BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN
ATAS
PENGELOLAAN KREDIT DAN TINDAK LANJUT SARAN BPK PADA
PT BANK MANDIRI (PERSERO) Tbk TAHUN BUKU 2007 DI KANTOR PUSAT, COMMERCIAL BANKING CENTER (CBC) DAN REGIONAL CREDIT RECOVERY (RCR) DI JAKARTA DAN DAERAH
AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA VII DI JAKARTA
Nomor Tanggal
: :
11/AUDITAMA VII/PDTT/02/2009 26 Pebruari 2009
DAFTAR ISI
BAB I RESUME HASIL PEMERIKSAAN A. Kondisi dan Perkembangan Perusahaan B. Pokok-pokok Hasil Pemeriksaan 1. Pengelolaan Kredit 2.
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK-RI
BAB II HASIL PEMERIKSAAN A. Gambaran Umum 1. Dasar Pemeriksaan 2. Tujuan Pemeriksaan 3. Sasaran Pemeriksaan 4. Tahun Anggaran/Tahun Buku yang diperiksa 5. Metode Pemeriksaan 6. Jangka Waktu Pemeriksaan 7. Uraian singkat tentang entitas yang diperiksa B. Temuan Pemeriksaan 1. PT AOI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK) Bank Mandiri 2. PT SI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri 3. PT FSC tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri 4. PT CRC tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri 5. KLI Group tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit 6. PT HTM tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri 7. PT TYI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT BSI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit 8. dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri 9. Pengelolaan fasilitas kredit PT PKR tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri 10. Pengelolaan fasilitas kredit PT PND tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri
Halaman 1 1 1 1 2 4 4 4 4 4 4 4 5 5 6 6
16
21
26
36 42
46
51
54 58
i
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. 19. 20.
21. 22. 23. 24. 25. 26.
27. 28. 29. 30.
PT BAG tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT UEA tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit Pengelolaan fasilitas kredit PT SLJ tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT BTI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT SMR tidak mengonversi hutang kepada pemegang saham menjadi equity sesuai perjanjian PT BMN tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT KEL tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT BSP tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT KHAP tidak memprioritaskan pembayaran kewajibannya kepada bank Analisa pemberian kredit kepada beberapa debitur yang dikelola Regional Credit Recovery (RCR) tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Penarikan kredit beberapa debitur yang dikelola RCR tidak sesuai ketentuan Proses kredit beberapa debitur yang dikelola RCR dan CBC tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Monitoring kredit beberapa debitur yang dikelola RCR tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Agunan kredit beberapa debitur yang dikelola RCR tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Beberapa debitur yang dikelola RCR tidak memenuhi beberapa syarat covenant dalam perjanjian kredit Analisa pemberian kredit kepada beberapa debitur yang dikelola Commercial Banking Center (CBC) tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Pencairan kredit beberapa debitur yang dikelola CBC tidak sesuai ketentuan Monitoring kredit untuk beberapa debitur yang dikelola CBC tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Agunan kredit beberapa debitur yang dikelola CBC tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Beberapa debitur yang dikelola CBC tidak memenuhi beberapa syarat covenant dalam Perjanjian Kredit
61 65 68 71 74 77 79
82 84 85
96 98 100 105 109 115
118 120 123 125
ii
C.
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan 1. Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2000 2. Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2001 3. Pemeriksaan atas Kredit Hapus Buku Tahun 2002 4. Pemeriksaan atas Pengelolaan Kredit Tahun 2004
132 132 132 132 134
iii
BAB I RESUME HASIL PEMERIKSAAN PENGELOLAAN KREDIT DAN TINDAK LANJUT SARAN BPK PADA PT BANK MANDIRI (PERSERO) Tbk. Berdasarkan Surat Tugas BPK No. 89/ST/IX-XVII.4/09/2007 tanggal 24 September 2007 dan Surat Tugas No. 3/ST/IX-XX.4/01/2008 tanggal 7 Januari 2008, BPK telah memeriksa pengelolaan kredit tahun 2007 dan tindak lanjut atas saran BPK tahun 2000, 2001, 2002 dan 2004 pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. – selanjutnya disebut Bank Mandiri – Tahun Buku 2007. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai apakah kegiatan pengelolaan kredit telah dilaksanakan dengan tertib dan taat kepada peraturan perundang-undangan dan pengendalian intern yang ditetapkan. Selain itu pemeriksaan bertujuan untuk menilai apakah perusahaan telah menindaklanjuti saran BPK dalam hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Tahun Buku 2000 dan 2001, kredit hapus buku Tahun 2002 dan pengelolaan kredit Tahun 2004. A. Kondisi dan Perkembangan Perusahaan 1. Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2006 dan 2007 diaudit oleh KAP Purwantono, Sarwoko dan Sandjaja dengan opini “Wajar Tanpa Pengecualian”. 2. Asset yang dikelola per tanggal 31 Desember 2006 dan 2007 masing-masing sebesar Rp267,51 triliun dan Rp319,08 triliun. 3. Laba setelah pajak Tahun 2006 sebesar Rp2,42 triliun dan Tahun 2007 sebesar Rp4,34 triliun. 4. Kredit yang diberikan per tanggal 31 Desember 2006 dan 2007 masing-masing sebesar Rp117,75 triliun dan Rp138,55 triliun. 5. Rasio kredit bermasalah (NPL) Neto Tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 5,92% dan 1,51%. Rasio NPL Neto tahun 2007 berada dibawah ketentuan maksimal BI yaitu sebesar 5%. B. Pokok-pokok Hasil Pemeriksaan 1. Pengelolaan Kredit Realisasi kredit intra dan ekstra komtabel tahun 2007 adalah sebesar Rp167.411.927 juta atau 113,97% dari anggarannya sebesar Rp146.890.643 juta. Pemeriksaan pengelolaan kredit dilaksanakan secara uji petik diluar fasilitas kredit yang diperiksa pada tahun 2004, dengan cakupan pemeriksaan sebesar Rp15.784.512 juta atau 9,43% dari realisasi. Dari jumlah kredit yang diuji petik tersebut, sebagian besar (93%) merupakan fasilitas kredit kepada debitur yang pemberian awalnya terjadi pada periode tahun 1973 sampai dengan tahun 2004. Beberapa temuan pemeriksaan pada kegiatan pengelolaan kredit menunjukkan bahwa pengelolaan kredit Bank Mandiri belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan Bank Indonesia, perjanjian kredit dan ketentuan intern Bank Mandiri, yaitu sebagai berikut: a. Analisa kredit kurang cermat, tidak didukung dengan laporan keuangan audited atau laporan keuangan tiga tahun terakhir dan neraca tahun berjalan, kurang menggali informasi debitur, kurang memperhatikan pengamanan Bank dari aspek agunan dan/atau belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan kredit. b. Kredit diberikan: 1) kepada debitur bermasalah atau pengurus debitur tercatat dalam daftar hitam, daftar kredit macet atau daftar cekal; 1
c. d. e. f. g.
2) kepada debitur pada saat kondisi usaha dan keuangannya kurang baik; dan atau 3) berdasarkan rencana proyek, dokumen tender atau surat kesepakatan (bukan berdasarkan Surat Perintah Kerja dari bouwheer atau kontrak/perjanjian kerja). Kredit dicairkan sebelum persyaratan penarikan kredit dipenuhi. Adanya penyalahgunaan dana kredit dan pembayaran kepada pihak lain tanpa persetujuan Bank sehingga mengganggu kelancaran pengembalian kredit. Agunan kredit tidak mengcover kewajiban kreditnya, tidak dinilai ulang secara periodik, tidak seluruhnya diasuransikan dan/atau diikat secara sempurna. Restrukturisasi fasilitas kredit belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Adanya pelanggaran affirmative dan negative covenant sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit, yaitu: 1) Debitur tidak memprioritaskan pembayaran kewajibannya kepada Bank, tidak memelihara rasio keuangan sesuai yang dipersyaratkan, tidak menyalurkan aktivitas keuangan dan usahanya melalui Bank sesuai perjanjian, tidak menyampaikan laporan keuangan dan laporan aktivitas usaha secara periodik dan/atau belum meningkatkan modal perusahaan. 2) Debitur melakukan investasi baru, meminjam kepada bank atau kreditur lain, membayar hutang kepada pemegang saham dan/atau mengubah susunan pengurus dan pemegang saham debitur tanpa seizin Bank.
Kondisi tersebut mengakibatkan: a. Dana Bank Mandiri tertanam menjadi kredit bermasalah dan/atau berpotensi menjadi kredit bermasalah sehingga Bank harus menanggung beban yang lebih besar karena harus membentuk biaya penyisihan penghapusan aktiva produktif. b. Kepentingan Bank Mandiri dari jaminan kredit (second way out) kurang terlindungi.
2. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK pada Bank Mandiri atas laporan keuangan Tahun Buku 2000 dan 2001, kredit hapus buku Tahun 2002 dan pengelolaan kredit Tahun 2004, Bank Mandiri telah menyampaikan upaya-upaya tindak lanjutnya, dengan status temuan sebagai berikut: a. Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2000 Dari tiga temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, seluruhnya dinyatakan telah sesuai rekomendasi. b. Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2001 Dari dua temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, seluruhnya dinyatakan telah sesuai rekomendasi. c. Pemeriksaan atas Kredit Hapus Buku Tahun 2002 Dari sembilan temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, lima temuan dinyatakan telah sesuai rekomendasi, sedangkan empat temuan lainnya masih belum sesuai rekomendasi.
2
d. Pemeriksaan atas Pengelolaan Kredit Tahun 2004 Dari 11 temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, sebanyak enam temuan dinyatakan telah sesuai rekomendasi, sedangkan lima temuan lainnya masih belum sesuai rekomendasi. Untuk lebih jelasnya, temuan dan saran BPK dapat dibaca dalam hasil pemeriksaan.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN Penanggung Jawab
Dadang A. Rifai, SE, MSc, Ak, CIA NIP. 240002284
3
BAB II HASIL PEMERIKSAAN ATAS PENGELOLAAN KREDIT DAN TINDAK LANJUT SARAN BPK PADA PT BANK MANDIRI (PERSERO) Tbk. DI KANTOR PUSAT, COMMERCIAL BANKING CENTER (CBC) DAN REGIONAL CREDIT RECOVERY (RCR) DI JAKARTA, MEDAN, BANDUNG, SEMARANG, SURABAYA, MAKASSAR DAN BANJARMASIN A. Gambaran Umum 1. Dasar Pemeriksaan a. b. c. d.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 E dan 23 G; Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; e. Rencana Kerja Tahunan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) Tahun Anggaran 2007; f. Rencana Kerja Pemeriksaan Auditama Keuangan Negara VII BPK Tahun Anggaran 2007.
2. Tujuan Pemeriksaan Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah kegiatan pengelolaan kredit telah dilaksanakan dengan tertib dan taat kepada peraturan perundang-undangan dan pengendalian intern yang ditetapkan. Pemeriksaan juga bertujuan untuk menilai apakah perusahaan telah menindaklanjuti saran BPK dalam hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Tahun Buku 2000 dan 2001, kredit hapus buku Tahun 2002 dan pengelolaan kredit Tahun 2004. 3. Sasaran Pemeriksaan a. Kegiatan pengelolaan kredit, baik kredit yang dicatat dalam neraca (on balance sheet) atau intra komtabel maupun yang telah dihapus buku (write off) yang dicatat secara ekstra komptabel. b. Tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK. 4. Tahun Anggaran/Tahun Buku yang diperiksa: Tahun 2007 5. Metode Pemeriksaan a. Metode yang digunakan adalah review sistem pengendalian intern yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan aktivitas pengelolaan kredit yang diperiksa, wawancara dengan pejabat perusahaan yang kompeten, pengujian terhadap dokumendokumen/bukti-bukti, pengujian fisik, konfirmasi secara uji petik serta prosedur pemeriksaan lain yang diperlukan. b. Fasilitas kredit/debitur yang diuji petik didasarkan pada beberapa pertimbangan utama yaitu tingkat ketertagihan (kolektibilitas) atau kualitas kredit debitur dan jumlah fasilitas kredit yang diterima debitur. Batasan nilai fasilitas kredit baik kredit yang masih tercatat di
4
neraca (intra komtabel/on balance sheet) maupun kredit yang telah dihapus buku (ekstra komtabel/off balance sheet) dikelompokkan sebagai berikut: 1) Debitur yang dikelola oleh Kantor Pusat memiliki fasilitas kredit diatas Rp100 miliar. 2) Debitur yang dikelola oleh Commercial Banking Center (CBC) dan Regional Credit Recovery (RCR) memiliki fasilitas kredit diatas Rp20 miliar. 6. Jangka Waktu Pemeriksaan Pemeriksaan dilaksanakan di Kantor Pusat, CBC dan RCR di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar dan Banjarmasin dari tanggal 24 September 2007 sampai dengan tanggal 1 April 2008. 7. Uraian Singkat Tentang Entitas yang Diperiksa a. Pendirian Perusahaan Bank Mandiri didirikan berdasarkan Akta Notaris Sutjipto, S.H No.10 tanggal 2 Oktober 1998 dan Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 1998 tanggal 1 Oktober 1998. Akta pendirian telah disahkan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan Surat Keputusan No. C216561.HT.01.01.TH.98 tanggal 2 Oktober 1998 serta diumumkan pada Tambahan No. 6859 dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 97 tanggal 4 Desember 1998. Anggaran Dasar Bank Mandiri telah beberapa kali diubah. Perubahan terakhir didasarkan pada keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan tanggal 22 Mei 2006. b. Maksud dan Tujuan Perusahaan Sesuai Anggaran Dasar Bank Mandiri sebagaimana dimuat dalam Akta Notaris Sutjipto, SH No. 129 tanggal 29 September 2003 Pasal 3, maksud dan tujuan perseroan ialah melakukan usaha dibidang perbankan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mencapai maksud dan tujuan itu, Bank Mandiri melaksanakan kegiatan usaha antara lain memberikan kredit. c. Struktur Organisasi Berdasarkan Keputusan RUPS Tahunan tanggal 28 Mei 2007 dan Surat Edaran No. 004/UMM/CHC.HMC/2007 tanggal 7 Februari 2007, direksi yang berkaitan dengan tugas pengelolaan kredit adalah sebagai berikut: Jabatan Direktur Utama Direktur Corporate Banking Direktur Spesial Asset Management Direktur Commercial Banking Direktur Micro & Retail Banking Direktur Risk Management
Tugas Ketua Komite Kredit Pemutus Tingkat Direksi Membidangi Kredit Korporasi Membidangi Kredit Bermasalah (NPL) Membidangi Kredit Komersial Membidangi Kredit Mikro dan Retail
Nama Direksi Agus Martowardojo
Membidangi Risiko Kredit
Sentot A. Sentausa
Riswinandi Abdul Rachman Zulkifni Zaini Budi Gunadi Sadikin
5
d. Anggaran dan Realisasi Kredit Anggaran dan realisasi kredit tahun 2007 yaitu sebagai berikut: (dalam juta rupiah) Uraian Kredit intra komtabel Kredit hapus buku Jumlah
Anggaran 116.132.,191 30.758.452 146.890.643
Realisasi 138.553.552 28.858.375 167.411.927
% 119,31 93,82 113,97
Rincian realisasi kredit intra komtabel per 31 Desember 2007 berdasarkan kualitas kredit adalah sebagai berikut: Kualitas Kredit Lancar Dalam Perhatian Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet Jumlah
(dalam juta rupiah) Nilai 110.654.193 15.931.251 1.400.294 547.824 10.019.990 138.553.552
Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) Neto Tahun 2006 dan 2007 masingmasing sebesar 5,92% dan 1,51%. Rasio NPL Neto tahun 2007 berada dibawah ketentuan maksimal BI yaitu sebesar 5%. Selain itu, Bank Mandiri juga mengelola kredit ekstra komtabel yang telah dihapusbukukan (write off). Namun Bank terus melakukan usaha-usaha penagihan. Saldo kredit ekstra komtabel per 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp28.858.375 juta, dengan rincian sebagai berikut: Saldo awal tahun Penghapusbukuan tahun berjalan Penerimaan kembali kredit yang telah dihapusbukukan Lain-lain (termasuk selisih kurs) Saldo akhir tahun
(dalam jutaan rupiah) 24.758.452 5.118.510 (1.480.091) 461.504 28.858.375
B. Temuan Pemeriksaan Pemeriksaan pengelolaan kredit intra dan ekstra komtabel dilaksanakan secara uji petik diluar fasilitas kredit yang diperiksa pada tahun 2004, dengan cakupan pemeriksaan sebesar Rp15.784.512 juta atau 9,43% dari realisasi kredit intra dan ekstra komtabel sebesar Rp167.411.927 juta. Dari jumlah kredit yang diuji petik tersebut, sebagian besar (93%) merupakan fasilitas kredit kepada debitur yang pemberian awalnya terjadi pada periode tahun 1973 sampai dengan tahun 2004. Pemeriksaan pengelolaan kredit menghasilkan temuan-temuan pemeriksaan sebagai berikut. 1. PT AOI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK) Bank Mandiri PT AOI didirikan tanggal 10 Agustus 1979 dan bergerak di bidang industry plywood dan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). PT AOI termasuk group usaha DG. Group usaha tersebut bergerak dibidang Particle Board & Glue, Property, Cold Storage & Canning, dan Cold Storage Udang & Ikan Beku. Kondisi fasilitas kredit PT AOI posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: 6
Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp560.846 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) PT AOI dinyatakan pailit sejak tanggal 28 Mei 2007 sesuai Putusan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.22/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai sebagai berikut.
a. Pengambilalihan fasilitas PT AOI memiliki beberapa kelemahan 1) Kondisi usaha PT AOI kurang baik Nota analisa No.CGR.CRM/200/2002 tanggal 8 Juli 2002 menunjukkan bahwa unit perkayuan DG dalam tahun 1997 s.d 1998 hampir tidak berjalan karena arus pasokan kayu dari HPH ke pabrik terganggu serta tenaga kerja tidak tersedia akibat kerusuhan di Indonesia Bagian Timur (IBT) awal Tahun 1999. Pengaruh keamanan yang tidak terkendali di IBT tersebut mengakibatkan persediaan bahan baku menjadi kurang dan produksi turun sehingga pada tahun 2000 perusahaan hanya mampu menjual 148.354 m³ dan tahun 2001 turun menjadi 125.451 m³. Kondisi keamanan tersebut juga mempengaruhi Divisi Perikanan sehingga pasokan produksi ikan segar dan olahan semakin menurun. Nota itu memprediksi kondisi perusahaan akan membaik. Namun dari Nota CBG.RM1/RM1.68/2003 tanggal 11 Pebruari 2003 perihal permohonan keringanan beban PPAP, up front fee, provisi dan bunga a.n DG menyebutkan kegiatan perusahaan selama kurang lebih 3 tahun berjalan tidak normal. Hal itu terjadi karena situasi keamanan yang kurang kondusif di IBT, tidak tersedianya tenaga kerja untuk menggerakkan aktivitas perusahaan, jatuhnya harga ekspor plywood di pasar internasional karena illegal logging serta permasalahan dengan kreditor. 2) Umur teknis mesin sebagian besar diatas 20 tahun Kondisi mesin dan peralatan pabrik PT AOI yang dijaminkan sudah sangat tua. Misalnya dari 10 unit rotary lathe, 9 diantaranya buatan tahun 1967 s.d. 1978. Demikian halnya dengan dryer, dari 13 unit dryer, 9 unit dibuat antara tahun 1968 s.d. 1973, sisanya sebanyak 4 unit buatan tahun 1990 s.d. 1998. Kondisi mesin-mesin itu ditegaskan dalam Nota Analisa No.CGR.CRM/200/2002 tanggal 8 Juli 2002 yang menyebutkan bahwa perkembangan teknologi pembuatan plywood, moulding dan wood working relatif tidak berubah secara signifikan. Namun mengingat umur mesin-mesin yang dimiliki PT AOI relatif tua, tentu memerlukan tambahan modal jika ingin mengembangkan usaha. Apabila mesin yang dijaminkan adalah mesin yang dipasang sejak tahun 1967 s.d. 1973, umur teknisnya pada tahun 2007 (waktu pelunasan kredit) sudah jauh menurun atau umur teknisnya habis. Berkaitan dengan umur teknis mesin, PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 9.b.8. menyatakan bahwa pada dasarnya umur teknis (technical life) dari mesin-mesin pabrik adalah 10 tahun artinya jika mesin-mesin tersebut sudah mencapai umur teknis berarti nilai teknisnya sudah jauh menurun. Lebih lanjut dikatakan bahwa Bank tidak diperkenankan menerima mesin-mesin pabrik yang pada waktu pelunasan kreditnya (berdasarkan Repayment Schedule), umur teknisnya telah habis. 3) Beberapa Izin HPH jatuh tempo sebelum perjanjian fasilitas kredit berakhir PT AOI adalah perusahaan yang bergerak dibidang perkayuan sehingga wajib mempunyai izin HPH. Nota Analisa No.CGR.CRM/200/2002 tanggal 8 Juli 2002 menunjukkan bahwa tiga izin HPH seluas 465.100 ha, atau 23,44% dari luas HPH PT 7
AOI, telah habis masa konsesinya sebelum jangka waktu kredit PT AOI berakhir tahun 2007. Bahkan terdapat izin HPH yang telah jatuh tempo sebelum Nota Analisa dibuat. Namun hal itu tidak diungkapkan dalam Nota Analisa. PPK Buku II Bab VI Sub Bab B butir 3. d. 2) menyatakan bahwa informasi dan data yang diperlukan untuk industri kehutanan antara lain adalah izin HPH, dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perizinan dari instansi terkait. 4) Beberapa dokumen asli terkait dengan agunan tidak ada Menurut nota No. CGR.CRM/886/2002 tanggal 3 Oktober 2002, Bank Mandiri belum mengangsur pembayaran tahap ke-2 kepada BPPN untuk 8 perusahaan yang tergabung dalam DG. Bank belum membayar karena beberapa bukti jaminan/sertifikat asli dan dokumen kredit tidak ditemukan pada saat verifikasi jaminan yang dilaksanakan secara bersama antara BPPN dengan pihak konsorsium Bank Mandiri & PT JG. Rincian penyimpangan yang ada pada berkas dokumen jaminan a.n PT AOI dan anak-anak perusahaannya adalah sebagai berikut: No.
Perusahaan
Jenis Dokumen
1.
PT AOI
Dokumen jaminan kendaran bermotor berupa fotocopy. Ex Bank BIRA tidak ada jaminannya
2.
PT KR
3.
PT BN
Dokumen jaminan barang bergerak seperti kendaraan bermotor, invoice mesin, dan peralatan tidak ada.
4.
PT TBM
Sedangkan Bank Mandiri telah membayar ke BPPN untuk pengambilalihan PT AOI sebesar Rp34.140,00 juta. Karena dokumen tidak lengkap, Bank Mandiri belum membayar angsuran tahap kedua. Menanggapi hal itu, sesuai Nota Ketua Tim Take Over Credit BPPN No.CGR.CRM/RM3.841/2002 tanggal 24 September 2002, BPPN menegaskan kepada investor hal-hal berikut: a) Investor harus mengambil sikap apakah akan membayar atau membatalkan pembelian piutang. Apabila pembelian piutang tersebut dibatalkan maka seluruh kewajiban pembayaran yang telah dilakukan oleh investor tidak akan dikembalikan oleh BPPN. b) Berdasarkan Term Of Reference (TOR) PPAK dan dalam Perjanjian Jual Beli Piutang (PJBP) Pasal 2 disebutkan bahwa pembeli menerima dan setuju bahwa jual beli piutang ini dilakukan dengan keadaan “sebagaimana adanya (as is)”. Oleh karena itu posisi Bank Mandiri sebagai investor kurang menguntungkan karena jika jual beli dibatalkan, Bank Mandiri akan kehilangan sebesar Rp94.320,00 juta dan USD3,187.22 ribu dari pembayaran tahap I. Sedangkan apabila perjanjian jual beli diterima sebagaimana adanya, kepentingan Bank Mandiri terhadap jaminan kurang terlindungi. b. PT JG belum melunasi up front fee Up front fee yang menjadi kewajiban PT JG (mitra konsorsium Bank Mandiri dalam rangka pengambilalihan PT AOI dari BPPN) semula sebesar Rp27.117,00 juta dan USD916.32 ribu yang diangsur selama 2 tahun. Selanjutnya Bank Mandiri menyetujui perubahan up front fee menjadi USD3,453.71 ribu dan diangsur mulai Tw.1/2003 s.d. Tw.4/2005. PT JG belum membayar up front fee tersebut. Bank Mandiri telah beberapa kali menagih, tetapi PT JG tidak menanggapi. Selanjutnya Bank Mandiri menagihkan up front fee tersebut kepada DG. Namun DG menginformasikan bahwa up front fee dimaksud 8
bukan beban DG. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 31 Januari 2008, kewajiban up front fee sebesar USD3,453.71 ribu belum dilunasi. Hal itu tidak sesuai dengan Perjanjian Konsorsium tanggal 16 Juli 2002 Pasal 2.6 yang menyebutkan bahwa berkenaan dengan keikutsertaan Bank Mandiri dalam pengambilalihan asset yang dibeli maka partner berkewajiban untuk membayar up front fee yang besarnya untuk masing-masing debitur asal adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Perjanjian ini, selain itu up front fee tersebut wajib dibayar paling lambat pada saat Bank Mandiri telah melaksanakan pembayaran konstribusi Bank Mandiri (yaitu tanggal 25 Oktober 2002) kepada BPPN. c. Novasi hutang dari PT NP kepada PT AOI memiliki beberapa kelemahan 1) Industri PT NP termasuk dalam kategori sunset industry Nota analisa No.CBG.RM1/RD.4.276/2003 tanggal 22 Desember 2003 perihal permohonan novasi hutang dari PT NP ke PT AOI menyebutkan bahwa PT NP termasuk dalam industri perkayuan terpadu yang memproduksi plywood (porsi terbesar), block board, wood working dan sawn timber. Kajian EFR Volume 7/2003 tanggal 23 September 2003 menyimpulkan bahwa industri perkayuan sedang dalam periode menurun (sunset industry). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa novasi kredit PT NP dapat membebani PT AOI karena kondisi usaha PT AOI yang bergerak dibidang perkayuan juga sedang menurun. PPK Buku II Bab VII Sub Bab A menyatakan bahwa dalam menganalisis kredit, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah kemauan dan kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya. Faktor lain yang harus diperhatikan ialah kondisi perekonomian mikro dan makro. 2) Nota analisa tidak mengungkapkan laporan keuangan PT NP Dalam nota analisa diketahui kondisi keuangan PT AOI sebelum dan sesudah novasi menunjukkan hasil yang baik. Analisa keuangan terhadap rencana novasi menggunakan Laporan Keuangan PT AOI Tahun 2001 (audited), 2002 (audited), dan September 2003 (in house). Sedangkan Laporan Keuangan PT NP tidak diungkapkan sehingga kewajaran informasi keuangan PT NP tidak dapat diyakini. Oleh karena itu rasio-rasio keuangan PT AOI (Net Working Capital/NWC, Current Ratio/CR, Margin Ratio, Net Profit Margin dan Debt Equity Ratio/DER) yang disajikan dalam nota analisa kurang dapat diyakini karena sumbernya juga kurang dapat diyakini. Hal itu juga mengakibatkan kondisi PT AOI pasca novasi yang menurut indikasi keuangan adalah baik juga tidak mempunyai dasar yang kuat. d. Terdapat kelebihan pembiayaan pada PT AOI sebesar USD21,048.58 ribu Berdasarkan surat PT AOI No.033/DIR/AOI-X/2002 tanggal 22 Oktober 2002 mengenai permohonan modal kerja untuk meningkatkan kapasitas plywood, Bank menyusun Nota Analisa No.CGR.CRM/324/2002 tanggal 28 Oktober 2002. Perhitungan kebutuhan Kredit Modal Kerja (KMK) dalam nota tersebut adalah sebagai berikut: 70% x (72% + 18%) x Rp33.284 juta x 58/25 Ekuivalen Fasilitas Dinikmati Kelonggaran pembiayaan
= = = =
Rp USD USD USD
48.647 juta 5,405.22 ribu 0 5,405.22 ribu
9
Data di atas belum memperhitungkan fasilitas KMK eks BPPN yang dinikmati PT AOI sebesar USD26,453.80 ribu. Apabila fasilitas KMK eks BPPN diperhitungkan maka kebutuhan KMK PT AOI menjadi sebagai berikut: 70% x (72% + 18%) x Rp33.284 juta x 58/25 Ekuivalen Fasilitas Dinikmati Kelonggaran/(kelebihan) pembiayaan
= = = =
Rp USD USD USD
48.647 juta 5,405.22 ribu 26,453.80 ribu (21,048.58 ribu)
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa dengan diperhitungkannya KMK eks BPPN maka terdapat kelebihan pembiayaan pada PT AOI sebesar USD21,048.58 ribu. Belum diperhitungkannya KMK eks BPPN sebagai faktor pengurang tidak sesuai dengan PPK Buku 2 Bab VII Sub Bab B butir 9 yang menyatakan bahwa maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan oleh Bank harus memperhitungkan besarnya nilai pembiayaan sejenis yang telah atau akan diberikan oleh kreditur lainnya sebagai faktor pengurang maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan. e. Pemberian fasilitas kredit NCL sebesar USD5,610.00 ribu pada tanggal 21 Mei 2004 memiliki kelemahan Pada tanggal 21 Mei 2004, Bank Mandiri memberikan fasilitas kredit NCL kepada PT AOI sebesar USD5,610.00 ribu. Nota Analisa No.CBG.RM1/RD.4.052/2004 tanggal 17 Maret 2004 dalam rangka pemberian fasilitas kredit NCL tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar mesin-mesin produksi plywood dan moulding/wood working merupakan mesin-mesin lama (usia diatas 20 tahun) sehingga tidak dapat berproduksi secara optimal. Dalam proyeksi disebutkan bahwa peningkatan kapasitas produksi memerlukan tambahan Capital Expenditure (CAPEX) untuk perbaikan mesin pengupasan (rotary lathe process), mesin pengeringan (dryer), mesin veneer (veneer preparation) dan mesin pengempaan (cold pressing & hot pressing). Meskipun PT AOI disyaratkan untuk memenuhi kebutuhan CAPEX dari pemegang saham, tetapi kurang dapat diyakini karena tidak didukung oleh dokumen yang berkekuatan hukum. Berkaitan dengan kondisi mesin dan tambahan modal tersebut, PPK Buku II Bab VII Sub Bab B butir 2.g.1) menyatakan bahwa penilaian target pemasaran memperhatikan faktor mesin-mesin yang dipergunakan untuk menghasilkan produk/jasa dan kondisi keuangan perusahaan. Selanjutnya pada Sub Bab A dikatakan bahwa kemampuan modal sendiri merupakan benteng yang kuat agar tidak mudah mendapat goncangan dari luar. Penilaian atas besarnya modal sendiri adalah penting menyangkut kredit bank hanya sebagai tambahan bukan untuk membiayai seluruh modal yang diperlukan. Modal sendiri juga dibutuhkan bank sebagai alat penilaian kesungguhan dan tanggung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya, karena ikut menangung risiko terhadap gagalnya usaha. f.
PT AOI tidak memenuhi kewajibannya walaupun kondisi keuangannya baik Ringkasan keuangan PT AOI tahun 2003 dan 2004 adalah sebagai berikut: (Dalam jutaan rupiah) Keterangan Penjualan
31 Desember 2003
30 September 2004
226.293,62
196.686,07
Laba Kotor
61.453,01
97.024,42
Laba Operasi
18,182.34
71.525,62
Laba Bersih
15.616,75
7.505,88
10
Keterangan
31 Desember 2003
30 September 2004
Biaya Depresiasi
14.687,70
11.015,55
Laba/Rugi Forex
12.897,90
(38.218,26)
EBITDAFX
45.767,94
44,322.92
Biaya Bunga
(20.085,77)
(27.339,99)
Modal
474.328,67
481,384.55
Current Ratio
1,28
1,58
DER
0,74
1,28
Dari tabel di atas terlihat bahwa Earnings Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization Foreign Exchange (EBITDAFX) untuk posisi September 2004 adalah Rp44.322,92 juta (positif). Hal itu menunjukkan bahwa PT AOI seharusnya mampu melunasi seluruh kewajibannya tepat waktu mengingat kewajiban baik pokok maupun bunga yang timbul per tanggal 30 September 2004 hanya sebesar USD1,765.36 ribu eq. Rp16.135,38 juta (kurs USD 1 = Rp9.140). Namun kenyataannya tidak ada pembayaran hingga tanggal 31 Desember 2004. Dari surat No.CBG.CR1/292/2004 tanggal 23 Desember 2004 diketahui PT AOI belum melunasi tunggakan pokok dan bunga sebesar USD3,621.74 ribu Tindakan PT AOI yang belum memenuhi kewajibannya meskipun kondisi keuangannya cukup baik menunjukkan PT AOI tidak mempunyai itikad untuk memenuhi kewajibannya. Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri tanggal 22 November 2005 Artikel 170 butir B menyatakan bahwa kredit adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. g. Agunan yang diserahkan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan 1) Coverage agunan per 31 Desember 2007 hanya sebesar 69,53% Oleh karena adanya cross collateral barang jaminan dalam obligor DG, perhitungan coverage jaminan juga didasarkan pada total fasilitas dari DG. Menurut Customer Executive Summary (CES), total baki debet DG per 31 Desember 2007 sebesar USD76,225.65 ribu eq. Rp710.969,37 juta, sedangkan nilai pasar dari jaminan yang diserahkan sebesar Rp494.306,32 juta. Coverage rasio jaminan DG terhadap baki debetnya adalah 69,53%. Besarnya coverage jaminan tersebut tidak sesuai dengan PPK Bab VIII Sub Bab B Butir 2.a.1) yang menyebutkan bahwa untuk fasilitas KMK, secara umum nilai agunan utama minimum sebesar 150% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. 2) Pengikatan beberapa agunan belum sempurna CES menunjukkan beberapa dokumen agunan yang pengikatannya tidak sempurna, yaitu: a) Beberapa jaminan yang belum diikat ulang karena telah dinovasinya fasilitas ke PT AOI yaitu tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 172, 173, 180, 182, 188, 189, 193, 204 (a.n. BU) dan SHM No.1,2,3,4,5,6,7,8 (a.n. BU) yang merupakan jaminan PT NP, Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No.B.07/BB (a.n. PT TBM) yang merupakan jaminan PT TBM, Sertifikat Hak Guna Usaha/SHGU No.01 (a.n PT GJP) yang merupakan jaminan PT GJP, serta SHGU No.1 dan 29 Kapal (a.n PT DGN) yang merupakan jaminan PT DGN. 11
b) Beberapa jaminan belum dialihkan Hak Tanggungannya untuk kepentingan Bank Mandiri yaitu SHM No.286 (a.n. H.S), No.357 (a.n. S.TM), No.249 (a.n. BU). Pengikatan yang tidak sempurna itu tidak sesuai dengan Pasal 16 UU No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) jo. Pasal 19 UU No.42 tahun 1999 tentang jaminan fiducia (UU Fidusia) yang telah mengatur secara tegas bahwa pengalihan atas piutang yang dijamin dengan hak tanggungan/fidusia (antara lain dengan menggunakan cessie) akan mengakibatkan beralihnya pengikatan hak tanggungan/fidusia karena hukum kepada kreditur baru. h. Pengelolaan asuransi barang jaminan memiliki kelemahan 1) Penutupan premi asuransi PT AOI atas beban Bank Mandiri Surat Corporate Relationship Group 1 (CRG-1) Bank Mandiri No. CBG.CR1/RD4.222/2004 tanggal 10 Juni 2004 yang ditujukan kepada Credit Operation Departement (COD) menyatakan bahwa Direktur Corporate Banking setuju untuk menalangi pembayaran premi angsuran 1 atas penutupan asuransi asset PT AOI dan asset PT NP. Selanjutnya, COD dengan surat No.DNW.COP/COD.4449/2004 tanggal 14 Juni 2004 menegaskan bahwa pembayaran asuransi PT AOI sebesar total Rp498,96 juta adalah atas beban CRG-1. Pembayaran premi asuransi oleh Bank Mandiri tidak sesuai dengan PPK Bab VII Sub Bab C.A.9 yang menyatakan bahwa terhadap barang jaminan yang dapat diasuransikan harus diasuransikan kepada perusahaan asuransi rekanan PT. Bank Mandiri (Persero) dengan syarat Banker’s Clause PT. Bank Mandiri (Persero) dan klausula tambahan RSMD (Riot, Strike, Malicious and Damage). Biaya penutupan asuransi menjadi beban PT AOI. 2) Asuransi barang jaminan belum diperpanjang Menurut surat PT Gelora Karya Jasatama (PT GKJ) No.Ref.21/S/AKT/432/2006 tanggal 8 Agustus 2006, outstanding premi asuransi a.n PT AOI Polis No.PCO.0103/2006-00007 periode 5 Mei 2006 s.d 5 Mei 2007 adalah sebesar Rp963,51 juta. Menindaklanjuti surat PT GKJ, Bank Mandiri telah memberitahukan kepada PT AOI dengan surat No.SAM.CR2/ AMD.808/2006 tanggal 12 September 2006. Sesuai keterangan PT AOI yang terdapat dalam surat PT GKJ No.Ref.21/S/AKT/552/X/2006 tanggal 4 Oktober 2006, PT AOI akan segera membayar outstanding premi asuransi setelah asset berupa gedung dapat terjual oleh PT Bank Mandiri. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 31 Januari 2008, asset PT AOI berupa gedung yang dimaksud di atas belum terjual sehingga tunggakan tersebut belum dapat diselesaikan. Polis asuransi yang belum diperpanjang sejak bulan Mei 2007 tidak sesuai dengan PPK Bab VIII Sub Bab C butir 2 yang menyatakan bahwa untuk lebih memperkecil risiko atas kredit yang diberikan, maka semua agunan (kecuali tanah) harus diasuransikan pada maskapai asuransi yang ditunjuk oleh bank. i.
Akta perubahan terakhir PT AOI belum didaftarkan ke Depkumham Akta perubahan terakhir PT AOI adalah Akta No.60 tanggal 22 Pebruari 2000 mengenai perubahan susunan pemegang saham dan Akta No.33 tanggal 21 November 2002 mengenai perubahan susunan direksi dan komisaris. Kedua akta tersebut belum didaftarkan
12
pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan diumumkan di Lembar Berita Negara – RI. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku II Bab VII Sub bab B.1 yang menyatakan bahwa akta pendirian (berikut perubahan) sudah mendapat persetujuan dari Depkumham dan telah diumumkan dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara R.I. j.
PT AOI tidak membayar iuran kepada pihak terkait Surat DG No.065/DIR/DG-IX/2006 tanggal 14 September 2006 menyatakan masalah terbesar yang sedang dihadapi adalah bahan baku kayu bulat yang tidak cukup karena tidak diperpanjangnya HPH yang telah jatuh tempo dan tidak diberikannya Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada DG oleh Departemen Kehutanan. Pencabutan izin HPH dan tidak diberikannya RKT kepada PT AOI terjadi karena PT AOI tidak membayar Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan (IHH). Hal itu tercantum dalam Nota No.SAM.CR2/476/2006 tanggal 18 Oktober 2006. Berkaitan dengan pembayaran DR dan IHH tersebut, PP No.35 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 Bab 1 Pasal 1.1 menyatakan bahwa DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu, dan PP No.22 tahun 1967 tanggal 30 Desember 1967 Pasal 1.b yang menyebutkan bahwa IHH ialah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti sebagian nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut.
k. PT AOI tidak memenuhi beberapa klausul Perjanjian Kredit 1) Penyampaian Laporan Keuangan tidak sesuai perjanjian Hasil evaluasi dokumen menunjukkan bahwa penyampaian laporan keuangan audited dan in house PT AOI kurang tertib. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan yang tercantum dalam Customer Executive Summary yang menyatakan PT AOI tidak pernah menyampaikan laporan keuangan baik in house maupun audited sejak 31 Desember 2004. PT AOI juga kurang tertib dalam menyampaikan laporan-laporan lainnya yang seharusnya wajib disampikan secara teratur kepada Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan Perjanjian Kredit (PK) No.KP-COD/015/PKNCL/2004 Akta No.67 tanggal 21 Mei 2004 Pasal 14.4 yang menyatakan bahwa debitur berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut: a) Laporan stock, piutang serta laporan pembelian dan penjualan dalam nilai dan kwantum setiap bulannya dan paling lambat telah diterima oleh Bank 30 hari kalender setelah akhir periode. b) Laporan keuangan unaudited setiap triwulan dan paling lambat telah diterima oleh Bank 60 hari kalender setelah akhir periode laporan. c) Laporan keuangan tahunan (neraca dan perhitungan rugi/laba) audited yang diaudit oleh KAP rekanan Bank, paling lambat telah diterima oleh Bank 180 hari kalender setelah akhir periode laporan. 2) PT NP menjual asset tanpa izin Bank Mandiri Surat Bank Mandiri No.SAM.CR1/LC1.0296/2007 tanggal 28 September 2007 menyebutkan bahwa PT NP telah menjual mesin fancy untuk membayar biaya pengamanan dan pemeliharaan asset-asset di Gresik. Bank Mandiri tidak pernah memberikan persetujuan penjualan tersebut kepada PT NP. Penjualan tersebut tidak sesuai dengan PK No.KP-COD/008/PK-KI/VA/2004 Akta No.65 tanggal 21 Mei 2004 Pasal 17.6 yang menyatakan bahwa debitur tanpa 13
persetujuan bank tidak boleh menjual atau memindahtangankan dengan cara apapun atau melepaskan sebagian atau seluruh harta kekayaan/asset debitur berdasarkan perjanjian. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri menanggung risiko kredit PT AOI gagal bayar sebesar Rp560.846 juta sebelum dikurangi nilai jaminan, karena kualitas kreditnya macet dan PT AOI telah dinyatakan pailit. b. Kepentingan Bank Mandiri dari agunan kredit (second way out) kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 69,53% dari outstanding kredit dan agunan belum seluruhnya diikat secara sempurna. c. Bank Mandiri tidak dapat memanfaatkan dana dari up front fee yang belum diperoleh sebesar USD3,453.71 ribu. Hal tersebut terjadi karena: a. Pejabat pengusul dan pemutus kredit dalam mengambilalih aset kredit PT AOI dari BPPN kurang memperhatikan kondisi usaha debitur yang sedang menurun, umur teknis mesinmesin yang relatif tua, beberapa izin HPH yang telah jatuh tempo dan beberapa dokumen asli agunan yang tidak ada. b. Group Head (GH), Department Head (DH) dan Relationship Manager (RM) pada Corporate Relationship I Group Bank Mandiri: 1) dalam memberikan tambahan fasilitas KMK tidak memperhitungkan fasilitas KMK aflopend eks BPPN yang sedang dinikmati debitur. 2) dalam memberikan fasilitas kredit NCL kurang memperhatikan kesanggupan debitur untuk memenuhi CAPEX. 3) kurang memantau kecukupan dan pengikatan agunan serta penutupan asuransi. c. Adanya itikad tidak baik dari PT JG sebagai mitra konsorsium Bank Mandiri dan dari PT AOI sebagai debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Pengambilalihan fasilitas PT AOI memiliki beberapa kelemahan 1) Dalam menganalisa, Bank Mandiri menggunakan referensi berupa laporan keuangan yang diaudit dan feasibility study yang disusun oleh KAP Dolly Bambang dan Sudarmadji. Asumsi yang digunakan telah memperhatikan past performance, prospek dan posisi debitur sebagai salah satu market leader di industrinya. Dengan memperhatikan kondisi debitur, konsorsium Bank Mandiri hanya melakukan bidding terhadap loan yang dinilai sustainable yaitu sebesar 15% (sebesar USD91,114,768) dari ATK Final yang ditawarkan sebesar Rp4,1 trilyun + USD141 juta, dengan porsi Bank Mandiri 75% dan Konsorsium 25%. 2) Bank telah mensyaratkan kepada debitur untuk meremajakan mesin-mesin produksi yang telah berumur lebih dari 10 tahun sesuai Akta No. 146 tanggal 30 Desember 2002. Bank telah menegaskan kembali dalam Akta No. 65 tanggal 21 Mei 2004 untuk meremajakan mesin dengan sumber dana dari pemegang saham dalam bentuk setoran modal atau sub-ordinate loan yang tidak berbunga dan tidak boleh dilunasi sebelum kewajiban kepada Bank lunas. Namun sampai dengan saat ini debitur belum merealisir pemenuhan syarat dimaksud.
14
b. c.
d. e.
f.
g.
h.
3) Bank telah menyadari adanya beberapa HPH yang akan jatuh tempo, tetapi diproyeksikan dapat diperpanjang. Namun mengingat PT AOI sejak Mei 2007 sudah dinyatakan pailit maka izin HPH tersebut tidak dapat diperpanjang. 4) Terkait dengan dokumen agunan yang tidak ada tersebut, Bank telah mengklarifikasi kepada BPPN. Namun BPPN tetap berpegang pada ketentuan as it is principle (kondisi asset yang diambilalih sebagaimana adanya) sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Serah Terima Dokumen Yang Dialihkan antara BPPN dengan Konsorsium. Bank Mandiri terus menagih (surat-surat penagihan terlampir) up front fee tersebut kepada PT JG. Namun sampai dengan saat ini, PT JG belum melunasinya. Novasi PT NP dilakukan karena pertimbangan efisiensi yaitu agar manajemen lebih fokus untuk menangani industri PT AOI mengingat kapasitas pabrik lebih besar dan selama ini idle capacity cukup besar. Novasi juga dilakukan dalam rangka restrukturisasi group perusahaan secara menyeluruh serta proyeksi keuangan PT AOI pasca novasi relatif cukup baik. Walaupun rasio keuangan PT NP tidak tercantum pada Nota Analisa, tetapi dasar yang digunakan Bank untuk memproyeksikan Neraca PT AOI pasca novasi adalah hasil appraisal asset-asset PT NP yang akan dijadikan sumber pembayaran hutang PT AOI pasca novasi. Fasilitas KMK eks BPPN atas nama PT AOI bersifat aflopend. Lazimnya untuk KMK aflopend tidak termasuk sebagai faktor pengurang dalam perhitungan kredit modal kerja. Pemberian tambahan NCL kepada PT AOI menjadi tidak optimal karena kebutuhan CAPEX yang disyaratkan dapat dipenuhi dari pemegang saham tidak terealisir. Hal itu terjadi karena pada saat yang bersamaan terdapat biaya dan tagihan lain (PHK karyawan, relokasi fasilitas produksi dari Gresik ke Pulau Seram, dll) yang harus dipenuhi oleh pemegang saham dalam rangka menjaga kontinuitas produksi serta adanya pencabutan sebagian izin HPH. Terhadap tindakan PT AOI yang tidak memenuhi kewajiban kreditnya, Bank Mandiri secara rutin telah memperingatkan debitur untuk segera menyelesaikan kewajibannya tersebut. Sesuai surat Bank Mandiri No.SAM.CR1/Dept.LC/764/ 2007 tanggal 25 Juni 2007, Bank Mandiri telah mendaftarkan seluruh kewajiban PTAOI kepada kurator sebagai tagihan Bank Mandiri. Agunan yang diserahkan PT AOI belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan 1) Pada saat analisa pengambilalihan asset BPPN sesuai Nota No. CGR.CRM/200/2002 tanggal 8 Juli 2002 perihal usulan pengambilalihan kredit dari BPPN atas nama obligor DG, Security Coverage Ratio (SCR) untuk divisi perkayuan adalah sebesar 153,14%, sedangkan untuk divisi perikanan adalah sebesar 2.434,49%. SCR agunan DG menurun karena debitur sudah tidak beroperasi sehingga persediaan dan piutang yang merupakan unsur agunan utama saat ini sudah tidak ada lagi dan adanya depresiasi terhadap aktiva tetap. 2) Sertifikat tanah a.n. BU masih dalam proses di Notaris. Sesuai informasi Notaris, proses pengikatan terkendala karena debitur (pemilik agunan) yang berkompeten untuk menandatangani dokumen pengikatan saat ini dalam kondisi sakit. Biaya-biaya tersebut telah dibebankan oleh Bank pada pos biaya dan ongkos, yang telah dimasukkan menjadi bagian dari kewajiban yang ditagihkan kepada kurator. Status perusahaan pailit sejak Mei 2007. Dengan demikian kewenangan dan tanggung jawab atas pengelolaan seluruh asset atas nama PT AOI (boedel pailit) berada pada kurator. Sesuai penjelasan dari kurator, tidak diperpanjangnya asuransi karena harta boedel pailit yang
15
diserahkan tidak ada yang berupa tunai dan agunan berupa pabrik dan mesin dalam kondisi rusak. i. Akte perubahan tersebut belum didaftarkan ke Depkumham karena belum diajukan oleh debitur dan belum disetujui Bank sehingga belum dapat diumumkan di Lembaran Berita Negara. Dengan surat No. TRI.CRO/812/2005 tanggal 26 Agustus 2005 perihal Informasi Penjualan Asset dan Perubahan Pengurus, Bank telah meminta klarifikasi kepada debitur. j. Berdasarkan surat PT AOI No. 065/DIR/DG-IX/2006 tanggal 14 September 2006 perihal Penyelesaian Hutang DG, debitur menyatakan masalah terbesar yang sedang dihadapi adalah tidak cukupnya bahan baku kayu bulat yang disebabkan oleh tidak diperpanjangnya HPH yang telah jatuh tempo dan tidak diberikannya RKT kepada perusahaan. Sementara pada saat yang sama, debitur sedang menghadapi persoalan PHK karyawan, masalah keamanan yang kurang kondusif serta meningkatnya biaya bahan bakar minyak, sehingga perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk membayar IHH dan DR dimaksud. k. PT AOI tidak memenuhi beberapa syarat Perjanjian Kredit 1) Bank Mandiri telah menegur dan meminta debitur untuk segera menyampaikan laporan dimaksud dengan surat No. CBG.CR1/RD4.534/2004 tanggal 26 November 2004, No. CRY/320/2005 tanggal 26 April 2005 dan No. TRI.CRT/Dept.II/091A/2006 tanggal 14 Februari 2006. Namun sampai dengan dinyatakan pailit pada tanggal 28 Mei 2007, debitur tidak menyampaikan laporan-laporan dimaksud. 2) Bank Mandiri tidak pernah menyetujui penjualan asset dimaksud dan bahkan telah menegur PT NP sesuai surat No. SAM.CR1/LC1.0296/2007 tanggal 28 September 2007. Berdasarkan surat teguran tersebut, Bank Mandiri telah meminta agar seluruh hasil penjualan asset tersebut disetorkan kepada Bank Mandiri. Namun debitur hanya menyerahkan sebagian dari hasil penjualan asset dimaksud. Terhadap kekurangan penyetoran hasil penjualan asset tersebut, Bank telah menegur debitur dengan surat No. SAM.CR1/LC1.0046/2008 tanggal 11 Februari 2008.
a. b. c. d. e.
BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: Memonitor proses penjualan/pelelangan asset dan pembagian hasil penjualan aset PT AOI oleh kurator dalam rangka meminimalisir kerugian Bank. Memperbaiki PPK yang memperjelas status KMK Aflopend apakah diperhitungkan/tidak diperhitungkan dalam menghitung maksimum pembiayaan KMK. Menagih piutang up-front fee sebesar USD3,453.71 ribu kepada PT JG. Mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahan yang dilakukan. Memasukkan PT AOI dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri.
2. PT SI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT SI didirikan tanggal 26 Juni 1975 dan bergerak dibidang industri pengolahan jagung dengan lokasi kantor di Jakarta sedangkan pabrik berlokasi di Banten. Kondisi fasilitas kredit PT SI posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp670.063 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5)
16
PT SI dinyatakan pailit sejak tanggal 7 Agustus 2007 sesuai Putusan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.35/PAILIT/2007/PN.NIAGA.JKT.PST. Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit PT SI menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Pemberian tambahan plafon L/C sebesar USD18,000.00 ribu dan KMK PIF sebesar Rp94.300,00 juta pada bulan November 2003 memiliki kelemahan Bank Mandiri dengan Nota analisa No.CBG.RM1/214/2003 tanggal 25 September 2003 dan Credit Risk Assesment No. RMN.CRM/DH1.420/2003 tanggal 8 Oktober 2003 menganalisa permohonan perpanjangan masa laku KMK, tambahan plafon LC dan perubahan sifat Kredit Investasi (KI) a.n. PT SI. Bank menyetujui perpanjangan kredit KMK, memberikan tambahan plafon LC sebesar USD18,000.00 ribu dan KMK Post Import Financing (PIF) sebesar Rp94.300,00 juta yang telah disampaikan kepada debitur dengan Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) No.CBG.CRI/RD.3.601/2003 tanggal 19 November 2003 serta telah dibuat dalam akta perjanjian kredit. Hasil pemeriksaan atas pemberian tambahan kredit tersebut menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pengurus PT SI tercatat sebagai pengurus yang perusahaannya telah menjadi kredit bermasalah di Bank Mandiri Menurut Nota Analisa No.CBG.RM/214/2003 tanggal 25 September 2003, susunan pengurus PT SI adalah sebagai berikut: Nama Sdr. BT Sdr. LA Sdr. SS Sdr. BS Sdr. TT Sdr. IS Sdr. AK
Jabatan Presiden Komisaris Komisaris Komisaris Independen Komisaris Independen Direktur Utama Direktur Direktur
Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa Sdr. BT dan Sdr. LA merupakan pengurus PT HIU yang juga memperoleh kredit dari Bank Mandiri dan telah dinyatakan macet sejak 31 Desember 2002. Hal itu tidak sesuai dengan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri Januari 2000 Bab II - Prinsip Kehati-hatian, Artikel 230, yang mengatur pemberian kredit yang harus dihindari dan dilarang antara lain kredit untuk perusahaan yang pengurusnya tercatat dalam daftar hitam, daftar kredit macet dan daftar cekal. 2) Kondisi keuangan PT SI kurang baik Menurut Nota Analisa tanggal 25 September 2003, kondisi keuangan PT SI kurang baik, yaitu sebagai berikut: a) Analisa laporan keuangan (1) Pada tahun 2002 dan per Juni 2003 perusahaan menjadi tidak likuid atau dapat mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek karena Current Ratio (CR) kurang dari 100% dan Net Working Capital negatif. (2) Dengan produksi hanya 6% dari kapasitas terpasang, hasil penjualan belum dapat menutup biaya operasional sehingga per 30 Juni 2003 perusahaan membukukan rugi usaha sebesar Rp4,3 milyar. 17
(3) Perputaran usaha semakin lambat dari 135 hari menjadi 221 hari. b) Analisa sumber dan penggunaan dana Pembelanjaan perusahaan kurang baik karena surplus dana jangka pendek sebesar Rp35.781,92 juta digunakan untuk kebutuhan jangka panjang antara lain untuk menutupi kekurangan investasi pabrik. Hal itu mengakibatkan kondisi keuangan menjadi tidak likuid. c) Analisa proyeksi laba/rugi Perusahaan diproyeksikan masih rugi sebesar Rp564 juta. Berkaitan dengan kondisi keuangan yang kurang baik tersebut, PPK Buku II Bab VII hanya memberikan arahan bahwa: a) Current Ratio kurang dari 100% menunjukkan adanya hutang jangka pendek yang digunakan untuk membiayai aktiva diluar aktiva lancar, atau nasabah tidak akan mampu membayar hutang-hutang jangka pendeknya (Sub Bab B Halaman 37). b) Analisa rasio merupakan analisis pelengkap dalam analisa keuangan nasabah. Analisis rasio merupakan salah satu dasar untuk mengambil keputusan, yaitu dalam hubungannya dengan penelitian keadaan keuangan nasabah (Bab VII Sub Bab E butir 2). c) Perusahaan yang mempunyai Modal Kerja Bersih yang positif dapat diartikan memiliki modal kerja dalam jumlah yang memadai (Bab VII Halaman 41). b. Agunan PT SI belum sepenuhnya sesuai ketentuan 1) Agunan PT SI tidak mengcover baki debetnya Nota Analisa tanggal 1 Oktober 2007 menunjukkan bahwa nilai pasar agunan berupa aktiva tetap sesuai hasil penilaian asset oleh Appraisal Karmanto & Rekan adalah sebesar Rp568.108,40 juta. Baki debet PT SI per 23 Desember 2007 sebesar Rp368.736,60 juta dan USD32,074.85 ribu atau total sebesar Rp667.032,71 juta (kurs 1 USD = Rp9.300,00). Dengan demikian coverage ratio dalam bentuk aktiva tetap adalah sebesar 85,17%. Coverage ratio agunan itu tidak sesuai dengan PPK Bank Mandiri Bab VIII Sub Bab B.3 yang menyatakan bahwa nilai agunan utama dan agunan tambahan dalam bentuk aktiva tetap minimum 150% dari limit kredit. 2) Agunan tambahan PT SI berupa tanah sulit dijual karena tidak memiliki akses jalan Nota Analisa tanggal 1 Oktober 2007 menunjukkan bahwa agunan tambahan PT SI yaitu tanah di Desa Bojonegara Kabupaten Serang dengan bukti kepemilikan SHGB No. 35 seluas 400.002 m² dengan nilai pasar sebesar Rp38.100,00 juta. Nota itu juga menjelaskan bahwa Bank Mandiri sudah tiga kali melelang agunan tambahan tetapi tidak ada peminat karena tanah itu tidak memiliki akses jalan. PPK Buku III Bab VIII Sub Bab A menyebutkan bahwa agunan sebagai salah satu unsur jaminan pemberian kredit harus dianalisis secara teliti karena agunan merupakan pengaman terakhir apabila nasabah cidera janji. Suatu barang yang dapat dijadikan sebagai agunan kredit harus memenuhi kriteria antara lain harus dapat dipindahtangankan kepemilikannya dari pemilik semula kepada pihak lain (marketable).
