PRAKTEK ITSBAT NIKAH PERNIKAHAN SIRRI (Analisis
Putusan
Hakim
Peradilan
Agama
Jakarta
Selatan
Nomor
10/Pdt.P/2007/PA.JS dengan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (SSy)
Oleh : Rifqy Yatunnisa 106043101316
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama
: Rifqy Yatunnisa
NIM
: 106043101316
Semester/Jur./Prodi
: VIII/PMH/PMF
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum (FSH)
Telepon
: 085224794155
Alamat
: Jl. MTs Galaherang, No. 408 Rt. 04/10 Maleber, Kuningan Jawa Barat 45574
Dengan ini memohon penundaan pembayaran uang kuliah Semester VIII yang akan dibayarkan pada tanggal 3 Maret 2010 dengan segala dendanya. Saya menyesali tindakan keterlambatan pembayaran ini. Saya berjanji untuk tidak terlambat membayar biaya kuliah di semester-semester yang akan datang. Jika saya mengulani hal yang sama, maka siap untuk di-drop out (DO). Demikian, atas perhatian dan perkenan Bapak saya ucapkan terima kasih. Mengetahui, A.n.
Dekan
Jakarta, 3 Maret 2010
Pembantu Dekan Bidang
Pemohon,
Administrasi Umum
Drs. Nuryamin Aini, MA NIP. 196303051991031002 Tembusan: Yth. Dekan (sebagai laporan)
Rifqy Yatunnisa NIM. 106043101316
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama
: Nunung Nurjannah
NIM
: 104046101654
Semester/Jur./Prodi
: X/Muamalat/PS
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum (FSH)
Telepon
: 02191868665
Alamat
: Jl.Pulo Cempaka Putih 3 No.37Jaksel 12210
Dengan ini memohon penundaan pembayaran uang kuliah Semester VIII yang akan dibayarkan pada tanggal 3 Maret 2010 dengan segala dendanya. Saya menyesali tindakan keterlambatan pembayaran ini. Saya berjanji untuk tidak terlambat membayar biaya kuliah di semester-semester yang akan datang. Jika saya mengulani hal yang sama, maka siap untuk di-drop out (DO). Demikian, atas perhatian dan perkenan Bapak saya ucapkan terima kasih. Mengetahui, A.n.
Dekan
Jakarta, 3 Maret 2010
Pembantu Dekan Bidang
Pemohon,
Administrasi Umum
Drs. Nuryamin Aini, MA
Nunung Nurjannah
NIP. 196303051991031002
NIM. 104046101654
Tembusan: Yth. Dekan (sebagai laporan)
i
KATA PENGANTAR Subhanallah. Sungguh hanya Allah, Dzat yang Maha Suci dan Maha Mengetahui, yang telah mengajarkan ilmu kepada umat manusia dan mengangkat derajat orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mencari ilmu-Nya. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Luapan puji serta syukur tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam, atas ridho serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, tauladan dan panutan bagi umat manusia. Yang telah mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi muslim kaffah. Beserta seluruh sahabat dan umatnya yang istiqomah hingga akhir zaman. Skripsi ini dipersembahkan terkhusus untuk motivator terbesar sepanjang perjalanan penulis, Ayahanda Drs. Djazuli Rais dan Ibunda Muawanah S.Pd.I untuk segala dorongan, bimbingan, dan doa tulusnya. Semua kasih dan sayang yang diberikan takkan kunjung terbalas. Semoga Allah melimpahkan keduanya dengan rahmat dan barokah. Tak lupa pula terima kasih penulis sampaikan kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MH, MM Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2.
Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum dan Bapak Dr Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum.
3.
Ibu Dr. Euis Nurlaelawati, MA atas bimbingan, arahan dan perhatiannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4.
Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan berbagai bekal ilmu kepada penulis selama kuliah.
5.
Pimpinan dan staf Peradilan Agama Jakarta Selatan yang telah membantu dan memberikan pasilitas kepada penulis untuk menganalisa suatu putusan perkara yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
6.
Pimpinan serta staf perpustakaan FSH dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
7.
Adeku tercinta Rifa dan Akbar, kalian harus lebih semangat dalam menuntut ilmu. khusus buat adeku rifa terima kasih atas canda tawanya dikala penulis sedang menyusun skripsi. Serta segenap keluarga besar di Galaherang untuk perhatian dan motivasinya.
8.
Seluruh keluarga besar PMF 06: Dilla, Nisa, Anis, Evi, Fatimah dan semuanya, yang telah menemani hari-hari penulis selama kuliah. Dan tak lupa pula saudara/i
iii
9.
Seluruh Alumni HK 6_8 : Eva, Mardiyah, k een, k evi, k lela yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Bagi orang nan jauh disana yang selalu mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis dalam segala hal 11. Segenap pribadi yang belum disebutkan di atas, terima kasih atas doa dan bantuannya, tanpa kalian penulis tidak akan mampuh melangkah hingga titik ini. Hanya kepada Allah, penulis memanjatkan doa. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pembaca.
Jakarta, 31 Mei 2010 Penulis
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar……………………………………………………………………. i Daftar Isi…………………………………………………………………………. iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………........ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………… 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………. 7 D.
Re view Studi Terdahulu……………………………………… 8
E. Metode Penelitian……………………………………………. 11 F. Sistematika Penulisan………………………………………… 14
v
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A.
Pengert ian dan Dasar Perkawinan…………………………… 17
B. Perkawinan dalam Fiqih Klasik……………………………… 23 C. Perkawinan dalam Hukum Positif…………………………… 29 BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH A.
Pengertian Pernikahan Sirri…………………………………... 35
B. Dampak daripada Pernikahan Sirri…………………………… 46 C. Lembaga Itsbat Nikah………………………………………… 47 BAB IV
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH : HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Peradilan Agama Jakarta Selatan…………. 51 B.
Gam baran Perkara Itsbat Nikah dalam Analisis………………53
C. Isi Putusan……………………………………………………. 59
vi
D. Analisis terhadap Putusan……………………………………. 60 E. Status nikah sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah……… 67 BAB V
PENUTUP A.
Kesi mpulan……………………………………………………69
B. Saran…………………………………………………………. 70 Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 71 Lampiran Lampiran 1: Putusan Nomor 10 / Pdt.P / 2007 / PA. JS. Dan Ptusan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS)
Lampiran 2 : Hasil Wawancara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam adalah keadilan, kepedulian, kasih sayang dan kesetaraan. Tidak hanya kesamaan di depan hukum yang diperjuangkan, tetapi hukum Islam memberikan hak virtual yang setara kepada setiap orang berdasarkan norma hidup yang berlaku di masyarakat. Senada dengan gagasan ini adalah pernyataan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu “asas dan pijakan syari’at Islam adalah hikmah dan kemaslahatan, kebaikan kehidupan duniawi dan ukhrawi umat manusia; semuanya bercitrakan keadilan, kemaslahatan dan hikmah kehidupan bermasyarakat; dan (syari’at Islam) sebaliknya menentang segala bentuk kerusakan, kedzoliman dan kesia-siaan.” Ini artinya, segala bentuk ketidak-adilan adalah musuh utama hukum Islam. Bahkan dalam banyak ketentuan, hukum Islam sangat berpihak kepada kelompok yang lemah, tertindas. Hukum perkawinan Islam bersumber dari al-qur’an dan hadits. Segala bentuk hukum Islam seperti yang diyakini banyak orang, tetapi bertentangan dengan prinsip dasar (seperti keadilan, dan kesetaraan) dari kedua sumber ajaran ini, harus dianulir, minimal perlu dikaji-ulang. 1 Perkawinan menurut hukum Islam sebagaimana di tegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam sama artinya dengan perkawinan, yaitu aqad yang sangat kuat atau 1
NoryaminAini, Kompilasi Karya Ilmiah, 2008, h. 5-6.
1
mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya sebagai ibadah. 2 Perkawinan disyariatkan agar manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat dibawah naungan cinta kasih dan ridha Illahi. Tujuan perkawinan yang disyariatkan oleh alqur’an dan UU dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan tersebut prosesnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. 3 Allah telah mengatur mengenai perkawinan bagi manusia, dengan adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah maka manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang yang perkawinannya tanpa sebuah aturan. Allah telah memberikan batas dengan peraturanNYa yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya tentang hukum perkawinan. Untuk membangun negara yang kuat, adil dan makmur serta dilandasi dengan ketentuan yang berlaku secara positif. Dan negara kita telah membuktikan dengan mewujudkan ketentuan yang dimaksud yaitu dengan dilahirkannya Kompilasi Hukum Islam tentang masalah pernikahan. 4 Secara logika adalah suatu kewajiban bila perkawinan yang berlaku pada manusia harus ada aturannya. Sebab perkawinan merupakan bentuk sosial legal yang melambangkan pertanggung jawaban sosial terkecil. Sebagai legitimasi penyaluran hasrat manusia (nafsu), perkawinan mengandung makna kalau akibat dari penyaluran
29. 38.
2
Arso Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.
3
Amir Nurudin, Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004), h.
4
Syaharani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung Alumni tth, 2004), h. 10.
2
tersebut harus jelas pertanggung jawabannya sebagai kelangsungan hidup manusia dan peradaban dunia. 5 Hakikat perkawinan yang digambarkan dalam Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan sejalan dengan hakikat perkawinan dalam Islam, karena keduanya tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja, tapi sekaligus ikatan pertautan kebathilan antara suami istri yang ditujukan untuk membina keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, kedua bentuk hukum tersebut berbeda-beda dengan hukum Barat-Amerika, yang memandang perkawinan hanya merupakan bentuk persetujuan, dan kontrak perkawinan menurut mereka. 6 Pencatatan perkawinan ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami dan istri, atau salah satunya tidak bertanggun jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan
5
1, h. 107.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet Ke-
6
Huzaimah. T. Yanggo dah Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) , Cet Ke-1, h. 56.
3
akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. 7 Persoalan muncul ketika perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak dicatatkan sehingga tidak mendapatkan akta nikah. Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (2) sudah ditegaskan bahwa, ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 8 Ayat 2 Pasal (2) Undangundang No. 1 Tahun 1974 diatas dipertegas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat (1) yaitu, ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu, (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 9 Itsbat nikah adalah penetapan nikah yang tidak terdaftar di pengadilan agama setempat. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada pengadilan
7
h. 108.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) Cet Ke-1,
8
Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2004), h. 14. 9 Ibid, h. 129.
4
agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut. Ayat (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama Ayat (3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 10 Melihat penjelasan di atas, kita memahami bahwa Pengadilan Agama mempunyai sebuah wewenang dalam menangani itsbat nikah pernikahan sirri. Bagaimana Pengadilan Agama meelaksanakan wewenang tersebut? Apakah mereka menangani dan memberikan penetapan sudah sesuai dengan prinsip dasar hukum Islam yaitu keadilan dan kesetaraan. 10
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 27.
5
Atas latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti praktek pelaksanaan itsbat nikah dengan mengangkat tema ”Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 10 / Pdt.P / 2007 / PA. JS dengan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS)” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan ini, penulis akan mengemukakan seputar masalah pernikahan sirri (yang tidak tercatat) dan praktek pelaksanaan itsbat nikah seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan menurut konteks hukum Islam dan hukum positif. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hal itu, maka penulis membatasi pembahasan pada praktek itsbat nikah dari pernikahan sirri dengan menganalisa putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 10 / Pdt.P / 2007 / PA. JS.dengan putusan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJ tentang pembahasan itsbat nikah. a. Rumusan Masalah Sesuai dengan pembahasan masalah di atas, perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Apa alasan-alasan pengajuan penetapan itsbat nikah? 2. Bagaimana prosedur pengajuan itsbat nikah? 3. Apa pertimbangan hakim dalam memberikan putusan?
6
4. Bagaimana status nikah sirri setelah dilaksanakan itsbat nikah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1.
Alasan-alasan apa saja yang digunakan oleh orang yang melakukan pengajuan itsbat nikah.
2. Pertimbangan apa saja yang diambil oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan itsbat nikah, khususnya dalam permasalahan tersebut. 3.
Prosedur pengajuan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4.
