LAJU PERTUMBUHAN DAN SINTASAN SPONS Aaptos aaptos DI KOLAM BUATAN TERKONTROL
Oleh :
Nur Endah Fitrianto C64103008
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
Laju Pertumbuhan dan Sintasan Spons Aaptos aaptos Di Kolam Buatan Terkontrol Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 15 Agustus 2009
Nur Endah Fitrianto C64103008
RINGKASAN NUR ENDAH FITRIANTO. Laju Pertumbuhan dan Sintasan Spons Aaptos aaptos DI Kolam Buatan Terkontrol. Dibimbing Oleh DEDI SOEDHARMA dan MUJIZAT KAWAROE. Spons merupakan nama lain dari filum porifera yang merupakan hewan bersel banyak paling sederhana dan primitif. Spons (Porifera) tergolong hewan multiseluler primitif dan diduga berasal dari zaman Paleozoik sekitar 1,6 juta tahun yang lalu. Pada umumnya, spons mampu memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu satu menit, sehingga tidak salah kalau hewan ini terkenal sebagai hewan filter feeder yang paling efisien dibandingkan hewan laut lainnya. Pemanfaatan spons yang diambil dari alam banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan harganya sangat mahal dalam katalog hasil laboratorium (Pronzato et al., 1999 in Haris, 2005). Jika spons secara langsung diambil secara terus menerus dari alam maka akan berakibat kepunahan. Sehingga dibutuhkan sebuah metode baru untuk memperbanyak jumlah biomassa spons, oleh karena itu penempatan dalam habitat baru sangat dimungkinan untuk dilakukan. Salah satunya adalah dengan penempatan dari habitat aslinya laut ke kolam buatan yang dibuat yang sesuai dengan habitat aslinya dengan melihat segala faktor-faktor yang mempengaruhi dari adaptasi spons itu sendiri dari laut ke darat. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan ITK-IPB Ancol, Jakarta. Bertujuan agar data dan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan budidaya spons di Indonesia serta menjaga kelestarian sumber daya alam dan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Metode yang dilakukan adalah persiapan kolam terkontrol, pengambilan spons Aaptos aaptos dari alam sampai penanganan di kolam terkontrol, pemotongan fragmentasi dan tingkat kelangsungan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian selama sembilan minggu didapatkan hasil rata-rata pertumbuhan panjang perminggu sebesar 3.0573 mm, untuk hasil rata-rata pertumbuhan lebar perminggu sebesar 2.2713 mm dan hasil sintasan diperoleh sebesar 89% dengan kisaran 0-100%.
LAJU PERTUMBUHAN DAN SINTASAN SPONS Aaptos aaptos DI KOLAM BUATAN TERKONTROL
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Nur Endah Fitrianto C64103008
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul : LAJU PERTUMBUHAN DAN SISNTASAN SPONS Aaptos aaptos DI KOLAM BUATAN TERKONTROL Nama : Nur Endah Fitrianto NRP : C64103008
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA NIP. 19460218 197301 1 001
Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP. 19651213 199403 2 002
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
Tanggal Lulus : 15 Agustus 2009
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Laju Pertumbuhan dan Sintasan Spons jenis Aaptos aaptos di Kolam Buatan Terkontrol” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Ibu Dr. Ir. Muzijat Kawaroe, M.Si selaku pembimbing atas saran, arahan dan nasehat yang diberikan selama penyusunan skripsi ini. 2. Staf Laboratorium IPB Ancol, Jakarta Khususnya Bapak Mardi atas masukan, waktu dan kesempatan yang diberikan. 3. Bang Irman beserta stafnya yang telah membantu membuat kolam buatan terkontrol di Laboratorium IPB Ancol, Jakarta. 4. Bapak, Ibu dan keluarga tercinta atas doa dan keringatnya. 5. Warga IPB, FPIK dan warga ITK khususnya Colourful ITK 40, Dondy, Begin, Wini, Dahlia, Aldi, Deny, Mursalin dan kawan-kawan. 6. Seluruh pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Segala kritik dan saran penulis harapkan sehingga untuk kedepannya dapat dipertimbangkan untuk diperbaiki. Bogor, Agustus 2009
Nur Endah Fitrianto
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
............................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3 2.1 Identifikasi dan Klasifikasi ...................................................................... 3 2.2 Pigmentasi dan Makanan ......................................................................... 4 2.3 Reproduksi ............................................................................................... 6 2.3.1 Cara Reproduksi ............................................................................ 6 2.3.2 Reproduksi Aseksual ..................................................................... 6 2.3.3 Reproduksi Seksual ....................................................................... 7 2.4 Pertumbuhan ............................................................................................ 7 2.5 Aspek Ekonomi........................................................................................ 9 2.6 Faktor Pembatas ....................................................................................... 9 2.6.1 Suhu ................................................................................................. 9 2.6.2 Salinitas ............................................................................................ 10 2.6.3 Kedalaman........................................................................................ 10 2.6.4 Sedimentasi ...................................................................................... 10 2.6.5 Silikat ............................................................................................... 10 2.6.6 Bahan Organik ................................................................................. 11 3. METODOLOGI ........................................................................................... 12 3.1 Waktu dan Lokasi .................................................................................... 12 3.2 Alat dan Bahan......................................................................................... 12 3.2.1 Alat dan Bahan .............................................................................. 12 3.2.2 Persiapan Kolam Terkontrol .......................................................... 13
3.3 Metode Pengambilan dan Pemilihan Spons............................................. 16 3.3.1 Metode Pemotongan......................................................................... 16 3.3.2 Metode Pengukuran ......................................................................... 17 3.4 Prosedur Penelitian .................................................................................. 17 3.4.1 Penanganan Spons di Laut ............................................................... 17 3.4.2 Pemeliharaan Spons di Kolam ......................................................... 18 3.5 Metode Pengamatan Spons ...................................................................... 19 3.5.1 Tingkat Kelangsungan Hidup .......................................................... 19 3.5.2 Pertumbuhan .................................................................................... 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 20 4.1 Kondisi Fisik Kolam ................................................................................ 20 4.2 Organisme Pengganggu di Kolam ........................................................... 21 4.3 Kualitas Air di Kolam .............................................................................. 22 4.4 Kelimpahan Plankton ............................................................................... 25 4.5 Perkembangan Fragmen Aaptos aaptos ................................................... 27 4.6 Pertumbuhan Fragmen Aaptos aaptos ..................................................... 31 4.7 Sintasan/Tingkat Kelangsungan Hidup Fragmen Aaptos aaptos ............ 34 5. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 37 5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 37 5.2 Saran ...................................................................................................... 37 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 38 LAMPIRAN ...................................................................................................... 41
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Alat dan bahan penelitian ........................................................................... 12 2 Parameter kualitas air kolam buatan terkontrol .......................................... 23 3A Kelimpahan fitoplankton (Ind/L) ............................................................... 25 3B Kelimpahan zooplankton (Ind/L) ............................................................... 25
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kolam pemeliharaan 1 spons Aaptos aaptos .............................................. 14 2 Kolam pemeliharaan 2 spons Aaptos aaptos .............................................. 14 3 Bagan kolam filter dan kolam pemeliharaan Aaptos aaptos ...................... 15 4 Gambar melintang kolam pemeliharaan spons 2 Aaptos aaptos ................ 16 5 Tampak horizontal kolam Aaptos aaptos 1, 2 dan 3 .................................. 20 6 Paranet ...................................................................................................... 21 7A Hama pada spons Aaptos aaptos ................................................................ 22 7B Ganggang pada selang ................................................................................ 22 7C Hama dan gangggang di dasar kolam ......................................................... 22 7D Ganggang di dasar kolam ........................................................................... 22 8 Pengemasan spons Aaptos aaptos untuk dibawa ke kolam ........................ 27 9 Spons Aaptos aaptos tiba di kolam ............................................................ 28 10A Spons Aaptos aaptos yang baru tiba di kolam dikeranjang kecil ............. 28 10B Spons Aaptos aaptos yang baru tiba di kolam dikeranjang besar ............. 28 11 Hari kedua gejala kematian spons Aaptos aaptos ....................................... 29 12 Hari ketiga gejala kematian spons Aaptos aaptos ...................................... 30 13 Pemotongan spons Aaptos aaptos .............................................................. 30 14 Histogram rata-rata laju pertumbuhan panjang spons Aaptos aaptos ........ 32 15 Histogram rata-rata laju pertumbuhan lebar spons Aaptos aaptos ............. 33 16 Grafik hasil sintasan jumlah spons Aaptos aaptos di kolam buatan terkontrol ................................................................................................................... 17 Grafik persentase (%) hasil sintasan spons Aaptos aaptos di kolam buatan terkontrol ................................................................................................... 43
43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Kolam buatan terkontrol .............................................................................. 42 2. Kolam pemeliharaan .................................................................................... 42 3. Kolam filter ................................................................................................. 43 4. Kolam penampungan air laut ....................................................................... 43 5. Spons Aaptos aaptos tiba di kolam buatan terkontrol ................................. 44 6. Spons Aaptos aaptos setelah satu hari di kolam buatan terkontrol ............. 44 7A, B dan C. Spons Aaptos aaptos setelah dua hari di kolam buatan terkontrol ......................................................................................................
