KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA Oleh: Drs. H. Masrum M Noor, MH (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) A. PERMASALAHAN Konsinyasi adalah salah satu kompetensi Pengadilan Agama, namun oleh karena dalam praktik di Pengadilan Agama perkara tersebut jarang terjadi, bahkan di sebagian banyak Pengadilan Agama konsinyasi tersebut tidak pernah terjadi, sehingga sebagian besar aparat Peradilan Agama belum mengenal apa itu konsinyasi, bahkan cenderung mengabaikannya, meskipun konsinyasi merupakan salah satu tugas pokok Pengadilan Agama karena berhubungan langsung dengan pelayanan hukum bagi masyarakat pencari keadilan. Penulis berkeyakinan dengan pembahasan singkat ini akan menambah wawasan aparat peradilan agama tentang konsinyasi, sehingga dalam pelaksanaannya, dapat dilakukan dengan tepat, benar, efektif dan efisien. Selama ini kita mengenal konsinyasi/consignasi terbatas sebagai penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata: “jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran yang demikian, diikiti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukandengan cara menurut Undang-Undang; sedangkan apa yang dititpkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang”. Aparat Pengadilan Agama yang selama ini memahami konsinyasi hanya sekedar sebagai titipan dari salah satu pihak yang berperkara kepada Pengadilan Agama, baik titipan itu berupa uang ataupun barang, titipan mana dimaksudkan untuk diserahkan kepada pihak lawan yang bersengketa dan berhak menerimanya. Pengadilan Agama menerima uang atau barang titipan itu dengan membuat berita acara penitipan begitu 1
saja atau dengan semacam tanda bukti titipan, tanpa prosedur konsinyasi (penitipan) yang benar menurut undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka berikut ini akan dibahas serba singkat tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan konsinyasi di Pengadilan Agama, meliputi: 1. Pengertian Konsinyasi; 2. Konsinyasi di Pengadian Agama; 3. Menejemen konsinyasi di Pengadilan Agama. B. PENGERTIAN KONSINYASI Konsinyasi (Belanda: consignasi, Ingris: consign, consignment) secara bahasa berarti menyerahkan, mengirimkan atau menyampaikan sedang secara istilah hukum berarti penitipan uang kepada pengadilan. Dalam perkembangannya kata konsinyasi sering digunakan dalam dunia bisnis dengan pengertian menitipkan barang kepada orang lain untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian, jual beli dengan cara menitipkan barang kepada orang lain atau agen tertentu disebut dengan jual beli dengan system konsinyasi). Istilah konsinyasi juga sering digunakan dalam dunia property yang pada saat akan membebaskan lahan; masyarakat pemilik tanah yang bersangkutan tidak mau menerima pembayaran harga tanah yang sudah disepakati. Begitu juga, istilah konsinyasi sering digunakan oleh Negara yang pada saat melakukan pembayaran ganti rugi tanah masyarakat yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan jalan tol attau fasilitas umum lainnya, namun pada saat pembayaran ganti rugi, masyarakat pemilik tanah tidak mau menerimanya, padahal harga ganti rugi itu telah disetujui, sehingga uang ganti rugi tersebut dititipkan kepada Pengadilan Negeri sebagai uang konsinyasi. Dengan demikian, konsinyasi yang pada awalnya hanya dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa utang piutang antara debitur (yang berutang) dan kreditur 2
