LAN - RI PKKOD
Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2007
EXECUTIVE SUMMARY
Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi (lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan “… Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah”. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46 ayat (3) dan (4), sebagai berikut: “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Pada ayat (4) disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sementara, pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan: ‟Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”. Secara legal formal, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran. Dalam hubungan ini, tentunya dapat ditelusuri hadirnya berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteriakriteria yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia. Melalui metode kajian yang bersifat kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam di 14 (empat belas) provinsi dan 28 (dua puluh delapan) kabupaten/kota, kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya: (1) Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional, bukan rasional, (2) Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara, dan (3) Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak menunjukkan kemajuan (progress) sebagaimana yang diharapkan. Fakta bahwa pemekaran daerah telah menjadi euforia di era otonomi daerah pasca reformasi menjadi tidak terbantahkan. Sampai awal 2007, jumlah
i1
daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan kabupaten/kota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa, terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah adalah: a) Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura). b) Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat. c) Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten Minahasa. d) Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung (Tanggamus). e) Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). f)
Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan. Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari sisi implikasi, Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat. a. Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain : 2ii
Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses penyerahan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) yang tidak tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah. Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah. Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif jika itu ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika terbentuknya daerah baru menimbulkan egosentris suatu masyarakat maka hal ini tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan. Pemberdayaan Ekonomi: Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di daerah tersebut. Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan. Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan pemekaran daerah berpotensi menimbulkan terjadinya pemiskinan. Terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah memberatkan
3 iii
masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). b. Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain : Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah. Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan tersebut. Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan alokasi keuangan/anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK. Menurut hasil kajian, model evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan berdasarkan PP 129/2000, adalah sebagai berikut:
a. Persyaratan dan kriteria: persyaratan dan kriteria yang ditetapkan lebih cenderung mengukur potensi/input. Sebagai contoh: dalam syarat/kriteria potensi daerah, indikator sarana pariwisata, tercantum sub indikator ”jumlah hotel/akomodasi lainnya; jumlah restoran/rumah makan; jumlah obyek wisata”. Pada indikator potensi daerah juga terdapat ‟sarana pendidikan‟ tetapi isinya bukan mengukur sarana tetapi kinerja. Dari syarat/kriteria dan indikator tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut: Tidak ada kejelasan kluster yang memayungi syarat/kriteria, indikator dan sub indikator tersedia, sehingga 7 (tujuh) syarat/kriteria tersebut seolaholah terpisah satu sama lain. Indikator dan sub indikator tersebut lebih mengukur potensi, bukan output.
b. Prosedur: untuk prosedur pemekaran daerah telah dirumuskan dengan cukup
baik, tetapi tidak ada penekanan pada tahap implementasi, sehingga banyak terjadi penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan. Secara garis besar dapat dikatakan terdapat dua prosedur pemekaran yakni pemekaran melalui jalur pemerintah (eksekutif) dan jalur DPR (legislatif). Faktanya, pemekaran daerah lebih banyak berasal dari inisiatif DPR.
c. Prosedur pemekaran yang terjadi selama ini tidak melalui model ‟transisi‟, sehingga daerah otonom baru langsung memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan daerah induknya. Mencermati uraian pada kesimpulan di atas, Tim merekomendasikan halhal sebagai berikut: 1. Pemekaran daerah hendaknya didasarkan pada alasan-alasan yang rasional, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemampuan daerah yang akan dimekarkan. Hal ini sekaligus dapat menjadi alat untuk meminimalisir implikasi negatif yang ditimbulkan akibat pemekaran.
4 iv
Untuk itu, Tim mengusulkan persyaratan/kriteria untuk melakukan pemekaran daerah, sebagaimana terdapat pada rekomendas kajian poin 2. Persyaratan/kriteria tersebut sebagian besar masih mengacu pada PP No. 129/2000, dengan menambahkan beberapa perubahan khususnya untuk kriteria pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Dari tabel dapat dilihat pelayanan yang dimakud adalah pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada indikator luas wilayah dan jumlah penduduk dibedakan antara JawaBali dan luar Jawa-Bali, hal ini ditempuh guna mengurangi terjadinya inefisiensi. Namun, persyaratan dan kriteria seketat apapun pada akhirnya tidak akan bermanfaat jika tim penilai (evaluator) tidak memiliki integritas (: kejujuran) yang memadai. Terlebih lagi jika penilaian dilakukan melalui self-assesment, maka faktor integritas menjadi kunci utama apakah sebuah daerah layak dimekarkan. 2. Perlu dilakukan pentahapan dalam melakukan pemekaran daerah, yaitu daerah tidak langsung dimekarkan menjadi daerah otonom, tetapi dibentuk dalam ‟daerah persiapan‟. Pemekaran daerah dilakukan secara berjenjang. Secara bertahap, pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan akan dimekarkan menjadi ‟daerah persiapan‟ dimana untuk provinsi dengan nomenklatur ‟provinsi persiapan‟ dan ‟kabupaten/kota persiapan‟ untuk kabupaten/kota. Penetapan daerah persiapan ditungkan dalam bentuk Perpres. Setelah menjadi daerah persiapan selama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dilaksanakan penilaian oleh tim penilai, maka daerah persiapan tersebut dapat diubah statusnya menjadi daerah otonom. Setelah 5 (lima) tahun menjadi daerah otonom, daerah tersebut dapat dipertimbangkan untuk dimekarkan kembali, apabila dinilai memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 3. Bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi persyaratan, tetapi mengalami keterbatasan-keterbatasan yang mengakibatkan tidak memenuhi persyaratan, maka dapat dilakukan penguatan (strengthtening) Kecamatan untuk mendekatkan pelayanan publik. 4. Pada tataran yang lebih tinggi dan skala yang lebih luas, Pemerintah perlu merevisi UU No. 32 tahun 2004 yang terkait dengan pengaturan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah (Pasal 5 s/d 8). Revisi UU No. 32 Tahun 2004 memang pernah diwacanakan, tetapi belum menyentuh pengaturan tentang pemekaran daerah.
5v
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY………………………………………………………………………….
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………….
ix
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………………….. B. Perumusan Masalah …………………………………………………….. C. Ruang Lingkup ……………………………………………………………… D. Tujuan dan Kegunaan …………………………………………………… E. Sistematika Penulisan ………………………………………………….. KERANGKA KONSEP A. Konsep Desentralisasi ………………………………………………….. 1. Pengertian Desentralisasi …………………………………….. 2. Latar Belakang Desentralisasi ………………………………. 3. Tujuan Desentralisasi ……………………………………………. 4. Manfaat Desentralisasi………………………………………….. 5. Bentuk-bentuk Desentralisasi………………………………… B. Konsep Otonomi……………………………………………………………. C. Perjalanan Desentralisasi dan Otonomi di Indonesia.......... D. Konsep Pemekaran Daerah dan Pembangunan Demokrasi Lokal…………………………………………………….......... 1. Tujuan Pemekaran Daerah ……………………………………. 2. Kriteria Pemekaran Daerah …………………………………… 3. Pembangunan Demokrasi Lokal …………………………….. E. Pemekaran Daerah di Indonesia …………………………………… F. Kerangka Berpikir …………………………………………………………. METODOLOGI A. Jenis Kajian ………………………………………………………………….. B. Metode Kajian ……………………………………………………………… C. Daerah Kajian ………………………………………………………………. D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ………………....... E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………………………....... GAMBARAN EMPIRIS DAN ANALISIS PERKEMBANGAN PEMEKARAN DAERAH A. Latar Belakang Pemekaran Daerah dan Proses Pemekaran Daerah Berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000. 1. Latar Belakang Pemekaran Daerah………………………… 2. Implementasi Proses Pemekaran Daerah Berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 …………………….
1 5 8 8 9 10 11 13 14 15 16 21 24 27 28 28 31 34 36 37 37 37 39 41
42 42 60
6 vi
B.
Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Penyelenggaraan Pemeritahan Negara ……………………………………………………. 1. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Daerah …….. 2. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Pemerintah Pusat ………………………………………………………………….. Kriteria Pemekaran Daerah …………………………………………. 1. Evaluasi Kriteria Pemekaran Berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 ………………………………………………… 2. Proyeksi Pemekaran Daerah : Usulan Kriteria dan Tahapan Pemekaran …………………………………............
105
PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………………….. B Rekomendasi ………………………………………………………………
113 117
DAFTAR PUSTAKA
121
C.
BAB 5
65 65 86 97 97
7
vii
Bab 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Gerakan reformasi total yang telah dimulai sejak 1997/1998 lalu telah menjadi inspirasi bagi berbagai kalangan, baik pemerintah, DPR/MPR, LSM/NGO, dan masyarakat secara keseluruhan, untuk menjadikan Indonesia lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Salah satu agenda reformasi yang telah menjadi komitmen seluruh penyelenggara negara adalah reformasi birokrasi.
Gerakan
reformasi
birokrasi
dipimpin
oleh
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) yang bertujuan menjadikan birokrasi sebagai daya ungkit utama (key leverage) pembangunan Indonesia. Dalam blueprint yang telah disusun oleh Kementerian PAN atas inisiasi Lembaga Administrasi Negara, reformasi birokrasi meliputi kelembagaan, sumber daya aparatur, dan ketatalaksanaan. Penjabaran dari ketiga aspek tersebut
menuntut
adanya
komitmen
dan
konsistensi
dari
seluruh
stakeholders, baik pusat maupun daerah. Sebagai contoh, pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berada dalam jalur yang benar (on the track) , selaras dan sejalan dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemeritahan daerah sesuai dengan cita-cita dan keinginan para pendiri bangsa (founding fathers), yakni penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tetap menjunjung tinggi NKRI. Reformasi pemerintahan daerah tetap perlu dilaksanakan tetapi dengan mengingat dan mempertimbangkan komitmen tersebut. Oleh karena itu, salah satu tuntutan yang muncul pada awal reformasi adalah adanya perubahan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang dalam implementasinya dinilai terlalu sentralistik. Komitmen Pemerintah
dan
DPR
untuk
mendukung
reformasi
penyelenggaraan
pemerintahan daerah terwujud dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 8 1
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut telah memberikan kewenangan dan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya berdasarkan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Keleluasan pemerintah daerah yang sangat besar tersebut pada kenyataannya telah menimbulkan dilema tersendiri, di satu sisi keleluasan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat menjadikan pemerintah daerah semakin percaya diri dalam mengelola kewenangannya. Namun di sisi lain, keleluasaan dan kebebasan tersebut ternyata telah menyebabkan berbagai problematika yang cukup serius, yang salah satunya menyangkut permasalahan pemekaran daerah. Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang lebih dipermudah. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi (lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang bagi terbentuknya daerah baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan “… Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah”. Hal senada juga diatur dalam Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 3 ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) menyebutkan pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 92
dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sementara, pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan: ‟Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”. Pengaturan tentang persyaratan pembentukan untuk sementara masih didasarkan pada PP Nomor 129 Tahun 2000, yang sampai saat ini belum dicabut, karena belum ada PP penggantinya. Menurut Pasal 3 PP No. 129 Tahun 2000 dinyatakan bahwa, Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a) kemampuan ekonomi; b) potensi daerah; c) sosial budaya; d) sosial politik; e) jumlah penduduk; f) luas daerah; dan g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Akibat dari maraknya aspirasi pemekaran daerah, saat ini jumlah kabupaten dan kota yang ada telah membengkak, data mutakhir memperlihatkan jumlah kabupatan/kota telah mencapai angka sebanyak 473! (458 kabupaten/kota pada 2006 ditambah 15 kabupaten/kota pada awal 2007). Ironisnya, sampai saat ini masih terdapat sejumlah usul pemekaran daerah baik kepada pemerintah (Departemen Dalam Negeri) maupun kepada DPR. Maraknya tuntutan pemekaran daerah juga tidak lepas dari adanya insentif dari pemerintah maupun daerah induk dalam bentuk bantuan dana dalam jumlah yang besar (Rp 5 miliar selama dua tahun, bahkan ada yang mencapai Rp 10 miliar seperti yang terjadi di Kota Kotamobago, dan Rp 15 miliar di Kabupaten Bolaang Mongondow), sehingga membuat usulan pemekaran daerah semakin menarik (Muchtar, dalam www.kemitraan. or.id; Kompas 30 Agustus 2006). Meskipun demikian, secara empiris dijumpai bahwa dalam proses pemekaran daerah terdapat potensi penyimpangan yang memungkinkan diabaikannya sejumlah persyaratan yang semestinya dipenuhi sehingga berdampak pada bergesernya tujuan pemekaran daerah. Terkait dengan hal tersebut, pada saat bersamaan pemerintah sudah menyiapkan draft revisi PP Nomor 129 Tahun 2000 dengan memperketat syarat-syarat administratif,
10 3
teknis, dan kewilayahan, yang akan dijadikan pedoman bagi daerah dalam melakukan pemekaran. Salah satu perubahan yang cukup mendasar adalah menyangkut persyaratan teknis yang menekankan pada kemampuan ekonomi dan keuangan daerah, yang diberi bobot lebih tinggi dibandingkan kriteria lainnya. Selain itu, penambahan persyaratan fisik kewilayahan dari 4 kabupaten/kota menjadi 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi juga merupakan salah satu penyempurnaan terhadap PP Nomor 129 Tahun 2000. Penyempurnaan kebijakan tersebut tentu menjadi „kabar baik‟ bagi kalangan yang peduli terhadap dampak pemekaran daerah, dan disisi lain menjadi „kabar buruk‟ dan kendala bagi berbagai kalangan yang berniat melakukan pemekaran daerah. Namun apa pun itu, perubahan kebijakan pemekaran daerah dapat saja diberikan oleh institusi lain yang memiliki komitmen terhadap efektivitas penyelenggaraan kebijakan desentralisasi melalui upaya penyusunan kriteriakriteria pembentukan sebuah daerah otonom yang mampu menyelenggarakan kebijakan otonomi daerah. Oleh karena itu, kiranya menjadi kewajiban Pemerintah Pusat untuk merumuskan kebijakan yang mampu mengatur dan menata kecenderungan terbentuknya daerah otonom baru yang mampu mencapai tujuan pemberian otonomi daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Lembaga Administrasi Negara, dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (PKKOD) memandang perlu dilakukannya kajian tentang model evaluasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan daerah. Untuk itu, sesuai dengan DIPA LAN tahun 2007, PKKOD telah melaksanakan kajian tersebut yang diharapkan menghasilkan rekomendasi kajian, dan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam proses penyempurnaan pengaturan tentang pemekaran daerah. Sejumlah temuan menarik berkenaan dengan alasan dan proses pemekaran daerah,
implikasi
pemekaran
daerah
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan, dan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam membentuk daerah akan dipaparkan dalam laporan kajian ini.
11 4
B. PERUMUSAN MASALAH Sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya, permasalahanpermasalahan kebijakan pembentukan DOB atau sering dikenal dengan istilah pemekaran daerah adalah : 1) Daerah cenderung dimekarkan, 2) Implikasi pemekaran terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan 3) Kriteria-kriteria yang digunakan dalam melakukan pemekaran daerah. Permasalahan Pertama, Daerah cenderung dimekarkan, yang ditandai dengan penambahan jumlah DOB sebanyak 169 sejak 1999-2007, yang terdiri dari 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota. Dengan demikian, saat ini terdapat 33 provinsi dan 473 kabupaten/kota, dan jumlah ini pun masih dapat bertambah lagi jika Pemerintah dan DPR tidak memberikan kriteria yang tegas bagi terbentuknya DOB yang mampu berdiri sebagai daerah otonom. Selain itu, dalam proses pemekaran daerah juga terdapat sinyalemen pelanggaran terhadap mekanisme yang seharusnya ditempuh. Ketidaktaatan terhadap kriteria-kriteria yang telah ditentukan menyebabkan daerah yang terbentuk tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi daerah otonom yang mandiri. Kondisi demikian pada akhirnya menimbulkan rendahnya kinerja daerah otonom. Berdasarkan hasil kajian Departemen Dalam Negeri (2006) dapat diketahui bahwa kinerja DOB dan daerah induk mengelompok pada kuadran II (DOB yang memiliki tingkat kinerja di bawah nilai tertentu, tetapi perkembangannya positif)*) yang mengindikasikan bahwa meski terdapat perubahan positif, namun perubahan tersebut belum cukup signifikan untuk meningkatkan kinerja baik daerah otonom baru maupun daerah induk, daerah-daerah tersebut antara lain: Kota Palopo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Lembata, Kabupaten Pagar Alam, Kabupaten Lubuk Linggau, Kabupaten Padang Sidempuan, dan Kota Prabumulih. Sementara
Kuadran I: DOB yang memiliki tingkat kinerja di atas nilai tertentu, dengan perkembangannya positif; Kuadran III: DOB yang memiliki tingkat kinerja di atas nilai tertentu tetapi perkembangannya negatif; dan Kuadran IV: DOB yang memiliki tingkat kinerja di bawah nilai tertentu, perkembangannya negatif. *)
12 5
terdapat pula daerah yang kinerjanya di bawah nilai acuan dan bahkan memiki kecenderungan penurunan kinerja, seperti Kota
Banjarbaru,
Kabupaten Nunukan, Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Rote Ndao. Permasalahan
Kedua,
pemekaran
daerah
telah
menimbulkan
implikasi bagi pemerintahan daerah maupun bagi pemerintahan pusat. Implikasi terhadap pemerintahan daerah di antaranya menyangkut perubahan kelembagaan daerah, dinamika politik lokal, pola hubungan dengan pemerintah pusat, sumber daya manusia aparatur, dan sarana-prasarana. Sedangkan implikasi terhadap pemerintahan pusat meliputi pembentukan kelembagaan pusat di daerah (seperti kejaksaan, keuangan, agama, pertahanan dan keamanan), dan anggaran. Salah satu implikasi terhadap Pemerintahan Pusat adalah beban anggaran yang nampak pada fakta besaran DAU (Dana Alokasi Umum) yang diberikan kepada DOB, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel. 1. Jumlah DAU Tahun 2004 No.
Daerah Otonom Baru
UU Pembentukan
Jumlah DAU
1.
Kabupaten Siak
UU No. 53 Tahun 1999
Rp. 95.609.000.000
2.
Kabupaten Bangka Tengah
UU No. 5 Tahun 2003
Rp. 33.853.000.000
3.
Kota Banjar
UU No. 27 Tahun 2002
Rp. 42.501.000.000
4.
Kota Cilegon
UU No. 15 Tahun 1999
Rp. 95.542.000.000
5.
Kab. Minahasa Selatan
UU No. 10 Tahun 2003
Rp. 125.425.000.000
6.
Kabupaten Boalemo
UU No. 50 Tahun 1999
Rp. 68.120.000.000
7.
Kabupaten Konawe Selatan
UU No. 4 Tahun 2003
Rp. 91.950.000.000
8.
Kota Ternate
UU No. 11 Tahun 1999
Rp. 126.042.000.000
9.
Kota Tidore Kepulauan
UU No. 1 Tahun 2003
Rp
10.
Kota Batam
UU No. 53 Tahun 1999
Rp. 104.201.000.000
11.
Kota Tanjung Pinang
UU No. 5 Tahun 2001
Rp. 59.818.000.000
12.
Kota Sorong
UU No. 45 Tahun 1999
Rp. 152.401.000.000
64.480.000.000
Sumber: Keppres Nomor 109 Tahun 2003 tentang DAU Provinsi dan Kab./Kota Tahun Anggaran 2004.
13 6
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa beban pemerintah pusat dalam bentuk DAU sangat besar, yang mencapai puluhan bahkan ratusan miliar. Hal ini akan lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan angka Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk daerah yang bersangkutan. Sebagaimana terjadi di Kota Banjar (pemekaran dari Kabupaten Ciamis), DAU yang diterima sebesar Rp. 42,501 miliar, sementara angka PAD-nya hanya sebesar Rp. 5,981.95 miliar (atau hanya senilai 14% dari DAU, atau hanya 7% dari total penerimaan). Kondisi serupa juga terjadi di Kota Ternate, DAU yang diterima pada tahun 2004 sebesar Rp. 126,042 miliar, sementara PAD-nya hanya sebesar Rp. 10,366.96 miliar (nilai PAD hanya 8% dari DAU, atau 6% dari total penerimaan). Kondisi
tersebut
sesungguhnya
menggambarkan
tingginya
ketergantungan anggaran pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, baik yang berasal dana perimbangan lainnya (pos dana bagi hasil pajak, pos dana bagi hasil bukan pajak sumber daya alam, dan dana alokasi khusus) maupun bagian lain-lain penerimaan yang sah (penerimaan dari pemerintah, penerimaan dari provinsi, penerimaan dari kabupaten/kota lainnya, dan lainlain). Permasalahan Ketiga, pemekaran daerah yang didasarkan pada kriteria-kriteria PP 129/2000 ternyata tidak menjamin terlaksananya pemekaran yang diharapkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar apakah kriteria-kriteria tersebut tidak mampu mengukur? Atau mungkin kriteria-kriteria tersebut tidak ditaati dalam proses pemekaran suatu daerah? Dari uraian pokok masalah
tersebut di atas, maka perumusan
masalah dalam kajian ini adalah: 1. Mengapa suatu daerah perlu dimekarkan dan bagaimana prosesnya? 2. Bagaimana implikasi pemekaran daerah terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara? 3. Apa yang menjadi kriteria pembentukan suatu daerah?
14 7
C. RUANG LINGKUP Kajian ini telah dibatasi pada evaluasi proses pemekaran daerah otonom baru, sehingga terminologi „evaluasi‟ yang dimaksudkan bukan untuk mengukur, menganalisis dan me-ranking daerah otonom sebagaimana evaluasi yang dikenal pada umunya, tetapi lebih kepada upaya mengevaluasi proses dan implikasi pemekaran daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada keprihatinan PKKOD-LAN terhadap fenomena pemekaran daerah yang cenderung tidak terkendali beberapa tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini telah melihat pemekaran daerah dari sisi (angel) yang berbeda, yakni dari lingkup alasan/argumen, implikasi pemekaran, dan kriteria yang digunakan dalam melakukan pemekaran daerah. Pada lingkup yang pertama, alasan/argumen mengapa suatu daerah ingin dimekarkan, karena setiap daerah yang dimekarkan tentunya memiliki argumen atau alasan-alasan sehingga perlu dimekarkan. Selain itu, pada bagian ini Tim juga melihat proses dan tahapan-tahapan terjadinya pemekaran suatu daerah. Lingkup kedua adalah implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat. Implikasi terhadap pemerintahan daerah antara lain: perubahan kelembagaan daerah, dinamika politik lokal, pola hubungan dengan pemerintah pusat, dan SDM Aparatur. Adapun implikasi terhadap pemerintahan pusat meliputi pembentukan kelembagaan pusat di daerah dan implikasi terhadap anggaran. Lingkup ketiga adalah penyempurnaan persyaratan dan kriteria-kriteria pemekaran daerah. Untuk membahas hal ini Tim berpedoman pada draft revisi PP Nomor 129 Tahun 2000, yang saat ini sudah menjadi draft final dan tinggal menunggu pengesahan dari Presiden. Selain persyaratan dan kriteria pemekaran daerah, pembahasan pada lingkup ini juga akan mencakup rekomendasi yang terkait dengan tahapan pemekaran daerah. D. TUJUAN DAN KEGUNAAN Tujuan kajian adalah:
15 8
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah dan proses pembentukan suatu daerah otonom baru; 2. Menggambarkan implikasi pemekaran daerah terhadap peyelenggaraan pemerintahan. 3. Merumuskan konsep/kriteria pembentukan daerah. Adapun kegunaan kajian ini adalah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penataan daerah otonom baru, dalam hal ini dapat dijadikan saran kebijakan dalam penyempurnaan PP Nomor 129 Tahun 2000. E. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN Laporan kajian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan memuat Latar Belakang, Perumusan Masalah, Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Kajian, dan Sistematika Penulisan Laporan. Bab II Kerangka Konsep memuat Konsep-Konsep Desentralisasi, Konsep Otonomi, Perjalanan Desentralisasi dan Otonomi di Indonesia, Pembentukan Daerah Otonom Baru dan Kerangka Pikir Kajian. Bab III Metodologi Kajian memuat Jenis Kajian, Metode Kajian, Pengumpulan Data, Lokasi Kajian dan Analisis & Pengolahan Data Bab IV Gambaran Empiris dan Analisis Perkembangan Pemekaran Daerah, memuat Latar Belakang dan Proses Pemekaran Daerah, Implikasi Pemekaran Daerah Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, dan Kriteria Pemekaran Daerah. Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi. Bab ini secara khusus akan memuat rekomendasi tentang usul penyempurnaan persyaratan dan kriteria serta tahapan-tahapan yang dapat ditempuh dalam melakukan pemekaran daerah.
16 9
Bab 2
KERANGKA KONSEP
A. KONSEP DESENTRALISASI Secara garis besar terdapat dua tipe penyelenggaraan pemerintahan. Pertama,
sentralistik
dan
kedua
adalah
desentralistik.
Sentralisasi
pemerintahan adalah pemusatan wewenang pada pemerintah pusat dalam hubungan pusat dan daerah. Sebaliknya, desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundangundangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Penyerahan urusan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang untuk selanjutnya akan menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. Desentralisasi
menjadi
wacana
hangat
bagi
penyelenggaraan
pemerintahan saat ini di seluruh dunia. Desentralisasi yang merupakan antitesis
dari
ajaran
sentralisasi,
menjadi
acuan
utama
akibat
ketidakmampuan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik. Hal ini juga dipertegas oleh Bowman dan Hampton (1983) yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas
dapat
menentukan
kebijakan
secara
efektif
ataupun
dapat
melaksanakan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui sistem pemerintahan sentralisasi. Dengan demikian, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam konteks politis maupun secara administratif kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemrintahan.
17 10
Dalam sub bab Konsep Desentralisasi ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan konsep desentralisasi itu sendiri yang akan dimulai dari pengertian desentralisasi, tujuan adanya desentralisasi, latar belakang perlunya desentralisasi, bentuk-bentuk desentralisasi, dan manfaat apa yang bisa dipetik dari adanya desentralisasi ini. 1. Pengertian Desentralisasi Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, de yang berarti „lepas‟ dan centrum yang berarti „pusat‟. Jadi bila diterjemahkan, desentralisasi berarti „melepaskan dari pusat‟. Secara terminologi, ternyata terdapat beberapa pengertian dan defenisi dari desentralisasi, yang antara lain dapat disimpulkan dari Soejito (1981), Rondinelli (1981), Suryaningrat (1981), Bryan dan White (1982), Bowman dan Hampton (1983) dan Kaho (1991), yaitu:
Pemindahan wewenang perencanaan, pembuatan keputusan, dan adminstrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan
untuk
menyelenggarakan
segenap
kepentingan
setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.
