HUKUMAN DENDA NIKAH SIRRI SEBAGAI SYARAT ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)
MUKADIMAH Setelah Pengadilan Agama memperoleh eksistensinya sebagai Peradilan yang sesungguhnya, sejak saat itu pula Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan peradilan yang lainnya. Dahulu, keberlakuan putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan Pengadilan Negeri terlebih dahulu (pasal 63 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974), kini jeratan itu telah tidak berlaku lagi. Dahulu, orang islam yang ingin menyelesaikan perkara waris boleh memilih mangajukan perkaranya di Pengadilan Agama atau di Pengadilan negeri, pilihan itu kini telah mutlak menjadi wewenang Pengadilan Agama, meskipun sebelumnya jika di dalam perkara tersebut terdapat sengketa milik tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri dan baru saja beberapa tahun ini perkara waris itu mutlak menjadi wewenang Pengadilian Agama. Dahulu Pengadilan Agama tidak berwenang melakukan eksekusi, kini telah dipersiapkan Jurusita, sehingga dapat melaksanakan eksekusi sendi, meskipun tentang eksekusi putusan Basyarnas telah diamputasi. Dahulu sidang Pengadilan Agama diselenggarakan di serambi masjid atau di rumah sewaan murah di kampung-kampung yang nylempit, kini telah memiliki gedung-gedung Pengadilan Agama yang megah. Alhamdulillah Peradilan Agama terus bangkit menggeliat menuju Peradilan Agama yang agung. Seiring dengan perkembangan menuju ke kesamaan derajat itu, para senior lingkungan peradilan agama telah, sedang dan akan terus giat mempersiapkan aparaturnya dengan hasil yang spektakuler, baik kwalitas maupun kuantitasnya. Hakim dan aparatur peradilan agama kini telah dapat dipertanggung jawabkan keilmuan dan skilnya untuk menyongsong kewenangan apapun yang akan dibebankan kepadanya. Telah banyak hakim peradilan agama yang menguasai bukan saja hukum syariah, tetapi juga mahir dalam bidang hukum perdata umum,
hukum bisnis/niaga, hukum pidana, hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Pendek kata, insyaallah aparatur peradilan agama kini tidak lagi culun dan kekyai-kyaian seperti pengamatan sementara orang selama ini. Bahkan kadangkadang mengagetkan banyak pihak, lantaran penampilan hakim-hakim agama kini tampak lebih sekuler dari pada hakim dari lingkungan lainnya. Mereka sudah banyak yang tidak memakai peci dan sarung lagi. Mereka sudah lebih sering memakai PSL dengan dasi yang mewah, sudah berolah raga, bahkan tim PTWP nya mampu mengalahkan tim-tim lainnya. Beberapa dari mereka telah bermain golf. Mereka telah mampu menjadi pionir bidang tegnologi informasi, hingga diakui dunia. Mereka telah menyeponsori sidang keliling hingga ke kantor-kantor perwakilan RI di luar negeri dan lain-lain. Pendek kata Peradilan Agama kini tidak memalukan lagi. Namun akhir-akhir ini, masih ada saja pihak-pihak yang meragukan kapabelitasnya, bahkan masih saja diperdebatkan soal-soal kewenangan absolut Pengadilan Agama, seperti tentang kewenangan mengadili penetapan pengesahan anak-anak muslim dalam rangka mendapatkan akta kelahirannya dari kantor catatan sipil. Pengadilan Agama berpendapat sebagai kewenangannya dengan alasan azas personalitas keislaman serta berdasarkan penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 14 UU nomor 7 tahun 1989 dan penjelasan pasal 49 huruf a, angka 14 UU nomor 3 tahun 2006. Sedangkan Pengadilan Negeri juga berpendapat sebagai kewenangannya dengan alasan yang penulis sendiri belum dapat memastikan argumentasinya. Akan tetapi syukurlah, bahwa selama ini tidak sedikit kantor catatan sipil dan beberapa Pengadilan Negeri yang telah dengan legowo mengarahkan orang-orang yang berkepentingan mendapat akta kelahiran anak-anaknya, agar terlebih dahulu mengajukan penetapan pengesahan anak atau asal-usul anak ke Pengadilan Agama. Persoalan yang aktual lainnya saat ini adalah maraknya kawin illegal atau kawin sirri atau kawin tidak tercatat atau kawin di bawah tangan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia muslim, baik dari kalangan pejabat, maupun masyarakat awam, termasuk TKI yang ada di negara asing dengan latar belakang dan alasan yang bermacam-macam. Penyebab utamanaya adalah lantaran pencatatan perkawinan hanya dipandang sebagai soal administrai kenegaraan semata dan tidak menjadi kewajiban yuridis, apalagi kewajiban agama. Prilaku para pelaku nikah sirri ini ternyata kemudian menimbulkan madlarat yang sangat besar, terutama bagi sang