(yang berpiutang/yang mengutangi), dengan alasan karena kreditur melanggar kesepakatan atau perjanjian berupa tidak lagi mau menerima sejumlah harga barangnya yang sudah disepakati, namun akhir-akhir ini istilah konsinyasi juga digunakan dalam dunia bisnis dan pembebasan lahan tanah. Yakni, istilah konsinyasi bukan hanya digunakan dalam perkara utang-piutang, akan tetapi juga diguakan dalam masalah pemenuhan hak dan kewajiban. Artinya orang yang menurut hukum (termasuk oleh putusan pengadilan) diwajibkan untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang berhak, namun oleh karena orang yang berhak itu menolak menerimanya, sehingga orang yang berkewajiban tersebut menitipkan uangnya kepada pengadilan. Akibat hukum dari konsinyasi adalah pembebasan debitur/orang yang berutang dari perikatan (dalam hal utang piutang) dan atau pembebasan seseorang dari kewajiban membayar atau menyerahkan barang yang dibebankan kepadanya. Pembebasan tersebut mengakibatkan: 1. Debitur/orang yang dibebani kewajiban membayar uang atau menyerahkan barang dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi atau ganti rugi dengan mengemukakan adanya konsinyasi; 2. Debitur/orang yang dibebani kewajiban membayar atau menyerahkan barang tidak lagi berutang bunga atau bertanggung jawab atas kerusakan barangnya; 3. Sejak penitipan, kreditur/orang yang berhak menerima uang atau barang konsinyasi menanggung resiko atas barangnya. C. KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA a. Konsinyasi yang berhubungan dengan utang putang: Sebagaimana dimaklumi, bahwa perkara utang piutang pada umumnya bukanlah wewenang Pengadilan Agama, namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 3
Agama, maka Pengadilan Agama memasuki babak baru dengan diberikannya wewenang mengadili perkara ekonomi syari’ah. Dalam perkara ekonomi syari’ah tersebut dimungkinkan adanya sengketa utang piutang dalam transaksi mudharabah atau murabahah di perbankan syari’ah, baik antara orang dengan bank syari’ah atau lembaga keuangan syari’ah lainnya, atau antar lembaga keuangan syari’ah atau perbankan syariah satu sama lain, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan dipergunakan lembaga konsinyasi di Pengadilan Agama. Sejauh pengetahuan Penulis, sampai saat ini belum pernah ada konsinyasi macam ini yang terjadi di Pengadilan Agama, mungkin memang sengketa utang piutang yang transaksinya berdasarkan prinsip syariah selama ini dapat diselesaikan melalui forum lain atau lembaga lain selain lembaga konsinyasi atau bahkan memang belum pernah ada kasus utang piutang secara syar’iy yang memerlukan konsinyasi sama sekali. Namun demikian bagi aparat Pengadilan Agama tidak boleh lengah, apalagi mengabaikan persoalan konsinyasi ini, karena dimasa yang akan datang sangat mungkin akan terjadi. Tata kelola pelaksanaan konsinyasi utang piutang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sebagai berikut: 1. Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan (konsinyasi). (Pasal 1404 KUH Perdata); 2. Penawaran dan penitipan tersebut membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal dilakukan menurut undang-undang (harus disahkan oleh hakim/Pengadilan) (Pasal 1404 KUH Perdata); 3. Syarat sahnya penawaran dalam konsinyasi (Pasal 1405 KUH Perdata): 1)
Penawaran dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
4
2)
Penawaran dilakukan oleh orang yang berkuasa untuk
membayar; 3)
Penawaran mengenai seluruh uang pokok yang dapat dituntut dan bunga yang dapat ditagih serta biaya yang telah ditetapkan;
4)
Bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk kepentingan kreditur;
5)
Syarat yang menjadi beban utang telah terpenuhi;
6)
Penawaran dilakukan di tempat yang menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan atau jika tiada suatu persetujuan khusus mengenai itu, kepada kreditur pribadi atau di tempat tinggal yang sebenarnya atau tempat tinggal
yang telah
dipilihnya; 4. Syarat sahnya penyimpanan atau penitipan dalam konsinyasi (Pasasl 1406 KUH Perdata): 1)
Sebelum penyimpanan, kepada kreditur disampaikan keterangan yang memuat hari, jam dan tempat penyimpanan;
