LAPORAN RISET PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU DI TINGKAT KPU KABUPATEN BONDOWOSO Dengan Tema
“ PERILAKU PEMILIH “ KERJASAMA
KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) BONDOWOSO
DAN
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS JEMBER
2015
LAPORAN PENELITIAN
PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT KABUPATEN BONDOWOSO
KERJASAMA KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) BONDOWOSO DAN LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS JEMBER 2015
i
KATA PENGANTAR Secara umum, kegiatan penelitian ini menganalisis perilaku memilih di kabupaten Bondowoso dengan tujuan khusus pertama, menggambarkan karakteristik pemilih, seperti sosial, ekonomi, politik pemilih di Kabupaten Bondowoso, berdasarkan umur, jenis kelamin, wilayah, pendidikan, pekerjaan, ormas dan pilihan politik legislative, presiden dan kepala daerah. Kedua, mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan psikologis. Ketiga, mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan
pertimbangan
pemilih
Bondowoso
berdasarkan
pertimbangan
Sosiologis. Keempat, mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan rasionalitas. Dan kelima, mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat Bondowoso. Untuk mencapai tujuan di atas, tim Peneliti melakukan wawancara langsung terhadap 384 responden yang tersebar di 23 kecamatan di Kabupaten Bondowosor. Selain wawancara dengan para responden, yang umumnya dari akar rumput, tim peneliti juga melakukan wawancara secara langsung (indept interview) dengan 5 informan, seperti tokoh masyarakat, akademisi, tokoh LSM dan staf pemerintah. Untuk wawancara terhadap tokoh masyarakat. akademisi dan staf pemerintah ini, tim peneliti hanya dilengkapi guide kuesioner, yang kemudian dikembangkan di lapangan. Tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada para responden, baik dari kalangan masyarakat (akar rumput) maupun para tokoh masyarakat dan elit politik yang merespon cukup baik dan meluangkan waktu berjam-jam dengan para peneliti. Akhirnya, sebagai sebuah karya penelitian, laporan ini tentu ada kekurangan disana sini. Untuk itu, tim peneliti mengharapkan masukan, saran, dan kritik dari semua pihak. Bondowoso, 14 Juni 2015 KPU Bondowoso Lembaga Penelitian UNEJ
ii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI...............................................................................................
iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
5
BAB 3 METODE PENELITIAN ..........................................................................
27
BAB 4 PERILAKU MMEILI .........................................................................
31
BAB 5 PENUTUP ......................................................................................
74
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Mengapa seseorang melakukan tindakan politik tertentu sementara yang lain tidak, mengapa orang memilih partai Golongan Karya, bukannya PAN, PKS, PBB, PKB, PPP, atau PDIP? Mengapa pilihan seseorang terhadap suatu partai politik cenderung konsisten dari Pemilu ke Pemilu, sementara yang lain berubahubah? Mengapa pada kelompok masyarakat tertentu cenderung mempunyai pilihan politik yang hampir sama? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang menentukan pilihan dalam suatu Pemilu? Sederet pertanyaan
senada masih akan muncul apabila menganalisis
perilaku memilih dalam suatu Pemilu. Pertanyaan-pertanyaan ini menarik bukan hanya bagi ilmuwan politik, tetapi juga bagi masyarakat awam, dan terutama lagi menarik bagi politisi. Persoalannya, adakah teori yang relatif "mapan" yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Adakah teori yang relatif "baku" yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena perilaku memilih di hampir semua negara yang menerapkan sistem pemilihan umum? Di banyak negara yang sudah stabil dan melakukan Pemilu secara reguler seperti di Amerika Serikat dan Eropa, teori tentang voting behavior sudah demikian berkembang. Hal ini disebabkan banyaknya studi perilaku memilih di negara- negara tersebut, terutama di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, dan sebagainya.
Bahkan, studi perilaku memilih ini sudah
berkembang di Jepang, sebagai negara Asia yang relatif maju tingkat demokrasinya.1 Dengan adanya sejumlah studi perilaku memilih, maka tersedia data yang memadai untuk melakukan inferensi- inferensi teoritis. 1
Salah satu studi perilaku memilih di Jepang baru-baru ini dilakukan oleh Flanagan. Ia menunjukkan bahwa pembelahan-pembelahan sosial mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku memilih, sementara identifikasi partai (yang disebutnya sebagai loyalitas partai tidak banyak memberikan sumbangan. Lihat Scott C. Flanagan, et al., The Japanese Voters (New Haven: Yale University Press, 1991).
1
Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikontruksi berlandaskan pada argument empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat
sejumlah masalah menyangkut
partisipasi
pemilih yang terus
menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalannya itu tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang yang terus menyisakan pertanyaan. Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkahnya kesukarelaan politik. Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada pada idealisme yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu.
1.2.
Tujuan Penelitian
Secara umum, kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan memotret perilaku memilih masyarakat Kabupaten Bondowoso. Secara khusus, aktivitas penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Menggambarkan karakteristik pemilih, seperti sosial, ekonomi, politik pemilih di Kabupaten Bondowoso, berdasarkan umur, jenis kelamin, wilayah, pendidikan, pekerjaan, ormas dan pilihan politik legislative, presiden dan kepala daerah.
2
2. Mengidentifikasi perilaku memilih masyarakat bondowoso, seperti tingkat partisipasi, metode kampanye, dan media kampanye. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan psikologis. 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan Sosiologis. 5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan rasionalitas. 6. Mengidentifikasi
isu-isu
yang
menjadi
perhatian
masyarakat
Bondowoso, baik isu dibidang politik, ekonomi, pendidikan, sosialkeagamaan, hukum, dan sebagainya. Termasuk disini adalah mengukur seberapa kuat variabel isu-isu tersebut mempengaruhi pilihan politik pada perilaku memilih.
1.3. Sasaran Penelitian
1.
Tersusunnya karakteristik sosial, ekonomi, politik pemilih di Kabupaten Bondowoso, berdasarkan umur, jenis kelamin, wilayah, pendidikan, pekerjaan, ormas dan pilihan politik legislative, presiden dan kepala daerah.
2. Tersusunnya faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso dalam menentukan pilihan politik pada saat pemilu. Termasuk disini adalah seberapa kuat pengaruh masing-masing variabel tersebut dalam mempengaruhi pilihan politiknya Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah faktor sosiologis (karakteristik sosial ekonomi), faktor psikologis (identifikasi partai), dan faktor rasionalitas (pertimbangan ekonomi, program, isu). 3. Tersusunnya isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat Bondowoso menjelang pemilihan Bupati secara langsung, baik isu dibidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial-keagamaan, hukum, dan sebagainya.
3
Termasuk disini adalah mengukur seberapa kuat variabel isu-isu tersebut mempengaruhi pilihan politik pada pemilihan Bupati secara langsung.
1.4. Sistimatika Laporan Sistimatika laporan perilaku memilih masyarakat Kabupaten Bondowoso adalah: BAB 1
: PENDAHULUAN
BAB 2
: KERANGKA TEORI
BAB 3
: METODE PENELITIAN
BAB 4
: PERILAKU MEMILIH
BAB 5
: PENUTUP
4
BAB 2 KERANGKA TEORI
Selama ini, penjelasan-penjelasan teoritis tentang voting behavior didasarkan pada dua model atau pendekatan, yaitu model/pendekatan sosiologi dan model/pendekatan psikologi. Di lingkungan ilmuwan sosial Amerika Serikat, model pertama disebut sebagai mazhab Columbia (The Columbi School of Electoral Behavior), sementara model kedua disebut sebagai mazhab Michigan (The Michigan Survey Research Centre). Mazhab pertama lebih menekankan peranan faktor- faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, sementara mazhab kedua lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politiknya.1 Dari dua mazhab tersebut, ada mazhab ketiga yang itu sangat berpengaruh dalam perilaku memilih, yaitu mazhab dimana perilaku memilih lebih menekannkan pada faktor-faktor rasionalitas.
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di Amerika Serikat dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang mempunyai latar belakang pendidikan Eropa. Karena itu, Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai social determinism approach. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti
pekerjaan,
pendidikan
latarbelakang sosiologis (seperti
dan
sebagainya)
dan
karakteristik
atau
agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan
sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pendek
1
Afan Gaffar, Javaners Voters, A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), hal. 4-9.
5
kata, pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda); jenis kelamin (lakiperempuan); agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasiorganisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya; maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompokkelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Dean Jaros dkk,2 ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu kelompok dengan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokan sosial itu ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori. Gerald Pomper memerinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi voting behavior ke dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis, dan semacamnya.3 Pendek kata, ikatan-ikatan sosiologis semacam ini sampai sekarang secara teoritis masih cukup signifikan untuk melihat perilaku memilih.4 Hubungan antara agama dengan perilaku memilih misalnya, tampak pada penelitian Lipset. Di beberapa negara di mana partai tidak mempunyai batas yang jelas dengan agama, kelompok minoritas di bidang ekonomi, politik ataupun diskriminan-diskriminan tertentu, cenderung untuk memilih partai yang berpaham 2
Penjelasan hubungan antar variabel ini lihat uraiannya dalam sub bab, “Explaining the Political Behavior of Individual: Group or Social Factors”, Dean Jaros et.al., Political Behavior, Choices and Perspectives (New York: St. Martin’s Press, 1974), hal. 111-146. 3
Gerald Pomper, Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior (New York: Dod, Mead Company, 1978), hal. 195-208. 4
Mark N. Franklin, “Voting Behavior”, dalam Seymour Martin Lipset, The Encyclopedia of Democracy, Volume IV (Washington, D.C.: Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 1346-1353.
6
liberal atau partai yang berhaluan kiri; sementara kelompok mayoritas cenderung untuk memberikan suaranya pada partai konservatif atau partai sayap kanan. Di Amerika Serikat misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam dan Hispanic (keturunan Latin) merupakan pendukung setia Partai Demokrat. Sementara kaum Protestan Anglo Saxon memberikan dukungan pada Partai Republik. Pada pemilihan presiden tahun 1984 misalnya, 68 persen orang Yahudi di Amerika Serikat memberikan suaranya untuk Partai Demokrat dibanding dengan 39 persen suara dari kaum Protestan. Sebagaimana yang diungkap Lipset:
"the Jewish ethic its emphasis on comunity and family welfare maybe constrasted to the Protestant ethic with its stress on individualism .... The former has obvious links to the principles espoused by American liberals and the Democratic Party; the latters has clear relations with the values subsumed under laisse- faire competitive individualism as expressed by concervatives and the Republican Party".
Tingkat ketaatan beragama juga berhubungan erat dengan perilaku memilih. Para pemilih yang berlatarbelakang Islam santri misalnya, cenderung memilih partai PPP. Di kabupaten-kabupaten daerah tapal kuda di Jawa Timur, yang dikenal sebagai basis wilayah santri, dari Pemilu ke Pemilu suara PPP cukup besar. Penelitian di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa para santri sebagian besar memilih PPP.5 Hal yang sama juga terjadi di Israel. Penelitian Wald dan Shye menunjukkan bahwa semakin besar keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan, semakin besar kecenderungannya untuk menyukai atau memilih partai- partai agama atau kelompok-kelompok sayap kanan.6 Meskipun dari Pemilu ke Pemilu hubungannya tidak selalu konsisten, jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang dapat dihubungkan dengan
5
Muhammad Asfar, “Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Kiai”, dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 17, tahun 1997. 6 Kenneth D. wald and Samuel Shye, “Religious Influence in Electoral Behavior: The Role of Institutional and Social Forces in Israel” dalam The Journal of Politics, Vol. 57. No. 2, 1995, hal. 495-507.
7
perilaku memilih. Studi voting behavior di Eropa pada dekade 1970-an menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai borjuis daripada partai sosialis, setuju dengan administrasi (birokrasi), menghindari pemihakan pada ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, dan mendukung partai moderat. Hanya saja, studi voting behavior di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya persistensi pilihan kelompok wanita terhadap partai tertentu, meskipun pola kecenderungan umum setiap Pemilu dapat dibedakan. Pada tahun 1952 misalnya, terdapat kecenderungan wanita mendukung Partai Republik dibanding pria (29,8% wanita mengidentifikasi pada Partai Republik, dibanding pria yang hanya 25,6%). Namun, sejak 1968, kecenderungan ini berubah. Dukungan wanita mulai cenderung ke Partai Demokrat (48,4% wanita mengidentifikasi pada Partai Demokrat dibanding pria yang hanya 43%). Dan puncak dukungan wanita yang lebih cenderung ke Partai Liberal ini terlihat pada Pemilu 1972 (43,8% wanita mengidentifikasi pada Partai Demokrat, 24,3% pada Partai Republik, sementara 31,9% mengaku independen). Setelah mengalami fluktuasi selama beberapa periode, wanita mulai lebih ke Partai Demokrat.7 Mengapa dukungan wanita terhadap suatu partai politik tidak konsisten? Salah satu penjelasannya adalah ketidaksukaan wanita terhadap isu-isu perang. Sehingga, mereka akan lebih mendukung pada partai yang menghendaki berakhirnya perang, termasuk pengurangan terhadap anggaran persenjataan.8 Betapapun begitu, ilmu politik tradisional umumnya menggambarkan hubungan antara wanita dan perilaku memilih adalah sebagai berikut: tingkat kehadiran dalam Pemilu rendah, cenderung memilih partai sayap kanan, sikapnya lebih konservatif, lebih menyukai isu-isu moralis, cenderung mengikuti pilihan suami dan orang tua, dan sebagainya.9 Berbagai penelitian mutakhir juga menunjukkan adanya preferensi politik berdasarkan perbedaan seks atau gender. Penelitian Wilder di Pakistan 7
Laura W. Arnold and Herbert F. Weisberg, “Parenthood, Family Values, and the 1992 Presidential Election”, dalam American Politics Quarterly, Vol. 2, No. 2, 1996, hal. 194-220. 8
Uraian dan data lebih lengkap dari perilaku memilih wanita ini dapat dilihat pada Gerald Pomper, op.cit., terutama bab “Sex, Voting and war”, hal. 42-89. 9 Lisa Tobegy, “Political Implication of Increasing Number of Women in the Labor Force”, dalam Comparative Political Studies, a Quarterly Journal, Vol. 27, No. 2, 1994, hal. 211-240.
8
menemukan bukti adanya preferensi pilihan wanita yang lebih suka terhadap partai Pakistan Muslim League (PML) faksi Nawaz Sharif. 10 Penelitian Rosenthal menunjukkan adanya kesadaran gender yang cukup kuat di kalangan pemilih wanita. Dari hasil survey yang ia lakukan terhadap 416 wanita pada tahun 1993, ia akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa para pemilih wanita lebih suka memilih kandidat sesama wanita.11 Bahkan, di antara wanita sendiri terdapat perbedaan preferensi pilihan politik berdasarkan kesadaran gender. Penelitian Cook menunjukkan, wanita yang mempunyai kesadaran feminisme cukup besar berbeda dengan wanita yang kurang memiliki kesadaran feminisme dalam hal sikap dan nilai politik, khususnya perbedaan dalam memilih kandidat dan pilihan politiknya pada saat Pemilu.12 Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku memilih. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Di beberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu, sampai mampu bertahan beberapa abad. Kasus yang patut diangkat adalah loyalitas yang begitu kuat terhadap Partai Demokrat dari pemilih yang bertempat tinggal di wilayah Selatan Amerika Serikat. Penduduk di wilayah Selatan, tanpa memperhatikan faktor etnis dan kelas, umumnya merupakan pendukung tetap Partai Demokrat. Meskipun masyarakat New England pada umumnya menjadi pendukung Partai Republik, namun di wilayah Selatan mereka lebih mendukung Partai Demokrat.13 Penelitian Petterson dan Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatanikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang. 14 Ikatan kedaerahan
10
Andrew R. Wilder, “Changing Patterns of Punjab Politics in Pakistan: National Assembly Election Results, 1988 and 1993”, dalam Asian Survey, vol. XXXV, No. 4, 1995, hal. 377-393. 11
Cindy Simon Rosenthal, “The Role of Gender in Descriptive Representation”, dalam Political Research Quarterly, Vol. 48, No. 1, 1995, hal. 117-134. 12
Elizabeth Adell Cook, “Feminist Consciousness and Candidate Preference Among American Women, 1972-1988”, dalam Political Behavior, Vol. 15, 1993, hal. 227. 13 Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, op.cit, hal. 205-206. 14
Per Arnt Pettersen and Lawrence E. Rose, “Participation in Local Politics in Norway: Some Do, Some Don’t, Some Will, Some Won’t”, dalam Political Behavior, Vol. 18, No. 1, 1996.
9
terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidat. Penelitian Potoski menunjukkan bahwa para kandidat umumnya lebih diterima dan dipilih oleh para pemilih yang berasal dari daerah yang sama. Dalam tulisan klasiknya yang diterbitkan pada tahun 1949, Southern Politics, Key menyebut perilaku memilih semacam ini sebagai localism, atau perilaku memilih friends and neighbors. Begitu kuatnya posisi variabel kedaerahan ini, ketika melaporkan penelitiannya, Potoski mengawali tulisannya sebagai berikut: “it is a political axiom that candidates tend to poll better in their home areas than they do elsewhere".15 Dalam berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, yang paling tinggi pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonomi), terutama di hampir semua negara industri. Setelah melakukan penelitian di beberapa negara (1981), Lipset menyimpulkan: "More than anything else the party struggle is a conflict among class,.... the lower income groups vote mainly for parties of the left, while the higher-income groups vote mainly for parties of the right". Di Eropa kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara pada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelompok menengah dan atas menjadi pendukung partai konservatif. Di Amerika Serikat meskipun tidak tergambar jelas, kelas menjadi basis dari partai politik. Masyarakat kelas bawah dan kelas pekerja --biasanya lewat organisasi buruh-cenderung ke Partai Demokrat, sedangkan kelas atas dan menengah --kecuali di luar wilayah Selatan-- merupakan pendukung Partai Republik.16 Hal yang hampir sama pernah dikemukakan oleh Milbrath, bahwa lingkungan kelas menengahbawah cenderung menghasilkan status changer (kaum Liberal), sementara lingkungan kelas menengah-atas cenderung menghasilkan status defender (kaum Konservatif).17 Namun, studi voting behavior yang lebih mutakhir -- terutama di Inggris-menunjukkan fakta yang sebaliknya. Penelitian Anthony Health (1991) dan Mc. 15
Matthew Potoski, “ ‘Friends and Neighbors Voting’ in Gubernatorial and Senatorial Primaries”, dalam Southeastern Political Review, Vol. 22, No. 3, 1994, hal. 543-548. 16 Arnold K. Sherman and Aliza Kolker, op.cit., hal. 199-202. 17 Milbrath, Political Participation (Chicago: Ron Mc.Nally and Co., 1965), hal. 5-38.
10
Allister (1990) menemukan bahwa pengaruh kelas --baik yang obyektif maupun yang subyektif-- pada perilaku memilih di Inggris sangat kecil, lebih kecil dari masalah-masalah perumahan, pendapatan dan rasa persatuan anggota.18 Temuan yang sama juga terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku memilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang masuk kategori orang kaya ataupun orang miskin; antara yang memiliki tanah luas dan sedikit; antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya19
2.
Pendekatan Psikologis
Kalau pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari Eropa Barat, pendekatan psikologis merupakan
fenomena Amerika Serikat
karena dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat melalui Survey Research Centre di Universitas Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini juga disebut sebagai mazhab Michigan. Pelopor utama pendekatan ini adalah Angust Campbell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap --secara metodologis-- sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi, pendekatan sosiologi umumnya hanya sebatas menggambarkan dukungan suatu kelompok tertentu pada suatu partai politik, tidak sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu memilih/mendukung suatu partai politik tertentu sementara yang lain tidak.20 Di samping itu, secara materi, patut dipersoalkan apakah benar variabelvariabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok-kelompok 18
Richard Rose dan Ian Mc. Allister, The Loyalities of Voters: A Lifetime Learning Model (London and Newburry Park, CA: Sage, 1990). 19
Afan Gaffar, op.cit., hal. 159-174. Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, Controversies of Voting Behavior, (Washington D.C.: a Division of Congressional quarterly Inc., 1984), hal. 9-12. 20
11
primer ataupun sekunder, itu
yang memberi urunan pada perilaku memilih.
Tidakkah variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang, bukan karakteristik sosiologis. Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi -- terutama konsep sosialisasi dan sikap-- untuk menjelaskan perilaku memilih. Menurut pendekatan ini para pemilih di Amerika Serikat menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Sosialisasi politik yang diterima seseorang pada masa kecil (baik di lingkungan keluarga maupun pertemanan dan sekolah) misalnya, sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.21 Penganut pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang --sebagai refleksi dari kepribadian seseorang-- merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat.22 Mengapa pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku politik seseorang? Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein mempunyai tiga fungsi. 23 Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya, seseorang bersikap tertentu merupakan akibat dari keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok panutan. Ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan
21
Mark N. Franklin, “Voting Behavior” dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The Encyclopedia of Democracy, Volume IV (Washington, D.C.: Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 1346-1347. 22 23
Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, op.cit., hal. 12-13. Lihat Greenstein, Personal and Politics (Chicago: Morkham Publishing, 1969).
