Hj. Anna Mu'awanah
74
F. P K B
Anggota
11
Hj. Kasriah
540
F. P P P
Anggota
12
Dr. Achmad Hatari, SE, M.Si
35
F. P. NASDEM
Anggota
13
H. Ahmad Sahroni, SE
11
F. P. NASDEM
Anggota
14
Nurdin Tampubolon
545
F. P. HANURA
Anggota
Wkl. Ketua Komisi
II. HASIL KUNJUNGAN Dalam Kunjungan Kerja tersebut, Komisi XI DPR RI telah melakukan serangkaian pertemuan, antara lain dengan: 1. Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran 2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Timur 3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Timur 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Timur 5. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Provinsi Kalimantan Timur 6. Para Wajib Pajak khususnya Kalangan Usaha Minerba di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan antara lain PT.Kaltim Prima Coal (KPC), PT.Total Indonesie, PT.Adaro Energy, PT. Kideco Jaya Agung, PT. Arutmin Indonesia.
A. Peta Kondisi Penerimaan Perpajakan di Kalimantan Timur Khususnya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Peta kondisi Penerimaan Perpajakan di Kalimantan Timur yang dipaparkan oleh Kakanwil Pajak Provinsi Kalimantan Timur ialah sebagai berikut, menurut data yang diperoleh pada tahun 2014 pencapaian penerimaan di Kalimantan Timur sebesar Rp15 Triliun, sedangkan untuk tahun 2015 sebesar Rp23 Triliun. Penerimaan yang dominan berasal dari Minerba (Batu bara dan Migas) yang menjadi tulang puggung penerimaan di Kalimantan Timur. Menurut data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) penerimaan pajak dari seluruh Kalimantan Timur minus 4%, dan Kalimantan Timur secara keseluruhan minus 1%. Pada tahun 2015 pajak penghasilan sebesar Rp15,5 Triliun, untuk PPN sebesar Rp7,1 Triliun, sedangkan PBB (P3, Pertambangan, Kehutanan, Pertanian) sebesar Rp673 M. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak, capaian PPh pada bulan Agustus 2015 sebesar Rp7,5 Triliun yang menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,68%. PPN & PPNBM sebesar Rp2,4 Triliun yang menunjukkan kenaikan sebesar 5,83%. Penerimaan di Provinsi Kalimantan Timur secara keseluruhan sebesar Rp10,1 Triliun (43%), yang berada dibawah tingkat nasional yang baru mencapai 44%. Pertumbuhan secara keseluruhan di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 10%.
Wajib Pajak Besar di Kalimantan Timur hampir seluruhnya terdaftarnya di Jakarta, yang tercatat di Kalimantan Timur hanya kewajiban pasal 23 (untuk jasa) & pasal 21 (karyawan) dan PPN terpusat di Jakarta. PNBP yang paling besar dihasilkan dari sektor migas dan batubara sebesar 80%. Kanwil Pajak memberikan usulan terhadap RUU PNBP yang mengenai tumpang tindih pungutan yang terjadi di lapangan supaya ditinjau kembali agar tidak menimbulkan dispute. Dalam kesempatan ini, perwakilan dari Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Provinsi Kalimantan Timur memberikan beberapa usulan atau masukan terhadap RUU PNBP antara lain mengenai berapa banyak yang harus dikembalikan negara atas investasi perusahaan tambang, tetap harus ada APBN yang dikeluarkan untuk pengusaha minerba. Selanjutnya mengenai barang milik negara yang telah diinvestasikan oleh pengusaha minerba, serta bagaimana ketentuannya jika barang investasi tersebut masih dalam jumlah yang banyak dan belum terpakai, meskipun ada yang belum dipergunakan sama sekali tapi nilainya sudah menurun. Informasi terkait penyerapan dan belanja modal dipaparkan oleh Kanwil Perbendaharaan Kaltim, penyerapan di Provinsi Kalimantan Timur tergolong rendah dari Rp12 Triliun yang dikelola baru dipergunakan sekitar Rp3,5 Triliun (30%). Sedangkan untuk belanja modal di tahun 2015 sebesar Rp6 Triliun. Kendala terbesar di Kalimantan Timur yaitu mengenai lelang yang terlambat dan tentang pembebasan lahan. Realisasi PNBP tahun 2015 disampaikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, dalam paparannya informasi data yang diperoleh di posisi tanggal 31 Agustus 2015 untuk seluruh Indonesia adalah sebagai berikut : Pendapatan Iuran tetap di tahun 2014 realisasinya sebesar Rp807 M sedangkan target di APBNP sebesar Rp1, 071 Triliun atau (75%) dari target APBNP. Pendapatan Royalti pada realisasinya sebesar Rp18,5 Triliun, sedangkan target APBNP sebesar Rp22,5 Triliun atau (82%). Pendapatan keuntungan bersih (IUP) pada realisasi 0,51 sedangakn target tidak ada. Penjualan Hasil tambang (PKP2B) sebesar Rp16,1 Triliun dan pada realisainya mencapai Rp16,166 Triliun atau (100,62%). Di tahun 2014 yang mencapai target penerimaan hanya dari sektor penjualan hasil tambang, sementara iuran tetap dan royalti tidak mencapai target.
