26
BAB II ITSBAT NIKAH PADA PENGADILAN AGAMA A. Penyebab Suatu Perkawinan Harus Di Itsbatkan Islam menilai dan menetapkan, bahwa pernikahan adalah bagian dari cara menyempurnakan pelaksanaan ajaran agama. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan : “Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertaqwa kepada Allah.” (HR. Baihaqi dari Anas bin Malik). Pernikahan adalah fitrah yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia. Pada hakikatnya setiap kedudukan yang tinggi lagi mulia dalam pandangan Islam, pasti selalu dikembalikan kepada fitrah.42 Sejatinya manusia tidak mampu untuk hidup sendiri namun selalu berkumpul atau hidup berkelompok dengan manusia lainnya seperti kata Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kelompok manusia terkecil adalah keluarga yang merupakan tempat tumbuh dan berkembang generasi-generasi selanjutnya. Apabila baik keluarga tersebut maka kemungkinan besar orang-orang yang terlibat di dalamnya akan baik pula, oleh sebab itu agama Islam memberikan perhatian khusus terhadap pengaturan kekeluagaan Islam seperti permasalahan munakahat. Perkawinan adalah fitrah yang terjadi pada setiap makhluk ciptaan Allah Swt. Dalam Al-Qur’an Surat Az-Dzariyat : 49 Allah Swt. Menegaskan : “Dan segala sesuatu kami ciptakan secara berpasang-pasang.” Oleh karena itu, naluri seorang lelaki pasti cendrung mencintai perempuan, demikian pula sebaliknya. Saling mencintai diantara insan berlainan jenis merupakan kebutuhan biologis, yang hal ini bisa tersalur bila terjadi perpaduan dan 42
A. Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007),
hlm.6.
26
Universitas Sumatera Utara
27
kerjasama antar keduanya. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan : “Barangsiapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah, kemudian dia tidak menikah, maka dia bukan termasuk umatku,” (HR. Thabrani dan Baihaqi).43 Ayat-ayat Al- Qur’an yang mengatur perkawinan ada sekitar 85 ayat diantara 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar 22 surat dari 114 surat dalam Al- Qur’an. Keseluruhan ayat tentang munakahat tersebut disepakati keberadaannya (thubut) nya sebagai Firman Allah atau disebut juga dengan Qath’iy al tsubut.44 Kemudian diantara puluhan ribu hadist Nabi tentang munakahat atau perkawinan, ada dua kitab hadis yang populer yang secara khusus membahas tentang hukum yaitu kitab Muntaqa al-Akhbar karya Ibnu Taimiyah dan kitab Bulugh al Maram karya Ibnu Hajar al Asqalaniy yang kesemua hadisnya berjumlah 505 hadist.45 Pernikahan adalah perpaduan instink manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi bukan semata-mata memenuhi kebutuhan biologis. Hubungan biologis hanya merupakan bahagian kecil dari hubungan yang hakiki yang diikat tali pernikahan. Pernikahan dalam pandangan Islam bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis lebih dari itu mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, melestarikan kekhalifahan manusia di muka bumi dengan menurunkan keturunan yang sah dalam tatanan masyarakat yang bernaung dalam rumah tangga yang penuh kesejahteraan dan kebahagiaan. 43 44
Ibid. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm.6. 45
Ibid. hlm.13.
Universitas Sumatera Utara
28
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang berasal dari Abu Hurairah Mutaffaq alaih yang berbunyi : “Perempuan itu dikawini dengan empat motivasi, karena hartanya, karena kedudukan atau kebangsaannya, karena kecantikannya dan karena keberagamaannya. Pilihlah perempuan karena keberagamaannya, kamu akan mendapat keberuntungan.”46 Kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar’i) dan makna fiqhi (hukum).47 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kawin diartikan dengan: 1. Perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri, nikah. 2. (sudah) beristri atau berbini. 3. Dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh48 Perkawinan menurut Bahasa Arab disebut dengan al nikah yang bermakna al wathi’ dan al dammu wa al tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.49 Dengan demikian pengertian nikah (kawin) bermakna sesuai dengan bahasa aslinya yaitu bahasa Arab, dan terlihat bahwa ulama-ulama fiqih juga memberikan pengertian yang sama.
46
A. Mudjab Mahalli, Op.cit, hlm. 88. Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 41. 48 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1958), hlm. 453. 49 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, Cetakan Kedua, 2004), hlm. 38. 47
Universitas Sumatera Utara
29
Menurut Hanafiah “nikah adalah akad yang memberi faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”.50 Menurut mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) sematamata”.51 Oleh Mazhaf Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij”.52 Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia”.53 Sementara itu menurut Hazairin bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.54 Dengan demikian, pernikahan selalu diidentifikasikan dengan hubungan seksual, akan tetapi jika kita melihat akibat yang terjadi setelah pernikahan maka akan melahirkan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan kelahiran anak, harta bersama, waris serta hak dan kewajiban antara suami istri. Bahkan mahar yang
50
Muhammad Amin Suma, Loc.cit, hlm. 45. Ibid. 52 Amiur Nuruddin, Op.cit, hlm. 39. 53 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 2. 54 Ibid. 51
Universitas Sumatera Utara
30
seyogyanya merupakan pemberian ikhlas (cinta) seorang suami terhadap istrinya menjadi kehalalan hubungan seksual. Jika demikian adanya maka terlihat bahwa perempuan/istri menempati posisi hanya sebagai pelampiasan kebutuhan biologis seorang pria/suami. Hal tersebut akan sangat bertentangan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri yang menghormati perempuan. Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.55 Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 dinyatakan bahwa “Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sedangkan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi yang diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 terdapat kata aqad dan ikatan, kedua kata ini berkenaan dengan perikatan atau perjanjian. Secara sederhana akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam suatu 55
Ibid. hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
31
ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa difahami demikian maka terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan, yang dalam bahasa fiqh disebut dengan aqad. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.56 Apabila dikaitkan dengan hukum perdata sesuai dengan pasal 1354 KUHPerdata, akan tetapi adanya Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat (2) serta untuk mentaati perintah Allah dalam Kompilasi hukum Islam pasal 2, maka perkawinan itu tidak dapat dipandang hanya semata-mata menurut KUHPerdata saja namun lebih luas lagi. Namun jika ditinjau dari perikatan tersebut, maka kedudukan antara suami dan istri adalah seimbang, dikarenakan yang dapat melakukan perikatan hanyalah subjek hukum yang cakap hukum dan tentunya masing-masing memiliki hak dan kewajiban di dalam menjalani kehidupan berumah tangga dan dapat dimintakan pertanggung jawaban atas peristiwa-peristiwa yang terjadi selama perkawinan atau akibat yang ditimbulkan perkawinan. Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga negara, penegasan tersebut dapat dijumpai pada pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Meskipun 56