2)
Debitur telah melepaskan barang yang ditawarkannya itu dan menitipkankannya pada Pengadilan yang akan mengadilinya jika ada perselisihan beserta bunga sampai pada saat penitipan;
3)
Oleh Notaris atau Jurusita masing-masing disertai dua orang saksi dibuat berita acara yang memuat jenis mata uang, penolakan kreditur dan pelaksanaan penyimpanan tersebut;
4)
Jika kreditur tidak datang untuk menerimanya, berita acara tentang penitipan diberitahuakan kepadanya, dengan peringatan untuk mengambil apa yang dititipkan itu;
5
5. Biaya penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan harus dipikul oleh kreditur (Pasal 1407 KUH Perdata); 6. Selama apa yang dititipkan tidak diambil oleh kreditur, debitur dapat mengambilnya kembali (Pasal 1408 KUH Perdata); 7. Akan tetapi bila debitur sudah memperoleh putusan hakim/Pengadilan yang menyatakan sah penawarannya (konsinyasinya), maka debitur tidak dapat lagi mengambil kembali apa yang dititipkan (Pasal 1409 KUH Perdata); 8. Kreditur yang telah mengijinkan barang yang dititipkan itu diambil kembali oleh debitur setelah penitipan itu dikuatkan putusan hakim, tidak dapat lagi menggunakan hak-hak istimewanya atau hipotik yang melekat pada piutang tersebut untuk menuntut pembayaran piutangnya (Pasal 1411 KUH Perdata); 9. Jika dengan perantaran pengadilan, debitur telah memperingatkan kepada kreditur untuk mengambil barang yang dititipkan, tetapi kreditur tidak mengambilnya, maka debitur dapat diijinkan oleh hakim/pengadilan untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain (Pasal 1412 KUH Perdata). Sehubungan dengan konsinyasi utang piutang di Pengadilan Agama, Mahkamah Agung RI telah memberi petunjuk tentang tata cara penitipan/konsinyasi utang piutang sebagaimana tercantum dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama edisi revisi cetakan 2013 halaman 133 - 135, sebagai berikut: 1. Yang
berutang
mengajukan
permohonan
tentang
penawaran
pembayaran dan penitipan ke Pengadilan Agama yang meliputi tempat di mana persetujuan pembayaran harus dilakukan (debitur sebagai Pemohon dan kreditur sebagai Termonon);
6
2. Dalam hal tidak ada persetujuan, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama dimana Termohon bertempat tinggal atau tempat tinggal yang telah dipilihnya; 3. Permohonan
konsinyasi
didaftar
dalam
register
permohonan
konsinyasi; 4. Ketua Pengadilan Agama memerintahkan Jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi dalam bentuk surat penetapan untuk melakukan penawaran pembayaran kepada si berpiutan (kriditur) pribadi di tempat tinggalnya atau tempat tinggal pilihannya; 5. Jurusita
disertai 2 (dua) orang saksi menjalankan perintah Ketua
Pengadilan Agama Tersebut dan dituangkan dalam berita acara tentang pernyataan kesedian untuk membayar (aanbod van gereede betaling); 6. Pihak berpiutang diberikan salian berita acara tersebut; 7. Juru sita membuat berita acara pemberitahuan, bahwa karena pihak berpiutang menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan (konsinyasi) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan dalam berita acara tersebut; 8. Pada waktu yang telah ditentukan tersebut pada angka 7, Jurusita dengan disertai 2 orang saksi menyerahkan uang tersebut kepada Panitera Pengadilan Agama dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya untuk disimpan di kas kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang konsinyasi; 9. Agar pernyataan kesediaan untuk membayar yang diikuti dengan penyimpanan tersebut sah dan berharga, harus diikuti dengan
7
pengajuan permohonan oleh si berutang terhadap berpiutang sebagai Termohon kepada Pengadilan Agama dengan petitum: -
Menyatakan sah dan berharga penawaran pembayaran dan penitipan sebagai konsinyasi.
-
Menghukum Pemohon membayar biaya perkara.
