LAN - RI PKKOD
Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2009 1
EXECUTIVE SUMMARY
Dengan adanya pengaturan baru yang mempertajam peran pemerintah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat dan sekaligus sebagai daerah otonom, maka diharapkan tidak akan terjadi disharmoni hubungan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. Hal tersebut sebagaimana tercantum pada penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004, poin 4 Pemerintahan Daerah, bahwa ―Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota‖. Upaya pembinaan oleh pemerintah provinsi terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dapat dilaksanakan melalui kerjasama antardaerah, dimana pengaturan tentang kerjasama antardaerah itu sendiri sebenarnya telah terwadahi di dalam Pasal 195 UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu bahwa: (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antardaerah yang diatur dengan keputusan bersama. (3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD. Dari substansi pasal di atas dapat dijelaskan bahwa kerjasama antardaerah dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah, terutama dalam hal pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa keberadaan pemerintahan pada dasarnya untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam konteks ini, peran pemerintah provinsi untuk melakukan koordinasi terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya sangat diperlukan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (4) PP Nomor 79 Tahun 2005: ―Koordinasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Gubernur‖. Kajian ini telah dilaksanakan di 6 (enam) Provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta), Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram), Provinsi Bali (Kabupaten Gianyar i2
dan Kota Denpasar) dan Provinsi Gorontalo Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo). Berdasarkan hasil analisis dan studi pustaka maka dapat disimpulkan halhal sebagai berikut : 1. Kajian peran pemerintah provinsi dalam implementasi kerjasama antardaerah dipandang sebagai isu menarik dan cukup stratejik. Dikatakan menarik dan stratejik karena tidak saja isu ini relatif baru dan belum mendapat perhatian banyak pihak, tetapi juga karena posisi dan kewenangan pemerintah provinsi sangat stratejik bagi keberhasilan suatu kerjasama antardaerah. Sementara kerjasama antardaerah oleh banyak pihak di era sekarang ini dianggap sebagai suatu urusan yang urgen dan ‗mutlak‘ dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan publik. 2. Urgensi kerjasama antaradaerah terutama karena beberapa alasan, diantaranya; a. Bahwa kerjasama merupakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Maksudnya, kerjasama adalah urusan bersama yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. b. Perkembangan daerah atau perkotaan belakangan ini sudah melampaui batas-batas wilayah administratif (provinsi, kabupaten/kota) termasuk pelayanan dan pembangunan, seperti tata ruang, jalan, transportasi, perdagangan, air, kesehatan, pendidikan, ketentraman ketertiban dan lain sebagainya. c. Percepatan pembangunan antardaerah dan dengan negara tetangga serta daerah tertinggal. d. Demi prinsip efesiensi dan efektifitas pelayanan publik. 3. Menyadari urgensi dan kebutuhan akan kerjasama antardaerah ini, maka semua pihak dituntut untuk berperan aktif. Setiap level pemerintahan di negeri ini harus memainkan peranan yang besar untuk mendorong keberhasilan agenda kerjasama antardaerah. Terlebih bagi pihak pemerintah provinsi yang posisinya disamping sebagai wakil pemerintah pusat juga sebagai kepala daerah. Namun kenyataannya peran provinsi justru masing sering dipertanyakan, terutama oleh pemerintah kabupaten/kota dalam proses kerjasama antardaerah yang telah atau sedang berjalan selama ini. 4. Sejauh ini peran provinsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yakni sebagai pihak pelaku/aktor yang melakukan kerjasama dan sebagai pihak pembina kabupaten/kota yang ada diwilayahnya. Kajian ini pada dasarnya mencakup kedua peran tersebut, namun mengingat urgensinya maka bahasan lebih ditekankan pada peran provinsi selaku ‘pembina dan pengawas‘ kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dalam melakukan kerjasama antardaerah mengikuti logika kewenangan provinsi sebagaimana diatur oleh undang-undang. 5. Dalam kapasitasnya sebagai ‘pembina dan pengawas‘, dinamika peran pemerintah provinsi dalam praktik kerjasama antardaerah yang nampak di wilayah provinsi (terutama di provinsi yang menjadi lokus kajian) dapat dijelas secara singkat sebagaimana paparan berikut. 3ii
a. Untuk kasus DIY, dinamika peran provinsi relatif berbeda dengan provinsi lain. Perbedaan itu terutama karena munculnya kontroversi (perbedaan pandangan) antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten kota. Di satu pihak, pemerintah provinsi beranggapan bahwa selama ini mereka telah berperan aktif dalam setiap kerjasama antardaerah, sementara pihak kabupaten/kota justru berpendapat lain. Menilai bahwa selama ini pemerintah provinsi tidak optimal untuk tidak mengatakan tidak berperan sama sekali. Sekalipun dalam perkembangannya karena alasan kewenangan yang melekat pada provinsi sehingga provinsi dengan sendirinya harus terlibat, seperti dalam aspek legalitas terutama saat penandatangan keputusan atau kesepakatan kerjasama. Munculnya perbedaan pendapat seperti telah disebutkan tadi, berkembang terutama dilatari oleh egosentrisme kabupaten/kota yang tidak lepas dari semangat pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1990. Terlebih bila dilihat dari pelaksanaan kerjasama antradaerah semisal Kartamantul, merupakan praktik kerjasama antardaerah yang terbentuk lebih awal dibanding dengan provinsi lain. Dengan kata lain semangat yang melandasi kerjasama Kartamantul pada awalnya mengacu pada UU No. 22 Tahun 1990, yang kemudian diikuti dengan beberapa penyesuaian setelah UU No. 32 Tahun 2003 diberlakukan. b. Untuk Bali, peran provinsi dapat dilihat dalam praktik kerjasama SARBAGITA, SARBAGITAKU dan DSDP. Dalam kasus SARBAGITA, Inisiatif pada dasarnya datang dari kabupaten/kota. Peran provinsi kemudian adalah turut menkoordinir pertemuan antar bupati, yang ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk peran lain. Seperti membuat pengaturan (regulasi), dan didalamnya pihak provinsi diminta untuk menjadi pembina, memfasilitasi, dan ikut menyelesaikan konflik bila terjadi masalah dalam proses kerjasama itu. Pengalaman positif SARBAGITA, kemudian mengilhami terbentuknya SARBAGITAKU dan DSDP. Di sini pihak provinsi terlibat semakin initens, bahkan tampil sebagai inisiator, menyusun perencanaan dan konsep, dan ikut serta dalam mencari mitra kerjasama, sampai pada upaya mempersiapkan pendanaan untuk mendorong keberhasilan kerjasama SARBAGITAKU dan DSDP. c. Pengalaman yang hampir sama terdapat di NTB. Bahkan peran provinsi NTB dalam berbagai kerjasama antardaerah nampak lebih maju dan komprehensif. Pihak provinsi telah terlibat sejak awal, mulai dari menggagas kerjasama, menyusun konsep, membuat perangkat peraturan, bahkan pendekatan siklus anggaran diterapkan dengan memasukkan program kerjasama dalam agenda pembangunan daerah. Sehingga masing-masing pihak bertanggungjawab dan berkewajiban menjalankan program-program kerjasama yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Peran provinsi seperti ini terlihat dalam kerjasama di bidang pendidikan untuk siswa miskin, kerjasama jaminan kesehatan (Jamkesnas), kerjasama pengembangan pariwisata dan kerjasama di bidang peternakan yang bertajuk ‖Bumi Sejuta Sapi‖. d. Berbeda dengan DIY, Bali maupun NTB, peran provinsi Kalimantan Timur relatif masih terbatas. Dapat dimaklumi mengingat kerjasama antardaerah 4
iii
dalam lingkup kabupaten/kota juga masih terbatas. Namun yang patut diapresiasi dari pengalaman Kalimantan Timur adalah keberhasilan provinsi menggalang kerjasama dengan kabupaten/kota dibidang pendidikan. Program wajib belajar 12 tahun gratis dipastikan menjadi agenda pemerintah daerah (dimasukan dalam APBD masing-masing pemerintah kabupaten/kota) sebagaimana tertuang dalam naskah perjanjian bersama. Semua ini digagas oleh pihak provinsi, dikoordinasikan pelaksanaannya, bahkan ikut dalam pendanaan. e. Tidak berbeda jauh dengan Kalimantan Timur, Provinsi Gorontalo juga memainkan peran khususnya kerjasama di bidang penanggulangan kemiskinan. Keterlibatannya terlihat dalam mengkoordinasikan dan mengontrol terlaksanannya program ini. Inisiatif untuk meminta BPKP Sulawesi Utara untuk mengaudit APBD masing-masing kabupaten/kota dan juga provinsi sebagai bentuk jaminan terimplementasikannya MoU merupakan langkah konkrit pemerintah provinsi dalam urusan kerjasama antardaerah. Keenam, Kepulauan Riau. Sebagai provinsi baru, nampaknya harus banyak belajar dari daerah lain. Karena ternyata pengalaman dalam menjalankan kerjasama internasional tidak diikuti dengan kerjasama antardaerah. Ironisnya, unit yang menangani bidang ini pun masih sebatas sub-bagian yang berada di bawah Kepala Bagian Pemerintahan Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Dan yang cukup memperhatikan karena ternyata kesadaran untuk menjadikan kerjasama antardaerah sebagai suatu prioritas kebijakan belum nampak pada aparatur pemerintah daerah di semua level. Oleh karenanya wajar bila yang yang terjadi adalah keterbatasan peran provinsi dalam urusan ini. 6. Masalah keterbatasan peran pemerintah provinsi memang perlu terus diwacanakan. Dalam pengamatan di lapangan, keterbatasan peran itu dipandang lebih dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Dari sisi regulasi dimana peraturan yang ada belum dianggap menyentuh aspek-aspek praktis kerjasama antardaerah. Karena belum ada juklak dan juknis yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah. Akan tetapi, ke depan sepertinya sebagian kendala atau masalah di atas tidak lagi dapat dijadikan dalih atau alasan mengingat telah dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah dan Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama Daerah. b. Dari sisi kelembagaan terutama karena belum semua pemerintah provinsi atau kabupaten/kota melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan sesuai amamat PP nomor 41 tahun 2007 dan belum semua pemerintah daerah membentuk Tim Koordinasi Kerjasama sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 193/1709/SJ tahun 2008. c. Sumber Daya Manusia, baik karena alasan kualitas maupun jumlah aparatur yang terbatas atau karena alasan lain semisal pergantian personil karena kebijakan mutasi atau alasan lain seperti suksesi pimpinan/elit pemerintah daerah dengan segala konsekuensinya. Pendanaan atau pengganggaran. Alasan klasik ini selalu dijumpai dalam 5
iv
setiap urusan, tak terkecuali di bidang kerjasama daerah. Mulai dari siapa, seperti apa pola pembagiannya, serta dari mana sumbernya, turut mewarnai kelancaran dan keberhasilan suatu bentuk kerjasama. d. Masalah koordinasi. Lemahnya koordinasi antar level pemerintah (antar pemerintah pusat, pemeritah provinsi, dan pemerintah kapupaten/kota) dalam suatu urusan kerjasama dijumpai misalnya dalam kasus DSDP. Koordinasi akan lebih sulit lagi bila semangat egosentrisme dihinggapi oleh pemerintah daerah dengan dalih otonomi daerah yang salah kaprah. Ditambah dengan beberapa persoalan lainnya seperti, faktor belum teridentifikasinya urusan kerjasama secara baik, ketidaksiapan masyarakat, atau justru pemerintah daerah itu sendiri yang tidak menganggap penting kerjasama antardaerah sehingga tidak dijadikan sebagai satu prioritas kebijakan. 7. Kedepan, peran provinsi seharusnya dioptimalkan. Beberapa model peran sangat mungkin dilakukan mulai dari (i) Model Regulatif, (ii) Model Inisiatif, (iii) Model Koordinatif, (iv) Model Fasilitatif, (v) Model Negosiatif, (vi) Model Mediatif, (vii) Model Arbitratif, (viii) Model Monitoring dan Evaluasi. Peranperan ini sepatutnya dijadikan bahan pemikiran dan dasar pijakan dengan tetap memperhatikan tingkat kebutuhan masing-masing pemerintah daerah yang akan merealisasikan suatu kerjasama antardaerah. Dari hasil analisis data lapangan, tim kajian memberikan beberapa catatan sebagai bentuk rekomendasi kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu ada upaya dari semua pihak untuk mendorong tumbuhnya pemahaman akan urgensi pelaksanaan kerjasama antardaerah yang ditindaklanjuti adanya sikap dan komitmen dengan menempatkan urusan kerjasama antardaerah sebagai salah satu prioritas kebijakan pemerintah di daerah yang diwujudkan dalam bentuk produk-produk hukum di daerah. 2. Untuk mendukung terealisasinya point pertama di atas, pemerintah daerah dituntut untuk segera melakukan langkah-langkah strategik dan segera mengidentifikasi urusan pemerintahan yang dapat dikerjasamakan dalam kerangka kerjasama antardaerah. 3. Sosialisasi peraturan perundangan secara terus menerus dan berkelanjutan, mulai dari PP 50/2007, Surat Edaran Mendagri tentang perlunya membentuk Tim Koordinasi Kerjasama Daerah, dan Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah dan Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama Daerah. 4. Koordinasi antar pemerintah terkait kerjasama antardaerah, mulai dari tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang selama ini dipandang lemah menjadi tantangan bagi semua pihak. Upaya-upaya koordinasi yang intensif untuk menyamakan persepsi, sinkronisasi program dan kegiatan merupakan hal yang mutlak diperlukan. 5. Pemerintah khususnya provinsi dan kabupaten kota perlu melakukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas aparatur penyelenggara kerjasama, karena hal itu ikut menentukan tingkat keberhasilan kerjasama. Khusus untuk peningkatan kualitas pemahaman, pemerintah daerah secara intens perlu melakukan pembekalan, pelatihan, workshop atau kegiatan semacamnya. 6v
6. Untuk lebih mengoptimalkan dan memberdayakan peran pemerintah provinsi, maka perlu segera dibentuk kelembagaan kerjasama sesuai amanat PP No. 41 Tahun 2007. Dukungan dari elite pemerintah daerah untuk segera melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan dengan membentuk kelembagaan untuk membidangi kerjasama merupakan langkah yang tepat. Penyamaan nomenklatur kelembagaan tentu tidak perlu dipaksakan mengikuti nama kelembagaan di daerah lain, namun sebaiknya menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. 7. Mengoptimalkan pelaksanaan model-model peran pemerintah provinsi dalam mewujudkan kerjasama antardaerah. Bahkan sangat memungkinkan untuk melakukan inovasi baik dalam upaya mencari model-model peran lain yang dianggap sesuai dengan karakteristik dan permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah. 8. Menuangkan model-model peran pemerintah provinsi ke dalam dokumen kebijakan sebagai landasan legalitas dalam mengoptimalkan peran provinsi dalam kerjasama antardaerah. 9. Menumbuh-kembangkan pemahaman dan kesadaran masyarakat adalah hal yang tidak boleh diabaikan. Sebab dukungan dan partisipasi masyarakat merupakan faktor tersendiri bagi suatu keberhasilan kerjasama antardaerah. Oleh karenanya berbagai cara dalam rangka sosialisasi program pemerintah kepada masyarakat menjadi penting untuk dilaksanakan.
7vi
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY …………………………………………….. DAFTAR ISI ………………………………………………………………. Bab 1
Bab 2
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………........................ B. Rumusan Masalah ………………………………………………. C. Ruang Lingkup ……………………………………………………. D. Tujuan Kajian …………………………………........................ E. Hasil Yang diharapkan …………………………………………. F. Metodologi Kajian ……………………………………………….. KERANGKA KONSEPTUAL DAN KEBIJAKAN A. Pengertian Kerjasama Antar Daerah ……………………. B. Pengertian Relevansi dan Urgensi Kerjasama Antar Daerah………………………………………………………………… C. Pendekatan Kerjasama Antar Daerah .................... D. Kebijakan Kerjasama Antar Daerah .......................... E. Peran Provinsi dalam Kerjasama Antar Daerah ........
i vii 1 5 5 5 5 6 8 12 16 19 25
Bab 3
DINAMIKA PERAN PEMERINTAH PROVINSI DALAM KERJASAMA ANTARDAERAH A. Dasar Hukum Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah ……………………………………………………………….. 30 B Kerjasama Antar Daerah dan Dinamika Peran Provinsi ………………………………………………………………. 33 1. Kerjasama Antardaerah ………………………………. 33 2. Dinamika Peran Provinsi ……………………………… 51 C. Problematika Peran Provinsi ……………………………….. 67 1. Aspek Regulasi ……………………………………………. 68 2. Aspek Kelembagaan …….................................. 69 3. Aspek Sumber Daya Manusia ……………………… 70 4. Aspek Pendanaan/Anggaran ……………………….. 71 5. Aspek Koordinasi …………................................. 72 6. Lain-Lain …………………………………………………….. 73
Bab 4
MODEL PERAN PEMERINTAH PROVINSI DALAM KERJASAMA ANTARDAERAH DI INDONESIA A. Model Peran Provinsi dalam Kerjasama Antar Daerah ……………………………………………………………….. 75 1. Model Regulatif …………………………………………… 76 2. Model Inisiatif ……………………………………………… 80 3. Model Koordinatif ……………………………………….. 82 8
vii
4. Model Fasilitatif ………………………………………….. 5. Model Negosiatif …………………………………………. 6. Model Mediatif ……………………………………………. 7. Model Arbitratif …………………………………………… 8. Model Monitoring dan Evaluasi ………................ Peran Strategis Provinsi ………………………………………
84 86 88 90 92 93
PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………………. B. Rekomendasi ..........................................................
96 101
DAFTAR PUSTAKA
104
B. Bab 5
9 viii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan penting, salah satunya menyangkut kedudukan pemerintah provinsi. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, kedudukan pemerintah provinsi sering disalahartikan oleh para penyelenggara pemerintahan daerah, khususnya penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang menganggap ‗tidak ada hubungan hirarkhis antara kabupaten/kota
dengan
provinsi‘.
Akibatnya,
hubungan
pemerintah
kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi menjadi tidak harmonis dan tidak jarang menimbulkan konflik antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi. Pada pasal 2 ayat (4) disebutkan ―Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
memiliki
hubungan
dengan
Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya‖. Pada ayat (5) disebutkan ―Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya‖. Di sini jelas bahwa UU Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan adanya hubungan antara susunan pemerintahan, sekaligus menjawab permasalahan yang terjadi pada saat implementasi UU Nomor 22 Tahun 1999. Oleh karena itu, dengan adanya pengaturan baru yang mempertajam pemerintah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat dan sekaligus sebagai daerah otonom, maka diharapkan tidak akan terjadi disharmoni hubungan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. Hal tersebut sebagaimana tercantum pada penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004, poin 4 Pemerintahan Daerah, bahwa ―Gubernur sebagai Kepala Daerah 10 1
Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota‖. Upaya pembinaan oleh pemerintah provinsi terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dapat dilaksanakan melalui kerjasama antardaerah, dimana pengaturan tentang kerjasama antardaerah itu sendiri sebenarnya telah terwadahi di dalam Pasal 195 UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu bahwa: (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antardaerah yang diatur dengan keputusan bersama. (3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD. Dari substansi pasal di atas dapat dijelaskan bahwa kerjasama antardaerah dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah, terutama dalam hal pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan pandangan
bahwa
keberadaan
pemerintahan
pada
dasarnya
untuk
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam konteks ini, peran pemerintah provinsi untuk melakukan koordinasi terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya sangat diperlukan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (4) PP Nomor 79 Tahun 2005: ―Koordinasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Gubernur‖. Namun demikian ironi yang nampak pada awal penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih saja terjadi. Logika kemasingmasingan sering melahirkan semangat egosentrisme. Hal ini justru membalik semangat desentralisasi. Maraknya kasus perebutan sumberdaya alam 11
2
antardaerah di tanah air telah ramai kita dengar belakangan. Egosentrisme daerah ini berimplikasi pada dua hal; pertama, munculnya konflik kepentingan antardaerah. Kedua, pemenuhan pelayanan publik masyarakat daerah menjadi terbengkalai. Padahal dalam konteks pembangunan ekonomi dan pelayanan publik, tidak semua hal bisa dilokalisir secara geografis di masing-masing daerah. Cara pandang daerah yang berwatak inward looking, yakni selalu memandang daerahnya sendiri sebagai acuan utama dalam pembuatan kebijakan, tidak sepenuhnya tepat dalam urusan pembangunan daerah. Alasanya pertama, karateristik pelayanan publik seringkali bersifat lintas daerah administratif. Kedua, penyelenggaraan kepentingan daerah akan dipengaruhi oleh beberapa kepentingan di luar kepentingan daerah, baik itu dari pemerintah diatasnya, kepentingan daerah lain, maupun dari sektor selain pemerintah. Sebagai contoh adalah pengelolaan sampah diperkotaan dan dampak buruk lingkungan lain yang melintas batas teritori administrasif daerah juga akan sangat sulit untuk ditanggulangi tanpa ada kerjasama antardaerah yang baik. Kasus pengelolaan sampah DKI yang melibatkan kota Bakasi dan kota Depok yang sering menimbulkan konflik antar pemerintah dan demonstrasi masyarakat mencermin penanganan kerjasama antardaerah tidak dapat diabaikan. Contoh lain adalah pelayanan kesehatan di wilayah daerah Kabupaten/Kota di DIY. Program pemberantasan nyamuk yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul yang tidak dilakukan secara serempak justru menimbulkan masalah baru. Pasalnya, aksi pemberantasan nyamuk yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman meresahkan masyarakat Kota Yogyakarta, karena ternyata nyamuk-nyamuk tadi berpindah ke wilayah kota sekitarnya. Hal yang sama terjadi ketika pemberantasan nyamuk kemudian dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta dan berdampak pada kenyamanan masyarakat Kabupaten Bantul. Dalam konteks yang lain, peluang pengembangan ekonomi, misalnya pariwisata, yang berada dalam suatu kawasan daerah tertentu tidak akan 12 3
sangat efektif pengelolaannya jika hanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Optimalisasi sumber daya, karena ada kemiripan sumber daya yang dimiliki oleh beberapa daerah selayaknya mendorong untuk masing-masing pihak untuk menggalang kerjasama. Itu pula yang mendasari pembentukan Java Promo yang melibatkan 13 (tigabelas) pemerintah daerah kabupaten/kota di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan. Atau karena keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam menangani permasalahan secara mandiri karena sifat permasalahan yang lintas teritori administratif, sehingga perlu dibangun kolaborasi antardaerah seperti semangat yang mendasari terbentuknya kerjasama Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (Kartamantul). Kasus di atas membuktikan bahwa penanganan masalah akan menjadi sangat sulit bagi daerah untuk meresponnya secara efektif tanpa terbangunnya suatu bentuk kerjasama yang memadai. Bahkan tidak jarang malah menimbulkan konflik baru antardaerah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seharusnya pihak terkait memposisikan dan memerankan diri dalam suatu kerjasama yang dibangun. Pertanyaan senada dapat dialamatkan kepada provinsi, mengingat provinsi seperti diamanatkan oleh Undang-Undang 32 tahun 2004 tadi posisinya sangat strategis. Sekalipun demikian, ternyata realitanya menunjukkan bahwa peran pemerintah provinsi sejauh ini masih banyak dipertanyakan. Dari hasil wawancara di beberapa pemerintah Kabupaten/Kota mengindikasikan bahwa pihak pemerintah provinsi masih sebatas menunggu
bersikap ‘pasif‘ bahkan
tidak jarang
pemerintah provinsi justru menjadi problem tersendiri bagi pengembangan kerjasama antardaerah. Berdasarkan uraian tersebut, Lembaga Administrasi Negara dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah telah melaksanakan Kajian Peran Pemerintah Provinsi dalam Membangun Kerjasama Antardaerah, dengan harapan agar pemerintah provinsi mampu mendorong, memfasilitasi, dan membantu pemerintahan daerah di wilayahnya dalam melaksanakan pelayanan publik. 13 4
B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa peran yang diemban oleh pemerintah provinsi dalam membangun kerjasama antardaerah? 2. Problematika
apa yang muncul dalam
pelaksanaan kerjasama
antardaerah selama ini, terutama terkait dengan peran pemerintah provinsi? 3. Bagaimana model peran provinsi dalam rangka membangun kerjasama antardaerah? C. RUANG LINGKUP Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka ruang lingkup kajian ini akan lebih difokuskan pada peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah. Namun demikian tidak berarti aspek lain yang tidak bersinggungan dengan pemerintah provinsi diabaikan. Karena sebenarnya terdapat beberapa model kerjasama yang dikenal selama ini, dimana pihak pemerintah provinsi terkesan tidak terlibat seperti kerjasama yang digalang oleh kalangan legislatif kabupaten kota. D. TUJUAN KAJIAN Tujuan pokok kajian adalah pertama, mengambarkan peran pemerintah provinsi dalam pelaksanaan kerjasama antardaerah. Kedua, mengidentifikasi permasalahan penyelenggaraan kerjasama antardaerah terkait dengan peran pemerintah provinsi berikut solusinya. Ketiga, menyusun laporan kajian yang memuat
strategi-strategi
penyelesaian
masalah
(problem
solving)
penyelenggaraan kerjasama antardaerah, yang dapat dijadikan sebagai bentuk atau model peran yang seharusnya diemban oleh provinsi. E. HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah tersusunnya laporan hasil kajian yang memuat gambaran secara komprehensif terkait peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah.