isteri dan anak-anaknya. sementara negara tidak dapat memberi perlindungan kepada mereka. Akibatnya
pasangan sirri ini berduyun-duyun mengajukan
permohonan pengesahan nikah atau itsbat nikah di Pengadilan Agama, sebagai syarat untuk mendapatkan akta nikah bagi perkawinannya. Apapun alasannya, yang pasti bahwa perkawinan yang tidak tercatat adalah suatu pelanggaran terhadap UU perkawinan. Tetapi hal tersebut selama ini tidak pernah disentuh oleh penegak hukum, termasuk oleh Peradilan Agama, sehingga pelanggaran itu terus berjalan dengan tanpa merasa telah melakukan pelanggaran hukum
dan
undang-undang.
Ironisnya
Pengadilan
Agama
terus
menerus
mengesahkan nikah sirri tersebut dengan mengabulkan permohonan itsbat nikah, tanpa mempedulikan pelanggaran hukum itu sendiri. Sehingga muncul stigma sangat memilukan; “penetapan itsbat nikah Pengadilan Agama sebagai penyebab merajalelanya kawin sirri dan pembangkangan terhadai UU perkawinan”. Oleh karena itu, maka Peradilan Agama harus segera menentukan sikap, lebih baik terlambat dari pada tidak berbuat apa-apa. Peradilan Agama mesti sadar, bahwa dirinya adalah salah satu lembaga yudikatif terpenting dalam menegakkan hukum perkawinan bagi ummat islam Indonesia. Jika Peradilan Agama membiarkan maraknya kawin sirri atau tidak tercatat ini, maka stigma itu menjadi sangat benar. KARAKTERISTIK PERKARA ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA Secara kebahasaan, itsbat bermakna penyungguhan, penetapan, penentuan kebenaran terhadap sesuatu. Jadi itsbat nikah berarti menyungguhkan, menentukan dan atau menetapkan kebenaran nikah. Sedangkan secara yuridis pengertian itsbat nikah adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang sah menurut hukum agama atau sah menurut hukum yang lain, tetapi tidak tercatat oleh Pejabat pencatat perkawinan (KUA), sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah (disarikan dari penjelasan pasal 49 UU no. 7 tahun 1989, UU no. 3 tahun 2006 dan KHI). Adapun dasar hukum itsbat nikah adalah: 1. Undang-Undang nomor 22 tahun 1946, jo UU nomor 32 tahun 1954; 2. Undang-Undang nonor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan segala perubahannya, tarakhir dengan UU nomor 50 tahun 2009;
3. Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara tegas istilah Itsbat Nikah itu disebut oleh Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1999 tentang Kompilasi hukum Islam yang menurut sejarah kelahirannya merupakan solusi untuk mengurang atau jika mungkin mengeliminasi tradisi perkawinan ummat islam Indonesia yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sekaligus dalam rangka memenuhi ketertiban administrasi kependudukan, sehingga perkawinan ummat islam tertata, teratur dan tercatat secara resmi di kantor pencatatan perkawinan yang berwenang dan pada gilirannya keluarga dan rumah tangga kaum muslimin akan mendapat perlindungan dari negara. Pencatatan perkawinan penduduk Indonesia itu sangat penting karena satu-satunya alat bukti perkawinan seorang warga negara hanyalah akta perkawinan, sedangkan akta perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh pasangan suami-isteri, apabila perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama. Persoalan mendasar tentang lembaga itsbat nikah sesungguhnya terletak pada bunyi pasal 2 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak tegas dan interpretatif. Sampai saat ini masih ada dua pendapat yang berbeda dan sulit bertemu; pendapat pertama mengatakan, bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat sahnya perkawinan sebagaimana yang termuat dalam konsep dan draft RUU undang-undang perkawinan tersebut. Sedangkan pendapat ke-dua mengatakan, bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan persyaratan administratif. Pergulatan antara dua pendapat tersebut tidak pernah berhenti hingga saat ini. Masing-masing pihak telah pula mengemukakan argumentasi masingmasing yang kadang-kadang disertai dengan perdebatan secara emosional, lantaran hal ini telah menyangkut kepercayaan keagamaan. Terhadap adanya dua pendapat tersebut di atas, Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, dalam makalahnya yang disampaikan dalam acara “Penelitian dan Pengkajian Aspek Hukum Itsbat Nikah” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI pada tanggal 14-16 Mei 2012 di Serang, Banten menyampaikan pendapatnya; Jika kita ingin pencatatan perkawinan merupakan bagian dan syarat sahnya perkawinan, maka pasal 2 UU nomor 1 tahun 1974 harus diubah dengan menggabungkan ayat (1) dan ayat (2) nya, sehingga berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan”. Apabila pencatatan perkawinan dianggap hanya
merupakan
persyaratan
administratif,
maka
dalam
undang-undang
perkawinan perlu ada klausul tentang adanya itsbat nikah bagi perkawinan yang tidak tercatat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah berlakunya UU nomor 1 tahun 1974. Lebih lanjut Prof. Suparman menyatakan, bahwa untuk menentukan pilihan dari dua alternatif di atas, perlu ada rencana besar dari pemerintah, ulama dan
cendekiawan
muslim untuk
menuntaskan
masalah
status pencatatan
perkawinan dan itsbat nikah tersebut. Dalam kehidupan warga negara muslim Indonesia, ternyata masalah pencatatan perkawinan belum bisa bergeser dari pandangan dan tradisi mereka. Pencatatan nikah tidak terdapat didalam kitab-kitab fiqh yang mereka pegangi. Pencatatan perkawinan di KUA hanyalah merupakan persyaratan administrasi yang tidak diwajibkan oleh agama, bahkan acap kali kelompok ini memandang pencatatan perkawinan sebagai bid’ah dan tidak berdasarkan syariat. Celakanya pandangan mayoritas ummat islam itu didukung bukan saja oleh hasil ijtimak ulama komisi fatwa MUI, tetapi juga oleh sebagian ahli hukum islam lainnya, sedangkan pendapat yang menyatakan
pencatatan
perkawinan
sebagai
syarat
sahnya
perkawinan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pemerintah kurang mendapat pemahaman dan apresiasi yang semestinya. Atas dasar kondisi tersebut, maka demi memberikan kepastian hukum bagi keluarga muslim dalam rangka dapat memperoleh perlindungan hukum dari negara serta demi terselenggaranya administrasi kependudukan yang baik dan teratur, maka Peradilan Agama
memandang perlu memberi kesempatan terhadap
perkawinan tidak tercatat itu untuk mengajukan permohonan itsbat nikah, bagi perkawinan tidak tercatat tersebut dilakukan sebelum berlakunya UU nomor 1 tahun 1974, maupun sesudahnya, meskipun di dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut ada yang menganding pelanggaran terhadap UU perkawinan. Langkah ini memang delimatis, karena Pengadilan Agama mengesahkan suatu perkawinan karena perkawinan tersebut telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum agama, namun perkawinan yang dimintakan pengesahan atau itsbat tersebut merupakan suatu pelanggaran. Adapun karakter perkara permohonan pengesahan perkawinan atau itsbat nikah yang diajukan di Pengadilan Agama dan sikap Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ini dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Setiap permohonan pengesahan nikah atau itsbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama adalah atas dasar adanya perkawinan yang telah