Status nikah setelah dilaksanakannya itsbat nikah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Untuk memberikan kejelasan bagaimana hukum Nikah Sirri dalam ketentuan hukum Islam / hukum perdata Nasional yang ada di Indonesia 2. Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja yang berkepentingan dengan penanganan pernikahan sirri 3. Untuk dijadikan pedoman atau referensi dalam hal-hal yang berhubungan dengan prosedur Itsbath Nikah dari pernikahan sirri
7
D. Review Study Pustaka Dari hasil penelusuran terhadap karya ilmiyah yang penulis temukan, ada beberapa tema penelitian tentang itsbat nikah, di antaranya skripsi berjudul “Itsbat Nikah Dan Proses Penyelesaiannnya Di Pengadilan Agama (Studi Analisis di Pengadilan Agama Jakarta Timur)” yang diajukan oleh Ulfa Fouziyah, Jurusan Peradilan Agama, Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2008. Skripsi tersebut membahas tentang proses penyelesaian itsbat nikah dan pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara tersebut. Dalam analisisnya penulis mencermati hanya satu kasus saja tanpa membandingkan dengan kasus yang lain. Dalam kasusnya pemohon yang bernama Hj. Tahwilah binti H. Darip telah menikah dibawah tangan dengan H. Abd. Syukur bin H. Mahmud pada tahun 1993. Berdasarkan permohonan pemohon tersebut perkawinan pemohon dengan H. Abd. Syukur tersebut terdapat unsur perkawinan poligami dibawah tangan , karena tidak memenuhi ketentuan pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40, 41, pasal 42, pasal 43 dan pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam kasus ini majelis hakim menolak itsbat nikah yang terdapat unsur pelanggaran poligami. Selain itu majelis berpendapat bahwa karena adanya pihak yang berkeberatan yaitu pihak dari istri pertama atas permohonan itsbat nikah yang diajukan pemohon, dengan sendirinya perkara ini menjadi contentius bukan voluntair. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat bahwa 8
permohonan itsbat nikah yang diajukan pemohon bukan ditolak tetapi dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard). Dalam hal ini baik dari observasi maupun secara teoritis, skripsi ini tidak menyinggung prosedur pengajuan itsbat nikah, alasan-alasan dilakukannya pernikahan sirri dan status nikah sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah. Skripsi lain yang mengkaji tentang itsbat nikah adalah skripsi dengan judul “Analisis Penetapan Hakim Nomor. 74/P.2/1990/PA.SBR Tentang Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) Yang Dilaksanakan Melalui Kawin Gantung Di Pengadilan Agama Sumber Cirebon” yang ditulis Imro’ah, jurusan Perbandingan Madzhab Dan Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008. Skripsi ini membahas proses pemeriksaan perkara No.74/P.2/1990/PA.Sbr tentang pengesahan kawain gantung, Pertimbangan hakim dalam
memberikan
penetapan peristiwa kawin gantung dan pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap penetapan hakim dalam perkara tersebut. Dalam kasus ini majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon, karena perkawinan tersebut dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang no. 1 Tahun 1974. Penetapan
hakim yang
mengabulkan permohonan pemohon dalam rangka melaksanakan tertibnya perkawinan sebagaimana dijelaskan pasal 5 KHI agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat, walaupun Islam tidak mengatur adanya pencatatan namun pencatatan tersebut banyak menimbulkan 9
kemaslahatan dan manfaat bagi tegaknya rumah tangga yang teratur, karena sesungguhnya agama tidak menghendaki adanya kesusahan bagi umatnya. Menururt Soepomo kawin gantung adalah perkawinan antara dua anak yang belum dewasa dan masih tinggal bersama orang tuanya dengan menunda saat hidup bersama. Adapun perkara Nomor 74/P.2/1990/Pa.Sbr ini merupakan perkara Voluntair, yaitu perkara yang sifat permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa. Sedangkan pada skripsi ini penulis membedakan pembahasan penelitian dari skripsi yang sudah ada di atas dengan titik singgung yang berbeda, yaitu terkait dengan alasan-alasan dilakukannya pernikahan sirri dan status nikah sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah, dengan alasan, bahwa alasan-alasan dilakukannya nikah sirri dan status nikah sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah akan lebih relevan sebagai pertimbangan atas aspek kemaslahatan sebagai maqasid al-syariah ditetapkannya suatu hukum. Untuk mengetahui secara komparatif perbedaan fokus 2 study penelitian tersebut dengan penelitian ini cermati tabel ini NO 1
NAMA Ulfah Fouziyah
JUDUL
PERBEDAAN
Itsbat Nikah dan Proses Skripsi ini hanya membahas
PA/ Syariah dan Pelaksanaannya Hukum/ M
2008 Pengadilan
di analisis Putusan hakim saja Agama tanpa membandingan dengan
Jakarta Timur (Studi kasus lain analisis di Pengadilan
10
Agama Jakarta Timur)
2
Imro’ah
Analisis
Penetapan
•
Skrips ini membahas
PA/ Syariah dan Hakim No. 74/P. 2/
tentang Itsbat Nikah
Hukum/
Sumber
dari pernikahan yang
tentang
dilaksanakan
2008 1990/
M
PA
Cirebon
pengesahan perkawinan (Itsbat
Nikah)
dilaksanakan kawin
yang melalui
gantung
Pengadilan
di
Agama
Sumber Cirebon
melalui
kawin gantung •
Skripsi ini membahas analisi putusan hakim saja
tanpa
membandingkan dengan kasus lain
E. Metode Penelitian Dalam skripsi ini penulis meneliti tentang hukum. Untuk itu penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
11
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 11 Penelitian yang akan dilakukan menggunakan penelitian Normatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan dengan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan. 12 Sedangkan yang dimaksud dengan menggunakan pendekatan perbandingan adalah suatu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Disamping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. 13
Penentuan instrumen
penelitian ini berupa penelitian sebagai instrumen penelitian utama dengan menggunakan sumber tertulis dan wawancara. Wawancara diperlukan untuk melakukan analisis dan interpretasi langsung dari hasil pengamatan. 14 1. Sumber Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka sumber data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data sekunder
38. h. 3.
11
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h.
12
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Posda Karya, 2004),
13
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian hukum (Jakarta: Kencana Prnada Media Group, 2005), h. 133.
12
1. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asal, yang dalam hal ini data primer penulis adalah putusan Nomor : 10 / Pdt.P / 2007 / PA. JS dan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS. Disamping itu, juga melakukan wawancara yang dilakukan dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang selanjutnya akan diedit kembali sesuai dengan kebutuhan penelitian. 2. Data sekunder adalah semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya dari kalangan hukum dan sebagainya yang ada kaitannya dengan topik yang dibahas. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penyelesaian penelitian studi kepustakaan, yakni menelususri bahan pustaka yang terkait dengan masalah itsbat nikah pernikahan sirri, baik dari dokumen-dokumen, buku-buku, majalah, jurnal-jurnal dan lain-lain yang ada relevansinya dengan tema penelitian. Untuk mendapatkan penjelasan lebih jelas itsbat nikah pernikahan sirri (analisiss putusan hakim Nomor : 10 /Pdt.P / 2007 / PA. JS dengan putusan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS) maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara datang kelokasi yang ada hubungannya dengan para pihak yang terkait dan mampu, dalam hal ini dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
13
3. Teknik Pengolahan Data a) Seleksi data : Setelah memperoleh data dan bahan-bahan baik melalui library research maupun field research, lalu data diperiksa kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan b) Klasifikasi data : Setelah data diperiksa lalu diklasipikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil suatu kesimpulan. 4. Analisis Data Analisis ini (content analytis) atau analitis dokumen dilakukan setelah bahan-bahan data dikumpulkan. Data akan dianalisa dengan cara membandingkan penerapan yang diperoleh dalam pemeriksaan perkara permohonan itsbath nikah dari pernikahan sirri di Peradilan Jakarta Selatan dengan teori mengenai Pencatatan Pernikahan. F. Pedoman Penulisan Dalam penulisan karya tulis ini, penulis merujuk kepada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi” Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Jakarta Press, 2007. G. Sistematika Penulisan Untuk Sistematika dalam penulisan ini, penulis membagi pembahasan menjadi empat bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bagian 14
Adapun sistematika ini diuraikan sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review study terdahulu (kajian pustaka),
metode penelitian, pedoman penulisan dan
sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Bab ini memaparkan beberapa hal terkait pernikahan menurut fiqih klasik, pernikahan dalam hukum positif, mulai dari syarat dan
rukun nikah,
pendaftaran nikah. BAB III : Tinjauan Umum Tentang Pernikahan Sirri dan Itsbat Nikah Pada bab ini penulis menjelaskan pengertian
pernikahan sirri, dampak
daripada pernikahan sirri, pengertian itsbat nikah, lembaga itsbat nikah yang meliputi pasal-pasal tentang itsbat nikah. BAB IV
: Itsbat Nikah dan Pelaksanaannya: Analisis Putusan Bab ini merupakan bab yang akan menggambarkan Peradilan Agama Jakarta Selatan, Gambaran perkara Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS, Gambaran perkara Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS, isi putusan, analisis pertimbangan 15
Hakim Peradilan Agama Jakarta Selatan, Status nikah sirri setelah dilasanakannya itsbat nikah. BAB V
: Penutup (kesimpulan) Bab ini tentang kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini dan memaparkan beberapa saran.
16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian dan Dasar Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin anatu bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah
ﻧﻜﺎح
yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan,
dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah “ sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi pernikahan, diantaranya adalah :
ﻞ ٌﺣ ِ ﻞ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺮَْأ ِة َو ِﺟ ُ ع اﻟ َﺮ ِ ﺳﺘْﻤْﺘَﺎ ِ ﻚا َ ع ِﻟﻴْ ِﻔﻴْ َﺪ ﻣِﻠ ُ ﺿ َﻌ ُﻪ اﻟﺸَﺎ ٍر َ ﻋﻘْ ٌﺪ َو َ ﺷﺮْﻋًﺎ ُه َﻮ َ ج ُ اَﻟ َﱟﺰوَا .ﻞ ِﺟ ُ ع اﻟْ َﻤﺮَْأ ِة ﺑﺎِاﻟ َﺮ ِ اﺳْ ِﺘﻤْﺘَﺎ
17
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenagsenangnya perempuan dengan laki-laki. 15 Para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan di bawah ini misalnya Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa pernikahan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita tesebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, ataupun sepersusuan. Sama halnya menurut Hanafiah bahwa nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Begitupula menurut Hanabilah bahwa nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang. Dalam kitab Kifayatul Akhyar imam Taqiyuddin mendefinisikan nikah dengan seperti aqad yang mahsur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan aqad adalah al-wath’.
15
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 7-8.
18
Dari definisi yang di atas, jelas para ulama fiqih mengartikan dari kata nikah dengan makna hubungan biologis atau dengan kata lain nikah diartikan dengan makna persetubuhan. 16 Didalam fiqih klasik dijelaskan bahwa segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Golongan zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk segolongan yang lain lagi. Silang pendapat ini disebabkan, apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits berikut ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mubah? Ayat tersebut adalah:
ﺚ َو ُر ُﺑ َﻊ َ ﻦ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء ﻣَﺴْﻲٌ َو ُﺛُﻠ َ ب َﻟ ُﻜﻢْ ِﻣ َ ﺤﻮْا ﻣَﺎ ﻃَﺎ ُ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜ Artinya : “….maka kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (Qs. an-Nisa : 3) Dan hadis tersebut adalah :
( )أﺧﺮ ﺟﻪ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ. ﺤﻮْا َﻓِﺈ ﱢﻧﻲْ ﻣَﻜَﺎ ﺛِﺮٌ ِﺑ ُﻜ ُﻢ اﻟُْﺄ َﻣ ِﻢ ُ ﺗَﻨَﺎ َآ 16
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 38-40.
19
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kawin, saya berlomba-lomba memperbanyak umat dengan umat lain.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah) 17 Fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunah untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk sebagian yang lain lagi, didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilah yang disebut qiyas mursal, qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. 18 2. Dasar Pernikahan Pernikahan dilakukan dengan berbagai dasar dalam fiqih klasik. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Unsur agama Pernikahan dilihat pada agama adalah sebuah tuntutan yang pertama, walaupun pernikahan boleh pula didasarkan pada kecantikan, keturunan, atau kekayaan., akan tetapi agama adalah tuntutan yang utama yang harus diperhatikan oleh seseorang ketika akan melangsungkan pernikahan. Namun apabila keempatnya terdapat pada seseorang, hal itu sangat dianjurkan. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
17 18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 394. Ibnu Rusyd, ibid, h. 396.
