JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT MENCIT (Mus Musculus) PADA EVALUASI IN VIVO ANTIKANKER EKSTRAK SPONS LAUT Aaptos Suberitoides (Dian Natalia Eka Saputri, Awik Puji Dyah N, S.si, M.si, Dra. Nurlita Abdulgani, M.si) Program Studi Biologi – Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Keputih Sukolilo, Surabaya 60111 Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak spons A. suberitoides terhadap jumlah total dan diferensial sel darah putih pada mencit (Mus musculus). Mencit dibagi ke dalam 6 kelompok yaitu kelompok I (mencit sehat), II (diberi CMC Na), III (diberi cyclophospamide), IV (ekstrak spons 500 mg/kg BB), V (ektsrak spons 1000 mg/kg BB) dan VI (ekstrak spons 1500 mg/kg BB Mencit diinjeksi senyawa benzo(a)piren selama 10 hari sebanyak 5 kali dengan konsentrasi 0,3 gram dalam 0,2 ml oleum olivarum secara intravena pada jaringan subkutan mencit. Pada minggu ke 17 diambil darah mencit dan dilakukan penghitungan jumlah total leukosit dan diferensial sel leukosit. Data yang didapatkan dianalisa menggunakan ANOVA dan jika terdapat pengaruh maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penghitungan jumlah total leukosit kelompok kontrol (K1) berbeda secara signifikan (P<0.05) dengan kelompok K2, K3, K4, K5 dan K6. Hasil diferensial leukosit diperoleh sel neutrofil, limfosit dan monosit. Sel neutrofil dan monosit tidak berpengaruh pada semua perlakuan. Pada pengamatan diferensial sel limfosit, mencit yang terkena kanker (K2) dan diterapi ekstrak spons laut A. suberitoides pada dosis 500 mg/Kg BB (K4) dan 1000 mg/Kg BB (K5) mengalami peningkatan jumlah sel limfosit sedangkan mencit yang diterapi dengan obat antikanker siklofasfamid (K3) dan ekstrak spons laut A.suberitoides pada dosis paling tinggi (1500 mg/Kg BB) mengalami penurunan jumlah sel limfosit. Kata kunci : Aaptos suberitoides, Leukosit, Mus musculus, Benzo (a) piren I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker termasuk penyebab utama kematian hampir di seluruh dunia (Mariono, 2002). Penderita kanker di Indonesia semakin meningkat sehingga kebutuhan obat semakin meningkat. Melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Salah satu sumber daya alam yang belum
dikembangkan secara maksimal adalah sumber alam kelautan. Indonesia dikenal sebagai negara bahari dengan luas 75% berupa lautan, memiliki kekayaan sumber daya hayati yang melimpah (Rosmiati dan Suryati (2001)). Salah satu jenis organisme yang berpotensi cukup besar dan berpeluang mengandung senyawa aktif adalah spons. Spons mempunyai kemampuan untuk mensintesis bermacam – macam komponen organik seperti poliketida,
alkaloid, peptid dan terpene (Sjorgen, 2006). Komponen – komponen tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder dari spons. Hasil metabolisme sekunder ini mempunyai keaktifan sebagai antimikroba, antikanker dan antiparasit yang sangat berguna sebagai bahan baku obat. Beberapa spons yang dilaporkan mempunyai kemampuan bioaktif, antara lain senyawa golongan saponin dalam spons Asteropus sarasinosum mempunyai aktivitas sitotoksik (Schmitz et al., 1993), senyawa golongan alkaloid dan terpenoid pada Sporongites sp. bersifat bakteristatik (Nursaadah, 2008). Studi pendahuluan telah dilakukan dengan tujuan untuk menskrining senyawa toksik dari beberapa spesies spons laut dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Berdasarkan studi pendahuluan dengan BST diketahui bahwa ekstrak spons Aaptos suberitoides dapat menyebabkan mortalitas 50% (LC50) larva Artemia salina pada konsentrasi 134,14 ± 36,61 ppm sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak spons Aaptos suberitoides bersifat sitotoksik dan memiliki potensi sebagai antikanker (Nurhayati, 2010). A. suberitoides adalah salah satu spesies spons laut yang memiliki keistimewaan karena dapat menghasilkan senyawa alkaloid aaptamin (benzo 1,6-naphthyridin) (Coutinho, 2002). Senyawa aaptamin berpotensi sebagai senyawa antikanker (Aoki et al., 2006), yang bekerja dengan mekanisme apoptosis (Mayer, 2008) dan antioksidan (Makarchenko, 2004). Apoptosis merupakan mekanisme kematian sel sehingga proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA dapat dicegah (Tadjudin, 2006). Aaptamine menginduksi ekspresi dari protein p21 dalam p53-independent (Aoki et al.,
2006). Protein p53 berfungsi sebagai pengatur proliferasi sel dan mediator pada apoptosis (Seitz et al., 2010). Pada mekanisme antioksidan, senyawa aaptamin ini menghambat kerja radikal bebas untuk berikatan dengan molekul penting dalam tubuh, yaitu DNA (Hanani dkk, 2005). Sel kanker dikenal sebagai nonself (zat asing) yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral (Halim, 2001). Peningkatan jumlah leukosit total menunjukkan adanya respon leukosit secara humoral dan seluler dalam mengatasi adanya zat asing (sel kanker) (Erlinger, 2004). Sel tumor menunjukan antigen yang tidak ditemukan pada sel normal sehingga antigen tersebut muncul sebagai antigen asing dan kehadiran mereka menyebabkan sel imun menyerang sel tumor (Finlay et al., 2006). Untuk mengetahui pengaruh ekstrak spons A. suberitoides terhadap jumlah total sel darah putih (Leukosit) dan diferensial sel darah putih (Leukosit), hewan uji terlebih dahulu diinduksi kanker dengan menyuntikkan larutan benzo (α) piren. Benzo (α) piren merupakan senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik yang digolongkan sebagai senyawa pro karsinogen kuat yang dapat menimbulkan kerusakan DNA dan mutasi gen-gen pengatur pertumbuhan seperti gen p53 dan ras (Yana, 2009). 1.2
Rumusan masalah Peningkatan jumlah leukosit total menunjukkan adanya respon leukosit secara humoral dan seluler dalam mengatasi adanya zat asing (sel kanker) (Erlinger, 2004). Sel tumor menunjukan antigen yang tidak ditemukan pada sel normal sehingga antigen tersebut muncul
sebagai antigen asing dan kehadiran mereka menyebabkan sel imun menyerang sel tumor (Finlay et al., 2006). Permasalahan yang timbul dari penelitian ini adalah bagaimana pengaruh ekstrak spons A. suberitoides terhadap jumlah total sel darah putih (Leukosit) dan diferensial sel darah putih (Leukosit) pada mencit (Mus musculus) yang telah diinduksi karsinogenik dengan benzo (α) piren. 1.3
Batasan Masalah Batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak spons Aaptos suberitoides terhadap jumlah total sel darah putih (Leukosit) dan diferensial sel II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kanker Serangkaian proses berkembangnya kanker disebut karsinogenesis. Karsinogenesis adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme multitahap yang menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (ganas) (Hanahan dan Weinberg, 2000). Perubahan basa DNA (mutasi) merupakan perubahan selular mendasar yang menyebabkan terjadinya kanker. Kanker tidak berasal dari mutasi tunggal, namun dibutuhkan akumulasi dari beberapa mutasi (3 sampai 20 mutasi) dalam karsinogenesis (Lodish et al., 2000). Proses karsinogenik diawali dengan masuknya senyawa karsinogenik dan berikatan dengan DNA, sehingga DNA mengalami mutasi atau memasuki tahap inisiasi. Gen yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan kanker ada
darah putih (Leukosit) pada mencit (Mus musculus). 1.4
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak spons Aaptos suberitoides terhadap jumlah total sel darah putih (Leukosit) dan diferensial sel darah putih (Leukosit) pada mencit (Mus musculus). 1.5