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, Cetakan Kesebelas, 1987), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
32
perkawinan merupakan hak azasi, bukan berarti bahwa setiap warga negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan, tapi harus mengikuti aturan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Indonesia, salah satu diantaranya perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan UUD 1945. Yang dimaksud dengan hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk keputusan perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa standar untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundangundangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Berdasarkan penjelasan umum poin 2 tentang penjelasan UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menegaskan beberapa hukum agama dan kepercayaan bagi golongan-golongan yang ada di Indonesia yaitu :
Universitas Sumatera Utara
33
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat. b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks OrdonnantieChisten Indonesia (S. 1933 Nomor 74). d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. e. Bagi orang Timur Asing Lainnya dan warganegara keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka. f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya itu, Hazairin menafsirkan bahwa ”Dengan demikian hukum yang berlaku menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaannya bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi agama Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri.” 57 Sahnya sebuah perkawinan ditentukan oleh agama dan kepercayaa masingmasing pihak, apabila telah dilakukan memenuhi rukun dan syarat perkawinan (untuk beragama
Islam)
atau
telah
dilakukan
ritual
dan
pemberkatan
oleh
pendeta/rohaniawan maka pernikahan itu adalah sah. Akan tetapi pada kenyataannya perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaannya itu harus dicatatkan oleh pemerintah sesuai dengan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan.
57
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hlm.
308-309.
Universitas Sumatera Utara
34
Suatu perbuatan hukum yang sah bermakna bahwa hubungan hukum dan akibat hukum menjadi sah pula, dengan demikian perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang sah demikian pula akibat hukum lainnya seperti kelahiran anak, harta kekayaan, kewarisan dan sebagainya.58 Pencatatan perkawinan menurut pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menunjukkan kualifikasi persamaan derajat antara sahnya perkawinan menurut agama dengan pencatatan perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan dapat menganulir sahnya perkawinan menurut agama. Bagir Manan berpendapat bahwa perkawinan menurut masing-masing agama (syarat-syarat agama) merupakan syarat tunggal sahnya suatu perkawinan.59 Pencatatan perkawinan dapat dikatakan bukan lagi sebuah peristiwa hukum atau syarat hukum akan tetapi sah menurut agama dan kepercayaan tersebut yang merupakan peristiwa hukum setelah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Pencatatan perkawinan tidak dapat mengesampingkan keabsahan perkawinan yang telah sesuai dengan hukum agama. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 4 ”Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.”
58
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 157. 59 Ibid, hlm. 158.
Universitas Sumatera Utara
35
Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian pencatatan perkawinan dilakukan : a. Berdasar tata cara yang diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. b. Tata cara pencatatan yang diatur khusus dalam perundang-undangan yang berlaku bagi orang Islam sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955. Reglemen pencatatan sipil bagi mereka yang tidak beragama Islam sebagaimana yang di atur dalam Reglemen Pencatatan Sipil bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen Stbl. 1933 No. 327, reglemen Pencatatan Sipil bagi orang Tionghoa Stbl. 1919 No. 81 bagi mereka orang Tionghoa dan Stbl. 1849 No. 25 bagi mereka yang termasuk golongan Eropah.60 Bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan selain yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, KUA Kecamatan bertugas dan berwenang khusus melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk bagi pemeluk yang beragama Islam.61 Demikian juga ditegaskan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1) yang berbunyi : “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.” Selanjutnya pada pasal 6 ayat (1) dikemukakan bahwa : ”Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.” Sementara itu ayat (2)
60 61
Iman Jauhari, Op.cit, hlm. 317. Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
Universitas Sumatera Utara
36
menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian apabila tidak memiliki kekuatan hukum maka perkawinan yang sudah sah nenurut hukum Islam dan seharusnya memiliki akibat hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah pernikahan ternyata dikembalikan kepada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yaitu mengenai pencatatan perkawinan tersebut, serta peraturan-peraturan pendukung lainnya. Penjelasan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Penjelasan Umum poin 4 (b) menyatakan : “.........dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga di muat dalam daftar pencatatan”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan, dibuat, dan disahkan oleh pejabat resmi. Seluruh peristiwa penting yang terjadi di dalam keluarga yang memiliki aspek hukum, perlu dicatatkan dan dibukukan, sehingga baik yang bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang autentik tentang peristiwaperistiwa tersebut, dengan demikian maka kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas. Dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian kedudukan
Universitas Sumatera Utara
37
hukum seseorang, perlu adanya bukti-bukti autentik yang sifat bukti itu dapat dipedomani untuk membuktikan tentang kedudukan hukumnya. 62 Dengan demikian akta perkawinan yang dikeluarkan oleh PPN/KUA merupakan akta autentik, semua akta yang dibuat dihadapan notaris dapat disebut sebagai akta autentik. Disamping notaris, pejabat umum lainnya seperti kepolisian, catatan sipil dan Pegawai Pencatat Nikah/KUA dapat membuat akta autentik. Akta autentik ini dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang atau dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat pembuatan akta tersebut.63 Akta autentik merupakan dokumen yang sah dan dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Semua yang tertera di dalam akta merupakan hal yang benar, kecuali terdapat akta lain yang dapat membuktikan isi akta pertama itu salah. Memiliki akta autentik berarti memiliki bukti atau landasan yang kuat di mata hukum.64 Kembali kepada pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, penyebab sebuah perkawinan di Isbatkan ke Pengadilan Agama adalah : a. b. c. d.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Hilangnya akta nikah. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Pertama,