dilaksanakan menurut syariat islam, akan tetapi tidak dicatatkan di PPN yang berwenang; 2. Permohonan pengesahan nikah atau itsbat nikah tersebut diajukan karena adanya kepentingan yang jelas dan konkrit, antara lain; dalam rangka perceraian, untuk melaksanakan ibadah haji, untuk kepentingan pembagian warisan, untuk kepentingan urusan pensiun dan kepentingan ingin mendapatkan kepastian hukum; 3. Pengadilan Agama hanya menetapkan tentang sahnya suatu perkawinan, tanpa memandang ada dan tidaknya pelanggaran yang telah dilakukan para pemohon penetapan pengesahan pernikahan tersebut; 4. Pengadilan agama dalam mengambil putusan tentang sahnya perkawinan atau penetapan itsbat nikan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Perkawinan sirri atau tidak tercatat tersebut telah dilaksanakan menurut syariat islam; b. Pelaksanaan perkawinan sirri atau tidak tercatat tersebut telah memenuhi syarat dan rukun
nikah dan tidak ada larangan nikah, baik menurut
hukum agama maupun menurut UU perkawinan; c. Perkawinan sirri atau tidak tercatat tersebut dilakukan karena para pelakunya dalam keadaan tertentu yang tidak memungkinkan dirinya mencatatkan pernikannya tersebut; d. Penetapan pengesahan nikah atau itsbat nikah yang akan ditetapkan memenuhi azas keadilan, kemaslahatan dan kepastian hukum; e. Pengadilan Agama tidak mempertimbangkan lagi apakah perkawinan sirri atau tidak tercatat tersebut dilakukan sebelum atau setelah berlakunya UU nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan. f. Pengadilan Agama secara ketat menghindari adanya penyelundupan hukum poligami dalam perkara permohonan pengesahan nikah atau itsbat nikah;
PENEGAKAN SANKSI PERKAWINAN TIDAK TERCATAT Sebagaimana dimaklumi, bahwa permohonan itsbat nikah atau pengesahan nikah di Pengadilan Agama terdapat kemungkinan adanya pelanggaran terhadap UU perkawinan dan karena pelanggaran tersebut yang bersangkutan dapat dijatuhi
hukuman pidana, baik hukuman denda ataupun kurungan berdasar ketentuan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Pasal 3 Undang-Undang nomor 22 tahun 1946, tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang diberlakukan berdasarkan UU nomor 32 tahun 1954 yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: (1)
Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan Pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya dihukum denda sebanyakbanyaknya R 50,- (lima puluh rupiah);
(2)
Barang siapa yang menjalankan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya R 50,- (lima puluh rupiah);
(3)
Jika
seseorang laki-laki
yang
menjatuhkan
talak atau
merujuk
sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu didalam seminbggu kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka dia dihukum denda sebanyakbanyaknya R 50,- (lima puluh rupiah); (4)
Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun menerima biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh menteri agama menurut ayat (4) pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2 atau tidak memberikan petikan dari pada buku pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya sebagai yang dimaksud ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya R 100,(seratus rupiah);
(5)
Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan mencukup syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan kepada yang berwajib, maka biskalgrifir hakim kepolisian yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada pegawai
pencatat
nikah
yang
bersangkutan
dan
pegawai
itu
memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku pendaftaran masingmasing dengan menyebut surat keputusan hakim yang menyatakan hal itu. 2. Pasal 4 Undang-Undang nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk: Hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran. 3. Pasal 2 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: (1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu;
(2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Pasal 45 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: (1)
Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka: a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 14 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)
Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.
