STRATEGI UNTUK NTUK MENCAPAI TUJUAN RPJMD D 2010-2014 KOTA BOGO OGOR PADA URUSAN PERDAGANGAN GAN, PERINDUST DUSTRIAN, UMKM, DAN PERTANIAN IAN
MHRS ARIO PUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT IN PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul Strategi Untuk Mencapai Tujuan RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Pada Urusan Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor, September 2011
MHRS Ario Putra NRP H252090055
2
ABSTRACT
Based on the Local Government Regulation No.5 Year 2010 regarding Regional Medium-Term Development Plan (RPJMD) in 2010-2014, the Government of Bogor Municipality has established a clear objective: to create Bogor as a leading city in the services sector, particularly in the trade sector. In order to achieve this objective, responsibility is not solely delegated to the Industry and Trade Agency, but should also be shared among other agencies, especially those responsible for improving local economic development, such as the office of cooperatives and SMEs, and agriculture agency. Hence, it is necessary a synergy of government planning encompassing each government agency, particularly in the agricultural, industrial, SME and trade sectors. In addition, performance indicators of government planning should be outcome-oriented in order to measure the degree to which the objectives as stated in RPJMD Kota Bogor in 2010-2014 are being achieved. Keywords: Planning, Indicator
Local Government, Outcome, Sinergy, Performance
3
RINGKASAN MHRS ARIO PUTRA. Strategi Untuk Mencapai Tujuan RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Pada Urusan Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan HIMAWAN HARIYOGA. Sistem desentralisasi Indonesia menitikberatkan pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan prinsip efisiensi. Namun pada kenyataannya, implementasi sistem tersebut berimplikasi pada membesarnya struktur organisasi pemerintahan di tingkat kabupaten/kota sebagai implikasi dari penerapan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana yang tertuang dalam PP No.38 Tahun 2007. Di tahun 1999, jumlah lembaga pemerintahan Kota Bogor adalah sebanyak 22 lembaga mencakup 16 dinas, 1 badan, dan 5 kantor. Sedangkan di tahun 2011, jumlah lembaga pemerintahan meningkat menjadi 24 lembaga, terdiri dari 11 dinas, 6 Badan, dan 7 Kantor. Peningkatan jumlah organisasi pada pemerintahan Kota Bogor, berimplikasi pada meningkatnya jumlah pegawai. Pada tahun 2005, jumlah pegawai adalah sebanyak 6.903 orang, meningkat pesat menjadi sebanyak 9.680 pegawai di tahun 2009/2010. Di satu sisi, kemampuan Kota Bogor secara mandiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerah-nya belum memadai dan cenderung porsinya semakin menurun, dengan kata lain kebergantungan pemerintah Kota Bogor terhadap dana perimbangan semakin besar, dan pendapatan asli daerah (PAD) kontribusinya semakin rendah. Untuk menutupi pembiayaan administrasi pemerintahan dan pembangunan Kota Bogor, kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah melakukan kebijakan defisit anggaran. Kondisi ini menunjukkan bahwa di satu sisi, pemerintah Kota Bogor mengakui menghadapi keterbatasan dalam membiayai pembangunan daerah, namun di sisi lainnya organisasi pemerintah daerah semakin diperbesar, yang tentu saja membawa konsekuensi pada peningkatan alokasi pengeluaran publik untuk belanja pegawai dan operasional kantor. Perencanaan pembangunan Kota Bogor merupakan kunci utama dari upaya untuk memanfaatkan keuangan publik dalam rangka untuk mencapai tujuan pembangunan daerah baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Bila perencanaannya kurang baik, dalam arti visinya tidak fokus, programnya tidak sinkron dengan tujuan yang akan dicapai atau penentuan indikator kinerja (outcome) tidak terukur, maka integrasi perencanaan dan penganggaran menjadi lemah, dimana penetapan plafond anggaran SKPD maupun program tidak terhubungkan dengan penetapan target yang hendak dicapai, yang pada akhirnya kinerja akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah sulit dicapai. Penentuan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah masih dominan diukur dari aspek keuangan. Padahal, sebelum mengukur kinerja berdasarkan aspek keuangan, hal yang paling mendasar untuk dinilai terlebih dahulu adalah kinerja perencanaan, yaitu dengan tahapan penilaian antara lain adalah: Pertama, sinkronisasi antara RPJMD dengan Renstra pada tiap instansi pemerintahan daerah, Kedua, indikator kinerja yang disusun adalah berorientasi outcome dan terukur, dan Ketiga, sinergi program indikator kinerja antar instansi pemerintah daerah terkait, misalnya antar instansi yang terkait dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah. 4
Berdasarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2010-2014, visi Kota Bogor adalah “Kota Perdagangan Dengan Sumberdaya Manusia Produktif dan Pelayanan Prima”. Dalam rangka mengukur pencapaian tujuan dan visi pembangunan tersebut, terdapat dua pendekatan analisa yang digunakan, yaitu Pertama, analisa indikator kinerja mencakup analisa deskriptif (document review), analisa SMART (Specific, Measurable, Acceptable, Realistic, Timely), dan analisa Program Model Logika. Kedua, analisa sinergi perencanaan (analisa deskriptif). Hasil kedua analisa di atas selanjutnya digunakan untuk menyusun strategi alternatif dalam penyusunan perencanaan yang bersinergi dan indikator kinerja yang berorientasi outcome. Hasil analisa indikator kinerja menunjukkan bahwa program dan indikator kinerja dalam Renstra 2010-2014 masing-masing instansi pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian telah konsisten dengan program dan indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor. Selain itu, melalui analisa SMART menunjukkan bahwa target indikator kinerja yang ada sudah terukur, namun penentuan target indikator kinerja tersebut belum spesifik dan lebih bersifat “pesimistis”, yaitu target yang ada sangat mudah dicapai, dan bila dilihat dari ketersediaan alokasi anggaran yang cukup besar di masing-masing SKPD, menunjukkan adanya ketidakefisienan. Di tambah lagi, alokasi anggaran dimasing-masing SKPD lebih banyak dialokasikan untuk bidang kesekretariatan, dibandingkan di bidang substansi yang menjalankan tupoksi (tugas pokok) instansi pemerintahan, baik di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, maupun di Dinas Pertanian. Hasil analisa program model logika menunjukkan bahwa indikator kinerja pada RPJMD Kota Bogor dan Renstra masing-masing instansi tersebut, belum berorientasi outcome (hasil) atau lebih berorientasi output. Dalam hal ini, stakeholder pemerintah masih kesulitan untuk menentukan indikator kinerja yang berorientasi outcome. Secara keseluruhan, hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa indikator kinerja yang ada belum dapat digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan pembangunan seperti yang tertuang dalam RPJMD Kota Bogor periode 2010-2014. Hasil analisa sinergi perencanaan menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintah Kota Bogor baik yang tertuang dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor maupun dalam Renstra 2010-2014 masing-masing instansi pemerintah daerah Kota Bogor belum bersinergi. Kondisi ini merupakan implikasi dari adanya peraturan perundangundangan yang lebih memfokuskan pada sinergi perencanaan pemerintahan yang bersifat vertikal berdasarkan struktur pemerintahan, dan belum secara memadai mengatur mengenai sinergi perencanaan pemerintahan yang berorientasi kompetensi inti, khususnya dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah. Pencapaian tujuan pembangunan, dalam hal ini menjadikan Kota Bogor sebagai kota perdagangan memerlukan perencanaan yang sinergi antar instansi pemerintahan, yaitu tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan saja, melainkan juga harus menjadi tanggungjawab bersama dari instansi pemerintahan Kota Bogor lainnya, misalnya Kantor Koperasi dan UMKM dan Dinas Pertanian.
5
Dalam rangka menciptakan perencanaan yang bersinergi, maka strategi alternatif yang digunakan adalah strategi perencanaan dengan pendekatan kompetensi inti. Strategi ini untuk mendorong tahapan kegiatan inovasi melalui pencarian (scanning) potensi inovasi, dan pengembangan potensi daerah. Cara yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan kompetensi yang berbeda-beda dari masing-masing unit kerja yang memiliki keterkaitan kuat. Hasil integrasi tersebut membangun kompetensi inti organisasi yang pada akhirnya membangun produk-produk inti yang inovatif dan berkembang menjadi usaha-usaha unggulan. Hasil dari pelaksanaan perumusan strategi tersebut adalah (i) terpetakannya sinergi fungsi dan peran dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian dalam pengembangan kompetensi inti, (ii) ditentukannya sasaran pengembangan usaha yang perlu untuk difasilitasi oleh pemerintah Kota Bogor, yaitu usaha mikro dan kecil (UMK), (iii) ditentukannya produk unggulan kota bogor, yaitu produk daging olahan dan produk berbahan baku kulit, dan (iv) tersusunnya rancangan program untuk tindaklanjut pelaksanaan strategi di atas guna menyusun rencana induk pengembangan produk unggulan Kota Bogor.
6
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
STRATEGI UNTUK MENCAPAI TUJUAN RPJMD 2010-2014 KOTA BOGOR PADA URUSAN PERDAGANGAN, PERINDUSTRIAN, UMKM, DAN PERTANIAN
MHRS ARIO PUTRA
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
8
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Alla Asmara, MSi
9
Judul Tugas Akhir
Nama NRP
: Strategi Untuk Mencapai Tujuan RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Pada Urusan Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian : MHRS Ario Putra : H252090055
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim Ketua
Dr. Ir. Himawan Hariyoga Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Dr. Ir. DahrulSyah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
10
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Kajian yang berjudul “Strategi Untuk Mencapai Tujuan RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Pada Urusan Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada: 1.
Orang tua, kakak dan adik – adik yang telah memberikan doa dan dorongan atas penyelesaian tesis ini,
2.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi dalam penulisan tesis ini,
3.
Dr. Ir. Yusman Syaukat, MSc Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang selama penulis kuliah menjabat sebagai Ketua Program PS MPD yang sangat membantu kelancaran studi penulis,
4.
Dr. Ir. Alla Asmara selaku dosen penguji yang telah menyediakan waktu luang dan memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini,
5.
Ir. Lukman M Baga, M.AEc selaku Ketua Program PS MPD,
6.
A. Faroby Falatehan, SP. ME yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini,
7.
Teman – teman sekretariat PS MPD, Fieta Resnia Handayani, Hendra Khaerizal, Rini Nurmayanti dan Supriyadi, yang selalu membantu penulis,
8.
Istri dan anak tercinta yang rela mengorbankan waktunya bersama penulis dalam menyelesaikan tesis ini,
9.
Jajaran Pejabat dan pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, Dinas Pertanian, DPRD Kota Bogor, Bappeda, dan Kadinda yang selalu membantu penulis terutama dalam memberikan data/informasi dan waktu luangnya untuk keperluan penulisan tesis ini,
11
10.
Rekan mahasiswa-mahasiswi Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penulisan tesis ini, Penulis menyadari bahwa masih terdapat adanya keterbatasan terhadap
hasil penelitian ini, namun demikian penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Kota Bogor sebagai bahan rekomendasi
dalam
pengembangan
sinergi
perencanaan
antar
instansi
penyelenggara urusan pilihan pemerintahan dan penentuan indikator kinerja yang berorientasi outcome (hasil). “Failing to plan is planning to fail” (Alan Lakein)
Bogor, September 2011
MHRS Ario Putra
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah pada tanggal 6 April 1975 dari ayah bernama Thamrin Syarief dan ibu almarhumah Sumiati Thalib. Penulis menikah dengan Heny dan dikaruniai satu putra bernama M. Ariq Taqi. Pendidikan dari SD hingga SMU ditempuh di Palu, dan pada tahun 1993 diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada program studi Agribisnis, dan lulus pada tahun 1998. Di tahun 2009 penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1997 sampai 2001, penulis bekerja sebagai peneliti di CPIS (Center for Policy and Implemented Study). Lembaga ini merupakan salah satu “think tank” dari Departemen Keuangan RI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja di perusahaan multinasional bernama Mazars, yang sebelumnya bernama Moores Rowland Indonesia. Pengalaman kerja penulis banyak berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kegiatan penelitian dibidang sosial ekonomi, audit dan keuangan publik baik yang bersumber dari lembaga donor internasional maupun dari pemerintah pusat dan daerah.
13
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................iv AKRONIM ......................................................................................................................... vii I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 10 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................................... 10 1.5. Keterbatasan Penelitian ............................................................................................ 10 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 12 2.1. Konsep Desentralisasi dan Implementasinya ............................................................. 12 2.2. Urusan Pemerintahan Daerah.................................................................................... 14 2.3. Konsep dan Proses Perencanaan Pembangunan ........................................................ 17 2.4. Konsep Sinergi Perencanaan ..................................................................................... 20 2.5. Pengukuran Kinerja .................................................................................................. 24 2.6. Pengembangan Potensi Unggulan Daerah ................................................................. 31 2.7. Hasil Penelitian Sebelumnya .................................................................................... 34 III. METODOLOGI ............................................................................................................. 37 3.1. Kerangka Pemikiran ................................................................................................. 37 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................... 39 3.3. Metode Penelitian ..................................................................................................... 39 3.3.1. Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling ......................................................... 40 3.3.2. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 41 3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisa Data ............................................................. 42 3.4. Strategi Penyusunan Sinergi Perencanaan dan Rancangan Program .......................... 48
14
IV. ANALISA INDIKATOR KINERJA PADA URUSAN PERDAGANGAN, PERINDUSTRIAN, UMKM DAN PERTANIAN ........................................................ 50 4.1. Analisa Sumberdaya Instansi Pemerintahan .............................................................. 50 4.1.1. Sumberdaya Pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan ................................. 51 4.1.2. Sumberdaya Pada Kantor Koperasi dan UMKM .............................................. 55 4.1.3. Sumberdaya Pada Dinas Pertanian................................................................... 58 4.2. Analisa Indikator Kinerja.......................................................................................... 61 4.2.1. Analisa Konsistensi Indikator Kinerja.............................................................. 61 4.2.2. Analisa SMART Indikator Kinerja .................................................................. 65 4.2.3. Analisa Orientasi Indikator Kinerja (Output atau Outcome) ............................ 72 V. SINERGI PERENCANAAN PADA URUSAN PERDAGANGAN, PERINDUSTRIAN, UMKM, DAN PERTANIAN .......................................................... 79 5.1. Analisa Sinergi Perencanaan..................................................................................... 79 5.2. Strategi Penyusunan Sinergi Perencanaan dan Rancangan Program Berbasis Produk Unggulan .................................................................................. 83 VI.KESIMPULAN ............................................................................................................ 100 6.1. Indikator Kinerja .................................................................................................... 100 6.2. Sinergi Perencanaan ............................................................................................... 100 VII.REKOMENDASI ........................................................................................................ 102 7.1. Indikator Kinerja.................................................................................................................. 102 7.2. Strategi Penyusunan Sinergi Perencanaan ....................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 104 LAMPIRAN ...................................................................................................................... 108
15
DAFTAR TABEL
1
Pembagian Urusan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota................................. 16
2
Jabatan dan Instansi Responden ................................................................................. 40
3
Jenis dan Sumber Data ............................................................................................... 42
4
Format Penilaian Indikator Kinerja Menurut Urusan Pilihan ...................................... 44
5
Interpretasi Penilaian Indikator Kinerja Menurut Aspek SMART ............................... 45
6
Pembobotan Penilaian Akhir Terhadap Indikator Kinerja ........................................... 45
7
Contoh Perbedaan Antara Output dan Outcome ......................................................... 47
8
Analisa Sumberdaya di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian ................................................................ 50
9
Hasil Analisa SMART Indikator Kinerja .................................................................... 66
10 Rancangan Program Sinergi Fungsi SKPD Dalam Rangka Penyelenggaraan Urusan Pilihan Pemerintahan ..................................................................................... 86 11 Indikator Penentuan Sasaran Pengembangan Usaha dan Produk Unggulan Kota Bogor ................................................................................................................ 87 12 Rancangan Program Penentuan Produk Unggulan Kota Bogor Dalam Rangka Penyelenggaraan Urusan Pilihan Pemerintahan .......................................................... 95 13 Rancangan Program Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Produk Unggulan Kota Bogor Dalam Rangka Penyelenggaraan Urusan Pilihan Pemerintahan ............................................................................................................. 97 14 Beberapa Indikator Kinerja Berorientasi Outcome (Hasil) Pada Urusan Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian ................................................... 102
16
DAFTAR GAMBAR
1
Perkembangan Realisasi Dana Perimbangan Kota Bogor Tahun1998-2009 ................
3
2
Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2009 ...................................
5
Penduduk 10 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Di Kota Bogor Tahun 2009 ...............................................................................
6
Persentase Distribusi Alokasi Pengeluaran Publik Kota Bogor Menurut Sektor Pembangunan Tahun 2008-2010 ....................................................................
8
5
Perkembangan Defisit Anggaran Kota Bogor Tahun 2004-2010 ................................
9
6
Alur Proses Penyusunan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah ................ 19
7
Framework Desentralisasi .......................................................................................... 29
8
Rata-rata Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Periode 20042008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi ........................................ 32
9
Kerangka Pemikiran................................................................................................... 38
3
4
10 Tahapan Analisa Penelitian ........................................................................................ 43 11 Program Model Logika .............................................................................................. 46 12 Struktur Organisasi Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Kota Bogor ...................... 52 13 Perkembangan Jumlah SDM Aparatur Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2008-2011 ....................................................................................................... 53 14 Jumlah SDM Aparatur Di Bidang Perindustrian dan Perdagangan Menurut Tingkat Pendidikan di Tahun 2011 ............................................................................. 54 15 Perkembangan Anggaran Belanja Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2007-2011 ....................................................................................................... 54 16 Struktur Organisasi Kantor Koperasi dan UMKM ...................................................... 55 17 Perkembangan Jumlah SDM Aparatur di Kantor Koperasi dan UMKM ..................... 56 18 Persentase Jumlah SDM Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor Menurut Tingkat Pendidikan di Tahun 2011 ............................................................................. 57
17
19 Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja Kantor Koperasi dan UMKM Tahun 2009-2011 ....................................................................................................... 57 20 Struktur Organisasi Dinas Pertanian Kota Bogor ........................................................ 58 21 Perkembangan Jumlah SDM Aparatur Dinas Pertanian Tahun 2006-2011.................. 59 22 Persentase Jumlah SDM Aparatur Dinas Pertanian Kota Bogor Menurut Tingkat Pendidikan di Tahun 2011 ............................................................................. 60 23 Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja Dinas Pertanian Tahun 2006-2011 ............ 60 24 Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan Perdagangan antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan .................................................................................................. 62 25 Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan Perindustrian antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan ................................................................................................. 63 26 Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan UMKM antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Kantor Koperasi dan UMKM .......... 64 27 Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan Pertanian antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Dinas Pertanian ............................... 65 28 Perkembangan dan Target Nilai Ekspor Kota Bogor .................................................. 67 29 Perkembangan Jumlah IKM di Sektor Formal dan Non-Formal Tahun 20072009........................................................................................................................... 70 30 Perkembangan Jumlah UMKM Binaan Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor Tahun 2007-2010...................................................................................... 71 31 Perkembangan Kapasitas Produksi UMKM Tahun 2007-2010 ................................... 71 32 Indikator Kinerja Urusan Perdagangan Pada RPJMD Kota Bogor 2010-2014 Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika ....................................................... 74 33 Indikator Kinerja Urusan Perindustrian Pada RPJMD Kota Bogor 2010-2014 Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika ....................................................... 75 34 Indikator Kinerja Urusan UMKM Pada RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika ....................................................... 76 35 Indikator Kinerja Urusan Pertanian Pada RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika ....................................................... 77
18
36 Rencana Program dan Kegiatan 2011-2012 di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian .............................. 81 37 Produk Unggulan Menurut Instansi (SKPD) di Pemerintahan Kota Bogor.................. 82 38 Sinergi Instansi Pemerintah Kota Bogor Dalam Penyelenggaraan Urusan Pilihan Pemerintahan Menurut Fungsinya .................................................................. 85 39 Perkembangan Jumlah UMKM di Sektor Perdagangan Kota Bogor Tahun 2003-2009 .................................................................................................................. 88 40 Perkembangan Jumlah UMKM di Sektor Perindustrian Kota Bogor Tahun 2007-2009 .................................................................................................................. 89 41 Jumlah UMKM Menurut Produk/Komoditi Yang Dihasilkan Tahun 2009 ................. 90 42 Jumlah Tenaga Kerja Menurut Produk/Komoditi Yang Dihasilkan UMKM Tahun 2009 ................................................................................................................ 91 43 Perkembangan Ekspor Kota Bogor Menurut Produk/Komoditi Tahun 19992009........................................................................................................................... 91 44 Perkembangan Jumlah Produksi Kulit Mentah Kota Bogor Tahun 2007-2009 ............ 92 45 Perkembangan Jumlah Produksi Daging Kota Bogor Tahun 2006-2010 ..................... 93 46 Pohon Industri Produk Berbahan Baku Kulit di Kota Bogor ....................................... 94
19
AKRONIM APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ASSD
Advisory Service Supports For Decentralization
BPKP
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
KADINDA
Kamar Dagang Daerah
KIN
Kebijakan Industri Nasional
LGSP
Local Government Support Program
PAD
Pendapatan Asli Daerah
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto
RAPBN
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
RKPD
Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJP
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
UMKM
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
20
PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ditujukan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat. Berdasarkan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 5, disebutkan bahwa “otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Hal ini berarti bahwa otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam upaya memenuhi kepentingan atau kebutuhan masyarakat daerah baik di bidang ekonomi, sosial maupun sarana dan prasarana pendukung lainnya. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dalam Pasal 6 Ayat 2 menyebutkan bahwa urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan
pemerintah
daerah
(provinsi/kabupaten/kota) adalah terdiri dari urusan wajib (main function) dan urusan pilihan (optional function). Dalam penyelenggaran urusan pemerintahan daerah tersebut, setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi unggulan yang dimiliki daerah. Dalam hal ini daerah dituntut untuk mengeksplorasi
keunggulan
komparatif
yang
dimiliki
untuk
kemudian
dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif. Di era desentralisasi saat ini salah satu masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah kurangnya sinkronisasi dan harmonisasi antara peran dan fungsi pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan. Kondisi tersebut berdampak pada ketidakselarasan pengaturan norma dan standar kewenangan teknis antara pusat dan daerah, sehingga mekanisme pendanaan yang
21
dilaksanakan
berdasarkan
azas
desentralisasi,
dekonsentrasi,
dan
tugas
pembantuan dalam banyak hal masih dilaksanakan secara tumpang tindih (Nota Keuangan dan RAPBN, 2008). Implikasi dari adanya tumpang tindih kewenangan tersebut menyebabkan ketidaksinkronan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi ini kemudian diperkuat dengan adanya pidato Presiden dalam rapat kerja pemerintah di Istana Bogor pada tanggal 21 Februari 2011 yang menyebutkan bahwa “beberapa kepala daerah kerap menghambat jalannya investasi dan pembangunan yang telah diprogramkan pemerintah pusat. Hal ini lebih disebabkan karena kepentingan kepala daerah tidak sesuai dengan program pembangunan pemerintah pusat1”. Masalah yang tidak kalah pentingnya di daerah, selain masalah kurangnya sinkronisasi perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah adalah perencanaan pembangunan dan indikator kinerja penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah, yang belum secara langsung menyentuh pada pembangunan potensi unggulan daerah, dan bahkan masih terjadi ketidaksinkronan perencanaan antar dinas di suatu pemerintahan daerah pada pelaksanaan urusan pilihan tersebut. Salah satunya disebabkan karena belum fokusnya perencanaan pembangunan daerah yang didasarkan pada sektor unggulan daerah. Di tambah lagi, penentuan indikator kinerja yang ada masih lebih berorientasi pada pendekatan output (keluaran), dibandingkan berorientasi pada pendekatan hasil (outcome). Hal ini menjadi salah satu kendala yang menimbulkan penyerapan anggaran publik menjadi tidak terarah dalam penyelenggaraan urusan pilihan, padahal pendapatan yang diperoleh suatu daerah sangat terbatas dan masih tergantung pada dana perimbangan. Kendala tersebut bila tidak segera diatasi dikhawatirkan akan menghambat pembangunan sektor unggulan daerah dan akan semakin memperburuk produktivitas potensi unggulan daerah dalam menghadapi persaingan global. Kota Bogor merupakan salah satu kota penerima dana perimbangan terbesar ke empat pada kelompok daerah kota di Provinsi Jawa Barat setelah Kota Bandung, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Pada tahun 2009, total dana perimbangan yang 1
Media Indonesia. “Editorial: Kemarahan Presiden”. Jumat, 25 Februari 2011.