Pada tahun 2015 target APBNP mengenai pendapatan iuran tetap sebesar Rp2 Triliun, pada realisasinya mencapai Rp4,6 Triliun (224%). Pendapatan Royalti pada realisasinya sebesar Rp 10,3 Triliun , sedangkan di target APBNP sebesar Rp29,6 Triliun ( 34,8 %). Sedangkan untuk Penjualan Hasil tambang (PKP2B) sebesar Rp20,5 Triliun, pada realisinya hanya Rp5,97 Triliun ( 29 %) angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan. B. Kewajiban Wajib Pajak khususnya PNBP Yang Disetorkan oleh 5 Perusahaan Pertambangan di Kalimantan 1. PT.Kaltim Prima Coal (KPC) Jenis perikatan/kontrak kepada Pemerintah RI dalam bentuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi I yang ditandatangani pada tahun 1982 dan akan berakhir pada tahun 2021. Pemerintah Indonesia memberikan izin kepada PT. KPC untuk melaksanakan eksplorasi, produksi dan pemasaran batubara di wilayah seluas 90.938 hektar di Sangatta dan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. PT. KPC pada awal masa kontraknya memiliki lahan seluas 200.000 hektar, sisanya dikembalikan kepada Pemerintah. PT. KPC memulai produksinya secara komersial pada tahun 1991 yang memproduksi tiga jenis batubara antara lain: Prima,
yaitu
batubara
berkualitas unggul,
dengan kalori
kandungan abu sangat rendah, kandungan sulfur menengah
tinggi, dengan
kelembaban rendah. Pinang, memiliki kalori yang
lebih rendah dari Prima dengan tingkat
kelembaban yang lebih tinggi. Melawan, batubara sub-bituminous dengan kandungan sulfur dan abu rendah, serta tingkat kelembaban yang tinggi Pada tahun 2014, total produksi batu bara KPC (siap jual) dari tambang Sangatta dan Bengalon mencapai 52,4 juta ton, turun 2,03% dari sebesar 53,5 juta ton di tahun 2013. Dalam berproduksi PT. KPC menjual batubara dengan level sekitar 5300- 6700 kalori. Dari sisi penjualan dan produksi dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Sedangkan untuk tahun 2015 ini diharapkan
peningkatan produksi, namun masih melihat perkembangan konsidi pasar batubara saat ini. Tabel Produksi Batu bara KPC Tahun 2014 Sangata
Keterangan
2014
Bengalon
2013
2014 2013
Total 2014
2013
Stripping Overburden (Million BCM)
436.1 475.3 71.5
77.8
507.5 553.1
Stripping Ratio
9.86
11.12 8.45
11.09 9.63
11.11
Coal Mined (Million Ton)
44.2
42.8
8.5
7. 0
52.7
49.8
Coal Production (Million Ton)
43.9
45.5
8.4
7. 9
52.4
53.5
Tabel Sumber Daya dan Cadangan Batu bara KPC Tahun 2014 Sumber daya Batu bara (juta ton)
Cadangan Batu bara (juta ton)
eo March 2013
eo March 2013
Sangatta
7,747
957
Bengalon
1,560
242
Total
9,307
1,199
Lokasi
