LAPORAN RISET PARTISIPASI DALAM PEMILU
Perilaku memilih (Voting behaviour)
KABUPATEN TANAH DATAR
TANAH DATAR 2015
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang jumlah penduduknya menempati posisi ke-4 terbesar di dunia. Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum secara periodik. Pemilihan umum merupakan suatu momen yang dijadikan sebagai tempat penyaluran aspirasi bagi masyarakat terhadap pemerintahan. Pada pemilihan umum, masyarakat diberi kesempatan untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka di lembaga legislatif dan yang akan memimpin mereka sebagai presiden di lembaga eksekutif lima tahun ke depan. Perilaku memilih adalah kegiatan yang dilakukan seorang pemilih dalam menetapkan pilihannya dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Pendekatan psikologis memandang perilaku memilih dari sudut internal individu berupa persepsi dan sikap individu terhadap berbagai fenomena politik, baik tentang partai politik, isu-isu yang muncul ataupun lainnya. Dengan kata lain, pendekatan ini menganggap perasaan, pengalaman, dan interpretasi serta kejadian-kejadian politik secara signifikan mempengaruhi perilaku politik. Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang dimaksud disini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan.
2. RUMUSAN MASALAH Kegiatan pemilihan umum merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga Negara yang prinsipil. Dalam rangka pelaksanaan hak asasi warga Negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaran pemilu sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dimana rakyatlah yang berdaulat, semua aspek penyelenggaraan pemilu, harus dikemablikan kepada rakyat untuk menentukannya Orientasi terhadap kandidat menjadi variable dominan dalam memilih. Pengetahuan pemilih terhadap keberadaan kandidat akan berdampak pada hasil yang diperoleh kandidat tersebut dalam pemilihan. Biasanya pemilih akan memilih kandidat yang mereka kenal dan itu berarti popularitas dibutuhkan agar masyarakat dapat memilih kandidat itu, selain itu reputasi dan kemampuan (capability) kandidat juga memegang peranan penting. Perilaku memilih adalah terkait dengan keputusan pemilih untuk memilih kandidat atau peserta pemilu tertentu. Kenapa seorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada kandidat atau peserta pemilu tertentu. Tentu beragam alasan yang dapat dikemukakan oleh setiap pemilih. Persoalannya adalah, sejauhmana pilihan-pilihan itu bersifat rasional? Dengan kata lain, sejauhmana pilihan politik mereka berdasarkan pertimbangan rasional menyangkut kandidat atau peserta pemilu itu. Apakah rekam jejak, program atau janji peseta pemilu menjadi bahan pertimbangan atau faktor lain. Keinginan untuk menjadikan Pemilu yang berkualitas, menjadi harapan dari semua orang, untuk mendapatkan para pemimpin yang mampu membawa membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Untuk itu rasionalitas para pemilih sangat menentukan seberapa berkualitas para calon pemimpin yang mereka pilih saat pemilu.
3. TUJUAN PENELITIAN 1. Umum: a. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan manajemen pemilu. b. Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi warga dalam pemilu dan setelahnya 2. Khusus: a. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu b. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu
4. KERANGKA TEORI 4.1. Teori Perilaku Memilih Menurut Jack Plano voting behavior atau perilaku memilih adalah: “Salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka.” 1 Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah: “Kegiatan warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan di daftar sebagai seorang pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya”2 Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang di maksud di sini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. 1 2
Jack Plano, 1985, Kamus Analisa Politik, Jakarta: Rajawali, hlm. 161. Haryanto dalam Andri Rusta. Op. Cit, hlm. 10.
Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara. Menurut Josep Kristiadi,3 penelitian mengenai voting behavior dalam pemilu pada dasarnya mempergunakan beberapa mazhab yang telah berkembang selama ini yakni a. Pendekatan Sosiologis Mazhab sosiologis pada awalnya berasal dari Eropa yang kemudian berkembang di Amerika Serikat, yang pertama kali dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih di kenal dengan kelompok Colombia. Kelompok ini melakukan penelitian mengenai The People’s Choice pada tahun 1948 dan Voting pada tahun 1952. Di dalam 2 karya tersebut terungkap perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain.4 Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup sigifikan dalam menentukan perilaku memilih. Menurut pendekatan ini, masyarakat terstruktur
3 4
Josep Kristiadi, Op. Cit, hlm. 23. Ibid, hlm. 23.
oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosial seperti agama, status sosial, pekerjaan, umur, jenis kelamin, pendidikan dan semacamnya memiliki peranan yang cukup menentukan dalam perilaku memilih. Untuk itu pemahaman terhadap pengelompokan sosial secara formal, merupakan suatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik. Kelompok-kelompok inilah yang membentuk persepsi dan orientasi individu. Oleh karena itu pendekatan ini menyimpulkan bahwa preferensi pilihan terhadap salah satu partai politik merupakan produk dari karakter sosial yang melingkupi keberadaanya. Para penganut pendekatan ini sangat yakin akan determinasi faktor sosial atas penentuan preferensi kepartaian seseorang.5 Gerald Pomper merinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi voting behavior ke dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial ekonomi pemilih (voter) mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Dengan kata lain, preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak.6 Hal lain yang menjadi sorotan dalam mazhab ini adalah agama, pendidikan, jenis kelamin, faktor geografis, budaya serta variabel sosial. Variabel sosial adalah variabel yang dominan dalam mempengaruhi seorang pemilih dalam menentukan pilihannya. Dari beberapa penelitian voting yang menggunakan pendekatan sosiologis 5
Suryanef dan AlRafni. 2001, Faktor-Faktor Yang Menentukan Perilaku Memilih Generasi Muda Dalam Pemilu 1997, Op. Cit, hlm. 9 6 Gerald Pomper dalam Asrinaldi, A dkk, Op. Cit, hlm. 9.
dapat di ambil satu pengertian bahwa pendekatan ini lebih menekankan faktor eksteren yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam suatu pemilu, yang bisa berupa status sosial-ekonomi, jenis kelamin, umur, agama, pendidikan dan sebagainya. 7 Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa seorang pemilih cenderung untuk memilih partai yang memiliki agama yang sama dengannya, kemudian juga dalam beberapa daerah memiliki rasa kedaerahan yang kuat untuk mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik.8 b. Pendekatan Psikologis Mazhab ini pertama kali dipergunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan (University of Michigan`s Survey Research Centre) sehingga kelompok ini dikenal dengan sebutan kelompok Michigan. Hasil penelitian kelompok ini yang dikenal luas adalah The Voter`s Decide (1954) dan The American Voter (1960). Pendekatan mazhab psikologis ini menekankan kepada 3 aspek variabel psikologis sebagai telaah utamanya yakni, ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidiat. Inti dari mazhab ini adalah identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap para calon dan isu-isu politik yang berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih.
7 8
Suryanef dan AlRafni. 2001, Op. Cit, hlm. 10 Asrinaldi, A dkk, Op. Cit, hlm. 11
Secara panjang lebar Campbell (1960) menjelaskan proses terbentuknya perilaku pemilih dengan istilah “Funnel of Causality”. Pengandaian itu dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena voting yang didalam model terletak paling atas dari “funnel”(Cerobong). Digambarkan bahwa di dalam cerobong terdapat as (axis) yang mewakili dimensi waktu. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu sama lain bergerak dalam dimensi waktu tertentu mulai dari mulut sampai ujung cerobong. Mulut cerobong adalah latar belakang sosial (ras, agama, etnik, daerah), status sosial (pendidikan, pekerjaan, kelas) dan watak orang tua. Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi kepartaian seseorang yang merupakan bagian berikutnya dari proses tersebut. Pada tahap berikutnya, identifikasi kepartaian akan mempengaruhi penilaian terhadap para kandidat dan isu-isu politik. 9 Sedangkan proses yang paling dekat dengan perilaku pemilih adalah kampanye sebelum pemilu maupun kejadian-kejadian yang diberitakan oleh media massa. Masing-masing unsur dalam proses tersebut akan mempengaruhi perilaku pemilih, meskipun titik berat studi Kelompok Michigan adalah identifikasi kepartaian dan isu-isu politik para calon, dan bukan latar belakang sosial atau budayanya. 10 c. Pendekatan Ekonomi Pendekatan ini lahir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis dan psikologis. Pemikiran baru ini mempergunakan pendekatan ekonomi yang sering pula disebut sebagai pendekatan rasional. Tokoh dalam pendekatan ini
9
Campbell dalam Josep Kristiadi, Op. Cit, hlm. 24 Josep Kristiadi, Ibid, hlm. 24-25.
10
antara lain Downs dengan karyanya “An Economic Theory of Democracy”, (1957) dan Riker & Ordeshook, yang dituangkan dalam tulisan berjudul “A Theory of the Calculus Voting”, (1962). Para penganut aliran ini mencoba memberikan penjelasan bahwa perilaku pemilih terhadap partai politik tertentu berdasarkan perhitungan, tentang apa yang di peroleh bila seseorang menentukan pilihannya, baik terhadap calon presiden maupun anggota parlemen.11 Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari suatu pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja merubah preferensi pilihan politik seseorang, dengan kata lain perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor karakteristik sosial dan identifikasi partai. 12 Dari hasil penelitian panjang pada perilaku memilih masyarakat Inggris dan Amerika Serikat, pada akhirnya mengantarkan kepada pendekatan rasional atau pendekatan mazhab ekonomis untuk melengkapi pendekatan dua mazhab terdahulu yakni pendekatan sosiologis dan pendekatan mazhab psikologis. Pendekatan rasional terutama berkaitan dengan orientasi utama pemilih yakni orientasi isu dan orientasi kandidat. Pendekatan rasional pada terhadap kandidat bisa didasarkan pada kedudukan, informasi, prestasi dan popularitas pribadi kandidat tersebut. Kualitas kandidat dalam pendekatan rasionalitas memiliki dua variabel, pertama kualitas instrumental yakni tindakan yang diyakini pemilih akan terealisasikan oleh kandidat bila kelak menang dalam pemilu. Kedua, kualitas simbolis yakni kualitas kepribadian 11 12
Josep Kristiadi, Ibid, hlm. 25-26. Adnan Nursal, 2004 “Political Marketing; Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden” Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 62.
seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, ketaatan pada norma dan aturan, kebaikan, sikap merakyat dan sebagainya.13 4.2. Pemilu Tujuan diselenggarakannya pemilu adalah adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil derah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasinaonl. Secara umum pemilihan umum atau Pemilu di Indonesia memiliki tujuan sebagai berikut : Melaksanakan kedaulatan rakyat. Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib (secara konstitusional). Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
4.3. Pemilih Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilih atau hak bersuara dengan memilih wakil rakyat yang dipercayai untuk duduk di lembaga pemerintahan31. Syarat menjadi pemilih menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1-3 adalah: 1. WNI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah. 2. Tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya. 3. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 13
Ibid, hlm. 63-65.