adanya
pekawinan
dalam
rangka
penyelesaian
perceraian,
merupakan penggabungan itsbat nikah dengan gugatan cerai. Maka surat permohonan 62
Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hlm. 25. Ira Koesoemawati, Ke Notaris (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009), hlm. 82-83. 64 Ibid. 63
Universitas Sumatera Utara
38
itsbat nikah tersebut berbentuk kontentiosa, yaitu adanya penggugat dan tergugat di dalamnya. Hukum positif di Indonesia tidak mengatur penggabungan gugatan /permohonan. Baik HIR maupun R.Bg. tidak mengaturnya. Begitu juga Rv.,tidak mengatur secara tergas, dan tidak pula melarang.Yang dilarang Pasal 103 Rv., hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (Bezit) dengan tuntutan hak milik. Dengan demikian secara a contrario (in the apposite sense), Rv., membolehkan penggabungan gugatan.65 Praktek kumulasi gugatan sudah dilakukan oleh lembaga peradilan (yurisprudensi) sejak sebelum Indonesia merdeka, seperti adanya Putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke samenhangen).66 Pendapat yang sama dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia N0.575 K/Pdt/1983, dan N0. 880 K/Sip/1970 dijelaskan antara lain: a. Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai manfaat dari segi acara (proses doelmatig heid) dimungkinkan menerapkan ketentuan acara diluar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman kepada ukuran:
65 66
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.Kedua, 1994), hlm. 103. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
39
a) benar-benar
untuk
memudahkan
atau
menyederhanakan
proses
pemeriksaan. b) menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan. b. Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya. Terkait dengan Pasal 7 ayat (3) huruf a, maka permohonan penetapan Itsbat nikah dapat dilakukan bersamaan dengan gugatan cerai karena kedua hal tersebut memiliki kaitan yang erat yaitu perceraian hanya akan dapat diperiksa jika telah ada keabsahan perkawinan. Penggabungan 2 (dua), 3 (tiga), atau beberapa perkara dapat dibenarkan kalau antara masing-masing gugatan tersebut terdapat hubungan erat untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya kemungkinan putusanputusan yang saling bertentangan. Selain itu juga melalui penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sesuai dengan azas ini penyelesaian perkara sehingga azas peradilan: “sederhana, cepat dan biaya ringan ditegakkan. Sesuai dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam mengajukan itsbat nikah untuk alasan perceraian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :67 1) Pasangan suami isteri yang hendak bercerai, terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat nikahnya dan setelah mendapatkan penetapan itsbat nikah maka barulah mereka mengajukan permohonan atau gugatan perceraiaan dengan dasar penetapan itsbat nikah sebagai bukti perkawinan. 2) Pengajuan permohonan itsbat nikah juga dapat diajukan satu paket dengan kasus perceraian. Jadi dalam hal diajukannya permohonan itsbat nikah biasanya dilakukan pada tahap pembuktian dimana perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah disahkan dahulu dengan dibuatkan penetapan itsbat nikah. Kedua, Pengajuan itsbat nikah yang disebabkan oleh hilangnya akta nikah. Wujud dari pencatatan perkawinan adalah diterbitkannya akta nikah. Sesuai Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah (Permenag 11/2007), akta nikah adalah akta otentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan. Setelah perkawinan dicatatkan, pasangan yang menikah akan diberikan buku nikah. Buku nikah merupakan kutipan dari akta nikah sebagai bentuk pembuktian hukum adanya perkawinan (Pasal 7 ayat (1) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
67
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet 1, 2008), hlm.345.
Universitas Sumatera Utara
41
Bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di
Kantor
Urusan Agama (KUA). Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu disimpan oleh Pegawai Pencatat dan satu helai disimpan di Panitera Pengadilan di wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada, dan suami-istri masing-masing diberikan buku kutipan akta perkawinan sesuai dengan Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi dalam kenyataannya berbagai hal dapat terjadi yang menyebabkan hilangnya akta nikah tersebut seperti terbakar, hilang dicuri/tercecer dan dilanda banjir. Dengan demikian apabila dikemudian hari akta tersebut diperlukan untuk mengurus berbagai keperluan yang membutuhkan akta nikah sebagai salah satu persyaratannya maka akan menimbulkan permasalahan. Berdasarkan Pasal 35 Permenag 11/2007, terhadap buku nikah yang hilang, dapat diterbitkan duplikat buku nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan surat keterangan kehilangan atau kerusakan dari kepolisian setempat. Jika ternyata catatan perkawinan juga tidak ada di KUA setempat, sehingga keabsahan perkawinan tidak dapat dibuktikan atau diragukan dan duplikat akta nikah tidak dapat diterbitkan, harus diajukan permohonan pengesahan itsbat nikah agar Pernikahan mempunyai kekuatan hukum. Pasal 7 ayat (3) huruf b Kompilasi Hukum Islam menjadi dasar untuk mengajukan itsbat (pengesahan) nikah ke Pengadilan Agama sesuai dengan domisili yang bersangkutan. Sementara itu yang dapat mengajukan permohonan itsbat nikah adalah kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah, dan pihak
Universitas Sumatera Utara
42
lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum pemohon bertempat tinggal, dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit. Ketiga, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa sah atau tidak sebuah perkawinan apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sesuai dengan UUD 1945. Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dinyatakan sah kalau perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat perkawinan serta tidak ada larangan perkawinan diantara mereka yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Rukun dan syarat perkawinan serta larangan-larangan dalam perkawinan telah diatur dalam hukum Islam (Fiqh Munakahat) sebagaimana tertuang dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (sebagai himpunan hukum Islam hasil kesepakatan ulama Indonesia) sebagai berikut : 1. Rukun dan syarat perkawinan diatur dalam Bab IV pasal 14 s.d pasal 29. 2. Larangan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 39 s.d Pasal 44. Dengan demikian apabila agama dan kepercayaan yang dianut telah menyatakan sah maka sahlah sebuah perkawinan yang telah dilakukan. Bagi masyarakat Islam terdapat rukun dan syarat perkawinan seperti :