12
upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi. Namun sikap bukanlah suatu yang bersifat asal jadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang. Mulai baru lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang pada masa anak-anak. Anakanak mulai mempersonifikasikan politik. Fase ini merupakan proses belajar keluarga. Anak-anak belajar pada orang tuanya tentang bagaimana perasaan mereka terhadap pemimpin-pemimpin politik; bagaimana orang tua mereka menganggap isu-isu politik, dan sebagainya. Tahap kedua adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat menginjak dewasa ketika menghadapi situasi di luar keluarga, seperti di sekolah, kelompok/teman sebaya, dan sebagainya. Tahap ketiga adalah bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik, dan asosiasi-asosiasi yang lain.24 Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik, yang berupa simpati terhadap partai politik. Ikatan psikologis inilah yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Bagi penganut pendekatan psikologis, konsep identifikasi partai ini dijadikan variabel sentral untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang. Sebagaimana yang diakui oleh Czudnowski, "This aproach also particularly adequate for the analysis of voting in the United States, where 'party identification' has been found to be the single most impartant variable determinising voting preferences”. 25 Hanya saja, identifikasi di sini berbeda dengan voting. Sebab, identifikasi partai lebih merujuk pada pengertian psikologis, yang ada dalam kontruksi dalam pikiran manusia dan tidak dapat diobservasi secara langsung, sementara voting merupakan tindakan yang jelas dan dapat diobservasi secara langsung. Di samping itu, seperti yang ditulis oleh Augus Campbell dkk, identifikasi partai lebih sebagai "a psychological identification, which can persist without legal recognition or
24
David Apter, Pengatar Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 262-267. Moshe M. Czudnowski, Comparing Political Behavior (London; Sage Publication, Inc., 1976). Hal. 76. 25
13
evidence of formal membership and even without a consistent record of party support.26 Lebih rinci, David Denver membedakan identifikasi partai dengan voting dalam tiga hal berikut:
Firstly, party identification is psychological while voting is behavioral. That is, identification exists in people's heads, we can't observe it directly. Voting, however, is definite action --putting a cross on a piece of paper or pulling a lever on a voting machine-- and it is in principle observable (although normally done in secret). Secondly, voting is time specific, while party identification is not. Voting can take place only at an election --and election occur relatively infrequently in Britain-- whereas identification is ongoing and continuos. They doesn't need to be an election in the offing for people to consider themselves supporters of a party. Thirdly, party identification varies in intensity and voting doesn't. Some people will be very strong party supporters, others not very strong or just weak supporters. All voters count equally, however, whether the voter marks the ballot with a greest thick black cross a timing faint one.27
Bagi penganut pendekatan psikologis, hubungan atau pengaruh antara identifikasi partai dengan perilaku memilih sudah menjadi semacam aksioma. Setelah mengamati perilaku memilih di Inggris dan menemukan data bahwa sebagian besar pemilih di Inggris memilih partai yang sama dari Pemilu ke Pemilu selama seperempat abad, Denver menyimpulkan bahwa teori-teori perilaku memilih benar (hanya) dalam satu hal: Pilihan seseorang harus dipahami sebagai pernyataan loyalitas (identifikasi partai)
yang dibentuk oleh pengalaman
sepanjang hidup.
26
Andi Alifian Mallarangeng, Contextual Analysis on Indonesian Electoral Behavior, dissertation (Dekalb, Illinois: Departemen of Political Science, Northern Illinois University, 1997), hal.33. 27
David Denver, Election and Voting Behavior in Britain (London: Philip Allan Published, 1989), hal. 27-28.
14
Betapapun pendekatan psikologis relatif banyak pengikutnya, bukan berarti pendekatan ini lepas dari kritik. Para pengkritik mempersoalkan hubungan antara sikap dan perilaku. Apakah benar sikap seseorang mempengaruhi perilakunya? Sebab belum tentu orang yang sikapnya menyukai partai tertentu atau kandidat tertentu dalam memilih nanti akan memilih sesuai dengan posisi sikapnya. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak mendukung rasisme namun berperilaku seperti seorang rasis. Disamping itu benarkah dalam menjelaskan perilaku seseorang itu dapat dihubungkan secara langsung dengan perilaku politik? Tidakkah ada variabel-variabel perantara yang justru lebih bisa menjelaskan? Misalnya, dalam banyak kasus,
para ahli psikologi sering
menggunakan teori A.H. Maslow tentang hirarkhi kebutuhan manusia untuk menjelaskan perilaku politik seseorang, padahal dalam realitas sulit ditemui --atau secara konseptual sukar dipahami-- hubungan antara perilaku aktual dengan konsep kebutuhan tanpa meletakkan konsep antara seperti keinginan misalnya. 28 Disamping itu, dalam berbagai penelitian sering terjadi kesalahan pengukuran terhadap konsep identifikasi partai. Akibatnya, stabilitas variabel identifikasi partai sebagai penjelas perilaku memilih sering diperdebatkan. 29 Persoalan pengukuran variabel identifikasi partai terutama terlihat dengan adanya perbedaan mendasar antara National Election Studies (NES) dengan Gallup. NES secara tradisional mengukur identifikasi partai dengan mengajukan pertanyaan tentang identifikasi partai seserang pada rentang waktu yang cukup panjang, sedang Gallup mengukur identifikasi partai dengan mengajukan pertanyaan tentang identifikasi partai seseorang pada masa kini atau saat penelitian dilakukan.30 Hanya saja, beberapa penelitian mutakhir menunjukkan menurunnya pengaruh identifikasi dalam menentukan pilihan pemilih. Penelitian Bowler dan Lanoue di Kanada pada dekade 1990-an menunjukkan menurunnya pengaruh 28
Christian Bay, “Politic and Pseudopolitics: A Critical Evaluation of Same Behavior Literature”, dalam Heinz Eulau (ed.), Behavioralism in Political Sciencet., hal. 109-137. 29
Donald Philip Green and Bradley Palmquist, “How Stable is Party Identification?”, dalam Political Behavior, Vol. 16, No. 4, 1994, hal. 437-466. 30 Charles H. Franklin, “Measurement and the Dynamics of Party Identification”, dalam Political Behavior, vol. 11, No. 3, 1992, hal. 297-309.
15
identifikasi --ia menggunakan istilah loyalitas-- partai.31 Penelitian Goldberg di Israel menunjukkan temuan yang lebih ekstrem, yakni semakin melemahnya peranan identifikasi partai dan menguatnya peranan variabel penilaian terhadap kandidat. Bahkan, untuk menggambarkan betapa rapuhnya peranan identifikasi partai pada Pemilu 1994 di Israel, ia memberi anak judul dalam tulisannya: a decline of party identification.32
3. Pendekatan Rasional
Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih ibarat wayang yang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas keinginan dalang. Pemilih seakan pionpion catur yang dengan mudah dapat ditebak langkah-langkahnya. Mereka beranggapan bahwa perilaku memilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latarbelakang keluarga, pembelahan kultural, afiliasi- afiliasi okupasi, ataupun identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, merupakan variabel-variabel yang secara sendiri-sendiri atau komplementer mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Pemilih seakan- akan berada pada waktu dan ruang yang kosong, yang keberadaan dan ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya. Kalau saja hal ini mengandung banyak kebenaran, persoalannya adalah bagaimana kita menjelaskan tentang adanya variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis mempunyai persamaan karakteristik. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana kita menjelaskan pergeseran pilihan dari satu Pemilu ke Pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama. Seorang yang mempunyai karakteristik sosial seperti jenis kelamin , agama,
31
Shaun Bowler and David J. Lanoue, “New Party Challenges and Partisan Change: The Effects of Party Competition on Party Loyalty”, dalam Political Behavior, Vol. 18, No. 4, 1996, hal. 327343. 32
Giora Goldberg, “ Trade Union and Party Politics in Israel: A Decline of Party Identification”, dalam The Journal of Social, Political and Econimic Studies, Vol. 23. No. 1, 1998, hal. 53-73.
16
pekerjaan, status sosial dan ekonomi yang sama selama dua puluh tahun, tetapi memberikan suara yang tidak sama pada setiap Pemilu. Itu berarti, ada variabel-variabel lain yang menentukan atau ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa merupakan isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Secara demikian, penjelasan-penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen --seperti karakteristik-karakteristik sosiologis dan identifikasi partai-tetapi berubah- ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa dramatik yang menyangkut persoalan-persoalan mendasar. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbanganpertimbangan rasional. Niemi dan Wiesberg meringkaskan model ini sebagai berikut:
The other model of voting that become popular is a rational voter model. According to this model, voters decide whether or not to vote and for which candidate to vote on some rational basis --usually on the basis of which action gives them greater expected benefits. They vote only if they perceive greater gains from voting than the cost (mainly in time). In the usual formulation, they vote for the candidat closest to them on the issues.
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku memilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam perilaku politikpun masyarakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni memberikan suara ke OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan dan
17
kemaslakhatan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian atau kemudlaratan yang sekecil-kecilnya. Secara demikian, perilaku memilih berdasarkan pertimbangan rasional tidak hanya berupa memilih alternatif yang paling menguntungkan (maximum gained) atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit. Tetapi juga dalam memilih alternatif yang menimbulkan resiko yang paling kecil (least risk), yang penting mendahulukan selamat.33 Dengan begitu, diasumsikan para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan. Begitu juga mampu menilai calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap isu politik atau kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan, informasi, pribadi yang populer karena prestasi dibidang masing-masing seperti seni, olah raga, film, organisasi, politik, dan semacamnya. Him Melweit dan koleganya menyebutkan sebagai "Consumer Model" of party choice, bahwa perilaku memilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan lain. Mereka mencatat bahwa "same express hope that the voters, loosened from traditional partisan attachment, will be able to exercise more rational choice based on the thoughtful consideration of the issues".34 Hubungan isu-isu politik dan penilaian kandidat dengan perilaku memilih akan tampak lebih jelas dengan melihat hasil penelitian Pomper di Amerika Serikat. Dengan membandingkan tiga kali hasil penelitiannya pada Pemilu 1954, 1964, 1972, Pomper mengajukan tiga kesimpulan. Pertama, hubungan antara variabel variabel sosio-ekonomi dengan sikap memilih semakin melemah dari Pemilu ke Pemilu, dan turun sampai tingkat yang rendah pada 1972. Faktor-faktor demografis ketika dihubungkan dengan sikap pemilih juga mengalami hal yang sama. Kedua, posisi isu-isu politik dalam menentukan voting meningkat secara tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap pilihan pemilih maupun secara tidak langsung melalui pemilihan calon kandidat. Ketiga, terjadi penurunan pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan pemilih secara terus menerus mulai 33
Lihat tulisan Ramlan Surbakti, “Memilih secara Rasional”, harian sore Surabaya Post, 1992.
34
Arnold K. Sherman dan aliza Kolker, op.cit., hal. 202.
18
dari Pemilu 1956, 1964 sampai puncaknya pada Pemilu 1972. Lebih jelasnya, lihat gambar 1,2 dan 3 berikut:35
Gambar 1: Model Kausal Pemilihan Presiden 1956
.306 FSPP
FPI
.679 .505 .370 RSPP
RPI
.126
.235
ISSI
.540
.114
CE
.060
.448
.540
RV
35
Dalam menjelaskan perilaku memilih di Amerika Serikat, Pomper memakai 6 variabel penjelas: Family Socioeconomic Partisan Predisposition (FSPP); Family Party Identification (FPI); Responden’s Socioeconomic Partisan Predisposition (RSPP); Responden’s Party Identification (RPI); Partisan Issues Index (ISSI); Candidate Avaluation (CE); dan Respondent’s Vote (RV). Lihat Gerald Pomper, op.cit., hal. 198-208.
19
Gambar 2: Model Kausal Pemilihan Presiden 1964
.336 FSPP
FPI
.705 .505 .215 RSPP
RPI
.186
.301
.356
ISSI
.203
CE
.224
.364
.377
RV
Gambar 3: Model Kausal Pemilihan Presiden 1972
.285 FSPP
FPI
.044 .458 .116 RSPP
RPI
.138
.249
ISSI
.340
.312
CE
.233
.310
.366
RV
20
Dari gambar di atas dapat terbaca bahw koefisien variabel indeks isu-isu partisan mengalami kenaikan dari Pemilu ke Pemilu. Bahkan pada gambar 2 dan 3 terlihat bahwa koefisien variabel evaluasi kandidat ternyata lebih besar daripada koefisien variabel identifikasi partai. Ini berarti, variabel penilaian kandidat lebih besar sumbangannya dalam menentukan perilaku memilih dibanding dengan variabel identifikasi partai. Meskipun begitu, penilaian terhadap isu dan kandidat bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, namun sering dipengaruhi oleh informasi yang diterima pemilih melalui media massa yang diikutinya. Berita dan komentarkomentar yang dimuat di media massa, khususnya berita atau komentar-komentar negatif, seringkali mempengaruhi penilaian terhadap kandidat, posisi kandidat dalam suatu isu, dan preferensi kandidat dalam suatu kebijakan tertentu, termasuk evaluasi terhadap perkembangan ekonomi nasional.36 Sementara itu, evaluasi terhadap kandidat sangat dipengaruhi oleh sejarah dan pengalaman masa lalu kandidat baik dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat, khususnya bagi para pejabat yang hendak mencalonkan kembali, di antaranya kualitas, kompetensi dan integritas kandidat. Para pejabat yang pada saat memegang jabatan tidak menunjukkan kualitas, kompetensi dan integritas pribadi yang memadai, mereka tidak akan terpilih kembali.37 Hanya, penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa di antara berbagai variabel yang mempengaruhi penilaian pemilih terhadap kandidat, variabel skandal mempunyai pengaruh yang paling signifikan. Penelitian di Amerika Serikat misalnya, menunjukkan bahwa skandal yang dilakukan kandidat – terutama berkaitan dengan skandal ketidaksetiaan dalam perkawinan (marital infidelity) dan
36
Marc J. Hetherington, “The Media’s Role in Farming Voters, National Economic Evaluation in 1992”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 40, No. 2, 1996, hal. 327-395; dan Craig Leonard Brian and Martin P. Wattenberg, “Campaign Issue Knowledge and Salience: Comparing Reception from TV Commersials, TV News, and News Paper”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 40, No. 1, 1996, hal. 129-141. 37
Jeffery J. Mondak, “Competence, Integrity, and the Electoral Success of Congressional Incumbents”, dalam The Journal of Politics, Vol. 57, No. 4, 1995, hal. 1043-1069.
21
pengelakan atau penggelapan pajak (tax evasion)-- sangat berpengaruh buruk pada penilaian terhadap kandidat.38 Dalam
khasanah teori voting behavior, penjelasan pilihan pemilih
berdasarkan petimbangan isu dan kandidat di atas juga dikenal sebagai teori spasial. Teori ini gasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan suara mereka. Disamping itu, dalam kaitannya dengan isu-isu politik, teori spasial juga mengasumsikan bahwa isu-isu politik dapat direpresentasikan sebagai seperangkat posisi kebijakan yang benar-benar nyata. Sebab itu, ketika seseorang menanggapi terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang suatu isu dalam suatu penelitian (survey), mereka diharapkan menyatakan posisi kebijakannya dalam kaitannya dengan isuisu tersebut. Pada sisi lain, isu juga merepresentasikan simbol. Oleh karena itu, respon seseorang terhadap suatu pertanyaan yang berhubungan dengan suatu isu dianggap untuk menyatakan apakah mereka mempunyai perasaan positip atau negatip terhadap simbol tersebut, yang dapat ditunjukkan dengan pertanyaan: seberapa dekat perasaan mereka terhadap suatu isu.39 Dalam terminologi Hucfeldt dan Carmines, penjelasan perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan kepentingan diri di atas disebut sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition).40 Tradisi ekonomi politik, sebagaimana teori-teori spasial dan pendekatan rasional lainnya, dikembangkan dari asumsi teoritis yang dibangun oleh Anthony Downs (1957) tentang economic theory of democracy. Dalam pandangan Downs, jika seseorang bertindak rasional berdasarkan kepentingan dirinya, maka kemungkinan besar mereka tidak memberikan suaranya pada saat Pemilu. Namun, sebagaimana yang digambarkan pada bab barikutnya, tesis Downs ini banyak dikritik terutama berkaitan dan data empirik tingginya tingkat kehadiran pemilih dan instrumen pengukurnya yang dinilai kurang tepat. 38
Carolyn L. Funk, “The Impact of Scandal on Candidate Evaluations: An Experimental Test of the Role of Candidate Traits”, dalam Political Behavior, Vol. 18. No. 1, 1996. 39 Torben Iversen, “Political Leadership and Representation in West European Democracies: A Test of Three Models of Voting”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 38, No. 1, 1994, hal. 45-74. 40
Edward G. Carmines and Robert Hucfeldt, loc.cit.
22
Betapapun penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada isu-isu di atas belakangan ini lebih dapat menjelaskan fenomena perilaku memilih di banyak negara, khususnya di negara-negara yang sudah maju dan tingkat demokrasinya sudah mapan,41 namun kritik terhadap pendekatan ini juga tidak sedikit. Pertama, asumsi-asumsi pendekatan ini dinilai sangat tidak realistik, terutama berkaitan dengan pengetahuan manusia dan motivasinya. Dalam realitasnya, tidak semua pemilih mempunyai akses yang sama terhadap informasi, sehingga mereka dapat menghitung keuntungan dan kerugian apabila memilih partai atau kandidat tertentu. Di samping itu, tidak semua pemilih memiliki informasi yang sama tentang isu-isu politik yang sedang berkembang, sehingga tidak bisa menilai posisi kandidat atau partai politik berdasarkan isu-isu politik yang diangkatnya. Kedua, berkaitan dengan keberatan yang dikemukakan oleh para pendukung "model politik simbolik" seperti Edelman (1967), Sears dkk. (1979, Marcus (1988), Rabinovits dan MacDonald (1989), dan sebagainya. Gagasan utama pendekatan ini adalah, bahwa para pemilih memilih merespon simbolsimbol politik berdasarkan pertimbangan emosional dan perasaan, serta menghindarkan diri dari perhitungan-perhitungan yang bersifat rasional tentang informasi kandidat dan posisi kebijakannya. Banyak pemilih yang memilih partai politik atau kandidat berdasarkan pertimbangan emosional dan perasaan, tanpa memperhitungkan isu- isu politik yang diangkat kandidat atau partai tersebut dalam suatu kampanye pemiliu.42 Ketiga, teori-teori spasial pada umumnya mengalami anomali di tingkat empiris terutama berkaitan dengan karakteritik teorinya bahwa partai politik dan kandidat cenderung mengambil posisi kebijakan yang lebih ekstrim daripada umumnya kebijakan para pemilihnya. Studi-studi yang dilakukan oleh Robinowitz (1978), Inglehart (1984), Dalton (1985), Robinowitz dan MacDonald (1988), Holmberg (1988), Robinowitz, MacDonald dan Listhaug (1991), semuanya menemukan hasil yang sama: adanya bentuk-bentuk perbedaan sikap antara
41
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan adanya pergeseran bentuk perilaku memilih, dari yang didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan identifikasi partai ke arah pertimbangan berdasarkan isu, lihat Russell J. Dalton, “Comparative Politics: Micro-behavioral Perspective”, dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., hal. 336-396. 42 Torben Iverson, loc.cit.
