ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN (Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS. )
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Indro Wibowo NIM: 207044100425
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN (Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS. )
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Indro Wibowo NIM: 207044100425 Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP.196404121994031004
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS) Telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2011 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Jakarta, 20 Juni 2011 Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP.19550505198201012
Panitia Ujian 1. Ketua
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP.19550505198201012
2. Sekertaris
Mufidah, S.HI
3. Pembimbing I
Drs.H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640121994031004
4. Penguji I
Dr. H. M. Nurul Irfan, MA NIP. 150326893
5. Penguji II
Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP.19720224199803100
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Juni 2011
Indro Wibowo
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah ta’ala Rabb semesta alam. Dzat yang maha pengasih dan maha penyayang tak pandang sayang. Sesungguhnya tidak ada seorang hamba yang lebih mulia di sisi Allah kecuali yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk kepada kita dengan risalah Islam yang mulia. Pembela hak-hak kaum wanita yang sebelumnya telah diabaikan oleh masyarakat jahiliyah terdahulu dengan adanya diskriminasi dan pemasungan hak-hak bagi mereka. Dengan adanya pencatatan perkawinan maka hak – hak yang terabaikan dapat di penuhi dalam keluarga sehingga timbul ketenteraman serta rasa keadilan dalam perkawinan. Syukur Alhamdulillah karena dukungan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil, segala kesulitan akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” untuk istriku tercinta (Irdha Fajaryani) dan anakku tersayang (Nadindra Kirana Maheswari), serta sembah bakti penulis kepada Ibunda Sri Rahayu, Ayahanda Kadarisman dan Ibunda Sukesi yang tak henti – hentinya memberikan dorongan semangat serta doa bagi penulis.
i
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana M.A., Ketua dan Sekretaris Program Studi Al Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. H. Ahmad yani, MA, dan Mufidah, S.HI, Koordinator Teknis dan Sekertaris Program Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.A., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis. 5. Bapak Drs. Agus Yunih, S.H, M.HI Hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta Bapak TB. Zamroni, S.Ag Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama dan segenap jajaran Karyawan/karyawati (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi Al Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
ii
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi jalan ilmu bagi penulis selama duduk di bangku kuliah. 7. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 8. Sahabat-sahabat penulis di Peradilan Agama Non reguler angkatan 2007/2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. ’’Jangan menjadi pohon kaku yang mudah patah, jadilah bambu yang mampu melengkung melawan terpaan angin’’
serta Terima kasih atas semua
bantuan dan dukungan serta doanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik kita semua di sisi Allah SWT. Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang penulis terima tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan, semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT kepada kita semua. Âmîn
Jakarta, 20 Juni 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
8
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ..................................
9
E. Studi Review Terdahulu ........................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II
KERANGKA TEORI A. Dasar dan Tujuan Perkawinan .................................................. 14 B. Rukun dan Syarat Perkawinan dalam Islam.............................. 20 C. Urgensi Pencatatan Perkawinan ................................................ 26
BAB III
ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA A. Definisi Itsbat Nikah ................................................................ 32 B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan ........... 33 C. Dampak Itsbat Nikah sebelum dan sesudah Adanya Penetapan Pengadilan Agama .................................................................... 42
iv
BAB IV
ANALISIS
YURIDIS
ITSBAT
NIKAH
DALAM
PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat ...................................................................................... 47 B. Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama ....................................................................... 65 C. Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat ............................................................................. 68
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 75 B. Saran ......................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 78 LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat penting baik ditinjau dari sudut sosial maupun yuridis, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat berarti dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan adalah mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat. Ditinjau dari segi yuridis perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, selain hal tersebut juga merupakan suatu perbuatan keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang, sebagai salah satu masalah keagamaan maka setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan tersendiri tentang perkawinan. Sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan.1 Dengan melihat kepada arti, kedudukan dan tujuan yang sangat penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu peraturan 1
Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumi, 2001), Cet. Ke-IV, h. 17
1
2
yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah. Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari pihak manapun juga, maka ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu suatu aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Sehingga dengan demikian kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, setiap anggota masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya masing-masing, tata atau aturan-aturan yang demikian itu lazim juga disebut kaidah atau norma.2 Adapun yang termasuk macam-macam norma agama, hukum dan kesusilaan, norma agama dalam hal ini adalah agama Islam yang bersumber kepada hukum syara‟ yang terkandung dalam al-Qur‟an dan hadits. Sedangkan norma hukum bersumber kepada:3 1. Undang-undang; 2. Kebiasaan (custom); 3. Keputusan-keputusan (Yurisprudensi); 4. Traktat (Treaty). Dalam hal perkawinan, seseorang muslim wajib berpedoman kepada hukum syara‟ yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang, dan dibolehkan.
2
Mufti Wiriadhihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada, 2002), Cet. Ke-7, h. 6 3
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 2001), Cet. Ke-III, h. 44
3
Dengan demikian perkawinan ditinjau dari hukum syar‟i adalah merupakan pengabdian kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta dengan segala kesempurnaan-Nya. Salah satu bukti kesempurnaan ciptaanNya ialah adanya ketentuan-ketentuan syara‟ yang mengatur perkawinan manusia agar mendapat ketentraman dan kasih sayang antara suami isteri yang bahagia.4 Di samping wajib mengikuti ketentuan hukum syara‟ muslim warga negara Indonesia harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber kepada undang-undang negara, yang dimaksud dengan undang-undang ialah peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh perlengkapan negara yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang yakni presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di mana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang menyatakan: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Ini berarti dengan diundangkannya undang-undang perkawinan merupakan suatu pedoman bagi seluruh warga Indonesia, baik muslim maupun non muslim, undang-undang tersebut merupakan sumber hukum mengenai perkawinan berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa dan ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya. Namun oleh karena 4
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A‟la al-Indonisiya li alDa‟wah al-Islamiyyah, 2002), Cet. Ke-IX, h. 100.
4
undang-undang tersebut belum sepenuhnya memasyarakat, maka masih terdapat keragu-raguan, khususnya sahnya perkawinan jika dikorelasikan dengan pasal yang mengatur tentang catatan perkawinan dan akta nikah ataukah sekedar syarat administratif belaka yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan, karena prilaku mencatatkan perkawinan memiliki urgensi yang vital dalam tatanan kehidupan sosial. Dengan dalih tidak ada ketentuan mengenai catatan perkawinan dan akta nikah dalam Islam, masih banyak warga negara Indonesia khususnya muslim yang melangsungkan perkawinan mereka tanpa dicatatkan pada lembaga resmi pemerintah. Catatan perkawinan merupakan ibadah ghairu makhdhoh yang memiliki sifat terbuka dan dalam hukum syar‟i ketentuan adanya dua orang saksi laki-laki merupakan bukti adanya perkawinan hanya saja sifatnya limitative, hal ini sangat penting untuk kemaslahatan kedua belah pihak, apabila ada tuduhan melakukan perzinahan dan sebagainya, maka kedua belah pihak dapat mengemukakan saksi bahwa mereka sebenarnya telah melakukan perkawinan (nikah). Demikian pula baik isteri maupun suami tidak mudah untuk memungkiri perjanjian perkawinan yang suci tersebut terutama kelak adanya sanggahan terhadap keturunannya. Untuk meyakinkan umat Islam dalam perilaku perkawinan mereka khususnya mengenai pentingnya catatan perkawinan, dan untuk menghilangkan keragu-raguan mereka terhadap undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, berikut pendapat Hazairin, … ia (Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974) merupakan suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan).