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sebagai sumber informasi tentang kemampuan bioaktif spons Aaptos suberitoides yang berpotensi sebagai antikanker. tiga, yaitu: gen reparasi DNA, gen penekan tumor (tumor supressor gen) dan protoonkogen (Zakaria, 2001). Gen penekan tumor diperlukan untuk mempertahankan pembelahan sel tetap terkontrol (Syaifudin, 2007). Mutasi pada gen penekan tumor berakibat pada aktivasi protoonkogen menjadi onkogen yang menyebabkan hilangnya kontrol terhadap pertumbuhan sel. Onkogen mengkode protein-protein yang berperan dalam berbagai fungsi fisiologis sel, diantaranya adalah protein ras, c-myc, dan Fes yang dapat mengubah ekspresi genetik dari berbagai gen (Zakaria, 2001). Sel kanker bersifat immortal disebabkan oleh hilangnya mekanisme DNA repair dalam sel. Checkpoint pada siklus sel sudah tidak ada artinya, akibatnya sel walaupun membawa abnormalitas di dalamnya, akan melewati fase-fase dalam siklus sel secara keseluruhan kemudian membelah. Proliferasi sel kanker meningkat sehingga membentuk klonal (kelompok) dan bermetastasis ke jaringan lain. Sel
kanker membutuhkan nutrisi yang lebih besar dari pada sel normal. Untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tersebut, sel kanker mampu membentuk pembuluh darah baru (neoangiogenesis) (Nurlaila, 2009).Menurut Franks L.M dan Teich N.M (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker). Pada umumnya mulai tumbuh dari satu sel kanker pada satu tempat dalam organ tubuh (unicentris). Jarang yang mulai dari beberapa sel dalam suatu organ (multicentris), baik dalam kurun waktu bersamaan ataupun berbeda.. Kanker yang timbul multicentris umumnya terdapat pada penderita yang mengalami kelainan genetic atau mengidap immunodefisiensi (penurunan kekebalan). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen). Apoptosis adalah program kematian sel yang mekanismenya diorganisir secara fisiologis untuk merusak sel abnormal atau mengalami kerusakan. Keadaan ini merupakan respons sel normal yang terjadi selama pertumbuhan dan metamorfosis semua hewan multiseluler, yang merupakan hasil kerja enzim proteolitik, yaitu caspase dimana semua enzim ini memiliki sistin sebagai sisi aktif dan pembelahan protein target pada asam aspartat spesifik sebagai derivat dari sistin aspartase. Sel normal dapat mengalami transformasi oleh onkogen dan proses ini dapat dicegah oleh produk yang dihasilkan gen lainnya yang disebut tumour suppressor genes. Satu di antara gen ini adalah p53 yang
menghasilkan 393 residu asam amino inti fosfoprotein yang berikatan dengan DNA yang transkripsinya diaktivasi oleh beberapa promotor. Protein p53 mampu menghambat pertumbuhan sel dan mempengaruhi apoptosis (Campbell, 2004). 2.1.1. Sifat Sel Kanker Sel kanker memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan sel normal dalam tubuh. Sifat umum dari kanker ialah sebagai berikut : 1. Sel kanker tidak mengenal program kematian sel yang dikenal dengan nama apoptosis. Protein p53 mampu mencegah replikasi dari DNA yang rusak pada sel normal dan mendorong penghancuran sendiri dari sel yang mengandung DNA yang tidak normal. Peristiwa ini disebut apoptosis. Apoptosis sangat dibutuhkan untuk mengatur berapa jumlah sel yang dibutuhkan dalam tubuh, yang mana semuanya fungsional dan menempati tempat yang tepat dengan umur tertentu. Bila telah melewati masa hidupnya, selsel normal (nonkanker) akan mati dengan sendirinya tanpa ada efek peradangan (inflamasi), namun sel kanker berbeda dengan karakteristik tersebut. Dia akan terus hidup meski seharusnya mati (immortal). Mutasi dari gen p53 menyebabkan proliferasi dan transformasi sel menjadi kehilangan kendali (Sofyan, 2000). 2. Sel kanker tidak mengenal komunikasi ekstraseluler atau asosial. Komunikasi ekstraseluler diperlukan untuk menjalin koordinasi antar sel sehingga mereka dapat saling menunjang fungsi masing-masing. Dengan sifatnya yang asosial, sel kanker bertindak semaunya sendiri tanpa peduli apa yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Sel kanker dapat memproduksi growth
factor sendiri sehingga tidak bergantung pada rangsangan sinyal pertumbuhan dari luar untuk melakukan proliferasi. Dengan demikian sel kanker dapat tumbuh menjadi tak terkendali (Hanahan and Weinberg, 2000). 3. Sel kanker mampu menyerang jaringan lain (invasif), merusak jaringan tersebut dan tumbuh subur di atas jaringan lain membentuk anak sebar (metastasis). Semakin besar jangkauan metastasis tumor, kanker semakin sulit disembuhkan. Kanker pada stadium metastasis inilah yang merupakan penyebab 90% kematian penderita kanker (Hanahan dan Weinberg, 2000). 4. Untuk mencukupi kebutuhan pangan dirinya sendiri, sel kanker mampu membentuk pembuluh darah baru (neoangiogenesis) yang dapat mengganggu kestabilan jaringan tempat ia tumbuh (Hanahan dan Weinberg, 2000). 5. Sel kanker memiliki kemampuan yang tak terbatas dalam memperbanyak dirinya sendiri (proliferasi), meski seharusnya ia sudah tak dibutuhkan dan jumlahnya sudah melebihi kebutuhan yang seharusnya. Dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sinyal pertumbuhan dan kemampuan menghindar dari mekanisme apoptosis, sel kanker memiliki kemampuan tak terbatas untuk bereplikasi (Hanahan dan Weinberg, 2000). Sel kanker mengganggu sel induk karena menyebabkan desakan akibat pertumbuhan tumor, penghancuran jaringan tempat tumor berkembang atau bermetastasis, dan gangguan sistemik lain sebagai akibat sekunder dari pertumbuhan sel kanker (Nafrialdi dan Gan, 2007).
2.2.
Leukosit (Sel Darah Putih) Leukosit memiliki bentuk khas, nukleus, sitoplasma dan organel, semuanya bersifat mampu bergerak pada keadaan tertentu. Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah, sedangkan leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam menjalankan fungsinya. Jumlah seluruh leukosit jauh di bawah eritrosit, dan bervariasi tergantung jenis hewannya. Fluktuasi dalam jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, misalnya: stress, aktivitas fisiologis, gizi, umur, dan lain-lain. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting untuk evaluasi proses penyakit (Anonim3, 2009). Masa hidup sel darah putih pada hewan domestik sangat bervariasi mulai dari beberapa jam untuk granulosit, bulanan untuk monosit bahkan tahunan untuk limfosit (Frandson, 1992). Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan Kebanyakan sel darah putih ditranspor secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius (Guyton, 1983). Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula,
sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Granula dianggap spesifik bila secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya) (Effendi, 2003). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis. Leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil (Effendi, 2003). Ada enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan dalam darah yaitu netrofil polimorfonuklir, eosinofil polimorfonuklir, basofil polimorfonuklir, monosit, limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Selain itu terdapat sejumlah besar trombosit, yang merupakan pecahan dari tipe ketujuh sel darah putih yang dijumpai dalam sumsum tulang,n yaitu megakariosit (Guyton, 1983). Sel - sel polimorfonuklir seluruhnya mempunyai gambaran granular sehingga disebut granulosit. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara mencernanya yaitu melalui fagositosis. Fungsi pertama sel limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun. Fungsi trombosit erutama mengaktifkan mekanisme pembekuan darah. Pada manusia dewasa dapat dijumpai sekitar 7000 sel darah putih per mikroliter darah. Presentase normal dari sel darah putih yaitu netrofil polimorfonuklir 62%, eosinofil
polimorfonuklir 2,3%, basofil polimorfonuklir 0,4%, monosit 5,3%, dan limfosit 30%. (Guyton, 1983). 2.4 2.4.1
Jenis jenis Leukosit Granulosit Granulosit memiliki granula kecil di dalam protoplasmanya, memiliki diameter sekitar 10 -12 mikron. Berdasarkan pewarnaan granula, granulosit dibagi menjadi tiga kelompok berikut : 2.4.1.1 Neutrofil Neutrofil memiliki granula yang tidak bewarna, mempunyai inti sel yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak berbintik-bintik halus atau granula, serta banyaknya sekitar 60 -70 % (Handayani, 2008).