45
8. Pengemasan spons Aaptos aaptos untuk dibawa ke kolam buatan terkontrol .................................................................................................................... 45 9A dan B. Proses aklimatisasi untuk spons Aaptos aaptos .............................. 46 10. Spons Aaptos aaptos dipotong ................................................................... 46 11A dan B. Spons Aaptos aaptos setelah dipotong ......................................... 46
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar belakang Spons merupakan nama lain dari filum porifera yang merupakan hewan bersel
banyak paling sederhana dan primitif. Spons tergolong hewan multiseluler primitif dan diduga berasal dari zaman Paleozoik sekitar 1,6 juta tahun yang lalu (Amir dan Budiyanto, 1996; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Dalam mencari makan, hewan ini aktif mengisap dan menyaring air yang melalui seluruh permukaan tubuhnya. Pada umumnya, spons mampu memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu satu menit, sehingga tidak salah kalau hewan ini terkenal sebagai hewan filter feeder yang paling efisien dibandingkan hewan laut lainnya (Bergquist, 1978). Penentuan lokasi digunakan untuk menunjukkan tempat asal sampel dan kondisi tempat spesimen itu hidup, baik ditempat berpasir, melekat pada batu-batuan atau karang-karangan, hidup pada area yang terbuka atau laut yang terlindungi oleh pulau. Kedalaman, kecerahan atau cahaya, kondisi fisik dan kimiawi lokasi juga mempengaruhi jenis atau spesies dari spons. Bentuk luar dan ukuran spons sangat bervariasi karena didukung dan disusun dari dalam oleh kandungan kerangkanya untuk membuat satu individu spons atau koloni besar. Ukuran menentukan besar dari spesimen dalam tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, tinggi, diameter atau ketebalan. Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan biologis lingkungannya. Spesies dari biota spons yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak cenderung pendek pertumbuhannya, begitu juga sebaliknya jika berada pada lingkungan yang lebih dan berarus tenang maka pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pemanfaatan spons yang diambil dari alam banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan harganya sangat mahal dalam katalog hasil laboratorium (Pronzato et al., 1999 in Haris, 2005). Jika spons secara langsung diambil secara terus menerus dari alam maka akan berakibat kepunahan. Sehingga dibutuhkan sebuah metode baru untuk memperbanyak jumlah biomassa spons, oleh karena itu penempatan dalam habitat baru sangat dimungkinan untuk dilakukan. Salah satunya adalah dengan penempatan dari
habitat aslinya laut ke kolam buatan yang dibuat yang sesuai dengan habitat aslinya dengan melihat segala faktor-faktor yang mempengaruhi dari adaptasi spons itu sendiri dari laut ke darat. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan ITK-IPB Ancol, Jakarta. Tujuan penelitian ini agar data dan hasil dari penelitian dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan budidaya spons di Indonesia serta menjaga kelestarian sumber daya alam dan dapat dimanfaatkan secara maksimal.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan dan sintasan spons
laut jenis Aaptos aaptos yang dipelihara pada kolam buatan terkontrol di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan ITK-IPB Ancol, Jakarta.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Identifikasi dan klasifikasi Menurut Bergquist (1968) klasifikasi spons laut Aaptos aaptos (AA) adalah : Filum : Porifera Kelas : Demospongiae Subkelas : Tetractinomorphia Ordo
: Hadromerida
Famili : Suberitidae Genus : Aaptos Spesies : Aaptos aaptos (AA) Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu : Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood dan Wells, 1989; Sara, 1992; dan Amir dan Budiyanto, 1996; Rachmaniar, 1996; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu : Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia Warren (1982). Terdapat sekitar 5000 jenis spons di dunia. Sebarannya sangat luas, spons bahkan dapat dijumpai di bawah tutupan es dari kutub selatan. Kelompok hewan ini mempunyai banyak pori-pori dan saluran-saluran. Spons dewasa biasanya hidup menetap sedangkan spons muda bergerak aktif dan terbawa arus sebelum mereka menempel (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang dominan di antara Porifera masa kini. Spons jenis ini seringnya berbentuk massive dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamarkamar bercambuk kecil yang bundar. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas, spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren, 1982; Kozloff, 1990; Ruppert dan Barnes, 1991; Brusca dan Brusca, 1990; Amir dan Budiyanto, 1996;
Romimohtarto dan Juwana, 1999). Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan di terumbu karang. Semua jenis ini adalah tipe leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemenelemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren, 1982; Kozloff, 1990; Harrison dan De Vos, 1991; Ruppert dan Barnes, 1991; Pechenik, 1991). Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan berombak besar cenderung pertumbuhan spons pendek atau merambat. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan lebih stabil dibandingkan dengan jenis yang sama dan hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist, 1978; Amir dan Budiyanto, 1996). Banyak spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainya berwarna kuning, orange, merah atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorella yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Beberapa spons memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan gelap akan berbeda warnanya dengan spons jenis yang sama hidup pada lingkungan cerah (Wilkinson, 1980). 2.2
Pigmentasi dan makanan Menurut Romimohtarto dan Juwana (1999)bahwa pigmen atau warna yang
dimiliki oleh spons sangat beragam diantaranya adalah putih atau abu-abu, kuning, oranye, hijau atau merah. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang terdapat di dalamnya. Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya yang umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthelae). Wilkinson (1981) menyatakan bahwa simbiosis cyanobacteria berperan langsung pada pertumbuhan spons di lingkungan yang memiliki cahaya dibandingkan pada lingkungan yang gelap, hasil fotosintesis oleh cyanobacteria akan ditranslokasikan
pada spons dalam bentuk glycerol dan gula fosfat sebagai makanan, umumnya simbiosis dari cyanobacteria terjadi pada perairan dangkal (9-20m). Amir dan Budiyanto (1996) menambahkan bahwa spons yang hidup di lingkungan yang gelap, warnanya akan berbeda dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah dan ada juga berbeda jenis spons yang warna dalam tubuhnya berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons merupakan filter feeder yang menetap di dasar perairan, makanan spons terdiri dari detritus organik seperti bakteri, zooplankton dan fitoplankton yang mana secara efektif ditangkap oleh sel-sel bulu cambuknya. Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist, 1978). Partikel yang berukuran antara 2 – 5 µm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes, yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel yang berukuran antara 0.1 – 1.5 µm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh flagella sel-sel leher (collars). Gerak merombak pada gerakan sel leher (collars) menangkap pertikel makanan dan dibawa ke choanocytes, kemudian dicerna secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil dalam jumlah banyak bahan organik terlarut (DOM) secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca, 1990). Menurut Bell e.al. (1999) jenis ultraplankton yang dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus spp, Synechococcus- tipe cyanobakteri, dan picoeukaryotes autotropik. Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per milimeter kubik (Brusca dan Brusca, 1990).