5
Di samping hal tersebut unifikasi bertujuan hendak melengkapi segala apa yang diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan, karena dalam hal tersebut negara berhak mengatur sendiri sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat serta tuntutan zaman.5 Dalam implementasinya masih ada keraguraguan serta berbagai macam pelanggaran sehingga perkawinan tidak bisa mencapai tujuan yang diidam-idamkan yakni membina rumah tangga yang kekal dan bahagia yang berujung pada perceraian. Jika pada waktu melangsungkan perkawinan mereka mendaftar dan mencatatkan perkawinan tersebut pada lembaga resmi pemerintah yaitu Kantor Urusan Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi warga negara yang beragama non Islam. Dengan adanya akta nikah, perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan akan terjamin hak-haknya sebagai suami isteri, selain itu dengan adanya bukti catatan perkawinan dari pejabat yang berwenang, maka perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis. Oleh karena itu ternyata adanya keharusan catatan perkawinan bagi mereka yang ingin melangsungkannya, mempunyai nilai yuridis yang sangat urgen, sebagai bukti autentik bahwasanya mereka telah melangsungkan pernikahan dan membina rumah tangga, selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak masing-masing pihak sebagai suami isteri. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) sudah ditegaskan bahwa, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan 5
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Tinta Mas, 2001), Cet. Ke-IV, h. 65
No. 1 Tahun 1974,
6
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 di atas dipertegas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1) yaitu, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu; (1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Undang-undang menentukan terhadap ketiadaan catatan nikah dapat dilakukan melalui itsbat nikah dengan merujuk pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, dan pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, dengan dilakukannya itsbat nikah maka kedua pasangan suami isteri mempunyai beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan. Dengan ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.6 Sedangkan yang kedua adalah manfaat represif berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta nikah karena lain hal, bisa mengajukan itsbat nikahnya (penetapan) kepada pengadilan.7
6
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-III, h. 111-112 7 Ibid., h. 117
7
Berdasarkan uraian di atas dan itsbat nikah Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Penetapan Nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS) penulis ingin lebih mengetahui bagaimanakah sebenarnya itsbat nikah bila hal tersebut dilakukan sesudah munculnya Undang – undang Nomor. 1 Tahun 1974 apakah telah sesuai dengan hukum positif yang ada. Banyaknya pembahasan itsbat nikah pada skripsi terdahulu membuat penulis ingin lebih melengkapi skripsi yang ada dalam hal ini penulis ingin menelisik apa kendala yang dialami oleh pasangan suami istri dalam mengitsbatkaan pernikahannya. Dan dalam pengitsbatan nikah di Pengadilan Agama terdapat pula keterkaitan dengan Kantor Urusan Agama sebagai suatu instansi dalam pencatatan akta nikah sehingga nantinya suami istri tersebut mendapatkan salinan akta nikah sebagai bukti ketercatatan mereka. Penulis ingin pula mengetahui bagaimanakah pencatatan perkawinan antara pencatatan melalui itsbat nikah dengan pencatatan nikah yang langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Untuk lebih terarahnya materi penulisan skripsi ini maka penulis membuat satu judul yaitu : Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA. JS)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Banyaknya pengajuan permohonan itsbat nikah pada masyarakat Kecamatan Kebayoran Lama yang diajukan pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan membuat penulis ingin mengetahui bagaimana hakim
8
memberikan penetapan itsbat nikah dan penulis mendapatkan salinan penetapan Nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS. Dalam penetapan tersebut perkawinan dilakukan pada tahun 2002 sedang pada KHI pasal 7 ayat 3 huruf (d) dinyatakan adanya itsbat nikah yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 maka penulis merasa sangat perlu untuk membatasi, agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas dan penulis membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup: Apa yang menyebabkan M. Nasir bin Marmin dan Dahliana binti Matsanih mengajukan itsbat nikah dan apa pertimbangan hakim, sehingga mengabulkan itsbat nikah 2. Perumusan Masalah Agar
pembahasannya
teratur
dan
sistematis
maka
perlu
dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis adalah bagaimanakah sebenarnya itsbat nikah karena perkawinan tidak tercatat di Pengadilan Agama itu dapat terjadi. Adapun rincian permasalahan penelitiannya sebagai berikut: a. Bagaimanakah
proses
penetapan
keputusan
itsbat
nikah
dan
relevansinya terhadap perkawinan tidak tercatat? b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang Nomor. 1 tahun 1974? c. Mengapa Majelis
Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mengabulkan permohonan itsbat nikah?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Mengetahui dan menjelaskan gambaran substansi itsbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama. b. Mengetahui dan menjelaskan penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan bila perkawinan terjadi setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974.
2. Manfaat Penelitian a. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganalisis ketentuan aturan hukum Perkawinan Undang – undang No. 1 Tahun 1974, khususnya ketentuan tentang hukum perkawinan. b. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum itsbat nikah, agar berguna dalam penerapannya di masyarakat.
D. Metode Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan dan melihat apakah sesuatu itu lebih baik ataukah buruk, benar atau salah dan seterusnya berdasarkan norma-norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas subjektif, mencakup penelaahan dan pengungkapan sosial dan kemanusiaan. Selain itu penelitian ini dikatakan jenis penelitian kualitatif karena objek
10
penelitian ini adalah isi/content dari aturan-aturan hukum Undang-Undang Perkawinan. Dan dalam penelitian skripsi ini juga menggunakan jenis penelitian kuantitatif jenis penelitian lapangan (field research). Data penelitian pada skripsi ini meliputi; sumber data dan jenis data. Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data Primer Pertama, data primer meliputi berkas-berkas Penetapan itsbat nikah Nomor : 083/Pdt/2010/PA. JS.) yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan Kedua, wawancara dengan ketua majelis Bapak Drs. Agus Yunih, S.H, M.HI. sebagai hakim yang telah memberikan pengesahan itsbat nikah Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS dan Bapak TB. Zamroni, S.Ag selaku kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Lama yang mengeluarkan salinan akta nikah Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkannya dengan masalah yang dikaji. 2. Data Sekunder Pertama, pada sumber data, sumber data primer terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Kedua, Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal-pasal yang berkenaan dengan perkawinan. Ketiga, aturan hukum yang dalam fikih, khususnya yang berkenaan dengan pencatatan perkawinan. Pada jenis data, jenis data yang dikumpulkan
11
dalam skripsi ini adalah jenis data kualitatif yaitu data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-angka, dalam hal ini data yang dikumpulkan tersebut berupa pemikiran yang relatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Menganalisis terhadap berkas penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS 2. Interview/wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang mensahkan putusan itsbat nikah Nomor : 083/P.dt/2010/PA.JS dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Lama Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
E. Studi Review Terdahulu Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif
12
hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis ketahui, belum ada seorangpun yang menulis itsbat nikah dalam perkawinan (analisis yuridis penetapan nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS.) Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Biarpun obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya: Skripsi yang berjudul “Itsbat nikah karena perkawinan tidak tercatat setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ( studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Timur )” yang ditulis oleh Ahmad Taridi, Program Studi alAhwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun 2005. Lebih fokus kepada itsbat nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang tejadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Kemudian yang ke dua “Itsbat nikah dan proses penyelesaiannya dipengadilan agama (Studi analisis Jakarta timur) yang disusun oleh Ulfa Fouziah pada tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus pada banyaknya kasus itsbat nikah yang terjadi dipengadilan agama Jakarta timur dan ingin mengetahui bagaimana proses persidangan itsbat nikah sesudah dan sebelum adanya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian yang ketiga “Dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam itsbat nikah.
13
F. Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan yang meliputi; Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Metode penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan.
BAB II : Kerangka teori, Pembahasan dalam bab ini mengenai dasar dan tujuan perkawinan, rukun dan syarat dalam perkawinan Islam, Urgensi pencatatan perkawinan. BAB III : Itsbat nikah di pengadilan agama, Bab Ini Membahas definisi itsbat
nikah,
hubungan
itsbat
nikah
dengan
pencatatan
perkawinan, dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya penetapan pengadilan agama. BAB IV : Analisis yuridis itsbat nikah dalam perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bab ini membahas Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat, Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan di Kantor Urusan (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatatat BAB V : Penutup yang meliputi; Kesimpulan dan Saran.
BAB II KERANGKA TEORI
A. Dasar dan Tujuan Perkawinan Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.1 Perkawinan atau pernikahan jika dalam bahasa Arab disebut dengan dua kata ) ( زواج _ نكاح2 yang artinya adalah nikah atau kawin. Secara etimologi nikah (kawin) berarti “al-wath‟u wa al-dhammu” (bersenggama atau bercampur). Begitu pula dalam pengertian majazi (kiasan) orang menyebut nikah untuk arti akad. sebab, akad ini merupakan landasan bolehnya melakukan persetubuhan.3 Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan diperintah oleh agama dan dengan telah
1
Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama Press, 2001),h. 14 2
Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara Sumber Widya, 2001), cet 13., h. 191 3
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 4
14
15
berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.4Islam diyakini umatnya sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil-‟alamiin). Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia. Sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang menyangkut akidah atau akhlak semata, tetapi juga memberikan tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, salah satunya adalah hukum perkawinan.5 Menurut
ajaran
Islam
melangsungkan
pernikahan
berarti
melaksanakan ibadah.6 Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullâh yang artinya perintah Allah dan RasulNya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja, karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan sebagaian dari syariah agama Islam. Islam sebagai Agama fitrah, dalam arti tuntunannya selalu sejalan dengan fitrah manusia, menilai bahwa perkawinan adalah cara hidup yang wajar.7 Allah SWT menganjurkan perkawinan lewat firman-Nya QS. An-Nur (24): 32 :
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. I. h. 43 5
Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), cet. I, h. 39 6
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 3 7
M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an “Kalung Permata Buat Anak-anakku‟‟, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. II, h. 55.
16
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha mengetahui”. (QS. An-Nur (24): 32) Dalam hal ini Allah SWT menyeru para wali agar mengawinkan orang-orang yang masih sendirian (Laki-laki yang belum beristri dan perempuan yang belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Laki-laki yang dibekali rasa senang terhadap wanita begitu juga sebaliknya, dalam menempuh hidup di dunia sebagai khalifah tidak dibiarkan hidup sekehendak nafsunya, akan tetapi diberi aturan hidup bersama dengan pasangannya itu. Tujuannya agar mereka hidup dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih sayang yang dapat menghibur dikala susah dan pemulih gairah dikala lelah.8 Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (21) : 21:
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum (21) : 21) Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Hukum Islam juga ditetapkan 8
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, h. 7-15.
17
untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam al-Qur‟an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW.9 Perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini merupakan realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar, dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.10 Pada hakekatnya, perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban, pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dalam Islam, rasa cinta kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan, bahkan merupakan motivasinya. Sedang kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua pihak, suami-isteri, dalam mengarungi kehidupan. Dan inilah yang akan
9
Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), cet. IV, h. 59-60. 10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980), cet. I. h. 19.
18
menjamin rasa cinta kasih berikut perkembangannya, sebagaimana rasa cinta kasih itu sendiri menjadi pendorong kuat bagi suami – isteri dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing. Kalau kita kembali kepada pokok syari‟ah untuk menafsirkan makna kewajiban di dalam kehidupan suami - isteri , yang terlihat oleh kita adalah kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Selain itu kita tidak melihat adanya suatu ketentuan yang membatasi tugas-tugas. Hak-hak suami atas isterinya adalah sebanding dengan hak-hak isteri atas suaminya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur‟an : ”Dan
para
wanita
mempunyai
hak
yang
seimbang
dengan
kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf.” Terbukti agama ini tidak menganggap memadai bila dalam perkawinan hanya terdapat perasaan cinta kasih dan sayang saja. Lebih dari itu, Islam menekankan kewajiban mempergauli isteri dengan baik. Hal ini berdasarkan nash alqur‟an : ”Dan pergaulilah mereka secara patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”11 Islam menganjurkan seseorang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik. Demikian pula dari segi ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amal kebaikan, dengan berkeluarga akan dapat dipenuhi.12 Pemenuhan hasrat seksual adalah kebutuhan biologis manusia. Pada umumnya, kebutuhan itulah yang menjadi 11 12
Ibid, h. 59-60. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. I, h. 12.