4. Terdaftar sebagai pemilih. 5. Apabila telah terdaftar dalam Daftar Pemilih namun tidak lagi memenuhi syarat, maka ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya. 4.4. Pemilih Rasional Pendekatan rasional terutama berkaitan dengan orientasi utama pemilih yakni orientasi isu dan orientasi kandidat. Pendekatan rasional pada terhadap kandidat bisa didasarkan pada kedudukan, informasi, prestasi dan popularitas pribadi kandidat tersebut. Kualitas kandidat dalam pendekatan rasionalitas memiliki dua variabel, pertama kualitas instrumental yakni tindakan yang diyakini pemilih akan terealisasikan oleh kandidat bila kelak menang dalam pemilu. Kedua, kualitas simbolis yakni kualitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, ketaatan pada norma dan aturan, kebaikan, sikap merakyat dan sebagainya. Pengetahuan pemilih terhadap pasangan kandidat yang ada akan mempengaruhi pilihannya dalam Pilkada Langsung. Orientasi kandidat merupakan pengetahuan pemilih terhadap kandidat atau calon yang ada. Pengetahuan terhadap kandidat terkait dengan popularitas, reputasi, serta kemampuan (capability) kandidat dalam memegang sebuah peranan penting di jabatan publik Dari latar belakang di atas maka penelitian ini ingin menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut ; a. apakah pemilih mengenal kandidat dari peserta pemilu, b. apakah pemilih mengetahui latar belakang (track record) para peserta pemilu, c. apakah pemilih yakin dengan kandidat yang dipilih untuk menyalurkan aspirasiaspirasi yang ada didalam masyarakat.
Kultur Sosial dan Ekonomi
Secara etimologi kultur memiliki arti sebagai kebudayaan atau peradaban. Sedangkan sosial menurut kamus besar bahasa Indonesia memiliki makna sebagai sesuatu hal yang berkenaan dengan masyarakat. 14 Singkatnya, kultur sosial 14
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 855
merupakan kebiasaan, adat istiadat atau norma-norma yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Sedangkan ekonomi berasal dari kata Eikos yang bermakna rumah tangga dan Nomos yang berarti aturan. Ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan untuk mencapai kemakmuran.15 Dalam hal ini, ekonomi yang di maksud adalah latar belakang kemakmuran dan tingkat pendapatan dan kekayaan seseorang.
Agama
Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti antara lain peraturan tradisional, ajaran, kumpulan peraturan atau ajaran; singkatnya apa yang saja yang turun temurun dan ditentukan oleh kebiasaan. Dalam bahasa Jawa kuno agama digunakan juga untuk (kitab) hukum adat dan kebiasaan keagamaan dan moral. Arti kata Agama selanjutnya berkembang dan dapat diartikan sebagai adat, upacara, pandangan hidup dan kepercayaan. Saat ini kata Agama (ugama, igama) digunakan dalam arti yang sama dengan religi; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia.16 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Agama memiliki makna; kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa dan sebagainya, dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan ajaran itu.17
Afiliasi Etnis
Afiliasi memiliki arti sebagai gabungan atau tergabung dalam suatu kelompok atau kumpulan.
18
Sedangkan etnis/etnik memiliki arti; pertalian dengan kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, dan bahasa.19 Afiliasi Etnis dapat dipahami sebagai pengelompokan individu-individu dalam suatu kelompok sosial yang disebabkan adanya pertalian hubungan dan persamaan keturunan, adat istiadat, suku, bahasa, dan agama.
15
Budi Kurniawan, 1999, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: CV. Citra Pelajar, hlm. 107. BN. Marbun, 2002, Kamus Politik, Jakarta; CV Muliasari, hlm. 11 dan 469. 17 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Op. Cit, hlm. 9. 18 BN. Marbun, 2002, Op. Cit, hlm. 9 19 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Op. Cit, hlm. 237. 16
Figur
Figur dapat diartikan sebagai tokoh.20 Sedangkan kata tokoh memiliki arti sebagai; orang atau individu yang terkemuka atau kenamaan yang memiliki keteladanan yang baik dan dapat dijadikan contoh. 21 Singkatnya, figur dapat diartikan sebagai seseorang yang terkemuka yang memiliki sifat-sifat yang bisa dijadikan sebagai contoh dan diteladani sifat-sifat baiknya oleh orang lain. 5.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dimana penelitian ini menggunakan data deskripstif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1975:5). Penelitian kualitatif daris sisi definisi lainnya dikemukankan bahwa hal itu merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang. Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Moleong mengemukakan bahwa ’’Pelaksanaan penelitian ada empat tahap yaitu : (1) tahap sebelum ke lapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, (3) tahap analisis data, (4) tahap penulisan laporan. Dalam penelitian ini tahap yang ditempuh sebagai berikut :
20 21
Ibid, hlm. 241 Ibid, hlm. 954
a) Tahap sebelum kelapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti, mencakup observasi lapangan dan permohonan ijin kepada subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian. b) Tahap pekerjaan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perilaku kebiasaan remaja menikmati musik metal dan metal sebagai kebudayaan. Data tersebut diperoleh dengan wawancara dan dokumentasi. c) Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperolah melaui observasi, dokumen maupun wawancara mendalam dengan para responden yang telah ditentukan. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data sehingga data benarbenar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang sedang diteliti. d) Tahap penulisan laporan, meliputi : kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. 5.1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yaitu cara memperoleh data dalam melakukan kegiatan penelitian (Arikunto, 2006: 149). Menurut Herdiansyah (2010: 116) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif dikenal beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan. Beberapa metode tersebut, antara lain wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan fokus grup discussion. Namun, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi. a. Wawancara Menurut Maleong (2005) dalam buku Herdiansyah (2010: 118) menyatakan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua
pihak yaitu pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dan narasumber (yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan kegiatan wawancara terhadap orang-orang yang terlibat langsung dalam industri musik metal, musisi, fans, dan penikmat yaitu beberapa orang kaum muda yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Selain itu, wawancara pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, (1) wawancara tidak terencana, yaitu peneliti melakukan wawancara secara informal dan spontan dengan subjek penelitian, (2) terencana, yaitu peneliti melakukan wawancara dengan subjek penelitian sesuai bahan pertanyaan yang telah disiapkan oleh peneliti. b. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek (Herdiansyah, 2010: 143). Studi dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan melalui rekaman kegiatan, yaitu dengan cara melihat hal-hal penting selama penelitian berlangsung. Rekaman kegiatan tersebut antara lain berupa foto untuk memperoleh gambaran visual kegiatan kaum muda yang beraliran metal. 5.2. Uji Validitas Menurut Moleong ’’kriteria keabsahan data ada empat macam yaitu : (1) kepercayaan (kreadibility), (2) keteralihan (tranferability), (3) kebergantungan (dependibility), (4) kepastian (konfermability). Dalam penelitian kualitatif ini memakai 3 macam antara lain : 1. Kepercayaan (kreadibility) Kreadibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan data yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan sebenarnya. ada beberapa teknik untuk mencapai kreadibilitas ialah
teknik : teknik triangulasi, sumber, pengecekan anggota, perpanjangan kehadiran peneliti dilapangan, diskusi teman sejawat, dan pengecekan kecakupan refrensi. 2. Kebergantungan (depandibility) Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan terjadinya kemungkinan kesalahan dalam mengumpulkan dan menginterprestasikan data sehingga data dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesalahan sering dilakukan oleh manusia itu sendiri terutama peneliti karena keterbatasan pengalaman, waktu, pengetahuan. Cara untuk menetapkan bahwa proses penelitian dapat dipertanggungjawabkan melalui audit dipendability oleh ouditor independent oleh dosen pembimbing. 2. Kepastian (konfermability) Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang dilakukan dengan cara mengecek data dan informasi serta interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada pelacakan audit. 5.3. Analisa Data Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif interpretatif. Analisis data dilakukan secara terus menerus sejak awal hingga akhir penelitian. Analisis sata dilakukan secara kualitatif, yaitu data yang berupa kalimat atau pernyataan yang diinterpretasikan untuk mengetahui makna serta untuk memahami keterkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2008: 245), analisis telah mulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Kegiatan dalam analisis data dalam penelitaian ini, yakni: pertama, kegiatan reduksi data (data reduction), pada tahap ini peneliti memilih hal-hal yang pokok dari data
yang di dapat dari lapangan, merangkum, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan dicari tema dan polanya. Proses reduksi ini dilakukan secara bertahap, selama dan setelah pengumpulan data sampai laporan hasil. Penulis memilah-milah data yang penting yang berkaitan dengan fokus penelitan dan membuat kerangka penyajiannya. Kedua, penyajian data (data display), setelah mereduksi data, maka langkah selanjunya adalah mendisplay data. Di dalam kegiatan ini, penulis menyusun kembali data berdasarkan klasifikasi dan masing-masing topik kemudian dipisahkan, kemduian topik yang sama disimpan dalam satu tempat, masing-masing tempat dan diberi tanda, hal ini untuk memudahkan dalam penggunaan data agar tidak terjadi kekeliruan. Ketiga, data yang dikelompokan pada kegiatan kedua kemduian diteliti kembali dengan cermat, dilihat mana data yang telah lengkap dan data yang belum lengkap yang masih memerlukan data tambahan, dan kegiatan ini dilakuakan pada saat kegiatan berlangsung. Keempat, setelah data dianggap cukup dan telah sampai pada titik jenuh atau telah memperoleh kesesuaian, maka kegiatan yang selanjutnya yaitu menyusun laporan hingga pada akhir pembuatan simpulan. Analisis data dalam penelitian kualitatif menggunakan metode induktif. Penelitain ini tidak menguji hipotesis (akan tetapi hipotesis kerja hanya digunakan sebagai pedoman) tetapi lebih merupakan penyusunan abstraksi berdasarkan data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan lebih intensif setelah semua data yang diperoleh di lapangan sudah memadai dan dianggap cukup, untuk diolah dan disusun menjadi hasil penelitian sampai dengan tahap akhir yakni kesimpulan penelitian.
BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 1.