20
ﺦ اﻟْ َﻤﺮَْأ ُة ُ ُﺗﻨْ ِﻜ: ل َ ﺳﱠﻠﻢ َﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ﻲ ِ ﻦ اﻟ َﻨ ِﺒ ِﻋ َ ُ ﻋﻨْﻪ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻰ ُه َﺮ ﻳْ َﺮ َة َ َر ِ ﻋﻦْ َأ ِﺑ َ ك ) رواﻩ َ ﻦ َﺗ ِﺮ َﺑﺖْ َﻳ َﺪا ِ ْت اﻟ ﱢﺪ ﻳ ِ ﺠ َﻤﺎ ِﻟ َﻬﺎ َوِﻟ ِﺪ ﻳْ ِﻨ َﻬﺎ ﻓَﺎ ﻇْ َﻔﺮْ ِﺑ َﺬا َ ﺴ ِﺒ َﻬﺎ َوِﻟ َﺤ َ ِﻟَﺄرْ َﺑ ٍﻊ ِﻟ َﻤﺎ ِﻟ َﻬﺎ َوِﻟ (اﻟﺒﺨﺎ ري وﻣﺴﻠﻢ Artinya : “ Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda “ Perempuan itu dinikahi karena empat macam, yaitu karena hartanya, pangkat atau keterunannya, kecantikannya, dan agamanya, maka ambillah perempuan yang taat kepada agama, niscaya engkau akan beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim) 2. Unsur kesuburan pasangan: pihak istri Ketika seorang laki-laki sudah berencana akan melangsungkan pernikahan, maka ketika memilih calon istri hendaknya yang mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, karena akan melahirkan generasi-generasi muda umat nabi Muhammad SAW yang akan meneruskan amanah dimuka bumi ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang menyatakan :
ِ َﻳﺄْ ُﻣﺮُﻧَﺎ ﺑﺎِاﻟْﺒَﺎءَة: ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﷲ ﺻَﻠ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ن َر َ آَﺎ: ل َ ﻋﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺲ َر ٍ ﻋﻦْ َأ َﻧ َ ﺟﻮْا اﻟْ َﻮُﻟﻮْ َد اﻟْ َﻮ ُدوْ َد َﻓِﺈﻧﱢﻰ ﻣَﻜَﺎ ِﺛ ٌﺮ ِﺑ ُﻜ ُﻢ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ َﻳﻮْ َم ُ َو ًّ َﺗﺰ: ل ُ ْﺷ ِﺪﻳْﺪًا َو َﻳ ُﻘﻮ َ ﻞ ﻧَﻬْﻴًﺎ ِ ﻦ اﻟ ﱠﺘ َﺒ ﱡﺘ ِﻋ َ َو َﻳﻨْﻬَﻰ (اﻟْ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ) رواﻩ أﺣﻤﺪ واﺑﻦ ﺣﺒﺎن
21
Artinya : “Dari Anas r.a., Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami untuk menikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras, lantas beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang banyak keturunannya (subur) dan banyak kasih sayangnya karena sesungguhnya aku akan bermegah-megahhan dengan banyaknya umatku di hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Hibban) 3. Unsur kondisi perempuan Perempuan yang hendak dinikahi hendaknya masih perawan.Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW, bersabda :
ﻳَﺎ ﺟَﺎ ِﺑ ُﺮ: ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﷲ ﺻَﻠ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ج َﻓﻘَﺎ َ ﻋﻨْ ُﻪ َأﻧﱠ ُﻪ َﺗ َﺰ ﱠو َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻋﻦْ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ َر َ ﻼ َ ﻋ ُﺒﻬَﺎ َو ُﺗ ِﻼ َ ﻼ ﺑِﻜْﺮًا ُﺗ َ َه: ل َ ﻗَﺎ. ﺛَ ﱢﻴﺒًﺎ: ﺖ ُ ْ ِﺑﻜْ ًﺮ َأمْ ﺛَ ﱢﻴﺒًﺎ ؟ ُﻗﻠ: ل َ ﻗَﺎ، ْ َﻧ َﻌﻢ: ﺖ ُ ْ ُﻗﻠ،ََﺗ َﺰ ﱠوﺟْﺖ ( ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎ رى وﻣﺴﻠﻢ. ﻚ َ ﻋ ُﺒ ِ Artinya : “ Dari Jabir r.a., sesungguhnya ia pernah menikah lalu Rasulullah SAW, bertanya, “ Ya Jabir, apakah Engkau telah menikah? “ Aku menjawab “ Ya”. Beliau bertanya, “ Dengan perawankah atau sudah janda? “ Aku jawab, “ Sudah janda”. Beliau berkata, “ Alangkah baiknya bila Engkau menikah dengan yang masih perawan sebagai kawan Engkau dalam bersenda gurau.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
22
4. Kedua belah pihak hendaknya taat kepada Tuhan. Firman Allah SWT :
....ْﷲ َأﺗْﻘَﺎ ُآﻢ ِ ﻋﻨْ َﺪ ا ِ ْن َأآْ َﺮ َﻣ ُﻜﻢ ِﱠ Artinya : “ Sesungguhnya semulia-mulianya kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.”(QS. Al Hujarat: 12) 19 B. Pernikahan menurut Fiqih Klasik 1. Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut fiqih kalsik perkawinan dapat dilaksanakan jika telah memenuhi rukun dan syarat nikah. Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena setiap aktivitas ibadah yang ada dalam ajaran Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Adapun syarat adalah sesuatu yang menetukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Kaitannya dengan perkawinan, rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan. Seperti harus adanya pihak laki-laki dan perempuan, wali, saksi,
19
Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 253-255.
23
dan akad (ijab dan qabul). Semua rukun itu harus terpenuhi dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan itu. Dalam agama Islam banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam madzhab, akan tetapi penulis hanya mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang telah menjadi hukum tertulis. Semua ulama sependapat tentang sesuatu yang harus ada dalam perkawinan yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad nikah. Adapun syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan keterangan mengenai syarat-syarat perkawinan yang dituangkan pada Bab II pasal 6 UU. Sejalan dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan mengenai syarat-syarat perkawinan dalam pasal 15-29. Menurut Ahmadafik dalam bukunya tentang Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan yang telah dsepakati oleh Jumhur Ulama adalah20 : a. Calon Suami, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam 2. Laki-laki; 3. Jelas orangnya; 20
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:Rajawali Pers, 1998), h. 71.
24
4. Dapat memberikan persetujuan; 5. Tidak terdapat halangan perkawinan; b. Calon Istri, syarat-syaratnya: 1. Beragama, meskipun Yahudi dan Nasrani; 2. Perempuan; 3. Jelas orangnya; 4. Dapat diminta persetujuannya; 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali nikah, syarat-syaratnya: 1. Laki-laki; 2. Dewasa; 3. Mempunyai hak perwalian; 4. Tidak terdapat halangan perwalian. d. Saksi nikah, syarat-syaratnya: 1. Minimal dua orang laki-laki 2. Hadir dalam ijab qabul;
25
3. Dapat mengerti maksud aqad; 4. Islam; 5. Dewasa. e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya: 1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali; 2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai; 3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata tersebut; 4. Antara ijab dan qabul bersambung; 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya; 6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah; 7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimumempat orang yaitu; calon mempelai atau walinya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi. 2. Tujuan Perkawinan
26
Tujuan Perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia; harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban keluarga dan sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Secara lebih detail tujuan perkawinan dapat dibagi menjadi lima poin yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan Agama Islam memberikan jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Al-qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 74:
واﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﻮﻟﻮن رﺑﻨﺎ هﺐ ﻟﻦ ﻣﻦ أزوﺟﻨﺎ وذرﻳﺘﻨﺎ ﻗﺮة أﻋﻴﻦ واﺟﻌﻠﻨﺎ ﻟﻠﻤﺘﻘﻴﻦ Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).”(AlFurqan: 74) 2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih saying berdasarkan tanggung jawab
27
Sudah menjadi kodrat iradat Allah SWT, manusia diciptakan berpasangpasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita sehingga Al-Qur’an melukiskan bahwa pria dan wanita itu bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaiman disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yaitu:
أﺣﻞ ﻟﻜﻢ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺼﻴﺎم اﻟﺮﻓﺚ إﻟﻰ ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ هﻦ ﻟﺒﺎس ﻟﻜﻢ وأﻧﺘﻢ ﻟﺒﺎس ﻟﻬﻦ Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itulah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187) Di samping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Sedangkan perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban. 3. Memelihara diri dari kerusakan Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukan melalui perkawinan. Ornag-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun 28
orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
وﻣﺎأﺑﺮئ ﻧﻔﺴﻰ إن اﻟﻨﻔﺲ ﻷﻣﺎرة ﺑﺎﻟﺴﻮء إﻻﻣﺎرﺣﻢ رﺑﻰ إن رﺑﻰ ﻏﻔﻮر رﺣﻴﻢ Artinya: “Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan.” (QS. Yusuf: 53) Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.
C. Pernikahan Menurut Hukum Positif 1.
Syarat-syarat Perkawinan
Di dalam hukum positif terdapat syarat-syarat perkawinan. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan dilangsungkan. 21 Persyaratan perkawinan berdasarkan UU perkawinan terdiri dari syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga sebagai “syarat subyektif”. Syarat formil 21
Ibid., h. 67.
29
adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga sebagai “syarat obyektif”. a. Syarat Materil UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Asas monogami relative (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan); 2. {ersetujuan bebas kedua belah pihak (Pasal 6 UU Perkawinan); 3. Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan); 4. Lewat masa idah (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan); Masa idah ini diatur perincian pada pasal 39 PP no. 9 Tahun 1975, yaitu: -
130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian;
-
90 hari atau 3 x khuru’, apabila perkawinan putus karena perceraian;
-
Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian dan istri dalam keadaan hamil
5. Tida k terhalang oleh larangan perkawinan.
30
Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua hal: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
b. Syarat Formil
31
Syarat formil adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak baik sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3). Pemberitahuan ini dilakukan secara tertulis atau lisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (Pasal 4). 22 2. Pendaftaran Nikah Ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan, maka hendaknya pernikahan tersebut didaftarkan terlebih dahulu. Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan harus memberitahukan kehendak nikah kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu yang mewilayahi tempat pelaksanaan aqad nikah. Pemberitahuan kehendak nikah ini
dilakukan secara tertulis oleh calon
mempelai atau oleh wali atau wakilnya paling lambat 10 hari sebelum pelaksanaan aqad nikah.Pendaftaran atau pemberitahuan kehendak nikah ini adalah salah satu prosedur agar pernikahan itu dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal ini sangat erat hubungannya dengan kemaslahatan manusia yang dalam konsep syariat Islam
22
Kamarusdiana , Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press, 2001), h. 8-9.
32
harus dilindungi. 23 Dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946. Pemberitahuan kehendak nikah ini dilakukan 24 dengan membawa surat-surat yang diperlukan, surat-surat tersebut adalah: a. Surat persetujuan calon mempelai b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul. (akta kelahiran atau surat kenal lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokan dengan surat-surat lainnya. Untuk keperluan administrasi, yang bersangkutan menyerahkan salinan/fotokopinya). c. Surat keterangan tentang orang tua. d. Surat keterangan untuk niakah (Model N1). e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota ABRI. f. Akta Cerai Talak/Cerai Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai jika calon mempelai seorang janda/duda.
23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, h. 49. 24 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke-1, h. 15.
33
g. Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri menurut contoh model N6, jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian suami/istri. h. Surat Izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2) s/d dan pasal 7 ayat (2). i. Surat dispensasi Camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja sejak pengumuman j. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya bagi mereka yang tidak mampu. 25 Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasi sudah terpenuhi atau belum. Jika belum cukup syaratsyarat yang diperlukan, maka Pegawai Pencatat Nikah harus menolaknya. Jika syaratsyarat nikah telah memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan yang berlaku, maka Pegawai Pencatat Nikah membuat pengumuman tentang pemberitahuan yang sudah dibaca oleh khalayak ramai (umum). Perkawinan baru dapat dilaksanakan 25
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, 1993), h. 5.