14 5
F. METODOLOGI KAJIAN 1. Pendekatan Kajian Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Pendekatan ini memungkinkan data/informasi berupa data primer dan sekunder yang diperoleh dapat dijelaskan sesuai dengan tujuan kajian ini. Bahkan, pendekatan ini dapat membantu peneliti melakukan pengumpulan data dalam berbagai cara dan ruang lingkup yang tidak terbatas. Hal ini penting, untuk mengantisipasi kelangkaan data yang diharapkan. Fleksibilitas penggunaan cara dalam pengumpulan data ini dimungkinkan karena boleh jadi, tidak semua lokus mampu menyediakan data yang akurat dan lengkap karena berbagai alasan, antara lain: pergantian pimpinan unit/satuan kerja, perubahan struktur kelembagaan unit/satuan kerja, dan lain sebagainya. 2. Pengumpulan Data Terdapat 2 jenis data yang diperlukan dalam kajian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data-data primer dikumpulkan melalui diskusi terbatas (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan narasumber baik di Pusat maupun di Daerah. Diskusi terbatas dimaksudkan untuk menggali berbagai permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan kerjasama pemerintahan. Mengingat jumlah peserta dikusi relatif terbatas, maka diskusi akan dilakukan dengan menggunakan teknik curah pendapat untuk mengelaborasi permasalahan dan mengusulkan saran pemecahan berdasarkan topik/isu diskusi yang telah disiapkan sebelumnya. Di samping diskusi terbatas, untuk memperkuat keabsahan data yang diperoleh ditempuh pula metode wawancara mendalam. Seperti diungkapkan Sutopo (1988), wawancara mendalam (In-Depth Interview) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui narasumber/key informant guna menggali informasi yang diperlukan dengan lebih seksama dan komprehensif. Adapun data sekunder akan diperoleh dengan studi literatur yang terdiri atas telaah kebijakan, naskah, dokumen dan bahan-bahan lain yang terkait dengan konsep dan pelaksanaan kerjasma pemerintah daerah. Ini adalah 15 6
teknik pengumpulan data dengan mengidentifikasi dan menganalisis bukubuku teks dan dokumen peraturan perundang-undangan yang relevan dengan topik kajian. Selain itu, data-data yang diperoleh dengan teknik ini juga dapat berupa surat, memoranda, agenda, pengumuman-pengumuman, catatan rapat, proposal, progress report, laporan studi yang pernah dilakukan di tempat yang sama, klipping berita dan juga artikel yang ada di media massa serta bahan-bahan hasil download dari internet. 3. Lokus Kajian Daerah yang dipilih dalam kajian ini meliputi: a) Provinsi Kepulauan Riau, b) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, c) Provinsi Kalimantan Timur, d) Provinsi Nusa Tenggara Barat, e) Provinsi Bali dan f) Provinsi Gorontalo. Adapun pemilihan lokus kajian didasarkan pada pertimbangan keterwakilan pulau-pulau yang ada. 4. Pengolahan dan Analisis Data Berdasarkan data yang telah diperoleh baik sekunder maupun primer dilakukan analisis dengan tahapan: (a) identifikasi data; (b) analisis data; (c) perumusan rekomendasi/kesimpulan.
16 7
BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL DAN KEBIJAKAN
Bagian ini akan mencoba menjelaskan kerangka konseptual dan kebijakan kerjasama antaradaerah. Kerangka konseptualisasi ini sengaja ditampilkan untuk memberikan gambaran umum perihal kerjasama antaradaerah, diawali dengan
mengetengahkan
pengertian
dan
konsepsi
kerjasama
antardaerah dari para pengamat/akademisi. Setelah itu, akan diuraikan pula relevansi dan urgensi kerjasama antardaerah di era desentralisasi dan otonomi daerah, disertai dengan pemaparan pendekatan fungsionalisme sebagai kerangka pikir pembahasan. Untuk melengkapi kerangka konseptual ini pelacakan dinamika regulasi kerjasama antardaerah mulai dari UU 5 tahun 1974 hingga UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah beserta turunan lainnya juga dilakukan. Dengan membaca regulasi beserta turunannya kita bisa memahami esensi kerjasama antardaerah. Sebagai penutup dari bagian akan diuraikan secara khusus peran provinsi dalam kerjasama antardaerah dari perspektif kebijakan. A. PENGERTIAN KERJASAMA ANTARDAERAH Pemahaman kerjasama tidak tunggal tetapi sangat variatif jika ditinjau secara konseptual. Variasi konseptual menunjukkan bahwa pemahaman tentang kerjasama sangat dinamis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pengamat ekonomi pembangunan dari Amerika Latin, Todaro (1994) mengatakan kerjasama merupakan aliansi strategis (strategic alliances) sebagai ―cara hubungan inter–organisasi tertentu yang di dalamnya para mitra membuat banyak investasi dalam pengembangan upaya jangka panjang bersama, dan dengan
orientasi bersama―. Sementara Frank dan Smith
mendefinisikan kerjasama sebagai suatu hubungan dua pihak atau lebih yang
17 8
memiliki tujuan bersama, yang berjanji untuk melakukan sesuatu bersamasama.1 Dua definisi di atas tentang kerjasama sangat berbeda dalam memberikan titik tekan pemaknaan. Sebagai contoh, Todaro meletakkan kerjasama dalam perspektif ekonomi yang mendasari sebuah kerjasama. Sementara Frank dan Smith membentangkan perspektif yang lebih luas dalam memaknai konsepsi kerjasama. Sekalipun demikian, baik Todaro mupun Frank dan Smith tidak menyebutkan siapa aktor yang akan melakukan kerjasama dan apa objek yang ingin dikerjasamakan. Keluasan makna dan ketiadaan objek dan subjek yang melakukan kerjasama merupakan sebuah kelemahan dari definisi ini. Berangkat dari kelemahan, maka sebagian pengamat mendefinisikan kerjasama sebagai upaya dari dua atau lebih pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik pemerintah ataupun swasta yang secara bersama-sama berusaha meraih suatu tujuan yang telah disepakati bersama dengan tetap menjaga independensi formasi aliansi dari keterikatan organisasi badan usaha yang menjadi mitra aliansi.2 Sementara Agus J Pramono dalam tulisannya yang bertajuk Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah dalam Kerjasama Antardaerah, mengatakan: “kerjasama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyelaraskan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal”.3 Sedangkan pemahaman kerjasama Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah disebutkan
Frank, Flo and Anne Smith. The Parthnership Handbook. Minister of Public and Government Services, Canada, 2000, hlm. 5. 2 Ibid. 3 Agus J Pramono dalam tulisannya yang bertajuk Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah dalam Kerjasama Antardaerah, Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas Di LAN. 1
18 9
secara tegas dan singkat dalam Pasal 1 Ayat (2)
yang menyebutkan
kerjasama daerah adalah: “kesepakatan antara Gubernur dengan Gubernur atau Gubernur dengan Bupati/Walikota atau antara Bupati/ Walikota dengan Bupati/Walikota yang lain, dan atau Gubernur, Bupati/Walikota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban”. Sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008 tentang Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak
Luar Negeri khusus bab I
Ketentuan Umum mendefinisikan kerjasama adalah suatu rangkaian kegiatan yang terjadi karena ikatan formal antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah atau pihak lain untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daera. Konseptualisasi
ini
menunjukkan
bahwa
di
dalam
kerjasama
antardaerah termuat cakupan aktornya yakni bisa dari pemerintah daerah dalam hal ini gubernur, bupati serta swasta. Tidak hanya itu, dalam kerjasama antardaerah juga ada kepentingan yang lebih besar yang ingin diperjuangkan. Misalnya
keutuhan
NKRI,
sinergisitas
antardaerah
dan
akselerasi
pembangunan. Dengan logika seperti ini maka kerjasama diarahkan baik secara horizontal maupun vertikal. Keleluasaan dalam melakukan kerjasama baik antar pemerintah maupun pemerintah dengan swasta. Dalam melakukan kerjasama ada empat hal yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi semua pihak yang terlibat didalamnya, yakni: 4 1. Masing-masing pihak tetap harus menjaga indepedensinya. Kondisi ini merupakan
ciri
utama
kerjasama
usaha
atau
aliansi
strategik
dibandingkan dengan bentuk-bentuk keterkaitan usaha lainnya; 2. Masing-masing pihak dapat membagi keuntungan dan resiko (risk and benefit sharing) terhadap hasil kerjasama melalui pengendalian kinerja operasi yang disepakati;
4
Ibid.
19 10
3. Masing-masing pihak memiliki kompetensi inti (core competence) yang sudah teruji menjadi faktor kunci dalam meraih kesuksesan (key success factors); 4. Hubungan kerjasama dalam aliansi strategik harus didasarkan atas hubungan timbal balik (reciprocity) dengan berprinsip mempertukarkan atau mengintegrasikan sumberdaya bisnis atau non-bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan sinergis. Empat poin ini sudah cukup untuk mengilustrasikan bahwa dalam kerjasama antardaerah sikap independen, pembagian keuntungan dan resiko, serta hubungan timbal-balik menjadi sebuah keharusan yang harus dipenuhi oleh semua pihak. Selain itu, kesetaraan dan pembagian hak dan kewajiban masing-masing senantiasa dijadikan landasan etis dalam bertindak. Dengan bertitiktolak pada pemahaman kerjasama tersebut, patut pula digarisbawahi bahwa dalam kerjasama antardaerah ada enam alasan mengapa sebuah kerjasama itu dilakukan. Pertama, penghematan biaya (cost saving). Kerjasama akan dapat menghemat berbagai biaya yang seharusnya ditanggung sendiri oleh pihak pemerintah daerah dalam kaitannya dengan penyediaan pelayanan dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan yang diinginkan masyarakat. Kedua, pembagian resiko (risk sharing). Kerjasama antar pemerintah daerah memungkinkan adanya pembagian resiko-resiko yang mungkin terjadi diantara kedua belah pihak, seperti keterlambatan memenuhi jadwal penyelesaian, munculnya biaya-biaya diluar perkiraan dan lain-lain. Ketiga, peningkatan atau pemeliharan kualitas pelayanan (improved levels of service or maintaining existing levels of service). Kerjasama antar pemerintah daerah dapat mendorong munculnya inovasi-inovasi dalam penyediaan/penyelenggaraan
pelayanan
yang
tidak
hanya
untuk
meningkatkan atau memelihara kualitas pelayanan, tetapi juga untuk menghemat biaya. Empat,
meningkatkan
pendapatan
(enhancement
of
revenue).
Kerjasama juga memungkinkan diterapkannya user fee yang mencerminkan 20 11
biaya
sesungguhnya
dalam
penyediaan
pelayanan.
Bahkan
juga
memungkinkan pula diperkenalkannya sumber-sumber pendapatan baru yang sebelumnya tidak mungkin diterapkan oleh pemerintah daerah sebelum bekerjasama dengan pemerintah daerah lainnya dibawah aturan-aturan tertentu yang membatasinya; Lima, implementasi yang lebih efisien (more efficient implementation). Kerjasama antar pemerintah daerah memungkinkan penyelenggaraan pelayanan berjalan secara lebih efisien sesuai dengan sumber-sumber yang digunakan. Enam, keuntungan ekonomi (economics benefits). Kerjasama antar pemerintah daerah memungkinkan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah dimana kerjasama diterapkan. Bahkan dibeberapa negara yang menerapkan kerjasama antar pemerintah daerah ini, banyak yang memanfaatkan
pengalaman dan keahlian mereka
untuk melakukan
kemitraan dengan pemerintah daerah lainnya. Efek ekonomi yang ditimbulkan dari kerjasama ini adalah adanya ekspor expertise yang mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah. Penjelasan singkat mengenai kerjasama antardaerah menuntun kita pada arus pemikiran bahwa otonomi daerah telah membuka ruang dilaksanakannya kerjasama antardaerah. Terbukanya ruang kerjasama antardaerah merupakan spirit baru dalam tata pengelolaan pemerintahan daerah kontemporer. Logika yang menyertainya meminjam istilah Norman Muhdad, karena urusan kerjasama merupakan kewenangan pemerintah daerah yang bersifat concurrent yaitu urusan bersama yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.5 B. RELEVANSI DAN URGENSI KERJASAMA ANTARDAERAH Kerjasama antardaerah menguat seiring dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dikatakan demikian, karena kompleksitas yang dihadapi pemerintah daerah sangat beragam sehingga membutuhkan sebuah terobosan baru untuk memecahkan problem tersebut. Salah satunya 5
Norman Muhdad ―Peran Pemerintah Provinsi dalam Implementasi PP No.50 tahun 2007 Tata Cara Kerjasama Daerah‖, Makalah tanpa tanggal dan tahun.
21 12
adalah mendorong kerjasama antardaerah dalam rangka percepatan pembangunan dan perbaikan proses pelayanan publik antardaerah pada umumnya dan daerah terpencil, perbatasan dan daerah tertinggal pada khususnya. Dengan menempatkan kerjasama antardaerah sebagai solusi kongkrit dalam era otonomi daerah sangat dimungkinkan karena pemerintah daerah diberi kewenangan yang amat besar dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya. Dengan kata lain, semua objek kewenangan bisa dikerjasamakan sebagaimana bisa dilacak pada pasal 16 ayat 2 disebutkan bahwa daerah-daerah otonom bisa menyelenggarakan kerjasama dalam bidang pelayanan publik, termasuk pengelolaan perizinan untuk pelayanan umum. Sedangkan pasal 17 ayat 2 secara khusus membuka ruang bagi kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya yang dimiliki. Semangat untuk melakukan kerjasama antardaerah sebagaimana diatur pasal 16 (ayat 2) dan 17 (ayat 2) dalam UU 32/2004 sebenarnya bisa dilacak pada UU 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Pasal 87 dijelaskan bahwa daerah dapat melakukan kerjasama dengan daerah lain. Pasal ini memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan rekan daerah kerjasama maupun urusan yang ingin dikerjasamakan. Dengan kata lain, pasal ini memberikan ruang bagi lahirnya kerjasama yang bersifat bottom up, sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masing-masing daerah.6 Penggunaan pasal 87
sebagai dasar hukum kerjasama mempunyai
konsekuensi hukum pada objek dan wilayah yang dikerjasamakan. Pada tataran bidang yang dikerjasamakan, daerah dapat melakukan terhadap seluruh kewenangan pemerintah daerah yang merupakan kewenangannya, sedangkan pada tataran wilayah dari kerjasama tersebut dapat meliputi seluruh ataupun sebagian dari wilayah administrasinya. Sejalan dengan pasal 87 UU 22/1999, pemaknaan lingkup kerjasama antardaerah juga dijelaskan secara luas dalam UU 32/ 2004 melalui pasal 195 yang menyatakan bahwa : 6
Wawan Masudi ―Kerjasama Antardaerah dalam Perspektif Fungsionalisme‖ Makalah yang disampaikan pada seminar Internasional ke-7 tanggal 11-14 Juli 2006. di Salatiga.
22 13
Ayat (1) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Ayat (2) kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antardaerah yang diatur dengan keputusan bersama. Ayat (3) dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. Penggalan pasal yang telah disebutkan di atas memberikan keleluasaan terhadap pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama. Bahkan pasal ini tidak memberikan batasan objek yang akan dikerjasamakan. Pada titik sini kita bisa mengatakan bahwa pemerintah daerah benar-benar memiliki kekuasaan yang amat besar dalam melakukan kerjasama dengan daerah lain. Besarnya kekuasaan pemerintah daerah dalam menentukan kerjasama diwujudkan dengan berbagai praktek kerjasama yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah. Hasil penelusuran dari berbagai sumber menyebutkan bahwa selama pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi menunjukkan kemajuan yang luar biasa dalam praktek kerjasama, misalnya saja kerjasama yang diinisiasi oleh daerah-daerah otonom adalah Singbebas (Singkawang, Bengkayang, dan Sambas), Kartamantul (Jogyakarta: Sleman dan Bantul), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, dan Wonosari), Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), Sarbagita (Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan), Sungai Mahakam (Kota Samarinda, Kutai Kartanegara dan Provinsi Kalimantan Timur). Dengan membaca data ini kita bisa mengatakan bahwa kerjasama yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah lebih pada pertimbangan kedekatan secara teritorial. Penjelasan didasarkan pada Surat Edaran Mendagri No. 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005 tentang Kerjasama Antardaerah yang menyebutkan bahwa kerjasama antardaerah yang berdekatan, sifatnya wajib dilaksanakan dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya pelayanan yang terdapat di daerah yang berbatasan seperti pendidikan dasar, pelayanan kesehatan (Puskesmas), penanganan sampah 23 14
terpadu, penyuluhan pertanian, pengairan, penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS), perencanaan tata ruang dan lain-lain. Selain karena alasan kedekatan teritorial, kerjasama antardaerah juga memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kerjasama antardaerah adalah; Pertama, percepatan pembangunan dan pelayanan publik di wilayah perbatasan antardaerah.7 Kedua, mengembangkan atau memperluas pangsa pasar masing-masing pemerintah daerah. Ketiga, mengurangi dan mengatasi pembiayaan dalam pengembangan produk pelayanan kepada masyarakat. Keempat, mengurangi, menekan dan mengatasi ancaman-ancaman kompetitif dari para pesaing. Kelima, meningkatkan inovasi produk dan pelayanan melalui pencarian inspirasi dari mitra aliansi. Keenam, membangun kemampuan yang lebih besar. Ketujuh, menembus rintangan (barriers) dalam memasuki pasar baru dan blok perdagangan regional. Sejalan dengan itu, Nining I. Soesilo (2002) memaparkan tujuan umum kerjasama antar pemerintah daerah adalah sebagai berikut : Menyediakan tambahan modal bagi investasi pelayanan daerah; Mengurangi beban pengeluaran keuangan pemerintah daerah; Meningkatkan wilayah/kawasan pelayanan; Meningkatkan efisiensi dalam kegiatan operasi dan pendayagunaan biaya; Pendayagunaan kualitas biaya.8 Dari tujuan kerjasama antardaerah ini semakin nampak betapa relevan dan urgensinya praktek kerjasama ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Poin-poin di atas secara tegas memberikan harapan baru kepada pemerintah daerah dalam upaya melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintah. Tentu saja inovasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama secara terpadu dengan daerah tetangganya.
Norman Muhdad ―Peran Pemerintah Propinsi dalam Implementasi PP No.50 tahun 2007 Tata Cara Kerjasama Daerah‖, Makalah tanpa tanggal dan tahun. 8 Soesilo, Nining I. Opcit. Hal. 11-4-5. 7
24 15
C. PENDEKATAN KERJASAMA ANTARDAERAH Kerjasama antardaerah terbangun karena adanya kesadaran diantara daerah-daerah yang terlibat kerjasama untuk melakukan sharing. Setidaktidaknya terdapat 3 (tiga) model sharing yang membuat kerjasama antardaerah terbangun yakni sharing of experience, sharing of benefits, dan sharing
of
burdens.
Terbangunnya
kerjasama
antardaerah
akan
memungkinkan terjadinya sharing of experience, dimana akan ada ruang bagi daerah untuk saling berbagi pengalaman dalam pengelolaan urusan pemerintahan daerah, pengalaman yang dimiliki suatu daerah akan bisa menjadi inspirasi bagi daerah yang lain, terbangunnya kerjasama juga memungkinkan daerah untuk berbagi keuntungan (sharing of benefits) dari arena kerjasama yang dibangun, dan lebih lanjut lagi kerjasama juga memungkinkan daerah untuk saling berbagi beban (sharing of burdens). Selain dari aspek sharing, kerjasama antardaerah seringkali juga dilandasi oleh semangat bersama dalam menyelesaikan persoalan, atau sebagai kekuatan kolektif (collective action). Kasus di Inggris misalnya, pembentukan asosiasi pada tahun 1970-an merupakan respon atas masalahmasalah fungsional di daerah perkotaan (seperti pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, proses peningkatan urbanisasi, peningkatan standar hidup dan mobilitas perorangan), dan masalah di daerah pedesaan yang muncul sebagai dampak krisis ekonomi. Dalam banyak kasus, kerjasama antardaerah juga dikembangkan sebagai upaya pemerintah lokal dalam bernegosiasi dengan kekuatan politik di luarnya, termasuk menegosiasikan kepentingan mereka terhadap pemerintah pusat. Sebagaimana dijelaskan oleh McDowel (1986:152), kerjasama daerah dibangun sebagai respon atas kekuatan atau ancaman dari pihak luar, pihak luar disini dapat didefinisikan sebagai level pemerintahan yang berbeda dan juga dapat dari kalangan bisnis. Kerjasama juga terbangun sebagai upaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi pemerintah daerah, misalnya peningkatan kualitas pelayanan publik, mendorong pertumbuhan ekonomi dan derajat kehidupan masyarakat, dalam hal ini kerjasama 25
16
antardaerah menjadi ruang bagi tumbuhnya inisiatif dan pengembangan jaringan antardaerah. Dari uraian di atas mencerminkan pemahaman proses terbangunnya kerjasama merupakan elemen penting guna memahami bentuk-bentuk kerjasama antardaerah, mulai dari bagaimana proses kerjasama dibangun, siapa aktor-aktor yang menginisiasi kerjasama dan bagaimana pilihan aspekaspek yang dikerjasamakan, untuk dapat mengeksplorasi dan memahami secara mendalam keberadaan kerjasama antardaerah. Oleh kerena itu para pakar telah menemukan kerangka pendekatan baru yang sering disebut ―pendekatan fungsionalisme‖. Pendekatan
fungsionalisme
memandang
kerjasama
antardaerah
merupakan kesepakatan-kesepakatan antar pihak yang tergabung untuk menyepakati fungsi-fungsi tertentu yang disepakati, kerjasama dibangun untuk mengelola area strategis yang berpotensi menimbulkan berbagai konflik antar entitas politik. Kerjasama yang terbangun merupakan buah dari negoisiasi yang panjang dari berbagai kepentingan yang diusung oleh masingmasing pihak, dalam proses negoisiasi tersebut peran aktor-aktor politisi kunci dan
aktor
teknokratis
sangat
signifikan.
Kesepakatan
arena
yang
dikerjasamakan biasanya diikuti dengan pembentukan institusi yang akan mengelola kepentingan lintas daerah yang akan dikerjasamakan, keberhasilan suatu kerjasama di area strategis tersebut berpeluang bagi berkembangnya kerjasama yang lebih luas di area-area yang lainnya. Kerangka pendekatan fungsionalisme pertama kali digunakan untuk memahami kerjasama yang terbangun diantara negara-negara Eropa. Ide dasar pendekatan fungsionalisme menunjuk pada keberadaan kerjasama yang berawal dari fungsi-fungsi tertentu yang pada gilirannya berkembang ke area-area lainnya. Berkembangnya area kerjasama tersebut dimungkinkan karena implementasi kerjasama membutuhkan pra-kondisi tertentu yang menuntut,
misalnya
perubahan-perubahan
regulasi
daerah
ataupun
pengembangan aspek-aspek kelembagaan, sehingga kerjasama yang mulanya sangat terbatas tersebut sekarang telah berkembang pesat dan mencakup 26 17
hampir seluruh area sosial dan ekonomi, dan bahkan lebih jauh lagi telah menjangkau aspek-aspek yang berkaitan dengan isu keamanan dan politik. Kerangka pendekatan fungsional untuk memahami kerjasama antar entitas politik (termasuk daerah) banyak terinspirasi oleh teori-teori yang dikembangkan dalam kajian hubungan internasional, khususnya pendekatan liberal intergovernmentalism. Dimana dalam pendekatan tersebut kerjasama, bisa terbentuk sepenuhnya tergantung dari entitas politik (daerah) yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Daerah adalah satu-satunya entitas yang secara determinan bisa memutuskan segala hal yang berkaitan dengan kerjasama
yang
dibangun.
Agenda-agenda
apa
saja
yang
akan
dikerjasamakan, bagaimana dikelola, dan bahkan kapan harus diakhiri sepenuhnya berada ditangan daerah. Kerjasama yang dibangun dipandang sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung agenda internal daerah, atau bersifat fungsional, dan daerah akan dengan mudah menarik diri ketika fungsi tersebut tidak lagi berjalan. Neo-fungsionalisme, adalah salah satu varian terpenting dalam pendekatan fungsionalisme, bahwa kerjasama antardaerah sangat ditentukan oleh sejumlah faktor yang menjadi pendorong lahirnya kerjasama. Faktorfaktor pendorong tersebut meliputi aktivitas kelompok-kelompok kepentingan, kepentingan partai politik dan parlemen daerah, peran pemerintah daerah, peran supra struktur dari pemerintah daerah. Daerah dalam hal ini diposisikan sebagai entitas otonom yang secara bebas bisa bernegosiasi dan menentukan area-area apa saja yang dikerjasamakan. Penentuan area kerjasama tersebut sangat ditentukan oleh preferensi daerah, yang merupakan hasil dari dinamika dan tarik ulur dari berbagai kepentingan. Preferensi tersebut kemudian menjadi bahan yang dipertimbangkan dalam semua negosiasi yang dibangun dengan daerah lainnya. Dalam pendekatan neo-fungsionalisme, ada tiga karakter kunci yang penting untuk difahami (Cini, 2003) yakni pertama adalah konsep spillover. Perlu digaris bawahi bahwa neo-fungsionalism memfokuskan pada proses terbangunnya kerjasama dan oleh karenanya tidak banyak menjelaskan hasil 27 18
akhir dari proses integrasi. Asumsi yang dibangun adalah bahwa kerjasama yang dilakukan pada aspek tertentu akan memberikan tekanan pada sektor yang lain yang berdekatan, sehingga harus juga dimasukkan dalam agenda pembahasan kerjasama. Dan jika ini terjadi, maka aspek yang dikerjasamakan akan semakin luas, dan pada gilirannya akan mendorong sinergisitas antardaerah yang semakin kuat. Dengan demikian Spillover menunjuk pada premis bahwa kerjasama di satu sektor berdampak pada sektor yang lain yang berdekatan. Karakter
kedua,
adalah
dominannya
peran
kelompok-kelompok
masyarakat dalam proses terbentuknya kerjasama. Kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan mendukung terbangunnya kerjasama lintas administratif dikarenakan kepentingan-kepentingan mereka akan sangat terbantu dengan adanya kerjasama tersebut. Sebagai contoh kalangan pedagang dan pengusaha akan sangat mendukung kerjasama antardaerah dalam aspek pembangunan blok perdagangan regional karena kepentingan mereka terpenuhi. Neo-fungsionalism dipandang sebagai sebuah pendekatan yang sangat etis,
meskipun
ada
ketentuan-ketentuan
masyarakat
yang
terlibat.