Kondisi Geografis
Kabupaten Tanah Datar yang dikenal sebagai “Luhak Nan Tuo” merupakan salah satu wilayah yang terletak di tengah-tengah Propinsi Sumatera Barat dengan ibukota Batusangkar. Secara geografis wilayah Kabupaten Tanah Da tar berada pada posisi 00° 17 “ LS - 00° 39 “ LS dan 100° 19’ BT - 100° 51 BT, dengan luas wilayah 1.336 Km² atau 133.600 Ha dan terdiri dari 14 Kecamatan, 75 Nagari, serta 395 Jorong. Secara geografis wilayah Kabupaten Tanah Datar berada di sekitar kaki gunung Merapi, gunung Singgalang, dan gunung Sago, dan diperkaya pula dengan 25 sungai. Danau Singkarak yang cukup luas sebagian diantaranya merupakan wilayah Kabupaten Tanah Datar yakni terletak di Kecamatan Batipuh Selatan dan Rambatan. Diantara seluruh kecamatan yang ada, 3 Kecamatan terletak pada ketinggian antara 750 s.d. 1000 meter di atas permukaan laut, yaitu Kecamatan X Koto, Salimpaung, dan Tanjung Baru. Sementara itu empat Kecamatan lainnya, yaitu Kecamatan Lima Kaum, Tanjung Emas, Padang Ganting, dan Sungai Tarab terletak pada ketinggian 450 s.d. 550 meter dari permukaan laut. Sedangkan 7 Kecamatan lagi terletak pada ketinggian yang bervariasi, misalnya Kecamatan Lintau Buo yang terletak pada ketinggian antara 200 s.d. 750 meter dari permukaan laut. Bila dilihat dari luas wilayah Kecamatan, maka Kecamatan yang paling kecil luasnya adalah Kecamatan Lima Kaum dengan luas 50,00 Km², sedangkan Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Lintau Buo Utara, yakni 204,31 Km², kemudian diikuti Kecamatan X Koto yang luasnya 152,02 Km². Ibukota Kabupaten Tanah Datar berada di Batusangkar, uniknya Kota Batusangkar ini berada pada tiga (3) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Lima Kaum, Kecamatan Tanjung Emas, dan Kecamatan Sungai Tarab. Sedangkan pusat pemerintahan berada di Kecamatan Tanjung Emas atau tepatnya di Nagari Pagaruyung. Kota Batusangkar ini lebih dikenal sebagai Kota Budaya, karena di Kabupaten Tanah Datar terdapat banyak peninggalan dan prasasti terutama peninggalan Istana Basa Pagaruyung yang merupakan pusat Kerajaan Minangkabau.
2.
Kondisi Demografis
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 yang dilakukan pada seluruh penduduk yang bertempat tinggal di Tanah Datar pada tanggal 1-31 Mei 2010 memberikan informasi bahwa pada jumlah penduduk Kabupaten Tanah Datar mencapai 338.494 jiwa yang tersebar di seluruh nagari atau seluruh jorong. Jumlah penduduk sebanyak itu jika dipilah menurut jenis kelamin terdapat 164.852 jiwa diantaranya adalah penduduk laki-laki sedangkan sisanya sebanyak 173.642 jiwa adalah perempuan. Dengan komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada tahun 2010 dimana yang terbanyak adalah penduduk perempuan menghasilkan rasio jenis kelamin sebesar 94,94. Distribusi penduduk menurut kecamatan, tampak untuk beberapa kecamatan jumlah penduduknya relatif cukup banyak (30 ribu ke atas). Dari 14 kecamatan yang ada, terdapat 4 kecamatan diantaranya yang memiliki jumlah penduduk di atas 30 ribu jiwa seperti Kecamatan X Koto, Rambatan, Lima Kaum, dan Lintau Buo Utara. Namun demikian, jika jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah masingmasing kecamatan, tampak bahwa kecamatan yang paling padat penduduknya adalah di Kec. Lima Kaum yang mencapai 716 jiwa per Km persegi. Kecamatan Sungai Tarab merupakan kecamatan kedua yang terpadat penduduknya yakni sebanyak 408 orang per Km persegi, sedangkan Kecamatan Batipuh Selatan merupakan kecamatan yang masih jarang dengan kepadatan penduduk sebesar 126 orang per Km persegi. 3.
Sejarah Budaya Masyarakat Tanah Datar
Kabupaten Tanah Datar mendapat tempat istimewa di antara kabupaten dan kota lain di Sumatera Barat. Latar belakang sejarah yang kuat sebagai pusat kerajaan alam Minangkabau pada masa lampau menyebabkan kabupaten ini kaya dengan peninggalan sejarah, baik berupa peninggalan dalam bentuk benda-benda kepurbakalaan maupun nilai-nilai lokal masyarakat yang hampir seluruhnya berasal dari sukubangsa Minangkabau.
Kabupaten Tanah Datar diyakini sebagai tempat pertama nenek moyang orang Minangkabau membangun peradaban mereka. Wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Tanah Datar ini secara adat disebut luhak Tanah Datar dan dijuluki dengan Luhak nan Tuo (Luhak yang Tua). Membicarakan masyarakat Tanah Datar pada masa lampau maupun pada masa sekarang tidak dapat dipisahkan dengan adat dan budaya Minangkabau. Penggunaan istilah masyarakat Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar lebih tepat daripada penggunaan kata masyarakat Tanah Datar. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan sering digunakan masyarakat atau orang Minangkabau untuk merujuk masyarakat Minangkabau yang ada di Kabupaten Tanah Datar. Sangat relevan jika membahas adat dan budaya sukubangsa Minangkabau jika berbicara dan menganalisa apa yang terjadi saat ini pada masyarakat Kabupaten Tanah Datar dan juga di sebagian besar Provinsi Sumatera Barat. Dengan adanya otonomi daerah, ada semacam penguatan nilai-nilai lokal di semua kabupaten dan kota di Sumatera Barat yang mayoritas penduduknya adalah sukubangsa Minangkabau, termasuk di Kabupaten Tanah Datar sebagai daerah pusat kerajaan alam Minangkabau. Masyarakat Minangkabau dikenal fanatik dengan nilai-nilai budaya mereka, termasuk dalam beragama. Sangat aneh jika orang Minang tidak beragama Islam. Ini dibuktikan dalam bentuk falsafah ”adat basandikan syarak, syarak basandikan Kitabullah” (adat bersendikan agama, agama bersendikan Kitabullah). Dua nilai (nilai adat dan nilai agama Islam) yang tidak terpisahkan ini yang menguat saat ini di Kabupaten Tanah Datar. Dalam perjalanan sejarah panjang masyarakat Tanah Datar, perubahan budaya tentunya selalu ada seiring dengan perubahan waktu dan masyarakatnya. Dalam keadaan normal, proses perubahan budaya berjalan secara evolusif (berubah sedikit demi sedikit). Pada masa-masa tertentu di mana terdapat momentum atau kejadian khusus, perubahan tersebut dapat berupa revolusi. Perubahan yang terjadi pada kejadian khusus ini lebih memudahkan analisa terhadap perubahan sosial suatu masyarakat. Secara sederhana, saya membagi masa yang merupakan masa-masa yang penting dalam perjalanan masyarakat Minangkabau. Pertama, masa ketika
dipindahkannya Kerajaan Minangkabau ke Pagaruyung; kedua, awal penjajahan Belanda; ketiga, adanya gerakan Paderi untuk memurnikan ajaran Islam; keempat, gerakan pembaharuan dan gerakan politik yang berujung kepada gerakan kemerdekaan melawan penjajah Belanda dengan akhir kemerdekaan Indonesia dari Belanda; kelima, perubahan sosial masyarakat Minangkabau setelah PRRI dan dilanjutkan dengan kepemimpinan Orde Baru selama 32 tahun di bawah Presiden Soeharto; keenam, era reformasi yang diikuti diberlakukanya otonomi daerah. Dalam tulisan ini, hanya dua fase terakhir dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau yang akan dibahas lebih lanjut. Dua fase tersebut mempunyai ciri-ciri perubahan yang lebih nampak dan memberi pengaruh kepada masyarakat Tanah Datar saat ini. 4.
Perubahan Sosial Masyarakat Tanah Datar: Dari PRRI Hingga Otonomi Daerah
Kalau kita berbicara tentang sukubangsa Minangkabau dan kebudayaannya, sama halnya dengan berbicara tentang banyak suku bangsa lain di Indonesia. Kita tidak dapat mengabaikan perubahan yang telah berjalan sejak beberapa lama dan telah menghilangkan nilai-nilai lama dan diganti dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih cocok dalam memenuhi kebutuhan mereka pada saat ini. Apa yang dulunya dianggap sebagai daerah kebudayaan Minangkabau, sekarang sudah banyak mengalami pengaruh dari unsur-unsur lain akibat kontak dengan dunia luar. Perubahan ini juga terjadi karena tidak cocoknya nilai lama untuk keadaan sekarang ini. Tidak setiap penduduknya dapat dianggap sebagai pemangku kebudayaan Minangkabau; dan sebaliknya, tidak setiap orang yang dari ayah dan ibunya adalah keturunan Minangkabau dapat dikatakan sebagai pendukung kebudayaan Minangkabau, terutama jika mereka dibesarkan di luar daerah kebudayaan Minangkabau. Pada pertengahan dekade 50-an sampai awal dekade 60-an, terjadi berbagai pergolakan atau pemberontakan di negara Republik Indonesia yang umumnya disebabkan karena ketidakpuasan pada pemerintah pusat karena ada kesenjangan antara pusat dan daerah yang cukup mencolok. Pemberontakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) misalnya. Semula, gerakan itu tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal sebagai “gerakan anti-Jawa”, karena kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar. Sumatera Barat yang pada waktu itu masih bergabung dengan Medan dan Riau dalam Sumatera Tengah juga merupakan basis gerakan PRRI. Gerakan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pemerintah pusat. Berlatar-belakang sejarah PRRI ini, terjadi perubahan budaya yang menurut Ketua Legiun Veteran Kabupaten Tanah Datar Bapak H. Faisal Kasim sebagai salah satu perubahan yang cepat pada nilai-nilai budaya Minangkabau. Dengan kalahnya PRRI atas pemerintah pusat, mulai ada perbauran budaya yang dibawa oleh tentara dan aparat pemerintahan pusat dengan budaya masyarakat Minangkabau. H. Faisal Kasim menyatakan bahwa sebelum terjadinya PRRI, budaya masyarakat Minangkabau cukup terjaga karena tidak ada hubungan yang berarti dengan dunia luar yang dapat menyebabkan pergeseran budaya dengan cepat. Kondisi sebagai pihak yang kalah menyebabkan proses pergeseran budaya masyarakat Minangkabau pada masa paska PRRI semakin cepat karena adanya perasaan sebagai pihak yang kalah yang lebih rentan terpengaruhi oleh budaya baru, dan di sisi lain adanya perasaan sebagai pihak yang menang pada diri tentara pusat. Keadaan pada masa itu kurang lebih sama dengan keadaan ketika rakyat Bonjol kalah dari Belanda pada Perang Paderi. Proses perubahan sosial yang yang cepat pada masyarakat Minangkabau berlanjut hingga pemerintahan Presiden Soeharto selama 32 tahun dalam masa Orde Baru. Orde Baru dikenal sebagai masa pemerintahan dengan pola kepemimpinannya yang terpusat. Semua kebijakan ditentukan dari Jakarta sebagai pusat kekuasaan. Salah satu kebijakan Orde baru melalui UU No 9 Tahun 1979 adalah melakukan penyeragaman sistem pemerintahan terkecil menjadi desa di seluruh Indonesia termasuk di Kabupaten Tanah Datar. Tanah Datar harus merubah pola pemerintahan mereka dari pola hidup dalam nagari menjadi desa. Proses perubahan sistem
pemerintahan ini berarti menghilangkan fungsi nagari sebagai sistem pemerintahan masyarakat Minangkabau yang dijalankan dengan prinsip-prinsip adat dan diganti dengan prinsip desa yang diperkenalkan oleh pemerintah. Salah satu yang berubah adalah sistem pimpinan masyarakat. Jika di nagari yang menjadi wali nagari adalah seorang penghulu yang bergelar datuk dan memerintah dengan aturan adat, sedangkan di dalam sistem desa yang menjadi kepala desa tidak harus datuk dan menjalankan pemerintahan dengan aturan-aturan yang ditetapkan dari pusat. Proses ini berjalan paling tidak selama 32 tahun sehingga selama itu pula peran adat dalam mengatur kehidupan masyarakatnya harus berbagi dengan sistem birokrasi yang didatangkan dari pusat. Selama masa ini terjadi proses penurunan fungsi adat dalam masyarakat Minangkabau. Di tingkat birokrasi yang lebih tinggi, ada semacam nilai-nilai birokrasi yang tersosialisasikan. Antara lain bahwa pemimpin atau aparat pemerintah mempunyai status yang sangat tinggi dibandingkan dengan masyarakat. Konsep pelayan masyarakat tidak cocok disebutkan bagi aparat pemerintah pada masa Orde Baru ini. Ini dipengaruhi oleh budaya feodalisme dan patron klien yang ada pada masyarakat Jawa yang memang mendominasi pejabat-pejabat negara pada masa itu, sehingga dikenal pula proses ”jawanisasi” di seluruh Indonesia. Ditambah lagi dengan pemerintahan yang dikendalikan secara militeristik di berbagai lini pemerintahan, sehingga menambah bentuk pemerintahan satu komando dari pimpinan dan penggunaan cara-cara represif dalam menciptakan keamanan. Budaya birokrasi yang ada di Kabupaten Tanah Datar sebagian besar dipengaruhi oleh budaya korupsi yang ada di birokrasi pada masa Orde baru di bawah pimpinan Soeharto. Beberapa nilai-nilai birokrasi Orde Baru adalah: militeritik, feudal, top down, patrimonial, otoriter, aristokrasi dan partai tunggal. Bagan di bawah ini merupakan perbandingan nilai-nilai yang ada pada tataran birokrasi dengan tataran budaya masyarakat Minangkabau.