b. Konsinyasi yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan: Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa perkembangan pelaksanaan konsinyasi pada saat ini tidak lagi hanya di bidang utang piutang, akan tetapi konsinyasi juga dipraktikkan dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan. Pedoman yang tercantum dalam buku II edisi revisi 2013 Peradilan Agama ternyata hanya terbatas pada konsinyasi yang berhubungan dengan utang piutang, sedangkan konsinyasi yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan, terutama di Pengadilan Agama, sampai saat ini belum ada peraturan perundangundangannya atau petunuk-petunjuk lainnya yang mengaturnya. Dalam praktik di sebagian besar Pengadilan Agama selama ini, pelaksanaan konsinyasi yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan sering terjadi dalam bentuk antara lain sebagaiman contoh dibawah ini: 1. Dalam putusan perkara cerai talak terdapat amar: “Menghukum Pemohon (suami) membayar mut’ah kepada Termohon (isteri) sebesar Rp 1.5 M”. Pada saat sidang ikrar talak, Pemohon telah membawa uang dimaksud untuk diserahkan kepada Termohon di depan sidang ikrar talak, akan tetapi ternyata Termohon tidak hadir dalam sidang ikrar talak tersebut, sehingga uang mut’ah tidak dapat diserahkan saat itu juga. Kemudian Pemohon menitipkan uang mut’ah tersebut kepada Pengadilan Agama. 2. Pada saat sidang ikrar talak, bekas suami (Pemohon) menyerahkan sebuah jam tangan kepada bekas isterinya (Termohon) sebagai mut’ah sesuai dengan amar putusan Pengadilan Agama, namun Termohon tersebut tidak 8
mau menerimanya, sedangkan Pemohon juga tidak mau mengambil kembali jam tangan tersebut. Kemudian Pemohon bermaksud menitipkan jam tangan itu kepada Pengadilan Agama. 3. Dalam eksekusi putusan perkara pembagian harta warisan, ternyata pada saat diadakan pelaksanaan pembagian harta waris, ada sebagian ahli waris yang tidak hadir, sehingga bagiannya tidak bisa diserahkan kepadanya. Kemudian Panitera sebagai pelaksana pembagian warisan bermaksud mengamankan bagian ahli waris yang belum dapat diserahkan tersebut dengan menyimpannya di kepaniteraan Pengadilan Agama. 4. Dalam eksekusi putusan perkara pembagian harta bersama secara riil, mantan suami tidak mau merima bagiannya, sedang mantan isteri juga tidak mau dititipi bagian suaminya yang tidak diterima tersebut. Kemudian Pengadilan Agama sebagai eksekutor bermaksud mengamankan bagian harta bersama milik mantan suami tersebut di pengadilan Agama. Selama ini Pengadilan Agama menyimpan uang atau barang hasil eksekusi tersebut di kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang atau barang konsinyasi hanya dengan membuat berita acara penyimpanan/penitipan, bahkan kadang-kadang hanya dengan kwitansi atau tanda terima penyimpanan/penitipan. Menurut Penulis penyimpanan/penitipan oleh Pengadilan Agama tersebut tidak tepat dan tidak dapat disebut sebagai konsinyasi, karena tanpa adanya penetapan hakim atau Ketua Pengadilan Agama yang menyatakan sah dan berharga penyimpanan/penitipan tersebut sebagai konsinyasi. Kedua konsinyasi yang berkaitan dengan utang-piutang dengan konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi saya kira harus dibedakan. Bila konsinyasi yang berkaitan dengan utang piutang, inisiatif penawaran dan penitipannya berasal dari debitur, sedangkan konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi, inisiatif penawaran dan penitipannya berasal dari Pengadilan Agama itu sendiri. Oleh karena itu bagi konsinyasi yang berkaitan dengan utang-piutang harus ditempuh prosedur sebagaimana ditentukan dalam KUH Perdata dan Buku II Peradilan Agama. sedangkan konsinyasi 9
yang
berkaitan
dengan
eksekusi
kiranya
cukup
adanya
berita
acara
penyimpanan/penitipan yang dibuat oleh Panitera sebagai Pelaksana eksekusi serta penetapan Hakim atau Ketua Pengadilan Agama yang amarnya berbunyi: “Menyatakan sah dan berharga penitipan sebagai konsinyasi”. Suatu titipan, baik berupa uang atau barang di Pengadilan Agama yang tanpa penetapan hakim atau Ketua yang menyatakan sah dan berharga, status titipan tersebut bukanlah konsinyasi. Apabila setelah dilakukan secara sah suatu titipan, maka selanjutnya dapat dianalogkan dengan ketentuan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2008, tentang Pemungutan Biaya perkara pada angka 3 dan 4 yang menyatakan sebagai berikut: 3. Apabila ada kelebihan uang yang tidak terpakai dalam proses berperkara, maka biaya tersebut wajib dikembalikann kepada pihak yang berhak, bilamana biaya tersebut tidak diambil dalam waktu 6 (enam) bulan setelah pihak yang bersangkutan diberitahu, maka uang kelebihan tersebut dikeluarkan dari buku jurnal yang bersangkutan dan dicatat dalam buku tersendiri sebagai uang tang bertuan (1948 KUH Perdata). Uang tak bertuan tersebut secara berkala disetorkan ke kas Negara. 