34
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut ditempelkan. Ketentuan ini dimaksud untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang menurut pendapatnya perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada halangan menurut agama dan undang-undang atau tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh peraturan perundangan yang berlaku. 26 Setelah dilaksanakannya pendaftaran nikah, penghulu mempersilahkan kepada calon pengantin yang telah memenuhi persyaratan nikah agar membayar biaya pencatatan nikah. Besarnya biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke kas negara melalui bank/pos adalah Rp. 30.000. Bagi calon pengantin yang tidak mampu membayar biaya pencatatan nikah dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan dapat dibebaskan dari biaya.
26
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), Cet. Ke-2, h. 16.
35
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH A.
Pengertian Pernikahan Sirri a. Pernikahan Sirri Menurut Fiqih Klasik Dari segi etimologis sirri berasal dari bahasa Arab Al-sirr yang berarti rahasia
atau tidak terbuka. Dalam hukum Islam, hal ini bukan masalah yang baru, sebab dalam kitab al muwatha, Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar Ibnu Khattab r.a.:
ﺟﻞٌ وَاﻣْ َﺮَأ ٌة ُ َﻻ ر ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِا ﱠ َ ْح َﻟﻢْ َﻳﺴْ َﻬﺪ ٍ ﻞ ِﻓﻲْ ِﻧﻜَﺎ ٍﺣ َ ﻋ َﻤ َﺮ ُﺑ ِﺮ ُ ن َا ﱠ،َﻋﻦْ َا ِﺑﻲْ زَﺑَﻴْﺮ َ ٌاَﺧْ َﺒ َﺮﻧًﺎ ﻣَﺎ ﻟِﻚ ﺖ ُ ْﺟﻤ َ ﺖ ِﻓﻴْ ِﻪ ِﻟ َﺮ َ ْﺖ َﺗ َﻘ ﱠﺪﻣ َ ْﺠﻴْ ُﺰ ُﻩ َوَﻟﻮْ ُآﻨ ِ ﻻ ُﻧ َ ﺴﻴْ َﺮ َو َه َﺬ ِﻧﻜَﺎحٌ اﻟ ﱢ:ﻋ َﻤ ُﺮ ُ ل َ َﻓﻘَﺎ “Bahwasannya Umar dihadapkan kepada seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata :Inilah nikah sirri, aku tidak membolehkannya, sekiranya aku datang pasti aku rajam” (H.R. Malik bin Anas). 36
Pengertian nikah sirri dalam persepsi umar tersebut adalah apabila syarat jumlah saksi belum terpenuhi, maka nikah semacam ini menurut umar dapat dipandang sebagai nikah sirri. 27 Dilihat dari keterangan nikah sirri menurut umar dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri. Mengenai saksi diantara para Imam Madzhab (Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan Syafi’i berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah. 28 Berdasarkan dalil:
ﺳ ِﻌﻴْ ٌﺪ ﺑﻦ َ ْﻋﻦ َ ﻦ ﺧﻴﻢ ِ ْﻋ ْﻴ َﻤﻨَﺎ ﺑ ِ ﻦ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْﺪِا َ ْﻋﻦ َ ﺟ ِﺮﻳْ ٍﺮ َ ْﻋﻦ َ ﺳ ِﻌ ٌﺪ َ ﻦ ﺣَﺎِﻟ ٍﺪ َو ُ َْاﺣْ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻣﺴِْﻠ ُﻢ ﺑ ﺳﻴْ ٍﺪ ِ ْﻲ ُﻣﺪ ً ل َو َوِﻟ ٍ ْﻋﺪ َ ﻻ رﺑﺴﻨﺎ ِهﺪَى ح ِا ﱠ َ ﻟَﺎﻧِﻜَﺎ:ل َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒَﺎ َ ْﻋﻦ َ ﺟﺒْ ِﺮ َو ُﻣﺠَﺎ ِه ٍﺬ َ Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”. 29 Nikah sirri merupakan nikah yang masih diperdebatkan sah atau tidaknya oleh para ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat dua golongan ulama yang berpendapat. Golongan pertama yaitu Jumhur Ulama. Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak
27
h. 31.
Mahful M. dan Herry Muhammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet. 1,
28
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study Perbandingan dalam kalangan Ahlus-sunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h. 153. 29 Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, al-umm, juz 5, h. 19.
37
ramai, maka pernikahannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah, Sya’bi dan Nafi apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiaknnya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dan Aisyah:
(ف ) رواهﺎﻟﺮ ذى ِ ْﻋَﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱡﺪ ُﻓﻮ َ ﺟ ِﺪوَاﺿْ ِﺮ ُﺑﻮْ ُﻩ ِ ﻋَﻠ ُﻨﻮْا هَﺬَااﻟ ﱢﻨﻜََﺎحَ وَاﺟْ َﻌُﻠﻮْ ُﻩ ﻓِﻲ ا َﻣﺴَﺎ ِ ُا Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Mesjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana”. (H.R at-Tirmidzi). 30 Senada dengan pendapat di atas, madzab Hanbali menyatakan nikah yang telah dilangsungkan menurut syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja hukumannya makruh. 31 Ulama golongan kedua adalah golongan Maliki. Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai
30 31
Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Safi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 187.
38
sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah dihadiri oleh para saksi. 32 Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksikannya tidak disebut secara tegas dalam al-Qur’an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu’ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah:282. Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklan wajib, maka untuk yang tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga. 33 Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiaknnya; lalu jawabannya: keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum. 34 Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia ) tidak boleh.
35
Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan
keduanya diamati untuk merahasiakan pernikahan, tentang apakah hal itu dianggap nikah sirri atau bukan?. Imam abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal
32
Ahmad Kuzairi, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarata: Raja Grafindo Persada, 1995). Cet. Ke-1, h. 48. 33 Ahmad Kuzari Op. Cit., h. 48. 34 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187. 35 Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), Cet. Ke-1, h. 383.
39
itu bukan nikah sirri. Tatpi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan. 36 Perbedaan pendapat ini disebabkan apakah kedudukan saksi dalam perkawinan merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan unuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran? Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan
pernikahan,
maka
mereka
menganggap
saksi
sebagai
syarat
kelengkapan. 37 b. Nikah Sirri Persepektif Hukum Positif Sejalan dengan berkembangnya zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, tetapi juga karena manusia dapat mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar itu diperlukan bukti yang abadi yaitu dalam bentuk akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah
36 37
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187. Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 79.
40
dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. 38 Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk. 39 Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah:
ل ِ ْﻞ ُﻣﺴَﻤًّﻰ ﻓَﺎآْ ُﺘ ُﺒﻮْ ُﻩ َوﻟْﻴَﻜﺘُﺐ ﱠﺑﻴْ َﻨ ُﻜﻢْ آَﺎﺗِﺐٌ ﺑِﺎﻟْ َﻌﺪ ٍﺟ َ ﻦ ِإﻟَﻰ َأ ٍ ْﻦ َا َﻣ ُﻨﻮْا ِإذَا َﺗﺬَاﻳَﻨﺘُﻢ ِﺑ َﺪﻳ َ َْﻳَﺄ ُﻳﻬَﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ ﷲ َرﺑﱠ ُﻪ َ ﻖا ِ ﻖ َوﻟْ َﻴ ﱠﺘ ﺤﱡ َ ْﻋَﻠﻴْ ِﻪ اﻟ َ ﻞ اﱠﻟﺬِى ِ ﷲ َﻓﻠْ َﻴﻜْ ُﺘﺐْ َوﻟْ ُﻴﻤِْﻠ ُ ﻋﱠﻠ َﻤ ُﻪ ا َ ﺐ َآﻤَﺎ َ ب آَﺎﺗِﺐٌ َأنْ َﻳﻜْ ُﺘ َ ْﻻ ِﻳﺄ َ َو 38
Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No 1 1974 sampai KHI), ( Jakarta: Kncana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-3, h. 121-122. 39 Arso sastroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 55-56.
41
Artinya: “Hai orang-rang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakannya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Al-Baqarah: 2/282). Para pemikir Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih:
درءاﻟﻤﻔﺎ ﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ “Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”. 40 Pemerintah Indonesia melihat bahwa pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntuatan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.41 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-
40
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persefektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004), Cet. Ke-1, h. 148. 41 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Garfika, 2006), Cet. Ke-1, h. 29-30.
42
undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percecokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan daripada perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 42 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 juga disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadddah dan rahmah. Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah maka perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 43
Tentang Pencatatan Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjeaskan dalam pasal
(5) yaitu: 1.
Agar terjamin ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
42
24.
Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta : Redaksi Sinar Grafika, 2000), Cet. Ke-4, h.
43
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998, /1999), h. 14.
43
2. Pencatatn perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatatan nikah sebagiman diatur dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun 1954. 44 Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila telah memenuhi dua syarat berikut: 1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UUP No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaitu pernikahan telah dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. 2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan tersebut telah dicatatkan oleh Pegawi Pencatat nikah (PPN) yang berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah. Nikah sirri merupakan nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at Islam dan dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari PPN sehingga tidak tercatatkan. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan sirri hanya 44
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di indonesia, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 109.
44
baru memperoleh legalitas dari hukum Islam, karena hanya syarat materiilnya saja yang terpenuhi, sedangkan syarat formilnya belum terpenuhi sehingga selamanya dianggap oleh negara tidak pernah terjadi sebuah pernikahan. Atau dengan kata lain pernikahan tersebut tidak diakui dan tidak mendapatkan legalitas dari Negara. Dilihat dari teori hukum dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. 45 Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum yakni yang adanya hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan demikian esistensi pernikahan secara yuridis formil diakui.
45
Soedjono Dirojsworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja grafindo Persada. 1994), Cet. Ke-4, h. 126.
45
Namun demikian aturan tentang pencatatan tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa keluarga misalnya tidak melakukan pencatatan terhadap perkawinan mereka. Dan ini dipicu oleh beberapa kondisi lahir. Adapun faktor-faktor penyebab mereka melakukan perkawinan secara diam-diam (sirri) tersebut antara lain: 1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah/Negara; 2. Tidak ada izin istri atau istrinya dan Peradilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang; 3. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon istri/suami, sehinga dikhawatirkan terjadi hal-hal negativ yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama; 4. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
46
Sehubungan dengan faktor-faktor di atas, diharapkan kepada masyarakat agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek fiqih saja, tetapi perlu juga dipikirkan aspek-aspek keperdataannya secara seimbang. Perlu diingat bahwa pencatatan ini merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. Kalau perkawinan sudah dicatat, maka Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan kutipan akta nikah yang merupakan bukti jaminan hukum apabila salah seorang dari mereka menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 46 B. Dampak Daripada Pernikahan Sirri Pernikahan sirri merupakan pernikahana yang tidak memenuhi syarat administrasi yang telah diatur oleh Negara, karena pernikahan sirri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga dari pernikahan sirri ini menimbulkan dampak negative. Dampak daripada pernikahan sirri secara hukum kenegaraan adalah tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang ditimbulkan oleh pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap istri sah dan tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Disamping itu juga tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan/perceraian. Begitu pula tidak adanya pengakuan hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami istri yang menikah dibawah tangan, status anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan
46
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke-2, h. 48-49.
47
dibawah tangan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari pihak ibu. Artinya anak itu tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Sedangkan dampak secara sosial dari pasangan suami istri yang melakukan pernikah dibawah tangan cenderung lebih sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai istri simpanan atau istri tidak sah secara hukum.Tidak dapat dijadikan alasan untk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan. C. Lembaga Itsbat Nikah 1. Pengertian itsbat nikah Seperti telah disinggung sebelumnya dalam Kompilsai Hukum Islam pasal 7 yang berbunyi bahwa dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat Nikah merupakan gabungan dari dua kalimat yakni Itsbat dan Nikah. Itsbat merupakan masdar dari kata اﺛﺒﺖ ـ ﻳﺜﺒﺖ ـ اﺛﺎﻧﺎyang mempunyai makna penetapan atau pembuktian. 47 Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
47
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. 14, h. 145.
48
dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 48 Sedangkan definisi nikah yang diberikan oleh para ulama fikih yaitu, aqad yang membolehkan tejadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wati’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau persusuan. 49 Dari dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan yang dilakukan karena alasan-alasan tertentu. Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 berbunyi: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. 50 2. Aturan itsbat nikah Aturan mengenai itsbat nikah ini dijelaskan dalam Undang-undang N0. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 yang menggantikan segala landasan hukum Pengadilan Agama sebenarnya, memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan tetapi tidak berarti hilang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 49 ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang 48
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 187. 49 Wahbah al-Zuhaily , al-Fiqh al-islami wa adillatuhu, Juz VII, (Damsiq: Dar al-Fikr, 1989), h. 29. 50 Abdul Ghani Abdullah, op.cit., h. 99.