PT. KPC beroperasi dengan metode semuanya Open pit, kekhasan dari perusahaan tambang yang lain adalah bahwa dalam beroperasi PT. KPC beroperasi sendiri. Sebagian menggunakan kontrak mining yang di sub-kontrakkan kepada pihak lain untuk menghasilkan batubara dan sebagian dioperasikan sendiri, dengan peralatan dan tenaga kerja dari PT. KPC sendiri sehingga transaksi keuangannya lebih beragam. PT. KPC menggunakan tarif pajak yang diatur dalam PKP2B dalam menghitung pajak penghasilan. Berdasarkan PKP2B, tarif pajak tahunan adalah 35% untuk sepuluh (10) tahun pertama sejak dimulainya periode operasi dan 45% untuk sisa periode operasi. Pada tanggal 31 Desember 2014 dan 2013 pajak tangguhan PT. KPC telah diukur dengan menggunakan tarif pajak 45%. Pajak Badan ini dilaporkan di kantor pajak LTO di Jakarta. Sedangkan untuk pajak penjualan atas jasa, sejumlah 18 jasa sebesar 2,5%.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan yaitu besarnya royalti atau penjualan hasil tambang, jika merujuk kepada awal kontrak PKP2B, bahwa KPC harus menyerahkan batubara secara in kind kepada Pemerintah jadi dalam bentuk barang sebesar 13,5%. PT. KPC juga membayar Pajak Derah sesuai yang tercantum dalam PKB2B, dengan nilai lump sum sesuai dengan ketentuan yang ada di kontrak. PT.KPC juga membayar iuran tetap, namun masih diminta membayar PNBP lain, misalnya PNBP di bidang kehutanan dan dari Kementrian Perhubungan, lisensi nuklir atau kesehatan. Dalam perkembangannya, PT.Kaltim Prima Coal dengan Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memasukkan kontrak penjualan bersama, sehingga PT.KPC diminta
menjualkan
batubara
milik
Pemerintah
dan
menyetorkan
hasil
penjualannya tersebut kepada Pemerintah dalam bentuk dana 3 (tiga) bulan setelahnya dengan tarif sebesar 13,5% yang dikategorikan dengan (dana hasil penjualan batubara) yang masuk dalam kategori PNBP. Saat ini PNBP PT. KPC dengan tarif tetap sebesar 13,5 % , karena volume penjualan meningkat dari tahun ke tahun sehingga PNBP yang harus dibayarkan oleh PT. KPC juga meningkat. Sesuai dengan Peraturan Kementerian Perdagangan tentang Eksportir Terdaftar (ET) untuk membayarkan royalti dimuka (advance) atau sudah dibayar tiga bulan sebelumnya sehingga tidak ada tunggakan. Hal tersebut berlaku mulai tahun 2014 yang lalu , PT.KPC sudah membayar royalti sebelum kapal berangkat. Total penerimaan negara yang dibayarkan oleh PT. KPC di tahun 2014 deadrent (kontribusi tetap) USD 90 ribu, Pajak Badan sebesar USD66 juta dan Rp126 M (dengan
dua
pembayaran),
sedangkan
Dana
Hasil
Produksi
Batubara
(DHPB)/Royalti sebesar USD447 juta. Pada tahun 2013 jumlah DHPB/royalti yang diberikan kepada Pemerintah jumlahnya lebih tinggi yaitu sebesar USD 654.250.177. Transaksi keuangan yang terdapat di PT. KPC sebagian menggunakan mata uang Rupiah dan sebagian menggunakan mata uang asing (USD) karena didasarkan dengan karakteristik usaha pertambangan yang berlaku.
