PENAPISAN SENYAWA BIOAKTIF SPONS Aaptos aaptos DAN Petrosia sp. DARI LOKASI YANG BERBEDA
MEUTIA SAMIRA ISMET
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari Lokasi yang Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2007 Meutia Samira Ismet NRP C651040131
ABSTRAK MEUTIA SAMIRA ISMET. Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari Lokasi yang Berbeda. Dibimbing oleh Dedi Soedharma dan Hefni Effendi. Spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. diketahui memiliki potensi bioaktivitas yang tinggi. Perbedaan habitat spons dapat berpengaruh terhadap potensi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penapisan senyawa bioaktif kedua jenis spons tersebut, menganalisa kandungan senyawa ekstrak kasar spons dan bioaktivitas antibakteri masing-masing senyawa, melihat pengaruh lingkungan terhadap aktivitas senyawa, serta melihat kaitan biomassa sel spons dan isolat bakteri terhadap bioaktivitas senyawa ekstrak kasar kedua jenis spons tersebut. Sampel spons diambil dari dua lokasi (Barat dan Selatan P. Pari) dengan kondisi substrat yang berbeda, yaitu pasir berlumpur dan karang. Bioaktivitas sampel spons dianalisa dengan metode difusi agar terhadap Escheria coli, Staphylococcus aureus, dan Aeromonas hydrophilla (Ah), serta uji toksisitas terhadap Artemia salina (As). Kandungan senyawa ekstrak kasar kedua spons difraksinasi dan dianalisa menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (TLC). Aktivitas antibakteri kandungan senyawa hasil TLC dianalisa dengan metode bioautografi terhadap (Ah). Penentuan biomassa dan struktur sel spons dilakukan dengan pengamatan histologi dan pemisahan fraksi sel menggunakan sentrifugasi. Analisa data dilakukan secara deskriptif (kualitatif) untuk menapis senyawa bioaktif kedua jenis spons, melihat pengaruh lingkungan dan kaitan biomassa serta isolat bakteri simbion terhadap bioaktivitas senyawa ekstrak kasar kedua jenis spons. Analisa korelatif dilakukan untuk melihat hubungan antara bioaktivitas antibakteri dan toksisitas terhadap (As) senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Tingkat bioaktivitas kedua jenis spons yang berasal dari alam memiliki kisaran yang beragam untuk tiap habitat pada masing-masing lokasi pengambilan sampel. Sampel hasil transplantasi spons Aaptos aaptos memiliki tingkat bioaktivitas yang cenderung sama, semetara spons Petrosia sp. hasil transplantasi menunjukkan tingkat bioaktivitas yang tidak seragam. Tidak terdapat korelasi antara tingkat bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons dengan toksisitasnya terhadap (As). Hasil Kromatografi Lapis Tipis (TLC), di bawah sinar uv pada 254 dan 365 nm, terhadap kedua jenis spons menunjukkan bahwa fraksi organik Aaptos aaptos mengandung 6 senyawa yang terpisah. Sementara hasil TLC pada spons Petrosia sp. menunjukkan bahwa fraksi organiknya mengandung 3 senyawa terpisah, dan 4 senyawa dari fraksi semi organik. Spons Aaptos aaptos memiliki struktur tubuh yang lebih lunak, dengan fraksi penyusun skeleton mencapai 55,9%, fraksi sel spons 14,2% dan fraksi bakteri 29,9%. Spons ini juga memiliki 8 bakteri simbion yang berhasil diisolasi, yaitu tiga isolat Bacillus sp., Staphylococcus sp., dua isolat Acinetobacter haemolyticus, Xenorhabdus nemathophillus, dan Vibrio algynolyticus. Sementara spons Petrosia sp. memiliki struktur tubuh yang lebih kaku dengan komponen penyusun skeleton yang sangat dominan (68,6%), dan sel spons serta fraksi bakteri simbion dalam jumlah kecil (19,7% dan 11,7%). Bakteri simbion tidak berhasil diisolasi dari spons ini, namun ditemukan dua isolat fungi yang belum teridentifikasi. Morfologi spons dan bakteri simbion merupakan faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi bioaktivitas dan kandungan senyawa kedua jenis spons tersebut, selain habitat spons tersebut.
ABSTRACT MEUTIA SAMIRA ISMET. Screening of Bioactive Compounds of Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Sponges from Different Location. Supervised by Dedi Soedharma dan Hefni Effendi. Aaptos aaptos and Petrosia sp. sponges are known for their high potential of bioactive compounds. Differences in sponge habitat may influence the sponge bioactivity. The objectives of this research were to screen the bioactive compound of those two sponges species, to analyze sponge raw extract compounds and the antibacterial activity of bioactive compounds, to determine the environmental effect on sponges bioactivity, and to observe the correlation of sponge’s cell biomass and bacteria-associated isolates on sponges raw extracts bioactivity. Sponge samples were taken from two locations (West- and South- side of Pari Island) with different substrate condition (muddy-sand and rubble). Sponges bioactivity was analyzed using agar diffusion method against Escherichia coli; Staphylococcus aureus; and Aeromonas hydrophylla; meanwhile the toxicity was examined against the Artemia salina. The compound of both sponges raw extract was fractionated and analyzed using Thin Layer Chromatography (TLC). Antibacterial activity of TLC results of raw compounds was analyzed using bioautography method against Aeromonas hydrophilla. Sponges cell biomass and cell structure determinations used histological observation and centrifugal cell fractionation. Data analyses were done qualitatively (descriptive) on both sponges bioactive compound screening, to determine the environmental effects and correlation of sponges biomass and bacteria-associated isolates on sponges raw extract bioactivity. Whilst the Correlation Analysis was done to examine the correlation between antibacteria and toxicity bioactivity of both sponges raw extract. The Aaptos aaptos and Petrosia sp. from natural habitat denoted a varied range of bioactivity for each habitat in different location (West- and South- side of Pari Island). Transplanted samples of Aaptos aaptos showed relative similar bioactivity, which was contrary with the transplanted Petrosia sp. There was no correlation between antibacterial bioactivity and toxicity of the sponge raw extract. TLC results, under uv light (254 and 365 nm), pointed out that the organic fraction of Aaptos aaptos produced 6 different compounds; whilst there were only 3 different compounds from the Petrosia sp. organic fraction and 4 compounds from its semi-organic fraction. Aaptos aaptos has soft body, with skeleton-forming fraction up to 55.9%, sponge cell 14.2%, and bacterial fraction 29.9%. It also contains 8 identified symbiotic-bacterial isolates: Bacillus sp. (3 isolates), Staphylococcus sp., Acinetobacter haemolyticus (2 isolates), Xenorhabdus nemathophillus, dan Vibrio algynolyticus. Meanwhile, Petrosia sp. sponge has rigid body with dominant skeleton-forming fraction (68.6%), hence, it has a lesser amount of sponge cell and bacterial fraction (19.7 % and 11.7%). There were no symbiotic-bacteria isolated from Petrosia sp. Nevertheless, two unidentified fungi-associated sponge were isolated from this sponge. It was concluded that sponges morphology and symbiotic-bacteria could influence sponges bioactive compounds and its activity, as well as the sponges’ habitat. Key Words: Aaptos aaptos, Petrosia sp., bioactive compound, symbiotic-bacteria, cell biomass
PENAPISAN SENYAWA BIOAKTIF SPONS Aaptos aaptos DAN Petrosia sp. DARI LOKASI YANG BERBEDA
MEUTIA SAMIRA ISMET
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Penelitian
:
Nama Mahasiswa : NRP : Program Studi :
Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari Lokasi yang Berbeda Meutia Samira Ismet C651040131 Ilmu Kelautan (IKL)
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
Prof. Ir. Dr. Dedi Soedharma, DEA. Ketua
Dr. Ir. Hefni Effendi, MPhil. Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Dr. Ir. Djisman Manurung, MSc.
Dr. Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 20 April 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penyelesaian karya ilmiah ini, antara lain: 1. Komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Hefni Effendi, Mphil., yang telah memberi banyak masukan pada kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir.Yulin Lestari, sebagai penguji luar komisi. 3. Proyek Hibah Pasca VII, yang diketuai Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA, yang telah menyediakan sebagian dana untuk penelitian yang penulis lakukan dan penyedia fasilitas penelitian, yaitu Lab. Mikrobiologi dan Lab. Lingkungan PPLH-IPB, Lab. Mikrobiologi-Departemen Biologi IPB, Lab. Kimia Analitik – Departemen Kimia IPB, Lab. Mikrobiologi dan Biokimia serta Lab. Mikrobiologi dan Bioteknologi Pusat Studi Ilmu Hayat dan Bioteknologi (PSIHB)-IPB 4. Laboran dan staf laboratorium (Mbak Heni, Pak Iwa, Bu Ika, staf Lab.Lingkungan-PPLH dan Kimia Analitik- Dept. Kimia IPB) serta kepada tim mahasiswa peneliti Hibah Pasca VII yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. 5. Abu, mama, adi dan mami Lisdar sekeluarga, bunda Mar, om Adek dan keluarga besar atas doa, kasih sayang dan dukungannya. 6. Rekan-rekan sepenelitian (terutama Ubun dan Mbak Niet) dan temanteman IKL angkatan 2004 atas dukungannya, terutama kepada Iwan dan Denti yang telah membantu dalam penelitian ini, juga kepada temanteman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas keceriaan dan semangatnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, April 2007
Meutia Samira Ismet
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kairo pada tanggal 25 Maret 1980, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Ismet Yunus dan Asmawita A.Manaf. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains dari Departemen BiologiInstitut Pertanian Bogor, pada tahun 2003. Kemudian masuk sebagai mahasiswa Magister Sains di Sekolah Pasca – Sarjana IPB, program studi Ilmu Kelautan pada tahun 2004. Selain itu, penulis juga bekerja sebagai Asisten Dosen dan terdaftar sebagai staf Honorer laboratorium Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................... Perumusan Masalah .................................................................. Tujuan Penelitian ........................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Spons ......................................................................... Metabolit Sekunder ..................................................................... Produk Alami dan Mikroba Simbion Spons ................................
4 9 10
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... Bahan dan Alat ........................................................................... Metode Kerja .............................................................................. Diagram Alir Penelitian ...............................................................
16 16 17 22
HASIL PENELITIAN Bioaktivitas Senyawa Ekstrak Kasar dan Pengaruh Lingkungan ......................................................... Analisa Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons ....................................... Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons .................................
23 29 33
PEMBAHASAN Bioaktivitas Senyawa Ektrak Kasar Dan Pengaruh Lingkungan ........................................................ Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons .................................................. Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons .................................
42 46
KESIMPULAN .....................................................................................
53
SARAN ................................................................................................
55
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
56
LAMPIRAN ...........................................................................................
65
38
DAFTAR TABEL Halaman 1
Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut ............................
12
2
Bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos terhadap beberapa organisme target ......................................
24
Bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons Petrosia sp. terhadap beberapa organisme target ......................................
26
Nilai parameter lingkungan di kedua lokasi pengambilan sampel beserta baku mutunya .................................................
28
Nilai rendemen ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari bagian Barat dan Selatan P.Pari ..................
29
Nilai Rf kandungan senyawa ekstrak kasar hasil fraksinasi di bawah sinar uv (254 dan 365 nm) .......................................
31
Morfologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos ........................................................
33
Persentase fraksi sel setelah sentrifugasi ...............................
35
3 4 5 6 7 8
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur organisasi tubuh spons ................................................
7
2 Spons laut Aaptos aaptos ..........................................................
8
3 Spons laut Petrosia sp. ............................................................
8
4 Diagram alir penelitian .............................................................
22
5 Bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos terhadap bakteri target ..........................
24
6 Toksisitas spons Aaptos aaptos terhadap Artemia salina .........
25
7 Bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons Petrosia sp. terhadap bakteri target ..............................
27
8 Toksisitas spons Petrosia sp. terhadap Artemia salina ...........
27
9 Fraksinasi ekstrak kasar spons ................................................
30
10 Hasil TLC spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. ...................
31
11 Bioautografi fraksi organik spons Aaptos aaptos terhadap Aeromonas hydrophylla ...........................................................
32
12 Bioautografi fraksi organik spons Petrosia sp. terhadap Aeromonas hydrophylla ...........................................................
32
13 Bioautografi fraksi semi-organik spons Petrosia sp. terhadap Aeromonas hydrophylla ............................................
33
14 Isolat fungi simbion spons Petrosia sp. ...................................
34
15 Struktur sel spons Aaptos aaptos .............................................
35
16 Struktur sel spons Petrosia sp. ...............................................
36
17 Distribusi fraksi sel spons setelahsentrifugasi .........................
37
18 Alur penelitian dan pengembangan produk senyawa bioaktif dari spons ....................................................................
45
19 Peta Pulau Pari ........................................................................
66
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Struktur taksonomi spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. .........................................................................
66
2
Peta lokasi pengambilan sampel (Pulau Pari) ...........................
66
3
Sifat morfologi dan fisiologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos ......................
67
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia pengobatan yang semakin pesat telah memunculkan beragam jenis obat-obatan baru. Penelitian untuk menemukan sumber metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan berbagai macam jenis obat juga terus dilakukan. Sejak satu dekade terakhir ini, perhatian dunia pengobatan mulai terarah ke bermacam organisme laut sebagai sumber daya yang sangat potensial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa organisme laut memiliki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan. Beberapa organisme laut yang diketahui dapat menghasilkan senyawa aktif antara lain adalah spons, moluska, bryozoa, tunikata dan lain-lain. Organisme-organisme ini diketahui dapat menghasilkan sejumlah besar produk laut yang bersifat alami, juga mampu menunjukkan keragaman senyawa kimia yang sangat besar. Senyawa-senyawa kimia yang diketahui dapat dihasilkan oleh organisme tersebut antara lain adalah senyawa alkaloid, peptida, terpena, poliketida dan beragam senyawa lainnya. Lebih jauh lagi, diketahui bahwa dari 13 produk alami laut (atau produk analog yang dihasilkan darinya) merupakan senyawa obat-obatan jenis baru, dan bahwa 12 senyawa tersebut berasal dari invertebrata laut (Thakur & Müller 2004). Spons adalah hewan metazoa multiseluler yang tergolong ke dalam filum Porifera, yang memiliki perbedaan struktur dengan metazoan lainnya. Hal ini disebabkan seluruh tubuh spons terbentuk dari sistem pori, saluran dan ruangruang sehingga air dapat dengan mudah mengalir keluar dan masuk secara terus menerus. Sebagian besar spons hidup di laut, hanya beberapa spesies saja yang dapat hidup di air tawar (Kozloff 1990). Hewan ini mencari makan dengan mengisap dan menyaring air yang melalui seluruh permukaan tubuhnya secara aktif (Romimohtarto & Juwana 1999). Spons terdiri dari 850 jenis, yang dapat dibagi
menjadi
tiga
kelas
besar,
yaitu
Calcarea,
Demospongiae
dan
Hexactinellida. Spons juga diketahui memiliki ekologi habitat yang sangat luas. Organisme sederhana ini diketahui dapat hidup pada kedalaman dan kondisi perairan yang beragam. Para peneliti menemukan bahwa spons menghasilkan metabolit sekunder sebagai mekanisme perlindungan diri. Penelitian juga mengungkapkan bahwa metabolit sekunder ini tidak hanya berperan dalam metabolisme organisme tersebut, tetapi juga berperan dalam strategi adaptasi
organisme terhadap lingkungannya (Thakur & Müller 2004). Adaptasi tersebut dapat sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap predator, keadaan lingkungan yang menuntut kompetisi akan nutrisi, maupun mekanisme pertahanan terhadap kondisi lingkungan yang terpolusi limbah organik (Thakur & Müller 2004). Keragaman metabolit sekunder yang dihasilkan spons telah banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk menemukan senyawa-senyawa aktif yang berguna bagi dunia pengobatan. Senyawa-senyawa tersebut dapat berupa turunan asam amino dan nukleosida, makrolida, porphirine, terpenoid, gugus alifatik peroksida dan sterol. Obat-obat yang diketahui dihasilkan oleh spons antara lain adalah discodermolide, topsentin, manzamine A, plakortolide, dan berbagai senyawa lainnya yang diketahui bersifat sebagai antikanker, antifungal, anti-inflamasi, anti HIV, penghambat aktivitas enzim dan sifat-sifat lainnya (Higa et al. 1994; Kobayashi & Kitogawa 1994; Sennett et al. 2002; Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Anonim 2005; Hadas et al. 2005; Zheng et al. 2005).