Bagaimanapun juga kelompok elit lokal dan bahkan kelompok teknokratis memainkan peran yang sangat dominan dalam proses terbentuknya kerjasama. Meskipun disadari hal yang demikian ini menjadi kelemahan mendasar dari pendekatan neo-fungsionalism, karena arena dan proses kerjasama akan dengan sangat mudah dibajak oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi elit lokal. D. KEBIJAKAN KERJASAMA ANTARDAERAH Bagian
sebelumnya
sudah
menguraikan
definisi
dan
relevansi
kerjasama antardaerah, serta pendekatan yang dapat digunakan dalam melihat suatu kerjasama antardaerah, maka pada bagian ini akan difokuskan pada pelacakan dinamika kerjasama antardaerah melalui sumber-sumber peraturan perundan-undangannya. Pelacakan sumber peraturan perundang28 19
undangan kerjasama antardaerah menjadi penting karena dua alasan. Pertama, untuk mengetahui sejarah kebijakan yang pernah ada. Logikannya adalah sangat minimnya tentang studi yang memaparkan kebijakan tentang kerjasama antardaerah. Kedua, perubahan kebijakan tentang kerjasama antardaerah sangat dipengaruhi oleh suasana rezim pemerintahan pada saat itu. Asumsi ini menemukan relevansinya pada tabel berikut ini. Tabel. 2.1 Kebijakan Kerjasama Antardaerah Kebijakan Kerjasama Antardaerah dari Orde Baru hingga Reformasi UU 5 tahun 1974 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 275 Tahun 1982 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 UU 22 tahun 1999 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005 UU 32 tahun 2004 Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2007 Surat Edaran 193/1709/SJ tanggal 20 Juni 2008 Permendagri 22 tahun 2009 Permendagri 23 tahun 2009 Permendagri 19 Tahun 2009
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Tentang Kerjasama antardaerah Tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan Antardaerah Tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antardaerah. Tentang Pemerintahan Daerah Tentang Kerjasama antardaerah Tentang Pemerintah Daerah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kerjasama Daerah Tentang Petujunjuk Teknis Kerjasama Antardaerah dan Kerjasama dengan pihak ketiga Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Antardaerah Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama Antardaerah
(Diolah oleh Tim PKKOD LAN)
Sepintas kita bisa mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kerjasama antardaerah menurut hirarki perundangundangan terdiri dari UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Surat Edaran. Dari semua produk peraturan perundang-undangan yang mengatur kerjasama sebagaimana tertera pada tabel 1 didominasi oleh Menteri Dalam 29 20
Negeri. Itulah kesan yang paling menonjol ketika kita membaca semua peraturan perundang-undangan yang mengatur kerjasama antardaerah. Hal lain, yang patut diketengahkan dalam menjelaskan kerjasama antardaerah adalah dengan mencoba mengurutkan UU sembari mencari tahu isi pasal yang mengatur kerjasama antardaerah. UU No. 5 Tahun 1974 mengatur kerjasama antardaerah melalui pasal 65 (1) bahwa ―Beberapa Pemerintah Daerah dapat menetapkan peraturan bersama untuk mengatur kepentingan daerahnya secara bersama-sama‖. Munculnya kerjasama antar pemerintah daerah pada UU No. 5 Tahun 1974 memberikan makna bahwa kerjasama antardaerah secara dini telah disadari memiliki peranan penting dalam rangka menunjang keberhasilan pembangunan di daerah. Usaha pemerintah pusat untuk mengakselesari kerjasama antardaerah maka dibuatlah aturan turunannya seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama Antardaerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 275 Tahun 1982 Tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan Antardaerah dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 Tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama Antardaerah. Dengan dikeluarkannya petunjuk teknis tersebut maka kerjasama antardaerah semakin berkembang. Catatan Iryanto menyebutkan bahwa pasca dikeluarkannya petunjuk tenis itu telah banyak kerjasama yang dilakukan oleh daerah. Harapan yang diharapkan dari kerjasama ini adalah untuk kepentingan pembangunan di daerah masing-masing.9 Sementara
UU
22/1999
membingkai
kerjasama
antardaerah
sebagaimana tertera pada Bab IX dengan klausul: kerjasama dan penyelesaian perselisihan. Dalam hal kerjasama diatur secara tegas melalui pasal 87. Sementara UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur esensi kerjasama melalui pasal 195-196. Supaya substansi kerjasama antardaerah bisa terlaksana dengan baik maka pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan turunannya. Sebut saja, Surat Edaran Menteri 9
Iryanto ― Perencanaan Pembangunan Kab/Kota Melalui Pendekatan Wilayah dan Kerjasama Antardaerah‖
30 21
Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005 tentang Kerjasama Antardaerah. Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2007 Tentang tata cara pelaksanaan kerjasama daerah, Surat Edaran 193/1709/SJ tanggal 20 Juni 2008 tentang Kerjasama Daerah, Permendagri 22 tahun 2009 Tentang petunjuk teknis kerjasama antardaerah dan kerjasama dengan pihak ketiga dan Permendagri 23 tahun 2009 Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Antardaerah. Dengan berpijak pada sejumlah UU beserta turunannya menunjukkan sebuah komitmen
dan kepedulian Pemerintah untuk mendorong laju
pembangunan di daerah melalui kerjasama antardaerah. Dengan kerangka kebijakan ini diharapkan pemerintah daerah berlomba-lomba melakukan kerjasama antar pemerintah daerah. Dengan kata lain, ada-tidaknya kerjasama antardaerah dilakukan sangatlah tergantung pada kebutuhan daerah (local needs) dan keinginan Pemerintah Daerah setempat (political will). Secara umum, kebijakan kerjasama antar pemerintah daerah melalui banyak tahapan yang harus dilalui, diantaranya,10 : Tahap 1 : Melakukan suatu studi kelayakan, dan kemudian melihat hasilnya apakah menunjukkan bahwa kinerja suatu fungsi atau jasa layanan yang akan dikerjasamakan dengan unit dari pemerintah daerah lainnya adalah tindakan yang paling ekonomis dan sangat dibutuhkan. Pejabat Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab atas fungsi atau jasa layanan tertentu yang akan dikerjasamakan. Tahap 2 : Mengambil suatu keputusan yang menyatakan kesediaan dan kemampuan dari unit pemerintah daerah tertentu untuk melakukan kerjasama fungsi atau jasa layanan berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dilakukan, dan kemudian memberi kewenangan pada pejabat unit pemerintah tersebut untuk
10
LAN (2006). Op. cit. hal 84.
31 22
melakukan negosiasi. Pihak yang bertanggung jawab adalah Dewan Perwakilan atau badan legislatif lainnya Tahap 3 : Membuka negosiasi antara pihak-pihak yang telah mempertimbangkan kemungkinan kerjasama dalam rangka mengidentifikasi batasan-batasan dan kondisi-kondisi persetujuan, dan termasuk pula menyiapkan instrumen perjanjian kerjasama. Sekretariat Daerah, Pejabat Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab atas fungsi dan jasa layanan yang akan dikerjasamakan, dan penasehat tentang perundang-undangan. Tahap 4 : Menyiapkan suatu instrumen awal perjanjian, yang meliputi berbagai hal yang mungkin akan disetujui, baik secara lisan maupun hukum tertulis, sebagai bahan pelengkap bagi semua pihak yang terkait dalam negosiasi. Pihak yang bertanggung jawab adalah penasehat tentang perundang-undangan (Biro Hukum). Tahap 5 : Melakukan peninjauan ulang baik secara hukum perundang-undangan maupun substantif terhadap instrumen awal yang telah disiapkan oleh semua pihak yang bernegosiasi, untuk kemungkinan penambahan atau koreksi. Sekretariat Daerah, Pejabat Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas jasa layanan yang akan dikerjasamakan, dan penasehat tentang perundangundangan (Biro Hukum). Tahap 6 : Mengadakan suatu sesi negosiasi akhir untuk mengatasi perbedaan dan mencapai persetujuan mengenai batasan-batasan dan kondisi-kondisi yang terdapat dalam instrumen perjanjian. Sekretariat Daerah, pejabat pemerintah daerah yang bertanggungjawab atas jasa layanan yang akan dikerjasamakan, dan penasehat tentang perundang-undangan (Biro Hukum). Tahap 7 : Mengambil suatu keputusan yang menyetujui pelaksanaan kerjasama dan kemudian
memberi
wewenang
pada
pejabat
yang
tepat
untuk 32 23
menandatanganinya perjanjian kerjasama atas nama unit pemerintah yang akan bekerjasama. Pihak yang bertanggung jawab adalah Dewan Perwakilan atau badan legislatif lainnya. Tahap 8 : Penandatanganan perjanjian kerjasama, sebagai bukti kerjasama, dan diarsipkan dengan baik. Kemudian salinan keputusan perjanjian kerjasama disampaikan pada berbagai pihak, baik untuk pihak-pihak yang melakukan perjanjian maupun kepada badan-badan pemerintah lain yang dianggap perlu mengetahui. Pejabat Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas jasa layanan yang dikerjasamakan. Tahap 9 : Melaksanakan program kerjasama sesuai dengan perjanjian. Pejabat Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas jasa layanan yang dikerjasamakan. Tahap 10 : Melakukan evaluasi kinerja kerjasama, terutama dalam rangka meninjau kelanjutan mandat perjanjian kerjasama atau menegosiasikan kembali tanggal atau batas jangka waktu dari perjanjian kerjasama. Pejabat Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas jasa layanan yang dikerjasamakan, dan dengan bantuan konsultan jika diperlukan. Dalam pelaksanaan kerjasama antardaerah tidak tertutup kemungkinan terjadinya perselisihan antar pemerintah daerah yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Perselisihan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena dapat bersifat kontra-produktif terhadap hasil yang diharapkan dari dilakukannya
kerjasama
itu
sendiri
dimana
kondisi
yang
saling
menguntungkan menjadi prinsip bersama. Untuk itu, perselisihan perlu diselesaikan baik secara intern yang terlibat dalam kerjasama langsung ataupun dengan mengundang pihak lain yang dianggap dapat menjadi mediator atau fasilitator penyelesaian perselisihan. Dilihat dari tingkat kesulitan dalam penyelesaian perselisihan maka mekanisme penyelesaian perselisihan dapat dibagi ke dalam 2 (dua) tahap. 33 24
Tahap pertama, penyelesaian perselisihan secara intern. Dalam tahap ini pihak-pihak yang terlibat kerjasama langsung berupaya menyelesaikan perselisihan secara bersama tanpa melibatkan pihak luar. Tahap kedua, jika penyelesaian melalui tahap pertama masih belum memuaskan atau gagal dalam menyelesaikan perselisihan maka dilakukan penyelesaian dengan melibatkan pihak luar. Dalam hal ini, Pasal 198 UU No. 32 Tahun 2004 telah secara jelas mengatur bahwa: Ayat 1 Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud. Ayat 2 Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Ayat 3 Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. E. PERAN PROVINSI DALAM KERJASAMA ANTARDAERAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah peran Provinsi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan provinsi pada 2 peran yakni provinsi sebagai Daerah Otonom dan provinsi sebagai Wilayah Administrasi, Provinsi sebagai daerah otonom dipimpin oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah, dan dalam kedudukan provinsi sebagai Wilayah Administrasi dipimpin oleh Gubernur sebagai Kepala Wilayah, Gubernur sebagai Kepala Wilayah ini juga terkandung kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah. Sesuai dengan isi Pasal 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tugas Wewenang Gubernur sebagai Kepala Daerah mencakup dua tugas utama yakni: Melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah meliputi: Pembinaan dan pengawasan Koordinasi
penyelenggaraan penyelenggaraan
pemerintahan urusan
daerah
pemerintah
di
kabupaten/kota; daerah
Provinsi,
34 25
Kabupaten/Kota; Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi, kabupaten/kota. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam praktik pemerintahan kita, hubungan antardaerah baik antar provinsi dengan kabupaten/kota atau antar kabupaten/kota merupakan suatu keniscayaan. Dari hubungan itu juga dapat dilihat tugas dan kewenangan masing-masing pihak, sekaligus mempertegas peranan masing-masing pihak.
Dalam konteks hubungan antar provinsi,
kerjasama sangat dimungkinkan dalam rangka mengkoordinasikan wilayah, menyelesaikan konflik antardaerah, pembinaan dan pengawasan serta pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Hubungan itu terutama dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan pembangunan antardaerah dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara dalam konteks hubungan provinsi dengan kabupaten/kota, walaupun antar provinsi dengan kabupaten kota tidak ada hubungan hierarkis, namun dalam praktek penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan terdapat hubungan yang bersifat fungsional. Adapun hubungan antar provinsi sebagai daerah otonom dengan kabupaten/kota adalah meliputi ; Pertama, kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota, dengan ketentuan bahwa: kabupaten/kota tidak atau belum mampu melaksanakan kewenangan satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerjasama antar kabupaten/kota, kerjasama antar kabupaten/kota dengan provinsi, atau penyerahan kewenangan tersebut kepada provinsi. Pelaksanaan kewenangan melalui kerjasama atau penyerahan suatu kewenangan kepada provinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah kabupaten/kota dengan persetujuan DPRD kabupaten/kota. Kedua, pelayanan Lintas Kabupaten/kota, jika tidak dapat dilaksanakan melalui kerjasama antardaerah, yang mencakup beberapa atau semua kabupaten/kota
di
provinsi
tertentu.
Adapun
indikator
pelaksanaan
kewenangan pelayanan lintas kabupaten/kota meliputi: 35 26
Terjaminnya keseimbangan pembangunan di wilayah provinsi; Terjangkaunnya pelayanan pemerintahan bagi seluruh penduduk provinsi secara merata; Tersedianya pelayanan pemerintahan yang lebih efesien jika dilaksanakan oleh provinsi dibandingkan jika dilaksanakan oleh kabupaten/kota masing-masing. Ketiga, Penyelesaian konflik antar kabupten/kota. Provinsi juga melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota karena dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan konflik antar kabupaten/kota. Adapun hubungan antara provinsi sebagai wilayah administrasi (berdasarkan asas dekonsentrasi) dengan kabupaten/kota, berdasarkan
PP. Nomor 7 tahun 2008 adalah meliputi hal-hal sebagai
berikut: Koordinasi wilayah, perencanaan, sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian; Fasilitasi kerjasama dan penyelesaian perselisihan antardaerah dalam wilayah kerjanya; Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pemerintah Otonom di wilayahnya dalam rangka memelihara dan menjaga keutuhan NKRI; Fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan-perundang-undangan; Pengkonsolidasian terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik, bersih dan bertanggungjawab, baik yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Daerah maupun Badan Legislatif Daerah; Penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum; Penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah lainnya yang tidak termasuk dalam tugas instansi lain; Pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota; (a). Pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah, Keputusan DPRD serta Keputusan
Pimpinan
DPRD
Kabupaten/Kota;
(b).
Pengawasan
pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (c). Pemberian 36
27
pertimbangan terhadap pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah. Selanjutnya, terkait dengan peran provinsi dalam urusan kerjasama dapat dilacak dalam Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2007, terutama pada Pasal 22. Dalam PP tersebut, peran provinsi dalam konteks pembinaan dan pengawasan diartikan secara luas yakni
dimulai dari penjajakan,
negosiasi, penandatanganan, pelaksanaan dan pengakhiran kerjasama. Adapun peran provinsi pada setiap tahapan tersebut adalah : Pertama, tahap penjajakan: 1) memberikan informasi mengenai peraturan
perundang-undangan
yang
terkait
dengan
obyek
yang
dikerjasamakan; sumber pendanaan, tatacara perolehannya dan petunjuk pengadministrasiannya; daerah yang telah melaksanakan kerjasama; dan daerah yang telah membentuk badan kerjasama antardaerah, 2) memberikan asistensi mengenai pra studi kelayakan dan pembentukan badan kerjasama antardaerah, 3) memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi kepada daerah
kabupaten/kota
dalam
memperoleh
dukungan
dari
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait dengan obyek kerjasama. Kedua, tahap negosiasi: 1) memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi kepada daerah kabupaten/kota dalam penyusunan materi, finalisasi kesepakatan, dan penyusunan perjanjian kerjasama; 2) memberikan informasi kepada daerah kabupaten/kota mengenai tenaga ahli/profesional terkait aspek teknis, hukum, dan keuangan. Ketiga,
tahap
penandatanganan:
kesepakatan,
membantu
berkoordinasi
dengan
pemerintah
Gubernur
dan
1)
dalam
daerah
penandatanganan
kabupaten/kota
Menteri/Pimpinan
LPND
dalam untuk
mendukung kesepakatan kerjasama antardaerah, 2) dalam penandatanganan perjanjian kerjasama, membantu pemerintah daerah dalam berkoordinasi dengan Gubernur dan Menteri/Pimpinan LPND untuk hadir menyaksikan penandatanganan perjanjian kerjasama antardaerah.
37 28
Keempat, tahap pelaksanaan dan pengakhiran: melakukan monitoring dan evaluasi, memberikan pertimbangan apabila terjadi permasalahan, memberikan masukan dalam penyelesaian perselisihan, dan mengingatkan para pihak untuk melakukan pengakhiran, antara lain: (a). Inventarisasi atas barang bergerak dan tidak bergerak hasil kerjasama; (b). Pemenuhan kewajiban/utang perjanjian kerjasama; (c). Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak setelah dinilai dengan mata uang rupiah dan dikurangi kewajiban/utang; (d). Penyetoran ke kas daerah para pihak hasil pembagian berupa uang; (e). Pencatatan hasil pembagian berupa barang bergerak dan tidak bergerak sebagai aset daerah para pihak dan melaporkannya kepada DPRD; (f). Penyiapan laporan tentang pengakhiran kerjasama. Dengan memperhatikan esensi dari uraian tersebut di atas, peran yang dapat dimainkan oleh provinsi berada pada dua level, yakni terkait dengan pengembangan
kerjasama
antar
provinsi
dan
kerjasama
antar
kabupaten/kota. Untuk kerjasama provinsi, pemerintah provinsi dituntut untuk menentukan format kelembagaan dan tatakerja yang sesuai dengan kebutuhan provinsi yang bersangkutan, sekaligus menjamin dukungan pendanaan, sarana kerja, pengembangan sumberdaya manusia, termasuk pembuatan landasan hukum yang dijadikan dasar kerjasama dilaksanakan. Sedangkan untuk pengembangan kerjasama yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota, pemerintah provinsi dapat memberikan asistensi dalam menyusun format kelembagaan yang fisibel bagi bentuk kerjasama yang dipilih dan tata kerja yang dapat mendorong efektifitas kerjasama antardaerah. Dalam hal pendanaan dan pengembangan sistem pendukung termasuk sumber daya manusia aparatur, provinsi dapat merancang programprogram
operasional
terutama
pada
tahap
pengembangan
lembaga
kerjasama yang dibangun. Terkait dengan aspek legal, provinsi dapat melakukan supervisi untuk memastikan bahwa kerjasama antardaerah yang dilakukan berada dalam koridor peraturan perundang-undangan
yang
berlaku.
38 29
BAB 3 DINAMIKA PERAN PEMERINTAH PROVINSI DALAM KERJASAMA ANTARDAERAH
Kerjasama antardaerah telah diyakini urgensinya dalam meningkatkan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Salah satu isu strategis yang dianggap berpengaruh bagi peningkatan hasil kerjasama antardaerah adalah upaya mendorong penguatan peran provinsi. Hal ini karena peran provinsi dalam kerjasama antardaerah selama ini dipandang belum optimal. Oleh karenanya dalam kebijakan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah hal ini mendapat perhatian khusus disamping upaya-upaya untuk mendorong terjalinnya kerjasama antardaerah. Seperti apa keterlibatan provinsi dalam kerjasama antardaerah sampai saat ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Alasannya, karena kerjasama antardaerah sangat bervariasi ditinjau dari sisi kelembagaan, pengaturan, tujuan maupun latar belakang dan lain sebagainya.
Dalam bab ini akan dipaparkan potret peran
provinsi dalam kerjasama antardaerah dari berbagai ragam praktik kerjasama tersebut. Pengalaman empiris keterlibatan provinsi dalam praktik kerjasama antardaerah berikut dapat menjadi pijakan untuk mencari model peran ideal provinsi di masa yang akan datang untuk mengoptimalkan kerjasama antardaerah. Adapun bahasan pada bab ini akan diawali dengan uraian tentang dasar hukum kerjasama antardaerah. Sub bab kedua akan mengelaborasi pengalaman empiris kerjasama antardaerah beserta keterlibatan provinsi didalamnya yang dirangkum dari berbagai lokus kajian sebagaimana ditetapkan dalam bab terdahulu. Bagian terakhir dari paparan empiris pada bab ini akan ditutup dengan identifikasi problematika pelaksanaan kerjasama antardaerah. A. DASAR HUKUM PELAKSANAAN KERJASAMA ANTARDAERAH Landasan hukum lain yang menjadi rujukan dasar pelaksanaan kerjasama antardaerah adalah berbagai kebijakan sektoral. Misalnya UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan 39 30
Pulau-pulau Kecil serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang
Penataan Ruang yang menjadi dasar hukum pelaksanaan kerjasama Pengelolaan dan Pengembangan Selat Karimata yang dilaksanakan oleh Provinsi Kepulauan Riau, serta Provinsi di Kawasan Selat Karimata (Kalimantan Barat, Jambi dan Kepulauan Bangka Belitung). Di tingkat daerah, landasan hukum yang mendasari terjalinnya kerjasama antardaerah antara lain dapat dijumpai dalam berbagai kebijakan sektoral di tingkat daerah yang berupa peraturan daerah. Sebagai contoh dalam kerjasama SARBAGITA, Peraturan Daerah Provinsi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali menjadi salah satu landasan pelaksanaan kerjasama tersebut. Acuan lain untuk melaksanakan kerjasama antardaerah juga dapat ditemukan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Provinsi DIY, misalnya, secara khusus dalam RPJMD Provinsinya menyebutkan kerjasama antardaerah sebagai salah satu bidang pembangunannya
sebagai media solusi dan integrasi energi untuk
menyelesaikan masalah lintas daerah.
Provinsi Kepulauan Riau juga
menyebutkan program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah sebagai upaya yang telah dilakukan dalam rangka mencapai sasaran pembangunan bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Pelaksanaan kerjasama dapat pula dilandasi oleh visi dan misi Gubernur, dimana kerjasama ditujukan sebagai strategi untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, dibentuk Biro Administrasi Kerjasama dan Sumber Daya Alam yang selanjutnya melakukan konsolidasi dan inventarisasi berbagai kegiatan kerjasama serta menyusun
berbagai
telaahan
yang
berkaitan
dengan
kerjasama.
Pembentukan lembaga tersebut beserta kegiatan yang terkait dengan kerjasama ditujukan guna mengakselerasi tercapainya visi dan misi Gubernur yang salah satunya adalah untuk mewujudkan NTB sebagai ‗bumi sejuta sapi‘. Dasar pelaksanaan kerjasama antardaerah dapat pula dijumpai dalam Peraturan Gubernur maupun Keputusan Gubernur. Kebijakan Gubernur 40 31
tersebut tidak hanya yang bersifat sektoral, namun dapat pula dijumpai kebijakan khusus Gubernur mengenai kerjasama antardaerah. Dalam kerjasama antara Pemerintah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul, misalnya, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
175/KPTS/1995
tentang
Pedoman
Pelaksanaan
Pengelolaan
Prasarana Perkotaan menjadi salah satu dasar hukum bagi terjalinnya kerjasama Kartamantul sekaligus dukungan legalitas kelembagaan kerjasama tersebut. Sementara di Provinsi NTB, terkait dengan visi dan misi Gubernur sedang disusun Peraturan Gubernur tentang kerjasama yang selanjutnya menjadi pijakan bagi pelaksanaan kerjasama antardaerah di masa yang akan datang. Berbagai landasan yang dapat menjadi rujukan pelaksanaan kerjasama tersebut secara lebih spesifik ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah yang menyelenggarakan kerjasama antardaerah ke dalam berbagai dasar kesepakatan kerjasama. Naskah kerjasama yang memayungi kerangka operasional kerjasama antara lain berbentuk kesepakatan/ kesepahaman bersama, peraturan bersama, keputusan bersama, dan perjanjian kerjasama. Beberapa
kerjasama
antardaerah
bentuk
Understanding),
misalnya
bersama
kesepakatan
bersama antara Bupati Sleman dengan Bupati Gunungkidul
04/SKB.KDH/A./2004
dan
of
dalam
kesepakatan Nomor
(Memorandum
dituangkan
Nomor
125/1023
dalam
bidang
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam beberapa praktek, dijumpai naskah kesepakatan bersama yang dilakukan oleh provinsi-provinsi yang saling bekerjasama. Naskah semacam ini pada umumnya masih bersifat general terkait dengan bidang-bidang yang dikerjasamakan dan berbagai ketentuan umum lainnya. Selanjutnya untuk pelaksanaan masing-masing bidang tersebut, satuan kerja perangkat daerah yang terlibat menindaklanjuti kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian kerjasama.
Sebagai
contoh,
Kesepakatan
Bersama
Nomor
119/461/Pem.D/V/2008; Nomor 076/07316 antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Naskah tersebut 41 32
memuat beberapa aspek dalam kerjasama
seperti aspek perencanaan,
pelaksanaan, pengelolaan, pengendalian, dan evaluasi serta bidang-bidang yang tercakup dalam kerjasama antara kedua provinsi tersebut. Secara lebih spesifik, Kesepakatan bersama tersebut selanjutnya diatur dalam bentuk perjanjian kerjasama oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Payung kebijakan tentang kerjasama yang lain dapat berupa Keputusan Bersama antara pemerintah daerah yang
saling bekerjasama. Naskah
Keputusan Bersama antara lain dapat ditemukan dalam kerjasama SARBAGITA. Untuk mendasari kerjasama tersebut, Walikota Denpasar, Bupati Badung, Bupati Gianyar, dan Bupati Tabanan menandatangani Keputusan Bersama mengenai Pengelolaan Sampah/Kebersihan di wilayah SARBAGITA pada bulan April 2001. Naskah kerjasama yang memayungi kesepakatan bersama dapat dijumpai dalam bentuk lain berupa deklarasi kerjasama. Deklarasi kerjasama semacam
ini
pembentukan
sebagai Forum
contohnya Kerja
Sama
adalah
deklarasi
Antar-Pemerintah
yang
melandasi
Daerah
Provinsi
Kepulauan. B. KERJASAMA ANTARDAERAH DAN DINAMIKA PERAN PROVINSI 1. Kerjasama Antardaerah Format kerjasama antardaerah dalam kajian ini secara sederhana dibagi menjadi tiga, yakni (1) Kerjasama antar-provinsi; (2) Kerjasama Kabupaten Kota Lintas Provinsi; (3) Kerjasama Kabupaten/Kota Dalam Satu Provinsi. a. Kerjasama Antar Provinsi 1) Kalimantan Timur dengan Jawa Tengah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 menandatangani Kesepakatan bersama Nomor 119/461/Pem.D/V/2008; Nomor 076/07316 yang dimaksudkan
untuk
menjalin
hubungan
kerjasama
Bidang
Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan antara kedua 42 33
provinsi
tersebut
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Kesepakatan bersama selanjutnya diatur secara rinci dan ditindaklanjuti oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam bentuk perjanjian kerjasama. Kerjasama tersebut mencakup beberapa aspek yang
meliputi
aspek
perencanaan,
pengendalian, dan evaluasi.
pelaksanaan,
pengelolaan,
Secara lebih spesifik, kerjasama
tersebut meliputi : 1) peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 2) peningkatan kapasitas aparatur ;3) pekerjaan umum dan sumber daya air; 4) kesehatan ;5) pertambangan dan energi; 6) lingkungan hidup; 7) pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan dan holtikultura, perikanan dan kelautan, peternakan, kehutanan, dan perkebunan); 8) kependudukan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; 9) penanaman modal; 10) perhubungan; 11) kebudayaan dan pariwisata; 12) sosial; 13) perindustrian, perdagangan, dan koperasi; penanganan kekerasan berbasis gender; kekerasan terhadap anak dan tindak pidana perdagangan orang; serta bidang lain yang disepakati kedua pihak. 2) Kalimantan Timur dengan Daerah Istimewa Yogyakarta Pada tahun 2008 Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memperbaharui perjanjian kerjasama antara kedua belah pihak yang telah terjalin sebelumnya melalui Kesepakatan Bersama tentang Pembangunan Daerah Nomor 9/KSP/2008 ; Nomor 119/5714/Pem.D/VI/2008. Kesepakatan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan jalinan hubungan
kerjasama
yang
semakin
erat
dan
serasi
dalam
pelaksanaan pembangunan daerah antara kedua pemerintah daerah dengan tujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi dan sumber daya secara efektif dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Diharapkan kerjasama antara Provinsi DIY dan Provinsi Kalimantan Timur akan memberikan proses
berbagi 43 34
pengalaman yang akan meningkatkan kapasitas birokrasi masingmasing.
