LAN - RI PKKOD
Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2010
EXECUTIVE SUMMARY
Kebijakan desentralisasi meskipun telah berjalan lama sejak 1999, akan tetapi dalam kenyataannya kebijakan tersebut belum mampu mengangkat derajat kemiskinan masyarakat di daerah secara signifikan. Hal ini ditandai oleh masih banyaknya daerah tertinggal sebagaimana disampaikan oleh Bappenas. Dalam tahun 2007, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat 11 kabupaten berada pada kategori sangat parah, 50 kabupaten sangat tertinggal, 53 kabuptaen tertingga, 57 kabupaten agak tertinggal, sedangkan tahun 2009, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat masih adanya 183 daerah tertinggal. Ketertinggalam daerah dalam aspek pembangunan ternyata tidak hanya disebabkan oleh aspek/lokasi saja, akan tetapi karena selama ini pembangunan belum menyentuh kepada upaya-upaya memperkuat kapasitas kelompok masyarakat hingga pada level terkecil, sehingga pembangunan belum dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif, dalam arti menyentuh setiap elemen masyarakat dari berbagai problematika yang dihadapi. Sejalan dengan diterapkannya strategi pembangunan berkelanjutan, community development sebagai suatu pilihan konsep pembangunan utamanya dari ide partisipasi bersama yang di sinergikan dengan upaya-upaya pemerintah untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Sasaran dari community development adalah untuk pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam segenap aspek pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat. Searah dengan pola pembangunan daerah melalui prinsip otonomi daerah dimana prakarsa dan aspirasi masyarakat sangat dihargai, comdev menjadi salah satu upaya yang penting dilakukan dalam rangka mewujudkan pembangunan daerah. Meskipun konsep tersebut sudah diacu yang menjadi permasalahan saat ini adalah apakah konsep pembangunan melalui pengembangan masyarakat telah banyak dipraktekkan sebagai pilihan untuk mengatasi persoalan-persoalan komunitas? Jika selama ini upaya pembangunan yang inklusif melibatkan masyarakat secara aktif masih jarang dijumpai, sulit diharapkan bahwa komunitas-komunitas akan memiliki kapasitas tersebut. Kita tentu juga tidak bisa berharap bahwa pembangunan komunitas akan bisa berproses dengan sendirinya atau serta merta memiliki kemampuan membangun setelah sekian lama dibelit dengan persoalan-persoalan yang melemahkan kapasitas mereka. Namun perlu dicatat bahwa adanya praktek-praktek saja tentu tidak cukup. Adanya berbagai program yang telah dipraktekkan perlu dikelola dengan baik sehingga hasil yang dicapai dapat saling mendukung. Pembangunan komunitas memang membutuhkan perhatian dari banyak pihak dan strategi yang tepat. Dengan adanya pergeseran paradigma
i
pembangunan daerah melalui proses desentralisasi, pemerintah daerah menjadi salah satu tumpuan harapan untuk berperan aktif dalam mengembangkan potensi masyarakat, di antaranya melalui pembangunan masyarakat. Persoalannya apakah pemerintah daerah telah cukup menaruh perhatian dalam hal ini. Di samping itu adanya keterlibatan masyarakat dan sejumlah elemen lainnya, dapat menguntungkan bahkan bisa menjadi tantangan tersendiri. Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan tersebut diatas, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2010 telah melakukan suatu kajian tentang model community development di daerah. Dalam kajian ini akan dilihat sejauh mana community development berkembang di daerah, khususnya bagaimana model dan proses pelaksanaan, serta hasilnya. Mengingat upaya-upaya pembangunan secara inklusif masih diharapkan menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, hasil kajian ini penting sebagai pelajaran untuk pembangunan masyarakat di masa mendatang. Diharapkan bahwa pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari kajian ini dapat dirumuskan kembali dalam strategi pengembangan comdev yang tepat serta instrumen kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan keberhasilan comdev sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan daerah dalam kerangka good local governance. Jenis kajian ini merupakan kajian deskriptif eksploratif, yaitu suatu model kajian yang berusaha untuk memberikan gambaran/paparan dan menggali secara cermat serta mendalam tentang fenomena sosial tertentu. Obyek kajian disini meliputi upaya pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi serta masyarakat dalam pengembangan comdev, kendala-kendala yang dihadapi serta strategi yang ditawarkan untuk mengembangkan community development di daerah Kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah provinsi, dimana dari masingmasing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten/kota. Dimana setiap provinsi yang dipilih secara purposive ini diasumsikan memiliki fokus comdev beragam yang dapat ditelaah. Selain hal tersebut juga memperkaya pengetahuan akan aspekaspek yang penting dalam pelaksanaan comdev, juga membantu kajian ini untuk membangun strategi pengembangan comdev di daerah ke depan. Ada pun daerah kajian dalam kegiatan ini meliputi: No.
Provinsi
1.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2.
Provinsi Kepulauan Riau
3.
Provinsi D.I. Yogyakarta
4.
Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten
Kota Banda Aceh Kabupaten Aceh Besar Kota Tanjung Pinang Kabupaten Bintan Kabupaten Sleman Kabupaten Bantul Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga
ii
No.
Provinsi
5.
Provinsi Jawa Timur
6.
Provinsi Kalimantan Timur
7.
Provinsi Bali
Kabupaten
Kota Batu Kabupaten Malang Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Gianyar Kabupaten Bangli
Dari kajian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Sejak diterapkan kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, perkembangan praktek comdev cenderung mengalami peningkatan baik secara kuantitas, dapat dikatakan bahwa semakin banyak model-model yang diterapkan di daerah. Maupun secara kualitas, yakni pergeseran paradigma pembangunan yang lebih terdesentralisasi merupakan stimulan tersendiri untuk lebih terjalinnya keterlibatan masyarakat dan aktor non pemerintah lainnya dalam mengelola urusan publik dan pembangunan daerah. Penekanan pembangunan pada pendekatan bottom up dan partisipatoris menghasilkan adanya berbagai perubahan dalam pendekatan praktek comdev di daerah. Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Namun di sisi lain juga mengindikasikan adanya masalah yang perlu mendapat perhatian oleh semua pihak. 2. Banyak model praktek comdev yang telah dilakukan baik dengan hasil fisik dan hasil non fisik. Salah satu yang diprakarsai Oleh Pemerintah, seperti PNPM Mandiri Pedesaan dan Perkotaan. Kegiatan ini merupakan hasil dari identifikasi kebutuhan masyarakat, program muncul dari masyarakat, dari tingkat desa bahkan bisa juga dari tingkat RT. Program ini diterapkan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan daerah-daerah. Selain program-program yang diinisiasi oleh pemerintah pusat, di banyak daerah juga memiliki inisiatif untuk membuat program telah ada sebagai tugas pokok fungsi Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan yang merupakan bentuk inovasi dan juga dalam rencana strategis daerah dengani anggaran baik dari pemerintah daerah (APBD) maupun anggaran pusat (APBN). 3. Program ini selain murni dilakukan oleh pemerintah daerah, juga ada yang dikerjasamakan dengan pihak lain seperti Lembaga Donor, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Perguruan Tinggi. Sebagai inisiator dan fasilitator Pemerintah Daerah melalui kepala daerah membentuk Tim Fasilitator yang terdiri dari SKPD-SKPD yang berkewajiban memberikan pedoman, bimbingan pelatihan, arahan dan supervisi. Sebagian besar berbasis pada masyarakat desa dan pemberdayaan perempuan dengan prinsip melindungi, memperkuat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, membangun infrastruktur, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan sebagainya.
iii
4. Selain peran dari pemerintah dan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga sangat dibutuhkan dalam mendorong keberhasilan pembangunan secara mandiri. Kegiatan yang dilakukan LSM ini mempunyai program peningkatan kemandirian masyarakat dalam pembangunan. Misalnya model community organizing yang dilakukan LSM Paramitra di Jatim yang mencoba meng-organizing baik dari segi perencanaan, atau membaca permasalahanpermasalahan yang ada bisa diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri. 5. Peranan Universitas atau Perguruan Tinggi melalui Lembaga Pengabdian Masyarakat merupakan bagian dari program Tridharma PT juga telah melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan memberikan kontribusi dan mendukung agenda pembangunan baik yang menjadi agenda nasional maupun agenda pembangunan di daerah. Seperti Program desa dampingan di desa ini dikemas dalam bentuk Udayana Community Development Program (UCDP). UCDP adalah Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikembangkan oleh Universitas Udayana untuk mengantisipasi kewajiban sosialnya di masyarakat UCDP sebagai laboratorium lapangan penerapan program tridharma PT mengembangkan dan memberdayakan kelompokkelompok masyarakat bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan baik daerah (regional) maupun nasional. 6. Corporate social responsibility, tidak hanya dilakukan oleh Perguruan Tinggi, tapi juga perusahaan, umumnya perusahaan besar. Salah satunya PT Lafarge Cement Indonesia di Nanggroe Aceh Darussalam, secara umum memiliki berbagai kegiatan corporate social responsibility yang mengarah pada bentuk comdev. Dalam melaksanakan tanggungjawab social perusahaannnya, yang mengalami pergeseran pemaknaan terhadap upaya-upaya tersebut. Perusahaan tersebut memandang hal ini bukan sebagai bentuk kompensasi, namun telah mencoba memulai dengan melihat masalah, di samping juga membangun konsep-konsep yang membantu masyarakat lokal, dan sebagai bentuk komitmen terhadap lingkungan hidup. Sedangkan di Bontang, Menyadari pentingnya peran perusahaan dalam mendorong kemajuan masyarakat Botang, PT Badak NGL meskipun berstatus sebagai perusahaan Non profit, mencoba kemampuan terbaik berperan aktif mendukung Pemerintah Kota Bontang dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui program Parcipatory Rural Appraisal (PRA), yakni sebuah pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam menentukan masalah cara memecahkan masalah dan menentukan kebutuhan mereka sendiri dengan maksud untuk menggali bersama, mengembangkan alternatifalternatif bersama, menyepakati bersama, mencari pemecahan masalah bersama. 7. Praktek comdev di berbagai daerah dalam pelaksanaan juga banyak mengalami berbagai problematika. Problematika yang ditemui dalam praktek comdev dari berbagai kasus di daerah yang pertama adalah dari aspek kebijakan. Aturan kebijakan yang kurang jelas dan tidak komprehensif dirasakan menjadi hambatan dalam implementasi program community
iv
development di daerah. Kebijakan yang belum baku juga dianggap menjadi penghalang dalam keberhasilan suatu program comdev. 8. Dalam hal manajemen dapat dilihat dari berbagai aspek manajemen itu sendiri. Banyak kendala dan permasalahan yang ditemui mulai dari perencanaan sampai pada tahapan monitoring. Proses perencanaan selama ini dirasakan terlalu panjang dengan didukung kurang pahamnya masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhannya. Setiap program memiliki kesulitannya sendiri, misalnya kendala birokrasi berbelit-belit dianggap menghambat proses pelaksanaan suatu program di masyarakat. Faktor ketersediaan anggaran menjadi kendala yang utama pula, karena tanpa sokongan anggaran yang memadai maka sangat tidak mungkin suatu program akan berhasil. Di banyak daerah merasa terhalang dalam mengimplementasikan suatu program comdev karena kurangnya anggaran (misalnya PAD) yang dimiliki kecil dan sangat terbatas. Selain kendala anggaran, ketersediaan sumber daya manusia pendukung program comdev baik secara kualitas maupun kuantitas ini juga menjadi problematika manajemen. 9. Dari segi koordinasi, ego sektoral masih mewarnai pengelolaan program comdev di berbagai daerah. Hal ini secara tidak langsung menghambat pencapaian tujuan program itu sendiri, karena program dilaksanakan masingmasing stakeholder dan tidak bersifat holistik. Untuk monitoring dan evaluasi, berdasarkan hasil lapangan, tidak banyak daerah yang melakukan evaluasi/monitoring program comdev yang telah dilaksanakan, kalaupun ada hanya secara parsial saja. Kendala lain adalah sulitnya merubahnya mind-set masyarakat, kurangnya transparansi, saling lempar tanggung jawab antar pihak dan tidak adanya kontinuitas program yang membuat kesuksesan suatu program tidak dapat dipertahankan. 10. Hasil temuan lapangan tidak semua program comdev mengalami problematika yang berarti, hal ini merupakan faktor-faktor yang mendukung sebuah program dapat berjalan dengan baik. Diantaranya kebijakan yang komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, serta pembiayaannya, dapat memayungi program (contoh Perum Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat/PHBM (yang disempurnakan menjadi PHBM Plus). 11. Faktor kerjasama yang positif dan keterlibatan pemerintah daerah untuk meningkatkan hasil kegiatan antara lain ditunjukkan oleh pemerintah Kabupaten Banyumas yang mengupayakan adanya kerjasama dengan Barlingmascakeb (Badan Kerjasama Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen). Kerjasama yang dilakukan dengan badan ini, antara lain dapat membantu mengatasi masalah operasional seperti perluasan pasar, pemodalan, dan penambahan sarana fisik. 12. Manajemen yang baik merupakan dukungan utama dalam keberhasilan program secara keseluruhan seperti anggaran yang cukup, perlunya mempertimbangkan pemilihan strategi implementasi yang tepat. Dalam program Community Development–Mengentaskan Kemiskinan (CD-MK) di
v
Kabupaten Bantul, monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik merupakan salah satu strategi pemerintah daerah yang mendorong berhasilnya program. 13. Selain manajemen yang baik, partisipasi masyarakat sebagai prinsip dasar program comdev, mutlak diperlukan. partisipasi masyarakat yang baik dapat menunjang keberhasilan program. Karena kemauan untuk berpartisipasi ini erat kaitannya dengan penerimaan masyarakat. Penerimaan masyarakat yang kurang akan menghambat pelaksanaan program. Program tanam SRI (Sistem of Risk Intensification) yang dilaksanakan di desa Cutkaring kecamatan Blang Bintang. Banyak masyarakat yang tidak mau menerima program tersebut, akibatnya hanya tinggal setengah hektar masyarakat yang konkrit menjalankan program itu. 14. Faktor lain adalah kapasitas dan sikap mental pelaku comdev comdev, seperti kegiatan PAMSIMAS yang dilaksanakan di Kabupaten Banyumas sebuah Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan prasarana air minum didukung oleh sikap masyarakat yang juga turut memiliki. Budaya juga memiliki peran penting mengingat Indonesia memiliki keragaman budaya dan adat istiadat, seperti pada kasus tertentu di Provinsi Bali, budaya yang cukup mendukung adalah keberadaan desa adat dengan aturannya. Artinya karakteristik lokal perlu menjadi perhatian menyangkut strategi yang ditempuh. 15. Pendampingan program yang tepat perlu diupayakan, faktor ini merupakan media transfer pengetahuan (knowledge transfer) untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Keberadaan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di Kabupaten Banyumas cukup berarti dalam memberikan pendampingan bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan praktek tersebut. Dari hasil pembahasan dan analisis, maka Tim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Kebijakan. Perlu adanya kebijakan nasional yang dapat mengintegrasikan dan mensinergikan semua level dan unit pemerintahan serta pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan program comdev. Sekalipun dengan catatan bahwa kebijakan yang bersifat nasional dimaksud tidak harus selalu dimaknai dengan penyeragaman seperti semangat sentalistik yang dikembangkan di masa orde baru. Akan tetapi, kebijakan nasional yang ada justru memberi kelonggaran dan keleluasaan kepada semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan comdev. Kebijakan ini juga mendukung kelancaran dan kecepatan dalam penyaluran anggaran serta pembangunan prasarana dan sarana sehingga dapat segera digunakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan jangka waktu yang disediakan. Kebijakan nasional seyogyanya dtuangkan dalam undang-undang, sehingga akan memiliki kedudukan hukum yang kuat dan lebih menjamin keberlangsungan program serta pendanaan pemberdayaan masyarakat.
vi
2. Kelembagaan. Kelembagaan penanggung jawab program comdev sebaiknya ditata sedemikian rupa agar prinsip sinergitasitas dan terutama tujuan dan sasaran pembangunan daerah dapat lebih cepat tercapai, baik kelembagaan di level nasional maupun daerah. Di level nasional, analog dengan kelembagaan penanggulangan kemiskinan, maka tim nasional pemberdayaan masyarakat tetap dipimpin oleh Wakil Presiden dibantu oleh sekretariat eksekutif (yang dijabat oleh salah Deputi Setwapres Bidang Kesra) dan kelompok kerja pengendali (Pokja Dal) yang terdiri atas kementerian koordinator (menko) yakni Menko Polhuk dan HAM, Menko Kesra dan Menko Perekonomian. Adapun kelembagaan comdev di daerah didesain senada dengan kelembagaan di level nasional, dipimpin oleh kepala daerah dengan dibantu oleh tiga komponen good local governance yakni pemerintah daerah (dinas, badan dan kantor), dunia usaha lokal (investor, perbankan) dan masyarakat madani daerah (perguruan tinggi lokal, LSM lokal dan kelompok profesional). Sementara itu, dalam pelaksanaan comdev hendaknya menerapkan prinsip terintegrasi yang diwujudkan dalam bentuk kelembagaan Comdev Center. Dengan demikian, kiranya dapat menghindari terjadinya tumpang tindih program, meminimalisasi adanya kesenjangan (ketimpangan) sasaran atau target komunitas pembangunan masyarakat di daerah. 3. Perlunya meningkatkan kemampuan SDM pengelola program comdev dan memperhatikan kesejahteraaannya. Harus diakui bahwa peran SDM pengelola telah memberikan andil yang sangat berarti dalam pelaksanaan program comdev di daerah. Namun selama ini, perhatian terhadap para pengelola dirasakan masih sangat kurang, khususnya para pendamping yang berasal dari lingkungan SKPD/kecamatan. Oleh karena itu, ke depan perlu kiranya dipikirkan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan para SDM pendamping tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi ‘kecemburuan‘ dengan para petugas yang memang ditunjuk secara khusus untuk melaksanakan program comdev, seperti fasilitator pada PNPM Mandiri, dimana para fasilitator ini telah memperoleh perhatian dan kesejahteraan yang cukup memadai dibanding SDM pendamping. 4. Perlunya membangun sistem informasi comdev yang memadai dalam rangka mendukung pelaksanaan progran comdev di daerah. Pertama-tama yang harus disiapkan adalah data yang valid dan relaibel, yang kemudian di masukkan ke dalam software yang telah disiapkan sedemikian rupa oleh pemerintah daerah. Dalam kontek sistem informasi, tentu harus didukung pula oleh ketersediaan SDM yang memahami tentang sistem informasi untuk memelihara (maintain) sistem yang ada, selain dukungan dan komitmen pimpinan terhadap terbangunnya sistem informasi yang memadai. Oleh karena, selain sebagai sistem pendukung pengambilan keputusan (DSS), tersedianya sistem informasi tersebut juga dapat menjadi wahana akuntabilitas publik. 5. Pembiayaan/Finansial, pemerintah daerah dapat mengusulkan pembiayaan comdev baik kepada Pemerintah (APBN), lembaga donor nasional (pengusaha nasional) dan donor internasional (NGO seperti UNDP), perbankan (nasional
vii
dan internasional), masyarakat daerah (swadaya) maupun melalui pendanaan yang tersedia di dalam APBD. Pemerintah daerah dalam hal ini dituntut mampu meyakinkan para donatur untuk bersedia membiayai dan atau memfasilitasi pelaksanaan program-program comdev yang ada. Tentu saja, pemerintah daerah diharapkan mampu menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerahnya, sehingga pihak lain (donatur) akan bersedia mempercayakan dananya untuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat daerah. Yang terpenting adalah perlunya meningkatkan peran sistem perbankan sebagai sebuah exit strategy dalam rangka mengurangi dan atau mengeliminasi ketergantungan masyarakat daerah terhadap pihak lain. 6. Manajemen. Koordinasi dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. untuk menyatukan berbagai upaya agar menghasilkan sinergi serta untuk menghindari tumpang tindih sehingga dapat dijamin efisiensi dalam upaya mencapai hasil yang optimal. Kelengkapan pencatatan (pengadministrasian) sebagai dasar pengendalian dan penyusunan informasi dasar yang lengkap, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi dan penyempurnaan program comdev yang akan datang. 7. Stakeholder. Dengan kata lain, bahwa untuk mengatasi kendala yang dihadapi pada tataran lingkungan sosial, para pemangku kepentingan dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara positif. Pemerintah daerah setempat maupun pejabat-pejabat terkait di pemerintah pusat serta kalangan pers, LSM dan akademik. 8. Perlu disadari bahwa program comdev bukan sekedar keinginan dari kalangan dunia usaha belaka tetapi harus berdasarkan analisis kebutuhan komunitas. Program comdev harus didasarkan kepada peta sosial dengan menjadikan potensi sumberdaya daerah yang memenuhi kriteria (terpercaya dan valid) sebagai acuan prioritas kegiatan. Selain itu, program comdev harus mengacu kepada teknologi tepat guna yang efektif dan aman. 9. Masyarakat juga harus diberi kepercayaan untuk memilih kegiatan usahanya dan diberi bimbingan berupa pendampingan supaya berhasil, selain membangun kesiapan masyarakat dalam menerima dan mendayagunakan dana, prasarana, dan sarana.
viii
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY …………………………………………………………….. DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………… DAFTAR TABEL …………………………………………………..…………………….. DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………. DAFTAR BOX ……………………………………………………………………………. BAB 1
BAB 2
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ………………………………….…………. B. PERUMUSAN MASALAH …………………………………….. C. RUANG LINGKUP ……………………………………..……….. D. TUJUAN DAN SASARAN ……………………………………… E. HASIL YANG DIHARAPKAN ………………………………… COMMUNITY DEVELOPMENT : TINJAUAN KONSEP KEBIJAKAN A. KONSEP COMMUNITY DEVELOPMENT ………………. 1. Pengertian Pembangunan Masyarakat (Community Development) ………………………… 2. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat dalam Community Development ……………….. B. COMMUNITY DEVELOPMENT DAN PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH……………. C. KEBIJAKAN COMMUNITY DEVELOPMENT DI INDONESIA……………………………………………………….. D. ASPEK-ASPEK PENTING DALAM COMMUNITY DEVELOPMENT ………………………………………………… 1. Prosedur dan Strategi Pelaksanaan ………… 2. Tujuan, Latar Belakang, Orientasi dalam Pelaksanaannya ……………………………………… 3. Prinsip-Prinsip …………………………………………. 4. Kepemimpinan dan Agen Perubahan/ Katalisator ………………………………………………. 5. Kapasitas dan Komitmen ………………………… 6. Kontribusi Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah …………………………………. 7. Dampak …………………………………………………. E. MODEL BERPIKIR KAJIAN MODEL COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH ……………………………….
i ix xii xiii xiv
1 6 7 7 8 DAN 9 9 33 35 39 45 47 48 48 48 48 49 49 49
ix
BAB 3
BAB 4
BAB 5
METODE KAJIAN A. JENIS KAJIAN ………………………….………………………… B. DATA KAJIAN …………………………………………………….. C. DAERAH KAJIAN ……………………………………………….. PERKEMBANGAN PRAKTEK COMMUNITY DEVELOPMENT DAERAH A. PERKEMBANGAN PRAKTEK COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH ..................................... B. MODEL-MODEL PRAKTEK COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH ..................................... 1. Praktek Community Development yang di Prakarsai Pemerintah ………………………………. 2. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Lembaga non Pemerintah/ Lembaga Swadaya Masyarakat ………………… 3. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Perguruan Tinggi ……………….. 4. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Perusahaan ……………………… 5. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Masyarakat ……………………….
50 50 53 DI 54 56 56 90 107 136 160
CAPAIAN PENYELENGGARAAN COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH A. HASIL-HASIL YANG DICAPAI MELALUI COMMUNITY DEVELOPMENT ..................................................... 166 1. Hasil Fisik ........................................................ 166 2. Hasil Non Fisik ................................................ 172 B. CATATAN PEMBELAJARAN DARI HASIL COMMUNITY DEVELOPMENT ................................. 177 C. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH .............. 179 1. Kebijakan ........................................................ 180 2. Kelembagaan ................................................. 180 3. Manajemen .................................................... 181 4. Permasalahan Lain ........................................ 189 D. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM KEBERHASILAN PROGRAM COMMUNITY DEVELOPMENT........................................................ 189 1. Kebijakan ....................................................... 189 2. Kerjasama dan Sinergitas antar Stakeholder ................................................ 190 3. Tingkat Keterlibatan Pemerintah Daerah ..... 191 4. Manajemen ..................................................... 192 5. Sumber Daya Manusia .................................. 195
x
6. 7.
Pendampingan Yang Tepat/Keberadaan Katalisator (Agen Perubahan) ....................... Kemampuan Mengadaptasi Karakteristik Lokal Tertentu dalam Program Community Development ..................................................
198 199
BAB 6
STRATEGI PENGEMBANGAN COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH A. PENGERTIAN STRATEGI .......................................... 200 B. ASPEK-ASPEK PENGEMBANGAN COMMUNITY DEVELOPMENT DAN STRATEGINYA ....................... 203 1. Aspek Kebijakan ............................................. 204 2. Aspek Kelembagaan ...................................... 209 3. Aspek Sumber Daya Manusia Pengelola ...... 220 4. Aspek Sistem Informasi Manajemen Community Development .............................. 224 5. Aspek Pembiayaan/Finansial ........................ 226 6. Aspek Manajemen Program .......................... 229
BAB 7
PENUTUP A. KESIMPULAN ........................................................... B. REKOMENDASI ........................................................
235 237
DAFTAR PUSTAKA
241
xi
DAFTAR TABEL
Tabel. 3.1 Tabel. 4.1
: :
Tabel. 4.2
:
Tabel. 4.3
:
Tabel. 4.4
:
Tabel. 4.5 Tabel. 4.6 Tabel. 4.7
: : :
Tabel. 5.1
:
Tabel. 5.2
:
Tabel. 6.1
:
Daerah Kajian ………………………………………………….. Contoh Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Pemerintah Daerah ....................... Contoh Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh LSM ………………………………………….. Contoh Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Perguruan Tinggi ……………………….. Contoh Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Perusahaan ………………………………. Scholarships PT. BRC SD s/d SMA ……………………. Bantuan Pendidikan Tinggi dari PT. BRC …………… Contoh Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Masyarakat ………………………………. Contoh Hasil-Hasil Fisik Community Development di Daerah ………………………………………………………… Hasil Pelaksanaan Community Development yang bersifat Non Fisik …………………………………………….. Pengaturan PNPM Mandiri ………………………………..
53 57 90 107 137 152 153 160 167 172 204
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar. 2.1 Gambar. 2.2 Gambar. 4.1 Gambar. 4.2 Gambar. 4.3 Gambar. 5.1 Gambar. 6.1 Gambar. 6.2 Gambar. 6.3 Gambar. 6.4 Gambar. 6.5 Gambar. 6.6 Gambar. 6.7
: Dimensi-Dimensi Yang Penting dalam Community Development ………………………………. : Community Development Chain ........................... : Struktur Organisasi Pengelola Program KKNPPM UGM ……………………………………………………… : Sumber-Sumber dan Alokasi Dana KKN-PPM UGM………………………………………………………………. : Kelompok Usaha Pembuatan Rencong Aceh dan Kerajinan Tas dan Dompet di Sibreuh, Kabupaten Aceh Besar ………………………………….. : Bentuk Akuntabilitas yang Dilakukan Badan Keswadayaan Masyarakat di Desa Karang Salem ……………………………………………………………. : Struktur Organisasi TNP2K …………………………….. : Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan …………………………. : Tim Nasional untuk Pemberdayaan Masyarakat…………………………………………………….. : Tim Daerah untuk Pemberdayaan Masyarakat (TDPM) ………………………………………………………….. : Community Development Center di Daerah …… : Sistem Informasi Manajemen Community Development ……………………………………………….. : Manajemen Program Community Development..
19 38 125 129 165 194 213 215 216 218 219 226 234
xiii
DAFTAR BOX Box. 2.1 Bos. 4.1 Box. 4.2
: : :
Community Development Principles ………………….. Sinergitas dalam PHBM dan PHBM Plus ............... MoU antara PT. LCI dengan Masyarakat : Bentuk Negosiasi dan Peningkatan Pelibatan Masyarakat……………………………………………………….
xiv
16 140 144
PENDAHULUAN
BAB
1 A. LATAR BELAKANG Setelah sekian tahun perjalanan implementasi kebijakan desentralisasi, persoalan-persoalan yang menyangkut isu-isu pembangunan masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk segera diselesaikan. Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan Millenium Development Goals (MDGs) untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia belum menggembirakan. Dalam laporan tersebut, ternyata di kawasan Asia Tenggara peringkat Indonesia masih berada di bawah. Sementara secara global peringkat Indonesia berada pada ranking ke 110 (UNDP, 2007). Sejumlah data yang diterbitkan oleh berbagai instansi mengindikasikan adanya persoalan serius dalam pembangunan masyarakat. Di tahun 2007 Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat 11 kabupaten berada pada kategori sangat parah, 50 kabupaten sangat tertinggal, 53 kabupaten tertinggal, 57 kabupaten agak tertinggal. Tahun 2009 Bappenas mencatat sebanyak 183 daerah tertinggal. Di samping itu berdasarkan publikasi BPS tentang angka kemiskinan, dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa jumlah daerah yang memiliki angka kemiskinan di atas rata-rata nasional masih cukup banyak. Dari data BPS tersebut juga diindikasikan bahwa kantongkantong kemiskinan sebagian besar diisi oleh masyarakat pedesaan. Namun menarik untuk digarisbawahi bahwa kondisi kemiskinan juga dijumpai pada masyarakat perkotaan.
Oleh karena itu persoalannya bukan lagi hanya
1
terletak pada lokasi, namun apakah pembangunan telah benar-benar menyentuh upaya memperkuat kapasitas kelompok-kelompok masyarakat, sampai pada level yang terkecil. Kondisi tersebut terkait dengan persoalan-persoalan yang tidak hanya berakar
pada
pengembangan
persoalan sumber
ekonomi, daya
namun
manusia,
juga
terkait
pembangunan
kelemahan infrastruktur,
aksesibilitas, keuangan, lingkungan, dan sebagainya. Persoalan-persoalan pembangunan tersebut tidak sedikit pula yang diakibatkan oleh ekses negatif pembangunan yang tidak diharapkan. Karakteristik permasalahan lokal yang bervariasi
turut menambah kompleksitas permasalahan pembangunan di
Indonesia. Kondisi ini menyiratkan bahwa pembangunan selama ini belum mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif, dalam artian menyentuh setiap elemen masyarakat dengan berbagai problematika yang dihadapinya. Sejalan dengan semakin diterimanya strategi pembangunan melalui konsep pembangunan yang berkelanjutan, upaya untuk memperkuat kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok perlu mendapat perhatian. Hal ini mendorong berbagai kalangan untuk membangun kesadaran
kritis
masyarakat
untuk
menuju
kemandirian
dengan
memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Untuk itu konsepkonsep pembangunan atau yang sering diidentikkan sebagai pembangunan berbasis masyarakat menjadi salah satu pilihan konsep pembangunan masyarakat sampai pada level terkecil. Community development (Comdev) banyak mendapat perhatian sebagai konsep pembangunan utamanya karena ide partisipasi bersama yang melekat di dalamnya. Community development dianggap sebagai proses di mana upaya-upaya masyarakat disinergikan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan
kondisi
ekonomi,
sosial,
dan
budaya
masyarakat,
mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam kehidupan berbangsa
dan
memberikan
kesempatan
bagi
masyarakat
untuk
berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
2
Adapun sasarannya dapat menjangkau kelompok-kelompok terkecil. Hal ini merupakan daya tarik lain dari penerapan konsep community development dalam pembangunan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sasaran dari comdev adalah pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam segenap aspek pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat. Dengan dukungan dari pemerintah daerah dan lembaga lain, program community development dapat pula diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam upaya mengatasi permasalahan-permasalahan lokal. Frank and Smith (1999) menyebutkan bahwa community development dapat menjadi proses pada tataran ―akar rumput‖ sehingga masyarakat menjadi lebih memiliki rasa tanggung jawab, memiliki
perencanaan
dan
terorganisir
dengan
lebih
baik,
mampu
mengembangkan pilihan-pilihan bagi masyarakat, memberdayakan diri, meningkatkan
kesadaran,
menurunkan
kemiskinan,
mengembangkan
kesempatan kerja dan usaha, serta mencapai tujuan-tujuan pembangunan antara lain dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Terlihat bahwa secara konsep ada argumen bahwa dengan upaya bersama tersebut, persoalan-persoalan yang
secara spesifik
oleh kelompok-kelompok
masyarakat tersebut bisa teratasi. Konsep tersebut juga membawa harapan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini kurang mendapat manfaat pembangunan dapat lebih memperbaiki kondisi mereka. Pembangunan daerah melalui community development idealnya merupakan salah satu elemen dari paradigma pembangunan secara inklusif dan berkelanjutan sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Searah dengan proses pembangunan daerah melalui prinsip otonomi daerah dimana prakarsa dan aspirasi masyarakat sangat dihargai, community development
menjadi salah satu
upaya yang penting dilakukan dalam
rangka mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan daerah secara inklusif tersebut. Misi otonomi daerah sendiri adalah memperkuat posisi masyarakat atau rakyat di daerah (baik secara politik, ekonomi, maupun budaya) dengan menjadikan pemerintah sebagai fasilitator dan pelindung masyarakat, bukan
3
sebaliknya
memperkuat kembali
posisi
Negara
(aparat
pemerintah).
Community development diperlukan untuk memperkuat masyarakat dengan mengoptimalkan potensi masyarakat setempat. Dengan demikian tidak berlebihan jika community development dipilih menjadi salah satu instrumen untuk memperkuat good local governance. Hal ini karena melalui program tersebut keterlibatan masyarakat dalam proses pemerintahan dan pelayanan publik, akuntabilitas dan transparansi kegiatan pembangunan dapat ditingkatkan. Diharapkan bahwa proses pelibatan masyarakat tersebut akan meningkatkan sinergi antara masyarakat, pemerintah daerah dan berbagai kelompok peduli masyarakat (Lembaga Swadaya Masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi, dan sebagainya) serta kemitraan diantara ketiganya dalam mewujudkan tata kepemerintahan daerah yang baik. Beragam proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong community development. Pada umumnya, pembangunan melalui community development banyak dijumpai secara spesifik pada berbagai sektor, seperti
sektor pertanian, perikanan, kehutanan, usaha kecil dan
menengah (UKM), perindustrian, maupun jasa-jasa. Di samping itu community development juga dipraktekkan pada bidang-bidang pelayanan seperti kesehatan dan pendidikan. Terlihat bahwa sesungguhnya praktek community development bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru. Namun upaya-upaya yang telah dilakukan saat ini tidak sedikit pula mendapat kritik. Kritik tersebut antara lain diungkapkan Ottow Sineri, Kepala Program Nasional Pemberdayaan Mandiri - Rencana Strategis Pembangunan Kampung (PNPM Mandiri - Respek) Provinsi Papua di Puncak Jaya bahwa seringkali pemberdayaan dari pusat dan daerah lebih mengejar program proyek satu tahun anggaran1. Beberapa upaya pembangunan masyarakat di masa lalu juga terbukti berjalan lambat dan belum bisa dikatakan berhasil. Sebut saja upaya pembangunan Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang disponsori oleh Departemen Sosial. Pembangunan 1
http://www.menkokesra.go.id/content/view/10592/39/, Kamis (26/2/2009)
4
terhadap KAT dinilai masih belum menyentuh secara intens pada suku-suku asli di daerah, meski sejak 1999 telah
diterbitkan Keppres tentang
Pembangunan KAT (Depsos, 2006). Meskipun demikian, kita masih bisa berharap bahwa teori standar tentang manfaat pembangunan masyarakat bisa terwujud. Hal ini karena ada pula upaya pembangunan masyarakat yang dianggap berhasil. Misalnya pengalaman di salah satu komunitas pedesaan di Korea yang diteliti oleh Chang Soo Choe (2005) dan kasus community development yang berdampak positif bagi pendidikan pedesaan di Virginia yang dipaparkan oleh Johnson (1998). Dampak positif bagi masyarakat di Indonesia pun pernah ditemukan, antara lain pada program pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) di Taman Nasional Rinjani. Komunitas mendapat manfaat ekonomi dari turisme, keterlibatan wanita dan pengetahuan tentang konservasi pun meningkat. Tentu tidak ada garansi bahwa keberhasilan community development di suatu tempat bisa direplikasi di tempat lain, demikian halnya jika program tersebut mengalami kegagalan. Jelas bahwa pembangunan masyarakat bersifat sangat spesifik mengingat permasalahan yang dihadapi masingmasing komunitas tidak hanya beragam tapi bisa jadi sangat kompleks. Langkah awal yang perlu untuk menyebarluaskan manfaat pembangunan masyarakat adalah mentradisikan masyarakat untuk bisa lebih mampu memberdayakan diri dalam merespon persoalan-persoalan tersebut. Persoalannya apakah konsep pembangunan melalui pengembangan masyarakat telah banyak dipraktekkan sebagai pilihan untuk mengatasi persoalan-persoalan komunitas? Jika selama ini upaya pembangunan yang inklusif melibatkan masyarakat secara aktif masih jarang dijumpai, sulit diharapkan bahwa komunitas-komunitas akan memiliki kapasitas tersebut. Kita tentu juga tidak bisa berharap bahwa pembangunan komunitas akan bisa berproses dengan sendirinya atau serta merta memiliki kemampuan membangun setelah sekian lama dibelit dengan persoalan-persoalan yang melemahkan kapasitas mereka. Namun perlu dicatat bahwa adanya praktek-
5
praktek saja tentu tidak cukup. Adanya berbagai program yang telah dipraktekkan perlu dikelola dengan baik sehingga hasil yang dicapai dapat saling mendukung. Pembangunan komunitas memang membutuhkan perhatian dari banyak pihak dan strategi yang tepat. Dengan adanya pergeseran paradigma pembangunan daerah melalui proses desentralisasi,
pemerintah daerah
menjadi salah satu tumpuan harapan untuk berperan aktif dalam mengembangkan potensi masyarakat, di antaranya melalui pembangunan masyarakat. Persoalannya apakah pemerintah daerah telah cukup menaruh perhatian dalam hal ini. Di samping itu adanya keterlibatan masyarakat dan sejumlah elemen lainnya, dapat menguntungkan bahkan bisa menjadi tantangan tersendiri. Menarik berkembang
untuk di
dikaji
daerah,
sejauh
khususnya
mana
community
bagaimana
model
development dan
proses
pelaksanaan, serta hasilnya. Mengingat upaya-upaya pembangunan secara inklusif masih diharapkan menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, hasil kajian ini penting sebagai pelajaran untuk pembangunan masyarakat di masa mendatang. Diharapkan bahwa pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari kajian ini dapat dirumuskan kembali dalam strategi pengembangan community development yang tepat serta instrumen kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan keberhasilan community development sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan daerah dalam kerangka good local governance. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut diatas rumusan masalah dalam penelitian ini dapat disampaikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan model community development di daerah semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004?
6
2. Apa hasil-hasil dari praktek community development di daerah serta faktor-faktor yang mempengaruhi praktek community development di daerah? 3. Permasalahan apa yang dihadapi dalam praktek community development di daerah? 4. Bagaimana strategi yang tepat untuk mendorong praktek community development agar lebih efektif di daerah? C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup kegiatan ini meliputi kajian tentang praktek penerapan model-model community development di
daerah dan strategi untuk
mendorong praktek community development di daerah agar lebih efektif. D. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan kajian ini adalah : 1. Mengkaji perkembangan model community development di daerah semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004. 2. Mengidentifikasi hasil-hasil dari praktek community development di daerah serta faktor-faktor yang mempengaruhi praktek community development di daerah. 3. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam praktek community development di daerah. 4. Merumuskan rekomendasi tentang strategi untuk mendorong praktek community development agar lebih efektif di daerah. Sasaran kajian ini adalah : 1.
memberikan
data
dan
informasi
dalam
bentuk
laporan
kajian
perkembangan model community development di daerah. 2. memberikan data dan informasi tentang keberhasilan dan permasalahan yang dihadapi dalam praktek community development di daerah 3. memberikan rekomendasi tentang strategi untuk mendorong praktek community development yang efektif di daerah.
7
E. HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah tersusunnya laporan kajian yang memuat rekomendasi tentang
strategi untuk mendorong praktek
community development yang efektif di daerah.
8
COMMUNITY DEVELOPMENT : TINJAUAN KONSEP DAN KEBIJAKAN
BAB
2
A. KONSEP COMMUNITY DEVELOPMENT 1. Pengertian Pembangunan Masyarakat (Community Development) a. Pengertian Komunitas (Community) Sebelum sampai pada pemahaman tentang community development (untuk selanjutnya disebut comdev), diperlukan pemahaman akan konsep community. Secara leksikal, diambil dari istilah bahasa Inggris, community sering diartikan sebagai masyarakat. Sebagaimana disimpulkan oleh Hasim dan Remiswal (2009), salah satu ciri dari masyarakat adalah adanya interaksi. Disebutkan pula bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama manusia yang pada prinsipnya bercirikan: jumlah manusia yang hidup lebih dari dua, adanya kesadaran bahwa setiap manusia merupakan bagian dari suatu kesatuan, adanya nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi patokan bagi perilaku yang dianggap pantas, serta menghasilkan kebudayaan dan mengembangkan kebudayaan tersebut. Community juga sering diartikan sebagai komunitas. Hasim dan Remiswal (2009) mengartikan komunitas sebagai zona hidup bagi penduduk lokal. Namun, istilah komunitas (community) salah satunya juga mengarah pada pertanyaan-pertanyaan yang fokus pada kepentingan. Istilah community of interest merupakan sebuah terminologi yang berguna untuk menjelaskan hal ini. Implikasinya adalah komunitas tidak hanya merujuk pada tempat secara fisik tapi juga elemen geografis. Hal ini bisa saja terjadi, mengingat terdapat referensi yang memperlihatkan komunitas sebagai kumpulan orangorang yang berbeda dimana sebuah kepentingan umum disebarkan, tapi
9
mereka juga dapat saja dikumpulkan dari tempat yang berbeda, tidak perlu berkorespondensi meskipun mereka berbagi kepentingan. Kepentingan komunitas tidak perlu berasal dari perspektif yang hampir sama, namun sering kali merupakan perbaikan dari perspektif yang berbeda. Kajian ini memahami istilah community sebagai masyarakat atau komunitas yang berinteraksi satu sama lain dengan berbagi kepentingan. Namun dalam kajian ini community lebih difokuskan pada masyarakat yang berada dalam suatu zona lokal atau geografis. b.
Pengertian Community Development
Konsep mengenai comdev diperkirakan telah lahir tahun 1960 dengan tercetusnya sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut comdev2. Comdev adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). Literatur lain menyebutkan comdev sebagai suatu proses pembangunan berencana dalam segenap aspek kehidupan masyarakat dimana segenap anggota masyarakat secara bersamasama melakukan upaya bersama (collective action) dan menyelesaikan permasalahan bersama (Frank and Smith, 1999). Sementara definisi lain menekankan adanya keterlibatan masyarakat, dimana disebutkan bahwa comdev adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (Standing Conference for Community Development, 2001). Memang tidak mudah untuk mendefinisikan community development. Hal ini seperti yang dijelaskan Greg Wise sebagai berikut: “A common definition of community development is not simple to attain, nor is it universally agreed upon. Part of the confusion rests with the fact that community development is both process and product. The practice of community development is not one focused solely on material 2
Community development dalam berbagai literature terdapat pula penyingkatannya sebagai CD
10
resource development, nor is it devoted exclusively to systems for addressing community needs. 3. Jones and Silva (1991)4 consider an integrated model of community development that includes problem solving, community building, and systems interaction. Stated another way, they posit that a truly integrated approach assesses the problem, goes on to build community capacity, and importantly, addresses the problem”. Terjemahannya : “Sebuah definisi yang umum dari community development tidak selalu disepakati secara universal. Bagian dari kebingungan yang sering kali muncul adalah fakta antara produk dan proses dari community development. Praktek comdev tidak hanya difokuskan pada pembangun yang bersumber dari hal-hal yang bersifat material semata, ataupun halhal yang ditujukan secara eklusif pada sistem-sistem yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat (community needs). Dapat dipertimbangkan suatu model terintegrasi dari community development yang mencakup problem solving, community building dan interaksi sistem-sistem. Dengan kata lain, mereka menekankan adanya pendekatan yang benar-benar terintegrasi untuk mengukur masalah, melaksanakan upaya membangun kapasitas komunitas, dan yang penting adalah upaya mengatasi permasalahan.‖ Menurut Sander dalam Carry J. (1970), sebagaimana dikutip oleh Hasim dan Remiswal (2009), comdev dapat diklasifikasikan menjadi empat, masing-masing adalah sebagai proses, metode, program dan pergerakan. a. Comdev sebagai Proses Comdev sebagai proses bergerak melalui satu kondisi ke kondisi lainnya. Dalam hal ini melibatkan perubahan yang bersifat progresif. Sebagai proses comdev dibedakan menjadi dua bentuk, yakni proses yang radikal
dan
konservatif.
Sebagai
proses
yang
radikal,
comdev
membutuhkan partisipasi yang lebih besar, menumbuhkan kelompok serta pola-pola pengambilan keputusan yang baru, mempercepat perubahan yang direncanakan, dan pengambilan keputusan dalam komunitas. Semua ini menumbuhkan perubahan yang lebih cepat dan 3
Paper developed by Greg Wise, Extension Community Development Agent and Associate Professor, University of Wisconsin-Extension – Sauk County specifically for the EPA/USDA Partnership project. Contributor: Elaine Andrews, Extension Environmental Education Specialist, Environmental Resources Center, University of Wisconsin-Extension. 1998. 4 Jones and Silva (1991) dalam ibid
11
melibatkan
banyak
orang,
dan
pendekatan
ini
sering
disebut
transformation approach. Comdev sebagai proses yang konservatif atau yang lebih dikenal sebagai improvement approach, pengambilan keputusan pada tingkat local tetap dilakukan oleh pemerintah serta pemerintah tetap responsive terhadap kepentingan komunitas lokal (Norman dalam Hasim, 2000). Dengan demikian dalam comdev sebagai proses yang konservatif terdapat demokrasi di kalangan komunitas bawah (grassroot), dengan ditandai oleh tumbuhnya kesadaran, pengetahuan, serta kemampuan memecahkan masalah dari komunitas local. b. Comdev sebagai Metode Comdev sebagai metode berkaitan dengan digunakannya alat-alat dan cara-cara untuk mencapai tujuan dengan penekanan pada cara kerja dan tujuan. Sebagai metode, comdev berfungsi untuk menggali potensi sumberdaya manusia dalam bentuk pemberian latihan-latihan dan bagaimana menggali sumber daya alam yang ada melalui serangkaian langkah kegiatan dan prosedur yang harus ditempuh serta teknik-teknik yang digunakan. Sebagai metode, comdev dimaksudkan untuk : 1. menghilangkan faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan; 2. memanfaatkan potensi-potensi; 3. menggunakan sepenuhnya sumber-sumber baik alam maupun sumber lainnya yang terdapat di dalam komunitas; 4. mengembangkan kemampuan untuk mengatur kehidupan diri sendiri (bagi perorangan, kelompok, maupun komunitas); 5. mengembangkan kemampuan untuk berfungsi sebagai satu kesatuan yang terintegrasi. c. Comdev sebagai program Unsur penting dalam pelaksanaan program comdev mencakup : 1. Perencanaan;
12
2. Memberikan dukungan untuk dapat menolong diri sendiri; 3. Bantuan teknik mencakup tenaga pelaksana, peralatan, dan bantuan bahan makanan; 4. Keahlian khusus yang diintegrasikan untuk membantu komunitas; Jenis program dalam comdev adalah : 1. program dilaksanakan berdasarkan batasan wilayah atau area geografis, seperti daerah kumuh, perkampungan, pedesaan dan lainlain; 2. program yang dilaksanakan secara nasional serta dilibatkannya perencanaan secara keseluruhan dari pemerintah; 3. program yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok amal; d. Comdev sebagai suatu gerakan Comdev
sebagai
suatu
gerakan
cenderung
menjadi
terinstitusionalisasi untuk membangun struktur organisasinya, menerima prosedur dan dilaksanakannya oleh praktisi profesional. Sebagai suatu gerakan, comdev dipandang dapat menjadi media pengembangan struktur organisasi. Gerakan ini dirancang untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan melalui inisiatif komunitas. Tetapi bilamana inisiatif ini tidak datang secara spontan, maka dapat dilakukan melalui penggunaan teknik-teknik yang dapat membangun dan merangsang partisipasi tersebut. Pemahaman mengenai comdev tentu tidak dapat dilepaskan dari pemahaman akan pembangunan. Sesulit mendefinisikan community, menemukan definisi yang umum untuk mengartikan development menjadi suatu problem yang berada di luar model industrialisasi pada pertengahan tahun 1900-an. Konsep development dalam pembangunan komunitas kontemporer berarti jauh lebih dari pembangunan industri atau ekonomi. Kata terbaik yang dapat disubtitusikan dengan kata "development" dalam konteks ini adalah konsep-konsep yang lebih
pada advancement;
13
betterment;
capacity
building;
empowerment;
enhancement;
and
nurturing5. Pengertian lain ditawarkan oleh Dr. Love sebagai berikut : ―The underpinning ideology [values base] of community development is the enhancement of human potential for social change. The basic principles of this ideology are a commitment to social justice [a vision for a just and equitable society], active citizen engagement in creating community well-being, and the capacity [empowerment] to participate effectively in these processes, meet their personal needs and those of their families, work in partnership with others and engage in civil society. Good community development practice therefore seeks to enhance the capacity of individual, groups and communities in the constant search for that ideal6”. Terjemahannya : ―Ideologi mendasar (nilai dasar) comdev adalah peningkatan potensi sumber daya manusia untuk perubahan sosial. Prinsip dasar dari ideologi ini adalah sebuah komitmen untuk keadilan sosial ( sebuah visi masyarakat yang adil dan setara), keterlibatan masyarakat secara aktif dalam membuat dirinya sendiri menjadi lebih baik, dan pemberdayaan atau peningkatan kapasitas untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses-proses, dan menemukan kebutuhan-kebutuhan personal dan keluarga mereka. Dan bekerja dalam kerjasama dengan pihak lain dan terlibat dalam masyarakat madani. Praktek pembangunan dalam masyarakat yang baik memerlukan peningkatan kapasitas secara individual, kelompokkelompok dalam pencarian tetap untuk menjadi ideal‖. Selain memiliki prinsip-prinsip tertentu, kita juga perlu melihat bahwa comdev merupakan sebuah kegiatan yang sangat kompleks, banyak elemen yang
juga
hampir
mungkin
dapat
menggambarkan
pemberdayaan
(development) dalam cara yang jelas dan terorganisasi. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dimana pemberdayaan masyarakat merupakan 5
Greg Wise, Paper developed by, Extension Community Development Agent and Associate Professor, University of Wisconsin-Extension – Sauk County specifically for the EPA/USDA Partnership project. Contributor: Elaine Andrews, Extension Environmental Education Specialist, Environmental Resources Center, University of Wisconsin-Extension. 1998. 6 Dr. Love M. Chile [PhD]. Good Community Development Practice: An instrument for Building Community and Developing Society. Keynote Address to the New Zealand Council of Social Services Conference. Hamilton Gardens Pavilion, Hamilton, New Zealand. 19-20 September 2004.
14
suatu prasyarat utama yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologinya. Namun menjadikan sebuah upaya comdev efektif tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. c. Latar Belakang Konsep Community Development Comdev telah berkembang selama beberapa dekade lampau. Asal munculnya comdev diantaranya dapat ditelusuri dari proses rekonstruksi untuk memperbaiki kondisi negara-negara yang kurang berkembang paska perang dunia II (Philips dan Pitmann, 2009). Berbagai
sumber yang lain
mencatat asal konsep tersebut dari konsep ‗perang melawan kemiskinan‘ yang dicetuskan oleh Amerika yang menekankan pada penyelesaian permasalahan sosial dan lingkungan perumahan masyarakat. Hal yang penting dari konsep ini adalah timbulnya kesadaran bahwa suatu kota atau lingkungan masyarakat bukan hanya merupakan sekumpulan bangunan, melainkan sekumpulan ‗masyarakat‘ yang menghadapi masalah bersama yang memiliki kapasitas untuk melakukan perbaikan mandiri, namun kapasitas tersebut belum termanfaatkan. Perkembangan comdev juga tidak lepas dari perkembangan berbagai paradigma pembangunan. Pengalaman memperlihatkan bahwa pilihan untuk mengimplementasikan paradigma pembangunan tertentu akan merubah kondisi kehidupan masyarakat. Paradigma pembangunan sendiri mengalami perubahan dalam kecenderungan penerapannya. Pada awal paska perang dunia kedua, misalnya pembangunan lebih dititikberatkan pada peningkatan kapasitas
ekonomi
namun
kecenderungan-kecenderungan
penerapan
pembangunan tersebut tidak selalu menghasilkan pembangunan di berbagai tempat sebagaimana yang diharapkan. Hal ini mendorong dunia untuk melihat ulang konsep pembangunan yang ada sehingga munculah kecenderungan-
15
kecenderungn paradigma pembangunan berikutnya. Penekanan diberikan pada
upaya
mengurangi
kemiskinan,
pemerataan,dan
pengurangan
pengangguran. Selanjutnya dikenal pula upaya pendistribusian hasil-hasil pertumbuhan. Namun muncul pula persoalan-persoalan baru lainnya dan perhatian akan keberlanjutan pembangunan. Pilihan untuk melaksanakan pembangunan melalui comdev berkaitan dengan paradigm baru pembangunan yang dianggap bisa menjadi solusi atas kelemahan pembangunan yang ada. Paradigma baru tersebut mengandung beberapa elemen strategis yakni: pemberdayaan masyarakat, pengembangan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan tehnologi, serta penciptaan pemerintah yang bersih dan efisien (Damanhuri,1997; Zamhariri, 2008). Di Indonesia sendiri, comdev sebagai suatu konsep pembangunan masyarakat telah dikembangkan dan diterapkan sejak dasawarsa 60-an, yaitu dalam rencana pembangunan lima tahun 1956-1960 atau yang dikenal dengan nama Rencana Juanda (Zamhariri, 2008).
Pembangunan ini
diidentikan dengan pembangunan desa yang menitikberatkan pada tiga azas, yakni asas pembangunan integral, azas kekuatan sendiri, dan azas permufakatan.
Paradigma pembangunan berazaskan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan juga menjadi fokus yang penting. Namun selanjutnya, dikenal pula paradigma pembangunan partisipatif dan bottom up yang menjadi cikal bakal penerapan comdev. d.
Prinsip Dasar Secara konseptual, ciri-ciri comdev dapat ditemui dalam prinsip-prinsip
berikut : Box.2.1. Community Development Principles Community Participation, Everyone has a valuable contribution to make and community members can join in at any level. Volunteers and community members are integral to the decision-making, evaluation, provision, participation and direction setting at all levels of the organisation. Community Ownership, Members are actively involved in decision-making and have ownership of the centre‟s activities. A voluntary management committee comprising elected members who live, work or participate in the local community governs each
16
centre. The governance model is developmental, working co-operatively and collaboratively with staff, volunteers, centre participants and the wider community. Empowerment, A process that respects, values and enhances people‟s ability to have control over their lives is put into practice. This process encourages people to meet their needs and aspirations in a self-aware and informed way which takes advantage of their skills, experience and potential. Change and growth occurs through informing and empowering individuals and communities. Lifelong Learning, Learning is integrated into all aspects of centre activities, thus building and supporting the personal skills, knowledge, abilities and resilience of people. They develop the health, wellbeing and connection of people and their families, through formal and informal pathways in education, employment and selfdevelopment. Inclusion, The diverse contributions that people make are valued, no matter what their background or varying abilities. Individual and local needs are acknowledged and addressed, often through informal interaction. Access and Equity, promoting fairer distribution of economic resources and power between people by aiming to improve the social, environmental, economic and cultural infrastructures within their communities. Social Action, Internal and external factors that impact on the local community are analysed and relationships between individuals, groups and organisations and within the community transformed through collective action. Advocacy, In meeting individual and group needs, advocacy is conducted on behalf of, community members. Networking, Linking, forming alliances, collaborating and working with individuals, groups, other agencies, government and business are crucial, with interaction between formal and informal methods to achieve connections within the local communities. Self Help, Individuals are supported in coming together in a caring group environment to share information, knowledge, skills and life experience in order that each participant can reach their own personal goals 1. Sumber: The Melbourne based Association of Neighbourhood Houses & Learning Centres [ANHLC]
Prinsip-prinsip itu menjelaskan bahwa proses comdev memerlukan kontribusi tiap orang, dan keikutsertaan mereka dalam setiap pengambilan keputusan dan rasa memiliki di setiap level kegiatan. Proses comdev ini juga sebuah proses yang menghargai nilai-nilai
dan peningkatan kemampuan
masyarakat untuk dapat mengawasi hidup mereka melalui praktek-praktek. Comdev, merupakan upaya belajar terpadu dalam semua aspek kegiatan, membangun dan mendukung kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan. Upaya lain dalam proses ini adalah upaya untuk meningkatkan taraf hidup mereka baik secara ekonomi selain membangun jejaring, kolaborasi interaksi formal dan informal, dalam hubungan masyarakat lokal.
17
e. Tujuan dan Manfaat Community Development Sebagai suatu proses, comdev ditujukan untuk memberdayakan masyarakat untuk secara aktif melakukan perubahan guna memperbaiki kualitas hidup mereka, dan komunitas di mana mereka tinggal. Comdev, memiliki manfaat penting dalam pembangunan. Dalam kebijakan publik yang menentukan pembangunan, comdev dapat berperan sebagai aktivitas perubahan, khususnya pada tingkat lokal. Aktivitas ini pada akhirnya akan memberikan pelajaran dan memunculkan ide-ide bagi upaya merespon kebutuhan komunitas (Lee, 2006). Di samping itu juga dapat berperan sebagai suatu proses mengidentifikasi
dan
mempengaruhi
proses
yang membantu masyarakat untuk
mengartikulasikan pengambilan
kebutuhan
keputusan
mereka,
dan
struktur
serta yang
mempengaruhi mereka, komunitas mereka, dan masyarakat yang lebih luas. Sementara menurut Worldbank (2009) praktek-praktek dilakukan
untuk
meningkatkan
partisipasi
comdev
masyarakat
dalam
dapat tata
kepemerintahan daerah dan mengembangkan kapasitas lokal untuk merancang,
mengimplementasikan,
dan
mengelola
kegiatan-kegiatan
pembangunan. Comdev secara konsep dapat memberikan berbagai manfaat dalam rangka memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat serta mengintegrasikannya ke dalam kehidupan komunitas tersebut. f.