Setelah memahami ketiga peraturan perundang-undangan tersebut (UU NO.22/1946, UU NO.1/1974 dan PP NO.9/1975) dalam satu kesatuan pemahaman yang tidak memisahkan satu sama laian, maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa perkawinan sirri atau dibawah tangan atau tidak tercatat di kantor pencatatan perkawinan adalah suatu pelanggaran yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman denda;
2. Bahwa orang yang melangsungkan perkawinan tidak memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); 3. Bahwa orang yang melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pegawai Pencatat dan tidak dihadiri oleh dua orang saksi, dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); 4. Bahwa
orang
laki-laki
yang
melakukan poligami tanpa
mengajukan
permohonan ijin tertulis kepada pengadilan, dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); 5. Bahwa Pejabat yang berwenang melaksanakan pencatatan perkawinan yang tidak melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan UU perkawinan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (lima ribu lima ratus rupiah). Selanjutnya, agar pasal-pasal dari ketiga peraturan perundang-undang sebagaimana telah disebut di atas tidak mati dan ditaati semua pihak, maka perlu ada langkah-langkah penegakannya yang didukung oleh seluruh kekuatan negara, terutama dari kalangan kyai dan ulama, karena merekalah yang fatwanya selalu ditaati dan langkah-langkahnya selalu diteladani. Selama para ulama tidak mempertimbangkan keadaan buruk ummat islam akibat dari nikah sirri ini dan menganggap pencatatan suatu pernikahan itu tidak penting, serta membiarkan terus berlangsungnya nikah sirri, maka pastilah penyelenggaan perkawinan kaum muslimin itu tidak akan pernah tertib dan teratur. Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan Kehakiman yang diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan harus memposisikan diri sebagai pilar utama penegakan hukum perkawinan dan ikut serta bertanggung jawab terhadap merajalelanya nikah sirri ini. Untuk itu Pengadilan Agama seyogyanya tidak mengesahkan nikah sirri kecuali dengan sangat ketat dan hati-hati dengan cara menerapkan sanksi atas pelanggaran tersebut berupa hukuman denda. Dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam hal ini adalah pasal 63 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan (dalam UU dan PP tersebut) ialah: Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya.. Jika dilihat dari bentuk pelanggaran dan besaran hukuman dendanya, oleh karena ancaman hukuman bagi orang yang melakukan nikah sirri hanya berupa denda setinggi-tingginya hanya Rp 7.500,-, maka pelanggaran dalam hal pencatatan perkawinan ini dapat dianggap sebagai tindak pidana ringan sebagaimana ketentuan dalam pasal 205 ayat (1) KUHAP, sehingga prosedur acaranya cukup dipergunakan acara pemeriksaan pidana ringan, sebagaimana ketentuan dalam Bab XVI bagian ke enam, acara pemeriksaan cepat, paragraf 1, acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, pasal 205 sampai dengan pasal 209 KUHAP. Jika perkawinan tidak tercatat tersebut
dianggap
sebagai
tindak
pidana
ringan,
maka
sangat
mungkin
kewenangannya secara khusus dapat diserahkan kepada Pengadilan Agama dalam bentuk pengadilan khusus berdasarkan ketentuan pasal 3A ayat (1) UU nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pengadilan khusus yang dimaksud adalah sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan pasal 3A tersebut yang menyatakan; yang dimaksud dengan diadakan pengkhususan pengadilan adalah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan agama dimana dapat dibentuk pangdilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah. Analog dengan ketentuan tersebut, demi hukum dan UndangUndang
serta
dalam rangka
terciptanya
penyelenggaraan
peradilan
yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, maka perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana ringan berupa pelanggaran perkawinan sirri atau tidak tercatat dengan memberikan kewenangan mengadilinya kepada Pengadilan Agama. Sementara itu, ada sebagaian ahli hukum, termasuk beberapa ulama fiqh berpendapat, bahwa pencatatan perkawinan hanyalah masalah administrasi, bukan masalah yuridis, oleh karena itu nikah sirri hanyalah merupakan pelanggaran administratif, bukan tindak pidana, sehingga perkara ini berada dalam ranah hukum perdata agama, karena nikah sirri atau perkawinan tidak tercatat tersebut pada dasarnya telah sah menurut
agama.
