LAPORAN HASIL PENELITIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU 2014 STUDI PERILAKU MEMILIH (Voting Behaviour) MASYARAKAT WONOSOBO PADA PEMILU 2014
Kerjasama ; Humanika Institute Wonosobo Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Wonosobo Tahun 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................. 1 SAMBUTAN KETUA KPU .......................................................... 2 ABSTRAK ..................................................................................... 4 BAB I
PENDAHULUAN ........................................................ 6 A. Latar Belakang ....................................................... 6 B. Rumusan Masalah .................................................. 8 C. Tujuan .................................................................... 8
BAB II
D. Manfaat Penelitian ................................................. 8 TELAAH PUSTAKA, KERANGKA TEORI DAN METODE PENELITIAN.................................... 11 A. Telaah Pustaka ....................................................... 11 B. Kerangka Teori ...................................................... 13 C. Metode Penelitian .................................................. 17
BAB III
LAPORAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..... 22 A. Gambaran Lokasi penelitian .................................. 22
1. Perilaku pemilih di Wonosobo dalam pemilu legislatif 2014......................................................... 28
2. Faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014 .................................. 37
3. Fungsi-fungsi KPU Kabupaten Wonosobo dalam mensukseskan partisipasi pemilih .......................... 40 BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN .................................... 53
1. Kesimpulan ...................................................... 53 2. Saran ................................................................ 59 Daftar Pustaka ............................................................................... 60 Lampiran ........................................................................................ 61
-1-
SAMBUTAN KETUA KPU KABUPATEN WONOSOBO Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita sekalian, Pemilu Legislatif merupakan salah satu agenda politik bangsa yang diharapkan memiliki filosofi kuat dan positif bagi rakyat Indonesia, dalam turut serta menentukan para wakilnya di Lembaga Legislatif yang terhormat. Kegiatan lima tahunan ini menjadi sangat sakral manakala di antara para pelaku politik, penyelenggara pemilu dan para pemilih yang terlibat, memiliki tujuan yang sama dalam mengemban satu tanggung jawab atas keberhasilan dan keabsahan penyelenggaraan pemilu semata-mata untuk menentukan nasib bangsa dan kesejahteraan rakyat. Demikian pula penyelenggaraan Pemilu Legislatif tahun 2014 di Kabupaten Wonosobo tercinta ini, yang secara terbuka namun rahasia dapat dilaksanakan dengan baik, lancar, dan tertib, menjadi wujud konkret partisipasi segenap komponen yang terlibat untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga DPRD Kabupaten Wonosobo periode 2014 hingga tahun 2019 mendatang. Dilihat dari angka partisipasi pemilih di Kabupaten Wonosobo pada Pemilu Legislatif 2014 sebesar 75,69 %, maka dapat ditarik pemahaman bahwa capaian partisipasi tersebut tergolong cukup tinggi. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari perilaku pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Partisipasi pemilih merupakan elemen penting dalam sistem demokrasi dan merupakan fondasi praktik demokrasi perwakilan. Fakta dilapangan masih terdapat sejumlah masalah yang menyangkut dalam partisipasi pemilih dalam setiap pelaksanaan pemilu (tingkat kehadiran, suara sah, politik uang, pengetahuan politik, dan lain-lain) Dengan melihat fenomena tersebut, maka mendasarkan pada surat edaran KPU RI Nomor : 155 Tahun 2015 KPU -2-
Kabupaten Wonosobo melakukan riset/penelitian dengan thema “ Partisipasi Masyarakat dalam pemilu 2014 Studi Perilaku Memilih (Voting Behaviour) Masyarakat Wonosobo pada Pemilu 2014 “ Kami berharap dari hasil riset/penelitian yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan Humanika Institute Wonosobo, yang tersusun dalam bentuk buku Laporan hasil riset dapat digunakan sebagai bahan bagi penyelenggara praktisi politik, pemerhati, pemangku kebijakan dalam penyusunan regulasi dalam upaya untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pemilu di masa yang akan datang. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Wonosobo, Agustus 2015 KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN WONOSOBO
Dr. H. NGARIFIN SHIDDIQ, M.Pd.I
-3-
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perihal perilaku pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014, dimana perilaku pemilih yang terwujud dalam bentuk partisipasi masyarakat dengan segala bentuknya kerapkali dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (otonom) yang tidak berhubungan dengan pihak lain. Faktanya justru perilaku pemilih (masyarakat) ditentukan secara mutlak oleh peserta pemilu baik individu calon anggota legislatif, platform partai bahkan juga ditentukan oleh pragmatisme politik dengan janjijanji materi dari para kontestan Pemilu. Teknik pengumpulan data dengan tiga teknik yang digunakan, yaitu observasi, interview dan dokumentasi. Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan metode; Pertama, observasi. Teknik ini digunakan untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan keilmuan di masing-masing lokasi penelitian. Kedua, interview. Teknik ini digunakan untuk mewancarai pihak-pihak yang berdasarkan pada segmentasi pemilih perempuan, pemilih marginal, pemilih disalibitas, pemilih pemula dan pemilih dari kalangan tokoh agama guna mendapatkan jawaban yang relevan dengan permasalahan yang diketengahkan dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian ditemukan beberapa hal di antaranya pertama, perilaku pemilih di Wonosobo dalam pemilu legislatif 2014 yakni 1) Pemilih rasional adalah pemilih yang punya perhatian tinggi terhadap program kerja partai politik (parpol) atau kontestan pemilu. Ia melihat kinerja di masa lalu (backward looking) dan tawaran program untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi (forward looking); 2) Pemilih kritis adalah yang concern pada program kerja parpol/kontestan; 3) Pemilih tradisional adalah pemilih yang memiliki orientasi ideologi dan sistem keyakinan sangat tinggi. Pemilih jenis itu sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai (values), asal usul (primordial), agama, dan -4-
paham sebagai ukuran untuk memilih parpol atau capres dalam pemilu; 4) Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi baik kepada ideologi atau sistem nilai dan program kerja yang ditawarkan. Mereka ialah kelompok masyarakat yang skeptis terhadap pemilu. Di mata mereka, parpol atau capres yang menang pemilu tidak akan mengubah keadaan. Potensi golput pada kategori ini sangat tinggi. Kedua, faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014 adalah 1) faktor pendidikan, dimana tingkat pendidikan pemilih mempengaruhi perilaku mereka dalam menentukan pilihan, juga menentukan tingkat partisipasi mereka. Pemilih dengan tingkat pendidikan SD tentu berbeda dengan mereka yang mengenyam bangku kuliah. Pendidikan informal juga termasuk di sini, semisal pesantren; 2) Faktor sosial ekonomi, kondisi social dan ekonomi pemilih memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Umumnya masyarakat miskin akan mengambil sikap pragmatis, bagaimana memanfaatkan momen pemilu untuk mendapatkan keuntungan materi; 3) Faktor pendidikan pemilih, pendidikan pemilih, baik itu yang dilakukan oleh KPU dan Panwaslu sebagai penyelenggara, organisasi kemasyarakatan atau kemahasiswaan, serta oleh parpol sebagai peserta pemilu, memiliki peran penting dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Ketiga, fungsi-fungsi KPU Kabupaten Wonosobo dalam mensukseskan partisipasi pemilih. Mayoritas responden menganggap bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, meski masih ada yang perlu diperbaiki. Namun fungsi KPU masih dalam tahap teknis penyelenggaraan saja. Dari sisi pelaksanaan pendidikan pemilih kepada masyarakat, KPU belum berfungsi maksimal. Sebagai pihak yang netral KPU mestinya melaksanakan fungsi tersebut. Kata kunci: perilaku pemilih, partisipasi, Pemilu 2014
-5-
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Partisipasi
masyarakat sebagai komponen utama
dalam setiap pelaksanaan Pemilu baik Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten /kota Tahun 2014 karena partisipasi mengandaikan adanya keterlibatan masyarakat secara nyata dalam proses Pemilu yang secara politik menjadi legitimimasi bagi perjalanan politik kebangsaan di tanah air. Partisipasi masyarakat menjadi satu kesatuan dari sebuah managemen Pemilu, oleh karena itu Pemilu yang baik bukan saja Pemilu yang dilihat dari perspektif kepesertaan Pemilu, penyelenggara Pemilu semata tetapi juga partisipasi masyarakat dalam semua tahapan pemilu mulai dari pemutaakhiran data pemilih, verifikasi peserta pemilu, pencalonan, kampanye hingga penetapan hasil Pemilu. Beragama model partisipasi masyarakat dalam setiap momentum Pemilu menandainya adanya potret perilaku sosial yang sangat komplek. Perilaku pemilih yang terwujud dalam bentuk partisipasi masyarakat dengan segala bentuknya kerapkali dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (otonom) -6-
yang tidak berhubungan dengan pihak lain. Fakta lain justru menunjukkan
bahwa
perilaku
pemilih
dianggap ditentukan secara mutlak
(masyarakat)
oleh peserta pemilu
baik individu calon anggota legislatif, platform partai bahkan juga ditentukan oleh pragmatism politik dengan janji-janji materi dari para kontestan Pemilu. Perilaku
pemilih
erat
hubungannya
partisipasi masyarakat dalam tanapan Pemilu, Pemilu
legislatif
2014,
dimana
nuansa
dengan terutama politik
kepentingannya lebih dekat dengan masyarakat, aktor-aktor yang terlibat lebih komplek dan dinamikanya di lapangan juga sangat unik. Sikap dan perilaku individu dalam menghadapi situasi Pemilu merupakan bagian dari cermin masyarakat Wonosobo yang komplek, baik perilaku yang didorong oleh motif individu yang mendasarkan pada kesadaran atau bahkan perilaku pemilih atau masyarakat yang dipicu oleh berbagai peristiwa dan momentum dalam Pemilu, aktor-aktor Pemilu juga budaya yang telah mengakar ditengah masyarakat. Berangkat dari latar belakang masalah
tersebut,
penelitian ini secara spesifik bermaksud menemukan rumusan yang sistematis untuk mengurai perilaku pemilih dalam Pemilu legislatif 2014.