Perumusan Masalah Perkembangan dunia pengobatan dan ilmu pengetahuan yang semakin pesat memacu eksplorasi terhadap sumber senyawa bioaktif dari organisme laut. Spons merupakan salah satu organisme laut yang memiliki banyak potensi sebagai sumber senyawa bioaktif. Tingginya keragaman jenis spons dan masih sedikitnya informasi yang tersedia mengenai potensi organisme ini, memacu berbagai penelitian mengenai potensi yang dikandungnya, selain mengenai reproduksi dan mekanisme hidup spons. Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki tingkat keragaman organisme laut yang tinggi, termasuk spons, mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan berbagai senyawa bioaktif. Hal ini telah disadari oleh banyak peneliti, sehingga penelitian mengenai potensi spons Indonesia semakin banyak dilakukan dewasa ini. Namun demikian, perbedaan kualitas lingkungan
perairan
sebagai
habitat
organisme
dapat
mempengaruhi
metabolisme organisme tersebut, termasuk spons. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai pengaruh lingkungan terhadap potensi senyawa bioaktif yang dikandung oleh spons. Penelitian awal yang pernah dilakukan oleh Tim Hibah Pasca (IPB 2005) menunjukkan bahwa Kepulauan Seribu (P. Lancang, P. Pari dan P. Pramuka)
memiliki jumlah jenis dan kelimpahan spons yang tinggi. Spons yang ditemukan dalam jumlah dan kelimpahan yang dominan diantaranya adalah Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Penelitian yang dilakukan oleh Kardono (2006) dan Susanna (2006) juga menunjukkan bahwa kedua jenis spons ini memiliki kecenderungan peningkatan jumlah dan kelimpahan seiring pertambahan kedalaman. Kedua jenis spons ini juga memiliki potensi sebagai senyawa antibakteri.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Melakukan penapisan senyawa bioaktif dari spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. 2. Menganalisa kandungan senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. (fraksi organik dan semi organik), dan bioaktivitas antibakteri masing-masing senyawa 3. Melihat pengaruh perbedaan lingkungan terhadap tingkat bioaktivitas (antimikroba dan toksisitas) senyawa dari spons jenis Aaptos aaptos dan Petrosia sp. 4. Melihat kaitan biomassa sel spons dan isolat bakteri terhadap bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Analisis ini diharapkan dapat memberikan informasi senyawa yang dapat dimanfaatkan lebih jauh sebagai bahan obat-obatan yang potensial.
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Spons Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood & Wells 1989; Sara 1992; Rachmaniar 1996; Romimohtarto & Juwana 1999), sedangkan menurut Warren (1982), Kozloff (1990), Harrison dan De Vos (1991), Pechenik (1991), Ruppert dan Barnes (1991), Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia. Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara Porifera masa kini. Jenis ini tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa (Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya hanya terdiri serat spongin, serat kollagen atau tanpa spikula. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Kozloff 1990; Brusca & Brusca 1990; Ruppert & Barnes 1991; Romimohtarto & Juwana 1999). Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan diterumbu karang. Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison & De Vos 1991; Pechenik 1991; Ruppert & Barnes 1991). Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung
tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978). Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak berbulu
getar
karena
spikulanya
menyembul
keluar
dari
badannya
(Romimohtarto & Juwana 1999). Banyak spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980). Secara umum spons terdiri dari beberapa jenis sel yang menyusun struktur tubuh dan biomassanya. Sel-sel tersebut memiliki fungsi yang berperan dalam organisasi tubuh spons. Dinding tubuh spons terorganisasi secara sederhana. Lapisan luar dinding tubuh disusun oleh sel-sel pipih yang menyerupai sel epitel pada hewan lain, yang disebut pinacocytes, membentuk lapisan pinacoderm. Perbedaan sel ini dengan sel epitel hewan lainnya adalah tidak adanya basal lamina dan saluran interseluler, serta dapat berkontraksi atau menyusut, sehingga
dapat
mengubah
ukuran
spons.
Selain
itu,
sel
pinacocytes
menghasilkan material seksresi yang dapat melekatkan spons ke substratnya. Pada dinding tubuh spons juga terdapat pori-pori yang dibentuk oleh porocyte, yaitu sel berbentuk cincin yang berkembang dari permukaan luar ke bagian spongocoel. Sel-sel ini dapat membuka dan menutup dengan adanya kontraksi. Pada bagian dalam pinacoderm terdapat mesohyl, yang terdiri dari matriks protein bergelatin yang mengandung skeleton dan sel-sel amoeboid. Lapisan ini berfungsi seperti jaringan ikat pada metazoa lainnya. Skeleton spons demospongia terbentuk dari spikula bersilika dan serat protein spongin. Materi inilah yang membentuk dan menyokong bangun tubuh spons. Spikula spons memiliki jenis yang beragam, sehingga dijadikan dasar untuk identifikasi spons. Secara umum, spikula terbagi menjadi megascleres (spikula berukuran besar dan merupakan elemen penyokong utama dalam skeleton) dan microscleres (spikula berukuran kecil). Spikula berada di dalam mesohyl, namun sering juga ditemukan pada lapisan pinacoderm. Sementara itu, serat spongin merupakan serat protein yang menyerupai kolagen. Spons dengan serat spongin yang berlimpah, biasanya memiliki morfologi yang keras dan padat (kasar). Selain itu, pada banyak spesies, seringkali sebagian atau keseluruhan spikula bersilika ditutupi oleh serat spongin ini, sehingga menjadi lebih kaku. Sel-sel amoeboid dapat ditemukan pada mesohyl, dan tersusun dari beberapa jenis sel. Archaeocyt adalah sel berukuran besar dengan nukleus yang besar pula. Sel ini merupakan sel fagositosis dan berperan dalam digesti makanan. Sel ini juga bersifat totipotent (dapat berubah fungsi), sehingga dapat berubah fungsi menjadi sel lain yang dibutuhkan oleh spons. Sel-sel tetap yang disebut dengan collencytes, berfungsi mensekresikan jaringan kolagen yang menyebar pada dinding tubuh spons. Spikula pembentuk skeleton dihasilkan oleh sel-sel sclerocyte yang bersifat amoeboid. Sementara jaringan spongin merupakan hasil sekresi sel-sel spongocytes. Choanocytes, adalah lapisan sel yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Sisi berlawanan dengan bagian tersebut memiliki flagella yang dikelilingi oleh mikrovilli. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Gambar 1 menunjukkan struktur organisasi sel-sel penyusun tubuh spons.
Gambar 1 Struktur organisasi tubuh spons (sumber: www.maricopa.edu)
Selain sel-sel yang telah disebutkan di atas, spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001, diacu dalam Thakur & Mϋller 2004), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Faulkner et al. 1994; Kobayashi & Kitagawa 1994; Guyot 2000; Proksch et al. 2003; Rahe 2004; Thakur & Mϋller 2004; dan Zheng et al. 2004). Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekrutmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder, dan masuk ke dalam mesohyl. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan (Carpenter 2002; Chelossi et al. 2004), beberapa bakteri dan khamir (fungi) diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Maldonado et al. 2005; Oren et al. 2005; Steindler et al. 2005). Mikroba simbion spons, selain berperan dalam produksi senyawa bioaktif, juga memiliki peran
menjaga
kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Carpenter 2002; Steindler 2002,2005), menghambat mikroba patogen (Faulkner et al. 1994), serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar uv dan penghasil enzim antioksidan (Steindler 2002).
Gambar 2 Spons laut Aaptos aaptos.
Spons Aaptos aaptos dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu di Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka, yang memiliki kondisi lingkungan yang cukup berbeda (IPB 2005). Spons ini termasuk ke dalam famili Suberitidae, Schmidt 1870, dengan morfologi yang masif. Spons genus Aaptos Gray,1867 (diacu
dalam
Hooper
2000),
memiliki
morfologi
yang
berbentuk
spherical/subspherical (bundar/agak bundar), soliter, dengan permukaan yang halus atau berserabut, dan skeleton radial. Saluran spikula pada spons genus ini mengarah keluar dari bagian tengah spons secara bervariasi. Korteksnya yang tipis mengandung kolagen, barisan
dua jenis spikula berukuran kecil, dan
spikula berukuran sedang pada bagian saluran ektosomal plumose. Spikula primer spons genus Aaptos biasanya berupa strongyloxea, spikula yang berukuran sedang berbentuk lurus atau
melengkung atau subtylostyle,
sementara spikula ektosomal dapat berupa style, subtylostyle, dan/atau tylostyle yang lebih kecil. Pada beberapa spesies dapat juga ditemukan oxea (KellyBorges & Bergquist 1994, diacu dalam Hooper 2000).
b
Gambar 3 Spons laut Petrosia sp., berbentuk lembaran: (a) melekat pada substrat karang; (b) dengan makrofauna pada permukaannya (berwarna putih).
Spons Petrosia sp. juga dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, antara lain di Pulau Pramuka dan Pulau Pari (IPB 2005). Spons ini termasuk ke dalam famili yang sama dengan Xestospongia, yaitu Petrosiidae, Van Soest 1980. Skeleton ektosomal spesies ini berupa potongan spikula yang seragam (isotropic), dengan skeleton choanosomal yang tersusun atas saluran spikula yang padat dan terikat dengan sedikit spongin, sehingga membentuk tekstur yang keras. Spesies ini memiliki sekitar 2 jenis ukuran oxeote atau spikula strongylote (Bergquist & Warne 1980; van Soest 1980, diacu dalam Hooper 2000). Skema taksonomi spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian yang dilakukan Susanna (2006) menunjukkan bahwa kedua jenis spons (Aaptos aaptos dan Petrosia sp.) memiliki jumlah dan kelimpahan jenis yang semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Hal ini dikatakan terkait dengan kondisi lingkungan perairan yang semakin kondusif seiring bertambahnya kedalaman. Susanna (2006) juga menyatakan bahwa spons jenis Aaptos aaptos (yang diidentifikasi awal sebagai Xestospongia sp.2) dan Petrosia sp. merupakan jenis yang dominan ditemukan pada perairan Kepulauan Seribu (P. Lancang, P. Pari dan P. Pramuka). Metabolit Sekunder Secara ekologis, spons terdapat pada beragam kondisi habitat. Ini menimbulkan
pertanyaan
mengenai
mekanisme
adaptasi
spons,
yang
merupakan hewan sederhana, terhadap kondisi lingkungan habitat. Penelitianpenelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spons memiliki pertahanan diri secara kimiawi (metabolit sekunder). Senyawa-senyawa kimiawi tersebut bermanfaat untuk mempertahankan diri dari tekanan kompetitor, reaksi antagonisme, infeksi maupun predasi oleh organisme laut lainnya. Spons menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi organisme. Produksi metabolit ini hampir serupa pada semua organisme, melibatkan proses anabolisme dan katabolisme, contohnya lintasan pembentukan glukosa. Sementara itu, metabolisme sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi spesies atau strategi adaptasi terhadap
lingkungan(Torssell 1983). Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah (Crueger & Crueger 1982; Madigan et al. 2000): a.
Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa organisme tertentu saja.
b.
Metabolit sekunder bukanlah merupakan senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi.
c.
Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme.
d.
Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur).
e.
Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit sekundernya.
f.
Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit primer.
g.
Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi metabolit primer.
h.
Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk metabolit primer, atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang terakumulasi selama metabolisme primer. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons memiliki keragaman yang
sangat tinggi. Senyawa-senyawa tersebut antara lain adalah derivat asam amino, dan nukleosida hingga makrolida, porphyrine, terpenoid hingga ikatan alifatik peroksida, dan sterol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa spons kaya akan terpenoid dan steroid, yang diduga berfungsi sebagai antipredasi dan kontrol terhadap kompetisi ruang serta pertumbuhan epibion yang berlebih (Bakus et al.1986, diacu dalam Thakur & Müller 2004). Produk Alami dan Mikroba Simbion Spons Kategori Produk Alam Laut Produk alam laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah untuk mendapatkan dalam jumlah yang besar dan barangkali dapat dirubah ke bahan-bahan yang lebih berharga; (2) senyawa bioaktif yang termasuk (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologi (sinyal kimia) (c)
senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) Racun laut (Kobayashi & Rachmaniar 1998). Senyawa Bioaktif Spons Selama beberapa abad (sejak dua abad yang lalu) telah diketahui bahwa spons memiliki potensi bioaktif yang besar. Richter pada tahun 1907 (diacu dalam Thakur & Müller 2004) menemukan bahwa spons mandi yang dibakar ditemukan senyawa iodine. Sementara yang pertama kali mencari produk senyawa alami spons secara sistematis adalah Bergman dan Fenney (1951, diacu dalam Thakur & Müller 2004), yang berhasil mengisolasi 3 nukleosida dari spons Karibia Chryptotethya crypta Laubenfels, 1949. Sejak itu bermacam senyawa obat-obatan telah ditemukan dari produk alami spons atau pun analognya. Tabel 1 menunjukkan beragam senyawa bioaktif yang telah ditemukan dari spons. Senyawa antibakteri telah diisolasi dari spons laut jenis: Discodermia kiiensis, Cliona celata, Lanthella basta, Lanthella crardis, Psammaplysila purpurea, Agelas sceptrum, Phakelia flabellata. Senyawa antijamur telah diisolasi dari spons laut jenis: Jaspis sp., Jaspis johnstoni, Geodia sp. Senyawa anti tumor/anti kanker telah diisolasi dari spons laut jenis: Aplysina fistularis, A. aerophoba. Senyawa antivirus telah diisolasi dari spons laut jenis: Cryptotethya crypta, Ircinia variabilis. Senyawa sitotoksik diisolasi dari spons laut jenis: Axinella cannabina, Epipolasis kuslumotoensis, Spongia officinalis, Igernella notabilis, Tedania ignis, Axinella verrucosa, Ircinia sp. Senyawa antienzim tertentu telah diisolasi dari spons laut jenis: Psammaplysilla purea (Ireland et al. 1989; Munro et al. 1989). Spons juga diketahui memiliki mikroba simbion yang berasosiasi dalam jumlah yang sangat besar. Mikroba ini diketahui hidup di permukaan tubuh dan dalam matriks tubuh spons. Pada proses pengambilan makanan, mikroba dari lingkungan perairan sekitarnya ikut tersaring dan masuk ke dalam tubuh spons. Diduga sebagian besar mikroba ini tetap hidup dalam tubuh spons tersebut. Dugaan ini
diperkuat oleh fenomena bahwa kepadatan
mikroba simbion
berubah seiring variasi perubahan lingkungan (Thakur 2001, diacu dalam Thakur & Müller 2004). Jumlah mikroba simbion yang berasosiasi dengan spons diperkirakan mencapai 40% biomassa spons. Oleh karena itu, beberapa penelitian berusaha membuktikan bahwa senyawa aktif dan antimikroba yang dihasilkan oleh spons juga merupakan hasil metabolisme mikroba simbion pada
spons. Beberapa senyawa bioaktif spons yang diketahui dihasilkan oleh mikroba simbion adalah senyawa norharman (senyawa β-carboline dari kelompok alkaloid), yang memiliki aktivitas antibakterial, dari bakteri simbion pada spons Hymeniacidon perleve (Zheng et al. 2004), senyawa decalactone baru dari fungi simbion pada spons Xestospongia exigua (Proksch et al. 2003), 2-metil thio-1,4naftoquinon dari bakteri simbion pada Dysidea avarai, sorbilactone A dari fungi Penicillium chrisogenum pada spons Ircinia fasciculate, dan banyak senyawa lainnya (Thakur & Müller 2004). Spons Aaptos aaptos dapat menghasilkan metabolit sekunder yang mengandung senyawa bioaktif potensial, seperti senyawa dari golongan alkaloid (aaptamine dan demethyloxyaaptamine), homarine dan senyawa lainnya. Senyawa-senyawa tersebut telah dibuktikan memiliki aktivitas sebagai antitumor, sehingga potensial sebagai sumber obat-obatan baru (Pelletier et al. 1987; Bergquist 1991, diacu dalam Miller et al. 1998; Granato et al. 2000). Sementara itu, spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa bioaktif yang termasuk kedalam kelompok poliasetilen dan dari kelompok sterol. Senyawasenyawa tersebut telah dibukstikan potensial sebagai antibakteri, antifungi, antifouling dan lain-lain (Young et al.1999; Kim et al. 2002; Sarma et al. 2005; www.cas.muohio.edu). Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut Aktivitas Farmakologi Sitotoksik
Senyawa bioaktif
Jenis spons
Asam 3,6 epoksieikosa-
Hymeniacidon hauraki
3 ,5,8,1 1,14,17-heksaenoat Reidispongiolid A dan B
Reidispongia coerulea
Superstolida A dan B
Neosiphnia sperstes
Swinhol ida A
Theonella swinhoet
Arenastatin A
Dysidea arenaria
Fakeliastatin
Phakelia costata
Diskodermin E-H
Discodermia kiiensis
Ingenamin, ingamin A dan B,
Xestospongia ingens
Madangamin A 8-hidrosimanzamin A
Pachypellina sp.
Glisinililimakuinon A
Fasciospongia rimosa
Vaskulin Latrunkulin S, neolaulimalida,
Cribrocalina vasculum Fasciospongia rimosa
Zampanolida
Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut * (Lanjutan) Aktivitas Farmakologi
Senyawa bioaktif
Sitotoksik
Leukasandrolida Altohirtin A-C, 5-deasctil-
Jenis spons Leucasandra caveolata Hyrtos alium
Altohirtin Halisilindramida A
Halichondria caveolata
Antitumor
Agelasfin (AGL)
Agelas muritianus
Antileukemia
Kurasin A
Lingbya majuscula
Amfidinolid B1, B2, B3, N, Q.
