LAN - RI PKKOD
Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2010
Executive Summary Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan elemen terpenting bagi organisasi, berperan sebagi penggerak utama dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan organisasi. Mengingat begitu pentingnya SDM, maka manajemen SDM diperlukan untuk mengelolanya secara sistematis, terencana dan terpola agar tujuan yang diinginkan organisasi pada masa sekarang maupun yang akan datang dapat tercapai secara optimal. Hal ini karena keberhasilan sebuah organisasi sangat ditentukan oleh orang-orang atau SDM yang bekerja di dalamnya. SDM yang dimaksud dalam kajian ini tidak lain adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah, oleh karenanya istilah manajemen yang digunakan disini adalah manajemen PNS. Pembangunan nasional akan sangat ditentukan oleh faktor kemampuan Pegawai Negeri Sipil baik di pusat maupun di daerah. Tranformasi birokrasi tidak cukup jika hanya dengan pemberian keluasan kewenangan kepada daerah tanpa diikuti oleh sistem pengembangan aparatur negara khususnya pegawai negeri sipil atau sumber daya manusia aparatur. Karena Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan elemen terpenting bagi organisasi, berperan sebagi penggerak utama dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan organisasi. Mengingat begitu pentingnya SDM, maka manajemen SDM diperlukan untuk mengelolanya secara sistematis, terencana dan terpola agar tujuan yang diinginkan organisasi pada masa sekarang maupun yang akan datang dapat tercapai secara optimal. Hal ini karena keberhasilan sebuah organisasi sangat ditentukan oleh orang-orang atau SDM yang bekerja di dalamnya. SDM yang dimaksud dalam kajian ini tidak lain adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah, oleh karenanya istilah manajemen yang digunakan disini adalah manajemen PNS. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kebebasan yang tidak dioptimalkan hingga terjadi confusing aparatur daerah. Masalah kompetensi ini pula yang menjadi faktor confusing yang dialami aparatur daerah dengan adanya ruang besar otonomi daerah. Akibatnya proses transformasi birokrasi berjalan tidak seimbang. Kesalahan bukan hanya karena ketidakseimbangan pengaturan otonomi daerah tetapi juga yang menyangkut pengaturan kepegawaian. Sebagai elemen penting penyelenggaraan pemerintahan, SDM Aparatur daerah belum dikelola secara profesional. Oleh karena itu sebagai bagian dari reformasi birokrasi, manajemen sumber daya manusia aparatur perlu dilakukan secara sistematis dan komprehensif, agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam birokrasi. Untuk itu perlu ada upaya konkrit dan langkah-langkah lanjutan untuk membuat suatu model dan strategi pembinaan dan pengawasan (evaluasi) terhadap pelaksanaan manajemen SDM Aparatur Daerah sejak perencanaan sampai dengan
i
pemberhentian, dengan harapan tercipta PNS di Daerah yang andal dan profesional. Untuk itu, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara (PKKOD-LAN) pada tahun anggaran 2010 telah melaksanakan kajian Penyusunan Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS Daerah. Mengingat kajian ini dilakukan untuk menghasilkan suatu pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah, maka menurut pendekatannya kajian ini digolongkan sebagai penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan ditujukan untuk mengembangkan pendekatan dan program baru guna memecahkan masalah yang muncul pada situasi aktual (Davis Kline ,1980; Sugiyono,1997), dalam hal ini adalah upaya pengembangan suatu pendekatan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja manajemen PNS daerah. Menurut tingkat eksplanasinya, kajian ini menggabungkan kajian deskriptif dan asosiatif. Sebagai kajian deskriptif, kajian ini menjelaskan permasalahan manajemen PNS di Daerah dan upaya perbaikan yang perlu dilakukan. Namun kajian ini juga menggali keterkaitan-keterkaitan antara permasalahan upaya perbaikan tersebut dengan berbagai parameter yang penting untuk membangun pedoman yang diharapkan, sehingga kajian ini juga bersifat asosiatif. Kajian ini dilaksanakan dengan dua (2) tahap, yaitu pada tahap pertama adalah tahap pengembangan pedoman. Dalam tahap ini, daerah kajian yang dituju meliputi 8 (delapan) kabupaten/kota dan 8 (delapan) provinsi. Sementara sebagai pilot project untuk pedoman tersebut dipilih 2 (dua) provinsi sebagai lokus kajian. Keseluruhan daerah kajian yang dimaksud sebagaimana table berikut ini. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 9. 8. 10.
Kabupaten/Kota Kota Binjai Kota Batam Kabupaten Gianyar Kabupaten Muarojambi Kota Batu Kabupaten Semarang Kabupaten Gorontalo Kabupaten Lombok Barat 11 Kabupaten/kota 4 kabupaten/kota
Provinsi Provinsi Sumatera Utara Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Bali Provinsi Jambi Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi NTB Provinsi Kalimantan Selatan *) Provinsi Riau*)
Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Riau merupakan daerah pilot project, kabupaten/kota yang dinilai adalah kabupaten/kota yang mengisi instrumen yang disampaikan. 11 (sebelas) Kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan: Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Kota Baru, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu
ii
Sungai Selatan, kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tabalong/Tanjung, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Balangan. Sedangkan untuk Provinsi Riau, yang dijadikan pilot project adalah Kabupen Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti. Dari kajian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Permasalahan umum yang dihadapi dalam manajemen kinerja PNS di daerah adalah belum tersedianya instrumen yang mampu mengukur kinerja manajemen PNS di daerah berdasarkan data dan informasi yang sebenarnya (riil) terjadi di daerah. Selama ini, predikat ’sangat baik, baik, kurang baik atau buruk’ mengenai manajemen PNS di daerah lebih merupakan common sense daripada didasarkan pada metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Problem pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah semakin besar ketika hasil pengukuran yang didasarkan pada asumsi dan prasangka tersebut kemudian dipublikasikan (di-blow up) oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik. 2. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah adalah memasukannya dalam substansi PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana pengukuran kinerja kepegawaian dijadikan salah satu aspek (parameter) dan fokus (indikator) dalam mengukur kinerja pelaksana kebijakan (aspek: pengelolaan kepegawaian diturunkan ke dalam 2 fokus yaitu tingkat kompetensi SDM dalam menyelenggarakan tugas SKPD yang relevan dengan urusan terkait dan upaya peningkatan kapasitas SDM). Dengan demikian, pedoman (:instrumen pengukuran dan evaluasi) yang dikembangkan oleh tim LAN sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari instrumen PP No. 6 Tahun 2008 khususnya pada aspek pengelolaan kepegawaian. 3. Upaya lain yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah dalam bentuk pembinaan oleh instansi pembina kepegawaian yakni Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kemudian dari hasil pembinaan dilakukan umpan balik (feedback) kepada pemerintah daerah dalam bentuk compliment yaitu pemberian penghargaan dan pujian atas kinerja yang telah dicapai. Namun sekali lagi, pemberian komplimen tersebut belum didasarkan pada parameter manajemen PNS secara komprehensif. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam kaitan pengukuran dan evaluasi kinerja dapat dikatakan “nyaris tidak terdengar” karena pada dasarnya pemda lebih banyak menunggu peraturan yang diterbitkan oleh Pusat. Oleh karena itu, strategi yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah menyusun pedoman (:instrumen) pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah yang komprehensif. 4. Sejumlah permasalahan manajemen PNS di daerah terjadi sejak perencanaan hingga pemberhentian, sebagaimana uraian berikut:
iii
a. Perencanaan pegawai Sebagian besar Pemda belum memiliki dokumen perencanan kepegawaian yang didasarkan pada dokumen ABK Selama ini Pemda dalam menetapkan formasi didasari usulan SKPD Formasi tidak diikuti dengan pengadaan karena ada kepentingan tertentu. b. Pengadaan pegawai Transparansi pengadaan pegawai bersifat formalitas (KKN, titipan pejabat) Tidak terpenuhinya formasi pegawai karena ketatnya persyaratan yang diajukan (atlet) Ketidaksesuaian penempatan dengan formasi yang telah ditetapkan. c. Rotasi jabatan dan promosi Sebagian besar pemerintah daerah tidak/belum memiliki dokumen pola karier Rotasi jabatan lebih didasarkan pada pertimbangan lain (politis) Promosi pegawai didasarkan pada pertimbangan Baperjakat Daerah, bukan pada pola karier pegawai. d. Pengembangan pegawai Sebagian besar pemerintah daerah belum memiliki dokumen TNA (Training Need Analysis) Tidak selalu dilakukan uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim Belum dilakukan evaluasi pasca diklat Pemanfaatan alumni diklat (khususnya alumni Diklatpim Tingkat III dan IV) belum optimal. e. Kesejahteraan pegawai Pemberian fasilitas kesehatan kepada pegawai (selain ASKES) masih sangat terbatas Pemberian bantuan memperoleh perumahan belum dikoordinir dengan baik (beberapa daerah mengisiniasi pemberian bantuan melalui koperasi) Pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap dan santunan uang duka sudah terlaksana TKD – Tunjangan Kesejahteraan Daerah, didasarkan pada absensi, bukan penilaian kinerja pegawai. f. Manajemen kinerja pegawai Sebagian besar pemda belum memiliki instrumen penilaian kinerja pegawai Penilaian kinerja hanya didasarkan pada DP3 g. Disiplin dan etika pegawai Hampir semua Pemda belum memiliki kebijakan tentang Disiplin dan Etika Pegawai di daerah (mengacu kepada PP yang ada)
iv
Provinsi Jateng sudah memiliki Perkada tentang Disiplin Pegawai Lemahnya tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai. h. Pemberhentian pegawai Belum semua daerah melakukan pembinaan pegawai yang memasuki masa purnabhakti (Provinsi Jateng, Provinsi Kepri dan Kota Batam telah melaksanakan Diklat Purnabhakti) Ketepatan waktu pensiun, kecuali untuk Gol. IV/c ke atas (menjadi kewenangan Pemerintah Pusat) Ketidakjelasan argumen perpanjangan BUP. i. Insfrastruktur Sebagian besar Pemda belum menyusun/belum memiliki standar kompetensi jabatan, database kompetensi, dan SOP SIMPEG yang sudah tersedia terkendala karena perubahan NIP dari 9 menjadi 18 digit Sarpras sudah cukup memadai dalam menunjang manajemen PNS di daerah, kecuali untuk Daerah Otonom Baru (DOB), misal: Provinsi Kepulaua Riau dan Kabupaten Meranti (Riau) Keterbatasan anggaran pengembangan pegawai. 5. Upaya penyusunan pedoman pengukuran kienrja manajemen PNS di daerah dilakukan melalui beberapa tahap, yakni tahap awal, tahap kajian lapangan, dan tahap penyempurnaan. Pada tahap awal, tim peneliti menyusun draft pedoman (:instrumen) yang selanjutnya diajukan ke para narasumber di Pusat untuk mendapat masukan guna penyempurnaan lebih lanjut, di antaranya narasumber dari BKN, pakar dari perguruan tinggi, dan narasumber di lingkungan LAN sendiri. Draft pedoman yang telah mendapatkan masukan dari narasumber Pusat inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan penelitian lapangan (draft awal pedoman, sebagaimana terlampir). 6. Draft awal tersebut selanjutnya di bawa ke daerah kajian untuk mendapatkan kritik dan masukan dari perspektif pengelola kepegawaian di daerah (dalam hal ini BKD Provinsi, Kabupaten, dan Kota). Beberapa masukan dari narasumber daerah adalah sebagai berikut: (a) Umum: pada hakikatnya pemerintah daerah menyambut draft instrumen pengukuran dan evaluasi dengan cukup antusias, terbukti dengan banyaknya kritik dan masukan yang diberikan terhadap draft dimaksud. Disamping itu, narasumber daerah mengharapkan agar instrumen pengukuran dan evaluasi ini dapat meningkatkan kinerja manajemen PNS daerah. (b) Khusus, yaitu terkait dengan substansi kerangka hukum, pedoman, dan instrumen pengukuran & evaluasinya. Di antara masukan narasumber daerah terkait dengan instrumen antara lain: (1) Kerangka hukum, dengan mendasarkan pada hasil FGD dan wawancara mendalam, pedoman evaluasi sebaiknya dituangkan dalam peraturan yang mengikat semua pihak (bentuk produk hukumnya diserahkan
v
kepada tim) termasuk pemerintah daerah. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pengukuran dan evaluasi akan melibatkan banyak pihak (aktor) di daerah sehingga memerlukan adanya kepastian dan kekuatan hukum. Apabila telah ditetapkan dengan dasar hukum, pemda mau tidak mau akan mempersiapkan diri untuk dievaluasi oleh Pusat, sekaligus mempersiapkan diri untuk menjalankan amanat dalam mengelola urusan kepegawaian daerah secara profesional. (2) Pedoman, terkait dengan pelaksanaan penilaian, Pemerintah dituntut menyusun tahapan dan skenario yang jelas dan transparan dalam melakukan penilaian. Selain itu, harus dipastikan bahwa tujuan evaluasi bukan untuk memberikan hukuman kepada pemerintah daerah yang berkinerja rendah/buruk, tetapi seyogyanya penilaian tersebut dilakukan dalam rangka pembinaan dan peningkatan kapasitas (capacity building) pengelola PNS daerah. Di dalam pedoman, juga harus memuat semua hal terkait dengan pelaksanaan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah, sehingga tidak menimbulkan persoalan di masa mendatang, termasuk dalam hal ini adalah menyangkut metodologi penilaian dan tindak lanjut penilaian itu sendiri. (3) Instrumen, terkait dengan isi instrumen ternyata cukup banyak masukan dari daerah baik menyangkut paramater maupun indikator pengukuran. Usulan NS di daerah Draft Awal
Tambahan/Perubahan
Parameter
9 parameter: 1. perencanaan 2. pengadaan 3. mutasi , promosi dan demosi 4. pengembangan 5. kesejahteraan 6. manajemen kinerja 7. disiplin dan etika 8. pemberhentian 9. umum
Indikator
41 indikator Parameter ke-1: 4 ind Parameter ke-2: 5 ind Parameter ke-3: 3 idn Parameter ke-4: 7 ind Parameter ke-5: 4 ind Parameter ke-6: 5 ind Parameter ke-7: 6 ind
Tetap 9 parameter , namun ada usulan perubahan pada tiga parameter: a. Parameter mutasi, promosi dan demosi, diubah menjadi parameter rotasi jabatan dan promosi; b. Parameter penilaian kinerja menjadi parameter manajemen kinerja c. Parameter umum menjadi parameter infrastruktur. 48 indikator Parameter ke-1: 4 ind Parameter ke-2: 5 ind Parameter ke-3: 3 idn Parameter ke-4: 7 ind Parameter ke-5: 6 ind Parameter ke-6: 6 ind Parameter ke-7: 5ind
vi
Usulan NS di daerah Draft Awal
Tambahan/Perubahan
Parameter ke-8: 3 ind Parameter ke-9: 4 ind
Parameter ke-8: 4 ind Parameter ke-9: 8 ind
Perubahan parameter dari mutasi jabatan, promosi dan demosi menjadi rotasi jabatan dan promosi dengan pertimbangan bahwa jarang dilakukan kebijakan demosi pegawai. Sementara kasus yang banyak terjadi justru terkait dengan pemindahan pejabat struktural (rotasi jabatan) yang dapat terjadi setiap waktu sesuai kehendak kepala daerah. Sedangkan perubahan parameter umum menjadi parameter infrastruktur lebih didasarkan pada pertimbangan kelaziman dalam konteks manajemen. Adapun penilaian kinerja berubah menjadi manajemen kinerja karena penilaian kinerja merupakan bagian dari manajemen kinerja. Perubahan indikator terjadi pada penambahan jumlah dari yang semula 41 indikator menjadi 48 indikator. Penambahan/ pengurangan terjadi pada parameter sebagai berikut: a. Parameter ke-5 (kesejahteraan pegawai), dari 4 menjadi 6 indikator atau bertambah 2 indikator, yakni : ketersediaan uang makan pegawai (1 kali makan) dan ketersediaan transportasi/bantuan uang transportasi pegawai (sebelumnya ada 4 indikator: fasilitas kesehatan, santunan kecelakaan kerja, santunan duka, dan bantuan perumahan). b. Parameter ke-6 (manajemen kinerja pegawai), dari 5 menjadi 6 indikator atau bertambah 1 indikator yaitu reward and punishment (5 indikator sebelumnya: perencanaan kinerja, monev kinerja, penilaian kinerja, evaluasi kinerja, dan tunjangan kinerja daerah). c. Parameter ke-7 (disiplin dan etika pegawai), berkurang dari 6 ke 5 indikator, yang dikurangi adalah monitoring terhadap tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai. d. Parameter ke-8 (pemberhentian), bertambah dari 3 ke 4 indikator yaitu jumlah pegawai pensiun karena belum mencapai BUP/meninggal dunia. e. Parameter ke-9 (infrastruktur), bertambah dari 4 menjadi 8 indikator yaitu indikator standar kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan, kelembagaan pengelola PNS daerah, dan SDM pengelola PNS daerah. 7. Perubahan parameter dan indikator yang diusulkan oleh narasumber di daerah ternyata disepakati oleh narasumber dari BKN dan narasumber pusat yang lain. Namun demikian, beberapa masukan juga disampaikan terkait dengan
vii
‘redaksional’ dan ‘relokasi’ beberapa indikator yang dianggap perlu dilakukan perubahan, seperti: a. Indikator Ketersediaan Perencanaan Pegawai dalam Dokumen Perencanaan Daerah (RPJPD/RPJMD/Renstrada), diperbaiki menjadi Ketersediaan Perencanaan Induk (Masterplan) Kepegawaian. Disini sempat muncul pertanyaan, apakah dokumen lima tahunan termasuk kategori masterplan? Jika tidak apa yang dimaksudkan dengan masterplan itu? b. Indikator Transparansi Rekrutmen diubah menjadi Penyebarluasan Informasi Pengadaan Pegawai. Hal ini karena transparansi dapat ditanyakan dengan penyebarluasan informasi pengadaan apakah hanya melalui salah satu, dua, atau bahkan seluruh media penyebarluasan informasi yang meliputi papan pengumuman, media massa, dan website. c. Indikator Kesempatan Yang Sama dalam Rekrutmen (Non-diskriminasi) dihilangkan karena sudah termasuk dalam Indikator Penyimpangan dalam Pengadaan Pegawai. d. Indikator Ketepatan Waktu Dalam Pengangkatan PNS dibagi menjadi dua indikator yaitu Ketepatan Waktu Dalam Pengangkatan CPNS dan Ketepatan Waktu Dalam Pengangkatan CPNS Menjadi PNS. e. Indikator Ketersediaan Standar Kompetensi Jabatan dan Database Kompetensi Jabatan dipindah dan menjadi indikator pada Parameter Infrastruktur f. Indikator Demosi dihilangkan, karena sudah termasuk dalam indikator pemberian sanksi pelanggaran disiplin. 8. Terkait dengan pemberian bobot parameter, pada dasarnya ditentukan berdasarkan tingkat urgensi parameter tersebut bagi pencapaian kinerja manajemen PNS daerah. Besaran bobot parameter adalah sebagai berikut: Parameter Perencanaan pegawai Pengadaan pegawai Rotasi jabatan dan promosi pegawai Pengembangan pegawai Kesejahteraan pegawai Manajemen kinerja pegawai Disiplin dan etika pegawai Pemberhentian pegawai Infrastruktur
% bobot 15% 15% 10% 15% 10% 10% 10% 5% 10%
Bobot parameter tidak mengalami perubahan sejak penyusunan draft oleh tim kajian. Selanjutnya, dalam hal pembagian bobot ke dalam indikator dihitung
viii
berdasarkan jumlah indikator pada setiap parameter. Pada kenyataannya tidak semua indikator dapat dibobot, karena sifatnya hanya memberikan informasi, seperti: indikator pengembangan pegawai melalui pendidikan formal (pembobotan untuk indikator dapat dilihat pada lampiran), sehingga indikator dan pertanyaan tersebut dihilangkan (dropped) dari draft instrumen. 9. Dari hasil ujicoba instrumen pengukuran dan evaluasi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Riau dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut: a. Di wilayah Provinsi Kalsel, dari 13 kabupaten/kota yang terdapat di provinsi tersebut sebanyak 11 daerah yang mengembalikan instrumen, artinya hanya dua kabupaten yang tidak mengembalikan instrumen (Kabupaten Tapin dan Kabupaten Tanah Bumbu), di tambah 1 instrumen yang diisi BKD Provinsi Kalsel. Capaian kinerja manajemen PNS di lingkungan Provinsi Kalsel: Pemko Banjarbaru menempati ranking tertinggi dengan skor 67 (baik), sedangkan ranking terrendah ditempati Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Barito Kuala dengan skor sama yaitu 37 (buruk). b. Di Provinsi Riau, dari 12 kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut hanya sebanyak 4 kabupaten/kota yang mengembalikan instrumen, artinya terdapat 8 daerah yang tidak mengembalikan (Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Pekanbaru, dan Kota Dumai), ditambah 1 instrumen yang diisi oleh BKD Provinsi Riau. Adapun capaian kinerjanya adalah: skor tertinggi dicapai oleh Kabupaten Indragiri Hilir yang mencapai skor 60 (cukup baik) dan skor terendah dicapai oleh BKD Provinsi Riau dengan skor 27 (buruk). Mencermati hasil kajian dan ujicoba pengukuran & evaluasi kinerja manajemen PNS di dua provinsi tim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlunya mencermati dan memberikan kontribusi dalam penyempurnaan (revisi) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini penting dan strategis karena di dalam draft undang-undang tersebut akan direvisi berbagai pengaturan tentang pemerintahan daerah, termasuk pengelolaan kepegawaian daerah (masukan terhadap draft revisi telah disampaikan LAN kepada Kemendagri). Oleh karena itu, ke depan harus secara tegas disepakati sistem kepegawaian mana yang akan digunakan-apakah unified, separated, ataukah integrated system. Dalam hubungan ini, LAN sepakat dengan masukan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah untuk memilih unified system sebagaimana telah digariskan dalam UU No. 43/1999. Hal ini juga akan menghilangkan inkonsistensi kebijakan seperti yang terjadi selama ini, yang dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas manajemen PNS di daerah. 2. Pemerintah daerah c.q. pengelola kepegawaian di daerah perlu meningkatkan kinerja pengelolaan/manajemen PNS di daerah pada semua fungsi manajemen. Dalam hal perencanaan pegawai, perlu disusun masterplan dan perencanaan tahunan kepegawaian, hal ini perlu untuk menata kepegawaian secara makro dan
ix
mikro. Penyusunan formasi pegawai hendaknya didasarkan atas kebutuhan organisasi yang dilakukan dengan ABK. Dalam hal pengadaan pegawai, perlunya transparansi, akuntabilitas dan ketepatan dalam penempatannya. Dalam hal rotasi jabatan dan promosi perlu memperhatikan pola karier yang ada (jika belum tersedia, pemda segera menyusun pola karier pegawai). Dalam hal pengembangan pegawai, pemda perlu memberikan perhatian untuk mengembangkan pegawai yang dimiliki baik melalui diklat maupun non diklat yang dilaksanakan secara profesional. Dalam hal kesejahteraan, perlu diberikan hak-hak pegawai secara layak dan memadai meliputi fasilitas kesehatan, tunjangan cacat, santunan uang duka, bantuan memperoleh perumahan, uang transport dan uang makan pegawai (untuk 1 kali makan). Dalam hal manajemen kinerja, pemda perlu menyusun instrumen penilaian kinerja pegawai secara obyektif, untuk mendampingi DP3. Dalam disiplin dan etika, penegakan perlu terus dilakukan meskipun sudah cukup baik. Dalam pemberhentian pegawai, perlu dilakukan pembinaan terutama dalam masa purnabhakti bagi pegawai. Terakhir, infrastruktur perlu terus dilengkapi dan dikembangkan agar memberi daya dukung yang optimal dalam pencapaian kinerja pengelolaan PNS di daerah. 3. Perlunya melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah secara berkelanjutan berdasarkan pedoman/instrumen yang komprehensif. Oleh karena itu, draft pedoman/instrumen sebagaimana telah disusun oleh Tim Kajian LAN ini kiranya dapat ditindaklanjuti dan diformalkan dalam payung hukum tertentu sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengukuran dan evaluasi. Berkaitan dengan hal tersebut, Tim Kajian telah mempersiapkan draft Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN tentang Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah beserta dokumen kelengkapan lain meliputi pedoman, instrumen, juklak instrumen dan glossary, sebagaimana terlampir. 4. Perlunya kesadaran semua pihak akan pentingnya evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah, terutama pihak pemerintah daerah sebagai aktor utama yang akan mengisi instrumen dan menyiapkan data yanng dibutuhkan. 5. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah yang direncanakan mulai tahun 2011, Tim LAN dan BKN perlu melakukan berbagai upaya sebagai berikut: a. Segera menyiapkan payung hukum pengukuran dan evaluasi (tim telah mempersiapkan draft Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN); b. Setelah payung hukum ditandatangani oleh kedua belah pihak, tim perlu segera menyempurnakan lampiran-lampirannya yang meliputi pedoman, instrumen, petunjuk pelaksanaan dan glossary pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah. c. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi ke semua pihak terutama kepada pihak pemda untuk menciptakan kesamaan persepsi mengenai maksud dan tujuan evaluasi yang akan dilakukan. Di dalam sosialisasi tersebut perlu ditegaskan
x
pula bahwa tujuan evaluasi bukan semata-mata untuk ‘menghukum’ pengelola kepegawaian daerah, akan tetapi lebih kepada melihat capaian kinerja dan memetakan kelemahan-kelamahan yang ada dan selanjutnya akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) pemerintah daerah di bidang pengelolaan PNS daerah.
xi
Daftar Isi EXECUTIVE SUMMARY ……………………………………………………………………… DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………… DAFTAR TABEL …………………………………………………..……………………………… DAFTAR BAGAN ……………………………………………………………………………… DAFTAR BOX …………………………………………………………………………………… BAB 1
BAB 2
BAB 3
i xii xv xvii xviii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………… B. Perumusan Masalah ………………………………………………… C. Tujuan dan Sasaran Kajian ……………………………………….. D. Ruang Lingkup Kajian ………………………………………………. E. Hasil Yang Diharapkan ……………………………………………… F. Sistematika Penyusunan Laporan ……………………………..
1 10 10 11 11 11
KERANGKA KONSEP A. Sistem dan Kebijakan Manajemen PNS ……………………. 1. Sistem Manajemen PNS ………………………………… 2. Kebijakan Manajemen PNS ……………………………. B. Konsep Manajemen PNS ………………………………………….. 1. Perencanaan ………………………………………………….. 2. Pengadaan Pegawai ……………………………………… 3. Mutasi Jabatan dan Promosi …………………………. 4. Pengembangan ……………………………………………… 5. Kesejahteraan (Renumerasi) ………………………….. 6. Manajemen Kineraja ……………………………………… 7. Disiplin dan Etika ……………………………………………. 8. Pemberhentian/Pensión ………………………………… 9. Infrastruktur ………………………………………………….. C. Konsep Pengukuran dan Evaluasi …………………………….. 1. Pengukuran ……………………………………………………. 2. Indikator Kinerja ……………………………………………. 3. Tujuan Evaluasi ……………………………………………… C. Kerangka Berpikir ……………………………………………………..
13 13 20 43 43 51 57 65 72 75 78 82 82 83 83 84 85 87
METODOLOGI KAJIAN A. Jenis Kajian ……………………………………………………………….
88
xii
B. C.
Daerah Kajian …………………………………………………………… Data Kajian ………………………………………………………………..
89 90
BAB 4
POTRET MANAJEMEN PNS DI DERAH DAN PENYUSUNAN PEDOMAN PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DI DERAH A. Potret Manajemen PNS di Daerah ……………………………. 94 1. Perencanaan Pegawai ……………………………………. 97 2. Pengadaan Pegawai ……………………………………… 99 3. Mutasi Jabatan dan Promosi …………………………. 101 4. Pengembangan Pegawai ………………………………… 102 5. Kesejahteraan Pegawai ………………………………….. 104 6. Manajemen Kinerja ……………………………………….. 105 7. Disiplin dan Etika ……………………………………………. 107 8. Pemberhentian Pegawai ………………………………… 107 9. Umum : Factor Pendukung Manajemen PNS …. 108 B. Penyusunan Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Derah …………………………….. 109 1. Penyusunan Draft Pedoman .............................. 109 2. Penyempurnaan Pedoman ................................ 111
BAB 5
UJICOBA INSTRUMEN PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DAN PROVINSI RIAU A. Potret Kinerja Manajemen PNS di Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan ...................................................... 160 1. Provinsi Kalimantan Selatan ............................... 160 2. Kota Banjarbaru ................................................. 163 3. Kabupaten Banjar .............................................. 168 4. Kabupaten Hulu Sungai Tengah ......................... 172 5. Kabupaten Kota Baru ......................................... 175 6. Kabupaten Balangan .......................................... 181 7. Kota Banjarmasin ............................................... 188 8. Kabupaten Hulu Sungai Selatan ......................... 191 9. Kabupaten Tanah Laut ....................................... 197 10. Kabupaten Barito Kuala ..................................... 201 11. Kabupaten Tabalong .......................................... 204 12. Kabupaten Hulu Sungai Utara ............................ 209 B. Potret Kinerja Manajemen PNS di Wilayah Provinsi Riau ......................................................................... 215 1. Provinsi Riau ...................................................... 215 2. Kabupaten Inderagiri Hilir ................................. 220 3. Kabupaten Bengkalis ......................................... 225
xiii
4. 5. BAB 6
Kabupaten Inderagiri Hulu ................................. Kabupaten Meranti ............................................
229 236
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................. B. Rekomendasi ..............................................................
241 251
DAFTAR PUSTAKA
254
xiv
Daftar Tabel
Tabel. 2.1 Tabel. 3.1 Tabel. 4.1
: : :
Tabel. 4.2 Tabel. 4.3 Tabel. 4.4 Tabel. 4.5
: : : :
Tabel. 4.6 Tabel. 4.7
: :
Tabel. 4.8 Tabel. 4.9 Tabel. 4.10 Tabel. 4.11 Tabel. 4.12
: : : : :
Tabel. 4.13 Tabel. 4.14
: :
Tabel. 4.15 Tabel. 4.16
: :
Tabel. 4.17 Tabel. 4.18 Tabel. 5.1 Tabel. 5.2 Tabel. 5.3 Tabel. 5.4
: : : : : :
Tabel. 5.5 Tabel. 5.6 Tabel. 5.7 Tabel. 5.8
: : : :
Pangkat dan Golongan/Ruang PNS…………………………… Daerah Kajian……………………………………………………………. Draft Instrumen Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah……………........................... Perencanaan Pegawai…………………..…………………………… Penyempurnaan Parameter Perencanaan……………….. Pengadaan Pegawai………………………………………………….. Penyempurnaan Parameter Pengadaan Pegawai…………………………………………………………………….. Promosi Jabatan, Mutasi dan Demosi ………………………. Penyempurnaan Parameter Promosi Jabatan, Mutasi dan Demosi………………………………………………………………. Pengembangan Pegawai…………………………………………. Kesejahteraan Pegawai……………………………………………. Penyempurnaan Parameter Kesejahteraan Pegawai Penilaian Kinerja Pegawai……………………………………… Penyempurnaan Parameter Penilaian Kinerja Pegawai…………………………………………………………………. Disiplin dan Etika Pegawai……………………………………… Penyempurnaan Parameter Disiplin dan Etika Pegawai…………………………………………………………………. Pemberhentian Pegawai………………………………………… Penyempurnaan Parameter Pemberhentian Pegawai…………………………………………………………………. Umum…………………………………………………………………… Penyempurnaan Parameter Umum ………………………. Hasil Penilaian MPNSD Provinsi Kalimantan Selatan Hasil Penilaian MPNSD Kota Banjarbaru................... Hasil Penilaian MPNSD Kabupateb Banjar…………….. Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Hulu Sungai Tengah ………………………………………………………………….. Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Kota Baru........... Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Balangan…………. Hasil Penilaian MPNSD Kota Banjarmasin……………… Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Hulu Sungai
31 89 111 114 121 121 126 128 133 134 139 142 143 146 147 150 151 154 154 158 160 164 268 172 176 182 188
xv
Tabel. 5.9 Tabel. 5.10 Tabel. 5.11 Tabel. 5.12
: : : :
Tabel. 5.13 Tabel. 5.14 Tabel. 5.15 Tabel. 5.16 Tabel. 5.17 Tabel. 5.18 Tabel. 5.19 Table. 6.1
: : : : : : : :
Selatan…………………………………………………………………… Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Tanah Laut………. Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Barito Kuala....... Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Tabalong…………. Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Hulu Sungai Utara……………………………………………………………………… Peringkat Kinerja MPNSD Provinsi Kalsel................. Hasil Penilaian MPNSD Provinsi Riau........................ Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Indragiri Hilir….. Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Bengkalis………… Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Indragiri Hulu Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Meranti…………… Peringkat Kinerja MPNSD Provinsi Riau.................... Besaran Bobor Parameter Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah ..........................
191 197 201 204 209 214 215 220 226 229 236 239 249
xvi
Daftar Bagan Bagan 2.1. Bagan 2.2.
: Alur Proses Penerimaan CPNS Kota Yogyakarta ... : Proses Perancangan Pelatihan Efektif ..................
56 69
xvii
Daftar Box Box. 2.1 Box. 2.2
Tidak Masuk Kerja Enam Bulan, Dua PNS di Pecat ................................................................. Selingkuh dan Indisipliner, 21 PNS Boyolali di : Pecat ................................................................. :
80 81
xviii
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan elemen terpenting bagi organisasi, berperan sebagi penggerak utama dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan organisasi. Mengingat begitu pentingnya SDM, maka manajemen SDM diperlukan untuk mengelolanya secara sistematis, terencana dan terpola agar tujuan yang diinginkan organisasi pada masa sekarang maupun yang akan datang dapat tercapai secara optimal. Hal ini karena keberhasilan sebuah organisasi sangat ditentukan oleh orang-orang atau SDM yang bekerja di dalamnya. SDM yang dimaksud dalam kajian ini tidak lain adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah, oleh karenanya istilah manajemen yang digunakan disini adalah manajemen PNS. Pembangunan nasional akan sangat ditentukan oleh faktor kemampuan Pegawai Negeri Sipil baik di pusat maupun di daerah. Tranformasi birokrasi tidak cukup jika hanya dengan pemberian keluasan kewenangan kepada daerah tanpa diikuti oleh sistem pengembangan aparatur negara khususnya pegawai negeri sipil atau sumber daya manusia aparatur. Karena Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan elemen terpenting bagi organisasi, berperan sebagi penggerak utama dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan organisasi. Mengingat begitu pentingnya SDM, maka manajemen SDM diperlukan untuk mengelolanya secara sistematis, terencana dan terpola agar tujuan yang diinginkan organisasi pada masa sekarang maupun yang akan datang dapat tercapai secara optimal. Hal ini karena keberhasilan sebuah organisasi sangat ditentukan oleh orang-orang atau
1
SDM yang bekerja di dalamnya. SDM yang dimaksud dalam kajian ini tidak lain adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah, oleh karenanya istilah manajemen yang digunakan disini adalah manajemen PNS. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kebebasan yang tidak dioptimalkan hingga terjadi confusing aparatur daerah.
Masalah
kompetensi ini pula yang menjadi faktor confusing yang dialami aparatur daerah dengan adanya ruang besar otonomi daerah. Akibatnya proses transformasi birokrasi
berjalan
tidak
seimbang.
Kesalahan
bukan
hanya
karena
ketidakseimbangan pengaturan otonomi daerah dan pengaturan kepegawaian. Ruang besar otonomi daerah memberikan dampak terjadinya ego-sentris kedaerahan dalam kaitannya dengan manajemen PNS dalam perspektif nasional. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan dampak yang signifikan terhadap upaya pengelolaan sumber daya daerah. Selain itu egoisme kedaerahan ini cenderung menghambat upaya pembinaan dan pengembangan karir pegawai dalam bentuk promosi, rotasi/mutasi lintas Kabupaten, Kabupaten-Provinsi, antar Provinsi, dan antar Daerah-Pusat atau sebaliknya (Prijono Tjiptoherijanto: www.bappenas.go.id). Rentannya penerimaan SDM pegawai dari eksternal daerah berpotensi mengganggu pembinaan PNS sebagai unsur perekat NKRI disamping upaya pemenuhan dan pemerataan kebutuhan SDM yang berkualitas (Prijono Tjiptoherijanto). Saat ini, terdapat berbagai masalah menyangkut kepegawaian sebagai dampak
berlakunya
otonomi
daerah
(Prijono
Tjiptoherijanto:
www.bappenas.go.id). Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Misalnya saja jumlah pegawai atau PNS di jajaran Pemerintah Kota Banda Aceh, yang dalam alokasi APBK tahun 2010 telah menyodot anggaran sebanyak 73 persen untuk membayar gaji saja, sedangkan untuk kebutuhan
2
publik
hanya
27
persen
(www.waspada.co.id)
(http://sadarotda.hukum.
ugm.ac.id). Manajemen kepegawaian daerah yang tidak profesional menyebabkan perbedaan kualitas PNS antar daerah yang satu dengan daerah lainnya. Hal tersebut akan diperparah karena terhambatnya mobilitas PNS sebagai akibat dari ego-sentris kedaerahan. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka reformasi birokrasi akan tidak tercapai. Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah (Prijono Tjiptoherijanto: www.bappenas.go.id). Berbagai gambaran persoalan menyangkut birokrat/PNS tersebut di atas disebabkan lemahnya manajemen PNS, sejak perencanaan sampai dengan pemberhentian. Pengelolaan PNS diawali dengan perencanaan akan kebutuhan PNS sesuai dengan jenis pekerjaan, uraian pekerjaan, analisis beban kerja, dan kemampuan Pemerintah untuk membiayai gaji serta tunjangan PNS yang tersedia. Kasus pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) merupakan salah satu contoh lemahnya perencanaan pegawai dalam sistem manajemen PNS, karena Pemerintah dan pemerintah daerah harus mengangkat tenaga honorer yang ada menjadi CPNS. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kesempatan Pemda untuk memperoleh PNS yang berasal dari pelamar umum dengan memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Menurut Harian Media Indonesia (18/11/2009): dari 5.000 pelamar PNSD Kota Samarinda diterima sebanyak 267 pelamar (sekitar 4%), yaitu sebanyak 123 orang diangkat dari guru honorer serta 77 orang dari tenaga kesehatan honorer, artinya hanya 67 pelamar umum yang diterima. Selanjutnya, dalam hal formasi PNS juga terjadi sejumlah persoalan sejak penyusunan sampai dengan penetapan formasi PNS. Kementerian PAN sebagai
3
institusi yang bertanggung jawab dalam pendayagunaan aparatur negara mengaku bahwa penyusunan formasi di daerah memiliki tingkat kesulitan yang paling tinggi. Sebagaimana disampaikan Kabag Humas Kementerian PAN Indratno, menyatakan bahwa pada akhir Oktober 2009 seluruh daerah sudah membuka lowongan CPNS. Karena itu Kementrian PAN sedang menggenjot analisis formasi CPNS yang belum ditetapkan. Namun menurut beliau, dalam pembahasan formasi CPNS, tingkat kesulitan paling tinggi ada di daerah. Dari sejak penetapan formasi pada 14 Juli, Kementrian PAN sudah memberikan waktu sampai 31 Agustus batas terakhir pemasukan rincian (Kompas 6/10/2009). Masih dalam konteks formasi, persoalan juga nampak pada penetapan formasi dimana terdapat indikasi tawar-menawar (negosiasi) antara pemerintah daerah dengan Pemerintah. Sebagaimana terjadi di Provinsi Lampung, bahwa BKD Pemerintah Provinsi Lampung telah melakukan apa yang mereka sebut dengan istilah “menjemput formasi”. Sebagaimana dikatakan oleh Kepala BKD Provinsi Lampung ’kami akan datang ke Jakarta untuk menjemput formasi’. Kasus formasi juga terjadi di banyak daerah seperti Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Jambi, dan Kota Kediri. Untuk kasus formasi pegawai di Kota Kediri
(http://www.cpnsbumn.com/2010/01/rekrutmen-cpns-kediri-20092010-
curang.html), sebagai berikut: Hasil tes yang dikeluarkan secara resmi oleh Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diklaim mereka, berbeda dengan hasil tes yang diumumkan pada tanggal 12 Desember 2009 yang belum mendapat persetujuan dari LAPI sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan tes dan penilaian hasil tes. Mereka adalah Gunadi yang terdaftar sebagai Guru Sekolah Dasar Agama Islam dalam data LAPI, tiba-tiba digantikan oleh Atikoh. Dokter umum Melda Nisrina diganti oleh Melina yang disinyalir kuat sebagai anak salah satu pejabat di Dinas Pendapatan Kota Kediri. Di formasi Perawat Terampil ada nama Dyah Wahyu Ningtiyas yang tiba-tiba diganti dengan nama Hendri Supriyadi yang diketahui sebagai salah satu ajudan pribadi Wali Kota Kediri Samsul Ashar. Pada formasi Pengendali Dampak Lingkungan terdapat nama Diana Yuli S., yang diganti dengan nama
4
Aulia. Sedangkan di formasi Pengawas Operasional Alat Berat terdapat nama Luluk Mulyono yang diganti dengan Agus Zarkoni Arif. Pertanyaannya adalah siapa yang mengganti/menukar nama-nama tersebut dan bagaimana modusnya? Usulan dan tindakan penggantian nama tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang memahami seluk beluk penerimaan CPNS Kota Kediri dan atas permintaan/perintah pihak tertentu. Memperhatikan nama CPNS yang diterima yang tidak lain anak pejabat maka dapat disimpulkan ada intervensi pejabat lokal dalam proses tersebut. Penetapan formasi yang tidak baik tersebut telah mempengaruhi tahap manajemen PNS selanjutnya yaitu pengadaan/rekrutmen PNS. Selama ini proses pengadaan PNS paling banyak mendapat sorotan masyarakat, karena sering bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sejak proses pelamaran sampai pengumuman hasil seleksi. Dalam pengadaan PNS seseorang pelamar tidak dikenakan biaya alias gartis, namun dalam kenyataan, praktik suap terjadi dalam proses tersebut. Hal ini sebagaimana disampaikan Kepala BKD Provinsi Sumatera Utara Mangasing Mungkur, yang menyatakan adanya praktik percaloan dalam rekrutmen CPNS di Kota sibolga yaitu terindikasi adanya KKN dengan adaya jaminan uang sebesar Rp. 50 – 100 juta. (Kompas Cyber Media, 2008). Di Provinsi Jambi, menurut narasumber yang dapat dipercaya (yang hampir menjadi korban suap-menyuap dalam rekrutmen CPNS) mengatakan bahwa untuk menjadi CPNS dirinya diminta menyediakan dana sebesar Rp. 80 – 100 juta (PKKOD LAN, 2009). Selanjutnya, dalam hal pengembangan kualitas PNS daerah pun banyak persoalan yang dihadapi. Menurut hasil penelitian Litbang Kompas, salah satu permasalahan pengelolaan PNS daerah adalah rendahnya kompetensi mereka. Secara rata-rata, kondisi kompetensi PNS di daerah masih jauh di bawah standar penilaian kemampuan dalam menjalankan roda pembangunan. Kondisi lebih parah terjadi pada daerah-daerah pemekaran, yang memiliki potensi ekonomi kuat, ternyata menyimpan masalah dalam birokrasi. Jumlah PNS yang terlalu
5
sedikit dan belum terampil sebagai pelayan publik menjadi kendala bagi daerah pemekaran tersebut (Kompas, 24 Mei 2006). Dalam pengembangan pegawai sejumlah permasalahan yang dihadapi antara lain kurangnya pelaksanaan diklat, khususnya diklat teknis yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja, belum adanya program khusus yang dirancang untuk meningkatkan aparatur pemerintah daerah secara berkesinambungan,
dan
belum
tersedianya
parameter
khusus
untuk
mengevaluasi kinerja aparatur di daerah (Balitbang Provinsi Sumbar, 2005). Permasalahan lain dalam hal diklat PNS adalah berkaitan dengan pengiriman dan pemanfaatan alumni diklat. Hal ini disampaikan oleh Sekda Kabupaten Malang yang menyatakan bahwa persoalan diklat mencakup dua hal: pelaksanaan dan pemanfaatan alumninya. Termasuk dalam ’pelaksanaan’ ini adalah pengiriman peserta secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan organisasi. Dengan demikian, pemanfaatan alumni diklat pun pasti akan maksimal karena telah direncanakan sebelumnya (PKKOD LAN, 2009). Pendapat senada juga dilontarkan oleh Kepala BPMD Kabupaten Lombok Timur-NTB ketika mengomentari pelaksanaan Diklat Aparatur, yakni pelaksanaan diklat apakah itu diklat struktural, teknis, ataupun fungsional seharusnya memperhatikan kebutuhan unit kerja yang mengirimkan peserta diklat sehingga tidak terjadi ’asal kirim’ dan akhirnya ’salah kirim’. Hal ini tidak akan menambah apa pun bagi kepentingan organisasi (PKKOD LAN, 2009). Persoalan mendasar lainnya adalah pada saat pengangkatan seseorang dalam jabatan struktural (promosi), dan pemindahan (mutasi) yang sarat dengan politisasi jabatan. Berdasarkan kajian UGM-Partnership for Governance Reform (2008) yang mengutip kajian sebelumnya (Governance and Decentralization Survey/GDS,2006), menyatakan sebagai berikut bahwa isu putra daerah dalam pemilihan atau pengangkatan pejabat publik sangat marak terjadi. Rata-rata 45,76 % pemangku kepentingan di daerah menyebut sering menemui pemilihan
6
pejabat berdasarkan putra daerah untuk Kepala Puskesmas dan 39,76% untuk pengangkatan kepala sekolah. Hubungan kekerabatan juga masih menjadi salah satu dasar pengangkatan pejabat. Sebanyak 59% pemangku kepentingan di daerah mengaku sering mendapati adanya hubungan kekerabatan di antara para pejabat publik di daerah. Dalam pengangkatan/promosi juga belum memperhatikan standar kompetensi jabatan. Di Provinsi DKI Jakarta, bahkan banyak mantan Camat yang diangkat menjadi kepala-kepala dinas (Kepala BKD Pemprov. DKI Jakarta). Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pendidikan DKI jakarta, bahwa Pengangkatan pengelola pendidikan di DKI Jakarta, kurang memperhatikan latar belakang pendidikan dan profesionalisme yang dimiliki oleh pejabat yang diserahi tugas (sebenarnya hal yang sama terjadi pula di daerah-daerah lain yakni mengangkat para guru menjadi pejabat struktural pengelola pendidikan, dengan hanya mendasarkan pada pendekatan pangkat/golongan). Demikian pula kasus promosi yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau, yang ternyata sangat diwarnai oleh kepentingan politik di daerah. Hal ini merupakan ekses dari pemilihan kepala daerah secara langsung yang berpengaruh pada tataran birokrasi daerah, misalnya terpecahnya PNS daerah menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yakni kelompok/kubu pendukung calon kepala daerah A, kelompok pendukung/kubu calon kepala daerah B, dan kelompok netral (tidak memihak) salah satu calon kepala daerah. Setelah pilkada selesai, maka dapat dipastikan yang akan diperhatikan oleh kepala daerah terpilih adalah “kelompok pendukung” yang telah berjuang untuk memenangkan calon kepala daerah yang terpilih dalam pilkada, sedangkan 2 (dua) kelompok lainnya termasuk “kelompok netral” akan menjadi korban dari proses pilkada, padahal “kelompok netral” ini adalah sejatinya kelompok yang benar, mereka menempatkan diri sebagai pegawai negeri yang netral. Lebih jauh dari itu, penentuan pejabat di lingkungan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota
7
kadang-kadang ditentukan oleh “aktor lain” yang dekat dengan gubernur atau bupati terpilih misalnya “Ketua Dharma Wanita”, ada anekdot pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan tergantung ”mimpinya” ketua dharma wanita. Dalam hal mutasi pegawai, persoalan yang jamak terjadi adalah sulitnya melakukan mutasi PNS terutama mutasi antar daerah (PKKSDA LAN, 2003). Hal ini diperkuat dengan hasil kajian PKKOD LAN (2006) yang menegaskan perlunya reformasi kebijakan pelaksanaan administrasi pemerintahan daerah di bidang SDM Aparatur, yaitu bahwa untuk memperkuat dan mendukung agenda reformasi maka implementasi manajemen PNS daerah perlu segera ditata ulang, selain aspek kelembagaan, perencanaan, keuangan, aset dan sistem informasi. Terlebih jika mutasi pegawai/pejabat hanya dilaksanakan berdasarkan kepentingan tertentu, jelas tujuan mutasi sebagai sarana pembinaan pegawai tidak akan tercapai. Sebagaimana disampaikan Sutanto (2008) – dosen UNRAM NTB – bahwa mutasi pejabat di daerah seringkali dilakukan tidak berdasarkan pada pertimbangan profesional, bahkan ada kecenderungan tidak dilaksanakan secara rasional. Akibatnya tidak aneh jika mutasi pejabat sering dikait-kaitkan dengan kepentingan politik kepala daerah (http//:himawan.ntbblogs.com/ 2008/10/18). Hal serupa juga disampaikan salah satu pejabat BPMPD (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Daerah) Provinsi NTB, yang menyatakan bahwa frekuensi mutasi pejabat di NTB sangat sering bahkan bisa sampai 2 bulan sekali (PKKOD LAN, 2009). Mutasi pegawai/pejabat sebenarnya merupakan hal yang wajar dalam organisasi, namun harus dilakukan secara terencana dan terbuka. Yusuf Kalla (Kompas, 28/11/2008) pernah mengusulkan mutasi nasional agar seorang pegawai tidak hanya bekerja di satu tempat seumur hidupnya (http//:els.bappenas.go.id). Berkenaan dengan penilaian kinerja, selama ini belum seluruh pemerintah daerah memiliki standar kinerja yang dapat mengukur kinerja sesungguhnya. Satu-satunya standar yang secara umum digunakan sampai saat
8
ini adalah Daftar Penilaian Penyelesaian Pekerjan (DP3), yang belum didasarkan pada prestasi kerja atau kinerja seorang pegawai. Belum tersedianya parameter untuk mengevaluasi kinerja setiap unit pemerintahan yang ada dengan ’standar dan metode” yang sesuai dengan kondisi lapangan (Balitbang Provinsi Sumbar, 2005). Selain itu, Terkait dengan persoalan kesejahteraan pegawai di daerah, beberapa pemerintah daerah telah menetapkan tunjangan kinerja daerah (TKD) dalam bentuk dan jumlah besaran bervariasi sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Persoalannya adalah, apakah tunjangan yang diberikan berimplikasi pada kinerja individu dan organisasi yang bersangkutan? Secara formal memang belum pernah diukur tingkat korelasi tunjangan kinerja daerah terhadap capaian kinerja. Namun apabila mencermati hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah secara desk evaluation, maka dapat dikatakan tidak ada korelasi antara tunjangan kinerja dengan capaian kinerja organisasinya. Menurut hasil evaluasi, Provinsi Kaltim menduduki ranking ke-31 dari 33 provinsi atau status kinerja rendah, padahal Pemprov Kaltim telah menerapkan tunjangan kinerja daerah dan mulai 2010 akan menaikkan tunjangan kinerjanya. Menurut Sekdaprov. Kaltim, Irianto Lambrie, mulai tahun 2010, Tunjangan Kinerja (TK) pengawai dilingkup Pemprov Kaltim akan dinaikkan. Ini sesuai kebijakan Gubernur Kaltim. Untuk meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), memberikan pelayanan kepada masyarakat. "TK PNS naik Rp 500 ribu. Sekarang sebesar Rp 1,8 juta, dan akan naik menjadi Rp 2,3 juta diluar gaji. Sedangkan untuk eselon II, dari Rp 2,3 juta naik hingga Rp 10 juta”. Kenaikan tunjangan tersebut berbeda-beda, sesuai pangkat golongannya PNS (Poskota Kaltim 14/12/2009). Dari uraian tentang permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa SDM Aparatur sebagai elemen penting penyelenggaraan pemerintahan belum dikelola secara profesional. Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, manajemen sumber daya manusia aparatur perlu dilakukan secara sistematis dan komprehensif, agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam birokrasi.
9
Untuk itu perlu ada upaya konkrit dan langkah-langkah lanjutan untuk membuat suatu model dan strategi pembinaan dan pengawasan (evaluasi) terhadap pelaksanaan manajemen SDM Aparatur Daerah sejak perencanaan sampai dengan pemberhentian, dengan harapan tercipta PNS di Daerah yang andal dan profesional. Untuk itu, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara (PKKOD-LAN) pada tahun anggaran 2010 telah melaksanakan kajian Penyusunan Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS Daerah.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, implementasi UU 32/2004 berimplikasi pada manajemen PNS di daerah, dengan desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, banyak permasalahan PNS di daerah yang muncul dari mulai perencanaan sampai pemberhentian. Oleh karena itu, pertanyaan kajian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa permasalahan dalam manajemen PNS di daerah? 2. Bagaimana pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah yang komprehensif?
C. TUJUAN DAN SASARAN KAJIAN Tujuan kajian ini adalah: 1. Mengidentifikasi permasalahan manajemen PNS di daerah. 2. Merumuskan model pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah. Adapun sasarannya adalah: 1. Teridentifikasinya permasalahan manajemen PNS di daerah 2. Terumuskannya model pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah.
10
D. RUANG LINGKUP KAJIAN Secara konseptual kegiatan kajian ini meliputi fungsi manajemen PNS di Daerah mulai dari perencanaan sampai dengan pemberhentian dan sumber daya yang terkait dengan pengelolaan PNS di daerah. Sesuai judul, kegiatan ini mencakup dua sub kegiatan yaitu (1) kajian/penelitian dan (2) penyusunan pedoman.
E. HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan dari kajian ini meliputi output (keluaran) dan outcome (hasil). Output: laporan hasil kajian dan pedoman pengukuran & evaluasi kinerja manajemen PNS di Daerah. Outcome: Terlaksananya pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di provinsi, kabupaten dan kota berdasarkan pedoman yang telah disusun.
F. SISTEMATIKA PENYUSUNAN LAPORAN Laporan akhir kajian ini akan disajikan dalam pembabakan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, memuat uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan sasaran kajian, ruang lingkup kajian dan sistematika penyusunan laporan. Bab II Kerangka Konsep, memuat uraian mengenai konsep sistem dan kebijakan manajemen PNS, konsep manajemen PNS, konsep pengukuran dan evaluasi, dan kerangka pikir kajian. Bab III Metode Kajian, memuat uraian mengenai jenis kajian, daerah kajian, dan data kajian. Data kajian memuat karakteristik data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Bab IV Potret Manajemen PNS di Daerah dan Penyusunan Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah, memuat uraian
11
mengenai potret manajemen PNS di daerah dan penyusunan pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah. Bab V Uji Coba Instrumen Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS Daerah di Provinsi Kalimantan Selatan dan Riau, memuat hasil pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS Daerah yang telah dilaksanakan di dua provinsi yakni Provinsi Kalimantan Selatan dan Riau. Bab VI Penutup, memuat uraian mengenai kesimpulan hasil kajian teoritik dan lapangan serta rekomendasi terhadap segenap stakeholders berdasarkan hasil-hasil kajian (atau berdasarkan temuan/findings).
12
BAB 2 KERANGKA KONSEP
Dinamika penyelenggaraan manajemen PNS sebagaimana diuraikan di atas jelas menunjukkan bahwa persoalan manajemen PNS di daerah masih menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan sebab PNS merupakan actor utama penggerak dan pelaksana pembangunan daerah, oleh karena itu perlu dikelola secara profesional berdasarkan sistem yang telah dibangun. Bab ini memuat tentang sistem dan kebijakan manajemen PNS di daerah, konsep manajemen PNS di daerah, konsep pengukuran dan evaluasi, serta kerangka pikir kajian kinerja manajemen PNS di daerah. A. SISTEM DAN KEBIJAKAN MANAJEMEN PNS 1. Sistem Manajemen PNS Dalam proses penataan kepegawaian (:PNS) terdapat apa yang disebut sebagai komponen disain yang meliputi beberapa aspek yaitu sebagai sistem governance, sistem nilai dan sistem pengelolaan sumber daya manusia. Sebagai sistem governance, PNS merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 43 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan”. Dalam kedudukannya sebagai “unsur aparatur negara” pegawai negeri sipil pada dasarnya merupakan bagian dari lembaga politico-administratif dimana
13
konsepsi peran, kewenangan dan cara pengaturannya tidak dapat ditentukan oleh diri mereka sendiri tetapi tunduk kepada peraturan perundangan dan kebijakan politik pemerintahan yang berkuasa. Sebagai bagian dari governance system, kedudukan dan peran pegawai negeri sipil ditentukan oleh beberapa aspek di antaranya struktur kewenangan (authority structure). Dalam hal ini pegawai negeri sipil diatur menurut pola pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Mahwood membedakan tiga (3) jenis struktur kewenangan dalam pengaturan pegawai negeri sipil yaitu integrated system, unified system dan separated system. Dalam unified system, kebijakan pengaturan pegawai negeri dilakukan secara sentralistik oleh satu lembaga pemerintah yang diberikan wewenang untuk mengatur manajemen kepegawaian nasional. Sementara dalam separated system, kebijakan manajemen kepegawaian negeri sipil antara pusat dan daerah dibuat terpisah satu sama lain dimana masing masing memiliki lembaga pengaturan yang juga terpisah. Ketiga, sebagai kombinasi keduanya adalah unified system, dalam hal ini pengaturan kebijakan kepegawaian secara garis besar ditentukan oleh pemerintah pusat sedangkan implementasinya di daerah dilaksanakan dengan memperhatikan otonomi yang dimiliki oleh daerah. Aspek kedua dari governance system adalah struktur pengaturan (regulatory structure) yaitu dimensi kelembagaan pengaturan kepegawaian negeri sipil. Jika aspek pertama lebih menekankan pada masalah kewenangan, aspek kedua ini lebih menekankan pada pelaksana kewenangan tersebut. Dalam hal ini bisa dibedakan antara integrated structure dimana pengaturan kepegawaian diatur oleh satu lembaga yang diberikan wewenang untuk mengatur seluruh aspek manajemen kepegawaian. Kedua adalah autonomous structure dalam hal ini pengaturan manajemen kepegawaian diatur oleh suatu lembaga independen di luar struktur birokrasi yang diberikan wewenang mengatur sebagian atau keseluruhan aspek-aspek manajemen kepegawaian.