18
c. PT SI tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian 1) Debitur menggunakan sebagian fasilitas LC tidak sesuai perjanjian Credit Risk Assessment tanggal 8 Oktober 2003 menyebutkan bahwa fasilitas LC sebagian besar digunakan untuk aktivitas trading jagung dan tidak ada persetujuan terlebih dahulu dari Bank Mandiri. Penggunaan sebagian fasilitas LC untuk aktivitas trading jagung tidak sesuai dengan PK No.57 tanggal 19 Maret 2003 Pasal 3 butir 2 yang menyatakan bahwa tujuan pemberian kredit adalah untuk merealisir impor bahan baku jagung. 2) Debitur belum memenuhi salah satu syarat fasilitas KI Laporan keuangan audited tahun 2002 menunjukkan bahwa modal disetor PT SI sebesar Rp540.000,00 juta. PT SI baru meningkatkan jumlah modal disetor tersebut pada 30 Juni 2004 menjadi sebesar Rp541.805,40 juta. Hal itu tidak sesuai dengan Akta No. 60 tanggal 26 April 2002 dan surat pernyataan debitur tanggal 26 April 2002 yang menyatakan bahwa debitur akan meningkatkan modal disetor minimal menjadi sebesar Rp569.174,00 juta dan akan tercermin dalam laporan keuangan audited tahun 2002. 3) Debitur belum memenuhi persyaratan CR dan DER Laporan Keuangan Audited PT SI tahun 2003 s.d. 2006 menunjukkan bahwa CR dan DER PT SI tahun 2003 s.d. 2006 adalah sebagai berikut: CR DER
2003 52,36% 202,63%
2004 19,71% 325,43%
2005 2,87% -1.026,31%
2006 3,17% -657,61%
Tabel diatas menunjukkan bahwa CR PT SI kurang dari 120% dan DER tahun 2004 melebihi 233% bahkan DER tahun 2005 dan 2006 negatif karena modal PT SI tahun 2005 dan 2006 negatif. Hal itu tidak sesuai dengan Akta No.49 tanggal 18 Mei 2001 Pasal 17 butir 10 yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, debitur berkewajiban untuk memelihara CR minimal sebesar 120% dan DER maksimal sebesar 233%. 4) Debitur tidak memberitahukan pembukuan penyisihan piutang ragu-ragu sebesar Rp14.847,60 juta secara tertulis kepada Bank Mandiri Laporan Keuangan PT SI audited tahun 2004 dan 2005 menunjukkan bahwa PT SI telah membukukan penyisihan piutang ragu-ragu akibat tidak tertagihnya piutang usaha sebesar Rp14.847,60 juta sehingga menimbulkan beban bagi PT SI. PT SI tidak memberitahukan pembukuan penyisihan piutang ragu-ragu tersebut secara tertulis kepada Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan Akta No. 7 tanggal 4 September 2002 Pasal 16 butir 5.a yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, debitur berkewajiban memberitahukan secara tertulis kepada bank selambat-lambatnya 7 hari setelah terjadi kerugian atau kerusakan yang nilainya mencapai jumlah Rp1.000,00 juta (satu milyar rupiah). Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri menanggung risiko kredit PT SI gagal bayar sebesar Rp670.063 juta sebelum dikurangi nilai jaminan, karena kualitas kreditnya macet dan PT SI telah dinyatakan pailit.
19
b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 85,17% dari outstanding kredit dan agunan tambahan tidak marketable. Kondisi tersebut di atas terjadi karena: a. GH, DH dan RM pada Corporate Banking Group: 1) kurang memperhatikan ketentuan tentang pemberian kredit yang harus dihindari, kondisi keuangan debitur, dan coverage agunan. 2) menerima agunan tambahan yang kurang marketable. b. GH, DH dan RM pada Corporate Banking 2 Group kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat PK. c. Adanya itikad tidak baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Sdr. BT dan Ny. LA masuk dalam jajaran komisaris PT SI setelah perusahaan menjadi debitur Bank Mandiri dan yang bersangkutan diangkat sebagai komisaris menggantikan Sdr. HT (eks Komisaris Utama PT SI yang merupakan orang tua Sdr. BT dan suami Ny. LA ) yang meninggal dunia. (Sesuai Akta No.04 Tgl. 02-04-2002 Notaris Imas Fatimah, S.H. dan Akta No. 83 & 84 Tgl. 27 Juni 2003 Notaris Imas Fatimah, S.H.). Tambahan plafond L/C sebesar USD18,000.00 ribu dan KMK PIF sebesar Rp94.300,00 juta diberikan dalam rangka penyelamatan kredit. Hal itu merupakan antisipasi bank untuk meningkatkan kemampuan cash flow perusahaan dalam memenuhi kewajibannya. b. Agunan PT SI yang memiliki nilai tinggi adalah bangunan dan mesin pabrik. Kondisi atau nilai bangunan dan mesin secara normal akan menyusut setiap tahunnya sehingga nilainya akan terus menurun. Mengingat jumlah kewajiban PT SI tidak menurun dan telah dinyatakan macet sejak bulan Juni 2005, coverage agunan akan semakin menurun karena penyusutan. Coverage agunan pada saat kredit PT SI dinyatakan macet tahun 2005 mencapai 142% (masih kurang dari 150% karena tidak memperhitungkan agunan berupa persediaan dan piutang usaha). Untuk mencapai lokasi tanah dapat ditempuh melalui jalan yang biasa dipergunakan oleh masyarakat setempat. Lokasi tanah terletak di daerah yang diperuntukkan sebagai kawasan industri menengah sampai dengan industri berat. Dengan demikian tanah tersebut memiliki prospek pasar yang baik dan memiliki nilai ekonomis yang dapat diukur dengan nilai uang serta telah diikat dengan hak tanggungan. Dengan kondisi perekonomian secara makro (global) masih kurang kondusif, penjualan tanah yang cukup luas (40 Ha) masih memerlukan waktu. c. PT SI belum memenuhi beberapa klausul perjanjian 1) Pada awalnya impor telah dilaksanakan sesuai peruntukannya, yaitu untuk pengadaan bahan baku. Namun untuk mengurangi potensi kerugian karena bahan baku jagung tidak dapat diolah dengan kualitas yang diharapkan, nasabah berinisiatif untuk melakukan trading jagung kepada industri pakan ternak lokal dan sebagian lagi di reekspor. Hasil usaha trading itu membantu perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada bank. Dalam rangka penyelamatan kredit, Bank Mandiri dengan SPPK No.CBG.CRI/RD3.601/2003 tanggal 19 November 2003 menyediakan fasilitas Plafon L/C Impor untuk trading jagung dengan limit sebesar USD23,000.00 ribu.
20
2) Bank Mandiri telah mengingatkan nasabah untuk segera memenuhi syarat dimaksud sebagaimana dalam surat No.CBG.ABI/RD2.003/2005 tanggal 10 Maret 2005 dan No.TRI.CRT/Dept.IV/081A/2006 tanggal 21 Februari 2006. 3) Kondisi usaha PT SI yang terus merugi mengakibatkan perusahaan tidak sanggup memenuhi kewajiban jangka pendek (CR dibawah 100%). Equity perusahaan menjadi negatif karena modal disetor perusahaan sebesar Rp543.362,60 juta tergerus karena menanggung akumulasi kerugian. 4) PT SI telah memberitahukan kepada Bank Mandiri melalui laporan keuangan audit. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor proses penjualan/pelelangan asset dan pembagian hasil penjualan aset PT SI oleh kurator dalam rangka meminimalisir kerugian Bank. b. Mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya. c. Memasukkan PT SI dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri. 3. PT FSC tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT FSC didirikan tanggal 11 Agustus 1995 dan berkedudukan di Medan. PT FSC bergerak di bidang industri oleochemical (Fatty Acid & Glycerine). Kondisi fasilitas kredit PT FSC posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp582.298 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Dalam proses negosiasi skema penyelesaian dengan calon investor. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Restrukturisasi kredit belum efektif PT FSC telah menjadi debitur eks legacy Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) sejak tahun 1996. Fasilitas kredit PT FSC telah direstrukturisasi pada bulan Juli 1998. Restrukturisasi dimaksud berupa penjadwalan kembali angsuran fasilitas KI dan KMK serta penangguhan pembayaran bunga karena debitur baru memasuki tahap komersial sehingga tingkat produksi masih rendah dan hasil operasi perusahaan lebih ditekankan untuk modal kerja. Setelah dikelola oleh Bank Mandiri, fasilitas kredit PT FSC sudah tiga kali direstrukturisasi, yaitu tahun 2000, 2002 dan 2004. Walaupun sudah tiga kali direstrukturisasi, fasilitas kredit PT FSC posisi Maret 2005 tetap termasuk kelompok NPL (kolektibilitas 4). Hasil pemeriksaan dokumen kredit menunjukkan bahwa penyebab tidak berhasilnya restrukturisasi kredit adalah sebagai berikut: 1) Menurut proposal restrukturisasi PT FSC Tahun 2002, kendala yang dihadapi PT FSC adalah kesulitan bahan baku (jumlah, delivery time, kualitas dan kontinuitas), produk mix yang tidak optimal, kapasitas pabrik yang kecil, biaya yang tidak efisien, manajemen yang kurang efektif serta marketing, transportasi dan pembelian melalui agen yang mengambil komisi yang tinggi. 2) Call report kunjungan proyek tanggal 28 dan 29 Juni 2002 serta Nota No.RMN.CRY/DeptII/33/2003 tanggal 3 Februari 2003 menunjukkan bahwa PT FSC
21
3)
4)
5)
6)
kesulitan likuiditas karena dana modal kerja digunakan untuk kegiatan investasi. Kesulitan modal kerja mengakibatkan PT FSC tidak mampu mengelola persediaan bahan baku yang baik (forward pembelian 3 bulan). Pada saat terjadi siklus tahunan (Februari s.d. April 2002), yaitu saat harga bahan baku CPO lebih dulu naik dibandingkan harga jual Fatty Acid dan persediaan bahan baku tidak dikelola dengan baik, margin profit yang diterima PT FSC menjadi lebih rendah. Kesulitan modal kerja mengakibatkan pabrik hanya beroperasi pada kapasitas 30% s.d. 50% dari kapasitas terpasang saat ini sebesar 54.000 ton/tahun. Rendahnya tingkat produksi mengakibatkan PT FSC tidak mampu memenuhi komitmen pemenuhan kuantitas produksi untuk beberapa pembeli di luar negeri. Walaupun harga jual Fatty Acid cukup tinggi dengan perkembangan yang meningkat, PT FSC tidak dapat meraih keuntungan dari pasar berprospek tersebut, sehingga penjualan PT FSC menjadi rendah dan tidak dapat membayar kewajiban bunga dan pokok. Hal itu mengakibatkan jumlah tunggakan bunga dan pokok setiap bulan semakin besar. Pada Tahun 2002 terjadi perubahan kepemilikan perusahaan (pengurus dan pemegang saham perusahaan). Beralihnya kepemilikan dan kepengurusan debitur dapat memperlemah beberapa aspek seperti kurangnya pengalaman pengurus yang baru di bidang oleochemical, ketergantungan bahan baku dari pihak lain dan sulit diyakini kontinuitasnya (pada saat ditangani pengurus lama, bahan baku PT FSC dipenuhi dari group usahanya yaitu PT PS dan PT BF). Executive Summary PT FSC menunjukkan bahwa hasil operasional proyek yang ada tidak mampu untuk membayar kewajiban kredit. Di sisi lain, pembangunan proyek ekspansi yang diharapkan dapat memperbaiki debt service debitur dan relokasi proyek debitur terlambat (pada saat review restrukturisasi terakhir bulan November 2004, pembangunan dan relokasi proyek terlambat 1,5 tahun). Sebagian self financing dalam rangka pemberian fasilitas KI untuk perluasan kapasitas pabrik oleochemical bersifat pinjaman dari kreditur lain yaitu dari Wealth Grain Limited, Hongkong dengan limit sebesar USD4,000.00 ribu berdasarkan PK tanggal 30 September 2002. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan penyelesaian pembangunan proyek tersebut tidak tepat waktu atau bahkan gagal karena ketidakmampuan pemegang saham PT FSC dalam memenuhi self financing. Nota Analisa No.TRI.CRT/DEPT-II.50/2006 tanggal 15 Maret 2006 menunjukkan bahwa pembangunan proyek ekspansi di Kuala Tanjung direncanakan selesai bulan November 2005. Selanjutnya proses relokasi pabrik yang saat ini berjalan di Tanjung Morawa untuk diintegrasikan dengan proyek ekspansi di Kuala Tanjung direncanakan selesai bulan Juni 2006. Pada triwulan III/2006, pabrik tersebut diproyeksikan telah dapat beroperasi komersial secara terintegrasi dengan kapasitas 131.000 ton/tahun. Nota itu menjelaskan bahwa Tim Credit Recovery Group dan Tim Internal Audit Bank Mandiri telah melakukan kunjungan lapangan pada tanggal 28 Februari s.d. 1 Maret 2005 dan diketahui progres pembangunan proyek ekspansi di Kuala Tanjung terlambat. Kegiatan pilling dan pengiriman mesin/peralatan yang seharusnya telah diselesaikan bulan Februari 2005 belum dapat diselesaikan. Oleh karena itu jadwal penyelesaian proyek secara terintegrasi pada Juni 2006 sulit dicapai. Sesuai keterangan debitur dan surat P & G tanggal 13 Juli 2005, pembangunan proyek tersebut terlambat karena penyesuaian dengan jadwal pembangunan proyek fatty alcohol tahap II milik P & G yang nantinya akan menjadi off taker produk fatty acid PT FSC.
22
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa program restrukturisasi belum berhasil karena PT FSC masih kesulitan membayar pokok dan/atau bunga kredit yang pada umumnya terjadi karena kondisi internal debitur. Pada bulan November 2007, PT FSC memiliki tunggakan pokok sebesar Rp108.338,00 juta dan tunggakan bunga sebesar Rp51.399,00 juta dengan kolektibilitas 5. b. Bank Mandiri memberikan tambahan fasilitas KI sebesar USD22,282.61 ribu pada saat kondisi keuangan PT FSC kurang baik PT FSC mendapatkan tambahan fasilitas KI dengan tujuan untuk perluasan kapasitas pabrik oleochemical menjadi 131.000 ton/tahun dengan limit sebesar USD22,282.61 ribu yang dituangkan dalam Akta PK KI No.7 tanggal 9 Juli 2003. Fasilitas KI tersebut diberikan pada saat CR PT FSC tahun 2001, 2002, Maret 2003 dan Juni 2003 selalu kurang dari 100% dan DER negatif karena adanya peningkatan akumulasi kerugian. Berkaitan dengan kondisi keuangan yang kurang baik tersebut, PPK Buku II Bab VII Sub Bab B hanya memberikan arahan bahwa CR kurang dari satu mengindikasikan adanya defisit likuiditas jangka pendek dan semakin besar DER semakin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur. c. PT FSC memperoleh pinjaman dari pihak lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank Mandiri Laporan Keuangan (audited) tahun 2005 menunjukkan bahwa terdapat pembelian tanah seluas 6.982 ha, yang berlokasi di Kawasan Industri PT SIP – Kuala Tanjung sebesar Rp42.590,20 juta. PT FSC membeli tanah itu dengan mengunakan fasilitas yang diperoleh dari PT SIP dan PT DAIP berdasarkan PK tanggal 31 Mei 2005 dengan masa tenggang 24 bulan. PT FSC mendapat pinjaman tanpa dikenai bunga dan tidak memberikan jaminan. PT FSC harus membayar kembali seluruh hutang dengan cara cicilan 3 (tiga) bulanan selama jangka waktu 120 bulan berturut-turut yang dimulai dari bulan ketiga sejak tanggal berakhirnya masa tenggang yaitu tanggal 31 Agustus 2007 dengan pembayaran sebesar Rp1.064,76 juta. Hal itu tidak sesuai dengan addendum PK No.7 tanggal 9 Juli 2003 pasal 19 ayat 2 yang menyatakan bahwa tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, debitur tidak boleh memperoleh kredit atau pinjaman baru dalam bentuk apapun juga dari pihak lain, baik untuk modal kerja maupun investasi kecuali dalam rangka transaksi dagang yang lazim serta subordinated loan dari para pemegang saham debitur (tanpa dibebani bunga). d. Susunan pengurus PT FSC tidak sesuai ketentuan Susunan pengurus PT FSC sesuai dengan Akta perubahan No.10 tanggal 5 September 2002 terdiri dari satu orang direktur dan satu orang komisaris. Untuk memperkuat jajaran manajemen baru, pada saat restrukturisasi tahun 2003 Bank telah mensyaratkan adanya penambahan manajemen puncak selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal SPPK (No.DNW.COP/COD.161/SPPK/2003 tanggal 9 Juli 2003) diterbitkan. PT FSC telah mengajukan permohonan penambahan susunan pengurus (satu orang komisaris) dengan surat No.006/FSC.JK/CBT-H/II/2004 tanggal 9 Februari 2004 dan No.021/FSC-JK/CBT-H/X/2004 tanggal 2 November 2004. Namun karena belum sesuai dengan addendum PK KI No.6 tanggal 9 Juli 2003 yaitu minimal dua orang komisaris dan dua orang direksi, permohonan PT FSC itu belum dapat disetujui. PT FSC diminta untuk memenuhi kekosongan tersebut dalam jangka waktu 6 bulan. Namun s.d. pemeriksaan bulan Januari 2008, PT FSC belum menambah susunan pengurus tersebut.
23
Hal itu tidak sesuai dengan Addendum PK KI akta No.6 tanggal 9 Juli 2003 Pasal 25 ayat 1 antara lain menyatakan bahwa bank menyetujui perubahan susunan pengurus dan pemegang saham dengan ketentuan dan syarat-syarat diantaranya struktur pengurus perusahaan debitur perlu ditambah/diubah, sehingga untuk selanjutnya menjadi sekurangkurangnya Direktur Utama, Direktur, Komisaris Utama dan Komisaris. Penambahan/perubahan struktur Pengurus perusahaan debitur harus dilaksanakan selambatlambatnya tanggal 8 Oktober 2003. e. Agunan PT FSC tidak mengcover outstanding kredit saat ini Nilai piutang dagang dan persediaan barang dagangan sesuai dengan Laporan Keuangan (unaudited) per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp25.024,00 juta atau hanya mengcover 38,22% dari outstanding kredit dan 38,02% dari limit kredit. Review penilaian agunan PT FSC oleh Credit Operations Group dengan surat No.TOP.CRO/PRM.3382/2007 tanggal 30 Juli 2007 menunjukkan bahwa nilai agunan berupa aktiva tetap seperti tanah dan bangunan, mesin dan inventaris, kendaraan serta sarana pelengkap, memiliki nilai pasar sebesar Rp511.317,00 juta atau hanya mengcover 88,03% dari outstanding kredit dan 82,26% dari limit kredit. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 2 yang menyatakan bahwa kecuali diatur secara khusus dalam ketentuan tersendiri, maka ketentuan mengenai nilai agunan adalah sebagai berikut: 1) Kredit Investasi, secara umum total nilai pasar yang dapat diterima Bank dari agunan utama dan agunan tambahan seluruhnya dalam bentuk aktiva tetap, minimum sebesar 150% dari limit kredit. 2) Kredit Modal Kerja, secara umum nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. f.
PT FSC tidak menyalurkan seluruh transaksi ekspor melalui Bank Mandiri Menurut Nota No.CRY/064/2005 tanggal 20 Januari 2005, transaksi ekspor PT FSC yang dilakukan melalui Bills Processing Center (BPC) Medan selama tahun 2004 (s.d. triwulan III/2004) adalah sebesar 43% dengan kecenderungan menurun. Nota No.CRY/196/2005 tanggal 21 Maret 2005 menunjukkan bahwa selama periode bulan Januari dan Februari 2005, kegiatan transaksi ekspor PT FSC belum dilaksanakan melalui Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan Addendum PK KI No.6 tanggal 9 Juli 2003 Pasal 18 butir yang menyatakan bahwa minimal 85% dari aktivitas ekspor debitur dilakukan melalui bank.
Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri menanggung risiko kredit karena kualitas kredit PT FSC yang macet sebesar Rp582.298 juta sehingga harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 82,26% dari limit kredit. Hal tersebut terjadi karena: a. GH, DH dan RM pada Credit Recovery Group kurang memperhatikan kondisi keuangan debitur dan coverage agunan serta kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat PK. 24
b. Pemegang saham PT FSC tidak memiliki dana yang memadai untuk menyelesaikan pembangunan pabrik. c. Adanya itikad kurang baik dari debitur.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Restrukturisasi kredit PT FSC belum menunjukkan hasil yang optimal karena proyek ekspansi dengan kapasitas baru menjadi 131.000 ton/tahun yang akan menjadi sumber utama pengembalian kredit belum selesai. Oleh karena itu dalam rangka penyelamatan aset, Bank Mandiri mengupayakan exit strategy yaitu penyelesaian kredit dengan cara meminta debitur menjual proyeknya kepada calon investor. Hasil penjualan tersebut akan dipergunakan untuk melunasi fasilitas kredit PT FSC. Penyelesaian kredit tersebut telah disetujui Bank Mandiri dengan SPPK No. SAM/CR2/ SPPK/516/2006 tanggal 24 Agustus 2006 dengan memberikan batas waktu penyelesaian paling lambat akhir November 2006. Namun sampai dengan posisi 26 Februari 2008 belum memberikan hasil. Berdasarkan informasi debitur diketahui bahwa terkendalanya penyelesaian kredit ke Bank Mandiri terjadi karena calon investor PT FSC akan membayar apabila proyek sudah komersial. Saat ini perkembangan pembangunan proyek telah mencapai 90% dan diharapkan telah beroperasi komersial pada triwulan III/2008. Penambahan KI sebesar USD 22 juta adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 54.000 ton/tahun menjadi 131.000 ton/tahun. Dengan penambahan kapasitas, PT FSC akan mencapai skala ekonomis yang lebih efisien dan akan memiliki kemampuan cash flow yang lebih baik dibandingkan dengan posisi sebelumnya. Walaupun kondisi keuangan PT FSC kurang baik tetapi dengan margin usaha yang masih positif serta adanya porsi self financing sebesar USD11,9 juta telah menunjukkan komitmen pemegang saham untuk meningkatkan kemampuan PT FSC dalam menyelesaikan kewajiban kreditnya kepada Bank. Selain itu konsultan independen PT Piesta Dinamika memproyeksikan bahwa kondisi keuangan PT FSC diperkirakan secara bertahap akan membaik. Terhadap tindakan debitur itu, Bank Mandiri telah menegur secara tertulis dengan surat No. SAM.CR2/LWO I.299/2007 tanggal 15 Juni 2007. Saat ini tanah seluas 6,98 Ha di Kawasan Industri PT SIP, Kuala Tanjung, sedang dalam proses pengikatan di Notaris Ika Azniga Lokman, S.H. Bank Mandiri akan menegur kembali sekaligus juga dikaitkan dengan ketentuan UU Perseroan Terbatas No 40 tahun 2007 tanggal 16 Agustus 2007 yang telah diberlakukan. (vide Surat No. SAM.CR2/LWOI. 096/2008 tanggal 5 Maret 2008). Sesuai pembicaraan lisan dengan debitur, debitur menyanggupi untuk memenuhi ketentuan dimaksud pada bulan April 2008. Agunan kredit PT FSC belum mengcover outstanding kredit saat ini, karena proyek belum selesai sepenuhnya sehingga hasil penilaian fixed asset pada bulan Juli 2007 hanya mencantumkan nilai proyek ekspansi sesuai progres. Apabila proyek ekspansi telah selesai, agunan fixed asset akan dinilai kembali oleh konsultan independen rekanan Bank Mandiri. Apabila rasio agunan belum sesuai ketentuan, debitur tetap berkewajiban menambah agunan. Penambahan agunan tersebut telah mendapat persetujuan debitur dengan surat pernyataan PT FSC No.55 tanggal 23 Maret 2005. Berdasarkan monitoring Bank Mandiri melalui Laporan Cash Monitoring oleh Konsultan PT Nilai Konsulesia, untuk periode tahun 2005 penyaluran transaksi lokal maupun ekspor melalui Bank Mandiri mencapai sebesar 72% dari total nilai piutang. Walaupun Bank
25
Mandiri menetapkan strategi exit, debitur tetap disyaratkan untuk menyalurkan transaksi keuangannya melalui Bank Mandiri yang akan dimonitor oleh konsultan tersebut di atas. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengambil tindakan penyelesaian kredit sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank yang semakin besar. b. Meneliti kembali pengelolaan fasilitas kredit PT FSC dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya. c. Memberikan peringatan tertulis kepada debitur karena tidak dipenuhinya beberapa klausul dalam perjanjian kredit dan meminta debitur untuk memenuhi coverage agunan aktiva tetap. 4. PT CRC tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT CRC didirikan pada tanggal 11 Pebruari 1974, bergerak dibidang usaha industri oleochemical dengan alamat kantor dan pabrik di Tangerang. Kondisi fasilitas kredit PT CRC posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp451.456 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Dalam proses negosiasi skema restrukturisasi dengan calon investor. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Pengambilalihan kredit PT CRC senilai USD41,209.35 ribu memiliki beberapa permasalahan Dengan surat No.031/CRC/IV/2001 tanggal 20 April 2001 dan No.74/CRC/X/2001 tanggal 4 Oktober 2001, PT CRC memohon kredit sebesar USD50,000.00 ribu dalam rangka refinancing fasilitas eks BPPN. Berdasarkan permohonan itu, Bank Mandiri membentuk konsorsium dengan AIL dengan Perjanjian Konsorsium tanggal 6 November 2001 dan Addendum Perjanjian Konsorsium tanggal 14 November 2001. Kedua perjanjian itu dibuat dibawah tangan. Konsorsium dimaksud bertujuan untuk membeli/take over asset BPPN berupa kewajiban PT CRC dengan harga maksimum USD50,000.00 ribu. Sesuai dengan Credit Report No. RMN.CRA/265/2001 tanggal 30 Oktober 2001, skim pengambilalihan fasilitas CRC dari BPPN adalah sebagai berikut: 1) Langkah I a) Penawaran ke BPPN menggunakan nama AIL, Bank Mandiri tidak ikut menandatangani. Hal tersebut terjadi karena Direksi Bank Mandiri baru menyetujui perjanjian konsorsium pada tanggal 6 November 2001 sedangkan tanggal penyerahan harga penawaran ke BPPN yaitu tanggal 31 Oktober 2001. b) Partisipasi Bank Mandiri dalam konsorsium maksimal sebesar USD41,200.00 ribu dan AIL maksimal sebesar USD8,800.00 ribu. c) AIL bersedia memberikan fee kepada Bank Mandiri sebesar USD10,000.00 ribu yang diangsur selama 8 triwulan. 2) Langkah II Bila AIL dinyatakan sebagai pemenang, AIL menyampaikan kepada BPPN bahwa purchasing right-nya atas Term Loan a.n CRC senilai USD41,200.00 ribu diserahkan
26
kepada Bank Mandiri Sedangkan purchasing right atas Convertible Bond (CB) tetap dipegang AIL. 3) Langkah III a) AIL mengkonversi CB menjadi penyertan saham. Kemudian seluruh fixed asset diikat efektif menjadi jaminan kredit Bank Mandiri. b) Penyesuaian oleh Bank Mandiri atas term & conditions term loan a.n CRC menjadi sebagai berikut: Jaminan
: Semula dari paripasu dengan pemegang CB menjadi seluruh asset CRC.
Suku Bunga
: Menjadi 11% (floating rate)
Jk. Waktu
: s.d. Desember 2008
Berdasarkan Credit Report di atas dan Nota Analisa No.CGR.CRM.3/037/2001 tanggal 23 Oktober 2001, dibuat PK No.63.KP-COD/015/PK-KI/VA/2001 tanggal 14 Desember 2001 dengan rincian sebagai berikut: Limit Kredit
:
USD41,200.00 ribu
Jenis Kredit
:
Kredit Investasi
Sifat Kredit
:
Aflopend
Tujuan Kredit
:
Jangka Waktu
:
Untuk pengambilalihan seluruh kewajiban PT CRC di BPPN melalui konsorsium antara Bank Mandiri dengan AIL melalui lelang terbuka yang diadakan oleh BPPN (program corporate core asset sale IV, Batch I) 6 tahun s.d tanggal 31 Desember 2008
Jaminan Kredit
:
- seluruh tanah, bangunan beserta mesin-mesin pabrik PT CRC. - Seluruh barang persediaan dan piutang PT CRC, baik yang telah maupun akan ada. - Seluruh saham PT CRC hasil konversi dari CB.
Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Nota analisa pengambilalihan kewajiban PT CRC di BPPN tidak menginformasikan pengurus dan pemegang saham AIL Dalam rangka pengambilalihan kewajiban PT CRC di BPPN, Bank Mandiri membentuk konsorsium dengan AIL. AIL adalah badan hukum asing yang berdiri dan tunduk pada aturan hukum Singapura. Dalam Nota Analisa tanggal 23 Oktober 2001 di atas menyebutkan bahwa AIL adalah perusahaan penyalur produk-produk pertanian dan perdagangan umum termasuk oleochemical yang telah lama menjadi partner dagang PT CRC. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai AIL. Selanjutnya dari Laporan Keuangan Audited PT CRC tahun 1999 dan 2000 diketahui terdapat pos piutang lain-lain pihak ketiga. Pos tersebut merupakan rekening penyerahan uang jaminan dalam rangka pembelian bahan baku. Pada pos tersebut, porsi AIL tahun 1999 dan 2000 masing-masing sebesar 61,15% dan 75,84%. Namun demikian hasil evaluasi beberapa dokumen itu tidak dapat menunjukkan dengan jelas profil AIL baik dari sudut kepemilikan maupun manajemen. 2) Kondisi keuangan PT CRC kurang baik Menurut Credit Report tanggal 30 Oktober 2001 pada analisa aspek keuangan, kondisi keuangan PT CRC periode 1996 s.d 2000 (audited) dan Juni 2001 (unaudited) yaitu sebagai berikut: a) Kondisi solvabilitas dinilai kurang baik yang ditandai dengan modal yang negatif sejak tahun 2000.
27
b) Profitabilitas PT CRC cenderung menurun sejak tahun 1999 s.d triwulan II/2001. Penurunan penjualan lebih besar dari penurunan biaya. 3) Asumsi proyeksi keuangan tidak realistis Nota No. CRU-LWO IV/006/2001 tanggal 25 Mei 2001 menyatakan bahwa proyeksi keuangan PT CRC tahun 2001 s.d 2009 yang diberikan melalui Information Memorandum terlalu optimis dan sulit dicapai karena asumsi-asumsi yang digunakan terlalu optimis dengan penjelasan sebagai berikut: a) Produksi Tingkat keberhasilan PT CRC untuk mencapai target proyeksi keuangan nasabah masih tergantung pada pengadaan mesin baru untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam rangka mencapai keseimbangan kapasitas seluruh mesin-mesin yang terintegrasi. Investasi tersebut direncanakan berlangsung selama 5 tahun senilai USD15,000.00 ribu dan diproyeksikan berasal dari retained earning PT CRC. Sedangkan informasi dari Direktur Keuangan PT CRC, kinerja keuangan PT CRC pada kwartal I tahun 2001 tidak sesuai dengan perkiraan sehingga pencapaian retained earning sebesar USD15,000.00 ribu kurang dapat diyakini. b) Harga Penjualan Harga penjualan diproyeksikan meningkat 5%-10% sejak tahun 2001. Sementara selama tiga tahun terakhir, harga penjualan berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Sedangkan harga bahan baku berupa CPO, CNO, dan PKO khususnya untuk tahun 2001 diproyeksikan rendah. Dengan realisasi harga bahan baku yang lebih tinggi, maka HPP tahun 2001 yang diproyeksikan turun semula 80%-90% menjadi 70% tidak akan terpenuhi dan kas akhir yang diharapkan positif menjadi negatif. c) Penjualan Penjualan diproyeksikan meningkat dari 2001 s.d 2009 (baik secara volume maupun harga jual). Sementara itu penjualan PT CRC selama tiga tahun terakhir menurun. 4) Bank Mandiri belum meyakini manajemen PT CRC dapat mencapai target restrukturisasi Nota Divisi LWO.IV No.CRU-LWO IV/006/2001 tanggal 25 Mei 2001 yang mengutip Lampiran Surat Keputusan Tim Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) No.KEP.01/K.KKSK/03/2001, terkait dengan restrukturisasi PT CRC antara lain menyebutkan bahwa: a) Terdapat irregularities berdasarkan financial dan legal due diligence. Oleh karena itu pemegang saham, komisaris dan direksi tetap harus mempertanggungjawabkannya serta mengambil langkah-langkah hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. b) Penempatan Financial Controller atau Finance Director dan seorang komisaris pada PT CRC sebagai wakil dari BPPN yang akan ditentukan lebih lanjut oleh BPPN. Nota itu menyimpulkan bahwa karakter manajemen dalam pencapaian target restrukturisasi yang telah ditetapkan oleh BPPN masih belum dapat diyakini. Hal itu menjadi dasar pertimbangan yang penting bagi Bank Mandiri dalam mengevaluasi permohonan refinancing pinjaman nasabah kepada BPPN.
28
5) Umur teknis mesin-mesin yang diagunkan lebih pendek dari jangka waktu kredit Menurut Nota No.RMN.CRA/265/2001 tanggal 30 Oktober 2001, tahun pembuatan mesin pabrik yang menjadi agunan telah cukup lama yaitu tahun 1978 s.d 1995, sedangkan rata-rata umur teknis mesin produksi untuk oleochemical adalah 25 tahun. Apabila mesin yang diagunkan adalah mesin yang dipasang sejak tahun 1978, umur teknisnya pada tahun 2003 sudah jauh menurun, sedangkan fasilitas KI masih akan jatuh tempo pada tahun 2008. Sehingga agunan tersebut akan habis umur teknisnya sebelum fasilitas kreditnya lunas. Nota itu menyebutkan bahwa PT CRC telah mengganti beberapa mesin pada tahun 2001. Selain itu dalam PK KI terdapat klausul yang mewajibkan PT CRC untuk menyerahkan surat pernyataan dari pemegang saham yang menyatakan bahwa bersedia melakukan overhaul terhadap mesin-mesin yang telah melampaui umur ekonomis. Berkaitan dengan umur teknis mesin, PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 9.b.8. menyatakan bahwa pada dasarnya umur teknis (technical life) dari mesin-mesin pabrik adalah 10 tahun, artinya jika mesin-mesin tersebut sudah mencapai umur teknis berarti nilai teknisnya sudah jauh menurun. Lebih lanjut dikatakan bahwa Bank tidak diperkenankan menerima mesin-mesin pabrik yang pada waktu pelunasan kreditnya (berdasarkan Repayment Schedule), umur teknisnya telah habis. 6) Perjanjian Konsorsium tidak mengatur sanksi Sesuai dengan perjanjian konsorsium dan addendumnya, AIL diwajibkan membayar komisi sekaligus dimuka (up front fee) kepada Bank Mandiri sebesar USD10,000.00 ribu. Dari evaluasi dokumen diketahui AIL tidak membayar sesuai dengan kesepakatan, sehingga jadwal pembayarannya disusun ulang. Namun AIL tetap tidak dapat memenuhi pembayaran sesuai yang dijadwalkan. Sampai dengan saat pemeriksaan bulan Januari 2008, AIL masih belum melunasi sisa up front fee sebesar USD8,500.00 ribu. Hal itu menunjukkan bahwa AIL telah wan prestasi. Akan tetapi Bank Mandiri tidak dapat mengenakan sanksi kepada AIL karena perjanjian konsorsium tidak mengatur mengenai sanksi sehingga masalah tersebut menjadi berlarut-larut. b. Fasilitas KMK sebesar USD12,709.35 ribu digunakan untuk mengurangi Baki Debet KI PK Addendum I Perubahan Perjanjian KI No. KP-COD/015/PK-KI/VA/2002 Akta No.103 tanggal 27 Juni 2002 menyebutkan bahwa limit fasilitas KI diturunkan sebesar USD12,709.35 ribu dari USD41,209.35 ribu menjadi USD27,000.00 ribu. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa dana yang digunakan untuk menurunkan limit KI tersebut berasal dari fasilitas KMK yang diterima PT CRC dari Bank Mandiri. Menurut Credit Report No.RMN.CRA/CG.1.424/2002 tanggal 14 Juni 2002, Credit Risk Management (CRM) mengusulkan hal-hal berikut: 1) PT CRC diberikan fasilitas KMK untuk refinancing modal kerja perusahaan sebesar USD17,000.00 ribu. 2) Sebesar USD13,709.35 ribu dapat ditarik hanya untuk mengurangi Baki debet KI sehingga Baki debet KI pada akhir Juni 2002 adalah sebesar USD26,000.00 ribu. 3) Sisa kelonggaran tarik KMK sebesar USD3,290.65 ribu, digunakan nasabah untuk memperkuat modal kerja perusahaan. Usulan CRM tersebut di atas disetujui. Namun plafon fasilitas KMK yang diberikan hanya sebesar USD16,000.00 ribu dan digunakan untuk menurunkan baki debet KI sebesar 29
USD12,709.35 ribu sehingga baki debet KI menjadi USD27,000.00 ribu. Seperti usulan semula, dana yang digunakan untuk menurunkan baki debet berasal dari fasilitas KMK yang diterima PT CRC. Kondisi di atas menunjukkan bahwa terdapat porsi KMK yang tidak digunakan untuk modal kerja melainkan untuk menurunkan baki debet KI sehingga tidak sesuai dengan PPK Bab II Sub Bab A Poin 1.a.1) yang menyebutkan bahwa KMK adalah fasilitas kredit yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk membiayai modal kerja perusahaan yang habis dalam satu siklus usaha dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. c. Pemberian fasilitas L/C impor sebesar USD3,000.00 ribu memiliki kelemahan Menindaklanjuti permohonan fasilitas usance L/C dengan limit USD3,000.00 ribu dari PT CRC sesuai surat No.013/CRC/III/2003 tanggal 6 November 2003, Corporate Banking Group (CBG) menyusun Nota Analisa No.CBG.CR1/RD3.277/2003 tanggal 29 Desember 2003. Nota tersebut menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Kondisi keuangan PT CRC kurang baik Dalam Nota diatas disebutkan current ratio PT CRC tahun 2002 dan 2003 masing-masing sebesar 103,7% dan 106,1%. Hal itu belum sesuai dengan Akta No.63 tanggal 14 Desember 2001 Pasal 18.8 yang menyatakan debitur berkewajiban untuk memelihara current ratio minimal sebesar 120%. Selain itu selama 4 tahun terakhir PT CRC mengalami kerugian. Meskipun rata-rata EBITDA yang dicapai cukup baik tetapi apabila dibandingkan dengan total hutangnya relatif kurang baik, bahkan pada Tahun 2001 dan 2002 PT CRC tidak dapat memenuhi kewajiban bunga. 2) Pembiayaan Bank Mandiri melebihi 70% Credit Risk Assesment No. RMN.CRM/DH1.1/2004 tanggal 2 Januari 2004 antara lain menunjukkan bahwa rencana penjualan yang diaksep sebesar Rp51.170 juta/bulan (meningkat 16% dari tahun 2003) dan kebutuhan modal kerja perusahaan adalah sebesar Rp214.146 juta. Pemberian fasilitas usance L/C sebesar USD3,000.00 ribu dan KMK existing USD16,000.00 ribu akan mengakibatkan pembiayaan bank menjadi sebesar 76% yaitu e.q Rp161.500,00 juta. Besarnya pembiayaan bank sebesar 76% menunjukkan self financing yang disediakan PT CRC sebesar 24%. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Bab VII Sub Bab D Hal 87 yang menyebutkan bahwa setiap pemberian fasilitas kredit harus ada self financing. Secara umum besarnya self financing dalam perhitungan kebutuhan kredit modal kerja adalah sebesar 30%. Namun demikian ketentuan besarnya self financing dapat kurang atau lebih dari 30% tergantung pada karakteristik dan tingkat risiko bisnis. d. Terdapat kelebihan pembiayaan modal kerja sebesar Rp4.445,31 juta Dengan surat No.062/CRC/X/2004 tanggal 1 Oktober 2004, PT CRC memohon tambahan modal kerja dalam bentuk usance L/C 360 hari atau SKBDN dengan limit USD12,995.00 ribu. Selanjutnya CBG menyusun Nota Analisa No.CBG.CR1/205/2004 tanggal 20 Oktober 2004. Menurut nota itu, terdapat kelebihan pembiayaan sebesar Rp4.445,31 juta sehingga Bank seharusnya tidak dapat memberikan tambahan fasilitas L/C impor kepada debitur. Namun Bank tetap memberikan tambahan fasilitas dengan pertimbangan: 1) Salah satu sumber modal kerja yang berasal dari hasil restitusi pajak sampai saat ini belum dibayar pemerintah. 30
2) KMK limit USD16,000.00 ribu merupakan pengalihan sebagian fasilitas KI. 3) Sesuai penjelasan debitur, pengalihan fasilitas KI menjadi KMK dimaksudkan antara lain apabila debitur memiliki kelebihan cash flow, kelebihan itu dapat dipergunakan untuk menurunkan baki debet KMKnya. Disamping itu ternyata KMK yang dimaksud dapat di-refinancing oleh PT Bank Ekspor Indonesia (BEI) dengan bunga yang relatif lebih rendah dari Bank Mandiri. 4) KMK refinancing tersebut tidak dapat digunakan secara revolving, sehingga tidak dapat digunakan untuk perputaran modal kerja. Dengan pertimbangan tersebut diatas, Bank Mandiri mengeluarkan KMK limit USD16,000.00 ribu yang saat itu di-refinancing BEI dari perhitungan modal kerja karena KMK dimaksud akan diberlakukan sebagai KMK Aflopend. Dengan dikeluarkannya KMK tersebut dari perhitungan, terdapat kelonggaran pembiayaan KMK sebesar Rp130.554,69 juta (maksimal KMK Rp178.029,69 juta – existing KMK & L/C Rp47.475,00 juta). Berdasarkan perhitungan itu, permohonan PT CRC disetujui. Apabila KMK aflopend sebesar USD16,000.00 ribu dan tambahan usance L/C tersebut diperhitungkan, kebutuhan modal kerja adalah sebagai berikut. 70% x 92,8% x Rp60.902.330.000 x 135/30 Limit KMK yang sedang dinikmati NCL/Bank Garansi yang sedang dinikmati
Rp Rp Rp
178.029,69 juta 144.000,00 juta 38.475,00 juta
Kelebihan pembiayaan
Rp
(4.445,31 juta)
Dengan demikian terdapat kelebihan pembiayaan kredit modal kerja kepada PT CRC sebesar Rp4.445,31 juta. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Bab VII Sub Bab B butir 9 yang menyatakan: 1) Maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan oleh Bank harus memperhitungkan besarnya nilai pembiayaan sejenis yang telah atau akan diberikan oleh kreditur lainnya sebagai faktor pengurang maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan. 2) Perlu diperhatikan dalam menetapkan limit KMK dan fasilitas L/C tidak terjadi double financing. Kesalahan dalam pemisahan TC Cash Loan dan Non Cash Loan dapat mengakibatkan terjadinya double financing, terutama dalam hal adanya supplier credit (Usance L/C). e. Bank memberikan tambahan fasilitas kredit kepada debitur meskipun terdapat fasilitas L/C yang menjadi kredit efektif Menindaklanjuti permohonan PT CRC tanggal 1 Oktober 2004 mengenai penambahan fasilitas L/C sebesar USD12,995.00 ribu, Bank Mandiri menyetujui dan menaikkan limit kredit fasilitas L/C debitur menjadi USD17,000.00 ribu dengan syarat fasilitas L/C dengan limit USD1,275.00 ribu dan USD3,000.00 ribu tidak berlaku lagi. Persetujuan tersebut dituangkan dalam PK KP-COD/032/PK-NCL/VA/2004 Akta No. 51 tanggal 14 Desember 2004. PK itu antara lain menyebutkan bahwa debitur telah memperoleh fasilitas kredit dari Bank berupa fasilitas KMK PIF dengan limit sebesar USD2,842.76 ribu, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Perjanjian KMK eks post financing No. KP-COD/019/PK-KMK/VA/2004 tanggal 4 November 2004 yang dibuat dibawah tangan. Hal itu menunjukkan bahwa PT CRC tidak dapat menyelesaikan kewajibannya untuk melunasi L/C yang telah dibuka dengan tepat waktu sehingga timbul KMK PIF seperti 31
yang telah disebutkan di atas. Meskipun hal itu terjadi, Bank Mandiri tetap memberikan tambahan fasilitas L/C. Dalam PPK Edisi November 1999 Bab III Sub bab C disebutkan bahwa selama KMK eks L/C belum dilunasi, nasabah tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sisa plafon fasilitas impor. Hal itu berarti cabang/bisnis unit tidak diperkenankan untuk menerbitkan L/C baru (baik sight maupun usance) atas nama nasabah yang bersangkutan. Oleh karena itu PT CRC seharusnya tidak dapat membuka sisa plafon, apalagi mendapat tambahan plafon. f.
Agunan PT CRC tidak mengcover baki debetnya Relaas PT CRC per September 2007 menunjukkan bahwa agunan utama KI berupa tanah dan bangunan, mesin dan peralatan serta sarana pelengkap sebesar Rp360.809,00 juta atau eq. USD47,422.98 ribu (kurs USD = Rp8.968). Dengan baki debet sebesar USD47,422.98 ribu, maka coverage ratio dalam bentuk aktiva tetap adalah sebesar 84,84% (yaitu USD40,234.39 ribu/USD.47,422.98 ribu). Coverage ratio agunan itu tidak sesuai dengan PPK Bab VIII Sub Bab B.3 yang menyatakan bahwa nilai agunan utama dan agunan tambahan dalam bentuk aktiva tetap minimum 150% dari limit kredit.
g. Pelaksanaan kunjungan setempat belum sesuai ketentuan PT CRC menjadi nasabah Bank Mandiri sejak 14 Desember 2001. Sampai dengan pemeriksaan berakhir pada bulan Januari 2008, Corporate Relationship Manager baru lima kali mengunjungi lokasi usaha PT CRC sesuai laporan kunjungan setempat yaitu pada tanggal 17 Oktober 2002, 25 November 2005, 18 April 2006, dan 12 Juni 2006. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku V Bab XVII Sub Bab C antara lain menyebutkan dalam melakukan pengawasan secara fisik (inspeksi on the spot) sekurangkurangnya sekali dalam tiga bulan untuk setiap debitur tanpa kecuali. Untuk debitur yang memperoleh fasilitas kredit dalam jumlah yang cukup besar dengan risiko dan kolektibilitas sudah mengarah kepada non performing, pengawasannya harus lebih intensif minimal dilakukan sekali dalam sebulan secara rutin. h. PT CRC tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian kredit 1) PT CRC memperoleh fasilitas kredit dari pihak lain tanpa persetujuan Bank Mandiri Dari Nota Analisa No.CBG.TWO/128/2006 tanggal 29 Juni 2006 diketahui bahwa berdasarkan Laporan Bank Indonesia No.8/67690/DPIP/PIK tanggal 12 April 2006 dan No.8/67701/DPIP/PIK tanggal 12 April 2006, sampai dengan tanggal 31 Maret 2006 PT CRC memiliki kredit dari bank lain sebesar Rp4.600,00 juta. Atas pinjaman dari bank lain tersebut, PT CRC tidak memperoleh persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan PK KI-COD/015/PK-KI/VA/2001 Akta No.63 tanggal 14 Desember 2001 Pasal 19.2 yang menyatakan antara lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari bank, debitur tidak boleh memperoleh kredit/pinjaman dalam bentuk apapun dari pihak lain baik untuk modal kerja maupun investasi kecuali dalam rangka transaksi dagang yang lazim serta subordinated loan dari para pemegang saham debitur (tanpa dibebani bunga).
32
2) PT CRC menyalurkan aktivitas ekspor melalui Bank DBS Indonesia Surat Bank Mandiri No. CBG.TWO/RD 7/210/2006 tanggal 10 Mei 2006 menunjukkan bahwa sesuai data Bank Indonesia, PT CRC menggunakan Bank DBS Indonesia sebagai tempat untuk menjalankan transaksi ekspornya. Hal itu tidak sesuai dengan PK KP-COD/032/PK-NCL/VA/2004 Akta No.51 tanggal 14 Desember 2004 Pasal 15.3 yang menyatakan debitur berkewajiban untuk menyalurkan seluruh aktivitas keuangan debitur yang berasal dari dan/atau berhubungan dengan usaha debitur melalui rekening debitur pada kantor Bank. 3) Current Ratio PT CRC dibawah 120% Laporan Keuangan audited PT CRC tahun 2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006 (per 31 Juli) menunjukkan bahwa current ratio PT CRC berturut-turut sebesar 104%, 64%, 113%, 108% dan 83%. Hal itu tidak sesuai dengan PK No.63 tanggal 14 Desember 2001 Pasal 18.8 yang menyatakan antara lain debitur berkewajiban untuk memelihara current ratio minimal sebesar 120%. 4) PT CRC tidak dapat memenuhi target penjualan Hasil evaluasi terhadap Laporan Penjualan PT CRC tahun 2005 menunjukkan bahwa realisasi penjualan per bulan selalu lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar Rp60.902,00 juta per bulan. Hal itu tidak sesuai dengan PK No. 51 tanggal 14 Desember 2004 Pasal 15.16 yang menyatakan debitur berkewajiban untuk memenuhi target penjualan untuk Tahun 2005 ditetapkan minimal Rp60.902,00 juta per bulan dan apabila target dimaksud tidak tercapai maka besarnya plafon fasilitas non cash loan pada periode berikutnya akan ditinjau kembali. 5) PT CRC tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian Menurut NA No.CBG.TWO/128/2006 tanggal 29 Juni 2006, PT CRC tidak dapat memenuhi kewajiban angsuran pokok triwulan II/2006 sebesar USD1,075.00 ribu karena memburuknya fundamental usaha dibidang oleochemical secara keseluruhan yang berpengaruh terhadap kondisi keuangan perusahaan. Selain itu disebutkan dalam Call Plan and Report tanggal 3 Juli 2006 bahwa PT CRC sejak bulan Mei s.d Juni 2006 belum melunasi 13 buah L/C impor sebesar USD4,453.98 ribu dan terdapat sembilan L/C sebesar USD3,627.37 ribu yang akan jatuh tempo pada bulan Juli 2006. PT CRC juga diminta untuk segera melunasi kewajiban angsuran pokok KI dan KMK aflopend masing-masing sebesar USD1,000.00 ribu dan USD75.00 ribu beserta tunggakan bunga masing-masing sebesar USD138.53 ribu dan USD92.46 ribu. Hal itu tidak sesuai dengan addendum PK. KP-COD/023/PK-KMK/VA/2004 Akta No. 50 tanggal 14 Desember 2004 Pasal 10 mengenai pembayaran fasilitas kredit modal kerja. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri harus menanggung risiko kredit karena kualitas kredit PT CRC yang macet sebesar Rp451.456 juta sehingga harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 84,84% dari outstanding kredit.
33
c. Sisa piutang up front fee Bank Mandiri sebesar USD8,500.00 ribu kepada AIL berlarutlarut penyelesaiannya sehingga Bank Mandiri tidak dapat memanfaatkan dana tersebut selama lebih dari enam tahun.
a.
b.
c. d.