Amphidinium sp.
Triangulin A-H, asam Triangulinat
Pellina triagulata
Anti HIV 1
Trikendiol
Trikentrion loeve
Antimikroba
Hormotamnim
Hormothamnion Enteromorphoides
Diskodermin E-H Lokisterolamin A dan B
Discodermia kiiensis Corticium sp.
Asam kortikatat A,B,C Leukasandrolida
Petrosia corticata Leucasandra caveolata
Halisilindramida
Halichondria cylindrica
Imunomodulato
Agelasfln 10 dan 12
Agelas muritianus
Antiinflamasi
Manualida
Luffariella variabilis
Antibakteri Antijamur
Belum
Halisiklamina A
Haliclona sp.
(masih dalam
BastadinA. dan B
Ianthella basta
Asam manadat A dan B
Placortis sp.
Klatirimin Halisiklamina B
Clathria basilana
penelitian)
Xestrospongia sp.
Keterangan: angka dalam kurung pada kolom kedua adalah jumlah jenis/genus * menurut Soediro (1999)
Ekstrak Kasar dan Fraksi Produk senyawa organik spons laut yang memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif mencakup lebih dari 50% penemuan senyawa organik potensial dari laut (Hunt & Vincent 2006). Pengisolasian senyawa organik potensial ini dilakukan dengan mengekstrak organisme spons dengan pelarut yang dipilih berdasarkan kesamaan tingkat polaritas senyawa yang diinginkan. Pada saat ekstraksi, senyawa ekstrak kasar (campuran) dari organisme spons akan tertarik keluar oleh pelarut pengekstrak, sehingga dapat dilakukan pengujian untuk melihat potensi bioaktif senyawa tersebut (Smart 2002).
Hasil ekstraksi tersebut kemudian dapat difraksinasi untuk mendapatkan senyawa organik yang terpisah dari fraksi air yang mengandung ion. Cara ini merupakan awal dari pemurnian senyawa organik yang diinginkan (Smart 2002). Proses ini menggunakan dua pelarut yang berbeda berdasarkan teori like dislike polarity, sehingga didapatkan dua fraksi terpisah yang berbeda, yaitu fraksi organik dan ionik dari ekstrak. Isolasi dan identifikasi komponen-komponen senyawa organik yang memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif dapat dilakukan dengan cara kromatografi. Kromatografi merupakan metode pemisahan senyawa untuk memurnikan
dan
mengidentifikasi
komponen-komponennya.
Metode
ini
berdasarkan distribusi komponen yang berbeda dari suatu campuran antara fase bergerak dan fase diam pada suatu lempengan tipis. Pada kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography/TLC), fase diamnya berupa lapisan tipis yang melekat pada suatu material (dapat berupa gelas, plastik atau lembaran metal), yang memungkinkan fase bergerak dapat bergerak ke atas secara kapilari. Proses pemisahan senyawa berdasarkan prinsip bahwa tiap komponen dalam campuran senyawa memiliki perbedaan polaritas dan akan terserap oleh fase diamnya (misalnya gel silika), demikian pula pelarut (adsorbent) dan zat terlarut (dissolve) yang berada pada fase gerak, akan bergerak pada tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu, tiap komponen dalam campuran senyawa akan tertarik oleh pelarut fase gerak pada tingkatan yang berbeda di sepanjang plat kromatografi. Hasil pemisahan senyawa akan menunjukkan spot-spot
yang terpisah
sepanjang plat TLC berdasarkan tingkat polaritasnya. Spot-spot ini kemudian dilihat dan ditandai di bawah sinar uv. Faktor retardasi (Rf) dari tiap spot komponen yang terpisah dapat dikalkulasi dengan mengukur jarak dari titik awal sampel ke tengah spot yang sudah terpisah. Rf ini dapat merupakan langkah awal untuk memperkirakan jenis (identifikasi awal) komponen senyawa organik yang telah terpisah (Smart 2002; Furniss et al. 2004). Spons laut menghasilkan ekstrak kasar dan fraksi organik yang bersifat antibakteri, antijamur, antibiofouling dan ichtyotoksik. Bioaktivitas antibakteri ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Halichondria sp, Callyspongia pseudoreticulata, Callyspongia sp. dan Auletta sp. (Suryati et al. 1996). Beberapa spons yang belum diketahui jenisnya, yang aktif terhadap
bakteri Staphylococcus aures, Bacillus subtilis dan Vibrio cholerae Eltor (Rachmaniar 1994, 1995, 1996, 1997). Bioaktivitas antijamur ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Auletta spp., yang aktif terhadap jamur Aspergillus fumigatus, spons Clathria spp., yang aktif terhadap Aspergillus spp., Aspergillus fumigatus dan Fusarium spp., spons Theonella cylindrica, yang aktif terhadap Aspergillus spp., Aspergillus fumigatus, Fusarium spp. dan Fusarium solani (Muliani et al. 1998). Bioaktivitas antibiofouling ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Asterospus sarasinorum, Callyspongia sp., Clathria sp., Clathria jaspis, yang keaktifannya tinggi terhadap teritip (Balanus amphirit); Echynodicum sp., Gelliodes sp., Pericarax sp., Xestopongia sp., yang keaktifannya rendah terhadap teritip (Balanus amphirit) (Suryati et al. 1999). Bioaktivitas ichtyotoksik
(toksisitas terhadap biota ikan) ekstrak kasar
spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Auletta spp., Callyspongia sp., Callyspongia pseudoreticulata, yang toksik terhadap nener bandeng (Chanos chanos) (Parenrengi et al. 1999).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 6 bulan yang dimulai dari bulan September sampai Desember 2006. Pengamatan dan pengambilan sampel spons dilakukan di sekitar perairan terumbu karang Pulau Pari, yaitu pada bagian Barat (1060 35’ 712” BT dan 050 52’ 055” LS) dan Selatan (1060 36’ 761” BT dan 050 52’ 244” LS) Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Sementara sampel spons hasil transplantasi diambil dari kegiatan transplantasi spons Hibah Pasca di perairan yang sama (bagian Barat Pulau Pari). Selama pengamatan, juga dilakukan pengukuran beberapa parameter lingkungan, yaitu suhu, salinitas, pasang surut dan parameter kualitas air lingkungan. Sampel spons yang diambil, selanjutnya dianalisis di Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)-IPB. Bahan dan Alat Ekstraksi, Fraksinasi dan Uji Bioaktivitas (Skrining Senyawa Bioaktif) Ektraksi adalah suatu teknik untuk memisahkan dan mengisolasi suatu senyawa dari suatu larutan campuran atau padatan. Ekstraksi padatan dilakukan untuk mengambil produk natural dari jaringan makhluk hidup, dengan perendaman jaringan pada suatu pelarut yang memiliki kesamaan tingkat polaritas dengan senyawa yang diinginkan. Alat dan bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah jaringan spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang dipreservasi dalam metanol teknis, pelarut MeOH (metanol) p.a (Richelle-Maurer & Braekman 2001; Kelly et al. 2003), erlenmeyer, tabung Buchner, vaccum pump, rotary evaporator, alat freeze drying, kertas saring Whattman 9 mm ukuran 40, dan tabung sampel. Fraksinasi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen organik dan ionik (larut dalam air) dalam suatu senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda. Metode ini dapat dilakukan dengan mencampur dua jenis pelarut yang berbeda, dengan komponen senyawa yang ingin dipisahkan. Alat dan bahan yang digunakan adalah hasil ekstrak kasar sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang telah dikristalisasi, pelarut EtOAc (etil asetat), pelarut air, tabung separasi dan gelas erlenmeyer, pH meter (Parenrengi 1999).
Uji bioaktivitas dilakukan untuk melihat potensi ekstrak kasar senyawa organik sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari lingkungan yang berbeda. Alat dan bahan yang digunakan adalah: senyawa organik hasil ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp., dengan konsentrasi 25 mg/ml
MeOH
(Richelle-Maurer
&
Braekman
2001);
bakteri
target
(Staphylococcus aureus, Aeromonas sp., dan Escherichia coli) dan antibiotik pembanding Amphisilin trihidrat untuk uji anti bakteria senyawa, Artemia salina (untuk uji toksisitas), cawan petri, pipet mikro, pipet tetes, kertas cakram (diameter 6 mm), media Tryptic Soy Broth (TSB) dan Tryptic Soy Agar (TSA), DMSO (dimetil sulfooksida), jarum ose, shaker, inkubator, batang sebar, air laut. Isolasi Senyawa Bioaktif Isolasi senyawa bioaktif dilakukan terlebih dahulu dengan mengekstrak sampel spons menggunakan metanol. Senyawa bioaktif yang didapatkan lalu di fraksinasi menggunakan metanol (MeOH) dan etil asetat (EtOAc). Analisa kandungan senyawa bioaktif dilakukan menggunakan DCM (diklorometana) dan MeOH (10:1, v/v) pada gel silika kromatografi lapis tipis (TLC) 25 TLC Aluminium Sheets Silica Gel 60F254 Merck, yang lalu diikuti oleh deteksi spektrofotometri pada gelombang 254 dan 365 nm (Zheng et al. 2005). Uji bioaktivitas senyawa bioaktif (bioautografi) menggunakan bioindikator bakteri uji A hydrophilla, media TSA (triptic Soy Agar Difco). Gel silica TLC yang sudah mengandung senyawa terpisah kemudian diuji dengan melapisi media yang mengandung bakteri, untuk melihat aktivitas antimikrob senyawa hasil fraksinasi. Metode Kerja Konsentrasi dan Bioaktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar dan Fraksi Pengambilan Sampel. Semua sampel yang akan digunakan dalam analisis pada penelitian ini diambil dari dua lokasi, yaitu bagian Barat (1060 35’ 712” BT dan 050 52’ 055” LS) dan Selatan (1060 36’ 761” BT dan 050 52’ 244” LS) P.Pari. Pengambilan sampel dilakukan pada kedalaman 7 m dengan menggunakan peralatan SCUBA DIVING SET. Sementara sampel hasil transplantasi diambil dari rak transplantasi di bagian Barat P. Pari, juga pada kedalaman yang sama (7 m). Transplantasi dilakukan dengan mengikat fragmen spons (ukuran 3 x 3 x 3cm) pada rak. Sampel spons transplantasi
yang telah berusia 3 bulan, kemudian diambil untuk dianalisis. Beberapa individu spons diambil pada setiap habitat di kedua lokasi (untuk sampel alam) dan pada rak transplantasi untuk diekstraksi, yang ekstraksinya terpisah setiap sampel, untuk kemudian dilakukan penapisan senyawa bioaktif ekstrak kasarnya. Sampel untuk setiap habitat diperlakukan sebanyak tiga kali ulangan. Sampel masing-masing spons dengan bobot yang memadai juga diambil untuk analisis fraksinasi. Setelah preparasi dengan menyemprotkan metanol (MeOH) teknis, sampel-sampel tersebut disimpan pada suhu -20°C. Selain itu, masing-masing spons juga diambil dalam jumlah kecil dalam keadaan segar dan preparasi formalin 4%, dengan tujuan mengisolasi bakteri simbion dan analisa biomassa sel spons. Ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menurut petunjuk Richelle-Maurer dan Braekman (2001) dan Kelly et al. (2003). Metode tersebut adalah sebagai berikut: spons laut ditimbang sebanyak 25 gr, setelah ditimbang, dipotong kecil-kecil, lalu dipindahkan ke dalam beaker glass 100 ml dan ditambahkan 25 ml metanol p.a., kemudian diaduk-aduk hingga metanol meresap ke dalam sampel. Beaker glass ditutup plastik dan disimpan selama 24 jam dalam suhu kamar. Kegiatan ini dilakukan sebanyak dua kali, sehingga volume pelarut mencapai 50 ml. Setelah 24 jam, suspensi pekat disaring dengan kertas saring untuk memisahkan cairan dengan endapannya. Cairan ditampung di dalam labu takar 50 ml (ekstrak). Setelah dilakukan pengeringan ekstrak larutan menggunakan evaporator rotavapor, lalu dilanjutkan dengan kristalisasi menggunakan metode freeze drying, ekstrak kasar dipindahkan ke dalam botolbotol
kecil
dan
ditutup
rapat,
kemudian
ditimbang
untuk
mengetahui
konsentrasinya. Ekstrak disimpan di dalam lemari pendingin untuk dilakukan pengujian bioaktivitasnya. Fraksinasi. Fraksinasi didasarkan pada prosedur fraksinasi menurut Parenrengi (1999). Prosedur fraksinasinya adalah sbb: (1) ekstraksi dengan metanol (500 g spons segar dihaluskan dengan blender dan diekstraksi secara maserasi dengan menggunakan pelarut metanol 500 ml selama 3 x 24 jam, kemudian ekstrak kasar yang dihasilkan dihilangkan kadar airnya dengan menggunakan vaccum rotary evaporator; (2) ekstraksi dengan etil asetat (ekstrak senyawa dalam 500 ml fraksi air dengan pH yang sama dengan larutan EtOAc
secara pelan-pelan, kemudian diekstraksi menggunakan pelarut etil asetat sehingga didapatkan dua fraksi, yakni larutan organik dan lapisan air). Metode ini dilakukan dalam sebuah tabung separasi. Pelarut organik (EtOAc) dan air dicampur sedemikan rupa dengan komponen campuran yang ingin dipisahkan, lalu didiamkan beberapa waktu sampai membentuk dua lapisan larutan fraksi yang berbeda. Kemudian lapisan paling bawah, yaitu fraksi air (karena pelarut organik yang digunakan memiliki berat jenis yang lebih rendah daripada air), dikeluarkan dari tabung, dan dipisahkan dari fraksi organik. Jenis komponen organik dan ionik akan terpisah pada masing-masing fraksi. Isolasi Bakteri simbion Spons. Sampel spons hidup dicuci dengan air laut steril untuk membuang bakteri non-simbion. Kemudian sekitar 0,5 g sampel dikocok dengan air laut steril dan diinokulasi ke media padat (Sea Water Complete agar + air laut steril). Setelah inkubasi selama ± 10 hari pada suhu 250C (Zheng et al. 2005), semua koloni dengan pigmentasi dan morfologi yang berbeda, dipisahkan dan dibuat isolat murninya. Uji bioaktivitas senyawa. Uji bioaktivitas terhadap senyawa hasil isolasi dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan media TSA. Organisme target (bakteri patogen) dikulturkan pada media tersebut dalam masing-masing petri. Media yang telah disebar organisme target didiamkan selama 1 jam dalam suhu kamar (280C). Kemudian ditengah-tengah media diletakan "paper disc" dan diteteskan senyawa ekstrak kasar spons, yang telah dilarutkan sebanyak 25 mg/ml MeOH p.a (Richelle-Maurer & Braekman 2001), kurang lebih 20 µl (0,04mg). Media yang telah diinokulasi dan ditotol dengan kertas cakram diinkubasi pada 4 jam pada suhu 100C, untuk optimalisasi proses difusi, kemudian diinkubasi selama 18 jam kemudian dihitung diameter hambatnya terhadap organisme target. Sementara kista Artemia salina, dikultur pada air laut steril selama 24 jam
dengan suhu 280C dalam erlenmeyer, lalu diteteskan
ekstrak senyawa yang telah dilarutkan sebanyak 5 mg/ 20 µl DMSO (Effendi 2004), pada tabung reaksi yang berisi 2 ml air laut dan 10 individu Artemia salina untuk melihat tingkat toksisitas senyawa (Richelle-Maurer & Braekman 2001). Isolasi/identifikasi senyawa bioaktif sampel hasil fraksinasi Isolasi dan melakukan
identifikasi senyawa bioaktif sampel dilakukan dengan
kromatografi
lapis
tipis
(Thin
Layer
Chromatography/TLC)
terhadap senyawa organik dan semi organik dari hasil fraksinasi ekstrak kasar spons
Aaptos aaptos dan Petrosia sp. TLC dilakukan pada plat 25 TLC
Aluminium sheets Silica Gel 60F254 produksi Merck. Sampel senyawa organik diteteskan pada plat yang telah diberi tanda sebagai titik awal. Kemudian plat direndam dalam eluen DCM:MeOH (10:1,v/v, yang telah dioptimasi selama 2 jam) selama beberapa saat pada kotak kromatografi (chamber). Setelah senyawa bergerak sampai garis batas, plat dikeluarkan dan dikeringkan. Komponen senyawa organik yang terpisah akan berbentuk spot-spot di sepanjang plat, kemudian dilihat dan ditandai di bawah sinar uv dengan panjang gelombang 256 dan 365 nm (Zheng et al. 2005). Analisa Aktivitas Antimikrob Senyawa Hasil Fraksinasi (Bioautografi) Bahan yang digunakan adalah lapisan gel silica TLC yang mengandung senyawa yang sudah difraksinasi. Lapisan gel tersebut disterilisasi menggunakan sinar uv selama 30 menit, lalu diletakkan di atas agar nurien pada cawan petri. Kemudian lapisan tersebut di lapisi oleh media agar nutrien cair yang mengandung bakteri bioindikator A.hydrophylla dengan metode agar tuang, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah masa inkubasi, zona bening yang terbentuk diamati, untuk melihat spot komponen senyawa organik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Zheng et al.2005). Observasi Biomassa Sel Spons Preparat histologi sampel spons yang telah dipreparasi dalam formalin 4% dilakukan untuk melihat susunan struktur jaringan spons. Selain itu, sampel spons dipreparasi dalam formalin 3,5 - 4 % yang diencerkan dengan air laut yang telah disaring dengan filter 0,2µm. Sampel spons kemudian dihancurkan dengan menggunakan blender, kemudian suspensi sel diamati dibawah mikroskop fase kontras untuk melihat tipe sel dan menghitung jumlah sel dengan memakai haemasitometer. Suspensi sel disentrifugasi untuk memisahkan biomassa sel spons dengan bakteri simbion, serta fraksi bakteri, dengan dua kali proses sentrifugasi.(1) Sentrifugasi pertama pada 1000 g selama 5 menit, untuk mendapatkan supernatannya, (2) kemudian sentrifugasi pada 4000 g selama 10 menit untuk mendapatkan pellet bakteri. Setelah masing hasil sentrifugasi disimpan dalam air laut buatan yang dingin (cold artificial sea water) pengamatan jenis dan jumlah sel bakteri dilakukan dibawah mikroskop (Richelle-Maurer & Braekman 2001).