14
Contoh dari struktur seperti ini adalah pengaturan manajemen kepegawaian oleh civil service commission (CSC). Ketiga adalah divisional structure dimana pengaturan manajemen dilaksanakan oleh beberapa lembaga pemerintah yang masing-masing secara terpisah diberi wewenang dalam pengaturan aspek-aspek tertentu manajemen kepegawaian. Hal ini sebagaimana yang dipraktikan di Indonesia dimana pengaturan kepegawaian dilakukan oleh BKN, LAN, Kantor MENPAN & RB dan KEMENDAGRI. Aspek lain dalam komponen disain adalah sistem nilai. Kedudukan dan pengaturan kepegawaian negeri sipil tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai publik (public values) yang menjadi dasar penyusunan kode etik profesi. Nilai-nilai berperan sebagai tolok ukur untuk menilai tindakan pegawai negeri sipil. Kode etik mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menentukan bagaimana cara melaksanakan urusan pemerintahan. Menurut Rose dan Peters (1978) pengendalian sistem administrasi dalam negara demokrasi bergantung pada internalisasi nilai-nilai sebagai pelayan publik yang harus bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada pemimpin politik serta akuntabilitas atas setiap tindakan pada diri setiap pegawai negeri. Penulis juga menggaris-bawahi bahwa penolakan atas nilai-nilai tersebut akan menciptakan
mal-administrasi
dalam
setiap
aspek
penyelenggaraan
pemerintahan. Kode etik pelayanan publik tertanam dalam hubungan internal maupun eksternal. Secara internal nilai-nilai tersebut misalnya tewujud dalam keharusan pegawai negeri untuk tidak melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme, komitmen memberikan pelayanan yang baik dan sebagainya. Secara eksternal, nilai-nilai tersebut tertuang dalam kewajiban untuk menjaga netralitas, rahasia jabatan dan sebagainya. Aspek ketiga adalah pengelolaan sumber daya manusia. Pentaan kepegawaian
sangat
berkaitan
erat
dengan
manajemen/
pengelolaan
15
kepegawaian yang dilaksanakan berdasarkan suatu sistem tertentu. Pengelolaan kepegawaian sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari struktur kewenangan yang ada, apakah terpadu, terpisah, ataukah gabungan keduanya (terintegrasi). a. Unified Personnel System/Sistem Kepegawaian Terpadu Unified personnel system atau sistem kepegawaian terpadu merupakan suatu system kepegawaian di mana manajemen kepegawaian dilakukan oleh suatu lembaga di tingkat nasional yang khusus dibentuk untuk keperluan tersebut (PBB, 1996). Kerangka regulasi sistem kepegawaian dengan pendekatan terpadu menempatkan seluruh pegawai berada dalam satu sistem administrasi. Dengan kata lain, semua kewenangan pengaturan sistem kepegawaian berada di tangan pemerintah nasional/pusat. Dalam sistem ini nilai yang diyakini adalah pentingnya nilai kesatuan dalam sistem kepegawaian dan pentingnya pengendalian (kepentingan) nasional atas sistem kepegawaian. Dalam regulasi sistem kebijakan yang menganut unified personnel system, manajemen dan struktur yang menjadi muatan adalah adanya kesamaan dalam : (1) status administrasi kepegawaian, (2) sumber pembiayaan pegawai, dan (3) skala remunerasi. Dalam unified system, pada dasarnya seorang pegawai pemerintah dapat ditempatkan (deployed) dimana pun dalam instansi atau unit kerja manapun berdasarkan pertimbangan dan keputusan pemerintah. Hanya ada satu sumber yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai yaitu anggaran pemerintah pusat, yang berimplikasi pada penerapan skala remunerasi yang juga seragam. Atribut lain yang mengindikasikan penerapan unified system adalah diselenggarakannya pengelolaan dan administrasi kepegawaian secara nasional. Pengelolaan itu dapat dilaksanakan dengan cara pembentukan suatu lembaga secara khusus, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara koordinasi sejumlah lembaga pada tingkat nasional. Dalam unified system,
16
dilakukan pengelolaan database kepegawaian, koordinasi dalam perencanaan rekruitmen/pengadaan dan penetapan hak-hak normatif pegawai secara nasional. Dalam praktik unified personnel system, seorang yang menjadi pegawai pada suatu instansi atau tingkat pemerintahan tertentu, kariernya tidak terbatas pada instansi atau tingkat pemerintahan tertentu, mereka dapat masuk keinstansi lain tanpa harus terlebih dahulu berhenti dari instansi yang sedang mempekerjakannya.
b. Sistem Kepegawaian Terpisah/Separated Personnel System Pada kutub ekstrim yang lain, kerangka regulasi sistem kepegawaian diterapkan dengan pendekatan terpisah atau separated personnel system. Karakteristik utama yang menjadi muatan separated personnel system adalah kewenangan pengaturan sistem kepegawaian berada di tangan masingmasing unit organisasi. Dalam sistem ini nilai yang diyakini adalah pentingnya kesesuaian manajemen kepegawaian dan pembiayaan dengan kebutuhan masing-masing unit organisasi, pertimbangan utama adalah efisiensi dan efektivitas. Berdasarkan prinsip ini, suatu instansi atau tingkat pemerintah diberi kewenangan sepenuhnya untuk merekrut (hire) dan memberhentikan (fire) pegawai yang dikelolanya. Konsekuensinya, administrasi dan pengelolaan pegawai terbatas pada instansi atau tingkat pemerintah yang mempekerjakan pegawai tersebut. Dengan demikian, muatan-muatan utama yang mengindikasikan penerapan separated personnel system adalah adanya pemisahan dalam (1) status administrasi kepegawaian, (2) sumber pembiayaan pegawai, dan (3) skala remunerasi. Dalam praktik separated personnel system, seorang yang menjadi pegawai pada suatu instansi atau tingkat pemerintahan tertentu,
17
kariernya hanya terbatas pada instansi atau tingkat kelembagaan tersebut. Untuk dapat berkarier pada instansi atau tingkat pemerintahan yang berbeda, seorang pegawai harus terlebih dahulu berhenti dari instansi yang sedang mempekerjakannya, baru kemudian masuk ke instansi yang baru. Sumber pembiayaan atau gaji pegawai, khususnya dalam konteks hubungan antar tingkat pemerintahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab kelembagaan yang mempekerjakan pegawai. Selain itu, kemudahan merekrut (hire) juga diikuti dengan kemudahan dalam memberhentikan (fire). Praktik separated personnel system menunjukkan bahwa kebangkrutan lembaga sektor publik juga merupakan hal yang niscaya. Jika terjadi kesulitan dalam pembiayaan operasional suatu lembaga pemerintah (termasuk entitas negara bagian dan pemerintah lokal), pemberhentian pegawai menjadi salah satu alternatif yang kerapkali ditempuh. Jika suatu lembaga pemerintah dilikuidasi (dibubarkan), maka otomatis seluruh pegawainya diberhentikan. Dengan demikian, dalam separated system, belanja pegawai (gaji dan tunjangan lainnya) sepenuhnya menjadi tanggung-jawab instansi yang mempekerjakannya. Dalam konteks hubungan antar tingkat pemerintah, belanja pegawai dibiayai dari sumber-sumber dana yang dihasilkan oleh tingkat pemerintah tersebut. Sedangkan pada tingkat nasional, beban belanja pegawai dikelola secara terpisah oleh masing-masing kelembagaan pemerintah nasional. Dimana beban belanja pegawai itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari pelaksanaan program kerja yang merupakan manifestasi penyelenggaraan fungsi-fungsi yang menjadi tanggung jawab kelembagaan pemerintah pusat tersebut. Untuk mendapat dukungan anggaran, masingmasing instansi perlu memperlihatkan kinerjanya yang terukur. Penambahan dan pengurangan pegawai akan sangat ditentukan dengan anggaran yang tersedia (yang disetujui oleh legislatif) dan pertimbangan pencapaian kinerja.
18
Dengan tanggung jawab pembiayaan yang berbeda, implikasinya adalah penerapan skala remunerasi yang juga berbeda. Berarti, instansi yang berbeda dapat menerapkan skala remunerasi yang juga berbeda, meskipun mungkin nilai akumulatif-nya dalam bentuk take home pay yang diterima pegawai tidak jauh berbeda. Menurut PBB (1996), separated system merupakan suatu sistem kepegawaian di mana manajemen kepegawaian dan rekrutmen sampai penggajian dan pensiun dilakukan oleh masing-masing Daerah. Umumnya sistem ini dipergunakan di negara-negara maju karena Pemda mampu menggaji pegawainya. Bahwa pegawai sebagai alat perekat bangsa bukan merupakan isu, namun profesionalisme pegawai yang lebih ditekankan.
c. Sistem Kepegawaian Terintegrasi/Integrated Personnel System Menurut hasil kajian United Nations (1996), yang dimaksud sistem kepegawaian terintegrasi adalah suatu sistem kepegawaian daerah di mana manajemen kepegawaian dari rekrutmen, penempatan, pengembangan, penilaian sampai dengan penggajian dan pensiun ditentukan oleh Pusat. Sistem ini umumnya dipergunakan di negara-negara berkembang, karena ketidak mampuan Daerah untuk menggaji pegawai dan pegawai difungsikan juga sebagai alat perekat negara dan bangsa. Dikaitkan dengan ketiga sistem kepegawaian tersebut terlihat bahwa Integrated Personnel System masih sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia. Agar memberikan kewenangan kepada Daerah dalam kepegawaian, maka Daerah dapat dilibatkan dalam aspek recruitment, placement, development dan appraisal dari PNS Daerah. Ini berarti unsur-unsur separated personnel system juga diakomodasikan dalam era otonomi luas dewasa ini. Hal ini sebagaimana tertuang dalam penjelasan UU No. 32 Tahun 2004: ”Sistem manajemen pegawai yang sesuai dengan kondisi pemerintahan saat ini, tidak murni menggunakan unified system
19
namun sebagai konsekuensi digunakannya kebijakan desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan gabungan antara unified system dan separated system, artinya ada bagian-bagian kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah, dan ada bagian-bagian kewenangan yang diserahkan kepada Daerah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah”. 2. Kebijakan Manajemen PNS Dalam sistem kepegawaian secara nasional, Pegawai Negeri Sipil memiliki posisi penting untuk menyelenggarakan pemerintahan dan difungsikan sebagai alat pemersatu bangsa. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka ada sebagian kewenangan di bidang kepegawaian untuk diserahkan kepada daerah yang dikelola dalam sistem kepegawaian daerah. Kepegawaian Daerah adalah suatu sistem dan prosedur yang diatur dalam
peraturan
perencanaan,
perundang-undangan
persyaratan,
pengangkatan,
sekurang-kurangnya penempatan,
meliputi
pendidikan
dan
pelatihan, penggajian, pemberhentian, pensiun, pembinaan, kedudukan, hak, kewajiban, tanggungjawab, larangan, sanksi, dan penghargaan merupakan subsistem dari sistem kepegawaian secara nasional. Dengan demikian kepegawaian daerah merupakan satu kesatuan jaringan birokrasi dalam kepegawaian nasional. Berbagai kebijakan yang mengatur tentang kepegawaian (PNS) antara lain UU No. 43 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan peraturan pemerintah sebagai penjabaran dari UU tersebut, seperti PP No. 97 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi PNS, PP No. 98 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS, dan beberapa PP lain yang relevan.
20
1. Undang-Undang a. UU No. 43 Tahun 1999 Di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan bahwa : “Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Selanjutnya dijelaskan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Pegawai Negeri menurut UU N0. 43 Th. 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : a. Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan Pegawai Negeri Sipil Daerah; b. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI); dan c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Di dalam UU No. 43 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyelenggaraan manajemen meningkatkan
kepegawaian
adalah
efisiensi,
efektivitas
keseluruhan dan
upaya-upaya
derajat
untuk
profesionalisme
penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian (Pasal 1 angka 8). Tujuan manajemen PNS adalah untuk menjamin penyelenggaraan tugas
pemerintahan
dan
pembangunan
secara
berdayaguna
dan
berhasilguna. Oleh karena itu diperlukan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan
21
sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja (Pasal 12 UU 43/1999). Di dalam UU No. 43/1999 disebutkan bahwa kebijaksanaan manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban, dan kedudukan hukum. Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil berada
pada
Presiden
selaku
Kepala
Pemerintahan,
yang
dalam
pelaksanaanya dibantu oleh Komisi Kepegawaian Negara, dimana Kepala BKN secara ex-officio menjabat sebagai Kepala Komisi Kepegawaian Negara. Dalam hal formasi pegawai, ditetapkan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang harus dilaksanakan (Pasal 15 ayat 2). Dalam hal pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan (Pasal 17 ayat 2). Dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2) disebutkan, Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Presiden. Untuk memperlancar pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat pembina kepegawaian pusat dan menyerahkan sebagian wewenangnya kepada pejabat pembina kepegawaian daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pada Pasal 30 ayat (1), Pembinaan jiwa korps, kode etik, dan peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil tidak boleh bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 31 ayat (1) Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan
22
pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan. Selanjutnya, pada Pasal 32 ayat (1) Untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil. (2) Usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi program pensiun dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra putri Pegawai Negeri Sipil. (3) Untuk penyelenggaraan usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri Sipil wajib membayar iuran setiap bulan dari penghasilannya. (4) Untuk penyelenggaraan program pensiun dan penyelenggaraan asuransi kesehatan, Pemerintah menanggung subsidi dan iuran. (6) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia, keluarganya berhak memperoleh bantuan. Di dalam Pasal 34 ayat (1) dinyatakan, untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil, dibentuk Badan Kepegawaian. Negara. Pada ayat (2), Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menyelenggarakan manajemen Pegawai Negeri Sipil yang mencakup perencanaan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil dan administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian, penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian, mendukung perumusan kebijaksanaan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil, serta memberikan bimbingan teknis kepada unit organisasi yang menangani kepegawaian pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
b. UU No. 32 Tahun 2004 Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, manajemen kepegawaian daerah dilakukan oleh Pemerintah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen PNS secara nasional (Pasal 129 ayat
23
1). Manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi penetapan formasi, pengadaan,
pengangkatan,
pemindahan,
pemberhentian,
penetapan
pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah (Pasal 129 ayat 2). Pada Pasal 130 ayat (1) disebutkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur. Sedangkan di kabupaten/kota dinyatakan pada ayat (2) pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur. Dalam hal perpindahan PNS: Pasal 131 ayat (1) Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Ayat (2) Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota antar provinsi, dan antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Ayat (3)
Perpindahan
pegawai
departemen/lembaga
negeri
pemerintah
sipil
non
provinsi/kabupaten/kota
departemen
atau
ke
sebaliknya,
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Penetapan kabupaten/kota
formasi
setiap
pegawai
tahun
negeri
anggaran
sipil
daerah
dilaksanakan
oleh
provinsi/ Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara atas usul Gubernur (pasal 132). Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi.
24
Pada pasal 153 ayat (1) Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan pada tingkat daerah oleh Gubernur. Ayat (2) Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah (PP) Berikut akan disajikan beberapa PP yang terkait dengan manajemen PNS, yang meliputi PP tentang formasi PNS, PP tentang Pengadaan PNS, PP tentang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS, PP tentang Diklat PNS, PP tentang Kesejahteraan PNS, PP tentang Disiplin PNS, dan PP tentang Pemberhentian PNS. a. PP No. 54 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas PP No. 97 Tahun 2000 Tentang Formasi PNS Yang dimaksud Formasi Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut dengan formasi adalah jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang diperlukan dalam suatu satuan organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok dalam jangka waktu tertentu (Pasal 1 PP 54/2003). Formasi Pegawai Negeri Sipil secara nasional setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara, setelah memperhatikan pendapat Menteri Keuangan dan pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Formasi Pegawai Negeri Sipil secara nasional terdiri dari Formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (Pasal 2). Formasi PNS Pusat adalah formasi bagi PNS yang bekerja pada suatu satuan organisasi Pemerintah Pusat. Formasi PNS Pusat untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang
25
Pendayagunaan Aparatur Negara setelah mendapat pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara berdasarkan usul dari pejabat Pembina Kepegawaian Pusat. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional serta Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan
bagian
dari
Departemen/Lembaga
Pemerintah
Non
Departemen. Formasi PNS daerah adalah formasi bagi PNS yang bekerja pada suatu satuan organisasi Pemerintah Daerah. Formasi PNS Daerah untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Daerah setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Kepala Daerah masing-masing setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara, berdasarkan pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara. Penetapan dan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah dilakukan berdasarkan usul dari Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang dikoordinasikan oleh Gubernur (Pasal 3). Formasi
masing-masing
satuan
organisasi
Negara
disusun
berdasarkan analisis kebutuhan dan penyediaan pegawai sesuai dengan jabatan yang tersedia, dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Analisis kebutuhandilakukan berdasarkan : jenis pekerjaan, sifat pekerjaan, analisis beban kerja dan
26
perkiraan kapasitas seorang Pegawai Negeri Sipil dalam jangka waktu tertentu, prinsip pelaksanaan pekerjaan, dan peralatan yang tersedia.
b. PP No. 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan PNS Pengadaan Pegawai Negeri Sipil adalah kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong (Pasal 1 ayat 1, PP 98/2000). Pengadaan Pegawai Negeri Sipil dilakukan mulai dari perencanaan, pengumuman, pelamaran, penyaringan, pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil sampai dengan pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil (Pasal 2 ayat 1). Pengadaan PNS dilaksanakan oleh pejabat pembina kepegawaian (Menteri/Kepala LPNK, Gubernur atau Bupati/Walikota), sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat 2. Setiap Warga Negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini. Ketentuan pasal 3 ini menunjukkan tidak adanya diskriminasi sekaligus transparansi dalam penerimaan pegawai. Pejabat Pembina Kepegawaian membuat perencanaan pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 4). Sedangkan pada pasal 5 ayat (1-3) desebutkan (1) Lowongan formasi Pegawai Negeri Sipil diumumkan seluas-luasnya
oleh
Pejabat
Pembina
Kepegawaian.
Ayat
(2)
Pengumuman dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum tanggal penerimaan lamaran. Ayat (3) Dalam pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dicantumkan: jumlah dan jenis jabatan yang lowong; syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar; alamat dan tempat lamaran ditujukan; dan batas waktu pengajuan lamaran.
27
Dalam Pasal 6 PP No. 11/2002, syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah : a. warga negara Indonesia; b. berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggitingginya 35 (tiga puluh lima) tahun; c. tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan; d. tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; e. tidak berkedudukan sebagai calon/Pegawai Negeri; f.
mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan;
g. berkelakuan baik; h. sehat jasmani dan rohani; i.
bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah; dan
j.
syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan. Sementara itu, pada pasal 7 PP. No. 98/2000 disebutkan: (1) Ujian
penyaringan bagi pelamar yang memenuhi syarat dilaksanakan oleh suatu panitia yang dibentuk oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. (2) Tugas panitia adalah : a. menyiapkan bahan ujian; b. menentukan pedoman pemeriksaan dan penilaian ujian; c. menentukan tempat dan jadwal ujian; d. menyelenggarakan ujian; e. memeriksa dan menentukan hasil ujian. (3) Materi ujian meliputi test kompetensi dan psikotes.
28
Pelamar
yang
dinyatakan
lulus
ujian
penyaringan
wajib
menyerahkan kelengkapan administrasi sesuai ketentuan yang berlaku. Daftar pelamar yang dinyatakan lulus ujian penyaringan yang akan diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil disampaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara untuk mendapat nomor identitas Pegawai Negeri Sipil. Pelamar yang dinyatakan lulus ujian penyaringan dan telah diberikan nomor identitas Pegawai Negeri Sipil diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil dilakukan dalam tahun anggaran berjalan, dan penetapannya tidak boleh berlaku surut.
c. PP No. 12 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat PNS Yang dimaksud pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian (pasal 1 ayat 1). Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian Pegawai Negeri Sipil terhadap negara. Kenaikan pangkat dilaksanakan berdasarkan sistem kenaikan pangkat reguler dan sistem kenaikan pangkat pilihan. Kenaikan pangkat reguler adalah penghargaan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat yang ditentukan tanpa terikat pada jabatan. Kenaikan pangkat pilihan adalah kepercayaan dan penghargaan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil atas prestasi kerjanya yang tinggi. Periode kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil ditetapkan pada tanggal 1 April dan 1 Oktober setiap tahun, kecuali ditentukan lain dalam
29
Peraturan Pemerintah ini (pasal 4 PP No. 12/2002). Masa kerja untuk kenaikan pangkat pertama dihitung sejak pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil/Pegawai Negeri Sipil. Kenaikan pangkat reguler diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil termasuk Pegawai Negeri Sipil yang : a) melaksanakan tugas belajar dan sebelumnya tidak menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu; dan b) dipekerjakan atau diperbantukan secara penuh di luar instansi induk dan tidak menduduki jabatan pimpinan yang telah ditetapkan persamaan eselonnya atau jabatan fungsional tertentu. Kenaikan pangkat diberikan sepanjang tidak melampaui pangkat atasan langsungnya. Kenaikan pangkat reguler dapat diberikan setingkat lebih tinggi apabila : a) sekurang-kurangnya telah 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir; dan b) setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir. Kenaikan pangkat pilihan diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang : a) menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu; b) menduduki jabatan tertentu yang pengangkatannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden; c) menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya; d) menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; e) diangkat menjadi
pejabat
Belajar/Ijazah;
g)
negara;
f)
memperoleh
melaksanakan
tugas
Surat
belajar
Tanda
dan
Tamat
sebelumnya
menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu; h) telah selesai mengikuti dan lulus tugas belajar; dan i) dipekerjakan atau diperbantukan secara penuh diluar instansi induknya yang diangkat dalam jabatan pimpinan yang telah ditetapkan persamaan eselonnya atau jabatan fungsional tertentu.
30
Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural dan pangkatnya masih satu tingkat di bawah jenjang pangkat terendah yang ditentukan untuk jabatan itu, dapat dinaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi, apabila : a) telah 1 (satu) tahun dalam pangkat yang dimilikinya; b) sekurang-kurangnya telah 1 (satu) tahun dalam jabatan struktural yang didudukinya; dan c) setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurangkurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir. Dikecualikan dari ujian dinas, bagi Pegawai Negeri Sipil yang: a) akan diberikan kenaikan pangkat karena telah menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya; b) akan diberikan kenaikan pangkat karena menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; c) diberikan kenaikan pangkat pengabdian karena : mencapai batas usia pensiun; dinyatakan cacat karena dinas dan tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan negeri oleh Tim Penguji Kesehatan, dan d) telah memperoleh : Ijazah Sarjana (S1) atau Diploma IV untuk ujian dinas Tingkat I; Ijazah Dokter, Ijazah Apoteker, Magister (S2), dan Ijazah lain yang setara atau Doktor (S3), untuk ujian dinas Tingkat I atau ujian dinas Tingkat II. Tabel. 2.1 Pangkat dan Golongan/Ruang PNS No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pangkat Juru Muda Juru Muda Tingkat I Juru Juru Tingkat I Pengatur Muda Pengatur Muda Tingkat I Pengatur Pengatur Tingkat I Penata Muda Penata Muda Tingkat I Penata
Gol
Ruang
I I I I II II II II III III III
a b c d a b c d a b c
31
No. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pangkat Penata Tingkat I Pembina Pembina Tingkat I Pembina Utama Muda Pembina Utama Madya Pembina Utama
Gol
Ruang
III IV IV IV IV IV
d a b c d e
d. PP No. 63 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas PP No. 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Pusat
menetapkan:
1)
Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat, 2) Pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat dilingkungannya kecuali yang tewas atau cacat karena dinas. Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewengannya
atau
memberikan
kuasa kepada pejabat lain di
lingkungannya. Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Daerah
Propinsi
atau
Kabupaten/Kota menetapkan: 1) Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah dilingkungannya; 2) Pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah dilingkungnya, kecuali yang tewas atau cacat karena dinas. Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya, atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya. Presiden menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah Untuk menjadi Pembina Utama Muda golongan ruang IV/ c, Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d. dan Pembina Utama
golongan ruang IV/e
setelah
mendapat
pertimbangan teknis dari Kepala Badan Kepegawaian Negara.
32
Pejabat Pembina Kepegawaian
Pusat menetapkan kenaikan
pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan dilingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golonan ruang IV/b. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan dilingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b. Gubernur menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk menjadi Pembina golongan ruang IV/a dan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b. Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Daerah
Kabubaten/Kota
menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan dilingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Penata Tingkat I golongan ruang III/d. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan :a) pengangkatan Sekretaris Daerah Propinsi setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi ; b) pemberhentian Sekretasris Daerah Propinsi; dan c)
pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.
33
Pejabat
Pembina
menetapkan: a)
Kepegawaian
Daerah
Kabupaten/
Kota
pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota; b) pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota; dan c) pengangkatan, pemindahan, pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Pejabat Pembina Kepegawaian
Daerah Propinsi menetapkan
pemindahan: a) Pegawai Negeri Sipil Daerah antar Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi; dan b) Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Kabupaten /Kota dan Daerah Propinsi. Penetapan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dilaksanakan atas permintaan dan persetujuan dari Pejabat Pembina Kepewaian Daerah yang bersangkutan. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan : a) pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Propinsi; b) pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil dilingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah, dan jabatan fungsionsl yang jenjangnya setingkat dengan itu. Kepegawaian
Daerah
wewenangnya
atau
Propinsi
dapat
memberikan
Pejabat Pembina
mendelegasikan
kuasa
kepada
sebagian
pejabat
lain
dilingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabataan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil dilingkungannya yang menduduki jabatan strukturaal eselon III kebawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. Pejabat menetapkan:
Pembina a)
Kepegawaian
pemberhentian
Daerah
sementara
Kabupaten/ Sekretaris
Kota Daerah
34
Kabupaten/Kota; b) pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil dilingkungannya yang menduduki jabatan structural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota dapat mendelegasikan sebagian wewenangnyaatau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya untuk memberhentikan sementaradari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota yang menduduki jabatan struktural eselon IV dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan: a) Pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah dilingkungannya; dan b) Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b kebawah di lingkungannya. Gubernur menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a dan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b. Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Daerah
Kabupaten/
Kota
menetapkan: a) Pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya, b) Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d kebawah dilingkungannya. Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pemberhentian dan pemberian pensiun Bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangakat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b kebawah yang tewas, meninggal dunia, cacat karena dinas dan mencapai batas usia pensiun. Penetapan pemberhentian dan pemberian
35
pensiun, termasuk pemberian pensiun janda/duda dalam hal pensiun Pegawai Negeri Sipil meninggal dunia. Pelanggaran atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang kepegawaian dapat dikenakan tindakan administratif. Tindakan administrative berupa: a) Peringatan,
b) Teguran, dan c) Pencabutan
keputusan atas pengangkatan, pemindahan, atau pemberhentaian. Pencabutan keputusan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Tindakan administratif dilakukan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara, kecuali terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Presiden. PP No. 63/2009 sebenarnya hanya mengubah 1 ayat yaitu pada pasal 1 sebagai berikut: Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Kementerian Negara, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Presiden, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Kesekretariatan Lembaga Negara, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh Pejabat Struktural
eselon
I
dan
bukan
merupakan
bagian
dari
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Instansi Vertikal di daerah
provinsi/kabupaten/kota,
Kepaniteraan
Pengadilan,
atau
dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.
e. PP No. 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS Kebijakan yang mengatur Diklat bagi PNS (Daerah) adalah antara lain:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil;
36
2) Keputusan Kepala LAN Nomor 193/XIII/10/6/2001 Tentang Pedoman Umum Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil;
3) Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 194/XIII/10/6/2001 Tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil; Meskipun penyelenggaraan Diklat PNS sudah di desentralisasikan ke Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, namun dalam pelaksanaan Diklat PNS Daerah masih banyak menemui kendala antara lain : 1) Alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan Diklat di Daerah yang diatur dalam APBD sangat terbatas, akibatnya program kerja dari masing-masing Badan Diklat sangat terbatas; 2) Diklat yang dikembangkan di Daerah lebih banyak Diklat Dalam Jabatan, sedangkan Diklat Teknis, dan Diklat Pembinaan Masyarakat dan Swasta tidak dapat diprogramkan; 3) Sarana dan prasarana unit Diklat di Daerah masih sangat terbatas; sehingga masih banyak Lembaga Diklat di Daerah yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan belum memenuhi persyaratan akreditasi; 4) Terbatasnya sumber daya manusia di unit Diklat, seperti terbatasnya Widyaiswara; 5) Standar Kompetensi Jabatan bukan merupakan dasar bagi penentuan Diklat bagi SDA Daerah.
37
f.
PP No. 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji PNS Kebijakan penggajian diatur dengan PP No. 7 Tahun 1977 sebagaimana telah diubah sebelas kali terakhir dengan PP Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji PNS. Menurut PP 8/2009, gaji PNS terendah (golongan I-a dengan masa kerja 0 tahun) adalah sebesar Rp. 1.040.000,- dan gaji tertinggi (golongan IV-e dengan masa kerja 32 tahun) adalah sebesar Rp. 3.400.000,-. (pada box di atas tertera gaji terendah sebesar Rp. 1.721.000 karena sudah termasuk tunjangan fungsional umum). Oleh karena menggunakan sistem penggajian skala gabungan, maka tunjangan juga termasuk di dalam penggajian baik tunjangan struktural, fungsional tertentu maupun fungsional umum. Beberapa peraturan terkait adalah: 1) Peraturan Presiden Nomor Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Tunjangan Jabatan Struktural; 2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Tunjangan Umum PNS; 3) Beberapa Peraturan Presiden yang mengatur Tunjangan Jabatan Fungsional. Adapun kebijakan yang mengatur aspek Kesejahteraan PNS antara lain : 1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 Tentang TASPEN; 2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 Tentang Jaminan Asuransi Kesehatan (ASKES) yang telah dirubah dengan PP Nomor 6 Tahun 1993 3) Peraturan
Pemerintah
Nomor
58
Tahun
2005
tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah; 4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
38
g. PP No. 30 Tahun 1980 jo PP No. 53 Tahun 2010 Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Setiap PNS wajib: 1) mengucapkan sumpah/janji PNS; 2) mengucapkan sumpah/janji jabatan; 3) setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah; 4) menaati segala ketentuan peraturan perundangundangan; 5) melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; 6) menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah,dan martabat PNS; 7) mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan; 8) memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan; 9) bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara; 10) melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil; 11) masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; 12) mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan; 13) menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya; 14) memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat; 15) membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas; 16) memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier; dan 17) menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
39
Setiap PNS dilarang: 1) menyalahgunakan wewenang; 2) menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain; 3) tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional; 4) bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing; 5) memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah; 6) melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; 7) memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan; 8) menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya; 9) bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; 10) melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; 11) menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 12) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: ikut serta sebagai pelaksana kampanye; menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 13) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara: membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau mengadakan kegiatan yang
40
14)
15)
mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan memberikan; memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin. Tingkat hukuman disiplin
terdiri dari hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah. pembebasan dari jabatan,
41
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Hukuman disiplin ringan, salah satunya dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja berupa: a) teguran lisan bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 5 (lima) hari kerja, b) teguran tertulis bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 6 (enam) sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja, dan c) pernyataan tidak puas secara tertulis bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 11 (sebelas) sampai dengan 15 (lima belas) hari kerja. Pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja dihitung secara kumulatif sampai dengan akhir tahun berjalan.
h. PP No. 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jenis-jenis pemberhentian Pegawai Negeri Sipil antara lain: 1) pemberhentian atas permintaan sendiri, 2) mencapai Batas Usia Pensiun/BUP, 3) adanya penyederhanaan organisasi, 4)) melakukan pelanggaran/tindak
pidana/
penyelewengan,
5)
tidak
cakap
jasmani/rohani, 6) meninggalkan tugas, 7) meninggal dunia atau hilang, 8) hal-hal lain (tidak melaporkan diri kembali setelah cuti di luar tanggungan negara).
42
B. KONSEP MANAJEMEN PNS Manajemen PNS adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kepegawaian, dan pemberhentian. 1. Perencanaan Di dalam berbagai literatur selalu disebutkan istilah perencanaan sumber daya manusia (perencanaan SDM), namun dalam kajian ini terminologi tersebut akan dimaknai sama dengan perencanaan PNS, hal ini dimaksudkan guna menjaga konsistensi dalam pembahasannya. Secara konseptual, terdapat banyak sekali pengertian perencanaan sumber daya manusia (human resources planning) yang diberikan oleh para ahli. Beberapa di antaranya adalah seperti di bawah ini. Werther and Davis (2003:155) memberikan pengertian bahwa “Human resources planning systematically forecast an organization’s future demand for and supply of employee”. Perencanaan sumber daya manusia secara sistematis meramalkan permintaan dan penawaran pegawai di masa mendatang dari suatu organisasi. Pengertian di atas memberikan penekanan pada keseimbangan atau kesesuaian antara permintaan terhadap pegawai dengan ketersediaannya di suatu organisasi. Hal tersebut senada dengan pendapat Siagian (1993: 41), yang menyatakan bahwa perencanaan merupakan pengambilan keputusan sekarang tentang halhal yang akan dikerjakan di masa depan. Dalam hal perencanaan SDM (: PNS) yang menjadi fokus perhatian ialah langkah-langkah tertentu yang diambil oleh manajemen guna lebih menjamin bahwa dalam organisasi tersedia tenaga kerja yang tepat pada waktu yang tepat, kesemuanya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran yang telah dan akan ditetapkan. Sementara itu, Straus and Sayles (1977:375) membedakan pengertian manpower planning menjadi dua yaitu pengertian dalam arti sempit dan dalam
43
arti luas. Pengertian dalam arti sempit adalah :“the prediction of the members of people whom the organization will have to hire, train or promote in a given period”. Pengertian tersebut membatasi pada perkiraan jumlah orang (pegawai) yang akan dipekerjakan, dilatih atau dipromosikan dalam suatu periode tertentu. Ruang lingkup dan pemanfaatan perencanaan tersebut sangat sederhana dan cenderung memiliki perspektif jangka pendek. Sedangkan pengertian dalam arti luas adalah “manpower planning represents a systems approach to personnel in which the emphasis is on the interrelationships among various personnel policies and programs”. Berbeda dengan pengertian dalam arti sempit, pengertian dalam arti luas ini lebih menekankan pada pendekatan sistem dalam pengelolaan pegawai yang dikaitkan dengan berbagai kebijakan dan program kepegawaian. Sementara itu, menurut Zainun (1993: 27) perencanaan SDM diarahkan kepada dua hal: 1) perencanaan (dan penyusunan program) dari seluruh hal-hal mengenai manajemen SDM yang dipandang perlu dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya untuk diurus oleh organisasi, 2) perencanaan (dan penyusunan program) tentang SDM dalam arti orangnya sendiri baik secara kuantitatif maupun kualitas SDM itu secara keseluruhan atau sebagian secara bertahap dalam jangka panjang, sedang dan pendek. Biasa dikatakan bahwa perencanaan (kedua) ini pada hakikatnya merupakan perencanaan SDM dan penyusunan program kebutuhan (demand) terhadap jumlah dan kualitas SDM untuk satu periode tertentu. Lebih jauh, Pusat Studi Sumberdaya Manusia dan Lingkungan – Universitas Indonesia (PSML-UI) menyatakan bahwa perencanaan SDM adalah suatu perencanaan sistematik tentang perkiraan kebutuhan SDM (menurut jumlah dan kompetensinya) dan pengadaan atau pasokannya (rekruitmennya) untuk suatu organisasi atau unit kerja tertentu untuk kebutuhan mendatang. Dalam hal ini terdapat lima hal penting dalam perencanaan SDM, yakni: 1) ketersediaan dan
44
keberadaan SDM dalam jumlah dan kompetensinya dalam menjawab kebutuhan saat ini, 2) prakiraan tentang kebutuhan SDM di masa mendatang sesuai dengan lingkup dan permasalahan yang akan ditangani, 3) perencanaan SDM yang dilakukan untuk mengisi kebutuhan sesuai dengan tantangan dan permasalahan yang ditangani, 4) pengawasan terhadap proses dan pengisian kebutuhan untuk menjamin kesesuaian SDM yang diperlukan, dan 5) evaluasi terhadap kinerja SDM secara berjenjang dan berkelanjutan yang berfungsi sebagai pemberi umpan balik untuk menjawab persoalan kompetensi dan tantangan permasalahan yang ditanganinya (2002: 11). Perencanaan SDM, menurut Bernardin (2003: 82), digambarkan sebagai berikut : HR planning is the forecasting of HR needs in the context of strategic business planning. The HR planning process of the past was typically reactive in nature, with business needs defining personnel needs. However, with major changes in the business environment and increasing uncertainty, many organizations have adopted a longer-term perspective and integrating HR planning with strategic business planning centered on a consideration of core business competencies. ………….., recruitment is the process of attracting applicants for the positions needed. Perencanaan
sumberdaya
manusia
adalah
peramalan
kebutuhan
sumberdaya manusia dalam konteks perencanaan bisnis stratejik (dalam konteks organisasi publik disebut dengan perencanaan stratejik). Proses perencanaan sumberdaya manusia pada masa lalu bersifat reaktif dengan kebutuhan bisnis dan mendefinisikan kebutuhan pegawai. Bagaimanapun, dengan adanya perubahan utama dalam lingkungan bisnis dan meningkatnya ketidakpastian, banyak organisasi mengadopsi perspektif jangka panjang dan mengintegrasikan perencanaan SDM dengan perencanaan bisnis stratejik dengan menekankan pada pertimbangan kompetensi bisnis. Proses ini haruslah terintegrasi dengan proses perencanaan pegawai dan kegiatan manajemen kepegawaian lainnya, terutama kegiatan rekrutmen.
45
Berbicara mengenai perencanaan dalam organisasi dikenal berbagai jenis perencanaan seperti perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Perencanaan PNS daerah jangka panjang terdapat dalam dokumen rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), perencanaan jangka menengah terdapat dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dan perencanaan PNS jangka pendek ada di dalam rencana kinerja tahunan (Renja). Berdasarkan pendapat tersebut menjadi jelas perencanaan PNS daerah hendaknya dimuat dalam perencanaan stratejik (Renstra), baik renstra satuan kerja perangkat daerah yang mengelola PNS daerah – dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah/BKD – maupun renstra daerah/RPJMD. Dengan demikian, RPJMD dan atau Renstra BKD dikatakan baik apabila memuat prakiraan jumlah dan kualitas PNS yang dibutuhkan selama periode tertentu, misalnya lima tahun. Hal ini ditekankan pula oleh Zainun (1993:30), ...dalam renstra digunakan istilah arah dan kebijaksanaan yang disusul dengan program-program, ini berarti perencanaan yang menghasilkan rencana, maka dalam renstra ternyata perencanaan yang jangka waktunya 5 tahun. Sedangkan kegiatan perencanaan SDM tersebut di atas secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : (Amstrong, 1988 : 134) 1. Perkiraan kebutuhan : memperkirakan kebutuhan SDM masa datang dengan merujuk kepada rencana strategik pemerintah dan tingkat kegiatan pemerintah di masa datang. Kebutuhan ini diungkapkan dalam bentuk jumlah orang, keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Setiap perubahan keterampilan dan kebutuhan terhadap keahlian baru akibat perubahan lingkungan strategis dan perubahan-perubahan lain yang disatukan dalam perencanaan strategis harus dinilai, agar dapat dibuat rencana penerimaan pegawai baru, pelatihan serta pengembangan SDM yang dibutuhkan organisasi
46
2. Perkiraan suplai : memperkirakan suplai pegawai dari dalam organisasi pemerintah berdasarkan analisis. Perkiraan suplai ini diperlukan untuk mengukur kuantitas SDM yang mungkin akan tersedia dari dalam pemerintah sendiri. Hal ini dilakukan berdasarkan analisis SDM yang ada menurut jabatan, tingkat keterampilan, status dan masa kerja. Pergerakan rasio antara, misalnya staf langsung dan tidak langsung harus dipelajari untk menggambarkan kecenderungan dan untuk menunjukkan dimana perubahan masa datang yang mungkin akan menimbulkan masalah dengan suplai. Selain itu melalui analisis diketahui dimana laju berbagai kategori pegawai yang keluar, untuk menghasilkan perkiraan kebutuhan penggantian pada masa datang. Selain itu perubahanperubahan kondisi kerja dan peraturan-peraturan tentang kepegawaian akan mempengaruhi akan kebutuhan pegawai. 3. Menentukan kebutuhan SDM : menganalisis perkiraan kebutuhan dan suplai SDM untuk mengenali kebutuhan atau kelebihan SDM di masa mendatang. Kebutuhan SDM masa mendatang ditentukan dengan hanya menyatukan perkiraan kebutuhan dan suplai. Dalam jangka panjang, misalnya dalam lima tahun, perencanaan SDM dapat diungkapkan dalam bentuk target yang harus dicapai menjelang akhir tahun atau pada waktu tertentu dalam tahun tersebut. Dalam jangka pendek, rencana tersebut akan dipecah menjadi angka sesungguhnya dari pegawai yang akan diterima. Kemudian program penerimaan SDM (rekruitmen) dapat dibuat dengan merujuk ke waktu pegawai tambahan diperlukan, kemungkinan keluarnya pegawai atau pensiun dan adanya pegawai kontrak. 4. Perencanaan tindakan : menyiapkan dan melaksanakan rencana untuk memenuhi kebutuhan SDM atau untuk mengatasi kelebihan SDM. Perencanaan tindakan menentukan bagaimana target peneriman SDM harus dicapai dan apa yang perlu dikerjakan untuk mengatasi masalah
47
perubahan besar dalam pemerintah seperti pengurangan pegawai atau perlunya penambahan pegawai. Rencana tindak meliputi unsur-unsur utama meliputi : (Amstrong, 1988:138) 1. Rencana penerimaan pegawai (pengadaan) yang meliputi : jumlah dan jenis pegawai yang dibutuhkan dan kapan mereka diperlukan, masalahmasalah khusus mengenai suplai dan cara penyelesaiannya, serta program penerimaan pegawai (pengadaan). 2. Rencana pengembangan SDM, yang akan menunjukkan : jumlah pegawai yang ada yang memerlukan pelatihan atau pelatihan ulang beserta bentuk
pelatihannya,
Diklat-diklat
baru
dan
pengembangan-
pengembangan yang harus dibuat atau diubah. 3. Rencana pemeliharaan: yang menguraikan tindakan yang diperlukan yang berhubungan dengan perencanaan SDM, seperti masalah penggajian, prosedur
penerimaan
atau
persyaratan-persyaratan,
sistem
pengembangan, promosi dsb. 4. Rencana pengembangan kembali yang memuat program untuk memindahkan atau melatih kembali SDM yang ada. Sehingga apabila pegawai tersebut ternyata masih memadai dan mempunyai kecakapan akan mempengaruhi kebutuhan penerimaan SDM. Perencanaan PNS ini harus menjadi dasar untuk memastikan bahwa pemerintah mendapatkan pegawai yang diinginkan dan mampu mengatasi masalah kelebihan atau kekurangan pegawai. Sehingga dalam perencanaan ini juga dapat diuraikan kebutuhan pegawai untuk diangkat sebagai pegawai tetap dan pegawai tidak tetap. Perencanaan kebutuhan pegawai tetap dimaksudkan untuk mengisi kebutuhan organisasi yang pengembangan karirnya dibina secara bertahap dari bawah (career based). Sedangkan kebutuhan perencanaan pegawai tidak tetap diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pegawai teknis non
49
terampil (unskill labour) dan jabatan tertentu yang memerlukan kualifikasi kompetensi spesifik yang belum terpenuhi oleh pegawai yang ada saat ini. Untuk pemenuhan kebutuhan pada jabatan-jabatan umum dilakukan sistem terbuka yang memberikan peluang kepada pegawai di setiap wilayah untuk mendudukinya melalui seleksi yang kompetitif. Hal ini juga untuk menghindari primordialisme yang saat ini marak terjadi di beberapa daerah. Maka dari itu dalam era desentralisasi ini selayaknya pemerintah melakukan perencanaan secara komprehensif secara bottom up dengan memberikan kesempatan/usulan kebutuhan formasi pegawai dari unit paling bawah
(daerah)
serta
mengendalikan kebutuhan baik kuantitas dan kualitas/ kompetensinya secara nasional. Perencanaan pegawai adalah upaya untuk mengisi lowongan jabatan sebagai dampak dari perhitungan formasi yang menunjukkan persediaan pegawai dan neraca kebutuhan pegawai berdasarkan jumlah, mutu dan waktu yang dikelompokkan dalam susunan jabatan. Thoha (2002: 29) menegaskan bahwa untuk dapat menyusun formasi yang tepat, maka harus disusun lebih dulu ’analisis kebutuhan pegawai’. Analisis kebutuhan pegawai adalah suatu proses menganalisis secara logis dan terukur untuk dapat mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu organisasi. Tujuan analisis kebutuhan pegawai adalah sebagai salah satu usaha agar setiap pegawai yang ada pada unit organisasi mempunyai pekerjaan, jangan sampai ada yang tidak mempunyai pekerjaan. Salah satu alat untuk membuat analisis kebutuhan pegawai adalah adanya uraian jabatan/job description yang tersusun rapi. Dengan adanya uraian jabatan/pekerjaan, maka akan dapat diketahui jenis jabatan, ruang lingkup tugas yang dilaksanakan, sifat pekerjaan, syarat-syarat pejabat, dan dapat diketahui perkiraan kapasitas pegawai dalam jangka waktu tertentu.
50
Satu hal yang juga penting dalam perencanaan PNS adalah adanya standar kompetensi jabatan untuk menjamin terpenuhinya kualitas PNS yang akan direkrut. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan (knowledge), keahlian/keterampilan (skill) dan sikap perilaku (attitude) yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Sampai saat ini implementasi tahap perencanaan PNS sebagai bagian dari sistem manajemen secara utuh di tingkat nasional belum ada, yang ada hanyalah perencanaan pengadaan pegawai (sebagaimana tertuang dalam PP No. 98 Tahun 2000 jo PP No. 12 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS). Padahal perencanaan yang utuh/makro ini sangat diperlukan dalam rangka mengelola PNS secara optimal. Dengan cara pandang ini maka perencanaan pegawai dapat diukur melalui kelompok indikator sebagai berikut : Ketersediaan perencanaan induk (masterplan) kepegawaian Pemanfaatan ABK dalam penyusunan kebutuhan pegawai Bezetting (daftar kekuatan pegawai) dan pemanfaatannya Kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan
2. Pengadaan pegawai Pengertian pengadaan tidak sama dengan rekrutmen, karena pengadaan PNS lebih luas dari rekrutmen. Hal itu sebagaimana pendapat Thoha (2005: 55), proses
pengadaan
pada
dasarnya
meliputi
kegiatan-kegiatan:
(a)
pengidentifikasian kebutuhan untuk melakukan pengadaan, (b) mengidentifikasi persyaratan kerja,
(c) menetapkan sumber-sumber kandidat, d) menyeleksi
kandidat, (e) memberitahukan hasilnya kepada para kandidat, dan (f) menunjuk kandidat yang lolos seleksi.
51
Rekrutmen Menurut Dictionary of Human Resources and Personnel Management (2003:219) rekrutmen adalah proses mencari dan mengangkat pegawai baru untuk bergabung dengan perusahaan. Pengertian ini memiliki penafsiran bahwa output dari rekrutmen ini adalah diperolehnya pegawai baru sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Pengertian di atas mencakup aspek yang lebih luas dan berbeda dibandingkan cakupan definisi yang diajukan oleh Werther and Davis (2003:182), yaitu : “Recruitment is the process of finding and attracting capable applicants for employment. The process begins when new recruits are sought and ends when their applications are submitted” . Hal senada disampaikan oleh Mondy dan Noe, (2005), bahwa: Recruitment is the process of attracting individuals on a timely basis, in sufficient numbers and appropriate qualification, and encouraging them to apply for jobs with an organization. Hardjapamekas (2002) menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rekrutmen SDM, yaitu: Pertama : kriteria utama rekrutmen, menurutnya rekrutmen pegawai paling tidak menghasilkan SDM dengan tiga karakteristik utama, yaitu integritas, kredibilitas dan kapabilitas; Kedua : basis rekrutmen, pelaksanaan rekrutmen sangat memungkinkan dilaksanakan mobilitas karier, transisi (tidak urut kacang) dan board based recruitmen basis; dan Ketiga : proses rekrutmen harus mengacu pada tiga kriteria pokok, yaitu : fair, equal opportunity dan transparan. Jadi pengertian Rekrutmen berhenti sampai si pelamar menyampaikan lamarannya kepada suatu organisasi.
52
Seleksi Proses selanjutnya disebut seleksi karena memilih calon pegawai dari sejumlah pelamar yang memasukkan lamaran. Oleh karena itu, menurut Werther and Davis rekrutmen dan seleksi adalah dua proses yang terpisah dengan output yang berbeda. Proses seleksi menurut Werther and Davis (2003:214) diartikan sebagai serangkaian langkah-langkah yang spesifik untuk memutuskan pelamar mana yang harus diterima. Prosesnya dimulai ketika pelamar melamar pekerjaan dan berakhir dengan keputusan penerimaan. Dalam setiap tahap proses seleksi perlu dibedakan antara isu kinerja dan isu non kinerja untuk lebih menjamin objektivitas seleksi. Contoh isu non kinerja adalah misalnya perbedaan budaya, etnik, agama, dan lain-lain. Oleh karena itu, keputusan seleksi harus didasarkan pada isu-isu yang terkait dengan kinerja (performance-related issues). Proses seleksi secara umum biasanya terdiri dari: •
Penetapan Kriteria Seleksi – misalnya : jenis kelamin, kebangsaan, status perkawinan, agama, usia, syarat fisik, catatan kelakuan, pengalaman kerja, riwayat pendidikan, cara berpakaian dan penampilan, dll
•
Tes Validitas – misalnya : tes psikologis (intelligence test, personality test, aptitude/bakat test, achievement test), knowledge test (wawasan yang sesuai jenis dan sifat pekerjaan), performance test (test tentang praktek pekerjaan yang akan dipangkunya (contoh : test mengoperasikan komputer).
•
Wawancara - evaluasi tentang akseptabilitas pelamar.
•
Evaluasi Medis
- kesehatan secara umum, dikaitkan dengan jenis
pekerjaan yang akan dipangku. •
Wawancara Dengan Calon Atasan (user).
•
Keputusan Penerimaan.
53
Keputusan pengadaan suatu organisasi termasuk organisasi publik dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal maupun eksternal. Prosesnya dimulai dari keinginan organisasi untuk menambah jumlah sumber daya manusianya akibat pertambahan beban dan volume pekerjaan, peningkatan kapasitas produksi karena investasi baru atau karena proses alamiah lainnya seperti penggantian mereka yang pensiun. Secara umum, penambahan jumlah pegawai tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, kondisi perekonomian nasional atau global, peraturan serikat pekerja, kondisi politik dan lain-lain.
Penempatan Sebagaimana diketahui kebutuhan terhadap pegawai dapat dipenuhi melalui pengadaan pegawai baru dari luar organisasi dan penugasan pada suatu posisi tertentu kepada pegawai yang ada. Relokasi pegawai yang ada pada suatu jabatan baru atau menempatkan seorang pegawai baru pada suatu posisi inilah yang disebut sebagai penempatan (placement). Werther and Davis (2003:261) memberikan pengertian penempatan sebagai “penugasan atau penugasan kembali seorang pegawai pada suatu pekerjaan yang baru” (assignment or reassignment of an employee to a new job). Dalam konteks manajemen PNS di sini, penempatan memiliki dua pengertian.
Pertama,
menempatkan
seorang
calon
PNS
pada
suatu
jabatan/pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Kedua, menempatkan seorang PNS pada suatu jabatan yang baru secara horisontal. Mengacu pada definisi Werther and Davis di atas, pengertian pertama merupakan assignment karena penugasan tersebut merupakan yang pertama kalinya bagi CPNS tersebut. Sedangkan
pengertian
kedua
termasuk
kategori
reassignment
karena
penempatan PNS tersebut bukan merupakan penempatan pertama, tetapi penempatan kedua, ketiga atau seterusnya.
54
Prinsip dasar dalam menempatkan seorang pegawai – atau dalam hal ini adalah calon PNS atau PNS – adalah adanya kesesuaian antara kemampuan dan kompetensi aktual yang dimilikinya dengan karakteristik, tanggung jawab dan volume pekerjaan yang akan diemban. Istilah yang lebih dikenal dalam penempatan ini adalah ‘the right man in the right place on the right time’. Prinsip kesesuaian ini sangat penting dipandang dari pihak pegawai dan dari pihak organisasi.
Biasanya,
penempatan
seseorang
pegawai
pada
suatu
pekerjaan/jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Dari perspektif individual sumber daya manusia, penempatan seseorang pada suatu jabatan yang menuntut kapasitas dan kompetensi yang jauh melebihi dari apa yang dia miliki, justru akan memberikan dampak negatif pada pegawai tersebut. Misalnya, besar kemungkinan akan membebani pegawai yang bersangkutan secara fisik dan psikis sehingga dapat menimbulkan stress atau depresi. Kinerjanya dapat menurun bukannya meningkat. Dari sudut pandang organisasi, target output yang diserahi kepada pegawai tersebut mungkin tidak dapat dipenuhi secara efektif. Hal ini menjadi kontra produktif bagi peningkatan kinerja organisasi secara keseluruhan. Penempatan pegawai baik yang merupakan assignment ataupun reassignment perlu lebih diperhatikan kesesuaian antara kapasitas dan kompetensi pegawai yang bersangkutan dengan karakteristik tugasnya termasuk kinerja aktual dan potensi keberhasilan pada posisi yang baru. Agar mendapatkan manfaat yang optimal bagi organisasi secara keseluruhan, penempatan pegawai negeri sipil baik antar unit kerja/antar instansi, ataupun antar daerah propinsi/kabupaten/kota perlu dibuatkan pola yang sistematis. Penempatan disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan pengembangan PNS yang bersangkutan. Pedoman umum yang dapat dijadikan rujukan dalam melakukan penempatan ini adalah bahwa :
55
a. Penempatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran kinerja dan kompetensi pegawai yang bersangkutan. b. Penempatan dilakukan untuk menempatkan PNS pada unit kerja yang sesuai
dengan
kompetensi,
kinerja,
latar
belakang
pendidikan,
pengalaman dan keahlian dimana yang bersangkutan dapat menunjukkan kinerjanya secara optimal. c. Penempatan juga dilakukan dalam rangka penyegaran atau untuk memberikan tantangan baru kepada PNS bagi kemajuan unit kerja. Beberapa pemerintah daerah yang telah melaksanakan pengadaan pegawai dengan baik antara lain: Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta telah menerapkan pengadaan pegawai secara online. Mekanisme penerimaan CPNSD Kota Yogyakarta terlihat pada bagan berikut: Bagan 2.1. Alur Proses Penerimaan CPNSD Kota Yogyakarta Tahap 1 Registrasi online
Tahap 2 Penyerahan berkas Penyerahan Berkas Administrasi Tanggal 5 s/d 11 Nopember di PUSDIKLAT DEPDAGRI REGIONAL YOGYAKARTA Jl. Melati Kulon Nomor I Baciro Yogyakarta Jam 08.00 s/d 13.00 WIB (Senin s/d Kamis) Jam 08.00 s/d 11.00 WIB (Jum’at s/d Sabtu)
Tahap 3 Seleksi administrasi Seleksi Administrasi dan pemeriksaan kelengkapan berkas oleh Panitia
Tahap 4 Pengumuman hasil seleksi administrasi
Tahap 7 Pelaksanaan Ujian tanggal 22 November 2009
Tahap 6 Pengumuman lokasi ujian Tgl 20/11/2009
Tahap 8 Pengumuman hasil seleksi Tgl 7/12/2009
Tahap 9 Pemberkasan Penetapan NIP CPNS Tgl 10-16/12/09
Tahap 5 Pengambilan nomor ujian Tgl 16/11/2009
Pelamar yang lulus seleksi administrasi akan diumumkan lewat Website http://cpnsd2009.jogj akota.go.id tanggal 13 Nopember 2009 Bagi yang namanya tidak tercantum dinyatakan tidak lulus seleksi administrasi, dan tidak berhak mengambil Nomor Ujian
56
Merujuk pada konsepsi mengenai pengadaan maka indikatornya adalah sebagai berikut : Penyebarluasan informasi pengadaan pegawai Penyimpangan dalam pengadaan pegawai Ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS Ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS menjadi PNS Kesesuaian penempatan.
3. Mutasi Jabatan dan Promosi Mutasi Jabatan Dalam manajemen PNS “mutasi” diartikan sebagai perpindahan status kepegawaian seseorang pegawai yang secara dinamis diakibatkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan kenaikan pangkat, jabatan, promosi, dan bahkan demosi maupun peruhana-perubahan lainnya
yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan kepegawaian. Dalam konteks manajemen sumberdaya manusia aparatur baik pusat maupun daerah, yang dimaksud dengan “mutasi” adalah perpindahan tugas dan alih tempat dari seorang pegawai. Sondang P. Siagian (1993 : 170) menyatakan alih tugas dapat mengambil salah satu dari dua bentuk; bentuk pertama adalah penempatan seseorang pada tugas baru dengan tanggung jawab, hirarki jabatan dan tanggung jawab yang relatif sama dengan status yang lama tetapi masih dalam satuan organisasi yang sama, bentuk yang lain adalah alih tempat artinya pegawai yang bersangkutan melakukan pekerjaan dan tugas yang relatif sama dengan unit kerja yang lama, hanya saja secara fisik lokasi tempatnya bekerja berbeda. Mutasi, sesungguhnya memperoleh manfaat yang besar bagi instansi pemerintah karena setidak-tidaknya memilki nilai positif baik bagi institusi
57
maupun bagi pegawai negeri sipil, manfaat tersebut menurut Sondang P. Siagian (1993 : 172) antara lain : a. Pegawai yang dimutasikan akan memeperoleh pengalaman baru; b. Cakrawala pandangan yang lebih luas; c. Menghindari kebosanan dan kejenuhan; d. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru; e. Memperoleh perspektif baru mengenai kehidupan organisasional; f.