-7-
B. Rumusan Masalah Atas dasar latar belakang masalah di atas, penelitian ini mempunyai research questions sebagai berikut; 1. Bagaimana perilaku pemilih
di Wonosobo dalam
pemilu legislatif 2014? 2. Apa saja faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014? 3. Bagaimana fungsi-fungsi KPU Kabupaten Wonosobo dalam mensukseskan partisipasi pemilih? C. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat Wonosobo dalam Pemilu 2014, bagaimana perilaku memilih (Voting Behaviour) masyarakat Wonosobo pada Pemilu 2014, serta fungsifungsi KPU Kabupaten Wonosobo dalam mensukseskan partisipasi pemilih. D. Manfaat Penelitian Manfaat
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat untuk mengetahui potret perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif 2014 yang mencerminkan pola piker, tindakan social dan pandangan masyarakat dalam menghadapi pemilu legislatif 2014
sekaligus
sebagai -8-
bahan
pertimbangan
bagi
penyelenggara pemilu dalam membuat regulasi berbasis pada riset masyarakat, agar mampu memproduksi regulasi yang lebih aplikabel bagi pelaksanaan tahapan pemilu di masa yang akan datang.
-9-
BAB II TELAAH PUSTAKA, KERANGKA TEORI DAN METODE PENELITIAN
A. Telaah Pustaka Pembahasan dan penelitian seputar perilaku pemilih dan partisipasi masyarakat dalam Pemilu seakan tidak pernah berujung,
dilihat dari sudut pandang manapun
perilaku pemilih selalu menunjukkan gejala yang unik dan aneh-aneh menurut kadarnya, semakin lama semakin unik dan menginsyaratkan kematangan berdemokrasi di satu sisi dan kelemahan berdemokrasi pula disisi yang lain. Perihal perilaku pemilih pernah digambarkan oleh Siti Muarifah, Orientasi Politik Guru Perempuan di Gresik dalam Pemilu Legislatif 2009.1 Dalam penelitian tersebut ada potret perilaku pemilih dalam Pemilu yang terbangun dengan perspektif gender. Perilaku pemilih perempuan di salah satu kota di Indonesia ini sekurang-kurangnya menjadi potret nyata dari pemilih dengan segmen perempuan. Kajian lain dilakukan oleh Siti Malaiha Dewi, Politik Uang di Mata Perempuan Studi Kasus pada Pemilu
1
Siti Muarifah, Orintasi Politik Guru Perempuan dalam Pemilu Legislatif 20009 di Kabupaten Gresik, (Jurnal Palastren, Vol. 5. Nomer 1 Tahun 2012)
- 10 -
Tahun 2009.2 Meskipun masih dalam konteks segmen yang sama akan tetapi lebih spesifik dalam hal money politik. Kaum perempuan dalam kajian tersebut seringkali menjadi obyek politik yang secara langsung menjadi subordinat dari budaya pemilu dan kadangkala menjadi obyek money politik. Demikianlah sedikit gambaran tentang karya-karya ilmiah yang membahas seputar permasalahan perilaku memilih dalam pemilu di Wonosobo. Dari sekian banyak penelitian tentang perilaku pemilih
yang ada, peneliti
model seperti ini hingga saat ini belum menemukan buah karya yang mengkaji tentang studi pandangan masyarakat sebuah penelitian yang berupaya membaca pandangan dan perilaku masyarakat yang secara dinamis berpengaruh terhadap partisipasi pemilih. Karenanya, masih sangat diperlukan kajian yang mendalam dan mendetail mengenai masalah ini guna menemukan hal baru yang dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan dan kualitas partisipasi masyarakat dalam pemilu yang akan datang.
2
Siti Malaiha Dewi, Perempuan di Tengah Pertarungan Politik Lokal – Refleksi Atas Peran Politik Perempuan di Kabupaten Kudus PascaPenerapan Affirmative Action (Jurnal Palastren: Volume 1, Nomor 1, Juli 2008
- 11 -
B. Kerangka Teori Pandangan
hidup
merupakan
cara
pandangan
seseorang tentang suatu hal yang berpengaruh pada perilaku dan tindakan sosial. Ada beberapa kajian teori tindakan sosial yang dapat membantu membaca perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014, diantaranya teori tindakan sosial ala Max Weber. Max Weber melihat
sosiologi
sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial; dan
itulah yang dimaksudkan dengan
pengertian paradigma definisi atau ilmu sosial (Ritzer1975).
Tindakan
manusia
dianggap
itu
sebagai
sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain. Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan
individu sepanjang
makna atau arti subjektif
tindakan
itu mempunyai
bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada
orang
lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan - 12 -
dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000). Ada 5 ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut: 1. Jika
tindakan
manusia
itu
menurut
aktornya
mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata 2. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya. 3. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif
atas
suatu
situasi, tindakan yang sengaja
diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun. 4. Tindakan
itu
diarahkan
kepada seseorang
atau
kepada beberapa individu. 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. Selain kelima ciri
pokok tersebut,
menurut
Weber tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell (1981).Selain - 13 -
itu, Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe yaitu: 1. Tindakan
rasionalitas
instrumental
(Zwerk
Rational) Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain. 2. Tindakan rasional nilai (Werk Rational) Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa
alat-alat
yang
ada
hanya
merupakan
pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh:
perilaku
beribadah - 14 -
atau
seseorang
mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako.
Artinya,
tindakan
sosial
ini
telah
dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki. 3. Tindakan
afektif/Tindakan
yang
dipengaruhi
emosi (Affectual Action) Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Contohnya: hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari luar yang bersifat otomatis sehingga bisa berarti 4. Tindakan
tradisional
/
Tindakan
karena
kebiasaan (Traditional Action) Dalam
tindakan
jenis
ini,
seseorang
memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampung di saat lebaran atau Idul Fitri yang berlangsung secara terus menerus karena kebiasaan. Dalam kontek pemilu perilaku dan kesadaran masyarakat mengalami dinamika dan fluktuasi yang - 15 -
beragam berdasarkan situasi dan kondisi kebaharuan dinamika pemilu dari masa ke masa. Oleh karena itu dalam pemilu legislatif 2014 tersebut perilaku pemilih tentu saja banyak dipengaruhi beragam factor.
C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan memahami obyek secara mendalam. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Ada tiga teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu observasi, interview dan dokumentasi. Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan metode; Pertama,
observasi.
Teknik
ini
digunakan
untuk
melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan keilmuan di masing-masing lokasi penelitian. Kedua, interview. Teknik ini digunakan untuk mewancarai pihak-pihak yang berdasarkan pada segmentasi pemilih perempuan, pemilih marginal, pemilih disalibitas, pemilih pemula dan pemilih dari kalangan tokoh agama guna mendapatkan jawaban yang relevan dengan permasalahan yang diketengahkan dalam penelitian ini.
- 16 -
1. Metode Penelitian Sedangkan
metode
dokumentasi
digunakan
untuk memperoleh data sekunder, yakni dengan mengumpulkan dokumen-dokumen, baik berupa data tulisan atau gambar yang memiliki relevansi terhadap fokus penelitian. Selain itu, penelitian ini juga didukung dengan analisis kepustakaan berupa buku-buku yang relevan dengan masalah penelitian ini. Adapun lokasi penelitian ini adalah kabupaten Wonosobo. Metode analisis data yang digunakan penulis adalah analisa kualitatif.3 Adapun pola berpikir yang digunakan dalam menarik kesimpulan adalah pemaduan cara berpikir induktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang khusus ke yang umum,4 dan cara berpikir deduktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus. Dengan pola berpikir seperti ini diharapkan dapat mengetahui dan menarik kesimpulan tentang perilaku memilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Wonosobo.
3
Analisa ini disebut juga analisis non-ststistik yang sesuai untuk data deskriptif atau data tekstular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya dan karena itu analisis semacam ini juga disebut analisis isi (content analysis). Lihat Sumardi Suryabrata, Metodologi, hlm. 94. 4 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), hlm. 202-203.