Gambar 2.2 Neutrofil (Hoffbrand, 2006). Neutrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak. Sel ini memiliki masa hidup singkat, sekitar 10 jam dalam sirkulasi. Sekitar 50 % neutrofil dalam darah perifer menempel pada dinding pembuluh darah. Neutrofil memasuki jaringan dengan cara bermigrasi sebagai respon terhadap kemotaktik (Hoffbrand, 2006). Neutrofil pada manusia dan hewan menunjukkan perbedaan berdasarkan sintesis protein, ekspresi receptor, metabolisme oksidatif, fungsi dan pewarnaan sitokimia. Neutrofil yang cacat dapat dilihat dari jumlah maupun bentuknya. Bentuk maupun jumlahnya berpotensi untuk menjelaskan tingkat
infeksi. Jumlah neutrofil pada mencit yaitu 0,3- 2,5 103/ µl. Neutrofilia merupakan peningkatan jumlah neutrofil. Penurunan jumlah sel neutrofil di dalam sirkulasi (neutropenia) pada hewan domestik dapat terjadi karena adanya peningkatan destruksi sel neutrofil di dalam peredaran darah, peningkatan pengeluaran neutrofil ke dalam jaringan tanpa diimbangi oleh pemasukan ke dalam sirkulasi darah dan penurunan produksi sel neutrofil di sumsum tulang ( Feldman, 2000). 2.4.1.2 Eosinofil Eosinofil memiliki granula bewarna merah dengan pewarnaan asam, ukuran dan bentuknya hampir sama dengan neutrofil, tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya kira-kira 24 % (Handayani, 2008).
Gambar 2.3 Eosinofil (Hoffbrand, 2006). Sel ini sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. pelepasan isi granulnya ke patogen yang lebih besar membantu dekstruksinya dan fagositosis berikutnya (Hoffbrand, 2006). Fungsi utama eosinofil adalah detoksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran cerna maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit. Eosinofilia pada hewan domestik merupakan peningkatan jumlah eosinofil dalam darah. Eosinofilia dapat terjadi karena infeksi parasit, reaksi alergi dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun (Frandson, 1992).
2.4.1.3 Basofil Basofil memiliki granula bewarna biru dengan pewarnaan basa, sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi mempunyai inti yang bentuknya teratur, di dalam protoplasmanya terdapat granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5 % di sumsum merah (Handayani, 2008).
Gambar 2.4 Basofil (Hoffbrand, 2006). Jumlah basofil di dalam sirkulasi darah relatif sedikit. Di dalam sel basofil terkandung zat heparin (antikoagulan). Heparin ini dilepaskan di daerah peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfe, sehingga sel basofil diduga merupakan prekursor bagi mast cell. Basofilia meupakan peningkatan jumlah basofil dalam sirkulasi. basofilia pada hewan domestik dapat terjadi karena hipotirodismus ataupun suntikan estrogen. Penurunan jumlah sel basofil dalam sirkulasi darah atau basopenia dapat terjadi karena suntikan corticosteroid pada stadium kebuntingan (Frandson, 1992). 2.4.2 Agranulosit 2.4.2.1 Limfosit Limfosit memiliki nucleus besar bulat dengan menempati sebagian besar sel limfosit berkembang dalam jaringan limfe. Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15 mikron. Banyaknya 20-25% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri masuk ke dalam jaringan tubuh. Limfosit ada 2 macam, yaitu limfosit T dan limfosit B (Handayani, 2008).
mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi dalam reaksi imunitas. Sel ini dinamakan sel limfosit B. Sel lomfosit T dan limfosit B yang baru terbentuk akan mengalir dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe seperti terlihat dalam Gambar 2.6 (Harryadi, 1980). Gambar 2.5 Limfosit (Hoffbrand, 2006). Sistem imun tubuh terdiri atas dua komponen utama, yaitu limfosit B dan limfosit T. Sel B bertanggung jawab atas sintesis antibodi humoral yang bersirkulasi yang dikenal dengan nama imunoglobulin. Sel T terlibat dalam berbagai proses imunologik yang diperantarai oleh sel. Imunoglobulin plasma merupakan imunoglobulin yang disintesis di dalam sel plasma. Sel plasma merupakan sel khusus turunan sel B yang menyintesis dan menyekresikan imonoglo-bulin ke dalam plasma sebagai respon terhadap pajanan berbagai macam antigen (Murray, 2003). Semua sel darah (limfosit, granulosit,eritrosit dan megakariosit) berasal dari sejenis sel (stem cell) dalam sumsum tulang. Sebagian dari sel-sel limfosit yang baru terbentuk dari "stem cells" akan mengalir menuju kelenjar thymus. Dalam thymus sel-sel limfosit ini akan mengalami semacam proses pematangan menjadi sel limfosit yang nantinya akan berfungsi dalam reaksi imunitas seluler ( cellular immunity). Sel limfosit yang telah diproses dalam kelenjar thymus ini dinamakan sel limfosit T. Sel limfosit yang tidak mengalami proses pematangan dalam kelenjar thymus, mengalami proses pematangan dalam sumsum tulang dan mungkin dalam kelenjar getah bening. Sel-sel yang disebut terakhir ini setelah mengalami proses pematangan akan
Gambar 2.6 Bagian sirkulasi limfosit (Harryadi, 1980). Limfosit merupakan komponen yang beradaptasi dengan sistem imun. Beberapa bagian limfosit telah dijelaskan pada tabel 2.2 dan sel-sel tersebut mengatur pembentukan antibody (Feldman, 2000). Sebagian besar dari sel limfosit (T dan B) akan masuk ke dalam kelenjar getah bening dan menetap sementara di dalamnya, sedang sebagian lain akan meninggalkan kelenjar getah bening dan masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu masuk ke dalam kelenjar getah bening sel limfosit ini akan langsung menempati tempat-tempat yang telah ditentukan untuk masing-masing sel T dan sel B. Limfosit B akan masuk ke dalam folikel sedang limfosit T menempati daerah para - cortex dan medulla (Harryadi, 1980). Jika ada antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi imunoblast. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas
humoral"). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga tidak memiliki reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki imunoglobulin intraseluler (intracytoplasmic immunoglobulin). Limfosit T : Limfosit T merupakan ekspresi dari TCR (T-cell Receptor) yang memberikan antigen yang unik dan spesifik pada sel. Sel limfosit yang belum dewasa dikeluarkan dari sumsum sehingga mengalami perkembangan dan maturasi dalam timus. Sel limfosit CD4+ atau CD8+ yang telah dewasa meninggalkan timus dan menyebar ke jaringan peripheral limfoid, bagian tertentu lymph node paracortex, splenic periarteriolar lymphoid sheath atau daerah perrifolicular dari hubungan antara jaringan mukosa dan limfosit. Limfosit T memiliki kebutuhan untuk aktivasi. Antigen utuh secara umum tidak mampu merangsang sel T. Aktivasi sel T membutuhkan pengiriman sinyal intrasitoplasmik setelahnya: Pengenalan peptide antigen dan residu MHC dari TCR Interaksi seluruh APC dan sel T pada permukaan molekul yang lain melepaskan costimulatory cytokines APC yang mengikat reseptor cytokine pada sel T Limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan berkembang lama, kemudian bermigrasi menuju ke timus. Setelah meninggalkan timus, sel-sel ini beredar dalam darah sampai mereka bertemu dengan antigen-antigen dimana
mereka telah diprogram untuk mengenalinya. Setelah dirangsang oleh antigennya, sel-sel ini menghasilkan bahan-bahan kimia yang menghancurkan mikroorganisme dan memberitahu selsel darah putih lainnya bahwa telah terjadi infeksi (Handayani, 2008). Limfosit B : Limfosit B terbentuk di sumsum tulang lalu bersirkulasi dalam darah sampai menjumpai antigen dimana mereka telah deprogram untuk mengenalinya. Pada tahap ini, limfosit B mengalami pematangan lebih lanjut menjadi sel plasma serta menghasilkan antibody (Handayani, 2008). Setiap antibodi bersifat spesifik untuk antigen tertentu. Hal ini disebabkan oleh struktur unik antibodi yang tersusun atas asamasam amino pada bagian yang dapat berubah dari kedua rantai ringan dan berat. Susunan asam amino tersebut memiliki bentuk yang berbeda untuk setiap spesifisitas antigen (Guyton, 1983). 2.4.2.2 Monosit : Monosit memiliki ukuran yang lebih besar daripada limfosit, protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan. Inti selnya bulat atau panjang. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi dalam bentuk imatur dan mengalami proses pematangan menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan. Fungsiya sebagai fagosit. Jumlahnya 34% dari total komponen yang ada di sel darah putih (Handayani, 2008).