23
pemilih dan elit. Bahkan, hasil penelitian Listhaug, MacDonald dan Robinowitz (1991) menunjukkan adanya --apa yang mereka sebut sebagai-- suatu empty centre, yaitu adanya kelompok partai di dalam suatu wilayah yang keberadaan posisinya di luar posisi kebanyakan pemilih.43 Hal lain yang juga perlu dicatat adanya perbedaan pengaruh di antara isu terhadap perilaku politik. Dalam realitas politik, ada beragam isu sebagai pertimbangan seseorang menentukan pilihan. Ada isu yang berkaitan dengan peningkatan pajak, perbaikan kesejahteraan rakyat, ras, gender, agama, dan sebagainya. Seorang pemilih biasanya responnya tidak sama terhadap isu-isu tersebut, sehingga pengaruh masing-masing isu terhadap perilaku memilih juga tidak sama. Di negara-negara tertentu, ada suatu isu yang pengaruhnya cenderung menguat, sementara isu yang lain cenderung melemah. Penelitian Abramowitz di Amerika Serikat misalnya, menunjukkan menurunnya pengaruh isu rasial dan agama, padahal beberapa dekade lalu kedua variabel ini pengaruhnya sangat kuat dalam menentukan perilaku memilih.44 Disamping kritik-kritik di atas, terutama untuk kasus Indonesia, masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Persoalan utama berasal dari asumsi pendekatan rasional itu sendiri, yang menganggap para pemilih mempunyai informasi yang relatif akurat mengenai setiap alternatif yang tersedia; dan menganggap para pemilih bebas dari tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan kehendak lingkungan. Dalam kenyataannya, tidak semua pemilih mempunyai informasi yang memadai mengenai isu-isu politik dan para kandidat yang diajukan OPP; begitu juga para pemilih sama sekali tidak bebas dari tekanan lingkungan. Analogi kedua asumsi juga dapat dipersoalkan. Apabila keuntungan dalam transaksi ekonomi secara langsung dan konkrit dapat diketahui, tetapi transaksi atau pertukaran antara pemberi suara dan wakil; atau keuntungan ketika memilih partai tertentu tidak dapat diketahui secara langsung dan konkrit. Para penganut pendekatan psikologis dan sosiologis tentu mempersoalkan hubungan antara variabel-variabel dalam pendekatan politik-rasional itu dengan 43
Torben Iverson., loc.cit. Alan I. Abramowitz, “Issue Evaluation Reconsidered: Racial Attitudes and Partisanship in the U.S. Electorate”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 38, No. 1, 1994, hal. 1-24. 44
24
perilaku memilih. Benarkah isu-isu politik dan penilaian kandidat itu sebagai suatu variabel bebas? Tidakkah, bisa jadi, pilihan terhadap isu politik dan penilaian terhadap kandidat itu juga dipengaruhi oleh identifikasi partai atau karakteristik-karakteristik sosiologis? Dan, bagaimana mengetahui dengan pasti bahwa perilaku memilih itu dipengaruhi oleh mobilisasi atau paksaan (ancaman)? Pada sisi lain, faktor-faktor politik juga mempunyai pengaruh yang mengedepan dalam menentukan perilaku memilih seseorang, terutama untuk menjelaskan perilaku politik di negara-negara sedang berkembang yang menampakkan model pemerintahan birokratik-otoriter, seperti negara Indonesia. Faktor politis ini bisa berupa prosedur pelaksanaan Pemilu, aturan-aturan permasalahannya, bisa juga berupa tekanan-tekanan struktural atau paksaan. Misalnya, beberapa prosedur atau aturan Pemilu membatasi kelompok-kelompok tertentu untuk bisa menggunakan hak politiknya. Orang-orang tahanan atau yang secara politis dianggap musuh negara tidak diperbolehkan menggunakan hak pilihnya. Di Indonesia, kebanyakan para bekas aktivis partai komunis atau organisasi terlarang lainnya tidak diperbolehkan ikut Pemilu. Tekanan-tekanan struktural atau paksaan dari pihak lain juga mempunyai urunan dalam menentukan pilihan seseorang. Tekanan ini bisa dalam bentuk halus (mobilisasi) dan dalam bentuk paksaan. Dalam bentuk mobilisasi, pilihan yang dibuat didasarkan pada pengarahan yang diberikan oleh seorang tokoh dari lingkungan terdekatnya --lingkungan tetangga, organisasi, pekerjaan atau kelompok-kelompok lainnya-- yang tidak mungkin bisa ditolak. Dalam penjelasan Lipset hal ini dimasukkan dalam kategori group pressures to vote dan cross pressures. Dalam bentuk paksaan, pilihan yang dibuat disebabkan adanya ancaman atau intimidasi oleh pihak lain. Dalam Pemilu di Indonesia misalnya, paksaan yang muncul pada umumnya dilakukan dalam tiga bentuk ancaman, yaitu ancaman administratif, ekonomi dan ideologis. Ancaman administratif dikeluarkan oleh aparat pemerintahan desa atau kelurahan dalam bentuk, misalnya, tidak akan memberi pelayanan surat keterangan (KTP, pertanahan, surat kelakuan baik, surat kawin, surat kenal lahir, dan sebagainya) kepada warga yang tidak memilih OPP tertentu. Bentuk ancaman administratif ini tidak berupa ancaman secara verbal, tetapi
25
dalam bentuk perlakuan seperti menghindari atau mengabaikan orang tersebut, atau memperlambat pelayanan. Konsekuensi ancaman ekonomi bagi yang tidak memilih OPP tertentu adalah kehilangan pekerjaan pada sektor publik dan swasta atau kehilangan tanah garapan. Konsekuensinya bisa menyebabkan hilangnya sumber kehidupan. Bentuk baru dari ancaman ekonomi ini adalah tidak diberi jabatan atau tugas yang jelas di suatu kantor atau tidak diikutsertakan dalam berbagai kegiatan tambahan yang mendatangkan pendapatan ekstra.45 Pada Pemilu 1971, cukup banyak orang memilih OPP tertentu karena takut dituduh sebagai anggota atau simpatisan partai terlarang. Mengabaikan ancaman ideologis semacam ini tidak hanya berakibat bagai dirinya sendiri tetapi juga bagi keturunannya. Untuk itu, demi rasa aman, tidak bisa lain kecuali memilih OPP tertentu. Dalam konteks semacam ini, seorang pemilih memilih partai politik berdasarkan pertimbangan minimalisasi resiko ini tampaknya juga dapat dimasukkan dalam penjelasan rasional.
45
Ramlan Surbakti, “Apakah Masih ada Paksaan Dalam Pemilu? Harian Surya, 1992
26
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah Kuantitatif dengan rancang bangun penelitian survey. Dimana, peneliti bertujuan mengkaji perilaku memilih masyarakat Bondowoso berdasarkan karakteristik pemilih, perilaku memilih berdasarkan alasan psikologis, perilaku memilih berdasarkan alasan sosiologis, dan perilaku memilih berdasarkan alasan rasionalitas, serta isu-isu politik di Kabupaten Bondowoso. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teoriteori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Desain penelitian survey adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data. Metode ini adalah yang paling sering dipakai di kalangan peneliti perilaku memilih. Desainnya sederhana, prosesnya cepat. Penelitian survei dengan kuesioner ini memerlukan responden dalam jumlah yang cukup agar validitas temuan bisa dicapai dengan baik. Hal ini wajar, sebab apa yang digali dari kuesioner itu cenderung informasi umum tentang fakta atau opini yang diberikan oleh responden. Karena informasi bersifat umum dan (cenderung) maka diperlukan responden dalam jumlah cukup agar “pola” yang menggambarkan objek yang diteliti dapat dijelaskan dengan baik.
3.2 Lokasi penelitian/Setting Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Bondowoso, dengan mengambil sampel lokasi di 23 kecamatan, diantaranya adalah kecamatan Binakal, Kecamatan Bondowoso, Kecamatan Botolinggo, Kecamatan Cermee, dan Kecamatan Wringin.
3.3. Populasi dan Sampel Populasi penelitian untuk metode kuantitatif adalah seluruh penduduk Kabupaten Bondowoso sebesar 597.128 (KPU Jawa Timur, 2014). 27
Sampel penelitian adalah sebagian dari pemilih kabupaten Bondowoso yang dihitung dengan menggunakan rumus: N Z2 P (1-P) n = ----------------------------(N-1) d² + Z2 P (1-P)] Dimana: n = Besar sampel N = Jumlah populasi P = proporsi = 0,5 Z2 = Derajat kepercayaan 95%, maka Z adalah 1,96 d = presisi yang diinginkan dalam penelitian ini 5% (0,05)
Dari hasil penghitungan rumus di atas, maka sampel penelitian ini adalah 384 sampel.
Teknik pengambilan sampel penelitian yaitu dengan teknik Multistade Random Sampling, dimana peneliti sebelumnya memilih sampel kecamatan, dari sampel kecamatan kemudian dipilih sampel desa, dari sampel desa kemudian diambil sampel RT/RW secara sistimatik. Untuk pembagian sampel kecamatan bisa dilihat di bawa ini: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
NAMA KECAMATAN Binakal Bondowoso Botolinggo Cermee Curahdami Grujukan Jambesari DS Klabang Maesan Pakem Prajekan Pujer Sempol Sukosari Sumberwringin Taman krocok
JUMLAH PEMILIH SAMPEL 12843 8.25905 56169 36.1211 27083 17.4165 35500 22.8293 24217 15.5734 28018 18.0178 26318 16.9245 15613 10.0404 35786 23.0132 18465 11.8744 20191 12.9844 32760 21.0672 8827 5.67645 12060 7.75552 26249 16.8802 13179 8.47513 28
SAMPEL AKHIR 9 35 17 22 16 18 16 11 23 12 13 21 8 9 16 9
17 18 19 20 21 22 23 TOTAL
Tamanan Tapen Tegalampel Tenggarang Tlogosari Wonosari Wringin
28146 26628 19553 30754 35904 31135 31730 597128
18.1001 17.1239 12.5741 19.7772 23.0891 20.0222 20.4049 384
18 17 13 19 22 20 20 384
3.4 Variabel Penelitian a.
Karakteristik Pemilih
b.
Perilaku Memilih berdasarkan pertimbangan psikologis
c.
Perilaku Memilih berdasarkan pertimbangan Sosiologis
d.
Perilaku Memilih berdasarkan pertimbangan Rasionalitas
e.
Isu-isu politik di Kabupaten Bondowoso.
3.5. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data metode kuantitatif yaitu dengan data primer dan sekunder. a.
Data Primer 1) Angket terhadap responden dengan menggunakan format kuesioner tertutup untuk mengetahui data karakteristik pemilih, perilaku memilih berdasarkan alasan psikologis, perilaku memilih berdasarkan alasan sosiologis, dan perilaku memilih berdasarkan alasan rasionalitas, serta isu-isu politik di Kabupaten Bondowoso. 2) Observasi atau pengamatan langsung di lingkungan dimana masyarakat tinggal.
b.
Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui telaah kepustakaan, Instansi atau dinas terkait, data dari
instansi atau dinas sebagai penunjang data yang diperlukan data dalam penelitian ini, seperti gambaran umum Kecamatan di Kabupaten Bondowoso, jumlah pemilih, data penduduk, fasilitas Kecamatan dan lain sebagainya.
3.6. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian metode kuantitatif dari penelitiaan ini adalah kuesioner tertutup, dimana responden akan memilih salah satu dari alternatif jawaban yang telah disediakan peneliti. 29
3.7. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif. Data yang telah terkumpul dilakukan editing (penyuntingan), hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan. Setelah itu dilakukan koding (penandaan) serta entry data sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga mempermudah untuk analisis. Data dianalisis dengan bantuan perangkat computer program SPSS. Penyajian data dalam bentuk terks atau narasi, table dan tabulasi silang atau bagan.
30
BAB 4 PERILAKU MEMILIH
4.1.
KARAKTERISTIK PEMILIH
4.1.1 Distribusi Sampel Kecamatan Berdasarkan jumlah sampel perkecamatan, sampel diambil secara proporsional berdasarkan jumlah pemilih di masing-masing kecamatan. Hal ini dilakukan agar terjadi penyebaran jumlah responden berdasarkan besaran pemilih di masing-masing kecamatan. Sampel terbesar adalah di Kecamatan Wringin sebanyak 36 sampel (9,4%), Kota sebanyak 34 responden (8,9%) dan Maesan sebanyak 22 responden (5,7%). Kecamatan
Valid
Binakal Bondowoso Botolingo Cermee Curahdami Grujukan Jambesari Klabang Maesan Pakem Prajekan Pujer Sempol Sukosari Sumberwringin Taman Krocok Tamanan Tegalampel Tenggarang Tlogosari Wonosari Wringin Total
Frequency 10 34 16 22 16 18 16 10 22 12 14 20 10 12 16 10 18 12 18 22 20 36 384
Percent 2.6 8.9 4.2 5.7 4.2 4.7 4.2 2.6 5.7 3.1 3.6 5.2 2.6 3.1 4.2 2.6 4.7 3.1 4.7 5.7 5.2 9.4 100.0
31
Valid Percent 2.6 8.9 4.2 5.7 4.2 4.7 4.2 2.6 5.7 3.1 3.6 5.2 2.6 3.1 4.2 2.6 4.7 3.1 4.7 5.7 5.2 9.4 100.0
Cumulative Percent 2.6 11.5 15.6 21.4 25.5 30.2 34.4 37.0 42.7 45.8 49.5 54.7 57.3 60.4 64.6 67.2 71.9 75.0 79.7 85.4 90.6 100.0
4.1.2
Distribusi Sampel Perdapil Sampel dapil diambil juga secara proporsional berdasarkan jumlah
pemilih di masing-masing kecamatan. Dapil V adalah dapil dengan sampel terbesar, yaitu sebanyak 96 responden (25%). Dapil
Valid
4.1.3
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V Total
Frequency 72 62 80 74 96 384
Percent 18.8 16.1 20.8 19.3 25.0 100.0
Valid Percent 18.8 16.1 20.8 19.3 25.0 100.0
Cumulative Percent 18.8 34.9 55.7 75.0 100.0
Distribusi Umur Responden
Dari sisi umur, kebanyakan responden yang terjaring berumur antara 4049 tahun, yaitu sebanyak 39,1 persen. Sedikit dibawahnya adalah responden yang berumur 20-29 tahun sebanyak 26,0 persen. Sisanya, berumur di atas 50 tahun sebanyak 13 persen, 30-39 tahun sebanyak 20,3 persen, kurang dari 20 tahun 1,6 persen. Dari sisi umur ini, komposisi responden memang menggelembung di tengah, yaitu berkisar pada umur 30-49 tahun. Sementara pemilih pemula jumlah sangat terbatas. Hanya sekitar 2 persen pemilih pemula, sehingga tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih secara keseluruhan. Umur Resp
Valid
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun Total
Frequency 6 100 78 150 50 384
Percent 1.6 26.0 20.3 39.1 13.0 100.0
32
Valid Percent 1.6 26.0 20.3 39.1 13.0 100.0
Cumulative Percent 1.6 27.6 47.9 87.0 100.0
4.2
Distribusi Jenis Kelamin Responden
Dari segi jender, responden yang terjaring umumnya berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 68,8 persen dari 384 responden. Sementara itu, sisanya, 31,2 persen berjenis kelamin perempuan. Dibanding angka riil pemilih di Kabupaten Bondowoso, angka di atas tampaknya sedikit over representatif untuk pemilih laki-laki. Sebab, dalam realitasnya, jumlah pemilih perempuan dengan laki-laki adalah hampir seimbang. Namun, karena ada kecenderungan pilihan perempuan, terutama yang sudah berkeluarga, mengikuti pilihan suaminya; begitu juga pilihan anak perempuan ada kecenderungan mengikuti pilihan politik bapaknya, maka nilai over representatif sekitar 16 persen di atas tampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap hasil prediksi. Meski begitu, untuk menjelaskan kasus-kasus khusus, perbedaan ini perlu dikontrol. Jenis Kelamin
Valid
4.3
Laki-laki Perempuan Total
Frequency 264 120 384
Percent 68.8 31.3 100.0
Valid Percent 68.8 31.3 100.0
Cumulative Percent 68.8 100.0
Distribusi Pendidikan Responden
Dari sisi pendidikan, umumnya responden yang diteliti berpendidikan SD, yaitu sekitar 7,3 persen. Jumlah ini disusul responden yang berpendidikan SLTP sebesar 16,1 persen, dan paling besar SLTA 55,2 persen, dan perguruan tinggi sebanyak 19,8 persen. Sisanya, sekitar 1,6 persen mengaku tidak sekolah atau SD tidak tamat. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar, sekitar 50 persen, responden yang diteliti mengaku hanya berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi. Jika angka ini ditambah dengan 16 persen responden yang mengaku pendidikan SLTP, itu berarti
ada sekitar 80 persen responden yang
pendidikannya SLTP ke atas.
33
Pendidikan
Valid
4.4
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat Total
Frequency 6 28 62 212 76 384
Percent 1.6 7.3 16.1 55.2 19.8 100.0
Valid Percent 1.6 7.3 16.1 55.2 19.8 100.0
Cumulative Percent 1.6 8.9 25.0 80.2 100.0
Distribusi Pekerjaan Responden
Dari sisi pekerjaan, sebagian besar responden yang diteliti mengaku bekerja sebagai petani. Terdapat sekitar 17,2 persen responden yang mengaku sebagai petani. Jumlah ini diikuti oleh warga yang mengaku sebagai pedagang, sekitar hampir 17,2 persen. Hanya saja, pengertian pedagang disini bukanlah sebagai pedagang besar, tetapi kebanyakan adalah pedagang kecil bahkan eceran di pasar-pasar atau di depan rumah. Jumlah yang lebih kecil diakui oleh responden yang mengaku bekerja di sector informal, diantaranya termasuk yang bergerak di PK5. Sekitar 4,7 persen responden mengaku sebagai karyawan swasta seperti pegawai pabrik, karyawan perusahaan, bekerja di toko, dan sebagainya. Responden yang mengaku sebagai karyawan swasta hanya sekitar 11,5 persen, pengusaha3,1 persen, TNI-Polri 0,0 persen. Sisanya, mengaku belum bekerja atau bekerja di sector lainnya, seperti buruh, satpam, pekerja bangunan, jumlahnya mencapai 28,1 persen.
34
Pekerjaan
Valid
4.5
Pegawai Negeri Sipil Pengusaha Pedagang Karyawan Swasta Petani Sektor Informal Lain-lain Total
Frequency 70 12 66 44 66 18 108 384
Percent 18.2 3.1 17.2 11.5 17.2 4.7 28.1 100.0
Valid Percent 18.2 3.1 17.2 11.5 17.2 4.7 28.1 100.0
Cumulative Percent 18.2 21.4 38.5 50.0 67.2 71.9 100.0
Distribusi Penghasilan Responden
Dari sisi penghasilan, umumnya cukup memprihatinkan. Sebagian besar responden mengaku berpenghasilan kurang dari 500 ribu rupiah per bulan. Terdapat 5,7 persen yang mengaku memperoleh penghasilan sebesar itu. Responden yang berpenghasilan 500 ribu-1 juta jumlahnya 15,6 persen. Untuk kebutuhan hidup di Kabupaten besar seperti Bondowoso, apalagi bagi yang sudah memiliki keluarga dan anak-anak, tentu penghasilan sebesar itu masih jauh dari mencukupi secara wajar. Memang, terdapat 6,4 persen responden yang mengaku memperoleh penghasilan 1-1,5 juta dan 14,6 persen yang memperoleh penghasilan 1,5-2 juta. Bahkan, terdapat 25,5 persen responden yang mengaku berpenghasilan di atas 2 juta.
Penghasilan
Valid
< 500.000 500.000 -< 1.000.000 1.000.000 -< 1.500.000 1.500.000 -< 2.000.000 > 2.000.000 Total
Frequency 22 60 56 148 98 384
35
Percent 5.7 15.6 14.6 38.5 25.5 100.0
Valid Percent 5.7 15.6 14.6 38.5 25.5 100.0
Cumulative Percent 5.7 21.4 35.9 74.5 100.0
4.2.
PERILAKU MEMILIH
4.2.1 Partisipasi Politik Partisipasi politik warga Bondowoso memang tidak begitu besar, dari 384 responden, ketika ditanya apakah mereka ke depan hadir pada pemilihan bupati, partai maupun presiden, hanya 77,3 persen yang menjawab hadir untuk mengikuti pilihan, sedangkan 22,7 persennya tidak hadir. Ketidakhadiran ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakpedulian mereka terhadap pemilu, bahwa pemilu sudah tidak merubah apapun. sebagian besar lagi menganggap bahwa mereka harus bekerja sehingga mereka kesulitan untuk mengikuti pilihan, mengingat biasanya pilihan dilaksanakan pada hari normal bukan pada saat liburan nasional.
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT
77,3
tidak hadir
22,7
hadir
0
10
20
30
40
50
60
70
80
4.2.2 Model Kampanye Model kampanye yang diharapkan masyarakat Bondowoso sebagian besar adalah model kampanye dialogis, yaitu sebanyak 34,4 persen, disusul konfoi 30,7 persen, dibawahnya sedikit adalah door to door sebanyak 24,5 persen dan pengerahan massa hanyya 9,9 persen. Tingginya model kampanye dengan dialogis yang diharapkan masyarakat bisa dimengerti, mengingat bahwa
36
masyarakat sudah bosan dengan model kampanye pengerahan massa yang selama ini terjadi. Karena biasanya pada saat kampanye dengan pengerahan massa ada beberapa kejadian yang tidak diinginkan oleh masyarakat, seperti bentrok antar pendukung partai atau calon maupun merusak fasilitas-fasilitas umum. Kalau dilihat kampanye dialogis dan door to door dijumlah sebesar 60 persen lebih, maka masyarakat menginginkan sebenarnya model kampanye yang modern lebih mengedepankan penyampaian program dibandingkan hanya sekedar pengerahan massa yang seolah-olah penghamburan atau foya-foya saja.
MODEL KAMPANYE Lain-lain 0,5 24,5
Door to door
30,7
Konfoi 9,9
Pengerahan Massa
34,4
Dialogis 0
5
10
15
20
25
30
35
Dari model kampanye dialogis, ternyata sebagian besar menginginkan dialog langsung melalui dialog pertemuan-pertemuan RT/RW/desa sebesar 35,4 persen, karena dialog model ini partai atau calon langsung mengerti permasalahan-permasalahan yang ada di setiap wilayah terkecil disetiap kabupaten atau provinsi. Sebagian besar lagi, 28,6 persen menginginkan dialog langsung tatap muka, baik melalui tatap muka pertemuan pengajian maupun ormas-ormas.