Hal tersebut terjadi karena: Pejabat pengusul dan pemutus kredit dalam mengambilalih aset kredit PT CRC dari BPPN kurang memperhatikan informasi debitur, kondisi keuangan debitur yang kurang baik, karakter debitur dalam mencapai target restrukturisasi yang belum dapat diyakini dan umur teknis mesin-mesin yang relatif tua. GH, DH dan RM pada Corporate Relationship 1 dalam memberikan fasilitas L/C kepada PT CRC kurang memperhatikan kondisi keuangan debitur yang kurang baik dan tidak memperhitungkan KMK aflopend. RM Corporate Banking 2 Group kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat PK. Adanya itikad kurang baik dari AIL sebagai mitra konsorsium Bank Mandiri dan dari PT CRC sebagai debitur.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Pengambilalihan kredit dari BPPN 1) AIL berdiri di Singapore sesuai Akta No. 3533/1979 tanggal 22 November 1979, dengan susunan pemegang saham: Ng SP (80%) dan LCH (20%). Susunan pengurus yaitu: Ng SP (Direktur) dan LCH (Komisaris) dengan modal disetor sebesar USD3 juta. AIL merupakan partner dagang PT CRC yang sudah cukup lama dan memiliki pengalaman sebagai pedagang oleochemical, sehingga diyakini telah mengetahui industri oleochemical. 2) Meskipun kondisi keuangan PT CRC kurang baik karena selisih kurs dan beban biaya pajak tetapi laba usaha masih positif. Dengan skema pengambilalihan sustainable loan tetap menjadi loan sedangkan unsustainable loan dikonversi menjadi equity, maka equity menjadi positif, beban kredit menurun sehingga kondisi keuangan diproyeksikan membaik. 3) Berdasarkan Nota No. CRU-LWO IV/006/2001 tanggal 25 Mei 2001, sustainable loan diproyeksikan sebesar USD91 juta. Sementara dasar pengambilalihan dan restrukturisasi menggunakan hasil Laporan Bisnis dan Refinancing Plan yang disusun oleh Konsultan Goldhill International tanggal 19 Juli 2001 dengan proyeksi sustainable loan USD69,9 juta. Pada kenyataannya, fasilitas yang disediakan Bank untuk pengambilalihan adalah sebesar USD40 juta. Proyeksi produksi menggunakan kapasitas 126.000 ton/tahun. Sesuai Laporan Technical Due Dilligence yang dilakukan EC Chemical Tech. Ltd Singapore pada bulan Juli 2001 disimpulkan bahwa seluruh peralatan pabrik PT CRC masih beroperasi dan pada tingkat kemampuan sesuai kapasitas desain. Sesuai Credit Report No. RMN.CRA/265/2001 tanggal 30 Oktober 2001, proyeksi penjualan tidak ada peningkatan pada tahun 2001 – 2008 atau sama dengan penjualan tahun 2000. 4) Dalam Nota Analisa No. CGR.CRM.3/037/2001 tanggal 23 oktober 2001 dinyatakan bahwa pemilik dan sekaligus pengurus perusahaan dinilai mempunyai komitmen yang kuat untuk mengelola usahanya serta telah menunjukkan kemauan berkerja sama yang
34
b.
c.
d.
e.
f.
g.
baik dengan BPPN maupun Bank antara lain dapat dibuktikan dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Restrukturisasinya di BPPN. 5) Berdasarkan Laporan Technical Due Dilligence yang dilakukan oleh EC Chemicals Technologies Pte, Ltd, Singapore, Juli 2001, disimpulkan bahwa seluruh peralatan pabrik masih dapat beroperasi pada tingkat kapasitas sesuai kapasitas desain. Mengingat beberapa mesin usianya telah relatif tua, Bank mensyaratkan adanya overhaul dan peremajaan. Selanjutnya berdasarkan laporan KMPG tanggal 22 Januari 2007 menunjukkan bahwa PT CRC telah mengganti unit Boiler. 6) Perjanjian Konsorsium tidak secara tegas menyatakan sanksi. Perjanjian mengatur apabila ada sengketa dalam pelaksanaannya maka dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia di Jakarta atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 11.9 Perjanjian Konsorsium tanggal 6 November 2001). Fasilitas KMK sebesar USD12,709 ribu dimaksudkan untuk refinancing modal kerja perusahaan yang telah tertanam dalam persediaan dan piutang perusahaan. Hasil pencairan KMK digunakan untuk menurunkan baki debet KI. Pemberian fasilitas L/C impor sebesar USD3,000.00 ribu belum sesuai ketentuan 1) Pada saat fasilitas L/C diberikan, current ratio kurang dari 120% tetapi tidak terdapat tunggakan kewajiban. 2) Dalam perhitungan modal kerja sesuai Nota No. RMN.CRP/DH1.490/2004 tanggal 5 November 2004, kelebihan pembiayaan modal kerja telah disesuaikan dengan mengubah sifat kredit KMK Revolving sebesar USD16,000,000 menjadi KMK Aflopend. Oleh karena itu tidak diperhitungkan sebagai fasilitas kredit modal kerja perusahaan. Dengan demikian porsi pembiayaan modal kerja bank dan porsi self financing masih sesuai ketentuan yang dipersyaratkan bank yaitu 70% : 30%. Sesuai Nota Credit Risk Assesment No. RMN.CRP/DH1.490/2004 tanggal 5 November 2004, pemberian L/C dengan limit USD17 juta disertai dengan perubahan KMK dari revolving menjadi aflopend sebesar USD16 juta. Dengan perubahan tersebut maka tidak terjadi kelebihan pembiayaan modal kerja. Pemberian tambahan fasilitas L/C sebesar USD12,725,000 untuk memenuhi kebutuhan modal kerja debitur, sehingga limit baru L/C menjadi USD17,000,000. Dengan mempertimbangkan L/C yang telah efektif sebesar USD2,992,264.54 mengakibatkan L/C yang dapat dibuka hanya sebesar USD14,007,735.46. Sebelum kredit PT CRC menjadi bermasalah total baki debet sebesar e.q. Rp 425,6 milyar dan total agunan sebesar Rp764,2 milyar (agunan asset tetap, stock dan piutang). Dengan demikian coverage ratio agunan terhadap baki debet adalah sebesar 180% (Nota Analisa No. CBG.TWO /128 /2006 tanggal 29 Juni 2006). Berdasarkan hasil penilaian PT Dwi Valuina tanggal 12 Februari 2007, asset tetap PT CRC sebesar Rp372.463 juta dan posisi neraca (piutang dan persediaan) Tahun 2006 sebesar Rp125.766 juta, maka total agunan sebear Rp498.229 juta. Dengan posisi baki debet per 30 September 2007 sebesar USD 48,063,041, maka coverage ratio agunan terhadap baki debet sebesar 113,4%. Pengawasan proyek tetap dilaksanakan secara intensif baik melalui kunjungan ke lapangan (laporan kunjungan proyek tanggal 31 Januari 2007), maupun melalui pertemuan dengan debitur di Bank Mandiri. Pertemuan dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan proyek dan langkah-langkah penyelamatan kredit (copy notulen rapat terlampir, yaitu: Notulen Rapat tanggal 11 Mei 2007, 5 September 2007, 18 September 2007, 21 September 2007 dan 15 Januari 2008).
35
h. PT CRC tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian kredit 1) Fasilitas kredit yang diterima dari bank lain berupa KUK dan fasilitas negosiasi wesel ekspor adalah sebesar Rp4,6 milyar. Sesuai IDI BI tanggal 4 Oktober 2007 diketahui bahwa kredit KUK telah dilunasi, sedangkan fasilitas wesel ekspor masih tetap dipakai debitur karena aktivitas ekspor saat ini dilakukan di bank DBS. 2) Bank Mandiri telah meminta penjelasan dari debitur mengenai hal tersebut (Surat No. SAM.CR2/LWO II/250/2007 tanggal 4 September 2007). Debitur belum menjelaskan mengenai hal tersebut. Sejalan dengan program restrukturisasi yang sedang berjalan, disepakati bahwa minimal 80% dari aktivitas keuangan PT CRC harus disalurkan melalui Bank Mandiri. Bila tidak direalisir, Bank akan mengenakan penalty kepada PT CRC sebesar 2% p.a dari limit KMK revolving. 3) Memburuknya kondisi keuangan PT CRC sehingga kolektibilitas kreditnya menjadi macet, mengakibatkan PT CRC tidak dapat memenuhi kondisi-kondisi seperti yang dipersyaratkan dalam PK yaitu current ratio yang lebih rendah dari 120%. 4) Target penjualan tidak dapat dipenuhi karena rusaknya satu unit splitter sehingga PT CRC hanya beroperasi pada kapasitas 57% dari kapasitas terpasang. 5) Menurunnya produksi mengakibatkan penjualan PT CRC menurun sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban kepada bank secara tepat waktu.
a. b. c. d. e.
BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: Mengambil tindakan penyelesaian kredit sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank yang semakin besar. Memperbaiki PPK yang memperjelas status KMK Aflopend, apakah diperhitungkan/tidak diperhitungkan dalam menetapkan maksimum pembiayaan KMK yang dapat diberikan. Menagih piutang up-front fee sebesar USD8,500.00 ribu kepada AIL. Mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahan yang dilakukan. Memberikan peringatan tertulis kepada debitur karena tidak dipenuhinya beberapa klausul dalam perjanjian kredit, meminta debitur untuk menyerahkan agunan tambahan dan menyalurkan aktivitas keuangannya minimal 80% melalui Bank Mandiri.
5. KLI Group tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit Beberapa perusahaan KLI Group yang memperoleh fasilitas kredit di Bank Mandiri, yaitu. a. PT KLI, didirikan tanggal 23 Agustus 1977 dan berlokasi di Jawa Tengah. Perusahaan bergerak dibidang usaha kayu lapis, Moulding, Sawn Timber. b. PT SPT, didirikan tanggal 6 September 1972 dan berkantor di Jakarta. Perusahaan bergerak dibidang usaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH). c. PT LG, didirikan tanggal 6 Juni 1969 dan berdomisili di Jakarta. Perusahaan bergerak dibidang usaha HPH. d. OWPL, didirikan dan berkedudukan di Hongkong. Perusahaan bergerak dibidang usaha perdagangan (ekspor/impor). Perusahaan telah berhenti beroperasi sejak tahun 1999. Kondisi fasilitas kredit KLI Group posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp1.006.944 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5)
36
Dalam proses monitoring restrukturisasi dalam rangka penyelesaian kredit yang telah disepakati bulan Desember 2003. Kami informasikan bahwa fasilitas kredit KLI Group sudah lama diberikan yaitu sejak eks legacy Bank Mandiri (tahun 1982) sehingga dokumen kredit sulit diperoleh. Oleh karena itu kami hanya memeriksa berkas fasilitas kredit KLI Group sejak dikelola Bank Mandiri. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Bank Mandiri telah beberapa kali merestrukturisasi fasilitas kredit KLI Group tetapi belum efektif Sejak tahun 1998, Bank Mandiri sudah tiga kali merestrukturisasi fasilitas kredit KLI Group. Walaupun sudah direstrukturisasi, posisi fasilitas kredit KLI Group belum membaik yaitu masih tercatat sebagai debitur macet. Hasil pemeriksaan dokumen menunjukkan bahwa penyebab tidak berhasilnya restrukturisasi kredit adalah sebagai berikut: 1) Adanya konflik internal dalam manajemen/pemegang saham debitur Menurut Lampiran Nota No.394/CRU/2000 tanggal 22 November 2000, usulan restrukturisasi fasilitas kredit KLI Group disetujui Direksi/Dewan Komisaris Bank Mandiri tanggal 30 Juni 2000. Restrukturisasi tersebut tidak dapat diimplementasikan karena debitur tidak dapat memenuhi salah satu syarat berupa settlement agreement atas dispute pemegang saham. Dispute dimaksud terjadi antara pemegang saham mayoritas sdr. ADS/Sdr.YK dengan Sdr. AGS yang saat ini menjalankan perusahaan. Permasalahannya yaitu pemegang saham mayoritas tidak diberikan informasi mengenai KLI Group dan juga tidak diberikan kesempatan untuk menempatkan wakilnya pada perusahaan. Selanjutnya menurut surat No.LWOII/704/2000 tanggal 19 Desember 2000, dispute pemegang saham sebenarnya telah berlangsung ± sejak tahun 1991. Sesuai Nota No.394/CRU/2000 tanggal 22 November 2000, dengan adanya dispute tersebut, perusahaan mengalami masalah yuridis. Nota No.DIR-CRU/006/2001 tanggal 12 Januari 2001 menyebutkan bahwa restrukturisasi Group KLI masih dalam proses finalisasi. Dalam perkembangannya, pemenuhan syarat legal aspek berupa “dispute settlement among share holders” tidak dapat dipenuhi oleh debitur. Dispute tersebut telah dicoba diselesaikan dengan mediator dari Bank Mandiri tetapi tidak berhasil, sehingga proses restrukturisasi tidak dapat dilanjutkan. Apabila restrukturisasi terus dilanjutkan tanpa penyelesaian dispute maka kreditur akan menghadapi gugatan-gugatan dari pihak share holders yang tidak bersedia menandatangani persetujuan restrukturisasi/penyelesaian. Menurut surat No.RMN.CRY/Dept.I/062/2003 tanggal 26 Maret 2003, upaya untuk mereview restrukturisasi telah dilakukan sejak tanggal 6 Agusus 2001. Namun upaya dimaksud terhenti untuk sementara waktu mengingat kasus perselisihan internal pemegang saham yang telah memasuki tahap penyidikan tindak pidana di Mabes Polri, antara lain dimulai dengan beberapa kali pemanggilan pejabat Credit Recovery Group (CRG) Bank Mandiri sebagai saksi sejak tanggal 7 Desember 2001. 2) Kapasitas produksi tidak tercapai diantaranya karena debitur kesulitan memperoleh bahan baku Call Report tanggal 12 Februari 2001 menyebutkan bahwa Sdr. AGS (pemegang saham yang mengelola KLI Group) menjelaskan bahwa KLI Group sulit untuk memenuhi angsuran pokok dan pembayaran bunga sesuai KKSK mengingat kondisi plywood yang terus menurun. 37
Menurut surat KLI Group No.496/Fin/V/2001 tanggal 14 Mei 2001, KLI Group meminta Bank Mandiri dan KKSK mempertimbangkan kembali keputusan restrukturisasi karena mengalami banyak kendala. Salah satu kendalanya yaitu kapasitas produksi KLI Group tidak tercapai yang disebabkan oleh: a) Kekurangan pasokan kayu dari HPH KLI Group karena berkurangnya HPH yang ada (ijin tidak diperpanjang lagi karena group KLI telah memegang hak HPH yang cukup luas). Sedangkan untuk menjaga kelangsungan dan kontinuitas produksi diperlukan sumber bahan baku yang stabil. b) Kapasitas produksi tidak mencapai tingkat maksimum karena pembelian secara eksternal tidak mencukupi (pasokan terbatas). Dengan berkurangnya luas HPH group maka proporsi pembelian kayu/log secara eksternal meningkat yang mempengaruhi kontinuitas produksi sehingga kapasitas produksi maksimum tidak dapat dicapai. Selain itu sangat sulit untuk mencari log sebanyak kebutuhan tersebut secara kontinue di pasaran. c) Beberapa masalah perburuhan yang banyak mendapat provokasi dari luar. d) Harga jual yang terus turun. Dengan tidak tercapainya kapasitas produksi yang maksimum dan harga jual yang terus menurun mengakibatkan cash flow KLI Group sulit untuk memenuhi jadwal pembayaran. Nota Dinas No.RMN.CRY/094/2003 tanggal 12 Mei 2003 menyebutkan bahwa: a) Sejak tahun 1999, KLI Group hanya dapat memanfaatkan produksi sekitar 47% 57% dari kapasitas terpasang kayu lapis karena kesulitan mempertahankan kesinambungan pasokan bahan baku kayu guna mendukung produksi. Pasokan bahan baku kayu tersebut turun drastis sejak tidak diperpanjangnya HPH. Dalam jangka panjang diprediksikan bahwa pasokan dari afiliasi KLI hanya sekitar 31% 40% kebutuhan kayu bulat, sedangkan sisanya akan dibeli dari pihak ketiga yang harganya relatif lebih mahal dan belum tentu tersedia. b) Terjadinya inefisiensi yang ditandai oleh rendahnya tingkat pemanfaatan kayu bulat (46,36%) dalam proses produksi. Selain itu diketahui bahwa lokasi pabrik jauh dari lokasi bahan baku (pabrik di Semarang dan bahan baku umumnya diperoleh dari Kalimantan). 3) Mesin yang digunakan sudah tua Menurut Nota Dinas tanggal 12 Mei 2003 di atas, alat produksi yang digunakan relatif terbatas dengan mesin yang sudah usang. Laporan penilaian aktiva PT KLI oleh PT Kartika Agung Caraka Appraisal No.117, 118/PAT-SMG/2005 tanggal 17 Juni 2005 menyebutkan bahwa tahun pembuatan sebagian besar mesin-mesin yang digunakan oleh PT KLI dalam proses produksi adalah tahun 1978, 1979 dan 1980-an. 4) Peraturan pemerintah dan kondisi ekonomi secara global tidak mendukung Relaas KLI Group menunjukkan bahwa terdapat Peraturan Pemerintah yang membatasi kepemilikan HPH, termasuk HPH KLI Group yang tidak diperpanjang lagi izinnya karena telah memiliki HPH yang luas, sehingga berdampak pada pengadaan sumber bahan baku kayu log. Sebelum pembatasan HPH, PT KLI memperoleh pasokan bahan baku dari HPH sendiri sebanyak 80%. Namun karena berkurangnya HPH, bahan baku yang dipasok dari HPH sendiri hanya tinggal 40% yang mengakibatkan ketergantungan pasokan bahan baku dari luar dengan harga tinggi.
38
Sesuai surat No.RMN.CRY/295/2002 tanggal 2 Oktober 2002 tentang permohonan mediasi restrukturisasi/penyelesaian KLI Group kepada Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ), kondisi makro ekonomi yang belum kondusif khususnya di bidang industri perkayuan, telah memberikan dampak terjadinya kesulitan keuangan pada debitur-debitur yang bergerak di bidang tersebut. Dengan kesulitan keuangan dimaksud, pembayaran kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan pada restrukturisasi sebelumnya tidak dapat berjalan sepenuhnya. Namun debitur hanya membayar sebagian kecil dari porsi kewajibannya sehingga upaya restrukturisasi tidak membawa peningkatan kredit menjadi performing loan. Nota Dinas No.RMN.CRY/094/2003 tanggal 12 Mei 2003 menunjukkan bahwa industri kayu lapis masih mengalami tekanan, baik dari luar maupun dalam negeri yang diperparah oleh degradasi kehutanan yang semakin meningkat, melemahnya permintaan dan harga kayu lapis masih belum membaik. Kondisi itu diikuti dengan kenaikan biaya produksi dan ketidakstabilan persediaan bahan baku sehingga mengakibatkan beberapa industri kayu lapis terpaksa menghentikan operasi. b. OWPL telah berhenti beroperasi sejak tahun 1999 Menurut surat No.105/Fin/XII/2002 tanggal 23 Desember 2002 dan Relaas KLI Group, OWPL adalah salah satu perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha PT KLI yang berlokasi di Hongkong dan perusahaan tersebut telah berhenti beroperasi sejak tahun 1999. Dokumentasi/file kredit PT KLI tidak mengungkapkan penyebab OWPL menghentikan operasinya. Dengan berhentinya aktivitas usaha OWPL, Bank Mandiri hanya dapat mengharapkan realisasi pengembalian kredit dari penjualan agunan OWPL maupun group usaha KLI yang masih berjalan. Hal itu menunjukkan bahwa OWPL mempunyai karakter yang kurang baik karena baru menginformasikan berhentinya aktivitas usaha pada tanggal 23 Desember 2002, padahal sudah tidak beroperasi sejak tahun 1999. Pada akhirnya OWPL tidak mampu melunasi kredit ke Bank Mandiri sesuai perjanjian. Berkaitan dengan karakter debitur tersebut, PPK Bab VII Sub Bab A butir 1 menyatakan bahwa suatu pemberian kredit adalah atas dasar kepercayaan, jadi yang mendasari suatu kepercayaan yaitu adanya keyakinan dari pihak Bank bahwa si peminjam mempunyai watak, moral, sifat, dan juga mempunyai rasa tanggung jawab yang baik serta kooperatif. c. KLI Group (PT KLI & OWPL) tidak membayar angsuran sesuai perjanjian Akta perjanjian restrukturisasi/penyelesaian kredit PT KLI No.16 & OWPL No.18 tanggal 17 Desember 2003 Pasal 11 menyebutkan bahwa fasilitas kredit dilunasi dengan cara mengangsur setiap triwulan (takwim) pada tanggal 23 atau pada tanggal lain yang ditetapkan oleh bank dan berlaku mengikat, dengan jadwal pembayaran tahun 2007 sebagai berikut: PT KLI : angsuran pokok setiap triwulan sebesar Rp4.331,80 juta, sehingga jumlah angsuran pokok setiap tahun sebesar Rp17.327,20 juta. OWPL : angsuran pokok setiap triwulan sebesar Rp2.616,25 juta, sehingga jumlah angsuran pokok setiap tahun sebesar Rp10.465,00 juta. Menurut rekening koran KMK Umum PT KLI dan OWPL tahun 2007, pembayaran angsuran fasilitas kredit tidak sesuai dengan Akta Perjanjian tersebut, yaitu:
39
(Dalam jutaan Rp) Uraian
Rekening Koran
Akta PK
Selisih
PT KLI
5.000,00
17.327,20
(12.327,20)
OWPL
---
10.465,00
(10.465,00)
Laporan Akuntan Independen (Ernst & Young) atas penerapan prosedur yang disepakati untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2007 menyebutkan bahwa KLI Group membayar hutang ke Bank Mandiri pada tahun 2007 sebesar jumlah yang sama dengan yang dilunasi pada tahun 2006 yaitu hanya sebesar Rp5.000,00 juta. Hal tersebut dilakukan karena KLI Group tidak mempunyai dana untuk membayar sesuai perjanjian. Akta Perjanjian restrukturisasi/penyelesaian kredit PT KLI No.16 & OWPL No.18 tanggal 17 Desember 2003 Pasal 23 menyatakan bahwa apabila debitur berkewajiban melakukan suatu kewajiban berdasarkan perjanjian dalam suatu waktu yang ditetapkan dan lalai melakukannya termasuk apabila debitur tidak membayar jumlah yang terhutang pada saat jatuh tempo atau membayar tetapi tidak dalam jumlah sebagaimana yang telah ditetapkan, maka dengan lewatnya waktu saja sudah merupakan suatu bukti yang sah dan cukup dari kelalaian debitur sehingga pemberitahuan, keterangan atau bukti dalam bentuk apapun juga tidak diperlukan lagi. Bank berhak untuk melaksanakan hak-haknya sebagaimana tercantum dalam syarat-syarat umum. d. DER PT KLI negatif Laporan Keuangan (audited) tahun 2004 s.d. 2006 menyebutkan bahwa PT KLI memiliki DER negatif, sehingga perusahaan menjadi kurang solvabel dan berisiko terhadap kemampuan penyelesaian kredit. Hal itu tidak sesuai dengan Perjanjian Rrestrukturisasi/Penyelesaian Kredit PT KLI No.16 tanggal 17 Desember 2003 Pasal 21 yang menyatakan bahwa debitur berkewajiban untuk memelihara cash flow dan prinsip keuangan yang sehat seperti rasio total kewajiban terhadap equity (DER). e. Rasio agunan tidak mengcover limit kredit & outstanding kredit Agunan aktiva tetap berupa tanah dan bangunan, mesin dan peralatan pabrik serta kapal motor sesuai hasil penilaian PT Tetrindo Agrifor Penilai tanggal 19 Februari 2007 memiliki nilai pasar sebesar Rp94.263,21 juta atau mengcover 9,38% dari outstanding kredit atau 8,19% dari limit kredit. Agunan berupa piutang dagang dan persediaan barang dagangan sesuai dengan Laporan Keuangan (audited) per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp245.218,66 juta atau mengcover 87,66% dari outstanding kredit atau 82,18% dari limit kredit. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 2 yang menyatakan bahwa kecuali diatur secara khusus dalam ketentuan tersendiri, maka ketentuan mengenai nilai agunan adalah sebagai berikut: 1) Kredit Investasi, secara umum total nilai pasar yang dapat diterima Bank dari agunan utama dan agunan tambahan seluruhnya dalam bentuk aktiva tetap, minimum sebesar 150% dari limit kredit. 2) Kredit Modal Kerja, secara umum nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. Kondisi tersebut mengakibatkan:
40
a. Macetnya kualitas kredit KLI Group sebesar Rp1.006.944 juta mengakibatkan Bank Mandiri harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 9,38% dari outstanding kredit. Kondisi tersebut terjadi karena: a. Adanya permasalahan dispute pemegang saham dan faktor eksternal yang menghambat proses restrukturisasi/penyelesaian kredit. b. Adanya itikad tidak baik dari debitur.
a.
b. c.
d.
e.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Restrukturisasi pertama tahun 2000 tidak berjalan efektif karena debitur belum dapat memenuhi salah satu syarat yaitu adanya settlement agreement atas dispute pemegang saham. Selanjutnya pada restrukturisasi kedua tahun 2001, PT KLI tidak dapat sepenuhnya membayar kewajiban karena kondisi operasional yang tidak stabil/tidak sesuai rencana. Pada restrukturisasi ketiga tahun 2003, seluruh kewajiban kredit s/d. Triwulan I/2007 dapat dipenuhi dengan baik (kecuali untuk hutang pokok yang hanya mampu dibayar sebagian, sedangkan pembayaran hutang bunga s.d. saat ini dapat dipenuhi dengan baik). Kewajiban OWPL dipenuhi oleh PT KLI, s.d. posisi per 31 Desember 2007 telah dibayar sebesar Rp15,44 milyar dan masih tersisa Rp279, 74 milyar. Debitur tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban sejak Triwulan I/2007, terutama karena kendala/kondisi yang dihadapi industri perkayuan nasional kurang baik. Kendala tersebut utamanya yaitu resesi sektor property di negara-negara yang merupakan buyer/pasar terbesar produk industri perkayuan nasional (Amerika dan Jepang), meningkatnya biaya bahan baku, biaya produksi dan transportasi terutama karena kenaikan harga BBM dan biaya listrik serta banyaknya pungutan. Namun demikian Bank Mandiri terus menagih secara rutin setiap bulan baik lisan maupun tertulis, terakhir dengan surat No. SAM.CR1/LC1.0008/2008 tanggal 15 Januari 2008. Kinerja perusahaan pada saat pemberian kredit tahun 1982 masih relatif baik, tetapi sejak 1996/1997 menurun signifikan yang berdampak pada kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya. Pada tahun 1999 kredit direstrukturisasi dengan harapan kinerja akan membaik, tetapi tidak berhasil sehingga mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melunasi hutangnya. Pada tahun 2003 dilakukan penjadwalan dalam rangka penyelesaian kredit. Dengan demikian perbaikan kondisi DER perusahaan bukan menjadi prioritas karena account strategy selanjutnya adalah collection. Saat diberikan (tahun 1982) coverage agunan yang diserahkan sebesar 165%. Pada tahun 2003 kinerja perusahaan memburuk dan eksposure kredit membengkak empat kali lipat karena nilai rupiah melemah. Dilain pihak, nilai agunan tidak dapat disesuaikan dengan kondisi kenaikan kurs dan bahkan cenderung menurun karena penyusutan. Selain agunan kebendaan yang diserahkan, Bank juga menguasai Personal Guarantee dari pemegang saham PT KLI.
BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengambil tindakan penyelesaian kredit sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank yang semakin besar. b. Memasukkan debitur dan pengurus debitur kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri. 41
6. PT HTM tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT HTM didirikan tanggal 7 Maret 1996 dan bergerak dalam bidang usaha industri perdagangan isolatif & alumanium foil. PT HTM beralamat di Bekasi, Jawa Barat. Kondisi fasilitas kredit PT HTM posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp79.861 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Sejak bulan Juli 2006, debitur tidak dapat dihubungi dan tidak diketahui keberadaannya dan perusahaan telah berhenti beroperasi. Pada bulan Agustus 2006 telah disetujui penyelesaian kredit dengan lelang agunan. Hasil pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Pemberian fasilitas KI dan KMK memiliki beberapa kelemahan PT HTM menerima fasilitas KI dengan limit Rp39.000,00 juta sesuai PK No. JCCO.IV/315/PK-KI/2003 tanggal 13 Mei 2003 untuk pembangunan pabrik baru berikut relokasi mesin dan peralatan pabrik lama. PT HTM juga memperoleh fasilitas KMK revolving sebesar Rp11.500,00 juta untuk modal kerja industri dan perdagangan isolatif dan alumunium foil sesuai PK No. JCCO.IV/316/PK-KMK/2003 tanggal 13 Mei 2003. Hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap analisa pemberian fasilitas KI dan KMK di atas menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Nota analisa kredit kurang menggali informasi debitur Hasil review terhadap analisa kredit menunjukkan bahwa Nota Analisa No. CBC.JTH/168/2003 tanggal 13 Maret 2003 hanya menjelaskan informasi tentang PT HTM yang pernah mendapat fasilitas dari Bank Kesawan dan telah diselesaikan dengan baik. IDI Bank Indonesia menunjukkan bahwa PT HTM tidak memiliki pinjaman dari bank lain. Selain penjelasan tersebut, tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai debitur. Minimnya informasi tentang debitur menggambarkan sikap yang kurang terbuka dari pengurus PT HTM dalam memberikan informasi usahanya dan kurangnya usaha CBC Jakarta Thamrin untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang debitur. Dengan minimnya informasi tentang debitur, Bank belum mengetahui secara mendalam tentang karakter dan kapasitas pengurus PT HTM dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap pengelolaan kredit PT BNI tahun 2005, BPK telah memeriksa debitur Bank BNI a.n. PT HTD. PT HTD didirikan tahun 1993 yang bergerak dalam bidang usaha industri Isolatip dan Alumunium Foil. PT HTD merupakan perusahaan keluarga. Key person dan pemegang saham mayoritas (72%) PT HTD yaitu Sdr. MT. Sedangkan Sdr. MT merupakan pemegang saham mayoritas di PT HTM. Dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa pemilik PT HTM dan PT HTD adalah orang yang sama (Sdr. MT) dengan bidang usaha yang sama, yaitu industri Isolatip dan Alumunium Foil. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa lokasi pabrik lama PT HTD sama dengan PT HTM yaitu di Cikarang Bekasi yang menempati areal seluas ±3.994 m² terdiri dari 2 unit bangunan pabrik. PT HTD tercatat sebagai debitur BNI sejak tanggal 22 Januari 2003 dengan mendapat fasilitas kredit berupa:
42
Jenis KI I KI II KMK
No. & Tgl. PK No.2003/KPI/03, 22 Januari 2003 No.2003/KPI/04, 22 Januari 2003 No.2003/KPI/05, 22 Januari 2003
Jumlah
Maksimum Rp20.000 juta Rp20.711 juta Rp21.000 juta
Tujuan Penggunaan Pembiayaan ekspansi pabrik lama Industri Isolatip dan Alumunium Foil Pembiayaan ekspansi pabrik baru Industri Isolatip dan Alumunium Foil Tambahan Modal Kerja Industri Alumunium Foil dan Industri Isolatip Pabrik Lama dan Baru serta untuk take over fasilitas kredit Bank Kesawan
Rp61.711 juta
Sebelum diambil alih Bank BNI dari Bank Kesawan, PT HTD memperoleh fasilitas KI dari Bank BTN dengan baki debet sebesar Rp13.700,00 juta dan memiliki kolektibilitas 5 (Macet). Fasilitas tersebut dialihkan ke BPPN yang kemudian diambil alih Bank Kesawan tanggal 24 April 2002 melalui proses bidding dengan maksimum sebesar Rp10.000,00 juta. PPK Bank Mandiri Buku II Bab VII Sub Bab A menyatakan bahwa tujuan analisa kredit adalah untuk memperoleh keyakinan apakah nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan dalam memenuhi kewajibannya kepada bank dengan memperhatikan antara lain unsur karakter/watak. Unsur karakter/watak itu perlu sekali untuk dinilai untuk mengetahui sejauh mana itikad dan kemauan debitur dalam memenuhi kewajibannya. Sebagai alat untuk memperoleh gambaran tentang karakter nasabah tersebut dapat ditempuh melalui upaya sebagai berikut: a) Meneliti riwayat hidup nasabah. b) Meneliti reputasi nasabah tersebut di lingkungan usahanya. c) Meminta informasi antar bank. d) Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana nasabah berada. 2) Analisa ketersediaan bahan baku memiliki kelemahan Menurut Nota Analisa No. CBC.JTH/168/2003 tanggal 13 Maret 2003, PT HTM memperoleh seluruh kebutuhan bahan baku dari pasar lokal di wilayah Jabotabek. PT HTM telah bekerja sama dengan ±30 perusahaan supplier di Jabotabek untuk menjaga kesinambungan bahan baku dan pembantu. Hasil review lebih lanjut menunjukkan analisa ketersediaan bahan baku tersebut lemah karena belum didukung dengan pengujian dan penelitian terhadap kebenaran dokumen kontrak (MOU) antara PT HTM dengan supplier. Nota CBC.IV/617/2004 tanggal 23 Desember 2004 menyebutkan bahwa debitur meminta penundaan pembayaran angsuran pokok KI dan penambahan jangka waktu KI (rescheduling) karena kesulitan memperoleh bahan baku. Bahan baku tersebut diimpor dari Korea dan Taiwan yang harganya tinggi. Cash flow PT HTM terganggu karena dana yang seharusnya digunakan untuk membayar angsuran KI, tetapi digunakan untuk membeli bahan baku secara impor. PT HTM semakin sulit/kekurangan dana untuk membeli bahan baku sehingga proses produksi terhambat dan tidak seluruh order terpenuhi. Berkaitan dengan ketersediaan bahan baku itu, PPK Buku II Bab VI Sub Bab B telah mengatur tentang informasi data khusus untuk pemberian KI industri, antara lain bahwa suatu analisa harus memuat keterangan mengenai penyediaan bahan baku.
43
b. PT HTM belum menyalurkan sebagian besar aktivitas usaha dan keuangannya melalui Bank Mandiri Berdasarkan informasi yang diungkapkan dalam Nota Analisa No. CMB. CBC.JTH/280/2004 tanggal 7 Juni 2004, porsi penyaluran aktivitas keuangan baik nilai maupun frekwensinya di Bank Mandiri hanya ±17%. Kondisi itu tidak sesuai dengan PK No. 23 tanggal 13 Mei 2003 Pasal 12 butir 7 yang mengatur tentang kesanggupan debitur dalam menyalurkan sebagian besar aktivitas usaha dan keuangannya melalui Bank Mandiri. c. Nilai persediaan dan piutang akhir tahun 2004 dan April 2005 tidak mengcover nilai baki debet kreditnya Laporan keuangan PT HTM per 31 Desember 2004 dan 30 April 2005 menunjukkan bahwa nilai persediaan dan piutang tidak mengcover nilai baki debet kreditnya dengan gambaran sebagai berikut: No. 1. 2. 3. 4.
Keterangan Piutang Usaha Persediaan Jumlah 70% Persediaan + Piutang Baki Debet
31-12-2004 6.515,63 4.770,30 11.285,94 7.900,15 17.979,10
(Dalam jutaan rupiah) 30-04-2005 2.966,36 6.722,53 9.688,89 6.782,22 17.979,10
Kondisi di atas tidak sesuai dengan SPPK No. CMB .CBC.JTH/1035/2003 tanggal 22 April 2003, yang mengatur bahwa baki debet harus tercover oleh 70% nilai persediaan dan piutang. Dengan demikian nilai persediaan dan piutang untuk mengcover baki debet kredit PT HTM adalah sebesar Rp12.585,37 juta (70% x Rp17.979,10 juta). d. Agunan PT HTM belum mengcover nilai kewajibannya Outstanding kredit dan total kewajiban PT HTM per 31 Oktober 2007 masingmasing sebesar Rp79.861,25 juta dan Rp132.852,96 juta. Nilai likuidasi agunan berupa aktiva tetap PT HTM sesuai laporan PT Dian Andilta Utama tanggal 5 Juni 2007 sebesar Rp32.970,80 juta. Agunan tersebut mengcover 41,29% dari outstanding kredit PT HTM dan 24,82% dari total kewajibannya. Coverage agunan itu tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 2.a.1) yang menyatakan bahwa nilai agunan untuk fasilitas KI adalah nilai agunan utama dan tambahan dalam bentuk aktiva tetap minimum 150% dari limit kredit. e. Asuransi agunan belum diperpanjang Dari penelitian lebih lanjut menunjukkan asuransi agunan PT HTM telah berakhir sejak tanggal 2 Juni 2006 dan belum diperpanjang. Hal itu tidak sesuai dengan PK KI No. 23 tanggal 13 Mei 2003 Pasal 12 mengenai kesanggupan debitur ayat 9 yang antara lain mengatur “secara terus menerus selama kredit belum dinyatakan lunas oleh bank, mengasuransikan semua barang-barang yang diserahkan sebagai agunan dengan banker clause Bank Mandiri.”
44
Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri menanggung risiko kredit kepada PT HTM karena kualitas kreditnya macet sebesar Rp79.861 juta sehingga harus membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 41,29% dari outstanding kredit dan asuransi agunannya belum diperpanjang. Hal tersebut terjadi karena: a. Manajer, TL dan RM CBC Jakarta Thamrin dalam menganalisa dan memutus persetujuan kredit kepada PT HTM kurang menggali informasi tentang karakter debitur dan kurang memperhatikan kepastian supply bahan baku. b. GH, DH dan RM pada CRG tidak meminta agunan tambahan dari debitur. c. Adanya itikad tidak baik dari debitur.
a.
b.
c. d.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Pemberian fasilitas KI dan KMK memiliki beberapa kelemahan 1) Informasi debitur telah diungkapkan dalam Nota Analisa No. CBC-JTH/168/2003 tanggal 13 Maret 2003, yang diperoleh dari IDI Bank Indonesia No. 1/410294/DPIP/DtB/Rhs tanggal 17 Februari 2003. Untuk posisi per 31 Desember 2002, data debitur tidak tersedia di Bank Indonesia. Pada tahun 2004 Bank Mandiri telah meminta IDI BI secara lengkap (termasuk pengurus). Dari hasil IDI BI tersebut (IDI BI No. 1/788953/DPIP/ DtB/Rhs, No. 1/788954/DPIP/ DtB/Rhs, No. 1/788955/DPIP/DtB/Rhs dan No. 1/788909/ DPIP/DtB/Rhs, seluruhnya tanggal 13 April 2004) data debitur dan pengurus tidak terinformasi memperoleh fasilitas dari bank lain. Sesuai penjelasan lisan dari Sdr. M (Direktur Utama PT HTM), PT HTM pernah memperoleh fasilitas kredit dari Bank Kesawan dan telah diselesaikan dengan baik. Manajemen PT HTM dinilai baik, dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengalaman Direktur Utama. 2) Keyakinan bank terhadap kontinuitas pasokan bahan baku didasarkan pada informasi debitur dan track record perusahaan. PT HTM yang sudah beroperasi sejak tahun 1996 s.d. saat pengajuan kredit tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku dimaksud. Bahan baku BOPP buatan lokal cukup tersedia di pasar karena di Indonesia terdapat sekurangnya lima produsen besar BOPP. Total produksi nasional tahun 2001 sebanyak 108.300 ton, konsumsi sebanyak 84.500 ton, impor 18.600 ton dan ekspor 42.400 ton (sumber: Indochemical). Dengan demikian bahan baku PT HTM dapat dibeli dari pasar lokal maupun impor, tergantung kepada harga dan cara pembayaran. Terkait dengan aktivitas keuangannya di Bank Mandiri (hanya 17%), Bank telah mensyaratkan dalam PK No. JCCO.IV/333/PK-KI REF/2004 tanggal 2 September 2004 dalam rangka tambahan limit fasilitas KI dan perpanjangan sekaligus tambahan KMK. Posisi persediaan dan piutang tidak mengcover Baki Debet KMK pada akhir tahun 2004 dan April 2005 karena kondisi usaha debitur sudah menurun. Nilai agunan pada saat fasilitas kredit disetujui telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dalam Nota Analisa No.CBC.JTH/168/2003 tanggal 13 Maret 2003 yaitu 182,48% dan No.CMB.CBC.JTH/280/2004 tanggal 7 Juni 2004 yaitu 156,18%. Dengan berhentinya operasional perusahaan, nilai aktiva menurun dan jumlah kewajiban meningkat karena
45
adanya tunggakan pembayaran kewajiban. Hal tersebut mengakibatkan nilai agunan tidak mengcover seluruh kewajiban (hutang pokok dan tunggakan bunga) debitur. e. Bank Mandiri telah meminta debitur untuk menutup asuransi jaminan kredit kepada perusahaan asuransi rekanan dan menyerahkan asli polisnya dengan surat No. TRI.CRT/ Dept.II/3/2006 tanggal 16 Januari 2006. Bank telah menyurati kembali dengan surat No. SAM.CR1/Dept.LC1/207/2008 tanggal 6 Maret 2008 perihal penutupan asuransi. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengambil tindakan penyelesaian kredit melalui legal action sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank yang semakin besar. b. Meneliti kembali pemberian fasilitas kredit PT HTM dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahan yang dilakukan. c. Memasukkan PT HTM dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri. 7. PT TYI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT TYI didirikan tanggal 9 Mei 1988 yang bergerak dalam bidang usaha industri sepatu dengan lokasi pabrik di Bekasi. Kondisi fasilitas kredit PT TYI posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp458.101 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) PT TYI dinyatakan pailit sejak tanggal 5 November 2007 sesuai Putusan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.52/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Pemberian fasilitas kredit kepada PT TYI berisiko karena kondisi keuangan kurang solvable dan kurang likuid 1) Kondisi keuangan tidak sehat karena CR dan DER kurang baik Nota Analisa No.CMN.2.a/115/2000 tanggal 8 November 2000 yang memuat analisa Laporan Keuangan tahun 1998 s.d. 2000 menunjukkan kondisi keuangan PT TYI tidak likuid karena CR selalu <100% dan kurang solvable karena DER selalu >300% serta Net Working Capital (NWC) negatif. Kondisi keuangan yang tidak sehat tersebut sudah terjadi sebelum dan pada saat pengajuan kredit. Laporan Keuangan Audited per 31 Desember 2000 menyebutkan bahwa total kewajiban PT TYI sebesar Rp226.118,29 juta, sementara total equity hanya sebesar Rp38.687,28 juta, sehingga DER mencapai 584,48%. Berkaitan dengan kondisi keuangan yang kurang baik itu, PPK tahun 1999 Bab VII Sub B1 hanya menjelaskan bahwa: a) CR kurang daripada 1 menunjukkan adanya hutang jangka pendek yang digunakan untuk membiayai aktiva diluar aktiva lancar, atau nasabah tidak mampu membayar hutang-hutang jangka pendeknya. b) DER, makin besar peranan dana yang berasal dari luar dibandingkan dengan modal sendiri, makin besar risiko yang harus ditanggung penyedia dana/kreditur. Semakin kecil rasio semakin baik bagi kreditur. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa kreditur menanggung risiko lebih besar dari pemilik. 46
2) Bank memberikan tambahan KMK sebesar USD4,800.00 ribu dan L/C sebesar USD13,000.00 ribu walaupun kondisi keuangan debitur tidak sehat Menurut Nota Analisa No.CGR.CRM.3/210/2002 tanggal 18 Juli 2002 dan No.CBG.CR1/ 423/2004 tanggal 29 Juni 2004 perihal Permohonan Tambahan Fasilitas PT TYI, kondisi keuangan PT TYI sejak tahun 2001 s.d 30 April 2004 tidak membaik yaitu illikuid dan insolvable karena CR selalu <100%, DER selalu > 300% serta NWC masih negatif. Kondisi yang tidak likuid tersebut berpengaruh pada kemampuan dalam memenuhi kewajibannya. Hal itu dapat dilihat dari adanya permohonan PT TYI kepada Bank Mandiri untuk menunda atau memindahkan jadwal pembayaran angsuran KI dan kewajiban pembayaran fasilitas usance L/C. Kondisi keuangan itu seharusnya menjadi perhatian Bank Mandiri karena dalam setiap PK yang disepakati, SPPK maupun Nota Analisa selalu diatur bahwa debitur harus memelihara rasio keuangan yakni CR minimal 120% dan DER maksimal 300%. Nota Credit Risk Assessment Corporate Risk Management Group – DH2 No.RMN.CRP/DH2.340/2004 tanggal 22 Juli 2004 menyebutkan bahwa pembiayaan fasilitas KI dan tambahan fasilitas KMK & LC Usance/UPAS kepada debitur mempunyai risiko relatif tinggi, mengingat: a) Perusahaan yang dibiayai bergerak di industri yang telah ‘sunset’. b) Debitur hanya membuat 1 merk produk (Reebok) dan menjualnya kepada pihak Reebok (single buyer). Sementara pihak Reebok tidak bersedia memberikan jaminan pesanan jangka panjang kepada debitur (kecuali untuk tahun 2004 & 2005). c) Debitur memiliki bargaining power yang relatif rendah karena principal (pemilik merk) sewaktu-waktu dapat menghentikan pesanan dan mengalihkan kepada perusahaan/negara lain. d) Margin industri sepatu di Indonesia sangat kecil, karena harga jual ditetapkan oleh principal untuk setiap satuan pesanan, sementara biaya terbesar pada industri sepatu terletak pada biaya tenaga kerja. Hal itu mengakibatkan terjadinya ‘kebangkrutan’ pada industri sepatu ‘non branded’ atau relokasi ke luar negeri bagi produsen sepatu ‘branded’ agar dapat memperoleh margin. e) Peningkatan hutang berpotensi memperburuk kondisi keuangan terutama solvabilitasnya, apabila tidak diimbangi dengan peningkatan equity secara seimbang. Sehubungan dengan hal tersebut, agar tidak terjadi kondisi ‘insolvent’ maka self financing -- dalam rangka take over asset PT TTI, yang juga memperoleh kredit dari Bank Mandiri -- harus dalam bentuk ‘fresh money’ yang bersumber dari dana sendiri dan sebagai tambahan modal disetor. f) Risiko agunan ‘fixed asset’ yang kurang marketable karena berkaitan dengan suramnya industri sepatu (sunset’) serta rendahnya cover agunan ‘fixed aset’ terhadap total fasilitas, yaitu hanya berkisar antara 42% (sebelum take over asset PT TTI) hingga 49% (setelah tambahan fasilitas dan agunan eks PT TTI). g) Adanya kecenderungan kebijakan pembelanjaan perusahaan yang kurang sehat, terindikasi oleh likuiditas yang kurang baik (NWC negatif sejak tahun 1997). Namun demikian Risk Manajemen merekomendasikan “setuju” atas pemberian fasilitas tersebut dengan mempertimbangkan:
47
a) Debitur telah memperoleh order sepatu untuk tahun 2004 dan 2005 yang meningkat 19% dan 41% dibandingkan realisasi penjualan tahun 2003. b) Pemberian tambahan fasilitas digunakan untuk take over fasilitas PT TTI yang saat ini sementara waktu berhenti operasionalnya. c) Debitur dibatasi peraturan pihak Reebok yang melarang melakukan subkontrak diatas 10% dari pesanan, sehingga mau tidak mau apabila tanpa penambahan kapasitas produksi akan terjadi peningkatan biaya lembur serta tingginya tingkat reject produk akibat kelelahan buruh. d) Jika take over asset PT TTI tidak dilakukan akan memperburuk performace RMB Group di Bank Mandiri, karena turunnya kolektibilitas PT TTI. e) Manajemen debitur selama berhubungan dengan Bank Mandiri dinilai mempunyai karakter cukup baik dan berpengalaman dalam bidang yang digeluti, terbukti masih terpilihnya PT TYI sebagai supplier tetap sepatu Reebok. f) Aspek produksi mendukung kelancaran usaha, karena memiliki sarana dan prasarana produksi yang cukup memadai dan memiliki hubungan baik dan langgeng dengan banyak supplier. g) Debitur sanggup melakukan efisiensi, terlihat dari peningkatan net profit margin menjadi 0,42%. Bank Mandiri seharusnya tidak lagi memberikan tambahan dan perpanjangan kredit karena debitur tidak pernah memenuhi ketentuan rasio keuangan. Pemberian kelonggaran itu akan berisiko memperburuk kondisi keuangan dan kemampuan debitur untuk menyelesaikan kewajibannya kepada Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan PK No.KP-COCD/002/PK-KMK.VA/2001 tanggal 29 Maret 2001, Pasal 22 perihal “Syarat-syarat lain” yang menetapkan bahwa selama kredit belum lunas, debitur diwajibkan untuk memelihara rasio keuangan sebagai berikut CR minimal 120% dan DER maksimal 300%. Selain itu PPK Buku II Bab VII Sub Bab B menyatakan bahwa semakin besar DER semakin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur. b. Debitur menggunakan internal cash generation bukan untuk operasional perusahaan Menurut Status Report Corporate Banking 2 Group RD 6 tanggal 30 Mei 2006, modal kerja atau dana yang terhimpun (internal cash generation) dari hasil kegiatan operasional perusahaan, digunakan untuk membiayai kegiatan yang bukan bertujuan untuk operasional perusahaan yaitu untuk investasi pembangunan Development Center selama tahun 2005 sebesar Rp23.033,00 juta. Hal itu tidak sesuai PK No.KP-COCD/002/PK—KMK.VA/2001 tanggal 29 Maret 2001, Pasal 12 tentang Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh debitur butir f, yaitu memperluas atau mempersempit usaha debitur yang dapat mempengaruhi pengembalian kredit. c. Debitur tidak dapat menyelesaikan kewajiban L/C Impor yang telah jatuh tempo 1) Kewajiban debitur dari fasilitas L/C Impor sebesar USD21,933.50 ribu yang telah jatuh tempo (past due) dikonversi menjadi KMK Eks Post Financing Debitur memperoleh fasilitas dari Bank Mandiri berupa fasilitas Non Cash Loan sebesar USD33,000.00 ribu sesuai Perjanjian Pemberian Fasilitas Pembukaan Usance Letter of Credit Impor No.KP.COCD/02PK.LC/2001 tanggal 4 Oktober 2004. Debitur tidak dapat melunasi fasilitas L/C yang telah dibuka dan jatuh tempo dari tanggal 26 Februari s.d 31 Mei 2006 sebesar USD21,933.50 ribu sehingga harus 48
dikonversi menjadi KMK Eks PIF yang dituangkan dalam perjanjian KMK No.KPCOD/027/PK-KMK/VA/2006 tanggal 30 Juni 2006. 2) Debitur tidak dapat menyelesaikan kewajiban L/C Impor sebesar USD13,320.67 ribu Debitur masih memperoleh fasilitas Non Cash Loan dengan limit sebesar USD12,067.00 ribu yang merupakan limit yang tersisa setelah dikurangi porsi LC yang telah dikonversi menjadi KMK PIF sebesar USD21,933.50 ribu. Karena kondisi keuangan perusahaan yang lemah, debitur tidak dapat memenuhi kewajiban yang timbul dari fasilitas pembukaan L/C Impor sebesar USD13,320.67 ribu, sehingga telah menjadi kredit efektif tetapi belum dibuat akta perjanjian sehingga Bank Mandiri belum mempunyai legalitas. Kewajiban tersebut timbul dari fasilitas pembukaan L/C Impor kepada Bank Mandiri yang jatuh tempo pada tanggal 29 Mei s.d. tanggal 5 September 2006 (L/C Past Due per 5 September 2006) sebesar USD11,030.46 ribu yang telah berumur 1 s/d 120 hari, ditambah bunga sebesar USD207.63 ribu. Sedangkan kewajiban lain merupakan kewajiban L/C yang telah diaksep Bank Mandiri (L/C Acceptance per 5 September 2006) yang jatuh tempo mulai tanggal 11 September s.d. tanggal 12 Oktober 2006 sebesar USD2,082.59 ribu. Hal itu tidak sesuai dengan Perjanjian Pemberian Fasilitas Pembukaan Letter of Credit Impor No.KP-COCD/02/PK-LC/2001 akta No.23 tanggal 29 Maret 2001, Pasal 4 perihal “Syarat-syarat pembukaan usance L/C impor” ayat 3-4 yang mengatur bahwa: 1) Setiap pembukaan usance L/C impor hanya diberikan apabila usance L/C impor sebelumnya yang telah lebih dahulu dibuka dan telah jatuh waktu telah dilunasi oleh debitur pada saat dokumen penagihan tiba dengan cara penyetoran tunai atau pendebetan rekening escrow account yang telah dibentuk, sehingga tidak menjadi kredit efektif. 2) Pada saat pembayaran oleh bank kepada penagih, debitur mengaku pembayaran tersebut sebagai kewajibannya dan wajib membayar lunas dengan setoran tunai sejumlah nilai yang telah dibayarkan tersebut pada saat dokumen penagihan tiba. Masalah tersebut mengakibatkan Bank Mandiri menanggung risiko kredit PT TYI gagal bayar sebesar Rp458.101 juta sebelum dikurangi nilai jaminan, karena kualitas kreditnya macet dan PT TYI telah dinyatakan pailit. Hal tersebut terjadi karena: a. GH, DH dan RM pada Corporate Banking Group dalam memberikan kredit kepada PT TYI kurang memperhatikan kondisi keuangan dan usaha debitur, kurang tegas menegur debitur untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam PK dan tidak menyelesaikan proses perikatan berupa perjanjian kredit atas L/C past due yang telah efektif menjadi kredit. b. Adanya itikad tidak baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Berdasarkan laporan keuangan yang digunakan dalam nota analisa tersebut, kondisi keuangan PT TYI menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Meskipun CR masih di bawah 100% dan DER relatif masih tinggi, tetapi karena perusahaan cukup profitable
49
(NPM positif), maka modal kerja diberikan. Tambahan KMK dan L/C impor diberikan dengan pertimbangan: Kondisi keuangan debitur menunjukkan perbaikan yaitu: No 1
Keterangan Penjualan
2001 891
2002 859
2003 794
2004 926
2 3
EBITDA Laba Bersih
11,0 1,3
31,7 0,95
40,3 0,89
79,8 1,5
Dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi karena diperolehnya order untuk periode tahun 2004 dan 2005 masing-masing sebesar 9.034,000 pasang dan 10.700.000 pasang sepatu atau meningkat 19% dan 41% dibandingkan realisasi penjualan tahun 2003 sebesar 7.589.123 pasang. Di sisi lain kapasitas normal sebesar 7.200.000 pasang sepatu. Untuk memenuhi order saat itu, kekurangan produksi disubkontrakkan ke PT TTI. Mengingat order cukup besar dan akan berkelanjutan serta izin dari prinsipal untuk mensubkontrakkan maksimal 10%, maka asset dan operasional PT TTI diambil alih dengan menggunakan fasilitas tambahan dari Bank Mandiri. Asset PT TTI diambil alih karena pabrik telah siap berproduksi dan tidak terdapat construction risk dibandingkan melakukan investasi baru. Pada saat tambahan kredit diberikan, debitur dan group (PT RS dan PT SSS) selalu memenuhi kewajiban kepada bank dengan baik. b. Pembangunan Development Centre (DC) diketahui bank pada saat site visit tahun 2005. Sesuai penjelasan debitur, hal itu dilakukan dalam rangka meningkatkan bargaining power dengan Reebok, yaitu: Sebagian lantai DC tersebut akan digunakan oleh Representative Reebok di Indonesia. Agar model-model sepatu yang telah disepakati dengan Reebok di DC tersebut langsung dapat dikerjakan oleh PT TYI sesuai order. Dalam berbagai kesempatan, Bank Mandiri telah meminta agar DC tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk menurunkan pokok kredit. Permintaan Bank Mandiri telah disanggupi debitur dengan surat No. 013/L0005/TYI-ACC/X/07 tanggal 24 Oktober 2007. c. Pastdue L/C dikonversi menjadi KMK Eks Post Financing untuk memperkuat posisi Bank terhadap debitur. Hal tersebut sesuai Petunjuk Pelaksanaan Product Management vide surat No. CMB.PMG/TFS.40/2006 tanggal 5 Januari 2006. L/C dimaksud telah dibuka sebelum adanya pastdue. Konversi pastdue menjadi KMK PF tidak dapat dilaksanakan karena beberapa pengurus dari pihak HS Corporation selaku Pemegang Saham PT TYI yang merupakan WN Korea yang berwenang sesuai Anggaran Dasar PT TYI sudah tidak berada di Indonesia dan terjadinya kepailitan pada tanggal 15 Januari 2007. Bank telah mengupayakan untuk memanggil HS Corporation dengan surat tanggal 27 September 2007 dan 9 Oktober 2007 tetapi hingga saat ini belum terlaksana. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor proses penjualan/ pelelangan aset dan pembagian hasil penjualan aset PT TYI oleh kurator dalam rangka meminimalisir kerugian Bank. b. Mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya. c. Memasukkan PT TYI dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri.