Secara
administratif
diartikan
sebagai
pemindahan
beberapa
kekuasaan administratif departemen pemerintah pusat ke daerah dan dikenal dengan nama “dekonsentrasi”.
Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal yang dikenal dengan istilah “devolusi”.
Dipahami sebagai delegasi diartikan sebagai pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasiorganisasi yang berada di luar struktur pemerintahan pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.
Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagi penyerahan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.
18 11
Penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut. Sedangkan pengertian desentralisasi sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia”. Sementara itu, dalam pengertian yang hampir sama, Maddick (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Devolusi adalah penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah, sedang dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintahan pusat yang tinggal di luar kantor pusat. Dari uraian tersebut di atas dapat kita simpulkan, bahwa desentralisasi secara umum diartikan sebagai penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk seterusnya menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut. Dalam perkembangannya kemudian, di Indonesia sebagai implementasi dari konsep desentralisasi tersebut lalu diadakan otonomi daerah baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota. Otonomi daerah itu sendiri berarti hak, wewenang, dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi “mengatur” diberikan kepada legislatif yakni DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi “mengurus” diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya.
19 12
2. Latar Belakang Desentralisasi Cheema dan Rondinelli (1983) mengemukakan setidaknya terdapat 14 alasan yang melatarbelakangi pentingnya penerapan desentralisasi dalam suatu pemerintahan, yaitu:
Desentralisasi ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik.
Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang terstruktur dari pemerintah pusat .
Desentralisasi
memberikan
fungsi
yang
dapat
meningkatkan
pemahaman pejabat daerah atas pelayanan publik yang diemban.
Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah terpencil, dimana sering rencana pemerintah tidak dipahami masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal.
Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan dalam perencanaan pembangunan.
Desentralisasi dapat meningkatkan kemampuan maupun kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah.
Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi mereka menjalankan tugas rutin.
Desentralisasi
dapat
menyediakan
struktur
dimana
berbagai
departemen di pusat dapat dikoordinasikan secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs (Non Government Organizations).
Desentralisasi digunakan untuk melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.
Desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan berbagai aktivitas yang dilakukan elit lokal yang kerap tak simpatik dengan program pembangunan.
Desentralisasi dapat mengantarkan pada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif. 20 13
Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen memungkinkan pemimpin daerah menetapkan pelayanan secara efektif di tengah masyarakat terisolasi.
Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah.
Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah. Sementara itu, Kaho (1991) mengemukakan alasan mendasar
mengapa desentralisasi diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia yaitu:
Secara kultural masyarakat Indonesia sangat bhineka, sehingga mudah menimbulkan perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat manakala segalanya diatur secara sentralistis yang seragam dari atas. Karena itu perlu diselenggarakan pemerintahan daerah secara benar dan sendiri-sendiri untuk mengurus daerah sesuai dengan kondisi daerahnya.
Secara politik (kesadaran berbangsa dan bernegara), desentralisasi mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan diharapkan dapat meningkat terus menerus.
Meningkatkan keefektifan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Meningkatkan iklim demokrasi dengan terlaksananya demokrasi di atau dari bawah.
3. Tujuan Desentralisasi Mawhood (1987) mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan
desentralisasi
keseimbangan
politik,
adalah
sebagai
akuntabilitas
upaya
pemerintah
mewujudkan lokal,
dan
pertanggungjawaban pemerintah lokal. Di sisi lain, Rondinelli (1981), menegaskan bahwa tujuan diterapkannya kebijakan desentralisasi adalah untuk mengurangi kepadatan beban kerja pemerintah pusat. Melalui konsep ini, program pembangunan didesentralisasikan dengan harapan 21 14
keterlambatan-keterlambatan bisa dikurangi secara maksimal. Dengan demikian, pelaksanaan sebuah pemerintahan yang mendasarkan pada aspirasi masyarakat bisa dilakukan secara cepat, tepat, efektif, dan efisien. Hal senada diungkapkan Maddick (1983), bahwa desentralisasi bertujuan: untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif, dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala timbul permasalahan dalam pelaksanaan program-program tersebut. Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa tujuan desentralisasi pada dasarnya adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan kemampuan pemerintah daerah menjadi mandiri dan independen. 4. Manfaat Desentralisasi Desentralisasi
dalam
sistem
administrasi
negara
memiliki
beberapa manfaat (Berkeley dalam Pamudji, 1984; Mc. Gregor dalam Pamudji, 1984; Osborne dan Gaebler, 1992) yaitu:
Sebagai pendorong pengambilan keputusan yang lebih tepat dan luas.
Memperbaiki kualitas pengambilan keputusan.
Mendorong
organisasi
menjadi
lebih
fleksibel,
inovatif,
dan
meningkatkan moral serta komitmen kepada produktivitas tinggi..
Memberikan iklim kondusif bagi pelaksanaan kebijakan yang lebih efektif.
Merangsang fleksibilitas aparat lokal dalam memecahkan masalah.
Meningkatkan sensivitas aparat terhadap kebutuhan daerah.
Meningkatkan dukungan politis dan administratif pada daerah.
Mendorong persatuan dan kesatuan serta meningkatkan efisiensi. Kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah di
negara-negara yang bersifat demokratis, sedikitnya memiliki dua pokok manfaat (Oentarto, et al, 2004), yakni: 22 15
Manfaat politis: yang ditunjukkan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah sekaligus dalam rangka memperkuat stabilitas politik secara nasional.
Manfaat administratif dan ekonomis: untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerahdaerah dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disana. Meskipun manfaat desentralisasi sangat mendasar, perlu
disadari bahwa tidak semua tugas-tugas pemerintahan dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Ada beberapa penyebab mengapa suatu tugas pemerintahan tidak dapat diserahkan oleh pemerintah pusat. Pertama, tugas-tugas pemerintahan itu dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien manakala dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Kedua, masyarakat setempat (daerah) dianggap belum cukup mampu untuk mengurus tugas-tugas tersebut. 5. Bentuk-bentuk Desentralisasi Kaho (1991) membagi desentralisasi dalam 2 bentuk yakni: (1) desentralisasi territorial: yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (2) desentralisasi fungsional: yakni pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Di sisi lain, Perserikatan Bangsa Bangsa (dalam Putra, 1999) membagi desentralisasi dalam 2 bentuk yakni: (1) dekonsentrasi, yang juga disebut dengan desentralisasi administrasi, dan
(2) devolusi, sering
juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal. Sementara itu, Sarundajang (1999) membagi desentralisasi dalam 4 bentuk, yakni:
Sistem pemerintahan daerah yang menyeluruh (comprehensive local government system). Dalam hal ini pelayanan pemerintah di daerah dilaksanakan oleh aparat-aparat yang mempunyai tugas bermacam23 16
macam (multi purpose local authorities). Aparat daerah melakukan fungsi-fungsi yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Kesempatan berprakarsa atau berinisiatif untuk melakukan pengawasan atas semua bagian terbuka baik bagi aparat daerah maupun bagi aparat pusat. Disini, aparat daerah melakukan pelayanan tugas-tugas aparat pusat, sehingga terjadi pemindahan atau transformasi tugas-tugas dari aparat pusat kepada aparat daerah.
Partnership system (sistem kemitraan). Dalam hal ini beberapa jenis pelayanan
dilaksanakan
secara
langsung
oleh
aparat
pusat,
sementara beberapa jenis pelayanan yang lain dilakukan bersamasama dengan aparat daerah.
Dual System (sistem ganda). Dalam sistem ini aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara langsung demikian juga aparat daerah.
Integrated administrative system (sistem administrasi terpadu), yaitu aparat pusat melakukan pelayanan teknis secara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat yang bertindak sebagai koordinator. Aparat daerah disini hanya punya kewenangan kecil dalam melakukan kegiatan pemerintahan. Pada dasarnya menurut Dwidjowijoto (2000),
desentralisasi
terbagi menjadi dua, yakni: desentralisasi teritorial/kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi kewilayahan, berarti pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada wilayah di dalam negara. Sedangkan desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Dengan demikian, desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu pada fakta adanya ‟span of control‟ dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara ”bersama-sama”.
24 17
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai pembagian bentuk– bentuk desentralisasi, maka secara umum desentralisasi terbagi dalam 3 bentuk, yakni:
Desentralisasi Administratif Rondinelli dan Nellis (1986: 5, dikutip dari UNDP, 1999: 9) mendefinisikan desentralisasi administratif sebagai “transfer tanggung jawab
untuk
merencanakan,
memanajemen,
menaikan
dan
mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya, kepada subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, perusahaan, otoritas regional atau fungsional, NGO atau organisasiorganisasi volunteer. Menurut Litvack dan Seddon (1998), desentralisasi administratif mencari dan mendistribusikan kembali, tanggung jawab dan urusan finansial untuk penyediaan pelayanan publik di antara tingkatan pemerintahan yang berbeda. Tipe desentralisasi pertama ini banyak diungkapkan dalam berbagai literatur desentralisasi. Asumsi dasarnya adalah sistem yang secara administratif terdesentralisasi menempatkan proporsi otonomi administrasi yang lebih luas di tingkat daerah dibandingkan di tingkat pusat (Schneider, 2003: 11). Schneider terlebih mencatat bahwa jumlah desentralisasi administratif bervariasi secara berlanjut di lintas sistem dari sistem yang secara lebih kecil memberikan otonomi kepada mereka yang lebih memberikan kewenangan yang besar secara administratif.
Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, ekspansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi untuk meminjam dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman (Litvack dan Seddon, 1998: 3). 25 18
Pada dasarnya desentralisasi fiskal, menurut Smoke (2001: 4) berawal dari sebuah teori fiscal federal yang menyatakan bahwa desentralisasi memfokuskan pada pemaksimalan kesejahteraan sosial yang digambarkan dari kombinasi stabilitas ekonomi, alokasi yang efisien dan distribusi yang sama (Musgrave, 1958 dalam Schneider 2003: 10). Selanjutnya, desentralisasi fiskal yang memfokuskan pada stabilitas ekonomi berasumsi bahwa organisasi non sentralistik mengeluarkan dan menyerap proporsi resources yang lebih besar yang akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi (Schneider, 2003: 10). Argumen alokasi ini menyatakan bahwa kesejahteraan dapat diraih melalui desentralisasi sebab masyarakat yang berbeda daerah yurisdiksi dapat memilih pelayanan publik dan pajak yang sangat cocok dengan preferensi mereka (Smoke, 2001: 6). Secara umum framework desentralisasi fiskal dibangun atas dasar asumsi bahwa sistem yang secara fiskal terdesentralisasi akan menempatkan proporsi sumber-sumber keuangan yang lebih besar pada level lokal dibandingkan pada level pusat (Schneider 2003: 10). Sumber-sumber utama lain dari pendapatan lokal di negara-negara berkembang adalah transfer keuangan antar daerah. Di Indonesia, di bawah UU No. 25 Tahun 1999, untuk Dana Alokasi Umum (DAU), sebanyak 25% dari total pendapatan ditujukan untuk fiskal transfer, sebanyak 2,5% dialokasikan ke provinsi dan 22,5 % dialokasikan kepada kabupaten dan kota. Dari penjelasan tersebut, sangat logis jika masyarakat daerah ingin memisahkan diri dari pemerintah induknya, yakni untuk memperoleh proporsi sumber-sumber keuangan yang lebih besar bagi daerahnya, baik yang berasal dari pengelolaan potensi alam maupun transfer keuangan dari pemerintah pusat.
26 19
Desentralisasi Politik Desentralisasi politik yang dimaksud disini adalah termasuk transfer
kekuasaan
administratif,
keuangan
dan
politik
dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah termasuk penciptaan kekuasaan masyarakat untuk menentukan bentuk pemerintahan mereka, perwakilan, kebijakan dan pelayanan (UNDP, 1999: 10). Hal ini dapat mendorong proses demokrasi melalui pemberian pengaruh kepada rakyat atau perwakilannya dalam formulasi dan implementasi kebijakan. (Litvack dan Seddon, 1998: 2). Mainstream jenis desentralisasi politik atau demokrasi, menurut Schneider (2003: 13) adalah sistem-sistem yang secara politik terdesentralisasi melembagakan proporsi fungsi politik yang besar pada level daerah dari pada pusat. Pada konteks ini, Crook dan Sverrisson (2001: 2) mencatat bahwa desentralisasi sesungguhnya mengenai distribusi kekuasaan dan resources baik pada level yang berbeda dan teritorial dari suatu negara dan di antara kepentingan yang berbeda dalam hubungan mereka kepada elit yang berkuasa. Manor (1997: 8) juga berpendapat bahwa desentralisasi politik disusun sebagai alat untuk mempertajam demokrasi atau membuka sistem yang tertutup, untuk memberikan ruang gerak bagi kelompokkelompok kepentingan guna mengorganisasi, berkompetisi dan membuka diri mereka sendiri. Desentralisasi politik atau demokrasi adalah penting untuk membawa pemerintah dekat dengan masyarakat. Bank Dunia (1995: 2) menyatakan bahwa desentralisasi sumber-sumber dan kewajiban tanpa reformasi di bidang politik/demokrasi akan tidak lengkap atau tidak kondusif bagi hasil-hasil sosial yang efektif. Secara lebih luas, Manor (1997: 8) menjelaskan bahwa bentukbentuk dari desentralisasi politik termasuk kasus-kasus dimana orangorang di dalam institusi atau otoritas tertentu dipilih melalui pemilu. Hal ini termasuk juga kesepakatan yang tidak konvesional dimana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) secara resmi diberikan 27 20
kekuasan
menentukan kekuasan di DPR. Manor selanjutnya
menegaskan, bahwa desentralisasi politik juga meliputi usaha dimana masyarakat pada level lokal mempunyai beberapa pengaruh melalui pembentukan komite-komite lokal yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. B. KONSEP OTONOMI Dalam
praktik
penyelenggaraan
pemerintahan,
penggunaan
terminologi „desentralisasi‟ dan „otonomi‟ sering dipertukarkan satu sama lain, dalam arti keduanya dianggap memiliki pengertian dan makna yang kurang lebih sama. Namun sesungguhnya kedua hal tersebut memiliki pengertian dan makna yang berbeda, desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi. Secara bahasa, otonomi bermakna memerintah sendiri (berasal dari bahasa Yunani: autos = sendiri, nomos = perintah). Dengan demikian, otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Sarundajang, 1999:27). Sementara
menurut
Muttalib
(1982:
234),
konsep
otonomi
sebenarnya merupakan konsep yang sudah cukup tua, akan tetapi konsep ini digunakan pada situasi modern dimana konsep tersebut sejalan dengan ketersediaan kerangka hukum pada badan-badan sosial dan kebebasan aktual yang dimilikinya, memberikan kontribusi kepada feodalisme dengan esensi penekanan pada perjanjian dan norma, sejalan dengan pertumbuhan kapasitas legislatif dan administratif, yang dapat menjamin asosiasi-asosiasi tersebut berhubungan secara damai, dalam situasi lebih banyak atau lebih sedikit diatur oleh negara. Dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa otonomi adalah keleluasaan dan kebebasan untuk mengelola badan social, organisasi, asosiasi, dan pemerintahannya sendiri dalam suasana yang lebih banyak atau sedikit diatur oleh negara. Atau dengan kata lain, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, otonomi menghendaki sesedikit 28 21
mungkin pengaruh dari pemerintah pusat, karena pemerintah daerah telah memiliki seperangkat kebijakan, kelembagaan, SDM Aparatur, SaranaPrasarana untuk mendukung berlangsungnya otonomi daerah dimaksud. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan (Pasal 1 butir 5). Dari definisi tersebut secara tersirat nampak bahwa implikasi dari penerapan konsep otonomi daerah adalah terbentuknya daerah otonom (DO), yaitu kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait
dengan
daerah
otonom,
Sarundajang
(1999:
38-44)
memberikan 5 klasifikasi daerah otonom (DO) sebagai berikut: 1. DO dengan otonomi organik atau rumah tangga organik; otonomi ini menyatakan bahwa rumah tangga adalah keseluruhan urusan yang menentukan mati hidupnya badan otonomi atau daerah otonom. 2. DO dengan otonomi formal atau rumah tangga formal, yaitu apa yang menjadi urusan otonomi itu tidak dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. 3. DO dengan otonomi materiil atau rumah tangga materiil, dimana kewenangan DO itu dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan secara limitative dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak diatur di dalamnya. 4. DO dengan otonomi riil atau rumah tangga riil, yaitu DO yang menyatakan bahwa penentuan tugas peralihan atau penyerahan wewenang-wewenang urusan tersebut didasarkan kepada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan daerah yang menyelenggarakannya. 29 22
5. DO dengan otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis, dimana kepada DO diserahi suatu hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahan di bidang tertentu. Otonomi nyata artinya disesuaikan dengan factor-faktor tertentu yang hidup dan berkembang secara obyektif di daerah; otonomi bertanggung jawab dalam arti
selaras
atau
sejalan
dengan
tujuannya
yaitu
melancarkan
pembangunan; dan otonomi dinamis dalam arti dapat memberi dorongan lebih baik dan maju atas segala kegiatan pemerintahan. Senada dengan hal tersebut, UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Dalam arti bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya, daerah-daerah otonom menerapkan ketiga prinsip tersebut sehingga diharapkan akan mencapai suatu kemandirian daerah. Lebih lanjut Dwidjowijoto (2000: 48) menegaskan bahwa otonomi adalah derivate atau turunan dari desentralisasi, sedangkan daerah-daerah otonom adalah daerah yang mandiri. Tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat
desentralisasi
yang
diselenggarakan.
Semakin
tinggi
derajat
desentralisasi, maka akan semakin tinggi tingkat otonomi daerah. Hal ini dapat dicermati ketika terjadi pembentukan kota administrative (kotatif) pada masa ORBA, dimana kotatif-kotatif ini merupakan daerah-daerah yang diberi kewenangan untuk mengelola sebagian urusan pemerintahan yakni di bidang administratif saja. Selain itu, kotatif tidak memiliki lembaga perwakilan sendiri (DPRD). Oleh karena itu, meskipun telah ada penyerahan sebagian urusan tetapi kotatif bukanlah merupakan daerah otonom. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi merupakan konsep yang berbeda dengan desentralisasi, karenanya kurang tepat mempertukarkan penggunaan kedua konsep tersebut. Hal tersebut dikarenakan otonomi merupakan turunan dari desentralisasi, semakin tinggi tingkat atau derajat desentralisasi maka akan makin tinggi pula tingkat otonominya. Penerapan konsep otonomi pada penyelenggaraan pemerintahan akan menghasilkan daerah otonom, yakni suatu kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah dan memiliki lembaga legislatif (DPRD). 30 23
C. PERJALANAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DI INDONESIA Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk seterusnya menjadi urusan daerah tersebut. Sebagai implementasinya lalu diadakan otonomi daerah baik pada provinsi maupun kabupaten/kota. Sejak terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia, telah banyak digulirkan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, secara berturutturut UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini dilakukan dalam rangka pencarian bentuk dan susunan pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada kala itu, yang dapat memenuhi harapan masyarakat, serta sesuai dengan tuntutan pembangunan yang dikumandangkan pada masa itu. Di
Indonesia,
keinginan
untuk
menerapkan
desentralisasi
sesungguhnya telah muncul semenjak bangsa ini dijajah oleh Belanda, yang didasarkan pada Decentralisatie Wet Tahun 1903. Hanya saja desentralisasi yang dilaksanakan pada masa itu lebih banyak bermuatan “kolonialisme” daripada usaha sadar untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, desentralisasi merupakan bagian dari kampanye politik etis, yakni melalui upaya-upaya administratif agar pemerintah kolonial Hindia Belanda dapat lebih mudah mengatur daerah jajahannya. Politik Hindia Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia secara administratif terbukti menuai hasil yang cukup gemilang. Pada tabel 2 di bawah ini akan dijabarkan perjalanan desentralisasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai pasca ORBA.
31 24
Tabel. 2 Perjalanan Desentralisasi dan Otonomi di Indonesia Periode Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
Konfigurasi Politik Demokrasi
Pasca Kemerdekaan (1950-1959)
Demokrasi
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Otoritarian
Orde Baru (1965-1998) Pasca Orde Baru (1998-sekarang)
Otoritarian Demokrasi
UU Otonomi
Hakikat Otonomi UU No. 1 Tahun Otonomi Luas 1945 UU No. 22 Tahun 1948 UU No. 1 Tahun Otonomi Luas 1957 Penpres No. 6/1959 UU No. 18/1965 UU No. 5 Tahun 1974 UU No. 22/1999 *) UU No 25/1999 *)
Otonomi Terbatas Sentralisasi Otonomi Luas
Sumber: Syaukani et al, 2002. Keterangan: *) UU No. 22/1999 kemudian direvisi dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. *) UU No. 25/1999 kemudian direvisi dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dari tabel 2 di atas dapat disimak perjalanan desentralisasi dan otonomi sejak awal kemerdekaan sampai pasca ORBA. Pada masa perjuangan kemerdekaan, pasca kemerdekaan (1950-1959), dan pasca ORBA menunjukkan derajat desentralisasi yang tinggi karena otonomi yang diterapkan adalah otonomi luas. Namun pada masa demokrasi terpimpin dan ORBA, terlihat jelas bahwa derajat desentralisasi yang diterapkan pada posisi yang rendah. Terlebih lagi pada masa ORBA, yang terjadi justeru sentralisasi. Pergantian pemegang kekuasaan di Indonesia ternyata tak membawa hasil yang signifikan dalam pemberian hak-hak daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahannya
sendiri
secara
otonom.
Disini,
pemerintah pusat selalu menancapkan kekuasaannya di daerah. Dalam hal
32 25
ini,
pemerintahn
daerah
harus
selalu
menerima
kebijaksanaan
pembangunan sesuai dengan instruksi pemerintah pusat. Pada era Orde Baru (ORBA), kuatnya pengaruh corak otoritarian yang berlangsung selama kurang
lebih
3
dasawarsa
seakan
telah
menghapuskan
makna
desentralisasi itu sendiri. Pada era ORBA, titik berat otonomi daerah diberikan kepada Daerah Tingkat II, namun demikian kenyataannya pada pemberian otonomi kepada daerah, di dalamnya lebih besar muatan “kewajiban” daripada “hak” nya. Sehingga dengan demikian masih tampak unsur sentralistisnya. Dalam masa reformasi, desentralisasi yang masih berciri sentralistik (pseudo desentralisation) yang diterapkan oleh pemerintah ORBA dianggap sebagi penyebab utama pudarnya tatanan pemerintahan di Indonesia. Setelah Suharto mundur, pucuk pimpinan nasional digantikan oleh Habibie, Kala itu, wacana seputar desentralisasi politik bergulir sangat cepat. Pada waktu itu juga, timbul pula wacana negara federal. Wacana ini menjadi suatu wacana menarik yang menjadi penyeimbang wacana NKRI dengan otonomi daerah sebagai formula mengantitesis pola sentralistik. Akhirnya pilihan politikpun dijatuhkan dengan mengambil bentuk desentralisasi berupa otonomi yang diberikan pada tingkat kabupaten/kota. Pilihan ini dituangkan dalam bentuk UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004. Model pemerintahan daerah yang dianut dalam sistem negara kesatuan setidaknya mengandung beberapa prinsip, antara lain: (1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan yang penuh. (2) desentralisasi dimanisfestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk penyerahan/pengakuan atas urusan pemerintahan diberikan kepada daerah. (3) penyerahan/pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.
33 26
D. KONSEP PEMEKARAN DAERAH DAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI LOKAL Pemekaran daerah sesungguhnya merupakan proses pembentukan daerah otonom baru di mana komunitas masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu memisahkan diri dari daerah induk untuk membentuk pemerintahan sendiri (self local government). Melalui kebijakan pemekaran, memberikan kemudahan dan peluang yang lebih besar bagi masyarakat di suatu daerah untuk membentuk pemerintahan daerah dengan karakteristik dan identitas lokal tertentu.
Dengan demikian adanya pemekaran daerah,
akan memunculkan daerah otonom baru. Daerah otonom menunjuk pada daerah/tempat (geografi), sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom diartikan sebagai “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara Otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi/ kebebasan masyarakat, di mana dengan adanya otonomi tersebut terbentuklan daerah otonom. Otonomi daerah memerlukan kejelasan pembagian kewenangan, sehingga dalam pelaksanaanya pusat akan menjalankan urusan tertentu yang menjadi kewenangannya, demikian pula halnya dengan daerah. Untuk dapat menjalankan desentralisasi, negara perlu dibagi ke dalam daerah otonom dengan batasan wilayah-wilayah tertentu yang menjadi otoritasnya. Dari sini muncul permasalahan ketika menentukan daerah-daerah yang akan menjalankan otonomi tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul misalnya bagaimana membagi daerah-daerah dalam suatu negara, berapa jumlah daerah yang layak terbentuk, berapa ukuran suatu daerah yang layak, apa kriteria untuk dapat membentuk suatu daerah baru. Permasalahan pembagian daerah bukan hal yang mudah. Secara konsep daerah otonom sebenarnya bersifat multi-dimensional, dimana merupakan suatu entitas sosial terorganisir yang memiliki perasaan sebagai satu kesatuan. Menurut M.A. Muttalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, dimensi-dimensi tersebut
34 27
mempengaruhi lahir, tumbuh dan berkembangnya suatu daerah. Untuk membentuk, membatasi area pemerintahan daerah, tidak dapat hanya dilihat dari satu faktor. Oleh karena itu pembentukan daerah akan menjadi masalah yang kompleks dengan beragam alasan, kriteria, dan prosesnya.
1. Tujuan Pemekaran Daerah Trend pemekaran daerah merupakan tuntutan untuk adanya self governance . Dengan demikian tuntutan untuk membentuk daerah baru tersebut dapat timbul akibat berbagai alasan yang sama dengan tuntutan adanya otonomi. Secara normatif pemekaran daerah di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan
pembangunan
perekonomian
daerah,
percepatan
pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban dan peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000). Sementara menurut pendapat John Stuart Mill dalam tulisannya “Representative Government”, dikatakan
bahwa dengan adanya
pemerintahan daerah maka hal itu akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih untuk suatu jabatan politik. Ini dapat menimbulkan motif lain dalam upaya pembentukan daerah yang mungkin saling bertentangan dengan tujuan yang lain.