49
mengenai perkawinan yang berlaku, sedangkan dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undangundang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain. Jadi Lembaga Itsbat nikah/pengesahan nikah yang ditampung dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Undang-undang No. 7 tahun 1989, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 tahun 1974. Sedangkan itsbat nikah/pengesahan nikah yang karena alasan-alasan lain tidak dimuat dan tidak ada pula penjelasan tentang ketidak bolehannya. Kelemahan dalam Undang-undang ini kemudian dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama. Dan pada ayat (3) berbunyi: Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan; a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang N0. 1 Tahun 1974;
50
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974; Kemudian didalam ayat (4) disebutkan bahwa, yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah Suami, Istri, Anak-anak mereka, Wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Artinya bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Setelah dikabulkan permohonan itsbat nikah maka secara otomatis yang berkepentingan akan mendapatkan bukti otentik tentang pernikahan mereka yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama yaitu akta nikah. Itsbat nikah ini berfungsi sebagai kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. D. Gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di Jakarta hanya terdiri dari kantor induk dan 2 cabang yaitu : a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara 51
b. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah (sekarang Jakarta Pusat) c. Kantor cabang Pengadilan Istimewa Jakarta Raya sebagai induk. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas ermasuk wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang Mahkamah Islam Timggi Bandung berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama RI No. 17 tahun 1976, semua Pengadilan Agama di Provinsi Jawa Barat dan Pengadilan Agama di daerah khusus ibu kota Jakarta berada dalam wilayah Hukum Mahkamah Timggi cabang Bandung. Dalam perkembanagan selanjutnya istilah Mahkamah Tinggi diubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan surat Keputusan Menteri agama No. 61 tahun 1985 tanggal 16 juli 1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke Jakarta yang realisasi perpindahan tersebut baru terlaksana pada tanggal 30 oktober 1987. Dengan demikian otomatis wilayah hukum Penagdilan Agama yang ada di JJakarta yang semula termasuk wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Bandung menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Dasar Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai instansi yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugasnya yang menjadi dasar hukum dan landasan kerjanya adalah : 1. Undang-undang Dasar 1945
52
2. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 3. Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung 4. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 5. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilab Agama Pada tahun 2008 berasal dari DIPA Pengadilan Tinggi Agama tahun 2007 memperoleh sebidang tanah seluas 6.149 m2 terletak di Jalan RM. Harsono No. 4 Kelurahan Ragunan Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang diperuntukan untuk bangunan gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang baru. Setelah dibangun, bangunan ini merupakan gedung Pengadilan Agama terbesar dan termegah di Indonesia dan sudah diresmikan awal tahun 2009. Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari seorang ketua dan seorang Wakil Ketua, Hakim, Panitera / Sekretaris, dibantu oleh Wakil Panitera yang membawahi tiga orang Kepala Sub Kepaniteraan (Panitera Muda) dan Wakil Sekretaris. Wakil Sekretaris membawahi tiga orang Kepala Sub Bagian, Panitera Pengganti, Jurusita Pengganti, Calon Hakim dan beberapa orang staf / pelaksana serta dibantu beberapa orang tenaga honorer.
53
54
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan Dasar Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin anatu bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah
ﻧﻜﺎح
yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan,
dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah “ sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi pernikahan, diantaranya adalah :
ﻞ ٌﺣ ِ ﻞ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺮَْأ ِة َو ِﺟ ُ ع اﻟ َﺮ ِ ﺳﺘْﻤْﺘَﺎ ِ ﻚا َ ع ِﻟﻴْ ِﻔﻴْ َﺪ ﻣِﻠ ُ ﺿ َﻌ ُﻪ اﻟﺸَﺎ ٍر َ ﻋﻘْ ٌﺪ َو َ ﺷﺮْﻋًﺎ ُه َﻮ َ ج ُ اَﻟ َﱟﺰوَا .ﻞ ِﺟ ُ ع اﻟْ َﻤﺮَْأ ِة ﺑﺎِاﻟ َﺮ ِ اﺳْ ِﺘﻤْﺘَﺎ
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang
antara
laki-laki
dengan
perempuan
dan
menghalalkan
bersenagsenangnya perempuan dengan laki-laki. 1 Para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan di bawah ini misalnya Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa pernikahan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita tesebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, ataupun sepersusuan. Sama halnya menurut Hanafiah bahwa nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Begitupula menurut Hanabilah bahwa nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang. Dalam kitab Kifayatul Akhyar imam Taqiyuddin mendefinisikan nikah dengan seperti aqad yang mahsur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan aqad adalah al-wath’.
1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 7-8.
Dari definisi yang di atas, jelas para ulama fiqih mengartikan dari kata nikah dengan makna hubungan biologis atau dengan kata lain nikah diartikan dengan makna persetubuhan. 2 Didalam fiqih klasik dijelaskan bahwa segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Golongan zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk segolongan yang lain lagi. Silang pendapat ini disebabkan, apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis berikut ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mubah? Ayat tersebut adalah:
( 3: ﺚ َو ُر ُﺑ َﻊ ) اﻟﻨﺴﺎء َ ﻦ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء ﻣَﺴْﻲٌ َو ُﺛُﻠ َ ب َﻟ ُﻜﻢْ ِﻣ َ ﺤﻮْا ﻣَﺎ ﻃَﺎ ُ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜ Artinya : “….maka kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (Qs. an-Nisa : 3) Dan hadis tersebut adalah :
( )أﺧﺮ ﺟﻪ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ. ﺤﻮْا َﻓِﺈ ﱢﻧﻲْ ﻣَﻜَﺎ ﺛِﺮٌ ِﺑ ُﻜ ُﻢ اﻟُْﺄ َﻣ ِﻢ ُ ﺗَﻨَﺎ َآ 2
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 38-40.
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kawin, saya berlomba-lomba memperbanyak umat dengan umat lain.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah) 3 Fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunah untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk sebagian yang lain lagi, didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilah yang disebut qiyas mursal, qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. 4 2. Dasar Pernikahan Pernikahan dilakukan dengan berbagai dasar dalam fiqih klasik. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Unsur agama Pernikahan dilihat pada agama adalah sebuah tuntutan yang pertama, walaupun pernikahan boleh pula didasarkan pada kecantikan, keturunan, atau kekayaan., akan tetapi agama adalah tuntutan yang utama yang harus diperhatikan oleh seseorang ketika akan melangsungkan pernikahan. Namun apabila keempatnya terdapat pada seseorang, hal itu sangat dianjurkan. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
3 4
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 394 Ibnu Rusyd, ibid, h. 396
ﺦ اﻟْ َﻤﺮَْأ ُة ُ ُﺗﻨْ ِﻜ: ل َ ﺳﱠﻠﻢ َﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ﻲ ِ ﻦ اﻟ َﻨ ِﺒ ِﻋ َ ُ ﻋﻨْﻪ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻰ ُه َﺮ ﻳْ َﺮ َة َ َر ِ ﻋﻦْ َأ ِﺑ َ ك ) رواﻩ َ ﻦ َﺗ ِﺮ َﺑﺖْ َﻳ َﺪا ِ ْت اﻟ ﱢﺪ ﻳ ِ ﺠ َﻤﺎ ِﻟ َﻬﺎ َوِﻟ ِﺪ ﻳْ ِﻨ َﻬﺎ ﻓَﺎ ﻇْ َﻔﺮْ ِﺑ َﺬا َ ﺴ ِﺒ َﻬﺎ َوِﻟ َﺤ َ ِﻟَﺄرْ َﺑ ٍﻊ ِﻟ َﻤﺎ ِﻟ َﻬﺎ َوِﻟ (اﻟﺒﺨﺎ ري وﻣﺴﻠﻢ Artinya : “ Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda “ Perempuan itu dinikahi karena empat macam, yaitu karena hartanya, pangkat atau keterunannya, kecantikannya, dan agamanya, maka ambillah perempuan yang taat kepada agama, niscaya engkau akan beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim) 2. Unsur kesuburan pasangan: pihak istri Ketika seorang laki-laki sudah berencana akan melangsungkan pernikahan, maka ketika memilih calon istri hendaknya yang mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, karena akan melahirkan generasi-generasi muda umat nabi Muhammad SAW yang akan meneruskan amanah dimuka bumi ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang menyatakan :
ِ َﻳﺄْ ُﻣﺮُﻧَﺎ ﺑﺎِاﻟْﺒَﺎءَة: ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﷲ ﺻَﻠ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ن َر َ آَﺎ: ل َ ﻋﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺲ َر ٍ ﻋﻦْ َأ َﻧ َ ﺟﻮْا اﻟْ َﻮُﻟﻮْ َد اﻟْ َﻮ ُدوْ َد َﻓِﺈﻧﱢﻰ ﻣَﻜَﺎ ِﺛ ٌﺮ ِﺑ ُﻜ ُﻢ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ َﻳﻮْ َم ُ َو ًّ َﺗﺰ: ل ُ ْﺷ ِﺪﻳْﺪًا َو َﻳ ُﻘﻮ َ ﻞ ﻧَﻬْﻴًﺎ ِ ﻦ اﻟ ﱠﺘ َﺒ ﱡﺘ ِﻋ َ َو َﻳﻨْﻬَﻰ (اﻟْﻘِﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ) رواﻩ أﺣﻤﺪ واﺑﻦ ﺣﺒﺎن
Artinya : “Dari Anas r.a., Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami untuk menikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras, lantas beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang banyak keturunannya (subur) dan banyak kasih sayangnya karena sesungguhnya aku akan bermegah-megahhan dengan banyaknya umatku di hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Hibban) 3. Unsur kondisi perempuan Perempuan yang hendak dinikahi hendaknya masih perawan.Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW, bersabda :
ﻳَﺎ ﺟَﺎ ِﺑ ُﺮ: ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﷲ ﺻَﻠ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ج َﻓﻘَﺎ َ ﻋﻨْ ُﻪ َأﻧﱠ ُﻪ َﺗ َﺰ ﱠو َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻋﻦْ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ َر َ ﻼ َ ﻋ ُﺒﻬَﺎ َو ُﺗ ِﻼ َ ﻼ ﺑِﻜْﺮًا ُﺗ َ َه: ل َ ﻗَﺎ. ﺛَ ﱢﻴﺒًﺎ: ﺖ ُ ْ ِﺑﻜْ ًﺮ َأمْ ﺛَ ﱢﻴﺒًﺎ ؟ ُﻗﻠ: ل َ ﻗَﺎ، ْ َﻧ َﻌﻢ: ﺖ ُ ْ ُﻗﻠ،ََﺗ َﺰ ﱠوﺟْﺖ ( ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎ رى وﻣﺴﻠﻢ. ﻚ َ ﻋ ُﺒ ِ Artinya : “ Dari Jabir r.a., sesungguhnya ia pernah menikah lalu Rasulullah SAW, bertanya, “ Ya Jabir, apakah Engkau telah menikah? “ Aku menjawab “ Ya”. Beliau bertanya, “ Dengan perawankah atau sudah janda? “ Aku jawab, “ Sudah janda”. Beliau berkata, “ Alangkah baiknya bila Engkau menikah dengan yang masih perawan sebagai kawan Engkau dalam bersenda gurau.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Kedua belah pihak hendaknya taat kepada Tuhan. Firman Allah SWT :
( 12: )ﻟﺤﺠﺮات....ْﷲ َأﺗْﻘَﺎ ُآﻢ ِ ﻋﻨْ َﺪ ا ِ ْن َأآْ َﺮ َﻣ ُﻜﻢ ِإ ﱠ Artinya : “ Sesungguhnya semulia-mulianya kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.” 5 B. Pernikahan menurut Fiqih Klasik 1. Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut fiqih kalsik perkawinan dapat dilaksanakan jika telah memenuhi rukun dan syarat nikah. Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena setiap aktivitas ibadah yang ada dalam ajaran Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Adapun syarat adalah sesuatu yang menetukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Kaitannya dengan perkawinan, rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan. Seperti harus adanya pihak laki-laki dan perempuan, wali, saksi,
5
Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 253-255
dan akad (ijab dan qabul). Semua rukun itu harus terpenuhi dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan itu. Dalam agama Islam banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam madzhab, akan tetapi penulis hanya mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang telah menjadi hukum tertulis. Semua ulama sependapat tentang sesuatu yang harus ada dalam perkawinan yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad nikah. Adapun syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan keterangan mengenai syarat-syarat perkawinan yang dituangkan pada Bab II pasal 6 UU. Sejalan dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan mengenai syarat-syarat perkawinan dalam pasal 15-29. Menurut Ahmadafik dalam bukunya tentang Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan yang telah dsepakati oleh Jumhur Ulama adalah6 : a. Calon Suami, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam 2. Laki-laki; 3. Jelas orangnya; 6
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:Rajawali Pers, 1998), h. 71.