5.
Masyarakat dan Pemerintahan Kabupaten Tanah Datar Saat Ini
Saat ini, Kabupaten Tanah datar dipimpin oleh Ir. Shadiq Pasadigoe, SH. yang menjabat sebagai bupati sejak tahun 2005 dalam pemilihan kepala daerah secara langsung yang pertama di Kabupaten Tanah Datar. Secara umum, hampir semua informan dalam penelitian ini menilai bahwa Kabupaten Tanah Datar masih dapat dibilang terkendali dalam hal munculnya praktek-praktek korupsi, walaupun dengan catatan-catatan khusus terkait dengan sejarah birokrasi pada masa Orde Baru. Bapak Shadiq sendiri sebagai bupati menilai bahwa Kabupaten Tanah Datar saat ini berada dalam tahap menuju bersih dalam kisaran nilai 70 – 80 dalam skala 100. Pak Shadiq melihat bahwa yang paling penting adalah komitmen kepala daerah untuk menindaklanjuti setiap penyelewengan yang terjadi. Saat ini, usaha yang dilakukan oleh bupati untuk mendapat masukan dari masyarakat tentang berbagai kasus penyelewengan di tingkat bawah adalah dengan meminta masyarakat unutk mengadukan setiap penyelewengan yang ada baik melalui SMS ke nomor telepon selular beliau ataupun surat. Beliau berpendapat animo masyarakat sangat besar dalam berpartisipasi memberi laporan melalui SMS ini. Beliau mencontohkan sudah ada beberapa kasus penyelewengan yang berada di tingkat staf yang dapat beliau bereskan dengan cepat akibat adanya laporan melalui SMS dari masyarakat. Komposisi masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang homogen secara sukubangsa, keseragaman nilai-nilai budaya dan agama, serta wilayah yang relatif kecil dibandingkan dengan kabupaten lain di Sumatera Barat menyebabkan kontrol sosial masih terbilang kuat antar sesama masyarakat maupun terhadap birokrat pemerintah. Selain itu, sedikitnya nilai perputaran uang yang ada di Kabupaten Tanah Datar menyebabkan kecilnya peluang untuk terjadinya korupsi dalam jumlah yang besar. Sama sekali tidak ada kegiatan industri dalam skala besar di kabupaten ini, dan ini terlihat dari komposisi penduduk Kabupaten Tanah Datar di mana 75 % penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Otomatis, dalam satu tahun berjalan, satusatunya kegiatan yang menggunakan anggaran yang besar adalah kegiatan operasional pemerintah yang didanai oleh APBD. Dalam APBD Kabupaten Tanah Datar tahun 2008 yang telah disahkan dalam rapat DPRD, dua dinas yang
mendapatkan anggaran yang paling besar adalah Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja serta Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Memang menjadi perdebatan jika berbicara praktek korupsi di tengah budaya ketimuran masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi pula di Tanah Datar. Praktek-praktek korupsi kadangkala terkaburkan dengan kebiasaan masyarakat yang mempunyai hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang erat. Dalam masyarakat Minangkabau, saling memberi dan bertenggang rasa kepada tetangganya adalah hal yang lumrah. Agak rancu jika seorang aparat pemerintah menerima sesuatu dari masyarakat sebagai bentuk saling memberi dalam bentuk hubungan ketetanggaan. Bagaimana membedakan antara perilaku pemberian hadiah ini ketika aparat pemerintah ini membantu si tetangga dalam urusan pengurusan surat-surat penting. Pada masyarakat timur, tujuan pemberian hadiah bukan hanya untuk memberikan uang pelicin atau uang bayaran terhadap pelayanan yang dikhususkan kepada seseorang, tetapi ucapan terima kasih kepada saudara, tetangga, teman dan sebagainya yang sudah menjadi semacam nilai budaya. Topik seperti ini menjadi pertanyaan dari beberapa informan dalam merumuskan konsep korupsi yang dapat diterima oleh semua kalangan. Di luar semua perdebatan tentang kebiasaan mayarakat yang mempunyai indikasi korupsi tersebut, semua informan sepakat bahwa ada tindakan dari aparat pemerintah maupun pengusaha sebagai rekanan pemerintah yang memang jelas-jelas merupakan bentuk praktek korupsi, karena ada aspek merugikan keuangan negara, merugikan terhadap pelayanan masyarakat, serta tindakan yang dianggap melakukan pemerasan terhadap masyarakat. Dalam pengadaan barang dan jasa di Dinas Pemukiman dan Transmigrasi, diketahui adanya permainan dan berbagai praktek kecurangan yang terjadi, temasuk di kabupaten Tanah Datar yang menurut beberapa informan masih terjadi sampai saat ini. Jika dilihat di dalam proses tender proyek pengadaan jalan, banyak informan yang mempercayai adanya semacam kerjasama antara aparat pemerintah dengan pelaku bisnis sehingga pelaku bisnis yang bisa membayar lebih besar atau pelaku bisnis yang mempunyai hubungan kedekatan dengan aparat pemerintah yang mempunyai peluang lebih besar untuk mendapatkan proyek. Selain itu, sebagian
informan dari kalangan masyarakat menyampaikan bahwa memberikan proyek kepada penawar terendah yang kadang kala diragukan mutunya juga masih terjadi. Informan melihat bahwa ada permainan aparat untuk memenangkan penawar terendah dan ketidakseriusan dari aparat dalam menilai pentingnya asas manfaat hasil dari proyek tersebut sehingga sudah dapat dibayangkan bagaimana hasil dari proyek tersebut nantinya karena sudah pasti tidak sesuai dengan kualitas yang diinginkan. Dalam pelayanan terhadap masyarakat, beberapa informan meyakini masih ada praktek-praktek yang merugikan keuangan negara sampai berbentuk pemerasan terhadap masyarakat seperti meminta biaya perijinan lebih dari biaya yang telah ditentukan. Contoh kasus yang diberikan oleh seorang wakil masyarakat berikut menceritakan tentang biaya untuk pengurusan sertifikat tanah di badan pertanahan. Biaya yang tertera di peraturan misalnya Rp 600 ribu, namun, aparat pemerintah meminta biaya pengurusan yang lebih besar dari itu hingga Rp 1,5 juta. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan izin dan sebagainya juga sering diselewengkan dan dibuat lama. Jika berdasarkan peraturan proses perijinannya dapat selesai dalam waktu 4 jam, namun pada kenyataanya bisa menjadi 24 jam. Jika ada uang tambahan sebagai pelicin, semua urusan perijinan tersebut bisa cepat diproses. Contoh lain tentang tentang praktek korupsi yang berbentuk pemerasan terhadap masyarakat adalah tilang di tempat tanpa ada bukti penerimaan surat tilang oleh aparat kepolisian. Dalam diskusi kelompok, kebiasaan para aparat polisi ini masih menjadi topik menarik untuk menjelaskan praktek korupsi oleh aparat. Kadangkala polisi sengaja mencari-cari kesalahan pengendara di jalan raya sehingga terjadilah negosiasi dalam menentukan harga yang pas agar si pengendara bermotor tidak dibawa ke pengadilan. Perwakilan dari aparat pemerintahan memaparkan, sejak reformasi sudah ada perubahan dalam paradigma praktek korupsi di kalangan aparat pemerintah daerah ke arah yang lebih baik. Pemda termasuk organisasi yang relatif cepat dalam pembenahan birokrasi dibandingkan dengan masih banyaknya praktek korupsi yang merugikan masyarakat yang terjadi di beberapa instansi pemerintah seperti kepolisian, lembaga penegak hukum dan badan pertanahan.