- 17 -
2. Teknik pengumpulan data Pada penelitian ini, peneliti melakukan observasi di lapangan. Pertama-tama data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa orang yang dijadikan sampel penelitian. Kemudian hasil wawancara dari beberapa sampel dilihat dan dianalisis untuk mengambil kesimpulan. 3. Validitas data Kebenaran data dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Sumber-sumber data diperoleh dari penelitian langsung di lapangan dengan objek penelitian yaitu pemilih perempuan, pemilih marginal, pemilih disalibitas, pemilih pemula dan pemilih dari kalangan tokoh agama. 4. Teknik analisis data Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan
untuk
mengatur,
mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah. - 18 -
Analisis yang kami gunakan adalah analisis tema kultural. Analisis Tema Kultural atau Discovering Cultural Themes adalah analisis dengan memahami gejala-gejala yang khas dari analisis sebelumnya. Analisis ini mencoba mengumpulkan sekian banyak tema, fokus budaya, nilai, dan simbol-simbol budaya yang ada dalam setiap domain. Selain itu, analisis ini berusaha
menemukan
hubungan-hubungan
yang
terdapat pada domain yang dianalisis, sehingga akan membentuk satu kesatuan yang holistik, yang akhirnya menampakkan tema yang dominan dan mana yang kurang dominan. Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti adalah: (1) membaca secara cermat keseluruhan catatan penting, (2) memberikan kode pada topik-topik penting, (3) menyusun tipologi, (4) membaca pustaka yang terkait dengan masalah dan konteks penelitian. Berdasarkan
seluruh
analisis,
peneliti
melakukan
rekonstruksi dalam bentuk deskripsi, narasi dan argumentasi. Sekali lagi di sini diperlukan kepekaan, kecerdasan, kejelian, dan kepakaran peneliti untuk bisa menarik kesimpulan secara umum sesuai sasaran penelitian.
- 19 -
5. Tahapan penelitian Tahapan atau langkah-langkah kami kerjakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mendefinisikan dan Merumuskan Masalah b. Melakukan Studi Kepustakaan (Studi Pendahuluan) c. Merumuskan Hipotesis d. Menentukan Model atau Desain Penelitian e. Mengumpulkan Data f. Mengolah dan Menyajikan Informasi g. Menganalisis dan Menginterpretasikan h. Membuat Kesimpulan i. Membuat Laporan
- 20 -
BAB III LAPORAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Lokasi penelitian Daerah penelitian yang di lakukan ini berada di Kabupaten Wonosobo. salah satu kabupaten yang merupakan salah satu dari tiga puluh lima kabupaten dan kota yang ada di propinsi Jawa Tengah. Terletak pada 70 .43'. 13" dan 70 . 04'. 40" garis lintang selatan (LS) serta 1090 .43'. 19" dan 1100 .04'.40" garis Bujur Timur (BT), pada ketinggian 250 – 2.250 dari permukaan laut. Adapun batas wilayah Wonosobo sebagai berikut; sebelah utara perbatasan dengan kabupaten Banjar Negara dan Kabupaten Batang, sebelah Timur berbatasan
dengan
kabupaten
Temanggung
dan
kabupaten Magelang, sebelah selatan perbatasan dengan kabupaten Purworejo dan kabupaten Kebumen, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara dan kabupaten Kebumen. Adapun luas wilayah
kabupaten Wonosobo 2
adalah 98.468 ha (984.68 km , atau 3,03% dari luas Jawa Tengah. Tanah sawah mencakup 18.696.68 ha (18,99%), tanah kering seluas 55.140,80 ha (55, 99%), - 21 -
hutan
negara
18.909,72
ha(19,20%)
perkebunan
negara/swasta 2.764,51 ha (2,80%) dan lain-lain seluas 2.968,07 ha (3,1%). Menurut data dari kantor catatan sipil dan kependudukan pada bulan juli 2005, jumlah penduduk Wonosobo (WNI) adalah 796.784 dan WNA 9 orang.5 Wonosobo memiliki latar belakang kesejarahan politik yang dinamis. Berdasarkan fakta historis mengenai keberadaan daerah ini, adanya candi-candi di kawasan Dieng, menunjukan bahwa jauh-jauh hari, abad 5-6 atau 7 M0 telah dihuni oleh manusia. Bahkan daerah ini telah berdiri kerajaan Mataram Hindu. Maharaja Sanjaya mendirikan kerajaan di tengah kota Wonosobo yang kini menjadi pasar Wonosobo. jadi Wonosobo jauh hari telah di jelajahi dan dihuni oleh masyarakat yang cukup teratur sistem sosial, politik dan budaya serta spiritualnya.6 Namun
dalam
perkembangan
berikutnya,
pendapat lain tentang asal usul daerah ini bermula dari keberadaan dan peran ketiga kiai yang berkelana ke daerah ini. Mereka adalah Kiai Walik, kiai Kolodete dan kiai Karim. Menurut cerita tutur, pada abad XVII,
5
Tim Penulis Pemda Kabupaten Wonosobo, Memori Serah Terima Jabatan Bupati Wonosobo periode 2000-2005 6 Otto Sukatno, Dieng Poros Dunia, Menguak Jejak Peta Surga yang Hilang, IRCiSoD, Yogyakarta, cet 1, 2004 hal. 78
- 22 -
ketika kekuasaan Mataram mulai berkembang,
di
Wonosobo terdapat tiga orang Pengelana. Dari sisi partisipasi pemilihan
umum,
masyarakatnya dalam
masyarakat
Wonosobo
juga
mengalami dinamika yang beragam sebagaimana tergambar dalam ilustrasi partisipasi pemilih dari masa ke masa yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, pendidikan, strata ekonomi dan berbagai hal yang berpengaruh
terhadap
peningkatan
partisipasi
masyarakat dalam Pemilu. Tingkat pendidikan sangat berperan di dalam daya penyerapan serta kemampuan berkomunikasi. Untuk peserta yang berpendidikan rendah, lebih mudah memahami bila dipakai alat peraga. Realita mengatakan bahwa dengan memperhatikan kelompok sasaran, akan sangat membantu menambah keberhasilan penyampaian informasi. Selain itu cara atau metode yang digunakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana kegiatan tersebut
diadakan.