Logika siapapun tidak akan dapat
membenarkan adanya tindakan yang telah sah menurut agama, dianggap sebagai tindak pidana atau kriminal. Apalagi perkawinan sirri tersebut telah pula dinyatakan
sah oleh pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Jadi perkawinan yang tidak tercatat atau nikah sirri itu bukan pelanggaran pidana, tetapi pelanggaran administratif. Jika pendapat yang terakhir ini kita ikuti, maka langkah yang harus diambil adalah sambil menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentnag hal ini, agar Pengadilan Agama dapat terhindar dari stigma sebagai mana tersebut di atas, untuk sementara Pengadilan Agama perlu menjatuhkan hukuman denda sebagai hukuman administratif sebelum menetapkan sahnya perkawinan sirri dalam perkara permohonan itsbat nikah sesuai ketentuan pasal 3 UU nomor 22 tahun 1946, jis. pasal 2 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 dan pasal 45 PP nomor 9 tahun 1975. Dengan pengertian Pengadilan Agama tidak mengesahkan perkawinan sirri sebelum perkawinan sirri tersebut dihukum dengan hukuman denda. Hakim peradilan agama perlu segera mengakhir posisi delimatis dalam menyelesaikan perkara permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh para pelaku nikah sirri atau tidak tercatat. Nyatakan sah atau itsbatkanlah perkawinan sirri itu, tetapi dendalah mereka atas pelanggarannya itu. Demi hukum dan demi UndangUndang, gunakan kewenangan eks officio hakim untuk menjatuhan hukuman denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, jadikanlah hukuman denda itu sebagai syarat dalam menetapkan itsbat nikah. Dengan demikian posisi hakim agama adalah penegak hukum agama sekaligus penegak hukum negara. Maknanya, bahwa hakim agama telah menetapkan apa yang seharusnya diitsbatkan karena perkawinan sirri memang telah sesuai dengan hukum agama dan telah menegakkan Undang-Undang dengan menghukum para pelaku nikah sirri sesuai dengan pelanggarannya. Insyaallah dengan cara ini, stigma Pengadilan Agama sebagai penyebab pelanggaran UU perkawinan akan berlalu. Mungkin hukuman denda yang ditentukan terakhir oleh PP nomor 9 tahun 1975 sejumlah setinggi-tingginya Rp 7.500,- itu tidak signifikan menimbulkan effek jera bagi para pelanggarnya. Oleh karena itu direkomendasikan segera dilakukan penyesuaian dengan peraturan baru atau disesuaikan dengan nilai atau nominasi mata uang rupiah pada saat hukuman denda itu dijatuhkan. Yang terpenting Pengadilan Agama perlu segera memulai menjatuhkan sanksi denda kepada pelaku nikah sirri yang mengajukan itsbat nikah, dengan
harapan paling tidak
akan
menjadi pelajaran bagi para peminat kawin sirri, bahwa untuk memperoleh pengesahan nikah sirrinya yang bersangkutan menyadari telah melakukan
pelanggaran yang memalukan terhadap UU perkawinan dan kepadanya patut dihukum dengan hukuman denda. Adapun mengenai berat ringannya hukuman denda atas pelanggaran administratif tersebut dapat diukur dengan; apakah pelanggaran tersebut dilakukan sebelum berlakunya UU nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan nikah, talak dan rujuk dan atau UU nomor 1 tahun 1974 atau setelah berlakunya UU
tentang
perkawinan dan apakah perkawinan tidak tercatat itu dilakukan dalam keadaan tertentu
sehingga
yang
bersangkutan
tidak
memungkinkan
mencatatkan
perkawinannya kepada Pejabat Pencatatan nikah ataukah pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja untuk tidak mematuhi UU perkawinan dan atau ada alasan lain yang dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh Hakim agama. Dalam rangka menjamin terlaksananya peradilan permohonan itsbat nikah dengan baik, seyogyanya denda sebanyak jumlah maksimal (Rp 7.500,-) telah dibayar bersamaan pada saat mengajukan permohonan itsbat nikah, sebagai syarat permohonannya.
TAKHTIMAH Kesimpulan dari pemikiran ini ialah: 1.
Pelanggaran melakukan nikah sirri atau tidak tercatat adalah pelanggaran administratif; bersifat keperdataan dan dapat dihukum dengan hukuman denda;
2.
Dalam menyelesaikan perkara permohonan itsbat nikah, Pengadilan Agama berwenang menjatuhkan hukuman administratif berpa denda. jika Pemohon terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU perkawinan, tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh UU;
3.
Apabila Pemohon atau para Pemohon tidak melakukan pembayaran denda bersamaan permohonan itsbat nikahnya, sedangkan yang bersangkutan mampu, maka permohonan itsbat nikah dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
WALLAHU A’LAM BIS-SHAWAB