Universitas Sumatera Utara
43
a. Calon suami b. Calon Isteri c. Wali Nikah d. 2 Orang Saksi e. Ijab dan Kabul Maka perkawinan yang dilakukan adalah sah, namun apabila pada waktu pelaksanaan pernikahan tersebut terdapat hal-hal yang meragukan berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan tersebut maka para pihak yang berkompeten dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sesuai dengan wilayah hukum masing-masing, sehingga perkawinan tersebut dapat memperoleh kepastian hukum terhadapat sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan. Keempat, Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No. 1 Tahun 1974. Sebelum lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan yang dilakukan belum terakomodir dengan baik dan terdapat perbedaan perangkat hukum bagi setiap agama dan golongan yang merupakan warisan pemerintah kolonial. Selain daripada itu belum ada pengaturan administrasi yang baik bagi setiap perkawinan dengan kata lain pencatatan perkawinan yang dilakukan belum secara komprehensif sehingga banyak perkawinan yang tidak dapat dijangkau oleh undangundang demikian juga peranan KUA yang belum dapat mencapai tempat-tempat terpencil. Sehingga perkawinan-perkawinan yang terjadi tidak dapat diketahui dengan
Universitas Sumatera Utara
44
jelas yang dikemudian hari membawa pengaruh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan seperti status anak, kewarisan, harta kekayaan dalam perkawinan dan sebagainya. Sesuai dengan pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama penjelasan pasal 49 ayat (2) angka nomor 22 jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, penjelasan Pasal 49 huruf a nomor 22. Kelima, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Di dalam UU Perkawinan no.1 tahun1974 Pasal 8 disebutkan beberapa pernikahan yang dilarang, diantaranya : 1. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. 2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan. 5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin. Sedangkan dalam KHI, perkawinan itu dilarang apabila disebabkan oleh beberapa faktor, sesuai Pasal-pasal dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
45
Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab : a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya. b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. (2) Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya. b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya. c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul. d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan : a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah. d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya : a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya. b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Universitas Sumatera Utara
46
Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempatempatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i. Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali. b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. B. Tata Cara Pengajuan Perkara Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Stabat. Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang ke pidanaan maupun dalam bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup bangsanya.68 Di Indonesia berlaku tiga sistim hukum yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum barat, dengan segala perangkat dan persyaratan siapa saja dan dalam aspek dan esensi apa saja yang harus mematuhi hukum dari ketiga sistim hukum tersebut.69
68
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 80. 69 A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002) hlm. 111.
Universitas Sumatera Utara
47
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan
bahawa pengertian hukum yang
memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.70 Roscoe Pound mengemukakan bahwa Hukum diartikan sebagai tata hukum dan kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administrasi.71 Masyarakat dengan hukum tidak mungkin dipisahkan sehingga muncul sebuah adagium “Ibi Societas Ibi Ius”, dalam bahasa Inggiris disebut “where there is society, there is law” yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Ungkapan ini tercatat pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM),72 seorang filsuf ahli hukum dan ahli hukum kelahiran roma, Adagium ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa
70
C.S.T. Kansil, Op.cit, hlm. 73. Ibid. 72 Cicero, http://id.wikipedia.org/wiki/Cicero, diakses tanggal 30 Desember 2013 71
Universitas Sumatera Utara
48
dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsi dengan efektif.73 Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.74 Ketertiban merupakan suatu fakta objektif yang dibutuhkan dan berlaku bagi segala golongan manusia dalam segala bentuk aktifitasnya. Maka dengan demikian manusia, masyarakat dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan manusia dalam masyarakat. Kepastian hukum disebut juga dengan istilah principle of legal security dan rechtszekerheid. Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum (rechtszekerheid) juga diartikan dengan jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang.
73
A. Qodri Azizi, Op.cit,hlm. 100. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 3. 74
Universitas Sumatera Utara
49
Dalam perkembangan hak azasi manusia yang dikenal dengan fundamental rights terdapat moral rights dan legal rights.75 Setiap individu memiliki hak terhadap hukum dan dijamin oleh UUD 1945 sesuai dengan pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Segala waga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualinya.” Kemudian pada pasal 28D ayat (1) menegaskan kembali :”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pembicaraan mengenai hukum, ada konsep hak (rights) dan kewajiban (duties) yang tidak dapat dilepaskan. Kedua hal ini sangat penting dalam operasinya hukum di tengah-tengah masyarakat.76 Hak adalah izin dan wewenang yang diberikan oleh hukum terhadap setiap subyek hukum. Hak itu dapat dibedakan antara lain :77 1. Hak mutlak (hak absolut) Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, sebaiknya setiap orang juga harus menghormati hak tersebut. Hak dibagi dalam 3 (tiga) golongan :
75
A. Masyhur Effendi, HAM Dalam Dimensi Dinamika, Yuridis, Sosial, Politik (Bogor: Ghalia Indonesia,2007), hlm. 10. 76 C.S.T. Kansil, Loc.cit, Kansil, hlm.87. 77 A. Masyhur Effendi, Op.cit, hlm. 57-58.
Universitas Sumatera Utara
50
a. Hak asasi manusia, misalnya hak seseorang untuk dengan bebas bergerak dan tinggal dalam suatu negara. b. Hak publik mutlak, misalnya hak negara untuk memungut pajak dari rakyat. c. Hak Keperdataan, misalnya : hak marital, yaitu hak seorang suami untuk menguasai istrinya dan harta benda istrinya, hak/kekuasan orang tua (ouderlijke macht), hak perwalian (voogdij) & hak pengampuan (curatele). 2.