Oleh
karenanya,
berdasar
pertimbangan tersebut di atas pemilihan metode dan strategi sosialisasi pemilu 2014 yang telah dilaksanakan di KPU Kabupaten Wonosobo, sejauh ini telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi pemilih. Pada pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Wonosobo tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,69%. - 23 -
PROSENTASE KEHADIRAN PEMILIH PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN TAHUN 2014 KABUPATEN WONOSOBO
No
Kecamatan
Jumlah DPT
Partisipasi Kehadiran
%
1
Wadaslintang
49,745
30,889
62.09%
2
Kepil
49,456
36,423
73.65%
3
Sapuran
44,523
34,138
76.67%
4
Kaliwiro
43,132
28,609
66.33%
5
Leksono
34,465
25,497
73.98%
6
Selomerto
39,919
29,511
73.93%
7
Kalikajar
53,009
39,267
74.08%
8
Kertek
64,118
52,337
81.63%
9
Wonosobo
64,967
51,252
78.89%
10 Watumalang
42,288
32,800
77.56%
11 Mojotengah
45,867
37,376
81.49%
12 Garung
39,690
32,240
81.23%
13 Kejajar
32,619
26,639
81.67%
14 Sukoharjo
27,034
21,101
78.05%
15 Kalibawang
21,277
15,483
72.77%
652,109
493,562
75.69%
TINGKAT KABUPATEN
- 24 -
Berdasarkan catatan partisipasi masyarakat di beberapa Kecamatan tersebut Wadaslintang,
yang masih rendah yakni
Kaliwiro
dan
Kalibawang
Kecamatan
yang
diduga
dikarenakan Penduduknya banyak diantaranya merupakan kaum urban dan pada waktu hari pemungutan suara tidak dapat menghadirinya. Selain itu juga ada pemilih yang memiliki gangguan kejiwaan dan disabilitas yang belum teridentifikasi dalam daftar pemilih.7 Oleh karena itu KPU Kabupaten mengadakan FGD untuk melakukan upaya peningkatan partisipasi pada pemilu yang akan dating melalui langkah-langkah koordinasi dengan Instansi terkait untuk mengetahui informasi tentang Data urbanisasi, orang sakit Jiwa dan Difabel. Kaum urban Berdasarkan Keputusan KPU Kabupaten Wonosobo Nomor 007/Kpts/KPU-Kab/012.329430/IV/2015 tentang Pedoman Teknis Pemutakhiran Data Pemilih dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wonosobo Tahun 2015 dalam Bab III huruf B angka 7 terkait Coklit Data pemilih bahwa : Penduduk yang terdaftar di DPT tapi tidak berada di tempat
(Contoh TKW dengan Masa
Kontrak lebih dari 2 tahun) harus dipastikan pada hari pemungutan suara datang atau tidak. Jika dipastikan
tidak
hadir pada hari pemungutan suara dengan disertai keterangan
7
Hasil diskusi dalam forum Focus Group Discution KPU Kabupaten Wonosobo dengan sejumlah instansi Juli 2015
- 25 -
dari pihak keluarga, dilakukan pembersihan dengan mencoret dari daftar pemilih. Sementara Penduduk yang Sakit Jiwa juga menjadi bagian data partisipasi yang perlu untuk di carikan solusi. Berdasarkan keputusan KPU Kabupaten Wonosobo Nomor 007/Kpts/KPU-Kab/012.329430/IV/2015
tentang
Pedoman
Teknis Pemutakhiran Data Pemilih dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wonosobo Tahun 2015 dalam Bab III huruf B angka 7 terkait Coklit Data pemilih bahwa : Mencoret pemilih yang terganggu jiwa/ ingatannya bedasarkan surat keterangan dokter jiwa apabila mengalami kesulitan
memperoleh keterangan dokter
jiwa maka bila
PPDP memastikan orang tersebut sakit jiwa dan tidak bisa menggunakan hak pilihnya dikuatkan dengan keterangan keluarga agar bisa dicoret dari daftar pemilih, sehingga dengan tercoretnya nama seseorang berdasarkan ketentuan tersebit dimungkinkan akan menjadi peluang meningkatnya partisipasi masyarakat tanpa menghilangkan hak seseorang sebagai pemilih. Selain itu juga masyarakat penyandang difabel masih
banyaknya
penduduk
yang
difabel
juga belum
terdata/tersentuh tidak bisa diabaikan maka data dari bagian Kesra tentang difabel sebagi acuan PPDP untuk melakukan pendataan dan tidak boleh diabaikan karena terkait kesiapan KPU dalam penyediaan template dan alat bantu lain. - 26 -
1. Perilaku pemilih di Wonosobo dalam pemilu legislatif 2014 Untuk
mengetahui
perilaku
pemilih
sangat
diperlukan penelitian yang mendalam. Terutama untuk pemilih dengan kategori khusus yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Kondisi sosial yang melingkupi pemilih sangat menentukan perilaku mereka, misalnya orang yang bekerja sebagai pengusaha yang termasuk kalangan menengah ke atas tentu saja memiliki kepedulian yang berbeda dengan mereka yang secara ekonomi belum berkecukupan. Ada factor pembeda ketika figur tertentu terpilih menjadi anggota legislatif bagi satu orang dan lainnya. Maka, siapa yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif akan menjadi salah satu penentu perilaku masyarakat dalam memilih. Beberapa informan menyebut bahwa perilaku pemilih memiliki kategore yang beragam. Nur
Ainiariswari,
A.Md,
salah
satu
tokoh
perempuan di Wonosobo mengkategorikan Perilaku pemilih pada pemilu legislatif 2014 dalam 3 model yaitu: pro aktif, ikut-ikutan, dan Pasif. Jadi perilaku pemilih yang pro aktif artinya serius untuk menggunakan hak demokrasinya/pilih dan dalam menentukan pilihan dengan mempertimbangkan kriteria yg - 27 -
akan dipilih sekaligus memperhatikan visi dan misi dari para calon legislatif.8 Kategori pemilih adalah pemilih yang cerdas karena memilih
berdasarkan
pada
pemahaman
yang
lebih
substantif. Oleh karena itu ketiga hal tersebut di jabarkan dalam pembagian berikut :, Pertama, adalah pemilih yang proaktif akan menggunakan hak-hak demokrasinya
dengan sebaik-
baiknyanya. Pemilih kategori ini merupakan pemilih yang sudah
paham terhadap apa yang diperlukan Kabupaten
Wonosobo. Maka mereka akan memilih wakil-wakil rakyat yang sesuai. Pemilih yang menggunakan
hak
pro aktif sangat serius untuk demokrasinya/pilih
dan
dalam
menentukan pilihan dengan mempertimbangkan kriteria yg akan dipilih sekaligus memperhatikan visi dan misi dari para calon legislatif. Sementara itu menurut Ponadi, salah satu anggota Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Wonosobo menyatakan
bahwa
dia
menggunakan
hak
pilihnya
berdasarkan keinginan sendiri dan kesadaran sebagai warga masyarakat, sebagai warganegara yang baik maka setiap orang seharusnya menggunakan hak pilihnya. 8
Wawancara dengan Nur Ainiariswari, salah satu aktivis Perempuan di Kabupaten Wonosobo 20 Juni 2015.
- 28 -
Kita memilih itu ya berdasarkan keinginan kita sendiri kesadaran sebagai seorang bermasyarakat,sebagai warganegara yang baik maka menggunakan hak pilihnya. Sesuai visi misi calon,kalau pendidikan itu tidak terlalu mendukung menurut saya, yang jelas visi misinya bagaimana nanti setelah menjadi orang nomor satu.9 Pernyataan senada juga disampaikan oleh pak Romadon yang merupakan pemilih dengan disabilitas tuna daksa. Kategori pertama ini senada dengan pengelompokan perilaku pemilih menurut Widiastuti, tokoh perempuan Wonosobo. Widi menyebut kelompok ini sebagai Pemilih Partisipatif, mereka adalah kelompok masyarakat yang sudah bagus dan baik tingkat pendidikan dan kesadarannya sehingga benar-benar berpartisipasi di dalam proses demokrasi, dalam hal ini pemilu. Dengan
pengetahuan
dan
kesadarannya
serta
kemampuannya dalam mengakses informasi, mereka bisa menentukan pilihannya secara
tepat. Mereka tidak lagi
terpengaruh terhadap politik uang. Kedua, menurut Nur Aini yaitu perilaku pemilih yang ikut-ikutan (alah ora).10 Mereka bisa dikategorikan 9
Wawancara dengan Ponadi, penyandang disabilitas tuna netra, 15 Juli 2015 10 Bahasa “alah ora” merupakan bahasa yang mudah untuk mengungkapkan perihal pemilu yang tidak begitu mempersoalkan baik dari sisi penyelenggaraan maupun dari sisi hasil.
- 29 -
pemilih pasif. Bisa dikatakan pemilih ini kurang memiliki kepedulian dalam mengunakan hak pilihnya. Istilahnya mereka berperilku mengalir saja, kalau ditanya masalah sikap kira-kira jawabannya baru akan memilih kalau sudah terpampang difoto kemudian tahu siapa orangnya baru akan memilih. Beberapa akan memilih tokoh calon legislatif yang menurut mereka canggih. Artinya mereka tidak ada niatan untuk mencari informasi tentang siapa sebenarnya yang akan mencalonkan diri. Meskipun pada akhirnya mereka akan menggunakan hak pilihnya. Mereka ini menurut Widiastuti dikelompokkan sebagai masyarakat yang budaya politiknya masih rendah, sebagian
mereka
termasuk
masyarakat
yang belum
berpendidikan, dan bahkan sangat tidak tahu apa itu pemilu legislatif, atau demokrasi secara luas. Sehingga dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai kelompok anut grubyuk (ikut-ikutan saja). Kategori ini juga diamini oleh Sri Rahayu, mahasiswi
yang
menjadi
Duta
Wisata
Wonosobo,
menurutnya pemilih pemula seusianya ada yang termasuk pemilih yang pasif atau dalam bahasa mereka cuek (tidak peduli). Dan kebanyakan pemilih pemula tergolong cuek, hanya sedikit pemilih pemula/ mahasiswa yang termasuk - 30 -
pemilih peduli seperti kategori pertama di atas. Kebanyakan mereka yang peduli adalah yang tergabung dalam komunitas-komunitas mahasiwa
yang sadar terhadap
pemilu, peduli terhadap kepentingan pemerintahan, memilih pemimpin,
kepentingan
bersama
dan
kepentingan
masyarakat. Di luar komunitas tersebut kebanyakan masih cuek. Namun Sri menambahkan bahwa ada pemilih pemula yang turut berpartisipasi dengan motivasi berbeda. Mungkin ada 50% lebih dari usia pemilih pemula yang tentunya bangga jika pertama kalinya nyoblos. Proses aktualisasi diri, apalagi di jaman sekarang di mana media social semakin memasyarakat. Kategori ketiga adalah pemilih apatis yang sudah merasa tidak memiliki harapan terhadap kegiatan pemilu. Mereka merasa Pemilu tidak ada gunanya, tidak membawa perubahan berarti. ”Paling-paling yo koyongono”(palingpaling ya seperti itu), jadi mereka tidak akan memilih. Apatisme masyarakat ini menurut Muhammad Yusuf, mahasiswa yang menjabat sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Wonosobo, karena ketidak percayaan terhadap figur tersebut, mereka kurang interest karena kesibukan mobilitas ekonomi. Lebih baik bekerja mencari uang daripada libur coblosan. - 31 -
Selain
kelompok
apatisdi
atas,
Yusuf
mengelompokkan pemilih berikutnya sebagai masyarakat yang interest dan peduli dengan pemilu karena adanya income yang masuk ke mereka (money politik), serta kelompok masyarakat yang memilih karena hanya ikutikutan dan janji-janji politik dari calon. Jadi sangat jarang masyarakat yang memilih karena kesadaran mereka sendiri. Somairi, Ketua Serikat Tani Garung, mengusulkan terkait apatisme masyarakat tertentu ini agar money politic dilegalkan saja. Jadi bagaimana para pemilih ketika meluangkan waktu setengah hari diganti ongkos kerjanya. Ia mengilustrasikan bahwa dalam pemilihan Kepala Desa para calon mengumpulkan uang sesuai dengan jumlah pemilih yang ada di desa itu, dan dihargai setengah hari kerja sebesar Rp. 30.000,- . Tapi uang itu resmi diberikan ke panitia, dan baru diberikan kepada mereka setelah nyoblos. Nyoblosnya terserah sesuai hak yang mereka inginkan.Tujuan cara ini yaitu untuk membangun partisipasi pemilih dan membantu ganti uang kerja. Tapi mengingat peraturan perundang-undangan maka ia juga pesimis dengan usul tersebut, apalagi jika diterapkan secara luas. Lagipula usulan tersebut juga tidak menjamin para kontestan tidak mempraktekkan politik uang lagi di belakang panitia.