Dimensi-dimensi Community Development Comdev dijumpai dalam berbagai bidang dengan tehnik pendekatan
yang bervariasi. Ruang lingkup dari comdev mulai dari inisiatif sekelompok kecil masyarakat, sampai pada inisiatif lebih luas yang melibatkan seluruh anggota masyarakat. Di samping itu terdapat pula bentuk-bentuk comdev yang merupakan inisiatif dari swasta sebagai bentuk kontribusi nyata bagi masyarakat. Pada intinya
comdev dapat terjadi di seluruh bidang
pembangunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya terkait definisi comdev yang menyentuh segenap aspek kehidupan masyarakat. Ife dan
18
Tesoriero
(2008)
menyebutkan
bahwa
terdapat
berbagai
dimensi
pengembangan masyarakat yang sangat penting, yaitu : Pengembangan sosial Pengembangan ekonomi Pengembangan politik Pengembangan budaya Pengembangan lingkungan Pengembangan personal/ spiritual. Dimensi tersebut diperlihatkan dalam gambar 2 menyangkut dimensi ekonomi, sosial, politik, personal/spiritual, budaya, lingkungan.
Adapun
perspektif ekologis dan keadilan social menjadi landasan yang penting dalam comdev. Gambar 2.1. Dimensi-dimensi yang penting dalam comdev
Eko no mi
l
sia
So
Masyarakat
Budaya
Politik
Ekologi Keadilan Sosial
Pengembangan Lin g
ku
ng
an
P
r Spi al/ on s r e
al itu
Pengembangan Sosial Aktivitas yang merupakan pengembangan sosial dibagi empat, yaitu : Pengembangan Pelayanan
19
1. Persoalan Proses Aktivitas ini secara tipikal mencakup proses berikut : a. Identifikasi persoalan yang menjadi perhatian umum terhadap penyedia-penyedia layanan dalam masyarakat secara luas. b. Sebuah studi yang lebih detail atau sistematik tentang kebutuhan atau problem untuk menentukan sifat dan keluasannya c. Pertemuan public, forum atau konsultasi dengan semua orangorang terkait untuk mendorong mereka menghadiri dan berpartisipasi d. Melengkapi
formalitas-formalitas
yang
diperlukan
untuk
membentuk badan baru e. Pengembangan dan pelaksanaan badan baru yang sedang berjalan mencakup pemberdayaan orang-orang untuk terlibat secara aktif, mencari dana, atau mungkin mempekerjakan staf f.
Memantau dan mengevaluasi badan baru yang ada dan pelayanannya meliputi penjaminan bahwa badan baru tersebut dapat
akuntabel
pada
masyarakat
local
dan/
atau
konstituennya. 2. Persoalan-persoalan struktural Masalah tersedianya layanan kemanusiaan masih menjadi perhatian dalam pengembangan sosial. Masalah structural yang fundamental misalnya kelas, penindasan gender, ras/etnis. The Neighbourhood House/Balai Masyarakat Inisiatif untuk mengembangkan balai masyarakat atau neighbourhood house dapat diperoleh dari sejumlah tempat tinggal yang termasuk pemerintah
lokal,
pemerintah
negara
bagian,perwakilan
non
pemerintah,gereja dan kelompok masyarakat lokal. Agar balai masyarakat atau neighbourhood house berfungsi secara efektif,orang orang
setempat
harus
memiliki
kontrol
yang
besar
atas
pelaksanaannya dan pemanfaatan sumber daya yang ada.
20
Perencanaan Sosial Perencanaan sosial merupakan proses orang-orang di sebuah masyarakat yang membatasi kebutuhan mereka dan merencanakan bagaimana
untuk
memenuhi
kebutuhan
mereka
maupun
mengoordinasikan pelayanan dan sumber daya yang ada dan menggunakannya secara maksimal. Semangat Sosial Pengembangan sosial dapat juga berfokus pada kualitas interaksi sosial yang sesungguhnya dalam suatu masyarakat, bukan secara langsung
berfokus
pada
tersedianya
pelayanan
kemanusiaan.
Disinilah peran pekerja masyarakat merupakan salah satu katalisator yang bertujuan untuk mengantarkan orang-orang untuk membantu mereka menemukan potensi mereka untuk pengalaman masyarakat dan untuk aksi mereka. Pengembangan Ekonomi Dari perpektif pengembangan masyarakat,respons terhadap krisis ekonomi ini ditujukan pada pengembangan pendekatan alternatif yang berupaya merelokasikan aktifitas ekonomi dalam masyarakat agar dapat mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan untuk merevitalisasi masyarakat lokal serta untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Pengembangan ekonomi masyarakat dapat memiliki bentuk-bentuk yang berbeda,
tetapi
kategori.Pertama,
bentuk
ini
pendekatan
dapat yang
dikelompokan lebih
menjadi
konservatif
dua
berupa
mengembangkan aktifitas ekonomi masyarakat sebagian besar dalam parameter konvensional. Sedangkan kategori yang kedua, pendekatan yang lebih radikal , yakni berupaya mengembangkan ekonomi berbasismasyarakat alternatif. Pengembangan Ekonomi Masyarakat yang Konservatif 1. Menarik industri Pendekatan ini mencoba menarik industri baru ke wilayah lokal dengan memberikan lingkungan yang bagus untuk berinvestasi.
21
Untuk menarik industri baru ini masyarakat lokal perlu mencari bantuan dari pemerintah pusat dalam menyediakan infrastuktur ( jalan,lintasan kereta api, dll ) dan mungkin perlu membuat penawaran lain yang banyak pilihannya. Masalah dengan pendekatan tersebut adalah industri akan terus berpindah pindah mengikuti keadaan
pasar,selain itu tak ada
jaminan bahwa industri baru akan tetap berada dalam masyarakat lokal atau laba yang diperoleh akan diinfestasikan diwilayah itu. 2. Memulai industri lokal Terdapat potensi yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya, inisiatif, dan tenaga ahli lokal untuk membangun indusri lokal baru yang akan dimiliki dan dijalankan olh orang-orang yang ada di masyarakat lokal. Hal ini melibatkan kekayaan sumber daya lokal,bakat,minat dan keahlian beserta penaksiran keuntungankeuntungan
alam
dari
lokalitas
tertentu
dan
kemudian
memutuskan apa jenis industri baru yang mungkin berhasil. 3. Pariwisata Mempromosikan pariwisata dapat menjadi alternatif yang menarik , pariwisata akan menjadi sumber daya yang potensial yang dapat mendatangkan penghasilan,dan juga sebagai industry yang ‗bersih‘ yang tidak menimbulkan polusi serta dapat mendukung terbukanya tenaga kerja. Selain itu pariwisata juga dapat mendatangkan keuntungan dari bisnis yang berbeda-beda yang menciptakan
banyak
pekerjaan
dan
dapat
‗menempatkan
mayarakat itu pada peta‘ dan sebagainya. Tujuan strategi pengembangan ekonomi tersebut yaitu : a. menarik wisatawan yang lebih banyak untuk datang ke masyarakat tersebut baik sebagai tempat tujuan utama ataupun sebagai rute ketempat lain; b. untuk mendorong wisatawan tinggal selama mungkin di wilayah lokal
22
c. untuk membuat mereka membelanjakan uang sebanyak mungkin ketika mereka berada disana. Pengembangan Ekonomi Masyarakat yang Radikal Pendekatan yang lebih radikal terhadap pengembangan ekonomi masyarakat melibatkan upaya menemukan alternative, yakni ekonomi berbasis lokal (Albert & Ahnel, 1991). 1. Koperasi Koperasi menunjukkan alternatif yang sangat baik untuk struktur ekonomi yang lebih konvensional. Meskipun terdapat prinsipprinsip koperasi yang fundamental, koperasi dapat memiliki bentuk-bentuk yang berbeda tergantung pada kebutuhan lokal dan budaya lokal. 2. Bank Masyarakat dan Credit Unions Bank nasional dan transnasional yang besar merupakan bagian penting dari system ekonomi global, dan sudah pasti beroperasi khususnya untuk kepentingan kapasitas transnasional. Credit Unions
adalah
menanamkan
sekelompok uang
mereka
orang
yang
secara
sepakat
bersama-sama
untuk dan
memberikan pinjaman kepada para anggotanya. Credit Unions beroperasi seperti bank lokal skala kecil. Dalam mendirikan bank masyarakat atau credit unions sangat penting
untuk
menjamin
bahwa
basis
masyarakatnya
dipertahankan dan bank ini tidak dapat berkembang dan bergabung dengan ekonomi nasional atau intenasional, tetapi tetap sebagai fitur sentral dari ekonomi lokal. 3. LETS Nama LETS digunakan untuk skema berbasis-masyarakat yang menciptakan
mata
uang
alternatif
berbasis-masyarakat.
Kebingungan muncul mengenai maksud huruf tersebut: „local employment and trading scheme‟, „local energy transfer scheme‟, „local exchange and trading system‟, dll. Pendekatan LETS
23
berupaya
memformalkan
ekonomi
transaksi
lokal
dengan
menciptakan mata uang masyarakat. Ada banyak keuntungan potensial untuk LETS, yaitu :
memungkinkan orang-orang untuk melakukan transaksi ekonomi sekalipun mereka tidak memiliki penghasilan secara rutin.
Menghargai kontribusi apapun yang diberikan oleh orangorang kepada masyarakat, tidak terbatas pada keterampilan yang dihargai dalam pasar tenaga kerja tradisional.
Orang-orang dapat membeli barang-barang dan jasa yang dibutuhkan sekalipun mereka tidak memiliki uang.
Memiliki potensi untuk memperkuat solidaritas masyarakat dan memberikan fokus ekonomi bagi interaksi masyarakat.
4. Beberapa Isu dan Problem Sebuah pertanyaan besar mengenai koperasi, bank masyarakat, credit unions, dan LETS adalah bisakan semua itu mengatasi persoalan-persoalan ketimpangan structural seperti kelas, gender, dan etnisitas ras. Pengembangan Politik Mengubah distribusi kekuasaan dalam masyarakat sehingga kekuasaan
ini dapat dibagi
lebih
adil merupakan satu
tujuan
pengembangan politik. Tujuan lainnya yaitu untuk memberdayakan masyarakat tersebut agar berpartisipasi lebih efektif dalam arena yang lebih luas. Pengembangan
politik
berupaya
meningkatkan
kapasitas
masyarakat untuk berpartisipasi dalam arena politik, dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan baik dalam masyarakat secara menyeluruh maupun perseorangan dan kelompok dalam masyarakat itu untuk memberikan
kontribusi
dalam
proses
masyarakat
aktivitas,
dan
keputusan. Arena pengembangan politik ditetapkan sebagai internal dan eksternal.
Dari
kedua
arena
ini
terdapat
tiga
proses
penting
24
pengembangan politik, yaitu peningkatan kesadaran, pengorganisasian, dan aksi. Pengembangan Politik Internal Pengembangan politik internal terkait dengan proses partisipasi dan pembuatan keputusan dalam masyarakat. Cara ini dicapai melalui proses berikut : 1. Peningkatan Kesadaran Peningkatan
kesadaran
pengembangan
berlaku
masyarakat,
tetapi
untuk mungkin
semua
aspek
akan
sangat
signifikan berkaitan dengan pengembangan politik internal yang tercakup dalam bagian ini. 2. Pengorganisasian Aspek lain dari pengembangan politik internal yaitu cara yang digunakan oleh masyarakat dalam mengatur dirinya untuk mengatasi problem yang dihadapi dan untuk membangun alternative dan struktur yang otonom dalam jangka panjang. Pengembangan Politik Eksternal Pengembangan politik eksternal menunjuk pada pemberdayaan masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan politik yang lebih luas. Fokus utama pengembangan masyarakat dalam pengembangan politik eksternal yaitu pengorganisasian dan tindakan. 1. Pengorganisasian Organizing dalam konteks eksternal secara efektif berarti pengorganisasian untuk aksi sosial. Organizing melibatkan masyarakat dalam membentuk struktur yang tidak hanya akan membuatnya beroperasi dalam cara yang demokratis dan inklusif yang menjamin partisipasi maksimal, tetapi jug untuk membantu dalam meningkatkan kewenangannya yang efektif dalam arena yang lebih luas.
25
2. Aksi Sosial Tujuan dari jenis organisasi masyarakat ini adalah tercapainya beberapa bentuk perubahan dalam lingkungan eksternal. Hal ini biasanya melibatkan beberapa bentuk aksi sosial dan telah lama dilihat sebagai komponen penting dalam kerja masyarakat Pengembangan Budaya Dalam konteks pengembangan masyarakat, pengembangan budaya memiliki empat komponen yaitu : Melestarikan dan Menghargai Budaya Lokal Tradisi budaya lokal merupakan bagian penting dalam menanamkan rasa bermasyarakat, dan membantu memberikan rasa identitas kepada mereka. Tradisi ini meliputi sejarah lokal dan peninggalan berharga (heritage), kerajinan yang berbasis lokal, makanan lokal, atau produk-produk lainnya seperti festival atau pekan raya lokal, band lokal, sebuah reputasi untuk keterampilan dalam sepakbola atau terkait dengan komunitas etnik tertentu. Melestarikan dan Menghargai Budaya Asli Dua konteks yang berbeda untuk pengembangan masyarakat dengan orang-orang pribumi, yaitu : 1. masyarakat pribumi/ asli Tujuan utama pengembangan masyarakat adalah mengakui dan memperkuat budaya pribumi/ asli melalui strategi pemberdayaan yang efektif yang membantu mereka untuk memiliki kendali nyata terhadap masyarakat mereka sendiri dan nasib mereka sendiri. 2. penduduk pribumi dalam masyarakat yang lain Terdapat jumlah yang sangat mendasar pada orang-orang pribumi yang membentuk bagian dari sebuah kelompok komunitas yang lebih luas, beberapa isu yang berbeda dihadapi oleh pekerja masyarakat. Disini tujuan pengembangan masyarakat tidak saja meningkatkan dan melindungi budaya asli, tetapi juga mengakui dan menerima budaya tersebut dalam komunitas yang lebih luas.
26
Ini merupakan tugas yang sangat kompleks, yang memerlukan kepekaan budaya, kecanggihan politik, keterampilan komunitas, kemampuan untuk negosiasi dan advokasi, komitmen personal yang kuat terhadap keadilan sosial, perbaikan hak asasi manusia, waktu, kesabaran, dan kegigihan. Multikulturalisme Penggunaan istilah ―multikulturalisme‖ biasanya menunjuk pada kelompok etnis yang berbeda yang tinggal di satu masyarakat tetapi mempertahankan identitas budaya yang berbeda. Fokus ini yaitu pada etnisitas dan fitur budaya dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Isu kebijakan multicultural dan politik sangat kompleks, tetapi keanekaragaman latar belakang budaya merupakan realitas bagi banyak masyarakat, dan oleh karena itu merupakan aspek yang penting dari pembangunan budaya masyarakat. Budaya Partisipatif Aspek terakhir dalam pengembangan masyarakat berkaitan dengan partisipasi dalam aktivitas-aktivitas budaya, bukan mempertahankan tradisi budaya. Aktivitas budaya, dilihat sebagai suatu yang dimainkan oleh kaum elite professional untuk konsumsi mayoritas yang pasif. Budaya tersebut dikemas dan dijual sebagai produk yang dikonsumsi, bukan sebagai sesuatu yang dapat melibatkan orang-orang secara aktif. Aktivitas budaya tersebut merupakan focus penting untuk identitas masyarakat, partisipasi, interaksi sosial dan pengembangan masyarakat. Partisipasi budaya dilihat sebagai cara penting untuk membangun modal sosial, memperkuat masyarakat, dan menegaskan identitas.
Aktivitas-aktivitas
budaya
memiliki
potensi
untuk
peningkatan kesadaran, eksplorai penindasan, menghubungkan problem-problem personal dan politik, dan mengungkap problem sosial.
27
Pengembangan Lingkungan Lingkungan merupakan komponen penting dari masyarakat, dan perlu dicakup dalam pendekatan yang terpadu terhadap pengembangan masyarakat. Pendekatan ini berlaku untuk lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Isu-isu lingkungan kadang kala sangat penting dalam menyadarkan masyarakat secara keseluruhan dan menjadi katalisator untuk aksi masyarakat. Hal ini telah lama diakui dalam wilayah perkotaan yang aksi sosialnya banyak dibahas sebagai reaksi terhadap jalan raya lintas atau pembangunan properti yang diajukan yang memiliki dampak langsung terhadap lingkungan dan dilihat sebagai ancaman terhadap kehidupan masyarakat lokal. Pembangunan ini melibatkan perbaikan lingkungan masyarakat dalam arti yang paling luas, dan menuntut mereka untuk sadar
mengenai
pentingnya
isu-isu
lingkungan
dan
untuk
ikut
bertanggungjawab dalam memperbaiki dan melindungi lingkungan lokal. Bioregionalisme adalah suatu gerakan yang melihat lingkungan lokal sebagai basis primer untuk pengembangan masyarakat (Sale, 1991). Gerakan ini menekankan kemandirian dan prinsip-prinsip otonomi dan lokalisasi. Pengembangan masyarakat dapat juga dilihat sebagai gerakan menembus batas-batas masyarakat lokal. Analisis Green menekankan bahwa kita hidup di satu dunia yang terbatas, dan bahwa setiap warga Negara dan setiap masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melindungi ekosistem global. Teknik-teknik pengembangan masyarakat yang berbasis lingkungan meliputi
peningkatan
kesadaran,
pendidikan,
pengorganisasian
masyarakat lokal dan menetapkan tujuan serta prioritas. Hasil yang ingin dicapai mencakup pembuatan cagar alam, penanaman pohon, konservasi tanah, membuat ekonomi lokal lebih mandiri, memperkenalkan pengenali polusi yang lebih ketat terhadap industri lokal, mengubah regulasi
28
bangunan lokal dan membuat daur ulang (seperti industri baru atau paad basis koperasi). Pengembangan Personal dan Spiritual Perkembangan Personal Dalam pengembangan masyarakat sangat penting melibatkan perkembangan personal (personal growth) dan pengembangan personal (personal development). Salah satu justifikasi utama untuk pengembangan masyarakat yaitu bahwa masyarakat merupakan koneteks yang lebih baik untuk pengembangan personal daripada struktur birokrasi yang lebih impersonal dari pemerintahan yang besar dan bisnis yang besar. Aspek-aspek pengembangan social menekankan pada pengembangan dan
pemberian
pendidikan,
pelayanan
perumahan,
kemanusiaan
dan
perawatan
seperti
kesehatan,
orang-orang
yang
memerlukan asuhan. Ide mengenai pengembangan personal dan perkembangan personal juga dikaitkan dengan aktivitas yang berbeda-beda yang mencakup bertemu dengan kelompok, jenis terapi yang banyak sekali, gelstat, „new age‟, cara pemujaan, bacaan tarot, program neuro linguistic, mistik dan ilmu gaib. Perkembangan personal memiliki nama yang buruk. Perkembangan personal telah menjadi industri yang individualis dan professional , dengan para ahli yang diberi wewenang untuk mendikte kita bagaimana merasa terpenuhi secara personal. Perkembangan personal dapat juga konservatif secara politik. Dari perspektif perkembangan personal, terlalu mudah untuk mengalihkan problem personal ke problem sosial individual, dengan tendensinya yang luar biasa untuk ‗menyalahkan korban‘. Perkembangan personal juga
sangat sesuai dengan
individualisme
dan
persaingan
kapitalisme, dan masyarakat yang semakin individualis.
29
Pengembangan Spiritual Masyarakat modern memiliki sifat dasar yang sangat sekular, dan memberikan sedikit ruang untuk gagasan-gagasan tentang kesakralan atau untuk nilai-nilai spiritual. Oleh sebab itu, terdapat kebutuhan yang mendasar bagi pengembangan masyarakat untuk memasukkan gagasan-gagasan pengembangan spiritual. Dalam konteks ini kata-kata sacred dan spiritual digunakan dalam arti yang paling luas, dan tidak menyamakan semata-mata dengan pemahaman agama-agama mainstream, meskipun perspektif tersebut harus dicakup. Siapa pun dapat memiliki pengalaman spiritual diluar batas-batas agama yang terorganisir. Pengembangan yang Seimbang Seperti
dijelaskan
sebelumnya,
ada
enam
aspek
dalam
pengembangan masyarakat, yaitu : pengembangan social, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan personal/spiritual. Sebuah pendekatan yang efektif untuk pengembangan masyarakat harus memperhatikan keenam aspek ini, meskipun dalam situasi tertentu, beberapa aspek harus dilihat sebagai prioritas yang lebih tinggi. Jika ada satu aspek yang terlewatkan,
masyarakat
tersebut
akan
lebih
buruk
dan
pengembangannya tidak akan merata. Perspektif holistic menekankan bahwa semua aspek pengembangan masyarakat sangat penting, dan semuanya saling berkaitan. Masingmasing mempengaruhi aspek lainnya, dan pengembangan pada salah satu wilayah ini cendrung membantu pengembangan pada wilayah lain. Dimensi-dimensi ini disebut penting dalam artian bahwa siapa pun yang terkait dengan program comdev harus memperhatikan ke-enam dimensi tersebut dan tujuannya harus memaksimalkan pengembangan pada seluruh dimensi ini.
30
g. Varian dan Pendekatan Community Development Salah satu cakupan comdev adalah community empowering. Community empowerment memiliki syarat-syarat sebagai sebagai berikut:
Komunitas
dapat diberdayakan jika : 1) memiliki akses terhadap informasi, 2) dili batkan dan berpartisipasi dalam forum dimana isu-isu didiskusikan dan dilakukan pengambilan keputusan, 3 ) dapat menjaga pengambil keputusan untuk bersikap akuntabel terhadap pilihan dan tindakan, dan 4) memiliki kapasitas dan sumberdaya untuk mengelola dan mengekspesikan kepentingan mereka dan/atau untuk mengambil peran sebagai mitra bagi instansi penyedia layanan publik7. Bentuk- bentuk dari comdev diantaranya adalah
Community Based
Development. Konsep Community Based Development (CBD) menganggap bahwa komunitas dapat menggunakan modal sosial (sosial capital) mereka untuk mengorganisasi mereka sendiri dan berpartisipasi dalam proses-proses pembangunan. Dengan demikian, konsep seperti partisipasi, komunitas dan modal
sosial
merupakan
hal
sangat
penting
untuk
konsep
dan
implementasinya. Landasan CBD adalah keterlibatan secara aktif dari anggota komunitas dalam setidaknya beberapa aspek dari perencanaan kegiatan dan pelaksanaannya. Pada saat partisipasi berlangsung di berbagai level, masuknya ‗local knowledge‟ ke dalam proses-proses pengambilan keputusan menjadi salah satu hal yang penting. Ketika partisipasi sampai pada kemampuan membuat keputusan-keputusan kegiatan kunci, partisipasi bergerak ke tingkat ‖self-initiated actions”--- hal inilah yang dianggap sebagai sebuah pelatihan untuk mampu menyuarakan (voice) dan memilih (choice) atau pemberdayaan (empowerment) dalam terminologi CBD. Community Based Development (CBD) salah satu variannya adalah Community Driven Development (CDD). Konsep CBD adalah sebuah payung yang mengarah pada kegiatan yang secara aktif mencakup kemanfaatan dalam rancangan dan manajemen mereka. Sedangkan CDD merupakan 7
Derick W. Brinkerhoff, with Omar Azfar, Decentralization and Community Empowerment: Does community empowerment deepen democracy and improve service delivery?, Oktober 2005
31
sebuah terminologi, secara umum berasal dari konsep-konsep pemberdayaan yang didanai oleh organisasi donor. Sebagai contoh adalah proyek-proyek CBD yang
memungkinkan komunitas memiliki pengawasan langsung kepada
keputusan kunci proyek, misalnya dalam manajemen pendanaan investasi. Di samping varian tersebut atas, dijumpai pula berbagai pendekatan dalam comdev. Hasim dan Remiswal (2009) antara lain menyimpulkan berbagai pendekatan dalam comdev yang bisa dijumpai. Pertama, pendekatan sosio karitatif, yakni suatu pendekatan comdev yang ditandai oleh anggapan bahwa masyarakat adalah miskin dan menderita serta tidak mampu menyelesaikan masalahnya sehingga perlu ditolong. Kedua, pendekatan sosio ekonomis, yakni bentuk comdev yang dilandasi anggapan bila pendapatan masyarakat ditingkatkan atau bila kebutuhan ekonominya terpenuhi persoalan lainnya dengan sendirinya akan terpecahkan. Ketiga, pendekatan sosio reformis, yakni bentuk comdev yang dilandari bahwa masyarakat dalam keadaan darurat oleh karena itu comdev dilakukan untuk mengembalikan pada keadaan semula. Keempat, pendekatan sosio transformative adalah comdev yang dilandasi anggapan bahwa pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah perubahan sikap, tingkah laku, pandangan dan budaya, yang mengarah pada keswadayaan dalam mengenal masalah, merencanakan pemecahannya, melaksanakan pemecahannya, sekaligus mengevaluasi. h. Proses Community Development Salah satu proses yang penting dalam comdev adalah peningkatan kesadaran (Ife dan Tesoriero, 2008). Di dalamnya mencakup empat aspek, yakni: 1) berkaitan dengan aspek personal dan politik. Peningkatan kesadaran mengharuskan bahwa keduanya dijalankan bersama. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan peningkatan kesadaran, menolong masyarakat untuk membuat hubungan antara pengalaman personal dan politik merupakan tugas yang penting dalam proses tersebut; 2) membangun hubungan dialogis; 3). Berbagi pengalaman 4) membuka peluang untuk melakukan tindakan. Adapun proses lain yang penting adalah kerjasama, langkah pengembangan,
32
perspektif
anti
kekerasan,
perspektif
konsensus,
dan
membangun
masyarakat. Pemahaman yang lebih sederhana tentang proses comdev dapat dijumpai dalam Phillips dan Pitman (2009) yang memandang proses comdev sebagai sebagai suatu rantai proses. Disebutkan bahwa comdev adalah pembangunan modal sosial (social capital building), yakni suatu upaya komprehensif yang berkelanjutan untuk memperkuat norma, dukungan, dan sumber daya
untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi community
(Committee for Economic Development,1995; Phillips dan Pitman ,2009). Proses ini selanjutnya membentuk modal sosial yang dicirikan dengan adanya kemampuan untuk melakukan tindakan. Proses selanjutnya adalah hasil dari comdev dimana terdapat tindakan positif yang menghasilkan perbaikan fisik maupun sosial. Pada kedua proses terakhir, terdapat timbal balik untuk proses yang pertama, demikian juga dari proses yang ketiga bagi proses yang kedua. Oleh karena itu dapat ditunjukkan bahwa proses pembangunan masyarakat adalah proses yang hasilnya akan bermanfaat bagi proses selanjutnya. Dalam
pelaksanaannya,
terdapat
beberapa
tahap
yang
perlu
diperhatikan, yakni:1) Persiapan & Konsolidasi ;2) Pemetaan Kebutuhan secara partisipatif; 3) Penyusunan Strategi/Rencana Tindak; 4) Implementasi Strategi. 2. Pemberdayaan
dan
Partisipasi
Masyarakat
dalam
Community
Development Dari berbagai literatur yang ditelaah, dapat disimpulkan bahwa pemahaman akan komitmen pada pemberdayaan dan partisipasi merupakan konsep yang penting dari comdev. Dalam praktek tidak jarang kedua istilah ini diidentikkan dengan comdev. Meskipun pemberdayaan ini tentunya juga sebuah ide yang kompleks, ada sebuah metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi banyaknya komponen dan proses-proses yang terdapat dalam upaya pemberdayaan ini.
33
Wrihatnolo dan Dwidjowiyoto8 antara lain menyimpulkan bahwa sebagai suatu proses,
pemberdayaan
mencakup
tiga
tahapan:
penyadaran,
pengkapasitasan, dan pendayaan. Pada tahap penyadaran target yang hendak diberdayakan diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai
―sesuatu‖.
Selanjutnya,
dalam
pengkapasitasan
adalah
memberikan daya atau kuasa. Selanjutnya adalah memberdayakan kelompokkelompok tersebut. Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Meskipun dari beberapa contoh kasus yang disebutkan sebelumnya faktor internal sangat penting sebagai salah satu wujud selforganizing dari masyarakat namun kita juga perlu memberikan perhatian pada faktor eksternalnya. Adapun partisipasi masyarakat yang aktif merupakan kunci menuju pemberdayaan masyarakat. Beberapa argumen yang mendukung pernyataan tersebut antara lain sampaikan oleh Reid (2000). Pertama, dalam masyarakat yang berpartisipasi aktif, banyak pihak terlibat dalam kegiatan masyarakat, tidak hanya dilakukan oleh elit. Kedua, komunitas yang partisipatif terbuka bagi keterlibatan berbagai kelompok dan tanggungjawab dibagi bersama serta kekuasaan terdesentralisasi. Dari berbagai prinsip pemberdayaan, partisipasi aktif masyarakat dimungkinkan adalah yang terpenting. Tidak hanya karena membawa pada penguatan proses demokratik, namun juga membawa hasil yang lebih baik, tingkat penggunaan sumberdaya yang lebih tinggi, dan masyarakat pun lebih mau terlibat dengan sukarela. Namun partisipasi bukanlah sebuah kondisi yang dapat terjadi begitu saja. Rudu (2007) menyebutkan setidaknya ada tiga prasyarat untuk terjadinya partisipasi, yaitu:1). Kebebasan untuk berpartisipasi, yaitu otonomi;
Wrihatnolo, Randy R and Riant Nugroho Dwijowijoto, Empowerment Manajemen, Jakarta, Gramedia, 2007 8
34
2). Kemampuan nyata untuk berpartisipasi; dan 3). Kehendak untuk berpartisipasi. Hal ini menunjukkan perlunya upaya pemenuhan prasyarat tersebut agar partisipasi yang diharapkan dapat terwujud. B. COMMUNITY DEVELOPMENT DAN PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Otonomi daerah merupakan salah satu prasyarat untuk terwujudnya partisipasi. Esensi dari pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri memang diarahkan sebagai wahana untuk mewujudkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan menuju masyarkat Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Desentralisasi merupakan proses pengurangan atau penghapusan peran dan wewenang pemerintah pusat guna menciptakan pemberdayaan pemerintah daerah dan masyarakat daerah untuk bisa mengembangkan daerahnya secara mandiri.
Dalam perkembangannya
otonomi daerah pada dasarnya diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat. Hal ini sangat sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh comdev. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan konsep ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengimplementasikannya. Daerah kemudian harus lebih dipahami dalam dua elemen yang diharapkan bisa saling berinteraksi sebagai suatu kekuatan, yakni elemen pemerintah (local state agencies) dan elemen masyarakat (society atau local people community). Asumsinya, melalui interaksi dari kedua elemen tersebut, baik dari dimensi fungsional maupun kritis, akselerasi demokrasi dan ekonomi (social welfare) bisa berjalan lebih cepat9. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan komunitas sebagai berikut : ― The concept of building community is an attempt to reconnect community development with social transformation [developing society]. The model of social transformation relates to the recreation and reconstitution of social, cultural and economic relationships through social action consisting of dynamic processes of self-evaluation, selfassertion, self-reliance and self-determination particularly for the powerless and marginalized groups in society‖. 9
La Ode Ida. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK).2002. hal 56
35
Terjemahannya: ―Konsep membangun masyarakat atau memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk menghubungkan kembali dengan transformasi sosial (developing society). Model transformasi sosial ini berkaitan dengan re-kreasi dan sosial rekonstitusi, budaya dan hubunganhubungan ekonomi melalui tindakan sosial yang tetap pada proses dinamis dari self-evaluation, self- assertion, self-reliance and selfdetermination dengan cara tertentu untuk kelompok-kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan termarginalkan.‖ Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya. Pembangunan masyarakat diyakini dapat memberikan kontribusi positif bagi outcome penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam comdev ditemukan proses pemberdayaan dan partisipasi (Ledwith dan Campling, 1997). Pembangunan komunitas bisa memperbaiki outcome desentralisasi terkait dengan argumen tersebut. Brinkerhoff dan Azfar (2005) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan masyarakat tersebut bisa meningkatkan outcome desentralisasi. Jika desentralisasi diharapkan bisa mendatangkan outcome seperti penguatan desentralisasi dan perbaikan pelayanan publik, maka proses pemberdayaan masyarakat akan berperan di dalamnya. Pertama, mekanisme-mekanisme
pemberdayaan
masyarakat
yang
mampu
meningkatkan partisipasi dan inklusifitas akan meningkatkan akuntabilitas dan
pengawasan
masyarakat.
Kedua,
outcome
dari
pemberdayaan
masyarakat juga akan mampu meningkatkan keahlian dan kapasitas untuk melakukan tindakan kolektif (collective action). Keahlian dan kapasitas ini sangat berpengaruh bagi warga masyarakat untuk mampu memobilisasi guna mengekspresikan kepentingan mereka, menuntut hak-hak, dan menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahan demokratis (democratic governance). Meski terdapat pula kasus dimana
hubungan sosial klientalistik lokal bisa
membatasi kemampuan masyarakat mengaplikasikan keahlian kolektif yang
36
baru tersebut, keahlian dan kapasitas untuk melakukan tindakan kolektif tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Ketiga, manfaat lain dari mekanisme pemberdayaan masyarakat bagi desentralisasi adalah terbentuknya kaderkader pemimpin baru yang memiliki keahlian demokratis (expanded cadre of leaders with democratic skills). Dengan semakin meluasnya ruang politik, penduduk lokal bisa mengembangkan keahlian kepemimpinan demokratis mereka. Dengan demikian akan tumbuh pemimpin-pemimpin lokal dengan keahlian dan kapasitas sebagaimana yang terjadi pada komunitas. Adapun kontribusi bagi perbaikan pelayanan publik antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pelayanan publik semakin sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan warga. Hal ini bisa terjadi dengan adanya hubungan kemitraan antara komunitas dengan penyedia layanan publik yang ditujukan untuk menjaga agar pelayanan yang diberikan memenuhi kebutuhan. Kedua, semakin terbukanya kesempatan untuk melakukan inovasi akan menimbulkan demonstration effect di tempat lain untuk meniru inovasi yang berhasil. Argumen tersebut juga didukung pendapat bahwa Community Driven Development, yang merupakan varian comdev, dianggap sebagai mekanisme yang dapat : (i) meningkatkan sustainabilitas, (ii) memperbaiki efisiensi dan efektifitas; (iii) memungkinkan upaya penurunan kemiskinan semakin diperluas jangkauannya ; (iv) membuat pembangunan lebih inklusif ; (v) memberdayakan masyarakat miskin, membangun modal social, dan memperkuat tata kepemerintahan ; serta (vi) menjadi komplemen layanan privat dan pemerintah. Klaim tersebut bisa dicapai dengan: a) mereduksi persoalan informasi yang kerap menyebabkan ketidaksesuaian antara program dan kebutuhan; b) memperluas sumberdaya yang tersedia bagi masyarakat miskin; dan c) memperkuat kemampuan komunitas dengan menumbuhkembangkan organisasi yang merepresentasikan meraka serta memampukan mereka untuk meningkatkan kemampuan organisasional yang bisa memperkuat kapasitas bagi tindakan-tindakan kolektif. Hubungan comdev dan penyelenggaraan otonomi daerah dapat pula diuraikan dengan meminjam
framework community development
yang
37
dirumuskan oleh Ronda dan Pitman (2009). Framework tersebut relevan dengan konsepsi bahwa comdev bisa memberikan kontribusi terhadap tujuan otonomi daerah. Menurut mereka community development terkait dengan modal social (social capital). Sehingga penting untuk diamati bagaimana community development bisa meningkatkan social capital. Proses ini secara umum dapat dikatakan sebagai social capital building atau capacity building, yakni suatu proses yang berlangsung secara komprehensif sebagai usaha memperkuat norma-norma, dan sarana memecahkan permasalahan yang dihadapi suatu komunitas.
Capacity Building Community Development Process Developing The Ability to Act
Social Capital The Ability to Act
Community Development Outcome Taking Action Community Improvement
Gambar. 2.2 Community Development Chain
Gambar diatas menunjukkan rantai proses comdev. Rantai tersebut diakhiri oleh
suatu
outcome
berupa
tindakan-tindakan positif
yang
menghasilkan perbaikan-perbaikan baik secara fisik maupun sosial bagi komunitas tersebut.
Contohnya adalah perbaikan fasilitas, interaksi publik,
infrastruktur, dan sebagainya. Individu pun, sebagai anggota komunitas ini akan mampu menjadi lebih baik (better off) dan dimungkinkan akan memiliki lebih banyak waktu untuk membahas isu-isu komunitas karena mereka akan memerlukan lebih sedikit waktu untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) mereka. Kesimpulannya adalah bahwa terdapat relevansi antara comdev dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Dimana outcome dari comdev adalah kontribusi yang sangat signifikan bagi tercapainya tujuan otonomi daerah. Comdev bisa memungkinkan masyarakat melakukan tindakan kolektif yang
38
sejalan dengan permasalahan dan aspirasi komunitas untuk membentuk modal sosial yang menghasilkan perbaikan-perbaikan baik secara fisik maupun sosial bagi komunitas tersebut. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kontribusinya sebagai proses yang memungkinkan terbentuknya kaderkader pemimpin baru yang memiliki keahlian demokratis serta masyarakat yang memiliki tradisi pemberdayaan. C. KEBIJAKAN COMMUNITY DEVELOPMENT DI INDONESIA Praktek comdev sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Terlebih dengan semakin diterimanya konsep pembangunan yang berkelanjutan serta tumbuhnya kesadaran akan kesalahan-kesalahan pendekatan dalam pembangunan masyarakat yang tidak inklusif. Kebijakan yang berorientasi pada comdev dapat ditelusuri dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang mengangkat tema pemberdayaan masyarakat. Pada umumnya program-program tersebut diturunkan pada kebijakan sektoral dan melekat pada kebijakan-kebijakan terkait sektor tertentu serta dapat ditemui pada kebijakan-kebijakan daerah. Di Indonesia, praktek nyata kebijakan tersebut seringkali diletakkan dalam kerangka percepatan pengurangan kemiskinan dalam bentuk program-program pemberdayaan komunitas (community empowerment). Sebelum era Pemerintahan Presiden SBY, pada tahun 1998 pemerintah Indonesia pernah mengimplementasikan berbagai program pemberdayaan komunitas. Dua diantaranya adalah Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan dan Program Pengembangan Kecamatan yang menjadi model bagi kebijakan pemberdayaan komunitas baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mencakup lebih dari 20.000 desa yang terbentang dari Sumatra hingga Papua bahkan dikatakan menjadi proyek pembangunan komunitas yang terbesar di Asia Tenggara. PPK mendukung perencanaan pembangunan yang dirumuskan dan disetujui oleh komunitas.
Dengan
memfokuskan
pada
proses
bagaimana
proyek
pembangunan lokal direncanakan dan dikelola, PPK menandai suatu
39
perubahan penting dalam pelaksanaan proyek pembangunan yang berbeda dari pendekatan sebelumnya. Selain kedua program tersebut, terdapat pula kebijakan Pembangunan Komunitas Adat Tertinggal (KAT) yang didasarkan pada Keppres Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembangunan KAT dengan Departemen Sosial sebagai leading sector-nya Salah satu kebijakan pembangunan komunitas lain yang merupakan turunan Program Pembangunan Jangka Menengah (tahun 2004-2009) adalah program perbaikan kehidupan perdesaan (RLI) bagi pengembangan komunitas yang diimplementasikan juga dalam rangka mengatasi kemiskinan. Salah satu program RLI adalah program transmigrasi yang secara khusus difokuskan pada pengembangan komunitas. Program ini menggabungkan berbagai proyek seperti program penghapusan kemiskinan, revitalisasi pertanian, pengembangan perdesaan, pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, percepatan pembangunan infrastruktur, perbaikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, serta perbaikan program perlindungan sosial dan kesejahteraan. Bappenas (2008) mencatat adanya berbagai program berbasis komunitas yang berkaitan dengan target sektor atau prioritas yang dilaksanakan oleh 19 kementrian teknis. Untuk mereduksi tumpang tindih lokasi, grup target, institusi/organisasi komunitas maupun mekanisme, prosedur, dan aktivitasnya, maka program-program tersebut diintegrasikan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang diimplementasikan mulai tahun 2008. Melalui integrasi ini diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas program pengurangan kemiskinan melalui
pendekatan
community-driven
development.
Di
samping
itu
diharapkan pula akan meningkatkan berbagai elemen kunci program-program tersebut,
khususnya
kualitas
pemberdayaan
masyarakat,
kapasitas
pemerintah, keberlanjutan proyek, manajemen keuangan, kinerja, serta basis data dan sistem informasi manajemen. Sebanyak 3.800 kecamatan tercakup dalam progam ini pada tahun 2008, serta 5.263 kecamatan pada tahun 2009.
40
Menilik beberapa kebijakan di atas, dapat dikatakan bahwa praktekpraktek tersebut cenderung merupakan kebijakan top-down yang secara disain dirumuskan oleh pemerintah pusat. Hal ini salah satunya diindikasikan dari pemilikan target dan lokasi serta strategi pemberdayaan oleh pemerintah. Orientasi comdev dalam praktek-praktek tersebut lebih pada bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan dana-dana program tersebut melalui perencanaan yang dirumuskan menurut aspirasi masyarakat. Kebijakan yang lebih bersifat bottom up dapat dilihat pada upaya mewujudkan
Pembangunan Kawasan Pedesaan Berbasis
Masyarakat
(PKPBM). Sejalan dengan penguatan kembali otonomi desa, pemerintah mengupayakan pembangunan pedesaan yang lebih menekankan pada pemberdayaan. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan pelestarian lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam secara
partisipatif,
produktif
dan
berkelanjutan
dengan
berbasis
pemberdayaan masyarakat, maka diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Pembangunan Kawasan Pedesaan Berbasis Masyarakat.
Kebijakan ini cenderung berorientasi pada comdev secara
bottom up karena hanya memberikan arahan bagi desa dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berbasis masyarakat. PKPBM dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: Pertama, adil, dimaksudkan bahwa setiap orang atau warga masayarakat di desa berhak untuk berpartisipasi dan menikmati manfaat dan hasil serta memperoleh kompensasi dari akibat yang ditimbulkan oleh pelaksanaan PKPBM; Kedua, partisipatif artinya PKPBM dilakukan bersama masyarakat dengan melibatkan Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan pemangku kepentingan lainnya termasuk lembaga swasta mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan serta pengendalian; Ketiga, holistik artinya PKPBM dilakukan melalui upaya yang mampu merespon permasalahan masyarakat perdesaan yang multi dimensional meliputi dimensi sosial budaya, kelembagaan, ekonomi, sumber daya alam, lingkungan dan infrastruktur; Keempat, keseimbangan artinya PKPBM
41
menekankan keharmonisan antara pencapaian tujuan ekonomi dalam rangka menciptakan kemakmuran bagi masyarakat banyak dan tujuan sosial dalam bentuk memelihara kelestarian lingkungan serta konservasi sumber daya alam; Kelima,
Keanekaragaman;
PKPBM
dilakukan
dengan
mengakui
perbedaan ciri masing-masing komunitas perdesaan, adat istiadat dan sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, ciri ekologis dan berbagi peran antar berbagai pelaku dan pemangku kepentingan; Keenam, Keterkaitan ekologis yang artinya PKPBM dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara satu tipologi kawasan pertanian terkait dengan kawasan lindung dan sebagainya; Ketujuh, sinergis artinya PKPBM dilakukan secara sinergi antar penataan ruang, Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa (PPTAD), dan penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan; Kedelapan, keberpihakan ekonomi rakyat artinya PKPBM dilakukan dengan berpihak pada kepentingan penduduk miskin, penciptaan lapangan kerja, dan mendorong kegiatan ekonomi serta produksi rakyat yang berorientasi pasar; Kesembilan, transparan yang artinya PKPBM dilaksanakan dengan semangat keterbukaan sehingga seluruh masyarakat dan pelaku memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang rencana dan pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan; dan Kesepuluh, akuntabel yang berarti bahwa dalam pelaksanaan PKPBM, pelaksana dapat diminta tanggung gugat dan tanggung jawab oleh publik atas proses dan hasil serta dampak yang diakibatkannya. Secara substansial kebijakan ini mengacu pada konsep comdev yang dikhususkan bagi komunitas masyarakat yang bermukim di pedesaan. Pilar kegiatan yang tercakup dalam PKPBM meliputi penataan ruang partisipatif, penetapan dan pengembangan Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa (PPTAD),
serta
penguatan
kapasitas
masyarakat,
kelembagaan,
dan
kemitraan. Namun bagaimana praktek nyata dari kebijakan ini perlu telaah lebih lanjut.
42
Praktek-praktek comdev banyak dikampanyekan oleh lembaga-lembaga donor maupun lembaga-lembaga nir laba lainnya baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Comdev dipilih sebagai salah satu strategi bagi lembaga-lembaga tersebut dalam menyalurkan dana-dana bantuan pembangunan.
Lembaga-lembaga
internasional
seperti
ADB,
UNDP,
Worldbank, JICA, dan sebagainya, tercatat pernah menginisiasikan programprogram pembangunan komunitas.
Di samping lembaga internasional,
lembaga non pemerintah lainnya seperti perguruan tinggi juga turut berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada comdev dengan fokus dan ruang lingkup yang bervariasi. Salah satunya pada tahun 2001 dengan dukungan dari Asian Development Bank, Kementerian Dalam Negeri Pemberdayaan
Masyarakat
melaksanakan
melalui Direktorat program
Community
Empowerment for Rural Development (CERD) yang mencakup 11 kabupaten di
6 provinsi di Kalimantan dan Sulawesi. Proyek ini ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan riil masyarakat miskin, khususnya masyarakat pedesaan disekitar pusat-pusat pertumbuhan. Sasaran dari proyek ini adalah untuk memberdayakan masyarakat pedesaan melalui penguatan kapasitas dalam merencanakan dan mengelola kegiatan pembangunannya sendiri serta mendukung investasi dan meningkatkan keterkaitan antara pedesaan dan perkotaan melalui pembangunan infrastruktur pedesaan guna meningkatkan produktivitas pertanian dan usaha peternakan. Praktek pembangunan komunitas tidak saja dilakukan/difasilitasi oleh pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah, namun juga terdapat praktek-praktek yang merupakan wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Menurut Rahman (2009) terdapat tiga alasan penting mengapa perusahaan melakukan program comdev: 1. Izin lokal yang dalam konteks ini adalah usaha untuk melibatkan komunitas lokal dalam cakupan usaha dan perusahaan sebagai bagian dari komunitas; 2. Kemampuan perusahaan dalam beradaptasi dengan komunitas lokal akan memberi kesempatan kepada perusahaan untuk meningkatkan reputasi yang
43
berimplikasi pada adanya peluang usaha baru; 3. Sebagai cara mencapai tujuan bersama. Untuk konteks Indonesia, kesadaran untuk menerapkan konsep CSR ini dapat dijumpai sebagai suatu bentuk kesadaran sukarela perusahaan untuk melakukan inisiatif-inisiatif tertentu sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Di samping itu pemerintah telah pula secara afirmatif mewajibkan penerapan CSR, meski tidak sedikit kritik atas kebijakan afirmatif ini. Meski CSR tidak selalu diwujudkan dalam bentuk comdev, kebijakan afirmatif pemerintah tersebut sedikit banyak mendorong kontribusi sektor swasta dalam mengembangkan comdev. UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN salah satunya, pada pasal 2 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN salah satunya adalah turut aktif memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Pasal ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri BUMN No Kep-236/MBU/2003 yang memberikan mandat bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyelenggarakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL). Melalui Peraturan Menteri BUMN No 4 Tahun 2007, Badan Usaha Milik Negara juga diwajibkan untuk menyisihkan laba bersih perusahaan sebesar 2 persen sebagai sumber dana bagi kegiatan PKBL tersebut. Sebagai contoh program comdev oleh pihak perusahaan adalah comdev yang dilaksanakan oleh PT Telkom dengan program
Digital
Village-nya. Peraturan lain yang mewajibkan pelaksanaan CSR ini juga dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 25 butir e dari Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa ―Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan‖.
Pada pasal 17 Undang-undang tersebut secara tegas juga
menyebutkan agar penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahan untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan. Adapun Badan Usaha atau usaha perseorangan yang tidak memenuhi kewajiban
44
melaksanakan
tanggungjawab
sosial
tersebut
akan
dikenai
sanksi
administratif. Pelaksanaan CSR khususnya pada perusahaan yang bergerak pada bidang sumber daya alam tidak terbaharukan kembali mendapat penekanan sebagaimana dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang tersebut menggariskan bahwa ― Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Menurut Undang–Undang Perseroan Terbatas itu pun perseroan yang mengabaikan hal kewajiban CSR tersebut, akan dikenai sanksi. Kebijakan pembangunan komunitas cenderung berkembang sejalan dengan bergulirnya kebijakan desentralisasi yang membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Meski juga bukan merupakan sesuatu
yang baru, namun kemunculan praktek-praktek yang berorientasi pada comdev melalui inisiasi langsung dari masyarakat yang patut diapresiasi. Sebagai contoh adalah Kabupaten
Magelang,
pembangunan dan
komunitas melalui turisme di
pembangunan
komunitas
di
Kabupaten
Purbalingga. D. ASPEK-ASPEK PENTING DALAM COMMUNITY DEVELOPMENT Berbagai penelitian terdahulu mengenai comdev yang dilakukan oleh berbagai pihak memberikan pelajaran penting tentang pelaksanaan comdev. Fokus yang beragam yang ditelaah dalam kajian-kajian tersebut juga memperkaya
pengetahuan
akan
aspek-aspek
yang
penting
dalam
pelaksanaan comdev. Salah satu penelitian dilakukan oleh ADB sebagai institusi pendukung program Community Empowerment for Rural Development (CERD). Secara umum penelitian ADB tersebut dilakukan untuk menguak hasil-hasil dari program CERD tersebut. Beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari program CERD sebagaimana terangkum dalam penelitian tersebut,
antara lain
perlunya melakukan tindakan afirmatif untuk kelompok-kelompok yang
45
rentan, seperti masyarakat adat. Hal lain yang digarisbawahi ada kurangnya koordinasi dan kerjasama antar proyek serta koordinasi kebijakan pada sisi internal ADB. Johnson (1989) meneliti tentang beberapa kasus comdev yang dianggap berhasil. Menurutnya, beberapa kasus yang berhasil biasanya menawarkan sesuatu yang baru dan inovatif, menawarkan keuntungan nyata bagi perusahaan yang terlibat, melibatkan inovasi institusional, serta melibatkan individu yang berperan sebagai katalis. Meski faktor tersebut sulit direplikasi, namun menurutnya pembangunan komunitas pedesaan yang baik bisa dimulai
melalui
pengembangan
kepemimpinan,
kewirausahaan,
dan
kreativitas/keahlian. So choe (2005) secara spesifik meneliti tentang comdev di Saemaul Undong-Korea yang diinisiasi oleh keinginan politik dari pemimpin nasional dalam rangka menurunkan kemiskinan. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa petunjuk dan dukungan pemerintah nasional, partisipasi masyarakat, kemampuan menghadirkan community leadership yang dipilih dari penduduk setempat, serta internalisasi nilai-nilai spiritual akan kerajinan, kemandirian, dan kerjasama.
Penelitian ini cukup penting untuk melihat praktek yang
bersifat top-down. Victoria
A
Beard
(2005)
meneliti
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam comdev. Sementara penelitianpenelitian
lain yang dirangkum oleh Rao (2003) memperlihatkan adanya
pengaruh lebih lanjut antara partisipasi masyarakat dengan outcomes yang lebih baik, antara lain pada kasus proyek pengairan di Indonesia, India, dan Srilanka. Dikatakan bahwa partisipasi masyarakat yang lebih baik berasosiasi dengan disain community based water services yang lebih baik yang berimplikasi pada perbaikan disisi kesehatan.
Namun dia juga mencatat
berbagai proyek CBD dan CDD bisa saja berkelanjutan meskipun bersifat top down, namun jika komunitas tidak mampu melakukan lobi untuk mendapat dukungan input maupun training lebih lanjut, akan membatasi keberlanjutan proyek tersebut.
46
Mansuri dan Rao (2003) mencatat bahwa terdapat banyak bukti bahwa berbagai proyek
CBD/CDD menghasilkan komunitas infrastruktur
yang
efektif, namun tidak ada satu pun dari bukti-bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara outcome dan elemen partisipatif dari CBD proyek. Kebanyakan CBD didominasi oleh elit. Berbagai studi kualitatif yang dirangkum menunjukkan bahwa keberlanjutan inisiatif CBD tergantung pada terdapatnya lingkungan institutional yang mendukung (enabling institutional environment) yang membutuhkan komitmen mulai dari bawah sampai ke atas (upward commitment). Di samping itu literatur yang disurvei mengindikasikan bahwa pemimpin komunitas perlu akuntabel (downwardly accountable). Data kualitatif juga menunjukkan bahwa aktor eksternal sangat berperan dalam keberhasilan proyek. Misalnya peran fasilitator, namun kebanyakan fasilitator tidak dilatih dengan baik. Disarankan agar CBD/CDD dilaksanakan menurut konteks spesifk, dengan batasan waktu yang panjang, serta sistem monitoring dan evaluasi yang hati-hati dan didisain dengan baik. Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menyatakan argumennya bahwa untuk menjamin terjadinya keberlanjutan atau pelembagaan prinsip dan prosedur PPK sebagai sistem pambangunan perdesaan, diperlukan komitmen kuat dari Pemerintah Daerah termasuk DPRD, kesediaan pemerintah daerah untuk menyediakan dana administrasi dan operasional tim koordinasi daerah, serta kesediaan pemerintah daerah bersama pelaku PPK di daerahnya untuk mengkaji dan /atau merumuskan konsep Peraturan Daerah tentang desa dan pemberdayaan masyarakat desa yang mendukung pelembagaan mekanisme pembangunan partisipatif. Berdasarkan konsep dan pengalaman pelaksanaan comdev di Indonesia, berikut ini disimpulkan berbagai aspek penting dalam pelaksanaan comdev. 1. Prosedur dan Strategi Pelaksanaan Aspek prosedur mengacu pada prosedur pemberdayaan yang diantaranya mencakup inisiasi, internalisasi, dan pelembagaan. Tahapan yang perlu diperhatikan, dalam pelaksanaan antara lain: 1) Persiapan & Konsolidasi
47
;2) Pemetaan Kebutuhan secara partisipatif; 3) Penyusunan Strategi/ Rencana Tindak; 4) Implementasi Strategi. Adapun strategi pelaksanaan meliputi strategi pencapaian tujuan community development tersebut, misalnya apakah terdapat strategi afirmatif untuk kelompok-kelompok yang rentan, terdapat exit strategy menuju kemandirian, internalisasi prinsip-prinsip atau nilai-nilai, inovasi yang ditawarkan dan pendanaan sebagainya. Prosedur dan strategi ini tentu tidak bersifat generik, berbeda menurut praktek masing-masing, namun bisa mempengaruhi hasilnya. 2. Tujuan, Latar Belakang, orientasi dalam prakteknya Suatu program tentu dilakukan dengan tujuan dan memiliki latarbelakang tertentu. Tujuan inilah yang membedakan satu dengan lainnya. Tujuan menjadi titik awal untuk mengetahui keberhasilan suatu program. Adapun orientasi dalam prakteknya, menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan yang juga membedakan satu dengan lainnya serta memperlihatkan kesesuaian arah dengan tujuan yang semestinya. 3. Prinsip-prinsip Secara konseptual telah dikemukakan berbagai prinsip dalam comdev. Meskipun dijumpai perbedaan prinsip-prinsip comdev secara konsep maupun yang dipraktekkan di Indonesia, namun pada dasarnya dapat dipilah-pilah prinsip-prinsip umum yang keberadaannya dalam praktek akan menunjukkan kualitas dari program comdev yang dilaksanakan. 4. Kepemimpinan dan agen perubahan / katalisator Comdev akan memunculkan pemimpin komunitas dan/atau katalisator dengan keahlian dan kapasitas untuk menggerakkan tindakan kolektif komunitas. Menarik untuk dikaji siapa yang berperan sebagai pemimpin dan/atau katalisator dan bagaimana peran mereka. 5. Kapasitas dan Komitmen Kapasitas dan komitmen elemen-elemen yang terlibat dalam comdev perlu dikaji karena akan mempengaruhi hasilnya.
48
6. Kontribusi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah Kontribusi pemerintah dan/atau pemerintah daerah terbukti dibutuhkan dalam pembangunan komunitas. Kontribusi tersebut bisa berlangsung mulai dari proses inisiasi. Kontribusi yang penting adalah upaya menciptakan enabling institutional environment yang dibutuhkan bagi terselenggaranya comdev. 7. Dampak Dampak dari comdev dapat diketahui dari hasil-hasilnya dan sejauh mana berhasil mencapaian tujuan. Hal yang menarikuntuk diketahui adalah keahlian dan kapasitas untuk melakukan tindakan kolektif (collective action) apa yang muncul dari praktek comdev dan kontribusinya bagi perbaikan pelayanan publik. E. MODEL BERPIKIR KAJIAN MODEL COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH
Problematika
Perkembangan Model Community Development
Hasil-Hasil
Strategi Efektivitas Program Community Development Kebijakan Manajemen Stakeholder kelembagaan
Factor-Faktor
49
METODE KAJIAN
BAB
3 A. JENIS KAJIAN Jenis kajian ini merupakan kajian deskriptif eksploratif, yaitu suatu model kajian yang berusaha untuk memberikan gambaran/paparan dan menggali secara cermat serta mendalam tentang fenomena sosial tertentu. Obyek kajian disini meliputi upaya pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi serta masyarakat dalam pengembangan comdev, kendala-kendala yang dihadapi serta strategi yang ditawarkan untuk mengembangkan community development di daerah. Di samping itu kajian ini juga bersifat asosiatif, di mana terdapat upaya untuk mencari hubungan-hubungan tertentu dari fenomena yang dikaji. B. DATA KAJIAN 1. Karakteristik Data Berdasarkan karakteristik data yang digunakan, data kajian bersifat kualitatif sehingga kajian ini lebih dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Penelitian dengan metode kualitatif ini didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Kajian ini menggunakan data dari banyak kasus kualitatif (qualitative multiple case study) untuk menjawab pertanyaan penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data kajian dilakukan dengan menerapkan beberapa teknik antara lain:
50
a. Data primer Pengumpulan data primer dilakukan melalui beberapa metode, yakni: - In-Depth Interview Menurut Sutopo (1988:24), wawancara mendalam (In-Depth Interview) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui narasumber/key informant guna menggali informasi yang diperlukan dengan lebih seksama dan komprehensif - Diskusi. Diskusi dilakukan dengan narasumber baik di Pusat maupun di Daerah. Di daerah, diskusi dilakukan sebagai alternatif bilamana wawancara tidak dapat terselenggara. Diskusi dilakukan bersama sejumlah narasumber secara bersamaan. - Field visit Kunjungan lapangan dilakukan dengan melihat dari dekat praktekpraktek penerapan comdev. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data primer b. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengidentifikasi dan menganalisis buku-buku, berita dan bahan tertulis lain yang relevan dengan topik kajian Selain itu, data-data yang diperoleh dengan teknik ini juga dapat dapat berupa surat, progress report, laporan studi yang pernah dilakukan di tempat yang sama, klipping berita dan juga artikel yang ada di media massa serta bahan-bahan hasil unduhan (download) dari internet. Penentuan narasumber dilakukan secara purposive dengan memandang kompetensi narasumber dimaksud sesuai dengan data yang dibutuhkan. Pemilihan narasumber juga dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keterwakilan informasi dari berbagai stakeholder yang terlibat dalam comdev. Adapun untuk pemilihan berbagai kasus yang dikunjungi, diterapkan metode snowballing.