19
faktor utama suatu perkawinan. Pemenuhan seksual adalah kenikmatan sekaligus kewajiban. Oleh karena itu, seorang suami dan isteri berhak atas lainnya secara timbal balik. Setiap dari keduanya berhak menuntut pihak lain yang mengabaikan hubungan tersebut. Meninggalkan hubungan biologis dengan sadar dan sengaja oleh suami - isteri sama akibatnya dengan meninggalkannya karena ada halangan seperti terkena penyakit menular yang susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang menimpa salah satu pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya dapat membatalkan perkawinan. Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang sangat ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam mengaharamkan penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab tindakan itu sama halnya dengan menghambat pengembangbiakan.13 Karena tujuan pernikahan tidak lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna mewujudkan rumah tangga yang mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang) dalam kehidupan keluarga.14
B. Rukun dan syarat dalam perkawinan Islam Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum, sedang syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, syarat dirumuskan
13
Al- Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari‟at & Masyarakat, h. 72.
14
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 3
20
dengan, ‟‟sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i, dan dia berada diluar hukum itu sendiri‟‟.15 Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tampak begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika berkenaan dengan ihwal rukun dan syarat nikah, ada hal – hal tertentu yang oleh sebagian ulama dikategorikan kedalam syarat nikah. Jadi rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad.16 Apabila kedua unsur tidak dipenuhi, maka perbuatan dianggap tidak sah menurut hukum, demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syarat. 1. Rukun dalam perkawinan a. Adanya calon mempelai pria b. Adanya calon mempelai wanita c. Adanya wali d. Adanya dua orang saksi e. Adanya ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya) dan qabul ( dari calon mempelai laki - laki atau wakilnya )17
2. Syarat dalam perkawinan
15
Tim Penyusun, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jil.
5, h. 1691 16
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 95-96 17 Aslih kurniawan, dkk, Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta Selatan, 2010), h. 24
21
Pada garis besarnya syarat – syarat sahnya perkawinan itu ada dua : a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki – laki yang ingin menjadikannya istri. perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram untuk dinikahi b. Akad nikahnya dihadiri para saksi Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan di jelaskan syaratsyaratnya sebagai berikut : a. Adanya laki-laki dan perempuan Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, adapun syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut :18 Bagi calon mempelai laki - laki 1) Beragama Islam 2) Pria 3) Tidak dipaksa 4) Tidak beristri empat orang 5) Bukan mahramnya calon istri 6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya 7) Mengetahui calon istrinya tidak haram dinikahinya 8) Tidak sedang melakukan ihram Bagi calon mempelai perempuan 18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 64
22
1) Beragama Islam 2) Wanita 3) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya 4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah 5) Bukan mahramnya calon suami 6) Jelas orangnya 7) Tidak sedang dalam ihram19 b. Adanya wali Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas orang lain dan dalam perkawinan wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah . akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki – laki yang dilakukan oleh mempelai laki – laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.20 Syarat wali sebagai berikut 1) Beragama Islam 2) Baligh Berakal 3) Tidak dipaksa 4) Terang lelakinya 5) Adil bukan fasiq 19
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009), h.15 - 16 20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 69
23
6) Tidak sedang ihram atau umroh 7) Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah) 8) Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya c. Adanya saksi: Sabda nabi SAW :
”Dari Ibnu Abas, R.A berkata tidak sah nikah tanpa wali dan kedua saksi yang adil” (HR.Imam Ahmad)21 Syarat saksi: 1) Beragama Islam 2) Laki-laki 3) Balig 4) Berakal 5) Adil 6) Mendengar 7) Tidak tuli 8) Bisa bercakap-cakap (tidak bisu) 9) Tidak pelupa(mughoffal) 10) Menjaga harga diri mengerti ijab dan qabul
11) Tidak merangkap menjadi wali22 21
Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Beirut: al-Maktab al- Islami, 1985), h. 250 lihat juga Ala al-din Ali Ibnu Balban al Farisi shahih ibn Hibban Bitartibi Ibnu Balban (Beirut: Muassasah al-risalah, 1997), h.386
24
d. Ijab dan qabul syarat-syaratnya: 1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali 2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai23 3) Ijab dan Qabul harus berbentuk dari asal kata ‟‟ inkah ‟‟ atau ‟‟tazwij ‟‟ atau terjemah dari dua kata tersebut yang dalam bahasa berati ‟‟menikahkan‟‟ Contoh: 1) Ijab dari wali calon mempelai perempuan ‟‟ hai fulan bin fulan, saya nikahkan fulanah, anak
kandung saya dengan engkau,
dengan mas kawin (mahar)...................dibayar tunai (hutang). 2) Qabul dari calon mempelai pria ‟‟ saya terima nikahnya dan kawinnya fulanah binti...............dengan mas kawin yan tersebut tunai.24 a) Antara ijab dan qabul bersambungan b) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya c) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
22
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, h. 25 23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 1, h. 63 24
Ibid, h. 26
25
d) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.25 e. Mahar Di samping rukun dan syarat yang tersebut di atas, menurut para ulama, mahar itu hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan. Pengertian mahar adalah Pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki – laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah.26 Tentang mahar ini terdapat dalam firman Allah pada surat an – Nisa‟ ayat 4 yang bunyinya :
4
Artinya : ”Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(QS, an – Nisa‟(4): 4 ) Dan Nabi SAW bersabda kepada seorang laki - laki yang ingin menikah
25
26
Ibid, h. 63
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 85
26
‟‟Dari Sahal bin Sa‟ad bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wa Sallam berkata pada seorang laki-laki nikahilah oleh kamu walaupun dengan mas kawin berupa cincin dari besi‟‟(HR. Bukhari)27 C. Urgensi Pencatatan Nikah Al-qur‟an dan Al-hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui
perundang-undangan. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan pada hukum Islam.28 Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh Undang-undang. Juga dijelaskan bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu penting akad nikah sehingga ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.29 Mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al-qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah.
27
Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Bardizbah al Bukhari, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th), Juz III, h. 252 28
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet
1, h. 26 29
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang – Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), h. 139
27
firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2). Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-qur‟an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar‟I tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada awal masa Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama.30 Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan. Dengan alasan-alasan yang disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, h. 120-121
28
maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut Akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan didalam kitab fikih ataupun fatwa-fatwa ulama.31 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat.32 Undangundang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: Tiap - tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
31
Ibid, h. 122
32
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 27
29
Ini adalah satu-satunya Ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat didalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 dinyatakan: (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) di lakukan sekurang- kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat(atas nama) bupati kepala daerah. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun didalam undangundang perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan.33 Dalam kompilasi hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan 6 mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut. Pasal 5 (1).Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2).Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1).Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah. (2).Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 33
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, h. 122-123
30
Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.” Ketertiban disini menyangkut Ghayat al-Tasyri‟ (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul “tidak mempunyai kekuatan hukum.” Dan dapat diterjemakan dengan makna tidak sah. Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah.34 Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan undang-undang yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah sehingga tidak memiliki legalitas di mata hukum sehingga hak-hak suami dan istri serta anak-anak yang dilahirkan tidak memiliki jaminan perlindungan secara hukum. Di sini perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secara syariat tetapi juga memiliki legalitas formal yang dilindungi undang-undang Negara kita. Sah secara syariat Islam dan mendapatkan perlindungan Negara merupakan terminologi wajib yang seharusnya dilakukan oleh setiap warganegara sehingga tidak muncul pilihan yang memisahkan kedua term tersebut. proses awal dari mekanisme pertumbuhan kependudukan. Naiknya jumlah penduduk atau menurunnya angka perkawinan turut menjadi bagian dari proses prediksi kondisi masa depan.35
34
Ibid, h. 124
35
Abdul Gani, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟ Mimbar Hukum No 23( Tahun VI
1995), h.49
31
Masih banyaknya perkawinan yang tidak tercatat yang berakibat tidak adanya bukti perkawinan yang sah. Mereka umumnya telah memiliki anakanak yang membutuhkan akses pelayanan sipil sebagai warganegara dan juga pelayanan sosial. Mereka tidak memiliki identitas kewarganegaraan seperti, KTP, Akta Kelahiran, Kartu keluarga, dan lain sebagainya. Mereka juga kehilangan kesempatan meraih hak-hak kewarisan, mengurus passport dan hak mendapatkan tunjangan keluarga.36 Adanya peraturan yang mengharuskan agar suatu perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya – upaya negatif dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi dari pengingkaran akad nikah oleh seorang suami dibelakang hari, yang meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi tetapi sudah tentu akan lebih dapat terlindungi dengan adanya pencatatan resmi dilembaga yang berwenang untuk itu. Namun apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga akan mempunyai kekuatan hukum dalam perkawinannya.37
36
Anwar Saadi, “Pentingnya Pencatatan Nikah, BP4 Perkawinan dan Keluarga”. No. 460/XXXVIII/2011, h. 24 37
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, h. 34
32
BAB III ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
A. Dasar Hukum Itsbat Nikah Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab ( ( اثباتyang merupakan masdar dari kata ( اثبات- )اثبت – يثبتyang mempunyai makna penetapan, penentuan atau pembuktian.Yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan pembuktian atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan alasan-alasan tertentu.38 Yang menjadi dasar hukum dari itsbat nikah adalah BAB XIII Pasal 64 ketentuan peralihan Undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijadikan menurut peraturan lama adalah sah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Pasal 7, yang terkandung dalam Pasal 64 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan “itsbat nikah”.39 Seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan : (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama. 38
Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catatat Setelah Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, (Ahkam IV, No.8 , 2002), h.75 39
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal: 64
33
34
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang Nomor 1 tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti autentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.40 Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
40
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, (Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51-52
35
undangan yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu : Pasal 5 ayat (1) ; Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pasal 5 ayat(2) ; pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1946 jo dan Undangundang No.32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang republik indonesia tanggal 21 november No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura. Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 6 yang menyebutkan : 1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.41 Secara rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang : 1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang - undang No.32 Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.