50
8. PT BSI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT BSI didirikan tanggal 15 Agustus 1989 yang bergerak dalam industri benang dan berlokasi pabrik di Subang Jawa Barat. Kondisi fasilitas kredit PT BSI posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp405.241 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Dalam proses pencarian calon investor strategis yang dapat bekerja sama untuk menambah modal kerja. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa hal sebagai berikut. a. Bank Mandiri memberikan tambahan fasilitas L/C impor sebesar USD5,700.00 ribu pada saat DER PT BSI kurang baik Menurut Nota Analisa No.CBG.CRI/069/2004 tanggal 31 Maret 2004 dan Credit Risk Assesment No.RMN.CRP/DH2.178/2004 tanggal 13 April 2004, Bank Mandiri menyetujui pemberian tambahan fasilitas L/C impor sebesar USD5,700.00 ribu sehingga menjadi USD8,500.00 ribu. Nota analisa dan credit risk itu menunjukkan bahwa pada saat diberikan tambahan kredit, DER PT BSI kurang baik yaitu tahun 2001, 2002 dan 2003 berturut-turut sebesar -1,725%, 3.856% dan 1.422%. Berkaitan dengan kondisi DER tersebut, PPK Buku II Bab VII memberikan arahan bahwa: 1) Analisa rasio merupakan analisis pelengkap dalam analisa keuangan nasabah. Analisis rasio merupakan salah satu dasar untuk mengambil keputusan, yaitu dalam hubungannya dengan penelitian keadaan keuangan nasabah (Sub Bab E butir 2). 2) Semakin besar DER semakin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur (Sub Bab B). b. Agunan aktiva tetap tidak mengcover kewajibannya Menurut relaas tanggal 23 Januari 2008, outstanding kredit PT BSI sebesar USD43,142.89 ribu eq. Rp405.241,16 juta. Sedangkan nilai pasar agunan berupa aktiva tetap sebesar Rp363.994,00 juta atau mengcover sebesar 89,82% dari outstanding kredit. Coverage ratio agunan tersebut tidak memenuhi PPK Bab VIII Sub Bab B.3 yang menyatakan bahwa nilai agunan utama dan agunan tambahan dalam bentuk aktiva tetap minimum 150% dari limit kredit. c. Debitur tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian kredit 1) Debitur menggunakan sebagian dana KMK untuk investasi Customer Executive Summary PT BSI tanggal 2 Juni 2005 menyebutkan dalam pertemuan tanggal 30 Mei 2005 dengan Bank Mandiri, Direktur PT BSI menyampaikan bahwa sebagian fasilitas KMK digunakan untuk membiayai investasi di PT WU. Hal itu mengakibatkan PT BSI kekurangan modal kerja sehingga berdampak pada ketidakmampuan PT BSI untuk melunasi L/C impor bahan baku yang jatuh tempo sebesar USD4,769.37 ribu. Kondisi itu tidak sesuai dengan Akta No. 12 tanggal 11 Juli 2001 yang menyebutkan bahwa pemberian KMK digunakan untuk membiayai modal kerja PT BSI.
51
2) Debitur menyampaikan laporan keuangan audited tidak tepat waktu Berdasarkan review terhadap penyampaian laporan keuangan audited menunjukkan bahwa PT BSI menyampaikan laporan keuangan audited (LAI) tidak tepat waktu, yaitu: a) Laporan Auditor Independen (LAI) tahun 2001 yang diaudit oleh KAP Hasnil, M. Yasin dan rekan tanggal 15 April 2003. b) Untuk LAI tahun 2004, Bank Mandiri dengan surat No. CBG.TWO/082/2005 tanggal 9 September 2005 meminta kepada PT BSI agar segera menyerahkan LAI per 31 Desember 2004. c) LAI tahun 2005 yang dibuat oleh KAP Hasnil, M. Yasin dan rekan tanggal 4 Juli 2006. d) LAI tahun 2006 sampai saat pemeriksaan tanggal 31 Januari 2008 belum diserahkan oleh debitur. Hal itu tidak sesuai dengan Pasal 17 Akta No. 2 tanggal 3 Juni 2002 yang menyatakan selama kredit belum lunas, debitur berkewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan audited setiap akhir tahun buku selambat-lambatnya 180 hari sejak akhir periode laporan. 3) Debitur membayar hutang pemegang saham tanpa persetujuan Bank Mandiri Menurut LAI tahun buku 2004 dan 2003, PT BSI telah membayar hutang kepada pemegang saham sebesar Rp40.380,18 juta pada tahun 2004 tanpa persetujuan tertulis dari Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan Pasal 18 Akta No. 2 tanggal 3 Juni 2002 yang menyatakan bahwa tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank Mandiri, debitur tidak diperkenankan antara lain membayar hutang perusahaan kepada pemegang saham. 4) Debitur belum menilai kembali agunan setiap tahun Menurut relaas tanggal 23 Januari 2008, agunan aktiva tetap terakhir kali dinilai tanggal 2 Maret 2006. Sampai saat pemeriksaan tanggal 31 Januari 2008, agunan tersebut belum dinilai kembali. Hal itu tidak sesuai dengan akta No. 76 tanggal 9 Oktober 2006 pasal 8 yang menyebutkan PT BSI bersedia menilai ulang atas pabrik spinning beserta asset yang dijaminkan ke Bank Mandiri melalui konsultan penilai rekanan Bank Mandiri setiap tahun. 5) Modal PT BSI pada akhir tahun 2006 masih negatif Neraca PT BSI (inhouse) per 31 Desember 2006 menunjukkan bahwa modal (equity) PT BSI masih negatif sebesar Rp163.104,04 juta. Hal itu tidak sesuai dengan Akta No. 76 tanggal 9 Oktober 2006 Pasal 8 yang menyebutkan bahwa PT BSI bersedia memperbaiki kondisi keuangan agar modal (equity) perusahaan pada akhir tahun 2006 menjadi positif. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Macetnya kualitas kredit PT BSI sebesar Rp405.241 juta mengakibatkan Bank Mandiri harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva tetap hanya 89,82% dari outstanding kredit.
52
Hal tersebut terjadi karena: a. GH, DH dan RM pada Corporate Banking Group dalam memberikan tambahan fasilitas L/C kurang memperhatikan kondisi DER debitur. b. GH, DH dan RM pada Corporate Banking Group dan Credit Recovery Group kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian kredit. c. Adanya itikad tidak baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Meskipun DER relatif masih tinggi, tetapi perkembangannya terus membaik dan diproyeksikan tahun 2004 akan semakin membaik menjadi sebesar 1.074%, (realisasi tahun 2004 sebesar 988%/lebih baik dari yang diproyeksikan). Kolektibilitas saat itu lancar dan tidak ada tunggakan kewajiban. Oleh karena itu Bank memberikan tambahan fasilitas L/C impor kepada PT BSI dalam rangka memenuhi kebutuhan modal kerja untuk mendukung ekspansi spinning III yang telah beroperasi sejak bulan Juli 2003. b. Pada saat kredit diberikan tahun 2001, coverage ratio agunan aktiva tetap sebesar 140% (mengcover pokok kredit) dan agunan berupa piutang & persediaan minimal sebesar 150%. Pada saat restukturisasi kredit tahun 2006, PT BSI telah menyerahkan jaminan tambahan berupa 6 unit mesin Kniting yang telah diikat fidusia senilai USD610.32 ribu, personal guarantee dan corporate guarantee. c. Debitur tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian kredit 1) PT WU (group usaha) telah menambah modal kerja dalam bentuk bahan baku cotton ke PT BSI senilai ±USD7 juta yang selanjutnya dikonversi menjadi tambahan modal dan telah tercermin dalam laporan keuangan PT BSI per September 2007. 2) Bank Mandiri telah memberikan teguran dengan surat No. CBG.TWO/082/2005 tanggal 9 September 2005, No. SAM.CR2/LWO I. 470/2007 tanggal 26 September 2007 dan surat No. SAM.CR2/LWO I. 064/2007 tanggal 14 Februari 2008 agar PT BSI memenuhi laporan-laporan keuangan sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Kredit. 3) Dana pembayaran hutang kepada pemegang saham tersebut telah digunakan oleh PT WU untuk investasi mesin dan peralatan serta bangunan pabrik senilai Rp43 milyar. Sehubungan dengan kondisi tersebut, pada saat restrukturisasi tahun 2006 debitur dipersyaratkan untuk menyerahkan Corporate Guarantee dari PT WU. Debitur telah memenuhinya dengan Akta No. 85. tanggal 9-10-2006. 4) Sejak Februari 2007, debitur kembali tidak dapat memenuhi kewajiban kredit sesuai syarat restrukturisasi, sehingga kredit a.n. PT BSI kembali menjadi non performing (Macet sejak 31 Juli 2007) dan penyelesaian kreditnya akan dilaksanakan melalui legal action. Seluruh asset PT BSI akan dinilai ulang pada saat akan dilelang. 5) Sesuai syarat restrukturisasi tahun 2006, nasabah harus memperbaiki modal menjadi positif dengan cara revaluasi asset dan konversi hutang usaha kepada PT WU senilai USD 7 juta menjadi setoran modal (surat pernyataan debitur dalam Akta No. 91 dan 92 tanggal 9 Oktober 2006). Hutang usaha kepada PT WU telah dikonversi menjadi modal sesuai Akta No. 01 tanggal 12 September 2006 yang tercantum pada laporan keuangan (in house) per September 2006. Sedangkan revaluasi asset belum dilaksanakan. Sehubungan dengan gagalnya program restrukturisasi, Bank Mandiri telah memberikan Surat Peringatan I, II dan III masing-masing dengan surat No. SAM.CR2/407/2007, tanggal 28 Agustus 2007, No. SAM.CR2/485/2007, tanggal 8 Oktober 2007 dan No.
53
SAM.CR2/539/2007 tanggal 6 November 2007. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengambil tindakan penyelesaian kredit melalui legal action sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank semakin besar. b. Meneliti kembali pengelolaan fasilitas kredit PT BSI dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahan yang dilakukan. c. Memasukkan PT BSI dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri dan meminta debitur untuk menyerahkan agunan tambahan sehingga kepentingan Bank Mandiri dari second way out lebih terlindungi.
9. Pengelolaan fasilitas kredit PT PKR tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT PKR didirikan tanggal 25 Mei 1974 yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas dan beralamat di Surabaya. Kondisi fasilitas kredit PT PKR posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp328.993 juta Kualitas kredit Dalam Perhatian Khusus (Gol. 2) Dalam proses monitoring pemenuhan kewajiban debitur. Hasil pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan beberapa hal sebagai berikut. a. Bank Mandiri memberikan tambahan fasilitas kredit sebesar USD60,000.00 ribu dan sebesar Rp180.000,00 juta pada saat kondisi keuangan PT PKR kurang baik PT PKR dengan surat tanggal 24 Oktober 2002 memohon tambahan fasilitas KI dalam rangka refinancing kredit sindikasi pada bank-bank asing sebesar USD40,000.00 ribu dan tambahan KMK jangka panjang (aflopend) sebesar USD40,000.00 ribu dalam rangka mengoperasionalkan dan mencapai produksi normal (sesuai kapasitas mesin terpasang). Permohonan itu dianalisa dalam Nota Analisa No.RMN.CRY/Dep.III/344/2002 tanggal 4 Desember 2002 yang disetujui oleh Panitia Pemutus Kredit Bank Mandiri dan didudukkan dalam PK No.KP-CRG/001/PK-KMK/VA/2003 tanggal 23 Januari 2003, PK No. KP-CRG/002/PK-KMK/2003 tanggal 1 Januari 2003 dan PK No. KP-CRG/001/PKKI/VA/2003 tanggal 1 Januari 2003. Hasil pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1) Analisa aspek keuangan tidak menggambarkan kondisi keuangan PT PKR yang sesungguhnya dan belum sepenuhnya sesuai dengan PPK Nota Analisa No.RMN.CRY/Dep.III/344/2002 tanggal 4 Desember 2002 menunjukkan bahwa analisa aspek keuangan menggunakan laporan keuangan audited tahun 1998, 1999, 2000 dan laporan keuangan unaudited tahun 2001 dan 2002. Berdasarkan analisa aspek keuangan, rasio keuangan PT PKR adalah sebagai berikut: Rincian Likuiditas CR % NWC
1998 Audited
1999 Audited
2000 Audited
39 (574.557)
39 (727.095)
38 (1.184.163)
2001 Unaudited
2002 Unaudited
150 162.465
150 223.063 54
Solvabilitas DER %
168
136
304
468
239
Tabel diatas menjelaskan bahwa: a) CR tahun 1998, 1999 dan 2000 masih dibawah 120%. Berdasarkan laporan keuangan unaudited, CR tahun 2001 dan 2002 masing-masing sebesar 150%. Dari data di atas dapat dilihat bahwa kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek meningkat, tercermin dalam CR dua tahun terakhir diatas 100%. b) Net working Capital (NWC) tahun 2001 dan 2002 mengalami pertumbuhan positif. c) DER tahun 2001 dan 2002 sebesar 468% dan 239%. Data itu menggambarkan kemampuan PT PKR untuk melunasi hutang jangka panjangnya tahun 2001 turun dan tahun 2002 sedikit meningkat. PPK Bab VI Sub Bab B mengatur bahwa: a) Informasi dan data yang diperlukan harus lengkap terpenuhi dan harus dapat dipercaya. b) Analisa aspek keuangan didasarkan pada neraca dan laba rugi 3 tahun terakhir dan neraca tahun berjalan atau neraca pembukaan bagi perusahaan yang baru berdiri. Untuk permohonan diatas 1 milyar, laporan keuangan harus diaudit oleh Akuntan Publik Terdaftar. Menunjuk pada ketentuan di atas dan mengingat jumlah fasilitas yang akan diberikan kepada PT PKR melebihi Rp1.000,00 juta serta analisa kredit dilaksanakan pada bulan Desember 2002, maka laporan keuangan yang dianalisis seharusnya adalah laporan keuangan audited tahun 1999, 2000 dan 2001. Apabila menggunakan laporan keuangan audited, rasio keuangan PT PKR menjadi sebagai berikut: Rincian Likuiditas CR % NWC Solvabilitas DER %
1998 Audited
1999 Audited
2000 Audited
2001 Audited
2002 Unaudited
39 (574.557)
39 (727.095)
38 (1.184.163)
34 (1.359.729)
150 223.063
168
136
304
467
239
Tabel di atas menunjukkan bahwa CR PT PKR tahun 1998 s.d. 2001 kurang dari 100% dan DER tahun 1999 s.d. 2001 diatas 300%. Selanjutnya NWC tahun 1998 s.d. 2001 selalu negatif yang menunjukkan bahwa aktiva lancar PT PKR lebih rendah dari hutang lancarnya. Berkaitan dengan kondisi keuangan yang kurang baik tersebut, PPK Buku II Bab VII hanya memberikan arahan bahwa: a) Analisa rasio merupakan analisis pelengkap dalam analisa keuangan nasabah. Analisis rasio merupakan salah satu dasar untuk mengambil keputusan, yaitu dalam hubungannya dengan penelitian keadaan keuangan nasabah (Sub Bab E butir 2). b) Semakin besar DER semakin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur. Dengan diberikannya tambahan fasilitas, DER PT PKR akan cenderung meningkat sehingga dapat mengakibatkan risiko Bank Mandiri juga semakin besar (Sub Bab B). c) menyatakan bahwa Current Ratio kurang dari 100% menunjukkan adanya hutang jangka pendek yang digunakan untuk membiayai aktiva diluar aktiva lancar, atau
55
nasabah tidak akan mampu membayar hutang-hutang jangka pendeknya (Sub Bab B hal.37). 2) Bank Mandiri memberikan tambahan fasilitas KMK Valas sebesar USD20,000.00 ribu dan Rp180.000,00 juta serta KI Refinancing sebesar USD40,000.00 ribu pada saat kolektibilitas di bank lain macet Hasil review lebih lanjut menunjukkan bahwa pada saat pemberian fasilitas kredit tersebut, PT PKR juga memperoleh fasilitas KI yang berasal dari sindikasi bank lain dengan outstanding sebesar USD150,000.00 ribu eq. Rp1.347.300,00 juta dan memiliki tunggakan bunga sebesar USD13,597.82 ribu (data laporan keuangan 30 September 2002). Posisi kredit kepada sindikasi telah digolongkan macet per September 2002 dan sampai dengan saat ini belum direstrukturisasi. Menurut HSBC Jakarta selaku anggota steering committee, kreditor telah mengirimkan default letter kepada PT PKR dan meminta PT PKR untuk segera menyelesaikan kewajibannya. Pemberian tambahan kredit kepada debitur yang memiliki fasilitas kredit macet pada bank lain itu tidak sesuai dengan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri Januari 2000 Bab II - Prinsip Kehati-hatian, Artikel 230 yang menyebutkan bahwa kredit yang harus dihindari dan dilarang antara lain adalah kredit kepada debitur bermasalah dan atau macet pada bank atau kreditur lain. b. Kondisi keuangan PT PKR belum memenuhi syarat rasio keuangan yang sehat Menurut Nota Analisa No SAM.CR2/LM.061/2007 tanggal 29 Mei 2007 yang memuat rasio keuangan PT PKR tahun 2003 s.d. 2006, kondisi keuangan PT PKR belum memenuhi syarat rasio keuangan yang sehat, yaitu: Rincian
31 Des 2003 Audited
31 Des 2004 31 Des 2005 31 Des 2006 31 Des 2007 Audited
Audited
In house
Proyeksi
Likuiditas CR % NWC % Quick Acid Ratio %
38,72
45,93
44,18
47,24
44,80
(1.047.577)
(838.739)
(993.605)
(869.269)
(901.784)
19,41
19,45
20,21
20,7
18,51
Profitabilitas Gross Profit Margin %
15,85
17,29
15,67
12,23
3,30
Opening Profit Margin %
11,64
13,00
12,60
9,71
11,15
Net profit Margin %
(0,93)
(22,05)
(20,82)
3,30
(0,32)
Return on Equity %
(2,0)
(90,2)
(1.052,2)
(8,42)
(0,90)
(CoGS+SGA)/salles
88,4
87,4
87,4
90,29
88,85
432,4
880,0
11.106,6
496,96
469,86
Solvabilitas DER % Debt Service Coverage % Ebida to interest %
10,0
12,7
11,8
11,81
9,08
139,1
210,2
136.6
90,28
366,09
100.818
100.715
109.066
103.173
112.459
Aktivitas Penjualan/bln Account Receivable TO (hari) Inventory TO (hari) Hutang Usaha TO (hari) NET TC (hari)
62
68
84
96
71
107
136
135
114
103
14
16
18
17
11
154
189
201
193
162
Tabel di atas menjelaskan bahwa:
56
1) Rasio likuiditas belum memenuhi ketentuan yang disyaratkan, CR dibawah 100% dan NWC negatif. 2) Perolehan laba pada periode 2003-2005 negatif. Dalam tahun 2006 (in house), EBIDA tercatat positif tetapi menunjukan tren menurun. 3) Modal perusahaan menunjukkan trend menurun akibat akumulasi kerugian terutama dari rugi selisih kurs yang cukup besar pada tahun 2004 – 2005. Hal itu karena mayoritas hutang dalam USD. Walaupun dalam tahun 2006 PT PKR berupaya memperbaiki equty dengan merevaluasi sebagian assetnya sehingga DER menjadi 496% dari semula 880% (tahun 2004) dan 11.107% (tahun 2005), tetapi belum memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Sementara angka Debt Service Coverage yang rendah (10% – 11 %) menunjukan kondisi perusahaan secara umum kurang solvent. 4) Aktivitas usaha dalam periode tahun 2003 – 2005 cenderung melambat karena peningkatan umur piutang dan persediaan yang lebih besar dari peningkatan umur hutang dagang. Berkaitan dengan kondisi keuangan yang kurang sehat tersebut, PPK Buku II Bab VII hanya memberikan arahan bahwa: a) Analisa rasio merupakan analisis pelengkap dalam analisa keuangan nasabah. Analisis rasio merupakan salah satu dasar untuk mengambil keputusan, yaitu dalam hubungannya dengan penelitian keadaan keuangan nasabah (Sub Bab E butir 2). b) Semakin besar DER semakin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur. Dengan diberikannya tambahan fasilitas, DER PT PKR akan cenderung meningkat sehingga dapat mengakibatkan risiko Bank Mandiri juga semakin besar (Sub Bab B). c) menyatakan bahwa Current Ratio kurang dari 100% menunjukkan adanya hutang jangka pendek yang digunakan untuk membiayai aktiva diluar aktiva lancar, atau nasabah tidak akan mampu membayar hutang-hutang jangka pendeknya (Sub Bab B hal.37). Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit PT PKR di Bank Mandiri berisiko turun kualitasnya. Kondisi tersebut terjadi karena pejabat pengusul dan pemutus kredit dalam memberikan tambahan kredit kepada PT PKR kurang memperhatikan kondisi keuangan debitur yang kurang baik dan kualitas kredit PT PKR di bank lain bermasalah. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Pada saat analisa tahun 2002, audit atas laporan keuangan tahun 2001 sedang dalam proses (selesai pada tanggal 2 Desember 2003 yang mencakup laporan keuangan audited tahun 2001 dan 2002). Berdasarkan laporan keuangan itu yang didukung dengan program restrukturisasi, kondisi keuangan debitur diproyeksikan membaik. Pemberian tambahan kredit ditujukan dalam rangka restrukturisasi menyeluruh dengan mempertimbangkan prospek industri dan kemampuan membayar. Dari restrukturisasi dimaksud, sampai dengan 18 Januari 2008 debitur dapat memenuhi kewajibannya dengan tertib dan mampu menurunkan hutang pokok sebesar Rp212.991,99 juta atau 49,15% dari tambahan hutang tahun 2003. b. Realisasi kondisi keuangan debitur sampai dengan September 2007 terlihat membaik yaitu:
57
No
Keterangan
1 2 3 4
DER (%) CR (%) NPM (%) Net Worth (Rp. M)
2004 880 46 - 22 298
2005
2006
11.107 44 - 21 26
903 42 5,76 295
Sept 07 (Inhouse) 372 55 9 618
BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor kondisi usaha dan keuangan PT PKR agar pembayaran kewajibannya kepada Bank tetap terpenuhi. b. Meneliti kembali pengelolaan fasilitas kredit PT PKR dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahan yang dilakukan.
10. Pengelolaan fasilitas kredit PT PND tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT PND didirikan tanggal 11 Maret 1996 yang bergerak dalam bidang Agribisnis Perkebunan dengan mengelola budidaya Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Tembakau dan Tebu (Gula dan Tetes) serta kegiatan usaha lainnya yakni Rumah Sakit dan Pabrik Fraksinasi. Kondisi fasilitas kredit PT PND posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp253.018 juta Kualitas kredit Dalam Perhatian Khusus (Gol. 2) Dalam proses monitoring pemenuhan kewajiban debitur sesuai perjanjian restrukturisasi kredit yang telah efektif tanggal 29 Oktober 2007. Debitur mejadi performed per 31 Desember 2007. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa kelemahan sebagai berikut. a. Bank Mandiri memberikan fasilitas KMK pada saat prospek industri menurun 1) Fasilitas KMK Gula diberikan pada saat prospek industri gula menurun Bank Mandiri menyetujui pemberian KMK Gula sebesar Rp33.000,00 juta yang dituangkan dalam PK No.1 tanggal 1 Desember 2000. Berdasarkan Nota Analisa Permohonan KMK Gula No.CRU LWO III-P/361/2000 tanggal 9 November 2000 menunjukkan bahwa: a) Penjualan ekspor dan lokal produk tebu dan tembakau adalah sebagai berikut: (dalam Rp.Juta)
Produk
1998
1999
s/d-Trw.II/2000
Tembakau
407.366
204.590
74.693
Gula (Gula & Tetes)
131.682
96.218
67.861
b) Harga jual komoditi gula turun akibat overstock dan membanjirnya gula impor dengan harga lebih murah dari harga gula lokal. Keterangan diatas menjelaskan bahwa penjualan ekspor dan lokal serta harga jual untuk kedua produk tersebut menurun karena membanjirnya gula impor atau dengan kata lain prospek industri untuk komoditi tersebut sedang lesu/menurun. Hal tersebut didukung dengan penjelasan dalam Credit Report No.CFI.GH3/610/2000 tanggal 27 November 2000 yang menyatakan bahwa:
58
a) Kondisi keuangan PT PND cenderung turun. Jika tidak ada perbaikan terhadap pencapaian target-target dalam RKAP sampai akhir tahun, dikhawatirkan makin menyulitkan perusahaan untuk merealisir proyek-proyek yang masih dalam tahap pengembangan. Akibat kesulitan tersebut, debitur sedang memohon penjadwalan kembali angsuran KI-Pirsus. b) Karakteristik produk berasal dari pertanian yang harganya berfluktuasi, tergantung jumlah pasokan dan permintaan. Khusus untuk produk tebu berupa gula seluruhnya untuk pasar lokal, sedangkan produk sampingan berupa tetes sebagian di ekspor. Harga gula dipasar lokal cenderung menurun, karena membanjirnya produk impor dengan harga yang murah. c) Kondisi keuangan (performance) PT PND adalah sebagai berikut: (1) CR turun sejak tahun 1998, dan per 30 Juni 2000 (unaudited) adalah sebesar 113,02% (minimal 120%). (2) Net Profit Margin sejak tahun 1998 turun dan per 30 Juni 2000 (unaudited) merugi sebesar Rp21.312,00 juta. 2) Fasilitas KMK Tembakau diberikan pada saat prospek industri tembakau sedang menurun Berdasarkan PK No.54 tanggal 27 Maret 2003, PT PND memperoleh KMK dengan ketentuan dan syarat sebagai berikut: Limit KMK Sifat Kredit Jangka Waktu Kredit Suku Bunga Tujuan Kredit
Rp45.000,00 juta Eenmaligh 1 (satu) tahun, berakhir s/d tanggal 26 Maret 2004 18,50% Untuk membantu modal kerja dalam rangka pembelian Tandan Buah Segar (TBS), penanaman dan pengolahan Tembakau.
Surat CRG Department II No.RMN.CRY/Dept.II/84/2003 tanggal 20 Maret 2003 perihal Permohonan KMK dan Rescheduling Pelunasan KMK Aflopend Gula PT PND mengemukakan hal-hal sebagai berikut: a) Penjualan Tembakau dan Gula tahun 2002 turun sebesar 2,92% dibanding tahun 2001. Penurunan itu antara lain karena rendahnya harga jual. b) Kerugian tahun 2002 meningkat sebesar 35,48% dibandingkan tahun 2001. Komoditi yang merugi terbanyak adalah Tembakau (rugi per komoditi sebesar Rp94,5 milyar) dan Gula (rugi per komoditi sebesar Rp76,2 milyar). Kerugian Tembakau disebabkan oleh mutu Tembakau produksi tahun 2002 rendah yang mengakibatkan harga lelang di Bremen rendah. Kerugian Gula disebabkan masuknya gula impor (legal dan illegal) dengan mutu yang lebih baik dan harga lebih murah, sehingga harga jual yang diharapkan Rp3.500,-/kg terealisir Rp2.400,c) Kondisi keuangan (performance) PT PND adalah sebagai berikut: (1) CR turun sejak tahun 1999 dan per 31 Desember 2002 (unaudited) sebesar 57,00% (minimal 120%). (2) Net Profit Margin sejak tahun 1999 turun dan per 31 Desember 2002 (unaudited) sebesar (14,61%). (3) Net Income sejak tahun 1999 turun dan per 31 Desember 2002 (unaudited) merugi sebesar Rp91.816,00 juta Berkaitan dengan pemberian fasilitas kredit pada kondisi debitur tersebut, PPK Bab VII menjelaskan bahwa:
59
1) Tujuan utama dari analisis Permohonan Kredit ialah untuk memperoleh keyakinan apakah nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan memenuhi kewajibannya kepada bank secara tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian (Sub Bab A Halaman 1). 2) Penilaian didasarkan atas kemampuan perusahaan memasarkan barang produksi/jasa, hasil usahanya baik yang sekarang maupun yang direncanakan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam aspek pemasaran antara lain keadaan pemasaran saat ini terutama realisasi produksi dan penjualan yang telah dicapai serta prospek pemasaran (Sub Bab B). 3) Net Profit Margin menunjukkan prosentase laba bersih terhadap penjualan bersih. Laba bersih adalah laba operasi bersih dikurangi (ditambah) beban (pendapatan) diluar operasi, dikurangi dengan pajak penghasilan badan pada periode tersebut. Makin besar rasio ini, makin besar kemampuan perusahaan untuk menutup beban diluar operasi dan pajak penghasilan, yang sekaligus juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba bersih (Sub Bab B). b. Agunan utama KMK kurang dari ketentuan PPK Nota Analisa No.SAM.CR2/AMD.477/2007 tanggal 28 September 2007 menyebutkan bahwa limit KMK adalah sebesar Rp166.500,00 juta. Sedangkan nilai persediaan dan piutang PT PND yang diikat menjadi agunan utama KMK di Bank Mandiri sebesar Rp211.716,95 juta sehingga mengcover 127,15%. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 2 yang menyatakan untuk Kredit Modal Kerja, nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. c. PT PND tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Menurut harian Medan Bisnis tanggal 14 November 2007, PT PND selama 3 tahun (tahun 2005-2007) menunggak pajak sebesar Rp30.000,00 juta. Pemerintah Kabupaten Langkat akan mempermasalahkan tunggakan PBB ke Kanwil Khusus Badan Piutang Negara (BPN). Jika tunggakan pajak pada tahun 2005 hingga 2007 itu tidak segera dilunasi, tunggakan itu dikhawatirkan akan membengkak (dalam setahun PT PND menunggak mencapai Rp11.392,00 juta). Hal itu tidak sesuai dengan PK No.1 tanggal 1 Desember 2000 pasal 17 poin 14 yang menyatakan bahwa debitur wajib membayar semua kewajiban pajak pada saat kewajiban tersebut harus dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri menanggung risiko kredit kepada PT PND karena memberikan tambahan kredit pada saat kondisi gula dan tembakau menurun serta kondisi keuangan yang kurang baik. b. Kepentingan Bank Mandiri dari agunan utama KMK kurang terlindungi karena tidak memenuhi ketentuan minimal yang dipersyaratkan. Hal tersebut terjadi karena GH, DH dan RM pada CRG Bank Mandiri kurang memperhatikan kondisi usaha dan keuangan debitur, coverage agunan utama dan kepatuhan debitur dalam melaksanakan syarat PK.
60
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Pengelolaan kredit PT PND berada di CRG dalam rangka restrukturisasi fasilitas kredit yang diperoleh dari Legacy BEII. Tambahan fasilitas kredit untuk pembiayaan komoditas gula dan tembakau diberikan dalam rangka penyelamatan kredit (restrukturisasi) dan usaha PT PND secara keseluruhan. Pemberian tambahan fasilitas kredit telah dianalisa. Hasil analisa terhadap cash flownya menyimpulkan bahwa pemberian tambahan tersebut akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan memperbaiki kemampuan keuangan perusahaan secara menyeluruh, serta dapat mengembalikan pokok dan bunga kredit yang diberikan serta prospek industri gula ke depan cukup baik. Tambahan fasilitas kredit untuk tembakau dan kelapa sawit tersebut diberikan dengan pertimbangan: Komoditi yang dihasilkan berupa CPO sangat prospektif dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) membutuhkan tambahan dana untuk dapat membeli TBS dari kebun luar dalam rangka optimalisasi kapasitas olah PKS karena pasokan buah kebun sendiri belum cukup (+60%). Komoditi Tembakau (Tembakau Deli yang diproduksi PT PND) adalah komoditi unggulan Sumatera Utara/Indonesia di dunia Tembakau Internasional. Tembakau diolah secara manual dan bersifat padat karya serta memerlukan keahlian khusus yang hanya dapat diperoleh melalui proses kerja dalam jangka panjang (tidak dapat digantikan dengan mesin/teknologi). Untuk memperbaiki kondisi keuangan, debitur merencanakan untuk melunasi sebagian kewajiban kredit kepada Bank Mandiri dari hasil penjualan asset non produktif yang telah mendapat persetujuan pemegang saham. b. Sesuai Syarat-Syarat Efektif Restrukturisasi Addendum Perjanjian Kredit Notarial tgl 2510-2007, debitur telah menyetujui peningkatan nilai pengikatan persediaan dan piutang minimal 150% dari limit KMK. Dengan adanya persetujuan dan pernyataan Debitur yang dimuat dalam Addendum Perjanjian Restrukturisasi Kredit diatas, Bank Mandiri akan menambah nilai pengikatan FEO persediaan dan piutang dagang minimal menjadi sebesar 143% setelah ada peningkatan persediaan dan piutang dagang dari usaha yang bertumbuh, serta setelah cash flow perusahaan mendukung. c. Debitur dengan surat No. II.6/X/21/I/2008 tanggal 31 Januari 2008 menjelaskan telah menjajagi serta mengupayakan agar hutang PBB dimaksud dapat dicicil setiap bulannya sesuai kemampuan perusahan. Selain itu, PT PND juga memohon kepada Pemda setempat untuk meninjau kembali besarnya biaya PBB, mengingat tidak seluruh obyek dimaksud peruntukannya untuk perkebunan produktif. Cukup banyak juga lahan tidak produktif, dalam sengketa atau dikuasai pihak ketiga/penggarap. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri mengawasi kondisi usaha dan keuangan debitur, realisasi pembayaran PBB dan peningkatan nilai pengikatan fiducia persediaan dan piutang dagang sehingga agunan utama KMK mencapai 150% dari limit KMK sesuai PK.
11. PT BAG tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT BAG didirikan tanggal 2 November 1956 yang bergerak dalam bidang industri tekstil terpadu dan lokasi kantor dan pabriknya di Bandung. Kondisi fasilitas kredit PT BAG posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp258.988 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) 61
Dalam proses monitoring pemenuhan kewajiban debitur sesuai perjanjian restrukturisasi pada bulan November 2004. Kami informasikan bahwa fasilitas kredit PT BAG sudah lama diberikan yaitu sejak eks legacy Bank Mandiri (tahun 1982) sehingga dokumen kredit sulit diperoleh. Oleh karena itu kami hanya memeriksa berkas fasilitas kredit PT BAG sejak dikelola Bank Mandiri. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. CR dan DER PT BAG sejak tahun 2001 tidak sesuai ketentuan Menurut Credit Report No.RMN.CRA/271/2001 tanggal 2 November 2001 dan Nota No.CRY/Dept.IV/091/2004 tanggal 28 September 2004, kondisi keuangan PT BAG sebagai berikut: 1998
1999
2000
2001
2002
2003
DER %
930
1.979
1.045
(289,3)
(268,4)
(207,2)
CR %
50,12
126,01
214,33
63,8
59,4
55,1
Tabel di atas menjelaskan sejak tahun 2001 DER PT BAG negatif karena ekuitas PT BAG negatif dan CR menurun dan dibawah 120%. Hal itu tidak sesuai dengan Akta Perubahan (Addendum) PK KMK No.9 tanggal 5 Februari 1999 dan PK KMK No.JTH/012/PK-KMK/2001 tanggal 21 Maret 2001 pasal 14 butir m yang mengatur bahwa debitur harus memelihara CR minimal 120% dan DER maksimal 233%. Selain itu PPK Buku II Bab VII Sub Bab B menyatakan bahwa semakin besar DER semakin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur. b. PT BAG meminjam dari pihak lain tanpa persetujuan Bank Mandiri Credit Report No.RMN.CRA/031/2001 tanggal 10 Agustus 2001 menyebutkan bahwa PT BAG memperoleh fasilitas dari bank lain sebesar USD26,297.76 ribu. Sesuai Nota CRY/Dept.IV/091/2004 tanggal 28 September 2004, pinjaman tersebut tanpa persetujuan dari Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan syarat-syarat umum perjanjian kredit Bab IX Lampiran PK tentang Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Tanpa Persetujuan Bank Pasal 17, yang menyebutkan debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank tidak diperkenankan menerima pinjaman dari pihak lain manapun juga. c. PT BAG belum menyalurkan transaksi ekspor impor dan aktivitas keuangannya melalui Bank Mandiri Initial Review Report PT BAG tanggal 18 September 2003 pada bagian Collections menyebutkan hampir semua aktivitas keuangan PT BAG dilakukan pada ABN Bank, Bank HSBC dan OCBC. Menurut lembar faxcimili No.6.Hb.BAU/013/2001 tanggal 4 Juli 2001 perihal Data Aktivitas Nasabah a.n. PT BAG, aktivitas perbankan PT BAG yang dilakukan di Bank Mandiri nihil. Hal itu tejadi karena beberapa account yang dimiliki dan kegiatan seperti deposito, transaksi ekspor, transaksi impor/pembukaan L/C dan transaksi jual beli valas, tidak ada transaksi. Demikian juga halnya dengan transaksi ekspor dan impor di Bank Mandiri hanya sedikit. Kondisi itu juga dipaparkan dalam Nota CRG No.CRY/Dept.IV/091/2004 tanggal 28 September 2004 yang mengungkapkan debitur masih menunjukkan itikad untuk bekerja sama dengan bank. Namun terdapat beberapa hal prinsipil yang merupakan pelanggaran
62
terhadap Perjanjian Kredit, yaitu debitur sudah cukup lama tidak menyalurkan ekspornya dan aktivitas keuangannya melalui bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan PK KMK No.JTH/012/PK-KMK/2001 tanggal 21 Maret 2001 Pasal 15 butir 5 bahwa debitur berjanji dan mengikatkan diri untuk menyalurkan seluruh aktivitas keuangannya melalui cabang Bank Mandiri. d. Sebagian mesin yang menjadi agunan belum diserahkan dan diikat secara fiducia Call Report tanggal 20 November 2006 menyebutkan bahwa PT BAG telah melunasi hutangnya kepada Picanol NV (supplier mesin) sesuai surat No.0101/I/SH/2006 tanggal 27 Januari 2006. Berdasarkan akte No.47 tanggal 31 Oktober 1988, setelah pembelian mesinmesin tersebut dilunasi, PT BAG harus menyerahkan mesin-mesin tersebut kepada Bank Mandiri sebagai jaminan kredit. Namun PT BAG belum menyerahkan mesin tersebut sehingga belum dapat diikat secara fidusia. Sesuai laporan penilaian PT Seruling Bambu Kuning tanggal 30 Mei 2006, nilai agunan berupa mesin-mesin merupakan nilai yang terbesar yaitu Rp107.377,00 juta. Hal itu tidak sesuai dengan Akta No.13 dan No.14 tanggal 5 November 2004 Pasal 16 perihal Agunan Kredit poin 6) yang menyatakan bahwa seluruh mesin dan peralatan pabrik milik debitur akan diikat dengan akta jaminan fidusia. e. Agunan tambahan fasilitas kredit PT BAG mengcover sebagian kewajibannya Laporan penilaian agunan tambahan yang dilakukan PT Wilson Propertindo Advisindo tanggal 30 Oktober 2006 menyebutkan bahwa nilai agunan yang dikuasai Bank Mandiri sebesar Rp250.917,00 juta. Agunan itu berupa tanah, bangunan mesin & peralatan dan sarana pelengkap. Nilai pasar agunan tersebut bila dibandingkan dengan outstanding hutang pokok equivalen sebesar Rp285.970,00 juta hanya mengcover sebesar 87,74%. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B Butir 2 yang menyatakan bahwa kecuali diatur secara khusus dalam ketentuan tersendiri, ketentuan mengenai nilai agunan untuk KMK adalah nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. f.
Agunan kredit belum dinilai kembali oleh appraisal independen selama lebih dari satu tahun PT BAG menyerahkan agunan tambahan berupa tanah, bangunan, mesin dan peralatan dengan harga pasar sebesar Rp250.917,00 juta. Agunan tambahan terakhir kali dinilai oleh PT Wilson Propertindo Advisindo tanggal 30 Oktober 2006. Sampai dengan tanggal 31 Januari 2008, agunan tambahan itu belum dinilai ulang kembali meskipun kredit PT BAG telah digolongkan macet. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Bab VIII Sub bab B Butir 12.a.4) yang menyatakan bahwa agunan tambahan sekurang-kurangnya dinilai 1 (satu) kali dalam kurun waktu 12 bulan kecuali untuk nasabah dengan kolektibilitas lancar dengan pertimbangan tertentu dari unit bisnis dapat dinilai sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 24 bulan.
g. Beberapa agunan berupa mesin sudah tidak ada, sementara agunan penggantinya belum dikuasai/diikat oleh Bank Mandiri Menurut Call Report tanggal 20 November 2006, Bank Mandiri telah memeriksa dan memverifikasi mesin-mesin milik PT BAG yang menjadi agunan kredit tanggal 24 Maret
63
2006. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa terdapat mesin-mesin yang tidak ditemukan keberadaannya sebagai berikut: 1) 3 unit Folding Machine 2) 20 unit Rolling Machine 3) 10 unit Inspection Machine PT BAG bersedia mengganti mesin-mesin yang tidak ada itu dengan unit boiler dan pembangkit panas tenaga batubara yang nilainya jauh lebih besar dan saat ini sedang dalam proses penilaian. Dari Relaas CRG tanggal 1 Februari 2008, mesin pengganti tersebut belum diikat. Hal itu tidak sesuai dengan Perjanjian Penyelesaian Kredit Akta No.13 dan No.14 tanggal 5 November 2004 Pasal 16 perihal Agunan Kredit poin 6) bahwa seluruh mesin dan peralatan pabrik milik debitur akan diikat dengan akta jaminan fidusia. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Macetnya kualitas kredit PT BAG sebesar Rp258.988 juta mengakibatkan Bank Mandiri harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena belum memperoleh agunan yang cukup dan tidak mempunyai hak preferensi atas sebagian agunan yang belum diikat secara sempurna. Kondisi tersebut terjadi karena: a. GH, DH dan RM pada Credit Recovery Group kurang tegas meminta debitur untuk mematuhi syarat-syarat PK. b. Adanya itikad kurang baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Sesuai Credit Report No. RMN.CRA/271/2001 tanggal 2 November 2001 diketahui DER perusahaan tinggi karena perusahaan masih mempunyai kewajiban jangka pendek dan jangka panjang dari beberapa bank nasional dan asing. Bank Mandiri hanya memperpanjang fasilitas kredit tersebut (tidak memberikan fasilitas kredit baru) karena kondisi keuangan PT BAG turun. Perpanjangan diberikan karena masih adanya keuntungan kompetitif yaitu pengalaman yang cukup lama pada industri dan jaringan pemasaran yang relatif cukup solid. b. Pinjaman dari pihak lain tersebut telah diambil alih oleh GR Co. yang merupakan 90% pemegang saham PT. BAG. Dengan pengambilalihan mayoritas saham PT BAG oleh GR Co., maka status Bank Mandiri menjadi senior lender yang hutangnya harus diprioritaskan pembayarannya oleh PT. BAG dibandingkan pinjaman lainnya. c. Berdasarkan PK Penyelesaian Kredit No.14 tanggal 5 September 2004, debitur disyaratkan untuk segera memindahkan negosiasi L/C Ekspor dan seluruh hasil penjualan melalui Bank paling lambat bulan Desember 2004. Debitur harus menyalurkan seluruh aktivitas keuangannya melalui Bank selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif perjanjian. Sesuai surat Bank Mandiri No.CRY/738/2005 tanggal 5 Agustus 2005, Bank telah mengingatkan debitur untuk menyalurkan seluruh aktivitas keuangannya melalui Bank Mandiri.
64
d. Saat ini sedang dalam proses penunjukan appraisal untuk penilaian mesin tersebut sesuai surat No.SAM.CRI/ Dept.LCI/055/2008 tanggal 12 Februari 2008. Apabila penilaian telah selesai, Bank akan menindaklanjuti dengan pengikatan secara fiducia. e. Pada tahun 2006 coverage agunan tambahan meningkat menjadi 94,4% karena meningkatnya nilai pasar dari agunan tambahan Rp108 miliar (pada tahun 2004) menjadi Rp250 miliar (tahun 2006). Disisi lain terjadi penurunan hutang pokok dari Rp285 miliar (pada tahun 2004) menjadi Rp265 miliar (tahun 2006). Apabila agunan utama juga diperhitungkan maka security coverage agunan menjadi sebesar 138%. f. Penilaian agunan terakhir dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 oleh PT Wilson Property Advisindo. Dengan surat No.SAM.CRI/Dept.LCI/055/2008 tanggal 12 Februari 2008, Bank telah meminta debitur untuk menilai kembali agunan kredit. g. Debitur bersedia mengganti mesin-mesin yang tidak ada dengan mesin boiler tenaga batubara yang nilainya lebih besar. Saat ini sedang dalam proses penunjukan appraisal untuk menilai mesin tersebut sesuai surat No.SAM.CRI/Dept.LCI/055/2008 tanggal 12 Februari 2008 dan setelah selesai akan diikat secara fiducia. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor pembayaran kewajiban debitur sesuai Perjanjian Penyelesaian Kredit yang telah disepakati. b. Memonitor progres penilaian agunan mesin dan mesin pengganti dan mengikatnya secara fiducia. c. Memasukkan PT BAG dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri.
12. PT UEA tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT UEA didirikan tanggal 2 Desember 2002 yang bergerak dalam bidang jasa pembangunan dan pengelolaan pusat pertokoan dan berkedudukan di Surabaya. Kondisi fasilitas kredit PT UEA posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp253.460 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Dalam proses negosiasi dengan calon investor. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa hal sebagai berikut. a. PT UEA mengubah susunan pengurus walaupun tidak disetujui Bank Mandiri Surat No. EXT/HR-BM/VI-05/002 tanggal 22 Juni 2005 menyebutkan bahwa debitur memohon perubahan susunan pengurus PT UEA sebagaimana tertuang dalam akta notaris No.85 tanggal 21 Juni 2005. Bank Mandiri tidak menyetujui permohonan tersebut karena sejak permohonan, persetujuan dan pencairan kredit, Bank selalu berhubungan dengan Direktur Utama yang lama. Pergantian pengurus tersebut tidak sesuai dengan PK No.201 tanggal 27 Mei 2004 Pasal 21 syarat-syarat lain yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, tanpa persetujuan tertulis dari Bank terlebih dahulu, debitur tidak diperkenankan mengubah susunan pengurus pemegang saham perusahaan. b. PT UEA mengubah konsep pembangunan Mall Tujuan pemberian fasilitas kredit pada awalnya adalah untuk pembangunan mall dengan konsep Trade Center Mall (TCM) yang sebagian berbentuk kios-kios siap jual. 65
Dengan surat No.01/UEA/ES/VIII/05 tanggal 10 Agustus 2005, debitur memberitahukan adanya perubahan konsep mall yang dibangun menjadi Shopping Mall yang dilengkapi dengan entertainment center dan sebagian besar untuk disewakan. Perubahan konsep tersebut mengakibatkan adanya pekerjaan tambahan pembangunan seluas 29.532 m², yaitu dari seluas 202.683 m² menjadi 232.215 m². Hal itu mengakibatkan pembangunan proyek terhenti karena kekurangan dana penyelesaian pembangunan yang diperkirakan mencapai Rp200.000,00 juta. Hal itu tidak sesuai dengan PK KMK No.201 tanggal 27 Mei 2004 yang menyatakan bahwa tujuan kredit adalah untuk modal kerja konstruksi pembangunan The City Mall Surabaya. c. PT UEA mempunyai pinjaman kepada bank lain Laporan Keuangan Audited PT UEA per 31 Desember 2005 menyebutkan bahwa debitur memiliki pinjaman kepada Bank Bukopin sebesar Rp9.100,00 juta. Pinjaman tersebut belum memperoleh persetujuan tertulis dari Bank Mandiri. Hal itu tidak sesuai dengan PK No.201 tanggal 27 Mei 2004 Pasal 21 yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, tanpa persetujuan tertulis dari Bank terlebih dahulu debitur tidak diperkenankan memperoleh fasilitas kredit/pinjaman lain dari lembaga keuangan lain. d. Asuransi proyek pembangunan Mall belum diperpanjang Menurut nota No.SAM.CR2/LWO.II.95/2007 tanggal 2 Oktober 2007, asuransi agunan berupa bangunan proyek telah jatuh tempo bulan Juni 2006 dan belum diperpanjang karena pembangunan proyek berhenti. Hal itu tidak sesuai dengan PK No.201 tanggal 27 Mei 2004 yang menyebutkan bahwa barang agunan yang dapat diasuransikan harus diasuransikan dengan syarat banker’s clause untuk kepentingan Bank. e. PT UEA belum menyerahkan Laporan keuangan audited tahun 2006 Menurut dokumen kredit, PT UEA belum menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006 sampai saat pemeriksaan bulan Januari 2008. Hal itu tidak sesuai dengan PK No. 201 tanggal 27 Mei 2004 yang menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan audited paling lambat telah diterima bank 180 hari setelah akhir periode laporan. Dengan demikian pada tanggal 30 Juni 2007 laporan keuangan audited PT UEA tahun buku 2006 seharusnya telah disampaikan kepada Bank Mandiri. f.
Penyelesaian kredit PT UEA dengan pelunasan belum terealisir sesuai kesepakatan Menurut surat No.EXT/UEA-MDR/IX/07/012 tanggal 10 September 2007, debitur memohon kepada Bank untuk melunasi kewajibannya dengan memperhatikan kesanggupan calon investor PT CCC untuk menyelesaikan kewajiban PT UEA di Bank Mandiri dengan meminta keringanan atas seluruh tunggakan bunga dan denda. Komite Kredit Pemutus Tingkat Pertama dalam nota No. SAM.CR2/LWO.II.95/2007 tanggal 2 Oktober 2007 menyetujui pelunasan kredit dengan keringanan bunga, denda dan ongkos sebesar 88% per 23 September 2007. Risalah Keputusan Komite Restrukturisasi Kredit Tingkat Kedua juga menyetujuinya pada tanggal 3 Oktober 2007.
66
Dengan surat No.SAM.CR2/481/2007 tanggal 3 Oktober 2007, pelunasan kredit PT UEA disetujui sebesar Rp265.959,79 juta terdiri dari pelunasan pokok sebesar Rp253.459,79 juta dan tunggakan bunga sebesar Rp12.500,00 juta dengan jangka waktu pelunasan sampai dengan tanggal 15 Desember 2007. Sedangkan teknis pelaksanaan pelunasan kredit akan diatur dalam nota kesepahaman yang akan disusun kemudian. Debitur diminta menyetorkan Down Payment (DP) sebesar 10% dari jumlah pelunasan paling lambat sebelum ditandatanganinya nota kesepahaman. Sampai dengan berakhirnya jangka waktu pelunasan tanggal 15 Desember 2007, debitur belum melunasi kredit maupun menyetor DP, sehingga sesuai syarat-syarat pelunasan kredit yang tercantum dalam Nota Analisa No.SAM.CR2/LWO.II.95/2007 tanggal 2 Oktober 2007 yang telah disetujui oleh pemegang kewenangan yaitu keringanan atas tunggakan bunga dan denda akhirnya batal. Macetnya kualitas kredit PT UEA sebesar Rp253.460 juta mengakibatkan Bank Mandiri harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. Kondisi tersebut terjadi karena: a. Manajer dan RM CBC Surabaya serta GH, DH dan RM pada CRG Bank Mandiri kurang memonitor kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat Perjanjian Kredit. b. Adanya itikad tidak baik dari debitur.
a.
b.
c.
d.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Walaupun telah terjadi perubahan pengurus yaitu keluarnya Sdr. S selaku Direktur Utama dan digantikan oleh Sdr. ES tetapi sampai dengan saat ini Bank tidak menyetujui perubahan dimaksud. Sdr. S tetap diikat tanggung jawabnya terhadap kredit PT UEA dan telah diikat Personal Guarantee-nya (Akta No. 73 tanggal 31 Mei 2004). Sesuai surat kepada debitur No. TRI.CRT/LWOII.35/2006 tanggal 17 Mei 2006, Bank telah meminta debitur untuk membatalkan Akta Perubahan Susunan Pengurus tersebut tetapi debitur belum membatalkan akta tersebut. Selama masa pencairan kredit PT UEA yaitu sampai dengan pencairan terakhir bulan Juli 2005, dari Konsultan Pengawasan Proyek (Laporan Pengawasan Proyek oleh Pronilai tanggal 20 Juni 2005) tidak ada informasi adanya perubahan Konsep Proyek dan Cost of Project. Perubahan konsep proyek dari Trade Centre menjadi Shopping Mall baru diinformasikan oleh debitur dengan surat tanggal 10 Agustus 2005 karena pertimbangan situasi pasar di Surabaya, yaitu Trade Centre yang telah ada banyak yang gagal. Dengan adanya perubahan Konsep Proyek dan cost of project, Bank Mandiri memperkirakan bahwa kelonggaran tarik yang ada tidak mencukupi untuk penyelesaian proyek. Oleh karena itu Bank Mandiri menghentikan pencairan kelonggaran tarik kreditnya. CBC Surabaya baru mengetahui adanya pinjaman dari Bukopin dari Laporan Keuangan Audited Tahun 2005 oleh Drs. Bernardi & Rekan tanggal 23 Juni 2006. Bank Mandiri telah menyampaikan teguran tertulis kepada debitur (vide Surat No. SAM.CR2/524/2006 tanggal 29 Agustus 2006). Bank telah meminta debitur untuk memperpanjang asuransi tersebut dengan surat No.. SAM.CR2/LWO.II.022/2008 tanggal 30 Januari 2008.
67
e. Bank telah meminta debitur untuk menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006 dengan surat No. SAM.CR2/LWO.II.022/2008 tanggal 30 Januari 2008. Namun debitur tidak membuat laporan keuangan karena proyek terhenti dan tidak ada lagi kegiatan. f. Terkait dengan tertundanya penyelesaian kredit PT UEA, Bank telah melakukan pertemuan kembali dengan debitur dan investor pada tanggal 7 Januari 2008 (Call Report terlampir). Negosiasi penyelesaian oleh investor dan debitur masih berlanjut karena kedua belah pihak masih belum sepakat terhadap beberapa hal. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengambil tindakan penyelesaian kredit melalui legal action sebagaimana telah diatur dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank yang semakin besar. b. Memasukkan PT UEA dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri dan meminta debitur untuk memperpanjang asuransi agunan.