Kendala Yang Dihadapi Saat ini: Masalah utama yang menjadi kendala saat ini adalah isu masalah pembebasan lahan atau hutan untuk membuka lahan baru untuk eksplorasi penambangan. Kesulitan untuk melakukan perencaanaan tambang jangka panjang (long term mining planning) karena sesuai dengan Undang-Undang karena perpanjangan atau negosiasi kontrak baru bisa dilakukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir. Saat ini PT. KPC masih terikat kontrak dengan PLN yang akan berakhir pada tahun 2021, namun sesuain perjanjian kontrak PT. KPC dengan Pemerintah RI akan berakhir di tahun 2020. Masukan untuk RUU PNBP Pajak in kind menjadi in cash dilakukan dalam rangka security energy (diatur dalam perjanjian kontrak) , namun saat ini tidak tercantum di dalam UndangUndang PNBP. PT. KPC termasuk dalam PKP2B generasi pertama, semua lump sum payment pajak tertentu sudah dibayarkan, dan dalam perjanjian kontrak terdapat klausul untuk dibebaskan dari pajak-pajak lainnya. Namun, setelah era reformasi Pemerintah Daerah mengenakan pajak-pajak lain diluar klausul tersebut. Mohon bisa ditinjau kembali pungutan yang dikenakan supaya tidak tumpang tindih, agar di lapangan bisa dilaksanakan berdasarkan perjanjian kontrak yang ada. 2. PT. Total Indonesie PT. Total Indonesie berdiri sejak 1974 yang berlokasi di Blok Mahakam dan juga memiliki Blok lain tapi belum beroperasi. PT. Total memiliki sekitar 3500 orang pekerja dan memiliki 2000 sumur lebih di Kalimantan Timur. Pada tahun 2014 yang lalu hanya terdapat 100 sumur. Kontribusi untuk Kalimantan Timur sebesar 80% - 85% dari seluruh gas yang di kontribusikan di Bontang untuk ekspor. Produksi yang dialihkan oleh PT.Total Indonesie kepada domestik sebesar 15% dan diarahkan untuk konsumsi listrik. Sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil, mekanisme yang berlaku antara Pemerintah dan kontraktor yaitu 75% untuk Pemerintah dan 15% untuk kontraktor atau 70% untuk Pemerintah – 30% untuk kontraktor. Pada awal tahun 2015 target setoran kepada Pemerintah yang
tercantum dalam APBN sebesar Rp105 T dirasa cukup berat oleh PT.Total Indonesie karena melihat dengan kondisi pasar pertambangan saat ini yang semakin menurun. Pada tahun 2014 revenue untuk Government Share yang dijumlahkan antara perpajakan dan PNBP sebesar USD 2, 5 T. Government share dibagi menjadi 2 (dua) yaitu ada yang dalam bentuk PNBP yang isinya (Government share dan BMO) serta dalam bentuk Corporate & deviden tax yang jumlahnya sebesar 48% dari revenue. Kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada Pemerintah untuk Corporate sebesar 45%-48% dan profit tax sebesar 20%, serta jumlah Corporate dan deviden tax yang disetorkan sebesar USD 5 T.
PT. Total Indonesie telah memberikan CSR kepada warga sekitar penambangan dengan memberikan program pelatihan dan pendidikan serta membanguan infrastruktur sebagai bagian dari peruwujudan tanggung jawab CSR (Corporate Social Responsibility) kepada masyarakat di Indonesia, Total
terlibat dalam
pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat di bidang pendidikan dan penelitian, kesehatan dan gizi, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan dan energi alternatif. Kendala Yang Dihadapi Saat ini Kondisi produksi sudah declining karena PT. Total Indonesie sudah lama berproduksi sejak tahun 1974, sehingga menggunakan berbagai teknologi untuk bisa menahan agar penurunan tidak terlalu tajam. Teknologi yang bisa efisien untuk bisa berproduksi dengan kondisi seperti sekarang ini. PT. Total Indonesie merasa cukup berat dengan target APBN 2015 sebesar Rp105 Triliun karena di tahun 2015 ini harga jual sebagai komponen yang utama nilainya semakin menurun. Meskipun harga semakin rendah , namun tambang tetap berproduksi sampai masa berlaku kontraknya habis. Rencana kerja yang telah disusun jika prediksi meleset, teknologi migas terutama untuk off shore jumlahnya hanya sedikit, jadi harus berebut karena demand&supply tinggi.
