LAN - RI PKKOD
Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2009
EXECUTIVE SUMMARY Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, titik berat otonomi daerah berada pada level pemerintah kabupaten/kota sehingga sumber daya (keuangan, manusia, dll) lebih terkonsentrasi pada pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pembinaan pemerintahan kabupaten/kota terhadap desa menjadi tidak optimal. Pengaturan yang demikian juga akan dapat menghilangkan otonomi adat yang dalam kapasitas tertentu dapat mengarahkan pemerintahan desa menjadi satuan pemerintah administratif, yang bertugas melayani pemerintah kabupaten/kota. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan desa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa, dan mampu meningkatkan daya saing desanya. Hal tersebut hanya mungkin terwujud apabila urusan yang menjadi kewenangan desa dapat terlaksana dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam implementasinya terdapat berbagai permasalahan yang langsung maupun tidak langsung menghambat pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan tersebut. Kapasitas yang masih rendah merupakan bagian dari permasalahan yang ditunjukkan di lapangan. Diantaranya masih belum optimalnya aspek kelembagaan, sumberdaya manusia, maupun manajemen pemerintahan desa. Pada tahun 2008 Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, telah melaksanakan Kajian Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa, kajian ini telah menghasilkan cetak biru (blueprint) yang memuat strategi-strategi penyelesaian masalah (problem solving) penyelenggaraan pemerintahan desa dan menyusun modul-modul peningkatan kapasitas pemerintahan desa. Lebih lanjut modul-modul tersebut merupakan hasil identifikasi aspek kapasitas yang perlu ditingkatkan yaitu Perencanaan & Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa. Sebagai tindak lanjut dari kajian tentang pemerintahan desa, maka Lembaga Administrasi Negara c.q. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, pada tahun 2009 telah melaksanakan kegiatan kajian tentang Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa, dimana tujuan dari kegiatan ini adalah mengembangkan strategi peningkatan kapasitas aparatur desa dan menyempurnakan modul peningkatan yang telah disusun pada kajian tahun 2008. Jenis kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah pengembangan (development) dengan metode kualitatif. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah workshop dengan para kepala desa dan wawancara dengan narasumber di daerah kajian. Kegiatan kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah provinsi, dimana dari masing-masing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten sebagai
i 1
lokus kegiatan ini yaitu Provinsi Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan analisis data lapangan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perencanaan dan Penganggaran Desa. Belum semua desa menyusun dokumendokumen perencanaan, hanya beberapa desa yang telah menyusun RKP Desa (tahunan), akan tetapi tidak memiliki RPJM Desa (lima tahunan). Hal ini ‘aneh’ karena dokumen RKP Desa seharusnya mengacu kepada dokumen RPJM Desa. Selain itu pelaksanaan Musrenbang Desa di beberapa daerah kajian tidak berlangsung secara optimal. Adanya keterbatasan anggaran juga berpengaruh besar pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa). 2. Keuangan Desa. Pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat dikatakan belum dapat terselenggara dengan baik . Dalam pelaksanaan perencanaan keuangan daerah, banyak desa belum menerapkan anggaran APBD Desa serta belum dapat menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya dengan baik. Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, administrasi desa belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik. Dalam manajemen kekayaan desa, banyak dijumpai barang-barang kekayaan desa yang belum terpelihara dengan baik serta masih adanya persoalan dalam pembagian kekayaan desa sebagi akibat dari pemekaran desa. Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa dapat dikatakan juga masih belum optimal. Badan Usaha Milik Desa yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan asli desa cenderung belum terkelola dengan baik. Akhirnya, dari sisi penerimaan keuangan desa masih sangat bergantung dari transfer pemerintah yang ada di atasnya. 3. Kebijakan Desa. Berdasarkan temuan lapangan kapasitas aparatur desa dalam penyusunan kebijaksanaan desa masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kebijakan desa yang disusun masih minim. Penyusunan kebijakan desa belum mencerminkan tahapan dari proses penyusunan peraturan desa. Sosialisasi, pelatihan dan simulasi tentang penyusunan kebijakan desa yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten masih sangat terbatas, karena keterbatasan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh institusi tersebut. 4. Kepemimpinan Kepala Desa. Pembuatan keputusan oleh kepala desa belum berdasar pada azas manajemen modern. Pemilihan kepala desa oleh masyarakat di beberapa daerah lebih didasari oleh faktor tradisional atau pertalian kekeluargaan. Kondisi sosial, ekonomi dan kultur termasuk tingkat pendidikan yang rendah dari masyararakat juga mempengaruhi pelaksanaan programprogram pembangunan.
ii2
5. Manajemen Pelayanan Desa. Dalam hal pelayanan desa diperlukan political will dari pemerintah daerah setempat, political will terkait dengan penyerahan urusan sesuai dengan kebutuhan desa. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemenadministratif (kualitas dan kuantitas sumber daya manusia aparatur desa yang berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparatur desa). Sebagai unit representasi negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kemandirian dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di wilayahnya. Kurangnya sarana dan prasarana perkantoran menjadi penghambat dalam menunjang pelaksanaan pelayanan administrasi di desa, disamping masih minimnya pengetahuan masyarakat dalam mengurus kelengkapan administratif sesuai ketentuan yang ada. Yang tak kalah penting berpengaruh terhadap aksesibilitas dan kualitas pelayanan adalah medan (geografis) yang sulit dijangkau dan pola hidup masyarakatnya yang masih tradisional terhadap informasi dan pelayanan yang disiapkan pemerintah. Dari uraian tersebut di atas dan uraian pada bab-bab dalam laporan ini, kiranya dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Perencanaan dan Penganggaran, perlunya upaya peningkatan kemampuan/kompetensi aparatur desa dalam hal: (a) metode perencanaan partisipatif, (b) analisis masalah dan potensi desa, (c) metode pemilihan skala prioritas kegiatan, (d) penyusunan anggaran dan belanja desa, dan (e) berkomunikasi/berdiskusi/presentasi. Upaya yang dapat ditempuh: pelatihan (bimbingan teknis, pembekalan, penataran, dll) dan non-pelatihan (studi banding, magang, dst). 2. Keuangan Desa, pada level sistem strategi yang dapat dikembangkan adalah : Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa dengan kewenangan desa dan memperbaiki metode pengalokasian dana desa dan perbaikan sumber daya aparatur desa melalui perbaikan rekuitmen dan manajemen aparatur desa. Pada level organisasi adalah Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan BUMDes sebagai sumber penerimaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa dan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan kerjasama antar desa dalam bidang ekonomi dan berbagai pelayanan publik, peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan desa, dan mekanisme akuntabilitas desa. Pada level individu, strategi yang dapat dikembangkan adalah, peningkatan melalui bimbingan teknis manajemen keuangan desa yang mencakup penyusunan APBDesa, Pengelolaan ADD, Pengelolaan Kekayaan Desa, Pengelolan BUMDes. Selain itu perlunya sosialisasi peraturan kebijakan keuangan desa melalui pendampingan maupun fasilitasi, misalnya dalam pendirian BUMDes, dan sebagainya. 3. Kebijakan Desa, strategi utama peningkatan kapasitas dalam kelembagaan meliputi : aspek keuangan, dan aspek sumberdaya manusia aparatur perangkat desa, aspek sumberdaya aparatur BPMPD yakni tersedianya pejabat fungsional 3 iii
widyaiswara yang mampu untuk mengampu materi Kebijakan Desa. Strategi lain adalah perumusan wewenang yang jelas antara antar lembaga dalam kebijakan desa. Terprogramnya kegiatan pelatihan dan sosialisasi berkesinambungan tentang Penyusunan Kebijakan Desa yang dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten serta tersusunnya modul-modul yang berkaitan dengan Perumusan Kebijakan. 4. Kepemimpinan Kepala Desa, strategi yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan dalam penguasaan seni dan teori kepemimpinan, selain itu kemampuan dalam menyusunan peraturan desa; kemampuan dalam pengambilan keputusan Kemampuan dalam negosiasi; dan Kemampuan dalam manajemen konflik. 5. Manajemen Pelayanan Desa, sebagai strategi untuk meningkatkan kapasitas aparatur desa dalam bidang pelayanan kepada masyarakat diantaranya adalah perlu adanya peningkatan kemampuan aparat desa dalam merumuskan programprogram pelayanan. Selain itu peningkatan kemampuan dalam mengelola pelayanan termasuk pengetahuan teknis administratif (format-format pelayanan administrasi dsb) dan kemampuan memahami petunjuk maupun peraturan undang-undang yang mendukung aparatur desa dalam memberikan pelayanan, selain kemampuan teknis penunjang(mengoperasikan komputer dll). Kemampuan mengambil keputusan, Kemampuan dalam melakukan kerjasama (LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait juga perlu ditingkatkan.
iv 4
Daftar Isi EXECUTIVE SUMMARY ……………………………………………………………………. DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………..………………………. B. Tujuan dan Sasaran Kegiatan ………………………………….. C. Hasil Yang Diharapkan ……………………………………………… D. Sistematika Kajian ……………………………………………………. ASPEK PENTING PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ……………………… B. Problematika Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Indonesia …………………………………………………………….. 1. Aspek Perencanaan dan Penganggaran Daerah……………………………………………………………… 2. Aspek Pengelolaan Keuangan Desa ……………….. 3. Aspek Kepemimpinan Kepala Desa ……………….. 4. Aspek Penyusunan Kebijakan Desa ……………….. 5. Aspek Manajemen Pelayanan Desa ……………….. C. Capacity Building Aparatur Desa ............................... D. Kerangka Pikir .............................................................
i v
1 7 7 8
9 16 22 23 26 28 30 32 42
METODOLOGI KAJIAN A. Jenis Kajian ………………………………………………………………. B. Metode Kajian …………………………………………………………. C. Daerah Kajian ………………………………….………………………. D. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………. E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data .......................
43 43 43 44 45
GAMBARAN KAPASITAS APARATUR DESA A. Perencanaan dan Penganggaran Desa …………………… B. Manajemen Keuangan dan Kekayaan Desa ……………. C. Kebijakan Desa ……………………………………………………….. D. Kepemimpinan Kepala Desa ……………………………………. E. Manajemen Pelayanan Desa …………………………………….
46 64 92 110 118
v5
BAB 5
BAB 6
STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA A. Perencanaan dan Penganggaran Desa ……………………… B. Keuangan Desa ......................................................... C. Penyusunan Kebijakan Desa ..................................... D. Kepemimpinan Desa ................................................ E. Manajemen Pelayanan Desa .....................................
141 142 144 145 147
PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………………… B. Rekomendasi ……………………………………………………………
151 153
DAFTAR PUSTAKA
154
vi6
Daftar Tabel Tabel. 3.1 Tabel. 4.1 Tabel. 4.2 Tabel. 4.3 Tabel. 4.4 Tabel. 4.5 Tabel. 4.6
: : : : : :
Daerah Kajian ....................................................... Tahapan Pelaksanaan ADD untuk Kegiatan Fisik..... Jenis-Jenis Pelayanan Publik di Desa .................... Kendala Kebijakan dan Dukungan Pemerintah …… Kendala Prosedur Pelayanan ................................ Kendala Persyaratan Teknis dan Administratif Pelayanan ........................................................... : pejabat Yang Berwenang dan Bertanggungjawab...................................................................
44 70 123 131 132 134 136
7 vii
Daftar Gambar Gambar. 4.1 Gambar. 4.2 Gambar. 4.3
: : :
Tahap Penyusunan RPJM Desa ……………………….. Tahap Penyusunan RKP Desa ………………………….. Skema Penyampaian Laporan ADD ………………….
48 54 74
viii8
Daftar Box Box. 4.1
:
Box. 4.2 Box. 4.3 Box. 4.4
: : :
Box. 4.5 Box. 4.6
: :
Box. 4.7
:
Faktor Penyebab Tidak Menyusun RPJM Desa................................................................ Aktor-Aktor Penyusun RPJM Desa .................. Pelaksanaan Musrenbang Desa ....................... Pelaksanaan ADD : Contoh Praktek di Kabupaten Katingan ....................................... Pengelolaan Kekayaan Desa : Parigi Moutong .. Lima Perdes Yang Harus dibuat Desa Menurut PP No. 72 Tahun 2005 ..................................... Kebutuhan Pengembangan ..............................
52 53 60 72 77 98 139
ix9
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemerintahan desa merupakan bagian integral dari pemerintahan daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 200 ayat 1 UU 32/2004 bahwa ”Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Dalam PP 72/2005 yang dimaksud dengan pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun jika dirunut ke belakang, penyelenggaraan pemerintahan desa pada dasarnya telah dilaksanakan sejak jaman penjajahan, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Pada masa itu pemeritahan desa dapat
dikatakan
tidak
memiliki
kebebasan
untuk
menyelenggarakan
pemerintahannya, karena sebagai negara jajahan seluruh penyelenggaraan pemerintahan – termasuk pemerintahan desa – dipaksa tunduk dan patuh kepada kepentingan negara penjajah. Dengan demikian aspek kelembagaan, sumber daya aparatur dan manajemen pemerintahan desanya pun sepenuhnya ditentukan oleh penguasa/ penjajah yang berkuasa pada saat itu. Pada
masa
kemerdekaan,
komitmen
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan desa dapat dijumpai dalam konstitusi yaitu Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang (hasil perubahan kedua). Pada pasal 18B ayat 10 1
(2) disebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan pekembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang (hasil perubahan kedua)” Namun, undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Desa baru diterbitkan pada tahun 1965 yaitu dengan terbitnya UU No. 19/1965 tentang Desapraja, yang menempatkan Desa sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desa Praja. Di dalam pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Desa Praja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memiliki pengusahaan dan mempunyai harta benda sendiri. Namun hal ini tidak terwujud karena tidak dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu. Selanjutnya, desa diatur dalam UU No. 5/1979, dimana pemerintah Orde Baru menempatkan desa langsung di bawah Camat, yang mana Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan satuan pemerintah vertikal (dekonsentrasi). Kemudian, pada saat jatuhnya pemerintah Orde Baru, desa diatur dengan UU No. 22/1999. Melalui undang-undang ini desa diatur dalam satu undangundang tentang pemerintahan daerah. Desa merupakan subsistem dari pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada daerah kabupaten/kota dengan membentuk peraturan daerah (Perda). Terakhir, desa diatur dengan UU No. 32 No/2004 yang kembali menempatkan desa dalam satu undang-undang tentang pemerintahan daerah. Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam satu undangundang pemerintahan daerah – yang notabene digabungkan dengan pengaturan pemerintahan kabupaten/kota – menjadi fenomena yang cukup menarik terutama jika dikaitkan dengan ”otonomi desa”. Kenyataan bahwa pengaturan pemerintahan
desa
yang
”inheren”
dengan
pengaturan
pemerintahan
kabupaten/kota menurut UU No. 32/2004 tersebut dikhawatirkan akan mengurangi derajat otonomi (adat) yang dimiliki oleh sebuah desa. Dalam UU No.
11 2
32/2004 jo PP No. 72/2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Desa atau disebutkan dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihomati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI. Lebih jauh, pengaturan yang demikian juga akan dapat menghilangkan otonomi adat dan dalam kapasitas tertentu dapat mengarahkan pemerintahan desa menjadi satuan pemerintah administratif, yang bertugas melayani pemerintah kabupaten/kota. Dari gambaran tersebut, saat ini bermunculan berbagai wacana bahwa pemerintahan desa sebaiknya dipisahkan pengaturannya dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Desa yang diatur dalam undangundang tersendiri dan terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah merupakan pilihan yang ideal. Desa ditempatkan sebagai satuan pemerintahan otonomi di luar struktur pemerintahan kabupaten/kota, karena daerah dan desa memang berbeda baik dari sisi penyelenggaraan pemerintahan maupun persoalan yang dihadapi. Perbedaan karakteristik itulah yang secara historis menyebabkan pengaturannya berbeda dari kabupaten (di luar DW = Decentralisatie Wet), bahkan dipisahkan pula pengaturan desa-desa yang ada di Jawa-Madura (diatur dengan IGO) dan di luar Jawa-Madura (IGOB). Pengaturan terpisah menjadi pilihan karena keberadaan desa yang pluralistik sehingga sangat sulit diatur dalam satu peraturan yang akomodatif. Dengan demikian, munculnya wacana mengeluarkan pengaturan desa dari undang-undang tersebut (UU No. 32/2004) – dan juga pengaturan tentang Pilkada Langsung merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya peningkatan kapasitas pemerintahan desa. Namun demikian, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan desa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa, dan mampu meningkatkan daya saing desanya. Hal tersebut hanya mungkin
12 3
terwujud apabila urusan yang menjadi kewenangan desa dapat terlaksana dengan baik. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa (Pasal 206 UU No. 32/2004). Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam implementasinya terdapat berbagai permasalahan yang langsung maupun tidak langsung menghambat pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan tersebut. Persoalan-persoalan dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu kelembagaan, SDM Aparatur, dan manajemen/ ketatalaksanaan. Secara kelembagaan, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD (Pasal 11 PP No. 72/2005). Pada pasal selanjutnya, disebutkan bahwa Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya, yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan, dan unsur kewilayahan. Jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Selanjutnya, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa (Pasal 12, ayat 1 – 5, PP No. 72/2005). Sementara, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jumlah anggota BPD sebanyak 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa (Pasal 31).
13 4
Persoalan yang mengemuka dalam aspek kelembagaan desa adalah hadirnya BPD (Badan Permusyawaratan Desa, bukan Badan Perwakilan Desa) yang dianggap mengalami kemunduran (set back) daripada sebelumnya. BPD dalam konteks UU No. 32/2004, merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa, sehingga perannya sebagai lembaga kontrol menjadi berkurang. Hal ini sesungguhnya sebangun dengan posisi DPRD yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah, yang tidak lagi menjadi badan legislatif daerah sebagaimana pada saat belakunya UU No. 22/1999. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah pada tahun 2008 yang lalu menunjukkan bahwa pada berbagai aspek pemerintahan desa masih perlu ditingkatkan kualitasnya, baik pada aspek kelembagaan, Sumberdaya Manusia, maupun manajemennya, berdasarkan asumsi yang dikembangkan didalam pemerintahan menunjukkan kunci penting peningkatan kapasitas pemerintahan desa sangat tergantung pada peningkatan kualitas aparatur desanya, “sistem yang baik apabila dikelola oleh aparatur yang kurang baik, maka hasilnya (kinerjanya) akan kurang baik, dan sistem yang kurang baik kalau dikelola oleh aparatur yang baik, maka akan menghasilkan kinerja yang baik”. Persoalan-persoalan yang menyangkut aspek Aparatur Desa atau SDM aparatur desa meliputi SDM di lingkungan Pemerintah Desa (Kepala Desa dan perangkatnya) maupun BPD (Ketua dan anggotanya). Dalam peraturan perundangan tentang Desa disebutkan bahwa perangkat desa diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa. Pertanyaannya adalah, adakah persyaratan kompetensi yang harus dipenuhi oleh calon perangkat desa dan apakah persyaratan tersebut telah dituangkan dalam dokumen resmi? Pada praktiknya, kepala desa yang terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa (Pemilu Kepala Desa atau yang lebih dikenal dengan Pilkades) belum tentu memiliki kompetensi yang diharapkan. Bukan menjadi rahasia, bahwa proses Pilkades sarat diwarnai dengan politik uang (money politics).
14 5
Kualitas perangkat desa pun mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda. Pemilihan dan pengangkatan perangkat desa (kecuali sekretaris desa/Sekdes) belum sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan kompetensi. Ada dua alasan terkait hal ini, Pertama, Kepala Desa terpilih menunjuk/memilih keluarga atau orang-orang terdekat untuk menduduki jabatan perangkat desa, yang terkadang tanpa mempertimbangkan kemampuannya; Kedua, karena memang tidak ada lagi orang yang mau dan mampu menjadi perangkat desa (hal ini terjadi di desa-desa pedalaman). Persoalan SDM pemerintahan desa juga terjadi pada Ketua dan Anggota BPD. Anggota BPD yang terdiri dari unsur keterwakilan wilayah dan ditetapkan dengan musyawarah-mufakat, dapat dikatakan tidak memiliki komitmen dan kompetensi yang optimal untuk membangun desa. Permasalahan lain yang menyangkut aparatur pemerintahan desa adalah adanya ketentuan bahwa Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan (pasal 202 ayat 3 UU No. 32/2004 jo pasal 25 ayat 1 PP No. 72/2005). Dalam PP No. 72/2005 disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan dimaksud meliputi: a. Berpendidikan paling rendah lulusan SMU atau sederajat; b. Mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan; c. Mempunyai kemampuan di bidang administrasi perkantoran; d. Mempunyai pengalaman di bidang administrasi keuangan dan di bidang perencanaan; e. Memahami sosial budaya masyarakat setempat, dan f.
Bersedia tinggal di desa yang bersangkutan. Dalam penjelasan pasal 25 PP No. 72/2005 dinyatakan ‘cukup jelas’,
artinya jabatan Sekdes (eselon V) diisi dari PNS, bukan berarti ‘mengangkat Sekdes yang ada menjadi PNS’. Hal ini pernah menimbulkan kesalahpahaman, yakni terjadi di suatu daerah di Pulau Jawa, ribuan Sekdes melakukan unjuk rasa agar diangkat menjadi PNS! Sementara, jika dilihat dari segi persyaratan pendidikan pun sudah tidak memenuhi persyaratan, terlebih lagi untuk persyaratan lainnya.
15 6
Untuk itu, Kedeputian Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur-Lembaga Administrasi Negara, dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah telah melaksanakan kegiatan ”Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa”, yang telah dilaksanakan pada tahun anggaran 2009, kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan “Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa” yang telah dilaksanakan pada tahun 2008.
B. TUJUAN DAN SASARAN KEGIATAN Tujuan kegiatan ini adalah : 1. Pengembangan strategi peningkatan kompetensi aparatur desa yang berkaitan dengan Perencanaan dan Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa. 2. Sosialisasi dan evaluasi modul peningkatan kapasitas aparatur desa yang telah disusun pada tahun 2008. Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah : 1. Tersusunnya strategi peningkatan kompetensi aparatur desa yang berkaitan dengan Perencanaan dan Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa 2. Sosialisasi dan evaluasi modul peningkatan kapasitas aparatur desa yang telah disusun pada tahun 2008.
C. HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah : 1. Tersusunnya 1 (satu) unit laporan Kajian Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah, khususnya dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur desa;
716
2. Selain itu dari kajian ini juga dihasilkan modul Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa yang telah direvisi berdasarkan masukan hasil sosialisasi;
D. SISTEMATIKA KAJIAN Sistematika Kajian disusun sebagai berikut : Bab I, pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan dan sasaran kajian, hasil yang diharapkan, jangka waktu dan sistematika kajian. Bab II, menguraikan literatur review yang terkait dengan aspek penting kapasitas aparatur desa. Hal lainnya yang dijelaskan dalam bab ini adalah problematika penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia diantaranya terkait perencanaan pembangunan desa, keuangan desa serta capacity building
aparatur
desa.
Serta
Penjelasan-penjelasan
mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa ini juga didukung dengan kerangka pikir. Bab III, menguraikan tentang metodologi kajian berisi jenis kajian, metode kajian, lokus kajian, tehnik pengumpulan data serta tehnik pengolahan dan analisis data. Bab IV, menguraikan data lapangan mengenai evaluasi pengembangan kapasitas aparat desa yang berkaitan dengan Perencanaan dan Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa. Serta hasil dari sosialisasi dan evaluasi modul peningkatan kapasitas aparat desa yang telah disusun pada tahun 2008. Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang menjelaskan tentang strategi peningkatan kapasitas aparatur desa.
17 8
BAB 2 ASPEK PENTING PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA
A. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA Sebagai miniatur negara, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai tugas-tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan
program-program
pembangunan,
memberikan
pelayanan
administratif kepada masyarakat. Tugas penting pemerintah desa adalah memberi pelayanan administratif kepada warga desa. Disisi lain, karena dekatnya arena secara normatif masyarakat akar rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai “pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat, para pamong desa selalu dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam prakteknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat engan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsure itu saling menyentuh secara personal dalm wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di desa sering kabur, sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria-kriteria manajemen moderen seperti transparansi dan akuntabilitas, melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana. 18 9
Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua perhatian di desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. Kepala Desa harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, karena itu pula kepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan masyarakat desa, Kepala Desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul dan sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat. Umumnya kepala desa yakin bahwa pengakuan rakyat sangat diibutuhkan untuk membagun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan dfan tugas-tugas yang diemban, meski setiap kepala desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam mengemban legitimasi, tetapi kepala desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala Desa dengan mudah diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat masyarakat desa, sembodo dan murah hati, ramah terhadap masyarakat. Kepala Desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuat tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan, yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga, Kepala Desa punya citra diri benevolent (sebagai wali) yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga Kepala Desa tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya dihadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh kepala desa tidak mengganggu usaha ekonomi dan nyawa warganya secara
10 19
langsung, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan kepala desa yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik, dan seterusnya. Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi berkembangnya kehidupan demokrasi di desa, tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi seorang kepala desa. Ketika kepala desa memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka Kepala Desa cenderung mengabaikan akuntabilitas dihadapan masyarakat, dia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, sehingga sering menjadi masalah yang serius. Proses intervensi negara dan integrasi Desa ke Negara menjadikan kepala desa lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya. Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam “kotak hitam” oleh elite desa, serta kurang ditopang oleh proses prumusan kebijakan yang bercirikan terdapat muatan proses pembelajaran dan partisipatif yang memadai. Masyarakat desa yang menjadi objek resiko kebijakan biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah Desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi kebijakan kepada warga desa. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah Desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan dari warga desanya, warga desa tidak punya ruang yang cukup memadai untuk memberikan umpan balik dalam proses perumusan kebijakan desa.
11 20
Pengelolaan keuangan juga sering bermasalah, masyarakat desa umumnya tidak memperolah informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan desa yang diperolah dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang desa, bagaimana kas desa dikelola, masyarakat juga tidak memperolah informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pelayanan di kantor desa. Lemahnya partisipasi (termasuk akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di desa. Sampai saat ini “elite” desa tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi, bagi kepala desa partisipasi adalah sekedar bentuk dukungan masyarakat desa terhadap kebijakan pembangunan pemerintah desa. Pemerintah desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat yang mana kedua aspek tersebut sering dimasukkan dalam aspek sumber penerimaan APBDes untuk mendukung pembangunan desa. Di sisi lain, pemerintahan desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Para birokrat desa (sekretaris desa dan kepala urusan) disebut sebagai perangkat desa yang bertugas membantu kepala desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan administratif. Di Jawa, perangkat desa sering disebut sebagai “pamong desa”, yang karena posisinya sebagai pemuka masyarakat, dan memperolah mandat untuk mengayomi dan membimbing masyarakat desa. Mereka mempunyai atribut sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang menjadi kebanggaannya. Sebagai abdi negara, perangkat desa menyandang atribut dan simbol-simbol yang diberikan oleh negara, sekaligus menjalankan tugas-tugas negara, seperti menarik pajak, mengurus administrasi, dan surat-surat resmi, pendataan penduduk dan lain sebagainya. Sebagai abdi masyarakat, perangkat desa bertugas melayani masyarakat selama 24 jam, mulai pelayanan administratif hingga pelayanan sosial (mengurus kematian, hajatan, orang sakit, pasangan suami-istri yang mau bercerai, konflik antar warga, dan sebagainya).
21 12
Sistem birokrasi desa sangat berbeda dengan sistem birokrasi negara, meskipun Desa juga sebagai unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas negara, baik pelayanan publik maupun pembangunan. Birokrasi negara, baik pelayanan publik maupun pembangunan, birokrasi desa juga dikelola teknokratis dan moderen dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian, organisasi, tatakerja, tugas pokok dan fungsi, dan lain-lain. Birokrat negara, baik pejabat administratif maupun pejabat fungsional berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang dikelola dengan kepastian mulai dari pengangkatan, pembinaan, pembagian tugas, promosi, penggajian hingga pensiun. Birokrasi desa didesain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan teknokratis (moderen), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisional, status perangkat desa bukanlah Pegawai Negeri Sipil, tetapi sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional (dari penduduk desa setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan syarat-syarat dan proses moderen). Pengisian perangkat bukanlah dari nol sebagai staf layaknya Pegawai Negeri Sipil, melainkan langsung mengisi pos jabatan-jabatan dalam birokrasi desa yang posisinya lowong. Semula mereka ditetapkan bekerja seumur hidup, tetapi belakangan banyak kabupaten/kota yang menetapkan masa kerja perangkat desa. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil dimulai dari prajabatan, pendidikan dan pelatihan penjenjangan maupun promosi jabatan, tetapi perangkat desa tidak diperlakukan hal yang sama. Ketika seseorang menduduki jabatan kepala urusan maka yang bersangkutan selamanya akan duduk disitu sampai pensiun, dia tidak akan mengalami promosi menjadi kepala desa, kecuali yang bersangkutan melepas jabatan kepala urusan dan “bertarung” melamar menjadi Kepala Desa yang kosong. Para perangkat desa juga tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan sebagaimana diberikan oleh Negara kepada Pegawai Negeri Sipil, para perangkat desa hanya memperoleh pembekalan pada awal
13 22
memangku jabatan mengenai tugas pokok dan fungsi dan tugas-tugas administrasi, tetapi setelah itu tidak memperolah diklat tehnis dan juga tidak ada monitoring dan evaluasi (monev), terkadang sebagian perangkat desa baru memperoleh diklat tehnis (misalnya administrasi, perencanaan, keuangan, pendataan dan lain-lain) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang datangnya tidak menentu. Disebabkan miskinnya pembinaan, maka kapasitas (pengetahuan, wawasan dan keterampilan) perangkat desa sangat minim, sebagian besar perangkat desa tidak memahami berbagai peraturan dan tugas yang menyangkut diri mereka sendiri, kecuali sebagian kecil perangkat yang mau mencari tahu atau mereka yang kritis. Pada umumnya mereka bekerja apa adanya (take for granted) sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya. Di masa orde baru, semua formulir administrasi perkantoran (monografi, buku tamu, buku keuangan, buku proyek, buku tanah desa, dan sebagainya) bisa terisi dan diperbaharui secara terusmenerus karena ada proses monitoring dan evaluasi. Tetapi di era reformasi, buku-buku administrasi desa itu terbengkalai, kecuali desa-desa yang mempunyai predikat “desa maju”, di banyak desa data monografi desa beberapa tahun lalu masih terpampang dengan tulisan spidol permanent. “Ada organisasi tetapi tidak berorganisasi” adalah sebuah metafora yang menggambarkan bahwa organisasi birokrasi desa tidak berjalan dengan baik, apalagi desa-desa terpencil, terbelakang, desa-desa di daerah perbatasan, sebagian besar desa-desa di Indonesia sampai sekarang belum memiliki Kantor Desa sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan administrasi. Banyak desa di luar Jawa yang tidak memiliki Kantor Desa sendiri, sehingga menggunakan rumah kepala desa menjadi kantor desa, selain tidak memiliki jam kerja yang jelas, banyak hari di “kantor desa” tersebut terlihat begitu sepi, jarang didatangi perangkat desa. Kepala Desa sendiri, si pemilik “kantor desa” jarang berada di “kantor desa” pada jam kerja, karena “kantor” yang sesungguhnya berada di kantong saku yang dibawa kemanapun penguasanya pergi, Kepala Desa
23 14
tidak mengurusi jabatan dan fungsinya, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu jam kerjanya untuk mencari nafkah (kesawah, keladang, atau berbisnis). Kalau warga hendak berurusan administrasi dengan perangkat desa, maka mereka akan pergi ke rumah masing-masing atau ketempat dimana perangkat desa mangkal sehari-hari. Dengan memperhatikan kondisi seperti inilah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan pengisian Sekretaris Desa dengan tujuan agar pelayanan administrasi di semua desa dapat terlaksana dengan baik, terutama dalam administrasi pertanggungjawaban keuangan desa yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Kinerja organisasi dan perangkat desa yang sangat terbatas juga berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan mereka dan tidak jelasnya sistem penggajian (remunerasi) yang didesain pemerintah. Meski diatas kertas sistem birokrasi desa dibuat moderen, tetapi penggajian perangkat desa masih menggunakan pola yang sangat tradisional, belum ada kebijakan yang memadai yang mengatur penggajian terhadap kepala desa dan perangkat desa. Di sebagian besar Desadesa di Jawa perangkat memperoleh penghasilan dari tanah bengkok, sebagai bentuk remunerasi secara tradisional yang diwariskan secara turun temurun, besaran tanah bengkok yang dikelola perangkat itu sangat bervariasi dari satu desa ke desa yang lain, dan bahkakn terdapat desa yang tidak mempunyai tanah bengkok, pada hal para perangkat desa jelas mempunyai status yang terhormat bagi masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat kesejahteraan perangkat desa memprihatinkan, oleh karena itulah perangkat desa selalu menuntut dan berharap agar pemerintah betul-betul memperhatikan kesejahteraan mereka. Pemerintah sebenarnya telah menegaskan tentang penghasilan Perangkat Desa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005, Pasal 27 dari PP 72/2005 tersebut berbunyi : (1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa; (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya
24 15
yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa; (3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota. Tanpa diatur sekalipun pemerintah desa bisa berkreasi sendiri melakukan penggajian terhadap perangkat desa yang diambilkan dari APBDesa, tetapi yang diharapkan oleh para perangkat desa adalah tanggung jawab dan kebijakan pemerintah yang jelas dan konkret dalam memberikan penghasilan, bukan sekedar mengatur penghasilan dalam APBDesa. Lokalisasi penghasilan melalui APBDesa ini akan menghadapi kendala, terutama bagi Desa-desa yang APBDesanya minim, mungkinkah mereka akan dapat memberikan penghasilan kepada Kepala Desa beserta Perangkat Desa senilai penghasilan upah minimum regional kalau untuk membiayai pembangunan dan kemasyarakatan masih kurang. Dapat dikatakan bahwa belum ada perhatian yang cukup setimpal terhadap Kepala Desa beserta Perangkat Desa, penghargaan terhadap Kepala Desa beserta perangkatnya selama ini masih diserahkan sebagian besar kepada Desa yang bersangkutan, disamping itu dengan APBD Kabupaten sebenarnya juga sudah turut membantu, namun sejauh mana bantuan itu sudah mencukupi atau belum, itu masih sangat tergantung dari “kemauan baik” Kabupaten, sedangkan pembagian penghasilan dari dana perimbangan, bantuan, retribusi desa, dan lainlain untuk mendukung keuangan desa tidak ada kepastian dan sangat tergantung dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Kabupaten biasanya memberikan penghargaan kepada Kepala Desa beserta perangkatnya tiap tiga bulan yang masing-masing besarnya berbeda antara satu Kabupaten dengan Kabupaten yang lainnya.
B. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA “Kekuatan rantai besi ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah”, jika kita mengibaratkan sistem pemerintahan nasional sebagai suatu rangkaian mata
25 16
rantai sistem pemerintahan mulai dari Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota dan sampai pada level pemerintahan terendah yakni Pemerintahan Desa, maka Pemerintahan Desa atau “Desa” merupakan pemerintahan terendah. Hampir segala aspek menunjukkan betapa
lemahnya
eksistensi
dan
kedudukan
“Desa”
dalam
konstelasi
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal Desa-lah yang menjadi pertautan terakhir dengan masyarakat yang akan membawanya ke tujuan akhir yang telah digariskan sebagai cita-cita Nasional. Data-data hasil sensus penduduk yang pernah dilakukan, selalu menunjukkan lebih kurang 80% penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan, dimana daerah pedesaan ini selalu dicirikan oleh antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya mutu atau kualitas lingkungan pemukiman pedesaan, rendahnya produktivitas tenaga kerja di pedesaan dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang ditampung oleh sektor pertanian yakni 46,26 dari jumlah penduduk yang bekerja, padahal sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional setiap tahun menunjukkan angka-angka penurunan, tahun 2003 mencapai 15,9%. Tingginya tingkat kemiskinan di daerah pedesaan secara ilmiah dapat ditinjau dari berbagai indikator, baik indikator jumlah dan persentase penduduk miskin (head count), maupun tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 Juta jiwa (17,4 % dari jumlah penduduk Indonesia) dimana persentase penduduk miskin di pedesaan mencapai 20,2 % dari jumlah penduduk Indonesia. Dan jika dibandingkan dengan penduduk miskin di kawasan perkotaan hanya mencapai 13 % dari jumlah penduduk Indonesia. Dan dengan asumsi angka-angka tersebut dan dikaitkan dengan penduduk dan angkatan kerja di pedesaan akan terus bertambah dan pertumbuhan luas lahan pertanian relatif tidak ada peningkatan yang signifikan, maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tidak produktif.
17 26
Data-data tersebut di atas, memberikan gambaran secara faktual tentang kondisi yang terjadi dalam masyarakat pedesaan secara keseluruhan. Sangat ironis memang, sebab berbicara mengenai desa, berarti berbicara tentang kondisi sebagian besar penduduk Indonesia, mengingat desa berada di seluruh kawasan Republik Indonesia. Semenjak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Reformasi, sistem pemerintahan desa tidak pernah mengalami perubahan, yakni “memerintah secara tidak langsung (indirect rule)” terhadap masyarakat desa. Sistem ini menempatkan masyarakat desa dan pemerintahan desa pada posisi marginal. Disamping itu secara sosiologis desa hanya dipandang sebagai ajang yang penuh dengan nilai-nilai tradisional yang menggambarkan keterbelakangan, yang ditopang oleh berbagai keterbatasan yang disandang oleh masyarakat desa, antara lain tingkat pendidikan yang relatif rendah, pendapatan per-kapita masih kecil, maupun fasilitas sosial yang sangat terbatas. Keterbatasan tersebut ditengarai cenderung terus dipertahankan dari zaman ke zaman, dengan asumsi untuk memperoleh keuntungan dari kondisi semacam itu, yakni untuk menciptakan posisi tawar yang lemah dari desa manakala dihadapkan kepada kekuasaan lain dari supradesa. Lebih jauh lagi secara administrasi pemerintahan, desa hanya dijadikan sebagai obyek kekuasaan, misalnya pada saat pemilihan umum desa hanya dijadikan tempat pengumpulan suara dan setelah Pemilu selesai dilaksanakan, desa dan masyarakat desa dengan segera dilupakan. Sementara itu, secara ekonomi desa hanya dijadikan sebagai pemasok bahan baku dan pemasok tenaga kerja murah. Schumacher (1979) dalam bukunya “Small is Beautiful” atau Kecil itu Indah, bahwa persoalan pokok yang dihadapi oleh negara-negara miskin terletak pada 2.000.000 (dua juta) desa yang miskin dan terbelakang. Schumacher berpendapat bahwa selama beban hidup di pedesaan tidak dapat diringankan, masalah kemiskinan di dunia ini tidak akan dapat diselesaikan, dan mau tidak mau pasti akan lebih memburuk, bahwa dari berbagai penyebab kemiskinan tersebut, faktor material seperti terbatasnya kekayaan alam, atau tidak adanya modal,
27 18
tidak cukupnya sarana-prasarana hanya merupakan penyebab kedua, adapun penyebab utamanya adalah kekurangan bidang pendidikan, organisasi dan disiplin. Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, khususnya daerah pedesaan, sejak zaman kerajaan telah terdapat persekutuan hukum masyarakat lokal dengan nama desa atau nama lain di luar Jawa yang telah memiliki struktur perantara. Struktur perantara yang dinamakan Pemerintah Desa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya memainkan peran yang sangat penting, yakni berperan sebagai penghubung antara masyarakat desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum dengan lingkungan luar desa. Dari berbagai referensi yang telah ada, pada zaman penjajahan Belanda organisasi pemerintahan desa yang telah disusun oleh masyarakat desa diperalat oleh kolonial Belanda untuk memeras rakyat desa melalui pola tanam paksa (Djulian, Undip, 1989), ataupun untuk memenuhi kewajiban menyumbang tenaga kerja tanpa bayaran (Breman, 1986). Keadaan ini lebih diperparah lagi dengan masuknya bala tentara Jepang di tanah air, yang kita kenal dengan kerja paksa (romusha). Meskipun menghadapi beban yang berat pada zaman penjajahan sebagai mana diungkap di atas, masyarakat desa tidak memberi respon balik yang cukup berarti, kecuali di beberapa daerah yang dilakukan secara sporadik (Dahm dalam Sartono Kartodiredjo, 1984). Masyarakat desa pada era ini sangat percaya bahwa apa yang telah diputuskan oleh Pemerintah Desa melalui personifikasi Kepala Desa adalah keputusan terbaik untuk kepentingan masyarakat desa. Dengan politik penguasaan secara tidak langsung “indirect-rule”, pemerintah kolonial baik Belanda maupun Jepang dapat secara leluasa menguasai dan memerintah masyarakat desa tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Memasuki era kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini, peranan Pemerintah Desa sebagai struktur perantara, yakni hanya sebagai penghubung antara masyarakat desa dengan pihak luar desa baik masyarakat dan pemerintah lain desa maupun dengan Pemerintah Daerah, baik Kecamatan maupun
28 19
Kabupaten masih berlaku. Bahkan struktur perantara tersebut ditambah dengan beberapa atribut lain misalnya Kepala Desa sebagai agen pembaharuan, berbagai bentuk perubahan sosial baik yang direncanakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan baik secara nasional maupun kebijakan lokal yang ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat desa disosialisasikan dan dijalankan oleh Pemerintahan Desa. Untuk dapat berperan secara optimal, Pemerintahan Desa perlu terus berubah dan berkembang sesuai dengan arah kebijakan nasional dan daerah dan termasuk juga menghadapi perubahan sebagai dinamika masyarakat desa, tanpa adanya Pemerintahan Desa yang kuat Desa dan masyarakat desanya akan tetap menjadi obyek dari pihak luar desa yang relatif lebih kuat posisi tawarnya. Kehendak untuk memperkuat posisi desa, setidaknya sudah menjadi agenda nasional, yakni sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui ketetapannya Nomor IV/MPR/2000, tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi nomor 7, yang berbunyi : “Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap Propinsi, Kabupaten/Kota serta Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya”. Langkah kongkret upaya pengembangan desa pada dasarnya termuat dalam berbagai kebijakan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, tanpa terkecuali Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu tujuan dari muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut adalah untuk memodernisasikan pemerintahan desa agar mampu menjalankan perannya sebagai struktur perantara, sebagai pelayan masyarakat desa, dan
29 20
sebagai agen perubahan masyarakat desa. Keberhasilan pembanganan yang telah dilaksanakan selama ini mau tidak mau harus diakui telah merubah wajah desa baik aspek positif maupun negatifnya yang tidak terlepas dari peran Pemerintahan Desa. Kendatipun demikian, nampaknya masih banyak masalah yang belum dapat diatasi, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, dan keterbelakangan pendidikan. Kenyataan ini pulalah kiranya yang dapat dijadikan bukti, meskipun desa memiliki dua sumber daya yang sangat penting yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam, tetapi “kesatuan masyarakat hukum” tersebut dirasakan tidak mampu mengubah potensi-potensi yang dimilikinya menjadi kekuatan nyata untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Desa tidak lagi mampu berperan menjadi tempat hidup dan penghidupan yang layak bagi masyarakatnya, yang diindikasikan dengan semakin banyak warga desa yang bermigrasi ke kota- kota besar (urbanisasi) untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Kepercayaan yang diberikan masyarakat terhadap Pemerintahan Desa, untuk berperan lebih banyak guna mengembangkan masyarakatnya dihadapkan kepada berbagai masalah antara lain kedudukan dan bentuk organisasinya yang mendua (ambivalen) yaitu antara bentuk organisasi pemerintah (negara) dengan organisasi (lembaga) kemasyarakatan, keterbatasan sumber pendapatan yang memadai,
keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut isi rumah tangganya, keterbatasan kualitas dan jumlah personil, merupakan kendala yang menghambat kinerja Pemerintahan Desa. Akibatnya, pertumbuhan dan perubahan sosial di desa berjalan relatif lambat dan untuk mempercepat terjadinya perubahan tersebut maka tidak jarang masyarakat desa hanya menunggu uluran tangan dari pihak luar, baik dalam bentuk bantuan finansial maupun fisik. Jika kondisi seperti ini terus berkelanjutan niscaya akan memposisikan desa menjadi bagian yang selalu terpinggirkan.
30 21
Agenda-agenda penting yang masih menjadi aspek dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur desa berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah tahun 2008 antara lain : 1. Aspek Perencanaan dan Penganggaran Daerah Perencanaan di arahkan pada upaya menentukan kegiatan yang akan datang. Rencana yang disusun dengan baik akan memberikan kontribusi besar dalam penyelesaian masalah dan tuntutan, selain tentunya mempermudah implementasi. Berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional terdiri atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Menengah (RPJM), dan Tahunan (RKP). Sedangkan dokumen perencanaan di tingkat daerah meliputi RPJP Daerah, RPJM Daerah dan RKP Daerah, dimana RKP Daerah ini menjadi dasar penyusunan APBD. Adapun di lingkungan pemerintah desa, dokumen perencanaan desa terdiri atas RPJM Desa dan RKP Desa (PP No. 72/2005). Dalam konteks perencanaan, dikenal konsep perencanaan partisipatif, yakni
suatu
proses
mengikutsertakan
penyusunan
seluruh
pemangku
dokumen
perencanaan
kepentingan
yang
(stakeholders).
Perencanaan partisipatif diperlukan agar pengelolaan pembangunan desa dapat berjalan secara efektif, efisien, optimal, berkelanjutan dan kesetaraan.
Efektif: pembangunan bisa dilakukan secara tepat sasaran dan tepat program karena didukung identifikasi masalah dan prioritas agenda pembangunan yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan masalah yang dihadapi.
Efisien: pengelolaan pembangunan bisa berlangsung secara efisien dan dapat dihindari pemborosan dana, karena mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal.
31 22
Optimal: pembangunan berhasil optimal karena didukung oleh kemitraan dari berbagai pihak melalui kerjasama secara tarpadu maupun peningkatan keterbukaan dan pebertanggungjawaban.
Kesetaraan: pengembangan partisipasi dapat menumbuhkan sikap untuk bekerja bersama dan berperan setara antar para pemeran pembangunan, terutama antara pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta.
Berkelanjutan: partisipasi menumbuhkan rasa memiliki sehingga menumbuhkan peranserta masyarakat untuk memelihara, melestarikan dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Upaya mewujudkan perencanaan partisipatif sebenarnya telah tersedia
dan sudah dilaksanakan dari tahun ke tahun yaitu melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Namun demikian, harus diakui bahwa kapasitas aparatur desa dalam penyusunan dokumen perencanaan desa (RJPM Desa dan RKP Desa) dapat dikatakan sangat tidak memadai. Hal ini memerlukan perhatian dan penanganan serius dari Pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa itu sendiri. Peningkatan kapasitas aparatur desa dalam aspek perencanaan hendaknya hendaknya diikuti dengan kemampuan menyusun anggaran desa. Hal ini disebabkan perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks ini kemampuan penyusunan anggaran lebih ditekankan pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa). Dengan demikian, perencaanan dan
penganggaran
daerah
merupakan
aspek
penting
manajemen
pemerintahan desa, dan karenanya kemampuan/kapasitas aparatur desa pun merupakan persoalan yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya.
2. Aspek Pengelolaan Keuangan Desa Kapasitas aparatur desa dalam aspek manajemen keuangan dan kekayaan desa pada penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan
32 23
kebutuhan yang urgen karena setiap penyelenggaraan pemerintahan desa memerlukan kemampuan keuangan yang memadai. Tanpa adanya keuangan yang memadai maka dapat dipastikan pelaksanaan pemerintahan di tingkat desa akan mengalami kesulitan. Terkait dengan hal tersebut, terdapat dua sisi yang melekat pada kebutuhan keuangan tersebut, yakni dalam hal pendapatan dan pengeluaran. Dari sisi pedapatan, UU Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa keuangan desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli desa (pungutan, hasil kekayaan desa, gotong royong dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Sebagaimana layaknya setiap organisasi publik, pemerintahan desa juga dihadapkan pada kenyataan anggaran desa sangat terbatas. Keterbatasan keuangan desa tersebut menjadi sebuah masalah serius manakala aparatur desa tidak mampu menggali sumber-sumber pendapatan yang dapat memperkuat kemampuan anggaran desa. Oleh karena itu kemampuan mengelola kekayaan desa menjadi paralel dengan manajemen keuangan desa, sebab menjadi tantangan bagi desa untuk dapat mengelola kekayaan di dalam wilayahnya . Kemampuan mengelola kekayaan desa berfungsi untuk mendukung kekampuan desa dalam menggali sumber pendapatan desa. Dari sisi pengeluaran, kemampuan mengelola keuangan desa sangat penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan melalui berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan sumber-sumber pendapatan desa yang telah dimiliki. Program pemerintahan desa pada dasarnya tercermin dalam anggaran pengeluaran desa sehingga APBDes mempunyai arti dan menunjukkan arah dan hasil pembangunan yang akan dicapai dalam satu tahun anggaran. Agar kegiatan tahunan tersebut dapat dilaksanakan tepat pada waktunya sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan harus didukung oleh perencanaan pembiayaan yang mantap yang disusun dalam APBDes setiap tahun. Untuk itu, diperlukan kemampuan aparatur desa untuk
33 24
dapat mengelola keuangan yang ada sehingga dapat teralokasikan untuk memenuhi kebutuhan program dan kegiatan sesuai dengan tujuan pembangunan desa. Kenyataan bahwa kemampuan pendapatan desa saat ini belum dapat dikatakan memadai, menambah pentingnya kemampuan aparatur desa untuk bisa menentukan dengan baik prioritas penggunaan anggaran desa untuk berbagai program dan kegiatan. Alasan lain yang menjadi latar belakang perlunya kemampuan dalam manajemen keuangan dan kekayaan desa adalah menyangkut isu akuntabilitas publik. Pemerintahan desa sebagai bagian terkecil dari pemerintahan Negara, tidak terkecualikan dari isu akuntabilitas publik. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa pendapatan desa merupakan bagian dari keuangan negara sehingga desa sebagai insitusi resmi dalam penyelenggaraan negara juga terikat pada asas-asas yang digunakan dalam pengelolaan keuangan negara tersebut. Penyerahan urusan pemerintahan desa disertai dengan pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten. Oleh
karenanya
pemerintahan
desa
mempunyai
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, tidak saja kepada masyarakat namun juga secara administratif kepada pemerintahan supra desa dalam rangka pengelolaan keuangan Desa yang akuntabel dan transparan. Hal ini termasuk juga pertanggung jawaban atas pengelolaan asset desa, sebagai salah satu bentuk kekayaan desa yang dapat dinyatakan dengan uang yang semestinya dikelola dengan baik oleh aparatur desa yang bersangkutan. Terkait dengan hal ini, aparatur desa perlu memahami proses penyelenggaraan keuangan Negara, khususnya yang berkaitan dengan keuangan desa sehingga dapat menerapkan tertib administrasi dalam pengelolaan keuangan. Dengan berjalannya tertib administrasi dalam pengelolaan
keuangan
desa
tersebut
diharapkan
akan
menjadikan
pengelolaan keuangan desa lebih akuntabel dan transparan.
25 34
Perubahan berbagai kebijakan yang terkait dengan aspek keuangan desa juga menghendaki kemampuan aparatur desa untuk mengelola keuangan dan kekayaan desa sejalan dengan tuntutan kebijakan yang berlaku. Salah satunya adalah perubahan kebijakan yang mengamanatkan pelaksanaan Alokasi Dana Desa oleh pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa. ADD yang semula merupakan inovasi yang dilakukan oleh beberapa kabuaten semenjak tahun 2001, dalam PP No. 72/2005 telah dipertegas menjadi salah satu sumber keuangan desa. Sejalan dengan amanat peraturan tersebut, pemerintah desa perlu menguasai pengeolaan ADD sejalan dengan kebijakan pelaksana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten. Perubahan kebijakan lain yang penting untuk dikuasai adalah menyangkut administrasi keuangan desa sebagaimana dituangkan dalam PP No. 72/2005 tentang Desa, maupun berbagai peraturan pelaksanaya seperti Peraturan Menteri Dalam Negri No.37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam laporan ini aspek manajemen keuangan dan kekayaan desa menjadi salah satu aspek yang penting dalam peningkatan kapasitas aparatur desa. Diharapkan bahwa penguatan pada aspek kemampuan aparatur desa dalam manajemen keuangan dan kekayaan desa ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah desa dalam hal keuangan dan kekayaan desa. Hal yang lebih utama dari peningkatan kapasitas ini adalah untuk mewujudkan kemampuan manajemen keuangan dan kekayaan yang lebih baik guna membiayai program dan kegiatan pembangunan desa sehingga akan dapat meningkatkan kemampuan pencapaian tujuan pembangunan desa yang lebih terarah. 3. Aspek Kepemimpinan Kepala Desa Disamping ketiga aspek diatas, penyelenggaraan pemerintahan desa juga sangat ditentukan oleh aspek kepemimpinan desa.
Sebagai satuan 35 26
organisasi pemerintahan di level daerah, pada dasarnya desa identik dengan organisasi pemerintahan kecamatan, kabupaten/kota maupun provinsi. Hanya ruang lingkup kerjanya yang berbeda, sementara tujuannya sama yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari perspektif organisasi ini, unsur kepemimpinan ini menjadi mutlak adanya karena merupakan inti dari manajemen. Pemimpin yang berkualitas diyakini akan mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan juga dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain untuk menjalankan visi-misi dan program organisasi, demikian halnya untuk kepemimpinan di tingkat desa. Dalam konteks pemenuhan kepemimpinan desa yang ideal, terdapat dua pertanyaan pokok yang perlu mendapat perhatian, pertama sejauhmana mekanisme yang diatur oleh perundang-undangam dan praktek empiris pemilihan kepala desa menjamin munculnya pemimpin yang berkualitas. Kedua, sejauhmana kompetensi yang dimiliki oleh kepala desa yang terpilih diyakini
memenuhi
prasayat
yang
diperlukan
dalam
implementasi
penyelenggaraan pemerintahan desa. Pertanyaan pertama khususnya terkait dengan aturan perundangundangan pemilihan kepala desa tentu tidak lagi diperdebatkan mengingat hampir dapat dipastikan bahwa pemilihan kepala desa beberapa tahun terakhir sudah dilaksanakan dengan mengacu pada prosedur yang ada. Persoalannya kemudian lebih pada tujuan substantif sebagai hasil dari mekanisme prosedural yang ditempuh berupa terpilihnya sosok pemimpin yang berkualitas dan diyakini mampu mengembang tugas dengan baik. Karena seperti yang kita pahami bahwa tidak sedikit kepala desa yang terpilih sebenarnya belum memenuhi kompetensi yang disyaratkan. Keterpilihan mereka lebih banyak ditentukan oleh unsur pendukung tradisional dibanding pertimbangan yang bersifat professional. Misalnya karena unsur kekerabatan (kedetakan keluarga), trah atau lainnya.
36 27
Pada kenyataannya, fenomena seperti ini berimplikasi pada aspek kompetensi seorang kepala desa. Menjadi dilema karena rendahnya kualitas kepemimpinan kepala desa bukan semata-mata merupakan kesalahan dirinya, tetapi ada keterlibatan dari warga masyarakat yang ikut memilih. Dengan kata lain, terpenuhinya mekanisme prosedural dalam pemilihan kepala desa belum tentu menjamin terpilihnya pemimpin (kepala desa) yang berkualitas. Oleh karenanya, menjadi penting untuk mencermati aspek kompetensi seseorang yang dipercaya atau terpilih menjadi kepala desa. Terkait dengan kompetensi ini, setidaknya ada lima kapasitas yang harus melekat pada diri seorang kepala desa diantaranya; (i) Pengetahuan dan pemahaman tentang teori kepemimpinan itu sendiri, (ii) Pengetahuan dan pemahaman tentang pembuatan peraturan desa; (iii) pengetahuan dan pemahaman tentang pengambilan keputusan; (iv) Pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen konflik; (v) Pengetahuan dan pemahaman tentang negosiasi, dan; (vi) yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman dan penguasaan dalam komunikasi. Membekali para kepala desa dengan kompetensi di atas merupakan langkah tepat yang harus ditempuh untuk memastikan bahwa aspek kepemimpinan
desa
sebagai
bagian
integral
dari
keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan desa secara keseluruhan.
4. Aspek Penyusunan Kebijakan Desa Urgensi aspek kebijakan desa dapat dilihat dari 3 (tiga) hal : Pertama, bahwa penyusunan kebijakan di tingkat desa merupakan amanat undangundang dan peraturan pemerintah, khususnya PP No. 72/2005 tentang Desa. Kedua, penyusunan kebijakan desa harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, penyusunan kebijakan desa
37 28
mengindikasikan
kepekaan
pemerintah
desa
terhadap
hajat
hidup
masyarakat desa (PKKOD-LAN, 2008). Menurut Pasal 35 ayat (1) PP 72/2005 disebutkan bahwa ”Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD” Dari pasal ini dapat dijelaskan bahwa meskipun penyusunan Perdes hanya disebutkan oleh kepala desa dan BPD, namun pada praktiknya aparat desa-lah (terutama sekretaris desa) yang menyiapkan draft perdes tersebut. Perdes merupakan penjabaran dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini sangat menarik, karena perdes yang lahir bisa jadi merupakan perpaduan antara kepentingan kepemerintahan desa dan kearifan lokal di desa yang bersangkutan. Artinya, perdes di Sumatera Barat akan berbeda dengan perdes di Bali, dan seterusnya. Disinilah perlunya kapasitas aparatur desa yang memahami berbagai muatan lokal yang akan diatur dengan perdes. Namun demikian, hadirnya muatan lokal dalam perdes tersebut tetap harus didudukkan dalam koridor hukum yang jelas, yakni penyusunan perdes tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya,
penyusunan
perdes
mengacu
kepada
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagai bagian dari tata urutan perundang-undangan, maka penyusunan perdes dimaksud harus mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tatacara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kiranya menjadi jelas bahwa para penyusun perdes (sebagai legal drafter) sudah seharusnya memahami seluk-beluk penyusunan peraturan perundang-undangan. Terakhir, terkait dengan penyusunan sejumlah perdes di lingkungan pemerintahan desa, ternyata hal itu dapat dikaitkan dengan inovasi dan kreativitas yang dimilikinya. Asumsinya, semakin banyak perdes yang diterbitkan, menunjukkan makin tingginya inovasi dan kreativitas desa yang
38 29
bersangkutan. Tentu saja, perdes-perdes yang diterbitkan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat desa dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan perdes, maka kepala desa menetapkan peraturan kepala desa dan/atau keputusa kepala desa. Senada dengan perdes, maka Perkades dan/atau SK Kades tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Ringkasnya, aspek penyusunan kebijakan desa menjadi salah satu aspek penting
dalam
pembahasan
kapasitas
aparatur
desa,
khususnya
kemampuan/kapasitas untuk menyusun Perdes, Perkades dan/atau SK Kades (legal drafting).
5. Aspek Manajemen Pelayanan Desa Memberikan pelayanan yang baik guna meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya merupakan tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah. Karena pelayanan merupakan fungsi utama organisasi pemerintah, tentunya hal ini sejalan dengan tujuan pembentukan organisasi pemerintah termasuk desa, yang tidak hanya melakukan pelayanan internal tetapi juga eksternal. Pelayanan internal pemerintah desa dilakukan terhadap pemerintah desa lainnya, pemerintah kabupaten, provinsi sampai pada tingkat Pemerintah. Sedangkan pelayanan eksternal adalah pelayanan kepada masyarakat desa yang bersangkutan. Di tingkat desa, penyelenggaraan pemerintahan desa tak terlepas dari pelaksanaan urusan yang didelegasikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di tingkat Desa pelayanan publik didasarkan pada penyerahan urusan yang diberikan Kabupaten kepada Desa seperti yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005, hal ini dijelaskan pada pasal 8 menyebutkan bahwa : “Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota
39 30
yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat”. Untuk menunjang pelaksanaan pasal 7 dan 8 pada PP No. 72 tahun 2005 tersebut telah ada Permendagri No 30 tahun 2006 yang mengatur tentang Tata Cara Penyerahan Urusan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Kepada
Desa
sebagai
bentuk
operasionalisasi jenis-jenis kewenangan pelayanan yang dapat diberikan pemerintah desa dari pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara itu di bidang pelayanan sendiri telah ada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang
pedoman
umum
penyelenggaraan Pelayanan Publik, dimana Pelayanan publik didefinisikan sebagai: “segala kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai suatu upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan". Penekanan pada definisi ini lebih kepada kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Selama ini persoalan pemberian pelayanan yang berkualitas tersandung oleh beberapa hal, diantaranya : kinerja yang buruk dari aparatur, diskriminasi dalam pelayanan publik yang diberikan, terbangunnnya budaya clientalisme sehingga ketimpangan pelayanan. Dengan semua citra buruk yang ada itu maka penting kiranya bagi aparatur desa untuk dapat meningkatkan kapasitasnya di bidang manajemen pelayanan desa. Pentingnya peningkatan kapasitas di bidang pelayanan ini sebagai penunjang upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah desa, baik pelayanan yang bersifat internal maupun eksternal kepada masyarakatnya, baik fisik maupun adminsitratif. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa perlu pengadaan dan peningkatan sarana dan prasarana pemerintah desa.
40 31
Untuk menciptakan dan menjamin kualitas pelayanan maka perlu disusun Standard operating Procedures (SOP) sehingga akan terdapat kejelasan waktu dan biaya yang diperlukan (mudah, murah, cepat). Standard pelayanan ini merupakan sebuah kontrak sosial antara aparatur pemerintah (desa) dengan masyarakatnya. Karena pelayanan yang baik merupakan gambaran pemerintahan yang baik dan tanggap terhadap keinginan semua lapisan masyarakatnya.
C.
CAPACITY BUILDING APARATUR DESA Terminologi capacity building lahir dari konsep yang dikembangkan oleh kelompok negara-negara pemberi bantuan (negara donor) yang tujuan utamanya adalah untuk membantu pembangunan negara-negara yang sedang berkembang (negara penerima donor). Secara historis hampir semua negara Asia dan Afrika sejak selesainya Perang Dunia II memulai kegiatan pembangunan di masingmasing negara, salah satu cara untuk mendanai pembangunan d negaranya adalah dengan cara meminjam dana kepada negara-negara donor. Hal ini tentunya termasuk Indonesia semenjak pemerintahan Orde Baru dan juga negara-negara lainnya yang baru merdeka dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang paling dasar, di antaranya adalah pembangunan sarana dan prasarana. Untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang tersebut, negara-negara pemberi donor ini bergabung dalam “kelompok negara pemberi donor” yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah negara berkembang untuk menjalankan program-program pembangunannya. Capacity building ini dikembangkan dari konsep “institution building” yang sering digunakan pada dekade 1950-an, dan berakhir pada 1960-an, dan fokusnya bergeser pada “institution strengthening” pada dekade 1970-an. Sejalan dengan perkembangan keadaan, fokus perhatian kelompok negara-negara pemberi bantuan pada dekade 1980-an pemberian bantuan lebih diarahkan pada
41 32
“development management” dan “institutional development”. Perkembangan selanjutnya,
pada
dekade
1990-an,
dengan
memperhatikan
berbagai
keberhasilan dan kegagalan, perhatian terhadap “capacity building” lebih mengemuka. Hal ini dikarenakan kelompok negara-negara donor di satu pihak dan negara-negara yang diberi bantuan tersebut sama-sama menyadari bahwa investasi di sektor publik telah gagal melakukan perbaikan secara signifikan dalam mengembangkan kemampuan sektor publik dalam memprediksi, mengenali, mencegah dan mengelola masalah-masalah pembangunan (Trostle, Sommerfeld and Simon, 1997). Dalam perkembangan selanjutnya pemikiran “capacity building” pada saat inipun dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan partisipasi, pemberdayaan, masyarakat madani dan pergerakan sosial (Eade, 1997). Dalam praktek pelaksanaan “capacity building” di negara-negara Asia dan Afrika, kelompok negara-negara pemberi bantuan (donor), banyak menggandeng lembaga swadaya masyarakat (non governmental organizations) sebagai mitra dalam membantu pemerintah untuk menjalankan program-program “capacity building” di kalangan lembaga swadaya masyarakat. “Capacity building” ditempatkan pada spektrum “membantu orang untuk menolong dirinya sendiri” mulai dari level individu, kelompok masyarakat, dari tingkat lokal sampai pada tingkat nasional, dengan sasaran utamanya adalah terbentuknya “masyarakat madani” untuk mendorong demokratisasi dan membangun institusi pemerintah yang kuat, efisien dan akuntabel. Sekalipun terminologi “capacity building” telah muncul pada decade 1980an, namun sampai pada saat ini belum terdapat kesepakatan dari berbagai kalangan mengenai definisi “capacity building” yang sifatnya sudah baku dan dapat dijadikan sebagai acuan dari semua pihak yang punya minat terhadap pengembangan konsep “capacity building”. Meskipun dalam prakteknya terdapat beberapa rumusan dari pengertian “capacity building”, namun pengertianpengertian tersebut kadang-kadang “vague” dan tidak konsisten, dan tidak serta-
42 33
merta “incompatible” dalam prakteknya (Eade, 1997), beberapa pengertian tersebut ada yang lebih memfokuskan perhatiannya pada pengembangan kapasitas sumberdaya manusia, namun ada juga yang lebih menyoroti pengembangan kelembagaan yang kuat, dan juga ada yang lebih menyoroti penguatan manajemen. Definisi “capacity building” yang sering dipakai adalah definisi yang dikemukakan oleh Hilderbrand dan Grindle (1997), yang mengemukakan bahwa kata “capacity” atau kapasitas berarti “ability to perform appropriate tasks effectively, efficiently and sustainably”. Capacity building sendiri mengacu pada “improvement in the ability of public sector organizations”. Mengingat bahwa ruang lingkup perbaikan kemampuan atau kapasitas organisasi sektor publik itu sangat luas, maka dengan sendirinya cakupan “capacity building” juga luas. Selain itu Cohen (1995) mendefinisikan Kapasitas Sumberdaya Manusia sebagai kemampuan (ability) institusi-institusi sektor publik untuk melaksanakan fungsi yang ditetapkan, mengoperasionalkannya melalui peran institusi yang diisi oleh individu-individu yang melaksanakan tugasnya. Oxfam, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Inggris, mendefinisikan “capacity building” berangkat dari kepecayaan yang fundamental (fundamental beliefs) yakni “setiap orang memiliki hak terhadap bagian yang sama dari sumberdaya dunia; ………. Pengingkaran dari hak tersebut merupakan penyebab kemiskinan dan penderitaan (that all people have the right to an equitable share in the world’s resources, ….. and that the denial of such rights is at the heart of poverty and suffering). Lembaga swadaya masyarakat ini melihat bahwa dasar pembangunan itu terletak pada peningkatan kemampuan masyarakat untuk menentukan nilai-nilai dan prioritas yang mereka pilih. “Capacity building” merupakan sebuah pendekatan pembangunan daripada serangkaian
intervensi
yang
“discrete
and
prepackaged”.
Untuk
mengaktualisasikan potensi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat yang terarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing masyarakat yang bersangkutan.