Penyebab perubahan yang sudah ada di instansi pemerintahan daerah, selain memang ada keinginan dari pribadi aparat pemerintahan dalam membenahi sistem birokrasi dan organisasi, dorongan dari luar juga kuat menuntut perubahan tersebut. Contohnya, lembaga-lembaga donor dari luar negeri mensyaratkan beberapa hal kepada pemerintah daerah jika ingin menerima bantuan dalam bentuk program maupun hibah. Sebelumnya, bantuan yang sudah sering diberikan oleh pihak luar ini ditengarai mengalami banyak kebocoran, sehingga pihak donor semakin berhati-hati dalam menyalurkan bantuan mereka. Salah satu program yang berjalan saat ini di Kabupaten Tanah Datar adalah program P2TPD yang dilaksanakan di 14 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Program ini mensyaratkan adanya kesepakatankesepakatan yang harus ditandatangani oleh Pemda Tanah Datar sebelum diterapkan di lapangan, di antaranya adalah adanya Perda Transparansi dan Partisipasi serta adanya sosialisasi APBD ke seluruh masyarakat. Pemerintah menyatakan bahwa prestasi Tanah Datar cukup dikenal di Indonesia. Saat ini pimpinan proyek dan bendahara sudah diminta untuk menandatangani surat pernyataan untuk tidak melaksanakan tindakan penyelewengan dalam pelaksanaan proyek-proyek di instansi pemerintah. Selain itu, sudah dilaksanakan pendataan harta kekayaan para pejabat yang diorganisir oleh KPK, walaupun sebagian dari anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar belum menyerahkan laporan harta kekayaan mereka. Perda Transparansi dan Partisipasi yang telah disahkan tersebut mengamanatkan semua informasi tentang pemda dapat diakses oleh masyarakat dengan bebas. Amanat dari Perda ini yang saat ini mengalami kendala adalah pembentukan Komisi Transparansi yang masih menyisakan salah persepsi antara Pemda dan DPRD, sehingga sampai saat ini Komisi Transparansi dan Partisipasi di Tanah Datar belum terbentuk. Pemda Tanah Datar juga bekerja sama dengan GTZ – Kemenpan dalam melakukan pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Pemda juga sudah melakukan berbagai upaya untuk memotong jalur birokrasi. Salah satu yang menjadi program kebanggaan dari Pemda adalah adanya kredit lunak tanpa agunan yang diberikan kepada pedagang kecil di pasar Batusangkar. Program ini melibatkan Bank Nagari sebagai pengelola
kredit. Pemda memberikan kemudahan dalam pengurusan izin untuk mendapatkan kredit. Program ini sangat membantu pedagang kecil yang memerlukan modal tambahan untuk mengembangkan usahanya. Program ini sudah menjadi “Best Practice” dari kabupaten Tanah Datar yang telah ditiru dan dicoba diterapkan di seluruh kabupaten di Sumatera Barat. Wakil masyarakat memberi masukan bahwa memang penting untuk meningkatkan dan menumbuhkan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan dan penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih. Setiap program yang akan dilaksanakan di kabupaten Tanah Datar harus melibatkan masyarakat dari awal sampai akhir. Inilah yang menjadi inti dari pelaksanan pemerintahan yang baik dalam bentuk partisipasi masyarakat di semua kegiatan dan program yang direncanakan pemerintah. Nilai-nilai transparansi bukan hal yang asing bagi masyarakat Tanah Datar. Penerapan nilai-nilai transparansi telah umum dijalankan oleh masyarakat Minangkabau misalnya dalam pengelolaan pendapatan dan belanja mesjid. Selain itu, nilai-nilai akuntabilitas dan partisipasi masyarakat juga harus menjadi hal yang mesti ditumbuhkan. Ada kritik yang diberikan oleh informan sebagai wakil dari partai oposisi kepada pemerintah perihal kebijakan dari pemerintah yang baru untuk melanjutkan programprogram yang dinilai berhasil dilakukan oleh pemerintah yang lama. Setiap kebijakan yang terbukti efektif dari pemerintahan sebelumnya, sebaiknya dilanjutkan oleh pemimpin yang berikutnya. Tidak dilanjutkannya kebijakan pemimpin yang lalu, menyebabkan terjadinya pemborosan anggaran, usaha dan pemikiran. Jika satu langkah telah dilaksanakan setengahnya dan terbukti berhasil, namun pergantian pemimpin menyebabkan program yang dinilai sudah baik ini tidak dilanjutkan lagi. Pada dasarnya pihak oposisi menilai bahwa memang sudah ada perubahan yang mengarah kepada yang lebih baik dari proses pemerintahan di Tanah Datar. Keterbukaan dari pemerintah sejak masa reformasi ini sudah terlihat. Namun, informan dari partai oposisi menilai bahwa ada kebiasaan dalam masyarakat untuk mengkritik dengan membabi buta kepada pemerintah. Padahal, sesuatu yang dikritik oleh masyarakat itu sebenarnya sudah dipecahkan dan sudah diselesaikan masalahnya
oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat masih belum menggunakan perkembangan dalam tata kelola pemerintahan yang baik ini dengan maksimal karena faktor sumber daya manusia yang masih kurang. 6.
Nilai-nilai Budaya Lokal dan Praktek Korupsi
Seperti yang telah dijelaskan bahwa masyarakat Minangkabau masih memiliki pola hidup kekeluargaan sebagai akibat sistem kekerabatan mereka yang menganut sistem keluarga luas. Sistem kekerabatan dan kekeluargaan ini akan memberi pengaruh positif
dalam
mengurangi
praktek-praktek
korupsi
di
masyarakat.
Orang
Minangkabau akan merasa sangat malu jika mereka diketahui melakukan praktek korupsi oleh masyarakat, apalagi jika kasus tersebut sampai ke pengadilan. Dihubungkan dengan pola hidup kekeluargaan, jika seorang anggota keluarga melakukan kesalahan, maka yang akan mendapat aib adalah semua keluarga besar, mulai dari orang tuanya, paman dan kerabat mereka yang lain. Ada pepatah minang mengatakan “anak mamanjek orang tuo nan jatuah, kamanakan mamanjek, mamak nan jatuah” (anak yang memanjat orang tuanya yang jatuh, keponakan yang memanjat, paman yang jatuh). Artinya, jika seorang anak melakukan kesalahan, maka yang akan menanggung malunya adalah orang tuanya. Selain sebagai anak, seseorang adalah keponakan dari pamannya, maka jika keponakan ini melakukan kesalahan maka pamannyalah yang ditanya orang. Nilai-nilai seperti ini merupakan salah satu alat yang ampuh dalam masyarakat Minangkabau untuk memberikan kontrol sosial terhadap terjadinya sebuah tindak kesalahan, termasuk praktek korupsi. Namun, ada semacam catatan yang diberikan oleh tokoh masyarakat lain yang beranggapan bahwa telah banyak perubahan yang terjadi secara sosial dan budaya di masyarakat Tanah Datar. Adanya tuntutan hidup yang lebih berat membuat mulai tumbuh nilai-nilai acuh tak acuh terhadap keadaan yang jelas-jelas melanggar adat atau peraturan. Saat ini banyak manusia yang tidak puas dengan apa yang dia dapat sekarang padahal yang didapatnya tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan kemampuannya. Jika ada kesempatan dan celah untuk melakukan tindakan yang melanggar norma, maka mereka akan memanfaatkan kesempatan itu.
Sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau mempunyai praktek yang lebih mengarah kepada nepotisme. Salah seorang informan perwakilan dari masyarakat menjelaskan bahwa aparat Pemda akan mendahulukan kerabatnya jika ada urusan yang harus diselesaikan. Seorang yang sedang berurusan dengan Pemda akan meminta bantuan kerabatnya yang menjadi aparat Pemda. Sepertinya belum menjadi budaya bagi masyarakat kita untuk antri dan mengikuti prosedur yang ada. Kebiasaan ini menjadi-jadi karena sistem birokrasi Indonesia yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lama. Ada pepatah Minang yang mengatakan “baraia sawah di ateh, lambok sawah di bawah” (berair sawah di atas, lembab sawah di bawah), artinya bahwa jika seorang anggota kelompok mendapat rezeki atau mempunyai jabatan maka orang-orang di sekelilingnya akan ikut menikmati rezeki atau jabatan tersebut. Hal ini dianggap sebagai kodrat alam dan pepatah ini dipahami benar oleh masyarakat Minangkabau. Setiap orang cenderung untuk mendahulukan keluarganya. Keadaan alam Kabupaten Tanah Datar secara khusus, dan Provinsi Sumatera Barat secara umum yang merupakan daerah rawan bencana terutama gempa secara jelas telah menghambat proses pembangunan di Kabupaten Tanah Datar, termasuk usaha untuk mengurangi angka kemiskinan. Jika sudah terjadi bencana seperti gempa, banjir dan lain-lain, maka masyarakat akan susah untuk mendapatkan beras sehingga masyarakat bersikap acuh tak acuh terhadap jalannya pemerintahan. Akibatnya proses kontrol sosial terhadap pemerintahan tidak berjalan efektif. Selain itu, rendahnya sumber daya manusia di dalam masyarakat juga menyebabkan tidak adanya kemampuan yang memadai dari seluruh masyarakat untuk memberikan pengawasan yang tepat terhadap praktek korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Aparat pemerintah memahami bahwa salah satu cara agar praktek korupsi seperti pungutan liar yang dilakukan aparat pemerintah bisa ditanggulangi adalah dengan menyegerakan pelayanan semua urusan masyarakat, sehingga tidak ada kesempatan bagi aparat pemerintah untuk melakukan kecurangan dengan meminta uang lebih. Proses pengurusan berbagai urusan masyarakat yang sering tertunda meyebabkan masyarakat berpikir lain. Kadang kala masyarakat membaca keadaan ini sebagai
tanda bahwa aparat pemerintahan memerlukan uang pelicin agar urusan cepat selesai. Masyarakat berinisiatif sendiri untuk memberi uang kepada aparat. Ada hubungan timbal balik terhadap terjadinya praktek korupsi, yaitu ada permintaan dan ada penawaran. Permintaan dari masyarakat disebabkan proses birokrasi yang lama. Ini disambut dengan penawaran aparat pemerintah yang bersedia membantu dengan imbalan yang cocok. Hal ini sepertinya sudah menjadi budaya. Praktek ini sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak jaman kerajaan sampai penjajahan Belanda. Salah seorang wakil dari pemerintahan beranggapan bahwa kebiasaan memberi upeti kepada penguasa baik pada jaman kerajaan dulu hingga kebiasaan pedagang Tionghoa memberi sogokan kepada pejabat Belanda merupakan cikal bakal budaya korupsi di Indonesia. Selain itu, dikuatkan oleh nilai-nilai feodalisme yang ada pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam pemberantasan praktek korupsi, wakil dari pemerintah mempunyai pendapat bahwa pemberantasan korupsi akan efektif jika dilakukan dari atas karena para bawahan yang ada di daerah menurut saja apa yang dikatakan pusat. Jika masih ada orang pusat yang minta dilayani setiap mereka berkunjung ke daerah, orang daerah tetap akan melayani mereka walaupun itu merupakan praktek korupsi.