Masukan untuk RUU PNBP Pungutan Pajak Daerah yang diberlakukan hendaknya diperhitungkan bersama sesuai dengan bagi hasil yang berlaku dari Dirjen Anggaran. Perjanjian Kontrak yang berlaku saat ini dikembalikan dalam konsep bisnis, supaya yang terjadi dilapangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam kontrak dan tidak terjadi dispute. 3. PT Arutmin Indonesia PT. Arutmin Indonesia (AI) mengadakan bentuk perikatan dengan Pemerintah dalam bentuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi I yang ditandatangani pada tahun 1981 dengan periode eksplorasi selama 30 tahun dan akan berakhir pada tahun 2020. PT Arutmin Indonesia (AI) beroperasi di area konsesi seluas 59.261 hektar di Block 6 Kalimantan, yang mencakup sejumlah area sempit di sebelah tenggara Kalimantan dan ujung utara Pulau Laut. Arutmin mengelola 6 tambang batu bara terbuka (open cut) yaitu di Senakin, Satui, Mulia, Batulicin, Asam-asam, dan Kintap. Seluruh tambang memiliki lokasi strategis tidak jauh dari fasilitas pelabuhan milik Arutmin – North Pulau Laut Coal Terminal (NPLCT) yang terletak di pesisir utara Pulau Laut. Tambang Senakin memproduksi batu bara bituminous. Batubara tersebut dipecah, dipisahkan dan kemudian dicuci untuk mengurangi kandungan abunya dan meningkatkan harga jualnya. Tambang Satui memproduksi batu bara bituminous yang harus dipecah namun tidak perlu dicuci karena memiliki kandungan abu yang rendah. Tambang Mulia, Asam Asam and Kintap memproduksi batubara ecocoal (sub-bituminous) yang banyak digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap di dalam dan luar negeri. Batubara tersebut memiliki kandungan belerang dan abu yang sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai batu bara ramah lingkungan. Tambang Batulicin terdiri dari area Ata, Mereh, Saring, Mangkalapi dan Sarongga. Batu bara tambang Ata memiliki kandungan abu yang rendah serta belerang dan CV yang tinggi, sedangkan batubara dari tambang Mereh dan Saring memiliki kandungan abu yang tinggi, tetapi dengan kadar belerang dan
CV menengah. Batu bara dari tambang Mereh dipecah, dipisahkan dan kemudian dicuci untuk mengurangi kandungan abunya dan meningkatkan harga jualnya. Batu bara tambang Sarongga memiliki kandungan abu, belerang dan CV yang rendah. Batu bara tambang Sarongga dipecah dan banyak digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap. Sejak bulan Oktober tahun 2013, tambang Ata, Mereh, Saring, dan Mangkalapi mulai memasuki masa mine–out. Pada tahun 2014, total produksi batu bara di tambang PT.Arutmin Indonesia mencapai 31,8 juta ton, meningkat 7,5% dari produksi 29,6 juta ton di tahun sebelumnya. Produksi Batu bara Arutmin tahun 2014 Keterangan
Senakin
Satui
Batulicin
Mulia
Asam Asam
Kintap
Total
2014
2013
2014
2013
2014
2013
2014
2013
2014
2013
2014
2013
2014
2013
0
24.2
0
19.8
6.1
14.4
25.9
15.6
18.2
31.6
21.6
29.4
71.8
135.1
0
12.7
0
12.9
0.8
2.5
3.2
4.1
2.4
3.7
2.6
3.6
2.3
4.6
0
1.9
0
1.5
7. 7
5.8
8.1
3.8
7. 7
8.5
8.4
8.2
31.8
29.6
0.5
1. 0
0.1
1. 7
7. 3
5.9
8.1
3.7
7. 7
8.5
8.5
8.1
32.2
28.8
0.5
1.1
0.2
2.0
7. 3
5.9
8.1
3.7
7. 6
8.4
8.6
7.8
32.4
28.8
Stripping Overburden (Million Bcm) Stripping Ratio (Bcm/Ton) Batubara di Tambang (juta ton) Produksi Batu bara (juta ton) / Penjualan Batu bara (juta ton
Cadangan Batu bara Arutmin 2014 Sumber daya Batu bara (juta ton) Lokasi
Cadangan Batu bara (juta ton)
2014
2013
2012
2014
2013
2012
Senakin
392
392
392
11
11
11
Satui
262
262
262
47
47
47
Batulicin
174
174
174
16
16
16
Mulia
697
697
697
41
41
41
Asam Asam
321
321
321
203
203
203
Sarongga
328
328
328
72
72
72
Undeveloped
203
203
203
7
7
7
2,377
2,377
2,377
397
397
397
Total
Note: Angka berdasarkan Laporan Sumber Daya dan Cadangan 2012