Kedua Pemerintah Provinsi tersebut bersepakat untuk
bekerja sama dalam berbagai bidang yang meliputi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi;
Pariwisata;
Peningkatan
Kapasitas
Perindustrian,
Aparatur;
Perdagangan
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian;
Pendidikan;
dan
Kependudukan;
Koperasi; Sosial;
Bidang-bidang lain yang disepakati Para Pihak. 3) Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Provinsi Lainnya Kerjasama antara Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan provinsi lain dilihat dari jumlah kegiatan kerjasama sudah cukup banyak, misalnya kerjasama NTB dengan beberapa provinsi yang bersifat kepulauan, kerjasama NTB dengan Provinsi Kalimantan Timur dalam hal ternak sapi, dan ketenagakerjaan, kerjasama NTB dengan Provinsi Bali dalam hal pengembangan pariwisata. Kerjasama yang telah dibangun tersebut perlu dikelola dengan baik, yang selama ini kerjasama antar provinsi tersebut masih sebatas nota kesepakatan, dan perlu ditindaklanjuti dengan program aksi dan terus dimonitoring. 4) Gorontalo dengan Provinsi Lain Pemerintah Provinsi Gorontalo telah melaksanakan berbagai kerjasama dengan berbagai pihak, baik kerjasama dengan pihak pemerintah daerah maupun kerjasama dengan pihak swasta. Untuk kerjasama dengan pemerintah daerah ini, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah melakukan kerjasama dengan Kota Surabaya dalam hal pengembangan pelelangan barang dan jasa melalui internet, dimana provinsi menjadi salah satu pilot project kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal kerjasama antar provinsi, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah melakukan kerjasama bidang pemerintahan 44 35
dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, yaitu kerjasama pembangunan daerah, dimana maksud dari kerjasama ini adalah menyelaraskan
rencana,
program
dan
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan berbasis potensi dan keunggulan daerah. Sedangkan tujuan dari penyelenggaraan kerjasama ini adalah untuk saling mendukung dan meningkatkan serta memanfaatkan sumberdaya, kompetensi dan teknologi yang dimiliki secara maksimal dan sebaikbaiknya dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pembanguan serta untuk mendorong kemampuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan mengikutsertakan masyarakat dan pelaku usaha secara luas. Selain dengan Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Provinsi Gorontalo juga melakukan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Dari data sekunder diketahui bahwa bidang-bidang kerjasama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah adalah :
Bidang Perikanan dan Kelautan
Kerjasama pengembangan Perikanan dan Kelautan di Teluk Tomini. -
Pemda Sulteng dan Gorontalo mengusulkan payung hukum berupa perpres tentang pengolahan dan pemanfaatan sumber daya perikanan perairan Teluk Tomini.
-
Pengembangan budidaya laut (ikan karang, rumput laut, teripang dan ikan tuna).
-
Pengembagan perikanan tangkap skala kecil dengan armada semut.
-
Pengembangan
infrastruktur
sarana
dan
prasarana
(pangkalan pendaratan ikan dan sarana cool chain system). -
Pengembangan sentra pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. 45 36
-
Pengawasan
dan
konservasi
pemanfaatan
dan
pengelolaan Teluk Tomini. -
Usul deregulasi Perizinan Usaha Perikanan Tangkap Kewenangan Provinsi dari 10-30 GT menjadi 10-60 GT.
-
Kerjasama penelitian dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Bidang Energi.
Pemanfaatan tenaga kelistrikan -
Kerjasama kelistrikan
c. Bidang Perhubungan -
Pengembangan jalur perhubungan darat, laut dan antar pulau.
-
Pengembangan trayek angkutan penyebrangan : Ampana – Wakai – Marisa – Gorontalo PP. Diusulkan pembangunan kapal fery untuk melayani kawasan Teluk Tomini.
-
Kerjasama keamanan secara terpadu di perairan Teluk Tomini.
-
Deregulasi perizinan di bidang perhubungan darat.
-
Peningkatan pelayanan angkutan udara rute Palu – Gorontalo – Manado PP.
-
Pembukaan jalur transportasi laut (kanal) menghubungkan Teluk Tomini dengan Laut Sulawesi.
Bidang Pariwisata
Pengembangan Pariwisata Teluk Tomini. -
Kerjasama penyusunan rencana induk pengembangan pariwisata Teluk Tomini.
-
Paket wisata terpadu Sulteng – Gorontalo
-
Kerjasama event tahunan promosi pariwisata.
-
Kerjasama Festival Bahari Teluk Tomini.
-
Pengembangan system informasi central (STRIK) turis.
Bidang Pertanian dan Perkebunan
Pengembangan pertanian, perkebunan dan agroindustri. -
Pengembangan produksi dan pemasaran jagung. 46 37
-
Pengembangan produksi dan pemasaran VCO dan Kakao Fermentasi.
-
Kerjasama penyediaan dan distribusi pupuk NPK.
-
Pengembangan SDM di bidang panen dan pasca panen.
-
Kerjasama perbenihan dan perbibitan.
-
Kerjasamadi
bidang
pengolahan
dan
pemasaran
holtikultra.
Bidang Peternakan
Pengembangan pertanian, perkebunan dan agroindustri. -
Kerjasama pengembangan dan pemasaran ternak dengan Provinsi
Gorontalo
sebagai
pelabuhan
keluar
yang
mengantongi ijin Departemen Pertanian Perdagangan ke luar negeri.
Bidang Perindustrian dan Perdagangan
Pengembangan Perindustrian dan Perdagangan. -
Kerjasama pemasaran hasil kerajinan rakyat.
-
Kerjasama promosi dan pemasaran komoditi unggulan (coklat, rotan dan lain-lain).
-
Kerjasama
Pengembangan
SDM
perindustrian
dan
perdagangan. b. Kerjasama Kabupaten/Kota Lintas Provinsi Kerjasama Kabupaten/Kota Lintas Provinsi pada prakteknya dapat dibagi menjadi dua format yakni kerjasama yang melibatkan lebih dari dua kabupaten kota dan kerjasama yang hanya melibatkan dua kabupaten/kota. Untuk format yang pertama terlihat pada kerjasama Javapromo. Kerjasama
Javapromo
merupakan
Parawisata yang melibatkan dua Provinsi
kerjasama
di
bidang
DIY dan Jawa Tengah
meliputi 14 Kabupaten Kota yakni, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo,
Kabupaten
Gunung
Kidul,
Kabupaten
Purworejo, 47 38
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten karangnyar, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Kebumen, Kota Yogyakrta dan Kota Magelang, Kabupaten Semarang. Adapun bidang yang dikerjasamakan meliputi; (i) Pengembangan parawisata secara bersama-sama 1 wilayah destinasi pariwisata; (ii) Pengembangan
sarana
prasarana
penunjang
pariwisata;
(iii)
Pengembangan produk paket wisata baru yang potensial; (iv) Pengembangan
promosi
parawisata
secara
terpadu;
(v)
Pengembangan pendidikan dan pelatihan bidang parawisata. Keenam bidang tersebut merupakan penjabaran dari tujuan dan fungsi forum ini sebagaimana tertuang dalam AD/ART Javapromo. Disebutkan bahwa tujuan forum ini adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi wisata dalam wilayah anggota dan membantu pemerintah dan masyarakat di wilayah tujuan wisata dalam memajukan pariwisata. Adapun fungsinya adalah untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar anggota dan dengan organisasi lainnya dalam kegiatan riset, survei, perencanaan, pelatihan, pengelolaan, pengembangan, dan promosi produk wisata. Bahkan forum ini juga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, kapasitas dan mutu pelayanan wisata bagi daerah anggotanya. Sementara kerjasama kabupaten/kota lintas provinsi
yang
hanya melibatkan dua kabupaten kota, dapat dilihat dari kerjasama yang terjalin diantaranya, Kerjasama Transmigrari dan Kerjasama Bandung-Batam. 1) Kerjasama Transmigrasi Kerjasama di bidang transmigrasi ini adalah kerjasama yang digalang oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Pemerintah Kabupaten Temanggung. Konsep kerjasama ini dirancang untuk meningkatkan program transmigrasi melalui peningkatan kerjasama antara daerah pengirim dan daerah penerima. Kabupaten 48 39
Kutai Kartanegara dalam hal ini menjadi daerah penerima sementara Kabupaten Temanggung menjadi daerah pengirim. Adapun format kerjasama dilakukan antara lain melalui mekanisme kesepakatan. Misalnya, kesepakatan mengenai jumlah transmigran yang dikirim dan diterima, serta pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing pemerintah daerah. Sebagai pihak pengirim, pemerintah daerah Kabupaten Temanggung mencari dan melatih calon transmigran agar memenuhi syarat yang diberikan oleh pemda penerima. Baik pemerintah daerah
penerima maupun
pengirim saling menjalin komunikasi dengan para transmigran. b) Kerjasama Bandung-Batam Kerja sama ini dilatarbelakangi oleh kondisi kedua kota tersebut yang hampir sama. Baik Bandung maupun Batam tidak mempunyai sumber daya alam, tetapi lebih mengandalkan bidang jasa. Sebagaimana tertuang dalam MoU, kesepakatan kerja sama pembangunan antara kedua
daerah ini
meliputi promosi,
perdagangan, industri, pertamanan, sampai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semua
pendanaan
dalam
rangka
kerja
sama
ini
dianggarkan dalam APBD dan sumber lain yang tidak terikat. Melalui MoU Batam Bandung Sister City yang ditandatangai kedua kepala daerah pada bulan Desember 2007 diharapkan kedua kota dapat membangun kerja sama baik di berbagai bidang, sehingga baik Bandung maupun Batam bisa maju bersama dan untuk mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat.
Diharapkan
bahwa
Pemerintah Kota Bandung bisa mempromosikan Batam karena dari segi sumber daya alam, Batam tidak memiliki apa-apa, namun memiliki keunggulan dengan letaknya yang strategis sehingga menjadi lokasi perindustrian dan menjadi pintu masuk wisatawan. Kerjasama antardaerah yang melibatkan kabupaten di luar provinsi juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo, 49 40
seperti kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Purwakarta dalam bidang kesehatan, terutama dalam hal pengembangan rumah sakit. c) Kerjasama Kabupaten/Kota Dalam Satu Provinsi Kerjasama Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi dapat dibagi menjadi dua format yakni kerjasama yang melibatkan lebih dari dua kabupaten/kota
dan
kerjasama
yang
hanya
melibatkan
dua
kabupaten/kota. Untuk format yang pertama terlihat pada kerjasama Kartamantul, Sarbagita, Sarbagitaku, DSDP, dan lainnya. 1. Kerjasama Kartamantul Kartamantul adalah kerjasama antara tiga daerah di lingkungan Provinsi DIY, yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta dalam bidang pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan. Kerjasama tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul di wilayah aglomerasi perkotaan. Sebenarnya kerjasama ini merupakan bentuk formalisasi dari berbagai inisiasi dan bentuk kerjasama dalam pengelolan kawasan perkotaan yang sudah ada sejak lama. Seperti diketahui bahwa sejak 1990 telah dirintis upaya kerjasama melalui Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) dengan dukungan Lembaga Kerjasama Pembangunan Swiss (SDC) melalui proyek Urban Development Project. Sekretariat Bersama Kertamantul ini dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Bupati Bantul, Bupati Sleman dan Walikota Yogyakarta Nomor : 04/Perj/RT/2001, 38/Kep.KPH/2001, 03 TAHUN
2001
Tentang
Pembentukan
Sekretariat
Bersama
Pengelolaan Prasarana dan Sarana Perkotaan antar Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari Keputusan Gubernur Kepala Daerah Yogyakarta Nomor : 200/KPTS/1997 tentang Pembentukan Badan Sekretariat Bersama Pembangunnan Yogyakarta, Sleman dan Bantul. 50 41
Adapun bidang yang dikerjasamakan meliputi pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan khususnya pada 6 sektor, yakni sektor Persampahan; Sektor Air Limbah; Sektor Jalan dan Drainase; Kerjasama Sektor Transportasi; Sektor Air Bersih; Sektor Tata Ruang. 2. Kerjasama SARBAGITA Kerjasama SARBAGITA merupakan kerjasama dalam bidang pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam wilayah Bali Bagian Selatan, meliputi Kota Denpasar, Kabupaten
Kabupaten
Badung,
Gianyar,
dan
Tabanan
berdasarkan Keputusan Bersama Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan. Kebijakan kerjasama ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan dari daerah yang bersangkutan untuk mengatasi permasalahan persampahan dan kebersihan yang selama ini dihadapi oleh daerah-daerah tersebut. Kota Denpasar dan Badung, karena produksi sampahnya sudah mencapai 2000 m kubik per hari, paling merasakan permasalahan sampah ini. Pada awalnya Kota Denpasar dan Kabupaten Badung sudah bekerja sama karena Kabupaten Badung tempat pembuangan sampah akhirnya berada di Suwung-Denpasar. Namun demikian kerjasama ini hanya dalam bentuk pembayaran pembuangan sampah dan pengolahan sampah dikelola secara konvensional. Belum ada pemikiran bagaimana mengolahnya dan sebagainya. Kemudian terdapat ide kerjasama
pengelolaan
sampah
yang
lebih
professional,
menyeluruh dan berkelanjutan yang pada awalnya adalah ide memindahkan Tempat Pembuangan Akhir ke Kabupaten Tabanan. Pada awal pembicaraan Bupati Tabanan menyatakan siap karena memiliki lahan yang luas, tetapi setelah ide tersebut disampaikan di media masyarakat menolak jika TPA dipindahkan ke Kabupaten 51 42
Tabanan. Selanjutnya disepakati kerjasama SARBAGITA dengan konsep pembangunan pengelolaan sampah menjadi energi listrik. Kebijakan pengelolaan kebersihan tersebut diarahkan bagi pencapaian peningkatan kebersihan yang mampu mendukung pembangunan
Bali
secara
keseluruhan
dan
khususnya
pembangunan pariwisata secara berkelanjutan guna mencapai Bali yang yang Bersih, Aman, Lestari, dan Indah. Diharapkan bahwa melalui kerjasama tersebut pengelolaan kebersihan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien, berkesinambungan, dan
berjangka panjang
serta dapat menyatu
menjadi
satu
kesatuan sistem pelayanan dalam lingkup Provinsi Bali. Pengembangan pengelolaan kebersihan ini mencakup pengembangan
sistem
persampahan,
pengembangan
kelembagaan, pengembangan peran serta masyarakat dan kerjasama pemerintah dengan swasta.
Terdapat lima program
yang tercakup dalam pengembangan menyeluruh pengelolaan kebersihan di wilayah SARBAGITA, yaitu : 1) Program utama yang meliputi kegiatan pengumpulan dan perwadahan, pengangkutan, serta
pengolahan
dan
penimbunan
sampah;
2)
Program
pengurangan sampah melalui minimalisasi produksi, pengolahan daur ulang dan pemanfaatan sampah sebagai bahan kompos; 3) Program penunjang yang mencakup pemberdayaan kelembagaan, peningkatan
kinerja,
peningkatan
ketatalaksanaan,
dan
pengembangan kelembagaan; 4) Program pemanfaatan potensi yang mencakup pengembangan kerjasama pemerintah dengan swasta dan pengembangan kerjasama antar Kota dan Daerah; 5) Program pemberdayaan masyarakat yang mencakup pendidikan dan penyuluhan masyarakat seta pembinaan pemulung sebagai pemilah sampah yang terampil. Dalam rangka melaksanakan kerjasama SARBAGITA tersebut telah dibentuk Badan Pengatur dan Pengendalian Kebersihan, 52 43
Badan Pengelola Kebersihan, serta Fasilitasi Pembentukan Badan Pengawas Pengelolaan Kebersihan dan Tata Kerja di Kota Denpasar,
Kabupaten
Badung,
Kabupaten
Gianyar,
dan
KabupatenTabanan berdasarkan Keputusan Bersama Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan KabupatenTabanan
yang
dibentuk
berdasarkan
Keputusan
Bersama Nomor 357 Tahun 2001; Nomor 1043 A Tahun 2001; Nomor 130 Tahun 2001; Nomor 150 Tahun 2001. Badan Pengatur dan Pengendalian Kebersihan adalah Lembaga Teknis Antar Pemerintah yang melaksanakan kerjasama SARBAGITA, sementara Badan Pengelola Kebersihan merupakan Lembaga Non Perangkat Daerah Adapun Badan Pengawas Pengelolaan Kebersihan dan Tata Kerja bersifat independen dan dibentuk masyarakat di lingkungan pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten
Kabupaten
Badung,
Kabupaten
Gianyar,
dan
Kabupaten Tabanan yang juga merupakan Lembaga Non Perangkat Daerah. 3. Kerjasama SARBAGITAKU Kerjasama SARBAGITAKU dilaksanakan oleh beberapa pemerintah daerah di Provinsi Bali yang meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten
Klungkung.
SARBAGITAKU
merupakan
wadah
kerjasama dalam pengelolaan sistem air minum di berbagai kabupaten/kota tersebut. Kerjasama ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan daerah tersebut untuk menyediakan air bersih bagi warganya. Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang sangat vital bagi masyarakat, terutama di Bali sebagai daerah tujuan wisata yang perlu menciptakan kenyamanan tidak hanya bagi warganya namun juga bagi para wisatawan. Dengan demikian terdapat kebutuhan yang semakin besar terhadap air minum, 53 44
khususnya
di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yang
memiliki keterbatasan dalam sumber air baku. Di sisi lain terdapat sumber air bersih yang cukup berlebih di Kabupaten Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung yang belum termanfaatkan. Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan air minum diwilayah Bali Selatan, sehingga mendorong terbentuknya kerjasama secara regional untuk saling membantu melengkapi kebutuhan daerah lain dengan saling menguntungkan. Diharapkan bahwa dengan adanya kerjasama tersebut akan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah selama ini seperti
keterbatasan lahan,
sumber air baku dalam rangka pembangunan fasilitas publik khususnya untuk menjamin kesinambungan pelayanan air minum secara regional di wilayah SARBAGITAKU. Disamping itu melalui kerjasama
ini
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
pembiayaan. Kerjasama ini merupakan bentuk
efisiensi semangat
kebersamaan guna meningkatkan kualitas dan kehandalan pelayanan air minum khususnya di SARBAGITAKU dalam rangka mempertahankan kepariwisataan Bali. Terkait dengan aspek kelembagaan, disebutkan oleh narasumber dari pemerintah kota Denpasar bahwa mekanisme yang mengatur kerjasama ini masih dalam pengembangan sehingga
belum memiliki lembaga yang jelas untuk mengatur
bagaimana mengatur kerjasama tersebut. Berbeda dengan kerjasama SARBAGITA, dalam kerjasama SARBAGITAKU ini terdapat peran penting dari pemerintah Pusat, khususnya karena sumber pendanaan dalam pengelolaan air minum ini bersumber dari APBD.
Di samping itu kerjasama ini juga melibatkan
Pemerintah
Provinsi,
sementara
Pemerintah
Kabupaten
menyediakan lahan bagi lokasi. 54 45
4. Kerjasama Denpasar Severage Development Project (DSDP) Kerjasama DSDP
bergerak dalam
bidang pengolahan
limbah (sanitary). Kerjasama ini merupakan sarana
untuk
pengelolaan air limbah secara off site dengan sitem air limbah perpipaan untuk wilayah Denpasar, Sanur dan Kuta (Kabupaten Badung).
Pengelolaan bersama Sistem Air Limbah Perpipaan
tersebut dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bersama Gubernur Bali, dengan Walikota Denpasar dan Bupati Badung. Latar belakang terkait dengan letak strategis Kota Denpasar dan visi Kota Denpasar untuk menciptakan Kota Denpasar berwawasan budaya dengan keharmonisan dalam keseimbangan secara berkelanjutan. Letak Kota Denpasar yang strategis sebagai pusat pemerintahan Provinsi Bali maupun sebagai tempat kedudukan perwakilan/konsulat Negara sahabat, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, perdagangan, keuangan, jasa, pusat pelayan kesehatan, pendidikan, perhubungan darat dan laut, dan sebagai pintu gerbang regional dan kepariwisataan.
internasional serta
Untuk menangani air limbah, pemerintah
mengalami keterbatasan sarana penyaluran air limbah dan tidak berfungsinya IPLT skala kota. Secara kelembagaan pengelolaan bersama pengolahan limbah tersebut ditangani oleh Badan Layanan Umum Pengelolaan Air Limbah (BLU-PAL) berdasarkan Surat Keputusan Pembentukan Badan
Usaha
air
limbah.
Meskipun
sudah
beroperasi,
kelembagaan BLU belum melembaga. Pada awalnya sebelum terdapat peraturan mengenai badan layanan umum, di Denpasar terjadi tarik ulur mengenai seperti apa bentuk badan pengelola yang
akan
mengelola
limbah
tersebut.
Setelah
Pusat
mengeluarkan peraturan mengenai BLU, kemudian dibentuklah Badan Layanan Umum tersebut.
55 46
5. Kerjasama Pengelolaan Sungai Mahakam Kerjasama pengelolaan Sungai Mahakam dilaksanakan oleh Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Kalimantan Timur.
Kerjasama
ini dilatar belakangi oleh
permasalahan banjir yang khususnya dihadapi oleh Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Kalimantan Timur akibat meluapnya sungai Mahakam yang terjadi setiap tahun.
Disamping itu juga diharapkan dapat mengatasi
berbagai masalah lingkungan yang dihadapi Sungai Mahakam, yang mewakili persoalan lingkungan secara keseluruhan dari KalimantanTimur karena secara historis merupakan urat nadi kehidupan Kalimantan Timur. Kelompok Kerja Kalimantan Timur dibentuk sebagai badan setengah resmi untuk menampung wakil-wakil dari para pihak kepentingan utama atas Sungai Mahakam, dan terlebih lagi, sebagai forum untuk komunikasi antara pejabat-pejabat dari Kabupaten, Kotamadya dan Provinsi. Kelompok ini ditugasi dengan tugas-tugas berikut:
Koordinasi dari pengembangan metodologi pengelolaan DAS Mahakam (dan dengan demikian termasuk tata-ruang DAS dan rencana-rencana kerja) yang meliputi semua pemda dengan wilayah kerja di wilayah DAS, dan para-pihak kepentingan yang lain.
Membentuk keanggotaan yang melibatkan semua pemda di wilayah DAS, serta pejabat Provinsi yang terkait, termasuk juga LSM dan Universitas Mulawarman.
Mengembangkan metode perencanaan tata-guna tanah dan perlindungan hutan, dan juga memperkuat hubungan antara calon investor dengan komunitas asli setempat dalam penggunaan sumber alam di DAS Mahakam.