13. Pengelolaan fasilitas kredit PT SLJ tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT SLJ didirikan tanggal 14 April 1980 dan bergerak dalam bidang usaha plywood dan Medium Density Fiberboard (MDF). PT SLJ berkantor di Jakarta sedangkan pabrik di Samarinda dan Kutai Kalimantan Timur. PT SLJ memperoleh fasilitas kredit dari Bank Mandiri sejak tahun 1994 yang pada saat itu diterima oleh PT NM dari ex Legacy BDN berupa fasilitas KI dan KMK. Kondisi fasilitas kredit PT SLJ posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp343.714 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Dalam proses monitoring restrukturisasi dalam rangka penyelesaian kredit yang telah disepakati bulan November 2004. Kami informasikan bahwa fasilitas kredit PT SLJ sudah lama diberikan yaitu sejak eks legacy Bank Mandiri (tahun 1994) sehingga dokumen kredit sulit diperoleh. Oleh karena itu kami hanya memeriksa berkas fasilitas kredit PT SLJ sejak dikelola Bank Mandiri. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa kelemahan sebagai berikut. a. Restrukturisasi kredit dengan pola merger PT NM kedalam PT SLJ tidak sesuai ketentuan dan Bank Mandiri belum membuat analisa sensitivitasnya Nota Dinas No.124/LWO-II/III/2000 tanggal 20 Maret 2000 menyebutkan beberapa hal sebagai sebagai berikut: 1) Dengan meningkatnya penawaran MDF di pasaran dunia dan menurunnya permintaan pasar lokal, fasilitas KI PT NM direstrukturisasi untuk yang kedua kali dengan pola merger PT NM kedalam PT SLJ sebagai holding company. Persetujuan prinsip restrukturisasi ditegaskan dengan surat eks legacy Bank BDN No. KP.40/396/UKS tanggal 31 Maret 1999 sehingga limit PT SLJ menjadi sebesar UDS46,573.50 ribu yang terdiri limit KI USD44,073.50 ribu (porsi BDN sebesar USD37,450.55 ribu dan porsi Bank Indovest sebesar USD6,622.95 ribu) dan KMK USD2,500.00 ribu dengan rincian:
68
No.
Nama Bank
PT BDN - KI - KMK Sub Total Kredit eks BDN 2 PT Bank Indovest, Tbk Total Hutang Pokok Fasilitas Kredit
Valuta
Limit
USD USD USD USD USD
37,450,552 2,500,000 39,950,000 6,622,948 46,573,500
1
2) Pada butir II.A.4.b mengenai kinerja usaha PT SLJ selama tiga tahun terakhir menunjukkan hal-hal sebagai berikut: a) CR PT SLJ per 31 Desember 1997, 31 Desember 1998 dan 31 Oktober 1999 cenderung menurun yaitu sebesar 87,82%, 64,55%, dan 56,67%. Sedangkan DER sebesar 170,07%, 220,20% dan 227,26%. b) Profitabilitas tidak cukup baik karena perusahaan beroperasi kurang efisien serta besarnya biaya diluar operasi yang harus ditanggung perusahaan yang terlihat dari net profit margin-nya negatif 10,21% pada periode 31 Oktober 1999. 3) Bank Mandiri telah membuat proyeksi cash flow, tetapi tidak membahas analisa kepekaan (sensitivitas) sehingga tidak mengetahui pengaruh perubahan suku bunga atau penjualan terhadap proyeksi cash flow yang telah dibuat. Fasilitas kredit yang direstrukturisasi pada saat kondisi keuangan debitur menurun tidak sesuai dengan PPK Edisi I tahun 1999 Buku IV Bab XIV.C. 1.b.1).b).(3) hal.26 yang menyatakan bahwa penentuan strategi restrukturisasi dapat dilakukan bila kondisi keuangan perusahaan selama tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan (trend) yang meningkat. Analisis sensitivitas yang tidak dibuat tidak sesuai dengan PPK Edisi I tahun 1999 Buku IV Bab XIV.C. 1.b.2).b) hal.28 yang menyatakan bahwa petugas dan/atau pejabat yang menangani harus membuat analisis kepekaan (sensitivity analysis) yakni dengan mengubah asumsi atas pos-pos yang kritis/peka (misalnya suku bunga, sales, turn over piutang/persediaan) dan melihat dampaknya terhadap proyeksi keuangan, terutama cash flow. b. Bank Mandiri mengambil alih fasilitas kredit PT NM dari PT Bank Indovest pada saat kolektibilitasnya kurang lancar Dengan surat No.029/CF/II00 tanggal 21 Februari 2000, PT Bank Indovest (dalam likuidasi) meminta Bank Mandiri untuk mengambil alih (take over) fasilitas kredit PT NM porsi Bank Indovest. Fasilitas kredit PT NM dari Bank Indovest per 31 Maret 2000 adalah sebesar USD6,622.95 ribu. Nota analisa restrukturisasi menyebutkan bahwa BI telah mencabut izin usaha Bank Indovest dengan SK BI No.1/5/KEP.GBI/1999 tanggal 29 Juni 1999. Bank Mandiri menyetujui pengambilalihan itu dan menandatangani Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang dengan PT Bank Indovest Tbk (dalam likuidasi) tanggal 31 Juli 2000 (akta dibawah tangan) dengan harga pengalihan sebesar USD6,622.95 ribu. Nilai pengambilalihan yang direalisir hanya tahap I dan II sebesar USD3,311.47 ribu. Sedangkan sisanya (tahap III dan IV) dibatalkan sesuai hasil pertemuan pada tanggal 8 September 2004 antara Bank Mandiri, Bank Indovest dan Mahanusa Capital (Financial Consultant PT SLJ). Dengan demikian fasilitas kredit PT SLJ dari Bank Mandiri menjadi sebesar:
69
(Dalam ribuan USD) Keterangan Hutang pokok (Tranche A)
Sebelum take over
Take over Bank
Setelah take over
Bank Indovest
Indovest
dari Bank Indovest
39,950.55
3,311.47
43,262.02
Tunggakan bunga (Tranche B)
4,387.24
623.29
5,010.53
Jumlah
44,337.79
3,934.76
48,272.55
Pengambilalihan fasilitas kredit PT NM dari Bank Indovest akan menambah risiko bagi Bank Mandiri karena pada saat itu kolektibilitas kredit PT NM adalah Kurang Lancar (Kolektibilitas 3). c. Coverage agunan PT SLJ tidak sesuai dengan ketentuan Laporan Penilaian Aktiva Tetap tanggal 19 Februari 2007 oleh PT Asian Appraisal Indonesia menyebutkan bahwa nilai pasar agunan PT SLJ per tanggal 13 Februari 2007 adalah sebesar Rp541.351,00 juta dan nilai likuidasinya sebesar Rp270.670,00 juta. Penilai internal Bank Mandiri belum mereview hasil penilaian oleh appraisal independen tersebut. Kewajiban PT SLJ posisi per 31 Desember 2007 adalah sebesar USD46,481.92 ribu terdiri dari tranche A sebesar USD 18,592.77 ribu dan tranche B sebesar USD27,889.15. Dengan asumsi kurs USD sebesar Rp9.300 maka coverage agunan berdasarkan nilai pasar adalah sebesar 125,23% dan berdasarkan nilai likuidasi adalah sebesar 62,61%. Coverage agunan itu tidak sesuai dengan PPK Buku 3 Bab VIII Sub Bab B Butir 2.a.1) tentang Kredit Investasi yang menyatakan bahwa secara umum total nilai pasar yang dapat diterima Bank dari agunan utama dan agunan tambahan seluruhnya dalam bentuk aktiva tetap, minimum sebesar 150% dari limit kredit. Penilai internal Bank yang belum mereview hasil penilaian appraisal independen tidak sesuai dengan PPK Buku 3 Bab VIII Sub Bab B Butir 8.c. yang menyatakan bahwa apabila agunan dinilai oleh Penilai Independen, penilai internal wajib mereview dan hasil review tersebut bersifat final. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Macetnya kualitas kredit PT SLJ sebesar Rp343.714 juta mengakibatkan Bank Mandiri harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan aktiva berdasarkan nilai likuidasi hanya 62,61% dari outstanding kredit. Kondisi tersebut di atas terjadi karena GH, DH dan RM pada Credit Recovery Group kurang memperhatikan kondisi keuangan debitur dan analisa kepekaan dalam merestrukturisasi kredit dan tidak meminta agunan tambahan. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. PT SLJ memperoleh fasilitas kredit dari beberapa kreditur dan restrukturisasinya (termasuk restrukturisasi untuk kreditur lainnya) dituangkan didalam Perjanjian Onshore Facility Agreement tanggal 16 Juni 2000, Inter Creditor Agreement tanggal 16 Juni 2000 dan Consolidated Facility Agreement tanggal 6 Juli 2000. Restrukturisasi kredit dengan cara merger tersebut telah memperoleh persetujuan para kreditur, pemegang saham dan BAPEPAM (sebagai perusahaan publik), karena menguntungkan semua pihak. Bank tidak membuat analisa sensitivitas pada tahun 2000. Namun pada restrukturisasi terakhir tahun 70
2004, Bank telah menyusun analisa sensitivitasnya (nota analisa No.CRY/211/2004 tanggal 30 September 2004). Restrukturisasi tersebut sampai dengan saat ini dapat berjalan efektif. b. Bank Mandiri mengambil alih kredit porsi Bank Indovest (dalam likuidasi) agar proses restrukturisasi kredit PT SLJ oleh Bank Mandiri dapat berjalan lancar, karena status Bank Indovest sebagai Bank Dalam Likuidasi tidak memungkinkan Bank Indovest mengikuti program restrukturisasi yang akan dilaksanakan oleh kreditur lainnya. Namun, saat kolektibilitas kredit PT SLJ diturunkan menjadi Macet, sisa kredit PT Bank Indovest yang belum diambil alih oleh Bank Mandiri (tahap III dan IV) telah dibatalkan. c. Fasilitas kredit diberikan dalam valuta USD, dimana pada tahun 1998 nilai Rupiah terhadap valas mengalami depresiasi yang tajam, sehingga total kewajiban debitur dalam equivalen Rupiah meningkat sangat besar, dilain pihak agunan tersebut dinilai dalam valuta Rupiah. SCR agunan PT SLJ posisi 31 Januari 2008 sebesar 125,23% (atas nilai pasar sesuai hasil penilaian agunan oleh Konsultan Rekanan PT. Asian Appraisal Indonesia pada tanggal 19 Februari 2007). Kondisi SCR tersebut jauh lebih baik dari sebelumnya, karena sebagian agunan tersebut (pabrik MDF line 1) yang sebelumnya merupakan agunan secara paripassu dengan kreditur lainnya, saat ini seluruhnya dikuasai oleh Bank Mandiri (tidak paripassu lagi dengan kreditur lain) karena seluruh fasilitas kredit dari kreditur lain telah dilunasi dengan cara convert to equity. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor upaya restrukturisasi kredit yang telah disepakati dalam rangka penyelesaian kredit PT SLJ. b. Meminta debitur agar menyerahkan agunan tambahan sehingga kepentingan Bank Mandiri dari second way out lebih terlindungi. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit PT SLJ dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
14. PT BTI tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT BTI didirikan tanggal 6 Desember 1971 yang bergerak dibidang industri tekstil (pemintalan, pertenunan dan garmen), dengan lokasi pabrik di Kabupaten Semarang. Kondisi fasilitas kredit PT BTI posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp302.366 juta Kualitas kredit Dalam Perhatian Khusus (Gol. 2) Dalam proses monitoring pemenuhan kewajiban sesuai perjanjian restrukturisasi kredit. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. PT BTI belum menyalurkan 75% aktivitas keuangannya melalui Bank Mandiri Selama bulan Oktober s.d. Desember 2007, penyaluran aktivitas keuangan PT BTI melalui Bank Mandiri adalah sebesar 72,61%. Kondisi itu tidak sesuai dengan Addendum III Perjanjian Kredit Investasi Dalam Valuta Asing No.KP-CRU/001/PK-KI/1999 Akta No. 10 tanggal 25 Juli 2007 Pasal 12 yang menyebutkan bahwa Debitur sanggup menyalurkan aktivitas keuangan melalui Bank dan sampai dengan akhir tahun 2007 minimal sebesar 75% dan apabila tidak dapat dipenuhi maka Bank akan mengevaluasi peningkatan suku bunga kredit.
71
b. PT BTI meminjam dari bank lain tanpa seizin Bank Mandiri Sesuai informasi dari BI melalui fasilitas IDI Online No.9/4995427/DPIP/PIK tanggal 28 Juni 2007, PT BTI selain memperoleh fasilitas kredit dari Bank Mandiri juga memperoleh kredit dari bank lain dengan outstanding Rp63,41 juta dan USD883,00 ribu. Atas pinjaman tersebut, PT BTI belum memperoleh persetujuan tertulis dari Bank Mandiri. Kondisi itu tidak sesuai dengan Perjanjian Kredit Pasal 13 mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh Debitur antara lain memperoleh kredit/pinjaman dalam bentuk apapun dari pihak lain, baik untuk Modal Kerja maupun Investasi, kecuali dalam rangka transaksi dagang yang lazim dan subordinated loan dari para pemegang saham. c. DER PT BTI tinggi karena meningkatnya akumulasi kerugian Menurut Laporan Keuangan PT BTI tahun 2004 s.d. bulan Juni 2007, DER PT BTI tinggi yaitu:
DER
2004 (audited)
2005 (audited)
2006 (audited)
2007 (s.d Juni)
7.303,3%
-492,3%
3.108,7%
20.683,5%
DER yang tinggi menunjukkan kewajiban perusahaan tidak dapat dicover dengan modal sendiri sehingga perusahaan menjadi kurang solvabel dan berdampak terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan kredit. Untuk memperbaiki kondisi solvabilitas, PT BTI menyerahkan Surat Pernyataan yang berisi kesediaan melakukan upaya perbaikan keuangan agar modal (equity) pada akhir tahun 2007 menjadi positif dengan cara revaluasi aset, penambahan modal disetor atau cara lain yang memungkinkan equity menjadi positif. Dalam PPK Buku II Bab VII Sub Bab B disebutkan bahwa DER mengukur perbandingan antara sumber dana perusahaan yang diperoleh dari pihak luar dengan yang disediakan oleh pemilik. Makin besar peranan dana yang berasal dari luar dibandingkan dengan modal sendiri, makin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur. d. Nilai pengikatan agunan berupa mesin, peralatan, tanah dan bangunan belum sesuai ketentuan Hasil review laporan penilaian aset PT BTI oleh Credit Operations No. TOP.CRO/PRM.3760/2007 tanggal 28 Agustus 2007 dan pengikatan agunan menunjukkan bahwa nilai pasar dan nilai pengikatan agunan berupa mesin, peralatan, tanah dan bangunan adalah sebagai berikut: (Dalam jutaan rupiah)
Jenis Agunan
Nilai Pasar
Nilai Pengikatan
Selisih
Mesin & Peralatan
279.031,80
383.663,70
(104.631,90)
Tanah & bangunan
145.863,04
112.720,00
33.143,04
Tabel di atas memperlihatkan bahwa nilai pasar untuk mesin dan peralatan lebih rendah dari nilai pengikatan sedangkan limit kredit PT BTI sebesar Rp335.642,29 juta. Hal itu terjadi karena Bank Mandiri belum memperhitungkan nilai depresiasi mesin dan peralatan. Selain itu pada bulan Agustus 2006 terjadi kebakaran yang menimpa PT BTI sehingga 85 unit Air Jet Looms pada unit weaving tidak dapat digunakan lagi. Mesin yang rusak karena kebakaran tersebut masih diperhitungkan dalam nilai pengikatan.
72
Sedangkan nilai pengikatan hak tanggungan tanah dan bangunan lebih rendah dari nilai pasarnya sebesar Rp33.143,04 juta. Kondisi itu tidak sesuai dengan PPK Bab VIII Sub Bab B.11 yang menyatakan: 1) Pengikatan atas barang agunan berupa benda-benda tak bergerak misalnya tanah dilakukan dengan pemasangan hak tanggungan sebesar 100% dari nilai taksasi barang agunan yang bersangkutan atau minimal 100% dari limit kredit apabila nilai barang agunan lebih besar dari maksimum kredit. 2) Penetapan nilai taksasi atas Hak Tanggungan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) Apabila total nilai agunan berdasarkan Nilai Pasar yang dapat diterima Bank lebih kecil dari limit kredit, maka pembebanan Hak Tanggungan adalah atas dasar Nilai Pasar. b) Apabila total nilai agunan berdasarkan Nilai Pasar yang dapat diterima Bank lebih besar dari limit kredit, maka pembebanan Hak Tanggungan adalah atas dasar Nilai Pasar yang dapat diterima Bank. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri tidak dapat memantau aktivitas usaha dan keuangan nasabah. b. Kelancaran nasabah memenuhi kewajiban kepada Bank Mandiri berpotensi terganggu karena kondisi keuangan perusahaan yang kurang solvabel dan adanya pembayaran bunga dan pinjaman ke bank lain. c. Bank Mandiri tidak dapat memperoleh hasil likuidasi sebesar nilai tanggungan jika agunan dijual. Hal tersebut terjadi karena: a. GH, DH dan RM pada Credit Recovery Group kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi beberapa syarat kredit yaitu penyaluran 75% aktivitas keuangan nasabah melalui Bank Mandiri dan tidak boleh meminjam ke bank lain tanpa seizin Bank Mandiri. b. GH, DH dan RM pada Credit Recovery Group dan Credit Operation belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan pengikatan agunan. c. Adanya itikad kurang baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Sejak kredit bermasalah akhir tahun 2005, aktivitas keuangannya tidak disalurkan melalui Bank Mandiri (terdapat kekhawatiran dari nasabah atas dana yang masuk langsung dipotong oleh Bank Mandiri sehingga dapat mengganggu operasional usaha). Debitur mulai menyalurkan kembali aktivitas keuangannya melalui Bank Mandiri menjadi sebesar 72,61% tetapi masih dibawah persyaratan 75%. Terhadap permasalahan ini, Bank Mandiri telah menegur debitur dengan Surat No. SAM.CR2/LWO1.062/2008 tanggal 11 Februari 2008. Apabila sampai dengan Maret 2008, aktivitas keuangan belum mencapai 75%, Bank akan mengevaluasi peningkatan suku bunga. b. Fasilitas dari bank lain merupakan fasilitas trade line (untuk negosiasi wesel ekspor) karena fasilitas trade line dari Bank Mandiri dibekukan. Bank telah mengingatkan debitur dengan surat No. SAM.CR2/LWO I.305/2007 tanggal 20 Juni 2007. Saat ini fasilitas dimaksud sudah tidak digunakan lagi dan transaksi ekspor impor debitur telah dilakukan melalui Bank Mandiri.
73
c. Pada saat restrukturisasi Juli 2007, debitur telah disyaratkan untuk memperbaiki equity pada akhir tahun 2007. Pada bulan September 2007, equity positif sebesar Rp13 milyar sehingga DER yang semula negatif meningkat menjadi positif sebesar 3.120%. Kondisi DER diharapkan akan semakin membaik dengan turunnya pokok KMK sebesar Rp34,4 milyar dan meningkatnya kinerja keuangan perusahaan. d. Agunan senilai Rp383.663,70 juta diikat pada tanggal 1 Oktober 2004 berdasarkan Akta Fiducia No. 3 yang didaftarkan pada tahun 2005. Dengan berjalannya waktu dan adanya penyusutan serta sebagian mesin weaving terbakar, nilai pasar per Februari 2007 lebih rendah dari nilai pengikatan. Debitur telah menyerahkan surat pernyataan secara notarial Akte No. 16 tanggal 25 Juli 2007 yang diantaranya menyatakan bersedia meningkatkan nilai pengikatan apabila berdasarkan penilaian ulang nilainya lebih besar daripada nilai pengikatan. Review penilaian agunan baru selesai pada Agustus 2007. Atas peningkatan nilai wajar sebesar Rp880,46 Juta (< 1% dari total agunan), Bank telah meminta debitur untuk meningkatkan nilai pengikatannya dengan Surat No. SAM.CR2/LWO1.062/2008 tanggal 11 Februari 2008. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri memberikan teguran tertulis kepada debitur karena tidak dipenuhinya beberapa klausul dalam perjanjian kredit dan meminta debitur untuk menyalurkan minimal 75% transaksi melalui Bank Mandiri, memperbaiki DER dan menyesuaikan nilai pengikatan tanah dan bangunan dengan nilai pasar.
15. PT SMR tidak mengonversi hutang kepada pemegang saham menjadi equity sesuai perjanjian PT SMR didirikan tanggal 7 November 1990 dan bergerak dibidang industri bubuk melamin dengan alamat kantor di Jakarta dan lokasi pabrik di Palembang. Kondisi fasilitas kredit PT SMR posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp278.882 juta Kualitas kredit Dalam Perhatian Khusus (Gol. 2) Dalam proses monitoring pemenuhan kewajiban debitur. Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut. a. PT SMR tidak menambah setoran modal dan tidak mengonversi hutang kepada pemegang saham menjadi equity Hasil RUPSLB PT SMR tanggal 31 Agustus 2001 diantaranya adalah pemegang saham PT SMR (PT PSW) akan menambah modal secara bertahap dengan cara penyediaan bahan baku dan utilitas. Dalam Nota Informasi No.RMN.CRY/425/2003 tanggal 2 Juli 2003 dikemukakan bahwa kesepakatan RUPSLB PT SMR akan ditindaklanjuti oleh para pemegang saham dengan cara menambah setoran modal. PT PSW akan menambah setoran modal dengan cara mengonversi hutang dagang menjadi equity (Debt to Equity Swap) maksimal USD10,000.00 ribu sebagaimana kesanggupan PT PSW yang telah memperolah persetujuan RUPS PT PSW. Menurut Nota Informasi No.RMN.CRY/425/2003 tanggal 2 Juli 2003, perkembangan Debt to Equity Swap mengalami hambatan serius karena tidak adanya kesepakatan antara Sdr. BP (pemilik PT LSR dan PT KEN yang merupakan pemegang saham PT SMR) dan PT PSW mengenai harga saham dalam konversi tersebut.
74
Akibat berlarut-larutnya permasalahan tersebut, kewajiban PT SMR kepada Bank Mandiri sejak akhir Desember 2002 menjadi terabaikan sehingga terjadi tunggakan kewajiban bunga kredit (Trw.IV/2002 dan Trw.I/2003) sebesar USD1,500.00 ribu. Seluruh free cash PT SMR digunakan untuk mengangsur hutang dagang kepada PT PSW (periode Desember 2002 s.d. Maret 2003 sebesar USD2,400.00 ribu). Laporan Keuangan PT SMR Audited tahun 2003 dan 2004 menunjukkan: 1) Saldo Hutang kepada Pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa (PT LSR, PT KEN dan PT PSW) tahun 2003 sebesar Rp3.137,96 juta, yang merupakan hutang atas pembagian dividen tahun 1999, dan tahun 2004 bersaldo 0 (nihil). Saldo Modal Saham tahun 2003 dan 2004 tidak berubah, yaitu sebesar Rp37.587,00 juta. 2) Saldo Hutang Usaha kepada Pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa (PT PSW) tahun 2003 sebesar Rp78.808,86 juta dan tahun 2004 turun menjadi Rp36.979,47 juta. Keterangan di atas menunjukkan bahwa: 1) PT SMR menyelesaikan saldo Hutang kepada Pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tahun 2003 sebesar Rp3.137,96 juta tidak melalui konversi menjadi saham melainkan melalui pelunasan secara kas. 2) PT SMR menggunakan excess cash sebesar Rp41.827,39 juta (Rp78.808,86 jutaRp36.979,47 juta) untuk menurunkan jumlah angsuran pokok tunggakan hutang dagang kepada PT PSW dan bukan untuk percepatan pembayaran kredit Bank Mandiri. Pembayaran hutang dagang kepada PT PSW itu tidak sesuai dengan kesanggupan PT PSW yang telah memperoleh persetujuan RUPS PT PSW yang akan menambah porsi setoran modal dengan cara konversi hutang dagang menjadi equity (Debt to Equity Swap) maksimal USD10,000.00 ribu. Kondisi itu tidak sesuai dengan: 1) Akta Pernyataan dan Jaminan No.21 tanggal 7 Mei 2004 yang menyatakan bahwa debitur bersedia dan menyatakan kesediaannya bahwa dalam rangka memperbaiki Debt to Equity Ratio (DER), perusahaan akan mengonversi hutang kepada para pemegang saham menjadi equity yang dilaksanakan pada tahun 2004. 2) Hasil RUPSLB PT SMR tanggal 31 Agustus 2001 antara lain diputuskan pada butir b) bahwa seluruh hutang perseroan yang berasal dari dividen laba tahun 1998 dikonversi menjadi saham. 3) Persetujuan RUPS PT PSW mengenai tambahan porsi setoran modal antara lain dengan cara konversi hutang dagang menjadi equity (Debt to Equity Swap). b. Kelangsungan pasokan bahan baku PT SMR tergantung pada PT PSW Nota Informasi No.RMN.CRY/811/2003 tanggal 15 Oktober 2003 perihal Perkembangan Penyelesaian Kredit PT SMR mengemukakan bahwa: 1) Restrukturisasi kredit bulan Desember 2001 mempunyai target untuk menyelesaikan permasalahan pokok PT SMR, diantaranya: a) Memperbaiki dan memaksimalkan kemampuan mesin Perbaikan dan penambahan mesin pada jalur recycle production telah selesai dan berhasil meningkatkan kemampuan teknis, tetapi masih sering terjadi hambatan sebagai berikut: (1) Pada jalur produksi untuk proses timbal balik bahan baku dan bahan penolong antara PT SMR dengan PT PSW, masih sering timbul masalah pada penyaluran off gas (by product PT SMR) yang dijual (dikirim kembali) kepada PT PSW. 75
(2) Connections supply dengan PT PSW selaku supplier bahan baku dan penyedia utilitas sering bermasalah karena adanya gangguan dari salah satu pabrik PT PSW (unit II, III dan IV) sehingga mengakibatkan sering terhentinya aktivitas produksi PT SMR. b) Meningkatkan penetrasi pasar secara langsung untuk mengurangi ketergantungan perusahaan kepada para distributor. Manajemen telah mengubah strategi marketing dengan prioritas Direct Selling. Kondisi harga melamin yang cenderung “pasang-surut” ditambah dengan kurang stabilnya tingkat produksi mengakibatkan PT SMR masih tetap dalam kondisi illikuid dengan DER negatif dan memiliki kewajiban bank yang telah jatuh tempo sejumlah USD4,677,724. 2) Perkembangan terakhir permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: a) Keuangan PT SMR pada saat ini di kontrol penuh oleh PT PSW dan alokasi dana diprioritaskan bagi pembayaran hutang dagang kepada PT PSW. Jika tidak, maka PT PSW akan menghentikan pasokan bahan baku ke PT SMR. b) Apabila terjadi dead lock dalam upaya restrukturisasi kredit PT SMR maka alternatif yang tersisa adalah likuidasi dengan analisis sebagai berikut: (1) Apabila PT SMR dibangkrutkan oleh bank, maka recovery yang akan diperoleh kemungkinan tidak akan sebaik dari hasil dari restrukturisasi. (2) Apabila PT SMR ditawarkan kepada investor strategis, diperkirakan tidak banyak potential buyer yang berminat untuk membeli mengingat tingginya tingkat ketergantungan PT SMR kepada PT PSW. Kemungkinan besar satusatunya pembeli potensial adalah PT PSW sendiri atau perusahaan lain yang beraliansi dengan PT PSW. NAK No.SAM.CR2/LM.35.R/2007 tanggal 10 April 2007 menjelaskan bahwa hasil RUPSLB PT SMR tanggal 20 September 2006 menetapkan PT SMR dipimpin oleh Sdr. P (Direktur Utama) dan Sdr. PM (Direktur Teknik) yang merupakan wakil dari pemegang saham minoritas PT PSW (20%). Dengan menempatkan wakil PT PSW di PT SMR diharapkan: 1) Kesinambungan produksi pabrik PT SMR lebih terjamin, karena berkurangnya risiko eksternal akibat hambatan pasokan bahan baku dari pabrik PT PSW. 2) Mengatasi kendala penyaluran kembali off gas PT SMR yang tidak dapat diterima secara optimal oleh PT PSW. Dari keterangan di atas dapat dikemukakan bahwa PT SMR mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi kepada PT PSW, mengingat sumber pasokan bahan baku PT SMR berasal dari PT PSW. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit PT SMR di Bank Mandiri berisiko turun kualitasnya karena belum adanya setoran modal dan ketergantungan pasokan bahan baku. Hal tersebut terjadi karena PT SMR mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi kepada PT PSW dan tidak terlaksananya tambahan setoran modal. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Berkaitan dengan tidak terlaksananya kesepakatan mengonversi hutang dagang PT SMR kepada PT PSW menjadi modal, Bank telah berkali-kali menegur baik secara lisan maupun
76
secara tertulis diantaranya dengan surat No.CRY/519/2005 tanggal 20 Juni 2005, No.TRI.CRT/036/2005 tanggal 14 Oktober 2005, No.SAM.CR2/618/2006 tanggal 20 Oktober 2006 dan No.SAM.CR2/LM.031/2007 tanggal 26 Januari 2007. b. Walaupun pasokan bahan baku PT SMR tergantung dari PT PSW tetapi selama ini tidak ada kendala yang berarti. Hal itu karena PT PSW memiliki saham 20% dan menempatkan orangnya dalam manajemen. Untuk menjamin suplai kebutuhan bahan baku dan utilitas, PT SMR dan PT PSW telah membuat perjanjian No.003/SP/DIR/III/J-91 dan No. 27/SMR/III/1991 tanggal 11 Maret 1991 pasal 2 dan pasal 4 yang berlaku selama PT PSW dan PT SMR beroperasi komersial. Realisasi produksi sejak tahun 2000 s.d. 2007 rata-rata 80% dari kapasitas disain. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri memonitor kepatuhan debitur dalam merealisasikan tambahan modal disetor.
16. PT BMN tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT BMN didirikan tanggal 13 Desember 2000 dan bergerak dibidang industri kimia Sodium Silicate, Water Glass, White Carbon dan Silica Gel yang beralamat kantor dan pabrik di Mojokerto Jawa Timur. Kondisi fasilitas kredit PT BMN posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp52.494 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Sejak Agustus 2006 operasional perusahaan terganggu karena dua unit tanur yang dimiliki perusahaan tidak berproduksi. Kapasitas produksi yang terpakai hanya 3% sehingga fasilitas kredit macet sejak tanggal 6 Desember 2006. Saat ini dalam proses negosiasi untuk penyelesaian kredit.. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut. a. Debitur menggunakan sebagian fasilitas KMK untuk membayar hutang kepada pemegang saham Berdasarkan penelitian atas Laporan Keuangan PT BMN per tanggal 31 Desember 2002 dan 30 Juni 2003, tambahan KMK sebesar Rp6.250,00 juta tidak seluruhnya digunakan untuk meningkatkan aktiva lancar PT BMN sesuai tujuan. Dalam PK disebutkan bahwa tambahan KMK digunakan untuk menambah modal kerja produksi sodium silicate, yang harus tercermin dalam Neraca PT BMN pada aktiva lancar. Dari laporan keuangan di atas menunjukkan bahwa peningkatan aktiva lancar PT BMN dari tanggal 31 Desember 2002 s.d. bulan Juni 2003 adalah sebesar Rp2.328,46 juta. Sedangkan pencairan kredit tambahan dari Bank Mandiri sebesar Rp4.482,38 juta atau terdapat penggunaan fasilitas kredit yang tidak semestinya sebesar Rp2.153,92 juta. Hasil review lebih lanjut menunjukkan bahwa PT BMN melunasi kewajiban kepada pemegang saham sebesar Rp7.940,74 juta yang terdiri dari pembayaran untuk TSH sebesar Rp4.674,21 juta dan HC sebesar Rp3.266,53 juta. Pelunasan kewajiban pemegang saham berasal dari fasilitas kredit dan konversi hutang pemegang saham menjadi modal disetor. Peningkatan modal disetor pemegang saham sebesar Rp5.000,00 juta terdiri dari TSH sebesar Rp3.500,00 juta dan HC sebesar Rp1.500,00 juta. Sehingga total pelunasan kewajiban pemegang saham sebesar Rp7.940,74 juta berasal dari konversi menjadi modal
77
disetor sebesar Rp5.000,00 juta, kelebihan dana fasilitas kredit sebesar Rp2.153,92 juta dan hasil operasional sebesar Rp786,81 juta. Hal itu tidak sesuai dengan: 1) SPPK No.8.CCO.SBY/101/2003 tanggal 11 April 2003 yang menetapkan PT BMN wajib menggunakan fasilitas kredit sesuai dengan tujuan penggunaan kredit yaitu Kredit Modal Kerja. 2) Akta No. 37 tanggal 27 Maret 2002 Pasal 13 yang menyatakan bahwa tanpa persetujuan bank, debitur tidak boleh membayar bunga dan/atau melunasi pinjaman debitur kepada pemegang saham selama kredit belum dibayar lunas. b. Kerusakan tanur tidak mampu diperbaiki sehingga pabrik tidak dapat beroperasi Dalam kunjungan tim BPK-RI ke lapangan pada tanggal 17 November 2007, Direktur Utama PT BMN menjelaskan bahwa pabrik tidak berproduksi karena furnace/ tanur terbakar. Kebakaran tanur terjadi karena pasokan gas kurang stabil. Sehingga kerusakan tanur senilai Rp3.400,00 juta tidak akan mendapat kompensasi klaim asuransi. Namun PT BMN tidak mampu menyediakan modal sendiri untuk memperbaikinya. Pabrik tidak berproduksi sehingga PT BMN tidak dapat memenuhi kewajiban kreditnya secara penuh. Bahkan kualitas kredit PT BMN telah macet sehingga bank menanggung kerugian. Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri tanggal 22 November 2005 menyebutkan bahwa risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan atau potensi kegagalan nasabah memenuhi kewajibannya secara penuh sesuai perjanjian, baik karena tidak mampu atau pun tidak mempunyai niat baik atau karena sebab-sebab lain, sehingga bank mengalami kerugian. Manajemen risiko mencakup, antara lain melakukan monitoring dan review terhadap debitur secara berkala serta tanggap deteksi dini atas kredit yang mengarah kepada kredit bermasalah. c. CR dan DER debitur tidak sesuai dengan perjanjian kredit Laporan Keuangan PT BMN audited tahun 2006 menunjukkan DER sebesar 375,67% dan CR sebesar 63,83%. Hal itu tidak sesuai dengan Surat Pemberitahuan Persetujuan Perpanjangan dan Tambahan Kredit Modal Kerja No.8.CCO.SBY/101/2003 tanggal 11 April 2003 yang menyatakan bahwa debitur wajib untuk memelihara CR minimal 120% dan DER maksimal 233%. d. Agunan tambahan belum dinilai ulang Agunan berupa aktiva tetap yang diserahkan oleh PT BMN terakhir kali dinilai oleh PT Piesta tanggal 9 November 2006 yang telah direview Bank Mandiri pada tanggal 11 Desember 2006. Sampai dengan tanggal 31 Januari 2008, agunan tambahan belum dinilai ulang. Hal itu tidak sesuai dengan PPK tanggal 27 Mei 2007, Bab VIII, Sub bab B, yang menetapkan agunan tambahan sekurang-kurangnya dinilai satu kali dalam kurun waktu 12 bulan kecuali untuk nasabah dengan kolektibilitas lancar dengan pertimbangan tertentu dari Unit Bisnis. Masalah tersebut mengakibatkan Bank Mandiri menanggung risiko kredit PT BMN karena kualitas kreditnya yang macet sebesar Rp52.494 juta sehingga harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan.
78
Hal tersebut terjadi karena: a. Manajer, TL dan RM pada CBC Surabaya kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi perjanjian kredit. b. Adanya itikad kurang baik dari debitur.
a.
b.
c.
d.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Bank Mandiri telah mensyaratkan kepada debitur untuk membuat surat pernyataan tidak menggunakan KMK untuk kepentingan pelunasan hutang kepada pihak ketiga dan kepada pemegang saham. Pernyataan itu dituangkan dalam syarat penandatanganan Perjanjian Kredit sebagaimana ditegaskan dalam SPPK No. CO.SBY/CCO/2381/2004 tanggal 14 April 2004. Sebagai realisasi pemenuhan syarat tersebut, debitur telah memenuhi syarat peningkatan modal disetor sebesar Rp14 milyar sesuai akte No. 37 tanggal 21 April 2004. Surat PT Gelora Karya Jasatama No. 19/F.SBY/00421/2006 tanggal 20 Juli 2006 menginformasikan bahwa kerusakan tanur bukan terjadi karena suatu kebakaran/ledakan tetapi karena korosi dari tanur tersebut. Oleh karena itu kerusakan atau kerugian yang terjadi bukan karena hal-hal yang diatur dalam Bab I polis asuransi sehingga tidak dapat dijamin. Untuk mengatasi kenaikan BBM, debitur membangun boiler yang berbasis batubara dengan sumber pembiayaan dari dana pihak ke-3. Hal tersebut mengakibatkan adanya hutang lain-lain senilai Rp3,28 milyar, sehingga DER meningkat menjadi 375,67%. Selain hal tersebut, akumulasi kerugian mengakibatkan penurunan modal. Demikian halnya dengan penurunan CR pada tahun 2006 sebesar 63,83%, terutama disebabkan oleh adanya peningkatan hutang lain-lain sebesar Rp3,28 milyar. Dengan surat No. SAM.CR1/Dept.LC1/206/2008 tanggal 5 Maret 2008, Bank telah meminta debitur untuk menilai ulang agunan tahun 2008.
BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengambil tindakan penyelesaian kredit sebagaimana telah diatur dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit untuk mencegah risiko Bank yang semakin besar. b. Memasukkan PT BMN dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri. 17. PT KEL tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit dan pengelolaan kreditnya tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri PT KEL didirikan tanggal 10 Agustus 1995 dan bergerak dibidang tambang batubara yang berkantor di Jakarta dan lokasi proyek di Kalimantan Selatan. Kondisi fasilitas kredit PT KEL posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp244.758 juta Kualitas kredit Dalam Perhatian Khusus (Gol. 2) Dalam proses pencarian calon investor strategis untuk melunasi seluruh kewajiban debitur. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa kelemahan sebagai berikut. a. Analisa pemberian fasilitas kredit PT KEL kurang memperhatikan kondisi mesin 1) Nota analisa No.CNG.RM1/RM3.047/2003 tanggal 6 Maret 2003 menjelaskan hal sebagai berikut:
79
a)
Secara umum kualitas batu bara pada lokasi tambang yang dikelola oleh PT KEL mempunyai kadar kalori rendah antara 5.113- 5.785 Kcal dan mempunyai kadar abu cukup tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan teknologi pencucian dengan mengunakan teknologi Dense Medium Cyctone (DMC). PT KEL akan menggunakan produsen Puzzolana Machineris Fabricators (India). b) Pengadaan mesin coal washing plant diusulkan sebanyak satu unit seharga USD1,303.33 ribu atau sebesar Rp11.730.000 juta. 2) Menurut Nota Analisa No.SAM.CR2/LOW I/026/2006 tanggal 11 Oktober 2006 diketahui: a) Sesuai penjelasan PT KEL, mesin coal washing plant yang digunakan adalah mesin bekas. Mesin tersebut merupakan mesin yang sangat dibutuhkan mengingat batu bara yang diproduksi PT KEL memiliki kalori rendah (5.113 s.d 5.785 Kcal) dan memiliki kadar abu yang tinggi. b) Mesin tersebut sering rusak yang mengakibatkan realisasi produksi hanya mencapai 60% dari target yang direncanakan sebesar 1.440.000 ton coal/tahun sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban kreditnya dengan baik. c) Penjualan produk PT KEL memiliki ketergantungan yang tinggi hanya kepada satu pembeli yaitu Nobel Inc Hongkong. Uraian di atas menunjukkan bahwa analisa kredit pada saat pengadaan mesin coal washing plant kurang mencermati bahwa kondisi mesin adalah mesin bekas. Sedangkan mesin tersebut sangat dibutuhkan oleh PT KEL yang pada akhirnya mesin tersebut sering rusak sehingga realisasi produksi tidak mencapai target. Prinsip Dasar Evaluasi Perkreditan dalam PPK menyebutkan bahwa setiap pemberian kredit harus didasarkan atas evaluasi tertulis yang disertai data dan informasi yang cukup dan wajar dari (calon) debitur, untuk dapat dipergunakan dalam proses evaluasi kredit yang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam kebijakan perkreditan Bank Mandiri dan sesuai dengan standar minimal risk assessment yang berlaku di Bank Mandiri. b. PT KEL tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian kredit 1) PT KEL membayar hutang jangka panjang kepada pemegang saham Laporan Keuangan Audited PT KEL tahun 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan bahwa PT KEL membayar hutang hubungan istimewa kepada PT SMJ (pemegang saham) pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing sebesar Rp17.308,04 juta dan Rp1.436,14 juta. 2) Perkembangan CR dan DER PT KEL tidak sesuai dengan PK Menurut Laporan Keuangan Audited PT KEL tahun 2004, 2005 dan 2006, CR selalu dibawah 100% dan DER diatas 250%. Kedua kondisi di atas tidak sesuai dengan PK No.25 tanggal 7 Mei 2003 Pasal 16 dan Pasal 17 yaitu: a. Debitur tidak boleh membayar bunga pinjaman dan/atau melunasi pinjaman debitur kepada pemegang saham. b. Debitur wajib memelihara/meningkatkan CR minimal 120% dan DER maksimal 233%. c. Izin legalitas usaha sudah habis masa berlakunya tetapi belum diperpanjang Surat Menteri Kehutanan No. 1063/Menhut-VII/2001 tanggal 18 Juli 2001 perihal persetujuan penggunaan kawasan untuk kegiatan eksploitasi bahan galian batu bara dan pembangunan sarana penunjangnya a.n PT KEL di Propinsi Kalsel menjelaskan bahwa izin 80
pinjam pakai diberikan untuk jangka waktu lima tahun terhitung sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian pakai (tanggal 23 Mei 2000). Dengan demikian izin tersebut telah berakhir, tetapi belum diperpanjang. Hal itu tidak sesuai dengan PK No.25 tanggal 7 Mei 2003 Pasal 16 ayat 14 yaitu debitur wajib mempertahankan dan menjaga hak-hak serta izin-izin yang sekarang yang dimiliki debitur agar tetap berlaku dan segera atau memperpanjang izin yang sudah berakhir dan atau mendapat izin-izin baru atau izin lainnya yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan usaha debitur sekaligus melaporkan dan menyerahkan copy/ salinannya kepada Bank. d. Agunan atas fasilitas kredit tidak sesuai dengan PPK Berdasarkan dokumen kredit menunjukkan agunan utama KMK hanya mengcover sebesar 51,16% dari baki debet sebesar Rp31.090,90 juta, sedangkan untuk KI Utama sebesar 76,67% dari limit kredit sebesar Rp214.600,60 juta atau total agunan yang diterima oleh Bank sebesar 71,32% dari baki debet sebesar Rp246.100,60 juta. Selain itu sebagian besar agunan yang diterima Bank adalah berupa alat berat, kendaraan, mesin senilai Rp123.952,36 juta yang nilainya akan berkurang seiring dengan bertambah umur dan penggunaannya. Hal itu tidak sesuai dengan PPK Bab VIII Sub Bab B yang intinya menyatakan untuk fasilitas KI, total nilai pasar yang dapat diterima Bank dari agunan utama dan agunan tambahan seluruhnya dalam bentuk aktiva tetap, minimum sebesar 150% dari limit kredit. Untuk fasilitas KMK, nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Kualitas kredit PT KEL berpotensi menjadi kredit bermasalah karena realisasi produksi yang tidak mencapai target, sering rusaknya mesin coal washing plant serta belum diperpanjangnya izin penggunaan kawasan hutan untuk eksploitasi batu bara. b. Kepentingan Bank Mandiri dari second way out kurang terlindungi karena coverage agunan hanya 71,32% dari outstanding kredit. Hal tersebut terjadi karena: a. GH, DH, RM dan Credit Analyst pada Corporate Banking Group kurang mencermati kondisi mesin yang tidak baru dan GH, DH dan RM pada Credit Recovery Group kurang memantau kepatuhan debitur untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam PK. b. Adanya itikad kurang baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Studi kelayakan yang dibuat oleh PT Pronilai tidak menyatakan secara tegas bahwa mesin yang akan dibeli merupakan mesin baru/bekas. Sesuai Laporan Verifikasi Kewajaran Harga atas Mesin dan Peralatan oleh PT Sucofindo Appraisal Utama No. 047/SAU-APP/PSTV/2003 tanggal 19 Mei 2003 disimpulkan bahwa harga pembelian coal washing plant sebesar US$1,303.33 ribu adalah untuk kondisi tidak baru (pernah dipergunakan). Berdasarkan Certificate of Inspection oleh PT Sucofindo No. 3237685 tanggal 28 Agustus 2003 diinformasikan bahwa mesin coal washing plant tersebut masih dalam kondisi baik. b. PT KEL tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian kredit.
81
1) Bank telah menegur debitur dengan surat No. SAM.CR2/LWO.I.063/2008 tanggal 11 Februari 2008. 2) Untuk kondisi saat ini debitur belum dapat memenuhi CR dan DER sesuai dengan PK, karena produksi/penjualan sejak tahun 2004 belum dapat mencapai target yang ditetapkan sehingga kesulitan dalam memenuhi kewajibannya kepada bank. Dalam rangka penyelamatan kredit, fasilitas kredit PT KEL telah direstrukturisasi pada bulan Desember tahun 2006. Hingga saat ini operasional perusahaan belum sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu sesuai pertemuan terakhir dengan yang bersangkutan (Call Report tanggal 19 November 2007) debitur telah berkomitmen untuk menjual proyek dan akan melunasi seluruh kreditnya. Saat ini beberapa calon investor sedang melakukan Due Dilligence dan diharapkan fasilitas kredit dapat dilunasi sebelum akhir tahun 2008. c. KEL telah mengajukan permohonan perpanjangan kepada Menteri Kehutanan dengan surat No.44/KEL/VI/2007 tanggal 05-06-2007. Namun sampai saat ini masih dalam proses. KEL telah memenuhi kewajibannya dengan membayar biaya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp582,44 juta dan Dana Reboisasi (DR) sebesar USD188,204.50 pada tanggal 11 Mei 2007. d. Rasio agunan utama KMK berdasarkan Nota Analisa tanggal 27 Maret 2007 adalah sebesar 152,39 % (Agunan Rp45,66 milyar : Limit Rp31,50 milyar). Dalam restrukturisasi, kami telah meminta untuk meningkatkan agunan KI-nya tetapi KEL tidak dapat memenuhinya sehingga kami meminta KEL untuk menyerahkan saham perusahaan sebagai tambahan agunan. KEL telah menyerahkan seluruh sahamnya sebagai jaminan tambahan kredit KEL diikat dengan akta gadai saham No. 66 dan No. 67 tanggal 20 Desember 2006. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor perkembangan rencana penjualan proyek debitur kepada calon investor strategis dalam rangka melunasi kewajibannya ke Bank Mandiri. b. Memberikan teguran tertulis kepada debitur karena tidak dipenuhinya beberapa klausul dalam perjanjian kredit dan meminta debitur untuk memperpanjang izin pinjam pakai kawasan hutan. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit PT KEL dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya. 18. PT BSP tidak memenuhi beberapa kewajibannya sesuai perjanjian kredit PT BSP didirikan tanggal 28 April 1980, bergerak dibidang perhotelan dan mall serta beralamat di Pekanbaru. Kondisi fasilitas kredit PT BSP posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp124.785 juta Kualitas kredit Dalam Perhatian Khusus (Gol. 2) Dalam proses monitoring pemenuhan kewajiban debitur sesuai perjanjian restrukturisasi kredit. Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut. a. Analisa aspek keuangan tidak menggunakan laporan keuangan audited 3 tahun terakhir Menurut Nota Analisa No.CBC.PKB/2633/2004 tanggal 30 Juni 2004, CBC Pekanbaru menganalisa aspek keuangan debitur dengan menggunakan laporan keuangan
82
tahun 2002 dan 2003 yang telah diaudit oleh KAP Rodi Kartamulja, Budiman & Rekan. Dengan demikian analisa keuangan menggunakan laporan keuangan dua tahun terakhir dan tidak menggunakan neraca tahun berjalan meskipun limit kredit yang diajukan sebesar Rp116,60 milyar. Hal itu tidak sesuai dengan PPK tahun 1999 Bab VI Sub Bab B yang mengatur bahwa analisa aspek keuangan didasarkan pada neraca dan laba rugi 3 tahun terakhir dan neraca tahun berjalan atau neraca pembukaan bagi perusahaan yang baru berdiri. b. DER PT BSP tidak sesuai SPPK Laporan keuangan audited PT BSP menyebutkan bahwa PT BSP memiliki DER per 31 Desember 2004, 2005 dan 2006 berturut-turut sebesar 316%, 462% dan 677%. Hal itu tidak sesuai dengan SPPK No. CBC.PKB/3580/SPPK/2004 tanggal 21 Juli 2004 butir D.2.i. yang menyatakan bahwa selama fasilitas kredit belum lunas, debitur berkewajiban untuk memelihara DER maksimal 233%. c. Debitur menyalurkan sebagian besar mutasi keuangan tidak melalui Bank Mandiri Menurut Nota Analisa No. SAM.CR2/LWO II.029/2007 tanggal 7 Maret 2007, mutasi keuangan PT BSP sebagian besar (diatas 90%) disalurkan melalui Bank Kesawan Pekanbaru. Hal itu tidak sesuai dengan Akta Perjanjian Kredit Investasi Nomor 99 tanggal 23 Juli 2004 Pasal 14 butir 3 yang menyatakan bahwa seluruh aktivitas keuangan dilakukan melalui rekening debitur pada Kantor Bank Mandiri di Pekanbaru. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Fasilitas kredit kepada PT BSP berisiko turun kualitasnya karena DER diatas ketentuan. b. Bank Mandiri tidak sepenuhnya dapat memantau aktivitas keuangan PT BSP. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC Pekanbaru kurang memperhatikan PPK tentang analisa aspek keuangan dan kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian kredit serta adanya itikad kurang baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Laporan keuangan audited yang relevan dipergunakan untuk analisa pembiayaan mall dan hotel adalah tahun 2002 dan 2003. Hal itu karena adanya cut off perubahan kegiatan usaha dari semula sebagai pengembang/developer ruko pada periode sebelum tahun 2002 menjadi usaha mall dan hotel mulai tahun 2002. Perubahan kegiatan usaha itu seiring dengan perubahan kepemilikan dan kepengurusan perusahaan vide Akta No. 42, 43 dan 44 tanggal 18 Mei 2001 dan serta No. 19 dan 20 tanggal 17 Oktober 2001. b. DER tahun 2004, 2005 dan 2006 lebih tinggi dari 233% karena dalam perhitungan DER komponen hutang pemegang saham dan/atau hutang afiliasi (atau pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa) masih dikelompokkan sebagai hutang. Apabila hutang pemegang saham dan/atau hutang afiliasi (atau pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa) tidak dilunasi sampai dengan kredit lunas sesuai yang dipersyaratkan dalam PK maka perhitungan DER tahun 2004, 2005 dan 2006 menjadi 123%, 107 % dan 133%. c. Mutasi keuangan sebagian besar disalurkan melalui Bank Kesawan karena alasan praktis Bank Kesawan memiliki kantor cabang di mall debitur sehingga transaksi keuangan para tenant mall disalurkan ke bank tersebut. Namun sebagai syarat restrukturisasi kredit tahun 2007, Bank telah meminta debitur untuk menyalurkan mayoritas mutasi keuangannya 83
melalui Bank Mandiri vide SPPK No. SAM.CR2/LWO II.099/2007 tanggal 27 Maret 2007 dan SPPK No. SAM.CR2/LWO II.004/2007 tanggal 10 Juli 2007. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri memberikan teguran tertulis kepada debitur karena tidak dipenuhinya beberapa klausul dalam perjanjian kredit dan meminta debitur untuk memenuhi syarat-syarat perjanjian kredit yaitu memelihara DER maksimal 233% dan menyalurkan mayoritas mutasi keuangannya melalui Bank Mandiri. 19. PT KHAP tidak memprioritaskan pembayaran kewajibannya kepada bank PT KHAP didirikan tanggal 7 Desember 1988 dan bergerak dalam bidang/usaha perhotelan yang berlokasi di Denpasar Bali. Kondisi fasilitas kredit PT KHAP posisi per 31 Desember 2007 yaitu sebagai berikut: Baki debet (hutang pokok) sebesar Rp183.098 juta Kualitas kredit Macet (Gol. 5) Dalam proses monitoring restrukturisasi dalam rangka penyelesaian kredit yang telah disepakati bulan Mei 2003. Kami informasikan bahwa fasilitas kredit PT KHAP sudah lama diberikan yaitu sejak eks legacy Bank Mandiri (tahun 1989) sehingga dokumen kredit sulit diperoleh. Oleh karena itu kami hanya memeriksa berkas fasilitas kredit PT KHAP sejak dikelola Bank Mandiri. Hasil pemeriksaan menunjukkan permasalahan sebagai berikut. Dengan surat No.006/KAP/D/I/99 tanggal 15 Januari 1999, PT KHAP menjelaskan kepada Bank bahwa sejak bulan Agustus s.d. Desember 1998, PT KHAP telah memperbaiki KPB Hotel yang bersifat darurat tanpa pemberitahuan kepada Bank, sehingga kewajiban debitur tidak dibayar sampai bulan Desember 1998. Dari lampiran surat tersebut diketahui debitur telah melakukan investasi software, hardware, laundry dan kitchen sebesar USD946.39 ribu. Debitur memohon agar pokok pinjaman dapat dijadwal ulang serta tingkat bunga diturunkan karena kondisi perekonomian dan politik yang belum stabil sehingga tingkat hunian kamar hotel menurun. Dari surat Bank Mandiri No.031.Tpp-B.Dps tanggal 29 Januari 1999 diketahui sesuai hasil kunjungan ke hotel pada tanggal 28 Januari 1999, Bank Mandiri tidak memperoleh bukti otentik maupun informasi adanya investasi sebesar USD946.39 ribu. Berdasarkan data dari laporan keuangan per 31 Desember 1997 dan 30 November 1998, kenaikan nilai investasi hanya sebesar Rp450,68 juta. Hasil review lebih lanjut menunjukkan bahwa pendapatan operasional hotel meningkat dari Rp13.841,46 juta per 31 Desember 1997 menjadi Rp32.843,52 juta per 30 November 1998, sehingga debitur seharusnya mampu memenuhi kewajiban bank. Namun debitur tidak memprioritaskan pembayaran kewajiban bank terlebih dahulu meskipun tunggakan bunga per 25 Januari 1999 telah mencapai sebesar USD1,325.09 ribu dengan umur tunggakan 4 bulan. Sikap debitur tersebut tidak sesuai dengan PK No. 268 tanggal 13 Pebruari 1990 Pasal 6 yang menyebutkan apabila debitur tidak membayar bunga dan/atau pokok kredit……dst, maka dengan mengesampingkan ketentuan-ketentuan jangka waktu sebagaimana diatur dalam ayat 1 pasal 6 ini, kredit dapat dinyatakan jatuh waktu seketika oleh Bank dan seluruh hutang harus dibayar sekaligus oleh debitur kepada Bank pada hari dan tanggal dinyatakan jatuh waktu seketika tersebut.