Analisa Data Analisa data pada penelitian ini sesuai dengan tahapan-tahapan yang dilakukan, yaitu: a.
Penapisan senyawa bioaktif dianalisa dengan melihat besar zona bening (zona hambat) terhadap bakteri indikator dan toksisitas terhadap Artemia salina.
b.
Kekuatan aktivitas (tingkat bioaktivitas) senyawa ekstrak berdasarkan lingkungan hidup spons dianalisa secara deskriptif (kualitatif).
c.
Hubungan bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak spons dianalisa dengan analisa korelatif, menggunakan program Minitab 1.3.
d.
Analisa kandungan senyawa hasil fraksinasi, serta kaitan bakteri simbion dan biomassa sel spons dengan bioaktivitas spons dilakukan secara deskriptif (kualitatif)
DIAGRAM ALIR PENELITIAN
Pengambilan data parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel
Pengambilan sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari alam dan hasil transplantasi
Ekstraksi spons dengan MeOH
Isolasi bakteri simbion dan observasi biomassa sel spons
Senyawa ekstrak kasar
Fraksinasi senyawa bioaktif (EtOAc + air)
Analisa kandungan senyawa bioaktif (TLC)
Analisa bioautografi kandungan senyawa bioaktif (hasil TLC)
Gambar 4 Diagram alir penelitian
Uji aktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa
HASIL PENELITIAN Hasil yang didapatkan dari penelitian ini mencakup beberapa aspek, yaitu potensi bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari dua lokasi pengambilan sampel, pengaruh lingkungan terhadap kekuatan bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons, kandungan fraksi senyawa ekstrak kasar spons dan aktivitas antimikrob-nya, serta jenis isolat bakteri simbion dan biomassa sel spons.
Bioaktivitas Senyawa Ekstrak Kasar Spons dan Pengaruh Lingkungan Sampel spons Aaptos aaptos yang diambil dari beberapa habitat di bagian Barat dan Selatan Pulau Pari, baik yang berasal dari alam maupun hasil transplantasi,
menunjukkan
tingkat
bioaktivitas
yang
beragam
terhadap
organisme target (E. coli, S. aureus, A. hydrophylla, dan Artemia salina). Tabel 2 menunjukkan tingkat bioaktivitas ekstrak kasar spons Aaptos aaptos terhadap beberapa organisme target. Uji bioaktivitas antibakteri ekstrak kasar spons Aaptos aaptos terhadap bakteri Gram (-) yang diwakili oleh bakteri E. coli menunjukkan tingkat aktivitas yang cenderung rendah. Hal ini ditunjukkan oleh diameter zona hambat yang kurang dari 3 mm. Sementara uji terhadap bakteri Gram (+) yang diwakili oleh bakteri S. Aureus menunjukkan aktivitas yang sangat beragam, dari sangat rendah (<0,1 mm) sampai tinggi (>5,5 mm). Kategori kekuatan bioaktivitas antibakteri ditetapkan berdasarkan kontrol positif terhadap bakteri target, memakai antibiotik ampisilin trihidrat (dengan zona hambat 2-3 mm). Tingkat aktivitas yang paling tinggi terhadap S. aureus terlihat pada sampel ekstrak spons Aaptos aaptos dari habitat 2 di lokasi Selatan P. Pari, yaitu sebesar 9,3 mm. Bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak spons Aaptos aaptos terhadap S. Aureus yang berasal dari alam (bagian Barat dan Selatan P. Pari) sangat tidak seragam, berlawanan dengan bioaktivitas antibakteri dari hasil transplantasi yang menunjukkan diameter zona hambat yang tidak terlalu jauh, yaitu 6,5 dan 6,2 mm. Uji bioaktivitas antibakteri ekstrak kasar Aaptos aaptos juga dilakukan terhadap bakteri patogen Aeromonas hydrophylla. Bakteri ini adalah bakteri Gram (-) berbentuk batang pendek, yang dikenal dapat menyebabkan penyakit pada ikan air tawar dan laut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa A. hydrophylla
cenderung sensitif terhadap senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos. Hal ini terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk di atas 1 mm, walaupun tidak ada sampel ekstrak yang menunjukkan aktivitas tinggi (>5,5 mm). Gambar 5 menunjukkan grafik bioaktivitas antibakteri ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dari berbagai lokasi. Tabel 2 Bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos terhadap beberapa organisme target DIAMETER ZONA BENING (mm) JENIS SPONS
Aaptos aaptos
SAMPEL/ HABITAT
LOKASI
% MORTALITAS
E.coli
S. aureus
Aeromonas hydrophylla
Artemia salina+DMSO
Bagian Barat P. Pari
1 2 3 4* 5*
2,4 2,4 1,5 1,8 0,7
5,5 4,5 1,7 3,5 0,0
3,3 2,5 2,3 3,1 3,4
24,8 21,1 24,6 0,0 0,0
Bagian Selatan P. Pari
1* 2* 3*
1,5 1,6 1,3
0,0 9,3 2,3
3,4 4,0 4,1
100,0 35,4 48,1
Transplantasi, Barat P. Pari
1* 2*
0,7 0,7
6,5 6,2
4,4 4,5
23,6 26,7
* tanpa ulangan individu (hanya satu individu/habitat)
diameter zona bening (mm)
Aaptos aaptos 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
E. coli S.aureus A. hydrophylla
1
2
3 Barat
4*
5*
1
Lokasi
2 3 Selatan
1 2 Transplan (Barat)
Gambar 5 Bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos terhadap bakteri target.
Tabel 2 menunjukkan bahwa spons Aaptos aaptos di bagian Barat dan Selatan P. Pari lebih memiliki keragaman tingkat bioaktivitas terhadap ketiga bakteri target. Sementara, spons hasil transplantasi memiliki zona hambat yang
nilainya hampir sama untuk masing-masing bakteri target, yaitu 0,7 mm terhadap E. coli; 6,5 dan 6,2 mm terhadap S.aureus; serta 4,4 dan 4,5 mm terhadap A. Gambar 5 juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat
hydrophylla.
dikatakan bakteri S.aureus dan A.hydrophylla cenderung lebih sensitif terhadap ekstrak kasar spons daripada bakteri E.coli. Tabel 2 menunjukkan tingkat toksisitas spons Aaptos aaptos pada konsentrasi 0,5 mg/20 μl DMSO, yang direfleksikan oleh persen mortalitas Artemia salina. Hasil pengujian toksisitas menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,5 mg/20 μl DMSO, spons Aaptos aaptos menunjukkan bioaktivitas antibakteri yang beragam dan tingkat toksisitas yang cenderung rendah pada berbagai habitat di tiap lokasi, kecuali pada sampel yang berasal dari habitat 1 Selatan P. Pari. Tingkat toksisitas dikatakan rendah jika pada dosis tersebut tidak mengakibatkan kematian/mortilitas Artemia salina melebihi 50%
atau tidak
mencapai LC50. Tingkat toksisitas spons Aaptos aaptos terhadap Artemia salina ditunjukkan pada Gambar 6. Secara keseluruhan, Gambar 6 menunjukkan bahwa spons dari bagian Selatan P. Pari memiliki toksisitas yang lebih tinggi terhadap Artemia salina dibandingkan ekstrak kasar spons dari bagian Barat P. Pari (untuk sampel alam dan hasil transplantasi). Aaptos aaptos 100 90
% mortilitas
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Barat Pari
Selatan Pari
Transplan (Barat)
Lokasi
Gambar 6 Toksisitas spons Aaptos aaptos terhadap Artemia salina.
Spons Petrosia sp. memperlihatkan hasil uji bioaktivitas antibakteri yang cenderung rendah (< 3 mm) terhadap E. coli dan S. aureus, kecuali pada sampel dari hasil tranplantasi individu ketiga (sebesar 9,3 mm) terhadap S. aureus. Aktivitas antibakteri terhadap A. hydrophylla menunjukkan zona hambat yang
termasuk sedang (1,2 – 4,8 mm). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bakteri A.hydrophylla cenderung lebih sensitif terhadap ekstrak kasar spons Petrosia sp. Sementara itu, tingkat toksisitas terhadap Artemia salina pada konsentrasi 0,5 mg/ 20 μl DMSO terlihat bervariasi. Sampel dari bagian Barat P. Pari cenderung memperlihatkan tingkat toksisitas yang rendah/sedang (dengan mortilitas <30%) terhadap Artemia salina, sementara sampel dari bagian Selatan P. Pari menunjukkan toksisitas yang cukup tinggi (mortilitas > 50%). Sampel dari hasil transplantasi menunjukkan tingkat toksisitas dari sedang (mortilitas 36,5 % dan 37,5%) sampai sangat tinggi (mortilitas 100%) pada sampel individu kedua. Bioaktivitas spons Petrosia sp. dari berbagai lokasi terhadap organisme target dapat dilihat pada Tabel 3, Gambar 7 dan 8. Secara keseluruhan, terlihat dari Tabel 2 dan 3, bahwa bakteri target A. hydrophylla cenderung sensitif terhadap senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Hal ini ditunjukkan oleh besar zona hambat yang terbentuk dari semua sampel spons melebihi zona hambat yang dibentuk oleh Ampisilin trihidrat (sebesar 2 mm). Sampel spons Aaptos aaptos dari semua lokasi menunjukkan tingkat bioaktivitas dengan zona yang berkisar 2,3 – 4,5 mm, sementara sampel Petrosia sp. membentuk zona hambat sebesar 1,2 – 4,8 mm. Tabel 3
Bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons Petrosia sp. terhadap beberapa organisme target
JENIS SPONS
LOKASI
Bagian Barat P. Pari
Petrosi a sp.
Bagian Selatan P. Pari Transplanta si, Barat P. Pari
•
DIAMETER ZONA BENING (mm)
% MORTALI TAS
SAMPE L/ HABIT AT
E.coli
1 2 3
0,3 0,1 0,5
1
0,7
0,1
3,1
56,4
0,9
0,1
3,9
55,6
1,7 0,6 0,5
0,2 0,0 9,2
4,8 4,3 3,6
37,5 100,0 36,5
2 1* 2* 3*
Aeromona s S. aureus hydrophyl la 0,6 2,5 0,3 1,4 0,3 1,2
tanpa ulangan individu (hanya satu individu/ habitat)
Artemia salina+DM SO 11,8 11,1 26,1
Petrosia sp.
S.aureus A. hydrophylla
10.0 diameter zona bening (mm)
E. coli
8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
1
2 Barat
3
1 2 Selatan Lokasi
1 2 3 Transplan (Barat)
Gambar 7 Bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons Petrosia sp. terhadap bakteri target.
Petrosia sp.
% mortilitas
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Barat Pari
Selatan Pari
Transplan (Barat)
Lokasi
Gambar 8 Toksisitas spons Petrosia sp. terhadap Artemia salina.
Hasil pengujian semua sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. terhadap bakteri target (E. coli, S. aureus, A. hydrophylla) dan Artemia salina menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya hubungan tingkat bioaktivitas antibakteri terhadap toksisitas senyawa ekstrak kasar pada kedua sampel. Ini ditunjukkan dengan nilai P-value yang tidak signifikan (0,88 untuk E. coli, 0,33 untuk S. aureus, dan 0,14 untuk A. hydrophylla). Hasil pengukuran parameter lingkungan menunjukkan bahwa kedua lokasi pengambilan sampel (bagian Barat dan Selatan P. Pari) memiliki perbedaan kualitas lingkungan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari nilai hasil
pengukuran COD yang menunjukkan perbedaan antara bagian Barat dan Selatan P. Pari, yaitu 40 mg/l dan 12 mg/l air laut, sementara perairan yang tidak tercemar biasanya memiliki nilai COD < 20 mg/l (Effendi 2003). Selain itu, lokasi pengambilan sampel di bagian Barat P. Pari memiliki substrat yang cenderung berlumpur dan berpasir, dengan sedikit karang. Sementara bagian Selatan P. Pari memiliki substrat yang didominasi oleh karang (terumbu) dan arus yang lebih kencang. Hal ini mempengaruhi faktor kecerahan lingkungan perairan di masing-masing lokasi. Pengukuran parameter lingkungan yang lain tidak terlalu jauh berbeda dan berada di bawah baku mutu kualitas lingkungan, kecuali untuk parameter ammonia, fosfat, nitrat dan H2S yang berada di atas batas normal perairan (Effendi 2003). Hasil pengukuran COD, ammonia, fosfat, nitrat dan H2S (sulfida)
mengindikasikan
kedua
perairan
lokasi
tersebut
kemungkinan
mengalami kontaminasi limbah organik, atau merupakan perairan yang cukup subur. Tabel 4 memperlihatkan hasil pengukuran parameter lingkungan di kedua lokasi pengambilan sampel (bagian Barat dan Selatan P. Pari). Tabel 4
Nilai parameter lingkungan di kedua lokasi pengambilan sampel beserta baku mutunya No
PARAMETER
LOKASI Selatan P. Barat P. Pari Pari
BAKU MUTU
Fisika 1
Suhu (0C)
2
Kecepatan arus (m/detik)
3 4 5
30
30
28-30
0,037
0,030
-
Kecerahan (m)
5,63
5,23
>5
Kekeruhan (NTU)
0,40
0,45
<5
0,0073
0,0053
20
34
33
33-34
8,05
8,13
7-8,5
TSS (mg/l) Kimia
6
Salinitas (‰)
7
pH
8
DO (mg/l)
7,346
5,102
>5
9
TDS (g/l)
0,027
0,014
1
10
TOM
20,22
19,59
-
11
Silikat (SiO3) (mg/l)
0,303
0,444
-
12
Amonia (NH3) (mg/l)
0,322
0,459
0,3
13
fosfat (PO4) (mg/l)
0,164
0,157
0,015
14
Nitrit (NO2) (mg/l)
0,020
0,020
0,06
15
Nitrat (NO3) (mg/l)
0,248
0,236
0,008
16
TN (Total Nitrogen) (mg/l)
0,590
0,716
-
17
COD (mgO2/l)
18
H2S (mg/l)
40
12
-
2,41
3,02
0,01
Penelitian ini menunjukkan bahwa bioaktivitas dan rendemen ekstrak kasar (Tabel 5) spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. tidak hanya dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan saja. Hal ini terlihat dari tingkat bioaktivitas dan rendemen masing-masing sampel spons memiliki variasi yang berbeda pada tiap lokasi pengambilan sampel. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa tingkat bioaktivitas juga tidak memiliki korelasi dengan rendemen ekstrak kasar, yang diperlihatkan oleh nilai P-value 0,362 untuk E.coli, 0,976 untuk S. aureus, 0,213 untuk A. hydrophylla, dan 0,669 untuk Artemia salina. Tabel 5 menunjukkan nilai rendemen ekstrak kasar dari keseluruhan sampel masing-masing spesies spons. Tabel 5
Nilai rendemen ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari bagian Barat dan Selatan P.Pari
NO
JENIS SPONS
LOKASI
1
Aaptos aaptos
2
Petrosia sp.
