kupersembahkan kepada ayahda,ibunda, kanda, yunda tercinta dan semuanya
II
Orang mendapatkan pengetal1Uan dan kepandaian,
budi pekerti, mempunyai pendapat dan keu tamaan kadang-kadang dari ihlU, dari pendidikan dan dari ucapan-ucapan orang, dapat juga dari hika yat atau tuntunan-tuntunan langsung ".
II
Nereka yang berbelas kasih an tara sesama akan mendapat kasih Tuhan Yang Pengasih, maka dari itu saling cinta mencintailah para makhluk yang berada di bumi, ma~a kalian akan memperoleh cinta kasih dari yang berada di langi"t
II
,! {g hjT~
"
00°D
{
["RI
I' PARTURIENT PARESIS DAN KEMUNGI
oleh KRISMANTO
B.17.1465
FAKULTAS
KEDOKTERAN
HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 9
a
5
RINGKAS.
Kl.'lISi'i;\.HTO.
Parturient Paresis dan Kemungkinan Kejadiannya
pada Sapi Perah di Kecamatan Sukaraja I, Kaoupaten Sukabumi. Dibawah bimbingan Dr. Aisjah Girindra. II
Parturient Paresis
11
ada1ah penyakit metabolisme,
menyangkut kalsium, yang erat hubungannya dengan proses me1ahirkan dan laktasi.
Secara laboratoris di tandai dengan
penurunan kadar kalsium serum darah menjadi 4-5 mg% atau 1ebih rendah lagi, yang lebih dikenal sebagai hipokalsemia. Terutama terdapat pada sapi bangs a Jersey, umur 5-9 tahun, pada waktu laktasi ketiga sampai ketujuh, pada saat mendekati partus atau sehari setelahnya. Penyru,it ini timbul dalam hubungannya dengan usaha meningkatkan produksi air susu, tanpa disertai dengan pengaturan pakan yang baik. kejadiannya sekitar 5-10
Beberapa peneliti menyebutkan
56.
Melihat kondisi menejemen
peternakan ki ta sekarang ini, tidak mengherankan bila di Indonesia kemungkinan kejadiannya menjadi tinggi. Permasalahan pokok dari kejadian penyakit ini adalah tingkat penurunan produksi air susu dan kematian hewan. Tanpa penanganan yang 'baik, kematian 'oerkisar 60-70 %, penanganan yang cepat dan tepat menurunkan kematian hingga tinggal 15 % (Kaneko dan Cornelius, 1971). Gejala klinis yang timbu1 erat
~ubungannya
fungsi kompleks kalsium dalam tuhuh. k1inis
y~ng
sering menyertai kejadian
dengan
Beragamnya geja1a penya~it
ini, menyuli!
DI
ICSCAHAT~;l\T
SUj{A~AJ A
I, KA3UP ATE] SUKA:3UI·iI
.
- ...
Oleh Krismanto
B.17.1465 Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakul tas Kedokteran Rewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS
KEDOKTERill~
INSTITUT PERTANIAN
1985
HEWAN BOGOR
Judul skripsi K.2J ADHJINY _.J. P ADA SAPI PERAII DI K:2:CAHATAN SUKARMA I; KABUPATEl'i SUKA BUEI.
Nama mahasiswa
Krismanto
Nomor pokok
; B. 17.1465
Henyetujui
:
Dr. _4isjah Girindra. Pembimbing Tanggal
kan diagnosa penyakit secara klinis, terutama bila saatsaat kritis penyal.:;:it ini sudah terlewati.
I,Ietode yang
paling meyak=-nkan adalah diagnosis secara laboratoris ter-
hadap tingkat kadar kalsium serum darah.
Pengaturan kadar kalsium serum darah melibatkan hormon paratiroid dan kalsitonin, aktivi tas penyerapan o-leh usus, pengeluaran serta penyimpanannya oleh tulang, dan aktivitas vitamin D hasil sintesis di hati dan ginjal. Adanya beberapa alat tubuh, hormon, enzim dan vitamin yang terlibat pada kejadian penyaldt ini, mengingatkan kita akan pentingnya pencegahan disamping pengobatannya, yaitu : pemberian vitamin D pada
wal~tu
pre partum, pengaturan pakan
sapi agar tidak terlalu gemuk pada periode kering kandang, pengamatan yang sempurna setel<3,h 48 jam post partum, tidak mengosongkan kelenjar susu dari kolestrum, dan menghindarkan stress sewaktu melahirkan.
Pengobatan yang dipakai
sampai sekarang adalah memakai preparat kalsium dan kombinasinya, serta dengan pemompaan ambing dengan resiko terjadinya infeksi oleh kuman.
KATA P:SNGAl'ITAR
3erk:J.t rahmat Tuhan Yang Ho.ha ::;so., skripsi yan,s merupakan salah sat'.! ayarat untuk mem:9cro1eh gelo.r Dokter Hewan pada Faku1 tas Kedokteran Rewan Insti tut Pertanio.n Bogor, telah dapat :genu1is selesaikan. ?enghargaan yang setinggi-tingginya penu1is haturkan l\:epada Ibu Dr. Aiajah Girindra, sebagai dosen pembimbing yang ilerkenan memberili:an petunjuknya dari saat persiapan hingga tersusunnya skripsi ini. Xepada semua pihak pada perpustakaan pusat IPB, FKH, BPT Cial'li, dan BPPH, penu1is haturkan terima kasih, atas segala petunjuknya, sewaktu me1engkapi kepustakaan yang penulis per1uk:m. Keterbatasan kemampuan sebagai manusia, penulis sadari benar, namun segala kekurangan yang ada, baik isi
ma~
pun penyajiannya telah penu1is usahakan seminimal-minimal nya.
Sumbangan saran dan kri tik demi kesempurnaannya sa-
ngat penulis dambakan.
Harapan penu1is, semoga skripsi
ini berguna bagi semua pihak yang sewaktu-waktu memerlukannya.
Bogor, JUhi 1985. Penu1is
vi
DAFTAR LSI
hal am an
..........................................................
- vi
DAFTAR lSI
..........................................................
vii
DAFTAR TAJ3EL
..........................................................
viii
DAFTiL~
..........................................................
ix
KATA
P~HG.:LTT.AR
GAMBAR
. .................................................... . ~
1.
PEl'lDAHULU Ai'l
II.
HIPOKALSEl1IA
....................................................
1
..................................................
5
Pengertian
..
5
......................................
7
..................................
10
. .. . .. .. .. .. .. .. ....................
13
................
17
. . .. .. .. .. . .. . .
17
........ Diagnosa banding ................................ Pencegahan ............................................ Pengobatan ............................................
20
............
32
............................
Kejadiannya Faktor penyebab Gejala klinis
Gejala patologi anatomik Diagnosa secara klinis
10
............
Diagnosa secara laboratorium
III.
PERAl"lAN DAN HETABOLISi'IE KALSIUl'I.
Penyerapan dan metabolisme kalsium Peranan kalsium dalam tubuh
..........
Kebutuhan kalsium untuk produksi air susu ............................................ pembuangan kalsium
IV.
. . .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. ..
BEBERAPA KASUS YANG DITEl1UKAH
.. ............ .
21
23 28
32 33 41
43
v. VI.
. ......................... . . . . . . . . . . .. . . . . . . Kesim.pulan . . . . . .. . . . . . . . . . . . ••
...... .. .................. . DAFTAR PUSTPJLA .. ..... ... . . .. . . . . . . .. . RI'ilAYAT HIDUP .. . . ... . ... ..... . . . .... . Saran
'
55 55
57 59
63
DAFTARTABEL
Nomor
halama.'1 Judul
1.
Kadar normal kalsium serum darah dari berbagai he\van
2.
3.
............................ ..
6
Perubahan tingkat kalsium serum darah pada sapi normal dan penderita Parturient Paresis pada saat melahirkan
7
Persentase kejadian Parturient Pares.... ~, .......
10
Tingkat kalsium serum darah pada sapi Parturient Paresis, grass titany dan sapi normal, secara laboratoris •••
20
is berdasarkan bangsa sapi
5.
Parturient Paresis kompleks, penyebab penyebab yang memungkinkan kejadian-nya
pada sapi
...................................... ..
22
6.
Kebutuhan kalsium dan vitamin D pada sapi perah, berdasarkan gerat badan
26
7.
Beberapa kasus yang ditemukan
........
46
viii
DAl"TAR GAH3AR Hornor
halaman Judul ,
1. 2.
.... .... ..... ............ ..
Parturient Paresis khas, kepala terputar ke samping
Kekakuan leher lateral, pada kasus penya kit Parturient Paresis
3.
4.
Sapi penderita Parturient Paresis, denga n gejala khas leher dibengkokkan ke late ral, i~epala bersandar pada bahu. KOlnplI kasi dengan ketosis ••••••••••••••••• : Pengaruh pemberian vitamin D, pada tingkat kalsium serum darah
5.
7.
16
27
•...•.•.•..•...•....•..........•
36
Pengaruh tingkat kalsium serum darah ter hadap sekresi harmon paratiroid dan kal= si tonin ••••••••••••••.••••••.•..••..•
36
Pengaturan tingkat kadar kalsium serum darah oleh ru~tivitas harmon paratiroid, kalsitonin dan vitamin D
8.
•••••..•.•..••
13
Mekanisme pengaturan kadar kalsium serum darah
6.
••.•..••...•.. :
13
•••..••...••.
Pengaruh pemberian pakan clikup kalsium, dan pakan diet kalsium, pada produksi air susu .
.. .. . . .. . . . . . . . . . ...... .. . . .
ix
37
42
DAFTAR LAHPIRAN halal!lan
~iomor
JUdUl 1
~.
Proyeksi ~o~u1asi ternak sa~i perah dal&~ Repe1ita IV, 1984 - 1985
x
62
I.
2,3,~
PEHDAI-IULUAH
setllimn se1ana rtepelita III, dan rencana penul'unan-
n:ia menjadi 2
~~
seto.hun se13ma :2epeli ta IV, pel1duduk Indo al~hir
nesia di;?erkirakan o'kan nencapai 175,6 ju ta jiwa pade.
Repeli ta IV; naik bilo. di bandingk.:m sekarang ini seki tar
153,1 ju ta .ji wa
(~~egeli ta
keempa t 198L~/o5-1983/89).
Pro-
gram no'siona1 secara bertanap dalam mewujudkan kecerdasaJl kehidupan bangsa,
tida.~
dapat terlepas dari us aha pening-
katan daya beli dan memasyarakatkan sumber ;?angan bergizi,
terutar.lG.. protein. Helihat cukup tingginya proyeksi populasi
terna.~
sapi
perah pado. Repeli to. IV (Larnpiran 1) dan terns t:leninglcat 11,6 % setiap tallUnnya, juga distribusinya di Propinsi
J~
wa barat sebal1yak 47.643 eko1' (Laporan tahunan Propinsi Jawa barat 1983/84) membuktikan adanya usaha pengembangannya di Propinsi ini. Dalarn bidang pangan, pe1'anan hewan sebagai sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan protein, pada kenyataannya mengalami banyak hambatan te1'utama dalam menejemennya. Hengenai penyald t, cJisamping mastitis yang r.lemang sudah menjadi masalah
sejal~
dahuln, per1u pula diperhatikan pe-
nyakit gangguan metabolisme seperti
if
11
Parturient Paresis •
Penyald t ini termasuk r.lasalah pen ting teru tama pada sapi yang 'oerproduksi tinggi, pada saat bunting dan pertumbuhan. Dalam hal penyal{it metabo1isme ini, menejemen, 1ing-
2
kungan dan genetis merupakan faktor penunjang [langguan da lam tubuh.
Sedangkan perbedaan kerentanan antara satu he
wan dengan yang lainnya adalah akibat genetis.
Kaneko dan Cornelius (1971) mendifinisikan "Parturient Paresis " sebagai penyakit tanpa disertai demam dan erat huburrgannya dengan proses kelahiran dan laktasi.
Gejala
khas berupa paresis, paralisis, pings an sampai kematian. Secara 1aboratoris ditandai dengan penurunan kadar kalsium serum darah dan peningkatan kadar magnesium, sedangkan kadar fosfor bervariasi.
Penanganan yang tidak tepat atau
terlambat, kematian mencapai 60-70 %, sedangkan pengobatan yang tepat bisa mengurangi kematian sampai tingga1 15 %. Penurunan kadar ka1sium serum darah, disebabkan oleh gangguan penyerapan kalsium, disfungsi kelenjar paratiroid dan peningkatan kebutuhan kalsium tubuh (Hungerford, 1970) Di tambahkan oleh Brown et a1 (1982) bahwa hipoparatiroidism, defisiensi vitamin D, gangguan ginjal, defisiensi
magnesi~m
pankreatitis akut dan tranfusi darah merupakan penyebab ri rendahnya kadar kalsium serum darah.
d~
Berbagai alat tu-
buh yang ikut berperan dalam kejadian penyakit, maka sangat per1u mempertahankan alat tubuh itu selalu da1am fungsi ma1nya.
no~
Tujuan ini dapat dipenuhi dengan mengatur pakan,
terutama pada saat pre partum dan pada sapi saat laktasi ketiga sampai ketujuh. Ho (1976) mengatakan sangat sukar membedakan antara penyakit metabo1isme dengan defisiensi makanan.