2. Kriteria Pemekaran Daerah Kemunculan suatu daerah dapat dipengaruhi berbagai faktor. B.C. Smith (1985, pp.64-78) mengemukakan bahwa untuk menentukan suatu wilayah terdapat beberapa prinsip utama yakni, kemasyarakatan (communities), efisiensi, manajerial, teknis, dan prinsip sosial. Berdasarkan
prinsip
kemasyarakatan,
suatu
kesatuan
sosio
ekonomi yang memiliki kesamaan rasa dan identitas dapat menjelma
35 28
menjadi suatu daerah. Wilayah semacam ini dapat terbentuk dari kebiasaan dan sikap hidup masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dari berbagai kasus yang terjadi di Eropa, hal ini dapat terjadi karena adanya hubungan yang dekat antara penduduknya, karena pengaruh keagamaan maupun secara sosial, atau karena karakteristik ekonomi suatu daerah. Dengan pertimbangan efisiensi, wilayah dapat ditentukan berdasarkan asumsi
tentang ukuran operasional yang bisa memberikan kinerja
optimal. Sedangkan menurut prinsip manajerial, area dapat ditentukan berdasarkan struktur manajemen dari organisasi desentralisasi. Secara teknis, pembagian suatu daerah yang optimum ditentukan berdasarkan tata ruang seperti topografi dan sebagainya. Di samping itu dapat pula mengacu pada aspek ekonomi, misalnya terkait dengan lokasi sumber daya alam dan penyebaran industri. Menurut prinsip sosial, wilayah dapat ditentukan oleh mereka sendiri, tanpa menyertakan alasan administratif. Jadi berdasarkan struktur sosial mereka berdasarkan sejarahnya, etnisitas, bahasa , atau kombinasinya. Pendapat lain disampaikan oleh Mutalib dan M.A.Ali Khan (1982) yang membagi kriteria pembentukan suatu daerah ke dalam tiga standar utama sebagai berikut:
Standar kuantitatif Standar kuantitatif ditetapkan secara umum untuk suatu daerah. Alasannya agar suatu daerah memperolah ukuran populasi yang sama. Penentuan standar semacam ini dapat juga sebagai alasan untuk membatasi jumlah daerah sampai pada jumlah tertentu. Pembagian secara kuantitatif semacam ini dimaksudkan
untuk memperoleh
persamaan antar unit teritorial. Alasan lain adalah agar memudahkan administratif.
Standar fisik dan sosial ekonomi Prinsip lain, suatu wilayah geografis,
demografis,
pertimbangan pembatasan
fisik suatu
bisa dibatasi
ekonomi, sebagai
daerah
dan
berdasarkan kriteria
faktor
pertimbangan menggunakan
budaya. utama,
batas
Dengan misalnya
sungai
dan 36 29
pegunungan. Tidak ada ukuran universal tentang luas, tetapi prinsip yang utama wilayah dari suatu otoritas tersebut dapat terbentuk menurut pertimbangan geografi dan populasi. Di wilayah yang sangat luas mungkin tidak memenuhi untuk menjadi unit lokal. Karena dengan wilayah yang sangat luas tidak terasa kedaerahanya, sehingga tidak ada kesatuan secara sosial maupun politis. Sementara untuk kasus unit yang populasinya terlalu besar, akan lebih banyak problem yang dihadapi.
Hubungan antara wilayah dan pelayanan Ukuran suatu wilayah ada berhubungan dengan saling keterkaitannya dengan pelayanan. Pelayanan yang diberikan oleh suatu otoritas lokal tidak bisa diputuskan jika tidak mengetahui ukuran otoritas lokal tersebut dan sebaliknya, tidak bisa menentukan ukuran yang tepat jika tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pertimbangan utama menurut kriteria ini adalah jumlah populasi. Dari jumlah tersebut biasanya menentukan sumber daya keuangan dan juga pelayanan untuk unit tersebut. Namun pelayanan tidak saja dipengaruhi keuangan, tapi juga adanya pengawasan. Dengan luas wilayah yang besar dengan berbagai keragamannya, pengawasan akan susah dilakukan. Tetapi jika jumlah otoritasnya begitu banyak juga akan sulit dalam menjaga kesamaan arah dan pihak yang diawasi. Akibatnya jika suatu negara dibagi ke dalam wilayah-wilayah kecil yang terlalu banyak, juga bisa menimbulkan kesulitan dalam memberikan pelayanan
Faktor Kondisi Daerah Di samping kriteria di atas, faktor lain yang bersumber dari kondisi daerah dapat menjadi kriteria dalam pembentukan daerah , yakni : -
sistem pemerintahan daerah yang ada
-
kapasitas administratif pemerintah daerah
-
pertimbangan hubungan antara desa-kota.
-
struktur komunitas konstituen
-
tingkat partisipasi popular
37 30
-
kesamaan dalam beban pajak dan manfaat dari pelayanan publik
3. Pembangunan Demokrasi Lokal Jika demokrasi dimaknai sebagai „kekuasaan rakyat‟ atau kekuasaan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat, maka demokrasi local dapat diartikan sebagai kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat daerah/lokal dalam rangka menjalankan kepemerintahan daerahnya. Dalam hal ini, rakyat daerah memiliki kekuasaan untuk mengelola, membangun, dan mengembangkan pemerintahan daerahnya. Demokrasi, dalam kehidupan sehari-hari sering disejajarkan dengan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Di sisi lain, demokrasi cenderung dihubungkan dengan system politik (political system), padahal demokrasi tidak hanya berhubungan dengan sistem politik tetapi juga sistem sosial (social system) dan sistem nilai (value system). Menurut Buchori (dalam Mintohardjo dkk, 2003: 5), bahwa salah satu kelemahan dalam
mengembangkan
demokrasi
di
Indonesia
adalah
hanya
memandang demokrasi sebagai sistem politik semata-mata. Artinya, selama ini tidak cukup memberikan perhatian kepada kenyataan, bahwa demokrasi juga merupakan suatu sistem sosial dan sistem nilai, disamping sistem politik. Di antara ketiga sistem tersebut, sistem nilai merupakan inti dan karenanya harus disepakati dan ditaati secara bersama. Dimanakah tempat “kejujuran” dalam tatanan nilai? Dimana tempat “keberanian” serta „keikhlasan”? Dimana pula letak „kebohongan” dan „kecurangan” dalam tatanan nilai? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan tentang sistem nilai. Jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini akhirnya membentuk keseluruhan sistem nilai yang disepakati bersama dan yang benar-benar akan dilaksanakan dalam masyarakat. Sistem nilai ini diterjemahkan ke dalam sistem sosial, yang seterusnya merupakan inti sistem politik. Sistem politik yang benar-benar berfungsi dalam suatu masyarakat adalah sistem politik yang bertumpu
38 31
serta berakar pada sistem sosial dan sistem nilai yang aktual, yaitu sistem sosial dan sistem nilai yang ditaati oleh mayoritas anggota masyarakat. Kalau dalam suatu masyarakat yang berjalan adalah sistem politik yang korup, maka hal ini sebenarnya disebabkan oleh sistem sosial yang aktual dalam masyarakat tadi bersumber dari sistem nilai yang membenarkan korupsi, membiarkan korupsi, dan mendorong terjadinya korupsi. Dalam hubungan ini perlu disadari, bahwa dalam masyarakat mana pun selalu terdapat dua sistem nilai, yakni sistem nilai yang tekstual dan aktual. Sistem nilai tekstual adalah sistem nilai yang tertuliskan dalam berbagai jenis teks (text) atau kitab, sedangkan yang disebut dengan sistem nilai aktual ialah sistem nilai yang benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Kesenjangan antara sistem tekstual dan aktual selalu terjadi, dimana sistem nilai yang tertulis dalam teks selalu lebih sempurna daripada sistem nilai yang benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Tugas setiap anggota masyarakat adalah mengusahakan agar kesenjangan antara kedua jenis sistem nilai tersebut tidak terlalu besar. Kalau suatu generasi membiarkan terjadinya kesenjangan antara keduanya, memperkecil
maka
menjadi
kesenjangan
kewajiban ini,
untuk
generasi membuat
berikutnya agar
untuk
apa
yang
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu berbeda dengan yang tertulis dalam teks. Fenomena pemekaran daerah yang sedang marak di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, sesungguhnya bukan hanya berhubungan dengan sistem politik, dimana setiap aspirasi harus mendapatkan tempat dan direspons dengan baik sebagai wujud eksistensi demokrasi. Lebih jauh lagi, nampaknya inisiatif dan motivasi pemekaran daerah tersebut harus dikembalikan kepada sistem sosial dan terlebih kepada sistem nilai yang dipatuhi oleh mayoritas masyarakat, apakah memang benar telah sesuai dengan tata nilai yang berlaku selama ini. Pertanyaan-pertanyaan
seperti
”Mengapa
perlu
pemekaran
daerah”, kiranya perlu dijawab dengan jujur oleh tokoh-tokoh yang 39 32
menghendaki adanya pemekaran daerah. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat merepresentasikan ‟kejujuran‟ tentang perlu-tidaknya pemekaran daerah, yang pada akhirnya akan menginformasikan persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi kebijakan pemekaran daerah.
Selanjutnya,
pertanyaan-pertanyaan
”kebohongan” dan ”kecurangan”
yang
menyangkut
juga patut dipertimbangkan dalam
melakukan pemekaran daerah. Hipotesis yang berkembang selama ini adalah bahwa daerah menuntut pemekaran karena daerah tersebut merasa memenuhi ketentuan
perundang-undangan.
Akan
tetapi,
benarkah
seluruh
persyaratan tersebut telah terpenuhi? Dalam posisi ini, para pengusul pemekaran daerah harus jujur kepada diri sendiri dan pemerintah pusat, bahwa mereka benar-benar memenuhi persyaratan. Makna dari semua itu adalah bahwa demokrasi ternyata tidak hanya bertalian dengan persoalan ‟sistem politik‟, dimana kepentingan-kepentingan (interest) diperjuangkan di antara kepentingan lainnya untuk mencapai kekuasaan. Akan tetapi, demokrasi ternyata juga berkenaan dengan bagaimana sistem sosial dan sistem nilai yang berkembang di suatu masyarakat atau negara. Sementara Dahl (1985: 52) – yang terkenal dengan konsep pluralisme demokrasi – menyatakan bahwa terdapat dua alasan berkenaan dengan organisasi-organisasi yang relatif otonom yaitu untuk pengawasan timbal balik dan untuk demokrasi berskala luas. Di dalam sistem-sistem politik yang besar, organisasi-organisasi yang independen membantu mencegah terjadinya dominasi dan menciptakan pengawasan timbal balik. Cukup jelas bahwa kesimpulan ini akan bertentangan secara fudamental dengan pandangan para ahli teori sosial yang menyatakan bahwa dominasi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan.
40 33
E. PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA Dalam kasus pemekaran daerah di Indonesia berbagai kriteria yang disyaratkan berdasarkan PP. No. 129 Tahun 2000, untuk dapat menjadi suatu daerah otonom baru adalah sebagai berikut: Tabel.3 Persyaratan/Kriteria dan Indikator Menurut PP No. 129 Tahun 2000 No. 1.
Syarat/Kriteria
Indikator
Kemampuan Ekonomi
- PDRB - Penerimaan Daerah Sendiri 2. Potensi Daerah - Lembaga Keuangan - Sarana dan Prasarana Ekonomi - Sarana Pendidikan - Sarana Sekolah - Sarana Transportasi dan Komunikasi - Sarana Pariwisata - Ketenagakerjaan 3. Sosial Budaya - Tempat/Kegiatan Institusi Sosial - Sarana Olah Raga 4. Sosial Politik - Partisipasi Masyarakat dalam Politik - Organisasi Kemasyarakatan 5. Jumlah Penduduk - Jumlah Penduduk 6. Luas Daerah - Luas Daerah 7. Lain-lain - Keamanan dan Ketertiban - Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pemerintahan - Rentang Kendali Sumber: PP No. 129/2000 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah Berbagai kriteria yang terdapat dalam PP 129 Tahun 200 di atas, memang lebih bersifat teknis. Sebagai sebuah syarat, kriteria tersebut diasumsikan dapat memperlihatkan tingkat kemampuan untuk menjadi suatu daerah otonom. Namun, persyaratan-persyaratan itu saja belum cukup untuk dapat menentukan apakah suatu daerah dianggap mampu melaksanakan otonomi daerah. Untuk itu, kiranya perlu dipertimbangkan ukuran apa yang dapat memberikan hasil yang paling efisien dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.
41 34
Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apakah kajian ini akan mendukung/memperkuat ataukah menolak PP 129/2000 dan revisinya? Apabila mendukung, perlu lebih ditegaskan agar substansi PP ini mampu mengukur kelayakan suatu daerah untuk dimekarkan. Di sini sesungguhnya perlu penguatan dengan memberikan argumentasi kriteria-kriteria mana yang perlu ditambah dan atau dikurangi. Namun, apabila menolak rumusan kriteria dalam PP 129/2000, kira-kira kriteria seperti apa yang dapat diajukan untuk menggantikannya. Tentu saja, pengganti kriteria-kriteria tersebut diharapkan mampu memberikan arahan (guidance) yang lebih baik. Selanjutnya,
berkenaan
dengan
tahapan
pemekaran
daerah
nampaknya juga memerlukan pemikiran lebih lanjut, apakah sebuah daerah otonom dapat secara langsung melahirkan daerah otonom baru ataukah dapat dibentuk „daerah persiapan‟. Hal ini disebabkan banyaknya masukan bahwa ternyata daerah otonom baru tidak mampu mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, penambahan jumlah kabupaten/kota yang cukup signifikan selama 8 tahun perjalanan otonomi daerah, sepantasnya menjadi pelajaran berharga untuk melakukan penataan daerah ke depan. Indonesia merupakan negara besar, untuk itu perlu pembagian daerah sebagaimana amanat konstitusi, tetapi pembagian tersebut dilakukan secara rasional. Memang jika dibandingkan dengan negara lain, jumlah pemerintah daerah di Indonesia tergolong kecil, akan tetapi terjadinya pertumbuhan dan pertambahan jumlah pemerintah daerah yang tidak mempertimbangkan kemampuan (capacity) dinilai akan menjadi permasalahan di masa mendatang. Oleh karena itu, kebijakan pemekaran daerah – yang dipercaya membongkar ketidakberdayaan masyarakat local – sudah semestinya dilakukan melalui proses dan tahapan yang benar (taat azas) sehingga pemerintah daerah yang dihasilkannya merupakan pemerintahan yang mampu mewujudkan cita-cita para pendirinya.
42 35
F. KERANGKA PIKIR
Desentralisasi
Otonomi
Daerah Otonom (DO) UU 22/1999 Jo PP 129/2000
Faktor-Faktor Pendorong
Proses Pemekaran Daerah
Implikasi thd Pemerintahan Negara
Daerah Otonom Baru (DOB)
43 36
Bab 3
METODOLOGI
A. JENIS KAJIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif-eksploratif, yaitu bahwa penelitian ini akan mencoba menggali dan menggambarkan tentang obyek penelitian secara komprehensif. Obyek penelitian yang dimaksud disini meliputi alasan-alasan suatu daerah dimekarkan dan proses pemekaran, implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan negara, dan kriteria pemekaran daerah. B. METODE KAJIAN Metode kajian yang digunakan adalah kualitatif, yakni metode kajian yang datanya lebih banyak berbentuk „kata-kata atau naskah‟ dibandingkan „angka‟. Namun demikian, metode ini tidak berarti anti angka-angka, karena dalam metode kualitatif dimungkinkan menggunakan data dalam bentuk angka. C. DAERAH KAJIAN Daerah kajian meliputi 14 (empat belas) provinsi yang terbagi ke dalam daerah induk dan daerah otonom baru, sebagaimana tabel berikut: Tabel. 4 Daerah Kajian No. 1. 2.
Propinsi/Kab/Kota Jawa Barat - Kota Banjar - Kabupaten Ciamis Banten - Kota Cilegon - Kabupaten Serang
Keterangan Daerah Induk DOB Daerah Induk DOB DOB Daerah Induk
44 37
No. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Propinsi/Kab/Kota Riau - Kabupaten Siak - Kabupaten Bengkalis Kepulauan Riau - Kota Tanjung Pinang - Kota Batam Sumatera Utara - Kab Deli Serdang - Kab Serdang Bedagai Lampung - Kab Lampung Selatan - Kab Tanggamus Bangka Belitung - Kabupaten Bangka - Kabupaten Bangka Tengah Sulawesi Utara - Kabupaten Minahasa Utara - Kabupaten Minahasa Gorontalo - Kabupaten Boalemo - Kabupaten Gorontalo Sulawesi Tenggara - Kabupaten Konawe Selatan - Kabupaten Konawe Papua - Kabupaten Keerom - Kabupaten Jayapura Irian Jaya Barat - Kabupaten Sorong - Kota Sorong Maluku Utara - Kota Ternate - Kota Tidore Kepulauan Kalimantan Timur - Kab Kutai Kartanegara - Kab Kutai Timur
Keterangan Daerah Induk DOB Daerah Induk DOB DOB DOB Daerah Induk Daerah Induk DOB Daerah Induk Daerah Induk DOB DOB Daerah Induk DOB Daerah Induk DOB Daerah Induk DOB DOB Daerah Induk Daerah Induk DOB Daerah Induk Daerah Induk DOB Daerah Induk DOB Daerah Induk DOB DOB DOB DOB Daerah Induk Daerah Induk DOB
Alasan pemilihan keempat belas provinsi tersebut didasarkan pada fakta bahwa sejak reformasi 1997/1998 telah terjadi pemekaran sebanyak 7 provinsi: yakni Banten (Jabar), Gorontalo (Sulut), Maluku Utara (Maluku),
45 38
Kepulauan Riau (Riau), Bangka Belitung (Sumatera Selatan), Irian Jaya Barat (Papua), dan Sulawesi Barat (Sulawesi Selatan). Khusus untuk Provinsi Sulawesi Barat tidak menjadi lokasi kajian karena baru dibentuk pada tahun 2004 (UU No. 26 Tahun 2004). Dengan demikian hanya 6 provinsi pemekaran yang dikaji pada saat ini. Selain keenam provinsi hasil pemekaran, kajian juga telah dilakukan 4 daerah induk (Jabar, Sulut, Riau dan Papua), sedangkan dua daerah induk lainnya (Sumatera Selatan dan Maluku) tidak dikaji karena alasan teknis. Namun, selain kesepuluh provinsi tersebut (6 pemekaran, 4 induk), tim juga melakukan kajian di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, Bangka Belitung dan Sulawesi Tenggara dengan pertimbangan untuk memperoleh gambaran lebih banyak data dan informasi. Pemilhan lokasi kajian untuk kabupaten/kota ditentukan 2 daerah kajian yakni 1 daerah induk dan 1 DOB, kecuali untuk Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Kepulauan Riau yang dua-duanya merupakan DOB, yang disebabkan alasan geografis. D. JENIS DATA DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA Terdapat 2 jenis data yang diperlukan dalam kajian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data-data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan narasumber baik di Pusat maupun di Daerah. Adapun data sekunder diperoleh melalui telaahan kebijakan, naskah, dokumen dan studi pustaka terhadap berbagai literature yang terkait dengan desentralisasi, dinamika implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia, proses pembentukan daerah (:pemekaran daerah), dan implikasi pemekaran daerah terhadap Pemerintah Pusat. Menurut Sutopo (1988:24), wawancara mendalam (In-Depth Interview) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
wawancara
dengan narasumber/key informant guna menggali informasi yang diperlukan dengan lebih seksama dan komprehensif. Sedangkan studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengidentifikasi dan menganalisis bukubuku teks dan dokumen peraturan perundang-undangan yang relevan dengan 46 39
topik kajian Selain itu, data-data yang diperoleh dengan teknik ini juga dapat dapat berupa surat, memoranda, agenda, pengumuman-pengumuman, catatan rapat, proposal, progress report, laporan studi yang pernah dilakukan di tempat yang sama, klipping berita dan juga artikel yang ada di media massa serta bahan-bahan hasil download dari internet. Jika dirangkum, peta kebutuhan data kajian ini nampak sebagaimana tabel berikut: Tabel. 5 Kebutuhan Data Kajian No.
Topik
Narasumber
1.
Faktor-faktor pendorong pemekaran daerah
- Sekda Provinsi/ Kab./ Kota - Pimpinan Parpol - Tokoh Masyarakat/Penggerak upaya pemekaran - LSM - Perguruan Tinggi Setempat
2.
Proses pemekaran daerah
-
3.
Kriteria pembentukan DOB
4.
Implikasi thd Pemerintah Pusat
- Perguruan tinggi setempat/pihak yang melakukan kajian akademik - Tokoh masyarakat/ penggerak pemerkaran daerah - LSM - Sekda Provinsi/ Kab./ Kota - DPRD - Dirjen Perimbangan Keuangan (atau NS di Depkeu yg berkompeten)
Ketua DPRD Sekda Prov./ Kab./ Kota DPOD Mendagri DPR
Kebutuhan Data Naskah akademik pemekaran suatu daerah - Alasan-alasan spesifik daerah ingin dimekarkan - Tantangan proses pemekaran Dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka (dokumendokumen yang ada di PT setempat maupun dokumen lain yang masih ada di kalangan tokoh masyarakat/LSM) - Surat-surat terkait dengan syarat administratif - Hasil perhitungan terkait dengan syarat teknis - Risalah rapat hasil konsultasi/rapat - Hasil kajian PT atau pihak lain - Ketaatasasan terhadap kriteria-kriteria yang telah ditentukan -
-
-
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota pasca pemekaran (hubungan keuangan dan pembinaan & pengawasan) Hubungan daerah induk dengan daerah otonom baru
47 40
E. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 1. Untuk data hasil wawancara mendalam (indepth interview), pengolahan dan analisis data dimulai dengan mentranskrip hasil wawancara, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut. Dalam melakukan analisis data hasil wawancara perlu diperhatikan dengan seksama karena tidak semua data yang disampaikan narasumber merupakan fakta yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peneliti harus dapat membedakan antara “opini” dan “fakta”. 2. Untuk data-data yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, pengolah
dan
penganalisis
data
(peneliti)
dilakukan
dengan
menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus menyertakan sumber yang dikutipnya secara lengkap.
48 41
Bab 4
GAMBARAN EMPIRIS DAN ANALISIS PERKEMBANGAN PEMEKARAN DAERAH
Kajian ini telah dilakukan di 14 (empat belas) provinsi sebagai daerah kajian yakni: Irian Jaya Barat, Papua, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Lampung, Jawa Barat, dan Banten. A. LATAR BELAKANG PEMEKARAN DAERAH DAN IMPLEMENTASI PROSES PEMEKARAN DAERAH BERDASARKAN PP NOMOR 129 TAHUN 2000 1. Latar Belakang Pemekaran Daerah Pada umumnya narasumber di daerah yang berasal dari instansi Setda (dalam hal ini Biro Pemerintahan di provinsi dan Bagian Tata Pemerintahan di kabupaten/kota) mengemukakan bahwa alasan utama terjadinya pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperpendek rentang kendali (span of control) khususnya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa tujuan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui: Peningkatan pelayanan kepada masyarakat; Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; Percepatan pengelolaan potensi daerah; Peningkatan keamanan dan ketertiban;
49 42
Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Selain itu, dari hasil penelitian di daerah ditemukan juga hal-hal lain yang turut melatarbelakangi terjadinya pemekaran daerah. Kuatnya aspirasi masyarakat yang menuntut suatu daerah untuk dimekarkan juga menjadi salah satu faktor dominan yang melatarbelakangi pemekaran suatu daerah. Namun demikian, ternyata ada hal-hal lain yang menjadi trigger (pemicu) pemekaran atau juga bersama-sama dengan faktor aspirasi masyarakat menjadi faktor yang turut mempengaruhi lahirnya suatu pemekaran daerah. Hal-hal/faktor-faktor lain tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Adanya peningkatan status suatu daerah dari kotif menjadi kota dan perubahan nomenklatur dari kotamadya menjadi kota.
2. Adanya perjuangan yang cukup lama untuk menjadi suatu daerah yang otonom dimana perjuangan ini sudah dimulai jauh hari sebelum maraknya wacana pemekaran. 3. Adanya dorongan dari tokoh-tokoh masyarakat dan ormas sebagai penggerak pemekaran (inisiator). 4. Adanya campur tangan pusat untuk menuntaskan polemik pemekaran daerah. Berikut ini akan dibahas satu persatu temuan di lapangan yang berkaitan dengan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya pemekaran daerah tersebut. a. Adanya peningkatan status suatu daerah dari kotif menjadi kota dan perubahan nomenklatur dari kotamadya menjadi kota. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 125 disebutkan, sebagai berikut: Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Simeuleu, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undang-undang ini.
50 43
Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya undang-undang
ini,
Kotamadya,
Kabupaten,
dan
Kota
Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 undang-undang ini. Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dihapus jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan statusnya menjadi otonom. Atas dasar UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana tersebut di atas, maka salah satu konsekuensinya dapat dilihat dari apa yang terjadi di Kota Banjar. Dahulu sebelum statusnya meningkat menjadi kota, Kota Banjar bernama Kotif Banjar dan masuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Ciamis. Berdasarkan amanat UU Nomor 22 Tahun 1999, Banjar kemudian terbentuk menjadi kota. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Banjar dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Pebruari 2003. Narasumber dari DPRD Kabupaten Ciamis, menjelaskan bahwa: ”Meskipun nama Banjar tidak secara tegas disebutkan dalam pasal 125 UU Nomor 22 Tahun 1999, namun tokoh-tokoh yang ada di Banjar menangkap ini sebagai ‟sinyal‟ untuk saatnya menjadi suatu daearah yang mandiri (otonom). Jadi, adanya ketentuan dalam suatu UU dalam hal ini adalah UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi pemicu bagi timbulnya tuntutan untuk segera diadakan pemekaran”. Hal senada juga disampaikan oleh nara sumber dari LSM Kota Banjar, bahwa: ”Semua kotip di Jawa Barat sudah berubah menjadi kota seperti Kotip Cimahi dan Tasikmalaya yang berubah menjadi kota sejak tahun 2001. Tetapi tinggal Kotip Banjar yang belum berubah menjadi kota. Jadi rasanya ‟aneh‟ bila pembentukan Kota Banjar ditunda-tunda”. Mekipun sudah ada UU yang menjadi ‟pemicu‟ pembentukan Kota Banjar, tetapi pembentukan Kota Banjar sendiri lebih didasari
51 44
pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut sebagaimana dikemukakan oleh nara sumber dari Bagian Pemerintahan Kabupaten Ciamis sebagai kabupaten induknya: 1. Adanya dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis terhadap rencana pengembangan Kota Administratif Banjar menjadi Kota Banjar. 2. Adanya dukungan DPRD Kabupaten Ciamis terhadap rencana pengembangan Kota Administratif Banjar menjadi Kota Banjar. 3. Sudah mulai tampak adanya peningkatan jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian. 4. Retribusi sektor tersier (non pertanian) terhadap PDRB sudah mulai mengimbangi sektor primer dan menunjukan kecenderungan meningkat. 5. Letak Kota Banjar sebagai pintu masuk Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian selatan dapat mendorong perekonomian daerah ini ke sektor non pertanian, khususnya sektor perdagangan dan jasa. 6. Kebiasaan penduduk melakukan migrasi keluar yang pada umumnya bergerak di sektor non pertanian merupakan potensi yang dapat memacu perubahan penduduk dari masyarakat rural yang agraris ke masyarakat urban yang non agraris.” Sedangkan
kasus
perubahan
nomenklatur
terjadi
pada
Kotamadya Batam yang berubah menjadi Kota Batam. Menurut nara sumber dari Bagian Pemerintahan Kota Batam, bahwa: ”Kotamadya Batam berubah statusnya menjadi Kota Batam, lebih dikarenakan pada adanya kebijakan dari pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam Pasal 125 UU Nomor 22 Tahun 1999.” Hal senada juga dikemukakan oleh nara sumber dari LSM DPOD (Dewan Pemantau Otonomi Daerah) Kota Batam, bahwa: ”Dalam perkembangannya kemudian Kotamadya Batam berubah menjadi Kota Batam, di dalamnya tidak terlalu dirasakan adanya nuansa bahwa ini diakibatkan oleh adanya tuntutan masyarakat. Tetapi yang lebih dirasakan adalah bahwa ini merupakan kehendak pemerintah pusat yang memiliki kepentingan tersendiri (antara lain dengan adanya suatu institusi yang bernama Badan Otorita Batam).”