- 32 -
Lebih lanjut Somairi membahasakan kategori pemilih dengan lebih sederhana yaitu 1. Pemilih yang belum tahu; 2. Pemilih yang setengah tahu, dan; 3. Pemilih yang benar-benar tahu. Ada kategori lain yang dikelompokkan oleh Widiastuti yaitu masyarakat yang masuk dalam budaya politik ngawula yaitu tinggal manut atau sendiko dawuh terhadap pimpinan atau orang yang menurut mereka lebih tahu bagaimana menentukan pilihan. Jadi apa yang diyakini yang di atasnya atau orangorang yang berpengaruh daah yang benar sehingga dia cenderung akan mengikuti begitu saja tanpa berfikir lebih jauh apa manfaat dari pemilu itu sendiri. Widi melakukan pengelompokan perilaku pemilih ini dari sudut pandang budaya demokrasi. Memang ada kalangan tertentu yang menganggap bahwa Pemilu hanya membuang energi, belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Somairi menyatakan bahwa Pemilu 2014 itu memang peristiwa demokrasi yang sangat tidak demokratis, karena para pemilih khususnya pemilih kelas menengah sangat pragmatis. Sebetulnya kalau pemilih kelas menengah ke atas sudah memiliki kesadaran, maka seharusnya dalam - 33 -
demokrasi tidak ada jual beli suara. Namun yang terjadi pemilih kelas menengah cenderung mempraktekkan jual beli suara dan masyarakat kelas bawah cenderung ikutikutan, mereka dijadikan obyek politik oleh caleg dan timsuksesnya. Somairi
bahkan
menganggap
bahwa
perilaku
pemilih pada Pemilu 2014 lebih pragmatis daripada pemilu sebelumnya yaitu tahun 1999. Meskipun pragmatisme pemilih itu tidak semata-mata muncul dengan sendirinya. Ada factor lain yang mendorong perilaku tersebut. KH. Mukhotob Hamzah, Ketua MUI Kabupaten Wonosobo bahkan menganggap bahwa Pemilu 2014 adalah Pemilu yang paling brutal, dari sisi pemilihannya, maupun pelanggaraannya. Jauh dari etika pemilu, jauh dari harapan. Pemilih semakin terang-terangan menunjukkan pragmatise, tidak pernah memikir masa depan, hanya memikirkan hari ini. Ada anggapan bahwa tidak ada lagi yang bisa dijual selain suara. Money politik yang sudah jelas-jelas dilarang undang-undang, semua hanya lewat, vulgar, dan sudah tidak aneh lagi. Pelanggaran pemilu tidak terjangkau oleh hukum. Dan
yang lebih aneh lagi, fenomena ini
menentukan tingkatan partisipasi pemilu. Kontribusinya dari berbagai pihak. Sebenarnya rakyat hanya ingin
- 34 -
mendapatkan pemimpin yang ideal, tetapi kalah dengan pragmatisme.11 Sementara menurut Wahyu Setyono, aktivis Buruh Wonosobo
yang merupakan eks Ketua Serikat Buruh
menyatakan bahwa mereka menginginkan figure wakil rakyat yang bisa mewakili kepentingan buruh, paham terhadap persoalan buruh, hak-hak normatif, dan mampu memperjuangkan hak-hak tersebut. Mereka merasa selama ini eksekutif maupun legislatif tidak berdaya atas kondisi dan situasi yang dialami kaum buruh. Jadi ketika beberapa orang kemudian bersikap pragmatis, maka akan dianggap wajar begitu saja. Di sisi lain, Pendeta Samuel yang merupakan pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Wonosobo mengamati bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 cukup mendapatkan antusiasme pemilih. Peserta juga sudah cukup sportif sehingga tingkat kecurangan pemilu di daerah minim sekali. Para pemilih sudah mulai sadar, mereka menggunakan hak pilihnya tanpa ada yang memaksa. Mungkin masih ada perbuatan dari tim sukses untuk mengarahkan masyarakat, namun hal tersebut masih dalam batas kewajaran. Tidak terjadi kontra secara fisik, atau perkelahian terutama di Wonosobo. 11
Wawancara dengan KH. Mukhotob Hamzah MM, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo. Juli 2015
- 35 -
Menurut pendeta Samuel para Caleg lebih baik tidak terlalu banyak janji-janji, karena masyarakat sudah bisa menilai. 2. Faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014 Banyak factor yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014. Namun yang paling berpengaruh adalah factor pendidikan dan factor ekonomi. Menurut Widiastuti tingkat kesadaran masyarakat untuk memilih sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Orang yang
pendidikannya mencukupi otomatis cara
berfikirnya akan, logis, sistematis, dan rasional. Sehingga cara menentukan langkahnya dalam proses demokrasi akan lebih baik dibandingkan dengan orang yg sama sekali yang tidak berpendidikan. Ada kelompok masyarakat yang sudah sadar betul tentang apa itu demokrasi. Mereka memilih dengan cermat karena mereka memiliki harapan terhadap para caleg. Ia berharap banyak terhadap masyarakat dikelompok budaya politik yang partispatif ini. Masyarakat yang berpendidikan akan lebih bisa menganalisis moment politik ini, mereka akan lebih kritis dalam menyikapi program, visi misi dan janji-janji serta ideologi dari setiap calon yang ada. Demikian pernyataan Sri Rahayu, mahasiswi asal Balekambang Selomerto.