Dalam hal
ini diper1ukan kecermatan da1am mendiagnosanya.
Penyakit
3 metabolisme meningkat kejadiannya pada sapi perah dalam hubungannya dengan usaha meningkatkan produksi air susu dan ditandai dengan gejala khas berupa konvulsi (kejang) atau paralise (lumpuh), terutama pada awal perjalanan penyaki t. Pada kasus defisiensi makanan, gBjalanya sangat umum, yaitu berupa penurunan kondisi badan, penurunan nafsu makan, kelemahan, penurunan fertilitas dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi penyakit atau parasit.
Pada beberapa ke-
jadian diperlukan pengujian secara kimia dan biologi terhadap pakan dan tanah gembalaan, juga analisis darah dan organ tubuh.
terhadap
Sebagai penunjang, pengetahuan di-
bidang fisiologi dan tentang kadar normal mineral darah sangat diperlukan.
Pengetahuan ini berguna untuk bahan
p~
rencanaan pencegahan penyakit, karena ini lebih pe:nting bi la dibandingkan dengan pengobatannya. Pengalaman penulis selama praktek daerah, ditambah formasi yang didapat dari petugas peternakan dan
i~
petern~~
secara langsung, begitu juga gejala klinis, kejadiannya, umur, jumlah produksi air susu yang sebagian terdapat di dalam laporan yang ada di Dinas Peternakan Kabupaten SUkabumi, ditunjang pula dengan kepustakaan yang diperlukan, memperlihatkan kemungkinan banyaknya kejadian penyakit metabolisme
II
"
Parturient Paresis .
Data dalam laporan cukup
memperlihatkan keadaan ini, namun sayang pemeriksaan laboratorium hanya pada parasit darahnya, belum sampai pada
m~
salah kandungan mineral darah, khususnya kadar kalsiumnya. Atas dasar ini penulis mencoba menghubungkan fakta ini de-
4 ngan mengungkapkan secara lebih jelas lagi mengenai penyakit
"
Parturient Paresis
11
Diantaranya kejadiannya,
f~~tor
penyebab, gejala klinis dan patolJgi anatomi, cara diagnosa diagnosa banding, pencegahan dan pengobatan.
Begitu juga
masalah mineral kalsium, peranan dan metabolismenya, kebutuhan untuk produksi air susu dan pembuangannya.
II.
RIPOKAL,sElHA
PENGERTIAN
Rendahnya kadar total kalsium serum darah, diikuti menU~Jn
atau tetapnya kadar fosfor inorganik, disebut hi-
pokalsemia.
Keadaan ini merupakan tanda khas dari penya-
kit metabolisme yang erat hubungannya dengan proses kelahiran dan awal laktasi. gai
Penyaki t ini lebih dikenal seba-
Parturient Paresis " atau
It
" Milk Fever.
"
Pada awal p':.
nyakit tampak gejala titani berlangsung sebentar, paralise dan pingsom.
Semua umur sapi .bisa tarke.na, terutama
pada yang berproduksi tinggi.
Bangsa sapi Jersey dan
Guernsey lebih rentan dibandingkan Holstein.
Kegagalan
dalam mempertahailkan kadar normal kalsium serum darah dan kebutuhan yang meningkat pada saat produksi puncak, merupakan faktor penyebab penyakit (Boda dan Cole, 1956). Penelitian yang masih terus berjalan, didukung dengan teori yang ada, masih belum dapat menyatakan batasan yang jelas tentang penyebab penyakit, namun dapat dikatakan
p~
nyebabnya adalah kekurangan kalsium yang hebat (Gibbons,
Hungerford (1970) menjelaskan bahwa kejadian hipokalsemia, selain akibat peningkatan kebutuhan kalsium, juga
~~bat
gangguan fungsi kelenjar paratiroid dan pro-
ses penyerapan makanan terutama kalsium. Olson dalam Phillipson et al (1980) mengartikan hipOkalsemia sebagai keadaan patologis pada sapi yang di-
G
tandai deng::m penurunan kadar kalsium dD.rah.
Hal ini ter-
jadi pada sapi saat berlaktasi ting,:;i, dan sewaktu nya proses pembentukan tulang.
terja~
Gangguan dalam proses
peny~
rapannya di usus dan penyimpanannya di tulang, juga mendu-
kung keadaan ini. II
Hipokalsemia akut sebagai penyebab
II
Parturient Paresis
di tandai dengan sangat menurunnya kadar kalsium serum darah dari normal 10 mg% menjadi 4-5 mg% atau lebih rendah lagi (Underwood, 1980).
Tabel 1 memperlihatkan kadar normal
kalsium darah dari beberapa hewan (Doxey, 1971). kan perubahan
pi penderita
l~adar
rr
Sedang-
kalsium darah pada sapi normal dan sa-
Parturient Paresis
rr
pada saat melahirkan
(HcFadzen dan Keith dalam Howard, 1981) diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel i.
Kadar normal kalsium darah (mg%), berbagai hewan
HEWlli'f
KADAR KALSIUN
Kuda
10,5
-
14,0
Mahaffey, 1964
Sapi
9,0
-
11,5
Hunt dan Gilbert, 1968
Domba
8,7 - 11,5
Birkeland, 1968
Babi
9,5
-
Birkeland, 1968
Kambing
9,5 - 10,2
Louw et aI,
Anjing
9,3
Campbell dan Douglas, 1965
Kucing
7,3 -
Sumber
Doxey (1971)
11,5
11,0 9,2
PUS TAKA
Bloom, 1957
1966
7 Hungerford (1970) memberikan nama lain dari manifestasi keadaan hipokalsemia, yang biasa disebut dengan "Par11"
turient Paresis' sebagai
" rient Apmplexy.
Calving Paralysis
II
atau
H
Partu-
Kejadiannya banyak pada sapi berproduksi
tinggi, pada 48 jam setelah melahirkan. awal penyakit ditandai dengan
peningl~atan
Kondisi khas, pada sensitifitas,
.
jalannya kaku, kelemahan otot, ruthirnya roboh disertai depresi dan pingsan (McFadzen dan Keith dalam Howard, 1981). Tabel 2.
Perubahan kadar kalsium serum darah pada sapi normal dan penderita parturient paresis pada saat proses kelahiran.
KONDISI HEll Al'f
KADAR KALSIUM SERUH DARA..'i (mg%)
Normal
9,4
Pada saat melahirkan lIewan muda
9,0
lIewan tua
8,0
Sapi dengan Paresis'
Parturient
Tahap I
6,2 + 1,3
Tahap II
5,5
Tahap III
4,6 + 1,1
+ i,3
Sumber : HcFadzen dan Keith da1am HOlVard, 1981 KEJ ADIAlfJ'IY A
Gibbons (1963), Belschner (1974) mencatat kejadian "
Parturient Paresis II pada sapi, terutama terjadi pada 72
jam sete1ah me1ahirkan, beberapa terjadi pada 48 jam se-
3 telah mel!>.hirkan, kadang-k!>.dang sebelum atau pada saat me lahirl~an.
Pada sapi yang peka (Jersey), dapat terjadi se
telah beberapa minggu sampa·.beberapa bulan proses melahirkan, terutama pada saat produksi puncak dan adanya stress. McFadzen dan Keith dalam Howard. (1981) mencatat perc11
sentase kejadian
11
11ilk Fever
dihubungkan dengan waktu
terjadinya kelahiran, yaitu : 3 % sebelum melahirkan, 6 %
75 % sehari
pada saat melahirkan,
setelah melahirkan, 12 7'S
dian tara 25-48 jam setelah melahirkan dan 4 % di saat-saat lainnya.
Kejadiannya meningkat pada saat produksi puncak,
kepekaan tinggi pada sapi Jersey, ditandai dengan timbulnya gejala pings an yang lebih cepat dibandingkan sapi dari bangsa lainnya. Penyakit bisa terjadi pada semua umur sapi, tetapi yang tersering adalah umur
4-9
tahun.
Jarang pada sapi
laktasi pertama, kadang-kadang saat laktasi kedua, yang terserin-g adalah laktasi ketiga sampai ketujuh (Belschner
1974).
Udall'
(1954)
menerangkan gejala klinis kejadian
hipokalsemia berdasarkan umur sapi, yaitu : hanya 1 ekor pada umur 3 tahun, lebih sedikit terjadi pada sapi umur 4 taJmn daripaaa umur dian;ara umur hampir 25
5-9
5
tahun, dan hampir
tahun, 48
% diikuti
% pada
90 % terjadi
umur 7-8 tahun, dengan
gejala retensio plasenta, dari 113
kasus yang diselidiki. Pengaruh iklim pada kejadian terl1Jata
4,07 % terjadi
11
11
Parturient Paresis' ,
pada bulan Mei s~pai Septemb~r,
13,35 % pada bulan Oktober sampai April (Henderson pada
1938 yang dikutip Udall, 1954).
9 Kejadian tertinggi dila-
porkan pada Gulan Januari sampai April (Hetzger dan Horrison pada tahun 1936 yang dikutip Udall, 1954). Henderson pada tahun 1938 yang dikutip Udall (1954) mencatat persentase kejadian
"
Parturient Paresis
II
dari 77
kasus yang diselidiki berdasarkan bangsa sapi (Tabel 3). Blood dan Henderson (1974) mengatakan bahwa adanya keragaman dalam kepekaan bangsa sapi pada penyakit ini, adalah akibat keragaman konsentrasi kalsium dalam air susu dan jumlah produksinya. Tingginya efisiensi penyerapan kalsium pada hewan muda, dapat menerangkan mengapa penyakit ini jarang terjadi pada hewan muda.
Dugaan yang kuat ten tang tingginya efisi
ensi penyerapan kalsium ini, adalah karena tingginya kebutuhan kalsium pada hewan muda.
Hal ini terbukti dengan
menurunnya penyerapan kalsium pada hewan yang lebih tua (Hansard et al pada tahun 1954 yang dikutip Bodo. dan Cole,
1956) • Olson dalam Phillipson et 0.1 (1980) melaporkan kejadian
11
Parturient Paresis
"
berkisar 5-10
%.
Penelitian
tahun 1969 ke jadiannya 7-8 56, tahun 1970 meningka t 8-9 % dan 90 % pada sapi produksi air susu tinggi, le bih 30 % pada sapi Jersey.
Kejadian penyaki t sering pada sapi yang
berproduksi tinggi, sangat jarang piJ,da umur dibawah 4 tahun (iakt;'si ketiga).
-
.
-
.
Biasanya terjadi an tara 12 jam pre-
par tum dan 48 jam post partum, dan kasus paling sering ditemukan pada 6-24 jam post partum.
10
Tabel 3.
Persentase kejadian "Parturient Paresis " berdasarkan bangsa sapi .,
BA1'lGSA SAPI
;'0
BAlIGSA SAPI
0/
;0
Jersey
29,2
Guernsey
8,6
Brown swiss
15,3
Ayrshire
6,0
Shorthorn
13,3
Holstein
5,6
Sumber : Udall (1954) FAKTOR PENYEBAB Hungerford (1970) menyatakan bahwa hipokalsemia yang ditandai oleh penurunan kadar kalsium serum darah, dan bervariasinya kadar magnesium, glukosa dan fosfor, bisa disebabkan oleh gangguan fungsi kelenjar paratiroid, gangguan metabolisme kalsium, juga kebutuhan kalsium yang mendadak.
Kolestrum sapi sebanyak setengah galon mengandung
kalsium sama dengan jumlah seluruh kalsium yang ada dalam peredaran darah sapi, akibatnya sewaktu-waktu sapi akan kekurangan kalsium bila terjadi gangguan dalam proses mobilisasinya.
Dalam Blood dan Henderson (1974) disebutkan
3 faktor yang berpengaruh pad a pengaturan kadar kalsium serum darah.
Pertama, akibat kehilangan kalsium yang be£
lebihan dalam kolestrum yang
tidal~
diinbangi dengan pening
katan kapasitas penyerapan pada usus dan mobilisasinya dari tulang.
Kedua, kemungkinan gangguan penyerapan kalsium
pada usus sewaktu melahirkan (Hoodie pada tahun 1965 yang dikutip Blood dan Henderson, 1974).
Ketiga, keadaan yang
11
1ebih penting, yaitu jika kecepatan mobi1isasi kalsium dari simpanannya di tu1ang tidak mencukupi untuk dapat mem pertahankan tingkat normal kalsium serum darah. HeFadzen dan beberapa
f~~tor
Keith dalam Howard (1981) menyebutkan
yang berpengaruh pada kejadian "Parturient
Paresis " , meskipun diakuinya juga bahwa penyebabnya sangat kompleks dan sampai sekarang masih be1um jelas.