22
diterima Kota Bogor adalah sebesar Rp 556 Miliar atau mengalami kenaikan sebesar 6,9 persen dibandingkan tahun 2008 dengan dana perimbangan sebesar Rp 520,2 Miliar. Namun, peningkatan dana perimbangan belum diikuti dengan adanya peningkatan dana pendapatan asli daerah (PAD). Misalnya PAD di tahun 2008 adalah sebesar Rp 97,8 Miliar, turun menjadi sebesar Rp 89,2 Miliar di tahun 2009 (BPS Provinsi Jawa Barat, 2007). 800,00
Krisis Moneter Masa Transisi Desentralisasi
100,0 90,0
700,00
80,0 600,00 70,0 500,00
60,0
400,00
50,0 40,0
300,00
30,0 200,00 20,0 100,00
10,0
-
0,0 1998
1999
2000
PAD (Rp M)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
20,51
16,43
14,65
26,79
28,29
41,45
50,64
66,71
69,30
79,82
97,77
89,22
Dana Perimbangan (Rp M)
43,56
63,99
67,12
160,44
185,39
279,36
323,09
330,65
472,79
457,40
520,16
556,00
Total Pendapatan (Rp M)
73,22
91,81
85,05
232,81
245,51
342,02
384,60
421,44
536,01
635,46
718,08
711,73
Porsi Dana Perimbangan Terhadap Total Pendapatan (%)
59,5
69,7
78,9
68,9
75,5
81,7
84,0
78,5
88,2
72,0
72,4
78,1
Porsi PAD Terhadap Total Pendapatan (%)
28,0
17,9
17,2
11,5
11,5
12,1
13,2
15,8
12,9
12,6
13,6
12,5
Catatan: 1998-2000: Dana perimbangan masih disebut “Penerimaan Subsidi Pemerintah Pusat” *APBD (Plan) Sumber: Jawa Barat Dalam AngkaTahun 2000, 2003, 2004, 2005, 2006, 2009, 2010 RPJMD 2010-2014 Kota Bogor. Bab III:3-5
Gambar 1
Perkembangan Realisasi Tahun 1998-2009
Dana
Perimbangan
Kota
Bogor
Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa porsi PAD terhadap total pendapatan daerah relatif menurun selama periode 1998-2009, sedangkan porsi dana perimbangan relatif meningkat selama periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan daerah Kota Bogor mulai dari masa transisi perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, yaitu sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, mulai bergantung kepada sumber pendapatan
baru,
yang
dikenal
dengan
nama
“dana
perimbangan”.
Ketergantungan pemerintah Kota Bogor terhadap dana perimbangan harus diimbangi dengan upaya memanfaatkan dana tersebut bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Kota Bogor.
23
Keterbatasan PAD dan ketergantungan pada dana perimbangan tersebut menuntut pemerintah Kota Bogor untuk menyusun perencanaan pembangunan dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome) yang terukur, tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kualitas layanan kebutuhan dasar publik Kota Bogor saja, melainkan juga pada pengembangan potensi keunggulan daerah baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang yang merupakan bagian dari penyelenggaran urusan pilihan pemerintahan. Kondisi dan kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah pada era desentralisasi saat ini sebagaimana yang telah diuraikan di atas menimbulkan pertanyaan: “Bagaimanakah perencanaan pembangunan yang disusun Pemerintah Kota Bogor dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah”?
1.2.Perumusan Masalah Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 20042009 Kota Bogor adalah “Kota Jasa Yang Nyaman Dengan Masyarakat Madani Dan Pemerintahan Amanah”. Perkembangan sektor pembangunan selama periode 2004-2009 menunjukkan adanya penurunan kontribusi sektor perdagangan sebagai salah satu sektor jasa terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di tahun 2005, kontribusi sektor perdagangan adalah sebesar 36,2 persen dari total PDRB (sebesar Rp 6.181,9 miliar), mengalami penurunan kontribusi menjadi sebesar 31,3 persen dari total PDRB (sebesar Rp 11.904,6 miliar) di tahun 2009. Hal yang sama juga terjadi pada sektor jasa konstruksi, kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kota Bogor mengalami penurunan. Sektor jasa yang mengalami peningkatan setiap tahun selama periode 2004-2009 dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB adalah sektor hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa keuangan selain bank.
24
Kontribusi per sektor (%)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 2005
2006
2007
2008
Pertanian
0.29
0.26
0.24
0.22
2009* 0.20
Industri Pengolahan
23.6
24.13
24.69
25.1
25.57
Listrik, Gas dan Air Bersih
2.33
2.26
2.19
2.13
2.06
Konstruksi
6.35
6.34
5.91
5.7
5.49
36.19
35.07
33.89
32.69
31.27
5.75
6.01
6.25
6.51
6.77
10.35
11.24
12.2
13.27
14.45
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
9.99
10.05
10.09
10.15
10.22
Jasa-Jasa Lain (Pemerintah dan swasta)
5.15
4.83
4.52
4.23
3.97
Perdagangan Hotel dan Restaurant Pengangkutan dan Komunikasi
*angka sementara Sumber: BPS Kota Bogor, 2010
Gambar 2 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005 – 2009
Penurunan kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB Kota Bogor yang terjadi selama periode 2004-2009 mengindikasikan bahwa indikator kinerja yang tertuang
dalam
penyelenggaraan
RPJMD urusan
2004-2009 pilihan
belum
pemerintahan
mampu dalam
mengukur
kinerja
mencapai
tujuan
pembangunan Kota Bogor. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2010-2014, menetapkan bahwa visi pembangunan adalah Kota
Bogor
sebagai “Kota
Perdagangan
dengan
Sumberdaya Manusia Produktif dan Pelayanan Prima”. Penentuan sektor perdagangan sebagai sektor prioritas pada periode 2010-2014 oleh pemerintah Kota Bogor cukup beralasan. Pertama, kondisi mata pencaharian penduduk Kota Bogor sebagian besar adalah bekerja di sektor perdagangan dan sektor jasa lainnya, misalnya di sektor restoran dan perhotelan. Di tahun 2009, jumlah penduduk Kota Bogor usia 10 tahun ke atas yang bekerja di sektor perdagangan adalah sebanyak 29,1 persen; dan 31,2 persen bekerja di sekor jasa lainnya seperti sub-sektor perhotelan dan restaurant, serta transportasi. Di sektor pertanian,
25
jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja pada sektor tersebut hanya sebanyak 2,7 persen (lihat Gambar 3 di bawah). Pertanian, 2.7% Industri, Lainnya, 15.8% 21.2%
Jasa, 31.2%
Perdagangan, 29.1%
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Gambar 3 Penduduk 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Bogor Tahun 2009 Kedua, PDRB sektor perdagangan mendominasi pembangunan perekonomian kota Bogor. Di tahun 1993, PDRB sektor perdagangan adalah sebesar Rp 196,2 miliar, meningkat menjadi sebesar Rp 3.722,6 miliar pada tahun 2009. Pertanyaan yang timbul berdasarkan pengalaman pembangunan selama periode 2004-2009, terutama terkait dengan adanya penurunan kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB adalah “Sejauhmanakah indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor dapat mengukur pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor sebagai kota perdagangan?” Sistem desentralisasi Indonesia menitikberatkan pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan prinsip efisiensi. Namun pada kenyataannya, sistem tersebut berimplikasi pada membesarnya struktur organisasi pemerintahan di tingkat kabupaten/kota. Misalnya di tahun 1999, jumlah lembaga pemerintahan Kota Bogor adalah sebanyak 22 lembaga mencakup 16 dinas, 1 badan, dan 5 kantor. Sedangkan di tahun 2011, jumlah lembaga pemerintahan meningkat menjadi 24 lembaga, terdiri dari 11 dinas, 6 Badan, dan 7 Kantor2.
2
www.kotabogor.go.id. 3/2/2011
26
Peningkatan jumlah organisasi pada pemerintahan Kota Bogor, berimplikasi pada meningkatnya jumlah pegawai dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 2005, jumlah pegawai adalah sebanyak 6.903 orang, meningkat pesat menjadi sebanyak 9.680 pegawai di tahun 20093. Peningkatan jumlah pegawai yang tidak berbasis kompetensi dan kebutuhan, pada akhirnya berdampak pada peningkatan alokasi pengeluaran publik di sektor pemerintahan. Pada aspek anggaran belanja Kota Bogor, alokasi pengeluaran publik untuk sektor pemerintahan umum masih lebih besar dibandingkan sektor pembangunan lainnya, walaupun porsi pengeluaran publik disektor administrasi tersebut masih dibawah 30 persen dari total APBD Kota Bogor. Pada tahun 2010 porsi alokasi pengeluaran publik untuk sektor ini mengalami penurunan menjadi sebesar 28,8 persen atau sebesar Rp 274,4 miliar dari total alokasi belanja Kota Bogor, yang sebelumnya di tahun 2008 dialokasikan sebesar 39,7 persen atau sebesar Rp 297,5 miliar. Di sektor perdagangan yang menjadi sektor unggulan Kota Bogor sesuai visi pemerintah kota dalam RPJMD 2010-2014, menunjukkan adanya penurunan alokasi pengeluaran publik untuk sektor ini. Gambar 4 di bawah menunjukkan bahwa porsi alokasi pengeluaran publik untuk sektor perdagangan adalah sebesar 1,7 persen dari total anggaran pengeluaran publik yang besarnya adalah Rp 749,9 miliar di tahun 2008. Pada tahun 2010, porsi pengeluaran publik untuk sektor ini mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 1,3 persen dari total anggaran pengeluaran publik yang besarnya Rp 952,8 miliar. Pemerintahan Umum Pendidikan Infrastruktur Kesehatan Transportasi Kesatuan Bangsa dan Politik 1.3 Perindustrian dan Perdagangan 1.6 1.7 Perencanaan Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Lingkungan Hidup 0.5 Pertanian 0.6 0.8 Sosial dan Tenaga Kerja kependudukan Kearsipan Penanaman Modal Pariwisata Sumber: Dinas Pendapatan Kota Ketahanan Pangan
-
5.0
28.8
2010
Bogor, 2011 10.0
39.7
27.7
20.9
10.7
33.2
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
2009
2008
40.0
Gambar 4 Persentase Distribusi Alokasi Alokasi Pengeluaran Publik Pengeluaran Publik (%) Kota Bogor Tahun 2008-2010 3
www.kotabogor.go.id. 3/2/2011
27
45.0
Kebijakan alokasi pengeluaran publik tersebut di atas pada kenyataannya, berdampak pada menurunnya kontribusi sektor perdagangan terhadap peningkatan perekonomian daerah.
Untuk itu, dalam rangka mengantisipasi keterbatasan
anggaran dan untuk mencapai tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor sebagai kota perdagangan yang tertuang dalam RPJMD 2010-2014, maka sinergi perencanaan antar instansi (yaitu sinergi perencanaan secara horisontal) merupakan syarat mutlak yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bogor. Pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor tersebut tidak hanya dapat dibebankan pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan saja, melainkan secara terintegrasi menjadi tanggungjawab dari instansi-instansi pemerintahan lainnya, misalnya Dinas Pertanian dan Kantor Koperasi dan UMKM. Pertanyaan yang timbul adalah “Bagaimanakah sinergi perencanaan pemerintah Kota Bogor pada urusan perdagangan, industri, pertanian, dan UMKM dalam rangka pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor?” Tantangan utama bagi pembangunan daerah saat ini bukan lagi terkait dengan isu besaran dana perimbangan kepada daerah tetapi bagaimana memastikan agar daerah menggunakan dana perimbangan tersebut dan PAD-nya untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat kota secara efisien dan efektif4. Selama periode 2004-2010, pemerintah Kota Bogor telah melakukan kebijakan defisit anggaran melalui peningkatkan anggaran belanja (pengeluaran publik) yang lebih besar dari pendapatan daerah tersebut. Pada tahun 2004, defisit anggaran adalah sebesar Rp 11,3 Miliar, meningkat menjadi sebesar Rp 164,9 Miliar di tahun 2010 (lihat Gambar 5). Untuk itu, agar kebijakan defisit anggaran yang dilakukan pemerintah Kota Bogor tepat guna, anggaran belanja yang ada harus digunakan untuk mendorong peningkatan perekonomian daerah yang berkelanjutan.
4
Efektif adalah penggunaan dana harus mencapai target atau tujuan kepentingan publik, sedangkan efisien adalah penggunaan dana harus dapat menghasilkan output yang maksimal
28
-
Defisit (Rp000)
(50,000,000) (100,000,000)
(150,000,000) (200,000,000) (250,000,000)
Surplus/Defisit (Rp 000)
2004
2006
2009
2010
(11,301,640)
(205,603,371)
(106,696,000)
(164,946,230)
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 2004-2007 Angka Sementara Tahun 2009-20105
Gambar 5 Perkembangan Defisit Anggaran Kota Bogor Tahun 2004-2010 Salah satu upaya untuk meningkatkan pembangunan daerah adalah melalui pengembangan produk unggulan daerah di sektor pertanian, industri dan perdagangan, sehingga produktivitas unggulan daerah menjadi lebih baik dan pada akhirnya mampu meningkatkan perekonomian daerah. Untuk itu, pemerintah Kota Bogor dalam menyelenggarakan urusan pilihan pemerintahan dengan maksud untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerahnya harus melakukan sinergi perencanaan yang terkait di sektor perdagangan, industri, pertanian dan UMKM. Berkaitan dengan hal tersebut, “Upaya apa yang harus dilakukan pemerintah kota Bogor agar perencanaan pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian bersinergi?
1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menganalisa
indikator
kinerja
dalam
RPJMD
2010-2014
pada
penyelenggaraan urusan perdagangan, industri, pertanian dan UMKM dalam rangka pencapaian tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor . 2. Menganalisa sinergi perencanaan antar instansi pada urusan perdagangan dan industri, pertanian serta UMKM dalam rangka pencapaian tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor 2010-2014.
5
http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/72/. 20/4/2011
29
3. Merekomendasikan strategi alternatif bagi Pemerintah Kota Bogor dalam meningkatkan sinergi perencanaan pada urusan perdagangan dan industri, pertanian serta UMKM.
1.4.Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Kegunaan praktis – penelitian ini dapat menghasilkan implikasi yang lebih bernilai untuk para pembuat kebijakan dalam memecahkan permasalahan perekonomian daerah dalam bidang pengelolaan pengeluaran publik dan kebijakan publik berkaitan dengan adanya penyelenggaraan urusan pilihan di tingkat pemerintahan daerah. 2. Kegunaan akademis – sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.
1.5.Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian ini adalah: 1. Kesulitan untuk mewawancarai Kepala Dinas dan Kepala Bidang di masing-masing instansi yang menjadi sampel penelitian, sebagian besar wawancara didelegasikan ke SDM aparatur pelaksana. 2. Cakupan penelitian yang hanya berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan di sektor perdagangan, perindustrian, UMKM, dan pertanian. 3. Identifikasi penentuan produk unggulan untuk pengembangan sinergi perencanaan dalam penelitian ini hanya sebatas pada hasil wawancara dengan stakeholder di pemerintahan dan ketersediaan data sekunder dari BPS, belum didukung dengan ketersediaan data primer di tingkat UMK (Usaha Mikro dan Kecil). 4. Rancangan program yang direkomendasikan belum melalui tahapan analisa yang mendalam baik dengan pendekatan FGD, analisa AHP, maupun analisa SWOT dengan pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemerintah Kota Bogor.
30
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Desentralisasi dan Implementasinya Sistem desentralisasi pada pemerintahan di suatu negara merupakan wujud pencerminan demokratisasi di negara tersebut. Menurut Arzaghi dan Henderson (2004), sistem desentralisasi berbanding lurus dengan perkembangan kondisi demokratisasi suatu negara. Hal ini berarti bahwa semakin terdesentralisasi kebijakan fiskal suatu sistem pemerintahan akan semakin tumbuh demokratisasi di negara tersebut. Di Indonesia, sistem desentralisasi diatur dalam UndangUndang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 Ayat 7 dalam undang-undang ini disebutkan bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan definisi daerah otonom menurut undang-undang ini
dalam Pasal 1 Ayat 6 adalah “daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Oates dalam Arzaghi dan Henderson (2004), faktor yang mempengaruhi terjadinya desentralisasi di suatu negara adalah: Pertama, pendapatan per kapita dan pengeluaran publik yang naik secara tidak proporsional, sehingga menimbulkan tekanan adanya desentralisasi fiskal. Kedua, ukuran negara, dalam hal ini semakin besar/luas suatu negara, pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah pusat semakin terbatas, karena biaya transportasi lebih tinggi, keterbatasan informasi, dan kekurangan perhatian dari pusat ke daerah terutama daerah pedalaman terkait tuntutan dengan latar belakang etnis yang berbeda dan preferensi, menimbulkan tekanan adanya desentralisasi fiskal. Menurut Oates, pemerintahan yang memiliki kontrol geografis yang paling terjangkau publik adalah yang paling efisien dalam menyelenggarakan pelayanan publik, karena:
31
1.
Pemerintah
daerah
tersebut
yang
paling
memahami
kebutuhan
masyarakatnya; 2.
Keputusan pemerintah daerah tersebut yang paling responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;
3.
Mengurangi tumpangtindih kewenangan;
4.
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan inovasinya. Di era desentralisasi saat ini, realisasi penyelenggaraan pelayanan publik
oleh pemerintah daerah yang ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat daerah, masih dalam proses perbaikan secara bertahap. Penyusunan perencanaan dan implementasi program layanan publik bagi masyarakat lebih banyak dibebankan pada peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dibandingkan pada peran pemerintah berdasarkan struktur pemerintahan yang ada, terutama di tingkat kecamatan dan desa. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi pada alokasi pembiayaan pembangunan yang lebih besar di SKPD dibandingkan pada pemerintahan ditingkat kecamatan dan desa di daerah tersebut, padahal pemerintahan di tingkat tersebut yang paling mengetahui kebutuhan akan masyarakat diwilayahnya. Di instansi pemerintahan daerah (SKPD), alokasi pengeluaran publik masih lebih banyak untuk belanja tidak langsung, terutama belanja pegawai, dibandingkan untuk belanja langsung yang ditujukan bagi pembiayaan pembangunan daerah. Dana anggaran belanja pemerintah daerah ditetapkan lebih besar dibandingkan pendapatannya, sehingga menyebabkan defisit anggaran pada pemerintahan daerah tersebut. Padahal bila dilihat dari peruntukannya di atas menunjukkan bahwa pengeluaran publik yang dilakukan pemerintah daerah belum secara efisien dan efektif digunakan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pembangunan ekonomi daerah.
32
2.2. Urusan Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 13 dan 14; serta Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam Pasal 7 Ayat 2 dan 4, telah mengatur pembagian urusan wajib dan pilihan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tabel 1 menunjukkan bahwa urusan pemerintahan wajib dan pilihan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota relatif sama, yang membedakannya adalah pemerintah provinsi memiliki fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penjelasan
Peraturan
Pemerintah
No.
38
Tahun 2007
menyebutkan bahwa secara proporsional pembagian urusan antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan: 1.
Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan pemerintah pusat.
2.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Akuntabilitas dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak yang timbul dari penyelenggaraan urusan pemerintahan. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal (satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah
33
kabupaten/kota
bertanggungjawab
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang bersangkutan
bertanggung
jawab
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan tersebut; dan apabila dampak penyelenggaraan urusan pemerintahan dialami lebih dari satu provinsi dan/atau bersifat nasional maka pemerintah pusat bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dimaksud. 3.
Efisiensi
adalah
memperhatikan
kriteria daya
pembagian
guna
tertinggi
urusan yang
pemerintahan dapat
dengan
diperoleh
dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan agar sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani
pemerintahan
daerah
provinsi,
maka
diserahkan
kepada
pemerintahan daerah provinsi. Sebaliknya apabila suatu urusan pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani pemerintah pusat maka akan tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Namun,
mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah,
34
maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan (lihat Tabel 1). Tabel 1 Pembagian Urusan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Urusan
Provinsi
Kabupaten/Kota
Urusan
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan 16. Urusan wajib lainnya.
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan; 7. penanggulangan masalah sosial; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Meliputi: 1. kelautan dan perikanan; 2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; dan 8. ketransmigrasian.
Urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Meliputi: 1. kelautan dan perikanan; 2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; dan 8. ketransmigrasian.
Wajib
Urusan Pilihan
Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No.38 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 2 dan 4
35
Sistem desentralisasi berdasarkan struktur pemerintahan di daerah hanya ditetapkan pada tingkat pemerintahan daerah kabupaten/kota. Bila didasarkan pada definisi daerah otonom menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 pada Pasal 1 Ayat 6 yang menyebutkan bahwa “daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pernyataan di atas mengindikasikan
bahwa
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota
merupakan
pemerintahan yang paling dekat dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat-nya melalui penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan.
2.3. Konsep dan Proses Perencanaan Pembangunan Perencanaan merupakan salah satu dari empat fungsi manajemen yang saling terkait satu sama lain. Kesalahan dalam penyusunan perencanaan pembangunan akan berdampak pada kesalahan dalam mengimplementasikan perencanaan tersebut dan pada akhirnya menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan pengeluaran publik. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evalusi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dalam Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Sedangkan Tjokroamidjojo (1995) menyebutkan
bahwa perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan maksimal (maximum output) dengan penggunaan sumber-sumber yang ada secara lebih efisien dan efektif. Terdapat 5 (lima) hal pokok yang perlu diketahui dalam perencanaan ataupun perencanaan pembangunan, yaitu: 1.
Permasalahan-permasalahan pembangunan suatu negara/masyarakat yang dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan, dalam hal ini sumber-sumber daya ekonomi dan sumber-sumber daya lainnya.
2.
Tujuan serta sasaran yang ingin dicapai. 36
3.
Kebijaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik.
4.
Penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha yang konkrit.
5.
Jangka waktu pencapaian tujuan.
Menurut Wiroatmodjo (2001), perencanaan memiliki kedudukan penting di dalam pembangunan daerah. Perencanaan yang baik menjadikan kegiatan pembangunan daerah: 1.
Dilaksanakan secara sistematis, terarah sesuai dengan tujuan pembangunan dan berkelanjutan.
2.
Lebih efisien di dalam penggunaan dana, tenaga dan sumberdaya yang lain pada setiap kegiatan.
3.
Lebih tepat guna bagi peningkatan kesejahteraan daerah dan pemeliharaan lingkungan serta sumber daya yang lain untuk tetap mendukung kesejahteraan.
4.
Memiliki dasar-dasar untuk pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan.
5.
Memiliki sarana untuk mencatat dan menilai pelaksanaan dan manfaat kegiatan pembangunan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pembangunan yang sistematis, terarah, terpadu dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif wilayah dan kemampuan sumberdaya keuangan daerah. Beberapa dokumen perencanaan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut untuk segera disusun dalam rangka menyelenggarakan pembangunan daerahnya, mencakup: (i) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), (ii) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD);
37
(iii) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra- SKPD), (iv) Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan (v) Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun yang mencakup visi, misi dan arah pembangunan jangka panjang daerah yang mengacu pada RPJP Provinsi dan PRJP Nasional. Sedangkan RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode lima tahun yang meliputi penjabaran visi, misi, dan program kerja kepala daerah selama lima tahun masa jabatannya (Berita Daerah Kota Bogor, 2009). Secara detail alur proses penyusunan perencanaan dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah.