41
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995). Cet 1, h.109.
36
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan. 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 peraturan pemerintah sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undangundang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.42 Dalam pasal 3 peraturan pemerintah nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-undang
No.1
Tahun
1974
tentang perkawinan
menjelaskan 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.
42
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, h.32
37
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 peraturan pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undangundang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi : Nama, Umur, Agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undangundang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan). Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat dihindari.43 Tindakan yang harus diambil oleh pegawai pencatat nikah setelah menerima pemberitahuan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut : 1. Pegawai
Pencatat
yang
menerima
pemberitahuan
kehendak
melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apabila tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. 2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meliputi pula : a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir. Dapat dipergunakan 43
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 112-114
38
surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu. b. Keterangan mengenai nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai. c. Izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri. e. Dispensasi pengadilan atau pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih. g. Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata. h. Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.44
44
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995, Pasal: 6
39
Ketentuan dalam klausul Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat, Pertama : memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif, kewilayahan dari pegawai pencatat nikah. Kedua : menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum lainnya, seperti : identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Penelitian pegawai pencatat nikah juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan seseorang baik calon suami atau calon istri oleh karena itu, jika diperlukan calon mempelai melampirkan surat-surat yang telah disebutkan di atas. Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum tidak sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuanketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan memberi alternatif atau kelonggaran kepada pihak-pihak karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan. Yaitu mengajukan izin tertulis, izin pengadilan agama, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.45 Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengungkapkan sebagai berikut : 45
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 113.
40
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. 2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama. 3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b) Hilangnya akta nikah c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. 4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anakanak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkwinan itu.46 Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, dalam Al Qur'an masalah hutang piutang Allah menganjurkan kepada kita untuk mencatatkan. firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).
Para pemikir Islam (faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan 46
Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 7
41
pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih.
“Menolak kemudhoratan lebih kemaslahatan”47
didahulukan
dari
pada
memperoleh
Dengan demikian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntunan perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.48 Dan usaha ini dimaksudkan agar setiap pihak dapat mengerti dan menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan dalam perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah tangga. Menurut Ahmad Rofiq pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan perkawinan ini adalah : Pertama : Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan ini dapat dihindari pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau 47
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Presfektif Fiqih, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya Dengan Anglo Media, 2004), Cet Ke-1, h. 148. 48
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 29-30
42
menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut. Kedua : Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri yang karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada pengadilan agama, pencatatan inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk membentuk masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak mementingkan aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdatannya juga perlu diperlukan secara seimbang.49 Dalam pembahasan di atas tampaklah hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan. Di mana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan bukti autentik, telah terjadinya perkawinan tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah, maka bagi yang belum mendapatkan dapat dimintakan itsbat nikah (pengesahan nikah). Dalam pasal 5 KHI disebutkan bahwa: (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang – undang no. 22 Tahun 1946 jo. Undang – undang no. 32 Tahun 1945.
49
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 111-112
43
C. Dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya penetapan Pengadilan Agama 1. Dampak sebelum diitsbatkannya perkawinan Menurut hukum Islam, apabila suatu perkawinan dilakukan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka perkawinan tersebut adalah sah menurut hukum Islam walaupun perkawinan tersebut tidak mempunyai akta nikah, tetapi akibat hukumnya adalah sama dengan perkawinan yang mempunyai akta nikah.50 Namun menurut ketentuan hukum positif yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang – undang No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut
hukum
masing
–
masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu, pada pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Bila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbutan hukum karena itu maka berakibat hukum, maka tidak dapat dianggap sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindung oleh
50
Mufidah Ulfah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara Medan, 2008), h. 86
44
hukum.51 Karena perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai perkawinan yang tidak memenuhi syarat – syarat perkawinan seperti dalam Undang – undang No. 1 Tahun 1974 maka perkawinan di bawah tangan tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sehinngga perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. Walaupun demikian dampak dari perkawinan sebelum diitsbatkannya perkawinan tersebut atau dengan kata lain perkawinan tanpa akta nikah yaitu sebagai berikut: a. Makna historis Undang – undang No.1 Tahun 1974 akan tidak efektif sehingga tujuan dari lahirnya Undang – undang perkawinan tersebut tidak akan tercapai. Maka dengan demikian pengorbanan bangsa dan Negara untuk lahirnya Undang – undang perkawinan akan sia – sia b. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehendaki oleh Undang – undang No. 1 Tahun 1974 pasal (2), sehingga akan menciptakan kondisi ketidak teraturan di dalam mekanisme kependudukan c. Naik turunnya jumlah penduduk dan pengaturan umur kawin atau angaka kelahiran tidak akan dapat terkendali dan pada akhirnya akan berulang kembali ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan mekanisme konsumsi nasional. d. Masyarakat pada umumnya, terutama masyarakat Islam dipandang tidak lagi mempedulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam 51
Abdul Gani, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟. Mimbar Hukum No 23 (Tahun VI, 1995), h. 47-48
45
bidang hukum yang pada akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran agama Islam tidak memerlukan keterlibatan negara. e. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perkawinan maka peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas. Kondisi seperti ini akan berakhir tanpa keterlibatan produser hukum sebagai akibat langsung dari pemenuhan pelaksanaan unsur tata cara pelaksanaan perkawinan. f. Apabila perkawinan di bawah tangan terjadi maka secara hukum hanya dapat diikuti dengan perceraian di bawah tangan juga.52 Dan apabila dampak tersebut ditinjau dari para pelaku sebelum diitsbatkanya perkawinan mereka tersebut adalah sebagai berikut : 1) Perkawinan tidak dianggap sah. Meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama . 2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak – anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu ( Pasal 42 dan 43 Undang – undang perkawinan ) sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak 52
Mufidah Ulfah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, h. 83-84
46
3) Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibat lebih jauh dari perkawinan tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah maupun warisan dari ayahnya harta yang didapat dalam perkawinan tersebut hanya dimiliki oleh masing – masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono – gini/harta bersama 4) Terhadap suami Hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan dan merugikan bagi suami
yang
melakukan
perkawinan,
sebelum
diitsbatkannya
perkawinan yang terjadi justru menguntungkannya, karena suami bebas menikah lagi, sebab perkawinan sebelumnya dianggap tidak sah menurut hukum, sehingga ia bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah kepada istri dan anak – anaknya.53 2. Dampak sesudah diitsbatkannya perkawinan Akibat hukum dari diitsbatkannya perkawinan oleh pengadilan agama adalah sebagai berikut : a. Timbulnya hak – hak dan kewajiban antara suami istri, suami menjadi kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga. b. Anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut menjadi anak yang sah dimata hukum Negara 53
Intan Ghina, ” Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan‟‟, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang-menikah-dibawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan/
47
c. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak – anak dan istrinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama d. Berhak saling waris mewarisi antara suami dan istri dan anak – anak dengan orang tua e. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perampuannya f. Bila di antara suami atau istri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak – anak dan hartanya54
54
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet 4, h. 49-50
BAB IV ANALISIS YURIDIS ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat 1. Proses dalam mengajukan permohonan/pengesahan itsbat nikah Eksistensi dan independensi lembaga pengadilan agama sejak terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukannya sejajar dengan lembaga peradilan lain dilingkungan Peradilan Umum, Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Kewenangan Pengadilan Agama (PA) pasca terbitnya UU baru tersebut makin luas. Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama. Jenis perkara yang menjadi kuasa Pengadilan Agama; pertama tentang perkawinan, kedua tentang warisan, wasiat, dan hibah, ketiga tentang perkara wakaf dan sedekah, keempat tentang ekonomi syariah55 Pengadilan Agama dituntut untuk mampu melaksanakan UU tersebut sebaik – baiknya dengan mempersiapkan diri dari segi SDM maupun layanan publik bagi masyarakat pencari keadilan.
55
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 1, h. 139-140
48
49
Dan masyarakat pencari keadilan tidak perlu dikhawatirkan dan jangan selalu disudutkan dengan menganggap mereka sebagai “masyarakat yang buta hukum”. Oleh karenanya perlu memberikan kesempatan dan pembelajaran tentang hukum kepada mereka khususnya dalam hal bagaimana beracara dimuka pengadilan yang benar.56 Adapun proses pengajuan permohonan pengajuan/pengesahan itsbat nikah adalah sebagai berikut : Langkah 1. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat. a. Mendatangi kantor pengadilan agama diwilayah tempat tinggal anda. b. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri. Apabila tidak bisa membuat surat permohonan, anda dapat meminta bantuan kepada pos bakum (pos bantuan hukum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma – cuma. c. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu: 1) Surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai 2) Surat permohonan itsbat nikah. d. Memfoto copi formulir permohonan itsbat nikah sebanyak 5 (lima)rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas pengadilan, satu foto copy disimpan.