51
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data a. Untuk
data
hasil
wawancara
mendalam
(indepth
interview),
pengolahan dan analisis data telah dilakukan dengan mentranskrip hasil wawancara, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut. Analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dikaji sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan untuk disampaikan kepada orang lain. Dalam melakukan analisis data hasil wawancara perlu diperhatikan dengan seksama karena tidak semua data yang disampaikan narasumber merupakan fakta yang sesungguhnya. Tujuan akhir analisis data kualitatif adalah memperoleh makna, menghasilkan pengertian-pengertian, konsepkonsep serta mengembangkan hipotesis atau teori baru. Analisis data kualitatif adalah proses mencari serta menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lainnya
sehingga
mudah
dipahami
agar
dapat
diinformasikan kepada orang lain (Bogdan, 1984). Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai sejak sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis data dilanjutkan pada saat peneliti berada di lapangan sampai peneliti menyelesaikan kegiatan di lapangan. Sebelum peneliti memasuki lapangan, analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder. Analisis data diarahkan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian yang ditentukan dapat berubah setelah peneliti berada dilapangan. b. Untuk data-data yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, pengolah dan penganalisis data (peneliti) telah dilakukan dengan menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus menyertakan sumber yang dikutipnya secara lengkap.
52
C. DAERAH KAJIAN Berbagai kasus dikumpulkan dari sejumlah daerah (lokus). Lokus kajian Kegiatan kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah provinsi, dimana dari masing-masing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten/kota. Dimana setiap provinsi yang dipilih secara purposive ini diasumsikan memiliki
fokus
commmunity development beragam yang dapat ditelaah. Selain hal tersebut juga memperkaya pengetahuan akan aspek-aspek yang penting dalam pelaksanaan community development, juga membantu kajian ini untuk membangun strategi pengembangan community development di daerah ke depan. Ada pun daerah kajian ini sebagaimana dalam tabel berikut ini : Tabel. 3.1 Daerah Kajian No.
Provinsi
1.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2.
Provinsi Kepulauan Riau
3.
Provinsi D.I. Yogyakarta
4.
Provinsi Jawa Tengah
5.
Provinsi Jawa Timur
6.
Provinsi Kalimantan Timur
7.
Provinsi Bali
Kabupaten
Kota Banda Aceh Kabupaten Aceh Besar Kota Tanjung Pinang Kabupaten Bintan Kabupaten Sleman Kabupaten Bantul Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kota Batu Kabupaten Malang Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Gianyar Kabupaten Bangli
53
PERKEMBANGAN
BAB
DI DAERAH
4
COMMUNITY DEVELOPMENT
A. PERKEMBANGAN PRAKTEK COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH Sejalan dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah semenjak 2001, perkembangan praktek comdev cenderung mengalami peningkatan. Secara kuantitas, dapat dikatakan bahwa semakin banyak model-model yang diterapkan di daerah. Pergeseran paradigma pembangunan yang lebih terdesentralisasi merupakan stimulan tersendiri untuk lebih terjalinnya keterlibatan masyarakat dan aktor non pemerintah lainnya dalam mengelola urusan
publik
dan
pembangunan
daerah.
Selain
itu,
penekanan
pembangunan pada pendekatan bottom up dan partisipatoris menghasilkan adanya berbagai perubahan dalam pendekatan praktek comdev di daerah. Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari perkembangan masyarakat. Masyarakat yang dulu lebih pada kelompok-kelompok kecil, tetapi sekarang sudah membentuk suatu komunitas, suatu institusi yang relative punya aspek politis dalam bentuk forum-forum warga. Komunitas warga ini cukup berkembang, relative bersifat progresif dan pengetahuannya juga lebih kaya sehingga turut pula mewarnai perkembangan praktek comdev di daerah. Pergeseran dalam pendekatan praktek comdev di daerah tersebut dapat diidentikasi antara lain sebagai berikut10. Pertama, keterlibatan masyarakat tidak lagi terbatas pada implementasi atau pengerjaan hal-hal teknis lainnya, namun kini ada keterlibatan yang lebih dalam proses pengambilan keputusan, meskipun keterlibatan dalam implementasi dan pengerjaan teknis masih juga berlangsung. Kedua, berbagai kelompok masyarakat telah lebih maju dalam 10
Kesimpulan ini disarikan dari paparan diskusi oleh Suhardi (Direktur LP3ES), dalam diskusi terbatas “Model Community Development di Daerah”, PKKOD 2010 dan data-data hasil penelitian lapangan.
54
melembagakan komunitasnya dengan didukung kapasitas kelembagaan. Ketiga, terkait dengan pergeseran paradigma pembangunan yang sentralistis dan top down, praktek comdev kala itu cenderung dianggap sebagai alternatif. Dengan adanya pergeseran pembangunan yang lebih terdesentralistis dan bottom up, terdapat upaya agar praktek comdev lebih diintegrasikan dalam agenda
pembangunan,
mulai
dari
kebijakan,
perencanaan,
maupun
implementasinya. Kempat, semakin munculnya inisiatif dari berbagai aktor untuk
turut
berperan
dalam
pembangunan
masyarakat.
Terlihat
kecenderungan keterlibatan aktor non pemerintah yang semakin intens dalam pembangunan masyarakat. Kelima, variasi model comdev yang baru bermunculan yang tidak lagi hanya terfokus pada dimensi ekonomi atau pembangunan-pembangunan yang bersifat fisik, namun lebih banyak lagi sektor-sektor yang disentuh. Adapun upaya-upaya peningkatan ekonomi masyarakat tidak dilakukan dengan pendekatan ekonomi semata, namun ada perhatian lebih pada keterkaitannya dengan sektor lain. Keenam, terdapat pula kasus-kasus dimana terjadi perubahan mindset para stakeholder dalam memandang kegiatan comdev. Akhirnya, sebagai implikasi dari berbagai pergeseran tersebut, dapat diidentifikasi adanya hasil-hasil non fisik praktek comdev yang lebih tampak daripada sebelumnya. Berbagai pergeseran pendekatan comdev diatas merupakan suatu hal yang dapat diapresiasi.
Akan tetapi, terdapat pula kritik bahwa saat ini
terdapat indikasi bahwa daerah sebagai simbol pengguna program-program comdev dari pusat bahkan juga dari NGO dalam prakteknya masih cenderung agak resisten. Banyak contoh-contoh program comdev yang baik dalam kaitan memberikan dampak dalam pembangunan daerah khususnya di kabupaten justru oleh pemerintah kabupaten tidak diadopsi. Dalam artian untuk mengalokasikan APBD-nya guna mengadopsi, memperluas pendekatan comdev dalam pembangunan pedesaan misalnya, dinilai relatif kurang. Masih ada penilaian bahwa Pemerintah Daerah kurang dukungannya terutama dalam hal sisi pendanaan dan juga regulasi dalam kerangka mempercepat
55
comdev sebagai sesuatu value untuk mempercepat pembangunan di daerah11. Kajian ini juga mencatat bahwa perkembangan praktek COMDEV di berbagai daerah cenderung beragam. Terdapat daerah yang cenderung lebih maju dalam mengadopsi praktek comdev di daerahnya, namun ada pula yang cenderung kurang. Demikian halnya dengan peran pemerintah daerah dalam mengelola praktek comdev yang ada di daerah masing-masing. Inisiatif penerapkan comdev di daerah yang direalisasikan dalam berbagai model program atau kegiatan sedikit banyak memberikan manfaat, meskipun di sana sini juga masih terdapat banyak kekurangan. Bagaimana model-model praktek yang dijumpai di berbagai daerah, selengkapnya akan dikupas pada bagian selanjutnya. B. MODEL-MODEL PRAKTEK COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH 1. Praktek-Praktek
Community
Development
Yang
Diprakarsai
Oleh
Pemerintah Kajian ini memotret sejumlah praktek
comdev yang diinisiasi
pemerintah. Lokus dari praktek tersebut berada di bawah pemerintah kabupaten/kota, namun praktek yang ada bisa diinisiasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota itu sendiri. Namun tentu saja banyak pihak yang terlibat sebagai pelaku dalam prakteknya. Dapat dilihat bahwa program yang ditawarkan menyentuh berbagai dimensi comdev, meskipun masih ada pula yang hanya menekankan pada satu dimensi ekonomi saja. Dari berbagai model yang ada, terlihat keterlibatan masyarakat yang semakin aktif dari sisi pelaku, meski masih ada model yang cenderung menjadikan masyarakat yang cenderung pasif sebagai sasaran. Dapat
ditunjukkan
bahwa
metode
yang
dipraktekkan
semakin
bervariasi.Beberapa diantaranya tidak hanya berkutat pada pembangunan
11
Sebagaimana diutarakan oleh Suhardi (Direktur LP3ES), dalam diskusi terbatas “Model Community Development di Daerah”, PKKOD 2010
56
sarana fisik atau penyediaan, namun sampai menyentuh pengembangan asosiasi dan kelembagaan dan perumusan kebijakan. Tabel. 4.1. Contoh Praktek Community Development yang diprakarsai Pemerintah Daerah Praktek comdev
Lokus
Pelaku
Kelompok masyarakat sasaran masyarakat miskin
PNPM
Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan, Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar
Pemerintah Pusat, lembaga donor, Pemerintah daerah ,masyarakat, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat
Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)
Kabupaten Banyumas dan Purbalingga
Lender (World Bank), Pemerintah daerah, Masyarakat
Masyarakat Dengan keterbatasan akses air minum dan sanitasi
Forum Economic Development And Employment Promotion (FEDEP)
Kabupaten Banyumas
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, DPRD, masyarakat, dunia usaha
Kluster-kluster usaha masyarakat
Tujuan
Dimensi
Metode
Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri.
Ekonomi Social Personal Politik
Penyediaan dan perbaikan prasarana/sarana lingkungan permukiman, sosial, dan ekonomi secara padat karya; Penyediaan sumber daya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro Kegiatan terkait peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target MDGs; Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik.
Meningkatkan derajat hidup masyarakat dengan mengurangi penularan penyakit yang disebabkan air melalui penyediaan air minum dan sanitasi Fasilitasi teknologi dan ketrampilan; 2) Menfasilitasi kebutuhan pelatihan UKM; 3) Menfasilitasi UKM dan pengembangan usaha; 4) Fasilitasi pengembangan asosiasi dan kelembagaan UKM; 5) Menfasilitisai usulan program
Sosial (pelayanan) Lingkungan
Pembangunan sarana fisik Penguatan kapasitas organisasi masyarakat (pengelola sarana)
Ekonomi Sosial (pelayanan) Personal Politik
Penguatan ketrampilan masyarakat, pengembangan asosiasi dan kelembagaan, pembangunan sarana dan penyediaan peralatan, Penguatan permodalan Penguatan pemasaran Formulasi kebijakan pemberdayaan masyarakat ekonomi dan lapangan kerja
57
Praktek comdev
Lokus
Pelaku
Kelompok masyarakat sasaran
Community Development Mengentask an KemiskinanKabupaten Bantul (COMDEVMK)
Kabupaten Bantul
Pemerintah daerah, Masyarakat, dunia usaha
Masyarakat miskin pedukuhan
Kelompok Tani Mina Jaya di Sendangtirto Berbah Sleman
Kabupaten Sleman
Pemerintah daerah, masyarakat
Kelompok tani, buruh tani
Program composing
Kota Tanjung pinang
Masyarakat produsen kompos
Program Pola Kemitraan Pengelolaan
Kabupaten Malang
Pemerintah Pusat,Pemerinta h daerah, masyarakat Pemerintah Daerah Masyarakat, PerusahaanLSM
Masyarakat desa hutan
Tujuan pembangunan ekonomi masyarakat dan sumberdaya manusia; 6) Menfasilitasi ketersediaan informasi pengembangan usaha dan lapangan kerja; 7) Mengidentifikasi kebutuhan dan potensi pengembangan usaha kecil dan menengah;8) Menfasilitasi masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan potensi daerah; 9) Melakukan formulasi kebijakan pemberdayaan masyarakat ekonomi dan lapangan kerja; 10) Membantu Pemda dalam menyusun Musrenbang. Melindungi, memperkuat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia berdasarkan Pancasila, berpihak kepada rakyat, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pembaharuan desa Meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kwalitas hidup, meningkatkan kemandirian ekonomi Penguatan usaha produksi kompos kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan,
Dimensi
Metode
Ekonomi Social Personal Politik
Pengembangan usaha masyarakat Penguatan ketrampilan masyarakat, pengembangan organisasi kelompok masyarakat Penguatan hubungan sosial yang demokratis
Ekonomi Personal
Penguatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat,peningkatan manajemen dan pemasaran Penguatan modal
Ekonomi Lingkungan
Penguatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, Penyediaan peralatan Pengelolaan hasil hutan Peternakan/pertanian
Lingkungan Ekonomi Sosial
58
Praktek comdev
Lokus
Pelaku
Kelompok masyarakat sasaran
Hutan (PKPH)
Bapak angkat
Kabupaten Bangli
Bedah rumah
Kabupaten Bangli
Program Padat Karya Pangan /PKP
Kabupaten Purbalingga
Desa Sehat Mandiri/ DSM
Kabupaten Purbalingga
Pemprov Bali, personal (pejabat pemprov) Pemprov Bali, pemerintah kabupaten Pemerintah kabupaten Masyarakat
Masyarakat miskin
Pemerintah kabupaten Masyarakat
Masyarakat desa
Rumah tangga miskin Masyarakat desa
Tujuan peningkatan manfaat hutan, distribusi manfaat hutan yang berkeadilan. Mempercepat pengurngan kemiskinan
Dimensi
Metode
Ekonomi
Menghubungkan keluarga miskin dengan program pemerintah
Memperbaiki kehidupan masyarakat Meningkatkan aspek ketahanan pangan dan aspek ketenagakerjaan (sementara)
Ekonomi
Bantuan bedah rumah untuk rumah tangga miskin
Sosial Personal
memberikan pelayanan kesehatan dasar
Sosial personal
pembangunan sarana dan prasarana fisik pedesaan pekerjaan sementara pemanfaatan material local pembangunan sarana kesehatanng kesehatan meningkatkan pengetahuan dan kepedualian masyarakat tent
Tabel di atas merangkum berbagai praktek yang dipotret. Adapun untuk detailnya, dipaparkan sebagaimana berikut. a. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Secara umum program ini ditujukan untuk meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Program ini secara khusus ditujukan untuk : 1) meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan 59
keputusan dan pengelolaan pembangunan; 2) meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif, dan akuntabel, serta meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (propoor); 3) meningkatkan sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upayaupaya penanggulangan kemiskinan; meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok
peduli
setempat
dalam
menanggulangi
kemiskinan
di
wilayahnya;4) meningkatkan modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan local; 5) meningkatkan inovasi dan pemanfaatan tekhnologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Prinsip Dasar Pelaksanaan PNPM Mandiri : Bertumpu pada pengembangan manusia. Pelaksanaan PNPM Mandiri senantiasa bertumpu pada peningkatan harkat dan martabat seutuhnya Otonomi. Dalam PNPM, masyarakat memiliki kewenangan secara mandiri untuk berpartisipasi menentukan dan mengelola kegiatan pembangunan. Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan kegiatan sektoral dan kewilayahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat sesuai dengan kapasitasnya. Berorientasi pada masyarakat miskin. Kegiatan yang dilaksanakan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin dan kurang beruntung. Partisipasi. Masyarakat terlihat aktif pada setiap proses pengambilan keputusan dan secara gotong royong menjalankan pembangunan.
60
Kesetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang adil dan setara dalam setiap tahap pembangunan serta dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Demokratis. Setiap pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat miskin. Transparan dan Akuntabel. Masyarakat harus diberikan akses yang memadai terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan. Prioritas.
Pemerintah
pemenuhan
dan
kebutuhan
masyarakat
harus
pengentasan
memprioritaskan
kemiskinan
dengan
mendayagunakan sumber daya secara optimal. Kolaborasi. Semua pihak yang berkepentingan didorong untuk mewujudkan kerjasana kemitraan antar pemangku kepentingan dalam mengentaskan kemiskinan. Keberlanjutan.
Setiap
pengambilan
keputusan
harus
mempertimbangkan kepentingan kesejahteraan masyarakat saat ini dan masa depan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sederhana.
Semua
aturan,
mekanisme
dan
prosedur
dalam
pelaksanaan PNPM harus sederhana, fleksibel, mudah dipahami, dan mudah dikelola oleh masyarakat. Program-program PNPM Mandiri bercirikan sebagai berikut : menggunakan pendekatan partisipasi masyarakat melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat memberikan bantuan langsung masyarakat untuk kegiatan yang dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat. Kelompok
program-program
pemberdayaan
masyarakat
yang
tergabung dalam PNPM Mandiri dapat dikategorikan atas :
PNPM-Inti : terdiri dari program/ kegiatan pemberdayaan masyarakat berbasis kewilayahan, seperti PNPM Mandiri Perdesaan (PPK), PNPM
61
Mandiri Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK),
PNPM
Infrastruktur
Perdesaan
(PPIP),
dan
PNPM
Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW)
PNPM-Penguatan : terdiri dari program-program pemberdayaan masyarakat berbasis sektoral, kewilayahan, serta khusus untuk mendukung penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya terkait pencapaian target tertentu. Termasuk dalam PNPM Penguatan diantaranya
adalah
Program
Pengembangan
Usaha
Agribisnis
Pedesaan (PUAP), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Penerima manfaat PNPM Mandiri : Kelompok masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan (termasuk kelompok perempuan, komunitas adapt terpencil, dan kelompok masyarakat rentan lainnya) Kelembagaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan. Pemerintahan lokal. Sumber pendanaan PNPM Mandiri berasal dari : APBN kementrian/lembaga, baik berupa rupiah murni maupun pinjaman dan hibah luar negeri yang dialokasikan untuk bantuan teknis dan BLM. Dana Daerah untuk Program Bersama PNPM Mandiri, dan bantuan teknis untuk mendampingi pelaksanaan BLM Dukungan dari berbagai lembaga donor yang dikoordinasikan melalui Fasilitas Pendukung PNPM Mandiri. (PNPM Support Facility/PSF) Pengelolaan PNPM Mandiri di tingkat masyarakat terdiri dari serangkaian kegiatan sebagai berikut : Persiapan. Meliputi penyusunan kebijakan umum, penetapan lokasi, penyediaan dana, dan penempatan tenaga-tenaga konsultan dan fasilitator
62
Perencanaan Partisipatif. Terdiri
dari
perencanaan
di
desa/
kelurahan, antar desa/ kelurahan (kecamatan), serta perencanaan koordinatif di kabupaten/ kota Pelaksanaan Kegiatan.
Meliputi kegiatan pemilihan dan penetapan
lembaga pengelola kegiatan, pencairan dana, pengerahan tenaga kerja, pengadaan bahan dan alat, serta pelaksanaan kegiatan yang diusulkan. Pengendalian.
Serangkaian kegiatan pemantauan, pengawasan,
dan tindak lanjut untuk menjamin pelaksanaan program Pengelolaan Pengaduan dan Masalah. Pengelolaan pengaduan dan masalah dimulai di tingkat yang terdekat dengan lokasi pengaduan agar penangan dilakukan sesegera dan sedekat mungkin dari lokasi pengaduan Evaluasi.
Kegiatan evaluasi dilakukan secara rutin dan berkala baik
oleh pengelola program maupun pihak independent seperti LSM, perguruan tinggi, lembaga peneliti, dan sebagainya. Pelaporan. Pelaporan PNPM Mandiri dilaksanakan secara berkala dan berjenjang melalui jalur structural (perangkat pemerintah) dan jalur fungsional (konsultan dan fasilitator) Sosialisasi.
Kegiatan sosialisasi PNPM Mandiri dilaksanakan
sepanjang pelaksanaan program ke berbagai pihak agar terbangun pemahaman, kepedulian serta dukungan terhadap PNPM Mandiri. Secara operasional PNPM ditempuh melalui berbagai strategi seperti : 1) mengoptimalkan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya secara sinergis; 2) menguatkan peran pemerintah
kota/kabupaten
penanggulangan
kemiskinan
sebagai di
pengelola
wilayahnya;
program-
3)
program
mengembangkan
kelembagaan masyarakat yang dipercaya, mengakar, dan akuntabel; 4) mengoptimalkan
peran
system
dalam
pelayanan
dan
kegiatan
63
pembangunan secara terpadu di tingkat komunitas; 5) meningkatkan kemampuan pembelajaran di masyarakat dalam memahami kebutuhan dan potensinya serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya; 6) menerapkan konsep pembangunan partisipatif secara konsisten dan dinamis serta berkelanjutan. Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui komponen program sebagai berikut:
Pengembangan Masyarakat. Komponen pengembangan masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, pemanfaatan sumberdaya, pemantauan, dan pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai.
Bantuan Langsung Masyarakat. Komponen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah dana system
ra keswadayaan yang
diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan
yang
direncanakan
oleh
masyarakat
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraan, terutama masyarakat miskin.
Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Pelaku Lokal. Komponen peningkatan kapasitas pemerintahan dan pelaku lokal adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pelaku lokal/kelompok peduli lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi yang positif bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak. Kegiatan terkait dalam komponen ini antara lain seminar, pelatihan, lokakarya, kunjungan lapangan yang dilakukan secara selektif, dan sebagainya.
Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program. Komponen bantuan pengelolaan dan pengembangan program meliputi kegiatankegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan seperti penyediaan konsultan
64
manajemen, pengendalian mutu, evaluasi, dan pengembangan program. Ruang lingkup kegiatan PNPM-Mandiri pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusulkan dan disepakati
masyarakat
meliputi:
Penyediaan
dan
perbaikan
prasarana/sarana lingkungan permukiman, system, dan ekonomi secara padat karya; Penyediaan sumber daya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan bagi kaum perempuan dalam memanfaatkan dana bergulir ini; Kegiatan terkait peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target MDGs; Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik. b. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dijumpai di Kabupaten Banyumas dan Purbalingga. Program ini merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat dengan mengurangi penularan penyakit yang disebabkan air melalui penyediaan air minum dan sanitasi. Seringkali meskipun terdapat sumber air di masyarakat, namun kebersihannya belum memadai.
Oleh karena itu program ini diharapkan dapat
meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air bersih. Pengadaan air bersih melalui PAMSIMAS juga mencakup jaringannya. Pelaku Program Pamsimas terdiri dari berbagai komponen, yakni : 1) Lender (World Bank); 2) Tim Pengarah & Tim Teknis; 3) Central Project Management Unit (CPMU), Central Project Implementation Unit (CPIU) & SATKER; 4) TKP, PPMU, PPIU & SATKER; 5) TKK, DPMU & SATKER; 6)
65
Tenaga Pendamping (TFM); 7) LKM, SATLAK PAMSIMAS & BPS PAM. Kedepan, pengelolaanya termasuk partisipasi masyarakat itu dilakukan oleh BPS (Badan Pengelola Sarana). Perencanaan terdiri dari berbagai kegiatan. Sebelum program dilaksanakan, diawali dengan indentifikasi desa berdasarkan kriteria, dilanjutkan dengan scoring untuk menentukan Longlist. Kegiatan perencanaan juga melibatkan sosialisasi di tingkat kabupaten dan penawaran program. Setelah itu masyarakat menyampaikan surat pernyataan minat keikutsertaan program. Setelah dilakukan verifikasi lapangan, dilakukan scoring untuk menentukan Shortlist dan penetapan lokasi program. Dari serangkaian kegiatan tersebut, masyarakat terlibat di berbagai kegiatan yakni dalam indentifikasi desa, sosialisasi tingkat Kabupaten & penawaran program, penyampaian Surat Pernyataan Minat Keikutsertaan Program, Verifikasi lapangan, sekaligus dalam pelaksanaan program. Monitoring dilakukan oleh TKK, DPMU dan Satker untuk Program PAMSIMAS. Di samping itu Lender, melalui ADB Mission dan World Bank Mission juga melakukan monitoring atas program yang dilakukan. Hasil dari program tersebut antara lain meningkatkan penyediaan air minum bagi masyarakat perdesaan. Di samping itu, manfaat lain yang diperoleh dari program ini adalah meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat. Program ini juga dapat mewujudkan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan prasarana air minum yang telah ada dalam wadah BPS PAM. Meskipun ada hasil positif, namun terdapat berbagai hambatan yang dihadapi. Secara umum dijumpai berbagai hambatan seperti keterbatasan SDM pelaksana program. Keterbatasan SDM khususnya banyak dijumpai di tingkat desa. Di samping itu kurangnya pemahaman terhadap regulasi yang digunakan juga menjadi hambatan. Hambatan lain, khususnya dirasakan oleh pemerintah daerah adalah keterlambatan DIPA yang mempengaruhi jalannya program.
66
c. Forum Economic Development And Employment Promotion (FEDEP) Meskipun bersifat forum, bentuk kegiatan ini digolongkan sebagai model comdev karena memiliki misi dan berbagai prinsip yang sesuai dengan comdev. Menilik berbagai program yang dilaksanakan, forum ini lebih difokuskan pada sektor ekonomi masyarakat. Forum ini dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 563/1775/2003 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengembangan ekonomi Daerah dan Penciptaan lapangan kerja (FEDEP) dan didukung dengan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 523/488/2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi, Pelaksana Teknis Harian dan Kelompok Kerja Forum Pengembangan Ekonomi dan Penciptaan lapangan Kerja (FEDEP) Kabupaten Banyumas. FEDEP memiliki visi untuk mewujudkan berkembangnya usaha ekonomi kerakyatan sebagai usaha yang tangguh dan mandiri, memiliki daya saing tinggi melalui pemanfaatan jaringan kerjasama, mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui tindakan terpadu yang berbasis ekonomi kerakyatan, mengembangkan jaringan strategis dalam rangka penguatan
sektor
ekonomi
kerakyatan
melalui
pendayagunaan,
pengembangan dan pemasyarakatan inovasi teknologi, dan memperkuat kemandirian organisasi dalam usaha-usaha ekonomi dan pengembagan SDM yang dikelola secara profesional dan produktif. Adapun tujuan pembentukan FEDEP adalah: 1) Fasilitasi teknologi dan ketrampilan; 2) Menfasilitasi kebutuhan pelatihan UKM; 3) Menfasilitasi UKM dan pengembangan usaha; 4) Fasilitasi pengembangan asosiasi
dan kelembagaan UKM; 5) Menfasilitisai usulan program
pembangunan ekonomi masyarakat dan sumberdaya manusia; 6) Menfasilitasi ketersediaan informasi pengembangan usaha dan lapangan kerja; 7) Mengidentifikasi kebutuhan dan potensi pengembangan usaha kecil dan menengah;8) Menfasilitasi masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan potensi daerah; 9) Melakukan formulasi kebijakan
67
pemberdayaan masyarakat ekonomi dan lapangan kerja; 10) Membantu Pemda dalam menyusun Musrenbang. FEDEP dibentuk dengan berbagai tugas yang diemban. Diharapkan bahwa FEDEP dapat menjalankan tugasnya menjadi mitra daerah dalam mensinergikan program-program yang ada secara komprehensif. Di samping itu FEDEP juga bertugas untuk merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah tentang jenis kegiatan/program yang inovatif dan berdasarkan kebutuhan ―demand oriented‖ dan memfasilitasi pelaku usaha (UKM) dengan bekerjasama dengan para pembina UKM baik pemerintah, swasta, maupun pemerintah. Keanggotaan FEDEP terdiri atas beberapa unsur dari berbagai kelompok stakeholder: Tidak saja unsur pemerintah (SKPD terkait) yang terlibat dalam forum tersebut, namun juga melibatkan pelaku usaha (swasta). Di samping itu Stakeholder terkait seperti Kadin dan asosiasi pengusaha lainnya serta 1 orang anggota Komisi DPRD yang membidangi Ekonomi turut pula menjadi anggota FEDEP. Pembiayaan untuk pelaksanaan FEDEP melibatkan dana stimulan APBD Provinsi digunakan untuk penguatan kelembagaan/capacity building. Tahun 2010 ini dianggarkan sebesar Rp.65.000.000. Di samping itu terdapat pula dana pendamping APBD Kabupaten yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan pelaksanaan dan pengembangan FEDEP di daerah berdasarkan prioritas kebutuhan masing-masing klaster. Terdapat pengembangan
beberapa FEDEP.
strategi Pertama,
yang
ditempuh
dilakukan
dalam
melalui
rangka
penguatan
kelembagaan, khususnya pada kesekretariatan/tenaga harian, anggaran, dan kelembagaan/organisasi. Adapun bentuk kegiatan penguatan kelembagaan FEDEP antara lain seperti Rakor Forum Klaster di mana pengurus klaster Kabupaten dan semua Pengurus klaster bertemu. Rakor ini dilaksanakan sebelum dan sesudah monitoring dan evaluasi klaster, sebagai media verifikasi atas temuan-temuan/hasil pelaksanaan monev). Di samping itu juga dilakukan perencanaan Program Klaster. Pada
68
kegiatan ini dilakukan
fasilitasi khusus bagi semua pengurus klaster
untuk pembuatan program klaster. Kedua, strategi lain yang dilakukan adalah melalui penguatan anggota FEDEP tentang penyusunan program yang inovatif. Permasalahan
yang
dijumpai
dalam
pelaksanaan
FEDEP,
sebagaimana diutarakan Bappeda meliputi berbagai hal seperti : pengenalan dan pemasaran produk klaster, peningkatan kualitas produk klaster melalui magang dan pelatihan, peningkatan kualitas SDM dengan mengikutsertakan perajin ke berbagai workshop dan pelatihan. Hasil positif
yang
bisa
dicatat
dari
pelaksanaan
FEDEP
antara
lain
berkembangnya klaster gula kelapa, batik dan minyak atsiri di Kabupaten Banyumas. Selain itu kegiatan tersebut juga menghasilkan terbentuknya klaster baru yaitu klaster pariwisata yang potensial untuik dikembangkan di Kabupaten Banyumas. Pemerintah Kabupaten Banyumas memberikan banyak dukungan untuk keberhasilan FEDEP. Dukungan tersebut antara lain diwujudkan dengan memotivasi semua pihak untuk mengembangkan ekonomi lokal. Di samping itu Bappeda sebagai penggerak FEDEP juga berperan aktif dengan belajar ke Kabupaten lain. Dukungan lain dilakukan dengan melakukan sosialisasi kepada semua pihak dan anggota secara terus menerus. Pihak pemerintah kabupaten juga berupaya mencanangkan harapan atau mimpi untuk merintis pengembangan UMKM untuk memupuk semangat baru. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan merintis UMKM center, pengembangan klaster. d. Community Development Mengentaskan Kemiskinan-Kabupaten Bantul (COMDEV-MK) Salah satu bentuk comdev yang dipraktekkan dan dapat dijadikan model oleh pemerintah daerah lain di Indonesia adalah COMDEV-MK Kabupaten Bantul Propinsi DIY. COMDEV-MK singkatan dari Community Development Mengentaskan Kemiskinan adalah program pemberdayaan
69
masyarakat berbasis pedukuhan dengan prinsip melindungi, memperkuat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia berdasarkan Pancasila, berpihak kepada rakyat, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pembaharuan desa. COMDEV-MK merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh
Pemerintah
Daerah
dan diperkenalkan pada era
kepemimpinan Bupati H.Idham Samawi. Sekalipun harus diakui bahwa COMDEV-MK bukanlah satu-satunya program pemberdayaan masyarakat yang ada, karena terdapat pula bentuk lain seperti Posdaya (Damandiri), PEL (Pemberdayaan Ekonomi Lokal), dan bentuk-bentuk pengembangan masyarakat lain, baik yang diinisiasi dan dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, Dunia Usaha, NGO Asing, maupun oleh warga masyarakat sendiri. Namun demikian, daya tarik dari COMDEV-MK di Kabupaten Bantul ini adalah ketika COMDEV-MK dijadikan sebagai salah satu bentuk program pemerintah yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati secara tersendiri. Bahkan dalam Peraturan Bupati tersebut diuraikan secara lebih rinci berbagai hal terkait dengan teknis pelaksanaan COMDEV-MK. Mulai dari maksud dan tujuan, azas, pendanaan, mekanisme dan tahapan kegiatan, pembagian hasil dari keuntungan kegiatan atau program, dan lainnya. Dilihat dari azas umum program ini, sangat diharapkan program COMDEV-MK ini akan berhasil dan memberi manfaat yang sebesarbesarnya bagi masyarakat miskin di pedesaan. Sebagaimana disebutkan dalam Bab II Pasal 2 bahwa ―Pemerintah dan masyarakat daerah berkewajiban atas keberhasilan pelaksanaan program COMDEV-MK dengan dilandasi oleh prinsip pengentasan kemiskinan berbasis pedukuhan‖. Kemudian pada pasal 3 disebutkan Asah, Asih, Asuh dalam rangka melindungi, melayani, memperkuat dan meningkatkan fasilitas sumber daya manusia melalui berbagai langkah untuk meningkatkan
70
pengetahuan,
sikap
mental
dan
ketrampilan,
mengurangi
faktor
keterbatasan (limitation), efisiensi dam kontrol. Sebagai program berbasis pedukuhan maka sasaran program ditujukan pada warga miskin yang tinggal di pedukuhan. Oleh karenanya Kelompok Pedukuhan di sini identik pula dengan Kelompok COMDEV-MK. Kelompok Pedukuhan (KP) adalah kelompok yang dibentuk untuk keperluan program dan merupakan representasi keluarga miskin di pedukuhan, yang keanggotaannya ditentukan dan disepakati oleh pertemuan forum pedukuhan (rembug pedukuhan). Kelompok pedukuhan inilah yang diharapkan akan menerima manfaat program. Pada periode awal sasaran program COMDEV-MK dijalankan di 40 (empat puluh) pedukuhan, yang tersebar di 75 (tujuh puluh lima) desa dan 17 (tujuh belas) kecamatan. Dilaksanakan pada tahun 2006 dan merupakan periode perintisan dan percontohan (program pioneer). Adapun bidang-bidang kegiatan yang akan dikembangkan oleh kelompok di
masing-masing
pedukuhan
harus
benar-benar
mencerminkan
kemampuan, potensi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan di pedukuhan. Bidang-bidang kegiatan terbuka luas dari kegiatan di bidang pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan aneka kegiatan rumah tangga yang disesuaikan dengan kebutuhan, potensi dan kemampuan setempat. Dalam penentuan bidang-bidang kegiatan, fasilitator, terutama fasilitator kabupaten dan kecamatan serta desa memiliki peran besar, terutama dalam memberikan informasi dan mendampingi dalam proses penentuan, yaitu memberikan semangat dan membantu kelompok dalam memahami potensi yang ada. Dalam program percontohan fasilitasi langsung dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Kecamatan dan Desa. Dari sisi pendanaan, anggaran program COMDEV-MK bersumber dari APBD Kabupaten Bantul yang pengelolaannya disepakati berdasarkan prinsip
profesionalisme,
transparansi,
akuntabilitas,
efisiensi
dan
efektifitas dalam rangka penguatan kelompok COMDEV-MK. Prinsip-prinsip ini juga diberlakukan dalam mengelola sarana dan prasarana pendukung
71
lainnya. Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah menyediakan sejumlah dana untuk masing-masing Kelompok Pedukuhan diberikan sejumlah Rp. 10.000.000 sebagai modal awal realisasi program. Dikatakan sebagai modal awal karena ternyata dalam prakteknya, diperlukan dana tambahan, atau dukungan sarana dan prasarana sekalipun tidak dalam bentuk uang demi menjamin tersealisasinya dengan baik program yang sudah ditetapkan. Sekalipun demikian itu dapat dimaklumi oleh masyarakat, karena pada dasarnya program tersebut untuk kepentingan masyarakat atau anggota pedukuhan itu sendiri. Bagaimana dengan pengelolaan hasil usaha kelompok? Pengertian hasil usaha dalam kontek COMDEV-MK ini adalah keuntungan yang diperoleh oleh kelompok selama periode usaha. Yang dimaksudkan dengan keuntungan adalah selisih antara modal kerja dengan hasil penjualan produk. Hasil bersih dibagikan kepada pengelola program dan anggota kelompok. Adapun besaran prosentase, ditentukan melalui musyawarah kelompok. Pembagian ini penting dijelaskan sejak awal, agar dapat menjadi motivasi pengelola program. Adapun modal usaha, tidak dikembalikan kepada program, melainkan akan dikembalikan pada kelompok, menjadi modal penguatan atau sebagai tambahan modal untuk usaha pada tahun berikutnya. Dengan demikian, diharapkan bahwa program COMDEV-MK ini akan berkelanjutan, bahkan boleh jadi stimulan bagi pengembangan program-program pemberdayaan lainnya.
Mekanisme Program dan Tahapan Kegiatan COMDEV-MK. Mekanisme Program Untuk menggerakkan program COMDEV-MK ini, ditempuh mekanisme perpaduan dua arah antara yang bersifat top-down dan buttom-up. Dalam konteks top-down, Pemerintah Daerah bertindak sebagai inisiator
sekaligus
fasilitator.
Sebagai
inisiator
dan
fasilitator
Pemerintah Daerah melalui Bupati membentuk Tim Fasilitator yang berkewajiban memberikan pedoman, bimbingan pelatihan, arahan dan supervisi. Tim Fasilitator akan tersusun dalam Tim Fasilitator
72
Kabupaten, Tim Fasilitator Kecamatan dan Tim Fasilitator Desa. Adapun Lurah mempunyai pelaksanaan
program
tugas
dan tanggung jawab atas
COMDEV-MK
di
Desa
masing-masing,
sementara Kepala Dukuh mempunyai tugas membantu Lurah atas pelaksanaan program COMDEV-MK. Dari sisi penentuan jenis program, mekanisme yang ditempuh adalah menganut prinsip buttom-up, yakni dari bawah (warga pedukuhan). Dalam
pengertian
bahwa
warga
masyarakat
memiliki
ruang
(keleluasaan) untuk mengusulkan atau memilih jenis program yang hendak dilaksanakan. Namun demikian usulah atau pilihan tentu harus sesuai potensi yang memungkinkan untuk dikelola dan dikembangkan. Jenis usulan kegiatan itulah yang dirembugkan sampai dengan menghasilkan proposal program. Dan itu dilakukan oleh kelompok COMDEV-MK di tingkat pedukuhan melalui rembug pedukuhan. Selanjutnya proposal dari kelompok COMDEV-MK diproses dari tingkat desa, kecamatan sampai dengan tingkat kabupaten untuk mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan/dijalankan. Setelah mendapatkan
persetujuan
untuk
dilaksanakan
diikuti
proses
pencairan dana yang disalurkan kepada kelompok COMDEV-MK. Tahapan Kegiatan Adapun gambaran lebih rinci terkait tahapan-tahapan kegiatan operasinaliasi COMDEV-MK adalah sebagai berikut:
Sosialisasi. Sosialisasi dimulai setelah persiapan administrasi dan kelembagaan di tingkat Tim Fasilitator kabupaten selesai, dengan melibatkan
elemen
pemerintah
(kecamatan,
desa
dan
pedukuhan). Sosialisasi adalah media untuk membangkitkan semangat kerja berbasis prakarsa dengan saling pengertian, serta menjaring berbagai masukan (kritik dan saran) dari masyarakat, untuk dapat menyempurnakan mekanisme program.
Persiapan Sosial. Persiapan system adalah penyiapan masyarakat, melalui penguatan kelembagaan dan perencanaan yang dilakukan
73
dengan rapat koordinasi, konferensi kerja kecamatan. Proses ini merupakan tindak lanjut dari sosialisasi yang telah dilakukan sebelum membentuk kelompok COMDEV-MK
Pembentukan Kelompok COMDEV-MK. Pembentukan kelompok melalui forum Pedukuhan atau rembug pedukuhan, yang diarahkan dapat membentuk kelompok secara demokratis, mufakat dan dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat. Organisasi kelompok disusun dengan prinsip sederhana dan operasional mengikuti kebutuhan setempat. Namun demikian, setidak-tidaknya memuat
ystem-unsur berikut: (i) ketua; (ii)
sekretaris; (iii) bendahara dan; (iv) seksi-seksi. Adapun seksi-seksi jumlah dan jenis akan ditentukan berdasarkan persoalan yang ada dan jenis usaha yang dijalankan. Sedang yang menjadi anggota kelompok adalah warga miskin di pedukuhan yang disepakati dalam pertemuan rembug pedukuhan. Setiap kelompok didukung oleh pendamping lapangan tingkat pedukuhan, yang dapat diisi oleh Kepala Dukuh atau pemuka masyarakat yang disepakati bersama.
Pembekalan dan Pelatihan Kelompok COMDEV-MK. Pembekalan dan pelatihan dimaksudkan untuk memberikan kesiapan kepada kelompok. COMDEV-MK meliputi : a. pemahaman yang menyeluruh mengenai COMDEV-MK; b. substansi dan teknis; c. kemampuan untuk mengorganisir program, terutama untuk menemukan akar permasalahan, pemecahan masalah dan rencana aksi di tingkat pedukuhan; d. teknik penyusunan proposal secara partisipatif.
Penyusunan Program Kelompok COMDEV-MK. Kelompok COMDEVMK membuat rancangan program, berdasarkan kebutuhan dan kemampuan. Selanjutnya rancangan yang telah disusun oleh kelompok COMDEV-MK dibawa ke dalam rembug pedukuhan.
74
Output dari proses penyusunan program adalah program yang akan diajukan kepada pengelola program.
Penilaian Proposal. Proposal yang dihasilkan dalam rembug pedukuhan
diberi pengesahan oleh Pemerintah Desa dan
Kecamatan. Tim Fasilitator menyeleksi, memberikan penilaian terhadap proposal yang masuk melalui proses dan mekanisme yang telah ditentukan. Penilaian dimaksudkan sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Penyerahan Dana Program. Dana program diserahkan kepada Pemerintah Desa selanjutnya akan dicairkan kelompok melalui mekanisme keuangan Desa. Untuk tahun Anggaran 2006 tiap kelompok mendapatkan dana sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
Pelaksanaan Kegiatan a. Pelaksanaan kegiatan meliputi: (a) penetapan pelaksana dan lokasi program; (b) penetapan skenario usaha b. Jenis usaha dan bentuk pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada kelompok pedukuhan yang diputuskan melalui Rembug Pedukuhan. Secara umum, dana program dibagi dalam tiga komponen utama yakni : 1. keperluan sarana modal tetap 40% 2. keperluan modal kerja (modal tetap 20% 3. keperluan tenaga kerja(upah tenaga kerja 20% 4. toleransi sebesar 10% 5. kas desa sebesar 10% Adapun prosentase (pembagian) alokasi dana untuk masingmasing komponen akan ditentukan lebih lanjut dalam Rembug Pedukuhan dan Rembug Anggota Profesi.
Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan monitoring berupa pendampingan selama proses pelaksanaan program. Gagasan pendampingan disini adalah untuk memastikan program berjalan, dan disisi lain mampu
75
menggalang sumber daya pendukung lain yang akan meningkatkan kualitas program. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat kualitas
program,
berkembang.
Feed
hambatan back
dan
dari
persoalan-persoalan
kegiatan
ke
depan
yang
kerangka
berkelanjutan. Monitoring dan evaluasi dibedakan dalam tiga tahap, yakni : a. Monitoring dan evaluasi sebelum proses dilaksanakan untuk menjaring masukan, input, kritik, dan sarana yang dapat memperbaiki rencana operasional; b. Monitoring dan evaluasi dalam proses dilaksanakan untuk menjaring masukan, input dan saran yang dapat memperbaiki proses pelaksanaan; c. Monitoring
dan
evaluasi
setelah
proses
dilakukan
untuk
memberikan evaluasi lengkap menyeluruh mengenai program sebagai masukan untuk memperbaiki program lanjutan. Evaluasi program dilakukan pada akhir pelaksanaan dengan metode partisipatif. Metode partisipatif dimaksudkan untuk menjadikan evaluasi sebagai proses belajar kelompok. Evaluasi bukan merupakan suatu penilaian kaku, melainkan proses dimana kelompok dapat memberikan
penilaian
terhadap
apa
yang
dilakukan,
dapat
menemukan segi-segi negatif yang harus ditinggalkan, dan segi-segi positif yang harus dipertahankan.
76
Pendampingan. Pendampingan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat
dengan
menempatkan
pemerintah
kabupaten,
pemerintah kecamatan, pemerintah desa berperan sebagai fasilitator, komunikator, mediator dan dinamisator. Adapun tujuan pendampingan seperti disebutkan dalam pasal 15 adalah : pertama,
meningkatkan
mengatasi
persoalan-persoalan
memperkuat
kelembagaan
keberdayaan yang
kelompok
masyarakat dihadapi
untuk
dalam dengan
menggerakkan
program-porgram pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendapatan
masyarakat.
Kedua,
Menumbuhkan
dan
meningkatkan usaha produksi sesuai dengan potensi dan kemampuan setempat, sebagai salah satu sumber pendapatan yang berkelanjutan. Ketiga, membangun hubungan sosial yang demokratis dan modal sosial melalui proses pengambilan keputusan partisipatif dalam pengelolaan sumber daya lokal atau kelompok dan menumbuhkan semangat gotong royong pada setiap kelompok masyarakat. Sementara sasaran pendampingan dapat dijumpai pada pasal 16 sebagai berikut: pertama, tumbuhnya kelompok-kelompok di pedukuhan yang memiliki kesadaran dan kemampuan dalam mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat dan menjadi wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kedua, Tumbuh dan berkembangnya
wirausaha
di
tingkat
pedukuhan
yang
mengembangkan usaha produktif sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada. Ketiga, Munculnya jenis-jenis usaha baru di masyarakat, sehingga mampu menggerakkan ekonomi rakyat, menambah pendapatan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Keempat,
Terwujudnya
Pemberdayaan
Masyarakat
dengan
kesesuaian antara program dengan kebutuhan masyarakat. Kelima, Terciptanya kewirausahaan antar kelompok masyarakat.
77
Tugas pendampingan sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 adalah
pertama,
Memberikan
motifasi
kepada
kelompok
masyarakat untuk secara sukarela terlibat secara aktif dalam program dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan program; Kedua, Meningkatkan kemampuan kelompok dalam mengelola manajemen organisasi. Ketiga,
Meningkatkan kemampuan
kelompok dalam pengembangan usaha ekonomi produktif melalui program
pelatihan
dan
pertemuan-pertemuan.
Keempat,
Meningkatkan kemampuan kelompok untuk memanfaatkan stimulan program sebagai modal pengembangan sumber daya masyarakat. Kelima, Meningkatkan kemampuan kelompok untuk mengembangkan
jaringan
komunitas
sebagai
bentuk
pemberdayaan masyarakat. e. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Melalui Kelompok Tani Mina Jaya di Sendangtirto Berbah Sleman Kabupaten Sleman merupakan daerah yang memiliki program unggulan di bidang perikan karena pengairan untuk perikanan cukup mendukung. Di Dusun Kadipolo Kelurahan Sendangtirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman, tanah pertaniannya cukup subur dan pengairannya sangat lancar karena meskipun musim kemarau air sungai sebagai syarat utama perikanan terpenuhi terbukti tetap lancar dan melimpah. Penduduk asli mayoritas adalah petani namun didominasi buruh tani karena hanya sebagian kecil petani yang memiliki lahan. Dengan
kondisi
demikian
maka
pendapatan
dan
tingkat
kehidupannya masih relatif rendah. Masyarakat hanya mengandalkan hasil pertanian dari sawah yang ditanami padi dan kadang kadang diselingi tanaman kacang. Dengan penanaman tradisional dan seringnya terjadi kelangkaan pupuk maka penghasilan mereka menjadi rendah dan kadang-kadang hasil panen mereka rusak karena hama.
78
Dengan keterbatasan modal untuk menanam padi yang cukup besar dan kadang-kadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seharihari maka petani sering dimanfaatkan oleh orang orang yang memiliki usaha dengan memanfaatkan kelemahan warga masyarakat. Para pemilik modal sering membeli hasil panen dengan sistem ‖ ijon‖ dan ada beberapa yang menjerat petani dengan memberi pinjaman dengan bunga tinggi yang biasa disebut dengan ―rentenir‖. Dengan kondisi kehidupan petani yang kurang menguntungkan dan memprihatinkan maka sangat diperlukan
usaha
untuk
memperbaiki
tingkat
pendapatan
guna
meningkatkan kualitas hidup mereka. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kwalitas hidup , maka beberapa tokoh masyarakat di Dusun Kadipolo melakukan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan meningkatkan ekonomi masyarakat dan kemandirian ekonomi . Mereka mengetahui bahwa kondisi air dan tanah di Kadipolo melimpah dan sangat cocok untuk budidaya udang galah. Dengan dipelopori Bapak Pujianto dan Bapak Jarot maka disosialisasikan budidaya Udang galah. Udang galah menjadi pilihan karena udang galah merupakan andalan budidaya perikanan nasional yang telah diprogramkan menjadi komoditas domestik dan ekspor. Komoditas tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi karena banyak digemari oleh konsumen dalam maupun luar negeri. Permintaan udang galah hingga saat ini sangat tinggi dan belum terpenuhi oleh para petani. Budidaya Udang galah merupakan salah satu usaha perikanan air tawar yang dapat dikembangkan kearah usaha yang dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan.Hingga saat ini permintaan udang galah di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat tinggi sehingga kadang-kadang untuk memenuhi kebutuhan udang galah di DIY harus mendatangkan udang galah dari Jawa Barat. Dengan adanya sosialisasi dan contoh hasil budidaya yang dilaksanakan maka beberapa petani sawah beralih budidaya udang galah. Dalam perjalanannya mereka menghadapi beberapa kendala antara lain,
79
pengetahuan budidaya yang minim, kebutuhan modal yang cukup besar dan permasalahan harga jual di pasaran dan keamanan kolam dari pencuri. Dengan adanya kendala tersebut maka beberapa petani sepakat membentuk kelompok petani udang dengan nama Kelompok Tani Mina Jaya. Kelompok Tani Mina jaya pada awalnya hanya berjumlah 10 petani didampingi Petugas Penyuluh Lapangan ( PPL) dari Dinas perikanan yang bertugas di kelurahan Sendangtirto. Dengan terbentuknya kelompok maka anggota kelompok mengadakan pertemuan-pertemuan anggota kelompok maupun dengan kelompok tani di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok Tani Mina Jaya berkembang dan sekarang ada 32 anggota. Dalam memperkuat pengetahuan dan ketrampilan anggota Kelompok Tani Mina jaya diberi pelatihan- pelatihan dan mengikuti seminar mengenai cara budidaya udang galah yang diadakan oleh kelompok maupun dari Dinas Perikanan. Salah satu anggota kelompok pernah diikutkan dalam pelatihan budidaya udang di Jepang dan hasil pelatihan disosialisasikan kepada anggota kelompok maupun warga yang ingin belajar budi daya udang. Pelatihan dan seminar yang diadakan tidak hanya mengenai budidaya saja namun juga diberikan pelatihan manajemen dan pemasaran sehingga petani memiliki pengetahuan yang cukup untuk berwira usaha udang karena hasil penjualan udang sangat tinggi bila dibandingkan dengan hasil petani padi. Dengan pelatihan dan seminar diharapakan terjadi peningkatan produktifitas dan penguasaan pasar serta mengembangkan kemitraan Dengan membentuk organisasi dan mengikuti pelatihan dan seminar kelompok Mina Jaya telah berhasil mengajak warga petani dan buruh tani untuk budidaya udang dengan cara mengontrak tanah Kas Desa maupun pelungguh Dukuh. Dengan nilai nominal satu tahun per meter persegi
Rp. 700,- dan menyewa tanah warga secara berkelompok.
Dengan modal lahan yang telah tersedia dan memperoleh hasil yang cukup signifikan kelompok mengajukan proposal bantuan modal kepada pemerintah. Pemerintah melalui Dinas Peternakan dan Perikanan
80
Kabupaten Sleman memberikan bantuan modal berupa pinjaman lunak dengan bunga 6 % pertahun tanpa agunan melaui DPM (Dana Penguatan Modal). Saat ini kelompok Tani Mina Jaya setiap Tahun diberikan pinjaman Rp. 175 000 000,- dalam setahun dengan bunga 6% pertahun dan pengembaliannya setiap enam bulan karena disesuaikan dengan asumsi budidaya udang panen 6 bulan sekali. Penyaluran dana melalui Bank Daerah Sleman. Pada saat pembayaran kedua atau pelunasan kelompok dapat mengajukan lagi pinjaman berikut. Mengenai besaran pinjaman anggota kepada kelompok maupun pembayaran diserahkan pada mekanisme kelompok dan pinjaman tersebut tanpa agunan karena merupakan pinjaman kelompok dan bukan perorangan. Kelompol Mina Jaya mengadakan pertemuan satu bulan sekali dan para istri petani anggota Mina Jaya juga ikut dalam kegiatan kelompok dengan kegiatan simpan pinjam dan arisan. Saat ini kelompok telah memiliki dana kas cukup besar karena setiap panen anggota diwajibkan membayar kapada kelompok untuk kas sebesat 1% dari hasil penjualan panen. Kelompok memberikan fasilitas penyediaan pakan langsung mendatangkan dari pabrik Pakan udang Di Jawa Timur sehingga memperoleh harga lebih murah dari harga penjual karena selisih Rp. 2500,- setiap Zak dan dapat dilakukan pembayaran setelah panen udang. Dalam penjualan hasil panen kelompok telah memiliki jaringan pemasaran dengan harga telah diatur oleh kelompok dan giliran panenpun di atur oleh kelompok sehingga tidak ada penumpukan hasil panen maupun persaingan harga diantara para petani udang. Dalam aturan main kelompok tercipta kesetaraan (the same level playing field) bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya berdasarkan atuan main yang fair, transparan demokratis dan adil. Kelompok Tani Mina Jaya mampu mendorong peningkatan
sumber
daya,
produktifitas
hasil
udang
sehinga
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Dusun Kadipolo
81
Sendangtirto Berbah Sleman telah dikenal dengan julukan ―Desa Udang Galah‖. Saat ini kelompok Tani Mina Jaya sedang membangun sarana dan prasarana pembibitan sendiri. Mereka mendapatkan dana hibah kurang lebih Rp. 300.000.000,- dan pelatih pembibitan dari Kementrian Kelautan di jakarta . Setelah anggota mahir maka semua pengelolaan diserahkan kepada kelompok. Dengan memiliki tempat pembibitan sendiri maka hasil dan manfaat yang diperoleh petani akan meningkat. Mereka dapat mandiri dari mulai penyediaan bibit, penyediaan pakan, dan pemasaran sehingga perekonomian mereka semakin baik dan sejahtera. Dalam masa krisis ekonomi global yang terjadipun petani udang tidak merugi namun diuntungkan karena permintaan tetap tinggi dan harga naik. Udang galah segar di jual dari petani Rp. 60.000,- per kilogram. Permintaan udang galah untuk restoran maupun rumah makan di Yogyakarta hngga saat ini belum terpenuhi dari hasil petani udang di Sleman sehingga masih sering mengambil dari petani Bumiayu Jawa Tengah. Tingkat kesejahteraan masyarakat Kadipolo khususnya petani udang semakin baik sehingga banyak warga yang dahulu sebagai petani maupun buruh tani menjadi petani Udang galah . Mereka memiliki akses yang luas untuk mensejahterakan anggota dan mandiri . Prestasi Kelompok Tani Mina Jaya antara lain tahun 2009 mewakili Propinsi DIY ketingkat Nasional dan memperoleh Juara III tingkat Nasional. f.
Program Pembuatan Kompos (Composing) Pada awalnya program ini hanya terdiri dari satu produsen kompos, namun dengan adanya dukungan dan kerjasama dengan rekan dari luar daerah, produsen kompos bertambah menjadi 4 (empat) buah. Perencanaan composing ini murni dilakukan oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang, dengan dukungan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, dan Dinas Kehutanan.