37
MODEL KAMPANYE DIALOGIS Dialog dengan alat peraga (baliho, pamflet)
5,7
Dialog dengan membawa uang
6,3 9,4
Dialog dengan membawa bingkisan
35,4
Dialog Pertemuan Kelompok (RT/RW/desa) 14,6
Dialog melalui radio/ TV
28,6
Dialog dengan tatap muka 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Meskipun beberapa masyarakat menginginkan model kampanye dengan dialogis, ternyata mereka juga mengharapkan ketika berdialog atau bertemu dengan masyarakat mereka (partai dan calon) juga membawa beberapa bingkisan sebagai tanda kepedulian mereka terhadap masyarakat local. Sebagian besar bingkisan yang diharapkan adalah dalam bentuk sembako sebanyak 44,8 persen, kemudian disusul kaos sebanyak 18,2 persen, dan jilbab/kerudung sebanyak 13,0 persen. sedangkan hanya 6,8 persen yang tidak mengharapkan bingkisan pada saat kampanye. Bingkisan Dikehendaki
Valid
Missing Total
Kaos Jilbab/ Kerudung Sarung Tas Topi Sembako Lain-lain Total System
Frequency 70 50 46 6 2 172 12 358 26 384
Percent 18.2 13.0 12.0 1.6 .5 44.8 3.1 93.2 6.8 100.0
38
Valid Percent 19.6 14.0 12.8 1.7 .6 48.0 3.4 100.0
Cumulative Percent 19.6 33.5 46.4 48.0 48.6 96.6 100.0
Untuk
model kampanye dengan model konfoi, sebagian besar
masyarakat menginginkan bahwa konfoi tidak hanya sekedar membawa kendaraan kemudian mengitari setiap wilayah kampanye, tetapi mereka menginginkan bahwa ketika kampanye, partai atau calon juga harus meninformasikan
mengenai
program-program
mereka
kedepan
melalui
pembagian brosur pada saat kampanye, yaitu sebesar 46,4 persen, dan 24 persen dibarengi dengan bawa music ketika berkonfoi. Pengerahan Massa paling Relevan untuk Konfoi
Valid
Bawa Kendaraan Jalan Konfoi sambil bawa brosur Konfoi sambil bawa musik Total
Frequency 66 48
Percent 17.2 12.5
Valid Percent 17.2 12.5
Cumulative Percent 17.2 29.7
178
46.4
46.4
76.0
92
24.0
24.0
100.0
384
100.0
100.0
Model kampanye door to door yang diharapkan masyarakat adalah bertamu atau bersilaturohmi dengan membawa program (27 persen) dan mereka (partai atau caleg,cabup) bisa mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat (52,6 persen). Disamping itu,
ada beberapa masyarakat yang
menginginkan ketika bersilaturohmi juga membawa sembako atau uang. Door to door paling relevan Frequency Valid
Bertemu & Perkenalan Program Mendengarkan masalah & keluhan warga Bertamu & membawa oleh2/ sembako Bertamu & Membawa Uang Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
104
27.1
27.1
27.1
202
52.6
52.6
79.7
50
13.0
13.0
92.7
28
7.3
7.3
100.0
384
100.0
100.0
39
Media relevan yang digunakan untuk kampanye adalah TV sebasar 49 persen, disusul radio 16,1 persen, dan surat kabar 15,1 persen. Tingginya media kampanye dengan
TV
dibandingkan dengan
radio
atau surat kabar
mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat ketika pingin mendegarkan program atau calon tidak hanya melalui suara saja atau berita saja, tetapi masyarakat menginginkan penampilan mereka juga. media Tv merupakan media yang paling lengkap dalam penyampaian program, hal ini bisa dimengerti karena media TV, para caleg atau cabup bisa dilihat langsung oleh masyarakat dan masyarakat bisa juga mengetahui program yang langsung disampaikan oleh para caleg atau cabup tersebut. Media Relevan untuk Pileg 2015
Valid
TV Radio Surat Kabar Tatap Muka Total
Frequency 188 62 58 76 384
Percent 49.0 16.1 15.1 19.8 100.0
Valid Percent 49.0 16.1 15.1 19.8 100.0
Cumulative Percent 49.0 65.1 80.2 100.0
4.2.3 Kampanye dengan Hiburan Pada saat kampanye, ternyata masyarakat tidak hanya menginginkan setiap partai, cabup maupun capres menyampaikan visi, misi maupun program saja, tetapi sebagian besar responden 82,3 persen mengharapkan bahwa ketika kampanye perlu juga ditampilkan hiburan. perlunya program hiburan ini bisa dipahami, mengingat bahwa sebagian besar masyarakat haus akan hiburan yang gratis, dan ketika kampanye, hiburan ini juga bisa dipakai untuk menarik sejumlah besar masyarakat untuk menghadiri kampanye, sehingga setiap kampanye yang dilakukan oleh partai, caleg, capres maupun cabup bisa mengena ke masyarakat dengan jumlah peserta yang banyak.
40
Kampanye dengan hiburan
Valid
Suka Tidak Suka Total
Frequency 316 68 384
Percent 82.3 17.7 100.0
Valid Percent 82.3 17.7 100.0
Cumulative Percent 82.3 100.0
Beberapa huburan yang disukai oleh masyarakat pada saat kampanye adalah music dangdut 65,0 persen, music pop 10,9 persen, dan lawakan 5,7 persen. Tingginya musik dangdut menunjukkan bahwa musik dangdut adalah musik masyarakat umum yang tidak terpengaruh oleh latarbelakang pendidikan, ekonomi, maupun pekerjaan, hamper setiap masyarakat menyukai dangdut. Sehingga ketika seorang caleg, capres atau cabup hendak kampanye dan berharap bahwa kampanyennya dihadiri oleh masyarakat banyak, maka kampanyenya harus dibarengi dengan hiburan music dangdut. Hiburan yang Disukai
Valid
Missing Total
Musik Dangdut Musik Pop Musik Qosidah Lawakan Film (layar tancap) Ludruk/ Ketoprak Campursari Total System
Frequency 208 42 18 22 12 14 4 320 64 384
Percent 54.2 10.9 4.7 5.7 3.1 3.6 1.0 83.3 16.7 100.0
Valid Percent 65.0 13.1 5.6 6.9 3.8 4.4 1.3 100.0
Cumulative Percent 65.0 78.1 83.8 90.6 94.4 98.8 100.0
4.2.4 Profesi Jurkam Profesi juru kampanye (jurkam) juga sangat penting pada saat kampanye, ketika jurkam tidak dikenal atau tidak dikehendaki oleh masyarakat, maka bisa saja ketika kampanye tidak begitu banyak masyarakat yang dating, apalagi ketika jurkam yang menyampaikan kurang familiar di masyarakat atau bukan tokoh di 41
masyarakat, maka bisa saja program yang ditawarkan tidak begitu menarik bagi masyarakat. Adapun profesi jurkam yang paling banyak diinginkan oleh masyarakat adalah jurkam harus seorang kiai sebesar 37 persen, kemudiaan disusul tokoh pemerintah (seperti bupati, wabup) sebasar 24,5 persen, dan kemudian seorang cendekiawan (dosen,guru, ustad) sebesar 13 persen. Kedepan hendaknya seorang caleg, capres atau cabup ketika menunjuk jurkam paling tidak harus berlatarbelakang ketiga profesi tersebut diatas, agar apa yang ingin disampaikan dan tujuan yang hendak dicapai bisa terwujut. Profesi Jurkam Disukai
Valid
Frequency 142 50 16 94 14 12 36 20 384
Kyai Cendekiawan Da'i Tokoh Pemerintah Pengusaha Bintang Film Penyanyi Pelawak Total
Percent 37.0 13.0 4.2 24.5 3.6 3.1 9.4 5.2 100.0
Valid Percent 37.0 13.0 4.2 24.5 3.6 3.1 9.4 5.2 100.0
Cumulative Percent 37.0 50.0 54.2 78.6 82.3 85.4 94.8 100.0
4.2.5 Pertimbangan Memilih Caleg Pertimbangan seseorang untuk memilih caleg, ternyata tidak seratus persen karena latarbelakang caleg tersebut, ada sekitar 34,9 persen yang memilih caleg karena caleg tersebut iusung oleh partai yang mereka sukai. Pertimbangan Memilih Caleg
Valid
Caleg yang Diusung Keberadaan Partai Total
Frequency 250 134 384
Percent 65.1 34.9 100.0
42
Valid Percent 65.1 34.9 100.0
Cumulative Percent 65.1 100.0
Beberapa masyarakat lagi ternyata memilih caleg beserta partainya sebesar 44,3 persen dan tidak memilih caleg tetapi lebih hanya memilih partai saja sebesar 55,7 persen. Suka Caleg Tidak Suka Partai Frequency Valid
Tetap memilih caleg dengan partainya Tidak memilih caleg tersebut/ memilih partai lain Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
170
44.3
44.3
44.3
214
55.7
55.7
100.0
384
100.0
100.0
Suka Partai Tidak Suka Caleg Frequency Valid
Tetap memilih partai dengan caleg tsb Tidak memilih partai tersebut Tetap memilih partai namun memilih caleg lain Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
72
18.8
18.8
18.8
48
12.5
12.5
31.3
264
68.8
68.8
100.0
384
100.0
100.0
4.2.6 Pertimbangan Memilih Partai/Caleg Pertimbangan pemilih dalam memilih partai/caleg adalah program yang ditawarkan sebanyak 20,8 persen, kemudian disusul pimpinan/tokoh partai sebanyak 10,9 persen, dan caleg yang ditampilkan sebanyak 9,9 persen.
43
PERTIMBANGAN MEMILIH PARTAI/CALEG 4,2 6,3
Kinerja Aleg/cabup/partai Calon yang diajukan Jurkam Kinerja Partai Uang Ideologi Partainya Reformis Jurkam yang ditampilkan Program yang ditawarkan Isu yang diangkat Caleg yang ditampilkan Pimpinan/ Tokoh Partai/Tokoh ormas Fatwa Ulama Agama
1 6,3 2,6 2,6 1 3,1 20,8 12 9,9 10,9 13 5,2 0
5
10
15
20
25
4.2.7 Pertimbangan Memilih Cabup/Capres Pertanyaan utama yang perlu diajukan untuk memahami sekaligus memprediksikan pilihan pemilih terhadap cabup adalah, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi mereka untuk menentukan pilihan politiknya dalam memilih cabup? Mengapa sebagian pemilih mendukung cabup/capres tertentu, sementara sebagian yang lain mendukung capbup/capres yang lain? Dari berbagai item jawaban --ditambah item jawaban terbuka-- sebagai pertimbangan menentukan pilihan seperti ketokohan, kualitas calon, isu yang diangkat, program yang ditawarkan, orang tua, teman, fatwa ulama, dan jurkam yang ditampilkan, semuanya diperhitungkan oleh pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Betapapun begitu, masing-masing pemilih memberi penilaian yang tidak sepenuhnya sama pada masing-masing pertimbangan di atas. Hampir semua responden menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan cabup. Sekitar 89,5 persen pemilih mengaku memperhitungkan factor kualitas calon untuk memilih Bupati,
44
sementara 10,5 persen lainnya mengaku tidak memperhitungkan kualitas calon. Faktor lain yang dijadikan pertimbangan sebagian besar responden untuk menentukan pilihan cabup adalah program yang ditawarkan calon, yaitu sebanyak 78 persen. Selanjutnya, diikuti responden yang mendasarkan pilihan ketokohannya (65 persen), isu yang diangkat (43 persen), persamaan partai (23 persen), persamaan ormas (20 persen), jurkam yang ditampilkan atau para elit diseputar calon (17 persen), fatwa ulama (17 persen), ikut teman (10 persen), dan ikut orang tua (5 persen). Lebih lengkap lihat tabel 4 berikut:
Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Memilih Cabup Faktor Pertimbangan 1. Kualitas Calon 2. Program yang ditawarkan 3. Ketokohannya 4. Isu yang Diangkat 5. Persamaan Partai 6. persamaan Ormas 7. Jurkam yang Ditampilkan 8. Fatwa Ulama 9. Ikut Teman 10. Ikut Orang Tua
Persentase (%) 89,5 78 65 43 23 20 17 17 10 5
Tabel di atas memperlihatkan bahwa kualitas calon merupakan variabel yang dipertimbangkan hampir oleh semua pemilih. Data semacam ini mudah dipahami. Sebab, dalam kerangka besar teori perilaku memilih, pertimbangan tokoh yang ditampilkan --yang oleh Pomper disebut sebagai variabel CE (candidate evaluation)-- termasuk dalam kelompok pendekatan rasional. Data ini setidaknya menguatkan temuan data lain, bahwa pertimbangan-pertimbangan rasional --seperti pertimbangan program yang ditawarkan
atau kesesuaian
aspirasi-- memberi sumbangan besar pada penentuan pilihan pemilih. Betapapun begitu, temuan ini cukup mengejutkan. Ini berarti para pemilih, setidaknya di perKabupatenan, telah menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional
45
dalam menentukan pilihan politik, khususnya untuk pilkada. Padahal, untuk pemilu legislative, penggunaan pertimbangan rasional ini relatif kecil. Pertanyaannya, bagaimanakah latarbelakang sosial-ekonomi para pemilih yang menempatkan kualitas kandidat sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan cabup/capres? Dari berbagai hubungan variabel karakteristik sosialekonomi pemilih dengan faktor yang paling dipertimbangkan dalam menentukan pilihan, ada beberapa variabel yang mempunyai hubungan cukup berarti. Pertama, para pemilih yang memilih cabup berdasarkan pertimbangan kualitas calon lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibanding perempuan. Untuk
laki-laki,
hanya
12
persen
pemilih
yang
mengaku
tidak
mempertimbangkan kualitas calon sebagai dasar pertimbangan memilih Bupati. Sementara itu, untuk pemilih perempuan lebih 13 persen yang tidak mempertimbangkan kualitas calon sebagai dasar pertimbangan memilih cabup. Data ini mengindikasikan bahwa pemilih laki-laki sedikit lebih banyak menggunakan pertimbangan rasional ketimbang pemilih perempuan. Betapapun, perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kedua, para pemilih yang berumur di bawah 40 tahun tampaknya lebih menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan menentukan pilihan cabup dibanding pemilih yang berumur di atas 40 tahun. Responden yang berumur 2029 tahun misalnya, hanya 8 persen yang tidak mempertimbangkan kualitas calon sebagai dasar pertimbangan mendukung cabup, sementara untuk yang berumur 30-39 tahun sekitar 13 persen. Padahal, untuk responden yang berumur 40-49 tahun sekitar 15 persen mengaku tidak melihat kualitas calon sebagai dasar pertimbangan memilih cabup, sementara untuk yang berumur di atas 50 tahun sekitar 13 persen. Data ini setidaknya menggambarkan bahwa para "pemilih muda" lebih memperhatikan kualitas para calon dibanding para "pemilih tua". Sebab, jika seseorang menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan memilih cabup, orang tersebut akan mencari berbagai informasi --baik yang buruk maupun yang bagus-- tentang calon tersebut.
46
Ketiga, para pemilih yang berlatarpendidikan tinggi umumnya lebih menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan menentukan pilihan cabup ketimbang pemilih yang berpendikan renda. Misalnya, responden yang bergelar sarjana atau pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi hampir 92 persen mengaku menggunakan variabel kualitas calon sebagai dasar pertimbangan untuk memilih cabup, sementara hal yang sama hanya diakui oleh pemilih yang berlatarbelakang pendidikan SD. Menarik untuk dicatat bahwa, disamping para pemilih menggunakan pertimbangan kualitas calon sebagai dasar untuk memilih cabup, mereka juga menggunakan variabel ketokohan. Artinya, mereka tidak semata-mata menggunakan pertimbangan kualitas pribadi calon tetapi juga memperhitungkan tingkat popularitas si calon. Sebab, untuk menilai ketokohan seseorang tidak hanya bisa diukur dari kualitas pribadi, tetapi juga atribut-atribut yang melekat pada si calon. Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari 57 persen pemilih menggunakan
variabel
ketokohan
sebagai
dasar
pertimbangan
untuk
menentukan pilihan Bupati. Oleh karena itu, menempatkan variabel ketokohan semata-mata dipahami dalam konteks pendekatan rasional agaknya perlu hati-hati. Sebab, tokoh yang ditampilkan seringkali tidak hanya berkaitan dengan evaluasi pemilih terhadap cabup/capres --apakah mereka itu mampu memperjuangkan aspirasinya atau tidak, bersih dari skandal atau tidak, bermoral atau tidak, dan sebagainya-- tetapi seringkali juga dipahami dalam konteks kesukaan atau ketidaksukaan pemilih terhadap tokoh yang ditampilkan, yang seringkali hal ini berkaitan dengan sosialisasi politik yang diterima pemilih. Dalam konteks semacam ini, pilihan terhadap seorang tokoh bukan dilatarbelakangi oleh penilaian pemilih terhadap tokoh tersebut atau pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, seperti identifikasi terhadap tokoh atau kelompok dimana tokoh tersebut berada. Meskipun begitu, evaluasi pemilih terhadap kandidat, umumnya didasarkan pada kualitas kandidat dan apa yang diperjuangkan oleh kandidat. Inilah yang 47
menyebabkan para ahli voting behavior memasukkan variabel ini dalam pendekatan rasional. Dalam banyak studi yang dilakukan di banyak negara memang menunjukkan bahwa evaluasi pemilih terhadap kandidat didasarkan pada isu-isu yang program yang ditawarkan kandidat tersebut. Oleh karena itu, betapapun seseorang memilih berdasarkan variabel kualitas calon –atau bahkan ketokohan sekalipun-- bukan tidak mungkin penilaian terhadap kandidat itu dipengaruhi oleh posisi isu-isu yang diperjuangkan oleh kandidat tersebut (Marcus and Philip E. Converse, 1988).
Page dan Jones misalnya, setelah
mengamati hasil beberapa penelitian tentang voting behavior, sampai pada kesimpulan: "overall evaluations of candidate do in fact affect perceptions of candidates policy stands” (Page dan Jones, 1988). Oleh karena itu, bisa dipahami jika variabel kedua yang menjadi dasar pertimbangan bagi pemilih untuk memilih cabup adalah program yang ditawarkan. Lebih dari 65 persen pemilih yang menggunakan variabel program cabup sebagai dasar untuk menentukan pilihan. Data ini setidaknya menguatkan kesimpulan bahwa para pemilih di perKabupatenan umumnya menggunakan pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan. Artinya, orang memilih cabup banyak ditentukan oleh kesesuaian antara aspirasi politik pemilih dengan program yang ditawarkan oleh cabup. Pengalaman studi studi voting behavior di banyak negara menunjukkan, program yang ditawarkan kandidat menjadi daya dorong
utama
untuk
mengarahkan
pilihan
pemilih.
Catatan
Franklin
menyebutkan, salah satu pertimbangan kuat pemilih dalam menentukan pilihan politiknya adalah preferensinya terhadap suatu kebijakan (Franklin, 1995). Besarnya jumlah responden yang menentukan pilihan cabup berdasarkan program partai atau kesesuaian aspirasi di atas cukup mengejutkan. Ini berarti, responden yang diteliti lebih mendasarkan pertimbangan rasional dibanding pertimbangan-pertimbangan sosiologis dan psikologis. Di Amerika Serikat saja, negara yang cukup maju tingkat demokratisasinya dan sangat modern kehidupan masyarakatnya, jumlah pemilih yang menentukan pilihan partai berdasarkan pertimbangan program tidak sebesar persentase di atas. Meskipun sumbangan 48
variabel program dan isu-isu politik di Amerika Serikat cenderung mengalami kenaikan dari Pemilu ke Pemilu, namun sumbangannya dalam mempengaruhi pilihan pemilih masih di bawah variabel identifikasi partai (faktor psikologis). Bagi cabup/capres, data di atas sebenarnya merupakan tantangan, untuk menampilkan program yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Itu berarti, cabup dituntut untuk merespon persoalan-persoalan sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat, sekaligus mampu menawarkan program solutif atas persoalan-persoalan tersebut. Artinya, cabup perlu mengidentifikasi persoalanpersoalan yang menjadi prioritas isu oleh masyarakat, kemudian merumuskan program-program alternatif sesuai dengan prioritas isu yang ada di masyarakat. Persoalannya, bagaimanakah karakteristik pemilih yang menempatkan program cabup/capres sebagai faktor yang paling diperhitungkan dalam menentukan pilihan. Hasil penelitian menunjukkan beberapa kecenderungan berikut: Pertama, para pemilih yang memilih cabup/capres berdasarkan pertimbangan program partai lebih banyak berlatarbelakang jenis kelamin pria dibanding wanita. Misalnya, 58 persen laki-laki yang menempatkan program cabup/capres sebagai dasar pertimbangan memilih cabup/capres, 67,4 persen diantaranya mengaku menggunakan program cabup sebagai dasar pertimbangan memilih cabup. Sementara itu, dari 41,9 persen laki-laki yang menempatkan program cabup sebagai dasar pertimbangan memilih cabup, hanya 63 persen diantaranya mengaku menggunakan program cabup sebagai dasar pertimbangan memilih cabup. Data ini setidaknya menguatkan dugaan banyak orang, bahwa laki-laki lebih rasional dalam menentukan pilihan --termasuk pilihan politiknya-dibanding wanita yang lebih menonjolkan unsur emosional. Kedua,
para
pemilih
yang
memilih
cabup/capres
berdasarkan
pertimbangan program lebih banyak berasal dari responden yang berpendidikan perguruan tinggi dibanding responden yang hanya menempuh pendidikan di bawahnya. Misalnya, lebih dari 80 persen responden yang menamatkan
49
pendidikan perguruan tinggi sangat mempertimbangkan program cabup sebagai dasar penentukan pilihan politik, sementara hal yang sama hanya diakui oleh 69 persen responden yang menamatkan pendidikan SLTA, 58 persen responden yang menamatkan pendidikan SLTP dan 47 persen responden yang hanya menamatkan pendidikan SD atau SD tidak tamat. Data semacam ini sebenarnya mudah dipahami. Sebab, semakin tinggi pendidikan ada kecenderungan semakin terbekali dan terbiasa menggunakan piranti-piranti rasional dalam menganalisis suatu persoalan. Ketiga, para pemilih yang berumur di bawah 30 tahun tampaknya lebih menempatkan variabel program
sebagai pertimbangan menentukan pilihan
cabup dibanding pemilih yang berumur di atas 30 tahun. Responden yang berumur 20-29 tahun misalnya, hampir 68 persen diantaranya menggunakan variabel program sebagai dasar pertimbangan memilih cabup. Bahkan, untuk pemilih yang berumur di bawah 20 tahun, jumlahnya hampir mencapai 76 persen. Sebaliknya, pemilih yang bermur di atas 50 tahun hanya 61 persen yang menggunakan program sebagai pertimbangan memilih cabup, sementara untuk pemilih yang merumur 40-49 tahun jumlahnya sekitar 65 persen. Sekali lagi, data ini menunjukkan bahwa pemilih muda lebih banyak menggunakan pertimbangan rasional ketimbang pemilih tua. Faktor keempat yang menjadi pertimbangan pemilih untuk mendukung cabup/capres adalah isu-isu yang diangkat kandidat. Yang dimaksud isu disini adalah persoalan-persoalan yang dirasakan oleh masyarakat dan menjadi perhatian mereka. Dalam studi voting behavior, variabel isu ini biasanya sering bertumpang tindih dengan program. Artinya, kandidat harus mengangkat isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat, kemudian menawarkan program-program alternatif untuk mengatasi isu-isu tersebut dalam suatu kebijakan. Sementara itu, factor kelima yang menjadi pertimbangan pemilih untuk memilih cabup adalah jurkam yang dilibatkan dalam proses kampanye. Untuk itu, cabup perlu melibatkan tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk menarik massa. Jurkam-jurkam yang dilibatkan memang tidak harus banyak. Faktor keenam yang 50
menjadi pertimbangan memilih cabup adalah fatwa ulama. Jumlah responden yang memilih ini memang tidak besar. Namun, perlu mendapat perhatian. Artinya, ada 12 persen pemilih yang posisinya masih sangat labil, yang pilihan politiknya bisa diombang-ambingkan oleh para ulama.