Mempersiapkan diri dalam menghadapi tugas baru, misalnya perspektif promosi;
g. Memperoleh motivasi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi berkat tantangan dan situasi yang baru yang dihadapi. Dalam
rangka
mutasi
sumberdaya
manusia
aparatur
perlu
memperhatikan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan analisis kemampuan pegawai yang bersangkutan. Menurut Miftah Thoha ( 2005 : 57) halhal yang perlu diperhatikan dalam mutasi pegawai negeri sipil antara lain : lamanya masa kerja di suatu bidang pekerjaan, kebutuhan organisasi, penyegaran organisasi, pengetahuan dan keterampilan serta alasan khusus (ikut suami), biasanya mutasi dilakukan minimal dilaksanakan setiap 2 tahun dan maksimal 4 tahun sekali, yang dilaksanakan berdasarkan usulan kepala unit kerja, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 jo PP 63 Tahun 2009. Dalam rangka membantu pejabat yang berwenang untuk mewujudkan obyektivitas pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan serta pengangkatan dalam pangkat, dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) untuk sumberdaya manusia aparatur baik instansi pusat maupun daerah. Tugas pokok Baperjakat adalah memberikan pertimbangan kepada pejabat pembina kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat eselon II ke bawah, memberikan
58
pertimbangan dalam pemberian kenaikan pangkat bagi PNS yang menduduki jabatan struktural yang menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara, dan pertimbangan perpanjangan usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah. Pengaturan lebih lanjut tentang pemindahan pegawai antar Instansi dan antar Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 khususnya Bab V Pasal 17. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan mutasi adalah penerimaan bahwa: -
Mutasi adalah proses yang wajar dalam organisasi sehingga dibutuhkan dasar kebijakan untuk pelaksanaannya.
-
Sosialisasi/pegawai harus memiliki akses terhadap informasi mutasi ini.
-
Pola karier
-
Analisis jabatan.
-
Adil
-
Kesiapan pimpinan/pegawai (kasus)
-
Didokumentasikan secara baik
-
Ketepatan prosedur.
Promosi Pada dasarnya promosi merupakan salah satu bagian dari penempatan yang dilaksanakan oleh organisasi, dalam hal ini organisasi pemerintah daerah. Penempatan pegawai dilakukan dengan membuat penyesuaian terhadap kebutuhan
organisasi
yang
berhubungan
dengan
perencanaan
untuk
memperoleh orang yang tepat pada posisi yang tepat (the right man on the right place) Sondang P. Siagian ( 1993 : 169) menatakan yang dimaksud dengan promosi adalah apabila seseorang pegawai dipindahkan dari satu pekerjaan ke
59
pekerjaan yang lain yang tanggungjawabnya lebih besar, tingkatannya dalam hierarki jabatan lebih tinggi. Pada dasarnya setiap pegawai negeri sipil mendambakan
promosi
karena
dipandang
sebagai
penghargaan
atas
keberhasilannya, dan menunjukkan prestasi kerja yang lebih tinggi dalam menunaikan kewajibannya dalam pekerjaan dan jabatan yang dipangkunya sekarang, sekaligus sebagai pengakuan atas kemampuan danpotensi yang bersangkutan untuk menduduki posisi yang lebih tinggi. Promosi jabatan dilakukan oleh organisasi biasanya menggunakan 2 (dua) kriteria, yakni prestasi kerja dan senioritas, promosi yang didasarkan pada prestasi kerja menggunakan hasil evaluasi kinerja pegawai yang bersangkutan dalam jabatan yang dipangku saat ini, dengan demikian promosi tersebut dapat dipandang sebagai penghargaan organisasi atas prestasi kerja anggotanya, akan tetapi promosi yang didasarka pada prestasi kerja tersebut harus pula didasarkan pada pertimbangan lain yakni perhitungan yang sangat matang atas potensi kemampuan pejabat yang bersanghkutan dalam jabatannya yang lebih tinggi, artinya terdapat resiko lain yang menjadi perhitungan, oleh sebab itu diperlukan analisis potensi dari pejabat yang dipromosikan. Praktek promosi yang lain adalah promosi yang didasarkan pada senioritas, promosi yang didasarkan pada senioritas tersebut berarti bahwa pegawai yang paling berhak dipromosikan adalah pegawai yang masa kerjanya paling lama, Sondang P. Siagian (1993 : hlm. 171) mengemukakan pertimbangan utama dalam promosi berdasarkan pada senioritas ini antara lain : (a) sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan loyalitas seorang pejabat; (b) penilaian biasanya bersifat obyektif karena cukup dengan membandingkan masa kerja para kandidat yang akan dipromosikan; (c) mendorong organisasi mengembangkan sumberdaya manusianya karena pegawai yang paling lama mengabdi akhirnya akan dipromosikan untuk mengisi kekosongan jabatan.
60
Promosi jabatan memberikan peranan penting bagi setiap pegawai bahkan menjadi sebuah idaman dan tujuan yang selalu diharapkan. Idaman dan tujuan ini berkaitan dengan apa yang akan diperoleh dan dicapai oleh pegawai setelah memperoleh promosi jabatan. Setiap pegawai berusaha memberikan performa yang terbaik bagi organisasi. Pegawai yang berhak mendapat promosi haruslah memiliki kecakapan dan kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, karena pegawai tersebut akan memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan jabatan sebelumnya. Untuk dapat memahami konsep promosi, perlu disampaikan definsi promosi itu sendiri. Menurut Hasibuan (2006:108), promosi adalah perpindahan yang memperbesar authority dan responsibility pegawai ke jabatan yang lebih tinggi. Selain itu, efek yang ditimbulkan adalah hak, status, dan penghasilan berupa upah/gaji dan tunjangan lainnya akan bertambah dibandingkan dengan jabatan yang diperoleh sebelumnya. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Samsudin (2005: 264), suatu promosi berarti pula perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan lain dan berarti bahwa kompensasi (upah, gaji, dan sebagainya) lebih tinggi dibandingkan dengan jabatan yang lama. Tidak jauh dengan pendapat Hasibuan, Samsudin juga berpendapat bahwa dengan memperoleh promosi jabatan maka seseorang akan menyandang jabatan baru dengan tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar, serta kompensasi yang menjadi salah satu tujuan untuk dipromosikan menjadi lebih besar pula. Sementara itu, Moekijat (1999:101) mengungkapkan pengertian lain, bahwa promosi jabatan adalah kemajuan yang diperoleh sebagai pegawai pada suatu tugas yang lebih baik, lebih baik dimaksud dipandang dari sudut pandang tanggung jawab yang lebih berat martabat atau status yang lebih tinggi, kecakapan yang lebih baik, dan yang terpenting adalah penambahan jumlah gaji
61
dan upah. Sedangkan Nitisemito (1986: 134) menjelaskan mengenai adanya suatu nilai yang bertambah ke dalam pengertian promosi jabatan yaitu: ”promosi jabatan adalah proses pemindahan pegawai dari suatu jabatan ke jabatan lain yang lebih tinggi. Promosi akan diikuti dengan tugas tanggung jawab dan wewenang yang lebih tinggi dari jabatan sebelumnya. Pada umumnya promosi juga diikuti dengan penerimaan income dan fasilitas lain. Akan tetapi, promosi sendiri sebenarnya memiliki nilai karena promosi merupakan bukti pengakuan antara lain terhadap prestasinya”. Pengertian tersebut semakin menegaskan bahwa promosi jabatan merupakan perpindahan jabatan ke jabatan yang lebih tinggi dengan tugas, tanggung jawab dan wewenang yang lebih tinggi, diiringi dengan peningkatan kompensasi dan fasilitas lain. Selain itu, Nitisemito menambahkan bahwa promosi memiliki nilai tambah sebagai pencapaian yang dicapai oleh seorang pegawai yakni bukti pengakuan akan prestasi, kemampuan dan potensi yang dimilikinya untuk menduduki jabatan baru. Selanjutnya Edwin B. Flippo sebagaimana dialihbahasakan oleh Hasibuan, menyatakan bahwa: “A promotion involves a changes from one job another job that is better in terms status and responsibility. Ordinally the changes the higher job is accompanied by increase pat and privileges but not always”. Bahwa promosi berarti pemindahan dari jabatan ke jabatan yang lebih tinggi disertai dengan peningkatan gaji/upah walaupun tidak selalu demikian. Ada beberapa indikator promosi jabatan yang dikemukakan oleh para ahli yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan promosi. Salah satunya dikemukakan oleh Moekijat (1999:106) menyebutkan beberapa pertimbangan: a. Promosi dibuat atas dasar kecakapan Promosi dilakanakan atas dasar kecakapan di antara pegawai yang paling cakap. b. Promosi dilaksanakan hanya menurut rencana organisasi
62
Promosi diselenggarakan hanya menurut rencana promosi organisasi dan disesuaikan dengan kebijakan promosi dari bagian kepegawaian. c. Pegawai harus diinformasikan tentang rencana promosi Harus dijelaskan perkembangan dan penempatan rencana promosi sejelas dan sedetail mungkin. d. Pemberian keterangan mengenai kebijakan dan prosedur promosi Memelihara dan melindungi pegawai dengan memberikan segala keterangan tentang kebijakan dan prosedur untuk mengatur rencana promosi. e. Lapangan persaingan seluas-luasnya Tiap rencana promosi menggunakan lapangan persaingan seluas-luasnya dengan didasari alasan yang tepat dan dilakukan dengan jujur. Hasibuan (2006: 113) menjelaskan bahwa promosi jabatan dilakukan oleh organisasi dengan tujuan: a. Untuk memberikan pengakuan, jabatan dan imbalan jasa yang semakin besar kepada pegawai yang berprestasi kinerja tinggi. b. Dapat menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pribadi, status sosial yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih besar. c. Untuk merangsang agar pegawai lebih bergairan kerja, berdisiplin tinggi dan memperbesar produktivitas kerjanya. d. Untuk menjamin stabilitas kepegawaian pada waktu yang tepat dan dilakukan dengan jujur. e. Memberi keuntungan berantai dalam organisasi karena menimbulkan lowongan berantai. f.
Memberikan kesempatan kepada pegawai untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya.
g. Menambah dan memperluas pengetahuan serta pengalaman kerja dan hal ini akan memberikan daya dorong bagi pegawai lainnya.
63
h. Mengisi kekosongan jabatan karena pejabatnya berhenti. i.
Meningkatkan semangat, kesenangan dan ketenangan kepada pegawai serta meningkatkan produktivitasnya.
j.
Mempermudah penarikan pelamar karena akan menjadi daya tarik bagi para pelamar. Melalui promosi jabatan yang dilakukan oleh organisasi tentunya akan
memberikan daya tarik bagi pegawai untuk lebih maksimal dalam mengerahkan seluruh kemampuan dan kompetensi yang dimiliki. Melihat besarnya peran promosi jabatan, bagi kehidupan sekaligus kelangsungan karier pegawai di dalam organisasi, maka para pegawai berlomba-lomba untuk dapat bersaing dalam mengisi jabatan yang akan dipromosikan. Selain itu, organisasi pun turut melihat manfaat lain dengan adanya promosi jabatan yaitu meningkatnya motivasi kerja pegawai yang selanjutnya diharapkan akan menghasilkan kinerja pegawai yang lebih baik. Dasar promosi bagi pengangkatan pejabat antara lain prestasi kerja, disiplin, loyalitas, daftar urutan kepangkatan, dan pegawai yang aka dipromosikan harus mempunyai prilaku yang tidak tercela, dan telah mengikuti diklat jabatan, selain itu pertimbangan dari Baperjakat menjadi dasar bagi penunjukan seseorang dipromosikan (Thoha : 2005 : 57). Secara lebih sfesifik persyaratan promosi seseorang pejabat harus memenuhi persayaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Pangkat/golongan yang telah memenuhi syarat; b. Disiplin ilmu/latar belakang pendidikan formal; c. Mempunyai kinerja/prestasi kerja yang lebih baik; d. Telah mengikuti Diklat struktural/fungsional; e. Memperhatikan DUK; f.
DP-3 paling tidak bernilai baik;
g. Usia;
64
h. Usulan unit kerja ke BAPERJAKAT; i.
Atas persetujuan pimpinan instansi. Dalam kaitannya dengan promosi jabatan struktural di daerah telah
diatur secara rinci dalam pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Hal-hal penting yang harus diperhatikan promosi antara lain: -
penilaian prestasi kerja
-
analisis jabatan
-
adil
-
sosialisasi
-
kesiapan pimpinan/pegawai (kasus)
-
didokumentasikan secara baik
-
ketepatan prosedur. Parameter ini disarankan untuk diukur dengan indikator sebagai berikut:
Ketersediaan dan pemanfaatan pola karier Kenaikan jabatan/promosi Rotasi jabatan.
4. Pengembangan pegawai Pengembangan sumber daya manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh cerdas, terampil, mandiri, dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diselaraskan dengan persyaratan keterampilan dan keahlian. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam perspektif teoritis ditujukan untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh cerdas,
65
terampil, mandiri, dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diselaraskan dengan persyaratan keterampilan, keahlian, dan profesi yang dibutuhkan dalam semua sektor pembangunan (Kartasasmita 1995). Berangkat dari arti penting aparatur daerah dalam membangun dan melayani kepentingan publik inilah pertanyaan pentingnya adalah sejauhmana mana persiapan pemerintah daerah dalam mengantisipasi gejolak tuntutan perubahan sejalan dengan era reformasi dan globalisasi. Untuk itu, Bryant & White (1987) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek yang terkandung dalam pengembangan sumber daya manusia, yaitu : Pertama, memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), yaitu upaya meningkatkan kemampuan beserta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, penekanan pada aspek pemerataan (equity) dalam rangka menghindari perpecahan di dalam masyarakat yang dapat menghancurkan kapasitasnya. Ketiga, pemberian kekuasaan dan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada masyarakat. Dengan maksud agar hasil pembangunan dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, karena aspirasi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dapat meningkat. Di samping adanya wewenang untuk memberikan koreksi terhadap keputusan yang diambil tentang alokasi resources. Keempat, pembangunan mengandung pengertian kelangsungan pembangunan yang harus diperhatikan mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Secara khusus, Schuler & Youngblood (1986) mengungkapkan bahwa pengembangan sumber daya manusia pada suatu organisasi akan melibatkan berbagai faktor, seperti : pendidikan dan pelatihan; perencanaan dan manajemen karir; peningkatan kualitas dan produktivitas kerja; serta peningkatan kesehatan dan keamanan kerja. Sementara itu, Klingner & Nalbandian (1985) memasukkan pula faktor motivasi kerja, dan penilaian prestasi kerja sebagai Dari kajian atas berbagai teori di atas, sebenarnya
66
pengembangan sumber daya manusia tidak terlalu jauh berbeda dengan harapan atas atribut-atribut profesionalisme, yaitu : (1) seseorang memiliki ketrampilan dan keahlian teoritis ilmiah tertentu sesuai dengan bidang pekerjaan yang akan digelutinya; (2) harus mampu menyumbangkan ilmu dan tenaganya secara optimal untuk kelancaran usaha tempat kerjanya; (3) harus dapat mendorong peningkatan produktivitas yang ber-kelanjutan; (4) memiliki sikap untuk terus menerus memperbaiki dan meningkatkan keahlian dan ketrampilannya; (5) disiplin dan patuh pada aturan main profesi dan tempat kerjanya; (6) memiliki kesiapan untuk berubah atau melakukan penyesuaian terhadap perubahanperubahan yang tengah berlangsung atau bahkan mampu menciptakan perubahan. Pengembangan SDM tidak hanya terfokus pada pegawai yang baru direkrut, akan tetapi untuk pegawai yang sudah lama bekerja. Menurut Flippo (1984: 200), pengembangan merupakan suatu proses yang terdiri dari : 1. Pelatihan untuk meningkatkan dengan perluasan pengetahuan umum pekerjaan tertentu dan 2. Pendidikan yang berkaitan dengan perluasan pengetahuan umum, pengertian dan latar belakang. Ada dua kelompok besar yang harus dilatih adalah tenaga operasional dan para manajer. Operative training dapat dilakukan dignan cara on the job training, vestibule schools, apprenticeship program dan special courses. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya, mempertinggi moral dan mempromosikan
stabilitas dan fleksibilitas dari
organisasi. Pengembangan manajer dapat dilakukan dengan cara membangun decision making skills dan job knowledge. Selain itu dapat melalui special courses, pertemuan-pertemuan program membaca, proyek khusus dan tugas dari komite. Mejia et al (1995 :293) menyatakan bahwa “development is an effort to provide employees with abilities that the organization will need in the future”.
67
Pengembangan merupakan upaya memberikan karyawan kemampuan yang dibutuhkan organisasi di masa depan. Pengembangan karyawan dilakukan melalui penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan serta pengembangan karir. Penilaian kinerja meliputi identifikasi pengukuran dan mengelola kinerja SDM dalam organisasi. Pelatihan adalah proses yang memberikan karyawan keahlian khusus, atau membantu karyawan memperbaiki kekurangan kinerjanya. Pengembangan adalah upaya memberikan karyawan dengan kemampuan yang dibutuhkan organisasi di masa depan. Pengembangan karir adalah upaya yang difokuskan pada mengembangkan, memperkaya dan membuat karyawan lebih cakap. Sedangkan Mondy, Noe, dan Premeaux (1999: 254) seperti yang dikutip Tjutju Suwarsih dan Suwatno, menyatakan bahwa pengembangan SDM meliputi pelatihan (training), pengembangan (development), pengembangan karier (carrier development) dan penilaian kinerja (performance appraisal). Pelatihan dan pengembangan merupakan upaya manajemen yang terencana dan berkesinambungan untuk memperbaiki tingkat kompetensi pegawai dan kinerja organisasi. Pelatihan (training) merupakan kegiatan yang dirancang memberikan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan pada pekerjaan yang sedang dijalani
atau yang terkait dengan
pekerjaannya. Sedangkan pengembangan (development) meliputi kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge) dan keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan yang sedangk dijalani. Pengembangan lebih difokuskan
untuk
jangka
panjang.
Selanjutnya
dipergunakan
untuk
mempersiapkan karyawan sesuai dengan pertumbuhan dan perubahan organisasi. Pengembangan karir (career development) merupakan pendekatan formal yang digunakan organisasi untuk menjamin bahwa orang dengan kualifikasi tepat dan berpengalaman tersedia pada saat dibutuhkan. Penilaian
68
kinerja (performance appraisal) adalah sistem formal dari review periodik dan evaluasi kinerja individu atau tim. Dalam situasi itulah program pelatihan sangat mengandalkan training need analysis ( TNA) atau analisis kebutuhan pelatihan. Sebelum TNA, pendidikan dan pelatihan terdapat tahap-tahap yang harus dilalui. Proses pelatihan meliputi tahap penilaian kebutuhan (needs assessment), pelatihan dan pengembangan (training and development), dan evaluasi (evaluasi). Proses pelatihan menurut Noe (2005: 6), mengemukakan abhwa ada tujuh
tahap dalam proses
perancangan agar pelatihan efektif. Bagan 2.2. Proses Perancangan Pelatihan Efektif
Conducting Need Assesment Organization analysis Person analysis Task analysis
Ensuring Employees Readiness for Training Attitude And Motivation Basic skill
Developing & Evaluation Plan Identify learning outcomes Choose evaluation design Plan cost-beenfit analysis
Ensuring Employees Readiness for Training Attitude And Motivation Basic skill
Selecting Training Method Identify learning outcomes Choose evaluation design Plan cost-beenfit analysis
Craeting Learning Environtment Learing objectives Meaningful Material Practice Feedback Community of learning Modeling Program Administration
Monitoring and Evaluating the Program Conduct Evaluation Make changes to improve the program
Sumber : Noe (2005: ) dalam Prof. Dr. Tjutju Yuniarsih dan Dr. Suwatno , Manajemen Sumber daya Manusia, 2008.
Pada tahap pertama adalah mengadakan penilaian terhadap kebutuhan. Tahap kedua adalah memastikan bahwa pegawai memiliki motivasi dan keahlian dasar yang memerlukan pelatihan. Tahap ketiga adalah menciptakan lingkungan
69
belajar. Tahap keempat adalah memastikan bahwa peserta mengaplikasikan isi dari pelatihan dalam pekerjaannya. Tahap ke lima adalah mengembangkan rencana evaluasi yang meliputi identifikasi hal yang mempengaruhi hasil (outcomes) yang diharapkan dari pelatihan (seperti perilaku, pembelajaran, keahlian), memilih rancangan terhadap hasil dari pelatihan dan perencanaan untuk menunjukkan bagaimana pelatihan yang mempengaruhi ”bottom line” (menggunakan cost beenfit analysis untuk menentukan manfaat moneter yang dihasilkan dari pelatihan). Tahap keenam adalah memilih metode pelatihan berdasarkan tujuan pembelajaran dan lingkungan pembelajaran. Dan tahap ketujuh adalah mengevaluasi program dan membuat perubahan atau revisi pada tahapan awal agar supaya dapat meningkatkan efektivitas pelatihan. Pada uraian berikut akan dikemukakan beberapa best practice yang dapat digunakan sebagai benchmarking dalam rangka pengembangan PNS di daerah, antara lain di Kabupaten Trenggalek (Provinsi Jatim), dan Provinsi Gorontalo. Di Kabupaten Trenggalek berbagai strategi yang dapat ditawarkan dalam mengembangkan sumber daya manusia adalah sebagai berikut : Pertama, dengan meng-update job analysis yang sudah ada (termasuk pula job description dan job spesification); Kedua, dengan melakukan pengembangan terhadap kualitas kehidupan kerja (quality of work life atau qwl). Ketiga, dengan mereformasi strategi pendidikan dan pelatihan (terutama dengan matching bidang tugas dengan bidang pendidikan, serta penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan rill Kabupaten Trenggalek); Keempat, dengan me-reorientasi manjemen karir; dan yang Kelima, dengan mereorientasi penilaian prestasi kerja (terutama memperluas fungsi penilaian prestasi kerja serta kemungkinan berbagai teknik evaluasi kinerja, pemanfaatan berbagai mekanisme pengawasan dalam menunjang keberhasilan strategi kelima ini). Berbeda dengan Pemkab Trenggalek, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay.
70
Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Di samping itu, pengerjaan kegiatan-kegiatan Pemerintah Provinsi Gorontalo tidak lagi menggunakan sistem proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki pembagian tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja, pegawai dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di samping menekankan anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan, transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Provinsi Gorontalo diwujudkan dengan pemuatan laporan keuangan yang spesifik di media massa. Perubahan paradigmatik kepegawaian oleh sejumlah kepala daerah yang inovatif tersebut tentu juga menemui banyak hambatan. Akan tetapi, tantangan itu bisa diatasi karena kebijakan tersebut juga memberi reward yang transparan kepada pegawai atas keberhasilan mereka. Di bidang kepegawaian Pemerintah Provinsi Gorontalo melakukan inovasi yang cukup radikal. Aspek penting yang sering kurang mendapat perhatian adalah melakukan penataan manajemen pemerintahan
daerah.
Pemerintah
Provinsi
Gorontalo
melihat
aspek
kelembagaan, kepegawaian, keuangan dan proses pengembangan ekonomi daerah merupakan penentu penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat oleh karena menjadi prioritas penataan agar Pemerintah Provinsi Gorontalo memiliki watak kewirausahaan. Kelembagaan pemerintah daerah adalah bagian yang menjadi perhatian utama dalam inovasi. Organisasi pemerintah provinsi Gorontalo ditata ulang berdasarkan prinsip efektivitas, efesiensi dan penajaman fungsi perangkat daerah agar unit-unit pemerintah daerah mampu berkinerja baik dan menghasilkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat. Inovasi kelembagaan yang dilakukan antara lain melalui capacity building dan perubahan orientasi
71
mind set dari mindset birokratik ke mindset entrepreneur. Lembaga-lembaga yang menangani keuangan, kepegawaian dan kesehatan ditata ulang agar kinerjanya lebih baik, karena fungsi keuangan dan fungsi kepegawaian itu merupakan inti dari kapasitas manajemen pemerintah daerah. Konsep pengembangan pegawai diarahkan agar pegawai itu inovatif, mampu bekerja secara team work, dapat dipercaya, mampu bekerja cepat dan akurat serta dapat menciptakan kemakmuran. Terobosan yang dilakukan adalah menciptakan nilai-nilai kerja untuk membangun entrepreneurial spirit dalam birokrasi pemerintahan yang mengutamakan pada: inovasi, team work, trustworthiness, prosperity dan speed. Ini adalah inovasi pertama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi di Indonesia yaitu menciptakan semacam corporate culture seperti yang ada pada sektor swasta. Parameter pengembangan pegawai disarankan untuk diukur dengan indikator-indikator:
Ketersediaan dan pemanfaatan analisis kebutuhan diklat/training need analysis (TNA)
Seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan
Pengembangan pegawai melalui diklat teknis dan fungsional Evaluasi pasca diklat Pemanfaatan alumni Diklatpim Pengembangan pegawai melalui pendidikan formal Pengembangan mental pegawai. 5. Kesejahteraan pegawai (Remunerasi) Remunerasi (Remuneration) adalah nilai moneter yang diperoleh pegawai sebagai kompensasi atas kinerja pegawai dalam menjalankan tugas pokok fungsi dan tanggung jawabnya. Selain itu ada yang mendefinisikan remunerasi sebagai
72
pemberian imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif, bonus atau prestasi, pesangon dan/ atau pensiun. Dengan remunerasi diharapkan adanya sistem penggajian pegawai yang adil dan layak. Besaran gaji pokok didasarkan pada bobot jabatan. Penggajian PNS juga berdasar pada pola keseimbangan komposisi antara gaji pokok dengan tunjangan dan keseimbangan skala gaji terendah dan tertinggi. Secara teori, remunerasi mencakup elemen kompensasi dan insentif bagi pegawai. Ada dua pendekatan utama dalam memberikan remunerasi, yakni system yang berdasarkan kinerja (performance based) dan berdasarkan keahlian (skill based). Dalam masing masing pendekatan tersebut dapat dibedakan lagi menurut individu atau tim. System yang berdasarkan kinerja menetapkan remunerasi berdasarkan capaian kinerja pegawai dengan kinerja organisasi. Remunerasi/penggajian yang berlaku untuk pegawai negeri sipil daerah mengacu pada kebijakan penggajian PNS yang berlaku secara nasional. Besar kecilnya gaji seseorang ditentukan oleh pangkat dan masa kerja yang dimiliki oleh pegawai tersebut. Sistem penggajian PNS ini diatur dalam PP No 8 Tahun 2009 tentang Perubahan kesebelas atas PP No.7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS. Dalam rangka meningkatan kesejahteraan pegawai maka Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007. di dalam Pasal 39 Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud dinyatakan bahwa pemberian tambahan penghasilan kepada pegawai dapat diberikan berdasarkan beban kerja, prestasi kerja, kelangkaan profesi serta pertimbangan obyektif lainnya. Tambahan penghasilan tersebut merupakan perbaikan penghasilan yang
73
diberikan dalam rangka peningkatan prestasi kerja Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Tenaga Kontrak. Contoh praktek pemberian remunerasi di daerah: Kota Pekanbaru yang menerapkan tunjangan kinerja daerah berdasarkan prestasi kerja. Provinsi Gorontalo juga memberikan tunjangan kinerja daerah yang besarnya untuk suatu masa kinerja dihitung atas dasar komponen disiplin dan pencapaian kinerja sesuai tugas pokok dan fungsi dari jabatan struktural, staf dan tenaga kontrak atau peran nyata melaksanakan tugas lainnya untuk suatu Masa Kinerja sesuai dengan Keputusan Gubernur atau Kepala Satuan Kerja. Program pemberian insentif, yang kemudian disebut Tunjangan Kinerja Daerah (TKD), yang dirancang sebagai upaya pemecahan masalah merupakan aplikasi dari teori motivasi. Motivasi dalam bentuk insentif dianggap merupakan satu-satunya cara yang paling realistis untuk meningkatkan kinerja pegawai pada saat itu. Fokus dari kebijakan Tunjangan Kinerja Daerah bagi Provinsi Gorontalo adalah pada kinerja. Untuk tercapainya tujuan tersebut, berbagai kelengkapan mulai disiapkan baik yang berupa peraturan keadministrasian, sanksi, dan berbagai perangkat penunjang lain yang mendukung tercapainya budaya kinerja positif di lingkungan Pemprov. Gorontalo. Secara umum, konsep penyusunan TKD Provinsi Gorontalo ini tergolong cukup komprehensif, dan dibangun dengan tujuan yang terukur. Persoalan yang dapat diidentifikasi dalam aspek ini antara lain: remunerasi lebih banyak dinikmati oleh pejabat yang menduduki jabatan struktural, sistem penggajian tidak didasarkan pada standard penilaian kinerja, serta tidak ada kejelasan /standard kualifikasi bagi PNS untuk duduk di kepanitiaan atau kegiatan-kegiatan proyek. Aspek kesejahteraan pegawai penting dijadikan penilaian dalam manajemen PNS Daerah. Upaya peningkatan kesejahteraan PNS meliputi Asuransi Kesehatan, Taspen, Cuti, Uang lembur, Persekot, dan dalam kepemilikan rumah. Setelah otonomi telah dilakukan pendelegasian wewenang kepada Gubernur
74
untuk meneliti dan memutuskan pemberian bantuan perumahan dari dana Bapertarum pada PNS daerah. Upaya lain untuk meningkatkan kemampuan pegawai dalam kepemilikan rumah adalah dengan memberikan bantuan sebagian uang muka dalam rangka pembelian rumah yang dilakukan secara kredit. Bantuan lain berupa bantuan sebagian biaya membangun rumah yang diberikan dalam rangka membantu pembangunan rumah bagi PNS yang sudah memiliki tanah sendiri dan belum ada bangunannya di daerah PNS bekerja. Parameter kesejahteraan telah diukur dengan mebggunakan indikator sebagai berikut: Ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan, selain ASKES Ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap Ketersediaan dan pelaksanaan santunan uang duka Ketersediaan dan pemanfaatan bantuan memperoleh perumahan Ketersediaan uang makan pegawai (untuk 1 kali makan) Ketersediaan transportasi/bantuan uang transport bagi pegawai.
6. Manajemen Kinerja Evaluasi kinerja PNS Daerah umumnya dilakukan dengan mengacu pada DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang didalamnya terdapat 8 (delapan) unsur penilaian, yaitu kejujuran, kesetiaan, ketaatan, prestasi kerja, tanggung jawab, kerjasama, kepemimpinan dan prakarsa. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) tersebut merupakan penjabaran dari UndangUndang Nomor 8/1974 jo UU No. 43/1999 pasal 20 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi: ”Untuk lebih menjamin obyektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja.” Penilaian pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979. Serta untuk lebih menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaannya, maka BAKN
75
mengeluarkan petunjuk teknis tentang pelaksanaan penilaian pekerjaan PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10/1979, berupa Surat Edaran yaitu SE. BAKN No. 02/SE/1980 tentang petunjuk pelaksanaan DP3. Mengacu pada SE. BAKN No. 02/SE/1980 Bagian II poin 1 – 2, tujuan dari DP3 ialah untuk memperoleh bahan-bahan pertimbangan yang obyektif dalam pembinaan PNS berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja. Salah satu permasalahan yang dalam aspek ini adalah ukuran kinerja baik individual maupun kelompok/sub unit yang sampai sekarang belum jelas, belum disempurnakan. Delapan unsur dan 222 sub unsur yang ada di PP 10/1979 dinilai terlalu banyak dan sangat abstrak, serta hanya berorientasi pada individual pegawai tanpa memperhatikan organisasi dan kurang berorientasi pada prestasi kerja. Dampaknya, penilaian tidak berhubungan dengan pencapaian tujuan, visi, dan misi organisasi . Pegawai tidak mengetahui apa yang diharapkan organisasi dan bagaimana cara memenuhi harapan tersebut. Penilaian ini tidak menghasilkan informasi untuk pengembangan PNS dan unit kerja. Meskipun demikian, secara empiris terdapat pula daerah yang mengembangkan ukuran kinerja pegawai tersendiri, di luar DP3. Misalnya di Provinsi Gorontalo yang telah mengembangkan indikator penilaian kinerja yang pemenuhannya menjadi persyaratan untuk mendapatkan tunjangan kinerja daerah. Dalam rangka pemberian TKD tahun 2007, dilakukan penilaian yang menitikberatkan pada pencapaian kinerja 70 persen, dengan penekanan pada prestasi, inovasi, dan kemampuan manajerial bagi yang memegang jabatan serta aspek disiplin 30 persen yang terdiri dari ketaatan terhadap jam kerja (15%) dan kepatuhan terhadap peraturan kepegawaian (15%). Dalam konteks ini juga dikenal istilah reward & punishment. Reward mencakup baik remunerasi dan penghargaan lain baik yang bersifat tangible maupun intangible yang diterima oleh pegawai.
Rewards juga mencakup
kompensasi dan insentif. Di samping itu ada juga elemen lain yang berupa
76
manfaat tidak langsung dan insentif seperti kesempatan pengembangan diri, pendidikan, maupun perjalanan. Di samping itu ada juga elemen lain yang berupa manfaat tidak langsung dan insentif seperti kesempatan pengembangan diri, pendidikan, maupun perjalanan. Sejak 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja Satya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan. Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Penerapan sistem punishment pada aparatur telah lama diterapkan sejak diterbitkannya Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang Disiplin Aparatur Pemerintah dan ketentuan pelaksanaanya ditetapkan dengan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 23/SE/1980 Tahun 1980. Kemudian sederet aturan tentang punishment diawali TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara, sampai dengan Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdapat beberapa persoalan dalam hal reward dan punishment pegawai negeri sipil daerah. Setelah diberlakukannya otonomi daerah terjadi kelebihan pegawai yang disertai dengan berkurangnya beban kerja sehingga banyak pegawai yang tidak mempunyai pekerjaan yang jelas dan menyebabkan kedisiplinan dan semangat kerja tidak cukup baik. Persoalan dalam aspek disiplin pegawai yang lain adalah belum adanya sistem yang baik untuk menjaga disiplin dan rewards, serta masih terbatas pada disiplin fisik administratif yang belum
77
cukup berkorelasi dengan produktivitas/ kinerja pegawai, dan terdapatnya pelanggaran-pelanggaran disipliner yang tidak ditindak. Di samping itu bila ada insentif, besarnya insentif tersebut belum sebanding dengan perbedaan disiplin dan prestasi masing-masing pegawai. Contoh praktek pemberian reward & punishment di daerah:
Di Provinsi Gorontalo, karyawan yang berprestasi diberikan kesempatan (hadiah) untuk melakukan ibadah umrah.
Wali Kota Pekanbaru dalam SK Wali Kota Nomor 15/2006 mengatur, pegawai yang tak masuk kerja satu hari tanpa keterangan akan dipotong tunjangannya sebesar 4 persen, dan bila 10 hari akan dipotong 40 persen setiap bulan. Kalau lebih dari 10 kali tidak hadir, tunjangan kinerja tak akan
dibayarkan,
termasuk
hukuman
disiplin
sesuai
Peraturan
Pemerintah No 30/1980. Parameter evaluasi kinerja disarankan untuk diukur dengan indikator: Perencanaan kinerja pegawai Monitoring kinerja pegawai Penilaian kinerja pegawai Evaluasi kinerja pegawai Tunjangan Kinerja Daerah/TKD Reward and Punishment.
7. Disiplin dan Etika Etika dalam bahasa Yunani disebut ethos berarti kebiasaan atau watak. Dalam bahasa Perancis: etiquette dimaknai ’etiket’ berarti kebiasaan atau cara bergaul, berprilaku yang baik. Etika lebih merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan, pergaulan seseorang atau sesuatu organisasi tertentu, pandangannya, seseorang dapat menilai apakah etika yang digunakan atau diterapkan itu bersifat baik atau buruk. Etika sendiri sesungguhnya adalah bagian dari filsafat yang dipahami sebagai alam berpikir
78
atau alam pikiran. Dengan kata lain berfilsafat adalah berpikir mendalam dengan sungguh-sungguh. Oleh karenanya semua manusia adalah filsuf dan filsuf adalah orang yang hanya memikirkan dengan sungguh-sungguh dan mendalam tentang hakikat segala sesuatu. Etika dalam pengertian yang sederhana sering didefinisikan di antaranya (1) Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip-prinsip moral tentang baik dan buruk
dari tindakan atau perilaku manusia dalam
kehidupan sosial; (2) Etika berkaitan erat dengan tata susila (kesusilaan), tata sopan santun
(kesopanan) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam
keluarga, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara; (3) Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan; Secara umum etika dapat dibagi menjadi dua bagian yakni etika umum (etika sosial) dan etika khusus (Misalnya etika pemerintahan). Dalam kelompok tertentu dikenal dengan etika bidang profesional yaitu kode PNS, kode etik kedokteran, kode etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya. Kode Etik PNS adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang harus dilaksanakan oleh setiap PNS atau norma yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugas-tugas organisasi maupun menjalani kehidupan pribadi. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik dan Pemberhentian PNS.
79
Box. 2.1 Kasus 1 (Tidak Masuk Kerja Enam Bulan, Dua PNS Dipecat) Dua pegawai Pemerintahan Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dipecat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) karena tidak masuk kerja berbulanbulan sehingga dikategorikan melakukan perbuatan indisipliner. Selain memecat dua orang pegawai, Pemkot Pekalongan juga menerapkan sejumlah sanksi sesuai tingkatan pelanggaran terhadap beberapa pegawai negeri di lingkungan Pemkot setempat, demikian Kepala Bagian Kepegawaian Sekretaris Daerah Kota Pekalongan Agust Marhaendrayana di Pekalongan. "Dua PNS yang dipecat itu karena melakukan tindakan indispliner mangkir tugas selama enam bulan berturut-turut sehingga kasus seperti itu termasuk pelanggaran berat dan sanksinya adalah pemberhentian sebagai PNS," kata Agust. Jika seorang PNS mangkir tugas selama enam bulan maka itu sama dengan tidak bisa melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai pegawai negeri sehingga harus ditindak tegas dengan cara diberhentikan. "Namun, kami tidak bisa menyebut identitas dua PNS dipecat itu karena belum ada aturan dari pemerintah yang membolehkan ekspos pegawai pemerintah yang terkena kasus pelanggaran berat, termasuk dalam kasus pemecatan. Pengusulan dan pemutusan pemecatan kedua pegawai didasarkan pada hasil evaluasi tim penegak disiplin karena Pemkot Pekalongan memiliki tim penegak untuk ini. Selain memecat pegawai, Pemkot Pekalongan juga memberikan sanksi penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 12 bulan terhadap tiga PNS dan pembebasan dari jabatan terhadap seorang PNS. Tindakan tegas dari Bagian Kepegawaian adalah langkah tepat guna menciptan aparatur negara yang berdisplin dalam menjalankan tugas. "Kami mendukung ketegasan langkah Pemkot Pekalongan yang telah dicanangkan wali kota beberapa waktu lalu tentang pelayanan prima kepada masyarakat," kata Kepala Humas dan Protokol Kota Pekalongan Maryati.
80
Box. 2.2 Kasus 2 (Selingkuh dan indisipliner 21 PNS Boyolali dipecat) Akibat terlibat kasus perselingkuhan dan indisipliner, 21 pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Boyolali dipecat. Hal itu terjadi dalam rentang waktu 2008-2009. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemkab Boyolali mengatakan, dari jumlah tersebut kasus perselingkuhan memang mendominasi. Dan rata-rata terungkapnya kasus tersebut, karena ada laporan dan petugas BKD memergokinya, sehingga mereka tertangkap tangan.”Dalam penanganan kasus perselingkuhan ini, memang harus tertangkap basah dan ada bukti-bukti serta saksi yang kuat,” ujar Agus Partono. Selain kasus perselingkuhan, pemecatan PNS juga terkait dengan pelanggaran indispliner. Sehingga sesuai dengan PP 30/1980 dan PP 10/183 tentang disiplin pegawai negeri yang diperbarui dengan PP 45/1990 tentang perkawinan dan perceraian PNS, maka diambil tindakan tegas. Namun tindakan pemecatan tersebut tidak dilakukan serta-merta. Melainkan bertahap setelah dilakukan pembinaan serta pengamatan secara kontinyu. Sedangkan sanksi pemecatan, sebagian di antaranya diberhentikan dengan hormat dan sisanya dengan tidak hormat, Prosedural. Didesak soal pemecatan PNS atas nama Purwanto yang kabarnya akan mengajukan banding dan melaporkan ke Komnas HAM, Agus Partono menegaskan, pemberhentian atau pemecatan Purwanto telah prosedural. Karena sesuai SK Bupati No.862.3/00124/28/2010. Bahkan bupati sampai membentuk tim penyelesaian kasus kepegawaian yang terdiri dari Inspektorat, BKD, bagian hukum, serta Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora).”Bahkan sudah dikonsultasikan ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapeg) dan direkomendasikan untuk diberhentikan dengan tidak hormat,” Namun, karena kebijakan bupati, akhirnya Purwanto diberhentikan dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri dan masih menerima pensiun. Padahal yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran sejak tahun 2004 lalu dan sempat dimutasi beberapakali. Selain seringkali tidak masuk kerja. Pelanggaran yang dilakukan Purwanto sudah berulang kali. Maka akhirnya, diambil tindakan tegas.”
Parameter etika disarankan untuk diukur dengan indikator: Dukungan kebijakan daerah
81
Pelaksanaan disiplin pegawai Pelanggaran disiplin pegawai Tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin pegawai Kebijakan daerah tentang etika pegawai.
8. Pemberhentian/Pensiun Pemberhentian dapat diartikan sebagai terputusnya hubungan kerja seseorang dengan instansi yang mengakibatkan hilangnya status sebagai karyawan atau pegawai. Dalam konteks pemberhentian sebagai PNS adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan status sebagai pegawai negeri sipil”. Pemberhentian dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak bekerja lagi pada suatu satuan organisasi negara, tetapi masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian dalam perspektif perudangan dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara. Parameter pemberhentian/pensiun disarankan diukur dengan indikator: Pembinaan memasuki masa pensiun Jumlah pegawai pensiun karena belum mencapai BUP/meninggal dunia Ketepatan waktu pensiun Perpanjangan BUP
9. Infrastruktur Manajemen PNS Daerah tidak hanya berkenaan dengan tahapan-tahapan fungsi manajemen, tetapi juga harus dikaitkan dengan kesiapan infrastruktur yakni standard kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan, sistem informasi kepegawaian, kelembagaan pengelola, SDM pengelola, SOP, sarana
82
prasarana dan anggaran. Sebagai suatu infrastruktur, maka indikator tersebut sangat mendukung tercapainya kinerja manajemen PNS di daerah yang optimal. Keberhasilan sebuah pengelolaan PNS dipengaruhi oleh keberadaan dokumen standard kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan, SOP, kelembagaan pengelola, SDM pengelola, sistem informasi kepegawaian, sarpran dan anggaran. Anggaran merupakan bagian penting dalam manajemen PNS Daerah, diantaranya untuk mendukung pengadaan, pengembangan pegawai dan sebagainya. Dukungan anggaran kepegawaian pada kenyataannya sering dimarjinalkan, karena dianggap tidak memberikan dampak langsung terhadap pencapaian tujuan organisasi pemerintah daerah. Oleh karenanya, mindset seperti ini pada masa depan harus dilakukan perubahan karena PNS Daerah merupakan penggerak utama pencapaian tujuan pemerintah daerah. Indikator-indikator yang telah digunakan untuk mengukur parameter infrastruktur meliputi: Standard Kompetensi Jabatan Database Kompetensi Jabatan SOP (Standard Operating Procedure) Manajemen PNS Daerah Sistem Informasi Kepegawaian Kelembagaan Pengelola PNS Daerah Sarana dan Prasarana Unit Pengelola Kepegawaian Anggaran pengembangan pegawai SDM Pengelola PNS Daerah
C. KONSEP PENGUKURAN DAN EVALUASI 1. Pengukuran Pengukuran adalah kegiatan yang sistemik untuk menyatakan suatu keadaan atau gejala dalam bentuk kuantitatif. Bentuk kuantitatif yang berupa angka selanjutnya dianalisis untuk menentukan kemampuan sesuatu. Pengukuran
83
kinerja merupakan usaha menentukan kemajuan/kemunduran suatu organisasi karena dalam pengukuran kinerja ini dilakukan monitoring dan pelaporan pencapaian program yang dilakukan secara terus menerus. Pengukuran kinerja manajemen PNS Daerah adalah suatu proses untuk menentukan capaian kinerja manajemen PNS Daerah dalam rangka mendukung pencapaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Manfaat pengukuran kinerja a. Sebagai alat untuk mengidentifikasi apakah tuntutan masyarakat terhadap pengelolaan PNS Daerah dapat terpenuhi. b. Membantu memahami proses penyelenggaraan dan pengelolaan PNS Daerah, menegaskan hal-hal yang telah dicapai serta menyingkap permasalahan yang belum diketahui. c. Untuk meyakinkan bahwa keputusan yang diambil secara obyektif, bukan secara emosional atau intuisi semata. d. Untuk menunjukkan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan dalam pengelolaan PNS Daerah. e. Untuk memperlihatkan keberhasilan pengelolaan PNS Daerah yang telah dicapai. f.
Menjadi referensi bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan PNS Daerah. Dewasa ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk lebih responsif, kompetitif, dan akuntabel. Oleh karena itu ketersediaan informasi kinerja manajemen PNS Daerah menjadi hal yang vital.
2. Indikator Kinerja Indikator adalah suatu nilai yang diturunkan dari parameter yang memberikan
informasi
tentang
keadaan
dari
suatu
fenomena/
lingkungan/wilayah dengan signifikansi dari indikator tersebut berhubungan
84
secara langsung dengan nilai parameter. Suatu indikator tidak selalu menjelaskan keadaan secara keseluruhan, tetapi kerap kali
memberi petunjuk (indikasi)
tentang keadaan keseluruhan sebagai suatu pendugaan (proxy). Kategori indikator kinerja meliputi ukuran input (masukan) , ukuran output (keluaran), ukuran outcomes (hasil), ukuran efisiensi, dan infomasi penjelas. Evaluasi Kinerja membantu memahami kebijakan dan program melalui kajian yang sistematis yang menjelaskan pengoperasian program, efek, justifikasinya, dan implikasi sosialnya.
Esensi penting dalam evaluasi adalah
pembuatan ‘nilai-nilai’ yang diperlukan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja suatu obyek. Dan nilai ini merupakan informasi kinerja yang dapat digunakan
secara
terbuka
untuk
mengatakan
apakah
suatu
hasil
program/kegiatan dilakukan sesuai dengan tujuannya. Evaluasi dilakukan dengan tujuan akhir sebagai usaha untuk mewujudkan kondisi sosial yang lebih baik.
3. Tujuan evaluasi
a. Memberikan penilaian tentang kinerja manajemen PNS Daerah. b. Perbaikan manajemen PNS Daerah, usaha menggunakan informasi yang secara langsung mampu meningkatkan kualitas manajemen PNS Daerah.
c. Menilai sejauh mana manajemen PNS Daerah mampu memenuhi tujuan, aturan, standar, atau harapan formal lainnya Aspek strategis dari kegiatan evaluasi adalah perumusan rekomendasi (recommendation), yaitu menentukan langkah-langkah tindak lanjut apa yang dapat dilakukan selanjutnya, baik sebagai tindakan korektif maupun dalam rangka keberlanjutan sesuatu program. Pengukuran kinerja dapat berfungsi sebagai alat deteksi dini (early warning system) untuk memperlihatkan tingkat kegagalan
atau keberhasilan suatu
program. Namun hasil dari pengukuran kinerja yang sifatnya lebih bersifat kuantitatif seringkali tidak dapat menjelaskan latar belakang atau alasan (reason)
85
penyebab
kegagalan
atau
mempelajari
faktor-faktor
keberhasilan
dan
memberikan suatu rekomendasi untuk perbaikan. Oleh karena itu memerlukan eksplorasi yang lebih mendalam melalui evaluasi dapat sebagai cara untuk menjawab kebutuhan tersebut karena pada dasarnya evaluasi lebih menekankan pada pengkajian yang lebih mendalam
untuk mendapatkan rekomendasi
perbaikan. Meskipun tidak semua evaluasi menghendaki adanya pengukuran kinerja, namun pengukuran kinerja yang efektif tidak dapat dilepaskan dari kegiatan evaluasi. Hal ini karena pengukuran kinerja yang terlepas dari evaluasi hanya akan memberikan gambaran deskriptif dan sulit untuk memberikan rekomendasi yang baik.
86
D.KERANGKA PIKIR Manajemen PNS Manajemen PNS di Daerah
ASPEK/PARAMETER 1. Perencanaan 2. Pengadaan 3. Mutasi Jabatan & Promosi 4. Pengembangan Peg. 5. Kesejahteraan Peg. 6. Manajemeni Kinerja 7. Disiplin & Etika Peg. 8. Pemberhentian/Pensiun 9. Infrastruktur
INDIKATOR :
Perencanaan 1. Ketersediaan Master Plan Kepegawaian 2. Pemanfaatan ABK 3. Bezetting dan pemanfaatannya 4. kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian informasi yang telah ditetapkan Pengadaan Pegawai 5. Penyebarluasan informasi pengadaan pegawi 6. Penyimpangan dalam pengadaan pegawai 7. Ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS 8. Ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS 9. Kesesuaian penempatan Mutasi Jabatan dan Promosi 10. Ketersediaan dan pemanfaatan pola karir 11. Kenaikan jabatan/Promosi 12. Rotasi jabatan Pengembangan Pegawai 13. Ketersediaan dan pemanfaatan TNA 14. Seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan 15. Pengembangan pegawai melalui diklat teknis dan fungsional 16. Evaluasi pasca diklat 17. Pemanfaatan alumni Diklatpim 18. Pengembangan pegawai melalui pendidikan formal 19. Pembinaan Mental pegawai Kesejahteraan Pegawai 20. Ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan selain ASKES 21. Ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap 22. Ketersediaan dan pelaksanaan pemberian santunan uang duka 23. Ketersediaan dan pemanfaatan bantuan memperoleh perumahan 24. Ketersediaan uang makan pegawai 25. Ketersediaan bantuan uang transport Manajemen Kinerja Pegawai 26. Perencanaan Kinerja 27. Monitoring kinerja pegawai 28. Penilaian kinerja pegawai 29. Evaluasi kinerja pegawai 30. Tunjangan kinerja daerah 31. Reward and Punishment Disiplin dan Etika Pegawai 32. Dukungan kebijakan daerah 33. Pelaksanaan Disiplin Pegawai 34. Pelanggaran disiplin pegawai (PP No. 53/2010) 35. Tindaklanjut terhadap pelanggaran disiplin pegawai 36. Kebijakan daerah tentang etika pegawai Pemberhentian/Pensiun 37. Pembinaan memasuki usia pensiun 38. Jumlah pegawai pensiun karena belum mencapai BUP/ meninggal dunia 39. Ketepatan waktu pensiun 40. Perpanjangan batas usia pensiun Infrastruktur 41. Standar kompeensi jabatan 42. Database kompetensi jabatan 43. SOP Manajemen PNS Daerah 44. Sistem Informasi Kepegawaian 45. Kelembagaan Pengelola PNS Daerah 46. Sarana dan Prasarana unit Pengelola Kepegawaian 47. Anggaran Pengembangan Pegawai 48. SDM pengelola PNS Daerah
Kinerja manajemen PNSD
87
BAB 3 METODOLOGI KAJIAN A. JENIS KAJIAN Kajian ini digolongkan sebagai kajian terapan, yakni ditujukan untuk mempergunakan pengetahunan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah praktis. Pengetahuan ilmiah dimaksud sebagaimana telah diuraikan dalam kerangka konsep. Adapun masalah yang akan diselesaikan sebagaimana diuraikan dalam Bab I. Mengingat kajian ini dilakukan untuk menghasilkan suatu pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah, maka menurut pendekatannya kajian ini digolongkan sebagai penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan ditujukan untuk mengembangkan pendekatan dan program baru guna memecahkan masalah yang muncul pada situasi aktual (Davis Kline ,1980; Sugiyono,1997), dalam hal ini adalah upaya pengembangan suatu pendekatan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja manajemen PNS daerah. Menurut tingkat eksplanasinya, kajian ini menggabungkan kajian deskriptif dan asosiatif. Sebagai kajian deskriptif, kajian ini menjelaskan permasalahan manajemen PNS di Daerah dan upaya perbaikan yang perlu dilakukan. Namun kajian ini juga menggali keterkaitan-keterkaitan antara permasalahan upaya perbaikan tersebut dengan berbagai parameter yang penting untuk membangun pedoman yang diharapkan, sehingga kajian ini juga bersifat asosiatif.
88
B. DAERAH KAJIAN Terdapat beberapa daerah dimana berbagai kasus dikumpulkan. Pada tahap pengembangan pedoman awal, daerah kajian tersebut meliputi
8
(delapan) kabupaten/kota dan 8 (delapan) provinsi. Sementara sebagai pilot project untuk pedoman tersebut dipilih 2 (dua) provinsi sebagai lokus kajian. Keseluruhan daerah kajian yang dimaksud sebagaimana ditampilkan dalam tabel 1 berikut. Tabel. 3.1 Daerah Kajian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kabupaten/Kota Kota Binjai Kota Batam Kabupaten Gianyar Kabupaten Muarojambi Kota Batu Kabupaten Semarang Kabupaten Gorontalo Kabupaten Lombok Barat 11 Kabupaten/kota 4 kabupaten/kota
Provinsi Provinsi Sumatera Utara Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Bali Provinsi Jambi Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi NTB Provinsi Kalimantan Selatan *) Provinsi Riau*)
Catatan : *) merupakan daerah pilot project, kabupaten/kota yang dinilai adalah kabupaten/kota yang mengisi instrumen yang disampaikan *) 11 Kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan: Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Kota Baru, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tabalong/Tanjung, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Balangan. *) 4 kabupaten/kota di Provinsi Riau: Kabupen Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti.
89
C. DATA KAJIAN 1. Karakteristik Data Berdasarkan karakteristik data yang digunakan, kajian ini lebih bersifat cross-sectional study, dimana obyek studi dikaji pada pada waktu tertentu. Kajian ini menggunakan banyak kasus kualitatif (qualitative multiple case study) pada tahap pengembangan pedoman. Namun, hal yang unik dari kajian ini adalah bahwa kajian ini sekaligus ditujukan untuk melakukan pilot project atas pedoman yang dikembangkan. Adapun dalam pilot project tersebut digunakan pula data-data kuantitatif untuk mengukur kecenderungan-kecenderungan tertentu. Pilot project telah dilaksanakan di dua daerah yakni Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Riau, termasuk juga kabupaten/kota yang ada di wilayah kedua provinsi tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data kajian dilakukan dengan menerapkan beberapa teknik antara lain: a. Diskusi Kelompok/Focus Group Discussion (FGD). Diskusi dilakukan dengan narasumber baik di Pusat maupun di Daerah. Diskusi dimaksudkan untuk menggali berbagai permasalahan yang timbul dalam manajemen PNS Daerah serta dalam evaluasinya. Diskusi kelompok diselenggarakan
di ibukota
provinsi dan kabupaten/kota dengan mengundang stakeholders terkait (pihak BKD/Bagian Kepegawaian dan Badan Diklat) guna memberikan masukan terhadap draft pedoman pengukuran dan evaluasi yang disusun oleh Tim Kajian. b. Wawancara mendalam (indepth interview). Selain diskusi kelompok, alternatif lain dalam pengumpulan data juga akan dilakukan melalui wawancara mendalam dengan para narasumber. Hal ini dilakukan sebagai alternatif apabila diskusi tidak dapat terselenggara atau jika diperlukan pendalaman
90
atas informasi tertentu. Menurut Sutopo (1988:24), wawancara mendalam (In-Depth Interview) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui narasumber/key informant guna menggali informasi yang diperlukan dengan lebih seksama dan komprehensif. c. Studi kepustakaan. Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengidentifikasi dan menganalisis buku-buku teks dan dokumen peraturan perundang-undangan yang relevan dengan topik kajian Selain itu, data-data yang diperoleh dengan teknik ini juga dapat dapat berupa surat, memoranda, agenda, pengumuman-pengumuman, catatan rapat, proposal, progress report, laporan studi yang pernah dilakukan di tempat yang sama, klipping berita dan juga artikel yang ada di media massa serta bahan-bahan hasil unduhan (download) dari internet. d. Survey. Survey dilakukan pada tahap uji coba atas pedoman yang dikembangkan. Dalam hal ini, pengumpulan data yang dilakukan merupakan pengumpulan data sebagaimana yang dilakukan dalam pedoman pengukuran dan evaluasi yang dikembangkan. Untuk itu disempurnakan instrumen pengumpulan data yang mencakup berbagai pertanyaan yang dikembangkan dari indicator-indikator yang juga telah disempurnakan berdasarkan masukan narasumber.
3. Teknik Analisis Data Analisis data telah dilakukan melalui tahapan dan cara sebagai berikut: a. Untuk data hasil diskusi kelompok dan hasil wawancara mendalam (indepth interview), pengolahan dan analisis data dimulai dengan mentranskrip hasil (termasuk mentranskrip hasil diskusi terbatas), kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut secara kualitatif. Dalam melakukan analisis data hasil wawancara perlu diperhatikan dengan seksama karena tidak semua data yang disampaikan narasumber merupakan fakta yang sesungguhnya.