84
Macetnya kualitas kredit PT KHAP sebesar Rp183.098 juta mengakibatkan Bank Mandiri harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. Hal tersebut terjadi karena adanya itikad kurang baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa atas kejadian tersebut, Bank Mandiri telah menegur dan meminta debitur untuk memenuhi kewajibannya diantaranya dengan surat No. 031. Tpp-B.Dps tanggal 29 Januari 1999 dan No.116.Tpp.B.Dps. tanggal 16 Maret 1999. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memonitor restrukturisasi yang telah disepakati bulan Mei 2003 dalam rangka penyelesaian kredit PT KHAP. b. Memasukkan PT KHAP dan pengurusnya kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri.
20. Analisa pemberian kredit kepada beberapa debitur yang dikelola Regional Credit Recovery (RCR) tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur RCR Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin dan Jakarta Sudirman menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam analisa pemberian kredit, yaitu sebagai berikut. a. Bank Mandiri memberikan kredit atau tambahan kredit kepada beberapa debitur pada saat kondisi keuangan debitur itu kurang sehat karena CR yang rendah, DER yang tinggi, Net Working Capital (NWC) negatif atau Net Profit Margin (NPM) negatif. Beberapa debitur dimaksud yaitu: No.
RCR
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
Keterangan
1.
Bandung
PT PMS
32.996,61
5
Tahun 2002: NWC minus Rp340 juta dan CR 92%. Tahun 2003: CR 83,65%, NWC minus Rp1.557 juta dan DER 307,51%.
2.
Bandung
PT LJP
49.073,13
5
Tahun 2002: CR 25%, NWC minus Rp2.574 juta dan DER 4.676%.
3.
Makassar
PT MAC
25.871,14
5
DER tahun 2000 s.d. 2002: 317%, 273% dan 347%. Tahun 2003: NWC minus Rp6.237 juta, NPM minus 67,62%, ROI minus 12,54%, ROE minus 479,43%, CR 0,21% dan DER 3.722%.
4.
JKT Sudirman
PT SRS
28.430,22
5
DER tahun 2002 s.d. 2004: 63.928,52%, 4.019,81 % dan 720,31%.
5.
JKT Sudirman
PT AGM
34.039,11
5
DER tahun 2002 s.d. 2004: 300,4%, 303,19% dan 272,06%.
6.
JKT Kota
PT CPS
39.168,23
2
CR tahun 2000 s.d. 2002 rendah NPM turun.
85
Berkaitan dengan pemberian kredit pada saat kondisi keuangan debitur kurang sehat, PPK hanya memberikan arahan bahwa: 1) Analisis aspek keuangan diarahkan kepada performance/posisi keuangan, kemampuan penyediaan dana sendiri, pembiayaan bank dan meyakini sumber pelunasan (Bab VII Sub Bab B butir 5). 2) Analisa rasio merupakan analisa pelengkap dalam analisa keuangan nasabah. Analisa rasio merupakan salah satu dasar pengambilan keputusan, yaitu dalam hubungannya dengan penelitian keadaan keuangan nasabah (Bab VII Sub Bab E butir 2). 3) CR kurang daripada 1 mengindikasikan adanya defisit likuiditas jangka pendek yang dapat menimbulkan tidak terpenuhinya pembayaran kewajiban. Sedangkan DER mengukur perbandingan antara sumber dana perusahaan yang diperoleh dari pihak luar dengan dana yang disediakan oleh pemilik. Makin besar peranan dana yang berasal dari luar dibandingkan dengan modal sendiri, makin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur (Buku II Bab VII Sub Bab B). 4) Perusahaan yang mempunyai Modal Kerja Bersih yang positif dapat diartikan memiliki modal kerja dalam jumlah yang memadai. b. Hasil penelaahan terhadap pemberian kredit atau tambahan kredit kepada beberapa debitur menunjukkan adanya kelemahan dalam analisa, yaitu sebagai berikut: No. 1.
RCR JKT
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
PT MFI
46.758,33
5
Penetapan proyeksi penjualan tahun 2005 yang meningkat sebesar 21,43% kurang realistis karena pertumbuhan penjualan PT MFI pada tahun 2002 dan 2003 hanya sebesar 7,89%. Selain itu nilai pertumbuhan (nilai statistik) industri makanan (permen) di Indonesia tahun 1999 dan 2000 yang dijadikan dasar analisis hanya tumbuh masingmasing 6,29% dan 8,60%.
PT SRS
28.430,22
5
Bank belum menganalisa kemampuan penyediaan self financing (SF) sebesar Rp20.000,00 juta dari pinjaman pemegang saham dalam rangka penyelesaian proyek Plaza DR dan tidak mencantumkannya dalam PK. Dalam realisasinya, PT SRS tidak mampu menyediakan SF tersebut.
PT PDA
29.058,29
5
Kenaikan proyeksi penjualan tahun 2004 tidak memperhitungkan waktu penyelesaian proyek pembangunan pabrik yang baru. Nota analisa tidak mengungkapkan jangka waktu penyelesaian proyek dan kapan mesin yang baru dapat beroperasi, sehingga produksi bertambah dan target penjualan dapat tercapai.
PT JCM
13.583,00
5
Analisa kurang memperhatikan izin transportasi bouwheer (PT GP) yang sudah berakhir dan belum diperpanjang. Analisa juga kurang
Sudirman
2.
JKT Sudirman
3.
JKT Sudirman
4.
Banjarmasin
Keterangan
86
No.
RCR
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
Keterangan memperhatikan lokasi penambangan batu bara PT GP yang berada di areal pemukiman transmigrasi sehingga dipermasalahkan oleh Pemda dan Masyarakat setempat.
Berkaitan dengan analisa dan putusan kredit, PPK menjelaskan bahwa: 1) Pejabat pemutus kredit meyakini bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi pada waktunya dan tidak berkembang menjadi kredit bermasalah (Buku II Bab V Sub Bab G). 2) Analisis aspek keuangan diarahkan kepada performance/posisi keuangan, kemampuan penyediaan dana sendiri, pembiayaan bank, meyakini sumber pelunasan (Buku III Bab VII Sub Bab B butir 5). c. Analisa pemberian kredit tidak menggunakan laporan keuangan audited atau laporan keuangan 3 tahun terakhir dan neraca tahun berjalan, yang terdapat pada debitur-debitur berikut: No.
RCR
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
Tanggal
Laporan yang menjadi Dasar Analisa Laporan keuangan unaudited tahun 2002 dan 2003 serta Juni 2004. Laporan keuangan tahun 2002 (in house) dan kompilasi laporan keuangan tahun 2003 oleh KAP I Soetikno. Laporan keuangan unaudited tahun 2002 dan 2003. Laporan keuangan audited tahun 2002, 2003 dan unaudited posisi Juni 2004. Laporan keuangan tahun 2002 (in house), tahun 2003 audited dan September 2004 (in house).
1.
Medan
PT JT
14.500,00
5
Analisa 1/11/2004
2.
Banjarmasin
PT JCM
13.583,00
5
29/11/2004
3.
Surabaya
PT ACC
17.100,00
5
20/12/2004
4.
JKT
PT MFI
46.758,33
5
25/11/2004
PT SRS
28.430,22
5
10/1/2005
Sudirman 5.
JKT Sudirman
Analisa pemberian kredit pada beberapa debitur di atas tidak sesuai dengan: 1) SE Bank Mandiri No.RMN.RRA/002/2002 tanggal 15 Februari 2002 yang menetapkan bahwa permohonan kredit untuk usaha produktif dengan limit diatas Rp2,5 milyar harus disertai dengan laporan keuangan yang dibuat oleh Akuntan Publik yang telah ditunjuk dan terdaftar sebagai rekanan Bank Mandiri. 2) PPK Bab VI Sub Bab B yang menetapkan bahwa analisa aspek keuangan didasarkan pada neraca dan laba rugi 3 tahun terakhir dan neraca tahun berjalan atau neraca pembukaan bagi perusahaan yang baru berdiri. d. Analisa pemberian kredit kurang memperhatikan pengamanan Bank dari aspek agunan, yaitu terdapat pada debitur-debitur berikut:
87
No. 1.
RCR Makassar
Debitur PT MAC
Baki Debet Kol. (Rp juta) 25.871,14
5
Keterangan Nota analisa mengungkapkan bahwa PT MAC memiliki kapal motor sebanyak 20 unit, tetapi Bank tidak mengecek keberadaannya. Dalam realisasinya, PT MAC tidak memiliki kapal motor tersebut. Analisa tidak menjelaskan secara rinci tentang lokasi dan sertifikat tanah yang menjadi agunan tambahan senilai minimal Rp6.000,00 juta.
2.
JKT
PT PDA
29.058,29
5
Sudirman
SHGB No. 31 seluas 9.112 m² jatuh tempo s.d. tanggal 2 Maret 2007, tetapi kredit diberikan s.d. tanggal 18 Juni 2008. Dalam realisasinya, PT PDA dipailitkan tanggal 12 Juni 2007.
Berkaitan dengan pengamanan agunan dalam pemberian kredit, PPK Buku 2 memberikan arahan bahwa: 1) Setelah mengetahui informasi dan data yang diperlukan atas kredit yang diminta oleh nasabah, Bank harus mengetahui darimana informasi dan data yang diperlukan tersebut dapat diperoleh, setelah itu bagaimana cara untuk memperolehnya (Buku 2 Bab VI Sub Bab C butir 1). 2) Penilaian aspek teknis dapat mencakup tersedianya prasarana, sarana dan faktor produksi yang diperlukan untuk kegiatan usaha. Dalam pelaksanaannya harus dicek silang dengan laporan keuangan antara lain peralatan yang dimiliki disesuaikan dengan Aktiva pada Neraca, dsb (Buku 2 Bab VII Sub Bab B butir 4.h). 3) Untuk pengamanan kredit bank, apabila SHGB dijadikan sebagai agunan kredit agar diperhatikan berakhirnya jangka waktu hak tersebut jangan sampai sama atau lebih pendek dari jangka waktu kredit (Bab IV Sub Bab E). e. Bank memberikan kredit berdasarkan rencana proyek (bukan SPK) atau surat kesepakatan, yaitu terjadi pada debitur-debitur sebagai berikut: No.
RCR
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
Keterangan
1.
Bandung
CV PS
44.007,22
5
Target pendapatan debitur hanya berdasarkan rencana proyek yang akan dikerjakan (belum berupa kontrak/SPK).
2.
JKT
PT PCS
35.114,50
5
Ikatan kontrak untuk bahan baku utama berupa udang hanya berupa MOU dengan PT PT EPU. PT EPU merupakan pemasok bibit udang dan akan membeli udang dari para petambak yang membeli benur dari PT EPU.
Thamrin
3.
JKT Kota
PT BTR
48.484,07
5
Pemberian kredit berdasarkan hasil pertemuan dengan calon investor PT BTR yang akan menyelesaikan seluruh kewajiban kredit ke Bank Mandiri. Dalam realisasinya, investor dimaksud mundur.
4.
JKT Kota
PT MG
30.810.54
5
Pemberian KMK Kontraktor senilai Rp20.000,00 juta karena adanya rencana pengerjaan proyek-proyek Mabes TNI/Polri yang ditunjuk secara tender. Namun debitur tidak berhasil memenangkan tender.
88
Dasar pemberian kredit kepada beberapa debitur di atas kurang memperhatikan PPK Buku II: 1) Bab VI sub bab B butir 3.e).3) yang menyatakan informasi dan data yang diperlukan untuk perusahaan kontraktor terutama mengenai rencana usaha pemohon berupa Surat Perintah Kerja (SPK) dari bouwheer atau surat kontrak/perjanjian kerja. 1)2) Bab VII.A.3.e tentang pendekatan teknis yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan nasabah dalam mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan/mesin-mesin. f.
PT MAC memperoleh KI dengan limit sebesar Rp13.000,00 juta untuk tambahan pembiayaan atau refinancing investasi peralatan/mesin pabrik dengan jangka waktu s.d. Mei 2008. Outstanding kredit PT MAC per 31 Oktober 2007 sebesar Rp25.871,14 juta dengan kualitas macet. Hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap pemberian KI tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1) Kapasitas produksi PT MAC sebelum pembangunan pabrik baru adalah 30 ton/hari. Realisasi penjualan tahun 2002 adalah sebesar 40,25 ton/bulan. Dengan asumsi ratarata rendemen 90%, maka produksi sebulan sebanyak 44,72 ton atau 1,78 ton/hari. Kondisi itu mengindikasikan bahwa kapasitas terpasang baru digunakan 5,9%. Dengan demikian PT MAC belum memaksimalkan kapasitas yang ada, baik dengan menggunakan idle capacity maupun penambahan shift jam kerja. Oleh karena itu pembangunan lokasi pabrik baru dengan kapasitas terpasang menjadi 110 ton/hari merupakan proyek yang semestinya dapat ditunda. 2) Risk Management dan Relationship Manajer (RM) mengemukakan bahwa pembangunan pabrik baru tidak bisa dihindarkan karena penambahan alur produksi pada pabrik yang ada sudah tidak dimungkinkan lagi dan terkait dengan rencana bahwa pabrik baru akan difokuskan untuk penjualan ekspor. Alasan pembangunan pabrik baru yang tidak bisa dihindarkan kurang tepat karena realisasi produksi PT MAC selama ini tidak pernah mencapai 100% dari kapasitas normal sehingga tidak diperlukan pengembangan pabrik baru. PPK Buku 2 Bab VII Sub Bab A menyatakan bahwa dalam mempertimbangkan pemberian kredit kepada nasabah, terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan yang disebut dengan prinsip 5 C. Salah satu prinsip tersebut adalah capacity/kapasitas terutama pendekatan teknis.
g. Bank memberikan tambahan fasilitas KMK tahun 2004 sebesar Rp5.900,00 juta kepada PT MAC berdasarkan Nota Analisa No.Com-Mdo/NA/028/2004 tanggal 16 Juli 2004. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa PT MAC tercatat dalam daftar hitam penarik cek/bilyet giro kosong yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak Maret 2004 sehingga aktivitas mutasi rekening PT MAC tidak aktif. Pemberian tambahan KMK kepada debitur yang tercatat dalam daftar hitam BI tidak sesuai dengan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri Januari 2000 Bab II Artikel 230 yang menyatakan bahwa salah satu kredit yang harus dihindari dan dilarang yaitu kredit untuk perusahaan yang pengurusnya tercatat dalam daftar hitam, daftar kredit macet dan daftar cekal. h. Analisa pemberian kredit kepada PT GRI memiliki beberapa kelemahan 1) PT GRI memperoleh kredit dari Bank Mandiri sejak tahun 2004. Outstanding kredit PT GRI per 2 November 2007 sebesar Rp42.400,27 juta dengan kualitas macet. PT GRI 89
didirikan pada bulan September 2003 dan beroperasi pada awal Desember 2004. Pada saat Bank membuat nota analisa tanggal 4 November 2004, PT GRI belum beroperasi. Dengan surat (tanpa nomor dan tanggal) PT GRI menjelaskan bahwa hasil penangkapan per hari adalah sebesar 220 ton yang berasal dari hasil rata-rata tangkapan 3 set kapal penangkap purseseiner ukuran 648 GT, 230GT, dan 210 GT. Hasil penangkapan sebesar 220 ton tersebut juga telah dicapai oleh perusahaan induk PT GRI di Philipina. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Bank Mandiri tidak membandingkan dengan perusahaan sejenis, sedangkan data realisasi produksi hasil tangkapan ikan PT GRI belum ada. Oleh karena itu angka 220 ton/hari yang digunakan sebagai dasar perhitungan modal kerja kurang dapat diyakini kebenarannya karena hanya berdasarkan keterangan debitur. Pemberian kredit yang hanya didasarkan pada keterangan debitur kurang memperhatikan PPK Bab VI Sub bab C Butir 2.a.6) yang menyebutkan bahwa informasi dari pihak ketiga (Trade Checking) dapat diperoleh dari supplier, pelanggan, distributor, asosiasi terkait, dan pihak lain yang dipandang perlu oleh Bank. 2) Aspek manajemen dalam nota analisa menjelaskan susunan kepengurusan PT GRI sebagai berikut: Sdr. FA (Direktur Utama), Sdr. FIS (Direktur) dan Sdr. HW (Direktur). Nota analisa hanya mengungkapkan curriculum vitae Sdr. FA, sedangkan dua pengurus lainnya tidak. Oleh karena itu latar belakang pendidikan dan pengalaman kedua pengurus lainnya dalam bidang usaha penangkapan ikan dan pengoperasian kapal tidak diketahui. PPK Bab VII Sub Bab A butir 3 menyebutkan bahwa kapasitas debitur dapat diukur melalui perkembangan dari waktu ke waktu (past performance dan proyeksi), melalui berbagai pendekatan yaitu: a) Pendekatan profesionalisme, yaitu menilai latar belakang pendidikan dan pengalaman nasabah dalam mengelola usahanya. b) Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaan. 3) Aktivitas usaha PT GRI tergantung kepada patner kerjanya yaitu PT SS dan PT SMS. PT GRI tidak dapat beroperasi tanpa kapal milik PT SMS yang rencananya dihibahkan ke PT GRI, sementara PT GRI hanya menjual hasil tangkapan ikan kepada PT SS. Oleh karena itu PT GRI membuat perjanjian dengan PT SS dan PT SMS. Kedua perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan. Dari evaluasi terhadap perjanjian itu diketahui bahwa perjanjian tidak memuat hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang saling mengikatkan diri, sehinga tidak ada aturan main yang jelas apabila salah satu pihak wan prestasi. Hak dan kewajiban dalam perikatan itu penting karena dapat berpengaruh terhadap status PT GRI sebagai debitur Bank Mandiri. Kondisi di atas menunjukkan bahwa perjanjian yang dibuat belum sepenuhnya memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur dalam KUH Perdata dan PPK Buku I Bab IV Sub Bab I butir 4 yang menyebutkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: a) sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian; b) cakap untuk membuat suatu perjanjian; c) ada obyek yang diperjanjikan; d) sebab yang halal.
90
4) PT SS selaku pembeli tunggal tidak mempunyai EU Number sehingga PT SS kesulitan dalam pemasaran yang mengakibatkan penumpukan persediaan dan pembayaran kepada PT GRI menjadi terganggu. Tidak adanya EU Number tersebut sangat mempengaruhi kinerja PT GRI. Namun analisa tidak mengungkapkannya lebih dalam. i.
Analisa pemberian kredit kepada PT CPS memiliki beberapa kelemahan 1) PT CPS memperoleh kredit dari Bank Mandiri tahun 2003. Outstanding kredit PT CPS per 30 November 2007 sebesar Rp39.168,23 juta dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus. Nota Analisa awal kredit tanggal 22 Juli 2003 menjelaskan bahwa: a) Sebagian besar fasilitas KMK PT CPS di BNI dan BDI digunakan untuk investasi pada mesin-mesin produksi. b) Kondisi keuangan PT CPS kurang sehat, yaitu: (1) Rasio likuiditas (CR) tahun 2000 s.d. 2002 berada dibawah 100%. (2) NPM cenderung menurun dan berada pada posisi yang sangat rendah. Rendahnya NPM terutama karena beban bunga yang relatif besar dibandingkan dengan omzet/penjualan perusahaan akibat kekurangan modal kerja/ menurunnya kapasitas produksi. (3) Dari analisa sumber dan penggunaan dana diketahui bahwa kebijakan pembiayaan untuk tahun 2000 s.d. 2002 kurang sehat karena pembiayaan jangka panjang sebagian bersumber dari dana jangka pendek. c) Security coverage untuk agunan utama (khusus untuk KMK termasuk KMK baru) hanya sebesar 94,86% Penilaian Resiko Pemberian Kredit (PRRK) No.RRM.III/0453/2003 tanggal 14 Agustus 2003 menjelaskan bahwa: a) Sebagian besar KMK yang diperoleh dari BNI dan BDI digunakan PT CPS untuk renovasi dan overhaul mesin-mesin, sehingga PT CPS kekurangan modal kerja. b) Risiko manajemen cukup tinggi karena data kinerja nasabah selama di BNI dan BDI mencerminkan kelemahan di bidang manajemen keuangan. Beberapa kelemahannya yaitu berinvestasi dengan menyalahgunakan KMK dan tidak menyisihkan dana overhaul/replacement cost mesin-mesin pabrik yang bersumber dari bagian dana depresiasi. c) Titik kritis dalam teknis produksi yaitu tanur pembakaran harus direkondisi setiap 5 tahun sekali dengan biaya cukup besar. Oleh karena itu calon nasabah harus menyisihkan sebagian dana depresiasi untuk cadangan dana overhaul. d) Rasio keuangan tahun 2000 s.d. 2002 relatif kurang sehat karena miss-manajemen yaitu modal kerja digunakan untuk investasi sehingga likuiditas perusahaan untuk mendukung produksi menjadi terganggu. Walaupun kondisi debitur seperti yang disebutkan dalam butir a) s.d. d) di atas, Bank Mandiri tetap menyetujui pemberian kredit termasuk take over dari BNI dan BDI, dengan menandatangani PK No.JCCO.III/326/PK-KMK/2003 tanggal 2 Oktober 2003. Berkaitan dengan pemberian kredit dalam kondisi sebagaimana diuraikan di atas, PPK Bab VII Sub Bab B: a) Butir 3 menyatakan bahwa penilaian analisis aspek manajemen ditujukan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan manajemen dari individu maupun pengurus perusahaan dalam mengelola usahanya. Faktor minimal yang dianalisis meliputi.
91
(1) Karakter para pengurus perusahaan, yaitu menilai watak, sifat, pemenuhan kewajiban perusahaan terhadap bank (finansial dan administrasi) serta sikap yang ditunjukkan dalam berhubungan dengan bank. (2) Kualitas organisasi, sistem prosedur kerja, serta pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang berlaku di perusahaan serta penerapan prinsip kehati-hatian (khususnya untuk lembaga keuangan). b) Butir 5 menyatakan bahwa analisis aspek keuangan diarahkan kepada performance/posisi keuangan, kemampuan penyediaan dana sendiri, pembiayaan bank dan meyakini sumber pelunasan. 2) Dalam menganalisis aspek teknis produksi, Bank belum memperhitungkan kondisi dan kualitas mesin dan alat-alat produksi. Dari nota tanggal 16 Juni 2003 diketahui Laporan Appraisal PT Valuindo Perdana tidak mencantumkan kondisi dan tahun pembuatan dari mesin-mesin PT CPS. Selanjutnya dari nota analisa tanggal 18 September 2006 diketahui: a) Selama periode tahun 2003 hingga 2005 kapasitas produksi PT CPS tidak pernah maksimal. Hal itu terjadi karena antara pabrik 1 dan 2 bergantian habis masa produksinya sehingga harus dioverhaul. b) Ketersediaan spare part untuk industri gelas sangat sedikit, sehingga beberapa barang-barang keperluan sangat sulit untuk dicari, kalaupun ada harganya mahal. c) Pada tahun 2004 debitur menghentikan pabrik 1 karena akan direnovasi dan direkonstruksi, tetapi renovasi dan rekonstruksi tersebut baru dilakukan mulai bulan Februari 2006. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa nota analisa awal tanggal 22 Juli 2003 di atas tidak mencantumkan alasan PT CPS mengambil alih kredit dari BNI dan BDI. Alasan pengambilalihan baru diketahui dalam nota analisa tanggal 18 September 2006 yaitu BNI tidak bersedia menambah KI untuk renovasi pabrik karena umur produksi tanur pabrik telah habis dan harus direkondisi serta jadwal overhaul jatuh waktu tahun 2002. PPK Bab VII Sub Bab B Butir 4.d menyatakan bahwa penilaian-penilaian aspek teknis dapat mencakup kapasitas produksi yaitu kemampuan teknis yang dimiliki oleh perusahaan dalam merealisasikan rencana kerjanya, yaitu: a) Mesin-mesin dan alat-alat produksi yang dimiliki (jenis, jumlah dan kondisinya). b) Apakah produksi telah mencapai kapasitas maksimum atau masih dibawah kapasitas. c) Kualitas mesin, perbaikan serta pemeliharaan dan kemudahan memperoleh suku cadang. Kondisi tersebut di atas mengakibatkan Bank Mandiri harus menanggung risiko kredit sehubungan kredit yang diberikan kepada debitur menjadi macet sehingga harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sebesar 100% dari kredit sebelum memperhitungkan nilai jaminan. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC dalam menganalisa permohonan kredit kurang memperhatikan aspek karakter, kapasitas, modal dan/atau agunan debitur.
92
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Kondisi keuangan debitur 1) Pada saat evaluasi pemberian tambahan KMK, Bank memproyeksikan hingga tahun 2004, debitur masih merugi karena beban bunga yang dibayar oleh nasabah masih cukup tinggi, tetapi EBITDA dan cash flow masih positif. Disamping itu evaluasi pemberian kredit tidak semata-mata hanya melihat pada aspek keuangan, tetapi juga aspek lainnya seperti aspek pemasaran, aspek teknis, aspek agunan serta prospek usaha. Apabila Bank tidak memberikan tambahan fasilitas KMK, usaha debitur diperkirakan akan terhambat dan Bank akan menderita kerugian sebesar fasilitas kredit yang telah diberikan (KI Rp21.300 juta dan KMK Rp2.400 juta). 2) Kondisi keuangan pada saat pemberian kredit kurang baik karena debitur belum sepenuhnya beroperasi secara normal. Namun setelah adanya pemberian kredit diharapkan CR, NWC dan DER membaik. 3) DER debitur tinggi karena adanya unsur hutang pemegang saham sebagai bagian dari “pinjaman sub ordinasi” sebesar Rp4,8 milyar. Jika hutang pemegang saham tersebut dikonversi menjadi modal, maka DER menjadi 77%, 33% dan 107%. 4) DER debitur tahun 2002, 2003 dan 2004 tinggi karena debitur sedang menyelesaikan beberapa proyek property yang membutuhkan dana untuk investasi. Selanjutnya pendapatan dari proyek akan diperoleh bila seluruh proyek selesai. Untuk memperbaiki proyeksi DER, Bank telah mensyaratkan peningkatan modal disetor semula Rp1 milyar menjadi Rp10 milyar. 5) DER tinggi karena debitur memiliki hutang tinggi dan tidak melaksanakan tambahan setoran modal. Mitigasi yang dilakukan adalah Hutang Afiliasi sebesar Rp 6.075,0 juta dijadikan sebagai Hutang Subordinasi yang tidak diperbolehkan lunas sebelum pelunasan kewajiban kepada Bank Mandiri. 6) Berdasarkan analisa yang dibuat, Bank meyakini bahwa prospek usaha PT CPS masih baik yaitu untuk memenuhi permintaan produksi mangkuk/piring dari PT ISM, ketersediaan bahan baku berupa beling masih terjamin, PT CPS memiliki tim ahli yang dapat merekondisi mesin-mesin sehingga umur teknisnya lebih panjang serta itikad baik dari pengurus PT CPS untuk mengembangkan usahanya, meskipun terdapat beberapa aspek pada saat analisa awal kurang baik. b. Kelemahan analisa pemberian kredit atau tambahan kredit 1) Pada saat analisa, Bank menilai masih wajar jika dengan adanya tambahan KMK proyeksi penjualan akan meningkat sebesar 21,34% dari realisasi tahun 2004. Peningkatan proyeksi itu wajar karena penjualan produk nasabah berupa permen sifatnya musiman dan penjualan akan meningkat cukup besar pada akhir tahun yaitu pada saat perayaan Natal dan Tahun Baru. 2) Dalam nota analisa perhitungan pembiayaan proyek, Bank telah mencantumkan self financing yang harus ditanggung debitur. Bank telah mensyaratkan Self financing itu dalam pencairan kredit yang akan dipenuhi secara bertahap berdasarkan progress proyek yang mencerminkan share debitur. Sumber dari self financing tersebut diharapkan berasal dari beberapa proyek lain PT SRS seperti proyek perumahan di Condet dan Depok serta proyek di Lenteng Agung. 3) Proyeksi penjualan tahun 2004 meningkat 50% dibandingkan penjualan tahun 2003 didasarkan pada proyek investasi yang akan meningkatkan kapasitas mesin secara signifikan. Selain itu realisasi pertumbuhan sebelumnya tahun 2002 mencapai 38%,
93
dan tahun 2003 mencapai 21%, sehingga asumsinya bila terdapat tambahan dan pembaharuan mesin maka penjualan akan jauh meningkat. Namun NAK belum memperhitungkan waktu penyelesaian pembangunan pabrik baru dan realisasi produksi secara komersial. Untuk selanjutnya akan menjadi perhatian kami. 4) Bank cukup meyakini bonafiditas bowheer (PT GBPC) karena PT GBPC merupakan perusahaan pertambangan terbesar kedua di Kaltim setelah KPC dan PT GBPC telah memperoleh kontrak dengan buyer dari Australia dan Philipina. Nota Analisa kurang mengantisipasi permasalahan lahan yang dituntut oleh masyarakat. c. Analisa tidak menggunakan laporan keuangan audited atau laporan keuangan 3 tahun terakhir dan neraca tahun berjalan 1) Dalam usulan nota analisa, Bank mensyaratkan debitur untuk menyerahkan laporan keuangan audited 2003, minimal cover note dari akuntan. Selanjutnya dalam nota analisa No. CBC.MDN/004/2005 tanggal 14-01-2005, Bank telah menggunakan laporan keuangan audited per 31-12-2002, 31-12-2003 dan 30-06-2004. 2) Laporan Keuangan tahun 2002 dan tahun 2003 masih berupa laporan in house. 3) Sesuai nota analisa No. CBC-Sby/1074/2004 tanggal 20 Desember 2004, analisa dari aspek keuangan didasarkan pada laporan keuangan audited 2003 KAP Drs. Haryo Tienmar & Rekan (terlampir). Pada saat analisa, Bank masih menggunakan draft laporan keuangan. Namun posisi-posisi keuangan dalam draft tersebut sama dengan laporan keuangan audited dimaksud. 4) Bank tidak menganalisa laporan keuangan tahun 2001 karena pada tahun tersebut debitur (PT MFI) masih bernama MDB, yang beralih menjadi PT MFI pada tahun 2002. Oleh karena itu Bank menganggap laporan keuangan yang lebih merepresentasikan penjualan perusahaan PT MFI adalah mulai tahun 2002 dan 2003. 5) Untuk selanjutnya akan menjadi perhatian kami. d. Analisa pemberian kredit terkait dengan aspek agunan 1) Bank memperoleh informasi adanya 20 buah kapal penangkap ikan dari debitur secara lisan. Namun berdasarkan pengecekan, kapal tersebut bukan milik debitur melainkan hanya merupakan dukungan dari nelayan setempat yang telah memiliki kapal penangkap ikan sehingga tidak disyaratkan sebagai agunan. Dari 3 sertifikat agunan tambahan yang dijanjikan, debitur telah menyerahkan satu sertifikat dan telah menilainya. 2) Fasilitas kredit pertama diberikan tahun 2003, sementara salah satu jaminan SHGB No. 31/Pejaten jatuh tempo tahun 2007 dan jangka waktu kredit s/d tahun 2008. Hal tersebut dimungkinkan pada saat pemberian kredit tetapi belum dijelaskan secara detail dalam NAK. Perpanjangan SHGB belum termonitor secara maksimal. e. Pemberian kredit berdasarkan rencana proyek atau surat kesepakatan 1) Bank telah memitigasinya dalam PK bahwa struktur kredit yang diberikan kepada debitur bersifat KMK Transaksional, yaitu penarikan kredit berdasarkan kontrak/SPK yang diperoleh oleh debitur dengan maksimal nilai penarikan 70% x nilai kontrak/SPK. 2) Dalam kenyataannya MOU dengan petambak memang belum ada. Namun bila dilihat dalam Nota Analisa No.CBG. CR1/CA1.053/2003 tanggal 23 September 2003, MOU dengan PT EPU merupakan langkah awal. Langkah berikutnya tersirat dalam Pasal 2 MOU yang memberikan gambaran rencana PT PCS mengikat petambak dengan cara menjual bibit udang ke petambak sekaligus membantu pendanaan serta penjualannya ke PT PCS. Namun sebelum rencana itu terlaksana, PT PCS sudah bermasalah.
94
3) Bank memberikan Bridging Loan berdasarkan kerjasama antara calon investor dengan BTR yaitu berupa Surat Kesepakatan Bersama antara Dirut PT BTR dengan calon investor. Keseriusan calon investor dibuktikan dengan adanya Corporate Letter of Commitment No.001/mgmt-inv/btri-indo/2004 tanggal 25 November 2004 (copy terlampir) dan dukungan pembiayaan yang diperoleh dari Gold Bank –London. Namun calon investor akhirnya mundur karena pinjaman yang diharapkan dari GoldbankLondon tidak berhasil direalisir. 4) Berdasarkan business model debitur sebagai kontraktor Mabes TNI AD dengan spesifikasi pengadaan alat-alat TNI yang khusus, biasanya debitur telah membeli kebutuhan TNI sebelum SPK terbit. Dengan pertimbangan tersebut, debitur meminta perubahan syarat penarikan kredit dengan berdasarkan payment order, invoice dsb. f. Penggunan kapasitas produksi masih rendah. Namun karena penambahan line produksi pada pabrik yang ada tidak dimungkinkan lagi dan melihat potensi ekspor ikan tuna yang prospektif serta tersedianya pasokan bahan baku ikan dari 1.500 nelayan, maka Bank menyetujui pembangunan pabrik baru. g. Pemberian kredit kepada debitur yang tercatat dalam daftar hitam BI akan menjadi perhatian kami selanjutnya. h. Analisa pemberian kredit kepada PT GRI 1) Analisa pemberian KMK tersebut didasarkan pada informasi nasabah yaitu kapasitas penangkapan per hari per group adalah 100 ton. Oleh karena PT GRI memiliki 3 group, maka kapasitas terpasang penangkapan ikan adalah 300 ton ikan per hari, tetapi PT GRI menargetkan hasil ikan 220 ton/hari. Informasi nasabah tersebut diperkuat oleh laporan evaluasi kapasitas produksi yang dibuat oleh PT Kawira Pratama Penilai tanggal 13-12-2004 yang menyebutkan kapasitas minimum yang ada sebesar 260 ton/hari. Disamping itu potensi tangkapan ikan di fishing ground cukup tinggi (1.846.400 ton/tahun) sehingga proyeksi yang ditetapkan dimungkinkan dapat terealisir. 2) Sdr. FA (Dirut) cukup berpengalaman dibidang usaha yang dibiayai dan memiliki tenaga ahli Sdr. GCD (Philipina). Manajemen kapal dan technical operation didukung dan dibantu langsung oleh Manajemen DFC TV Corp, Philippines yang dimiliki keluarga D (Philipina) yang telah dikenal dalam bisnis perikanan, berpengalaman sejak tahun 1957. Keluarga tersebut telah berhasil membuat kota nelayan kecil, General Santos di Philipina Selatan menjadi Tuna Capital (Tuna Cluster) sebagai salah satu Pusat Perdagangan Ikan Tuna di dunia. 3) Pada prinsipnya berdasarkan surat perjanjian tanggal 10 Desember 2004 yang telah ditandatangani bersama antara debitur Sdr. FA dengan GCD (PT SS) dan telah dilegalisasi melalui Notaris Thelma Andries, SH menyatakan bahwa mereka telah berjanji dan mengikat diri. Hal tersebut sudah dapat menjadi syarat untuk mengikatkan diri dalam suatu klausul perjanjian. 4) Perusahaan lebih menitikberatkan PT SS sebagai main buyer daripada perizinan yang seharusnya dimiliki. i. Bank Mandiri melalui analisa meyakini bahwa prospek usaha PT CPS masih baik yaitu untuk memenuhi permintaan produksi mangkuk/piring dari PT ISM, terjaminnya ketersediaan bahan baku berupa beling. PT CPS memiliki tim ahli yang dapat merekondisi mesin-mesin sehingga umur teknisnya dapat lebih panjang serta itikad baik dari pengurus PT CPS untuk mengembangkan usahanya, meskipun terdapat beberapa aspek pada saat
95
analisa awal kurang baik. Oleh karena itu Bank menyetujui pemberian kredit termasuk take over dari BNI dan BDI. Kolektibilitas kredit PT CPS sejak Juni 2007 sudah 2 dan diharapkan pada tahun 2008 sudah lancar kembali. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengupayakan penyelamatan dan/atau penyelesaian kredit terhadap debitur-debitur yang masih bermasalah. b. Meneliti kembali proses pemberian kredit kepada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
21. Penarikan kredit beberapa debitur yang dikelola RCR tidak sesuai ketentuan Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur RCR Makassar, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin dan Jakarta Sudirman menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam pencairan kredit, yaitu sebagai berikut. a. Pencairan kredit sebelum syarat pencairan kredit dan penandatanganan perjanjian kredit dipenuhi, terdapat pada debitur sebagai berikut: No.
RCR
Debitur
Baki Debet (Rp juta)
Kol
Syarat-syarat yang belum terpenuhi Salah satu syarat penarikan kredit yaitu menyerahkan agunan tambahan berupa tanah senilai Rp6 milyar. Realisasi nilai tanah yang diserahkan hanya Rp676,6 juta. Syarat penarikan kredit yang belum dipenuhi yaitu persetujuan dari DPRD Tk. I dan Tk.II tentang penyetoran modal dan pengalihan asset tanah lokasi hotel PT GWM. Syarat penarikan kredit yang belum dipenuhi yaitu: 1) menyerahkan kontrak perjanjian secara notariil tentang jual beli ikan antara PT SS dan PT GRI dengan materi perjanjian yang telah disetujui oleh Bank Mandiri. Materi perjanjian harus memuat klausul bahwa perjanjian dapat diakhiri apabila fasilitas kredit di Bank Mandiri telah lunas dan 2) klausul tambahan Riot, Strike, Malicious, and Damage (RSMD) dalam polis asuransi. Syarat efektif penandatanganan PK berupa penyerahan copy legalitas usaha yang masih berlaku tidak terlaksana seluruhnya yaitu Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) telah habis masa berlakunya tanggal 21 Januari 2004 dan sampai dengan PK ditandatangani belum diperpanjang.
1.
Makassar
PT MAC
25.871,14
5
2.
Makassar
PT GWM
13.807,46
2
3.
Jkt
PT GRI
42.400,27
5
PT PDA
29.058,29
5
Thamrin
4.
Jkt Sudirman
Penarikan kredit tersebut tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dan debitur tentang syarat pencairan dan penandatanganan PK.
96
b. Menurut PK No.10 tanggal 2 Oktober 2003 antara Bank Mandiri dengan PT CPS, fasilitas KMK jatuh tempo tanggal 1 Oktober 2004. Perpanjangan KMK baru disetujui tanggal 4 November 2004 serta addendum II PK tanggal 26 Januari 2005. Outstanding kredit PT CPS per 30 November 2007 sebesar Rp39.168,23 juta dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus. Dari rekening koran PT CPS diketahui terdapat aktivitas pencairan antara tanggal jatuh tempo s.d. tanggal pembuatan PK yaitu antara tanggal 1 Oktober 2004 s.d. tanggal 26 Januari 2005. Transaksi pencairan kredit tersebut terjadi pada tanggal 29 Oktober 2004 dan tanggal 9 Desember 2004 masing-masing sebesar Rp99,75 juta dan Rp300,41 juta. Penarikan kredit tersebut tidak sesuai dengan PPK Buku III: 1) Bab IX Sub Bab A yang menyatakan bahwa setiap perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh bank selaku kreditur dan nasabah selaku debitur sebelum pencairan kredit dilaksanakan. 2) Bab X Sub Bab B Butir 3 yang menyatakan bahwa syarat izin penarikan kredit merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur sebelum penarikan/pencairan kredit, salah satunya berupa penandatangananan Perjanjian Kredit dan jangka waktu kredit masih berlaku. Penarikan kredit sebelum syarat penarikannya dipenuhi meningkatkan risiko kredit Bank Mandiri. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC dan Credit Operation Bank Mandiri dalam menyetujui pencairan kredit dan penandatanganan akta perjanjian kredit kurang memperhatikan syarat-syarat pencairan dan penandatanganan PK. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Pencairan kredit sebelum syarat pencairan dan penandatanganan perjanjian kredit dipenuhi 1) Kredit PT MAC dicairkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya stagnasi pembangunan proyek yaitu apabila terbengkalai dapat mengakibatkan nilai recovery rate menjadi rendah. 2) Mengingat sektor perhotelan merupakan salah satu trigger/pemicu untuk menarik kunjungan wisatawan dan salah satu faktor penting dalam menggalakkan pariwisata, diperkirakan pendirian hotel akan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah. 3) Kontrak perjanjian jual beli ikan memang belum mencantumkan klausul bahwa kontrak jual beli, baru dapat diakhiri apabila fasilitas kredit di Bank Mandiri telah lunas. Pencantuman klausul asuransi RSMD sebenarnya tidak bisa diterapkan untuk jenis agunan kapal. Untuk selanjutnya Bank akan menyesuaikan syarat-syarat yang akan dituangkan dalam PK dengan bidang usaha debitur. 4) SKDP jatuh tempo memang seharusnya dimonitor perpanjangannya sejak syarat efektif diberlakukan, walaupun realisasinya hingga saat ini PT PDA masih menempati kantor maupun tempat usaha di lokasi yang sama. b. Bank telah meminta dokumen perpanjangan fasilitas KMK limit Rp14,7 milyar pada tanggal 2 September 2004 (jatuh tempo tanggal 30 September 2004). Namun PT CPS belum memenuhi permintaan dokumen tersebut yang salah satunya yaitu Laporan Keuangan Audited. Oleh karena itu Bank mengaktifkan kembali sebanyak 2 kali yaitu s/d tanggal 1 Desember 2004 dan s/d tanggal 1 Februari 2005. Penandatanganan addendum PK
97
baru terealisir tanggal 26 Januari 2005. Pencairan tersebut untuk mendukung operasional dan aktivitas keuangan PT CPS. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memberikan teguran secara tertulis terhadap debitur karena belum dipenuhinya syaratsyarat perjanjian kredit dan memerintahkan debitur untuk memenuhi persyaratan yang belum dipenuhi tersebut. b. Meneliti kembali pengelolaan kredit kepada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
22. Proses kredit beberapa debitur yang dikelola RCR dan CBC tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur pada beberapa RCR dan CBC menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam proses kreditnya, yaitu sebagai berikut. a. Penetapan jangka waktu KMK transaksional PT AGM tidak disesuaikan dengan underlying transaksinya PT AGM memperoleh kredit dari Bank Mandiri sejak tahun 2004. Outstanding kredit PT AGM per 6 Desember 2007 sebesar Rp34.039,11 juta dengan kualitas Macet. Nota analisa perpanjangan kredit a.n PT AGM mengusulkan persetujuan jangka waktu kredit menjadi s.d. 5 Mei 2007 untuk fasilitas KMK Rp4.300,00 juta dan KMK transaksional sebesar Rp30.000,00 juta yang tujuannya untuk menampung SKBDN yang jatuh tempo. Pemegang Kewenangan Pemutus Kredit (Commercial Risk dan Commercial Banking), menyetujui perpanjangan fasilitas KMK dengan limit Rp4.300,00 juta dan menyetujui perubahan KMK Transaksi Khusus dengan limit sebesar Rp30.000,00 juta menjadi: 1) Limit sebesar Rp14.000,00 juta bersifat revolving dengan jangka waktu s.d. 5 Mei 2007. 2) Limit sebesar Rp16.000,00 juta bersifat aflopend plafond dengan angsuran triwulan prorata dimulai bulan Maret 2007 selama dua tahun. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa jangka waktu fasilitas KMK aflopend dengan limit Rp16.000,00 juta (jatuh tempo Maret 2009) tidak disesuaikan dengan underlying transaksinya berupa SKBDN yang telah jatuh tempo tanggal 5 Mei 2006. Persetujuan perpanjangan itu tidak sesuai dengan PPK tahun 2005 Bab III, Sub bab, A, yang menetapkan jangka waktu kredit KMK disesuaikan dengan siklus usaha dan sifat kredit. Untuk KMK non revolving (aflopend) jangka waktu dapat lebih 1 tahun dengan maksimum jangka waktu disesuaikan dengan jangka waktu proyek atau underlying transaksinya. b. Perjanjian kredit tidak mensyaratkan penyerahan laporan keuangan audited PT SRS memperoleh kredit dari Bank Mandiri sejak tahun 2005. Outstanding kredit PT SRS per 23 November 2007 sebesar Rp28.430,22 juta dengan kualitas Macet. Dari review terhadap SPPK tanggal 8 Maret 2005 dan Perjanjian KMK No.13 tanggal 24 Maret 2005 diketahui bahwa Bank tidak mensyaratkan PT SRS untuk menyerahkan laporan keuangan audited sehingga tidak sesuai dengan PBI No. 7/2/PBI/2005. Pasal 9 ayat (2) PBI
98
itu menyatakan bahwa kewajiban debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan debitur. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa tanggal laporan keuangan audited tahun 2005 adalah 24 Juli 2007 dan laporan tahun 2006 tanggal 7 Agustus 2007, sehingga tidak sesuai dengan PPK III Bab IX Sub Bab D butir 1. PPK itu menyatakan bahwa laporan keuangan audited diserahkan paling lambat 180 hari setelah tutup tahun buku. c. KMK Non Revolving PT APE diperpanjang tanpa underlying transaction PT APE memperoleh fasilitas kredit dari CBC Banjarmasin Bank Mandiri sejak tanggal 8 April 2003 berupa KMK non revolving dengan limit sebesar Rp15.000,00 juta dan USD1,000.00 ribu untuk modal kerja proyek yang diperoleh dari Total Finelf Indonesie No. TP9/EPSC1. Pada tanggal 23 Juli 2004, PT APE mendapat fasilitas KMK II yang bersifat non revolving dengan limit sebesar Rp15.000,00 juta dan USD2,000.00 ribu untuk modal kerja proyek No. TP10/EPSC1. Fasilitas KMK yang telah ditarik sebesar Rp22.000,00 juta dan USD1,600.00 ribu, yaitu KMK I telah ditarik Rp15.000,00 juta dan USD 1,000.00 ribu dan KMK II telah ditarik Rp7.000,00 juta dan USD 600.00 ribu. PT APE mengalami kerugian dalam pengerjaan proyek No. TP9/EPSC1 dan proyek No. TP10/EPSC1 tidak terealisir. Kerugian tersebut terjadi karena harga penawaran dari PT APE yang rendah dan harga dasar yang diberikan oleh bowheer juga rendah sehingga PT APE tidak dapat membayar kewajibannya sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Fasilitas KMK non revolving tersebut telah diperpanjang 3 kali, yang terakhir diperpanjang s.d. 18 Maret 2008. Selama ini, PT APE hanya membayar kewajiban bunganya tanpa membayar pokok kreditnya. Dengan perpanjangan KMK tersebut, kolektibilitas kredit PT APE menjadi lancar walaupun kenyataannya PT APE tidak sanggup membayar kewajiban kreditnya sesuai jadwal. Hal tersebut menunjukkan bahwa perpanjangan jangka waktu kredit tidak didukung dengan underlying transaction. Perpanjangan KMK itu tidak sesuai dengan PPK Buku I Bab III Sub Bab A Butir 1.a.7) yang menyatakan jangka waktu kredit sesuai dengan siklus usaha dan sifat kredit. Khusus untuk KMK Non Revolving (Aflopend) jangka waktu dapat lebih dari 1 tahun dengan maksimum jangka waktu disesuaikan dengan jangka waktu proyek/underlying transaction-nya. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Pelunasan KMK transaksional PT AGM tertunda. b. Bank Mandiri tidak dapat memaksa debitur untuk menyerahkan laporan keuangan audited. c. Bank Mandiri memiliki risiko kredit PT APE karena underlying transaction berupa kontrak kerja debitur tidak terealisir. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC dan RCR kurang memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu KMK dan pencantuman kewajiban penyampaian laporan keuangan audited dalam PK. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Fasilitas KMK transaksional dengan limit Rp16,0 miliar mempunyai underlying berupa dokumen L/ C dan SKBDN yang sudah jatuh tempo dan tidak dapat diperpanjang. Namun toleransi jangka waktu terlampau panjang selama 2 tahun.
99
b. PK memang belum mensyaratkan penyerahan laporan keuangan audited. Namun Bank Mandiri tetap meminta debitur untuk menyerahkan laporan dimaksud. PT SRS telah menyampaikan Laporan Keuangan Audited s.d. tahun 2006. c. Fasilitas tersebut diperpanjang dalam rangka pelunasan dan risikonya telah dimitigasi dengan perubahan skim kredit dari KMK Revolving menjadi KMK Revolving Transaksional serta nasabah memiliki outstanding proyek yang dapat dijadikan sumber pembayaran kewajiban. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri : a. Menginstruksikan Manajer RCR dan Credit Operation untuk memperbaiki perjanjian kredit yang belum mencantumkan syarat penyerahan laporan keuangan audited. b. Meneliti kembali pengelolaan kredit kepada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
23. Monitoring kredit beberapa debitur yang dikelola RCR tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap beberapa debitur RCR Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin dan Jakarta Sudirman menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam monitoring kredit, yaitu: a. Beberapa debitur memperoleh kelebihan pembiayaan modal kerja, yaitu: No.
RCR
Debitur
Baki Debet (Rp juta)
Kol.
Keterangan
1.
Medan
PT JT
14.500,00
5
Nota analisa tanggal 24 November 2005 menyebutkan adanya kelebihan pembiayaan sebesar Rp7.000,00 juta.
2.
Makassar
PT MAC
25.871,14
5
Nota analisa tanggal 16 Juli 2004 menyatakan adanya kelebihan pembiayaan sebesar Rp9.411,00 juta.
3.
Surabaya
CV BR
68.327,71
5
Dalam Credit Report tanggal 18 Desember 2000 diketahui adanya kelebihan pembiayaan modal kerja sebesar Rp7,76 milyar jika dihitung berdasarkan realisasi penjualan atau sebesar Rp4,26 milyar jika dihitung berdasarkan rencana penjualan.
Kelebihan pembiayaan tersebut kurang memperhatikan PPK Buku 2 Bab VII Sub Bab B butir 9.a. yang menyatakan bahwa maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan oleh Bank harus memperhitungkan besarnya nilai pembiayaan sejenis yang telah atau akan diberikan oleh kreditur lainnya sebagai faktor pengurang maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan. b. Beberapa debitur menggunakan fasilitas kredit diluar tujuan yang telah ditetapkan, yaitu: No. 1.
RCR Bandung
Debitur CV PS
Baki Debet Kol. (Rp juta) 44.007,22
5
Keterangan Outstanding kredit untuk proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Mandiri periode 20042005 sudah tidak tercover dengan sisa tagihan kepada bouwheer. Sisa tagihan atas proyek 100
No.
RCR
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
Keterangan yang dibiayai tinggal Rp944 juta. Hal tersebut menunjukkan hasil pembayaran proyek tersebut digunakan debitur untuk mengerjakan proyek-proyek diluar pembiayaan Bank Mandiri.
2.
Medan
PT AU
8.653,00
3
Dari NAK tanggal 5 Oktober 2006 diketahui adanya modal kerja yang digunakan untuk pembiayaan investasi perkebunan kelapa sawit sebesar Rp8,79 milyar.
3.
Medan
PT SUJ
49.900,00
5
Debitur menggunakan modal kerja dan fasilitas KMK untuk menutupi kekurangan pembiayaan pembangunan PKS.
4.
Medan
PT JT
14.500,00
5
Sesuai notulen pertemuan tanggal 22 Maret 2007, sebagian besar fasilitas KMK telah digunakan untuk panjar pembelian dua unit pesawat Boeing 737-200.
5.
Semarang
PT MMA
17.597,66
5
Sesuai Nota tanggal 19 Januari 2005, debitur kekurangan modal kerja karena sebagian dana tertanam dalam investasi perluasan usaha.
6.
Makassar
PT MAC
25.871,14
5
1) Dari Nota Analisa tanggal 16 Juli 2004 diketahui bahwa sebagian dana dari KI yang telah ditarik sebesar Rp2.088,00 juta diindikasikan dibelanjakan untuk kepentingan pemegang saham. 2) Dari Nota tanggal 29 November 2006 diketahui debitur menggunakan fasilitas kredit modal kerja sebesar Rp1.700,00 juta untuk rehabilitasi mesin.
7.
Surabaya
PT TFN
16.644,00
5
Sesuai Nota Analisa tanggal 16 Juni 2006, Direktur Utama PT TFN menggunakan sebagian fasilitas KMK sebesar Rp 8.850,99 juta untuk usaha perdagangan plywood melalui group usahanya PT SLN.
8.
JKT
PT PCS
35.114,50
5
Dari Call Report tanggal 6-8 Juni 2006 butir E diketahui bahwa fasilitas KMK yang diberikan Bank Mandiri sebesar Rp10.500,00 juta, seluruhnya digunakan untuk pengadaan 1 set mesin cold storage.
PT MFI
46.758,33
5
Berdasarkan hasil perhitungan CBC Sudirman terhadap bukti-bukti pengeluaran penarikan fasilitas KMK dan Laporan Kunjungan CRC Sudirman tanggal 28 Agustus 2007 diketahui sebagian dana fasilitas KMK sebesar Rp3.519,50 juta digunakan untuk membeli mesin dan membeli/membayar 70% saham perusahaan milik pemegang saham lama sebesar Rp11.000,00 juta.
PT PDA
29.058,29
5
Berdasarkan laporan kunjungan nasabah tanggal 1 September 2004, diketahui bahwa PT PDA menggunakan sebagian tambahan fasilitas KMK untuk membiayai pembelian 1 unit seismatic S7 Control Panel senilai Rp1.203,00 juta
Thamrin
9.
JKT Sudirman
10.
JKT Sudirman
101
Debitur
Baki Debet Kol. (Rp juta)
No.
RCR
Keterangan
11.
JKT Kota
PT CPS
39.168,23
2
Dari surat PT CPS tanggal 30 Januari 2004 diketahui: 1) Sebagian fasilitas KMK sebesar Rp5,78 milyar digunakan untuk mengcover KI yang diambil alih dari BNI. 2) PT CPS membayar angsuran rekening KI existing (KI-1) sebesar Rp2,84 milyar dengan menggunakan dana dari KI refinancing.
12.