Gambar 2.7 Monosit (Handayani, 2008). Monosit adalah leukosit terbesar yang berdiameter 15 sampai 20 µm dan berjumlah 3 sampai 9% dari seluruh sel darah putih. Terdapat kesulitan dalam identifikasi monosit dengan adanya bentuk transisi antara limposit kecil dan besar, karena terdapat kemiripan satu sama lain. keadaan ini jelas bila mempelajari sediaan ulas darah sapi. Uraian tentang bentuk transisi akan diberikan pada pembahasan tiap spesies yang berbeda. Sitoplasma monosit lebih banyak dari limfosit, dan berwarna biru abu-abu pucat. Sering tampak adanya butir azurofil halus seperti debu. Inti berbentuk lonjong , seperti ginjal atau mirip tapal kuda, jelasnya memiliki lekuk cukup dalam. Kromatin inti mengambil warna lebih pucat dari limfosit. Inti memiliki satu sampai tiga nukleus, tetapi tidak tampak pada sediaan ulas yang diwarnai. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke luar pembuluh darah masuk jaringan. Selanjutnya dalam jaringan menjadi makrofag tetap, seperti pada sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru, dan jaringan limfoid. Sering terletak berdekatan dengan endotel pembuluh darah. Dalam jaringan limfoid sumsum tulang dan sinusoid hati, makrofag tetap lazimnya melekat pada penjuluran dendritik dari sel retikuler (Anonim 3, 2009). Monoblas adalah sel progenitor yang hampir identik dengan mieloblas, dilhat dari cirri morfologinya. Diferensiasi selanjutnya menghasilkan
promonosit, yakni suatu sel besar (berdiameter sampai 18 µm) dengan sitoplasma basofilik dengan sebuah inti besar yang sedikit berlekuk. Kromatinnya jarang dan anak intinya jelas. Promonosit membelah dua kali dalam perkembangannya menjadi monosit. Monosit matang memasuki alitran darah, beredar sekitar 8 jam dan kemudian memasuki jaringan ikat, tempat sel ini mengalami pematangan menjadi makrofag (Junqueira, 2007). Makrofag terutama berasal dari sel precursor dari sum-sum tulang, dari promonosit yang akan membelah menghasilkan monosit yang beredar dalam darah. Pada tahap kedua monosit berimigrasi kedalam jaringan ikat tempat mereka menjadi matang dan inilah yang disebut makrofag. Di dalam jaringan makrofag dapat berproliferasi secara lokal menghasilkan sel sejenis lebih banyak (Effendi, 2003). Sel-sel system makrofag terdapat pada: 1. Jaringan ikat Inggar berupa macrofag atau histiosit 2. Didalam darah berupa monosit 3. Didalam hati melapisi sinusoid dikenal sebagai sel Kupffer 4. Makrofag perivaskuler sinusod limpa, limfonodus, dan sum-sum tulang. 5. Pada susunan syaraf pusat berupa mikroglia yang berasal dari mesoderm. (Effendi, 2003). 2.6
Spons Aaptos suberitoides Spons adalah biota multiseluler primitif yang bersifat filter feeder, menghisap air dan bahan-bahan lain di sekelilingnya melalui pori-pori (ostia) kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui saluran (channel) dan dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula). Spons termasuk hewan laut dalam filum porifera yang berarti memiliki pori-pori dan saluran. Melalui
poripori dan saluran-saluran inilah air diserap oleh sel khusus yang dinamakan sel leher, yang dalam banyak hal menyerupai cambuk. Jenis sel ini dinamakan koanosit (Munifa,2008). Spons menyaring air laut untuk memperoleh makanan. Air laut tersebut dapat mengandung nutrisi berupa mikroorganisme (diatomae, bakteri, protozoa), bahan-bahan organik yang merupakan lapukan atau sisa-sisa tubuh organisme yang telah mati, serta senyawa kimia toksik yang dihasilkan oleh tumbuhan atau hewan lain. Senyawa kimia toksik ini kemudian dimodifikasi oleh spons di dalam tubuhnya (Hooper, 2002). Porifera mempunyai ciri khusus, yaitu tubuh memiliki banyak pori yang merupakan awal dari sistem kanal. Struktur tubuh porifera terdiri atas dua lapisan yaitu epidermis dan endodermis. Epidermis terdiri atas sel-sel epithelium (pinakosit), sedangkan endodermis terdiri atas koanosit yang memiliki flagel. Di antara kedua lapisan itu terdapat mesoglea yang terdiri atas beberapa macam sel, yakni: sel amoebosit, skleroblas, porosit, arkeosit dan spikula (Jasin, 1992).
Spons memproduksi senyawa metabolit sekunder untuk menolak dan mencegah serangan dari predator dan berkompetisi ruang dengan organsme sesil yang lain. Kemampuan menghasilkan senyawa untuk pengobatan telah diidentifikasi dari spons antara lain sebagai agen antikanker, immunomodulator, antibakteria dan antifungal (Radjasa, 2007) Aaptos suberitoides termasuk kelas Demospongiae yang mempunyai habitat di laut serta memiliki spikula yang berbentuk seperti pines (Jasin, 1992). Kelas Demospongiae merupakan kelas spons dengan jumlah spesies paling banyak yaitu 90% dari seluruh spesies spons. Seluruh anggota kelas adalah leuconoid, dan semuanya spons laut kecuali famili Spongilidae yang merupakan spons air tawar. Demospongiae laut sangat bervariasi dan warnanya mencolok. Selain itu juga memilki berbagai macam bentuk seperti encrusting, tinggi seperti jari, rendah menyebar, berbentuk seperti kipas, vas, bantal, atau bola (Hooper dan Van Soest, 2002).
Gambar 2.11 Aaptos suberitoides (Anonim 3, 2009).
Gambar 2.10 Skema struktur sel spons (Anonim 3, 2009).
Demospongiae memiliki stereoblastula atau larva blastula, bersifat ovipar atau vivipar, spikula silikat menyusun kerangkanya adalah monaxonic atau tetraxonic. Mereka tidak pernah memiliki spikula triaxon. Kelas
Demospongiae terdiri dari 15 ordo, 88 famili, dan 500 genus (Hooper dan Van Soest, 2002). Klasifikasi Aaptos suberitoides menurut Proksch, (2005) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Ordo Familia Genus Spesies 2.7
: Animalia : Porifera : Demospongiae : Hadromerida : Tethyidae : Aaptos : Aaptos suberitoides
Senyawa Bioaktif pada Spons
Spons memiliki kandungan bioaktif dari bermacam golongan, diantaranya adalah alkaloid, acetogenin, peptide, saponin terpenoid, sterol dan sebagainya (Tabel 2.3). Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut telah banyak diketahui manfaatnya, yaitu sebagai antibakteri, antijamur, antitumor, antivirus dan menghambat aktivitas enzim (Suparno, 2005). Pembentukan senyawa bioaktif pada spons sangat ditentukan oleh prekursor berupa enzim, nutrien serta hasil simbiosis dengan biota lain yang mengandung senyawa bioaktif seperti bakteri, kapang dan beberapa jenis dinoflagellata yang dapat memacu pembentukan senyawa bioaktif pada hewan tersebut (Scheuer, 1978 dalam Suryati et al., 2000). 2.8 Senyawa Alkaloid pada Aaptos suberitoides Spons Aaptos suberitoides menghasilkan senyawa bioaktif aaptamin (benzo 1,6-naphthyridin) (Coutinho, 2002) yang termasuk golongan alkaloid (Larghi, et al., 2008). Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya
mengandung oksigen. Sesuai dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan sepasang elektronnya (Hesse, 1981).
Gambar 2.12 Struktur Aaptamin (Sumber: Mayer et al., 2008)S Penelitian Mayer (2008) secara in vitro menyatakan bahwa senyawa aaptamin dapat menginduksi ekspresi dari protein p21 yang berfungsi untuk menahan siklus sel pada fase G2/M (Gambar 2.13). Protein p21 merupakan anggota famili protein inhibitor kinase (CDIK) yang berfungsi menghambat siklus sel dan ekspresinya dikontrol oleh p53-independen (Aoki et al., 2006). p21 (Protein inhibitor kinase)
Aktif G1/S-CDK dan S-CDK
Inaktif Kompleks G1/S-CDK dan S-CDK dengan p21
Gambar 2.13 Mekanisme penahanan fase G2/M pada siklus sel oleh p21 (Albert et al., 2010). 2. 10
Benzo (α) piren Benzo (α) piren merupakan senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik yang digolongkan sebagai senyawa pro
karsinogen kuat. Senyawa ini dijumpai di lingkungan sebagai hasil proses pembakaran yang tidak sempurna seperti pada daging panggang, sate, makanan yang diasap, asap rokok, dan asap kendaraan. Sebagai senyawa karsinogen, Benzo (α) piren dapat menimbulkan mutasi gen yang dapat dimanifestasikan sebagai kerusakan kromosom yaitu terjadi aberasi atau patahan-patahan kromosom (Yana, 2009).