SAMPEL/ HABITAT
RENDEMEN %
Bagian Barat Pulau Pari
1 2 3 4* 5*
8,02 44,92 30,59 0,96 6,14
Bagian Selatan Pulau Pari
1* 2* 3*
12,33 4,43 4,78
Transplantasi,Barat Pulau Pari
1* 2*
17,65 16,01
Bagian Barat Pulau Pari
1 2 3
17,30 12,28 10,09
Bagian Selatan Pulau Pari
1 2
7,38 21,17
Transplantasi,Barat Pulau Pari
1* 2* 3*
2,38 7,09 5,07
* tanpa ulangan individu (hanya satu individu/habitat)
Analisa Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons Ekstrak metanol spon Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang difraksinasi menggunakan etil asetat kemudian dianalisis menggunakan metode kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography/TLC). Hasil analisis TLC menunjukkan
ekstrak kasar yang difraksinasi memiliki beberapa kandungan senyawa yang terpisah. Spons Aaptos aaptos yang difraksinasi berasal dari bagian Barat P. Pari dengan rendemen ekstrak kasar sebesar 4,7 % dari bobot total spons (500 g). Fraksinasi spons ini hanya menghasilkan dua fraksi, yaitu fraksi organik yang diperkirakan mengandung senyawa bioaktif dan fraksi air. Fraksi organik sampel spons menunjukkan adanya 6 spot kandungan senyawa yang terpisah pada Kromatografi lapis tipis. Tabel 6 memperlihatkan nilai Rf senyawa yang terpisah pada analisis TLC. Sementara itu sampel spons Petrosia sp. yang difraksinasi berasal dari bagian Selatan P. Pari menghasilkan rendemen sebesar 1,22 % dari bobot total spons (470 g). Fraksi yang dihasilkan dari ekstrak kasar spons Petrosia sp. adalah fraksi organik dan semi organik, serta fraksi air (Gambar 9). Analisa TLC di bawah sinar UV (254 dan 365 nm) menunjukkan fraksi organik spons Petrosia sp. mengandung tiga spot kandungan senyawa yang terpisah, dan fraksi semi organiknya mengandung empat spot senyawa yang terpisah (Tabel 6; Gambar 10). Identifikasi awal senyawa-senyawa yang terpisah tersebut dicirikan oleh Rf (faktor retardasi) yang didapatkan dengan membagi jarak spot senyawa dengan jarak eluen dari titik awal sampel.
Fraksi organik
Fraksi semi organik
Fraksi air
a
b
Gambar 9 Fraksinasi ekstrak kasar spons (a) Aaptos aaptos dan (b) Petrosia sp.
Tabel 6
Nilai Rf kandungan senyawa ekstrak kasar hasil fraksinasi di bawah sinar UV (254 dan 365 nm) UV (Rf x 100) JENIS SPONS
Aaptos aaptos
FRAKSI
254 nm
365 nm
4,49 80,33
42,13 50,56 58,42 95,5
organik
5,68 64,7
97,7
semi organik
14,77 96,59
52,8 96,59
organik
Petrosia sp.
Gambar 10 Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp.
Masing-masing plat TLC diuji bioautografi untuk melihat aktivitas antibakteri senyawa yang terkandung dalam fraksi ekstrak kasar spon Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Hasil uji bioautografi yang dilakukan terhadap
A. hydrophylla
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang tidak terlalu jelas pada masingmasing sampel spons (Gambar 11 – 13). Hal ini kemungkinan disebabkan bakteri target tersebut tidak cukup sensitif terhadap senyawa-senyawa yang dianalisis. Selain itu, ketidakjelasan zona hambat juga dikarenakan pengamatan yang dilakukan tidak menggunakan reagen pereaksi yang sesuai untuk melihat zona yang terbentuk. Fraksi organik sampel spons Petrosia sp. menunjukkan aktivitas antibakteri pada ketiga senyawa yang dikandung (Rf: 0,0568, 0,647 dan 0,977). Demikian
pula pada fraksi semi-organik sampel spons Petrosia sp., semua senyawa yang terpisah menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap A. hydrophylla (Rf: 0,1477, 0,528 dan 0,9659). Sementara itu, pada fraksi organik sampel spons Aaptos aaptos, hanya ada 3 senyawa yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap A. hydrophylla. Ketiga senyawa tersebut memiliki nilai Rf 0,0449, 0,8033 dan 0,955.
Zona hambat
Gambar 11 Bioautografi fraksi organik spons Aaptos aaptos terhadap A. hydrohylla.
Zona hambat
Gambar 12 Bioautografi fraksi organik spons Petrosia sp. terhadap A. hydrohylla.
Zona hambat
Gambar 13 Bioautografi fraksi semi-organik spons Petrosia sp. terhadap A. hydrohylla.
Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons Sampel segar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. ditriturasi untuk kemudian diinokulasi pada media Sea Water Complete Agar (SWC), dengan tujuan mengisolasi bakteri simbionnya. Setelah inkubasi selama 10 hari, koloni bakteri dimurnikan dan diidentifikasi secara konvensional dengan mengamati morfologinya dan uji fisiologi menggunakan Microgen ID GN A + B Panel Kit produksi Microgen Bioproducts. Spons Aaptos aaptos mengandung 8 bakteri simbion yang berhasil diisolasi, sementara isolat yang didapatkan dari spons Petrosia sp. setelah inkubasi 10 hari hanyalah 2 isolat fungi simbion, dan tidak adanya bakteri simbion yang berhasil diisolasi (Gambar 14). Tabel 7 menunjukkan morfologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos. Tabel 7 Morfologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos MORFOLOGI
NAMA ISOLAT
Pigmentasi
Gram
Bentuk sel
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
putih oranye putih putih putih putih putih putih
+ + + +
batang panjang bulat (kokus) batang (basil) batang pendek batang pendek bulat (kokus) bulat (kokus) batang panjang
a
b
Gambar 14 Isolat fungi simbion spons Petrosia sp.
Hasil pengamatan morfologi menunjukkan bahwa bakteri yang berhasil diisolasi, empat isolat diantaranya merupakan bakteri Gram (+) dan empat lainnya merupakan bakteri Gram (-). Uji fisiologi terhadap 4 bakteri Gram (+), yaitu isolat A1, A2, A3 dan A8, menunjukkan bahwa isolat A1, A3 dan A8 memiliki ciri ciri yang sama dengan bakteri dari genus Bacillus. Sementara isolat A2 memiliki ciri bakteri dari genus Staphylococcus. Identifikasi bakteri Gram (+) berdasarkan ciri morfologi dan fisiologi dilakukan dengan menggunakan buku Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994). Bakteri Gram (-) yang berhasil diisolasi antara lain adalah isolat A4, A5, A6 dan A7. Isolat A4 dan A6 memiliki ciri-ciri yang sama dengan Acinetobacter haemolyticus. Isolat yang lain, yaitu A5 memiliki ciri yang menyerupai Xenorhabdus
nemathopilis,
atau
dulu
dikenal
sebagai
Pseodomonas
nematophilus. Ketiga isolat ini belum dapat dipastikan sebagai Acinetobacter haemolyticus dan Xenorhabdus nematophilus karena kesamaan ciri fisiologi ke-3 isolat tersebut masih berada di bawah 90%. Selain itu, hasil uji fisiologi menunjukkan bahwa ke-3 isolat tersebut termasuk kategori Poor identification menurut analisis identifikasi Microgen ID versi 1.08.11. Hal ini disebabkan ada beberapa sifat fisiologi ke-3 isolat tersebut yang tidak sesuai dengan sifat fisiologi A. Haemolyticus dan X. nematophilus. Sementara itu, isolat A7 dapat dipastikan merupakan bakteri Vibrio alginolyticus, dengan kesamaan ciri morfologi dan fisiologi sebesar 99,84%. Pengamatan biomassa sel spons dilakukan dengan melihat struktur sel dari preparat histologi dan penghitungan jenis sel masing-masing spesies spons di bawah miksroskop fase kontras. Pengamatan preparat histologi menunjukkan bahwa spons Aaptos aaptos memiliki spikula oxea yang tersebar di bagian
ektosom (korteks) dan spikula style serta strongyle yang terdapat di bagian ektosom (korteks) dan endosom (medulla). Gambar 15 menunjukkan struktur sel spons Aaptos aaptos. Pada gambar tersebut juga dapat diamati sel-sel archaeocyt (amoebocyt) dengan nukleus berukuran besar (Richelle-Maurer 2001). Sementara itu, hasil fraksinasi sel spons dengan metode sentrifugasi (Richelle-Maurer 2001) menunjukkan bahwa bobot spikula dan sel debris spons mencakup 55,9% bobot total sel, dan pellet bakteri simbion mencapai sekitar 29,9% (Tabel 8). Skema fraksi sel spons untuk Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel 8 Persentase fraksi sel spons setelah sentrifugasi FRAKSI SEL (%) JENIS SPONS
spikula+ sel debris
sel spons (choanosome)
pellet bakteri simbion
Aaptos aaptos
55,9
14,2
29,9
Petrosia sp.
68,6
19,7
11,7
archaeocyt
spikula
Gambar 15 Struktur sel Aaptos aaptos (pengamatan histologis pada perbesaran 20x10).
a
b
oxea
c
style
d
strongyle
Gambar 16
Struktur sel spons Petrosia sp. (preparat histologi pada perbesaran 20 x 10 (a-c: spikula) dan 40 x 10 (d: bagian medulla spons), tanda panah pada Gambar 16d menunjukkan sel berwarna kemerahan dengan nukleus yang besar, dan spikula terikat jaringan spongin, yang ditandai lapisan transparan di sekeliling spikula.
Struktur sel spons Petrosia
sp. yang teramati dari preparat histologi
menunjukkan jaringan skeleton yang terdiri dari susunan spikula isotropik (seragam) yang padat. Gambar 16 memperlihatkan spikula yang terdapat pada jaringan spons Petrosia sp. Susunan spikula tersebut terdiri dari spikula oxea, style dan strongyle. Archaeocyt tidak terlihat jelas pada preparat histologi yang diamati dengan mikroskop fase kontras. Jaringan spongin terlihat sedikit
transparan, mengikat spikula yang padat, terutama pada bagian ektosom (korteks). Hasil fraksi sel spons
Petrosia sp. dengan menggunakan metode
sentrifugasi (Richelle-Maurer 2001), menunjukkan bahwa fraksi spikula dan sel debris spons merupakan fraksi yang paling besar (68,6%), sementara pellet bakteri
simbion
yang
ditemukan
hanya
mencapai
11,7
%.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa biomassa spons Petrosia sp. lebih dipengaruhi oleh selsel penyusun skeleton spons, daripada bobot simbionnya. Sentrifugasi 1000 rpm 5 menit
SUPER NATAN Sel spons + cyanobacteria (choanosome) Sel spons yang telah dihancurkan spikula + sel debris Sentrifugasi 4000 rpm 10 menit Sel spons (choanosome)
Pellet bakteri
Gambar 17 Distribusi fraksi sel spons setelah sentrifugasi.
Penghitungan jumlah dan
jenis sel spons serta bakteri simbion
pada
spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dilakukan setelah fraksi spons berhasil dipisahkan. Namun, jumlah masing-masing sel tidak berhasil diketahui. Hal ini disebabkan fraksi-fraksi sel tersebut bersifat transparan, sehingga sulit untuk diamati.
PEMBAHASAN Bioaktivitas Senyawa Ekstrak Kasar Spons dan Pengaruh Lingkungan Hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. terhadap bakteri target dan Artemia salina
menunjukkan hasil yang bervariasi pada sampel dari alam dan hasil
transplantasi.
Secara
keseluruhan,
spons
Aaptos
aaptos
menunjukkan
bioaktivitas yang lebih tinggi terhadap organisme target (bakteri dan A. salina) daripada spons Petrosia sp., untuk sampel yang berasal dari alam maupun sampel yang merupakan hasil transplantasi. Hal ini disebabkan oleh senyawa bioaktif yang dikandung oleh kedua spons merupakan senyawa dengan struktur dan jenis yang berbeda. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap kandungan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos menunjukkan senyawa tersebut antara lain adalah homarine dan piridiniumbetain B (Granato et al. 2000). Menurut Bergquist dan Hartman (1969), ordo Hadromerida (termasuk di dalamnya genus Aaptos) mengandung senyawa aktif ninhidrin. Bergquist (1991, diacu dalam Miller et al. 1998) dan Pelletier et al. (1987) mengemukakan lebih lanjut bahwa Aaptos mengandung senyawa aaptamine dan senyawa demethyloxyaaptamine yang termasuk dalam golongan alkaloid. Selain itu, penelitian lain menyatakan bahwa genus ini memiliki kandungan senyawa aktif lektin, seperti pada Aaptos papillata (Bretting et al. 1976). Sementara itu, spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok poliasetilen. Senyawa ini diketahui memiliki potensi sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, H+, inhibitor K+-ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas antitumor serta immunosuppresive (Young et al. 1999; Kim et al. 2002; www.cas.muohio.edu). Sarma et al. (2005) juga mengemukakan bahwa senyawa weinbergsterol dan ikatan sterol orthoester yang memiliki rantai samping 16 β-OH (dan 20-OH serta 22-O-butyrat) berhasil diisolasi dari Petrosia weibergii. Selain itu, senyawa lembehsterol A dan B serta 6-O-sulfat ester berhasil diisolasi dari P. strongylata yang berasal dari Indonesia. Perbedaan bioaktivitas spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur morfologinya. Morfologi spons Petrosia sp. yang keras dengan komposisi spikula yang padat memungkinkan mekanisme pertahanan diri secara fisik menjadi lebih dominan daripada mekanisme secara kimiawi. Menurut Hill dan Hill (2002), spikula skeleton dapat
berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap predasi spons. Hasil preparat histologi spons Petrosia sp., menunjukkan struktur organisasi selnya lebih didominasi oleh materi mineral, ini memungkinkan spons dapat mereduksi produksi metabolit sekundernya. Penelitian Hill dan Hill (2002) mengenai plastisitas morfologi spons Anthosigmella varians juga menunjukkan bahwa pada saat tingkat predasi tinggi, spons akan memproduksi spikula dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi senyawa bioaktif spons, karena produksi spikula merupakan proses yang membutuhkan energi tinggi. Selain itu, tidak semua predator spons dapat dihalau dengan mekanisme pertahanan secara kimiawi, seperti ikan Chaetodon melannotus (Allino et al. 1992, diacu dalam Hill & Hill 2002). Sehingga, kemungkinan spons akan mengurangi produksi senyawa kimiawi untuk efisiensi energi. Senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. yang
berasal dari alam memiliki tingkat bioaktivitas yang bervariasi pada habitat dan lokasi yang berbeda. Sementara sampel yang berasal dari hasil transplantasi cenderung menunjukkan hasil yang lebih seragam, kecuali untuk spons Petrosia sp. Kurangnya jumlah sampel menyebabkan analisa secara statistik tidak dapat dilakukan untuk menentukan faktor lingkungan yang berperan terhadap aktivitas senyawa bioaktif. Secara keseluruhan, sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari bagian Selatan P. Pari memiliki tingkat toksisitas ekstrak kasar yang lebih tinggi terhadap Artemia salina daripada sampel (alam dan hasil transplantasi) yang berasal dari bagian Barat P. Pari. Keragaman tingkat bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons dapat disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan mikro pada habitat (lokal) dan lokasi yang berbeda. Lokasi pengambilan sampel di bagian Barat P. Pari memiliki lingkungan perairan dengan substrat pasir yang agak berlumpur dengan kekeruhan yang lebih tinggi, sementara bagian Selatan memiliki substrat karang dengan arus yang lebih kencang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap metabolisme spons, karena mekanisme filter feeder yang dilakukan spons untuk mendapatkan nutrisinya. Menurut Bell dan Barnes (2003), morfologi dan fisiologi spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan mikro tempat hidupnya. Pertumbuhan dan metabolisme serta simbion yang berasosiasi dengan spons akan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor tersebut. Bell dan Barnes (2003) juga
menyatakan bahwa substrat tumbuh spons dapat berpengaruh
terhadap morfologi spons, yang dengan demikian, juga akan mempengaruhi bioaktivitasnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adaptasi morfologi spons antara lain adalah aliran air, sedimentasi dan tipe substrat (Bell & Barnes 2000, diacu dalam Bell & Barnes 2003). Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perbedaan morfologi dan bioaktivitas secara signifikan di dalam satu habitat. Lingkungan perairan yang cenderung subur (terkontaminasi limbah organik) juga sangat berpengaruh besar terhadap produksi senyawa bioaktif spons. Hal ini disebabkan lingkungan yang subur dapat menyebabkan spons dapat mengurangi jumlah jenis dan kelimpahan simbion yang berasosiasi dengan spons tersebut (Wilkinson 1987, diacu dalam Steindler 2002). Sementara terdapat kemungkinan bahwa organisme simbion tersebut memiliki peran penting dalam produksi senyawa bioaktif. Penelitian lain juga memaparkan bahwa suhu berpengaruh besar terhadap respirasi dan metabolisme primer, serta metabolisme sekunder spons. Zocchi et al. ( 2001, 2002) berhasil membuktikan bahwa kenaikan suhu dapat mengaktivasi
pembentukan
ADP-ribosa
cylase.