43 34
Dalam rangka itu, format pemerintahan sebagai sistem penyelenggara negara baik pemerintah pusat maupun daerah perlu memperhatikan prinsip-prinsip antara lain : Demokrasi, Pemberdayaan, Pelayanan, Transparansi dan akuntabel, Partisipasi, Kemitraan, Konsistensi Kebijakan dan Kepastian hukum. UNDP (1998) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi (unit organisasi) atau sistem untuk menunjukkan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Capacity adalah kekuatan dari individu, organisasi, dan sistem untuk berproduksi. Berdasarkan definisi UNDP tersebut, peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa meliputi aparatur desa (individu), kelembagaan desa (organisasi), dan sistem pemerintahan desa yang mencakup manajemen/pengelolaan sebagainya
(sistem).
pemerintahan
Dengan
kata
desa, lain,
kepemimpinan
upaya
peningkatan
desa,
dan
kapasitas
Pemerintahan Desa tersebut mencakup ketiga ranah: individu, organisasi dan sistem. Definisi lainnya dikemukakan oleh OECD - persatuan negara-negara berkembang (1998) yang menyatakan bahwa capacity atau kapasitas adalah proses dimana individu, group, institusi, dan masyarakat meningkatkan kemampuan mereka untuk: (1) melaksanakan fungsi lini (core function), menyelesaikan masalah, menjabarkan dan mencapai tujuan, dan (2) memahami dan mampu beradatasi dengan kebutuhan pembangunan dalam skala yang luas dan berkelanjutan. Sementara itu, merujuk pendapat OECD bahwa upaya peningkatan kapasitas individu, kelompok, institusi, dan masyarakat pada dasarnya ditujukan untuk melaksanakan fungsi lini. Bagi Pemerintahan Desa, fungsi lini tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu: “Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: 1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; 44 35
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangperundangan diserahkan kepada desa”. Kemampuan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut akan menjadi tolok ukur bagi pencapaian kinerja Pemerintahan Desa. Artinya, dukungan individu, organisasi, dan sistem yang memadai sangat diperlukan dalam rangka pencapaian kinerja Pemerintahan Desa. Kemampun atau kapasitas yang dimiliki oleh aparatur Desa (individu) dan kepemimpinan Kepala Desa diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Oleh karena itu, rekrutmen aparat Desa baik aparatur Kepala Desa (Sekdes dan para Kepala Urusan) maupun anggota-anggota BPD. Penempatan PNS untuk menduduki jabatan Sekdes misalnya, merupakan langkah penting dalam mengatasi kemungkinan permasalahan yang timbul khususnya dalam hal pengelolaan administrasi keuangan. Namun demikian, keberhasilan pencapaian kinerja Pemerintahan Desa tidak hanya ditentukan oleh seorang Sekdes, oleh karenanya tuntutan kemampuan menyelenggarakan kepemerintahan desa juga menjadi tanggung jawab para kepala urusan dan anggota BPD. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya peningkatan kompetensi aparatur desa menjadi penting untuk dilakukan secara terus-menerus. Pertanyaannya adalah, sejauhmana keberhasilan Pemerintah dalam mengembangkan kapasitas pemerintahan desa, karena berdasarkan uraian sebelumnya ternyata masih terdapat sejumlah persoalan besar yang terjadi di desa-desa. Dalam hubungan ini, apakah perubahan pengaturan tentang Pemerintahan Daerah yang terjadi selama ini tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Untuk alasan inilah, nampaknya Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu segera mengambil langkah-langkah konkret dalam rangka meningkatkan kapasitas/kemampuan aparatur
desa, sehingga ke depan Desa tidak lagi
45 36
terpinggirkan seperti yang terjadi pada masa lalu. Desa masa depan adalah desa yang mampu mengelola potensi yang ada berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan desa yang demokratis dan memiliki keunggulan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dari uraian sebagaimana diutarakan di atas, patut difahami bahwa “capacity building” merupakan proses peningkatan kapasitas yang tiada henti, berproses terus secara bertahap dan berkesinambungan dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan secara optimal. Proses “capacity building” pemerintahan desa dapat dimaknai sebagai pendorong reformasi pemerintahan desa dalam kerangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh masyarakat desa, dan oleh karena itu proses awal dari peningkatan kapasitas pemerintahan desa haruslah dirancang dan dibangun secara komprehensif dan terpadu dalam rangka mewujudkan peningkatan kinerja pemerintahan desa secara terus menerus (continuous performance improvement). Peningkatan kapasitas aparatur
desa pada dasarnya diarahkan pada
tujuan-tujuan (goals) antara lain : 1. Mengembangkan keterampilan dan kompetensi individu sehingga masingmasing individu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diembannya; 2. Mengembangkan
budaya
kerja,
sistem
dan
prosedur
kedalam
otoritas/kewenangan unit-unit kerja pemerintahan desa dalam rangka mencapai tujuan masing-masing unit kerja; 3. Mengembangkan dan menguatkan jejaring kerja dengan pihak luar dan supra desa (development and strengthening of external links) dalam rangka menumbuh-kembangkan kemitraan secara intensif, ektensif dan solid. Peningkatan kapasitas aparatur
desa dapat diartikan sebagai upaya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparatur desa secara terencana dan berkesinambungan untuk menjalankan agenda atau rencana tertentu, oleh karena itu “capacity building” aparatur
desa tidak terlepas dari “individual
46 37
capability development, organizational capacity building, institutional capacity building”, pengertian peningkatan multi dimensi tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwasanya terdapat banyak hal yang harus dicermati secara mendalam agar peningkatan kapasitas pemerintahan desa dapat berhasil dengan baik, hal ini pula patut difahami karena perencanaan peningkatan kapasitas desa desa yang sifatnya “tambal-sulam” dan tidak berkesinambungan akan menuai ketidak berhasilan, dan oleh karena itu dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur desa perlu dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap ranah-ranah kunci (key areas) aparatur desa baik internal maupun eksternal. Disamping analisis tersebut diatas juga perlu ditelaah kesenjangan kapasitas antara kapasitas aparatur
desa saat ini dengan kapasitas yang diinginkan (current gaps),
kesenjangan yang ditemukenali adalah hal-hal yang “stratejik” yang secara potensial akan berdampak pada kinerja pemerintahan desa. Merujuk pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh William Ramphele pada tahun 2003, diidentifikasi beberapa keterbatasan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah termasuk pemerintahan desa di negara-negara berkembang antara lain : a. Tidak memadainya infrastruktur dan penataan kelembagaan pemerintahan daerah dan desa, meskipun sudah tersedia infrastruktur yang memadai di beberapa
daerah,
namun
pemerintahan
daerah
belum
mampu
mengoptimalkan system yang sudah dibangun untuk menghasilkan pelayanan yang prima, hal tersebut sangat tergantung dari kucuran anggaran yang ketersediaannya sangat terbatas. Kondisi demikian diperkeruh dengan adanya hunbungan antar struktur pemerintahan daerah (kabupaten, kecamatan dan desa) yang kurang solid, sehingga keberadaan mereka tidak dalam kondisi yang sinergis dan cenderung mementingkan kepentingan unit kerjanya sendiri; b. Lemahnya dalam mengelola kapasitas yang tersedia, sebagian besar pemerintahan daerah (pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa) belum
47 38
mampu membangun system dan prosedur kerja internal unit kerja secara memadai; c. Kurangnya motivasi dari pemerintahan daerah (kabupaten, kecamatan dan desa) untuk mengembangkan kapasitas daerahnya masing-masing. Dari uaraian di atas, secara esensi dapat diidentifikasi bahwa permasalahan pengembangan kapasitas pemerintahan desa dilihat dari aspek kelembagaan, sumber daya manusia, dan manajemen dalam arti luas (mencakup berbagai aspek dan berbagai sumber) adalah sebagai berikut : a. Belum memadainya penataan kelembagaan pemerintahan desa (organization development) berdasarkan kaedah struktur dan desain organisasi (structure and design), manakala dikaitkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan desa, baik kewenangan yang berdasarkan atas hak asal-usul desa dan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan menjadi kewenangan pemerintahan desa; b. Belum terbangunnya sistem manajemen kinerja (performance management system) pemerintahan desa, termasuk dalam hal ini adalah manajemen sumberdaya manusia yang berbasis pada kompetensi (competence-based human resource management) dan system pengukuran kinerja (performance measurement system); c.
Belum terwujudnya budaya organisasi (organization culture) yang sensitive terhadap tuntutan perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal;
d. Belum terbangunnya standar pelayanan umum (public services standard) terutama pelayanan dasar yang dirancang secara terpadu, menyangkut waktu dan biaya; e. Belum memadainya pengetahuan tentang manajemen perubahan (change management) dan bagaimana cara mengantisipasi perubahan tersebut dalam praktek kerja sehari-hari; f.
Belum memadainya skills dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diemban, terutama dikaitkan dengan tugas pelayanan, baik pelayanan
48 39
terhadap
masyarakat
maupun
pelayanan
dalam
lingkup
internal
pemerintahan; g. Belum memadainya infrastuktur dan fasilitas pendukung kerja, terutama yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology). Sebagaimana diutarakan di atas, “capacity building” pemerintahan desa mencakup peningkatan 3 (tiga) aspek utama yakni peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, dan peningkatan kapasitas manajemen pemerintahan desa (dalam arti luas, dilihat dari unsur manajemen dan sumber-sumber manajemen). Ketiga aspek tersebut merupakan suatu kesatuan sistem yang komprehensif dan holistic, sehingga upaya-upaya peningkatan kapasitasnya perlu dilakukan secara terintegrasi dan terpadu. Dengan
memperhatikan
berbagai
kelemahan-kelemahan
kapasitas
pemerintahan desa tersebut di atas, pada dasarnya terletak pada lemahnya strategi pengembangan kelembagaan pemerintahan desa. Untuk pengembangan kapasitas pemerintahan desa kiranya perlu diarahkan pada pemenuhan sinergisme tiga strategi utama, yakni “structural strategy, behavior strategy, and technical strategy” sehingga pemerintahan desa dapat menjalankan misinya dengan sebaik-baiknya. The Structural Strategy, lazimnya menggunakan pendekatan disain organisasi (organization design), dimana struktur organisasi dan disain semestinya diselaraskan dengan hal-hal yang menyangkut : (1) fungsi-fungsi organisasi; (2) Prinsip-prinsip pengorganisasian; (3) Kebijakan yang mengatur penataan organisasi pemerintahan desa, disamping ketiga hal tersebut juga perlu dikaitkan dengan sumberdaya manusia yang diselaraskan dengan optimasi sumber daya lainnya, sehingga tampak tertata dengan jelas hierarkhi organisasi, pengambilan keputusan sedapat mungkin didekatkan dengan pelaksana tindakan, perlu dicatat esensi dari penyelarasan struktur organisasi dengan disain organisasi adalah dalam rangka mewujudkan “new relationship”.
49 40
Sementara itu dalam implementasinya di ranah pemerintahan daerah umumnya pendekatan disain organisasi belum dikonsistensikan secara terpadu dengan Visi, Misi, dan Tujuan organisasi. Hal ini dapat dicermati dari berbagai kecenderungan yang terjadi, dimana pemerintahan daerah (dari level propinsi sampai level terendah) berlomba-lomba untuk memperbanyak jabatan struktural tanpa mempertimbangkan korelasi pencapaian kinerjanya.
Hierarkhi yang
semakin tinggi dan berjenjang secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap semakin banyaknya waktu yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan maupun dalam konteks hubungan antar hierarkhi. Behavior Strategy, lebih menekankan bagaimana mengembangkan budaya kerja organisasi. Pengembangan budaya organisasi tersebut dimulai dari proses pembelajaran sumber daya manusia yang pada gilirannya akan membawa perubahan organisasi kearah yang lebih baik, dalam konteks ini pembelajaran sumberdaya manusia inilah semestinya yang diperoleh adalah knowledge, skiil and attitudes yang akan mengarah pada perilaku-perilaku yang baru, dimana muaranya adalah peningkatan kualitas kinerja individu, kelompok dan organisasi. Dalam implementasinya, pendekatan pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintahan desa pada saat ini belum diarahkan secara memadai pada pemerolehan dan pengembangan knowledge, skiil, attitudes. Hal ini dapat dilihat dari pengembangan sumber daya manusia secara parsial, tidak konsisten dan tidak selaras dengan bagaimana pencapaian Visi, Misi dan Tujuan organisasi pemerintahan desa. The
Technical
Strategy,
menggunakan
pendekatan
peningkatan
berkelanjutan (continuous improvement approach), yang menekankan bahwa bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat, pemberian layanan, dukungan dan kemitraan. Disamping itu pendekatan ini juga memandang pentingnya peningkatan teknologi yang diselaraskan dengan prosesproses produksi dan pelayanan, sehingga pemerintahan desa mampu bekerja secara efisien. Dalam implementasi organisasi pemerintahan desa, strategi ini
50 41
belum menjadikan strategi ini menjadi prioritas utama. Kondisi demikian dapat dilihat dari belum maksimalnya fokus pada kebutuhan masyarakat, pemberian layanan, dukungan dan kemitraan, konsumsi teknologi sering menjadi terabaikan. Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas yang mengidentifikasi terdapat tiga aspek pemerintahan desa yang perlu dikapasitasi,maka untuk meningkatkan
kapasitas
pemerintahan
desa
secara
keseluruhan,maka
peningkatan kapasitas aparatur desa merupakan prioritas utama, karena kita berasumsi : “sistem yang dibangun dan dikembangkan dengan baik tidak akan berhasil mencapai tujuan dengan baik jika dikelola oleh sumberdaya aparatur yang kurang baik, dan sebaliknya sistem yang kurang baik akan berhasil dengan baik jika dikelola oleh sumberdaya aparatur yang baik” .
D. KERANGKA PIKIR Dengan memperhatikan uraian diatas, maka dapat dirumuskan kerangka pikir sebagaimana digambarkan dibawah ini : titik UU 32/2004 berat
Pemerintah Kab/Kota
dukungan UU 33/2004 sumberday a
Pembinaan lemah Span of control terlalu lebar
Otonomi Desa
Pemerintahan Desa Kepasitas melemah
Kebutuhan Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa: Perencanaan dan Pengangaran Desa Keuangan Desa Penyusunan Kebijakan Desa Kepemimpinan Kepala Desa Manajemen Pelayanan Desa
Masyarakat
51 42
BAB 3 METODOLOGI KAJIAN
A. JENIS KAJIAN Jenis kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah pengembangan (development).
Jenis Kajian
ini
adalah
untuk
mengadakan
percobaan
penyempurnaan terhadap suatu masalah, atau untuk menghasilkan produk tertentu (program, model, alat dll) (Suharsimi, 1998). Terkait dengan kajian ini adalah dengan disempurnakannya modul dan meningkatnya pemahaman dan kompetensi
aparatur
desa
yang
berkaitan
dengan
Perencanaan
dan
Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa, dan Manajemen Pelayanan Desa.
B. METODE KAJIAN Metode kajian ini menggambarkan metode kualitatif. Penelitian dengan metode kualitatif ini didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati .
C. DAERAH KAJIAN Kegiatan kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah provinsi, dimana dari masing-masing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten sebagai daerah kajian sebagaimana tabel dibawah ini :
52 43
Tabel. 3.1 Daerah Kajian No.
Provinsi
1.
Provinsi Bengkulu
2.
Provinsi Jambi
3.
Provinsi Kalteng
4.
Provinsi Nusa Tenggara Barat
5.
Provinsi Kalsel
6.
Provinsi NTT
7.
Provinsi Sulteng
Kabupaten 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2.
Kabupaten Bengkulu Utara Kabupaten Seluma Kabupaten Muaro Jambi Kabupaten Batanghari Kabupaten Pulang Pisau Kabupaten Katingan Kabupaten Lombok Barat Kabupaten Lombok Timur Kabupaten Banjar Kabupaten Tanah Laut Kab. Timor Tengah Selatan Kabupaten Kupang Kabupaten Donggala Kabupaten Parigi Moutong
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Salah satu tahapan dari penelitian sosial adalah tahap pengumpulan data. Pada tahapan ini biasanya lebih dari satu metode pengumpulan data yang dipilih untuk mengumpulkan data yang diperoleh. Untuk data primer teknik pengumpulan data yang dipilih pada kajian ini dilakukan dengan workshop, dalam workshop ini akan digali aspirasi dan pemikiran dari aparat desa sebagai temuan dan evaluasi atas modul yang telah dibuat pada kegiatan kajian tahun lalu. Dan dalam metode ini juga akan menggunakan instrument kajian sebagai alat untuk menggali aspirasi ini selain modul-modul. Sedangkan untuk pengumpulan data sekunder
diperoleh dari
dokumentasi kebijakan-kebijakan,buku-buku, hasil penelitian pihak lain dan klipping yang terkait dengan substansi dari berbagai media cetak.
53 44
E. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 1. Untuk data hasil diskusi kelompok, pengolahan data telah dilakukan dengan mengelompokkan upaya-upaya yang telah ditempuh, permasalahan yang dihadapi dan strategi yang disarankan/ direkomendasikan dalam peningkatan kapasitas aparatur desa. 2. Untuk data hasil wawancara mendalam (indepth interview), pengolahan dan analisis data telah dilakukan dengan mentranskrip hasil wawancara, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut. Dalam melakukan analisis data hasil wawancara perlu diperhatikan dengan seksama karena tidak semua data yang disampaikan narasumber merupakan fakta yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peneliti harus dapat membedakan antara “opini” dan “fakta”. 3. Untuk data-data yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, pengolah dan penganalisis data (peneliti) telah dilakukan dengan menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus menyertakan sumber yang dikutipnya secara lengkap.
54 45
BAB 4 GAMBARAN KAPASITAS APARATUR DESA
Penyelenggaraan pemerintahan desa telah lama diupayakan untuk diperkuat, setidaknya upaya penguatan ini telah menjadi agenda nasional seperti yang diamanatkan konstitusi. Hal ini juga menjadi salah satu tujuan dari muatan Undangundang Nomor 32 tahun 2004 yakni untuk memodernisasikan pemerintahan desa agar mampu menjalankan perannya sebagai stuktur perantara, sebagai pelayan masyarakat desa, dan sebagai agen perubahan masyarakat desa. Untuk menjadi pelayan masyarakat dan agen perubahan, tentu aparatur desa diharapkan memiliki kapasitas yang cukup untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya. Bab ini menggambarkan hasil temuan lapangan kapasitas aparatur desa terkait kapasitas pemerintahan desa yang meliputi aspek perencanaan dan penganggaran, penyusunan kebijakan, keuangan desa, kepemimpinan kepala desa dan manajemen pelayanan desa di 7 (tujuh) provinsi yang menjadi daerah kajian. A. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA Penyelenggaraan pemerintahan desa – dan semua level pemerintahan – selalu di awali dengan pelaksanaan fungsi perencanaan. Di dalam PP No 72 Tahun 2005 disebutkan terdapat 2 (dua) dokumen perencanaan pembangunan desa yakni rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa) dan rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). RPJM Desa merupakan perencanaan lima tahunan sedangkan RKP Desa merupakan perencanaan tahunan, dan hal ini analog dengan RJPMD dan RKPD di level pemerintah provinsi/ kabupaten/kota. Sungguh menarik membahas perencanaan desa dan bagaimana aparatur desa menyusun serta melaksanakan dokumen-dokumen perencanaan tersebut. Mengapa? Jawabannya sangat sederhana, bahwa penyusunan dokumen perencanaan desa pastilah menghadapi banyak permasalahan. Hal ini didasarkan 55 46
pada asumsi sebagai berikut: (1) Pemerintah desa mungkin telah menyusun dokumen-dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud PP 72/2005, tetapi menghasilkan dokumen yang ‘kurang representatif’, dalam hal proses maupun hasil yang diharapkan oleh masyarakat desa, dan (2) Pemerintah desa belum pernah menyusun dokumen perencanaan sesuai dengan PP 72/2005 tersebut. Sebelum membahas lebih detail temuan lapangan tentang perencanaan pembangunan desa, perlu diketahui bahwa sejak penerapan PP No 41 Tahun 1007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tugas-tugas kepemerintahan desa dilimpahkan
kepada
BPMPD
(Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
dan
Pemerintahan Desa) atau BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), sesuai nomenklatur di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan struktur organisasi perangkat daerah, yaitu bagian pemerintahan desa yang sebelumnya berada di bawah Biro Pemerintahan/Bagian Pemerintahan, kemudian dihapus dan diletakkan di bawah BPMPD/BPMD dan menjadi salah satu bagian/sub bagian di dalamnya. Dengan demikian, ‘urusan’ pemerintahan desa menjadi bagian dari tugas pokok dan fungsi BPMPD/BPMD. Peleburan (merger) ini bukan tanpa masalah, karena selalu saja ada masalah dalam setiap penggabungan suatu lembaga/institusi. Menurut Kabid. Pemerintahan
Kabupaten
Pulang
Pisau-Provinsi
Kalimantan
Tengah,
permasalahan terkait merger ‘urusan’ pemerintahan desa dari bagian pemerintahan desa ke BPMPD: “Bagi saya meleburnya bagian pemerintahan desa dari bagian pemerintahan daerah dan desa-sekretariat daerah ke BPMPD kurang tepat karena urusan pemerintahan desa menyangkut pemerintah desa dan masyarakat desa, dimana untuk pemerintah desa dilakukan oleh Bagian Pemerintahan Daerah dan Desa sedangkan masyarakat desa dilakukan oleh BPMPD”. Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa sebelum berlakunya PP No 41 Tahun 2007, terdapat dikotomi antara urusan pemerintahan desa dan masyarakat desa dan hal itu dilaksanakan oleh institusi yang berbeda. Urusan pemerintahan menjadi domain tugas sekretariat daerah yang dalam hal ini 56 47
ditangani oleh bagian pemerintahan daerah dan desa – atau nomenklatur lain, sedangkan urusan pemberdayaan masyarakat desa menjadi domain tugas BPMD. Dalam hal koordinasi dengan instansi Pusat, BPMD berkoordinasi dengan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri (PMD Depdagri), sedangkan bagian pemerintahan daerah dan desa di lingkungan sekretariat daerah biasanya berkoordinasi dengan Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (Otda Depdagri).
1. Gambaran tentang Pelaksanaan Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Desa a. Kemampuan Aparatur Desa dalam Penyusunan RPJM Desa Sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya pemerintahan desa telah melakukan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan desa, baik penyusunan RPJM Desa maupun RKP Desa. Dokumen RPJM Desa disusun oleh pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa (BPD) dan ditetapkan dengan peraturan desa (Perdes). Gambar. 4.1 Tahap Penyusunan RPJM Desa
LMD Analisis Potensi dan Masalah Desa
Konsep RPJM Desa
Kepala Desa
dibimbing pemdes
diserahkan
BPD
Musrenbang Desa untuk RPJM Desa
RPJM Desa Ditetapkan dengan Perdes
Sumber: APMD, Yogyakarta (2007), Permendagri 66/2007 (diolah).
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa tahap penyusunan RPJM Desa diawali dengan analisis potensi dan masalah desa yang dilakukan oleh segenap lembaga kemasyarakatan desa (LMD) yang ada di 57 48
desa yang bersangkutan. Analisis potensi dan masalah desa dimaksud dilakukan di bawah bimbingan pemerintah desa. Hal itu menunjukkan bahwa prinsip partisipasi masyarakat sebenarnya telah dilaksanakan sejak penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah desa, bukan hanya pada saat perencanaan tahunan (RKP Desa). Hasil analisis potensi dan masalah kemudian dijadikan bahan menyusun konsep RPJM Desa, yang kemudian disampaikan kepada kepala desa. Selanjutnya, rancangan/konsep ini dibahas bersama-sama dengan BPD untuk mendapat persetujuan. Hasil kesepakatan Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes). Dokumen RPJM Desa memuat: (1) Dasar kebijakan pembangunan tingkat Kecamatan dan Kabupaten/Kota; (2) Gambaran umum keadaan desa; (3) Gambaran arah kegiatan pembangunan desa selama 3 s/d 5 tahun; (4) Jenis program/kegiatan yang akan dilakukan selama kurun waktu 3 s/d 5 tahun dilengkapi perkiraan volume, jumlah, sasaran waktu pelaksanaan dan perkiraan besarnya dana yang akan digunakan; (5) Jenis kegiatan hasil identifikasi masyarakat melalui Musrenbang Desa, baik yang dibiayai ataupun tidak dibiayai masyarakat dalam jangka pendek. Sistematika Dokumen RPJM Desa adalah sebaga berikut:
Bab I: PENDAHULUAN. Bagian ini menjelaskan: (i) latar belakang perlunya dilaksanakan perencanaan jangka menengah desa, (ii) gambaran kelemahan dan kekurangan pada proses perencanaan masa lalu dalam bentuk review perencanaan, (iii) metode penyusunan rencana partisipatif, (iv) berbagai kaidah hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan Desa.
Bab II: PROFIL DESA. Profil ini antara lain meliputi: (i) karakteristik wilayah, (ii) karakteristik penduduk, (iii) gambaran potensi unggulan
58 49
desa,
(iv)
kondisi
infrastruktur
yang
mendukung
rencana
pengembangan, (v) gambaran modal sosial lokal yang bisa didayagunakan maupun informasi relevan lainnya yang dapat menggambarkan kondisi dan potensi desa, (vi) review terhadap kelebihan dan kelemahan program/proyek yang pernah dilaksanakan di desa.
Bab III: VISI DAN MISI. Bagian ini menjelaskan VISI sebagai rumusan harapan yang ingin dicapai oleh masyarakat desa pada lima tahun mendatang. Sedangkan MISI mengandung rumusan upaya yang akan digunakan sebagai pedoman untuk merealisir program guna mewujudkan visi yang diinginkan bersama.
Bab IV: ISU STRATEGIS PENANGGULANGAN MASALAH DAN PENGEMBANGAN POTENSI. Bagian ini mencoba menggambarkan permasalahan kunci yang dihadapi berikut prioritas penanggulangan masalah serta gambaran potensi unggulan beserta prioritas rencana pengembangan potensi unggulan desa.
Bab V: PROGRAM PEMBANGUNAN DESA. Bagian ini memaparkan gugus program yang dikelompokkan ke dalam bidang bidang, misalnya: bidang pembangunan ekonomi, pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana fisik dan sebagainya. Program yang disusun merupakan upaya untuk menjawab isu strategis dan tema pengembangan yang dipilih dan akan direalisasikan setiap tahun selama lima tahun ke depan. Biasanya bagian ini disusun dalam bentuk matrik program.
Gugus program adalah himpunan kegiatan-kegiatan yang saling terkait berdasarkan satu sasaran pokok pembangunan, yang apabila dilaksanakan secara terpadu, bertahap dan berkelanjutan akan menjamin pencapaian sasaran pokok pembangunan.
59 50
BAB VI: KAIDAH PENGELOLAAN DAN INDIKATOR KINERJA. Bagian ini memaparkan pola pangelolaan kegiatan atau gugus program beserta indikator pencapaian yang ditargetkan dalam setiap kegiatan atau gugus program.
Indikator keberhasilan merupakan rumusan kriteria yang digunakan sebagai patokan untuk menilai terhadap pencapaian program berhasil dilaksanakan atau tidak. lndikator keberhasilan bisa ditentukan berdasarkan pendekatan masukan (input), proses , keluaran (out-put), hasil atau kemanfaat yang bisa dinikmati (benefit), maupun dampak (out-comes).
BAB VII: PENUTUP. Berisi kesimpulan dan rekomendasi program. Dalam hal ini ditekankan bahwa RPJM diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pelaksanaan pembangunan desa dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Realisasi pencapaian tujuan dijabarkan lebih lanjut dalam RKP Desa.
RPJM Desa perlu dilampiri sejumlah dokumen yang dipandang relevan, terutama matrik program. Selanjutnya, berdasarkan FGD dengan para kepala desa dan
perangkatnya serta wawancara mendalam dengan para pejabat di lingkungan BPMPD/BPMD, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pemerintah desa telah melaksanakan penyusunan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan desa tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang Kepala Desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)Provinsi NTT: “….apa yang Bapak sampaikan tadi sebenarnya sudah kami lakukan, misalnya penyusunan RPJM Desa, namun karena adanya perubahan dari orde baru ke orde reformasi sehingga ada hal-hal tertentu yang dilupakan, tetapi jelas bahwa kami di desa telah menyusun RPJM Desa.”
60 51
Hal senada juga disampaikan oleh para pejabat di lingkungan badan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa (BPMPD) atau badan pemberdayaan masyarakat desa (BPMD), sebagaimana pernyataan Kepala BPMPD Kabupaten Pulang Pisau-Provinsi Kalimantan Tengah: “sejak terbitnya PP No 72 (tahun 2005) kami telah mencoba menyusun RPJM Desa dan RKP Desa. Tentu saja saat itu kami masih menghadapi banyak persoalan baik SDM maupun bahanbahan materi penyusunan perencanaan pemerintahan desa. Namun demikian, ternyata ada beberapa narasumber yang menyatakan belum menyusun perencanaan desa sesuai amanat PP No 72 Tahun 2005, sebagaimana hasil diskusi kelompok di Kabupaten DonggalaProvinsi Sulawesi Tengah: “RPJM Desa untuk masing-masing desa belum ada, sesuai kebijakan BPMD Kabupaten (Donggala) tahun depan akan diadakan pelatihan dan bimbingan teknis penyusunan dokumen perencanaan desa. Rencana kegiatan desa yang ada sekarang bukan merupakan penjabaran dari RPJM Desa, tetapi hasil usulan desa pada saat Musrenbang Desa”. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Banjar-Provinsi Kalimantan Selatan, hampir seluruh narasumber menyatakan bahwa desa mereka belum memiliki RPJM Desa. Menanggapi hal itu, narasumber menyatakan bahwa belum dimilikinya dokumen tersebut disebabkan oleh banyak hal antara lain rendahnya kemampuan aparatur desa, belum adanya panduan penyusunan, dan sebagainya. Box .4.1. Faktor Penyebab Tidak Menyusun RPJM Desa Tidak mempunyai acuan/petunjuk Tidak memiliki potensi untuk memiliki pendapatan di desa Aparatur desa masih belum memadai Belum mengerti cara menyusun RPJM Desa Tidak mempunyai acuan juklak dan juknis Baru dilakukan musyawarah, tapi belum dituangkan dalam RPJM Desa.
61 52
Dokumen RPJM Desa disusun oleh pemerintah desa bersamasama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga-lembaga desa yang ada – dalam hal ini LKMD/LPMD – beserta tokoh masyarakat. RPJM Desa ditetapkan dengan peraturan desa (perdes). Terkait dengan penyusunan
Box. 4.2. Aktor-Aktor Penyusun RPJM Desa Kepala Desa Kepala Urusan/Kaur Kepala Dusun/Kadus BPD LKMD/LPMD Tokoh Masyarakat
RPJM
Desa,
narasumber pernyataan
ternyata memberikan
yang
berbeda-
beda:
b. Kemampuan Aparatur Desa dalam Penyusunan RKP Desa RKP Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode satu tahun. RKP Desa merupakan penjabaran dari RPJM Desa dan mengacu pada RKPD,
memuat
rancangan
kerangka
ekonomi
desa,
prioritas
pembangunan desa, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Kaitan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Perencanaan Pembangunan Desa:
Melengkapi sistem perencanaan pembangunan nasional, maka berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan PP Nomor 72 2005 tentang Desa menjelaskan bahwa Pemerintah Desa diwajibkan menyusun Rencana Pembangunan Desa dan Kelurahan Jangka Menengah (RPJM Desa) dan Tahunan dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP Desa).
Penyusunan RKP Desa dilaksanakan secara partisipatif dalam wadah Musyawarah Musrenbang
Perencanaan berfungsi
sebagai
Pembangunan forum
untuk
(Musrenbang). menampung,
62 53
mendapatkan,
membahas
aspirasi/
usulan
kegiatan
serta
memutuskan usulan prioritas kegiatan di tingkat Desa.
RKP Desa merupakan dokumen Rencana Pembangunan yang digunakan sebagai dasar dalam kegiatan program pembangunan selama satu tahun anggaran. RKP Desa merupakan rencana pembangunan yang memuat gugus kegiatan sebagai hasil dari penjabaran RPJM Desa yang akan direalisasikan untuk satu tahun berikutnya.
RKP Desa disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan dalam pengembangan potensi yang dimiliki maupun prioritas pemecahan permasalahan yang dihadapi serta sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam dokumen RPJM Desa. Gambar. 4.2 Tahap Penyusunan RKP Desa Penyusunan Konsep RKPDes
Persiapan
PraMusrenbangdes
Musrenbangdes
Pelaksanaan Musrenbangdes PascaMusrenbangdes
RKPDes Final ditetapkan dengan Keputusan Kades
Sumber: APMD Yogyakarta (2007), Permendagri 66/2007 (diolah).
Langkah-langkah dalam Penyusunan RKP Desa meliputi:
Melakukan Persiapan.
Merumuskan konsep RKP Desa.
Melakukan
pembahasan
konsep
RKP
Desa
melalui
Forum
Musrenbang Desa. 63 54
Perumusan Dokumen Final dan Penetapan RKP Desa.
Bahan penyusunan RKP Desa meliputi :
RPJM Desa pada periode yang bersangkutan.
Daftar program desa yang telah disepakati sebagai program kunci sebagaimana telah ditetapkan dalam RPJM Desa yang akan direalisasikan pada tahun anggaran yang akan berjalan.
Hasil pemantauan-evaluasi dan pelaporan kegiatan pembangunan baik yang dilakukan oleh swadaya murni pada level RT-RW, dusun maupun desa, maupun yang didukung oleh Alokasi dana Desa, APBNAPBD maupun sumber pendanaan lainnya pada tahun anggaran sebelumnya.
Hasil
evaluasi
kecamatan
dan
atau
masyarakat
terhadap
pemanfaatan Alokasi Dana Desa
Daftar program yang sedang berjalan atau akan berjalan dari Pemerintah Kabupaten/Propinsi/Pusat maupun berbagai sumber pendanaan lainnya.
Daftar prioritas masalah dan potensi yang dihasilkan dari pengkajian di bawah Desa dan kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok tani, kelompok nelayan, dan sebagainya.
Informasi dari Pemda Kabupaten tentang indikasi jumlah ADD yang akan diberikan kepada desa untuk tahun anggaran berikutnya.
Prioritas kegiatan pembangunan daerah untuk tahun mendatang, yang
dirinci
berdasarkan
Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah
pelaksananya beserta rencana pendanaannya di kecamatan tempat Desa berada. Kegiatan penyusunan konsep RKP Desa meliputi :
Pertemuan Tim Penyusun untuk menyepakati agenda dan jadwal kegiatan penyusunan RKP Desa.
64 55
Penggalian aspirasi dari masyarakat berkaitan dengan pengembangan potensi dan masalah kunci yang dipandang perlu digunakan sebagai dasar penyusunan RKP Desa.
Melakukan review Program Strategis RPJM Desa pada tahun bersangkutan.
Memaduserasikan Program Strategis RPJM Desa pada tahun bersangkutan dengan aspirasi pengembangan potensi dan prioritas permasalahan kunci sebagai hasil dari penggalian aspirasi.
Melaksanakan penyusunan konsep RKP Desa. Sistematika RKP Desa adalah sebagai berikut:
Bab I: PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan maksud dan tujuan penyusunan, proses dan sistematika RKP Desa.
Bab II PRIORlTAS PEMBANGUNAN DESA. Dalam bab ini diuraikan prioritas
program
strategis
yang
diagendakan
pada
tahun
bersangkutan. Prioritas Program ini disusun berdasarkan review terhadap dokumen RPJM Desa maupun hasil penggalian aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan prioritas pengembangan potensi dan penanggulangan permasalahan.
Bab III: RENCANA KERJA DAN PENDANAAN. Dalam bab ini dirumuskan berbagai gugus program dan kegiatan yang dijabarkan dari prioritas pembangunan desa besarta pagu pendanaannya. Dalam Rencana Kerja dan Pendanaan ini telah dirinci dalam bentuk matrik.
Bab IV: KAIDAH PENGELOLAAN DAN INDIKATOR KEBERHASILAN. Dalam bab ini dijelaskan kaidah pengelolaan terutama menyangkut pengelola dan mekanisme pengelolaan pembangunan desa serta ukuran-ukuran yang dipedomani dalam rangka menilai realisasi target maupun tingkat keberhasilan program.
Bab IV: PENUTUP
65 56
Penjabaran perencanaan desa lima tahunan ke dalam perencanaan tahunan
dilaksanakan
dalam
forum
musyawarah
perencanaan
pembangunan desa (Musrenbang Desa). Perencanaan tahunan inilah yang disebut dengan rencana kerja pemerintah desa atau RKP Desa. Analog dengan penjelasan tentang RPJM Desa, desa-desa yang belum memiliki (belum menyusun) RPJM Desa dengan sendirinya belum memiliki dokumen RKP Desa. RKP Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam Musrenbang Desa terdiri dari: pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa), BPD, RT, RW dan tokoh masyarakat. Musrenbang Desa biasa juga dihadiri oleh pejabat kecamatan.