UU No. 25 Tahun 2004
UU No. 17 Tahun 2003
Sumber: Hariyoga, 2010
Gambar 6 Alur Proses Penyusunan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah
38
2.4. Konsep Sinergi Perencanaan Sinergi berasal dari kata yunani yang berarti “synergos”, yaitu bekerja bersamasama dalam rangka untuk mencapai tujuan secara maksimal. Hal ini berarti, antar organisasi dalam suatu komunitas harus mempunyai perasaan harmoni dengan pihak lainnya sehingga memungkinkan untuk bekerja secara bersama-sama dalam menghadapi perubahan lingkungan dimana energi yang dipakai bersifat efisien. Syarat utama terciptanya sinergi adalah: kepercayaan, komunikasi yang efektif, feedback yang cepat, dan kreatifitas. Empat syarat tersebut, menjadi ciri gaya manajemen sinergi6. Menurut Penrose dalam Iversen (1997), menyebutkan bahwa sinergi adalah kerjasama khususnya dalam berbagi (sharing) manajerial sumber daya, yang membawa akibat pada dua hal, yaitu pengurangan pengelolaan sumberdaya secara sendiri-sendiri dan adanya transfer kelebihan (transfer of excess) sumber daya, dalam hal ini berkaitan dengan upaya untuk mendorong efisiensi alokasi sumberdaya. Pendapat dari Penrose tersebut, kemudian dipertegas oleh Porter dalam Iversen (1997) yang menyebutkan bahwa “sharing” dalam konteks sinergi berpotensi untuk mengurangi biaya, bila biaya dari suatu kegiatan berkaitan dengan dua hal, yaitu skala ekonomi dan kapabilitas pemanfaatannya. Menurut Covey (2008), salah satu dari 7 kebiasaan yang efektif adalah “mewujudkan sinergi”. Sinergi adalah hasil dari sikap saling menghargai — sikap memahami dan bahkan memanfaatkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam mengatasi masalah, memanfaatkan peluang. Sinergi lebih dari sekedar kompromi atau kerjasama. Bila diartikan bahwa kompromi adalah 1 + 1 = 1½, kerjasama adalah 1 + 1 = 2, maka sinergi adalah 1 + 1 = 3 atau lebih. Sinergi adalah kerjasama yang kreatif, yang hasilnya lebih besar daripada bila dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh suatu organisasi. Sedangkan menurut Prahalad dalam Kersanah (2004) menyebutkan bahwa hasil dari sinergi adalah peningkatan nilai tambah ekonomis melalui penggabungan berbagai potensi ekonomi yang antara satu dengan lainnya ada keterkaitan atau ketergantungan. Selain itu menurut Prahalad, sinergi merupakan suatu fenomena dengan sebuah program atau produk 6
http://id.shvoong.com/business-management/management/1658535-sinergi-style-management/. 10/8/2011.
39
yang hanya dapat dibangun oleh dua atau lebih kapabilitas. Program atau produk tersebut tidak dapat terbangun bila hanya mengandalkan pada masing-masing kapabilitas saja. Menurut Goold dan Chambel dalam Kersanah (2004), terdapat tiga gaya sinergi manajerial, yaitu: 1.
Gaya kontrol finansial dengan pendekatan portofolio bertujuan untuk mendorong melakukan inovasi secara terus menerus dalam rangka upaya untuk mengurangi biaya secara keseluruhan, dan efisiensi. Gaya sinergi ini memiliki ciri-ciri antara lain adalah: (i) ketat mengontrol finansial walaupun memiliki level yang rendah pada perencanaan di masing-masing unit kerja atau usaha, (ii) dalam jangka pendek mensyaratkan pencapaian keuntungan tertentu; (iii) mengontrol keuangan dengan derajat pengawasan yang tinggi. Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat dinyatakan bahwa strategi sinergi dengan pendekatan finansial adalah mengutamakan keseimbangan portofolio.
2.
Gaya kontrol strategi dengan pendekatan jejaring dimaksudkan untuk membantu dalam melakukan tahapan kegiatan inovasi. Gaya sinergi ini memiliki ciri-ciri antara lain adalah: (i) aktif terlibat dalam menyusun perencanaan pada masing-masing unit kerja atau usaha; (ii) fleksibel memberi kesempatan pada masing-masing unit usaha untuk membangun strategi secara mandiri; (iii) aturan yang berasal dari organisasi dibangun berdasarkan perencanaan dari masing-masing unit kerja atau usaha; (4) ketat dalam mengontrol hasil dari kegiatan sinergi.
3.
Gaya strategi perencanaan dengan pendekatan kompetensi inti adalah dimaksudkan untuk mendorong tahapan kegiatan inovasi melalui pencarian (scanning) potensi
inovasi,
pengembangan
potensi tersebut dengan
membangun strategi sampai pada tahap implementasinya. Cara yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan kompetensi yang berbeda-beda dari masing-masing unit kerja yang memiliki keterkaitan kuat. Hasil integrasi tersebut membangun kompetensi inti organisasi yang pada akhirnya membangun produk-produk inti yang inovatif dan berkembang menjadi usaha-usaha unggulan. Tipe gaya ini memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu (i) keterlibatan manajemen di level pengambil keputusan dalam membangun
40
strategi di masing-masing unit kerja; (ii) secara teratur mereview setiap perencanaan; (iii) koordinasi antar unit kerja atau usaha; (iv) proses kooperatif; dan (v) perencanaan yang fleksibel. Menurut Millan dalam Kersanah (2004), kompetensi inti memiliki beberapa karakter inovasi, yaitu: (i) diperlukan untuk kelangsungan pembangunan dari organisasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang; (ii) merupakan hasil sinergi dari keahlian, sumberdaya, dan fungsi organisasi yang berbeda, (iii) lebih terintegrasi dibandingkan bila dibangun oleh hanya satu unit kerja saja; (iv) digunakan untuk mengembangkan strategi implementasi dalam membangun produk inti; (v) mampu membantu dalam memilih strategi organisasi yang tepat; (vi) memenuhi keinginan pasar. Menurut peneliti dalam konteks pembangunan daerah, karakter inovasi dari pendekatan kompetensi inti yang terkait dengan pengembangan produk inti adalah bermanfaat untuk menjembatani antara kebutuhan sektor swasta dan perencanaan pembangunan yang disusun oleh pemerintah daerah. Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN) telah mengamanatkan bahwa strategi operasional pembangunan daya saing industri yang berkelanjutan terdiri dari 2 (dua) pendekatan dalam perencanaan pembangunan industri, yaitu pertama, pendekatan top down (by design) ditentukan secara nasional yaitu 35 industri prioritas dengan pendekatan klaster. Kedua, melalui pendekatan perencanaan secara bottom up yaitu melalui penetapan kompetensi inti yang didasarkan potensi yang dimiliki daerah dan merupakan keunggulan daerah sehingga daerah memiliki daya saing. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b pada Perpres tersebut menyebutkan bahwa: “a. Pemerintah Provinsi menyusun peta panduan pengembangan industri unggulan provinsi; dan b. Pemerintah Kabupaten Kota menyusun peta panduan pengembangan kompetensi inti industri kabupaten/kota”. Peraturan Presiden di atas,
sayangnya
hanya
difokuskan
untuk
pengembangan
perencanaan
pembangunan industri, padahal perencanaan pembangunan yang berbasis kompetensi inti lebih bersifat lintas sektoral. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal 33 Ayat 1 menyebutkan bahwa Rencana Kerja Pemerintah 41
Daerah (RKPD) yang disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
Namun, dalam
peraturan pemerintah tersebut dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional belum secara jelas mengatur keterkaitan (sinergi) perencanaan pembangunan antar instansi pemerintah daerah. Sehingga menyebabkan masing-masing instansi daerah menyusun Renstra SKPD maupun Renja-nya menurut kepentingan masing-masing tanpa mengedepankan perencanaan permbangunan daerah yang berkelanjutan. Menurut peneliti, Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah perencanaan yang mengedepankan sinergi atau keterkaitan antar perencanaan di instansi pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan produktivitas sumberdaya unggulan yang dimiliki daerah.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, hanya
secara jelas mengatur keterkaitan perencanaan pembangunan secara vertikal, namun belum mengatur keterkaitan atau sinergi perencanaan pembangunan secara horisontal antar instansi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pada proses penganggaran, masing-masing instansi dengan argumentasi yang telah disiapkan tanpa mengedepankan prinsip sinergi dan efisiensi, berusaha untuk memperjuangkan perencanaannya agar disetujui untuk didanai lebih besar sesuai keinginannya. Namun pada kenyataannya setelah disetujui, dana yang sudah dianggarkan pada instansi tersebut tidak terserap secara optimal, dan yang mengkhawatirkan adalah indikator kinerjanya pun tidak tercapai. Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2011 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2012 dalam Bab IX menunjukkan bahwa sinergi perencanaan yang diarahkan pemerintah hanya difokuskan pada sinergi antara pusat dan daerah, dan antar daerah pada seluruh proses, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi yang mencakup: (i) sinergi kerangka perencanaan kebijakan, (ii) sinergi dalam regulasi, (iii) sinergi dalam kerangka anggaran, sinergi kerangka kelembagaan, dan (iv) sinergi dalam kerangka pengembangan wilayah. Selain itu, dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 050/200/II/Bangda/2008
Tentang
Pedoman
Penyusunan
Rencana
Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD), juga hanya mengatur bahwa sinergi perencanaan RKPD harus memuat hal-hal sebagai berikut: (i) sinergi antara RKP dan RENJA
42
K/L; (ii) konsistensi antara RPJMD dan RPJPD; (iii) sinergi dengan RTRWD; (iv) penanganan masalah dengan pendekatan holistik dan pendekatan sistem; dan (v) sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan-tujuan pembangunan global seperti Millenium Development Goals (MDGs), Sustainable Development, pemenuhan Hak Asasi Manusia, pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM). Sinergi perencanaan antar unit-unit kerja (SKPD) dalam organisasi pemerintahan belum diatur secara jelas baik dalam undang-undang perencanaan yang ada maupun dalam peraturan turunannya, sehingga perencanaan pembangunan daerah di masing-masing unit kerja (SKPD) belum bersinergi secara memadai.
2.5. Pengukuran Kinerja Pengertian kinerja dalam organisasi adalah jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan7. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal 1 Ayat 35 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Menurut Kane and Johnson dalam Solihin (2008), kinerja adalah hasil (outcome) dari kerja keras organisasi dalam mewujudkan tujuan strategi yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Sependapat dengan pernyataan di atas dan ditegaskan oleh Poister (2003) bahwa keluaran (output) merupakan implikasi dari kegiatan yang dilakukan, sedangkan hasil (outcome) adalah perolehan yang timbul dari output yang ada untuk menunjukkan efektifitas dari program yang dilaksanakan tersebut, dengan kata lain outcome digunakan untuk mengukur keberhasilan dari pelaksanaan program. Dalam hal ini, indikator outcome merupakan data atau informasi yang sangat diperlukan untuk mengukur kinerja dari suatu organisasi. Manfaat pengukuran kinerja adalah sebagai bahan informasi bagi pengambil keputusan dan pembuat kebijakan dalam rangka memperbaiki 7
http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja. 5/3/2011.
43
kinerjanya dengan harapan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dalam Pasal 1 Ayat 23 dan 24 menyebutkan bahwa keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan, sedangkan hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Ketentuan umum dalam Peraturan pemerintah ini belum secara jelas mengatur bahwa outcome adalah untuk menilai pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Perencanaan kinerja adalah aktivitas analisis dan pengambilan keputusan ke depan untuk menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan di masa mendatang. Pada prinsipnya perencanaan kinerja merupakan penetapan tingkat capaian kinerja yang dinyatakan dengan ukuran kinerja atau indikator kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan. Perencanaan merupakan komponen kunci untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah daerah. Sedangkan perencanaan kinerja membantu pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah diidentifikasikan dalam rencana strategi, termasuk didalamnya pembuatan target kinerja dengan menggunakan ukuran-ukuran kinerja (BPKP, 2005). Dalam hal ini, pengukuran kinerja tidak dapat dilepaskan dari suatu indikator. Menurut Green dalam Solihin (2008), indikator adalah variabel-variabel yang mengindikasikan atau memberi petunjuk tentang suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan. Indikator kinerja merupakan suatu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengindikasikan pencapaian suatu sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan menggunakan ukuran kualitatif dan kuantitatif. Menurut Solihin (2008), jenis-jenis indikator kinerja yang sesuai dengan proses pengelolaan anggaran, mencakup: indikator masukan, (input), indikator proses, indikator keluaran (output), indikator hasil (outcome), indikator manfaat (benefit), dan indikator dampak (impact). Sedangkan dalam
44
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 2009 Tentang Tatacara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Ayat 10 menyebutkan bahwa “indikator kinerja adalah alat ukur spesifik secara kuantitatif yang terdiri dari unsur masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu kegiatan”. Menurut BPKP (2005), jenis-jenis indikator kinerja antara lain adalah: 1. Masukan (input), yaitu sumber daya yang digunakan untuk memberikan pelayanan pemerintah. Indikator masukan meliputi biaya personil, biaya operasional, biaya modal, dan lain-lain yang secara total dituangkan dalam belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Ukuran masukan ini berguna dalam rangka memonitor jumlah sumber daya
yang
digunakan
untuk
mengembangkan,
memelihara
dan
mendistribusikan produk, kegiatan dan atau pelayanan. 2. Keluaran (output), yaitu Produk dari suatu aktivitas/kegiatan yang dihasilkan satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan Indikator keluaran dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya (tolok ukur) dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Karenanya, indikator keluaran harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit organisasi yang bersangkutan. Indikator keluaran (ouput) digunakan untuk memonitor seberapa banyak yang dapat dihasilkan atau disediakan. Indikator tersebut diidentifikasikan dengan banyaknya satuan hasil, produk-produk, tindakan-tindakan. 3. Efisiensi. Ukuran efisiensi biaya berkaitan dengan biaya pada setiap kegiatan/aktivitas, dan menjadi alat dalam membuat ASB (analisa standar biaya) serta menentukan standar biayanya. Ukuran efisiensi merupakan fungsi dari biaya satuan (unit cost) yang membutuhkan alat pembanding dalam mengukurnya. Indikator ini berguna untuk memonitor hubungan antara jumlah yang diproduksi dengan sumber daya yang digunakan. Ukuran efisiensi menunjukkan perbandingan input dan output dan sering diekspresikan dengan rasio atau perbandingan. Mengukur efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu biaya yang dikeluarkan per satuan produk (input ke output) atau produk yang dihasilkan per satuan sumber daya (output ke input). Sedangkan sisi lainnya,
45
efisiensi dapat dipandang sebagai produktivitas sumber daya tersebut dalam satuan waktu/unit. 4. Kualitas. Ukuran kualitas digunakan untuk menentukan apakah harapan konsumen sudah dipenuhi. Bentuk harapan tersebut dapat diklasifikasikan dengan: akurasi, memenuhi aturan yang ditentukan, ketepatan waktu, dan kenyamanan. Harapan itu sendiri hasil dari umpan balik lingkungan internal dan eksternal. Perbandingan antara input-output sering digunakan untuk menciptakan ukuran kualitas dan mengidentifikasikan aspek yang pasti perihal pelayanan, produk dan aktivitas yang diproduksi unit kerja yang diperlukan masyarakat. Perbandingan antara output yang spesifik dengan keseluruhan output menciptakan ukuran akurasi, ketepatan waktu, dan aturan tambahan yang diperlukan. 5. Hasil (outcome), Indikator ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran (output) suatu kegiatan. Pengukuran indikator hasil seringkali rancu dengan pengukuran indikator output. Sebagai contoh penghitungan “jumlah bibit unggul” yang dihasilkan dari suatu kegiatan merupakan tolok ukur keluaran (output), namun penghitungan “besar produksi per ha” merupakan tolok ukur hasil (outcome). Indikator hasil (outcome) merupakan ukuran kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Pencapaian sasaran dapat ditentukan dalam satu tahun anggaran, beberapa tahun anggaran, atau periode pemerintahan. Ukuran hasil (outcome) digunakan untuk menentukan seberapa jauh tujuan dari setiap fungsi utama, yang dicapai dari output suatu aktivitas (produk atau jasa pelayanan), telah memenuhi keinginan masyarakat yang dituju. Menurut peneliti, terdapat adanya kesalahan dalam menginterpretasikan indikator kinerja di lingkungan pemerintahan, sehingga menyebabkan penyusunan rencana strategi pembangunan yang ada, terutama di daerah masih memfokuskan pada indikator kinerja pemerintahan yang berorientasi output. Selain itu, jenis-jenis indikator kinerja yang dimaksud oleh pemerintah mempersempit pemahaman dalam menentukan/menyusun indikator kinerja, yaitu untuk mengukur indikator kinerja dapat dilakukan dengan hanya didasarkan pada hubungan input-output yang terkait dengan aspek keuangan, padahal indikator kinerja mempunyai
46
pengertian yang lebih berorentasi pada pengukuran hasil (outcome based). Penjelasan Peraturan Pemerintah No.39 Tahun 2006 menyebutkan bahwa perencanaan yang transparan dan akuntabel harus disertai dengan penyusunan indikator kinerja pelaksanaan rencana yang sekurang-kurangnya meliputi: (i) indikator masukan, (ii) indikator keluaran, dan (iii) indikator hasil/manfaat. Dalam hal ini, bila indikator kinerja dalam perencanaan tidak memenuhi minimal ketiga persyaratan di atas, berarti perencanaan yang ada belum transparan dan akuntabel. Menurut hasil studi pada program LGSP (2009: 3) menyebutkan bahwa “penerapan penyusunan indikator kinerja, selama ini cenderung dipersepsikan hanya pada proses penyusunan anggaran, sehingga dikenal model anggaran berbasis kinerja. Salah kaprah ini harus diluruskan bahwasanya anggaran berbasis kinerja hanyalah subsistem dalam penerapan manajemen kinerja yang diletakkan pada seluruh proses kebijakan publik di pusat maupun di daerah, sejak proses formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, tahapan evaluasi dan monitoring hingga pelaksanaan pelaporan”. Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah (BPKP, 2005).
Sedangkan menurut Poister (2003), pengukuran kinerja adalah
dimaksudkan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini informasi yang relevan terkait hasil pengukuran kinerja terhadap pelaksanaan program organisasi sangat diperlukan untuk memperkuat manajemen dan pengambilan keputusan, dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan, dan meningkatkan akuntabilitas. Menurut Parker (1993) menyebutkan bahwa terdapat lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu: (1) Meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2) meningkatkan akuntabilitas internal, (3) meningkatkan akuntabilitas publik, (4) mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan, dan (5) memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan
sumber
daya
secara
efektif.
Berdasarkan
uraian
di
atas
mengindikasikan bahwa pengukuran kinerja pada pemerintahan daerah sulit dilakukan bila perumusan indikator kinerja (outcome) tidak ditentukan pada tahap
47
perencanaan pembangunan, sehingga pada akhirnya sulit untuk menilai sasaran dan tujuan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah tidak hanya dilihat dari aspek keuangannya saja, namun juga harus dilihat dari pencapaian indikator kinerja yang telah ditentukan dalam proses perencanaan pembangunan. Selama ini, pemerintah masih memfokuskan pengukuran akuntabilitas pada aspek keuangannya saja, sedangkan aspek pencapaian indikator kinerja (outcome) mulai dari terukur tidaknya indikator kinerja sampai pada sinergi antar indikator kinerja dalam rangka mencapai visi pembangunan belum menjadi fokus utama untuk menilai akuntabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Accountability Sumber: Smith, 2001
Gambar 7 Framework Desentralisasi
Menurut Smith (2001), penyelenggaraan desentralisasi diharapkan dapat memberikan: 1. Perubahan dalam struktur pengeluaran publik dari pemerintah pusat ke daerah dalam rangka perbaikan pelayanan publik bagi masyarakat, 2. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan, 3. Peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik, 4. Peningkatan kesadaran publik untuk memenuhi kewajibannya sebagai konsekuensi menerima kualitas pelayanan publik yang telah memadai, 48
5. Peningkatan pendapatan asli daerah, dan 6. Efisiensi keseluruhan biaya pemerintah. Isu utama saat ini adalah tidak lagi pada besaran dana perimbangan dari pemerintah pusat ke daerah, melainkan yang menjadi isu utama dalam penyelenggaraan desentralisasi adalah penggunaan atau manfaat keuangan negara baik dari dana perimbangan maupun dari PAD (pendapatan asli daerah) itu sendiri di daerah. Dalam hal ini, perencanaan pembangunan daerah merupakan kunci utama dari upaya untuk memanfaatkan keuangan negara dalam rangka untuk mencapai visi pembangunan daerah baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Apabila perencanaannya kurang baik, dalam arti visinya tidak fokus, programnya tidak sinkron dengan visi yang akan dicapai atau penentuan indikator kinerja (outcome) tidak terukur, maka integrasi perencanaan dan penganggaran menjadi lemah, dimana penetapan plafond anggaran SKPD maupun program tidak terhubungkan dengan penetapan target yang hendak dicapai, yang pada akhirnya kinerja akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah sulit dicapai. Penentuan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah masih dominan diukur dari aspek keuangannya. Padahal, sebelum mengukur kinerja berdasarkan aspek keuangan, hal yang paling mendasar untuk dinilai terlebih dahulu adalah kinerja perencanaan, yaitu dengan tahapan penilaian antara lain adalah sinkronisasi dan sinergi antar dokumen perencanaan pada tiap instansi pemerintahan daerah, dan indikator kinerja yang disusun adalah berorientasi outcome dan terukur. Menurut hasil studi program LGSP (2009: 4-5) menyebutkan bahwa “cara pandang pemerintah daerah belum berubah sebagaimana era orde baru berkuasa dimana kesuksesan pelaksanaan program/kegiatan mengacu kepada kemampuan menyerap anggaran (input dan output oriented), belum mengacu pada outcome oriented”. Implikasi dari kondisi tersebut adalah: (i) belum diperhatikannya penataan internal hubungan inter dan intra SKPD dalam penyusunan indiktor kinerja, (ii) model laporan kinerja daerah masih cenderung berorientasi pada akuntabilitas vertikal, formalistik dan berorientasi pada laporan penggunaan input fisik; (iii) keterkaitan, sinkronisasi dan harmoni antar dokumen perencanaan pembangunan daerah menjadi terabaikan, dalam hal ini, mengukur keterhubungan antar dokumen perencanaan, termasuk di dalamnya mengevaluasi pencapaian
49
kinerja perencanaan menjadi sulit dilakukan akibat lemahnya indikator, target kinerja serta sasaran yang sangat kualitatif.