82
Program composing pada tahap selanjutnya tidak seluruhnya dilakukan
oleh
pemko, namun
dilaksanakan
dengan
melibatkan
masyarakat. Sebagaimana pernyataan pejabat Bapeko Tanjungpinang. ” ...kemudian dari Dinas Sumber Daya Alam, banyak sektor dari pertanian, perikanan, kehutanan, itu membuat empat tempat pembuatan kompos dimana daerah kita rawan untuk masalah pertanian, kompos didirikan sebanyak 4 buah di Kota Tanjungpinang dikelola oleh masyarakat. Kita eksperimen kegiatan itu, diberdayakan oleh mereka (masyarakat)......”. Pada awalnya, masyarakat kurang yakin terhadap keberhasilan program composing karena situasi dan kondisi tanah yang tidak memungkinkan. Namun pada akhirnya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Pernyataan pejabat Bapeko Tanjungpinang semakin menguatkan hal tersebut: ”tanggapan masyarakat waktu itu kurang yakin, kita sendiri juga kurang yakin karena kondisi tanah yang dari bauksit. Kemudian, kita undang pakar-pakar petani ke Kota Tanjungpinang untuk mengecek lapangan”. Hal ini membuktikan bahwa ternyata bukan merupakan perkara mudah
untuk
meyakinkan
masyarakat mengenai
suatu
program
pemerintah daerah, namun dengan adanya keseriusan pemda dan adanya persuasi yang terus-menerus dilakukan, maka masyarakat akhirnya bersedia mendukung program composing tersebut. Pendanaan kegiatan composing berasal dari anggaran pemko (APBD) dan anggaran pusat (APBN). Alat-alat dan mesin-mesin dibiayai dengan anggaran pemko sedangkan pelaksana pertanian di lapangan dibiayai dengan anggaran Pusat. Anggaran dari Pusat antara lain berasal dari Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian (Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian). Persoalan kecukupan dana merupakan masalah ‘klasik‘ yang senantiasa
muncul
dalam
pelaksanaan
program
dan
kegiatan
pemerintahan, tak terkecuali dalam program composing di Kota Tanjungpinang. Namun demikian, masalah ini sempat dihadapi oleh
83
pemerintah daerah pada awal-awal pelaksanaan program. Saat ini, pendanaan untuk program composing sudah mendapatkan alokasi dari dua sumber yaitu APBD dan APBN. Untuk kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) selama ini dilakukan oleh pemko, dalam hal ini dilaksanakan oleh SKPD masingmasing maupun oleh inspektorat daerah. Dari monev yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa lahirnya composing sebenarnya merupakan transformasi dari kondisi masyarakat sebelumnya. Masyarakat Kota Tanjungpinang pada awalnya mengandalkan pada perdagangan dengan adanya lintas batas. Sebagaimana dimaklumi, pada perkembangannya sektor perdagangan diambil alih oleh Kota Batam sehingga merubah image Kota Tanjungpinang. Perubahan ini tidaklah mudah, karena untuk beralih profesi tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih tidak ada dukungan sumber alam yang memadai. Upaya
merubah
image
dari
kota
dagang
pada
akhirnya
memunculkan kreativitas pemerintah kota untuk mengembangkan kompos itu meskipun pada awalnya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Terakhir, berdasarkan catatan pemerintah kota, kompos tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi justru telah menjadi kebanggaan pemerintah kota dan masyarakat Kota Tanjungpinang karena telah memperoleh penghargaan serta telah memberikan manfaat yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Tanjungpinang. g. Program ―Bapak Angkat‖ Program ini adalah salah satu langkah kongkret yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali dalam rangka mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di Bali. Dalam rangka membangun komitmen bersama, setiap pejabat system rural di lingkungan Pemprov Bali bertindak sebagai bapak/ibu angkat bagi rumah tangga miskin (RTM). Program ini mempunyai sasaran RTM di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan di
84
atas 35 persen yang tersebar di Kabupaten Buleleng, Karangasem, Klungkung dan juga Kabupaten Bangli. Dalam program ini setiap pejabat eselon di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali diwajibkan memiliki keluarga binaan. Misalnya eselon IV minimal memiliki 1 rumah tangga binaan, dan eselon I minimal memiliki 4 keluarga binaan. Pada dasarnya program ini bukan bertujuan memberikan bantuan
pribadi
secara
financial
tetapi
lebih
pada
tugas
mengkoordinasikan dan menghubungkan keluarga miskin dengan program-program pemerintah. Setiap minggu para ―bapak angkat‖ ini harus ke lapangan dan menginventarisasi kebutuhan masyarakat. Nanti dikoordinasikan dengan berbagai program dari pemerintah pusat dan daerah. h. Program Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) Program ini dilaksanakan di Kabupaten Malang. Program ini dilatarbelakangi karena Kabupaten Malang memiliki kawasan hutan Negara seluar 32% dari luas keseluruhan wilayah kabupaten atau sekitar 114.090,05 ha, terdiri atas kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi (taman nasional/taman hutan raya/cagar alam). Paradigma pengelolaan sumber daya hutan telah mengalami pergeseran dari state based forest management menjadi community based forest management. Paradigma community based forest management ini diterjemahkan oleh perum perhutani menjadi pola pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Pemerintah Kabupaten Malang menilai pola ini belum disinergikan dengan aturan otonomi daerah atau diluar pembinaan dan pengendalian pemerintah daerah sehingga berbagai permasalahan sosial sulit teratasi dan belum cukup kuat untuk mendukung pergerakan pembangunan
daerah
permasalahan tersebut,
di
bidang
kehutanan.
Untuk
mengatasi
pemerintah kabupaten Malang dan Perum
85
Perhutani KPH Malang telah menyepakati kerjasama pengelolaan hutan dalam bentuk Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH). Alasan yang mendasari pemilihan model pengelolaan ini adalah posisi masyarakat dan pemerintah daerah lebih dikedepankan, meskipun PKPH
masih
mempunyai
kelemahan
yaitu
belum
ada
aturan
operasionalnya. Pola kemitraan yang dibangun di Kabupaten Malang adalah pola kemitraan antara masyarakat desa setempat dengan perum perhutani KPH Malang untuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi. PKPH didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama antara Perum Perhutani dengan masyarakat dan pemerintah desa sekitar hutan dan atau pihak lain yang berkepentingan dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama. Tujuan dari PKPH ini adalah untuk pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa sekitar hutan, untuk kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan, peningkatan manfaat hutan, distribusi manfaat hutan yang berkeadilan. i.
Bedah Rumah Pemerintah Provinsi Bali terus berupaya membuat terobosan program yang menyentuh langsung masyarakat miskin dalam upaya memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Salah satu program yang diunggulkan adalah Program Bedah Rumah. Program ini berawal dari permintaan bantuan masyarakat kepada pemerintah kabupaten untuk merenovasi rumah yang dihuni RTM (rumah tangga miskin) pada pertengahan tahun 2009. Saat itu, ada sekitar 850 proposal yang berisi permohonan bantuan dimaksud yang diterima Pemerintah Provinsi Bali. Dari sinilah, Gubernur Bali merespons permintaan masyarakat tersebut melalui program bedah rumah. Pemerintah Provinsi Bali kemudian menyusun dan menetapkan kriteria untuk memutuskan warga yang dinilai layak menerima bantuan pengentasan RTM melalui program bedah rumah tersebut. Ada 14 variabel
86
dasar yang dijadikan acuan standar untuk menetapkan RTM tersebut, yaitu : luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter2; jenis lantai bangunan tempat tinggal dari tanah/bambu/kayu berkualitas rendah; jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah; tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus); sumber penerangan rumah tangga bukan dari listrik; sumber air minum dari sumur/mata air tak terlindungi/sungai/air hujan; bahan bakar untuk memasak sehari-hari dari kayu bakar/arang; tidak mengonsumsi daging/susu/ayam dalam satu minggu; tidak mampu membeli pakan baru untuk tiap ART dalam setahun; frekuensi makan kurang dari tiga kali per hari untuk tiap ART; tidak mampu berobat ke puskesmas/poliklinik; lapangan pekerjaan utama KRT, yaitu petani gurem/pekerja bebas dengan upah per bulan kurang dari Rp 600 ribu; pendidikan tertinggi KRT sekolah dasar atau tidak pernah sekolah; tidak mempunyai aset/tabungan/barang berharga bernilai lebih dari Rp 500 ribu. Pemerintah Provinsi Bali memprioritaskan program bedah rumah ini di empat kabupaten, termasuk Kabupaten Bangli. Sampai saat ini program bedah rumah yang telah direalisasikan 325 unit RTM, yaitu 100 unit RTM di Buleleng, 100 unit RTM di Karangasem, 75 unit RTM di Bangli, dan 50 unit RTM di Klungkung. Anggaran yang digunakan untuk merealisasikan program ini bersumber dari APBD Provinsi Bali dengan jumlah Rp 26.000.000 per unit. Sebanyak 500 unit RTM telah ditargetkan untuk menerima bantuan program yang sama. Rinciannya Buleleng 144 unit, Karangasem 102 unit, Tabanan dan Gianyar masing-masing 40 unit,
87
Klungkung 66 unit, Bangli 80 unit dan Jembrana 24 unit. Sumber anggarannya berasal dari APBD Perubahan Tahun 2010. Tahun 2011 akan diupayakan ditingkatkan menjadi 1.000 unit. Melalui
program-program
pemberdayaan
masyarakat
yang
digulirkan, harapannya adalah menurunnya angka kemiskinan di daerah tersebut. Pemerintah Provinsi Bali menargetkan penurunan RTM 10 ribu tiap tahun. Kenyataannya kalau di daerah lain jumlah kemiskinan menurun, di Bangli justru jumlah kemiskinan malah meningkat. Hal ini diakui Bappeda Kabupaten Bangli, apalagi pada saat-saat menjelang hari raya, banyak pendatang dari Jawa dan Lombok yang menambah jumlah rumah tangga miskin baru. Selain itu keberadaan BLT juga memicu bertambahnya jumlah kemiskinan di Kabupaten Bangli. Kemudian dari kapasitas fiskal, jika angka kemiskinan makin tinggi, maka makin besar dana perimbangannya. j.
Program Padat Karya Pangan /PKP Program Padat Karya Pangan (PKP) adalah kegiatan pembangunan sarana dan prasarana fisik pedesaan yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan bahan pangan berupa beras sebagai kompensasi upah kerja, yang diselenggarakan
oleh
Pemerintah
Kabupaten
Purbalingga
dengan
memenuhi azaz pemberdayaan, partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan kelestarian lingkungan. PKP (program ketahanan pangan) intinya memberikan pekerjaan sementara kepada penduduk. PKP itu berpikirnya sederhana, aspek ketahanan pangan dan aspek ketenagakerjaan (sementara) kemudian infrastrukutr sederhana di tingkat desa. Program kegiatan ini telah memberikan
nilai
positif
bagi
masyarakat
Purbalingga,
yaitu
mengembangkan pemanfaatan material local, fasilitas sarana dan prasarana fisik dan ikut meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan stimulan tersebut (beras) ketergantungan masyarakat makin kesini makin menurun.
88
Berdasarkan
penjelasan
dari
Kepala
Bapermas
Kabupaten
Purbalingga, program PKP ini dilakukan dengan sistem kompetisi antar desa, kemudian naik ke kecamatan, dan ke tingkat kabupaten. Dalam program ini dipertimbangkan kesediaan desa, swadaya desa, kemiskinan, sampai ke materialnya supaya tidak terlalu banyak membeli material yang tidak ada di desa k. Desa Sehat Mandiri/ DSM Program
ini
diselenggarakan
oleh
Pemerintah
Kabupaten
Purbalingga. Desa sehat mandiri adalah desa yang secara mandiri mampu memberikan pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas kepada masyarakatnya, serta antisipatif dan responsive terhadap kejadiankejadian yang dapat menimbulkan dampak pada gangguan kesehatan masyarakat. Salah satu indicator keberhasilan perwujudan desa sehat mandiri adalah nantinya Poliklinik Kesehatan Desa/ PKD tidak hanya berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan, tapi juga sekaligus sebagai pusat informasi kesehatan. Hasil dan perwujudan Desa Sehat Mandiri secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut :
Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan
dasar
di
pedesaan,
di
bawah
pengawasan
dan
pendelegasian wewenang kepala puskesmas
Lembaga PKD, dengan dimotori oleh bidan desa dan bersama-sama dengan
perawat,
sanitarian,
dan
ahli
gizi,
berperan
dalam
meningkatkan pengetahuan dan kepedualian masyarakat tentang factor-faktor yang menimbulkan gangguan kesehatan
PKD bersama petugas kesehatan desa dan masyarakat melakukan pengumpulan data/ pemetaan kesehatan ibu hamil, ibu hamil resiko tinggi, bayi, balita, kondisi gizi masyarakat, dan kesehatan lingkungan
89
Lembaga PKD bersama petugas kesehatan desa meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk membangun system kewaspadaan dini terhadap wabah, KLB, dan bencana alam
Lembaga PKD bersama-sama dengan masyarakat membangun dan melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat/ PHBS, serta merencanakan dan menyiapkan mekanisme rujukan
PKD juga menyiapkan sumber pembiayaan pelayanan kesehatan melalui
peningkatan
kepesertaan
JPKM,
disamping
dukungan
pembiayaan dari pemerintah 2. Praktek-Praktek Community Development Yang Diprakarsai oleh Lembaga Non Pemerintah/ LSM Kajian ini menjumpai sejumlah lembaga non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan berbagai program comdev. Dapat dilihat bahwa program yang ditawarkan
oleh lembaga-lembaga tersebut
menyentuh berbagai dimensi comdev. Hal yang menarik dari program yang ditawarkan adalah adanya kecenderungan dari lembaga tersebut untuk melaksanakan kegiatan yang sifatnya advokasi, mendorong formulasi kebijakan, atau penguatan kelompok. Dalam berbagai kasus lembagalembaga tersebut terlihat memiliki peran untuk menyalurkan dana-dana pembangunan dari berbagai organisasi kepada masyarakat dalam bentuk program-program. Tabel 4.2. Contoh Praktek Community Development Prakarsa LSM Nama Lembaga Yayasan Peningkatan dan Pengembangan Sumber Daya Ummat di DIY
Pelaku LSM, masyarakat, pemerintah daerah, lembaga donor
Sasaran komunitas petani perempuan pengrajin pelaku usaha mikro lainnya
Tujuan meningkatkan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapsitas masyarakat; Meningkatkan kemampuan masyakarat untuk
Dimensi Ekonomi Social Personal Politik
Metode Lembaga Keuangan Mikro Syariah Antisipasi Bencana Usaha Mikro kecil koperasi Informasi edukatif Penguatan Keorganisasian dan Advokasi
90
Nama Lembaga
Pelaku
Sasaran
Tujuan
Dimensi
Metode
mengantisipasi bencana; melakukan advokasi kebijakan agar sesuai kepentingan masyarakat; (4) menjadi lembaga yang mandiri bersama masyarakat; memperluas jaringan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Yayasan Satu Nama di DIY
LSM, masyarakat, pemerintah daerah, lembaga donor
Aceh Development Fund di Nanggroe Aceh Darussalam
LSM, masyarakat, pemerintah daerah, lembaga donor
Masyarakat Aceh
memperkuat masyarakat sipil di Indonesia melalui pendampingan masyarakat, advokasi dan pelatihan Meningkatkan pemberdayaan masyarakat Penguatan demokratisasi
Sosial Politik Personal Budaya
penguatan demokrasi pendidikan masyarakat dan praktek fasilitasi
Sosial Ekonomi Politik
penguatan kelompokkelomopk usaha memaksimalkan kelompok-kelompok usaha itu untuk mendapatkan pelayanan dasa mendorong perumusan kebijakan
Tabel di atas merangkum berbagai praktek yang inisiasi lembaga non pemerintah dalam praktek comdev. Adapun untuk detailnya, dipaparkan sebagaimana berikut. a. Praktek
Community
Development
yang
dilakukan
oleh
Yayasan
Peningkatan dan Pengembangan Sumberdaya Ummat (YP2SU) YP2SU (Yayasan Peningkatan dan Pengembangan Sumber Daya Ummat) adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dibentuk sejak 13 November 1992. Lembaga ini dihadirkan sebagai bentuk
kepedulian
kaum
muda
terhadap
persoalan-persoalan
91
kemasyarakatan yang kerap kali dijumpai dalam aktivitasnya selama ini. YP2SU digagas untuk menjadi salah satu bagian dalam memberikan soluasi bagi permasalahan masyarakat dan ikut dalam menumbuhkan masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Dalam kurun waktu 1992-2000, YP2SU mengalami tiga kali perubahan. Tahun 1992-1995, YP2SU lebih banyak bergerak dalam kegiatan system, pendidikan non formal untuk kaum muda dan penerbitan buku keagamaan. Periode kedua (1995-1999), YP2SU bergerak dalam kredit mikro untuk usaha mikro kecil dengan system syariah yang selanjutnya berkembang menjadi Koperasi BMT Al Ikhlas. Koperasi BMT Al Ikhlas sekarang ini sudah berkembang mandiri dan secara kelembagaan terpisah dari YP2SU. Kemudian mulai tahun 2000, YP2SU memfokuskan aktivitasnya dalam pemberdayaan masyarakat. Komunitas yang bekerja bersama lembaga ini adalah komunitas petani, perempuan, pengrajin, dan pelaku usaha mikro lainnya. Adapun visi YP2SU adalah menjadi lembaga yang terpercaya dalam memberdayakan potensi system-ekonomi rakyat secara berkelanjutan dan mandiri. Dengan visi tersebut, kami memiliki setidaknya lima misi yakni (1) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapsitas masyarakat;
(2)
Meningkatkan
kemampuan
masyakarat
untuk
mengantisipasi bencana; (3) melakukan advokasi kebijakan agar sesuai kepentingan masyarakat; (4) menjadi lembaga yang mandiri bersama masyarakat; (5) memperluas jaringan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Untuk mendorong terealisasinya visi dan misi tadi, YP2SU selalu mendorong adanya budaya kerja mulai dari (1) Solidaritas; (2) Partisipasi; (3) Penghormatan Kepada Perempuan; (4) Transparansi dan Kejelasan Laporan; (5) Melahirkan Wiraswasta Sosial; (6) Berkelanjutan Menuju Kemandirian Bersama.
92
Dalam memperkuat peran lembaga bagi masyarakat, YP2SU mengembangkan beberapa kegiatan yang terangkum dalam 5 bidang kerja yaitu: (1) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; (2) Pemberdayaan Usaha Berorientasi Pasar; (3) Pengembangan Kapasitas Masyarakat;
(4)
Antisipasi Kebencanaan; (5) Pemberdayaan Sosial dan Pendidikan bagi Masyarakat. Selanjutnya untuk aspek metode kerja YP2SU mengusung slogan ―ETIKA‖ yaitu (1) Edukasi (Saling Belajar); (2) EmpowermenT (Saling Memberdayakan); (3) AdvokasI (Saling Membela); (4) Kelembagaan (Penguatan Kelembagaan Basis); (5) Mobilisasi Resources (Penguatan Jaringan) . Program Pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan oleh YP2SU diantaranya : 1) Gerakan Ekonomi Kaum Ibu (GEMI) Keresahan kaum ibu atas lingkaran kemiskinan yang terus-menerus menjerat mereka menuntut solusi, dan program YP2SU dalam bidang microfinance – program GEMI – telah membuat banyak terobosan untuk mengatasinya. Gerakan Ekonomi Kaum Ibu (GEMI) adalah Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang diinisiasi dengan beneficiaries perempuan yang kurang mampu. Tujuan utama program ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup anggota dan keluarganya melalui modifikasi kredit mikro. Secara umum, GEMI mereplikasi sistem Grameen Bank yang sangat populis di Bangladesh sebagai Bank for the poorest women. Seiring dengan kiprahnya untuk memberi makna kepada kehidupan kaum ibu di lokasi-lokasi garapan YP2US, GEMI melakukan pemberdayaan bagi para perempuan pengusaha mikro dalam bentuk dana bergulir, pelatihan, konsultasi usaha, dan pengembangan jaringan usaha. ”Adalah menjadi tanggung jawab saya kepada Allah, untuk: Berikhtiar menambah rezeki untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, mendorong anak-anak agar terus bersekolah, membantu
93
anggota kumpulan bila mereka dalam kesusahan, membayar kembali pinjaman setiap minggu, Allah menjadi saksi segala yang saya ucapkan dan saya lakukan”. Ikrar tersebut rutin dilafalkan secara serempak oleh anggota GEMI pada saat dimulai dan berakhirnya pertemuan anggota setiap minggunya. Ikrar tersebut seperti telah menjadi motivator untuk bersemangat berusaha dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Ikrar dan budaya disiplin dalam program inilah yang telah mengantarkan para perempuan pengusaha mikro untuk selalu menghadapi hidup dengan optimis, giat berusaha, dan disiplin dalam menjaga kredit. Dalam
perjalanannya
berbagai
perkembangan
yang
cukup
menggembirakan telah dilaksanakan selama tiga tahun ini. Pada tahun 2005 saja program GEMI yang diinisiasi sudah menjangkau Kabupaten Bantul dan pinggiran Kota Yogyakarta dengan anggota sebanyak 1168 perempuan pengusaha mikro (data April 2008). Program ini memunculkan semangat baru untuk menjangkau keluarga miskin secara lebih luas. Selain untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga,
kegiatan
GEMI
juga
ditujukan
untuk
memberikan
peningkatan dalam bidang pendidikan, peningkatan pendapatan keluarga, dan penguatan peran perempuan untuk mempengaruhi kebijakan di lingkungannya. 2) Slamet (Antisipasi Bencana Dengan Rencana) Indonesia adalah negeri yang akan selalu gelisah. Lokasi Indonesia yang terletak di kawasan rawan bencana menjadikan setiap orang Indonesia harus bersiap dalam menghadapi segala kemungkinan bencana yang muncul. Gempa 27 Mei 2006 yang lalu menjadi saksi kedasyatan bencana yang dapat terjadi. Besarnya kerugian material dan nyawa masyarakat menjadi tolak ukur belum adanya kesiagaan bencana yang dimiliki oleh masyarakat. Merupakan tantangan tersendiri untuk mengedukasi masyarakat agar selalu siap dalam
94
menghadapi
bencana.
Lembaga
YP2US
sebagai
komponen
masyarakat bangkit menjawab tantangan tersebut dengan program SLAMET (Antisipasi Bencana Dengan Rencana). SLAMET adalah program edukasi antisipasi bencana yang telah dilakukan di 5 (lima) desa yaitu: Desa Katekan Gantiwarno Klaten, Desa Wonokromo Pleret Bantul, Desa Srihardono Pundong Bantul, Desa
Potorono
Banguntapan
Bantul
dan
Desa
Sumberharjo
Prambanan Sleman. Program edukasi antisipasi bencana SLAMET bersinergi dengan program livelihood PRIGEL. Dalam perjalanannya SLAMET telah membangkitkan kesadaran masyarakat dalam antispasi bencana lewat Program Training Kader Desa, Workshop Antisipasi Bencana dan Simulasi Bencana. Simulasi Bencana yang diadakan di Katekan telah sukses mengajak masyarakat bersiap sebelum bencana datang dengan pembentukan Komunitas Masyarakat Tanggap Bencana yang diresmikan sama dengan nama program ini yaitu Tim SLAMET. Kedepan, SLAMET terus berusaha menjangkau seluruh wilayah Indonesia dengan program edukasi bencana berbasis masyarakat. Maka SLAMET bukan hanya menjadi sebuah nama namun menjadi spirit yang tidak akan pernah padam bagi semua masyarakat untuk bersiap menghadapi bencana dengan rencana. 3) Trading House (Terus Jualan Kembangkan Potensi Lokal) Kekayaan budaya Indonesia memunculkan tradisi dan kerajinan yang melimpah. Dari sinilah lahir potensi UKM (Usaha Mikro Kecil) kerajinan yang sangat besar termasuk salah satunya di Kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota tradisi merupakan salah satu daerah sentra kerajinan. Namun masalah yang dihadapi oleh UKM adalah ketergantungannya pada order pasar. Keberadaan UKM yang memproduksi kerajinan sangat bergantung permintaan pasar baik lokal maupun internasional. Hal inilah yang menjadikan UKM di
95
Yogyakarta bagai cendawan di musim hujan, namun kemudian mati waktu kemarau. Permintaan pasar bisa jadi akan menumbuhkan banyak UKM, namun akan segera mati apabila tren telah berlalu. Lemahnya akses pasar mendorong YP2US sebagai komponen masyarakat sipil untuk melakukan program pemberdayaan dan penguatan UKM dalam akses pasar. Atas prakarsa YP2US lahirlah program pemberdayaan bagi UKM kerajinan di wilayah Yogyakarta tahun 2005 dalam sebuah program Trading House. Program dimulai dengan pendampingan akses pasar bagi UKM kerajinan yang terangkum dalam Program Peningkatan Kapasitas Produksi Kerajinan, Program Pengembangan Desain Produk, dan Program Pelatihan Internet bagi UKM. Beberapa UKM yang pernah bekerjasama dengan YP2US adalah UKM di sektor kerajinan kulit di Manding dan keramik di Pundong Bantul DIY. Dalam kiprahnya berbagai pameran telah dilakukan baik dalam skala nasional ataupun internasional antara lain di Italia dan Bulgaria. Seiring dengan tumbuhnya jaringan pasar UKM dan kepercayaan dari berbagai
pihak,
Trading
House
YP2SU
berkomitmen
untuk
meningkatkan jangkauan dan pemberdayaan UKM. 4) GESIT (Gerakan Koperasi Rakyat Merakyat) Menjadi daerah tujuan wisata ternyata bukan jaminan bahwa masyarakat di daerah tersebut lebih sejahtera dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain. Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal memiliki banyak tempat tujuan wisata ternyata memiliki angka persentase penduduk miskin di atas angka nasional. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang masuk kategori miskin di DIY pada Juli 2007, tercatat 633,40 ribu jiwa yang berarti mengalami kenaikan, dibandingkan pada Juli 2005 yang mencapai 625,80 ribu jiwa. Angka persentase penduduk miskin di DIY selalu berada di atas angka nasional. Pada Maret 2007, persentase
96
penduduk miskin DIY sekitar 18,99 persen, sementara persentase penduduk miskin secara nasional hanya 16,58 persen. Lembaga YP2US dengan program GESIT Gerakan Koperasi Rakyat Merakyat, memberikan alternatif peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada awalnya,
masyarakat didorong
untuk
mempunyai
kepentingan
bersama dalam usaha peningkatan kesejahteraannya. Selanjutnya kelompok-kelompok usaha yang telah ada di masyarakat dikuatkan sekaligus membentuk kelompok-kelompok usaha baru bagi yang belum berkelompok. Setelah kelompok-kelompok masyarakat ini terbentuk, masyarakat dipahamkan mengenai gerakan koperasi rakyat. Fungsi penting dari penguatan kelompok masyarakat ini adalah : Pertama,
fungsi
edukasi
dan
advokasi.
Pembelajaran
untuk
memperkuat paradigma yang benar tentang aktivitas ekonomi yang selama ini dilakukan, peningkatan kompetensi dan kapasitas masyarakat, serta motivasi bersama untuk semakin sejahtera. Metode yang dilakukan adalah dengan metode Sekolah Lapang (SL) bagi petani dan pelatihan-pelatihan bagi pelaku usaha lainnya, sehingga masyarakat dapat langsung merasakan proses edukasi
yang
dijalankan. Selain itu, juga dilakukan advokasi kebijakan terkait dengan sektor ekonomi produktif, agar proses yang dilakukan sinergi dengan program-program dari Pemerintahan. Kedua, fungsi peningkatan pendapatan (income generating). Salah satu investasi tingkat lokal yang sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat desa dalam sebuah wilayah adalah dengan pembentukan koperasi tingkat Desa. Setiap anggota koperasi adalah pemilik kekayaan koperasi tersebut, sehingga keuntungan dari pembentukan koperasi ini benar-benar dirasakan oleh semua anggota masyarakat bukan hanya oleh beberapa orang saja. Koperasi ini dapat difungsikan sebagai tempat pembelajaran bagi masyarakat desa sekaligus peluang penambahan pendapatan
97
keluarga. Agar keberadaan koperasi ini memberikan dampak positif, YP2US
memberikan
pendampingan
pengurus
koperasi
dalam
pembentukan sistem kelembagaan koperasi rakyat yang profesional. 5) Prigel Raharjo (Kerja Trampil Menggapai Sejahtera) Gempa bumi 27 Mei 2006 sudah lama berlalu. Kini, masyarakat sudah mulai berjalan kehidupan perekonomiannya. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat masih membutuhkan perhatian agar benar-benar kembali pulih perekonomiannya. Tidak cukup hanya kembali pulih, tetapi yang paling penting adalah bagaimana
kondisi
perekonomian
masyarakat
dapat
semakin
meningkat. Seperti juga di Desa Srihardono Pundong Bantul, masyarakat sudah mulai melakukan aktivitas usahanya. Kondisi usaha mereka sebagian besar belum pulih kapasitas produksinya karena beberapa faktor diantaranya kehilangan modal kerja dan peralatan yang rusak. Selain akibat bencana gempa bumi, ternyata faktor krisis ekonomi global juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sampai sekarang kondisi usaha masyarakat belum pulih sepenuhnya. Menghadapi situasi ini, YP2US menginisiasi satu program dengan nama Prigel Raharjo. Prigel Raharjo adalah istilah dalam Bahasa Jawa, ‖prigel‖ berarti terampil atau cekatan dan ‖raharjo‖ berarti sejahtera. Program ini mendampingi 182 pelaku usaha dengan 7 macam jenis komoditas lokal yang terdiri dari 6 komoditas makanan olahan dan minya kelapa. Selama ini peluang pasar lokal untuk produk-produk lokal ini masih sangat terbuka. Permasalahan yang masih menjadi kendala selain terkait dengan manajemen usaha adalah masalah persaingan pasar antar produsen dan kebijakan harga belum ada. Permasalahan ini dapat menyebabkan pesaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha. Oleh karena ini, program Prigel Raharjo akan diinisiasi berdasarkan
98
kelompok usaha Harapannya selain permasalahan manajemen produksi setiap pelaku usaha semakin baik, juga permasalahanpermasalahan antar pelaku usaha dapat diselesaikan dengan aktivitas-aktivitas bersama dalam kelompok usaha. Ada tiga hal yang dilakukan dalam program ini yaitu pemberian peralatan produksi sesuai dengan kebutuhan untuk memulihkan produksi, pinjaman modal kerja, pelatihan-pelatihan usaha dan akses pasar. Modal akan digulirkan dengan metode replikasi model grameen bank yang telah diterapkan dalam salah satu program kami yang lain dalam bidang microfinance (GEMI). Sedangkan pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan adalah pelatihan entrepreneurship seperti
motivasi dan bisnis development (sertifikasi produk dan diversifikasi), manajemen usaha, dan akses pasar. Perkembangan bisnis makanan olahan lokal dan terbentuknya kelembagaan usaha masyarakat tingkat lokal yang kuat menjadi citacita YP2US dan masyarakat yang didampinginya. Kerja keras, trampil, saling belajar, optimalisasi semua potensi menjadi bagian penting dari keseluruhan proses yang akan selalu ada dalam pelaksanaan program Prigel Raharjo di Srihardono Pundong Bantul. 6) LANTIP Pengalaman-pengalaman YP2US dalam memberdayakan komunitas selama ini memberikan YP2US gagasan untuk mengabadikannya menjadi sebuah media inspiratif yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Media ini dinamakan dengan LANTIP, sebuah kata bahasa Jawa yang berarti ―tajam‖, ―cakap‖, atau ―cerdas‖. Diharapkan, dengan ini YP2US mampu membawa nama tersebut sebagai spirit bagi YP2US untuk
menghasilkan
karya-karya
yang
diharapkan
mampu
memberikan pencerahan kepada masyarakat. Untuk program LANTIP, YP2US memprogramkan beberapa media, yakni:
a. Website; b.
Panduan program; c. Video Komunitas; d. Media lain. Untuk rencana
99
ke depan yang diprogramkan membangun sebuah sistem knowledge management yang terpadu (integrated), dengan didukung oleh website, penerbitan, perpustakaan modern, dan model-model lain. 7) WATER : WASIS Training Center Pengalaman-pengalaman YP2US dalam menyelenggarakan pelatihanpelatihan dalam bidang comdev, Penguatan Keorganisasian dan Advokasi menumbuhkan semangat untuk membuat program baru dengan membuat pelatihan-pelatihan yang intensif, yang diberi nama WASIS Training Center (WATER). Program ini menyediakan jasa pelatihan dalam bidang-bidang sebagai berikut: a) Community Organizing b) Model pemberdayaan ekonomi komunitas c) Manajemen Program d) Pembuatan
model
untuk
pemberdayaan
sosial
ekonomi
berkelanjutan melalui CSR e) Penganggaran pro-rakyat miskin f)
Pembuatan kebijakan publik proUKM melalui pengembangan cluster industri
g) Pembuatan model kebijakan dan anggaran manajemen bencana tingkat daerah h) Pembuatan
model
untuk
partisipasi
masyarakat
dalam
masyarakat
dalam
perencanaan pembangunan daerah i)
Pembuatan perencanaan
model
untuk
pembangunan
partisipasi daerah
melalui
pengawasan
partisipatif j)
Manajemen Corporate Social Responsibility (CSR)
k) dan semua pelatihan yang diselenggarakan oleh program-program yang lain
100
Pelatihan-pelatihan ini ditujukan untuk pengorganisasi masyarakat, NGO, lembaga amil zakat, intelektual muda, pengamat dan pelaku CSR, pemerintah, dan anggota legislatif. b. Praktek Community Development oleh YAYASAN SATU NAMA SATUNAMA (Yayasan Kesatuan Kerjasama) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan memperkuat masyarakat sipil di Indonesia melalui pendampingan masyarakat, advokasi dan pelatihan. Program-program yang secara formal berdiri pada tanggal 25 Maret 1998 ini merupakan penjabaran dari visi dan misi. SATUNAMA memiliki beberapa divisi yang menyelenggarakan program penguatan masyarakat sipil, yaitu diantaranya :
Divisi People Empowerment Program Divisi people empowerment program merupakan divisi tertua dan merupakan roh perjuangan SATUNAMA. Divisi ini memfasilitasi pemberdayaan masyarakat akar rumput dengan focus pada bidang suistainable
community
livelihoods
through
agrobiodiversity
(kedaulatan pangan melalui pelestarian lahan dan lingkungan). Sedangkan divisi special project mengelola program dengan tematema, mekanisme dan pendekatan khusus. Sasaran divisi special project adalah pemberdayaan masyarakat akar rumpur dengan focus pada penguatan demokrasi melalui kerjasama antar iman dan antar budaya,
advokasi
pemerintahan.
hak
ekonomi
dan
social
serta
tatakelola
Beberapa Program yang telah dilakukan antara
lain: 1) Program Nurturing Democrazy Through Interfaith and Intercultural Cooperation. Program
ini merupakan bagian
dari program
Islam and
Development dari The Asia Foundation sejak tahun 2008. Desa Beji Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul, DIY dan Desa Kedungrejo Kecamatan
Muncar,
Banyuwangi
menjadi
daerah
sasaran
101
program. Program ini memungkinkan adanya ruang dialog pada masyaraka yang berbeda etnis dan agama melalui berbagai kegiatan bersama. Pada awal program, masyarakat berpartisipasi untuk menentukan kegiatan bersama dalam special activities seperti penguatan mata pencaharian, lingkungan, kesehatan dan pendidikan nilai bagi anak-anak dan remaja. Melalui program ini masyarakt di kedua wilayah mendapatkan serangkaian pelatihan nilai-nilai
keadilan
kewarganegaraan,
seperti
gender,
masyarakat
demokrasi,
multikultur
serta
pendidikan pelatihan
manajemen seperti perencanaan paritsipatif, advokasi, ekonomi rumah tangga dan koperasi. Pelatihan awal program menghasilkan tim pengorganisasi, pengelola dan penggerak program di masingmasing wilayah. 2) Program Resources Development Centre (RDC). Program ini berlangsung mulai Juni 2007 dengan dukungan dana dari Oxfam Australia. Dalam mengimplementasikan program tersebut, SATUNAMA bekerjasama dengan FOKER LSM Papua. Pelaksanaannya bekerjasama dengan LSM local anggota Forum Kerjasama LSM Papua, yakni : Rumsram di Biak, Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (PPPMA) di Jayapapura serta Forpammer dan Yasanto di Merauke. Program ini berhasil mencetak 18 orang fasilitator local yang handal. Bersama fasilitator local, program menghasilkan modul-modul pendidikan masyarakat dan praktek fasilitasi modul seperti modul kesadaran kritis, partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengawasan anggaran. 3) Program Community Organizing and Micro Finance Teluk Bintuni. Program dimulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2009, SATUNAMA bekerjasama dengan community development BP
102
Tangguh
LNG
mengembangkan
program
peningkatan
kesejahteraan masyarakat Teluk Bintuni. Program micro finance mencakup pengembangan usaha kecil dan mikro, pengembangan koperasi, penguatan keterampilan masyarakat agar mampu mengelola usaha, mengelola ekonomi rumah tangga dan pengembangan potensi sumber daya local. Sepanjang tahun 2009 terjadi penyaluran dan stimulant untuk pengembangan usaha kecil di 9 kampung dengan besar dana bervariasi antara 10 sampai 25 juta. Program ini meliputi 5 desa DAV (directly affected village) dan 2 desa non DAV menimbulkan dampak seperti tumbuhnya kelompok usaha, munculnya 1 unit koperasi masyarakat dengan asset lebih dari 70 juta rupiah yang mampu mengakses pinjaman ke Bank BRI. Selain itu, banyak anggota masyarakat mampu membuat dan menjual ikan kering, mengembangkan budidaya sayur-sayuran dan mengelola ekonomi rumah tangga. 4) Program Toward The Well-Being of People and Ecosystem in Asmat. Bekerjasama dengan keuskupan Agats, SATUNAMA menjalankan program yang mempunyai tujuan jangka panjang kemandirian masyarakat Asmat. Program ini diawali dengan assessment di Asmat dan magang 3 orang pengorganisir masyarakat di Jogjakarta, ketiganya belajar mengenai cara menjadi pengorganisir masyarakat dan mengelola program. Harapannya setelah kembali ke Asmat mereka bisa mengajak masyarakatnya untuk berpikir kritis dan hidup lebih baik dengan tetap mempertimbangkan lingkungan. Setiap 2 bulan sekali, staf SATUNAMA data ke Asmat untuk mendampingi mereka mulai dari membuat perencanaan, menerapkan cara berpikir kritis hingga cara mengolah bahan mentah yang ada di lingkungan mereka.
103
5) Community Sustainable Livelihood through Agro Biodiversity Program. Program yang dibiayai oleh USC Canada ini sejak tahun 1991 bekerja di tiga kabupaten, yakni Gunung Kidul, Kulonprogo dan Manggarai Barat dan Flores di Nusa Tenggara Timur. Di NTT, SATUNAMA bekerjasama dengan organisasi local yaitu KEMBARA, di pulau Solor, Flores Timur dan YAKINES di Manggarai Barat. Sejak tahun 2004, program ini melakukan serangkaian pelatihan pertanian organic, konservasi lahan lewat terasering, konservasi air, pembuatan pupuk organic,
penangkaran benih
local,
melestarikan kearifan lokal hingga pengolahan paska panen. Di beberapa wilayah, SATUNAMA mengadakan pelatihan pengolahan makanan dan penyediaan alat-alat pengolah makanan. Pada awal 2009, program melakukan advokasi melalui perayaan hari bumi di kantor SATUNAMA, perayaan hari pangan sedunia di dusun Clapar 2, Hargowilis, Kokap, Kulonprogo juga pada peringatan Hari Pangan sedunia di kecamatan Macangpacar, Flores Barat yang bekerjasama
dengan
Yayasan
Komodo
Indonesia
Lestari
(YAKINES). Pada perayaan tersebut, petani di daerah dampingan bisa memamerkan produkl pangan local mereka, yang sekaligus menjadi ajang tukar cara mengolah pangan local. 6) Program Penguatan Masyarakat Lingkar Tambang. Program ini dimulai pada bulan November 2009 atas dukungan dana dari Misereor, Jerman. Dalam pelaksanaan program di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, Flores NTT, SATUNAMA bekerjasama dengan justice, peace and integrity of creation (JPIC SVD) Ruteng. Tujuannya menyadarkan masyarakat mengenai kerusakan yang timbul akibat aktivitas tambang, sehingga masyarakat bersama-sama mengadvokasi dirinya untuk menolak tambang. Hingga bulan Desember, program
104
ini sudah melakukan perekrutan community organizer dan tokohtokoh kunci sekitar wilayah tambang. Pelatihan community organizer dan tokoh-tokoh kunci dan menyebarluaskan mengenai bahaya tambang kepada masyarakat di lokasi tambang. Program ini juga mengidentifikasi adanya 21 lokasi tambang di tiga wilayah tersebut.
Divisi Capacity Building Divisi Capacity Building menyelenggarakan berbagai pelatihan mulai dari pelatihan civic education for future Indonesian leaders (CEFIL) dan pelatihan manajemen organisasi seperti manajemen keuangan, fundraising, integrated strategic financial and program planning (ISFPP) dan pengembangan organisasi. Divisi capacity building memiliki beberapa program, yaitu : 1) Watch Papua. Merupakan program pengawasan APBD dilakukan masyarakat Manokwari, Fak-Fak dan Biak. Dalam program ini masyarakat mendapat pelatihan mengenai cara menganalisis anggaran,
kemudian
membentuk
tim
investigasi
yang
mengumpulkan info dan data mengenai korupsi dana alokasi khusus di Biak.
Di Manokwari, masyarakat mengawasi dana
alokasi khusus untuk infrastruktur bidang pendidikan dan dana bantuan operasional sekolah. 2) Democratic Education for Local Leader in Aceh (DINDA). Program ini melakukan pelatihan demokrasi dengan peserta dari tokoh masyarakat, LSM, kecik (kepala gempong), tokoh agama tuhapeut (lembaga di desa yang berisi tokoh masyarakat) dan Pemda. Program ini bertujuan untuk mengutamakan demokrasi di tingkat masyarakat dengan mengedepankan relasi-relasi masyarakat dengan pihak lain. Program ini mengambil gempong (desa) dan mukim (gabungan beberapa gempong) sebagai kelompok sasaran
105
karena desa merupakan basis pemerintahan terkecil yang memiliki akar masyarakat yang rawan konflik. c. Praktek Community Development oleh Aceh Development Fund (ADF) Aceh Development Fund (ADF) sebagai salah satu organisasi yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat berkonsentrasi pada dua hal, yaitu: pemberdayaan masyarakat dan penguatan demokratisasi. Keduanya memiliki hubungan yang erat untuk memberi ruang kepada masyarakat yang kurang mendapat akses dalam hal meraih kesempatan dalam dia untuk berusaha dalam sector apapun. ADF ini mendedikasikan dirinya untuk menjadi
perantara donor internasional dan nasional dengan
lembaga-lembaga lokal. Lembaga-lembaga lokal di kabupaten/kota dianggap kurang professional, kurang paham dalam mengelola, atau kurang pengalaman. Oleh karena itu lembaga-lembaga donor internasional maupun nasional kurang bekerja sama dengan mereka. Dua
yste program utama tersebut antara lain telah berkontribusi
dalam memberi dukungan terhadap penguatan kelompok-kelomopk usaha. Di tahun 2006-2008 lebih meningkat pada upaya memaksimalkan kelompok-kelompok usaha itu untuk mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan. Selain itu juga berkonsentrasi pada penguatan pelayanan dasar, misalnya akta kelahiran, dan sebagainya. Melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga setempat, organisasi ini telah berhasil mendorong kebijakan di beberapa kabupaten. Misalnya qanun kesehatan yang didorong oleh masyarakat di Aceh Besar. Selanjutnya bagaimana mengawal pelaksanaan qanun-qanun tersebut. Setelah qanunnya didorong lahir, saat ini perlu diupayakan untuk memastikan SPM tersebut dilaksanakan dan terprogram dengan baik. Perjalanan pemberdayaan masyarakat mengalami perkembangan. Dahulu cenderung terbiasa dengan kegiatan yang bersifat karitatif, sekarang lebih bersifat empowering dalam arti penguatan. Saat ini diupayakan untuk lebih mendorong pada kegiatan yang tidak hanya
106
mendukung pemberdayaan ekonominya tapi juga pelibatan dalam proses perencanaan pembangunan. Sementara pada masa konflik dijumpai masyarakat yang menolak barang-barang dari pemerintah tetapi pasca tsunami dan reformasi, masyarakat justru mulai menanyakan bantuan yang datang. Kendala yang dihadapi organisasi tersebut maupun kelompokkelompok yang didukung dalam pelaksanaan community development adalah keberlanjutan. Hal ini terkait dengan ketergantungan organisasi tersebut pada lembaga donor untuk merangsang donasi publik. Dengan demikian kepastian dukungan donor sangat menentukan keberlanjutan program di samping juga adanya kendala dari masyarakat sendiri. 3. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Perguruan Tinggi Adapun untuk praktek-praktek comdev yang dilakukan oleh perguruan tinggi ada beberapa yang dapat ditampilkan dalam kajian ini. Praktek tersebut sebagaimana terangkum dalam tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3. Contoh Praktek Community Development Prakarsa Perguruan Tinggi Praktek Community Development Kelompok Usaha Jamur Merang di Aceh Besar
Universitas
Universitas Syah Kuala
Pelaku
Universitas, masyarakat, Pemerintah daerah
Sasaran
Masyarakat pedesaan
Tujuan
Peningkatan pendapatan masyarakat
Dimensi
Ekonomi Personal
Metode
Penguatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, Penyediaan peralatan (jamur merang)
107
Praktek Community Development
Universitas
Pelaku
Sasaran
Tujuan
Udayana Community Development Program (UCOMDEVP).
Universitas Udayana
Universitas, Masyarakat Pemerintah daerah
Masyarakat
menguran gi kemiskina n meningkat kan ketahanan pangan mengatasi masalah air mengatasi problem gangguan gizi
Posdaya (pos pemberdayaan keluarga)
Universitas Jendral Soedirman
Universitas, Masyarakat, Perusahaan Pemerintah daerah
masyarakat pedesaan
Lebih memberdayak an masyarakat pedesaan melalui peningkatan kegiatan Posyandu
Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM)
Universitas Gadjah Mada
Universitas, Masyarakat, Pemerintah Daerah, BUMN
masyarakat pedesaan
Kalau untuk dosen kegiatan research kemudian di implement asikan di masyaraka t Kalau untuk mahasisw a merupaka n mata kuliah wajib Menempat kan masyaraka t sebagai subyek bersama Universitas
Dimensi
Metode
Ekonomi Sosial Personal Lingkung an Budaya
Pengembangan system pertanian terpadu organic, pengembangan kerajinan rakyat , peningkatan akses pada pelayanan kesehatan, peningkatan kompetensi di bidang kewirausahaan, peningkatan akses sarana dasar air
Sosial
Sainsteknolog i Agro SosialHumani ora
Penguatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, Penyediaan peralatan (kesehatan)
Program kegiatan KKN-PPM disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan nyata di lokasi masing-masing. Kegiatan dapat bersifat rintisan, pelengkap, penunjang, maupun kelanjutan program.
Kesehat anKedokte ran
108
Praktek Community Development
Universitas
Pelaku
Sasaran
Tujuan
Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Timur
Universitas Brawijaya
Universitas, Pemda, Swasta, masyarakat
Petani, masyarakat
KKN
Universitas Mulawarman
Universitas, Pemerintah Daerah
Masyarakat Kaltim baik di Perkotaan maupun Perdesaan
dalam meningkat kan potensi diri dan wilayahnya untuk meningkat kan kesejahetr aan bersama. untuk membentu k pemimpin yang memiliki empati mendukun g ketahanan pangan menguran gi kehilangan panen memberda yakan petani, agar social welfarenya membaik.
meningkat kan kesejahter aan masyaraka t untuk meningkat kan sumberday a manusia.
Dimensi
Metode
ekonomi
Pemberdayaan petanian pengembangan pemasaran produk pertanian memberdayakan masyarakat miskin dengan memberikan bantuan kambing dan pelatihan Memberikan pembinaan dalam rangka revitalisasi tambak udang pengembangan model kawasan agribisnis terpadu di daerah pasuruan
Ekonomi Pendidika n Kesehatan
Pengembangan pengetahuan dan keterampilan masyarakat
109
a. Praktek Community Development oleh Universitas Syah Kuala : Kelompok Usaha Jamur Merang Kegiatan yang menyangkut dengan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh universitas saat ini dipolakan di P2M pusat. Terdapat 5 program yang menyangkut dengan pengabdian pada masyarakat yaitu : IBM (IPTEK Bagi Masyarakat), IPW (IPTEK Bagi Wilayah), IPP,IPIP, serta IPKK. Kemudian ada yang dimodifikasi melalui dana yang dibantu oleh APBA. Program desa binaan merupakan salah satu kegiatan unggulan pengabdian masyarakat oleh Universitas Syah Kuala. Tahun lalu terdapat 10 desa binaan, 2 desa di wilayah kota Banda Aceh, dan 8 desa di Aceh Besar. Progam yang dilakukan Universitas ini seringkali terkendala pembiayaan. Di samping itu keberlanjutan kegiatan sepeninggal fasilitator juga perlu menjadi perhatian. Dijumpai kegiatan yang tenggelam setelah fasilitator kembali dari pedesaan itu. Disadari bahwa masyarakat perlu diberi pembelajaran yang lebih intensif sehingga program-program yang kita jalankan bisa berkelanjutan. Untuk menjalankan program yang berkelanjutan akan menyangkut pembiayaan. Dari sisi SDM, universitas memiliki cukup banyak SDM yang bisa melakukan kegiatan-kegiatan community development tersebuti. Adapun dana yang tersedia untuk membiayai upaya tersebut ‘diperebutkan‘, dengan mengajukan proposal. Sekarang ini program pengabdian juga berbasis kepada penelitian. Karena memang sudah mulai disatukan kegiatannya setelah hasil dari penelitian itu digunakan untuk pengabdian kepada masyarakat. Salah satu contoh bentuk pengembangan masyarakat yang dikembangkan oleh Universitas adalah Kelompok Usaha Jamur Merang binaan Universitas Syah Kuala di gampung Rampulo, Aceh Besar. Kelompok usaha ini merupakan salah satu dari progam desa binaan Universitas Syah Kuala. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
110
Usaha jamur merang ini sedikit berbeda dengan budidaya jamur sebelumnya yang tidak menggunakan kumbung (rumah jamur). Unsyah bekerja sama dengan peserta KKN, untuk memulai pada tahun 2009. Pembinaan masyarakat,
dilakukan dengan pembenihan,
cara
mengajarkan pemetikan,
pembibitan pemasaran,
kepada sekaligus
pengemasannya. Panen jamur dapat dilakukan setiap 7 hari sekali. Adapun kumbung dianggap sebagai investasi dan bisa bertahan sampai 5 tahun. Sementara dengan benih yang bagus, hasilnya dapat dipanen berkali-kali. Selama ini hasil panen jamur tersebut dipasarkan di pasar Lambaro. Namun ada permasalahan yang dijumpai dalam budidaya jamur tersebut. Salah satunya ada pada keterampilan, misalnya bagaimana cara memanen agar tidak merusak jamur itu sendiri atau bagaimana menghasilkan bibit yang baik. Kendala lain dijumpai jika tidak ada jerami, namun kalau terlalu banyak jerami masyarakat tidak memiliki gudang. Selain itu, saat ini dirasakan bahwa kumbung yang ada terbatas dan terlalu banyak orang yang memanfaatkannya. Persoalan lain yang dihadapi terkait dengan kontinuitas program. Saat ini belum teruji benar apakah setelah ditinggal fasilitator, kegiatan ini dapat terus berjalan. Pada awalnya
susah
untuk
melakukan
pendekatan
kepada
kelompok
masyarakat tersebut, sementara pihak universitas pun mengalami kesulitan karena tiap tahun desa yang menjadi binaan berbeda-beda. LPM belum bisa memegang beberapa desa binaan sekaligus, antara lain disebabkan kendala anggaran. b. Praktek Community Development oleh Universitas Udayana : Udayana Community Development Program (UCOMDEVP). Sebenarnya setiap fakultas di Universitas Udayana memiliki program community development masing-masing seperti di Fakultas Kedokteran ada program UCHP (Udayana Community Health Program), di Fakultas Peternakan ada program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
111
dengan peternakan terintegrasi dengan peternakan bersih dan ramah lingkungan, di Fakultas Pertanian ada program urban farming, lalu Fakultas Hukum punya program konsultasi masalah hukum, termasuk konsultasi masalah hukum adat karena di Bali sarat sekali dengan masalah hukum adat. Program ini disebut ―Bali Samti‖, disana diberikan konsultasi adat kepada masyarakat secara gratis, sekretariatnya ada di Denpasar. Namun disini hanya akan dijelaskan mengenai program riil Universitas Udayana yaitu Udayana Community Development Program (UCOMDEVP).
Melalui
program
ini
Udayana
memiliki
3
desa
dampingan,salah satunya yaitu Desa Pengotan di Kabupaten Bangli. Desa Pengotan terletak di kecamatan Bangli pada ketinggian 800-1000 m di atas pemukaan laut, 27 km dari pusat kota Bangli. Sebagai desa dampingan UNUD berkewajiban mengembangkan program dampingan di desa ini berdasarkan hasil penelitian strategis yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti UNUD tahun 2009. Sasaran utama pengembangan program dampingan Unud adalah RTM yang tersebar di delapan dusun desa ini. Selain itu, kegiatan pengembangan model program percontohan akan dilaksanakan di lahan selar 1.82 ha. Lahan ini dihibahkan kepada Unud tahun 1993 oleh Pemprov Bali untuk dijadikan laboratorium lapangan. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2009, kemiskinan ketahanan pangan,
masalah
air,
dan
gangguan
gizi
menjadi
isu
utama
pengembangan program dampingan di desa ini. Kemiskinan di desa tradisional ini (baliage) cukup menonjol karena 517 dari 924 KK (52%) di Desa ini adalah Rumah Tangga Miskin (RTM). Ketahanan pangan RTM di desa ini sangat rendah. Situasi ini erat kaitannya dengan keterbatasan kepemilikan lahan, tingkat kesuburan tanah yang rendah, kelangkaan air, penggunaan pupuk yang tidak seimbang, rendahnya tingkat pendidikan RTM, dan tingginya proporsi gangguan gizi pada Balita. Semua kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya produktivitas hasil pertanian RTM. Kondisi ini secara langsung berpengaruh pada rendahnya pendapatan
112
RTM (rata-rata Rp. 16.000 per hari). Tingkat pendidikan kepala keluarga (KK) RTM di desa ini juga sangat rendah. 81% mereka tidak pernah sekolah. Kondisi kemiskinan dan rendahnya ketahanan pangan RTM diperburuk lagi karena kelangkaan air. Secara kumulatif, gambaran situasi RTM seperti itu menempatkan kelompok Balita dan Ibu Hamil RTm di desa ini beresiko tinggi terkena gangguan gizi. Kondisi ini terbukti pada tingginya prevalensi anemia ibu hamil. Status gizi balita di desa ini terendah dibandingkan dengan status gizi dari delapan desa lainnya Kecamatan Bangli. Sumber pendapatan RTM kebanyakan dari usaha skala kecil. Budi daya tanaman lahan kering yang dikembangkan di desa ini dalah padi, ketela, jagung, jeruk, dan kopi.
Budidaya tanaman lainnya yang
dikembangkan adalah tomat, kacang tanah, cabai, labu siam, nangka dsb. Usaha ternak yang dikembangkan oleh RTM adalah sapi, babi, ayam. Pendapatan tambahan keluarga RTM hanya bersumber dari usaha kerajinan tangan dari bambu.
Isu utama lainnya yang dijadikan latar
belakang penyusunan rencana strategis pengembangan desa dampingan Unud adalah masalah akses terhadap air bersih, akses ke pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar yang bermutu, mobilitas penduduk yang rendah, tekanan perekonomian, dan ketaatan penduduk di desa ini melaksanakan adat istiadatnya. Secara umum UCOMDEVP sebagai program
dampingan
Unud
di
Desa
Pengotan
bertujuan
untuk
meningkatkan ketahanan pangan, dan peningkatan RTM melalui kerjasama multi disiplin. Sedangkan secara Khusus, UCOMDEVP tahun 2010-2014 bertujuan untuk : 1. Meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan peternakan RTM melalui pengembangan sistem pertanian terpadu organic, termasuk pengembangan kerajinan rakyat dari bambu. 2. Meningkatkan akses anggota keluarga RTM ke pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga akan terdeteksi dan dicegah munculnya kasuskasus baru gangguan gizi pada RTM.
113
3. Meningkatkan kompetensi di bidang kewirausahaan para pemuda RTM sehingga mereka akan menjadi motor penggerak penurunan kemiskinan di desanya. 4. mengatasi kebutuhan air untuk rumah tangga dan kebutuhan pertanian. 5. menjadikan lahan Unud sebagai demonstration plot (demplot) pengembangan sistem pertanian terpadu. Sekolah lapangan pertanian dan peternakan akan dikembangkan di lahan ini. Strategi dan sasaran pengembangan UCOMDEVP di desa Pengotan secara umum mencakup: 1. Pengembangan pelatihan pemuda untuk menunjang sistem pertanian terpadu organic. Pelatihan merupakan bagian dari kegiatan sekolah lapangan. Sasaran : pemuda tani pelopor dari semua dusun terutama dari anggota keluarga RTM. 2. Intensifikasi dan diversifikasi sistem pertanian terpadu. Kegiatan program ini dilaksanakan ini menggunakan teknologi tepat guna berbasis kearifan local melalui pengembangan usaha tani RTM skala kecil, yang digarap mulai dari hulu (penghasil produk sampai akhir (pemasaran). Sasaran : kelompok tani, kelompok ternak RTM, koperasi, BUMD dan LPD 3. Pengembangan Gerakan Orang Tua Asuh (GOTA). Gerakan ini dimotori oleh
civitas
akademika
dan
Dharma
Wanita
UNud
untuk
mengantisipasi rendahnya tingkat pendidikan dan mobilitas remaja RTM mencari pekerjaan di luar desa. Pengembangan program juga melibatkan stakeholders Unud. Sasaran : anak-anak RTM usia sekolah yang sedang belajar di SD dan SMP setempat. 4. Pengembangan Sekolah Lapangan. Kurikulum sekolah lapangan disusun untuk meningkatkan kompetensi pemuda RTM di bidang pertanian, peternakan dan kerajinan tangan dari bamboo. Muatan kurikulum 30% bersifat akademik dan 70% berbasis kompetensi di bidang pertanian, peternakan dan kerajinan. Sasaran : pemuda
114
pelopor (umur 20- 45 tahun ) dari semua dusun, diutamakan anggota keluarga RTM. 5. Pemberdayaan koperasi, BUMD dan LPD. Kegiatannya dilaksanakan dalam, bentuk penyertaan modal dan pemasaran produk hasil pertanian dan peternakan RTM. LPD dilibatkan sebagai Pembina koperasi dari aspek permodalan. Program dampingan dilaksanakan oleh staf Unud dalam bentuk pelatihan manajemen. Sasaran : koperasi di semua dusun yang dikelola oleh kelompok tani, kelompok peternak, dan kelompok pengrajin, termasuk LPD Pengotan. BUMD diberdayakan untuk menampung hasil pertanian. 6. Melakukan kajian kelayakan (feasibility study) Pengadaan Air. Output study ini adalah dokumen akademik pengadaan air desa Pengotan. Secara teknis dan pembiayaan, dokumen akademik hasil studi ini akan dikoordinasikan penerapannya dengan Dinas PU Pemkab Bangli atau dengan pihak ketiga yang bersedia menjadi penyandang dana. Sumber air yang ada di desa tetangga dan sistem perpipaan yang sudah terpasang d ideas ini diharapkan bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi masalah air di desa ini. Sasaran: RT yang sudah menjadi bagian jaringan perpipaan di Desa Pengotan. 7. Revitalisasi
Pelayanan
Kesehatan
Dasar.