4.2.8 Figur Ideal Cabup/Capres
Dalam uraian-uraian sebelumnya diketahui bahwa pertimbangan utama pemilih dalam memilih cabup/capres adalah kualitas calon, bahkan variabel ketokohan juga menempati urutan ketiga dibawah program. Pertanyaannya adalah, figure atau tokoh macam apakah yang dikehendaki oleh pemilih tersebut, apakah tokoh yang berasal dari kalangan partai atau independen? Apakah tokoh dari kalangan pemerintahan atau di dari luar pemerintahan? Pendek kata, dari latarbelakang macam apakah tokoh cabup yang dianggap ideal oleh pemilih Bondowoso. Pemahaman semacam ini penting baik bagi partai politik maupun cabup, untuk menawarkan tokoh macam apa yang perlu ditampilkan oleh partai politik sebagai cabup dalam pilkada. Termasuk, untuk mendekati tokoh-tokoh macam apa yang perlu dirangkul agar bisa menjadi daya tarik bagi pemilih. Dalam situasi politik yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, dalam situasi dimana masyarakat masih banyak yang kebingungan dalam menentukan pilihan politiknya, peranan tokoh, baik di pusat maupun di daerah, sangat menentukan dalam memberikan informasi, bimbingan, dan pengarahan terhadap pilihan politik masyarakat. Dalam suatu kehidupan sosial, apa yang disebut tokoh ini seringkali jumlahnya sangat terbatas, dan masing- masing kelompok seringkali mempunyai kriteria tersendiri tentang seorang tokoh. Fakta semacam ini sebenarnya merupakan hukum alam, bahwa dalam kehidupan masyarakat biasanya hanya ada sebagian kecil orang yang ditokohkan, disegani, diikuti, bahkan dituruti perintah-perintahnya.
51
Pengalaman menunjukkan, tipologi atau karakteristik suatu masyarakat biasanya mempunyai persepsi sendiri-sendiri tentang tokoh yang diidolakan. Masyarakat yang bertipologi sub kultur Madura, mungkin lebih menokohkan kiai dibandingkan masyarakat yang bersub kultur Arek misalnya. Oleh karena itu, karakteristik sosial ekonomi seseorang biasanya mempengaruhi penilaian terhadap seorang tokoh. Namun, memang, dalam kehidupan politik sehari-hari, ada fenomena seorang tokoh yang ketokohan dan popularitasnya melintasi batas-batas wilayah geografis dan sub kultur, bahkan melintasi batas partai politik dan kultur. Tokoh semacam ini biasanya mempunyai kualitas pribadi yang lengkap dan mumpuni, baik ditinjau dari latarbelakang pendidikan, kemampuan akademis, managemen, tingkat toleransi, dan semacamnya. Ada beberapa kriteria yang biasanya dipergunakan untuk menilai ketokohan seseorang. Seorang yang berlatarbelakang pendidikan cukup memadai mungkin lebih menokohkan seseorang yang mempunyai kemampuan akademis dan managerial cukup baik. Sebaliknya, seorang yang kurang berpendidikan mungkin lebih menokohkan seseorang yang mempunyai popularitas. Atau, seorang yang bertempat tinggal di wilayah pinggiran Kabupaten dan taat beribadah mungkin lebih menokohkan seseorang yang menguasai dibidang ilmu agama. Pendek kata, begitu banyak parameter yang dapat dipergunakan untuk mengukur ketokohan seseorang, seperti tingkat intelektualitas, keagamaannya, pengalamannya, dan sebagainya. Untuk mengukur figure
Bupati Bondowoso lima tahun ke depan,
beberapa criteria tersebut ditanyakan kepada para pemilih. Jawabannya, sebagian besar pemilih menghendaki calon Bupati Surabay mempunyai latarbelakang atau pengalaman di bidang pemerintahan. Lihat table berikut.
52
Kriteria Figur Cabup/Capres yang Paling Diidealkan Pemilih Kriteria 1. Pendidikan tinggi 2. Tokoh agama 3. Pengusaha 4. Pengalaman 5. Tokoh partai 6. Perempuan
Persentasi 16,6 5,0 1,2 72,4 3,0 1,7
Data di atas menunjukkan bahwa figure Bupati/capres yang paling diidealkan oleh pemilih adalah yang memiliki pengalaman di bidang pemerintahan.
Hampir
separuh
responden
mengaku
menggunakan
pertimbangan pengalaman di bidang pemerintahan sebagai dasar memilih cabup. Data ini tentu sangat menguntungkan bagi cabup/capres yang mempunyai latarbelakang di bidang pemerintahan, seperti
SBY, JOKOWI
maupun Amin Said Husni. Oleh karena itu, tidak heran ketiga tokoh ini mendapat dukungan yang sangat signifikan dari pemilih. Persoalannya, bagaimanakah latarbelakang sosial ekonomi responden yang menilai figure ideal Bupati adalah pengalaman dibidang pemerintahan? Hasil penelitian menunjukkan, pertama, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari aspek pengalaman dibidang pemerintahan tergolong berusia dewasa. Untuk responden yang berumur 40-49 tahun misalnya, sekitar 60 persen yang mengunakan variabel pengalaman dibidang pemerintahan sebagai pertimbangan memilih cabup. Sementara, hal yang sama hanya diakui sekitar 45 persen responden yang berumur 30-39 tahun, 41 persen responden berumur 20-29 tahun dan dibawah 20 tahun. Kedua, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari aspek pengalaman dibidang pemerintahan berlatarbelakang perempuan ketimbang laki-laki. Lebih dari 50 persen responden perempuan mengaku mengidealkan cabup yang memiliki pengalaman dibidang pemerintahan. Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 48 persen pemilih laki-laki. Data 53
ini menunjukkan bahwa kaum peremuan umumnya lebih konservatif disbanding kaum pria, sehingga merasa lebih aman jika pemerintahan Kabupaten Bondowoso dipegang oleh orang yang berpengalaman ketimbang pendatang baru. Data ini setidaknya penting bagi cabup, untuk memanfaatkan posisinya sebagai incumbent terutama jika berhadapan dengan pemilih perempuan. Ketiga, pemilih yang menilai pengalaman dibidang pemerintahan sebagai criteria ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTA ke bawah. Untuk responden yang berpendidikan SLTA misalnya, 45 persen menunjuk pengalaman di bidang pemerintahan merupakan criteria paling dibutuhkan bagi seorang cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk responden yang berpendidikan SLTP sebesar 59 persen, SD sebesar 63 persen dan tidak sekolah sebesar 50 persen. Sementara itu, untuk responden yang berlatarbelakang pendidikan perguruan tinggi hanya 37 persen yang menempatkan pengalaman dibidang pemerintahan sebagai criteria utama. Tentu saja, data semacam ini sangat menguntungkan bagi calon incumbent, sebab sebagian besar pemilih justru berasal dari tingkat pendidikan SLTA ke bawah. Kriteria kedua yang dibutuhkan dari seorang figure cabup Bondowoso adalah berlatarbelakang berpendidikan tinggi. Hampir 41 persen pemilih menghendaki figure cabup berlatarbelakang atau memiliki pendidikan cukup memadai. Kriteria ini tentu sangat menguntungkan Amin said Husni atau wakilnya Kedua, untuk latarbelakang pendidikan tinggi, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari aspek latarbelakang pendidikan tinggi berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Lebih dari 41 persen responden laki-laki mengaku mengidealkan cabup yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi. Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 40 persen pemilih lakilaki. Hanya saja, karena perbedaannya tidak terlalu signifikan, maka data ini tampaknya bisa diabaikan untuk ditindaklanjuti secara serius.
54
Ketiga, pemilih yang menilai latarbelakang pendidikan tinggi sebagai criteria ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTA ke atas. Untuk responden yang berpendidikan SLTA misalnya, 45 persen menunjuk latarbelakang pendidikan tinggi merupakan criteria paling dibutuhkan bagi seorang cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk responden yang berpendidikan perguruan tinggi, yaitu hampir 54 persen responden. Sementara itu, untuk responden yang berlatarbelakang pendidikan SLTP hanya 30 persen dan yang berpendidikan SD sekitar 28 persen yang menempatkan latarbelakang pendidikan tinggi sebagai criteria utama. Data ini setidaknya bisa dimanfaatkan untuk mendekati pemilih yang berpendidikan tinggi. Kriteria ketiga yang dibutuhkan dari seorang figure cabup Bondowoso adalah berlatarbelakang tokoh agama. Sayangnya, criteria latarbelakang tokoh agama ini disebut oleh sedikit pemilih. Hanya 6,9 persen pemilih yang menghendaki figure cabup berlatarbelakang dari tokoh agama. Sebagai pemilih yang tinggal di perKabupatenan, sedikitnya jumlah pemilih yang menghendaki cabup dari tokoh agama ini bisa dipahami. Sebab, para pemilih perKabupatenan umumnya lebih mendasarkan pada pertimbangan rasional dan kapabilitas pribadi sang calon ketimbang ikatan-ikatan primordian yang disandang sang calon. Persoalannya, bagaimanakah latarbelakang sosial ekonomi responden yang menilai figure ideal Bupati adalah berlatarbelakang tokoh agama? Hasil penelitian menunjukkan, pertama, para pemilih yang menilai pentingnya cabup dari tokoh agama umumnya berlatarbelakang usia dewasa. Responden yang berumur di atas 50 tahun misalnya, hampir 11 persen yang menghendaki cabup dari tokoh agama. Jumlah ini kemudian menurun untuk responden yang berumur 40-49 tahun sebesar 7,4 persen, berumur 30-39 tahun sebesar 6,2 persen, berumur 20-29 tahun dan di bawah 20 tahin sebesar 5 persen. Kedua, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari tokoh agama berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Lebih dari 8 persen responden laki-laki mengaku mengidealkan cabup yang berasal dari tokoh 55
agama. Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 5 persen pemilih lakilaki. Hanya saja, seperti pada criteria sebelumnya, karena perbedaannya tidak terlalu signifikan maka data ini tampaknya bisa diabaikan untuk ditindaklanjuti secara serius. Ketiga, pemilih yang menilai latarbelakang tokoh agama sebagai criteria ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTP ke bawah. Untuk responden yang berpendidikan SLTP misalnya, sekitar 8 persen menunjuk latarbelakang tokoh agama merupakan criteria paling dibutuhkan bagi seorang cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk responden yang berpendidikan perguruan SD sebesar 9 persen dan tidak sekolah sebesar 25 persen responden. Sementara itu, untuk responden yang berlatarbelakang pendidikan SLTA hanya 5 persen dan yang berpendidikan SD sekitar 4 persen yang menempatkan latarbelakang pendidikan tinggi sebagai criteria utama.
56
4.3.
KAJIAN FAKTOR SOSIOLOGIS PERILAKU MEMILIH
4.3.1 DAPIL & PERILAKU MEMILIH Pada pemilihan bupati Bondowoso 2013, pemilihan partai & Caleg 2014, serta pemilihan presiden 2014, penyebaran suara perdapil tampak seperti bagan di bawah: 90 80 70 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
60 50 40
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
30
Golput
20 10 0 Dapil I
Dapil II
Dapil III
Dapil IV
Dapil V
Bagan di atas menunjukkan juga bahwa pemilih yang golput sebagian besar berada di dapil II yaitu sebanyak 19 persen, kemudian disusul Dapil V sebanyak 12 persen. 40 35 30 25
Dapil I
20
Dapil II
15
Dapil III
10
Dapil IV
5
Dapil V
0
57
60 50 40 Prabowo-Hatta
30
Jokowi-JK GOLPUT
20 10 0 Dapil I
Dapil II
Dapil III
Dapil IV
Dapil V
4.3.2 UMUR & PERILAKU MEMILIH Perilaku memilih bupati berdasarkan umur, tampak bahwa pemilih amien Husni-Salwa lebih banyak disukung oleh kelompok umur 40-49 Tahun yaitu sebanyak 78 persen, kemudian disusul umur 30-39 persen sebanyak 76 persen, sedangkan umur < 20 tahun (pemilih pemulah) hanya 33 persen. Hal berbeda pada pasangan cabup Mustawiyanto-Abdul Manan, sebagian besar pemilihnya ternyata pada kelompok umur < 20 tahun sebanyak 66 persen, dan paling sedikit didukung dari kelompok umur > 50 tahun sebanyak 8 persen. Data di bawah menunjukkan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap pilihan pemilih. 80 70 60 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
50 40 30
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
20
Golput
10 0 < 20 tahun
20-29 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
58
> 50 tahun
60 50 40
< 20 tahun
30
20-29 tahun
20
30-39 tahun 40-49 tahun
10
> 50 tahun
0
Untuk pemilih pemula (< 20 tahun), sebagian besar pada pemilihan presiden 2014 adalah memilih pasangan Prabowo-Hatta sebanyak 47 persen, kemudian dibawahnya kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 54 persen dan terkecil pendukung Prabowo-Hatta pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 37 persen. 70 60 50 40
Prabowo-Hatta
30
Jokowi-JK
20
GOLPUT
10 0 < 20 tahun
20-29 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
59
> 50 tahun
4.3.3 JENIS KELAMIN & PERILAKU MEMILIH
80 70 60 50 40
Laki-laki
30
Perempuan
20 10 0 Mustawiyanto Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
Golput
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni – Salwa Arifin Jaya adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 77 persen, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya adalah perempuan sebanyak 17 persen. 40 35 30 25 20
Laki-laki
15
Perempuan
10 5 0
60
60 50 40 Laki-laki
30
Perempuan
20 10 0 Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
GOLPUT
4.3.4 PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH Berdasarkan pendidikan, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni – Salwa Arifin Jaya adalah berpendidikan SLTP sebanyak 78 persen, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya adalah berpendidikan tidak sekolah sebanyak 30 persen. 90 80 70 60
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
50
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
40 30
Golput
20 10 0 Tidak SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan Sekolah sederajat sederajat sederajat sederajat
61
70 60 50 Tidak Sekolah
40
SD dan sederajat
30
SLTP dan sederajat
20
SLTA dan sederajat
10
PT dan sederajat
0
Untuk pemilih yang berpendidikan SD ke bawah, sebagian besar pada pemilihan presiden 2014 adalah memilih pasangan Prabowo-Hatta sebanyak 57 persen, kemudian dibawahnya berpendidikan PT sebanyak 44 persen dan terkecil pendukung Prabowo-Hatta berpendidikan SLTP sebanyak 34 persen. Sedangkan pemilih pasangan Jokowi-JK pemilihnya sebagian besar adalah berpendidikan SLTP dan SLTA.
70 60 50 40
Prabowo-Hatta
30
Jokowi-JK
20
GOLPUT
10 0 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
SLTP dan sederajat
SLTA dan sederajat
62
PT dan sederajat
4.3.5 PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja) Golput
Berdasarkan pekerjaan, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni – Salwa Arifin Jaya adalah bekerja sebagai pengusaha, karyawan swasta dan petani, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya adalah bekerja di sector informal. 60 50 Pegawai Negeri Sipil
40
Pengusaha
30
Pedagang
20
Karyawan Swasta Petani
10
Sektor Informal Lain-lain
0
63
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
4.4.
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
KAJIAN FAKTOR PSIKOLOGIS (SIKAP) PERILAKU MEMILIH Berdasarkan faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku memilih
masyarakat Bondowoso, yang dilihat berdasarkan sikap suka dan tidak suka terhadap bupati yang dipilih, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni – Salwa Arifin Jaya adalah bersikap suka sebanyak 76 persen, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya adalah bersikap suka sebanyak 16 persen. Jika dilihat data di atas, menjelaskan bahwa masyarakat lebih suka terhadap pasangan said Husni – Salwa Arifin Jaya dibandingkan pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan.
64
80 70 60 50 40
suka
30
Tidak
20 10 0 Mustawiyanto Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
Golput
35 30 25 20 15
suka
10
Tidak
5 0
Untuk
pilihan
presiden,
pasangan
Prabowo-Hatta
lebih
disukai
masyarakat Bondowoso (58 persen) dibandingkan pasangan Jokowi-JK (hanya 34 persen). Ini menunjukkan bahwa factor psikologis sangat berpengaruh terhadap pilihan presiden di Kabupaten Bondowoso.
65
60 50 40 suka
30
Tidak
20 10 0 Prabowo-Hatta
4.5.
Jokowi-JK
GOLPUT
KAJIAN FAKTOR RASIONALITAS PERILAKU MEMILIH
4.5.1 PROGRAM & PERILAKU MEMILIH Berdasarkan faktor rasionalitas yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Bondowoso, yang dilihat berdasarkan program yang diusung terhadap bupati yang dipilih, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni – Salwa Arifin Jaya adalah memilih karena programnya sebanyak 75 persen, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya memilih berdasarkan programnya hanya sebanyak 10 persen. Jika dilihat data di atas, menjelaskan bahwa masyarakat lebih rasional memilih berdasarkan program dari pasangan said Husni – Salwa Arifin Jaya dibandingkan program pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan.
66
80 70 60 50 40
Program
30
Tidak
20 10 0 Mustawiyanto Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
Golput
35 30 25 20 15
program
10
Tidak
5 0
Untuk pilihan presiden, program pasangan Prabowo-Hatta lebih disukai masyarakat Bondowoso (49 persen) dibandingkan program pasangan Jokowi-JK (hanya 38 persen). Ini menunjukkan bahwa factor rasionalitas (program) sangat berpengaruh terhadap pilihan presiden di Kabupaten Bondowoso.
67
60 50 40 program
30
Tidak
20 10 0 Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
4.5.2 ISU & PERILAKU MEMILIH Berdasarkan faktor rasionalitas yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Bondowoso, yang dilihat berdasarkan isu yang diangkat yang diusung terhadap bupati yang dipilih, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni – Salwa Arifin Jaya adalah memilih karena isu yang diangkat sebanyak 72 persen, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya memilih berdasarkan programnya hanya sebanyak 11 persen. Jika dilihat data di atas, menjelaskan bahwa masyarakat lebih rasional memilih berdasarkan isu yang diangkat dari pasangan said Husni – Salwa Arifin Jaya dibandingkan isu yang diangkat pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan.
68
80 70 60 50
isu
40
Tidak
30 20 10 0 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
35 30 25 20 15
isu
10
Tidak
5 0
Untuk pilihan presiden, isu yang diangkat pasangan Prabowo-Hatta lebih disukai masyarakat Bondowoso (53 persen) dibandingkan isu yang diangkat pasangan Jokowi-JK (hanya 36 persen). Ini menunjukkan bahwa faktor rasionalitas (isu) sangat berpengaruh terhadap pilihan presiden di Kabupaten Bondowoso.
69
60 50 40 isu
30
Tidak
20 10 0 Prabowo-Hatta
4.6.
Jokowi-JK
ISU – ISU UTAMA DI KABUPATEN BONDOWOSO Memahami isu-isu politik yang menjadi perhatian pemilih adalah wajib
hukumnya bagi calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah. Sebab, hal itu bukan hanya memudahkan bagi Calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah (khususnya Jurkam) untuk mengangkat isu-isu sesuai dengan perhatian pemilih, tetapi yang lebih penting lagi dapat digunakan sebagai dasar untuk menawarkan program-program partai sesuai dengan aspirasi mereka. Untuk itu, calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah harus memahami benar isu-isu apa yang sedang menjadi perhatian pemilih (sesuai dengan karakteristik sosial-ekonomi dan politiknya). Sebab, antara satu pemilih dengan pemilih yang lain seringkali memberi perhatian yang tidak sama terhadap suatu isu. Di banyak negara, posisi isu-isu politik sebagai pertimbangan memilih kandidat
kontribusinya selalu mengalami peningkatan. Berbagai penelitian
voting behavior di Amerika Serikat misalnya, menunjukkan bahwa isu-isu politik menjadi pertimbangan kedua setelah identifikasi partai. Berbagai jajak pendapat menjelang pemilihan di Amerika Serikat dalam beberapa dekade belakangan juga menunjukkan pola yang sama: bahwa keputusan pemilih selalu didasarkan pada
70
partisan loyalty, issue and policy concern, and candidate characteristics (Ginberg, 1990). Untuk itu, khususnya pada masa-masa mendatang ketika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, kemampuan calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah mengangkat berbagai isu yang menjadi perhatian pemilih sangat menentukan kemenangan calon tersebut dalam Pilkada. Yang menjadi persoalan,
masing-masing kelompok masyarakat
seringkali mempunyai perhatian yang tidak sama terhadap suatu isu. Ada kelompok masyarakat yang lebih perhatian pada isu-isu domestik, sementara kelompok lain lebih perhatian pada isu luar negeri. Dalam konteks semacam ini, salah satu cara yang bisa dilakukan calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah adalah mengajukan isu politik yang paling mudah dipahami oleh segmen kelompok masyarakat tersebut, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi sosial-ekonominya. Setidaknya terdapat dua cara pandang untuk memahami isu-isu politik yang menjadi perhatian masyarakat (pemilih). Pertama, melihat isu-isu politik sebagai sesuatu yang terpisah dengan posisi masyarakat (pemilih). Cara pandang ini mengasumsikan bahwa isu-isu politik yang berkembang dalam masyarakat pada dasarnya dapat diamati dari berbagai persoalan yang ada pada masyarakat tersebut. Cara pandang ini disebut sebagai kondisi obyektif isu-isu politik. Dengan kata lain, tugas calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah adalah membentuk isu-isu politik yang mungkin sesuai dengan preferensi masyarakat atau para pemilih. Kedua, melihat isu-isu politik dalam kaitannya dengan posisi masyarakat (pemilih). Cara pandang ini mengasumsikan bahwa isu-isu politik pada dasarnya bukanlah sesuatu yang terpisah dari masyarakat, tetapi selalu melekat dengan masyarakatnya. Artinya, untuk memahami isu-isu politik yang ada tidak cukup hanya mengamati persoalan- persoalan politik yang sedang berkembang, tetapi harus dilihat bagaimana pandangan atau posisi masyarakat terhadap isu itu: apakah mempunyai perhatian besar atau sebaliknya, apakah bersikap positip
71
atau negatip. Bisa jadi suatu persoalan politik tidak menjadi perhatian suatu kelompok masyarakat, namun bagi kelompok masyarakat lain dianggap sebagai isu penting yang perlu mendapat perhatian besar. Akibatnya, keberadaan isu politik sangat subyektif sifatnya.