Hak nisbi (hak relatif) Hak nisbi ialah hak yang memberikan wewenang kepada seorang tertentu atau
beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak nisbi sebagian besar terdapat dalam hukum perikatan yang timbul berdasarkan persetujuan-persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Contoh dari persetujuan jual beli terdapat hak nisbi/ralatif seperti : hak penjual untuk menerima pembayaran dan kewajibannya untuk menyerahkan barang kepada pembeli. Kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual (asas pact sunt servanda). Hak dan kewajiban itu timbul apabila terjadi hubungan antara dua pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada
Universitas Sumatera Utara
51
salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya. 78 Kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor. Dalam
penerapannya
hukum
memerlukan
suatu
kekuasaan
untuk
mendukungnya, sehingga ada slogan yang berbunyi “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”. Kekuasaan diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan maka pelaksanaan hukum di dalam masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib suatu masyarakat maka peranan kekuasaan semakin berkurang, masyarakat seperti ini disebut masyarakat yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Indonesia sendiri adalah negara hukum, hal ini ditegaskan di dalam UUD 1945 pada pasal 1 ayat (3) : “Indonesia adalah negara hukum”. Ketatanegaraan di Indonesia menganut ajaran trias politica dari Montesquien yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian yaitu : a. Badan Legislatif yaitu badan yang berwenang membentuk undang-undang. b. Badan Eksekutif yaitu bertugas melaksanakan undang-undang. 78
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
c. Badan Yudikatif yaitu bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang, memeriksa dan mengadilinya. Pelaksanaan ketatanegaraan Republik Indonesia diserahkan kepada lembagalembaga negara yang terdiri dari : 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 2. Presiden. 3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) 5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 6. Mahkamah Agung (MA). 7. Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut pasal 24 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 24A ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 , Dalam hal ini Mahkamah Agung merupakan Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan, berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
53
kehakiman
diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian,
Advokat/Pengacara dan lain-lain. Hadir dan diakuinya Peradilan Agama di lingkungan pengadilan Indonesia merupakan suatu hal yang menggembirakan bagi umat Islam. Walaupun masih bercampur dengan hukum perdata khususnya dalam bidang hukum formil/acaranya. Sedangkan untuk hukum materilnya memakai Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan kitab-kitab fiqih yang ada. Jika kita melihat hirarki perundang-undangan di Indonesia Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 1. UUD 1945 2. Ketetapan MPR 3. UU/Perppu 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Propinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dengan demikian keberadaan Inpres perlu diperhatikan supaya ditingkatkan menjadi sebuah undang-undang. Pertimbangannya adalah bahwa jika kita tinjau hirarki perundang-undangan di atas maka terdapat perubahan formasi dimana Instruksi Presiden (Inpres) tidak ditemukan maka dari segi legalisasi/kekuatan hukum
Universitas Sumatera Utara
54
Inpres tersebut cukup mengkhawatirkan. Sementara itu hakim di pengadilan agama masih menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu dasar rujukan untuk memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan umat Islam. Istilah Kompilasi diambil dari bahasa latin compilatio yang berarti “kumpulan yang terdiri dari kutipan-kutipan buku-buku lain”.
79
Istilah ini kemudian
dikembangkan dalam bahasa Inggris menjadi compilation yang artinya “ Kumpulan atau Himpunan”.
80
Atau dalam bahasa Belanda menjadi compilatie yang artinya
kutipan, pengutipan, kompilasi. Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kompilasi.81 Menurut kamus besar bahasa Indonesia kompilasi berarti “kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya).”82 Adapun sebagai istilah hukum kompilasi adalah tidak lain sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukun tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.
83
Dengan demikian baik kebahasaan ataupun istilah
kompilasi dapat diartikan secara sama dan mencapai titik temu sebuah buku hukum atau kumpulan bahan-bahan hukum tertentu yang tersusun secara teratur. Kemudian istilah kompilasi ini dipergunakan dalam usaha besar untuk menghimpun Yurisprudensi Hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam yang semula 79
K. Prent. C, Kamus Latin Indonesia (Semarang: Jajaran Kanisius, 1969), hlm.160. E. Pino, Kamus Inggris - Indonesia (Jakarta: PT. Pratnya Paramitha, 1980), hlm. 79. 81 Sudjito Danusaputro, Kamus Belanda-Indonesia dan Indonesia-Belanda (Den Haag:G.B. Van Goor Zonen’s Uitgeversmaatschappij N.V, 1996), hlm. 60. 82 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 156. 83 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: C.V. Akademika Pressindo, Cet-2, 1995), hlm. 12. 80
Universitas Sumatera Utara
55
masih tersebar dalam karya-karya fiqh klasik, fatwa-fatwa ulama dan sebagainya. Kemudian dikompilasikan dalam sebuah buku hukum yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum Islam dalam makna fiqh Islam adalah hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syari’at Islam yang terdapat dlam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Kemudian dikembangkan melalui Ij’tihad oleh para ulama atau ahli fiqh Islam (hukum Islam) yang memenuhi syarat untuk berij’tihad dengan cara-cara yang telah ditetapkan.84 Membicarakan hukum Islam di Indonesia, dapat dilihat mengenai kedudukan hukum Islam itu sendiri dijajaran perundang-undangan di Indonesia. Sesuai dengan hirarki perundang-undangan yang ada maka Kompilasi Hukum Islam yang terbentuk atas Inpres No. 1 Tahun 1991 tidak memiliki kedudukan yang signifikan. Padahal hukum Islam itu telah hidup dan berkembang yang merupakan living law bagi umat Islam di Indonesia sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Hukum Islam merupakan bahan dalam pembinaan hukum nasional. Hukum dan Agama tidak dapat dipisahkan, hukum yang mempunyai nilai ketuhanan. Hukum yang tidak mempunyai nilai ketuhanan hanya terdapat dinegara sekuler, yaitu terdapat pemisahan yang ketat antara negara (state) dan agama (religion). 85
84
Moh. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press,1990), hlm. 190. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 14. 85
Universitas Sumatera Utara
56
Indonesia bukanlah negara sekuler, masyarakatnya memiliki agama dan nilainilai agama tersebut hidup di tengah-tengah masyarakatnya. UUD 1945 menegaskan dan bahkan melindungi agama-agama serta pemeluk-pemeluknya seperti yang terdapat pada pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Menurut Weiss saling menyatunya antara hukum dan teologi telah dilihat sebagai sesuatu yang apa adanya, bukan ditumbuhkan, tetapi dipulihkan.86 Hukum dan agama dalam praktek lembaga peradilan dan dalam kehidupan lebih luas lagi tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupan umat Islam adat kebiasaan pasti mengandung nilai-nilai Islam sebagai hukum positif. Akan tetapi penegakan hukumnya (law enforcement) terhadap pelanggaran hukum diperlukan alat negara untuk menjalankannya. Praktek peradilan agama telah ada sebelum Indonesia merdeka bahkan sebelum datangnya Belanda ke Indonesia. Perkembangan peradilan agama seiring dengan perkembangan kesadaran pada waktu itu, kemudian dalam perkembangan selanjutnya hukum memperoleh tempat dalam kerajaan-kerajaan Islam, seperti kerajaan di Aceh, Banten, Mataram, Demak dan sebagainya. Hal ini dapat dimaklumi
86
A.Qodri Azizi , Loc.cit, hlm. 83.