BAB III DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN
1.
Mengapa Orang Memilih Pilihan politik masyarakat terhadap seorang calon yang ingin berkompetisi
dalam kontestasi politik dilatari oleh banyak faktor. Jika mengikuti teori-teori yang ada paling tidak ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi pilihan-pilihan itu, yaitu; faktor sosiologis, psikologis dan faktor pilihan rasional. Dalam konteks sosiologis perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. Demikian halnya dalam konteks psikologis, dengan mengeidentifikasi kepartaian dan isu-isu politik para calon, dan bukan latar belakang sosial atau budayanya, juga merupakan alasan orang untuk memilih. Tidak kalah pentingnya faktor ekonomi yang dalam hal ini dalam teori politik dikenal dengan pilihan rasional. Orang akan memilih jika seseorang meyakini akan ada keuntungan dari pilihan politiknya, seperti calon yang menurutnya diyakini akan bisa merealisasikan janji-janji politik yang disampaikan kepada pemilih. Berdasarkan temuan penelitian di masing-masing daerah di Kabupaten Tanah datar, beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas juga menjadi bagian penting dari alasan mengapa orang memilih dan tidak memilih dalam pemilu. Yong Hendri (40 th) misalnya, menjelaskan bahwa alasannya untuk memilih dikarenakan faktor kedekatan dengan calon dan sudah mengenalnya dengan baik, bahkan lebih dari itu ia juga sudah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh calon untuk kepentingan masyarakat. Kedekatan masyarakat dengan calon dan begitu sebaliknya bukan hanya sebatas kepentingan pada saat memilih saja, tetapi sudah mengenal kontribusi yang diberikan kepada masyarakat sebelumnya. Oleh karenanya, kecenderungan pemilih tidak diorientsikan pada partai politik yang ada, tetapi lebih ditujukan kepada individu calon itu sendiri.
Pilihan yang didasari relasi dan pengenalan terhadap calon merupakan bentuk hubungan sosial yang terjalin antara individu pemilih dengan calon. Ini merupakan faktor sosiologis yang mempengarui seseroang untuk menentukan pilihannya terhadap calon yang ada. Akan tetapi hal itu tentunya tidak serta merta menjadi faktor yang berdiri sendiri, melainkan juga ditopang oleh faktor calon itu sendiri yang memiliki prestasi politik dan pernah memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan masyarakat pemilih (konstituennya). Dalam bentuk terakhir ini, pemilih sudah mulai melakukan rasionalisasi terhadap pilihan politiknya. Pendekatan rasional pada prinsipnya memilih kandidat bisa saja didasarkan pada kedudukan, informasi, prestasi dan popularitas pribadi kandidat tersebut. Kualitas kandidat dalam pendekatan rasionalitas juga ditentukan oleh unsur tindakan yang diyakini pemilih akan terealisasikan oleh kandidat bila kelak menang dalam pemilu seperti penjelasan Yong Hendri di atas. Rasionalitas yang hampir sama juga dikemukakan oleh Masrul (50 th) dengan menjelaskan bahwa pemilih atau masyarakat lebih cenderung melihat kepada sosok calon yang akan berkompetisi dalam kontestasi politik ketimbang harus memperhatikan asal usul partainya. Bahkan lebih lanjut ia menjelaskan bahwa peran tokoh masyarakat pun tidak terlalu dominan mempengaruhi pilihan politik masyarakat dan juga tidak ada intervensi dari pihak lain, baik pemerintah maupun ataupun pihak partai dan lainnya. Pendapat di atas juga didukung oleh pernyataan Zulhendri (38 th) yang mengatakan bahwa tokoh masyarakat tidak berpengaruh dalam menentukan pilihan masyarakat, masyarakat lebih cendrung melihat figur dari Caleg itu sendiri dalam menentukan
pilihan.
Dalam
konteks
berdemokrasi,
statemen
ini
cukup
mengembirakan, karena masyarakat sudah bisa memilih dan memilah calon yang akan dipilih secara rasional, bukan didasarkan atas pengaruh orang lain. Tentunya ini sejalan dengan semboyan pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Elita (46 th) mempertegas bahwa pilihan masyarakat pada dasarnya tergantung pada sosok kehadiran sang figur (calon). Masyarakat akan memilih yang calon sering berkunjung ke daerahnya dan dan berkontribusi untuk masyarakat pemilih di daerah itu
Seringnya figur politik datang ke tempat konstituennya
sekaligus menjadi bahan tertentu bagi masyarakat pemilih untuk memperhatikan dan memahami visi misi yang ditawarkan. Jika visi misi itu secara rasional dan memiliki simpati yang mempengaruhi pemilih di daerah itu, maka otomatis masyarakat juga akan memberikan hak suaranya kepada calon yang diharapkan itu. Kehadiran calon dengan visi dan misi yang jelas dalam masyarakat pemilih menurut Eka Novia (34 th) menjadi faktor penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. Masyarakat dalam konteks ini menginginkan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu hanya bisa dilakukan oleh para figur yang memiliki visi misi yang baik dan berpandangan jauh ke depan. Dengan begitu masyarakat dengan sendirinya sudah menyeleksi para calon yang berkompetisi untuk mendapatkan suara konstituennya. Seleksi seperti ini sangat rasional untuk kepentingan masyarakat pemilih khususnya dan untuk pembagunan daerah mereka pada umumnya. Amitaza (28 th), menggambarkan bahwa pilihan masyarakat didasarkan pada sosok calon yang maju dalam kontestasi politik. Partai politik bukanlah pedoman untuk penentuan hak pilihnya. Kehadiran calon dinilai dari prestasi dan tract recordednya selama berada dalam masyarakat (konstituennya). Jika masyarakat menilai calon telah membuat prestasi dan memberikan kontribusinya untuk kemajuan daerah, maka suara pemilih akan cenderung berpihak kepada calon tersebut. Bahkan masyarakat tidak begitu mempertimbangkan visi misinya, karena aksi nyata adalah sesuatu yang dapat menjanjikan perubahan untuk daerahnya. Dalam versi yang lain, Namida Aris (72 th) menjelaskan bahwa alasan masyarakat untuk memilih didasarkan atas faktor kedaerahan. Justru itu peran tokoh masyarakat untuk menginformasikan tentang calon yang berasal dari daerah itu (putra
daerah) sangat penting, agar masyarakat mengetahui dan tidak lupa untuk mempertimbangkan hak suaranya bagi calon yang berasal dari daerahnya sendiri. Masrul (50 th) masyarakat menentukan pilihan politiknya didasarkan pada calon yang berasal dari daerah pemilihan. Faktor kedaerahan menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat memilih. Menurutnya, masyarkat menginginkan hak suaranya memiliki arti terhadap dan dapat memberikan keuntungan secara langsung untuk masyarakat setempat. Pilahan politik terhadap calon yang berasal dari daerah itu tidak saja didasarkan pada kepentingan politik semata, melainkan sudah menjadi karakter budaya yang melekat dalam diri orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Masrul yang mengemukakan mamangan adat “tagak di kampuang bela kampong, tagak di nagari bela nagari, tagak disuku bela suku (tegak kampung pelirahara kampung, tegak nagari pelihara nagari, tegak suku pelihara suku). Ini menunjukkan primodialiseme positif orang Minangkabau dalam membangun daerahnya masing-masing. Bahkan agama yang menjadi salah satu identitas orang Minangkabau hematnya tidak berpengaruh sama sekali terhadap pilihan masyarakat, karena faktor daerah lebih dominan dari yang lainnya. Tidak berbeda dengan Jamuar (56 th), putra daerah menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan politik masyarakat. Alasan utama dari masyarakat pemilih adalah karena mereka tidak mengenal calon lain yang berasal dari luar daerahnya. Memilih calon lain dalam persepsi masyarakat tidak akan memberikan keuntungan apa-apat terhadap pembangunan dan kebaikan daerahnya. Eka Novia, juga menegasakan bahwa faktor yang menyebabkan masyarakat ingin memilih dilatari oleh tampilnya putra daerah sebagai calon legislatif. Baginya figur menjadi hal penting dalam menentukan pilihan. Hampir sama dengan alasan di atas, Eka begitu sapaan kesehariannya, juga melihat bahwa figur yang muncul dari daerahnya sendiri lebih memiliki tanggungjawab moral terhadap orang kampungnya sendiri di banding dengan calon lain yang berasal dari luar daerahnya. Figur yang bukan berasal dari daerahnya pada umumnya sulit dijadikan referensi untuk dipilih.
Di samping sudah menjadi tradisi para calon untuk mengubar janji-janji politiknya, pun secara realitas jarang ditemukan para calon yang terpilih diluar daerah konstituennya berbuat banyak untuk daerah itu. Alhamdi Nupiah (28 th) mempertegas pendapat di atas, bahwa baginya pilihan masyarakat akan tergantung kepada figur dari caleg yang akan maju dalam pemilihan umum, baik dari asal daerahnya atau pekerjaannya. Dua hal ini sangat menjadi perhatian baginya dalam menentukan pilihan politik. Calon yang berasal dari daerah tempatnya memilih lebih diutamakan dibanding calon di luar daerahnya. Hal ini di samping mudah untuk bertukar pendapat juga sudah mengenal sejak lama sepak terjangnya. Meskipun begitu bagi Alhamdi yang lulusan S1 itu juga menjadikan pekerjaan sebagai barometer untuk menentukan calon mana yang layak untuk dipilih. Karena pekerjaan itu menurutnya akan menggambarkan kepribadian seorang calon. Riki Mulyadi (31 th) menjelaskan bahwa, munculnya animo dan lahirnya alasan masyarakat untuk memilih dalam pemilu didorong oleh munculnya figur-figur politik yang berasal dari daerah masing-masing. Keberhasilan seorang calon untuk maju menuju singgasana politik juga ditopang oleh kemampuan team suksesnya mensosialisasikan calon di tengah-tengah masyarakat tidak terkecuali visi misi yang bertitik tolak dari kepentingan masyarakat itu sendiri. Menurut Riki, putra daerahlah yang menjadi perhatian masyarakat setempat, tidak sebaliknya bagi yang berasal dari luar dareh itu, tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pemilih. Berbeda halnya dengan Prof. Dr. Hazhli A, M. Sc, alasan masyarakat memilih calon mereka dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat tersebut. Tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan masyarakat mempengaruhi alasan mereka dalam memilih pemimpin di daerah itu. Sementara faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, baginya hanya sekadar faktor penunjang bagi masyarakat untuk memilih. Adapun terhadap calon incamben menurut Masrul, juga sangat ditentukan oleh prestasi dan kinerjanya selama menjabat di legislatif. Selama janji-janji politiknya dijalankan untuk kepentingan konstituennya, maka masyarakat akan
memilihnya kembali dalam pemilu berikutnya, sebaliknya jika tidak pernah berbut dan apalagi mengecewakan masyarakat, maka calon itu tidak akan terpilih kembali menjadi wakilnya di legislatif. Hal ini merupakan hal wajar, karena seseorang akan mendapatkan reward dan fanishment terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk masyarakat yang menjadi sumber suaranya. 2.