JKT Kota
PT BTR
48.484,07
5
Dari Laporan Cash Monitoring PT BTR periode Mei dan Juni 2004 diketahui terdapat penggunaan fasilitas KMK untuk pembelian kendaraan sebesar Rp98,68 juta, pembayaran hutang manajemen lama sebesar Rp1.400,84 juta, tunggakan bunga serta biaya bunga sebesar Rp2.446,49 juta
Penyalahgunaan fasilitas kredit tersebut tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyebutkan bahwa debitur berkewajiban untuk menggunakan fasilitas kredit sesuai dengan tujuan penggunaannya. c. Debitur tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya PT GRI memperoleh kredit dari Bank Mandiri tahun 2004. Outstanding kredit PT GRI per 2 November 2007 sebesar Rp42.400,27 juta dengan kualitas Macet. Setelah fasilitas KMK PT GRI mulai bermasalah, pengurus PT GRI dan sekaligus key personnya yaitu Sdr. FA sulit bekerja sama. Dalam Call Report tanggal 20 Oktober 2005 dikatakan bahwa Sdr FA tidak hadir dalam pertemuan dengan Bank Mandiri. Dari CES tanggal 2 November 2007 diketahui bahwa Sdr. FA semakin sulit dihubungi. PT GRI tidak menanggapi surat Bank Mandiri tanggal 31 Mei 2007 mengenai undangan untuk menyelesaikan fasilitas KMK. Sedangkan kantor PT GRI di Gedung BRI II Jakarta ditutup. Hal itu menunjukkan tidak ada itikad baik dari Sdr. FA. Perilaku Sdr. FA selaku Direktur Utama PT GRI. PPK Bab VII Sub Bab A butir 1 menyatakan suatu pemberian kredit adalah atas dasar kepercayaan, jadi yang mendasari suatu kepercayaan yaitu adanya keyakinan dari pihak Bank bahwa si peminjam mempunyai watak, moral, sifat, dan juga mempunyai rasa tanggung jawab yang baik serta kooperatif. Karakter adalah keadaan watak/sifat dari debitur, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian terhadap karakter ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana iktikad/kemauan debitur untuk memenuhi kewajibannya (willingness to pay) sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. d. Debitur mengubah spesifikasi pabrik tanpa seizin Bank Mandiri PT SUJ memperoleh kredit dari Bank Mandiri pada tahun 2004. Outstanding kredit PT SUJ per 31 Oktober 2007 sebesar Rp49.900,00 juta dengan kualitas Macet. Dari pemeriksaan dokumen kredit diketahui PT SUJ telah mengubah spesifikasi pabrik yang seharusnya 30 ton/jam menjadi 60 ton/jam dalam rangka mengcover pasokan bahan baku TBS yang berlimpah di sekitar daerah tersebut. Perubahan spesifikasi tersebut tanpa seizin Bank Mandiri. Perubahan itu mengakibatkan adanya penambahan bangunan untuk menempatkan mesin-mesin dan peralatan jika nantinya kapasitas ditingkatkan menjadi 60
102
ton/jam. Sementara mesin, peralatan boiler, genset, kolam limbah dan waduk telah disesuaikan untuk kapasitas 60 ton TBS/jam. Perubahan spesifikasi itu tidak sesuai dengan Perjanjian Kredit Investasi No. 89 pasal 2, ayat (2) yang menyatakan bahwa debitur wajib menggunakan kredit semata-mata untuk pembangunan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 30 (tiga puluh) ton TBS/jam. e. Adanya kelemahan terkait dengan laporan pihak independen, yaitu terdapat pada debitur PT MMA di RCR Semarang dengan baki debet sebesar Rp17.597,66 juta dan kolektibilitas 5 dengan penjelasan sebagai berikut. Laporan Keuangan Audited (LKA) PT MMA per 31 Desember 2005 yang diserahkan kepada Bank Syariah Mandiri (BSM) mencatat adanya fasiltas kredit dari Bank Mandiri, sedangkan LKA yang diserahkan ke Bank Mandiri tidak mencatat adanya fasilitas kredit dari BSM. Selain itu akta perubahan yang disampaikan kepada BSM adalah Akta perubahan No.20 tanggal 1 Oktober 2004 oleh Notaris Daliso Rudianto, SH. Sementara itu akta perubahan terakhir yang disampaikan kepada Bank Mandiri adalah Akta perubahan No.2 tanggal 1 Oktober 2004 oleh Notaris Daniel A. Saadi, SH. Berkaitan dengan pengawasan terhadap debitur, PPK Buku III Bab XIV Sub Bab D menjelaskan bahwa pengawasan kredit bertujuan untuk mendidik nasabah agar selalu menyampaikan laporan kepada bank mengenai seluruh kegiatan usahanya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Masalah tersebut mengakibatkan Bank Mandiri menanggung risiko kredit karena kreditkredit yang diberikan kepada beberapa debitur tersebut tersebut menjadi bermasalah sehingga harus membentuk Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva sesuai kualitas kreditnya.
a.
b. c. d.
Kondisi tersebut terjadi karena: Manajer, TL dan RM pada CBC masih lemah dalam melaksanakan monitoring seperti pengawasan penggunaan kredit, perhitungan KMK, kegiatan usaha debitur dan meyakini laporan yang dibuat oleh pihak independen. Manajer, TL dan RM pada CBC dan RCR kurang tegas terhadap debitur yang telah menggunakan kredit diluar tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen PT SUJ tidak menginformasikan tentang perubahan kapasitas produksi PKS yang dibangun kepada CBC. Adanya itikad kurang baik dari debitur.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Beberapa debitur memperoleh kelebihan pembiayaan modal kerja 1) Dengan SPPK tanggal 29 Desember 2005, jumlah kelebihan KMK sebesar Rp 7 milyar disetujui menjadi KMK aflopend dengan jangka waktu 4 tahun. Namun persetujuan tersebut belum efektif dilaksanakan karena debitur belum memenuhi seluruh persyaratan yang disetujui Bank Mandiri. 2) Pemberian tambahan KMK sebesar Rp5,9 milyar adalah dalam rangka restrukturisasi kredit bermasalah. Keputusan merestrukturisasi kredit dengan menambah KMK pada saat itu, semata-mata karena adanya prospek usaha dan berkaitan dengan program pemerintah dalam rangka pengembangan Mina Mandiri di Kawasan Timur Indonesia.
103
3) Over financing terjadi karena adanya perpindahan pengelolaan kredit dari eks SIFL Hongkong tahun 2000 ke CRG Kanpus dan ditambahkan ke posisi kredit existing kelolaan CRG Kanpus. Meskipun terjadi over finance, Bank tetap memperpanjang fasilitas KMK karena kolektibilitas kredit masih tergolong lancar. Untuk memitigasi kekurangan jaminan kredit, Bank telah meminta jaminan pribadi (borgtocht) atas nama suami dan isteri (Sdr. S dan Sdr/i. L). b. Penggunaan kredit diluar tujuan yang telah ditetapkan 1) Proyek-proyek yang dibiayai Bank Mandiri berjalan baik. Namun monitoring pembayaran termijn belum sesuai dengan ketentuan karena terdapat indikasi itikad yang kurang baik dari pengurus CV PS. Debitur tidak menyalurkan termijn yang diterima melalui rekening escrow dan menggunakannya untuk membiayai proyek lain yang tidak dibiayai Bank Mandiri, sehingga outstanding baki debet tidak terselesaikan. 2) Oleh karena adanya indikasi penggunaan dana modal kerja untuk investasi kebun maka sesuai surat tanggal 22 Agustus 2006, Bank meminta debitur untuk menurunkan outstanding kredit secara bertahap. Selain itu sejak Juni 2006, debitur tidak diperkenankan menarik fasilitas kredit. 3) Kenaikan suku bunga kredit mengakibatkan KI IDC setiap bulannya menjadi bertambah besar, sehingga limit KI IDC terpakai seluruhnya (lebih cepat dari jadwal). Padahal pembangunan proyek belum selesai 100%. Untuk mempertahankan kolektibilitasnya tetap lancar, debitur berupaya membayar bunga (KI & KI IDC) selama 5 bulan menjadi beban debitur sendiri. 4) Penggunaan fasilitas KMK untuk tujuan panjar pembelian pesawat boeing 737-200 sebelumnya tidak dilaporkan kepada Bank Mandiri. 5) Debitur telah menerima order yang cukup besar, sementara kapasitas pabrik tidak dapat (sulit) memenuhi order dalam jangka waktu yang ditetapkan. Oleh karena itu debitur mempercepat penyelesaian pembangunan workshop dan membeli tambahan mesin dalam rangka menjaga kontinuitas order di masa mendatang. 6) Debitur telah menyampaikan surat pernyataan di atas materai tanggal 9 Agustus 2004 untuk memberikan perhatian penuh pada kegiatan usahanya dan tidak akan melibatkan diri pada kegiatan politik maupun kegiatan non bisnis lainnya selama mendapat fasilitas kredit dari Bank Mandiri. Pengalihan penggunaan sebagian fasilitas KMK untuk rehabilitasi mesin karena adanya musibah banjir bandang yang mengakibatkan kerusakan mesin. Dengan rehabilitasi tersebut, operasional pabrik diharapkan dapat berjalan lancar. 7) Tanpa sepengetahuan Bank, debitur mencoba untuk mengembangkan usaha dibidang industri plywood dengan dana sebagian berasal dari TFN. Bank telah menempuh upaya untuk menjual agunan TFN diluar proyek dalam rangka menurunkan kewajiban pokok kredit. 8) Dengan surat tanggal 9 Desember 2005, Bank telah menegur PT PCS secara tertulis karena menggunakan fasilitas KMK untuk pembelian mesin. PT PCS telah berupaya membayar kredit yang bersumber dari penjualan mesin-mesin refrigeration equipment cold storage plant yang belum terpasang senilai Rp13.216,73 juta. Namun mesin-mesin itu belum terjual walaupun debitur telah menawarkan dengan harga discount 50%. 9) Debitur telah menggunakan KMK untuk investasi mesin dan pembelian saham tanpa melaporkannya kepada Bank. Mengingat disiplin debitur dalam penggunaan KMK kurang baik, maka dalam upaya penyelamatan kredit, Bank menerapkan cash
104
management dan tidak memberikan keringanan tunggakan bunga. Bank juga telah mengikat mesin yang dibeli tersebut. 10) Debitur membeli 1 unit mesin Seismatic S-7 tanpa sepengetahuan Bank. Namun pada saat kunjungan Bank Mandiri, tambahan investasi tersebut penting untuk menunjang operasional mesin yang lain. 11) Penggunaan sebagian KMK untuk mengambil alih (take over) KI BNI dan BDI karena adanya selisih antara pemberian fasilitas KI oleh Bank Mandiri dengan outstanding take over kredit dari BNI. Untuk menutup selisih tersebut, Bank Mandiri memberikan fasilitas tambahan berupa KI Refinancing sebesar Rp4.300 juta dan mengembalikan porsi KMK yang telah digunakan tersebut. 12) Penggunaan sebagian dana fasilitas KMK yang tidak sesuai dengan tujuan penggunaan semula didasarkan pada rekomendasi konsultan pengawas yang ditunjuk oleh Bank Mandiri pada saat restrukturisasi kredit agar restrukturisasi kredit dapat berjalan. c. Pada saat awal pemberian kredit, debitur bersifat kooperatif. Namun pada saat kredit menjadi bermasalah, debitur cukup sulit dihubungi. d. Perubahan spesifikasi pabrik merupakan inisiatif debitur sendiri dengan menggunakan dana debitur sendiri. Bank beranggapan selisih kapasitas 30 ton/jam merupakan Over Run Cost yang menjadi beban self financing dari debitur sendiri. e. Dengan surat tanggal 28 Desember 2007, Bank telah meminta tanggapan kepada debitur terkait dengan perbedaaan lapkeu posisi 31 Desember 2005 dan akta perubahan tanggal 1 Oktober 2004. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Mengupayakan penyelamatan dan/atau penyelesaian kredit terhadap debitur-debitur yang masih bermasalah. b. Memasukkan debitur dan pengurus debitur kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri untuk debitur-debitur yang tidak dapat direstrukturisasi. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
24. Agunan kredit beberapa debitur yang dikelola RCR tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur RCR Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin dan Jakarta Sudirman menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam pengelolaan agunan kredit yaitu sebagai berikut. a. Agunan kurang mengcover, yaitu terjadi pada beberapa debitur berikut: No.
RCR
Debitur
Kol.
Jenis Kredit
% Jaminan
1.
Bandung
PT LJP
5
KI
128
2.
Medan
PT AU
3
KMK
82,17
KMK
106,58
Keterangan Agunan aktiva tetap Agunan utama Agunan tambahan
3.
Medan
PT PSM
5
KI & KMK
61,75
Total agunan
4.
Semarang
PT MMA
5
KMK
47,75
Agunan KMK
105
No.
RCR
Debitur
Kol.
Jenis Kredit KI & KMK
% Jaminan 132
5.
Makassar
PT MAC
5
KMK
6.
Surabaya
PT GJS
5
KI & KMK
7.
Surabaya
CV BR
5
KMK
8.
Jkt Thamrin
PT GRI
5
KMK
0
9.
JKT Sudirman
PT AGM
5
KMK
68,56 62,33
10.
JKT Sudirman
PT PDA
5
KI & KMK
11.
JKT Kota
PT BTR
5
KMK KI & KMK
82,83 92
Keterangan Total Agunan Agunan tambahan Total Agunan
63,76
Agunan utama
13,70
Agunan tambahan
7,94 0 52,53
Agunan utama Agunan utama Agunan tambahan Agunan aktiva tetap Agunan utama Agunan aktiva tetap
Agunan yang tidak mencover kewajibannya tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B butir 6 yang menyatakan: 1) Kredit Investasi, Secara umum total nilai pasar yang dapat diterima Bank dari agunan utama dan agunan tambahan seluruhnya dalam bentuk aktiva tetap, minimum sebesar 150% dari limit kredit. 2) Kredit Modal Kerja a) Secara umum nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. b) Apabila nasabah juga sedang memperoleh fasilitas KI dari Bank Mandiri, maka agunan tambahan atas fasilitas KMK dapat dikaitkan dengan agunan fasilitas KInya, sepanjang nilainya masih dapat menutup limit kredit fasilitas KI dan KMKnya. b. Agunan belum diasuransikan atau asuransi agunan belum diperpanjang, yaitu terdapat pada debitur-debitur sebagai berikut: No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Medan
PT PSM
5
Agunan utama KI dan tambahan KMK belum diasuransikan.
2.
Makassar
PT MAC
5
Asuransi jatuh tempo tanggal 23 Juli 2006 tetapi belum diperpanjang.
3.
Surabaya
CV MP
5
Asuransi jatuh tempo tanggal 21 Januari 2007 tetapi belum diperpanjang.
4.
Surabaya
PT ACC
5
Asuransi jatuh tempo tanggal 18 Maret 2006 tetapi belum diperpanjang
5.
JKT Thamrin
PT PCS
5
Asuransi jatuh tempo tanggal 1 April 2006 dan belum diperpanjang.
Agunan yang belum diasuransikan atau asuransi agunan yng belum diperpanjang tidak sesuai dengan PPK Buku III Bab VIII Sub Bab C butir 2 yang menyatakan untuk lebih memperkecil risiko atas kredit yang diberikan, maka semua agunan (kecuali tanah) harus diasuransikan pada perusahaan asuransi rekanan Bank Mandiri. c. Beberapa agunan belum diikat secara sempurna, yaitu terdapat pada debitur-debitur sebagai berikut:
106
No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Bandung
DA
5
Tanah seluas 160.000 m² di Ancaran Kuningan belum semuanya diikat hak tanggungan.
2.
Medan
PT PSM
5
Tiga bidang tanah belum ditingkatkan status kepemilikannya (masih berupa SKGR dan SK Camat) sehingga belum dapat diikat.
3.
Makassar
PT MAC
5
Piutang dagang tidak diikat secara fidusia. SHM No.36/Tambala, No.47/Tambala dan 50/Tambala a.n. Sdr.FK belum dibalik nama ke debitur.
4.
Surabaya
PT GJS
5
Agunan utama berupa tanah yang dibiayai seluas 8,1 ha belum dapat dikuasai Bank Mandiri secara sempurna.
5.
Jkt Thamrin
PT GRI
5
Pengikatan 4 buah kapal masih berupa SKMHT
6.
Jkt Sudirman
PT PDA
5
SHGB No. 31 seluas 9.112 m² berakhir tanggal 2 Maret 2007 dan belum diperpanjang.
Agunan yang belum diikat tersebut tidak sesuai dengan PPK: 1) Buku 3 Bab VIII Sub Bab B butir 11.a.1) yang menyatakan bahwa terhadap barangbarang yang diterima sebagai agunan kredit harus dilaksanakan pengikatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum/yuridis. 2) Buku I Bab IV Sub Bab F butir 2 yang menyatakan bahwa untuk agunan berupa tanah, yang dapat diterima sebagai jaminan adalah tanah yang berstatus dan telah mempunyai Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha atau Hak Pakai Atas Tanah Negara (yang karena ketentuan perundang-undangan harus didaftarkan dan karena sifatnya dapat dipindahtangankan) dimana untuk tanah-tanah jenis ini pengikatannya dilakukan dengan Hak Tanggungan. 3) Undang-undang No.42 tahun 1999 pasal 11 ayat 1 yang menyebutkan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fiducia wajib didaftarkan pada kantor pendaftaran fiducia. Masalah tersebut mengakibatkan kepentingan Bank Mandiri dari agunan kredit (second way out) belum sepenuhnya terlindungi karena beberapa agunan belum mengcover kewajiban kreditnya, belum diasuransikan dan belum diikat secara sempurna. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC dan RCR Bank Mandiri belum sepenuhnya memenuhi ketentuan yang diatur dalam PPK mengenai kecukupan dan asuransi agunan serta belum tegas meminta debitur untuk menambah agunan dan memperpanjang asuransi agunan. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Agunan kurang mengcover 1) Sesuai dengan penilaian appraisal terakhir oleh PT Fiesta Penilai tanggal 12/01/2007, nilai pasar jaminan kredit sebesar Rp82 milyar dan nilai likuidasi sebesar Rp64 milyar. Sehingga coverage rasio agunan dengan menggunakan nilai likuidasi adalah sebesar 128%. 2) Oleh karena pembayaran termin dari bouwheer sebesar Rp4,27 juta tidak disetorkan ke rekening escrow di Bank Mandiri yang seharusnya digunakan untuk menurunkan outstanding KMK, maka posisi tagihan/piutang sebagai jaminan utama KMK menjadi 107
dibawah 150%. Bank telah memberikan peringatan secara tertulis kepada debitur tanggal 11 Desember 2006. 3) Pada saat awal pemberian kredit, jaminan pokok sebesar Rp44.153.516 ribu dan jaminan tambahan sebesar 24.810.087 ribu atau total sebesar Rp68.963.603 ribu atau 464% dari fasilitas sebesar Rp14.870.434 ribu. Namun setelah musibah kebakaran , agunan tidak mengcover outstanding kredit karena klaim asuransi tidak dibayar sesuai kerugian debitur 4) Rasio agunan KMK terhadap limit kredit diperkenankan dibawah 100%, tetapi agunan stock & piutang setiap saat harus mengcover 150% dari Baki Debet. 5) Meskipun rasio agunan tambahan untuk KMK hanya sebesar 82,83%, tetapi risiko sudah termitigasi karena rasio total agunan terhadap total baki debet kredit sudah mencapai 123,58%. 6) Agunan tersebut akan dinilai kembali. 7) Jaminan tidak mengcover karena adanya fasilitas kredit debitur yang diperoleh dari eks SIFL Hongkong yang tidak dicover dengan jaminan. Bank telah meminta jaminan pribadi (borgtocht) sesuai Akta No. 12 tanggal 15 Pebruari 1992 dan Akta No. 47 tanggal 21 Agustus 2000 a/n. Ny. L. 8) Perusahaan yang baru berdiri dan belum beroperasi, belum memiliki stock dan piutang. Dengan diberikan KMK, perusahaan akan mulai beroperasi sehingga diharapkan dapat menghasilkan stock dan piutang. Berdasarkan neraca 30 September 2005 posisi piutang usaha sebesar Rp24 milyar atau mengcover 56,84% dari baki debet. 9) Pada saat pemberian kredit, coverage ratio PT AGM cukup besar yaitu nilai taksasi agunan utama (sebelum KMK) Rp32.107,0 juta dan agunan tambahan Rp29.726,0 juta. Dengan demikian rasio agunan utama sebesar 93,61% dan agunan tambahan sebesar 86,66%. 10) Masa laku SHGB No.31 telah lewat sehingga hak tanggungan gugur. Bank lebih memfokuskan untuk melelang agunan-agunan PT PDA dalam waktu yang terbatas dengan hasil yang optimal. Selain itu untuk memperpanjang masa laku SHGB No.31 diperlukan waktu yang relatif lama. 11) Bangunan pabrik dan mesin sudah tidak ada, karena dijarah oleh karyawan yang gajinya tidak dibayar oleh BTR pada bulan Agustus 2006. Bank Mandiri telah memberikan surat teguran kepada debitur (tanggal 8-10-2005, 6-12-2005 dan 13-122005) karena pengamanan merupakan tanggung jawab debitur. Jaminan yang tersisa saat ini yaitu tanah untuk dilelang. b. Asuransi agunan belum diperpanjang umumnya karena debitur kesulitan keuangan. Bank Mandiri telah meminta debitur untuk segera menutup asuransi dengan surat atau telepon. c. Agunan belum diikat secara sempurna 1) Tanah kosong seluas 160.000 m² di Ancaran kuningan belum semuanya diikat karena sertifikat untuk tanah seluas 74.340 m² masih dalam proses penyelesaian di BPN. Dengan surat tanggal 22 Juni 2006 dan 1 September 2006, Bank telah meminta debitur untuk menyelesaikan pengurusan sertifikasi agunan tersebut. 2) Terdapat beberapa agunan yang belum bersertifikat dan dalam pengurusan notaris. Namun dalam perjalanannya mengalami hambatan karena lokasi berbatasan dengan PTP yang belum memberikan rekomendasi sehingga sampai dengan saat ini agunan itu belum diikat. 3) Agunan belum diikat karena terbatasnya dana cadangan untuk biaya pengikatan.
108
4) Penguasaan tanah proyek yang dibiayai sampai dengan saat ini belum sempurna karena pengurusan HPL yang menjadi kewajiban PT PIT (berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara PT PIT dengan PT GJS) masih terkendala dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang Kepelabuhan. 5) Berdasarkan akte hibah, kapal tersebut telah beralih kepemilikan dari PT SMS ke PT GRI. Sesuai surat keterangan No. 566/N/XII/2007 tanggal 17-12-2007, balik nama 4 unit kapal dimaksud masih diproses oleh Notaris Harun Kamil SH. 6) Bank dhi. RCR V Jakarta Sudirman sudah pernah merencanakan untuk memperpanjang masa laku SHGB No.31, tetapi terkendala oleh biaya pengurusan perpanjangan SHGB dan kesulitan menghubungi debitur untuk meminta persetujuan/surat kuasa dari debitur. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Meminta debitur agar menyerahkan agunan tambahan sehingga kepentingan Bank Mandiri lebih terlindungi dan memperpanjang asuransi agunan serta menyelesaikan pengikatan agunan. b. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
25. Beberapa debitur yang dikelola RCR tidak memenuhi beberapa syarat covenant dalam perjanjian kredit Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur RCR Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin dan Jakarta Sudirman menunjukkan bahwa debitur belum memenuhi beberapa syarat covenant (kewajiban dan larangan) dalam Perjanjian Kredit, yaitu sebagai berikut. a. Debitur memperoleh pinjaman dari pihak lain sebelum memperoleh ijin tertulis dari Bank Mandiri, yaitu: No. 1.
RCR Bandung
Debitur CV PS
Kol
Keterangan
5
Nota No. RCR.BDG/267/2007 tanggal 4 September 2007 mengungkapkan bahwa debitur memperoleh pinjaman dari CV DAT Rp6.100,00 juta.
2.
Medan
PT JT
5
Dari informasi BI No.7/220067/DPIP/PIK tanggal 5 Oktober 2005, debitur memperoleh kredit dari bank lain Rp5.970,65 juta.
3.
Semarang
PT MMA
5
Call Report tanggal 26 April 2007 mengungkapkan bahwa debitur memperoleh pinjaman dari bank lain sebesar Rp9.800 juta sejak tanggal 14 Desember 2005.
4.
Banjarmasin
PT AS
3
Dari Memo No.RCR.BJM/213/2006 tanggal 28 November 2006 diketahui debitur memperoleh pinjaman bank lain sebesar Rp8.000,00 juta.
5.
Thamrin
PT PKN
5
Dari IDI BI No.1/1488806/DPIP/DIB/Rhs tanggal 20 September 2005, debitur memperoleh kredit dari bank lain sebesar Rp8.836,00 juta.
6.
Sudirman
PT PDA
5
Dari Nota No. CBC.JSD/2624/TL.I/2005, tanggal 20 April 2005, diketahui debitur memperoleh fasilitas 109
bank lain sebesar Rp3.000,00 juta. 7.
Kota
PT MG
5
Dari laporan keuangan audited tahun 2003 diketahui debitur memperoleh kredit bank lain sebesar Rp16.250,00 juta.
Pinjaman debitur dari pihak lain tanpa izin tertulis Bank Mandiri tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, tanpa persetujuan tertulis dari Bank, nasabah tidak diperkenankan memperoleh pinjaman lain dalam bentuk apapun juga dari lembangan keuangan lainnya atau pinjaman lain dari pihak ketiga baik untuk modal kerja maupun investasi, kecuali fasilitas kredit yang saat ini sudah ada dan dalam rangka transaksi dagang yang lazim serta subordinated loan dari pemegang saham debitur. b. Debitur belum sepenuhnya menyalurkan aktivitas keuangannya pada Bank Mandiri, yaitu sebagai berikut: Debitur
Kol
Keterangan
1.
No.
Semarang
RCR
PT MMA
5
Dari Nota tanggal 28 November 2005, aktivitas rekening pinjaman debitur hanya sebesar 4,76% dari realisasi penjualan dan 99% aktivitas usahanya melalui bank lain.
2.
Banjarmasin
PT JCM
5
Dari Nota tanggal 29 November 2004, aktivitas keuangan debitur di Bank Mandiri tidak ada.
3.
Surabaya
CV MP
5
Dari Nota Analisa No CBC.SBY/868/2005 tanggal 21 Oktober 2005, aktivitas keuangan periode bulan Maret s.d. Agustus 2005 di Bank Mandiri tidak aktif.
4.
Thamin
PT GRI
5
Dari Nota Konsultasi No. CMB.CBC.JTH-1/455/2005 tanggal 22 November 2005 diketahui aktivitas rekening debitur selama bulan Januari s.d Oktober 2005 nihil.
5.
Sudirman
PT MFI
5
Dari Nota No.CBC.JSD/220/2007 tanggal 13 September 2007, aktivitas keuangan debitur tahun 2006 tidak aktif, sebagian besar 86,00% disalurkan melalui Bank BCA.
6.
Sudirman
PT SRS
5
Dari Nota Analisa No.CBC.JSD/1334/TL-2/2006 tanggal 11 April 2006 diketahui bahwa aktivitas usaha disalurkan melalui Bank Danamon
7.
Kota
PT CPS
2
Dari nota No.RRM.III/PRRK/0729/2004 tanggal 22 Juni 2004, diketahui aktivitas usaha yang disalurkan melalui BM hanya sebesar 22,30% dari rata-rata penjualan.
Aktivitas keuangan debitur yang tidak sepenuhnya disalurkan melalui Bank Mandiri tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, debitur wajib untuk menyalurkan seluruh aktivitas keuangan debitur/usaha melalui cabang Bank Mandiri. c. Debitur kurang tertib mematuhi syarat penyerahan laporan keuangan dan aktivitas usahanya, yaitu: No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Medan
PT PSM
5
Debitur belum menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2005 dan 2006.
2.
Medan
PT JT
5
Debitur belum menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006. 110
No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
3.
Makassar
PT MAC
5
Debitur belum menyerahkan laporan keuangan audited sejak tahun 2005.
4.
Surabaya
PT TFN
5
Debitur belum menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006.
5.
Thamin
PT GRI
5
Setelah dinyatakan macet sejak Agustus 2005, debitur tidak pernah menyerahkan laporan hasil usaha tangkapan ikan.
Debitur yang kurang tertib menyampaikan laporannya kepada Bank Mandiri tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, debitur wajib untuk menyampaikan: 1) Laporan kegiatan usaha dalam kuantum dan nilai yaitu, pembelian, produksi, persediaan barang dagangan, penjualan dan piutang dagang/usaha setiap bulan dan paling lambat telah diterima Bank 30 hari setelah akhir periode laporan. 2) Laporan keuangan audited yang diaudit oleh KAP rekanan Bank Mandiri paling lambat diterima Bank 180 hari setelah akhir periode laporan. d. Debitur tidak mematuhi larangan pelunasan hutang pemegang saham, yaitu: No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Bandung
PT LJP
5
Dari laporan keuangan 31 Desember 2003, debitur membayar hutang kepada pemegang saham sebesar Rp18.720,85 juta.
2.
Semarang
PT MMA
5
Dari laporan keuangan audited tahun 2004 dan 2005, debitur melunasi hutang pemegang saham sebesar Rp3.850,00 juta
3.
Banjarmasin
PT AS
3
Laporan keuangan audited tahun 2005 mengungkapkan adanya peningkatan hutang pemegang saham sebesar Rp9.503,55 juta
4.
Banjarmasin
PT JCM
5
Dari laporan keuangan audited tahun 2006, debitur melunasi sebagian hutang pemegang saham sebesar Rp3.600,00 juta
5.
Surabaya
PT ACC
5
Dari analisa laporan keuangan tahun 2005 diketahui debitur memberikan modal kerja sebesar Rp6.282,57 juta kepada grup usahanya (PT BWIK).
6.
Thamrin
PT PCS
5
Laporan keuangan audited tahun 2004 menginformasikan adanya pelunasan sebagian hutang pemegang saham sebesar Rp505,31 juta.
Tindakan beberapa debitur di atas tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dan debitur yang menyatakan bahwa selama perjanjian kredit yang berkenaan berlaku, debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank tidak diperkenankan membayar hutang kepada para pemegang saham/pemilik perusahaan sendiri (sub ordinate loan). e. Debitur mengubah susunan pengurus dan pemegang saham sebelum persetujuan Bank Mandiri, yaitu pada debitur-debitur sebagai berikut:
111
No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Medan
PT PSM
5
Sesuai Akta Berita Acara Rapat No.10 tanggal 9 November 2004, debitur telah mengganti susunan direksi.
2.
Thamrin
PT PKN
5
Sesuai Akta Risalah Rapat No. 23 tanggal 12 Juli 2006, debitur mengalihkan saham dan mengubah susunan pengurus perusahaan
3.
Sudirman
PT SRS
5
Sesuai Akta No.2 tanggal 14 Oktober 2005, debitur telah mengubah susunan pengurus.
4.
Kota
PT CPS
2
Sesuai Akta Perubahan No.19 tanggal 27 Juli 2004, debitur telah mengubah susunan pengurus dan pemegang saham.
Tindakan beberapa debitur di atas tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, tanpa persetujuan tertulis dari Bank terlebih dahulu, debitur tidak diperkenankan mengubah Anggaran Dasar Perusahaan termasuk didalamnya pemegang saham, Direksi atau Komisaris, permodalan dan nilai saham. f.
Pembayaran termin proyek oleh bouwheer tidak sesuai standing instruction dan Bank Mandiri tidak mewajibkan debitur untuk membuat escrow account Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan terdapat beberapa debitur yang melaksanakan kontrak pekerjaan dengan bouwheer (pemberi kerja). Pembayaran dari bouwheer belum disetorkan melalui rekening Bank Mandiri sesuai surat pernyataan (standing instruction) yang telah dibuat oleh bouwheer. Selain itu terdapat debitur yang tidak diwajibkan membuat rekening penampungan (escrow account) dalam PK sehingga menyulitkan Bank Mandiri dalam memantau termin proyek yang telah dibayar oleh bouwheer. Hal tersebut terdapat pada debitur-debitur berikut: No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Bandung
CV PS
5
Sebagian besar termin pembayaran belum disalurkan melalui escrow account karena menurut debitur jika termin telah masuk escrow account maka akan sulit/memakan waktu lagi untuk dapat ditarik kembali.
2.
Banjarmasin
PT JCM
5
PK Bank Mandiri dan debitur tidak mencantumkan kewajiban debitur untuk membentuk escrow account sebagai rekening tempat menyalurkan hasil pembayaran termin.
3.
Surabaya
PT GJS
5
Debitur hanya menyalurkan 30% pendapatannya ke dalam escrow account.
4.
JKT Kota
PT MG
5
Debitur tidak menggunakan escrow account di Bank Mandiri untuk menampung penerimaan termin dari proyek-proyek yang dibiayai dengan fasilitas KMK.
Tindakan beberapa debitur di atas dan PK Bank Mandiri dengan PT JCM kurang memperhatikan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dan debitur yang menyatakan bahwa seluruh termijn pembayaran yang diperoleh dari pemberi kerja (bouwheer) akan disalurkan melalui rekening debitur yang ada pada Bank Mandiri.
112
g. Debitur mengganti/menjual agunan tanpa izin dari Bank Mandiri, yaitu: No.
RCR
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Medan
PT PSM
5
Debitur mengganti mesin genset merk DEUTZ kapasitas 550 kVA yang telah diikat secara fidusia dengan mesin genset merk NISSAN kapasitas 150 kVA (kondisi bekas pakai). Penggantiaan itu tanpa izin Bank Mandiri.
2.
Surabaya
CV BR
5
Dana hasil penjualan tanah SHM No.183 sebesar Rp825 juta seluruhnya dialokasikan untuk mengurangi limit fasilitas kredit unsustainable. Dana itu seharusnya digunakan untuk mengurangi kredit sustainable karena merupakan agunan kredit sustainable.
Tindakan PT PSM itu tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit yang menyatakan bahwa selama kredit belum dibayar lunas, tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank maka debitur tidak diperbolehkan menjual atau memindahtangankan dengan cara apapun atau melepaskan sebagian atau seluruh harta kekayaan debitur yang sudah diserahkan sebagai agunan kepada bank. Selain itu penjualan atau penarikan agunan CV BR yang telah menjadi agunan bank ini seharusnya tidak boleh dilakukan karena agunan tersebut sudah merupakan agunan tambahan untuk fasilitas kredit debitur yang masih sustainable, yaitu kredit KMK. h. Debitur belum melunasi kewajibannya di bank lain Karena kolektibilitas kewajiban PT JCM di Bank BNI macet maka Bank Mandiri mensyaratkan PT JCM untuk segera melunasi kewajiban tersebut agar tidak mengganggu proses restrukturisasi di Bank Mandiri. Oleh sebab itu SPPK mensyaratkan PT JCM agar menyerahkan surat pernyataan untuk melunasi seluruh kewajiban di Bank BNI paling lambat akhir Juli 2007. PT JCM menyerahkan surat pernyataan dimaksud. Namun sampai dengan pemeriksaan tanggal 29 Oktober 2007, PT JCM belum melunasi kewajibannya di Bank BNI. Hal itu tidak sesuai dengan addendum PK No.12 tanggal 5 Juli 2007 pasal 14.g yang menyatakan bahwa debitur wajib melunasi seluruh hutang/kewajiban debitur di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Balikpapan selambat-lambatnya akhir bulan Juli 2007. Masalah tersebut mengakibatkan: a. CBC dan RCR Bank Mandiri belum sepenuhnya dapat memantau aktivitas keuangan dan kelangsungan usaha debitur sehingga berisiko terhadap kelancaran penyelesaian kredit ke Bank Mandiri. b. Kelancaran nasabah memenuhi kewajiban kepada CBC dan RCR Bank Mandiri terganggu karena keuangan perusahaan digunakan untuk membayar hutang ke pemegang saham, investasi baru dan memperoleh kredit dari pihak lain tanpa izin. Hal tersebut terjadi karena: a. Manajer, TL dan RM pada CBC dan RCR Bank Mandiri kurang memonitor kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat kredit yang telah disepakati dalam PK. b. Debitur belum sepenuhnya mematuhi ketentuan persyaratan kredit dalam PK.
113
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Debitur tidak memberitahukan dan meminta izin terlebih dahulu kepada Bank Mandiri untuk memperoleh pinjaman kepada pihak lain tersebut. Bank telah menegur debitur baik secara lisan maupun tertulis. Aktivitas keuangan debitur yang masih rendah/tidak dilaksanakan melalui Bank Mandiri pada umumnya terjadi karena debitur menggunakan rekening giro atau tabungan atas nama pengurus, usaha sudah berhenti, lokasi usaha debitur tidak terdapat cabang Bank Mandiri atau mitra kerja debitur menggunakan bank lain sehingga debitur mengikuti mitra kerja. Bank Mandiri telah menyurati debitur agar menyalurkan seluruh aktivitas keuangannya melalui Bank Mandiri. Debitur belum menyerahkan laporan keuangan audited karena aktivitas usaha debitur sudah berhenti (tidak beroperasi), alasan biaya atau kemampuan financial yang rendah/terbatas. Bank Mandiri telah menyurati debitur agar mematuhi syarat-syarat perjanjian kredit. Debitur tidak memberitahukan dan meminta izin terlebih dahulu kepada Bank Mandiri terkait transaksi dengan pemegang saham tersebut. Bank Mandiri telah menyurati debitur agar mematuhi syarat-syarat perjanjian kredit. Debitur mengubah susunan pengurus dan pemegang saham sebelum persetujuan Bank 1) PT PSM baru melaporkan perubahan pengurus dan pemegang saham (sesuai Akta Berita Acara Rapat No. 10 dan 11 tanggal 09-11-2004) kepada Bank Mandiri dengan tanggal 10-11-2004. Oleh karena itu perubahan pengurus dan pemegang saham tersebut belum mendapat persetujuan tertulis dari Bank. Bank Mandiri sulit untuk menyetujui karena perusahaan dalam kondisi bermasalah, sehingga tanggung jawab terhadap fasilitas kredit masih berada pada pengurus lama. 2) Hal tersebut akan menjadi perhatian dan akan ditindak lanjuti dengan teguran secara tertulis dan meminta debitur (PT PKN) segera memproses perubahan susunan pengurus dan pemegang saham. 3) Dalam kasus PT SRS, perubahan pengurus diperkirakan tidak akan mempengaruhi kebijakan perusahaan dan proses pengambilan keputusan karena pemegang saham mayoritas tetap menjabat sebagai Direktur Utama. 4) Bank Mandiri dhi. RCR Jakarta Kota telah menegur PT CPS secara tertulis dengan surat tanggal 18 Desember 2007. Pembayaran termin proyek oleh bouwheer tidak sesuai standing instruction dan Bank Mandiri tidak mewajibkan debitur untuk membuat escrow account 1) Proyek-proyek yang dibiayai Bank Mandiri berjalan baik. Namun monitoring pembayaran termin belum sesuai ketentuan karena adanya indikasi itikad yang kurang baik dari pengurus CV PS. CV PS tidak menyalurkan termin yang diterima melalui escrow account dan menggunakan dananya untuk membiayai proyek lain yang tidak dibiayai oleh Bank Mandiri, sehingga outstanding baki debet tidak terselesaikan. 2) Escrow account tidak dibentuk karena proyek tidak berjalan sehingga tidak ada mutasi kredit. Setelah kredit direstrukturisasi, debitur menyetor ke rekening di Bank Mandiri 3) Penyaluran keuangan pada periode 2005 dan 2006 masih rendah karena dermaga masih dalam taraf uji coba komersial dan pembayaran oleh PT PIT kepada PT GJS belum lancar. Dalam rangka memitigasi hal tersebut, Bank Mandiri telah meminta PT GJS untuk secara aktif menyampaikan Laporan Kegiatan Bongkar Muat Batubara dan telah ditindaklanjuti oleh PT GJS.
114
4) Pembayaran termin tidak ada karena kontrak dengan MABES TNI tidak terealisir dan sebagian stock tidak dapat dijual ke umum (karena spesifikasi khusus ABRI). g. Debitur mengganti/menjual agunan tanpa izin dari Bank Mandiri 1) Bank Mandiri telah menegur PT PSM dengan surat tanggal 6 Juli 2005 dan PT PSM harus menyetor dana sebesar Rp148,35 juta paling lambat akhir Juli 2005 yang akan digunakan untuk menurunkan kewajiban kreditnya. Namun sampai dengan saat ini, PT PSM belum menyetor. Sesuai surat PT PSM tanggal 19 Juli 2005, kelebihan harga mesin tersebut telah digunakan untuk keperluan operasional pabrik. 2) Penjualan agunan tambahan berupa tanah dan bangunan SHM No. 183 digunakan untuk mengurangi KMK unsustainable karena pada saat itu kolektibilitas KMK valas sustainable masih lancar yang masih menghasilkan pendapatan bunga bagi bank. h. Debitur telah berhasil menurunkan sebagian besar kewajibannya dan telah mengajukan surat ke BNI tanggal 15 November 2007 untuk melunasi hutangnya pada akhir November 2007.
a. b.
c.
d.
BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: Memasukkan debitur dan pengurus debitur kedalam daftar kredit macet Bank Mandiri untuk debitur-debitur yang tidak dapat direstrukturisasi. Meminta debitur untuk menyalurkan transaksi keuangannya melalui Bank Mandiri dan menyampaikan laporan keuangan dan laporan aktivitas usaha ke Bank Mandiri secara tepat waktu. Menginstruksikan GH dan DH unit kerja terkait untuk mengkaji syarat-syarat perjanjian kredit yang kurang applicable dalam Pedoman Kredit Bank Mandiri (yaitu rasio keuangan dan penyaluran seluruh aktivitas keuangan) dan memperbaikinya. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
26. Analisa pemberian kredit kepada beberapa debitur yang dikelola Comercial Banking Center (CBC) tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur CBC Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin, Jakarta Sudirman dan Jakarta Plaza Mandiri menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam menganalisa pemberian kredit, yaitu sebagai berikut: a. Bank Mandiri memberikan kredit atau tambahan kredit kepada beberapa debitur pada saat kondisi keuangan debitur itu kurang sehat karena CR yang rendah, DER yang tinggi, Net Working Capital (NWC) negatif, akumulasi kerugian tinggi atau Net Profit Margin (NPM) negatif. Beberapa debitur dimaksud yaitu sebagai berikut: No. 1.
CBC Medan
Debitur PT DIK
Baki Debet (Rp juta) 37.157,00
Kol 1
Keterangan Tahun 2002 : DER 242.096% dan akumulasi kerugian Rp20 M. Tahun 2003 : CR 76,6%, DER 27.443% dan akumulasi kerugian Rp21 M. Tahun 2004 : CR 81,30%, DER 115
No.
CBC
Debitur
Baki Debet (Rp juta)
Kol
Keterangan 2.420% dan akumulasi kerugian 21 M.
2.
Banjarmasin
PT AGU
160.876,00
1
Tahun 2003 s.d. 2005 CR = 25,03%, 23,62% dan 30,54% DER = 3.618%, 5.406%, 3.841%. NWC = minus 62 M, minus 79 M dan minus 75 M.
3.
Banjarmasin
PT SDJ
106.276,05
1
DER tahun 2004 s.d. 2006 . 443%, 544% dan 587%
4.
Jakarta Kota
PT SUI
19.833,52
2
DER tahun 2002, 2003 dan 2006 : 358%, -2.702% dan -262%
5.
Jakarta Kota
PT MEI
95.024,02
1
Tahun 2004 s.d. Juni 2006 CR = 94%, 82% dan 86%. DER = 605%, 579% dan 423%.
6.
Jkt Plaza Mandiri
PT TS
149.224,75
1
Tahun 2005 dan 2006 : DER = 365% dan 269%. CR = 76,01% dan 65,09% NWC = minus 12 M & minus 16 M
Berkaitan dengan pemberian kredit pada saat kondisi keuangan debitur kurang sehat, PPK hanya menjelaskan bahwa: 1) Analisis aspek keuangan diarahkan kepada performance/posisi keuangan, kemampuan penyediaan dana sendiri, pembiayaan bank dan meyakini sumber pelunasan (Bab VII Sub Bab B butir 5). 2) Analisa rasio merupakan analisa pelengkap dalam analisa keuangan nasabah. Analisa rasio merupakan salah satu dasar pengambilan keputusan, yaitu dalam hubungannya dengan penelitian keadaan keuangan nasabah (Bab VII Sub Bab E butir 2). 3) Current Ratio kurang daripada 1 mengindikasikan adanya defisit likuiditas jangka pendek yang dapat menimbulkan tidak terpenuhinya pembayaran kewajiban sedangkan DER mengukur perbandingan antara sumber dana perusahaan yang diperoleh dari pihak luar dengan dana yang disediakan oleh pemilik. Makin besar peranan dana yang berasal dari luar dibandingkan dengan modal sendiri, makin besar risiko yang harus ditanggung oleh penyedia dana/kreditur (Buku II Bab VII Sub Bab B). 4) Perusahaan yang mempunyai Modal Kerja Bersih yang positif dapat diartikan memiliki modal kerja dalam jumlah yang memadai. b. Bank Mandiri memberikan kredit kepada debitur untuk pembangunan pabrik kelapa sawit yang tidak memiliki kebun sendiri sehingga sebagian besar pasokan bahan baku tandan buah segar diperoleh dari pihak luar, yaitu sebagai berikut:
1.
Medan
PT DAP
Baki Debet (Rp juta) 45.000,00
2.
Medan
PT BDK
46.308,29
No.
CBC
Debitur
Kol.
Keterangan
1
Debitur tidak memiliki kebun. Pasokan bahan baku tergantung pada kebun di sekitar pabrik. Debitur tidak memiliki kebun. 70% pasokan tergantung pada kebun di sekitar pabrik dan 30% dari kebun grup usaha.
1
116
Pembangunan pabrik kelapa sawit yang tidak didukung dengan jaminan bahan baku dari kebun sendiri tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No.357/Kpts/ HK.350/3/2002 tanggal 23 Mei 2002 pasal 11 yang menyatakan bahwa (1) pembangunan pabrik pengolahan hasil perkebunan wajib dilakukan secara terpadu dengan jaminan bahan baku dari kebun sendiri, (2) apabila pasokan bahan baku dari kebun sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mencukupi dapat dipenuhi dari sumber lain melalui perusahaan patungan dengan menempuh salah satu pola pengembangan yang ditetapkan. c. Bank Mandiri memberikan kredit berdasarkan dokumen tender atau Fax of Intent (FOI), yaitu sebagai berikut: No.
CBC
Debitur
Baki Debet (Rp juta)
Kol
Keterangan
1.
Banjarmasin
PT APE
36.997,35
1
PT APE menyerahkan undangan tender kontrak No.TP10/EPSC1. Namun PT APE tidak memenangkan tender tersebut.
2.
JKT Kota
PT MEI
95.024,02
1
PT MEI menyerahkan fotocopy Fax of Intent (FOI) dari Total E&P Indonesie No.F/PJC-001/NHB/mr/07 tanggal 17 Juli 2007 yang menyatakan bahwa Total E&P Indonesie bermaksud menyerahkan kontrak pekerjaan Tunu Field Development Project Phase 1 (TP11N/ EPSC 3) dan Phase 11 (TP11N/EPSC 13) kepada PT MEI.
Pemberian kredit berdasarkan undangan mengikuti tender dan FOI tersebut tidak sesuai dengan PPK Buku II Bab VI sub bab B butir 3.e).3) yang menyatakan bahwa informasi dan data yang diperlukan untuk perusahaan kontraktor terutama mengenai rencana usaha pemohon berupa Surat Perintah Kerja (SPK) dari bouwheer, atau surat kontrak/perjanjian kerja. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Bank Mandiri menanggung risiko kredit karena memberikan kredit kepada beberapa debitur pada saat kondisi keuangan debitur menurun, tidak menggunakan laporan keuangan audited serta adanya hutang kepada pihak lain. b. Kelancaran debitur memenuhi kewajiban kepada Bank Mandiri berpotensi terganggu karena kesinambungan pasokan bahan baku berupa TBS dan tidak adanya keyakinan bahwa debitur telah memiliki kontrak pekerjaan. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC Bank Mandiri dalam menganalisa kurang memperhatikan kondisi keuangan, group usaha dan industri debitur, laporan keuangan audited, pasokan bahan baku, feasibility study dan keyakinan debitur memperoleh kontrak pekerjaan. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Kondisi keuangan debitur kurang sehat 1) CR dan DER PT DIK per Juli 2007 telah meningkat yaitu masing-masing 90,20% dan 1.034,60% dibandingkan posisi CR dan DER tahun 2004 yaitu masing-masing 81,30% dan 2.420,97%.
117
2) CR, DER dan NWC PT AGU telah membaik dibandingkan periode tahun 2003 s.d 2005. Sejak tahun 2006 hutang pemegang saham telah dikonversi menjadi SOL sesuai Akta No 58 dan telah dicantumkan dalam laporan audited tahun 2006. 3) Bank telah memitigasi tingginya DER PT SDJ dengan pengawasan stock oleh pengawas independent sehingga posisi pinjaman tercover oleh posisi stock dan pihutang. Bank telah mensyaratkan penurunan DER secara bertahap tiap tahunnya. 4) DER PT SUI per Desember 2007 semakin membaik dibandingkan dengan periode sebelumnya. 5) DER PT MEI posisi Juni 2007 sebesar 423% dan CR sebesar 86,42% membaik dibandingkan posisi Desember 2006 yaitu DER sebesar 579% dan CR sebesar 82%. Selama ini debitur selalu dapat memenuhi kewajibannya. 6) CR PT TS kurang dari 100% dan NWC negatif karena hutang (KI) yang jatuh tempo pada tahun berjalan dibuku pada sisi pasiva lancar (Current Portion Of Long Term Debt). Berdasarkan proyeksi cash flow, DER tahun 2008 diproyeksikan menjadi 146%. b. Debitur memperoleh pasokan bahan baku tandan buah segar kelapa sawit dari pihak luar 1) Saat ini grup PT DAP telah memiliki lahan seluas ± 4.000 Ha dan yang telah ditanam seluas ±3.000 Ha serta telah menghasilkan 25% dari kapasitas produksi. Dengan pemupukan yang lebih baik dan percepatan penanaman kebun yang belum tertanam diharapkan dapat mengurangi ketergantungan supply bahan baku TBS dari pihak luar. 2) Berdasarkan informasi dari debitur dan hasil monitoring, kontinuitas sumber bahan baku TBS tidak menjadi kendala karena buah TBS dari kebun group usaha PT BDK cukup memadai. c. Pemberian kredit berdasarkan dokumen tender 1) Pada awalnya pemberian kredit ditujukan untuk proyek TP9/EPSC1 dan TP10/EPSC1. Namun karena ada kendala, TP10/EPSC1 tidak dikerjakan oleh debitur. Pencairan KMK didasarkan pada Change Order / penggantian Kontrak Proyek TP9/EPSC1 dengan Kontrak No. 4500003577 tanggal 6 September 2006. 2) Bank telah mengubah syarat penarikan kredit yang semula mensyaratkan adanya FOO/SPK/Kontrak menjadi menyerahkan FOI/FOO/SPK/Kontrak. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri menginstruksikan Manajer CBC untuk: a. Memantau kondisi keuangan debitur agar DER, CR dan NWC menjadi sehat. b. Memastikan kelangsungan pasokan bahan baku tandan buah segar kelapa sawit untuk debitur PT DAP dan PT BDK. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
27. Pencairan kredit beberapa debitur yang dikelola CBC tidak sesuai ketentuan Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur CBC menunjukkan adanya kelemahan dalam pencairan kredit, yaitu sebagai berikut: a. Syarat pencairan/penarikan kredit dan penandatanganan perjanjian kredit belum terpenuhi tetapi kredit tetap dicairkan, yaitu terdapat pada debitur:
118
No.
CBC
Debitur
Baki Debet (Rp juta)
Kol
Keterangan
1.
Makassar
PT SSS
22.512,00
1
Pencairan periode Agustus 2004 s.d. Agustus 2005 sebesar USD1,356,433 dan EUR 217,000 tidak didukung dengan laporan konsultan pengawas.
2.
JKT Kota
PT TIN
55.033,02
1
Syarat penandatanganan kredit agar PT TIN mengumumkan penjaminan assetnya kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 30 hari tmt sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan, baru terlaksana tanggal 6 Juli 2005 sedangkan PK ditandatangani tanggal 12 Oktober 2004.
Pencairan kredit kepada beberapa debitur itu tidak sesuai dengan: 1) Perjanjian antara Bank Mandiri dengan PT SSS PK Investasi No.13 tanggal 16 Agustus 2004 pasal 4 menyatakan bahwa kredit investasi dapat ditarik apabila progress pembangunan telah disahkan oleh konsultan pengawas pembangunan independen yang ditunjuk dan disetujui Bank. Apabila tidak terdapat progress pembangunan maka penarikan tahap selanjutnya tidak dapat dilakukan. 2) SPPK No.CBC.JKO/3792/2004 tanggal 28 September 2004 yang menyatakan bahwa perjanjian kredit baru dapat ditandatangani apabila telah dipenuhi syarat-syarat diantaranya adalah PT TIN telah mengumumkan penjaminan assetnya kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. b. KMK dicairkan sebelum perpanjangan efektif pada debitur PT GFF Menurut Addendum XIII PK KMK No.34 tanggal 16 Oktober 2003 antara Bank Mandiri dengan PT GFF, jangka waktu fasilitas KMK adalah satu tahun mulai tanggal 1 April 2003 s.d. tanggal 31 Maret 2004. Dengan demikian KMK tersebut telah jatuh tempo sejak tanggal 1 April 2004. Perpanjangan KMK baru disetujui melalui Penilaian Risiko dan Rekomendasi Keputusan (PRRK) No.RRM.VII/PRRK/74/2004 tanggal 22 Juni 2004 dan dituangkan dalam SPPK No.7.Hb.SSW/2011/2004 tanggal 20 Juli 2004 serta dalam addendum ke XIV Akta PK No.136 pada tanggal 29 September 2004. Rekening koran PT GFF menyebutkan bahwa terdapat aktivitas pencairan antara tanggal jatuh tempo s.d. tanggal pembuatan PK yaitu antara tanggal 1 April 2004 s.d. tanggal 29 September 2004. Transaksi pencairan kredit tersebut terjadi pada tanggal 28 April 2004 dan tanggal 2 Juni 2004 masing-masing sebesar Rp150 juta dan Rp300 juta. Pencairan kredit tersebut tidak sesuai dengan PPK Buku III: 1) Bab IX Sub Bab A yang menyatakan bahwa setiap perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh bank selaku kreditur (pejabat-pejabat yang memiliki wewenang) dan nasabah selaku debitur sebelum pencairan kredit dilaksanakan. 2) Bab X Sub Bab B Butir 3 yang menyatakan bahwa syarat ijin penarikan kredit merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur sebelum penarikan/ pencairan kredit, yang dapat berupa antara lain debitur menandatangani Perjanjian Kredit dan jangka waktu kredit masih berlaku. Masalah tersebut mengakibatkan: a. Kredit yang dicairkan tidak proporsional dengan progress fisiknya karena tidak didukung
119
dengan laporan konsultan pengawas. b. Pencairan kredit oleh PT GFF pada saat KMK telah jatuh tempo meningkatkan risiko kredit karena tidak didukung dengan perikatan secara legal. Hal tersebut terjadi karena: a. Manajer, TL dan RM pada CBC dan Credit Operation (CO) Bank Mandiri dalam menyetujui pencairan kredit dan penandatanganan akta perjanjian kredit kurang memperhatikan syarat-syarat dalam PK. b. Lemahnya pengendalian intern terkait dengan tertib administrasi perpanjangan oleh Manajer, TL dan RM pada CBC dan CO Semarang. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Syarat pencairan/penarikan kredit dan penandatanganan perjanjian kredit belum terpenuhi tetapi kredit tetap dicairkan 1) Konsultan pengawas telah membuat laporan progres pembangunan langsung berupa Completion Report atas pembangunan cold storage debitur di Ambon vide No.KRS262/LP-Peng/XI/2005 tanggal 25 November 2005 karena pembangunan telah selesai. Penarikan kredit oleh debitur didasarkan pada bukti-bukti tagihan dari supplier untuk pembangunan cold storage dan pembayaran kapal. 2) Pengumuman penjaminan asset di surat kabar tidak langsung dilaksanakan karena adanya pengalihan manajemen dan kepemilikan perusahaan serta terfokus kepada rencana pembelian mesin. Walaupun demikian, Bank telah mengingatkan baik lisan maupun tertulis antara lain dengan surat No. CBC.JKO/SRM2/563/2005 tanggal 20 April 2005. b. Kredit dapat dicairkan karena permohonan perpanjangan kredit sedang dalam proses untuk memperoleh persetujuan pemegang kewenangan sesuai nota analisa No.Hub.SL/067/2004 tanggal 21 April 2004 dan telah diperpanjang secara administrasi melalui sistem e-Mas. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri mengenakan sanksi kepada pejabat yang menyetujui pencairan kredit sebelum syarat-syarat perjanjian terpenuhi sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
28. Monitoring kredit untuk beberapa debitur yang dikelola CBC tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap debitur-debitur CBC menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam monitoring kredit, yaitu sebagai berikut: a. Adanya indikasi bahwa fasilitas kredit yang diberikan melebihi kebutuhan, yaitu kepada beberapa debitur berikut: No.