2.3
Reproduksi
2.3.1 Cara reproduksi Cara reproduksi pada spons terbagi atas dua kategori, yaitu: ovipar dan vivipar. Kebanyakan ordo Astrophorida, Spirophorida, Hadromerida, Axinellida dari subkelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong ovipar, sedangkan ordo Homosclerophorida dari subkelas Homoscleromorpha, ordo Halichondrida, Poecilosclerida, Haplosclerida, Dictyoceratida, Dendroceratida dari subkelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong vivipar (Sara, 1992). Pada jenis spons yang ovipar, telur yang telah difertilisasi diletakkan di mesohyl, selanjutnya dikeluarkan dari tubuh spons kemudian menetas, sedangkan pada jenis spons yang vivipar, larva spons dikeluarkan dari tubuh spons dan berenang dengan bulu getarnya selama selang waktu tertentu sampai mendapat tempat menempel yang sesuai (Kozloff, 1990; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Salah satu bentuk ovipar pada beberapa spons dari kelas Demospongiae, telur dan awal embrio tersimpan pada rangkaian gelatin yang melekat pada permukaan bagian terluar induk betina spons, perkembangan tahap larva parenchymula terjadi pada pembungkus lendir ini (Brusca dan Brusca, 1990).
2.3.2
Reproduksi aseksual Sejumlah proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami, yang
dasarnya pada potensi perkembangan archaecytes. Proses ini temasuk pembentukan pucuk (bud formation), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth), pembentukan gemmule (gemmule formation) (Harrison dan De Vos, 1991). Kebanyakan spons, baik yang hidup di laut maupun yang hidup di air tawar, mempunyai cara reproduksi aseksual yang unik, yaitu pembentukan gemmule (Reseck, 1988; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Proses perkembangan gemmule pada spons ini berbeda dengan spons air tawar. Thesocytes diperoleh dari Choanocytes yang mengalami perubahan ke dalam bentuk archaeocytes peralihan, dan bentuk vitellogenesis jelas kelihatan. Pada penambahan aktifitas sintesis archaecytes,
cadangan senyawa diassimilasi melalui phagocytosis, pinocytosis dan terdapat pseudopodia berperekat atau batang sitoplasmaik antara thesocytes bagian depan dan nurse cells (Harrison dan De Vos, 1991). Gemmule mengandung kapsul spongin, spikula, dan dibungkus dengan archaeocytes yang mengandung cadangan makanan, seperti glycogen. Potongan-potongan spons yang patah dapat hidup dengan cadangan makanan yang ada ditubuhnya, kemudian beregenerasi membentuk tunas baru atau kompleks gemmule untuk menjadi spons dewasa (Bergquist, 1978). 2.3.3
Reproduksi seksual Seksualitas pada spons dapat dikelompokkan atas dua tipe, yaitu: (1)
Hermaprodit, yaitu jenis spons yang menghasilkan baik gamet jantan atau gamet betina selama hidupnya, tetapi menghasilkan gamet jantan dan gamet betina dalam satu waktu yang berbeda; (2) Gonokhorik, yaitu: jenis spons yang memproduksi hanya gamet jantan atau gamet betina saja selama hidupnya. (Reseck, 1988; Kozloff, 1990; Ruppert dan Barnes, 1991; Amir dan Budiyanto, 1996). Seksualitas bertipe gonokhorik, khususnya dari ordo Hadromerida didapatkan pada jenis Tethya crypta, Tethya auratum, Tethya citrina (Tethydae); Chondrosia reniformis, Chondrilla nuculai (Chondrosiidae); Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara, 1992), Xestospongia berquistia dan Xestospongia testudinaria (Fromont dan Bergquist, 1994). Selain itu didapatkan juga seksualitas bertipa gonokhorik labil (Labile gonochorism). Seksualitas bertipe seperti ini ditemukan pada spons jenis, Suberitas carnous (Hadromerida) dan Raspailia topsenti (Axinellida) (Sara, 1992). 2.4
Pertumbuhan Spons hidup dan tumbuh dengan cara melekat atau menempel pada beberapa
benda keras bawah laut seperti karang, bebatuan dan karang. Spons memiliki banyak perbedaan yang sangat beragam antara spesiesnya dalam hal ukuran, bentuk dan warna. Beberapa spons ada yang berukuran kecil sekecil butiran beras sampai berukuran besar dengan ukuran panjang lebih dari empat kaki. Dalam pertumbuhannya, bentuk luar
spons sangat bervariasi. Bentuk luar ini dapat berupa tabung, pengebor, merambat, masive, jari, bola, semi bola, bercabang-cabang, tugu dan sebagainya. Bentuk luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist, 1978; Amir dan Budiyanto, 1996). Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai jenis yang ukuran garis tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenisjenis spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Selain dipengaruhi oleh faktor lingkungannya, morfologi spons juga dipengaruhi oleh predator, kompetisi, serta ketersediaan cahaya. Pada perairan yang kaya akan nutrien spons yang mengalami pertumbuhan yang lebih cepat, secara umum makin banyak kandungan partikel makanan di dalam air yang mengelilingi spons, makin cepat spons akan tumbuh. Laju pertumbuhan koloni spons dapat berbeda satu sama lainnya karena dipengaruhi oleh perbedaan spesies, umur dan koloni. Koloni yang kecil atau muda cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan koloni dengan pertumbuhan masive. Perbedaan kecepatan pertumbuhan diduga karena adanya perbedaan antara kerangka dan jaringan spons. Selain itu, ketersediaan energi awal yang terkandung dalam setiap potongan benih juga mempengaruhi kecepatan pertumbuhan. Adapun parameterparameter kualitas perairan yang membatasi pertumbuhan spons antara lain cahaya, tingkat kecerahan, suhu, ombak, kekeruhan, sedimen dan kecepatan arus yang juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan spons (Soest dan Verseveldt, 1987 in Suharyanto, 2003).