Faktor-
faktor tersebut adalah : (1) Produksi air susu Produksi air susu yang meningkat, terutama pada laktasi ke 4 dan 5, yang diikuti
penurun~~
kemampuan penyera-
pan kalsium dari alat pencernaan dan mobi1isasinya dari tu1ang, sejalan dengan meningkatnya umur. (2) Rasio ka1sium dan fosfor dalam pakan !1akanan dengan kadar fos for rendah mengganggu sin tesis vitamin D terutama 25-hydroxyeho1eca1ciferol menjadi 1,25-dihydroxycho1eca1ciferol, yang berfungsi dalam pening katan absorbsi kalsium dari usus.
Kadar kalsium rendah
dalam pakan dikombinasi dengan kadar fosfor tinggi, akan menciptakan sensitifitas terhadap ka1sium rendah, menyebabkan peningkatan sekresi hormon paratiroid sampai kadar ka1sium serum darah normal kembali.
Se1ain itu pengaruh
ransum seperti ini, akan meningkatkan mobi1isasinya di tulang, sebelum dan sesudah proses me1ahirkan.
Tiga tar-
get organ hormon paratiroid, ialah : tu1ang, ginjal dan _. usus. (3) Kondisi hewail
12 Penurunan nafsu makan yang terjadi sebelum melahirkan pada sapi, akibat meningkatnya produksi hormon estrogen,
selama periode ini. pa
Pengaruhnya pada alat pencernaan beru
penurunan kontraksi, sehingga pencernaan dan penyera-
pan kalsium dari pakan berkurang.
(4) Keadaan keasaman pakan Peningkatan kalsium yang dapat larut pada suasana asam akan meningkatkan penyerapan kalsium. Pengaruh pru,an yang mengandung oksalat pada ruminansia adalah kurang penting, karena di dalam rumen akan dirubah menjadi bicarbonat dan carbonat.
Kedua bentuk
seny~
wa ini, menyebabkan suasana rumen alkalis yang dapat menjaga keseimbangan mineral dan secara tidak langsung membantu
dal~~
metabolisme kalsium (Talapatra et al pada tahun
1948 yang dikutip Boda dan Cole, 1956).
Sedangkan Reid et
al pada tahun 1947 yang dikutip Boda dan Cole (1956) menyebutkan tidru, adanya pengaruh pemberian fitat pada proses penyerapan kalsium, karena fitat akan mengalami hidrolisis total pada alat pencernaan, terutama rumen. Curtis et al (1984) menyebutkan berbagai predisposisi "
II
Parturient Paresis , diantaranya : waktu melahirkan, pe-
riode laktasi dan menejemen menyangkut kesempatan sapi melakukan latihan (pergerakan) dan pengaturan pakcill (protein kalsium, fosfor, energi). pada w*tu periode kering kandang. Ditambahkan pula umur, bangsa sapi, musim, keturunan, produksi tinggi, interval melahirkan dan jenis kelamin predisposisinya.
seb~gai
13 GEJALA KLHnS
Udall (1954) mengsamoarkan gejala klinis
"Parturient
Paresis " , tahap awal berupa depresi, 1esu, tidak nafsu makan, kehilangan kesadaran. ngikutinya
be~upa
Gejala-gejala singkat yang me-
eksitasi, kejang otot, hipersensitivitas
(peka rangsangan) dan konvulsi kepala, anggota. gerak. Gejala khas berupa paral;),:sis (kelumpuhan) kaki belakang, roboh, kepala dibengkokkan pada satu sisi, pingsan sampai kematian. (Gambar 1).
Beberapa kasus tanpa disertai keke-
jangan (konvulsi), spasmus klonis, spasmus tonis dari otot leher, terjadi kekakuan pada leher lateral (Gambar 2). r-:-[i~'"-~
!
.,'
r. ~?:: j.
• ent 1)aresis ,:has, kepala terpu tar ke s ampl.iiJ.g (Udall, 19 54 dari \'I. J • 3iboons) .
Kekakuan leher lateral pad~ kasus parturient pa~esis (Udall, 1954 dari W.J. Gibbons) •
Gibbons (1963) menyebutkan tahap awal penyakit, ditandai dengan gejala gelisah, jalan sempoyongan, tanpa nya Jlingsan.
ad~
Selanjutnya kehilangan kesadaran, langkahnya
pendek, sempoyongan dan roboh.
Pad:.. kondisi awal penyaki t,
gejala klinisnya akan jelas, dan memudahkan dalam melakukan diagnosa.
Tahap penyaki t yang berlanju t di tandai
14 hewan kurang mem:<;>erhatikan anaknya, terjadi timpani, atoni alat pencernaan.
Pada sapi normal, keadaan mat a selalu
berespon terhada:<;> cahotya, jernih dan cerah. 11
?arturient Paresis
"
Pada ke jadian
terlihat suram; hiperemis, responnya
berkurang bahkan hilang.
Pneumoni dapat terjadi pada saat
sapi menjulurkan kepalanya, sehingga isi rumen diregurgitasikan dan terisap ke paru-paru (Gambar 3).
Kematiannya
akibat keterlambatan dalam penanganan cukup tinggi, kurang lebih 75 01 ,0.
penanganan yang cepat, bila tanpa komplikasi
penyakit lain, akan memperlihatkan gejala kesembuhan. Diantaranya denyut jantung dan pulsus normal kembali, mudah dirasakan.
Pernafasan dan reflek mengunyah, menelan
timbul kembali. juga cerah.
Tampak reflek mata, selain lebih jernih
Sapi berusaha berdiri, telinga tampak
diger~
gerakkan, nafsu makan timbul kembali, ditandai dengan usaha menperoleh makanan disekitarnya. Doxey (1971) mengatakan bahwa timbulnya gejala
Il
Par-
II
turient Paresis , dimulai pada saat kalsium serum darah tidak dapat dipertahankan tingkat normalnya oleh aktivitas penyerapan usus atau ructivitas harmon paratiroid dalam me ngambil kalsium tulang.
Keadaan ini terjadi karena fungsi
kalsium dalam hu'Dungannya dengan kontraksi otot dan stimulasi syaraf. Blood dan Henderson (1974) membagi tiga tingkat gejala klinis nyakitnya.
11
11
Parturient Paresis , berdasarkan perjalanan pePertama: Berlangsungnya cepat, ditandai adanya
15 eksitasi, titani, hipersensitii, gemetar dan tremor dari
otot kepala dan anggota gera.k:.
Kaki belakang kaku, sempo-
yongan dan roboh, dengan posisi kaki terjulur ke belakang. Hewan malas bergerak, nafsu makan turun, lidah dijulurkan, suara gigi
gemeret~~,
suhu tubuh normal atau sedikit naik.
Kedua : Posisi sapi berbaring sternal, depresi, lesu tapi masih terjaga dengan posisi leher diputar ke lateral, sehingga kepala berada di flank.
Kaki depan lemah, mulu t
dan cermin hi dung kering, kulit dan anggota gerak dingin, suhu rektal dibawah normal (36-38 si sempurna, mata kering. nya menghilang.
°e).
Pupil mata dilata-
Terjadi relaksasi anus,
reflek~
Gejala sirkulasi yang menonjol adalah pe-
nurunan denyut Jan tung , pulsus meningkat (80x/menit), tapi lemah, tekanan darah vena susah diraba.
Keadaan khas beru
pa stasis rumen, konstipasi, pernafasan ngorok, reflek pupil hilang dan dilatasi sempurna.
Ketiga: Sapi berbaring
lateral, tubuh lemah, kaki depan tegang, gerakannya pasif, roboh, pingsan sMapai mati.
Pulsus sukar diraba, dengan
auskultasi tidak terdengar denyut jantung, tapi frekwensinya meningkat l20x/menit.
Pada keadaan demikian bisa ter-
jadi timpani. Olson dalam Phillipson et al (1980) mengatakan adanya ge jala awal dari
11
Parturient Paresis
II
yang berlangsung
bat, karena keadaan hipomagnesia yang menyertainya.
la~l
Terj§
di pengurangan dan hambatan pada proses defekasi dan urinasi juga produksi air susu.
16
Gambai' 3.
Sapi penderi ta parturient paresis, memperlihatkan gejala khas, 1eher dibengkokkan 11:8 lateral, kepa1a bersandar pada barm. Keadaan ini tampak sete1ah 24-72 jam me1ahirkan. Pada kasus ini tampak hewan juga menderita ketosis (Gibbons, 1963).
I'? GEJALA PATOLOGI lUIi\TOET
Udall (1954) kasus
II
menemuk&~
perubahan pada uterus, pad a
II
Parturient Paresis , berupa pengecilan bentuk dan
tidak adanya proses involus.i (kembali ke bentuk normal) uterus.
Pada hati ditemukan proses degenerasi.
Peneliti-
an Anonymus pada tahun 1962 Y&'1g dikutip Smithcors dan Ca! cott (1969) menemukan secara histologis adanya badan-badan lemak daXl sekelompok neutrophil pada hati. menunjul~an
tai kasus
11
Keadaan ini
adanya komplikasi penyakit lain yang menyerII
Parturient Paresis.
Akibatnya akan ditemukan
neutrophil-neutrophil yang merupakan hasil
reru~si
perada-
ngan, yang disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme akibat kelemahan pada alat pencernaan. !'lax Unger pada tahun 1964 yang dikutip Smithcors dan Catcott (1969) menemukan perubahan pada medulla spinalis, berupa prose degenerasi dan demielinisasi, seperti pada kasus virus polio manusia.
Proses ini dimulai dengan pe-
nyusutan syaraf, hilangnya percabangan syaraf, chromophilia, diikuti hilangnya nukleus dan nukleolus yang kemudian menyebar ke jaringan perivascular. DIAGNOSA S"CAR'\. KLINIS
Gibbons (1963) mendiagnosa
tJ
Parturient Paresis
tI
pada
kasus yang akut, dengan tidak disertai komplikasi penyakit lain, hanya dengan memperhatikan gejala klinisnya. Penyakit lain yang biasa mengikuti kasus . sis
11
11
Parturient Pare
ada1ah: metritis, mastitis dan asetonemia.
13 Terli11atnya kondisi depresi,. kehilangan kesadaran
d~'1
kelumpuhan, yang terjadi pada saat atau baru saja selesai me 1 abi rkan , juga efek yang baik dengan gengobatan larutan kalsium parenteral (intra vena), merupakan hal penting un• 1 ~U~~
- • cuagnosa
1974).
11
Parturient Paresis
It
(Blood dan Henderson,
Ditambahkan pula oleh HcFadzen dan Keith dalam
Howard (1981) bahwa sejarah hewan meliputi jumlah kelahiran, kesulitan melahirkan, periode laktasi, umur newan, keadaan nafsu makan terutama pada saat terakhir sebelum ke jadian penyakit, produksi air susu dan kondisi kalenjar susu sebelum hew an roboh, sangat membantu dalam diagnosa penyall:it ini secara tepat. Hoffman dan Amrousi pada tahun 1971 yang dikutip Blood dan ttenderson (1974) mengatakan adanya hipofosfatemia yang mengikuti gejala penyakit
11
II
Parturient Paresis.
Keadaan
ini dapat dibedakan dengan melihat efell: pengobatan preparat kalsium.
mem~~ai
Pada keadaan hipofosfatemia hewan tetap
roboh setelah diberikan pengobatan dengan kalsium. kan pada hipomagnesia yang
banyal~
Sedang-
di temukan pada keadaan
11
If
--P?-rtur:ient Paresis-' awal dapat dibedakan dengan melihat '-
-
adanya gejala hipersensitivitas dan titani, yang diikuti kelemahan sampai pingsan.
Keberhasilan pengobatan dengan
preparat kalsium, sering diikuti gejala menendang perut, berputar-putar dan adanya suara-suara aneh yang kan adanya ketosis. juga menyertai kasus
~enunjuk-
Keadaan ketosis ini memang sering " II
IT
parturient Paresis •
Fen~lick
:pada t.ahun 1969 yang
di~m tip
Blood dan I-iender-
son (1974) 'nenemukan toksemia yang menyertai penyaki t i2:li, akibat mastitis, lJneumoni aspirasi, peritonitis difusa,
trauma pada retikulum dan uterus, gejalanya depresi, peningkatan denyut jantung, roboh dan gejala lokal berupa kelain-
an pada pu ting dan kelenjar susunya.
ill tambahkan pula bah-
wa bisa juga terjadi kerusakan pada kaki belakang dan daerah pinggang, II
a~ibat
Parturient Paresis
tI
tekanan yang terus-menerus, bila kasus ini tidak cepat ditanggulangi.