Program
dampingan
diarahkan untuk melakukan revitaliassi program pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas Pustu dan UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) seperti posyandu. Kegiatan dilaksanakan baik dalam bentuk penelitian maupun pengabdian masyarakat bekerjasama dengan puskesmas setempat LPD dan koperasi masing-masing dusun. Revitalisasi Posyandu dan puskesmas pembantu disinkronkan dengan strategi pemerintah untuk pengembangan desa siaga. Sasaran : Puskesmas, Pustu, dan Posyandu di masing-masing dusun. Posyandu dikembangkan
menjadi
pendidikan
dan
pelatihan,
pusat
pemberdayaan masyarakat, selain sebagai pusat pelayanan kesehtan
115
yang
dikelola
oleh,
dari,
dan
untuk
masyarakat.
Kegiatan
programmnya mencakup. Kegiatan programnya mencakup : a. Pengembangan sistem pemantauan wilayahnya setempat (PWS) KIA di masing-masing dusun. b. Pemberdayaan Kader Posyandu dan Kader Dusun Wisma melalui pelatihan kewirausahaan melalui usaha mikro kredit. 8. Pengembangan lahan Unud sebagai laboratorium (sekolah) lapangan. Program ini adalah
bagian dari kegiatan penelitian untuk
pengembagnan sistem pertanian terpadu. Lahan Unud dikapling menjadi demplot sesuai dengan tujuan pemanfaatanya. Ruang lingkup kegiatan penelitian di demplot ini mencakup : a. Pengembangan budi daya tanaman unggul lahan kering. Program ini akan menjadikan lahan Unud sebagai kampurnya sekolah lapangan dan pusat pengembangan budidaya pertanian lahan kering berbasis organic. b. Pengembangan sapi di Bali dan pakan ternak untuk peningkatan mutu daging sapi bali dan sumber pupuk organic. c. Diversifikasi kerajinan dari bamboo. Kegaitannya dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan dan pengembangan produk kerajinan dari bamboo sesuai dengan kebutuhan pasar. d. Membuat rumah contoh berbahan bamboo. Kegiatannya dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan dan pengembangan produk kerajinan dari bamboo sesuai dengan kebutuhan pasar. e. Membuat model cubang air untuk penampungan air hujan. 9. KKN-
PPM
(Kuliah
Masyarakat).
Kerja
Nyata—Pembelajaran,
Pemberdayaan
Kegiatan KKN- PPM Unud di Desa Pengotan
dilaksanakan di lahan Universitas Udayana dan di tingkat masyarakat. Pelaksanaannya
dikelola
secara
berkelanjutan sesuai dengan
terintegrasi,
bertahap
dan
Grand Strategy UCOMDEVP di desa
dampingan Unud. Sesuai dengan konsepnya, KKN-PPM umum
116
diupayakan agar seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, kegiatannya bisa
mengembangkan
keterampilan
mahasiswa
berkomunikasi
dengan masyarakat (soft skill) sesuai dengan bidang ilmunya masingmasing. Di sisi lainnya, KKN-PPM juga mampu memberikan pembelajatan dan pemberdayaan kepada masyarakat sesuai dengan masalah yang diidentifikasi dari kelompok-kelompok masyarakat setempat. c. Praktek Community Development oleh Universitas Jenderal Soedirman : POSDAYA Universitas Jenderal Soedirman Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi pada dasarnya terbagi menjadi 2 kelompok: 1) pemberdayaan yang dilakukan oleh mahasiswa dan 2) pemberdayaan/pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen. Pemberdayaan masyarakat oleh mahasiswa dilaksanakan melalui kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) yaitu dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir (biasanya antara semester 7 atau 8). Sejak 3 tahun terakhir, program KKN yang dikembangkan UNSOED Purwokerto tidak lagi KKN biasa, tetapi KKN Tematik. KKN Tematik mencoba mengusung program atau tema khusus dalam setiap pelaksanaannya, misalnya KKN pemberantasan kemiskinan, KKN pemberdayaan keluarga dan seterusnya. Dalam
pelaksanaan
KKN
Tematik,
LPM
UNSOED
telah
mengembangkan program yang disebut POSDAYA, pos pemberdayaan keluarga. Tujuan program Pos Daya adalah untuk lebih memberdayakan masyarakat pedesaan melalui peningkatan kegiatan Posyandu. Dalam program ini, Posyandu tidak hanya berfungsi sebagai tempat penimbangan bayi, pengisian kartu menuju sehat (KMS), tetapi juga menyelenggarakan pendidikan anak usia dini (PAUD), konsultasi kesehatan untuk orang tuanya, konsultasi masalah pekerjaan, dan sebagainya. Sesuai namanya, pos pemberdayaan keluarga, maka Posdaya menjangkau seluruh anggota keluarga.
117
Target Posdaya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat pedesaan Sementara,
yang
terwujud
target
dalam
pelaksanaan
terlayaninya Posdaya
kebutuhan mereka.
ini
meliputi
seluruh
kabupaten/kota di Indonesia. Oleh karena itu, LPM Unsoed sedang menjalin komunikasi dan kerjasama dengan perguruan tinggi lain di Jawa dan Sumatera. Perguruan tinggi di Jawa yang telah mengadposi program Posdaya ini misalnya UGM Yogyakarta. Sementara untuk Sumatera baru Universitas Andalas yang sedang ‘belajar‘ untuk menerapkan program Posdaya ini. Pelaksanaan Posdaya pada dasarnya diserahkan kepada para mahasiswa dan DPL (Dosen Pendamping Lapangan), oleh karena itu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan diserahkan kepada mereka dan tentunya dengan melibatkan masyarakat desa yang bersangkutan. Unit yang menangani kegiatan Posdaya ini, sesuai dengan SK Rektor Unsoed adalah LPM. Namun demikian, setiap fakultas dan atau UKM (unit kegiatan
mahasiswa)
pun
dipersilakan
melakukan
kegiatan
pemberdayaan akan tetapi harus tetap berkoordinasi dengan pihak LPM untuk kepentingan sinergitas program/kegiatan. Jadi kalau ada program yang serupa dapat diintegrasikan sehingga akan memberikan manfaat dan dampak yang lebih besar bagi kelompok sasaran. Terkait dengan pendanaan, Posdaya ini mendapat dukungan dari Yayasan Damandiri Jakarta. Selain itu, program ini juga didukung oleh PT. HOLCIM (Cilacap). Dalam hal ini Yayasan Damandiri dan PT HOLCIM hanya bertindak sebagai penyedia dana sedangkan LPM yang melaksanakan program itu bekerjasama dengan pemda yang menjadi tujuan KKN. Di Pemda Purbalingga dilakukan kerjasama dengan Bapermas. Intensitas keterlibatan masyarakat dalam Posdaya sangat aktif. Pada awalnya memang terkesan pasif, karena belum memahami program ini, karena imej posyandu sebagai tempat penimbangan bayi. Namun setelah memahami bahwa ini merupakan Posyandu Plus mereka akhirnya terlibat secara aktif dalam Posdaya ini.
118
Pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan oleh LPM UNSOED tidak hanya melibatkan mahasiswa dengan program Posdaya-nya, tetapi juga melibatkan dosen melalui pelaksanaan penelitian unggulan dan pengabdian
masyarakat12.
Sebagaimana
dimaklumi,
setiap
tahun
perguruan tinggi memperoleh dana riset unggulan dari dirjen dikti. Dana ini kemudian dimanfaatkan oleh para dosen secara kompetitif. Setiap dosen mengajukan proposal penelitian, kemudian proposal tersebut diseleksi oleh tim LPM. Apabila memenuhi kriteria, maka proposal dinyatakan lolos dan berhak mendapatkan pendanaan. Jumlah dana yang tersedia adalah 3 juta per judul. Hambatan utama pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (termasuk posdaya) adalah masih adanya ego sektoral dari masing-masing SKPD. Dinas kesehatan misalnya, menganggap bahwa Posyandu adalah ‘wilayah kerjanya‘ sehingga terkesan tidak ikhlas ketika Posyandu akan dimekarkan
fungsinya.
Perjuangan
untuk
meyakinkan
pentingnya
sinergitas antar SKPD memakan waktu cukup panjang13. Ke depan, sinergitas pemberdayaan masyarakat ini perlu menjadi agenda utama dalam sosialisasi dan pemantapan program perguruan tinggi. d. Praktek Community Development oleh Universitas Gajah Mada Yogyakarta : Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Kuliah Kerja Nyata (KKN)
secara resmi ada dalam kurikulum
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai bentuk nyata dario Tri Dharma Perguruan Tinggi meliputi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Dalam
perkembangannya,
mengalami penyempurnaan secara
KKN
di
UGM
senantiasa
berkala. Penyempurnaan KKN
dilakukan dengan merubah dasar filosofi pembangunan (development) menjadi pemberdayaan (empowerment) sehingga kegiatan tersebut menjadi lebih kontekstual. Model KKN ini mampu menggandeng mitra dari 12 13
Wawancara dengan Agus Suyanto (Sekretaris LPM UNSOED) Wawancara dengan Yusuf , Staff LPM-koord Posdaya
119
lembaga-lembaga diluar Universitas, dari pemerintah daerah, BUMN dan stakeholder lain. Model KKN seperti saat ini dikenal dengan nama Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM). Model KKN menempatlan masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan sebagai subyek bersama Universitas dalam meningkatkan potensi diri dan wilayahnya untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Prinsip pelaksanaan KKN-PPM UGM : 1. Co-creation (gagasan bersama) : KKN-PPM dilaksanakan berdasar pada suatu tema dan program yang merupakan gagasan bersama antara universitas (dosen, mahasiswa, Pusat Studi) dengan pihak Pemerintah Daerah, mitra kerja dan masyarakat setempat. 2. Co-financing/ co-funding (dana bersama) : KKN-PPM dilaksanakan dengan pendanaan bersama antara mahasiswa pelaksana, universitas dengan pihak Pemerintah Daerah, mitra kerja dan masyarakat setempat, disesuaikan dengan tema dan program yang telah disepakati. 3. Flexibility (keluwesan) : KKN-PPM dilaksanakan berdasarkan pada suatu tema dan program yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan Pemerintah Daerah, mitra kerja dan masyarakat dalam proses pembangunan di daerah. Mahasiswa dapat memilih tema dan waktu pelaksanaan KKN-PPM yang ditawarkan universitas sesuai dengan keinginannya. 4. Sustainability (berkesinambungan) : KKN-PPM dilaksanakan secara berkesinambungan berdasarkan suatu tema dan program yang sesuai dengan tempat dan target tertentu. 5. KKN-PPM dilaksanakan berbasis riset (Research based Community Services) Kegiatan utama Program KKN-PPM UGM adalah melaksanakan kegiatan KKN-PPM yang terdiri atas tahap persiapan, pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi. Input dari kegiatan ini adalah mahasiswa, tema KKN-PPM dan mitra kerja sama. Sedangkan proses kegiatan KKN-PPM
120
meliputi
Penjaringan
tema,
Pendaftaran
mahasiswa,
Persiapan
Pelaksanaan KKN-PPM, Penetapan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), Korkab/ Korkot, Penempatan Mahasiswa, DPL, Korkab, Penerjunan Mahasiswa dan DPL KKN-PPM, Operasional Kegiatan KKN-PPM di lapangan, penarikan mahasiswa dan DPL, Pelaporan KKN-PPM, penilaian kinerja KKN-PPM, dan monitoring evaluasi kegiatan KKN-PPM. Output kegiatan KKN-PPM adalah keberhasilan pelaksanaan kegiatan KKN-PPM serta kepuasan mahasiswa, DPL, Korkab/Korkot dan mitra kerja sama. 1. Persyaratan Mahasiswa Peserta KKN-PPM a. mahasiswa terdaftar pada jenjang pendidikan S-1 dari semua fakultas di lingkungan universitas b. mahasiswa telah menempuh minimal 100 Satuan Kredit Semester (SKS) pada saat penerjunan dan tidak boleh mengambil mata kuliah dan atau praktikum selama mengikuti KKN-PPM c. diijinkan dan dikirim oleh fakultas masing-masing d. membayar biaya pelaksanaan 3 SKS kegiatan KKN-PPM. e. Mahasiswa mengisi KRS mata kuliah KKN-PPM f.
Lulus tes kesehatan dan tidak dalam keadaan hamil
g. Bersedia emmatuhi peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh LPPM serta bersedia dinilai dengan aturan pelaksanaan KKN-PPM 2. Prosedur Pendaftaran LPPM menawarkan tema yang telah memenuhi paradigma dan prinsipprinsip pelaksanaan KKN-PPM kepada mahasiswa calon peserta KKNPPM melalui website LPPM UGM. Mahasiswa calon peserta KKN-PPM yang telah memenuhi persyaratan 100 SKS pada saat penerjunan dapat mendaftarkan diri di fakultas masing-masing dengan pengisian Kartu Rencana Studi (KRS). Mahasiswa membayar biaya kegiatan 3 SKS KKN-PPM di Bank BNI 46 cabang UGM, serta melakukan pemeriksaan kesehatan di Gama Medical Centre (GMC). Setelah itu mahasiswa meminta account dan password untuk memilih tema yang ditawarkan dan untuk mengisi identitas diri dalam pendaftaran pada
121
fakultas masing-masing setelah menunjukkan bukti pembayaran dari BNI 46 dan bukti lulus tes kesehatan. Langkah berikutnya, mahasiswa mengisi data identitas diri dan memilih tema yang ditawarkan secara on line di website LPPM (www.lppm.ac.id). Proses input data hanya bisa dilakukan sekali kecuali pemilihan tema dan upload foto diri (tidak lebih dari 150 kilobyte). Mahasiswa yang memenuhi semua persyaratan berhak mengikuti kegiatan KKN-PPM dan diumumkan di website LPPM dan fakultas masing-masing. Mahasiswa yang tidak memenuhi persyaratan tidak berhak mengikuti kegiatan KKN-PPM dan persyaratan dikembalikan ke fakultas masing-masing, serta dapat mengikuti kegiatan KKN-PPM pada periode berikutnya. Bagi mahasiswa yang telah mendaftar dan diterima
sebagai
peserta
program
KKN-PPM
tidak
dapat
mengundurkan diri kecuali ada alasan kuat yang dapat diterima oleh pengelola program KKN-PPM. Biaya program KKN-PPM yang telah dibayarkan oleh mahasiswa tidak dapat ditarik kembali, akan tetapi biaya dapat digunakan untuk pelaksanaan program KKN-PPM periode berikutnya. 3. Pembekalan dan General Test Mahasiswa peserta KKN-PPM wajib mengikuti pembekalan dan general test dengan materi KKN-PPM dan tema dari dosen pembekalan, DPL, penanggung jawab tema, Pemerintah Daerah/ masyarakat
pengguna,
serta
mitra
kerja
(stakeholder)
untuk
memberikan orientasi pelaksanaan kegiatan KKN-PPM. 4. Penempatan Lokasi Mahasiswa peserta KKN-PPM ditempatkan di lokasi penerapan tema kegiatan KKN-PPM. Penempatan lokasi kegiatan KKN-PPM tersebut dilakukan oleh staf pengelola KKN-PPM dibantu oleh Korkab/ Korkot dan DPL. Kegiatan ini meliputi pengelompokan (plotting) mahasiswa pada tingkat unit dan sub unit.
122
5. Konsolidasi Mahasiswa peserta KKN-PPM wajib mengikuti kegiatan konsolidasi yang dilaksanakan oleh DPL. Sosialisasi dan koordinasi antar sesama mahasiswa pelaksanaan
dibawah
bimbingan
tahapan kegiatan
DPL
untuk
KKN-PPM
mempersiapkan
selanjutnya.
Plotting
mahasiswa tingkat subunit, lokasi pondokan dan penentuan kormanit, kormasit dan kormabid dilakukan oleh DPL pada saat konsolidasi. 6. Pelaksanaan a. Penerjunan
Mahasiswa
ke
Lokasi
KKN-PPM.
Penerjunan
mahasiswa KKN-PPM ke lokasi diatur menurut jadwal yang telah disusun berdasarkan jumlah mahasiswa dan lokasi KKN-PPM yang telah ditetapkan. Penerjunan mahasiswa ke lokasi KKN-PPM di tingkat Kabupaten dan Kota dikoordinir oleh Korkab/ Korkot; kemudian DPL mengkoordinir penerjunan sampai ke lokasi KKNPPM b. Sosialisasi Program. Kegiatan yang dilakukan mahasiswa pada awal pelaksanaan KKN-PPM adalah sosialisasi program yang telah direncanakan kepada masyarakat di lokasi KKN-PPM. Hasil sosialisasi di masyarakat dipresentasikan dihadapan pemerintah setempat c. Rencana Kegiatan. Rencana kegiatan disusun berdasarkan tena KKN-PPM yang telah dipilih. Setiap mahasiswa KKN-PPM wajib menyusun rencana kegiatan sesuai dengan tema. Rencana kegiatan didiskusikan di tingkat sub unit yang dihadiri oleh semua mahasiswa subunit dan masyarakat atau mitra kerja di lokasi kegiatan. Hasil diskusi diteruskan ke forum tingkat unit yang diikuti oleh semua mahasiswa dan didampingi oleh DPL pejabat, tokoh masyarakat setempat atau mitra kerja; sehingga rencana kegiatan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Rencana kegiatan ini dituangkan dalam Laporan Rencana Kegiatan (LRK)
123
d. Pelaksanaan
Kegiatan.
Mahasiswa
melaksanakan
kegiatan
berdasarkan rencana kegiatan yang telah disusun, disepakati berbagai pihak melalui forum diskusi, dan memenuhi persyaratan penilaian kinerja KKN-PPM. Mahasiswa wajib menuliskan semua kegiatan harian yang telah dilaksanakan dalam format yang tersedia e. Pembuatan Laporan Pelaksanaan Kegiatan. Laporan pelaksanaan dimaksudkan sebagai sarana penyampaian informasi tentang kegiatan KKN-PPM dan pertanggungjawaban program kegiatan yang telah dilakukan. Laporan pelaksanaan KKN-PPM disusun secara
individual
kemudian
diintegrasikan
dalam
laporan
kelompok setelah pelaksanaan kegiatan KKN-PPM selesai. f.
Pengarahan, Pembimbingan, dan Pengawasan Pelaksanaan KKNPPM. Pengarahan, pembimbingan dan pengawasan pelaksanaan KKN-PPM dilakukan oleh DPL dan Korkab/ Korkot.
g. Responsi. Setiap mahasiswa wajib mengikuti responsi yang dilaksanakan oleh DPL sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Responsi dilakukan secara tertulis atau lisan untuk mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan KKNPPM oleh mahasiswa. Pada dasarnya responsi ini meliputi kajian tingkat capaian tujuan dan sasaran KKN-PPM serta dampak dan manfaat yang ditimbulkannya bagi mahasiswa, masyarakat, dan isntitusi. h. Penarikan Mahasiswa dari Lokasi KKN-PPM. Setelah mahasiswa selesai melaksanakan program-program KKN-PPM sesuai dengan rencana yang dijadwalkan, maka mahasiswa ditarik dari lokasi kembali ke kampus. Pada saat penarikan mahasiswa peserta KKNPPM wajib mengikuti prosesi kegiatan yang telah ditentukan dan berkumpul kembali di LPPM UGM untuk pengecekan kembali jumlah
peserta
dan
pengumpulan
dokumen
administrasi.
Penarikan mahasiswa KKN-PPM di tingkat kecamatan dikoordinir
124
oleh DPL dan di tingkat Kabupaten/ Kota dikoordinir oleh Korkab/ Korkot. i.
Penilaian.
Ditetapkannya
KKN-PPM
sebagai
mata
kuliah
intrakurikuler wajib dengan bobot 3 SKS di perguruan tinggi untuk jenjang pendidikan S-1, maka penilaian terhadap mahasiswa dilakukan secara akademik. Gambar. 4.1 Struktur Organisasi Pengelola Program KKN-PPM UGM Kepala Bidang Pengelolaan KKN-PPM Pengembangan UMKM dan Pelayanan
Staf Administrasi dan Operasional KKN-PPM
Koordinator Kerjasama dan Pengembangan Tema KKN-PPM
Koordinator Operasional dan Monitoring
Koordinator Operasional dan Monitoring
Koordinator Kabupaten/Kota Dosen Pembimbing Lapangan
Mahasiswa : 1. Koordinator Mahasiswa Unit 2. Koordinator Mahasiswa Sub Unit 3. Koordinator Mahasiswa Bidang 4. Mahasiswa Peserta
Berdasarkan pada substansi temanya, ruang lingkup KKN-PPM antara lain :
125
1. Pemberdayaan wilayah 2. Pemberdayaan UMKM 3. Eksplorasi Sumber Daya Alam dan Konservasi Lingkungan 4. Pengembangan Sumber Daya Manusia 5. Penerapan Teknologi Tepat Guna Berdasarkan
pada
luasnya
cakupan
dan
dampak
pengembangannya, ada 3 macam KKN-PPM : 1. KKN-PPM taraf lokal 2. KKN-PPM taraf nasional 3. KKN-PPM taraf internasional. Program kegiatan KKN-PPM yang dilakukan oleh mahasiswa di setiap lokasi harus sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan nyata di lokasi masing-masing. Kegiatan dapat bersifat rintisan, pelengkap, penunjang maupun kelanjutan program. Dalam pelaksanaan program kegiatan KKN-PPM tersebut, mahasiswa berperan sebagai : Motivator dan Problem Solver. Pelaku utama dalam pelaksanaan kegiatan adalah masyarakat di lokasi sebagai subjek dan objek pembangunan masyarakat. Kegiatan KKN-PPM tersebut dikelompokkan ke dalam 4 kluster kegiatan yaitu : Sains-Teknologi (ST), Sosial- Humaniora (SH), Kesehatan-Kedokteran (KK), dan Agro (A). Keempat kluster tersebut beranggotakan mahasiswa yang berasal dari berbagai fakultas, yaitu : a. Kluster Sains-Teknologi (ST) -
Fakultas Geografi
-
Fakultas MIPA
-
Fakultas Biologi
-
Fakultas Teknik
b. Kluster Agro (A) -
Fakultas Kedokteran Hewan
-
Fakultas Kehutanan
-
Fakultas Pertanian
126
-
Fakultas Peternakan
-
Fakultas Teknologi Pertanian
c. Kluster Sosial-Humaniora (SH) -
Fakultas Ekonomi
-
Fakultas Filsafat
-
Fakultas Hukum
-
Fakultas Ilmu Budaya
-
Fakultas ISIPOL
-
Fakultas Psikologi
d. Kluster Kesehatan-Kedokteran (KK) -
Fakultas Farmasi
-
Fakultas Kedokteran
-
Fakultas Kedokteran Gigi Sifat program kegiatan KKN-PPM terdiri dari :
a. Monodisipliner,
yaitu
program
kegiatan
KKN-PPM
yang
dilaksanakan berdasarkan 1 kluster kegiatan. Contoh : seorang mahasiswa
Jurusan
inventarisasi
anggrek
Biologi alam,
(Kluster maka
ST)
melaksanakan
program
ini
termasuk
monodisipliner karena tidak melibatkan kluster lain. b. Interdisipliner,
yaitu
program
kegiatan
KKN-PPM
yang
dilaksanakan berdasarkan minimal 2 kluster kegiatan. Contoh : mahasiswa fakultas MIPA Jurusan Kimia (kluster ST) mengadakan kegiatan membuat VCO (Virgin Coconut Oil). Hal ini merupaka program bersifat interdisipliner karena dapat melibatkan kluster lain misalnya penyuluhan manfaat VCO oleh kluster kesehatan masyarakat. Program
individual
mahasiswa
KKN-PPM
dikelompokkan
menjadi 3 macam program, yaitu : a. Program pokok (pokok tema dan pendukung) Program pokok adalah program yang harus dilaksanakan oleh setiap mahasiswa KKN-PPM. Mahasiswa yang bersangkutan
127
bertanggungjawab penuh atas program tersebut baik secara alamiah maupun operasional. Program pokok tema adalah program pokok yang sesuai dengan tema dan pokok pendukung adalah program pokok diluar tema yang dilaksanakan sesuai dengan kluster dari mahasiswa yang melaksanakan program tersebut. Jumlah program pokok minimal 5, minimal 1 program diantaranya bersifat interdisipliner dan minimal diantaranya adalah pokok tema. b. Program bantu Yaitu program kerja yang harus dikerjakan oleh setiap mahasiswa KKN-PPM yang bersifat hanya membantu peserta KKN-PPM lain dalam 1 unit/subunit secara operasional, tetapi secara ilmiah tidak terkait dalam pola kerja interdisipliner. Misalnya kerja bersama dalam gotong-royong pengerasan jalan (semua bidang kegiatan
mahasiswa
membantu
mengumpulkan
batu
dan
meratakan jalan bersama-sama). Program bantu tema berlaku untuk 1 unit, tetapi program bantu non tema berlaku untuk 1 subunit. 7. Pendanaan Dana yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan KKN-PPM bersumber dari Mahasiswa peserta KKN-PPM, Pemerintah daerah, Swadaya masyarakat, perusahaan swasta, dll. Dana tersebut dialokasikan secara maksimal dalam pelaksanaan kegiatan KKN-PPM. Sumber dan alokasi dana KKN-PPM dapat dilihat pada gambar berikut :
128
Gambar. 4.2 Sumber Sumber dan Alokasi Dana KKN-PPM UGM Mahasiswa KKN-PPM
Biaya hidup Transportasi Dana kesehatan dan pemeriksaan Pendidikan dan latihan Perlengkapan mahasiswa
Pemda (Proposal) Swadaya Swasta Lain-lain (tidak mengikat)
Pengelolaan KKN-PPM Pembimbingan evaluasi Bahan percontohan Program dan diskusi
8. Sosialisasi a. Internal. Sosialisasi ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang tema-tema KKN-PPM yang telah disetujui dan akan dilaksanakan kepada semua pihak di lingkungan universitas (Fakultas, Pusat Studi, dan Lembaga). Sehubungan dengan hal itu maka Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian, dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama, serta Dosen Pembimbing Lapangan menjadi penghubung antara Pengelola KKN-PPM dengan mahasiswa. b. Eksternal (Pemda dan Instansi lain).
Sosialisasi ini dimaksudkan
untuk memberikan informasi tentang kegiatan KKN-PPM kepada Pemda, dan instansi lain maupun stakeholders lainnya yang akan menjadi mitra kegiatan KKN-PPM agar dapat mempersiapkan pelaksanaan kegiatan KKN-PPM di wilayahnya. Kerjasama ini meliputi tahap persiapan, pelaksanaan (operasional), monitoring, dan evaluasi.
129
Keberhasilan program KKN-PPM dapat tercapai dengan adanya kerjasama dalam penerapan dan pengembangan IPTEKS yang harmonis baik ke dalam maupun ke luar. Kerjasama kie dalam dilakukan antar fakultas di lingkungan universitas, sedangkan kerjasama ke luar dilakukan antara pemerintah dengan lembaga non pemerintah dalam negeri maupun luar negeri. Kerjasama
yang
harmonis
ini
akan
menciptakan
kelancaran
komunikasi dan penyelesaian urusan serta masalah yang menyangkut kegiatan KKN-PPM dan kegiatan pemerintah daerah, instansi, dinas atau pihak-pihak lain yang terkait. Kerjasama ini membuka jalan rintisan menuju tercapainya tujuan dan sasaran KKN-PPM sebaikbaiknya. Kerjasama diwujudkan dalam bentuk penandatanganan MoU antara LPPM dengan mitra kerja. Pada tahun 2009 UGM menerjunkan ±6000 mahasiswa dalam 4 priode, yaitu periode genap satu, genap dua, antar semester dan semester gasal. Pelaksanaan KKN-PPM itu dilakukan selama 2 bulan. Program yang selama ini dianggap berhasil misalnya adalah program pengangkatan air di Gua Lawang Gunung Kidul dengan menggunakan solar sel. Program ini dimulai tahun 2006 dan masih berlanjut sampai sekarang. Program ini murni berasal dari mahasiswa terutama mapala. Di Gunung Kidul terdapat masalah kesulitan air, selama ini uang masyarakat habis untuk belanja air. Di Gua Lawang yang terdapat di Gunung Kidul itu mengalir sungai, sehingga mahasiswa tertantang untuk mengembangkan kreativitasnya untuk membantu masyarakat Gunung Kidul. Pada awalnya mahasiswa memperoleh dana 10 juta, lalu mahasiswa mencoba meminta bantuan ke bank, departemen PU, dll. Awalnya ini hanya program kecil, namun karena dianggap penting maka banyak pihak yang membantu, dan akhirnya program tersebut terus
berjalan
dan
menghabiskan
dana
2
milyar.
Untuk
mempersiapkan masyarakat didalam pengelolaan program ini, mahasiswa juga membentuk organisasi kelola air mandiri. Program ini
130
sudah berjalan dan dimanfaatkan oleh sedikitnya 7 dusun. Selain untuk KKN, program itu juga dimanfaatkan oleh mahasiswa lain untuk menyusun skripsi. e. Praktek Community Development di Universitas Mulawarman Selama ini Unmul telah melakukan beberapa program comdev di Bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Program itu antara lain :
pemberantasan buta aksara
pembenahan administrasi desa
pelatihan tata boga kerjasama dengan PT Kaltim Pos
pelatihan PNS yang memasuki usia pensiun
pelatihan kepribadian, perawatan dan kecantikan ibu-ibu PKK
pelatihan metodologi penelitian dan karya tulis ilmiah untuk pengembangan profesi guru
pelatihan pembuatan Briket batu Bara dan kompornya
pelatihan lifeskill bagi masyarakat tidak mampu
pemanfaatan gulma air enceng gondok sebagai bahan baku pupuk organik
pengembangan dan pengelolaan rumput laut di Kota Bontang
pelatihan teknologi pemanfaatan ikan non ekonomis
pelatihan pembuatan Batako dengan limbah domestik
pemberdayaan kelompok perawatan diri penderita kusta. Tujuan dari masing-masing program comdev itu adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.Target/sasaran dari program comdev adalah masyarakat yang berada di wilayah Provinsi Kaltim baik di perkotaan maupun perdesaan. Kebijakan Perguruan Tinggi dalam program/kegiatan comdev adalah melakukan kerjasama dengan pihak pemprov, kabupaten dan kota, dan bersama-sama pemda membuat program comdev.
131
Dalam program comdev yang dilakukan oleh Unmul terdapat pihakpihak yang terkait misalnya pemprov Kaltim, pemkab/pemko, mahasiswa, dosen dan masyarakat. Disini Unmul sebagai Perguruan Tinggi berperan sebagai penyedia tenaga ahli (pelaksana kegiatan) dengan melibatkan mahasiswa, Pemerintah dan pemda sebagai pihak yang mendanai kegiatan dan mengevaluasi dan mengawasi kegiatan yang dilakukan PT, dan masyarakat sebagai sasaran pelaksanaan kegiatan dan mengawasi kegiatan tersebut. Proses perencanaan dari masing-masing kegiatan comdev dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat: 1. proses perencanaan dari masing-masing program/kegiatan LPM dimulai dengan mencari informasi dari pihak pemda. Dari informasi tersebut, LPM menyebarkan informasi tsb ke fakultas dan dosen. Fakultas yang membuat proposal, dan proposal tersebut kita kirim dan apabila disetujui maka dibuatlah Surat Perjanjian Kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah pemberi dana. Setelah itu baru kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan isi MOUnya, 2. Untuk kegiatan KKN, proses perencanaan program/kegiatannya: Pihak LPM meminta kepada Pemda lokasi untuk KKN, dan pemda mengirimkan
lokasi
tersebut
beserta
program/kegiatannya.
Berdasarkan permintaan tersebut, LPM berupaya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut
disesuaikan
dengan
jumlah
mahasiswa,
sepanjang mahasiswa yang diminta cukup maka permintaan tersebut kita penuhi. Ternyata program comdev yang dilakukan Unmul ini mendapat sambutan sangat baik dari masyarakat. Ini terlihat dari tingginya keterlibatan masyarakat dalam program tersebut. Masyarakat merasa sangat terbantu dengan adanya program-program tersebut, misalnya program pemberantasan buta aksara dan program pembenahan administrasi desa (profil desa).
132
Dalam prakteknya, koordinasi antara pihak-pihak terkait yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Kaltim, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kab/Kota sampai ke kecamatan dan desa terjalin dengan sangat baik. Untuk monev program KKN, Unmul menyebarkan ratusan dosen untuk melihat kegiatan mahasiswa di desa-desa. Kegiatan monev tersebut bukan saja dilakukan oleh Perguruan Tinggi tetapi secara bersama-sama dengan Pemda setempat. f.
Praktek Community Development oleh Univesitas Brawijaya Malang Program comdev khususnya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya dikelola dalam suatu lembaga yang mengintegrasikan antara fungsi penelitian dengan fungsi pengabdian kepada masyarakat atau dikenal dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Pengintegrasian kedua fungsi perguruan tinggi dalam suatu lembaga ini akan lebih memudahkan dalam pengimplementasiannya, dimana penelitian-penelitian terapan yang telah dilakukan oleh masing-masing pusat penelitian kemudian ditindaklanjuti dengan mengembangkannya untuk kelompok masyarakat tertentu atau kelompok sasaran tertentu. LPPM Universitas Brawijaya mempunyai beberapa pusat penelitian antara lain Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Pertanian dan Kelautan, Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan, Pusat Penelitian Ilmu Sosial, Pusat penelitian Biokonversi, Pusat Penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana,
Pusat Layanan Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat,
Pusat Pelayanan Pengembangan Sumberdaya Alam,
Pusat Pelayanan
Pengembangan Teknologi, Sentra HaKI, Pusat Penelitian Pembangunan dan Inovasi Daerah, serta Pusat Pengabdian Masyarakat. Juga telah didirikan incubator bisnis yang berfungsi untuk menindaklajuti hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat yang kemudian bisa diproduksi atau dikomersialisasikan oleh masyarakat. Selain itu juga ada pusat pelatihan,
dimana
mekanismenya
bisa
berasal
dari
permintaan
133
masyarakat atau bisa juga dari pihak LPPM menawarkan suatu program pelatihan tertentu kepada masyarakat, dengan tanpa mengesampingkan fungsi perguruan tinggi sebagai penyedia sumber daya manusia dan intelektual. Beberapa contoh program pemberdayaan masyarakat antara lain yang telah dilakukan oleh Pusat Pertanian dan Kelautan dalam pengembangan gabungan kelompok tani (Gapoktani) di 30 kabupaten di wilayah
provinsi Jawa Timur selama 3 (tiga) tahun terakhir. Dalam
pelaksanaan program tersebut pihak universitas bekerjasama dengan beberapa perusahaan dan Departemen Pertanian. Tujuan dari program ini adalah untuk mendukung ketahanan pangan, mengurangi kehilangan panen, sekaligus memberdayakan petani agar tingkat kesejahteraannya meningkat. Meknisme program yang dilakukan antara lain pada tiap-tiap kabupaten paling tidak ada 2 gapoktani yang menjadi binaan, dimana sebelumnya gapoktani tersebut telah diseleksi terlebih dahulu untuk mendaptkan hasil yang lebih baik. Dalam melakukan binaan ini, para alumni dan mahasiswa semester terakhir juga ikut dilibatkan. Pembinaan dilakuan baik pada tahap pra panen maupun pasca panen termasuk pengembangan pemasaran produk pertanian. Dari banyak temuan di lapangan menggambarkan bahwa keberhasilan dalam pengembnagan gapoktani tidak lebih dari 5 persen yang berhasil. Salah satu penyebab kegagalan tersebut antara lain karena tingkat pendidikan para petani dimana 80% diantaranya tidak tamap SMP, dan kondisi seperti ini relative homogen di Jawa Timur bahkan mungkin di Indonesia. Tingkat pendidikan yang rendah juga mempengaruhi tingkat partisipasi para petani dalam program-program pengembangan, hanya beberapa orang yang aktif terlibat didalamnya yang biasanya dijadikan pemimpin dalam kelompok tersebut sedangkan sebagaian besar sifatnya pasif. Dengan gambaran seperti itu, maka ketika ada progam-program
yang akan digulirkan
mereka tidak tahu. Namun demikian ada beberapa gapoktani yang cukup
134
berhasil, seperti yang ada di Jember, mereka bisa mengurangi kehilangan panen. Pusat Penelitian juga telah melakukan program pemberdayaan dalam Pengembangan Model Kawasan Agribisnis Terpadu di daerah Pasurua dengan bekerjasama Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya di daerah tersebut telah dilakukan penelitian antara BPS dan Universitas Brawijaya yang menyimpulkan bahwa daerah tersebut tandus. Akan tetapi kemudian didaerah tersebut oleh digali sumur meskipun sangat dalam namun dapat mengeluarkan air yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pertanian, peternakan dan bahkan untuk sumber listrik. Dari program ini ada beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran untuk keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat antara lain bahwa factor penggerak dari masyarakat sangat penting, misalnya factor kepemimpinan lurah sangat berpengaruh. Kemudian juga rasa memiliki dari masyarakat sangat penting untuk keberlanjutan dari program sehingga mereka ikut serta menjaga apa yang telah ada karena mereka telah merasakan manfaatnya. Selain itu program pemberdayaan masyarakat khususnya bagi masyarakat miskin juga telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Pertanian bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Timur dengan mengadakan bantuan kambing bagi masyarakat miskin. Ide dari program bantuan ini adalah bahwa salah satu cara agar program pemberdayaan masyarakat berhasil adalah peternak sebagai kelompok sasaran program pemberdayaan jangan diberikan uang akan tetapi diberikan kambing dan disertai dengan pelatihan. Kelompok masyarakat dilatih untuk menemukan ide, menjalankan idenya sendiri. Mereka sudah dilatih untuk menjadi mantra-mantri baru dapat melakukan kawin suntik kambing. Dengan cara seperti itu program di Bojonegoro dan Tulungagung alhamdulillah berhasil berkembang hingga saat ini. Bahkan berkat keberhasilan tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat berkunjung untuk menyaksikan keberhasilan dari para peternak disana.
135
Contoh keberhasilan program pemberdayaan masyarakat terdapat juga di Kampung Vaname, suatu wilayah pantai dimana sebagian besar masyarakatnya sebagai peternak tambak udang. Keterlibatan Universitas Brawijaya dalam program tersebut antara lain dari Fakultas Teknik dan Pusat Penelitian Pertanian dan Kelautan. Fakultas Teknik membina potensi sumberdaya air melalui pembangkit listrik tenaga mikro hidro bekerjasa dengan pesantren setempat. Setelah itu pihak universitas bekerjasama dengan PT. Charoen Pok Han, perusahaan di bidang pakan ternak mengembangkan ternak udang. Pembinaan dilakukan mulai dari pembibitan, pemeliharaan, sampai dengan pemasaran hasil tambak. Mereka menyiapkan tenaga penyuluh, perusahaan mempunyai agen distribusi. Dalam program tersebut juga ada Bapak Angkat yang diangkat dari juragan/tengkulak yang menjadi supporting funding. Kelima pilar pelaku tersebut tidak melibatkan dana pemerintah, akan tetapi mampu memberdayakan 600 desa. Khusus di kampong Vaname yang mempunyai 300 kepala keluarga, sampai dengan saat ini memiliki perputaran uang yang luar biasa, dengan omzet sekitar 200 milyar. Misalnya dulu para peternak tambah hanya memiliki 1 petak tambak udang sekarang sudah punya 7 petak tambah udang. Secara umum tambak tersebut dikelola secara perorangan meskipun tingkat pendidikan mereka hanya lulusan SD, SMP namun mereka cukup berhasil. Hal ini bisa dijadikan suatu best practice. 4. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Perusahaan Beberapa perusahaan menerapkan community development sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility. Beberapa perusahaan telah merintisnya semenjak lama. Dimensi yang disentuh dalam berbagai program tersebut bervariasi. Terdapat kecenderungan program yang ditawarkan berfokus pada dimensi sosial. Tabel 4.4 di bawah ini merangkum berbagai program tersebut.
136
Tabel. 4.4. Contoh Praktek Community Development yang diprakarsai Perusahaan Praktek Community Development Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)/ PHBM Plus
CSR PT Lafarge Cement Indonesia
Community Development PT
Perusahaan
education investment
Sasaran
Perhutani
Masyarakat, Perusahaan, Pemerintah Daerah Universitas, LSM
Masyarakat desa hutan
PT Lafarge Cement Indonesia (semen Andalas)
Masyarakat, Perusahaan,P emerintah Daerah
Masyarakat sekitar
PT Badak NGL
Masyarakat, Perusahaan,P emerintah Daerah
Masyarakat Bontang
PT Bintan Resort Cakrawala
Masyarakat, Perusahaan,P emerintah Daerah
Masyarakat Bintan
Badak
Program
Pelaku
Tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dalam rangka keberhasilan pembanguna n hutan dan menciptakan fungsi hutan yang optimal Melaksanaka n tanggungjawa b social perusahaan Mengembngk an masyarakat dan meningkatkan pemeliharaan lingkungan meningkatkan taraf hidup masyarakat. agar peran sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar semakin terorganisir dengan lebih baik timbul hubungan timbal balik yang saling bermanfaat di antara berbagai pihak yang saling berkepentinga n. Memberikan dampak positif kepada masyarakat dalam mencapai
Dimensi
Metode
Lingkungan Ekonomi Sosial Budaya Personal
Pengelolaan hasil hutan Peternakan/ perkebunan
Social Ekonomi lingkungan
bantuan fisik /peralatan peningkatan kualitas sumber daya manusia lapangan kerja rehabilitasi lahan
Social Ekonomi Personal
bantuan fisik peningkatan kualitas sumber daya manusia dana bergulir
Sosial Ekonomi personal
Beasiswa Lapangan kerja
137
Praktek Community Development
Program
Perusahaan
Pelaku
Sasaran
tujuan bisnis (Meningkatka n Jumlah Tenaga Kerja Lokal di Bintan Resorts) Mengurangi Angka Penganggura n di Desa Binaan, dan Menciptakan Alternatif Mata Pencaharian. Meningkatka n kualitas hidup masyarakat
Dimensi
Masyarakat, Perusahaan,P emerintah Daerah
CSR PT. Sari Husada
PT Sari Husada
Perusahaan, Masyarakat, LSM, Stakeholder lainnya.
Masyarakat khususnya ibu dan anak.
untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) no 4 dan 5, yaitu menurunkan angka kematian bayi/balita dan angka kematian ibu. melindungi konsumen mengayomi karyawan melestarikan lingkungan memperhatika n masyarakat
Kesehatan Sosial ekonomi
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan pelatihan keterampilan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat pemberdayaan kader lokal program peningkatan kapasitas bidan pembangunan puskesmas, taman bermain anak-anak Beasiswa
CSR PT Astra International cabang wilayah DIY
PT Astra International cabang wilayah DIY
Perusahaan, pemerintah
Masyarakat sekitar
Ekonomi Lingkungan sosial
bantuan kemanusiaan program kemitraan pendidikan kesehatan pembangunan infrastruktur publik
Program Bina Lingkungan oleh
Social Ekonomi Lingkungan Personal
Metode
PT Bali Tourism Developmen t corporation (BTDC)
Kemitraan dan
Masyarakat
Tujuan
pembanguna n infrastrutur penghijauan pendidikan
PT BTDC
138
a. Praktek Community Development oleh PT. Perhutani : Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)/ PHBM Plus Praktek comdev prakarsa perusahaaan , antara lain dijumpai dalam program
Pengelolaan
Hutan
Bersama
Masyarakat/
PHBM
yang
selanjutnya pada tahun 2007 ditingkatkan menjadi PHBM Plus. Program sosial dan lingkungan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dalam rangka keberhasilan pembangunan hutan dan menciptakan fungsi hutan yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut maka didalam setiap kegiatan pengelolaan hutan Perum Perhutani senantiasa melibatkan masyarakat desa hutan dan stakeholder dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan, memberikan kesempatan bekerja dan berusaha yang juga merupakan upaya menanggulangi pengangguran serta
sebagai
upaya
membangun
partisipasi
masyarakat
dalam
pengamanan hutan dan menciptakan lingkungan hidup yang baik. Dalam rangka menuju visi dan misi Perum Perhutani maka program PHBM yang dijadikan sebagai sistem pengelolaan hutan dalam pelaksanaannya lebih menyesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah dan mengutamakan peningkatan taraf hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat di sekitar hutan serta membangun sinergitas dengan para pihak, khususnya dengan pemerintah provinsi, kabupaten, dan desa/kelurahan Proses implementasi PHBM melalui beberapa tahapan, yaitu sosialisasi intern dan ekstern, dialog multistakeholder, pembentukan Lembaga
Masyarakat Desa
Hutan
(LMDH), pembentukan Forum
Komunikasi Masyarakat pada tingkat kecamatan dan kabupaten, perjanjian kerjasama dan penyusunan renstra. Proses implementasi PHBM juga melibatkan pihak eksternal seperti pemerintah daerah kabupaten maupun provinsi dengan memberikan bantuan dana APBD dan pihak eksternal lintas sektoral maupun instansi-instansi yang terkait dengan berbagai kegiatan dalam implementasi PHBM seperti Depdiknas dalam
139
kegiatan pemberantasan buta aksara LMDH dan bantuan KF (Keaksaraan Fungsional), bantuan dana dari Kementrian Negara Koperasi dan UKM dalam pelatihan perkoperasian untuk LMDH dan sebagainya. Secara kelembagaan terdapat forum komunikasi PHBM yang ketuanya kepala bidang ekonomi, kemudian ada wakil ketuanya Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Pertanian. Untuk tingkat provinsi juga terdapat forum semacam ini.
Box.4.1. Sinergitas dalam PHBM dan PHBM Plus Seringkali, model community development diterapkan secara parsial. Namun pada Pengelolaan hutan bersama masyarakat, praktek tersebut bisa berjalan secara lebih komprehensif. Sistem tersebut salah satunya dilatarbelakangi kebutuhan pengelolaan hutan yang sangat terkait mulai dari hulu sampai hilir. Di dalam konsep pengelolaan yang sejak tahun 2001 dijalankan sesuai dengan SK gubernur, pengelolaan hutan dilakukan dengan melibatkan masyarakat desa. Masyarakat yang akan berperan diangkat sebagai subjek juga. Dalam community development ini, pengembangan dan peningkatan kapasitas masyarakat dibangun dalam satu sistem yang utuh. Perum Perhutani Banyumas Timur dikelilingi oleh 162 desa hutan dan 160 diantaranya sudah memiliki Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dapat melakukan perjanjian kerjasama pengelolaan. Itulah representatif dari masyarakat, di mana masyarakat adalah yang tergabung dalam LMDH. Lembaga masyarakat tersebut dibentuk atas dasar perkumpulan berbagai pihak di masyarakat itu, kemudian dituangkan dalam AD/ART nya masing-masing. LMDH berbadan hukum karena telah memiliki akte notaris, sehingga punya aturanaturan yang jelas yang bisa mengikat anggota. Karena itu, program yang dilakukan bisa lebih jelas. Terdapat kesetaraan antara Perum Perhutani dengan masyarakat, dimana masyarakat diposisikan sebagai mitra. Di samping itu juga dilakukan proses pembinaan kelembagaan LMDH. Terdapat perjanjian-perjanjian yang sifatnya long time antara Perhutani dan LMDH sebagai mitra. Sementara yang bersifat shorttime, antara lain yang sifatnya pekerjaan tapi tetap di dalam koridor payung hukum. MoU nya itu adalah ketika nanti mereka yang akan dipekerjakan, mereka telah ada lembaga masyarakat desa. PHBM menerapkan prinsip berbagi, di mana terdapat pembagian peran, hak, dan tanggung jawab antara Perhutani dan masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan lahan, pemanfaatan waktu, dan pengelolaan kegiatan. Sebagai inisiatif yang bersifat kolaboratif, di Banyumas diadakan forum komunikasi PHBM. Berbagai stakeholder seperti dinas-dinas pemerintah terkait yang terkait dengan program community development, terlibat dalam forum ini. Adanya SK Gubernur memudahkan diterimanya inisiatif ini di level kabupaten/kota. Namun meskipun lebih komprehensif, dari enam tahun pengalaman implementasi PHBM, dirasakan bahwa PHBM masih lamban dan kurang fleksibel, sinergitas dengan para pihak belum terbangun dengan baik, masih
140
berbasis pada kegiatan kehutanan, pelaksanaan bagi hasil yang merupakan ciri PHBM belum dilaksanakan secara merata, ditambah lagi Pemda belum faham dan merasakan kontribusi pada program nasional seperti peningkatan IPM. Oleh karena itu lahirlah PHBM plus untuk percepatan dan fleksibilitas pelaksanaan PHBM. Dengan konsep yang relatif sama, dilakukan perbaikan diantaranya dengan melakukan perubahan mindset, serta mendorong motivasi sdm melalui penerapan sanksi yang proporsional dan profesional. PHBM Plus menjadi suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif. Inisiatif ini pada akhirnya dapat memberikan dampak yang cukup positif. Andi Riana (Perhutani) menyatakan adanya penurunan kerusakan hutan dengan diberlakukannya PHBM Plus. Di samping itu LMDH menyatakan bahwa ada berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat melalui kegiatan ini, seperti meningkatnya ekonomi masyarakat.
b. Praktek Community Development oleh PT. Lafarge Cement Indonesia PT Lafarge Cement Indonesia secara umum memiliki berbagai kegiatan corporate social responsibility yang mengarah pada bentuk community development. Dalam melaksanakan tanggungjawab social perusahaannnya, menarik untuk dilihat bahwa terdapat pergeseran pemaknaan
terhadap upaya-upaya
tersebut.
Perusahaan
tersebut
memandang hal ini bukan sebagai bentuk kompensasi, namun telah mencoba memulai dengan melihat masalah, di samping juga membangun konsep-konsep yang membantu orang local, dan sebagai bentuk komitmen terhadap lingkungan hidup. Pergeseran tersebut juga terlihat dari berbagai fase yang dialami PT LCI dalam mewujudkan komitmennya terhadap pengembangan masyarakat14.
Tahun 1980-1990 Merupakan fase awal keberadaan PT.LCI (saat itu PT. Semen Andalas Indonesia). PT.LCI, melakukan pembangunan lingkungan seperti masjid, pusat kesehatan masyarakat dan sekolah sesuai dengan anggaran yang tersedia, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bermitra dengan PT.LCI melalui beberapa jenis
14
Wawancara dengan pengelola COMDEV PT LCI
141
usaha seperti distributor semen, pengadaan material banguan, jasa pengangkutan, jasa boga (catering), agen perjalanan, pariwisata, dan sebagainya. Mengingat pada saat itu banyak petani cengket yang gulung tikar karena jatuhnya harga cengkeh di pasaran dan pabrik masih dalam proses pembangunan, maka PT.LCI memulai dengan proses pemberdayaan masyarakat lokal dengan memberikan prioritas utama bagi masyarakat Lhoknga untuk dilatih dan ditempatkan sebagai karyawan pabrik. Tidak hanya berhenti sampai disini, donasi pun diberikan dalam rangka membangun rumah-rumah ibadah maupun sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas beragama dan pendidikan masyarakat Lhoknga dan Leupung.
Tahun 1990-2004 Pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh PT.LCI lebih terarah, disamping tetap mendukung kegiatan social masyarakat dengan memberikan donasi yang bersifat fisik, dukungan pada masyarakat juga sudah mulai menyentuh pada aspek pembangunan ekonomi seperti pembinaan industri rumah tangga berupa anyaman rotan, tenun, maupun industri makanan ringan seperti dodol. Sementara untuk program kesehatan, program andalan PT.LCI adalah klinik berjalan dan penyuluhan kesehatan terhadap ibu dan anak.
Tahun 2005-2007 Tahun 2005, Group Lafarge melakukan berbagai upaya dalam masa rehabilitasi
paska
tsunami
guna
membantu
masyarakat
dan
karyawannya. Melalui Lafarge Recovery Program yang didukung penuh oleh kantor pusat Lafarge dan unit bisnisnya di seluruh dunia, dilaksanakanlah
berbagai
program
seperti
memperbaiki
dan
membangun kembali masjid dan pusat kegiatan masyarakat, merenovasi fasilitas pendidikan seperti sekolah-sekolah yang berada paling dekat dengan PT.LCI, memberikan layanan kesehatan melalui klinik berjalan, dan memberikan berbagai keterampilan kejuruan melalui pelatihan kejuruan yang bekerjasama dengan Balai Latihan
142
Keterampilan. Tahun 2006, PT.LCI juga mendapatkan dukungan dari Group Lafarge Aceh Volunteer Program dari seluruh pekerja di unit bisnis Group Lafarge di seluruh dunia. Dalam program ini Lafarge membangun 274 rumah bagi masyarakat Gampong Lamkruet Kecamatan Lhoknga. Total dana yang dihabiskan oleh Group Lafarge kurang lebih $US 5 Juta selama program tersebut berlangsung. Di samping itu PT.LCI juga mulai memberikan dukungan ke Kecamatan Leupung, dimana saat itu PT.LCI berencana membangun kembali fasilitas air yang hancur karena tsunami, memberikan dukungan terhadap Pembangunan Masjid Leupung selama 5 tahun, dukungan terhadap operasional bis sekolah selama 2 tahun serta pemberian bantuan air bersih untuk desa Deah Mamplam di Leupung. Akhirnya, total donasi yang direalisasikan kurang lebih 1,2 Milyar untuk Kecamatan Leupung. Strategi pengembangan masyarakat yang berkelanjutan belum dilaksanakan dikarenakan focus manajemen PT.LCI masih pada proses rekonstruksi. Pada bulan Desember 2007 tampak adanya ketidakpuasan masyarakat yang dipicu oleh sistem recruitment yang berkembang luas hingga menyentuh masalah tanggung jawab perusahaan pada masyarakat sekitar.
Tahun 2008-2009 Tahun 2008 walau mendapat tekanan yang cukup besar dari masyarakat sekitar, PT.LCI tetap melanjutkan program-program pengembangan masyarakatnya sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Beberapa program tersebut adalah program pendidikan seperti bimbingan belajar untuk menghadapi ujian nasional bagi SMA yang ada di Kecamatan Lhoknga dan Leupung, pelatihan internet, pemberdayaan TPA di Kecamatan Lhoknga, dukungan peningkatan fasilitas perpustakaan di SD Desa Naga Umbang, serta bantuan social lainnya yaitu pembangunan lapangan bola voli di desa Naga Umbang dan pembangunan Masjid Besar Leupung. Di Bidang kesehatan, klinik berjalan juga tetap dilaksanakan. Selain itu juga di tahun 2008, PT.LCI
143
memberikan donasi kepada Pemerintah Aceh Besar sebesar Rp. 100/ zak semen dan Rp. 2500/ton untuk semen curah yang keluar. Total donasi tahun 2008 adalah Rp. 947.906.500,-. Menilik berbagai kegiatan yang ditempuh oleh PT LCI, banyak kegiatan yang diklaim sebagai upaya pengembangan masyarakat, namun melihat sifatnya masih berupa donasi-donasi. Meskipun demikian, terdapat inisiatif dari PT LCI yang dapat diangkat dalam upaya menyelesaikan konflik dan meningkatkan posisi masyarakat sebagaimana dirangkum dalam box. 4.4 berikut.
Box4. 2. MOU antara PT LCI dengan masyarakat : Bentuk Negosiasi dan peningkatan pelibatan masyarakat Dengan semakin meningkatnya tekanan masyarakat yang meluas pada persoalan lingkungan dan tanggung jawab perusahaan pada masyarakat sekitar, manajemen PT.LCI terus mengadakan negosiasi dengan pihak masyarakat serta otoritas di dua kecamatan dalam rangka mewujudkan kesepakatan antara kedua kecamatan tersebut dengan PT.LCI. Tujuan utama dari MoU tersebut adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip bertetangga yang baik antara masyarakat dan PT LCI guna mendukung keberlanjutan investasi PT LCI di Aceh dan peningkatan tingkat sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Tahun 2009 merupakan implementasi awal MoU dengan masyarakat, di mana PT LCI meningkatkan upayanya melaksanakan program-program penguatan dan pengembangan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. PT.LCI berupaya melaksanakan 4 poin kesepakatan tersebut, yakni : 1. menempatkan departemen yang berhubungan dengan isu-isu masyarakat di Plant Lhoknga 2. memberikan informasi tentang posisi pekerjaan untuk Plant Lhoknga kepada otoritas kecamatan Lhoknga dan Leupung secara transparan, melakukan seleksi sesuai dengan prosedur dan kebijakan perusahaan dengan selalu menginformasikan setiap tahapan proses seleksi, membuat program fresh graduate untuk Kecamatan Lhoknga dan Leupung 3. menyampaikan informasi awal mengenai proses ujicoba pabrik serta kegiatan di Quarry PT.LCI, memenuhi berbagai kewajiban hukum perihal reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang, membuat mekanisme pembuangan sampah, dan mensosialisasikan dokumen Analisa Dampak Lingkungan, melakukan pemantauan kualitas udara dan air serta bekerjasama dengan WWF dalam membuat perencanaan rehabilitasi lahan tambang 4. sementara untuk tanggung jawab sosialnya, PT.LCI telah memperkuat bagian pengembangan tanggungjawab sosialnya dengan merekrut manager CSR guna mengimplementasikan komitmen dalam MoU. Meskipun MoU telah disahkan, masih dijumpai kendala. MoU tersebut
144
mengamanatkan terbentuknya Komite oleh otoritas Kecamatan Lhoknga dan Leupung bersama dengan PT.LCI yang mengatur penggunaan dana pengembangan masyarakat, namun komite tersebut belum terbentuk disebabkan belum terjadi kesepakatan di masyarakat. Di samping itu masih juga terjadi kesalahpahaman maksud isi MoU tersebut dan keinginan dari berbagai pihak yang tidak sejalan dengan upaya penciptaan program yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Contohnya keinginan untuk membagi rata dana program dan mempergunakannya untuk apa saja kepentingan masyarakat tanpa mempertimbangkan komitmen dalam MoU.
c. Praktek Community Development Prakarsa PT Badak NGL Sejak awal berdiri, PT Badak NGL menyadari sepenuhnya bahwa partisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat dan Kota Bontang juga merupakan sebuah peran penting yang perlu diprioritaskan oleh perusahaan. Untuk tujuan itu, perusahaan, baik secara langsung tidak langsung , merancang program-program yang mampu mendorong kemandirian masyarakat. Menyadari pentingnya peran perusahaan dalam mendorong kemajuan masyarakat Botang, PT Badak NGL meskipun berstatus sebagai perusahaan non profit, namun dengan kemampuan terbaik berperan aktif mendukung Pemerintah Kota Bontang dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Khususnya mereka yang tinggal di sekitar perusahaan melalui program-program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial PT Badak NGL dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Program tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat tidak langsung dilaksanakan oleh berbagai elemen perusahaan antara lain berupa : a.