- 36 -
Lebih khusus lagi, pendidikan pemilih memiliki pengaruh yang cukup signifikan, baik kepada masyarakat pemilih maupun kepada calon legislatif. Nur Aini menceritakan bahwaGabungan Organisasi Wanita (GOW) Wonosobo melalui KPPI (Kaukus
Perempuan Politik
Indonesia) telah memberikan pembekalan kepada calon legislatif tahun 2014 dengan menyajikan isu-isu yang ada di Kabupaten Wonosobo, diantaranya: Isu kemiskinan, Isu Perempuan dan Anak. Bekal-bekal ini disampaikan dan diharapkan dapat diperjuangkan ketika menjadi legislatif. Faktor pendidikan memang sangat penting dan bisa berpengaruh terhadap terjadinya money politic. Baik formal maupun informal. Demikian menurut Wahyu Setyono. Di pendidikan non formal (pesantren) itu biasanya ikut yang menjadi fatwa kyai, kemudian yang di pendidikan umum kadang justru lebih liberal, tidak ada yang dijadikan patokan. Tapi terkadang mereka yang berpendidikan malah berebut menjadi tim sukses caleg, orang-orang yang dianggap
berpendidikan
di
desa
malah
banyak
mempengaruhi ke pihak yang tidak berpendidikan. Factor ideology juga memiliki pengaruh, meskipun tidak sebesar di Pemilu 1955-1970. Keanggotaan dalam ormas
seperti
Nahdlatul
Ulama
(NU)
maupun
Muhammadiyah. Sedikit banyak ikut menentukan perilaku - 37 -
pemilih. Contoh lain di organisasi kemahasiswaan seperti HMI atau di PMII. Wahyu menambahkan Factor penentu lain adalah kondisi ekonomi pemilih. Sebagian masyarakat
di Wonosobo, menurut Nur Aini,
masih dalam kondisi miskin. Bahasa miskin, merasa miskin itu masih lekat. Jadi kemiskinan sebagai sebuah mindstream menjadi plat atau sebuah label walaupun sebenarnya tidak miskin tetapi mrerasa miskin sehinga ketika terjadi ada pemilu legiflatif maka pemikirannya adalah negosiasi secara material. Perilaku seperti ini otomatis akan mempengaruhi perilaku para peserta pemilu itu sendiri. Para caleg menjadi kurang percaya diri (PD) jika tidak menggunakan politik uang. Hal senada disampaikan KH. Muchotob, bahwa praktek money politic tetap ada karena kontribusi semua pihak, baik peserta pemilu maupun masyarakat pemilih itu sendiri. Bahkan praktek money politic serupa juga berlaku di ormas-ormas semisal NU, Muhammadiyah atau ormas manapun. Mereka mendapat imbalan juga dalam bentuk program karena mereka sudah agak terorganisir. Demikian menurut Wahyu. Nur Aini menegaskan bahwa money politic ternyata masih menjadi kultur di Kab. Wonosobo, terutama terkait partisipasi masyarakat. Di sisi lain pengawasan pemilu itu sendiri kurang canggih, manakala ada yang melakukan - 38 -
pelanggaraan
money
politik
tetap
tidak
disemprit/diperingatkan. Jadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) belum begitu berperan secara maksimal. Kalau sanksi pelangaran ditegakkan maka
rasa takut akan
muncul.Panwaslu harus menjadi figur yang disegani. Pendidikan pemilih kepada masyarakat pemilih seharusnya merupakan bagian dari tugas partai politik peserta pemilu sesuai amanat undang-undang. Menurut Widiastuti, calon legislatif itu sendiri, sebagai kepanjangan dari parpol, sangat berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat untuk memilih.Sebagai calon
wakil rakyat
harus bisa memberikan contoh yang baik dari sisi performance,
perilaku, dan profesionalisme sehingga
secara otomatis masyarakat akan meniai bahwa calon ini memang kompeten dan dapat diharapkan kontribusinya dalam kemakmuran di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa calon legislatif sangat berpengaruh dan menentukan dalam
pendidikan pemilih terhadap
masyarakat. Selama ini belum banyak calon legislatif yang melaksanakan peran tersebut, tambah Widi. 3. Fungsi-fungsi
KPU
Kabupaten
Wonosobo
dalam
mensukseskan partisipasi pemilih Partisipasi pemilih juga sangat ditentukan dari peran penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). - 39 -
KPU telah melakukan sosialisasipenyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Legislatif tahun 2014 dengan tujuan: 1. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pemilu dalam membangun kehidupan demokrasi di Indonesia; 2. Meningkatkan
pemahaman
dan
pengetahuan
masyarakat tentang tahapan dan program Pemilu Anggota Legislatif Tahun 2014; 3. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang beberapa hal teknis dalam menggunakan hak politik dan hak pilihnya dengan benar; 4. Meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya pemilih untuk berperan serta dalam setiap tahapan pemilu; 5. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Anggota Legislatif Tahun 2014. Guna
mencapai
menyelenggarakan
berbagai
tujuan program
tersebut dan
KPU kegiatan
sosialisasi. Lingkup Sosilaisasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Wonosobo dalam Pemilu Legislatif 2014 meliputi:
- 40 -
Tahun
1. Sosialisasi Melalui Komunikasi Tatap Muka a. Melakukan sosialisasi tahapan pemilu legislatif kepada
Badan
Penyelenggara
(PPK
beserta
secretariat dan PPS beserta sekretariat); b. Melakukan
sosilaisai
melalui
Rakor
dengan
sosialisasi
pada
kelompok
khusus
Stakeholder; c. Melakukan (Lembaga
Pemasyarakatan,
Pertuni,
Komunitas
Diffable); d. Melakukan Sosialisasi kepada masyarakat melalui forum/kegiatan yang dilakukan oleh berbagai macam elemen antara lain (LDII, GOW, Fatayat, Raker Pemda, KPPI, FKUB, Halaqoh ICMI-MUI, PD Muhamadiyah, IPM, Partai Politik, Sosialisasi Sadar Hukum Pemilu, LSM, dan sebagainya); 2. Sosialisasi Melalui Media Elektronika Sosialisasi
melalui
media
elektronika
yaitu
sosialisasi yang dilakukan melalui media radio yang disiarkan di semua radio yang ada di wilayah Kabupaten Wonosobo, mencakup : a. Talk Show/Dialog Interaktif 3 kali; b. Iklan Radio Spot Pemilu Legislatif dan Pemutaran Jingle Pemilu legislatif disiarkan selama 41 hari - 41 -
terhitung mulai 27 Februari sampai dengan 8 April 2014 dengan frekfensi putar 8 x siar/hari x 8 stasiun radio x 41 hari = 2.624 kali siar; c. Sambutan/pidato Ketua KPU Kabupaten Wonosobo satu
hari
sebelum
Pemungutan
Suara
dan
Penghitungan Suara pada tanggal 8 April 2014 disiarkan di 8 stasiun radio yang ada di wilayah wonosobo; d. Media Internet (melalui Media Center), sebagai upaya untuk menyajikan informasi dan publikasi pemilu kepada segmen masyarakat yang memiliki kebutuhan informasi melalui internet. 3. Melakukan Konferensi Pers dengan media masa Konferensi pers dilakukan secara insidental dengan materi tahapan Pemilu Legislatif 2014 yang diikuti oleh wartawan media cetak. 4. Sosialisasi dengan Menjalin Kemitraan Yaitu
sosialisasi
yang
dilakukan
mealalui
kerjasama dengan mengandeng beberapa lembaga untuk menyebarluaskan informasi pemilu legislatif Tahun 2014, diantaranya melakukan kerjasama dengan : a. Dinas
Pendidikan,
Pemuda
dan
Olah
Raga
(Pendidikan Pemilih bagi Pemilih Pemula/Pelajar) - 42 -
b. Kementrian
Agama
Kabupaten
Wonosobo
((Pendidikan Pemilih bagi Pemilih Pemula/Pelajar) c. Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Wonosobo (sosialisasi dengan sasaran kelompok perempuan) 5. Pengadaan, Pemasangan, dan Penyebaran Media/ Alat Peraga Sosialisasi Media/alat peraga sosialisasi dibutuhkan untuk memudahkan penyampaian dan penyerapan informasi kepemiluan berupa : spanduk, leaflet, poster, baliho, Stiker, Mug Ajakan memilih, Pulpen Ajakan Memilih, Gantungan Kunci, Topi, Kaos,dan Modul) 6. Penyampaian Materi Naskah Khotbah Jum’at tentang Pemilu Legislatif tahun 2014 ditinjau dari Perpektif Agama Islam Dilakukan melalui kerjasama dengan takmir masjid yang ada di Wonosobo untuk disampaikan pada saat khotbah jum’at tanggal 4 April 2014 7. Pembentukan Relawan Demokrasi Pemilu 2014 Program relawan demokrasi adalah gerakan sosial yang dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam menggunakan hak pilih. Program ini melibatkan peran serta masyarakat yang - 43 -
seluas-luasnya dimana mereka ditempatkan sebagai pelopor Relawan
(pioneer) demokrasi
demokrasi menjadi
bagi mitra
komunitasnya. KPU
dalam
menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten. Bentuk peran serta masyarakat ini diharapkan mampu mendorong tumbuhnya kesadaran tinggi serta tanggung jawab penuh masyarakat untuk menggunakan haknya dalam pemilu secara optimal. Program Relawan Demokrasi melibatkan kelompok masyarakat yang berasal dari 5 (lima) segmen pemilih strategis yaitu pemilih pemula, kelompok agama, kelompok perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok pinggiran. Pelopor-pelopor demokrasi akan dibentuk di setiap segmen yang kemudian menjadi penyuluh pada setiap komunitasnya. Program Relawan Demokrasi diharapkan mampu menumbuhkan kembali kesadaran positif terhadap pentingnya pemilu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya relawan demokrasi dapat menggerakan masyarakat tempat mereka berada, agar mau menggunakan hak pilihnya dengan bijaksana serta penuh tanggung jawab, sehingga partisipasi pemilih dan kualitas Pemilu 2014 dapat lebih baik dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.