52 45
Adapun secara runtut perkembangan Kota Batam dapat diuraikan sebagai berikut (berdasarkan data sekunder dari Bagian Pemerintahan Kotan Batam): Pada tahun 70-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagi Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (lebih dikenal dengan nama Badan Otorita Batam) sebagai penggerak pembangunan Batam. Seiring dengan pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada era tahun 80-an, berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 1983, wilayah Kecamatan Batam yang merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas menjalankan administarsi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam. Di era reformasi, pada akhir tahun 1990-an dengan UU Nomor 53 Tahun 1999, maka Kotamadya Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi dengan nama Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan mengikutsertakan Badan Otorita Batam. Berdasarkan pasal 124 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa: ”Pada saat berlakunya undang-undang ini nama, batas, dan ibukota Propinsi Daerah Tingkat I, Daerah Istimewa, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan Kotamadya Daerah
Tingkat
II,
sebagaimana
dimaksud
dalam
peraturan
perundang-undangan adalah tetap.” Dengan demikian, maka nama Batam tetap dipakai sebagai nama dari Kota Batam. Disamping kasus yang terjadi di Kota Batam, masalah perubahan nomenklatur juga terjadi di Kota Ternate. Dengan keluarnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, maka dengan UU ini secara resmi wilayah administratif ibu kota Maluku Utara itu berstatus kota menggantikan sebutan kotamadya yang selama ini digunakan. Sebagai konsekuensinya Kotamadya Ternate berubah sebutan menjadi Kota Ternate.
53 46
Adapun fase perkembangan bentuk pemerintahan di Ternate sebagaimana diuraikan dalam data sekunder yang diperoleh dari nara sumber di Setda Kota Ternate, secara kronologis adalah sebagai berikut: Fase Pemerintahan Kota Administratif Ternate 1982 – 1999. 1. Pada masa pemerintahan Kecamatan Kotapraja Ternate, daerah Ternate dalam perkembangannya telah menunjukkan ciri-ciri perkotaan dan memenuhi ukuran baku untuk ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif. 2. Pada tanggal 24 Maret 1980, diadakan serangkaian penelitian oleh pejabat Direktorat Pengembangan Perkotaan Departemen Dalam Negeri untuk melihat sampai sejauhmana kemungkinan Kecamatan Kotapraja Ternate ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Ternate. 3. Hasil penelitian tersebut di atas dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135/1953/PUOD tanggal 20 Mei 1980 tentang peningkatan status Kotapraja Ternate menjadi Kota Administratif Ternate. 4. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Bupati Kdh. Tingkat II Maluku Utara mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri dalam bentuk Surat Keputusan No. KPTS 48/8-1/1980 tanggal 3 Juli 1980 tentang Pembentukan Kota Administratif Ternate, dan diperkuat dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara No. 1/KPTS/DPRD/MU/1980 tanggal 8 Juli 1980. 5. Pada tanggal 3 Desember 1981 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Ternate. Fase Pemerintahan Daerah Otonom Kota Ternate: 27 April 1999 s/d sekarang. 1. Kotif Ternate selanjutnya mengalami perkembangan pesat di berbagai bidang, maka pada tanggal 7 Desember 1996 oleh 54 47
Walikota Ternate saat itu, diajukan Proposal berjudul ”Peningkatan Status Kota Administratif Ternate menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate”. Proposal ini disampaikan kepada Bupati Kdh. Tingkat II Maluku Utara dan mendapat tanggapan positif serta dukungan dari berbagai pihak. 2. Setelah melalui serangkaian penelitian dan ekspose baik oleh Pemerintah Kota, Tim Peneliti dari Propinsi Maluku maupun dari Departemen Dalam Negeri, akhirnya
lahirlah Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1999 tanggal 22 April 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate. 3. Konsekuensi ini telah menggiring Ternate pada kemandirian berpemerintahan yang terpisah dari kabupaten induknya (Maluku Utara), maka pada tanggal 20 Mei 1999 telah dilaksanakan penandatanganan Berita Acara Penyerahan Wilayah dari Bupati Kdh. Tingkat II Maluku Utara kepada Walikotamadya Kdh. Tingkat II Ternate dengan disaksikan Gubernur Maluku bertempat di Halaman Upacara Kantor Walikota Ternate. 4. Sebagai konsekuensi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 125 ayat (2), maka nama Kotamadya Ternate diganti menjadi Kota ternate pada tahun 1999. b. Adanya perjuangan yang cukup lama untuk menjadi suatu daerah yang otonom dimana perjuangan ini sudah dimulai jauh hari sebelum maraknya wacana pemekaran. Pada saat ini pemekaran daerah kerap dituding mengikuti euforia yang sedang marak. Namun ada beberapa DOB yang sebenarnya telah lama memulai perjuangannya menuju daerah otonom. Seperti yang terjadi pada pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ”pisah” dari Provinsi Sumsel. Perjalanan sangat panjang telah dilampui oleh masyarakat Bangka Belitung hingga akhirnya Bangka Belitung menjadi sebuah provinsi.
55 48
Dari narasumber di Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, didapat data sebagai berikut (penulisan ‟propinsi‟ tetap dipakai untuk menerangkan sejarah perjalananan suatu pemekaran, dimana pada saat itu yang digunakan adalah istilah ‟propinsi‟ dan bukan ‟provinsi‟ sebagaimana yang digunakan pada saat ini):
Berdasarkan acuan landasan hukum yakni Stablaad (STBL) 1933 Nomor 565 Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan menjadi Residentie en Orderherichgheiden dengan pulau utama Bangka sebagai Residen dan Belitung sebagai Onder Afdelingen yang dipimpin oleh asisten residen.
Selanjutnya, Bangka Belitung dan Riau juga dipersiapkan oleh penguasa Belanda Dr. Van Mock menjadi negara federal dengan nama BABERI (Bangka Belitung Riau).
Namun gagal karena spontanitas rasa patriotisme yang tinggi dari masyarakat Bangka Belitung yang serta merta menolak dan dengan tegas menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Replubik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Namun demikian, setelah penggabungan dengan NKRI, stasus Bangka Belitung terdegradasi turun menjadi Kabupaten. Hal ini dikarenakan
adanya
Perpu
Nomor
3
Tahun
1956
yang
menghapuskan status Keresidenan melalui UU Darurat Nomor 4 Tahun 1956, dimana disebutkan bahwa Bangka Belitung digabungkan menjadi bagian dari Propinsi Sumsel.
Selanjutnya dengan UU Nomor 28 Tahun 1957 ditetapkan pemisahan antara Kabupaten Dati II Bangka Belitung dengan Kotamadya Pangkalpinang.
Perkembangan selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1959, maka eks Keresidenan Bangka Belitung, Lampung, Jambi dan Bengkulu dimasukkan ke Propinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya secara berturut-turut Lampung dilepas dari Propinsi 56 49
Sumatera Selatan melalui UU Nomor 4 Tahun 1964, Jambi dilepas melalui UU Nomor 8 Tahun 1967 dan Bengkulu dilepas melalui UU Nomor 9 Tahun 1967, yang kesemuanya menjadi daerah propinsi. Namun Kepulauan Bangka Belitung tidak dilepaskan dan masih termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan “kegeraman” rakyat Bangka Belitung. Hal senada dikemukakan oleh tokoh masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yakni: ”Secara geografis Kepulauan Bangka Belitung terpisah dari daratan Sumatera dan secara kultural masyarakat Kepulauan Bangka Belitung memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan daerah Sumatera Selatan. Masyarakat Kepulauan Bangka Belitung adalah masyarakat Melayu dengan susunan masyarakatnya yang heterogen dan telah berakulturasi dengan ras/suku lain seperti: Cina, Jawa, Minangkabau, dan Bugis. Hal ini tambah memperkuat alasan mengapa daerah Kepulauan Bangka Belitung harus „lepas‟ dari Provinsi Sumatera Selatan”. Tidak jauh berbeda, narasumber dari Parpol di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan, bahwa: ”Perjuangan untuk mewujudkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dimulai sejak tahun 1956, sebagai respon atas dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956. Rakyat Bangka Belitung kemudian menuntut pembentukan Provinsi Bangka Belitung secepatnya”. Sedangkan dari nara sumber DPRD Provinsi kepulauan Bangka Belitung, didapat data bahwa perjuangan rakyat Bangka Belitung dalam mewujudkan aspirasi untuk membentuk suatu provinsi baru terus dilanjutkan dengan legalitasnya yang secara kronologis dijabarkan sebagai berikut: SK DPRD-GR KABUPATEN BELITUNG No. 5/ DPRD-GR/1967, Tanggal 30 Maret 1967 tentang Pengesahan Laporan Panitia Research DPRD-GR Kabupaten Belitung dan Pembentukan Panitia Persiapan Pembentukan Propinsi Bangka-Belitung. Agreement Bersama antar-Utusan Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kotamadya Pangkalpinang tentang pembentukan
57 50
suatu Presidium Perjuangan Propinsi Bangka Belitung sebagai penyempurnaan daripada panitia-panitia/sponsor yang telah ada. Ikrar Bersama Antara Pemerintah dan DPRD-GR Ketiga Daerah (Bangka, Belitung dan Pangkalpinang) pada tanggal 29 September 1968 yang menyatakan bahwa pengaturan ketiga daerah akan wajar, adil dan benar jika ketiga daerah tersebut dijadikan satu dalam Provinsi Bangka Belitung. Keputusan
musyawarah
Kabupaten
Belitung
antar-Utusan
dan
Kotamadya
Kabupaten
Bangka,
Pangkalpinang
di
Pangkalpinang tanggal 28 Januari 1969 tentang Pembentukan Presidium Perjuangan Propinsi Bangka Belitung. Selain itu, juga terdapat dukungan-dukungan rakyat melalui kelurahan/desa, partai politik, ormas-ormas dan lain-lain. Presidium
Perjuangan
Propinsi
Bangka-Belitung
kemudian
mengajukan usulan tersebut ke DPRD Tingkat I Sumatera Selatan, yang
dalam
sidang
plenonya
mengeluarkan
SK
No.
18/DPRDGR/SUMSEL/1969 Tanggal 11 Maret 1970 tentang Pesetujuan Pembentukan Propinsi Bangka-Belitung. Selanjutnya, Presidium Perjuangan Propinsi Bangka-Belitung mengadakan
pertemuan
dengan
DPRDGR
dan
terdapat
kesepakatan bahwa DPRDGR segera mengirimkan tim peninjau ke Bangka-Belitung. Lalu pada tanggal 20-27 April 1970 dilakukan peninjauan oleh DPRDGR. Tim DPRD-GR ini berkesimpulan bahwa Bangka-Belitung layak untuk menjadi propinsi dan membuat draft Undang-Undang Usul Inisiatif tentang Pembentukan Provinsi Bangka-Belitung. RUU Usul Inisiatif tersebut dibicarakan di Badan Musyawarah, tanggal 20 Agustus 1970, kemudian RUU Usulan Inisatif ini dibahas dalam Acara Sidang Paripurna DPRDGR, tanggal 28 Agustus 1970 dimana Presidium Perjuangan Provinsi Bangka Belitung turut hadir. Pembicaraan tahap selanjutnya diteruskan,
58 51
namun tidak sampai tahap akhir (Keputusan) karena pada waktu itu ada pemilu dan kepada Presidium diminta untuk sabar. Akhirnya, RUU Pembentukan Propinsi Bangka-Belitung tersebut lenyap ditengah kegalauan politik rezim Orde Baru. Selanjutnya, perjuangan tersebut dilanjutkan pada
era
reformasi. Era ini ditandai oleh berbagai gejolak antara lain berupa tuntutan daerah-daerah yang ingin statusnya menjadi suatu provinsi. Bagi masyarakat Bangka Belitung menuntut status provinsi bukanlah euforia, melainkan sebagai upaya menindaklanjuti perjuangan yang sudah sekian lama dilakukan seperti telah diuraikan di atas. Tindakan ini sebagai tindak lanjut dari apa yang sudah disetujui pada tahun 1970 oleh DPRD-GR berupa RUU Pembentukan Propinsi Bangka Belitung yang oleh Pemerintah Orde Baru RUU itu tidak ditindaklanjuti. Adapun tindak lanjut perjuangan Provinsi Bangka Belitung di era reformasi saat ini, melewati beberapa tahapan sebagai berikut (berdasarkan data sekunder dari Biro
Pemerintahan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung): Pembentukan Komite Perjuangan Propinsi Bangka Belitung di Pangkalpinang pada awal Agustus 1999. Pembentukan Komite Perjuangan Provinsi Bangka Belitung di Jakarta, pada tangal 21 Agustus 1999. Kedua Komite Tersebut di atas mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR-RI (Penyampaian, Pernyatan) pada tanggal 21 Sepetember 1999, dengan hasil : Setelah
mendengar
Pernyataan
dan
penjelasan
sejarah
Perjuangan Propinsi Bangka-Belitung, komisi II DPR-RI (Periode 1998-99) berpendapat bahwa pembentukan Provinsi BangkaBelitung secara politis tidak ada masalah lagi. Komisi II DPR RI (Periode 1998-99) Membuat MEMORI untuk diteruskan ke Komisi II DPR-RI Periode 1999-2004.
59 52
Deklarasi Pembentukan Provinsi Bangka-Belitung oleh DPRD Kabupaten Bangka, DPRD Kabupaten Belitung dan DPRD Kota Pangkalpinang, di Pangkalpinang, tanggal 17 Januari 2000. Ikrar Bersama Antara DPRD Kota Pangkalpinang; beserta semua unsur yang terkait dengan pembentukan Provinsi Bangka-Belitung, di Wisma DPR-RI, Cisarua, Bogor, Tanggal 23 Januari 2000 dan pembentukan
Presidium
Perjuangan
Pembentukan
Provinsi
Bangka Belitung. Pada tanggal 17 Februari 2000, Presidium Perjuangan Provinsi Bangka Belitung menagadakan pertemuan dengan
DPRD-
Sumatera Selatan, dengan hasil semua fraksi menyetujui dan mendukung Provinsi Bangka Belitung. Dalam kesempatan ini juga, diadakan pertemuan dengan Gubernur Sumatera Selatan, dengan hasil: Gubernur menyetujui/ mendukung terbentuknya Provinsi Bangka Belitung Pada tanggal 28 Februari 2000, pertemuan antara Presidium Perjuangan Provinsi Bangka Belitung dengan Menteri Hukum dan Perundang-undangan di Jakarta, dijelaskan oleh Menteri bahwa: “Provinsi Bangka Belitung adalah satu dari tiga provinsi baru yang telah disetujui pembentukannya dalam Sidang Kabinet sebelum puasa”. DPRD Provinsi Sumatera Selatan mengeluarkan Surat Pernyataann tanggal 13 Maret 2000, yaitu tentang: Rekomendasi Perjuangan Pembentukan Provinsi Bangka Belitung, yang intinya menerima dan menyambut baik aspirasi yang disampaikan masyarakat Bangka-Belitung (Pertemuan tanggal 17 Februari 2000 di Palembang). Dari sinilah proses selanjutnya diteruskan hingga keluarlah UU Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
60 53
c. Adanya dorongan dari tokoh-tokoh masyarakat dan ormas sebagai penggerak pemekaran (inisiator). Dorongan para tokoh masyarakat (tokoh adat) menjadi salah satu alasan kenapa suatu daerah dimekarkan, hal ini sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Minahasa Utara yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Minahasa. Ditinjau dari segi adat-istiadat orang Minahasa Utara terbagi dalam kelompok-kelompok: sub etnis Tonsea – Minahasa dan khusus di beberapa Kecamatan seperti Wori dan Likupang terdapat kelompok sub etnis Bantik – Minahasa dan sebagian etnis Sangihe dan Talaud. Wilayah yang untuk sebagian besarnya merupakan Minahasa Utara adalah lokasi anak suku Tountewoh yang kemudian berubah nama menjadi Tonsea – Minahasa. Sesudah dua purnama selesai dan sesudah dimusyawaratkan pembagian wilayah di Watu Pinabetengan, maka tanah Minahasa dibagi atas empat wilayah besar yaitu etnis Tombulu, Tountewoh/Tonsea, Tompakewa/Tountemboan, dan Toulour atau Toudano kemudian menjadi Tondano. Istilah Tompakewa diganti Tountemboan dan istilah Tountewoh diganti menjadi Tonsea pada tahun 1679. Palar dan Anes (1994) dengan mengutip tulisan J.G.F. Riedel (1898) ”De Watu Rerumeran ne empung of De Steenen Zetel der Empungs in de Minahasa”, menguraikan bahwa pengelompokkan besar turunan Toar dan Lumimuut yang terjadi dalam peristiwa Pinabetengan atau disebut peristiwa ”Pinawetengan in Nuwu” telah terjadi ”Teluh Na Weteng” atau tiga bahagian yaitu: Kelompok taranak mayesu: Simuruh se Touw un Buluh atau yang menjadi cikal bakal orang Tombulu. Kelompok taranak Niyaranan: Simuruh se Touw un Tewoh atau menjadi cikal bakal orang Tountewoh yang kelak menjadi Tonsea. Tumaratas: Simuruh se Touw un Kimbut atau cikal bakal Tompakewa-Tountemboan.
61 54
Lepas dari pertimbangan dan alasan-alasan rasional-obyektif, menguatnya kesadaran-etnis yang dipelopori oleh para tokoh adat yang berfungsi sebagai inisiator menjadi salah satu faktor pendorong dan pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pemekaran wilayahadministratif di Sulawesi Utara pada umumnya dan Minahasa khususnya. Dorongan tokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk daerah otonom baru juga nampak di Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat), dimana pembentukan provinsi ini mendapat dukungan yang besar dari tokoh-tokoh mantan pejabat Provinsi Papua maupun tokoh-tokoh adat khususnya dari Suku Arfak (suku terbesar dan berpengaruh di Papua Barat). Bahkan, pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat (biasa disingkat dengan Irjabar) ini diawali dengan semacam „perjanjian‟ dengan tokohtokoh adat yang ada di Irjabar. Menurut nara sumber dari Setda Provinsi Irjabar: ”Substansi perjanjian itu di antaranya menyangkut komitmen para pemimpin Irjabar atau Papua Barat untuk benar-benar memperjuangkan hak-hak masyarakat dalam rangka memperoleh pelayanan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di bawahnya. ” Oleh karena itu, jika di belakang hari terjadi penyegelan kantor gubernur oleh tokoh masyarakat/adat, hal itu disebabkan oleh karena pemerintah daerah dianggap tidak mampu memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik.
d. Adanya campur tangan pusat untuk menuntaskan polemik pemekaran Meskipun didasarkan pada kuatnya aspirasi masyarakat agar daerahnya menjadi suatu daerah yang otonom, namun perjalanan ke arah itu tidaklah semulus yang diduga. Banyaknya hambatan terutama yang datang dari daerah induknya telah menjadi kendala bagi terciptanya suatu DOB. Terkadang polemik yang timbul kemudian dikhawatirkan akan berdampak luas pada masyarakat. Untuk itulah,
62 55
pemerintah pusat, baik legislatif (dalam hal ini DPR-RI dengan hak inisiatifnya) maupun eksekutif (presiden) tidak jarang turut melakukan intervensi demi mentuntaskan polemik yang terjadi. Pada umumnya intervensi ini terjadi pada kasus pemekaran provinsi, karena lingkup dampaknya yang teramat luas. Kasus yang terjadi pada Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) agaknya dapat dijadikan contoh untuk mengupas hal tersebut di atas. Pembentukan Provinsi Kepri menjadi provinsi ke-31 di Indonesia ternyata menempuh jalan yang berliku. Gubernur pada saat itu, Saleh Djasit
dan
DPRD
Riau
tidak
bersedia
merekomendasikan
pembentukan Provinsi Kepri. Pertimbangannya, terkait soal waktu dan kesiapan sumber daya manusia dan keuangan daerah tersebut untuk membiayai jalannya roda pemerintahan sebagai provinsi. Padahal ketika itu, Pansus DPRD Provinsi Riau menyatakan Kepri sangat layak untuk ditingkatkan statusnya menjadi provinsi. Karena halangan dari daerah induknya, maka perjuangan pembentukan Provinsi Kepri ini mengalami waktu yang cukup lama tidak mendapatkan persetujuan dari DPR RI dan pemerintah pusat. Di sisi lain, perjuangan masyarakat Kepri untuk membentuk Provinsi Kepri jua tak kalah kerasnya dengan penolakan dari provinsi induknya. Sebagaimana diutarakan oleh nara sumber dari BP3KR (Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau), bahwa kronologi perjuangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pembentukan Provinsi Kepri bermula dari diselenggarakannya Kongres Rakyat Kepulauan Riau pada tanggal 15-16 Mei 1999 di Hotel Royal Palace Batu Sepuluh Tanjungpinang yang merupakan kongres masyarakat Kabupaten Kepri yang dihadiri oleh lebih dari 1.000 orang berasal dari 23 kecamatan se-Kabupaten Kepri, Jakarta,
Bandung,
Yogyakarta,
Semarang,
Pekanbaru, dan
Kalimantan Barat.
63 56
Salah satu keputusan Kongres tersebut adalah pembentukan Provinsi Kepri dengan tujuan mensejahterakan masyarakat Kepri dan untuk melaksanakan tugas itu dibentuklah tim 9 sebagai pemegang amanah cita-cita pembentukan Provinsi Kepri. Meski Gubernur dan DPRD Provinsi Riau menolak pembentukan Provinsi Kepri, melalui inisiatif DPR, akhirnya Provinsi Kepri disahkan pada tanggal 24 September 2002. Hal ini ditempuh Dewan bertitik tolak dari fatwa hukum Ketua Mahkamah
Agung
Bagir
Manan
melalai
surat
Nomor
KMA/300/V/2002 tanggal 17 Mei 2002 yang memperkenankan DPR dan Pemerintah mengesahkan tanpa terikat dengan prosedur harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur dan DPRD Provinsi Riau selaku provinsi induk. Pasalnya, RUU Pembentukan Provinsi Kepri merupakan usul inisiatif DPR-RI, bukan dari pemerintah. Pengesahan undang-undang itu tak serta-merta membuat Provinsi Kepri langsung jadi dan lepas dari provinsi induknya. Lagi-lagi rakyat Kepri harus berjuang keras. Baru pada tanggal 1 Juli 2004 provinsi yang didambakan itu diresmikan di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri. Sementara itu, kasus yang hampir mirip juga terjadi di Provinsi Irjabar. Tahun 2003 merupakan awal terjadinya konflik pemekaran provinsi di Provinsi Papua sehubungan dengan terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Pada tanggal 27 Januari 2003 Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berkaitan konflik tersebut, narasumber dari DPRD Provinsi Irjabar menguraikan bahwa:
64 57
”Dengan Penerbitan Inpres ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai kalangan baik itu di Papua maupun di tingkat nasional. Terlebih lagi Abraham Otururi bersama dengan beberapa pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten Manokwari mendeklarasikan terbentuknya Propinsi Irian Jaya Barat pada tanggal 5 Februari 2003. sedangkan deklarasi pembentukan Irian Jaya Tengah pada bulan Agustus tahun 2003 di Kabupaten Mimika akhirnya dibatalkan karena implikasi deklarasi tersebut terjadinya konflik berdarah antar kelompok pro dan kontra pemekaran”. Sehubungan dengan terbitnya Inpres tersebut, berbagai kelompok yang ada di Papua dan di tingkat nasional menanggapinya dengan berbagai argumentasi yang beragam. Menurut nara sumber dari Universitas Papua (UNIPA) terdapat dua kelompok pro dan kontra terhadap adanya Inpres tersebut, sebagai berikut: ”Kelompok yang pro pemekaran berpendapat bahwa pemekaran provinsi melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut dianggap terobosan dan cara jitu untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dengan demikian akan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Papua. Namun demikian, bagi yang kontra berpendapat bahwa penerbitan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut melecehkan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Otonomi Khusus Papua karena di dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 pasal 76 disebutkan bahwa untuk membentuk provinsi baru terlebih dahulu harus diperoleh persetujuan dari MRP dan DPRP, padahal MRP pada saat itu belum terbentuk karena pemerintah pusat belum mengeluarkan peraturan pemerintah, walaupun pemerintah Provinsi Papua sudah memasukkan Draft PP tersebut kepada pemerintah pusat sejak bulan Juli 2002.” Selanjutnya, konflik inter elit lokal Papua (Pemda Irjabar vs Pemda Papua) dan elit Jakarta berlanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan judicial review dimana masingmasing pihak mempertahankan argumentasinya. Akhirnya pada tanggal 4 November 2004 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 batal demi hukum dan secara implisit mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat.