Keru-
sakannya meliputi : kelumpuhan otot, dislokasio persendian dan pengecilan otot terutama qtot gastrocnemius. Rubenkov pada tahun 1960 yang dikutip Smithcors dan Catcott (1969)
mengru~jurkan
"Parturient
supaya diagnosa
Paresis " di j alankan sewaktu masih tahap awal penyaki t, s eki tar 12-24 jam.
ill tandai dengan gerakan rumen Udak ter-
atur, kadang berhenti (atoni rumen), peningkatan pernafasan, tidak nafsu makan, temperatur tubuh turun terutama anggota gerak, denyut nadi lemah, turun, dan kadang-kadang disertai keringat dingin.
Penurunan tekanan darah sampai
tinggal 30x/meni t, menyebabkan pernafasan sediki t kencang, akibat us aha tubuh untuk tetap gen untuk proses fisiologis. bila dibiarkan hewan menjadi
mendapatkru~
kebutuhan oksi-
Pada lwndisi demikian ini, sema~in
lemah, pernafasan juga
lemah, bisa pingsan sampai terjadi kematian.
20 DIAG?iOSA SECARA Li\.BORATORIUH
Carlstrom pada tahun 1961 yang dikutip Smithcors dan Catcott (1969) menyebutkan terjadinya penurunan kadar ion kalsium bebas dan yang terikat pada protein saat terjadinya proses melahirkan.
Selain itu ditemukan pula penurunan
dalam kadar protein terutama globulin.
Kadar fosfor juga
menurun, tetapi terjadi peningkatan kadar magnesiumnya. Pemeriksaan secara laboratorium terhadap kadar um serum darah, pada sapi penderita
"
kalsi~
Parturient Paresis It
grass tetany dan sapi normal, dijelaskan oleh Kaneko dan Cornelius (1971) pada Tabel 4. Tabel 4.
Tingkat kalsium serum darah pada sapi parturient paresis, grass tetany dan normal, secara laboratorium (mg%).
KONDISI SAPI
KALSIUN ION
TOTAL KALSIUH
Parturient paresis
0,44
4,35
Grass tetany
1,18
6,65
Normal
1,65
9,35
Sumner
Kaneko dan Cornelius 1971 dari Sjollema dan Seekles (1932).
Greig pada tahun. 1930 yang dikutip Kaneko dan Cornelius (1971) melaporkan tingkat minimal, maksimal,dan rata rata kalsium serum darah, pada kasus
11
Parturient Paresis
"
dari 82 sapi, yaitu : 3,00 mg%, 7,76 mg% dan 5,16 mg%. Saai!:; penurunan kadar kalsium serum darah (hipokalsemia) ini, tidak didapatkan pada sapi yang tidak menderita turient Paresis " •
"Par-
DLi.G~TOSA
B,ll'lDIlTG
HcFadzen dan Keith dalam Howard (1981) menyebutkan kondisi penyaki t lain yang mengilm ti kasus resis Kl
11
11
Parturient Pa-
dian taranya : mastitis aku t oleh Escher; chia coli,1
ebs-iel 1 a spp, atau Stauhylococcus aureus, metritis a..l;:ut,
hipomagnesia, hipokalemia, hipofosfatemia, patah tUlang pelvis .atau kald belakang, kerusakan syaraf obturatorius, kerusal~an
otot paha, dislokasio persendian femur (paha),
enteritis berat, peritonitis difusa, enterotoksemia, pendarahan interna, ketosis dan keracunan. Hetri tis aku t, hidrops, kelemalban otot, biasari]ra terjadi sebelum proses kelahiran, dan sering dikelirukan dengan
IT
II
Parturient Paresis.
Sapi roboh setelah proses ke-
lahiran juga bisa diakibatkan sulit melahirkan, kerusakan ligamenta sekitar otot paha, metritis akut, vaginitis, rup tura uteri, kerusakan syaraf obturatorius, kerusakan tendo dan otot, toksemia, artritis akut, ketosis, kerusakan medulla spinalis, 'patah tulang pelvis, hipotermia,
pendar~
han Lnterna, gangguan keseimbangan elektrolit darah dan mastitis oleh Corynebacteri um pyogenes (Hungerford, 1970). Blood dan Henderson (1974) membeda..l;:an diagnosa turient Paresis
11
11
Par-
dengan hipomagnesia, toksemia berat, ke-
lumpuhan sejak lahir, dan gangguan fisik, berdasarkan
pe~
bedaan epidemiologinya, gejala klinis dan patologi anatomi juga responnya terhadap pengobatan dengan menggunakan preparat kalsium.
22 menggolongl~an
Gibbons (1963) II
di ferensial diagnosa
11
Parturient Paresis , berdasarkan proses kejadiannya, se-
perti terlihat dalam Tabel Tabel
5.
JI
5 di bawah ini. II
Parturien t Paresis komplei~s, penyebabpenyebab yang memungkinkan kejadiannya pada sapi.
SEBELTIH P ARTUS·
SZLABA PARTUS - 4 EARl SESUDAHilYA
1.
Parturient paresis/ hipokalsemia
l.
2.
Luksasio panggul/ sakro- 2. ilial
3.
Grass tetany
3.
Nastitis septika
4.
Eidrops allantois
4.
Paralisa iT. Obturatorius
5.
Hetritis septika sewaktu bunting
5.
Luksasio panggul/ sakroilial, fraktura lig. pelvis atau spinatus
6.
Ketosis
6.
Gastritis traumatika dan peritonitis difus
7.
'fursio berat u teri/ rup tura A. Uterina
7.
Indigesti toksis setelah hipokalsemia
8.
Albuminuria
9.
Grass tetany
DARI 4-14 HARI POST P ARTUH
1.
Parturient paresis/ hipokalsemia Metri tis septika, dengan atau tanpa retensio plasenta. -
10.
Ketosis
11.
Ruptura (sobek) uterus, peritonitis difusa.
PENYEBAB LAIN, DlSETIAP WAKTU
'!oIetri tis septika, dengan 1. atau tanpa retensio plasenta
lndigesti toksis oleh buah-buahan/ bijian
23 2.
Hasti tis septika
3.
Gastritis traumatika dengan ~peritonitis difusa
Kelemahan umum, kurus, penyald t kronis (A.'1aplas rna, le:9tospira, Blackleg Anthraks, nekrobasillosis shipping fever, Johne's disease, perikarditis trau matika, peritonitis difus)
4.
Kelemahan umum
Hasti tis septika
2.
Fraktura/ luksasio pelvis atau pangGul
Paralisa N. Obtura.torius
5.
Heningi tis, abses, kerusakan jantung dan otak.
6.
Fraktura/ luksasio
6.
Kurus, kurang makan
7.
Artritis supuratif, piema
7.
Grass tetany
8.
Ketosis
8.
Keracunan
9.
Parturient paresis/ hipo- 9. kalsemia
Gastroenteri tis
10. Grass tetany
lO.
Limfositoma
11. Haemoglobinuria post partum (leptospirosis)
ll.
Penyakit pada syaraf (rabies, listerosis)
12. Albuminuria 13. Pielonephritis yang berlanjut
Sumber ; Giboons (1963) PENCEGAHAN DiU! PEl'lGOBATAr! Pencegahan HcFadzen dan Kei th dalam Howard (1981) menganjurkan pemoerian vitamin D, untuk mencegah kejadian
II
Parturient
II
Paresis , selama minimal 3 hari, maksimal 7 hari, pada wak tu pre partum, dengan dosis 20-30 juta IU setiap hari, penyuntikan intra vena.
24 Pemberian vitamin D lebih dari 10 hari tidak dialljurkan karena toksis, yaitu menyebabkan kalsifikasi distrofia.
Basil metabolit vitamin D berupa 25-hydroxycholecalciferol (25-(OH) . D
3
) dan 1,25-dihydroxycholecalciferol (1,25- (OIl) 2
D ) akan mengurangi ke jadian penyald t, bila di berikan pada
3
wakt~~ya
dan dengan dosis yang tepat.
intra muskular atau intra vena
Pemberian secara
1,25-(OH)2D~
)
akan meningkat
-
kan kadar kalsium serum darah, akibat terjadinya peningka! an penyerapan oleh usus dan mobilisasinya dari tulang. Dosis 600 mikrogram 1,25-(OH)2D3 pada pemberian 24 jam sebelum melahirkan, mencegah penurunan yang nyata dari kalsium serum darah, sewaktu mendekati kelahira..l'l.
Proses ke-
lahiran kadang-kadang tidak berlangsung seperti yang:; ki ta ramal~an,
untuk itu ditambahkan 270 mikrogram 1,25-(OH)2D3
akan mempertahankan kadar kalsium serum darah sampai proses kelahiran berlangsung. Cremer et al pada tahun 1951 yang dikutip Boda dan Cole (1956) menyebutkan pengaruh vitamin D terhadap pening kat an penyerapan kalsium adalah hanya pada bentuk kalsium yang tidak larut, seperti kalsium fosfat, tidak pada bentuk kalsium larut, seperti kalsium laktat. McFadzen dan
~eith
dalam Howard (1981) menyebutkan
faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pencegahan ke Jadian penyald t : (1) Tidak memelihara sapi dengan kondisi terlalu gemUk, selama periode kering kandang. (2) Lingkungan tempat hewan akan melahirkan, harus
25 bersih dan dihindarkan dari keadaan stress (3) Pemerahan air susu permulaan laktasi (kolestrum) tidak sampai kosong benar. (4) pengamatan yang sempurna setelah 48 jam proses kelahiran terjadi, sehingga tahap a\'lal dari penyall:it dapat diketahui dan cepat diadakan pengontrolan.
Ditambahkan pu
la bahwa pemberian 90-100 gram kalsium clorida peroral, se lama 2-3 hari sebelum dan sesudah melahirkan akan mengurangi kejadian penyakit. Blood dan Henderson (1974)
mengat~~an
bahwa pemberi-
an pakan mengandung kadar fosfor tinggi, menyebabkan peningkatan jumlah fosfor, bersama-sama kalsium akan dikeluar kan lewat urine.
Rasio kalsium rendah menyebabkan keseim-
bangan kalsium berkurang, keadaan demikian diharapkan menstimulasi kerja hormon paratiroid. Boda dan Cole yang dikutip Blood dan Henderson (1974) memperoleh hasil hubungan antara rasio makanan yang dung kalsium tertentu dengan kejadian
11
meng~
Parturient Paresis " •
Dengan rasio Ca:P = 6:1 sapi rnenderita panyakit ini mencapai 30 %. derita.
Pada rasio Ca: P = 1: 1 hanya 15 % sani yang menPada rasio Ca:P
menderita.
= 1:3,3
tidak terdapat sapi yang
Pengarauh yang nyata akibat perlakuan ini ter-
hadap tingkat laktasi berikutnya masih belum jelas ( Blood dan Henderson, 1974). Conrad et al (1956) dalarn penelitiannya terhadap pengaruh pemberian vitamin D peroral dosis 30 juta IU pada sapi menyusui dan belum menyusui.
Pencernaan, ekskresi
26 dan retensi kalsium serum darah memperlihatkan adanya peningkatan dalar1 ke cepatan dan jumlah kalsiur.J yang dicerna dan diabsorbsi pada alat pencernaan.
Keadaan ini berhubung-
an dengan ter jadinya penurunan ekskresi kalsium ini lewat usus, yang kemudian keluar bersama tinja, juga peningkatan retensinya pada tubuli ginjal.
Pengaruh sekunder pemberi-
an vitamin D ini adalah penurunan ekskresi kalsium yang beE: asal dari sekresinya oleh alat pencernaan, terutar.Ja usus kecil.
Proses ini berlangsung akibat peningkatan
pertuka~
an kalsium dari alat pencernaan ke peredaran darah. taan ini jelas, seperti terlihat pada Gambar 4.
Keny§
Terjadi
peningkatan kalsium serum darah setelah pemberian vitamin D.
Pada hari pertama, tampak peningkatan absorbsi kalsium,
berlangsung sampai pada hari ke 10.
Peningkatan kalsium
serum darah ini je1as terlihat dalam waktu 5 hari setelah pemberian.
Sete1ah periode ini, kenaikannya tidak terli-
hat jelas. Ho (1976) menulis tentang kebutuhan kalsium dan vitamin D pada sapi __,perah. Tabel 6.
Seperti terlihat pada Tabel 6.
Kebutuhan kalsium dan vlcamin D pada sapi perah, berdasarkan be rat badan.
KONDISI SAPI
Tiap hari Anak sapi ( 50-100- kg) Anak sapi (200'-1400 kg)
VIT-'lHE~
KALSIUH
4-10 gr 13-16 gr
'Sapi (550. kg) 0-10 kg air susu 40-50 gr
Da1am pakan
o
,
h' OL /0
0,25
o
,
3
D
Tiap hari (IU) 400-800
% 01 ,Q
2000-4000 5000-6000
27 Saui {550 kg) 10:20 kg air SUSll
50-60 gr
0,3 %
5000-6000
Saui (550 kg) 20:30 kg air susu
60-80 gr
0,3 %
5000-6000
Sumber : Ho (1976)
~fisiensi
pencernaan (%)
Absorbsi kalsium
60
.