Peran serta organisasi internal perusahaan yang dilakukan oleh perusahaan Eks KORPRI, organisasi keagamaan (YAUMIL/laz yaumil, GOPKB, Katholik, Hindu), PWP, YPVDP, yayasan LNG Badak, yayasan HOP, yayasan LNGTV, klub-klub olah raga, perkumpulan sosial dan lain-lain.
b.
Peran serta langsung pekerja dan keluarga, misalnya dalam program GNOTA, bantuan bencana alam.
145
c.
Memfasilitasi peran serta pihak ketiga, bekerjasama dengan PT Badak dalam menyalurkan kegiatan-kegiatan bersifat sosial ke masyarakat, misalnya yayasan OGFICE yang memberikan beasiswa kepada siswa/siswi/mahasiswa Kota Bontang. Sedangkan
program tanggung jawab sosial perusahaan yang
bersifat langsung diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pengembangan masyarakat yang diwadahi dalam program comdev. Program comdev PT. Badak dilaksanakan oleh fungsi Public Relations (HUPMAS= Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat). Program tanggung jawab sosial perusahaan dalam bentuk program Community Development PT Badak secara formal telah dilaksanakan oleh PT Badak NGL sejak tahun 1984. Salah satu tujuannya adalah agar peran
sosial
perusahaan
terhadap
masyarakat
sekitar
semakin
terorganisir dengan lebih baik. Oleh karena itu perusahaan melalui public relations section bertanggung jawab melaksanakan program-program comdev. Meski hal ini tidak bisa menghilangkan fakta bahwa kiprah perusahaan
dalam
pengembangannya
masyarakat
Bontang
pada
dasarnya telah dilaksanakan sejak berdirinya PT Badak NGL tahun 1974, dan bahkan sejak dimulainya masa konstruksi atau pembangunan. Dengan adanya program comdev, diharapkan juga akan timbul hubungan timbal balik yang saling bermanfaat di antara berbagai pihak yang saling berkepentingan. Yang tidak kalah penting dari adanya program comdev adalah adanya keinginan perusahaan untuk hidup dan maju bersama masyarakat. Program comdev pada dasarnya difokuskan pada usaha-usaha
mendesain
program-program
yang
bisa
mendorong
kemandirian masayarakat sekitar. Berbagai bantuan telah diberikan baik berupa bantuan fisik semisal bantuan infrastruktur, material, dll. Juga bantuan lain yang bersifat ‖intangible‖ misalnya peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan, capacity building dan sejenisnya. Dalam mendesain program community development, perusahaan melaksanakan
kegiatannya
didasarkan
pada
analisis
kebutuhan
146
masyarakat di sekitar perusahaan. Kajian tentang kebutuhan masyarakat ini dilakukan dengan pendekatan PRA (Parcipatory Rural Appraisal), yakni sebuah pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam
menentukan
masalah
cara
memecahkan
masalah
dan
menentukan kebutuhan mereka sendiri dengan maksud untuk menggali bersama, mengembangkan alternatif-alternatif bersama, menyepakati bersama, mencari pemecahan masalah bersama. Pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai perencana dan pelaksana program bukan sekedar obyek pembangunan, (studi pengembangan masyarakat di sekitar kompleks industri gas PT Badak NGL Bontang, UGM –ITB, 1997). Pelaksanaan program comdev PT Badak dilandasi dengan prinsip stewardship dan charity. Dalam hal tertentu, pelaksanaan CSR memang masih dilakukan dengan pola-pola tradisional, seperti pemberian sumbangan langsung berbentuk dana, akomodasi, konsumsi, infrastruktur dan lain-lain. Namun PTB juga menerapkan prinsip pembinaan (stewardship) dalam melaksanakan program comdev, dengan fokus pada peningkatan SDM , sehingga
diharapkan masyarakat mampu secara
mandiri meningkatkan kualitas hidup. Dilihat dari perkembangan Kota Bontang dan masyarakatnya, khususnya wilayah di sekitar perusahaan yang sangat pesat, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya sasaran-sasaran pokok program comdev yang dilakukan oleh PT badak NGL telah tercapai. Kesimpulan ini antara lain didapat dari terpenuhinya salah satu indikator keberhasilan comdev perusahaan di Indonesia, yang menyatakan bahwa keberhasilan comdev sebuah perusahaan salah satunya bisa diukur dari kuantitas dan kualitas pembangunan fisik dan non fisik. 1. Sasaran dan strategi Sasaran Program comdev PT. Badak NGL menyangkut sasaran strategis dan sasaran teknis.
Sasaran strategis. Sebagai agen pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk mendukung visi PT Badak NGL
147
sebagai perusahaan energi kelas dunia yang terdepan dalam inovasi.
Sasaran teknis. Berperan aktif dalam pengembangan komunitas, membina hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan lingkungan dalam menunjang operasional kilang LNG Badak.
Strategi yang diterapkan meliputi : -
Mengurangi kesenjangan melalui bantuan langsung yang menimbulkan efek ganda (multiplier effect)
-
Mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mendorong terwujudnya masyarakat mandiri
-
Mendorong pertumbuhan ekonomi sektor riil melalui kemitraan
-
Membangun dan memelihara komunikasi dua arah dengan komuniti, pemerintah kota, LSM dan media massa serta stakeholders lainnya.
-
Mendukung pilar pemerintah Kota Bontang yaitu ; Bontang Sehat 2008, Bontang Cerdas 2010, dan
Bontang Lestari
2010. 2. Bidang-Bidang Program Comdev Community Development PT Badak NGL berfokus pada 7 bidang sasaran. Focus utama program adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pendidikan setelah sekian lama memfokuskan pada bidang infrastruktur. Dengan fokus utama ini, diharapkan akan terwujud masyarakat yang mandiri dan juga untuk mendorong kesiapan masyarakat sekitar terhadap kemungkinan kondisi Bontang paska migas. 3. Bidang Pemberdayaan Masyarkat : Program pemberdayaan masyarakat merupakan program yang memberikan dukungan terhadap peningkatan SDM, ketrampilan hidup/dasar masyarakat dan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat. Kegiatan-kegiatan tahun 2009 antara lain:
148
Praktek Kerja di PT Badak NGL. Program ini dilaksanakan oleh perusahaan dengan memberikan kesempatan kepada lulusan SLTA, universitas, mahasiswa atau siswa untuk mengenal dunia kerja di lingkungan PT Badak NGL. Program berupa :
Magang Cooperative Education (CO-OP). Bekerja sama dengan jajaran humas MIGAS Kaltim, perusahaan memberi kesempatan kepada mahasiswa S1 semester akhir di wilayah Kalimantan Timur untuk magang selama 6 bulan di PT Badak NGL. Untuk tahun ini terdapat 2 angkatan, masing-masing angkatan melakukan program selama 6 bulan.
Program Magang Lab. Program ini diberikan kepada siswa yang telah lulus dari SMK Kimia untuk mengenal dunia pekerjaan di laboratorium technical dept PT Badak NGL. Waktu magang selama 1 tahun. Program ini merupakan cikal bakal bakal program magang di PT Badak NGL, dan mantan peserta magang telah banyak diserap di perusahaan-perusahaan besar di Kaltim maupun luar Kaltim. Selain program magang yang ditangani oleh HUPMAS, PT Badak juga
melaksanakan
program
praktik
kerja
lapangan
bagi
mahasiswa yang memenuhi syarat. Juga telah dilaksanakan Program Magang Operations (sejenis program magang lab) yang ditangani langsung oleh HRD Dept. PT Badak selain itu juga memfasilitasi peserta magang Pemkot yang dialokasikan ke PT Badak untuk dimagangkan di departemen terkait misalnya IT, mekanikal dan teknik.
Peningkatan Keterampilan Melalui Pelatihan dan Sertifikasi Pada tahun 2009, PT Badak NGL bekerja sama dengan beberapa pihak melakukan pelatihan dan sertifikasi guna mendukung peningkatan kualitas SDM masyarakat Bontang, antara lain : -
Sertifikasi Juru las Bontang bekerja sama dengan DITJEN ESDM
149
-
Pelatihan mekanik alat berat, bekerja sama dengan BPPKM dan BLKI Samarinda
-
Pelatihan Instalasi Listrik
-
Training ESQ (emotional spiritual quotient) baik in house maupun mengirimkan peserta ke tempat lain.
-
Pelatihan pemeliharaan kilang bidang mekanikal bagi mitra kerja.
Program Dana Bergulir. Sebagai wujud dukungan PT Badak NGL terhadap usaha kecil, perusahaan mulai tahun 2007 telah memproses dana bergulir. Beberapa perbaikan telah dilakukan antara lain bekerja sama dengan pihak ketiga yang kompeten untuk berdampingan. Dana ini diperuntukkan untuk usaha kecil dan menengah, dan pelaksanaannya bekerja sama dengan lembaga keuangan profesional.
Infrastruktur Penunjang Usaha Rakyat. Bontang paska migas akan bersandar salah satunya pada sektor pesisir dan kelautan. PT Badak NGL melalui comdev master plan-nya, telah memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah tentang bidang-bidang yang telah mulai dikerjakan secara intensif. Selain peningkatan kapasitas nelayan, juga disediakan oleh perusahaan, 2 unit jemuran rumput laut di wilayah Selangan dan Tihi-Tihi. Infrastruktur penunjang ini merupakan proyek hasil masukan dari masyarakat dan pemerintah kota, yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat.
Bidang Pendidikan. Berangkat dari keyakinan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi sumber daya manusia di Bontang, PT Badak tidak ragu-ragu untuk melaksanakan program ini dengan sepenuh hati. Meskipun pemerintah kota telah menjadikan pendidikan sebagai fokus pembangunan, PT Badak juga menjadikan bidang pendidikan sebagai bidang utama dalam program pengembangan masyarakat (community development).
150
Dengan
semakin sinergisnya
program
bantuan di
bidang
pendidikan dengan program pemerintah kota, maka diharapkan akan dicapai hasil optimal. Kepedulian PT Badak NGL terhadap pendidikan telah diakui oleh masyarakat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan diterimanya Awang Farouk Education Award. d. Praktek Community Development Prakarsa PT. Bintan Resort Cakrawala (BRC). Pelaksanaan comdev oleh PT. Bintan Resort Cakrawala (BRC) tidak hanya terfokus pada pemberdayaan ekonomi dan fisik semata, tetapi juga meliputi pemberdayaan non fisik, dalam hal ini pembangunan sektor pendidikan. Di lingkungan Pemkab Bintan, pembangunan masyarakat sektor pendidikan selain dilakukan oleh Dinas Pendidikan, juga dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha yaitu PT. Bintan Resort Cakrawala (BRC). Hal ini selaras dengan tujuan comdev yang dicanangkan PT. BRC yaitu: (a) Memberikan dampak positif kepada masyarakat dalam mencapai tujuan bisnis (Meningkatkan Jumlah Tenaga Kerja Lokal di Bintan Resorts), (b) Mengurangi Angka Pengangguran di Desa Binaan, dan (c) Menciptakan Alternatif Mata Pencaharian. Tujuan pertama tersebut sangat relevan karena pada awal berdirinya PT BRC sangat kekurangan tenaga kerja andal di bidang kepariwisataan, sehingga memerlukan tambahan pegawai melalui pemberian beasiswa. Bahkan PT BRC terpaksa ‘harus import‘ tenaga kerja dari Bali. Tiga pondasi dasar PT BRC adalah sukses di aspek sosial, aspek lingkungan hidup dan aspek keuangan. Untuk mewujudkan aspek pertama – sosial – PT BRC melaksanakan community development sebagai salah satu tanggung jawab perusahaan. Dalam kaitan itu, PT BRC memiliki education investment yang kesemuanya di bidang pendidikan, economy enterprise di bidang perekonomian, dan ada yang bersifat charity. Untuk education invetment terdapat program
151
Berseri dan High Education. Program Berseri ditujukan untuk keluarga pra sejahtera dari SD-SMA. Kemudian ada juga Program Kasih Sayang I-III; Kasih Sayang I untuk SD, Kasih Sayang II untuk SMP, dan Kasih Sayang III untuk SMA. Jumlah penerima beasiswa selama 10 tahun terakhir adalah sebanyak 2.513 anak. Tabel. 4.5. Scholarships PT. BRC SD s/d SMA No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah
Jumlah Penerima -223 234 226 224 240 244 258 273 276 315 2.513
Sumber: Paparan pejabat PT BRC, Bintan, 2010
Adapun high education berupa pemberian
beasiswa
kepada
anak-anak SMA di Bintan yang berprestasi
guna
melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi, antara
lain
pelayaran
sekolah
di
Semarang
tinggi dan
Universitas Riau di Pekanbaru, serta pendidikan di Singapore. High
Education
sebenarnya
merupakan program ikatan dinas,
sehingga alumninya langsung terikat kontrak dengan PT BRC sesuai rumus 2N (dua kali masa ikatan dinas). Apabila ikatan dinas selama 3 tahun, maka selama 6 tahun alumni penerima beasiswa harus mengabdikan diri di PT BRC, setelah itu yang bersangkutan bisa memilih pekerjaan di tempat lain (misalnya melamar ke Pemda) atau memilih bergabung dengan PT BRC. Dalam pelaksanaannya, PT BRC bekerjasama dengan UPT Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan, khususnya dalam melakukan seleksi siswasiswi SMA yang akan memperoleh program beasiswa perguruan tinggi (high education). Selain itu, PT BRC bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dalam
rangka
pengiriman
mahasiswa
untuk
belajar
di
bidang
kepariwisataan. Jumlah penerima beasiswa perguruan tinggi adalah sebanyak 19 orang.
152
Tabel. 4.6. Bantuan Pendidikan Tinggi Dari PT BRC No. 1.
Tahun 2000
2. 3. 4.
2001 2002 2003
5.
2004
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
2005 2006 2007 2003 2004 2006 2007
13.
2008
14.
2009
Nama Dosen Sinaga Herra Sri Renjani Zulkarnain Hariyanto Irwayani Khairudin Sutamar Herni Susilariyani Sunarti Hariyadi Steven Tarigan Firmansyah Putra Ella Triastuti Lisdia Mawati Mila Karmila Irma Susanti Susanti Irma Antapuri Denis Torio
Keterangan Bintan Lagoon Withdrawal Lobam Working in China Banyan Tree Nirwana Gardens Bintan Lagoon Bintan Lagoon Banyan Tree Banyan Tree Nirwana Gardens BRC Finance BRC Finance S1 Agronomi UNRI S1 Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan UNRI S1 Kelautan UNRI S1 Kelautan UNRI AKPER Univ Abdurrahman IT Politeknik Batam
Sumber: Paparan pejabat PT BRC, Bintan, 2010
Adapun permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan comdev di Kabupaten Bintan antara lain: belum terjalin sinergi antaraktor dalam pelaksanaan
program
comdev
yang
dilakukan
masing-masing,
keterbatasan anggaran/pendanaan, cenderung pendekatan tahunan (proyek), perencanaan bertele-tele (PNPM Mandiri Nasional), dan belum tercipta kesinambungan program. Persoalan sinergi menjadi sangat penting, karenanya hal ini menjadi perhatian Pemkab Bintan (melalui BPMPKB dan Dinas Pertambangan) tengah berupaya untuk mewujudkannya. Salah satu upaya tersebut adalah melalui koordinasi dan monev yang dijalin antarsektor. Sebagai contoh, dalam hal pemberian beasiswa kepada siswa SMA, UPTD Pendidikan dan
153
PT BRC secara bersama-sama melakukan seleksi serta inspektorat melakukan pengawasannya. Sementara itu, dalam hal keterbatasan anggaran, PT BRC baru bisa memfokuskan pada pendidikan. Namun sesungguhnya, comdev itu sendiri tidak hanya berupa ‘uang/dana‘ akan tetapi dapat diberikan dalam bentuk lain seperti pemberian kesempatan bekerja, pemberian informasi ketenagakerjaan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, masyarakat sekitar Bintan Resort (penduduk Desa Sebong Lagoi) dapat diberdayakan melalui pemberian kesempatan kerja di lingkungan Bintan Resort. Kendalakendala tersebut kiranya menjadi perhatian dan pelajaran bagi para pengambil kebijakan untuk segera melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program comdev di daerah. e. Praktek Community Development Prakarsa PT. Bali Tourism Development Corporation (BDTDC) : Program Kemitraan Bina Lingkungan Perusahaan di Bali yang melakukan program/kegiatan community development salah satunya adalah Bali Tourism Development Corporation (BTDC).
BTDC
sebagai
salah
satu
BUMN
melakukan
kegiatan
pemberdayaan masyarakat berdasarkan kebijakan yang berkaitan dengan ―Kemitraan Bina Lingkungan‖ yang diatur oleh Kementerian Keuangan karena menurut mereka perusahaan non tambang seperti BTDC tidak diwajibkan melakukan CSR seperti yang diatur dalam kebijakan yang dikeluarkan kementrian BUMN. Program-program yang telah mereka lakukan antara lain: Program pembangunan infrastruktur berupa jalan dan pasar; Program penghijauan, yang dilaksanakan hampir setiap tahun dan BTDC berusaha untuk melakukannya secara berkesinambungan; Kegiatan pemberdayaan masyarakat dibidang pendidikan yakni Sekolah Tinggi Pariwisata yang berada di Kabupaten Badung Program sadar lingkungan yang dilaksanakan setiap tahun. Program ini cukup memberikan gambaran keberhasilan, terutama sadar
154
lingkungan yang diperuntukkan bagi anak-anak yang lebih berhasil jika dibandingkan dengan sadar lingkungan dari orang tua, karena mungkin dipengaruhi faktor budaya. f.
Praktek Community Development Prakarsa PT. Sari Husada
melalui
Corporate Social Responsibility CSR adalah bagian inti dari bisnis PT. Sari Husada, oleh karena itu CSR dimasukkan kedalam rencana strategik perusahaan. CSR bukan sekedar kepedulian kepada lingkungan dan isu sosial, namun bagaimana perusahaan berperilaku. Ada beberapa hal yang menjadikan PT. Sari Husada melakukan program CSR yaitu : a) tingkat kemiskinan masih tinggi b) tingkat pendidikan rendah c) tingginya tingkat kematian bayi/balita d) rendahnya kualitas ibu hamil/menyusui e) isu lingkungan Untuk menjalankan strategi ini,PT. Sari Husada membaginya dalam empat kategori, yaitu : a) melindungi konsumen b) mengayomi karyawan c) melestarikan lingkungan d) memperhatikan masyarakat PT. Sari Husada mempraktekkan tanggungjawab sosial dalam setiap langkah bisnisnya, dari mulai perolehan bahan baku, proses produksi, sampai distribusi produk. Semua stakeholder menjadi pusat perhatian dan kepedulian PT. Sari Husada. Adapun kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh PT. Sari Husada berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat adalah : a) Teman Sejati Sari Husada (TSS)
155
Berupa kelas seni ( menyanyi, menari, akting) bagi balita yang berlokasi di enam kota di Indonesia (Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Bali). Terdapat 13 kelompok anak-anak yang keseluruhannya berjumlah lebih kurang seribu orang anak, berusia antara dua sampai lima tahun. Kegiatan ini menjalin kemitraan dengan Bina Vokalia Pranadjaja, Merbi Club, Sekolah Musik AMI, STSI, Sanggar Puspita, Sanggar Bunga Tandjung, Hana Music/Cresindo Yogyakarta. b) Rumah Srikandi. PT. Sari Husada turut menggagas keberadaan Rukun Warga (RW) SIAGA Mandiri yang disebut Rumah Srkandi, berlokasi di Kecamatan Kebun Jeruk Jakarta, yang selanjutnya akan dikembangkan pula di daerah Yogyakarta dan Klaten. Kegiatan ini ditujukan kepada para ibu dan anak-anak. Di tempat ini para ibu mendapatkan fasilitas, antara lain pelatihan keterampilan, posyandu dan taman bermain bagi anakanak. Kegiatan ini menjalin kerjasama dengan Kompas dan PT. Astra. c) Program SAGITA (sadar gizi ibu dan balita) bekerjasama dengan PKPU, PT. Sari Husada mengadakan program peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pemeliharaan dan perbaikan status gizi balita, peningkatan pengetahuan ibu tentang permasalahan gizi dan kesehatan serta pemberdayaan kader lokal. Pada tahun 2008 terdapat Balita Terbina secara intensif sebanyak 412 anak dari 5 desa di Klaten, Desa Randusari, Desa Ngemplak Seneng dan Desa Rejoso. Di setiap desa binaan Sagita terdapat : 1. Satu Posyandu binaan 2. Sepuluh Kader Lokal (5 dari Posyandu Binaan dan 5 Posyandu Lain Non Binaan) 3. Seluruh Ibu dan Balita dalam Posyandu Binaan memperoleh penyuluhan rutin 1 bulan sekali sedangkan non binaan, fakultatif
156
4. Seluruh pengasuh Balita yang mengalami masalah gizi (gizi buruk dan gizi kurang) mendapat pembinaan secara intensif 5. Seluruh Balita Gizi Buruk dan Gizi Kurang dalam satu desa memperoleh perawatan gizi secara intensif (jumlah balita 30-50 anak) d) Srikandi Award Di Indonesia, peran bidan sangatlah penting karena bidan membantu persalinan 60% ibu hamil dan umumnya dipercaya untuk menangani kesehatan anak sampai besar. Untuk itu, PT. Sari Husada bekerjasama dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) memberikan Penghargaan Srikandi (Srikandi Award) kepada para bidan yang memberikan bakti kepada masyarakat, khususnya dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi/balita. Kami memberikan dana bantuan pelaksanaan proyek untuk 150 proposal ‖Pos Bakti Bidan‖ yang lolos seleksi dari total 500 proposal yang masuk. Bidan yang paling baik dalam menjalankan proyeknya bersama masyarakat, akan
memperoleh
Srikadi
Award.
Program
ini
merupakan
pengembangan dari Program ‖Srikandi Sari Husada‖, yaitu program peningkatan kapasitas bidan berupa seminar, yang setiap tahun diadakan 2 kali di 26 kota di Indonesia, dan diikuti oleh 6000 bidan. Program ini secara khusus bertujuan untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) no 4 dan 5, yaitu menurunkan angka kematian bayi/balita dan angka kematian ibu. e) Supporting Life PT. Sari Husada melakukan kegiatan untuk anak-anak Desa Taruna SOS, Indonesia berlokasi di SOS Jakarta, Medan dan Meulaboh dengan melibatkan para karyawan PT. Sari Husada. Kegiatan yang dilakukan antara lain pembangunan puskesmas Meulaboh, kelas drama dan menyanyi, konferensi anak-anak SOS, pembangunan taman bermain, pasar murah, dan penggalangan dana. Kegiatan ini
157
bekerjasama dengan SOS Village Indonesia, sebuah LSM yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak yatim piatu. f)
Beasiswa PT. Sari Husada juga memberikan Program Beasiswa secara bulanan kepada 2000 murid Sekolah Dasar yang berlokasi di Yogyakarta dan Klaten. Kegiatan ini menjalin kemitraan dengan Yayasan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA)
g. Praktek Community Development melalui CSR oleh PT. Astra International cabang wilayah DIY Program CSR Astra group mengacu pada pendekatan Triple Bottom Line, yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi (keuntungan) dan lingkungan (planet bumi) serta sosial. Astra membagi program CSR dalam lima bidang yang saling terkait: bantuan kemanusiaan, program kemitraan, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur publik. Beberapa program Astra yang sedang berjalan adalah proyek Sunter Nusa Dua, yang membantu masyarakat di sekitar kantor pusat Astra dengan berbagai proyek pembangunan masyarakat, pembangunan model SD di Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam, dan program beasiswa tahunan, yang membantu siswa sekolah yang terletak di sekitar kantor Astra. Astra dan perusahaan Astra Group telah membentuk sejumlah yayasan untuk mengkoordinasikan kegiatan CSR mereka di samping usaha CSR perusahaan individual. Yayasan dan perusahaan ini bertanggung jawab untuk merancang dan melaksanakan proyek mereka sendiri, namun keberhasilan proyek secara keseluruhan diukur oleh Astra melalui kerangka Astra Friendly Company (AFC). Astra sepenuhnya memahami bahwa lingkungan kerja yang sehat dan
aman
merupakan
faktor
dalam
keberhasilan
bisnis.
Astra
berkomitmen untuk konsisten dalam penyediaan lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi seluruh karyawan Grup Astra. Komitmen ini
158
diabadikan dalam kerangka Astra Green Company (AGC). Melalui program ini Astra berupaya untuk memberikan lingkungan kerja yang sehat dan aman serta untuk melindungi kelestarian lingkungan. Formula ini berfungsi
sebagai
kerangka
kerja
untuk
pedoman
dasar
untuk
pelaksanaan dan evaluasi Lingkungan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (EHS) di semua perusahaan dalam Grup Astra. Untuk melaksanakan ini, Astra telah memasukkan rumus AGC ke perusahaan Green Strategy, yang mencakup proses bisnis yang aman, nyaman dan bersih (Green Process), pengembangan produk ramah lingkungan dan aman (Green Product), serta pengembangan kompetensi sumber daya manusia di EHS (Green Karyawan). Program-program besar itu biasanya datang dari Astra pusat. Namun untuk perusahaan cabang seperti PT. Astra wilayah Daerah istimewa Yogyakarta yang didatangi, program CSR mereka masih bersifat yang kecil dan hanya mencakup masyarakat sekitar kantor. Jenis-jenis program CSR nya disesuaikan dengan stakeholder. Setiap tahun PT. Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mengalokasikan dana CSR dalam rangka ikut memikirkan kesejahteraan masyarakat sekitar, misalnya memberikan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan bidang bisnisnya dengan memanfaatkan training centernya semaksimal mungkin. Pada tahun 2009 PT. Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendanai kegiatan laundry, masyarakat yang dahulu tidak memiliki pekerjaan dengan adanya program ini mereka menjadi memiliki pekerjaan. Ke depan, PT Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sedang merencanakan untuk memberdayakan peternakan seperti kambing atau bebek. Selain itu adalah memberdayakan orang-orang tua jompo dalam pembuatan batik. Dalam menentukan program CSR nya, PT. Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta melihat dulu kebutuhan apa yang mendesak bagi masyarakat. Komunikasi sangat penting disini. Orang-orang PT. Astra juga
159
selalu ikut dalam rapat-rapat pembahasan di kampung sekitar dalam rangka mencari tahu apa yang dibutuhkan masyarakat sekitar. Di PT. Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta belum ada divisi tersendiri yang menangani masalah CSR ini. Untuk yang menangani CSR ini PT. Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta lebih banyak membentuk kepanitiaan
yang
dibentuk
dari
beberapa
departemen
dan
penanggungjawabnya adalah kepala bagian administrasi. Pelaksanaan program-program yang sudah direncanakan memang belum sepenuhnya terlaksana. Hal tersebut karena kelompok sasaran apabila ditawari program kadang-kadang ada yang mau dan ada yang menolak. Ini cukup menyulitkan PT.Astra wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta didalam merealisasikan program.
5. Praktek Community Development yang di Prakarsai oleh Masyarakat Beberapa contoh praktek comdev yang merupakan prakarsa masyarakat cenderung berfokus pada peningkatan pendapatan. Hal ini bisa dipahami karena praktek-praktek tersebut seringkali berawal dari usaha kecil masyakat setempat. Model-model praktek masyarakat yang dipotret dalam kajian ini selengkapnya terangkum dalam table berikut. Tabel 4.7. Praktek Community Development Prakarsa Masyarakat Praktek Community Development
Lokus
Pelaku
Sasaran
Tujuan
Dimensi
Sentra industri rumah tangga dan desa wisata
Desa Karangban jar, Kab. Purbalingg a
Masyarakat Dunia usaha Pemerintah daerah
Masyarak at lokal
Meningkatk an pendapatan masyarakat
Ekonomi Sosial Budaya
Industri Rumahan Produk Olahan Apel (Bromo-Semeru) dan Gapoktan Petani Bunga Potong
Kota Batu
Masyarakat Dunia usaha Pemerintah daerah
Masyarak at lokal
Meningkatk an pendapatan masyarakat
Ekonomi Sosial
Metode industri (rambut) dan kerajinan rumah tangga desa wisata industri rumah tangga
160
Praktek Community Development Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kerajinan Rencong Aceh
Lokus Sibreuh, Aceh Besaar
Pelaku
Sasaran
Tujuan
Dimensi
Metode
Masyarakat Dunia usaha Pemerintah daerah
Masyarak at lokal
Meningk atkan pendapa tan masyara kat Melestari kan budaya
Ekonomi Sosial Budaya
Kelompok usaha kecil
a. Sentra industri rumah tangga dan desa wisata di Desa Karangbanjar, Kab. Purbalingga Praktek comdev yang muncul dari inisiatif masyarakat Purbalingga yang dijumpai yaitu industri rambut dan kerajinan rumah tangga yang ada di desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari bagian barat. Desa Karang banjar merupakan pusat produksi pembuatan kerajinan rambut yang merupakan barang kebutuhan sekunder namun banyak diminati oleh banyak kunsumen. Konde dan sanggul sudah sangat lazin bagi kaum wanita di pulau Jawa, khususya Jawa Tengah. Mulai sekitar tahun 1960an, orang yang melihat adanya peluang bisnis ini mulai membeli cemaracemara sederhana ini yang yang dibuat oleh masyarakat untuk kemudian diolah dan dijual kembali. Bahkan mereka mau membeli helai-helai rambut yang rontok yang telah dikumpulkan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan oleh para pemulung, yang kemudian menjualnya kembali kepada pengepul rambut. Pengepul rambut ini biasanya juga merupakan pengusaha pembuat cemara. Dari usaha pembuatan cemara ini selanjutnya berkembang menjadi usaha pembuatan sanggul dan konde yang pemasarannya sudah meliputi tingkat regional maupun nasional. Selanjutnya berkembang pula usaha pembuatan bulu mata palsu dan rambut palsu (wig). Kerajinan ini tersebar di seluruh kabupaten Purbalingga, terutama untuk perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan untuk perusahaan mikro dan kecil berpusat di desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga.
161
Kondisi sentra saat ini cukup dinamis, dalam arti kegiatan produksi dan pemasaran selalu ada dan berkelanjutan. Hampir 80% penduduk melakukan kegiatan usaha kerajinan rambut , sehingga dapat disebut bahwa mata pencaharian penduduk Karangbanjar adalah sebagai pengrajin. Disamping menjadi pengrajin rambut,
penduduk desa
Karangbanjar juga melakukan usaha bertani. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kerajinan rambut adalah tenaga kerja wanita dan lakilaki yang telah terserap dengan tidak memerlukan pendidikan tinggi. Jumlah pengrajin rambut dalam sentra lebih dari 275 orang yang tersebar di seluruh desa Karangbanjar. Dengan jumlah tenaga sekitar 1.100 orang. Omset
rata-rata
tiap
bulan
untuk
sentra
ini
mencapai
Rp.
20.700.000.000,-. Saat ini desa Karangbanjar adalah satu-satunya desa wisata yang ada di Kabupaten Purbalingga, dan sedang bekerjasama dengan FISIP UNDIP melalui program Sinergis Pemberdayaan Potensi Masyarakat (SIBERMAS). Pada kurun waktu tahun 2007, tercatat tidak kurang dari 2467 orang yang berkunjung dan menginap di Desa Karangbanjar, dan pada tahun 2008 naik menjadi 2946 orang. Fasilitas wisata yang ditawarkan mencakup: 1. Home Stay Untuk menyediakan pelayanan terhadap para pengunjung yang ingin menginap di desa wisata Karangbanjar, masyarakat setempat telah menyiapkan
kediamannya
untuk
dijadikan
kamar
pondokan
(homestay). Kamar-kamar pondokan ini telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga
(Disbudparpora) Kabupaten
Purbalingga, selaku instansi
Pembina teknis. Tarif yang berlaku untuk menyewa kamar pondokan cukup murah, yaitu Rp. 85.000,- per orang termasuk konsumsi (makan 3 kali, snack pagi dan sore serta minuman ringan/ teh/ kopi). Bagi rombongan (minimal 40 orang) akan disuguhi kesenian dan makanan tradisional. Homestay yang tersedia di desa Karangbanjar berjumlah
162
68 rumah yang dapat menampung sekitar 200 orang wisatawan, dengan fasilitas rumah yang bersih dan cukup memadai. 2. Kolam pancing Kawasan
pancing dilengkapi
dengan
gazebo
untuk
memberi
kenyamanan bagi para pengunjung. Pada saat-saat tertentu, diadakan lomba memancing yang menawarkan hadiah yang cukup besar, sehingga seringkali menarik minat pengunjung dari luar daerah. 3. Kebun sayur-sayuran dan buah-buahan Di lokasi ini pengunjung dapat menikmati suasana areal pertanian/ perkebunan yang berlatarbelakang pemandangan gunung Slamet yang indah dan menawan. Bagi yang berminat, dapat membeli dan memetik langsung di lokasi. 4. Peternakan terpadu Disini,
pengunjung
dapat
melihat
dan
menyaksikan
proses
pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan dengan system terpadu. System ini membuat seluruh ternak milik masyarakat disatukan dalam sebuah lokasi. Diharapkan, hunian masyarakat dapat terjamin kebersihannya, karena terpisah dari peternakan. Selain itu, system ini juga membuat rasa gotong royong masyarakat menjadi tetap terbina 5. Bumi perkemahan Desa karangbanjar memiliki sebuah bukit yang memiliki pemandangan indah, dengan dikelilingi oleh sungai-sungai kecil yang memiliki sumber mata air di sekitarnya. Di puncak bukit terdapat sebuah gedung pertemuan yang dapat dipakai sebagai sarana berbagai keperluan, misalnya resepsi perkawinan, rapat, maupun kegiatan olah raga. Objek wisata di sekitar Desa Karangbanjar 1. Objek wisata air Bojongsari (owabong) Owabong merupakan objek wisata air yang berlokasi di Bojongsari, Kabupaten Purbalingga. Disini pengunjung dapat menikmati berbagai wahana air yang disediakan.
163
2. Kolam renang Walik Lokasi ini berada di desa Walik, kecamatan Kutasari, Kab. Purbalingga. 3. Akuarium Ikan Air Tawar Purbayasa Lokasi ini terletak di desa Purbayasa, Kec. Padamara, Kab. Purbalingga. b. Industri Rumahan Produk Olahan Apel (Bromo-Semeru) dan Gapoktan Petani Bunga Potong dan Sayur Mayur Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat yang terdapat di Kota Batu adalah industri rumahan produk olahan apel brosem (bromosemeru),.
Industri ini muncul dan berkembang dari hasil usaha
masyarakat sendiri. Industri tersebut ada yang dikenal dengan nama home industry apel brosem (bromo-semeru). Industri ini mampu menularkan apa yang sudah dikelola dengan baik kepada kelompok-kelompok lain yang ingin menerapkan praktek serupa. Untuk mendukung program ini pemerintah daerah memberikan pelatihan-pelatihan, pameran produk, dan mengupayakan kerjasama. Di samping itu terdapat contoh lain yang berhasil berupa gabungan kelompok tani (gapoktan). Di Kota Batu terdapat ±20 kelompok gapoktan, ada gapoktan bunga potong dan sayur mayur. Dalam kelompok tersebut, masyarakat mempunyai inisiatif sendiri untuk mengelola usaha tersebut dan memasarkannya. Jadi ini semua murni insiatif dan kreatifitas yang muncul dari masyarakat sendiri. Setiap hari bunga-bunga tersebut dikirim ke beberapa daerah sekitar Kota Batu misalnya Surabaya, Ponorogo, dll, sedangkan gapoktan sayur mayur mensuplai cabe merah untuk PT. Indofood. Kelompok-kelompok gapoktan ini dibantu oleh dinas pertanian melalui PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Pembentukan gapoktan ini juga dihadiri oleh Kepala Desa dan PPL. c. Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kerajinan Rencong Aceh dan Kerajinan Tas dan Dompet Khas Aceh di Kabupaten Aceh Besar Salah satu COMDEV yang muncul dari masyarakat adalah sentra rencong yang terdapat di daerah Sibreuh. Di dalam sentra tersebut
164
terdapat beberapa kelompok usaha. Kelompok usaha Kelompok Usaha Bersama (KUB) Jaya Makmur dan KUB Ingin Jaya keduanya bertempat di Desa Baet Lampuot, Kecamatan Suka makmur, Sibreuh-Kabupaten Aceh Besar. Gambar 4.1 memperlihatkan sentra-sentra pembuatan rencong Aceh tersebut. Sentra ini sebagian besar merupakan usaha turun temurun. Hasil kerajinan rencong ini sering dibawa pameran dan dianggap cukup berhasil. Meskipun demikian, kerajinan ini perlu melakukan modifikasi. Modifikasi dimaksud bagaimana agar rencong Aceh yang awalnya senjata dan susah dibawa kemana-mana, menjadi souvenir dan tidak dianggap lagi sebagai senjata. Selain rencong, di desa ini juga terdapat sentra kerajinan tas dan dompet khas aceh. Hasil kerajinan tas dan dompet khas Aceh ini juga telah sering dibawa pameran. Adapun peran pemerintah daerah di sentra-sentra kerajinan tersebut adalah memberikan berbagai fasilitasi seperti pemasaran, penguatan modal dan pembinaan. Gambar. 4.3. Kelompok Usaha Pembuatan Rencong Aceh dan Kerajinan Tas & Dompet di Sibreuh, Kabupaten Aceh Besar
165
CAPAIAN PENYELENGGARAAN
BAB
DI DAERAH
5
COMMUNITY DEVELOPMENT
A. HASIL –HASIL YANG DICAPAI MELALUI COMMUNITY DEVELOPMENT Sebagai suatu pendekatan pembangunan, community development seyogyanya memberikan hasil yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat. Kajian ini mencatat bahwa pada berbagai kasus ada hasil positif yang secara langsung dirasakan masyarakat. Di samping itu tidak saja dapat dilihat hasilhasil yang bersifat fisik, namun bisa juga dijumpai manfaat positif yang sifatnya non fisik. Bagian ini menguraikan apa saja manfaat yang dihasilkan dari pendekatan tersebut. Hasil-hasil positif yang diidentifikasi dari berbagai model yang diterapkan di daerah dipaparkan sebagai contoh. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan adanya manfaat lain yang belum terangkum dalam paparan ini. Menarik untuk dicatat bahwa dalam kasus-kasus tertentu ada saja hal-hal negatif yang justru timbul. Praktek comdev di berbagai daerah dianalisa berdasarkan kasus-kasus yang djumpai dalam kajian ini. Selain itu bab ini juga memaparkan identifikasi atas factor-faktor yang mempengaruhi hasil praktek community development di daerah. Paparan-paparan tersebut tentu dapat menjadi pelajaran tersendiri yang perlu dicatat bagi perbaikan praktek di masa yang akan datang. 1. Hasil Fisik Hasil fisik yang dimaksud dalam kajian ini adalah hasil yang tampak secara kasat mata ataupun dapat dinilai secara moneter. Dari hasil-hasil yang diidentifikasi, terdapat beragam manfaat fisik yang dirasakan berbagai sektor, seperti manfaat di sektor ekonomi, kesehatan, bahkan lingkungan. Tentu saja hal ini berkaitan dengan tujuan atau sasaran dari
166
program tersebut. Namun, dapat juga dijumpai adanya multiplier effect yang ditimbulkan suatu program. Tabel berikut merangkum hasil-hasil pelaksanaan comdev di berbagai daerah yang menjadi lokus kajian. Tabel 5.1 Contoh Hasil-Hasil fisik Community Development di daerah No 1
Lokus Provinsi Jawa Tengah Purbalingga
Banyumas 2
Provinsi Bali Kabupaten Gianyar
Kabupaten Bangli
3
Provinsi NAD Kabupaten Aceh Besar
Kota Banda Aceh
Hasil fisik Sarana dan prasarana fisik seperti jalan, jembatan, gorong-gorong, talud Perbaikan rumah warga miskin Peningkatan pendapatan asli daerah Peningkatan pendapatan masyarakat Peningkatan kelestarian lingkungan Peningkatan ketahanan pangan Penyediaan sarana dan prarasana pedesaan Peningkatan Ekonomi Masyarakat. Pembangunan fisik di Bidang Pariwisata, seperti diversifikasi objek wisata Promosi kepariwisataan Pemantapan pelaksanaan penataan ruang Terintegrasikannya perencanaan pembangunan partisipatif Tertatanya kelembagaan pemberdayaan masyarakat. Pembangunan fisik berupa Bedah Rumah Peningkatan ekonomi rakyat Peningkatan upaya pelestarian lingkungan Meningkatnya upaya pengurangan jumlah penduduk miskin. Terbangunnya sektor-sektor yang menunjang perekonomian rakyat, misalnya membangun saluran irigasi, membangun jalan-jalan pertanian dan ke areal perkebunan, kelompokkelompok tani (jamur) binaan pemerintah dan perguruan tinggi. Terbangunnya sarana-sarana untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan dan sarana ibadah Peningkatan ekonomi rakyat melalui Simpan pinjam untuk kelompok perempuan Terbangunnya sektor-sektor yang menunjang perekonomian rakyat, misalnya membangun
167
No
Lokus
Hasil fisik saluran irigasi, membangun jalan-jalan pertanian dan ke areal perkebunan serta Terbangunnya sarana-sarana untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan dan sarana ibadah Peningkatan ekonomi rakyat melalui Simpan pinjam.
4
Provinsi DIY Kabupaten Bantul
Kabupaten Sleman
5
Provinsi Kaltim Kota Bontang
Kabupaten Kutai Timur
6
Provinsi Kepri Kota Tanjung Pinang Kabupaten Bintan
7
Provinsi Jatim Kabupaten Malang Kota Batu
Peningkatan ekonomi rakyat melalui Simpan pinjam simpanan/tabungan anggota kelompok, meskipun dalam jumlah kecil; Adanya tambahan modal, perluasan pasar dan peningkatan kapasitas produksi yang mengakibatkan peningkatan pendapatan; Peningkatan ekonomi rakyat melalui koperasi Peningkatan jumlah sumber daya baik modal maupun SDM yang berkualitas Pembangunan fisik berupa bedah kampung (perbaikan rumah-rumah penduduk) dan kampung percontohan. Pembangunan Jalan Pembukaan pasar sebagai pusat perekonomian masyarakat. Terlaksananya bina lingkungan, bina manusia dan bina ekonomi (melalui dana blockgrant pada dasarnya merupakan dana stimulan, sehingga dalam pelaksanaannya sangat mengharapkan partisipasi masyarakat). Pembukaan lahan perkebunan Pembangunan agribisnis Kutai Timur Cerdas Merata Prestasi Gemilang sebagai salah satu komitmen pemerintah mendukung pengembangan SDM. Berhasilnya Program Composing dan bertambahnya produsen compos Pembangunan fisik di tingkat desa seperti pembangunan saluran air, jembatan desa, perbaikan balai desa dan sebagainya yang berasal DAK desa. Pembangunan jalan antar desa Kerjasama Pembangunan antar desa Pembangunan fasilitas di bidang pariwisata Pembangunan ekonomi rakyat
168
No
Lokus
Hasil fisik Pembangunan infrastruktur yang mendukung peningkatan ekonomi dan pelestarian lingkugan.
Secara umum terdapat berbagai capaian secara fisik yang telah dirasakan di daerah terutama di lokus daerah kajian ini. Sebagian besar dari daerah tersebut merasakan manfaat dari didirikannya beberapa fasilitas yang dapat dinikmati oleh masyarakatnya berupa sarana dan prasarana fisik seperti jalan, jembatan, gorong-gorong, talud, dan pemugaran rumah warga miskin seperti di Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Bangli dan Kabupaten Gianyar. Selain itu tersedianya jalan untuk menjangkau semua daerah di suatu wilayah pemerintahan sangat besar pengaruhnya terhadap kecepatan pendistribusian hasil pembangunan. Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang penting guna memperlancar kegiatan perekonomian selain untuk memudahkan mobilitas penduduk dari satu daerah menuju daerah lainnya. Di Jawa Timur terkait pembangunan jalan sebagai sarana umum ini dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat berikut penjelasan dari Camat Singosari- Kabupaten Malang : ”sebagaimana saat ini desa Toyomarto dari 14 desa dan 3 kelurahan se Kecamatan Singosari yang ada tahun 2009 sudah kami tetapkan sebagai juara I Lomba Desa tingkat Kecamatan Singosari. Hal ini karena masyarakatnya guyub, rukun dalam rangka diajak membangun desanya, baik dari dana ADD untuk mengerakkan partisipasi masyarakat ini sasarannya tepat. Pemeritah Desa selalu kami ajak sharing bersama-sama dengan masyarakat memberikan tanahnya, kemudian untuk pengaspalan jalan juga demikian, masyarakat dan pemerintah desa selalu memberikan bantuan”. Hasil fisik lainnya juga selalu dikoordinasikan di tingkat kecamatan, selain di internal suatu desa, pembangunan yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya mereka juga membentuk panitia dan dana yang terkumpul adalah dana sharing, dikerjakan oleh masyarakat tanpa
169
dibayar. Sedangkan di Kota Batu, penjelasan mengenai hasil fisik dari program pemberdayaan masyarakat ini yang didapat dari dana PNPM Mandiri Perkotaan seperti dijelaskan Bapermas Kota Batu sebagai berikut: “PNPM disini sudah berjalan sejak tahun 2007-2009. Untuk tahun 2009 PNPM sudah mencover 23 desa/kel dari 24 desa/kel. Walaupun ini program pusat, tapi pemkot juga menyediakan dana pendampingan. Pendampingannya untuk tahun 2009 ini 50% dari 2.450.000.000, jadi dari kota sekitar 1.250.000.000. Lalu paket, ini sudah tahun terakhir, karena sesuai dengan MoU paket P2KP, kalau paket itu semacam reward, dan sudah dilaksanakan, MoU nya mulai dari tahun 2007 sampai dengan 2009,dengan anggaran dari pusat 4,5 M dalam 3 tahap untuk tahun pertama 1 M, tahun kedua 1,5 M, dan tahun ketiga 2 M. Kebetulan minggu kemaren BPKP sudah dikontrak untuk mengaudit di lokasi PNPM dan Paket P2KP. Kalau Paket P2KP itu pembangunan fisik semua, infrastruktur. Kalau PNPM itu kan tridaya, ada bidang sosial, bidang ekonomi dan bidang fisik”. Dan untuk pelaksanaan PNPM ini dilakukan oleh konsultan, fasilitator kelurahan (faskel), di tingkat kota ada Asisten Kota (Askot), sedangkan di atasnya lagi ada koordinator kota (korkot). Bapermas ikut memfasilitasi kesulitan yang dihadapi fasilitator di tingkat kelurahan. Lebih lanjut lagi sejauh ini masalah anggaran penggunaan dana sesuai dengan audit artinya jadi anggaran itu betul-betul sudah masuk ke rekening
masyarakat
sendiri
melalui
BKM
(Badan
Keswadayaan
Masyarakat), dan Pelaksana kegiatan itu KSM. Sementara itu pelaksanaan atau praktek program comdev di Kabupaten
Bintan
pada
dasarnya
tidak
jauh
berbeda
dengan
implementasi comdev di Kota Tanjung Pinang. Bedanya adalah, pelaksanaan comdev di Kabupaten Bintan nampak lebih komplet terutama jika dilihat dari aktor-aktor yang terlibat dan program/kegiatan yang dilaksanakan. Sejumlah aktor yang terlibat antara lain Dinas Pertambangan, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana, Sekretariat daerah c.q Bagian Pemerintahan, LSM Bintan Mas, Camat dan kepala desa.
170
Di Provinsi Kalimantan Timur khususnya Kota Bontang dan kabupaten Kutai Timur yang menjadi lokus kajian ini, hasil-hasil fisik dari praktek comdev juga menunjukkan kondisi yang cukup menggembirakan meskipun belum dilaksanakan secara optimal. Beberapa perusahaan besar, seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Indominco, dan Perusahaan Perkebunan merupakan pemangku kepentingan yang turut berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat. Secara makro, kondisi masyarakat Kutim sendiri memang memerlukan pemberdayaan khususnya dari sisi ekonomi. Sebagai daerah yang memiliki banyak industri, perekonomian masyarakat bersifat subsisten yakni tergantung kepada perusahaanperusahaan besar karenanya masyarakat di sekitarnya memerlukan penguatan, contohnya Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis. yakni upaya Pemda Kutim untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat dalam hal pengelolaan agribisnis. Polanya, masyarakat di daerah perkebunan diberikan lahan seluas 5 ha dan pemkab bersama-sama dengan PT. KPC (Kaltim
Prima
Coal)
menggelontorkan
sejumlah
anggaran
untuk
mendukung kegiatan ini. PT Badak NGL sebagai salah satu perusahaan besar di kota tesebut melalui comdev master plan-nya, telah memberikan
sumbangan
pemikiran kepada pemerintah tentang bidang-bidang yang telah mulai dikerjakan secara intensif. Selain peningkatan kapasitas nelayan, juga disediakan oleh perusahaan, 2 unit jemuran rumput laut di wilayah Selangan dan Tihi-Tihi. Infrastruktur penunjang ini merupakan proyek hasil masukan dari masyarakat dan pemerintah kota, yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat. Berangkat dari keyakinan
bahwa pendidikan adalah investasi
jangka panjang bagi sumber daya manusia di Bontang, PT Badak tidak ragu-ragu untuk melaksanakan program ini dengan sepenuh hati. Meskipun pemerintah kota juga telah mengalihkan fokus pembangunan ke bidang pendidikan sebagai bidang utama dalam namun PT Badak masih menjadikan bidang pendidikan sebagai bidang utama dalam
171
program
pengembangan
masyarakat
(comdev).
Dengan
semakin
sinergisnya program bantuan di bidang pendidikan dengan program pemerintah kota, maka diharapkan akan dicapai hasil optimal. Kepedulian PT Badak NGL terhadap pendidikan telah diakui oleh masyarakat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan diterimanya Awang Farouk Education Award. 2. Hasil Non Fisik Salah satu hal yang menarik dari pelaksanaan comdev di daerah adalah ditemukannya berbagai hasil yang sifatnya non fisik. Hasil-hasil tersebut tidak terukur dengan nilai materi, namun merupakan manfaat yang cukup signifikan bagi peningkatan kapasitas masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya pergeseran metode yang lebih meningkatnya keterlibatan dan lebih menyentuh dimensi yang lebih luas. Bagaimana hasil-hasil dari praktek comdev di daerah tersebut dituangkan dalam tabel 5.2 berikut. Tabel. 5.2. Hasil Pelaksanaan COMDEV yang bersifat Non Fisik Lokus Kab.Purbalingga
Kab.Banyumas Kab.Gianyar/Bangli Kota Batu
Hasil Pelaksanaan COMDEV Meningkatkan partisipasi masyarakat Pemanfaatan material lokal Meningkatkan kesejahteraan petani Membuka lapangan kerja bagi masyarakat (sementara) Mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berprilaku hidup sehat Menumbuhkan kembali semangat gotong royong dalam masyarakat Peningkatan kualitas kesehatan Terciptalah sebuah relasi yang sangat intens dan alamiah, bagaimana lintas agama, lintas kultur dapat berjalan seiring di purbalingga Peningkatan partisipasi masyarakat Meningkatkan kemampuan manajerial masyarakat Meningkatnya upaya ketahanan pangan Meningkatnya upaya koordinasi Meningkatnya daya kritis masyarakat
172
Lokus
Kab. Malang
Kab. Aceh Besar
Kota Banda Aceh
Kab. Bantul
Hasil Pelaksanaan COMDEV Meningkatnya kesadaran mereka terhadap lingkungan. Peningkatan keswadayaan masyarakat dalan membangun lingkungannya. Meningkatkan kapasitas masyarakat, agar masyarakat mampu mandiri dalam kaitannya mampu berproduksi. Berproduksi untuk lebih baik Dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga Dapat meningkatkan pendapatan pemerintahan gampong meningkatkan pendapatan masyarakat gampong Terjadi peningkatan jumlah tingkat kelulusan yang signifikan pada siswa Terjadi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dasar tentang penggunaan internet. Terjadi peningkatan motivasi belajar Al Quran bagi anak-anak dan remaja Terjadi peningkatan perpustakaan dalam membangun motivasi baca siswa Terbinanya masyarakat untuk mengetahui permasalahan kesehatan secara umum di lingkugannya Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengorganisasian baik kelompok maupun kegiatan; Meningkatkan kapasitas usaha ekonomi mikro dan sumberdaya manusia dan berimplikasi positif bagi masyarakat setempat; Terbinanya jejaring kerja antar kelompok masyarakat, pemerintah maupun pelaku usaha. Adanya kesadaran dan semangat berorganisasi dalam kelompok, sebagai wadah mengembangkan usaha dan sekaligus wadah partisipasi masyarakat; Adanya pengetahuan tentang bagaimana membangun kapasitas diri sebagai sumberdaya manusia yang memiliki usaha, misalnya ada pengetahuan tentang manajemen usaha, motivasi berusaha, sikap mental wirausaha, kerjasama kelompok, dll; Adanya kemampuan mengelola asset kelompok, berupa peralatan dan hasil operasional peralatan tersebut; Tumbuhnya kesadaran kolektif untuk mengembangkan sikap, mengelola usaha dengan sungguh-sungguh untuk lebih maju; Munculnya kebutuhan saling tukar informasi saling belajar, meningkatkan pengetahuan dan wawasan
173
Lokus
Hasil Pelaksanaan COMDEV
Kab. Sleman
Kota Bontang
Kab. Kutai Timur Kota Tanjung Pinang
baik dalam persoalan usaha atau persoalan soaial lainnya; Terbangunnya persahabatan dan kerjasama antar indivudu dan antar-kelompok masyarakat dalam satu desa, kecamatan dalam suatu wilayah kabupaten/kota ; Adanya keberanian menyampaikan ide-ide, dan pikiran-pikiran dengan pertanyaan-pertanyaan; Menumbuhkan rasa tanggungjawab sosial sesama anggota kelompok; Memperluas hubungan pergaulan dan kesempatankesempatan lainnya Meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kwalitas hidup Meningkatkan ekonomi masyarakat dan kemandirian ekonomi Peningkatan produktifitas dan penguasaan pasar serta mengembangkan kemitraan Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui PRA (Parcipatory Rural Appraisal yang dilakukan oleh PT. Badak LNG), yakni sebuah pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam menentukan masalah cara memecahkan masalah dan menentukan kebutuhan mereka sendiri dengan maksud untuk menggali bersama, mengembangkan alternatif-alternatif bersama, menyepakati bersama, mencari pemecahan masalah bersama. Membina masyarakat untuk mencari alternative sumber-sumber ekonomi dan tidak bergantung pada sumber daya alam yang tak terbarukan. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan; Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel; Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor); Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok perduli lainnya untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan;
174
Lokus
Kab. Bintan
Di
Hasil Pelaksanaan COMDEV Meningkatnya keberadaan dan kemandirian masyarakat serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok perduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya; Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal; Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Meningkatnya koordinasi dunia usaha dengan pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat melalui DKTM (dana kepedulian terhadap masyarakat)
Kabupaten
Banyumas,
adanya
peningkatan
partisipasi
masyarakat merupakan salah satu hasil positif yang dapat diapresiasi. Dalam FGD diungkap bahwa : ‖ ...dampaknya yang pertama tingkat partisipasi masyarakat tinggi, terus keberanian masyarakat untuk mengeluarkan pendapat dengan ini jadi lebih tinggi lagi, karena sebelum hadir ini masyarakat pasif, tapi dengan ini ternyata mereka memiliki pemikiran yang bagus kadang cuma cara penyampaiannya yang belum‖. Pernyataan
tersebut
mengindikasikan
bahwa
peningkatan
partisipasi tersebut diiringi dengan meningkatnya kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi. Sebagaimana diutarakan di atas, masyarakat bisa lebih aktif dan lebih mampu menyampaikan pemikirannya. Menarik bahwa dalam kasus tertentu di Kabupaten Banyumas, kegiatan comdev juga dapat meningkatkan kemampuan manajerial masyarakat. Sebagaimana diungkap melalui tanya jawab dengan masyarakat pengelola kegiatan PNPM, dinyatakan bahwa : ”.....sekarang banyak yang pertama banyak mengeluh membuat RAB sulit, tapi sekarang sudah merasakan, ternyata kita bisa merencanakan sendiri, melakukan sendiri, membuat sendiri, dan akhirnya bisa ngontrol”.
175
Ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa program comdev juga mampu meningkatkan kemampuan manajerial masyarakat seperti dalam membuat perencanaan, implementasinya, sampai melakukan kontrol. Praktek comdev di Kabupaten Purbalingga, secara non fisik, telah menghasilkan beberapa hal antara lain peningkatan kualitas kesehatan. Keberhasilan program desa sehat mandiri dapat dilihat dari Capaian pembangunan Bidang Kesehatan tahun 2006 dibandingkan dengan target RPJM Nasional 2009. Program yang sudah ada juga merupakan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dengan pemanfaatan material lokal, meningkatkan kesejahteraan petani, membuka lapangan kerja bagi masyarakat
(sementara).