56
Patly Parakasi, ‟‟ Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan Pengadilan Agama Jember‟‟ artikel di akses pada 8 Mei 2011 http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf
di dari
50
e. Melampirkan surat – surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.57 Langkah 2. membayar panjar perkara a. Membayar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara cuma – cuma (prodeo). b. Apabila mendapat fasilitas prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara dipengadilan menjadi tanggung jawab pengadilan kecuali baya transportasi dari rumah kepengadilan. Apabila biaya tersebut masih tidak terjangkau, maka dapat mengajukan sidang keliling. Rincian informasi tentang sidang keliling dapat dilihat di panduan sidang keliling. c. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar perkara. Langkah 3. Menunggu panggilan sidang dari pengadilan. a. Pengadilan akan mengirim surat panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada pemohon dan termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan.58 Langkah 4. Menghadiri persidangan a. Datang ke pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat. 57
‟‟Panduan Pengajuan itsbat/Pengesahan nikah” artikel di akses pada 16 Mei 2011 dari www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANITSBATNIKAH.doc 58
Ibid
51
b. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti surat panggilan persidangan, foto copy formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan. c. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada pemohon/termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi pemoho/termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat. d. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus memprsiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta menghadirkan saksi – saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan tersebut, di antaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang – orang dekat yang mengetahui pernikahan itu. Langkah 5. Putusan/penetapan pengadilan a. Jika permohonan anda dikabulkan, pengadilan akan mengeluarkan putusan/penetapan itsbat nikah b. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang akhir
52
c. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri kekantor pengadilan agama atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa d.
Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, anda bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukkan bukti salinan putusan/ penetapan pengadilan tersebut.59
2. Itsbat nikah penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang memeriksa dan mengadili perkara – perkara tertentu pada tingkat pertama, telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara antara : M. Nasir bin Marmin, umur 40 tahun, agama islam, pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal jalan kramat RT.009 RW.001 No.38, kelurahan kebayoran lama utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta selatan. Selanjutnya disebut sebagai “ Pemohon I “ Dahliana binti Matsanih, Umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawati, tempat tinggal jalan kramat RT. 009 RW. 001 No.38, kelurahan kebayoran lama utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Selanjutnya disebut sebagai “Pemohon II “60 Pegadilan agama tersebut ; Telah mempelajari berkas perkara ;
59
Ibid
60
Penetapan Putusan Nomor ; 083/P.dt/2010/PA.JS, Pengadilan Agama Jakarta Selatan
53
Telah mendengar keterangan pemohon I dan II serta saksi – saksi dipersidangan ; a. Duduk perkara menimbang, bahwa para pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 21 mei 2010 dan telah terdaftar dikepaniteraan pengadilan agama Jakarta Selatan di bawah register prkara nomor : 083/Pdt.p/2010/PA.JS., pada pokoknya bermaksud sebagai berikut : 1) Bahwa, pada tanggal 26 agustus 2002 telah dilangsungkan pernikahan secara agama islam antara pemohon I dengan pemohon II diwilayah KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan wali ayah kandung pemohon II bernama Matsanih (almarhum), dengan mahar berupa perlengkapan alat shalat tunai, dan saksi nikah Andi Sopian dan Ngadino ; 2) bahwa, pada waktu akad nikah dilangsungkan pemohon I berstatus perjaka dan pemohon II berstatus perawan ; 3) Bahwa, dari pernikahan pemohon I dengan pemohon II telah dikaruniai 1 (satu) orang anak, yang bernama ; Muhammad Gilang Ramadhan, laki – laki, umur 6,5 tahun 4) Bahwa pemohon I dengan pemohon II tidak ada hubungan keluarga yang menghalangi perkawinan ;61 5) Bahwa, sejak menikah antara pemohon I dengan pemohon II hingga saat ini belum pernah mendapatkan surat nikah dari KUA. Wilayah
61
Ibid
54
kecamatan kebayoran lama, Jakarta Selatan karena pada saat menikah tidak dicatatkan di KUA tersebut ; 6) Bahwa, tujuan pemohon I dan pemohon II ke pengadilan agama Jakarta selatan adalah untuk memohon disyahkan pernikahan pemohon I dengan pemohon II, kepentingaan adalah untuk kepastian hokum perkawinan yang berlaku di Indonesia dan untuk mengurus akta kelahiran anak/sekolah anak ; 7) Bahwa, dengan hal tersebut diatas pemohon I dan pemohon II mohon kepada bapak ketua pengadilan
agama Jakarta selatan untuk
menetapkan sahnya perkawinan pemohon I dengan pemohon II yang dilangsungkan pada 26 agustus 2002 ; 8) Bahwa berdasarkan dalil dan alasan tersebut di atas, maka dengan ini pemohon memohon kepada bapak ketua pengadilan agama Jakarta selatan cq. Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat menentukan hari persidangan, kemudian memanggil pemohon I dan pemohon II untuk diperiksa dan diadili, selanjutnya memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut : a) Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon. b) Menyatakan sah perkawinan pemohon I (M.Nasir bin Marmin) dengan pemohon II (Dahliana binti Matsanih) yang dilaksanakan pada tanggal 26 agustus 2002 ;
55
c) Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.62 Atau apabila pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain, menjatuhkan yang seadil – adilnya. Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan untuk itu para pemohon telah datang menghadap; Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan permohonan para pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh para pemohon; Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya, para pemohon telah mengajukan bukti surat berupa : a. Foto copy KTP an. Pemohon I, bukti P. 1; b. Foto copy KTP an. Pemohon II, bukti P. 2; c. Foto Copy Kartu Keluarga an. Pemohon II, bukti P. 2; d. Asli Surat Keterangan menikah yang dikeluarkan oleh ketua RT. 009/01, bukti P. 4; Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para pemohon telah mengajukan bukti saksi sebagai berikut : b. Saksi - saksi 1) Ngadino, menerangkan dibaawah sumpah sebagai berikut : -
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan II dan saksi adalah ketua RT pemohon I dan pemohon II;
62
Ibid
56
-
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan pemohon II dan setahu saksi pemohon I dan II menikah pada tanggal 26 agustus 2002, bujang dan gadis;63
-
Bahwa setahu saksi perkawinan pemohon I dan pemohon II dilaksanakan dirumah pemohon II di Jakarta dengan wali nikah ayah kandung pemohon II dan dihadiri saksi – saksi dan undangan serta maharnya berupa perlengkapan shalat, tunai;
-
Bahwa setahu saksi, saksi pernikahan adalah saksi dan andi sopian;
-
Bahwa setahu saksi saat pemohon I dan II menikah dilaksanakan secara agama Islam; dan telah dikaruniai 1 anak yang kesemuanya saksi kenal;
-
Bahwa saksi hadir dalam akad nikah tersebut dan juga saksi tahu saat keduanya menjalani rumah tangga;
-
Bahwa setahu saksi antara pemohon I dan II dan setahu saksi tidak terdapat halangan untuk melaksanakan pernikahan baik disebabkan pertalian darah dan halangan lainnya menurut agama dan Undang – undang serta saksi jga tidak pernah mendengar adanya gugatan keberatan atas perkawinan antara pemohon I dan II;
-
Bahwa setahu saksi perkawinan pemohoon I dan II tidak dicatatkan karena saat itu pemohon I tidaak punya dana dan perkawinan dilakukan dihadapan orang banyak;
63
Ibid
57
-
Bahwa setahu saksi pemohon I hanya beristrikan pemohon II dan sejak pernikahannya belum pernah bercerai dan tidak pernah berpoligami;
-
Bahwa setahu saksi pemohon I dan II sangat membutuhkan surat nikah tersebut sebagai pegangan karena selama ini perkawinan tidak dicatatkan oleh petugas;64
2) Andi Sopian, menerangkan dibawah sumpah sebagai berikut : -
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan II dan saksi adalah tetangga pemohon I dan II;
-
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan pemohon II dan setahu saksi pemohon I dan II menikah pada tanggal 26 agustus 2002, bujang dan gadis;
-
Bahwa setahu saksi perkawina pemohon I dan II dilaksanakan dirumah pemohon II di Jakarta dengan wali nikah ayah kandung pemoho II dan dihadiri saksi – saksi dan undangan serta maharnya berupa perlengkapan shalat, tunai;
-
Bahwa setahu saksi, saksi pernikahan adala saksi dan ngadino;
-
Bahwa setahu saksi saat pemohon I dan II menikah dilaksanakan secara agama Islam; dan telah dikaruniai 1 orang anak yang kesemuanya saksi kenal;
-
Bahwa saksi hadir dalam akad nikah tersebut dan juga saksi tahu saat keduanya menjalani rumah tangga;
64
Ibid
58
-
Bahwa setahu saksi antara pemohon I dan II dan setahu saksi tidak terdapat halangan untuk melaksanakan pernikahan baik disebabkan pertalian darah dan halangan lainnya menurut agama dan undang – undang serta saksi juga tidak pernah mendengar adanya gugatan keberatan atas perkawinan antara pemohon I dan II;65
-