2.6. Pengembangan Potensi Unggulan Daerah Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 7 Ayat 3 menyebutkan bahwa urusan pilihan adalah “urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Urusan pilihan pemerintah daerah mengandung dua makna utama, yaitu pengembangan komoditi unggulan daerah dan pengembangan wirausaha yang berkaitan dengan individu masyarakat daerah dalam mengelola potensi sumberdaya unggulan daerah tersebut. Dalam rangka pelaksanaan urusan pilihan pemerintahan secara efektif, pemerintah daerah harus menetapkan sektor unggulan (terutama komoditi) daerahnya terlebih dahulu. Menurut Muhammad (2008), upaya pembangunan daerah di Provinsi Gorontalo dilakukan melalui pengembangan strategi pemanfaatan potensi komoditi unggulan daerah misalnya komoditi jagung, dengan memfokuskan pelaksanaan urusan pemerintahan daerahnya pada upaya untuk: 1. Menjalankan kebijakan yang digerakkan oleh pasar untuk memperkuat fondasi ekonomi rakyat; 2. Menjadi pemerintah yang katalis dengan memanfaatkan endowment factor di daerah untuk meningkatkan produksi pertanian; 3. Menyiasati hambatan lingkungan makro berupa kekakuan dari instansi pusat yang mengakibatkan daerah tidak mampu memanfaatkan potensi dan peluang bisnis di daerah; 4. Menilai faktor lingkungan makro di daerah; dan 5. Menjadikan pemerintah daerah berorientasi pelanggan dan pemerintah yang antisipatif. Berdasarkan strategi pembangunan daerah tersebut di atas, Provinsi Gorontalo yang merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia, sekaligus sebagai salah satu provinsi yang memiliki keterbatasan sumberdaya alam di bandingkan
50
provinsi muda lainnya, mampu meningkatkan laju pertumbuhan PDRB-nya. Selama periode 2005-2008, Provinsi Gorontalo memiliki laju pertumbuhan PDRB rata-rata sebesar 7.23 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi yang kaya sumberdaya alam, misalnya Kalimantan Timur
(2.41 persen) dan
Papua sebesar 0.26 persen (lihat Gambar 8). 10,00 6,00
6,08 5,92
5,92 4,22
PDRB 4,00 (%)
5,13
5,79
6,71 6,015,72
5,00
3,82
7,63 5,84 5,35 5,89 5,785,34 5,27 5,18 4,46
7,62 7,23 6,09
5,34
5,16 3,86
5,17 5,32 4,76
6,42
2,41
2,00
Gambar 8 Rata-Rata Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Periode 2004-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi (persen)
Keberhasilan yang dicapai Provinsi tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, tidak lepas dari upaya pemerintah daerah (pemda) Gorontalo melalui APBD-nya untuk membiayai program-program yang
terkait dengan
pengembangan komoditi unggulan yang sudah di tentukan sebelumnya. Menurut Mawardi (2009), orientasi pembangunan daerah yang harus dimiliki oleh pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan adalah mencakup: 1. Fokus, yaitu pemerintah daerah harus fokus terhadap arah kebijakan pembangunan sehingga terdapat sektor yang menjadi prioritas pengembangan (mis: pariwisata, pertanian, perdagangan, dll); 2. Pengembangan komoditas unggulan, yaitu pemilihan terhadap komoditas unggulan pada salah satu sektor. Misalnya sektor perkebunan mencakup komoditi kakao, cengkeh, dll. Sektor Perikanan & Kelautan mencakup rumput laut, mutiara, dll);
51
Papua Barat
Maluku
Sumber: BPS (www.bps.go.id). 2008 dan www.bi.go.id
Maluku Utara
Nusa Tenggara …
Nusa Tenggara …
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Bali
Kalimantan Barat
Banten
Jawa Timur
DI. Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Lampung
Kepulauan…
Bengkulu
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
(6,00) (5,14)
Sumatera Barat
(4,00)
Nanggroe Aceh…
(2,00)
0,26
Sumatera Utara
0,00
Papua
8,00
3. Kerjasama antar daerah, yaitu kerjasama yang saling menguntungkan antara daerah guna peningkatan kepentingan bersama; 4. Jaminan pemerintah daerah, yaitu terkait di bidang pemasaran dan pembiayaan. Dalam hal ini pemerintah daerah melalui APBD-nya menjamin wirausaha daerah yang bergerak pada bisnis komoditi unggulan dalam berhadapan dengan lembaga keuangan dan perbankan; 5. Investasi, yaitu komitmen pemerintah daerah dalam memberikan insentif baik dalam bentuk kebijakan fiskal maupun non-fiskal guna mendukung pengembangan komoditi unggulan daerah. Menurut Yuvarani (2010) peranan pemerintah daerah sangat penting dalam mengembangkan wirausaha daerah selaku pengelola usaha komoditi unggulan daerah. Peran pemerintah daerah tersebut antara lain adalah: 1. Memberikan informasi tentang peraturan, standar, perpajakan, bea cukai, dan masalah pemasaran; 2. Memberikan konsultansi tentang perencanaan usaha, pemasaran dan akuntansi, kontrol kualitas dan jaminan; 3. Membuat unit inkubator, termasuk menyediakan ruang dan infrastruktur untuk pemula bisnis dan perusahaan-perusahaan yang inovatif, dan membantu mereka untuk memecahkan masalah teknologi, sekaligus turut serta dalam kegiatan promosi, dan 4. Membantu
dalam
mencari
mitra.
Dalam rangka
untuk
merangsang
kewirausahaan dan meningkatkan lingkungan bisnis untuk usaha kecil. Di era desentralisasi sebagian besar pemerintahan daerah belum memiliki komitmen yang jelas dalam menyelenggarakan urusan pilihan pemerintahan. Terdapat beberapa pemerintahan daerah yang telah memproklamirkan daerahnya sebagai sentra produksi komoditi tertentu, namun sayangnya upayanya tersebut belum didukung dengan perencanaan yang jelas. Selain itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih berorientasi pada penyelenggaraan urusan wajib dibandingkan urusan pilihannya. Kondisi ini tentu saja akan menciptakan kebingungan dan ketidakpastian bagi investor untuk menginvestasikan dananya
52
dalam rangka mengembangkan komoditi unggulan derah8. Ditambah lagi, penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah cenderung dilaksanakan dengan
membentuk
instansi-instansi
pemerintahan
yang
baru
tanpa
memperhatikan terlebih dahulu potensi unggulan yang dimiliki daerah bersangkutan, sehingga akibatnya terjadi struktur organisasi pemerintah daerah yang membesar. Menurut Suwandi dalam ASSD (2009) menyebutkan bahwa struktur kelembagaan perangkat daerah saat ini menciptakan masalah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Masalah tersebut adalah: (1) kecenderungan daerah untuk menerapkan struktur gemuk; (2) nomenklatur struktur yang berbedabeda sehingga menyulitkan koordinasi dan pembinaan; (3) struktur yang membutuhkan PNS yang banyak; serta (4) struktur organisasi yang belum sepenuhnya mengakomodasikan fungsi pelayanan publik yaitu penyediaan pelayanan dasar dan pengembangan potensi unggulan daerah.
2.7. Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang memfokuskan pada perencanaan suatu pemerintahan daerah kabupaten/kota masih terbatas. Lebih banyak studi yang dilakukan adalah berkaitan
dengan
hubungan
antara
anggaran
publik
dan
perencanaan
pembangunan, belanja publik dengan pelayanan publik. Sedangkan untuk studi mengenai sinergi kegiatan dan indikator kinerja antar instansi pemerintah daerah, boleh dikatakan masih sangat terbatas. Penelitian Program LGSP yang didanai oleh USAID pada tahun 2009, dengan judul “Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-Based) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia”, menyebutkan bahwa penerapan manajemen yang berorientasi kepada kinerja hasil (outcome) di lingkungan instansi pemerintah di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Seluruh aktivitas dalam lingkungan instansi pemerintah akan diukur dari sisi akuntabilitas kinerjanya, baik dari sisi kinerja individu, kinerja unit kerja dan kinerja instansi, dan bahkan juga kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
8 Kompas. “China Tawarkan Bantuan Ke UKM, Gubernur dan Bupati Punya program Sendiri”. Rabu 17 April 2010. Jakarta.
53
Di masa lalu pengukuran kinerja Pemerintah Indonesia masih terfokus pada pengukuran masukan (input) dan keluaran (output). Dibanding dengan pengukuran hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Pengukuran ini masih berfokus pada sisi sumberdaya yang telah dihabiskan tentang anggaran dan realisasi anggaran, akan tetapi belum memberi perhatian yang memadai kepada hasil dan dampak nyata program dan kegiatan pemerintah terhadap proses pelayanan masyarakat. Hal yang sama juga tercermin dalam proses pelaporan dan pengawasan
kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan.
Bermacam
evaluasi
penerapan manajemen kinerja di Indonesia menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Evaluasi LAKIP, BPKP (2006) terhadap 153 pemerintah daerah di Indonesia menunjukkan; 3 Pemda memiliki nilai sangat baik (1,9 persen), 15 Pemda Baik (9,49 persen), 61 Pemda nilai cukup (38.61 persen), selebihnya 79 Pemda bernilai kurang (50
persen). Ditengarai berbagai kelemahan dalam
pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), antara lain muncul dalam semua komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan, sejak di perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian kinerja itu sendiri. Berbagai kelemahan utama dalam penyusunan laporan kinerja belum menyajikan data kinerja yang memadai serta masih berorientasi untuk kepentingan vertikal. Kelemahan pencapaian kinerja terletak pada proses penyusunan output dan outcome yang tidak tepat, informasi kinerja output dan outcome tidak dapat diandalkan serta kinerja outcome tidak selaras dengan indikator kinerja dalam RPJMD dan RKPD. Khusus dalam komponen evaluasi kinerja kelemahan dasar yang dialami oleh Pemda di Indonesia antara lain adalah Pemda belum melakukan pemantauan mengenai pencapaian kinerja beserta hambatan dan kendala pencapaiannya, Pemda belum melakukan evaluasi LAKIP SKPD, serta lemahnya alat ukur yang digunakan oleh Pemda untuk melakukan evaluasi. Berbagai
permasalahan
yang
mengemuka
sebagai
penyebab
penerapan
manajemen kinerja, khususnya evaluasi kinerja di indonesia berjalan lamban, antara lain; (a) legal yuridis yang ada (tumpang tindih, disorientasi dan partial) dalam manajemen kinerja di Indonesia;, (b ) Manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan tidak disatukan dalam fungsi manajemen pemerintah daerah,
54
seperti halnya dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit ;(c) tidak terdapatnya manajemen kompensasi (mekanisme reward dan punishment) yg merefleksikan pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen publik; (d) lemahnya kapasitas teknis sumberdaya manusia aparatur, dalam transisi paradigma sdm dari paradigma input ke dalam paradigma baru yang mengukur kesuksesan kerja melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; (e) peran publik masih lemah untuk “memaksa” Pemda mampu berlaku akuntabel dan transparan. Penelitian oleh Koswara di tahun 2010 berjudul “Strategi penyelarasan penyusunan APBD dengan RPJMD untuk meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana di Kota Bekasi”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penelitian oleh Cardiman dalam Koswara di tahun 2006 berjudul “Strategi belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat”, Analisis hubungan antara pengeluaran publik dan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan pendekatan SWOT analisa, menyebutkan bahwa belanja aparatur dan belanja publik pada APBD berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB per kapita Kota Bekasi. Pada periode 1977-2005 rasio alokasi belanja aparatur dan belanja publik terhadap APBD masing-masing 52,56 persen dan 47,44 persen. Belanja aparatur dan belanja publik berpengaruh secara signifikan terhadap IPM. Penelitian oleh Djuharman Arifin di tahun 2003 yang berjudul “Mekanisme penyusunan APBD Provinsi Riau Yang Berkeadilan”. Studi ini menghubungkan proses perubahan RAPBD menjadi APBD di tingkat legislatif. Hasil studi ini menunjukkan adanya deviasi yang cenderung semakin melebar dalam proses penganggaran dari RAPBD menjadi APBD. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Kelemahan ini adalah memungkinkan DPRD untuk melakukan penambahan item proyek yang belum terencana sebelumnya, sehingga secara prinsipil bertentangan dengan fungsi legislatif sebagai pengawas, dan juga menyebabkan program atau kegiatan dibuat secara tumpang tindih antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kondisi ini menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan anggaran publik.
55
METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi yang telah berjalan selama 12 tahun, belum mendorong peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber
dari
pengembangan
ekonomi
lokal,
bahkan
yang
lebih
mengkhawatirkan lagi adalah kemampuan daerah secara mandiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya belum memadai dan cenderung porsinya semakin menurun. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan timbulnya “moral hazard9” di tingkat pemerintahan daerah dalam hal untuk lebih menggantungkan beban biaya operasional pemerintahan daerah pada sumber pendanaan dari pemerintah pusat untuk membiayai administrasi pemerintahan dan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya, tanpa berusaha untuk melakukan perubahan pada perbaikan organisasi pemerintahan daerah itu sendiri dengan menerapkan prinsip efisiensi. Di satu sisi, pemerintah daerah mengakui menghadapi keterbatasan dalam membiayai pembangunan daerah, namun di sisi lainnya organisasi pemerintah daerah semakin diperbesar, yang tentu saja membawa konsekuensi pada peningkatan alokasi pengeluaran publik untuk belanja pegawai dan operasional kantor. Kebergantungan pada dana perimbangan dan adanya keterbatasan anggaran daerah, menuntut pemerintah Kota Bogor untuk lebih selektif dalam penggunaan pengeluaran publik melalui penyusunan perencanaan pembangunan yang sinergi antar instansi pemerintah dan perumusan indikator kinerja yang terukur. Pembelajaran dari pengalaman kinerja pelaksanaan RPJMD Kota Bogor periode 2004-2009 dan adanya penetapan visi pembangunan 2010-2014, yaitu menjadikan Kota Bogor sebagai Kota Perdagangan, menuntut pemerintah Kota Bogor untuk lebih bekerja keras dan fokus dalam mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD Kota Bogor tersebut. Pencapaian tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor tidak hanya 9
Moral hazard adalah tindakan yang muncul karena individu atau lembaga tidak mengambil konsekuensi dan tanggung jawab penuh atas tindakannya, dan membiarkan pihak lain yang berperan untuk bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan tersebut. Moral Hazard adalah kasus khusus dari information asymmetry, yang cenderung menimbulkan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien. http://en.wikipedia.org/wiki/Moral_hazard.
56
dapat mengandalkan pada peningkatan kinerja dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan semata, namun diperlukan adanya sinergi
perencanaan secara
horisontal antar masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani urusan mulai dari sektor hulu sampai hilir, yaitu mulai dari sektor pertanian, perindustrian, sampai pada sektor perdagangan. Penelitian ini menitikberatkan pada upaya untuk mencapai tujuan pembangunan Kota Bogor melalui keselarasan indikator kinerja yang berorientasi outcome dan sinergi perencanaan antar instansi pemerintahan penyelenggaraan urusan pilihan yang memiliki fungsi pembangunan baik di sektor riil (yaitu pertanian, perindustrian, UMKM) maupun sektor perdagangan. UMKM menjadi salah satu bagian dari penelitian ini (walaupun merupakan bagian dari urusan wajib pemerintahan) lebih disebabkan karena urusan UMKM secara implementatif terkait dengan urusan perdagangan dan perindustrian. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah. R P J M D 2 0 1 0 -2 0 1 4 V IS I K o t a p e r d a g a n g a n d e n g a n s u m b e r d a y a m a n u s ia p r o d u k tif d a n p e la y a n a n p rim a
M is i I M e n g e m b a n g k a n p e r e k o n o m ia n m a s y a r a k a t y a n g b e r tu m p u p a d a k e g ia t a n ja s a p e rd a g a n g a n
1. 2. 3. 4.
M M M M
e n in g k a t k a n e n in g k a t k a n e n in g k a t k a n e n in g k a t k a n
T u ju a n p e n g e m b a n g a n p e r e k o n o m ia n k h u s u s n y a s e k to r P e rd a g a n g a n p e n g e m b a n g a n p e r e k o n o m ia n p a d a s e k to r I n d u s tr i p e ra n k o p e ra s i d a n U K M p e n g e m b a n g a n s e k t o r p e r t a n ia n b e r b a s i s a g r i b i s n i s
S a s a ra n 1 . M e n in g k a t n y a d a y a s a in g p a d a s e k to r p e r d a g a n g a n 2 . a . M e n in g k a tn y a k e g ia t a n in d u s tr i r u m a h t a n g g a, in d u s t ri k e c il d a n m e n e n g a h y a n g t a n g g u h m a n d iri d a n b e r d a y a s a in g , d a n b . T e r s e d ia n y a i n f o r m a s i s e n t r a - s e n t r a I K M 3 . M e n in g k a t n y a k e ta n g g u h a n d a n k e m a n d ir ia n k o p e ra s i d a n U K M 4 . B e r k e m b a n g n y a u s a h a a g r i b i s n is
P ro g ra m U ru s a n P e rd a g a n g a n 1 . P r o g r a m P e n in g k a ta n E f is ie n s i P e r d a g a n g a n d a la m N e g e ri 2 . P r o g r a m P e r l in d u n g a n K onsum en dan P engam anan P e rd a g a n g a n 3 . P r o g r a m P e n in g k a ta n d a n P engem bangan E kspor 4 . P r o g r a m p e m b in a a n p e d a g a n g k a k i lim a d a n asongan
P ro g ra m U ru s a n In d u s tri 1 . P ro g ra m P e n g e m b a n g a n I n d u s tr i K e c il d a n M e n e n g a h 2 . P ro g ra m P e n g e m b a n g a n K e w ira u s a h a a n d a n K e u n g g u la n K o m p e t itif U s a h a K e c il M e n e n g a h
P ro g ra m U ru s a n K o p e ra s i & UKM 1 . P ro g ra m P e n in g k a t a n K u a l i t a s K e le m b a g a a n K o p e ra s i 2 . P ro g ra m P e n g e m b a n g a n S is t e m P e n d u k u n g U s a h a B a g i U s a h a M ik ro K e c il D a n M enengah
P r o g r a m U r u s a n P e rt a n ia n 1 . P r o g r a m P e n in g k a t a n P r o d u k s i P e r t a n ia n 2 . P ro g ra m P e n c e g a h a n d a n P e n a n g g u la n g a n P e n y a k it T e rn a k 3 . P r o g r a m P e n in g k a t a n P e m a s a r a n H a s il P r o d u k s i P e r t a n ia n
IN D IK A T O R K IN E R J A S in e rg i
P e la k s a n a a n
O u tc o m e O rie n te d
T e ru k u r
P e m a n ta u a n d a n E v a lu a s i
Gambar 9 Kerangka Pemikiran
57
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian difokuskan pada pemerintahan daerah Kota Bogor. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada: 1.
Aspek geografi, Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor, serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara, Jakarta.
2.
Aspek ekonomi, lokasi Kota Bogor yang strategis memberikan kontribusi besar dalam perkembangan kegiatan ekonomi, terutama di sektor properti dan perdagangan.
3.
Aspek pemerintahan, adanya pengakuan dari pemerintah pusat berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 120-276 Tahun 2011 Tentang Penetapan Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Terhadap Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2009, menetapkan bahwa Kota Bogor sebagai kota peringkat ke-10 yang berprestasi paling tinggi secara nasional.
4.
Aspek perencanaan, sebagai salah satu kota di Indonesia dengan RPJMD 2010-2014 yang sudah mengfokuskan pembangunan daerah pada suatu sektor unggulan tertentu, yaitu sektor perdagangan. Pelaksanaan penelitian direncanakan selama 3 (tiga) bulan mulai dari Bulan
Mei sampai dengan Juli 2011.
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini mengunakan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif (qualitative and quantitative approach). Pertama, pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali atau mendapatkan informasi lebih detail mengenai perencanaan daerah, terutama indikator kinerja dalam rangka penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan Kota Bogor, dan untuk menganalisa sinergi indikator kinerja antar instansi pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian. Menurut Neergaard dan Parm (2007), pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk digunakan dalam rangka memperoleh informasi secara detail dari nara-sumber terpercaya yang sulit diperoleh melalui pendekatan kuantitatif. Kedua, pendekatan kuantitatif digunakan dalam rangka untuk menindaklanjuti hasil yang dicapai dalam
58
pendekatan kualitatif guna membantu penyusunan strategi alternatif dalam mendorong sinergi program pembangunan dan indikator kinerja antar instansi pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian.
3.3.1 Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling Unit analisis dari penelitian ini adalah pemerintahan daerah Kota Bogor berkaitan dengan penilaian indikator kinerja penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan dalam rangka pencapaian visi Kota Bogor sebagai Kota Perdagangan. Pada tahap pendekatan kualitatif, peneliti akan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dengan responden yang menjadi sasaran penelitian adalah pejabat pemerintahan di Dinas Perdagangan dan Industri, Kantor UMKM (usaha kecil dan menengah), Dinas Pertanian, Bappeda Kota Bogor, dan Anggota DPRD Kota Bogor pada Komisi B (Bidang Ekonomi). Selain itu, pihak dari dunia usaha yang dijadikan responden adalah Kamar Dagang Daerah (Kadinda), dengan maksud untuk mendapatkan informasi yang objektif dan independen mengenai keterukuran indikator kinerja yang telah disusun pemerintah Kota Bogor dalam dokumen perencanaannya, yaitu RPJMD 20102014. Pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling (nonprobabilistic) dengan karakteristik responden pada pemerintahan Kota Bogor adalah memiliki jabatan setingkat eselon III di bagian perencanaan program pada instansi yang sudah disebutkan di atas. Total jumlah responden yang akan dijadikan sebagai narasumber adalah sebanyak 7 orang sebagaimana dapat dilihat secara detail pada Tabel 2 di bawah ini.
59
Tabel 2 Jabatan dan Instansi Responden Jabatan
Instansi
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Kepala Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan Perdagangan Pelaksana Seksi Bina UMKM dan PKL Kantor Koperasi dan UMKM Pelaksana Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan Dinas Pertanian Pelaksana Sub Bagian Perekonomian dan Bappeda Kota Bogor dan Pelaksana Bidang Organisasi dan Tatalaksana Bidang Ortala Kantor (Ortala) Walikota Anggota Komisi B (Bidang Ekonomi) Tahun 2010 DPRD Kota Bogor Ketua Kadinda Tahun 2010 Kamar Dagang Daerah Kepala Seksi Perdagangan Dalam Negeri
3.3.2. Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini data yang dikumpulkan adalah kombinasi data primer dan sekunder. Data primer yang sifatnya kualitatif digunakan untuk mendapatkan informasi lebih detail terkait pemahaman dan persepsi responden terpercaya berdasarkan pengalamannya dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah Kota Bogor, terutama berhubungan dengan penentuan indikator kinerja penyelenggaraan pembangunan urusan pilihan pemerintahan. Sedangkan data sekunder digunakan untuk menganalisa permasalahan yang terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, yang sebagian besar merupakan data kuantitatif. Data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik Kota Bogor, hasil penelitian sebelumnya, majalah dan surat kabar, e-data, Bappeda, Dinas Perdagangan dan Industri, Kantor UMKM, dan Dinas Pertanian. Jenis data sekunder yang dibutuhkan secara jelas dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah.
60
Tabel 3 Jenis dan Sumber Data No. Jenis Data 1. RPJMD 2. 3.
4.
5.
6. 7.
8.
Periode Data Sumber Data 1. 2004-2009 Bappeda 2. 2010-2014 Rencana Kerja Pemerintah 2010, 2011, dan Bappeda Daerah (RKPD) 2012 1. Dinas Perdagangan dan Industri 1. 2004-2009 2. Kantor Koperasi dan Usaha Renstra SKPD 2. 2010-2011 Kecil dan Menengah (UMKM) 3. Dinas Pertanian 1. Dinas Perdagangan dan Industri 2. Kantor Koperasi dan Usaha Renja SKPD 2010 - 2011 Kecil dan Menengah (UMKM) 3. Dinas Pertanian Laporan Monev Kegiatan Bappeda Bagian Bina Pembangunan, terutama di 2009-2010 Program sektor perdagangan BPS Kota Bogor dan Kota Bogor Dalam Angka 2005 s.d. 2010 Bappeda Data Indikator Kinerja Website Kabupaten Kabupaten Serdang 2006-2010 Serdang Bedagai Bedagai (RPJMD) Statistik Ekspor-Impor 2006-2010 Badan Pusat Statistik (BPS)
3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisa Data Proses pengolahan data primer dan sekunder pada penelitian ini menggunakan metode pengolahan sederhana dalam bentuk deskriptif statistik, frekuensi, dengan memanfaatkan fasilitas pengolahan data secara komputerisasi pada Microsoft Excel atau SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Tahapan analisa data yang dilaksanakan pada penelitian ini terdiri dari: (1) analisa indikator kinerja, dan (2) analisa sinergi perencanaan. Secara detail masingmasing analisa dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
61
Gambar 10 Tahapan Analisa Penelitian
1. Analisa Indikator Kinerja dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 di Sektor Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian Analisa indikator kinerja dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu Pertama, pendekatan document review, yaitu menganalisa konsistensi antar indikator kinerja pemerintah Kota Bogor yang tertuang dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan dokumen perencanaan, yaitu rencana strategi (Renstra) di masing-masing SKPD dalam hal ini adalah di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian. Kedua, menganalisa
indikator
kinerja
dengan
pendekatan
SMART
(Specific,
Measureable, Acceptable, Realistic, Timely). Menurut Poister (2003), pendekatan SMART dapat digunakan untuk menilai indikator kinerja, yang antara lain adalah: Specific (jelas), yaitu indikator kinerja yang disusun harus jelas, tepat, dan sesuai kebutuhan agar tidak menimbulkan kesalahan interpretasi. Measureable (terukur secara obyektif), yaitu indikator kinerja yang disusun harus menggambarkan sesuatu yang jelas ukurannya, menunjukkan cara untuk pencapaian indikator sesuai data dasar yang jelas. Acceptable (dapat diterima), yaitu indikator kinerja yang ditetapkan maknanya harus dipahami dan diterima oleh stakeholder pelaksana karena dinilai bermanfaat untuk kepentingan pengambilan keputusan. Realistic (realistis), yaitu indikator kinerja harus dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan ruang lingkup kewenangan stakeholder pelaksana. 62
Time-bound (terikat waktu), yaitu pencapaian indikator yang disusun harus didukung oleh ketersediaan waktu, jadwal pentahapan, dan ketersediaan data. Berdasarkan kriteria SMART di atas, penilaian indikator kinerja perencanaan pembangunan Kota Bogor pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian menggunakan instrumen kuesioner seperti yang terdapat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Format Penilaian Indikator Kinerja Menurut Urusan Pilihan Tahun Urusan Pilihan: __________ Sasaran: a. b.