ADP-ribose
cylase
ini
berperanan dalam sekresi insulin dan proliferase sel. Penelitian yang dilakukan Zocchi et al. (2002) terhadap Axinella polypoides menunjukkan bahwa stimulasi suhu pada jangka pendek dapat menyebabkan penurunan (depresi) asam amino yang berkepanjangan, dan meningkatkan laju respirasi spons. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi metabolit sekunder (senyawa bioaktif), karena beberapa senyawa metabolit sekunder merupakan hasil samping dari metabolisme primer (antara lain asam amino). Selain itu, bioaktivitas yang berbeda juga dapat ditemukan pada bagian tubuh yang berbeda dari satu organisme, seperti bagian basal (dasar) yang melekat pada substrat akan memiliki bioaktivitas dan struktur sel yang berbeda dengan bagian atas yang jauh dari substrat. Proksch et al. (2003), menyatakan bahwa distribusi senyawa alkaloid dari spons Oceanapia sp. mengikuti model yang sama dengan produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman. Ini ditunjukkan dengan distribusi alkaloid yang berbeda antara bagian tubuh spons yang terpapar dan yang tidak terpapar. Konsentrasi alkaloid yang tinggi pada spons tersebut ditemukan pada bagian fistullae dan cabang aseksualnya. Sementara konsentrasi terendah (hanya sekitar 0,8% berat kering) ditemukan pada bagian dasar tubuh (basal) yang terkubur pasir, dan seringkali luput dari
predator. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagian tubuh serta habitat spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang memproduksi senyawa bioaktif secara optimal. Spons Aaptos aaptos yang merupakan hasil transplantasi menunjukkan tingkat aktivitas antibakteri dan toksisitas yang tidak jauh berbeda. Ini dapat disebabkan faktor habitat yang cenderung sama, antara lain substrat dan aliran air yang sama, serta tingkat sedimentasi yang tidak berbeda antara sampel yang dianalisa. Hal yang berlawanan terjadi pada spons Petrosia sp. yang berasal dari hasil transplantasi. Tingkat bioaktivitas yang ditunjukkan pada sampel-sampel yang dianalisa cenderung sangat beragam, terutama aktivitas terhadap bakteri target S. aureus dan toksisitas terhadap Artemia salina. Keragaman tingkat bioaktivitas tersebut dapat disebabkan oleh struktur morfologi Petrosia sp. yang lebih padat akan komponen mineral penyusun skeleton. Nichols dan Werheide (2005), menyatakan bahwa dalam usahanya mempertahankan diri, spons yang mengalami kerusakan jaringan akan lebih cepat pulih jika tidak memiliki pertahanan secara kimiawi. Sipkema et al. (2005) juga menyatakan bahwa sintesis metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi spons tersebut. Sebagai contohnya, spesimen Crambe crambe yang mendapatkan cahaya cukup akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik dan lebih cepat daripada spesimen yang terlindung dari cahaya. Namun, spesimen yang terlindung dari cahaya akan memiliki pertahanan kimiawi yang lebih baik, karena adanya akumulasi senyawa bioaktif (Turon et al. 1998, diacu dalam Sipkema et al. 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan (korelasi) antara tingkat bioaktivitas antibakteri dengan toksisitas terhadap Artemia salina pada senyawa ekstrak kasar dengan konsentrasi yang sama. Hal ini disebabkan mekanisme inhibisi terhadap bakteri target tidak sama dengan toksisitas terhadap organisme multiseluler. Aktivitas antibakteri dapat bersifat menghambat
pertumbuhan
bakteri
(bakteriostatik)
atau
membunuhnya
(bakterisidal). Kelly et al. (2003) membuktikan bahwa senyawa antibakteri dari spons dapat saja menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga berfungsi sebagai antifouling terhadap pembentukan biofilm. Namun, senyawa yang sama belum tentu bersifat toksik, atau sebaliknya.
Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) fraksi organik senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos menunjukkan 6 kandungan senyawa organik yang terpisah. Sementara spons Petrosia sp. memiliki 3 kandungan senyawa yang terpisah untuk fraksi organiknya, dan 4 kandungan senyawa fraksi semi organik. Kandungan senyawa tersebut direfleksikan oleh spot-spot yang terpisah dengan nilai Rf (faktor retardasi) yang berbeda. Beberapa penelitian mengenai spons Aaptos aaptos menunjukkan bahwa terdapat 4 senyawa aktif berbeda yang telah berhasil diisolasi dari spons tersebut,
yaitu
homarine,
piridiniumbetain
B,
aaptamine
dan
demethyloxyaaptamine. Sementara penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap spons Petrosia sp. berhasil mengisolasi lima senyawa berbeda, yaitu weinbergsterol, sterol orthoester dengan rantai samping 16 β-OH (dan 20-OH serta 22-O-butyrat), lembehsterol A dan B serta 6-O-sulfat ester. Hasil analisis kandungan senyawa aktif Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan 6 kandungan senyawa aktif yang terpisah dari spons Aaptos aaptos dan 7 kandungan senyawa terpisah dari spons Petrosia sp. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan ditemukannya 2 senyawa baru dari spons Aaptos aaptos dan 2 senyawa dari spons Petrosia sp. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa tersebut. Nilai Rf (faktor retardasi) TLC belum dapat dijadikan sebagai identifikasi komponen senyawa, tetapi hanya dapat untuk melihat jumlah komponen yang terkandung dalam ekstrak kasar spons dan sebagai dasar purifikasi pada kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Hal ini disebabkan nilai Rf tergantung pada beberapa hal, yaitu sistem pelarut, jenis adsorbent (plat TLC) yang digunakan, jumlah senyawa organik yang dianalisa, dan
temperatur
dalam
http://chem.chem.rochester.edu).
sistem
(Furniss
et
al.
1978;
Walau demikian, salah satu kandungan
senyawa organik yang berasal dari spons Aaptos aaptos dengan nilai Rf 0,42 diperkirakan adalah senyawa yang menyerupai senyawa norharman (βcarboline, 9H-Pyrido [3,4-b] indole), yang ditemukan oleh Zheng et al. (2005) dari bakteri yang berasosiasi dengan spons Hymeniacidon perleve.
Senyawa
tersebut dapat diperkirakan sama dengan senyawa yang ditemukan Zheng et al. karena jenis adsorbent (plat TLC), sistem pelarut dan temperatur sistem yang
digunakan pada penelitian ini sama dengan jenis adsorbent, sistem pelarut dan temperatur yang digunakan pada penelitian Zheng et al. (2005). Aktivitas antimikrob kandungan senyawa ekstrak kasar (bioautografi) juga dilakukan pada masing-masing plat hasil TLC, dengan menggunakan bakteri target A. hydrophylla. Hasil bioautografi menunjukkan aktivitas antimikrob yang rendah, karena zona bening yang dihasilkan tampak tidak jelas. Ini dapat disebabkan oleh kurang sensitifnya bakteri target terhadap kandungan senyawa bioaktif, atau bioaktivitas kandungan senyawa lebih rendah daripada ekstrak kasarnya. Senyawa murni dapat kehilangan bioaktivitasnya karena beberapa hal, antara lain senyawa-senyawa yang bersifat sinergisme dalam mekanisme bioaktivitas kehilangan kemampuannya karena adanya pemisahan komponen. Alasan lainnya adalah metabolit tersebut teroksidasi atau rusak selama proses fraksinasi, sehingga kehilangan bioaktivitasnya (Sjögren 2006). Facchini (2001, diacu dalam Sjögren 2006) juga menyatakan bahwa beberapa jalur enzimatik yang berperan dalam produksi metabolit sekunder, terbukti sangat mudah terinduksi, terutama produksi metabolit yang berupa senyawa alkaloid. Penentuan identifikasi kandungan senyawa fraksi kedua spons dalam penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut dengan melakukan purifikasi senyawa menggunakan kromatografi kolom atau HPLC, kemudian penentuan struktur spektroskopi massa. Senyawa yang telah murni, kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut secara komersial, setelah proses paten dan lisensi produk. Gambar 17 menunjukkan skema alur penelitian dan pengembangan produk senyawa bioaktif dari spons. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap Aaptos aaptos menunjukkan bahwa spons ini memiliki senyawa bioaktif berupa senyawa homarine dan pridiniumbetain (Granato et al. 2000). Selain itu, Pelletier dan Cava (1987)
menemukan
senyawa
aaptamine,
demethyloxyaaptamine pada spons Aaptos aaptos
demethylaaptamine
dan
yang berasal dari Laut
Okinawa. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan sebagai antitumor, antimikroba dan kemampuan menghalangi (blocking) aktivitas α-adrenoceptor. Kemampuan menghalangi aktivitas α-adrenoceptor diperkirakan berperan dalam pertahanan spons Aaptos terhadap predator (Bergquist 1991, diacu dalam Miller et al. 1995). Penelitian mengenai senyawa bioaktif yang dikandung spons Petrosia sp. juga telah banyak dilakukan sebelumnya. Gung (2001) menyatakan bahwa spons
tersebut mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok polyacetilene. Kelompok senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang beragam, antara lain sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, inhibitor H+ dan K+- ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas immunosupressive serta antitumor.
Baru- baru ini telah
ditemukan juga senyawa polyacetylenetriol, pada spons Petrosia sp. dari laut Mediterania, yang memiliki kemampuan sebagai inhibitor DNA polimerase (Loya et al. 2002, diacu dalam Chelossi 2004). Kandungan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. juga telah dikemukakan pada bagian awal pembahasan.
SUBJEK PENELITIAN Pengambilan sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari alam dan hasil transplantasi
Ekstraksi spons dengan MeOH
Isolasi bakteri simbion dan observasi biomassa sel spons
Senyawa ekstrak kasar
Uji aktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa
Fraksinasi senyawa bioaktif (EtOAc + air)
Analisa kandungan senyawa bioaktif (TLC)
Analisa bioautografi kandungan senyawa bioaktif (hasil TLC)
PENELITIAN LANJUTAN
Molekul/ senyawa baru
Hemisintesa analog senyawa secara kimia
Purifikasi kandungan senyawa aktif
Analisa struktur molekul senyawa
LISENSI DAN PATEN PRODUK
Pengembangan
Gambar 18 Alur penelitian dan pengembangan produk senyawa bioaktif dari spons (diadaptasi dari Penasse 1989).
Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons Isolasi bakteri simbion spons dilakukan pada sampel segar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang berasal dari alam. Setelah masa inkubasi selama 10 hari, 8 bakteri simbion yang berbeda secara fenotipik berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos (Lampiran 2). Hasil pengamatan pewarnaan Gram terhadap ke-8 bakteri simbion tersebut menunjukkan bahwa terdapat empat bakteri Gram (+), yaitu A1, A2, A3 dan A8, serta empat bakteri Gram (-), yaitu A4, A5, A6 dan A7. Uji fisiologi yang dilakukan terhadap ke-4 bakteri Gram (+), A1, A2, A3 dan A8, menunjukkan bahwa isolat A1, A3 dan A8 memiliki ciri-ciri yang sama dengan bakteri dari genus Bacillus. Sementara isolat A2 memiliki ciri-ciri genus Staphylococcus. Bakteri dari genus Bacillus merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,5 – 2,5 x 1,2 – 10 μm, yang tersusun secara berpasangan atau membentuk rantai, dengan ujung yang agak bulat atau kotak. Bakteri Gram (+) memiliki flagella, sehingga bersifat motil. Bakteri ini juga memiliki endospora yang resisten
terhadap
tekanan
kondisi
lingkungan
yang
beragam.
Bakteri
kemoautotrof ini memiliki metabolisme fermentatif atau respiratif, dan memiliki kisaran habitat yang sangat luas (Holt et al. 1994). Bacillus dapat ditemukan pada lingkungan perairan laut karena tingkat toleransinya terhadap salinitas cukup besar (Holt et al. 1994). Biasanya bakteri banyak ditemukan pada lumpur dan sedimen di perairan laut. Namun, bakteri ini juga diketahui dapat berasosiasi dengan benthos laut (Hentschel et al. 2001, diacu dalam Chelossi et al. 2004). Kebanyakan spesies dari genus ini, diketahui dapat memproduksi senyawa peptida dengan aktivitas antimikroba (Chelossi et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi
et al. (2004) berhasil
menemukan bakteri Bacillus yang berasosiasi dengan spons Petrosia ficiformis dari laut Ligurian, sebagai bakteri epibion spons. Thakur dan Mϋller (2004) juga mengemukakan bukti bahwa bakteri Bacillus pumilus, yang berasosiasi dengan spons laut, menghasilkan senyawa surfaktin - menyerupai depsipeptida, yang merupakan senyawa bioaktif spons. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yan et al. (2002) membuktikan bahwa bakteri laut dari genus Bacillus, merupakan bakteri epibiotik yang membentuk biofilm, menghasilkan senyawa antimikroba. Isolat A2 memiliki morfologi sel yang bulat (kokus) dengan pewarnaan Gram (+). Hasil pengujian fisiologi menunjukkan bakteri ini memiliki sifat
mereduksi nitrat dan urease positif. Bakteri ini juga dapat menggunakan glukosa,laktosa dan arabinosa sebagai sumber karbonnya. Ciri-ciri tersebut merupakan sifat bakteri dari genus Staphylococcus. Holt et al. (1994) mengemukakan bahwa bakteri Staphylococcus bersifat anaerob fakultatif, dengan metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada habitat dengan kadar NaCl sebesar 10%. Pada umumnya bakteri dari genus ini berasosiasi pada kulit dan membran mukus vertebrata, namun juga dapat ditemui pada debu dan air. Beberapa spesies bakteri ini diketahui dapat memproduksi toksin ekstraseluler. Penelitian yang pernah dilakukan pada perairan P. Pramuka, Kep. Seribu, DKI Jakarta, membuktikan bahwa bakteri Staphylococcus, Acinetobacter haemolyticus, dan Vibrio spp. dapat ditemukan sebagai bakteri pelagis di laut (Ismet 2004). Hal ini juga dikemukakan oleh Austin (1988), bahwa beberapa bakteri
seperti Serratia spp., Acinetobacter, Moraxella, Marinococcus dan
Staphylococcus cenderung memiliki kelimpahan yang tinggi pada lingkungan perairan laut. Santavy (1995) dan Rohwer et al. (2001) menemukan bahwa beberapa bakteri dapat berasosiasi pada hewan metazoa. Penelitian yang dilakukan
oleh
Rohwer
et
al.
(2001)
mengungkapkan
sp.,
Bacillus
Staphylococcus sp., Acinetobacter sp. dan Moraxella spp. berasosiasi pada hewan karang dan memiliki kelimpahan yang tinggi pada daerah terumbu. Bakteri Gram (-) yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos adalah isolat A4, A5, A6 dan A7. Pengamatan morfologi dan fisiologi terhadap isolat A4 dan A6 menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki ciri yang sama dengan Acinetobacter haemolyticus, dengan kesamaan ciri mendekati 90% (Microgen ID versi 1.08.11). Isolat A5 memiliki ciri morfologi sel dan fisiologi yang menyerupai Xenorhabdus nematophilus, dengan kesamaan ciri sebesar 80%. Sementara isolat A7 merupakan bakteri Vibrio alginolyticus, dengan kesamaan ciri sebesar 99.84%. Holt et al. (1994) menulis bahwa Acinetobacter haemolyticus adalah bakteri Gram (-) dengan ciri-ciri berbentuk batang, yang biasanya tersusun secara berpasangan atau rantai. Bakteri ini bersifat aerobik dengan metabolisme respiratif, dapat menggunakan ammonium atau garam nitrat sebagai sumber nitrogennya. Bakteri Acinetobacter haemolyticus dapat ditemukan pada tanah, air dan limbah.