2.5
Aspek ekonomi Spons adalah salah satu biota laut yang menghasilkan senyawa bioaktif (Haris,
2005). Spons merupakan bioprospecting. Banyaknya faktor dari spesies spons dan unsur kimia baru yang ditemukan, manfaat tersebut antara lain adalah sebagai antibakteri, antimirkoba, antijamur, antitumor, antivirus, antifouling, dan menghambat aktivitas enzim. Beberapa jenis spons telah digunakan untuk spons mandi sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini dapat diketahui melalui tulisan Homer dan beberapa penulis lain yang berasal dari jaman Yunani kuno (Brusca dan Brusca, 1990). Zhang et al., 2003 menyatakan bahwa lebih dari 10 % spons memiliki aktifitas citotoksik yang dapat yang berpotensial untuk bahan obat-obatan. Senyawa Bastadin 5 yang dihasilkan dari spons Ianthella basta, harganya bisa mencapai 9040 dollar AS (Rp 81 juta) per miligramnya, senyawa Bastadin 19 dari spons yang sama harganya mencapai 6870 dollar AS (Rp 60 juta) per miligramnya. 2.6
Faktor pembatas Menurut Duckworth (2003), parameter oseanografi yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan spons adalah silikat, nutrien, bahan organik terlarut (BOT), suhu dan salinitas. Pertumbuhan spons sangat dipengaruhi oleh kedalaman air, struktur dasar, arus air, suhu, level nutrien dan sedimentasi ( Storr, 1976 in Suharyanto, 2003). Bengen (2000) menyatakan bahwa keberadaan karang dalam perairan, termasuk biota yang berasosiasi disekitarnya, ditentukan oleh beberapa faktor pembatas bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, antara lain suhu air, kedalaman, salinitas air, perairan yang dan bebas dari sedimen. 2.6.1
Suhu Suhu air umumnya dianggap sangat penting diantara faktor eksternal yang
mempengaruhi gametogenesis pada spons dan hewan laut lainnya pada daerah yang perubahan musimnya besar (Sara, 1992; Fromont, 1994). Suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi organisme laut, karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan. De Voogd (2005) menyatakan spons tumbuh
pada kisaran suhu optimal 26 - 31ºC dan di daerah empat musim suhu merupakan faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons, berkaitan dengan perubahan suhu yang mencolok pada tiap musimnya. 2.6.2
Salinitas Organisme laut dapat hidup dengan kisaran 30-36 ‰ (Bengen, 2000). Spons
hidup pada salinitas 28-38‰ (De Voogd, 2005) dan lebih sensitif terhadap salinitas yang rendah (Osinga et al. 1999). Budidaya spons tidak dapat dilakukan di laut yang dekat dengan sumber air tawar seperti sungai dan danau karena dapat membunuh spons (MacMillan, 1996). Organisme laut dapat hidup dengan kisaran salinitas 30-36 permill (Bengen, 2000). 2.6.3 Kedalaman Kedalaman mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan. Penetrasi cahaya yang optimum memicu pertumbuhan dan metabolisme alga mikrosimbionya (Rani dan Haris, 2005). 2.6.4 Sedimentasi De Voogd (2005) menyatakan bahwa kekeruhan yang tinggi dapat meningkatkan laju sedimentasi pada permukaan spons, sehingga memaksa spons mengeluarkan energi lebih banyak untuk menghalau sedimen dengan jalan memproduksi lendir dalam jumlah banyak.
Produksi lendir yang banyak dapat
membuat spons mati lemas, karena secara efektif mengisolasi spons sehingga menghambat pertukaran air. Sedimentasi yang tinggi akan mematikan spons karena menutupi ostium dan oskulum. Pronzato et al. (1998) menambahkan, sedimentasi yang tinggi menyokong perkembangan bakteri pada bagian tubuh yang terluka. 2.6.4 Silikat Silikat merupakan unsur pembentuk spikula sebagai rangka pada spons sehingga spons dapat memiliki bentuk dan berdiri tegak (Duckworth, 2003). Spons tidak akan berdiri tegak tanpa adanya spikul atau spongin yang membentuk kerangka untuk
menopang tubuh sehingga memungkinkan adanya saluran dan ruangan berflagela (Romimohtarto dan Juwana, 2001). 2.6.5 Bahan organik Bahan organik memilki peranan penting dalam ekosistem laut sebagai sumber energi, makanan dan vitamin. Spons dapat memakan bahan organik terlarut dalam jumlah besar dari dalam air (Brusca dan Brusca, 2003).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Kondisi fisik kolam Kolam yang digunakan pada sistem tertutup berukuran panjang 5 meter, lebar 1
meter, tinggi 1.5 meter. Kolam pertama terbagi menjadi tiga bagian yakni bagian penyaringan, bagian pompa sirkulasi dan kolam pemeliharaan. Bagian penyaringan memiliki panjang 1 meter dan lebar 1.5 meter sedangkan pada bagian pompa memiliki ukuran panjang 1.25 meter dan lebar 0.5 meter. Kolam pemeliharaan spons kedua adalah tempat sebagian besar spons dipelihara. Kolom penyaringan terbagi menjadi beberapa lapisan yakni gravel besar, jaring, karang aktif dan gravel kecil. Kemudian pada bagian pompa air, air yang telah tersaring tersebut dipompakan kembali ke bagian kolam pemeliharaan dan kemudian masuk kembali ke penyaringan (resirkulasi) dan seterusnya. Kolam ketiga adalah kolam penampungan air laut yang diendapkan. Secara umum sistem kolam ini dikenal dengan sistem Double Tank In One System yaitu dua kolam dengan satu sistem dan satu kolam menjadi kolam utama (Gambar 5). Kolam 1
Kolam 2
Kolam 3
Gambar 5. Tampak Horizontal Kolam Aaptos aaptos 1, 2 dan 3 Arus sirkulasi perairan kolam terkontrol dimulai dari pompa yang mengambil air laut dari kolam penampungan (Gambar 3), kemudian air didistribusikan kembali dengan pompa yang dibantu dengan paralon (Gambar 4). Paralon tersebut menyemburkan air
sesuai dengan kemampuan pompa, bagian paralon yang mempunyai daya sembur yang kuat adalah yang dekat dengan pompa, bagian yang jauh dari pompa mempunyai daya sembur yang lebih rendah daripada yang dekat dengan pompa. Semburan dari paralon tersebut menciptakan arus di kolam buatan terkontrol sehingga perairan tertutup tersebut mempunyai arus, walaupun arus yang diciptakan tidak sebesar seperti yang ada di ekosistem aslinya. Arus tersebut berguna untuk pengadukan air, sirkulasi plankton, sirkulasi nutrien, pertukaran air dan penyaringan air yang sudah tidak layak dipakai didaur ulang kembali dengan sistem yang ada dari kolam satu ke kolam yang lain. Arus yang ditimbulkan dapat mengakibatkan pertukaran oksigen secara difusi yang akhirnya larut ke dalam air yang bermanfaat untuk spons. Arus yang terjadi di kolam pemeliharaan tidak berubah. Fungsi protein skimmer yaitu untuk memisahkan bahan padat yang terlarut di dalam air dengan cara pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung udara yang ditiupkan ke dalam suatu perairan. Pencahayaan dalam kolam berasal dari sinar matahari, untuk mencegah teriknya matahari maka dipasang paranet (Gambar 6).
Paranet Paranet Gambar 6. Paranet
4.2
Organisme pengganggu di kolam Biota yang ada di kolam tidak hanya spons, tetapi terdapat juga hama dan
ganggang. Ganggang tersebut tidak hanya menempel pada kolam, tetapi menempel pada spons, selang dan dinding-dinding yang tergenang oleh air laut di kolam.
Bertambahnya hama atau ganggang yang mengganggu maka akan menambah pula daya saing untuk mendapatkan makanan, oksigen dan nutrien yang cukup bagi spons. Spons dapat tertutupi oleh hama (Gambar 7A), sehingga pertumbuhan spons pun menjadi lambat dan akhirnya dapat menyebabkan mati. Hama dan ganggang juga tumbuh di dasar perairan (Gambar 7C). Ganggang merah dan hijau menutupi selang dan dasar kolam (Gambar 7B dan 7D). Hama Ganggang
Jamur putih pada spons A
B Ganggang
Ganggang dan Hama
C
D
Gambar 7A. Hama pada spons Aaptos aaptos. 7B. Ganggang pada selang. 7C. Hama dan Ganggang dasar kolam. 7D. Ganggang dasar kolam. 4.3
Kualitas air di kolam Parameter kualitas air yang diukur pada penelitian di kolam buatan terkontrol
meliputi parameter kimia dan parameter biologi yaitu suhu, salinitas, fospat, nitrat, silikat, amonia dan kelimpahan plankton. Nilai parameter kualitas perairan dapat dilihat pada Tabel 2 .
Berdasarkan hasil analisis kualitas perairan yang diperoleh Tabel 2, diketahui bahwa nilai parameter fisika dan kimia perairan di kolam terkontrol tidak jauh beda dengan yang berada di alam, hal ini disebabkan oleh sistem yang dipakai untuk kolam buatan terkontrol dibuat seperti dihabitat aslinya. Intensitas cahaya yang masuk ke perairan mempengaruhi dari pertumbuhan spons. Jernihnya air yang ada di kolam terkontrol disebabkan oleh proses pengadukan sedimen yang relatif sangat kecil. Hal ini disebabkan dari kekuatan arus yang dibuat, hanya terdapat di permukaan dan kolom perairan yang tidak dapat mencapai dasar perairan. Kecerahan yang tinggi berpengaruh terhadap spons secara fisik seperti sistem saluran airnya (ostia dan oskula), suplai makanan dan proses fotosintesis. Hasil proses fotosintesis dari mikrosimbion spons dapat berupa makanan dan oksigen yang dimanfaatkan untuk proses pertumbuhannya.