Tahapan Musrenbang Desa meliputi: (1) Tahapan Pra-
Musrenbang Desa, (2) Tahapan Pelaksanaan Musren-bangdes, dan (3) Tahapan Pasca-Musrenbang Desa. Tahapan Pra-Musrenbang Desa Tahapan ini terdiri atas pengorganisasian musrenbang, pengkajian desa secara partisipatif, dan penyusunan draft rancangan awal RKP Desa. 1. Pengorganisasian Musrenbang
Pembentukan Tim Penyelenggara Musrenbang (TPM);
Pembentukan Tim Pemandu Musrenbang Desa oleh TPM (2-3 orang);
Persiapan Teknis Pelaksanaan Musrenbang meliputi penyusunan agenda Musrenbang desa, pengumuman kegiatan Musrenbang desa dan penyebaran undangan kepada peserta dan narasumber (minimal 7 hari sebelum Hari H), mengkoordinir persiapan logistik (tempat, konsumsi, alat dan bahan).
66 57
2. Pengkajian Data secara Partisipatif
Kajian kondisi, permasalahan dan potensi desa (per dusun/RW dan/atau
per
sektor/isu
pembangunan)
bersama
warga
masyarakat;
Penyusunan data/informasi desa dari hasil kajian oleh tim pemandu.
3. Penyusunan Draft Awal RKP Desa
Kaji ulang (review) dokumen RPJM Desa dan hasil-hasil kajian desa oleh TPM dan tim pemandu;
Kajian dokumen/data/informasi kebijakan program dan anggaran oleh TPM dan tim pemandu;
Penyusunan draft rancangan awal RKP Desa dengan mengacu pada kajian tadi oleh TPM dan tim pemandu.
Tahapan Pelaksanaan Musrenbang Desa Terdiri
atas
pembukaan,
pemaparan
dan
diskusi
dengan
narasumber sebagai masukan untuk musyawarah, pemaparan draft rancangan awal RKP Desa oleh TPM (biasanya sekdes) dan tanggapan atas pengecekan (verifikasi) oleh peserta, kesepakatan kegiatan prioritas dan anggarannya per bidang/isu, musyawarah penentuan tim delegasi desa, penutupan yaitu penandatanganan berita acara Musrenbang dan penyampaian kata penutup oleh Ketua TPM/pemandu. Tahapan Pasca Musrenbang Desa Tahapan ini meliputi kegiatan antara lain: 1. Rapat kerja tim perumus hasil Musrenbang Desa:
Penerbitan SK Kades untuk Tim Delegasi Desa;
Penyusunan daftar prioritas masalah desa untuk disampaikan di Musrenbang Kecamatan;
Penyusunan RKP Desa sampai menjadi SK Kades (berdasar SEB dan Permendagri 66/2007) atau Peraturan Kades (PP 72/2005).
67 58
2. Pembekalan Tim Delegasi Desa oleh TPM (termasuk Tim Pemandu) agar:
Menguasai data/informasi dan penjelasan mengenai usulan yang akan dibawa tim delegasi ke Musrenbang Kecamatan, dan
Penguatan kemampuan lainnya (wawasan, teknik komunikasi, presentasi).
3. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) dengan mengacu kepada dokumen RKP Desa. APB Desa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui oleh pemerintah desa dan BPD, yang ditetapkan dengan Peraturan Desa (pasal 1 ayat 12 PP 72/2005). Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa (pasal; 73 ayat 2). Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa (Pasal 73 ayat 3). Pedoman APB Desa, perubahan
APB
Desa,
perhitungan
APB
Desa
dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota (Pasal 74). APB Desa adalah dokumen yang disusun untuk menterjemahkan kegiatan di dalam RKP Desa menjadi alokasi anggaran kegiatan/program. Sumber pendapatan desa yang menjadi komponen APB Desa terdiri atas: (a) Pendapatan Asli Desa terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan desa yang sah, (b) bagi hasil pajak kabupaten/kota paling sedikit 10 persen dan dari retribusi kabupaten/kota, sebagian diperuntukkan bagi desa, (c) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10 persen, yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa; dan (d) bantuan keuangan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
68 59
pemerintah kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, dan (e) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Menurut sebagian narasumber, pelaksanaan Musrenbang Desa sudah sesuai dengan tujuan dan sasarannya, tetapi sebagian lainnya menyatakan sebaliknya. Pernyataan Kepala Desa Gerimak Indah Kabupaten
Lombok
Barat-NTB,
menunjukkan
belum
optimalnya
pelaksanaan Musrenbang Desa tersebut: “pelaksanaan Musrenbang Desa sudah sesuai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, tetapi hanya angan-angan saja karena tidak didukung dengan dana yang tersedia” Pendapat senada juga disampaikan oleh Kepala Desa Labuan Induk Kabupaten Donggala-Provinsi Sulteng sebagai berikut: “sudah sesuai dengan tujuan Musrenbang, tetapi realisasinya di lapangan masih kurang”. Sebaliknya, Kepala Desa Martapura Timur Kabupaten BanjarProvinsi Kalsel menyatakan: “belum sesuai tujuan dan sasaran karena tidak punya panduan, sehingga musrenbang di desa dilakukan tetapi kalau ada yang diperlukan di desa seperti perbaikan jalan, jembatan dll kemudian diusulkan ke kecamatan” Box.4.3. Pelaksanaan Musrenbang Desa Sudah sesuai tujuan dan sasarannya serta ada anggaran Sudah sesuai tujuan dan sasaran, tetapi tidak disertai dengan anggarannya Belum sesuai, disebabkan: (1) minimnya sosialisasi, (2) belum ada panduan, (3) rendahnya kompetensi aparatur desa
Dari pernyataan tersebut dapat
dijelaskan
bahwa
forum musrenbang sebagai mekanisme desa
perencanaan
memang
telah
berlangsung, namun belum mampu
menghasilkan
output (berupa RKP Desa)
69 60
yang sesuai harapan masyarakat desa. Belum lagi jika dihubungkan dengan tuntutan perencanaan yang disusun berdasarkan data dan informasi akurat dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 65, PP 72/2005).
c. Kendala Yang Dihadapi Kendala-kendala yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan penganggaran desa antara lain: 1. Kendala dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa
Banyak usulan dari masing-masing warga lingkungan (RT) sehingga hampir tidak tertampung dengan anggaran yang tersedia;
Masyarakat merasa kurang percaya diri karena banyak dari musrenbang desa yang tidak terealisasi;
Kesadaran masyarakat yang kurang tentang permasalahan RPJM Desa dan RKP Desa
Pemerintah tidak komit dengan apa yang disampaikan sehingga membuat masyarakat jera dan trauma;
Dianggap tidak atau modul belum tersedia;
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk memikirkan desanya;
Sumber daya manusia sangat minim;
Sulitnya merubah pola pikir masyarakat dari kebiasaan (lama yang tidak baik);
Belum mengerti petunjuk untuk menyusun RPJM Desa dan RKP Desa;
Tidak ketemu kata sepakat antara aparatur desa dengan masyarakat;
Kurang memahami arti pentingnya RPJM Desa dan RKP Desa sehingga tidak menjadi perhatian dan belum dibuat
70 61
Sulit untuk mengatur pola pikir/beda pendapat.
2. Kendala dalam penganggaran
Kurangnya sosialisasi kepada pemerintah dan warga masyarakat desa yang terlibat langsung dalam kegiatan;
Ketidaktahuan menyusun anggaran desa secara sistematis karena tidak adanya acuan yang baku;
Minimnya pemahaman tetang anggaran dana bantuan desa (ADD-alokasi dana desa);
Kurangnya informasi proyek-proyek yang akan masuk ke desa;
Kecilnya pendapatan desa, sedang pengeluaran yang diperlukan untuk pembiayaan sangat banyak;
Masih kurangya pengetahuan aparatur desa dan anggota badan permusyawaratan desa dalam penyusunan anggaran desa;
Kekurangan dana untuk menetapkan anggaran desa;
Setiap pos meminta anggaran yang sama;
Pengurus
RT/RW
meminta
tunjangan
dari
pemerintah
provinsi/kabupaten dan kota;
Tidak stabilnya harga bahan/material sehingga sulit menyusun anggaran;
Banyaknya pos anggaran dari pemerintah yang belum realisasi, baik tahun lalu maupun sekarang;
Jumlah APB Desa sangat minim;
Kode pos (kode rekening) anggaran kadang-kadang tidak tersedia;
Minimnya pelatihan teknis baik dari pihak kecamatan maupun kabupaten;
Pencairan ADD selalu terlambat;
Tidak adanya fasilitas, seperti komputer;
71 62
3. Upaya yang telah ditempuh Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemerintah desa telah menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Musyawarah antara pemerintah desa, BPD dan RT serta tokoh masyarakat untuk menentukan prioritas pembangunan desa;
Memberikan pemahaman bahwa forum musyawarah sifatnya hanya pengusulan, jadi belum permanen;
Melakukan koordinasi antara aparatur desa dengan pihak terkait;
Melibatkan masyarakat supaya berpartisipasi dalam mendukung pelaksanaan perencanaan desa;
Musyawarah antardesa;
Memberikan
penyadaran
terhadap
masyarakat
tentang
kebersamaan;
Mencari sumber pendapatan dengan menggali sumber daya alam sebagai tambahan PADes;
Senantiasa
mencari
informasi
dan
bahan-bahan
untuk
menambah pengetahuan;
Melakukan bimtek aparatur pemdes;
Memberikan arahan dan penjelasan mengenai RPJM Desa dan RKP Desa;
Mengambil inisiatif tidak mencantumkan kode rekening dan mengalihkan kegunaan anggaran untuk belanja yang lain;
Kepala desa mengumpulkan masyarakat supaya ’berembuk’ supaya mendapat kata sepakat;
Desa bekerja untuk melayani masyarakat hanya dengan hasil biaya administrasi;
Pemberian bimbingan dan pelatihan oleh instansi pemerintah terkait;
72 63
Memotivasi agar aparatur desa mampu untuk menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran desa;
Melaksanakan
pelatihan
modul
peningkatan
kinerja
dan
manajemen pemerintah desa;
Mencari informasi dari dinas terkait;
Melakukan konsultasi dengan pihak di atasnya (camat);
Mengutamakan salah satu kegiatan yang dianggap penting sehingga dalam pelaksanaannya bisa diselesaikan sesuai rencana;
Menggalakkan gotong royong dan menggali potensi desa pada pihak ketiga;
Mengambil hasil rapat dan musyawarah suara terbanyak.
d. Kebutuhan pengembangan
1. Penyempurnaan peraturan-peraturan perundangan yang ada; 2. Sosialisasi peraturan perundangan kepada masyarakat desa 3. Kerjasama pemerintah desa, BPD, dan tokoh masyarakat; 4. Koordinasi dengan pimpinan terkait apabila terjadi kendala; 5. Kemampuan musyawarah antara kepala desa, ketua BPD dan tokohtokoh masyarakat;
6. Kemampuan menyusun anggaran desa; 7. Kemampuan mengenal potensi desa yang ada; 8. Kemampuan menyerap aspirasi masyarakat desa; 9. Kemampuan mensosialisasikan perencanaan dan penganggaran desa; 10. Kemampuan mengoperasikan komputer/laptop. B. MANAJEMEN KEUANGAN DAN KEKAYAAN DESA Kapasitas dalam melaksanakan manajemen keuangan desa dan kekayaan desa menjadi salah satu aspek yang penting dimiliki aparatur desa, utamanya agar dapat mengalokasikan sumber-sumber dana yang ada secara tepat untuk melaksanakan program-program bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya 73 64
kenyaataan bahwa saat ini terdapat persoalan minimnya sumber-sumber dana yang diperuntukkan bagi desa serta terbatasnya penerimaan dari kekayaan desa yang ada. Aparatur desa tidak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk mengalokasikan APBDes yang terbatas, namun juga bagaimana mengoptimalkan kekayaan desa yang dimiliki. Dalam laporan ini manajemen keuangan desa saling dikaitkan dengan pengelolaan kekayaan desa, karena keuangan desa mencakup semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Kekayaan desa merupakan salah satu sumber pendanaan kegiatan pembangunan yang asli berasal dari desa. Kemampuan aparatur desa mengelola kekayaan desa yang dimiliki akan bermanfaat dalam manajemen keuangan, khususnya dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan keuangan. Sejauh mana kapasitas aparatur desa dalam melaksanakan manajemen keuangan dan kekayaan desa akan diulas pada bagian ini. Di samping itu diuraikan pula sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kedua aspek tersebut.
Selanjutnya berdasarkan fakta empiris tentang kapasitas
pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa beserta problematika yang berhasil dirangkum, dirumuskan berbagai kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa dalam bidang tersebut. 1. Kapasitas Aparatur Desa dalam Manajemen Keuangan Desa Secara garis besar ruang lingkup manajemen keuangan Desa meliputi aspek
perencanaan
dan
penganggaran,
aspek
pelaksanaan
dan
penatausahaan, aspek pertanggungjawaban seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan dan biaya-biaya yang ada dalam kegiatan pemerintahan Desa. Secara spesifik, dalam bagian manajemen keuangan desa dipaparkan pula pelaksanaan/pengelolaan Alokasi Dana Desa.
74 65
a. Perencanaan dan Penganggaran Sebagaimana dipaparkan dalam pembahasan terdahulu, UndangUndang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembngunan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 72/2005 (Pasal 64) tentang Desa, dan Permendagri No. 66/2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa, memberi amanah kepada pemerintah desa untuk menyusun program pembangunannya sendiri melalui forum perencanaannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang Desa). Forum ini menghasilkan dua dokumen rencana desa yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) tahunan.
RKP Desa menjadi acuan
penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Pengaturan mengenai APBDes biasanya diatur dalam peraturan tentang keuangan desa yang ditetapkan oleh pemerintyah kabupaten. APBDes ini menggambarkan pelaksanaan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah desa. Secara garis besar APBDes memuat tiga hal, yakni: pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Struktur APBDes merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan desa, belanja aparatur , dan belanja publik. Adapun tahapan penyusunan APBDesa meliputi:
pertama, penyusunan rancangan APBDesa. Rancangan APBDesa ini dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa
kedua, penyusunan rancangan peraturan desa tentnag APBDes. Hasil musrenbangdes yang berupa rancnagan APBDes dibahas oleh Kepala desa dan BPD untuk menghasilkan rancangan peraturan desa tentang APBDes. Ranperdes ini sekurang-kurangnya memuat struktur APBDes dan lembar persetujuan bersama antara Kepala desa dan BPD
Evaluasi ranperdes tentang APBDes. Evaluasi ini dilakukan oleh Bupati. Rancangan peraturan desa yang telah dihasilkan dari tahap
75 66
sebelumnya, paling lama 3 hari disampaikan oleh kepala desa kepada Bupati untuk dievaluasi. Hasil evaluasi ini selanjutnya disampaiakn paling lama 20 hari kepada kepala desa. Apabila hasil evaluasi tersebut melampaui batas, Kepala desa menetapkan Rancangan peraturan Desa tentang APBDes menjadi Peraturan Desa.
Penetapan Keputusan Kepala Desa. APBDesa baru dapat dilaksanakan setelah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa tentang Pelaksanaan APBDes. Meski telah diamanatkan dalam peraturan, masih ada banyak desa
belum menerapkan anggaran APBD desa itu. Salah satunya karena Desa belum memiliki RPJMDesa.
b. Pelaksanaan dan penatausahaan Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, menurut Permendagri No 32 Tahun 2006 mengenai Pedoman Administrasi Desa, setidaknya terdapat tujuh macam administrasi keuangan Desa. Buku Anggaran Penerimaan, Buku Anggaran Pengeluaran Rutin, Buku Anggaran Pengeluaran Pembangunan, Buku Kas Umum, Buku Kas Pembantu Penerimaan, Buku Kas Pembantu Pengeluaran Rutin, dan Buku Kas Pembantu
Pengeluaran
Pembangunan.
Setidaknya
bentuk-bentuk
administrasi desa tersebut menjadi kompetensi yang wajib dimiliki oleh aparatur desa. Pelaksanaan dan penatausahaan keuangan Desa yang juga pemegang
kekuasaan
penyelenggaraan
pemerintahan
Desa
dan
pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan Desa adalah Kepala Desa. Selanjutnya dalam pelakasanaannya kepala Desa dibantu oleh Bendarawan Desa, Perangkat Desa beserta masyarakat.
76 67
c. Pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Alokasi Dana Desa antara lain ditujukan untuk, meningkatkan kemampuan keuangan desa agar mampu membiayai dan melaksanakan pelayanan
pemerintahan
desa
dan
pemberdayaan
masyarakat,
memberikan motivasi swadaya dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa, mengembangkan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Desa bersama masyarakat untuk membangun desa, meningkatkan dan mengefektifkan peranan lembaga kemayarakatan sebagai wadah untuk meningkatkan
partisipasi
masyarakat
desa
dalam
perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan desa. Dana ini bersumber dari bagi hasil pajak daerah dan dana perimbangan keuangan pusat yang diterima oleh Kabupaten. Pengalokasian dana ini memperhatikan faktor kemiskinan,
pendidikan,
kesehatan,
serta
keterjangkauan
dan
ketersediaan infrastruktur desa. Pemerintah Kabupaten menetapkan formulasi ADD yang dituangkan dalam Peraturan Bupati tentang Penetapan Alokasi Dana Desa. Kepala Desa menuangkan kegiatan yang didanai ADD dalam APBDesa. Sebagaimana ditetapkan dalam PP No 72 tahun 2005 tentang Desa, pengalokasian dana ADD menganut azas merata dan adil. Sehingga untuk asas merata besarnya sebagian dana ADD yang diterima besarnya sama untuk setiap desa, yakni Alokasi Dana Desa Minimum (ADDM). Sementara untuk memenuhi azas keadilan, sebagian dana ADD yang lain diterima secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan nilai bobot desa yang dihitung berdasarkan variabel kemiskinan, pendidikan dasar, kesehatan, keterjangkauan, jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi dan jumlah dusun. Namun dalam prakteknya, tidak semua variabel ini digunakan
dalam
penghitungan
ADDP.
Pada
umumnya
hanya
mempertimbangkan variabel jumlah penduduk desa, sementara variabel lainnya tidak banyak yang diikut sertakan dalam rumus penghitunga.
77 68
Keberadaan data-data pendukung untuk variabel-variabel yang lain seringkali tidak tersedia dengan baik. Bahkan petunjuk teknis pengalokasian ADD di Parigi Moutong tidak menyebutkan dengan jelas variabel-variabel yang menjadi dasar pengalokasian ADD tersebut, sehingga terkesan kurang transparan. Hal ini berdampak pada persoalan ketidakadilan dalam pengalokasian dana tersebut dan kemanfaatannya. Kegiatan yang dibiayai menggunakan ADD ini adalah kegiatan fisik sarana dan prasarana Desa yang diperlukan sesuai dengan hasil musyawarah desa. Pelaksanaannya dilaksakanan oleh masyarakat, baik dengan sistem upah/gaji maupun secara swadaya dan gotong royong. Pemerintah Kabupaten menetapkan juknis pelaksanaan ADD tersebut, yang antara lain juga memberi batasa kegiatan penggunaan ADD. Batasan tersebut antara lain tidak diperbolehkannya menggunakan dana tersebut untuk membangun yang bersifat prestise, antara lain seperti tugu Desa, pemugaran tempat keramat dan gapura desa. Dana tersebut juga tidak boleh digunakan untuk membangun pada tanah bukan milik Desa kecuali yang sudah dihibahkan, tidak boleh tumpang tindih penggunaannya dengan proyek/kegiatan lain, tidak boleh membangun kator desa dan balai desa karena telah menjadi tanggung jawab Kabupaten, serta dilarang untuk membeli tanah untuk lokasi pekuburan. Untuk pencairan dana yang langsung diterima Desa, dana diterima melalui APBDesa dengan cara mengajukan Rencana Pengeluaran Desa berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa yang telah disyahkan oleh Camat dan diajukan kepad Bupati Katingan melalui Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten (atau yang sejenisnya). Adapun untuk honor/gaji Kepala Desa dan perangkatnya diajukan Semester dengan beban LS. Dana diterima langsung oleh Desa melalui rekening desa, dan pada tiap tahun anggarannya wajib dilaporkan kepada Badan Pengelolaan
78 69
Keuangan dan Kekayaan Daerah dengan tembusan disampaikan kepada Badan Pengawas Daerah dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (atau dengan nomenklatur lain yang sejenisnya). Untuk permintaan dana bantuan langsung berupa biaya operasional, Kepala Desa mengajukan permintaan dana yang diketahui oleh Camat untuk diajukan kepada Bupati untuk diproses sesuai dengan mekanisme yang berlaku melalui Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah. Untuk pengajuan tersebut, perlu dilampirkan berbagai dokumen yakni: Daftar Usulan Rencana Kegiatan (DURK), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Nomor Rekening Desa di BPK setempat, Surat Keputusan Kepala Desa tentang PJAK dan PJOK, dan kuitansi tanda terima bermeterai. Untuk honorarium aparatur desa, dibayarkan 2 (dua)tahap yaitu Semester I dan Semester II. Adapun untuk kegiatan fisik, secara umum dilaksanakan dalam berbagai tahapan kegiatan sebagai tertera dalam tabel berikut. Tabel.4.1 Tahapan Pelaksanaan ADD untuk Kegiatan Fisik Tahap Pembentukan Tim
Perencanaan Kegiatan
Kegiatan Desa membentuk Tim Perencana dan Pelaksana Kegiatan (TPKK) Desa melalui musyawarah desa dan dipilih dari anggota masyarakat baik laki-laki maupun perampuan yang dipandang memiliki kemampuan, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, disyahkan oleh BPD, dan diketahui oleh Camat. TPKK terdiri dari Ketua, Sekretaris merangkap anggota, Bendahara, dan 4 orang anggota. TPKK Desa menjaring aspirasi kelompok-kelompok masyarakat dan mentabulasikannya, sebagai bahan untuk menyusun dua atau tiga rencana kegiatan prioritas yang akan diajukan dalam musyawarah desa. Hasil musyawarah desa dibuatkan berita acara dan dituangkan dalam keputusan Desa, kemudian diajukan ke kelompok kerja kecamatan (POKJA Kecamatan) Pokja Kecamatan meneliti dan memverifikasi rencana kegiatan Desa (Pokja Kecamatan diketuai oleh Camat dengan anggotanya terdiri dari unsur Dinas/Instansi
79 70
Tahap
Pelaksanaan Kegiatan
Pembinaan dan Pengawasan
Pelaporan
Kegiatan terkait yang ada di Kecamatan, Tokoh masyarakat, LSM dan Perwakilan Desa yang ditunjuk oleh Desa yang ditetapkan dnegan Keputusan Camat. Hasil verifikasi Pokja Kecamatan mengenai usulan kegiatan Desa yang layak untuk dilaksanakan diajukan kepada Bupati melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan atau pokja Kabupatenuntuk mendapat persetujuan dan permintaan dana, dnegan melampirkan Formulir Verifikasi usulan. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan atau Pokja Kabupaten meneliti dan memverifikasi ulang dan menceklis dokumen usulan yang diajukan untuk ditindaklanjuti dan membuat rencana anggaran biaya, dengan menggunakan jasa konsultan khusus/Instansi Teknis terkait dan sekaligus menjadi pengawas teknis di desa. Dalam tahap pelaksanaan kegiatan Kepala Desa bersama dengan TPPK serta masyarakat melaksanakan tugas sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan fungsinya masingmasing. Pembinaan pelaksanaan kegiatan secara fungsional dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan atau Pokja Kabupaten dibantu oleh Camat pada lokasi pelaksanaan kegiatan Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bertahap yaitu : Tahap pertama, setelah pekerjaan fisik dan keuangan 35 % dan tahap kedua, setelah pekerjaan fisik keuangan selesai 100%. Pelaksanaan dilaksanakan secara berjenjang, disampaikan kepada Bupati melalui Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (Laporan dibuat pada saat mengajukan SPP tahap berikutnya, yang sekaligus menjadi salah satu persyaratan yang dilampirkan).
Untuk permintaan dana untuk kegiatan fisik, Ketua TPPK Desa mengajukan Permohonan permintaan dana yang diketahui oleh Kepala Desa dengan surat penganar dari Camat, untuk diajukan kepada Bupati melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa untuk diteliti kelengkapan berkasnya dan kemudian diterbitkan Surat Rekomendasi. Pencairan dilakukan secara bertahap. Tahap pertama
80 71
sebesar 35% setelah melalui tahapan perencanaan dan evaluasi yang ditetapkan oleh Bupati, maka desa membuat usulan permintaan dana untuk kegiatan fisik. Dokumen yang dilampirkan pada pencairan tahap I ini antara lain Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan gambar kegiatan fisik, Susunan pengurus TPPK Desa, SK Bupati tentang Lokasi Desa penerima dana kegiatan fisik dari ADD, daftar usulan kegiatan serta berita acara hasil pertemuan/musyawarah pemabngunan desa, rekening TPPK Desa penerima dana kegiatan fisik ADD atas nama Bendahara TPPK, dan kuitansi pembayaran yang tanda terimanya ditandatangani oleh bendahara TPPK. Sementara untuk permintaan daan Tahap II, dilengkapi dengan kuitansi pembayaran yang tanda terimanya ditandatangani oleh Bendahara TPPK, Laporan Kemajuan Pekerjaan, Berita Acara Kemajuan Pekerjaan, SPJ dan yang lain-lain yang dianggap perlu.
Box. 4.4. Pelaksanaan Alokasi Dana Desa : Contoh Praktek di Kabupaten Katingan Untuk melaksanakan Alokasi Dana Desa untuk tahun anggaran 2009, Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan mengeluarkan Peraturan Bupati Katingan Nomor 22 Tahun 2009 menetapkan Pedoman Pelaksanaan dan Penetapan Alokasi Dana Desa untuk tahun anggaran tersebut. ADD tersebut diperuntukkan bagi 154 desa yang tersebar di 13 Kecamatan di Kabupaten tersebut. ADD terdiri dari Alokasi Dana Desa Minimum (ADDM) dan Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP). Total ADD sebesar 4.5% dari pendapatan Kabupaten yang berasal dari dana alokasi umum setelah dikurangi alokasi dasar untuk belanja PNS, dibagi secara proporsional kepada setiap Desa. Jumlah ADD untuk seluruh desa di Kabupaten Katingan pada tahun anggaran 2009 sebesar Rp.15.500.000.000,-. ADDM berjumlah Rp.6.976.200.000 dibagikan secara merata ke setiap desa. Sementara untuk ADDP, total berjumlah 55% dari keseluruhan ADD. ADDP dibagikan berdasarkan klasifikasi desa, di mana untuk Pemerintah Kabupaten Katingan mengacu pada Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 163 Tahun 2005. Desa diklasifikasikan dalam 3 kategori,yakni desa A yaitu desa yang jumlah penduduknya 1001 jiwa ke atas, desa B yaitu desa dengan jumlah penduduk 501-1000 jiwa, dan desa C yakni desa berpenduduk 0-500 jiwa. Desa klasifikasi
81 72
A menerima sejumlah Rp.120.680.000,- , desa klasifikasi B menerima menerima Rp.106.180.000, sementara desa klasifikasi C menerima Rp.90.700.000. Untuk operasional aparatur desa dan honorarium lainnya, setiap desa menerima Rp. 45.300.000,-, terdiri dari Biaya Operasional Desa sebesar Rp. 7.000.000,-, Biaya operasional PKK Desa sebesar Rp.5000.000,-, biaya operasional BPD sebesar Rp.3000.000,- dan biaya operasional Tim Perencana dan Pelaksana Kegiatan sebesar Rp1.500.000. Di samping itu untuk kesejahteraan Kepala Desa beserta aparaturnya setiap bulannya diberikan honorarium/gaji masing-masing sebesar Rp.550.000,- untuk Kepala Desa, Rp. 500.000,- untuk Sekretaris Desa, dan Rp.450.000,- untuk Kaur/Kepala Seksi (berjumlah 3 orang). ADDP diterima desa dalam jumlah bervariasi sebesar Rp.75.380.000,untuk desa A, Rp. 60.880.000,- untuk desa B, dan Rp. 45.400.000,- untuk desa C. Dana ini diperuntukkan bagi belanja publik yang meliputi program penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendidikan dasar, dan pengadaan pembangunan infrastruktur sarana perhubungan, sarana produksi dan sebagainya. Menilik sebaran jumlah penduduk di desa-desa di Kabupaten ini yang berkisar antara 79 jiwa sampai 3872 jiwa, karena banyak desa yang berpenduduk jarang sebagaian besar desa masuk dalam kategori C yang hanya menerima sebesar Rp.45.400.000,-. Dari 154 desa, hanya 32 desa yang masuk kategori A, 37 masuk kategori B, sementara 85 desa masuk kategori C. Hal ini tidak saja memperlihatkan minimnya dana yang diterima desa, namun juga ketidaksesuaian dana yang diterima dengan kebutuhan, karena bayak di antara desa yang berpenduduk sedikit tersebut memiliki kesulitan keterjangkauan sehingga memerlukan biaya yang lebih besar dalam pembangunan.
d. Pertanggungjawaban Keuangan Desa Dalam aspek pertanggungjawaban keuangan Desa, Kepala Desa adalah sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan keuangan Desa wajib menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Bupati/ Walikota melalui camat, dalam rangka pengelolaan keuangan Desa yang akuntabilitas
dan
transparansi.
Berbagai
bentuk
laporan
pertanggungjawaban dalam manajemen keuangan desa dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kepala desa wajib menyampaikan laporan pengelolaan keuangan desa dalam bentuk laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
82 73
kepada Bupati melalui Camat. Laporan ini memuat perhitungan APBDes selama satu tahun anggaran.
Pelaksanaan Alokasi Dana Desa wajib dilaporkan kepada Bupati melalui Camat (atau BPMPDes). Laporan pelaksanaan tersebut terdiri dari
Laporan
Kemajuan
Fisik,
Laporan
Bulanan,
Laporan
pertanggungjawaban. Pelaporan dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan proses pengelolaan dan penggunaan Alokasi Dana Desa yang mencakup perkembangan kegiatan dan penyerapan dana, masalah yang dihadapi dan pemecahannya, pencapaian hasil penggunaan Alokasi Dana Desa. Pelaporan Kegiatan meliputi : Laporan Tim Pelaksana ADD tingkat Desa kepada Tim Pengendali Tingkat Kabupaten (setiap 3 bulan), Laporan Tim Pengendali Tingkat Kecamatan kepada Tim Fasilitasi Tingkat Kabupaten setiap 3 bulan mengenai laporan seluruh Tim Pelaksana ADD tingkat desa, Laporan Tim Fasilitasi kepada Bupati. Dalam hal laporan keuangan, pelaporan keuangan dilaksanakan oleh kepala desa dan secara teknis dilakukan oleh Bendahara Desa. Gambar.4.3. Skema penyampaian Laporan ADD BUPATI
Pelaporan dilaksanakan setiap tahapan penerimaan ADD dan dilaporkan melalui
Tim Pembina Tingkat Kabupaten Rekap dari Laporan Tingkat Kecamatan
Camat,
jawaban
ADD
pelaporan
terintegrasi
pertanggung-jawaban
APBDesa. Secara skematis alur penyampaian
Tim pelaksana Tingkat Desa
Bupati
dalam bentuk SPJ. Pertanggung-
dengan Tim pendamping Tk . Kecamatan Rekap dari seluruh desa
kepada
dapat
laporan ADD
digambarkan
sebagai
berikut.
83 74
Kepala Desa menyampaikan laporan hasil peneglolaan kekayaan desa kepada Bupati melalui Camat setiap akhir tahun anggaran dan /atau sewaktu-waktu diperlukan. Laporan hasil pengelolaan kekayaan ini merupakan bagian integral dari laporan pertanggungjawabans
Laporan Keuangan BPD. BPD juga wajib menyampaikan laporan administrasi keuangan BPD yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada Kepala Desa selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa. Laporan ini dilaksanakan secara tertulis.
2. Kapasitas Aparatur Desa dalam Manajemen Kekayaan Desa Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa menyebutkan bahwa kekayaan desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Adapun pengelolaan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan,
penggunaan,
pemanfaatan,
pengamanan,
pemeliharaan,
penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, penilaian, pengawasan dan pengendalian. Menurut peraturan tersebut, Tata Cara pengelolaan kekayaan desa ditetapkan oleh Bupati.
Adapun tahapan pengelolaan
kekayaan desa meliputi: a. Pengelolaan Aset Desa Dalam
laporan
ini
aset
dipergunakan
secara
bergantian
(interchangeable) dengan istilah kekayaan. Manajemen asset desa ini sangat diperlukan oleh aparatur desa, khususnya untuk memelihara barang-barang kekayaan desa disamping juga untuk mengurangi beban pengeluaran. Hal ini karena, dalam praktek seringkali barang-barang milik desa khususnya yang merupakan asset bergerak, tidak terawat atau hilang, sehingga bisa manimbulkan pemborosan, jika sebenarnya barang-
84 75
barang tersebut masih layak digunakan. Sebagai contoh, kondisi yang dialami di salah satu desa di Bengkulu Utara, seperti yang diungkapkan oleh salah aparat desa tersebut. “ …Seringkali jika terjadi pergantian kepala desa, pengalaman kita kalau kepala desanya baru maka berganti pula balai desa, mejanya hilang. Makanya dengan adanya sekretaris desa yang permanen yang setiap hari berkantor ini dia akan mencatat kepala desanya siapa, asset-asetnya. Kepala desanya siapa nggak penting, yang penting asetnya tetap. Manajemen asset ini saya anggap sangat penting sekali untuk mengurangi beban Negara”. Perencanaan kebutuhan kekayaan desa merupakan salah satu aspek dalam pengelolaan kekayaan desa yang perlu mendapat perhatian. Perencanaan kebutuhan kekayaan desa ini disusun dalam rencana kerja dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Inventarisasi merupakan salah bagian dari pengelolaan kekayaan yang belum tertata dengan baik. Dalam peraturan, disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten menetapkan peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan desa, tentu termasuk di dalamnya mengatur tentang inventarisasi asset desa. Namun, masih ada daerah yang belum menetapkan petunjuk teknis/aturan mengenai hal ini. Temuan ini seperti yang diungkapkan salah satu apartur desa yang menyebutkan bahwa : “..Permasalahan dalam inventaris desa sangat terkait dengan masalah administrasi, karena aparatur desa tidak bisa lepas dari aturan-aturan yang berkaitan. Selama ini di berbagai desa belum terdapat manajemen inventaris desa yang sudah diprogram dari pemerintah kabupaten.” Di sisi lain para aparatur desa
seringkali dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang ketidaktahuan tentang hukum/aturan yang berlaku. Hal ini sering kali terjadi karena distribusi/sosialisasi aturanaturan tersebut belum berjalan dengan baik.