4. Dapat memberikan persetujuan; 5. Tidak terdapat halangan perkawinan; b. Calon Istri, syarat-syaratnya: 1. Beragama, meskipun Yahudi dan Nasrani; 2. Perempuan; 3. Jelas orangnya; 4. Dapat diminta persetujuannya; 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali nikah, syarat-syaratnya: 1. Laki-laki; 2. Dewasa; 3. Mempunyai hak perwalian; 4. Tidak terdapat halangan perwalian. d. Saksi nikah, syarat-syaratnya: 1. Minimal dua orang laki-laki 2. Hadir dalam ijab qabul;
3. Dapat mengerti maksud aqad; 4. Islam; 5. Dewasa. e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya: 1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali; 2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai; 3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata tersebut; 4. Antara ijab dan qabul bersambung; 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya; 6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah; 7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu; calon mempelai atau walinya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi. 2. Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia; harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban keluarga dan sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Secara lebih detail tujuan perkawinan dapat dibagi menjadi lima poin yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan Agama Islam memberikan jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Al-qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 74:
(74) واﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﻮﻟﻮن رﺑﻨﺎ هﺐ ﻟﻦ ﻣﻦ أزوﺟﻨﺎ وذرﻳﺘﻨﺎ ﻗﺮة أﻋﻴﻦ واﺟﻌﻠﻨﺎ ﻟﻠﻤﺘﻘﻴﻦ Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” 2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih saying berdasarkan tanggung jawab
Sudah menjadi kodrat iradat Allah SWT, manusia diciptakan berpasangpasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita sehingga Al-Qur’an melukiskan bahwa pria dan wanita itu bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaiman disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yaitu:
(187) أﺣﻞ ﻟﻜﻢ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺼﻴﺎم اﻟﺮﻓﺚ إﻟﻰ ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ هﻦ ﻟﺒﺎس ﻟﻜﻢ وأﻧﺘﻢ ﻟﺒﺎس ﻟﻬﻦ Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itulah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. Di samping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Sedangkan perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban. 3. Memelihara diri dari kerusakan Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukan melalui perkawinan. Ornag-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun
orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
(53) وﻣﺎأﺑﺮئ ﻧﻔﺴﻰ إن اﻟﻨﻔﺲ ﻷﻣﺎرة ﺑﺎﻟﺴﻮء إﻻﻣﺎرﺣﻢ رﺑﻰ إن رﺑﻰ ﻏﻔﻮر رﺣﻴﻢ Artinya: “Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan”. Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.
C. Pernikahan Menurut Hukum Positif 1.
Syarat-syarat Perkawinan
Di dalam hukum positif terdapat syarat-syarat perkawinan. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan dilangsungkan. 7 Persyaratan perkawinan berdasarkan UU perkawinan terdiri dari syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang 7
Ibid., h. 67
melangsungkan perkawinan, disebut juga sebagai “syarat subyektif”. Syarat formil adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga sebagai “syarat obyektif”. a. Syarat Materil UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Asas monogami relative (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan); 2. {ersetujuan bebas kedua belah pihak (Pasal 6 UU Perkawinan); 3. Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan); 4. Lewat masa idah (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan); Masa idah ini diatur perincian pada pasal 39 PP no. 9 Tahun 1975, yaitu: -
130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian;
-
90 hari atau 3 x khuru’, apabila perkawinan putus karena perceraian;
-
Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian dan istri dalam keadaan hamil
5. Tidak terhalang oleh larangan perkawinan.
Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua hal: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
b. Syarat Formil
Syarat formil adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak baik sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3). Pemberitahuan ini dilakukan secara tertulis atau lisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (Pasal 4). 8 2. Pendaftaran Nikah Ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan, maka hendaknya pernikahan tersebut didaftarkan terlebih dahulu. Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan harus memberitahukan kehendak nikah kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu yang mewilayahi tempat pelaksanaan aqad nikah. Pemberitahuan kehendak nikah ini
dilakukan secara tertulis oleh calon
mempelai atau oleh wali atau wakilnya paling lambat 10 hari sebelum pelaksanaan aqad nikah.Pendaftaran atau pemberitahuan kehendak nikah ini adalah salah satu prosedur agar pernikahan itu dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal ini sangat erat hubungannya dengan kemaslahatan manusia yang dalam konsep syariat Islam
8
Kamarusdiana , Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press, 2001), h. 8-9.
harus dilindungi. 9 Dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946. Pemberitahuan kehendak nikah ini dilakukan 10 dengan membawa surat-surat yang diperlukan, surat-surat tersebut adalah: a. Surat persetujuan calon mempelai b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul. (akta kelahiran atau surat kenal lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokan dengan surat-surat lainnya. Untuk keperluan administrasi, yang bersangkutan menyerahkan salinan/fotokopinya). c. Surat keterangan tentang orang tua. d. Surat keterangan untuk niakah (Model N1). e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota ABRI. f. Akta Cerai Talak/Cerai Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai jika calon mempelai seorang janda/duda.
9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, h. 49. 10 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke-1, h. 15.
g. Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri menurut contoh model N6, jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian suami/istri. h. Surat Izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2) s/d dan pasal 7 ayat (2). i. Surat dispensasi Camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja sejak pengumuman j. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya bagi mereka yang tidak mampu. 11 Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasi sudah terpenuhi atau belum. Jika belum cukup syaratsyarat yang diperlukan, maka Pegawai Pencatat Nikah harus menolaknya. Jika syaratsyarat nikah telah memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan yang berlaku, maka Pegawai Pencatat Nikah membuat pengumuman tentang pemberitahuan yang sudah dibaca oleh khalayak ramai (umum). Perkawinan baru dapat dilaksanakan 11
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, 1993), h. 5.
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut ditempelkan. Ketentuan ini dimaksud untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang menurut pendapatnya perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada halangan menurut agama dan undang-undang atau tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh peraturan perundangan yang berlaku. 12 Setelah dilaksanakannya pendaftaran nikah, penghulu mempersilahkan kepada calon pengantin yang telah memenuhi persyaratan nikah agar membayar biaya pencatatan nikah. Besarnya biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke kas negara melalui bank/pos adalah Rp. 30.000. Bagi calon pengantin yang tidak mampu membayar biaya pencatatan nikah dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan dapat dibebaskan dari biaya.
12
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), Cet. Ke-2, h. 16.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH A.
Pengertian Pernikahan Sirri a. Pernikahan Sirri Menurut Fiqih Klasik Dari segi etimologis sirri berasal dari bahasa Arab Al-sirr yang berarti
rahasia atau tidak terbuka. Dalam hukum Islam, hal ini bukan masalah yang baru, sebab dalam kitab al muwatha, Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar Ibnu Khattab r.a.:
ﺟﻞٌ وَاﻣْ َﺮَأ ٌة ُ َﻻ ر ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِا ﱠ َ ْح َﻟﻢْ َﻳﺴْ َﻬﺪ ٍ ﻞ ِﻓﻲْ ِﻧﻜَﺎ ٍﺣ َ ﻋ َﻤ َﺮ ُﺑ ِﺮ ُ ن َا ﱠ،َﻋﻦْ َا ِﺑﻲْ زَﺑَﻴْﺮ َ ٌاَﺧْ َﺒ َﺮﻧًﺎ ﻣَﺎ ﻟِﻚ ﺖ ُ ْﺟﻤ َ ﺖ ِﻓﻴْ ِﻪ ِﻟ َﺮ َ ْﺖ َﺗ َﻘ ﱠﺪﻣ َ ْﺠﻴْ ُﺰ ُﻩ َوَﻟﻮْ ُآﻨ ِ ﻻ ُﻧ َ ﺴﻴْ َﺮ َو َه َﺬ ﻧِﻜَﺎحٌ اﻟ ﱢ:ﻋ َﻤ ُﺮ ُ ل َ َﻓﻘَﺎ “Bahwasannya Umar dihadapkan kepada seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata :Inilah nikah sirri, aku tidak membolehkannya, sekiranya aku datang pasti aku rajam” (H.R. Malik bin Anas). 1 Pengertian nikah sirri dalam persepsi umar tersebut adalah apabila syarat jumlah saksi belum terpenuhi, maka nikah semacam ini menurut umar dapat
11
dipandang sebagai nikah sirri. 2 Dilihat dari keterangan nikah sirri menurut umar dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri. Mengenai saksi diantara para Imam Madzhab (Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan Syafi’i berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah. 3 Berdasarkan dalil:
ﺳ ِﻌﻴْ ٌﺪ ﺑﻦ َ ْﻋﻦ َ ﻦ ﺧﻴﻢ ِ ْﻋ ْﻴ َﻤﻨَﺎ ﺑ ِ ﻦ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْﺪِا َ ْﻋﻦ َ ﺟ ِﺮﻳْ ٍﺮ َ ْﻋﻦ َ ﺳ ِﻌ ٌﺪ َ ﻦ ﺣَﺎِﻟ ٍﺪ َو ُ َْاﺣْ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻣﺴِْﻠ ُﻢ ﺑ ﺳﻴْ ٍﺪ ِ ْﻲ ُﻣﺪ ً ل َو َوِﻟ ٍ ْﻋﺪ َ ﻻ رﺑﺴﻨﺎ ِهﺪَى ح ِا ﱠ َ ﻟَﺎﻧِﻜَﺎ:ل َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒَﺎ َ ْﻋﻦ َ ﺠﺎ ِه ٍﺬ َ ﺟﺒْ ِﺮ َو ُﻣ َ Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”. 4 Nikah sirri merupakan nikah yang masih diperdebatkan sah atau tidaknya oleh para ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat dua golongan ulama yang berpendapat. Golongan pertama yaitu Jumhur Ulama. Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka pernikahannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah
2
31.
3
Mahful M. dan Herry Muhammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet. 1, h.
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study Perbandingan dalam kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h. 153. 4 Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, al-umm, juz 5, h. 19.
berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah, Sya’bi dan Nafi apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiaknnya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dan Aisyah:
(ف ) رواهﺎﻟﺮ ذى ِ ْﻋَﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱡﺪ ُﻓﻮ َ ﺟ ِﺪوَاﺿْ ِﺮ ُﺑﻮْ ُﻩ ِ ﻋَﻠ ُﻨﻮْا هَﺬَااﻟ ﱢﻨﻜََﺎحَ وَاﺟْ َﻌُﻠﻮْ ُﻩ ﻓِﻲ ا َﻣﺴَﺎ ِ ُا Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Mesjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana”. (H.R at-Tirmidzi). 5 Senada dengan pendapat di atas, madzab Hanbali menyatakan nikah yang telah dilangsungkan menurut syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja hukumannya makruh. 6 Ulama golongan kedua adalah golongan Maliki. Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai
5 6
Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Safi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 187.
sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah dihadiri oleh para saksi. 7 Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksikannya tidak disebut secara tegas dalam al-Qur’an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu’ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah:282. Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklan wajib, maka untuk yang tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga. 8 Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiaknnya; lalu jawabannya: keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum. 9 Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia ) tidak boleh.
10
Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan
keduanya diamati untuk merahasiakan pernikahan, tentang apakah hal itu dianggap nikah sirri atau bukan. Imam abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal
7
1, h. 48.