Mengapa Orang tidak Memilih Pemilu merupakan ajang kontestasi politik bagi masyarakat Indonesia. Bagi
sebagian anggota masyarakat yang telah memiliki persyaratan diberikan ruang sebesar-besarnya untuk berkompetisi dalam kontestasi itu. Persaingan politik tentunya tidak mudah dan bebas begitu saja. Masyarakat yang ikut dalam pesta demokrasi tentunya orang yang dipercaya dan diusulkan oleh partai-partai yang ada dan kemudian sah menjadi calon berdasarkan ketetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kehadiran calon seperti dijelaskan sebelumnya sangat memberi arti penting dan terkait langsung dengan masyarakat pemilih, sehingga sedapat mungkin para calon yang ingin berkompetisi pun pada umumnya adalah calon yang sudah diseleksi oleh partai politik dengan mempertimbangkan keterpilihannya dalam pemilu. Bagi calon yang dikenal dan disenangi oleh masyarakat secara langsung atau pun melalui orang atau kelompok tertentu serta informasi yang mereka dapat, maka tentu akan mendapatkan suara yang signifikan. Akan tetapi sebaliknya jika calon tidak dikenal dan tidak mendapat simpati dari masyarakat, maka ada dua kemungkinan. Pertama, masyarakat tidak akan memberikan hak suaranya kepada calon tersebut, dan kedua, masyarakat tidak akan datang ke TPS untuk memilih. Dua kali Pemilu yang diselenggarakan belakangan ini menunjukkan alasan sosiologis lebih menguat dibandingkan pertimbangan psikologis atau pilihan rasional. Masyarakat lebih memenangkan calon (figur) yang secara sosial terhubung dengan pemilih. Ketiga alasan ini ditemukan pada masyarakat yang aktif memilih. Pada sisi
lain, terdapat pula alasan segelintir masyarakat pemilih tidak datang ke TPS untuk memilih dan bahkan menyatakan untuk tidak memilih. Alhamdi Nupiah, menjelaskan banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak memilih di nagarinya, antara lain disebabkan oleh ketidak percayaan masyarakat kepada calon-calon yang sedang berkompetisi dalam pemilu. Ketidak percayaan ini merupakan implikasi dari perjalanan hasil pemilu sebelumnya. Masyarakat yang merasa kecewa dengan para calon yang sudah duduk di lembaga legislatif, tidak akan memilihnya lagi dan bahkan tidak mau ikut dalam pesta demokrasi tersebut. Dalam konteks ini masyarakat pemilih kembali mengingat janjijanji politik yang telah disampaikan oleh para politisi pada saat mereka belum dipilih. Jika janji-janji politik itu tidak terlaksana, maka itulah yang menjadi alasan mengapa mereka tidak memberikan hak suaranya lagi, baik kepada calon incumbent maupun kepada calon yang baru. Di samping ketidakpercayaan kepada calon, faktor yang menjadi alasan orang tidak memilih juga disebabkan oleh jauhnya jarak tempuh masyarakat ke lokasi TPS yang akan mereka kunjungi. Jarak tempuh yang relatif jauh dari rumah masyarakat ke Tempat Pemungutan Suara ini, menyebabkannya enggan dan malas untuk datang ke TPS, karena mengingat keuntungan yang mereka dapatkan dengan jarak yang begitu jauh tidak berbanding seimbang bahkan bagi mereka menjadi hal yang sia-sia dan tidak memberi keuntungan langsung. Jarak tempuh yang relatif jauh ini menurut Alhamdi juga dikarenakan terjadinya pengurangan jumlah TPS, hal ini dapat dilihat dari jumlah TPS yang ada pada saat pemilihaan legislative yang relatif banyak dengan jumlah pemilihan presiden yang relative sedikit. Pengurangan itu secara otomatis membuat jarak tempuh masyarakat ke lokasi TPS semakin jauh, sehingga mengakibatkan berkurangnya jumlah pemilih. Alasan masyarakat tidak ikut memilih di daerah ini juga disebabkan oleh jumlah DPT lanjut usia yang relatif banyak. Biasanya mereka yang lanjut usia lebih memilih untuk tidak tidak memilih dengan alasan akan merepotkan orang lain dan
petugas TPS sendiri. Dengan jarak tempuh yang jauh, mereka kesulitan untuk datang ke TPS. Apalagi pada saat memberikan hak suara, mereka kesulitan secara teknis untuk melakukannya, menentukan siapa yang akan dipilih dan cara memilihnya. Oleh karenanya mayoritas mereka memberikan hak suara. Kalaupun dilihat secara keseluruhan dari masyarakat yang memilih, hanya kalangan pemuda saja yang lebih dominan memilih. Diperkirakan 60-70% di antara mereka memberikan hak suaranya. Namun di sisi lain banyak juga yang tidak memilih, tidak saja pemuda juga masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang seharusnya bisa memilih, ternyata masih banyak yang tidak mendapatkan undangan untuk memilih. Alhamdi menyampaikan bahwa untuk mengurus undangan itu pun juga sulit, sehingga mereka hanya bisa membawa KTP ke TPS pada saat pemilihan. Meskipun sudah diberi kesempatan menggunakan KTP tersebut, masyarakat harus menunggu hingga ada pemberitahuan dari panitia untuk melakukan pemilihan. Masa tunggu ini juga tidak dipastikan, sehingga masyarakat jenuh dan memilih untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Mengapa masyarakat tidak memilih di daerah Lintau lebih terlihat pada saat pemilihan presiden. Menurut Jamuar22 keengganan masyarakat memilih dikarenakan masyarakat tidak mengenal dekat calon presiden yang ada, sehingga tidak menimbulkan sitimulus dan motivasi yang berarti untuk memilihnya. Di samping terjadinya penurunan jumlah TPS ditempat mereka. Hal ini juga berpengaruh terhadap kehadiran pemilih terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terisolir dengan mata pencaharian menyadap getah karet di ladang mereka masing-masing. Pekerjaan ini menurut mereka lebih memberi manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di banding untuk datang ke TPS yang jaraknya jauh dan tidak memberi kontribusi langsung secara finansial untuk mereka.
22
Plt walinagari lintau
Masalah terpenting menurut Elita23 mengapa orang tidak memilih adalah karena krisis kepercayaan terhadap pemimpin yang memicu. Masyarakat merasa dibohongi oleh mereka yang terpilih dengan janji-janji politik yang disampaikan pada saat kampanye politik. Tidak ada manfaat yang cukup berarti diterima setelah calon itu mendapatkan jabatan di pemerintahan. Bahkan di antara masyarakat yang kecewa itu tidak hanya sekedar tidak memilih, lebih dari itu mereka dengan sengaja merusak surat suara pada saat berada dalam bilik suara. Hal ini mereka lakukan hanya sematamata karena kesal terhadap pemimpin yang sudah terpilih menjadi wakil rakyat. Eka Novia juga berpendapat hampir sama, bahwa bagi masyarakat, memilihpun tidak akan memberi arti penting terhadap kemajuan daerahnya, karena salama ini hampir-hampir para caleg terpilih hanya memberikan janji-janji palsu kepada masyarakat, dan itulah kemudian yang menjadi alasan bagi mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya lagi. Sikap pesimis ini ditambah lagi dengan perspektif mereka yang sangat sederhana bahwa satu suara tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam pemilu. Meskipun banyak masyarakat yang tidak memilih di daerah ini, tetapi secara keseluruhan, perbandingannya dengan masyarakat yang memilih relatifmasih tinggi. Dalam pemilu legislative, jumlah masyarakat yang memberikan hak suaranya mencapai 70% dan yang tidak memilih hanya 30 % dari toltal DPT yang ada. Jumlah yang cukup signifikan itu menurut eka24 hanya didasarkan atas kesadaran memilih, meskipun tidak didapat di daerahnya relawan demokrasi yang bertugas untuk memberikan informasi dan pengetahuan tentang pentingnya pemilu kepada masyarakat. Amitaza melihat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat di daeranya Pariangan beralasan untuk tidak memilih dan tidak memberikan hak suara adalah; pertama, faktor kekecewaan masyarakat pemilih terhadap calon legislatif yang sudah terpilih dan menyebabkan mereka bersikap apatis untuk memilih lagi. Kedua, Jarak 23 24
PPK Pariangan PPK X Koto
tempuh masyarakat untuk datang ke TPS relatif jauh sehingga menyulitkan mereka untuk memilih. Ketiga, DPT ganda yang menjadi persoalan klasik dan belum terentaskan di nagari itu berpengaruh kepada alasan masyarakat untuk tidak memilih. Hal ini tergambar pada saat suara dijumlahkan secara keseluruhan dan juga seharusnya pemilih terdaftar untuk memilih di TPS tempat tinggalnya, justru terdaftar di tempat lain yang jaraknya relatif jauh. Setelah diperhatikan secara baik, ternyata permasalahan itu juga menjadi masalah pada pemilu sebelumnya dan DTP yang bermasalah itu juga muncul pada pemilu berikutnya. Keempat, tidak ada relawan demokrasi yang melakukan sosialisasi dan memberikan informasi tentang alasanalasan mengenai pentingnya pemilu bagi proses kemajuan demokrasi. Sosialisasi oleh pihak KPU (bukan relawan demokrasi) pun dilakukan secara berjenjang berdasarkan tingkat lapisan masyarakat. Sosialisasi itu terkadang hanya disampaikan kepada pihak-pihak pimpinan nagari secara berjenjang dan tidak menyentuh masyarakat ditingkat grass root. Oleh karena itu menurut Amitaza, perlu dilakukan sosialisasi yang intens kepada masyarakat sebagai proses pendidikan politik. Hal ini disadari penting untuk dilakukan, mengingat pada umumnya masyarakat di daerah ini berprofesi sebagai petani dan memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah. Prof. Dr. Hazhli A M.Sc, dengan memperhatikan situasi politik pada pemilu tahun 2014 yang lalu, menjelaskan bahwa alasan masyarakat untuk tidak memilih disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak terkait kepada masyarakat. Sehingga informasi tentang pemilu tidak menjadi konsumsi masyarakat awam. Para pemilih yang memberikan hak suara adalah mayoritas masyarakat yang berpendidikan menengah ke atas. Situasi seperti ini disebabkan oleh metode informasi pemilu yang disampaikan pihak KPU secara berjenjang dan hanyak menyentuh lapisan tokoh masyarakat saja, sementara masyarakat awam tidak mendapatkan informasi pemilu dan termasuk pendidikan tentang pentingnya pemilu oleh relawan demokrasi.