A-~hir,pemberian
'wal pemberian vitamin D vitamin D
40 20
o o
2
6
4
8
10
14
12
16
_ _ _--;~~ Waktu (hari) Tingkat kalsium serum i:arah (mg%)
lr
.
10
6 2
o o
2
4
6
8
10
12
---~>
Ganbar 4.
14
16
Waktu (hari)
Pengaruh pemberian vitamin D pada kadar kalsium serum darah (Conrad et a1, 1956)
28 Pengobatan Little dan rlright pada tahun 1925 yang dilmtip Albright dan Blosser (1957) menganjurkan pengobatan yang paling kuno tapi cukup berhasil, yai tu dengan
mengada~an
pemompaan pada
Pengobatan dengan menggunakan CaC1 Z 10 %, dosis 30-40 ml secara intra vena atau intra muskular, merupakan ambing.
alternatif lain untuk pengobatan, efek sampingnya adalah sifat toksisnya pada jaringan, berupa lesio-lesio pada otot. Preparat kalsium glukonat (C Hll0 )ZCa adalah garam 6 7 netral yang pertama kali dipergunakan secara subkutan, tag pa menyebabkan kerusakan jaringan, untuk kasus Paresis
II
II
Parturient
pada sapi (Stinson pada tahun 1929 yang dikutip
Albright dan Blosser, 1957).
Ditambahkannya bahwa keburuk
an dari senyawa ini berupa kelarutannya yang kurang stabil dan harganya mahal, lagi pula kandungan kalsiumnya sedikit. Seiden pada tahun 1961 yang dikutip Smithcors dan Cat cott (1969) menyarankan pemakaian stabilisator atau penghambat kristalisasi, seperti asam boras, aluminium clorida, kalsium hipoclorida, untuk menambah kestabilan kelarutannya.
Senyawa magnesium, fosfor dan glukosa adalah zat-
zat yang dikombinasikan pada preparat kalsium glukonat. Beberapa .. jenis preparat kalsium glukonat yang bisa dipakai dalam bidang veteriner adalah : kalsium glukoheptonat, kalsium glukonat, kalsium glutamat, kalsium d-sakharat, kalsium gliserofosfat dan kalsium laktobionat.
29 Hayden dan Austin pada tahun 1935 yang dikutip Albright dan Blosser (1957) berhasil menstabilkan bentuk larutan kal sium glukonat dengan
memper6un~~an asa~
nya bisa beberapa bulan. ini paling
bany~~
boras, daya tahan,
Oleh beberapa peneliti, senyawa
dipergunakan pada penanganan kasus
"Par-
II
turient Paresis • Hungerford (1970) mempergunakan senyawa kalsium boroglukonas, dosis 100-200':'grarnsecara intra vena, atau separo intra vena, separo lagi intra muskular, intra peri tonium, intra kutan.
Dosis pengobatan yang tinggi harus diser
tai pengontrolan denyut jantungnya. Dosis pengobatan tergantung besarnya hewan, pemberian 600-800 ml kalsium boroglukonat, setengah dosis diberikan langsung secara intra vena (V. Jugularis) dan setengah dosis lagi secara subkutan pada beberapa tempat sepanjang kulit leher.
Dosis yang diberikan tidak boleh melebihi
5G-IOO ml, pada masing-masing tempat untuk mencegah terjadinya lesio-lesio lokal.
Pengobatan secara subkutan saja
bisa dipergunakan, meskipun efeknya lambat (Belschner, 1974). Blood dan Henderson (1974) memakai dosis 800-1000 ml kalsium boroglukonas 25 'lb, pada sapi seberat 550-900 kg, dan 400-500 ml, dengan konsentrasi yang sarna, untuk sapi seberat 320-600kg.
Aplikasi intra vena bila sudah teram-
pil sangat dianjurkan, karena selain cepat juga responnya yang jelas. P?makaian subkutan dilakukan bila sapi masih dapat berdiri, atau bila efek penyuntikan secara intra
v~
na pada jantung terlalu buruk.·: Apiikasi obat secara kom-
30 binasi adalah yang paling aman untuk mencegah kematian aki bat keleoihan dosis atau pemberian yang terlalu cepat. Aplikasi subkutan atau intra peritonial dipakai terutama pada kasus yang diikuti dengan toksemia hebat (pneumoni pirasi, metritis, mastitis). kead~
a~
Hal ini dilakukan karena pada
toksemia, hewan sangat rentan terhadap penyuntikan
secara intra vena, sering kematian terjadi akibat shock oleh pengaruh penyuntikan.
Tanda yang tampak adalah pe-
ningkatan denyut jantung (180x/menit), susah oernafas, gemetar, pings an dan mati. Olson dalam Phillipson et al (1980) menyatakan bahwa keberhasilan pengobatan
"
Parturient Paresis II , dengan mem-
pergunakan kalsium glukonas, ditandai dengan oangunnya hewall setelah 0,5-4 jam pengobatan. Dryerre dan Greig pada tahun(1925ldan Greig pada tahun 1930 yang dikutip Udall" (1954) mengatakan keberhasilan pangobatan berdasarkan bangunnya sapi setelah 10-50 menit pengobatan.
Pada saat pengobatan hewan menunjukkan
respon yang lambat atau kembali sakit, dosis dapat diulang setelah 3-4 jam pengobatan yang pertama.
Komplikasi de-
ngan asetonemia dapat di tanggulangi dengan mengkombinasikan preparat kalsium dengan larutan dekt;rosa 40 %, dalam perbandingan yang sama.
Bila diikuti juga oleh hipomag-
nesia, kombinasi kalsium, magnesium.dan dektrosa adalah yang terbaik dipergunakan. Seiden pada tahun 1961 yang dikutip Smithcors dan Catcott (1969) memperkenalkan penggunaan larutan KI (ka-
lium/~otasium
31 " yodida) untuk penanggulangan Parturient Pare
sis " , dengan cara dipompakan ke dalam ambingnya, selain dengan Ilemakai oksigen atau udara, seperti yang telah dikenal sebelmnnya.
Ditarnbahkan bahwa penggunaan preparat kalsium,
hasilnya lebih memuaskan. udall (1954) menjelaskan tekhnik pemompaan ambing, sebagai oerikut : tahap pertama adalah mempersiapkan alat- { alat.
Kelenjar susu dan putingnya dicuci dengan air sabun
hangat dan dikeringkan dengan handuk.
Tahap kedua, setiap
kwartir susu diinjeksikan se·jumlah udara, sampai mengembang sempurna/maksimal, kemudian ditutup dengan plester pada p~ tingnya, untuk menahan udara.
Plester dilepas setelah
4 jam, untuk mencegah kerusakan pada putingnya.
3-
Sapi yang
belum memperlihatkan respon pengobatan, dapat diulang setelah 6-8 jam.
Keburukan dari cara ini adalah kemungkinan
masuknya mikroorganisme yang menyebabkan komplikasi pada kelenjar susu (mas ti tis) •
III.
PERA':U~T
DAN I.fSTABOLISi-1E
K~lLSIUH
Kemampuan penyerapan dan penggunaan kalsium pada hewan tergantung pada terdapatnya
vit~min
D dalam tUbuh.
da jenis rumput yang mengandung sedikit vitamin D,
Pa
mm~a
De
--
ranan vitamin D yang tersimpan pada jaringan subkutan hewan ada1ah penting (Underwood, 1960). Olson dalam Phillipson et a1 (1980) menyebutkan organ, jaringan, harmon dan enzim yang berperan dalam pengaturan kompleks tingkat kalsium serum darah sehingga tetap
dipe~
tahankan 10 mg%, yai tu : penyerapan oleh usus, pengeluaran dan penyimpanan oleh tulang dan aktivitas harmon paratiraid, sintesais vitamin D oleh hati dan ginjal, juga an harmon ka1si tonin. (Gam bar 5).
pera~
Kalsium serum darah me-
ningkat pada saat terjadi peningkatan penyerapannya dari usus, dan pengambilan simpanannya di tulang.
Pada saat
konsentrasi kalsium meningkat pada serum darah, disekresikan harmon ka1sitonin yang berasal dari kelenjar tiroid, akibatnya terjadi peningkatan nya pada tulang.
pe~yerapan
dan penyimpanan-
Pada saat yang bersamaan sekresi harmon
paratiroid menurun, sehingga penyerapannya dari usus dan pengeluarannya dari tUlang menurun. terjadi pada saat
l~onsentrasi
Keadaan seba1iknya
kalsium serum darah turun,
sekresi harmon kalsitanin menurun dan diikuti sedikit pindahan ka1sium ke darah.
pe~
Pada keadaan seperti ini se-
kresi harmon paratiroid meningkat dan berpengaruh pada
33 target organnya, yaitu : tulang, ginjal dan usus.
Hor~on
ini akan meningkatkan pengeluarannya dari tulang, dan mengur,mgi konsen trasi ion HPO 4 = serum darah dengan cara mengurangi reabsorbsinya di ginjal (tubuli).
Pada usus,
akan meningkatkan absorbsinya teru tama dengan bantuan vitamin D, yang di bentull: dari provitamin D dalam hati, yai tu 25 OR D3 menjadi 1-25 (OH)2D3 oleh aktivitas enzim 25 hydrozylase
vit~~in
D.
Pengaruh langsung 1-25 (OH)2D3 ini
ialah dalam peningkatan penyerapan kalsium dari usus,
sec~
ra transJ!lort aktif melewati sel mukosa ke dalam pembuluh darah.
Peneli tian yang terus dijalankan mengenai penga-
ruh sintesis 1-25 (OH)2D3 terhadap penurunan konsentrasi HP04= serum darah, dengan peningkatan pengeluarannya oleh ginjal atau pengurangan penyerapannya dalam tubuli. Payne
~1977)
menyebutkan berbagai faktor yang ber-
pengaruh pada tingkat penyerapan kalsium untul, mempertahankan Kadar normalnya (1) Umur hewan penyerapan ion kalsium pada hewan muda, efisiensinya hampir 100 7;. 45
Efisiensi ini akan menurun sampai tinggal
%, sesuai dengan peningkatan umur hewan. (2) Tingkat kebutuhan kalsium Keadaan ini terlihat pada sapi yang berproduksi ting-
gi, dimana terjadi peningkatan penyerapan dibanding dengan sapi pada saat kering kandang. (3) Rasio kalsium dan fosfor dalam ransum Pada ruminansia rasio Ca:p = 2:1 adalah yang paling
optimal un tuk penyerapan. baik, rasio Ca:P. mao
= 4:1
Rasi.o Ca: P
atau Ca:P
1: 1 kurang begi tu
<=
= 7:1
masih dapat diteri-
Clasio diatas 7:1 atau di bawah 1:1,
banya~
pengaruh .
yang merugikan. (4) Struktur kimia Ca dan P Pengaruh ini lebih nyata peranannya pada hew.an non ruminan dibandingkan ruminansia, hal ini akibat perbedaan anatomi lambung ruminan yang dapat mengadakan fermentasi di rumen oleh mikroorganisme rumen, sedang pada non ruminan proses ini tidak terjadi.
(5) Tersedianya vitamin D Vi tamin D',akan meningka tkan kemampuan penyerapan kalsi urn dari usus. (6) Heningkatnya ion l1agnesium
Adanya ion magnesium akan berkompetisi dengan kalsium pada saat terjadi proses absorbsi di usus, sehingga penyerapannya terganggu. Efisiensi penyerapan kalsium me ningkat , pada saat
te~
jadi peningkatan kebutuhan kalsium oleh hewan untuk proses pertnmbuhan dan laktasi, juga akibat penurunan jumlah kalsium yang masuk (Boda dan Cole, 1956). Bell et al (1972) mengemukakan faktor-faktor yang ber pengaruh pada keseimbangan kalsium serum darah, yaitu : (1) EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate) Penggunaan secara intra vena, akan menurunkan kalsium serum darah, kembali normal setelah beberapa jam.
Pada
35 penderi ta dis fungs~ paratiroid,
ket:laJ~:9uan
:gensemoal~annya
adalah kecil dan oerlangsung leoih lama. (2) Hort:lon paratiroid GaJffioar 6.
Tingkat sekresi harmon ini sesuai dengan
tingkat penurunan kalsium.
Pada saat kalsium serum darah
turun, harmon ini meningkat.
Target organnya selain usus,
tulang dan ginjal, juga kelenjar susu.
Vita~in
D dioutuh
kan dalam membantu peranan penyerapan pada usus dan tulang. Pada ginjal efeknya adalah penurunan reaosorbsi fosfat pada tubuli ginjal, sehingga terjadi peningkatan ekskresinya, juga ekskresi sodium, potassium. dan bikarbonat lev/at air kemih.
Pengaruh terhadap ekskresi ion hidrogen sendiri
tidak ada.
(3) Harmon kalsitonin GaJffibar 6.
Sekresi harmon ini sesuai dengan pening-
katan konsentrasi kalsium serum darah.