PT. Arutmin Indonesia menggunakan tarif pajak yang diatur dalam PKP2B dalam menghitung pajak penghasilan. Berdasarkan PKP2B, tarif pajak tahunan adalah 35% untuk sepuluh (10) tahun pertama sejak dimulainya periode operasi dan 45% untuk sisa periode operasi. Pada tanggal 31 Desember 2014 dan 2013 pajak tangguhan PT.Arutmin telah diukur dengan menggunakan tarif pajak 45%. Kewajiban membayar PNBP selain dari Kementerian ESDM juga dari bidang Kehutanan, yang setiap periodenya selalu bertambah. Pada tahun 2014 yang lalu, angka PNBP yang disetorkan kepada Pemerintah tidak begitu bagus karena kondisi pasar pertambangan yang sedang terjadi penurunan. Pada tahun 2014 PNBP (Royalti dan Penjualan Hasil Tambang) sebesar USD121 juta, setoran pajak-pajak sebesar USD 46,7juta, iuran tetap USD 60ribu dan PNBP Kehutanan sebesar USD90 M. Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB)/Royalti PT Arutmin Indonesia yang disetor kepada Pemerintah pada tahun 2013 jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan tahun 2014 yaitu sebesar USD 357.778.197. Kendala Yang Dihadapi : Menurut perjanjian tambahan perpanjangan selama 2 kali selama periode waktu 10 tahun, tapi melalui peraturan yang baru yaitu Undang-Undang No.4 tahun 2009, opsi tersebut tidak bisa melalui PKP2B, tapi dimungkinkan melalui ijin usaha pertambangan yang berbeda atau khusus. Periode perpanjangan dilakukan melalui sistem kontrak yang berbeda dan dibatasi hanya 15.000 hektar. Masukan Untuk RUU PNBP PNBP dengan sistem 1 (satu) pintu saja tentu sangat membantu, sehingga tidak terjadi tumpang tindih pungutan seperti yang terjadi sekarang ini. Terkait dengan pajak in kind , diharapkan ada biaya bersama sebagai pengurang yang dicantumkan dalam perjanjian antara operator dan Pemerintah sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar.
Apabila terjadi dispute atau banding tentang tata cara menghitung PNBP, diharapkan ada mekansime yg cukup jelas seperti yang berlaku pada pajak. Diharapkan untuk membuka mulut tambang agar bisa digunakan sebagai competitive advantage bagi negara karena PT. Arutmin merupakan PKP2B generasi pertama yang tugasnya hanya sebagai operator saja. 4. PT ADARO INDONESIA PT Adaro Indonesia melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang telah dirikan pada tahun 1982 dan melakukan kegiatan eksplorasi, penambangan batubara di Kalimantan Selatan mulai berproduksi secara komersial tahun 1992. Lokasi penambangan terletak di Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, berjarak lebih kurang 220 km dari kota Banjarmasin ke arah utara, PT. Adaro Indonesia memiliki luas wilayah operasional seluas 35.000 hektar. Wilayah operasionalnya berada di pedalaman, menuju sungai 800 meter, dari sungai barito diangkut dengan tongkang 250.000 meter. Kalori batubara yang dihasilkan oleh PT Adaro dikategorikan relatif sedang dibawah 5000gr, berada di bawah Arutmin dan KPC. Awalnya wilayah PKP2B PT Adaro Indonesia mencakup area seluas 148.148 hektar dan setelah mengalami beberapa kali penciutan wilayah yang dipertahankan seluas 35.800,80 hektar yang telah disesuaikan pula dengan pembayaran iuran tetap/deadrent seluas 35.800,80 hektar tiap semesternya. PT. Adaro Indonesia memiliki kewajiban kepada Pemerintah untuk membayar Pajak Badan sebesar 45%, Iuran tetap, serta Royalti, Dana hasil produksi batubara dan PNBP Kehutanan sebesar 13,5%, dan pungutan-pungutan lain diluar kontrak. Secara keseluruhan pajak meningkat dan mempengaruhi biaya operasional. Royalti yang disetorkan dibagi untuk 2 daerah yaitu Tabalong dan Balangan. Pada tahun 2014 PNBP dan Pajak yang disetorkan PT. Adaro kepada Pemerintah sebesar USD550 juta atau sekitar Rp6 Triliun, jika dibandingan dengan tahun 2011 PNBP yang disetorkan di tahun 2014 jauh lebih kecil sekitar 50 % dari yang disetorkan pada tahun 2011.