91
Untuk data-data yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, pengolah dan penganalisis data (peneliti) akan menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus menyertakan sumber yang dikutipnya secara lengkap. b. Untuk data kuantitatif, analisa dilakukan sebagai berikut. 1) Menentukan bobot masing-masing parameter dan indikator. Penentuan bobot dilakukan melalui expert judgement sesuai kepentingannya dalam menjelaskan parameter dan indikator tertentu. Bobot terbesar pada aspek/parameter perencanaan, pengadaan dan pengembangan pegawai (15%), karena ketiga paramater itulah sesungguhnya ”nyawa” manajemen PNS. Sedangkan skor terendah pada aspek/parameter pemberhentian (5%) karena parameter ini menjadi imbas dari parameter lainnya, misalnya manajemen kinerja dan disiplin & etika pegawai. 2) Memberikan nilai atas jawaban pertanyaan pada masing-masing indikator. Pemberian skor dibagi menjadi dua tingkat (ya-tidak, ada-tidak ada, skor 100 dan 0) atau tiga tingkat (skor 100, 50, 0), atau pun 4 tingkat (skor 100, 75, 50, 25), yang didasarkan pada kesepakatan tim kajian. 3) Memberikan skor pada masing-masing parameter. Skor masing-masing parameter diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan nilai setelah dikalikan dengan bobot masing-masing indikator. Total skor dihasilkan dengan menjumlahkan keseluruhan skor parameter setelah dikalikan dengan masing-masing bobot parameter. Rumus: Skor parameter1 = (bobot indikator11 x nilai indikator1)+…+ (bobot indikator1n x nilai indikator1n) Skor parameter2 = (bobot indikator21 x nilai indikator 21)+…+ (bobot indikator2n x nilai indicator 2n) dst Skor parameterm = (bobot indikatorm1 x nilai indikator
21)+…+
(bobot indikatormn x
nilai indicator mn)
92
Total skor = (bobot parameter1 x skor parameter1) +…+ (bobot parameterm x skor parameterm)
Catatan: m= jumlah parameter dan n = jumlah indikator (masing-masing parameter) Kriteria hasil pengukuran ditentukan sebagai berikut : 1) Skor Total ≥ 80 adalah sangat baik 2) Skor Total 61 -79 adalah baik 3) Skor Total 41 - 60 adalah kurang baik 4) Skor Total ≤ 40 adalah buruk.
93
BAB 4 POTRET MANAJEMEN PNS DAERAH DAN PENYUSUNAN PEDOMAN PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DI DAERAH
Pada Bab ini akan dipaparkan potret manajemen PNS di daerah, yang memuat gambaran umum mengenai pelaksanaan pengelolaan kepegawaian di daerah. Analisis didasarkan
pada
fungsi-fungsi
manajemen,
yaitu
bagaimana
perencanaan,
pengadaan, mutasi dan promosi, pengembangan, kesejahteraan, manajemen kinerja, disiplin dan etika, serta pemberhentian pegawai dilakukan oleh pengelola kepegawaian di daerah. Selanjutnya, pada sub bab B akan dipaparkan proses penyusunan pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah. Sub Bab ini akan dibagi ke dalam dua tahapan yakni penyusunan draft pedoman dan penyempurnaan pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah. A. POTRET MANAJEMEN PNS DI DAERAH Potret atau gambaran manajemen PNS di daerah didasarkan pada hasil FGD (focus group discussion) dan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di 8 (delapan) provinsi dan 8 (delapan) kabupaten/kota, sebagai berikut: 1) Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Semarang, 2) Provinsi Jawa Timur dan Kota Batu, 3) Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Lombok Barat, 4) Provinsi Sumatera Utara dan Kota Binjai, 5) Provinsi Jambi dan Kabupaten Muarojambi, 6) Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, 7) Provinsi Riau dan Kota Pekanbaru, dan 8) Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Batam.
94
Berdasarkan FGD, wawancara mendalam dan kajian pustaka yang telah dilakukan tim kajian diperoleh sejumlah permasalahan umum yang dihadapi dalam pengelolaan PNS di daerah. Pertama, ketidakjelasan mengenai sistem manajemen PNS yang digunakan. Praktik pengelolaan sistem manajemen PNS ternyata ditafsirkan secara beragam. Berpusatnya kewenangan pengelolaan kepegawaian di tangan Presiden dan penyatuan manajemen daerah dalam penyelenggaraan manajemen kepegawaian secara nasional sebagaimana tercantum dalam UU No. 43/1999 disebutkan sebagai unified system (sistem terpadu). Faktanya, pengelolaan kepegawaian di daerah seolah-olah terpisah dengan pengelolaan di pusat. Ketidakjelasan penggunaan sistem manajemen PNS di daerah juga menunjukkan adanya kebingungan dalam memahami sistem manajemen PNS yang berlaku. Oleh karena, memang dalam sistem kepegawaian yang ada, selain memperlihatkan ciri unified system juga masih diwarnai praktik separated system (pemisahan, karena adanya otonomi daerah). Benar bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang cukup besar dalam pengelolaan kepegawaian di daerah, tetapi pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih dalam koridor yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, di Indonesia belum dapat dikatakan menggunakan kombinasi unified system dan separated system, karena semua daerah masih terikat pada peraturan yang sama yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Karena yang dimaksud separated system tidak hanya tidak ada keterkaitan pengelolaan kepegawaian antara pusat dan daerah, tetapi juga terdapat kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan operasional. Sebagai otorisator penuh di lingkungan wilayahnya, dalam separated system daerah tidak menggunakan norma pembinaan bersama antara pegawai pusat dan daerah. Kedua, terjadi inkonsistensi kebijakan manajemen PNS di daerah. Sebagaimana dimaklumi, dalam kaitan ini terdapat dua undang-undang yang
95
mengatur tentang kepegawaian di daerah yaitu UU No. 43/1999 dan UU No. 32/2004. Kedua undang-undang yang dipakai tidak sepenuhnya sejalan, dalam UU 32/2004 misalnya disebutkan adanya konsep “pembina”. Rumusan Pasal 122 ayat (4) UU No. 32/2004 adalah “Sekretaris daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya”. Kemudian dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud “pembina” pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini adalah pelaksanaan pengembangan profesionalisme dan karier pegawai negeri sipil di daerah dalam rangka peningkatan kinerja. Semakin jelas bahwa peran Sekda ternyata sangat minim dalam pengelolaan kepegawaian di daerah, karena tidak ada kejelasan mengenai peran sebagai “pembina” sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 122 ayat (4) di atas. Klausul pasal 130 ayat (2) UU No. 32/2004 semakin menegaskan bahwa Sekda tidak memiliki peran strategis sebagaimana diharapkan, yaitu bahwa “pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan gubernur”. Demikian pula pada pasal 131 ayat (1) yang menyatakan “perpindahan pegawai negeri sipil antarkabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala BKN”. Ketidakjelasan pembinaan itu semakin tampak ketika PP No. 9/2003 jo PP No. 63/2009 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS dan PP No. 54/2003 tentang Formasi PNS, menyatakan pejabat pembina kepegawaian daerah provinsi adalah gubernur dan pejabat pembina kepegawaian kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Ketiga, belum tersedia pedoman evaluasi kinerja pengelolaan PNS di daerah, yang menyebabkan sulitnya memberikan pemberian hadian dan penjatuhan hukuman (reward and punishment) bagi pengelola kepegawaian di daerah. Pada kenyataannya, para pengelola kepegawaian yang telah bekerja
96
dengan baik sesuai dengan peraturan perundangan beserta sejumlah inovasi yang dilakukan ‘belum dihargai’ sebagaimana mestinya. Sebaliknya, para pihak yang belum melaksanakan pengelolaan kepegawaian dengan baik pun ‘belum dihukum’ atas kesalahan/kelalaian yang telah dilakukannya. Tanpa mengurangi sistem evaluasi yang telah ada dan sudah berjalan, sebut saja evaluasi yang dilakukan secara reguler oleh BKN dan evaluasi oleh Tim Nasional EPPD sebagai pelaksanaan amanat PP No. 6/2008, konsep pedoman pengukuran dan evaluasi yang disusun oleh LAN disambut antusias oleh pemerintah daerah. Hal ini menyiratkan bahwa pelaku pengelola kepegawaian di daerah memerlukan penilaian yang komprehensif. Selain itu, permasalahan manajemen PNS di daerah juga dapat diamati dari pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen. Pada intinya, permasalahan pengelolaan PNS tersebar pada seluruh fungsi manajemen PNS, sejak perencanaan (penyusunan formasi) hingga pemberhentian (pensiun). Berikut beberapa permasalahan umum yang berhasil diserap tim di berbagai daerah kajian. 1. Perencanaan Pegawai Persoalan
umum
yang
dihadapi
pemerintah
daerah
dalam
melaksanakan fungsi perencanaan pegawai adalah belum disusun dan dimanfaatkannya dokumen analisis beban kerja (ABK), kaitannya dengan penyusunan formasi pegawai. Selama ini, penyusunan formasi lebih didasarkan kepada perkiraan jumlah pegawai yang pensiun dan atau pertimbangan lain. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh narasumber di BKD Provinsi Jawa Timur: “...ABK, terus terang banyak pemda belum memilikinya termasuk kami BKD Provinsi Jawa Timur. Namun meski belum menyusun dokumen tersebut, kami mempertimbangkan rasionalitas antara pegawai yang akan pensiun dan kebutuhan pegawai yang ada dari masing-masing SKPD. Dengan demikian, penentuan formasi yang kami laksanakan bisa dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan kebutuhan organisasi. Tahun lalu, formasi yang kita susun tidak terlalu banyak direvisi oleh Kantor Menpan, itu saya kira menjadi bukti”.
97
Penyusunan formasi pegawai terkadang juga didasarkan atas pertimbangan lain atau pertimbangan tertentu, misalnya terkait dengan formasi atlet. Dalam hal ini, formasi untuk atlet telah ditetapkan dari Pemerintah (Kementerian Pemuda dan Olahraga) sehingga pemerintah daerah hanya menyiapkan formasi yang diminta. Sehubungan dengan formasi atlet di daerah telah memperlihatkan adanya persoalan mengenai kedudukan dan peran pejabat pembina kepegawaian, karena dalam peraturan perundangan sudah jelas bahwa gubernur/bupati/walikota merupakan pejabat pembina kepegawaian di daerah, bukan menteri. Sebagaimana disampaikan narasumber BKD Provinsi Kepulauan Riau: “kami memahami penyusunan formasi (atlet) ini merupakan penyerahan wewenang (desentralisasi) dari Pemerintah Pusat, tetapi menjadi persoalan manakala formasi yang diminta tidak dapat diisi oleh pemerintah daerah yang disebabkan oleh tingginya kualifikasi yang diminta oleh Pusat. Akibatnya kita tahu kan, formasi yang ada tidak dapat terisi penuh. Alangkah baiknya jika formasi tersebut diganti dengan formasi lainnya”. Hal senada juga disampaikan oleh narasumber di BKPAD (Badan Kepegawaian dan Pelatihan Aparatur Daerah) Provinsi Gorontalo, bahwa: “persyaratan yang diajukan MenegPora terlalu tinggi sehingga daerah tidak mampu memenuhi kouta formasi tersebut. Sebagai contoh, tahun 2009 kami diberi jatah 30 formasi atlet, namun kami hanya mampu mengisi beberapa orang saja, itu pun sudah kami turunkan persyaratannya. Sebagai info saja, salah satu persyaratan yang diminta adalah minimal juara nasional (PON).” Selain itu, permasalahan formasi terjadi pada saat penetapan formasi oleh Kantor Menpan dan Reformasi Birokrasi, dimana penetapan formasi ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh narasumber di BKD Provins Jawa Timur:
98
“dalam hal formasi...ini juga ada yang tidak pas. BKD mengajukan formasi untuk petugas tera (timbang), namun Menpan tidak meloloskan malahan kemudian diganti dengan formasi yang lain. Sementara pemda sangat memerlukan petugas tera tersebut dalam pelaksanaan tugasnya”. Kondisi tersebut menunjukkan lemahnya penyusunan formasi pegawai di lingkungan pemerintah daerah. Ke depan, kiranya diperlukan kesatuan bahasa dan kesamaan persepsi mengenai apa yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Dalam konteks otonomi daerah, pejabat pembina kepegawaian daerah semestinya dapat memainkan perannya. Oleh karena itu, ada dua hal yang dapat dilakukan: 1) pemerintah daerah membenahi perencanaan kebutuhan pegawainya baik jangka panjang maupun jangka pendek, dan 2) pemerintah daerah hendanya menyusun analisis beban kerja, sehingga penyusunan formasi pegawai dapat dilaksanakan secara optimal.
2. Pengadaan Pegawai Pengadaan atau rekrutmen pegawai hanyalah merupakan akibat dari formasi yang telah disusun. Oleh karena itu, dalam konsep manajemen pegawai disebutkan bahwa pengadaan adalah upaya untuk mengisi formasi yang lowong/tersedia. Tentunya, proses pengadaan pegawai tersebut – sejak pengumuman penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) sampai dengan penempatan CPNS yang bersangkutan – mestinya tidak akan mendapati permasalahan. Namun dalam praktiknya, penyimpangan dalam pengadaan pegawai merupakan hal yang biasa terjadi di hampir semua daerah kajian. Hal itu dapat disimak dari pernyataan narasumber di BKPAD Provinsi Gorontalo dan BKD Kabupaten Lombok Barat, bahwa pengadaan pegawai yang transparan masih menjadi masalah besar di daerah.
99
“kualitas PNS hasil seleksi jauh dari harapan, ini terjadi karena pengadaan masih dicampuri oleh kepentingan pihak tertentu. Disamping itu, kualitas PNS hasil pengalihstatusan dari honorer daerah (Honda) ini sangat rendah, baik sikap maupun keilmuanya.” Ini memang merupakan dilema. Pengangkatan tenaga Honda menjadi CPNS pada dasarnya merupakan perintah peraturan perundangan yakni PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Honda menjadi CPNS. Namun di sisi lain, tenaga Honda yang diangkat berdasarkan masa pengabdian tersebut ternyata tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu, yang dipersyaratkan bagi pelamar kategori umum. Selain itu, persoalan pengadaan yang terjadi di daerah menyangkut perbedaan persepsi, salah satunya mengenai kualifikasi pendidikan. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh narasumber di BKD Lombok Barat sebagai berikut: “dalam pengadaan belum sinkron antara Kementerian Pendidikan Nasional dengan Kantor Menpan dan RB dalam menentukan rumpun jabatan dan pendidikan, misalnya Diknas menyatakan kepangkatan apoteker setara dengan golongan III/b, sedangkan kementerian PAN dan RB menyatakan apoteker setara dengan golongan III/a.” Persoalan pengadaan pegawai yang lain adalah terjadinya praktik “rent-seeking” atau mencari keuntungan (rent) dari proses penerimaan pegawai oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab. Praktik semacam ini banyak dilakukan oleh sebagian ‘oknum’ tetapi tidak pernah ada kejelasan siapa pelakunya. Hal ini dapat terjadi karena pelakunya ‘diduga’ adalah orangorang kuat, baik mereka yang duduk di lingkup eksekutif maupun legislatif daerah.
100
3. Mutasi dan Promosi Pegawai Hasil wawancara dan FGD dengan sejumlah BKD menunjukkan adanya persoalan serius dalam hal mutasi dan promosi pegawai di daerah. Dikatakan serius karena pelaksanaan mutasi pegawai telah ‘keluar jauh’ dari aturan yang ada. Meski mutasi merupakan hal yang sangat wajar dalam sebuah organisasi, namun pelaksanaan mutasi yang tidak terkontrol akan merugikan organisasi dan individu yang dimutasikan. Saat ini, mutasi pegawai di daerah merupakan peristiwa yang sangat jamak terjadi ketika terjadi pimpinan daerah. Narasumber di sejumlah daerah kajian menyatakan: “lumrah kalau dilakukan mutasi tetapi mutasi yang dilakukan harusnya memperhatikan rambu-rambu yang ada yaitu peraturan pemerintah No. 9 Tahun 2003. lha disini nampaknya tidak memperhatikan PP itu, mutasi dilakukan sesuai kehendak pimpinan apalagi pimpinan baru pasti ada mutasi”. Mutasi pegawai macam ini terjadi, salah satunya karena ketiadaan pola karier pegawai di daerah yang bersangkutan. Ajaibnya, sebagian besar pemerintah daerah ternyata belum memiliki dokumen pola karier tesebut. Agak berbeda dengan pendapat BKD Provinsi Jawa Tengah: “kami telah memiliki dokumen itu (pola karier). Di Jateng, mutasi pegawai dilakukan berdasarkan pola karier yang telah kami bangun, minimal 2 tahun sekali seorang pegawai bisa dipindahkan. Kecuali itu, pemindahan atau mutasi juga dimungkinkan atas permintaan pegawai yang bersangkutan maupun untuk kepentingan organisasi.” Terkait dengan mutasi pegawai, Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Provinsi Kalimantan Selatan menerapkan kebijakan mengenai mutasi bagi pegawai baru. Di Kabupaten Gorontalo misalnya, pegawai baru (CPNS) yang diterima
diminta
menandatangani
kontrak/perjanjian
bahwa
yang
bersangkutan tidak akan mengajukan mutasi ke daerah lain sebelum 10 (sepuluh)
tahun.
Demikian
pula
di
Provinsi
Kalimantan
Selatan
memberlakukan kebijakan mutasi untuk jangka waktu 5-10 tahun bagi
101
CPNS/PNS. Hal itu bertujuan agar kedua daerah tersebut tidak menjadi ‘daerah transit’ bagi para CPNS/PNS baru. Terkait dengan promosi pegawai, potret di lapangan menunjukkan kondisi yang hampir senada dengan mutasi. Promosi pegawai terkadang masih mengedepankan kepentingan
tertentu (politik),
bukan
pada
persyaratan yang diminta. Kondisi dilematis pun terjadi pada promosi pegawai. ”di era pilkada pegawai di daerah menghadapi dilema luar biasa; mau berpihak melanggar peraturan perundangan; mau netral tidak punya teman; dan jika tidak memihak akan terkucil saat pimpinan daerah yang baru mulai memimpin. Ketiga pilihan yang ada sama sekali tidak menguntungkan bagi PNS daerah”. Promosi atau kenaikan jabatan (struktural) pun – pada akhirnya tidak jarang menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan oleh sekelompok orang. Siapa yang mampu ’membeli’ dialah yang akan memperoleh jabatan tersebut. Adapun nilai tukar yang digunakan dapat berupa uang, pengaruh, kedekatan (anggota tim sukses), dan sebagainya. Menurut narasumber di BKD Provinsi Nusa Tenggara Barat: ”promosi dan mutasi menjadi urusan yang ditangani BKD, namun penentuan siapa dan kapan promosi – mutasi tersebut dilakukan menjadi kewenangan Pak Gubernur sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah....masalahnya kami melihat proses (mutasipromosi) itu belum dilakukan secara optimal. Akibatnya memang kami yang terkena imbas dari proses itu, dibenci, diteror kadang terjadi”
4. Pengembangan Pegawai Ada hal yang ’salah kaprah’ di khalayak, dimana pengembangan pegawai sering disamakan dengan diklat. Itu tidak salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar karena pengembangan pegawai tidak hanya mencakup pendidikan dan pelatihan semata. Secara lebih luas, pengembangan dapat
102
dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan di tempat kerja (in house training). Dalam hal diklat PNS (PP 101/2000), diklat tidak hanya menyangkut diklat kepemimpinan tetapi juga diklat teknis dan fungsional. Untuk diklat kepemimpinan memang tidak lagi menjadi prasyarat seorang PNS untuk menduduki suatu jenjang jabatan struktural. Karenanya, bisa saja ditetapkan duduk dulu baru didik (DUK-DIK) atau sebaliknya didik dulu baru duduk (DIKDUK). Beberapa kelemahan dalam pelaksanaan diklat kepemimpinan di antaranya menyangkut: kurikulum, pelaksanaan diklatnya itu sendiri, jumlah dan kualitas widyaiswara, evaluasi pasca diklat, dan sanksi bagi pelanggar. Terkait dengan kurikulum diklat, sudah saatnya dilakukan penyempurnaan di dalam substansinya. ”Saya mengamati materi dalam kurikulum diklatpim sudah banyak yang kadaluarsa, kurang up to date sehingga perlu segera disempurnakan. Ini jangan sampai membuat malu LAN sendiri sebagai pembina diklat aparatur. Saya sudah sering menyampaikan hal ini baik pada waktu rakor diklat termasuk juga di kesempatan lain.” Selanjutnya, dalam pelaksanan diklatpim itu sendiri, persoalan yang biasa terjadi adalah ketidaksesuaian dengan standar yang telah ditetapkan oleh LAN selaku pembina diklat aparatur. Sebagai contoh, jumlah rombongan belajar/peserta per kelas minimal 30 orang. Hal ini kadang masih dilanggar oleh panitia di beberapa BKD-Diklat di daerah. Persoalan lainnya menyangkut jumlah dan kualitas tenaga pengajar atau widyaiswara. Ini penting mengingat bahwa widyaiswara merupakan bagian tak terpisahkan dari keberhasilan penyelenggaraan diklat. Kemudian, evaluasi pasca diklat yang belum sepenuhnya dilakukan oleh penyelenggara diklat. Terakhir, menyangkut hukuman bagi PNS (dan lembaga tempat yang bersangkutan beekrja) yang seharusnya mengikuti diklatpim tidak dilakukan
103
padahal yang bersangkutan jelas melanggar ketentuan PP No. 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Pengembangan pegawai dapat dilakukan melalui pendidikan formal (S1 sampai dengan S3). Artinya, pertama, pemerintah daerah harus menyediakan dana untuk membiayai pendidikan pegawai yang akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, harus ada ketegasan mengenai lembaga pendidikan yang boleh/tidak boleh dipilih oleh pegawai. Ketiga, tidak ada jaminan yang bersangkutan akan memperoleh jabatan tertentu setelah menyelesaikan pendidikan formal. Terakhir, pengembangan pegawai dapat pula dilakukan dengan kegiatan in house training, bukan melalui diklat atau pun pendidikan formal akan tetapi melalui pembelajaran di tempat kerja. Learning by doing itulah istilah yang sering disebutkan bagi proses pengembangan pegawai model ketiga ini.
5. Kesejahteraan Pegawai Permasalahan kesejahteraan pegawai dari dulu hingga sekarang relatif sama yaitu bahwa pegawai (PNS) masih jauh dari sejahtera. Gaji yang diterimakan setiap bulan, yang dibayarkan sesuai dengan peraturan penggajian PNS dinilai masih sangat tidak mencukupi kebutuhan pegawai. Beruntung, di era otonomi daerah ini melalui ketentuan Permendagri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pemerintah daerah dapat memberikan ”tambahan penghasilan lainnya” bagi PNS di daerahnya. Sebagaimana pernyataan beberapa narasumber di Provinsi Kepulauan Riau: ”penggajian di Republik perlu direformasi agar bisa memenuhi kebutuhan hidup minimum pegawai negeri. Kita sudah lama kalah dengan swasta yang jelas memberikan pemberian gaji layak. Tapi untungnya di pemda sudah ada tunjangan daerah, sehingga bisa membantu ekonomi pegawai pemda.”
104
Kesejahteraan pegawai negeri sipil merupakan hak asasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah sesuai dengan tingkatan pemerintahannya. Oleh karena merupakan hak asasi, maka pemenuhan kesejehteraan pegawai menjadi sesuatu yang harus dihargai oleh pemerintah. Artinya, pemerintah dituntut memperhatikan pencapaian indikator kesejahteraan itu sendiri seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya. Terkait dengan indikator kesejahteraan sesungguhnya pemerintah telah memiliki instrumen dimaksud, namun pelaksanaannya masih belum optimal, sebagaimana pernyataan narasumber BKD Kabupaten
6. Manajemen Kinerja/Penilaian Pegawai Persoalan yang dihadapi pada fungsi penilaian pegawai adalah belum tersedianya instrumen penilaian pegawai berdasarkan kinerja riil yang telah dicapai. Selama ini, sebagian besar penilaian pegawai di daerah hanya dilakukan berdasarkan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai), sebagaimana diatur dalam PP No. 10 Tahun 1979. Unsur-unsur yang dinilai dalam dokumen penilaian DP3 antara lain: a) kesetiaan, b) prestasi kerja, c) tanggung jawab, d) ketaatan, e) kejujuran, f) kerjasama, g) prakarsa, dan h) kepemimpinan. Namun demikian, penilaian dengan DP3 memang masih menjadi satu-satunya penilaian yang diatur dalam peraturan perundangan, sebagaimana pernyataan naarsumber di BKD Kota Batu sebagai berikut: ”ya, sampai hari ini kami hanya menggunakan DP3 untuk menilai pegawai. Di dalam peraturan perundang-undangan memang hanya DP3 lah sebagai satu-satunya penilaian resmi yang dilakukan terhadap PNS. Kalau ada penilaian lain, kami menilainya sebagai nilai tambah misalnya dalam kaitan pemberian tunjangan pegawai.” Dengan demikian, penilaian berdasarkan DP3 bukan merupakan sesuatu yang ’salah’ karena memang memiliki legalitas. Namun dalam
105
konteks
pengukuran kinerja, dokumen penilaian ini telah banyak
mendapatkan kritik dan masukan agar diubah atau dimodifikasi agar dapat mengukur pencapaian kinerja pegawai sesungguhnya. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang telah mengembangkan instrumen evaluasi, selain penilaian DP3. Satu hal yang menarik dalam hal penilaian pegawai adalah penggunaan daftar hadir (presensi) sebagai pertimbangan utama dalam menilai kinerja seorang pegawai. Hal ini pun terjadi pada sebagian pemerintah daerah yang ’mengklaim’ telah mengembangkan instrumen penilaian kinerja (pengembangan DP3). Namun mengembangkan
berbeda
dengan
instrumen
Provinsi
penilaian
Gorontalo,
kinerja,
dimana
yang
telah
penilaian
menitikberatkan pada pencapaian kinerja 70 persen, dengan penekanan pada prestasi, inovasi, dan kemampuan manajerial bagi yang memegang jabatan, serta aspek disiplin 30 persen yang terdiri dari ketaatan terhadap jam kerja (15%) kepatuhan terhadap peraturan kepegawaian (15%). Menurut narasumber di BKPAD Provinsi Gorontalo: ”instrumen penilaian kinerja pegawai yang kami jelaskan tadi sudah kami terapkan sejak 2007, dalam rangka menerapkan tunjangan kinerja daerah atau TKD. Itu sebabnya kami tidak sepakat jika disebut hanya ikut-ikutan menerapkan TKD”. Selain itu, tindak lanjut penilaian kinerja pegawai tidak hanya berupa pemberian tambahan penghasilan pegawai, karena pada kenyataannya pemberian tambahan penghasilan tidak atau belum didasarkan pada penilaian kinerja/prestasi. Hal paling krusial dalam kaitan penilaian pegawai adalah adanya upaya untuk mengevaluasi kinerja pegawai berdasarkan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun pemberian ’reward’ pada dasarnya hanyalah merupakan ’efek’ lain dari pelaksanaan penilaian kinerja.
106
7. Disiplin dan Etika Pegawai Secara umum, disiplin PNS di daerah berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Permasalahan utama dalam hal disiplin pegawai adalah pada pemberian sanksi terhadap para pelanggar disiplin. Menurut narasumber di BKD Kabupaten Semarang dan Kota Batu: ”terdapat dua hal yang penting dalam penegakan disiplin yaitu pemberian hukuman dan pemantauan terhadap pelaksanaan hukuman itu sendiri. Jangan sampai, hukuman sudah diberikan tapi tidak pernah dipantau dalam pelaksanan hukuman yang telah dijatuhkan tersebut.” Di era otonomi daerah, beberapa daerah juga telah menerbitkan peraturan daerah (perda) ataupun peraturan kepala daerah tentang disiplin pegawai. Namun untuk pengaturan etika pegawai sebagian besar narasumber belum mencantumkannya ke dalam peraturan perundangan. Etika pegawai masih dianggap menjadi bagian etika organisasi sehingga belum perlu diatur dengan peraturan tertentu.
8. Pemberhentian Pegawai Pemberhentian
pegawai
merupakan
sebuah
kelaziman
dan
kewajaran dalam sebuah organisasi dan hal ini telah diatur dalam peraturan perundangan (PP No. 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS). Persoalannya adalah, apakah rambu-rambu atau persyaratan seorang pegawai dapat diberhentikan (dipensiunkan)? Apakah pengelola kepegawaian di daerah mematuhi rambu-rambu yang berlaku? Dalam
hal
pemberhentian
pegawai
karena
mencapai
BUP,
persyaratan pemberhentian sudah jelas yaitu mencapai usia 56 tahun, kecuali bagi PNS yang menduduki jabatan eselon II ke atas
(60 tahun) ataupun
guru besar/jabatan fungsional tertentu pada level tertinggi (65 tahun). Namun untuk jenis pemberhentian lain, misalnya karena dihukum penjara
107
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, apakah pengelola kepegawaian menaatinya? Demikian pula, pemberhentian pegawai karena meninggalkan tugasnya yaitu selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus, apakah hal ini sudah dilakukan? Persyaratan pemberhentian sebagaimana diatur dengan PP No. 32/1979 hendaknya dipatuhi dan dilaksanakan dengan konsekuen oleh pengelola kepegawaian di daerah. Selain, tentu harus ada penyempurnaan terhadap beberapa pengaturan PP pemberhentian karena sudah tidak relevan dengan peraturan lainnya (sebut saja PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, yang mengatur masuk kerja secara akumulatif). Narasumber di Kota Binjai menyatakan pendapat sebagai berikut: ”penerapan aturan pemberhentian pegawai sudah seharusnya diterapkan dengan konsekuen di daerah. Ini perlu dilakukan untuk memberikan pembelajaran kepada pegawai yang tidak disiplin. Jadi, pemerintah ini bukan milik dia atau keluarganya, tapi milik rakyat sehingga pegawai itu bekerja untuk kemakmuran rakyatnya. Karena itu, bagi pelanggar berat baiknya keluarkan saja, untuk memberikan efek jera bagi pegawai lainnya.” 9. Umum: Faktor Pendukung Manajemen PNS Keberhasilan manajemen PNS di daerah (atau dimana pun) pasti memerlukan dukungan sumber daya (resources). Inilah yang dikelompokkan ke dalam fungsi umum, karena tidak dapat dimasukkan ke dalam fungsi lainnya. ”ketersediaan dukungan sumber daya/resource sekilar klasik, namun keberadaan sarana-prasarana, kelembagaan, SDM, sistem informasi, dan lainnya sangat dalam mengelola PNS. Mustahil akan berhasil tanpa semuanya itu.”
terdengar keuangan, diperlukan dukungan
Permasalahan utama adalah, tidak semua unsur pendukung tersebut sejalan dengan tujuan yang diinginkan. Bahkan di beberapa daerah khususnya daerah pemekaran, resource semacam ini masih merupakan kendala yang
108
harus segera diatasi. Akibatnya, pengelolaan kepegawaian di daerah lebih banyak dilakukan berdasarkan ”prinsip darurat” daripada prinsip taat azas. Kembali ke unsur pendukung, meskipun disebut sebagai pendukung dalam manajemen PNS di daerah, bukan berarti dapat diabaikan atau ditiadakan. Justru sebaliknya, ketiadaan atau minimalnya unsur pendukung tersebut seharusnya menjadi agenda utama untuk memenuhinya dari waktu ke waktu.
B. PENYUSUNAN PEDOMAN PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DI DAERAH Penyusunan pedoman pengukuran dan evaluasi pada hakikatnya dimaksudkan untuk mengatasi persoalan-persoalan manajemen PNS di daerah sebagaimana tersebut di atas. Hal ini dilakukan melalui dua tahap yaitu penyusunan draft dan penyempurnaan pedoman. 1. Penyusunan Draft Pedoman Penyusunan draft pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen pegawai negeri sipil daerah diawali dengan penyusunan konsep awal pengukuran dan evaluasi oleh tim kajian. Dalam draft pedoman disebutkan bahwa implementasi manajemen PNS di daerah tengah menjadi sorotan dari berbagai pihak, terutama sejak pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pengelolaan kepegawaian
daerah
dilaksanakan
secara
nasional.
Namun
dalam
pelaksanaannya, sesuai dengan asas desentralisasi, maka pengelolaan kepegawaian diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, sebagaimana tertuang dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
109
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Bentuk penyerahan urusan pemerintahan di bidang kepegawaian tersebut terlihat pada kewenangan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) sebagai pejabat pembina kepegawaian. Dengan kewenangan yang dimilikinya, maka kepala daerah berwenang mengangkat, memindah dan memberhentikan pegawai negeri sipil daerah (PNSD) berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar dalam mengelola urusan kepegawaian daerah. Persoalan timbul, karena pemerintah daerah tidak mampu mengelola kepegawaian dengan baik. Asumsi tersebut semakin berkembang luas karena semakin maraknya pelanggaran dalam rangka manajemen PNS di daerah. Draft pedoman yang telah disusun oleh tim kajian pada dasarnya memuat substansi bagaimana cara mengukur (pedoman) dan dengan apa mengukur (instrumen). Untuk melakukan pengukuran dan evaluasi yang komprehensif, tim Kajian memasukkan seluruh fungsi manajemen PNS sebagai parameter (mulai penyusunan formasi sampai pemberhentian). Tim juga menambahkan parameter umum untuk melengkapi parameter yang diturunkan dari peraturan kepegawaian. Parameter (=9 buah) tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut ke dalam indikator dan pertanyaanpertanyaan, yang kemudian disebut instrumen pengukuran dan evaluasi. Draft pedoman yang disusun oleh tim kajian ternyata mendapat sambutan positif dari Badan Kepegawaian Negara dan seluruh narasumber yang hadir pada saat pelaksanaan diskusi di Jakarta. Selain itu, sejumlah kritik dan masukan perbaikan juga telah dijadikan bahan pertimbangan dalam penyempurnaan pedoman (:instrumen pengukuran dan evaluasi) sebelum pelaksanaan kajian lapangan.
110
2. Penyempurnaan Pedoman Penyempurnaan draft pedoman dilakukan melalui pelaksanaan kajian lapangan dalam bentuk wawancara mendalam dan diskusi (FGD), baik FGD yang dilaksanakan di daerah kajian maupun FGD yang dilaksanakan di Jakarta. Pelaksanaan kajian lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari para pengelola kepegawaian di daerah (BKD Provinsi/Kabupaten/Kota). Selain itu, pelaksanaan kajian lapangan juga dimaksudkan untuk memotret dinamika pengelolaan kepegawaian di daerah secara langsung. Pelaksanaan wawancara mendalam dan FGD dilakukan dengan pengelola kepegawaian daerah, meliputi pejabat badan kepegawaian daerah (BKD), pejabat badan diklat daerah, dan atau pejabat fungsional serta staf/pejabat fungsional umum yang diberi tugas mengelola kepegawaian daerah. Proses wawancara mendalam dan FGD dilakukan berdasarkan draft pedoman (:instrumen pengukuran dan evaluasi) yang telah disusun oleh tim kajian. Adapun draft pedoman (draft instrumen merupakan bagian dari pedoman) yang telah disusun oleh tim kajian adalah sebagaimana terdapat pada tabel berikut: Tabel. 4.1 Draft Instrumen Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah ASPEK/PARAMETER Perencanaan Pegawai
BOBOT
INDIKATOR
BOBOT
15%
1. Ketersediaan Perencanaan Pegawai dalam dokumen Perencanaan Daerah (RPJPD/ RPJMD/Renstrada) 2. Ketersediaan dan penggunaan analisis beban kerja untuk penyusunan kebutuhan pegawai 3. Ketersediaan Bezetting (daftar kekuatan pegawai) 4. Kesesuaian Pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah
0,25%
0,25%
0,25% 0,25%
111
ASPEK/PARAMETER
BOBOT
INDIKATOR
BOBOT
1. Transparansi Rekruitmen 2. Kesempatan yang sama dalam rekruitmen 3. Penyimpangan dalam seleksi pegawai 4. Ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS 5. Kesesuaian penempatan
0,20% 0,20%
1. Ketersediaan Standar Komptensi Jabatan dan pemanfaatan data kompetensi pegawai 2. Ketersediaan dan pemanfaatan pola karier 3. Demosi
0,33%
1. Ketersediaan dan pemanfaatan TNA
0,143%
2. Seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Dikltpim yang belum menduduki jabatan 3. Evaluasi pasca Diklat 4. Pemanfaatan alumni Diklat 5. Pengembangan pegawai melalui pendidikan formal 6. Pengembangan pegawai selain melalui pendidikan formal dan diklat 7. Pembinaan mental pegawai
0,143%
1. Ketersediaan fasilitas kesehatan 2. Ketersediaan santunan kecelakaan kerja 3. Ketersediaan santunan duka 4. Ketersediaan bantuan perumahan
0,25% 0,25%
1. Perencanaan kinerja
0,2%
2. Penilaian kinerja pegawai 3. Monitoring kinerja pegawai 4. Pemanfaatan hasil penilaian kinerja
0,2% 0,2% 0,2%
ditetapkan Pengadaan Pegawai
Mutasi Jabatan, Promosi dan Demosi
Pengembangan Pegawai
Kesejahteraan Pegawai
Penilaian Pegawai
Kinerja
15%
10%
15%
10%
10%
0,20% 0,20% 0,20%
0,33% 0,33%
0,143% 0,143% 0,143% 0,143% 0,143%
0,25% 0,25%
112
ASPEK/PARAMETER
BOBOT
INDIKATOR
BOBOT
5. Keberadaan tunjangan kinerja Disiplin Pegawai
dan
Etika
10%
Pemberhentian Pegawai
5%
Umum
10%
0,2%
1. Dukungan kebijakan daerah yang mengatur etika pegawai 2. Pelaksanaan disiplin pegawai 3. Pelanggaran disiplin pegawai 4. Tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai 5. Monitoring terhadap tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai 6. Dukungan kebijakan daerah terhadap etika pegawai
0,166%
1. Keberadaan pembinaan memasuki masa purnabhakti 2. Ketepatan waktu pensiun 3. Perpanjangan batas usia pensiun
0,33%
1. 2. 3. 4.
0,25% 0,25% 0,25% 0,25%
Sistem informasi pegawai Standard Operating Procedure (SOP) Sarana dan prasrana Anggaran
0,166% 0,166% 0,166% 0,166% 0,166%
0,33% 0,33%
Sumber: PKKOD-LAN,2010
Berdasarkan
draft
instrumen
tersebut,
tim
kajian
kemudian
melaksanakan pengumpulan data lapangan. Uraian berikut akan menggambarkan berbagai masukan dari sejumlah daerah kajian terhadap penyempurnaan pedoman pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah, yang akan disajikan per aspek/parameter. 1. Aspek/Parameter Perencanaan Pegawai Parameter perencanaan pegawai diukur dengan empat indikator yang terdiri dari: a) ketersediaan perencanaan induk pegawai untuk 5 tahun mendatang, b) pemanfaatan Analisis Beban Kerja (ABK), c) pemanfaatan daftar kekuatan pegawai (bezetting) dan 4) kesesuaian pengadaan dengan rincian formasi yang telah ditetapkan.
113
Terhadap pertanyaan-pertanyaan dari setiap indikator tersebut, jawaban narasumber terkait dengan keempat indikator kurang lebih sebagaimana terangkum pada tabel berikut: Tabel. 4.2 Perencanaan Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Jawaban
Kab. Gianyar
2.
Provinsi Gorontalo
Kab. Gorontalo
Perencanan Pegawai di Provinsi Bali sudah masuk dalam Renstrada, tapi memang sifatnya sangat makro, hanya memuat arah kebijakan, sedangkan secara detail tidak masuk dalam Renstrada, detail dari program dan kegiatan telah ada dalam Renstra BKD. Perencanaan Pegawai selama ini berdasarkan usulan dari masing-masing SKPD. Belum disusun ABK Sudah ada bezetting Pengadaan pegawainya tidak tepat, dan kondisi seperti ini akan berdampak kurang baik pada manajemen PNS Daerah secara keseluruhan. Rencana pengadaan dan pembinaan pegawai di Kabupaten Gianyar ini belum masuk dalam RPJMD, rencana detailnya belum ada, tetapi memang arah kebijakan umum sebagai penjabaran dari Visi dan Misi daerah sudah ada; dan memang dimasa yang akan datang rencana detail kebutuhan pegawai dan strategi pengembangannya perlu dimasukkan dalam dokumen perencanaan daerah Sama seperti pemprov, belum ada ABK Ada dokumen bezetting/daftar kekuatan pegawai Pengadaan pegawai, belum zero growth Secara makro, pengembangan aparatur sudah masuk dalam RPJMD. Sudah tersedia dokumen ABK Sudah tersedia dokumen bezetting Tidak sesuai dengan rincian formasi awal Terdapat dokumen perencanaan daerah/RPJMD tetapi sifatnya makro Sudah tersedia dokumen ABK
114
No.
Daerah Kajian
Jawaban
3.
Provinsi Jawa Timur
4.
Kota Batu
Provinsi NTB
Kabupaten Barat
Lombok
5.
Provinsi Riau
Kepulauan
Sudah tersedia dokumen bezetting Pengadaan tidak sesuai dengan rincian formasi karena terbentur kebijakan dari pusat Perencanaan pegawai: tercantum dalam dokumen RPJMD namun isinya makro/tidak detail. Dokumen rencana kebutuhan tsb juga dijadikan dalam pengelolaan pegawai karena akan menjadi bagian akuntabilitas kepala daerah. Tidak terdapat ABK Tersedia bezetting Pengadaan pegawai belum sesuai rincian formasi Ada RPJMD Belum memiliki dokumen ABK Sudah memiliki bezetting Pengadaan tdk sesuai dengan rincian formasi karena tidak sinkron antara kebijakan menpan dengan pemda Tidak ada perencanaan yang baik, KKN. Tidak jelas (tidak menjawab keberadaan dokumen ABK) Ada dokumen bezetting tetapi kurang dimanfaatkan secara optimal Pengadaan pegawai tidak sesuai rincian formasi karena formasi yang disusun juga tidak jelas. Rencana pengadaan dan pengembangan pegawai di Kabupaten Lombok Barat sudah masuk dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah , baik RPJMD maupun Rencana Strategis dan Rencana Tahunan sesuai dengan Visi dan Misi Bupati, tetapi sifatnya masih makro. Tidak ada dokumen ABK Ada bezetting Rincian formasi tidak diikuti dalam proses pengadaan karena ada kepentingan lain Perencanaan kepegawaian kita tidak terlepas dari Renstra dan RPJMD, menurut kami, indicator pertama ini memang kita butuhkan, apalagi kita sebagai provinsi baru. Tidak ada kejelasan dokumen ABK
115
No.
Daerah Kajian
Jawaban
Tidak ada kejelasan dokumen bezetting, tetapi biasanya tersedia Pengadaan pegawai sesuai dengan rincian formasi Kota Batam Dalam renstra kita sudah ada perencanaan pegawai. dan perencanaan yang ada dalam dokumen renstrada dan RPJMD itu menjadi acuan kami didalam melaksanakan perencanaan pegawai. Tidak ada kejelasan dokumen ABK, tetapi sumber lain menyatakan sedang diproses. Tersedia dokumen bezetting Kesesuaian formasi sampai saat ini masih sesuai Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Dari tabel di atas dapat diperoleh informasi bahwa dalam hal perencanaan pegawai – baik di lingkungan pemerintah provinsi maupun di kabupaten/kota – dapat dikatakan masih belum menggembirakan. Hal tersebut nampak pada jawaban narasumber pada saat FGD maupun wawancara mendalam. Dalam hal ketersediaan rencana pengelolaan pegawai dalam dokumen perencanaan daerah, ternyata hampir semua narasumber menyatakan telah memiliki rencana tersebut yaitu dalam bentuk rencana pembangunan
jangka
menengah
daerah/rencana
stratejik
daerah
(RPJMD/Renstrada). Hal itu terlihat pada pernyataan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang menyatakan: ”Pemerintah (Provinsi) Gorontalo memiliki 4 misi, dimana misi utamanya adalah “Pengembangan Aparatur”, tetapi memang rumusannya masih makro, belum mencerminkan angka-angka, begitu juga dalam RPJP (?) yang sifatnya tahunan, agenda pengembangan sumberdaya manusia aparatur ini masuk dalam agenda tahunan, tetapi sama halnya dengan rumusan yang terdapat dalam dokumen RPJMD, rumusan dalam RPJP ini juga masih bersifat makro, masalahnya kalau kita uraikan dalam angka-angka inikan
116
menyangkut kebijakan politik yang telah disusun dan telah dapat persetujuan dari DPRD” Pernyataan senada juga disampaikan Pemerintah Provinsi Bali, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Kepulauan Riau serta kabupaten-kabupaten yang berada di lingkungan provinsi yang bersangkutan. Dari sini dapat dikatakan, pemerintah daerah sebenarnya belum memiliki suatu masterplan – perencanaan jangka panjang yang memuat
pengelolaan
kepegawaian
secara
komprehensif.
Dokumen
perencanaan yang ada saat ini baru berupa perencanaan jangka menengah (RPJMD/Renstrada) yang menggambarkan arah pembangunan aparatur daerah secara makro. Selain itu, persoalan krusial lainnya adalah berkenaan dengan ketersediaan dokumen analisis beban kerja (ABK) dalam rangka penyusunan formasi pegawai. Narasumber menyatakan bahwa mereka belum memiliki dokumen tersebut. Beberapa narasumber menyampaikan bahwa daerahnya ”belum memiliki ABK dan ada pula yang menyebutkan masih dalam proses menyusun ABK” (Kota Batam). Pemerintah Provinsi Bali menyatakan hal senada, yakni belum menyusun ABK: ”Sedangkan Analisis Beban Kerja sampai dengan saat ini belum disusun oleh Biro Organisasi, sebenarnya tahun 2009 yang lalu Biro Organisasi mengajukan program Analisis Beban Kerja, tetapi karena waktu yang diinginkan oleh Gubernur hanya 3 (tiga) bulan, maka kita tidak dapat melaksanakan program tersebut” Adalah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo merupakan dua daerah yang telah memiliki dokumen ABK, yang disusun berdasarkan analisis jabatan. Bahkan di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo, dokumen ABK telah dimanfaatkan dalam penyusunan formasi pegawai. Namun sangat disayangkan hal tersebut ”dirusak” oleh kebijakan pusat yang mengangkat tenaga honorer daerah (Honda) menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
117
Ketersediaan daftar kekuatan pegawai atau bezetting sangat memuaskan karena semua daerah telah memiliki dokumen ini. Memang diakui, dokumen bezetting yang dimiliki berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini karena belum ada kesepakatan dari pemerintah pusat mengenai format bezetting itu sendiri. Sebagai contoh, format bezetting dari BKN ternyata berbeda dengan format Kantor MenPAN dan RB. Meskipun demikian dan yang terpenting adalah pemerintah daerah telah memiliki dokumen bezetting sebagai ”bahan dasar” dalam pengelolaan kepegawaian di daerah. Pertanyaannya, apakah bezetting ini digunakan dalam pengelolaan pegawai di daerah? Menurut narasumber di Provinsi Kepulauan Riau, dalam penyusunan formasi pegawai ternyata bezetting hanya digunakan sebesar 5%, sedangkan sebesar 95% menggunakan data yang dikumpulkan dari SKPDSKPD. Ini tentunya merupakan persoalan serius yang perlu dibenahi di masa mendatang. Pemeritah daerah pun telah memberikan saran terkait dengan pemanfaatan dokumen bezetting ini. ”Kalau untuk bezetting menurut kami masih diperlukan, tetapi pada tataran implementasinya bezetting ini hanya 5% digunakan dan 95% mendekati bezetting, jadi kita membuka formasi berdasarkan data dari SKPD membutuhkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dari berbagai macam jenjang pendidikan. tetapi kadang-kadang tidak sesuai dengan kebijakan yang ada. ini kan ada opsi, selalu selalu dan tidak digunakan. tidak selalu itu kan rumusnya 1% sampai dengan 9%, barangkali opsi ini ada prosentase, bezetting oke, apakah bezetting ini benar-benar digunakan untuk menentukan formasi ternyata 75% yang sesuai dengan bezetting, sehingga angka 75% ini muncul. ini di keterangan aja, di penjelasan mungkin harus ada nominalnya”. Terkait dengan kesesuaian pengadaan pegawai dengan formasi yang telah ditetapkan, sebagian besar narasumber daerah menyatakan telah terjadi ketidaksesuaian. Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo menyebutkan penyebab ketidaksesuaian karena terbentur
118
kebijakan dari pusat. Apa yang dimaksud ’terbentur’? Ternyata hal ini terkait dengan
pengangkatan
tenaga
honorer
(amanat
PP
48/2005)
dan
pengangkatan atlet dan pelatih berprestasi menjadi CPNS. ” pengangkatan tenaga honor daerah (Honda) yang justru membuat masalah di daerah, kita harus mengangkat CPNS yang kualitasnya jauh di bawah apa yang kita inginkan, rata-rata CPNS dari Honda ini tidak memiliki kualitas yang memadai baik dilihat dari kompetensi SKA-nya; selain Honda ini kita juga diharuskan mengangkat CPNS berdasarkan formasi dari Atlet dan Pelatih yang berprestasi, ini juga kebijakan dari pusat (Kementerian Olah Raga) setelah kita evaluasi pengangkatan CPNS dari Atlet dan Pelatih ini juga menjadi masalah, untuk tahun 2009 yang lalu Provinsi Gorontalo mendapat formasi 29 orang dari para Atlet dan Pelatih” Persoalannya adalah Provinsi Gorontalo belum pernah memiliki atlet yang mampu berbicara di tingkat nasional, artinya pada tahun tersebut tidak ada atlet yang memenuhi persyaratan yakni Juara I PON (medali emas), sehingga formasinya tidak terpenuhi. Akhirnya, agar formasi terpenuhi maka persyaratan harus rela “diturunkan” akibatnya tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Begitu pun di dalam penempatannya, Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi tidak membutuhkan 29 orang Atlet dan Pelatih setiap tahunnya. Namun,setelah dicoba dimutasikan ke unit kerja yang lain para Atlet dan Pelatih ini protes, karena mereka diangkat menjadi CPNS adalah untuk mengembangkan dunia olah raga di Gorontalo, bukan untuk penanggulangan bencana dan sebagainya. Demikian pula, para atlet yang diangkat berdasarkan prestasi mereka dalam cabang olah raga sepak bola, mereka sudah diangkat menjadi CPNS tetapi mereka tidak pernah masuk kantor karena mereka masih aktif di klub semi professional, jadi seharusnya sudah kena sanksi disiplin pegawai, sesuai PP 30/1980 jo PP 53/2010. Ketidaksesuaian pengadaan dengan rincian formasi awal juga nampak di Provinsi Bali & Kabupaten Gianyar, penyebabnya adalah tidak tepat dan
119
tidak zero growth. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ”tidak tepat dan zero growth” yang dimaksudkan, namun berdasarkan data wawancara dengan pejabat BKD Provinsi dan BKD Kabupaten Gianyar ternyata masih terdapat problem dalam penetapan formasi pegawai yang disebabkan kepentingan tertentu (politik). Hal senada dinyatakan oleh Pemprov NTB bahwa dan Kabupaten Lombok Barat, bahwa ketidaksesuaian pengadaan dengan formasi awal karena adanya kepentingan lain, yang biasanya berasal dari unsur politik (gubernur/bupati/walikota) dan anggota DPRD. Namun berbeda dengan di Jawa Tangah dan Kepri, yang menyatakan kesesuaian antara pengadaan dengan rincian formasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut BKD Jateng, rincian formasi memang ”negosiabel” namun dengan instrumen yang telah dikembangkan sejak awal maka pengadaan tersebut bisa mencapai 100% sesuai. Di Provinsi Kepri, kesesuaian antara pengadaan dan rincian formasi awal mencapai angka 95%, namun hal tersebut tidak terlepas dari masalah yang dihadapinya, sebagaimana pernyataan BKD Kepri: ”Kalau dalam hal ini 95% sudah sesuai dengan dokumen formasi yang ditetapkan. penetapan dari MENPAN, kita usulkan kembali, setelah itu ke BKN dan setelah dari BKN itu masih sesuai dengan formasi yang kita ajukan. kalau dalam tataran kabupaten kita masih sesuai, namun kalau sudah proses kesananya wajarlah kalau ada kerikilkerikil. saya pikir itu hal wajar apabila di tengah perjalanan ada kendala, karena kita tahu disana-sini pasti ada kepentingan, sehingga kadang terjadi apa yang sudah direncanakan tidak berjalan sesuai”. Usul/masukan narasumber penyempurnaan parameter perencanaan meliputi:
120
Tabel. 4.3 Penyempurnaan Parameter Perencanaan Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Perencanaan pegawai (tetap) Tetap 4 indikator, Pengembangan pertanyaan : Bobot 15% (tetap) namun ada sedikit tiap indikator dipecah perubahan pada menjadi 2 atau lebih indikator pertama, pertanyaan, meliputi: menjadi ketersediaan ketersediaan (ada/tidak) dan masterplan, indikator pemanfaatannya. kedua ketersediaan Contoh: apakah tersedia ABK (tetap), indikator masterplan kepegawaian di ketiga ketersediaan daerah? Bagaimana bezetting (tetap), pemanfaatan masterplan dan indikator tersebut dalam pengelolaan keempat kesesuaian kepegawaian di daerah? pengadaan dengan rincian formasi (tetap) Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
2. Parameter Pengadaan Pegawai Untuk mengukur paramater pengadaan pegawai, tim Kajian mengembangkan
5 indikator, meliputi: a) penyebarluasan informasi
pengadaan, b) non diskriminasi, c) penyimpangan dalam pegawai,
d)
ketepatan waktu pengangkatan CPNS, dan e) kesesuaian penempatan pegawai. Renspons
narasumber
terhadap
pertanyaan-pertanyaan
yang
dikembangkan dari kelima indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.4 Pengadaan Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Keterangan
Transparansi penerimaan pegawai telah dilakukan dengan berbagai media yang ada, mulai dari papan pengumuman di
121
No.
Daerah Kajian
Keterangan
Kabupaten Gianyar
2.
Provinsi Gorontalo
Kabupaten Gorontalo
3.
Provinsi Jawa Timur
Kota Batu
4.
Provinsi NTB
Kabupaten Lombok Barat
BKD Provinsi Bali, sampai menggunakan media massa dan internet. Ada persyaratan khusus selain kompetensi tetapi untuk jabatan tertentu Tidak ada penyimpangan Tepat waktu Kurang sesuai, masih banyak tidak sesuai penempatannya Transparansi tentang pengadaan pegawai di Kabupaten Gianyer dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pengumuman di semua instansi pemerintah, mulai dari Kantor Bupati, Kantor Camat dan bahkan sampai ke Desa-Desa, juga melalui media massa, dan web. Tidak ada penyimpangan, panitia menyediakan kotak pengaduan Pengangkatan CPNS tepat waktu Penempatan pegawai masih belum sesuai Tidak jelas Pengadaan melalui pengangkatan Honda merupakan penyimpangan Penempatan tidak ada masalah yang berarti Tidak dijelaskan medianya Ada beberapa penyimpangan tetapi sudah diselesaikan Pengangkatan CPNS tepat waktu Penempatan pegawai tidak masalah Dilakukan melalui papan pengumuman dan media massa Ada Tepat waktu Tidak masalah Papa, media massa dan website Ada penyimpangan, honda Tepat waktu Menjadi masalah, ketika ada campur tangan Media massa dan papan pengumuman Banyak peyimpangan, keluarga pejabat Tepat waktu dalam pengangkatan CPNS Ada masalah penempatan Masalah pengangkatan tenaga Honda,
122
No.