65 58
Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi inipun mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan terutama dari elit Provinsi Papua yaitu DPRD dan Pemda Provinsi Papua karena dianggap justru keputusan ini tidak menyelesaikan persoalan dan bersifat ambivalen. Terakhir Majelis Rakyat Papua membentuk sebuah Tim Kosultasi Publik dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban Publik Irian Jaya Barat tentang setuju atau tidak pemekaran Provinsi Papua. Tim Konsultasi Publik inipun mendapat reaksi yang cukup keras dari kalangan di Irian Jaya Barat. Mereka menilai bahwa langkah yang dilakukan oleh MRP telah memasuki ”wilayah haram”. Tudingan ini semakin kuat manakala MRP dalam konsultasi publiknya keluar dari kesepakatan, dimana telah disepakati bahwa dalam melakukan konsultasi publik MRP harus didampingi pihak Irian Jaya Barat Tak mau ketinggalan Pihak Irian Jaya Barat melalui DPRD Provinsi Irian Jaya Barat juga melakukan konsultasi publik dan hasilnya sudah jelas bahwa masyarakat Irian Jaya Barat mendukung pemekaran. Di sisi lain hasil konsultasi publik yang dilakukan oleh MRP di Provinsi Irian Jaya Barat menghasilkan keputusan yaitu (1) Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru seperti Provinsi Irian Jaya Barat atau dengan nama lainnya belum saatnya dilakukan; (2) Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru seperti Provinsi Irian Jaya Barat atau dengan nama lainnya dilakukan berdasarkan pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001. Selanjutnya masih berkaitan dengan Pemekaran Provinsi Irjabar, hasil ketetapan yang dilakukan oleh DPRP Provinsi Papua adalah (1) Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Irjabar atau nama lain belum saatnya dilakukan dan apabila pemekaran dilakukan di Provinsi Papua harus berdasarkan pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; (2) Apabila Pemerintah Pusat tetap melaksanakan pemekaran Provinsi Irjabar atau nama lain diluar ketentuan pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Maka DPRP atas nama rakyat Papua 66 59
akan mengelar rapat paripurna untuk mengembalikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Proses pemekaran yang dimaksud disini adalah tahapantahapan yang dilampui oleh suatu daerah untuk menjadi DOB. Disamping itu, konflik yang timbul sepanjang berlangsungnya proses pemekaran tersebut dan bagaimana upaya yang ditempuh untuk mengatasi konflik tersebut juga turut dibahas pada bagian ini.
2. Implementasi Proses Pemekaran Daerah Berdasarkan PP Nomor 129 Tahun 2000 Pada umumnya, prosedur pemekaran yang terjadi mengacu pada PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Khususnya mengacu pada Bab V yang mengatur tentang Prosedur Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Pada Pasal 16 Bab V PP Nomor 129 Tahun 2000, disebutkan bahwa prosedur pemekaran daerah sama dengan prosedur pembentukan daerah. Meskipun demikian, berdasarkan karakteristik daerah dan dinamika yang terjadi di lapangan yang sifatnya kasuistik, maka prosedur pemekaran daerah antara daerah induk yang satu dengan yang lainnya tidak sama persis walaupun secara garis besarnya kurang lebih sama. Berikut dipaparkan 2 contoh prosedur pemekaran daerah. Yang pertama adalah proses pemekaran yang terjadi di Kabupaten Bangka yang kemudian melahirkan DOB yakni Kabupaten Bangka Tengah. Kedua, proses pemekaran yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang yang melahirkan DOB Kabupaten Serdang Bedagai. Kabupaten Bangka Tengah dibentuk dengan UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Nara sumber dari Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah (Bupati Bangka Tengah) mengatakan, bahwa:
67 60
”Munculnya ide untuk pemekaran daerah di Kabupaten Bangka yaitu dimulai pada Seminar Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka pada bulan Desember 1998 dan Lokakarya Repelita VII Kabupaten Bangka pada bulan Februari 1999 yang disampaikan oleh Tokoh-Tokoh Masyarakat, Orpol, Ormas dan Alim Ulama.” Untuk selanjutnya, prosedur pemekaran dari Kabupaten Bangka yang kemudian melahirkan DOB yakni Kabupaten Bangka Tengah ini akan dipilah baik yang bersifat politis maupun yang bersifat administratif sebagaimana terdapat pada gambar di bawah ini. Gambar. 1 Prosedur Pemekaran Kabupaten Bangka POLITIS: Aspirasi Masyarakat Memorandum DPRD Pembentukan Presedium Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Pertemuan-pertemuan antara DPR RI dengan Presedium dalam rangka penyampaian aspirasi dan untuk mendapatkan dukungan dari DPR RI.
ADMINISTRASI: Penyiapan data amal oleh BAPPEDA/Bagian Pemerintah Kabupaten. Penyusunan studi kelayakan oleh Perguruan Tinggi Negeri/Balitbang DDN. Pengajuan berkas usulan Pemekaran dari Kabupaten Induk ke Gubernur. Penyampaian berkas usulan pemekaran dari gubernur ke DDN dan tembusan ke DPR RI. Peninjauan kelayakan pemekaran oleh DDN, Badan Pertimbangan Otonomi Daerah dan DPR RI.
Pembahasan RUU tentang Pemekaran Wilayah oleh DPR-RI bersamasama dengan DDN serta LO Kabupaten dan LO Provinsi a. Usul inisiatif DPR RI b. Usul dari DDN
Pengesahan UU Pemekaran oleh DPR RI
68 61
Secara ringkas, tahapan yang dilalui dalam prosedur pemekaran sebagaimana terdapat dalam gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Aspirasi masyarakat;
Memorandum DPRD;
Penyajian data awal oleh BAPEDDA/Bagian Pemerintahan;
Pembentukan Presidium tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi;
Pembuatan
studi
kelayakan
oleh
Perguruan
Tinggi
Negeri/BALITBANG DDN;
Pertemuan-pertemuan antara DPR-RI dengan Presidium untuk mendapat dukungan;
Penyampaian berkas usulan pemekaran dari Kabupaten Induk ke Gubernur;
Penyampaian berkas usulan pemekaran dari Gubernur ke DDN;
Penilaian kelayakan oleh DPR-RI bersama-sama dengan DDN dan LO dari Kabupaten Induk serta LO dari Provinsi: a.
Bisa usul inisiatif dari DPR RI
b. Bisa usul dari DDN
Pengesahan UU Pemekaran. Sementara itu, pemekaran yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang,
prosedur yang ditempuh hampir sama dengan yang dilakukan oleh Kabupaten Bangka. Namun demikian, yang berikut ini akan dipaparkan adalah tahapan yang terjadi ketika usulan pemekaran itu telah masuk di DPRD Provinsi Sumatera Utara sehubungan dengan diajukannya usulan pemekaran
Kabupaten
Deli
Serdang
yang kemudian
melahirkan
Kabupaten Serdang Bedagai sebagai DOBnya. Tahapan dalam rapat paripurna ini adalah sebagaimana yang diutarakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Sumatera Utara, sebagai berikut:
69 62
Gambar. 2 Tahapan Dalam Rapat Paripurna Khusus DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam rangka Pembahasan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang Pembahasan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang
Penjelasan Gub. Sumut tentang Pemekaran Kab. Deli Serdang
Tanggapan/Pendapat Fraksi-fraksi
Pembentukan Tim Perumus
Pembacaan Konsep Keputusan Dewan tentang Pemekaran Kab. Deli Serdang
Pengesahan Konsep Kep. Dewan tentang pemekaran Kab. Deli Serdang
Penandatanganan Kep. Dewan tentang Pemekaran Kab. Deli Serdang
Sumber: diolah dari wawancara
Secara keseluruhan, proses pemekaran daerah tersebut bisa berasal dari inisiatif eksekutif maupun legislatif. Berikut adalah tabel yang menunjukkan proses inisiasi pemekaran daerah: Tabel. 6 Proses Inisiasi Pemekaran Daerah Otonomi Baru No.
Daerah Otonomi Baru
Proses Pemekaran
1.
Provinsi Sumatera Utara Kab. Deli Serdang Kab. Serdang Bedagai
DI DOB
2.
Provinsi Kepulauan Riau Kota Pangkal Pinang Kota Batam
DOB DOB (melalui Depdagri) DOB (melalui Depdagri)
70 63
No.
Daerah Otonomi Baru
Proses Pemekaran
3.
Provinsi Riau Kab. Bengkalis Kab. Siak
DI DI DOB (melalui Depdagri dan DPR)
4.
Prov. Kep. Bangka Belitung Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka
DOB (melalui Hak Inisiatif DPR) DOB (melalui DDN) DI
5.
Provisi Lampung Kab. Lampung Selatan Kab. Tanggamus
DI DOB
6.
Provinsi Banten Kab. Serang Kota Cilegon
DOB DI DOB (melalui DDN)
7.
Provinsi Jawa Barat Kab. Ciamis Kota Banjar
DI DI DOB (melalui DDN)
8.
Provinsi Kalimantan Timur Kab. Kutai Kertanegara Kab Kutai Timur
DI DOB
9.
Provinsi Sulawesi Utara Kab. Minahasa Kab. Minahasa Utara
DI DI DOB
10.
Provinsi Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Boalemo
DOB DI DOB
11.
Provinsi Sulawesi Tenggara Kab. Konawe Kab. Konawe Selatan
DI DOB (melalui DDN)
12.
Provinsi Maluku Utara Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
DI DOB DOB
13.
Provinsi Papua Kab. Jayapura Kab. Keerom
DI DI DOB (melalui DDN)
71 64
No. 14.
Daerah Otonomi Baru
Proses Pemekaran
Provinsi Irian Jaya Barat Kab. Sorong Kota Sorong
DOB DI DOB (melalui DDN)
Sumber: Ditjen Otda-Depdagri, 2007 Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pemekaran daerah lebih banyak dilakukan melalui Departemen Dalam Negeri. Tentu hal ini berbeda dengan sinyalemen bahwa pemekaran lebih banyak diusulkan melalui hak inisatif DPR, padahal menurut DPOD usul pemekaran lebih banyak merupakan hak inisiatif DPR.
B. IMPLIKASI
PEMEKARAN
DAERAH
TERHADAP
PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN NEGARA
1. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Daerah a. Pembentukan Kelembagaan Baru Sebagaimana dipaparkan pada bagian terdahulu, ternyata kebijakan pemekaran daerah telah menyebabkan berbagai implikasi terhadap penyelengaraan pemerintahan, baik di dalam tubuh pemerintahan daerah (daerah induk dan daerah pemekaran) maupun pemerintahan pusat (eksekutif dan lembaga tinggi negara lainnya, khususnya DPR RI). Selain penambahan kepanjangan tangan lembaga-lembaga vertikal di daerah, implikasi yang juga terjadi dalam hal kelembagaan daerah adalah mengenai perubahan status struktur kelembagaan pemerintahan daerah dan penataan wilayah akibat adanya pemekaran daerah ini. Seperti yang dikatakan oleh nara sumber dari DPRD Kota Batam: ”Sehubungan dengan adanya peningkatan status Kotif Batam menjadi Kota Batam, maka struktur pemerintahan dan penataan wilayahnya juga mengalami perubahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pemekaran, Perubahan dan Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan
72 65
dalam Daerah Kota Batam, maka Batam yang semula terdiri dari 8 Kecamatan dan 51 Kelurahan berubah menjadi 12 Kecamatan dan 64 Kelurahan”. Beliau juga menambahkan, bahwa: ”Kecamatan dan Kelurahan yang ada selama ini adalah Kecamatan dan Kelurahan sejak terbentuknya Pemerintahan Kota Batam dan secara nyata perlu dilakukan penataan, baik dalam kaitan dengan pemekaran, perubahan nama maupun pembentukan kecamatan dan kelurahan baru berdasarkan kebutuhan masyarakat dan Pemerintah Kota Batam”. Dari pemekaran daerah yang terjadi di 14 (empat belas) provinsi, ditemukan bahwa dalam pemekaran daerah telah terjadi perubahan struktur pemerintahan dan penataan wilayah baik daerah otonom baru dan daerah induk akibat berkurangnya daerah di daerah induk dan bertambahnya struktur pemerintahan dan penataan wilayah di daerah otonom baru. Hal ini terjadi sebagai konkuensi logis dan formal dari adanya kebijakan pemekaran pada daerah pemekaran. Berdasarkan hal tersebut, terdapat tiga bentuk perubahan status dalam struktur pemerintahan daerah dan penataan wilayahnya, yaitu pemekaran daerah sebagai hasil dari pemekaran provinsi, pemekaran daerah sebagai hasil dari pemekaran kabupaten, dan pemekaran daerah karena adanya peningkatan status dari bentuk kotif (kota administratif) menjadi kota atau perubahan nomenklatur dari bentuk kotamadya menjadi kota. 1) Pemekaran daerah sebagai hasil dari pemekaran provinsi. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi
Maluku,
dan
Provinsi
Papua,
yang
kesemuanya
merupakan provinsi induk. Selain provinsi-provinsi tersebut di atas, sebenarnya Provinsi Sulawesi Barat juga merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan, sama halnya dengan pemekaran
73 66
Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan. Namun, baik Sulawesi Barat maupun Sulawesi Selatan bukan merupakan lokus kajian ini. Selain itu, pengkajian di lokus Sulawesi Tenggara adalah bukan mengenai pemekaran Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan, tetapi mengenai posisi dan kebijakan Provinsi Sulawesi Tenggara dalam pemekaran Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan. Adapun nama-nama provinsi yang merupakan DOB dalam lokus kajian adalah sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini. Tabel.7 Pemekaran Provinsi No.
Daerah Otonom Baru
Provinsi Induk
Undang-undang
1.
Prov. Banten
Jawa Barat
No. 23 Tahun 2000
2.
Prov. Kep. Riau
Riau
No. 25 Tahun 2000
3.
Sumatera Selatan Sulawesi Utara
No. 27 Tahun 2000
4.
Prov. Kep.Bangka Belitung Prov. Gorontalo
5.
Prov. Maluku Utara
Maluku
No. 46 Tahun 1999
6.
Prov. Irian Jaya Barat
Papua
No. 45 Tahun 1999
No. 38 Tahun 2000
Sumber: Komisi II DPR RI
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari keenam provinsi hasil pemekaran ternyata dua provinsi yaitu Provinsi Maluku Utara dan Irian Jaya Barat merupakan hasil pemekaran tahun 1999. Dengan kata lain, pemekaran keduanya belum didasarkan pada ketentuan-ketentuan sebagaimana termaktub pada PP Nomor 129 Tahun 2000. Berdasarkan hasil kajian lapangan, pembentukan keduanya didasarkan pada pertimbangan politis yang ditujukan untuk menciptakan pembangunan
pemerataan di
kawasan
pembangunan, timur.
Beberapa
khususnya narasumber
menyatakan bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat
74 67
merupakan jawaban terhadap tuntutan rakyat Papua untuk merdeka. Hal ini sebagaimana disampaikan Tokoh Pemuda Suku Arfak di Manokwari: ”Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat merupakan keinginan yang sudah lama sekali, tetapi baru dapat diwujudkan pada 1999 atau ketika reformasi tiba. Sebelum-sebelum ini rakyat Papua, khususnya di Papua Barat sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat. Sekali lagi kami katakan bahwa pembentukan provinsi ini sebagai suatu berkah yang harus disyukuri oleh kita disini...” Pendapat senada juga diutarakan oleh nara sumber dari UNIPA, yang mengutarakan, hal berikut: ”Papua pernah dibagi menjadi beberapa Residen atau Pembantu Gubernur, tepatnya 3 residen. Salah satunya berkedudukan di Manokwari. Namun, pemberian kedudukan sebagai Pembantu Gubernur tersebut tidak disertai dengan perlengkapannya sehingga mereka memiliki wewenang tetapi tidak mampu menggunakan wewenangnya itu karena tidak adanya dukungan pendanaan dan sebagainya...” 2) Pemekaran daerah sebagai dari pemekaran kabupaten. Terdapat 13 DOB yang berbentuk kabupaten/kota sebagai hasil pemekaran kabupaten yang terdapat di 14 provinsi daerah kajian. Hal ini terjadi antara lain pada Kota Sorong yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, dan Kabubupaten Minahasa Utara yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Minahasa. Ke 13 DOB tersebut beserta kabupaten induknya juga merupakan daerah kajian. Adapun DOB yang berbentuk kabupaten/kota tersebut, adalah sebagai berikut:
75 68
Tabel. 8 DOB Hasil Pemekaran Kabupaten di Daerah Kajian Provinsi Papua
Daerah Otonom Baru Kabupaten Keerom
Kabupaten induk Jayapura
No.26/Th.2002
Irian Jaya Barat
Kota Sorong
Sorong
No.45/Th.1999
Maluku Utara
Kota Tidore Kepulauan Kab. Konawe Selatan Kabupaten Minahasa Utara Kabupaten Boalemo
Halmahera Tengah Konawe *)
No.1/Th.2003
Minahasa
No.33/Th.2003
Gorontalo Kutai
Riau
Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Siak
No.50/Th.1999 jo UU No.10/Th.2000 No.47/Th.1999
Bengkalis
No.53/Th.1999
Kep. Riau
Kota Tanjung Pinang
--- **)
No.5/Th. 2001
Kep. Bangka Belitung Sumatera Utara
Kabupaten Bangka Tengah Kab. Serdang Bedagai Kabupaten Tanggamus Kota Cilegon
Bangka
No.5/Th.2003
Deli Serdang
No.36/Th.2003
Lampung Selatan Serang
No. 2/Th. 1997
Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Gorontalo Kalimantan Timur
Lampung Banten
Undang-undang
No.4/Th.2003
No.15/Th.1999
Catatan: *)Kabupaten Konawe adalah nama baru dari Kabuparten Kendari. Pada tahun 2003, Kabupaten Kendari berubah nama menjadi Kabupaten Konawe. **)Kota Tanjung Pinang tidak memiliki kabupaten induk. Pada saat pembentukannya, wilayah Kota Tanjung Pinang berasal dari sebagian Kabupaten Kep. Riau yang terdiri atas Kecamatan Tanjung Pinang Barat dan Kecamatan Tanjung Pinang Timur.
3) Pemekaran Pemekaran daerah karena adanya peningkatan status dari bentuk kotif (kota administratif) menjadi kota atau perubahan nomenklatur dari bentuk kotamadya menjadi kota. Peningkatan status terjadi pada Kotif Banjar yang meningkat statusnya menjadi Kota Banjar. Kotif Banjar ini semula masih bernaung dalam wilayah Kabupaten Ciamis di Provinsi Jawa Barat.
76 69
Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2002, Kotif Banjar kemudian melepaskan diri dari Kabupaten Ciamis dan menjadi Kota Banjar. Untuk
kasus
perubahan
nomenklatur
terjadi
pada
Kotamadya Batam yang kemudian berubah namanya menjadi Kota Batam. Perubahan nomenklatur Kotamadya Batam yang terletak dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau ini didasarkan pada UU Nomor 53 Tahun 1999. Sementara, pembentukan Kepulauan Riau sebagai suatu provinsi dengan nama Provinsi Kepulauan Riau yang memisahkan diri dari Provinsi Riau, didasarkan pada UU Nomor 25 Tahun 2000. UU tersebut disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 25 Oktober 2002. Hal ini berarti, perubahan nomenklatur Kotamadya Batam dilakukan jauh hari sebelum pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Bersamaan dengan itu, terjadi pula perubahan nomeklatur dari Kotamadya Ternate menjadi Kota Ternate. Sebelum menjadi kotamadya, Ternate adalah sebuah kotif yang ada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Maluku Utara. Ternate menjadi sebuah kota otonom berdasarkan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Ternate dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 125, maka Kotamadya Ternate berubah namanya menjadi Kota Ternate. b. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran Seperti diketahui Hubungan pemerintahan daerah dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan dengan baik pula. Maksudnya adalah bahwa tercapainya harmonisasi hubungan tersebut dikarenakan pemerintahan daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Beberapa persoalan yang terjadi di daerah pemekaran biasanya disebabkan oleh faktor-faktor yang melatarbelakangi pemekaran 77 70
daerah. Sebagai contoh, persoalan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan daerah adalah sebagaimana ditunjukkan dalam pemekaran Kabupaten Gorontalo menjadi Kabupaten BoalemoProvinsi Gorontalo. Di dalam undang-undang Pembentukan Kabupaten Boalemo, yakni Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan kabupaten Boalemo sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan kabupaten Boalemo disebutkan bahwa ”Ibukota Kabupaten Boalemo berkedudukan di Tilamuta (Pasal 7 UU Nomor 50 Tahun 1999)”. Sedangkan pada Pasal 8 disebutkan ”Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak diresmikan Kabupaten Boalemo, ibukota dipindahkan ke Marisa”. Klausul pada pasal 8 inilah yang menyebabkan masyarakat Marisa menuntut untuk segera memindahkan Ibukota kabupaten dari Tilamuta ke Marisa sesuai amanat undang-undang. Pada tahun 2003, Kabupaten Boalemo mengalami pemekaran menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Boalemo dengan ibu kota Tilamuta, dan Kabupaten Pohuwato dengan ibu kota Marisa. Dengan demikian, maka wilayah Kabupaten Boalemo menjadi berkurang. Lima kecamatan, yakni Lemito, Marisa, Paguat, Popayato, dan Randangan menjadi wilayah Kabupaten Pahuwato, dengan dengan luas ± 4.244,31 km2 km2, berpenduduk 88.796 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 20,92 jiwa /km2 pada tahun 1997. Lima kecamatan lain, yakni Mananggu (536,16 km2), Paguyaman dan Wonosari (460,80 km2), ditambah Tilamuta dan Dulupi (1.520,40 km2), atau total luas 2.517,36 km2 tetap sebagai wilayah Kabupaten Boalemo. Konflik yang terjadi akibat perebutan ibukota kabupaten telah menyebabkan lahirnya kabupaten baru, yakni Kabupaten Pohuwato. Potret yang demikian, menunjukkan bahwa implementasi pemekaran daerah masih menyisakan beragam persoalan. Dengan kata lain, 78 71
pemekaran daerah sebagai bentuk dari demokrasi politik lokal masih memerlukan penanganan yang lebih serius dan bijaksana agar mendapatkan hasil yang optimal. Masyarakat di daerah pemekaran sangat mengharapkan terciptanya kesejahteraan bukan malah menambah kesusahan. Namun terkadang pemekaran juga menimbulkan ekses. Sebagaimana dinyatakan oleh nara sumber dari LSM Komite Pelestarian Alam Minahasa: ”...akibat dari pemekaran ini mau tidak mau akan memberatkan masyarakat, dengan terbitnya perda-perda tentang pajak dan retribusi. Tapi untuk Minahasa, dari pemekaran Tomohon, Minut, dan Minsel (Minahasa Selatan) sampai saat ini tidak ada masalah dari pelayanan. Cuma yang perlu diperhatikan adalah pemekaran ke depan harus menjadi perhatian pemerintah pusat”. Perebutan ibukota daerah pemekaran juga pernah terjadi di daerah Sulawesi Tenggara pada saat awal pembentukannya. Sebagaimana diutarakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai berikut: "Pada saat itu ibukota awal berada di Buton, tapi karena infrastruktur yang menunjang berjalannya suatu pemerintahan daerah baru, berada di Kendari, maka Ibukota Sulawesi Tenggara pun kemudian ditetapkan di Kendari. Meskipun pada saat itu ada pro dan kontra, mengingat pejuang pemekaran Provinsi Sulawesi Tenggara lebih banyak yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Namun semuanya dapat diselesaikan dengan baik“. Hal senada juga terjadi dalam proses pemekaran Kepulauan Riau (Kepri) dari Provinsi Riau, dimana salah satu nilai historis yang ingin dimunculkan dalam proses pemekarannya adalah ingin mengembalikan ibukota masyarakat Melayu Riau yang sesungguhnya untuk kembali ke khitahnya yaitu di Tanjung Pinang. Dahulu pada awal berdirinya Provinsi Riau, ibukotanya berada di Tanjung Pinang. (Sumber: Bagian Pemerintahan Kota Tanjung Pinang, LSM Bintan Crisis Centre, Tokoh Masyarakat Batam, dan Parpol Provinsi Kepri).