2010
2011
2012
2013
2014
Keterangan (1 = berorientasi outcome 2= berorientasi output)
Indikator Kinerja:
a. b.
1 1
2 2
Nilai Kriteria SMART Specific (Spesifik) Measurable (Terukur) Acceptable (Dapat Diterima) Realistic (Realistis)
a. b. a. b. a.
Time-bound (Rentang Waktu
a.
1
2
3
4
5
Nilai SMART
b. a. b.
b.
Keterangan: Format penilaian indikator kinerja di atas diadopsi dari suatu proposal tesis Sumber: Koswara, 2010
Interpretasi terhadap kualitas indikator kinerja menurut urusan pilihan pada sektor perdagangan, industri, UMKM dan pertanian dilakukan dengan menjabarkan masing-masing kriteria SMART dalam skala penilaian 1 s.d. 5 seperti yang tertuang dalam Tabel 5 berikut ini.
63
Tabel 5 Interpretasi Penilaian Indikator Kinerja Menurut Aspek SMART Nilai
1
Specific
Indikator kinerja tidak spesifik
Measurable
Indikator kinerja tidak dapat diukur dan tidak ada data dasar
Acceptable
2
3
4
5
Indikator kinerja cukup spesifik
Indikator kinerja sudah tepat dan spesifik Ukuran indikator kinerja sudah tepat dan data tersedia
Indikator kinerja sangat tepat dan spesifik Ukuran indikator kinerja sudah sangat tepat dengan data up to date dan mudah di evaluasi Indikator kinerja sangat dipahami dan jadi pedoman kerja oleh SKPD
Indikator kinerja masih multiinterpretasi Indikator kinerja mungkin dapat diukur bila ada data dasar
Indikator kinerja dapat diukur dan data tersedia
Indikator kinerja tidak dapat dipahami
Indikator kinerja dapat dipahami, namun kurang diterima SKPD
Indikator kinerja cukup dipahami dan dpt diterima SKPD
Realistic
Indikator kinerja tidak mungkin terealisasi
Indikator kinerja dapat dicapai dg biaya besar dan bantuan pihak lain
Time-bound
Indikator kinerja tidak dapat dijadwalkan pencapaiannya
Indikator kinerja tidak disusun secara tahunan, tapi dalam 5 tahun ke depan
Indikator kinerja dapat direalisasikan dengan sumberdaya yang ada Pencapaian indikator kinerja telah dijadwalkan tiap tahun
Indikator kinerja telah dipahami dan diupayakan pencapaiannya oleh SKPD Indikator kinerja dapat direalisasikan dengan kemampuan sendiri Penjadwalan pencapaian indikator kinerja sudah tepat
Indikator kinerja dapat direalisasikan dengan biaya yang efisien Jadwal pencapaian indikator kinerja telah tepat dan dapat dijadikan pedoman kerja SKPD
Keterangan: Interpretasi penilaian indikator kinerja di atas diadopsi dari suatu proposal tesis Sumber: Koswara, 2010
Berdasarkan Interpretasi di atas, dilakukan pembobotan terhadap penilaian akhir dari indikator kinerja pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian. Pembobotan terhadap interpretasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Pembobotan Penilaian Akhir Terhadap Indikator Kinerja Interval Nilai 1 – 1,9 2 – 2,9 3 – 3,9 4 – 4,9 5
Interpretasi Nilai SMART Indikator kinerja tidak spesifik, tidak dapat diukur, susah dipahami dan tidak dapat direalisasikan Indikator kinerja dapat dipahami, namun sulit di evaluasi dan direalisasikan Indikator kinerja dapat diukur, dipahami dan direalisasikan Indikator kinerja sudah tepat, jelas, mudah dipahami dan dapat direalisasikan oleh SKPD Indikator kinerja sangat tepat, mudah dievaluasi dan direalisasikan oleh SKPD
64
Ketiga, menilai orientasi dari indikator kinerja yang disusun (apakah output oriented atau outcome oriented) berdasarkan pendekatan Program Model Logika (Logic Model Program). Menurut Poister (2003), pelaksanaan pengukuran kinerja harus bermakna, yaitu, harus langsung berhubungan dengan misi, tujuan, dan outcome yang diharapkan dari sebuah program, dan harus mewakili dimensi kinerja yang telah diidentifikasi sebagai bagian dari logika program. Untuk itu, peneliti melakukan identifikasi mengenai hubungan input-output-outcome dari suatu program pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian. Pendekatan yang digunakan adalah Program Model Logika, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.
Sumber: Poister (2003)
Gambar 11 Program Model Logika
Secara umum, pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Balanced Scorecard dan Program Model Logika. Kedua pendekatan tersebut memiliki karakteristik dalam penggunaannya. Menurut Poister (2003:184), Balanced Scorecard adalah suatu kerangka kerja untuk mengukur kinerja organisasi, sedangkan Program Model Logika digunakan untuk fokus pada pengukuran kinerja program. Program Model Logika akan sangat membantu dalam memastikan bahwa suatu organisasi fokus pada output dan outcome yang paling relevan. Program Model Logika merupakan logika yang mendasari penyusunan program yang diharapkan mengarah pada pencapaian hasil (outcome) yang ditargetkan. Manfaat dari model ini adalah sebagai alat untuk mengidentifikasi ukuran kinerja yang berorientasi outcome (hasil) agar secara
65
langsung terkait dengan tujuan dan sasaran. Hal yang paling penting dalam mengidentifikasi logika program adalah membedakan antara output dan outcome. Output merupakan keluaran yang langsung diperoleh dari pelaksanaan kegiatan, sedangkan outcome adalah hasil yang menunjukkan efektifitas program. Untuk mengukur kinerja keseluruhan dari pencapaian visi Kota Bogor tidak hanya dapat dilihat dari aspek output-nya saja, melainkan harus melihat outcome karena menunjukkan efektivitas program. Dalam hal logika program, output memiliki nilai yang belum menunjukkan manfaat secara langsung, namun output sangat penting karena memicu terjadinya perubahan yang mengarah pada outcome yang diinginkan. Outcome adalah dampak substantif yang dihasilkan dari memproduksi output tersebut (Poister, 2003). Output dianggap sebagai kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup digunakan untuk mengukur kesuksesan suatu program. Namun, tanpa adanya kualitas output yang baik, program tidak akan dapat menghasilkan outcome yang diinginkan. Kualitas output cenderung lebih kuat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal yang berada di luar kendali program. Beberapa contoh yang menunjukkan perbedaan antara output dan outcome dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Contoh Perbedaan antara Output dan Outcome Program Program Layanan Perizinan Satu Pintu Program Wisata Kota Bogor
2.
Output 1. Prosedur (SOP) layanan satu pintu 2. Fasilitas Layanan 3. Biaya Perizinan 1. Fasilitas obyek wisata 2. Diversifikasi obyek wisata 3. Penyelenggaraan promosi wisata
Outcome 1. Pertumbuhan realisasi nilai investasi Kota Bogor 2. Persentase peningkatan kepuasan konsumen 1. Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan 2. Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB Kota Bogor
Analisa Sinergi Perencanaan Antar Sektor Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian
Peneliti melakukan penilaian sinergi indikator kinerja antar SKPD yang tertuang dalam renstra. Hal ini karena menurut peneliti, untuk mencapai tujuan pembangunan Kota Bogor sebagai Kota Perdagangan, tidak hanya dapat mengandalkan pada pencapaian indikator kinerja di sektor perdagangan semata,
66
melainkan juga sangat tergantung dari pencapaian indikator kinerja pada sektor lainnya di urusan industri, UMKM, dan pertanian. Dengan kata lain, pencapaian tujuan pembangunan hanya dapat dilakukan bila terdapat sinergi indikator kinerja antar urusan pembangunan, dalam penelitian ini adalah antar urusan di sektor perdagangan, industri, UMKM dan pertanian. Pendekatan yang digunakan dalam analisa sinergi indikator kinerja antar SKPD pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian adalah document review terhadap dokumen perencanaan di masing-masing instansi dan analisa deskriptif melalui wawancara mendalam (in-depth interview). Tujuan wawancara ini adalah untuk menilai seberapa jauh sinergi indikator kinerja yang telah dilakukan oleh SKPD untuk saling mendukung dalam pencapaian tujuan perencanaan Kota Bogor di sektor ekonomi. Analisa sinergi perencanaan di ketiga SKPD tersebut didasarkan pada aspek fungsi dari masing-masing intansi (SKPD); perencanaan program dan implementasinya antar SKPD; dan produk yang diprioritaskan pengembangannya di masing-masing SKPD tersebut.
3.4. Penyusunan Strategi Sinergi Perencanaan dan Rancangan Program Berdasarkan hasil wawancara mendalam(in-depth interview), peneliti melakukan penyusunan strategi sebagai rekomendasi dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan pada penyelenggaraan urusan pilihan baik disektor perdagangan, industri, UMKM, maupun pertanian yang difokuskan pada strategi perencanaan dengan pendekatan kompetensi inti (lihat Sub Bab 2.4 dalam Bab II:Tinjauan Pustaka). Strategi sinergi ini bermanfaat untuk mendorong tahapan kegiatan inovasi dalam menentukan produk/komoditi unggulan daerah yang dapat dijadikan sebagai obyek untuk menyinergikan dokumen perencanaan di ketiga SKPD tersebut. Penyusunan sinergi perencanaan dan indikator kinerja penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan yang difokuskan pada produk unggulan daerah lebih dikarenakan: (i) adanya kondisi keterbatasan belanja pembangunan pemerintah Kota Bogor pada urusan pilihan pemerintahan, sehingga perlu adanya fokus dan prioritas pembangunan pada suatu pengembangan produk unggulan; (ii) produk
67
unggulan yang dikembangkan dari hulu ke hilir atau dari sektor pertanian sampai ke sektor perdagangan secara terintegrasi dapat lebih mempermudah dalam penyusunan sinergi program dan indikator kinerja pemerintah Kota Bogor dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam penyusunan sinergi perencanaan antar SKPD di urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian adalah pertama, mengidentifikasi sinergi fungsi instansi antar urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian, dengan didasarkan pada hasil identifikasi faktor ekternal, program yang sudah ada di tiap SKPD, dan tujuan dan sasaran sebagaimana yang sudah tercantum dalam RPJMD 2010-2014. Kedua, mengidentifikasi pengembangan usaha dan menentukan produk/komoditi unggulan Kota Bogor yang dapat digunakan untuk menyinergikan sektor perdagangan, industri, UMKM, dan Pertanian, melalui analisa data sekunder yang dapat diperoleh dari berbagai data yang dipublikasikan baik oleh BPS maupun hasil studi lainnya. Penentuan produk unggulan Kota Bogor akan dinilai baik dari aspek produksi, jumlah usaha, penyerapan tenaga kerja, aspek perdagangannya (produk berorientasi ekspor), aspek keterkaitan produk (menggunakan pendekatan pohon industri) dan optimalisasi ketersediaan fasilitas pemerintah. Ketiga, menyusun rencana induk pengembangan produk unggulan dan indikator kinerja berorientasi outcome yang terukur, yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pencapaian kinerja dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintah Kota Bogor dengan visi sebagai kota Perdagangan. Dalam rangka menindaklanjuti hasil penyusunan strategi dalam menyinergikan perencanaan yang berbasis pengembangan produk unggulan Kota Bogor, peneliti melakukan penyusunan rancangan program agar strategi yang ada tersebut dapat direalisasikan secara lebih baik di tingkat pemerintah daerah. Penyusunan rancangan program ini mengacu pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.050/200/II/Bangda/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), dan Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN), yang mana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun peta panduan pengembangan kompetensi inti industri kabupaten/kota.
68
ANALISA INDIKATOR KINERJA PADA URUSAN PERDAGANGAN, PERINDUSTRIAN, UMKM, DAN PERTANIAN
4.1.
Analisa Sumberdaya Instansi Pemerintahan (SKPD) Salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi tersusunnya suatu
perencanaan pembangunan daerah secara baik adalah sumberdaya di lingkungan pemerintahan daerah. Berdasarkan Renstra (Rencana Strategi) di masing-masing instansi/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pemerintah Kota Bogor diakui bahwa masih adanya keterbatasan sumberdaya pemerintahan baik dari aspek kompetensi sumberdaya manusia maupun dari aspek keuangan (anggaran), termasuk adanya inefisiensi alokasi sumberdaya. Secara garis besar, keterbatasan sumberdaya dalam penyelenggaraan urusan pilihan (perdagangan, perindustrian, UMKM,dan pertanian) pemerintahan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8
Analisa Sumberdaya di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian
Indikator
Analisa Deskriptif
Alokasi SDM
Alokasi jumlah SDM di internal unit kerja pemerintah (SKPD) yang belum memadai. Dalam hal ini, bidang Sekretariat lebih banyak jumlah SDM-nya dibandingkan dengan bidang substantif yang terkait dengan tupoksi dari SKPD bersangkutan. Selain itu, tingginya mutasi pada SDM aparatur.
Pendidikan SDM
Kompetensi SDM yang belum memadai. Misalnya pada bidang perdagangan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Kantor Koperasi dan UMKM yang mana sebagian besar jumlah SDM-nya adalah lulusan Diploma dan SLTA.
Anggaran Belanja
Penurunan alokasi anggaran belanja bidang perdagangan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Ditambah lagi, alokasi anggaran pada bidang Sekretariat lebih besar dibandingkan di bidang Substantif. Misalnya, lebih dari 70 persen anggaran dialokasikan pada bidang Sekretariat, dan sisanya untuk bidang substantif (bidang perdagangan, perindustrian, dan metrologi).
69
Analisa sumberdaya pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian secara detail dijabarkan sebagai berikut ini.
4.1.1. Sumberdaya Pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dalam sejarahnya, urusan perdagangan dan perindustrian berada dibawah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor yang telah 4 kali melakukan perubahan tentang kelembagaan. Pada tahun 2004 dengan adanya Peraturan Daerah No. 13 tahun 2004 tentang Organisasi Perangkat Daerah, instansi tersebut berganti nama menjadi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi. Perubahan nama tersebut diikuti dengan digabungkannya beberapa unit kerja pemerintah daerah menjadi satu dinas, yaitu Kantor Koperasi dan UKM, Kantor Pengelolaan Pasar, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang sebelumnya berdiri sendiri. Di tahun 2010, pemerintah Kota Bogor memisahkan kembali ketiga unit kerja tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kota Bogor, yang mana Dinas Perindustrian dan Perdagangan menjadi terpisah dari unit kerja lainnya. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan terdiri dari: Kepala Dinas, Sekretaris, dan 3 (tiga) Kepala Bidang dengan rincian sebagai berikut (Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor 2010-2014, 2011): 1. Sekretaris membawahi : Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; Sub Bagian Keuangan; dan Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan. 2. Bidang Perindustrian membawahi: Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan; Seksi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka; Seksi Industri kima. 3. Kepala Bidang Perdagangan membawahi : Seksi Perdagangan Dalam Negeri; Seksi Perdagangan Luar Negeri; dan Seksi Perlindungan Konsumen. 4. Bidang Metrologi membawahi : Seksi Ukur Arus, Panjang, Volume dan Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT); Seksi Masa dan Timbangan; Seksi Penyuluhan dan Pengawasan Kemetrologian. Secara detail, struktur organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah.
70
KEPALA DINAS
SEKRETARIAT
SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
BIDANG PERINDUSTRIAN
BIDANG PERDAGANGAN
BIDANG METROLOGI
SEKSI INDUSTRI AGRO DAN HASIL HUTAN
SEKSI PERDAGANGAN DALAM NEGERI
SEKSI UKUR, ARUS,PANJANG, VOLUME, DAN BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS
SEKSI INDUSTRI LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA DAN ANEKA
SEKSI PERDAGANGAN LUAR NEGERI
SEKSI MASSA DAN TIMBANGAN
SEKSI INDUSTRI KIMIA
SEKSI PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKSI PENYULUHAN DAN PENGAWASAN KEMETROLOGIAN
SUB BAGIAN KEUANGAN
SUB BAGIAN PERENCANAAN DAN PELAPORAN
Sumber: Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor 2010-2014
Gambar 12 Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor
Sejalan dengan
perubahan
kelembagaan di Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, mempengaruhi perubahan dari aspek jumlah sumberdaya aparatur. Di tahun 2010, Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang masih gabung dengan Kantor Koperasi dan UMKM, memiliki jumlah personil sebanyak 80 orang PNS. Sedangkan di tahun 2011, dengan adanya pemisahan kembali Kantor Koperasi dan UKMK, maka jumlah SDM aparatur di dinas ini menjadi sebanyak 76 orang PNS. Pada Bidang perdagangan, jumlah SDM aparatur di tahun 2011 adalah sebanyak 19 orang PNS atau meningkat sebesar 11,8 persen dibanding tahun 2010, yang jumlah SDM aparaturnya sebanyak 17 orang PNS. Pada bidang perindustrian, jumlah SDM aparatur di tahun 2011 adalah sebanyak 13 orang PNS atau meningkat sebesar 18,2 persen dibandingkan tahun 2010, yang jumlahnya adalah sebanyak 11 orang PNS. Berdasarkan jumlah PNS di Dinas
71
Perindustrian dan Perdagangan, bidang kesekretariatan yang berperan dalam administrasi dan manajemen internal organisasi memiliki jumlah SDM aparatur yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SDM pada bidang substansi (misalnya bidang perdagangan, bidang perindustrian, dan bidang metrologi). Di tahun 2011, jumlah SDM aparatur di bidang Sekretariat adalah berjumlah 27 orang PNS (terdiri dari Sub-Bagian Keuangan sebanyak 8 orang PNS, Sub-Bagian Perencanaan dan Pelaporan sebanyak 3 orang PNS, dan Sub-Bagian Umum dan Kepegawaian sebanyak 16 orang SDM. Secara detail perkembangan jumlah SDM aparatur pada urusan perdagangan dan perindustrian pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
90 80 70 60
Jumlah 5 0 (Orang) 4 0 30 20 10 0 2008
2009
2010
T o ta l J u m la h S D M
68
74
80
2011 76
B id a n g P e r d a g a n g a n
14
15
17
19
B id a n g P e r in d u s t r ia n
9
10
11
13
Keterangan: Jumlah SDM aparatur tidak termasuk pegawai kontrak Di tahun 2008-2010, jumlah SDM masih termasuk bidang koperasi dan UMKM Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2011
Gambar 13
Perkembangan Jumlah SDM Perdagangan Tahun 2008-2011
Aparatur
Dinas
Perindustrian
dan
72
Berdasarkan tingka ngkat pendidikan di tahun 2011, jumlah SDM aparat aratur bidang perdagangan yang merupa rupakan lulusan pendidikan pasca sarjana adalah h se sebanyak 2 orang PNS atau sebesarr 11 persen dari jumlah SDM pada bidang perdaganga ngan, 4 orang PNS lulusan sarjana srata ata-1, 5 orang PNS lulusan setingkat Diploma III,, 7 o orang PNS lulusan setingkat SLTA ata atau sebesar 37 persen, dan 1 orang lulusan seting etingkat SLTP. Sedangkan di bidang perindustrian, peri jumlah SDM aparatur yang merupaka pakan lulusan program pendidikan pasca sca sarjana adalah sebanyak 3 orang PNS, lulusan sarja arjana srata-1 sebanyak 4 orang PNS,, 1 orang o PNS lulusan Diploma III, 4 orang PNS lulusan usan setingkat SLTA, dan 1 orang lulusan an setingkat s SLTP (lihat Gambar 14).
Keterangan: Jumlah SDM Md di kedua bidang belum termasuk jumlah tenaga kontrak
Sumber: Dinas Perindustria strian dan Perdagangan, 2011
Gambar 14 Jumlah SDM M Aparatur A Di Bidang Perindustrian dan Perdagangan ngan Menurut Tingkat Pend endidikan di Tahun 2011
Perkembangan alo alokasi anggaran belanja Dinas Perindustrian dan Pe Perdagangan mengalami penurunan sel selama periode 2009-2011. Di tahun 2011, jumlah lah anggaran belanja adalah sebanyakk Rp 10,8 miliar atau mengalami penurunan sebesar ar 19 19,7 persen
dibandingkan tahun 2010, yang anggarannya adalah sebesar Rp 13,4 miliar. iar. Salah satu faktor terjadinya penurun runan anggaran belanja di dinas ini adalah berkaita kaitan dengan
73
adanya pemisahan bidang koperasi, menjadi unit kerja tersendiri dengan nama Kantor Koperasi dan UMKM (lihat Gambar 15).
16.000.000.000
12.000.000.000,00
14.000.000.000
Rupiah
10.000.000.000,00
12.000.000.000 8.000.000.000,00
10.000.000.000 8.000.000.000
Rupiah
6.000.000.000,00
6.000.000.000
4.000.000.000,00
4.000.000.000 2.000.000.000,00
2.000.000.000 -
2007
2008
2009
2010
2011
Total Anggaran Belanja (Rp) 11.054.539.759 12.685.958.319 13.976.731.499 13.434.914.353 10.787.547.267 Bidang Perdagangan (Rp)
725.000.000
550.000.000
1.493.871.500
1.528.027.059
1.058.720.978
Bidang Perindustrian (Rp)
560.400.000
650.000.000
819.013.650
635.000.000
725.000.000
Bidang Sekretariat
7.656.913.759,0 9.360.786.319,0 10.913.846.349, 9.935.687.294,0 8.328.826.289,0
Keterangan: Di tahun 2007-2010, anggaran belanja masih termasuk bidang koperasi dan UMKM Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2011
Gambar 15
Perkembangan Anggaran Belanja Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2007-2011
Anggaran belanja urusan perdagangan di tahun 2011 adalah sebesar Rp 1,1 miliar atau menurun sebesar 31 persen dibandingkan tahun 2010, yang jumlah anggaran belanjanya adalah sebesar Rp 1,5 miliar. Sebaliknya, anggaran belanja untuk urusan perindustrian di tahun 2011 adalah sebesar Rp 725 juta atau meningkat sebesar 14,2 persen dibandingkan tahun 2010. Di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, alokasi anggaran belanja untuk bidang Sekretariat lebih besar dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk bidang substantif, yaitu porsinya di atas sebesar 70 persen dari total anggaran belanja di instansi tersebut.
74
4.1.2.