4. Apabila ada uang yang dikonsinyasikan oleh pihak-pihak yangbberhubungan dengan pengadilan, maka uang tersebut wajib disimpan di Bank, apabila uang tersebut menghasilkan jasa giro, maka uang jasa giro tersebut wajib disetorkan kepada Negara. Norma yang terdapat dalam angka 3 dari SEMA di atas dapat di pergunakan dalam hal konsinyasi, yakni bilamana uang atau barang konsinyasi tidak diambil dalam waktu 6 (enam) bulan setelah pihak yang bersangkutan diberitahu tentang adanya konsinyasi tersebut, maka uang atau barang konsinyasi dapat dianggap sebagai uang atau barang tak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara. Sedangkan norma yang terdapat dalam angka 4 dari SEMA tersebut juda mesti diamalkan, yakni, bahwa uang atau barang konsinyasi tersebut harus disimpan pada bank, bukan di kepaniteraan Pengadilan Agama. 10
Dengan demikian, prinsip konsinyasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan putusan di Pengadilan Agama yang terpenting adalah adanya penetapan dari Pengadilan Agama tentang sah dan berharganya penitipan uang atau barang tersebut sebagai konsinyasi. Majelis hakim yang menyidangkan ikrar talak yang didalamnya terdapat konsinyasi dalam penetapannya sekaligus menambah amar: “Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang sebagai konsinyasi”. Sedangkan dalam hal yang berkaitan dengan eksekusi, Panitera sebagai pelaksana eksekusi cukuplah mengajukan permintaan agar Ketua Pengadian Agama membuat penetapan yang berbunyi: “Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang sebagai konsinyasi”. Kemudian Panitera segera menyampaikan penetapan tersebut kepada pihak yang menolak uang/barang konsinyasi tersebut atau yang tidak hadir dalam pelaksanaan eksekusi dengan pemberitahuan; apabila dalam waktu 6 (enam) bulan dari tanggal pemberitahuan tersebut, uang/barang titipan tidak diambil, maka uang/barang titipan tersebut akan dinyatakan sebagai uang atau barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara. Terhadap penetapan Majelis hakim dan atau penetapan Ketua Pengadilan yang berkaitan dengan konsinyasi ini, oleh karena berkaitan dengan pelaksanaan putusan, maka tidak dimungkinkan adanya upaya hukum apapun. Sedangkan penetapan sah dan berharganya konsinyasi yang berkaitan dengan utang-piutang, oleh karena merupakan putusan hakim terhadap perkara permohonan konsinyasi, maka dimungkinkan adanya kasasi ke Mahkamah Agung. D. MENEJEMEN KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA Dengan uraian di atas dapat direkomendasikan system menejemen atau tata kelola konsinyasi di Pengadilan Agama yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan (termasuk ikrar talak), adalah sebagai barikut: 1.
Dalam hal konsinyasi yang berkaitan dengan ikrar talak:
11
a. Hakim dalam sidang ikrar talak dalam berita acara sidangnya mencantumkan ada uang atau barang yang akan ditipkan kepada Pengadilan Agama; b. Hakim dalam sidang ikrar talak menambah amar dalam penetapannya: “Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang tersebut sebagai konsinyasi”; c. Apabila dalam sidang ikrar talak Termohon (isteri) hadir, maka tambahan amar pada huruf b ditambah kalimat “dan apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak penetapan ini di bacakan, Termohon tidak mengambil, maka uang/barang tersebut akan dinyatakan sebagai uang/barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara”; d. Apabila dalam sidang ikrar talak Termohon (isteri) tidak hadir, maka tambahan amar pada huruf b ditambah kalimat “dan apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak penetapan ini diberitahukan, Termohon (isteri) tidak mengambil, maka uang/barang tersebut akan dinyatakan sebagai uang/barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara; e. Panitera mencatat uang/barang konsinyasi tersebut dalam buku konsinyasi yang ada di Pengadilan Agama dan menyimpannya di bank yang ditunjuk serta memberitahukan tentang penetapan talak yang berisi tambahan kosinyasi kepada Termohon (isteri). 2.