Berdasarkan ketentuan PKP2B, Adaro merupakan kontraktor Pemerintah yang bertanggung jawab atas operasi penambangan batubara di area yang berlokasi di Kalimantan Selatan. Adaro memulai periode operasi 30 tahunnya pada tanggal 1 Oktober 1992 dengan memproduksi batubara di area of interest Paringin. Adaro berhak atas 86,5% batubara yang diproduksi dan 13,5% sisanya merupakan bagian Pemerintah. Namun demikian, bagian produksi Pemerintah, dalam praktiknya, dibayarkan dengan kas pada saat penjualan batubara telah selesai. Dengan demikian, jumlah royalti terutang yang dibayar dengan kas kepada Pemerintah bergantung pada jumlah penjualan aktual pada periode terkait. Harga batubara pada tahun 2014 masih lemah, akibat kelebihan pasokan yang masih berlanjut dan melemahnya permintaan dari China. Harga jual rata-rata turun 5% dibandingkan tahun lalu namun Adaro masih dapat mencatat volume penjualan yang lebih tinggi karena permintaan untuk batubaranya tetap stabil di tengah kondisi pasar yang sulit. Pendapatan usaha sedikit meningkat, yaitu sebesar 1% menjadi AS$3.325 juta pada tahun 2014, dengan volume penjualan yang meningkat 7% menjadi 57 Mt, baik dari Envirocoal yang dipasarkan Arutmin Indonesia dan Balangan Coal yang dipasarkan SCM. PT Adaro Indonesia memberdayakan tenaga kerja lokal yang berada sekitar wilayah PT Adaro Indonesia. Saat ini PT Adaro Indonesia bersama kontraktor dan subkontraktornya telah berhasil merealisasikan untuk memperkerjakan tenaga kerja lokal hingga 70% dari kebutuhan tenaga kerjanya, sedangkan 30% sisanya berasal dari luar daerah Kalimantan. Kendala Yang Dihadapi: PNBP Kehutanan saat ini meningkat ada yang sampai 3x lipat sehingga merubah optimalisasi pertambangan sehingga tidak bisa berkelanjutan. Aspek perijinan tidak bisa berkelanjutan. Pajak in kind belum pernah dilaksanakan oleh Pemerintah , yang terjadi di lapangan sampai saat ini adalah pungutan pajak in cash yang langsung disetor ke PNBP Departemen Keuangan. Pungutan pajak atas penjualan hasil tambang sebesar 13,5% digunakan sebagai security energi nasional, namun dalam perjalanannya Pemerintah kesulitan untuk menjual
batubara milik Pemerintah tersebut, karena belum ada instrumen untuk mengatur hal tersebut. Masukan Untuk RUU PNBP Pendefinisian PNBP yang ada servicenya dengan tax harus jelas sehingga penerapan di lapangan bisa menjadi pedoman bersama-sama. Konsep pasca tambang yang berlaku saat ini mengharuskan perusahaan untuk mengembalikan infrastuktur seperti semula, diharapkan pembangunan berupa infrastuktur yang sudah dibangun agar tidak dibongkar, supaya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Harga yang berlaku diharapkan bisa dihitung bersama-sama antara customer dan perusahaan. 5. PT KIDECO JAYA AGUNG PT Kideco Jaya Agung menandatangani kontrak Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama dengan Pemerintah pada tahun 1982 dan mulai berproduksi pada tahun 1993 dengan wilayah operasi seluas 50921 hektar. Dimulai dengan produksi komersial 3 juta ton batubara bitumen pada tahun 1993, akumulasi volume produksi mencapai lebih dari 200 juta ton pada bulan Mei tahun 2010 melalui ekspansi (pengembangan) berkelanjutan dari infrastruktur dan perbaikan sistem pertambangan. Saat ini, Tambang Pasir menghasilkan 31 juta ton batubara bitumen setiap tahunnya. Pada tahun 2013 produksi tahunan mencapai 37 juta ton, sedangkan akumulasi volume produksi sebanyak 300 juta ton. Kideco memproduksi 32 juta ton batubara untuk pembangkit listrik di berbagai negara di dunia, seperti Indonesia, Korea, Jepang, Taiwan, India, dan lain-lain. Batubara Kideco telah mendapat tempat di pasar karena ramah lingkungan, kandungan abu yang rendah, dan biaya perawatan yang dapat direduksi dari fasilitas desulfurisasi. Kideco mematuhi peraturan ketat pemerintah mengenai lingkungan serta pembakaran, dan batubara Kideco dapat dicampur dengan batubara dengan kandungan sulfur dan abu yang tinggi untuk mengurangi emisi.