56 47
d) Kerjasama Kabupaten Sleman dengan Kabupaten sekitarnya Dalam
upaya
peningkatan
koordinasi,
sinkronisasi
dan
keterpaduan program untuk menentukan kebijakan bersama antar kabupaten berbatasan, Pemerintah Kabupaten Sleman melakukan kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo. Bidang yang dikerjasamakan meliputi ; 1. Perindustrian dan Perdagangan meliputi pemagangan pengrajin dan pelaku usaha industri, promosi potensi daerah dan fasilitasi penyediaan bahan baku. 2. Peningkatan kualitas ternak, kesehatan masyarakat veteriner dan perikanan budidaya 3. Penanggulangan bencana alam Perjanjian
Kerjasama
bidang
teknis
antara
Pemerintah
Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Gunungkidul merupakan tindaklanjut
Keputusan Bersama antara
Bupati Sleman dengan
Bupati Gunungkidul Nomor 04/SKB.KDH/A./2004 125/1023
tentang
Kerjasama
di
Bidang
dan Nomor Pemerintahan,
Pembangunan, dan Kemasyarakatan. Perjanjian Kabupaten tindaklanjut Bupati
Kerjasama
Sleman
bidang
dengan
teknis
antara
Pemerintah
Kabupaten
Bantul
merupakan
Keputusan Bersama antara Bupati Sleman dengan
Bantul
Nomor:
10/PK.KDH/A/2006
dan
Nomor:
36/PERJ/BTL/2006 tentang Kerjasama di Bidang Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan. Perjanjian
Kerjasama
bidang
teknis
antara
Pemerintah
Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulonprogo merupakan tindaklanjut
Keputusan Bersama antara
Bupati Sleman dengan
Bupati Kulonprogo Nomor: 11/PK.KDH/A/2006 dan Nomor: 18 Tahun 2006 tentang Kerjasama di Bidang Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan. 57 48
e) Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan Terdapat permasalahan besar yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan khususnya di tiga Kabupaten yang ada di Kalimantan Timur dan terletak di perbatasan. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh letak geografis yang sebagian besar dimiliki oleh kabupaten sebagai daerah perbatasan yang sangat terpencil sehingga pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang dapat dilakukan masih sangat minim, dimana hampir seluruh kawasan kecamatan/desa yang ada di perbatasan hanya dapat dijangkau dengan menggunakan pesawat udara. Untuk mengatasi permasalahan tersebut sangat diperlukan kerjasama antardaerah sehingga terbentuk beberapa kerjasama antardaerah yang terkait dengan pembangunan wilayah perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur. f)
Provinsi Nusa Tenggara Barat Kerjasama antara Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Nusa
Tenggara Barat sebenarnya sudah cukup banyak, dalam hal ini bisa kita lihat dari bentuk kerjasama tersebut apakah kerjasama tersebut inisiatif dari masing-masing Kabupaten/Kota maupun inisiatifnya datang dari pemerintah Provinsi. Kerjasama yang merupakan inisiatif dari Kabupaten/Kota misalnya, kerjasama antara pemerintah Kota Mataram dengan pemerintah Kabupaten Lombok Barat dalam hal penanganan sampah dan air minum yang dilakukan sejak tahun 2004, kerjasama antara Kota Mataram dengan Kabupaten Lombok Barat tentang penangan sampah atau yang dikenal dengan Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Regional Kebon Kongok, nota kesepahamannya ditandatangani oleh masing-masing Kepala Daerah, dan dilanjutkan dengan membentuk Tim Tehnis, adapun tugas-tugas tim tehnis tersebut antara lain; (1) memfasilitasi kerjasama antara Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat dengan lembaga pemerintah maupun lembaga non58 49
pemerintah yang akan berpartisipasi dalam kerjasama tersebut; (2) melakukan identifikasi peluang kerjasama antardaerah dalam rangka Pengelolaan Tempat Pengolahan Akhir Regional Kebon Kongok; (3) Merumuskan draft kerjasama Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat dalam pengembangan dan peningkatan Pengelolaan Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Regional Sampah Kebon Kongok; (4) Menyusun rencana kerja dan penghitungan asset TPA; (5) Melaporkan hasil kerja tim kepada Walikota Mataram dan Bupati Lombok Barat. Disamping itu terdapat pula kerjasama antar Kabupaten/Kota yang dilakukan atas inisiatif pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat misalnya yang kita kenal dengan ―Managemen Regional‖ kerjasama antara beberapa Kabupaten dan Kota di Pulau Lombok yang mewadahi berbagai macam kerjasama yang dilakukan; selain Managemen Regional tersebut pemerintah Provinsi pada saat ini sedang difasilitasi adalah Kerjasama 4 (empat) Kabupaten yakni Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima dalam kerjasama Ternak Sapi, hal ini dilakukan untuk memenuhi target rencana kerja Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010 jumlah ternak sapi mencapai 1 (satu) juta ekor sapi, sehingga Nusa Tenggara Barat mampu berkontribusi dalam swasembada daging sapi secara nasional tahun 2010 program rencana aksinya sampai saat ini sedang susun dan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. g) Provinsi Gorontalo Penyelenggaraan kerjasama antardaerah pada dasarnya adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penyelenggaraan kerjasama diarahkan untuk meningkatkan berbagai aspek yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam kaitan dengan kerjasama antardaerah dalam satu
59 50
provinsi, Kabupaten Gorontalo telah melakukan kerjasama dengan kabupaten/kota dan Provinsi Gorontalo. Kerjasama yang telah dilakukan meliputi kerjasama dengan Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Boalemo, Kota Gorontalo, Kabupaten Pahuwato, dan Kabupaten Gorontalo yakni kerjasama dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan. Misalnya kerjasama antara Kabupaten Gorontalo dengan Kota Gorontalo dalam hal pelaksanaan tender, dimana inti dari kerjasama ini lebih kepada bagaimana pengaturan tender, agar tidak terjadi pengusaha yang sudah mengikuti dan menang tender di satu daerah tidak mengikuti lagi tender di daerah lain. Hal lain yang
menarik adalah kerjasama antara Kabupaten
Gorontalo dengan Kota Gorontalo dalam hal pemberantasan MIRAS. Hal ini dimaksudkan agar peredaran dan penyalahgunaan MIRAS tidak sampai meluas dikalangan masyarakat. Namun kerjasama ini baru pada tahap penggodokan oleh keduabelah pihak. 2. Dinamika Peran Provinsi Untuk melihat sejauh mana atau seperti apa peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah selama ini, berikut ini akan dipaparkan dinamika keterlibatan masing-masing berdasarkan wilayah provinsi. Pembagian ini di samping alasan kemudahan juga dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara konprehensif tentang dinamika keterlibatan
masing-masing
pemerintah
provinsi
dalam
berbagai
kerjasama antardaerah yang telah dilaksanakan. Pertama untuk kasus DIY. Diskursus tentang peran provinsi dalam pengelolaan kerjasama antardaerah di DIY menarik ditelaah. Daya tarik itu terutama dilatari oleh adanya perbedaan pendapat antara pihak pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam
pandangan Pemerintah Provinsi, seperti dikatakan baik oleh Kepala Biro Pemerintahan maupun Kepala Badan Kerjasama dan Investasi Daerah DIY 60 51
menganggap bahwa provinsi telah berperan dalam pengelolaan kerjasama antardaerah. Dalam wawancara dengan Tim PKKOD Kepala Badan Kerjasama dan Investasi Daerah DIY ini mengakatakan; “Di DIY ada kerjasama antar kabupaten/kota, antara kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Itu difasilitasi provinsi kemudian dibentuk forum kerjasama daerah. Dalam rangka forum kerjasama daerah ini dibentuk sekretariat” Berbeda dengan pihak pemerintah kabupaten/kota, yang justru berpendapat bahwa pihak provinsi belum berperan secara optimal, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak punya peranan. Kesan ini terungkap dalam diskusi terbatas dengan pemerintah Kabupaten Sleman, seperti dilansir oleh Sekretaris Daerah saat mengomentari pendapat yang muncul dalam forum diskusi tersebut yang mengatakan bahwa peran provinsi belum ‗optimal‘. Dalam pandangan Sekretaris Daerah bahwa kata ‗belum optimal‘ dalam pandangan orang Jawa sama dengan ‗tidak berperan‘ dalam bahasa non-Jawa. Pendapat senada muncul dari Kepala Subbag Kerjasama Kabupeten Sleman. Kuntjaraningrum menyebutkan misalnya, ”Sejauh yang saya amati, peran provinsi memang sangat terbatas. Sejauh ini inisiatif kerjasama datang dari pemerintah daerah kabupaten/kota, baru kemudian mendapat perhatian dari pemerintah provinsi. Kecenderungan itu terjadi dalam berbagai kerjasama yang sedang dikelola antara Kota Yogyakarta dengan kabupaten/kota lain”. Masalah tentang perlu tidaknya keterlibatan provinsi
dalam
pengelolaan kerjasama menjadi materi perdebatan yang sangat dinamis. Perdebatan tentang peran provinsi dalam Sekber Kartamantul misalnya, hampir selalu mewarnai serial diskusi, workshop dan forum-forum sejenisnya. Workshop tanggal 13 Februari 2004 sebagaimana dilansir dalam laporan tertulis, bahwa keterlibatan provinsi dalam struktur kelembagaan sempat disepakati karena beberapa alasan, diantaranya; a. Provinsi mempunyai sumber dana yang besar, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan lintas daerah di hampir semua sektor.
61 52
b. Provinsi mempunyai sumber dana yang dibelanjakan dalam teritori kabupaten/kota. c. Kerterlibatan provinsi sudah dilakukan sejak awal pembentukan Sekber Kartamantul. Kerlibatan itu dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (2) SKB No. 18 Tahun 2001. No. 01/PK-KDH/2001, No. 01 Tahun 2001 tentang Kerjasama Penegeloaan Prasarana dan Sarana Perkotaan antar Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. d. Perlu ada koordinasi yang lebih sistematis antar provinsi-kabupatenkota. e. Perlu ada matching programs yang lebih terintegrasi antara provinsikabupaten-kota, misalnya untuk kasus IPAL, sehingga dana tidak dihabiskan untuk kegiatan yang sama (terjadi tumpang tindih sehingga 1 kegiatan ada 4 SPJ yang berbeda). Namun
dalam
perkembagannya,
terjadi
perubahan
sikap
(pandangan) dari salah satu anggota, seperti ditunjukkan delegasi Kabupaten Sleman yang mengajukan keberatan terhadap keterlibatan pemerintah provinsi dalam sturuktur organisasi Sekber dengan alasan bahwa
bidang-bidang
yang
dikerjasamakan
Sekber
(sarana
dan
prasarana) merupakan kewenangan yang dimiliki Kabupaten/Kota. Alasan lainnya adalah, bahwa kerjasama ini adalah kerjasama Kartamantul yang merupakan pemerintah daerah sederajat dan bertetangga.
Oleh
karenanya, pemerintah Provinsi DIY yang mempunyai cakupan teritori yang antara lain terdiri dari teritori Kartamantul tidak setara untuk membangun kerjasama dengan Kab/Kota dalam wilayahnya. Praktik kerjasama antardaerah di DIY sudah berlangsung cukup lama dibanding di daerah lain. Oleh karenanya dasar hukum yang digunakan pada awalnya mengacu pada UU No 22 tahun 1999. Sehingga pengelolaan kerjasama antardaerah terkesan masih dilingkupi semangat egosentrisme kabupaten kota. Kedua, peran provinsi dalam konteks kerjasama antardaerah di Bali, dapat digambarkan dengan melihat dinamika kerjasama SARBAGITA, 62 53
SARBAGITAKU dan DSDP. Dalam kerjasama SARBAGITA, peran provinsi sudah terlihat sejak awal. Pemerintah provinsi termasuk pihak yang turut serta dalam proses terbentuknya kerjasama untuk menangani masalah persampahan ini. Memang terdapat perbedaan pendapat terkait siapa pencetus awal, di satu pihak ada yang beranggapan bahwa inisiasinya dari provinsi. Sementara di pihak yang lain berpendapat idenya justru datang dari masing-masing
kabupaten.
Adalah
penting
untuk
memperhatikan
pernyataan Asisten Bidang Pemerintahan Kabupaten Gianyar berikut: “Di sini prinsip-prinsip kerjasama dikembalikan kepada pihakpihak yang terlibat. Artinya inisiasi, masukan-masukan di dalam suatu pembuatan kelembagaan, khususnya dibidang pembuangan sampah sarbagita tersebut kemungkinan dari masing-masing kabupaten karena kendala persampahan ini susah sekali kita mengantisipasi ke depannya. Oleh karena itu dari masing kabupaten tersebut melakukan inisiasi, kemudian difasilitasi oleh provinsi. Kemudian provinsi melalui mekanisme tertentu dalam pembuatan badan tersebut maka dibentuklah kerjasama yang difasilitasi oleh provinsi. Tetapi inisiasinya ini kemungkinan dari kabupaten. Senada dengan itu, Bappeda Kota Denpasar juga melihat bahwa kerjasama SARBAGITA inisiatifnya datang dari kabupaten, terutama Denpasar dan Badung. Karena produksi sampah kedua daerah ini sudah mencapai 2000 meter kubik per hari. Bahkan sebelum SARBAGITA terbentuk keduanya sudah melakukan kerjasama secara konvensional dengan cara setiap kali Badung mendrop sampah ke Suwung Denpasar harus langsung dibayar. Hal ini terungkap dalam wawancara, saat menjawab pertanyaan terakait siapa yang menginisiasi kerjasama tersebut. Dikatakan Ketua Bappeda Kota Denpasar sebagai berikut: “Yang jelas Denpasar dan Badung, karena produksi sampahnya sudah mencapai 2000 meter kubik per hari, karena Denpasar paling merasakan persoalan sampah ini. Sebenarnya Denpasar dan Badung sudah bekerja sama karena Badung drop sampahnya di Suwung-Denpasar. Dulu nggak dikerjasamakan, Cuma kalau buang ke sana aja bayar, dikelola secara konvensional. Belum ada pemikiran bagaimana mengolahnya dan sebagainya. Kemudian ada ide kerjasama pengelolaan 63 54
sampah. Sebenarnya ide awalnya memindahkan TPA ini ke Tabanan. Pada awal pembicaraan Bupati Tabanan menyatakan siap karena memang lahannya luas, tetapi setelah keluar di media masyarakat menolak. Itu masalahnya”. Sekalipun inisiatifnya dari kabupaten kota, sepertinya pihak kabupaten/kota menyadari sangat
diperlukan.
Kabupaten/Kota
bahwa keterlibatan pemerintah provinsi
Mengingat
kerjasama
tersebut
bersifat
lintas
maka salah satu peran yang dilakukan Pemerintah
Provinsi adalah melakukan pengkoordinasian. Dalam konteks ini pemerintah provinsi memfasilitasi pertemuan antar bupati. Sebagaimana dikatakan juga oleh Ketua Bappeda bahwa; “Memang dari awal Provinsi sudah terlibat, dari berkumpulnya bupati-bupati waktu itu yang diwakili wakil bupati, itu Provinsi yang mengumpulkan. Jadi inisiatornya dari Provinsi. Kalaupun inisiatornya dari pemda-pemda, pasti juga lapor ke Provinsi, dalam arti sebagai atasan. Segala sesuatunya pasti akan terkait dengan provinsi karena lintas kabupaten. Tidak bisa kabupaten-kabupaten itu mengatur dirinya sendiri - berdua mengatur dirinya untuk bersatu tanpa ada peranan yang lebih tinggi”. Kesadaran betapa pentingnya kehadiran provinsi juga diakui oleh Pemerintah Kota Denpasar, menurutnya kabupaten kota tidak dapat berjalan sendiri-sendiri antar bupati dengan walikota atau antar bupati dengan bupati, tanpa ada keterlibatan atau tanpa sepengetahuan dari Provinsi. Bahkan dalam kerjasama tersebut diperlukan juga pengaturan dari Gubernur untuk hal-hal tertentu khususnya terkait surat keputusan kerjasama antardaerah tersebut.
Dalam konteks ini provinsi diminta
untuk menjalankan peran regulatifnya sebagaimana diamanatkan oleh aturan perundangan yang ada. Dalam kerjasama SARBAGITA, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama yang mengatur tentang kerjasama tersebut, selanjutnya disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi perlu memberikan pembinaan serta fasilitasi secara memadai bagi pelaksanaan serta tindak lanjut dari penetapan Surat Keputusan Bersama tersebut. 64 55
Di samping itu juga ditegaskan bahwa jika terjadi perselisihan yang timbul antara Pemerintah Kota/Kabupaten sebagai akibat dari Keputusan Bersama tersebut, maka akan diselesaikan lebih lanjut oleh Pemerintah Provinsi Bali. Kendatipun dalam realitanya peran ini belum dilakukan karena belum terdapat konflik yang menganggu proses kerjasama SARBAGITA selama ini. Pengalaman berharga dalam kerjasama SARBAGITA pada gilirannya melahirkan gagasan kerjasama SARBAGITAKU. Keterlibatan provinsi di sini semakin intens. Pemerintah Provinsi khususnya melalui Bappeda Provinsi berperan dalam melakukan perancangan awal. Pada Tahun 2006 Provinsi Bali menyusun studi penyusunan rencana induk (master plan dan Feasibility Study) kerjasama pengembangan Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM) wilayah SARBAGITAKU. Narasumber dari pemerintah Kabupaten Gianyar menyebutkan bahwa sumber biaya yang dialokasikan untuk air bersih SARBAGITAKU merupakan bantuan pusat melalu Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Provinsi. Pemerintah Provinsi di sini memperlihatkan peran
aktifnya
dalam
memfasilitasi
kebutuhan
daerah
dengan
memperjuangkan ke Pemerintah Pusat. Karena Dinas Pekerjaan Umum Provinsi melihat realita bahwa pada tahun 2010 terdapat Kabupaten yang kemungkinan akan kekurangan sumber air untuk pelayanan kepada masyarakat. Melalui proyek SARBAGITAKU ini dapat pula dilihat komitmen Pemerintah Pusat, khususnya dalam rangka memfasilitasi pemberian bantuan proyek di Bali. Artinya, praktik ini menujukkan adanya kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pusat. Selanjutnya, dalam kerjasama penanganan limbah atau sering disebut kerjasama DSDP, inisiator berasal dari Provinsi. Bahkan pemerintah Provinsi juga berperan dalam
pendanaan.
BLU – PAL
dibentuk oleh Provinsi berdasarkan musyawarah dengan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Bappeda berperan sebagai leading sector. Hal ini terutama karena pada awal proses memerlukan pendanaan 65 56
sehingga dimungkinkan agar memudahkan
dukungan pendanaan
kegiatan dinaungi oleh Bappeda, disamping karena sifat program yang memerlukan koordinasi. Setelah proses awal selesai, selanjutnya BLU-PAL dibina oleh Dinas Pekerjaan Umum sehingga dalam hal pendanaan berada di bawah Dinas Pekerjaan Umum. Sebagai bentuk pengembangan dari kerjasama yang sudah berjalan, pemerintah provinsi kemudian menggodok Rencana Tata Ruang/Wilayah (RTRW) SARBAGITA di mana di dalamnya teridentifikasi kebutuhan bidangbidang yang dapat dikerjasamakan di masa mendatang. Peran ini terutama terkait dengan kewenangan Provinsi, yakni dalam hal Perencanaan Tata Ruang/Wilayah yang bersifat lintas Kabupaten/Kota, yang penanganannya berada di bawah koordinasi Bagian Kerjasama Antardaerah Provinsi Bali. Ketiga, untuk Kalimantan Timur fenomenanya relatif berbeda dengan apa yang ada di DIY, BALI maupun NTB. Keterlibatan provinsi dalam pengelolaan kerjasama antardaerah belum terlihat jelas, kecuali dalam hal kerjasama wajib belajar 12 tahun. Boleh jadi karena biro yang mengurusi kerjasama antardaerah relatif masih baru, yakni Biro Kerjasama dan Penataan Wilayah. Biro ini baru dibentuk dan pelantikan pejabat untuk menangani tugas-tugas dan tanggungjawab untuk urusan ini baru terealiasi pada 2 Pebruari 2009. Sebelumnya urusan kerjasama hanya ditangani pada level Sub-Bagian. Jadi bisa dibayangkan bagaimana urusan yang begitu luas dan kompleks hanya ditangani oleh pejabat setingkat eselon IV. Oleh karenanya untuk sementara dapat dimaklumi anggapan bahwa peran provinsi memang relatif terbatas. Dalam wawancara dengan Kepala Biro Kerjasama dan Penataan Wilayah Provinsi Kaltim dikatakan bahwa peran provinsi masih sebatas memberi himbauan, arahan yang sifatnya dapat menyadarkan pemerintah kabupaten kota akan arti penting suatu kerjasama antardaerah. Karena dirasakan adanya masalah tersendiri untuk terlibat lebih jauh dalam
66 57
urusan kerjasama di daerahnya. Perhatikan ungkapan Kepala Biro Kerjasama dan Penataan Wilayah Provinsi Kaltim berikut ini; “Saya sendiri kurang tahu, apakah ini sudah menjadi cara atau gaya berpikir pemerintah kita dimana mereka kelihatannya sulit untuk bekerja-sama. Padahal kerjasam ini kita lakukan karena adanya keterbatasan kewenangan, keterbatasan jangkauan, atau karena sesuatu yang tidak kita miliki namun orang lain miliki. Jadi perbedaan dalam hal tingkat kepentingan dan segala macam. Jadi dalam konteks ini adalah menjadi kewajiban provinsi untuk menjalankan perannya dalam memberikan semacam pemahaman-pemahaman, tapi kelihatannya ini baru atau masih pada tahap yang sangat awal. Memang kami akui, kami masih melalukan indentifikasi masalah bahwa untuk lima tahun ke depan ini kami harus mengerjakan atau melakukan apa. Memang masih banyak sekali yang ingin kami buat tapi sekali lagi diantara kegiatan-kegiatan itu yang paling penting dan sangat substantif adalah kesadaran. Kesadaran masing-masing kabupaten kota ini bahwa kerjasama ini adalah satu strategi bagaimana untuk meredam konflik; kemudian untuk memberi pelayanan publik yang lebih luas kepada masyarakat, mengoptimalkan pendapatan sumber daya itu sendiri”. Lebih lanjut Kepala Biro Kerjasama dan Penataan Wilayah Provinsi Kaltim melihat bahwa paling tidak provinsi baru berupaya memfasilitasi bilamana terjadi masalah terkait dengan pelayanan publik yang melibatkan dua kabupaten kota yang berbatasan.
Misalnya terkait
dengan kejadian yang melibatkan Kutai Timut dengan Bontang. Di Kutai Timur dan Bontang ada sekelompok masyarakat yang tinggal di perbatasan Bontang. Karena jauh dari kotanya, mereka seoleh-oleh terabaikan dengan kotanya. Jadi mereka sangat minim dalam hal pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, air bersih tetapi justru karena dekat dengan Bontang, mereka lebih mudah mendapat akses ke Bontang. Sehingga mereka menuntut agar dilepaskan dari wilayah Kutai Timur. Upaya pemecahan masalah terhadap fenomena seperti ini diatasi oleh pemerintah provinsi dengan menawarkan beberapa pilihan. b. Kutai Timur mengakolasikan sejumlah dana yang diberikan kepada Bontang untuk memberikan pelayanan di bidang pendidikan, 67 58
kesehatan, dan air bersih. Itu adalah alternatif yang coba ditawarkan. Tetapi kelihantannya Kutai Timur masih berpikir apakah akan lebih baik kalau diserahkan saja daerah itu. c. Joint agreement; dalam hal ini Kutai Timur membangun sekolah tetapi tenaga-tenaganya dari Bontang. Jadi ada semacam keuntungan timbal balik. Kemudian ditawarkan juga, sekiranya Kutai Timur tidak mau menyerahnkan daerah ini, Kutai Timur boleh saja membangun sekolah.
Atau dalam rangka pelayanan air bersih Bontang
menyediakan air kemudian pipannya disediakan Kutai Timur. Jadi ada semacam penanganan bersama.
Seperti Itu alternatif
yang
ditawarkan oleh pemerintah provinsi. Namun
demikian,
terdapat
satu
bentuk
kerjasama
yang
menunjukkan kemajuan tersendiri yakni kerjasama antara provinsi dengan kabupaten kota untuk mewujudkan pendidikan 12 tahun gratis, dan ini melibatkan seluruh kabupaten kota. 14 kabupaten kota diwajibkan untuk mengalokasikan dana 20 persen dari dana APBD mereka dan ini inisiatifnya datang dari provinsi. Dan tanggapan dari mereka semuanya setuju. Dalam perjanjian itu 20 persen dari APBD dialokasikan untuk pendidikan. Kemudian, seluruh kabupaten kota itu mengalokasikan dana sebesar Rp 700 ribu dana tambahan, sementara tambahan dari provinsi Rp 300 ribu untuk memberikan insentif guru sebesar Rp 1 juta. Kemudian mereka mendukung berbagai kegiatan-kegiantan di sekolah masingmasing. Jadi ada tujuh hal yang disepakati dalam kerjasama di bidang pendidikan diantaranya; 1. Mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBD setiap tahunnya. 2. Menyelenggarakan Wajib Belajar 12 tahun serta menuntaskan secara bertahap dalam kurun waktu 5 tahun . 3. Meningkatkan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.
68 59
4. Membebaskan peserta didik dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan
pada
satuan
pendidikan
jenjang
SD/SDLB/MI,
SMP/SMPLB/MTsN dan SMA/SMK/SMALB/MA. 5. Meningkatkan kualifikasi pendidikan formal pendidik dan tenaga kependidikan. 6. Mengembangkan sekolah unggulan. 7. Mengembangkan Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam kerjasama wajib belajar 12 tahun ini, peran provinsi patut diapresiasi karena keterlibatannya tidak saja dalam hal inisiasi, membuat semacam
peraturan
(keputusan),
tapi
juga
mengkoordinasikan
pelaksanaannya, serta ikut serta dalam hal pendanaan. Bahkan boleh dikatakan pemerintah provinsi telah menggunakan peran pendekatan siklus anggaran dengan mewajibkan semua pemerintah kabupaten kota mengalokasikan anggaran untuk program ini ke dalam APBD masingmasing kabupaten kota. Keempat, bagi pemerintah provinsi NTB, kerjasama antardaerah adalah yang sangat penting. Setidaknya ada tiga alasan yakni pertama bahwa dasar hukumnya jelas dan itu ada undang-undangnya. UndangUndang 32 pasal 195 – 197 itu dicantumkan tentang kerjasama antardaerah. Kedua juga sudah ada PP-nya sebagaimana diketahui bersama bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan dan itu menjadi pegangan Pemerintah Daerah dalam mengelola kerjasama dengan pihak lain, terutama dengan pemeritah daerah. Yang ketiga adalah tema pemerintahan ke depan NTB
adalah akselerasi (percepatan). Karena
seperti dipahami bersama bahwa NTB termasuk salah satu daerah yang tergolong masih tertinggal dibanding dengan daerah lain terutama bila dicermati dari sisi indeks pembangunan manusia. Karena itu temanya adalah Percepatan. Dari latar belakang itu maka kemudian dengan dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 dibentuk biro baru. Dari 9 (sembilan) biro yang ada di lingkungan Sekretariat Daerah terdapat Biro Administrasi Kerjasama dan 69 60
Sumber Daya Alam
atau disingkat BAK dan SDA. Tampahan SDA
sekaligus menunjukkan bahwa
ternyata setiap provinsi mempunyai
nomenklatur yang berbeda. Kemudian dalam biro ini ada tiga sub-bagian dalam strukturnya yakni (i) Kerjasama Dalam Negeri; (ii) Kerjasama Lembaga Dalam Negeri Non Pemerintah; dan (iii) Kerjasama Luar Negeri. Karena biro ini masih baru, maka pada satu tahun pertama, menurut Kepala BAK dan SDA Bambang Sutedja dilakukan konsolidasi dan itu dijadikan sebagai program yang utama. Apa yang dilakukan dalam konsolidasi tersebut, yaitu pertama dibentuk Tim Koordinasi Kerjasama Daerah (TKKSD) yang ketuanya adalah Sekretaris Daerah dan Biro Administrasi Kerjasama dan SDA sebagai sekretarisnya. Itu mengacu pada Surat Edaran Mendagri tahun 2008. Kedua, sesuai dengan tema pembangunan NTB yakni akselerasi maka yang didorong adalah sektor untuk mengembangkan kerjasama. Karena itu kemudian diadakan kerjasama pelaksanaan
dengan
Badan
Kepegawaian
training/pelatihan
untuk
30
Daerah orang.