Tabel 2. Parameter Kualitas Air Kolam Buatan Terkontrol No.
Parameter
N)
Satuan
KA1
KA2
Baku Mutu
mg/l
0,391
0,08
0,3
1
Amonia ( NH3
2
Nitrat (NO)
mg/l
1,85
0,34
0,008
3
DO
mg/l
-
9,79
>5
4
pH
-
-
8
7-8,5
5
Silikat
mg/l
1,151
0,03
-
6
Fospat
mg/l
0,121
0,029
0,015
7
Salinitas
‰
32
33
33-34
8
Suhu
°C
28
29
28-30
Keterangan : KA1 = Nilai Parameter Kualitas Air pada tanggal 3 September 2007 KA2 = Nilai Parameter Kualitas Air pada tanggal 24 Januari 2008 Rendahnya nilai parameter amonia, nitrat, silikat, fospat pada KA2 tidak membawa pengaruh yang tinggi pada spons, walaupun nilai tersebut berada jauh dalam kisaran baku mutu air laut (Kep-51/MENLH/IV/2004). Spons dapat tumbuh pada kisaran suhu 26-31°C. Arus yang lambat dapat menyebabkan pengendapan sedimen pada tubuh spons sehingga mempengaruhi suplai makanan, oksigen dan menghambat pembuangan zat sisa-sisa dari hasil metabolisme spons keluar tubuhnya. Zat sisa yang dikeluarkan oleh spons harus dibuang jauh dari tubuhnya karena zat sisa tersebut tidak
lagi berisi cadangan makanan tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi tubuh (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Perbedaan yang mencolok dari nilai parameter kualitas diatas adalah amonia ( NH3 N ), nitrat (NO3), silikat (Si), dan fosfat. Pada KA1 didapatkan nilai yang lebih
tinggi dari KA2 dikarenakan pada pengambilan KA1 terakumulasinya pakan buatan yang diberikan spons sebelum difragmentasi dan zat-zat sisa metabolisme spons dan biota yang ada di kolam. Pada KA2 terdapat nilai DO yaitu sebesar 9,75 dan nilai pH sebesar 8, untuk nilai DO tersebut di atas nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Kep51/MENLH/IV/2004, sedangkan untuk nilai pH merupakan nilai yang normal dalam suatu ekosistem. Ammonia yang tinggi akan bersifat toksik atau adanya pencemaran bahan organik bila terionisasi menjadi ammonium, ammonia yang dihasilkan kemungkinan berasal dari spons yang mengalami stress akibat terjadinya penumpukan pakan buatan, gangguan hama dan proses metabolisme dari biota-biota yang hidup di perairan. Nitrat merupakan hasil akhir dari oksidasi nitrogen dalam air laut. Effendi (2003) menytakan bahwa nitrat merupakan senyawa mikronutien pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eutrofotik. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokan tingkat kesuburan perairan. Nilai nitrat pada kedua pengambilan kualitas air melewati baku mutu air laut sehingga dapat dikatakan bahwa nutrien perairan di kolam buatan terkontrol cukup tinggi. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan, 1972), fosfor merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Nilai fosfat pada kedua pengambilan kualitas air melewati baku mutu air laut sehingga dapat dikatakan bahwa nutrien perairan di kolam buatan terkontrol cukup tinggi. Silikat merupakan unsur penting pembentuk spikul pada rangka spons. Nilai silikat pada KA1 adalah 1,151 mg/l dan pada KA2 adalah 0,03 mg/l.
4.4
Kelimpahan plankton Pengambilan plankton di dalam kolam buatan bertujuan untuk mengetahui
plankton apa saja yang ada di kolam buatan beserta kelimpahannya. Air yang digunakan untuk pemeliharaan spons berasal dari Gelanggang Samudera Ancol setelah mealui tahap-tahap penyaringan, dari air yang telah disaring masih terdapat plankton yang ada di air tersebut. Plankton tersebut juga sebagai salah satu sumber makanan dari spons yang bersifat filter feeder. Sumber makanan yang diberikan tidak hanya dari plankton yang sudah ada di air kolam, adanya penambahan makanan buatan yang bersifat sebagai penambah atau perangsang pertumbuhan dari plankton dan ganggang juga diberikan. Plankton yang didapatkan di kolam buatan adalah zooplankton dan fitoplankton. Jumlah yang didapatkan fitoplankton lebih banyak dari zooplankton yaitu lima taksa untuk fitoplankton dan dua taksa untuk zooplankton. Pada fitoplankton didapatkan spesies Biddulphia sp, Fragilaria sp, Nitzschia sp, Coscinodiscus sp, dan Peridium sp, sedangkan untuk zooplankton sendiri spesiesnya adalah Nauplius sp, Ueterpina sp. Tabel 3 A. Kelimpahan Fitoplankton (Ind/L). B. Kelimpahan Zooplankton (Ind/L). ORGANISME BACILLARIOPHYCEAE : Biddulphia sp. Fragilaria sp. Nitzschia sp. Coscinodiscus sp. DINOPHYCEAE : Peridium sp. Jumlah Taksa Kelimpahan (Ind/m3) Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominasi
Air Laut 637.200 17.816.400 10.800 10.800 3.600 5 18.514.800 0.17 0.10 0.93
ORGANISME
Air Laut
COPEPODA : Nauplius sp.
637.200
Ueterpina sp.
17.816.400
Jumlah Taksa
2
Kelimpahan (Ind/m3)
3.055
Indeks Keanekaragaman
0.50
Indeks Keseragaman
0.72
Indeks Dominasi
0.64
Kelimpahan individu fitoplankton sebesar 18.514.800 ind/l, sedangkan kelimpahan individu zooplankton sebesar 3.055 ind/l. Indeks keragaman fitoplankton sebesar 0.17, indeks keseragaman 0.10, indeks dominasi 0.93, sedangkan untuk zooplankton indeks keragamannya sebesar 0.50, indeks
keseraagaman 0.72, indeks dominasi 0.64. Pada Tabel 3A dan 3B dapat diketahui bahwa nilai kelimpahan fitoplankton lebih tinggi dari zooplankton, nilai indeks keragaman dan keseragaman zooplankton lebih tinggi dari pada nilai fitoplankton dikarena hanya ada dua spesies yang didapatkan dari zooplankton. Pada sistem pola tertutup plankton yang ada di kolam tidak berubah karena tidak adanya faktor luar yang mempengaruhi kolam. Warna plankton sangat dipengaruhi makanan yang dimakan oleh spons, selanjutnya makanan yang dikonsumsi oleh spons mempengaruhi warna dan seluruh anggota tubuh spons. Menurut Osinga (1998) plankton yang ada di spons dapat dideteksi setelah dua jam pemberian pakan. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik (zoochlorellae) yang terdapat di dalamnya. Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya yang umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthelae). Setelah pemberian pakan selama 24 jam, masih terlihat beberapa sel spons masih utuh tetapi yang tampak pada kasat mata adalah warna spons yang mengalami perubahan merah atau hijau, hal ini menunjukkan bahwa alga tersebut dicerna oleh spons (Osinga, 1998). Wilkinson (1981) menyatakan bahwa simbiosis cyanobacteria berperan langsung pada pertumbuhan spons di lingkungan yang memiliki cahaya dibandingkan pada lingkungan yang gelap. Hasil fotosintesis oleh cyanobacteria akan ditranslokasikan pada spons dalam bentuk glycerol dan gula fosfat sebagai makanan. Umumnya simbiosis dari cyanobacteria terjadi pada perairan dangkal (9-20 m). Amir dan Budiyanto (1996) menyatakan bahwa spons yang hidup di lingkungan yang gelap, warnanya akan berbeda dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah dan ada juga beberapa jenis spons yang warna dalam tubuhnya berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Cahaya yang masuk ke kolam tidak hanya mempengaruhi peran dari simbiosis cyanobacteria tapi juga mempengaruhi biota lain seperti plankton dan alga.