Sumberdaya Pada Kantor Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah)
Sejak tahun 2011, Urusan UMKM berada dibawah Kantor Koperasi dan UMKM. Sesuai dengan Peraturan Walikota Bogor No. 10 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Tata Kerja dan Uraian Jabatan Struktural di Lingkungan Kantor Koperasi dan UMKM, maka struktur organisasi Kantor Koperasi dan UMKM dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah ini. Kepala Kantor
Kepala Bagian Tata Usaha
Kasi Bina Lembaga dan Usaha Koperasi
Kasi Bina UMKM & PKL
Kasi Fasilitas Permodalan Koperasi dan UMKM
Sumber: Renstra Kantor Koperasi dan UMKM 2010-2014
Gambar 16 Struktur Organisasi Kantor Koperasi dan UMKM
Jumlah SDM aparatur Kantor Koperasi di tahun 2011 adalah sebanyak 23 orang PNS, terdiri dari 8 orang PNS di Bagian Tata Usaha, 6 orang PNS pada Bagian Bina Lembaga dan Usaha Koperasi, 5 orang PNS pada Bagian Bina UMKM dan PKL, dan 3 orang pada Bagian Fasilitas Permodalan Koperasi dan UMKM. Jumlah SDM Aparatur kantor ini lebih banyak pada Bagian Tata Usaha dibandingkan dengan SDM aparatur pada Bagian substansi. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi SDM di internal Kantor Koperasi dan UMKM belum memadai. Pemisahan Kantor Koperasi dan UMKM membawa implikasi pada meningkatnya jumlah pegawai. Misalnya di tahun 2009, jumlah SDM aparatur bidang koperasi dan UMKM pada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi adalah sebanyak 15 orang PNS, meningkat sebesar 7,1 persen dibandingkan tahun 2008 yang jumlahnya adalah sebanyak 14 orang. Kemudian, di tahun 2011 dengan terbentuknya Kantor Koperasi dan UMKM jumlah SDM aparatur menjadi meningkat secara signifikan, yaitu sebesar 53,3 persen dibandingkan tahun 2010, yang masih sebanyak 15 orang PNS (lihat Gambar 17).
75
25
60
20
50 40
15
persen
orang
30 10 20 5
10
0 Jumlah Pegawai PNS (orang)
0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
13
14
14
15
15
23
7,7
0,0
7,1
0,0
53,3
Pertumbuhan (persen)
Keterangan: Tahun 2006-2010, jumlah SDM Bidang Koperasi dan UMKM di Dinas Perindagkop Sumber: Kantor Koperasi dan UMKM, 2011
Gambar 17
Perkembangan Jumlah SDM Aparatur di Kantor Koperasi dan UMKM
Kompetensi SDM aparatur Kantor Koperasi dan UMKM diakui masih belum memadai dan penempatan aparatur belum sesuai dengan keahlian (Renstra Kantor Koperasi dan UMKM, 2011:8). Berdasarkan tingkat pendidikan, di tahun 2011 jumlah SDM aparatur yang merupakan lulusan dari program pendidikan Pasca Sarjana adalah sebanyak 3 orang PNS atau sebesar 13 persen dari total SDM aparatur di kantor ini, lulusan Sarjana Strata-1 adalah sebanyak 3 orang PNS, dan sisanya adalah SDM aparatur yang merupakan lulusan pendidikan SLTA, yaitu sebanyak 17 orang PNS atau sebesar 74 persen (lihat Gambar 18). Sarjana S2 13% Sarjana S1 13%
SLTA 74%
umber: Kantor Koperasi dan UMKM, 2011
Gambar 18
Persentase Jumlah SDM Aparatur Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor Menurut Tingkat Pendidikan di Tahun 2011
76
Konsekuensi lainnya dari adanya pemisahan bidang koperasi dan UMKM yang menjadi Kantor Koperasi dan UMKM
di tahun 2011 adalah adanya peningkatan
anggaran belanja daerah Kota Bogor di bidang kelembagaan. Di tahun 2010, anggaran belanja Bidang Koperasi dan UMKM di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Diperindagkop) adalah sebesar Rp 700 juta, atau meningkat sebesar 16,7 persen dibandingkan tahun 2009. Di tahun 2011, jumlah anggaran belanja untuk Kantor Koperasi dan UMKM menjadi sebesar Rp 1,23 miliar atau meningkat sebesar 75,3 persen dibandingkan tahun 2010 (lihat Gambar 19).
2,500,000,000.00
100 80
2,000,000,000.00
60 40
Anggaran 1,500,000,000.00 (Rp) 1,000,000,000.00
20
Anggaran (%)
0 -20 -40
500,000,000.00
-60 -
-80 2007
2008
2009
2010
2011
Anggaran Belanja (Rp) 1,962,226,000 1,995,172,000 600,000,000.0 700,000,000.0 1,227,000,000 Pertumbuhan (persen)
1.7
-69.9
16.7
75.3
Keterangan: Data 2009-2010 adalah anggaran belanja Bidang Koperasi dan UMKM di Diperindagkop Sumber: Kantor Koperasi dan UMKM, 2011
Gambar 19
Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja Kantor Koperasi dan UMKM Tahun 2009-2011
4.1.3. Sumberdaya Pada Dinas Pertanian Penyelenggaraan urusan pertanian berada dibawah manajemen Dinas Pertanian Kota Bogor. Dalam rangka menyelenggarakan urusan pertanian, Dinas Pertanian dipimpin oleh seorang kepala dinas, dibantu oleh 1 (satu) orang Sekretaris membawahi 3 (tiga) Sub Bagian, yaitu Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Sub Bagian Keuangan, Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan. Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura, membawahi: Seksi Pengolahan Hasil dan Pemasaran; Seksi Sumberdaya; dan Seksi Produksi. Bidang Peternakan, membawahi Seksi Kesehatan Hewan; Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner;
dan Seksi Produksi. Bidang Perikanan, membawahi Seksi
Pengolahan dan Mutu Hasil, Seksi Pemasaran dan Kelembagaan Usaha, Seksi Budidaya
77
dan Pengembangan. Dan UPTD Rumah Potong Hewan, yang dikelola oleh Sub Bagian Tata Usaha. Selain terdapat kelompok jabatan fungsional yang berfungsi pembinaan dan pemberdayaan terhadap pelaku usaha bidang pertanian/perikanan/ peternakan. Secara umum, struktur organisasi Dinas Pertanian Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 20 di bawah.
KEPALA DINAS SEKRETARIS
SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN
KELOMPOK
KEPALA BIDANG TANAMAN
JABATAN
PANGAN DAN HORTIKULTURA
KASI PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL
KASI SUMBERDAYA
KASI PRODUKSI
SUB BAGIAN KEUANGAN
KEPALA BIDANG PETERNAKAN
KASI KESWAN
KASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
SUB BAGIAN PERENCANAAN
KEPALA BIDANG PERIKANAN
KASI BINA PENGOLAHAN DAN MUTU HASIL
KASI BINA PEMASARAN DAN KELEMBAGAAN USAHA
KASI PRODUKSI
KEPALA UPTD RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
KASI BUDIDAYA DAN PENGEMBANGAN
SUB BAGIAN TATA USAHA
umber: Renstra 2010-2014 Dinas Pertanian
Gambar 20 Struktur Organisasi Dinas Pertanian Kota Bogor
SDM aparatur Dinas Pertanian Kota Bogor selama periode 2006-2011 terus mengalami peningkatan yang signifikan, misalnya di tahun 2006, jumlah SDM aparatur Dinas pertanian adalah sebanyak 55 orang PNS, meningkat menjadi sebanyak 71 orang PNS di tahun 2011 (lihat Gambar 21). Komposisi jumlah SDM aparatur di Dinas Pertanian adalah pada Bagian Sekretariat, yaitu sebanyak 17 orang PNS, dan sisanya berada di ke tiga bidang substantif lainnya.
78
80 70 60 50
Jumlah (Orang)
40 30 20 10 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
55
70
69
64
74
71
Jumlah SDM Aparatur (orang)
Sumber: Dinas Pertanian, 2011
Gambar 21 Perkembangan Jumlah SDM Aparatur Dinas Pertanian Tahun
2006-2011
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, pegawai dengan tingkat pendidikan pasca sarjana (strata-2) berjumlah 11 orang, strata-1 berjumlah 21 orang, diploma III berjumlah 13 orang, tamat SMU/sederajat berjumlah 15 orang, SMP/sederajat berjumlah 3 orang dan tamat SD/sederajat berjumlah 8 orang. Dibandingkan dengan Dinas atau unit kerja lain yang menjadi sampel dari penelitian ini, Dinas Pertanian Kota Bogor memiliki jumlah SDM yang lebih banyak merupakan lulusan program pendidikan Pasca Sarjana (lihat Gambar 22) Sarjana S2 15%
SD 11%
SLTP 4%
SLTA 21%
Sarjana S1 30% Diploma 18%
Sumber: Renstra 2010-2014 Dinas Pertanian
Gambar 22
Persentase Jumlah SDM Aparatur Dinas Pertanian Kota Bogor Menurut Tingkat Pendidikan di Tahun 2011
79
Alokasi anggaran belanja di Dinas Pertanian Kota Bogor pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 92,9 persen atau sebanyak Rp 14,9 miliar. Peningkatan anggaran belanja di tahun 2011, lebih disebabkan adanya rencana program pemerintah Kota Bogor untuk membangun rumah potong unggas terpadu. Di tahun 2010, anggaran belanja Dinas Pertanian adalah sebanyak Rp 7,8 miliar, yang berarti adanya peningkatan anggaran belanja sebesar 38,8 persen dibandingkan anggaran belanja tahun 2009 (lihat Gambar 23).
16,000,000,000
100
14,000,000,000
80
12,000,000,000
60
Anggaran 10,000,000,000 (Rp) 8,000,000,000
40 Anggaran 20
6,000,000,000 4,000,000,000
0
2,000,000,000
-20
-
-40 2006
2007
2008
2009
Anggaran Belanja (Rp)
8,530,921,750 10,883,843,573 7,277,538,447
5,556,748,315
Pertumbuhan (persen)
27.6
-23.6
-33.1
2010
2011
7,715,115,565 14,884,739,000 38.8
92.9
Sumber: Dinas Pertanian, 2011
Gambar 23 Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja Dinas Pertanian Tahun 2006-2011
4.2. Analisa Indikator Kinerja
Menurut Poister (2003:4), pengukuran indikator kinerja adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini informasi yang relevan terkait hasil pengukuran indikator kinerja terhadap pelaksanaan program organisasi sangat diperlukan untuk memperkuat manajemen dan pengambilan keputusan, dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan, dan meningkatkan akuntabilitas. Sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab III (Metodologi) bahwa dalam menganalisa indikator kinerja terdapat tiga tahapan analisa. Pertama, analisa konsistensi antar indikator kinerja pemerintah Kota Bogor yang tertuang dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan dokumen perencanaan lainnya, yaitu rencana strategi (Renstra) di masing-masing SKPD dalam hal ini adalah di Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
80
(%)
Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian. Kedua, analisa indikator kinerja dengan pendekatan SMART (Specific, Measureable, Acceptable, Realistic, Timely). Ketiga, analisa orientasi dari indikator kinerja yang ada dalam RPJMD Kota Bogor periode 20102014 tersebut.
4.2.1. 4.2.2. Analisa Konsistensi indikator kinerja
Secara keseluruhan, dokumen perencanaan pembangunan Kota Bogor di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian sudah konsisten, baik antara RPJMD Kota Bogor dengan rencana strategi (renstra) di masingmasing SKPD tersebut.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pada Urusan Perdagangan Berdasarkan tahapan proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 menunjukkan bahwa RPJMD Kota Bogor periode 2010-2014 telah dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Dinas Perindustrian dan Perdagangan 20102014. Hal ini menunjukkan adanya konsistensi dalam menentukan program, sasaran program, dan indikator kinerja di kedua dokumen perencanaan pembangunan tersebut pada urusan perdagangan. Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk urusan perdagangan telah secara detail menjabarkan target indikator kinerja tahunan sesuai dengan indikator kinerja yang terdapat dalam RPJMD. Dalam hal ini, Renstra dinas tersebut sudah memuat lebih rinci keterkaitan antara tujuan – program – sasaran program – strategi – rencana tindak (action plan) – indikator kinerja tahunan (lihat Gambar 24).
81
Sumber: RPJMD Kota Bogor dan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan 2010-2014
Gambar 24 Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan Perdagangan antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pada Urusan Perindustrian Rencana program dan indikator kinerja Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk urusan perindustrian dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 telah digunakan oleh Pejabat Perencanaan di dinas ini untuk menyusun Renstra dinas terkait urusan perindustrian. Terdapat dua indikator kinerja yang telah ditentukan dalam upaya mengukur pencapaian tujuan RPJMD tersebut pada urusan prindustrian, yaitu jumlah industri kecil dan menengah (IKM), dengan target sebanyak 3510 unit IKM, dan jumlah industri yang memanfaatkan teknologi tepat guna, dengan target sebanyak 750 unit IKM (lihat Gambar 25 di bawah).
82
Sumber: RPJMD Kota Bogor dan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan 2010-2014
Gambar 25 Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan Perindustrian antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kantor Koperasi dan UMKM Pada Urusan UMKM RPJMD Kota Bogor 2010-2014 telah digunakan oleh Kantor Koperasi dan UMKM untuk menyusun Renstra Kantor tersebut. Target indikator kinerja dalam RPJMD Kota Bogor tersebut telah dijabarkan secara detail dalam target indikator kinerja tahunan dalam Renstra 2011-2014 Kantor Koperasi dan UMKM. Bahkan Renstra kantor tersebut sudah memuat lebih rinci keterkaitan antara tujuan – program – sasaran program – strategi – rencana tindak (action plan) – target indikator kinerja tahunan. Pada Kantor Koperasi dan UMKM, indikator kinerja yang dianalisa peneliti adalah hanya fokus pada urusan UMKM. Indikator kinerja yang harus dicapai pada urusan UMKM dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor (yaitu persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM), dengan target di tahun 2014 adalah sebesar 9 persen, telah secara konsisten dituangkan dalam Renstra 2011-2014 Kantor Koperasi dan UMKM seperti yang terlihat pada Gambar 26 di bawah ini.
Sumber: RPJMD 2010-2014 Kota Bogor dan Renstra 2011-2014 Kantor Koperasi dan UMKM
Gambar 26
Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan UMKM antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Kantor Koperasi dan UMKM
83
Dinas Pertanian Penyusunan Renstra 2010-2014 Dinas Pertanian telah konsisten mengacu pada RPJMD 2010-2014 Kota Bogor, mulai dari tujuan, program sampai pada penentuan indikator kinerja. Di tambah lagi Renstra tersebut telah menjabarkan secara detail target indikator kinerja tahunan Dinas Pertanian. Bahkan Renstra dinas tersebut sudah memuat lebih rinci keterkaitan antara tujuan – program – sasaran program – strategi – rencana tindak (action plan) – target indikator kinerja tahunan. Indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor dan Renstra 2010-2014 Dinas Pertanian antara lain adalah peningkatan jumlah hewan yang dipotong di RPH, dengan target di tahun 2014 sebanyak 27.829 ekor; Jumlah komoditi pertanian yang bernilai tambah tinggi (tanaman hias, Ikan hias, jambu), dengan target adalah sebanyak 27 komoditi di tahun 2014; peningkatan jumlah produk pertanian yang dikemas sesuai standar, dengan target sebanyak 9 komoditi di tahun 2014; dan jumlah hewan ternak dan unggas yang divaksin, dengan target di tahun 2014 adalah sebanyak 203.750 ekor. Secara detail, indikator kinerja pada urusan pertanian dapat dilihat pada Gambar 27 di bawah ini.
Sumber: RPJMD 2010-2014 Kota Bogor dan Renstra 2010-2014 Dinas Pertanian
Gambar 27
Konsistensi Rencana Program dan Indikator Kinerja Urusan Pertanian antara RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dengan Renstra Dinas Pertanian
84
4.2.3. Analisa SMART Indikator Kinerja Penentuan beberapa indikator kinerja di masing-masing instansi (SKPD) belum spesifik. Selain itu, penentuan beberapa target indikator kinerja dapat dikatakan terukur, namun belum didasarkan pada database yang up to date, sehingga target indikator kinerja lima tahunan yang ada saat ini mudah bahkan terlalu mudah pencapaiannya. Secara detail, hasil analisa SMART dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9 Hasil Analisa SMART Indikator Kinerja
Bidang
Nilai SMART
Perdagangan
2.4 (Indikator kinerja dapat dipahami, namun sulit dievaluasi dan direalisasikan)
Perindustria n
UMKM
3.6 (Indikator kinerja dapat terukur dan dipahami) 4.2 (Indikator kinerja sudah tepat, jelas, dan dapat direalisasikan oleh instansi bersangkutan)
Analisa Deskriptif 1. Kurangnya koordinasi antara Bappeda dan Disperindag terkait upaya pencapaian indikator kinerja “Rasio Los Terisi Terhadap Jumlah Los Yang Tersedia”, yang menurut pejabat di bidang perdagangan tidak sesuai dengan fungsi Dinas, lebih tepat untuk indikator kinerja dari PD Pakuan Pasar Jaya 2. Pertumbuhan nilai ekspor kurun waktu 2010-2014 hanya ditentukan sebesar 15,8 persen, sedangkan pertumbuhan dari nilai ekspor pada periode 2004-2009 adalah sebesar 25,1 persen. 3. Target untuk indikator kinerja “Peningkatan ekspor” antara tahun 2010 dan 2011 adalah sama, yaitu sebesar US$ 149,9 juta Pencapaian Indikator kinerja “jumlah industri kecil dan menengah binaan” sangat mudah dicapai dan tergantung pada besaran dana. Pada tahun 2009 jumlah IKM sebanyak 3144 unit, target 2014 adalah 3510 unit, berarti hanya membutuhkan 366 unit.
Pencapaian Indikator kinerja “persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM” sangat mudah dicapai dan tergantung pada besaran dana yang dialokasikan. Tahun 2010, persentase UMKM binaan 8.8%, target 2014 adalah 9%.
85
Pertanian
3.6 (Indikator kinerja dapat terukur dan dipahami)
1. Indikator kinerja “Peningkatan jumlah hewan yang dipotong di RPH dan jumlah hewan ternak dan unggas yang divaksin” sudah terukur, namun belum spesifik. Indikator kinerja yang penting di Dinas Pertanian adalah “peningkatan produksi daging berkualitas halal di RPH”. Hal ini untuk mendukung program makanan halal di Kota Bogor. 2. Indikator kinerja “jumlah komoditi pertanian bernilai tambah tinggi (tanaman hias dan ikan hias)” kurang realistis dalam hal peningkatan nilai tambah produk sektor pertanian
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pada Urusan Perdagangan Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat pada urusan perdagangan menunjukkan bahwa indikator kinerja urusan perdagangan yang ada dalam dokumen perencanaan baik pada RPJMD Kota Bogor 2010-2014 maupun dalam Renstra (Rencana Strategi) Dinas Perindustrian dan Perdagangan memiliki nilai SMART adalah 2.4 (lihat Lampiran 1), yang berarti bahwa indikator kinerja pada urusan perdagangan dapat dipahami, namun sulit di evaluasi dan direalisasikan. Artinya indikator kinerja pada urusan perdagangan tidak dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan (yaitu “meningkatkan pengembangan perekonomian pada sektor perdagangan”) yang sudah ditentukan sebelumnya dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014, dan tidak dapat digunakan sebagai input untuk pengambilan keputusan dan perbaikan perencanaan pembangunan sektor perdagangan ke depan. Indikator kinerja urusan perdagangan Kota Bogor antara lain adalah Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia, target pencapaian adalah 60 persen di tahun 2014; Tingkat pengawasan barang beredar dan pengujian mutu barang, target pencapaian adalah 65 persen; dan Peningkatan nilai ekspor, dengan target pencapaian di tahun 2014 adalah US$ 175.377.273,76.
200.0
60
180.0 50
160.0 140.0 Ekspor (US$ 120.0 Juta) 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 Nilai Ekspor (US$ juta) Pertumbuhan (persen)
40 Ekspor (%) 30 20 10 0 2001
2005
2009
2014
81.8
121.1
151.5
175.4
48.0
25.1
15.8
86
Keterangan: Data 2001 dan 2009 bersumber dari BPS Kota Bogor Data 2005 adalah target tahunan urusan perdagangan dalam RPJMD Kota Bogor 2005-2009 Data 2014 adalah target RPJMD Kota Bogor 2010-2014 Sumber: Kota Bogor Dalam Angka Tahun 2007, 2008, dan 2009 RPJMD Kota Bogor 2010-2014
Gambar 28 Perkembangan dan Target Nilai Ekspor Kota Bogor Bila dianalisa lebih lanjut terhadap target indikator kinerja yang ada menunjukkan bahwa walaupun secara nominal target nilai ekspor periode 2010-2014 meningkat seperti pada Gambar 28, namun pertumbuhan nilai ekspor pada kurun waktu tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan pertumbuhan nilai ekspor selama periode 2005-2009, yaitu pertumbuhan nilai ekspor kurun waktu 2010-2014 hanya ditentukan sebesar 15,8 persen, sedangkan pertumbuhan dari nilai ekspor pada periode 2003-2009 adalah sebesar 25,1 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa target
pencapaian nilai ekspor yang ditentukan pemerintah Kota Bogor selama periode 20102014, tidak menunjukkan perbaikan dalam meningkatkan perekonomian pada sektor perdagangan. Selain itu, terdapat adanya kesalahan dalam penentuan target nilai ekspor di tahun 2010 dan 2011 dalam rencana kerja tahunan Dinas Perindustrian dan Perdagangan pada urusan perdagangan, yang mana masing-masing target memiliki nilai ekspor yang besarannya sama, yaitu sebesar US$ 149,9 juta. Hal ini dikhawatirkan menunjukkan bahwa selama periode 2010-2011 perkembangan nilai ekspor tidak mengalami peningkatan. Pada indikator kinerja “Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia”, menjadi isu dikalangan SDM Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yang menurut responden (Kepala Seksi Perdagangan Dalam Negeri) sulit pengukurannya dan tidak sesuai dengan indikator kinerja yang direkomendasikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan kepada Bappeda pada tahap proses penyusunan RPJMD tersebut. Selain itu, menurut responden pencapaian indikator kinerja tersebut merupakan tanggung jawab dari PD Pakuan Pasar Jaya selaku pengelola los-los milik pemerintah Kota Bogor. Kondisi ini menunjukkan bahwa mekanisme koordinasi dalam proses penyusunan perencanaan dan penentuan indikator kinerja untuk urusan perdagangan belum berjalan dengan baik antar instansi pemerintah daerah terkait, padahal perencanaan
87
pembangunan daerah dan indikator kinerjanya akan sangat mempengaruhi efektifitas pemanfaatan anggaran belanja pada pembangunan urusan perdagangan di Kota Bogor. Dengan kata lain adanya keterbatasan anggaran belanja pada urusan perdagangan harus diimbangi dengan penyusunan rencana pembangunan dan indikator kinerja yang lebih baik agar pemanfaatan anggaran publik tersebut dapat efektif dan efisien.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pada Urusan Perindustrian Hasil wawancara dengan pejabat dibidang perindustrian menunjukkan bahwa indikator kinerja urusan perindustrian dalam dokumen perencanaan baik pada RPJMD Kota Bogor 2010-2014 maupun dalam Renstra (Rencana Strategi) Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk urusan perindustrian memiliki nilai SMART adalah 3,6 (lihat Lampiran 1); yang berarti bahwa indikator kinerja pada urusan perindustrian dapat diukur, dipahami dan direalisasikan. Namun demikian, bila dilihat dari target indikator kinerja untuk urusan perindustrian yaitu “jumlah industri kecil dan menengah (IKM) sebanyak 3.510 unit IKM di tahun 2014”, menunjukkan bahwa pencapaian dari target indikator kinerja tersebut sangat mudah dan sangat tergantung pada besaran anggaran belanja di Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Artinya bila alokasi anggaran belanja di sektor UMKM lebih besar, maka jumlah IKM binaan secara langsung akan meningkat, demikian pula sebalikmya. Menurut data BPS Kota Bogor (2009) menunjukkan bahwa jumlah IKM di tahun 2009 adalah sebanyak 3.144 unit terdiri dari 958 unit IKM formal dan 2.186 unit industri kecil non-formal. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penentuan indikator kinerja di atas belum spesifik. Dalam hal ini, indikator kinerja pada urusan perindustrian lebih penting diarahkan untuk meningkatkan jumlah industri kecil formal atau mengurangi jumlah industri kecil non-formal, dibandingkan dengan indikator kinerja yang hanya memperhatikan peningkatan aspek jumlah IKM binaan semata. Apalagi jumlah industri kecil non-formal dari tahun 2007 sampai 2009 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Misalnya di tahun 2009, jumlah industri kecil non-formal meningkat sebesar 2,2 persen dibandingkan dengan jumlah industri non-formal tersebut di tahun 2008, yang jumlahnya adalah sebanyak 2.138 unit. Sebaliknya, jumlah IKM formal mengalami penurunan sebesar 0,21 persen di tahun 2009, dengan jumlah IKM sebanyak 958 unit.