UGM Jogjakarta. Pelaksanaan penelitian pada bulan Oktober 2009 – Juni 2010. 3.2. 3.2.1
Alat dan Bahan Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak pendingin, alat selam, pipet Thoma leukosit, kamar hitung, mikroskop, gelas objek, spatula, blood counter tabulator, bak pemeliharaan mencit (M. musculus), tempat minum mencit (M. musculus), jarum suntik, neraca analitik, sentrifugator, dan syiringe. 3.2.2
Gambar 2.14 Struktur Benzo (α) piren (Anonim 1, 2009). Pada tahap telofase, fragmen kromosom atau massa kromatin dalam sel akan tertinggal pada sitoplasma membentuk struktur menyerupai inti sel dengan diameter antara 1/20 sampai 1/5 diameter inti yang dinamai mikronukleus (MN). Jadi terbentuknya mikronukleus pada sel merupakan indikasi terjadinya aktivitas mutagenik yang merusak kromosom dan akhirnya memicu terjadinya kanker (Yana, 2009). III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Sampel spons diambil dari Perairan Pasir Putih, Situbondo, Jawa Timur. Uji toksisitas zat anti kanker pada Spons dengan metode BST dilakukan di Laboratorium Program Studi Biologi FMIPA ITS Surabaya. Penginduksian zat karsinogenik dan pemberian zat anti kanker kepada mencit (Mus musculus) dilakukan di Laboratorium Farmakognasi UNAIR Surabaya. Penghitungan jumlah total dan diferensial leukosit dilakukan di LPPT
Bahan Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah pakan mencit Par G produksi Comfeed, mencit (M. musculus) jantan strain B Albino clone (BALB/c) berumur 3 bulan, benzo(a)piren, oleum olivarum, aquades,, antikoagulan ethylenediamine-tetraacetic acid (EDTA) , larutan Turk, metanol, giemza, dan ekstrak spons A. suberitoides. Ekstraksi spons A. suberitoides dilakukan di Laboratorium Farmasi UNAIR dengan langkah kerja sesuai lampiran 1. 3.3. 3.3.1
Prosedur Kerja Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) jantan strain B Albino clone (BALB/c) berumur 3 bulan sebanyak 18 ekor, dikelompokkan dalam 6 kelompok. Masing-masing kelompok dimasukkan 3 mencit ( untuk 3 pengulangan). Sebelum dilakukan perlakuan mencit diaklimasi dalam kandang selama 1 minggu diberi pakan Par G produksi Comfeed dan air minum aquades.
3.3.2
Induksi Karsinogenik terhadap Hewan Uji dengan Benzo(a)piren Induksi karsinogenik dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan benzo(a)piren pada jaringan subkutan mencit di bagian tengkuk. Benzo(a)piren 0,3 gram dilarutkan dalam 0,2 ml oleum olivarum. Injeksi dilakukan 2 hari sekali selama 10 hari. Kemudian ditunggu sampai adanya kanker, yaitu munculnya benjolan di bagian tengkuk selama 10 minggu. Untuk kontrol, mencit (M. musculus) tidak diinjeksi benzo(a)piren. 3.3.3
Uji Anti Kanker Spons terhadap Hewan Uji Uji in vivo untuk terapi antikanker dilakukan dengan cara mencit yang telah diinduksi kanker diberi perlakuan ekstrak spons Aaptos suberitoides yang mempunyai aktivitas sitotoksisitas paling tinggi berdasarkan hasil dari metode BST, secara oral pada minggu ke-9. Perlakuan- perlakuan tersebut meliputi: K1 : Kontrol (tanpa perlakuan) K2 : Diinduksi Benzo(a)piren tanpa diterapi K3 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan obat kanker siklofasfamid 0,4 ml/ 20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt K4 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan ekstrak spons laut Aaptos suberitoides 1,3 mg/20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt K5 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan ekstrak spons laut Aaptos suberitoides 2,6 mg/20 gr BB mencit/0,2 ml
K6
carboxymethylcellulose sodium salt : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan ekstrak spons laut Aaptos suberitoides 3,9 mg/20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt
3.3.4 Analisa Sel Darah Putih (Leukosit) 3.3.4.1 Analisa Penghitungan Jumlah Total Sel darah putih (Leukosit) Penghitungan jumlah leukosit dilakukan dengan menggunakan pipet Thoma leukosit. Sampel darah yang diberi anti koagulan (EDTA) dihisap dengan pipet sampai tanda “0,5”. Pipet kemudian dicelupkan ke dalam larutan Turk dihisap sampai tanda “11” sehingga diperoleh pengenceran 1:20. Pipet dibolak-balik selama kurang lebih 3 menit dengan membentuk seperempat lingkaran, kemudian 2-3 tetes darah yang pertama dibuang. Selanjutnya darah diteteskan dipinggir kamar hitung. Kamar hitung dibiarkan satu menit yang bertujuan untuk melisiskan eritrosit dan memberi kesempatan kepada leukosit untuk menempati kamar hitung. Penghitungan leukosit dilakukan dengan bantuan mikroskop perbesaran 40x pada empat kotak besar dari kamar hitung. Jumlah leukosit tiap milimeter kubik (mm³) adalah jumlah sel terhitung dikalikan dengan 50 (Tambur et al., 2006). 3.3.4.2 Analisa Diferensial Sel Darah Putih (leukosit) Sampel darah segar diteteskan pada gelas obyek dan dibuat preparat apus dengan menggunakan tangan kanan diletakkan gelas obyek lain di depan tetesan darah tersebut dengan sudut 3040º C. Gelas obyek kedua didorong ke
depan hingga membentuk apus tipis. Setelah kering preparat apus tersebut difiksasi dengan metanol selama 3-5 menit, dibiarkan mengering di udara. Preparat kemudian diwarnai dengan larutan giemza dengan pengenceran 1:9 selama 30 menit (pH bufer fosfat 6,87,2). Selanjutnya preparat dicuci dengan aquades dan dibiarkan mengering di atas rak. Setelah kering preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x dihitung setiap jenis leukosit menggunakan blood counter tabulator. Sel yang dihitung paling sedikit 100 sel dan dilakukan perhitungan persentase jenis leukosit. Angka yang diperoleh merupakan jumlah relatif masing-masing jenis leukosit dari seluruh jenis leukosit (Tambur et al., 2006).
menunjukkan ekstrak spons Aaptos suberitoides berpengaruh terhadap jumlah total dan masing-masing diferensial leukosit (neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit, monosit) pada mencit yang terkena kanker maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Kim et al., 2008). Data diolah dengan menggunakan Komputer Program Minitab 14. Hipotesis: Ho : Konsentrasi ekstrak spons Aaptos suberitoides tidak berpengaruh terhadap jumlah total leukosit pada mencit yang terkena kanker H1 : Konsentrasi ekstrak spons Aaptos suberitoides berpengaruh terhadap jumlah total leukosit pada mencit
3.4.
Hipotesis: Ho1 : Konsentrasi ekstrak spons Aaptos suberitoides tidak berpengaruh terhadap diferensial leukosit (neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit, monosit) pada mencit yang terkena kanker H11 : Konsentrasi ekstrak spons Aaptos suberitoides berpengaruh terhadap diferensial leukosit (neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit, monosit) pada mencit yang terkena kanker
Analisa Data Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak spons Aaptos suberitoides terhadap jumlah total dan diferensial leukosit pada mencit yang terkena kanker. Pada mencit (Mus musculus) yang mengalami kanker terjadi peningkatan jumlah leukosit total dan pada diferensial leukosit akan menunjukkan peningkatan persentase limfosit, monosit (makrofag) (Radoja, 2006; Mayer, 2008). Pada mencit yang telah diterapi dengan zat anti kanker dari spons laut Aaptos suberitoides diharapkan jumlah leukosit total mengalami penurunan dan presentasi limfosit dan monosit (makrofag) menurun pula. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 3 ulangan dan 6 perlakuan. Pengaruh konsentrasi ekstrak spons Aaptos suberitoides terhadap jumlah total leukosit dan presentase jenis-jenis leukosit dianalisa menggunakan ANOVA (Analisis of Variance). Jika hasil analisa
IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Total Sel darah putih (Leukosit) Mencit (Mus musculus) pada Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons Laut Aaptos Suberitoides Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu ekstrak spons Aaptos suberitoides berpengaruh terhadap jumlah total sel leukosit antar perlakuan
(P<0.05). Jumlah total sel leukosit kontrol (K1) berbeda secara signifikan (P<0.05) dengan perlakuan K2, K3, K4, K5 dan K6. Jumlah total sel leukosit pada perlakuan K2, K3, K4, K5 dan K6 tidak berbeda secara signifikan. Pada kontrol didapatkan jumlah sel leukosit lebih besar daripada perlakuan lainnya. Pada perlakuan K1 (kontrol) menunjukkan rata-rata jumlah total sel leukosit sebesar 10.800 sel/µl (Tabel 4.1). Jumlah total sel leukosit pada perlakuan K1 masih berada pada kisaran jumlah total sel leukosit yang normal yaitu 5.100– 11.600 sel/µl (Heumann et al., 1983). Hal ini menunjukkan bahwa pada mencit yang diinduksi benzo (α) piren mengalami penurunan jumlah total sel leukosit. Benzo (α) piren merupakan senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik yang digolongkan sebagai senyawa pro karsinogen kuat yang dapat memicu terjadinya kanker (Yana, 2009). Sel kanker dikenal oleh tubuh sebagai bahan asing, sehingga mekanisme imunologi tubuh akan bereaksi secara humoral maupun seluler (Halim, 2001). Sel darah putih merupakan salah satu komponen dalam sistem imun (Baratawidjaja, 2004). Pada penelitian ini diduga sistem imun tidak mampu melawan sel kanker sehingga terjadi penurunan jumlah total leukosit.