79 72
Selain persoalan di lingkup pemerintahan daerah sebagaimana uraian tersebut di atas, implikasi pemekaran juga dapat diidentifikasi pada persoalan hubungan daerah pemekaran dengan daerah induk. Dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 disebutkan bahwa setelah terjadi pemekaran, maka daerah induk diwajibkan membantu daerah otonom baru selama 3 tahun berturut-turut sampai daerah baru tersebut memiliki sumber keuangan yang mandiri. Namun demikian, masih terjadi beberapa daerah (induk) yang belum sepenuhnya menyerahkan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) kepada daerah pemekarannya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Bangka Belitung: ”Meskipun provinsi induk (dalam hal ini Provinsi Sumsel) tidak memenuhi janjnya, kita tidak kecewa. Karena kita mampu menghadapi hal itu. Bandingkan saja, kami dengan penduduk mendekati 1.000.000, bisa memiliki PAD sebanyak 178 M. Sementara Banten yang sudah lama otonom menjadi provinsi tersendiri, dengan penduduk 9.000.000 memiliki PAD sebanyak 1,3 T. Meskipun dalam PP 129/2000 ada kewajiban daerah induk memberikan bantuan, tapi tidak pernah janji itu dipenuhi. Sehingga dapat disimpulkan, jangankan membina yang dimekarkan, memberikan hak DOB nya saja dia tak mampu”. Sementara itu, hubungan yang kurang baik nampak antara Provinsi Kepulauan Riau dengan daerah induknya, yakni Provinsi Riau. Sebagaimana dinyatakan oleh nara sumber dari BP3KR, sebagai berikut: ”Hubungan dengan daerah induk saat ini nampaknya kurang baik, karena ada beberapa beban dari provinsi induk yang tidak mau diselesaikan oleh provinsi induk, seperti hutang PDAM ataupun saham-saham milik Provinsi Kepri yang masih berada di propinsi induk dan belum dikembalikan kepada Provinsi Kepri”. Hal senada juga diutarakan oleh nara sumber Tokoh Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai (Sergei) dan LSM MANDIRI Sergei: ”Selama masa pembinaan awal terhadap Kabupaten Sergei sebagai kabupaten baru, daerah induk (dalam hal ini Kabupaten Deli Serdang) tidak pernah memberikan kewajibannya kepada
80 73
Sergei. Selain itu, hubungan kerja dengan daerah induk tidak begitu baik. Tetapi kalau secara personal, hubungan masih berjalan dengan baik”. Demikian juga seperti yang dikatakan oleh Assiten I Provinsi Kepri: ”Hubungan dengan provinsi induk biasa-biasa saja, mungkin saling membatasi diri, misalnya hanya melakukan sesuatu yang bersifat formal. Sedangkan mengenai aset sudah diberikan, walaupun agak sulit sedikit dalam prosesnya“. Sementara itu, membangun hubungan yang harmonis dengan provinsi induk merupakan salah satu langkah yang ditempuh Gubernur Provinsi Gorontalo, Ir. Fadel Muhammad. Sebagaimana dikemukakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Gorontalo: ”Hubungan kerja yang harmonis (hubungan kerja Gubernur dengan DPRD, hubungan kerja dengan provinsi induk, dan hubungan kerja dengan pemerintah provinsi lainnya) merupakan ”modal dasar” dalam rangka membangun daerah.” Beliau juga menambahkan, bahwa: ”...keberhasilan pembangunan merupakan hasil kontribusi semua pihak yang berkepentingan atau stakeholders baik di lingkup lokal, regional, nasional maupun internasional. Namun, semuanya berawal dari lingkungan lokal, yakni lingkup terkecil di dalam organisasi kita. Gorontalo tidak akan maju seperti sekarang jika Gubernur dan Dewan-nya (: DPRD) berantem...”. Berkaitan dengan pernyataan nara sumber sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa lingkup lokal, regional, nasional, dan internasional dapat mempengaruhi keberhasilan suatu daerah dan sebaliknya. Sebuah daerah dapat memberikan implikasi terhadap lingkup regional, nasional bahkan mungkin lingkup internasional. Secara regional, lahirnya Provinsi Gorontalo mungkin dapat memberikan semangat kepada provinsi lainnya di kawasan timur, terutama yang berada di Pulau Sulawesi. Implikasi lainnya adalah bahwa lahirnya Gorontalo telah memberikan suatu iklim competitiveness (bersaing) untuk menjadikan dirinya sebagai provinsi terbaik dalam bidang tertentu sesuai dengan potensinya. 81 74
c. Dinamika Politik Lokal Pemekaran daerah ternyata juga berimplikasi terhadap dinamika politik di daerah. Hal-hal yang terkait tidak hanya mengenai penentuan ibukota DOB dan penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan. Telah terjadi tarik menarik kepentingan politis diantara elit politik di DOB baik berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah. Seperti yang diutarakan oleh beberapa narasumber di bawah ini. Nara sumber dari LSM Dewan Pemantau Otonomi Daerah, Kota Batam: ”Dengan berdirinya Batam sebagai Pemerintahan Kota maka berarti Batam sudah mempunyai DPRD yang berfungsi sebagai lembaga kontrol atas pembangunan yang dilakukan oleh Otorita Batam”. Lebih
lanjut,
nara
sumber
dari
LSM
Bintan
Crisis
Center
mengemukakan, bahwa: “Persoalan setelah pemekaran adalah bahwa dalam prakteknya ternyata komitmen untuk mensejahterakan rakyat yang dipercayakan kepada pemda baik eksekutif maupun legislatif telah terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya.” LSM Bintan Crisis Centre juga menambahkan, bahwa: ”Konflik pasca pemekaran mengandung permasalahan yang berbeda. Orang yang sudah solid dalam memperjuangkan pemekaran ini kemudian pecah. Hal itu terjadi karena beberapa kelompok ada yang menyatakan kalau dia lebih heroik dalam memperjuangkan hal itu dibandingkan yang lain. Selain itu, mental juga tidak dipersiapkan dengan baik untuk menyongsong provinsi baru. Dalam pertarungan perebutan kekuasaan setelah Provinsi Kepri lahir ada kelompok yang tidak siap kalah.“ Di sisi lain, nara sumber dari parpol Provinsi Kepri, menyatakan bahwa: “Keuntungan yang didapat parpol dengan adanya pemekaran daerah di Provinsi Kepri adalah keuntungan yang bersifat politis. Sebelum Kabupaten Kepri mekar menjadi provinsi, kepengurusan partai hanya berada pada kabupaten/daerah
82 75
induk. Kini dengan adanya pemekaran, berarti di setiap kabupaten/kota baru ada pengurus partai yang merupakan embrio dari partisipasi masyarakat setempat”. Pendapat yang kurang lebih sama juga diutarakan oleh nara sumber dari DPRD Kabupaten Minahasa, sebagai berikut: ”Kecenderungan para elit politik untuk memperebutkan kekuasaan, setelah pemekaran justru meningkat. Saya melihat ke depan ada indikasi bahwa daerah hasil pemekaran ini akan menjadi semacam bumerang kepada pemerintah pusat untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, dimana daerah pemekaran ini merasa tidak ada hubungan lagi dengan pemerintah pusat”. Hal lain yang juga mewarnai dinamika politik lokal pasca pemekaran adalah terjadinya perebutan ibukota DOB dan terjadinya sengketa dalam penentuan batas wilayah antara daerah induk dengan DOB. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi antara DOB dengan daerah induknya sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. Menurut narasumber dari Biro Pemerintahan Provinsi Kaltim: ”Persoalan yang muncul di daerah setelah pemekaran adalah mengenai batas wilayah.” Sedangkan nara sumber dari Setda Kabupaten Kutai Kartanegara menyatakan, bahwa: ”Rebutan ibukota kabupaten juga masih menjadi masalah yang mewarnai konflik setelah pemekaran.” Tak dapat dipungkiri bahwa meskipun pada awalnya prosedur pemekaran berjalan dengan lancar tapi ternyata konflik dapat saja terjadi ditengah-tengah proses pembentukan DOB maupun setelah DOB disahkan. Hal inilah yang sempat dan masih mewarnai dinamika politik lokal di Kabupaten Deli Serdang dan Kabubaten Bangka, dengan DOBnya masing-masing. Beberapa konflik yang terjadi diantaranya adalah sebagai berikut:
83 76
1) Konflik yang terjadi dalam pemekaran Kabupaten Bangka Kabupaten Bangka Tengah dibentuk pada tanggal 25 Februari 2003 berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2003. Bersama-sama dengan pembentukan Kabupaten Bangka Tengah, dibentuk pula Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Barat, dan Belitung Timur. Pembentukan Kabupaten Bangka Tengah tidak semata-mata karena kebutuhan pengembangan wilayah provinsi, tetapi juga karena keinginan masyarakat didalamnya, serta upaya untuk mempercepat pembangunan daerah dan terciptanya pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien. Namun demikian, beberapa konflik muncul di dalam perjalanan pemekaran tersebut, yaitu: Perselisihan dalam penentuan ibukota Kabupaten Bangka Tengah: masyarakat Kabupaten Bangka Tengah terbagi dalam 2 kubu yakni yang menginginkan ibukota kabupaten terletak di Koba dan yang menginginkan di Sungai Selan. Akhirnya setelah dipertemukan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama dan diakomodir oleh pemda, permasalahan penentuan ibukota kabupaten ini tuntas, dengan diputuskannya Koba sebagai ibukota Kabupaten Bangka Tengah. Sengketa perbatasan:
konflik ini muncul antara Pemda
Kabubaten Bangka Tengah dengan Pemda Bangka Selatan. Sebagai kosekuensi dibentuknya Kabupaten Bangka Tengah, maka daerah ini mengalami pemekaran di dalam daerahnya. Pada awal berdirinya, Kabupaten Bangka Tengah memiliki luas daerah
215,577 ha dengan wilayah
administrative 4
kecamatan, 1 kelurahan, dan 39 desa dan 74 dusun. Untuk kepentingan akselerasi pembangunan daerah, pada tahun 2006 beberapa wilayah administrative di Kabupaten Bangka Tengah mengalami peningkatan status sehingga wilayah
84 77
administrative menjadi 6 kecamatan, 7 kelurahan, 45 desa, dan 74 dusun. Akibatnya, beberapa wilayah Kabupaten Bangka Tengah bersinggungan dengan Kabupaten Bangka Selatan. Masalah ini juga sudah terpecahkan dengan adanya pertemuan antara ke dua pemda tersebut. “Ribut-ribut” pengelolaan aset daerah Bandara Depati Amir: konflik ini terjadi antara Pemda Kabupaten Bangka Tengah dengan Kabupaten Bangka sebagai daerah induknya. Lokasi bandara sebenarnya teletak pada wilayah Kabupaten Bangka Tengah, tetapi keuntungan dari pengelolaan bandara masih masuk ke kas Pemda Kabupaten Bangka. Penyelesaian masalahn
ini.
Pada
saat
ini
penyelesaian
terhadap
permasalahan ini masih berlangsung. 2) Konflik yang terjadi dalam pemekaran Kabupaten Deli Serdang Konflik
mengenai
penentuan
batas
wilayah
antara
Kabupaten Deli Serdang sebagai daerah induk dengan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai DOB agaknya menghadapi jalan panjang dalam pemecahannya. Adapun batas wilayah yang menjadi pokok permasalahan disini adalah batas wilayah yang terletak di Kecamatan Bangun Purba yang meliputi wilayah 9 Desa di sebelah Timur Sungai Buaya yaitu Desa: Pamah,Tapak Meriah, Pagar Manik, Silinda, Damak Gelugur, Kulasar, Sungai Buaya, Batu Masagi, Tarean. Penduduk dari 9 desa tersebut menolak bergabung dalam Kabupaten Serdang Bedagai. Padahal menurut versi Kabupaten Serdang Bedagai, wilayah tersebut masuk dalam Kabupaten Serdang Bedagai. Untuk itu, beberapa langkah/upaya telah ditempuh oleh Pemda
Kabupaten
Deli
Serdang.
Berdasarkan
informasi
narasumber dari Setda Kabupaten Deli Serdang, upaya-upaya yang telah ditempuh tersebut adalah sebagai berikut:
85 78
Atas permohonan/keberatan warga masyarakat Kecamatan Bangun Purba dari 9 desa yang berada di sebelah Timur Sungai Buaya melalui surat–suratnya antara lain Surat Asosiasi Badan Perwakilan Desa Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Deli Serdang Nomor 03/ASS/BPD/BP/2004 TANGGAL
13
Februari
2004
perihal
Penolakan
Pengintergrasian 9 desa di Wilayah Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Deli Serdang ke Kabupaten Serdang Bedagai dan Surat Nomor 04/ASS-BPD/KEC.BP/2004 tanggal 26 Maret 2004 perihal yang sama dengan surat sebelumnya, maka Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menyurati Gubernur Sumatera Utara dengan Surat Nomor 136/2067 tanggal 10 Juni 2004 perihal Permohonan Fasilitasi. Di dalam surat tersebut, Bupati Deli Serdang menjelaskan alasan penolakan dari masyarakat 9 desa tersebut, yaitu:
Pemkab Deli Serdang dan DPRD belum melakukan sosialisasi tentang tapal batas kepada masyarakat di perbatasan kedua Wilayah Kecamatan tersebut.
Batas alam antara Kecamatan Kotarih (bagian dari Kabupaten Serdang Bedagai) dengan Kecamatan Bangun Purba adalah Sungai Ular s/d Sungai Bane.
Penafsiran keliru dari pihak Pemkab Serdang Bedagai dalam hal letak batas Kabupaten yaitu bunyi pasal 4 butir 1 UU Nomor 36 Tahun 2003.
Gubernur Sumatera Utara mengundang Bupati Deli Serdang dan Bupati Serdang Bedagai untuk mengadakan rapat, yang kemudian melahirkan kesepakatan sebagai berikut:
Gubernur Sumut menyurati Mendagri agar segara membentuk tim penyelesaian masalah tersebut.
86 79
Pemprov Sumut segera mengadakan pertemuan dengan Pemkab Deli Serdang dan Pemkab Serdang Bedagai secara terpisah.
Kemudian
Gubernur
Sumatera
Utara
menyurati
Mendagri Nomor 136/4943 tanggal 12 Agustus 2004 perihal Penataan/Penetapan Batas Wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Pada tanggal 12 Agustus 2004 sejumlah tokoh masyarakat, agama berunjuk rasa ke Kantor Bupati Deli Serdang menyampaikan aspirasi mereka yang tetap menolak masuk ke Kecamatan Kotarih Kabupaten Serdang Bedagai. Disusul kembali dengan Surat Bupati Deli Serdang Nomor 136/3096
tanggal
23
Agustus
2004
perihal
Penataan/Penetapan Batas Wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dalam surat tersebut, Bupati Deli Serdang memohon kepada Gubernur Sumut agar segera menugaskan Tim Provinsi Sumut bersama dengan Pemkab Serdang Bedagai turun ke lapangan meninjau rencana tapal batas, dan mengevaluasi Keputusan Bupati Serdang Bedagai Nomor 72 Tahun 2004 tentang Penetapan Pelaksanaan /Penyelenggaraan Pemerintah di Wilayah Kecamatan Bangun Purba yang terletak di Sebelah Timur dari sungai Ular selanjutnya disebut Kecamatan Serba Jadi. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menyurati kembali Menteri Dalam Negeri dengan Surat Nomor 136/3942 tanggal 26 Oktober 2004 perihal Penataan Wilayah Kabupaten Deli Serdang dengan Kabupaten Serdang Bedagai. Melalui Faksimile Nomor T.094/1094/PUM tanggal 23 Desember 2004, Mendagri mengundang Bupati Deli Serdang dan Serdang Bedagai untuk menghadiri rakor yang
87 80
membahas rencana penegasan dan penyelesaian masalah batas Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai tanggal 18 Januari 2005. Dengan adanya permohonan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang Bedagai, maka Gubernur Sumut membahas permasalahan batas tersebut yang hasilnya diteruskan oleh Gubernur Sumut kepada Menteri Dalam Negeri dengan suratnya Nomor 136/8709 Tanggal 22 Nopember 2005 perihal Permasalahan Batas Kabupaten Deli Serdang dengan Kabupaten Serdang Bedagai terhadap 9 Desa di sebelah Timur Sungai Buaya. Atas permohonan Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 16 Maret 2006 dilakukan peninjauan ke lapangan yang dihadiri oleh Tim PPBD Pusat, Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai yang hasilnya sampai saat ini masih ditunggu. c. Sumber Daya Manusia Aparatur Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi dinamika sumber daya manusia aparatur di daerah otonom baru, baik itu mengenai demografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif jika itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika terbentuknya daerah baru malah menimbulkan ego sentris suatu masyarakat maka hal ini tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan. Seperti yang diutarakan oleh nara sumber-nara sumber berikut ini. Menurut nara sumber dari Setda Provinsi Sulut: ”Sisi baik setelah terjadinya pemekaran, untuk daerah pemekaran adalah adanya kemandirian dari rakyat dan lain-lain. Sisi buruknya timbul egoistik, dan sukuistik dimana pejabat dari instansi itu haruslah orang setempat”.
88
81
Hal senada diutarakan oleh nara sumber dari Setda Kabupaten Kutai Kartanegara: ”Permasalahan yang dihadapi DOB adalah SDM aparaturnya masih kurang, baik kuantitas maupun kualitasnya”. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga menghdapai masalah yang kurang lebih sama seputar SDM aparatur ini, sebagaimana diutarakan oleh nara sumber dari LSM The Babel Institute dan Universitas Bangka Belitung, sebagi berikut: “Tenaga kerja maupun sumber daya aparatur Babel banyak yang berasal dari Sumsel”. Sebaliknya,
menurut
nara
sumber
dari
Setda
Provinsi
Kalimantan Timur: ”Implikasi positif dengan adanya pemekaran daerah adalah dari aspek aparatur. Sektor swasta juga mengambil tenaga kerja dari masyarakat setempat. Jadi kesimpulannya menguntungkan dari aspek lapangan kerja. Kedua, aspek pendidikan”. d. Pemberdayaan Ekonomi dan Pelayanan Publik Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di daerah tersebut. Seperti yang diutarakan oleh nara sumber-nara sumber berikut ini. Untuk aspek pemberdayaan ekonomi, seperti diutarakan oleh nara sumber dari parpol Provinsi Kepri, sebagai berikut: “Dengan adanya pemekaran Provinsi Kepri APBD terus meningkat dan pada tahun 2006 hampir mencapai 1 trilyun. Pada tahun 2007 APBD kita 1,1 sekian trilyun ditambah dengan …. Menjadi 1,5 trilyun. Dari segi anggaran Kepri selalu mengalami peningkatan yang cukup baik, karena potensi di sini cukup memungkinkan.” Selanjutnya, beliau juga menambahkan: “Perkembangan yang terjadi dengan adanya pemekaran daerah adalah membuka peluang-peluang usaha di masing-masing kabupaten/kota seperti pemasaran produk kerajinan masyarakat” . 89 82
Hal senada juga diungkapkan oleh nara sumber dari Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung: “Dengan pemekaran ini porsi pendapatan daerah yang diterima dari hasil timah yang diserahkan ke pusat menjadi lebih besar untuk diterima kembali oleh daerah”. Nara sumber dari Fisip Universitas Mulawarman, mengutarakan hal yang sama, yakni: ”Pemekaran daerah menimbulkan hal-hal yang positif dengan adanya pembangunan infrastruktur. Daerah yang semula tidak memiliki jalan, setelah pemekaran jadi memiliki jalan. Dalam hal ekonomi juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Dengan membangun daerah baru maka investasi akan datang”. Selain itu, LSM dan Tokoh Masyarakat di Sumatera Utara sepakat bahwa: ”Dengan pemekaran daerah, bagi daerah-daerah yang secara nyata memiliki potensi daerah memang setelah pemekaran terlihat perkembangan yang pesat, terutama dalam hal pelayanan publik, yang dulunya tidak begitu tersentuh ketika masih bergabung dnegan daerah induk karena luas daerah dan sarana prasarana yang kurang”. Hal senada diutarakan oleh nara sumber dari DPRD Kabupaten Minahasa Utara: ”Pemekaran Kabupaten Minahasa saya lihat sangat baik, pembangunan di daerah pemekaran sangat bergairah, sehingga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat di daerah itu”. Implikasi pemekaran terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik, juga diakui oleh beberapa nara sumber sebagaiamana dikemukakan di bawah ini. LSM MANDIRI dan Tokoh Masyarakat di Serdang Bedagai menyatakan bahwa ”Pemekaran daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, Tokoh Pemuda Provinsi Kepri menyatakan sebagai berikut:
90 83
”Implikasi yang terjadi dengan adanya pemekaran Provinsi Kepri adalah pembangunan dan pelayanan jauh lebih baik, PAD jauh lebih meningkat, kejahteraan masyarakat jauh lebih baik, kegiatan di bidang pemerintahan jauh lebih mudah diselesaikan karena rentang kendali jauh lebih pendek”. Implikasi
pemkaran
daerah
terhadap
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat juga nampak pada makin mudahnya akses transportasi, sebagaimana diungkapkan oleh Bagian Umum dan Perlengkapan Provinsi Gorontalo: ”Akses transportasi semakin mudah, terutama jalur penerbangan”. Tudingan bahwa pemekaran daerah berdampak negatif mungkin ada benarnya, tetapi menurut narasumber di Bagian Organisasi Kabupaten Minahasa, pemekaran daerah juga memiliki dampak positif: ”Pemekaran di Minahasa justru menimbulkan efek yg positif. Tadinya kalau di Minahasa cukup kuat dari 60 kecamatan. Dengan adanya pemekaran ini semakin mempermudah pelayanan kepada masyarakat”. Senada dengan eksekutif, DPRD Provinsi Sulut juga menyatakan adanya sisi positif pemekaran bagi upaya peningkatan kinerja pemeritah daerah: “Pemekaran daerah mempermudah kinerja dari pemerintah untuk menerapkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah supaya masyarakat bisa mendapatkan pelayanan”. e. Kualitas Lingkungan Hidup Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga dapat berdampak negatif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Apabila tidak dikelola dengan bijak, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan. Seperti yang diutarakan oleh narasumbernarasumber berikut ini.
91 84
Menurut narasumber dari DPRD Kota Batam, implikasi pemekaran terhadap lingkungan hidup adalah: ”Hal lainnya yang perlu dikhawatirkan adalah apa yang terjadi setelah daerah baru yang dimekarkan itu tidak lagi mempunyai sumber pendapatan lagi, baik itu dari pemerintah pusat maupun dari kekayaan yang ada di daerah tersebut. Yang ditakutkan adalah dengan kewenangan besar yang dari daerah-daerah, maka suatu saat bukanlah tidak mungkin jika ada suatu daerah yang menyewakan pulau-pulau atau menjual sumber-sumber daya alam lainnya yang dimiliki oleh daerah dengan dalih untuk mendatangkan rupiah ke daerah tersebut”. Selanjutnya, beliau juga menambahkan: ”Sehingga banyak orang asing atau perusahaan-perusahaan asing yang memiliki secara sah kepemilikan asset suatu daerah atau masyarakat. Sehingga adalah tidak aneh jika kemudian batas-batas Negara Indonesia sebenarnya hanya bersifat sementara menguntungkan tetapi meninggalkan kerugian yang besar di masa depan, seperti masalah lingkungan, kedaulatan, punahnya kebudayaan lokal dan hilangnya identitas diri suatu daerah. Dan penetrasi negara asing dalam bentuk investasi modal yang tidak mengindahkan kedaulatan negara, dapat merupakan bentuk penjajahan baru, yang perlu diwaspadai“. Sejalan dengan pendapat di atas, tokoh Masyarakat Provinsi Bangka Belitung menyatakan: ”Terutama lingkungan kita tambah amburadul karena diberi kebebasan, diberi ijin untuk penambangan. Sering terjadi bentrok-bentrok, padahal sebelumnya tidak pernah. Investor lebih mementingkan profit nya daripada masyarakat. Kalau terjadi penggalian kita tidak tahu apakah pulau ini akan tenggelam. Karena pertambangan menjadi hancur dan ini suatu kerugian besar bagi habitat alamnya karena ada dua izin pertama pertambangan liar dan pertambangan dengan izin”. Pendapat serupa juga disampaikan oleh narasumber di Bagian Tata Pemeritahan Kabupaten Kutai Kartanegara: ” Pemekaran daerah cepat atau lambat berdampak pada kelestarian lingkungan, karena banyak daerah yang mengandalkan kebutuhan hidupnya dari kekayaan alam daerahnya, yang semakin lama semakin menipis jumlahnya. Eksploitasi alam yang berlebihan pun bisa saja terjadi”.
92 85
f. Pemiskinan Selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata pemekaran daerah di satu sisi juga berpotensi menimbulkan kemiskinan. Seperti yang diutarakan oleh narasumber berikut ini. Narasumber dari Universitas Tomohon: “Pemekaran daerah diarahkan untuk mendekatkan pelayanan publik dan mensejahterakan masyarakat kenyataan belum sesuai yang diharapkan. Sebetulnya ada proses pemiskinan kepada masyarakat. Hanya saja, dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dimaksud oleh daerah itu membuat masyarakat harus mengeluarkan dana yang dulunya bukan menjadi beban masyarakat. Tetapi sebetulnya dari segi pelayanan sudah bagus, aspirasi juga sudah lebih dekat. Walaupun “bagi masyarakat tidak sampai” karena menurut mereka yang mengambil alih aspirasi masyarakat juga tidak sampai”. Narasumber dari LSM Komite Pelestarian Alam Minahasa, yang menyatakan:”Selain itu salah satu dampak pemekaran adalah rawan kemiskinan”.
2. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Pemerintah Pusat Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintah pusat nampak pada berbagai aspek, antara lain kewenangan, kelembagaan, dan keuangan. a. Aspek Kewenangan Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan tersebut. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan,
kecuali
6
urusan
yang
menjadi
kewenangan
pemerintah pusat. Namun demikian, lahirnya daerah baru membawa implikasi bagi departemen-departemen di pusat untuk mengawal
93 86
penyelenggaraan
pemerintahan
baru
tersebut.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Direktur pada Ditjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (Dit. BAKD)-Depdagri: ”Otonomi daerah memberikan diskresi kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang dimiikinya. Namun demikian diskresi tersebut tidak diartikan sebagai ‟kebebasan yang sebebas-bebasnya‟ tetapi tetap dalam aturan dan koridor yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundangan. Salah satu contoh konkrit adalah pada pengelolaan anggaran/keuangan daerahnya, apakah dana yang ada diperoleh melalui sumber yang benar dan apakah dana tersebut dibelanjakan sesuai dengan rencana....disinilah letak pertanggungjawaban APBD” Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah dapat memberikan implikasi bagi kebijakan fiskal nasional. Wujud dari implikasi ini sebagaimana dikemukakan Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo yang melihat keberadaan daerah otonom baru akan mengurangi alokasi dana perimbangan yang diterima daerah yang telah ada. Dengan alokasi anggaran kepada daerah yang harus memperhatikan kemampuan anggaran negara dan dengan bertambahnya daerah-daerah otonom baru, yang juga harus memperoleh anggaran perimbangan, mengakibatkan pemerintah pusat memilih merasionalisasi alokasi anggaran. Dengan demikian, penyesuaian
yang
dilakukan
dalam
pengalokasian
anggaran
perimbangan memberikan dampak kepada daerah-daerah yang sudah ada sebelumnya. b. Aspek kelembagaan Sebagaimana dipaparkan pada bagian terdahulu, ternyata kebijakan pemekaran daerah telah menyebabkan berbagai implikasi terhadap penyelengaraan pemerintahan, baik di dalam tubuh pemerintahan daerah (daerah induk dan daerah pemekaran) maupun pemerintahan pusat (eksekutif dan lembaga tinggi negara lainnya, khususnya DPR RI). Sebagaimana diketahui, lahirnya daerah otonom
94 87
baru akan melahirkan kelembagaan baru atau menambahkan jumlah kelembagaan yang sudah ada – tidak hanya kelembagaan/organisasi pemerintahan daerah, tetapi juga kelembagaan atau organisasi lainnya seperti TNI/POLRI, kehakiman, kejaksaan, keuangan, dan sebagainya. Di daerah provinsi akan bertambah Markas Komando Daerah Militer (Makodam) untuk TNI, Markas Kepolisian Daerah (Mapolda), Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, BPK Perwakilan Provinsi, KPU Provinsi dan seterusnya. Di daerah kabupaten/kota akan dibentuk Markas Komando Distrik Militer (Makodim) untuk TNI, Markas Kepolisian Resort (Mapolres), Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, KPU Kabupaten/Kota dan sebagainya. Tentu saja, pembentukan lembaga-lembaga tersebut bukanlah sesuatu yang bebas dari persoalan.
Hal
tersebut
disebabkan
oleh
kenyataan
bahwa
pembentukan kelembagaan akan berimplikasi pada aspek lainnya seperti pengadaan tanah, bangunan, dan sebagainya termasuk dalam pemenuhan sumber daya manusia. Memang diakui bahwa kelembagaan-kelembagaan tersebut tidak seluruhnya terdapat di daerah, sebagaimana kelembagaan TNI ternyata tidak semua provinsi memiliki Makodam, karena struktur kelembagaan TNI memang berbeda. Namun, untuk POLRI ternyata agak berbeda karena setiap provinsi memiliki Mapolda, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota memiliki stuktur yang seragam. Sehubungan dengan hal ini Bupati Kutai Timur berpendapat sebagai berikut: ”Sudah sepatutnya Kutai Timur memiliki pangkalan laut (SIONAl atau kalau perlu LANTAMAL) untuk mengamankan jalur laut yang melalui wilayah Kutai Timur. Jika ingin membangun wilayah laut, maka Kutai Timur bisa menjadi wilayah yang menjanjikan. Saya pernah bertemu Komandan Lantamal dan bergurau agar markas SIONAL yang ada di Tarakan dipindahkan ke Sangatta (Kutai Timur) saja”.