dalam 30
rangka
orang
ini
diproyeksikan sebagai pelaksana kerjasama daerah. Setiap SKPD memiliki perwakilan yang nanti menjadi mitra Biro Administrasi Kerjasama dan SDA Provinsi dalam menyiapkan dokumen saat melakukan kerjasama. Untuk itu setiap SKPD didorong untuk memiliki mitra kerjasama untuk percepatan karena kita ingin percepatan itu tadi. Yang ketiga sekarang, penyusunan draft Peraturan Gubernur tentang juklat kerjasama. Jadi yang maksud sebagai konsilidasi mencakup tiga hal tadi. Dari sisi kelembagaan dibuat tim koordinasi kerjasama, dari sisi sumber daya manusianya diadakan pelatihan, dan dari sisi regulasinya disusun peraturan gubernurnya. Pada tataran implementasi, peran provinsi terlihat nyata dalam beberapa kerjasama antardaerah. Misalnya di sektor pendidikan, dalam hal ini pihak provinsi mengagas dan ikut memfasilitasi kerjasama dengan kabupaten untuk pembiayaan siswa miskin dari SD sampai SMA. Ada dua formula yang ditempuh, yakni cost sharing dan role sharing (sharing 70 61
pembiayaan dan sharing peran). Untuk pembiayaan, antara provinsi dan kabupaten kota berbagi beban fifty-fifty (50% ditanggung provinsi – 50% ditanggung kabupaten/kota). Jadi kalau ada satu kabupaten/kota yang siswa miskinnya ada 10.000, maka 5000 ditanggung provinsi yang 5000 lainnya ditanggung kabupaten/kota. Contoh lain di sektor kesehatan. Karena sebagian masyarakat miskin belum seluruhnya dicover oleh Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas), maka ada pembagian tanggungjawab antara provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Polanya dengan cara 50% ditanggung provinsi kemudian sisanya yang tidak tercover ditanggung oleh kabupaten/kota. Dan untuk memastikan terealisasinya program ini, maka dibentuk
kelembagaan
baru,
yang
disebut
Badan
Kerjasama
Penyelenggara Jaminan Kesehatan Masyarakat Nusa Tenggara Barat (BKPJKM-NTB). Peran provinsi lainnya dapat dilihat dalam kerjasama di sektor pariwisata. Terutama dalam rangka pencanangan program unggulan yang disebut Visit Lombok-Sumbawa 2012. Untuk menuju pada sasaran antara provinsi dengan kabupaten/kota berbagi peran dan tanggungjawab yang harus diemban. Dalam konteks role sharing ini, provinsi mendorong kabupaten/kota untuk menata obyek wisata yang ada di wilayahnya masing-masing,
karena
memang
ini
menjadi
kewenangan
kabupaten/kota. Namun karena kabupaten/kota dinilai tidak mampu maka provinsi membuat perencanaan dan cara pengelolaan, selanjutnya pelaksanaan diserahkan kepada kabupaten/kota. Sementara di sektor peternakan, provinsi bekerjasama dengan empat kabupaten (Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima) dalam Pegembalaan Sapi. Kerjasama ini dilakukan dalam rangka mencapai program Bumi Sejuta Sapi yang telah dicanangkan oleh Gubernur. Di sini, provinsi menyusun suatu sistem dan akan dituangkan dalam bentuk blue prints
sehingga
menyukseskan
dapat program
dijadikan sejuta
acuan
sapi,
dan
bersama
dalam
kemudian
rangka
dapat
ikut 71 62
berkontribusi dalam pencapaian Program Swasembada Daging 2010 yang dicanangkan Pemerintah Indonesia. Keseluruhan bentuk kerjasama di atas merupakan inisiatif dari pemerintah provinsi. Bahkan nampak terlibat dalam setiap tahapan, membuat aturan, ikut mengkoordinasi, menanggung beban pembiayaan, dan melakukan pendampingan, sehingga tergambar jelas seperti apa pola pembinaan dan pengawasan yang diamanatkan oleh aturan perundangundangan yang ada, khususnya dalam urusan kerjasama antardaerah. Oleh karenanya dapat dimaklumi kalau penilaian dan respon pemerintah kabupaten/kota muncul dari kabupaten/kota. Dalam
konteks
kerjasama
antardaerah
yang
digagas
oleh
kabupaten/kota peran provinsi juga terlihat saat memfasilitasi kerjasama Penangan Sampah yang kemudian berkembang ke Pengembangan Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Regional Kongok dan PDAM antara Kota Mataram dengan Kabupaten Lombok Barat. Dalam hal ini Gubernur ikut memfasilitasi penandatangan MoU bahkan dalam Surat Keputusan Bersama diminta ikut berkontribusi, terutama bila terjadi perselisihan dalam pengelolaan kerjasama tersebut. Kelima, di wilayah provinsi Gorontalo, sekalipun masih tergolong sebagai provinsi baru, namun pengalaman kerjasama antardaerah relatif lebih berkembang dibanding dengan di Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana akan diuraikan nanti. Provinsi yang pernah dipimpin oleh Fadel
Muhammad
ini
relatif
terkenal
karena
inovasinya
dalam
pengembangan dan pembagunan daerah. Dari data lapangan yang ada, setidaknya peran pemerintah provinsi sudah terlihat sejak terbentuknya wilayah ini. Peran itu terutama dalam rangka membangun hubungan antara pemerintah daerah dengan pihak luar negeri dalam kerangka kerjasama internasional. Peran yang sama juga terlihat jelas dalam urusan kerjasama antardaerah, meskipun unit yang menangani urusan ini adalah Bappeda Provinsi di bawah koordinasi Kepala Bidang Kerjasama. Berbeda dengan 72 63
empat provinsi lainnya yang sudah mengikuti instruksi PP 41 Tahun 2007, di mana penanganan kerjasama antardaerah berada dalam lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi. Sejauh ini memang belum terbentuk Tim Koordinasi Kerjasama antardaerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, akan tetapi sebagian amanat terkait fungsi dan kewenangan sebagai Pembina dan Pengawas sudah dijalankan. Sebagai contoh dalam kerjasama antardaerah untuk penanggulangan kemiskinan daerah. Dalam konteks ini, pihak provinsi terlibat dalam mengkoordinasikan implemntasi program ini, baik sebagai Ketua Tim Koordinasi oleh Sekretaris Daerah dan sebagai Wakil Ketua II yang dipegang oleh Bappeda Provinsi, maupun sebagai Sekretaris Tim yang dijabat oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan. Bila dicermati lebih dalam, peran dengan menggunakan pendekatan siklus anggaran juga telah dijalankan dengan meminta pihak BPKP Sulawesi Utara untuk mengaudit APBD masing-masing kabupaten/kota dan provinsi sebagai bentuk jaminan terimplementasinya MoU yang telah ditandatangani oleh empat Walikota/Bupati beserta Gubernur Gorontalo. Namun demikian, di lain pihak harapan akan keterlibatan pihak provinsi dari kabupaten kota tetap tinggi. Bahkan terdapat
beberapa
pihak di tingkat pemeritah daerah kabupaten/kota yang mempertanyakan peran provinsi dalam kerjasama yang telah digagas atau mereka jalankan. Pengalaman kerjasama antara kabupaten/kota di bidang budaya dengan bergumpulnya semua pimpinan kabupaten kota baik di Kota Gorontalo maupun di Kabupaten Boalemo oleh daerah seharusnya itu diinisiasi oleh provinsi. Akan tetapi yang ada justru ‗ketersinggungan‘ karena ada kesan bahwa kegiatan tersebut tidak dikoordinasikan dengan pihak gubernur. Adalah Bappeda Gorontalo yang menyampaikan ini dengan mengatakan; “Kerjasama dalam sisi budaya, waktu itu di Kota Gorontalo kita buat seluruh daerah, inisiatif dari kabupaten tapi tuan rumahnya Kota Gorontalo, sesudah itu yang kedua kita tampil lagi di Boalemo bertepatan dengan ultah Boalemo. Semua bupati walikota berorasi di situ untuk menyampaikan visi dan persepsi bersama dalam rangka membangun daerah masing-masing. 73 64
Seharusnya ini adalah kewenangan provinsi membentuk ini. Karena tidak ada gerakan di sana, di sini bergerak nah itu persoalannya, saya tidak tau mengartikan bagaimana mereka tapi terjadi ketersinggungan”. Selanjutnya
juga
diungkapkan
bahwa
untuk
mengantisipasi
munculnya respons kurang baik dari pemerintah provinsi dapat ditempuh dengan menggunakan lembaga kerjasama bupati/walikota se-Indonesia, dengan mengatakan; “Banyak perbuatan yang terjadi di sini setelah jadi mulailah ketersinggungan terjadi. Tapi ada APKASI, kita berpijak di situ, kekuatan kita ada di situ. Jadi kita buat terobosan dengan berpijak pada APKASI, kalau tidak kita tidak akan bergerak dan jadi kaku sedangkan dalam otonomi perlu terobosan untuk menyentuh kesejahteraan masyarakat dengan berbagai macam elemen kegiatan yang harus kita lakukan”. Kerjasama yang sebenarnya menuntut perlunya peran provinsi terjadi dalam pengelolaan kerjasama di bidang kesehatan antara Kabupaten Gorontalo dengan Kabupaten Purwakarta, yakni dalam rumah sakit. Menurut pengakuan Sekretaris DPRD Kabupaten Gorontalo bahwa kerjasama ini, inisiatifnya murni dari kabupaten bahkan juga dalam hal MoU, pihak pemerintah provinsi tidak terlibat. Agak ironis memang, karena ini merupakan kerjasama kabupaten/kota lintas provinsi, yang seharusnya menuntut keterlibatan gubernur kedua belah pihak. Ini terjadi boleh jadi karena semangat otonominya berpijak pada UU 22 tahun 1999 yang memungkinkan dua atau lebih kabupaten/kota menjalin kerjasama tanpa perlu mengikutsertakan unsur pemerintah tingkat satu. Dan kalapun itu benar, tentu fenomena ini patut menjadi catatan tersendiri dalam rangka perbaikan tata kelola pemerintahan daerah ke depan bagi semua pihak. Keenam, berbeda dengan beberapa provinsi yang sudah diuraikan di atas, pengalaman kerjasama antardaerah di Kepulauan Riau sepertinya masih
terbatas.
Justru
yang
banyak
dilakukan
dan
mengalami
perkembangan pesat adalah kerjasama internasional dengan beberapa pihak luar negeri, seperti diakui oleh Kepala Biro Pemerintahan Provinsi 74 65
ini. Kurangnya perhatian terdapat kerjasama antardaerah di wilayah ini boleh jadi karena beberapa alasan, misalnya faktor topografi (kondisi wilayah) kabupaten/kota yang ada relatif berbeda dengan daerah lain. Seperti diketahui bahwa wilayah daerah kabupaten/kota yang ada di Kepulaun Riau saling berjauhan dan dipisahkan oleh laut, sehingga persoalan jarak itu membuat masing-masing daerah berpikir sendirisendiri dalam membangun daerahnya.
Atau karena provinsi ini masih
tergolong masih baru hasil pemekaran sehingga perhatian lebih difokuskan pada hal-hal lain di luar urusan kerjasama antardaerah. Kurangnya perhatian terhadap kerjasama antardaerah juga terlihat dari keberadaan unit yang membidangi urusan ini. Dalam struktur orgranisasi pemerintan provinsi unit khusus yang menangani kerjasama antardaerah baru sebatas Kepala Sub-Bagian Kerjasama yang berada di bawah Bagian Otonomi Daerah Biro Pemerintahan. Selama ini, sekalipun terdapat kerjasama dan itupun kerjasama dengan pihak ketiga lebih banyak ditangani oleh SKPD sesuai dengan sektor yang kerjasamakan. Fenomena yang sama juga terjadi di level pemerintahan kabupaten/kota, dimana belum ada unit khusus yang menangani urusan kerjasama antardaerah. Konsekuensinya adalah dalam kondisi semacam ini terdapat kesulitan untuk melacak sejauh mana peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah. Yang ada baru sebatas mengembangkan wacana sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Biro Pemerintahan berikut: “Sejauh ini, Pemprov Riau baru sebatas mewacanakan (atau baru pada tahap merencanakan untuk membentuk Tim Perumus Perda Kerjasama), dan itu diinisiasi oleh Biro Hukum namun hingga sekarang rencana penyusunan Perda tersebut tidak banyak mengalami kemajuan”. Bahkan yang menarik, karena Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau ini juga menyayangkan adanya pemahaman pemerintah daerah kabupaten/kota terkait konsep otonomi daerah dan desentralisasi. Menurutnya, Otonomi daerah dan desentralisasi masih belum dimaknai 75 66
sebagaimana yang diamanatkan UU 32 tahun 2004. Akibatnya pola interaksi tidak terjalin secara baik dan berbagai kendala justru sering kali datang pihak kabupaten/kota, sehingga peluang untuk bekerjasama belum terbuka dan terkesan masih sulit terealisasi untuk beberapa tahun ke depan.
Kendatipun demikian, dalam wawancara dengan pejabat
Asisten I Provinsi Kepulauan Riau tetap merasa optimis bahwa pada saatnya nanti-terlebih setelah adanya penataan baik dari aspek infrastruktur dan supra-struktur pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau-urusan kerjasama antardaerah diyakini akan berjalan. Mengingat masih banyak warisan yang berpotensi dapat menimbulkan konflik atau perselisihan antardaerah sebagai konsekuensi adanya pemekaran di beberapa daerah kabupaten/kota di kepulauan ini. C. PROBLEMATIKA PERAN PROVINSI Bahasan terkait praktik kerjasama antardaerah sebagaimana diuraikan sebelumnya, menunjukkan belum optimalnya peran provinsi dalam kerjasama antardaerah, dan menjadi masalah tersendiri untuk segera mendapat perhatian. Asumsi tersebut setidaknya terlihat dalam berbagai praktik kerjasama antardaerah di beberapa provinsi, seperti di Kepulauan Riau, Gorontalo, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat. Bahkan DIY yang sudah aktif melakukan kerjasama dengan daerah lain sejak dulu, keterlibatan provinsi masih menjadi perdebatan oleh berbagai pihak. Dalam kasus DIY, perdebatan tidak saja terkait perlu tidaknya provinsi dilibatkan dalam pelaksanaan kerjasama atau sejauh mana peran provinsi perlukan, namun juga nampak pada perbedaan persepsi masing-masing pihak tentang peran mereka dalam praktik kerjasama yang ada selama ini. Kabupaten kota di satu pihak mengatakan bahwa selama ini provinsi tidak terlibat, sebaliknya provinsi beranggapan bahwa pihaknya telah berperan aktif dalam berbagai kerjasama antardaerah yang telah berjalan. Misalnya, dalam pandangan Kepala Biro Pemerintahan maupun kepala Badan Kerjasama dan Investasi Daerah DIY disebutkan bahwa provinsi telah berperan dalam 76 67
pengelolaan
kerjasama
antardaerah.
Sementara
pihak
pemerintah
kabupaten/kota justru menilai bahwa pihak provinsi belum berperan secara optimal, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak punya peranan. Kesan ini terungkap dalam diskusi terbatas dengan pemerintah Kabupaten Sleman, seperti diungkap oleh Sekretaris Daerah saat mengomentari pendapat yang berkembang dalam forum diskusi tersebut yang mengatakan bahwa peran provinsi belum ‗optimal‘. Dalam pandangan Sekretris Daerah Kabupaten Sleman bahwa kata ‗ belum optimal‘ dalam pandangan orang Jawa sama dengan ‗tidak berperan‘ dalam bahasa non-Jawa. Pendapat senada muncul dari Kepala Subbag Kerjasama Kabupaten Sleman, Kuntjaraningrum. Menurutnya, sejauh yang diamati, peran provinsi memang sangat terbatas. Sejauh ini inisiatif kerjasama selalu datang dari pemerintah daerah kabupate/kota, baru kemudian mendapat perhatian dari pemerintah provinsi. Kecenderungan itu nampak dalam berbagai kerjasama yang sedang dikelola antara Kota Yogyakarta dengan kabupaten/kota lain. Fenomena yang sama juga terjadi di beberapa daerah. Saling klaim antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi mengenai peran aktif mereka selalu nampak berbeda. Terlepas dari kontroversi atau perbedaan tersebut, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa peran provinsi memang masih belum optimal. Belum optimalnya peran Provinsi dalam kerjasama antardaerah sebagaimana diungkap diatas, dilatari oleh beberapa hal yang juga sekaligus dapat menjadi permasalahan yang menghambat pelaksanaan kerjasama antardaerah selama ini, diantaranya adalah; 1. Aspek Regulasi Temuan lapangan menunjukkan bahwa aspek regulasi/peraturan terkait urusan kerjasama antardaerah ternyata masih menimbulkan masalah tertentu. Seperti diungkapkan oleh banyak aparatur pemerintah daerah bahwa masalah utama yang dihadapi selama ini adalah terletak pada belum adanya juklak dan juknis yang mengatur secara detail peran yang diemban oleh pemerintah provinsi. Ke depan persoalan ini sepertinya 77 68
sudah dapat teratasi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Antardaerah yang diterbitkan pada bulan Mei 2009 Sekalipun demikian masih perlu dipertanyakan mengingat bahwa peraturan
tersebut
masih
belum
tersosialisasikan
secara
baik
sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sebagai contoh nyata, sosialisasi Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
tentang
pembentukan Tim Koordinasi Kerjasama antardaerah sangat tidak efektif, terbukti masih banyak pemerintah daerah yang tidak atau belum mengetahui Surat Edaran tersebut. Atau boleh jadi dalam praktiknya akan ditemui banyak kendala sehingga tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan tidak berjalan secara optimal. Masih terkait dengan aspek ini. Yang turut dikeluhkan oleh pemerintah daerah adalah banyaknya peraturan yang mengatur masalah kerjasama. Seperti diungkapkan oleh aparat Pemda Kota Yogyakarta, bahwa
dalam
dibingungkan
konteks oleh
pelaksanaan
adanya
aturan
kerjasama yang
berbeda
terkadang dari
kita
instansi
pemerintahan yang berlainan. Ada peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas), ada pula yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri baik oleh Direktorat Pemerintahan Umum atau Direktorat Pembangunan Daerah. 2. Aspek Kelembagaan. Dari sisi kelembagaan, hingga laporan kajian ini disusun, belum semua daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota mempunyai badan yang secara fungsional menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan kerjasama antardaerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Kelambanan pemerintah daerah dalam merespon Peraturan Pemerintah ini, berimplikasi pada belum adanya perhatian serius dalam menangani tugas dan fungsi terkait dengan kerjasama antardaerah. 78 69
Disamping itu, amanat yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang perlunya Tim Koordinasi Kerjasama antardaerah belum terbentuk di beberapa daerah, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Kasus seperti ini terlihat misalnya di Provinsi Kepulauan Riau, Gorontalo, dan beberapa Kabupaten/kota yang menjadi lokus kajian ini. Masih terkait dengan aspek kelembagaan, contoh kasus SARBAGITA di Bali atau Kartamantul di DIY menarik untuk dicermati. Untuk kasus SARBAGITA misalnya, polemik di seputar kejelasan atas siapa yang memberi komando, bagaimana kerjasama dibangun, maupun pembagian sumber daya baik finansial maupun personil berlangsung cukup alot, sehingga baru setelah 5 tahun inisiasi kerjasama SARBAGITA kemudian dapat terealisasi. Terdapatnya ketidakjelasan tentang pihak yang menjadi leading sector dalam kerjasama menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan kerjasama SARBAGITA. Karena inisiatif kerjasama tersebar di berbagai SKPD sesuai domain dan fungsinya masing-masing, berimplikasi pada sulitnya koordinasi dan harmonisasi untuk efektivitas program yang berbasis kerjasama. 3. Aspek Sumber Daya Manusia Terbatasnya
sumberdaya
aparatur
daerah
yang
mempunyai
kompetensi di bidang kerjasama antardaerah. Seperti diakui oleh Kepala Biro Kerjasama Provinsi NTB. Dalam wawancara dengan Eko Bambang Sutedjo dikatakan bahwa ―mungkin karena biro kami ini relatif baru, sehingga jumlah SDM yang ada sangat terbatas, tapi masalahnya kami rasa bukan hanya itu, sekarang ini memang belum cukup tersedia SDM, termasuk di lingkup kabupaten/kota yang mempunyai kompetensi dalam perencanaan dan pengelolaan kerjasama‖. Dikatakan pula bahwa selain masalah keterbatas SDM tadi, ternyata kebijakan mutasi atau pergantian aparatur baik pada level elit 79 70
pemerintahan maupun pelaksana teknis di bidang kerjasama seringkali menjadi hambatan pelaksanaan program kerjasama. Data lapangan memang menunjukkan bahwa pergantian pucuk pimpinan atau elit lokal seperti Bupati/Walikota ataupun Gubernur turut mempengaruhi arah kebijakan pembangunan daerah. Tidak jarang upaya kerjasama yang telah digagas dan dibangun oleh pimpinan sebelumnya tidak dilanjutkan oleh penggantinya, sehingga proses kerjasama mengalami penundaan, bahkan ada yang dihentikan atau tidak diperhatikan sama sekali.
Sementara
pada level pelaksana teknis juga dijumpai kasus dimana personil yang ditunjuk untuk menangani urusan kerjasama tidak memiliki kompensi di bidangnya. Ini adalah konsekuensi dari kebijakan mutasi mengikuti ‗selera‘ para pejabat yang tidak mengikuti logika Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Akibatnya, mereka harus belajar kembali, memulai dari awal atau justru malah bersikap masa bodoh dengan tugas dan fungsi yang diamanatkan kepadanya. 4. Aspek Pendanaan/Anggaran Keterbatasan dana/anggaran juga menjadi kendala tersendiri. Praktik kerjasama antardaerah, memang merupakan kebijakan yang relatif masih baru, dan masih banyak pemerintah daerah yang belum menjadikan kerjasama antardaerah sebagai salah satu prioritas mereka. Karena belum menjadi agenda prioritas, maka tidak pula ditemui dalam Rencana Program Kerja mereka, sehingga alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk program/kegiatan kerjasama juga tidak tersedia. Masalahnya tidak jarang inisiatif atau ajakan untuk melakukan kerjasama muncul secara tiba-tiba setelah ditemukan masalah bersama yang dianggap perlu ditangani bersama, atau karena hasil lobi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan daerah tanpa memperhatikan kebutuhan dasar masing-masing pihak yang hendak bekerjasama. Terlepas gagasan kerjasama yang hendak dibangun itu memenuhi unsur basic needs masyarakat atau tidak, namun perlu diingat bahwa 80 71
bilamana kegiatan kerjasama tidak masuk dalam program tahunan daerah, maka penganggarannya perlu mendapat persetujuan dari DPRD. Dan justru disinilah letak masalahnya, karena terkadang untuk mendapatkan persetujuan dari DPRD memerlukan perjuangan, lobi dan membutuhkan waktu yang relatif lama.
Sehingga harapan untuk segera
merealisasikan kerjasama yang telah digagas mengalami penundaan. Selain persoalan seperti diuraikan di atas, juga ditemukan adanya keengganan dari pihak tertentu untuk lepas tangan bila pembahasan tentang kerjasama menyinggung aspek pendanaan. Pernyataan salah seorang aparatur pemerintah kabupaten/kota di Yogyakarta membuktikan bahwa yang mereka rasakan selama ini adalah betapa pihak provinsi selalu enggan untuk terlibat jauh berperan jika menyangkut kebutuhan akan dana. Menurutnya, ―seharusnya dalam juklak dan juknis juga diatur tentang formulasi anggaran yang dibutuhkan, karena pemerintah dan masyarakat kota Yogyakarta juga berkeinginan merasakan atau menikmati ‗dana provinsi‘ yang justru sebagian besar diambil dari wilayah Kota Yogyakarta. Jadi di sini perlu asas pemerataan, seharusnya masyarakat dan pemerintah Kabupaten/Kota juga berhak atas sebagian pajak daerah yang menjadi haknya sesuai dengan asas pemerataan‖. 5. Aspek Koordinasi Aspek klasik ini ternyata juga dijumpai dalam praktik kerjasama antardaerah. Seolah-olah bertentangan dengan misi agenda kerjasama itu sendiri. Ironisnya, relatif terjadi hampir di semua level pemerintahan dari pusat, provinsi hingga kabupaten/kota. Misalnya dalam kerjasama DSDP yang didukung oleh program ISSDP dari pusat. Ternyata dalam pelaksanaan selama kurang lebih tiga tahun, pada instansi pusat tersebut belum terdapat sinkronisasi. Pada saat implementasi peraturan Menteri Keuangan terkait penggunaan dana belum dikeluarkan sehingga dalam berbagai pertemuan hal itu selalu menjadi permasalahan. Namun setelah Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan terkait, petunjuk teknis 81 72
pelaksanaan dari Depatemen Pekerjaan Umum belum dikeluarkan, sementara penggunaan dana tersebut telah mendekati closing date. Hal semacam ini berimplikasi pada masalah financial. Namun dikatakan juga bahwa masalah koordinasi antar pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam melaksanakan program kerjasama seringkali terkendala oleh daerah sendiri. 6. Lain-lain Selain masalah yang dipaparkan di atas, beberapa hal berikut juga dianggap menjadi masalah tersendiri bagi pelaksanaan kerjasama antardaerah, yakni; pertama, belum teridentifikasi secara menyeluruh urusan pemerintahan yang dapat dapat dikerjasamakan, baik kerjasama antardaerah maupun kerjasama daerah dengan pihak ketiga, sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Oleh karenanya, terkadang terdapat agenda kerjasama yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah dan masyarakat setempat.
Salah seorang
narasumber menilai bahwa dasar kerjasama antardaerah masih sangat ditentukan oleh lobi-lobi yang dilakukan pejabat daerah kepada pemerintah provinsi, sehingga bisa saja tidak didasarkan pada bagaimana pemenuhan basic needs. Kedua, faktor resistensi masyarakat. Ketidaksiapan masyarakat setempat
untuk
melaksanakan
kerjasama
tersebut
terkadang
mempengaruhi keberhasilan kerjasama. Permasalahan semacam ini utamanya terkait dengan dampak dari kerjasama tersebut. Jika penduduk melihat kerjasama tersebut akan membawa dampak yang kurang baik bagi daerahnya, seperti dalam kasus pembangunan TPA di wilayah Sarbagita, penerimaan warga cenderung negatif. Contoh seperti ini juga terjadi di NTB, atau seperti TPA Bantar Gebang Bekasi serta di Depok Jawa Barat yang bekerjasama dengan Pemerintah DKI sebagaimana sering muncul dalam pemberitaan media cetak dan elektronik.
82 73
Ketiga, yang tidak kalah penting untuk dicatat bahwa diluar semua yang telah dipaparkan di atas masalah yang selama ini turut menjadi hambatan
dalam
proses
kerjasama
antardaerah
adalah
belum
dijadikannya kerjasama sebagai prioritas kebijakan pemerintah daerah. Kalau realitasnya seperti itu, maka harapan akan terbangunnya kerjasama dalam rangka peningkatan pelayanan publik tentu akan jauh dari kenyataan.