Tabel 4.1 Jumlah Total Sel Leukosit Mencit (Mus musculus) pada Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons Laut Aaptos Suberitoides K1 (sel /µl )
K2 (sel /µl )
K3 ( sel/ µl)
K4 (sel /µl )
K5 ( sel/ µl )
K6 (sel/ µl )
4.40 0 5.50 0 3.80 0
2100
2.25 0 3.70 0 3.10 0
3.15 0 3.25 0 2.75 0
3.800
III
11.95 0 10.70 0 9.750
Rata-rata
10.80
4.566
3.016,
3.050
Perlakua n Ulangan I II
a
0 ± 1.103
b
,67 ± 862
2000 4650 2916,
b
67 ± 1.502
b
67 ± 729
b ± 265
4.150 3.700 3.883,
b
33 ± 236
Keterangan: K1 : Kontrol (tanpa perlakuan) K2 : Diinduksi Benzo(a)piren tanpa diterapi K3 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan obat kanker siklofasfamid 0,4 ml/ 20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt K4 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan ekstrak spons laut Aaptos suberitoides 1,3 mg/20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt K5 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan ekstrak spons laut Aaptos suberitoides 2,6 mg/20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt K6 : Diinduksi Benzo(a)piren dan diterapi dengan ekstrak spons laut Aaptos suberitoides 3,9 mg/20 gr BB mencit/0,2 ml carboxymethylcellulose sodium salt a,b,c,d : Notasi yang digunakan dalam uji Tukey
Benzo (α) pyren diinduksikan ke mencit selama 10 hari setiap 2 hari sekali sehingga diduga mencit yang
terpapar dengan zat karsinogen terus menerus akan menurunkan respon sistem imun sehingga terjadi penurunan jumlah total leukosit. Pada perlakuan K3 (mencit yang diinduksi obat antikanker siklofasfamid) juga terjadi penurunan jumlah leukosit. Siklofasfamid (SP) banyak digunakan dalam pengobatan penyakit imun, sebagai kemoterapi kanker dan pada transplantasi sumsum tulang. SP bekerja sebagai imunosupresan dengan membunuh sel limfosit yang diaktifkan dan juga sebagai depresan sumsum tulang sehingga dapat menimbulkan limfopenia (penurunan jumlah limfosit dalam darah) (Baratawidjaja, 2004). Pada pemberian ekstrak spons A. suberitoides diduga tidak berhasil dalam mengobati penyakit kanker yang ditandai dengan jumlah total leukosit yang rendah.
4.2 Diferensial Sel darah putih (Leukosit) Mencit (Mus musculus) pada Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons Laut Aaptos Suberitoides Pada sistem imun mamalia terdiri dari sistem imun spesifik (adaptif) dan sistem imun nonspesifik (alamiah). Sel neutrofil, eosinofil, basofil dan monosit termasuk dalam sistem imun nonspesifik, sedangkan sel limfosit termasuk dalam sistem imun spesifik (Baratawidjaja, 2004). Sistem imun spesifik dan non spesifik berinteraksi dalam menghadapi infeksi. Sistem imun non spesifik bekerja dengan cepat dan sering diperlukan untuk merangsang sistem imun spesifik. Sel neutrofil berperan dalam pertahanan awal imunitas non spesifik terhadap infeksi bakteri (Baratawidjaja, 2004). Sel eosinofil berperan dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi (Hoffbrand, 2006).
Sel basofil berperan dalam respon peradangan. Sel limfosit berperan dalam membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam sistem kekebalan seluler (Frandson, 1996). Sel monosit mengalami proses pematatangan menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan. Sel makrofag berperan dalam membersihkan tubuh dari sel mati dan debris lainnya (Mayer, 2008). Pada diferensial sel leukosit mencit hanya ditemukan sel neutrofil, limfosit dan monosit, sedangkan sel eosinofil dan basofil tidak ditemukan. Hasil yang didapatkan pada diferensial sel neutrofil yaitu terdapat pengaruh ekstrak spons A. suberitoides terhadap persentase neutrofil antar perlakuan (P<0.05). Pada perlakuan K1 (kontrol) didapatkan rata-rata presentase sel neutrofil sebesar 59.67 % (Tabel 4.2). Presentase sel neutrofil pada kontrol masih mendekati kisaran yang normal yaitu 60-70 % (Handayani, 2008). Jika dilihat secara statistik, ekstrak spons A. suberitoides berpengaruh terhadap presentase neutrofil antar perlakuan namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (Tabel 4.2), sehingga pada penelitian ini diduga tidak terjadi adanya infeksi bakteri.
Tabel 4.2 Presentasi Neutrofil Mencit (Mus musculus) pada Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons Laut Aaptos Suberitoides
Perlaku an Ulanga n I II III Ratarata
K1 (%)
K2 (% )
K3 (%)
K4 (%)
K5 (%)
55 64 60 59.6 cd 7 ± 4.50 9
36 42 48
73 59 65 65.6 d 7 ± 7.02 4
51 42 47 46.6 ac 7 ± 4.50 9
50 33 41 41.3 ab 3 ± 8.50 5
42 b
a
± 6.0 0
K6 (%)
59 66 71 65.3 d 3 ± 6.02 8
Pada perlakuan K3 dan K6 memiliki presentase sel neutrofil yang relatif sama dengan kontrol (K1) yaitu berkisar antara 59-73%, sedangkan pada perlakuan K2, K4 dan K5 mengalami penurunan presentase sel neutrofil yang berkisar antara 33-51%. (Baratawidjaja, 2004). Pada penelitian diferensial leukosit, jenis leukosit yang berperan yaitu sel limfosit sehingga presentase sel neutrofil lebih sedikit ditemukan pada mencit yang menderita kanker. Eosinofil tidak ditemukan pada pengamatan diferensial leukosit. Sel ini sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi (Hoffbrand, 2006). Pada penelitian ini mencit tidak mengalami alergi maupun penyakit parasitik sehingga tidak ditemukan adanya sel eosinofil. Eosinofilia merupakan peningkatan jumlah eosinofil dalam darah yang terjadi karena infeksi parasit, reaksi alergi dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun (Frandson, 1992). Basofil tidak ditemukan pada pengamatan diferensial leukosit. Jumlah
basofil di dalam sirkulasi darah relative sedikit (0.07 %), sehingga pada penelitian ini tidak ditemukan adanya sel basofil. Di dalam sel basofil terkandung zat heparin (antikoagulan). Heparin ini dilepaskan di daerah peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfe, sehingga sel basofil diduga merupakan prekursor bagi mast cell. Basofilia merupakan peningkatan jumlah basofil dalam sirkulasi. Basofilia pada hewan domestik dapat terjadi karena hipotirodismus ataupun suntikan estrogen. Penurunan jumlah sel basofil dalam sirkulasi darah atau basopenia dapat terjadi karena suntikan corticosteroid pada stadium kebuntingan (Frandson, 1992). Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi dua yaitu humoral dan seluler (Halim, 2001). Sel B ikut serta pada imunitas humoral, sedangkan sel T ikut serta pada respon imun selular. Fungsi utama limfosit adalah menanggapi kehadiran antigen atau benda asing dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam sistem kekebalan seluler (Frandson, 1996). Hasil yang didapatkan pada diferensial sel limfosit yaitu pengaruh ekstrak spons A. suberitoides terhadap sel limfosit antar perlakuan (P<0.05). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan K1 (kontrol) menunjukkan rata-rata presentase sel limfosit sebesar 27.67 % (Tabel 4.3). Presentase sel limfosit pada perlakuan K1 masih berada pada kisaran presentase sel limfosit yang normal yaitu 25-33% (Fawcett, 1994).