85 76
Terkait dengan administrasi kekayaan desa, terdapat bebagai dokumen administrasi yang mesti dilaksanakan oleh Pemerintah Desa. Buku Data Tanah Milik Desa/Tanah Kas Desa, buku data inventaris desa, Buku data tanah di desa. Kemampuan administrasi ini perlu dikuasai oleh aparat desa. Adapun biaya pengelolaan kekayaan desa dibebankan kepada APBDes.
Box. 4.5 Pengelolaan Kekayaan Desa : Kabupaten Parigi Mountong Sumber pendapatan dan kekayaan yang dikelola oleh desa merupakan hak otonomd esa dalam penggunaan dan pemanfatannya guna pembanguanan dan pemberdayaan masyarakat desa. Untuk kelancaran dalam pengelolaan sumber pendapatan dan kekayaan maka pemerintah Kabupaten Parigi Moutong menerbitkan Perda No 26 Tahun 2007 tentang Sumber pendapatan dan kekayaan desa. Dalam peraturan daerah ini disebutkan bahwa kekayaan desa adalah semua hak desa yang diakui sebagai salah satu sumber pendapatan desa yang dikelola oleh pemerintah desa. Kekayaan desa tersebut terdiri atas :tanah kas desa, pasar desa, bangunan desa, obyek rekreasi yang diurus desa, tmpattempat pemancingan di bendungan dan atau sungai, pelelangan ikan yang dikelola desa, jalan desa, pasar hewan, dan lain-lain. Untuk memelihara kekayaan desa yang berupa tanah dan sember kekayaan lain, pemerintah Kabupaten Parigi Mountong menetapkan bahwa sumber-sumber kekayaan ini tidak dapat dipinjamkan, digadaikan, dan atau dijual kepada pihak lain, kecuali mendapat persetujuan dari BPD yang diatur dalam Perdes.
Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa telah mengamanatkan pengelolaaan kekayaan desa dilaksanakan
berdasarkan
asas
fungsional,
kepastian
hukum,
keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Kekayaan desa dikelola oleh pemerintah desa dan dimanfaaatkan sepenuhnya untuk kepentingan
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan,
dan
pelayanan masyarakat. Pemanfaatannya kekayaan desa tersebut 86 77
dilakukan atas dasar mengoptimalkan dan daya guna dan hasil guna kekayaan desa serta untuk meningkatkan pendapatan desa. Jenis pemanfaatannya
dapat
berupa
sewa,
pinjam
pakai,
kerjasama
pemanfaatan, dan bangun serah guna.
b. Sumber Penerimaan Desa Sumber penerimaan desa diantaranya berasal dari pengoptimalan dan pendayagunaan kekayaan desa. Berbagai sumber kekayaan desa yang dikelola desa yang menjadi lokus penelitian antara lain meliputi tanah desa (misalnya tanah pecatu di NTB), dimana desa mendapatkan hasil sewa tanah kas desa atau pendapatan lain dari pemanfaatan tanah tersebut. Terdapat pula desa yang memperoleh pendapatan asli (berasal dari partisipasi masyarakat swadaya), pendapatan dari berbagai retribusi pungutan yang ada di desa serta pengurusan administrasi seperti surat pengatar KTP, Kartu Keluarga, karcis makam dan sebagainya. Dijumpai pula desa yang menggali kekayaannya melalui potensi yang dimiliki desa seperti hasil produksi pertanian pertanian (seperti padi, tembakau, jagung, cabe, dan sebagainya) dan ternak, industri kerajinan (seperti tenun), hasil pasar umum milik desa, ataupun hasil galian batu dan pasir. Desa Banyu Mulek di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat misalnya, memiliki tenpat pemotongan sapi dan pengolahan gerabah secara modern serta mendapat penghasilan sebagai penghasil mutiara terbaik se-Asia. Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa dapat dikatakan masih belum optimal. Misalnya potensi desa Banyu Mulek di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, meski desa tersebut memperoleh penghasilan karena merupakan penghasil mutiara terbaik se-Asia, namun sayangnya potensi alam tersebut masih belum terorganisir dengan baik.
87 78
Sumber penerimaan desa bisa juga berasal dari kegiatan pemberdayaan. Sebagai contoh adalah usaha simpan pinjam masyarakat, dimana masyarakat diminta menabung terlebih dahulu sehingga apabila menunggak akan dipotong dari tabungannya. Contoh lain adalah Koperasi Wanita yang dimiliki oleh Kelompok PKK. Di samping itu penerimaan desa juga bersumber dari penerimaan bantuan pemerintah baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, penerimaan bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota, Alokasi Dana Desa (ADD). Dari berbagai macam sumber pendapatan tersebut di atas, terdapat sumber pendapatan desa yang menjadi ’unggulan’. Pendapatan ini antara lain Alokasi Dana Desa, produksi pertanian pertanian, industri kerajinan, semua jenis pungutan desa, maupun hasil galian tambang. Ini memperlihatkan bahwa secara umum dari segi penerimaan desa masih tergantung pada kucuran dana dari Kabupaten, serta suber kekayaan yang berasal dari potensi desa yang beragam. Sedangkan yang berkaitan dengan retribusi, disebutkan bahwa hasil penerimaan retribusi tertentu daerah Kabupaten sebagian diperuntukkan kepada desa (Pasal 18(5)). Untuk menjamin hak desa, pasal 18(5) menyebutkan bahwa bagian desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten dengan memperhatikan aspek keterlibatan desa dalam penyediaan layanan tersebut. Menilik isi dari pasal tersebut, semestinya desa dapat pula memperoleh penghasilan dari bagian retribusi daerah. Namun agaknya berbagai persoalan masih dihadapi aparatur desa terkait retribusi ini sehingga pendapatan dari bagian ini belum banyak membantu keuangan desa.
88 79
c. Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Untuk
meningkatkan
pendapatan
masyarakat
dan
Desa,
Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)yakni usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Untuk kepengurusan BUMDes, dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat. Sementara dari segi pemodalan, modal tidak hanya bersumber dari Pemerintah Desa tetapi juga dapat berasal dari tabungan masyarakat, bantuan
Pemerintah,
Pemerintah
Propinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota, pinjaman, dan/atau penyertaan modal pihak lain atau kerjasama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan. Perolehan hak yang sah BUMD ini menjadi bagian dari kekayaan Desa. Meski dapat menambah pendapatan desa dan masyarakat, kondisi yang dijumpai saat ini memperlihatkan bahwa pengelolaan Badan Usaha Milik Desa cenderung belum dilakukan dengan baik. Bahkan dijumpai banyak desa yang belum mempunyai BUMDesa, sementara ada pula yang telah membentuk BUMDes namun belum terkelola dengan baik. Misalnya BUMDesa Batu Sela yang terdapat di desa Sela. BUMDesa ini melayani kelompok simpan pinjam perempuan yang bergerak sebagai pedagang ‘bakulan’ di Desa Sela, namun meski sudah berdiri BUMDes ini belum terkelola dengan baik. BUMDes
yang
banyak
dijumpai
didirikan
berdasarkan
kondisi/keunggulan setempat, misalnya BUMDes yang mengelola ternak sapi di salah satu desa di NTT. Contoh lain adalah BUMDesa yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat setempat, misalnya seperti BUMDesa yang bergerak dalam bidang penyediaan air minum.
d. Pengelolaan asset desa pemekaran dan penggabungan Dalam pemekaran desa, pembagian kekayaan desa sebagi akibat dari pemekaran desa dilaksanakan berdasarkan musyawarah antar desa.
89 80
Pembagian kekayaan ini difasilitasi oleh camat. Namun dalam hal hasil musyawarah yang difasilitasi oleh Camat ini belum
menghasilkan
kesepakatan, pembagian kekayaan desa ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Sebagaimana diamanatkan dalam peraturan tentang pedoman pengelolaan kekayaan desa, pembagian kekayaan desa ini perlu mempertimbangkan
aspek
pemerataan
dan
keadilan,
manfaat,
transparansi, serta social budaya setempat. Dalam hal penggabungan desa, sebagai akibat dari penggabungan Desa, maka kekayaan desa dari desa yang digabung menjadi milik desa yang baru dan diserahkan pada desa yang baru. Penyerahan kekayaan desa tersebut dituangkan dalam Berita Acara serah terima yang ditandatangani oleh masing-masing kepala desa dan BPD yang bersangkutan dan diketahui oleh Bupati.
3. Permasalahan kapasitas aparatur desa dalam manajemen keuangan dan kekayaan desa a. Persoalan kapasitas aparatur desa terkait dengan masalah perencanaan dan pelaporan Kendala yang dihadapi aparatur desa yang terkait dengan kapasitas dalam perencanaan dan pelaporan dapat diuraikan sebagai berikut :
Salah satu permasalahan terkait kapasitas aparatur desa dalam manajemen keuangan desa ini, sebagaimana disampaikan oleh para kepala desa adalah belum adanya keselarasan antara sistem perencanaan dengan sistem penganggaran. Aparatur desa kerap belum punya gambaran dalam merencanakan keuangan, karena ketika memprogramkan sesuatu belum terdapat kejelasan anggaran yang
akan
dipergunakan
untuk
melaksanakan
program.
Penganggaran berbasis kinerja yang menekankan pola ‘money follow function’ kurang dapat dipahami oleh para aparatur desa, tidak saja
90 81
karena keterbatasan skill, namun berdasarkan praktek yang dialami para aparatur desa banyak program yang berakhir sebagai rencanarencana saja atau tidak ada yang dapat diaktualisasikan pada saat program akan dijalankan karena dukungan dana yang tidak tersedia. Akibatnya, aparat desa cenderung lebih terbiasa/menyukai model ‘function follow money’ .
Kesulitan menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya. Kesulitan ini antara lain karena aparatur desa kurang mampu menerapkan prinsip disiplin anggaran rasional di Desa, dimana penganggaran desa sering kurang memperhitungkan argumen rasional.
Semestinya
pengeluaran
belanja
Desa
disamping
mengedepankan anggaran rasional juga menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Seringkali dinas/instansi yang seharusnya hanya merencanakan, malah sekaligus bertindak sebagai pelaksana. Jadi aparat desa acap kali tidak tahu mengenai program tersebut, sementara semua yang dikerjakan di desa mesti dilaporkan. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaporan.
Kelemahan aparatur dalam mengelola bukti-bukti pengeluaran, seperti kuitansi, dan sebagainya. Ini dapat menjadi masalah karena mestinya dokumen tersebut disertakan ketika akan melakukan pencairan pada tahap berikutnya.
b. Persoalan kapasitas aparatur desa dalam mengelola Alokasi Dana Desa Persoalan mendasar yang dihadapi aparatur desa dalam mengelola alokasi dana desa adalah belum sesuainya nominal ADD dengan kebutuhan desa maupun dengan kebutuhan operasional pegawai untuk mengelola ADD tersebut. Hal ini terungkap antara lain menurut
91 82
penuturan salah seorang Kepala Desa di Kabupaten Kupang Provinsi NTT. Disebutkan bahwa : ”....fakta di lapangan bahwa memang...pemberian dana ADD belum sesuai dengan kebutuhan pengeluaran riil kami, sebagai contoh transportasi dari desa kami ke kabupaten (Soe) Rp. 100.000,- per sekali jalan, sementara dalam pagu anggaran hal itu tidak ada. Hal ini membuat kami kewalahan ketika mempertanggungjawabkan ADD yang harus kami kelola di desa. Disamping itu, ADD ini kan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bagaimana mungkin hal ini bisa? Tadi sempat disinggung juga, ada perbedaan antara desa di pulau Jawa dan di luar Jawa seperti NTT. Kami melihat, tentu hal ini harus dibedakan pada proses perlakuannya. Usulan kami terhadap pengelolaan dana ADD. Yang pertama juknis itu sudah ada dari kabupaten. Tapi yang bermasalah bagi kami di desa ini Bapak, yaitu tentang ada dua pos. Pos pertama itu dana itu untuk memberdayakan masyarakat, itu yang benar. Tetapi kelemahan kami, contoh kantor kesra, dana ini tidak boleh lari ke fisik, lantas darimana kami mendapat dana untuk membangun/merehab kantor desa. ADD ini tidak bisa dipakai untuk dana fisik. Itu masalah”. Di satu sisi alokasi dana desa ini tergantung dari DAU yang diterima oleh kabupaten dan kemampuan penerimaan Kabupaten. Hal ini bisa menjadi kendala yang menimbulkan keterlambatan pada pencairan ADD. Hal ini contohnya seperti yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur. Akibat keterlambatan dalam memenuhi target penerimaan pajak, berbagai desa ditunda pencairan ADDnya. Persoalan lain terkait dengan penyerapan dana ADD adalah kemampuan aparatur desa dalam menyerap dana ADD itu sendiri. Salah satunya disampaikan oleh aparatur desa di Bengkulu Utara. “…Yang kami lihat adalah adanya kekurang mampuan kita untuk menyerap ADD itu, sehingga ADD itu terlambat. Dan perlu adalah sejauh mana peran sekdes itu terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa itu” Persoalan serupa juga terjadi di Kabupaten Lombok Barat. Beberapa hal yang mengakibatkan hal ini adalah belum pahamnya para 92 83
aparatur dalam menyusun daftar rancangan kegiatan. Ditambah lagi dengan kemampuan membuat pelaporan hasil penggunaan dana ADD, baik untuk dana operasional pemerintah desa maupun pemberdayaan masyarakat desa atau pun proyek fisik desa. Sementara laporan kegiatan berjalan ini juga menjadi salah satu dokumen yang mesti dilampirkan dalam pengajuan ADD. Persoalan yang tidak kalah pentingnya dalam ADD ini adalah kemampuan memanfaatkan dana ADD ini untuk pembangunan desa. Salah seorang aparatur desa menyebutkan bahwa : ”...masyarakat itu menganggap dana pemerintah itu sebagai ’dana hibah’ bukan untuk digulirkan”. Akibat dari kondisi semacam ini, antara lain adalah pemanfaatan dana ADD yang belum dapat berdampak signifikan pada sebagian besar desa.
c. Persoalan kapasitas aparatur desa dalam mengelola kekayaan desa Persoalan mendasar terkait kapasitas aparatur desa dalam mengelola kekayaan desa adalah kelemahan aparatur dalam memahami potensi desa. Karena ketidakpahaman tersebut, aparat desa kesulitan untuk memprediksikan potensi kekayaan desa mana yang dapat dioptimalkan. Hal ini sebagaimana diakui oleh salah seorang kepala desa yang menyatakan bahwa ” Aparat desa kurang mengetahui potensi desa dengan baik” Disebutkan pula bahwa : “…..Karena sumber-sumber pendapatan ini perlu digali dengan baik dan dioptimalisasikan. Kalau kita sudah bisa membuat prediksi yang optimal, masalah hasil ini bisa kita tentukan”. Hal lain yang turut pula mempengaruhi kelemahan aparatur dalam memahami potensi kekayaan desa dan mengoptimalkannya sebagai
93 84
sumber pendapatan adalah masih kaburnya apa yang menjadi hak-hak desa. ”Kepala Desa wajib mengintensifkan pemungutan pendapatan Desa yang menjadi kewenangan dan tanggungjawabnya , masalahnya sering tidak jelas yg bisa dipungut desa” Persoalan di atas mengindikasikan adanya proses pendelegasian kewenangan desa yang belum optimal. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan tentang sumber-sumber daya yang ada/dapat dipergunakan oleh desa, sehingga menimbulkan kesulitan pula dalam mengelolanya. Pengelolaan asset desa pemekaran merupakan bagian dari pengelolaan kekayaan desa yang seringkali masih menyisakan banyak masalah. Persoalan tersebut antara lain tergambar dari beberapa pernyataan para kepala desa, antara lain: “...Kemudian juga pengelolaan asset pada desa pemekaran atau pembangunan. Ini juga karena desa-desa di sumatera ini luas tetapi sedikit penduduknya. Memang ini sangat penting tetapi belum menjadi skala prioritas. Karena umumnya daerah-daerah pemekaran , penggabungan ini di daerah yang penduduknya sangat banyak……...” “...Selanjutnya masalah batas-batas di lapangan. Saya telah himbau kepada pak Camat , kepada kepala Desa kalau batasbatas desa kita itu ada masalah agar segera mungkin kita selesaikan.” Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa peran pemerintah Kabupaten maupun Kecamatan sangat diperlukan dalam menyelesaikan persoalan aset desa pemekaran, sehingga ketika hal ini belum menjadi prioritas, akan menimbulkan permasalahan di tingkat desa. Bukan hanya terkait dengan pembagian asset yang bisa memicu konflik antar desa, namun persoalan asset desa pemekaran ini juga terkait dengan kemampuan pengelolaan kekayaan dan pendapatan desa, baik desa induk maupun desa pemekaran. Banyak dijumpai desa-desa
94 85
baru tidak memiliki sumber kekayaan asli desa karena tanah bengkok atau tanah kas desa masih melekat pada desa induk.
d. Persoalan dalam Pengelolaan BUMDesa Terkait dengan pengelolaan BUMDes terdapat berbagai persoalan antara
lain,
Rendahnya kemampuan manajerial
BUMDea serta
kemampuan administrasi BUMDes. Kelemahan lain dalam pengelolaan BUMDes ini tampak pada kelemahan perencanaan BUMDes, misalnya seperti yang terjadi di salah satu desa di Kabupaten Lombok Barat yang mempunyai BUMDes dalam bentuk pasar desa. Namun karena lemahnya perencanaan, misalnya dalam penentuan lokasi, dan sebagainya, maka dalam perjalanannya pasar desa ini kurang dapat berfungsi dengan baik. Yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan mengetahui potensi yang dapat diusahakan dalam BUMDes dan lemahnya prakarsa aparatur desa dalam mengoptimalkan BUMDes sebagai salah satu sumber pendapatan desa.
e. Persoalan kapasitas aparatur desa terkait dalam penatausahaan keuangan Berikut ini adalah beberapa persoalan dalam pelaksanaan administrasi keuanagn desa :
Kurangnya pemahaman mengenai perpajakan, perlu sosialisasi pajak.
Belum tertibnya administrasi keuangan desa karena aparat desa belum memahami administrasi keuangan dengan baik
Pemahaman terhadap materi peraturan pemerintah atau undangundang kurang
Kurangnya pengetahuan aparatur dalam bidang akuntansi , pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing aparat karena keterbatasan kemampuan serta penyusunan administrasi yang baik
95 86
f.
Persoalan
kapasitas
aparatur
desa
dalam
pertanggungjawaban
keuangan desa Persoalan
yang
mendasar
dalam
hal
pertanggungjawaban
keuanagn desa adalah lemahnya akuntabilitas kepala desa. Secara formal, aturan mengenai pertanggungjawaban kepala desa ini masih bersifat pertanggungjawaban vertikal dari kepala desa kepada Camat/Bupati. Sementara belum ada mekanisme yang
mengatur akuntabilitas
horizontal kepada msyarakat. Persoalan ini ditambah lagi dengan kelemahan kemampuan apartur desa dalam membuat berbagai dokumen pertanggungjawaban. Kelemahan aparatur desa dalam hal akuntabilitas ini, antara lain dijumpai dalam dalam mengelola ADD , sebagaimana dinyatakan oleh salah satu aparatur desa : ”....Akuntabilitas pemerintah desa dalam mengelola ADD masih lemah.” Berbagai hal yang melatarbelakangi lemahnya akuntabilitas desa ini antara lain :
Adanya salah pemahaman seperti inspektorat atau panwasda tentang penujukan surat tugas dan sebaginya.
Adanya masalah dalam urusan administrasi khususnya menyangkut administrasi pelaporan. Khususnya dalam berbagai kasus dijumpai bahwa terkadang dalam mata anggaran di desa pada perjalanannya (prakteknya) mengalami perubahan, yang tidak ikuti dengan proses revisi. Sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan tersendiri dalam aspek pelaporan di kemudian hari.
Lemahnya tingkat pengetahuan aparatur desa dalam aspek administrasi
penyelenggaraan
pemerintahan
desa,
misalnya
bagaimana seharusnya menyusun sebuah administrasi perencanaan, administrasi pelaporan keuangan, terlebih bila di tengah realisasi
96 87
program terjadi perubahan-perubahan program kegiatan yang tidak sesuai dengan perencanaan awal.
Belum adanya kebijakan yang jelas yang disusun oleh pemerintahan desa (kades dan BPD).
Sebagai dokumen Desa yang sangat menentukan pembangunan Desa tersebut maka APBDes harus dievaluasi oleh beberapa pihak terkait untuk menjamin kemanfaatannya bagi masyarakat luas. Mekanisme evaluasi APBDes belum dipahami dan diterapkan dengan baik.
Seringkali ada perencanaan program tanpa diketahui desa sehingga menimbulkan kesulitan dalam pelaporan karena desa tidak mengetahui program tersebut karena pendelegasian yang belum optimal. “Kalau saja kembali berpedoman bahwa pemberdayaan desa akan ditingkatkan, yang harus kita pikirkan terlebih dahulu bagaimana agar pendelegasian ini harus optimal dahulu”, demikian antara lain kritik dari pemerintah desa.
g. Persoalan ketersediaan aparatur desa Salah satu persoalan yang mendasar yang dihadapi desa-desa adalah sangat minimnya jumlah Sumber Daya Manusia aparaturnya. Ditambah lagi, tingkat pengetahuan dari masing-masing aparat pemerintah sangat beragam. Hal yang tampak sepele namun cukup mengganggu adalah kendala kurangnya keterampilan aparatur desa dalam mengoperasikan komputer. Dampaknya pengelolaan keuangan desa masih banyak yang dilakukan secara manual dan seringkali menimbulkan persoalan dalam penatausahaan.
h. Persoalan hubungan antara sesama aparat desa. Persoalan lain yang bisa mengganggu proses pengelolaan keuangan desa adalah hubungan antara sesama aparat desa. Hal ini misalnya dalam
97 88
pengelolaan keuangan terutama yang bersumber dari ADD, semestinya kepala desa memfungsikan sepenuhnya bendahara desa, namun ada kepala desa yang menyimpan uangnya terutama dari ADD sedangkan bendahara hanya menulis administrasinya saja, kemudian yang dibayar oleh bendaharanya hanya uang dari pungutan desa. Hal ini bisa menghambat dalam proses pencairan, dan sebagainya. Dengan timbulnya beragam persoalan tersebut di atas, Pemerintah Desa cenderung yang mengambil langkah penyelesaian melalui musyawarah, misalnya dengan mengundang semua kadus, BPD, LKMD, pemuka
masyarakat,
tokoh
masyarakat,
dan
lain-lain
untuk
rapat/bermusyawarah. Terkait dengan persoalan ADD, pemerintah desa berupaya menghindari keterlambatan penyaluran ADD dengan berusaha mengelola keuangan yang masuk di desa dengan mengupayakan realisasi dari pungutan
desa
semaksimal
mungkin
agar
penerimaan
dengan
pengeluaran seimbang sesuai dengan APBDes yang telah disusun.
4. Kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa dalam manajemen keuangan dan kekayaan desa Dengan memperhatikan praktek pengelolaan keuangan desa yang selama ini berjalan serta persoalan-persoalan yang terkait dengannya dan tingkat kemampuan sumber daya aparatur desa yang ada, berikut ini dirumuskan berbagai kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa dalam aspek tersebut. Kebutuhan pengembangan kapasitas ini terbagi menjadi kebutuhan kompetensi aparatur desa serta kebutuhan lain yang terkait dengan sistem dan hal-hal pendukung yang berpengaruh terhadap kapasitas aparatur desa.
98 89
a. Kebutuhan Peningkatan Kapasitas Keuangan Kebutuhan peningkatan kapasitas keuangan menjadi salah satu poin yang krusial dalam meningkatkan kapasitas dalam manajemen keuangan desa. Hal ini terkait dengan masalah keuangan desa dalam aspek pendapatan, dimana kemampuan desa untuk meningkatkan sumber pendapatan desa yang selama ini dinilai sangat minim. Beberapa hal yang krusial dalam hal ini adalah perlunya memperjelas kewengan desa
sehingga
memungkinkan desa untuk menggali pendapatan sendiri, perlunya meningkatkan optimalisasi BUMDes, dan meningkatkan kerjasama antar desa.
b. Kebutuhan Kompetensi Aparatur Desa dalam Manajemen Keuangan dan Kekayaan Desa Kebutuhan ini terkait dengan kemampuan teknis aparatur desa dalam manajemen keuangan dan kekayaan desa. Kebutuhan tersebut antara lain : 1. Perlunya sosialisasi peraturan pemerintah atau undang-undang 2. Perlunya bimbingan teknis mengenai pelaksanaan keuangan di desa, aparat desa memerlukan pembekalan khusus mengenai sistem dan cara pengelolaan keuangan di desa 3. Perlunya sosialisasi perpajakan 4. Perlunya pemahaman materi pengawasan keuangan yang masuk di desa terutama bantuan dari pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pusat bagi sekda 5. Perlunya pengetahuan mengenai pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, mulai dari mekanisme pendirian, pengelolaan, sampai pada pertanggungjawaban 6. Perlunya peningkatan kapasitas dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa
99 90
7. Perlunya peningkatan kapasitas aparatur desa dalam melaksanakan administrasi pengelolaan kekayaan desa 8. Perlunya peningkatan kompetensi aparatur desa dalam pemanfaatan kekayaan desa Salah satu poin penting dalam meningkatkan kapasitas pelaksanakan ADD adalah meningkatkan proporsionalitas pengalokasian ADD sehingga dapat mendukung kemampuan keuangan desa sesuai dengan kebutuhan desa yang beragam. Model penentuan ADD selama ini masih kurang sesuai dengan kebutuhan desa, meski hal ini juga sangat dipengaruhi kemampuan masing-masing daerah. Untuk itu, disamping memperbaiki model perhitungan alokasi ADD, hendaknya pemerintah desa juga perlu mengetahui dengan jelas besarnya pagu ADD yang akan diteriman. Hal ini untuk membantu dalam memperkirakan besarnya penerimaan desa dan pengalokasiannya. Poin kedua adalah mempersiapkan apartur desa, mulai dari Kepala Desa sampai dengan seluruh aparat yang terlibat dalam pelaksanaan ADD untuk memahami tugas dan fungsinya serta memberikan pelatihan terkait
dengan
kompetensi-kompetensi
yang
diperlukan
untuk
menjalankan tugas dan fungsi tersebut.
5. Kebutuhan Kapasitas Aparatur Desa secara Umum Secara umum kebutuhan ini menyangkut kebutuhan mendasar peningkatan kapasitas aparatur desa. Kebutuhan ini terkait dengan ketersedian
aparatur
dan
kemampuan
mendasar
aparatur
seperti
penguasaan komputer. Untuk meningkatkan kapasitas ini perlu dilakukan penambahan aparatur desa sesuai kebutuhan desa dengan tingkat pendidikan yang
lebih baik. Dengan kata lain perlu perbaikan dalam
rekuitmen aparatur desa dan peningkatan pendidikan aparatur desa yang ada.
100 91
C. KEBIJAKAN DESA 1. Pengertian, dan Prinsip Perumusan Kebijakan Desa. Dilihat dari jenis produk hukum yang ada di Desa, terdapat dua jenis kebijakan yakni, kebijakan yang bersifat mengatur, dan kebijakan yang bersifat menetapkan, kebijakan yang bersifat mengatur terdiri dari Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa, sedangkan kebijakan yang bersifat menetapkan adalah Keputusan Kepala Desa, adapun pengertian dari masingmasing kebijakan (produk hukum) tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut : a. Peraturan Desa (Perdes); adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Kepala Desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa, yang memuat seluruh materi penyelenggaraan
pemerintahan
desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat, serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuanperundang-undangan yang lebih tinggi; b. Peraturan Kepala Desa; adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa yang sifatnya mengatur dalam rangka melaksanakan Peraturan Desa dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, muatan materi dari Peraturan Kepala Desa adalah penjabaran pelaksanaan Peraturan Desa; c. Keputusan Kepala Desa; adalah keputusan yang ditetapkan oleh Kepala Desa yang bersifat menetapkan dalam rangka melaksanakan peraturan desa maupun peraturan kepala desa, dilihat dari muatan materi keputusan kepala desa ini adalah penjabaran pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa yang bersifat penetapan. Sedangkan ditinjau dari proses penyusunan kebijakan desa baik Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa maupun Keputusan Kepala Desa lazimnya mengikuti proses dan pentahapan mulai dari tahapan persiapan dan pembahasan,
pengesahan
dan
penetapan,
penyampaian
dan
101 92
penyebarluasan, secara ringkas pentahapan-pentahapan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Tahapan Persiapan dan Pembahasan. Rancangan Peraturan Desa (Perdes) baik yang merupakan prakarsa pemerintah desa maupun yang berasal dari
inisiatif
dari
Badan
Permusyawaratan
Desa
dalam
masa
pembahasannya secara ideal terlebih dahulu mendapat masukan dari berbagai pihak termasuk masyarakat desa, masukan tersebut dapat berupa tulisan maupun lisan, sehingga masyarakat desa mengetahui isi kandungan dari peraturan desa yang sedang dibahas, diharapkan dari kegiatan ini masyarakat desa berpartisipasi secara aktif dalam implementasinya, mekanisme penggunaan hak dari masyarakat desa ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, namun demikian komponen utama yang berperan dalam pembahasan rancangan peraturan desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Jenis Pungutan Desa, dan Penataan Ruang Desa yang telah disetujui bersama antara pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa, sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa terlebih dahulu disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati untuk dievaluasi, evaluasi Rancangan Peraturan Desa tersebut dapat didelegasikan oleh Bupati kepada Camat, penyampaian Rancangan tersebut paling lambat 3 (tiga) hari setelah Rancangan Perdes disetujui, dan hasil evaluasi Rancangan Perturan Desa disampaikan oleh Bupati kepada Kepala Desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak rancangan peraturan desa tersebut diterima, apabila Bupati belum menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Anggaran dan Belanja Desa (RAPBDes), Kepala Desa dapat menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) menjadi Peraturan Desa.
102 93
2. Tahapan Pengesahan dan Penetapan. Rancangan Perturan Desa yang telah disetujui bersama oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa disampaikan oleh pimpinan BPD kepada Kepala Desa untuk ditetapkan menjadi Peraturan Desa, penyampaian Rancangan Peraturan Desa dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, Rancangan Peraturan Desa sebagaimana tersebut wajib ditetapkan oleh Kepala Desa dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tersebut. Untuk kepastian hokum, setiap Peraturan Desa wajib mencantumkan batas waktu penetapan pelaksanaan . Peraturan Desa sejak ditetapkan dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hokum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Desa tersebut, dan Peraturan Desa tidak boleh berlaku surut. 3. Tahapan Penyampaian. Peraturan Desa disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati melalui Camat sebagai bahan pembinaan dan pengawasan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. 4. Tahapan Penyebarluasan. Peraturan Desa dan peraturan pelaksanaannya wajib disebarluaskan kepada masyarakat oleh Pemerintah Desa. Penyusunan Rancangan Peraturan Desa dilakukan sesuai dengan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang dilakukan sesuai dengan tehnik penyusunan peraturan perundang-undangan, yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dan secara kusus juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, disamping itu dalam rangka penyusunan Peraturan Desa perlu memperhatikan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri yakni Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 15 Tahun 2006
103 94
tentang Jenis dan Produk Hukum Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negri nomor 16 Tahun 2006.