88
Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya keseriusan pemerintah daerah untuk berkontribusi menangani masalah yang ada melalui identifikasi masalah di tingkat IKM formal dan program pengembangan industri kecil non-formal dalam rangka meningkatkan usaha di sektor formal. Secara detail, perkembangan IKM di sektor formal dan non-formal di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 29 berikut ini.
3 50 0 3 00 0 2 50 0
Jumlah IKM (unit)
2 00 0 1 50 0 1 00 0 50 0 0 IKM Formal (unit)
Industri Ke c il Non Formal (unit)
Total Jumlah IKM (unit)
2 00 7
84 7
2 05 1
28 98
2 00 8
96 0
2 13 8
30 98
2 00 9
95 8
2 18 6
31 44
Sumber: BPS, Kota Bogor Dalam Angka Tahun 2007, 2008, dan 2009
Gambar 29
Perkembangan Jumlah IKM di Sektor Formal dan Non-Formal Tahun 20072009
Kantor Koperasi dan UMKM Pada Urusan UMKM Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa indikator kinerja untuk urusan UMKM memiliki nilai SMART adalah 4,2 (lihat Lampiran 1), yaitu menunjukkan bahwa indikator kinerja sudah tepat, jelas, mudah dipahami dan dapat direalisasikan oleh unit kerja bersangkutan. Namun demikian, indikator kinerja untuk urusan UMKM seperti yang terlihat pada Gambar 25 di atas (Sub-Bab 4.2.1) menunjukkan adanya penekanan hanya pada pertambahan jumlah UMKM yang dibina, artinya bila besaran alokasi belanja publik pada kegiatan pembinaan Kantor Koperasi dan UMKM rendah, maka pertambahan jumlah UMKM yang dibina pun relatif rendah. Karena itu, indikator kinerja pada urusan UMKM dalam RPJMD 2010-2014 dapat dikatakan belum spesifik. Apalagi target indikator kinerja yang ditentukan sebesar 9 persen di tahun 2014 terlalu mudah untuk dicapai, karena di tahun 2010, persentase penambahan UMKM binaan sudah
89
mencapai 8,8 persen. Selama periode 2009-2010, telah terjadi lonjakan jumlah UMKM binaan Dinas Perindagkop, yaitu di tahun 2009 sebanyak 2019 unit UMKM binaan, meningkat menjadi sebanyak 2884 di tahun 2010. Peningkatan jumlah UMKM binaan sejalan dengan adanya peningkatan alokasi anggaran belanja bidang koperasi dan UMKM di Dinas Perindagkop di tahun 2010, yaitu sebesar Rp 975 juta (lihat Gambar 30). 35.000
10,0 9,0 8,0 7,0 Jumlah 6,0 5,0 UMKM (%) 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
30.000 25.000
Jumlah 20.000 UMKM 15.000 (unit) 10.000 5.000 -
2007
2008
2009
2010
Jumlah UMKM Binaan (unit)
1.949
1.984
2.019
2.884
Jumlah UMKM (unit)
31.837
32.147
32.256
32.902
6,1
6,2
6,3
8,8
Penambahan UMKM Binaan (persen)
Keterangan: Data 2007-2010 adalah jumlah UMKM yang dibina oleh Perindagkop Sumber: Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2011
Gambar 30
Perkembangan Jumlah UMKM Binaan Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor Tahun 2007-2010
Berdasarkan data Kantor Koperasi dan UMKM, indikator kinerja yang lebih tepat dalam rangka pencapaian tujuan RPJMD 2010-2014 Kota Bogor pada urusan UMKM adalah “peningkatan pertumbuhan kapasitas produksi UMKM binaan”. Di tahun 2010, nilai kapasitas produksi UMKM adalah sebesar Rp 3,70 triliun atau meningkat sebesar 20 persen dibandingkan tahun 2009, yang hanya sebesar Rp 3,08 triliun. Secara detail, perkembangan nilai produksi UMKM dapat dilihat pada Gambar 31 di bawah.
90
25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 -5,00 Kapasitas Produksi UMKM (Rp T)
2007
2008
2009
2010
2,95
3,11
3,08
3,70
5,3
-0,8
20,0
Pertumbuhan Peningkatan Produksi UMKM (persen)
Sumber: Kantor Koperasi dan UMKM, 2011
Gambar 31 Perkembangan Kapasitas Produksi UMKM Tahun 2007-2010
Indikator kinerja peningkatan kapasitas produksi UMKM akan memberikan gambaran terkait peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM. Perkembangan jumlah tenaga kerja di sektor UMKM selama periode 2007-2010 terus mengalami peningkatan, misalnya di tahun 2007, jumlah tenaga kerja di sektor UMKM adalah sebanyak 51.798 orang, meningkat menjadi sebanyak 58.249 orang di tahun 2010 (Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2011).
Dinas Pertanian
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa indikator kinerja pada urusan pertanian memiliki nilai SMART, yaitu 3,6 (lihat Lampiran 1); berarti adalah indikator kinerja Dinas Pertanian dapat diukur, dipahami dan direalisasikan. Bila dilihat dari indikator kinerja yang ada, misalnya “peningkatan jumlah hewan yang dipotong di RPH, dengan target di tahun 2014 adalah sebanyak 27.829 ekor” dan “jumlah hewan ternak dan unggas yang divaksin, target di tahun 2014 adalah sebanyak 203.750 ekor”, menunjukkan bahwa indikator kinerja tersebut telah terukur, namun belum spesifik. Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian serius dari Dinas Pertanian adalah konsistensi dari peningkatan produksi daging dengan mutu yang halal (termasuk bebas dari penyakit), sehingga indikator
91
kinerja yang penting di Dinas Pertanian adalah “peningkatan produksi daging berkualitas halal di RPH”.
4.2.4. Analisa Orientasi Indikator Kinerja (Output atau Outcome) Penentuan indikator kinerja pada urusan perdagangan, perindustrian, UMKM, dan pertanian dalam RPJMD Kota Bogor dan Renstra 2010-2014 di masing-masing unit kerja pemerintah (SKPD) lebih berorientasi output (keluaran), atau belum berorientasi pada
outcome (hasil). Hal ini mengindikasikan sulitnya pengukuran pencapaian tujuan pembangunan Kota Bogor dengan visi menjadikan Kota Bogor sebagai Kota Perdagangan sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014. Hal ini didukung dengan pernyataan dari responden yang merupakan anggota DPRD Kota Bogor pada Komisi B (bidang ekonomi), yang menyatakan pesimis atas upaya penyelenggaraan urusan pilihan pemerintah Kota Bogor dalam mencapai tujuan pembangunan daerah seperti yang tertuang dalam RPJMD Kota Bogor. Hal ini dikarenakan adanya proses penyusunan RPJMD Kota Bogor 2010-2014 yang terburu-buru, dan tidak sinkronnya proses penyusunan RPJMD Kota Bogor 2010-2014 yang baru direalisasikan pada tahun 2010, dengan proses penyusunan rancangan anggaran belanja pemerintah yang telah direalisasikan sejak tahun 2009. Dalam hal ini menurut responden adalah perlunya proses penyusunan RPJMD Kota Bogor yang sudah mulai disusun sejak awal tahun anggaran sebelumnya. Selain itu, penyusunan target indikator kinerja belum secara memadai memanfaatkan database yang up to date. Berdasarkan hasil klarifikasi dengan responden dari Bappeda Kota Bogor menunjukkan bahwa adanya pengakuan terhadap kekeliruan dalam menentukan indikator kinerja, termasuk pada penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan di sektor perdagangan, perindustrian, UMKM, dan pertanian, yang tidak berorientasi
outcome (hasil). Menurut responden kekeliruan dalam penentuan pendekatan indikator kinerja lebih disebabkan karena adanya ketidakjelasan panduan pemerintah pusat dalam membedakan indikator kinerja yang berorientasi output dan outcome, yaitu panduan yang disusun oleh Kementerian Pendayaan Aparatur Negara. Berdasarkan hasil analisa peneliti terhadap Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 29 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja Dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dalam Lampiran IB/4-5 yang menunjukkan
92
bahwa penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam dokumen perencanaan, terutama dalam renstra SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) adalah setidaknya berorientasi outcome. Namun, dalam peraturan ini tidak terdapat penjelasan yang detail mengenai perbedaan antara indikator kinerja berorientasi output dan outcome, sehingga wajar bila terjadi kesulitan atau kebingungan dalam membedakan antara indikator kinerja output dan outcome di tingkat daerah. Di tingkat pengusaha, yang diwakili oleh responden dari Kadinda menunjukkan bahwa program dan indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 yang terkait dengan pengembangan perekonomian daerah belum secara memadai diketahui. Menurut responden, masih terdapat adanya gap (kesenjangan) antara kebutuhan dunia usaha dengan perencanaan yang disusun oleh pemerintah dalam rangka pengembangan perekonomian Kota Bogor.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pada Urusan Perdagangan Indiktor kinerja untuk urusan perdagangan, menurut responden sudah berorientasi pada outcome (hasil). Namun demikian, bila mengacu pada fungsi indikator kinerja sebagai alat bantu untuk mengukur pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan pendekatan program logic model, menunjukkan bahwa indikator kinerja tersebut belum dapat digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan di sektor perdagangan. Hal ini dikarenakan indikator kinerja yang ada tidak berkaitan langsung dengan pengukuran pencapaian tujuan pada urusan perdagangan tersebut. Misalnya indikator “Peningkatan Nilai Ekspor”, tidak dapat secara langsung digunakan untuk mengukur
pengembangan
perekonomian
pada
sektor
perdagangan,
karena
meningkatnya nilai ekspor belum dapat dikatakan pengembangan perekonomian di sektor perdagangan meningkat. Kecuali, indikator tersebut diubah menjadi “Peningkatan Net Ekspor” yang merupakan komponen dalam PDRB, yang dapat digunakan untuk menunjukkan perkembangan pembangunan perekonomian suatu daerah dan dapat diukur dengan data yang up to date (lihat Gambar 32 di bawah).
93
Gambar 32
Indikator Kinerja Urusan Perdagangan Pada RPJMD Kota Bogor 2010-2014 Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika
Gambar 32 di atas mengindikasikan bahwa Pejabat Perencanaan dan pejabat di bidang
substantif
untuk
urusan
perdagangan
mengalami
kesulitan
dalam
menghubungkan antara indikator kinerja yang berbasis output (keluaran) dengan indikator kinerja berbasis outcome (hasil) pada urusan perdagangan Kota Bogor.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pada Urusan Perindustrian Menurut responden bahwa indikator kinerja yang ada sudah menerapkan pendekatan berorientasi outcome (hasil) atau tidak hanya berdasarkan pendekatan yang berorientasi output (keluaran). Berdasarkan analisa peneliti dengan menggunakan pendekatan Program Model Logika yang menggambarkan keterkaitan antara indikator kinerja urusan perindustrian tersebut dengan tujuan urusan perindustrian dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014, yaitu “Meningkatkan pengembangan perekonomian pada sektor industri”, mengindikasikan indiktor kinerja urusan perindustrian belum dapat digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan urusan perindustrian Kota Bogor tersebut. Kedua indikator kinerja tersebut, yaitu: “Peningkatan jumlah industri kecil dan menengah (IKM)” dan “Peningkatan jumlah industri yang memanfaatkan teknologi tepat guna (TTG)” lebih mengarah pada penerapan pendekatan yang berorientasi output (lihat Gambar 33 di bawah).
94
Gambar 33
Indikator Kinerja Urusan Perindustrian Pada RPJMD Kota Bogor 2010-2014 Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika
Pendekatan program model logika di atas mengindikasikan bahwa Pejabat Perencana baik di Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun di Bappeda mengalami kesulitan dalam menentukan indikator kinerja berorientasi output dan indikator kinerja yang berorientasi outcome.
Kantor Koperasi dan UMKM Pada Urusan UMKM Menurut responden di Kantor Koperasi dan UMKM menyebutkan bahwa indikator kinerja yang ada untuk urusan UMKM sudah berorientasi outcome (hasil). Namun demikian, bila di analisa lebih lanjut dengan menggunakan Program Model Logika dapat ditunjukkan bahwa tidak adanya keterkaitan langsung antara peningkatan UMKM binaan (sebagai indikator kinerja) dengan peningkatan peran UMKM dalam perekonomian daerah. Dalam hal ini, perlu adanya indikator kinerja yang berbasis
outcome (hasil), untuk menjembatani pengukuran pencapaian tujuan RPJMD 2010-2014 Kota Bogor pada urusan UMKM (lihat Gambar 34). Indikator kinerja (yaitu persentase penambahan UMKM binaan) yang ada saat ini belum dapat digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan RPJMD 2010-2014 Kota bogor di sektor UMKM, yaitu peningkatan peran UMKM pada perekonomian daerah.
95
Gambar 34
Indikator Kinerja Urusan UMKM Pada RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika
Dinas Pertanian
Berdasarkan hasil in-depth interview dari responden di Dinas Pertanian, responden menyatakan bahwa indikator kinerja yang ada sudah berorientasi outcome (hasil). Namun, bila dianalisa lebih lanjut keterkaitan indikator kinerja dalam mengukur pencapaian tujuan pada urusan pertanian dengan pendekatan Program Model Logika menunjukkan bahwa indikator kinerja yang ada belum dapat mampu mengukur pencapaian tujuan tersebut (lihat Gambar 35).
Gambar 35 Indikator Kinerja Urusan Pertanian di Dinas Pertanian Pada RPJMD 2010-2014 Kota Bogor Berdasarkan Pendekatan Program Model Logika 96
Keterbatasan indikator kinerja yang ada dalam mengukur pencapaian tujuan pada urusan pertanian lebih disebabkan karena: Pertama, tujuan yang ditetapkan pada urusan pertanian, yaitu “meningkatkan pengembangan sektor pertanian berbasis agribisnis” adalah sulit diukur pencapaiannya dan tidak dapat dicapai secara sendiri oleh Dinas Pertanian, tanpa koordinasi dan kerjasama dengan unit kerja lainnya dan pihak swasta, dengan kata lain pencapaian tujuan diatas tidak dapat dikendalikan secara penuh oleh Dinas Pertanian sendiri. Agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari rangkaian kegiatan dari beberapa subsistem yg saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (IPB, 2012). Sub sistem agribisnis meliputi: (1) Sub-sistem faktor input pertanian (input factor sub-system), yaitu pengadaan saprotan; (2) sub-sistem produksi pertanian (production sub-system), yaitu budidaya pertanian/usahatani; (3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian (processing sub-system), yaitu agroindustri hasil pertanian; (4) sub-sistem pemasaran (marketing sub-system), yaitu faktor produksi, hasil produksi dan hasil olahan; dan (5) sub-sistem kelembagaan penunjang (supporting institution sub-system) atau subsistem jasa (service subsystem), yaitu lembaga keuangan, lembaga pelatihan, dan lain-lain. Sehingga lebih tepat apabila pernyataan di atas digunakan dalam penyusunan misi yang sifatnya lebih luas, dan bukan untuk suatu tujuan yang harus dicapai dan dibebankan pada suatu unit kerja/instansi pemerintahan tertentu. Kedua, indikator kinerja yang ada untuk urusan pertanian lebih berorientasi pada output, dibandingkan berorientasi outcome. Salah satu contoh indikator kinerja yang berorientasi outcome pada urusan pertanian adalah peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kota Bogor, produktivitas bahan pangan utama lokal per hektar, atau pertumbuhan produksi daging yang berkualitas halal.
97
BAB V KONDISI PASAR TRADISIONAL DI KOTA BOGOR
5.1
Kondisi Bangunan Fisik Pasar Tradisional Di Kota Bogor Berdasarkan pada hasil penelitian dilapangan, kondisi bangunan fisik pasar
tradisional yang terdapat di Kota Bogor sudah perlu perbaikan. Kondisi fisik yang perlu diperbaiki terutama pada tiga pasar yang diteliti yaitu Pasar Bogor, Pasar Sukasari, dan Pasar Kebon Kembang adalah kondisi kios dan los pasar, kondisi koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan, dan kondisi bangunan yang perlu perbaikan.
5.1.1 Kondisi Kios dan Los Pasar Tradisional Pasar tradisional di Kota Bogor secara keseluruhan memiliki 6.042 kios dan 1.043 los dengan jumlah seluruhnya 7.085 unit. Kios dan los yang terdapat di pasar tradisional ini dimanfaatkan oleh pedagang pasar baik pedagang pakaian, hasil industri rumah tangga, alat rumah tangga, alat elektronik, dan hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan dan lainlain. Untuk mengetahui jumlah kios dan los yang terdapat di pasar tradisional, khususnya pada tiga pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kondisi Kios dan Los tahun 2009 No 1 2 3
Nama Pasar Bogor Sukasari Kebon Kembang Jumlah
Beroperasi 960 99 634
Kios Tutup 1.011 130 184
Jumlah 1.971 229 818
1.693
1.325
2.018
Beroperasi 198 70 864
Los Tutup 82 52 664
Jumlah 280 122 1.528
1.132
698
1.820
Sumber : RKT PD Pasar Pakuan Jaya (2010) Berdasarkan pada Tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa pada ketiga pasar masih lebih banyak jumlah kios yang tutup dibandingkan dengan jumlah kios yang buka. dari 4.542 kios, 1.059 kios buka dan 1.141 kios
98
masih tutup. Hal ini terjadi karena masih kurangnya minat masyarakat untuk berdagang didalam kios yang sudah disediakan oleh PD Pasar dikarenakan harga kios yang dianggap cukup mahal oleh pedagang. Berbeda dengan los, di ketiga pasar tradisional jumlah los yang buka lebih banyak dari pada los yang tutup dari 402 los yang terdapat di ketiga pasar, sebanyak 268 los buka dan 134 los masih tutup. Hal ini terjadi karena harga los lebih murah jika dibandingkan dengan kios.
5.1.2 Kondisi Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan Kondisi Dasar Bangunan dan Kondisi Lantai Bangunan merupakan sesuatui yang sangat penting dalam mengetahui kondisi pasar tradisional. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai koefisien yang menunjukkan kepada pengelola untuk mengetahui layak tidaknya kondisi pasar dan mengetahui tingkat kerusakan yang terjadi pada dasar dan lantai bangunan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan pelanggan dan pedagang bertransaksi di pasar. Kondisi KDB dan KLB Pada ketiga pasar dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kondisi Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan Kondisi Existing No
Nama Pasar
KDB KLB 1 Bogor 95% 6 2 Sukasari 70% 2 3 Kebon Kembang 80% 3 Sumber : Tim Kelayakan PD Pasar (2009)
Kebijakan Rencana Kota KDB KLB 80% 3-6 80% 3-6 80% 3-6
Berdasarkan pada Tabel 10 diatas terlihat bahwa kondisi KDB dan KLB di pasar bogor dan pasar kebon kembang masih terlihat baik (tinggi), dasar dan lantai bangunan masih layak untuk digunakan, belum perlu renovasi, hanya diperlukan pemeliharaan saja pada dasar dan lantai bangunan. Sementara kondisi KDB dan KLB di pasar sukasari terlihat
99
rendah (70% dan 2), artinya kondisi bangunan sudah rusak berat, perlu dilakukan uji kelayakan teknis apakah sekedar perbaikan struktur bangunan atau renovasi, sehingga bangunan pasar tidak layak untuk digunakan. Kebijakan pemerintah Kota Bogor adalah meningkatkan nilai KDB dan KLB pada pasar yang rusak berat, sehingga bangunan pasar dapat layak digunakan.
5.1.3 Kondisi Bangunan Gedung Pasar Tradisional Kondisi bangunan (gedung) di pasar tradisional memiliki peran yang sangat penting. Tingkat kenyamanan berbelanja pelanggan di pasar tradisional tidak hanya ditentukan oleh kondisi kebersihan bangunan saja, tetapi juga ditentukan oleh kondisi kualitas bangunan gedung pasar. Gedung pasar yang rusak, becek, berbau akan mempengaruhi pelanggan untuk malas berbelanja di pasar tradisional. Sebaliknya gedung pasar yang rapih, bersih, terawat dan indah akan menarik pelanggan berbelanja di pasar tradisional. Gedung pasar yang terdapat pada tiga lokasi pasar tradisional ini sangat strategis. Gedung pasar bogor lokasinya dekat dengan kebun raya sebagai tempat pariwisata, gedung pasar sukasari lokasinya berada di jalan menuju puncak (tempat pariwisata) dan gedung pasar kebon kembang lokasinya dekat dengan keramaian stasiun kereta api. Dengan letak lokasi yang strategis ini maka ketiga gedung pasar tradisional ini mendapat kunjungan banyak pelanggan. Berdasarkan pada hasil dari penelitian yang dilakukan oleh PD Pasar Pakuan Jaya pada tahun 2010, maka masih banyak kondisi bangunan pada ketiga pasar tradisional yaitu pasar Bogor, pasar Sukasari dan pasar Kebon Kembang bagian-bagian bangunan pasar yang perlu diperbaiki. Seperti di pasar Bogor lokasi basement, dalam dan luar gedung, dan ruang kantor. Pada pasar Sukasari beberapa bagian bangunan yang perlu diperbaiki diantaranya adalah bagian dalam dan luar gedung, lokasi lantai atas gedung, lokasi parkir dan MCK. Pada pasar Kebon Kembang, bagian gedung yang perlu diperbaiki diantaranya adalah lokasi parkir, tempat
100
pembuangan sampah, MCK dan perbaikan Blok A,B,E dan F. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Bangunan yang Perlu Diperbaiki No
Nama Pasar 1 2 3
4 1
Bogor
5
6 7 8 9 1 2
2
Sukasari
3
Kebon Kembang
3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perlu Renovasi Pengecatan luar gedung semua lantai Perbaikan pintu akses utama lantai basement Perbaikan pintu akses kecil lantai basement Perbaikan pintu akses dari luar ke lantai 1 Penggantian tangga Tangga dari basement ke lt 1 Tangga dari basement ke lt 2 Tangga dari lt 1 ke lt 2 Pagar sekeliling basement Penggantian keramik yang rusak Penatan jenis komoditi Perbaikan kantor Perbaikan lt 3 untuk wisata kuliner Pembuatan jalan tembus ke basement Pengecatan Gedung Penataan jenis komoditi Perbaikan keramik Perbaikan kantor Perbaikan lokasi parkir Renovasi MCK tiap lantai Pengecatan Perbaikan pintu akses Penggantian keramik yang rusak Penataan jenis komoditi Perbaikan kantor Perbaikan lokasi parkir Perbaikan lokasi bongkar muat Perbaikan MCK Pembangunan/ perbaikan TPS di abesin
Lokasi Dalam dan luar gedung Basement Basement
Lantai 1
Basement ke lt 1 Basement ke lt 2 Basement ke lt 1 Basement Basement dan lt 1 Basement Ruangan kantor Lt 3 Lt Basement Luar dan dalam gedung Lt 1 dan 2 Lt basement, 1 dan 2 Ruang kantor Depan dan belakang Semua lantai Blok A,B,E,F Blok A,B,E,F Blok A,B,E,F Blok A,B,E,F Ruang kantor Lokasi parkir Lokasi bongkar muat Semua blok Lokasi TPS
Sumber : Hasil Survei PD Pasar (2010)
101
5.2
Kondisi Fasilitas Listrik Pasar Tradisional di Kota Bogor Peran listrik di pasar tradisional sangat penting. Tidak hanya sebagai alat
penerangan tetapi juga dapat digunakan dalam mengawetkan sayuran, buahbuahan, daging, ikan,dan lain-lain. Hanya saja persoalan yang terjadi adalah belum lengkapnya sarana listrik dan masih banyaknya sarana listrik di pasar yang perlu renovasi. Seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Sarana Listrik yang Perlu Renovasi No
Nama Pasar 1
1
Bogor
2 3
Lokasi Basement ke lt 1 Basement lt 1 dan 2 Semua lantai
Lt 1 Gedung Semua lantai Blok A,B,E,F Kebon 3 kembang 2 Biaya pemeliharaan jaringan listrik Blok semua lantai A,B,E,F Sumber : Hasil survei PD Pasar (2010) 2
Sukasari
1 2 3 1
Perlu Renovasi Pemindahan panel listrik dari basement ke lantai 1 Perbaikan jaringan listrik (kabel, saklar, dll) Biaya pemeliharaan jaringan listrik semua lantai Perbaikan jaringan listrik lantai 1 Pengada an genset Pemeliharaan jaringan listrik Perbaikan jaringan listrik
Berdasarkan pada hasil survei PD Pasar Pakuan Jaya Kota Bogor tahun 2010, masih terdapat beberapa sarana listrik yang perlu perbaikan di tiga pasar tradisional tersebut. Sarana yang perlu di perbaiki antara lain perbaikan jaringan listrik, perlunya pengadaan genset dan perlunya penambahan biaya pemeliharaan jaringan listrik disemua lantai dan blok pasar.