8
Ahmad Kuzairi, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarata: Raja Grafindo Persada, 1995). Cet. Ke-
Ahmad Kuzari Op. Cit., h. 48. Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187. 10 Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), Cet. Ke-1, h. 383. 9
itu bukan nikah sirri. Tatpi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan. 11 Perbedaan pendapat ini disebabkan apakah kedudukan saksi dalam perkawinan merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan unuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran? Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan
pernikahan,
maka
mereka
menganggap
saksi
sebagai
syarat
kelengkapan. 12 b. Nikah Sirri Persepektif Hukum Positif Sejalan dengan berkembangnya zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, tetapi juga karena manusia dapat mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar itu diperlukan bukti yang abadi yaitu dalam bentuk akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah
11 12
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187. Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 79.
dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. 13 Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk. 14 Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah:
ل ِ ْﻞ ُﻣﺴَﻤًّﻰ ﻓَﺎآْ ُﺘ ُﺒﻮْ ُﻩ َوﻟْﻴَﻜﺘُﺐ ﱠﺑﻴْ َﻨ ُﻜﻢْ آَﺎﺗِﺐٌ ﺑِﺎﻟْ َﻌﺪ ٍﺟ َ ﻦ ِإﻟَﻰ َأ ٍ ْﻦ َا َﻣ ُﻨﻮْا ِإذَا َﺗﺬَاﻳَﻨﺘُﻢ ِﺑ َﺪﻳ َ َْﻳَﺄ ُﻳﻬَﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ ﷲ َرﺑﱠ ُﻪ َ ﻖا ِ ﻖ َوﻟْ َﻴ ﱠﺘ ﺤﱡ َ ْﻋَﻠﻴْ ِﻪ اﻟ َ ﻞ اﱠﻟﺬِى ِ ﷲ َﻓﻠْ َﻴﻜْ ُﺘﺐْ َوﻟْ ُﻴﻤِْﻠ ُ ﻋﱠﻠ َﻤ ُﻪ ا َ ﺐ َآﻤَﺎ َ ب آَﺎﺗِﺐٌ َأنْ َﻳﻜْ ُﺘ َ ْﻻ ِﻳﺄ َ َو 13
Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No 1 1974 sampai KHI), ( Jakarta: Kncana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-3, h. 121-122. 14 Arso sastroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 55-56.
Artinya: “Hai orang-rang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakannya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Al-Baqarah: 2/282). Para pemikir Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih:
درءاﻟﻤﻔﺎ ﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ “Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”. 15 Pemerintah Indonesia melihat bahwa pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntuatan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.16 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-
15
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persefektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004), Cet. Ke-1, h. 148. 16 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Garfika, 2006), Cet. Ke-1, h. 29-30.
undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percecokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan daripada perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 17 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 juga disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadddah dan rahmah. Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah maka perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 18
Tentang Pencatatan Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjeaskan dalam pasal
(5) yaitu: 1.
Agar terjamin ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
17
24.
18
Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta : Redaksi Sinar Grafika, 2000), Cet. Ke-4, h.
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998, /1999), h. 14.
2. Pencatatn perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatatan nikah sebagiman diatur dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun 1954. 19 Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila telah memenuhi dua syarat berikut: 1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UUP No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaitu pernikahan telah dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. 2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan tersebut telah dicatatkan oleh Pegawi Pencatat nikah (PPN) yang berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah. Nikah sirri merupakan nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at Islam dan dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari PPN sehingga tidak tercatatkan. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan sirri hanya 19
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di indonesia, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 109.
baru memperoleh legalitas dari hukum Islam, karena hanya syarat materiilnya saja yang terpenuhi, sedangkan syarat formilnya belum terpenuhi sehingga selamanya dianggap oleh negara tidak pernah terjadi sebuah pernikahan. Atau dengan kata lain pernikahan tersebut tidak diakui dan tidak mendapatkan legalitas dari Negara. Dilihat dari teori hukum dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. 20 Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum yakni yang adanya hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan demikian esistensi pernikahan secara yuridis formil diakui.
20
Soedjono Dirojsworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja grafindo Persada. 1994), Cet. Ke-4, h. 126.
Namun demikian aturan tentang pencatatan tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa keluarga misalnya tidak melakukan pencatatan terhadap perkawinan mereka. Dan ini dipicu oleh beberapa kondisi lahir. Adapun faktor-faktor penyebab mereka melakukan perkawinan secara diam-diam (sirri) tersebut antara lain: 1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah/Negara; 2. Tidak ada izin istri atau istrinya dan Peradilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang; 3. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon istri/suami, sehinga dikhawatirkan terjadi hal-hal negativ yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama; 4. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan factor-faktor di atas, diharapkan kepada masyarakat agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek fiqih saja, tetapi perlu juga dipikirkan aspek-aspek keperdataannya secara seimbang. Perlu diingat bahwa pencatatan ini merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. Kalau perkawinan sudah dicatat, maka Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan kutipan akta nikah yang merupakan bukti jaminan hukum apabila salah seorang dari mereka menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 21 B. Dampak Daripada Pernikahan Sirri Pernikahan sirri merupakan pernikahana yang tidak memenuhi syarat administrasi yang telah diatur oleh Negara, karena pernikahan sirri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga dari pernikahan sirri ini menimbulkan dampak negative. Dampak daripada pernikahan sirri secara hukum kenegaraan adalah tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang ditimbulkan oleh pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap istri sah dan tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Disamping itu juga tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan/perceraian. Begitu pula tidak adanya pengakuan hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami istri yang menikah dibawah tangan, status anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan
21
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Ke-2, h. 48-49.
dibawah tangan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari pihak ibu. Artinya anak itu tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Sedangkan dampak secara sosial dari pasangan suami istri yang melakukan pernikah dibawah tangan cenderung lebih sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai istri simpanan atau istri tidak sah secara hukum.Tidak dapat dijadikan alasan untk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan. C. Lembaga Itsbat Nikah 1. Pengertian itsbat nikah Seperti telah disinggung sebelumnya dalam Kompilsai Hukum Islam pasal 7 yang berbunyi bahwa dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat Nikah merupakan gabungan dari dua kalimat yakni Itsbat dan Nikah. Itsbat merupakan masdar dari kata اﺛﺒﺖ ـ ﻳﺜﺒﺖ ـ اﺛﺎﻧﺎyang mempunyai makna penetapan atau pembuktian. 22 Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
22
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. 14, h. 145.
dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 23 Sedangkan definisi nikah yang diberikan oleh para ulama fikih yaitu, aqad yang membolehkan tejadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wati’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau persusuan. 24 Dari dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa Itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan yang dilakukan karena alasan-alasan tertentu. Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 berbunyi: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. 25 2. Aturan itsbat nikah Aturan mengenai itsbat nikah ini dijelaskan dalam Undang-undang N0. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 yang menggantikan segala landasan hukum Pengadilan Agama sebenarnya, memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan tetapi tidak berarti hilang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 49 ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah halhal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang 23
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 187. 24 Wahbah al-Zuhaily , al-Fiqh al-islami wa adillatuhu, Juz VII, (Damsiq: Dar al-Fikr, 1989), h. 29. 25 Abdul Ghani Abdullah, op.cit., h. 99.
berlaku, sedangkan dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain. Jadi Lembaga Itsbat nikah/pengesahan nikah yang ditampung dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Undang-undang No. 7 tahun 1989, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 tahun 1974. Sedangkan itsbat nikah/pengesahan nikah yang karena alasan-alasan lain tidak dimuat dan tidak ada pula penjelasan tentang ketidak bolehannya. Kelemahan dalam Undang-undang ini kemudian dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama. Dan pada ayat (3) berbunyi: Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan; a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang N0. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974; Kemudian didalam ayat (4) disebutkan bahwa, yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah Suami, Istri, Anak-anak mereka, Wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Artinya bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Setelah dikabulkan permohonan itsbat nikah maka secara otomatis yang berkepentingan akan mendapatkan bukti otentik tentang pernikahan mereka yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama yaitu akta nikah. Itsbat nikah ini berfungsi sebagai kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif.
BAB IV PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH : HASIL PENELITIAN A. Gambaran Perkara Itsbat Nikah 1. Duduk Perkara Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS Pada tanggal 25 Mei 2003 telah dilaksanakan pernikahan antara A umur 35 tahun, warga Negara Indonesia, beragama Islam yang bertempat tinggal di jalan Batu Merah 1 / 43, TT. 005 / 02, Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta selatan dengan B umur 46 tahun, agama Islam, Warga Negara Denmark dengan wali Ayah kandung Pemohon bernama H. Abdullah Azhari, dengan maskawin seperangkat alat shalat dan disaksikan oleh beberapa orang saksi dan keluarga Pemohon. Namun hingga saat ini perkawinan tersebut belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama sebagaimana mestinya. Sebelumnya pemohon telah menikah dengan Almarhum C, tetapi telah putus karena perceraian dengan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor. 634/ Pdt.G/94/PA.JS tanggal 8 Nopember 1994. Setelah bercerai dengan C pemohon juga telah menikah secara Islam dengan D warga negara Finlandia, perkawinan tersebut juga tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Selama perkawinan Pemohon dengan D telah mengalami talak, sedang talak ketiga terjadi di kota Paris, pada bulan Agustus 1999 dengan disaksikan oleh ayah Pemohon almarhum H. Abdullah Azhari. Dari perkawinannya dengan B, A telah dikarunia anak perempuan bernama Isabel Mike Tramp yang sekarang telah berumur 1,5 tahun.
51
Karena keinginan Pemohon dengan suami Pemohon untuk menjadikan perkawinan tersebut sah menurut hukum Indonesia dan demi melindungi kepentingan hukum anak Pemohon, maka Pemohon bermaksud mensahkan dan mencatatkan perkawinan Pemohon menurut prosedur hukum yang berlaku. Untuk melakukan pengesahan dan mencatatkan perkawinan, maka suami Pemohon telah melakukan pengurusan ke kedutaan Denmark, dimana menurut peraturan Negara Denmark setiap warganya dilarang apabila mempunyai hubungan perkawinan dengan pihak lain, untuk menikah lagi tanpa seijin negaranya. Demi kepentingan sahnya status perkawinan pemohon dan menjadi sahnya anak yang bernama Isabel Mike Tramp pemohon mengajukan permohonan penetapan pernikahan kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan atau Majelis Hakim yang menangani perkara ini dan memohon pada pihak hakim untuk menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon, menetapkan dan menyatakan sah perkawinan Pemohon dengan suami Pemohon dan memerintahkan Kantoe Urusan Agama Kecamatan Pasar Minggu untuk mencatat perkawinan tersebut. Pada hari-hari persidangan perkara ini Pemohon hadir sendiri dan didampingi oleh kuasanya yaitu Secarpiandy, SH telah menghadap di persidangan, dan telah menyampaikan keterangan dan penjelasan atas permohonannya, menyampaikan surat-surat bukti serta mengajukan saksi-saksi. Surat-surat bukti yang diajukan Pemohon adalah sebagai berikut:
52
1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama A dengan Nomor: 09.5304.591171.7008; 2. Foto copy Akta Cerai atas nama pemohon dengan Nomor: 700 / AC / 1994 / PA.JS, tertanggal 8 Desember 1994; 3. Foto copy Surat Keterangan tentang Keabsahan untuk menikah atas nama B, tertanggal 10 januari 2007 yang dikelaurkan oleh kedutaan Denmark; Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, maka Pemohon telah menghadirkan saksi-saksi, saksi pertama bernama Muhammad Hadi, umur 49 tahun, beraagama Islam, bertempat tinggal di jalan Salam Nomor : 2-B, Rt.007/006 Kelurahan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, saksi pertama memberikan keterangan dengan di bawah sumpah yang pokok penjelasannya bahwa saksi kenal dengan Pemohon karena saksi adalah tetangga Pemohon pada saat Pemohon tinggal di pasar Minggu. Saksi menyebutkan bahwa Pemohon menikah dengan B beragama Islam, dan saksilah yang bertindak menuntunnya untuk menjadi seorang Islam sekitar setengah jam sebelum akad nikah berlangsung. Adapun yang bertindak sebagai Wali dan sekaligus menikahkan Pemohon dengan B adalah ayah kandung Pemohon yang bernama H. Abdullah azhari. Saksi kedua berinisial F, umur 41 tahu, beragama Islam, bertempat tinggal di jalan Pejaten Timur, Rt. 004/001, Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saksi kedua ini memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya bahwa saksi adalah
53
kakak sepupu Pemohon. Ia juga meyakinkan hakim bahwa Pemohon benar telah menikah dengan B pada hari Minggu tanggal 5 Mei 2003, sekitar jam 11 siang bertempat di Apartemen Simpruk, Jakarta Selatan. Pada saat itu status Pemohon adalah janda cerai, sedangkan status B saksi tidak mengetahuinya. Saksi juga mengetahui ijab kabul yang diucapkan pada saat itu. Ia juga telah menjadi saksi pada saat Pemohon menikah dengan B, dan saat itu hadir pula ibu Pemohon, Sarah, Rahma dan Ustad Muhammad Hadi. Mengenai status pernikahan Pemohon sebelumnya dengan
laki-laki
Finlandia yang juga tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat nikah yang berwenang, maka pemohon telah menyatakan bahwa telah terjadi talak yang ketiga antara Pemohon dengan laki-laki Finlandia yang disaksikan oleh ayah kandung Pemohon. Karena ayah kandung Pemohon sudah meninggal dunia saat ini, maka untuk membuktikan terjadinya peristiwa Talak tersebut, maka Majelis Hakim menjatuhkan putusan Sela dengan memerintahkan kepada Pemohon untuk bersumpah di hadapan sidang. 2. Duduk Perkara Nomor 10/Pdt.P/2007/PA.JS Telah dilangsungkan pernikahan secara agama Islam antara Falal Udin bin Nur Hasanah sebagai Pemohon 1 umur 25 tahun tempat tinggal Jalan Rasamala IX Nomor 100 B Rt. 006/013 Kel. Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dengan Marzuko binti Abdurrahman sebagai Pemohon II wali ayah kandung
54
Pemohon II yang bernama Abdul Rahman, denagn mahar uang senilai Rp. 10.000 tunai, dan dihadiri oleh orang-orang yang telah dewasa antara lain Zainul Sutrisno dan M Nuh. Pada waktu akad nikah dilangsungkan Pemohon I berstatus jejaka dan Pemohon II berstatus gadis. Dari pernikahannya itu telah dikarunia dua orang anak yang bernama Fandini umur 6 tahun dan Muhammad Deni umur 4 tahun. Sejak pernikahan dilangsungkan antara Pemohon I dan Pemohon II hingga saat ini belum pernah mendapatkan surat nikah dari Kantor Urusan Agama. Untuk itu mereka mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk disahkan pernikahan mereka. Adapun alasan Pemohon tersebut adalah kepentingan untuk membuat akta kelahiran anak. Berdasarkan uraian di atas, maka pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk menetapkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon.