4.5
Perkembangan fragmen Aaptos aaptos Brusca dan Brusca in Pong-Masak (2002) menyatakan spons memiliki
kemampuan dalam meregenerasikan bagian tubuhnya yang hilang seperti melapisi luarnya yang terluka melalui proses regenerasi sel sampai menjadi individu baru. Perkembangan awal spons dari alam dibawa ke kolam dengan sangat hati-hati, spons diambil pada pagi hari karena suhu pada saat pengambilan, pengemasan, dibawa ke kolam dan sampai pada kolam tetap stabil. Spons yang diambil dari alam dibawa beserta substrat yang menempel pada spons. Subtrat yang menempel pada spons untuk mengurangi luka atau memaksimalkan adaptasi yang dilakukan oleh spons yang berasal dari alam. Sedangkan untuk spons hasil transplantasi, pengambilannya dibawa beserta dengan kabel ties yang menempel pada spons.
Gambar 8. Pengemasan Spons Aaptos aaptos untuk dibawa kekolam Pengemasan dilakukan di kapal dan langsung dibawa di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan ITK-IPB Ancol untuk segera diletakkan pada kolam buatan. Jika tidak segera dibawa ke kolam akan menyebabkan kematian pada spons, karena kekurangan oksigen. Setelah sampai di Ancol, spons tersebut harus segera dimasukan ke kolam, tetapi sebelum dimasukkan ke dalam kolam spons perlu aklimatisasi terlebih dahulu dengan cara meletakkan spons beserta kemasannya yang penutupnya dibuka agar dapat sirkulasi udara yang ada didalam plastik keluar dan diganti dengan udara yang baru (Gambar 9). Aklimatisasi spons dilakukan agar suhu yang ada di kemasan
sama dengan kolam, setelah itu spons dimasukkan ke keranjang yang dialiri oleh arus dapat pada gambar 10A dan 10B.
Gambar 9. Spons Aaptos aaptos tiba di kolam
C
D
Gambar 10A. Spons Aaptos aaptos yang baru tiba di kolam dikeranjang kecil. 10B. Spons Aaptos aaptos yang baru tiba di kolam dikeranjang besar Pada awal pengamatan, fragmen spons sudah mengalami aklimatisasi terlebih dahulu selama satu bulan. Hari kedua penempatan spons di kolam buatan terkontrol banyak yang mengalami kematian pada awal aklimatisasi, spons tersebut mengalami pemutihan (bleaching) yang disebabkan oleh hilangnya sebagian mikrosimbion pada
jaringan spons dan diduga semacam jamur berwarna putih yang menempel akibat dari aklimatisasi lingkungan aslinya ke habitat buatan, bau busuk yang keluar dari spons ketika dibaui dan kontur tubuh spons yang sebelumnya keras menjadi lembek (Gambar 11). Gejala tersebut dapat dilihat pada hari ketiga (Gambar 11) setelah penempatan spons di kolam buatan, jamur tersebut dapat meluas seiring matinya spons secara perlahan-lahan. Sebelumnya hanya sebagian anggota tubuh spons yang terkena jamur tersebut. Kontur spons yang semakin lama menjadi lunak sehingga menyebabkan spons hancur dan lama kelamaan terlarut dalam air dan terbawa arus (Gambar 12). Larutnya spons yang mati ke dalam kolam maka dapat menyebabkan air yang ada di kolam menjadi tercemar oleh racun yang dihasilkan oleh spons yang mati. Setelah spons mati maka air yang tercemar oleh spons diganti oleh air laut yang baru sedalam 40 cm dari ketinggian permukaan kolam untuk diganti dengan air laut yang baru dari kolam penampungan air, kolam pun dapat ditaruh spons lagi setelah dua hari air tersebut berada di kolam pertama.
Jamur putih pada spons
Gambar 11. Hari kedua gejala kematian spons Aaptos aaptos Kematian pada awal pengambilan spons terjadi karena kelalaian. Pada saat spons diambil dari alam tidak langsung diletakan ke wadah penampungan. Spons adalah filter feeder sehingga spons harus tetap di dalam air untuk dapat melakukan segala aktifitasnya di dalam air. Pada awal penelitian spons selalu terlihat gejala
kematian spons pada hari kedua dan dilanjutkan kematiannya pada hari ketiga. Berhasilnya spons untuk hidup di kolam pada pengambilan keempat spons dari alam dan transplantasi.
Konstur spons yang lunak
Jamur putih pada spons
Gambar 12. Hari ketiga gejala kematian spons Aaptos aaptos Masa krisis hidup spons pemindahan dari alam ke kolam adalah antara dua sampai empat hari, setelah berhasil hidup di kolam maka spons diletakan ke dalam dasar kolam. Spons yang telah adaptasi di kolam selama satu bulan kemudian dipotong untuk transplantasi. Spons yang dipotong adalah spons yang berasal dari transplantasi sebelumnya yang sudah dilakukan di alam (Gambar 13).
Gambar 13. Pemotongan spons Aaptos aaptos Pemotongan spons dilakukan pada sore hari untuk meminimalkan tingkat stress dari spons seperti perubahan suhu. Jika di potong pada pagi hari maka perubahan suhu dan panas matahari akan mengganggu spons dalam adaptasi setelah difragmentasi. Setelah difragmentasi spons diletakkan di rak yang telah disiapkan. Adapun dasar rak sudah diisi oleh gravel atau karang mati untuk tempat menempel spons pada substrat.
Rak yang sudah diisi oleh spons ditaruh pada kolom kolam selama semalaman agar spons yang telah ditransplantasi terkena arus, jika tidak terkena arus akan mengakibatkan penutupan luka pada spons tertutup oleh nutrien-nutrien yang mengganggu proses penyembuhan spons. Setelah semalaman diletakkan pada kolom perairan maka pada pagi harinya maka rak tersebut diletakkan pada dasar kolam. Pengamatan selanjutnya pada pagi hari untuk melihat perubahan yang terjadi setelah dilukai, akan tetapi berdasarkan pengamatan tidak ada perubahan yang terjadi setelah dilukai. Pengamatan yang selanjutnya dilakukan seminggu sekali. 4.6
Pertumbuhan fragmen Aaptos aaptos Pertumbuhan merupakan proses pertambahan ukuran baik panjang, lebar dan
tinggi maupun volume yang dapat mencirikan sifat hidup suatu individu atau spesies (Syahrir, 2003). Duckworth 2003 in Haris (2005) menyatakan perbedaan luka atau ukuran luka yang digoreskan pada fragmen akan menyebabkan kerusakan suatu jaringan yang dapat menghambat kecepatan regenerasi suatu fragmen pertumbuhan. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah ukuran fragmen, umur fragmen, bentuk morfologi dan faktor lingkungannya. Dari hasil pengamatan sebelumnya, fragmen spons AA yang sudah dipotong memiliki total pertumbuhan P1 di Barat Gugusan Pulau Pari selama 177 hari pada ST1 sebesar 1,97 cm, ST2 sebesar 2,13 cm, sedangkan total pertumbuhan P1 pada fragmen kontrol (tanpa luka) sebesar 3.82 cm, luka 1 sebesar 2.17 cm. Pada pertumbuhan P1, total pertumbuhan fragmen kontrol (tanpa luka) selama 177 hari relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fragmen lainya dan untuk fragmen pada ukuran 1 cm2, respon pertumbuhannya mengalami penurunan dari awal (Mursalin, 2007). Berdasarkan hasil penelitian kolam buatan terkontrol di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan ITK-IPB Ancol selama sembilan minggu, didapatkan hasil rata-rata pertumbuhan panjang perminggu sebesar 3.0573 mm, sedangkan selisih rata-rata pertumbuhan panjang perminggu sebesar 0.0222 mm ( Gambar 14). Pada minggu ke-5 terjadi penurunan pertumbuhan disebabkan salahnya penulisan pada saat pengambilan data (paralaks mata). Pada minggu kedua adanya kematian yang dialami oleh fragmen spons pada awal penelitian, kematian tersebut diduga dikarenakan oleh hilangnya
sebagian mikrosimbion pada jaringan spons dan adanya semacam jamur berwarna putih yang menempel pada luka spons, stressnya biota karena luka atau goresan dan lingkungan tempat dimana spons diletakan . Kandungan ammonia yang tinggi merupakan penyebab lain kematian pada fragmen spons, kandungan ammonia yang tinggi bersifat toksik atau adanya pencemaran bahan organik bila terionisasi menjadi ammonium. Ammonia yang dihasilkan dimungkinkan berasal dari spons yang mengalami stress dikarenakan pemotongan spons, proses metabolisme dari biota-biota yang hidup diperairan. Kandungan amonia yang dihasilkan pada kolam buatan terkontrol sangat cukup dan telah melewati baku mutu air laut (Kep51/MENLH/IV/2004). Selanjutnya dalam pengambilan kualitas air kedua (KA2), didapat nilai amonia yang lebih rendah dari baku mutu air laut hal ini terjadi karena berkurangnya zat buang atau sisa-sisa metabolisme dari spons atau biota lain yang ada di kolam buatan terkontrol.