5.3
Kondisi Fasilitas Drainase Pasar Tradisional di Kota Bogor Kondisi fasilitas drainase di pasar tradisional memiliki peran yang cukup
signifikan dalam membuat image pasar tradisional. Kondisi drainase yang tidak baik akan menyebabkan pasar tradisional terlihat kumuh dan kotor, becek karena sumbatan air buangan limbah pasar dan dapat mengganggu kebersihan serta sebagai sarang penyakit. Oleh karena itu, drainase di pasar harus selalu 102
diperhatikan oleh pengelola pasar dan dijaga oleh pedagang. Salah satu upaya menjaga drainase pasar agar tetap baik adalah dengan tidak membuang sampah/ sisa limbah dagangan ke dalam saluran air. Kondisi drainase di ketiga pasar tradisional di Kota Bogor adalah seperti terlihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Sarana Drainase yang Perlu Perbaikan No
Nama Pasar 1
Perlu Perbaikan Perbaikan Drainase luar
2 Saluran pipa air dalam gedung 3 Penggantian bak air 4 Pemeliharaan saluran air 1 Saluran pipa air dalam gedung 2 Sukasari 2 Biaya pemeliharaan saluran air 1 Perbaikan drainase luar 2 Saluran pipa air dalam gedung 3 Kebon kembang 3 Pengadaan bak air 4 Pemeliharaan saluran air Sumber : Hasil Survei PD Pasar (2010)
1
Bogor
Lokasi Keliling gedung Semua lantai Gedung Semua lantai Semua lantai Semua lantai Semua blok Semua blok Semua blok Semua blok
Berdasarkan pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa perbaikan sarana drainase pada ketiga pasar tradisional di Kota Bogor harus dilakukan pada sekeliling gedung, semua blok dan semua lantai. Beberapa sarana yang perlu diperbaiki antara lain : perbaikan drainase luar gedung, perbaikan pipa air dalam dan luar gedung, pergantian bak air dalam pasar dan pemeliharaan saluran air.
5.4
Kondisi Fasilitas Keamanan, Ketertiban dan Kebersihan Pasar Tradisional di Kota Bogor Salah satu faktor untuk mendorong masyarakat berbelanja di pasar
tradisional adalah dikarenakan kondisi yang keamanan, ketertiban dan kebersihan yang selalu terjaga di pasar. Pasar tradisional yang aman, tertib dan bersih akan diminati pelanggan untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa, namun sebaliknya kondisi pasar yang rawan pencurian (tidak aman), risuh tempat parkirnya (tidak tertib), dan kotor (tidak terjaga kebersihannya) akan ditinggal kan
103
oleh pelanggan. Kondisi fasilitas keamanan, ketertiban dan kebersihan pasar tradisional di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Sarana Ketertiban dan Keamanan yang Perlu Renovasi No
Nama Pasar 1 2 3
1
Bogor
4 5 6 1 2 3
2
Sukasari
4 5 6 1 2 3 4
3
Kebon kembang
5 6 7
Perlu Renovasi Penggantian APAR Pengisian tabung APAR Pembangunan pos keamanan
Lokasi Semua lantai Semua lantai 4 lokasi di pojok gedung Pengadaan Handy Talky Semua lantai Pengadaan radio panggil dan Semua lantai megaphone Pemeliharaan sarana fisik Semua lantai keamanan Penggantian APAR Semua lantai Pengisian tabung APAR Semua lantai Pembangunan pos keamanan Depan dan belakang Pengadaan alat komunikasi/ Semua lantai gandy talky Pengadaan radio panggil dan Semua lantai megaphone Pemeliharaan sarana fisik Semua lantai keamanan Penambahan APAR Semua blok Pengisian tabung APAR Semua blok Pembangunan pos keamanan Semua blok Pengadaan alat komunikasi/ Semua blok handy talky Pengadaan radio panggil dan Semua blok megaphone Sarana alat pemadam Semua blok kebakaran berupa hydrant Pemeliharaan sarana fisik Semua blok keamanan dan ketertiban
Berdasarkan pada Tabel 14, renovasi fasilitas keamanan dan ketertiban pada ketiga pasar tradisional di Kota Bogor masih perlu dilakukan. Terlihat bahwa beberapa fasilitas keamanan, ketertiban dan kebersihan yang perlu diperbaiki antara lain : pengisian dan penggantian tabung APAR, pembangunan dan renovasi pos keamanan, pengadaan alat komunikasi dan alat pemadam kebakaran, dan
104
pemeliharaan sarana fisik keamanan dan ketertiban.
Sementara untuk sarana
kebersihan yang perlu direnovasi seperti terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Sarana Kebersihan yang Perlu Renovasi No
1
Nama Pasar
Bogor
1 2 3 4
5 1
Perlu Renovasi Perbaikan TPS Penambahan tong sampah Pengadaan gerobak sampah Pengadaan peralatan kebersihan Pemeliharaan sarana fisik kebersihan Renovasi TPS
Lokasi Belakang gedung Semua blok Gedung Semua lantai Semua lantai
Depan belakang 2 Penambahan tong sampah Semua lantai 2 Sukasari 3 Pengadaan gerobak sampah Semua lantai 4 Penambahan peralatan Semua lantai kebersihan 1 Penambahan tong sampah Semua blok 2 Penambahan kontainer sampah Semua blok 1 setiap blok Kebon 3 Pengadaan gerobak sampah Semua blok 3 Kembang 4 Pengadaan peralatan Semua blok kebersihan 5 Pemeliharaan sarana fisik Semua blok kebersihan Sumber: Hasil Survei Lapangan PD Pasar (2010)
dan
Berdasarkan pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa pada ketiga pasar tardisional di Kota Bogor masih terdapat sarana kebersihan yang perlu di renovasi antara lain : perbaikan TPS, penambahan tong sampah dan gerobak sampah, penambahan peralatan kebersihan dan pemeliharaan sarana fisik kebersihan. Renovasi ini dilakukan pada semua blok disemuan lantai gedung pasar tradisional.
5.5
Kondisi PKL di Pasar Tradisional Kota Bogor Kota Bogor dikenal juga memiliki permasalahan di pasar tradisional yaitu
tentang penanganan pedagang kaki lima (PKL). Lokasi pasar tradisional yang memiliki banyak PKL akan menyebabkan ketidaknyamanan pada pejalan kaki,
105
kemacetan lalulintas, kekotoran dan kesemrawutan. Oleh karenanya diperlukan penanganan yang serius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan PKL. Pada tiga pasar tradisional yang diteliti terdapat 863 orang PKL. Lihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah PKL Di Pasar Tradisional Kota Bogor No 1 2 3
Nama Pasar Bogor Sukasari Kebon Kembang Jumlah Sumber : Hasil Survei PD Pasar (2010)
Jumlah PKL (orang) 463 60 340 863
Berdasarkan pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa jumlah PKL di pasar bogor lebih banyak dibandingkan jumlah PKL yang terdapat di pasar sukasari dan pasar kebon kembang. Hal ini terjadi karena kondisi fisik pasar Bogor, terutama dari sisi bangunannya (KDB dan KLB) lebih baik dari pada pasar Sukasari dan pasar Kebon Kembang. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin baik baik kondisi pasar, semakin banyak PKL berkeliaran. Untuk mengatasi persoalan ini, maka pengelola perlu melakukan penataan PKL dengan baik salah satunya dengan relokasi/ memindahkan ketempat yang tidak mengganggu ketertiban umum.
106
KESIMPULAN
6.1. Indikator Kinerja Alokasi sumberdaya dalam organisasi internal di masing-masing instansi belum memadai, misalnya jumlah SDM Bidang Sekretariat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SDM di bidang substansi (Inefficient Allocation of Resources). Kondisi ini berimplikasi pada alokasi belanja di masing-masing bidang. Pada Bidang Sekretariat, besaran alokasi anggaran belanja lebih tinggi dibandingkan pada bidang substansi di instansi pemerintah bersangkutan. Renstra 2010-2014 masing-masing instansi pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, dan Dinas Pertanian konsisten dengan program dan indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor. Namun demikian, penentuan target indikator kinerja belum memadai, yaitu belum spesifik dan terukur dengan baik. Keterbatasan pemahaman dan kesulitan untuk membedakan indikator kinerja berorientasi outcome (hasil) dengan indikator kinerja berorientasi output (keluaran), berimplikasi pada sulitnya pengukuran pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor sebagai Kota Perdagangan. Selama ini, penentuan indikator kinerja yang ada di RPJMD 2010-2014 Kota Bogor lebih berorientasi output (keluaran). Selain itu, penentuan target indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor belum memanfaatkan ketersediaan data BPS. Kondisi ini menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan Kota Bogor belum menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
6.2. Sinergi Perencanaan Perencanaan pembangunan dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintah Kota Bogor baik yang tertuang dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor maupun dalam Renstra 2010-2014 masing-masing instansi pemerintah daerah Kota Bogor belum bersinergi. Ditambah lagi, produk unggulan yang diprioritaskan di masing-masing instansi tersebut adalah berbeda-beda. Kondisi 107
ini menunjukkan bahwa kegiatan bidang pemasaran dan pengembangan kewirausahaan pada masing-masing instansi tersebut tidak dilakukan secara terintegrasi dan berimplikasi pada ketidakefisienan pemanfaatan pengeluaran publik. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih memfokuskan pada sinergi perencanaan pemerintahan yang bersifat vertikal berdasarkan struktur pemerintahan, dan belum secara memadai mengatur mengenai sinergi perencanaan pemerintahan yang berorientasi kompetensi inti, khususnya dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah.
108
REKOMENDASI
7.1. Indikator Kinerja
Program sosialisasi pedoman penyusunan indikator kinerja berorientasi output dan outcome perencanaan pembangunan Kota Bogor secara intensif harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat., dalam hal ini, Bappenas selaku koordinator perencanaan nasional harus berperan dalam rangka kegiatan sosialisasi tersebut. Penggunaan ketersediaan data BPS sebagai acuan untuk menentukan target sekaligus mengukur pencapaian indikator kinerja yang ada. Beberapa indikator kinerja berorientasi outcome dalam RPJMD Kota Bogor Periode 2010-2014 pada urusan perdagangan, perindustriaan, UMKM, dan pertanian adalah dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14 Beberapa Indikator Kinerja Berorientasi Outcome (Hasil) Pada Urusan Perdagangan, Perindustrian, UMKM, dan Pertanian Urusan Pertanian: 1. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kota Bogor 2. Tingkat kepuasan konsumen terhadap layanan RPH Urusan Industri: 1. Kontribusi sektor perindustrian terhadap PDRB Kota Bogor 2. Pertumbuhan industri kecil formal Urusan UMKM: 1. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM 2. Petumbuhan kredit permodalan perbankan di sektor UMKM Kota Bogor 3. Pertumbuhan jumlah UMK formal Urusan Perdagangan: 1. Kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB Kota Bogor 2. Ekspor bersih (net export) perdagangan Kota Bogor 3. Kontribusi penyerapan tenaga kerja
7.2. Strategi Penyusunan Sinergi Perencanaan Keterbatasan anggaran belanja pembangunan Kota Bogor menyebabkan keterbatasan dalam pengembangan usaha dan produk unggulan Kota Bogor secara keseluruhan. Untuk itu, pendekatan strategi yang dapat digunakan dalam menyusun
109
sinergi perencanaan antar instansi pemerintah Kota Bogor adalah strategi perencanaan dengan pendekatan kompetensi inti yang didukung dengan penyusunan indikator kinerja berorientasi outcome. Berdasarkan hasil penelitian pada Sub-Bab 5.2 Hal. 83-99 menunjukkan bahwa sasaran perencanaan pembangunan Kota Bogor adalah
pengembangan usaha Usaha Mikro dan Kecil (UMK), sedangkan produk unggulan yang diprioritaskan pengembangnya di Kota Bogor adalah produk makanan olahan daging dan produk olahan kulit. Bappeda selaku koordinator perencanaan pembangunan daerah harus berada paling depan secara pro-aktif dalam melakukan komunikasi dan koordinasi berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan rencana induk (master plan) pengembangan produk unggulan Kota Bogor dalam rangka mewujudkan sinergi perencanaan pembangunan daerah.
110
DAFTAR PUSTAKA
Advisory Service Supports For Decentralization (ASSD). 2009. Naskah Akademik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bidang Desentralisasi. GTZ-CIDA-Bappenas. Arzaghi, Mohammad dan J. Vernon Henderson. 2004. Why countries are fiscally decentralizing. Journal of Public Economics. Department of Economics, Brown University, 64 Waterman St., Providence, RI 02912, United States. http://www.elsevier.com/locate/econbase. 12/2/2011; 10.30AM. Basri, Zainul Yuswar dan Mulyadi Subri, 2005. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri., Jakarta : Rajawali Press. Berita Daerah Kota Bogor. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Bogor 2005-2025. Hal.2. Kota Bogor Boedisetio, Kawi. 2005. Pohon Industri. http://dc183.4shared.com/download/13wpteJ8/KB-Pohon_Industri-11.pptx BPKP. 2005. Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi). www.bpkp.go.id/unit/sakd/abkrevisi.pdf BPS Kota Bogor. Kota Bogor Dalam Angka Tahun 2010. Kota Bogor. BPS Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007. Kota Bogor. BPS Jawa Barat. 2009. Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 Covey, Stephen R. 2008. The 7 Habits of Highly Effective People. Ringkasan Padat oleh Michael Gray. MGI. Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Kementerian Keuangan. http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/72/. 10/3/2011. Dumairy, 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga Hariyoga, Himawan. 2009. Prinsip-Prinsip Pembangunan Daerah. Manajemen Pembangunan Daerah. Sekolah Pascasarjana. IPB. IPB. 2012. Agribisnis dan Agroindustri. Modul Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pertanian (PIP). http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/33112/1/kuliah%20PIP%20to pik%2012-05.pdf
111
Iversen, Mikael. 1997. Concepts of synergy - Towards a clarification. Working paper for the DRUID-seminar January 1997. Department of Industrial Economics and Strategy. Copenhagen Business School Nansensgade 19, 6. DK-1366 Copenhagen K. Denmark. Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Kersanah,
Nani
Grace.
2004.
Sinergi
Sebagai
Pendorong
Inovasi.
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../6911/6912.pdf.
Koswara. 2010. Proposal Penelitian: Strategi penyelarasan penyusunan APBD dengan RPJMD untuk meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana di Kota Bekasi. Magister Manajemen Pembangunan Daerah. Program Pascasarjana. IPB Lawrence D. Smith. 2001. Reform and Decentralization of Agricultural Services: A Policy Framework. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma. Local Government Support Program (LGSP). 2009 Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-Based) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia. USAID. Jakarta Mawardi, Ikhwanuddin. 2009. Pembangunan Daerah Yang Berorientasi Pada Pengembangan Komoditas Unggulan. Kuliah Umum Program Pasca Sarjana IPB, Manajemen Pembangunan Daerah Angkatan X-XI. Bogor. Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah. Aleh Media Komputindo. Kompas Gramedia. Jakarta Mulyana, Iman. 2007. Sinergi: Style of Management. http://id.shvoong.com/business-management/management/1658535-sinergistyle-management/. 28 Agustus 2007. Neergaard, Helle and John Parm U. 2007. Handbook of Qualitative Research Methods in Entrepreneurship. British Library. http://books.google.co.id. 18/1/2011;10.47AM. Nota Keuangan dan APBN http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/07-0816,%20NK%20&%20RAPBN%202008.pdf. 14/4/2011.
TA
2008,
Nota Keuangan dan APBN 1994-1998. http://www.fiskal.depkeu.go.id. 15/1/2011, 12.30PM.
112
Nota Keuangan dan APBN 1999-2003. http://www.fiskal.depkeu.go.id. 20/1/2011, 10.21AM. Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran 2010. Kemnterian Keuangan VI4:403. http://www.fiskal.depkeu.go.id. 10/2/2011. Parker, Wayne C. (1993). Performance Measurement in the Public Sector. State of Utah. www.rutgers.edu/Accounting/raw/seagov/pmg/perfmeasure, 12/9/2000, 15.32PM. Penjelasan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2010-2014 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 2009 Tentang Tatacara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No.38 Pemerintahan.
Tahun
2007
Tentang
Pembagian
Urusan
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 dan Penjelasannya Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN) Peraturan Walikota Bogor Nomor 36 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Tata Kerja dan Uraian Tugas Jabatan Struktural di Lingkungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Peraturan Walikota Bogor Nomor 41 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Tata Kerja dan Uraian Tugas Jabatan Struktural di Lingkungan Dinas Pertanian Poister, Theodore H. 2003.“Measuring Performance In Public And Nonprofit Organizations”. Published by Jossey-Bass A Wiley Imprint 989 Market Street, San Francisco. Third Edition.
113
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor Periode 2010-2014. Bab III: 3-5. Bappeda Kota Bogor. Rencana Strategi (Renstra) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor 2010-2014. 2011. Kota Bogor Rencana Strategi (Renstra) Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor 2011-2014. 2011. Kota Bogor Rencana Strategi (Renstra) Dinas Pertanian Kota Bogor 2010-2014. 2011. Kota Bogor Shah, Anwar dan Sanas Shah. 2005. The New Vision of Local Governance and the Governments. Evolving Roles of Local http://info.worldbank.org/etools/docs/library/239561/ ShahShah.pdf. Smith, Lawrence D. 2001. Reform and Decentralization of Agricultural Services: A Policy Framework. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma Solihin Dadang. 2008. Penyusunan Indikator Kinerja Pembangunan. Bimbingan Teknis Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah. Sanur-Bali. Tjokroamidjojo, Bintoro, Prof, H. 1995. Manajemen Pembangunan. PT Toko Gunung Agung. Jakarta. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Wiroatmodjo, Piran. 2001. Otonomi dan Pembangunan Daerah (Bahan ajar Diklatpim IV). Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Yuvarani, R. M. Phil Scholar. 2010. Role of Government in Developing Entrepreneurs. http://governmentpaid.com/role-of-government-indeveloping-entrepreneurs. Department of Commerce. Periyar University, Salem-11. New Delhi.
114
LAMPIRAN 1
PENILAIAN TERHADAP INDIKATOR KINERJA PADA URUSAN PERDAGANGAN DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN Nilai
Kriteria SMART Specific (Spesifik)
Measurable (Terukur) Acceptable (Dapat Diterima) Realistic (Realistis)
1
Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia Tingkat Pengawasan Barang Beredar dan pengujian mutu barang Peningkatan Nilai ekspor Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia Tingkat Pengawasan Barang Beredar dan pengujian mutu barang Peningkatan Nilai ekspor Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia Tingkat Pengawasan Barang Beredar dan pengujian mutu barang Peningkatan Nilai ekspor
1
Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia
1
Time-bound (Rentang Waktu
Tingkat Pengawasan Barang Beredar dan pengujian mutu barang Peningkatan Nilai ekspor
3
4
2 3 1 2 4 2
4 2
Tingkat Pengawasan Barang Beredar dan pengujian mutu barang Peningkatan Nilai ekspor Rasio los terisi terhadap jumlah los yang tersedia
2
2 4 1 2 4
Statistik Deskriptif - SPSS
SMART_PERDAGANGAN
N
Mean
15
2.40
115
5
PENILAIAN TERHADAP INDIKATOR KINERJA PADA URUSAN PERINDUSTRIAN DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN Nilai
Kriteria SMART Specific (Spesifik) Measurable (Terukur) Acceptable (Dapat Diterima) Realistic (Realistis) Time-bound (Rentang Waktu
1
Peningkatan jumlah industri kecil dan menengah (kumulatif) Peningkatan jumlah industri yang memanfaatan Teknologi Tepat Guna Peningkatan jumlah industri kecil dan menengah (kumulatif) Peningkatan jumlah industri yang memanfaatan Teknologi Tepat Guna Peningkatan jumlah industri kecil dan menengah (kumulatif) Peningkatan jumlah industri yang memanfaatan Teknologi Tepat Guna Peningkatan jumlah industri kecil dan menengah (kumulatif) Peningkatan jumlah industri yang memanfaatan Teknologi Tepat Guna Peningkatan jumlah industri kecil dan menengah (kumulatif) Peningkatan jumlah industri yang memanfaatan Teknologi Tepat Guna
2
3
SMART_PERINDUSTRIAN
Mean
10
3.60
5
4 4 4 2 5 3 3 3 5 3
Statistik Deskriptif - SPSS N
4
116
PENILAIAN TERHADAP INDIKATOR KINERJA PADA URUSAN UMKM DI KANTOR KOPERASI DAN UMKM
Kriteria SMART Specific (Spesifik) Measurable (Terukur) Acceptable (Dapat Diterima) Realistic (Realistis) Time-bound (Rentang Waktu
Nilai 1
2
3
Peningkatan Persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM Peningkatan Persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM
4
5 4
Peningkatan Persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM
4
Peningkatan Persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM
4
Peningkatan Persentase pertambahan UMKM yang dibina dari total UMKM
4
Statistik Deskriptif - SPSS
SMART_UMKM
N
Mean
5
4.20
5
117
PENILAIAN TERHADAP INDIKATOR KINERJA PADA URUSAN PERTANIAN DI DINAS PERTANIAN
Kriteria SMART
Specific (Spesifik)
Measurable (Terukur)
Acceptable (Dapat Diterima)
Realistic (Realistis)
Time-bound (Rentang Waktu
Peningkatan Jumlah hewan yang dipotong di RPH Peningkatan Jumlah komoditi pertanian yang bernilai tambah tinggi (tanaman hias, ikan hias, jambu dsb) Peningkatan Persentase ternak dan unggas yang divaksin (jumlah yang divaksin/total jumlah ternak unggas) Peningkatan Jumlah produk pertanian yang dikemas sesuai standar Peningkatan Jumlah hewan yang dipotong di RPH Peningkatan Jumlah komoditi pertanian yang bernilai tambah tinggi (tanaman hias, ikan hias, jambu dsb) Peningkatan Persentase ternak dan unggas yang divaksin (jumlah yang divaksin/total jumlah ternak unggas) Peningkatan Jumlah produk pertanian yang dikemas sesuai standar Peningkatan Jumlah hewan yang dipotong di RPH Peningkatan Jumlah komoditi pertanian yang bernilai tambah tinggi (tanaman hias, ikan hias, jambu dsb) Peningkatan Persentase ternak dan unggas yang divaksin (jumlah yang divaksin/total jumlah ternak unggas) Peningkatan Jumlah produk pertanian yang dikemas sesuai standar Peningkatan Jumlah hewan yang dipotong di RPH
Peningkatan Jumlah komoditi pertanian yang bernilai tambah tinggi (tanaman hias, ikan hias, jambu dsb) Peningkatan Persentase ternak dan unggas yang divaksin (jumlah yang divaksin/total jumlah ternak unggas) Peningkatan Jumlah produk pertanian yang dikemas sesuai standar Peningkatan Jumlah hewan yang dipotong di RPH Peningkatan Jumlah komoditi pertanian yang bernilai tambah tinggi (tanaman hias, ikan hias, jambu dsb) Peningkatan Persentase ternak dan unggas yang divaksin (jumlah yang divaksin/total jumlah ternak unggas) Peningkatan Jumlah produk pertanian yang dikemas sesuai standar
Nilai 1
2
3
SMART_PERTANIAN
Mean
20
3.60
5
2 4 2 4 3 4 3 4 3 4 3 5 5 5 5 3 3 3 3
Statistik Deskriptif – SPSS N
4
4
118