Daerah Kajian
Keterangan
tenaga ampas Tepat waktu Masalah penempatan jelas terjadi 5. Provinsi Jawa Tengah Transparan: melalui media massa, papan dan web Relatif tidak ada masalah/ tidak ada penyimpangan dalam proses pengadaan Tepat waktu Relatif aman dari persoalan salah penempatan Kabupaten Semarang Relatif tidak ada masalah baik dalam transparansi, non diskriminasi, penyimpangan, pengangkatan CPNS maupun dalam penempatan pegawai 6. Provinsi Sumatera Utara Papan pengumuman dan media Ada persyaratan khusus dalam beberapa jabatan/posisi Banyak penyimpangan Pengangkatan relatif tepat waktu Penempatan pegawai banyak menjumpai permasalahan Kabupaten Binjai Papan pengumuman dan media massa Ada persyaratan khusus, KKN Penyimpangan terjadi dalam pengadaan Tepat waktu, relatif Penempatan bermasalah 7. Provinsi Jambi Media massa dan papan pengumuman, transparan Ada persyaratan khusus, titipan pejabat Ada penyimpangan, tersedia kotak pengaduan Tepat waktu Adanya sejumlah penempatan yang tidak the right man on the right place Kabupaten Muarojambi Media massa dan papan pengumuman Ada persyaratan khusus, perilaku KKN Ada penyimpangan Pengangkatan CPNS tepat waktu Penampatan banyak bermasalah Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
123
Berdasarkan tabel di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pengadaan pegawai masih menjadi persoalan di sejumlah daerah kajian. Fakta menunjukkan bahwa sejak pengumuman sampai penempatan pegawai yang diterima menjumpai permasalahan. Kendati diakui adanya transparansi pengadaan yakni penyebarluasan informasi sudah cukup baik (setidaknya diumumkan melalui papan pengumuman dan media massa), namun tidak luput sejumlah persoalan masih menderanya. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai lama waktu penayangan pengumuman tersebut, sehingga tidak dapat dinilai apakah hal tersebut dapat dikatakan transparan ataukah mendekati transparan atau bahkan tidak transparan karena hanya ”mengugurkan kewajiban” dengan memuatnya di media massa. Hal ini pula yang menjadi bahan masukan bagi tim Kajian untuk dimasukkan dalam penyempurnaan instrumen. Penayangan (pengumuman) pengadaan pegawai biasanya dilakukan melalui papan pengumuman instansi, media massa dan website. Selanjutnya adalah menyangkut persoalan non diskriminasi, yaitu bahwa pengadaan pegawai terkadang diwarnai dengan terjadinya keadaan ketidakadilan, seperti persyaratan. Indikator ini ’hilang’ dan digabungkan dengan indikator penyimpangan pengadaan. Dalam peraturan perundangan sebenarnya telah jelas disebutkan bahwa seseorang pelamar dapat diterima apabila memenuhi persyaratan administratif maupun kompetensi tertentu. Namun dapat dimungkinkan seseorang pelamar diterima karena campur tangan ’orang kuat’ yang memiliki kekuasaan politik dalam proses penentuan tersebut (sering disebutkan intervensi pejabat politik tertentu). Pertanyaan ini juga menimbulkan mis-persepsi dari narasumber ketika menerjemahkan ”persyaratan khusus” yakni adanya KKN. Ini adalah bentuk penyimpangan. Sebagaimana pernyataan BKD Provinsi Jambi dan Kabupaten Muarojambi, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Binjai, sebagai berikut:
124
”selain persyaratan administratif dan kompetensi, seorang pelamar biasanya bisa diterima apabila ada yang membawa (orang dalam), bisa keluarga atau nepotisme ataupun karena menggunakan uang dan kekuasaan (kolusi dan korupsi). Fenomena ini sudah menjadi suatu hal biasa di pemerintah daerah”. Namun ada pula daerah yang dapat meminimalisir penyimpangan dalam proses pengadaan sebagaimana dilakukan Pemprov Jawa Tengah dan Kabupaten Semarang. Hal itu dapat terlaksana di Jawa Tengah karena adanya upaya
membangun
sistem
penerimaan/pengadaan
pegawai
secara
transparan. Sekda Provinsi dapat “memaksa” Gubernur/Wakil Gubernur dan pejabat lain untuk tidak mencampuri proses pengadaan pegawai. Bagaimana dengan daerah lainnya, hal ini menjadi tugas besar pemda dan Pemerintah. Ketiga, terkait dengan ketepatan waktu pengangkatan calon pegawai negeri sipil (CPNS), seluruh narasumber daerah menyatakan tepat waktu. Ketepatan waktu ini terdiri atas 2 tahap: ketepatan pengiriman ke Kanreg BKN dan ketepatan waktu pengangkatan CPNS. Responden menyatakan bahwa pengiriman berkas ke Kanreg berjalan sesuai rencana, artinya tepat waktu. Sedangkan untuk ketepatan waktu pengangkatan CPNS, sebagian besar tepat waktu (≥50%). Dikatakan tepat waktu itu sampai berapa lama? Hal ini nampaknya belum terakomodir dalam draft instrumen dan kiranya perlu ditambahkan sebagai bahan penyempurnaan instrumen, sehingga menjadi makin jelas ukurannya. Namun dalam pelaksanaan mungkin ada kendala, sebagaimana Provinsi Kepri: “kalau untuk penyampaiannya ke BKN sudah tepat, tetapi yang menjadi masalah adalah apakah penayampaian dari BKN ini tepat waktu kan masalah lain. Mungkin kriteria tepat waktu itu kalau untuk TMT-nya mungkin sudah tepat, akan tetapi penyampainnya itu yang kadang kurang tepat waktu. Berarti pengangkatan tepat tetapi SKnya kadang yang bermasalah. karena dalam penetapan ini kan tidak seluruhnya ada di BKD, kadang ada syaratnya yang kurang sehingga belakangan ini tidak bisa separuh-separuh, kalau salah satu terlambat maka akan menyebabkan yang lain juga terlambat”
125
Persoalan pengadaan pegawai yang juga penting adalah terkait dengan penempatannya. Hal ini memerlukan perencanaan yang matang sejak pengumuman dilakukan, untuk apa dan akan ditempatkan dimana nantinya. Kesalahan para pengelola kepegawaian adalah, salah satunya dalam menempatkan pegawai yang mungkin diperoleh dengan biaya ‘sangat mahal’. Sebagaimana dinyatakan pejabat BKD Jawa Timur: “Kesesuaian dalam penempatan, kalau tidak sesuai akan ditolak BKN. Ada masalah dalam penempatan CPNS: yang bersangkutan mengundurkan diri karena diterima sebagai CPNS di tempat lain dan penempatan tidak sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Ada fit and proper test sebagai pemetaan kompetensi individu” Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa untuk menghindari terjadinya penempatan jabatan seyogyanya dilakukan pemetaan kompetensi individu dan dilakukan tes kelayakan dan kepantasan atau fit and proper test (mungkin tidak untuk staf, tetapi untuk jabatan fungsional). Usul/masukan narasumber penyempurnaan parameter pengadaan meliputi: Tabel. 4.5 Penyempurnaan Parameter Pengadaan Pegawai Parameter
Pertanyaan
Pengadaan pegawai (tetap) Tetap 5 indikator, Dilakukan pengembangan dengan sedikit pertanyaan: perubahan pada - penyebarluasan indikator sehingga informasi: bagaimana menjadi: penyebaran informasi 1) Penyebarluasan dilakukan, berapa lama informasi penayangan informasi, (sebelumnya: jumlah panitia, test yang transparansi diberikan dan kerjasama informasi) pengadaan. 2) Indikator non- - penyimpangan diskriminasi, pengadaan: persyaratan dimasukkan ke khusus selain adm dan
Keterangan Bobot 15% (tetap)
Lama penayangan ideal 1-2 minggu (skor 100) Jenis tes: TPA, Psikotest, Tes Bahasa Inggris dan Tes Substansi Bidang Media pengaduan, bisa memilih lebih dari satu : Kotak pos, kotak saran,
126
Parameter
Pertanyaan
Keterangan
dalam kompetensi, pengaduan, web, SMS, hotline, radio, penyimpangan tindak lanjut pengaduan, TV, surat pembaca, pengadaan. media pengaduan dan pengaduan langsung 3) Penyimpangan tindak lanjut pengaduan. dalam pengadaan - Ketepatan waktu Penanganan 4) Ketepatan waktu pengangkatan CPNS: pengaduan : dalam penyampaian usulan NIP Internal, melibatkan pengangkatan ke Kanreg BKN Pemerintah, melalui CPNS - Ketepatan waktu lembaga (sebelumnya: pengangkatan CPNS peradilan/PTUN digabung dengan menjadi PNS: bagaimana poin 4) ketepatan waktunya Ketepatan waktu 5) Ketepatan waktu - Kesesuaian penempatan: pengangkatan CPNS pengangkatan dengan rincian formasi menjadi PNS: CPNS menjadi awal 1-2 tahun, atau > 2 PNS (sebelumnya: tahun digabung dengan poin 3) 6) Kesesuaian penempatan Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa paramater pengadaan merupakan poin penting dalam rangkaian manajemen PNSD. Pengadaan atau sering disebut rekrutmen adalah langkah paling krusial karena dia menjadi ’pintu gerbang’ bagi terpilihnya SDM berkualitas. Oleh karenanya, menangani pengadaan pegawai tidak bisa dilakukan secara ’asal’, asal selesai, asal beres, dan asal-asalan yang lainnya. Sejumlah masukan dikemukakan narasumber di lapangan, tidak lain bertujuan agar pengadaan pegawai pemerintah daerah benar-benar memenuhi kebutuhan organisasi. Pengadaan pegawai, sering dijadikan praktek rent-seeking (dalam rangka mencari rent/keuntungan) dari oknum tak bertanggung
jawab. Selain itu, persoalan pengadaan pegawai tidak
identik dengan rekrutmen tetapi merupakan langkah strategis daripada sekedar mencari pegawai baru.
127
3. Parameter Promosi, Mutasi dan Demosi Pengukuran paramater promosi, mutasi dan demosi pegawai, dilakukan dengan menggunakan 3 indikator, yaitu: a) ketersediaan dan kemanfaatan pola karir, b) ketersediaan dan kemanfaatan database kompetensi pegawai, dan c) demosi. Indikator pola karir dijabarkan ke dalam 2 pertanyaan: ketersediaan dokumen pola karir dan pemanfaatan pola karir itu dalam manajemen PNSD. Indikator database kompetensi diturunkan ke dalam 2 pertanyaan yaitu ketersediaan database kompetensi dan pemanfaatan database kompetensi dimaksud. Renspons
narasumber
terhadap
pertanyaan-pertanyaan
yang
dikembangkan dari ketiga indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.6 Mutasi Jabatan, Promosi dan Demosi Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Keterangan
Kabupaten Gianyar
Pola Karier Pegawai Negeri Sipil Daerah di Provinsi Bali sampai saat ini belum disusun, karena memang Peraturan Presiden yang mengatur tentang Pola Karier ini sampai saat ini belum ditandatangani, sedangkan Peraturan Gubernur yang mengatur Pola Karier sampai saat ini belum ada; Promosi Jabatan khususnya Jabatan Struktural sampai saat ini hanya berdasarkan pada rekomendasi dari BAPERJAKAT, rekam jejak dan kopetensi dari calon pejabat yang akan dipromosikan disusun oleh BKD dengan selalu meminta informasi penting dari masing-masing SKPD, dan diikuti oleh hasil Evaluasi Jabatan; Dalam rangka mutasi, promosi dan demosi pegawai di Kab. Gianyar ini belum ada “Pola Karier” yang dijadikan acuan, kalau ada promosi biasanya dibahas dalam rapat BAPERJAKAT, dengan memperhatikan
128
No.
Daerah Kajian
Keterangan
2.
Provinsi Gorontalo
3.
Provinsi Jawa Timur
4.
Provinsi NTB
rekam jejak dari pejabat yang akan dipromosikan, dan juga prestasi kerjanya; Transparansi dalam promosi ini juga belum ada, karena promosi dan mutasi di Kabupaten Gianyar ini masih bersifat rahasia. Sudah ada rambu-rambunya yakni “Pola Karier PNS” yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Gubernur; Selain Pola Karier tersebut pertimbangan untuk promosi dan mutasi adalah data base kepegawaian yang juga memuat kompetensi yang dimiliki oleh seluruh pegawai di Provinsi Gorontalo; Khusus untuk pejabat Eselon II pemerintah Gorontalo telah menjalin hubungan kerjasama dengan pihak Angkatan Darat (Dinas Psikologi) yang memotret potensi calon pejabat Eselon II dari berbagai aspek, tapi memang belum dilembagakan. Di Jawa Timur ini belum ada “Pola Karier PNS”, para pejabat daerah kalau mendengar akan ada mutasi pejabat, mereka tidak tenang lagi, belum adanya pola karier tersebut juga tidak lepas dari kesalahan pusat, sampai saat ini Peraturan Presiden yang mengharuskan pemerintah daerah menyusun Pola Karier belum ada, ini lagi-lagi menunjukkan bagaimana “pusat” tidak pernah konsekwen dan konseisten dalam hal pembinaan aparatur daerah; Politisasi birokrasi ini sangat marak di Kabupaten/Kota, marak sekali, kondisi seperti ini berdampak buruk bagi manajemen PNS secara keseluruhan. Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden tentang Pola Karier yang seharusnya sudah lama disiapkan oleh Pusat, tetapi sampai saat ini belum ada, pada hal Daerah sudah menunggu lama; Penggunaan Standar Kompetensi Jabatan seharusnya mulai dari tahap perencanaan pegawai, jadi masalah kompetensi jabatan
129
No.
Daerah Kajian
Keterangan
Kab Lobar
ini diangkat bukan mulai dari Mutasi dan Promosi tetapi sejak awal sudah terlihat bahwa pengelolaan atau manajemen PNS Daerah ini sudah berbasis kepada Standar Kompetensi Jabatan; Sebelum menduduki jabatan terlebih dahulu dilakukan tes kompetensi jabatan, meskipun sudah ada standar kompetensi jabatannya; atau pemanfaatan “asesment centre”. Dalam hal mutasi jabatan dan promosi di Kabupaten Lombok Barat selama ini hanya berdasarkan pada Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) dan riwayat jabatan (pengalaman kerja) dan pendidikan, belum berdasarkan pada Standar Kompetensi Jabatan dan dokumen lain seperti Pola Karir, khusus menyangkut Pola Karier kita masih menunggu Kebijakan Pemerintah (Perpres atau Keppres) yang sampai saat ini belum terbit; Selain DUK dan Riwayat Jabatan tersebut, Bupati selalu meminta dan mendengar masukan dari Tim Baperjakat. Sehingga pejabat yang dipercaya tersebut benarbenar dapat melaksaanakan tugasnya dengan baik; Sebelum dilantik, pejabat yang bersangkutan terlebih dahulu menandatangani kontrak kerja (fakta integritas) yang disepakati oleh Bupati dan Pejabat yang bersangkutan, pakta integritas tersebut diharapkan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan evaluasi kinerja pejabat ybs; Rekam jejak dari Inspektorat Daerah juga selalu mendapat perhatian dari Bupati; Disarankan untuk aspek Mutasi Jabatan, Promosi dan Demosi ini perlu ada pertanyaan lain yang dapat menjaring informasi tentang “Cara lain yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan mutasi, promosi
130
No.
Daerah Kajian
Keterangan
dan demosi”. Dalam rangka menyusun pola karir pegawai, dan untuk pola karir kita belum membentuk suatu aturan dalam bentuk pergub atau yang lainnya. tetapi menurut kami hal ini diperlukan tetapi kita belum sempat menyusun. kalau promosi kita kan punya baperjakat, nah dalam rapat baperjakat itulah ditentukan siapa yang layak di promosi, siapa yang layak di mutasi ke bidangbidang tertentu. untuk rapat baperjakat ini dasarnya adalah keputusan, menilai pertimbangan kita ini menyiapkan data, pengalaman bidang kerjanya dan itu yang kita siapkan. kemudian dalam rapat pembahasan kita menggunakan dasar itu dan bukan kompetensi. pernah kita melaksanakan assesment tahun 2006 dan itu untuk eselon 4. kebetulan kita juga masih kekurangan pegawai sehingga untuk menduduki jabatan tertentu mash banyak yang lowong mungkin itu tidak dilaksanakan, padahal hasil dari assesment itu sudah ada tetapi tidak dipergunakan. Kota Batam kalau promosi kita kan punya baperjakat, nah dalam rapat baperjakat itulah ditentukan siapa yang layak di promosi, siapa yang layak di mutasi ke bidangbidang tertentu. untuk rapat baperjakat ini dasarnya adalah keputusan, menilai pertimbangan kita ini menyiapkan data, pengalaman bidang kerjanya dan itu yang kita siapkan. kemudian dalam rapat pembahasan kita menggunakan dasar itu dan bukan kompetensi. pernah kita melaksanakan assesmen tahun 2006 dan itu untuk eselon 4. kebetulan kita juga masih kekurangan pegawai sehingga untuk menduduki jabatan tertentu mash banyak yang lowong mungkin itu tidak dilaksanakan, padahal hasil dari assesmen itu sudah ada tetapi tidak dipergunakan. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah). 5.
Provinsi Kepri
131
Dari tabel tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang menarik antara lain, terkait dengan indikator ketersediaan dan pemanfaatan pola karier, hampir semua daerah yang dijadikan fokus kajian ini mengatakan bahwa Pola Karier Pegawai Negeri Sipil Daerah yang dijadikan acuan dalam Promosi, Mutasi dan Demosi pegawai negeri sipil daerah belum disusun. Hal ini dikarenakan masih menunggu kebijakan pusat yang mengatur Pola Karier Pegawai Negeri Sipil secara nasional, yang menurut informasi draft Keputusan Presiden tentang Pola Karier PNS tinggal menunggu tanda tangan Presiden. Dengan melihat informasi dari berbagai narasumber tersebut dapat disimpulkan bahwa inovasi daerah dalam hal penyusunan pola karier pegawai negeri sipil tersebut
masih kurang dan masih sangat tergantung pada
Kebijakan Pusat. Dengan belum adanya kebijakan yang mengatur Pola Karier Pegawai Negeri Sipil Daerah yang disusun oleh Pemerintah Pusat tersebut diberbagai daerah yang menjadi fokus kajian, secara umum dalam hal rangka promosi, mutasi dan demosi jabatan mereka berpedoman kepada hasil pertimbangan Baperjakat daerah, dan rekam jejak pejabat yang akan dipromosikan. Disamping itu yang menentukan adalah kebutuhan ”user” dalam hal ini Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota. Akibat lebih jauh dari belum adanya Pola Karier PNS Daerah adalah Promosi, Mutasi dan Demosi Jabatan di Daerah tidak terpola, tidak mengherankan jika terjadi mutasi pejabat di suatu daerah dilakukan dalam rangka memenuhi ”kepentingan” Kepala Daerah, dengan mengatasnamakan ”kebutuhan organisasi”, praktek penyelenggaraan mutasi jabatan, promosi dan demosi semacam ini berakibat langsung pada ketenangan pejabat dalam melaksanakan tugas sehari-hari sebagai pelayan masyarakat. Selain indikator ketersediaan daan pemanfaatan pola karier, dalalm parameter mutasi jabatan, promosi dan demosi ini juga dikembangkan
132
indikator lain, yakni standar kompetensi jabatan dan pemanfaatan data kompetensi pegawai, namun sesuai dengan pertimbangan dari para Narasumber terutama dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) maka indikator ini dimasukkan ke dalam Parameter Umum (Parameter ke-9). Dalam rangka penyempurnaan draft instrumen pengukuran dan evaluasi kinerja pegawai negeri sipil daerah dan mengingat pelaksanaan ”demosi” pegawai negari daerah jarang sekali ditemukan, maka demosi dihilangkan. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan bahwa seseorang pejabat yang diturunkan jabatannya adalah merupakan suatu hukuman (punishment). Kemudian parameter yang semula dari Promosi Jabatan, Mutasi dan Demosi diubah menjadi Rotasi Jabatan dan Promosi, meskipun dalam rangka rotasi jabatan juga dimungkinkan terjadi penurunan jabatan (demosi). Usul/masukan narasumber penyempurnaan parameter Promosi, mutasi dan demosi jabatan meliputi: Tabel. 4.7 Penyempurnaan Parameter Mutasi Jabatan, Promosi dan Demosi Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Mutasi Jabatan, Promosi dan Demosi berubah menjadi Rotasi Jabatan dan Promosi. Bobot tetap 10 % Tetap 3 indikator, Masing-masing indikator hanya Bobot masing-masing dengan urutan dijabarkan 1 (satu) pertanyaan, indikator tetap (0,33). sebagai berikut : yakni : Apakah ada dokumen Indikator 1) pola karier, Bagaimana proses Ketersediaan dan kenaikan jabatan/promosi pemanfaatan pola dilakukan dan Bagaimana rotasi karier; Indikator 2) jabatan dilakukan; Kenaikan Jabatan/Promosi; Indikator 3) Rotasi Jabatan, masingmasing bobot indikator tetap (0,33).
133
Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Sedangkan indikator 1) pada draft yakni Ketersediaan standar kompetensi jabatan dan pemanfaatan data kompetensi pegawai dijadikan menjadi indikator 1) dan indikator 2) pada aspek infrasturktur, dan Indikator 3) pada draft yakni Demosi dihilangkan mengingat ”demosi” merupakan bagian dari rotasi jabatan. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
4. Parameter Pengembangan Pegawai Pengukuran paramater pengembangan pegawai dilakukan dengan menggunakan 7 indikator, yaitu: a) ketersediaan dan kemanfaatan analisis kebutuhan diklat (training need analysis/TNA), b) seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan struktural, c) evaluasi pasca diklat, d) pemanfaatan alumni diklat, d) pengembangan pegawai melalui diklat teknis dan fungsional, e) pengembangan pegawai melalui diklat formal, f) pengembangan pegawai melaui selain pendidikan formal dan diklat, dan g) pembinaan mental. Renspons
narasumber
terhadap
pertanyaan-pertanyaan
yang
dikembangkan dari 7 indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.8 Pengembangan Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Keterangan
Pengembangan Pegawai dikaitkan dengan Diklat Pegawai, di Provinsi Bali sudah
134
No.
Daerah Kajian
Keterangan
2.
Provinsi Gorontalo
3.
Provinsi Jawa Timur
4.
Provinsi NTB
berdasarkan pada “Analisis Kebutuhan Diklat (AKD)” Disamping AKD tersebut, kita juga selalu memperhatikan arah kebijakan dari Gubernur, misalnya pengembangan pegawai dengan menambah bobot Diklat Teknis yang selama ini diselenggarakan oleh masing-masing SKPD, misalnya Gubernur menghendaki adanya Diklat Bahasa Inggris, maka masing-masing SKPD menyelenggarakan pengiriman pegawai untuk mengikuti Diklat bahasa Inggris tersebut. Uji kompetensi yang dilaksanakan khusus bagi calon peserta diklatpim selalu dilaksanakkan dan bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Diklat LAN; Evaluasi pasca diklat selalu kita lakukan, baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota, Badan Diklat mempunyai program MONEV (monitoring dan evaluasi, baik terhadap alumni diklat maupun terhadap kelembagaan diklat. TNA di Provinsi Gorontalo belum disusun secara lengkap, namun dasar unruk pengembangan pegawai adalah Standar Kompetensi Jabatan yang masih sangat kasar perencanaan dan pelaksanaan pengembangan didasarkan pada TNA. Selalu dilakukan seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim. Jumlah anggaran beasiswa sekolah per jml pegawai tiap tahun sebesar Rp 292.000.000,-. Pengembangan pegawai selain diklat: kursus dan in house training. Bentuk pembinaan mental pegawai dalam bentuk ceramah agama, kode etik dan disiplin (1 kali sebulan). Pada aspek pengembangan pegawai ini belum terlihat pertanyaan yang berkaitan dengan Diklat Teknis dan Diklat Fungsional; padahal kedua jenis diklat tersebut merupakan Diklat kunci
135
No.
Daerah Kajian
Keterangan
5.
Provinsi Jawa Tengah
6.
Provinsi Kepri
Kota Batam
keberhasilan dalam pencapaian kinerja yang optimal, jadi disarankakn agar Diklat Teknis dan Diklat Fungsional ini masuk dalam pertanyaan; Pada indikator 3) Evaluasi Pasca Diklat, pertanyaannya dapat dikembangkan menjadi beberapa pertanyaan misalnya : a. Evaluasi terhadap peserta dan alumni; b Evaluasi terhadap penyelenggara, termasuk widyaiswara c. Evaluasi kurikulum termasuk modul d. Evaluasi terhadap sarana dan prasarana; Perlu juga penegasan lingkup dari Pendidikan Non Formal, sehingga tidak terjadi salah persepsi; missal mengikuti seminar, workshop dll; Untuk melakukan pengembangan pegawai BKD Prov. Jateng telah menyusun TNA (training need assesment) Seluruh indikator telah dimiliki oleh BKD Provinsi Jateng Hal ini penting sekali dan kita sudah konsultasi ke BKN dan mungkin dalam waktu dekat ini kita akan melakukan workshop tentang pola karir ynag melibatkan seluruh stakeholder SKPDSKPD Dalam hal pengembangan pegawai telah ada koordinasi untuk pendidikan formal dan kita menggunakan satu pintu. kalau ada yang ingin melanjutkan pendidikan formal harus melakui BKD dan Diklat kalau untuk pengembangan PNS yang untuk diklat-diklat pendek 3 bulan kita koordinasi dengan SKPD kita tujuan kita apa, kita ambil kasubag program kita berikan diklat dengan kerjasama dengna LAN atau BKN atau kerjasama dengna DDN dan disana kita mendapat outputnya. daripada pegawai kita ikut diklat yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Pengembangan pegawai melalui non diklat seperti magang di Kota Batam belum ada karena prosesnya harus melalui
136
No.
Daerah Kajian
Keterangan
pemerintah pusat dan birokrasinya terlalu panjang 7. Provinsi Jambi Di dalam draft instrumen ini pengembangan pegawai dibobotkan, masalah training sudah ada perencanaannya, terus untuk pengangkatan dalam jabatan semua ketentuan sudah diatur namun dalam pelaksanaannya ada PP yang meringankan pengangkatan dalam jabatan namun sementara kami ingin mengomentari pertanyaan teman kita dari inspektorat bahwa pengangkatan dalam jabatan itu setelah dalam jabatan 2 tahun. Di dalam PP No.1 itu menjelaskan secara normal perpindahan jabatan itu 2 tahun, berarti ada secara tidak normal. disitu kita idealnya, disana mungkin ada kepentingan organisasi atau kepentingan pemerintah untuk mengacu kepentingan dinas supaya tempat itu berjalan sesuai kebutuhan. Yang kedua persyaratan dalam pengangkatan masalah diklat pim. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Indikator
yang
dianggap
penting
pada
Aspek/Parameter
pengembangan pegawai adalah indikator Ketersediaan dan pemanfaatan TNA, dari delapan Provinsi yang menjadi lokus kajian, hanya 2 (dua) provinsi yang telah menyusun Training Need Analysis (TNA) yakni Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, dan dokumen TNA tersebut selalu dijadikan bahan acuan dalam rangka pengembangan pegawai negeri sipil di daerah, sedangkan daerah-daerah lain diidentifikasi belum menyusun TNA, seperti misalnya di Provinsi Gorontalo yang dalam pandangan tim pada saat melakukan FGD di BKD Provinsi Gorontalo penerapapn manajemen pegawai negeri sipil daerahnya sudah berkembang sedemikian rupa, ternyata mereka belum menyusun TNA, hal tersebut juga terjadi di Provinsi NTB dan daerah-
137
daerah lainnya. Terhadap draft yang telah disusun oleh Tim Kajian, pada dasarnya semua narasumber sependapat akan pentingnya TNA dalam pengembangan pegawai, karena dengan melihat TNA masing-masing individu terlihat dengan jelas kebutuhan kompetensi dari masing-masing pemangku jabatan. Di Provinsi Bali, dalam rangka mengembangkan pegawai negeri sipil daerahnya sudah berdasarkan pada Analisis Kebutuhan Diklat (AKD) selain AKD juga selalu mengacu kepada kebijakan Gubernur Kepala Daerah dalam hal pengikut sertaan pegawai mengikuti program diklat, dan bahkan juga terdapat kebijakan Gubernur yang mengarahkan jenis-jenis diklat yang dikategorikan prioritas bagi pegawai daerah,seperti misalnya menambah bobot (materi) Diklat teknis yang diselenggarakan oleh masing-masing SKPD, tentunya dikaitkan juga dengan potensi daerah Bali yakni pariwisata. Begitu juga masukan dari narasumber di Kabupaten Lombok Barat, menyarankan agar dalam instrumen yang disusun ini bobot dari Diklat Teknis mendapat porsi yang lebih, mengingat kompetensi teknis inilah yang justru sangat menentukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, namun dalam prateknya kita melihat keberpihakan dari pembuat kebijakan di daerah, selalu lebih condong keberpihakannya kepada Diklatpim. Selain keberpihakan tersebut, dalam implementasinya, penyelenggaraan Diklat Teknis ini dilaksanakan sepenuhnya oleh masing-masing SKPD dengan mendapat fasilitasi dari Instansi Pusat, permasalahan yangsering timbul adalah koordinasi antara BKD, Badan Diklat Daerah, dan SKPD penyelenggara Diklat Teknis, akibatnya informasi tentang adanya Diklat Teknis tidak sampai pada BKD atau Badan Diklat Daerah. Dari berbagai diskusi yang dilakukan oleh Tim dengan para Narasumber baik di pusat maupun di daerah pada aspek/parameter Pengembangan Pegawai tampaknya draft yang disusun oleh Tim
sudah
138
sesuai dengan kebutuhan daerah, sehingga draft yang telah disusun tersebut tidak mengalami perubahan, mulai dari Aspek/Parameter sampai pada indikator dan pembobotannya.
5. Parameter Kesejahteraan Pegawai Pengukuran paramater kesejahteraan pegawai akan dilihat dari 4 indikator, yaitu: a) ketersediaan fasilitas kesehatan, b) ketersediaan santunan kecelakaan kerja, c) ketersediaan santunan uang duka, d) ketersediaan bantuan perumahan, Renspons
narasumber
terhadap
pertanyaan-pertanyaan
yang
dikembangkan dari 4 indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.9 Kesejahteraan Pegawai No.
Daerah Kajian
Keterangan
1. 2.
Provinsi Bali Provinsi Gorontalo
3.
Provinsi Jawa Timur
4.
Provinsi NTB
Tidak ada permasalahan; sudah ada TKD Sejak Provinsi Gorontalo ada kesejahteraan pegawai menjadi perhatian pemda; selain tunjangan kinerja daerah terdapat juga dana kesejahteraan yang dikelola Korpri tidak ada fasilitas kesehatan khusus untuk pegawai, tidak ada santunan kecelakaan kerja, tidak ada santunan duka. Ada bantuan memperoleh perumahan yaitu dalam bentuk sewa beli tetapi jumlahnya kecil karena kemampuan APBD (kurang). Disamping ketersediaan fasilitas kesehatan, perlu juga ditegaskan kualitas layanan kesehatannya; Perlu dibuat salah satu indikator tersendiri yang memuat evaluasi terhadap inovasi daerah yang berkaitan dengan kesejahteraan pegawai, yang memang sudah diatur dalam kebijakan nasional misalnya Permendagri dan Peraturan dari Menteri Keuangan jadi tidak terbatas pada 4 (empat) indikator yang telah disusun
139
No.
Daerah Kajian
Keterangan
oleh Tim Lembaga Administrasi Negara; Dalam rangka evaluasi kesejahteraan pegawai perlu ditambah indikator uang makan/tambahan gizi karena di Lombok Barat yang diterima oleh pegawai tidak sebesar sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah, di Lombok Barat uang makan yang diterima oleh pegawai hanya sebesar Rp. 4.000, Uang pemulangan bagi para pegawai yang akan memasuki usia pensiun yang sering disebut “tali asih” juga perlu dimasukkan dalam indikator; 6. Provinsi Kepri tidak ada permasalahan Kota Batam keempat-empatnya ini sudah ada di kota batam. untuk santunan duka sudah ada, misalnya mereka kita berangkatkan umroh. kalau uang makan kita ada, beasiswa untuk anak-anak pegawai, biaya pendidikan. 7. Provinsi Jambi tidak ada permasalahan Kabupaten Muaro Jambi ketersediaan bantuan perumahan, itu pada kenyataannya pada tahun 2005 semenjak tim TP3D tidak berdiri lagi di pusat dan dibentuknya Taperum, itu Taperum pusat hanya mengeluarkan seperti bantuan bagi yang pensiun dan bagi yang meninggal sedangkan bantuan untuk perumahan sudah tidak ada lagi. Realisasinya sudah tidak ada lagi, yang ada hanya programnya saja. Kalau untuk penyempurnaan ini, kalau untuk kami itu susah itu pak. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah). Kab Lobar
Dari tabel diatas, terkait dengan aspek kesejahteraan pegawai dalam lingkup manajemen PNS di daerah masih belum membuahkan hasil yang menggembirakan. hal ini terlihat dari hasil diskusi Tim kajian dengan pejabat pengelola kepegawaian di lokus kajian.
140
Berkaitan dengan kesejahteraan pegawai ini, Narasumber di Provinsi Gorontalo menjelaskan bahwa ”sejak Provinsi Gorontalo ada kesejahteraan pegawai menjadi perhatian pemda; selain tunjangan kinerja daerah terdapat juga dana kesejahteraan yang dikelola Korpri”. Terkait dengan penyediaan fasilitas kesehatan pada umumnya sudah tersedia seperti klinik kesehatan, dimana fasilitas kesehatan ini dapat digunakan untuk melakukan general chekup sebagaimana dikemukakan oleh Narasumber dari Kabupaten Gianyar bahwa : ”kebijakan dalam rangka pemberian fasilitas kesehatan ini di Kab. Gianyar sejak tahun 2007 antara lain : General Cek Up bagi pegawai yang sudah berusia diatas 40 tahun, dan sama dengan PNS yang lain, semua pegawai negeri mendapat fasilitas kesehatan melalui Askes”. Disamping itu, selain adanya fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pengelola kepegawaian daerah, hal penting lain adalah ketesediaan santunan kecelakaan kerja, dimana santunan ini biasanya diberikan kepada pegawai yang tingkat resiko kecelakaan kerjanya cukup tinggi. Data yang diperoleh Tim Kajian menunjukkan tidak satu pun lokus kajian yang menyediakan santunan kecelakaan kerja bagi pegawai. Untuk bantuan uang duka sampai dengan saat ini memang merupakan inovasi dari daerah bersangkutan, karena ketiadaan dasar hukum dan ketersediaan anggaran untuk pemberian uang duka ini, hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Narasumber dari Kabupaten Gianyar bahwa : ”dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pegawai ini setiap tahunnya selalu mendapat perhatian, namun sangat tergantung pada kondisi keuangan daerah, bantuan tsb. Misalnya uang duka, bantuan kesehatan, namun kendalanya adalah dasar hukum dan ketersediaan anggaran”. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pegawai, khususnya guna meningkatkan pendapatan pegawai beberapa daerah sudah menerapkan pemberian tunjangan kinerja pegawai. Tunjangan kinerja ini diberikan sebagai
141
bentuk penghargaan daerah kepada kinerja pegawai. Mekanisme pemberian tunjangan
kinerja
tersebut
memang
sangat
bervariatif
tergantung
kemampuan suatu daerah. Terkait dengan hal ini, Narasumber dari BKD Provinsi Bali bahwa ”tunjangan kinerja Daerah di provinsi Bali sudah ada yang diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2010, dan mulai bulan Juni telah dilakukan uji coba”. Sementara itu terkait dengan tunjangan kinerja daerah, Narasumber BKD Kabupaten Muarojambi menambahkan bahwa : ”Di Jambi kami punya tunjangan TKD yang tadi sudah disampaikan sebetulnya sudah ada sinyal dari Pak Sekda supaya kami dapat mengukur individu yang harus dihargai sekian itu siapa, jadi mungkin dengan adanya pedoman pengukuran yang sifatnya individu langsung itu akan sangat bermanfaat bagi kami kalau memang TKD kami “K” nya itu kami jadikan kinerja, sekarang kan “K” nya itu kesejahteraan, jadi belum kinerja, sehingga itu belum wajib. Nanti kalau “K” nya itu dimaknai sebagai kinerja, kami wajib mengukur, sementara alat ukur kami belum punya yang pas dan valid”. Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa pemberian tunjangan ini penting
untuk
mengukur
kinerja,
bukan
untuk
mengukur
tingkat
kesejahteraan pegawai, sehingga nantinya apabila diberikan TKD dalam arti kinerja, artinya bahwa seseorang pegawai yang akan mendapatkan TKD tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan oleh daerah. Usul/masukan narasumber penyempurnaan parameter perencanaan meliputi: Tabel. 4.10 Penyempurnaan Parameter Kesejahteraan Pegawai Parameter
Pertanyaan
Kesejahteraan Pegawai (tetap) Aspek ini tetap - perlu ditambahkan pertanyaan dengan 5 indikator tentang kegiatan senam yaitu fasilitas kesehatan dan olah raga bersama
Keterangan Bobot 15% (tetap)
142
Parameter
Pertanyaan
Keterangan
kesehatan, ketesediaan santunan kecelakaan kerja, santunan uang duka, bantuan perumahan Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
6. Parameter Penilaian Kinerja Pegawai Pengukuran paramater penilaian kinerja pegawai akan dilihat dari 5 indikator, yaitu: a) perencanaan kineja, b) penilaian kinerja pegawai, c) monitoring kinerja pegawai, d) pemanfaatan hasil penilaian, e) keberadaan tunjangan kinerja pegawai. Renspons narasumber terhadap pertanyaanpertanyaan yang dikembangkan dari 5 indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.11 Penilaian Kinerja Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Keterangan
2.
Provinsi Gorontalo
Di Provinsi Bali belum ada “kontrak kinerja” yang dibuat masing-masing pegawai (individu), yang ada adalah penugasan-penugasan dari pimpinan unit organisasi mulai dari level eselon II sampai eselon IV dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing SKPD; Tunjangan Kinerja Daerah di Provinsi Bali sudah ada, yang diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2010; dan mulai bulan Juli ini telah dilakukan uji coba; Selain DP3, pemerintah daerah Provinsi Gorontalo telah menyusun instrument khusus tentang Evaluasi Kinerja Pegawai; yang sering disebut “Kontrak Kinerja”; kontrak kinerja inilah yang dijadikan dasar
143
No.
Daerah Kajian
Keterangan
3.
Provinsi Jawa Timur
4.
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kabupaten Lombok Barat
6.
Provinsi Kepulauan Riau
Kota Batam
untuk menentukan jumlah tunjangan kinerja daerah, dan Evaluasi Jabatan; tidak terdapat kontrak kinerja. Tidak ada penilaian lain selain DP-3. Ada monitoring thd kinerja individu melalui waskat. Tidak ada hubungan antara hasil penilaian kinerja dengan pengembangan pegawai karena hasil penilaian DP-3 kurang mencerminkan kondisi sebenarnya. Dalam hal promosi/demosi, hasil penilaian DP-3 tidak selalu digunakan karena tdk mencerminkan kondisi sebenarnya. Evaluasi kinerja tidak sama sekali ditindaklanjuti dengan pemberian reward/ punishmnet karena tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Tidak ada tunjangan pegawai. Apa bila terdapat penilaian dan evaluasi kinerja individu selin DP3, apakah kebijakan ini sudah ada yang mengatur, sehingga dasar kebijakannnya jelas, jangan sampai nanti LAN diprotes oleh Pemda, kalau memang sudah ada kebijakannya secara nasional kebijakan tersebut apa? Evaluasi kinerja pegawai di Lombok Barat yang ada sampai dengan saat ini adalah secara berjenjang, mulai dari Eselon II dan Eselon III evaluasi kinerjanya dilakukan pada Rapat Pimpinan (Rapim) yang dilakukan pada setiap awal bulan, dasar evaluasinya adalah “kontrak kinerja atau pakta integritas” yang ditandatangani oleh para pejabat pada saat pelantikan; Evaluasi semacam ini dilakukan para pejabat tersebut dilakukan kepada bawahannya masing-masing; Pada level Eselon IV dan pelaksana (staf) penilaian kinerjanya hanya berdasarkan pada DP3; tidak ada permasalahan kontrak kinerja individu, kalau untuk itu baru eselon 2, perlu ada pakta integritas. itu biasanya
144
No.
Daerah Kajian
Keterangan
melekat pada kegiatan seperti tidak boleh korupsi dan lain-lain dan semua kegiatan harus ada pakta integritas. untuk tunjangan kinerja sudah ada dengan dasar SK Walikota, artinya kalau orang tidak masuk kita potong sekian persen. untuk masalah reward and punishment pernah kita memberikan penghargaan kepada pegawai yang berprestasi dan kita berikan reward. ada ukuran dalam memberikan reward selain dengan DP3 kita juga penilaian dari pimpinan, absensi kemudian ada beberapa hal seperti pernah menjadi teladan apa seperti guru yang berprestasi untuk tingkat provinsi sampai tingkat nasional kita jadikan pertimbangan dalam memberikan reward. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Untuk parameter penilaian kinerja pegawai dari hasil Kajianan nampaknya masih kurang menggembirakan, hal tersebut karena memang belum adanya instrumen yang dibuat maupun karena kegamangan daerah karena belum jelas kebijakan apa yang menjadi dasar penilaian kinerja tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh narasumber BKD Provinsi NTB : ”perlu juga ditambahkan satu indikator lagi yakni “Evaluasi” dari pelaksanaan Evaluasi Kinerja itu sendiri, yang memuat tingkat transparansi, tingkat keadilan dan akuntabilitas dan ketepatan waktu dari pelaksanaan evaluasi kinerja tersebut;” Pada umumnya yang berlaku di lingkungan pegawai negeri sipil, penilaian kinerja pegawai dilakukan dengan instrumen Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), dimana DP3 ini dijadikan bahan pertimbangan bagi pimpinan untuk melakukan penilaian kinerja pegawai. Namun demikian, keberadaan DP3 belum dijadikan bahan pertimbangan pimpinan untuk melakukan penilaian kinerja pegawai maupun dalam rangka pelaksanaan
145
manajemen kepegawaian yang lain seperti promosi, pengembangan dan lainlain. Hal ini sebagaimana ditemui dalam curah pendapat dengan BKD Prov. Jatim, bahwa : tidak ada penilaian lain selain DP-3. Ada monitoring terhadap kinerja individu melalui waskat. Tidak ada hubungan antara hasil penilaian kinerja dengan pengembangan pegawai karena hasil penilaian DP-3 kurang mencerminkan kondisi sebenarnya. Dalam hal promosi/demosi, hasil penilaian DP-3 tidak selalu digunakan karena tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Seyogyanya, DP3 memang digunakan dalam rangka memberikan penilaian kinerja pegawai guna pemberian reward and punishment kepada pegawai. Banyak daerah yang menjadikan DP3 sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan reward and punishment, namun selain dengan DP3, keberadaan penilaian pimpinan dan absensi pegawai memang diperlukan, sebagaimana dikemukakan oleh BKD Kota Batam sebagai berikut: ”ada ukuran dalam memberikan reward selain dengan DP3 kita juga penilaian dari pimpinan, absensi kemudian ada beberapa hal seperti pernah menjadi teladan apa seperti guru yang berprestasi untuk tingkat provinsi sampai tingkat nasional kita jadikan pertimbangan dalam memberikan reward”. Usul/masukan narasumber penyempurnaan parameter penilaian kinerja pegawai meliputi: Tabel. 4.12 Penyempurnaan Penilaian Kinerja Pegawai Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Penilaian Kinerja, diubah menjadi menjadi Manajemen Kinerja Pegawai Perlu ditambahkan satu indikator lagi - tingkat transparansi yakni “Evaluasi” dari pelaksanaan - tingkat keadilan dan Evaluasi Kinerja itu sendiri, yang memuat akuntabilitas tingkat transparansi, tingkat keadilan dan - tingkat ketepatan akuntabilitas dan ketepatan waktu dari waktu pelaksanaan evaluasi kinerja tersebut; Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
146
7. Parameter Disiplin & Etika Pegawai Pengukuran paramater disiplin dan etika pegawai akan dilihat dari 6 indikator, yaitu: a) dukungan kebijakan daerah yang mengatur disiplin pegawai, b) pelaksanaan disiplin pegawai, c) pelanggaran disiplin pegawai, d) tindaklanjut pelaksanaan disiplin pegawai, e) monitoring terhadap tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai, dan
f) dukungan kebijakan etika
pegawai. Renspons
narasumber
terhadap
pertanyaan-pertanyaan
yang
dikembangkan dari 6 indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.13 Disiplin dan Etika Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Keterangan
2.
Provinsi Gorontalo
3.
Provinsi Jawa Timur
Memang “Disiplin Pegawai” ada payung hukumnya, dan peran dari tim pemantau disiplin pegawai, Sedangkan Etika sebagai bagian dari Disiplin Pegawai, atau “Disiplin” merupakan parameter tersendiri, dan “Etika” juga merupakan parameter tersendiri; Sebaiknya yang diutamakan adalah “Disiplin Pegawai” karena acuan kita jelas, yakni Peraturan Pemerintah, sedangkan “Etika” sebagai pendukung dari Disiplin Pegawai, karena Etika masiih merupakan wacana, meskipun sudah ada cantolannya yakni TAP MPR tentang Etika Penyelenggara Negara; Di Provinsi Bali sudah ada pengaturan mengenai etika ini yakni Etika Pakaian Dinas, dan Etika Jam Bekerja; Jadi saran untuk Tim Penyusun Instrumen, untuk aspek yang ke 7 adalah “Disiplin Pegawai dan Etika” Sebaiknya etika ini merupakan bagian dari Disiplin Pegawai Negeri Sipil, atau paling tidak Disiplin Pegawai Negeri Sipil ini merupakan Aspek tersendiri dari manajemen PNS Daerah; tidak ada kebijakan daerah tentang kode etik PNS daerah, karenanya tidak ada tim yang
147
No.
Daerah Kajian
Keterangan
4.
Kota Batu
Provinsi NTB
5.
Provinsi Jawa Tengah
6.
Provinsi Kepri
mengawasi penegakan kode etik. Ada pengarahan tatap muka dalam menjalankan kode etik PNS sesuai peraturan perundangan. Ada tindak lanjut pelanggaran tingkat berat dan sedang. Tidak ada dewan kehormatan PNS daerah, yang ada tim penegak disiplin PNS penegakan disiplin pegawai dan tindak lanjutnya sudah dilakukan, namun yang terpenting adalah monev terhadap tindak lanjut tersebut. Karena pernah terjadi pemberian hukuman dilakukan tetapi tidak dilaksanakan oleh pegawai ybs, hal ini terjadi karena kurangnya monitoring dan evaluasi. Perlu dipertimbangkan bahwa pada masingmasing SKPD telah mempunyai dan mengembangkan Etika dalam melaksanakan tugas, misalnya Etika Auditor, Etika Perencana, atau Etika secara umum yang telah disosialisasikan Kantor Kementerian PAN; Perlu ditambahkan juga indikator yang berkaitan dengan Dukungan Kebijakan Daerah yang mengatur tentang Disiplin PNS; Perlu ditambah juga evaluasi pelaksanaan Etika PNS Daerah; Perlu ditukar posisi pertanyaan terhadap indikator 3 dan 4; Perlu ditambahkan juga indikator terakhir yakni “Monitoring dan Evaluasi” dari tindak lanjut pelanggaran Disiplin dan Pelanggaran Etika, sehingga kita juga dapat mengetahui efektivitas dari hasil tindak lanjut pelanggaran disiplin dan pelanggaran etika PNS Daerah; Sudah ada peraturan kepala daerah yang menindaklanjuti PP 30/1980 Belum ada kebijakan daerah tentang etika pegawai kalau mengenai aturan seperti SK walikota memang di kita belum ada, tetapi kita tetap mengacu kepada PP 30 tentang disiplin pegawai. untuk itu kita membuat tim monitoring dan kita berkoordinasi dengan pihak inspektorat dengan dinas pendidikan karena jumlah guru lebih banyak. SK nya tidak
148
No.
Daerah Kajian
Keterangan
berubah karena berdasarkan jabatan. kalau ada tindakan pelanggaran terhadap disiplin biasanya kita larikan kepada inspektorat untuk pembuktian dan penindakan lebih lanjut. Kota Batam kalau mengenai aturan seperti SK walikota memang di kita belum ada, tetapi kita tetap mengacu kepada PP 30 tentang disiplin pegawai. untuk itu kita membuat tim monitoring dan kita berkoordinasi dengan pihak inspektorat dengan dinas pendidikan karena jumlah guru lebih banyak. SK nya tidak berubah karena berdasarkan jabatan. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Dari tabel tersebut dapat diperoleh informasi bahwa hampir semua daerah belum memiliki kebijakan daerah tentang disiplin, karena hal ini sebenarnya merupakan bagian dari peraturan disiplin pegawai (PP No 30 Tahun 1980, yang kini telah direvisi dengan PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil). Demikian pula dengan etika pegawai, tidak semuanya memiliki aturan tentang etika pegawai. Sebagaimana dinyatakan narasumber di BKD Provinsi Kepulauan Riau: ”kalau mengenai aturan seperti SK walikota memang di kita belum ada, tetapi kita tetap mengacu kepada PP 30 tentang disiplin pegawai. untuk itu kita membuat tim monitoring dan kita berkoordinasi dengan pihak inspektorat.... kalau ada tindakan pelanggaran terhadap disiplin biasanya kita larikan kepada inspektorat untuk pembuktian dan penindakan lebih lanjut.” Bahkan menurut narasumber di BKD Provinsi Nusa Tenggara Barat, tiap-tiap unit dapat memiliki dan mengembangkan etika pegawai sebagai contoh etika auditor, etika perencana, etika analis kepegawaian, etika peneliti, dan sebagainya. Sebagaimana disampaikan kepada tim kajian LAN sebagai berikut: ”Perlu dipertimbangkan bahwa pada masing-masing SKPD telah mempunyai dan mengembangkan Etika dalam melaksanakan tugas,
149
misalnya Etika Auditor, Etika Perencana, atau Etika secara umum yang telah disosialisasikan Kantor Kementerian PAN”. Menurut Pemerintah narasumber di BKD Kota Batu-Provinsi Jawa Timur, penegakan disiplin dan tindak lanjut sangat dianjurkan agar pegawai mendapat efek jera atas perbuatan yang dilakukan. Akan tetapi, yang terpenting adalah dilakukan monev terhadap hal tersebut, sebagaimana pernyataan berikut: ”penegakan disiplin pegawai dan tindak lanjutnya sudah dilakukan, namun yang terpenting adalah monev (: monitoring dan evaluasi) terhadap tindak lanjut tersebut. Karena pernah terjadi pemberian hukuman dilakukan tetapi tidak dilaksanakan oleh pegawai yang bersangkutan, hal ini terjadi karena kurangnya monitoring dan evaluasi”. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu disampaikan perbaikan terhadap parameter disiplin dan etika pegawai sebagaimana tabel berikut. Tabel. 4.14 Penyempurnaan Parameter Disiplin dan Etika Pegawai Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Disiplin dan etika pegawai (tetap) Tetap 6 indikator, Perbaikan: sebagaimana draft - Pertanyaan pada indikator yang disusun tim pelaksanaan diubah menjadi Kajian. apakah ada tim penegak disiplin? - Jawaban pada pertanyaan jumlah pelanggaran disiplin pegawai tahun terakhir, dirinci ke dalam pelanggaran berat, sedang dan ringan. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
8. Parameter Pemberhentian Pegawai Pengukuran paramater pemberhentian pegawai akan dilihat dari 3 indikator, yaitu: a) keberadaan pembinaan memasuki masa purnabhakti, b) ketepatan waktu pensiun, dan c) perpanjangan batas usia pensiun (BUP).
150
Renspons narasumber terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan dari 3 indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.15 Pemberhentian Pegawai No. 1.
Daerah Kajian Provinsi Bali
Keterangan
2.
Provinsi Jawa Timur
3.
Provinsi NTB
Kab Lobar
4.
Provinsi Jawa Tengah
5.
Provinsi Kepri
Kota Batam
Pertanyaan yang ada dalam draft sudah cukup memadai Dilakukan diklat purnabhakti bagi pegawai yang menjelang pensiun pelatihan kewidyaiswaraan kerjasama dengan dinas tenaga kerja. Pemberian SK pensiun 0-3 bulan (golongan IV/c ke bawah). Perlu dikembangkan indikator dari perpanjangan usia pensiun, misalnya indikator apa yang digunakan untuk mengukur bahwa seorang PNS itu “Dibutuhkan” sehingga bukan hanya pejabat Eselon II dan Eselon I saja yang mendapat kesempatan untuk memperpanjang usia pensiun; artinya tidak menutup kemungkian batas usia pensiun fungsional umum (staf) juga bisa menjadi 60 tahun kalau memang yang bersangkutan benar-benar dibutuhkan. Uang tali kasih bagi PNSD yang pensiun untuk modal usaha Memprogramkan diklat purnabhakti Perlu ada pertanyaan pensiun muda/dini Indikator perpanjangan usia pensiun harus jelas Pemberhentian pegawai dilakukan diklat purnabhakti Ada diklat purnabhakti bagi pegawai yang akan pensiun Keberadaan pembinaan masa purnabhakti, kita sering mengusulkan tetapi tidak pernah berhasil. terutama terganjal di DPRD, menurut dewan, orang yang sudah mau pensiun tidak perlu diberikan pembinaan, suruh aja ke mesjid atau gereja. sebenarnya kita sudah memprogramkan masalah ini setiap tahun. akan tetapi hal itu berhenti di dewan. coba kalau kita bayangkan, seorang pegawai
151
No.
Daerah Kajian
Keterangan
mengabdi kepada negara lebih dari 30 tahun, dan sudah sebaiknya memang kita memberikan reward sebagia bentuk penghargaan terhadap pengabdian mereka. 7. Provinsi Jambi Di Provinsi Jambi sudah 3 tahun untuk pelaksanaan diklat purnabhakti ini, dan alhamdulillah yang diikutkan dalam diklat ini umumnya yang non eselon, itu ada golongan I dan II. Kebetulan saya juga narasumber disana, jadi antusias Bapak-Bapak/Ibu-Ibu itu yang selama ini belum pernah dinas dan dapat dinas ke Bandung, maka saat-saat itulah baru pertama kali dia menikmati dinas dengan biaya diklat. Pemberian SK pensiun, untuk yang golongan IV B kebawah alhamdulillah kita tidak mengalami kendala, minimal itu 1 bulan atau 2 bulan sebelum TMT pensiun itu sudah kita terima pak, tapi untuk IV C ke atas, ini sudah sering kami sampaikan, di BKN tidak ada hambatan, tapi di Setneg hambatannya. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Mencermati tabel di atas dapat diketahui bahwa pemberian diklat purnabhakti bagi pegawai yang akan memasuki usia pensiun belum menjadi program semua pengelola kepegawaian, padahal pelaksanaan diklat ini sangat penting tidak hanya sebagai bentuk penghargaan tetapi sebagai sumbangsih lembaga kepada pegawainya. Pemkab Lombok Barat bahkan menyatakan tidak hanya diklat pirnabhakti, tetapi pegawai yang pensiun juga diberi uang ’tali kasih’ sebagai modal usaha ketika mamasuki pensiun kelak. Terkait pelaksanaan diklat purnabhakti, pengelola kepegawaian di lingkungan Provinsi Jambi menyatakan ada kepuasan tersendiri ketika mengikutsertakan pegawai dalam kegiatan diklat purnabhakti, yang notabene tidak pernah menikmati perjalanan dinas dari kantor. ”Di Provinsi Jambi sudah 3 tahun untuk pelaksanaan diklat purnabhakti ini, dan alhamdulillah yang diikutkan dalam diklat ini
152
umumnya yang non eselon, itu ada golongan I dan II. Kebetulan saya juga narasumber disana, jadi antusias Bapak-Bapak/Ibu-Ibu itu yang selama ini belum pernah dinas dan dapat dinas ke Bandung, maka saat-saat itulah baru pertama kali dia menikmati dinas dengan biaya diklat”. Berbeda dengan Kota Batam, pengelola kepegawaian telah mengajukan pelaksanaan/pengiriman diklat purnabhakti tetapi tidak ditanggapi oleh pengambil kebijakan. ”....kita sering mengusulkan tetapi tidak pernah berhasil. terutama terganjal di DPRD, menurut dewan, orang yang sudah mau pensiun tidak perlu diberikan pembinaan, suruh aja ke masjid atau gereja. sebenarnya kita sudah memprogramkan masalah ini setiap tahun. akan tetapi hal itu berhenti di dewan. coba kalau kita bayangkan, seorang pegawai mengabdi kepada negara lebih dari 30 tahun, dan sudah sebaiknya memang kita memberikan reward sebagia bentuk penghargaan terhadap pengabdian mereka”. Mengenai
pengurusan
pensiun,
sebagian
besar
narasumber
menjawab tepat waktu (golongan IV/c ke bawah). Yang dimaksud tepat waktu apabila ditempuh dalam range 0-3 bulan (skor 100), apabila 3-6 bulan (skor 50) dan skor nol apabila diselesaikan > 6 bulan. Dalam kaitan ini perlu juga ditanyakan ketepatan waktu pensiun pegawai golongan IV/c ke atas, guna mengontrol kinerja Pemerintah Pusat (Setneg). Terakhir, terkait dengan perpanjangan batas usia pensiun (BUP) sebagian narasumber menyatakan bahwa perlu diberikan perpanjangan BUP, asalkan diperjelas persyaratannya. Siapa yang dapat diperpanjang dan siapa yang tidak dapat diperpanjang sehingga tercipta rasa keadilan. ”Perlu dikembangkan indikator dari perpanjangan usia pensiun, misalnya indikator apa yang digunakan untuk mengukur bahwa seorang PNS itu “Dibutuhkan” sehingga bukan hanya pejabat Eselon II dan Eselon I saja yang mendapat kesempatan untuk memperpanjang usia pensiun; artinya tidak menutup kemungkian batas usia pensiun fungsional umum (staf) juga bisa menjadi 60 tahun kalau memang yang bersangkutan benar-benar dibutuhkan”.
153
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu disampaikan perbaikan terhadap parameter pemberhentian pegawai sebagaimana tabel berikut. Tabel. 4.16 Penyempurnaan Parameter Pemberhentian Pegawai Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Pemberhentian pegawai (tetap) Tetap dengan 3 Tambahkan pertanyaan indikator ketepatan waktu pensiun golongan IV/c ke atas
Mengontrol Setneg
kinerja
Tambahkan alasan (pilihan Persyaratan pemberian jawaban) perpanjangan BUP BUP Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
9. Parameter Umum Pengukuran paramater infrastruktur akan dilihat dari 5 indikator, yaitu: a) standard kompetensi jabatan, b) SOP manajemen PNSD, c) sistem informasi pegawai, d) sarpras, dan e) anggaran. Renspons narasumber terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan dari 5 indikator tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel. 4.17 Parameter Umum No.
Daerah Kajian
Keterangan
1.
Provinsi Bali
2.
Provinsi Gorontalo
3.
Provinsi Jawa Timur
Pada aspek “Umum” perlu ditambah beberapa pertanyaan antara lain : o SOP manajemen PNS Daerah, mulai dari perencanaan sampai pemberhentian; o SDM BKD; o Sarana dan prasarana. Sistem Informasi Kepegawaian di BKPAD Gorontalo sudah ada, dan perlu pengembangan-pengembangan, dan yang menjadi permasalahan adalah adanya kebijakan BKN yang merubah NIP dari 9 digit menjadi 18 digit. Di lingkungan Provinsi Jawa Timur dan
154
No.
Daerah Kajian
Keterangan
4.
Provinsi NTB
Kab Lobar
5.