Gambar 14. Histogram Rata-rata Laju Pertumbuhan Panjang Spons Aaptos aaptos
Berdasarkan hasil penelitian kolam buatan terkontrol di Laboratorium IPB Ancol, Jakarta Utara-DKI selama sembilan minggu, didapatkan hasil rata-rata pertumbuhan lebar perminggu sebesar 2.2713 mm, sedangkan selisih rata-rata pertumbuhan lebar perminggu sebesar 0.0109 mm (Gambar 15).
Gambar 15. Histogram Rata-rata Laju Pertumbuhan Lebar Spons Aaptos aaptos Pada minggu kedua terdapat kematian yang dialami oleh fragmen spons pada awal penelitian, kematian tersebut diduga dikarenakan oleh hilangnya sebagian mikrosimbion pada jaringan spons dan adanya semacam jamur berwarna putih yang menempel pada luka spons, stressnya biota karena luka atau goresan dan lingkungan tempat dimana spons diletakan. Awal penelitian didapatkan kandungan ammonia yang tinggi. Kandungan ammonia yang tinggi merupakan penyebab lain kematian pada fragmen spons, kandungan ammonia yang tinggi bersifat toksik atau adanya pencemaran bahan organik bila terionisasi menjadi ammonium. Ammonia yang dihasilkan dimungkinkan berasal dari pakan buatan yang diberikan sebelumnya secara terus menerus sehingga terakumulasi di kolam buatan terkontrol dan proses metabolisme dari biota-biota yang hidup di kolam buatan terkontrol. Kandungan amonia pada pengambilan KA1 adalah 0,391 mg/l yang dihasilkan pada kolam buatan terkontrol melewati baku mutu air laut (Kep-51/MENLH/IV/2004) yaitu sebesar 0,3 mg/l. Selanjutnya dalam pengambilan KA2 adalah 0,08 mg/l memiliki nilai amonia yang lebih rendah dari baku mutu air laut sebesar 0,3 mg/l hal ini terjadi karena berkurangnya zat buang atau sisa-sisa metabolisme dari spons atau biota lain yang ada di kolam buatan terkontrol. Nitrat dapat berperan sebagai nutrien di perairan yang memungkinkan adanya plankton sebagai sumber makanan spons, sebagian besar spons mengkonsumsi plankton dan kolamteri melalui penyerapan (filter feeder) sekitar 70% (Pong-Masak, 2005). Sehingga membantu fragmen spons dalam proses multiplikasi dan pertumbuhannya.
Davy et al (2002) menyatakan bahwa ekskresi hasil simbiotik spons akan ditranslokalisasikan untuk pertumbuhan alga yang digunakan oleh fragmen spons dalam proses pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Menurut Wilkinson (1981) 60% volume spons mengandung mikrosimbion pada jaringannya. 4.7
Sintasan/Tingkat kelangsungan hidup fragmen Aaptos aaptos Sintasan merupakan gambaran suatu individu dalam mempertahankan hidupnya
pada selang tertentu, baik secara biologis maupun fisiologisnya dari pengaruh faktorfaktor lingkungan di sekitarnya. Pada penelitian ini, fragmen spons yang dijadikan sebagai objek penelitian merupakan hasil dari translokasi fragmen yang sudah difragmentasikan (F1) kemudian difragmentasikan kembali (F2). Fragmen F1 merupakan hasil pemotongan induk spons di alam dan ditransplantasikan dengan selang waktu 177 hari kemudian fragmen F1 tersebut difragmentasikan kembali yang dikategorikan sebagai F2 (hasil pemotongan induk spons yang sudah ditransplantasikan (F1)). Dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa fragmen spons yang dipotong dari hasil transplantasi diperoleh sintasan pada stasiun 1 sebesar 47,5% dengan kisakaan 0-100% dan stasiun 2 sebesar 88,3% dengan kisaran 70-100% dan sintasan dari berbagai macam perlakuan sebesar 100% pada fragmen kontrol (tanpa luka), luka 1 sebesar 77,5% dengan kisaran 55-100%, luka 2 sebesar 67,5 % dengan kisaran 40-95%, luka 3 sebesar 65% dengan kisaran 55-75%, luka 4 sebesar 62,5% dengan kisaran 35-90% dan sintasan pada fragmen ukuraan 1 cm2 sebesar 35% dengan kisaran 0-70% (Mursalin, 2007). Hasil transplantasi spons di kolam diperoleh sintasan sebesar 91,84% dengan kisaran 0-100% selama sembilan minggu, tinggi sintasan yang diperoleh disebabkan luka yang didapatkan spons hanya satu permukaan, aklimatisasi dari spons di kolam yang sudah dilakukan sebelum melakukan transplantasi (Gambar 16). Spons Aaptos aaptos yang difragmen sebanyak 49 buah, sintasan pada minggu pertama spons Aaptos aaptos sebesar 100% dengan kisaran 0-100% dengan jumlah spons Aaptos aaptos sebanyak 49 buah.
Gambar 16. Grafik Hasil Sintasan Jumlah Spons Aaptos aaptos di Kolam Buatan Terkontrol Minggu kedua sampai minggu keempat sintasannya sebesar 93,88% dengan kisaran 0-100% dengan jumlah spons Aaptos aaptos sebanyak 46 buah, sedangkan untuk minggu kelima sampai minggu kesembilan didapatkan sintasan sebesar 91,84% dengan jumlah spons Aaptos aaptos sebanyak 45 buah (Gambar 17).