Yang dimaksud isu di sini adalah persoalan-
persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang sedang menjadi perhatian dan pembicaraan luas dikalangan responden. Preferensi Masyarakat terhadap Isu-Isu dan Program Pembangunan Seperti sudah diungkap sebelumnya, preferensi masyarakat terhadap suatu isu seringkali berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, tergantung pada berbagai hal, seperti karakteristik ekonomi, sosial dan politiknya. Yang dimaksud isu di sini adalah persoalan-persoalan sosial politik yang sedang menjadi perhatian dan pembicaraan luas dikalangan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan, perhatian masyarakat terhadap isu ekonomi cukup besar, mulai masalah sembako (38,5 persen), kesempatan kerja (16,1 persen), subsidi bagi golongan lemah (6,3 persen), rendahnya harga gabah di waktu, tingginya harga pupuk di musim tanam, kemudahan kredit bagi golongan kecil, dan sebagainya.
72
Persoalan Paling Penting
Valid
Kesempatan Kerja Harga Gabah Harga Pupuk Pendidikan (SPP, uang gedung, dll) Kemudahan Kredit Subsidi Golongan Lemah Harga Sembako Penurunan Tarif Listrik Pemberantasan KKN Demokratisasi Politik Penurunan Pajak, Retribusi Sengketa Tanah Air Bersih, PDAM Pembangunan Fisik (jalan, sekolah, irigasi, dll) Kriminalitas Kenakalan Remaja Narkoba Total
Frequency 62 16 12
Percent 16.1 4.2 3.1
Valid Percent 16.1 4.2 3.1
Cumulative Percent 16.1 20.3 23.4
16
4.2
4.2
27.6
18 24 148 10 22 8
4.7 6.3 38.5 2.6 5.7 2.1
4.7 6.3 38.5 2.6 5.7 2.1
32.3 38.5 77.1 79.7 85.4 87.5
4
1.0
1.0
88.5
2 2
.5 .5
.5 .5
89.1 89.6
24
6.3
6.3
95.8
6 4 6 384
1.6 1.0 1.6 100.0
1.6 1.0 1.6 100.0
97.4 98.4 100.0
73
BAB 5 PENUTUP
5.1 KESIMPULAN 1. Partisipasi politik warga Bondowoso memang tidak begitu besar, dari 384 responden, ketika ditanya apakah mereka ke depan hadir pada pemilihan bupati, partai maupun presiden, hanya 77,3 persen yang menjawab hadir untuk mengikuti pilihan, sedangkan 22,7 persennya tidak hadir. 2. Model kampanye yang diharapkan masyarakat Bondowoso sebagian besar adalah model kampanye dialogis, yaitu sebanyak 34,4 persen, disusul konfoi 30,7 persen, dibawahnya sedikit adalah door to door sebanyak 24,5 persen dan pengerahan massa hanyya 9,9 persen. 3. Media yang relevan digunakan untuk kampanye adalah TV sebasar 49 persen, disusul radio 16,1 persen, dan surat kabar 15,1 persen. 4. Pada saat kampanye, ternyata masyarakat tidak hanya menginginkan setiap partai, cabup maupun capres menyampaikan visi, misi maupun program saja, tetapi sebagian besar responden 82,3 persen mengharapkan bahwa ketika kampanye perlu juga ditampilkan hiburan. 5. Profesi jurkam yang paling banyak diinginkan oleh masyarakat adalah jurkam harus seorang kiai sebesar 37 persen, kemudiaan disusul tokoh pemerintah (seperti bupati, wabup) sebasar 24,5 persen, dan kemudian seorang cendekiawan (dosen,guru, ustad) sebesar 13 persen. 6. Faktor sosilologis, seperti tempat tinggal, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan organisasi kemasyarakatan sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih di Kabupaten Bondowoso. 7. Faktor psikologis, seperti kedekatan terhadap calon ataupun partai politik, sikap suka terhadap seorang calon presiden, calon legislative maupun calon bupati sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Bondowoso.
74
8. Faktor rasionalitas, seperti visi, misi, program maupun isu yang diangkat oleh partai, calon persiden, calon bupati, bahkan mengenai rasionalitas material (uang dan materi) sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Bondowoso.
5.2 REKOMENDASI 1. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Bondowoso dalam mengikuti pemilu, maka penyelenggara pemilu harus lebih meningkatkan lagi informasi mengenai pentingnya pemilu bagi masyarakat umum, mengingat sebagian besar ketidakhadiran mereka disebabkan oleh ketidakpedulian mereka bahwa pemilu akan merubah keaadaan mereka. 2. Sebaiknya model kampanye yang dikembangkan adalah model kampanye dialogis melalui pertemuan-pertemuan di tingkat RT/RW/desa dan mendatangi masyarakat langsung melalui door to door. 3. Ke depan, sebaiknya media kampanye yang paling relevan untuk dikembangkan adalah melalui media TV, radio, baliho/panflet, baru melalui surat kabar. 4. Agar informasi mengenai pemilu didatangi oleh banyak masyarakat, maka ketika penyampaian informasi mengenai kepemiluan lebih baik dibarengi juga dengan hiburan, seperti hiburan elekton dangdut, tari, maupun hiburan yang lain. 5. Kedepan, jurkam sebaiknya berlatarbelakang tokoh agama, tokoh ormas, tokoh partai dan pendidik (guru, dosen) sehingga informasi, program yang disampaikan bisa didengar dan diyakini oleh masyarakat Bondowoso.
75
Pewawancara:
NO:
Kuesioner Penelitian PENELITIAN TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU Pengantar Kami adalah tim peneliti dari Lembaga Penelitian Universitas Jember, bermaksud mengadakan penelitian tentang “Partisipasi Masyarakat Bondowoso dalam Pemilu“. Untuk keperluan tersebut kami mohon Bapak/Ibu/Saudara bersedia memberi beberapa informasi yang kami perlukan. Informasi tersebut nantinya kami olah secara bersama-sama yang kemudian akan disusun dalam sebuah laporan penelitian. Kami akan menjaga identitas dan kerahasiaan informasi yang Bapak/Ibu/Saudara berikan. Atas kesediaan dan perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
A. KARAKTERISTIK RESPONDEN 1.
Tempat tinggal kabupaten/kota?1. situbondo 1.( ) 2.( ) 3. ( ) 4.( )
2.
Kecamatan ?
2. Bondowoso
3. Banyuwangi
13. sempol
3.
1. Binakal
4. Cermee
7. Jambesari
10. Pakem
2. Bondowoso
5. Curahdami
8. Klabang
11. Prajekan
3. Botolingo
6. Grujukan
9. Maesan
12.Pujer
14. Sukosari 15. Sumberwringin
Daerah Pemilihan (DAPIL) Kabupaten/Kota? 1. DAPIL I
4. DAPIL IV
7. DAPIL VII
10. DAPIL X
2. DAPIL II
5. DAPIL V
8. DAPIL VIII
11. DAPIL XI
3. DAPIL III
6. DAPIL VI
9. DAPIL IX
12. DAPIL XII
4. Administrasi Tempat tinggal kabupaten/kota: 1. Kota 2. Kabupaten (jika menjawab 2, langsung ke soal no. 6) 5.
Jika di kota, dimana Bpk/Ibu/Sdr tinggal? 1. Pusat kota
5.(
)
2. Pinggiran kota
6.
Jika tinggal di daerah kabupaten, dimana Bpk/Ibu/Sdr tinggal? ) 1. Di dalam kota kabupaten 2. Di luar kota (pedesaan)
7.
Lokasi tempat tinggal: ) 1. Pedalaman
6.(
7.( 2. Pantai
LAMPIRAN 1- 1 -
8.
9.
Berapa Umur Bpk/Ibu/Sdr ? ) 1. < 20 tahun 3. 30-39 tahun 5. > 50 tahun
8.( 2. 20-29 tahun 4. 40-49 tahun
Jenis kelamin responden: ) 1. Pria
9.( 2. Wanita
B.
KARAKTERISTIK SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK RESPONDEN
1.
Apakah pendidikan terakhir Bpk/Ibu/Sdr ? ) 1. Tidak sekolah 3. SLTP dan sederajat 5. P T dan sederajat
2.
3.
10.( 2. SD dan sederajat 4. SLTA dan sederajat
Apakah Agama Bpk/Ibu/Sdr anut ? ) 1. Islam 3. Katolik 5. Hindu Apakah pekerjaan Bpk/Ibu/Sdr ? ) 1. Pegawai negeri sipil 3. Pengusaha 5. Karyawan swasta 7. Sektor informal
11.( 2. Kristen 4. Budha 6. lain-lain, sebutkan…………… 12.( 2. TNI-POLRI 4. Pedagang 6. Petani 8. Lain-lain, sebutkan…………
4.
Apakah Bpk/Ibu/Sdr punya pekerjaan sampingan ? ) 1. Ya 2. Tidak ( jika tidak, langsung ke soal no. 6 )
13.(
5.
Jika ya, apakah pekerjaan sampingan Bpk/Ibu/Sdr ? ) (pilih salah satu alternatif jawaban pada no. 9 ) 1. Pegawai negeri sipil 2. TNI-POLRI 3. Pengusaha 4. Pedagang 5. Karyawan swasta 6. Petani 7. Sektor informal 8. Lain-lain, sebutkan…………
14.(
6.
Berapa penghasilan Bpk/Ibu/Sdr per bulan ? ) 1. < Rp. 500.000 3. Rp. 1.000.000 -< Rp. 1.500.000 5. > Rp. 2.000.000
15.( 2. Rp. 500.000 -< Rp. 1.000.000 4. Rp. 1.500.000 -< Rp. 2.000.000
LAMPIRAN 1- 2 -
7.
Saudara mengidentifikasi sebagai simpatisani organisasi sosial-keagamaan apa ? ) 1. NU atau di bawah naungan NU 2. Muhammadiyah atau di bawah naungan Muhammadiyah 3. Ormas Islam lain 4. Gereja 4. Tdk mengidentifikasi 6. Lain-lain, sebutkan………
26.(
8.
Pada pemilihan bupati 2013, siapa yang saudara pilih ? ) 1. Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) 2. Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja) 3. Golput
27.(
9.
Jika Golput, alasan saudara golput? ) 1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 2. Tidak ada partai yang cocok 3. Ekonomi: Bekerja 4. Teknis: tidak terdaftar
28 .( 5. Ideologi: tdk sistem islam 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan 7. Material: Tidak ada yg memberi uang 8. Lain-lain, sebutkan….
10. Pada pemilu 2014,Bapak/Ibu/saudara akan memilih partai apa ? ) 1. PDI-P 3. PKB 5. PAN 7.PD 9. Hanura 2. Golkar 4. PPP 6. PKS 8. PBB 10.Gerindra 11. Nasdem 12. PKPI 13. tidak memilih/golput
29.(
11. Jika pemilu dilaksanakan sekarang, Bapak/Ibu/saudara akan memilih partai apa ? ) 1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 5. Ideologi: tdk sistem islam 2. Tidak ada partai yang cocok 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan 3. Ekonomi: Bekerja 7. Material: Tidak ada yg memberi uang 4. Teknis: tidak terdaftar 8. Lain-lain, sebutkan….
30.(
12. Apa pertimbangan Bapak/Ibu/Saudara mendukung/memilih partai di atas ? Pertimbangan Ya (1) 1. Agama 2. Fatwa Ulama 3. Pimpinan/tokoh partainya 4. Caleg yang ditampilkan 5. Isu yang diangkat 6. Program yang ditawarkan 7. Jurkam yang ditampilkan 8. Reformis 10. Ideologi partainya 11. Uang 12. kinerja partai 13. Jurkam 14. Calon yang diajukan 15. Kinerja ALEG 16. Lain-lain, sebutkan
LAMPIRAN 1- 3 -
Tidak (2) 31.( 32.( 33.( 34.( 35.( 36.( 37.( 38.( 39.( 40.( 41.( 42.( 43.( 44.( 45.(
) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) )
13. Diantara pertimbangan memilih di atas, pertimbangan apa yang paling mempengaruhi pilihan saudara? (pilihan jawaban seperti no. 15) 46.( ) 14. Pada Pemilihan Presiden 2014, siapa yang anda pilih? ) 1. Prabowo-Hatta 2. Jokowi-JK 15. Alasan golput, karena apa? 1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 2. Tidak ada partai yang cocok 3. Ekonomi: Bekerja 4. Teknis: tidak terdaftar
47.( 3. Golput 48.( )
5. Ideologi: tdk sistem islam 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan 7. Material: Tidak ada yg memberi uang 8. Lain-lain, sebutkan….
16. Jika anda dikasih uang atau materi oleh salah satu calon, bagaimana anda menyikapi dalam pemilihan parta legislatif atau kepala daerah 49.( ) 1. Menerima uang tersebut dan memilih yang memberi 2. Menerima uang tersebut tetapi tetap memilih berdasarkan hati nurani 3. menerima uang tersebut dan memilih calon yang memberi uang paling banyak 4. menolak menerima uang tersebut 17. Berapa besar uang yang anda harapkan dari calon dewan? ) 1. Rp. 5.000 3. > Rp. 10.000-Rp.15.000 2. > Rp.5.000.- Rp. 10.0000 4. > Rp. 15.000-Rp.20.000
50.( 5. >Rp.20.000-Rp.25.000 6. > Rp. 25.000.
18. Kapan waktu yang tepat untuk menerima bantuan uang dan saudara memilih sesuai dg pemberi uang? 1. Sblm kampanye 4. Hari H Pencoblosan 51.( ) 2. Saat kampanye 3. Hari tenang
D. ISU—ISU POLITIK DAN ASPIRASI MASYARAKAT 1. Diantara persoalan-persoalan berikut, mana yang perlu ditangani oleh partai politik? Aspirasi 1. Kesempatan kerja/persoalan ketenagakerjaan 2. Perbaikan harga gabah 3. Mengatasi harga pupuk 4. Masalah pendidikan (SPP,beasiswa, uang gedung, dll) 5. Pemberian/kemudahan kredit 6. Pemberian subsidi gol. Lemah 7. Persoalan harga sembako 8. Penurunan tarif listrik 9. Penurunan tarif angkutan 10. Pemberantasan KKN
LAMPIRAN 1- 4 -
Ya (1)
Tidak (2) 52.( 53.( 54.( 55.( 56.( 57.( 58.( 59.( 60.( 61.(
) ) ) ) ) ) ) ) ) )
11. Profesionalisme birokrasi 12. Demokratisasi politik 13. Penurunan pajak, retribusi 14. Mengatasi sengketa tanah 15. Persoalan air bersih, PDAM, dll 16. Pembangunan fisik (jalan, sekolah, irigasi, dll) 17. Mengatasi kriminalitas 18. Mengatasi kenalan remaja 19. Mengatasi narkoba 20. Mengatasi konflik sospol
62.( 63.( 64.( 65.( 66.( 67.( 68.( 69.( 70.( 71.(
2. Diantara persoalan-persoalan di atas, mana yang menurut saudara paling penting untk segera ditangani? 72.( )
E.
PERILAKU PEMILIH
1. Model kampanye macam apa yang saudara sukai 1. Dialogis 2. Pengerahan massa 4. door to door 5.lain-lain,
73.( ) 3.Konfoi
2. Model kampanye apa yang paling relevan untuk dialogis? 74.( ) 1. dialog dengan tatap muka 2. Dialog memalui radio/TV 3. Dialog pertemuan kelompok (RT/RW/Desa) 4. Dialog dg membawa bingkisan 5. Dialog dg membawa uang 6. Dialog dengan membawa alar peraga (baliho, panflet) 3. Jenis bingkisan yang dikehendaki? 75.( ) 1. kaos 2. Jilbab/kerudung 6. sembako 7.lain-lain,
3.sarung
4. Tas
5. Topi
4. Model pengerahan massa apa yang paling relevan untuk konfoi? 76.( ) 1. bawa kendaraan 2. Jalan 3. Konfoi sambil bagi brosur 4. Konfoi sambil membawa musik 5. Model kampanye apa yang paling relevan untuk door to door? 77.( ) 1. bertemu dan perkenalan program 2. Tinggal dan menginap 3. Mendengarkan masalah dan keluhan warga 4. Bertamu dan membawa oleh (sembako) 5. Bertamu dan membawa uang 6. Media kampanye apa yang paling relevan untuk Pileg 2014? 1. TV 2. Radio 3. Surat kabar 4. Tatap muka 10. Acara apa yang paling bapak/ibu/sdr sukai di TV? ) 1. 2. 3. 4.
Sinetron 5. Berita Film nasional 6. Olahraga Film Luar negeri 7. Film Kartun Musik 8. Reality Show
78.( )
79.( 9. Diskusi/debat 10. Seni/budaya 11. Lain2, sebutkan…….
LAMPIRAN 1- 5 -
) ) ) ) ) ) ) ) ) )
11. Untuk acara radio, acara apa yang paling bapak/ibu/sdr sukai? ) 1. Musik Pop 2. Musik Dangdut 3. Musik Keroncong 4. Musik Campursari
80.(
5. Berita 6. Obrolan 7. Lain-lain, sebutkan.....
16. Apakah anda suka kampanye dengan disertai hiburan? 1. Suka 2. Tidak suka 17. Jika suka, hiburan yang disukai? 1. Musik Dangdut 2. Musik Pop 5. Lawakan 6. Film (layar tancap)
81.( )
3. Musik Qosidah 7. Ludruk/ketorprak
4.Wayang 8. campursari
82. ( ) 9.dll…
18. Latarbelakang profesi jurkam macam apa yang saudara sukai? 1. Kiai 2. Cendikiawan 3. Dai 4.Tokoh pemerintah 83. ( ) 5. Pengusaha 6. Bintang film 7. Penyanyi 8. Pelawak 9.dll… 19. Dalam memilih partai, pertimbangan anda apakah calon legislatif yang diusung atau keberadaan partainya? 1. Caleg yang diusung 2. Keberadaan Partai 84.( ) 20. Jika saudara menyukai caleg yang disung suatu partai, sedangkan anda tidak menyukai/belum peduli dengan partai tersebut, apakah saudara tetap memilih caleg sesuai dengan partai tersebut atau akan pindah partai lain? 85.( ) 1. tetap emilih caleg dg partainya 2. Tidak memilih caleg tersebut/memilih partai lain. 21. Jika anda pendukung partai tertentu, sedangkan ada caleg yang tidak saudara senangi diusung oleh partai tersebut, apah saudara tetap memilih partai tersebut atau pindah partai? 86.( ) 1. tetap memilih partai dg caleg tersebut 3. Tetap memilih partai tsbt, tetapi memilih calon lain yang ada 2. Tidak memilih memilih partai tersebut 22. Diantara nama-nama dibawah ini, siapa yang akan saudara pilih pada pilkada 2017? ) Nama Caleg 1. Salwa Arifin Jaya (Wakil Bupati) 2. Ahmad Dhafir (PKB) 3. Ketut Yudi (PKS) 4. Irwan Bachtiar (PDIP) 5. Supriyadi (Golkar) 6. Albani (Gerindra) 7. Soepatno (PD)
Nama Caleg 8. Djanuarianto (PAN) 9. Buchori Mun’im (PPP) 10. Abd. Khodir Syam (NU) 11. Basuki Rohani (Muhammadiyah) 12. Sobri Wasil (ISNU) 13. lain-lain, sebutkan…
IDENTITAS RESPONDEN 23. Nama Responden : …………………………………………………………..……………. 24. Kecamatan
:………………………………………………………………..…………
25. Desa/kelurahan
: …………………………………………………………….………..…..
LAMPIRAN 1- 6 -
87.(
26. Alamat Responden
: ………………………………………………………………………….
CATATAN PENTING
:
LAMPIRAN 1- 7 -
PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT BONDOWOSO
KPU BONDOWOSO
LAMPIRAN 22- 1
I. PERILAKU MEMILIH
Mengapa seseorang melakukan tindakan politik tertentu sementara yang lain tidak? Mengapa orang memilih kepala daerah A, bukannya kepala daerah B, C, atau D? Mengapa pada kelompok masyarakat tertentu cenderung mempunyai pilihan kepala daerah yang hampir sama, sedangkan kelompok masyarakat lainnya tidak? Faktor--faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang Faktor menentukan pilihan dalam suatu Pemilihan Kepala Daerah? Sederet pertanyaan senada masih akan muncul apabila menganalisis perilaku memilih dalam suatu Pilkada. 2
PERILAKU MEMILIH 1. 2. 3.
PENGETAHUAN (POPULARITAS) SIKAP (KESUKAAN/KEPANTASAN) TINDAKAN (ELEKTABILITAS)
3
FAKTOR MEMPENGARUHI PERILAKU MEMILIH 1. Pendekatan Sosiologis 2. Pendekatan Psikologis 3. Pendekatan Rasional
4
1. Pendekatan Sosiologis a.
b.