Pengaruhnya pada
harmon paratiroid adalah penurunan sekresinya, sehingga terjadi penurunan pengaJffibilannya dari tulang. (4)
l-25-dihydro~ycholecalciferol
Bihasilkan oleh ginjal, berasal dari metabolisme"pro vitamin D.
Kerjanya meningkatkan penyerapan kalsium dari
usus, dan sedikit efeknya pada ginjal dan tulang. (5) Horman pertumouhan Pengaruhnya pada penurunan aktivitas epifise tulang, dalam fungsinya sebagai )penyimpan kalsium. Dacke (1979) mencatat adanya sedikit pengaruh hormon .kortikotropin,
prol~tin,
hipokalsin pada proses metabo-
36
Hydroxylation
on C-25
01
5
N
I g
Gambar 5.
Hekanisme pengaturan kadar kalsium serum darah (Olson dalam Phillipson, 1980).
Paratiroid
60
1
•
•
I
• 6
•
•• •• •
o
Pa~~ iroid
Kals-i ·onin
• ••
40
5 4
• •.• .' •
20
o
Kaleitonin
'
~
3
..••
• •
2 o
1
•
____~__~~~~__~______~____~._O
2,5 ,GD1!lbar o.
5
>- 7,5
10
15
Kalsium serum darah (mg7b)
Pengaruh tingkat kalsium serum darah, terhadap sekresi hormon paratiroid dan calcitonin (Bell et al dari D.H.
Copp, 1969).
--
37
Hipokalsemilt
;(a1siu:n tinggi
Iii:9okalsemik aornon
hOr:~10n
Ka1sium
a
tinggi
t
I
Pro vit. Ikulit ~-rati
t
ffJ . . . . '+,
Ginjal
-- -
--t
25 HCC-.J18
ulnJa ' .... n· . 1
V
D~Z
Kalsil.onin
t
Oll'H ;;...~
-
U1L.inooranchial
,:riroid
Paratiroid
", ,
EJ
_ _ _ _8_ _ _
/.'-....
Usus
"'J Tu1ang !3
Ka1sium darah
Gambar 7.
Pengaturan tingkat ka1sium serum darah ,::>leh akti vi tas harmon paratiroid, calcij;onin 'dan vi ta.'llin D (Kenny dan Dacke 1975 dari G. Dacke, 1979).
36 lisme kalsium pada vertebrata.
Hormon dari kortek adrenal
dan kelenjar kelal:lin juga berpengaruh pada metabolisme kal sium, tetapi tidak pada semua klas v.ertebrata.
Di tambahkan
nya bahwa hormon yang benar-benar terlihat kerjanya pada metabolisme kalsium adalah : kalsitonin, paratiroid dan vi tamin D.
Gambar 7, menunjukkan mekanisme pengaturan ka-
dar normal kalsium serum darah.
Rendaimya konsentrasi kal
sium serum darah, berefek posi tip terhadap hormon paratiroid, dan vitamin D dari kulit, oleh hati diubah menjadi
25 hidroxycholecalciferol, kemudian diubah menjadi vitamin D aktif (1-25-dihydroxycholecalciferol) oleh ginjal. Keadaan sebaliknya bila kadar ion kalsium serum darah meningkat, akan menstimulasi sekresi hormon kalsitonin, yaJJ.g berpengaruh pada pembentukan vitamin D aktif di ginjal. PERANAN KALSIUH DALAH TUBUH Crampton dan Lloyd (1959) mengatakan bahwa kalsium dan fosfor merupakan unsur terpenting dari tulang, dan 99 % kalsium, 80 % fosfor terdapat pada tulang dan.gigi. Struktur tulang sendiri terutama terdiri dari kalsium, fosfor,dan karbonat.
Sedang magnesium, sodium, strontium,
plumbum, si trat, fluor, sulfat terdapat dalam jumlah sedikit.
Disebutkan pula beberapa fungsi kalsium dalam akti-
vitasnya terhadap beberapa enzim, yaitu : (1) Esterase Lipase pankreas mengubah lemak dari
m~~anan
menjadi
gliserol dan asam lemqk, melalui prose& hidrolisis.
P3.1mi tin
H20 ----------- asam pall:li tat (2) Fosfatase ±
~
gliserol.
;'len6ubah glukosa 6 - fosfat menjadi glukosa dan fosfat secara hidrolisis. Glukosa 6 fosfat
------------ glukosa + fosfat
(3) Ko1inesterase Penting dalam pembentukan asetilkolin yang berperan dalam pemindahan impuls syaraf.
Peranan ion ka1sium meng-
hambat enzim kolin asetilase, sehingga menurunll:an iritasi 6el.
Kolin + asam asetat ______ I!L __ _ asetilkolin ____ I~2 ___ _ ~olin + asam asetat (1) ko1inasetilase (2) ko1inesterase (4) ATP ase
Hidro1isis Adenosin Trifosfat untuk menghasi1kan energi, yaitu terbentuk Adenosin Difosfat dan asam fosfat. ATP
-------------- ADP + asam fosfat
(5) Asam suksinat Perubahan asam suksinat menjadi asam fumarat penting dalam mekanisme siklus Kre os. Asam suksinat
----------- asam fumarat + 2H.
Fungsi ion ka1sium dalam mekanisme
kontrru~si
otot, di
je1askan Jones et a1 (1977) yaitu dengan pengaturan trasi ka1sium da1am sarkop1asma otot untuk fungsi kannya.
konse~
perger~
Adenosin Trifosfat (AT?) yang berada da1am membran
sarkoplasma retiku1um mengatur rnekanisme pemornpaan kalsium, yai tu tetap mernpertahankan rendahnya ion kalsiurn se1ama
40 otot
Stimu1asi yang datang secara cepat
bere1a~sasi.
a~an
meningkatkan pe1epasan ion ka1sium dari simpanannya di kop1asma retiku1um.
Ka1sium akan terikat pada aktin
sa~
(bag~
an tepi) ··dan akan membentuk jembatan antara aktin dan miosin (bagian tengah).
Keadaan ini mengakibatkan sarkomer otot
memendek atau berkontraksi, dengan demikian ter1ihat pergeraican ototnya.
Pada keadaan otot bere1aksasi, ion kalsi
urn disil"'lpan kemba1i di dalam sarkop1asma retikulum, dan pembentukan jembatan ini
ditiada~an.
Kejadian seperti ini
tampak juga pada mekanisme pergerakan otot licin dan otot jantung.
Ganong (1971) menyebutkan berbagai fungsi ion ka1sium, diantaranya untuk kontraksi otot kerangka, otot jantung, dan mempengaruhi impuls syaraf.
Oleh Dukes (1947) ditam-
bahkan fungsi ka1sium selain untuk
pergerlli~an
otot dan sti
mulasi syaraf, juga untuk pembentukan tulang dan gigi da1am masa pertumbuhan, pengaturan fungsi sel, pengaturan reaksi yang terjadi da1am tubuh, dan proses pembekuan darah, juga pada pembentukan air susu. Underwood (1980); Kaneko dan Cornelius (1971) menambahl~n
fungsi kalsium sebagai aktivator dan stabilisator
beberapa fungsi enzim, dan mekanisme pembekuan darah.
Pada
mekanisme pembekuan darah, ion kalsium berfungsi da1am
pe~
bentukan trombin dari protrombin, yang akan mengubah fibri nogen menjadi zat beku darah (fibrin). Payne (1977) menambahkan fumgsi kalsium da1am keterlibatannya pada mekanisme pelepasan energi (ATP) lewat
'+1
proses katalase.
Pentingnya fungsi kalsium dalam proses-
proses fisiologis tubuh memerlukan pengontrolan, untuk mem pertaitankan tingkat normalnya dalam darah. KEBUTITHAl'f KALSIUH U:nUK PSODUKSI AIR SUSU
underwood (1980) menjelaskan kebutuhan kalsium dalam hUQungannya dengan fungsi pembentuk air susu. perah, pengurangan dalam pemasukan
kalsiu~
Pada sapi
dari makanan
akan menyebabkan penurunan jumlah air susu yang dihasilkan, tanpa mempengaruhi kadar kalsiumnya.
Pada tahap awal ber-
kurangnya pemasukan kalsium, hewan masih mampu mengambil
.
.
simnanan kalsium pada tulang, un tuk memenuhi 1\:e bu tuhan nroduksi air susunya.
Keadaan ini bila berlanjut, akan ter-
jadi kerusakan pada tulang, bersamaan ini akan diikuti oleh gangguart 1;.G.r:h ag.ap.
produksi air susunya.
Pemberiart pa1;:an
yang mengandung kalsium sedikit, untuk jangka waktu yang cukup lama, akan mengurangi jumlah kalsium yang disimpan pada tulang, dan ini menyebabkan gangguan sampai kegagalan dalan produksi air susu.
Gambar 8, memperlihatkan pengaruh
pemberian kalsium yang cukup, di bandingkan dengan pemberian kalsium yang kurang, terhadap tingkat produksi air susu. Dijelaskan pula ten tang hubungan kemampuan pengambilan
ka~
sium dari pakan, dengan kebutuhan kalsium untuk mempertahan.k:an produksi air susu. (Kemampuan pengambilan kalsium dari
~:pakan
sebesar 45 % dan fosfor 55
%).
Diperlukan
2,6 gr kalsium, 1,9 gr fosfor untuk setiap kilogram air susu.
Sedang kebutuhan kalsium dan fosfor sapi seberat
'usu setiap hari
I 12
cukup
8 Pakan denc;an ka1sium rendah
4
o
~
o
____ ____ ~
80
Gambar 8.
~~
160
__________ 240
~~
320
__
~~
___
400
--)", Perioc.e 1aktasi Chari) Pengaruh pemberian pakan dengan kadar kalsium cukup, dan pakan den3z.n diet 'n:alsium, pada produksi air susu (Dnde'!? wood 1980 dari Becker et a1, 1953). -
43 450 kg, adalah 8 gr dan 10 gr setiap harinya.
Jadi untuk
~
memproduksi air susu sebanyak 4 kg setiap hari, dinerlukan 8 + (2,6x4) = 18,4 gr kalsium, dan 10 + (1,9x4) = 17,6 fot.
fo~ s~
Pada sapi 'yang berproduksi tinggi, misalnya 30 kg
tiap hari, diperlukan 86 gr kalsium dan 67 gr fosfor, dengan cara perhitungan yang sarna.
Tingginya protein dan energi
yang diperlukan untuk produksi air susu, harus diimbangi dengan besarnya pemasukan makanan.
Contohnya sapi yang
berproduksi air susu 10 kg setiap hari dan mendapatkan 10 kg bahan kering setiap hari, diharapkan dalarn makanannya mengandung 0,34 % kalsium dan 0,29 % fosfor. ,.'
Payne (1977) mengatakan bahwa pada sapi perah produk-
si tinggi, dikeluarkan lebih banyak kalsium dan fosfor dalarn air susunya, yang mana ini meningkatkan kerentanan sapi terhadap keseimbangan pengeluaran dan pemasukan kedua unsur ini, seperti terlihat pada kasus
"Parturient
Pa-
resis " • PEt1BU Al'lG.I\J.'l KALSIUM
Payne (1977) mengatakan pengeluaran utarna kalsium adalah mele'.vati alat pencernaan.
Kira-kira 8-9 gr kalsi-
urn setiap harinya dikeluarkan lewat alat pencernaan ini, bersama-sama tinja, sedang pengeluaran lewat air kemih pada ruminansia adalah tidak ada atau diabailmn. Hansard et al pada tahun 1952 yang dikutip Boda dan Cole (1956) membuktikan bahwa pengeluaran kalsium lewat
44 tinja, berasal dari semua bagian alat pencernaan, terutarna pada usus kecil.
Dikatakan pula bahwa peningkatan pe-
ngeluaran kalsium lewat tinja ini sesuai dengan
peningka~
an umur hewan. Knap pada tahun 1947 dan Nicolaysen et al j;>ada tahun 1953 yang dikutip Boda dan Cole (1956) menyebutkan bahwa adanya pengeluaran kalsium lewat air kemih tergantung pada faktor hormonal yang mengatur reabsorbsi kalsium serum
~
darah pada tubuli ginjal, selain dipengaruhi oleh jumlah makanan yang masuk, terutama kandungan kalsiumnya.
Di tam-
bahkan pula adanya sedikit pengaruh sex (kelamin) dan umur pada proses pengeluaran kalsium lewat air kemih. Hart et. al pada tahun 1931 yang dikutip Boda dan Cole (1956) mehgatakan adanya peningkatan pada proses pengeluaE an kalsium pada pemberian pakan yang banyak mengandung asam. Kaneko dan Cornelius (1971) menjelaskan bentuk kalsium yang dikeluarkan lewat tinja, yai tu eksogenous kalsium yang berasal dari pakan yang tidak dapat dicerna, dan endogenous kalsium yang berasal dari sekresi kalsium pada alat penceE naan, terutama usus kecil.
IV.