83 74
BAB 4 MODEL PERAN PEMERINTAH PROVINSI DALAM KERJASAMA ANTARDAERAH DI INDONESIA
Bab ini akan mencoba memformulasikan model peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah di Indonesia. Berdasarkan model tersebut diharapkan memberikan gambaran bahwa tiap model memiliki logika sesuai dengan karakteristik khas pemerintah daerah masing-masing. Keanekaragaman model yang dihasilkan merupakan cerminan dari keleluasaan pemerintah daerah dalam menginterpretasikan dasar hukum kerjasama antardaerah itu sendiri. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, tiap model kerjasama antarpemerintahan sebenarnya merupakan refleksi dari sebuah kesepakatan politik antardaerah. Atas dasar penjelasan tersebut maka elaborasi tentang bentuk-bentuk peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah satu dengan daerah yang lainnya akan diuraikan secara detail dan mendalam. Dengan penjelasan yang detail diharapkan bisa memberikan inspirasi yang lebih luas dalam mengembangkan model peran pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah nampak pada paparan berikut. A. MODEL PERAN PROVINSI DALAM KERJASAMA ANTARDAERAH Pengertian model adalah suatu pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Departemen P &K, 1984). Pengertian lain dari model adalah suatu obyek atau konsep, digunakan untuk menyajikan sesuatu yang lain, merupakan suatu realitas dalam skala kecil dan dikonversi ke sesuatu bentuk yang dapat dipahami secara komprehensif (Meyer, 1990). Sedangkan (Simartama, 1983 : 9) mendefenisikan model sebagai abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa bagian atau sifat dari kehidupan sebenarnya. Model juga dapat diartikan suatu abstraksi atau representasi dari fenomena. Suatu abstraksi dunia nyata yang bertujuan untuk menyederhanakan dan memperjelas pemikiran kita tentang suatu fenomena‖. 84 75
Dalam kajian ini, Tim cenderung mengikuti pemahaman William H. Riker sebagaimana
dikutip
Mohtar
Mas‘oed,
bahwa
si
pembuat
model
menyederhanakan kenyataan dunia yang hendak digambarkan berdasar pandangannya tentang dunia itu. Ini menegaskan bahwa model tidak dibuat untuk menggambarkan kenyataan setepat-tepatnya. Model hanya mengambil dan menekankan beberapa variabel yang penting dan yang bisa dibuat modelnya, dengan resiko mengabaikan variabel lain yang mungkin penting juga.
Dengan
demikian,
model
adalah
upaya
dengan
sengaja
menyederhanakan situasi yang rumit. Tujuannnya adalah untuk mengurangi kerumitan ke tingkat yang bisa dipahami oleh pikiran kita, atau untuk menciptakan suatu kerangka berpikir yang manageable dan ketat untuk berteori.11 1. Model Regulatif Di dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah maupun sebagai daerah otonom, Gubernur/kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengatur (regulate) kerjasama antardaerah. Regulatif berasal dari to regulate (mengatur) atau regulation (pengaturan), bahwa dalam konteks kerjasama antardaerah diperlukan seperangkat aturan agar kerjasama tersebut memiliki payung hukum yang jelas, sehingga terdapat kejelasan kedudukan hukum (legal standing) apabila terjadi permasalahan dan atau perselisihan di kemudian hari. Penerbitan peraturan daerah (perda), peraturan merupakan
Gubernur,
keputusan
wujud
keberperanan
kepala
daerah,
Gubernur/kepala
dan
sebagainya
daerah
dalam
melaksanakan kerjasama antardaerah. Dalam konteks regulasi pula, Gubernur (sebagai Wakil Pemerintah) dapat mengarahkan pemerintah kabupaten/kota agar membentuk peraturan perundangan di daerahnya terkait dengan pelaksanaan kerjasama antardaerah. Hal ini merupakan wujud nyata dari wewenang Gubernur selaku wakil pemerintah pusat, yaitu melaksanakan sebagian wewenang pembinaan dan pengawasan. Apabila semua kabupaten/kota Mohtar Mas‘oed dalam Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, LP3ES, 1990 hal. 254-255. 11
85 76
membentuk peraturan perundangan tentang kerjasama antardaerah maka dapat dipastikan pelaksanaan kerjasama antardaerah tidak akan menghadapi permasalahan legalitas. Pengalaman dalam kerjasama Yogyakarta, Sleman dan Bantul (Kartamantul), Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta semestinya bisa berperan dalam memberikan aturan-aturan agar kerjasama tersebut dapat berjalan dengan semestinya. Di sisi lain, memang benar bahwa Badan Kerjasama dan Penanaman Modal Daerah relatif masih baru (sesuai PP 41/2007) sehingga belum mampu memberikan pengaturan terhadap kerjasama ini. Namun, kesadaran akan peran yang dapat dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DIY serta kesediaan untuk melaksanakan peran tersebut menjadi faktor kunci bagi keberhasilan kerjasama antardaerah khususnya di ketiga kabupaten tersebut. Demikian pula, apa yang terjadi di Provinsi Gorontalo memberikan pelajaran
berharga
memerlukan
campur
bahwa
keberhasilan
tangan
Gubernur
kerjasama dalam
hal
antardaerah memberikan
regulasi/pengaturan-pengaturan yang diperlukan. Dari temuan lapangan disebutkan bahwa, peran Gubernur dalam hal regulasi ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Dalam konteks yang lebih khusus, model regulatif ini dapat dikembangkan sampai menyentuh aspek perencanaan dan penganggaran kerjasama di lingkungan pemerintah daerah. Dengan kata lain, provinsi dengan kewenangan yang dimilikinya dapat mendorong pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD) agar memasukkan program/kegiatan kerjasama dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, bukan semata-semata sebagai program/kegiatan yang bersifat insidental. Dengan demikian, program/kegiatan kerjasama yang ada di lingkungan pemerintahan daerah – termasuk kerjasama antardaerah – telah masuk ke dalam siklus anggaran. Hal ini dikarenakan dokumen perencanaan dan penganggaran merupakan satu-kesatuan integral yang tidak
dapat
dipisahkan
satu
sama
lain.
Maka,
masuknya 86 77
program/kegiatan kedalam siklus anggaran, yang selanjutnya diatur dalam peraturan perundangan daerah akan semakin memantapkan pelaksanaan program/kegiatan kerjasama antardaerah. Gambar. 4.1 Model Regulatif (Contoh pada aspek Perencanaan dan Penganggaran)
Perda Pergub Kep. Gubernur
Pemerintah Provinsi
Kerjasama Antardaerah
BINWAS
Pemerintah Kab./Kota
Siklus Anggaran Dokumen Perencanaan Pemb. Daerah
RPJMD-5 thn RKPD-1 thn RKA- operasional
Diolah oleh Tim PKKOD LAN
Berdasarkan ilustrasi model regulatif di atas dapat dijelaskan bahwa pemerintah provinsi dapat melakukan pengaturan (regulate) dalam pelaksanaan kerjasama antardaerah melalui penerbitan Peraturan daerah, peraturan Gubernur dan keputusan Gubernur. Peraturan daerah maupun peraturan/keputusan Gubernur tersebut bersifat mengikat bagi pemerintah daerah yang melakukan kerjasama, baik dalam tataran perencanaan, pelaksanaan maupun pembinaan & pengawasan. Di dalam konteks pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, hal ini sangat mungkin dilakukan dan juga dibenarkan oleh peraturan perundangan mengingat tugas
pemerintah
provinsi
adalah
untuk
mengatur
pelaksanaan
kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
87 78
Sebagai contoh, dalam pelaksanaan kerjasama di bidang pendidikan 12 tahun di Kalimantan Timur, pemerintah provinsi yang mewajibkan 14 pemerintah kabupaten/kota untuk mengalokasikan dana 20 persen dari dana APBD mereka sebagai bentuk keberhasilan model peran ini. Begitu juga, pengalaman kerjasama juga di bidang pendidikan untuk pembiayaan siswa miskin, atau di bidang kesehatan untuk jaminan kesehatan masyarakat, dimana provinsi mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menjadikan program ini menjadi bagian dari APBD dalam rangka merealisasikan tema Akselerasi (Percepatan) NTB. Sedikit
berbeda
dengan
gambaran
diatas,
contoh
lain
pengintegrasian kerja sama antardaerah adalah yang saat ini sedang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Bali, yakni dengan mengintegrasikan kedalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi. Dalam penyusunan RTRW tersebut sekaligus diidentifikasi hal-hal yang dapat dikerjasamakan, khususnya menyangkut tata ruang. Memang pada prakteknya pengelolaan tata ruang kerap menjumpai persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh Kabupaten/Kota tertentu melainkan memerlukan kebijakan
yang
sinergis
dan
kerjasama
antardaerah.
Dengan
mengintegrasikan kerjasama antardaerah ke dalam RTRW Provinsi, Propvinsi
dapat
mendorong
pemerintah
kabupaten/kota
untuk
melakukan kerjasama antardaerah secara regulatif karena RTRW Provinsi semestinya diacu oleh Kabupaten/Kota untuk menyusun RTRW masingmasing. Rencana kerjasama yang telah diidentifikasi melalui penyusunan RTRW ini selanjutnya dapat pula ditindaklanjuti dengan peraturan daerah tentang kerjasama atau pun dokumen perencanaan lain yang memuat aspek kerjasama tersebut.
88 79
Gambar. 4.2 Model Regulatif
Pemerintah Provinsi
Koordinasi/ sinkronisasi
Pemerintah Kab./Kota
Dokumen Perencanaan Tata Ruang Provinsi Diacu
Kerjasama Antardaerah
Dokumen Perencanaan Tata Ruang Kabupaten/Kota
2. Model Inisiatif Inisiatif secara sederhana dapat diartikan sebagai penggagas atau yang memulai suatu ide/gagasan. Dalam konteks kerjasama, pemerintah provinsi dapat menggagas obyek-obyek kerjasama untuk peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan daerah. Model ini dapat diterapkan terutama apabila pemerintah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya ‗kurang‘ memiliki inisiatif melakukan kerjasama antardaerah atau bahkan sama sekali belum ada. Hal ini sekaligus menjadi jawaban atas keragu-raguan pemerintah provinsi dalam memainkan perannya dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam rangka pemberian pelayanan publik, dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan misalnya, diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan otonomi daerah
yaitu
meningkatkan
pelayanan umum (pelayanan publik)
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (3) UU 32/2004. Dengan kata lain, obyek-obyek kerjasama sebenarnya dapat digagas sedemikian rupa oleh pemerintah provinsi – dalam hal ini oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah – demi terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat daerah. 89
80
Namun demikian, harus diakui bahwa inisiatif melakukan kerjasama antardaerah juga dapat berasal dari daerah-daerah atau para pihak yang melakukan kerjasama. Dalam konteks ini, pemerintah provinsi
tidak
dituntut melakukan inisiasi karena para pihak telah menyadari pentingnya kerjasama sehingga pemerintah provinsi hanya bersifat mendukung apa yang telah diinisiasi oleh pemerintah kabupaten/kota yang melakukan kerjasama antardaerah. Model inisiatif dapat meningkatkan keberperanan pemerintah provinsi dalam hubungan antar level pemerintahan, yang selama ini sering dianggap ‗angin lalu‘ oleh pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi NTB telah memberikan lesson learned yang sangat positif bagi implementasi kerjasama antardaerah. Terlebih sejak dibentuk Biro Administrasi Kerjasama dan Sumber Daya Alam, kerjasama antardaerah di provinsi ‗bumi sejuta sapi‘ ini nampak semakin berkembang. Sebagai contoh, pemerintah provinsi menginisiasi kegiatan kerjasama dalam hal pemberian beasiswa bagi siswa-siswi yang berasal dari
keluarga
miskin
melalui
cost
sharing
dengan
pemerintah
kabupaten/kota. Inisiasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTB merupakan langkah yang sangat positif bagi pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Demikian pula, inisiasi pemerintah provinsi dalam pengembangan padang penggembalaan melalui sistem role sharing. Artinya, kerjasama ini dilakukan dengan berbagai peran (bukan uang/cost) antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota se-Pulau Sumbawa. Gambar. 4.3 Model Inisiatif
Kerjasama antardaerah tidak ada atau kurang maksimal
Inisiatif Pemprov./ Gubernur
Kerjasama antardaerah terbentuk dan diharapkan berjalan dengan baik
90 81
3. Model Koordinatif Koordinasi yang dalam bahasa Inggris disebut coordinate diartikan menyusun,
mengatur,
selaras,
sejalan,
serasi
(coordinatie
menyelaraskan, mensejalankan, menyerasikan). Untuk itu
=
koordinasi
dapat didefenisikan sebagai usaha-usaha secara teratur yang ditujukan untuk memberi petunjuk waktu (timing), dan arah pelaksanaan suatu kegiatan kerja, agar dengan demikian dapat dicapai tindakan-tindakan harmonis serta yang disatukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dengan
demikian
koordinasi
bersangkut
paut
dengan
usaha
mempersatukan tindakan-tindakan orang-orang (para pihak) secara harmonis. Adapun unsur-unsur koordinasi meliputi (i) kualitas dan kuantitas; (ii) waktu; (iv) penentuan (determinasi) arah. Sementara ciri-ciri koordinasi, yakni (i) Dinamis (selalu terdapat perubahan); (ii) Memperkuat tindakantindakan tertentu; (iii) Menciptakan kekuatan-kekuatan baru; (iv) Menghilangkan
issue
(desas-desus);
(v)
Memperkecil
perbedaan
pandangan; (vi) Mencapai kompromi-kompromi. Dan prinsip yang harus dikedepankan dalam koordinasi yakni, efisiensi, kesatuan arah dan tujuan, strategi kerja, kesatuan segenap tindakan manajemen dan pelaksana. Koordinasi diperlukan dengan beberapa alasan diantaranya (i) Mencegah kesimpangsiuran dalam kegiatan kerja; (ii) Menyadarkan bahwa masing-masing adalah bagian dari keseluruhan; (iii) Mencegah timbulnya tumpukan tugas pada seseorang; (iv) Menghindari kekosongan jabatan; (v) Menghindari pertentangan-pertentangan. Dilihat dari jenisnya koordinasi dapat dibagi menjadi dua yakni vertikal (antara bawahan, unit kerja dengan pihak atasan secara hierarchies atau sebaliknya),dan horizontal (koordinasi fungsional, fungsi dalam sesuatu organisasi kegiatan kerja). Dengan berbagai instrumen yang biasanya berupa pertemuan resmi/formal (rapat dinas, edaran berantai, membentuk panitia koordinasi, mengangkat pejabat penghubung, melalui alat 91 82
penghubung:
seperti
telepon,
radio,
telegram
dll),
Pertemuan tidak resmi/informal (memenuhi undangan, kunjungan rumah, mengucapkan selamat, melawat, dsb). Terkait dengan kajian ini, peran koordinasi merupakan salah satu wewenang pemerintah provinsi dalam hubungan dengan pemerintah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Atau dengan kata lain, pemerintah provinsi melakukan koordinasi dengan instansi vertikal maupun horizontal dalam melakukan bekerjasama. Dalam konteks kerjasama antardaerah penerapan model koordinatif sangat relevan. Hal ini telah diterapkan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ketika melaksanakan kegiatan kerjasama ‗Swasembada Daging Sapi Nasional 2010‘. Kerjasama dilakukan oleh 4 (empat) kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima, dimana Pemerintah Provinsi bertindak sebagai koordinator. Apa
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
NTB
juga
dilakukan
dipraktekkan oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Koordinasi yang dilakukan
oleh
kabupaten/kota
pemerintah dimaknai
Provinsi
dalam
Kalimantan
pemahaman
Timur
tanpa
dengan
bermaksud
mengurangi kewenangan pihak lain tetapi diletakkan semata-mata merupakan alat manajemen untuk mencapai tujuan dengan lebih efisien. Pengalaman Provinsi Kalimantan Timur terkait kerjasama ‗pengelolaan DAS Mahakam‘ patut diinternalisasikan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah ke depan. Dua model koordinatif sebagaimana dipaparkan oleh Gubernur NTB dan Kalimantan Timur layak untuk dicontoh. Dikatakan demikian, karena kerjasama antardaerah yang dilakukan tergolong sukses. Sejalan dengan itu, peran koordinasi provinsi semakin efektif dilaksanakan apabila dilandasi oleh komitmen yang besar antara pihakpihak yang dikoordinasi. Supaya koordinasi bisa berjalan dengan baik maka mengubah ‗mindset‘ para aparatur pemerintah kabupaten/kota tentang
hubungan
kerjanya
dengan
pemerintah
provinsi
mutlak
diperlukan. 92
83
Perubahan pola pikir tersebut di antaranya menyangkut pemahaman hierarki antar level pemerintahan, sehingga tidak terulang kembali kesalahpahaman di antara keduanya sebagaimana terjadi setelah berlakunya UU No. 22 tahun 1999. Hal ini menjadi pekerjaan rumah ―PR‖ bagi Pemerintah untuk meluruskan kembali pemahaman-pemahaman yang sempat keliru pada saat itu. Bahkan terkesan masih berkembang meskipun UU tersebut telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Seharusnya koordinasi bukan dimaksudkan untuk mengurangi kewenagan kabupaten/kota tetapi semata-mata merupakan alat manajemen untuk mencapai tujuan dengan lebih efesien. Gambar. 4.4 Model Koordinatif Kalau ini berhasil dilakukan, pada gilirannya peran provinsi
P
untuk
melakukan
koordinasi
dalam kerjasama antardaerah akan dapat terlaksana dengan K
K
K
K
baik tanpa adanya prasangka dan
keterpaksaan
dari
pemerintah kabupaten/kota. P = Provinsi K = Kabupaten/Kota (Gambar diolah oleh TIM PKKOD)
4. Model Fasilitatif Dalam kerjasama antarpemerintah daerah eksistensi pemerintah provinsi sebagai fasilitator dari rangkaian kerjasama yang akan maupun yang sudah berjalan sangat dibutuhkan. Mengingat pemerintah provinsi memiliki kewenangan yang besar dalam hirarkis pemerintahan. Dengan kewenangan itu, maka pemerintah provinsi bisa membantu/mendampingi pemerintah kabupaten/kota dalam proses persiapan kerjasama hingga penyelesaian dokumen perjanjian kerjasama. Hal ini berarti bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah provinsi untuk ‗mempermudah‘, bukan sebaliknya ‗mempersulit‘ proses kerjasama 93
84
antardaerah. Di sisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang akan melakukan kerjasama seyogyanya meminta ijin dan meminta dukungan berupa fasilitasi dalam proses pelaksanaannya. Mengapa harus demikian? Karena dalam UU dinyatakan bahwa segala urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Selain itu, dengan adanya dukungan berupa fasilitasi pemerintah provinsi, maka akan ada jaminan apabila terdapat permasalahan dalam kerjasama yang dilakukan. Pada titik ini, sudah mulai nampak bahwa model fasilitatif sebenarnya mendorong pemerintah provinsi untuk terlibat jauh lebih dalam kerjasama antardaerah. Penjelasan ini bisa kita temukan dalam kerjasama antardaerah yang diperankan oleh Gubernur Gamawan Fauzi terhadap rencana pembentukan Kota Metropolitan Padang. Kota Metropolitan Padang yang meliputi Kota Padang, Kota Pariaman, sebagian Kab.Padang Pariaman, Kota Solok, dan Kab. Pesisir Selatan. Kegigihan Gubernur dalam memfasilitasi Kota Metropolitan nampak dalam RPJM dengan slogannya Menuju Kota Metropolis yang Aman dan Sejahtera. Gambar. 4.5 Model Fasilitatif
Dalam rangka percepatan mewujudkan politan
Kota
ini
Metro-
pemerintah
P
provinsi membantu menyiapkan
dokumen
kerjasama
antar kabupaten/kota yang akan
menjadi
anggota
kawasan metropolitan ter-
K
K
sebut. Implikasinya adalah kehadiran pemerintah prov. dalam
proses
K
K
kerjasama
antardaerah memiliki makna sangat penting dan strategis dalam konstelasi politik lokal.
94 85
5. Model Negosiatif Awam sering menangkap kesan bahwa negosiasi merupakan istilah lain untuk mengatakan ―keterlibatan dalam konflik‖. Namun dalam Oxford Dictionary negosiasi didefinisikan sebagai : ―pembicaraan dengan orang lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan … untuk mengatur atau mengemukakan.‖ Istilah-istilah lain kerap digunakan pada proses ini seperti : pertawaran, tawar-menawar, perundingan, perantaraan atau barter. Dengan kata lain negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu keadaan yang dapat diterima kedua belah pihak. Negosiasi diperlukan ketika kepentingan seseorang atau suatu kelompok tergantung pada perbuatan orang atau kelompok lain yang juga memiliki kepentingan-kepentingan tersebut harus dicapai dengan jalan mengadakan kerjasama. Negosiasi adalah pertemuan antara dua pihak dengan tujuan mencapai kesepakatan atas pokok-pokok masalah yang : (i) Penting dalam pandangan kedua belah pihak; (ii) Dapat menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak; (iii) Membutuhkan kerjasama kedua belah pihak untuk mencapainya. Dalam konteks bisnis/kerja, negosiasi terjadi secara ajeg antara: (i) majikan dan karyawan [upah, fasilitas]; (ii) duta penjualan dengan pembeli di seputar harga dan kontrak; (iii) departemen, sehubungan dengan alokasi sumber daya. Negosiasi tidaklah untuk mencari pemenang dan pecundang; dalam setiap negosiasi terdapat kesempatan untuk menggunakan kemampuan sosial dan komunikasi efektif dan kreatif untuk membawa kedua belah pihak ke arah hasil yang positif bagi kepentingan bersama. Negosiasi adalah sebuah bentuk pertemuan antara dua pihak (pihak satu dan pihak lainnya) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu persetujuan bersama menggunakan langkah-langkah negosiasi seperti strategi, taktik, dan persyaratan. Negosiasi juga merupakan suatu proses dimana dua pihak
95
86
mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Dalam negosiasi terjadi proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak lain. Negosiasi juga menjadi salah satu jalan penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara umum kerumitan negosiasi terletak pada teknik mengatur berbagai elemen yang terjadi pada saat proses negosisi sehingga suatu percakapan yang tegang menjadi lancar. Selama berlangsung proses, ada bermacam-macam negosiasi yang dihadapi oleh para pihak yang bernegosiasi. Negosiasi kooperatif adalah jenis negosiasi dimana konflik dapat diminimalkan dan seluruh gagasan bertujuan untuk mencapai solusi dimana semua pihak mendapatkan manfaat. Cakupan negosiasi kooperatif adalah: (i) Membuka perundingan dengan mengutarakan sebanyak mungkin informasi dimana solusi bisa dibuat dan diterima kedua belah pihak; (ii) Mempertimbangkan sejumlah alternatif dari permasalahan; (iii) Fleksibel; (iv) Membantu pihak lawan untuk menyampaikan gagasan mereka tentang berbagai solusi yang mungkin. Persetujuan saling menguntungkan (win-win solution) dimana pada proses negosiasi kedua belah pihak merasakan akhir yang memuaskan dan menyepakati persetujuan yang tepat. Karena negosiasi merupakan proses memberi dan menerima, apabila kedua belah pihak menerima hal ini maka pendekatan saling menguntungkan. Negosiasi kompetitif adalah jenis negosiasi dimana suasana negosiasi tidak ramah dan masing-masing pihak berusaha sedapatnya untuk mendapatkan tawaran terbaik bagi dirinya sendiri. Cakupan negosiasi kompetitif adalah:
(i) Seni dalam menyatakan penawaran
pembuka; (ii) Keterampilan untuk mendinginkan situasi konflik dan keterampilan bersikap tegas untuk menjaga posisi pengendali.
96 87
Dalam konteks negosiasi, apakah negosiasi kooperatif ataukah kompetitif, yang terpenting adalah bahwa pemerintah provinsi mampu menjadi ‗juru runding‘ bagi persetujuan/permufakatan di antara berbagai pihak dalam mencapai tujuan kerjasama. Kemampuan pemerintah provinsi menjadi negosiator inilah yang diharapkan dapat menghasilkan win-win solution bagi semua pihak. Model ini yang diperankan oleh Pemerintah Provinsi Bali seperti terlihat dalam praktek kerjasama SARBAGITAKU dan kerjasama DSDP sebagaimana diuraikan para bab tiga. 6. Model Mediatif Mediasi adalah negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Dalam mediasi, yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping, pemangkin, dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik. Pemerintah provinsi dapat menjadi penengah apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kerjasama atau dengan kata lain Pemerintah Provinsi berperan sebagai mediator. Dalam kaitan itu, apa yang telah dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Timur dengan tawarantawaran solutif terhadap permasalahan pelayanan publik yang melibatkan beberapa kabupaten/kota merupakan implementasi dari model ini. Model ini pun sesungguhnya siap diperankan oleh Pemerintah Provinsi Bali dalam proyek kerjasama SARBAGITAKU. Dan itu bisa dicermati melalui isi yang termaktub dalam Keputusan Bersama sebagaimana penjelasan berikut: ’’Dalam kerjasama SARBAGITAKU (Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Gianyar, Kab. Tababan dan Kab. Klungkung), sesuai dengan Surat Keputusan Bersama yang mengatur tentang kerjasama tersebut, ditegaskan bahwa jika terjadi perselisihan yang timbul antara Pemerintah Kota/Kabupaten sebagai akibat dari Keputusan Bersama tersebut, maka akan diselesaikan lebih lanjut oleh Pemerintah Provinsi Bali”. 97 88
Mediator terlibat di dalam suatu konflik atau sengketa karena berbagai alasan, misalnya karena diminta pihak-pihak yang bertikai, karena terdorong keinginan membantu, atau karena ada aturan yang menugaskannya supaya menjadi mediator bila diperlukan. Contractual mediation ialah mediasi yang terjadi karena ada aturan dan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Aturan itu, misalnya, mengatakan bahwa pihak-pihak yang bertikai harus menerima mediasi bila mereka gagal menyelesaikan sengketa mereka melalui negosiasi. Biasanya, hubungan mediator dengan pihak-pihak pihak yang bertikai bersifat jangka pendek dan Si Mediator lebih memperhatikan penyelesaian. Tugas Mediator antara lain: a) mendengarkan dengan cermat, b) mendinginkan suasana emosional; humoris; dan c) mengusulkan solusi. Mediasi
disebut
emergent
mediation
apabila
mediatornya
merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider. Seorang mediator menjalankan tugasnya dengan beberapa pedoman berikut: (1) tidak memihak (impartial), dan (2) menjaga hubungan mediasi, tujuan atau sasaran mediator, dan persepsi mediator. Ada banyak taktik yang dapat dilakukan mediator ketika melakukan intervensi. Penggunaan taktik mediasi amat tergantung pada aneka faktor dan suasana. Contoh-contoh taktik: a. mengusahakan supaya pihak-pihak yang bertikai menerima mediasi; b. mengusahakan supaya pihak-pihak yang bertikai mempercayai mediator; c. mengusahakan supaya pihak-phak yang bertikai mempercayai proses mediasi; d. mengumpulkan informasi; e. menjalin hubungan (rapport) dengan pihak-pihak yang terlibat;
98 89
f.
mengontrol komunikasi di antara pihak-pihak yang bertikai (misalnya dengan caucus);
g. mengidentifikasi masalah, isu, posisi; h. menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang timpang; i.
membantu menyelamatkan muka. Beberapa kondisi di balik keberhasilan mediasi adalah :
1. Serupa negosiasi, mediasi lebih efektif untuk konflik yang moderat daripada konflik yang gawat. 2. Mediasi lebih efektif bila para pihak yang bertikai memiliki motivasi yang tinggi mencapai kesepakatan, misalnya ketika mereka sedang berada dalam jalan buntu yang amat merugikan mereka sehingga mereka tidak tahan mengalami status quo tersebut lebih lama lagi (disebut dengan hurting stalemate). 3. Mediasi lebih efektif bila pihak-pihak yang bertikai bersungguhsungguh menerima mediasi, bila tidak ada kekurangan atau kelangkaan sumberdaya yang parah, bila isu yang ditengahi tersebut tidak menyangkut prinsip-prinsip umum, dan bila pihak-pihak yang bertikai relatif setara dalam kekuasaan. 7. Model Arbitratif Model arbitratif adalah model peran provinsi dimana pemerintah provinsi sebagai pihak penyelesai sengketa dalam kerjasama antardaerah. Dalam kerangka ini, pemerintah provinsi harus memahami peraturan perundang-undangan yang terkait dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian masalah (di luar lembaga pengadilan atau litigasi). Dasar hukum arbitrase, antara lain Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12 Agustus 1999; dan Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Lembaga
Pemberdayaan Damai
(Eks
Pengadilan Pasal
Tingkat 130
Pertama
HIR/154
Menerapkan
Rbg-Reglement
Buitengewesten). Persamaan Litigasi di Pengadilan dan Arbitrase: 99
90
putusannya mengikat para pihak, ada yang menang dan ada yang kalah, dan ada hukum acara yang mengatur persidangan. Jurisdiksi: Pengadilan: Pasal 118 HIR (Herziene Indonesisch Reglement); segala jenis sengketa. Arbitrase: diperjanjikan sebelum atau sesudah timbul sengketa; sengketa bisnis saja. Mediasi: diperjanjikan sebelum atau sesudah timbul sengketa; segala jenis
sengketa,
kecuali
yang
tidak
bisa
diputuskan
dengan
kesepakatan, misal: pembagian harta gono-gini dengan mediasi, cerainya dengan putusan pengadilan. Keuntungan Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan: sidang tertutup untuk umum; prosesnya cepat (maksimal 6 bulan); putusannya final dan tidak dapat dibanding/kasasi; arbiternya dipilih oleh para pihak; arbiternya ahli dalam bidang yang disengketakan; arbiternya mempunyai integritas/moral yang tinggi (pada umumnya); walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada ‘biaya-biaya lain‘; khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase; dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi dari para pihak; dissenting opinion. Kelemahan Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan adalah tidak mempunyai kekuatan untuk eksekusi putusan, jika pihak yang kalah tidak mau secara sukarela memenuhi putusan arbitrase.