Meningkatkan
partisipasi
masyarakat,
mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berprilaku hidup sehat, menumbuhkan kembali semangat gotong royong dalam masyarakat sebagai jati diri bangsa. Adapun di Provinsi Jawa Timur terutama di Kabupaten Malang dan Kota Batu hasil yang dicapai antara lain adanya peningkatan keswadayaan masyarakat dalan membangun lingkungannya. Di samping itu dalam berbagai
program
juga
terlihat
kemandirian
masyarakat
dalam
berproduksi. Tanggung jawab
untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di daerah tidak hanya tanggungjawab dari pemerintah, hal ini juga yang membuat lembaga swadaya masyarakat untuk ikut serta dalam mengupayakan
pembangunan tidak hanya secara fisik tapi juga
membangun sumber daya manusia daerah untuk dapat bertahan tuntutan dalam perubahan. Berikut penjelasan dari LSM Paramitra : ―Kalau selama ini justru model social itu, artinya daya kritis masyarakat, terus kalau dari sisi kehutanan adalah kesadaran mereka terhadap lingkungan sangat tinggi, artinya mereka mau membibit sendiri, kalau selama ini kan minta bantuan bibit, lalu kita buatkan pembibitan, pada tahap berikutnya kita hanya Bantu benih, lalu mereka menebar sendiri akhirnya jadi ditanam di lahan-lahan kritis atau di lahan mereka sendiri, setelah itu kami meminta mereka untuk membibit sendiri. Dengan proses itu akhirnya muncul kesadaran, jadi dalam kegiata itu tidak bisa 1-2 tahun, biasanya kita
176
mendampingi kadang-kadang sampai 5 tahun, setelah itu baru lepas kita pindah ke desa lain”. Pelaksanaan comdev tidak hanya terfokus pada pemberdayaan ekonomi dan fisik semata, tetapi juga meliputi pemberdayaan non fisik, dalam hal ini antara lain pembangunan di sektor pendidikan. Berbeda pula pengalaman di lingkungan Pemkab Bintan, pembangunan masyarakat sektor pendidikan selain dilakukan oleh dinas pendidikan, juga dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha yaitu PT. Bintan Resort Cakrawala (BRC). Hasilnya antara lain selaras dengan tujuan comdev yang dicanangkan PT. BRC yaitu: (a) Memberikan dampak positif kepada masyarakat dalam mencapai tujuan bisnis (Meningkatkan Jumlah Tenaga Kerja Lokal di Bintan Resorts), (b) Mengurangi Angka Pengangguran di Desa Binaan, dan (c) Menciptakan Alternative Mata Pencaharian. Tujuan pertama tersebut sangat relevan karena pada awal berdirinya PT BRC sangat kekurangan tenaga kerja andal di bidang kepariwisataan, sehingga memerlukan tambahan pegawai melalui pemberian beasiswa. Bahkan PT. BRC terpaksa ‘harus import‘ tenaga kerja dari Bali. Tiga pondasi dasar PT. BRC adalah sukses di aspek sosial, aspek lingkungan hidup dan aspek keuangan. B. CATATAN PEMBELAJARAN DARI PRAKTEK COMMUNITY DEVELOPMENT Seringkali, dalam kasus-kasus tertentu ada saja hal-hal negatif yang tidak diharapkan. Tidak tertutup kemungkinan comdev yang dilakukan tidak mencapai tujuannya. Dari berbagai kasus yang dipotret, hal ini akan dicatat sebagai bahan pembelajaran untuk menyempurnakan praktek ke dapan. Salah satu pelajaran dapat diambil dari praktek comdev oleh PT LCI (PT. Semen Andalas Indonesia) yang selama kurang lebih 20 tahun telah berjalan. Di samping terjadi perubahan menuju peningkatan ekonomi yang lebih baik, ternyata terdapat pula ketergantungan yang signifikan dari stakeholder PT. LCI khususnya masyarakat. Pengembangan masyarakat juga belum dapat membuat stakeholdernya lebih dekat dan mendukung keberlanjutan
177
perusahaan tersebut. Hal ini diantaranya disebabkan karena program-program yang dilaksanakan meskipun bersifat bottom up, namun tidak mempunyai konsep berkelanjutan. Karakter masyarakat yang unik, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat sekitar yang masih rendah serta konflik yang terjadi di Aceh bisa menyebabkan program-program yang dilaksanakan tidak berjalan sesuai rencana. Sementara dari pengalaman yang dilakukan oleh LSM Pramitra Jawa Timur, dijelaskan bahwa di masyarakat, banyak aktor-aktor lain yang juga mempunyai program pemberdayaan masyarakat. Ada lembaga asing yang tidak ikut mengucurkan dana tapi membuat sebuah program. Sementara pihak Paramitra telah memfasilitasi masyarakat itu selama hampir 3 (tiga) tahun, lembaga tersebut datang dengan bantuan hibah dan nilainya cukup besar. Hal ini selanjutnya bisa merusak tatanan yang sudah dibangun. Ketika dana hibah itu datang, akhirnya konstruksi yang telah terbangun hampir 3 tahun itu hilang. Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya sinergitas antar lembaga sangat kontraproduktif terhadap hasil comdev. Di Bali, melalui program-program pemberdayaan masyarakat yang digulirkan, harapannya adalah menurunnya angka kemiskinan di daerah tersebut. Pemerintah Provinsi Bali menargetkan penurunan Rumah Tangga Miskin (RTM) 10 ribu tiap tahun. Kenyataannya kalau di daerah lain jumlah kemiskinan menurun, di Kabupaten Bangli justru jumlah kemiskinan malah meningkat. Hal ini diakui Bappeda Kabupaten Bangli, apalagi pada saat-saat menjelang hari raya, banyak pendatang dari Jawa dan Lombok yang menambah jumlah rumah tangga miskin baru. Selain itu keberadaan BLT juga memicu bertambahnya jumlah kemiskinan di Kabupaten Bangli. Kemudian dari kapasitas fiskal, jika angka kemiskinan makin tinggi, maka makin besar dana perimbangannya. Pengalaman di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan karakter Aceh yang sangat khas sebagai daerah yang pernah mengalami konflik dan bencana yang sangat hebat. Sebagai bekas daerah konflik, masyarakat seringkali kurang percaya dan masih curiga. Sementara pada masa
178
rehabilitasi/rekonstruksi Aceh banyak dilakukan pemberdayaan masyarakat lewat comdev. Paska bencana tsunami 2004, dijumpai banyak sekali bantuan yang pada umumnya berbentuk hibah. Para narasumber merespon hal ini membuat masyarakat terlena dan terbiasa menerima bantuan. Hal ini juga dinilai dapat berbahaya. Terlebih dengan adanya segelintir elit di desa yang memanfaatkan momen tersebut15. Terkait dengan keberadaan program dari NGO, Kepala BPM Aceh Besar menilai bahwa hanya segelintir NGO yang bergerak dalam pemberdayaan ekonomi. Selebihnya banyak yang bergerak dalam bidang fisik seperti membuat rumah, membuat sekolah,dan sebagainya. Namun ada kekurangan yang bisa dicatat diantaranya seperti tidak adanya kontinuitas. Setelah ditinggalkan NGO tersebut tidak ada lagi yang membiayai sarana fisik tersebut. Sebagai contoh pada awalnya anggarannya besar, namun setelah distop tidak ada lagi yang membiayai sementara tidak dapat dibiayai dari APBD, sehingga dijumpai pemutusan ini yang agak drastis. Hal lain yang dicatat
adalah
adanya
‘kecemburuan
sosial‘
dalam
Bank
Dunia
memperkerjakan NGO, yang biasa disebut dengan fasilitator/fasilitator teknik/fasilitator pemberdayaan. Dirasakan bahwa gaji yang diberikan pada mereka luar biasa tinggi dibanding pengelola
lokal (misalnya kasi PMD
kecamatan). Sementara jika ada yang salah, maka yang dipersalahkan adalah Kasi PMD tersebut. C. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN PROGRAM COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH Praktek comdev di berbagai daerah ternyata tidak luput dari berbagai permasalahan. Dalam bagian ini akan dipaparkan problematika yang ditemui dalam praktek comdev dari berbagai kasus di daerah. Pemaparan ini diharapkan bisa menjadi perhatian semua stakeholder yang terlibat di dalamnya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki atau
15
Diskusi dengan Kepala BPM Aceh besar
179
membuat model program comdev baru yang lebih efektif di masa yang akan datang. 1. Kebijakan Permasalahan pertama dari aspek kebijakan. Aturan kebijakan yang kurang jelas dan tidak komprehensif dirasakan menjadi hambatan dalam implementasi program comdev di daerah. Kebijakan yang belum baku juga dianggap menjadi penghalang dalam keberhasilan suatu program comdev. Di Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah) misalnya, menurut penjelasan narasumber, dalam program PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten ini belum ada kebijakan yang memperbolehkan untuk membangun
sarana
produksi,
akibatnya
masyarakat
cendrung
membangun prasarana tetapi prasarana ekonomi menjadi sangat kurang. Masyarakat kurang memunculkan kegiatan yang bersifat mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Masyarakat belum berani membangun fasilitas produksi karena belum ada aturan yang jelas sehingga khawatir tidak sesuai dengan peraturan. Lalu dalam PNPM hanya diperbolehkan simpan pinjam dan pelatihan. Pelatihan ditujukan untuk usaha ekonomi bisnis, namun pelatihan itu juga sangat terbatas. Selanjutnya adanya SK bersama antara BI dengan Menteri Keuangan tentang semua lembaga keuangan harus diarahkan menjadi BPR, Koperasi, atau BPRDes. Tidak ada aturan yang mengatur tentang UPK sementara UPK tidak bisa diarahkan ke tiga hal tersebut. Hal ini cukup membingungkan dalam bagi para pengelola kegiatan. 2. Kelembagaan Dari sisi kelembagaan, persoalan muncul dari sisi pengelolan berbagai program comdev yang ada di daerah. Beragam program tersebut tidak terkelola dengan baik salah satunya karena kurang jelasnya kelembagaan mengelola comdev. Kelembagaan yang bertanggung jawab atau menjalankan fungsi pengembangan masyarakat Badan atau Dinas Pemberdayaan Masyarakat yang terdapat/menjadi salah satu bagian yang
180
selalu (diyakini) ada dalam struktur pemerintahan daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Namun demikian, mayoritas atau setidaknya dari temuan data lapangan yang diperoleh oleh tim PKKOD selama berada lokasi kajian didapati kesimpulan bahwa tidak satupun diantaranya yang dinilai sudah menjalankan fungsinya secara optimal. Bahkan bentuk-bentuk inovasi yang diharapkan muncul sejalan dengan peluang yang ada di era desentralisasi dan otonomi daerah belum ditemukan. Memang terdapat pula diantara dinas atau badan yang menangani comdev, namun praktek kelembagaan dan pengelolaan program CD belum seprofessional yang terdapat di beberapa negara lain. Seperti Jepang yang sudah mengembangkan praktek program comdev berbasis teknologi informasi dengan menempatkan satu lembaga khusus yang berada dibawah kendali Badan Pemberdayaan Masyarakat baik di level pemerintah nasional maupun di pemerintah lokal/daerah seperti badan/dinas yang sama di Indonesia. Adalah wajar bila aspek kelembagaan yang mengemban fungsi dan tugas pengembangan masyarakat tersebar di berbagai lembaga atau dinas di daerah. Dan kosekuensinya disharmoni program masih banyak ditemui di daerah. Akibatnya tidak lain adanya tumpang tindih program, ketidakefektifan dan ketidak-efisienan dan ketidaktepatan sasaran kelompok masyarakat. Pemborosan biaya pun nampak tidak terhindarkan sehingga terkadang menimbulkan kecemburuan sosial. 3. Manejemen Permasalahan dalam hal manajemen dapat dilihat dari berbagai aspek manajemen itu sendiri. Banyak kendala dan permasalahan yang ditemui mulai dari perencanaan sampai pada tahapan monitoring. Perencanaan Pada tahap perencanaan sudah banyak permasalahan yang ditemui para pelaku program comdev di daerah. Mulai dari proses
181
perencanaan yang dirasakan terlalu panjang, bertele-tele, sampai masalah kurang pahamnya masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhannya. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), proses perencanaannya dimulai dari musyawarah dusun, musyawarah desa, musyawarah kecamatan, hingga musyawarah kabupaten. Menurut narasumber, proses ini dirasakan terlalu panjang dan tidak imbang dengan pelaksanaannya. Hal ini juga diatur dalam PTO (petunjuk teknis operasional) PNPM Mandiri, sehingga sebagai pelaku PNPM Mandiri Perdesaan mereka harus tetap mengikuti aturan tersebut. Hal ini juga dirasakan di Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang (Kepulauan Riau). Mereka merasa bahwa proses perencanaan PNPM Mandiri di kabupaten ini terlalu bertele-tele sehingga mengganggu siklus secara keseluruhan. Berbeda dengan beberapa daerah sebelumnya, di Kabupaten Bantul (DIY), waktu dalam proses awal dirasakan sangat terbatas. Ini membuktikan bahwa setiap daerah mempunyai kebutuhan yang berbeda satu dengan lainnya. Di Aceh, kesulitan yang ditemui dalam proses perencanaan berkaitan dengan kurang pahamnya masyarakat mengenai apa yang harus mereka usulkan ketika melakukan perencanaan. Mereka belum bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan mereka. Hal ini terjadi karena kurangnya pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat. Permasalahan seperti ini juga dihadapi di Kabupaten Malang dan Kota Batu (Jatim). Menurut penjelasan narasumber di kedua daerah tersebut usulan yang muncul dari masyarakat seringkali belum tentu merupakan kebutuhan masyarakat namun lebih kepada keinginan mereka. Sehingga pada akhirnya usulan tersebut harus diukur lagi oleh SKPD terkait. Dalam praktek PNPM Mandiri di Kabupaten Bontang (Kalimantan Timur), proses perencanaannya dirasakan belum optimal. Hal ini
182
sebenarnya juga dihadapi oleh seluruh daerah di Indonesia, namun kalau dibiarkan begitu saja hal ini akan mempengaruhi pencapaian PNPM Mandiri itu sendiri. Pelaksanaan Dalam proses pelaksanaan atau operasional suatu program comdev juga ditemukan banyak sekali permasalahan. Hal ini sangat terkait dengan bentuk program yang diimplementasikan. Berbeda program, berbeda pula permasalahan yang akan timbul dalam pelaksanaannya. Di samping itu juga ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan berkaitan dengan birokrasi. Birokrasi yang berbelit-belit dianggap menghambat proses pelaksanaan suatu program di masyarakat. Kelambanan dan kekakuan dalam birokrasi menjadi penghambat dalam mencapai keberhasilan suatu program comdev. Misalnya dalam pengelolaan kredit tanpa agunan di Kabupaten Gianyar (Bali) yang memiliki
sistem
yang
terlalu
berbelit-belit
sehingga
menjadi
penghalang dalam pelaksanaan program tersebut. Lalu di Kabupaten Bantul (Jawa Tengah), mereka telah membina ibu-ibu dalam memproduksi makanan kecil, dan itu telah berhasil, tapi dalam hal pengeluaran izin produk dari pihak pemerintah terkesan sangat lamban, masih ada kesan dari pihak pemerintah daerah selalu menghambat dengan berbagai dalih. Kesulitan dalam birokrasi ini juga dirasakan di Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah). Pelaku yang mengelola program comdev itu bekerja sangat normatif, sehingga tidak bisa melampaui kewenangannya. Di Banyumas, dalam pelaksanaan program dana bergulir ditemukan permasalahan macetnya angsuran pinjaman. Hal ini mungkin juga banyak ditemui di daerah lain yang mempunyai program dana bergulir. Misalnya di Kota Tanjung Pinang (Kepri), di sini juga ada program dana bergulir yang dinaungi program PNPM Mandiri. Dalam pelaksanaannya ditemui permasalahan bahwa jumlah dana bergulir masih belum didistribusikan secara adil dan transparan.
183
Selanjutnya berkaitan dengan kepedulian masyarakat. Di Aceh misalnya dirasakan sangat kurangnya partisipasi masyarakat dan tidak adanya rasa memiliki. Ini memang sangat jelas terlihat di Banda Aceh khususnya. Selama ini banyak sekali pembangunan setelah tsunami dari bantuan donor dari berbagai negara, namun begitu dibangun rusak kembali karena tidak ada rasa memiliki, tidak ada yang merawat atau menjaga. Hal ini bisa dikarenakan masyarakat tidak ada ilmu menjaganya dan tidak ada pelatihan untuk itu. Disamping itu hal ini diduga juga terjadi karena dipengaruhi mental masyarakat Aceh pasca tsunami yang sangat dimanjakan dengan begitu banyak program bantuan donor yang datang. Selain itu faktor jarak desa dengan perbankan yang jauh juga dianggap membuat desa di Aceh menjadi sulit berkembang. Permasalahan operasional ini sifatnya sangat teknis tergantung bentuk programnya. Dalam program budidaya jamur merang yang dikembangkan Universitas Syiah Kuala Aceh, ditemukan beberapa kendala. Misalnya kendala tidak adanya jerami, namun kalau terlalu banyak jerami masyarakat tidak memiliki gudang. Selain itu, saat ini dirasakan jumlah kumbung yang ada terbatas dan terlalu banyak orang yang memanfaatkannya. Persoalan lain yang dihadapi terkait dengan kontinuitas program. Saat ini belum teruji benar apakah setelah ditinggal fasilitator kegiatan ini akan dapat terus berjalan. Selain itu, dalam program pengabdiannya yang lain, LPM Universitas Syiah Kuala Banda Aceh juga menemui kendala lain yang menyangkut penerimaan masyarakat. Contohnya adalah pada program tanam SRI (Sistem of Risk Intensification) yang dilaksanakan di desa Cutkaring kecamatan Blang Bintang, banyak masyarakat yang tidak mau menerima program tersebut. Dari sekian hektar yang diprogramkan pada tahun pertama, hanya tinggal setengah hektar masyarakat yang konkrit menjalankan program itu. Namun setelah masyarakat melihat bahwa hasil yang diperoleh dari program tersebut lebih baik daripada
184
sebelumnya,
masyarakat
bisa
menerima.
Jadi
masyarakat
memerlukan contoh konkrit bahwa apa yang dikerjakan akan memberikan hasil yang lebih baik. Kendala
penerimaan
masyarakat
ini
juga
ditemukan
dalam
implementasi program composing di Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau). Pada awalnya, masyarakat kurang yakin terhadap keberhasilan program composing karena situasi dan kondisi tanah yang tidak memungkinkan. Namun pada akhirnya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Hal ini membuktikan bahwa ternyata bukan merupakan perkara mudah untuk meyakinkan masyarakat mengenai suatu program pemerintah daerah, namun dengan adanya keseriusan pemda dan adanya persuasi yang terus-menerus dilakukan, maka masyarakat akhirnya bersedia mendukung program composing tersebut. Kendala serupa juga dihadapi pemerintah daerah lainnya ketika menginisiasi suatu program baru di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, apa yang dialami Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah)
ketika
menginisiasi
dan
memperkenalkan
program
pemugaran rumah keluarga miskin. Saat itu, masyarakat Purbalingga menganggap program tersebut hanya menghamburkan uang APBD, namun pada akhirnya masyarakat memberi dukungan penuh karena terbukti program tersebut sangat membantu kehidupan masyarakat miskin, sekaligus menumbuhkan semangat gotong royong di lingkungan warga. Finansial Permasalahan finansial merupakan permasalahan klasik yang selalu menjadi persoalan dalam setiap program di berbagai daerah. Faktor ketersediaan dana ini mungkin bukan yang paling utama dalam implementasi suatu program comdev, namun tanpa sokongan dana yang memadai maka sangat tidak mungkin suatu program akan berhasil.
185
Beberapa daerah merasa terhalang dalam mengimplementasikan suatu program comdev karena kurangnya dana yang mereka miliki. Mereka beralasan PAD mereka terlalu kecil dan sangat terbatas. Hal ini diutarakan oleh beberapa narasumber dari Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), Kabupaten Bangli (Bali), Kabupaten Bantul (DIY), Kota Batu (Jawa Timur), Aceh, Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang (Kepri). Mereka mempunyai banyak keinginan untuk menjalankan berbagai program dan menjangkau semua kalangan masyarakat, tapi ternyata ada masalah keterbatasan dana. Selain pemerintah daerah, universitas dalam menjalankan fungsi pengabdiannya kepada masyarakat juga sering menemui kendala dalam pembiayaan program. Misalnya di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Universitas biasanya memiliki banyak SDM yang dapat diberdayakan dalam suatu program comdev, namun factor dana masih menjadi penghalangnya. Sumberdaya Manusia (SDM) Kualitas dan kuantitas SDM yang terlibat dalam suatu program juga sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program. Tanpa adanya dukungan SDM yang memadai maka mustahil suatu program dapat berjalan secara efektif. Dalam kajian ini kami menemukan beberapa permasalahan SDM yang ditemui di berbagai daerah terkait dengan program community development. Di Banyumas dirasakan kendala terkait dengan beragamnya tingkat pendidikan masyarakatnya yang mempengaruhi tingkat
pemahaman
dan
penerimaan
masyarakat
dalam
mempraktekkan program comdev. Hal ini juga ditemui di Kota Tanjung Pinang, dimana minim sekali pemahaman tentang comdev sebagai konsep pembangunan (bukan hanya pemberdayaan). Narasumber di Kota Batu (Jawa Timur) juga mengeluhkan kendala rendahnya tingkat pendidikan masyarakatnya. Ketika mereka punya program yang ideal,
186
birokrat yang profesional, tapi ternyata pendidikan masyarakatnya masih rendah, akhirnya semuanya jadi tidak imbang dan tidak efektif. Dalam program budidaya jamur merang oleh Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, ditemui kendala kurangnya keterampilan masyarakat, misalnya bagaimana cara memanen agar tidak merusak jamur atau bagaimana
menghasilkan
bibit
jamur
yang
baik.
Kurangnya
kemampuan masyarakat ini menghambat pencapaian keberhasilan program budidaya jamur merang itu sendiri. Di Bangli, menurut LSM WI MRASA karena kurangnya kualitas SDM yang ada di daerah tersebut terjadi kesalahan mengelola program yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakatnya. Sehingga program yang ada tidak sinkron dengan apa yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya. Selanjutnya dalam pelaksanaan program PNPM-MP Kutai Timur ditemukan beberapa permasalahan yaitu : (1) Kondisi FK/FT belum lengkap di 13 kecamatan dan bahkan di 1 kecamatan yaitu Kecamatan Sandaran tidak ada 1 FK/FT pun karena satu FK yang ada sedang cuti hamil, (2) Kemampuan FK/FT yang masih lemah dalam: pendampingan TPK dalam
penyusunan
LPD,
fasilitasi
pelatihan
masyarakat,
pengawasan kegiatan sarpras di lapangan maupun pendampingan MDST serta laporan akhir, (3) Pemahaman FK/FT terhadap PTO masih kurang memadai. Koordinasi Koordinasi dan sinergitas antara masing-masing stakeholder dianggap akan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program community development. Namun pada kenyataannya koordinasi yang terjadi masih sangat kurang. Ego sektoral masih mewarnai pengelolaan program comdev di berbagai daerah. Hal ini secara tidak langsung menghambat pencapaian tujuan program itu sendiri . Hal ini terjadi hampIr di semua daerah. Misalnya dalam implementasi KKN Posdaya
187
oleh Universitas Jenderal Soedirman (Purwokerto), Dinas kesehatan menganggap bahwa Posyandu adalah ‘wilayah kerja‘ mereka sehingga terkesan tidak ikhlas ketika Posyandu akan dimekarkan fungsinya menjadi Posdaya. Begitu juga di daerah lain seperti Purbalingga, Banyumas, Gianyar, Bantul, Aceh, Bintan, TanjungPinang, Kutai Timur. Program community development masing-masing stakeholder terkesan berjalan sendirisendiri, tidak bersifat holistik. Kesadaran untuk berkoordinasi itu masih
sangat kurang. Tingginya
ego
sektoral ini merugikan
masyarakat. Mungkin kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi, karena mempertahankan ego sektoral tadi SKPD malah memberikan program yang sebenarnya tidak diharapkan masyarakat. Selain itu juga sering ditemukan adanya tumpang tindih program yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder misalnya antara Pemerintah dan Swasta. Jadi tidak ada sinergitas antara masing-masing stakeholder dalam mengelola program sehingga tidak tercapai program comdev yang efektif dan efisien. Evaluasi/ monitoring Berdasarkan hasil tinjauan di lapangan, tidak banyak daerah yang telah melakukan evaluasi/ monitoring program comdev yang telah mereka laksanakan. Misalnya di Tanjung Pinang , di mana belum ada monitoring/ evaluasi yang dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Lalu di Bantul, ditemui permasalahan malasnya masyarakat dalam membuat laporan. Setelah menerima dana masyarakat jadi enggan untuk membuat laporan pelaksanaannya. Hal ini banyak ditemui dalam program PNPM Mandiri. Sementara di Kutai Timur, dalam forum MSH-CSR (Multi Stake Holder- CSR) ditemukan bahwa evaluasi keberhasilan pelaksanaan CSR dilakukan sepihak oleh korporasi, padahal itu semua adalah hasil kerjasama antara beberapa korporasi yang terlibat.
188
4. Permasalahan lain -
Usulan/proposal masyarakat yang tidak ditindaklanjuti tanpa ada penjelasan (MSH-CSR KUTIM). apakah karena tidak memenuhi syarat administrasi atau proyeknya tidak layak/ memberikan manfaat
-
Saling lempar tanggung jawab antar pemerintah, korporasi dan masyarakat, dan lainnya (MSH-CSR KUTIM )
-
Tidak adanya kontiniuitas program membuat kesuksesan suatu program tidak dapat dipertahankan (purbalingga). Banyak pula dijumpai belum terciptanya kesinambungan program
-
Di Bantul (DIY) Komitmen para birokratnya sebagai penggerak dalam melayani masyarakat dirasakan masih setengah-setengah dan terkesan mereka hanya sekedar menjalankan tugas saja.
-
Kendalanya lain
yang terkadang dijumpai adalah sulitnya untuk
merubah sikap masyarakat -
Belum
adanya
ukuran
keberhasilan
pelaksanaan
program
pemberdayaan masyarakat cukup menyulitkan dalam menilai keberhasilan program. D. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM KEBERHASILAN PROGRAM COMMUNITY DEVELOPMENT DI DAERAH Adanya
variasi
tingkat
keberhasilan
program
comdev
dapat
mengindikasikan adanya faktor-faktor yang dapat mendukung atau justru mengurangi tingkat keberhasilan program comdev yang diterapkan. Bagian ini mengeksplorasi argument mengenai faktor-faktor tersebut. Meski sifatnya bisa sangat kasuistis, namun faktor-faktor tersebut tentunya perlu menjadi perhatian bagi pelaku program comdev dalam rangka mendisain strategi pengembangan comdev ke depan. 1. Kebijakan Ketidakjelasan kebijakan seringkali dituding menjadi faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan program comdev. Faktanya, terdapat kebijakan lain dari pemerintah yang justru menjadi ganjalan dalam praktek
189
comdev di lapangan. Kebijakan yang tidak jelas dan kurang komprehensif oleh pemerintah daerah juga dinilai perlu diperbaiki untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan. Sementara adanya dukungan kebijakan yang sesuai, akan memudahkan praktek di lapangan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari inisiatif yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat/PHBM (yang disempurnakan menjadi PHBM Plus). Adanya kebijakan yang komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, serta pembiayaannya, dapat memayungi program. Hal ini memberikan kesamaan pandangan dan arah pelaksanaan program. Selanjutnya adanya
SK
Gubernur
yang
menerjemahkan
memudahkan diterimanya inisiatif Dukungan lain seperti pembentukan
kegiatan
tersebut,
PHBM di level kabupaten/kota. forum komunikasi PHBM oleh
pemerintah Kabupaten Banyumas dapat mendukung proses kolaborasi dalam kegiatan comdev yang dilakukan. Selain itu kebijakan lain yang dinilai membantu dalam pelaksanaan dilapangan adalah adanya pedoman pengelolaan dan monitoring/evaluasi berikut adanya reward atas kinerja yang ditunjukkan. Hal ini bisa memotivasi para pegiat yang terlibat di dalamnya. 2. Kerjasama dan Sinergitas antar Stakeholder Kerjasama dan sinergitas antara masing-masing SKPD sangat diperlukan untuk keberhasilah program comdev. Hal ini antara lain disampaikan oleh narasumber di Purbalingga terkait dengan praktek comdev di Purbalingga. Fakta yang terjadi di Kabupaten Purbalingga, selama ini masing-masing sektor (SKPD) punya program sendiri dan melaksanakannya sendiri-sendiri. Kondisi tersebut dirasakan kurang positif bagi tercapainya tujuan program yang dilakukan. Program dari berbagai SKPD yang terkesan berjalan sendiri-sendiri tentu akan menjadi lebih efektif jika dijadikan program bersama yang bersifat lebih holistik.
190
Hal senada dijumpai di Kota Tanjungpinang, karena kurangnya sinergitas maka antar kegiatan baik yg itu berasal dari pemerintah pusat, dari pihak swasta, apalagi dari pihak swasta koordinasinya hampir tidak berjalan, bahkan ada beberapa yang saling tumpang tindih. Akibatnya para pelakunya sendiri sulit untuk menjadikannya berkelanjutan. Sementara adanya kerjasama yang positif untuk meningkatkan hasil kegiatan antara lain ditunjukkan oleh pemerintah Kabupaten Banyumas yang mengupayakan adanya kerjasama dengan Barlingmascakeb (Badan Kerjasama Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen). Kerjasama yang dilakukan dengan badan ini, antara lain dapat membantu mengatasi masalah operasional seperti perluasan pasar, pemodalan, dan penambahan sarana fisik yang membantu pelaksanaan FEDEP. 3. Tingkat Keterlibatan Pemerintah Daerah Untuk program comdev yang merupakan program pemerintah daerah, pemerintah daerah berperan penting dalam mengelola comdev tersebut. Pada poin ini sebenarnya pemerintah daerah memiliki peran strategis dengan mengadopsi contoh-contoh program comdev yang baik yang
berdampak
dalam
pembangunan
masyarakat
di
daerah.
Kemampuan pemerintah daerah dalam memasukkan anggaran program comdev dalam struktur anggaran sudah barang tentu akan menaikkan derajat diskresi pemerintah dalam mengimplementasikan comdev. Salah contoh keterlibatan pemerintah daerah sebagai pengelola dapat dijumpai dalam COMDEV-MK. Keterlibatan pemerintah daerah cukup luas mulai dari menetapkan kebijakan, pendanaan, melakukan koordinasi, fasilitasi, sampai pada monitoring. Keterlibatan pemerintah daerah yang penting menyangkut berbagai kegiatan comdev yang diinisiasi oleh pihak-pihak lain adalah merumuskan kebijakan, melakukan koordinasi, sebagai fasilitator, maupun monitoring dan evaluasi.
191
Dalam konteks merumuskan kebijakan, pemerintah daerah dapat merumuskan berbagai kebijakan yang diarahkan guna mendukung keberhasilan program yang diterapkan, meskipun tidak secara langsung mengelola program. Peran koordinatif
salah satunya dapat dilihat dalam upaya
pemerintah kabupaten Banyumas membentuk kelembagaan forum komunikasi PHBM yang diketuai kepala bidang ekonomi. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah dapat memberikan dukungan untuk mengatasi permasalahan atau keterbatasan yang dijumpai. Pemerintah Kabupaten Banyumas, misalnya, telah berupaya menjalin jejaring (link) untuk dari beragam sektor seperti dari pertanian dan pemrosesan hasilnya. Sementara dari potensi yang bisa dikembangkan, pemerintah daerah juga dapat mencoba membantu memasarkan. Hal ini merupakan bentuk
dukungan
yang
dapat
membantu
keberhasilan
program,
khususnya dalam mengatasi permasalahan operasional seperti sulitnya mencari bahan baku dan pasar. 4. Manajemen Dukungan dana Dukungan
dana
dapat
mempengaruhi
keberhasilan
praktek
community development, karena tanpa dana mustahil suatu program akan berjalan tanpa pendanaan yang memadai. Misalnya dalam praktek PNPM, dengan adanya ketentuan 20% dananya merupakan dana penyertaan dari APBD, maka daerah yang memiliki keterbatasan anggaran seperti Kabupaten Aceh Besar tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut. Sebaliknya, dengan adanya kemampuan pendanaan yang memadai, dana dapat dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan program yang dilakukan. Misalnya dalam praktek FEDEP
di
menyediakan
Kabupaten dana
Banyumas,
pendamping
pemerintah
dari
APBD
daerah
dapat
Kabupaten
yang
192
dipergunakan
untuk
mendukung
kegiatan
pelaksanaan
dan
pengembangan FEDEP di daerah berdasarkan prioritas kebutuhan masing-masing cluster. Sementara dana stimulan APBD Provinsi digunakan untuk penguatan kelembagaan/capacity building dalam program FEDEP tersebut. Faktor pendanaan ini juga dapat menurunkan keberlanjutan program. Bisa saja seperti halnya yang terjadi di Aceh Besar. Setelah ditinggalkan oleh NGO yang memfasilitasi program comdev, tidak ada lagi yang membiayai sarana fisik yang telah dihasilkan dari kegiatan tersebut karena APBD pun tidak dapat membiayai. Strategi implementasi yang tepat Keberhasilan
program
comdev
juga
perlu mempertimbangkan
pemilihan strategi implementasi yang tepat. Strategi ini tidak hanya mencakup program apa yang akan dijalankan, namun perlu memperhitungkan bagaimana program bisa berjalan sepeninggal fasilitator atau dengan terhentinya kucuran dana. Banyak program yang tidak berkelanjutan setelah program usai karena tidak didukung adanya strategi terminasi/exit strategy. Kegiatan comdev oleh perguruan tinggi, misalnya, seringkali tidak dapat berjalan setelah program usai. Monitoring dan Evaluasi Sebagaimana layaknya proses pembangunan, monitoring dan evaluasi diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan praktek comdev. Secara empiris, argument ini mendapatkan dukungan dari praktek yang ditemukan dalam program COMDEV-MK di Kabupaten Bantul. Dalam program COMDEV-MK tersebut, monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik merupakan salah satu strategi pemerintah daerah yang mendorong berhasilnya program. Melalui monitoring yang dilakukan jalannya program dapat dievaluasi untuk dilakukan perbaikan dan mencari jalan keluar atas berbagai masalah yang dijumpai. Dengan konsep evaluasi partisipatif yang dipilih, proses
193
evaluasi juga bisa menjadi proses belajar bagi masyarakat dan segenap stakeholder yang terlibat. Akuntabilitas Akuntabilitas bisa menjadi faktor yang cukup penting dalam penyelenggaraan comdev. Akuntabilitas dan keterbukaan dalam mempertanggungjawabkan kegiatan tersebut antara lain akan meningkatkan kepercayaan (trust) antar pelaku comdev. Pentingnya akuntabilitas
ini
antara
lain
sebagaimana
disampaikan
oleh
narasumber yang berkecimpung dalam PNPM di salah satu desa di Kabupaten Banyumas berikut: ”Audit yang dilakukan oleh auditor independen merupakan wujud kita mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada kita. Kebetulan di tempat kami dengan pemerintah desa tidak ada masalah, kami dengan pemerintah desa selalu informasikan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan termasuk perkembangan perekonomian‖16 Gambar
berikut
memperlihatkan
salah
satu
contoh
bentuk
akuntabilitas yang diupayakan oleh BKM Rama Semar di Desa Karangsalam Banyumas. Informasi yang ditampilkan laporan keuangan dan perkembangan data keuangan lainnya. Pada
Gambar 5.1. Bentuk Akuntabilitas yang dilakukan Badan Keswadayaan Masyarakat di Desa Karang salam
dinding
lain
ruangan
tersebut
juga
terpam-
pang Rencana Anggaran Belanja kegiatan. Meskipun terlihat sederhana,
namun cukup informatif dan dapat diakses oleh masyarakat karena ditempatkan di sekretariat yang berada di area balai desa.
16
Diskusi dengan pengelola BKM di Banyumas
194
5. Sumber Daya Manusia Partisipasi dan penerimaan masyarakat Partisipasi masyarakat sebagai prinsip dasar program comdev, mutlak diperlukan. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat antara lain diperlukan perluasan aspek-aspek yang memungkinkan terjadinya partisipasi masyarakat. Upaya peningkatan posisi masyarakat dalam kasus PHBM Plus
merupakan contoh dimana adanya partisipasi
masyarakat yang baik dapat menunjang keberhasilan program. Kemauan untuk berpartisipasi ini erat kaitannya dengan penerimaan masyarakat. Penerimaan masyarakat yang kurang akan menghambat pelaksanaan program. Sebut saja misalnya yang terjadi di Kabupaten Aceh Besar. Program tanam SRI (Sistem of Risk Intensification) yang dilaksanakan di desa Cutkaring kecamatan Blang Bintang. Banyak masyarakat yang tidak mau menerima program tersebut. Akibatnya dari sekian hektar yang diprogramkan pada tahun pertama, hanya tinggal setengah hektar masyarakat yang konkrit menjalankan program itu. Namun perlu dicatat bahwa perlu ada kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi.
Di
sejumlah
lokus
yang
dikunjungi,
banyak
disampaikan bahwa masyarakat kurang dapat berpartisipasi. Dalam artian seringkali masyarakat sendiri justru kurang paham terhadap apa yang diusulkan saat pertemuan. Kapasitas para pelaku COMDEV Kapasitas para pelaku comdev dapat menjadi faktor yang menentukan dalam praktek comdev. Hal ini didukung antara lain dengan adanya fakta yang disampaikan oleh salah seorang pegiat comdev di salah satu desa di Kabupaten Banyumas: “Untuk menjadi berhasil itu pelaku intinya. Pelaku capable atau mungkin akuntabel. Itu yang dibuktikan oleh desa kami itu dulu ketua UPS nya itu aktif sekali”.
195
Terkait faktor kapasitas ini, pengalaman dari praktek Kelompok Usaha Jamur Merang binaan Unsyiah menarik untuk dikemukakan. Adanya kendala dalam hal ketrampilan masyarakat itu sendiri. Dijumpai kegiatan yang tenggelam setelah fasilitator kembali dari pedesaan itu. Hal ini terkait dengan kurang intensifnya pembelajaran yang diberikan kepada masyarakat. Dari contoh tersebut dapat digarisbawahi bahwa dalam proses comdev perlu muncul penguatan kapasitas para pelakunya, misalnya masyarakat itu sendiri. Hal ini cukup penting karena pada akhirnya akan terkait dengan kontinuitas kegiatan tersebut. Sikap Mental Sikap mental masyarakat atau para pelaku comdev lainnya bisa mendukung keberhasilan atau justru sebaliknya. Sikap mental yang positif antara lain sebagaimana dijumpai dalam praktek COMDEV-MK di Bantul. Komitmen dan semangat gotong-royong masyarakat tersebut dirasakan sebagai sikap mental yang positif bagi keberhasilan comdev. Jiwa kewirausahaan (enterpreunership) oleh sebagian narasumber juga dianggap perlu bagi keberhasilan comdev. Sikap mental lain yang perlu adalah kemauan untuk menerima hal baru. Hal ini berkaitan dengan penerimaan terhadap program yang ditawarkan. Sikap
yang
kurang
positif
untuk
menerima
hal
baru,
bisa
kontraproduktif dengan keberhasilan comdev sehingga memerlukan antisipasi tertentu. Hal ini antara lain didukung oleh fakta yang disampaikan Kepala BPM Aceh Besar: ” ...orang Aceh paling susah menerima hal baru, bibit unggul misalnya. Namun karena kampanye yang berhasil sehingga program ini Aceh termasuk yang paling tinggi di Indonesia.‖ Sikap lain yang kurang mendukung antara lain adalah ‘sikap opportunis‘, dalam artian mencoba mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi/sekelompok kecil saja. Sebagai contoh dalam comdev yang dilakukan bersama PT.LCI, meskipun telah ada MoU
196
untuk mengupayakan penciptaan program yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, namun kecenderungan untuk mengambil kesempatan dari program
tersebut membuat timbulnya keinginan
untuk membagi rata dana program, meskipun kurang sesuai dengan komitmen yang ada. Sikap ‗mengambil keuntungan‘ ini juga dijumpai dalam berbagai kasus terjadinya penyelewengan dana comdev. Sikap lain yang kurang produktif adalah tidak adanya rasa memiliki. Di Banda Aceh misalnya, selama ini banyak sekali pembangunan setelah tsunami dari bantuan berbagai pihak. Setelah dibangun, karena tidak adanya rasa memiliki, hasilnya tidak bertahan lama. Situasi ini berbeda dengan kegiatan PAMSIMAS yang dilaksanakan di Kabupaten Banyumas. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan prasarana air minum didukung oleh sikap masyarakat yang turut memiliki. Beranjak dari berbagai pengalaman tersebut, maka adanya sifat mental yang kurang mendukung tersebut perlu diantisipasi, sementara disain program juga perlu mempertimbangkan penguatan sikap mental yang dapat mendorong keberhasilan program. Budaya Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Praktek comdev, budaya bisa berpengaruh positif maupun negatif. Pada kasus tertentu di Provinsi Bali, budaya yang cukup mendukung adalah keberadaan desa adat17. Karena budaya masyarakat Bali yang masih terikat dan takut dengan awig-awig adat (peraturan adat), keberadaan desa adat cukup membantu kegiatan yang dilakukan. Semua kegiatan/program yang diserahkan pada desa adat dapat dijamin akan berhasil. Pengaruh budaya yang kurang mendukung antara lain berkaitan dengan penerimaan masyarakat terhadap suatu kegiatan comdev. Sebut saja misalnya dalam kegiatan composing di Kota Tanjung
197
Pinang, dengan budaya masyarakatnya sebagai nelayan dan pedagang lintas batas menimbulkan kesulitan untuk merubah budaya tersebut agar menerima program yang ditawarkan. Untuk itu dibutuhkan waktu dan upaya tertentu untuk mengadaptasikan budaya masyarakat dengan kegiatan comdev yang ditawarkan. 6. Pendampingan yang tepat/keberadaan katalisator (agen perubahan) Masyarakat tentunya tidak serta merta mampu memberdayakan atau mengembangkan dirinya. Demikian halnya partisipasi masyarakat yang dibutuhkan dalam kegiatan comdev, tidak dapat terjadi begitu saja. Hal
ini
perlu
diupayakan
melalui
pendampingan
yang
tepat.
Pendampingan ini diperlukan sebagai media transfer pengetahuan (knowledge transfer) untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Perlunya pendampingan ini ditunjukkan antara lain dalam program COMDEV-MK di Bantul, dimana pendampingan yang intensif menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam program tersebut. Tim Fasilitator dibentuk oleh Bupati dengan kewajiban memberikan pedoman, bimbingan pelatihan, arahan dan supervisi. Tim Fasilitator tersebut tersusun dalam Tim Fasilitator Kabupaten, Tim Fasilitator Kecamatan dan Tim Fasilitator Desa. Di samping itu, upaya tersebut dapat pula dilakukan dengan mengkader pelaksana perubahan yang merupakan bagian dari komunitas tersebut. Hal ini merupakan pelajaran yang dapat ditarik dari praktek PNPM di salah satu desa yaitu Desa Karangsalam Kabupaten Banyumas. Dalam kelompok tersebut muncul kader aktivis pemberdayaan. Kader pemberdayaan inilah yang mendinamisasi kelompoknya, sehingga muncul inovasi dan kreatifitas yang datangnya dari anggota kelompok. Contoh serupa dijumpai dalam program PHBM yang dilaksanakan di Desa Kalisalak Kabupaten Banyumas. Keberadaan Penyuluh Kehutanan Swadaya
Masyarakat
(PKSM)
cukup
berarti
dalam
memberikan
198
pendampingan bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan praktek tersebut. 7. Kemampuan mengadaptasi karakteristik lokal tertentu dalam program COMDEV Di Bantul, potensi local yang cukup dan berkembang merupakan faktor positif yang bisa meningkatkan efektivitas COMDEV-MK di Bantul. Namun sebaliknya, kondisi lokal pun bisa menjadi faktor yang kurang positif untuk keberhasilan comdev. Misalnya seperti yang dijumpai di kegiatan comdev di Aceh Besar. Keadaan desa di Aceh berbeda dengan desa di Jawa, misalnya dari segi populasi yang berbeda akan membutuhkan cost yang berbeda. Di samping itu, sebagai bekas daerah konflik, masyarakat Aceh Besar seringkali kurang percaya dan masih curiga.
Dalam
mengimplementasikan
comdev,
hal
semacam
ini
memerlukan strategi tersendiri untuk menyesuaikan dengan karakter tersebut. Terkait dengan upaya menemukan strategi yang tepat untuk beradaptasi dengan karakteristik lokal tersebut, diperlukan kemampuan untuk memahami kondisi setempat dan didukung data-data yang sesuai. Dalam praktek di Kota Tanjung Pinang misalnya, kelemahan dalam pendataan ini pemerintah daerah cenderung mengalami kesulitan untuk melihat apa saja yang telah dilakukan, dan akhirnya pengetahuan akan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat kurang dimiliki dengan baik.
199
STRATEGI PENGEMBANGAN
BAB
DI DAERAH
6
COMMUNITY DEVELOPMENT
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa pelaksanaan comdev di berbagai daerah di Indonesia, di satu sisi menunjukkan perkembangan dan hasil positif serta manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Namun di sisi lain, mengindikasikan adanya masalah yang perlu mendapat perhatian oleh semua pihak. Dengan merujuk pada analisis data lapangan, paparan dalam bab ini akan difokuskan pada upaya-upaya perumusan mengenai cara yang dipandang rasionable untuk dikembangkan ke depan. Harapannya tidak lain adalah agar agenda comdev di daerah ke depan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, bab ini akan diawali dengan menguraikan pengertian ―strategi‖ terutama terkait dengan makna ―Strategi Pengembangan Comdev‖ sebagaimana dimaksudkan dalam kajian ini. Selanjutnya, akan dipaparkan beberapa strategi pengembangan comdev yang menyangkut aspek (1) Kebijakan, (2) Kelembagaan, (3) Sumber Daya Manusia Pengelola, (4) Sistem Informasi, (5) Pembiayaan, dan (6) Manajemen Program comdev. A. PENGERTIAN STRATEGI Strategi adalah cara yang dilakukan untuk mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai langkah-langkah pelaksanaan diperlukan perumusan serangkai kebijakan (policy formulation method and technique). Tujuan strategi untuk seluruh pembangunan adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran sedangkan kebijakan untuk membangun sektor adalah mengatasi berbagai hambatan dan kendala yang dihadapi.18 18
Secara teknis perbedaan antara strategi dan kebijakan hanya terletak dalam ruang lingkup. Strategi merupakan siasat memenangkan suatu peperangan (the war) sedangkan kebijakan merupakan siasat
200
Adapun tujuan dalam pembangunan dapat dirumuskan, sebagai berikut: (i) terciptanya kondisi umum yang mendorong pembangunan itu sendiri; (ii) termanfaatkannya potensi sumber daya sehingga memberikan manfaat bagi pembangunan oleh pemerintah setempat (yang bersangkutan), dunia usaha dan masyarakat umum; (iii)
terlaksananya sejumlah investigasi dalam
berbagai sektor; (iv) terlaksananya langkah-langkah dalam melaksanakan kemudi dan dorongan bagi kegiatan dan investasi swasta. Dalam mewujudkan tujuan pembangunan masyarakat terdapat paling sedikit empat jenis strategi: strategy); kedua,
Pertama, strategi pembangunan (growth
strategi kesejahteraan (welfare strategi); ketiga, strategi
yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (responsive strategy); Keempat,
strategi terpadu atau strategi yang menyeluruh (integrated or
holistic strategy).19 Dalam konteks strategi pengembangan comdev sebagai sebuah konsep yang dipilih dalam kajian ini, yang tidak lain sering diterjemahkan sebagai strategi pembangunan masyarakat, pada dasarnya
mirip dengan strategi
pembangunan masyarakat pedesaan yang selama ini kita kenal. Azas atau karakteristik masyarakat adalah memiliki sifat semangat masyarakat bergotong royong dan saling menolong, tidak bersifat individualitas, membangun secara bersama-sama, pelibatan anggota masyarakat atau peran serta masyarakat adalah besar. Oleh karena itu strategi pembangunan masyarakat atau Comdev Strategy mempunyai azas yang serupa dengan strategi pembangunan pedesaan. Sebenarnya, apabila dikaji lebih dalam dan lebih luas, konsep community
development
dapat
dikembangkan
sebagai
mekanisme
perencanaan pembangunan yang bersifat bottom-up yang melibatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan.
untuk memenangkan suatu pertempuran (the battle), sering keduanya dipersatukan menjadi “strategi kebijakan”. 19 Lihat dalam Raharjo Adisasmita, 2006, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yokyakarta: Graha Ilmu
201
Dalam sistem pemerintahan yang desentralistik seperti sekarang, dimana otonomi daerah telah dilaksanakan secara luas, namun ternyata masih menghadapi banyak kendala, di antaranya dana pembangunan relatif terbatas di samping kendala operasional dan fungsional lainnya, maka untuk mengatasi berbagai hambatan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut, salah satu metode yang dapat ditempuh adalah mengembangkan dan menerapkan model comdev atau model pembangunan masyarakat yang dapat diterima masyarakat luas (acceptable) dan dapat dilaksanakan dengan baik (implementable). Dalam pembangunan masa depan dimana pemerintah dan bangsa Indonesia menghadapi banyak tantangan (ekonomi, sosial, politik) yang berat dan berkepanjangan, maka partispasi masyarakat sangat diperlukan sebagai kekuatan dinamisasi dan perekat masyarakat akar rumput/bawah untuk menunjang pembangunan masyarakat. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan
salah
satu
bentuk
pemberdayaan
masyarakat
(social
empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian hasil pembangunan yang dilakukan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengolahan sumber daya masyarakat secara lebih efektif dan efesien dilihat dari : (a) aspek
masukan
atau
input
(Sumber
Daya
Manusia/SDM,
dana,
peralatan/sarana, data, rencana, dan teknologi), (b) dari aspek proses (pelaksanaan, monitoring, dan pengawasan), (c) dari aspek keluaran atau output (pencapaian sasaran, efektivitas dan efesien).20 Dengan partisipasi masyarakat, perencanaan pembangunan diupayakan menjadi lebih terarah, artinya rencana atau program pembangunan yang disusun itu adalah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, berarti dalam penyusunan rencana/program pembangunan dilakukan penentuan prioritas (urutan berdasarkan besar kecilnya tingkat kepentingannya) dengan 20
Lihat kembali Raharjo Adisasmita, 2006, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yokyakarta: Graha Ilmu
202
demikian
pelaksanaan
(implementasi)
program
pembangunan
akan
terlaksana pula secara efektif dan efesien. Berpijak dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat. Penerapan aspek demokrasi dan partisipasi dengan titik fokus pada lokalitas akan menjadi landasan bagi upaya penguatan potensi lokal. Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan ini adalah menempatkan masyarakat tidak sekedar sebagai obyek melainkan juga sebagai
subyek.
Untuk
menjaring
dan
menyaring
program-program
pembangunan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dapat ditempuh dengan berbagai cara misalnya melalui FGD (Focus Group Discussion) atau diskusi kelompok terfokus. Bukan suara terbanyak yang menjadi kriteria penentuan dari suatu program. Dan dalam menentukan prioritas program pembangunan harus digunakan kriteria terukur. Dalam proses komunikasi dan
diskusi dalam
kelompok masyarakat
yang diutamakan adalah
kesepakatan dari semua peserta. Keberhasilan pembangunan dalam masyarakat tidak juga selalu ditentukan oleh tersedianya sumber dana keuangan dan manajemen keuangan, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh peran serta dan respon masyarakat dalam pembangunan, atau dapat disebut sebagai ―partisipasi masyarakat‖. Untuk mencapai keberhasilan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu diperlukan kepemimpinan lokal yang cakap, berwibawa dan diterima oleh masyarakat (capable and acceptable local leadership) yang mampu mensinergiskan tradisi sosial budaya dengan proses pembangunan modern. B. ASPEK-ASPEK
PENGEMBANGAN
COMMUNITY
DEVELOPMENT
DAN
STRATEGINYA Berdasarkan analisis data-data lapangan yang diperoleh oleh tim kajian, maka strategi pengembangan comdev di daerah dapat dirumuskan dan dikelompokkan pada aspek-aspek sebagai berikut:
203
1. Aspek Kebijakan Tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
pelaksanaan
tugas-tugas
kepemerintahan masih dijalankan atas perintah peraturan perundangundangan/kebijakan (rule driven government), walaupun di berbagai kesempatan pemerintah dan pemerintah daerah sudah mulai mengarah kepada upaya pencapaian misi (mission driven government). Konsep reinventing government tersebut tidak dapat dikatakan ‗usang‘ karena pada kenyataannya dukungan kebijakan – dalam bentuk peraturan perundang-undangan – sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan pembangunan daerah, tak terkecuali tujuan implementasi programprogram pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks implementasi program pemberdayaan masyarakat, dukungan kebijakan tersebut memegang peranan penting, karena dari kebijakan semua hal dapat dilakukan. Dalam kebijakan diatur mengenai tujuan dan sasaran, organisasi pelaksana, mekanisme perencanaan sampai dengan evaluasi serta pendanaan/penganggarannya. Sebut saja program PNPM Mandiri, dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menko Kesra Selaku Ketua Tim Penanggulangan Kemiskinan No. 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Di dalam pedoman tersebut dijelaskan pengertian, program, tujuan, strategi, prinsip, pendekatan, dasar hukum, dan pembiayaan sebagaimana tabel berikut. Tabel. 6.1 Pengaturan PNPM Mandiri Pengertian PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan
204
masyarakat memerlukan keterlibatan yang lebih besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. Program Program Inti Terdiri dari program/kegiatan pemberdayaan masyarakat berbasis kewilayahan seperti PNPM mandiri Perdesaan (PPK), PNPM Mandiri Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP), dan PNPM Insfrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Program Penguatan Terdiri dari program-program pemberdayaan masyarakat berbasis sektoral, kewilayahan serta khusus untuk mendukung penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya terkait pencapaian target tertentu. Termasuk dalam PNPM Penguatan di antaranya adalah Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan sebagainya. Tujuan Umum: Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Khusus: Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif, dan akuntabel. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor). Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan tekhnologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Strategi Strategi Dasar Mengintensifkan upaya-upaya pemberdayaan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Menjalin kemitraan yang seluas-luasnya dengan berbagai pihak untuk bersama-sama mewujudkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat. Menerapkan keterpaduan dan sinergi pendekatan pembangunan sektoral,
205
pembangunan kewilayahan, dan pembangunan partisipatif. Strategi operasional: Mengoptimalkan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya secara sinergis. Menguatkan peran pemerintah kota/kabupaten sebagai pengelola programprogram penanggulangan kemiskinan di wilayahnya; Mengembangkan kelembagaan masyarakat yang dipercaya, mengakar, dan akuntabel. Mengoptimalkan peran sektor dalam pelayanan dan kegiatan pembangunan secara terpadu di tingkat komunitas. Meningkatkan kemampuan pembelajaran di masyarakat dalam memahami kebutuhan dan potensinya serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Menerapkan konsep pembangunan partisipatif secara konsisten dan dinamis serta berkelanjutan. Prinsip Bertumpu pada pembangunan manusia. Pelaksanaan PNPM Mandiri senantiasa bertumpu pada peningkatan harkat dan martabat manusia seutuhnya. Otonomi. Dalam pelaksanaan PNPM Mandiri, masyarakat memiliki kewenangan secara mandiri untuk berpartisipasi dalam menentukan dan mengelola kegiatan pembangunan secara swakelola. Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah atau masyarakat sesuai dengan kapasitasnya. Berorientasi pada masyarakat miskin. Semua kegiatan yang dilaksanakan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Partisipasi. Masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan dan secara gotong royong menjalankan pembangunan. Kesetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahap pembangunan dan dalam menikmati secara adil manfaat kegiatan pembangunan. Demokratis. Setiap pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara musyarawah dan mufakat dengan tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat miskin. Transparansi dan Akuntabel. Masyarakat harus memiliki akses yang memadai terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dipertanggunggugatkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif. Prioritas. Pemerintah dan masyarakat harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan untuk pengentasan kemiskinan dengan mendayagunakan secara optimal berbagai sumberdaya yang terbatas. Kolaborasi. Semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan kemiskinan didorong untuk mewujudkan kerjasama dan sinergi antar pemangku kepentingan dalam penanggulangan kemiskinan. Keberlanjutan. Setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan
206
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak hanya saat ini tapi juga di masa depan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sederhana. Semua aturan, mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan PNPM Mandiri harus sederhana, fleksibel, mudah dipahami, dan mudah dikelola, serta dapat dipertanggungjawabkan oleh masyarakat. Pendekatan Pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan program adalah pembangunan yang berbasis masyarakat dengan: Menggunakan kecamatan sebagai lokus program untuk mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program. Memposisikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal. Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan partisipatif. Menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya dan geografis. Melalui proses pemberdayaan yang terdiri atas pembelajaran, kemandirian, dan keberlanjutan. Dasar Hukum Dasar hukum pelaksanaan PNPM Mandiri mengacu pada landasan konstitusional UUD 1945 beserta amandemennya, landasan idiil Pancasila, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta landasan khusus pelaksanaan PNPM Mandiri yang akan disusun kemudian. Peraturan perundangundangan khususnya terkait sistem pemerintahan, perencanaan, keuangan negara, dan kebijakan penanggulangan kemiskinan Pembiayaan APBN kementerian/lembaga, baik berupa rupiah murni maupun pinjaman dan hibah luar negeri yang dilaksanakan untuk bantuan teknis dan BLM Dana Daerah untuk Program Bersama PNPM Mandiri dan bantuan teknis untuk mendampingi pelaksanaan BLM Dukungan dari berbagai lembaga donor yang dikoordinasikan melalui Fasilitas pendukung PNPM Mandiri (PNPM Support Facility/PSF). Pemanfaat PNPM Kelompok masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan (termasuk kelompok perempuan, komunitas adapt terpencil, dan kelompok masyarakat rentan lainnya) Kelembagaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan Pemerintahan lokal. Sumber: Keputusan Menko Kesra RI tentang PNPM Mandiri
Pedoman Umum tersebut kemudian dijabarkan dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang digunakan sebagai acuan para pelaksana di lapangan. Dalam Petunjuk Teknis Opersional tersebut berbagai teknis pelaksanaan program comdev dijelaskan dengan jelas, mudah untuk
207
dimengerti tentang cara-cara, langkah untuk melaksankan program yang disertai dengan contoh-contoh atau ilustrasi sehingga Petunjuk Teknis Operasional tersebut mudah untuk diterapkan. Terkait dengan kebijakan, maka strategi yang perlu ditempuh adalah menyusun kebijakan nasional yang dapat
mengintegrasikan dan
mensinergikan semua level dan unit pemerintahan serta pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan program comdev. Sekalipun dengan catatan bahwa kebijakan yang bersifat nasional dimaksud tidak harus selalu dimaknai dengan penyeragaman seperti semangat sentalistik yang dikembangkan di masa orde baru. Akan tetapi, kebijakan nasional yang ada justru memberi kelonggaran dan keleluasaan kepada semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan comdev. Selama ini kebijakan nasional tentang comdev dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Peraturan Presiden (Perpres), dan itu pun
lebih banyak kepada
pemberdayaan ekonomi (:penanggulangan kemiskinan). Sebagaimana diketahui, dalam konteks penaggulangan kemiskinan telah disusun strategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK) dan berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2005 dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Untuk mendukung pelaksanaan TKPK, lalu diterbitkan SK Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi
Penanggulangan
052/KEP/MENKO/KESRA/II/2006
Kemiskinan tentang
yakni
Pedoman
SK
No.