Bahwa setahu saksi perkawinan pemohon I dan II tidak dicatatkan karena saat itu pemohon I tidak punya dana dan perkawinan dilakukan dihadapan orang banyak;
-
Bahwa setahu saksi pemohon I hanya beristrikan pemohon II dan sejak pernikahannya belum pernah bercerai dan tidak pernah berpoligami;
-
Bahwa setahu saksi pemohon I dan II sangat membutuhkan surat nikah tersebut sebagai pegangan karena selama ini perkawinan tidak dicatatkan oleh petugas; Menimbang, bahwa tentang jalannya pemeriksaan lebih jauh di
persidangan semuanya telah dicatat dalam berita acara pemeriksaan perkara ini. Untuk mempersingkat uraian dalam penetapan ini, majelis Hakim menunjuk pada berita acara dimaksud; c. Pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para pemohon sebagaimana tersebut di atas; Menimbang bahwa yang menjadi dalil permohonan para pemohon sebagaimana di dalam posita dan petitum permohonan para pemohon 65
Ibid
59
adalah mengenai permohonan pengesahan nikah antara pemohon I dengan pemohon II yang dilaksanakan pada tanggal 26 agustus 2002 dihadapan pegawai pencatat nikah KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk pegangan dan kepastian hukum;66 Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi 1 dan 2 dipersidangan jika dihubungkan dengan dalil permohonan para pemohon ditemukan Fakta – fakta hukum sebagai berikut : 1) Bahwa pada tanggal 26 agustus 2002 telah dilangsungkan pernikahan secara agama Islam antara pemohon I dan pemohin II diwilayah KUA, kebayoran lama, Jakarta Selatan dengan wali ayah kandung pemohon
II
bernama
Matsanih,
dengan
mahar
berupa
perlengkapan/alat shalat, dan dengan dihadiri oleh orang – orang yang telah dewasa antara lain Ngadino dan Andi sopian 2) Bahwa berdasarkan keterangan saksi 1 dan 2 antara Pemohon I dan II tidak memiliki halangan secara hukum, baik atas dasar keturunan (pertalian darah) atau halangan lainnya menurut agama dan/atau Undang – undang, adat – istiadat, serta tidak pernah Ada gugatan keberatan dari pihak manapun atas pernikahan pemohon I dan II; 3) Bahwa saksi 1 dan 2 menyatakan, sejak menikahnya pemohon I dan pemohon II belum pernah bercerai dan tidak paernah berpoligami serta dari pernikahannya telah dikaruniai 1 orang anak yang bernama Muhammad gilang ramadhan, umur 6,5 tahun;67
66
Ibid
67
Ibid
60
Bahwa berdasarkan kenyataan terebut di atas, dapat disimpulkan pernikahan antara pemohon I dan II telah dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku; Menimbang bahwa bukti P.3, P.4, dan P.5 adalah bukti yang menguatkan indikasi pernikahan pemohon I dan pemohon II dan atau paling tidak bukti – bukti tersebut memperkuat dugaan adanya pernikahan yang sah antara pemohon I dan II, sedangkan bukti P.1 dan P. 2 adalah bukti kependudukan; Menimbang, bahwa pemohon I dan II sangat membutuhkan surat nikah tersebut bagi kejelasan status hukum perkawinan pemohon I dan II dan pegangan pemohon I dan II; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 7 huruf (d dan e) inpres Nomor : 1 Tahun 1992 Kompilasi Hukum Islam : „‟ Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama karena adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. Tahun 1974 dan terhadap mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974‟‟ ; Menimbang, bahwa terhadap perkawinan yang dilakukan pemohon I dan II, majelis hakim tidak melihat adanya unsur – unsur yang menjadi halangan unntuk melakukan pernikahan antara pemohon I dengan pemohon II, dan secara nyata perkawinan tersebut telah dilakukan di muka umum serta tidak ada yang menyatakan keberatan atas perkawinan tersebut telah sesuai syariat Islam;
61
Menimbang, secara substansial perkawinan antara pemohon I dan pemohon II telah memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974, dan dalam posisi seperti ini kedudukan syarat administratif atas pencatatan pernikahan pemohon I dan II dianggap telah terpenuhi, dan keduanya tidak terdapat halangan untuk melangsungkan pernikahan; Menimbang, berdasarkan pertimbangan – pertimbangan tersebut diatas, majelis hakim berpendapat dalil permohonan para pemohon telah cukup beralasan sesuai dengan ketentuan pasal 7 huruf (d dan e) inpres no 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Oleh karenanya permohonan pemohon I dan II dapat dikabulkan; Menimbang, bahwa segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada para pemohon;68 Mengingat, akan segala peraturan perundang – undangan yang berlaku dan hukum syar‟a yang bersangkutan; d. Penetapan Hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dalam perkara Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS Mengabulkan permohonan pemohon I dan pemohon II; 1) Menyatakan sah perkawinan pemohon I (M. Nasir bin Marmin) dengan pemohon II (Dahliana binti Matsanih) yang dilangsungkan pada tanggal 26 Agustus 2002;
68
Ibid
62
2) Membebankan biaya perkara kepada pemohon I dan Pemohon II sebesar Rp 211.000,-(dua ratus sebelas ribu rupiah); Demikianlah putusan ini diambil dalam musyawarah majelis hakim pengadilan agama Jakarta selatan pada hari : kamis tanggal 17 juni 2010 M. bertepatan dengan tanggal 4 Rajab 1431 H. dengan Drs. Agus Yunih, S.H, M.HI., sebagai hakim ketua, Dra. Hj.Ai Zainab, S.H. dan Dra, Hj. Ida Nursa‟adah, S.H.,M.H. masing-masing sebagai hakim anggota. Putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh hakim ketua tersebut dengan dihadiri Hakim – hakim anggota tersebut serta dibantu oleh Ahlan, S.H sebagai panitera pengganti serta dihadiri pula oleh pemohon I dan pemohon II;69
3. Sebab ditetapkannya itsbat nikah Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS oleh Hakim Pentingnya arti sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan masalah mua‟malah sangatlah urgen, Islam sebagai agama yang sempurna telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain.70 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 282 :
69
70
Ibid
Aqib Maimun, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Dikantor Urusan Agama (KUA) Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 51
63
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).
Hukum Islam tidak memisahkan antara hukum ibadah (pengaturan hubungan manusia dengan Allah) di satu pihak dan hukum muamalah (pengaturan hubungan hak dan kewajiban dengan sesama manusia) di pihak lain, meskipun hukum Islam membedakan antara ibadah dan mua‟malah. Hukum Islam mengajarkan kepada ummatan muslimatan tentang eksistensi nilai peribadatan dalam aktivitas muamalah, sebagaimana hukum Islam juga mengajarkan tentang dimensi sosial
dalam setiap peribadatan yang
disyariatkkan. Dengan kalimat lain, dalam peribadatan Islam dipastikan terkandung nilai – nilai sosial, sementara dalam mua‟malah Islam juga dipastikan mengandung nilai – nilai ibadah. Di sinilah terletak arti penting dari hubungan timbal balik antara ibadah dan muamalah dan atau muamalah dan ibadah, dan di sinilah pula terletak arti penting dari kelebihan hukum Islam yang norma maupun nilai hukumnya tidak pernah kering dari kerohanian.71 Islam mengajarkan kepada para pemeluknya mempermudah segala sesuatu dan bukan malah mempersulit sesuatu apalagi dalam hal ini menuju kepada suatu kebaikan dan cita – cita yang mulia yaitu demi melangsungkan dan menggapai sebuah mahligai pernikahan yang disunahkan dalam Islam. Dalam hal ini Negara mewajibkan adanya pencatatan dalam setiap pernikahan bagi 71
Muhammad Amin Suma, Kedudukan Dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia,(kumpulan perkuliahan dan seminar, T.tp, 2009), h. 23
64
warga negaranya bukanlah untuk mempersulit warganya akan tetapi justru melindungi hak – hak warga tersebut demi terciptanya kenyamanan dan ketertiban masyarakat.72 Atas dasar itulah dapat penulis simpulkan bahwa pencatatan memang sangat diperlukan dan urgen dalam segala peristiwa antara satu orang dengan orang lain (masalah mua‟malah) dalam hal ini berkaitan dengan masalah pernikahan. Dalam itsbat nikah menurut Agus Yunih selaku Hakim ketua majelis pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pasal 7 ayat 3 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang – undang No. 1 Tahun 1974. Artinya perlu diberikan ruang seluas – luasnya bagi mereka yang melakukan perkawinan dan perkawinan ini tidak bertentangan dengan syariat hukum Islam. Pasal ini disebut juga oleh beliau sebagai pasal sapu jagat, Teorinya bahwa itsbat nikah dibolehkan sepanjang tidak bertentangan makanya di dalam Undang-undang khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam, itsbat nikah yang dapat diajukan kepengadilan agama terbatas mengenai hal-hal : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. 72
Aqib Maimun, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Di Kantor Urusan Agama (KUA) (Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec Cilandak)”, h. 51
65
Jadi berdasarkan hal-hal tersebut mengabulkan itsbat nikah yang bersangkutan yang berperkara dalam No: 083/Pdt.P/2010/PA.JS dengan pertimbangan-pertimbangan, bahwa seluruh syarat dan rukun tidak ada yang dilanggar, tidak ada yang bertentangan. Dia melakukan itsbat nikah saat itu karena tidak punya uang sehinga dia melakukan nikah, itupun dilakukan dengan I‟lanun nikah diberitahukan kepada tetangga bahkan RT setempat pun tahu. Berhubung Andi Sopian memberikan kesaksian bahwa pernikahan itu ada, baik secara formal maupun substansial. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk menolak perkawinan itu dan saya tidak melihat adanya indikasi penyimpangan dan penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Ini yang saya lihat hanya untuk kepentingan administrasi pencatatan dan untuk kepentingan masa depan anak di situ aspek maslahat lebih besar „‟Dar„ulmafaasidi muqaddamun a‟la jalbil mashalihi‟‟ jika ditolak bisa kita bayangkan anak - anaknya dan sebagainya. Berbeda dengan kasus itsbat nikah yang memang sering kali disalah gunakan, biasanya itsbat nikah yang diawali dengan persengketaan harta. Dia itu orang yang tidak mampu tidak mungkin ada harta yang dipersengketakan.73
B. Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh pengadilan Agama Jakarta Selatan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kebayoran Lama Menurut Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing – 73
Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 12 April 2011
66
masing dan pasal 2 ayat (2) yaitu dilakukan pencatatan sesuai dengan peraturan perundang – undang yang berlaku yang disebut dengan surat akta. Surat akta adalah suatu tulisan yang semata – mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus ditandatangani. Adapun syarat – syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat akta dapat disebut sebagai akta adalah 1. Surat itu harus ditandatangani 2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan 3. Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti74 Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama ( KUA). Perkawinan dicatatkan kepada pejabat pencatat yang ditunjuk Negara (pemerintah). Pemerintah berkewajiban mencatat, dan sebagai alat bukti yang sah dalam perkawinan dengan diberikannya salinan akta nikah. Akta teresbut bertujuan mengatur hubungan hukum masing – masing sebagai suami istri.75 Adanya suatu ikatan perkawinan yang diakui secara hukum adalah suatu perkawinan yang hanya dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang ditunjuk. Jadi didalam struktur lembaga pencatatan perkawinan terdapat Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
74
Viktor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 52 75
. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h. 16
67
Dalam hal ini perkawinan dibawah tangan bukan merupakan perkawinan yang sah di hadapan hukum negara tetapi hanya sah menurut agama karena terpenuhinya rukun nikah. Akan tetapi banyak bermunculan pendapat-pendapat dari masyarakat yang berbeda mengenai sah dan tidaknya perkawinan bawah tangan. Ada sebagian besar masyarakat Islam yang berpendapat bahwa perkawinan bawah tangan dianggap sah menurut hukum agama walaupun tidak didaftarkan atau dicatat pada Kantor Urusan Agama setempat. Hal tersebut banyak terjadi sebagai akibat dampak negatif dari penafsiran atau penjelasan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya bersifat administratif belaka. Jadi tidak akan menyebabkan batalnya perkawinan.76 Kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti autentik tentang telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah.77 Mengenai pencatatan itsbat nikah putusan Nomor : 083/P.dt/2010/PA.JS di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama telah dicatatkan kedalam register dengan Nomor akta : 1169/180/VII/2010 adapun prosesnya adalah sebagai berikut : pemohon membawa surat keterangan model N1 (surat keterangan untuk nikah), N2 (surat keterangan tentang orang tua), N4 (surat keterangan asal usul) dari kelurahan, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga, pas foto 2x3
76
Suci wulansari, artikel diakses pada 9 id.facebook.com/note.php?note_id=158583027518190 77
Mei
2011
dari
http://id-
Wasit Aulawi, “ Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Amarulah Ahmad, ed, Dimensi Hukum Islam Dalam System Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani, 1996), h. 57
68
(5 lembar) dan disertakan putusan penetapan dari Pengadilan Agama, lalu didaftarkan di KUA Kecamatan Kebayoran Lama,
setelah mendaftarkan
maksud mereka barulah itsbat mereka dicatatkan ke dalam register dengan tanggal pernikahan mereka dahulu sesuai dengan apa yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan merekapun mendapat buku salinan akta pernikahan mereka. Sebenarnya putusan itsbat pernikahan itu sudah punya kekuatan hukum yang tetap, ketika alasan mereka pernikahannya tidak tercatat kemudian pengadilan hanya membenarkan nilai pernikahannya, tempat pernikahannya yang pernah dilakukan dahulu dianggap benar dan ketika ingin memiliki legalitas mereka lebih yakin untuk memiliki buku nikah dari Kantor Urusan Agama.78 C. Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat Pada pasal 2 ayat 1 kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab qabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama tetapi sahnya perkawinan perlu disahkan lagi oleh Negara. Dalam perkara antara pemohon M. Nasir bin Marmin dan Dahliana binti Matsanih telah dapat dibuktikan bahwa telah terjadi sebuah akad nikah, ini telah dapat dibuktikan. Apabila
78
TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Wawancara Pribadi, Jakarta, 05 Mei 2011
69
diamati dari keterangan para saksi yang diajukan pemohon, telah mencukupi syarat–syarat yang dibutuhkan menurut hukum syara. Terjadi perkawinan keduanya ditempat tinggal pemohon, menurut sifatnya
adalah sesuatu yang sulit dibohongi. Sebab, sebuah perkawinan
sekecil apapun acaranya akan mengundang orang disekitarnya, tetapi akad nikah tersebut tidak mungkin hanya dihadiri oleh dua orang saja, mesti melibatkan beberapa orang yang sekurang – kurangnya wali harus hadir untuk menikahkan dan dua orang saksi yang dipercaya. Dengan hadirnya beberapa orang pihak ketiga, akad nikah tidak lagi menjadi sesuatu yang dirahasiakan dan akad nikah tersebut juga dapat ditelusuri kebenarannya dalam satu komunitas. Dalam perkawinan itu menurut laporan pemohon yang bertindak sebagai walinya adalah ayah kandung pemohon (Dahliana) perkawinan tersebut juga dihadiri saksi Ngadino serta Andi Sopian memberi kesaksian bahwa pemohon juga tidak mempunyai dana untuk melaksanakan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan menurut para saksi juga setelah perkawinan mereka hidup sebagai suami istri dan dikaruniai seorang anak. Dalam peraturan syara‟ seperti yang dirumuskan oleh pakarnya dalam bukubuku fiqh dari berbagai madzab yang pada intinya adalah, kemestian adanya ijab dan qabul dari dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan qabul, serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah balig, berakal lagi beragama Islam dimana dua orang saksi itu disyaratkan mendengar sendiri secara langsung lafal ijab dan qabul tersebut.
70
ketentuaan-ketentuan tersebut dianggap sebagai unsur pembentuk bagi akad nikah. Apabila unsur-unsur seperti dalam syariat Islam secara sempurna dapat dipenuhi, maka akad nikah secara syara telah dianggap sah sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah, dan anak dari hasil hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah. Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam anjuran pemerintah, dan adanya pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif bukan merupakan salah satu sahnya syarat perkawinan sedangkan perkawinannya sendiri tetap sah karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma – norma agama dari pihak-pihak yang melakukan perkawinan, dengan adanya perkawinan tersebut maka perkawinan akan memiliki bukti yang sah dan autentik oleh karena itu tanpa adanya suatu pencatatan maka suatu perkawinan tidak memiliki akta nikah sebagai bukti dari perkawinan yang telah dilakukan. Akan tetapi sangat dianjurkan agar perkawinan bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang hal ini sebagai langkah preventif untuk mencegah timbulnya dampak hukum yang negatif sebagai akibat timbulnya perkawinan bawah tangan tersebut. Untuk pencatatan
perkawinan di bawah tangan Undang-undang
mengatur pada pasal 7 Kompilasi Hukum Islam dan tentang pengitsbatan nikah pemohon ini dikarenakan pemohon membutuhkan salinan akte nikah untuk kepastian hukum dan pengurusan akta kelahiran anak dalam hal ini bila itsbat tersebut tidak diajukan oleh pemohon maka problem hukum tidak dapat terselesaikan dan ini merugikan bagi perempuan dan anaknya.sebagai istri
71
yang sah secara agama istri tidak bisa menuntut
hak waris bila terjadi
perceraian, hak pengaduan bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau hak perlindungan hukum bila pergi tanpa pesan dan posisi suami yang tidak tersentuh hukum bila terjadi kekerasan. Akibat negatif yang harus diderita oleh istri dan anaknya tersebut disebabkan oleh suami , itulah penerapan hukum yang kosong dari sasarannya bahkan berakibat sebaliknya dari tujuan suatu hukum. Setiap bentuk hukum dirumuskan dengan pertimbangan adanya manfaat yang akan diraih oleh pihak – pihak yang menerapkannya atau adanya mudarat yang akan dihilangkan. Jika dalam penerapan hukum ternyata harus ada yang akan menderita, maka pihak yang akan menderita itu hendaklah pihak yang layak untuk menanggung sebuah derita sebagai derita dari perbuatannya sendiri, bukan harus menderita disebabkan orang lain. Apabila dicermati pasal-pasal yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berbicara tentang peraturan yang mengharuskan pencatatan nikah pada badan yang berwajib, adanya peluang bermohon untuk mengitsbatkan nikah itu tidak lain adalah dengan pertimbangan agar penerapan suatu peraturan tidak kaku. Perkawinan yang telah melalui pencatatan memunculkan kemaslahatan bagi umum artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Sebab menurut hukum positif Indonesia, menikah dibawah tangan itu tidak diakui sama sekali. Adanya ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika dicatat oleh petugas yang ditunjuk. Bagi perkawinan di bawah tangan yang tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan) nikah kepada Pengadilan Agama hal tersebut terdapat pada pasal Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (3).