BEBERAPA KASUS YANG DITEMUKAN
Dari pengalaroan selama praktek daerah, ditarobah info;::: masi yang didapat dari petugas
peterna.~an
_,dan peternak
secara langsung dan catatan yang ada pada laporan di Dinas Peternakan kabupaten Sukaburni, dapat dikumpulkan sebanyak 21 kasus yang mengarah pada kernungkinan kejadian penyakit IT
II
Parturient Paresis.
Hal ini didasarkan pada gejala kli-
nis yang ditemukan pada sapi-perah di kecaroatan Sukaraja I, kabupaten Sukabumi (Tabel 7).
Bila dilihat jurnlah popula-
si sapi perah yang lebih banyak dibandingkan dengau. daerah lain di wilayah Sukaburni, juga tingkat pengetahuan dan :-'
<.
pengalaman petugas peternakan dan peternak yang cukup baik, namun belurn adanya sis tern pencatatan yang baik, menyebabkan terbatasnya jumlah kasus yang dapat dicatat. Dengan segala upaya yang ditunjang dengan informasi dan kepustakaan yang diperlukan, penulis berhasil rnengumpulkan kasus-kasus yang berhubungan dengan kernungkinan jadiannya penyakit ini.
k~
Berdasarkan kasus-kasus yang ada
dengan keragaroan pada gejala klinisnya, penulis rnencoba rnernbahas keadaan ini, khususnya pada kemungkinan nya.
kejadia~
46 'Ea·oel 7.
Be berapa kasus yang di temukan Umur ( Th)
Kelamin
sapi
F.H
5
Betina
3
3abis partus 2 hari roboh, tidak mau makan, suhu 42 o e, produksi air susu 4 liter sehari, mati.
4
Be tina
2
Bulu berdiri, kurus, tidak mau makan, pucat, lumpuh kaki belakang selama 6 hari, mati.
F.H.
6
i3etina
4
Tidak mau gakan, suhu normal (38 e), roboh, saki t sudah 2 minggu, produksi air susu 4 li ter sehari.
F.R
4
Betina
1
Kurus, bulu ka8ar, pu cat, suhu 37,5 C, roboh lama saki t 5 hari.
5.
F.ri
4
Be tina
2
Kurus, pucat, bulu kotor, roboh, sakit su dah 2 minggu, mati.
6.
F.H
4
Betina
2
Kurus, tidru~ mau makan suhu 38,5°e, roboh, la rna sakit 15 hari, dibe ri vitamin.
7.
F.R
5
Be tina
3
Roboh, kejang otot, menggigil, lama sakit 10 jam, mati.
8.
F.H
4
Betina
2
Tidak mau mrul:an, bulu rontok, kurus, lumpuh lama sakij; 3 minggu, mati.
9.
F.R
5
Betina
3
Kurus, pucat, suhu 36°e roboh, produksi air su su 5 liter sehari, la ma sakit 3 hari, mati.
1'10.
1.
Bangs.:1
2.
3.
Laktasi
TWlda klinis
Bangsa sapi
Umur ( Th)
Kelamin
La..~tasi
Tanda klinis
10.
. . . . . . . J..
wr..r
5
Be tina
3
Kurus, bulu kotor, p~ cat, berdiri, roboh, 1lrodu..~si air susu If iiter sehari, mati.
11.
F.H
5
Betina
3
Kurus, tidak mau mak an, roboh, lama sakit 1 minggu, diobati vitamin.
12.
F.B:
Betina
3
Perseudian paha rusak lumpuh, kurus, lama saki t 2 minggu, dioba ti vitamin.
13.
F.H
h,
,5
Betina
3
Kurus, pucat, pernafa san dangkal, susah, ro boh, mati.
F.B
5,5
Betina
4
Tida1<;: mau I'lakan, lemah roboh habis melahirkan kondisi o badan bagus, suhu 38 C, nafas lemah dangkal,susah, denyut jantung lemah, tekanan darah susah dirasa, pro duksi air susu 4 liter sehari, diinfus Calcium boroglukonas 400 cc, I:V bangun kembali.
15.
F.B
5
Betina
4
Kurus, lemah, tidal\: mau makan, produksi " air susu turun, roboh
16.
F.R
4
Betina
2
Kondisi baik, roboh post partum, tidak mau makan, mati
17.
F.H
4
Be tina
Kurus, bulu berdiri, suram, pucat, lemah, berbaring terus, dfu~ beri antibiotik dan vitamin; produksi air susu berhenti, lama sakit 2 minggu, tidak mau makan.
48
No.
Bangsa sapi
Umur ( Th)
Kelamin
Laktasi
Tanda klinis
18.
F.R
5
Betina
4
Tidak mau makan, kurus lemah, abses, roboh, produksi 4 liter sehari, mati.
19.
F.R
5
Betina
4
Kurus, bulu suram, pucat, lumpuh, produ~ si air susu turun.
20.
F.R
4
Betina
3
Kurus, sakit sudah 2 minggu, produksi air susu terhenti, lemah berbaring, nafSu makan turun, suhu 39 C, diobati Antibiotik dan vitamin.
21.
F.R
5
Betina
.4
Sapi roboh~setelah 1 hari partus, kondis~ badan baik, suhu 39 C, tidal~ mau makan, lemah, nafsu makan turun. Nafas dalam, susah, denyut jantung lemah, tekanan darah susah diraba. Diinfus Calcium glukonas 300 cc, bangun kembali.
V.
PENBAHASAN
Kemungkinan kejadian penyakit
II
Parturient Paresis
"
berdasarkan kasus-kasus yang ditemukan di wilayah kecamatan Sukaraja I, kabupaten Sukabumi, dengan ditunjang pustaka yang diperlukan, dapat dikatakan cukup tinggi, mencapai 4,2
% dari sekitar 500 populasi sapi dewasa.
l-1enurut Olson
dalam Phillipson et al (1930), kejadian penyakit ini sekitar 5-10 % dan 90 % pada sapi produksi air susu tinggi. Belum sempurnanya sis tern pencatatan penyakit, sangat mempengaruhi dalam penghitungan kejadiannya, apalagi bila kita melihat sistem menejemen peternakan yang-- adacsekarang. Beberapa gejala klinis yang didapatkan di lapangan, dan deugan keadaan secara teoritis di pustaka, gejala turient Paresis
II
II
Par
biasanya berupa : penurunan nafsu makan,
kurus, bulu berdiri dan kusam, suhu tubuh rendah atau normal, kadang-kadang didapatkan gejala peningkatan sensitifi tas, menggigil dan kejang otot.
Pemeriksaan yang lebih
mendalam, pernafasan dangkal, lemah, superfisial.
Denyut
jantung lemah, tekanan darah vena susah dirasakan denyutnya. Semua kasus kebanyakan diikuti roboh dan kematian.
Timbul
nya gejala klinis ini banyak hubungannya dengan pelaksanaan menejemen ternak, terutama pengaturan pemberian
pakan.
Tingkat kemampuan dan pengetahuan peternak dalam
peny~
diaan dan pengaturan pakan, untuk mendapatkan hasil yang inginkan, saat ini masih kurang.
d~
Keadaan ini sangat men-
dukung kejadian penyakit, terutama pada saat diperlukan-nya
50 pal~an
pengaturan p~an
pada perimde kering kandang.
Pemberian
dengan kalsium rendah selama periode ini, yang
a~an
merangsang kerja hormon paratiroid dalam proses metabolis me kalsium untuk dapat mempertahankan kadar normalnya, belul!!
bany~
diperhatikan
p~an
diberikan
petern~.
Keadaan sebalilmya
dengan kadar kalsium tinggi pada periode
ini, dengan harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan kalsium. Tuju~"
tid~
ini
~an
perti ini
terl~sana
menekan
karena justru dengan
~tivi tas
p~an
se-
hormon Jparatiroid.
aturan kadar normal kalsium serum darah setelah melahirkan dapat dipertahankan dengan kalsium tinggi, yang
~an
memberil~an p~an
dengan kadar
diperlukan dalam proses pemben-
tukan·.. air susu. Pengamatan
peny~it
di lapangan terutama pada periode
mendekati kelahiran dan 1-2 hari setelah kelahiran, masih kurang.
Hal ini
~an
menyulitkan diagnosa
peny~it,
apa-
lagi bila tanpa didukung pemeriksaan secara laboratorium, karena
~an
sedikit sekali gejala klinis yang dapat diamati
sedangkan
peny~t
ini c;ukup
bany~.
lain yang menyertai
"
Parturient Paresis
Tingkat umur sapi yang terserang beragam antara 4-6 tahUll.
Menurut Udall (1954) 90 % kejadiannya pada umur
5-9 tahun.
Sedang periode laktasi ke 2-4, menurut pene-
litian Belschner (1974) tersering kejadiannya pada saat l~tasi
ke 3-7.
Hal ini erat hubungannya dengan penurun-
an kemampuan sapi dalam proses metabolisme kalsium, untuk tetap dapat mempertahankan tingkat normal kalsium serum
It
darah.
51 Henurut Payne (1977) kemampualll proses metabolisme
ini menurun sesuai dengan peningka tan umur sapi.
Nelihat
kembali masalah menejemen peternakan kita, khususnya yang menyangkut kejadian penyakit ini, banyak sapi-sapi yang hanya bisa bertahan sampai laktasi keempat, dimana secara teoritis bisa sampai laktasi ketujuh.
Satu catatan yang
tidak dapat diabaikan bahwa fisiologis sapi bangs a FH sendiri yang mungkin kurang atau tidak cocok dengan kondisi yang ada di Negara kita, meliputi iklim, pakan dan perlakuan.
Heskipun secara genetis kerentanan sapi Frisian
Holstein (FH) sendiri terhadap penyakit ini kurang, dibandingkan dengan bangsa Jersey dan Guernsey, tetapi dengan pengatliran pakan yang tidak baik, disertai paksaan untuk menca~
produksi tinggi, seperti pemberian konsentrat
tinggi dan serat kasar rendah, setelah post partum, akan menurunkan kontraksi rumen, yang menyebabkan stasis rumen. Akibat dari kondisi ini, terjadi penurunan jumlah kalsium yang dicerna dan diabsorbsi, dan meningkatkan kejadian penyakit.
Keadaan seperti ini dapat cepat dicegah dengan
memberikan pakan yang seimbang antara konsentrat dengan serat kasarnya. l'roduksi air susu yang rendah 3-4 liter setiap hari, disebabkan pengurangan kadar kalsium yang masuk dan di ..'" absorosi, untuk proses-proses fisiologis dan pembentukan air susu.
Berarti terjadi pengurangan produksi air susu
seban,ak 8-10 liter setiap hari, setiap ekor sapi, bila kita anggap produksi normalnya 12-15 liter setiap hari,
52 setian ekor sapi.
Perhitungan dengan uang, sesuai harga
yang berlaku sekarang. i? 250 se tiap li ternya, kerugiannya sebesar i? 2000-2500 setiap hari, untuk setiap ekor sapi, belum terhi tung biaya tenaga ker ja dan pakan.
pemberian
vitamin D dosis 20-30 juta IU, minimal 2 hari, maksimal 7 hari, secara intra vena, akan membantu proses metabolisme dan absorbsi kalsium, sehingga kebutuhannya dapat tercukupi; dengan syarat pemberian pakan juga harus mencukupi. Gejala anoreksia yang timbul pada kasus ini, erat kaitannya dengan fungsi kalsium untuk aktivitas fisiologis tubuh, diantaranya : mengaktifkan fungsi sel, mengaldifkan enzim tertentu, seperti : esterase, fosfatase, ATP ase dan suksinat dehidrogenase, yang semuanya ini penting dalam pengaturan reaksi tubuh. Perjalanan
penya~it
yang berlanjut, diikuti robohnya
sapi, berhubungan dengan hipoka1semia hebat, dalam kaitan fungsi kalsium,sebagai aktivator motorik (kontraksi otot) dan stimu1asi syaraf.
Payne (1971) mengatakan bahwa pada
saat tingkat kalsium serum darah menurun sampai 4-5 mg%, maka akan terlihat gejala klinis
11
tI
Parturient Paresis •
Pada tingkat kadar kalsium ini, otot dalam keadaan re1aksasi dan stimulasi yang diberikan sebenarnya dapat mengeluarkan
simpana~
kalsium di retikulum sarkoplasma.
Tapi
akibat rendahnya tingkat kalsium serum darah, proses ini tidak berlangsung, dan aktivitas kontraksi otot juga tidak berlangsung.
53 Kematian qkibat
penyru~it
ini, terutama bila terjadi
komplikasi dengan
peny~it
lain, yang tersering adalah
keadaan ketosis.
Hal ini adalah sebagai
~bat
dari kom-
plikasi reaksi tubuh untuk tetap dapat memperoleh energi, dengan mempergunakan cadangan lemak akibat berkurangnya bahan
pru~an
yang; masuk.