- 44 -
Program Relawan Demokrasi bertujuan sebagai berikut: a. Meningkatkan kualitas proses pemilu b. Meningkatkan partisipasi pemilih c. Meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi d. Membangkitkan kesukarelaan masyarakat sipil dalam agenda pemilu dan demokratisasi. Berpedoman pada Surat Ketua KPU Nomor 609/KPU/IX/2013 Tanggal 2 September 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Relawan Demokrasi Pemilu 2014, maka KPU Kabupaten Wonosobo melakukan perekrutan seleksi relawan demokrasi yang dilakukan dalam 2 periode
yaitu periode pertama
perekrutan yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2013 sejumlah 15 orang dan perekrutan periode kedua yang dilaksanakan awal bulan Januari 2014 sejumlah 10 orang sehingga jumlah keseluruhan relawan demokrasi Kabupaten Wonosobo ada 25 orang. 8. Melakukan Sosialisasi Melalui Kegiatan Gerak Jalan Sehat Menuju Pemilu yang Jujur dan Adil Kegiatan Gerak Jalan Sehat Menuju Pemilu Jujur dan Adil yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten - 45 -
Wonosobo dilaksanakan tanggal 9 Maret 2014 dengan mengambil start dan finish di halaman Adipura Kencana Kabupaten Wonosobo dengan diikuti peserta sejumlah + 1500 orang yang terdiri dari : Stakeholder, Unsur FKPD, Badan Penyelenggara, Pimpinan SKPD, Camat, Pimpinan Parpol, Wartawan, Ormas, LSM, Relawan Demokrasi, Unsur Perguruan Tinggi, dan Masyarakat. 9. Sosilaisasi
Melalui
Kegiatan
Kirab/Karnaval
Menyongsong Pemilu Legislatif 2014 dan Deklarasi Kampanye Damai Partai Politik Peserta Pemilu 2014 Kabupaten Wonosobo Kegiatan Kirab/ Karnaval Menyongsong Pemilu Legislatif 2014dan Deklarasi Kampanye Damai Partai Politik Peserta Pemilu 2014 di Kabupaten Wonosobo dilaksanakan tanggal 15 Maret 2014 dan kegiatan ini dipusatkan di Jalan Merdeka/sebelah utara alun-alun Wonosobo, dengan diikuti oleh 12 (dua belas) Partai Politik Peserta Pemilu 2014 dan 1 (satu) Peserta dari calon DPD Pemilihan metode sosialisasi sebagaimana di atas didasarkan pada alasan bahwa setiap kelompok sasaran memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap dan mengakses informasi. Sosialisasi merupakan salah satu bentuk pendidikan pemilih bertujuan untuk membentuk
dan
menumbuhkan - 46 -
orientasi-orientasi
politik pada individu. Ia meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik
yang
menyebabkan
seseorang
memiliki
kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, bertujuan agar setiap individu mampu memberikan
partisipasi
politik
yang
aktif
di
masyarakatnya. Pendidikan pemilih merupakan aktifitas yang terus berlanjut sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali dalam sebuah
masyarakat
yang
bebas.Dengan
demikian
pendidikan pemilih memiliki tiga tujua : membentuk kepribadian politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik. Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran instruktif. Adapun partisispasi politik, terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya. Pendidikan pemilih dalam masyarakat
manapun
mempunyai
institusi
dan
perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, masyarakat, sekolah, partai-partai politik dan berbagai
macam
media penerangan.
Sosialisasi sebagai suatu ilmu sosial
memanfaatkan
cara-cara dan proses perubahan pada manusia dan - 47 -
masyarakat agar perubahan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan. Selain itu, sosialisasi adalah suatu bentuk komunikasi antara si penyampai informasi dengan si penerima informasi. Sosialisasi tidak sekedar hanya menyampaikan informasi saja, tetapi mempunyai tujuan: a. Menambahpengertian, b. Meningkatkankesadaran, c. Merangsang dan meyakinkan masyarakat untuk melaksanakan pesan yang disampaikan. Tingkat pendidikan sangat berperan didalam daya penyerapan serta kemampuan berkomunikasi. Untuk peserta yang berpendidikan rendah, lebih mudah memahami bila dipakai alat peraga. Realita mengatakan bahwa dengan memperhatikan kelompok sasaran, akan sangat membantu menambah keberhasilan penyampaian informasi. Selain itu cara atau metode yang digunakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana kegiatan tersebut
diadakan.
Oleh
karenanya,
berdasar
pertimbangan tersebut di atas pemilihan metode dan strategi sosialisasi pemilu 2014 yang telah dilaksanakan di KPU Kabupaten Wonosobo, sejauh ini telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi pemilih. Pada pemilu
- 48 -
legislatif tahun 2014 di Kabupaten Wonosobo tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,69%. Dari berbagai program KPU, seperti program sosialisasi di atas dan juga program-program lainnya, mayoritas responden menyatakan bahwa KPU beserta jajaran di bawahnya, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan seterusnya, telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan. Menurut Nur
Aini
dalam
hal
penyelengaraan
KPU
telah
melaksanakan fungsinya. Demikian juga Panwaslu. Namun yang terjadi di lapangan masih belum sesuai harapan. Masih terjadi praktek politik uang, serangan fajar, atau
istilah
lainnya.
Masih
diperlukan
pengawasan pada tahapan kampanye
optimalisasi dan saat-saat
mendekati pemungutan suara. Widiastuti malah menganggap untuk penyelenggara pemilu 2014 peran KPU sangat luar biasa.Distribusi keperluan logistic tepat waktu, penyelenggaraanya dapat berjalan dengan lancar tanpa ada kendala, Ini menunjukan bahwa
KPU
sudah
berperan
sangat
baik
dalam
pelaksanaanya.Proses sosialisasi kepada masyarakat juga sudah berjalan baik sehingga masyarakat mengetahui tahapn-tahapan pemilu dan siapa saja yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tentu saja masih belum - 49 -
sempurna, beberapa catatan perlu
diperhatikan guna
perbaikan di masa-masa mendatang. Pendeta Yohanes menilai KPU cukup baik, terutama dalam menyampaikan siapa profil tokoh, KPU sudah bersikap netral. Sosialisasi berjalan meskipun tidak merata, hal itu terlihat dari antusiasme warga. Sosialisasi juga mengunakanpPenyampaian yang jelas, bahasa politik dibangun dengan bahasa yang mudah diterima oleh pemilih. Bagi Ponadi dan Romadhon sebagai penyandang disabilitas, KPU sudah melaksanakan tugas dengan baik terkait pemberian fasilitas bagi mereka, khususnya saat pelaksanaan
pencoblosan.
Selain
pendataan
melalui
ferivikasi di lapangan, KPU juga bekerjasama dengan Dinas Sosial untuk mendata jumlah penyandang cacat di Wonosobo khususnya tunanetra. Somairi
menyimpulkan
bahwa
secara
teknis
penyelenggaraan struktur KPU sudah cukup bagus dan bekerja dari tingkat kabupaten maupun sampai PPS, cuma hanya bekerja di teknis penyelenggaraan, belum sampai tingkat pendidikan pemilih. Kaum petani sebetulnya bertanya siapa yang berperan melakukan pendidikan pemilih terhadap masyarakat, menurut Undang-undang seharusnya merupakan tugas partai politik, tetapi kalau parpol melakukan pendidikan pemilih ke masyarakat sesuai kepentingan mereka, tidak sesuai keinginan masyarakat - 50 -
secara umum. Kalau menurut saya bagaimana KPU melakukan
pendidikan-pendidikan
pemilih
di
luar
menjelang pilkada/pileg. Seharusnya pemerintah mengalokasikan anggaran ke KPU tidak sebatas proses penyelenggaraan pemilihan tetapi juga proses pendidikan pemilih, menurutnya KPU akan lebih netral. Pernyataan ini serupa dengan pendapat KH. Muchotob
Hamzah
Universitas
Sains
yang
juga
Al-Quran
merupakan Wonosobo.
Rektor Beliau
menambahkan bahwa tidak mungkin partisipasi itu ditingkatkan jika masyarakat pemilih tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk pemilu itu. Pragmatisme politik yang kemudian memunculkan kegairahan berpolitik itu sifatnya sementara. Masyarakat harus dididik untuk memiliki kepedulian. Yusuf menambahkan bahwa tugas-tugas sosialisasi perlu ditingkatkan karena di desa-desa itu terutama banyak yang tidak tahu proses pemilu. Mereka hanya tahu bahwa pemilu itu hanyalah kerja 5 (lima) tahunan yang mana tugas mereka, sebagai masyarakat, hanyalah memilih. Padahal hakikat dari pemilu bukanlah hanya itu.