Tabel 4.3 Presentasi Sel Limfosit Mencit (Mus musculus) pada Diferensial Leukosit Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons Laut Aaptos Suberitoides
Perlaku an Ulanga n I II III Ratarata
K1 (%)
K2 (%)
K3 (%)
K4 (% )
K5 (%)
K6 (% )
34 28 21 27. a 67 ±6. 506
56 49 45 b 50 ±5.5 68
9 17 8 11.3 c 3 ±4.9 33
42 42 42 b 42 ±0. 00
44 55 55 51.3 b 3 ±6.3 51
15 7 11 c 11 ±4. 00
Pada mencit yang terkena kanker (K2) dan diterapi ekstrak spons laut A. suberitoides pada dosis 500 mg/Kg BB (K4) dan 1000 mg/Kg BB (K5) juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (42-56%). Jika dibandingkan dengan kontrol, mencit dengan perlakuan K2 (diinduksi benzo(α)pyren) memiliki presentase limfosit yang lebih besar. Pada mencit yang terkena kanker, peningkatan jumlah sel limfosit disebabkan oleh adanya respon imun spesifik terhadap sel kanker. Sel kanker tidak mengenal program kematian sel yang dikenal dengan nama apoptosis. Apoptosis (programmed cell death) merupakan proses yang berjalan secara fisiologik dalam kehidupan sel melalui signal molekul spesifik yang berperan untuk mengatur dan menentukan proses kematian sel itu sendiri (Tadjudin, 2006). Protein p53 berfungsi sebagai pengatur proliferasi sel dan mediator pada apoptosis. Hilangnya fungsi gen p53 atau terjadinya mutasi gen tersebut
menjadikan sel terhindar dari kerusakan DNA, pertumbuhan dan kematian sel tidak terkontrol, pembelahan sel kanker terjadi secara terus menerus tanpa mengalami apoptosis (Seitz, 2010). Sehingga dapat mendorong produksi limfosit untuk merespon sel kanker. Presentase jumlah sel limfosit pada perlakuan K3 dan K6 yaitu 7-17% tidak berbeda secara signifikan. Mencit yang diterapi dengan obat antikanker siklofasfamid (K3) dan ekstrak spons laut A.suberitoides pada dosis paling tinggi (1500 mg/Kg BB) mengalami penurunan jumlah sel limfosit yang drastis jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada mencit yang diinduksi obat antikanker siklofasfamid terjadi penurunan presentase limfosit. SP bekerja sebagai imunosupresan dengan membunuh sel limfosit yang diaktifkan dan juga sebagai depresan sumsum tulang sehingga dapat menimbulkan limfopenia (penurunan jumlah limfosit dalam darah) (Baratawidjaja, 2004). Pada pemberian ekstrak spons A. suberitoides diduga tidak berhasil dalam mengobati penyakit kanker. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan K1 (kontrol) menunjukkan rata-rata presentase sel monosit sebesar 12 % (Tabel 4.4). Presentase sel limfosit pada perlakuan K1 masih berada pada kisaran presentase sel limfosit yang normal yaitu 4-11% (Fawcett, 1994). Hasil yang didapatkan pada diferensial sel monosit tidak terdapat pengaruh ekstrak spons A. suberitoides terhadap presentase sel monosit antar perlakuan (P>0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak spons A. suberitoides tidak berpengaruh terhadap jumlah monosit dalam darah
Tabel 4.4 Presentasi Sel Monosit Mencit (Mus musculus) pada Diferensial Leukosit Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons Laut Aaptos Suberitoides Perlak uan Ulang an I II III Ratarata
K 1 ( % )
K 2 ( % )
K3 (%)
11 8 17 12
8 9 7 8
9 17 8 11.33 33
K4 (%)
7 16 11 11.33 33
K5 (%)
6 12 4 7.33 33
K 6 ( % ) 15 7 11 11
Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi dalam bentuk imatur dan mengalami proses pematangan menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan (Handayani, 2008). Bila program apoptosis telah selesai pada sebuah sel maka akan meninggalkan kepingan sel mati yang disebut badan apoptosis yang akan dikenali oleh sel makrofag dan dimakan (engulfed) (Peter et al, 1997). Pada diferensial sel leukosit hanya ditemukan sel neutrofil, limfosit dan monosit, sedangkan sel eosinofil dan basofil tidak ditemukan. Pemberian ekstrak spons A. suberitoides tidak berpengaruh terhadap presentase sel neutrofil, limfosit dan monosit. Tidak efektifnya ekstrak spons dalam penghambatan pertumbuhan kanker dapat disebabkan karena ekstrak spons yang digunakan untuk terapi bukan merupakan ekstrak murni tetapi masih berupa ekstrak kasar yang terdiri atas campuran berbagai macam senyawa organic yang terdapat pada spons. Fraksi-fraksi yang terdapat di dalam
ekstrak spons belum dipisahkan satu dengan yang lain sehingga ekstrak spons masih didominasi senyawa organik non alkaloid. Pada umumnya, senyawa yang sudah dalam bentuk murni (pure compound) akan memiliki aktivitas biologi yang lebih kuat dengan catatan selama proses pemurnian, senyawa aktif tidak hilang atau mengalami kerusakan (Nursid et al, 2006). V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Ekstrak spons A. suberitoides berpengaruh terhadap penurunan jumlah total leukosit 2. Ekstrak spons A. suberitoides tidak berpengaruh terhadap sel basofil, eosinofil, neutrofil, monosit dan limfosit. 5.2
Saran Ekstrak spons A. suberitoides yang digunakan untuk terapi perlu dimurnikan terlebih dahulu menjadi bentuk senyawa murni sehingga memiliki aktivitas biologi yang lebih tinggi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian mengenai obat antikanker yang dapat menginduksi respon imun (immunostimulan). DAFTAR PUSTAKA Abbas A., Murphy K., Sher A. 2000. Functional diversity of helper T lymphocytes. Nature 383 (6603): 787-93 Alberts B., Johnson, A., Lewis J., Raff M., Roberts K., and Walter P., 2002. Molecular Biology of the Cell. Edisi ke-4. Garland Science: New York
Anonim 1, 2009. Benzo (α) piren. http://www.arkadiuszjadczyk.org imagesbenzopireny.-com/. Diakses pada tanggal 10 November 2009 pukul 19.00 WIB Anonim 2, 2009. Sistem Imun dan Psikoneuroimunologi. http://www.tauhidinstitute.org/articles/. Diakses pada tanggal 01 Desember 2009 pada pukul 18.05 WIB Anonim 3. 2009. Hewan Spons, Porifera. http://kamuspengetahuan.blogspo t.com/2009/ 03/hewan-sponsporifera.html. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 pada pukul 17.00 WIB Anonim 4. 2010. Mekanisme Sistem Imun Terhadap Sel Kanker. http://niek4life.files.-wordpress. com/2008/10/immunitycancer2.jpg. Diakses pada tanggal 18 Maret 2010 pada pukul 22.00 WIB Aoki,
S., Dexin K., Hideaki S., Yoshihiro S., Toshiyuki S., Andi S., and Motomasa K. 2006. Aaptamin, a Spongean Alkaloid, Activates p21 Promoter in a p53Independent Manner. Biochemical and Biophysical Research Communications vol. 342 : 101-106
Baratawidjaja Karnen G. 2004. Imunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta Ben Best. 2006. Cancer Death Causes & Prevention.