Dalam hal konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi: a. Panitera sebagai pelaksanaan eksekusi dalam berita acara pelaksanaan eksekusi mencantumkan adanya uang atau barang yang akan dititipkan kepada Pengadilan;
12
b. Ketua Pengadilan Agama membuat penetapan yang amarnya: “Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang tersebut sebagai konsinyasi”; c. Panitera mencatat uang/barang konsinyasi tersebut dalam buku konsinyasi yang ada di Pengadilan Agama dan menyimpan uang/barang konsinyasi tersebut di bank yang ditunjuk; d. Panitera memberi tahu kepada pihak yang berhak menerima uang/barang titipan tentang adanya konsinyasi tersebut dengan keterangan: apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan ini yang bersangkutan tidak mengambil, maka uang/barang titipan tersebut akan dinyatakan sebagai barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara; Sedangkan Konsinyasi yang berhubungan dengan utang-piutang menejemen atau tata kelolanga harus tetap mengikuti ketentuan dalam KUH Perdata yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Yang berutang (debitur) mengajukan permohonan tentang penawaran dan penitipan ke Pengadilan Agama (Debitur sebagai Pemohon dan kreditur sebagai Termohon); 2. Permohonan konsinyasi didaftar dalam register permohonan konsinyasi; 3. Ketua pengadilan Agama memerintahkan Jurusuta dengan disertai oleh 2 (dua) orang saksi dengan surat penetapan untuk melakukan penawaran pembayaran kepada si berpiutang (kreditur); 4. Jurusita dengan disertai 2(dua) orang saksi melaksanakan perintah ketua Pengadilan Agama tersebut dan dituangkan dalam berita acara; 5. Jurusita membuat berita acara pemberitahuan bahwa karena pihak berpiutang
menolak
pembayaran, 13
uang
tersebut
akan
dilakukan
penyimpanan/penitipan (konsinyasi) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama (bank) yang akan dilakukan pada hari …, tanggal …, jam … 6. Pada waktu yang telah ditentukan dalam berita acara tersebut pada angka 5, Jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi menyerahkan uang tersebut kepada Panitera dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya untuk disimpan dalam kas kepaniteraan Pengadilan Agama (bank); 7. Si berutang (debitur) melanjutkan proses dengan mengajukan permohonan dengan mendudukkan orang yang berpiutang (kreditur) sebagai Termohon kepada Pengadilan Agama, dengan petitum: -
Menyatakan sah dan berharga penawaran dan penitipan sebagai konsinyasi;
-
Menghukum Pemohon membeyar biaya perkara.
8. Permohonan didaftar dalam register perkara permohonan dengan kode nomor perkara “Pdt.P” dan diproses sesuai hukum acara yang berlaku. 9. Putusannya berupa Penetapan dan atas penetapan tersebut dimungkinkan adanya upaya kasasi. E. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan: 1. Bahwa konsinyasi yang berkaitan dengan utang-putang telah diatur secara baku dalam KUH Perdata, namun konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur; 2. Bahwa agar suatu titipan dianggap sebagai konsinyasi, prinsipnya adalah adanya penetapan hakim/Ketua Pengadilan yang menyatakan sah dan berharga penitipan tersebut sebagai konsinyasi;
14
b. Saran: 1. Direkomendasikan agar dalam waktu yang tidak terlalu lama Mahkamah Agung menerbitkan peraturan Mahkamah Agung tentang konsinyasi, khususnya yang berkaitan dengan perkara diluar perkara utang-piutang.
Wallahu a’lam bis shawaab
15