Umum
dan
Kelompok Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Selanjutnya, pada tahun tahun 2007 Menko Kesra selaku Ketua TKPK menerbitkan SK Menko Kesra tentang PNPM Mandiri sebagaimana telah diuraikan di atas. Bentuk pengaturan dalam bentuk Perpres tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti dengan SK Menteri memang tidak melanggar hukum, namun hal itu menunjukkan ‖seolah-olah‖ penanganan kemiskinan hanya menjadi ranah pemerintah (eksekutif).
Pada kenyataannya program
208
comdev tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah, tetapi juga menjadi kewajiban dunia usaha baik BUMN maupun swasta. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 2 yaitu ‖maksud dan tujuan pendirian BUMN salah satunya adalah turut aktif memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, k0perasi dan masyarakat‖. Demikian pula dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 25 butir e menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Oleh karena itu, adanya formalitas dukungan dari legislatif (dalam bentuk UU) menjadi sangat penting agar ada jaminan keberlanjutan program dan pendanaan. Hal inilah yang telah menjadi kekhawatiran sebagian besar masyarakat daerah, yakni mengenai keberlangsungan program yang sudah berjalan dengan cukup baik. Oleh karena itu ke depan, bentuk pengaturan atau produk hukum nasional tersebut seyogyanya
dituangkan
dalam
undang-undang
(UU)
tentang
Pemberdayaan Masyarakat. Dengan lahirnya UU ini, maka program penanggulangan kemiskinan yang ada saat ini akan menjadi bagian integral pemberdayaan masyarakat. 2. Aspek Kelembagaan Berkembangnya
konsep
comdev
yang
berbasis
nilai-nilai
pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian (self reliance) dalam masyarakat tidak terlepas dari kondisi nyata dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Terlepas dari masih kurangnya pemahaman terhadap konsep comdev itu sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa comdev merupakan salah satu metode yang tepat untuk menjawab issue-issue dan masalahmasalah sosial di Indonesia pada saat ini maupun masa yang akan datang. Terlebih lagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menerapkan sistem komunal merupakan modal penting bagi pelaksanaan comdev. Sebagai pihak yang diharapkan dapat berperan
209
dalam mengatasi masalah-masalah sosial dalam masyarakat, pemerintah menempati kedudukan yang strategis dengan segala kemampuan dan sumber yang dimilikinya. Kegiatan pengembangan masyarakat pada dasarnya melibatkan banyak pihak. Secara garis besar, pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan masyarakat diantaranya adalah pemerintah. Secara tidak langsung
pemerintah
telah
melakukan
kegiatan
pengembangan
masyarakat melalui penyelenggaraan program-program pembangun-an pada berbagai bidang kehidupan dan pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya. Selain itu, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang diberi dimandat oleh warganya, membuat berbagai regulasi yang ditujukan kepada terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah banyak melakukan kerjasama dengan lembaga lain atau
pun
mendorong
lembaga
lain
untuk
menyelenggarakan
pengembangan masyarakat. Organisasi yang terlibat dalam pengembangan masyarakat adalah organisasi yang turut menyelenggarakan pengembangan masyarakat atau menjadi pelaksana pengembangan masyarakat. Organisasi ini dapat pula yang menyediakan dana untuk kegiatan pengembangan masyarakat. Sebagaian besar organisasi pada umumnya bersentuhan langsung dengan masyarakat
dalam
menyelenggarakan
pengembangan
masyarakat,
terlebih lagi setelah pemerintah memberikan porsi yang lebih besar kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk turut melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat. Namun demikian, tidak selalu organisasi yang menyelenggarakan program-program pengembangan masyarakat adalah organisasi masyarakat, pemerintah pun memiliki organisasi yang sengaja dibentuk untuk turut melakukan kegiatan pengembangan masyarakat. Sebagai wujud tanggung jawab itulah pemerintah telah membentuk Tim Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan amanat UUD Negara RI
210
Tahun 1945. Selanjutnya, di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah telah menjadikan kemiskinan salah satu persoalan yang mendapatkan perhatian serius. Hal ini tergambar dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang memasukkan upaya pengentasan kemiskinan sebagai salah satu aspek dari 11 aspek prioritas nasional. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang memerlukan penanganan secara menyeluruh dan bersama dengan mengedepankan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak dasar warga negara. Kemiskinan bukan semata karena kurangnya pendapatan, tetapi tidak terpenuhinya hak- hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan memenuhi kehidupan yang bermartabat. Sejak tahun 2005, Pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) agar pencapaian target pengurangan kemiskinan dapat dipercepat. Untuk mempercepat sinergi berbagai upaya penanggulangan
kemiskinan,
pemerintah
membentuk
Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2005 diubah menjadi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Untuk mendukung pelaksanaan TKPK, diterbitkan SK Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan tentang
Kemiskinan
Pedoman
Umum
No. dan
052/KEP/MENKO/KESRA/II/2006 Kelompok
Kerja
Tim
Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, TKPK dibantu oleh empat kelompok kerja (pokja), pokja kebijakan dan perencanaan,
pokja
kelembagaan,
pokja
pendanaan
dan
pokja
pendataan. Tanggung jawab pencapaian pengurangan jumlah penduduk miskin memerlukan peran serta pemerintah daerah dan berbagai pelaku pembangunan. Sejalan dengan upaya mendorong pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan, TKPK memandang perlu melakukan fasilitasi dan asistensi khususnya TKPK daerah (TKPKD) propinsi maupun kota/ kabupaten.
211
Pembentukan TKPKD dimaksudkan menjadi forum lintas sektor dan pelaku sebagai wadah koordinasi dan sinkronisasi strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di kabupaten/ kota dan bertanggung jawab kepada walikota/bupati. Unsur- unsur yang terlibat di dalam TKPKD terdiri dari: pemerintah daerah kabupaten/kota, representasi masyarakat miskin, organisasi non pemerintah/LSM, sektor swasta, dan perguruan tinggi. TKPKD memiliki tugas melakukan langkah konkrit untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan dan program serta pengendalian penanggulangan kemiskinan. Adapun fungsi TKPKD: pertama, mengendalikan kebijakan dan program kemiskinan yang dijalankan oleh SKPD kota/ kabupaten, dunia usaha, dan atau kelompok masyarakat dengan mengacu pada RPJPD, RPJMD, SKPD; kedua, mengkoordinasikan penyusunan strategi, kebijakan, dan program penanggulangan kemiskinan (Strategi Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan) mengacu kepada RPJPD, RPJMD, SKPD; ketiga, memantau dan menilai pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di kota/kabupaten; keempat, melaporkan perkembangan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan kepada Gubernur melalui TKPK Provinsi. Untuk mendukung kegiatan operasional TKPKD maka pendanaan pelaksanaan tugas TKPK Pusat dibebankan kepada APBN, pelaksanaan tugas TKPKD dibebankan kepada APBD Provinsi dan APBD Kota/ Kabupaten. Di daerah baik kabupaten/ kota struktur kelembagaan TKPKD berdasarkan keputusan Bupati atau Walikota. Kemudian setelah dilantik kembali, Presiden SBY akhirnya mengakui bahwa pemerintahannya pada periode 2004-2009 belum berhasil dalam penanggulangan kemiskinan (PK). Hal ini terkonfirmasi melalui dokumen SNPK (Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan) dan keluarnya Perpres No. 15/2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
212
(ditetapkan tanggal 25 Februari 2010). Kata ―percepatan‖ memuat makna bahwa upaya penanggulangan kemiskinan selama ini tidak maksimal atau koordinasinya terkendala secara nyata. Melalui Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) berubah nama menjadi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Perpres tersebut merupakan penyempurnaan dari Perpres Nomor 13 Tahun
2009
tentang
Koordinasi
Penanggulangan
Kemiskinan.
Kedudukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. TNP2K
diketuai
oleh
Wakil
Presiden.
Tim
Nasional
Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bertugas : 1. Menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; 2. Melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi, dan integrasi program-program
penanggulangan
kemiskinan
di
kementerian/
lembaga; 3. Melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Gambar. 6.1 Struktur Organisasi TNP2K Ketua : Wapres RI Wakil Ketua I : Menko Kesra Wakil Ketua II : Menko Perekonomian
Sekretaris eksekutif: Deputi Setwapres Bidang Kesejahteraan Rakyat
POKJA DAL I Program Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga (Kantor Wapres)
POKJA DAL II Program PNPM Mandiri (Kantor Menko Kesra)
POKJA DAL III Program PK Berbasis Pemberdayaan Usaha Ek Mikro & Kecil (Kantor Menko Perekonomian)
213
Susunan keanggotaan TNP2K terdiri dari : a. Ketua
: Wakil Presiden
b. Wakil Ketua I
: Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
c. Wakil Ketua II
: Menteri
Koordinator
Bidang
Perekonomian
d. Sekretaris Eksekutif : Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat e. Anggota
:
1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Sosial; 4. Menteri Kesehatan; 5. Menteri Pendidikan Nasional; 6. Menteri Pekerjaan Umum; 7. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 8. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal; 9. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 10. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan 11. Sekretaris Kabinet; 12. Kepala Badan Pusat Statistik; 13. Unsur masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan yang ditetapkan oleh Ketua. Dalam pelaksanaan tugasnya, apabila dipandang perlu Ketua Tim Nasional dapat mengikutsertakan kementerian/lembaga dan/atau unsur masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dibantu oleh Sekretaris Eksekutif. Sekretaris Eksekutif menjalankan fungsi mempersiapkan rumusan kebijakan dan program, menetapkan sasaran,
214
membangun database, melakukan monitoring dan evaluasi, serta melakukan berbagai analisis yang diperlukan, serta memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada Tim Nasional. Sekretaris Eksekutif dalam melaksanakan tugasnya menetapkan pembentukan, susunan keanggotaan, dan tata kerja Sekretariat sesuai arahan Ketua Tim Nasional dan bertanggung jawab kepada Ketua Tim Nasional. Dalam melaksanakan tugasnya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
dibantu
mengkoordinasikan
oleh dan
kelompok
kerja
mengendalikan
yang
bertugas
pelaksanaan
program
penanggulangan kemiskinan. Anggota kelompok kerja terdiri dari unsur kementerian/lembaga, masyarakat, dunia usaha, serta pemangku kepentingan lainnya. Susunan keanggotaan dan tata kerja kelompok kerja ditetapkan oleh Sekretaris Eksekutif sesuai arahan Ketua Tim Nasional. Gambar. 6.2 Serketariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan SEKRETARIS: DEPUTI BID. KESRA SETWAPRES
SEKRETARIAT KEPALA SEKRETARIAT EKS. KEPALA SEKR. TKPK NASIONAL
UMUM
PERENC DAN KEUANGAN
Pokja 1
Pokja 2
KELOMPOK KERJA KEBIJAKAN (THINK THANK) KOORD. POKJA
DATA DAN INFORMASi
Pokja 3
Pokja 4
Pokja 5
Pokja 6
Untuk membantu kelancaran tugas Sekretaris Eksekutif TNP2K dibentuk Sekretariat. Fungsi Sekretariat Tim Nasional memberikan
215
dukungan teknis dan administratif kepada Sekretaris Eksekutif Tim Nasional. Sekretariat Tim Nasional dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Sekretaris Eksekutif Tim Nasional. Dalam melaksanakan tugasnya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dibantu oleh Tim Pembiayaan yang bertugas melakukan koordinasi perencanaan pembiayaan bagi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Tim Pembiayaan diketuai oleh Menteri
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Kepala
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Susunan keanggotaan dan tata kerja Tim Pembiayaan ditetapkan oleh Ketua Tim Pembiayaan sesuai arahan Ketua Tim Nasional. Tim mengusulkan agar format kelembagaan penanggung jawab program comdev disusun dengan sebaik-baiknya. Di tingkat nasional, format struktur kelembagaan yang ditawarkan dibuat sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Namun lembaga ini dibentuk untuk menggantikan TNP2K yang sudah ada, dengan nama Tim Nasional Pemberdayaan Masyarakat (TNPM) yang di dalamnya mencakup pemberdayaan di seluruh sektor (sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, dll), sehingga cakupan lebih luas, tidak hanya terfokus pada masalah kemiskinan. Gambar. 6.3 Tim Nasional Untuk Pemberdayaan Masyarakat Ketua TNPM Wakil Presiden
Sekr. Eksekutif PNPM - Deputi Setwapres Bid. Kesra
Pokja Pengendali 1 Kantor Menko Polhuk dan HAM
Pokja Pengendali 2 Kantor Menko Kesra
Pokja Pengendali 3 Kantor Menko Perekonomian
216
Analog dengan kelembagaan TNP2K, TNPM diketuai oleh Wakil Presiden RI, sedangkan sekretaris dijabat oleh salah seorang Deputi di Setwapres. Demikian pula, di bawah sekretaris eksekutif terdapat 3 kelompok kerja pengendali yang ditangani oleh Kantor Menko Polhuk dan HAM, Menko Kesra dan Menko Perekonomian, mengingat persoalan pemberdayaan masyarakat tidak hanya terkait dengan kemiskinan (perekonomian) dan kesejahteraan, tetapi juga terkait dengan persoalan politik, hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM). Disamping ketiga kantor kementerian sebagaimana tersebut di atas, pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dapat melibatkan pelaku di luar pemerintahan seperti dunia usaha, LSM, perguruan tinggi dan stakeholders lainnya. Terkait kalangan dunia usaha, termasuk dalam hal ini adalah peran BUMN dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Dalam mempercepat penanganan pemberdayaan masyarakat dapat dibentuk Tim Nasional Percepatan Pemberdayaan Masyarakat (TNP2M), dengan susunan keanggotaan sebagaimana kelembagaan TNP2K. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, penanganan kemiskinan menjadi bagian dari (part of) pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan sehingga susunan keanggotaannya pun akan menyesuaikan. Untuk itu, TNP2K sebaiknya dihapuskan dan kemudian dikembangkan menjadi TNP2M. Sementara itu, untuk pemberdayaan masyarakat di daerah pada dasarnya
hanya
pemberdayaan
menjalankan
masyarakat
kebijakan
daerah
diketuai
dari oleh
Pemerintah. kepala
Tim
daerah
(gubernur/bupati/walikota), dengan Sekretaris I dijabat oleh Kepala Bappeda dan Sekretaris II oleh Kepala Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) atau lembaga sejenis dengan nomenklatur tertentu.
217
Gambar. 6.4 Tim Daerah Untuk Pemberdayaan Masyarakat (TDPM) Ketua TDPM Kepala Daerah (Gub/Bup/Wakot)
Sekretaris TDPM Sekr. Eksekutif: Sekda Sekr. I:Ketua Bappeda Sekr. II:Ketua Bapermas
Masy. Madani (LSM, Universitas, Kelompok Profesional)
Dunia Usaha/Industri (Investor)
Pemda (Dinas, Badan, Kantor)
Gambar di atas menunjukkan bahwa TDPM seyogyanya dipimpin oleh kepala daerah, apakah gubernur, bupati atau walikota (berbeda dengan TNPM yang dipimpin oleh Wapres). Hal ini menunjukkan bahwa kepala daerah semestinya berada di garis terdepan dalam mewujudkan keberdayaan kemiskinan
masyarakat (ekonomi)
daerah,
tetapi
tidak
meliputi
hanya
terkait
persoalan
seluruh
aspek
kehidupan
masyarakat. Sementara itu, sebagai sekretaris eksekutif adalah Sekda, Sekretaris I dijabat oleh Kepala Bappeda, dan Sekretaris II oleh Kepala Bapermas atau lembaga sejenis yang menangani pemberdayaan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pemberdayaan masyarakat di daerah dapat dilakukan
dalam
sebuah
wadah
yang
disebut
sebagai
pusat
pemberdayaan masyarakat secara terintegrasi (comdev center), dimana kepala daerah dan DPRD didudukkan sebagai pusat/central untuk mengawal pelaksanaan comdev di daerah yang bersangkutan.
218
Gambar. 6.5 Comdev Center di Daerah Partnership/LSM/ Kelompok Profesional
Universitas
Industri/ Dunia Usaha
Investor/ Perbankan
Comdev Center
Pemerintah dan DPRD
Masyarakat
Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam praktek pengelolaan pragram comdev berada di bawah satu kelembagaan yang disebut dengan comdev center. Comdev Center ini menjalankan fungsi koordinasi. Praktek ini sesungguhnya mirip dengan praktek penyelenggaraan program kerjasama antar daerah ‖Kartamantul‖ – Jogjakarta, Sleman dan Bantul. Kartamantul adalah lembaga yang dikelola secara profesional dengan SDM yang ditunjuk khusus untuk bertanggung jawab mengelola pelaksanaan kerjasama antar daerah. Idealnya, praktek comdev dikelola di bawah satu kendali – dalam hal ini pemerintah daerah dan DPRD – karena dengan cara seperti itu dapat menghindari terjadinya tumpang tindih program, meminimalisasi adanya kesenjangan (ketimpangan) sasaran atau target komunitas pembangunan masyarakat di daerah.
Disamping itu, bila dikelola secara profesional
relatif menjamin tatalaksana atau tatakelola (manajemen) program comdev sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. 219
Dengen
demikian
diharapkan
transparansi
dapat
didorong,
kecurangan pihak-pihak tertentu dapat diminimalisasi, dan akuntabilitas dengan mudah dapat diminta oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Comdev Center akan meminimalisir terjadinya tumpang tindih program, mengeliminir kemungkinan tidak tertangani program comdev dan mencegah terjadinya pemborosan anggaran. 3. Aspek SDM Pengelola Dalam program comdev, masyarakat memiliki keterbatasan untuk memberdayakan dan mengembangkan dirinya sendiri, sehingga masyarakat butuh suatu pendampingan yang intensif dan tepat. Pendampingan ini diperlukan sebagai media transfer pengetahuan (knowledge transfer) untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Demi tercapainya masyarakat sejahtera yang menjadi tujuan program comdev, maka dibutuhkan orangorang atau SDM yang memiliki kapasitas dan kualitas yang baik. Beberapa hal yang penting dari tenaga pendamping program comdev antara lain sebagai berikut : a. Pendamping
bertugas
menyertai
proses
pembentukan
dan
penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator. b. Lingkup pembinaan yang dilakukan para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni kualitas para anggota dan pengurus kelompok serta peningkatan kemampuan usaha anggota. Untuk maksud tersebut, pendamping perlu mengenal dan mengadakan komunikasi yang intensif dengan kelompok. c. Pendamping yang paling efektif adalah dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu anggota masyarakat yang telah lebih sejahtera dan telah berhasil dalam kehidupan dan kegiatan ekonominya. Selain itu, dapat pula direkrut sarjana-sarjana untuk menjadi pendamping purna waktu. d. Pendamping dapat diambil dari petugas lapangan pada tingkat kecamatan dan desa dari berbagai departemen dan lembaga kemasyarakatan.
220
e. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, pendamping harus siap
bekerja
setiap
waktu,
menghadiri
pertemuan
kelompok,
mengorganisasikan program latihan, serta membantu kelompok dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan elemen terpenting dalam menjalankan suatu program. Suatu program yang ideal sangat mustahil akan berhasil tanpa dibarengi dengan SDM pengelola yang juga memadai baik dari jumlah maupun kemampuannya. Mengingat begitu pentingnya SDM, maka diperlukan suatu pengelolaan secara sistematis, terencana dan terpola agar tujuan program yang diinginkan pada masa sekarang maupun yang akan datang dapat tercapai secara optimal. Dengan kata lain, keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh orang-orang atau SDM yang terlibat di dalamnya. Banyak permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan suatu program disebabkan oleh faktor dukungan SDM pengelola ini. Misalnya kurangnya jumlah SDM pendukung pelaksanaan program, kurangnya kompetensi SDM pengelola program, ataupun berkaitan dengan insentif yang diterima orangorang yang terlibat dalam program tersebut. Berkaitan dengan jumlah SDM ditemui masalah kekurangan atau bahkan kelebihan jumlah SDM pendukung program comdev. Mungkin secara jumlah kelebihan, tapi belum tentu semua memiliki kompetensi yang memadai sehingga hal tersebut hanya menimbulkan inefisiensi saja. Tapi yang lebih banyak ditemui di lapangan adalah kekurangan jumlah SDM. Hal ini berkaitan dengan mekanisme pengisian jabatan yang mungkin terlalu rumit, sehingga apabila terjadi kekosongan jabatan, proses pengisiannya kembali memakan waktu yang agak lama. Misalnya dalam pengelolaan program PNPM-MP di Kutai Timur, kondisi FK/FT belum lengkap, di salah satu kecamatan, misalnya Kecamatan Sandaran tidak ada 1 FK/FT pun karena satu FK yang ada sedang cuti hamil. Selama ini perekrutan fasilitator untuk program PNPM dilakukan di tingkat provinsi, nanti dari provinsi baru disebar ke kabupaten/kota dan kecamatan. Mekanisme perekrutan seperti ini
221
dirasakan cukup rumit dan jalurnya terlalu panjang sehingga menimbulkan inefisiensi. Berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki para SDM pengelola program comdev, kemampuan yang mereka miliki kebanyakan masih kurang dari apa yang diharapkan. Misalnya fasilitator yang masih belum memahami benar tentang PTO suatu program comdev. Lalu pola pikir mereka yang belum bermuara pada kesejahteraan masyarakat, tapi lebih pada pola pikir proyek. Misalnya banyak masalah dalam pengelolaan PNPM di beberapa daerah dimana kapasitas para SDM nya masih lemah dalam hal pendampingan masyarakat sehingga akhirnya tujuan program tidak tercapai. Kelemahankelemahan ini disebabkan oleh kesalahan dalam proses perekrutan SDM, atau dalam hal penempatan SDM yang tidak sesuai. Sebagai contoh, fasilitator bidang keuangan ditempati sarjana teknik. Fasilitator bidang teknis untuk menghitung biaya konstruksi, tapi malah ditempati sarjana sosial. Hal ini harus diperbaiki supaya pelaksanaan program bisa lebih efektif dan efisien. Program comdev ini memang menarik perhatian banyak pihak. Tidak sedikit orang yang berniat buruk dengan terlibat dalam program ini. Hal ini terlihat dengan banyaknya terjadi penyelewengan dana oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga sangat merugikan masyarakat. Untuk itu mengingat begitu mulianya tujuan suatu program comdev, maka SDM pengelolanya
haruslah
dipilih
dari
seseorang
yang
berkualitas,
berpengalaman, berjiwa kepemimpinan, mengetahui kebudayaan setempat dan bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat serta punya wawasan yang luas dan mampu dalam hal pemberdayaan. Komitmen mereka dalam pemberdayaan masyarakat haruslah jelas demi kesejahteraan masyarakat, bukan hanya orang yang mau bekerja karena sekadar mendapatkan proyek. Selanjutnya berkaitan dengan insentif yang diterima sebagai reward bagi orang-orang yang terlibat dalam program comdev. Reward ini juga bisa menjadi motivasi bagi orang-orang yang terlibat untuk lebih berperan lagi dalam pencapaian tujuan program comdev. Hal ini sangat sensitif, banyak
222
masalah yang muncul berkaitan dengan hal ini. Keterbatasan dana menjadi sumber permasalahannya, misalnya dalam pengelolaan program PNPM sering dijumpai adanya kecemburuan dari aparat pemerintah yang terlibat dalam program tersebut terhadap para fasilitator yang memang insentifnya telah dianggarkan dalam program. Fasilitator di PNPM menerima insentif yang sudah cukup memadai, sedangkan pegawai kecamatan yang ikut terlibat dalam program tidak mendapatkan apa-apa. Memang PNPM itu merupakan program pemerintah, sehingga memang tugas pegawai kecamatan itu untuk menjalankannya. Namun
dalam
hal
operasional
lapangan,
setidaknya
mereka
juga
membutuhkan dana. Mereka juga membutuhkan insentif sebagai reward atas keikutsertaan mereka dalam program pemberdayaan masyarakat tersebut mengingat medan yang mereka tempuh dalam pelaksanaan program tersebut juga tidak mudah. Namun pada kenyataannya selama ini belum ada reward yang diterima oleh pegawai yang terlibat dalam program tersebut. Ternyata program
comdev
sebagai
suatu
program
sosial
memang
sangat
membutuhkan pengabdian dan kerelawanan dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Permasalahan-permasalahan tersebut menghambat pencapaian tujuan dari suatu program pemberdayaan. Sangatlah disayangkan suatu program pemberdayaan masyarakat yang ideal semisal PNPM tidak berjalan efektif, dikarenakan kondisi SDM pengelolanya yang tidak memadai. Ke depan diharapkan hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi agar pencapaian program comdev jadi lebih efektif. Pertama mungkin dengan melakukan perbaikan atau penyederhanaan dalam mekanisme pengisian jabatan fasilitator program yang selama ini masih terlalu rumit dan jalurnya yang terlalu panjang. Proses yang terlalu panjang ini dapat dipangkas, sehingga menjadi lebih pendek dan lebih efektif dalam prakteknya. Berhubungan dengan kualitas SDM pengelola, pertama pada proses perekrutan harus dipilih SDM yang benar-benar mempunyai komitmen pada kesejahteraan masyarakat. Lalu penempatan masing-masing SDM harus
223
didasarkan pada latar belakang pendidikannya, jangan sampai terjadi kerancuan sehingga pencapaian tujuan program comdev jadi tidak efektif. Sebelum terjun ke lapangan, SDM pengelola comdev ini harus diberi pemahaman mengenai hakikat program itu sendiri supaya mereka benarbenar bisa mendampingi masyarakat di lapangan dengan ilmu yang mereka miliki. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas SDM pengelola diharapkan memperbanyak pembinaan dan pelatihan bagi para SDM pengelola program comdev. Terakhir reward yang diberikan pada para pelaku program comdev juga harus diperhatikan. Memang program comdev ini lebih mengarah pada program sosial, namun dalam prakteknya para pelaku program comdev juga membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi. Para pelaku program comdev ini juga membutuhkan penghargaan atas apa yang telah mereka lakukan selama ini, setidaknya untuk menutupi biaya operasional yang telah dikeluarkan selama menjalankan program. 4. Aspek Sistem Informasi Manajemen Comdev Misi
utama
pelaksanaan program
comdev adalah
terwujudnya
masyarakat yang memiliki keberdayaan (empowering) baik secara ekonomi, sosial-politik, budaya, agama dan sebagainya yang mencakup segenap aspek kehidupan. Untuk mampu mewujudkan misi tersebut, maka program pemberdayaan masyarakat yang akan dilaksanakan seyogyanya didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Untuk itu, menjadi tugas pemerintah daerah guna menyediakan data yang seakurat mungkin, agar program comdev yang dilaksanakan tidak tumpang tindih (overlapping) dan tidak salah sasaran. Langkah pertama dan utama yang harus dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi adalah ketersediaan data yang valid dan reliabel. Disinilah perlunya dibangun peta potensi dan masalah yang terkait dengan pelaksanaan program comdev. Selanjutnya, pembangunan sistem informasi biasanya diwujudkan dengan membangun software (perangkat lunak), tentunya software yang
224
sesuai dengan kebutuhan pengembangan comdev. Data-data yang telah terkumpul dan teridentifikasi tersebut, kemudian di-insert ke dalam software yang telah tersedia, sehingga para stakeholders dapat memanfaatkan data tersebut dengan mudah. Sebagai contoh, untuk mengetahui jumlah masyarakat miskin di suatu daerah dapat diperoleh melalui database yang dituangkan dalam software tertentu. Disamping software, pemerintah daerah pun perlu mempersiapkan sejumlah hardware (perangkat keras) berupa benda/peralatan/perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan program comdev. Intinya, kedua perangkat tersebut harus tersedia dalam kondisi baik dan memadai. Yang tak kalah penting adalah tersedianya SDM yang mampu mengelola sistem informasi tersebut. Oleh karenanya, strategi yang perlu ditempuh dalam rangka membangun sistem informasi adalah memberikan pendidikan dan pelatihan yang tepat bagi pegawai yang berminat mengembangkan sistem informasi comdev. Namun tentu saja, kondisi ini memerlukan dukungan dan komitmen pimpinan karena hal ini telah terbukti di berbagai tempat, bahwa dukungan pimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program. Komitmen dan keseriusan para pemimpin yang memiliki visi dan semangat entrepreneurship pun sangat diperlukan. Terbatasnya kapasitas SDM birokrasi untuk berubah, dan semakin skeptis bahkan apatis masyarakat terhadap suatu perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan memerlukan model kepemimpinan entrepreneur guna menyongsong perubahan. Ketersediaan unsur-unsur sebagaimana tersebut di atas (data, software & hardware, SDM dan komitmen pimpinan) niscaya akan melahirkan sistem informasi manajemen pemberdayaan masyarakat (community development) andal, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (decision support systems/DSS). DSS adalah sistem berbasis komputer yang interaktif, yang membantu pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model untuk menyelesaikan masalah yang tidak terstruktur. Dengan demikian, proses penggalian, pengolahan, penyajian
225
dan kegunaan informasi diharapkan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Hadirnya sistem informasi tersebut – selain sebagai supporting dalam proses persiapan dan pelaksanaan comdev – sekaligus dapat menjadi wahana akuntabilitas publik kepada masyarakat. Artinya, khalayak dapat mengakses segala sesuatu yang telah dilakukan oleh suatu daerah dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakatnya. Gambar 6.6. Sistem Informasi Comdev Data
Software Dan Hardware
SDM Pengelola
Komitmen Pimpinan
Supporting Pengambilan Keputusan dan Akuntab. Publik
SISTEM INFORMASI Sumber: PKKOD, 2010 (diolah)
5. Aspek Pembiayaan/Finansial Salah satu kritik tajam dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat selama ini adalah terkait dengan persoalan pembiayaan/finansial. Pertama, kritik yang sering dilontarkan terkait dengan keterbatasan anggaran untuk membiayai program-program comdev. Kedua, terkait dengan pengelolaan anggaran yang dianggap kurang transparan dan akuntabel dari para pelaksana/aktornya. Strategi pengembangan comdev pada aspek pembiayaan diarahkan pada dua persoalan mendasar yang menjadi sasaran kritik tersebut. Dalam hal keterbatasan anggaran, pengelola program comdev di daerah, yakni pemerintah dan pemerintah daerah hendaknya mampu menyusun kegiatan-kegiatan yang dapat menggugah pihak lain untuk bersedia membiayai kegiatan tersebut. Pihak lain yang dimaksud adalah para ‖investor‖ yang
meliputi
anggota
DPR/DPRD
dalam
menghasilkan
peraturan
perundangan di daerah, pengusaha nasional dan lokal, tokoh masyarakat, bahkan
lembaga-lembaga
donor
nasional/internasional.
Sebagaimana
diketahui, anggota dewan pada dasarnya juga merupakan investor manakala
226
mereka memberikan persetujuan pembiayaan program-program comdev. Dukungan para anggota dewan, yang terwujud dalam tindakan menyetujui pembiayaan tersebut tidak lain merupakan investasi bagi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Strategi yang dapat ditempuh yakni dengan cara meyakinkan anggota dewan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan benar-benar akan memberikan dampak signifikan bagi masyarakat dalam rangka pemberdayaan tidak hanya dari segi ekonomi (pengentasan kemiskinan) tetapi juga dari segi sosial politik, budaya, lingkungan hidup dan seterusnya. Dari kalangan pengusaha (dunia usaha), pembiayaan yang diberikan pun sangat diharapkan dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksanaan comdev di daerah. Dalam konteks ini, dunia usaha telah mempraktikkan apa yang dikenal dengan CSR. Namun demikian, karena tidak dikelola dengan baik, dana CSR tersebut kurang memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat di daerah. Strategi yang dapat ditempuh untuk mengefektifkan dana CSR yaitu perlunya intensifikasi dan ekstensifikasi penarikan dana CSR dari perusahaan-perusahaan yang ada di daerah serta manajemen keuangan CSR di dalam satu lembaga tertentu (Comdev Center), sebagaimana telah dibahas pada aspek kelembagaan. Intensifikasi penarikan dana CSR sangat diperlukan mengingat masih ada beberapa perusahaan yang belum sepenuhnya memenuhi kewajiban menyetorkan dana CSR-nya. Sedangkan ekstensifikasi
penarikan
dana
CSR
perlu dilakukan
seiring
dengan
bertumbuhnya perusahaan-perusahaan baru di wilayah pemerintah daerah yang bersangkutan. Namun demikian, yang terpenting adalah perlunya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas manajemen keuangan CSR itu, terutama jika dikaitkan dengan penyalurannya kepada masyarakat guna membiayai program dan kegiatan. Dalam
konsep
pembangunan
inklusif,
peran
serta
masyarakat
memperoleh porsi yang besar. Oleh karena itu, kontribusi pembiayaan dalam pemberdayaan dan pembangunan masyarakat daerah pun diberikan ruang
227
yang seluas-luasnya. Pemerintah daerah diharapkan melibatkan masyarakat dalam memberdayakan diri dan lingkungannya. Sebagai contoh, apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Purbalingga-Provinsi Jawa Tengah melalui Program Stimulan Pemugaran Rumah Keluarga Miskin (PSPR-GaKin), telah memberikan
satu
memberdayakan
benchmark
dirinya.
berupa
Masyarakat
pelibatan
desa
masyarakat
diberikan
dana
dalam stimulan
(rangsangan) sebesar Rp. 2 juta untuk merenovasi rumah warga yang dikategorikan ‘rusak‘ atau tidak layak huni. Tentu saja dana sebesar itu tidak mungkin mencukupi untuk memugar/merenovasi rumah, namun dengan adanya gotong-royong, maka renovasi rumah pun dapat berjalan dengan baik. Strategi yang ditempuh dalam hal ini lebih kepada pemeliharaan nilai-nilai lokal seperti gotong-royong, rukun agawe sentosa (kerukunan membuat hidup menjadi makmur), dan seterusnya. Artinya, dukungan pembiayaan dari masyarakat ternyata tidak harus berbentuk uang, tetapi dapat diganti dalam bentuk pikiran dan tenaga. Terakhir, strategi pembiayaan comdev dapat ditempuh dengan mengajukan pendanaan/pembiayaan kepada berbagai lembaga donor baik lembaga donor nasional maupun internasional. Di level nasional, salah satu yayasan telah berperan aktif dalam program pemberdayaan masyarakat adalah Yayasan Damandiri (pimpinan Dr. Haryono Suyono) dengan Program yang terkenal yakni POSDAYA (Pos Pemberdayaan Keluarga). Program POSDAYA sejatinya merupakan revitalisasi organisasi PKK dan Posyandu di perdesaan, dengan cara menambahkan kegiatan-kegiatan baru pada kedua organisasi kemasyarakatan tersebut. Adapun di level internasional, berbagai lembaga yang telah berperan aktif dalam program comdev antara lain: World Bank, UNDP, JICA (Jepang), CIDA (Kanada), ADB, dan sebagainya. Program PNPM Mandiri merupakan program pemberdayaan yang juga mendapat bantuan pembiayaan dari World Bank, selain pembiayaan dari APBN/APBD (rupiah murni). Dalam Keputusan Menko Kesra dijelaskan bahwa dukungan dari berbagai lembaga donor yang dikoordinasikan melalui Fasilitas pendukung PNPM Mandiri (PNPM Support Facility/PSF). Namun demikian,
228
pembiayaan yang diuraikan di atas lebih banyak mengarah kepada terciptanya ketergantungan masyarakat kepada pemerintah atau donatur. Untuk menciptakan kemandirian dalam pelaksanaan comdev, kiranya perlu menerapkan sistem perbankan. Hal ini dimaksudkan sebagai ‟exit startegy‖ guna mendidik para penerima bantuan menuju ke arah kemandirian, sehingga ke depan tidak lagi tergantung kepada donatur. Exit strategy ini dilakukan secara bertahap, mulai dari pemberian bantuan tanpa pengembalian, kemudian pinjaman lunak dan terakhir pinjaman komersial.
Oleh karena itu, pemerintah bersinergi dengan
perbankan untuk melaksanakan dan mensukseskan program pemberdayaan masyarakat, sehingga perbankan tidak hanya mengedepankan fungsi komersial akan tetapi harus mengimbangi kewajibannya dalam pelaksanaan fungsi sosial. 6. Aspek Manajemen Program Kendatipun telah mendapat dukungan luas dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, comdev tetap harus dikelola/di-manage secara professional agar mendapatkan hasil optimal. Progam comdev akan berhasil jika dipersiapkan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang konsisten, kepemimpinan yang tegas dan adil, koordinasi yang jelas dan luwes, serta monev yang jeli dan langkah tindak lanjut. a. Perencanaan Strategi yang perlu ditempuh dalam perencanaan program comdev menyangkut dua hal: menyederhanakan proses perencanaan dan memberikan
literasi
kepada
masyarakat
dalam
mengidentifikasi
kebutuhan mereka. Pertama, penyederhanaan proses atau
tahapan perencanaan
sangat urgent dilaksanakan. Bercermin dari praktik perencanaan program PNPM Mandiri, proses yang ‘bertele-tele‘ pada akhirnya merugikan masyarakat karena mengganggu tahapan berikutnya. Di satu sisi, mungkin perencanaan yang ‘jelimet‘ akan dianggap memenuhi prinsip partisipatif
229
karena semua komponen dapat terlibat dalam proses, namun di sisi lain hal itu dianggap mengganggu siklus karena pada kenyataannya dapat disederhanakan. Oleh karena itu, tanpa mengurangi substansi dan ruang bagi partisipasi warga, penyederhanaan proses perencanaan layak dipertimbangkan dalam memperbaiki perencanaan program comdev. Kedua,
pemberian
penjelasan
substansi
perencanaan
pun
merupakan strategi yang perlu dilakukan. Literasi semacam ini sangat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat awam yang kurang memahami perencanaan program/kegiatan. Sehingga ke depan tidak muncul lagi daftar keinginan (wants), karena masyarakat sudah mengerti kebutuhan-kebutuhannya (needs). Metode-metode canggih dan ilmiah bisa saja diperkenalkan, namun yang terpenting adalah masyarakat mau dan mampu berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan. b. Pelaksanaan Strategi yang dapat ditempuh pada saat pelaksanaan atau operasionalisasi program comdev sangat bervariasi, tergantung program comdev yang dilaksanakan. Namun demikian, banyaknya varian bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa, justru sebaliknya, semakin banyak pula startegi yang dapat dilakukan. Beberapa strategi yang dapat diambil pada saat pelaksanaan comdev di antaranya: memperkuat dukungan birokrasi,
meningkatkan
kepedulian/
partisipasi
masyarakat,
dan
mengelola penerimaan masyarakat akan program comdev. Pertama, penguatan dukungan birokrasi memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan program comdev. Mengapa? Karena birokrasi/pemerintah
merupakan
satu-satunya
pilar
‗formal‘
yang
berwenang mengeluarkan perijinan, pengesahan, persetujuan, pelayanan publik yang bersifat monopoli dan seterusnya. Hal mana tidak mungkin dilakukan oleh pilar lain seperti dunia usaha, perguruan tinggi, LSM, anggota masyarakat, apa lagi lembaga donor. Oleh karena itu, sekreatif
230
apapun warga masyarakat dalam program comdev tidak terlalu berarti tanpa adanya dukungan birokrasi/pemerintah. Kedua, peningkatan kepedulian (masyarakat) terhadap program comdev. Pertanyaannya, adakah ketidakpedulian masyarakat terhadap program comdev yang dilakukan? Ada dan banyak buktinya (lihat penjelasan Bab sebelumnya mengenai kendala pelaksanaan comdev). Dalam konteks ini, masyarakat perlu diberikan informasi yang cukup mengenai suatu program comdev sehingga mereka mau peduli. Apabila sudah muncul kepedulian, diharapkan mau berpartisipasi dalam mensukseskan program comdev tersebut. Kuncinya adalah mengubah sikap/mindset masyarakat terhadap untuk mau peduli terhadap hal-hal yang baru atau dianggap baru. Ketiga, pengelolaan penerimaan masyarakat akan program comdev. Sesungguhnya ada banyak kemungkinan kenapa masyarakat tidak bersedia menerima suatu program, mungkin karena tidak mengetahui, tidak berkepentingan, dan atau tidak membutuhkan kehadiran program dimaksud. Program SRI (Sistem of Risk Intensification) yang dilaksanakan di desa Cutkaring-Kecamatan Blang Bintang, Aceh misalnya, pada awalnya masyarakat tidak menerima program tersebut. Dari sekian hektar yang diprogramkan pada tahun pertama, hanya tinggal setengah hektar masyarakat yang konkrit menjalankan program itu. Namun setelah masyarakat melihat bahwa hasil yang diperoleh dari program tersebut lebih baik daripada sebelumnya, masyarakat bisa menerima. Kendala penerimaan masyarakat ini juga ditemukan dalam implementasi program composing di Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau). Pada awalnya, masyarakat kurang yakin terhadap keberhasilan program composing karena situasi dan kondisi tanah yang tidak memungkinkan. Namun pada akhirnya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Senada dengan pernyataan di atas, kuncinya adalah bagaimana mengubah mindset masyarakat agar mau berubah dan melihat segala sesuatu secara positif thinking.
231
c. Kepemimpinan Keberhasilan program-program comdev tidak dapat terlepaskan dari peran kepemimpinan (leadership), baik kepemimpinan formal maupun informal. Presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, dan actor-aktor formal lainnya memang lebih banyak melakukan kepemimpinan formal dengan menerbitkan kebijakan/ peraturan tertentu. Sedangkan tokoh masyarakat, pemuka agama, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan mungkin lebih banyak memerankan kepemimpinan informal melalui pendekatan, persuasi, teladan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pemimpin formal pun dapat pula memerankan kepemimpinan informal. Contoh paling aktual dalam hal ini adalah Walikota Solo (Jokowi) yang dapat memerankan kepemimpinan formal maupun informal. Selain Walikota Solo, sosok Bupati Bantul kiranya dapat menjadi benchmark dalam pelaksanaan program comdev. Apa yang telah dilakukan beliau? Beliau merupakan salah satu kepala daerah yang berani dan berhasil mengajukan peraturan daerah (Perda) tentang Comdev di wilayah Kabupaten Bantul, sehingga perda ini menjadi ‗payung hukum‘ bagi seluruh pelaksanaan program comdev di sana dan dikenal dengan CD-MK (Community Development Mengentaskan Kemiskinan). Karakter dan semangat kepemimpinan semacam ini semestinya juga di‘cloning‘ oleh para bawahan/aparat di bawahnya seperti Sekda, Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor, dan Camat serta Lurah. Artinya, para pejabat di bawah bupati/walikota hendaknya memiliki karakter dan semangat kepemimpinan yang sama dengan bupati/walikotanya sehingga akan mempercepat pelaksanaan program comdev di daerah. Oleh karena itu, materi-materi mengenai pemberdayaan masyarakat pun mestinya dimasukkan ke dalam kurikulum Diklatpim Tingkat IV – I (Adum sampai Pim I) atau minimal Pim II dan Pim I. Harapannya, setelah menjadi pejabat kelak yang bersangkutan sudah memiliki mindset yang kuat untuk memberdayakan masyarakat daerahnya.
232
d. Koordinasi Koordinasi untuk menyatukan berbagai upaya agar menghasilkan sinergi serta untuk menghindari tumpang tindih sehingga dapat dijamin efisiensi dalam upaya mencapai hasil yang optimal. Point penting dalam koordinasi adalah menghilangkan ‗ego sektoral‘ masing-masing pihak yang berkepentingan. Strateginya adalah menyusun pembagian tugas dan wewenang yang jelas di antara semua stakeholders. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan Program Posdaya, Dinas Kesehatan, Bapermas, Bappeda dan Perguruan Tinggi diberi tugas dan wewenang tertentu, sehingga tidak perlu terjadi perebutan ‗lahan‘ dalam mengembangkan Posyandu sehingga menjadi lebih berdaya. Meski terdapat pernyataan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, koordinasi tetap perlu diwujudkan dengan memberikan kesempatan semua pihak melaksanakan tugas dan wewenang yang telah disepakati. Karena jelas bahwa minimnya koordinasi justru akan merugikan masyarakat sebagai kelompok sasaran program. Forum Koordinasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang dilakukan oleh Kabupaten Banyumas kiranya dapat menjadi benchmark suatu upaya melaksanakan koordinasi dalam pengelolaan hutan. Dengan begitu, tidak akan terjadi saling lempar tanggung jawab antara pihak satu dengan lainnya. e. Monev Monitoring atau pemantauan bisa dilaksanakan kapan saja, bahkan sejak perencanaan program comdev disusun. Sedangkan evaluasi biasanya dilakukan setelah program berakhir (tergantung kapan jangka waktu berakhirnya, bisa semesteran ataupun tahunan, tetapi pada umumnya satu tahunan). Dalam pemantauan, prinsipnya adalah kelengkapan pencatatan sebagai dasar pengendalian dan penyusunan informasi dasar yang lengkap, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi dan penyempurnaan
233
program comdev yang akan datang. Artinya, hasil pemantauan akan digunakan sebagai bahan dalam melakukan evaluasi dan pengendalian. Tentu, untuk melakukan evaluasi harus disusun pedoman pengukuran dan evaluasi yang komprehensif, sehingga ketika seseorang atau sebuah lembaga mengatakan ‘berhasil atau gagal‘, benar-benar didasarkan pada argumen yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun hasil
evaluasi/pengendalian selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai bahan tindakan koreksi atau perbaikan serta langkah tindak lanjut demi kelangsungan program. Hal ini berarti bahwa program comdev tidak berhenti (karena merasa berhasil misalnya), tetapi harus berjalan terus secara berkelanjutan (continuity). Jika digambarkan, maka manajemen program comdev akan terlihat sebagai berikut: Gambar. 6.7 Manajemen Program Comdev
PNPM
BANK
CSR
Pemerintah/Pemda
Masyarakat
Pembentukan Komunitas Produktif
Tahap Persiapan
Komunitas Produktif Terlembagakan
Lembaga Pembinaan dan Pendampingan
Produktif Terbina Operasio nalisasi Prog. Comdev MONEV Program Comdev Kelompok Sasaran Program Comdev
Sumber: Diadaptasi dari Model Manajemen Comdev Bantul, 2010.
234
PENUTUP
BAB
7 Pembangunan daerah tidak lagi dilakukan secara eksklusif oleh segelintir aktor (pemerintah daerah dan perangkatnya) tetapi telah mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan yang ada di daerah. Hal ini sesungguhnya telah sesuai dengan harapan dan keinginan semua pihak bahwa pembangunan bukan milik elit atau kelompok tertentu, tetapi hendaknya melibatkan semua pihak (inklusif). Praktik pembangunan yang bersifat inklusif telah mulai nampak di berbagai daerah, sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelunya. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri dengan munculnya sejumlah permasalahan yang membelit di
dalamnya.
Dengan
kata
lain,
proses
pembangunan
inklusif
yang
mengedepankan pemberdayaan masyarakat (comdev) secara umum dapat dikatakan masih memerlukan penanganan serius dari berbagai pihak. Pada bagian ini akan disampaikan kesimpulan dari keseluruhan hasil kajian yang telah dilaksanakan oleh tim, dan diakhir pembahasan akan disampaikan pula saran/rekomendasi dalam upaya meningkatkan pelaksanaan comdev di daerah. A. KESIMPULAN Dari berbagai gambaran yang diperoleh di lapangan dapat disimpulkan hal-hal penting sebaagi berikut: 1. Sejak otonomi daerah, terjadi peningkatan
pelaksanaan praktek
community development (comdev) baik secara kuantitas maupun kualitas, yakni penekanan pembangunan pada pendekatan bottom up dan partisipatoris. Banyak model comdev yang telah dilakukan baik dengan hasil fisik dan hasil non fisik. Salah satu model comdev yang diprakarsai
235
oleh
Pemerintah
Pusat adalah
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri, baik PNPM Mandiri Pedesaan maupun PNPM Mandiri Perkotaan). Di level daerah, ada pula program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan berdasarkan tugas pokok dan fungsi satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), yang didanai dengan APBD maupun APBN. Selain pemberdayaan masyarakat yang murni dilakukan oleh pemerintah daerah, terdapat pula pemberdayaan yang dikerjasamakan dengan pihak lain seperti Lembaga Donor, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Perguruan Tinggi. 2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga sangat dibutuhkan dalam mendorong keberhasilan pembangunan secara mandiri. Kegiatan yang dilakukan LSM bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat daerah dalam pembangunan. Sebagai contoh, pemberdayaan yang dilaksanakan oleh LSM SATUNAMA (Yayasan Kesatuan Kerjasama), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan memperkuat masyarakat sipil di Indonesia melalui pendampingan masyarakat, advokasi dan pelatihan melalui People Empowerment Program, Nurturing Democrazy Through Interfaith and Intercultural Cooperation, Resources Development Centre (RDC) dan Community Sustainable Livelihood through Agro Biodiversity, dan sebagainya). 3. Peranan Perguruan Tinggi, melalui Lembaga Pengabdian Masyarakat merupakan bagian dari program Tri Dharma Perguruan Tinggi, misalnya dilaksanakan melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pemberdayaan Masyarakat. 4. Perusahaan memandang CSR bukan sebagai bentuk kompensasi, namun telah mencoba memulai dengan melihat masalah, membantu masyarakat lokal, dan sebagai bentuk komitmen terhadap lingkungan hidup. 5. Prakarsa masyarakat, timbul karena keinginan mereka sendiri untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan dan kapasitas diri. Di banyak daerah praktek comdev yang muncul dari inisiatif masyarakat paling banyak dijumpai dalam bentuk industri rumah tangga (home industry).
236
6. Problematika yang ditemui dalam praktek comdev dari berbagai kasus di daerah yang pertama adalah dari aspek kebijakan yang tumpang tindih, kurang jelas dan tidak komprehensif. Dari segi manajemen, sebagian besar daerah mengalami problematika perencanaan sampai pada monev. Selain kesulitan anggaran karena PAD yang kecil dan ego sektoral secara tidak langsung menghambat pencapaian tujuan program itu sendiri. 7. Kendala lain adalah sulitnya merubah mindset masyarakat, kurangnya transparansi dalam pengajuan program, saling lempar tanggung jawab antar pihak dan tidak adanya kontinuitas program yang membuat kesuksesan suatu program tidak dapat dipertahankan 8. Hasil temuan lapangan tidak semua program comdev
mengalami
problematika yang berarti, hal ini merupakan faktor yang mendukung sebuah program dapat berjalan dengan baik, manajemen yang baik, faktor kerjasama yang positif dan keterlibatan pemerintah daerah untuk meningkatkan hasil. 9. Partisipasi masyarakat sebagai prinsip dasar program comdev, karena partisipasi masyarakat yang baik dapat menunjang keberhasilan program. Hal lain yang menjadi faktor pendorong keberhasilan adalah kapasitas dan sikap mental pelaku comdev serta karakteristik lokal perlu menjadi perhatian menyangkut strategi yang ditempuh. B. REKOMENDASI Terkait dengan uraian di atas, maka tim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan. Perlu adanya kebijakan nasional yang dapat mengintegrasikan dan mensinergikan semua level dan unit pemerintahan serta pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan program comdev. Sekalipun dengan catatan bahwa kebijakan yang bersifat nasional dimaksud tidak harus selalu dimaknai dengan penyeragaman seperti semangat sentalistik yang dikembangkan di masa orde baru. Akan tetapi, kebijakan nasional yang ada justru memberi kelonggaran dan keleluasaan kepada semua
237
pihak untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan comdev ke depan, bentuk pengaturan atau produk hukum nasional tersebut seyogyanya dituangkan
dalam
undang-undang
(UU)
tentang
Pemberdayaan
Masyarakat. Dengan lahirnya UU ini diharapkan dapat mengakselerasi dan menyempurnakan pelaksanaan program-program comdev di daerah. 2. Kelembagaan penanggungjawab program comdev dibentuk dengan prinsip sinergitasitas. Kelembagaan yang disebut dengan comdev center. Comdev Center ini menjalankan fungsi koordinasi. Untuk kelembagaan pengelola comdev ini, idealnya praktek comdev dikelola di bahwa satu kendali, karena dengan cara seperti itu dapat menghindari terjadinya tumpang
tindih
program,
meminimalisasi
adanya
kesenjangan
(ketimpangan) sasaran atau target komunitas pembangunan masyarakat di daerah.
Format kelembagaan penanggung jawab program comdev
sebaiknya ditata sedemikian rupa agar prinsip sinergisitas dalam pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan daerah dapat lebih cepat terwujud, untuk itu di tingkat nasional Format Kelembagaan dibentuk seperti Tim Nasional Untuk Pemberdayaan Masyarakat (TNPM). Di tingkat daerah dibentuk Comdev Center yang masih berada dibawah koordinasi dengan TNPM. Selain itu format kelembagaan ini bila dikelola secara profesional relatif menjamin tatalaksana atau tatakelola (manajemen) program Comdev sesuai dengan prinsip-prinsip good local governance. Dengan demikian diharapkan transparansi dapat didorong, kecurangan pihak-pihak tertentu dapat diminimalisasi, dan akuntabilitas dengan mudah dapat diminta oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Selain itu stakeholders dapat berinteraksi secara positif. Pemerintah daerah setempat maupun pejabat-pejabat terkait di pemerintah pusat serta kalangan pers, LSM dan kalangan akademis. Perlu disadari bahwa program Comdev bukan sekedar keinginan dari kalangan dunia usaha belaka tetapi harus berdasarkan analisis kebutuhan komunitas. 3. Pengelolaan Comdev perlu mendapat dukungan sistem informasi manajemen yang menjadi strategis apabila dilaksanakan dengan tepat,
238
aspiratif bahkan membangun berdasarkan kerangka kebutuhan nyata rakyatnya. Hal ini untuk menghindari munculnya permasalahan yang nampaknya perlu mendapat perhatian, salah satunya adalah konsistensi acuan pembanguan yang mesti dilaksanakan termasuk di dalamnya konsep perencanaan dan pelaksanaan pembangunan partisipatif dan terintegrasi. Sistem Informasi manejemen Comdev merupakan satu sistem yang diciptakan untuk mengelola informasi dan berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, sehingga penggalian, pengolahan, penyajian dan kegunaan informasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, faktor lainnya adalah komitmen dan keseriusan pemerintah terutama para pemimpinnya merupakan faktor yang paling strategis. Faktor pendukung lain yang perlu diperbaiki menyangkut kuantitas dan kualitas sistem informasi, apabila para pemimpin di lembaga pemerintahan memilki komitmen dan keseriusan untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka, lebih efektif, efisien dan akuntabel melalui pengembangan eGovernment. 4. Berhubungan dengan kualitas SDM pengelola, pertama pada proses perekrutan harus dipilih SDM yang benar-benar mempunyai komitmen pada kesejahteraan masyarakat. Lalu penempatan masing-masing SDM harus didasarkan pada latar belakang pendidikannya, jangan sampai terjadi kerancuan sehingga pencapaian tujuan program comdev jadi tidak efektif. Sebelum terjun ke lapangan, SDM pengelola comdev ini harus diberi pemahaman mengenai hakikat program itu sendiri supaya mereka benar-benar bisa mendampingi masyarakat di lapangan dengan ilmu yang mereka miliki. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas SDM pengelola diharapkan memperbanyak pembinaan dan pelatihan bagi para SDM pengelola program comdev. 5. Terakhir, perlunya pemberian reward yang proporsional bagi para pelaku/petugas program comdev (selain fasilitator seperti FT dan FK pada PNPM Mandiri). Memang program comdev ini lebih mengarah pada
239
program sosial, namun dalam prakteknya para pelaku program comdev juga membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi. Para pelaku program comdev ini juga membutuhkan penghargaan atas apa yang telah dilakukan selama ini, paling tidak untuk menutupi biaya operasional yang telah dikeluarkan selama menjalankan program.
240
DAFTAR PUSTAKA
Chang Soo Choe, Ph.D, Key Factors to Succesful Community Development : The Korean Experience, Institute of Developing Economies (IDE) Jetro, November 2005. Derick W. Brinkerhoff, with Omar Azfar, Decentralization and Community Empowerment: Does community empowerment deepen democracy and improve service delivery?, Oktober 2005. Dr. Love M. Chile [PhD]. Good Community Development Practice: An instrument for Building Community and Developing Society. Keynote Address to the New Zealand Council of Social Services Conference. Hamilton Gardens Pavilion, Hamilton, New Zealand. 19-20 September 2004. FCLC acknowledges the Melbourne based Association of Neighbourhood Houses & Learning Centres [ANHLC] for these principles. Frank, Flo and Anne Smith, The Community Development Handbook: A Tool to Build Community Capacity, Minister of Public Works and Government Services Canada,1999. Hasim and Remiswal, Ecosystem-based Community Development, Jakarta, Diadit Media, 2009. Jim Ife and Frank Tesoriero, Community Development : Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, September 2008. Johnson, Thomas G, Successful Community Development Strategies, Department of Agricultural Economics, Virginia Polytechnic Institute and State University, September 1989. Jones and Silva (1991) dalam ibid J. Norman Reid, Community Development : How People Power Brings Sustainable Benefits to Communities, USDA Rural Development Office of Community Development, Juni 2000. La Ode Ida. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK).2002. hal 56.
241
Mansuri, Ghazala and Vijayendra Rao, Community Based (and Driven) Development : A Critical Review, Development Research Group The World Bank, November 2003. Phillips, Rhonda and Robert H. Pittman , An introduction to community development, New York, Routledge, 2009. Paper developed by Greg Wise, Extension Community Development Agent and Associate Professor, University of Wisconsin-Extension – Sauk County specifically for the EPA/USDA Partnership project. Contributor: Elaine Andrews, Extension Environmental Education Specialist, Environmental Resources Center, University of Wisconsin-Extension. 1998. Wrihatnolo, Randy R and Riant Nugroho Dwijowijoto, Empowerment Manajemen, Jakarta, Gramedia, 2007. Zamhariri, Community Development: Perspective in Community Empowerment, paper in Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Volume 4 Number 1, June 2008. http://www.menkokesra.go.id/content/view/10592/39/, Kamis (26/2/2009) (UNDP, 2007) (World bank, 2009) (Depsos, 2006) (United States Departement of Agriculture, 2005) (Standing Conference for Community Development, 2001). (Damanhuri,1997; (Lee, 2006) (Ledwith dan Campling, 1997) Rahman (2009)
Victoria A Beard (2005)
242