Universitas Sumatera Utara
57
karena jabatan Qadhi (hakim) menurut syari’at Islam, merupakan Fardhu Kifayah dalam pelaksanaan syariat Islam. 87 Dalam suatu kelompok masyarakat, jabatan hakim dapat dilakukan dengan cara “tahkim” yakni menunjuk seorang hakim jika mereka berselisih pendapat dan dapat pula dengan cara bai’at oleh Ahlul Hilli wal aqdi yaitu pengangkatan atas seorang untuk menjadi hakim, pengadilan tersebut dialakukan oleh majelis orang-orang terkemuka dalam masyarakat, dapat juga dilaksanakan dengan “tauliyah”, yaitu pemberian kuasa dari sultan atau kepala negara kepada seseorang untuk melaksanakan tugas sebagai hakim.88
Sebagai konsekwensi pluralitas hukum yang berlaku dan sekaligus diakui di Indonesia, sejak masa pemerintahan kolonial Belanda telah diikuti sekaligus telah didirikan lembaga peradilan agama. Dalam sejarahnya, jenis peradilan ini merupakan kelanjutan dari “peradilan serambi” pada masa kerajaan Islam sebelum penjajahan. Kelembagaan tersebut sebagai realitas pelaksanaan hukum Islam secara formal yang diakui dalam sistim hukum negara.89 Sejarah singkat peradilan agama dimulai pada tahun 1882, dimana perintah Belanda membentuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura atas dasar Stb. 1882 NO. 152, JO. Stb. 1937 No. 116 dan 610. Stb. 1882 No. 152 yang dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 berisi 7 pasal sebagai berikut : 90
87 M. Hasballah Thaib, Hukum Islam Di Indonesia (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2006), hlm. 33. 88 Ibid. 89 A. Qodri Azizi, Op.cit, hlm. 136. 90 M. Hasballah Thaib, Op.cit, hlm. 35-36
Universitas Sumatera Utara
58
1. Pada tempat yang ada Landraad (Pengadilan Negeri) di tanah Jawa dan Madura disitu didirikan Raad (pengadilan) Agama yang mempunyai daerah hukum yang sama. 2. Pengadilan Agama terdiri atas seorang Peghulu yang diangkat bagi para Landraad sebagai ketua dan sekurang-kurangnya tiga orang dan sebanyakbanyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota.Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Residen, yakni di Tanah Gubernemen di tanah Jawa dan Madura dan oleh Gubernur di Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta. 3. Pengadilan Agama baru boleh mengambil keputusan jika banyaknya anggota yang bersidang sekurang-kurangnya tiga orang, termasuk ketuanya, dan dalam keadaan pertimbangan suasana, maka suara ketua yang menentukan. 4. Keputusan Pengadilan harus dinyatakan dalam surat yang memuat pertimbangan-pertimbangan
dan
alasan-alasan
secara
singkat
serta
ditandatangani oleh anggota-anggota yang turut bersidang, begitu juga dicatat biaya perkara yang dibebankan kepada yang berperkara dan keterangan dari tiap-tiap pihak dan saksi. 5. (1) Orang yang berkepentingan haruslah diberikan salinan surat keputusan yang lengkap dan ditandatangani oleh Ketua. Kecuali kalau salinan keputusan itu tidak mungkin diberikan sebelum lewat sebulan sesudah keputusan itu, sebab orang yang berkepentingan itu tidak dapat dicari menurut surat keterangan seorang Kepala Polisi di tempat kediamannya maka keputusan itu diberitahukan dengan jalan menempelkan surat pengumuman di tempat rapat
Universitas Sumatera Utara
59
Pengadilan Agama. (2) Dibagian sebelah atas tiap-tiap salinan diterangkan, bahwa keputusan itu dapat dimintakan banding pada Ketua Pengadilan Agama dan diterangkan dalam juga lamanya waktu keputusan itu masih dapat minta banding. (3) Tanggal memberikan salinan itu atau tanggal menempelkan surat pengumuman itu dicatat dalam daftar yang disebut dalam pasal 6. 6. Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu register yang setiap tiga bulan sekali harus disampaikan kepada kepala daerah setempat (Bupati atau lainnya) untuk memperoleh penyaksian (visum) daripadanya. 7. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama yang melampau batas kekuasannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat 2, 3 dan 4 di atas dapat dinyatakan tidak berlaku. Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditentukan kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Oleh karena itu, wewenang Pengadilan Agama mengacu kepada ketentuan yang lebih awal yaitu Stb. 1835 No. 58, meskipun ketentuan lebih awal ini belum mengatur keberadaan Pengadilan Agama. Dengan demikian Pengadilan Agama berhak memeriksa perkara yang sejak dahulu diserahkan kepadanya atau Pengadilan Agama menetapkan sendiri yang dipandang masuk kekuasannya, yang pada umumnya ialah perkara-perkara yang ada hubungannya dengan nikah, talak, ruju’ dan segala jenis yang ada hubungannya dengan nikah, perwalian, warisan dan wakaf dan segala yang dipandang erat hubungannya dengan agama Islam.