72
Dalam amar putusan penetapan Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS, majelis hakim dalam pertimbangannya, Perkawinan para pemohan tersebut Hakim tidak melihat adanya unsur – unsur yang menjadi halangan untuk melakukan pernikahan serta tidak ada yang menyatakan keberatan atas perkawinan tersebut dan telah sesuai syariat Islam dan secara substansial memenuhi syarat dan rukun sebagaimana diatur pasal 14 KHI dan dilakukan sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sehingga perkawinannya sesuai dengan ketentuan pasal 7 Ayat (3) huruf (d dan e) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI. Permohonan pengesahan nikah dimaksud telah berdasarkan hukum dan beralasan dalam mengabulkan permohonan tersebut. Namun dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d) penulis tidak sependapat dengan apa yang menjadi alasan hakim dalam penetapan Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS sebab dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d) menyatakan adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dimana perkawinan M. Nasir bin Marmin dengan Dahliana binti Matsanih dilakukan pada tanggal 26 agustus 2002. Hal ini dapat menimbulkan persepsi – persepsi negatif dalam masyarakat, sisi negatif ini akan digunakan oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab untuk mempermudah urusan pernikahan. Mereka akan berpikir untuk menikah lebih dahulu tanpa dicatatkan, nantipun bisa diitsbatkan. Sebenarnya tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan bukan berarti kita melakukan kejahatan. Namun jelas pula dalam hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak – anak lalu lalu membuka ruang pernikahan - pernikahan
73
dibawah tangan yang lain. Apalagi dengan perkawinan poligami dibawah tangan, dampak perkawinan di bawah tangan tersebut akan menimbulkan akibat – akibat sebagai berikut: 1. Perkawinan tidak dianggap sah meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama . 2. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak – anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu ( pasal 42 dan 43 Undang – undang perkawinan ) sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak 3. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibat lebih jauh dari perkawinan tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah maupun warisan dari ayahnya harta yang didapat dalam perkawinan tersebut hanya dimiliki oleh masing – masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono – gini/harta bersama. Alasan Hakim Selanjutnya tentang ketiadaan dana dari para pemohon untuk mencatatkan perkawinannya seperti penulis kutip dari wawancara penulis
dengan
hakim
yang
menetapkan
itsbat
nikah
Nomor
:
083/P.dt/2010/PA.JS yaitu sebagai berikut “ Dia melakukan nikah saat itu karena tidak punya uang sehingga dia melakukan nikah, itupun dilakukan
74
dengan I‟lanun nikah diberitahukan kepada tetangga bahkan RT setempat pun tahu ”.80 lihat juga kesaksian dari saksi Ngadino dan Andi Sopian. Dalam hal ini penulis juga tidak sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh hakim dan saksi karena dalam pencatatan nikah bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai dana, dapat memintakan surat keterangan tidak mampu dari RT dimana para pemohon tinggal yang disahkan oleh pejabat kantor kelurahan dan kecamatan. Ini tercantum pada Undang – undang Nomor; 22 Tahun 1946 pasal (1). Surat keterangan tidak mampu tersebut dapat membebaskan biaya setoran penerimaan Negara bukan pajak. Seperti dalam pengadilan kita kenal dengan istilah prodeo (proses berperkara cuma – cuma dengan biaya Negara) kepada para calon pengantin yang ingin mencatatkan perkawinannya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Kepala KUA Kecamatan Kebayoran Lama “Dalam pencatatan nikah bagi yang tidak mampu bisa melampirkan surat keterangan tidak mampu yang diminta dari RT dimana calon pengantin tinggal dan diketahui pejabat kantor kelurahan dan kecamatan setempat“.81Jadi dapat dilihat bahwa alasan pencatatan biaya nikah mahal dan keterbatasan dana adalah alasan yang menurut penulis terlalu dibuat – buat untuk melegalkan perkawinan di bawah tangan, ataukah sebenarnya mereka tidak mau mengikatkan diri pada hukum yang telah diatur oleh Negara, sehingga dalam hal ini menurut penulis terjadi pembangkangan Undang – undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974. Sebab bila kekuatan Undang – undang tidak disertai dengan hukuman maka semakin banyak yang melanggar karena tidak adanya sanksi. Perlu ada aturan kedepan, nikah tidak di Kantor Urusan Agama (KUA) tidak sah karena Include nikah, secara syariat dan punya kekuatan hukum. 80
Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 12 April 2011 81
TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Wawancara Pribadi, Jakarta, 05 Mei 2011
75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan masalah dan uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan pembuktian atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan alasan-alasan tertentu. Tentang pengitsbatan nikah tercantum pada Undang – undang No. 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7, Pasal tersebut menjadi acuan Pengadilan Agama dalam penetapan itsbat nikah. Bagi perkawinan yang belum dicatatkan mengajukan permohonan itsbatnya ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Lalu membayar biaya perkara atau panjar perkara setelah itu ditetapkan majelis hakimnya baru hakim menerima perkara dan menetapkan waktu sidang dan melakukan perintah pemanggilan pada para pihak dan ini dinamakan proses administratif. Dalam sidang pertama hakim hanya meyakinkan para pihak dan memberikan pemahaman tentang baik dan buruknya tentang itsbat nikah. Lalu melakukan pemeriksaan dari mulai membaca permohonan pemohon dan langsung kepada pembuktian setelah itu ketua majelis hakim mengambil keputusan. Tentang relevansinya terhadap perkawinan tidak tercatat dalam Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dicatatkan dan tidak dibuktikan dengan akta perkawinan, secara normatif –
76
agamis (Islam) tetap sah selama terpenuhinya syarat dan rukun yang menjadi patokan kebolehan perkawinan, tetapi secara prosedural – administratif perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, dan selain itu perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Indonesia dan dimaksudkan agar setiap pihak dapat mengerti serta menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan dalam perkawinan. Juga dalam perkawinan tidak mementingkan aspek fiqh saja, tetapi aspek – aspek keperdataannya juga diperlukan secara seimbang. Oleh sebab itu dengan tercatatnya suatu perkawinan pihak yang bersangkutan akan mendapatkan akta nikah sebagai bukti autentik. 2. Dalam hal penetapan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974, hakim menitik beratkan pada Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 3 huruf (e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang –
undang
No. 1
Tahun 1974 karena dalam UU tersebut mengatur tentang syarat dan hukum perkawinan. Sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun
1974
maka
itsbatnya
akan
disahkan,
hakim
juga
mempertimbangkan aspek maslahat dalam memutuskan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974
77
3. Di kabulkannya itsbat nikah oleh hakim di karenakan seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Itsbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan pencatatan dan masa depan anak dan hakim melihat pada aspek „‟Dar‟ul mafaasidi muqaddamun a‟la jalbil mashalihi‟‟
B. Saran – saran Dari apa yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diberikan suatu saran – saran sebagai berikut : 1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, dari pemerintah maupun pemuka agama akan dampak – dampak negatif pernikahan dibawah tangan 2. Bagi perempuan, perlu dipertimbangkan kembali untuk menikah dibawah tangan, karena dampak hukum sangat merugikan pihak perempuan dan anaknya kelak 3. Perlu adanya penegakan hukum khususnya pada Undang – undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan agar hakim dapat selektif dalam hal mengabulkan itsbat nikah. 4. Dan perlu adanya aturan kedepan, bagi yang menikah dibawah tangan harus dikenakan sanksi untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku agar tidak menimbulkan dampak – dampak negatif dikemudian hari.
78
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumi, 2001) Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993) Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004) Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Abbas, Ahmad Sudirman, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Presfektif Fiqih, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya Dengan Anglo Media, 2004) Aulawi, Wasit, “ Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Amarulah Ahmad, ed, Dimensi Hukum Islam Dalam System Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani, 1996) Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th),
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009) Bin Nuh, Abd dan Bakry, Oemar, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara Sumber Widya, 2001) Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) Effendi M. Zein , Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004)
79
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003) Gani, Abdul, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟ , Mimbar Hukum No 23( Tahun VI 1995) Ghina, Intan, ” Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan‟‟, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Tinta Mas, 2001) Hanbal , Abdullah Ahmad bin , Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Beirut: al-Maktab al- Islami, 1985) Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama Press, 2001) Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut AlQur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002) Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A‟la al-Indonisiya li al-Da‟wah al-Islamiyyah, 2002) Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 2001) Kurniawan, Aslih, dkk, Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta Selatan, 2010) Mukti Arto, Ahmad, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, (Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996) M. Situmorang, Viktor dan Sitanggang, Cormentya, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991) Maimun, Aqib, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Dikantor Urusan Agama (KUA) Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006)
80
Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhada Perundang – Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002) Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Rafiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) Shihab, M.Quraish, Pengantin Al-Qur‟an “Kalung Permata Buat Anak-anakku‟‟, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980) Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) ----------- Kedudukan Dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia, (kumpulan perkuliahan dan seminar, T.tp, 2009) Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007) Saadi, Anwar, “Pentingnya Pencatatan Nikah, BP4 Perkawinan dan Keluarga”. No. 460/XXXVIII/2011 Sofyan, Yayan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catatat Setelah Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, (Ahkam IV, No.8 ,2002) Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980) Tim Penyusun, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007) Ulfah, Mufidah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara Medan, 2008)
81
Patly Parakasi,‟‟Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan di Pengadilan Agama Jember‟‟ artikel di akses pada 8 Mei 2011 dari http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf Panduan Pengajuan itsbat/Pengesahan nikah” artikel di akses pada 16 Mei 2011 dari www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANITSBATNIKAH.doc Penetapan Putusan Nomor ; 083/P.dt/2010/PA.JS, Pengadilan Agama Jakarta Selatan Wiriadhihardja, Mufti, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada, 2002) wulansari
Suci, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari id.facebook.com/note.php?note_id=158583027518190
http://id-
Wawancara Pribadi dengan Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Jakarta, 12 April 2011 Wawancara Pribadi dengan TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta, 05 Mei 2011