Karakteristik sosial (seperti pekerjaan pekerjaan,, penghasilan,, pendidikan dan penghasilan sebagainya). sebagainya ). karakteristik atau latarbelakang sosiologis (seperti agama, wilayah wilayah,, jenis kelamin,, umur kelamin umur,, dan sebagainya sebagainya))
5
2. Pendekatan Psikologis
pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi -- terutama konsep sosialisasi dan sikap-sikap-- untuk menjelaskan perilaku memilih. pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik (calon kepala daerah), orientasi terhadap isuisu -isu dan orientasi terhadap kandidat. 6
3. Pendekatan Rasional
perilaku politik masyarakat akan dapat bertindak secara rasional,, yakni memberikan suara ke calon kepala rasional daerah yang dianggap mendatangkan keuntungan dan kemaslakhatan yang sebesar sebesar--besarnya dan menekan kerugian atau kemudlaratan yang sekecil sekecil--kecilnya kecilnya.. Dengan begitu begitu,, diasumsikan para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu isu--isu politik yang diajukan diajukan.. Begitu juga mampu menilai calon (kandidat kandidat)) yang ditampilkan.. ditampilkan Penilaian rasional terhadap isu politik atau kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan jabatan,, informasi informasi,, pribadi yang populer karena prestasi dibidang masing masing--masing seperti seni,, olah raga, film, organisasi seni organisasi,, politik politik,, dan semacamnya 7
TUJUAN KEGIATAN
8
MENGKAJI PERILAKU MEMILIH MENGKAJI FAKTOR SOSIOLOGIS PERILAKU MEMILIH MENGKAJI FAKTOR PSIKOLOGIS PERILAKU MEMILIH MENGKAJI FAKTOR RASIONALITAS PERILAKU MEMILIH
9
KAJIAN PERILAKU MEMILIH
10
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT
77,3 tidak hadir
22,7 hadir
0
10
20
30
40
50
60
70
80
11
MODEL KAMPANYE
Lain-lain
0,5
24,5
Door to door
30,7
Konfoi
9,9
Pengerahan Massa
34,4
Dialogis
0
5
10
15
20
25
30
35
12
MODEL KAMPANYE DIALOGIS
Dialog dengan alat peraga (baliho, pamflet)
5,7
Dialog dengan membawa uang
6,3
9,4
Dialog dengan membawa bingkisan
35,4
Dialog Pertemuan Kelompok (RT/RW/desa)
14,6
Dialog melalui radio/ TV
28,6
Dialog dengan tatap muka
0
5
10
15
20
25
30
35
40
13
MEDIA KAMPANYE
19,8
Tatap Muka
15,1
Surat Kabar
16,1
Radio
49
TV
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
14
PERTIMBANGAN MEMILIH PARTAI/CALEG 4,2
Kinerja Aleg/cabup/partai
6,3
Calon yang diajukan 1
Jurkam
6,3
Kinerja Partai Uang
2,6
Ideologi Partainya
2,6 1
Reformis
3,1
Jurkam yang ditampilkan
20,8
Program yang ditawarkan 12
Isu yang diangkat 9,9
Caleg yang ditampilkan
10,9
Pimpinan/ Tokoh Partai/Tokoh ormas
13
Fatwa Ulama 5,2
Agama 0
5
10
15
20
25
15
KAJIAN FAKTOR SOSIOLOGIS PERILAKU MEMILIH
16
DAPIL & PERILAKU MEMILIH BUPATI 90 80 70 60 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) 50 Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
40
Golput 30 20 10 0 Dapil I
Dapil II
Dapil III
Dapil IV
Dapil V
17
DAPIL & PERILAKU MEMILIH PARTAI 40
35
30
25 Dapil I Dapil II
20
Dapil III Dapil IV 15
Dapil V
10
5
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem
GOLPUT
18
DAPIL & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN 60
50
40
Prabowo-Hatta 30
Jokowi-JK GOLPUT
20
10
0 Dapil I
Dapil II
Dapil III
Dapil IV
Dapil V
19
UMUR & PERILAKU MEMILIH BUPATI 80
70
60
50
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
40
Golput 30
20
10
0 < 20 tahun
20-29 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
> 50 tahun
20
UMUR & PERILAKU MEMILIH PARTAI 60
50
40 < 20 tahun 20-29 tahun
30
30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun
20
10
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem
GOLPUT
21
UMUR & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN 70
60
50
40
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
30
20
10
0 < 20 tahun
20-29 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
> 50 tahun
22
SEX & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80 70 60 50 Laki-laki
40
Perempuan 30 20 10 0 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
Golput
23
SEX & PERILAKU MEMILIH PARTAI 40
35
30
25
20
Laki-laki Perempuan
15
10
5
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem
GOLPUT
24
SEX & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40 Laki-laki 30
Perempuan
20
10
0 Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
GOLPUT
25
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI 90 80 70 60 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
50
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
40
Golput 30 20 10 0 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
SLTP dan sederajat
SLTA dan sederajat
PT dan sederajat
26
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH PARTAI 70
60
50
Tidak Sekolah
40
SD dan sederajat SLTP dan sederajat 30
SLTA dan sederajat PT dan sederajat
20
10
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem GOLPUT
27
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN 70
60
50
40
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
30
20
10
0 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat
PT dan sederajat
28
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI 90 80 70 60 50
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
40
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja) Golput
30 20 10 0 Pegawai Pengusaha Pedagang Negeri Sipil
Karyawan Swasta
Petani
Sektor Informal
Lain-lain
29
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH PARTAI 60
50
40 Pegawai Negeri Sipil Pengusaha Pedagang
30
Karyawan Swasta Petani Sektor Informal
20
Lain-lain
10
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra Nasdem GOLPUT
30
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN 90 80 70 60 50 Prabowo-Hatta Jokowi-JK
40
GOLPUT 30 20 10 0 Pegawai Negeri Sipil
Pengusaha
Pedagang
Karyawan Swasta
Petani
Sektor Informal
Lain-lain
31
KAJIAN FAKTOR PSIKOLOGIS (SIKAP) PERILAKU MEMILIH
32
SIKAP & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80 70 60 50 suka
40
Tidak
30 20 10 0 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
Golput
33
SIKAP & PERILAKU MEMILIH PARTAI 35
30
25
20 suka Tidak
15
10
5
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem
GOLPUT
34
SIKAP & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40 suka 30
Tidak
20
10
0 Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
GOLPUT
35
KAJIAN FAKTOR RASIONALITAS PERILAKU MEMILIH
36
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80 70 60 50 Program
40
Tidak
30 20 10 0 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
Golput
37
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH PARTAI 35
30
25
20 program Tidak
15
10
5
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem
38
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40 program Tidak
30
20
10
0 Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
39
ISU & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80 70 60 50 isu Tidak
40 30 20 10 0 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
40
ISU & PERILAKU MEMILIH PARTAI 35
30
25
20 isu Tidak
15
10
5
0 PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
PD
Hanura
Gerindra
Nasdem
GOLPUT
41
ISU & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40 isu Tidak
30
20
10
0 Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
42
TERIMA KASIH..
43
HASIL FREKUENSI PERILAKU MEMILIH
1. KARAKTERISTIK PEMILIH 1.1. Distribusi Sampel Kecamatan Kecamatan
Valid
Binakal Bondowoso Botolingo Cermee Curahdami Grujukan Jambesari Klabang Maesan Pakem Prajekan Pujer Sempol Sukosari Sumberwringin Taman Krocok Tamanan Tegalampel Tenggarang Tlogosari Wonosari Wringin Total
Frequency 10 34 16 22
Percent 2.6 8.9 4.2 5.7
Valid Percent 2.6 8.9 4.2 5.7
Cumulative Percent 2.6 11.5 15.6 21.4
16 18 16 10 22 12 14 20 10 12 16 10 18
4.2 4.7 4.2 2.6 5.7 3.1 3.6 5.2 2.6 3.1 4.2 2.6 4.7
4.2 4.7 4.2 2.6 5.7 3.1 3.6 5.2 2.6 3.1 4.2 2.6 4.7
25.5 30.2 34.4 37.0 42.7 45.8 49.5 54.7 57.3 60.4 64.6 67.2 71.9
12 18 22 20 36 384
3.1 4.7 5.7 5.2 9.4 100.0
3.1 4.7 5.7 5.2 9.4 100.0
75.0 79.7 85.4 90.6 100.0
1.2. Distribusi Sampel Perdapil Dapil
Valid
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V Total
Frequency 72 62 80 74 96 384
Percent 18.8 16.1 20.8 19.3 25.0 100.0
Valid Percent 18.8 16.1 20.8 19.3 25.0 100.0
LAMPIRAN 3- 1 -
Cumulative Percent 18.8 34.9 55.7 75.0 100.0
1.3. Distribusi Posisi Tempat Tinggal Posisi Tinggal Kabupaten
Valid
Frequency 46 338 384
Dalam kota kabupaten Luar kota (pedesaan) Total
Percent 12.0 88.0 100.0
Valid Percent 12.0 88.0 100.0
Cumulative Percent 12.0 100.0
1.4. Distribusi Umur Responden Umur Resp
Valid
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun Total
Frequency 6 100 78 150 50 384
Percent 1.6 26.0 20.3 39.1 13.0 100.0
Valid Percent 1.6 26.0 20.3 39.1 13.0 100.0
Cumulative Percent 1.6 27.6 47.9 87.0 100.0
1.5. Distribusi Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin
Valid
Laki-laki Perempuan Total
Frequency 264 120 384
Percent 68.8 31.3 100.0
Valid Percent 68.8 31.3 100.0
LAMPIRAN 3- 2 -
Cumulative Percent 68.8 100.0
1.6. Distribusi Pendidikan Responden Pendidikan
Valid
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat Total
Frequency 6 28 62 212 76 384
Percent 1.6 7.3 16.1 55.2 19.8 100.0
Valid Percent 1.6 7.3 16.1 55.2 19.8 100.0
Cumulative Percent 1.6 8.9 25.0 80.2 100.0
1.7. Distribusi Agama Responden Agama
Valid
Islam
Frequency 384
Percent 100.0
Valid Percent 100.0
Cumulative Percent 100.0
1.8. Distribusi Pekerjaan Responden Pekerjaan
Valid
Pegawai Negeri Sipil Pengusaha Pedagang Karyawan Swasta Petani Sektor Informal Lain-lain Total
Frequency 70 12 66 44 66 18 108 384
Percent 18.2 3.1 17.2 11.5 17.2 4.7 28.1 100.0
Valid Percent 18.2 3.1 17.2 11.5 17.2 4.7 28.1 100.0
LAMPIRAN 3- 3 -
Cumulative Percent 18.2 21.4 38.5 50.0 67.2 71.9 100.0
1.9. Distribusi Penghasilan Responden Penghasilan
Valid
< 500.000 500.000 -< 1.000.000 1.000.000 -< 1.500.000 1.500.000 -< 2.000.000 > 2.000.000 Total
Frequency 22 60 56 148 98 384
Percent 5.7 15.6 14.6 38.5 25.5 100.0
Valid Percent 5.7 15.6 14.6 38.5 25.5 100.0
LAMPIRAN 3- 4 -
Cumulative Percent 5.7 21.4 35.9 74.5 100.0
PERILAKU MEMILIH Frequency Table Model Kampanye
Valid
Dialogis Pengerahan Massa Konfoi Door to door Lain-lain Total
Frequency 132 38 118 94 2 384
Percent 34.4 9.9 30.7 24.5 .5 100.0
Valid Percent 34.4 9.9 30.7 24.5 .5 100.0
Cumulative Percent 34.4 44.3 75.0 99.5 100.0
Kampanye Dialogis Paling Relevan Frequency Valid
Dialog dengan tatap muka Dialog melalui radio/ TV Dialog Pertemuan Kelompok (RT/RW/desa) Dialog dengan membawa bingkisan Dialog dengan membawa uang Dialog dengan alat peraga (baliho, pamflet) Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
110
28.6
28.6
28.6
56
14.6
14.6
43.2
136
35.4
35.4
78.6
36
9.4
9.4
88.0
24
6.3
6.3
94.3
22
5.7
5.7
100.0
384
100.0
100.0
Bingkisan Dikehendaki
Valid
Missing Total
Kaos Jilbab/ Kerudung Sarung Tas Topi Sembako Lain-lain Total System
Frequency 70 50 46 6 2 172 12 358 26 384
Percent 18.2 13.0 12.0 1.6 .5 44.8 3.1 93.2 6.8 100.0
Valid Percent 19.6 14.0 12.8 1.7 .6 48.0 3.4 100.0
LAMPIRAN 3- 5 -
Cumulative Percent 19.6 33.5 46.4 48.0 48.6 96.6 100.0
Pengerahan Massa paling Relevan untuk Konfoi
Valid
Bawa Kendaraan Jalan Konfoi sambil bawa brosur Konfoi sambil bawa musik Total
Frequency 66 48
Percent 17.2 12.5
Valid Percent 17.2 12.5
Cumulative Percent 17.2 29.7
178
46.4
46.4
76.0
92
24.0
24.0
100.0
384
100.0
100.0
Door to door paling relevan Frequency Valid
Bertemu & Perkenalan Program Mendengarkan masalah & keluhan warga Bertamu & membawa oleh2/ sembako Bertamu & Membawa Uang Total
Percent
Valid Percent
104
27.1
27.1
27.1
202
52.6
52.6
79.7
50
13.0
13.0
92.7
28
7.3
7.3
100.0
384
100.0
100.0
Media Relevan untuk Pileg 2015
Valid
TV Radio Surat Kabar Tatap Muka Total
Frequency 188 62 58 76 384
Cumulative Percent
Percent 49.0 16.1 15.1 19.8 100.0
Valid Percent 49.0 16.1 15.1 19.8 100.0
LAMPIRAN 3- 6 -
Cumulative Percent 49.0 65.1 80.2 100.0
Acara TV favorit
Valid
Sinetron Film Nasional Film Luar Negeri Musik Berita Olahraga Film Kartun Reality Show Diskusi/ debat Seni/ budaya Lain-lain Total
Frequency 96 8 22 18 128 66 6 10 18 6 6 384
Percent 25.0 2.1 5.7 4.7 33.3 17.2 1.6 2.6 4.7 1.6 1.6 100.0
Valid Percent 25.0 2.1 5.7 4.7 33.3 17.2 1.6 2.6 4.7 1.6 1.6 100.0
Cumulative Percent 25.0 27.1 32.8 37.5 70.8 88.0 89.6 92.2 96.9 98.4 100.0
Acara radio favorit
Valid
Musik Pop Musik Dangdut Musik Keroncong Musik Campursari Berita Obrolan Lain-lain Total
Frequency 80 146 8 14 80 46
Percent 20.8 38.0 2.1 3.6 20.8 12.0
Valid Percent 20.8 38.0 2.1 3.6 20.8 12.0
10 384
2.6 100.0
2.6 100.0
Cumulative Percent 20.8 58.9 60.9 64.6 85.4 97.4
Kampanye dengan hiburan
Valid
Suka Tidak Suka Total
Frequency 316 68 384
Percent 82.3 17.7 100.0
Valid Percent 82.3 17.7 100.0
LAMPIRAN 3- 7 -
Cumulative Percent 82.3 100.0
100.0
Hiburan yang Disukai
Valid
Missing Total
Musik Dangdut Musik Pop Musik Qosidah Lawakan Film (layar tancap) Ludruk/ Ketoprak Campursari Total System
Frequency 208 42 18 22 12 14 4 320 64 384
Percent 54.2 10.9 4.7 5.7 3.1 3.6 1.0 83.3 16.7 100.0
Valid Percent 65.0 13.1 5.6 6.9 3.8 4.4 1.3 100.0
Cumulative Percent 65.0 78.1 83.8 90.6 94.4 98.8 100.0
Profesi Jurkam Disukai
Valid
Frequency 142 50 16 94 14 12 36 20 384
Kyai Cendekiawan Da'i Tokoh Pemerintah Pengusaha Bintang Film Penyanyi Pelawak Total
Percent 37.0 13.0 4.2 24.5 3.6 3.1 9.4 5.2 100.0
Valid Percent 37.0 13.0 4.2 24.5 3.6 3.1 9.4 5.2 100.0
Cumulative Percent 37.0 50.0 54.2 78.6 82.3 85.4 94.8 100.0
Pertimbangan Memilih Caleg
Valid
Caleg yang Diusung Keberadaan Partai Total
Frequency 250 134 384
Percent 65.1 34.9 100.0
Valid Percent 65.1 34.9 100.0
Cumulative Percent 65.1 100.0
Suka Caleg Tidak Suka Partai Frequency Valid
Tetap memilih caleg dengan partainya Tidak memilih caleg tersebut/ memilih partai lain Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
170
44.3
44.3
44.3
214
55.7
55.7
100.0
384
100.0
100.0
LAMPIRAN 3- 8 -
Suka Partai Tidak Suka Caleg Frequency Valid
Tetap memilih partai dengan caleg tsb Tidak memilih partai tersebut Tetap memilih partai namun memilih caleg lain Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
72
18.8
18.8
18.8
48
12.5
12.5
31.3
264
68.8
68.8
100.0
384
100.0
100.0
LAMPIRAN 3- 9 -
2. ISU-ISU UTAMA DI KABUPATEN BONDOWOSO Frequency Table Persoalan Kesempatan Kerja
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 298 86 384
Percent 77.6 22.4 100.0
Valid Percent 77.6 22.4 100.0
Cumulative Percent 77.6 100.0
Persoalan Harga Gabah
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 270 114 384
Percent 70.3 29.7 100.0
Valid Percent 70.3 29.7 100.0
Cumulative Percent 70.3 100.0
Persoalan Harga Pupuk
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 278 106 384
Percent 72.4 27.6 100.0
Valid Percent 72.4 27.6 100.0
Cumulative Percent 72.4 100.0
Persoalan Pendidikan (SPP, uang gedung, dll)
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 316 68
Percent 82.3 17.7
Valid Percent 82.3 17.7
384
100.0
100.0
Cumulative Percent 82.3 100.0
Persoalan Kemudahan Kredit
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 252 132 384
Percent 65.6 34.4 100.0
Valid Percent 65.6 34.4 100.0
Cumulative Percent 65.6 100.0
Persoalan Subsidi Gol Lemah
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 278 106 384
Percent 72.4 27.6 100.0
Valid Percent 72.4 27.6 100.0
Cumulative Percent 72.4 100.0
LAMPIRAN 3- 10 -
Persoalan Harga Sembako
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 334 50 384
Percent 87.0 13.0 100.0
Valid Percent 87.0 13.0 100.0
Cumulative Percent 87.0 100.0
Persoalan Penurunan Tarif Listrik
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 256 128 384
Percent 66.7 33.3 100.0
Valid Percent 66.7 33.3 100.0
Cumulative Percent 66.7 100.0
Persoalan Penurunan Tarif Angkutan
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 152 232 384
Percent 39.6 60.4 100.0
Valid Percent 39.6 60.4 100.0
Cumulative Percent 39.6 100.0
Persoalan Pemberantasan KKN
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 174 210 384
Percent 45.3 54.7 100.0
Valid Percent 45.3 54.7 100.0
Cumulative Percent 45.3 100.0
Persoalan Profesionalisme Birokrasi
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 162 222 384
Percent 42.2 57.8 100.0
Valid Percent 42.2 57.8 100.0
Cumulative Percent 42.2 100.0
Persoalan Demokratisasi Politik
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 154 230 384
Percent 40.1 59.9 100.0
Valid Percent 40.1 59.9 100.0
Cumulative Percent 40.1 100.0
LAMPIRAN 3- 11 -
Persoalan Penurunan Pajak, retribusi
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 198 186 384
Percent 51.6 48.4 100.0
Valid Percent 51.6 48.4 100.0
Cumulative Percent 51.6 100.0
Persoalan Sengketa Tanah
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 130 254 384
Percent 33.9 66.1 100.0
Valid Percent 33.9 66.1 100.0
Cumulative Percent 33.9 100.0
Persoalan Air Bersih, PDAM, dll
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 160 224 384
Percent 41.7 58.3 100.0
Valid Percent 41.7 58.3 100.0
Cumulative Percent 41.7 100.0
Persoalan Pembangunan Fisik (jalan, sekolah, irigasi, dll)
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 288 96 384
Percent 75.0 25.0 100.0
Valid Percent 75.0 25.0 100.0
Cumulative Percent 75.0 100.0
Persoalan Kriminalitas
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 194 190 384