Universitas Sumatera Utara
60
Kewenangan yang diberikan oleh Stb. 1835 No. 58 demikian luas meliputi wakaf , hibah, warisan dan lainnya diputuskan berdasarkan hukum Islam, inilah yang kemudian dikenal dengan receptio in complexu. Melihat perkembangan hukum Islam melalui Pengadilan Agama tersebut menyebabkan pemerintah kolonial Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Stb. 1937 No. 116, sebagai revisi Stb. 1882 No. 152 berupa pasal 2a yang terdiri dari 5 ayat. Pasal 2a ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Raad Agama semata-mata berwenang untuk memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak, ruju’, dan perceraian antara orang Islam yang semestinya diperikasa oleh hakim agama, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mempersaksikan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku. Dalam perselisihan dan perkara ini pun segala tuntutan penyerahan benda-benda atau barangbarang yang sudah ditentukan harus diperiksa oleh hakim biasa, kecuali tentang tuntutan pembayaran maskawin (mahar) dan tuntutan nafkah perempuan, yang harus diputuskan oleh Pengadilan Agama sama sekali.91 Tokoh Islam tidak dapat menerima keputusan pemerintah Belanda dan menolak Stb. 1937 No. 116. Akan tetapi protes tokoh Islam ini tidak ditanggapai oleh pemerintah kolonial Belanda akan tetapi justru mengeluarkan Stb. 1937 No. 610 yang intinya mendirikan Mahkamah Islam Tinggi sebagai lembaga banding dalam Peradilan Agama. Sedangkan wewenang Peradilan Agama tetap berlandaskan Stb.1937 No. 116. Wewenang Peradilan Agama hanya terbatas pada nikah, talak, cerai dan ruju’ (NTCR).92
91
Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 16. 92 Ibid, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
61
Selanjutnya pemerintah kolonial Belanda mendirikan lembaga peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur. Tepatnya di Banjarmasin, Martapura, Kandangan, Barabai, Amuntai dan Tanjung. Pembentukan ini didasarkan kepada Stb. 1937 No. 638 jo. No. 639, yang terdiri dari 19 pasal. Lembaga ini diberi nama Kerapatan Qadi untuk pengadilan tingkat pertama dan Kerapatan Qadi Besar untuk pengadilan tingkat banding. Wewenangnya tidak berbeda dengan pengadilan Agama di Jawa dan madura.93 Setelah Indonesia merdeka, maka lahirlah Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Ruju’ yang berlaku hanya untuk wilayah Jawa dan Madura. Selanjutnya diubah dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1954 yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia. Kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tahun 1957 yang merupakan unifikasi pembentukan Pengadilan Agama diwilayah selain Jawa dan Madura, kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan sedangkan tekhnis pendirian Pengadilan Agama dilakukan dengan Keputusan Menteri Agama. Kemudian disusul dengan lahirnya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, walaupun undang-undang ini tidak menyebutkan kekuasan Pengadilan Agama namun memberi kekuatan hukum kedudukan Pengadilan Agama dilingkungan pengadilan lainnya. Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 semakin memperkuat kedudukan Pengadilan Agama, hal tersebut dapat
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
62
dilihat di dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan :” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Titik kulminasi kedudukan Pengadilan Agama terjadi ketika lahirnya Undangundang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) karena terjadi perubahan yang fundamental dari segi kelembagaan dan segi kekuasaan (wewenang). Pada pasal 49 :
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdsarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan sebagaiman ayang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 52 ayat (2) : ”Selain tugas dan kewenangan sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 49 dan 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang-undang “. Kehadiran dan berlakunya UUPA ini semakin diperkuat dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991. KHI merupakan fikih dalam bahasa undang-undang yang mencakup Bab, Pasal, dan Ayat. Ditinjau dari isinya cukup terperinci yang mencakup persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan..
Universitas Sumatera Utara
63
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, kemudian Pengadilan Agama dibagi atas Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat banding. Kedua pengadilan ini merupakan tempat pencari keadilan bagi yang beragama Islam dan pada tingkat terahir bermuara kepada Mahkamah Agung.94 Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi
wilayah
kabupaten/kota.
Pengadilan
Tinggi
Agama
berkeduudkan di Ibu Kota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.95 Sementara mengenai pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah agung sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006.96 Propinsi Sumatera Utara memiliki 33 kabupaten/kota yang tersebar di pulau Sumatera, salah satu dari kabupaten/kota itu adalah kabupaten Langkat. Salah satu Pengadilan Agama terdapat di kabupaten tersebut yang terletak di kota Stabat sebagai ibu kota Langkat. Pengadilan Agama Stabat tepatnya berada di Jalan Proklamasi No. 46 Stabat. 97 Sebagaimana Pengadilan Agama lainnya , maka Pengadilan Agama Stabat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu perkara yang ada diperiksa adalah perkara Itsbat Nikah.
94
Lihat pasal 1 ayat (1) dan (2) serta pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Lihat Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 96 Wawancara dengan Muhammad Syofyan, wakil sekretaris PA-Stabat, tanggal 20 November 2013. 97 Alamat, www.pa-stabat.net, diakses tanggal 24 Oktober 2013. 95
Universitas Sumatera Utara
64
Data tahun 2009 sampai dengan 2012 menunjukkan bahwa permohonan penetapan Itsbat nikah di Pengadilan Agama Stabat berjumlah 97 perkara. Dengan latar belakang permohonan adalah untuk kepentingan penetapan ahli waris, persyaratan terhadap pensiunan bagi Pegawai Negeri Sipil dan sebagainya.98 Prosedur pemeriksaan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Stabat adalah sebagai berikut :99 1.
Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohoan bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan Itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami , istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
2.
Jika permohonan Itsbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohoan sebagai pihak termohon, produknya bersifat putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
3.