Gambar 17. Grafik Hasil Sintasan Jumlah (%) Spons Aaptos aaptos di Kolam Buatan Terkontrol Kualitas air yang ada di kolam memenuhi dari standar baku mutu Kep51/MENLH/IV/2004 sehingga kualitas air yang ada di kolam tidak membawa pengaruh yang besar terhadap spons dalam melakukan penyembuhan luka. Sedikitnya tingkat pengendapan di kolam, tidak adanya predator dan sirkulasi air yang tidak ada hambatan sebagai salah satu faktor yang mendukung dari tingginya sintasan spons yang ada di kolam.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Fragmentasi spons yang diambil dari alam diambil beserta dengan substrat yang
menempel pada spons, sebelum dilakukan transplantasi harus terlebih dahulu diaklimatisasi selama kurang lebih empat mingggu. Untuk pengemasan spons dilakukan pada saat masih di habitat aslinya dan dilakukan seperti pengemasan ikan hias air laut. Berdasarkan hasil penelitian selama sembilan minggu didapatkan hasil rata-rata pertumbuhan panjang perminggu sebesar 3.0573 mm, untuk hasil rata-rata pertumbuhan lebar perminggu sebesar 2.2713 mm dan hasil sintasan diperoleh sebesar 89% dengan kisaran 0-100%. Dapat bertahan hidup dengan pertumbuhan yang sangat lambat disebabkan oleh pakan yang terbatas.
5.2
SARAN Untuk mengkaji pertumbuhan dan sintasan spons diperlukan penelitian lebih
lanjut, baik dari spons yang ada di alam maupun yang sudah difragmentasi terlebih dahulu atau belum difragmentasi sehingga dapat diketahui hasil perbandingan antara spons dari alam dan hasil transplantasi.
DAFTAR PUSTAKA Amir, I. dan A. Budiyanto. 1996. Mengenal spons laut (Demospongiae) secara umum. Oseana, XXI(2): 15–31. Bell, A. H., P. R. Bergquist dan C. N. Battershill. 1999. Feeding Biology of Polymastia Crosceus. Memoir of the Queensland Museum 44: 51 – 56. Bergquist, P. R. 1968. The Marine Fauna of New Zealand: Porifera, Demospongiae, Part 1 (Tetractinomorpha and Lithistida). New Zealand Department of Scientific and Insdustrial Research. New Zealand oceanographic Institute Memoirs No. 37.9 – 104. Bergquist, P. R. 1978. Sponss. Hutchinson. London. Davy, S. K., D. A. Trautman, M. A. Borowitzka, dan R. Hinde. 2002. Ammonium excretion by a symbiotic sponge supplies the nitrogen requirements of its rhodophyte partner. The Journal of Experimental Hiology. 2005. hlm 3505-3511. De Voogd, N. J. 2005. Indonesian sponges: Biodiversity and marincultured potential. Geboren te Dodgrecht, Netherlands. 174 h. Duckworth A. R., C. N. Battershill, D. R. Scheil, dan P. R. Bergquist. 1999. Farming Sponges for the Production of Bioactive metabolites. Memoir of the Queensland Museum 44: 155 – 159. Duckworth, A. R. 2003. Effect of Wound Size on the Growth and Regeneration of Two Temperature Subtidal Sponge. J. EXP. Mar. Biol. Ecol. 287: 139-153p Fromont, J. dan P. R. Bergquist. 1994. Reproductive Biology of Three Sponge Species of the Genus Xestospongia (Porifera: Demospongiae: Petrosida) from the great Barrier Reef. Coral Reef (1994) 13: 119 – 126. Harrison, F. W. dan L. De Vos. 1991. Porifera. Di dalam: Harrison F. W, Westfall J. A (ed.). Microscopic Anatomy of Invertebrates. Volume 2. Placozoa, Porifera, Cnidaria, and Ctenophora. Wiley-Liss. A John Wiley & Sons, Inc., Publication. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore. hlm 28 – 29. Haywood, M. dan Wells. 1989. Manual of Marine Invertebrates. Published by
Salamander Books Limited. London, New York. Hlm 10 – 13. http://beginer.multiply.com/journal/item/5 (16 agustus 2009). http://majidundip.blogspot.com/2008/08/budidaya-terumbu-karang-dan-spons-laut.html (16 agustus 2009). http://o-fish.com/Filter/protein_skimmer.php (2 Juni 2008). http://o-fish.com/AkuariumLaut/living_system.php (5 Mei 2009). http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Imuntakspesifik.html (4 mei 2009). Kozloff, E. N. 1990. Invertebrates. Saunders College Publishing. Hlm 73-92. MacMillan. 1996. Starting a Succesful Commercial Sponge Aquaqulture Farm. CTSA Publication. Hawai. 19h. Osinga, R., P. B. Beukelaer, J. Tramper dan R. H. Wijffels, 1998. Growth of the sponge Pseudosuberites (aff.) andrewsi in a closed system : applications for biotechnology. Trends Biotechnol. Wageningen University. Holland. 16, 158. Pechenik, J. A. 1991. Biology of the Invertebrates. Second Edition. Dubuque, USA: Wm. C. Brown Publisher. hlm 63 – 76. Pong – Masak, P. R. 2003. Studi Budidaya Sponge (Auletta sp) secara Transplantasi pada Substrat Berbeda. Maritek. (3)1: 1 – 9. Pronzato, R., G. Bavestrello, C. Cerrano, G. Magnino, R. Manconi, J. Pantelis, A. Sara dan Sidri M. 1999. Spons Farming in the Mediterranian Sea: New Perspectives. Memoir of the queensland Museum 44: 485-491 Rachmaniar, R. 1995. Penelitian Produl Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1995/1996. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi. Rani, C. dan A. Haris. 2005. Metode Transplantasi Spons Laut Aaptos aaptos dengan Teknik Fragmentasi di Terumbu Karang Pulau Barranglompo, Makasar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makasar. Torani. Vol 15(2): 106-114
Reseck, J. Jr. 1988. Marine Biology. Second Edition. A Reston Book. Pretice Hall, englewood Cliff, N. J. 07632. hlm 165 – 169. Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. Hal. 115– 128. Ruppert, E. E. dan R. D. Barnes. 1991. Invertebrates Zoology. Sixth Edition. Sauders College Publishing. Philadelphia, New York, Chicago, San Fransisco, Montreal, Toronto, London, Sidney, Tokyo. hlm 68 – 91. Sara, M. 1992. Porifera. Di dalam: K. G. Adiyodi, dan R. G. Adiyodi (ed.). Reproductive Biology of Invertebrates. Volume V. Sexual differentiation and Behavuior. John Wiley & Sons Chisester, New York, Brisbaane, Toronto, Singapore. hlm 1 – 29. Syahrir, M. 2003. Studi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Scleractinia, Coenothecalia dan Stolonifera yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suharyanto, 2003. Beberapa Aspek Biologi Sponge (Auletta Sp.) di Perairan Pulau Barranglompo Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. (9)1: 6166. Warren, L. 1982. Encyclopedia of Marine Invertebrates. Di dalam: Walls JG (ed.). hlm 15 – 28. Wilkinson, C. R. 1980. Cyanobacteria Symbiotic in Marine Sponges. Di dalam: Schwemmler (ed.). Endocytobiology: Endosymbiosis and Cell Biology. Walter de Gruyter. Berlin. hlm 553 – 563. Wilkinson, C. R. 1981. Significance of Sponges with Cyanobacterial Symbionts on Davies Reef, Greet Barrier Reef. Proceeding of Fourth International Coral Reef Symposium, Manila, 1981, Vol 2.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kolam buatan terkontrol.
Lampiran 2. Kolam pemeliharaan.
Lampiran 3. Kolam filter.
Lampiran 4. Kolam penampungan air laut.
Lampiran 5. Spons Aaptos aaptos tiba di kolam buatan terkontrol.
Lampiran 6. Spons Aaptos aaptos setelah satu hari di kolam buatan terkontrol.
Lampiran 7A, B dan C. Spons Aaptos aaptos setelah dua hari di kolam buatan terkontrol.
A
B
C Lampiran 8. Pengemasan Spons Aaptos aaptos untuk dibawa ke kolam buatan terkontrol.
Lampiran 9. A dan B proses aklimatisasi untuk spons Aaptos aaptos.
A
B
Lampiran 10. Spons Aaptos aaptos dipotong.
Lampiran 11A dan B. Spons Aaptos aaptos setelah dipotong.
A
B