2. Deskripsi Perumusan Kebijakan Desa di Lokus Kajian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, paling tidak terdapat beberapa Kebijakan Desa yang harus disusun oleh setiap desa, yakni Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Peraturan Desa tentang RPJMDes, Peraturan Desa tentang Perubahan APBDes, Peraturan Desa tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Peraturan Desa tentang BUMDes, Peraturan Desa tentang Hubungan Kerjasama
Desa, Peraturan Kepala Desa tentang Pertanggung-jawaban
Pelaksanaan APBDes, dan Keputusan Kepala Desa sebagai tindak lanjut dari Peraturan Desa dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari hasil wawancara dengan para Narasumber di Daerah berkaitan dengan aspek Kebijakan Desa dapat diungkap sebagaimana dibawah ini, sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dimana Desa diwajibkan menyusun beberapa Perdes dan Keputusan Kepala Desa dapat dikatakan semua Desa telah menyusun Peraturan Desa paling tidak setiap tahun anggaran Desa telah menyusun Peraturan Desa tentang Rencana Anggaran dan Pendapatan Desa (RAPBDes) dan Peraturan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sedangkan kebijakan lain belum semua Desa menyusun Perdesnya. Hal tersebut diatas terungkap dari hasil wawancara dengan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa di Propinsi Bengkulu bahwa : “dalam pelaksanaan penyusunan Kebijakan Desa ini di lingkungan Propinsi Bengkulu dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain keterbatasan dana yang dialokasikan 104 95
pada unit kerja BPMD Provinsi. Sebagai gambaran, untuk tahun anggaran 2009 ini BPMD hanya mendapat alokasi anggaran yang sangat terbatas, dengan dana yang sangat terbatas tersebut apa yang harus diperbuat oleh unit BPMD Propinsi Bengkulu, sementara itu begitu banyak permasalahan pemerintahan desa yang harus diperhatikan, pada saat pembahasan anggaran tahun lalu, pihak BPMD Propinsi telah mengajukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemerintahan desa dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, namun dalam pembahasan anggaran kegiatan-kegiatan yang diusulkan dipending oleh pihak DPRD Propinsi dengan alasan kegiatankegiatan tersebut sudah merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten, yang ternyata kegiatan peningkatan kapasitas aparatur desa tersebut tidak dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa di masingmasing Kabupaten, tentunya dengan berbagai pertimbangan dari masing-masing pemerintah kabupaten, disini terlihat dengan jelas sekali bahwa pola pikir para anggota DPRD kita belum memihak kepada kepentingan pemerintah terendah yakni Pemerintah Desa, bahkan para anggota Dewan kita kalau mendengan kata “Desa” sudah alergi duluan, padahal para anggota Dewan kita itu dipilih oleh “masyarakat desa”. Disamping adanya keberpihakan dari “elit daerah” sebagaimana diungkap diatas, dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah desa khususnya dalam penyusunan kebijakan desa masih ditemui kendala lain, yakni “terbatasnya Sumberdaya Manusia dalam hal ini tenaga pelatih atau semacam Widyaiswara yang dimiliki oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Propinsi Bengkulu, hal ini mengingat unit kerja ini baru dibentuk berdasarkan PP 41 tahun 2007, jadi dilihat dari ketersediaan SDM yang berkualifikasi mampu untuk menjadi fasilitator dalam perumusan kebijakan desa belum ada, karena belum ada Jabatan Fungsional khusus yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa”. Disamping keterbatasan SDM tersebut juga berkaitan dengan masalah kelembagaan yakni perlu ada kejelasan ruang lingkup tugas antara BPMD Propinsi Bengkulu dengan BPMD Kabupaten di lingkungan Propinsi Bengkulu, sehingga gambaran sebagaimana diungkap di atas tidak terjadi, masalah dalam 105 96
kelembagaan tersebut juga terjadi di Kabupaten Bengkulu Utara sebagaimana dikemukakan
oleh
Kepala
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
dan
Pemerintahan Desa bahwa : “terjadi tarik menarik kepentingan antara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Bengkulu Utara dengan Bagian Pemerintahan, nampaknya Bagian Pemerintahan belum sepenuhnya menyerahkan semua tugas dan kegiatan yang berkaitan dengan Pemerintahan Desa kepada BPMD Kabupaten”, sehingga timbul kerancuan, hal itu terlihat dengan masih adanya berkas-berkas pemerintahan desa yang masih dikelola oleh Bagian Pemerintahan, diharapkan hal-hal seperti ini bisa diatasi, hal ini karena Unit Kerja BPMD Kabupaten Bengkulu Utara masih tergolong baru”. Sedangkan menyangkut penyusunan Kebijakan Desa di Kabupaten Bengkulu Utara, pada dasarnya sama dengan diungkap oleh Kepala BPMD Propinsi Bengkulu sebagaimana diungkap di atas, Perdes yang disusun di masing-masing desa baru Peraturan Desa tentang RAPBDes, karena Perdes tersebut menyangkut rencana penggunaan anggaran dan sifatnya mutlak, kalau tidak ada Perdes tersebut maka dana yang diperuntukkan bagi pembangunan desa tidak akan terealisir, hal ini juga tergambar dari hasil diskusi kelompok di Kabupaten Bengkulu Utara, dimana Pemerintahan Desa baru menyusun rata-rata 1 (satu) Peraturan Desa yakni Peraturan Desa tentang RAPBDes, sedangkan Perdes tentang RPJMDes belum disusun, dari hasil wawancara dengan Kepala Bagian Pemerintahan dan Kepala BPMD Kab. Bengkulu Utara, juga terungkap bahwa bimbingan tehnis penyusunan Peraturan Desa baru dilaksanakan sekali tahun 2008 yang lalu, dan itu hanya diikuti oleh 40 orang peserta, bimbingan tehnis yang sifatnya simulasi tersebut cukup efektif, namun untuk tahun anggaran 2009 ini kegiatan serupa belum dilaksanakan, masih menunggu APBD Perubahan yang sedang diajukan. Keadaan yang sama, sebagaimana di Kabupaten Bengkulu Utara, juga terjadi di Kabupaten Seluma, dari hasil wawancara dengan Kepala Bagian 106 97
Pemerintahan Kab. Seluma mengindikasikan bahwa program dan kegiatan penguatan kapasitas pemerintahan desa masih sangat kurang hal ini dikarenakan Kabupaten Seluma ini termasuk Daerah Otonum Baru, sehingga prioritas pembangunan di Kabupaten ini lebih difokuskan pada pembangunan fisik khususnya pembangunan gedung perkantoran dan prasarana pendukung lainnya, sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah dan desa untuk tahun 2009 ini belum menjadi kegiatan prioritas, dan sesuai dengan skala prioritas daerah kegiatan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah dan desa ini akan dimulai pada tahun anggaran 2010 yang akan datang, dari hasil diskusi kelompok juga teridentifikasi bahwa Kebijakan Desa di masing-masing desa untuk setiap tahunnnya paling banyak 2 sampai 3 Perdes yang dibuat, begitu juga Keputusan Kepala Desa, umumnya Perdes tersebut adalah Perdes tentang RPJMDes, dan APBDes. Box. 4.6 Lima Perdes yang harus dibuat oleh Desa Menurut PP No. 72 Tahun 2005 Perdes tentang RPJMDes Perdes tentang APBDes Perdes tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa Perdes tentang Pengelolaan Keuangan Desa Perdes tentang BUMDes
Permasalahan
dalam
menyusun
Kebijakan Desa di Desa-desa pada umumnya
kurangnya
bimbingan
tehnis dari pemerintah Kabupaten maupun Kecamatan, disamping itu kurangnya bahan referensi dan contoh-contoh tentang Peraturan
Desa yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan Kebijakan Desa. Oleh sebab itu dimasa yang akan datang setiap ada Kebijakan dari Pusat atau dari Propinsi dan Kabupaten perlu dibarengi dengan sosialisasi, pelatihanpelatihan dan
bimbingan tehnis dan simulasi yang berkaitan dengan
Kebijakan baru tersebut, tentunya semua dana dan pembiayaan yang berkaitan dengan sosialisasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Propinsi, karena selama ini kalau ada kegiatan
107 98
sosialisasi para aparatur desa selalu kualahan untuk mengalokasikan anggaran mengikuti pelatihan, seperti dana untuk transportasi dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan Kepala BPMD Propinsi Sulawesi Tengah dan Kepala Bagian Pemberdayaan Pemerintahan Desa juga mengungkap bahwa: “kualitas Apartur Desa di Propinsi Sulawesi Tengah secara umum masih perlu ditingkatkan, hal ini setidaknya tergambar dari jumlah usulan Sekretaris Desa yang akan diangkat menjadi PNS ternyata hanya sebagian kecil yang memenuhi persyaratan yang ditentukan, yakni baru mencapai 200 Sekretaris Desa dari jumlah seluruhnya yakni 1.580 Sekretaris Desa, jadi lebih kurang baru mencapai 20%”. Selain itu rendahnya kualitas aparatur desa di Sulawesi Tengah ini juga dapat diungkap masih sangat terbatasnya aparatur desa yang telah mengikuti diklat dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas aparatur desa itu sendiri, yakni pelatihan administrasi desa, termasuk kemampuan
untuk
menyusun
tata
naskah
dinas,
sehingga
tidak
mengherankan kalau diserahi tugas untuk membuat surat dinas para aparat desa tersebut mengalami kesulitan, apalagi kalau diserahi tugas untuk menyusun Draf Peraturan Daerah dan Draft Kebijakan lainnya. Keadaan tersebut disebabkan antara lain keterbatasan dana yang dimiliki oleh BPMD Propinsi, banyak kegiatan yang diprogramkan tetapi tidak mendapatkan persetujuan anggaran, misalnya pada tahun 2009 ini kita mengajukan anggaran untuk menyusun Modul-Modul yang akan dijadikan bahan ajar untuk peningkatan kapasitas aparatur desa seperti yang telah disusun oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang muatannya sesuai dengan kondisi daerah Sulawesi Tengah ini, tetapi tidak mendapat respon dari pemerintah propinsi, disamping itu kesulitan yang dihadapi oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Sulawesi Tengah adalah masalah koordinasi fungsional antara BPMD Propinsi dengan BPMD Kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah, koordinasi fungsional ini masih sangat lemah dan 108 99
perlu ditingkatkat untuk menciptakan keselarasan program dan kegiatan, selain masalah koordinasi fungsional tersebut kendala yang dihadapi adalah keterbatasan SDM di BPMD Propinsi ini, karena sudah menjadi rahasia umum kalau ada Unit Kerja baru, maka pegawai yang ditempatkan di Unit Kerja tersebut adalah pegawai sisa yang selama ini kurang optimal kinerjanya, kondisi kelembagaan yang sedemikian juga mempengaruhi kinerja BPMD Propinsi Sulawesi Tengah selama dua tahun ini. Selain hal tersebut dapat dikemukakan termasuk permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar desa di Sulawesi Tengah ini adalah sebagian besar Desa kita belum memiliki Kantor Desa yang memadai, hal demikian juga mempengaruhi kinerja aparatur desa, baru beberapa Kabupaten yang telah menyusun program peningkatan kapasitas aparatur desa ini. Hal lain yang menjadi permasalahan yang selalu dihadapi adalah terbatasnya angaran untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah desa, dan realisasi anggaran biasanya turunnya pada penghujung tahun anggaran, sehingga program dan kegiatan tersebut tidak optimal karena program dan kegiatan tersebut dilaksakana tidak tepat waktu. Dengan memperhatikan kebutuhan akan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa di Sulawesi Tengah pada saat ini maka kedepan secara kelembagaan BPMD Propinsi ini sendiri harus merupakan lembaga yang kuat, baik dilihat dari Sumberdaya Manusianya, Sumberdaya Keuangannya dan sumber yang lain, dan juga perlu dukungan dari Pemerintah Pusat melalui alokasi dana bantuan misalnya seperti PNPM Mandiri. Jadi dari gambaran tersebut juga dapat ditarik garis lurus, kiranya kualitas aparatur desa dalam hal perumusan Kebijakan Desa masih sangat rendah, karena dari pihak BPMD Propinsi sendiri belum ada kegiatan-kegiatan dalam hal simulasi dan bimbingan tehnis yang dalam hal perumusan Perdes dan Peraturan Kepala Desa yang secara langsung dilaksanakan, mungkin
109 100
masing-masing BPMD Kabupaten melaksanakan kegiatan simulasi tersebut sesuai dengan kemampuan dari masing-masing BPMD Kabupaten. Keberpihakan elit daerah terhadap peningkatan kapasitas apartur desa saat ini tampaknya terjadi di Kabuipaten Donggala Sulawesi Tengah, hal tersebut sesuai dengan Visi dan Misi Bupati Donggala pada saat kampanye pilkada yakni Akselerasi Pembangunan Desa, Kepala BPMPD Kab. Donggala mengungkapkan: “untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut maka peningkatan kapasitas aparatur baik kapasitas aparatur desa maupun kapasitas intitusi yang secara fungsional ruang lingkup tugasnya berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa menjadi suatu keharusan”. Untuk melaksanakan Visi dan Misi Bupati terpilih tersebut, mulai pada tahun anggaran 2010 ini Pemda Kab. Donggala mempunyai program pembangunan Desa Percontohan, setiap tahun angaran akan dibangun 1 desa percontohan di setiap Kecamatan, sehingga pada tahun 2014 masing-masing kecamatan akan memiliki 5 Desa percontohan, dalam rangka persiapan untuk mewujudkan program tersebut, BPMD Kab. Donggala pada tahun 2009 ini telah melaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain : Melakukan analisis potensi desa dan permasalahan yang melibatkan seluruh dinas terkait, karena kegiatan dinas-dinas terkait nantinya akan difokuskan di desa percontohan yaitu Penyempurnaan dan penguatan aspek kelembagaan pemerintahan desa, dan Penguatan Sumberdaya Aparatur Desa. Khusus penguatan Aparatur Desa ini, BPMD Kab. Donggala telah menjalin kerjasama dengan Balai Pembangunan Masyarakat Desa Malang, mulai tahun 2010 BPMD Kab. Donggala akan mengadakan pelatihanpelatihan antara lain : Bimtek Administrasi Perkantoran Desa, Bimbingan Tehnis implementasi tugas pokok dan fungsi BPM; Bimbingan tehnis manajemen pemerintahan desa; Bimbingan tehnis Manajemen pemerintahan desa; Bimbingan tehnis penggalian sumber-sumber pendapatan dan
110 101
keuangan desa, Pelatihan penyusunan RPJMDes, RKPDes, dan penyusunan APBDes, Bimtek dan fasilitasi musrenbangdes terpadu, sedangkan pelatihan dan bimbingan penyusunan peraturan desa secara simultan telah dilaksanakan pada tahun 2009 ini, dan sepanjang memungkinkan bimbingan tehnis tersebut setiap tahun akan diselenggarakan. Dari hasil diskusi kelompok dengan para aparat desa, diidentifikasi bahwa pelatihan penyusunan kebijakan desa telah dilaksanakan pada awal tahun 2009, namun pesertanya masih terbatas pada Kepala Desa dan Sekretaris Desa, pelatihan semacam itu sebaiknya juga diikuti oleh para anggota BPD, sehingga terjadi persepsi yang sama, adapun Kebijakan Desa yang telah disusun untuk masing-masing desa baru Peraturan Desa tentang RAPBDes. Bimbingan tehnis yang dirasakan sangat mendesak saat ini adalah bimbingan tehnis tentang penyusunan Keputusan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban Keuangan Desa. Dari diskusi dengan para Kepala Desa dan Perangkat desa teridentifikasi bahwa untuk tahun 2009 ini Desa di Kab. Donggala telah menyusun rata-rata 2 (dua) Peraturan Desa, dan 2 (dua) Keputusan Kepala Desa, Perdes tersebut antara lain Perdes tentang RPJMdes, dan Perkades tentang Pertanggungjawaban dan Pelaporan APBDes. Permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan Peraturan Desa yang diungkap para peserta diskusi kelompok adalah terbatasnya rujukan dan referensi yang berkaitan dengan Perdes, misalnya adanya panduan yang jelas dari Departemen Dalam Negeri, Contoh-contoh Perdes yang dianggap layak untuk dijadikan acuan; untuk itu Bagian Hukum Setda Kab. Donggala lebih pro-aktif dalam melakukan bintek terhadap aparat desa, begitu juga bimbingan tehnis tentang pertanggungjawaban keuangan desa, perlu ada acuan yang standar yang perlu diikuti, karena sampai bulan Agustus ini ternyata masih ada beberapa Pemerintah Desa yang belum menyelesaikan pertanggungjawaban triwulan I, dikarenakan perbedaan persepsi antara bendahara dengan Pemerintah Desa.
111 102
Rendahnya kualitar aparat desa dalam menyusun Kebijakan Desa baik berupa Peraturan Desa maupun Peraturan Kepala Desa dan kebijakan lainnya juga diungkap oleh Kabag Pemerintahan Pulang Pisau Kalimantan Tengah bahwa : “pada tahun 2009 ini sedang difasilitasi cara-cara pembuatan Kebijakan Desa, seperti Perdes tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penyusunan Perdes tentang RPJMDes, Keputusan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban laporan LKPJ. Strategi untuk meningkatkan kualitas aparatur desa dilakukan antara lain; Menyusun Perda dan Keputusan Bupati yang memuat Ketentuan Perumusan Kebijakan Bupati, dan strategi kedua adalah melibatkan Pemerintah Kecamatan dalam pemberdayaan aparatur desa”. Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dan Aparat Desa di lingkungan Kabupaten Pulang Pisau, pada tahun anggaran ini Pemerintah Desa telah ada yang menyusun perdes, rata-rata Perdes tentang RPJMDes dan APBDes, namun masih terdapat beberapa Pemerintah Desa yang belum menyusun Peraturan Desa maupun Keputusan Kepala Desa, hal tersebut karena kualitas Sumberdaya Manusia Aparat Desa yang masih sangat terbatas, dan sosialisasi yang sangat kurang dari Kecamatan dan Kabupaten, permasalahan lain adalah partisipasi masyarakat yang sangat kurang akan arti pentingnya Kebijakan Desa baik Perdes maupun Keputusan Kepala Desa. Namun demikian terdapat beberapa Desa di Kabupaten Pulang Pisau yang telah menyusun Perdes sebanyak 12 Perdes, namun masih dirasakan adanya permasalahan antara lain terjadi tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Desa dengan Bamusdes. Pemberdayaan aparat desa dalam hal penyusunan Kebijakan Desa, terutama dalam menyusun Perdes yang berkaitan dengan keuangan desa baik RAPBDes maupun pertanggungjawabannya pada tahun ini baru dilaksanakan pada 3 dari 13 Kecamatan yang ada di Kab. Katingan Kalteng, dan tahun 2010 kegiatan pelatihan serupa akan dilaksanakan di Kecamatan yang lain, permasalahan yang dihadapi adalah terbatasnya dana yang 112 103
dialokasikan untuk kegiatan pemberdayaan aparatur desa, dan letak geografis desa yang sangat jauh dari Ibukota Kabupaten yakni Kasongan, strategi yang akan diambil dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur desa adalah memberdayakan pemerintahan kecamatan, Pemerintah Kecamatan inilah yang nantinya berfungsi untuk menjadi fasilitator pemberdayaan aparatur desa di lingkungan wilayahnya masing-masing. Dari hasil Diskusi dengan para Kepala Desa dan Aparat Desa di Kabupaten Kasongan, dapat diidentifikasi masing-masing desa baru menyusun 1 (satu) Peraturan Desa, yankni Perdes yang berkaitan dengan APBDes, permasalahan yang dihadapi pemerintah desa di Kabupaten Kasongan antara lain : terbatasnya sosialisasi dan
pelatihan yang
dilaksanakan oleh Kecamatan maupun Kabupaten, kurang respon dari BPD, perbedaan pandangan dari masyarakat adapt, partisipasi masyarakat yang masih sangat kurang. Dalam hal perumusan kebijakan di Desa, pemerintahan desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kupang sudah melaksanakan penyusunan RPJMDes dan RKPDes, meskipun dokumen-dokumen tersebut setiap tahun perlu penyempurnaan-penyempurnaan, permasalahan yang ditemui dalam penyusunan Perdes tersebut adalah perlu ditunjang oleh sarana dan prasara yang memadai, seperti perlalatan kantor (ATK), dan fasilitas komputer. Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa di lingkungan Kabupaten Kupang, untuk tahun ini masing-masing desa telah menyusun rata-rata 4 (empat) Peraturan Desa dan 4 (empat) Keputusan Kepala Desa, permasalahan yang dihadapi Pemerintah Desa dalam menyusun Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa antara lain kurangnya pemahaman dan persepsi dari aparatur desa dan Bamusdes tentang kebijakan desa, kurangnya fasilitas yang memadai, terbatasnya bahan acuan yang dijadikan sebagai pedoman penyusunan Kebijakan Desa, dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah kabupaten..
113 104
Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dan aparat desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang menjadi hambatan dalam penyusunan
Kebijakan
Desa
adalah
terbatasnya
dana
operasional.
Keterbatasan dana juga dialami oleh para Kepala Desa di Kab. Timor Tengah Selatan dalam melaksanakan tugas penyusunan Kebijakan Desa berupa Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa, disamping itu permasalahan lainnya adalah terbatasnya bahan referensi yang berkaitan dengan perumusan kebijakan desa, dari hasil diskusi tersebut juga dapat diidentifikasi masing-masing desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan baru menyusun ratarata 2 (dua) Peraturan Desa dan 2 (dua) Peraturan Kepala Desa, yakni Perdes tentang RPJMDes dan Perdes tentang APBDes. Dalam rangka menyusun Kebijakan Desa yang sesuai dengan norma dan standart hukum ke depan perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan yang kontinyu dari Pemerintah Kabupaten, tersedianya bahan referensi yang mencukupi untuk menyusun Kebijakan Desa, Bamusdes perlu didiklatkan khusus mengenai tugas pokok dan fungsinya, tersedianya dana yang mencukupi. Dari hasil wawancara dengan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kalimantan Selatan dikemukakan bahwa: “dalam perumusan kebijakan desa secara umum masih perlu peningkatan, walaupun aparatur desa di Kalsel rata-rata berpendidikan SLTA, namun dalam hal perumusan kebijakan desa baik menyusun Peraturan Desa maupun Keputusan Kepala Desa perlu dilakukan pelatihan-pelatihan yang teratur dan berkesinambungan, karena menyusun dokumen kebijakan tidak semudah yang kita bicarakan, pelatihan dan bimbingan itu perlu, kedepan yang berperan adalah para Camat dalam memfasilitasi para aparat desa perlu ditingkatkan, karena rentang control pemerintahan terlalu panjang kalau para aparat desa ini langsung ke Kabupaten”. Permasalahan secara umum yang diidentifikasi selama ini adalah lemahnya administrasi pemerintahan desa, yang berdampak langsung
114 105
terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk pemrumusan kebijakan desa. Dari hasil diskusi dengan para pejabat Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Tanah Laut dapat diungkap bahwa penyusunan Kebijakan Desa di Kab. Tala masih mengalami berbagai hambatan, hambatan pertama adalah menyangkut sikap aparat desa dan masyarakat desa akan pentingnya Kebijakan Desa baik berupa Peraturan Desa, Keputusan Kepala Desa dan Peraturan Desa lalinnya, karena memang Kebijakan Desa tersebut merupakpan hal yang baru bagi pemerintah desa, sehingga tidak mengherankakn jika pada tahun anggaran 2009 ini masingmasing desa baru menyusun 2 (dua) Peraturan Desa yakni Perturan Desa tentang RPJMDes dan Perdes tentang RAPBDes. Permasalahan umum yang dihadapi Pemerintah Desa dalam menyusun Kebijakan Desa adalah Sosialisasi yang diikuti dengan pelatihan dan simulasi dirasakan sangat kurang, Persepsi dari masing-masing actor yang menyusun Kebijakan Desa yang tidak sama, karena masing-masing pihak memperjuangkan kepentingannya sendirisendiri, Kurangnya bahan rujukan yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan Kebijakan Desa, seperti contoh-contoh Perdes, contoh-contoh Keputusan Kepala Desa yang sudah dianggap bagus oleh Pemerintah Kabupaten. Anggaran yang tidak memadai. Dari hasil wawancara dengan para pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar, yakni Sekretaris Daerah Kab. Banjar, dan Asisten I Sekda diketahui bahwa : “dalam hal peningkatan kapasitas aparat desa dirasakan masih harus kerja lebih keras lagi, hal ini didasarkan pada kualitas aparatur desa di Kab. Banjar pada saat ini masih sangat rendah, walaupun rata-rata pendidikan aparat desa sudah tamat SLTP dan SLTA, tapi dalam hal kemampuan tentang administrasi dan pemerintahan desa masih sangat lemah, setidaknya sejak era reformasi dan era otonomi daerah ini ternyata aspek penting dalam hal pemerintahan desa yakni kapasitas aparatur desa justru mengalami penurunan jika dibanding dengan era 115 106
sebelumnya, pada era orde baru misalnya khirarkhis pemerintahan daerah sangat teratur mulai dari bawah sampai atas, keteraturan tersebut nampaknya tidak tampak lagi, misalnya pada saat ini peran Kecamatan sudah hilang, jika kita perhatikan kondisi desa-desa di Kabupaten Banjar ini jarah antara Desa dengan Kabupaten jarang tempuhnya sangat jauh. Padahal administrasi dan pemerintahan sangat mengutamakan keteraturan dan kejelasan, begitu juga administrasi dan apatur desa kita”. Untuk mengatasi permasalahan dan kondisi seperti di atas diperlukan energi yang lebih besar untuk membuat lompatan-lompatan yang cepat, energi besar tersebut yakni berupa keberpihakan berbagai lapisan pimpinan daerah mulai dari pihak eksekutif daerah maupun legislatif daerah untuk memajukan aspek apartur pemerintahan daerah dari tingkat propinsi sampai desa, untuk itu diperlukan komitmen dan konsistensi, termasuk memajukan desa ini, desa jangan hanya dijadikan tempat mencari dukungan politik sesaat saja, tetapi setelah terpilih menjadi pimpinan daerah, baik jadi anggota legislative maupun eksekutif desa jadi terlupakan. Dari hasil diskusi dengan para kepala desa dan aparatur desa di lingkungan Kabupaten Banjar, dalam aspek perumusan Kebijakan Desa ini, rata-rata desa baru dapat menyusun 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) Peraturan Desa, permasalahan dalam penyusunan Kebijakan Desa antara lain, rendahnya kualitas aparatur desa, kurangnya sosialisasi dan pelatihan, perbedaan pemahaman antara Kepala Desa dengan Bamusdes dan organisasi kemasyarakattan desa, pemerintah Kecamatan dan Kabupaten kurang proaktif, sehingga rancangan Perdes yang telah disusun selalu salah, terbatasnya dana untuk menyusun Kebijakan Desa. Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dan aparat desa di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombuk Timur dapat diidentifikasi, masing-masing desa telah menyusun perdes paling tidak 2 (dua) Peraturan Desa, dan Peraturan Kepala Desa, permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam menyusun Kebijakan Desa selama ini antara lain, rendahnya 116 107
kemampuan para aparat desa, rendahnya kemampuan anggota BPD, dan tokoh masyarakat desa terutama kemampuan pemahaman terhadap produk hokum yang telah ada, kurangnya partisipasi dan dukungan para kepala dusun dan masyarakat desa, terbatasnya sosialisasi dan pelatihan dari Kecamatan dan Kabupaten, terbatasnya dana yang dialokasikan dalam menyusun kebijakan desa, terbatasnya bahan referensi baik yang memuat ilmu pengetahuan dan konsep-konsep tentang kebijakan, dan referensi yang berkaitan
dengan contoh-contoh Kebijakan Desa
yang
telah
diuji
kebenarannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan pemerintah Kabupaten dalam hal ini Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, secara teratur dan rutin dapat menyelenggarakann pelatihan-pelatihan, dan simulasi tentang tehnik penyusunan Kebijakan Desa. Perumusan Kebijakan Desa di Kabupaten Muaro Jambi pada dasarnya sama dengan yang terjadi di Daerah lain, menurut Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Kab. Muaro Jambi : “kendala utamanya terletak pada kualitas sumberdaya aparatur desa yang masih rendah, dan dilain pihak partisipasi masyarakat desa khususnya dalam perumusan Kebijakan Desa juga masih sangat rendah hal ini dibuktikan dengan adanya penolakanpenolakan dari masyarakat desa terhadap Peraturan Desa yang telah disepakati oleh berbagai pihak (Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Tokoh masyarakat)”, hal lain yang menjadi kendala adalah terbatasnya sosialisasi dan pelatihanpelatihan yang dilaksakana oleh pemerintah baik Kecamatan maupun Kabupaten. Permasalahan lain yang timbul adalah adanya benturan antara nilai-nilai adapt istiadat dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sendiri, sehingga kebijakan tersebut mendapat respon yang kurang dari masyarakat desa”. Dari hasil diskusi kelompok dengan para Kepala Desa dan aparat desa dilingkungan Kabupaten Muaro Jambi dapat diidentifikasi, bahwa kendala dalam perumusan kebijakan desa antara lain : Pelatihan yang diselenggarakan
117 108
oleh Pemda Kabupaten Muaro Jambi sangat terbatas, sehingga yang dapat ikut hanya orang-orang tertentu saja, sedangkan Bamusdes tidak diikutkan, akibatnya tidak terjadi persamaan persepsi antara Pemerintah Desa dengan Bamusdes, maslah lain adalah terbatasnya bahan bacaan yang berkaitan dengan perumusan kebijakan desa, materi yang disajikan kadang-kadang kurang dapat diterima oleh para Kepala Desa dan aparat desa peserta diklat, sebaiknya bahan ajarnya berupa gambar dan contoh-contoh yang mudah diserap peserta, anggaran untuk pelatihan sangat terbatas, hokum adapt belum dimuat dalam Kebijakan Desa. Dari permasalahan-permasalahan tersebut,
memang
diperlukan
pelatihan
yang
kontinyu
dan
berkesinambungan yang materinya terintegrasi dengan berbagai aspek termasuk hokum adapt setempat. Sedangkan
Asisten
Pemerintahan
Kabupaten
Batanghari,
mengungkapkan : “peningkatan kualitas aparatur desa mutlak diperhatikan terutama dalam perumusan kebijakan desa, “sebagai contoh, sampai saat ini kebijakan desa yang berkaitan dengan pertanggungjawaban keuangan desa menjadi masalah dan momok bagi aparat desa sering ditolak karena kesalahan persepsi antara bendahara dengan pengelola anggaran di desa, menurut logika berfikirnya pemerintahan desa pertanggungjawaban sudah sesuai tetapi system yang ditentukan berbeda”, misalnya kepala desa merubah peruntukan dana yang telah ditentukan dalam RAPBDes, tetapi karena tidak mengikuti proses “revisi anggaran” maka pertanggungjawaban keuangan desa tersebut menjadi salah, ini banyak terjadi. Oleh sebab itu maka sosialisasi yang menyeluruh dan detil terutama menyangkut kebijaksanaan tentang APBDes dan Pertangungjawabannya menjadi suatu keharusan”.
118 109
3. Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa Dalam Perumusan Kebijakan. Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dapat diungkap beberapa kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa dalam hal perumusan kebijakan desa, antara lain : a. Kemampuan memahami isu-isu yang berkembang di masyarakat desa. b. Kemampuan memahami potensi desa (sumber-sumber ekonomi desa, social-politik desa, budaya); c. Kemampuan menguasai tata naskah dinas; d. Kemampuan menguasai proses dan prosedur legal drafting (untuk penyusunan Perdes, Perkades dan Keputusan Kades); e. Kemampuan menguasai berbagai kebijakan pemerintah daerah, seperti RPJM Kabupaten, RKPD Kabupaten, RPJM Desa, RKP Desa, dll; f.
Kemampuan membangun persepsi yang sama antara Pemerintah Desa dan BPD;
D. KEPEMIMPINAN DESA 1. Gambaran Umum Pelaksanaan Kepemimpinan Desa. Secara umum aspek kepemimpinan dipandang sebagai faktor kunci keberhasilan
suatu
penyelenggaraan
manajemen
pemerintahan
tak
terkecuali bagi kepemimpinan di tingkat desa. Terlebih dengan adanya anggapan bahwa pemimpin atau kepala desa sebagai penaggungjawab atas semua persoalan yang muncul di tengah masyarakat, termasuk urusanurusan yang bersifat pribadi (keluarga) sekalipun. Di sini pula letak perbedaan yang dihadapi oleh pemimpin pada level pemerintahan lain atau dalam manajemen organisasi manapun. Namun demikian, dalam implementasi kepemimpinan Kepala Desa setidaknya terdapat 2 aspek yang perlu diperhatikan yakni pertama, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades); Kedua, Tugas, Wewenang dan Kewajiban
119 110
dan Hak Kepala Desa. Terkait dengan Pemilihan Kepala Desa hampir dapat dipastikan bahwa pelaksanaannya sudah mengikuti mekanisme dan prosedur administratif yang ditetapkan. Sekalipun diketahui bahwa hampir dalam setiap pemilihan terdapat persoalan-persoalan yang muncul sebagaimana terjadi dalam Pilkada, Pilpres, maupun pemilihan anggota legislatif. Persoalannya kemudian terletak pada kompetensi yang dimiliki oleh mereka yang dipercaya oleh masyarakat setempat, kerena tidak jarang alasan pemilih dalam menentukan pilihannya lebih didasari oleh faktor tradisional, seperti pertalian kekeluargaan atau karena alasan trah (silsilah/keturunan), atau alasan lainnya yang lepas dari faktor kompetensi yang seharusnya dijadikan kriteria utama dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal berdasarkan PP 72 Tahun 2005, tidak sedikit kewenangan yang dimiliki, yakni (a) memimpin penyelenggaraan pemerinthan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD; (b) mengajukan rancangan peraturan desa; (c) menetapkan peratutan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD; (d) menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD; (e) membina kehidupan masyarakat desa; (f) membina perekonomian desa; (g) mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipasi; (h) mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Begitu pula dengan kewajiban kepala desa yakni (a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (c) memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; (d) melaksanakan kehidupan demokrasi; (e) melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas KKN; (f) menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintah desa; (g)
120 111
menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undanga; (h) menyelenggarakan
administrasi
pemerintahan
desa
yang
baik;
(i)
melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa; (j) melaksanakan urusan yang menjadi kewenagan desa; (k) mendamaikan perselisihan masyarakat desa; (l) mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa; (m) membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat-istiadat; (n) memperdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan (o) mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup. Oleh karenanya, untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai amanat perundangan yang ada, dalam pandangan Tim setiap kepala desa dituntut untuk memiliki setidaknya 5 (lima) kompetensi. Kelima kompetensi itu adalah (i) Pengusaan teori atau seni kepemimpinan; (ii) Kemampuan dalam menyusunan peraturan desa; (iii) Kemampuan dalam pengambilan keputusan (iv) Kemampuan dalam negosiasi; dan (v) Kemampuan dalam manajemen konflik. Dalam pandangan aparatur desa, kelima kompetensi di atas semuanya dianggap penting dan harus dikuasai oleh kepala desa, termasuk aparatur desa lainnya. Penilaian ini terungkap dalam forum-forum diskusi dan tercermin dalam lembaran angket yang disebarkan. Kendatipun dalam realitasnya kadar kompetensi mereka terkait lima hal tadi perlu dipertanyakan. Setidaknya terdapat beberapa argumen untuk mempertanyakan kompetensi para kepala desa, misalnya pada aspek penguasaan teori atau seni kepemimpinan desa. Pandangan atau pengakuan terbuka para kepala desa tentang keterbatasan pengetahuan dan tingkat pendidikan yang mereka miliki menunjukkan bahwa memang terdapat persoalan tersendiri bagi mereka terkait
aspek ini. Komentar mereka terhadap isi modul
kepemimpinan desa yang dinilai sangat teoritis, banyak menggunakan istilah
121 112
asing, sangat akademis, di satu sisi merupakan indikator untuk membenarkan asumsi ini. Sekalipun pada sisi lain menjadi bahan masukan bagi Tim PKKOD LAN yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan modul untuk aparatur setingkat pemerintahan desa. Anggapan semacam ini juga datang dari Asisten III Administrasi Kabupaten Muara Jambi, yang meminta pemahaman (pengertian) Tim terkait tingkat pendidikan para kepala desa mereka. Terutama bila dikaitkan dengan kepala desa yang mayoritas tidak pernah mengecap pendidikan tinggi. Sementara kemampuan menyusunan peraturan desa, juga sempat menjadi isu yang diangkat baik di Muara Jambi, Batanghari di Provinsi Jambi, Donggala di Sulawesi Utara, di Lombak Barat dan Lombok Timur di NTB dan beberapa kabupaten lainnya. Misalnya saja di Muara Jambi, ternyata ketika terdapat permintaan kepada kepala desa untuk menyerahkan laporan tentang produk peraturan yang telah dibuat sebagian besar dari mereka tidak menyerahkan. Dikatakan oleh Asisten III bidang Administrasi sebagai berikut : “Kalau sekedar tidak atau belum menyerahkan barangkali itu adalah masalah teknis saja, tapi yang kami khawatirkan, janganjangan justru memang tidak ada satu peraturan yang telah dibuat, sehingga isunya bukan pada teknis penyerahannya, tapi karena memang tidak ada yang bisa diserahkan”. Yang menarik untuk dicermati yakni kemampuan dalam pengambilan keputusan, karena dipastikan bahwa setiap kepala desa melakukan hal ini. Dan keputusan yang diambil tentu berbeda dari sisi substansi karena sangat tergantung dengan persoalan yang dihadapi oleh masing-masing kepala desa. Begitu pula dalam proses dan mekanismenya, terdapat banyak varian yang diterapkan. Sekalipun mayoritas diantara mereka mengakui bahwa metode musyawarah dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait merupakan suatu keharusan yang ditempuh, agar keputusan yang dihasilkan tidak mendapat pertentangan dari masyarakat.