Jika Itsbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
98
Muhammad Syofyan, Wawancara dengan wakil sekretaris PA-Stabat, tanggal 20 November
2013. 99
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Jakarta: 2011), hlm. 147-148.
Universitas Sumatera Utara
65
4.
Jika permohonan Itsbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.
5.
Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat mengajukan Itsbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan.
6.
Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan Itsbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan.
7.
Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Stabat setelah mengetahui ada penetapan Itsbat nikah.
8.
Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama Stabat selama perkara belum diputus.
9.
Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama Stabat dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama Stabat. Selanjutnya proses penyelesaian perkara pengesahan perkawinan (Itsbat
Nikah) dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu :
Universitas Sumatera Utara
66
1.
Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Stabat (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.).
2.
Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama Stabat, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama Stabat atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Stabat mencatat permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.).
3.
Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Stabat, kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Pemohon atau kuasanya membayar panjar biaya perkara ke BRI Cabang Stabat dengan melampiri slip penyetoran bank yang besarnya telah ditentukan oleh Ketua Pengadilan Agama Stabat (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.).
4.
Permohonan tersebut memuat: a. Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon. b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum). c. Alasan atau kepentingan yang jelas. d. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
5.
Pemohon dan Termohon atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan yang dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Stabat (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
Universitas Sumatera Utara
67
Mengenai proses persidangan penyelesaian perkara pengesahan perkawinan (Itsbat nikah) dilangsungkan dengan cara sebagai berikut : 100 1.
Pada tahapan awal proses Itsbat nikah ini dimulai dengan : Tahapan pertama adalah Permohonan Itsbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim menetapkan hari sidang, terlebih dahulu mengumumkan adanya permohonan Itsbat nikah melalui media massa (Radio Kalamaira Stabat) dalam waktu 14 (empat belas) hari. Kemudian dilanjutkan penetapan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman oleh Majelis Hakim. Tahapan kedua, Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Stabat untuk menghadiri sidang pemeriksaan: a. Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama Stabat, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). b. Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama Stabat dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). c. Termohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media massa (Radio Kalamaira Stabat) sebanyak dua kali, jarak pemanggilan pertama 100
Ibid, hlm. 148-150
Universitas Sumatera Utara
68
dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan (Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. d. Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan. 2.
Tahapan pemeriksaan perkara dimulai dengan beberapa sidang yaitu : a. Pada pemeriksaan sidang pertama. 1) Jika Pemohon dan Termohon hadir, maka tahap persidangan dimulai dengan memeriksa identitas para pihak, para pihak tidak diwajibkan melaksanakan proses mediasi karena perkara permohonan isbat nikah (Pasal 3 ayat (2) Perma. Nomor 1 Tahun 2008), selanjutnya Majelis Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009). 2) Jika Termohon tidak hadir, maka Termohon dipanggil sekali lagi (Pasal 150 R.Bg).
Universitas Sumatera Utara
69
b. Selanjutnya tahapan pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, replik, dan duplik (Pasal 157 ayat (1) R. Bg., pembuktian dan kesimpulan). c. Tahapan sidang berikutnya adalah musyawarah Majelis Hakim dan terakhir membacakan penetapan. 3.
Ketentuan penetapan berkekuatan hukum tetap (BHT). a. Jika kedua belah pihak hadir, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan dibacakan. b. Jika salah satu pihak tidak hadir pada saat pembacaan penetapan, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan tersebut diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir. Setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera
Pengadilan Agama Stabat berkewajiban menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan kepada para pihak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan tanpa dipungut biaya. Permohonan penetapan Itsbat nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Stabat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu permohonan yang besifat voluntair dan permohonan bersifat kontentiosa. Istilah voluntair terdapat pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999) yang menyatakan : “Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan
Universitas Sumatera Utara
70
mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.” Istilah voluntair ini selanjutnya tidak dipakai lagi pada UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970. Namun istilah voluntair dirubah menjadi permohonan, istilah ini dapat dilihat pada “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan”,
101
pada halaman 110 angka 15 akan tetapi pada angka 15
huuf (e) dipergunakan juga istilah voluntair, yang menjelaskan bahwa : “Perkara permohonan
termasuk
dalam
pengertian
yuisdiksi
voluntair.
Berdasarkan
permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan.”102 Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.103 Ciri khas pemohonan atau gugatan voluntair adalah :104 1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of party only). Dengan demikian benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan
pemohon
tentang
sesuatu
permasalahan
perdata
yang
memerlukan kepastian hukum, misalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian pada prinsifnya apa
101
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Buku II ( MA RI: Jakarta, 1994), hlm. 110. 102 Ibid, hlm. 111. 103
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, cet ke 8, 2008), hlm. 29.
104
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71
yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. 2. Permasalahan yang dimohon, pada prinsifnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences with another party). Berdasarkan ini maka tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang penyelesaian sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga. 3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte. Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat exparte . Permohonan untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau yang terlibat dengan permasalahan hukum (involving only one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu hanya sepihak. Perkara gugatan contentiosa berbeda dengan perkara permohonan voluntair, dimana gugatannya mengandung sengketa diantara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties).105 Maksud dari gugatan contentiosa yang mengandung sengketa diantara para pihak yang berperkara yang pemeriksaan dan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak sebagai berikut :106
105 106
Ibid, hlm. 46. Ibid, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
72
1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat (plaintiff = planctus, the party against whom a civil action is brought). 2. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party against whom a civil action is brought). 3. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputies, differences). Perkara pemohonan itsbat nikah yang diajukan kepada Pengadilan Agama Stabat
cenderung
berbentuk
contentiosa
sehingga
Putusan
Nomor
219/Pdt.G/2011/PA-Stb. Dimana anak-anak pemohon dijadikan sebagai pihak lawan. Tujuannya adalah agar para pihak yang berkepentingan tidak dirugikan dan tidak ada rekayasa. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keadilan putusan dari lembaga peradilan agama.107
107
Wawancara dengan Syaifuddin, Hakim Pengadilan Agama Stabat, tanggal 20 November
2013.
Universitas Sumatera Utara