Provinsi Kepri
Kabupaten/Kota di Jawa Timur belum ada standar kompetensi jabatan. Sistem informasi pegawai sejak tahun 1985/1986. rasio anggaran pengemb pegawai < Rp. 2 juta. Jml pejabat Eselon II yang memperoleh alokasi anggaran dibandingkan dengan jumlah pegawai yg harus mengikuti Diklatpim II sebesar < 0,50. jumlah CPNS yg memperoleh alokasi anggaran dibandingkan dengan jml CPNS yg harus mengikuti Diklat Prajab > 0,75. Hal-hal penting yang perlu dimasukkan dalam indikator selain sistem informasi dan anggaran adalah SOP manajemen PNS mulai dari Perencanaan sampai pemberhentian, dan Kelembagaan BKD secara keseluruhan mulai dari Struktur Organisasinya, Ketatalaksanaannya, sampai Sumberdaya manusianya. Pada aspek umum ini perlu ditambahkan pertanyaan lain antara lain : Peran BAPERJAKAT; Ada atau tidaknya SOP dari masing-masing tahapan manajemen PNS Daerah; Peran “kelembagaan BKD”, karena di NTB ini kelembagaan BKD belum diperankan secara optimal, terutama pengurusan administrasi kepegawaian dari Guru, pengurusan administrasi kepegawaian para guru ini tidak melalui BKD;
untuk simpeg kita sudah menggunakan. simpeg ini selalu diupdate setiap bulan. kendala pada anggaran terutama untuk pengembangannya. mungkin masalah SDM kita kurang karena cuma ada 2 orang operator. mengenai ketatalaksanaan harusnya ada. kita juga saat ini tengah memproses. Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Dari paparan data di atas dapat disimpulkan bahwa parameter umum adalah segala sesuatu yang mendukung tercapainya kinerja manajemen
155
PNSD. Standar kompetensi jabatan sebagai bagian (indikator) yang mendukung pencapaian kinerja ternyata belum seluruhnya dimiliki oleh pemda, terbukti beberapa pemda menyatakan belum menyusun standar kompetensi jabatan tersebut. Sebagaimana dinyatakan BKD Provinsi Jawa Timur: ”Di lingkungan Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten/Kota di Jawa Timur belum ada standar kompetensi jabatan, sehingga masih ada kita lihat pengangkatan pejabat eselon II yang secara kompetensi kurang memenuhi syarat, tetapi dipaksakan untuk menduduki jabatan Kepala Dinas tertentu, misalnya dibeberapa Kabupaten/Kota para mantan Camat menduduki Kepala Dinas Tehis, seorang Sarjana Hukum menduduki jabatan Kepala Dinas PU, seorang dokter diangkat oleh Bupati menjadi Kepala BKD Kabupaten, oleh sebab itu perlu pembinaan dari BKN atau Kantor MENPAN tentang hal-hal yang berkaitan dengan Manajemen PNS Daerah ini”. Indikator penting lainnya adalah tersedianya mekanisme kerja atau standard operating procedures (SOP) di semua tahapan manajemen PNS. Karena itu di beberapa daerah menyarankan agar SOP ini dimasukkan ke dalam parameter umum dan diberi bobot yang tinggi. Sementara itu, narasumber di Provinsi NTB menyarankan agar parameter ”umum” diganti dengan ”faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan”. Dalam terminologi manajemen, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Selanjutnya terkait dengan sistem informasi, hal ini perlu dipenuhi dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan jaman dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan informasi. Salah satu sistem informasi yang perlu dikembangkan adalah Sistem Informasi Kepegawaian (SIMPEG). Beberapa pemerintah daerah telah membangun SIMPEG, seperti disampaikan narasumber di Provinsi Kepulauan Riau, sebagai berikut:
156
”Untuk simpeg kita sudah menggunakan. simpeg ini selalu diupdate setiap bulan. kendala pada anggaran terutama untuk pengembangannya. mungkin masalah SDM kita kurang karena cuma ada 2 orang operator. mengenai ketatalaksanaan harusnya ada. kita juga saat ini tengah memproses”. Namun persoalan yang dihadapi dalam penerapan SIMPEG ternyata cukup fatal, yaitu dengan berlakunya nomor induk pegawai (NIP) baru dari 9 menjadi 18 digit. ”Sistem Informasi Kepegawaian di BKPAD Gorontalo sudah ada, dan perlu pengembangan-pengembangan, dan yang menjadi permasalahan adalah adanya kebijakan BKN yang merubah NIP dari 9 digit menjadi 18 digit”. Dukungan sarana-prasarana (sarpras) memegang peran penting dalam pencapaian kinerja manajemen PNS. Bagi pemerintah daerah yang sudah lama (daerah induk), keberadaan sarpras mungkin bukan menjadi masalah besar, akan tetapi berbeda halnya dengan daerah otonom baru/daerah pemekaran. Keterbatasan sarpras di daerah pemekaran kiranya dapat menjadi ukuran untuk menilai kinerja manajemen PNSD. Terakhir, terkait dengan dukungan anggaran bagi kelancaran pengelolaan manajemen PNS di daerah. Meskipun merupakan masalah ’klasik’ namun ketersediaan dan pemanfaatan anggaran yang memadai akan sangat mendukung pencapaian kinerja manajemen PNS di daerah. Hal ini sebagaimana diakui oleh seluruh narasumber di pusat maupun di daerah. Oleh karenanya, indikator anggaran ini harus ada dan dipertahankan dalam parameter ini. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap parameter umum pegawai sebagaimana tabel berikut.
157
Tabel. 4.18 Penyempurnaan Parameter Umum Parameter
Pertanyaan
Keterangan
Parameter Umum, diubah menjadi parameter infrastruktur. Tambah 3 indikator sehingga menjadi 8 indikator: 1. Standar kompetensi jabatan, 2. Database kompetensi, 3. SOP manajemen kepegawaian, 4. Sistem informasi kepegawaian, 5. Kelembagaan pengelola kepegawaian, 6. Sarpras pengelola kepegawaian, 7. Anggaran, dan 8. SDM pengelola kepegawaian.
Dengan penambahan jumlah indikator, otomatis perlu ada tambahan pertanyaan, disamping perlu perbaikan beberapa pertanyaan.
--
Perlu penegasan masuknya indikator sistem informasi, sarpras dan anggaran Pada pertanyaan tentang SDM pengelola misalnya, perlu ditanyakan peran Baperjakat dalam manajemen PNS daerah Tentang kelembagaan pengelola SDM ini memang tidak akan dibobot, karena bersifat tambahan informasi.
Indkator baru/tambahan: Database kompetensi jabatan, kelembagaan pengelola kepegawaian dan SDM pengelola kepegawaian Sumber: FGD & Wawancara Tim Kajian PKKOD-LAN, 2010 (data diolah).
Selanjutnya, berdasarkan potret dinamika pengelolaan kepegawaian daerah yang diperoleh dari 8 (delapan) lokus kajian, tim Kajian kembali melakukan perbaikan terhadap pedoman dan instrumen pengukuran & evaluasi. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan sampai menemukan
158
kesepakatan di antara anggota tim, agar instrumen yang disusun dapat dilaksanakan dan mampu mengukur kinerja manajemen PNS daerah. Pada tahap akhir penyempurnaan, tim kembali melibatkan para pakar dan praktisi pengelola kepegawaian, dalam hal ini pejabat BKN untuk memberikan masukan akhir sebelum ujicoba instrumen dilakanakan. Berdasarkan masukan dari berbagai pihak – baik dari pengelola kepegawaian daerah maupun pusat – maka pedoman (:instrumen) pengukuran telah siap diujicobakan. Ujicoba instrumen pengukuran dan evaluasi dilakukan di dua provinsi yakni Kalimantan Selatan dan Riau. Pemilihan Provinsi Kalimantan Selatan didasarkan
pertimbangan
perolehan
skor
hasil
evaluasi
kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD) yang dilakukan oleh Timnas EPPD, dimana Provinsi Kalsel mencapai skor tinggi sedangkan Provinsi Riau memperoleh skor cukup tinggi.
Adapun pelaksanaan ujicoba instrumen
pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNSD akan disampaikan pada Bab V.
159
BAB 5 UJICOBA INSTRUMEN PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PNS DAERAH DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DAN PROVINSI RIAU A. POTRET KINERJA MANAJEMEN PNS DI LINGKUNGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 1. Provinsi Kalimantan Selatan Dilihat dari skor nilai yang diperoleh, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan terindikasikan dalam kategori ”Kurang Baik”, adapun Skor Total yang dicapai oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mencapai
59.
Sedangkan dilihat dari masing-masing parameter, skor yang diperoleh ádalah sebagai berikut: Tabel. 5.1 Hasil Penilaian MPNSD Provinsi Kalimantan Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 55 89 33 45 67 46 75 88 52 55
Parameter perencanaan pegawai mendapat skor 55. Master plan kepegawaian sudah dimiliki dalam bentuk renstra dan dijadikan acuan dalam
160
pengelolaan pegawai, sehingga indikator indikator Ketersediaan Perencanaan Induk Kepegawaian dinilai cukup baik. Namun renstra tersebut belum memuat aspek perencanaan pegawai serta tidak ada dokumen perencanaan tahunan sesuai tahun yang diminta sehingga masih ada kekurangan. Selain ketidaktersediaan dokumen perencanaan kepegawaian tahunan, titik lemah dari parameter perencanaan pegawai ini adalah pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Selatan belum memilki Analisis Beban Kerja yang dijadikan dasar bagi penyusunan kebutuhan pegawai. Provinsi Kalimantan Selatan dinilai sangat baik dalam ketersediaan bezetting. Meskipun demikian, dalam pemanfaatan bezetting perlu disesuaikan dengan master plan. Pengadaan pegawai dinilai telah sesuai dengan dokumen rincian formasi yang telah di tetapkan, namun masih ada jumlah formasi yg diterima yg sedikit lebih besar dari yang ditetapkan. Parameter pengadaan pegawai mendapat nilai yang sangat baik (skor 89). Penyebarluasan informasi pengadaan pegawai, ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS, ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS, dan kesesuaian penempatan pegawai dengan rincian formasi awal dinilai telah sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat indikator yang perlu ditingkatkan, yakni dalam materi tes pegawai . Disebutkan bahwa materi tes CPNS hanya dua yakni Tes TPA dan tes Bahasa Inggris, sehingga perlu dilakukan tes kecakapan sesuai bidangnya. Parameter rotasi jabatan dan promosi mendapat skor 33. Hal tersebut terkait dengan belum tersedianya dokumen Pola Karier Pegawai. Meskipun diberikan jawan terhadap indikator lain, tetapi jawaban tersebut mencerminkan ketidak konsistenan terhadap indikator pertama, yakni ketersediaan dan pemanfaatan pola karier. Parameter pengembangan pegawai mendapat skor 45 yang mengindikasikan masih kurang baik. Indikator yang memberi kontribusi nilai
161
yang baik pada parameter pengembangan pegawai ini antara lain seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim, dimana disebutkan bahwa selalu dilakukan seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan. Di samping itu sebagian besar calon peserta Diklatpim yang telah lulus seleksi diikutsertakan dalam Diklatpim. Namun demikian masih perlu dilakukan perbaikan dalam perencanaan Diklatpim, khususnya pada Diklatpim Tk. III dan IV. Hal ini mengingat banyak alumni Diklatpim Tk. III dan IV yang belum menduduki jabatan Eselon III dan IV. Banyaknya alumni yang tidak menduduki jabatan yang sesuai tersebut mengindikasikan adanya kelemahan dalam perencanaan diklat struktural yang masih belum sesuai dengan kebutuhan. Sementara terkait dengan pengembangan pegawai melalui diklat teknis dan fungsional, diklat tersebut telah diadakan dan sudah sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sudah dilakukan Training Need Analysis, namun masih dalam bentuk hasil Psikotes oleh lembaga Psikolog. Pada parameter kesejahteraan pegawai
Kalimantan Selatan
mendapat skor 67,mengindikasikan upaya peningkatan kesejahteraan yang baik. Selain ASKES, diberikan fasilitas kesehatan lain bagi pegawai, seperti bantuan kesejahteraan bagi PNS dan keluarganya, bantuan sakit, operasi, perkawinan pertama dan melahirkan. Untuk ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat serta pemberian santunan uang duka dinyatakan sudah dimanfaatkan secara optimal. Namun untuk bantuan memperoleh perumahan dapat dikatakan belum memadai. Sementara uang makan, dan transportasi belum tersedia. Skor yang diraih untuk parameter manajemen kinerja adalah 46 yang mengindikasikan kurang baik. Dari sisi perencanaan, telah ada kontrak kinerja. Namun belum mencerminkan target kinerjanya. Telah ada tunjangan kinerja daerah bagi pegawai, namun belum jelas bagaimana monitoring dan evaluasi serta
162
penilaian kinerja pegawai dilakukan. Terkait dengan reward and punishment, bagi pegawai yang dianggap berkinerja baik diberikan insentif tertentu. Pemberian reward dilakukan secara tahunan. Untuk punishment dilakukan sesuai peraturan yang ada menurut bentuk-bentuk pelanggarannya yang meliputi hukuman disiplin ringan, hukuman sedang, dan hukuman berat. Dalam parameter disiplin dan etika pegawai, daerah ini mendapat skor 75, yang mengindikasikan upaya yang baik. Terdapat kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai, yang ditunjang dengan keberadaan Tim Investigasi Disiplin Pegawai dalam pelaksanaan disiplin pegawai, serta sosialisasi terhadap kebijakan tersebut. Tercatat ada 13 pelanggaran yang terdiri dari 9 pelanggaran berat, 3 pelanggaran sedang, dan 1 pelanggaran. Keseluruhannya telah ditindaklanjuti dengan hukuman yang sesuai. Dalam parameter pemberhentian, terdapat indikasi dengan skor yang diperoleh 88. Terdapat pembinaan memasuki masa purnabakti yang dilakukan melalui pendidikan dan pembekalan. Selain itu waktu pemberian SK Pensiun bagi pegawai Gol. IV b kebawah juga dinilai tepat waktu. Adapun untuk perpanjangan batas usia pensiun diberikan sesuai dengan kepentingan organisasi. Pada parameter infrastruktur diperoleh skor 52. Adapun indikatorindikator yang mendapat penilaian yang baik pada parameter ini adalah: telah disusunnya SOP (Standard Operating Procedure) manajemen PNS Daerah, Sistem Informasi Kepegawaian, indikator sarana dan prasarana diklat . Sementara dalam indikator lainnya dapat dikatakan belum baik.
2. Kota Banjarbaru Dilihat dari skor nilai yang diperoleh, kinerja Manajemen PNS Daerah Kota Banjarbaru terindikasikan dalam kategori ”Baik”, dengan Skor Total yang
163
dicapai sebesar 67. Sedangkan dilihat dari masing-masing parameter, skor yang diperoleh sebagaimana ditampilkan dalam tabel 5.2 berikut : Tabel. 5.2 Hasil Penilaian MPNSD Kota Banjarbaru No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 59 95 33 70 50 100 75 33 55 67
Pada parameter perencanaan pegawai diperoleh skor 59 yang mengindikasikan masih kurang baik. Master plan kepegawaian telah tersedia dan dimanfaatkan meskipun masih perlu dilakukan perbaikan. Pemerintah daerah Kota Banjarbaru telah menyusun rencana induk kepegawaian dan telah menjadi acuan dalam manajemen kepagawaian, akan tetapi belum disusun secara detil dalam rencana tahunan. Analisis beban kerja (ABK) juga belum tersedia dan dimanfaatkan dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Hal ini alasannya karena belum ada aturan / ketentuan yang jelas dari Setdako Banjarbaru. Sementara ketersediaan bezetting (daftar kekuatan pegawai) dan pemanfaatannya dinilai baik. Demikian halnya dengan indikator kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan yang dinilai telah sesuai. Parameter pengadaan pegawai memperoleh skor 95. Hal ini terkait dengan proses pengadaan yang sebagaimana diharapkan. Jangkauan penyebarluasan informasi pengadaan pegawai sangat luas karena tidak hanya
164
melalui papan pengumuman instansi dan media massa, namun juga melalui website. Penayangan Pengumuman 4 hari sebelum pendaftaran pelamar sampai dengan selesai waktu pendaftaran pelamar selama 1 ( satu ) minggu. Tes yang dilakukan cukup mendalam meliputi juga Tes Pengetahuan Umum dan Tes Bakat Skolastik. Di samping itu dalam seleksi pegawai juga dilakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri. Penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN dinilai tepat waktu. Demikian halnya dengan ketepatan waktu pengangkatan CPNS. Adapun penempatan pegawai dengan rincian formasi awal dinilai sesuai. Meskipun tidak tampak indikasi penyimpangan dalam seleksi pegawai, perlu ditingkatkan pemanfaatan berbagai media yang dapat digunakan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan dalam pengadaan pegawai. Untuk parameter rotasi jabatan dan promosi,
daerah ini
memperoleh skor 33 yang mengindikasikan buruknya proses rotasijabatan dan promosi pegawai. Tidak tersedia pola karier karena pemerintah Kota Banjarbaru belum menyusun Pola Karier Pegawai Negeri Sipil Daerah Kota Banjar Baru. Dengan demikian dalam rotasi dan promosi jabatan tidak berdasarkan pada pola karier. Hal tersebut juga berlaku pada indikator rotasi jabatan. Kota
Banjarbaru
memperoleh
skor
70
pada
parameter
pengembangan pegawai. TNA (training need analysis) telah tersedia dan dimanfaatkan dalam pengembangan pegawai. Keberadaan program diklat teknis dan fungsional dinilai sudah sesuai dengan TNA. Sementara dalam hal seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan sebagian besar
calon peserta diklatpim yang telah lulus seleksi
diikutsertakan dalam diklatpim. Sebagian besar calon peserta Diklatpim yang lulus seleksi telah diikutsertakan dalam Diklatpim, kecuali peserta yuang lulus seleksi Diklatpim tingkat II. Alasannya karena keterbatasan anggaran dan
165
formasi eselon II yang ada sedikit sehingga Pemerintah Kota Banjarbaru pada saat ini mengutamakan mereka yang sudah duduk dalam jabatan Struktural. Adapun dalam pemanfaatan alumni diklatpim dinilai baik. Perlu peningkatan evaluasi pasca diklat, evaluasi yang terkadang dilakukan belum bisa mengakomodir semua alumni Diklat, mengingat banyaknya jumlah alumni berbagai jenis Diklat dan keterbatasan anggaran yang tersedia. Parameter kesejahteraan pegawai memperoleh skor 50. Terdapat fasilitas kesehatan selain ASKES, seperti check up kesehatan bagi pegawai, pelayanan dokter keluarga,serta pemeriksaan kesehatan mata gratis. Sementara indikator lain yang positif dalam parameter/aspek ini terkait dengan ketersediaan dan pelaksanaan pemberian santunan uang duka, serta ketersediaan dan pemanfaatan bantuan memperoleh perumahan. Adapun untuk pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap, uang makan pegawai, dan transportasi/bantuan uang transport bagi pegawai, belum tersedia. Untuk parameter manajemen kinerja pegawai Kota Banjarbaru memperoleh skor 100. Hal ini didukung oleh terselenggaranya manajemen kinerja pegawai mulai dari Terdapatnya pelaksanaan kontrak kinerja pegawai, terdapatnya instrumen monitoring kinerja pegawai, dan adanya penilaian dan evaluasi kinerja pegawai. Proses manajemen kinerja pegawai tersebut juga didukung oleh adanya berbagai kebijakan pemerintah kota Banjarbaru yang berkaitan dengan manajemen kinerja pegawai. Kebijakan tersebut antara lain Peraturan Walikota Nomor 348 tahun 2008 tetang Pedoman Pemberian Tunjangan Tambahan Penghasilan kepada PNS dan adanya kebijakan pemberian reward bagi pegawai yang berkinerja baik yang diberikan secara tahunan berupa tugas belajar, kesempatan diklat, dan sebagainya. Dalam rangka pemberian reward tersebut dibentuk pula Tim Penunjukan Pegawai
166
Teladan. Adapun terkait dengan pemberian punishment, diberikan tindakan disiplin sesuai dengan kesalahannya berdasarkan PP. No. 53 tahun 2010 dengan menjatuhkan hukuman disiplin dalam bentuk Surat Keputusan sesuai jenis hukuman. Kota Banjarbaru dalam parameter disiplin dan etika pegawai memperoleh skor 75. Hal ini terkait dengan adanya dukungan kebijakan daerah tentang disiplin pegawai yakni melalui Instruksi Walikota Banjarbaru Nomor 82 Tahun 2004 tentang Tindakan Administratif terhadap pelanggaran displin kerja Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) di Lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru. Selain itu juga terdapat internalisasi kebijakan tersebut dan peran Tim
Investigasi Disiplin Pegawai dengan Itwilko sebagai leading sector
dibantu
oleh
insatansi terkait. Pelaksanaan
Disiplin
Pegawai
juga
ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 146 Tahun 2010 tentang Tim Peningkatan dan Penegakan Disiplin di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru. Tahun 2009 tercatat 65 pelanggran disiplin pegawai yang terdiri dari 7 pelanggaran sedang dan 59 pelanggaran ringan. Diantaranya 63 (enam puluh tiga) kasus telah ditindaklanjut dan 3 ( tiga ) kasus belum diselesaikan. Pada parameter pemberhentian pegawai diperoleh skor 33 yang mengindikasikan perlunya perbaikan dalam aspek pemberhentian pegawai. Meskipun ketepatan waktu menerima SK Pensiun bagi pejabat dibawah Gol IV/c dinilai dalam rentang waktu yang sesuai, namun
tidak ada upaya
pembinaan memasuki usia pensiun. Adapun untuk parameter infrastruktur, dengan skor 55 yang diperoleh mengindikasikan bahwa infrastruktur pengelolaan kepegawaian daerah ini masih kurang baik. Standar Kompetensi Jabatan telah dimiliki, yang telah diatur dengan Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 299 Tahun 2009 tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural Satuan Kerja Perangkat
167
Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru. Namund demikian belum ada database kompetensi jabatan. Kota Banjarbaru juga telah memiliki SOP (Standard Operating Procedures) Manajemen PNS Daerah.
Beberapa
indikator sarana dan prasarana unit pengelola kepegawaian dinilai telah memadai, namun untuk kondisi fasilitas penyimpanan arsip/dokumen kepegawaian dinilai tidak memadai. Hal ini karena Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kota Banjarbaru belum mempunyai gudang arsip untuk penyimpanan arsip dokumen kepegawaian. Sementara untuk sistem informasi kepegawaian telah terbangun namun masih belum lengkap dan belum optimal penggunaannya.
3. Kabupaten Banjar Capaian kinerja manajemen PNS di Kabupaten Banjar berdasarkan hasil evaluasi mendapatkan skor total 63 yang mengindikasikan kategori ”baik”. Skor tersebut didapat dari akumulasi dari sembilan parameter pengukuran kinerja manajemen PNS sebagai berikut : Tabel. 5.3 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Banjar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 63 84 33 44 25 33 100 63 56 63
168
Parameter perencanaan pegawai Kabupaten Banjar mengindikasikan kinerja yang baik, yaitu mencapai skor. Terkait dengan indikator ketersediaan perencanaan induk (master plan) bidang kepegawaian belum tersedia, hal tersebut karena belum memiliki SDM yang mampu menyusun master plan. Selama ini perencanaan pegawai hanya berdasarkan pada Renstra. Begitupun halnya dengan perencanaan tahunan, saat ini sudah ada dalam bentuk rencana kerja tahunan (RKT) yang mengacu kepada Renstra BKD. Untuk penyusunan kebutuhan pegawai BKD Kabupaten Banjar belum mengacu kepada analisis beban kerja (ABK), karena belum memiliki dokumen ABK. Penyusunan kebutuhan pegawai selama ini dilakukan berdasarkan usul dari SKPD. Terkait dengan daftar kekuatan pegawai atau bezetting di Kabupaten Banjar sudah tersedia dan sudah dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Begitupun halnya dengan pengadaan pegawai sudah sesuai dengan dokumen rincian formasi awal yang telah ditetapkan. Parameter pengadaan pegawai mengindikasikan kinerja sangat baik, yaitu dengan skor 84 (ada pada range ≥ 80 ke atas skala pengukuran). Hal-hal yang mendukung pencapaian kinerja ini adalah penyebarluasan informasi pengadaan pegawai sudah dilakukan melalui papan pengumuman instansi, media massa serta website, lama penayangan pengumuman sudah sesuai dengan peraturan perundangan yaitu antara 1 s/d 2 minggu. Adapun tes yang digunakan adalah tes potensi akademik (TPA) dan penyelenggaraan tes sudah ada kerjasama dengan Universitas Lambung Mangkurat melalui koordinasi dengan BKD Provinsi Kalimantan Selatan. Selanjutnya terkait dengan penyimpangan dalam pengadaan pegawai, tidak ditemui adanya penyimpangan, begitu pula tidak terjadi adanya pengaduan masyarakat dari pelaksanaan pengadaan pegawai. Sementara untuk ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS dinilai tepat waktu. Sedangkan untuk pengangkatan dari
169
CPNS menjadi PNS dilaksanakan dalam waktu 1-2 tahun, hal tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundangan. Untuk parameter rotasi jabatan dan promosi diperoleh skor 33 yang mengindikasikan kinerja yang ”buruk”. Hal ini terkait dengan belum tersedianya dokumen pola karier yang baik, sementara untuk proses kenaikan jabatan atau promosi belum didasarkan pada pola karier, tetapi hanya berdasarkan kebutuhan organisasi setelah mendapatkan pertimbangan Baperjakat. Begitupun hal nya dengan rotasi jabatan, dalam hal ini rotasi jabatan dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan organisasi setelah mendapatkan persetujuan dari Baperjakat. Skor
yang
diperoleh
pada
parameter
pengadaan
pegawai
mengindikasikan kinerja yang ”kurang baik” dengan skor 44 (ada pada range 41- 60 skala pengukuran). Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya analisis kebutuhan diklat (TNA) dalam pengembangan pegawai, disamping itu tidak pernah dilakukan evaluasi pasca diklat. Satu-satunya indikator yang mendukung pengembangan pegawai di Kabupaten Banjar adalah keberadaan program diklat teknis dan fungsional, dimana program ini sudah ada dikarenakan perencanaannya diprogramkan setiap tahun anggaran dan disesuaikan dengan skala prioritas dan kebutuhan organisasi. Sedangkan untuk pembinaan mental pegawai hanya dilakukan pada saat hari-hari besar keagamaan. Pada parameter kesejahteraan pegawai diperoleh skor 25 yang mengindikasikan aspek ini masih dikategorikan ”buruk” . Hal ini terkait dengan
belum tersedianya berbagai dukungan untuk peningkatan
kesejahteraan pegawai. Pemberian santunan uang duka bagi pegawai telah dilaksanakan dengan sumber daya yang berasal dari DPA belanja langsung Setda Kabupaten Banjar. Sementara untuk fasilitas kesehatan selain ASKES sudah ada namun belum dimanfaatkan dengan optimal. Adapun bantuan
170
uang makan, bantuan perumahan dan keberadaan uang transportasi maupun ketersediaan transportasi bagi pegawai tidak tersedia. Parameter manajemen kinerja pegawai mendapat skor 33 yang mengindikasikan manajemen kinerja pegawai tergolong ”buruk”. Penilaian kinerja hanya berdasarkan DP3, sudah ada pemberian tunjangan kinerja daerah (TKD) dan sudah diberlakukan pemberian reward bagi pegawai yang berprestasi yaitu dalam bentuk pemberian hadiah Umrah bagi tenaga guru, kepala sekolah dan pengawas yang berprestasi. Namun demikian tidak ada perencanaan kinerja pegawai, monitoring kinerja pegawai, evaluasi kinerja pegawai dan punishment bagi pegawai. Untuk parameter disiplin dan etika pegawai diperoleh skor 100 atau indikasi tergolong ”sangat baik”. Di Kabupaten Banjar sudah terdapat dukungan kebijakan yang mengatur tentang disiplin pegawai, adanya peran tim investigasi juga menandakan sudah berjalannya kontrol disiplin terhadap pegawai, begitupula tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin pegawai sudah berjalan sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan. Untuk kebijakan daerah yang menyangkut etika pegawai juga sudah tersedia. Parameter pemberhentian pegawai menunjukkan capaian kinerja ”baik”, yaitu pada skor 63 pada skala pengukuran. Untuk pembinaan memasuki usia pensiun sudah dilaksanakan. Adapun untuk proses pemberian SK pensiun Golongan IV.b ke bawah adalah antara 0-3 bulan, sedangkan untuk pensiun Gol. IV.c ke atas membutuhkan waktu 3-6 bulan. Untuk pemberian perpanjangan batas usia pensiun bagi pegawai diberikan sesuai dengan kepentingan organisasi. Parameter infrastruktur mengindikasikan kinerja yang kurang baik, dengan skor yang diperoleh sebesar 56. Sistem informasi kepegawaian telah tersedia, dimana sistem informasi ini sudah berjalan sejak tahun 2003, begitupula dengan kondisi peralatan kerja dan kondisi sistem informasi dinilai
171
sudah memadai. Namun terdapat hal-hal yang kurang mendukung capaian kinerja parameter ini diantaranya belum adanya standar kompetensi jabatan, belum tersedianya database kompetensi jabatan, SOP belum dimanfaatkan dengan optimal, kondisi gedung unit pengelola kepegawaian juga tidak memadai
4. Kabupaten Hulu Sungai Tengah Capaian kinerja manajemen PNS Kabupaten Hulu Sungai Tengah dapat dikatakan belum menggembirakan. Dengan skor 37, mengindikasikan kinerja manajemen kepegawaian di kabupaten ini masih tergolong buruk. Skor tersebut diperoleh berdasarkan akumulasi dan perhitungan atas skor 9 parameter sebagaimana terdapat dalam instrumen pengukuran dan evaluasi sebagaimana dipaparkan pada table berikut: Tabel. 5.4 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Hulu Sungai Tengah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 44 81 33 27 0 29 40 13 82 37
Dengan skor sebesar 44, perencanaan pegawai Kabupaten berada ada dalam yang mengindikasikan kurang baik. Untuk bezetting telah tersedia dan dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Sementara dalam hal pengadaan juga telah sesuai dengan rincian awal yang telah ditetapkan.
172
Namun demikian sebagian besar indikator lainnya dalam parameter ini menunjukkan capaian yang masih memprihatinkan di antaranya belum adanya masterplan, perencanaan tahunan, dan ABK. Pada parameter pengadaan pegawai diperoleh skor sebesar 81 yang mengindikasikan sangat baik. Untuk penyebarluasan info pengadaan sudah dilakukan dengan baik, meskipun belum maksimal (hanya melalui papan pengumuman instansi dan media massa). Penayangan informasi pengadaan dilakukan 1-2 minggu, sehingga mencapai skor maksimal 100. Jumlah panitia ganjil (11 orang) sesuai dengan atau mematuhi peraturan perundangan. Adapun jenis tes yang diujikan hanya mencakup tes potensi akademik (TPA) dan tes bakat skolastik (TBS), skor 50 sedangkan tes bidang substansi tidak diberikan. Dalam rangka pengadaan PNS, Kab HST memang tidak menjalin kerjasama langsung dengan perguruan tinggi sehingga menjawab ‘tidak ada’. Namun demikian,
kerjasama tersebut sebenarnya dilakukan tetapi
dikoordinir oleh BKD Provinsi bekerjasama dengan pihak Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Dalam kaitan ini tidak terjadi penyimpangan pengadaan dan juga tidak ada pengaduan dari pihak lain. Selanjutnya, dalam hal pengangkatan CPNS di Kabupaten HST terbukti tepat waktu baik dalam penyerahan berkas usulan NIP ke Kanreg BKN maupun pengangkatan CPNS. Demikian halnya dalam hal pengangkatan CPNS menjadi PNS, juga dinilai tepat waktu, baik dalam kerangka waktu (1-2 tahun ) maupun dalam penempatan pegawai yang disesuaikan dengan formasi awal. Capaian kinerja pada parameter rotasi jabatan dan promosi, Kabupaten HST mengindikasikan capaian yang kurang menggembirakan dengan skor 33. Dari 3 pertanyaan instrumen evaluasi, ketiganya belum menunjukkan kondisi yang diharapkan. Tidak ada dokumen pola karier, promosi dan rotasi jabatan dengan sendirinya belum dilaksanakan
173
berdasarkan pola karier, tetapi hanya didasarkan pada kesepakatan baperjakat. Parameter pengembangan pegawai memperoleh skor 27 yang mengindikasikan buruknya pengembangan pegawai di kabupaten ini. Selama ini tidak tersedia dokumen training need analysis/TNA, tidak ada evaluasi pasca diklat, dan pembinaan mental pegawai kurang optimal. Untuk indikator yang positif antara lain: sebagian besar (> 50%) peserta diklatpim yang
lulus
kemudian
diikutsertakan
dalam
pelaksanaan
diklatpim,
pemanfaatan alumni diklat mencapai 100% dan adanya kerjasama pengembangan pegawai dengan pihak perguruan tinggi, meskipun hanya kurang dari 5 kerjasama. Parameter kesejahteraan pegawai menunjukkan capaian kinerja yang sangat tidak menggembirakan dengen skor 0. Hal ini mengindikasikan dukungan bagi kesejahteraan pegawai yang belum terlaksana dengan baik. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti pemberian pelayanan kesehatan, pemberian tunjangan cacat, santunan uang duka, bantuan perumahan, uang makan maupun tunjangan transportasi belum tersedia. Dalam parameter manajemen kinerja pegawai pun kabupaten ini menunjukkan capaian yang masih jauh dari menggembirakan dengan skor sebesar 29.
Hampir
semua
indikator
dalam
parameter
ini
tidak
memperlihatkan hasil sebagaimana diharapkan. Kontrak kinerja, instrumen monitoring dan evaluasi pegawai, evaluasi kinerja pegawai, maupun reward and punishment tidak ada. Hanya indikator tunjangan kinerja daerah yang dipenuhi, hal ini pun hanya didasarkan pada kehadiran pegawai. Sementara untuk parameter disiplin dan etika pegawai diperoleh skor 37,5 yang mengindikasikan buruk. Indikator yang mendukung capaian ini antara lain antara lain adanya tim investigasi pelaksanaan disiplin pegawai dan adanya tindak lanjut pelanggaran disiplin. Sementara indikator yang tidak
174
mendukung adalah tidak adanya kebjakan daerah tentang disiplin karena pemerintah kabupaten hanya mengikuti amanat PP 30/1980, serta tidak dilakukan upaya menginternalisasi kebijakan disiplin pegawai. Pada parameter pemberhentian pegawai kabupaten ini memperoleh skor 13. Artinya, pelaksanaan pemberhentian pegawai di Kabupaten HST masih diindikasikan buruk sehingga perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan. Salah satunya adalah tidak dilakukannya diklat purnabhakti bagi pegawai yang akan pensiun. Selanjutnya, ketepatan waktu juga masih menjadi masalah dalam ketepatan waktu pensiun. Sementara perpanjangan BUP diberikan dengan alasan kepentingan organisasi. Untuk parameter infrastruktur, kabupaten ini pun memperoleh indikasi buruk, dengan skor sebesar 33. Sebanyak 3 dari 5 indikator yang dinilai mengindikasikan tidak tersedianya infrastruktur tertentu dan jikapun tersedia keberadaannya masih belum optimal. Infrastruktur yang tidak tersedia di antaranya standar kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan dan SOP. Sedangkan indikator yang tersedia antara lain: sistem informasi kepegawaian (meskipun belum dimanfaatkan secara optimal), sarana-prasarana kantor (gedung, tata ruang kantor, peralatan kerja, teknologi informasi dan sarana penyimpanan arsip yang memadai).
5. Kabupaten Kota Baru Hasil evaluasi terhadap kinerja manajemen PNS Daerah di Kabupaten Kota Baru mengindikasikan kinerja yang “kurang baik”, dengan skor didapatkan sebesar
59. Adapun skor untuk 9 paramater penyusunnya
dirangkum dalam tabel berikut :
175
Tabel. 5.5 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Kota Baru No.
Aspek/Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 63 78 0 64 42 83 75 63 53 59
Untuk parameter perencanaan pegawai Kabupaten Kotabaru mendapatkan skor 63
yang mengindikasikan baik. Terkait ketersediaan
dokumen perencanaan,
Kabupaten Kota Baru sudah memiliki dokumen
perencanaan kepegawaian tahunan, dimana dokumen perencanaan tahunan ini sudah sesuai dengan master plan kepegawaian yang dijadikan acuan dalam penyusunan formasi kepegawaian.
Namun meskipun dinilai baik,
terdapat beberapa indikator yang masih harus mendapatkan perhatian dari pengelola kepegawaian di Kabupaten Kota Baru, diantaranya adalah indikator pemanfaatan analisis beban kerja dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Dalam hal ketersediaan analisis beban kerja, Kabupaten Kota Baru sudah memiliki ABK, namun dokumen ABK tersebut tidak dikelola oleh Badan Kepegawaian Daerah yang secara fungsional menjadi tugasnya, tetapi dikelola oleh Setda. Sehingga pemanfatan ABK dalam penyusunan kebutuhan pegawai belum maksimal. Dalam ketersediaan bezetting atau daftar kekuatan pegawai, Kabupaten Kota Baru sudah memiliki bezetting dan sudah dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian di daerah.
176
Untuk parameter pengadaan pegawai, hasil evaluasi menunjukkan bahwa parameter pengadaan pegawai mendapatkan skor 78 yang mengindikasikan baik.
Pengadaan pegawai dapat dilihat dari beberapa
indikator yaitu penyebarluasan informasi pengadaan pegawai, penyimpangan dalam pengadaan pegawai, ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS dan ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS. Dalam hal bagaimana penyebarluasan informasi pengadaan pegawai di Kabupaten Kota Baru sudah memanfaatkan media seperti papan pengumuman instansi dan memuat dalam media massa lokal. Hal ini tentunya membuka kesempatan kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat untuk mengajukan lamaran dan memberikan lebih banyak kemungkinan bagi instansi untuk memilih calon dalam melaksanakan tugas yang akan dibebankan kepadanya. Pengumuman pengadaan pegawai selambat-lambatnya selama 2 (dua) minggu sebelum tanggal penerimaan lamaran. Sementara itu, penayangan pengumuman pengadaan pegawai di Kabupaten Kota Baru kurang dari 2 (dua) minggu. Panitia pengadaan pegawai di Kabupaten Kota Baru dalam pengadaan pegawai tahun 2009 berjumlah 14 orang (genap). Hal ini tentunya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangan yaitu PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, dimana didalam penjelasan PP tersebut khususnya Pasal 7 Ayat (1) disebutkan bahwa Panitia yang dimaksud dalam ketentuan ini terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) pejabat, yaitu seorang ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota, dan seorang anggota. Apabila jumlah anggota panitia lebih dari 3 (tiga) orang, maka jumlahnya harus merupakan bilangan ganjil. Untuk indikator penyimpangan dalam pengadaan pegawai, terutama yang terkait dengan ada tidaknya persyaratan khusus selain persyaratan administratif dan kompetensi dalam pengadaan pegawai di Kabupaten Kota baru sudah sesuai dengan peraturan perundangan, yaitu tidak mensyaratkan
177
persyaratan khusus selain yang ditentukan dalam perundang-undangan. Proses pengadaan pegawai biasanya tidak lepas dari banyaknya pengaduan dari warga masyarakat yang merasa dirugikan dari proses pengadaan tersebut. Namun hal ini tidak ditemukan dalam pengadaan pegawai di Kabupaten Kota Baru. Untuk indikator ketepatan waktu pengangkatan CPNS di Kabupaten Kota Baru sudah dilaksanakan tepat waktu, seperti penyampaian berkas usulan NIP ke Kanreg BKN dan pengangkatan CPNS sudah dilaksankaan tepat waktu. Sementara untuk indikator ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS yaitu antara 1-2 tahun. Hal ini sudah sejalan dengan ketentuan PP No. 98 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam Pasal 14 Ayat (1) bahwa calon pegawai negeri sipil yang telah menjalankan masa percobaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun, diangkat menjadi PNS oleh pejabat pembina kepegawaian dalam jabatan dan pangkat tertentu. Terkait dengan kesesuaian penempatan pegawai dengan formasi awal di Kabupaten Kota Baru sudah sesuai. Hal tersebut berarti bahwa dari proses perencanaan pengadaan pegawai tidak ada calon yang ditempatkan tidak sesuai dengan lamaran yang diajukan. Untuk paramater rotasi jabatan dan promosi dalam manajemen PNS di Kabupaten Kota Baru tidak mendapatkan nilai/skor. Ketersediaan dokumen pola karier ternyata di Kabupaten Kota Baru walaupun sudah ada dokumen pola karier namun dinilai bukan sebagaimana dimaksud. Pola karier yang digunakan selama ini adalah secara khusus menggunakan data dari SIMPEG, hal ini dikarenakan hingga saat ini standar dan norma pola karier belum dikeluarkan
oleh
pemerintah
pusat.
Sementara
untuk
kenaikan
jabatan/promosi terutama terkait dengan proses kenaikan jabatan/promosi
178
hanya didasarkan pada pertimbangan lain. Dalam rotasi jabatan juga tidak berdasarkan pola karir namun berdasarkan pertimbangan lain. Untuk parameter pengembangan pegawai didapatkan skor sebesar 64
yang
mengindikasikan
tergolong
baik.
Walaupun
parameter
pengembangan pegawai mendapatkan penilaian baik, namun untuk beberapa indikator seperti ketersediaan dokumen training need analysis (TNA) dalam pengembangan pegawai tidak dilampirkan dokumen yang diperlukan sehingga memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Seleksi atau uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan selalu dilakukan dan sebagian besar (>50%) peserta diklatpim yang sudah lulus seleksi diikutsertakan dalam diklatpim. Untuk evaluasi pasca diklat dalam pengembangan pegawai di Kabupaten Kota Baru kadang-kadang dilakukan. artinya evaluasi ini dilakukan apabila ada kepentingant tertentu seperti adanya pertimbangan dalam rotasi/promosi jabatan. Untuk parameter kesejahteraan pegawai dalam pengelolaan kepegawaian di Kabupaten Kota Baru didapatkan skor 42 (indikasi kurang baik). Hal ini dikarenakan ada beberapa indikator yang mendapatkan skor nol (0), yaitu untuk ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan selain ASKES, dimana di Kabupaten Kota Baru belum tersedia fasilitas kesehatan selain ASKES. Begitupula halnya dengan ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap belum tersedia. Sementara untuk indikator ketersediaan dan pemanfaatan bantuan santunan uang duka bagi pegawai sudah ada dan sudah dilaksanakan dengan baik, dimana anggaran untuk kegiatan ini diambil dari APBD dan dikelola oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten Kota Baru. Adapun untuk indikator ketersediaan dan pemanfaatan bantuan perumahan belum tersedia. Selama ini untuk bantuan perumahan hanya tersedia melalui Bapertarum yang dikelola oleh pemerintah pusat.
179
Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pegawainya,
diantaranya adalah dengan
pemberian uang makan untuk pegawai, dimana uang makan ini diberikan untuk satu kali makan dan penyediaan bantuan transportasi baik dalam bentuk uang transport maupun dalam bentuk kendaraan antar jemput bagi pegawai. Dalam kaitan dengan pemberian uang makan kepada pegawai, Pemerintah Kabupaten Kota Baru sudah menyediakan bantuan uang makan untuk pegawai. Parameter Manajemen Kinerja Pegawai untuk mengukur kinerja manajemen PNS Daerah di Kabupaten Kota Baru mendapatkan skor 83 (indikasi sangat baik). Salah satu indikator untuk mengukur parameter manajemen kinerja pegawai adalah dalam hal perencanaan kinerja, dimana sudah ada dan sudah dilaksanakannya kontrak kinerja pegawai. Sementara untuk indikator monitoring kinerja pegawai, telah ada instrumen monitoring tetapi belum dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya untuk indikator penilaian kinerja pegawai, selain menggunakan instrumen yang sudah umum dipakai dalam penilaian kinerja PNS yakni DP3, Pemerintah Kabupaten Kota Baru juga menggunakan instrumen penilaian lain yaitu daftar hadir pegawai. Untuk evaluasi kinerja pegawai, meskipun sudah dilaksanakan evaluasi kinerja pegawai tetapi dinilai belum optimal. Demikian pula halnya dengan tunjangan kinerja (TKD) yang sudah diterapkan di Kabupaten Kota Baru. Sementara untuk reward and punishment, proses ini pun diterapkan dalam pengelolaan kepegawaian di Kabupaten Kotabaru. Parameter Disiplin dan Etika pegawai dari hasil pengukuran mendapatkan skor 75 yang mengindikasikan sangat baik. Adapun indikator yang memiliki kontribusi positif dalam parameter ini adalah sudah adanya dukungan kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai, disamping itu juga sudah dibentuk tim investigasi disiplin pegawai. Adanya
180
tindaklanjut terhadap pelanggaran disiplin pegawai juga memberikan kontribusi positif terhadap parameter disiplin dan etika pegawai. Sementara itu untuk kebijakan daerah tentang etika pegawai memang belum ada. Untuk parameter pemberhentian pegawai dari hasil evaluasi mendapatkan skor 63 yang mengindikasikan baik. indikator yang memiliki kontribusi positif terhadap parameter ini diantaranya adalah pembinaan memasuki usia pensiun, dimana dalam memasuki usia pensiun selalu diberikan pembinaan memasuki masa purnabhakti. Terkait dengan waktu pemberian SK pensiun untuk pegawai golongan IV.b kebawah di Kabupaten Kota Baru adalah antara 0-3 bulan, sementara untuk pegawai negeri golongan IV.c keatas adalah antara 3 sampai 6 bulan. Mengenai perpanjangan batas usia pensiun diberikan sesuai dengan kepentingan organisasi. Untuk parameter infrastruktur mendapatkan skor 53 atau kurang baik, karena beberapa indikator kurang mendukung pencapaian kinerja parameter ini seperti : tidak ada SOP, standar kompetensi jabatan walaupun sudah ada tetapi belum dimanfaatkan secara optimal, keberadaan database kompetensi jabatan sudah tersedia tetapi belum juga dimanfaatkan secara optimal. Untuk sistem informasi juga sudah tersedia tetapi belum termanfaatkan dengan baik. terkait dengan kondisi gedung, tata ruang kantor, peralatan kerja, teknologi informsi unit pengelola kepegawaian daerah sudah memadai. Sedangkan untuk kondisi fasilitas penyimpanan arsip dokumen kepegawaian tidak memadai.
6. Kabupaten Balangan Capaian kinerja manajemen PNS Kabupaten Balangan-Provinsi Kalimantan Selatan dapat dikatakan belum cukup menggembirakan dengan skor total 59 yang mengindikasikan kurang baik. Adapon skor 9 parameter yang membangun skor total tersebut dapat dilihat dalam tabel 5.6 berikut.
181
Tabel. 5.6 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Balangan No.
Aspek/Paramter
Skor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010 Parameter
perencanaan
pegawai
di
69 93 33 41 33 33 100 50 61 59 Kabupaten
Balangan
mengindikasikan kinerja dalam kategori yang baik (skor 69). Kabupaten Balangan telah memiliki dokumen masterplan kepegawaian. Perencanaan kepegawaian sebenarnya telah dibuat dan disusun, di mana terminologinya lebih luas cakupannya daripada sekedar pengadaan, pengembangan, mutasi, promosi dan kesejahteraan. Akan tetapi menyentuh semua ranah tugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Balangan. Hal tersebut dapat dilihat pada Rencana Strategis Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Balangan Tahun 2006-2010 (terlampir), yang merupakan perencanaan pokok (blueprint) dan proyeksi untuk 5 (lima) tahun ke depan di bidang kepegawaian, sebagai penjabaran/turunan dari visi dan misi Bupati Balangan terpilih. Sedang untuk perencanaan yang lebih rinci dan komprehensif dari Rencana Strategis tersebut, tertuang dalam Rencana Kerja yang memuat program dan kegiatan beserta sumber anggaran (budgeting source) yang dibutuhkan untuk membiayai pelaksanaannya di lapangan. Selain itu, Kabupaten Balangan juga telah memiliki dokumen bezetting dan telah dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian. Dalam hal pengadaan
182
pegawai juga terdapat kesesuaian dengan rincian formasi yang telah ditetapkan. Namun demikian, belum tersedianya dokumen analisis beban kerja (ABK) menyebabkan rencahnya capaian kinerja perencanaan pegawai. Parameter pengadaan pegawai menunjukkan indikasi capaian yang sangat baik dengan skor 93. Hal-hal yang mendukung pencapaian kinerja tersebut adalah penyebarluasan informasi yang telah dilaksanakan secara transparan baik melalui papan pengumuman instansi, media massa dan website. Selain itu
masa penayangan informasi mengenai pengadaan
pegawai berlangsung sesuai peraturan perundangan yaitu antara 1 s/d 2 minggu. Ditunjang pula dengan pemanfaatan media pengaduan. Adapun tes yang diberikan meliputi semua tes sebagaimana diharapkan. Namun demikian masih terdapat sejumlah pengaduan dan jumlah panitia pengadaan yang genap kurang sesuai dengan ketentuan, sehingga menyebabkan berkurangnya skor pengadaan pegawai. Capaian kinerja parameter rotasi jabatan dan promosi di Kabupaten Balangan mengindikasikan capaian yang masih memprihatinkan karena memperoleh skor 33 (indikasi buruk). Kabupaten Balangan belum memiliki pola karier. Selama ini mutasi jabatan dan kenaikan jabatan/promosi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan lain, yakni kebutuhan organisasi, administrasi kepangkatan, dengan pertimbangan Baperjakat, maupun setelah berkonsultasi dan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan (Bupati dan Gubernur). Parameter pengembangan pegawai memperoleh skor 41 atau dengan kata lain masih dalam indikasi kategori kurang baik. Hal itu ditunjukkan dengan tidak tersedianya dokumen training need analysis/TNA. Selanjutnya, uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim pun kadang-kadang saja dilakukan karena terkait dengan alokasi dan kesempatan dari pemerintah provinsi. Selanjutnya, calon peserta yang telah lulus ujian diklatpim, ternyata
183
hanya sebagaian kecil (≤ 50%) yang diikutsertakan dalam pelaksanaan diklatpim. Hal ini alasannya karena prioritas peserta yang diikutsertakan dalam Diklatpim adalah PNS yang telah menduduki jabatan struktural. Sedangkan yang lulus seleksi dan belum menduduki jabatan struktural dimasukkan dalam nominatif pegawai yang akan diikutsertakan selanjutnya. Di lingkungan pemkab Balangan tidak pernah dilakukan evaluasi pasca diklat, sebagaimana dinyatakan oleh responden. Hal ini turut menurunkan
penilaian pengembangan
pegawai.
Namun
dalam
hal
pemanfaatan alumni, Kabupaten Balangan telah mencapai angka 100%. Pada tahun 2009, jumlah pejabat struktural yang belum mengikuti diklatpim yang dipersyaratkan sesuai tingkatnya yaitu sebanyak 50 orang dari 273 pejabat struktural yang ada atau sebesar 18%. Di Kabupaten Balangan diklatpim hanya merupakan ‘komplementer’ bagi jabatan dan bukan merupakan prasyarat menduduki jabatan struktural (dikenal dengan istilah Duk-Dik). Adapun untuk pengembangan pegawai, PNS yang mendapatkan beasiswa tugas belajar di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Balangan sumber dananya berasal dari APBN dalam bentuk proyek-proyek. Adapun di sisi pembinaan mental pegawai, Kabupaten Balangan telah melakukan upaya yang baik, yaitu dilakukannya ceramah agama pada apel tiap senin pagi (seminggu sekali) dan juga peringatan hari besar keagamaan. Untuk parameter kesejahteraan pegawai capaian kinerja yang diperoleh kurang menggembirakan dengan skor sebesar 33.
Hal ini
mengindikasikan belum terselenggaranya dukungan kesejahteraan pegawai yang meliputi pelayanan kesehatan, santunan uang duka, uang makan maupun tunjangan transportasi. Namun untuk pemberian santunan uang duka dan tunjangan memperoleh perumahan telah tersedia. Parameter manajemen kinerja pegawai pun mengindikasikan capaian yang masih kurang menggembirakan dengan skor 33 sebesar. Hal ini
184
disebabkan semua indikator dalam parameter ini belum sepenuhnya mendukung capaian kinerja. Tidak ada kontrak kinerja pegawai. Sementara instrumen monev pegawai sudah ada dan dilaksanakan dengan baik, namun masih dalam bentuk absensi pegawai yang dievaluasi setiap bulan. Penilaian kinerja pegawai dilakukan dengan menggunakan instrumen DP3. Selain itu, ada evaluasi kinerja pegawai. Untuk penilaian kinerja pegawai dilakukan melalui absensi yang terus dievaluasi setiap bulannya dan dari hasil evaluasi tersebut akan menjadi bahan pertimbangan rotasi dan mutasi pegawai. Hal ini tentunya belum sepenuhnya dapat menjadi pijakan untuk menilai kinerja karena dilakukan melalui absensi dan tidak sepenuhnya bisa menjadi pertimbangan rotasi dan mutasi pegawai. Di Kabupaten Balangan sudah ada tunjangan kinerja daerah (TKD) dan telah dilakukan reward and punishment, namun pernyataan itu tidak disertai dengan data pendukung sehingga tidak dinilai. Parameter disiplin dan etika pegawai memperoleh skor 100 . Indikator yang mendukung capaian ini antara lain: adanya kebijakan yang mengatur disiplin, adanya tim investigasi pelaksanaan disiplin, ada upaya menginternalisasi kebijakan disiplin pegawai, dan ada tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin, serta kebijakan tentang etika pegawai. Berbagai kebijakan tersebut antara lain
kebijakan daerah yang mengatur disiplin
berupa Peraturan Bupati Balangan Nomor 8 Tahun 2010, Peraturan Bupati Balangan Nomor 19 Tahun 2010, Keputusan Bupati Balangan Nomor 188.45/19.a/Kum TAHUN 2010, dan Keputusan Bupati Balangan Nomor 188.45/62/Kum TAHUN 2010. Adapun pelaksanaan disiplin pegawai tertuang dalam Keputusan Bupati Balangan Nomor 188.45/19.a/Kum TAHUN 2010 tentang Pembentukan Tim Monitoring Kedisiplinan Pegawai dan Penilaian Unit Kerja Pelayanan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Balangan Tahun 2010 dan Keputusan Bupati Balangan Nomor 188.45/62/Kum TAHUN 2010
185
tentang Pembentukan Majelis Disiplin dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Balangan Tahun 2010 (terlampir). Bentuk-bentuk kegiatan tim tersebut dapat dilihat pada SK sebagaimana tersebut di atas. Terkait dengan upaya internalisasi, telah dilakukan melalui kegiatan sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Bidang Kepegawaian yang melibatkan
segenap
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
bidang
kepegawaian dan SKPD beserta Unit Pelaksana Teknis. Penegakan disiplin berjalan dengan baik, misalnya 1 (satu) orang yang sudah ditindaklanjuti untuk
kasus hukuman disiplin tingkat berat. Sedang untuk 6 (enam)
pelanggaran disiplin ringan ditindak lanjuti dengan teguran lisan dan tertulis (Surat Peringatan) dari pejabat berwenang. Terkait dengan pengaturan etika pegawai dikeluarkan aturan tata cara berpakaian yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Balangan Nomor 19 Tahun 2010 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Bupati Balangan Nomor 06 Tahun 2008 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Balangan. Untuk parameter pemberhentian pegawai
, Kabupaten ini
memperoleh skor 50 yang mengindikasikan kurang baik. Hal ini menarik karena terkait dengan penghargaan kepada pegawai yang telah memberikan waktu dan tenaganya kepada pemerintah daerah. Pemberian diklat purnabhakti hanya ’kadang-kadang’ dilakukan oleh pengelola kepegawaian karena terbentur persoalan anggaran. Namun untuk pemberian SK pensiun (golongan IV-c ke bawah) sudah dilaksanakan tepat waktu. Sementara untuk pemberian perpanjangan BUP, biasanya dilaksanakan demi kepentingan organisasi. Parameter infrastruktur memperoleh skor 61 (indikasi baik). Hal ini karena beberapa indikator yang ada mendukung pencapaian kinerja
186
parameter infrastruktur. Memang diakui di lingkungan Pemerintah Kabupaten Balangan belum tersedia standar kompetensi jabatan maupun database kompetensi jabatan. Sementara indikator lain seperti SOP, sistem informasi, sarana-prasarana, dan anggaran pengembangan pegawai sudah ada dan dinilai memadai. SOP sudah tersedia dan dimanfaatkan dalam manajemen PNS daerah. Sistem Informasi Kepegawaian telah tersedia mulai tahun 2009, meliputi: a)Informasi PNS berdasarkan jabatan/eselonering;b) Informasi PNS berdasarkan golongan kepangkatan;c) Informasi PNS berdasarkan jenjang pendidikan; d) Informasi PNS berdasarkan jenis kelamin;e) Informasi PNS berdasarkan Batas Usia Pensiun (BUP); f) Informasi data profil PNS. Salah satu permasalahan yang dijumpai dalam pengelolaan sistem informasi kepegawaian di antaranya jaringan yang masih bersifat lokal dan belum terhubung (connect) secara online dengan Kanreg VIII BKN Banjarmasin. Untuk gedung kantor BKD dan tata ruang kantor dinilai memadai, namun ke depan kapasitas gedung Kantor Badan Kepegawaian Daerah tidak akan mencukupi bahkan melebihi kapasitas (overloaded), bila melihat trend perkembangan penambahan personil melalui serangkaian kegiatan rekrutmen pegawai. Kondisi peralatan kantor juga dinilai memadai. Namun ada permasalahan dalam manajemen aset, mulai dari perencanaan, penatausahaan, pemeliharaan, penghapusan, sampai pelaporan yang belum terintegrasi secara baik. Hal ini menjadi kendala untuk memberikan informasi tentang kondisi yang riil aset daerah yang berada pada Badan Kepegawaian Daerah. Fasilitas penyimpanan arsip dinilai memadai. Untuk fasilitas akan selalu dilakukan penambahan sesuai dengan skala prioritas. Hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah peningkatan keahlian (skill), kapabilitas (capability), dan kompetensi (competence) bagi pengelola kearsipan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan kearsipan.
187
7. Kota Banjarmasin Manajemen PNS di Pemerintah Kota Banjarmasin diindikasikan termasuk dalam kategori ”Kurang Baik” dengan skor total yang dicapai sebesar 58. Sedangkan dilihat dari masing-masing parameter, skor yang diperoleh adalah sebagai berikut : Tabel. 5.7 Hasil Penilaian MPNSD Kota Banjarmasin No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 69 84 17 47 67 25 100 50 58 58
Pada parameter perencanaan pegawai skor yang diperoleh adalah 69. Untuk ketersediaaan perencanaan induk (master plan) kepegawaian, meskipun Pemerintah Kota Banjarmasin telah menyusun Renstra tetapi dalam Renstra tersebut belum memuat rincian detil perencanaan yang mencerminkan seluruh aspek-aspek dari manajemen PNS Daerah Kota Banjarmasin. Adapun dokumen rencana tahunan telah disusun.
Untuk
ketersediaan bezetting (daftar kekuatan pegawai) dan pemanfaatanannya mendapat penilaian cukup tinggi. Demikian halnya dengan kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan juga mendapat penilaian cukup tinggi. Namun demikian untuk pemanfaatan analisis beban kerja (ABK) dalam penyusunan kebutuhan pegawai perlu
188
dilakukan perbaikan. SKPD ( dalam hal ini Bagian Organisasi) belum selesai membuat ABK. Parameter pengadaan pegawai mendapat skor cukup tinggi sebesar 84. Penyebarluasan informasi pengadaan pegawai dilakukan dengan baik dengan jangka waktu yang cukup
melalui papan pengumuman instansi,
media massa dan website. Test yang digunakan dalam seleksi pegawai cukup bervariasi meliputi Test Potensi Akademik (TPA), Test Substansi sesuai bidang/sektor dan dilakukan kerjasama dengan Universitas Lambung Mangkurat. Adapun ketepatan waktu penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN, ketepatan waktu pengangkatan CPNS, ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS, maupun kesesuaian penempatan pegawai dengan rincian formasi awal, dinilai sesuai. Dengan skor 17 parameter rotasi jabatan dan promosi masih dinilai belum
memuaskan.