95 88
Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi kelembagaan di luar pemerintahan daerah tersebut pada gilirannya akan menjadi ‟mitra‟ pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kepemerintahannya. Oleh karena itu, hubungan kerja yang terjalin pun merupakan kemitraan, namun tetap menjunjung tinggi tupoksi masing-masing. Sebagaimana dinyatakan oleh Sekda Kutai Kartanegara: ”BPK dan BPKP adalah mitra kita dalam membangun daerah, karena kehadiran lembaga-lembaga tersebut turut mendorong terwujudnya efisiensi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara, baik yang ada dalam pengelolan Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah. Hubungan kami sangat baik, tidak hanya dengan kedua lembaga itu tetapi juga dengan kelembagaan penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan”. c. Aspek Keuangan Implikasi yang berikutnya dari adanya pemekaran daerah bagi pemerintah pusat adalah dari segi anggaran negara. Rasionalisasi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat menunjukkan betapa pemekaran daerah telah benar-benar mampu mengubah ‟konstelasi‟ pengelolaan keuangan negara. Artinya, bahwa pemekaran merupakan pemicu persoalan hubungan keuangan antara pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat, dalam hal ini dengan Departemen Keuangan. Munculnya
kritik
tajam terhadap efisiensi
penggunaan
anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat merupakan hal yang umum dijumpai pada hubungan keuangan antara pemerintah daerah (: daerah pemekaran) dengan pemerintah pusat. Hubungan dalam hal keuangan pusat-daerah yang dimaksud di atas adalah pemberian dana perimbangan, yakni dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Dan hal ini secara nyata terjadi di lokus ajian, bahwa banyak terjadinya pemekaran daerah atas dasar keinginan untuk memperoleh DAU dan DAK. Hal ini pada akhirnya akan membebankan keuangan negara jika daera-daerah otonom baru
96 89
itu tidak bisa berkembang setlah 3 tahun masa pembinaan, yang pada akhirnya akan semakin membebani keuangan negara. Selain itu, banyak daerah-daerah otonom baru yang tidak dapat memanfaatkan masa awal pemekaran sebagai titik tolak pembangunan daerahnya, tetapi justru diselewengkan untuk hal-hal yang tidak perlu. Seperti yang diungkapkan oleh para narasumber berikut ini : Nara sumber dari Setda Kabupaten Kutai Kartanegara-Provinsi kalimantan Timur menyatakan: ” Akan mengganggu APBD induk, karena mereka terfokus pada infrastruktur. Infrastruktur bukan terfokus pada pelayanan masyarakat. Sementara itu, narasumber dari LSM Komite Pelestarian Alam Minahasa: ”Tetapi dampak pemekaran juga menimbulkan ketergantungan dengan pusat, dengan adanya DAU”. ”Kedua, akibat dari pemekaran ini mau tidak mau kan memberatkan masyarakat, dengan terbitnya perda-perda tentang pajak dan retribusi”. Adapun narasumber dari DPRD Kabupaten Minahasa-Provinsi Sulawesi Utara: ” Akibat dari pemekaran daerah yang kemudian terjadi antara pusat dan daerah adalah lebih kepada hubungan dengan masalah keuangan atau finansial. Daerah-daerah hanya mengharapkan pemerintah pusat memberikan DAU, DAK dan sebagainya yang notabene karena daerah ini tidak mampu memberikan cost kepada pemerintah pusat yang sesuai dengan aturan dan yang menjadi sengsara itu adalah masyarakat”. ”Saya melihat dari analisa pelaksanaan pembentukan daerah baru banyak terjadi pemborosan keuangan contohnya daerah baru yang dimekarkan ternyata anggota dewannya sudah punya mobil mewah, pimpinan daerahnya sudah punya mobil mewah sementara infrastruktur yang di harapkan untuk masyarakat misalnya pelayan kesehatan, pendidikan, transportasi itu yang diharapkan dari pemekaran daerah baru itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, memang para elit yang di daerah dia selalu mengatakan demikian tapi pemerintah pusat tidak tegas maka tidak mungkin terjadi seperti itu”.
97 90
Nara sumber dari Setda Provinsi Sulawesi Utara: ” Di beberapa daerah pemekaran, yang tingkat pendapatannya kurang hanya akan mengandalkan sumber daya alam sehingga adanya ketergantungan kepada pemerintah pusat. Akibat yang di timbulkan kemudian oleh pemekaran itu adalah adanya pemborosan dana, adanya penyalahgunaan dana”. Nara sumber Tokoh Masyarakat/Tokoh Adat Kabupaten Minahasa, menyatakan sebagai berikut: ” Kabupaten kota saja masalah-masalah yang khusus seperti yang bisa kita lihat dari daerah itu mungkin agak jauh sehingga tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat, ketika kita mengembangkan diri mereka akan memperoleh dana-dana dalam arti untuk pembangunan daerah-daerah itu”. Nara sumber dari Fisip Universitas Sam Ratulangi-Manado, menyatakan: ” Pemekaran yang terjadi ini merupakan beban negara dan sebetulnya pemerintah dan elit –elit politik yang ada di pusat itu harus melihat dari sisi kepentingan”. ” Kemampuan ekonomi yang di lihat sekarang jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang sebetulnya menjadi beban negara. Kita tidak melihat dari sisi pelayanan misalnya daerah minahasa berdasarkan pada jangka pendek, menengah dan panjang tidak akan memiliki kemampuan membiayai diri sendiri”. ” Pemekaran sekarang malah menjadi beban negara, satu kabupaten, satu kota minimal dia harus mengeluarkan biaya rutin tiap bulan 3 milyar kalau dana itu tidak di gunakan untuk membangun bagaimana?Konsekuensi suatu daerah baru itu dikabulkan itu merupakan masalah baru yang itu menimbulkan konflik yang baru kalau suatu daerah itu dimekarkan”. Menurut PP 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, yang dimaksudkan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, DAU dan DAK.
98 91
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Sedangkan DAK adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah, dan sesuai dengan prioritas nasional. Pada 2003 sebanyak 22 kabupaten/kota baru sebagai hasil pemekaran sepanjang 2002 telah menerima DAU sebesar Rp 1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima Dana Alokasi Umum sebesar Rp 2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiiki potensi yang besar bagi terjadinya degradasi pada pelayanan dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban terhadap APBN bertambah lagi dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemeintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Dana Reboisasi. Salah satu jenis DAK Non DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana peemrintahan hasil pemekaran. Pada tahun 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp 88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp 4 miliar. Jumlah ini terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp 228 mliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada daerah pemekaran, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah pemekaran pemerintah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi tersebut. Tabel berikut 99 92
akan menjelaskan proporsi DAU dan DP (dana penyesuaian) yang telah diberikan
kepada
pemerintah
daerah,
baik
provinsi
maupun
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tabel. 9 Perkembangan Besaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Penyesuaian (DP) Tahun
DP (miliar rp) 3,092.3
DAU+DP (miliar rp) 63,609.00
Peningkatan
2001
DAU (miliar rp) 60,516.70
2002
69,114.10
2,054.77
71,168.87
12%
2003
76,978.00
2,262.40
79,240.40
11%
2004
82,130.94
1,008.43
83,139.37
5%
2005
88,765.60
805.50
89,571.10
8%
2006
145,664.20
300.65
145,964.85
63%
2007
164,787.40
4,406.10
169,193.50
16%
-
Jumlah Daerah Penerima 30 Prov 336/kab/kota 30 Prov 348 kab/kota 30 Prov 370 kab/kota 30 Prov 410 kab/kota 32 Prov 434 kab/kota 33 Prov 434 kab/kota 33 prov 434 kab/kota
Sumber: Depkeu, 2007
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa besaran dana DAU dan DP terjadi peningkatan antara 5% – 63%. Peningkatan tertinggi terjadi pada 2006 yakni sebesar Rp 145,964.85 triliun (dari Rp 89,671.10 triliun pada tahun sebelumnya) atau mengalami kenaikan sebesar 63%. Adapun kenaikan terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 83,139.57 triliun (dari Rp 83,139.37 triliun pada tahun sebelumnya) atau hanya naik sebesar 5%. Namun demikian, besaran DAU ini memang akan selalu bertambah dari tahun ke tahun, karena pemberian DAU didasarkan pada formula yang telah disusun yang dimaksudkan untuk menutup celah fiskal yang terjadi di daerah. Permasalahan juga terjadi pada pemanfaatan dana alokasi khusus (DAK). Sebagaimana dinyatakan oleh narasumber di Ditjen Perimbangan Keuangan Depkeu:
100 93
”selain pengalokasian DAU, pemanfaatan DAK dan DP akan menghadapi persoalan yang lebih rumit dan rawan bermasalah, terutama terkait dengan akuntabilitas publiknya. Hal ini mengingat bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan harus dipertanggungjawabkan pencapaian kinerjanya. Persoalan ”. Tabel.10 DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Peningkatan (%)
2003 2004 2005
Alokasi DAK Bid Sarana Pemerintahan (miliar rupiah) 88,00 228,00 272,00
2006
448,68
64,95
2007
539,06
20,14
Tahun
159,09 19,30
Jumlah daerah penerima 22 kab/kota 57 kab/kota 63 kab/kota 2 prov 137 kab/kota 1 provinsi 159 kab/kota
Rata-rata tiap daerah (miliar rupiah) Kab/kota (4,00) Kab/kota (4,00) Kab/kota (4,00) Prov (10,00) Kab/kota (3,20) Prov (10,00) Kab/kota (3,39)
Sumber: Depkeu, 2007 Mencermati tabel di atas dapat dijelaskan bahwa alokasi DAK untuk bidang sarana pemerintahan ternyata selalu mengalami kenaikan secara nominal dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2003 jumlah alokasi DAK bidang sarana pemerintahan Rp 88 miliar, naik menjadi Rp 228 miliar (159%) pada 2004 dan terus bertambah menjadi Rp 539 miliar pada 2007. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Pada Pasal 40 UU No 33/2004 disebutkan bahwa Penentuan DAK didasarkan pada kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Sedangkan pada penjelasannya disebutkan sebagai berikut: Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhankebutuhan dalam rangka pembangunan Daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah UndangUndang yang mengatur tentang kekhususan suatu Daerah.Yang dimaksud dengan karakteristik Daerah antara lain adalah daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah 101 94
tertinggal/ terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan. Kriteria teknis antara lain meliputi standar kualitas/kuantitas konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Mengapa DAK sarana pemerintahan? Oleh karena pemekaran daerah memerlukan infrastruktur atau sarana prasarana perkantoran guna menjamin kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemerintahan daerah. Hal ini pulalah yang mendapat banyak kritik dari para pemerhati pemerintahan daerah, karena hampir seluruh daerah otonom
baru
‟berlomba-lomba‟
membangun
sarana-prasarana
perkantoran yang menelan biaya ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Walaupun demikian, ternyata tidak semua pihak setuju dengan pendapat tersebut, di antaranya DPRD Kabupaten Kutai Timur yang menyatakan, sebagai berikut: ”Pembangunan gedung dan sarana pemerintahan dimaknai sebagai investasi, dan yang namanya invest tentulah tidak dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat. Investasi hanya dapat dirasakan hasilnya setelah beberapa tahun”. Senada dengan DPRD Kabupaten Kutai Timur, pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh Dekan FISIP Universitas Mulawarman yang menyatakan bahwa: ”Sudah sewajarnya daerah otonom baru nanti akan membangun daerahnya, terutama dan yang pertama tentunya membangun gedung pemerintahan, kantor bupati dan gedung DPRD. Namun demikian, saya mendukung gerakan efisiensi penyelenggaraan daerah otonom baru seperti yang terjadi di Provinsi Gorontalo”. Paparan tersebut di atas menjelaskan bahwa lahirnya daerahdaerah pemekaran telah menimbulkan opportunity cost yang sangat besar
pada
penyediaan
infrastruktur
dan
pelayanan
kepada
masyarakat. Hal ini disebabkan pembangunan di daerah bukanlah pembangunan aparat pemerintah daerah dan sarana pemerintahan tetapi merupakan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Bagi
102 95
Pemerintah – dalam hal ini Departemen Keuangan – implikasi yang terjadi bukan menjadi kewenangannya, karena tugas Depkeu hanyalah melaksanakan perintah perundangan. Selanjutnya, bagaimana implikasi pemekaran daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah?
Bagi
kalangan DPR dan DPD RI, pemekaran daerah menjadi isu yang sangat menarik dan cukup menyita perhatian. Sebagaimana pendapat Komisi II DPR: ”...kami selalu berusaha memenuhi tuntutan dan aspirasi rakyat yang masuk ke DPR, termasuk aspirasi pemekaran daerah. Untuk itu, sesuai dengan perintah peraturan perundangundangan maka kami berhak menolak atau menerima aspirasi tersebut. Penolakan atau penerimaan itu tentu didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, kami sebaagi wakil rakyat akan selalu memperjuangkan kehendak rakyat secara konstitusional”. Ketika ditanyakan keterlibatan DPR dalam proses pemekaran di beberapa daerah, Komisi II menjawab sebagai berikut: ” pembentukan daerah otonom itu kan dituangkan dalam undang-undang, sementara DPR memiliki hak inisiatif membentuk undang-undang. Jadi tidak ada yang dilanggar dalam konteks ini, karena DPR hanya menjalankan hak dan kewajibannya”. Persoalannya adalah ketika hak inisiatif tersebut tidak mempertimbangkan persyaratan dan kriteria pembentukan daerah, sebagaimana dinyatakan oleh pejabat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD): ”Saya – kami dari DPOD dapat memahami peran inisiatif anggota Dewan dalam hal usul pemekaran daerah, karena hal itu dijamin dalam perundangan, tetapi kami tidak habis pikir ketika hak inisiatif tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman bahwa pemekaran memiliki sejumlah kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi”. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah telah membawa implikasi yang sangat luas tidak hanya bagi pemerintahan daerah, tetapi juga pemerintahan pusat dan
103 96
pemerintahan negara. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pemekaran daerah memerlukan komitmen yang tinggi dari para pelaksananya, apakah masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, DPOD, maupun DPR RI. Namun sebelumnya, kriteria dan persyaratan yang rasional perlu disusun dan dituangkan dalam peraturan perundangan.
C. KRITERIA PEMEKARAN DAERAH 1. Evaluasi Kriteria Pemekaran Berdasarkan PP 129/2000 Penyelenggaraan kebijakan pembentukan daerah (: pemekaran daerah) dilaksanakan berdasarkan amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa ”Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah”. Selanjutnya, pada ayat (5) disebutkan: ”Syarat-syarat Pembentukan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Sementara itu, dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa ”Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan”. Selanjutnya, pada Pasal 8 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa ”Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah”. PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah merupakan penjabaran pasal 5 ayat (5) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang telah disahkan pada 5 Desember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut PP 129/2000, pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah otonom memerlukan penilaian dengan menggunakan indikator
104 97
tersedia. Indikator tersedia terdiri dari 7 kriteria/syarat dengan 19 indikator dan 43 sub indikator. Indikator adalah suatu parameter atau suatu nilai yang diturunkan dari parameter yang memberikan informasi tentang keadaan dari suatu fenomena/lingkungan/wilayah, dengan signifikan dari indikator tersebut berhubungan langsung dengan nilai parameter. Indikator yang yang dihitung untuk penyusunan indeks komposit Penentuan Daerah Otonom harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) data tersedia, (2) mudah dihitung, (3) relevan, (4) terukur dan reliabel. Ketujuh persyaratan/kriteria tersebut meliputi: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Mencermati kriteria dan persyaratan sebagaimana tersebut di atas (lebih jelasnya dapat disimak pada lampiran), sesungguhnya implementasi pemekaran daerah telah dirancang sedemikian rupa dalam arti pemekaran tidak dilakukan secara ‟serampangan‟. Sebagai contoh: pemekaran daerah diharapkan memperhatikan kemampuan ekonomi, yang diukur dengan indikator PDRB dan penerimaan daerah sendiri.
Dengan demikian,
pembentukan daerah otonom baru harus memperhatikan PDRB per kapita, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB terhadap PDRB total (nasional). Selain itu, dalam hal penerimaan daerah sendiri meliputi rasio penerimaan daerah sendiri terhadap pengeluaran rutin dan rasio penerimaan daerah sendiri terhadap PDRB. Kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam PP 129/2000 sebenarnya dapat dikatakan sebagai ‟barier‟ yang harus dilalui oleh sebuah daerah yang akan dimekarkan. Yang dimaksud ‟barier‟ disini lebih kepada tantangan, bukan hambatan bagi suatu daerah yang akan dimekarkan. Asumsinya, apabila sebuah (calon) daerah otonom baru mampu memenuhi semua kriteria tersebut, dapat dipastikan daerah tersebut tidak akan mengalami persoalan ketika berhasil menjadi daerah otonom baru. Persoalannya adalah apakah pemerintah daerah atau pihak yang akan memekarkan daerah tersebut mampu memberikan data dan informasi yang 105 98
benar mengenai daerahnya? Apakah ada jaminan bahwa daerah yang akan dimekarkan tersebut benar-benar mampu menjalankan pemerintahan daerahnya secara otonom? Hal-hal inilah yang banyak mendapat kritik tajam dari berbagai pihak terutama yang berkaitan dengan potensi ekonomi suatu daerah. Namun demikian, persoalan pemekaran ternyata lebih kompleks dari yang dibayangkan. Kompleksitas implementasi pemekaran daerah tidak hanya nampak pada bertambahnya jumlah kabupaten/kota secara signifikan, tetapi juga pada implikasi yang ditimbulkannya. Selain itu, persoalan pemekaran yang banyak dijumpai adalah bahwa pemekaran daerah merupakan kebutuhan warga masyarakat setempat, yang kemudian berkembang menjadi aspirasi masyarakat. Aspirasi masyarakat untuk memekarkan daerahnya telah menjadi ‟senjata ampuh‟ segelintir elit yang menginginkan terjadinya pemekaran. Para pengambil keputusan dari tingkat lokal sampai tingkat nasional tidak berani menolak aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya pemekaran di daerahnya, dengan alasan jika menolak usulan masyarakat merupakan perbuatan yang ‟konyol‟ karena melawan arus demokratisasi (?), sebagaimana dinyatakan oleh anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara: ”Selain itu juga muncul wacana Kutai Tengah. Kami yang tahu persoalan macam itu ingin menghadap Mendagri. Saya menghambat pemekaran daerah, mati konyol. Itu kan hak masyarakat. Itu juga sesuai dengan janji mereka ketika kampanye”. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ketua DPRD Provinsi Lampung, sebagai berikut: ”Pemekaran daerah telah menjadi isu nasional khususnya di era reformasi saat ini. Kami, pemerintahan daerah baik legislatif maupun eksekutif hanya menyampaikan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat kepada pemerintahan pusat, dalam hal ini Depdagri dan DPR”. Pernyataan senada juga disampaikan oleh mayoritas narasumber yang diwawancarai oleh Tim Kajian, misalnya pendapat pejabat DPOD, ”Proses pemekaran yang terjadi selama ini memang diakui lebih banyak yang
106 99
merupakan inisiatif anggota Dewan, dalam hal ini Komisi II DPR. Jika dikuantitatifkan kurang lebih 75% usulan pemekaran berasal dari anggota Dewan, selebihnya merupakan usulan dari akar rumput (grassroot), yakni dari daerah-daerah. Kendatipun demikian, kesadaran untuk melakukan pemekaran yang sesuai dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat (bukan KEINGINAN), sebenarnya sudah mulai tumbuh di kalangan mereka (: daerah) sendiri. Beberapa narasumber menyatakan bahwa pemekaran boleh dilakukan, asalkan memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditentukan, dimana pemenuhan persyaratan dan kriteria tersebut harus benar-benar memenuhi dan bukan sekedar rekayasa atau ‟akal-akalan‟ agar daerahnya dapat dimekarkan. Beberapa daerah pemekaran yang dikaji memang layak untuk untuk dimekarkan, namun terdapat pula beberapa daerah yang sebenarnya kurang layak untuk menjadi daerah otonom. Oleh karena itu, usulan penyempurnaan PP No. 129/2000 menjadi salah satu solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Pusat, dimana saat ini proses penyempurnaan PP No 129 Tahun 2000 tersebut hampir mendekati final. Beberapa perbedaan aturan pemekaran menurut PP No. 129 Tahun 2000 dan RPP Revisi, nampak pada tabel berikut: Tabel. 11 Perbedaan Kriteria Pemekaran Daerah Menurut PP 129/2000 dan RPP Revisi PP No 129 Tahun 2000 Syarat Administrasi Aspirasi masyarakat ke DPRD (diwakili LSM, Parpol) Usulan bupati ke gubernur Usulan gubernur ke Mendagri Materi usulan/keputusan tidak diatur secara tegas. Dalam pelaksanannya dilakukan secara terpisah tentang persetujuan pembentukan, lokasi calon ibu kota, dan dukungan dana
RPP Revisi Syarat Administrasi Aspirasi masyarakat ke DPRD (diwakili BPD atau FK-RW) Keputusan bupati dan usulan bupati ke gubernur Keputusan gubernur dan usulan gubernur ke Mendagri Materi usulan/keputusan diatur secara tegas yang memuat: a. persetujuan pembentukan b. persetujuan lokasi calon ibu kota c. persetujuan dukungan dana d. persetujuan penyerahan P3D (personel, peralatan, pembiayaan dan dokumen)
107 100
PP No 129 Tahun 2000
RPP Revisi
Syarat Teknis a. kemampuan ekonomi b. potensi daerah c. sosial budaya d. sosial politik e. jumlah penduduk f. luas daerah g. lain-lain
Syarat Teknis a. kemampuan ekonomi b. potensi daerah c. sosial budaya d. sosial politik e. kependudukan f. luas daerah g. pertahanan h. keamanan i. kemampuan keuangan j. tingkat kesejahteraan masyarakat k. rentang kendali
Dasar kelulusan: a. hanya kepada total nilai (hasil kali skor dan bobot) b. subsidi silang sangat dominan
Dasar kelulusan: a. tidak hanya total nilai (hasil kali skor dan bobot) b. tiga faktor dominan diberi bobot besar dan harus memperoleh nilai tinggi: kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan kependudukan c. penilaian kuantitatif terhadap aspek lainnya dengan kajian akademis.
Syarat Kewilayahan pembentukan provinsi minimal 3 kabupaten/kota pembentukan kabupaten/kota minimal 3 kecamatan
Syarat Kewilayahan pembentukan provinsi minimal 5 kabupaten/kota pembentukan kabupaten minimal 5 kecamatan pembentukan kota minimal 4 kecamatan
Sumber: (Pemekaran Tak Lagi Jadi “Obat” Mujarab), Kompas 30 Agustus 2006
Problematika pemekaran daerah, dengan demikian, tidak hanya terjadi pada tataran implementasi tetapi juga pada tataran kebijakannya. Oleh karenanya, langkah penyempurnaan/revisi terhadap PP No 129 Tahun 2000 merupakan tindakan yang tepat.