CBC
Debitur
Baki Debet (Rp juta)
Kol
Keterangan
1.
Bandung
PT AP
43.982,00
2
Kelebihan pembiayaan sebesar Rp22.591,00 juta sesuai Nota Analisa tanggal 17 September 2007
2.
Medan
PT MF
83.381,03
1
Adanya indikasi kelebihan pembiayaan karena kenaikan penjualan lebih rendah dari kenaikan KMK dan saldo piutang ke group 120
usaha lebih besar dari penjualan ke group usaha. 3.
Surabaya
PT NSU
50.466,35
2
Adanya indikasi kelebihan pembiayaan sebesar Rp12.537,84 juta karena CBC tidak memperhitungkan KMK aflopend
Dalam PPK Buku 2 Bab VII Sub Bab B butir 9.a disebutkan bahwa maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan oleh Bank harus memperhitungkan besarnya nilai pembiayaan sejenis yang telah atau akan diberikan oleh kreditur lainnya sebagai faktor pengurang maksimum pembiayaan kredit modal kerja yang dapat diberikan. b. Debitur menggunakan kredit diluar tujuan semula Menurut Nota Analisa No.CBC.JKO/0136/2007/Team-1 tanggal 29 Januari 2007, PT VPM menggunakan KMK diluar aktivitas usaha sebesar Rp5.227,91 juta. Hal itu tidak sesuai dengan Addendum II Perjanjian KMK No.JCCO.III/045/PKKMK/2002 tanggal 25 November 2004 antara Bank Mandiri dengan PT VMP pasal 3.2 yang menyatakan bahwa tujuan penggunaan kredit adalah untuk membantu kebutuhan modal kerja debitur dalam rangka usaha tambahan modal kerja industri tekstil/kain knitting. c. Debitur memiliki hutang kepada pemegang saham tanpa sepengetahuan Bank Mandiri dan beberapa transaksi keuangan debitur perlu diklarifikasi Menurut Nota Analisa CBC Jakarta Kota (CBC-JK) tanggal 14 Mei 2002 dan laporan keuangan per 31 Desember 2001, total aktiva PT SUI adalah sebesar Rp28.055,27 juta. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2002, setelah CBC-JK memberikan fasilitas KMK sebesar USD2,000.00 ribu dan Rp1.250,00 juta serta KI sebesar Rp5.200,00 juta, total aset PT SUI meningkat menjadi sebesar Rp36.165,46 juta. Namun peningkatan tersebut terjadi karena adanya aktiva tidak lancar sebesar Rp14.128,29 juta yang dibukukan sebagai Uang Muka Investasi Jk. Panjang. Pada laporan keuangan per 31 Desember 2003, pos uang muka tersebut sudah nihil karena dikoreksi menjadi piutang kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang nilainya menjadi sebesar Rp9.550,34 juta, sementara pada tahun tersebut PT SUI juga meminjam kepada pemegang saham sebesar Rp9.163,01 juta. Menurut laporan keuangan per 31 Desember 2004, pos piutang kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang nilainya Rp9.550,34 juta menjadi nihil karena dihapuskan dan dibebankan pada laba rugi sehingga debitur membukukan rugi sebesar Rp18.235,39 juta. Namun di sisi lain, pinjaman kepada pemegang saham yang tadinya sebesar Rp9.163,01 juta meningkat menjadi Rp15.368,81 juta. Transaksi-transaksi tersebut telah memposisikan kondisi keuangan PT SUI menjadi kurang sehat, yang klimaksnya terjadi pada tahun 2005, dengan total kewajiban PT SUI mencapai Rp49.171,40 juta dan akumulasi kerugian sebesar Rp25.283,32 juta, sedangkan total asset hanya sebesar Rp24.138,08 juta. Hal itu tidak sesuai dengan: 1) Syarat-syarat umum Perjanjian Kredit yang menyatakan debitur tanpa persetujuan tertulis dari bank tidak diperkenankan menerima pinjaman dari pihak manapun juga. 2) CBC-JK seharusnya meneliti transaksi-transaksi yang kurang wajar di atas untuk memperkecil potensi pengaruhnya kepada pemenuhan kewajiban debitur kepada bank. Masalah tersebut mengakibatkan: 121
a. Dana yang diterima debitur dari kredit Bank Mandiri berpotensi digunakan untuk kegiatan lain di luar tujuan kredit. b. Kelancaran nasabah memenuhi kewajiban kepada Bank Mandiri berpotensi terganggu karena adanya penggunaan kredit diluar tujuan semula, hutang kepada pihak lain dan pengembangan proyek yang tidak sesuai target. c. Bank Mandiri menanggung risiko penurunan nilai agunan karena agunan dapat dibongkar oleh Pemerintah Daerah setempat akibat tidak memiliki IMB. Hal tersebut terjadi karena: a. Manajer, TL dan RM pada CBC dalam memberikan kredit tidak memperhitungkan KMK Aflopend dan kurang memantau penggunaan kredit oleh debitur. b. Debitur tidak dapat melaksanakan master budget karena adanya tuntutan ganti rugi dari masyarakat setempat. c. Adanya itikad kurang baik dari debitur. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Adanya indikasi kredit melebihi kebutuhan kepada beberapa debitur 1) Pada saat awal pemberian fasilitas kredit tahun 2003 s/d. 2004, pembiayaan telah sesuai dengan kebutuhan debitur. Namun karena musibah tsunami yang menghancurkan hampir seluruh peralatan penangkapan dan kenaikan harga BBM, nelayan tidak melaut sehingga terjadi kelebihan pembiayaan. Sesuai SPPK tanggal 9 Oktober 2007, fasilitas kredit dapat diubah dari KMK Revolving menjadi KMK Aflopend (limit menurun) sesuai dengan kondisi terakhir hasil review Bank. 2) Realisasi penjualan telah dievaluasi pada saat perpanjangan jangka waktu fasilitas KMK tahun 2005 dengan nota analisa tanggal 17 Maret 2005. Dari evaluasi tersebut yang didasarkan pada asumsi dan rumusan yang ditetapkan disimpulkan fasilitas KMK kredit dapat diperpanjang dengan limit tetap yaitu Rp60.000 juta. Penjualan rata-rata per bulan tahun 2007 sebesar Rp43 milyar meningkat dari tahun 2004 sebesar Rp24 Milyar. 3) Perhitungan kebutuhan modal kerja debitur hanya memperhitungkan KMK Revolving dan tidak memperhitungkan KMK Aflopend karena KMK Aflopend dikelompokkan sebagai hutang jangka panjang yang tidak lunas dalam jangka waktu 1 tahun dan harus diangsur s.d. tahun 2014. Selain itu cash flow perusahaan sudah memperhitungkan pemenuhan kewajiban bunga dan pokok KMK Aflopend. b. Bank telah menegur debitur secara tertulis dengan surat CBC No. CBC.JKO/0375/2007/ Team–1 tanggal 2 Maret 2007. Debitur telah menindaklanjuti dengan Surat Pernyataan tanggal 20 Juli 2007 yang pada intinya mengupayakan penyelesaian kewajiban kreditnya. c. Debitur telah menjelaskan bahwa hutang kepada pemegang saham dan Uang Muka Investasi Jangka Panjang digunakan untuk perbaikan kondisi perusahaan karena pengambilanalihan usaha Micky Busana. Pada tahun 2004, usaha Micky Busana merugi sehingga usaha Micky Busana dilikuidasi dan debitur mengambil kebijakan menghapuskan piutang dengan beban biaya penghapusan. Pada tahun 2006 sesuai L/K Audited KAP Amir Hadi, PT SUI telah memperoleh laba sebesar Rp5 Milyar. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri:
122
a. Memperbaiki PPK yang memperjelas status KMK Aflopend apakah diperhitungkan/tidak diperhitungkan dalam menghitung maksimum pembiayaan KMK. b. Menegur debitur secara tertulis karena adanya beberapa pelanggaran perjanjian kredit. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
29. Agunan kredit beberapa debitur yang dikelola CBC tidak memenuhi beberapa ketentuan dalam PPK Bank Mandiri Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap beberapa debitur CBC menunjukkan adanya kelemahan dalam pengelolaan agunan kredit, yaitu sebagai berikut: a. Agunan kurang mengcover, yaitu: No.
CBC
Debitur
Kol
Jenis Kredit
1.
Semarang
PP DC
2
KMK
2.
Semarang
PT KMN
1
KMK Telkom
3.
JKT Kota
PT SUI
2
KMK
% Jaminan
Keterangan
101
Agunan utama
82,33
Agunan utama
14,28
Agunan tambahan
58,02
Agunan utama
Coverage agunan itu tidak sesuai dengan: 1) PPK Buku III Bab VIII Sub Bab B butir 6 yang menyatakan untuk KMK: Secara umum nilai agunan utama minimum sebesar 143% dari limit kredit dan nilai agunan tambahan minimum sebesar 100%. Apabila nasabah juga sedang memperoleh fasilitas KI dari Bank Mandiri, maka agunan tambahan atas fasilitas KMK dapat dikaitkan dengan agunan fasilitas KInya, sepanjang nilainya masih dapat menutup limit kredit fasilitas KI dan KMKnya. 2) SE Bank Mandiri No.029/KRD/CMB.MID/2004 tanggal 28 Desember 2004 yang menyatakan bahwa atas fasilitas kredit yang diberikan, debitur wajib menyerahkan agunan dengan ketentuan untuk agunan utama KMK Telkom minimal 125% dari limit KMK Telkom yang diberikan. Sedangkan untuk agunan tambahan minimal sebesar 20% dari limit kredit yang diberikan. b. Baki debet KMK belum tercover oleh 70% piutang dan 50% persediaan, yaitu terdapat pada debitur berikut: No. 1.
CBC Semarang
Debitur PP DC
Kol
% Jaminan
2
30
Keterangan Piutang
Coverage jaminan di atas tidak sesuai dengan perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyebutkan bahwa baki debet KMK harus tercover oleh 70% piutang dan 50% persediaan. c. Agunan beberapa debitur belum selesai diikat, yaitu: No.
CBC
1.
Banjarmasin
2.
JKT Thamrin
Debitur
Kol
Keterangan
PT SPT
1
Agunan tanah belum diikat hak tanggungan. Agunan stock dan mesin belum diikat fidusia.
PT SKR
1
Agunan KI 4 berupa tower belum diikat fidusia 123
Hal itu tidak sesuai dengan PPK Buku 3 Bab VIII Sub Bab B Butir 11.a.1) yang menyatakan bahwa barang-barang yang diterima sebagai agunan kredit harus diikat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum/yuridis. Masalah tersebut mengakibatkan kepentingan Bank Mandiri dari agunan kredit beberapa debitur di atas (second way out) kurang terlindungi karena agunan belum mengcover dan belum diikat secara sempurna. Hal tersebut terjadi karena Manajer, TL dan RM pada CBC Bank Mandiri belum sepenuhnya mematuhi ketentuan agunan dan belum tegas meminta debitur untuk memenuhi syarat perjanjian kredit tentang coverage persediaan dan piutang terhadap baki debet KMK serta mengikat agunan. Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: a. Agunan kurang mengcover 1) Nilai stock dan piutang fluktuatif sesuai aktivitas usaha nasabah yaitu rasio agunan utama selalu proporsional dengan baki debet. Coverage agunan tambahan KMK dikaitkan dengan kelebihan agunan utama fasilitas KI Rp6.299 juta, sehingga total agunan tambahan KMK menjadi sebesar Rp.8.307 juta atau coverage ratio agunan tambahan menjadi 101,30%. 2) Nilai agunan utama berupa piutang proyek per 31 Oktober 2007 sebesar Rp.135.014 juta apabila dibandingkan baki debet KMK Kontraktor Rp89.181 juta berarti security coveragenya sebesar 151,39%. Coverage agunan tambahan terhadap baki debet KMK Kontraktor = 26,25 %. 3) Hal itu telah dimitigasi dengan penurunan baki debet KMK Aflopend sesuai jadwal. b. Nilai stock dan piutang belum mengcover Baki Debet karena kondisi usaha Debitur terganggu yaitu beberapa shipment belum terbayar oleh pembeli di Luar Negeri. Hal tersebut menjadi perhatian dan monitoring kami. c. Agunan belum selesai diikat 1) Sampai dengan saat ini proses pengikatan oleh Notaris telah menunjukkan progress yang cukup baik. Dari semula 5 lokasi yang belum selesai menjadi 1 lokasi saja, yaitu agunan di daerah Curug, Tangerang. 2) Pengikatan agunan secara fiducia dilaksanakan setelah diperoleh hasil laporan dari konsultan pengawas yang menyatakan bahwa pembangunan Tower telah selesai /on air dan juga telah dinilai oleh konsultan Penilai. (Kondisi saat ini belum on air). BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Meminta debitur untuk menyerahkan agunan tambahan dan meningkatkan nilai persediaan dan piutang atau menurunkan baki debetnya sehingga kepentingan Bank Mandiri lebih terlindungi. b. Menginstruksikan Manajer CBC dan Credit Operation Bandung, JKT Thamrin dan Banjarmasin untuk memonitor penyelesaian pengikatan agunan beberapa debitur di atas. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya.
124
30. Beberapa debitur yang dikelola CBC tidak memenuhi beberapa syarat covenant dalam Perjanjian Kredit Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap beberapa debitur di Kantor Pusat dan CBC Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jakarta Kota, Jakarta Thamrin, Jakarta Sudirman dan Jakarta Plaza Mandiri menunjukkan bahwa beberapa debitur belum memenuhi syarat-syarat covenant dalam Perjanjian Kredit, yaitu sebagai berikut: a. Debitur melakukan investasi sebelum memperoleh izin tertulis dari Bank Mandiri, yaitu: No.
CBC
Debitur
Kol
Keterangan
1.
Bandung
PT STM
2
Pembelian mesin produksi senilai USD400,00 ribu.
2.
Bandung
PT BPR
1
Investasi pada anak perusahaan sebesar Rp2.600,00 juta sesuai laporan keuangan 2006.
3.
Jakarta Plaza Mandiri
PT SWD
1
Debitur memberikan pinjaman kepada PT CP pada Juni dan Agustus 2003 sebesar USD1,384.94 ribu dan Rp4.000,00 juta.
Investasi itu tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dan debitur yang menyatakan bahwa selama perjanjian kredit yang berkenaan berlaku, debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari bank tidak diperkenankan melakukan investasi baru, mengadakan penyertaan baru dalam perusahaan perusahaan lain dan/atau turut membiayai perusahaan-perusahan lain. b. Debitur memperoleh pinjaman sebelum mendapat izin tertulis dari Bank Mandiri atau sebelum syarat-syarat persetujuan yang ditetapkan Bank Mandiri terpenuhi, yaitu: No.
CBC/Unit
1.
Bandung
2.
Debitur
Kol
Keterangan
PT STM
2
Dari informasi BI tanggal 8 Agustus 2001, debitur memperoleh kredit sebesar Rp10.000,00 juta dari Bank BRI.
Bandung
PT BPR
1
Dari laporan keuangan audited tahun 2006, debitur memperoleh pinjaman dari Bank Bukopin sebesar Rp7.034,18 juta.
3.
Bandung
PT APA
1
Debitur menerima pinjaman dari Bank BRI sebesar Rp37.736,00 juta meskipun syarat-syarat yang ditetapkan oleh Bank Mandiri belum terpenuhi.
4.
Thamrin
PT JKP
1
Debitur memperoleh kredit dari PT Bank Shinta Indonesia sebesar Rp26.000,00 juta dan Bank NISP sebesar Rp6.500,00 juta.
5.
Thamrin
PT LM
1
Debitur memperoleh kredit dari Bank Syariah Mandiri sebesar Rp22.813,00 juta dan Bank Niaga sebesar Rp45.415,00 juta.
6.
Kota
PT MEI
1
Debitur memperoleh pinjaman dari suplier dan afiliasinya sebesar Rp27.800,00 juta.
7.
Kota
PT VPM
5
Debitur memperoleh kredit dari Bank BRI dengan limit sebesar Rp47.500,00 juta pada September 2006.
8.
Kantor Pusat
PT PNET
1
Dari laporan keuangan audited tahun 2006, debitur mendapat pinjaman dari Bank Ekspor Indonesia sebesar Rp149.420,00 juta dan Bank Agro sebesar
125
No.
CBC/Unit
9.
Kantor Pusat
Debitur
Kol
Keterangan
1
Dari laporan keuangan audited tahun 2006, debitur mendapat pinjaman Bank Syariah Mandiri sebesar Rp105.600,00 juta dan Bank Ekspor Indonesia sebesar Rp40.000,00 juta.
Rp25.000,00 juta. PT PNTB
Pinjaman debitur tersebut tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, tanpa persetujuan tertulis dari Bank, nasabah tidak diperkenankan memperoleh pinjaman lain dalam bentuk apapun juga dari lembanga keuangan lainnya atau pinjaman lain dari pihak ketiga baik untuk modal kerja maupun investasi, kecuali fasilitas kredit yang saat ini sudah ada dan dalam rangka transaksi dagang yang lazim serta subordinated loan dari pemegang saham debitur. c. Debitur belum sepenuhnya menyalurkan aktivitas keuangannya pada Bank Mandiri, yaitu: No.
CBC
Debitur
Keterangan
1.
Bandung
PT STM
Aktivitas keuangan debitur pada Bank Mandiri periode Agustus 2006 s.d. Januari 2007 masih rendah.
2.
Bandung
PT BPR
Aktivitas keuangan debitur pada Bank Mandiri periode Maret – September 2007 hanya 59,51%.
3.
Bandung
PT APA
Berdasarkan Nota tanggal 17 September 2007, debitur kurang aktif menyalurkan aktivitas keuangan pada Bank Mandiri.
4.
Bandung
PT AP
Berdasarkan Nota tanggal 17 September 2007, debitur kurang aktif menyalurkan aktivitas keuangan pada Bank Mandiri.
5.
Bandung
PT TJS
Berdasarkan Nota tanggal 29 Juni 2007, debitur kurang aktif menyalurkan aktivitas keuangan pada Bank Mandiri.
6.
Banjarmasin
PT AGU
Aktivitas keuangan debitur pada rekening Bank Mandiri dalam bulan Agustus 2005 s.d Januari 2006 hanya 1,66 %.
7.
Thamrin
PT LM
Aktivitas keuangan debitur di Bank Mandiri hanya 48%.
8.
Jakarta Plaza Mandiri
PT SKP
Dari Lampiran Nota Analisa tanggal 10 September 2007, penyaluran transaksi penjualan selama September 2006 s.d Pebruari 2007 hanya sebesar 20,21%.
Kondisi itu tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, debitur wajib untuk menyalurkan seluruh aktivitas keuangan debitur/usaha melalui cabang Bank Mandiri. d. Debitur kurang tertib mematuhi syarat penyerahan laporan keuangan dan laporan aktivitas usahanya, yaitu: No.
CBC
Debitur
Keterangan
1.
Bandung
PT BPR
Dari Nota tanggal 6 Desember 2006, debitur belum tertib menyampaikan aktivitas usahanya.
2.
Banjarmasin
PT SDJ
Laporan keuangan audited 2006 debitur tanggal 25 April 2007 atau terlambat dari tanggal seharusnya 31 Maret 2007.
3.
Banjarmasin
PT AGU
Debitur terlambat menyerahkan Laporan Keuangan Audited tahun 2005.
4.
Makassar
PT BWC
Laporan keuangan audited 2006 tanggal 30 Juli 2007 126
No.
CBC
Debitur
Keterangan atau terlambat 30 hari.
5.
Sudirman
PT KD
Sampai dengan tanggal 7 Agustus 2007, debitur belum menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006.
6.
Kota
PT VPM
Laporan keuangan audited 2006 tanggal 23 Agustus 2007 atau terlambat 53 hari.
7.
Plaza
PT SWD
Debitur terlambat menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006, yaitu pada tanggal 25 Juli 2007.
8.
Thamrin
PT SKR
Debitur belum menyerahkan laporan progress triwulanan 2007 oleh consultant independent.
Hal itu tidak sesuai dengan: 1) Akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, debitur wajib untuk menyampaikan laporan kegiatan usaha dalam kuantum dan nilai yaitu, pembelian, produksi, persediaan barang dagangan, penjualan dan piutang dagang/usaha setiap bulan dan paling lambat telah diterima Bank 30 hari setelah akhir periode laporan. Laporan keuangan in-house setiap triwulan paling lambat telah diterima Bank 60 hari setelah akhir periode, dan laporan keuangan audited yang dilakukan oleh KAP rekanan Bank Mandiri paling lambat diterima Bank 180 hari setelah akhir periode laporan dan yang diaudit oleh KAP terdaftar, kecuali ditentukan lain oleh Bank. 2) Akta Perjanjian KI PT SDJ No.2 tanggal 1 Agustus 2006 pasal 11 yang antara lain menyatakan bahwa debitur berjanji dan mengikat diri kepada bank untuk menyampaikan kepada bank setiap tahun dalam waktu 90 hari sejak penutupan tahun buku, laporan keuangan asli debitur yang dibuat oleh direksi debitur dalam bentuk yang disetujui bank dan yang diaudit oleh KAP terdaftar, kecuali ditentukan lain oleh Bank. e. Debitur tidak mematuhi larangan pelunasan hutang kepada pemegang saham, yaitu: No.
CBC
Debitur
Keterangan
1.
Semarang
PT GFF
Dari perbandingan Neraca tahun 2006 dan 2005, diketahui debitur melunasi hutang kepada pemegang saham sebesar Rp5.140,57 juta.
2.
Plaza Mandiri
PT SKP
Dari perbandingan Neraca tahun 2006 dan 2005, diketahui debitur melunasi hutang kepada pemegang saham sebesar Rp3.465,78 juta
Hal itu tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur dan syarat-syarat umum yang menyatakan bahwa selama perjanjian kredit yang berkenaan berlaku, Debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank tidak diperkenankan membayar hutang kepada para pemegang saham/pemilik perusahaan sendiri (sub ordinate loan). f.
Debitur belum memelihara rasio keuangan sesuai PK Berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui terdapat beberapa debitur yang belum memelihara rasio keuangan berupa CR, DER dan Debt Service Coverage (DSC) sesuai perjanjian kredit (PK). Hal tersebut terdapat pada debitur-debitur berikut: No. 1.
CBC Bandung
Debitur PT STM
Keterangan CR tahun 2002 s.d. Juni 2006 dibawah 120%. DER tahun 2005 s.d. Juni 2006 diatas 233%. DSC tahun 2001 s.d. Juni 2006 dibawah 1,5 kali.
127
No.
CBC
Debitur
Keterangan
2.
Bandung
PT AP
CR tahun 2004 s.d. Juni 2007 dibawah 120%
3.
Medan
PT BDK
CR tahun 2006 sebesar 68,51%. DER tahun 2005 dan 2006 sebesar 1.416,23% dan negatif 2.581,21%
4.
Banjarmasin
PT APE
CR tahun 2005 dan 2006 sebesar 15,82% dan 25,73%. DER tahun 2005 dan 2006 sebesar negatif 215,92% dan negatif 425,25%.
5.
Banjarmasin
PT MCI
CR tahun 2006 sebesar 55,52% DER tahun 2006 sebesar 468,54%.
6.
Thamrin
PT JKP
DER tahun 2005 dan 2006 sebesar 412,84% dan 365,40%
7.
Thamrin
PT SKR
CR tahun 2005 s.d. Juni 2007 kurang dari 120%. DER tahun 2005 s.d. Juni 2007 diatas 233%.
8.
JKT Sudirman
PT JMR
CR dibawah 120% untuk tahun 2002, 2003, 2005, 2006. DER diatas 233% untuk tahun 2002, 2003 dan 2006.
9.
JKT Sudirman
PT KD
CR dibawah 120% untuk tahun 2003 s.d. 2005. DER diatas 233% untuk tahun 2003 s.d. 2005.
10.
JKT Mandiri
PT SKP
DER tahun 2005 dan 2006 sebesar 537% dan 239%.
Hal itu tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa debitur wajib memelihara ratio keuangan CR minimal 120%, DER maksimal 233% dan DSC minimal 1,5 kali. g. Hutang pemegang saham tidak dijadikan self financing atau tidak dibuat akta Sub Ordinary Loan (SOL), yaitu terdapat pada debitur-debitur berikut: No.
CBC
Debitur
Keterangan
1.
JKT Plaza Mandiri
PT TS
Menurut Laporan Auditor Independen (LAI) per 31 Desember 2006, terdapat hutang hubungan istimewa sebesar Rp18,15 milyar yang belum dibuat akta SOL.
2.
JKT Plaza Mandiri
PT PV
Dari LAI per 31 Desember 2006 diketahui terdapat hutang hubungan istimewa sebesar Rp36,00 milyar yang belum dibuat akta SOL.
3.
JKT Plaza Mandiri
PT SKP
Dari LAI per 31 Desember 2006 diketahui terdapat hutang hubungan istimewa sebesar Rp68,12 milyar yang belum dibuat akta SOL.
Hal tersebut tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur maupun surat pernyataan yang dibuat debitur yang menyatakan bahwa debitur dengan ini berjanji dan mengikat diri kepada Bank untuk setiap hutang pemegang saham harus dianggap hutang jangka panjang dan disubordinasikan terhadap kredit dari Bank serta tidak dikenakan bunga. h. Pembayaran termin proyek oleh bouwheer kepada debitur belum sesuai standing instruction Berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui terdapat debitur yang melaksanakan kontrak pekerjaan dengan bouwheer (pemberi kerja). Pembayaran dari bouwheer belum disetor melalui rekening Bank Mandiri sesuai surat pernyataan standing instruction yang telah dibuat oleh bouwheer. Hal tersebut terdapat pada debitur:
128
No. 1.
CBC Makassar
Debitur PT NCR
Keterangan Pembayaran atas pembangunan gedung walikota Makassar sebesar Rp5,8 milyar melalui Bank Niaga. Pembayaran atas pembangunan RSUD Bontang sebesar Rp64,43 milyar, hanya sebesar Rp7,00 milyar yang disalurkan melalui Bank Mandiri.
Hal itu tidak sesuai dengan Surat Pernyataan yang dibuat oleh bouwheer debitur (PT NCR) yang menyatakan akan membayarkan termin proyek ke rekening debitur di Bank Mandiri. i.
Laporan keuangan yang dibuat debitur tidak sesuai dengan surat pernyataan debitur, yaitu: No.
CBC
Debitur
Keterangan
1.
Surabaya
PT NSU
LAI 2006 belum menggambarkan kondisi usaha perdagangan kertas dan industri buku tulis secara terpisah dan belum mencakup perpajakan perusahaan.
2.
Jakarta Thamrin
PT SAC
Laporan keuangan PT SAC tahun 2004 diaudit oleh KAP Suganda & Co yang belum masuk dalam daftar rekanan Bank Mandiri.
Hal itu tidak sesuai dengan: 1) Surat Pernyataan yang dibuat PT NSU tanggal 10 Juli 2006 yang menyatakan bahwa debitur bersedia menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2006 yang dibuat KAP rekanan Mandiri yang menggambarkan kondisi usaha perdagangan kertas dan industri buku tulis secara terpisah serta telah mencakup perpajakan perusahaan. 2) Surat pernyataan PT SAC tanggal 24 Januari 2005 yang menyatakan bahwa audit laporan keuangan 2004 dan seterusnya akan dilakukan oleh KAP rekanan bank. j.
Debitur belum meminta izin kepada Bank Mandiri untuk membagikan dividen Terdapat debitur CBC Jakarta Thamrin a.n. PT SAC yang belum meminta ijin kepada Bank Mandiri untuk membagikan deviden sebesar Rp8,00 milyar sesuai laporan keuangan audited tahun 2005. Hal itu tidak sesuai dengan akta perjanjian kredit antara Bank Mandiri dengan debitur yang menyatakan bahwa selama kredit belum lunas, tanpa persetujuan tertulis dari Bank terlebih dahulu debitur tidak diperkenankan membagikan deviden.
Masalah tersebut mengakibatkan: a. Kelancaran nasabah memenuhi kewajiban kepada Bank Mandiri berpotensi terganggu karena keuangan perusahaan digunakan untuk investasi baru, melunasi pinjaman kepada pihak lain, melunasi hutang kepada pemegang saham, membagikan dividen dan karena rasio keuangannya dibawah ketentuan. b. Bank Mandiri belum sepenuhnya dapat memantau aktivitas keuangan dan kelangsungan usaha debitur sehingga berisiko terhadap penyelesaian kredit ke Bank Mandiri. c. Kualitas kredit debitur berpotensi diturunkan satu tingkat sehingga Beban Penyisihan Penghapusan Aktiva Bank Mandiri menjadi lebih tinggi sehubungan laporan keuangan audited debitur yang tidak disampaikan.
129
Hal tersebut terjadi karena: a. Plantation Specialist Corporate Group dan CBC Bank Mandiri kurang memantau kepatuhan debitur dalam memenuhi syarat-syarat kredit yang telah disepakati dalam PK dan kurang memantau kegiatan keuangan nasabah. b. Adanya itikad kurang baik dari debitur.
a.
b. c. d.
e.
f.
Direksi Bank Mandiri menjelaskan bahwa: Bank Mandiri telah menegur debitur dimaksud dengan surat yang menyebutkan bahwa tanpa seizin Bank, debitur tidak diperkenankan mengadakan ekspansi usaha dan atau investasi baru. Bank Mandiri telah menegur secara tertulis yang menyebutkan bahwa tanpa seizin Bank, debitur tidak diperkenankan mendapatkan pinjaman bank lain. Bank Mandiri telah mengingatkan debitur secara tertulis untuk menyalurkan aktivitas usahanya melalui Bank Mandiri. Bank Mandiri telah berupaya untuk mempercepat penyerahan laporan keuangan audited tersebut, yaitu dengan menyurati debitur dan mengadakan pertemuan dengan KAP. Hal tersebut menjadi perhatian dan monitoring kami. Debitur tidak mematuhi larangan pelunasan hutang pemegang saham 1) Hal tersebut menjadi perhatian kami. Namun pelunasan tersebut tidak mengganggu kondisi keuangan perusahaan. Hal itu terlihat dari Laporan Keuangan debitur posisi Juni 2007 yang cukup baik yaitu CR 279% dan DER 67,11%. 2) Berdasarkan laporan keuangan audited, hutang pemegang saham masih berfluktuatif karena proyek masih dalam pengembangan. Debitur belum memelihara rasio keuangan sesuai PK. 1) Pada posisi Desember 2007, rasio keuangan berfluktuasi yaitu CR sebesar 88,26%, DSC sebesar 1,08 kali dan DER sebesar 290,65% dibandingkan posisi Juni 2006 yaitu CR 74,90%, DSC 1,2 kali dan DER 257,18%. Rasio keuangan debitur tahun 2008 diperkirakan akan membaik. 2) CR kurang dari 120% karena debitur kesulitan suplai bahan baku sehingga mempengaruhi usahanya dalam meningkatkan omzet maupun Current Asset (stock & piutang). Namun diperkirakan tahun 2008 akan membaik. 3) DER per Desember 2007 membaik, yaitu sebesar -42.55% dibandingkan posisi tahun 2006 sebesar –2.581,21%. Sedangkan CR masih sebesar 46.57% karena pemakaian kapasitas belum maksimal tetapi diperkirakan tahun 2008 akan terus membaik. 4) CR dan DER posisi Desember 2007 membaik, yaitu CR sebesar 355% dan DER sebesar 251% dibandingkan posisi tahun 2006 yaitu CR 25,73% dan DER 468,54%. Komposisi DER dan CR akan terus membaik seiring dengan kondisi perbaikan perusahaan. 5) Per Desember 2007, CR masih sebesar 46% dan DER 421%. Namun sejalan dengan semakin berkembangnya usaha PT MCI, CR akan semakin meningkat dan dengan adanya angsuran pokok KI maka DER akan semakin menurun. 6) DER per Desember 2007 membaik, yaitu sebesar 290,52% dibandingkan posisi per Desember 2006 sebesar 365,40%. Sejalan dengan meningkatnya usaha yang bersangkutan, DER diharapkan akan semakin membaik.
130
7) Debitur berupaya untuk memperbaiki rasio keuangannya. Hal itu dapat dilihat dari peningkatan CR dari 43,8% pada tahun 2005 menjadi 81,2% pada Juni 2007. Sedangkan DER, dari 498% pada tahun 2005 menjadi 398% pada Juni 2007. 8) Paska pemberian kredit tahun 2003, CR dan DER terus membaik. Per Desember 2007, CR sebesar 88,34% dan DER sebesar 330% dibandingkan dengan posisi tahun 2006 yaitu CR sebesar 76,89% dan DER 392,46%. 9) CR dan DER posisi Desember 2007 membaik, yaitu CR sebesar 61% dan DER sebesar 206,6% dibandingkan posisi per Desember 2006 sebesar CR 60% dan DER 248% dan diperkirakan akan terus membaik. 10) DER posisi September 2007 membaik yaitu sebesar 279,15% dibandingkan posisi per Desember 2005 sebesar 537%. DER diperkirakan akan terus membaik. g. Hutang pemegang saham tidak dijadikan self financing atau tidak dibuat akta SOL 1) Mengingat sampai saat ini proyek masih dalam proses penarikan dan self financing belum seluruhnya masuk dalam proyek maka pelaksanaan SOL secara notarial akan kami laksanakan setelah proyek selesai atau setelah diterimanya Laporan Keuangan Audit 2007. 2) Bank telah meminta debitur dengan surat No.CBC.JPM/305/2008 tanggal 29 Februari 2008 untuk mencantumkan hutang pemegang saham menjadi SOL di dalam Laporan Keuangan audited 2007 dan seterusnya sampai dengan kredit lunas. 3) Bank telah meminta debitur dengan surat No.CBC.JPM/308A/2008 tanggal 29 Februari 2008 untuk mencantumkan hutang pemegang saham menjadi SOL di dalam Laporan Keuangan Audited 2007 dan seterusnya sampai dengan kredit lunas. h. Pembayaran termin proyek oleh bouwheer kepada debitur belum sesuai standing instruction 1) Bank Mandiri telah menemui debitur dan bouwheer langsung di lokasi proyek pada tanggal 9 Mei 2007 untuk meminta komitmen agar pembayaran termijn selanjutnya sesuai dengan Standing Instruction (SI) dengan syarat SI tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan Bank Mandiri. i. Laporan keuangan yang dibuat debitur tidak sesuai dengan surat pernyataan debitur 1) Bank telah meminta debitur dengan surat No. CBC.SBY/7302/2007 tanggal 21 November 2007 untuk memisahkan penjualan kertas dan buku/stationery serta mengungkapkan perhitungan pajak sesuai PSAK 46 dalam Laporan Keuangan Audited selanjutnya sesuai dengan surat pernyataan yang telah dibuat oleh debitur. 2) Pada tahun 2005 dan selanjutnya debitur telah memenuhi ketentuan Bank yaitu menyampaikan Laporan Keuangan dengan KAP rekanan Bank Mandiri. j. Untuk tidak mengulang kembali pembagian deviden tanpa izin Bank Mandiri, Bank telah memberikan surat teguran No.CMB.CBC.JTH-1/056/2007 tanggal 7 Februari 2007 kepada debitur yang isinya bahwa debitur tidak diperkenankan membagikan deviden tanpa persetujuan tertulis dari Bank Mandiri. BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri: a. Memberikan peringatan tertulis terhadap debitur karena pelanggaran syarat-syarat perjanjian kredit dan meminta debitur untuk melaksanakan syarat-syarat yang belum dipenuhi tersebut, yaitu menyalurkan aktivitas keuangannya di Bank Mandiri, menyampaikan laporan keuangan dan aktivitas usaha secara tertib, memelihara rasio keuangan sesuai PK, meningkatkan modal perusahaan dan membuat akta SOL.
131
b. Menginstruksikan GH dan DH unit kerja untuk mengkaji syarat-syarat perjanjian kredit yang kurang applicable dalam Pedoman Kredit Bank Mandiri (yaitu rasio keuangan dan penyaluran seluruh aktivitas keuangan) dan memperbaikinya. c. Meneliti kembali pengelolaan kredit pada beberapa debitur di atas dan mengenakan sanksi kepada pengelola kredit yang terbukti lalai sesuai dengan ketentuan dan bobot kesalahannya. C. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan 1. Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2000 Dari tiga temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, seluruhnya dinyatakan telah sesuai rekomendasi yaitu temuan-temuan sebagai berikut: a. Realisasi penjualan aktiva tetap non produktif Bank Mandiri yang berlokasi di dalam dan di luar negeri senilai Rp847,37 milyar belum dapat berjalan lancar. b. Persetujuan penghapusbukuan fasilitas kredit kepada debitur PT Bank Merincorp sebesar US$30.00 juta oleh Direksi Bank Mandiri tidak sesuai dengan Anggaran Dasar. c. Terdapat tindakan yang berindikasikan manipulasi yang dilakukan oleh sejumlah pegawai Bank Mandiri pada 24 Kantor Cabang dengan taksiran kerugian sebesar Rp18,92 milyar. 2. Laporan Keuangan Bank Mandiri Tahun Buku 2001 Dari dua temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, seluruhnya dinyatakan telah sesuai rekomendasi yaitu temuan-temuan sebagai berikut: a. Realisasi pengembalian kelebihan obligasi rekapitalisasi Bank Mandiri sebesar Rp129,69 milyar yang berasal dari transaksi penjualan properti entitas sepengendali (under common control) kepada Pemerintah belum terlaksana. b. Terdapat tindakan yang berindikasi manipulasi yang dilakukan oleh pihak luar dan sejumlah pegawai pada kantor-kantor cabang Bank Mandiri dengan taksiran kerugian sebesar Rp143,27 milyar. 3. Pemeriksaan atas Kredit Hapus Buku Tahun 2002 Dari sembilan temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, sebanyak lima temuan dinyatakan telah sesuai rekomendasi yaitu temuan-temuan sebagai berikut: a. Tidak ada pertanggung jawaban yang jelas dari PT Rempah Jaya Makmur atas kekurangan stock cengkeh sebanyak 12.425,50 ton dari total stock cengkeh yang harus dibeli sehubungan dengan pemberian KMK sebesar US$77,990.00 ribu eq. Rp148,18 milyar. b. PT BDN tidak melakukan analisis yang memadai terhadap fasilitas pembiayaan sebesar Rp157,47 milyar kepada Group Gunung Agung. c. Persetujuan novasi kredit dari Ocean Beauty Seafoods Inc. kepada PT Ika Chirza Putra tidak layak dan tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. d. Pemberian fasilitas kredit kepada PT Benua Indah tidak menggunakan prinsip kehati-hatian bank. e. Pemberian kredit kepada PT Mantrust menyalahi ketentuan Bank Indonesia mengenai pembatasan kredit untuk pembelian saham. Sedangkan empat temuan pemeriksaan yang masih belum sesuai rekomendasi, yaitu: a. Hasil penjualan PN PT CBT kepada PT BDN sebesar USD50,000.00 ribu ditransfer ke rekening Yayasan Supersemar di Bank Indover Amsterdam.
132
Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Menteri meminta pertanggungjawaban kepada pejabat yang terkait dalam proses pemberian fasilitas jual beli PN dan mengupayakan penagihan kepada debitur yang bersangkutan. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Bank Mandiri telah membuat corrective action plan sesuai surat Meneg BUMN. 2) Bank terus mengupayakan penagihan kepada debitur, dan untuk menurunkan pokok kredit sedang dijajaki kemungkinan eksekusi agunan kredit berupa saham. 3) Dalam rangka mengamankan kepentingan bank atas saham tersebut maka Bank telah menginformasikan kepada PT Sirca Data Pro Perdana sebagai Biro Administrasi Efek yang mengadministrasikan saham BRPT. 4) Pemegang saham diupayakan akan dipanggil kembali dalam rangka penyelesaian kewajiban kredit. 5) Hasil penagihan periode 1 Juli 2007 s.d 29 Februari 2008 nihil, sehingga total penagihan sejak 1 Januari 2002 s.d 29 Februari 2008 tetap sebesar Rp30 milyar dan sisa kewajiban per 29 Februari 2008 sebesar Rp 84,07 milyar. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena debitur telah diserahkan ke Kejaksaan Agung sesuai Surat Ketua BPK RI No. 86/S/I-VIII.3-TKHP/09/ 2006 tgl. 19 September 2006 dan masih dalam proses penyidikan di Kejaksaan Agung. b. Pemberian kredit kepada PT TI tidak berdasarkan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking). Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Menteri meminta pertanggungjawaban kepada pejabat yang terkait dalam proses pemberian kredit dan mengupayakan penagihan kepada debitur yang bersangkutan. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Bank Mandiri telah membuat corrective action plan sesuai surat Meneg BUMN. 2) Bank terus mengupayakan penagihan kepada debitur, dan sampai saat ini debitur dapat memenuhi komitmennya membayar kewajiban sebesar Rp500 juta per bulan, dan untuk menurunkan pokok pinjaman sedang dijajaki penjualan / lelang atas sisa agunan kredit. 3) Hasil penagihan sejak 1 Juli 2007 s.d. 29 Februari 2008 sebesar Rp10,32 milyar (termasuk hasil penebusan agunan milik pihak ke-3 sebesar Rp6,32 milyar), sehingga total penagihan sejak 1 Januari 2002 s.d 29 Februari 2008 sebesar Rp102,21 milyar dan sisa kewajiban per 29 Februari 2008 sebesar Rp393,30 milyar. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena sisa kewajiban PT TI masih sebesar Rp393,3 milyar dan masih dikelola Bank Mandiri. c. Kredit yang telah diberikan oleh PT Bapindo dan PT Bank Bumi Daya tidak diawasi dengan baik, sehingga PT DLR telah melakukan beberapa tindakan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kredit (PK). Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Direksi PT Bank Mandiri meminta pertanggungjawaban kepada pejabat yang terkait dalam proses pemberian kredit dan mengupayakan penagihan kepada debitur yang bersangkutan. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Komitmen pembayaran kewajiban sebesar Rp1,0 milyar/bulan sejak Januari Tahun 2007 dapat dipenuhi dengan baik oleh debitur.
133
2) Hasil penagihan sejak 1 Januari 2002 s.d. 29 Februari 2008 adalah sebesar Rp106,50 milyar dan sisa kewajiban per 29 Februari 2008 sebesar Rp227,98 milyar. 3) Telah diupayakan lelang agunan yang tidak produktif, tetapi belum berhasil karena nilai NJOP masih lebih tinggi dari nilai jual/harga pasar. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena sisa kewajiban PT DLR masih sebesar Rp227,98 milyar dan masih dikelola Bank Mandiri. d. Novasi kredit PT CJIH dari Grup BT kepada Grup SP tidak sesuai dengan SK Direksi BI tentang restrukturisasi kredit. Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Menteri meminta pertanggungjawaban Direksi eks legacy PT BBD yang melakukan novasi dan konversi yang tidak sesuai dengan ketentuan. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Bank terus mengupayakan penagihan sehingga kewajiban yang ditetapkan dalam addendum I perjanjian KI Sindikasi No. 8 tanggal 6 September 2004 dapat diselesaikan dengan baik, bahkan untuk periode Tahun 2007 debitur membayar kewajiban diluar jadwal yang ditetapkan sebesar Rp1,48 milyar. 2) Hasil penagihan untuk periode Juli 2007 s.d. Februari 2008 sebesar Rp4,49 milyar sehingga total penagihan sejak Januari 2002 s.d. Februari 2008 sebesar Rp28,77 milyar, dan sisa kewajiban per 29 Februari 2008 sebesar Rp402,75 milyar. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena sisa kewajiban PT CJIH masih sebesar Rp402,75 milyar dan masih dikelola Bank Mandiri. 4. Pemeriksaan atas Pengelolaan Kredit Tahun 2004 Dari 11 temuan pemeriksaan yang belum sesuai rekomendasi, sebanyak enam temuan dinyatakan telah sesuai rekomendasi, yaitu temuan-temuan sebagai berikut: a. Proses pengambilalihan dan pengelolaan kredit PT Kiani Kertas belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Pemberian kredit kepada PT Oso Bali Cemerlang (PT OBC) belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Pemberian Fasilitas Kredit sebesar Rp361.825,00 juta kepada PT Lativi Media Karya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Pemberian kredit investasi sebesar Rp160.000,00 juta kepada PT Cipta Graha Nusantara tidak didasarkan pada analisa yang cermat sehingga menimbulkan kredit bermasalah. e. Pengelolaan kredit beberapa debitur pada CBC Surabaya, Semarang, Medan dan Pekanbaru belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. f. Pemberian fasilitas kredit kepada PT Siak Zamrud Pusaka menimbulkan kredit bermasalah bagi Bank Mandiri sebesar Rp24.781,79 juta. Sedangkan lima temuan lainnya yang masih belum sesuai rekomendasi, yaitu: a. Bank Mandiri masih kurang menerima pembayaran up front fee sebesar Rp228.897,00 juta yang harus dibayar oleh pihak ketiga sehubungan dengan pembelian asset kredit dari BPPN. Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Group Head Corporate Relationship I Bank Mandiri lebih maksimal mengupayakan penagihan up front fee sebesar Rp228.897,00 juta yang merupakan hak Bank Mandiri dan belum dibayar oleh Partner Konsorsium dengan memberikan surat peringatan kepada masing-masing Partner Konsorsium terkait. 134
Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) PT CRC Sesuai Surat No. SAM.CR 2/071/2008 tanggal 03 Maret 2008, Bank menagih sebesar USD7.85 juta kepada partner konsorsium. Disamping itu, Bank juga telah mengupayakan penyelesaian up front fee kedalam bagian dari skema restrukturisasi yang akan didukung oleh investor. Namun investor yang dipilih masih belum disepakati secara menyeluruh oleh pengurus dan pemegang saham PT CRC sehingga belum dapat ditindaklanjuti. 2) DG PT JG (partner konsorsium) sampai saat ini masih belum melunasi kewajiban up front fee sebesar US$3.45 juta dan Bank Mandiri terus menagih up front fee tersebut. Penagihan terakhir dilakukan dengan surat No. SAM.CR1/LC1.0064/ 2008 tanggal 04 Maret 2008. 3) PT BK Bank terus menagih debitur dengan surat No.SAM.CR2/AMD./355/2007 tanggal 26 Juli 2007 perihal Penegasan Hasil Pertemuan tanggal 19 Juli 2007 a.l. agar up front fee & buy back dibayar oleh debitor, surat No.SAM.CR2/496/2007 tanggal 10 Oktober 207 perihal Surat Peringatan ke-3, butir 3 yaitu agar debitur membayar kewajiban kredit termasuk up front fee & buy back serta surat No.SAM.CR2/618/2007 tanggal 12 Desember 2007 yang menegaskan kepada Presiden Komisaris PT BK untuk menyelesaikan pokok kredit dan kewajiban bunga, denda dan ongkos (termasuk up front fee). Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena masih tersisa 3 partner yang belum melunasi up front fee. b. Pengelolaan kredit PT BK belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar: 1) Direksi dan Komisaris Bank Mandiri dalam memutuskan pemberian kredit agar memperhatikan kebijakan perkreditan yang telah ditetapkan oleh Bank Mandiri. 2) Direksi Bank Mandiri menegur Relationship Manager agar lebih cermat dan berhatihati dalam menentukan model restukturisasi kredit dan lebih aktif menagih kewajiban TSIL dan tunggakan premi asuransi PT BK. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Dalam rangka mendorong rencana pengambilalihan oleh investor (PT MPN) dilakukan kunjungan ke kantor Preskom di Jl. Malabar No.30 Jakarta dan hasil pertemuan ditegaskan dengan surat No.SAM.CR2/355/2007 tanggal 26 Juli 2007 tetapi tidak ada kemajuan rencana pengambilalihan oleh investor dimaksud. 2) PT BK telah diberikan Surat Peringatan III dengan surat No.SAM.CR2/496/2007 tanggal 10 Oktober 2007. Kunjungan ke lokasi pabrik di Indramayu pada tanggal 8 November 2007, pabrik masih belum beroperasi. 3) Pada tanggal 10 Desember 2007 Bapak H. GY hadir di Bank Mandiri dan membicarakan skema penyelesaian kredit PT BK sehubungan adanya investor lainnya yaitu SAM Mgt. Hasil pertemuan ditegaskan dengan surat No.SAM.CR2/618/2007 tanggal 12 Desember 2007. Sesuai penjelasan debitur, peninjauan ke lokasi pabrik sudah dilaksanakan & masih dilakukan due dilligence cq. untuk pemasaran produk epoxy resin.
135
4) Sejak 1 Juli 2007 s.d. 29 Februari 2008 debitur tidak membayar kewajibannya dan posisi kewajiban per 23 Februari 2008 sebesar Rp130,18 milyar. 5) Sampai saat ini belum ada keputusan/penetapan dari Kejaksaan Agung mengenai kelanjutan pemeriksaan di tahap penyidikan atas perkara dimaksud. Dokumen/suratsurat terkait pemberian fasilitas kredit oleh Bank Mandiri kepada PT BK masih dikuasai Bank Mandiri (tidak disita). Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena masih ditangani Kejaksaan Agung serta sisa kewajiban per 29 Februari 2008 sebesar Rp130,18 milyar. c. Pemberian Kredit Investasi sebesar US$5,800.62 ribu kepada PT ABM dan PT ATM dalam rangka refinancing sustainable loan kepada investor menimbulkan kredit bermasalah bagi Bank Mandiri. Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Direksi Bank Mandiri memberikan teguran kepada Relationship Manager agar lebih memperhatikan ketentuan intern berkaitan dengan pelaksanaan kunjungan fisik dalam proses analisa dan penggunaan laporan analisa uji tuntas (due diligence) oleh konsultan rekanan Bank Mandiri dan segera menyelesaikan ketentuan intern yang mengatur lebih lanjut mengenai fasilitas refinancing. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Total penerimaan pembayaran kewajiban sejak bulan Februari 2006 sampai dengan Februari 2008 adalah sebesar USD130.00 ribu. Sisa kewajiban (pokok pinjaman) per 29 Februari 2008 sebesar USD5,675.38 ribu. 2) Berkas pemeriksaan a.n. Tersangka dari Bank Mandiri sejak tanggal 7 Februari 2007 telah memasuki proses pelimpahan berkas perkara (penuntutan) dari Penyidik di Kejaksaan Agung kepada Jaksa Penuntut Umum dan sampai saat ini belum ada perkembangan lebih lanjut atas perkara dimaksud. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena masih ditangani Kejaksaan Agung serta sisa kewajiban per 29 Februari 2008 sebesar USD5,675.38 ribu. d. Bank Mandiri menanggung kerugian sebesar Rp50.000,00 juta atas pencairan Negotiable Certificate Deposit (NCD) milik APHI. Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Bank Mandiri memperbaharui SOP yang mengatur adanya keharusan pejabat Bank melakukan konfirmasi kepada Pemberi Kuasa Atas kuasa penjaminan surat berharga yang diberikan kepada pihak lain, khususnya dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit cash collateral, tetap berpedoman pada syarat pencairan kredit meskipun sudah saling percaya dan menempatkan kepala cabang yang telah berpengalaman pada cabang-cabang yang potensial. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Perkembangan kasus di Pengadilan telah selesai. Berkaitan dengan realisasi pengembalian yang telah dilakukan untuk mengurangi kerugian Bank Mandiri, sesuai putusan perkara pidana atas nama Sdr. G (eks Spoke Manager) tidak terdapat amar putusan yang menghukum agar uang sejumlah Rp50 milyar dibayarkan kepada APHI. 2) Pada tanggal 28 Oktober 2007, APHI telah mengajukan gugatan kepada Bank Mandiri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terdaftar dalam perkara No. 1649/Pdt.G/2007/PN.JKT.SEL dengan alasan Bank Mandiri telah wanprestasi karena tidak mencairkan 10 lembar NCD milik APHI. Dalam gugatan tersebut APHI mengajukan tuntutan pengembalian dana NCD ditambah bunga sebesar Rp153,47
136
milyar. Perkara dimaksud saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh PN Jakarta Selatan dan belum ada keputusan. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena menunggu hasil keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang gugatan APHI. e. Pengelolaan agunan kredit belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terhadap temuan tersebut, BPK menyarankan agar Central Operations memonitor penyelesaian pemutakhiran database agunan berikut informasi penilaian agunan, penyelesaian perpanjangan atas 44 sertifikat tanah (SHGB) dan peningkatan status kepemilikan 19 SKGR beserta peningkatan hak tanggungannya. Direksi Bank Mandiri telah mengupayakan tindak lanjut sebagai berikut: 1) Dari 44 SHGB yang jatuh tempo, hanya 3 SHGB yang masih dalam proses perpanjangan. 2) Bank menyurati BPN Pusat dengan surat No.TOP.CRO/1019/2007 tanggal 23 Februari 2007, No.TOP.CRO/2242/2007 tanggal 25 Mei 2007 dan No.TOP.CRO/CLA. 3311/2007 tanggal 21 Agustus 2007, sekaligus menyerahkan copy bukti pelunasan SPPT-PBB Tahun 2007 yang dilegalisasi Kantor Pelayanan Pajak. 3) Bank mengadakan pertemuan dan kunjungan ke BPN Pusat a.l. tanggal 4 Juni 2007, awal Januari 2008 dan pertengahan Februari 2008 dan diperoleh informasi bahwa seluruh data/dokumen dan persyaratan telah lengkap. 4) Bank menanyakan langsung ke BPN Pusat terkait dengan penyelesaian perpanjangan tersebut, terakhir pada tanggal 4 Maret 2008 Bank telah mengingatkan per telepon kepada Staf BPN yang menginformasikan bahwa perpanjangan tersebut masih dalam proses. 5) Bank menyurati kembali BPN Pusat dengan surat No. TOP.CRO/CLA.590/2008 tanggal 10 Maret 2008 perihal Pengurusan Sertifikat Hak atas Tanah Agunan Kredit a.n. PT PEBPI. Berdasarkan tindak lanjut di atas, BPK menyatakan bahwa temuan tersebut belum sesuai rekomendasi karena masih terdapat 3 SHGB yang belum selesai diperpanjang.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
137