100 91
Tabel. 4.1 Perbedaan antara Mediasi dengan Ligitasi Perbedaan antara Mediasi (ADR) dengan Litigasi/Arbitrase Mediasi √ jika kesepakatan hasil mediasi dilanggar, harus ajukan gugatan, tidak bisa langsung eksekusi; √ pihak yang bersengketa membuat kesepakatan; √ para pihak yang menentukan jalannya mediasi; √ kesepakatan merupakan restrukturisasi dari kontrak yang disengketakan; √ win-win solution; √ cepat; √ murah.
Litigasi/Arbitrase √ jika putusan tidak dilaksanakan, dapat diminta eksekusi ke pengadilan; √ hakim/arbiter yang membuat putusan; √ persidangan ditentukan oleh hukum acara yang berlaku; √ keputusan didasarkan pada kontrak yang disengketakan; √ win-lose judgement; √ lama; √ mahal.
Catatan. Dalam konsep UU ADR (alternative dispute resolution) hasil kesepakatan dapat langsung dieksekusi setelah diberi titel eksekutorial oleh pengadilan.
8. Model Monitoring dan Evaluasi Kegiatan mengikuti,
monitoring
dan
dilaksanakan
menganalisa
dengan
pelaksanaan
cara
mengamati,
kegiatan
kerjasama
antardaerah, sehingga pelaksanaannya sesuai dengan yang direncanakan. Tujuan
monitoring
dilaksanakan
sesuai
agar
efektivitas
perencanaan
penyelenggaraan dan
tujuan
serta
kegiatan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan tolak ukur yang tetlah ditetapkan. Hal-hal yang dipantau, dicermati, dan dikritisi dalam monitoring adalah dengan melakukan perbandingan antara program, harapan, sasaran dan kenyataan. Kendala-kendala yang dihadapi/permasalahan esensial yang dapat menghambat kelancaran kegiatan serta memberikan tingkat
101 92
keseimbangan
antara
daya
dan
dana
yang
digunakan
dengan
hasil/manfaat yang diperoleh.12 Sedangankan kegiatan evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sistem kerjasama antardaearah. Kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh Gubernur hendaknya secara sistematis karena akan berfungsi untuk mengumpulkan dan menganalisis data, informasi untuk menilai kelayakan serta pencapaian sarana-sarana tujuan suatu kegiatan. Secara teoritik, evaluasi dilakukan pada tingkatan program, tingkatan manajemen dan tingkatan operasional. Pada
tingkatan
program
kerjasama
antardaerah,
dilakukan
penilaian, yang bersifat evaluatif dan menyeluruh dengan memperhatikan aspek input, output, outcomes, benefit dan impact-nya yang dikaji secara komprehensip dan mendalam. Sementara pada tingkatan manajemen kerjasama antardaerah, pihak Gubernur melakukan pengendalian kinerja yang difokuskan pada pencapaian hasil dan target-target besar makro yang ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan pada tingkatan operasional
kerjasama antardaerah, pihak pemerintah provinsi memfokuskan diri pada aktifitas pelaporan sebelumnya. Artinya, pada tingkatan ini dilakukan pengendalian status kegiatan yang telah direncanakan, baik dari sisi jadwal pelaksanaan, penyerapan dana, maupun tolok ukur operasional lainnya.13 B. PERAN STRATEGIS PROVINSI Seluruh argumen ini menjelaskan anekaragam model peran pemerintah provinsi yang bisa dipraktekkan dalam kerjasama antardaerah. Secara keseluruhan terdapat delapan model peran kerjasama antaradaerah yang menggambarkan tingkat keterlibatan pemerintah provinsi dalam lingkup kerjasama. Keterlibatan pemerintah provinsi yang terefleksikan dalam tiap model peran tentu saja akan berimplikasi pada derajat intervensi kewenangan Hary Wahyudi ―Sintesa Efektivitas Kerjasama Jawa Timur dalam Sister Propinnce‖.Makalah Seminar Internasional ke-7 di Percik—Salatiga, tanggal 11-14 Juli 2006. 13 Hary Wahyudi., ibid,. 12
102 93
provinsi sendiri terhadap kerjasama yang dikelola. Hal ini bisa dimaklumi karena keterlibatan pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah boleh jadi berbeda-beda sesuai dengan dinamika kerjasama. Dalam konteks regulasi misalnya yang dapat membedakan derajat intervensi atau kewenangan provinsi pada gilirannya terletak pada materi atau isi dari sebuah peraturan yang dibuat. Yang perlu dicatat bahwa semua produk peraturan yang dibuat sesungguhnya tidak lain adalah hasil interaksi kepentingan para pihak yang diagregasikan menjadi satu kesepakatan bersama. Oleh karenanya derajat intervensi kewenangan masing-masing pihak sangat ditentukan oleh proses perumusan suatu produk peraturan. Dalam konteks perumusan regulasi, provinsi sebenarnya memiliki peluang yang cukup besar untuk meningkatkan derajat intervensi dalam suatu kerjasama manakala berhasil memasukkan aspek penganggaran dalam kebijakan pemerintah daerah. Dengan cara seperti ini, menjadi entry point bagi provinsi untuk terlibat lebih dalam terhadap semua tahapan kerjasama antardaerah yang dikembangkan. Pada titik ini sebenarnya peran pemerintah provinsi menemukan peran strategisnya. Kemampuan pemerintah provinsi dalam memasukkan anggaran kerjasama dalam struktur anggaran sudah barang tentu akan menaikkan pamornya dalam jalinan interaksi antar pemerintah. Hal ini sangat penting, karena bisa menjadi tolok ukur komitmen politik pemerintahan provinsi dalam mendorong kerjasama antardaerah. Selanjutnya, derajat intervensi provinsi akan semakin nyata, bilamana provinsi juga menjadi inisiator (penggagas awal), koordinator dan fasilitator dalam suatu kerjasama. Bila ini dilakukan, maka posisi provinsi tidak hanya menunjukkan keberpihakan terhadap kerjasama antardaerah akan tetapi juga pada pembangunan daerah untuk kepentingan masyarakat dalam arti luas. Dalam pandangan tim peneliti, jika peran di atas dimainkan secara simultan, maka hal itu akan berimplikasi positif terhadap kerjasama antardaerah. Keterlibatan pemerintah provinsi dalam beberapa peran tersebut akan mengantarkan provinsi pada posisi yang memiliki otoritas sampai pada 103 94
kegiatan
monitoring dan mengevaluasi semua
kegiatan
yang akan
dilaksanakan dalam program kerjasama. Dalam konteks ini, juga dapat dimaknai bahwa terdapat legalitas bagi intervensi pemerintah provinsi di semua lini kegiatan. Itu artinya pemerintah provinsi memiliki kewenangan luas terhadap kerjasama antardaerah. Keterlibatan pemerintah provinsi dalam monitoring yang selanjutnya diikuti dengan rangkaian evaluasi kegiatan kerjasama, mengisyaratkan sebuah kesempurnaan peran dari pemerintah provinsi dalam hal kerjasama antardaerah. Model peran provinsi terakhir ini membutuhkan keterlibatan sejak awal digagasnya sebuah kerjasama antardaerah. Karena itu, kalau peran provinsi sampai pada model monitorong dan evaluasi itu juga mengilustrasikan bahwa pemerintah provinsi mempunyai peran yang strategis dalam kerjasama antardaerah.
Dengan demikian, tingkat kewenangan
pemerintah provinsi dalam kerjasama antardaerah akan bertambah dan pada gilirannya akan memperkuat eksistensinya dihadapan pemerintah kabupaten/ kota.
104 95
BAB 5 PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Kajian peran pemerintah provinsi dalam implementasi kerjasama antardaerah dipandang sebagai isu menarik dan cukup stratejik. Dikatakan menarik dan stratejik karena tidak saja isu ini relatif baru dan belum mendapat perhatian banyak pihak, tetapi juga karena posisi dan kewenangan pemerintah provinsi sangat stratejik bagi keberhasilan suatu kerjasama antardaerah. Sementara kerjasama antardaerah oleh banyak pihak di era sekarang ini dianggap sebagai suatu urusan yang urgen dan ‗mutlak‘ dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan publik. 2. Urgensi kerjasama antara daerah terutama karena beberapa alasan, diantaranya; a. Bahwa kerjasama merupakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Maksudnya, kerjasama adalah urusan bersama yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. b. Perkembangan daerah atau perkotaan belakangan ini sudah melampaui
batas-batas
wilayah
administratif
(provinsi,
kabupaten/kota) termasuk pelayanan dan pembangunan, seperti tata ruang, jalan, transportasi, perdagangan, air, kesehatan, pendidikan, ketentraman ketertiban dan lain sebagainya. c. Percepatan pembangunan antardaerah dan dengan negara tetangga serta daerah tertinggal. d. Demi prinsip efesiensi dan efektifitas pelayanan publik. 3. Menyadari urgensi dan kebutuhan akan kerjasama antardaerah ini, maka semua pihak dituntut untuk berperan aktif. Setiap level pemerintahan di negeri ini harus memainkan peranan yang besar untuk mendorong keberhasilan agenda kerjasama antardaerah. Terlebih bagi pihak 105 96
pemerintah provinsi yang posisinya disamping sebagai wakil pemerintah pusat juga sebagai kepala daerah. Namun kenyataannya peran provinsi justru
masing
sering
dipertanyakan,
terutama
oleh
pemerintah
kabupaten/kota dalam proses kerjasama antardaerah yang telah atau sedang berjalan selama ini. 4. Sejauh ini peran provinsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yakni sebagai pihak pelaku/aktor yang melakukan kerjasama dan sebagai pihak pembina kabupaten/kota yang ada diwilayahnya. Kajian ini pada dasarnya mencakup kedua peran tersebut, namun mengingat urgensinya maka bahasan lebih ditekankan pada peran provinsi selaku ‘pembina dan pengawas‘ kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dalam melakukan kerjasama antardaerah mengikuti logika kewenangan provinsi sebagaimana diatur oleh undang-undang. 5. Dalam kapasitasnya sebagai ‘pembina dan pengawas‘, dinamika peran pemerintah provinsi dalam praktik kerjasama antardaerah yang nampak di wilayah provinsi (terutama di provinsi yang menjadi lokus kajian) dapat dijelas secara singkat sebagaimana paparan berikut. a. Untuk kasus DIY, dinamika peran provinsi relatif berbeda dengan provinsi lain. Perbedaan itu terutama karena munculnya kontroversi (perbedaan
pandangan)
antara
pemerintah
provinsi
dengan
pemerintah kabupaten kota. Di satu pihak, pemerintah provinsi beranggapan bahwa selama ini mereka telah berperan aktif dalam setiap kerjasama antardaerah, sementara pihak kabupaten/kota justru berpendapat lain. Menilai bahwa selama ini pemerintah provinsi tidak optimal untuk tidak mengatakan tidak berperan sama sekali. Sekalipun dalam perkembangannya karena alasan kewenangan yang melekat pada provinsi sehingga provinsi dengan sendirinya harus terlibat, seperti dalam aspek legalitas terutama saat penandatangan keputusan atau kesepakatan kerjasama.
Munculnya perbedaan
pendapat seperti telah disebutkan tadi, berkembang terutama dilatari oleh egosentrisme kabupaten/kota yang tidak lepas dari semangat 106 97
pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1990. Terlebih bila dilihat dari pelaksanaan kerjasama antradaerah semisal Kartamantul, merupakan praktik kerjasama antardaerah yang terbentuk lebih awal dibanding dengan provinsi lain. Dengan kata lain semangat yang melandasi kerjasama Kartamantul pada awalnya mengacu pada UU No. 22 Tahun 1990, yang kemudian diikuti dengan beberapa penyesuaian setelah UU No. 32 Tahun 2003 diberlakukan. b. Untuk Bali, peran provinsi dapat dilihat dalam praktik kerjasama SARBAGITA, SARBAGITAKU dan DSDP. Dalam kasus SARBAGITA, Inisiatif pada dasarnya datang dari kabupaten/kota. Peran provinsi kemudian adalah turut menkoordinir pertemuan antar bupati, yang ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk peran lain. Seperti membuat pengaturan (regulasi), dan didalamnya pihak provinsi diminta untuk menjadi pembina, memfasilitasi, dan ikut menyelesaikan konflik bila terjadi masalah dalam proses kerjasama itu. Pengalaman positif SARBAGITA, kemudian mengilhami terbentuknya SARBAGITAKU dan DSDP. Di sini pihak provinsi terlibat semakin initens, bahkan tampil sebagai inisiator, menyusun perencanaan dan konsep, dan ikut serta dalam mencari mitra kerjasama, sampai pada upaya mempersiapkan pendanaan untuk mendorong keberhasilan kerjasama SARBAGITAKU dan DSDP. c. Pengalaman yang hampir sama terdapat di NTB. Bahkan peran provinsi NTB dalam berbagai kerjasama antardaerah nampak lebih maju dan komprehensif. Pihak provinsi telah terlibat sejak awal, mulai dari menggagas kerjasama, menyusun konsep, membuat perangkat peraturan, bahkan pendekatan siklus anggaran diterapkan dengan memasukkan program kerjasama dalam agenda pembangunan daerah. Sehingga masing-masing pihak bertanggungjawab dan berkewajiban menjalankan program-program kerjasama yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Peran provinsi seperti ini terlihat dalam kerjasama di bidang pendidikan untuk siswa miskin, kerjasama 107 98
jaminan
kesehatan
(Jamkesnas),
kerjasama
pengembangan
pariwisata dan kerjasama di bidang peternakan yang bertajuk ‖Bumi Sejuta Sapi‖. d. Berbeda dengan DIY, Bali maupun NTB, peran provinsi Kalimantan Timur relatif masih terbatas. Dapat dimaklumi mengingat kerjasama antardaerah dalam lingkup kabupaten/kota juga masih terbatas. Namun yang patut diapresiasi dari pengalaman Kalimantan Timur adalah
keberhasilan
provinsi
menggalang
kerjasama
dengan
kabupaten/kota dibidang pendidikan. Program wajib belajar 12 tahun gratis dipastikan menjadi agenda pemerintah daerah (dimasukan dalam
APBD
masing-masing
pemerintah
kabupaten/kota)
sebagaimana tertuang dalam naskah perjanjian bersama. Semua ini digagas oleh pihak provinsi, dikoordinasikan pelaksanaannya, bahkan ikut dalam pendanaan. e. Tidak berbeda jauh dengan Kalimantan Timur, Provinsi Gorontalo juga memainkan peran khususnya kerjasama di bidang penanggulangan kemiskinan. Keterlibatannya terlihat dalam mengkoordinasikan dan mengontrol terlaksanannya program ini. Inisiatif untuk meminta BPKP Sulawesi
Utara
kabupaten/kota
untuk dan
juga
mengaudit provinsi
APBD sebagai
masing-masing bentuk
jaminan
terimplementasikannya MoU merupakan langkah konkrit pemerintah provinsi dalam urusan kerjasama antardaerah. Keenam, Kepulauan Riau. Sebagai provinsi baru, nampaknya harus banyak belajar dari daerah lain. Karena ternyata pengalaman dalam menjalankan kerjasama internasional tidak diikuti dengan kerjasama antardaerah. Ironisnya, unit yang menangani bidang ini pun masih sebatas subbagian yang berada di bawah Kepala Bagian Pemerintahan Biro Pemerintahan memperhatikan
Provinsi
Kepulauan
karena ternyata
Riau.
Dan
yang
cukup
kesadaran untuk menjadikan
kerjasama antardaerah sebagai suatu prioritas kebijakan belum nampak pada aparatur pemerintah daerah di semua level. Oleh 108 99
karenanya wajar bila yang yang terjadi adalah keterbatasan peran provinsi dalam urusan ini. 6. Masalah keterbatasan peran pemerintah provinsi memang perlu terus diwacanakan. Dalam pengamatan di lapangan, keterbatasan peran itu dipandang lebih dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Dari sisi regulasi dimana peraturan yang ada belum dianggap menyentuh aspek-aspek praktis kerjasama antardaerah. Karena belum ada juklak dan juknis yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah.
Akan tetapi, ke depan sepertinya sebagian
kendala atau masalah di atas tidak lagi dapat dijadikan dalih atau alasan mengingat telah dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah dan Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama Daerah. b. Dari sisi kelembagaan terutama karena belum semua pemerintah provinsi atau kabupaten/kota melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan sesuai amamat PP nomor 41 tahun 2007 dan belum semua pemerintah daerah membentuk Tim Koordinasi Kerjasama sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 193/1709/SJ tahun 2008. c. Sumber Daya Manusia, baik karena alasan kualitas maupun jumlah aparatur yang terbatas atau karena alasan lain semisal pergantian personil karena kebijakan mutasi atau alasan lain seperti suksesi pimpinan/elit pemerintah daerah dengan segala konsekuensinya. Pendanaan atau pengganggaran. Alasan klasik ini selalu dijumpai dalam setiap urusan, tak terkecuali di bidang kerjasama daerah. Mulai dari siapa, seperti apa pola pembagiannya, serta dari mana sumbernya, turut mewarnai kelancaran dan keberhasilan suatu bentuk kerjasama. d. Masalah koordinasi.
Lemahnya koordinasi antar level pemerintah
(antar pemerintah pusat, pemeritah provinsi, dan pemerintah 109 100
kapupaten/kota) dalam suatu urusan kerjasama dijumpai misalnya dalam kasus DSDP. Koordinasi akan lebih sulit lagi bila semangat egosentrisme dihinggapi oleh pemerintah daerah dengan dalih otonomi daerah yang salah kaprah. Ditambah dengan beberapa persoalan lainnya seperti, faktor belum teridentifikasinya urusan kerjasama secara baik,
ketidaksiapan masyarakat, atau justru
pemerintah daerah itu sendiri yang tidak menganggap penting kerjasama antardaerah sehingga tidak dijadikan sebagai satu prioritas kebijakan. 7. Kedepan, peran provinsi seharusnya dioptimalkan. Beberapa model peran sangat mungkin dilakukan mulai dari (i) Model Regulatif, (ii) Model Inisiatif, (iii) Model Koordinatif, (iv) Model Fasilitatif, (v) Model Negosiatif, (vi) Model Mediatif, (vii) Model Arbitratif, (viii) Model Monitoring dan Evaluasi. Peranperan ini sepatutnya dijadikan bahan pemikiran dan dasar pijakan dengan tetap memperhatikan tingkat kebutuhan masing-masing pemerintah daerah yang akan merealisasikan suatu kerjasama antardaerah. B. REKOMENDASI Belajar pada pengalaman dalam praktik kerjasama antardaerah selama ini, beberapa catatan sebagai bentuk rekomendasi kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu ada upaya dari semua pihak untuk mendorong tumbuhnya pemahaman akan urgensi pelaksanaan kerjasama antardaerah yang ditindaklanjuti adanya sikap dan komitmen dengan menempatkan urusan kerjasama antardaerah sebagai salah satu prioritas kebijakan pemerintah di daerah yang diwujudkan dalam bentuk produk-produk hukum di daerah. 2. Untuk mendukung terealisasinya point pertama di atas, pemerintah daerah dituntut untuk segera melakukan langkah-langkah strategik dan segera mengidentifikasi urusan pemerintahan yang dapat dikerjasamakan dalam kerangka kerjasama antardaerah.
110 101
3. Sosialisasi
peraturan
perundangan
secara
terus
menerus
dan
berkelanjutan, mulai dari PP 50/2007, Surat Edaran Mendagri tentang perlunya membentuk Tim Koordinasi Kerjasama Daerah, dan Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah dan Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama Daerah. 4. Koordinasi antar pemerintah terkait kerjasama antardaerah, mulai dari tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang selama ini dipandang lemah menjadi tantangan bagi semua pihak. Upayaupaya koordinasi yang intensif untuk menyamakan persepsi, sinkronisasi program dan kegiatan merupakan hal yang mutlak diperlukan. 5. Pemerintah khususnya provinsi dan kabupaten kota perlu melakukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas aparatur penyelenggara kerjasama, karena hal itu ikut menentukan tingkat keberhasilan kerjasama. Khusus untuk peningkatan kualitas pemahaman, pemerintah daerah secara intens perlu melakukan pembekalan, pelatihan, workshop atau kegiatan semacamnya. 6. Untuk lebih mengoptimalkan dan memberdayakan peran pemerintah provinsi, maka perlu segera dibentuk kelembagaan kerjasama sesuai amanat PP No. 41 Tahun 2007. Dukungan dari elite pemerintah daerah untuk segera melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan dengan membentuk kelembagaan untuk membidangi kerjasama merupakan langkah yang tepat. Penyamaan nomenklatur kelembagaan tentu tidak perlu dipaksakan mengikuti nama kelembagaan di daerah lain, namun sebaiknya menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. 7. Mengoptimalkan pelaksanaan model-model peran pemerintah provinsi dalam
mewujudkan
kerjasama
antardaerah.
Bahkan
sangat
memungkinkan untuk melakukan inovasi baik dalam upaya mencari model-model peran lain yang dianggap sesuai dengan karakteristik dan permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah.
111 102
8. Menuangkan model-model peran pemerintah provinsi ke dalam dokumen kebijakan sebagai landasan legalitas dalam mengoptimalkan peran provinsi dalam kerjasama antardaerah. 9. Menumbuh-kembangkan pemahaman dan kesadaran masyarakat adalah hal yang tidak boleh diabaikan. Sebab dukungan dan partisipasi masyarakat merupakan faktor tersendiri bagi suatu keberhasilan kerjasama antardaerah. Oleh karenanya berbagai cara dalam rangka sosialisasi program pemerintah kepada masyarakat menjadi penting untuk dilaksanakan.
112 103
DAFTAR PUSTAKA
Frank, Flo and Anne Smith. The Parthnership Hanbook. Minister of Publik and Government Services, Canada, 2000. Kwan, Jenny, Public Private Partnership: A Guide for Local Government. Ministry of Municipal Affairs. British Columbia. May 1999. McDowell, Bruce D, Regional Planning, dalam F.S. so, I. Hand & B.D. McDowell (eds), The Practice of State and Regional Planning, The American Planning Association, Chicago, Illinois, 1986. Ostrom, Elinor. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development." World Development, Vol. 24, No. 6, June 1996. Pratikno, ”Good Governance dan Governability‖, Jurnal Sosial dan Politik, vol.8 nomer 3, Maret 2005, Fisipol UGM -------------, et al, Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kerjasama Kartamantul (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul), Sekber Kartamantul–GTZ Urban Quality, September 2004 (tidak dipublikasikan) -------------, Mempersiapkan Daerah Berotonomi, FADO Saresehan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Denpasar 22-24 Januari 2001 -------------, Kontribusi Kerjasama antardaerah Dalam Menopang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, paper disampaikan pada rapat Teknis II SAD PRAJA UTAMA ,di Yogyakarta, 21 september 2004 Yudhoyono, SB, Pentingnya Networking Antara Pilar Good Governance dan Antardaerah sebagai Wujud Integritas Nasional dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas ASEAN Tahun 2003, Formoma MAP, Yogyakarta, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Pemerintahan Daerah.
Nomor:
32
Tahun
2004
tentang
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor : 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama antardaerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tatacara Kerjasama Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kapastas Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
113 104
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Manajemen Kebijakan, Laporan Kajian Kerjasama Antardaerah dalam rangka Peningkatan Pendapatan Daerah, 2001. Lembaga Administrasi Negara, Pengelolaan Penyelenggaraan Kerjasama antardaerah: Tinjauan Atas Beberapa Ketentuan dan Substansi dalam Penyelenggaraan Kerjasama antardaerah, Jakarta. 2004. R. Budi. Pramono, Inisiasi Kerjasama antardaerah (Kerjasama Pengembangan Pariwisata Antara 13 Kabupaten/Kota di DIY dan Jawa Tengah dalam Javapromo), Tesis Program Politik Lokal dan Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 2005 (tidak dipublikasikan) Sekber Kartamantul, Membangun Kawasan Terpadu Perkotaan Kartamantul dan Semangat Kebersamaan, Laporan Kegiatan tahun 2005, Yoyakarta, 2006 Tim Peneliti Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Asosiasi Antar Daerah Dalam Tata Pemerintahan Indonesia.Kerjasama BRIDGE – BAPENNAS-UNDP-PLOD, Yogyakarta, 2005 (tidak dipublikasikan) --------------, Model Kerjasama antardaerah, PLOD-Apeksi, Yogyakarta, 2006 (tidak dipublikasikan)
114 105