Percent 50.5 49.5 100.0
Valid Percent 50.5 49.5 100.0
Cumulative Percent 50.5 100.0
Persoalan Kenakalan Remaja
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 132 252 384
Percent 34.4 65.6 100.0
Valid Percent 34.4 65.6 100.0
Cumulative Percent 34.4 100.0
LAMPIRAN 3- 12 -
Persoalan Narkoba
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 156 228 384
Percent 40.6 59.4 100.0
Cumulative Percent 40.6 100.0
Valid Percent 40.6 59.4 100.0
Persoalan Konflik Sospol
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 142 242 384
Percent 37.0 63.0 100.0
Cumulative Percent 37.0 100.0
Valid Percent 37.0 63.0 100.0
Persoalan Paling Penting
Valid
Kesempatan Kerja Harga Gabah Harga Pupuk Pendidikan (SPP, uang gedung, dll) Kemudahan Kredit Subsidi Golongan Lemah Harga Sembako Penurunan Tarif Listrik Pemberantasan KKN Demokratisasi Politik Penurunan Pajak, Retribusi Sengketa Tanah Air Bersih, PDAM Pembangunan Fisik (jalan, sekolah, irigasi, dll) Kriminalitas Kenakalan Remaja Narkoba Total
Frequency 62 16 12
Percent 16.1 4.2 3.1
Valid Percent 16.1 4.2 3.1
Cumulative Percent 16.1 20.3 23.4
16
4.2
4.2
27.6
18 24 148 10 22 8
4.7 6.3 38.5 2.6 5.7 2.1
4.7 6.3 38.5 2.6 5.7 2.1
32.3 38.5 77.1 79.7 85.4 87.5
4
1.0
1.0
88.5
2 2
.5 .5
.5 .5
89.1 89.6
24
6.3
6.3
95.8
6 4 6 384
1.6 1.0 1.6 100.0
1.6 1.0 1.6 100.0
97.4 98.4 100.0
LAMPIRAN 3- 13 -
TABULASI SILANG FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU MEMILIH 1. PERILAKU MEMILIH PILBUP BONDOWOSO Pilihan Bupati 2013 Frequency Valid
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) Amien Said Husni Salwa Arifin Jaya (Aswaja) Golput Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
56
14.6
14.6
14.6
288
75.0
75.0
89.6
40 384
10.4 100.0
10.4 100.0
100.0
Pilihan Pilkada 2017 Frequency Valid
Missing Total
Salwa Arifin Jaya (Wakil Bupati) Ahmad Dhafir (PKB) Ketut Yudi (PKS) Irwan Bachtiar (PDIP) Supriyadi (Golkar) Albani (Gerindra) Soepatno (PD) Buchori Mun'im (PPP) Abd. Khodir Syam (NU) Total System
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
220
57.3
57.9
57.9
96 10 38 2 2 4 2 6
25.0 2.6 9.9 .5 .5 1.0 .5 1.6
25.3 2.6 10.0 .5 .5 1.1 .5 1.6
83.2 85.8 95.8 96.3 96.8 97.9 98.4 100.0
380 4 384
99.0 1.0 100.0
100.0
LAMPIRAN 4 - 1 -
Crosstabs
Posisi Tinggal Kabupaten * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Posisi Tinggal Kabupaten
Dalam kota kabupaten
Luar kota (pedesaan)
Total
Count % within Posisi Tinggal Kabupaten Count % within Posisi Tinggal Kabupaten Count % within Posisi Tinggal Kabupaten
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 4 38
Golput 4
Total 46
8.7%
82.6%
8.7%
100.0%
52
250
36
338
15.4%
74.0%
10.7%
100.0%
56
288
40
384
14.6%
75.0%
10.4%
100.0%
LAMPIRAN 4 - 2 -
Umur Resp * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Umur Resp
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun
Total
Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 4 2 66.7% 33.3% 14 72 14.0% 72.0% 8 60 10.3% 76.9% 26 118 17.3% 78.7% 4 36 8.0% 72.0% 56 288 14.6% 75.0%
Golput 0 .0% 14 14.0% 10 12.8% 6 4.0% 10 20.0% 40 10.4%
Total 6 100.0% 100 100.0% 78 100.0% 150 100.0% 50 100.0% 384 100.0%
Jenis Kelamin * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Total
Count % within Jenis Kelamin Count % within Jenis Kelamin Count % within Jenis Kelamin
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 40 204 15.2% 77.3% 16 84 13.3% 70.0% 56 288 14.6% 75.0%
Golput 20 7.6% 20 16.7% 40 10.4%
Total 264 100.0% 120 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 3 -
Pendidikan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Pendidikan
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat
Total
Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 2 4 33.3% 66.7% 4 18 14.3% 64.3% 8 50 12.9% 80.6% 34 162 16.0% 76.4% 8 54 10.5% 71.1% 56 288 14.6% 75.0%
Golput 0 .0% 6 21.4% 4 6.5% 16 7.5% 14 18.4% 40 10.4%
LAMPIRAN 4 - 4 -
Total 6 100.0% 28 100.0% 62 100.0% 212 100.0% 76 100.0% 384 100.0%
Pekerjaan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil Pengusaha Pedagang Karyawan Swasta Petani Sektor Informal Lain-lain
Total
Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 6 54 8.6% 77.1% 0 10 .0% 83.3% 14 46 21.2% 69.7% 4 36 9.1% 81.8% 10 52 15.2% 78.8% 6 12 33.3% 66.7% 16 78 14.8% 72.2% 56 288 14.6% 75.0%
Golput 10 14.3% 2 16.7% 6 9.1% 4 9.1% 4 6.1% 0 .0% 14 13.0% 40 10.4%
Total 70 100.0% 12 100.0% 66 100.0% 44 100.0% 66 100.0% 18 100.0% 108 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 5 -
Penghasilan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Penghasilan
< 500.000 500.000 -< 1.000.000 1.000.000 -< 1.500.000 1.500.000 -< 2.000.000 > 2.000.000
Total
Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 0 20 .0% 90.9% 6 44 10.0% 73.3% 12 40 21.4% 71.4% 28 116 18.9% 78.4% 10 68 10.2% 69.4% 56 288 14.6% 75.0%
Golput 2 9.1% 10 16.7% 4 7.1% 4 2.7% 20 20.4% 40 10.4%
LAMPIRAN 4 - 6 -
Total 22 100.0% 60 100.0% 56 100.0% 148 100.0% 98 100.0% 384 100.0%
Ormas * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
Ormas
NU/ dibawah naungan NU Muhammadiyah/ dibawah naungan Muhammadiyah Ormas Islam Lain Tidak Mengidentifikasi
Total
Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas
Pilihan Bupati 2013 Amien Said Mustawiyanto Husni - Salwa - Abdul Manan Arifin Jaya (MUNA) (Aswaja) 26 172 11.9% 78.9% 2 2
Golput 20 9.2% 2
Total 218 100.0% 6
33.3%
33.3%
33.3%
100.0%
0 .0% 28 17.7% 56 14.6%
2 100.0% 112 70.9% 288 75.0%
0 .0% 18 11.4% 40 10.4%
2 100.0% 158 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 7 -
2. PERILAKU MMEILIH PILPRES Pilihan Presiden 2014
Valid
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Frequency 200 158 26 384
Percent 52.1 41.1 6.8 100.0
Valid Percent 52.1 41.1 6.8 100.0
Cumulative Percent 52.1 93.2 100.0
Crosstabs
LAMPIRAN 4 - 8 -
Kecamatan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Kecamatan
Binakal Bondowoso Botolingo Cermee Curahdami Grujukan Jambesari Klabang Maesan Pakem Prajekan Pujer Sempol Sukosari Sumberwringin Taman Krocok Tamanan Tegalampel
Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count % within Kecamatan Count
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT Total 6 4 0 10 60.0% 40.0% .0% 100.0% 20 10 4 34 58.8% 29.4% 11.8% 100.0% 6 8 2 16 37.5% 50.0% 12.5% 100.0% 12 4 6 22 54.5% 18.2% 27.3% 100.0% 8 6 2 16 50.0% 37.5% 12.5% 100.0% 6 12 0 18 33.3% 66.7% .0% 100.0% 8 8 0 16 50.0% 50.0% .0% 100.0% 8 2 0 10 80.0% 20.0% .0% 100.0% 12 10 0 22 54.5% 45.5% .0% 100.0% 2 10 0 12 16.7% 83.3% .0% 100.0% 8 6 0 14 57.1% 42.9% .0% 100.0% 10 8 2 20 50.0% 40.0% 10.0% 100.0% 6 4 0 10 60.0% 40.0% .0% 100.0% 8 2 2 12 66.7% 16.7% 16.7% 100.0% 8 8 0 16 50.0% 50.0% .0% 100.0% 6 2 2 LAMPIRAN 410- 9 60.0% 20.0% 20.0% 100.0% 10 8 0 18 55.6% 44.4% .0% 100.0%
Dapil * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Dapil
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V
Total
Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 34 28 10 47.2% 38.9% 13.9% 34 20 8 54.8% 32.3% 12.9% 48 28 4 60.0% 35.0% 5.0% 36 38 0 48.6% 51.4% .0% 48 44 4 50.0% 45.8% 4.2% 200 158 26 52.1% 41.1% 6.8%
Total 72 100.0% 62 100.0% 80 100.0% 74 100.0% 96 100.0% 384 100.0%
Posisi Tinggal Kabupaten * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Posisi Tinggal Kabupaten
Dalam kota kabupaten
Luar kota (pedesaan)
Total
Count % within Posisi Tinggal Kabupaten Count % within Posisi Tinggal Kabupaten Count % within Posisi Tinggal Kabupaten
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 20 20 6
Total 46
43.5%
43.5%
13.0%
100.0%
180
138
20
338
53.3%
40.8%
5.9%
100.0%
200
158
26
384
52.1%
41.1%
6.8%
100.0%
LAMPIRAN 4 - 10 -
Umur Resp * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Umur Resp
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun
Total
Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 4 2 0 66.7% 33.3% .0% 56 34 10 56.0% 34.0% 10.0% 30 44 4 38.5% 56.4% 5.1% 84 58 8 56.0% 38.7% 5.3% 26 20 4 52.0% 40.0% 8.0% 200 158 26 52.1% 41.1% 6.8%
Total 6 100.0% 100 100.0% 78 100.0% 150 100.0% 50 100.0% 384 100.0%
Jenis Kelamin * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Total
Count % within Jenis Kelamin Count % within Jenis Kelamin Count % within Jenis Kelamin
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 148 98 18 56.1% 37.1% 6.8% 52 60 8 43.3% 50.0% 6.7% 200 158 26 52.1% 41.1% 6.8%
Total 264 100.0% 120 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 11 -
Pendidikan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Pendidikan
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat
Total
Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 2 4 0 33.3% 66.7% .0% 12 16 0 42.9% 57.1% .0% 34 22 6 54.8% 35.5% 9.7% 116 80 16 54.7% 37.7% 7.5% 36 36 4 47.4% 47.4% 5.3% 200 158 26 52.1% 41.1% 6.8%
Total 6 100.0% 28 100.0% 62 100.0% 212 100.0% 76 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 12 -
Pekerjaan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil Pengusaha Pedagang Karyawan Swasta Petani Sektor Informal Lain-lain
Total
Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 34 34 2 48.6% 48.6% 2.9% 10 0 2 83.3% .0% 16.7% 40 24 2 60.6% 36.4% 3.0% 16 20 8 36.4% 45.5% 18.2% 34 30 2 51.5% 45.5% 3.0% 12 6 0 66.7% 33.3% .0% 54 44 10 50.0% 40.7% 9.3% 200 158 26 52.1% 41.1% 6.8%
Total 70 100.0% 12 100.0% 66 100.0% 44 100.0% 66 100.0% 18 100.0% 108 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 13 -
Penghasilan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Penghasilan
< 500.000 500.000 -< 1.000.000 1.000.000 -< 1.500.000 1.500.000 -< 2.000.000 > 2.000.000
Total
Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 6 16 0 27.3% 72.7% .0% 28 24 8 46.7% 40.0% 13.3% 24 28 4 42.9% 50.0% 7.1% 86 50 12 58.1% 33.8% 8.1% 56 40 2 57.1% 40.8% 2.0% 200 158 26 52.1% 41.1% 6.8%
Total 22 100.0% 60 100.0% 56 100.0% 148 100.0% 98 100.0% 384 100.0%
Ormas * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
Ormas
NU/ dibawah naungan NU Muhammadiyah/ dibawah naungan Muhammadiyah Ormas Islam Lain Tidak Mengidentifikasi
Total
Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas
Pilihan Presiden 2014 PrabowoHatta Jokowi-JK GOLPUT 126 82 10 57.8% 37.6% 4.6% 6 0 0
Total 218 100.0% 6
100.0%
.0%
.0%
100.0%
0 .0% 68 43.0% 200 52.1%
2 100.0% 74 46.8% 158 41.1%
0 .0% 16 10.1% 26 6.8%
2 100.0% 158 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 14 -
3. PERILAKU MEMILIH PARTAI Pilihan Partai 2014
Valid
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Frequency 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
Percent 13.0 12.0 30.7 10.4 2.6 7.8 .5 8.3 6.3 8.3 100.0
Valid Percent 13.0 12.0 30.7 10.4 2.6 7.8 .5 8.3 6.3 8.3 100.0
Cumulative Percent 13.0 25.0 55.7 66.1 68.8 76.6 77.1 85.4 91.7 100.0
Crosstabs
LAMPIRAN 4 - 15 -
Dapil * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
Dapil
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V
Total
Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil Count % within Dapil
PDIP 18 25.0% 4 6.5% 2 2.5% 20 27.0% 6 6.3% 50 13.0%
Golkar 6 8.3% 2 3.2% 6 7.5% 8 10.8% 24 25.0% 46 12.0%
PKB
Pilihan Partai 2014 PAN PD 0 10 .0% 13.9% 0 10 .0% 16.1% 2 2 2.5% 2.5% 4 2 5.4% 2.7% 4 6 4.2% 6.3% 10 30 2.6% 7.8%
PPP
20 27.8% 20 32.3% 28 35.0% 18 24.3% 32 33.3% 118 30.7%
2 2.8% 12 19.4% 14 17.5% 6 8.1% 6 6.3% 40 10.4%
Hanura 2 2.8% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 2 .5%
Gerindra 2 2.8% 6 9.7% 18 22.5% 2 2.7% 4 4.2% 32 8.3%
Nasdem 2 2.8% 0 .0% 8 10.0% 8 10.8% 6 6.3% 24 6.3%
GOLPUT 10 13.9% 8 12.9% 0 .0% 6 8.1% 8 8.3% 32 8.3%
Total 72 100.0% 62 100.0% 80 100.0% 74 100.0% 96 100.0% 384 100.0%
Posisi Tinggal Kabupaten * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
Posisi Tinggal Kabupaten
Dalam kota kabupaten
Luar kota (pedesaan)
Total
Count % within Posisi Tinggal Kabupaten Count % within Posisi Tinggal Kabupaten Count % within Posisi Tinggal Kabupaten
PDIP 12
Golkar
PKB
PPP
Pilihan Partai 2014 PAN PD 0 10
Hanura 0
Gerindra 0
Nasdem 0
GOLPUT 6
Total
4
12
2
26.1%
8.7%
26.1%
4.3%
.0%
21.7%
.0%
.0%
.0%
13.0%
100.0%
38
42
106
38
10
20
2
32
24
26
338
11.2%
12.4%
31.4%
11.2%
3.0%
5.9%
.6%
9.5%
7.1%
7.7%
100.0%
50
46
118
40
10
30
2
32
24
32
384
13.0%
12.0%
30.7%
10.4%
2.6%
7.8%
.5%
8.3%
6.3%
8.3%
100.0%
LAMPIRAN 4 - 16 -
46
Umur Resp * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
PDIP Umur Resp
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun
Total
Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp Count % within Umur Resp
0 .0% 18 18.0% 6 7.7% 20 13.3% 6 12.0% 50 13.0%
Golkar
PKB
0 .0% 10 10.0% 14 17.9% 18 12.0% 4 8.0% 46 12.0%
2 33.3% 22 22.0% 18 23.1% 52 34.7% 24 48.0% 118 30.7%
PPP 0 .0% 10 10.0% 10 12.8% 16 10.7% 4 8.0% 40 10.4%
Pilihan Partai 2014 PAN PD 0 0 .0% .0% 0 8 .0% 8.0% 6 10 7.7% 12.8% 4 12 2.7% 8.0% 0 0 .0% .0% 10 30 2.6% 7.8%
Hanura 0 .0% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 2 4.0% 2 .5%
Gerindra 2 33.3% 16 16.0% 4 5.1% 8 5.3% 2 4.0% 32 8.3%
Nasdem 0 .0% 6 6.0% 2 2.6% 14 9.3% 2 4.0% 24 6.3%
GOLPUT 2 33.3% 10 10.0% 8 10.3% 6 4.0% 6 12.0% 32 8.3%
Total 6 100.0% 100 100.0% 78 100.0% 150 100.0% 50 100.0% 384 100.0%
Jenis Kelamin * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Total
Count % within Jenis Kelamin Count % within Jenis Kelamin Count % within Jenis Kelamin
PDIP 28 10.6% 22 18.3% 50 13.0%
Golkar 34 12.9% 12 10.0% 46 12.0%
PKB 90 34.1% 28 23.3% 118 30.7%
PPP 32 12.1% 8 6.7% 40 10.4%
LAMPIRAN 4 - 17 -
Pilihan Partai 2014 PAN PD 6 24 2.3% 9.1% 4 6 3.3% 5.0% 10 30 2.6% 7.8%
Hanura 2 .8% 0 .0% 2 .5%
Gerindra 14 5.3% 18 15.0% 32 8.3%
Nasdem 14 5.3% 10 8.3% 24 6.3%
GOLPUT 20 7.6% 12 10.0% 32 8.3%
Total 264 100.0% 120 100.0% 384 100.0%
Pendidikan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
PDIP Pendidikan
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat
Total
Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan Count % within Pendidikan
0 .0% 4 14.3% 10 16.1% 34 16.0% 2 2.6% 50 13.0%
Golkar 0 .0% 2 7.1% 8 12.9% 28 13.2% 8 10.5% 46 12.0%
PKB 4 66.7% 12 42.9% 20 32.3% 60 28.3% 22 28.9% 118 30.7%
PPP 2 33.3% 0 .0% 6 9.7% 26 12.3% 6 7.9% 40 10.4%
LAMPIRAN 4 - 18 -
Pilihan Partai 2014 PAN PD 0 0 .0% .0% 2 0 7.1% .0% 0 0 .0% .0% 6 18 2.8% 8.5% 2 12 2.6% 15.8% 10 30 2.6% 7.8%
Hanura 0 .0% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 2 2.6% 2 .5%
Gerindra 0 .0% 2 7.1% 8 12.9% 16 7.5% 6 7.9% 32 8.3%
Nasdem 0 .0% 0 .0% 2 3.2% 10 4.7% 12 15.8% 24 6.3%
GOLPUT 0 .0% 6 21.4% 8 12.9% 14 6.6% 4 5.3% 32 8.3%
Total 6 100.0% 28 100.0% 62 100.0% 212 100.0% 76 100.0% 384 100.0%
Pekerjaan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
PDIP Pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil Pengusaha Pedagang Karyawan Swasta Petani Sektor Informal Lain-lain
Total
Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan Count % within Pekerjaan
2 2.9% 0 .0% 2 3.0% 22 50.0% 6 9.1% 0 .0% 18 16.7% 50 13.0%
Golkar 6 8.6% 4 33.3% 16 24.2% 0 .0% 4 6.1% 6 33.3% 10 9.3% 46 12.0%
PKB 20 28.6% 4 33.3% 28 42.4% 6 13.6% 28 42.4% 6 33.3% 26 24.1% 118 30.7%
PPP 6 8.6% 2 16.7% 10 15.2% 2 4.5% 14 21.2% 0 .0% 6 5.6% 40 10.4%
LAMPIRAN 4 - 19 -
Pilihan Partai 2014 PAN PD 2 12 2.9% 17.1% 0 0 .0% .0% 0 0 .0% .0% 2 4 4.5% 9.1% 2 4 3.0% 6.1% 2 0 11.1% .0% 2 10 1.9% 9.3% 10 30 2.6% 7.8%
Hanura 2 2.9% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 2 .5%
Gerindra 0 .0% 0 .0% 4 6.1% 6 13.6% 2 3.0% 2 11.1% 18 16.7% 32 8.3%
Nasdem 14 20.0% 0 .0% 4 6.1% 0 .0% 0 .0% 0 .0% 6 5.6% 24 6.3%
GOLPUT 6 8.6% 2 16.7% 2 3.0% 2 4.5% 6 9.1% 2 11.1% 12 11.1% 32 8.3%
Total 70 100.0% 12 100.0% 66 100.0% 44 100.0% 66 100.0% 18 100.0% 108 100.0% 384 100.0%
Penghasilan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
PDIP Penghasilan
< 500.000 500.000 -< 1.000.000 1.000.000 -< 1.500.000 1.500.000 -< 2.000.000 > 2.000.000
Total
Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan Count % within Penghasilan
Golkar
6 27.3% 8 13.3% 10 17.9% 26 17.6% 0 .0% 50 13.0%
PKB
0 .0% 4 6.7% 6 10.7% 18 12.2% 18 18.4% 46 12.0%
Pilihan Partai 2014 PAN PD 0 2 .0% 9.1% 0 6 .0% 10.0% 2 0 3.6% .0% 4 8 2.7% 5.4% 4 14 4.1% 14.3% 10 30 2.6% 7.8%
PPP
4 18.2% 18 30.0% 18 32.1% 56 37.8% 22 22.4% 118 30.7%
0 .0% 6 10.0% 10 17.9% 16 10.8% 8 8.2% 40 10.4%
Hanura 0 .0% 0 .0% 0 .0% 2 1.4% 0 .0% 2 .5%
Gerindra 8 36.4% 6 10.0% 6 10.7% 2 1.4% 10 10.2% 32 8.3%
Nasdem 0 .0% 2 3.3% 4 7.1% 4 2.7% 14 14.3% 24 6.3%
GOLPUT 2 9.1% 10 16.7% 0 .0% 12 8.1% 8 8.2% 32 8.3%
Ormas * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
PDIP Ormas
NU/ dibawah naungan NU Muhammadiyah/ dibawah naungan Muhammadiyah Ormas Islam Lain Tidak Mengidentifikasi
Total
Count % within Ormas Count % within Ormas
8 3.7% 0
Golkar 34 15.6% 2
.0%
Count % within Ormas Count % within Ormas Count % within Ormas
2 100.0% 40 25.3% 50 13.0%
PKB
PPP
Pilihan Partai 2014 PAN PD 6 18 2.8% 8.3% 0 0
Hanura 0 .0% 0
Gerindra 16 7.3% 0
Nasdem 12 5.5% 0
GOLPUT 16 7.3% 0
Total 218 100.0% 6
84 38.5% 2
24 11.0% 2
33.3%
33.3%
33.3%
.0%
.0%
.0%
.0%
.0%
.0%
100.0%
0 .0% 10 6.3% 46 12.0%
0 .0% 32 20.3% 118 30.7%
0 .0% 14 8.9% 40 10.4%
0 .0% 4 2.5% 10 2.6%
0 .0% 12 7.6% 30 7.8%
0 .0% 2 1.3% 2 .5%
0 .0% 16 10.1% 32 8.3%
0 .0% 12 7.6% 24 6.3%
0 .0% 16 10.1% 32 8.3%
2 100.0% 158 100.0% 384 100.0%
LAMPIRAN 4 - 20 -
Total 22 100.0% 60 100.0% 56 100.0% 148 100.0% 98 100.0% 384 100.0%