Komplikasi penyaki t lain yang
sering adalah pneumoni aspirasi, akibat sikap hewan sering menjulurkan kepala, sehingga
m~anan
kan dan terisap masuk paru-paru.
mudah diregurgitasi-
Kerugian akibat kematian,
pada sapi dengan berat badan 200 kg, adalah
~
375.000.
Perhatian untuk mendiagnosa secara laboratoriEr,.penyaki t ini seperti penyruti t lain (pqrasi t darah), masih kurang, terbukti pada setiap pengiriman spesimen darah, selalu diperiksa parasit darahnya, tetapi untuk kadar normal mineral terutama yang ada kaitannya dengan kukan bahkan
tid~
pernah.
peny~t,
jarang dila-
Hal ini tidak hanya penting
dalam mendiagnosa secara tepat, tetapi juga menyangkut cara pencegahan, untuk menyempurnakan sistem pencatatan kej,adian penyakit, yang berguna untuk bahan pertimbangan pengembangan dimas a mendatang. Pada skala yang lebih luas lagi, kerugiannya menyangkut kegagalan usaha Pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup dan kecerdasan kebidupan bangsa, sesuai program Nasional, yang diantaranya adalah pengenalan kredit sapisapi perah ini.
Melihat keberhasilan dan kegagalan yang
dialami, dan perbedaan yang terjadi antara satu daerah dengan yang lainnya ten tang ke jadian
peny~ t
"Parturient
54
Paresis " ini, perlu penelitian lebih jauh, menyangkut analisa pakan, tanah penggembalaan dan sistem pencatatan. Hal ini penting untuk tetap dapat mempertahankan kondisi fisiologis normal hewan, mengingat kompleksnya faktor yang terlibat dalam kejadian penyaki t ini.
Diantaranya aktivi-
tas penyerapan kalsium di usus, pengeluaran kalsium dari simpanannya di tulang,
lli~tivitas
hormon paratiroid dan
kalsi tonin, juga sintesis vitamin D oleh hati·· dan ginjal. lYlelihat kenyataan diatas, disertai harapan untuk mencapai tujuan pembangunan Nasional, melalui bidang qn,
suda~~ah
kita berpikir sejauh itu?
petern~
VI.
KESIHPULAN DAN SARAiT
Kesi 1l!UU1 an Kemungkinan kejadian penyakit
It
Parturient Paresis
"
di
kecarnatan Sukaraja I, kabupaten Sukabumi cukup tinggi, 4,2 persen dari 500 populasi sapi dewasa.
Kerugian yang di-
timbulkan a1dbat penurunan produksi air susu, secara kasar sekitar
~
2000 -
~
2500 setiap ekor sapi, setiap hari, di-
samping tenaga kerja dan pakan.
Pada tingkat kematian
hewan, kerugiannya sekitar q, 375000, pada sapi dengan berat badan 200 kg. Gejala klinis yang didapatkan di lapangan, terbatas pada yang sudah lanjut, sedangkan gejala awal penyakit tidak sering ditemukan, karen a sis tern pengamatan yang kurang. Untuk dapat meyakinkan diagnosa diperlukan pemeriksaan laboratoris, terhadap kadar kalsium serum darah.
Kejadian
penyrudt berhubungan erat dengan sistem menegemen, terutama pengaturan pakan pada periode kering kandang.
Hal ini ber-
kai tan sekali dengan tingkat kemampuan dan pengetahuan peternak dalam penyediaan dan pengaturan pakan. Tt
Parturient Paresis
11
adalah penyakit gangguan metabolis
me, terutama menyangkut kalsium dan erat hubungannya dengan proses kelahiran dan laktasi, yang merupakan manifestasi dari hipokalsemia.
Kejadiannya terutama terdapat pada se-
hari post partum, pada umur sapi
5-9 tahun, masa laktasi
ketiga sampai ketujuh dan bangs a sapi Jersey.
56 Faktor penyebabnya meliputi : gangguan fungsi hormon paratiroid dan kalsitonin, gangguan metabolisme dan penyerapan kalsium, peningkatan kebutuhan kalsium dan pengaturan pall:an.
Predisposisinya adalah umur, bangsa, musim, pro
duksi tinggi, interval melahirkan dan sistem pemeliharaan (latihan atau cukup pergerall:an, keseimbangan pengaturan pall:an dan perlall:uan). Gejala klinis yang tampak tergantung perjalanan penyall:it.
Tahap awal berupa eksitasi berlangsung sebentar,
kemudian berbaring sternal, terall:hir sapi roboh tidall: dapat bangun, dengan posisi kepala dibengkokkan ke lateral. Tidall: banyall: ditemukan perubahan secara patologi anatomik, hanya involusi uteri yang tidall: sempurna dan degenerasi syaraf. Diagnosa penyall:it didasarkan atas gejala klinis. karena banyall: diikuti gejala penyakit lain, diperlukan
Tapi pem~
riksaan laboratorium berupa penurunan kadar kalsium serum darah menjadi
4-5 mg%.
Timbulnya gejala klinis penyall:it erat hubungannya dengan fungsi fisiologis mineral kalsium dalam tubuh. Tingkat kadar normal kalsium serum darah dipertahankan oleh berbagai alI:tivitas hormon, vitamin dan alat-alat tubuh.
Sedangkan ekskresinya yang nyata adalah melewati
tinja. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pencegae an kejadian penyakit, adalah
57 (1).
Pemberian vitamin D dosis 20-30 juta ID, setiap
hari, minimal 3 hari,
ma~simal
7 hari, secara intra-
vena pada periode pre partum. (2).
Pengaturan pakan yai tu diet kalsium dan fosfor
dengan perbandingan 1:3,3. (3).
Tidak mell).elihara sapi menjadi sangat gemuk, pada
saat periode kering kandang.
(4).
Tidak mengosongkan sempurna kelenjar susu dari
kolestrum, setelah melahirkan.
(5).
Pengamatan yang sempurna pada 48 jam sapi post
par tum. Pengo bat an yang dipakai hingga sekarang adalah dengan preparat kalsium, seperti : kalsium glukoheptonat, kalsium glutamat, kalsium d-sakharat, kalsium gliserofosfat dan kalsium laktobionat.
Pemompaan ambing adalah alternatif
lain, dengan resikonya terjadi infeksi sekunder bakteri. Saran-saran Kejadian penyakit
IT
Parturient Paresis
11
yang melibat-
kan alat-alat tubuh, hormon.dan vitamin, memerlukan perhatian khusus.
Dntuk mengurangi kejadiannya dimasa men-
datang, diperlukan beberapa tindakan dini, yai tu : - Penelitian dan sistem pencatatan kasus yang lebih baik, khususnya penyakit metabolisme ini. Untuk melihat kerugian yang nyata dari penyakit ini, diperlukan perhitungan yang lebih teliti lagi, baik
58
tingkat peternak besar atau peternak kecil. - Fenyempurnaan dari sistem yang sekarang sudah ada, seperti dalam pemeriksaan darah, selain parasitnya juga kandungan normal mineral darah, khususnya kalsiumnya. Feningkatan peranan Dinas Peternakan dalam mengatasi masalah yang ada di peternru{ rakyat. - Demi keberhasilan pembangunan di bidang peternakan perlu ditingkatkan kerjasama dari berbagai disiplin ilmu.
DAFTAR PUS TAKA Albright, .J .L. and T.H. Blosser. 1957. Blood levels and urinary excretion 0 f calc.ium in normal cows and cows wi th Parturient Paresis after intravenous injections wi th calcium borogluconate. Journal Dairy Science, 40( 5) :477-485. Belschner, H.G. 1974. Cattle disease. Fourth Revised Edition. Angus and Robertson Publishers. p, 91-95. Blood, D. C. and J. A. Henderson. 1974. Veterinary Medicine. Fourth Edi tion. The William and Wilkins Company. Bailliere. Tindall. London. p, 823-836. Boda, J .H. and R.H. Cole. 1956. Calcium metabolism with special re ference to Parturient Paresis (milk fever) in dairy cattle : A Review. Journal Dairy Science, 39 (7) : 1027-1043. Bell, G.R., J.N. Davidson and D.E. Smith. 1972. Textbook of Physiology and B~ochemistry. Eight Edition. Baltimore The Williams and Wilkins Company. p, 212-216. Brown, S.S., F.L. Hitchell and D.S. Young. 1982. Chemical diagnosis of disease. Elsevier Biomedical Press. Amsterdam New York Oxford. Conrad, R.R., S.L. Hansard and J.W. Hibbs. 1956. Studies on milk fever in dairy cows. V. The effect of massive oral doses of vitamin D on absorption, excretion, retention and blood levels of calcium and phosphorus. Journal Dairy Science 39(12):1697-1704. Curtis, C.R., R.H. Erb., C.J. Sniffen and R.D. Smith. 1984. Epidemiology of Parturient Paresis: Predisposing factors with emphasis on Dry cow Feeding and Hanagemente Journal Dairy Science 67:817-825. Crampton, E.W. and L.E. Lloyd. 1959. Fundamentals of Nutrition. Hc Donald College of Hc Gell University Qucteec. IV.H. Freeman and Company. San Francisco and London. Doxey, D.L. 1971. Veterinary Clinical Pathology. The ,,'. William and Wilkins Company. Bailliere. Tindall. Lon don. p, 216-221. Dukes, R.H. 1947. The physiology of domestic animals. Sixth Edition. Comstock publishing associates a devision of Cornell University Press, Ithaca. New York.
60 Dacke, C.G. 1979. Calcium regulation in Submammalia Vertebrata. Academic press London, New York, San Francisco. A subsidiary of Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Dinas Peternakan. 1983/1984. Laporan tahunan. tah Propinsi daerah tingkat I Jawa barat.
Pemerin-
Gibbons, W.J. 1963. Diseases of Cattle. Revised Second Edition. American Veterinary Publications, Inc. 114 North West street, Wheaton, Illinois, Drawer KK, Santa Barbara, California. p, 459-468. Ganong, Vi.F. 1971. Review of l1edical Physiology. Lange 11edical publications. Los at los, California. Hungerford, 'r.G. 1970. Diseases of Livestock. Sixth Edition. F.H. Both and Son. P.T.Y. Ltd. Sydney, London, Melbourne, Singapore. p , 258-262. Ho, T.N. 1976. Hetabolic diseases of Ruminants. Food and Fertilizer 'rechnology Center. Extension Bulletin No : 79. Taipei City, Taiwan Republic of China, p, 1-5. Howard, J.L. 1981. Current Veterinary Therapy. Food Animal Practice. VI.B. Saunders Company. Philadelphia, London, Toronto. p, 340-343. ~ Jones, L.N., N.H. Booth., L. l1cDonald. 1977. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi, Bombay, Calcutta. Kaneko, J.J. and C.E. Cornelius. 1971. Clinical Biochemist ry of Domestic Animals. Second Edition, volume I. Academic Press. New York, Sful Francisco, London. A subsidiary of Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. p, 313-332.
Phillipson, A.T., L.W. Hall and W.R. Pritchard. 1980. Scientific Foundations of Veterinary Nedicine. William Heinemann Nedical Books Ltd. London. p, 99-104. Payne, J .11. 1977. 11etabolic diseases in Farm Animals. William Heinemann Medical Books Ltd. London. p, 33-73. Repuhiik Indonesia.
Rencana pembangunan lima tahun keempat
1984/85 - 1988/89.
61
Smithcors, J.? and E.J. Catcott. 1969. Progress in Cattle and Sheep Practice. Book number ten in the Nodern Veterinary Reference Series. American Veterinary Publications, Inc. Drawer KK, Santa 13arbara, California, Publishers. p , 115-133. Underrrood, E.J. 1980. The mineral nutrition of livestock. Second :!:di tion. Commenweal th Agricultural Bureaux. p, 31-46. Udall, D.H. 1954. The Practice of Veterinary Hedicine. Sixth Revised Edition. Published by the Author. Ithaca, New York. p, 366-376.
LAl-lPIRAN
62 bampiran 1.
Proyeksi populasi ternal~ sani perah dalam E/epelita IV, 1984 - 1988 (dalam ribu).
Ternak Sapi perah
"
169
189
1986
1987
210
234
262
n,6 %
Sumber : Petikan dari naskah rancangan Repelita LV Departemen Pertanian, 1984 - 1989, yang telah disempurnakan.
RIWAYAT HIDUP
KRISHAi'TTO, 1ahir eli Tulung Agung 1 Desember 1961 sebagai anal\;: kede1apan dari delapan orang bersaudara.
Ayah
bernama AtmoVlirjono dan ibu Soerip Hartijah. , Penelidikan formal di tempuh di SDn I eli Rembang (19681973), SHPK Aelisucipto Rembang (1974-1976) dan SHAK Loyola I Semarang (1977-1980).
Pada tahun 1980 lu1us test Proyek
perintis I, dan eliterima eli Institut Pertanian Bogor.
Ter
daftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan sejak 1981-1985, dan gelar Sarjana Kedokteran Rewan diperoleh tahun 1984.