122 113
Bahkan sebagian diantara kepala desa sudah menerapkan metode pengambilan keputusan berdasarkan asas manajemen modern. Misalnya membuat peringkat terhadap urgensi dan derajat kemanfaatan suatu program terkait dengan pembangunan desa. Meminta masukan dengan cara memanggil semua pihak, mulai dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, BPD, pengurus RT dan RW, Guru-Guru sekolah, pemuda, bahkan ada pula yang mendatangkan tenaga ahli di salah satu bidang sesuai dengan perencanaan pembangunan desa. Dalam konteks yang satu ini, nampak adanya kesadaran bagi kepala desa untuk memastikan bahwa putusan yang akan diambil setidaknya sudah mendapat pertimbangan dari berbagai pihak, sekaligus dapat mengukur tingkat penerimaan masyarakat manakala keputusan yang dibuat itu akan direalisasikan. Memang masih terdapat beberapa masalah, sekalipun tidak dinyatakan secara terbuka, seperti terkadang ada keputusan yang dibuat tidak berdasarkan
pada
kepentingan
masyarakat,
tidak
melalui
proses
musyawarah, dan terkesan bahwa keputusan yang diambil sarat dengan kepentingan kepala desa atau kerabat dekat yang besangkutan. Padahal dalam
pengambilan
keputusan
seharusnya
dilakukan
berdasarkan
kepentingan masyarakat yang lebih luas tanpa memandang ras, suku, agama, dan hubungan kekeluargaan. Selanjutnya, dalam aspek negosiasi dan manajemen konflik. Dua aspek ini pada dasarnya tidak dapat dipisahkan secara tegas karena seperti diketahui bahwa dalam manajemen konflik dibutuhkan kemampuan negosiasi.
Keduanya pun
harus melekat pada diri apatur desa, karena
menjadi faktor pendukung dalam berbagai pemecahan setiap persoalan yang berkembang di masyarakat. Bahkan kedua kemampuan ini sangat membantu dalam proses pengambilan keputusan. Terlepas dari lima aspek di atas, pendapat dari bagi banyak pihak termasuk dari para kepala desa sendiri bahwa seorang kepala desa harus
123 114
memiliki sifat-sifat, diantaranya (i) ketegasan, kejujuran, terbukaan, adil, bijaksana, kedisiplinan, bertanggung-jawab, memiliki jiwa sosial dan bermasyarakat. Dan terpenting lagi adalah bisa memberi rasa aman dan tentram bagi masyarakat. Disamping itu seorang kepala desa juga harus patuh pada larangan yang digariskan oleh aturan perundangan seperti tertuang dalam PP 72 tahun 2005 tentang Desa pasal 16 mulai dari (i) larangan menjadi pengurus partai politik; (ii) merangkap jabatan sebagai Ketua dan/atau Anggota BPD, dan lembaga kemasyarakatan di desa yang bersangkutan; (ii) merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD; (iv) terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala desa; (v) merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain; (vi) melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; (vii) menyalagunakan wewenag, dan (viii) melanggar sumpah/janji jabatan.
2. Permasalahan Berdasarkan data lapangan yang ada, ditemukan beberapa kendala yang dihadapi dalam keberhasilan kepemimpinan oleh aparatur desa. Kendala-kendala pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yakni internal dari unsur aparatur desa itu sendiri dan eksternal yang berasal dari luar. Dari lingkup internal ditemukan beberapa masalah diantaranya; a. Masalah pengetahuan dan pemahaman aparatur desa dan ini sangat terkait dengan tingkat pendidikan. b. Kedisiplinan, sebagaimana dikatakan oleh satu nara sumber sebagai berikut “… yang perlu kami tambahkan, terutama tentang masalah kedisiplinan, dimana kepala desa harus punya disiplin sehingga semua
124 115
aparatur, terutama yang ada dibawahnya dapat mengikuti sikap pimpinan”. c. Kemampuan untuk bersikap profesional, terutama dalam mensikapi suatu persoalan atau usuran yang di tengah masyarakat. Dalam konteks ini kepala desa diharpakn bisa membedakan mana yang urusan bersifat dinas, mana yang kekeluargaan, dan mana yang urusan kemasyarakatan. d. Kurang harmonisnya hubungan antar aparatur desa sendiri, seperti hubungan kepala desa dengan aparat dibawahnya sehingga roda pemerintahan desa mengalami kepincangan. e. Rendahnya insentif bagi aparatur desa. Seperti diungkapkan peserta diskusi berikut, “… kami juga priahatian dengan adanya keterbatasan insentif untuk aparat desa. Mohonlah insentif aparat desa ini disesuaikan coba bapak bisa banyangkan, kami hanya mendapat 200ribu perbulan. Bagaimana kami bisa hidup dan bekerja dengan tenang dengan pengasilan yang sangat terbatas”. Sementara masalah yang datang dari luar lingkup aparatur desa diantaranya; a. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting pembangunan desa dan ini menghambat realisasi program-program desa. b. Pola pikir masyarakat yang relatif tertinggal dibanding dengan masyarakat perkotaan. c. Rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya wawasan, pengetahuan masyarakat desa. d. Kondisi ekonomi sebagian masyarakat desa yang relatif memprihatinkan, dimana sebagian diantara mereka masuk dalam kategori masyarakat miskin. e. Masalah karakteristik atau sosial budaya anggota masyarakat yang beragam.
125 116
3. Kebutuhan Pengembangan Kepemimpinan Desa Adapun saran-saran yang berkembang baik dalam forum diskusi maupun
dalam
wawancara
terkait
dengan
peningkatan
kapasitas
penyelenggaraan pemerintahan desa, diantaranya; a. Terkait dengan substansi materi, khususnya mengenai kepemimpinan desa, agar ditambahkan pengetahuan dan pemahaman teoritik mengenai adat istiadat dan sosial budaya yang berkembang di daerah, khususnya di wilayah pedesaan. Seperti dikatakan oleh seorang kepala desa berikut; “Bahwa memimpin suatu desa tidak saja harus mengacu pada teori-teori yang ada begitupula dengan mengacu dengan peraturan-peraturan yang ada. Karena sesungguhnya kita tidak saja dilantik sebagai kepala desa, tapi juga kepala Adat, sekaligus sebagai Bapak Penguhulu. Artinya kita juga dituntut untuk memahami adat istiadat setempat”. b. Dalam modul diperlukan adanya trik-trik khusus yang dapat dijadikan refrensi bagi aparatur desa dalam mensikapi masalah yang muncul di masyarakat. Sekalipun diyakini bahwa belum tentu masalah yang ada akan sama dengan masalah yang terjadi di desa lainnya. Akan tetapi setidaknya trik-trik yang pernah ditempuh dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi mereka. c. Perlu diadakan pelatihan yang berkelanjutan terkait peningkatan kapasitas penyelenggaran pemerintahan desa. Seperti bimbingan teknis dari pemerintah tentang manajemen kepemimpinan, administasi. d. Perlu bimbingan atau pendampingan dalam pelaksanaan tugas dari pemerintah diatasnya, baik dari pemerintah tingkat kecamatan, kabupaten,
maupun
provinsi.
Bahkan
bila
memungkinkan
dari
pemerintah pusat, seperti yang dilakukan oleh LAN. e. Perlu diadakan studi banding ke beberapa desa yang dinilai sudah berhasil dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa.
126 117
f.
Perlu menjaga hubungan yang harmonis baik dengan perangkat desa lainnya, seperti Sekretaris Desa, Kaur, Pihak RT dan RW, BPD, tokoh masyarakat (adat) dan tokoh agama.
g. Perlu perhatian serius dalam hal insentif bagi aparatur desa, agar mereka bisa bekerja maksimal sesuai dengan tugas dan fungsinya. h. Sekretaris desa yang belum diangkat menjadi PNS agar diperhatikan bila memungkinkan seluruh Sekdes dapat diangkat menjadi PNS.
E. MANAJEMEN PELAYANAN DESA Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan diatas harus dihadapi setiap pemerintah daerah, terutama pemerinah kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi sebagai daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan, maka kabupaten/kota tidak akan mampu memenuhi harapan serta kebutuhan rakyat yang berdomisili di wilayahnya. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini, era reformasi otonomi daerah. Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi kepedulian tata pemerintah yang baik (good governance), kinerja pelayanan publik akan semakin baik. 1. Gambaran Pelaksanaan Manajemen Pelayanan Desa Dalam konteks otonomi daerah, harus mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan tersebut di atas. kebutuhan dasari seluruh daerah
127 118
otonom di Indonesia sama, hanya besaran kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata pencaharian penduduknya. Dengan demikian yang membedakan jumlah, jenis urusan dan kewenangan antar daerah adalah urusan pilihan yang berkaitan dengan kewenangan pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, merupakan suatu hal yang sangat krusial tentang bagaimana mendistribusikan kewenangan untuk menjamin pemberian pelayanan mendistribusikan kewenangan untuk menjamin pemberian pelayanan ke dalam susunan pemerintahan yang ada, yaitu pusat, provinsi, kota/kabupaten. Dimana dalam konteks pemberian otonomi dan desentralisasi, hakekatnya terletak pada membagi tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan susunan pemerintahan. Sebelum sampai pada pembahasan wewenang desa, lebih dahulu harus dilihat bagaimana azas pengaturan desa, dan .bagaimana kedudukan bila dikaitkan dengan azas pengaturan desa tersebut Fungsi penting pemerintah desa adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat desa akan pelayanan publik. Oleh karena itu pemerintah desa harus mendapat wewenang yang cukup luas, atau setidak-tidaknya tanggung jawab tertentu. Desentralisasi kewenangan dari kabupaten ke desa adalah transfer tanggung jawab perencanaan, manajemen, dan peningkatan serta alokasi sumber daya dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa. Bentuk desentralisasi dari kabupaten (daerah) ke desa yang paling sesuai adalah devolusi karena desa juga sifatnya otonom. Indikator utama untuk menilai sejauhmana suatu kepemerintahan apakah sudah berjalan dengan baik (good governance) adalah dengan melihat pada kualitas pelayanan publiknya. Beberapa peraturan perundangan yang menjadi acuan dalam peningkatan pelayanan publik sampai ke tingkat Desa, antara lain: 1. UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah 2. UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanana Publik 128 119
3. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005, tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM 4. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintahan, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 5. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007, tentang Organisasi Perangkat Daerah 6. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007, tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah 7. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa 8. Permendagri No. 24 Tahun 2006, tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu 9. permendagri No. 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa 10. Permendagri No. 6 Tahun 2007, tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimum 11. Permendagri No. 79 Tahun2007, tentang Petunjuk Penyusunan Rencana Pencapaian SPM 12. Kepmenpan No. 63 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik 13. Kepmenpan No. 25 Tahun 2004, tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat 14. Unit Pelayanan Instansi Pemerintah 15. Perda SK Bupati/Walikota tentang pelayanan publik (di daerah bersangkutan) 16. Dokumen RPJMD, Renstra dan Renja SKPD terkait (di daerah bersangkutan) 17. Kriteria Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kriteria penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, sesuai Kepmenpan No. 25 Tahun 2004, tentang Pedoman Umum 18. Peraturan Desa (di daerah yang bersangkutan) Sementara itu, penekanan yang berbeda dikeluarkan oleh Komisi Hukum Nasional, yang mengemukakan pengertian layanan publik sebagai : ”suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara atau penduduk atas suatu layanan (publik)”. Di sini penekannya adalah pada adanya kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada warga negara dengan berbagai cara yang terbaik.
Ada dua dasar yang
melatarbelakangi penyelenggaraan pelayanan publik yakni : 129 120
Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat (permintaan/demand) atas pelayanan
Upaya penataan ketentuan peraturan perundang-undangan (kewajiban negara/pemerintah beserta aparaturnya dan menjadi hak masyarakat) Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan ini di
tingkat desa terutama sering mengalami kendala, realitas yang ada bahwa banyak ragam persoalan yang dihadapi dua aspek; yaitu aspek kulturalgeografis dan aspek struktural. Di mana masalah-masalah tersebut merupakan masalah historis yang bersifat kausalitas sehingga berdampak pada ketidakberdayaan desa. Sejauh pengamatan yang dilakukan ada beberapa faktor penyebab keterbelakangan desa terutama di luar Jawa Pertama, keterbatasan jumlah staff pemerintah desa yang bertanggungjawab untuk pemerintahan desa sementara pada sisi lain jumlah desa/kelurahan dari tahun ke tahun cenderung meningkat dengan masalah ikutannya yang juga meningkat dan kompleks. Kedua, mobilitas staff pemerintahan yang terbatas (kuantitas maupun kualitas) berpengaruh pada fungsi kendali kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang rendah. Ketiga, kuantitas dan kualitas pendampingan, pelatihan dan monitoring perkembangan desa yang rendah berpengaruh kepada efektifitas dan efisiensi intervensi program. Akibatnya program tidak berdampak signifikan pada pemberdayaan pemerintahan desa sehingga perjalanan tata pemerintahan desa seolah-olah tanpa visi dan misi yang terarah. Keempat, keterisolasian desa yang tinggi berpengaruh pada aksesibilitas pemukiman penduduk terhadap pusat-pusat fasilitas publik sehingga menimbulkan kesenjangan pelayanan publik. Kelima, kualitas dan kompetensi SDM desa yang masih rendah dan terbatas berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparat desa. Keenam, posisi dan ketokohan lokal yang dominan masih menjadi referensi dalam berbagai pengambilan kebijakan baik bersifat kultural maupun formal berdampak pada
130 121
sistem pemerintahan desa lebih didominasi semangat feodalisme dan clientalisme. Kendala –kendala ini lah yang menyebabkan sebagian besar desa di Indonesia terutama di daerah lokus kajian ini mengalami kesulitan untuk mengembangkan pelayanan publik di desanya. Hal lain yang kurang mendukung adalah kurang berpihaknya pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten untuk memberikan sebagian besar urusan Kabupaten kepada Desa seperti yang diungkapkan narasumber dari BPMD Provinsi Nusa Tenggara Barat “Buktinya banyak hal-hal, misalnya seperti yang td dikatakan dari 224 item itu belum sampai 10 persen diserahkan penanganannya oleh desa tapi ditangani oleh kabupaten yang mana pelayananannya jauh dari komunikasi, jauh dari masyarakat. Kenapa tidak pelayanan itu kita serahkan saja kepada desa sehingga terjadi hal-hal dari segi social budaya. Dari segi social budaya kita ada kearifan-kearifan local yang dulu pernah berkembang di desa, misalnya menyelesaikan sengketa, sekarang ini sampai Mahkamah Agung. Bisa diselesaikan dengan kearifan lokal di tingkat desa. Belum lagi yang lain seperti surat kenal lahir misalnya, harus ke kabupaten. Kabupaten yang menerbitkan surat kenal lahir padahal lahir di desa. Ijin-ijin mendirikan bangunan misalnya, ada peraturan-peraturan tidak boleh membangun di bantaran sungai atau pinggir jalan misalnya, tapi kepala desa nggak mau tahu karena kepala desa tidak diberikan wewenang mengatur hal itu di tingkat desa. Itu diatur sama kabupaten. Padahal hal-hal semacam itu yang paling cepat yang paling tahu yang paling dekat dengan masyarakatnya itu kepala desa. Dia bisa melarang, menyetujui. Ini tidak diberikan hak. Sering dikatakan ini belum siap. Bagaimana akan siap kalau tidak diberi tahu. bagaimana akan siap kalau tidak diberikan hak kepala desa-kepala desa itu. Jadi menurut saya pelatihan-pelatihan itu harus sesuai dengan pemberian-pemberian haknya itu yang dibarengi dengan pelatihan-pelatihan yang ada” Penjelasan narasumber ini mengarah pada permasalahan yang terkait dengan tingkat kepercayaan Pemerintah Kabupaten kepada Desa. Kendala yang berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia aparatur desa yang 131 122
belum mampu atau siap melaksanakan urusan yang akan diserahkan. Menurutnya juga apabila aparatur desa itu diberi kesempatan dan dukungan sarana dan prasarana, anggaran dan pelatihan-pelatihan tentu hal ini akan membantu mereka dalam melayani masyarakatnya. Karena aparatur desa merupakan pihak yang lebih dekat kepada masyarakat. Bila aparatur desa ini tidak diberi kesempatan dan kekuasaan untuk melaksanakan urusan yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat tentu akan menyulitkan masyarakat sendiri. Sedangkan banyak aspek kehidupan masyarakat yang memerlukan pelayanan dan bantuan dari pemerintahan desa. Berikut jenis-jenis pelayanan kepada masyarakat yang biasanya memerlukan bantuan aparatur desa : Tabel.4.2 Jenis-Jenis Pelayanan Publik di Desa No
Jenis Pelayanan
1
Pelayanan administrasi Nikah, Talak, Rujuk dan Cerai; b. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk; c. Surat Keterangan Kelakuan Baik; d. Surat Keterangan KTP Sementara; e. Surat Keterangan Membawa Hasil Bumi; f. Surat Keterangan Jual Beli Hewan/Potong Hewan Besar; g. Surat Keterangan Ijin Mendirikan Bangunan; h. Surat Keterangan Domisili; i. Surat Keterangan Usaha; j. Surat Pengantar Naik Haji; k. Surat Keterangan Pindah Alamat; Pembuatan Kartu Tanda Penduduk; Legalisasi Surat-surat; Pembuatan Akta Kelahiran pelayanan di bidang pemerintahan, kesehatan, pendidikan, usaha dsb pelayanan pengayoman kepada masyarakat
2
Keterangan
132 123
Sementara
itu
berdasarkan
Keputusan
Menpan
Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik maka pelayanan publik dikelompokkan sebagai berikut :
Kelompok Pelayanan Administratif : seperti penerbitan bukti-bukti kewarganegaraan (akta kelahiran, KTP, pasport), sertifikat pengakuan atas kecakapan (kompetensi) tertentu warga yang menerimanya (ijazah, sertifikat, diploma, lisensi).
Kelompok Pelayanan Barang, adalah pelayanan yang menghasilkan barang tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya : jalan raya, gedung sekolah, tempat tempat pengobatan, dan pemeliharaan kesehatan,
terminal,jaringan
telepon,
jaringan
telepon,
jaringan
penyaluran tenaga listrik, jaringan air bersih dan sejenisnya.
kelompok Pelayanan jasa : adalah pelayanan yang menghasilkan produk jasa
tertentu
yang
diperlukan
oleh
masyarakat.
Misalnya
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pemeliharaan,kesehatan dan pengaturan lalu lintas. Prinsip-prinsip pelayanan publik sebagaimana tercantum dalam tercantum dalam Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, adalah sebagai berikut: a. kesederhanaan:
prosedur
pelayanan
tidak
berbelit-belit,
mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan. b. Kejelasan, dalam hal: persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik, unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayarannya. c. Kepastian waktu: pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Akurasi: produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
133 124
e. Keamanan: proses dan produk pelayanan publik memeberikan rasa aman dan kepastian hukum. f.
Tanggungjawab: pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawb atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja: peralatan kerja dan pendukung lainnya
yang
memadai
termasuk
penyediaan
sarana
teknologi
telekomunikasi dan informatika (telematika) h. Kemudahan akses: tempat dan lokasi sarana prasarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi. i.
Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan: pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j.
Kenyamanan: lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lainnya. Selain pola pelayanan yang disebutkan di atas, instansi pemberi layanan
dapat mengembangkan pola penyelenggaraaan pelayanan sendiri dalam rangka upaya menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan publik. Pengembangan pola penyelenggaraan pelayanan publik dimaksud mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam pedoman pelayanan publik yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu contoh inovasi dalam bidang pelayanan di desa adaalah DESA SIAGA, Seperti Desa Siaga Puskesmas Tawang Sari Kabupaten Sukoharjo. Desa Siaga Ialah suatu kondisi masyarakat tingkat desa / kalurahan yang memiliki sumber daya potensial dan kemampuan mengatasi masalah –
134 125
masalah kesehatan , bencana, kegawat daruratan kesehatan secara mandiri. Ada 4 pilar kegiatan di desa siaga yaitu : 1. Pemberdayaan / gotong royong Mis : pembuatan SPAL, PSN 2. Pengamatan / surveylans epidemiologi Mis : kasus demam berdarah 3. Upaya
–upaya
kesehatan
/
pelayanan
kesehatan
dasar
Yaitu
terbentuknya PKD sebagai tempat pelayanan kesehatan dasar yang memberikan pelayanan kesehatan sesuai kewenangan. 4. Pembiayaan Kesehatan Mis : Dana shat, Jimpitan, dana sehat iuran RT Ada 4 masalah Kesehatan yaitu ; 1. Adanya kematian bayi 2. Adanya kematian ibu 3. Adanya gizi kurang / buruk 4. Adanya wabah / kejadian luar biasa suatu penyakit LANGKAH –LANGKAH KEGIATAN DIDESA SIAGA : 1. PTD ( Pertemuan Tingkat Desa ) PTD merupakan langkah awal dari kegiatan desa Siaga , sudah dilaksanakan bulan Maret 2009 diseluruh wilayah Kecamatan Tawangsari. 2. SMD (Survey Mawas Diri ) Ialah kegiatan pengenalan pengumpulan , pengkajian masalah kesehatan oleh sekelompok masyarakat setempat dibawah arahan petugas kesehatan / Bidan.Sudah dilaksanakan bulan April – Mei 2009 dengan dana Bansos. 3. MMD ( Musyawarah Masyarakat Desa ) Ialah pertemuan seluruh warga desa membahas hasil SMD dan merencanakan penanggulangan masalah kesehatan yang diperoleh dari hasil SMD. Pelatihan Kader Merupakan kegiatan dalam rangka mempersiapkan kader agar mampu dan berperan serta dalam mengembangkan desa siaga dan PKD. Tujuan akhir Desa Sehat dan Desa Siaga : Memandirikan masyarakat dalam bidang kesehatan Kompetensi pada desa siaga dan desa sehat : 1. Melakukan pengamatan penyakit , gizi , kesehatan lingkungan dan prilaku
135 126
2. masyarakat dalam rangka survey mawas diri. 3. Melakukan
Musyawarah
Masyarakat
Desa
dalam
penggalangan
komitmen Desa 4. Siaga. 5. Melakukan pelayanan kesehatan produktif dan preventif. 6. Melakukan administrasi Desa Siaga. 7. Menggalang jejaring kemitraan potensi yang ada di desa ( LSM , Swasta ,Organisasi 8. didesa PKK , Karang Taruna dll ). 9. Menerapkan tehnologi tepat guna sesuai dengan potensi yang ada. 10. Menggali pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat. 11. Mengelola upaya kesehatan berbasis masyarakat. Kemudian juga ada Strategi Pengembangan Desa Siaga yang terdiri dari kegiatan sebagai berikut : *
Penggalangan komitmen Visi dan Misi desa siaga.
*
Penggerakan peran serta masyarakat.
*
Pengembangan potensi sumber daya masyarakat.
*
Pembinaan lintas program dan dan lintas Sektoral Setiap Bulan Pokja Desa Siaga mengadakan pertemuan membahas
kegiatan Pokja Desa Siaga berupa pengisian buku kerja Pokja Desa Siaga , Arisan , dan tabungan kader. Setiap triwulan pembinaan oleh TIM Promkes Puskesmas kalau bisa ada kunjungan balasan antar desa / Pokja Desa Siaga memaparkan hasil perkembangan ke semua desa Pokja Desa Siaga. Tenaga SDM kesehatan Desa Siaga : Tenaga kesehatan yang diprioritaskan adalah bidan desa dengan tambahan kompetensi di bidang pelayanan kesehatan dasar, sedangkan tenaga kesehatan lainnya cukup berada di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (Pustu) sebagai Tim Pembina Desa.
136 127
MANAJEMEN P1 TIM PEDOMAN/ PERATURAN
KONSEP DAN KEBIJAKAN DESA SIAGA
P2 PEMILIHAN DESA PENGADAAN SDM
P3 PENGAWASAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI
TUGAS/PERAN MASING-MASING UNIT KES DAN STAKEHOLDERS LAIN SESUAI TK ADMINISTRASI (MEMPERTAHANKAN UU PEMERINTAHAN DAERAH
PELAKSANAAN KONSEP KEBIJAKAN DESA SIAGA
Sumber : Kebijakan Pengembangan Desa Siaga
2. Permasalahan yang dihadapi a. Kebijakan Manajemen Pelayanan Desa Ditingkat kabupaten/kota Infrastruktur dan sumber daya yang mencukupi diharapkan sebagai modal utama dalam pemberian pelayanan publik yang baik Namun hal lain yang pentingnya mungkin yang lebih menantang adalah kerangka kelembagaan bagi pelayanan publik. Di Indonesia, keterbatasan kelembagaan menjadi kendala besar bagi pelayanan publik yang sukar diatasi, seperti digambarkan di bawah ini. Meskipun peraturan perundangan di era tahun 1999 telah melimpahkan urusan dan kewenangan begitu besar atas manajemen dan pelaksanaan pelayanan publik bagi pemerintah daerah, kurang konsistennya kerangka hukum dan peraturan perundangan bagi desentralisasi pemerintahan membuat
pemerintah
kabupaten/kota
harus
berjuang
untuk
merumuskan serta melaksanakan peran dan tanggungjawabnya. Hal ini 137 128
mempersulit perencanaan dan anggaran dan seringkali menyebabkan semacam kelumpuhan, dimana tidak berbuat apa-apa dianggap lebih aman
daripada
melakukan
tindakan
tertentu.
Pemerintah
kabupaten/kota yang terperangkap dalam status perundangan yang tidak jelas seperti ini pada umumnya tidak proaktif dalam mengarahkan pengembangan daerah dan manajemen pelayanan publik. Reformasi pelayanan publik yang sepotong-sepotong saat ini melanggengkan inefiesiensi birokrasi. Orang begitu berminat atas kedudukan di pemerintah daerah, tetapi karena kenaikan pangkat tidak didasari sistem meritokrasi, mereka kehilangan semangat untuk berkinerja baik. Akibatnya, banyak pegawai pemerintah tidak merasakan perlunya reformasi dalam pelayanan publik, karena waktu mereka akan banyak tersita tanpa imbalan kenaikan karir yang konkret dalam tugastugas tersebut. Demikian juga, korupsi masih terus menjadi penghambat bagi tata-kelola pemerintahan yang baik. Undang-undang anti korupsi dan pelaksanaannya, termasuk reformasi pengadaan barang dan jasa pemerintah, masih berada dalam tahap awal. Akibatnya, masyarakat terus berhadapan dengan biaya tinggi serta inefisiensi kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Di tingkat Desa pelayanan publik didasarkan pada penyerahan urusan yang diberikan Kabupaten kepada Desa seperti yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 pada bab III Kewenangan desa pasal
7 menjelaskan
bahwa ada urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan desa yang mencakup : a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kotayang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah kabupaten/Kota; dan d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa”. 138 129
Selanjutnya pada pasal 8 menyebutkan bahwa : “Urusan pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan
Kabupaten/Kota
yang
diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat”.
Untuk
menunjang pelaksanaan pasal 7 dan 8 pada PP No. 72 tahun 2005 tersebut telah ada Permendagri No 30 tahun 2006 yang mengatur tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa.
Namun pada pelaksanaannya di daerah tidak semua
urusan dapat langsung diberikan Kepada Desa karena beberapa alasan yang terkait dengan kualitas sumber daya dan dukungan sarana dan prasarana. Hal ini seperti yang diungkapkan Kepala BPMD Provinsi Nusa Tenggara Barat pada saat Workshop Kajian Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa: “Saya kira momen ini cukup baik sekali karena kita di dalam era ini memang melihat dari kondisi desa-desa kita, khususnya di Nusa Tenggara Barat berdasarkan hasil dari kami memantau melalui perlombaan desa, memang masih banyak hal yang perlu dibenahi karena kita juga sering mendengar dari Bapak Presiden, Gubernur maupun Bupati “coba kita mulai dari desa”. Karena kalau desanya maju kecamatan maju, kabupaten maju, nasional juga maju jika kita mulai dari desa. Namun selama ini tampaknya hanya slogan-slogan yang kita lihat. Kenyataannya kalau kita lihat dalam Permendagri No 30 tahun 2006 ada 224 hak-hak desa yang belum sampai 10 persen diserahkan kepada desa dari kabupaten hak-haknya. Kewenangan-kewenangan yang harus dilakukan desa itu ada 224. Kalau 31 instansi ini memberikan pembekalan-pembekalan untuk melaksanakan kewenangan itu saya rasa pemerintahan desa juga bisa maju. Pernyataan Kepala BPMD Provinsi Nusa tenggara Barat ini juga didukung dari pendapat aparatur desa seperti yang terdapat dalam tabel berikut :
139 130
Tabel.4.3 Kendala Kebijakan dan Dukungan Pemerintah No
Kendala
1
2
3
4
Upaya yang Ditempuh
Kurangya perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerihtah provinsi dan pusat tentang kesejahteraan aparatur desa yang masih di bawah standar UMR sementara Pemerintah desa adalah ujung tombak dari sistem NKRI Kurangnya partisipasi dan swadaya masyarakat dan masih minimnya bantuan dana baik dari pemda maupun pemprov Permasalahan-permasalahan yang dihadapi adalah memenuhi keinginan masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan, karena belum adanya keseimbangan keuangan/dana yang diberikan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten Belum mempunyai dasar hukum di tingkat desa dalam membuat kebijakan (pelayanan)
Menggali potensi APBDes
Melakukan pendekatan dan Sosialisasi kepada masyarakat tentang program yang akan kita laksanakan pentingnya partisipasi swadaya masyarakat Membuat proposal untuk dimintakan kepada pihak atasan, termasuk pemerintah daerah sampai pusat Mengarahkan masyarakat untuk bergotong royong
Dari tabel tersebut sebagian besar memperlihatkan bahwa kemampuan APBDes dan dukungan anggaran yang kecil atau belum ada mungkin
tidak
menjadi
kendala
utama
untuk
mendukung
penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik. Tetapi yang lebih penting dalam konteks ini lebih kepada political will dari PEMDA setempat, apakah res-ponsif terhadap kebutuhan desa atau tidak. Kalau pun kemampuan APBD dan PAD di rasa terbatas kiranya hal ini janganlah dijadikan hambatan, tetapi Pemda harus memikirkan terobosanterobosan yang inovatif dan kreatif dalam mensiasati keterbatasan tersebut seperti yang terjadi saat ini. 140 131
b. Prosedur Pelayanan Prosedur pelayanan adalah rangkaian proses atau tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya tahapan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian sesuatu pelayanan. Prosedur pelayanan publik harus sederhana,
tidak
berbelit-belit,
mudah
dipahami,
dan
mudah
dilaksanakan, serta diwujudkan dalam bentuk bagan alir (flow chart) yang dipampang dalam ruangan pelayanan. Dalam hal ini bagan alir sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik karena berfungsi sebagai: 1. Petunjuk kerja bagi pemberi pelayanan; 2. Informasi bagi penerima pelayanan; 3.
publikasi secara terbuka pada semua unit kerja pelayanan mengenai prosedur pelayanan kepada penerima pelayanan;
4. Pendorong terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien; 5. Pengendali (kontrol) dan acuan bagi masyarakat dan aparat pengawasan untuk melakukan penilaian/pemeriksaan terhadap konsistensi pelaksanaan kerja. Beberapa kendala yang dihadapi dalam prosedur pelayanan di desa seperti yang didapat dalam penggalian data adalah seperti penjelasan dalam tabel berikut : Tabel.4.4 Kendala Prosedur Pelayanan No 1
Kendala
Upaya yang Ditempuh
Ketidakmampuan masyarakat dalam memahami berbagai hal yang berhubungan dengan peraturan administrasi desa (yang terkait dengan pelayanan) (rendahnya kualitas sumber daya masyarakat)
Sosialisasi kepada masyarakat tentang peraturan desa (yang terkait dengan pelayanan)
141 132
No 2
3
Kendala
Upaya yang Ditempuh
Kurangnya memahaminya jam-jam (waktu) administrasi surat menyurat yang ingin dilayanai langsung di luar jam kantor oleh masyarakat, sehingga Kades sendiri harus berinisiatif menyediakan blanko/ format-format yang dibutuhkan seketika oleh masyarakat. Kendala geografis
Menghimbau kepada kepala dusun agar mensosialisasikan hal ini.
Sosialisasi kepada masyarakat tentang prosedur pelayanan.
Terkait dengan sampainya pelayanan publik kepada masyarakat ini juga harus didukung masyarakat itu sendiri. Bila dilihat dari aspek perkembangan daerah, akselerasi pembangunan di wilayah ini sedikit lambat, karena medannya sulit dan pola hidup masyarakatnya yang masih tradisional juga akan mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap informasi yang disiapkan pemerintah. Sebaliknya masyarakat disepanjang di Jawa merupakan masyarakat yang relatif heterogen dan terbuka sehingga sebagian besar lebih dapat menerima informasi yang terkati dengan kepentingan mereka. Dari aspek perkembangan daerah, akselerasi pembangunan cukup mempengaruhi daya serap pelayanan publik di desa.
Realitas di atas membawa konsekuensi pada ragam
persoalan yang ditimbulkan dapat berbeda-beda jika dilihat dari konteks pembangunan umumnya dan pengembangan desa khususnya.
c. Persyaratan Teknis dan Administratif Pelayanan Segala persyaratan yang bersifat duplikasi harus dihilangkan dari instansi yang terkait dengan proses pelayanan. Persyaratan tersebut harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan. Untuk memperoleh pelayanan, masyarakat harus memenuhi
142 133
persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemberi pelayanan, baik berupa persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penetapan persyaratan, baik teknis maupun administratif harus seminimal mungkin dan dikaji terlebih dahulu agar benar-benar sesuai atau relevan dengan jenis pelayanan yang akan diberikan. Misalnya segala persyaratan yang bersifat duplikasi harus dihilangkan yang terkait dengan proses pelayanan. Persyaratan tersebut harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan.
Tabel.4.5 Kendala Persyaratan Teknis Dan Administrative Pelayanan No
Kendala
1
2
3
Upaya yang Ditempuh
Masih kurangnya pengertian dan pengetahuan masyarakat dalam mengurus kelengkapan administratif yang telah ditentukan. Kurang sadarnya masyarakat di dalam berurusan kepada aparatur pemerintahan desa di dalam hal ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan desa
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
Kurangnya sarana dan prasarana (seperti komputer dan ATK termasuk belum adanya Listrik di desa-desa di NTT) untuk menunjang administrasi desa.