- 51 -
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas melalui jawaban dari responden dan analisis lain, maka bisa disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Perilaku pemilih di Wonosobo dalam pemilu legislatif 2014 Sebenarnya sudah ada studi yang dilakukan mengenai perilaku pemilih dengan pendekatan tipologi. Dalam tulisannya yang dimuat di harian Media Indonesia pada tanggal 4 Februari 2014 yang berjudul Perilaku Pemilih Dalam Pemilu 2014, Umar S Bakry, mengelompokkan perilaku pemilih (voters) menjadi empat jenis/tipe.12 Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN), Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI)menyatakan bahwa berdasarkan pendekatan tipologi ini, pemilih (voters) dapat dikelompokkan ke empat golongan, yaitu pemilih rasional (rational voter),
12
Umar S Bakry, Perilaku Pemilih Dalam Pemilu 2014, Media Indonesia, 4 Februari 2014. Lihat di http://budisansblog.blogspot.com/ 2014/02/perilaku-pemilih-dalam-pemilu-2014.html. Diakses pada 30 Agustus 2-15
- 52 -
pemilih kritis (critical voter), pemilih tradisional (traditional voter), dan pemilih skeptis (skeptic voter). a. Pemilih rasional adalah pemilih yang punya perhatian tinggi terhadap program kerja2a partai politik (parpol) atau kontestan pemilu. Ia melihat kinerja di masa lalu (backward looking) dan tawaran program
untuk
menyelesaikan
berbagai
permasalahan yang dihadapi (forward looking). Pemilih
rasional
tidak
begitu
mementingkan
ideologi parpol/kontestan. Faktor seperti asas, asal usul,
nilai
tradisional,
budaya,
agama,
dan
psikografis memang dipertimbangkan, tetapi tidak signifi kan buat mereka. Pemilih jenis itu sangat mudah berganti-ganti pilihan. Responden menggunakan istilah yang berbeda dalam mengelompokkan pemilih kategori ini. Nur Ainiariswari
menyebut
kelompok
ini
dengan
sebutan kelompok pemilih proaktif. Widiastuti menyebutnya kelompok partisipatif. Sri Rahayu dan Muhammad Yusuf menyebutnya sebagai kelompok pemilih peduli. Dan Somairi menyebut kelompok ini dengan istilah pemilih yang sudah tahu. b. Pemilih kritis adalah yang concern pada program kerja parpol/kontestan. Namun, dalam melihat program kerja itu mereka menggunakan paradigma - 53 -
sistem nilai yang mereka yakini. Program kerja parpol atau capres tidak saja harus sesuai dengan ekspektasi dan permasalahan yang mereka hadapi, tetapi juga harus selaras dengan ideologi atau sistem nilai mereka. Menurut Downs, pemilih akan cenderung memberikan suara mereka kepada parpol atau kontestan yang menawarkan suatu program yang memiliki kesamaan (similarity) dan kedekatan (proximity) dengan sistem nilai dan keyakinan mereka. Dalam hal ini responden tidak begitu membedakan dengan pemilih kategori pertama, pemilih rasional. Responden menganggap perbedaan pemilih kategori pertama dan kedua sedikit saja, sehingga mereka menyamakan kategori tersebut. c. Pemilih tradisional adalah pemilih yang memiliki orientasi ideologi dan sistem keyakinan sangat tinggi. Pemilih jenis itu sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai (values), asal usul (primordial), agama, dan paham sebagai ukuran untuk memilih parpol atau capres dalam pemilu. Istilah responden untuk pemilih kategori ini juga bervariasi.
Widiastuti
menyebutnya
pemilih
kelompok ngawulo/manut atau sendiko dawuh pimpinan. Widiastuti juga menamai kelompok anut - 54 -
grubyuk/ikut-ikutan. Nur Ainiariswari menyebutnya pemilih
model
ikut-ikutan.
Dan
Somairi
mengistilahkan mereka sebagai pemilih setengah tahu. d. Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi baik kepada ideologi atau sistem nilai dan program kerja yang ditawarkan. Mereka ialah kelompok masyarakat yang skeptis terhadap pemilu. Di mata mereka, parpol atau capres yang menang pemilu tidak akan mengubah keadaan. Potensi golput pada kategori ini sangat tinggi. Responden menamai kategori ini dengan istilah berbeda juga. Misalnya Sri Rahayu menjuluki pemilih ini dengan nama pemilih cuek/tidak peduli. Muhammad
Yusuf
menyebutnya
kelompok
masyarakat apatis. Nur Aini mengistilahkannya kelompok
pasif.
Dan
Somairi
menyebutnya
kelompok tidak tahu. 2. Faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif 2014 a. Faktor pendidikan Yang dimaksud adalah bahwa tingkat pendidikan pemilih mempengaruhi perilaku mereka dalam menentukan pilihan, juga menentukan tingkat - 55 -
partisipasi
mereka.
Pemilih
dengan
tingkat
pendidikan SD tentu berbeda dengan mereka yang mengenyam bangku kuliah. Pendidikan informal juga termasuk di sini, semisal pesantren. b. Faktor social ekonomi Kondisi social dan ekonomi pemilih memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan perilaku pemilih.
Umumnya
mengambil
masyarakat
sikap
pragmatis,
miskin
akan
bagaimana
memanfaatkan momen pemilu untuk mendapatkan keuntungan materi. Meskipun tak jarang, hal ini juga
berlaku
di
masyarakat
yang
kondisi
ekonominya sudah mapan. Masyarakat yang dekat dengan pesantren atau komunitas lain juga bisa terpengaruh dengan sikap politik tokoh setempat. Meskipun tidak secara keseluruhan. Kondisi ini yang sangat mempengaruhi masih berlangsungnya praktek politik uang. c. Factor pendidikan pemilih Pendidikan pemilih, baik itu yang dilakukan oleh KPU
dan
Panwaslu
sebagai
penyelenggara,
organisasi kemasyarakatan atau kemahasiswaan, serta oleh parpol sebagai peserta pemilu, memiliki
- 56 -
peran
penting
dalam
mempengaruhi
perilaku
pemilih. Masyarakat di desa yang agak jauh daripusat informasi memerlukan pendidikan pemilih. Dengan informasi yang mencukupi, kemungkinan partisipasi mereka menjadi lebih tinggi. Tanpa informasi dan pendidikan pemilih mengenai pentingnya pemilu dan proses demokrasi secara lebih luas, maka kelompok masyarakat tertentu akan lebih memilih untuk melaksanakan aktifitas rutinnya daripada meluangkan waktu untuk mencoblos. 3. Fungsi-fungsi KPU Kabupaten Wonosobo dalam mensukseskan partisipasi pemilih Mayoritas responden menganggap bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, meski maasih ada yang perlu diperbaiki. Tahapan penyelenggaraan pemilu sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun fungsi KPU masih dalam tahap teknis penyelenggaraan saja. Dari sisi pelaksanaan pendidikan pemilih kepada masyarakat, KPU belum berfungsi maksimal. Sebagai pihak yang netral KPU mestinya melaksanakan fungsi tersebut.
- 57 -
2. Saran Dari hasil penelitian ini dan kesimpulan yang sudah dibuat maka ada beberapa hal yang bisa disarankan: 1. KPU agar lebih memaksimalkan program pendidikan pemilih kepada masyarakat. Sebagai pihak yang netral, KPU supaya bekerjasama dengan pihak terkait untuk melaksanakan program ini, bukan hanya menjellang pelaksanaan pemilu saja melainkan menjadi program rutin yang terkonsep dengan baik. Anggaran untuk kegiatan ini perlu disediakan oleh pemerintah. 2. Pengawasan dalam proses penyelenggaran pemilu harus ditingkatkan untuk mengurangi praktek money politic. KPU dan khususnya Panwaslu harus menunjukkan ketegasannya agar bisa mendidik masyarakat dan peserta pemilu untuk lebih mentaati peraturan dan menghindari pelanggaran. 3. Hasil riset ini hendaknya menjadi landasan ilmiah untuk menyusun regulasi penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu yang lain pada masa-masa yang akan datang.
- 58 -
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert MZ Lawang. Jakarta: Gramedia. Otto Sukatno, 2004, Dieng Poros Dunia, Menguak Jejak Peta Surga yang Hilang, IRCiSoD, Yogyakarta. Pradjarta DS. Nico L Kana, 2006, Demokrasi dan potret Lokal Pemilu 2014; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, G dan Goodman Douglas J. 2005. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Rajawali. Tim Penulis Pemda, 2005, Memori Serah Terima Jabatan Bupati Wonosobo periode 2000-2005, Pemda Wonosobo. Tim Penulis, 2010, Wonosobo Membangun Demokrasi, Catatan Perjalanan Pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Wonosobo, Wonosobo: KPU Wonosobo Umar S Bakry, Perilaku Pemilih Dalam Pemilu 2014, Media Indonesia, 4 Februari 2014. Lihat di http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/perilakupemilih-dalam-pemilu-2014.html. Diakses pada 30 Agustus 2-15
- 59 -
Lampiran : DAFTAR INFORMAN PENELITIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU 2014 STUDI PERILAKU MEMILIH (Voting Behaviour) MASYARAKAT WONOSOBO PADA PEMILU 2014 No 1
Segment Informan Disabilitas
2
Tokoh Agama/ Masyarakat
3
Perempuan
4
Kaum Marginal
5
Pemilih Pemula
Informan
Pewawancara
1. Ponadi (Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia) 2. Romadhon (Tunadaksa) 1. KH. Mukhotob Hamzah, MM. (Ketua MUI Wonosobo) 2. Pendeta Samuel (FKUB) Wonosobo 1. Nur’ Aini (GOW) Wonosobo 2. Dra. Widiyastuti, (Guru SMK N 1 Wonosobo) 1. Sumeri (Ketua Serikat Petani) Wonosobo 2. Wahyu Setyono (Eks Ketua Serikat Buruh Wonosobo) 1. Triono (Ketua Ikatan Pelajar Muslim Wonosobo) 2. Sri Rahayu (Duta Wisata Wonosobo 2014)
Titik Hesti Pertiwi, S.Kom.
- 60 -
1. Akhmad Hidayat, S.Sos., MM. 2. Slamet Kurniawan Akhmad Hidayat, S.Sos., MM.
Noor Patria Budhiekusuma, S.Kom.
Wahyu Wijayanto, S.AB.