Namun demikian, jika melihat
rancangan PP tersebut di atas nampaknya masih “belum cukup” untuk meredam terjadinya pemekaran daerah, karena seperti sebelumnya daerah akan berupaya untuk memenuhi aspek “persyaratan administratif” yang dalam implementasinya dapat diatur sedemikian rupa. Belum lagi, peran lobbying dengan elit local dan nasional, baik eksekutif maupun legislatif yang akhirnya dapat meng-gol-kan kepentingan para pengusul. Selain itu, persyaratan yang terlalu ‟rigid‟ juga membuka peluang terjadinya politik uang yang semakin besar di setiap tingkatan. Pasalnya, pihak pengusul akan berjuang dengan segala cara untuk mencapai tujuan
108 101
dan cita-citanya. Jika sudah demikian, maka persyaratan yang terlalu ketat pun akan menjadi kurang optimal atau bahkan menjadi tidak berguna. Dalam situasi dan kondisi yang demikian kiranya Pemerintah memerlukan instrumen atau model lain – yang tidak terlalu rigid tetapi mampu mengukur kesiapan calon daerah – sebagai pembanding dalam melakukan kebijakan pemekaran. Hal ini dimaksudkan agar pemekaran sebuah daerah diharapkan benar-benar akan mencapai tujuan yang diinginkan yakni menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah. Tabel berikut menggambarkan beberapa kutipan langsung masukan narasumber seputar kriteria pemekaran daerah: Tabel. 12 Kriteria Pemekaran Daerah Menurut Narasumber Pendapat Narasumber Kesbanglinmas Provinsi Gorontalo Tokoh masyarakat Provinsi Gorontalo
Sekda Kabupaten Boalemo Dekan FE UNIPA Irjabar
Sekda Kota Sorong Asisten I Kab Sorong
Kriteria Pemekaran Daerah Kemampuan ekonomi dan rentang kendali Bagi masyarakat, pemekaran daerah ini harus aspiratif, artinya kebijakan untuk memisahkan diri dari Manado (: Sulut sebagai provinsi induk) mesti mendapat dukungan luas dari masyarakat. Kriterianya sesuaikan dengan peraturan perundang-undangannya, dalam hal ini PP No 129/2000 Kriteria-kriteria yang sudah ada seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, sosial budaya, luas wilayah, jumlah penduduk sebenarnya kalau dipatuhi dapat digunakan untuk mengerem pemekaran daerah. artinya, dibutuhkan kejujuran semua pihak termasuk perguruan tinggi seperti kami dan kesanggupan memberikan kontribusi positif dalam proses pengajuan pemekaran daerah. kontribusi yang saya maksudkan misalnya, ketika menyusun naskah akadmis hendaknya kampus (tim pengkaji) memberikan masukannya seobyektif mungkin Luas wilayah dan jumlah penduduk Taati saja PP 129/2000 atau PP penggantinya nanti. Saya melihat jika aturan-aturan itu ditaati,
109 102
Pendapat Narasumber
Asisten I Provinsi Jabar
DPD PDI Perjuangan Provinsi Jabar
DPRD Kabupaten Ciamis
Kabag Pengembangan Wilayah dan Perbatasan Provinsi Kaltim
DPD PPP Prov. Kepri
Kriteria Pemekaran Daerah pemekaran daerah akan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Kritria yang telah diatur dalam PP 129/2000 sebetulnya sudah cukup memadai, tinggal kejujuran dari para tokoh penyelenggara pemekaran untuk menggunakan data-data yang harus dikembangkan. Aspek-aspek penting yang harus jadi pertimbangan: a. Efektifitas pelayanan b. Pertumbuhan ekonomi c. Pemerataan pembangunan d. Pemberdayaan masyarakat setempat Kriteria yang telah ada dalam PP itu sudah cukup memadai, tapi konsisten dan konsekuennya Pemerintah ini yang membuat daerah-daerah berlomba-lomba untuk memekarkan diri. Sementara itu Pemerintah Pusat sendiri tidajk punya power untuk menolak atau mengiyakan suatu permohonan pemekaran. Pemekaran Daerah sebenarnya adalah ranahnya Pemerintah, tapi yang berlaku sekarang adalah ranahnya Legislatif dengan menggunakan hak inisiatif. Aspek sejarah juga perlu dilihat dalam pemekaran seperti Pangandaran. Dulunya Pangandaran tidak masuk dalam wilayah Kabupaten Ciamis tetapi masuk dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Jadi kalau sekarang Pangandaran ingin pisah dari Ciamis, wajar saja. Saya rasa kriteria yang ada sudah cukup membatasi, jadi kalau mau memekarkan daerah secara emosional itu tidak ada, khususnya di Kaltim. Syarat-syarat itu sudah cukup mengikat. Karena kalau jor-joran masyarakat yang akan dirugikan. Kajian lembaga independen juga dilakukan untuk melihat apakah sebuah daerah layak dimekarkan. Kita bekerja sama dengan Unmul-Fakultas Sospol. Di Provinsi Kepri, dari tahun ke tahun sejak pemerintahan berjalan APBD terus meningkat dan pada tahun 2006 hampir mencapai 1 trilyun. Pada tahun 2007 APBD kita 1,1 sekian trilyun ditambah dengan …. Menjadi 1,5 trilyun. Dari segi anggaran Kepri selalu mengalami peningkatan yang cukup baik, akrena potensi di 110 103
Pendapat Narasumber
Kriteria Pemekaran Daerah
sini cukup memungkinkan. Sekda Bangka Tengah Selain luas wilayah, kriteria pemekaran daerah lainnya adalah rentang kendali, efektivitas pengendalian SDA, penyebaran dan pemerataan pembangunan FISIP UNILA Lampung Kemampuan ekonomi suatu daerah yang menjadi dasar bagi kebijkan pemekaran daerah, supaya daerah punya satu modal untuk membangun daerahnya. Persoalannya sekarang ini pemekaran daerah ini lebih pada hal politisnya dibandingkan pada potensi riil yang ada di daerah itu Sekda Provinsi Sulut Aspirasi masyarakat Kemampuan ekonomi dan keuangan Sumber: diolah dari wawancara mendalam Dari paparan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagian besar narasumber baik dari kalangan pemerintah daerah, DPRD, Perguruan Tinggi, dan LSM/Tokoh Masyarakat menyatakan bahwa persyaratan dan kriteria pemekaran daerah sebenarnya sudah ter-cover dalam PP 129/2000 maupun PP draft revisinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua (FE-UNIPA) bahwa: ”Kriteria-kriteria yang sudah ada seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, sosial budaya, luas wilayah, jumlah penduduk sebenarnya kalau dipatuhi dapat digunakan untuk mengerem pemekaran daerah. artinya, dibutuhkan kejujuran semua pihak termasuk perguruan tinggi seperti kami dan kesanggupan memberikan kontribusi positif dalam proses pengajuan pemekaran daerah. kontribusi yang saya maksudkan misalnya, ketika menyusun naskah akadmis hendaknya kampus (tim pengkaji) memberikan masukannya seobyektif mungkin” Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Asisten I Kabupaten Sorong, sebagai berikut: ”Taati saja PP 129/2000 atau PP penggantinya nanti. Saya melihat jika aturan-aturan itu ditaati, pemekaran daerah akan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya”. Demikian pula, apa yang disampaikan oleh DPD PDI-P Provinsi Jawa Barat yaitu:
111 104
”Kriteria yang telah ada dalam PP itu sudah cukup memadai, tapi konsisten dan konsekuennya Pemerintah ini yang membuat daerahdaerah berlomba-lomba untuk memekarkan diri. Sementara itu Pemerintah Pusat sendiri tidajk punya power untuk menolak atau mengiyakan suatu permohonan pemekaran. Pemekaran Daerah sebenarnya adalah ranahnya Pemerintah, tapi yang berlaku sekarang adalah ranahnya legislatif dengan menggunakan hak inisiatif”. Beberapa pendapat tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa persoalan pemekaran ternyata lebih banyak pada tataran implemantasi dibandingkan pada tataran substansi. 2. Proyeksi Pemekaran Daerah: Usulan Kriteria dan Tahapan Pemekaran Berdasarkan
temuan-temuan
data
lapangan
sebagaimana
tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pemekaran daerah memerlukan langkah-langkah konkret agar implementasinya dapat berjalan optimal. Berkenaan dengan hal tersebut terdapat dua skenario yang dapat diajukan: Pertama, memperkuat implementasi PP 129/2000 (dan PP revisinya) dan Kedua, memberikan kriteria-kriteria baru. Untuk skenario pertama, memperkuat implementasi PP 129/2000 yang dimaksud disini adalah yang dimaksud melaksanakan secara konsisten substansi yang terkandung dalam kebijakan tersebut. Artinya, tim pemekaran daerah, dalam hal ini tim sukses dan tim penilai (DPOD dan DPR) sebenarnya tinggal menjalankan persyaratan dan kriteria-kriteria yang tersedia secara konsekuen. Sebagaimana diemukakan sebagian narasumber, bahwa substansi PP tersebut sesungguhnya cukup memadai untuk dijadikan landasan bagi pembentukan suatu daerah. Dengan demikian,
pada
skenario
pertama
ini
dapat
dikatakan
bahwa
permasalahan pemekaran daerah terletak pada tataran implementasi PP 129/2000. Adapun untuk skenario kedua, yaitu usulan kriteria pemekaran daerah nampak pada tabel berikut.
112 105
Tabel. 13 Usulan Kriteria Pemekaran Daerah Pendapat Narasumber
Kriteria Pemekaran Daerah
DPRD Kabupaten Minahasa
Kemampuan ekonomi Sosial budaya Jeda waktu pemekaran Ketua Komisi A Provinsi SDM Aparatur Lampung Sebagai masukan, kiranya faktor SDM perlu dimasukkan ke dalam persyaratan pemekaran suatu daerah Ketua DPRD Provinsi Jabar Rentang kendali dan pelayanan publik Sekda Provinsi Kepri Kriteria: mendekatkan pelayanan, karena tujuan kita adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, memacu dan mempercepat proses pembangunan. Bayangan saja, pada awal terbentuknya propinsi, APBD kita seluruhnya hanya 350-an M, pada Tahun 2005 sudah meningkat menajdi 500-an (460), Tahun 2006 sudah 560-an M, pada tahun 2007 APBD kita 1,5 Triliun. LSM Provinsi Irjabar Sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan pemekaran daerah. Sumber: diolah dari wawancara mendalam Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa selain kriteria-kriteria yang tertuang dalam PP 129/2000, penyelenggaraan pemekaran daerah memerlukan persyaratan-persyaratan (tambahan) meliputi hal-hal berikut: 1) Kemampuan ekonomi,
2) SDM Aparatur, 3) Sarana dan Prasarana
dan 4) Masa transisi. Pada bagian berikut akan dijelaskan untuk maksud setiap kriteria yang diusulkan. Kemampuan ekonomi Kriteria kemampuan ekonomi yang dimaksud disini lebih kepada kemampuan ekonomi riil yang dimiliki oleh daerah (induk dan pemekaran). Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa pemekaran daerah tidak akan menyebabkan permasalahan bagi daerah induk maupun daerah yang akan dimekarkan.
113 106
Pertanyaan sederhana yang dapat dirumuskan untuk hal ini adalah ”apakah daerah yang akan dimekarkan memiliki sumbersumber ekonomi seperti galian tambang, pertanian, kelautan, dan sebaaginya?”. Ketersediaan sumber-sumber ekonomi tersebut tidak cukup berupa anggapan atau asumsi, tetapi harus dibuktikan oleh lembaga yang kompeten bahwa sumber-sumber tersebut memang tersedia. Selain itu, prediksi bahwa dengan pemekaran akan ‟mematikan‟ daerah induk karena kemampuan ekonominya terserap ke daerah pemekaran. SDM Aparatur Kriteria SDM Aparatur dimaksudkan agar daerah yang akan dimekarkan nantinya diperkirakan akan memenuhi jumlah dan kualitas SDM Aparatur. Kriteria ini mucul karena selama ini daerah pemekaran cenderung mengalami krisis SDM Aparatur. Hal ini sebagaimanya dinyatakan oleh Ketua Komisi A DPRD Lampung, sebagai berikut: ”Sebagai masukan, kiranya faktor SDM perlu dimasukkan ke dalam persyaratan pemekaran suatu daerah. Ini sangat penting mengingat SDM merupakan tuang punggung birokrasi pemerintahan. Kuantitas SDM masih menjadi kendala di daerah pemekaran, terlebih dalam hal kualitasnya” Potret akan minimnya SDM tersebut juga dinyatakan oleh Sekda Bangka Tengah yang menyatakan bahwa daerah pemekaran sangat memerlukan dukungan kepegawaian dari kabupaten induk dan pemerinta
provinsi.
Mengapa
pemerintah
provinsi
juga
perlu
dilibatkan, hal ini karena salah satu solusi mengatasi keterbatasan jumlah pegawai adalah dengan mengalihkan PNS dari tingkat provinsi ke kabupaten/kota, walaupun dalam kenyataan tidak semudah seperti apa yang dibayangkan.
114 107
Sarana dan Prasarana Ketersediaan sarana-prasarana yang dimaksud disini lebih ditekankan pada sarana pelayanan dasar, yang meliputi pendidikan, kesehatan dan perhubungan. Sarana pendidikan meliputi jumlah sekolah, sarana kesehatan meliputi Puskesmas dan Rumah Sakit, dan sarana perhubungan seperti jalan dan jembatan. Menurut LSM di Irian Jaya Barat, bahwa ketersediaan saranaprasarana pelayanan dasar hendaknya menjadi kriteria yang dipertimbangkan dalam memekarkan daerah. Dengan demikian, setelah daerah tersebut menjadi daerah otonom diharapkan mampu memberikan pelayanan dasar yang cukup memadai.Usulan kriteriakriteria baru bersifat menambahkan dan mengkritik apa yang terdapat dalam kriteria PP 129/2000. Masa Transisi Perihal transisi pemekaran menjadi salah satu kriteria yang diusulkan oleh narasumber. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh DPRD Kabupaten Minahasa bahwa penetapan jeda waktu dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada daerah yang baru dimekarkan. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Minahasa menyatakan: ”Melihat perkembangan implementasi pemekaran daerah selama ini, saya mengusulkan agar pemekaran daerah diberi jeda waktu, agar daerah yang baru mekar tersebut menunjukkan kinerja nyata. Kalau dalam waktu tertentu, misalkan 10 tahun, daerah tersebut menunjukkan perkembangan positif maka dapat dipertimbangkan untuk dimekarkan lagi...” Masa transisi untuk kabupaten/kota minimal adalah selama 10 tahun dan untuk provinsi 15 tahun. Pembatasan tersebut diharapkan akan melahirkan daerah otonom baru yang berkinerja baik. Masa transisi ini juga dapat berguna untuk memberikan penilaian obyektif dari masyarakat tentang keberhasilan atau kegagalan pemekaran suatu daerah.
115 108
Usulan yang tak kalah menarik adalah agar pembentukan daerah tersebut tidak langsung menjadi daerah otonom, tetapi melalui tahapan yang memungkinkan terjadinya peningkatan kinerja yang diharapkan. Hal mana juga disampaikan oleh narasumber di Maluku Utara, sebagai berikut: “Saya melihat ada baiknya untuk menjadi Kabupaten/Kota definitif atau otonomi baru, dia harus melalui tahapan-tahapan tertentu seperti Kota Administratif dulu, atau Kantor Pembantu Bupati dulu. Jadi jangan mendadak serta merta, jadi seketika. Sementara itu kantor pun belum ada. Bahkan sampai sekarang saya melihat di Kota Tidore Kantor DPRD-nya masih nyewa di bekas Gedung Madrasah, sangat ironis”. Pemikiran tersebut kiranya cukup logis karena pemekaran yang dilakukan secara langsung menjadi provinsi/kabupaten/kota otonom dinilai terburu-buru. Oleh karena itu, pemekaran daerah sebaiknya melalui tahapan sebagai berikut: Gambar. 3 Tahapan Pemekaran Daerah
Provinsi Persiapan/ administratif
Provinsi definitif/otonom
Kabupaten
Kabupaten Persiapan/ administratif
Kabupaten Definitif/otonom
Kota
Kota Persiapan/ administratif
Kota Definitif/otonom
Provinsi
Sumber: diolah dari hasil wawancara mendalam
116 109
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pembentukan daerah otonom dilakukan melalui tahapan ‟persiapan‟, dalam hal ini disebut provinsi/kabupaten/kota administratif. Provinsi/kabupaten/ kota administratif tersebut dipimpin oleh kepala daerah (PNS) yang diangkat oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, selama berstatus daerah persiapan atau ‟administratif‟ tersebut maka berlaku hal-hal sebagai berikut: -
Provinsi/kabupaten/kota administratif ditetapkan dengan regulasi (minimal dengan Peraturan Presiden/Perpres);
-
Provinsi/kabupaten/kota administratif belum memiliki DPRD;
-
Anggaran disuplai oleh pemerintah pusat untuk pemerintah provinsi administratif, dan disuplai oleh pemerintah pusat dan provinsi
untuk
kabupaten/kota
administratif,
disamping
penerimaan daerah sendiri yang ditentukan pembagiannya oleh pemerintah pusat. Pengaturan pembentukan daerah ‟persiapan‟ yang diatur dengan Perpres dimaksudkan bahwa pemekaran dalam konteks ini masih menjadi ranah pemerintah (eksekutif). Hal ini telah terbukti pada masa lalu (Orba), bahwa pembentukan daerah otonom diawali dengan pembentukan kota administratif dan pembantu bupati. Pemerintah
provinsi/kabupaten/kota
administratif
belum
memiliki DPRD, karena pemerintahan daerah masih bertanggung jawab kepada pemerintah di atasnya. Setelah dievaluasi (3 tahun) barulah dilaksanakan pengisian untuk DPRD melalui Pemilu dan Kepala Daerah melalui Pilkada Langsung. Dalam hal pengelolaan keuangan, daerah persiapan masih mengandalkan
bantuan/suplai
dari
pemerintah
di
atasnya,
pemerintah pusat untuk provinsi persiapan, dan pemerintah pusat dan provinsi untuk kabupaten/kota persiapan. Namun demikian,
117 110
sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat, pemerintah daerah persiapan berhak mengelola sumber-sumber penerimaan daerah. Selanjutnya, apabila selama waktu tertentu (3 tahun) daerah persiapan tersebut menunjukkan kinerja yang baik, maka daerah yang bersangkutan dapat diubah statusnya menjadi provinsi/kabupaten/ kota yang bersifat definitif/otonom. Namun demikian, untuk menjadi daerah otonom tetap harus mendapat persetujuan legislatif (DPR). Hal ini menunjukkan bahwa, proses pembentukan daerah, selain memerlukan kriteria-kritera yang rasional, juga memerlukan tahapan tertentu yang memungkinkan pemerintah daerah memiliki kesiapan. Keberhasilan tahapan pemekaran telah ditunjukkan pada masa sebelumnya, dimana terbukti bahwa DOB yang berasal dari ‟daerah persiapan‟ memiliki kinerja yang lebih baik dibandingan daerah otonom yang dibentuk secara langsung.
118 111
Bab 5
PENUTUP
Pemekaran daerah telah dilaksanakan sejak tahun 1999 yang merupakan implementasi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Tujuan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah tersebut meliputi: 1) peningkatan pelayanan kepada masyarakat,
2) percepatan pertumbuhan
kehidupan demokrasi, 3) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, 4) percepatan pengelolaan potensi daerah, 5) peningkatan keamanan dan ketertiban, dan 6) peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah. Untuk itu, PP Nomor 129 Tahun 2000 juga telah menetapkan persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004, sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 pun masih memerintahkan pemekaran daerah (Pasal 5 s/d 8). Sampai beberapa tahun terakhir, pemekaran daerah menjadi trend yang berkembang di kalangan pemerintahan daerah, dimana hampir semua elit daerah berlomba untuk memekarkan daerahnya, tentu dengan motif dan tujuan yang berbeda-beda, yang pada
akhirnya
ditujukan
untuk
mendekatkan
pelayanan
publik
dan
mensejahterakan masyarakat daerah. Tetapi, benarkah pemekaran daerah telah dilakukan berdasarkan motif dan tujuan mulia tersebut? Pada kenyataannya, pembicaraan tentang pemekaran daerah selalu diikuti dengan sejumlah kekhawatiran dan kegamangan akan keberhasilannya. Sebagai contoh, banyak pihak menyangsikan eksistensi daerah otonom baru (sebagai hasil dari pemekaran) dalam mencapai tujuan-tujuan sebagaimana
119 112
dikemukakan di atas. Kegamangan tersebut terjadi karena pemekaran daerah tidak
didasarkan
pada
persyaratan
dan
kriteria
yang
dapat
dipertanggungjawabkan (tidak taat azas). Kajian ini telah mencoba mengelaborasi sejumlah motif dan alasan mengapa suatu daerah perlu dimekarkan. Pertanyaannya adalah, apa alasan sesungguhnya dilakukan pemekaran daerah? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak hanya diperoleh langsung dari narasumber di lapangan, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain yang relevan. Hal lain yang menarik disini adalah bahwa pemekaran daerah ternyata tidak diperlakukan sebagai alat tetapi sebagai tujuan. Hal ini nampak pada beberapa tim pemekaran daerah yang „sangat kecewa‟ ketika usulan pemekaran ditolak atau ketika proses pemekaran berlangsung lama dan berbelit-belit. Secara lebih rinci, berikut akan dipaparkan sejumlah kesimpulan yang diperoleh dari hasi kajian lapangan dan dilanjutkan dengan beberapa rekomendasi dan harapan bagi perbaikan kebijakan dan implementasi pemekaran daerah ke depan. A. KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah adalah: a. Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi Papua) serta pemekaran
Kabupaten
Keerom
(pemekaran
dari
Kabupaten
Jayapura). b. Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping itu di Pulau
120 113
Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat. c. Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten Minahasa. d. Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan),
Sumatera
Utara
(Serdang
Bedagai),
dan
Lampung
(Tanggamus). e. Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). f.
Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan. Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat. a. Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain : Pembentukan
kelembagaan
baru
:
Pemekaran
daerah
menimbulkan implikasi bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan organisasi pusat di daerah. 121 114
Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara
mengenai
proses
penyerahan
P3D
(penganggaran,
peralatan, personel dan dokumen) yang tidak tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah. Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah. Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif jika itu ditunjukkan untuk
meningkatkan
terbentuknya
daerah
kesejahteraan baru
daerah,
menimbulkan
namun
egosentris
jika suatu
masyarakat maka hal ini tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan. Pemberdayaan
Ekonomi:
Pemekaran
daerah
yang
telah
memperhitungkan potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di daerah tersebut. 122 115
Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan. Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan pemekaran
daerah
berpotensi
menimbulkan
terjadinya
pemiskinan. Terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah memberatkan masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). b. Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain: Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah. Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan tersebut. Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi
yang
keuangan/anggaran
terjadi untuk
adalah
penambahan
membiayai
alokasi
penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK. 3. Menurut hasil kajian, model evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan berdasarkan PP 129/2000, adalah sebagai berikut:
a. Persyaratan dan kriteria: persyaratan dan kriteria yang ditetapkan lebih cenderung mengukur potensi/input. Sebagai contoh: dalam
123 116
syarat/kriteria potensi daerah, indikator sarana pariwisata, tercantum sub
indikator
”jumlah
hotel/akomodasi
lainnya;
jumlah
restoran/rumah makan; jumlah obyek wisata”. Pada indikator potensi daerah juga terdapat ‟sarana pendidikan‟ tetapi isinya bukan mengukur sarana tetapi kinerja. Dari syarat/kriteria dan indikator tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut: Tidak ada kejelasan kluster yang memayungi syarat/kriteria, indikator dan sub indikator tersedia, sehingga 7 (tujuh) syarat/kriteria tersebut seolah-olah terpisah satu sama lain. Indikator dan sub indikator tersebut lebih mengukur potensi, bukan output.
b. Prosedur: untuk prosedur pemekaran daerah telah dirumuskan dengan
cukup baik, tetapi tidak ada penekanan pada tahap
implementasi, sehingga banyak terjadi penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan. Secara garis besar dapat dikatakan terdapat dua prosedur pemekaran yakni pemekaran melalui jalur pemerintah (eksekutif) dan jalur DPR (legislatif). Faktanya, pemekaran daerah lebih banyak berasal dari inisiatif DPR.
c. Prosedur pemekaran yang terjadi selama ini tidak melalui model ‟transisi‟, sehingga daerah otonom baru langsung memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan daerah induknya. B. REKOMENDASI Mencermati uraian pada kesimpulan di atas, Tim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pemekaran daerah hendaknya didasarkan pada alasan-alasan yang rasional, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemampuan daerah yang akan dimekarkan. Hal ini sekaligus dapat menjadi alat untuk meminimalisir implikasi negatif yang ditimbulkan akibat pemekaran. 2. Untuk itu, Tim mengusulkan persyaratan/kriteria untuk melakukan pemekaran daerah, sebagai berikut:
124 117
Tabel. 14 Usulan Kriteria Pemekaran Daerah Persyaratan/kriteria
Indikator
Sub-Indikator
Kemampuan Ekonomi Pelayanan Publik
PDRB
1. PDRB per kapita 2. Pertumbuhan Ekonomi 3. Rasio jumlah murid SD per
Pendidikan
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kesehatan
11. 12. 13. 14.
Kesejahteraan masyarakat
Kemiskinan
15.
Akses terhadap kebutuhan dasar
16. 17.
Lain-lain
Luas wilayah*)
18. 19.
Jumlah penduduk*)
20.
jumlah Guru SD Rasio jumlah murid SLTP per jumlah Guru SLTP Rasio jumlah murid SLTA per jumlah Guru SLTA Rasio jumlah penduduk usia 7-12 tahun per jumlah sekolah SD Rasio jumlah penduduk usia 12-15 tahun per jumlah sekolah SLTP Rasio jumlah penduduk usia 15-19 tahun per jumlah sekolah SLTA Angka Partisipasi Sekolah usia 7-12 tahun Angka Partisipasi Sekolah usia 12-15 tahun Rasio jumlah rumah sakit per 100000 penduduk Rasio jumlah Puskesmas per 100000 penduduk Rasio jumlah dokter per 100000 penduduk Rasio jumlah bidan per 100000 penduduk Persentase penduduk miskin Persentase akses rumah tangga terhadap air bersih Persentase akses rumah tangga terhadap listrik Luas wilyah keseluruhan Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan Jumlah penduduk
125 118
Persyaratan/kriteria
Indikator
Sub-Indikator
Rentang Kendali
21. Rata-rata jarak Kecamatan
22.
Sarana Peribadatan, dan Olahraga
Seni
23. 24. 25.
Sarana Jalan/Infrastruktur Sarana Ekonomi
26.
SDM Aparatur
28.
27.
ke Pusat Pemerintahan (ibukota provinsi/kabupaten induk) Rata-rata lama waktu perjalanan dari Kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi/kabupaten induk) Rasio jumlah sarana ibadah per 10000 penduduk Rasio jumlah lapangan olehraga per 10000 penduduk Rasio tempat pertunjukan seni per 10.000 penduduk Rasio panjang jalan per luas wilayah Rasio jumlah pasar per 10000 penduduk Rasio jumlah PNS per 10000 penduduk
*) perlu dibedakan Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali. Persyaratan/kriteria tersebut sebagian besar masih mengacu pada PP No.
129/2000,
dengan
menambahkan
beberapa
perubahan
khususnya untuk kriteria pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Dari tabel dapat dilihat pelayanan yang dimakud adalah pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada indikator luas wilayah dan jumlah penduduk dibedakan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali, hal ini ditempuh guna mengurangi terjadinya in-efisiensi. Namun, persyaratan dan kriteria seketat apapun pada akhirnya tidak akan bermanfaat jika tim penilai (evaluator) tidak memiliki integritas (: kejujuran) yang memadai. Terlebih lagi jika penilaian dilakukan melalui self-assesment, maka faktor integritas menjadi kunci utama apakah sebuah daerah layak dimekarkan. 126 119
3. Perlu dilakukan pentahapan dalam melakukan pemekaran daerah, yaitu daerah tidak langsung dimekarkan menjadi daerah otonom, tetapi dibentuk dalam ‟daerah persiapan‟. Pemekaran daerah dilakukan secara berjenjang. Secara bertahap, pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan akan dimekarkan menjadi
‟daerah
persiapan‟
dimana
untuk
provinsi
dengan
nomenklatur ‟provinsi persiapan‟ dan ‟kabupaten/kota persiapan‟ untuk kabupaten/kota. Penetapan daerah persiapan ditungkan dalam bentuk Perpres. Setelah menjadi daerah persiapan selama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dilaksanakan penilaian oleh tim penilai, maka daerah persiapan tersebut dapat diubah statusnya menjadi daerah otonom. Setelah 5 (lima) tahun menjadi daerah otonom, daerah tersebut dapat dipertimbangkan
untuk
dimekarkan
kembali,
apabila
dinilai
memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 4. Bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi persyaratan, tetapi mengalami
keterbatasan-keterbatasan
yang
mengakibatkan
tidak
memenuhi persyaratan, maka dapat dilakukan penguatan (strengthtening) Kecamatan untuk mendekatkan pelayanan publik. 5. Pada tataran yang lebih tinggi dan skala yang lebih luas, Pemerintah perlu merevisi UU No. 32 tahun 2004 yang terkait dengan pengaturan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah (Pasal 5 s/d 8). Revisi UU No. 32 Tahun 2004 memang pernah diwacanakan, tetapi belum menyentuh pengaturan tentang pemekaran daerah.
127 120
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku Bowman, M. and W. Hampton, 1983. Local Democracies: A Study in Comparative Local Government, Melbourne: Longman. Cheema, G.S. and Rondinelli, D.A.,(1983). Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications. Dwidjowijoto, Riant Nugroho, 2000. Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Maddick, R., 1983. Democracy, Decentralization and Development. Bombay: Asia Publishing House. Mawhood, P (ed), 1983. Local Government in the Third World: the experience of tropical Africa. New York: John Wiley and Sons. Muthalib, and Akbar Ali Khan, 1982. Theory of Local Government. Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta : PT Gramedia Mediasarana Indonesia (GRASINDO). Rasyid, M. Ryaas, 1996. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: Yarsif Watampone. Riwu Kaho, Josef, 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali. Sarundajang, Sinyo Harry, 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Sinar Harapan. Smith, B. C., 1985. Decentralization: Territorial Dimension of the State. Soejito, Irawan, 1981. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
128 121
Syaukani, H., Gaffar, A., dan Rasyid, M.R., 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tjandra, W. Riawan dkk, 2005, Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik, Jakarta: Pembaruan. Widjaja HAW, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Peraturan Perundangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dokumen/Jurnal/Majalah LAN, 2006, Laporan Kajian Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Daerah, Jakarta: LAN. Rondinelli, Dennis A., 1981. Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries. International Review of Administrative Sciences. Vol. XLVII. No. 2.
129 122