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat melakukan penjadwalan pelayanan memberi tugas kepada setiap aparatur desa dalan hal pelayanan. Tetap melakukan pelayanan dengan baik sebisa mungkin memanfaatkan sarana danprasaran yang ada untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Memberikan transparansi dan komunikasi yang baik akan kondisi yang ada di kantor desa
143 134
Di era yang sudah sangat berkembang ini, sarana dan prasarana seperti komputer adalah tehnologi yang sangat membantu dalam setiap pekerjaan terutama yang terkait dengan administrasi dan data. Di satu sisi teknologi ini sudah memungkinkan suatu layanan umum didekatkan kepada masyarakat, namun disisi lain berbagai komponen layanan umum yang merupakan tugas pokok dan fungsi sektoral instansi teknis daerah pada tingkat Kabupaten/Kota sangat terbatas terdistirbusi kepada lembaga pemerintah terdekat kepada masyarakat, seperti Desa.Keberadaan komputer di kantor desa menjadi kurang mendukung upaya mewujudkan manfaat e-government sebagai salah satu media mewujudkan pelayanan umum yang lebih baik, mudah, murah, valid dan cepat. Komputerkomputer tersebut lebih banyak difungsikan sebagai mesin ketik dan mengelola kepentingan stand alone office biasa. Namun yang menjadi kendala, selain jumlahnya terbatas karena anggaran yang tersedia, pengoperasian komputer juga bergantung pada kemampuan sumber daya manusia aparatur desa yang melaksanakan pelayanan.
d. Pejabat yang Berwenang dan Bertanggung Jawab Pejabat/petugas
yang
berwenang
dan
bertanggung
jawab
memberikan pelayanan dan atau menyelesaikan keluhan, persoalan dan sengketa, diwajibkan memakai tanda pengenal dan papan nama di meja atau tempat kerja petugas. Pejabat atau petugas tersebut harus ditetapkan secara formal berdasarkan Surat Keputusan atau Surat Penugasan dari pejabat yang berwenang. Pejabat atau aparat yang memberikan pelayanan dan menyelesaikan keluhan harus dapat menciptakan citra positif terhadap penerima pelayanan dengan memperhatikan:
144 135
1. Aspek psikologi dan komunikasi, serta perilaku melayani, 2. Kemampuan melaksanakan empati terhadap penerima pelayanan, dan dapat merubah keluhan penerima pelayanan menjadi senyuman, 3. Menyelaraskan cara penyampaian layanan melalui nada, tekanan dan kecepatan suara, sikap tubuh, mimik dan pandangan mata, 4. Mengenal siapa dan apa yang menjadi kebutuhan penerima pelayanan, 5. Berada di tempat yang ditentukan pada waktu dan jam pelayanan. Kendala yang dihadapi yang terkait dengan sumberdaya aparatur desa yang melaksanakan pelayanan publik di desa, diantaranya seperti yang terdapat dalam tabel berikut : Tabel.4.6 Pejabat Yang Berwenang Dan Bertanggung Jawab No 1
2
3
Kendala
Upaya yang ditempuh
Tidak harmonisnya hubungan aparatur desa (Pemerintah Desa dan BPD) sehingga menyulitkan terciptanya pelayanan yang baik kepada masyarakat Rendahnya kualitas sumber daya aparatur
Dengan musyawarah dan mufakat yang melibatkan aparatur desa dan semua lapisan masyarakat dalam forum tersebut Melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait untuk mensosialisasikan pelayanan publik disesuaikan dengan adat istiadat budaya di wilayah itu sendiri. berupaya menambah wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pelayanan dengan cara misalnya : ikut pelatihan, seminar, kursus dan lain-lain.
Rendahnya anggaran penghasilan aparatur desa
untuk
145 136
e. Standar Pelayanan Publik Setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib menyusun Standar Pelayanan masing-masing sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dan dipublikasikan kepada masyarakat sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran kualitas kinerja yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Hal ini pula yang disampaikan aparatur desa dalam workshop yang dilaksanakan di Provinsi Jambi : Pernyataan Kelompok V Workshop Batanghari, Provinsi Jambi: “Dalam hal Manajemen Pelayanan, kami berpandangan bahwa semua point yang ada kami anggap penting. Namun perlu kami sampaikan bahwa perlu kiranya ditambahkan, terutama terkait dengan (i) perlu adanya aturan dan prosedur yang jelas, agar dalam hal pelayanan bisa efektif dan efesien. (ii) kami juga memerlukan tip-tip (trik-trik) dalam menghadapi masyarakat agar tidak keluar dari aturan-aturan perundangan yang ada”. Harapan mereka ini merupakan juga masalah yang mereka hadapi dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakatnya, selain kebijakan yang belum mendukung juga kendala internal dan eksternal yang mereka hadapi. Kendala internal seperti anggaran yang kurang mendukung juga kualitas sumber daya manusia aparatur desa yang melaksanakan pelayanan sedangkan kendala eksternal adalah kualitas sumber daya manusia masyarakat untuk dapat menerima informasi selain kendala geografis yang membuat pelayanan menjadi sulit dijangkau. Untuk Itu standar pelayanan yang ditetapkan hendaknya realistis, karena merupakan jaminan bahwa janji/komitmen yang dibuat dapat dipenuhi, jelas dan mudah dimengerti oleh para pemberi dan penerima pelayanan. Dan untuk memenuhi kebutuhan informasi pelayanan kepada masyarakat,
setiap
unit
pelayanan
instansi
pemerintah
wajib
mempublikasikan prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standar, akta/
146 137
janji, motto pelayanan, lokasi serta pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab sebagaimana telah diuraikan di atas. Publikasi dan atau sosialisasi tersebut di atas dilakukan melalui, antara lain, media cetak (brosur, leaflet, booklet), media elektronik (website, home-page, situs internet, radio, televisi), media gambar dan atau penyuluhan secara langsung kepada masyarakat
3. Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Manajemen Pelayanan Publik Penyelenggaraan pemerintahan desa menuntut perubahan perilaku aparatur yang mencakup kelembagaan, manajemen dan sumberdaya manusia untuk menampung dan mengimbangi berbagai perkembangan yang terjadi. Hal demikian sejalan dengan tujuan pemberian otonomi desa serta kewenangan yang luas kepada desa dalam melakukan pembangunan daerahnya, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kesempatan serta peluang kepada masyarakat untuk berperan dalam penyelenggaraan pembangunan. Perubahan lingkungan baik sebagai dampak globalisasi, reformasi maupun pemberian kewenangan yang luas kepada desa, terjadi pula pergeseran dinamika kehidupan sosial budaya, ekonomi masyarakat, maka dalam upaya menuju pelayanan publik yang prima, berbagai kebijakan telah ditetapkan pemerintah melalui upaya perbaikan manajemen pelayanan, baik dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur, maupun dalam sistem dan prosedur pelayanan agar perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur
pemerintah
desa
kepada
masyarakat
serta
peraturan
pelaksanaannya yang memberi pedoman dalam pelayanan publik. Dengan realitas tersebut, maka tuntutan untuk menjadikan pelayanan kepada masyarakat akan mendorong aparatur desa untuk dapat menjadi lebih baik. Berikut harapan aparatur desa dalam workshop yang dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Utara - Provinsi Bengukulu :
147 138
Workshop Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu : “Kami mengharapkan pelatihan dan sosialisai bagi kepala desa untuk mendalami pengetahuannya dalam menjalankan tugas seperti yang terkandung dalam modul ini. Dalam pelaksanaan ini saya menghimbau dengan adanya sosialisasi dan pelatihan semacam ini sangat mendidik, diharapkam akan menambah tingkat kinerja kita ke depan, dan menambah optimalisasi pelayanan terhadap masyarakat di desa kita masing-masing, dan melakukan koordinasi kepada instansi-instansi terkait untuk merealisasikan pelayanan di desa yang disesuaikan dengan adat dan istiadat kita masing-masing”.
Box. 4.7. KEBUTUHAN PENGEMBANGAN Kemampuan dalam merumuskan program-program pelayanan Kemampuan dalam mengelola pelayanan Kemampuan memahami petunjuk maupun peraturan undang-undang yang mendukung aparatur desa dalam memberikan pelayanan Kemampuan teknis (mengoperasikan komputer dll) Kemampuan mengambil keputusan Kemampuan dalam melakukan kerjasama (LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait Kemampuan membuat prosedur pelayanan desa.
Implementasi kebijakan pemerintah tersebut, pelaksanaannya sangat beragam di daerah, antara lain dengan penyederhanaan sistem dan prosedur melalui penyempurnaan peraturan daerah atau peraturan/ Keputusan Kepala Daerah, penetapan sistem pelayanan terpadu atau pelayanan satu atap, pembentukan lembaga perizinan, penyediaan kotak saran atau petugas yang khusus menangani keluhan, pengaduan dan kritik masyarakat. Dengan pelatihan dan upaya menambah wawasan akan memotivasi untuk mempercepat
pelaksanaan
pembangunan
sebagai
pengejawantahan
pelayanan publik kepada masyarakat.
148 139
Secara implisit, semua harapan-harapan aparatur desa itu juga merupakan harapan yang hendak dicapai oleh pasal-pasal dalam Undang Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah no. 32/2004 terutama pada bagian yang secara khusus melihat ihwal pemerintahan desa, terutama jika menilik kondisi faktual kebanyakan kelembagaan pemerintahan desa saat ini yang berada dalam situasi yang memprihatinkan secara organisasional maupun manajerial. Sebagai unit birokrasi-pemerintahan, pemerintah desa menghadapi persoalan keterbatasan daya-kreasi untuk menginisiasi gagasan pembaruan. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif. Sebagai unit representasi negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kemandirian dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di suatu wilayah.
149 140
BAB 5 STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA
Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal penting terkait dengan permasalahan berikut strategi peningkatan kapasitas aparatur desa yang meliputi aspek perencanaan
dan
penganggaran,
penyusunan
kebijakan,
keuangan
desa,
kepemimpinan kepala desa dan manajemen pelayanan desa. A. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA Pada aspek perencananaan dan penganggaran desa pada Bab sebelumnya bahwa belum semua desa menyusun dokumen-dokumen perencanaan sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan baik UU, PP, Perda maupun permendagri yang mengaturnya. 1. Beberapa desa hanya ternyata telah menyusun RKP Desa (tahunan), tetapi tidak memiliki RPJM Desa (lima tahunan), hal ini ‘aneh’ karena dokumen RKP desa seharusnya mengacu kepada dokumen RPJM Desa. 2. Pelaksanaan Musrenbang Desa (baik untuk penyusunan RPJM Desa maupun untuk RKP Desa) ternyata tidak berlangsung secara optimal, terutama karena dua hal, pertama minimnya kemampuan aparatur desa dalam menyusun dokumen RKP Desa, dan kedua karena keterbatasan anggaran. 3. Adanya keterbatasan anggaran tersebut juga berpengaruh besar pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa), dan tentu saja, minimnya kemampuan aparatur desa dalam hal penyusunan anggaran juga masih sangat dirasakan di pemerintah desa. Dari beberapa permasalah tersebut maka strategi yang dapat diajukan sebagai berikut : 1. Strategi
yang
dapat
diajukan
adanya
upaya
peningkatan
kemampuan/kompetensi aparatur desa dalam hal: (a) metode perencanaan 150 141
partisipatif, (b) analisis masalah dan potensi desa, (c) metode pemilihan skala prioritas kegiatan, (d) penyusunan anggaran dan belanja desa, dan
(e)
berkomunikasi/ berdiskusi/presentasi. 2. Strategi ini dapat ditempuh dengan melakukan: pelatihan (bimbingan teknis, pembekalan, penataran, dll) dan non-pelatihan (studi banding, magang, dst). Hal ini juga penting untuk menjadi perhatian pemerintah Kabupaten/Kota, karena upaya pelatihan dan non pelatihan ini sangat memerlukan dukungan dari pemda setempat, baik dukungan personil sebagai pendamping dan anggaran untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
B. KEUANGAN DESA Berdasarkan deskripsi mengenai pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian seperti berikut : 1. Pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat dikatakan belum dapat terselenggara dengan baik . Dalam pelaksanaan perencanaan keuangan daerah, banyak desa belum menerapkan anggaran APBD desa serta belum dapat menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya dengan baik. 2. Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, administrasi desa belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik. 3. Dalam manajemen kekayaan desa, banyak dijumpai barang-barang kekayaan desa yang belum terpelihara dengan baik serta masih adanya persoalan dalam pembagian kekayaan desa sebagi akibat dari pemekaran desa. 4. Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa dapat dikatakan juga masih belum optimal. Badan Usaha Milik Desa yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan asli desa cenderung belum terkelola dengan baik. Akhirnya, dari sisi penerimaan kapasitas keuangan desa masih sangat bergantung dari transfer pemerintah yang ada di atasnya.
151 142
Berdasarkan kondisi empiris tentang kapasitas pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa beserta problematika yang berhasil dirangkum, strategi peningkatan kapasitas aparatur desa dalam manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat dirumuskan sebagai berikut. : Pertama, pada level sistem strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa dengan kewengan desa dan memperbaiki metode pengalokasian dana desa.
Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa melalui perbaikan sumber daya aparatur desa melalui perbaikan rekuitmen dan manajemen aparatur desa.
Kedua, pada level organisasi strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan BUMDes sebagai sumper penerimaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa
Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan kerjasama antar desa dalam bidang ekonomi dan berbagai pelayanan publik.
Peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan desa
Peningkatan mekanisme akuntabilitas desa
Ketiga pada level individu, strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui bimbingan teknis manajemen keuangan desa yang mencakup penyusunan APBDesa, Pengelolaan ADD, Pengelolaan Kekayaan Desa, Pengelolan BUMDes.
Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui sosialisasi peraturan kebijakan keuangan desa
Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui pendampingan maupun fasilitasi, misalnya dalam pendirian BUMDes, dan sebagainya
152 143
C. PENYUSUNAN KEBIJAKAN DESA Aspek yang tak kalah penting adalah Kapasitas aparatur desa dalam penyusunan kebijakan desa, berdasarkan deskripsi pada bab sebelumnya beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah : 1. Desa masih sangat rendah, hal ini terlihat dari jumlah Kebijakan Desa yang disusun dalam setiap tahunnya, rata-rata pemerintahan desa baru menyusun 2 (dua) Peraturan Desa, dan 1 (satu) Peraturan Kepala Desa, yakni Peraturan Desa tentang RKPDes, dan Perdes tentang RAPBDes,dan bahkan masih terdapat terdapat Desa yang hanya baru menyusun 1 (satu) Peraturan Desa yakni Peraturan Desa tentang RAPBDes. 2. Dengan memperhatikan hal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa penyusunan Kebijakan Desa belum mencerminkan urut-urutan dari proses penyusunan Peraturan Desa, karena Desa umumnya menyusun Perdes tentang RAPBDes terlabih dahulu tampa terlebih dahulu menyusun Perdes RPJMDes dan Perdes RKPDes. 3. Hal tersebut di atas, mencerminkan tingkat sosialisasi, pelatihan dan simulasi tentang penyusunan Kebijakan Desa yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten masih sangat terbatas, karena keterbatasan sumber-sumber yang dimiliki oleh institusi yang secara fungsional bertugas meningkatkan kapasitas aparatur desa, dibanyak BPMPD Propinsi dan BPMPD Kabupaten sumber daya keuangan dan sumberdaya manusia
khususnya pejabat fungsional widyaiswara yang
mengapu Kebijakan Desa sangat terbatas bahkan tidak ada. Dari permasalahan peningkatan kapasitas aparatur desa dalam aspek penyusunan kebijakan desa strategi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut : 1. Strategi utama yang perlu ditempuh adalah pemberdayaan kapasitas kelembagaan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan Kabupaten, peningkatan kapasitas kelembagaan tersebut
153 144
meliputi
aspek-aspek
keuangan,
dan
aspek
sumberdaya
manusia
aparaturnya, aspek sumberdaya aparatur BPMPD yakni tersedianya pejabat fungsional widyaiswara yang mampu untuk mengampu materi Kebijakan Desa. 2. Strategi lain adalah perumusan wewenang yang jelas antara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Desa Propinsi dan Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara BPMPD Proppinsi dan BPMPD Kabupaten, termasuk dalam hal perumusan materi peningkatan kapasitas perumusan kebijakan desa. 3. Terprogramnya kegiatan pelatihan dan sosialisasi yang berkesinambungan tentang Penyusunan Kebijakan Desa yang dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten. 4. Tersusunnya modul-modul yang berkaitan dengan Perumusan Kebijakan Desa yang dilakukan oleh BPMPD Propinsi, atau BPMPD Kabupaten; 5. Tersedianya bahan-bahan refernsi yang berkaitan dengan perumusan kebijakan desa, yang dijadikan acuan bagi pemerintah desa dalam rangka menyusun kebijakan desa, misalnya contoh-contoh Perdes dan Peraturan Kebijakan Desa yang dianggap memenuhi criteria oleh pemerintah daerah.
D. KEPEMIMPINAN DESA Aspek kepemiminan desa juga memegang peranan yang penting untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan di wilayahnya. Tidak saja sebagai pemimpin, aparatur desa juga diharapkan dapat mengayomi warganya. Berdasarkan uraian aspek kepemimpinan pada bab IV sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan desa 1. Sudah berjalan sesuai dengan tuntutan asas legalitas-formal. Setidaknya itu terlihat dalam implementasi kepemimpinan Kepala Desa, baik aspek Pemilihan Kepala Desa (Pilkades); maupun pada pemahaman tentang Tugas,
154 145
Wewenang dan Kewajiban dan Hak Kepala Desa. Sekalipun harus dicatat bahwa implementasinya belum seperti yang diidealkan. 2. Banyak faktor yang dapat menjelaskan mengapa kondisi seperti ini masih terjadi pada manajemen kepemimpinan desa, baik yang muncul dari dalam apatur pemerintahan desa, seperti keterbatasan dalam diri kepala desa itu sendiri maupun dari luar yang melingkupi kehidupan desa, seperti kondisi riil masyarakat. 3. Oleh karenanya sangat disadari bahwa kebutuhan pengembagan kebutuhan dalam rangka optimalisasi kepemimpinan desa perlu terus dilakukan. Hal yang bersifat segera sebaiknya tidak ditunda dan persoalan yang bersifat jangka panjang perlu penangangan yang berkelanjutan. Beberapa hal terkait strategi pengembangan dan peningkatan kapasitas kepemimpinan kepala desa berikut kiranya perlu mendapat perhatian, adalah sebagai berikut : 1. Mendorong kepala desa dan aparatur desa lainnya untuk terus meningkatkan kapasitas diri mereka dengan berbagai cara, mulai dari pelatihan, workshop, studi banding, dan lain sebagainya agar berbagai unsur kompetensi kepemimpinan desa dipastikan dimiliki seorang kepala desa. 2. Perlu ditanamkan pemahaman kepada kepala desa bahwa menjaga hubungan yang harmonis baik dengan perangkat desa lainnya, seperti Sekretaris Desa, Kaur, Pihak RT dan RW, BPD, tokoh masyarakat (adat), tokoh agama, dan masyarakat secara keseluruhan merupakan salah satu kunci sukses penyelenggaraan kepemimpinan desa. 3. Perlu perhatian serius dalam hal insentif bagi aparatur desa, agar mereka bisa bekerja maksimal sesuai dengan tugas dan fungsinya. Insentif yang diterima oleh masing-masing perangkat desa mulai dari Kepala Desa, Sekretaris Desa (terutama dengan mereka yang berstatus PNS), dan perangkat lainnya memenuhi asas proporsional dan rasa keadilan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan diantara aparatur desa.
155 146
4. Sekretaris desa yang belum diangkat menjadi PNS agar diperhatikan bila memungkinkan seluruh Sekdes dapat diangkat menjadi PNS. Pengangkatan mereka
menjadi
PNS
diharapkan
akan
mendukung
keberhasilan
kepemimpinan desa. 5. Perlu ada upaya-upaya tersendiri untuk mendorong kesadaran masyarakat agar
dapat
berpatisipasi
aktif
mendukung
program-program
pemengembagan desa, sebab diyakini bahwa tingkat partisipasi masyarakat merupakan
prasyarat
yang
ikut
menentukan
sukses
tidaknya
penyelenggaraan kepemimpinan desa.
E. MANAJEMEN PELAYANAN DESA Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan terutama di tingkat desa sering mengalami kendala, realitas yang ada bahwa banyak ragam persoalan yang dihadapi diantaranya dalam dua aspek; yaitu aspek kulturalgeografis dan aspek struktural. Dari dua aspek ini dapat disimpulkan permasalahan sebagai berikut : 1. Keterbatasan jumlah staff pemerintah desa yang bertanggungjawab untuk pemerintahan desa sementara pada sisi lain jumlah desa/kelurahan dari tahun ke tahun cenderung meningkat dengan masalah ikutannya yang juga meningkat dan kompleks. Mobilitas staff pemerintahan yang terbatas (kuantitas maupun kualitas) berpengaruh pada fungsi kendali kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang rendah. 2. Kualitas dan kompetensi SDM desa yang masih rendah dan terbatas berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparat desa. Keenam, posisi dan ketokohan lokal yang dominan masih menjadi referensi dalam berbagai pengambilan kebijakan baik bersifat kultural maupun formal berdampak pada sistem pemerintahan desa lebih didominasi semangat feodalisme dan clientalisme.
156 147
3. Untuk menunjang pelaksanaan pasal 7 dan 8 pada PP No. 72 tahun 2005 tersebut telah ada Permendagri No 30 tahun 2006 yang mengatur tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa. Namun pada pelaksanaannya di daerah tidak semua urusan dapat langsung diberikan Kepada Desa karena beberapa alasan yang terkait dengan kualitas sumber daya dan dukungan sarana dan prasarana. APBDes dan dukungan anggaran yang kecil atau belum ada mungkin tidak menjadi kendala utama untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik. Tetapi yang lebih penting dalam konteks ini lebih kepada political will dari PEMDA setempat, apakah responsif terhadap kebutuhan desa atau tidak. 4. Terkait dengan sampainya pelayanan publik kepada masyarakat ini juga harus didukung masyarakat itu sendiri. Bila dilihat dari aspek perkembangan daerah, akselerasi pembangunan di wilayah ini sedikit lambat, karena medannya sulit dan pola hidup masyarakatnya yang masih tradisional juga akan mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap informasi yang disiapkan pemerintah. Keterisolasian desa yang tinggi berpengaruh pada aksesibilitas pemukiman penduduk terhadap pusat-pusat fasilitas publik sehingga menimbulkan kesenjangan pelayanan publik. 5. Untuk memperoleh pelayanan, masyarakat harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemberi pelayanan, baik berupa persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun permasalahan yang terjadi di lapangan adalah Masih kurangnya pengertian dan pengetahuan masyarakat dalam mengurus kelengkapan administratif yang telah ditentukan. Kurang sadarnya masyarakat di dalam berurusan kepada aparatur pemerintahan desa di dalam hal ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan desa Kurangnya sarana dan prasarana untuk menunjang administrasi desa. 6. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif. Sebagai unit
157 148
representasi
negara,
pemerintahan
desa
menghadapi
keterbatasan
kemandirian dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di suatu wilayah. Secara umum, dapat dilihat bahwa perubahan lingkungan baik sebagai dampak globalisasi, reformasi maupun pemberian kewenangan yang luas kepada desa, terjadi pula pergeseran dinamika kehidupan sosial budaya, ekonomi masyarakat, maka dalam upaya menuju pelayanan publik yang prima, berbagai kebijakan telah ditetapkan pemerintah melalui upaya perbaikan manajemen pelayanan, baik dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur, maupun dalam sistem dan prosedur pelayanan agar perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur pemerintah desa kepada masyarakat serta peraturan pelaksanaannya yang memberi pedoman dalam pelayanan publik. Untuk itu lah untuk meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat desa oleh aparatur desa maka diperlukan strategi peningkatan kapasitas aparatur desa di bidang pelayanan, sebagai berikut :
Strategi yang terkait jumlah staf, untuk itu perlu dipikirkan dalam tahap rekruitmen aparatur desa baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Karena sumber daya manusia yang memadai sangat menunjang dalam pelaksanaan pemerintahan desa terutama dalam hal pelayanan baik secara yang dilakukan di dalam kantor maupun di luar kantor untuk menunjang pengawasan dan kendali.
Strategi yang terkait dengan penyerahan urusan dari Pemerintah Kabupaten/Kota ini adalah terkait dengan tingkat kepercayaan Pemda Kabupaten/Kota
kepada pemerintah desa untuk dapat melaksanakan
urusan-urusan yang diberikan. Untuk itu pemerintah desa juga harus berupaya meningkatkan kemampuan seperti dalam hal merumuskan program-program pelayanan, kemampuan memahami petunjuk maupun peraturan
undang-undang
yang
mendukung
aparatur
desa
dalam
memberikan pelayanan, kemampuan dalam mengelola pelayanan termasuk
158 149
pengetahuan teknis administratif
(format-format surat) dan membuat
prosedur pelayanan desa. Kapasitas lain yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan di bidang teknis (mengoperasikan komputer dll).
Strategi lain yang menunjang untuk memberikan pelayanan dengan baik kepada masyarakat adalah kemampuan dalam melakukan kerjasama (LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait dan sosialisasinya, dengan bantuan dan kerjasama dengan pihak lain, pelayanan dapat beragam jenisnya dan dapat dirasakan oleh masyarakat yang secara geografis sangat jauh dari jangkauan.
Strategi lain adalah berupaya untuk lebih mandiri dari segi sumber keuangan agar dengan menggali sumber-sumber potensi desa yang dapat dijadikan pendapatan desa agar desa lebih leluasa menjalankan penyelenggaraan pemerintahannya.
159 150
BAB 6 PENUTUP
Dari hasil pelaksanaan kajian Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa di 7 (tujuh) daerah kajian yang meliputi : Provinsi Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur serta gambaran kapasitas aparatur desa dan strategi peningkatannya telah dijelaskan pada Bab 4 dan 5 maka dapat diuraikan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: A. KESIMPULAN Dari keseluruhan aspek yang ada kapasitas aparatur desa yang ditemui di lapangan memang masih cenderung rendah, perencanaan dan pengganggaran merupakan aspek penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan termasuk di desa, namun dalam pelaksanaannya masalah dalam pembuatan RPJMdes dan RKPdes antara lain karena rendahnya kemampuan aparatur desa, belum adanya panduan penyusunan, banyak usulan tidak tertampung dengan anggaran yang tersedia; forum musrenbang yang belum optimal, serta kurangnya sosialisasi kepada pemerintah desa dan warga masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan. Dalam aspek keuangan Desa, temuan dilapangan yang dapat diidentifikasi adalah terkait kapasitas aparatur desa dalam perencanaan dan pelaporan, kapasitas aparatur desa dalam mengelola Alokasi Dana Desa, kapasitas aparatur desa dalam mengelola kekayaan desa, persoalan lainnya adalah dalam Pengelolaan BUMDesa dan kapasitas aparatur desa terkait dalam penatausahaan keuangan, kapasitas aparatur desa dalam pertanggungjawaban keuangan desa, ketersediaan aparatur desa (kuantitas dan kualitas) dan hubungan antara sesama aparat desa. Begitu pun pada penyusunan kebijakan desa yang termasalah keterbatasan anggaran yang tersedia. Sehingga berpengaruh pada minimnya jumlah kebijakan desa yang dihasilkan. Selain itu masalah lainnya adalah hubungan yang tidak 160 151
harmonis antara Dewan dan Pemda terkait dengan kepentingan desa. Hal lain adalah tarik menarik kewenangan antara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dengan Bagian Pemerintahan terkait Desa. Penyusunan Kebijakan desa juga mengalami masalah karena kurangnya bimbingan teknis dan referensi dalam membuat kebijakan desa. Masalah lainnya ada pada aspek kepemimpinan Kepala Desa, dimana secara Internal, masalah yang dihadapi adalah kualitas sumber daya aparatur desa, kedisiplinan dan kurang profesional dalam kepemimpinan di desa, serta, kurang harmonisnya hubungan antar aparatur desa sendiri. Rendahnya insentif bagi aparatur desa juga ikut mendukung masalah yang dihadapi secara internal. Sedangkan secara eksternal, masalah yang dihadapi aspek kepemimpinan kepala desa adalah rendahnya kesadaran masyarakat tentang program-program desa yang terkait pola pikir dan tingkat pendidikan yang rendah masyarakat yang relatif tertinggal di banding dengan masyarakat perkotaan. hal ini merupakan bagian dari kondisi ekonomi yang rendah atau masuk dalam kategori masyarakat miskin dan serta karakteristik atau sosial budaya anggota masyarakat yang beragam. Dalam hal manajemen pelayanan Desa, aspek ini termasalah oleh urusanurusan yang sebagian besar belum diberikan dari Pemda Kabupaten/Kota kepada desa, karena penyerahan urusan ini tentu harus disertai dengan penyerarahan sarana dan prasarana dan tingkat kesiapan aparatur desa dalam meneriman urusan yang akan diserahkan. Minimnya dukungan kebijakan, anggaran, dan sarana prasarana dalam pelaksanaan pelayanan publik di desa, serta masih rendahnya kualitas SDM masyarakat dan masalah geografis untuk mencapai pelayanan publik itu sendiri. Hal lain yang kurang mendukung adalah tidak harmonisnya hubungan aparatur desa (Pemerintah Desa dan BPD) sehingga menyulitkan terciptanya pelayanan yang baik kepada masyarakat.
161 152
B. REKOMENDASI Secara umum hal yang dapat direkomendasikan untuk permasalahan yang dihadapi dari berbagai aspek dalam peningkatan kapasitas aparatur desa adalah sebagai berikut: perlunya peningkatan jumlah dan kualitas aparatur desa. peningkatan kualitas ini terutama dalam hal administratif manajerial, di bidang perencanaan penganggaran, keuangan desa, kebijakan desa, kepemimpinan dan manajemen pelayanan desa. Peningkatan kapasitas ini tentu melalui bimbingan teknis, pendampingan, serta terprogramnya kegiatan pelatihan dan sosialisasi yang berkesinambungan
tentang lima aspek yang perlu ditingkatkan
kapasitasnya tersebut. Terkait dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan desa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah perumusan wewenang yang jelas antar lembaga di desa; serta dukungan dari pemerintah kabupaten/kota untuk dapat memberikan keleluasaan kepada desa dengan menyerahkan sebagian besar urusan yang mungkin dapat dillaksanakan di tingkat desa sesuai karakteristik masing-masing desa. Untuk itu perlu tingkatkan kapasitas aparatur desa dalam memahami kebijakan-kebijakan yang mendukung aparatur desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya serta dukungan hubungan yang harmonis antar elemen pemerintahan desa. Kemampuan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak (seperti LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah, desa lain) dalam aspek-aspek terkait merupakan hal yang dapat mendukung terlaksananya pembangunan desa itu sendiri. Hal yang juga penting adalah dukungan anggaran, baik yang didapat dari bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari sumber-sumber yang diperoleh dari bantuan pihak ke tiga atau hasil pengelolaan dari desa itu sendiri. Karena anggaran merupakan hal krusial bagi berjalannya semua program di desa termasuk dalam mendukung upaya peningkatan kapasitas itu sendiri.
162 153
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku ________ , 2000, Parlemen Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta; ________________, 2003, Panduan Fasilitator Pelatihan Kepala Desa dan BPD, Jakarta Deviton JA., 1995 The Interpersonal Communication Book, 7th Ed., Hunter College of The City University of New York. Ditjen PMD-DDN, 2003, Panduan Fasilitator Pelatihan Badan Permusyawaratan Desa, Jakarta Greenberg J. & Baron RA., 1996 Behavior in Organizations: Understanding & Managing The Human Side of Work, Prentice Hall International Inc., p: 283 – 322. Lembaga Administrasi Negara, 1999, Kepemimpinan Yang Efektif, Jakarta Lembaga Administrasi Negara. 2006. Manajemen Pemerintahan Daerah, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta Lembaga Administrasi Negara. 2006. Manajemen Pemerintahan Daerah. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LA, Jakarta Marbun, BN., 2005. Otonomi Daerah 1945-2005: Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Marbun, BN., 2005. Otonomi Daerah 1945-2005: Proses dan Realita. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Muchlas M., 1998 Perilaku Organisasi, dengan Studi kasus Perumahsakitan, Program Pendidikan Pasca Sarjana Magister Manajemen Rumahsakit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nanus, Burt, 1992 Kepemimpinan Visioner, diterbitkan oleh PT Prenhalinddo, Jakarta. Nawawi, Hadari, 1995, Kepemimpinan Yang Efektif, diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Nortcraft GB and Neale MA., 1990 Organizational Behavior: A Management Challenge, The Dryden Press, Rinehart & Winston Inc. Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta Nurcholis, Hanif., 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo. Jakarta 163 154
Oxford Dictionary. 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Robbins S., 1996 Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications., San Diego State Uniersity, Prentice Hall International Inc. Robbins S., 1996 Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, San Diego State University, diterbitkan oleh PT Prenhalinddo, Jakarta. Rozaki, Abdur, dkk, 2005. Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa, Ire Press, Jakarta Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik, diterbitkan oleh PT Grasindo, Jakarta Sarundajang, SH., 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka. Jakarta. Scumacher, E. F., 1979, Kecil Itu Indah- Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil , LP3ES, Jakarta. Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984, Desa, PN. Balai Pustaka, Jakarta Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel-Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, Tiara Wacana, Yogyakarta; Sulistiyani, Ambar Teguh., 2004 Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, diterbitkan oleh PT Gava Media, Yogyakarta. Thoha, Miftah., 1993 Kepemimpinan dalam Manajemen, Universitas Gadjah Mada, diterbitkan oleh PT Rajawali Grafindo Persada, Yogyakarta. Unang S., 1984, Tinjauan Sepintas Tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung; Wasistiono, Sadu dan Irwan Tahir, 2006. Prospek Pengembangan Desa, Penerbit Fokusmedia, Bandung. Kebijakan-kebijakan : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang No. 25 tahun 2004 sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Undang-Undang Nomor. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
164 155
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
2005
tentang
Pengelolaan
dan
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 1979 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Permendagri No. 28 tahun 2006 tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan desa dan perubahan Status Desa menjadi Kelurahan. Permendagri No.29 tahun 2006 Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa Permendagri No. 30 tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa. Permendagri Nomor 31 tahun 2006 tentang pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan. Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor. 140/640/SJ tertanggal 22 Maret 2005 Tentang Pedoman Alokasi Dana Desa (ADD) Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Download Maryunani, 2006. Perspektif Pengelolaan Keuangan dan Ekonomi Desa, Universitas Brawijaya, Malang Tjandra, W. Riawan, 2006. Desa: Benteng Terakhir Penyangga Keberadaan Bangsa, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, www.forumDesa.com. Dr Sugeng Purnomo. Program Pengembangan Desa Siaga Puskesmas Tawangsari Kabupaten Sukoharjo. Pdf. Yogi S & M. Ikhsan.standar Pelayanan Publik di Daerah. Pdf. USAID – LGSP. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Dengan Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (SSTP). Seri Manajemen. Pdf
165 156