Seperti yang telah diungkapkan diatas, bakteri dari genus
Acinetobacter
dapat
ditemukan
berlimpah
pada
perairan
laut,
maupun
berasosiasi dengan hewan metazoa (Austin 1988; Santavy 1995; Rohwer et al. 2001). Rohwer et al. (2001) menemukan bakteri A. jhonsonii dan Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang berasosiasi dengan karang Montastrea franksii,
Diploria strigosa dan Porites astroiedes yang berasal dari perairan
Panama dan Bermuda. Penelitian lain yang dilakukan oleh Razak et al. (2004) juga berhasil mengisolasi bakteri laut Acinetobacter sp. 11, yang dapat mendegradasi limbah minyak. Isolat A5 kemungkinan besar adalah bakteri Xenorhabdus nematophilus. Menurut Holt et al. (1994), bakteri ini memiliki bentuk batang dengan pewarnaan Gram (-). Bakteri yang memiliki flagella ini bersifat motil, dan anaerob fakultatif, dengan metabolisme respiratif dan fermentatif. Biasanya bakteri ini tidak dapat mereduksi nitrat, dan fermentasi karbohidratnya hanya menggunakan Dmannosa. Bradstreet (2004) menyatakan bahwa X. nematophilus merupakan bakteri terestrial yang bersimbiosis pada saluran cerna (intestinum) nematoda. Bakteri ini menghasilkan endo dan ekso-toksin yang dapat membunuh serangga, sehingga memiliki potensi sebagai insektisida. Penelitian yang dilakukan oleh Thaler et al. (1998) menemukan bahwa X. nematophilus dapat memproduksi enzim lipase spesifik yang bekerja pada lipid non-polar, dan enzim lecithinase yang aktif terhadap lipid yang bersifat polar. Secara taksonomi, X. nematophilus termasuk ke dalam kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Chelossi et al. (2004) menyatakan di dalam publikasi penelitiannya, bahwa bakteri yang termasuk dalam kelompok ini memiliki rentang habitat yang luas. Bakteri kelompok Enterobacteriaceae dipertimbangkan sebagai indikator adanya kontaminasi faecal pada perairan (Baudisova et al.1997, diacu dalam Chelossi et al.2004). Keberadaan X. nematophilus pada spons Aaptos aaptos merupakan hal yang belum banyak diketahui. Kemungkinan bakteri ini masuk ke dalam tubuh spons melalui mekanisme filter feeder dari perairan yang mengalami kontaminasi faecal. Mekanisme simbiosis antara spons dan bakteri ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Proksch et al. ( 2003) menyatakan dalam publikasinya, bahwa banyak mikroba terestrial dapat ditemukan berasosiasi dengan hewan laut (misalnya spons), namun belum dapat dipastikan keberadaannya pada habitat tersebut merupakan kebetulan atau tidak. Namun mikroba-mikroba tersebut diketahui dapat menghasilkan senyawa baru yang berbeda dengan senyawa metabolit sekunder mikroba yang sama dari habitat terestrial. Sebagai contoh adalah fungi
Xanthomonas exigua yang berasal dari habitat terestrial, dapat menghasilkan metabolit baru hitherto jika diisolasi sebagai simbion spons. Kedua bakteri yang dikemukakan diatas masih harus diteliti secara mendalam, antara lain identifikasi secara molekuler dan peranan serta mekanisme simbiosis yang dibentuk dengan spons Aaptos aaptos. Isolat bakteri terakhir, yaitu isolat A7, teridentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus. Bakteri ini sering ditemukan pada perairan laut, baik sebagai bakteri asosiatif maupun pelagis. Bakteri ini memiliki bentuk batang lurus atau lengkung, dengan pewarnaan Gram (-). Bakteri yang bersifat anaerob fakultatif ini memiliki flagella sebagai alat geraknya. Tipe metabolisme bakteri ini adalah respiratif dan fermentatif, dengan sifat kemoorganotrof. Katabolisme karbohidrat menghasilkan asam tanpa memproduksi gas. Holt et al. (1994) menyatakan bahwa bakteri ini umum ditemukan pada lingkungan akuatik dan pada permukaan serta di dalam saluran intestinal hewan laut. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap V. alginolyticus menemukan bahwa bakteri ini dapat bersifat patogen pada beberapa hewan laut, seperti Sepia sp., lumba-lumba, dan beberapa ikan serta udang (Molitoris et al. 1985; Schroeder et al. 1985; Thaler et al. 1998; Sangster & Smolowitz 2003). Menurut Ogunseitan et al. (1999), bakteri ini membentuk biofilm pada ekosistem laut, dan menghasilkan senyawa yang resisten terhadap timah (Pb) serta dapat mereduksi logam (copper). Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) telah berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri simbion spons Petrosia ficiformis merupakan bakteri dari genus Vibrio. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa galur bakteri genus ini, yang ditemukan berasosiasi dengan spons Hyatella sp., memproduksi antibiotik yang termasuk ke dalam kelompok peptida (Oclarit et al. 1994, diacu dalam Chelossi et al. 2004). Sementara itu, pada sampel segar spons Petrosia sp. tidak berhasil ditemukan bakteri simbion, tetapi dua koloni fungi yang berbeda diisolasi setelah masa inkubasi selama 10 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) menunjukkan bahwa spons Petrosia ficiformis memiliki sekitar 57 bakteri heterotrof yang bersifat epibiotik pada permukaan spons, antara lain Vibrio sp., Pseudoalteromonas, Bacillus sp., Aeromaonas sp. dan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae. Penelitian lain yang dilakukan oleh Steindler et al. (2002, 2005) menunjukkan bahwa spons Petrosia sp. juga berasosiasi dengan bakteri
fotosimbion, seperti cyanobacteria, dan bakteri heterotrof lainnya pada bagian mesohylnya. Steindler et al. (2002) juga menambahkan bahwa komposisi bakteri fotosimbion mempengaruhi aktivitas fotosintesis spons Petrosia sp. Kedalaman habitat spons berpengaruh pada komposisi komunitas bakteri fotosimbion. Spons yang berada pada daerah intertidal akan memiliki fotosimbion yang lebih berlimpah daripada spons dari daerah subtidal. Dengan demikian spons yang berada di intertidal lebih aktif melakukan fotosintesis daripada yang berada di daerah subtidal. Hasil penelitian-penelitian yang dikemukakan di atas memiliki perbedaan yang signifikan dengan penelitian ini, karena tidak adanya bakteri simbion yang berhasil diisolasi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Spons Petrosia sp. berasal dari daerah subtidal (kedalaman 7 m) sehingga simbion bakteri, terutama bakteri fotosimbion, hanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini bisa terjadi karena sedikitnya sinar matahari yang mencapai spons, dan aktivitas fotosintesis menjadi tidak optimal. Thacker (2005) menyatakan bahwa pada kondisi terlindung dari sinar matahari, bakteri fotosimbion seringkali tidak ditemukan karena kurangnya cahaya matahari. 2. Menurut Wilkinson (1987, diacu dalam Steindler 2002), pada lingkungan oligotrofik, spons akan memiliki bakteri simbion fotosintesis dan heterotrof dalam jumlah yang banyak, sebagai alternatif sumber energinya. Sementara itu, hasil pengukuran parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel spons menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki konsentrasi bahan organik yang tinggi (terkontaminasi limbah organik). Hal ini dapat menyebabkan spons kemungkinan tidak memerlukan bakteri simbion dalam jumlah besar, karena aktivitas filter feeder dapat berlangsung secara optimal. 3. Bakteri simbion spons merupakan bakteri yang sulit untuk dikultur. Walaupun biasanya sekitar 40% biomassa spons terdiri dari bakteri simbion, kemungkinan untuk mengisolasi dan kulturisasi bakteri simbion sangatlah rendah (sekitar 1% dari total populasi mikroba) (Sennet et al. 2002). Terbatasnya fasilitas untuk mengidentifikasi bakteri simbion pada penelitian ini, menyebabkan informasi mengenai bakteri simbion tidak didapat secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
identifikasi secara molekuler terhadap bakteri simbion, baik yang terkultur maupun yang tidak dapat dikultur. Aspek terakhir yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan biomassa sel spons. Hasil yang didapatkan dari pengamatan histologi kedua jenis spons, dengan menggunakan mikroskop fase kontras, menunjukkan bahwa komponen struktur yang dapat diidentifikasi adalah komponen penyusun skeleton (spikula dan jaringan spongin), serta sel yang berukuran besar yang diperkirakan sebagai archaeocyt. Selain pengamatan preparat histologis, penghitungan jenis sel spons juga dilakukan dengan mengukur persentase fraksi sel. Spons Aaptos aaptos menunjukkan persentase komponen penyusun skeleton (spikula dan sel debris) mencapai 55,9 %, sementara sel spons (choanosome) dan pellet bakteri simbion masing-masing mencapai 14,2 % dan 29,9%. Komposisi fraksi sel ini lebih dipengaruhi oleh morfologi spons. Aaptos aaptos memiliki morfologi yang tidak keras, dengan susunan spikula oxea, yang tidak terlalu padat, tersebar pada bagian ekstosom. Selain itu ditemukan juga spikula style dan strongyle pada bagian ektosom dan endosom. Hasil pengamatan secara histologi menunjukkan bahwa sel archaeocyte ditemukan pada lapisan mesohyl, dalam jumlah yang cukup banyak. Berbeda dengan spons Aaptos aaptos, spons Petrosia sp. memiliki fraksi komponen skeleton (spikula dan sel debris) yang lebih besar, yaitu mencapai 68,6%. Fraksi sel lainnya hanya mencapai 19,7% (sel spons/ choanosome) dan 11,7 % (pellet bakteri simbion). Hal ini sesuai dengan morfologi spons yang lebih kaku dan mengandung spikula yang tersebar secara padat. Susunan spikula tersebut terdiri dari spikula oxea, style dan strongyle. Spikula ini terutama ditemukan tersebar pada lapisan ektosom. Sementara itu, sel archaeocyte pada lapisan mesohyl tidak terlihat dengan jelas, dan hanya dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Persentase fraksi pellet bakteri simbion yang rendah dapat mendukung teori bahwa spons ini hanya mengandung bakteri simbion dalam jumlah kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa biomassa spons Petrosia sp. lebih dipengaruhi oleh sel-sel spons dan komponen penyusun skeleton. Menurut Wilkinson (1987, diacu dalam Steindler 2002), spons yang hidup pada daerah yang subur atau kaya bahan organik, akan memiliki biomassa sel yang tinggi, namun hanya mengandung sedikit sekali bakteri simbion.
Secara umum, bakteri simbion dapat ditemukan di dalam sel-sel amoebocyte (archaeocyte) dan pada lapisan mesohyl secara ekstraseluler, atau tidak berada di dalam sel spons. Selain itu, bakteri simbion juga dapat ditemukan pada bagian permukaan luar tubuh spons, atau biasa dikenal dengan sebutan bakteri epibiotik/epibion (Gomez 2001; Wilkinson 1978; Faulkner et al. 1994; Guyot 2000; Carpenter 2002; Steindler 2002, 2005; Chelossi et al. 2004; Oren et al. 2005; Thacker 2005). Mikroba simbion (bakteri dan fungi) dapat berada di dalam tubuh spons karena aktivitas penyaringan makanan (filter feeder) dari lingkungan perairan, kemudian mengalami adaptasi dan mekanisme simbiosis dengan spons inang. Bakteri-bakteri kemungkinan bukan merupakan bakteri yang bersimbiosis secara obligat (host-spesificity), melainkan bersifat komensal atau mutualisme. Namun demikian, mekanisme simbiosis simbion dan spons belum banyak diketahui dan masih harus diteliti lebih lanjut. Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa komposisi bakteri simbion dan kelimpahannya sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu, iklim, dan tingkat fotosintesis spons (cahaya matahari) (Steindler et al. 2002; Zocchi et al. 2002; Thakur & Mϋller 2004). Mikroba simbion spons (bakteri dan fungi) juga dapat berada di dalam tubuh spons karena adanya transmisi vertikal, atau secara genetis, dari induk ke larva spons. Simbion yang diturunkan secara vertikal, biasanya memiliki sifat simbiosis yang cenderung obligat, dan keberadaannya tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini berhasil dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa simbion tersebut memiliki sifat host-spesificity pada spons inang, dan ditemukan pada semua spesies spons inang yang berasal dari lokasi yang letaknya sangat berjauhan (Maldonado et al. 2005; Oren 2005; Steindler et al. 2005).
KESIMPULAN Hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. menunjukkan hasil yang bervariasi. Tingkat bioaktivitas kedua jenis spons yang berasal dari alam memiliki kisaran yang beragam untuk tiap habitat di lokasi yang berbeda. Sementara itu, sampel hasil transplantasi spons Aaptos aaptos memiliki tingkat bioaktivitas yang cenderung sama. Sampel hasil transplantasi Petrosia sp. menunjukkan tingkat bioaktivitas yang tidak seragam, berlawanan dengan sampel Aaptos aaptos. Morfologi spons Petrosia sp. merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap bioaktivitasnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons dengan toksisitas terhadap Artemia salina. Secara keseluruhan, tingkat bioaktivitas ekstrak kasar spons Aaptos aaptos lebih tinggi daripada spons Petrosia sp. Perbedaan kandungan senyawa bioaktif dalam kedua jenis spons tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat bioaktivitas. Perbedaan morfologi spons juga berpengaruh terhadap tingkat bioaktivitas. Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) terhadap kedua jenis spons menunjukkan bahwa fraksi organik Aaptos aaptos mengandung 6 senyawa yang terpisah. Sementara hasil TLC pada spons Petrosia sp. menunjukkan bahwa fraksi organiknya mengandung 3 senyawa, dan 4 senyawa dari fraksi semiorganik. Salah satu senyawa kandungan fraksi organik Aaptos aaptos dengan nilai Rf 0,42 diperkirakan sebagai senyawa norharman (β-carboline, 9HPyrido[3,4-b] indole). Hasil uji bioautografi menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri masing-masing senyawa tersebut terhadap Aeromonas hydrophilla terlihat rendah. Isolasi bakteri simbion yang dilakukan terhadap spons Aaptos aaptos menunjukkan adanya bakteri simbion yang bersifat Gram(+), yaitu A1, A2, A3, dan A8, serta bakteri Gram (-), yaitu, A4, A5, A6, dan A7. Hasil identifikasi secara konvensional menunjukkan isolat bakteri Gram (+) kemungkinan adalah bakteri dari genus Bacillus (A1, A3 dan A8) serta bakteri dari genus Staphylococcus (isolat A2). Sementara isolat bakteri Gram (-) diperkirakan adalah Acinetobacter haemolyticus (isolat A4 dan A6), Xenorhabdus nematophilus (isolat A5), dan Vibrio alginolyticus (isolat A7). Isolasi bakteri simbion terhadap spons Petrosia
sp. tidak berhasil dilakukan, namun terdapat dua isolat fungi dengan morfologi koloni yang berbeda. Pengamatan biomassa sel spons dan kaitannya dengan komposisi bakteri simbion menunjukkan bahwa komponen struktur yang berhasil diidentifikasi dari masing-masing spons secara histologi adalah komponen penyusun skeleton (spikula dan jaringan spongin) serta sel archaeocyte. Selain itu, dilakukan pula pengukuran persentasi fraksi sel. Spons Aaptos aaptos memiliki komponen penyusun skeleton (spikula dan sel debris) mencapai 55,9%. Jenis spikula yang teridentifikasi adalah oxea, style dan strongyle. Komponen lainnya, yaitu sel spons (choanosome) mencapai 14,2 % dan pellet bakteri mencapai 29,9%. Sel archaeocyte yang teridentifikasi ditemukan dalam jumlah banyak pada bagian mesohyl spons. Spons Petrosia sp. menunjukkan komposisi yang cukup berbeda dengan Aaptos aaptos. Komponen skeleton spons Petrosia sp. merupakan bagian yang sangat dominan (68,6%).
SARAN Penelitian ini merupakan penelitian dasar mengenai bioaktivitas spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp., kaitannya dengan lingkungan serta bakteri simbion dan biomassa sel spons. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap tingkat bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui bagian tubuh serta kondisi habitat spons yang dapat memproduksi senyawa bioaktif secara optimal. Kandungan senyawa ekstrak kasar kedua jenis spons ini masih perlu diidentifikasi lebih lanjut, sehingga dapat dikembangkan melalui purifikasi dan identifikasi struktur molekul senyawa murni sehingga dapat dihasilkan suatu produk senyawa. Pengisolasian simbion dapat dilakukan dengan menggunakan metode secara molekuler, sehingga semua mikrob simbion dapat diidentifikasi lebih lanjut. Selain itu, perlu juga dilakukan pengamatan morfologi (histologi) menggunakan mikroskop elektron, sehingga komposisi struktur spons dapat diketahui lebih jelas. Dengan demikian, diharapkan informasi mengenai morfologi dan fisiologi serta kaitannya dengan tingkat bioaktivitas senyawa yang dihasilkan spons akan menjadi lebih jelas.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Hibah Pasca VII yang telah mendanai sebagian besar penelitian ini, yang diketuai oleh Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium
Mikrobiologi
dan
Laboratorium
Lingkungan
PPLH
-
IPB,
Laboratorium Mikrobiologi - Dept. Biologi IPB, Laboratorium Kimia Analitik - Dept. Kimia IPB, dan Pusat Studi Ilmu Hayat dan Bioteknologi (PSIHB) - IPB, sebagai penyedia fasilitas laboratorium penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Chapter 6. www.gu.edu.au:8080 [27 Nov 2004]. Austin B. 1988. Marine microbiology. England, Cambridge University Press. Bergquist PR, WD Hartman. 1969. Free amino acid patterns and the classification
of
demospongiae.
J
Mar
Biol;
3(3):
247-268.
http://www.springerlink.com. Bell JJ, DKA Barnes. 2003. Effects of disturbance on assemblages: an example using Porifera. Biol Bull 205: 144-159. Bergquist PR. 1978. Sponges. London: Hutchinson. Bradstreet C. 2004. Xenorhabdus nematophilus. Microbe of the week 2004. http://web.umr.edu.htm [1 Februari 2007]. Brusca RC, GJ Brusca. 1990. Invertebrates. Sunderland, Massachusetts; Sinauer Associates, Inc. Publishers. hlm 181 – 207. Carpenter EJ. 2002. marine cyanobacterial symbioses. Proceeding of The Royal Irish Academy; 1:15-18. http://www.ria.ie. Chelossi
E,
M
Milanese,
Characterisation
A
Milano,
R
Pronzato,
G
Riccardi.
2004.
and antimicrobial activity of epibiotic bacteria from
Petrosia ficiformis (Porifera, Demospongia). J Experimental Mar Biol & Ecol ; 309: 21-33. Crueger W, A Crueger. 1984. Biotechnology: A Textbook of industrial microbiology, TD Brock (editor). USA: Science Tech Inc. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Jakarta: Kanisius. Effendi H. 2004. Isolation and structure elucidation of bioactive secondary metabolites of sponge derived fungi collected from the Mediterranean (Italy) and
Bali
Sea
(Indonesia)
[disertasi].