Batubara Kideco diakui secara global sebagai sumber energi ramah lingkungan karena kandungan sulfur yang sangat rendah 0,1% serta kandungan abu yang rendah 2,5%. Parameter
Roto
SM
Jumlah uap(ARB)
27%
35%
Zat volatil (mudah menguap)
42%
40%
Abu
2.5%
3.5%
Jumlah sulfur
0.1%
0.1%
Nitrogen
0.8%
0.8%
4800kcal/kg
4200kcal/kg
Nilai Kalori(GAR)
PT. Kideco membayar Pajak Badan sebesar 45%, royalti yang harus disetorkan sebesar 13,5%, PT. Kideco juga dikenakan PNBP Kehutanan selain DHPB (Dana hasil
Produksi Batubara). Pada tahun 2014 PNBP & Pajak seluruhnya yang disetorkan kepada negara sebesar USD4,5 Triliun. PT Kideco Jaya Agung in million USD
Revenues
Gross Profit
-10.0%
-36.5%
Operating Income -37.4%
Net Income
EBITDA
-44.2%
-35.5%
Sales Volume +8.4%
2012
2013
2012
2013
2012
2013
2012
2013
2012
2013
2012
2013
2,357.3
2,120.6
733.4
465.7
692.9
434.1
380.0
212.2
719.4
463.7
34.2
37.1
Kendala Yang Dihadapi Pada tahun 1993 pembayaran pajak hasil prouksi dalam bentuk in kind (batu bara) sejak keluar Keppres No.75 Tahun 1996 pajak yang disetor dirubah dalam bentuk in cash; pemerintah meminta dalam bentuk uang, PT. Kideco membantu menjualkan batubara milik Pemerintah karena di lapangan Pemerintah kesulitan menjual batubara yang dimiliki dan semua hasil penjualannya harus diberikan seluruhnya kepada Pemerintah. PT. Kideco tidak boleh menjual dengan harga yang rendah dan harus dengan harga diatas harga pada umumnya untuk mencapai harga semaksimal mungkin sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melihat kondisi harga pasar pertambangan yang semakin menurun, PT. Kideco merasa kesulitan dengan ketetapan harga dari Pemerintah tersebut , namun masih tetap diupayakan supaya mencapai harga seperti yang ditetapkan oleh Pemerintah. Banyaknya pungutan yang muncul diluar kesepakatan kontrak, setelah diberlakukan otonomi daerah terdapat pungutan yang tumpang tindih. Saat ini banyak biaya atau pungutan yang dikenakan di pelabuhan yang dihitung per ton (dahulu pungutan tersebut tidak ada). Masalah utama saat ini adalah isu masalah pembebasan lahan atau hutan untuk membuka lahan baru untuk eksplorasi penambangan. Terjadi banyak pungutan diluar yang telah disepakati, mohon agar dirasa sangat berat mohon ditinjau dan dipertimbangkan, seperti contohnya pajak bahan bakar.
Masukan Untuk RUU PNBP Terkait perjanjian yang sudah ada dalam perjanjian kontrak karya agar bisa ditinjau kembali mengenai ijin alih fungsi penambangan supaya bisa memberikan kontribusi yang lebih besar atau competitive advantage untuk kepentingan bangsa Indonesia. Mengenai aspek perijinan yang tidak bisa berkelanjutan diharapkan bisa ditinjau kembali ketetapannya di dalam Undang-Undang. Pungutan di luar kesepakatan yang terdapat di dalam kontrak, setelah otonomi bergeser sehingga mau tidak mau harus dibayar, seperti contohnya pajak bahan bakar.
III. PENUTUP Demikian Laporan Kunjungan Kerja Panja RUU PNBP Komisi XI DPR ke Provinsi Kalimantan Timur untuk mendapatkan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penyusunan DIM RUU PNBP. Kami berharap agar semua permasalahan yang ditemukan dalam kunjungan kerja ini dapat ditindaklanjuti dalam Rapat-rapat Komisi XI DPR RI dengan pihak Pemerintah. Jakarta, September 2015 TIM KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI XI DPR RI K e t u a,
Ir. Marwan Cik Asan A-410