Putra
daerah
menjadi
faktor
penting
bagi
Riki
Mulyadi25
untuk
menggelorakan kesadaran politik masyarakat sehingga memiliki alasan yang rasional untuk terlibat secara aktif dalam Pemilu. Ketidakhadiran calon legislatif yang mewakili daerahnya berpengaruh pada sikap politik masyarakat. Alasan mayarakat tidak memilih pada pemilu adalah karena tidak adanya putra daerah yang mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai. Oleh karenanya, kesadaran dalam pemilu di daerah itu menurut Riki mengalami penurunan bahkan menyebabkan orang tidak jadi memilih. Di samping itu menurut Riki, relawan demokrasi yang sudah ditunjuk oleh KPU tidak berfungsi bahkan tidak pernah memberikan informasi dan pendidikan politik kepada masyarakat di daerah itu. Relawan demokrasi menurutnya membantu untuk memberikan informasi dan pengetahuan pemilu kepada masyarakat. Kehadiran Relawan demokrasi sangat diharapkan dalam rangka mengantisipasi tingginya tingkat golput di daerah itu. Dalam bentuk yang sama, Zulhendri26, menjelaskan bahwa alasan masyarakat tidak memilih dalam pemilu dilatari oleh kejenuhan masyarakat terhadap hasil pemilu itu sendiri. Calon yang terpilih tidak memberikan kontribusi nyata kepada konstituennya setelah terpilih. Bagi masyarakat yang terpenting dari pemilu itu adalah meningkatkan taraf perekonomian mereka dengan terbukanya lapangan kerja dan meningkatnya pembangunan di daerah mereka. Faktor lain adalah lemahnya sosialisasi pihak penyelenggara pemilu di daerah itu. Justru masyarakat dapat informasi tentang pemilu relatif bersumber dari para caleg dan tim suksesnya. Jika caleg dan tim sukses itu gencar melakukan kampanye politik di daerah bersangkutan, maka diasumsikan masyarakat dapat terpengaruh secara positif untuk aktif dalam memilih. Tetapi yang terjadi sebaliknya, justru sosialisasi untuk memilih tidak berjalan dengan baik, sehingga masyarakat lebih memilih untuk tidak memberikan hak suaranya. Bahkan di dapati di DPT yang memiliki hak pilih pada tingkat usia lanjut tidak mengerti teknik memilih, dan itu berpenguruh terhadap jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Mestinya ada alternatif lain yang disediakan oleh 25 26
Tokoh Masyarakat X Koto Ketua PPK X Koto
penyelenggara pemilu agar yang bersangkutan tetap ikut serta dalam memberikan hak suaranya dalam pemilu tersebut. Alasan-alasan masyarakat tidak memilih ini dapat dibandingkan dari pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Masyarakat lebih banyak memilih pada pilpres dibanding Pileg. Selain itu juga terjadinya pengurangan jumlah TPS pada masa pemilihan itu. Menurut Aswardi27, masyarakat tidak memilih dalam pemilu dilatari oleh beberapa hal: pertama, kurangnya sosialisasi dan tidak sesuainya petunjuk yang diinformasikan oleh pihak KPU kepada masyarakat setempat. Kedua, krisis kepercayaan yang terjadi pada masyarakat ditingkat daerah bahkan sampai ke tingkat pusat. Ketiga, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, yang menganggap bahwa pemilu hanya kegiatan biasa yang dilakukan secara rutin pada waktu yang ditentukan, karena hampir rata-rata pendidikan di daerah ini hanya sampai pada tingkat SLTA dan sederajat. Keempat, kondisi ekonomi masyarakat yang menengah ke bawah, menyebabkan mereka enggan untuk memberikan hak suaranya, dan lebih memilih untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan bekerja di sawah dari pada memberikan hak pilihnya. Jika diperhatikan dari data-data yang disampaikan oleh informan di atas, persoalan politik identitas masih melekat kuat pada masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Faktor kedekatan dan putra daerah di samping faktor lainnya menjadi ikon penting terhadap alasan masyarakat memilih atau tidak memilih di daerah itu. Sementara pertimbangan visi dan misi tidan menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat. Hal ini disadari bahwa disamping mamangan adat orang Minangkabau “tagak kampuang paliharo kampuang, tagak suku paliaro suku”. Mamangan ini secara tidak sadar hadir dalam sikap politik masyarakat dan amat sedikit memperhatikan aspek lainnya dari calon yang diusung. Di sisi lain kepercayan terhadap calon yang berasal dari luar daerahnya semakin menurun. Sikap antipati ini berawal dari plilaku politik calon yang terpilih itu sendiri, yang tidak mengungtungkan terhadap konstituennya. Relatif para calon hanya sebatas memberikan janji-janji politik saja 27
kepada masyarakat pemilih, sementara pada saat terpilih dan menjadi anggota legislatif, justru mengabaikan janji-janji itu. Masyarakat memilih putra daerah dan orang yang dianggap dekat pada dasarnya menginkan agar mereka mendapat perhatian dan memperoleh manfaat atas pilihan politiknya. Secara moral calon yang berasal dari daerah dimungkinkan untuk berkontribusi langsung kepada daerahnya, dan harapan untuk melakukan presure politik lebih mudah dilakukan konstituennya. 3.
Sumber Informasi Masyarakat tentang Pemilu Seluruh pihak terkait di tengah masyarakat melakukan pendekatan dan
sosialisasi berulang-ulang untuk membangun kesadaran masyarakat untuk ikut pemilu. Kegiatan ini bisa dilakukan di banyak tempat untuk menyampaikan informasi pemilu kepada masyarakat, dan sosialisasi dilakukan secara berjenjang hinga sampai kelapisan masyarakat paling bawah, KPU, staf kecamatan dan perangkat nagari, hingga masyarakat umum. Masyarakat justru mendapatkan informasi pemilu dari TV, baliho dan spanduk yang terpasang. Pada konteks ini, ada yang sepatutnya tidak boleh terlupakan, seperti tokoh masyarakat, niniak mamak, yang sesungguhnya sangat berperan penting dalam pemilu, terutama untuk memberikan himbuan kepada masyarakat, anak kemenakan, untuk mensukseskan pemilu di daerah tersebut. Artinya, yang perlu diperhatikan adalah kearifan lokal masyarakat tertentu terkait struktur nilai dan sistem pemilihan pemimpin yang hidup di tengah masyarakat tersebut. Hal lain, karena banyak daerah yang jauh dari jangkauan, pihak KPU sebaiknya merencanakan model sosialialisasi kultural yang mudah dipahami dan dijangkau jangkau oleh nalar masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Masrul (50 th), tempat-tempat
untuk
berkumpul
di
nagari
dapat
dimaksimalkan
untuk
mensosialisasikan pemilu. Sementara partai tidak secara berkelanjutan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat biasa mendapatkan informasi pemilu itu dari cerita masyarakat dilapau, dapat pula secara
baik berperan aktif dalam memilih beserta dengan alasan-alasan yang kuat. Sebab, pada sejumlah pantauan di lapangan ditemukan keluhan masyarakat bahwa relawan demokrasi tidak ada mensosialisasikan tentang pemilu hingga ke pelosok kampung. Perlu juga mempertimbangkan peran sosial sejumlah elit masyarakat dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi berulang-ulang untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Itu bisa dilakukan di banyak tempat untuk bisa menyampaikan informasi pemilu kepada masyarakat, dan sosialisasi dilakukan secara berjenjang hingga sampai ke lapisan masyarakat paling bawah dari masyarakat. Alasan mengapa penting melibatkan elit kultural adalah data-data yang ditemukan menggambarkan pilihan-pilahan masyarakat didasarkan pada sentimen primordial dan rasionalisasi pada rasa komunal. Dari himpunan data yang terurai di atas, hampir dipastikan bahwa partai politik sulit diharapkan untuk secara berkelanjutan menjadi penggugah dan penguat motivasi masyarakat dalam pemilu. Peluang penyadaran terhadap melemahnya kesadaran politik tersebut adalah dengan membangun civil society yang mandiri dalam menentukan sikap-sikap politik terutama dalam peran serta pada Pemilu. Hal ini diperparah oleh sikap politik yang muncul di perguruan tinggi. Pihak perguruan tinggi, dalam hal ini kalangan akademisi, lebih banyak bekerja ketika ada proyek/program perancangan naskah akademik, riset, survei, atau lainnya. Jika semua itu tidak ada, maka kontrol sosial-politik dari kampus sukar pula diharapkan. Sesuai dengan Tupoksinya,
penyelenggara Pemilu (KPU) lebih banyak
memerankan fungsi administratif. Adapun tugas dan fungsi sosialisasinya cenderung pula terhambat oleh agenda administratif dan kendala-kendala teknis di lapangan. Sehingga, agenda pendidikan politik tidak berjalan secara maksimal. Maka solusinya yang paling mungkin adalah adalah pemerintah menyediakan dana melalui APBN untuk membantu civil sosiety dalam melakukan pendidikan politik secara berkelanjutan. Isu pemilu tidak hanya isu yang digelar dan digulirkan pada musimnya
saja. Isu pemilu mengandung nilai tentang betapa pentingnya peran kepemimpinan yang demokratis sepanjang mobilisasi sosial berlangsung. KPU pada konteks ini punya tugas tambahan dalam melakukan pendidikan politik misalnya dengan menguatkan peran relawan demokrasi secara permanen.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Buku Referensi Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1999. Cipto, Bambang. Presiden, Partai dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2003. Damanhuri, Didin. Menerobos Krisis: Renungan Masalah Kemahasiswaan, Kepemudaan, Intelektual Dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Inti Sarana Aksara. 1985. Huntington, Samuel P.
dan Joan M. Nelson. Partisipasi Politik Di Negara
Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. 1994. Plano, Jack. Kamus Analisa Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1985. Junaedhie, Kurniawan. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1991.
Buku Metodologi Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana. 2006. Johnson, B, Janet dan Richard A. Joslyn. Political Science Research Methods Second Edition. Washington: Congressional Quarterly Inc. 1999 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara. 2006 Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005 Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendi (ed). Metode Penelitan Survai. Jakarta: LP3ES. 1989 Sugiarto dkk, Teknik Sampling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001.