Http://benzo/Hasil%20 Penelusuran%20Gambar%20Goo gle%20untuk%20httpwww_benb est_com-healthBenzoPyr_gif_files/cancer.htm Boon T, van der Bruggen P. 1996. Human tumor antigens recognized by T lymphocytes. J Exp Med (183): 725–729 Brown, Earl. 1998. Basic Concepts in Pathology. The McGraw-Hill : USA Coutinho A., Chanas B., Souza T., Frugrulhetti I., Epifanio. 2002. Anti HSV-1 Alkaloids from a Feeding Deterrent Marine Spongse of The Genus Aaptos. Heterocycles, vol. 57: 12651272 Campbell, Neil A. 2004. Biologi Jilid 3. Erlangga: Jakarta Effendi, Zukesti. 2003. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Fakultas Kedokteran: Universitas Sumatera Utara Erlinger Thomas P. 2004. WBC Count and the Risk of Cancer Mortality in a National Sample of U.S. Adults: Results from the Second National Health and Nutrition Examination Survey Mortality Study. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention 13: 1052 Fatmah, 2006. Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara Kesehatan, Vol. 10; No.1 : 47-53
Fawcett Don W. 1994. Buku Ajar Histologi. EGC: Jakarta Feldman Bernard F. 2000. Veterinary Hematology Fifth Edition. Lippincot William and Wilkins: California Finlay B., McFadden G. 2006. Antiimmunology: evasion of the host immune system by bacterial and viral pathogens. Cell 124 (4): 767-82
Handayani, Wiwik. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Salemba Medika: Jakarta Harryadi R. 1980. Limfoma Malignum : Kanker atau Reaksi Imunologik yang Normal. Cermin Dunia Kedokteran No.18 : 30-32 Hesse, M. 1981. Alkaloid Chemistry. John Wiley and Sons, Inc: Toronto
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Heumann D. 1983. Human Large Granular Lymphocytes contain an Esterase Activity usually Considered as Specific for The Myeloid Series. Eur J Immunol (13) : 254-258
Franks L.M and Teich N.M. 1998. Cellular and Molecular Biology of Cancer Third Edition. Oxford University Press : Inggris
Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance Hematology. EMS: Jakarta
Guyton, Arthur C. 1983. Fisiologi Manusia dan Mekanismenya terhadap Penyakit. EGC: Jakarta. Halim, Binarwan. 2001. Imunologi Kanker. Cermin Dunia Kedokteran No. 132 : 47-51 Hanani, E., Mun’im, A. dan Sekarini. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan dalam Spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3, Desember 2005, 127 – 133 Hanahan, D. and Weinberg, R.A. 2000. The Hallmark of Cancer. Cell. Vol 100: 57-70
Hooper, J.N.A. 2002. Sponguide: guide to spons collection and identification. Queensland Museum: South Brisbane Janeway C A. 2005. Immunobiology. Garland Science : New York Jasin,
Maskuri. 1992. Invertebrata. Sinar Surabaya
Zoologi Wijaya:
Juwono dan Juniarto. 2003. Biologi Sel. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta Keller, Margaret A. and E. Richard Stiehm. 2000. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious Diseases. Clinical Microbiology Reviews 13 (4): 602–614.
Kim D J., Nuh J H., Lee B W., Choi Y H. 2008. The Associations of Total and Differential White Blood Cell Count with Obesity, Hypertension, Dyslipidemia and Glucose Intolerance in a Korean Population. J Korean Med Sci 23(2): 193-198 Larghi, E., Obrist, B., and Kaufman, T. 2008. A formal total synthesis of the marine alkaloid aaptamine. Tetrahedron Volume 64, Issue 22 Lodish H., Berk, A., Matsudaira, p., Kaiser, C.A., Krieger, M., Scott, M.P., Zipursky, S.L., Darnell, J. 2000. Molecular Cell Biology, 5th ed. WH Freeman: New York. Makarchaenko, A. dan Utkina, N. 2004. Antiradical Activity of Alkaloids from Marine Sponges. International Conference on Natural Products and Physiologically Active Substances (ICNPAS-2004) September 12-17, 2004, Novosibirsk, Russia Mariono, S. A. 2002. Karakteristik Kandungan DNA dan Aktivitas Proliferasi Pada Kanker Paru di Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No.127: 15-17. Maliya, A. 2004. Perubahan Sel menjadi kanker dari sudut Pandang Biologi molekuler. Infokes Vol 8 No 1 Maret – September 2004. Mayer,
A., Gustafson, Antitumour and
K. 2008. Cytotoxic
Compounds. European Journal Of Cancer 44: 2357–2387 Munifa, I. 2008. Spons:biota laut penghasil senyawa bioaktif yang potensial. Laboratorium Bioteknologi Kelautan : Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial-Ekonomi Kelautan dan Perikanan Morgan R et al., 2006. Cancer Regression in Patients After transfer of genetically engineered lymphocytes. Science 314: 126– 129 Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta Nafrialdi, S. Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi ke-5. Gaya Baru. Jakarta. Nurhayati, Awik Puji D. 2010. Screening, Isolation and In Vivo Evaluation from Marine Sponge: Bioactive Screening from Marine Sponge. The Proceeding 24th25th February 2010 University Malaya Royal Society Chemistry Nurlaila, Ika dan Hadi, Miftachul. 2009. Kanker: Pertumbuhan, Terapi dan Nanomedis. Biophysics Group Physics Research Centre LIPI : Nanotech Indonesia Nursaadah, Afifa. 2008. Uji pendahuluan ekstrak spons Spongosorites sp. dari pantai pasir putih Situbondo yang berpotensi sbagai antibakteri.
Skripsi Program Studi Biologi ITS Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Merdeka: Jakarta
Nursid, Muhammad. Wikanta, Thamrin. Fajarwati, Nurrahmi. 2006. Aktivitas Sitotoksik, Induksi Apoptosis dan Ekspresi Gen P 53 Fraksi Metanol Ekstrak Spons Petrosia sp Terhadap Sel Tumor HeLa. Jurnal Pascapanen dan Biotekonologi Kelautan dan Perikanan Volume 1 No 2 : 103-110 Proksch, P., Edrada, R., A. And Ebel, R., 2005, Drugs from the seas – current status and microbiological implications. Appl Microbiol Biotechol 59:125- 134 Radjasa, O. K., A. Sabdono, Junaidi and E. Zocchi. 2007. Richness of Secondary Metabolite-Producing Marine Bacteria Associated with Sponge Haliclona sp., Int. J. Pharmacol., 3:3,275-279. Radoja S., Frey A., Vukmanovic S. 2006. T-cell receptor signaling events triggering granule exocytosis. Crit Rev Immunol 26 (3): 26590 Rombang, W. A. R., Rymond J. R., Ponis T., Anthony J. H., dan Lewis N. M. 2004. Chemical Constituents of Indonesia Marine Sponges: Bisdemethylaaptamine, a Napthyridine Alkaloid from Aaptos sp. Buletin of The
Indonesian Society of Natural Products Chemistry, Vol. 4, No. 1 Rosmiati dan Suryati, 2001. Isolasi Identifikasi dan Pengaruh Senyawa Bioaktif Spons Callyspongia pseudoreticulata terhadap Bakteri patogen dari Udang. Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol 6 no 1 Schmitz, F.J., Gopichand, Y. 1993. E,13o,15Z)-14,16-Dibromo7,13,15-hexadecatrien-5-ynoic acid. A novel dibromoacetylenic acid from the marine sponge Xestospongia muta. Tetrahedron Lett. 39, 3637_/3640. Seitz C S., Lin Q., Deng H., Khavari P A. 2010. Alterations in NF- B function in transgenic epithelial tissue demonstrate a growth inhibitory role for NF- B. Proc Natl Acad Sci USA (1998) 95: 2307–2312 Sjorgen, Martin. 2006. Antifouling Activity of Synthesized peptide analogs of the sponge metabolite barettin. Peptides Volume 27, Issue 9 : 2058-2064 Silalahi, Jansen. 2006. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran 153:39-42. Sofyan, R. 2000. Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler. Cermin Dunia Kedokteran 127:5-10 Suparno. 2005. Kajian Bioaktif Spons Laut (Porifera: Demospongiae)
Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia Dalam Bidang Farmasi. IPB: Bogor Suryati E, Parenrengi A, dan Rosmiati. 2000. Penapisan Serta Analisis Kandungan Bioaktif Sponge Clathria sp. yang efektif sebagai Antibiofouling pada teritif (Balanus amphitrit). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vo.5 No. 3 Tahun 1999. Tadjudin, M.K. 2006. Apoptosis Pada Glioma Otak. Simposium: Apoptosis Charming to Death FK UI Tambur Z, et al., 2006. White Blood Cell Differential Count in Rabbits Artificially Infected with Intestinal Coccidia. J. Protozool. Res 16, 42-50 Van
Soest, R.M.W. 1989. The Indonesian Sponge Fauna: Status Report. Netherland Journal of Sea Research Volume 23 issue 2: 223-230
Yana, Sumpena. 2009. Uji Mutagenisitas Benzo (alfa) piren dengan Metode Mikronukleus pada Sumsum Tulang Mencit Albino (Mus musculus). Cermin Dunia Kedokteran Vol 36 no. 1/167 Zakaria, Fransiska R. 2001. Pangan dan Pencegahan Kanker. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XII, No. 2 Th. 2001
BIODATA MAHASISWA
Nama : Dian Natalia Eka Saputri TTL : Surabaya, 16 Desember 1988 Alamat: Jl. Medayu Selatan I / 8 Surabaya Jawa Timur