Düsseldorf:
Erlangung
des
Doktorgardes der Mathematisch-Naturwissenschaftlichen Fakultät der Heinrich-Heine Universität Düsseldorf. Faulkner DJ, MD Unson, CA Bewley. 1994. The chemistry of some sponges and their symbionts. Pure and Appl Chem 66:1983-1990. Furniss BS, AJ Hannaford, V Rogers, PWG Smith, AR Tatchell. 1984. Vogel’s Textbook of practical organic chemistry: including qualitative organic chemistry.
Fourth
edition.
England:
English
Languange
Book
Society/Longman. Gomez R. 2001. In Situ detection of microsymbionts in sponge tissue. http://www.science.uva.nl [15 Maret 2006]. Granato AC, RGS Serlinck, AB Schefer, A Magalhäes, AG Ferreira, B de Sanctis, JC Freitas, AE Migotto, E eHajdu. 2000. Produtos naturais das esponjas marinas Aaptos sp., e do nudibränqiao Doris aff. Verrucba. Quimca Nova. http://www.iqc.usp.br. Gung BW. 2001. Petrosia. www.cas.muohio.edu. Guyot M. 2002. Intricate aspects of sponge chemistry. Publications Scientifique du Muséum National d’histoire Naturelle, Paris. www.mnhn.fr/publications Hadas E, M Shpigel, M Ilan. 2005. Sea ranching of the marine sponge Negombata magnifica (Demospongia, Lantruculiidae) as a first step for lantrunculinB
mass
production.
Aquaculture
2005;
244:
159-169.
www.sciencedirect.com [27 Nov 2005]. Harrison FW, L de Vos. 1991. Porifera. Di dalam: Harrison FW, Westfall JA (ed.). Microscopic Anatomy of Invertebrates. Volume 2. Placozoa, Porifera, Cnidaria, and Ctenophora. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore: Wiley-Liss. A John Wiley dan Sons, Inc., Publication. hlm 28 – 89. Haywood M, S Wells . 1989. The Manual of Marine Invertebrates. London, New York: Salamander Books Limited. hlm 10 – 13.
Higa T, J Tanaka, A Kitamura, T Koyama, M Takahashi, T Uchida. 1994.. Bioactive compounds from marine sponges. Pure and Appl Chem; 66 (No 10/11):2227-2230. Hill MS, AL Hill. 2002. Morphological plasticity in the tropical sponge Anthosigmella varians: Responses to predatorsand wave energy. Bio Bull 202: 86-95. Holt JG, NR Krieg, PHA Sneath, JT Staley, ST Williams. 1994. Bergey’s manual of determinative bacteriology, ninth edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. Hooper JNA. 2000. Sponguide. Guide to sponge collection and identification (Version August 2000). http://www.qmuseum.qld.gov.au/naturewelcome Hunt B, ACJ Vincent. 2006. Scale and sustainability of marine bioprospecting for pharmaceuticals. Ambio; 35 (No 2): 57-64. Royal Swedish Academy of Sciences. http://seahorse.fisheries.ubc.ca [13 Jan 2007]. http://chem.chem.rochester.edu [September 2006]. Ireland CM, TF Molinski, DM Roll, TM Zabriskie, TC McKee, JC Swersey, MP Foster. 1989. Natural Product Peptides from Marine Organisms. Di dalam Scheuer PJ (ed.). Bioorganic Marine Chemistry. Volume 3. Springer – Verlag. hlm 1 – 27. Ismet MS. 2004. Bacterial diversity in mari culture area (Betung Bay-Lampung and Pramuka Island): A Preliminary study. MST Research Report DAADFPIK IPB (unpublished). [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2005. Laporan Hibah Pasca: Teknik reproduksi spons laut kelas Demospongia untuk sediaan bioaktif dari laut. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kardono K. 2006. Distribusi dan preferensi habitat spons kelas demospongiae di Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kelly SR, PR Jensen, TP Henkel, W Fenical, JR Pawlik. 2003. Effects of Caribbean sponge extracts on bacterial attachment. Aquat Microb Ecol 31:175-182. Kim DK, MY Lee, DS Lee, JR Lee, BJ Lee, JH Jung. 2002. Polyacetylenes from a marine sponge Petrosia sp. inhibit DNA replication at the level of initiation. Cancer Lett 185(1):95-1001. www.medscape.com Kobayashi M, I Kitagawa. 1994. Bioactive substances isolated from marine sponge, a miniature conglomerate of various organisms. Pure and Appl Chem; 66 (4): 819-826. Kobayashi M, R Rachmaniar. 1998. Overview of marine natural products chemistry. Di dalam: Soemihardjo S, RR Satari, S Saono, editor. Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I ’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal 23-32. Kozloff EN. 1990. Invertebrates. Saunders College Publishing. hlm 73 – 92. Madigan MT, JM Martinko, J Parker. 2000. Brock biology of microorganisms, ninth edition. USA: Prentice Hall, Inc. Maldonado M, N Corrtadellas, MI Trillas, C Rϋtzler. 2005. Endosymbiotic yeast matternally transmitted in a marine sponge. Biol Bull ; 209: 94-106. Miller K, C Smallwood, C Strupczewski. 1998. The roleof phenolic compounds in the chemical defense of tropical reef sponges against fish predation. Tropical Marine Biology. St. Mary College of Maryland. Moolitoris E, SW Joseph, MI Krichevsky, W Sindhuhardja, RR Colwell. 1985. Characterization and distribution of Vibrio alginolyticus and Vibrio parahaemolyticus isolated in Indonesia. Appl Environ Microbiol; 50 (6): 1388-1394. http://www.pubmedcentral.nih.gov.pdf. Muliani, E Suryati, A Tompo, A Parenrengi, Rosmiati. 1998. Isolasi Bioaktif Bunga Karang Sebagai Fungisida pad Benih Udang Windu Penaeus monodon. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vo.IV No. 2 Tahun 1998.
Munro MHG, RT Luibrand, JW Blunt. 1989. The Search for Antivaral and Anticancer Compounds from Marine Organisms. Di dalam Scheuer PJ (ed.). Bioorganic Marine Chemistry. Volume 1. Springer – Verlag. hlm 94 – 176. Nichols S, G Werheide. 2005. Sponges: New view of old animals. Integr Comp Biol 45: 333-334. Ogunseitan OA, SL Yang, E Scheinbach. 1999. The δ-aminolevulinate dehydratase of marine Vibrio alginolyticus is resistant to lead (Pb). Biol Bull; 197: 283-284. http://www.biolbull.org.pdf. Oren M, L Steindler, M Ilan. 2005. Transmission, plasticity, and the molecular identification of cyanobacterial symbionts in the Red Sea sponge Diacarnus erythraneus. Mar Biol (2005). Parenrengi A, E Suryati, Dalfiah, Rosmiati. 1999. Studi Toksisitas Ekstrak Sponge Auletta sp. Callyspongia sp., dan C. Pseudoreticulata terhadap Nener Bandeng (Chanos chanos). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vo.V No. 4 Tahun 1999. Pechenik JA. 1991. Biology of the Invertebrates. Second Edition. Wm.C. Brown Publisher. hlm 63 – 76. Pelletier JC, MP Cava. Synthesis of the marine alkaloids aaptamine and demethyloxyaaptamine and of the parent structure didemethoxyaaptamien. J Org Chem 52: 616-622. Proksch P, R Ebel, RA Edrada, P Schuup, WH Lin, Sudarsono, V Wray, K Steube. 2003. Detection of pharmacologically active natural products using ecology. Selected examples from Indopasific marine invertebrates and sponge-derived fungi. Pure and Appl Chem 2003; 75 (Nos 2-3): 343-352. Rachmaniar R. 1994. Penelitian Produk Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan
Penelitian
Tahun
Anggaran
1993/1994.
Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi.
Lembaga
Ilmu
Rachmaniar R. 1995. Penelitian Produk Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan
Penelitian
Tahun
Anggaran
1994/1995.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi. Rachmaniar R. 1996. Penelitian Produk Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan
Penelitian
Tahun
Anggaran
1995/1996.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi. Rachmaniar R. 1997. Potensi Spons Asal Kepulauan Spermonde Sebagai Antimikroba. Seminar Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang, 2 – 3 Desember 1997. Rahe E. 2004. Quorum-sensing signal production in bacteria associated with marine sponges. IBASM; 6 (2 Jan 2005). http://users.ipwf.edu. Razak CNA, WF Wang, SHSA Rahman, M Basri, AB Salleh. 2004. Isolation of the crude oil degrading marine Acinetobactersp. E11. Acta Biotechnologica; 19 (3): 213-223. http://www3.interscience.wiley.com. Richelle-Maurer
E,
JC
Braekman.
2001.
Sponge
Extraction.
http://www.science.uva.nl [15 Maret 2006]. Rohwer F, V Seguritan, F Azaam, N Knolton. 2002. Diversiy and distribution of coral-associated bacteria. Mar Ecol Prog Ser; 234:1-10. Romimohtarto K, Juwana S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. hlm 115 – 128. Rupert EE, RD Barnes. 1994. Invertebrate zoology, 6th Edition. United State of America: Saunders College Publishing. Santavy D C. 1995. The diversity of microorganisms associated with marine invertebrates and their roles in the maintenance of ecosystem. In: Allsopp D, Colwell R R, Hawksworth D L (eds.). Microbial diversity and ecosystem funtion. Wallingford, C A B International. p 211-229.
Sara M. 1992. Porifera. Di dalam: Adiyodi KG, Adiyodi RG (Ed.). Reproductive Biology of Invertebrates. Volume V. Sexual Differentiation and Behaviour. New York, Brisbane, Toronto, Singapore: John Wiley dan Sons Chisester. hlm 1 – 29. Sangster CR, RM Smolowitz. 2003. Description of Vibrio alginolyticus infection in cultured Sepia officinalis, Sepia apama, and Sepia pharaonis. Biol Bull; 205: 233-234. http://www.bilbull.org.pdf. Sarma NS, MSR Krishna, SR Rao. 2005. Sterol ring system oxidation pattern in marine sponges. Mar Drugs; 3: 84-111. Schroeder JP, JG Wallace, MB Cates, SB Greco, PWB Moore. 1985. An Infection by Vibrio alginolyticus in an Atlantic bottlenose-dolphin housed in an
open
ocean
pen.
J
Wildlife
Dis;
21
(4):
437-438.
http://www.jwildlifedis.org.pdf. Sennett SH, PJ McCarthyJ, AE Wright, SA Pomponi. 2002. Natural products from marine invertebrates: The harbor barnch oceanographic institution experience. Pharmaceutical News 2002: 9: 483-488. Sipkema D, MCR Franssen, R Osinga, J Tramper, RH Wijffels. 2005. Marine sponges as pharmacy. Marine Biotechnology; 7: 142-162. Springer Science+Bussiness Media, Inc. Sjogren M. 2006. Bioactive compounds from the marine sponge Geodia baretti: Characterization, antifouling activity and molecular targets. Acta Universitat Upsaliensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Pharmacy; 37:57pp. Smart L, editor. 2002. The molecular world: Separation, prification and identification. Cambridge: The Open University. Soediro IS. 1999. Produk Alam Hayati Bahari dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan Kosmetika. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I ’98. Jakarta 14 – 15 Oktober 1998: 41 – 52. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta, 1999.
Steindler L, S Beer, M Ilan. 2002. Photosymbiosis in intertidal dan subtidal tropical sponges. Sybiosis: 33: 1-11. Balaban, Philadelphia. Steindler L, D Huchon, A Avni, M Ilan. 2005. 16S rRNA phlogeny of spongesassociated cyanobacteria. Apll Environ Microbiol; 71(7): 4127-4131. Suryati E, A Parenrengi, Rosmiati. 1999. Penapisan Serta Analisis Kandungan Bioaktif Sponge Clathria sp. yang efektif sebagai Antibiofouling pada teritif (Balanus amphitrit). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.V No. 3 Tahun 1999. Susanna. 2006. Kajian kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri spons demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Thakur NL, Müller WEG. 2004. Biotechnological potential of marine sponges. Current Science 10 June 2004; 86 (11). Thacker RW. 2005. Impacts of shading on sponge-cyanobactera symbiose: A Comparison between host-specific and generalis association. Integr Comp Biol; 45:369-376. http://icb.oxfordjournals.org. Thaler JO, B Duvic, A Givaudan, N Boemare. 1998. Isolation and entomotoxic properties of the Xenorhabdus nematophilus F1 lecithinase. Appl Environ Microbiol; 64 (7): 2367-2373. http://www.pubmedcentral.nih.gov. Torsell KBG. 1983. Natural product chemistry: a mechanistic and biosynthetic approach to secondary metabolism. British: John Wiley & Sons,Ltd. Warren L. 1982. Encyclopedia of Marine Invertebrates. Di dalam: Walls JG (ed.). hlm 15 – 28. Wilkinsson CR. 1978. Microbial Associaton in sponges II: Numerical analysis of sponges and water bacterial population. Mar Biol J; 49 (2): 69-176. Wilkinson CR. 1980. Cyanobacteria Symbiotic in Marine Sponges. Di dalam: Schwemmler (ed.). Endocytobiology: Endosymbiosis and Cell Biology. . Berlin: Walter de Gruyter. hlm 553 – 563.
www.cas.muohio.edu [Desember 2006] Yan L, KG Boyd, JG Burgess. 2002. Surface attachment induced production of antimicrobial compounds by marine epiphytic bacteria using modified roller bottle cultivation. Mar Biotechnol; 4: 356-366. Young JL, JS Kim, KS Im, JH Jung, C Lee, J Hong, D Kim. 1999. New cytotoxic polyacetylenes from the marine sponge Petrosia. J Nat Prod 62 (9): 12151217. Zheng L, H Chen, X Han, X Yan. 2005. Antimicrobial screening and active compound isolation from marine bacterium NJ6-3-1 associated with the sponge
Hymeniacidon parleve. World Journal of Microbiol and Biotech
2005; 21:201-206. http://www.paper.edu.cn [26 Nov 2005]. Zocchi E, A Carpaneto, C Cerrano, G Bavestrello, M Giovine, S Bruzzone, L Guida, L Franco, C Usai. 2001. The temperature-signaling cascade in sponges involves a heat-gated cation channel, absisic acis, and cyclic ADPribose. Proceeding of The National Academy of Sciencesnof the United State of America (PNAS) 2001; 98: 1459-14864. www.pnas.org [Jan 2007]. Zocchi E. G Basile, C cerrano, G Bavestrello, M Giovine, S Bruzzone, L Guida, A Carpaneto, R Magrassi, C Usai. 2002. ABA- and cADPR- mediated effects on respiration and filtration downstream of the temperature-signaling cascade in sponges. Journals of Cell Science 116: 629-636.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Struktur taksonomi spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Klasifikasi Spons Demospongiae Kingdom
: Animalia
Filum
: Porifera
Kelas
: Demospongiae Ordo
: Hadromerida Famili : Suberitidae
Ordo
Genus
: Aaptos
Spesies
: Aaptos aaptos
: Haplosclerida Famili: Petrosiidae Genus
: Petrosia
Spesies
: Petrosia sp.
Lampiran 2 Peta lokasi pengambilan sampel (Pulau Pari) 674000
676000
678000
680000
682000
LAUT JAWA 9354000
9354000
Legenda : Ú Ê Stasiun Pengamatan Daratan Gosong Karang Laut
P. Biawak P. Kongsi P. Gundul P. Tikus
St. BP
P. Pari
P. Tengah
Ê Ú
9352000
9352000
PETA LOKASI PENELITIAN
Ê Ú
St. SP
9350000
9350000
P. Burung
N
W
E
S
9348000
9348000
800
674000
676000
678000
680000
Gambar 19 Peta Pulau Pari
682000
0
800
1600 Meters
Lampiran 3
Sifat morfologi dan fisiologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos MORFOLOGI
NAMA ISOLAT
UJI FISIOLOGI
Pigmentasi
Gram
Bentuk sel
Oksi
Mot
nitrat
lys
Orn
H2S
A1
putih
+
A2
oranye
+
A3
putih
A4
Glu
Man
batang panjang
-
+
+
-
-
-
-
-
bulat (kokus)
-
-
+
-
-
-
+
-
+
batang (basil)
-
-
-
+
+
-
-
-
putih
-
batang pendek
-
-
+
+
+
-
-
-
A5
putih
-
batang pendek
-
-
+
-
-
-
-
-
A6
putih
-
bulat (kokus)
-
-
-
+
-
-
-
-
A7
putih
-
bulat (kokus)
+
+
+
+
-
-
-
-
A8
putih
+
batang panjang
-
+
-
-
-
-
-
-
UJI FISIOLOGI
NAMA ISOLAT
Xyl
ONPG
Indol
Ure
VP
Cit
TDA
Gel
Mal
Ino
Sor
Rham
Suc
Lac
A1
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
A2
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
A3
-
-
-
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
A4
-
-
-
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
A5
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
A6
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
A7
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
A8
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
NAMA ISOLAT
UJI FISIOLOGI
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
Ara
Ado
Raff
Sal
Arg
+ -
-
-
-
+ + + -