Proses
rotasi
jabatan
dan
promosi
tidak
mempertimbangkan pola karir karena belum memiliki dokumen pola karir. Proses kenaikan jabatan/promosi di Kota Banjarmasin hanya berdasarkan pada pertimbangan Baperjakat. Parameter pengembangan pegawai mendapat skor 47 yang mengindikasikan kurang baik. TNA (Training Need Analysis) tidak dilakukan sehingga pengembangan pegawai tidak mempertimbangkan TNA. Seleksi/ uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan hanya kadang-kadang saja dilakukan. Sementara calon peserta Diklatpim yang telah lulus seleksi sebagian kecil diikutsertakan dalam Diklatpim karena diutamakan yang telah menduduki jabatan. Sejumlah 31% alumni Diklatpim Tk. II yang belum menduduki jabatan Eselon II dan 21% alumni Diklatpim Tk. III yang belum menduduki jabatan Eselon III. Sementara ada 0.08% pejabat struktural saat ini yang belum mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan.
189
Parameter kesejahteraan pegawai mendapat skor 67. Untuk ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan selain ASKES, ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap, ketersediaan dan pelaksanaan pemberian santunan uang duka, dan ketersediaan dan pemanfaatan bantuan memperoleh perumahan) dinilai baik, telah dilakukan dan
dimanfaatkan.
Sedangkan
uang
makan
pegawai,
dan
transportasi/bantuan uang transportasi pegawai belum dilaksanakan. Parameter
uanajemen
kinerja
mendapat
skor
25
yang
mengindikasikan kinerja pegawai belum terkelola dengan baik. Rendahnya skor yang diperoleh pada aspek ini karena dari 6 indikator yang ada pada aspek ini hanya 2 (dua) indikator yang mendapat nilai yakni indikator Penilaian Kinerja Pegawai dan indikator Reward and punishment. Penilain kinerja pun dalam hal ini hanya menggunakan instrumen DP3. Sedangkan Perencanaan kinerja, Monitoring kinerja pegawai, evaluasi kinerja pegawai, maupun tunjangan kinerja daerah tidak dilaksanakan. Parameter disiplin dan etika pegawai mendapat penilaian yang sangat baik. Terdapat dukungan kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai yang dituangkan dalam berbagai Keputusan Walikota, serta ada upaya internalisasi dan peran Tim Investigasi Disiplin Pegawai. Namun tercatat ada 26 pelanggaran disiplin pegawai yang terdiri dari 5 pelanggaran berat, 1 pelanggaran sedang, dan 20 pelanggaran ringan. Adapun kebijakan daerah tentang etika pegawai adalah Surat Edaran Walikota Banjarmasin Nomor : 430/184/ORG tentang Ketentuan Berpakaian Dinas Harian & Batik/Sasirangan Parameter
pemberhentian
pegawai
memperoleh
skor
50.
Pembinaan memasuki usia pensiun kadang- kadang dilakukan dengan mengirim peserta golongan I dan II untuk mengikuti pembekalan Bidang Agro.
190
Untuk pemberian SK Pensiun Gol. IV b kebawah sebagian kecil kesulitan dalam melengkapi /mengumpulkan berkas dari PNS yang bersangkutan. Pada
parameter
infrastruktur
diperoleh
skor
58
yang
mengindikasikan masih kurang baik. Indikator yang memberikan nilai tertinggi pada aspek ini adalah indikator SOP Manajemen PNS Daerah . Tidak ada standar kompetensi jabatan maupun data base kompetensi jabatan. Sementara Sistem informasi kepegawaian baru terdapat 2 sistem kepegawaian yang telah ada yakni Biodata Pegawai dan Riwayat jabatan pegawai dan juga datanya tidak di update. Sedangkan indikator sarana dan prasarana unit pengelola pegawai dinilai memadai, meski jumlah peralatan Kantor untuk melayani pekerjaan masih dinilai belum memadai. Adapun untuk File Kepegawaian disimpan dalam Program Simpeg sedangkan berkas arsip /dokumennya disimpan di Kantor Arsip Daerah Kota Banjarmasin.
8. Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan memperoleh skor total 51 dalam manajemen PNS Daerah. Dengan hasil tersebut, Kabupaten Hulu Sungai Selatan diindikasikan dalam kategori kurang baik. Adapun penilaian untuk masing-masing aspek yang membangun skor total tersebut cukup bervariasi sebagaimana diilustrasikan dalam tabel 5.8 berikut. Tabel. 5.8 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Hulu Sungai Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aspek/Parameter Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai
Skor 50 86 33 50 0 46 75
191
No.
Aspek/Parameter
Skor
8. 9.
Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
50 48 51
Pada parameter perencanaan pegawai, dengan skor 50, secara umum Kabupaten ini diindikasikan belum cukup baik. Hal ini mengingat banyak diantara kegiatan perencanaan pegawai yang belum dilakukan dengan baik sebagaimana diharapkan. Dalam hal ketersediaan Perencanaan induk
(master plan)
kepegawaian misalnya, Kabupaten ini
belum
memperlihatkan hasil yang diharapkan, mengingat belum tersedianya master plan kepegawaian.
Alasan yang diungkapkan pengelola kepegawaian di
Kabupaten ini adalah karena belum terfokusnya kebijakan Pemerintah Daerah terhadap masalah penyusunan master plan. Dalam perencanaan kepegawaian, telah tersedia dokumen perencanaan kepegawaian tahunan, tetapi tidak sesuai dengan master plan. Karena memang belum menyususn master plan. Aspek lain dalam perencanaan kepegawaian, yakni pemanfaatan analisis beban kerja (ABK) dalam penyusunan kebutuhan pegawai nampaknya juga belum terlaksana. Pengelola kepegawaian belum memiliki Analisis Beban Kerja, alasan karena belum adanya master plan kepegawaian. Dengan demikian memang ABK belum dijadikan dasar dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Adapun daftar kekuatan pegawai (besetting) yang selama ini wajib untuk disusun, telah tersedia dan dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Kabupaten ini baik dalam hal kesesuaian pengadaan pegawai dengan dokumen rincian formasi yang telah di tetapkan, meskipun belum sepenuhnya sesuai. Dalam hal pengadaan pegawai hasil yang diperlihatkan Kabupaten Hulu Sungai Selatan diindikasikan sangat baik dengan skor 86. Proses pengadaan pegawai dilakukan melalui penyebarluasan informasi pengadaan
192
pegawai, melalui papan
pengumuman instansi, media massa dan website.
Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa telah ada upaya pengelola kepegawaian untuk menyebarluaskan informasi secara luas dan terbuka, dengan durasi penayangan pengumuman pengadaan pegawai yang cukup memadai. Adapun tes yang dilakukan bagi calon pegawai cukup memadai karena mencakup beberapa seperti Tes pengetahuan Umum, Tes Bakat Skolastik, dan Tes Skala Kematangan. Namun ke depan Kabupaten ini perlu juga melengkapinya dengan tes Bahasa Inggris dan tes substansi yang sesuai dengan bidang/sektor yang dilamar. Terdapat kerjasama dalam seleksi pegawai tahun 2009, yakni dilakukan dengan Universitas lambung Mangkurat (UNILAM). Terkait dengan penyimpangan dalam pengadaan pegawai, tidak terdapat indikasi penyimpangan dalam pengadaan pegawai. Tidak ada pengaduan dalam pengadaan pegawai tahun 2009. Adapaun dalam ketepatan waktu pengangkatan CPNS, disampaikan bahwa Pengangkatan CPNS dilakukan tepat waktu, baik pada waktu penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN maupun waktu pengangkatan CPNS. Sementara untuk ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS, berkisar antara 1 – 2 tahun. Penempatan pegawai baru dilakukan sesuai rincian formasi awal. Rotasi jabatan dan promosi merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam perbaikan manajemen PNS di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Dengan skor 33, diindikasikan bahwa pelaksanaan aspek ini belum baik. Pengelola kepegawaian tidak memiliki dan memanfaatkan dokumen polakarier, sehingga mutasi, jabatan dan promosi pun tidak berdasarkan pola karier. Proses kenaikan jabatan/promosi dilakukan melalui pertimbangan pangkat /golongan ruang, pendidikan, pengalaman kerja, dan keterampilan. Sementara untuk rotasi jabatan dilakukan melalui pertimbangan kebutuhan organisasi, pendidikan, pengalaman kerja, dan keterampilan.
193
Skor total 50 yang diperoleh untuk aspek Pengembangan Pegawai , mengindikasikan bahwa aspek pengembangan pegawai secara umum juga perlu ditingkatkan karena masih belum bisa dikatakan baik. Tidak ada dokumen TNA sehingga TNA (training need analysis)belum dimanfaatkan dengan baik dalam pengembangan pegawai. Pihak pengelola menyebutkan bahwa kadang-kadang dimanfaatkan, namun TNA yang dilakukan tersebut lebih didasarkan akan kebutuhan ketentuan Perundangan-undangan yang berlaku dan hasil pemeriksaan BPK dan inspektorat atas kinerja pegawai. Sementara terkait dengan diklat struktural, sejak tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan menganut pola DUKDIK- pejabat yang telah menduduki jabatan kemudian diikutsertakan dalam diklatpim. Tidak dilakukan seleksi/ uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan, jadi pertimbangannya hanya calon tersebut telah menduduki jabatan diikutsertakan dalam Diklatpim. Pengelola kepegawaian juga tidak melakukan evaluasi Pasca Diklat bagi alumni. Evaluasi ini sebenarnya penting untuk mengetahui kemanfaatan diklat bagi alumni serta sebagai bahan pertimbangan pengembangan pegawai ke depan. Dalam hal pemanfaatan alumni diklatpim, kabupaten ini mendapat nilai yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena dengan menerapkan pola ’duk-dik’, yakni pejabat yang menduduki jabatan baru kemudian diikutsertakan dalam diklatpimalumni diklatpim dapat termanfaatkan sesuai posisinya. Namun, mengingat tidak dilakukan seleksi bagi calon peserta, kualitas para calon dapat dipertanyakan. Di samping pembinaan intelektual dan kecakapan, dilakukan pula
pembinaan
mental
pegawai.
Menurut
pengakuan
pengelola
kepegawaian, program pembinaan mental pegawai dilakukan sebulan sekali. Program yang dilakukan berupa ceramah agama di masing-masing Unit Kerja serta pengajian rutin bulanan bagi pejabat.
194
Aspek Kesejahteraan Pegawai agaknya kurang mendapat perhatian di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pengelola kepegawaian belum cukup mengupayakan peningkatan kesejahteraan pegawai. Belum ada fasilitas kesehatan selain ASKES yang dapat digunakan untuk meningkatkan kondisi kesehatan pegawai. Di samping itu, berbagai dukungan peningkatan kesejahteraan lain juga belum tersedia. Belum ada pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap, santunan uang duka, bantuan memperoleh perumahan, maupun transportasi/bantuan uang transport bagi pegawai. Dengan kondisi ini, parameter kesejahteraan pegawai mendapatkan penilaian yang paling rendah (0). Manajemen Kinerja Pegawai di Kabupaten Hulu Sungai Selatan juga masih memerlukan banyak perbaikan. Skor 46 mengindikasikan penilaian yang kurang baik pada parameter ini. Dalam perencanaan kinerja, sebetulnya telah diupayakan untuk menyusun semacam kontrak kinerja pegawai dan menurut keterangan pengelola kepegawaian sudah dilaksanakan. Namun menilik instrumen yang dikembangkan, instrumen kontrak kinerja tersebut belum sepenuhnya sesuai. Terkait dengan monitoring kinerja pegawai, belum ada instrumen untuk melakukan monitoring bagi kinerja pegawai. Instrumen ini tentunya perlu dibedakan dengan data kehadiran, karena data kehadiran belum dapat menjelaskan kinerja pegawai. Adapun untuk menilai kinerja pegawai, digunakan instrumen DP-3. Selama ini sudah diberikan tunjangan kinerja daerah (TKD) namun mengingat tidak adanya instrumen monitoring dan penilaian kinerja yang memadai, obyektivitas dan efektivitas tunjangan kinerja daerah tersebut bagi peningkatan kinerja pegawai masih dipertanyakan. Meskipun demikian, keberadaan reward yang diberikan kepada pegawai yang berkinerja baik berupa pemberian reward PNS teladan yang ditetapkan tahunan-
perlu
diapresiasi. Demikian halnya dengan adanya punishment yang diberikan
195
kepada pegawai yang berkinerja kurang baik/buruk melalui pemotongan terhadap pembayaran tunjangan kinerja. Penegakan disiplin dan etika Pegawai, dinilai mengindikasikan upaya yang baik. Skor untuk parameter ini mencapai 75. Hal ini mengindikasikan adanya upaya-upaya yang ditempuh untuk memperbaiki aspek disiplin dan etika pegawai. Terdapat dukungan kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai, namun belum ada kebijakan mengenai etika pegawai. Di samping itu juga telah pula dibentuk Tim Investigasi Disiplin Pegawai untuk melaksanakan kebijakan tersebut serta dilakukan
upaya internalisasi
pemahaman pegawai terhadap disiplin pegawai. Tercatat pada tahun yang dinilai, masi terdapat 9 pelanggaran yang terdiri dari 2 pelanggaran berat, 1 pelanggaran sedang, dan 6 pelanggaran ringan. Terdapat tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin pegawai tersebut sesuai dengan kategori pelanggaran. Dalam aspek pemberhentian, skor yang diperoleh mencapai 50. Hali ini mengindikasikan aspek pemberhentian dalam manajemen PNSD di kabupaten ini masih kurang baik. Tidak terdapat pembinaan bagi pegawai yang memasuki masa purnabakti. Alasan yang dikemukakan karena belum ada kebijakan yang fokus mengatur masalah tersebut. Hal lain yang dicatat dalam penilaian ini adalah ketepatan waktu pensiun, dimana waktu pemberian SK Pensiun Gol. IV b ke bawah berkisar antara 0 – 3 bulan. Sementara lama waktu pemberian SK Pensiun Gol. IV c ke atas mencapai 3 – 6 bulan. Adapun untuk perpanjangan batas usia pensiun, pada tahun yang dinilai ini tidak diberikan. Skor untuk parameter infrastruktur, dalam manajemen PNS di Kabupaten ini juga masih jauh dari yang diharapkan. Skor 48 yang diperoleh, mengindikasikan infrastruktur kepegawaian masih belum baik. Hal ini dapat dilihat dari ketiadaan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan, serta kondisi
196
infrastruktur yang ada yang belum memadai atau pemanfaatannya yang belum optimal. Standar Kompetensi Jabatan, misalnya, telah dimiliki namun belum di manfaatkan secara optimal. Demikian halnya dengan keberadaan standard operating proccedure (SOP) di bidang manajemen PNS Daerah. SOP tersebut telah disusun, namun belum di manfaatkan secara optimal. Sementara
database kompetensi jabatan pegawai yang sangat
dibutuhkan justru belum tersedia. Sejauh ini telah ada suatu sistem informasi kepegawian, namun belum dimanfaatkan dengan baik. Hal lain yang perlu menjadi perhatian dari aspek infratruktur ini adalah kondisi gedung kantor unit pengelola kepegawaian daerah. Karena tidak terdapat gedung khusus untuk kegiatan pelatihan pegawai yang berada 1 (satu) kelompok dengan asrama/penginapan, kondisi tersebut dinilai tidak memadai.
9. Kabupaten Tanah Laut Capaian kinerja manajemen PNS Kabupaten Tanah Laut-Provinsi Kalimantan Selatan dapat dikatakan belum cukup menggembirakan. Skor total sebesar 41 yang diperoleh mengindikasikan kurang baik. Aspek pengadaan pegawai dan disiplin serta etika pegawai saja yang dinilai baik, namun aspek lainnya memerlukan upaya perbaikan yang serius. Skor selengkapnya atas 9 parameter sebagaimana terangkum dalam tabel 5.9 berikut. Tabel. 5.9 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Tanah Laut No. 1. 2. 3. 4. 5.
Aspek/Parameter Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai
Skor 53 79 0 32 8
197
No.
Aspek/Parameter
Skor
6. 7. 8. 9.
Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010 Parameter
perencanaan
pegawai
Kabupaten
8 75 50 43 41 Tanah
Laut
mengindikasikan kinerja yang kurang baik (skor 53, ada dalam range 4160=kurang baik). Hal ini terkait dengan belum tersedianya dokumen masterplan kepegawaian. Namun demikian, BKD Kabupaten Tanah Laut telah memiliki Rencana Strategik (Renstra) yang berlaku untuk 5 tahun yang berpedoman pada visi dan misi serta tugas pokok dan fungsi. Selanjutnya, belum tersedianya dokumen analisis beban kerja (ABK) juga menyebabkan rencahnya capaian kinerja perencanaan pegawai. Beberapa indikator yang memberikan kontribusi positif antara lain: tersedianya dokumen bezetting (daftar kekuatan pegawai) dimana salah satunya memberikan informasi mengenai jumlah pegawai Kabupaten Tanah Laut sebanyak 5.622 orang serta adanya kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Parameter pengadaan pegawai mengindikasikan capaian yang baik (skor 79, ada dalam range baik). Hal-hal yang mendukung penacapaian kinerja tersebut adalah : penyebarluasan informasi, telah dilaksanakan secara transparan baik melalui papan pengumuman instansi, media massa dan website; masa penayangan informasi mengenai pengadaan pegawai berlangsung sesuai peraturan perundangan yaitu antara 1 s/d 2 minggu; jumlah panitia ganjil sebanyak 21 orang; tes yang diberikan meliputi semua tes yang ditanyakan yakni tes potensi akademik (TPA), tes psikologi, tes Bahasa Inggris dan tes substansi/bidang. Hanya indikator kerjasama dalam
198
pengadaan pegawai yang memiliki skor nol karena tidak menyertakan lampiran dokumen kerjasama (walaupun ada kerjasama dengan UNILAM, yang dikelola oleh BKD Provinsi Kalsel). Khusus capaian kinerja pada parameter rotasi jabatan dan promosi, Kabupaten Tanah Laut menunjukkan capaian yang memprihatinkan karena memperoleh skor nol (0). Hal ini berarti tidak ada satu pun indikator yang memberikan kontribusi positif bagi capaian kinerja manajemen PNS Daerah terutama dalam hal mutasi jabatan dan promosi. Dengan kata lain, proses mutasi jabatan dan promosi di lingkungan Kabupaten Tanah Laut perlu ditingkatkan. Tidak ada dokumen pola karir yang menjadi pertimbangan proses rotasi dan promosi jabatan. Sebagaimana diutarakan narasumber, dokumen pola karier masih dalam proses pembuatan dan selama ini pola karier berpedoman pada riwayat kerja, kompetensi dan pendidikan, serta kebijakan pejabat pembina kepegawaian. Parameter pengembangan pegawai memperoleh skor 32 atau diindikasikan dalam kategori buruk (di ≤ 40 = buruk). Tidak tersedia dokumen training need analysis/TNA untuk pengembangan pegawai. Selanjutnya, uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim kadang-kadang saja dilakukan karena terkait dengan alokasi dan kesempatan dari pemerintah provinsi. Selain itu di lingkungan pemkab juga tidak pernah dilakukan evaluasi pasca diklat. Dalam hal pembinaan mental hanya dilaksanakan setiap hari besar keagamaan. Satu-satunya indikator yang mendukung pengembangan pegawai di Tanah Laut adalah pemanfaatan alumni yang mencapai 100%, artinya seluruh alumni diklatpim diberdayakan untuk menduduki jabatan struktural yang sesuai. Parameter kesejahteraan pegawai menunjukkan capaian kinerja yang kurang menggembirakan (skor 8). Hal ini mengindikasikan belum terselenggaranya upaya peningkatan kesejahteraan pegawai dengan baik,
199
yang meliputi pelayanan kesehatan (ada klinik kesehatan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal), tunjangan cacat, tunjangan perumahan, santunan uang duka, uang makan maupun tunjangan transportasi. Parameter manajemen kinerja pegawai pun menunjukkan capaian yang masih kurang menggembirakan (skor 8). Hal ini disebabkan semua indikator dalam parameter ini tidak mendukung: tidak ada kontrak kinerja, belum ada instrumen monev pegawai, tidak ada evaluasi kinerja pegawai, tidak ada tunjangan kinerja daerah (TKD) serta tidak adanya reward and punishment. Penilaian kinerja pegawai hanya menggunakan instrumen DP-3. Parameter disiplin dan etika pegawai memperoleh skor 75 (indikasi baik). Indikator yang mendukung capaian ini antara lain: adanya kebijakan yang mengatur disiplin, adanya tim investigasi pelaksanaan disiplin, ada upaya menginternalisasi kebijakan disiplin pegawai, dan ada tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin. Namun demikian, tidak terdapat kebijakan daerah tentang etika pegawai, karena etika sudah masuk ke dalam kode etik KORPRI. Parameter pemberhentian pegawai memperoleh skor 50 (indikasi kurang baik). Hal ini menarik karena terkait dengan penghargaan kepada pegawai yang telah memberikan waktu dan tenaganya kepada pemerintah daerah. Pemberian diklat purnabhakti ’kadang-kadang’ dilakukan oleh pengelola kepegawaian karena persoalan anggaran. Namun untuk pemberian SK pensiun (golongan di bawah IV-c) sudah dilaksanakan tepat waktu. Khusus untuk
pemberian
perpanjangan
BUP,
biasanya
dilaksanakan
demi
kepentingan organisasi. Parameter infrastruktur memperoleh skor 43 (indikasi kurang baik). Berbagai infrastruktur yang diperlukan tidak tersedia dengan memadai, seperti: belum adanya standar kompetensi jabatan, belum ada database kompetensi jabatan, belum ada SOP, tidak memadainya tata ruang kantor,
200
dan tidak memadai penyimpanan arsip/dokumen. Namun sudah terdapat sistem informasi pegawai (sejak 2005) meliputi DUK dan profil PNS, gedung kantor BKD yang memadai, teknologi informasi dan alokasi anggaran untuk pejabat struktural (pengembangan) .
10. Kabupaten Barito Kuala Capaian kinerja manajemen PNS Kabupaten Barito Kuala-Provinsi Kalimantan Selatan dapat diindikasikan belum cukup menggembirakan (skor 37 = kategori buruk). Secara umum perencanaan pegawai saja yang diindikasikan baik. Adapun skor atas 9 parameter selengkapnya ditunjukkan dalam tabel 5.10 berikut. Tabel. 5.10 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Barito Kuala No.
Aspek/Parameter
Skor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010 Parameter
perencanaan
pegawai
Kabupaten
75 23 17 26 25 8 50 50 57 37 Barito
Kuala
diindikasikan baik (skor 75, ada dalam range baik). Sudah adanya master plan kepegawaian yang ada sudah dijadikan acuan dalam mengelolaan kepegawaian. Namun demikian, BKD Kabupaten Barito Kuala telah memiliki Rencana Strategik (Renstra) dan Renja yang berpedoman pada visi dan misi
201
serta tugas pokok dan fungsi. Selanjutnya, belum tersedianya dokumen analisis beban kerja (ABK) karena terbatasnya SDM dalam mengelola ABK. Beberapa indikator yang memberikan kontribusi positif antara lain: tersedianya dokumen bezetting (daftar kekuatan pegawai) dimana salah satunya memberikan informasi mengenai jumlah pegawai Kabupaten Barito Kuala sebanyak 5.653 orang serta adanya kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Parameter pengadaan pegawai mendapat skor 23. Penyebarluasan informasi, telah dilaksanakan secara transparan baik melalui papan pengumuman instansi, media massa dan website namun masa penayangan informasi mengenai pengadaan pegawai berlangsung terlalu singkat kurang dari 1 minggu. Sementara jumlah panitia sebanyak 28 orang kurang sesuai dengan ketentuan. Adapun indikator lainnya perlu diperbaiki. Untuk capaian kinerja pada parameter mutasi jabatan dan promosi Kabupaten Barito Kuala diindikasikan masih memprihatinkan karena hanya memperoleh skor 17. Proses mutasi jabatan dan promosi yang sesuai di lingkungan Kabupaten Barito Kuala belum diterapkan. Penyusunan pedoman pola karier belum dilakukan. Menurut narasumber, dokumen pola karier masih dalam proses pembuatan dan selama ini pola karier hanya berpedoman pada riwayat kerja, kompetensi dan pendidikan, serta kebijakan pejabat Baperjakat. Parameter pengembangan pegawai memperoleh skor 26 atau diindikasikan masih dalam kategori buruk (di dalam range ≤ 40 = buruk). Tidak tersedia dokumen TNA karena keterbatasan SDM. Selanjutnya, uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim diutamakan bagi pejabat yang telah menduduki jabatan saja. Selain itu di lingkungan pemerintah kabupaten juga tidak pernah dilakukan evaluasi pasca diklat.
202
Hasil parameter kesejahteraan pegawai mengindikasikan capaian kinerja yang kurang menggembirakan (skor 25). Hal ini mengindikasikan belum terciptanya kesejahteraan pegawai yang meliputi pelayanan kesehatan tunjangan cacat, tunjangan perumahan (belum ada aturan), sedangkan pemberian santunan uang duka sudah ada dan sudah dilaksanakan dengan baik sesuai APBD kerjasama dengan Asuransi, uang makan maupun tunjangan transportasi tidak ada.
Parameter manajemen kinerja pegawai pun
menunjukkan indikasi yang masih kurang menggembirakan (skor 8). Hal ini berkaitan dengan tidak terselenggaranya proses manajemen kinerja pegawai sebagaimana diharapkan. Dalam pengelolaan pegawai di kabupaten ini tidak ada kontrak kinerja, belum ada instrumen monitoring dan evaluasi (monev) pegawai, tidak ada evaluasi kinerja pegawai, tidak ada tunjangan kinerja daerah (TKD) serta tidak ada reward and punishment. Penilaian kinerja pegawai pun hanya menggunakan instrumen DP-3. Parameter disiplin dan etika pegawai memperoleh skor 50 (indiksi ”kurang baik”). Tidak ada dokumen yang mengatur disiplin,tim investigasi pelaksanaan disiplin, upaya menginternalisasi kebijakan disiplin pegawai, dan tindak lanjut terhadap pelanggaran disiplin. Di samping itu juga tidak terdapat kebijakan daerah tentang etika pegawai, karena etika sudah masuk ke dalam kode etik KORPRI. Parameter pemberhentian pegawai memperoleh skor 50 (indikasi ”kurang baik”). Dari evaluasi diketahui bahwa tidak ada anggaran untuk Pemberian diklat purnabhakti. Untuk pemberian SK pensiun (golongan di bawah IV-c) dijumpai adanya keterlambatan akibat yang bersangkutan terlambat mengantar usulan pensiun. Adapun untuk parameter infrastruktur skor yang diperoleh sebesar 57 (indikasi kurang baik). Hal ini berkaitan dengan
belum
terselenggaranya
berbagai
kepegawaian sebagaimana diharapkan.
infrastruktur
manajemen
Belum ada standar kompetensi
203
jabatan, sementara database kompetensi jabatan dibuat tahun 2005 dalam bentuk aplikasi SIMPEG. Selain itu SOP BKD belum terdokumentasi. Sistem informasi pegawai dibuat tahun 2005 yang meliputi, kenaikan gaji berkala, mutasi, instansi/SKPD, jabatan & pangkat, pendataan CPNS/PNS, pensiun, cuti dan hukuman disiplin. Ditemukan Namun tidak ada informasi DUK dan profil PNS. Sementara
untuk sarana dan prasarana Unit Pengelola
Kepegawaian secara umum dinilai memadai, namun untuk penyimpanan arsip/dokumen dinilai tidak memadai. Bahkan filling kabinet khusus untuk menampung dokumen pegawai belum tersedia.
11. Kabupaten Tabalong Dengan skor total sebesar 65, Kabupaten Tabalong diindikasikan dalam kategori baik. Hal ini berdasarkan skor total yang dibangun dari kesembilan aspek manajemen PNS Daerah. Meskipun demikian, mengingat skor ini masih dekat dengan kategori kurang baik, perbaikan masih sangat diperlukan. Tabel 5.11 berikut menyajikan penilaian untuk masing-masing aspek yang membangun skor total tersebut. Tabel. 5.11 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Tabalong No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 69 82 33 50 96 42 87.5 50 64 65
204
Untuk perencanaan pegawai, kabupaten ini termasuk dalam indikasi penilaian kategori baik. Perencanaan induk (master plan) kepegawaian telah tersedia dalam bentuk Renstra dan sudah dijadikan acuan dalam pengelolaan pegawai,
namun sebagai suatu masterplan, dokumen tersebut masih
memerlukan perbaikan. Sementara dokumen perencanaan kepegawaian tahunan tersedia dalam bentuk Renja tahun 2009. Penyusunan dokumen bezetting pegawai telah dilakukan dan dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Pengadaan pegawai pun dinilai sesuai dengan dokumen rincian formasi yang telah di tetapkan. Dalam pengadaan pegawai, kabupaten ini juga dinilai baik dengan skor 82. Informasi pengadaan pegawai disebarluaskan selama lebih dari 2 minggu melalui papan pengumuman instansi, media massa dan website sehingga informasi sangat terbuka. Penerimaan pegawai dilakukan melalui serangkaian tes meliputi Tes Potensi Akademik (TPA), tes Bahasa Inggris, tes substansi sesuai bidang/sektor. Dalam penerimaan pegawai dilakukan kerjasama dengan UNLAM (Universitas Lambung Mangkurat) Banjarmasin. Tidak terdapat pengaduan dalam pengadaan pegawai tahun 2009. Sementara ketepatan waktu dalam penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN, pengangkatan CPNS, maupun pengangkatan CPNS menjadi PNS dinilai tepat waktu. Adapun penempatan pegawai dinilai telah sesuai dengan rincian formasi awal. Adapun dalam rotasi jabatan dan promosi, kabupaten ini mendapat penilain terendah dengan skor 33. Kabupaten ini perlu memperbaiki ketersediaan pola karier serta proses kenaikan jabatan/promosi maupun dalam melakukan rotasi jabatan. Proses mutasi jabatan, promosi dan demosi maupun rotasi kepegawaian belum dapat dikategorikan baik. Skor untuk parameter pengembangan pegawai sebesar 50, mengindikasikan bahwa pengembangan pegawai di kabupaten ini masih
205
kurang baik. Tidak ada dokumen TNA meskipun debelum BKD terealisasi telah ada dokumen serupa. Alasannya semua pegawai di bidang Diklat BKD KabupatenTabalong tergolong baru menangani kediklatan belum ada yang pernah mengikuti Diklat TNA. Salah satu poin yang positif dalam aspek ini adalah bahwa seleksi/ uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan selalu dilakukan. Namun baru sebagian besar calon peserta Diklatpim yang telah lulus seleksi diikutsertakan dalam Diklatpim. Disamping diklat struktural, terdapat program diklat teknis dan fungsional. Akan tetapi
belum sesuai dengan kebutuhan organisasi dan belum
berdasarkan TNA. Di samping itu juga tidak pernah dilakukan evaluasi Pasca Diklat bagi alumni. Tercatat ada 15 orang (3%) alumni Diklatpim Tk. IV yang belum menduduki jabatan Eselon IV sementara masih ada 42 orang (7%) pejabat struktural yang belum mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan. Dua puluh tiga orang pejabat eselon IV belum PIM IV, 14 Orang pejabat eselon III belum PIM III,
5 Orang Pejabat eselon II
belum PIM
II. Hal ini
mengindikasikan perlunya perbaikan dalam perencanaan diklat khususnya diklat struktural. Pengembangan pegawai juga ditempuh melalui pendidikan formal. Terdapat 47 pegawai yang mendapatkan beasiswa sekolah dari pemerintah daerah. Di samping itu kabupaten ini telah pula mengupayakan adanya kerjasama dalam pengembangan pegawai dengan perguruan tinggi dalam bentuk penyertaan. Adapun untuk pengembangan pegawai melalui pembinaan mental, telah dilakukan dengan frakuensi satu bulan sekali dalam bentuk ceramah agama. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai mendapat penilaian tertinggi dibanding aspek lainnya. Terdapat indikasi yang sangat baik dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pegawai. Bagi pegawai diberikan
uang makan bagi pegawai sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
206
rupiah)/ hari. Untuk transportasi, untuk sebagian PNS disediakan kendaraan dinas meskipun dinilai belum memadai. Terdapat fasilitas kesehatan selain ASKES dan sudah dimanfaatkan secara optimal. Fasilitas tersebut meliputi bantuan operasi/opname PNS/CPNS sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah), bantuan operasi/opname tanggungan PNS/CPNS sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), bantuan perawatan jalan PNS/CPNS dan tanggungannya sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Adapun untuk
bantuan memperoleh perumahan, santunan uang
duka dan santunan tunjangan cacat tetap/tidak tetap, hal ini dinilai telah diupayakan dan dilaksanakan dengan baik. Semua dana untuk santunan bagi PNS
/
CPNS
yang
meninggal
dunia,
dianggarkan
pada
APBD
KabupatenTabalong. Untuk santunan tunjangan kecacatan diperlukan telaahan Staf dari Bapak Bupati. Namun terdapat permasalahan dalam pemberian santunan/uang duka, dimana dianggap santunan tidak tepat pada saat yang dibutuhkan karena memerlukan bukti-bukti administrasi untuk memperoleh santunan tersebut. Manajemen kinerja pegawai merupakan salah satu aspek yang diindikasikan kurang baik. Kabupaten ini mendapat skor 42 untuk aspek ini. Penilaian kinerja pegawai dilakukan menggunakan DP-3 dan instrumen penilaian lainnya. Selama ini terdapat tunjangan kinerja daerah
(TKD).
Namun tidak ada reward /punishment yang diberikan kepada pegawai yang berkinerja baik. Penilaian untuk upaya penegakan disiplin dan etika pegawai di kabupaten ini mendapat nilai 87.5. Terdapat kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai, tim investigasi disiplin pegawai, serta upaya internalisasi pemahaman pegawai terhadap disiplin pegawai. Tahun 2009 tercatat 5 pelanggaran disiplin pegawai yang terdiri dari 2 (dua) pelanggaran
207
berat dan 3 pelanggaran sedang.
Jenis pelanggaran meliputi tidak
menjalankan tugas sebagaimana mestinya dan korupsi. Untuk mengupayakan perbaikan etika pegawai ditempuh upaya melalui diklat etika bagi pegawai. Pemberhentian pegawai dalam manajemen PNSD di kabupaten ini masih belum dapat dikategorikan baik. Tidak terdapat pembinaan memasuki masa purnabakti. Terdapat 10 orang
pegawai yang pensiun sebelum
mencapai BUP. Adapun untuk lama waktu pemberian SK Pensiun Gol. IV b ke bawah dinilai tepat waktu berkisar antara 0 – 3 bulan. Adapun untuk parameter infrastruktur, dengan skor 64 dapat diindikasikan dalam kategori baik. Namun demikian berbagai perbaikan masih sangat perlu dilakukan. Penyusunan standar kompetensi jabatan telah dilakukan,
namun
belum
dimanfaatkan
secara
optimal.
Terdapat
permasalahan dalam penerapan standar kompetensi jabatan karena ada perubahan SOTK. Database kompetensi jabatan pegawai telah tersedia dan dimanfaatkan. Sementara sistem informasi kepegawaian telah ada tetapi belum di manfaatkan secara optimal secara optimal.
Masalah yang ada antara lain
karena pogram SIMPEG masih dalam proses penyelesaian, masih kurangnya tenaga pengelola SIMPEG, serta penanganan SIMPEG masih berjalan manual. Belum terdapat SOP di bidang manajemen PNS Daerah. Terkait dengan sarana dan prasarana Unit Pengelola Kepegawaian, kondisi gedung kantor unit pengelola kepegawaian daerah dinilai telah memadai. Demikian halnya dengan kondisi peralatan kerja kantor unit pengelola kepegawaian daerah yang dinilai cukup memadai. Namun dalam hal kondisi tata ruang kantor unit pengelola kepegawaian daerah, dinilai tidak memadai karena tata ruang belum memadai dan belum lengkap.
Di samping itu kondisi fasilitas
penyimpanan arsip/dokumen kepegawaian dinilai tidak memadai karena belum tersedianya ruang arsip khusus, belum adanya lemari khusus, serta
208
petugas kearsipan. Terkait dengan anggaran pengembangan kepegawaian, pada tahun 2009 tercatat sejumlah Rp 831.991.200 dianggarkan untuk diklat teknis, sejumlah Rp. 718.518.250 untuk diklat fungsional, dan sejumlah Rp. 1.190.733.000
untuk anggaran untuk tugas belajar (pendidikan formal).
Namun baru sekitar 54% pejabat struktural yang memperoleh alokasi anggaran Diklatpim dan 86% CPNS
yang memperoleh alokasi anggaran
Prajabatan.
12. Kabupaten Hulu Sungai Utara Kabupaten Hulu Sungai Utara diindikasikan dalam kategori kurang baik. Hal ini berdasarkan skor total manajemen PNS Daerah yang diperoleh kabupaten tersebut yang hanya mencapai 42. Adapun penilaian untuk masing-masing aspek yang membangun skor total tersebut dirangkum dalam tabel 5.12 berikut. Tabel. 5.12 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Hulu Sungai Utara No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Paramater
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 38 62 33 43 42 8 37.5 38 33 42
Secara umum, perencanaan pegawai pada Kabupaten Hulu Sungai Utara masih digolongkan sebagai buruk. Hal ini mengingat dengan skor 38 pada aspek ini, mengindikasikan masih memerlukan banyak perbaikan,
209
khususnya dalam item-item yang penting dalam perencanaan kepegawaian daerah. Misalnya saja dalam ketersediaan perencanaan induk (master plan) kepegawaian. Disampaikan bahwa masterplan tersebut belum ada. Alasannya karena kesulitan dalam meprediksi berapa jumlah kebutuhan PNS di masingmasing SKPD setiap tahunnnya. Ketiadaan masterplan ini tentu mengurangi efektifitas perencanaan mengingat di dalamnya terdapat berbagai informasi yang penting dan berbagai perencanaan termasuk rencana pengadaan, pengembangan,
mutasi,
promosi,
kesejahteraan,
bagaimana
upaya
meningkatkan disiplin, dan pemberhentian pegawai di lingkungan daerah. Di samping itu, pengelola kepegawaian daerah tersebut juga belum melakukan penyusunan analisis beban kerja (ABK), sehingga dalam penyusunan kebutuhan pegawai pun belum berdasarkan ABK. Dinyatakan bahwa analis kepegawaian
hanya
dijadikan
bahan
pelatihan,
sementara
dalam
pelaksanaannya belum diterapkan. Selama ini didasarkan pada jumlah formasi yang ditetapkan oleh Kemenpan dan RB dan kekurangan tenaga pegawai di masing-masing SKPD. Oleh karenanya, penyusunan kebutuhan pegawai selama ini pun didasarkan pada jumlah formasi yang ditetapkan oleh Kemenpan dan kekurangan tenaga pegawai di masing-masing SKPD. Meskipun demikian, ketentuan untuk menyusun bezetting pegawai cukup ditaati dan telah dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Hal lain yang perlu mejadi perhatian terkait dengan kesesuaian pengadaan pegawai dengan dokumen rincian formasi yang telah di tetapkan, ditemukan bahwa sebagian kecil tidak sesuai formasi yang telah di tetapkan. Dalam pengadaan pegawai, Kabupaten Hulu Sungai Utara memperoleh
skor
62
yang
mengindikasikan
dalam
kategori
baik.
Penyebarluasan informasi pengadaan pegawai dilakukan menggunakan berbagai media yang cukup dapat menjangkau publik secara luas melalui papan pengumuman instansi, media massa dan website. Waktu penayangan
210
informasi pengadaan pegawai pun cukup memadai dengan durasi 1 – 2 minggu. Penerimaan pegawai dilakukan melalui serangkaian tes yang terdiri dari Tes Potensi Akademik (TPA) serta tes bakat skolastik. Ke depan, untuk lebih meningkatkan kualitas pegawai sesuai bidangnya dan mampu berkomunikasi dalam konteks global, perlu dilakukan tes kemampuan sesuai bidangnya serta tes bahasa inggris. Dalam seleksi pegawai tahun 2009 dilakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi yakni Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin. Terkait dengan pengaduan penyimpangan dalam pengadaan pegawai, dinyatakan bahwa tidak ada pengaduan dalam pengadaan pegawai. Poin lain dalam aspek pengadaan pegawai yang perlu dicatat adalah bagaimana ketepatan waktu penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN serta ketepatan waktu pengangkatan CPNS. Dalam hal tersebut Kabupaten ini dinilai tepat. Sementara untuk ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS berkisar antara 1 – 2 tahun. Secara umum pegawai yang diterima ditempatkan sesuai dengan rincian formasi awal.
Selanjutnya dalam rotasi jabatan dan promosi terindikasi masih
banyak perbaikan yang perlu dilakukan. Kabupaten ini memperoleh skor 33 sehingga digolongkan buruk dalam aspek ini. Tercatat berbagai dokumen atau hal penting dalam mutasi jabatan, promosi dan demosi belum dilaksanakan dengan baik. Sebagai contoh tidak adanya dokumen pola karier yang semestinya dijadikan salah satu pertimbangan dalam aspek ini. Dengan skor 43, pengembangan pegawai di Kabupaten Hulu Sungai Utara masih diindikasikan kurang baik. Beberapa poin positif yang dapat dicatat terkait aspek ini antara lain seleksi/ uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan selalu dilakukan serta semua calon peserta Diklatpim yang telah lulus seleksi diikutsertakan dalam Diklatpim. Namun sayangnya masih ada sejumlah alumni Diklatpim Tk. III yang belum menduduki jabatan Eselon III (2 orang), serta 4 orang alumni Diklatpim Tk. IV
211
yang belum menduduki jabatan Eselon IV. Di sisi lain terdapat 73 orang pejabat struktural saat ini yang belum mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan. Hal ini mengindikasikan bahwa perencanaan diklat struktural khususnya, perlu ditingkatkan. Di samping itu tidak pernah dilakukan evaluasi pasca diklat bagi alumni. Ke depan hal ini perlu dilakukan. Adapun dalam hal program pembinaan mental pegawai, diakui bahwa tidak ada program untuk itu. Pembinaan mental pegawai perlu diprogramkan dengan frekuensi yang memadai di masa mendatang karena pegawai tidak hanya perlu memiliki kecakapan intelektual maupun ketrampilan, namun perlu memiliki mentalitas yang baik. Program pembinaan mental merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pegawai. Kesejahteraan Pegawai di Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan aspek lain yang mendapat penilaian kurang baik dengan skor 42. Hal ini utamanya karena belum adanya berbagai penunjang kesejahteraan pegawai, sementara jika telah tersedia masih belum memadai. Fasilitas kesehatan selain ASKES tercatat belum ada, demikian juga dengan santunan tunjangan cacat tetap/tidak tetap dan transportasi/ bantuan uang transport bagi pegawai. Bantuan memperoleh perumahan telah tersedia, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Sementara bantuan uang makan bagi pegawai juga telah tersedia. Hal positif dalam aspek ini antara lain keberadaan santunan uang duka yang telah dilaksanakan dengan baik. Manajemen kinerja pegawai mendapat skor terendah sebesar 8. Hal ini mengindikasikan masih sangat jauh dari kondisi yang diharapkan. Tidak terdapat kontrak kinerja pegawai serta
instrumen monitoring kinerja pegawai. Penilaian
kinerja pegawai dilakukan menggunakan intrumen DP-3 saja. Demikian halnya dengan keberadaan tunjangan kinerja daerah.
Disampaikan bahwa
belum ada tunjangan kinerja daerah, yang ada hanya Perbaikan tambahan Penghasilan PNS. Dengan ketiadaan instrumen monitoring kinerja pegawai,
212
akan kesulitan memberikan reward/punishment bagi pegawai sesuai kinerjanya. Untuk parameter disiplin dan etika pegawai, diperoleh skor 37.5. Hal ini mengindikasikan bahwa penegakan disiplin dan etika pegawai di kabupaten ini masih memerlukan banyak perbaikan. Belum ada kebijakan khusus mengenai etika pegawai. Disampaikan bahwa terdapat kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai. Namun kebijakan tersebut dinilai masih memerlukan perbaikan. Meskipun demikian telah ada Tim Investigasi Disiplin Pegawai untuk melaksanakan penegakan disiplin pegawai serta upaya internalisasi pemahaman pegawai terhadap disiplin pegawai. Tahun 2009 tercatat 3 pelanggaran yang terdiri dari 2 pelanggaran berat dan 1 pelanggaran ringan. Keseluruhannya telah ditindaklanjuti. Adapun jenisjenis pelanggaran yang ada dalam tahun terakhir antara lain kawin siri, tidak masuk kerja / indisipliner. Dengan skor 38, parameter pemberhentian dalam manajemen PNSD di kabupaten ini juga belum dapat dikategorikan baik. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tidak adanya pembinaan memasuki masa purnabakti. Dari sisi ketepatan waktu pemberian SK pensiun dinilai baik berkisar antara 0-3 bulan untuk Pensiunan Gol. IV b ke bawah. Sementara untuk Pensiunan Gol. IV c ke atas bisa lebih dari 6 bulan. Permasalahannya antara lain ada pada keterlambatan dalam mengumpul berkas, terutama bagi pejabat Eselon III disebabkan yang bersangkutan menginginkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.
Tercatat ada 3 orang
pegawai yang atas
permintaan sendiri pensiun meskipun belum mencapai BUP. Infrastruktur yang semestinya memainkan peran penting dalam manajemen PNSD, juga masih memerlukan perbaikan. Skor 33 yang diperoleh mengindikasikan bahwa infrastruktur kepegawaian di kabupaten ini belum dapat dikategorikan baik. Meskipun Standar Kompetensi Jabatan ada, tetapi belum di manfaatkan secara optimal. Demikian halnya dengan sistem
213
informasi kepegawaian. Sistem informasi kepegawaian meliputi peremajaan data pegawai dan mutasi pegawai, namun masih menghadapi masalah dalam proses pemutahiran data sehingga belum dimanfaatkan secara optimal. Adapun database kompetensi jabatan pegawai belum tersedia. Ditinjau dari sarana dan prasarana unit pengelola kepegawaian, dinilai telah memadai. Kondisi gedung kantor unit pengelola kepegawaian daerah, tata ruang kantor unit pengelola kepegawaian daerah, kondisi peralatan kerja kantor unit pengelola kepegawaian daerah, kondisi teknologi informasi pengelola
kepegawaian
daerah,
dan
kondisi
fasilitas
kantor unit penyimpanan
arsip/dokumen kepegawaian dinilai telah memadai. Berdasarkan uraian sebelumnya maka peringkat capaian kinerja manajemen PNS berbagai daerah di Provinsi Kalimantan Selatan yang ikut serta dalam pengukuran dan evaluasi manajemen PNSD dapat dirangkum sebagaimana disajikan dalam tabel 5.13 berikut: Tabel. 5.13 Peringkat Kinerja MPNSD Provinsi Kalsel Pemerintah Daerah
Skor Total
Kota Banjarbaru 67 Kabupaten Tabalong 65 Kabupaten Banjar 63 Provinsi Kalsel 59 Kabupaten Balangan 59 Kabupaten Kota Baru 59 Kota Banjarmasin 58 Kabupaten Hulu Sungai Selatan 51 Kabupaten Hulu Sungai Utara 42 Kabupaten Tanah Laut 41 Kabupaten Hulu Sungai Tengah 37 Kabupaten Barito Kuala 37 Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Peringkat 1 2 3 4 4 4 5 6 7 8 9 9
Catatan: dua daerah tidak mengembalikan instrumen evaluasi, yaitu Kabupaten Tapin dan Kabupaten Tanah Bumbu. 214
Dari tabel di atas, jelas bahwa secara umum capaian kinerja pemda di lingkungan Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan kondisi yang cukup menggembirakan. Dari 12 daerah yang dievaluasi (dua daerah yaitu Kabupaten Tapin dan Tanah Bumbu tidak mengembalikan instrumen), sebanyak 3 daerah diindikasikan memiliki kinerja ’baik’ dalam manajemen PNS di daerah, 7 daerah diindikasikan memiliki kinerja ’kurang baik’ dan 2 daerah diindikasikan berkinerja ’buruk’. Tiga daerah diindikasikan dalam kategori baik adalah Kota Banjarbaru, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Banjar masing-masing dengan skor 67, 65 dan 63. Sedangkan tujuh daerah diindikasikan berkinerja kurang baik adalah Provinsi Kalsel (skor 59), Kabupaten Balangan (59), dan Kabupaten Kota Baru (59), Kota Banjarmasin (58), Kabupaten Hulu Sungai Selatan (51), Kabupaten Hulu Sungai Utara (42) dan Kabupaten Tanah Laut (41) . Adapun
dua daerah yang diindikasikan berkinerja buruk adalah
Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Barito Kuala dengan skor sama yaitu 37.
B. POTERT KINERJA MANAJEMEN PNS DI LINGKUNGAN PROVINSI RIAU 1. Provinsi Riau Hasil evaluasi terhadap kinerja manajemen PNS Daerah di ketahui bahwa Provinsi Riau mendapatkan skor 27. Adapun skor untuk masingmasing paramater yang dinilai dapat dilihat dalam tabel 5.14 berikut. Tabel. 5.14 Hasil Penilaian MPNSD Provinsi Riau No. 1. 2. 3.
Aspek/Parameter Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi
Skor 63 74 0
215
No.
Aspek/Parameter
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 43 0 0 0 0 0 27
Meskipun untuk parameter perencanaan pegawai mendapatkan hasil penilaian terindikasi baik dengan skor sebesar 63, namun terdapat beberapa indikator yang masih harus mendapatkan perhatian serius dari pengelola kepegawaian di Provinsi Riau. Indikator yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah pemanfaatan analisis beban kerja dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Dalam hal ketersediaan analisis beban kerja, Provinsi Riau sudah memiliki ABK, namun dokumen ABK tersebut tidak dikelola oleh Badan Kepegawaian Daerah dengan baik. Dalam hal pemanfaatan bezetting dokumen tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan kecuali hanya dalam rekuitmen CPNS daerah. Sebagai sebuah proses penentuan kebutuhan pegawai pada masa yang akan datang berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dan persediaan tenaga kerja yang ada. Perencanaan pegawai merupakan bagian penting dari dan sebagai kontributor pada proses perencanaan strategis karena membantu organisasi dalam menentukan sumber-sumber yang diperlukan dan membantu menentukan apa yang benar-benar dapat dicapai dengan sumber-sumber yang tersedia. Sehingga dalam perencanaan ini juga dapat diuraikan kebutuhan pegawai untuk diangkat sebagai pegawai tetap dan pegawai tidak tetap. Perencanaan pegawai merupakan aspek utama dalam pengelolana kepegawaian. Untuk perencanaan pegawai, Provinsi Riau mendapatkan skor 63. Dokumen perencanaan kepegawaian tahunan dan
216
master plan telah dimilik. Hanya saja dokumen perencanaan kepegawaian yang ada tidak sesuai dengan master plan. Salah satu fungsi Kepegawaian adalah pengadaan pegawai. Dalam kegiatan pengadaan pegawai ini harus dilihat apakah ada formasi yang lowong, di samping itu perlu pula dilihat kebutuhan sumber daya manusia, banyaknya kebutuhan dan jenisnya pekerjaan. Setelah pasti ada formasi yang lowong, maka baru diadakan serangkaian kegiatan untuk menjaring pegawai yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit beserta kualifikasinya. Perekrutan yang efektif secara konseptual memiliki beberapa hambatan yang dapat bersumber dari kebijakan organisasi maupun dari perencanaan sumber daya manusia. Dalam ketentuan perundang-undangan Kepegawaian Negara terdapat ketentuan yang mengatur formasi yaitu Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil. Dalam rangka menentukan jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi, harus ditetapkan oleh seorang pejabat yang berwenang dalam jangka waktu tertentu berdasarkan jenis, sifat dan beban kerja yang harus dilaksanakan, dengan tujuan agar unit organisasi itu mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan tepat pada waktunya. Berdasarkan uraian tersebut hasil evaluasi menunjukkan bahwa parameter pengadaan pegawai diindikasikan baik dengan diperoleh sebesar 74.
skor yang
Pengadaan pegawai dapat dilihat dari beberapa
indikator yaitu penyebarluasan informasi pengadaan pegawai, penyimpangan dalam pengadaan pegawai, ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS dan ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS. Dalam hal bagaimana penyebarluasan informasi pengadaan pegawai di Provinsi Riau sudah memanfaatkan media seperti papan pengumuman di instansi dan kantor pos juga melalui media massa lokal. Hal ini tentunya membuka kesempatan kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat untuk mengajukan lamaran.
217
Di Provinsi Riau Pengumuman pengadaan pegawai selambatlambatnya selama 1 (satu) sampai 2 (dua) minggu sebelum tanggal penerimaan lamaran. Sementara itu, penayangan pengumuman pengadaan pegawai kurang dari 2 (dua) minggu. Hal ini berdasarkan pada PP No. 11 tahun 2002 tentang pengadaan CPNS yang mengacu pada juklak dan juknis seleksi CPNS. Panitia pengadaan pegawai di Provinsi Riau dalam pengadaan pegawai berjumlah 60 orang (genap). Hal ini tentunya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangan yaitu PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, dimana didalam penjelasan PP tersebut khususnya Pasal 7 Ayat (1) disebutkan bahwa Panitia yang dimaksud dalam ketentuan ini terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) pejabat, yaitu seorang ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota, dan seorang anggota. Apabila jumlah anggota panitia lebih dari 3 (tiga) orang, maka jumlahnya harus merupakan bilangan ganjil. Proses pengadaan pegawai biasanya tidak lepas dari banyaknya pengaduan dari warga masyarakat yang merasa dirugikan dari proses pengadaan tersebut. Namun demikian hal ini tidak ditemukan dalam pengadaan pegawai di Provinsi Riau. Untuk indikator ketepatan waktu pengangkatan CPNS di Provinsi Riau dinilai sudah dilaksanakan tepat waktu, hal ini sudah sejalan dengan ketentuan yang berlaku. Sementara terkait dengan kesesuaian penempatan pegawai dengan formasi awal di Provinsi Riau, hal ini dinilai sudah sesuai. Untuk paramater rotasi jabatan dan promosi dalam manajemen PNS di Provinsi Riau tidak mendapatkan skor. Hal ini berkaitan dengan berbagai hal seperti ketersediaan dokumen pola karier ternyata di Provinsi Riau walaupun sudah ada dokumen pola karier namun dokumen dimaksud tidak dilampirkan dalam evaluasi ini. Begitu pula halnya dengan indikator rotasi
218
jabatan, walaupun dikatakan sudah berdasarkan pertimbangan lain, tetapi tidak melampirkan dokumen dimaksud. Untuk parameter pengembangan pegawai mendapatkan skor 43 sehingga diindikasikan pengembangan pegawai masih kurang baik. Indikator seperti ketersediaan dokumen training need analysis (TNA) dalam pengembangan pegawai tidak dilampirkan dokumen yang diperlukan sehingga memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Untuk indikator seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan dinilai baik dimana seleksi atau uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan selalu dilakukan. Seleksi dilakukan dengan ujian Tes Potensi Akademik (TPA) dan TOEFL. Sementara itu, sebagian besar (>50%) peserta diklatpim yang sudah lulus seleksi diikutsertakan dalam diklatpim. Untuk keberadaan diklat teknis dan fungsional, di Provinsi Riau telah diadakan dan sudah sesuai dengan kebutuhan organisasi (sesuai TNA). Evaluasi pasca diklat dalam pengembangan pegawai di Provinsi Riau selalu dilakukan. Evaluasi ini juga dilakukan apabila ada kepentingan tertentu seperti perlunya pertimbangan dalam rotasi/promosi jabatan. Bentuk pengembangan pegawai lainnya adalah pengembangan melalui jalur formal, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Riau telah mengirimkan 14 orang untuk melanjutkan sekolah dengan beasiswa dari pemerintah daerah. Sementara dalam rangka pembinaan mental pegawai dilakukan program pembinaan dengan frekuensi rata-rata sebulan sekali. Parameter kesejahteraan pegawai dalam pengelolaan kepegawaian di Provinsi Riau mendapatkan skor 0 (indikasi buruk). Hal ini berkaitan dengan ketiadaan berbagai indikator dalam upaya pemerintah daerah bagi peningkatan kesejahteraan pegawai, misalnya untuk ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan selain ASKES. Begitu pula dengan ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tidak ada jawaban
219
yang diberikan. Untuk indikator ketersediaan dan pemanfaatan bantuan santunan uang duka bagi pegawai, ketersediaan dan pemanfaatan bantuan memperoleh bantuan perumahan, uang makan dan uang transport bagi pegawai juga tidak memberikan jawaban. Parameter
manajemen
kinerja
pegawai
di
Provinsi
Riau
mendapatkan skor 0. Skor ini didapat karena semua indikator seperti perencanaan kinerja, monitoring kinerja pegawai, penilaian kinerja pegawai, evaluasi kinerja pegawai dan tunjangan kinerja pegawai (TKD) dan reward dan punishment Provinsi Riau tidak memberikan jawaban. Demikian halnya dengan parameter disiplin dan etika pegawai, pemberhentian pegawai dan infrastruktur
yang mendapatkan skor 0. Sangat disayangkan bahwa
Pemerintah Provinsi Riau
tidak memberikan jawaban untuk tiap-tiap
indikatornya.
2. Kabupaten Indragiri Hilir Menurut hasil evaluasi terhadap sembilan aspek/ parameter kinerja manajemen PNS, Kabupaten Indragiri Hilir mendapatkan skor 60 atau diindikasikan dalam kategori ”kurang baik”. Adapun untuk skor dari sembilan parameter pengukuran kinerja manajemen PNS yang dinilai, dapat ditunjukkan dalam tabel 5.15 berikut. Tabel. 5.15 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Indragiri Hilir No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aspek/Parameter Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai
Skor 80 41 33 69 58 58 87,5
220
No.
Aspek/Parameter
Skor
8. 9.
Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010 Parameter
perencanaan
pegawai
42 58 60
Kabupaten
Indragiri
Hilir
mengindikasikan kinerja yang sangat baik, dengan skor mencapai 80. Terkait dengan indikator ketersediaan perencanaan induk (master plan) bidang kepegawaian Kabupaten ini sudah memiliki perencanaan induk (master plan) dalam bentuk renstra dan sudah dijadikan acuan dalam pengelolaan pegawai. Di samping itu Kabupaten ini juga sudah memiliki dokumen perencanaan kepegawaian tahunan dalam bentuk Rencana Kerja Tahunan (RKT). Untuk penyusunan kebutuhan pegawai BKD Kabupaten Indragiri Hilir
sudah
memiliki analisis beban kerja (ABK) dan sudah dimanfaatkan dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Terkait dengan daftar kekuatan pegawai atau bezetting di Kabupaten Indragiri Hilir sudah tersedia dan sudah dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Sementara itu mengenai kesesuaian pengadaan pegawai dengan dokumen rincian formasi awal yang telah ditetapkan menurut pengelola kepegawaiannya ada sebagian kecil tidak sesuai. Parameter pengadaan pegawai diindikasikan dalam kategori kurang, karena hanya mendapatkan skor 41. Hal-hal yang berkaitan dengan pencapaian kinerja ini adalah penyebarluasan informasi pengadaan pegawai yang sudah dilakukan melalui papan pengumuman instansi, media massa. Lama
penayangan
pengumuman
sudah
sesuai
dengan
peraturan
perundangan yaitu antara 1 s/d 2 minggu. Jumlah panitia pengadaan pegawai yang juga sudah sesuai dengan peraturan perundangan yaitu 75 orang (ganjil). Tes yang digunakan adalah tes potensi akademik (TPA) dan tes psikologi. Dalam penyelenggaraan tes sudah ada kerjasama dengan LMFE-UI.
221
Selanjutnya penyimpangan dalam pengadaan pegawai tidak ditemui, begitu pula tidak terjadi adanya pengaduan masyarakat dari pelaksanaan pengadaan pegawai. Untuk ketepatan waktu penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN dinilai tepat waktu sedangkan untuk pengangkatan CPNS ternyata tidak tepat waktu karena proses penetapan NIP tidak tepat waktu disampaikan oleh Kanreg XII Pekanbaru pada proses penetapan SK sampai dengan
penyerahan
mengalami
keterlambatan.
Sementara
untuk
pengangkatan dari CPNS menjadi PNS dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundangan karena lebih dari 2 tahun, misalnya untuk tenaga honorer, penempatannya pada 2 tahun dari TMT CPNS. Selanjutnya terkait dengan penempatan pegawai , hal ini dinilai sudah sesuai dengan rincian formasi awal. Untuk parameter rotasi jabatan dan promosi Kabupaten Indragiri Hilir memperoleh skor 33 atau
diindikasikan ”buruk”. Hal ini berkaitan
dengan belum tersedianya dokumen pola karier yang baik, sehingga untuk proses kenaikan jabatan atau promosi belum didasarkan pada pola karier. Untuk promosi eselon II ada konsultasi ke BKD provinsi melalui baperjakat. Begitupun halnya dengan rotasi jabatan, yang dilakukan melalui sidang baperjakat. Parameter pengembangan pegawai menunjukkan indikasi capaian kinerja yang ”baik” dengan skor 69. Hal ini ditunjukkan dengan sudah adanya dokumen analisis kebutuhan diklat (TNA) dan sudah dimanfaatkan dalam pengembangan pegawai, misalnya sebagai dasar dalam pembuatan draft anggaran kegiatan diklat yang diajukan/diusulkan ke pimpinan dan sebagai salah satu instrumen rujukan dalam memilih dan menentukan jenis/ nama diklat yang ditawarkan. Berikutnya mengenai seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan selalu dilakukan dalam rangka menjaring peserta yang memenuhi syarat dan lebih menjamin
222
sistem pembinaan kepegawaian yang berdasar pada prinsip profesionalisme, keterbukaan, tidak diskriminatif dan berbasis kompetensi, serta untuk memberdayakan tim sesuai dengan keputusan Kepala Daerah. Dari semua calon peserta Diklatpim yang telah lulus seleksi sebagian besar diikutsertakan dalam Diklatpim karena keterbatasan anggaran. Mengenai diklat teknis dan fungsional di Kabupaten ini sudah ada dan sesuai dengan kebutuhan organisasi (sesuai TNA). Sayangnya untuk evaluasi pasca diklat tidak pernah dilakukan. Terkait dengan pemanfaatan alumni diklatpim ada sekitar 17 dari 50 alumni diklatpim Tk.II yang belum menduduki jabatan eselon II, untuk diklatpim Tk. III, ada 70 dari 218 jumlah alumni diklatpim III yang belum menduduki jabatan eselon III, dan untuk diklatpim Tk.IV, ada 35 dari 521 alumni diklatpim Tk. IV yang belum menduduki jabatan eselon IV, kemudian masih ada sekitar 336 dari 1000 pejabat struktural belum mengikuti diklatpim yang dipersyaratkan. Mengenai kerjasama dalam pengembangan pegawai dengan perguruan tinggi, di Kabupaten ini ada kerjasama dengan perguruan tinggi sejumlah lebih dari 5 kerjasama. Sedangkan untuk pembinaan mental pegawai hanya dilakukan pada saat hari-hari besar keagamaan. Parameter kesejahteraan pegawai memperoleh skor 58 yang mengindikasikan tergolong ”kurang baik”. Hal-hal yang mempengaruhi capaian kinerja parameter ini yang pertama yaitu adanya fasilitas kesehatan selain ASKES dan sudah dimanfaatkan secara optimal. Untuk indikator tunjangan cacat tetap/tidak tetap ternyata di Kabupaten ini belum diberikan santunan tunjangan cacat tetap/tidak tetap. Berikutnya di Kabupaten ini sudah tersedia santuan uang duka yang diberikan melalui bagian keuangan Setda dan KORPRI. Sedangkan mengenai bantuan memperoleh perumahan, di Kabupaten ini sudah tersedia namun belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk bantuan uang makan di Kabupaten ini belum tersedia sedangkan untuk bantuan uang transport sudah tersedia dan sudah sesuai dengan kebutuhan
223
yaitu : Gol.I= Rp. 600.000,-; Gol.II= Rp. 675.00,-; Gol. III= Rp. 850.000,-; Gol. IV= Rp. 950.000,-. Untuk parameter manajemen kinerja pegawai Kabupaten Indragiri Hilir mendapat skor 58 yang mengindikasikan tergolong ”kurang baik”. Hal yang berkaitan dengan penilaian ini antara lain adalah di Kabupaten ini belum ada suatu bentuk kontrak kinerja pegawai. Untuk monitoring kinerja pegawai, Kabupaten ini sudah punya suatu instrumen dan sudah dilaksanakan dengan baik. Untuk penilaian kinerja pegawai hanya dilakukan berdasarkan DP3. Sayangnya
evaluasi kinerja pegawai belum ada, namun di Kabupaten ini
sudah ada pemberian tunjangan kinerja daerah (TKD) dan pemberian reward dan punishment kepada pegawai. Untuk parameter disiplin dan etika pegawai Kabupaten Indragiri Hilir diindikasikan tergolong ”sangat baik” dengan mencapai skor 87,5. Di Kabupaten ini sudah terdapat dukungan kebijakan yang mengatur tentang disiplin pegawai dalam bentuk SK Bupati, namun belum ada peran tim investigasi disiplin pegawai. Upaya internalisasi pemahaman mengenai pelaksanaan disiplin pegawai sudah ada dalam bentuk sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Bidang Kepegawaian. Mengenai pelanggaran disiplin pegawai, di Kabupaten ini ditemukan 1 pelanggaran berat dan 8 pelanggaran ringan yang selanjutnya ditindaklanjuti sesuai peraturan perundangan. Untuk kebijakan daerah yang menyangkut etika pegawai juga sudah tersedia dan dilaksanakan oleh masing-masing satker. Parameter pemberhentian pegawai mengindikasikan capaian kinerja ”kurang baik” dengan skor 42. Untuk indikator pertama diketahui bahwa di Kabupaten ini tidak ada pembinaan memasuki masa purnabhakti karena kemampuan keuangan yang terbatas. Selanjutnya ditemukan ada beberapa pegawai yang pensiun sebelum mencapai BUP/ meninggal dunia, yaitu ada 2 orang karena tidak cakap jasmani/rohani dan 1 orang meninggalkan tugas.
224
Untuk ketepatan waktu proses pemberian SK pensiun Golongan IV.b ke bawah dinilai tepat, sedangkan untuk pensiun Gol. IV.c ke atas membutuhkan waktu antara 6-10 bulan dimana setelah sampai di BKN Pusat melalui proses verifikasi dan baru diteruskan ke sekretariat kabinet. Untuk pemberian perpanjangan batas usia pensiun bagi pegawai diberikan sesuai dengan kepentingan organisasi. Parameter infrastruktur mengindikasikan bahwa capaian kinerja Kabupaten Indragiri Hilir tergolong kurang baik dengan skor 58. Hal-hal yang berkaitan dengan parameter ini adalah sudah tersedianya standar kompetensi jabatan tapi belum dimanfaatkan secara optimal. Begitu juga dengan database kompetensi jabatan, sudah ada tapi belum dimanfaatkan secara optimal. Sedangkan untuk SOP, Kabupaten ini sudah memilikinya dan sudah dimanfaatkan secara optimal. Di Kabupaten ini juga sudah ada sistem informasi kepegawaian yang terdiri dari modul perencanaan data, modul kenaikan pangkat, dan modul pensiun namun belum dimanfaatkan secara optimal. Begitupula dengan kondisi sarana dan prasarana, tata ruang, peralatan kerja, teknologi informasi, dan penyimpanan arsip/dokumen kepegawaian yang dirasakan sudah memadai.
3. Kabupaten Bengkalis Hasil evaluasi terhadap kinerja manajemen PNS Daerah di ketahui bahwa Kabupaten Bengkalis mendapatkan skor total 52 dimana hal ini mengindikasikan berada pada kategori “kurang baik”. Skor tersebut didapat dari penghitungan terhadap 9 paramater. Adapun skor masing-masing parameter dapat dilihat dalam tabel 5.16 berikut.
225
Tabel. 5.16 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Bengkalis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Parameter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 52 57 33 33 42 83 75 46 55 52
Parameter perencanaan pegawai diindikasikan dalam kategori ”kurang baik” dengan skor yang diperoleh sebesar 52. Hal yang mendukung capaian kinerja tersebut diantaranya sudah tersedianya Renstra yang dijadikan acuan dalam pengelolaan pegawai, selain itu juga juga terdapat rencana kerja tahunan (RKT) yang dijadikan acuan dalam perencanaan pegawai. Disamping itu hal yang mendukung lainnya adalah sudah tersedianya dokumen bezetting atau daftar kekuatan pegawai, dimana bezetting ini sudah dimanfatkan dalam pengelolaan kepegawaian daerah di Kabupaten Bengkalis. Dan hal-hal yang kurang mendukung capaian kinerja parameter ini diantaranya belum tersedianya dokumen analisis beban kerja yang dapat dijadikan dasar dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Parameter pengadaan pegawai menunjukkan skor 57 atau diindikasikan dalam kategori kurang baik. Hal-hal baik yang mendukung capaian kinerja parameter ini diantaranya adalah penyebarluasan informasi pengadaan sudah dilakukan melalui papan pengumuman instansi dan media massa, dimana lama penayangan pengumuman tersebut sudah sesuai dengan perundangan yaitu antara 1-2 minggu. Untuk seleksi dalam
226
pengadaan pegawai sudah dilakukan dengan tes potensi akademik, dimana dalam penyelenggaraan seleksi ini sudah bekerjasama dengan universitas Indonesia.
Dalam pengadaan pegawai tidak ditemui adanya pengaduan
masyarakat terkait penyimpangan dalam pengadaan pegawai. Terkait dengan ketepatan waktu pengangkatan CPNS, khususnya dalam penyampaian berkas usulan penetapan NIP ke Kanreg serta pengangkatan CPNS menjadi PNS sudah dilakukan dengan tepat waktu. Untuk parameter rotasi jabatan dan promosi diperoleh skor 33 atau diindikasikan dalam kategori ”buruk”. Untuk Kabupaten Bengkalis belum tersedia dokumen pola karier yang dapat dijadikan acuan dalam mutasi jabatan maupun promosi. Terkait dengan proses kenaikan jabatan dan rotasi jabatan dilakukan berdasarkan pada pertimbangan lain, seperti kualifikasi dan tingkat pendidikan, prestasi dan pengalaman kerja, kompetensi jabatan, penilaian kinerja dan lain-lain. Parameter pengembangan pegawai mendapatkan skor 33 atau diindikasikan ”buruk”. Hal menonjol dari parameter ini adalah bahwa Kabupaten Bengkalis selalu melakukan seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan, dan sudah sebagian besar calon peserta diklatpim diikutsertakan dalam diklatpim. Sedangkan hal yang kurang mendukung capaian kinerja parameter ini adalah tidak pernah dilakukan evaluasi pasca diklat. Untuk parameter kesejahteraan pegawai diperoleh skor 42 atau diindikasikan ”kurang baik”. Hal-hal yang mendukung capaian kinerja parameter ini adalah sudah dimanfaatkannya fasilitas kesehatan selain ASKES, tersedianya santunan uang duka bagi pegawai. Sedangkan untuk ketersediaan dan pemanfaatan bantuan perumahan sudah ada tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu hal-hal yang kurang mendukung capaian kinerja diantaranya belum ada santunan tunjangan cacat tetap/cacat
227
tidak tetap, belum tersedianya uang makan bagi pegawai, tidak tersedia sarana transportasi maupun uang transportasi bagi pegawai. Parameter manajemen kinerja pegawai menunjukkan capaian kinerja yang sangat bagus, yaitu pada skor 83. Hampir semua indikator mendukung capaian kinerja parameter ini, seperti sudah tersedianya instrumen monitoring kinerja pegawai, evaluasi kinerja pegawai juga sudah dilaksanakan dengan baik, disamping itu juga sudah diberikan tunjangan kinerja daerah. Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari monitoring juga sudah diberlakukan adanya reward and punishmet dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Sedangkan hal-hal yang kurang mendukung capaian kinerja parameter ini adalah tidak adanya kontrak kinerja pegawai. Parameter disiplin dan etika pegawai menunjukkan kategori baik dengan skor 75. Hal-hal yang mendukung capaian kinerja parameter ini adalah sudah adanya kebijakan daerah yang mengatur disiplin pegawai, sudah dibentuknya tim investigasi disiplin pegawai dalam rangka pelaksanan disiplin pegawai. Disamping itu juga sudah dilakukan tindaklanjut terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai. Adapun hal yang kurang mendukung capaian kinerja parameter ini adalah belum adanya kebijakan daerah tentang etika pegawai. Parameter pemberhentian pegawai mengindikasikan capaian kinerja kurang baik yaitu dengan skor 46. Adapun hal-hal yang memberikan kontribusi positif terhadap capaian kinerja parameter ini diantaranya waktu pemberian SK pensiun untuk pegawai golongan IV.b ke bawah, yaitu berkisar antara 0-3 bulan, sementara pemberian SK pensiun untuk pegawai golongan IV.c keatas waktunya lebih dari 6 bulan. Hal lain yang mendukung kinerja ini adalah perpanjangan batas usia pensiun diberikan sesuai dengan kepentingan organisasi. Sementara itu tidak ada pemberian pembinaan memasuki usia pensiun.
228
Parameter infrastruktur diindikasikan memperlihatkan kinerja yang kurang baik dengan skor sebesar 55. Hal-hal yang mendukung pencapaian kinerja ini adalah adanya sistem informasi kepegawaian dan sudah dimanfaatkan dengan baik, untuk kelembagaan pengelola kepegawaian saat ini adalah BKD, terkait dengan sarana dan prasarana unit pengelola kepegawaian secara umum sudah memadi. Sedangkan hal-hal yang kurang mendukung pencapaian kinerja diantaranya belum ada standar kompetensi pegawai, standar operasional prosedur walaupun sudah ada tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Sementara untuk standar kompetensi jabatan juga belum ada.
4. Kabupaten Indragiri Hulu Hasil evaluasi terhadap kinerja manajemen PNS Daerah di ketahui bahwa Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor total
43 yang
mengindikasikan “kurang baik”. Adapun skor untuk masing-masing paramater membangun skor toral tersebut terangkum dalam tabel 5.17 berikut. Tabel. 5.17 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Indragiri Hulu No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek/Paramter
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Skor 50 85 0 60 25 33 25 38 41 43
229
Untuk perencanaan pegawai Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 50 yang artinya diindikasikan ”kurang baik”. Pertama untuk ketersediaan dokumen perencanaan mendapatkan skor 0, Kabupaten Indragiri Hulu belum memiliki
master
plan
kepegawaian
yang
mencakup
pengadaan,
pengembangan, mutasi, promosi dan kesejahteraan. Hal ini disebabkan karena kondisi keuangan APBD Kabupaten Indragiri Hulu yang belum memadai. Begitu juga dengan dokumen perencanaan kepegawaian tahunan, Kabupaten Indragiri Hulu belum memiliki dokumen tersebut, karena setiap tahun BKD hanya meminta data kebutuhan pegawai dari setiap satker yang ada di lingkungan Pemkab Indragiri Hulu. Selanjutnya dalam hal ketersediaan analisis beban kerja, Kabupaten Indragiri Hulu juga belum memiliki ABK, karena belum adanya perangkat yang mendukung untuk analisis beban kerja, sehingga belum bisa dijadikan dasar dalam penyusunan kebutuhan pegawai. Dalam hal bezetting atau daftar kekuatan pegawai, Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 12,5. Hal ini berarti bezetting sudah tersedia, sementera itu berkaitan dengan pemanfaatan
bezetting
dalam
pengelolaan
kepegawaian
daerah
mendapatkan skor 12.5, ini berarti dokumen tersebut sudah dimanfaatkan dalam pengelolaan kepegawaian di daerah. Sementara untuk kesesuaian pengadaan pegawai dengan rincian formasi yang telah ditetapkan Kabupaten Indragiri Hulu dinilai telah sesuai. Untuk parameter pengadaan pegawai, hasil evaluasi terhadap Kabupaten Indragiri Hulu menunjukkan bahwa parameter pengadaan pegawai mendapatkan skor 85 (indikasi sangat baik). Pengadaan pegawai dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu penyebarluasan informasi pengadaan pegawai, penyimpangan dalam pengadaan pegawai, ketepatan waktu dalam pengangkatan CPNS dan ketepatan waktu pengangkatan CPNS menjadi PNS. Dalam hal bagaimana penyebarluasan informasi pengadaan
230
pegawai di Kabupaten Indragiri Hulu sudah memanfaatkan media seperti papan pengumuman instansi dan memuat dalam media massa. Hal ini tentunya membuka kesempatan kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat untuk mengajukan lamaran dan memberikan lebih banyak kemungkinan bagi instansi untuk memilih calon. Pengumuman pengadaan pegawai selambat-lambatnya selama 2 (dua) minggu sebelum tanggal penerimaan lamaran. Sementara itu, penayangan pengumuman pengadaan pegawai di Kabupaten Indragiri Hulu berlangsung sekitar 1-2 minggu. Namun demikian masih ada indikator yang perlu diperhatikan dalam parameter ini yaitu kesesuaian dengan aturan panitia pengadaan pegawai. Di Kabupaten Indragiri Hulu dalam pengadaan pegawai tahun 2009 panitia tercatat berjumlah 70 orang (genap). Hal ini tentunya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangan yaitu PP No. 98 Tahun 2000 (yang uraiannya telah dijelaskan pada paparan daerah lainnya). Mengenai tes yang digunakan dalam seleksi pegawai, Kabupaten Indragiri Hulu melakukan beberapa tes, yaitu Tes Potensi Akademik (TPA), Tes Psikologi, dan Tes Bahasa Inggris. Dalam seleksi pegawai Kabupaten Indragiri Hulu
bekerjasama
dengan
Universitas
Indonesia.
Untuk
indikator
penyimpangan dalam pengadaan pegawai, terutama yang terkait dengan ada tidaknya persyaratan khusus selain persyaratan administratif dan kompetensi dalam pengadaan pegawai di Kabupaten Indragiri Hulu sudah sesuai dengan peraturan perundangan, yaitu tidak mensyaratkan persyaratan khusus selain yang ditentukan dalam perundang-undangan. Proses pengadaan pegawai biasanya tidak lepas dari banyaknya pengaduan dari warga masyarakat yang merasa dirugikan dari proses pengadaan tersebut. namun hal ini tidak ditemukan dalam pengadaan pegawai di Kabupaten Indragiri Hulu. Untuk indikator ketepatan waktu pengangkatan CPNS di Kabupaten Indragiri Hulu dinilai sudah dilaksanakan tepat waktu. Penyampaian berkas
231
usulan penetapan NIP ke Kanreg BKN dan pengangkatan CPNS sudah dilaksankaan tepat waktu.
Sementara untuk indikator ketepatan waktu
pengangkatan CPNS menjadi PNS yaitu antara 1-2 tahun. Hal ini sudah sejalan dengan ketentuan PP No. 98 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam Pasal 14 Ayat (1) bahwa calon pegawai negeri sipil yang telah menjalankan masa percobaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun, diangkat menjadi PNS oleh pejabat pembina kepegawaian dalam jabatan dan pangkat tertentu. Terkait dengan kesesuaian penempatan pegawai dengan formasi awal di Kabupaten Indragiri Hulu, hal ini dinilai sudah sesuai. Hal tersebut berarti bahwa dari proses perencanaan pengadaan pegawai tidak ada calon yang ditempatkan tidak sesuai dengan lamaran yang diajukan. Untuk paramater rotasi jabatan dan promosi dalam manajemen PNS di Kabupaten Indragiri Hulu tidak mendapatkan nilai/skor. Seperti ketersediaan dokumen pola karier, proses kenaikan jabatan/promosi dan rotasi jabatan, sangat disayangkan bahwa Kabupaten Indragiri Hulu tidak memberikan jawaban. Untuk parameter pengembangan pegawai Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 60 (indikasi kurang baik). Dari indikator pertama kita ketahui bahwa disini sudah tersedia dokumen training need analysis (TNA) dan selalu dimanfaatkan. Untuk indikator seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan mendapatkan skor 7,2, hal ini berarti seleksi atau uji kompetensi bagi calon peserta diklatpim yang belum menduduki jabatan selalu dilakukan. Selanjutnya semua peserta diklatpim yang sudah lulus seleksi diikutsertakan dalam diklatpim.Untuk evaluasi pasca diklat dalam pengembangan pegawai di Kabupaten Indragiri Hulu selalu dilakukan. Terkait dengan pemanfaatan alumni diklatpim ada sekitar 8 dari 27 alumni diklatpim Tk.II yang belum menduduki jabatan eselon
232
II, untuk diklatpim Tk. III, ada 73 dari 163 jumlah alumni diklatpim III yang belum menduduki jabatan eselon III, dan untuk diklatpim Tk.IV, ada 87 dari 285 alumni diklatpim Tk. IV yang belum menduduki jabatan eselon IV, kemudian masih ada sekitar 177 dari 820 pejabat struktural belum mengikuti diklatpim yang dipersyaratkan. Terakhir untuk indikator pengembangan pegawai melalui pendidikan formal Kabupaten Indragiri Hulu tidak mendapat skor, karena tidak ada jawaban. Parameter kesejahteraan pegawai dalam pengelolaan kepegawaian di Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 25 (indikasi buruk). Hal ini disebabkan oleh banyak indikator yang mendapatkan skor kosong (0), antara lain untuk ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan selain ASKES, dimana di Kabupaten Indragiri Hulu belum tersedia fasilitas kesehatan selain ASKES. Begitu pula halnya dengan ketersediaan dan pelaksanaan pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap belum tersedia. Untuk indikator ketersediaan dan pemanfaatan bantuan santunan uang duka bagi pegawai sudah ada dan sudah dilaksanakan dengan baik, dimana anggaran untuk kegiatan ini diambil dari anggaran gaji APBD sebesar 3 bulan gaji. Sementara itu untuk indikator ketersediaan dan pemanfaatan bantuan perumahan sudah tersedia tapi belum dimanfaatkan secara optimal. Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pegawainya,
diantaranya adalah dengan
pemberian uang makan untuk pegawai, dimana uang makan ini diberikan untuk satu kali makan dan penyediaan bantuan transportasi baik dalam bentuk uang transport maupun dalam bentuk kendaraan antar jemput bagi pegawai. Dalam kaitan dengan pemberian uang makan kepada pegawai, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu belum menyediakan bantuan uang makan dan transportasi/ bantuan uang transport untuk pegawai .
233
Parameter manajemen kinerja pegawai di Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 33 (indikasi buruk). Hal ini berkaitan dengan belum terselenggaranya proses manajemen kinerja pegawai sebagaimana mestinay. Salah satu indikator untuk mengukur parameter manajemen kinerja pegawai adalah dalam hal perencanaan kinerja, dimana disini belum ada kontrak kinerja pegawai. Begitu juga dengan indikator monitoring kinerja pegawai dimana disini belum terdapat instrumen monitoring tersebut. Selanjutnya untuk indikator penilaian kinerja pegawai, penilaian kinerja hanya menggunakan instrumen yang sudah umum dipakai dalam penilaian kinerja PNS yakni DP3. Untuk evaluasi kinerja pegawai mendapatkan nilai 0 karena belum
dilaksanakan
evaluasi
kinerja
pegawai,
menurut
pengelola
kepegawaian Kabupaten ini tidak jelas standarisasi pengukurannya dan pola karier kinerja. Mengenai tunjangan kinerja daerah (TKD) , hal ini sudah diterapkan di Indragiri Hulu. Begitu juga dengan reward and punishment dimana di Kabupaten Indragiri Hulu sudah diterapkan dalam pengelolaan kepegawaian daerahnya. Untuk aspek disiplin dan etika pegawai, Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 25 (indikasi buruk). Diketahui bahwa sudah ada dukungan kebijakan daerah yang mengatur tentang disiplin pegawai. Namun demikian tidak ada peran tim investigasi disiplin pegawai dan tidak ada upaya internalisasi pemahaman pegawai terhadap disiplin pegawai. Upaya yang dilakukan hanya mengirimkan PP No. 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai pada setiap SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu. Sementara itu di Kabupaten ini ditemukan ada 2 pelanggaran disiplin pegawai yang dikategorikan sebagai pelanggaran sedang, dan tidak adanya tindaklanjut terhadap pelanggaran disiplin pegawai tersebut. Selanjutnya belum ada kebijakan daerah tentang etika pegawai di Kabupaten ini, namun
234
menurut keterangan pengelola kepegawaiannya draftnya sedang di proses dan dalam pengkoordinasian. Untuk parameter pemberhentian pegawai dari hasil evaluasi Kabupaten Indragiri Hulu mendapatkan skor 38 (indikasi buruk). Indikator untuk parameter ini yang pertama yaitu pembinaan memasuki usia pensiun, dimana dalam memasuki usia pensiun di Kabupaten ini belum ada pembinaan memasuki masa purnabhakti karena mengingat kemampuan keuangan daerah yang terbatas dan rasionalisasi keuangan. Tercatat ada 3 orang pegawai yang pensiun sebelum mencapai BUP/ meninggal dunia (tahun 2009) berdasarkan permintaannya sendiri. Sementara terkait dengan waktu pemberian SK pensiun dinilai telah sesuai. Adapun mengenai perpanjangan batas usia pensiun, hal ini diberikan sesuai dengan kepentingan organisasi. Untuk
parameter
infrastruktur
mendapatkan
skor
41
atau
diindikasikan kurang baik. Beberapa indikator kurang mendukung pencapaian kinerja parameter ini seperti : adanya standar kompetensi jabatan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal, adanya database kompetensi jabatan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal juga karena belum terwujudnya persepsi
dan
komitmen
yang
sama
dari
berbagai
pihak
untuk
menerapkannya. Selanjutnya tidak adanya SOP karena BKD Kabupaten Indragiri Hulu ini baru terbentuk 2 tahun yang lalu. Untuk sistem informasi juga sudah tersedia tetapi belum termanfaatkan secara optimal karena terdapat sistem-sistem aplikasi yang kurang memadai sehingga belum mampu menampung database kepegawaian lebih banyak. terkait dengan kondisi gedung, tata ruang kantor, peralatan kerja, teknologi informasi kantor unit pengelola kepegawaian daerah sudah memadai. Sedangkan untuk kondisi fasilitas penyimpanan arsip dokumen kepegawaian tidak memadai.
235
5. Kabupaten Meranti Hasil evaluasi terhadap kinerja manajemen PNS Daerah di ketahui bahwa Kabupaten Meranti mendapatkan skor 30 yang berarti diindikasikan “buruk”, dengan catatan bahwa Kabupaten Meranti adalah kabupaten pemekaran yang relatif berbeda dengan kabupaten lainnnya. Seperti daerah lainnya skor tersebut didapat dari penghitungan terhadap 9 paramater sebagaimana dalam instrumen pengukuran sebagai berikut : Tabel. 5.18 Hasil Penilaian MPNSD Kabupaten Meranti No.
Aspek/Paramter
Skor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perencanaan Pegawai Pengadaan Pegawai Rotasi Jabatan dan Promosi Pengembangan Pegawai Kesejahteraan Pegawai Manajemen Kinerja Pegawai Disiplin dan Etika Pegawai Pemberhentian Pegawai Infrastruktur Skor Total Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
44 85 0 16 17 17 48.75 8 0 30
Skor Kabupaten Meranti untuk aspek perencanaan pegawai, adalah 44. Dengan skor seperti ini, maka dapat diindikasikan ”kurang baik”. Mengacu pada jawaban dari indikator yang diajukan ternyata diketahui bahwa belum ada master plan kepegawaian, dokumen perencanaan kepegawaian tahunan, maupun Analisis Beban Kerja. Rendahnya nilai atau skor yang didapatkan lebih dikarenakan oleh alasan bahwa Kabupaten Meranti adalah Kabupaten Pemekaran
(yang
baru
dalam
tahap
pembenahan)
pembangunan
sebagaimana sering ditemui di daerah pekeran lain. Namun demikian, relatif berbeda dengan capaian pada aspek pengadaan pegawai. Untuk aspek yang kedua ini Kabupaten Meranti
236
menembus angka 85 atau diindikasikan dalam kategori ”sangat baik”. Merujuk pada jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan untuk setiap indikator dijawab sesuai aturan/kebijakan yang ada khususnya dalam proses pengadaan pegawai. Sebagai contoh Penyebarluasan informasi dilakukan melalui papan pengumuman dan media massa. Lama masa pengumuman berada pada kisaran waktu yang diatur yakni antara 1 s.d 2 minggu. Juga dalam
materi
tes
dilengkapi
dengan
Tes
Potensi
Akademik
dan
pelaksanaannya dikerjasamakan dengan pihak ketiga yaitu Perguruag Tinggi. Hanya satu jawaban yang mengidikasikan tidak adanya nilai karena jumlah panitia berjumlah ”genap” (40 orang). Sekalipun jumlah 40 belum secara otomatis bahwa keseluruhannya terlibat dalam peroses pengambilan keputusan untuk hal-hal yang krusial misalnya penentuan hasil kelulusan. Sementara pada aspek rotasi jabatan dan promosi menunjukkan skor ”0”. Ini tidak lain sebagai kuensekuesi daerah pemekaran. Dimana urusan mutasi, promosi, demosi memang belum memungkinkan untuk banyak dilakukan. Aspek atau parameter pengembangan pegawai, dari skor 16 angka tertinggi diperoleh dari point seleksi/uji kompetensi bagi calon peserta Diklatpim yang belum menduduki jabatan yakni, 7.200, disusul dengan point pada diikutsertakannya sebagian besar atau diatas 50% dari mereka untuk mengikuti Diklatpim yakni, 4.802, dan terakhir pada poin pembinaan mental dengan angka 3.575. Selebihnya semua pertanyaan dari beberapa indikator ”kosong” atau tidak dijawab. Satu-satunya argumen yang menjelaskan mengapa pada pertanyaan tidak terjawab yaitu karena alasan belum adanya anggaran untuk program teknis dan fungsional. Dari data yang tersajikan dapat disimpulkan bahwa perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Meranti dalam hal pengembangan pegawai masih relatif rendah. Faktor-faktor rendahnya perhatian terhadap aspek ini tentu perlu digali lebih lanjut.
237
Pada parameter kesejahteraan pegawai, diperoleh skor 17 . Skor ini hanya diperoleh dari aspek adanya santunan uang duku bagi pegawai. Tidak adanya jawaban untuk pertanyaan lain menunjukkan belum adanya atau masih rendahnya perhatian pada aspek ini. Untuk manajemen kinerja pegawai sama dengan parameter sebelumnya, diperoleh skor 17. Hal ini berkaitan dengan belum terselenggaranya sebagian besar proses manajemen kinerja pegawai. Proses yang dilaksanakan dalam hal ini adalah penilaian kinerja yang hanya dilakukan berdasarkan DP-3 dan pemberian punishment (berupa Surat peringatan dan Penangguhan pembayaran tunjangan pegawai). Adapun untuk parameter disiplin dan etika pegawai diperoleh skor 48.75
dengan nilai yang relatif berimbang dari masing-masing pertanyaan.
Data ini mengindikasikan bahwa pada aspek ini Kabupaten Meranti relatif memiliki perhatian dalam upaya menjaga-mengembangkan disiplin dan etika pegawai, sekalipun mereka mengakui bahwa sebagian dalam proses pelaksanaan masih menjumpai kendala/permasalahan. Untuk pemberhentian pegawai diperoleh skor 8.
Terakhir
infrastruktur diperoleh skor ”0”. Secara keseluruhan di dapat kesimpulan bahwa Kabupaten Meranti masuk dalam indikasi kategori ”buruk” dalam aspek pengelolaan manajemen kinerja PNS daerah dengan catatan bahwa daerah ini adalah daerah pemekaran yang baru dalam tahap pembenahan pada semua aspek pembangunan daerah. Berdasarkan uraian sebelumnya maka peringkat capaian kinerja manajemen PNS berbagai daerah di Provinsi Riau yang ikut serta dalam pengukuran dan evaluasi manajemen PNSD dapat dirangkum sebagaimana disajikan dalam tabel 5.19 berikut.
238
Tabel. 5.19 Peringkat Kinerja MPNSD Provinsi Riau Pemerintah Daerah
Skor Total
Kabupaten Inhil 60 Kabupaten Bengkalis 52 Kabupaten Inhu 43 Kabupaten Meranti 30 Provinsi Riau 27 Sumber : Data Kajian MPNSD, diolah, PKKOD 2010
Peringkat 1 2 3 4 5
Catatan: sejumlah daerah tidak mengembalikan instrumen evaluasi yakni Kabupaten Siak, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai dan Kota Pekanbaru dengan demikian tidak ikut serta dalam pengukuran dan evaluasi manajemen PNSD. Dari tabel di atas jelas bahwa capaian kinerja kelima pemda di wilayah Provinsi Riau masih berada dalam taraf memprihatinkan. Skor tertinggi diperoleh Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir dengan skor 60 (indikasi kurang baik) bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Bengkalis (52) dan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu (43). Adapun Pemerintah Kabupaten Meranti sebagai daerah otonom baru/DOB diindikasikan termasuk kategori buruk dengan skor 30. Sebagai sebuah DOB capaian tersebut memerlukan perhat an yang serius karena adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.
239
BAB 6 PENUTUP
Potret kinerja pengelolaan kepegawaian daerah telah mejadi perhatian dan sorotan berbagai kalangan, terutama sejak pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, yang telah diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada saat bersamaan, urusan kepegawaian juga termaktub dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Kinerja manajemen PNS Daerah digambarkan dalam sebuah kondisi ”sangat memprihatinkan”. Buruknya kinerja manajemen PNS Daerah selama ini lebih banyak disandarkan pada asumsi dan prasangka, belum didasarkan pada alat ukur dan cara mengukur secara komprehensif berdasarkan kaidah ilmiah. Sebagai contoh, ketika muncul pemberitaan di media massa mengenai praktik suap dalam penerimaan CPNS, publik menuduhnya sebagai ketidakprofesionalan pengelolaan PNS daerah. Begitu pun ketika terjadi mutasi jabatan secara besar-besaran pasca terpilihnya kepala daerah baru, maka publik mengatakan bahwa manajemen PNS daerah tersebut ’buruk’ sehingga layak untuk dikritisi. Fenomena suap dalam penerimaan CPNS dan mutasi besar-besaran pasca terpilihnya kepala daerah yang baru sebagaimana tersebut di atas sebenarnya menunjukkan lemahnya tahapan manajemen PNS itu sendiri. Dalam konteks kajian ini, tahapan tersebut disebut sebagai aspek/parameter yang mempengaruhi tercapainya kinerja manajemen PNS daerah yang optimal. Dengan perkataan lain, apabila parameter-parameter yang terdapat dalam manajemen PNS berjalan dan
240
dikelola dengan baik maka dapat dipastikan akan terwujud kinerja manajemen PNS daerah secara optimal. Pertanyaannya adalah parameter apa saja yang dapat mempengaruhi tercapainya kinerja manajemen PNS Daerah tersebut? Kemudian, apa saja muatan (indikator) yang ada di dalam setiap aspek/parameter? Terakhir, bagaimana cara mengukur kinerja manajemen PNS Daerah tersebut agar tidak terjebak pada asumsi dan prasangka (common sense)? Hal-hal inilah yang telah dikaji oleh tim kajian dan kesimpulan kajian tersebut akan dipaparkan pada bagian ini. Selain itu, pada bagian akhir juga akan disampaikan rekomendasi terkait dengan optimalisasi manajemen kinerja PNS di Daerah ke depan. A. KESIMPULAN 1. Permasalahan umum yang dihadapi dalam manajemen kinerja PNS di daerah adalah belum tersedianya instrumen yang mampu mengukur kinerja manajemen PNS di daerah berdasarkan data dan informasi yang sebenarnya (riil) terjadi di daerah. Selama ini, predikat ’sangat baik, baik, kurang baik atau buruk’ mengenai manajemen PNS di daerah lebih merupakan common sense daripada didasarkan pada metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Problem pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah semakin besar ketika hasil pengukuran yang didasarkan pada asumsi dan prasangka tersebut kemudian dipublikasikan (di-blow up) oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik. 2. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah adalah memasukannya dalam substansi
PP
Nomor
6
Tahun
Penyelenggaraan Pemerintahan
2008
Daerah,
tentang
Pedoman
dimana pengukuran
Evaluasi kinerja
kepegawaian dijadikan salah satu aspek (parameter) dan fokus (indikator) dalam
mengukur
kinerja
pelaksana
kebijakan
(aspek:
pengelolaan
kepegawaian diturunkan ke dalam 2 fokus yaitu tingkat kompetensi SDM
241
dalam menyelenggarakan tugas SKPD yang relevan dengan urusan terkait dan upaya peningkatan kapasitas SDM). Dengan demikian, pedoman (:instrumen pengukuran dan evaluasi) yang dikembangkan oleh tim LAN sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari instrumen PP No. 6 Tahun 2008 khususnya pada aspek pengelolaan kepegawaian. 3. Upaya lain yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah dalam bentuk pembinaan oleh instansi pembina kepegawaian yakni Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kemudian dari hasil pembinaan dilakukan umpan balik (feedback) kepada pemerintah daerah dalam bentuk compliment yaitu pemberian penghargaan dan pujian atas kinerja yang telah dicapai. Namun sekali lagi, pemberian komplimen tersebut belum didasarkan pada parameter manajemen PNS secara komprehensif. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam kaitan pengukuran dan evaluasi kinerja dapat dikatakan “nyaris tidak terdengar” karena pada dasarnya pemda lebih banyak menunggu peraturan yang diterbitkan oleh Pusat. Oleh karena itu, strategi yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah menyusun pedoman (:instrumen) pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah yang komprehensif. 4. Sejumlah permasalahan manajemen PNS di daerah terjadi sejak perencanaan hingga pemberhentian, sebagaimana uraian berikut: a. Perencanaan pegawai Sebagian besar Pemda belum memiliki dokumen
perencanan
kepegawaian yang didasarkan pada dokumen ABK Selama ini Pemda dalam menetapkan formasi didasari
usulan SKPD
Formasi tidak diikuti dengan pengadaan karena ada kepentingan tertentu.
242
b. Pengadaan pegawai Transparansi pengadaan pegawai bersifat formalitas (KKN, titipan pejabat) Tidak terpenuhinya formasi pegawai karena ketatnya
persyaratan
yang diajukan (atlet) Ketidaksesuaian penempatan dengan formasi yang telah ditetapkan. c. Rotasi jabatan dan promosi Sebagian besar pemerintah daerah tidak/belum memiliki dokumen pola karier Rotasi jabatan lebih didasarkan pada pertimbangan lain
(politis)
Promosi pegawai didasarkan pada pertimbangan Baperjakat Daerah, bukan pada pola karier pegawai. d. Pengembangan pegawai Sebagian besar pemerintah daerah belum memiliki dokumen TNA (Training Need Analysis) Tidak selalu dilakukan uji kompetensi bagi calon peserta
Diklatpim
Belum dilakukan evaluasi pasca diklat Pemanfaatan alumni diklat (khususnya alumni Diklatpim Tingkat III dan IV) belum optimal. e. Kesejahteraan pegawai Pemberian fasilitas kesehatan kepada pegawai (selain ASKES) masih sangat terbatas Pemberian bantuan memperoleh perumahan belum dengan baik (beberapa daerah mengisiniasi
dikoordinir
pemberian bantuan
melalui koperasi) Pemberian tunjangan cacat tetap/tidak tetap dan santunan
uang
duka sudah terlaksana
243
TKD – Tunjangan Kesejahteraan Daerah, didasarkan pada
absensi,
bukan penilaian kinerja pegawai. f.
Manajemen kinerja pegawai Sebagian besar pemda belum memiliki instrumen penilaian kinerja pegawai Penilaian kinerja hanya didasarkan pada DP3
g. Disiplin dan etika pegawai Hampir semua Pemda belum memiliki kebijakan tentang Disiplin dan Etika Pegawai di daerah (mengacu kepada PP yang ada) Provinsi Jateng sudah memiliki Perkada tentang Disiplin Pegawai Lemahnya tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai. h. Pemberhentian pegawai Belum semua daerah melakukan pembinaan pegawai yang memasuki masa purnabhakti (Provinsi Jateng, Provinsi Kepri dan Kota Batam telah melaksanakan Diklat Purnabhakti) Ketepatan waktu pensiun, kecuali untuk Gol. IV/c ke atas (menjadi kewenangan Pemerintah Pusat) Ketidakjelasan argumen perpanjangan BUP. i.
Insfrastruktur Sebagian besar Pemda belum menyusun/belum memiliki standar kompetensi jabatan, database kompetensi, dan SOP SIMPEG yang sudah tersedia terkendala karena perubahan NIP dari 9 menjadi 18 digit Sarpras sudah cukup memadai dalam menunjang manajemen PNS di daerah, kecuali untuk Daerah Otonom Baru (DOB), misal: Provinsi Kepulaua Riau dan Kabupaten Meranti (Riau) Keterbatasan anggaran pengembangan pegawai.
244
5. Upaya penyusunan pedoman pengukuran kienrja manajemen PNS di daerah dilakukan melalui beberapa tahap, yakni tahap awal, tahap kajian lapangan, dan tahap penyempurnaan. Pada tahap awal, tim peneliti menyusun draft pedoman (:instrumen) yang selanjutnya diajukan ke para narasumber di Pusat untuk mendapat masukan guna penyempurnaan lebih lanjut, di antaranya narasumber dari BKN, pakar dari perguruan tinggi, dan narasumber di lingkungan LAN sendiri. Draft pedoman yang telah mendapatkan masukan dari narasumber Pusat inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan penelitian lapangan (draft awal pedoman, sebagaimana terlampir). 6. Draft awal tersebut selanjutnya di bawa ke daerah kajian untuk mendapatkan kritik dan masukan dari perspektif pengelola kepegawaian di daerah (dalam hal ini BKD Provinsi, Kabupaten, dan Kota). Beberapa masukan dari narasumber daerah adalah sebagai berikut: (c) Umum: pada hakikatnya pemerintah daerah menyambut draft instrumen pengukuran dan evaluasi dengan cukup antusias, terbukti dengan banyaknya kritik dan masukan yang diberikan terhadap draft dimaksud. Disamping itu, narasumber daerah mengharapkan agar instrumen pengukuran dan evaluasi ini dapat meningkatkan kinerja manajemen PNS daerah. (d) Khusus, yaitu terkait dengan substansi kerangka hukum, pedoman, dan instrumen pengukuran & evaluasinya. Di antara masukan narasumber daerah terkait dengan instrumen antara lain: (4) Kerangka hukum, dengan mendasarkan pada hasil FGD dan wawancara mendalam, pedoman evaluasi sebaiknya dituangkan dalam peraturan yang mengikat semua pihak (bentuk produk hukumnya diserahkan kepada tim) termasuk pemerintah daerah. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pengukuran dan evaluasi akan melibatkan banyak pihak (aktor) di daerah sehingga memerlukan
245
adanya kepastian dan kekuatan hukum. Apabila telah ditetapkan dengan dasar hukum, pemda mau tidak mau akan mempersiapkan diri untuk dievaluasi oleh Pusat, sekaligus mempersiapkan diri untuk menjalankan amanat dalam mengelola urusan kepegawaian daerah secara profesional. (5) Pedoman, terkait dengan pelaksanaan penilaian, Pemerintah dituntut menyusun tahapan dan skenario yang jelas dan transparan dalam melakukan penilaian. Selain itu, harus dipastikan bahwa tujuan evaluasi bukan untuk memberikan hukuman kepada pemerintah daerah yang berkinerja rendah/buruk, tetapi seyogyanya penilaian tersebut dilakukan dalam rangka pembinaan dan peningkatan kapasitas (capacity building) pengelola PNS daerah. Di dalam pedoman, juga harus memuat semua hal terkait dengan pelaksanaan evaluasi kinerja manajemen PNS daerah, sehingga tidak menimbulkan persoalan di masa mendatang, termasuk dalam hal ini adalah menyangkut metodologi penilaian dan tindak lanjut penilaian itu sendiri. (6) Instrumen, terkait dengan isi instrumen ternyata cukup banyak masukan dari daerah baik menyangkut paramater maupun indikator pengukuran. Usulan NS di daerah
Parameter
Draft Awal
Tambahan/Perubahan
9 parameter: 10. perencanaan 11. pengadaan 12. mutasi , promosi dan demosi 13. pengembangan 14. kesejahteraan 15. manajemen kinerja 16. disiplin dan etika 17. pemberhentian
Tetap 9 parameter , namun ada usulan perubahan pada tiga parameter: a. Parameter mutasi, promosi dan demosi, diubah menjadi parameter rotasi jabatan dan promosi; b. Parameter penilaian kinerja menjadi parameter manajemen kinerja
246
Usulan NS di daerah Draft Awal
Tambahan/Perubahan
18. umum Indikator
c.
41 indikator Parameter ke-1: 4 ind Parameter ke-2: 5 ind Parameter ke-3: 3 idn Parameter ke-4: 7 ind Parameter ke-5: 4 ind Parameter ke-6: 5 ind Parameter ke-7: 6 ind Parameter ke-8: 3 ind Parameter ke-9: 4 ind
Parameter umum menjadi parameter infrastruktur. 48 indikator Parameter ke-1: 4 ind Parameter ke-2: 5 ind Parameter ke-3: 3 idn Parameter ke-4: 7 ind Parameter ke-5: 6 ind Parameter ke-6: 6 ind Parameter ke-7: 5ind Parameter ke-8: 4 ind Parameter ke-9: 8 ind
Perubahan parameter dari mutasi jabatan, promosi dan demosi menjadi rotasi jabatan dan promosi dengan pertimbangan bahwa jarang dilakukan kebijakan demosi pegawai. Sementara kasus yang banyak terjadi justru terkait dengan pemindahan pejabat struktural (rotasi jabatan) yang dapat terjadi setiap waktu sesuai kehendak kepala daerah. Sedangkan perubahan parameter umum menjadi parameter infrastruktur lebih didasarkan pada pertimbangan kelaziman dalam konteks manajemen. Adapun penilaian kinerja berubah menjadi manajemen kinerja karena penilaian kinerja merupakan bagian dari manajemen kinerja. Perubahan indikator terjadi pada penambahan jumlah dari yang semula 41 indikator menjadi 48 indikator. Penambahan/pengurangan terjadi pada parameter sebagai berikut: i.
Parameter ke-5 (kesejahteraan pegawai), dari 4 menjadi 6 indikator atau bertambah 2 indikator, yakni : ketersediaan uang makan
pegawai
(1
kali
makan)
dan
ketersediaan
transportasi/bantuan uang transportasi pegawai (sebelumnya
247
ada 4 indikator: fasilitas kesehatan, santunan kecelakaan kerja, santunan duka, dan bantuan perumahan). ii.
Parameter ke-6 (manajemen kinerja pegawai), dari 5 menjadi 6 indikator atau bertambah 1 indikator yaitu reward and punishment (5 indikator sebelumnya: perencanaan kinerja, monev kinerja, penilaian kinerja, evaluasi kinerja, dan tunjangan kinerja daerah).
iii.
Parameter ke-7 (disiplin dan etika pegawai), berkurang dari 6 ke 5 indikator, yang dikurangi adalah monitoring terhadap tindak lanjut pelanggaran disiplin pegawai.
iv.
Parameter ke-8 (pemberhentian), bertambah dari 3 ke 4 indikator yaitu jumlah pegawai pensiun karena belum mencapai BUP/meninggal dunia.
v.
Parameter ke-9 (infrastruktur), bertambah dari 4 menjadi 8 indikator yaitu indikator standar kompetensi jabatan, database kompetensi jabatan, kelembagaan pengelola PNS daerah, dan SDM pengelola PNS daerah.
7. Perubahan parameter dan indikator yang diusulkan oleh narasumber di daerah ternyata disepakati oleh narasumber dari BKN dan narasumber pusat yang lain. Namun demikian, beberapa masukan juga disampaikan terkait dengan ‘redaksional’ dan ‘relokasi’ beberapa indikator yang dianggap perlu dilakukan perubahan, seperti: i.
Indikator
Ketersediaan
Perencanaan
Pegawai
dalam
Dokumen
Perencanaan Daerah (RPJPD/RPJMD/Renstrada), diperbaiki menjadi Ketersediaan Perencanaan Induk (Masterplan) Kepegawaian. Disini sempat muncul pertanyaan, apakah dokumen lima tahunan termasuk kategori masterplan? Jika tidak apa yang dimaksudkan dengan masterplan itu?
248
ii.
Indikator Transparansi Rekrutmen diubah menjadi Penyebarluasan Informasi Pengadaan Pegawai. Hal ini karena transparansi dapat ditanyakan dengan penyebarluasan informasi pengadaan apakah hanya melalui salah satu, dua, atau bahkan seluruh media penyebarluasan informasi yang meliputi papan pengumuman, media massa, dan website.
iii.
Indikator Kesempatan Yang Sama dalam Rekrutmen (Non-diskriminasi) dihilangkan karena sudah termasuk dalam Indikator Penyimpangan dalam Pengadaan Pegawai.
iv.
Indikator Ketepatan Waktu Dalam Pengangkatan PNS dibagi menjadi dua indikator yaitu Ketepatan Waktu Dalam Pengangkatan CPNS dan Ketepatan Waktu Dalam Pengangkatan CPNS Menjadi PNS.
v.
Indikator Ketersediaan Standar Kompetensi Jabatan dan Database Kompetensi Jabatan dipindah dan menjadi indikator pada Parameter Infrastruktur
vi.
Indikator Demosi dihilangkan, karena sudah termasuk dalam indikator pemberian sanksi pelanggaran disiplin.
8. Terkait dengan pemberian bobot parameter, pada dasarnya ditentukan berdasarkan tingkat urgensi parameter tersebut bagi pencapaian kinerja manajemen PNS daerah. Besaran bobot parameter adalah sebagai berikut: Tabel. 6.1 Besaran Bobot Parameter Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS Daerah Parameter Perencanaan pegawai Pengadaan pegawai Rotasi jabatan dan promosi pegawai Pengembangan pegawai Kesejahteraan pegawai Manajemen kinerja pegawai Disiplin dan etika pegawai
% bobot 15% 15% 10% 15% 10% 10% 10%
249
Parameter Pemberhentian pegawai Infrastruktur
% bobot 5% 10%
Bobot parameter tidak mengalami perubahan sejak penyusunan draft oleh tim kajian. Selanjutnya, dalam hal pembagian bobot ke dalam indikator dihitung berdasarkan jumlah indikator pada setiap parameter. Pada kenyataannya tidak semua indikator dapat dibobot, karena sifatnya hanya memberikan informasi, seperti: indikator pengembangan pegawai melalui pendidikan formal (pembobotan untuk indikator dapat dilihat pada lampiran), sehingga indikator dan pertanyaan tersebut dihilangkan (dropped) dari draft instrumen. 9. Dari hasil ujicoba instrumen pengukuran dan evaluasi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Riau dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut: a. Di wilayah Provinsi Kalsel, dari 13 kabupaten/kota yang terdapat di provinsi tersebut sebanyak 11 daerah yang mengembalikan instrumen, artinya hanya dua kabupaten yang tidak mengembalikan instrumen (Kabupaten Tapin dan Kabupaten Tanah Bumbu), di tambah 1 instrumen yang diisi BKD Provinsi Kalsel. Capaian kinerja manajemen PNS di lingkungan Provinsi Kalsel: Pemko Banjarbaru menempati ranking tertinggi dengan skor 67 (baik), sedangkan ranking terrendah ditempati Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Barito Kuala dengan skor sama yaitu 37 (buruk). b. Di Provinsi Riau, dari 12 kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut hanya sebanyak 4 kabupaten/kota yang mengembalikan instrumen, artinya terdapat 8 daerah yang tidak mengembalikan (Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Pekanbaru, dan Kota Dumai), ditambah 1 instrumen yang diisi oleh BKD Provinsi Riau.
250
Adapun capaian kinerjanya adalah: skor tertinggi dicapai oleh Kabupaten Indragiri Hilir yang mencapai skor 60 (cukup baik) dan skor terendah dicapai oleh BKD Provinsi Riau dengan skor 27 (buruk).
B. REKOMENDASI Mencermati hasil kajian dan ujicoba pengukuran & evaluasi kinerja manajemen PNS di dua provinsi tim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlunya mencermati dan memberikan kontribusi dalam penyempurnaan (revisi) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini penting dan strategis karena di dalam draft undang-undang tersebut akan direvisi berbagai pengaturan tentang pemerintahan daerah, termasuk pengelolaan kepegawaian daerah (masukan terhadap draft revisi telah disampaikan LAN kepada Kemendagri). Oleh karena itu, ke depan harus secara tegas disepakati sistem kepegawaian mana yang akan digunakan-apakah unified, separated, ataukah integrated system. Dalam hubungan ini, LAN sepakat dengan masukan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah untuk memilih unified system sebagaimana telah digariskan dalam UU No. 43/1999. Hal ini juga akan menghilangkan inkonsistensi kebijakan seperti yang terjadi selama ini, yang dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas manajemen PNS di daerah. 2. Pemerintah
daerah
c.q.
pengelola
kepegawaian
di
daerah
perlu
meningkatkan kinerja pengelolaan/manajemen PNS di daerah pada semua fungsi manajemen. Dalam hal perencanaan pegawai, perlu disusun masterplan dan perencanaan tahunan kepegawaian, hal ini perlu untuk menata kepegawaian secara makro dan mikro. Penyusunan formasi pegawai hendaknya didasarkan atas kebutuhan organisasi yang dilakukan dengan ABK. Dalam hal pengadaan pegawai, perlunya transparansi, akuntabilitas dan ketepatan dalam penempatannya. Dalam hal rotasi jabatan dan promosi
251
perlu memperhatikan pola karier yang ada (jika belum tersedia, pemda segera menyusun pola karier pegawai). Dalam hal pengembangan pegawai, pemda perlu memberikan perhatian untuk mengembangkan pegawai yang dimiliki baik melalui diklat maupun non diklat yang dilaksanakan secara profesional. Dalam hal kesejahteraan, perlu diberikan hak-hak pegawai secara layak dan memadai meliputi fasilitas kesehatan, tunjangan cacat, santunan uang duka, bantuan memperoleh perumahan, uang transport dan uang makan pegawai (untuk 1 kali makan). Dalam hal manajemen kinerja, pemda perlu menyusun instrumen penilaian kinerja pegawai secara obyektif, untuk mendampingi DP3. Dalam disiplin dan etika, penegakan perlu terus dilakukan meskipun sudah cukup baik. Dalam pemberhentian pegawai, perlu dilakukan pembinaan terutama dalam masa purnabhakti bagi pegawai. Terakhir, infrastruktur perlu terus dilengkapi dan dikembangkan agar memberi daya dukung yang optimal dalam pencapaian kinerja pengelolaan PNS di daerah. 3. Perlunya melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah
secara
berkelanjutan
berdasarkan
pedoman/instrumen
yang
komprehensif. Oleh karena itu, draft pedoman/instrumen sebagaimana telah disusun oleh Tim Kajian LAN ini kiranya dapat ditindaklanjuti dan diformalkan dalam payung hukum tertentu sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengukuran dan evaluasi. Berkaitan dengan hal tersebut, Tim Kajian telah mempersiapkan draft Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN tentang Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah beserta dokumen kelengkapan lain meliputi pedoman, instrumen, juklak instrumen dan glossary, sebagaimana terlampir. 4. Perlunya kesadaran semua pihak akan pentingnya evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah, terutama pihak pemerintah daerah sebagai aktor utama yang akan mengisi instrumen dan menyiapkan data yanng dibutuhkan.
252
5. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah yang direncanakan mulai tahun 2011, Tim LAN dan BKN perlu melakukan berbagai upaya sebagai berikut: a. Segera menyiapkan payung hukum pengukuran dan evaluasi (tim telah mempersiapkan draft Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN); b. Setelah payung hukum ditandatangani oleh kedua belah pihak, tim perlu segera menyempurnakan lampiran-lampirannya yang meliputi pedoman, instrumen, petunjuk pelaksanaan dan glossary pengukuran dan evaluasi kinerja manajemen PNS di daerah. c. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi ke semua pihak terutama kepada pihak pemda untuk menciptakan kesamaan persepsi mengenai maksud dan tujuan evaluasi yang akan dilakukan. Di dalam sosialisasi tersebut perlu ditegaskan pula bahwa tujuan evaluasi bukan semata-mata untuk ‘menghukum’ pengelola kepegawaian daerah, akan tetapi lebih kepada melihat capaian kinerja dan memetakan kelemahan-kelamahan yang ada dan selanjutnya akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) pemerintah daerah di bidang pengelolaan PNS
253