2.
Menyatakan sah perkawinan pemohon I dengan Pemohon II yang dilaksanakan pada tanggal 10 Pebruari 2000.
3.
Membebaskan biaya perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Untuk menguatkan permohonannya pemohon telah mengajukan bukti-bukti
surat seperti Photo copy Kartu Tanda Penduduk Pemohon I, Photo copy Kartu Tanda Penduduk Pemohon II, asli surat keterangan Nomor 0180/1.842.0/08 yang
55
dikeluarkan Kantor Kelurahan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, Photo copy Kartu Keluarga nomor 4104.054779 yang dikeluarkan Kelurahan Menteng Dalam, Tebet Jakarta Selatan. Pemohon I dan Pemohon II tidak mengajukan saksi-saksi tetapi untuk meneguhkan permohonannya pemohon I dan pemohon II mengucapkan sumpah di hadapan persidangan, dan dalam sumpah itu mereka mengatakan bahwa mereka telah menikah dengan maskawin berupa uang sebesar Rp. 10.000 tunai dengan wali ayah kandung dari Pemohon II yang bernama Abdullah Rahman dengan disaksikan oleh Bapak Zainul Sutrisno dan M. Nuh. B. Isi Putusan Setelah pemeriksaan perkara selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang benarbenar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan baik peraturan hukum yang tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum yang tidak tertulis atau hukum adat. Para hakim menyadari bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara perdata. Setiap putusan
56
pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis yang harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang. 1 Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak dan berdasarkan dalam perkara permohonan perkawinan (itsbat nikah) perkara Nomor 10 / Pdt.P/ 2007/ PA.JS. Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengeluarkan amar penetapan dengan menyatakan bahwa perkawinan pemohon adalah sah dan memerintahkan kepada Pemohon untuk segera melaporkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan guna dicatat dalam buku Akta Nikah, dan membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 215.000,- (dua ratus lima belas ribu rupiah). Penetapan ini dijatuhkan dalam Musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada hari selasa, tanggal 20 Februari 2007 M, yang bertepatan dengan tanggal 2 Shaffar 1428 H, oleh kami Drs. A. Choiri, SH, MH., selaku Ketua Majelis, Muhaimin AM, SH., dan Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman SH, MH., sebagai Panitera Pengganti yang pada hari itu diucapkan pada sidang yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Pemohon dan kuasa hukumnya Sama halnya dengan perkara sebelumnya, pada perkara dengan 404/Pdt.P/2008/PAJS, 1
majelis
hakim
Pengadilan
Agama
Jakarta
Selatan
Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta:PT Rinea Cipta, 2004, h.
124-126.
57
No
mengeluarkan amar penetapan dengan menyatakan sah perkawinan pemohon. Pada perkara tersebut hakim juga memerintahkan kepada pemohon untuk segera melaporkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatata Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan guna dicatat dalam buku Akta Nikah, dan membebenkan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 306.000 (tiga ratus enam ribu rupiah). C. Analisis Terhadap Putusan 1.
Prosedur perkara Hasil wawancara penulis dengan seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yang bernama Bapak Drs Agus Yunih SH, MH yang mempunyai jabatan sebagai pembina, tentang cara-cara pengajuan itsbat nikah adalah pemohon datang ke Kantor Peradilan Agama di wilayah tempat tinggal dengan membawa surat-surat yang diperlukan misalnya surat keterangan dari Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW), Lurah/Kepala Desa setempat atau surat keterangan kehilangan akta nikah dari kepolisian bila akta nikah hilang. Kemudian mengajukan permohonan baik secara tertulis yang memuat identitas pemohon, alasan-alasan pengajuan itsbat nikah maupun secara lisan. Yang terakhir adalah membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan Pradeo (pembebasan biaya).
58
Dari penjelasan di atas tentang prosedur perkara yang harus dipenuhi ketika seseorang akan melaksanakan itsbat nikah maka dua perkara yang penulis analisis sudah memenuhi prosedur yang semestinya. Akan tetapi dua perkara ini mempunyai perbedaan dari latar belakang sosialnya dari mulai masuknya perkara sampai selesai prosedur memerlukan waktu yang sama yaitu dua minggu lebih, untuk perkara No. 10/Pdt.P/2007/PA.JS pemohon mengajukan permohonannya pada tanggal 30 Januari 2007 dan penetapannya dijatuhkan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 20 Februari 2007. Sedangkan untuk perkara No 040/Pdt.P/2008/PAJS pemohon mengajukan permohonannya pada tanggal 10 Maret 2008 dan penetapannya dijatuhkan pada tanggal 3 April 2008. Dan dari segi prosedur pendaftarannya dua perkara ini sama-sama mengikuti prosedur yang seharusnya mulai dari pendaftaran perkara sampai hakim menetapkan perkaranya. Dengan demikian, jelas bahwa status sosial tidak dapat mengubah kedudukan seseorang dimata hukum, dan tidak ada sebuah diskriminasi yang nyata dalam penyelesaiannya. 2. Pertimbangan hakim Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai perkara No. 10/Pdt.P/2007/PA.JS dan perkara No. 040/Pdt.P/2008/PAJS bersifat voluntair karena tidak ada pihak yang keberatan. Pada dasarnya perkawinan yang dilakukan oleh pemohon I dan pemohon II pada kasus pertama adalah sah menurut hukum Islam. Namun perkawinan tersebut tidak dapat diakui oleh negara dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga tidak
59
menimbulkan efek hukum, yang mana dalam pernikahan tersebut secara yuridis dan administratif tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Dengan demikian untuk memperoleh status perkawinan secara legal pemohon I dan Pemohon II mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan dengan aturan, setelah di mohonkan akibatnya pekawinan pemohon 1 dan pemohon II dapat dikatakan sah menurut hukum Islam karena sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang mana syarat dan rukun perkawinan sebelumnya sudah dijelaskan di bab sebelumnya. Tetapi secara sosiologis, istilah kawin bawah tangan diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan ayat 2 pasal 2. Dengan demikian bahwa perbedaan rukun dan syarat baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum positif dalam hal pencatatan secara administrasi. Perlu dikemukakan bahwa itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang disebutkan dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: 1.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah,
2.
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama,
60
3.
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. Hilangnya akta nikah c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.Tahun 1974 e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anakanak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan 2 Dalam pasal 7 point 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan salah satunya apabila perkawinan itu dilaksanakan sebelum tahun 1974. Sedangkan dalam kedua perkara ini perkawinan mereka dilaksanakan setelah tahun 1974 yaitu tahun 2003. Maka menurut penulis jika meyakini peranan konsistensi terhadap aturan itu dapat dikatakan bahwa putusan hakim itu kurang tepat karena bertentangan dengan pasal 7 point 3 Kompilasi Hukum Islam. Apabila kita melihat fenomena sekarang banyak orang yang melakukan 2
Kompilasi Hukum Islam.
61
pernikahan di bawah tangan. Ketika hakim selalu mengabulkan permohonan itsbat nikah dari pernikahan sirri maka akan banyak orang yang tidak mencatatkan perkawinannya karena kelak ketika dibutuhkan akta nikah dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama pasti akan mengabulkan permohonan itsbat nikah. Adanya fenomena seperti ini maka akan berakibat fatal pada kewibawaan hukum khususnya hukum pencatatan perkawinan. Maka majelis hakim bisa dinilai tidak konsisten dalam menerapkan Undang-undang perkawinan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam adalah hukum materil daripada hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Tujuan
dari
diitsbatkannya
dua
perkara
itu
yaitu
perkara
No
10/Pdt.P/2007/PA.JS untuk mensyahkan pernikahannya agar mempunyai kekuatan hukum dan demi melindungi kepentingan hukum anak. Adapun tujuan dari perkara Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS adalah untuk mensahkannya pernikahannya agar mempunyai kekuatan hukum dengan kepentingannya adalah untuk membuat akta kelahiran anak. Karena Tidak sahnya perkawinan dibawah tangan menurut hukum Negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, sesuai dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 42 yaitu “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, pasal 42 ayat 1 dan 2
62
adalah: “(1) anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya. Dan (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas akan diatur dalam peraturan pemerintah.” Dua
perkara
yang
penulis
analisis
ini
yaitu
perkara
No
10/Pdt.P/2007/PA.JS. dan perkara No 404/Pdt.P/2008/PAJS menjelaskan pernikahan yang tidak dicatat, akan tetapi yang satu dari hasil perkara itu yaitu perkara No 10/Pdt.P/2007/PA.JS adalah perkara pernikahan campuran yaitu antara warga negara Indonesia dengan warga negara Denmark. Namun suami pemohon telah melakukan pengurusan ke kedutaan Denmark, dimana menurut peraturan Negara Denmark setiap warganya dilarang apabila mempunyai hubungan perkawinan dengan pihak lain, untuk menikah lagi tanpa seijin negaranya dan harus berdaskan peraturan negara Indonesia. Hal ini dijelaskan dalam pasal 59 (2) bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Dalam undang-undang ini pasal 2 (2) menyatakan
bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Sedangkan perkara No 040/Pdt.P/2008/PAJS adalah perkara yang perkawinannya bukan perkawinan campuran
yaitu
perkawinan
sama-sama
warga
Negara
Indonesia.
Pengadilan Agama adalah suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara perdata. Diantara perkara perdata yang sering masuk ke Peradilan khususnya Peradilan Agama Jakarta Selatan adalah perkara itsbat nikah. Banyak alasan yang diajukan oleh pasangan-pasangan yang pernikahannya belum dicatatkan untuk meminta itsbat
63
nikah. Diantara alasan-alasan yang sering diajukan untuk meminta itsbat nikah di Peradilan Agama Jakarta Selatan, adalah: a.
Untuk bercerai,
b.
Membuat akta kelahiran anak,
c.
Membuat akta nikah baru, karena yang lama hilang,
d.
Mengurus pensiunan dan TASPEN,
e.
Mendapatkan penetapan ahli waris,
f.
Mendapatkan santunan bagi suami atau istri karena salah satunya mendapat kecelakaan, Akan tetapi dari tahun ke tahun yang yang paling banyak dijadikan alasan
untuk itsbat nikah adalah perceraian. Menurut data dari buku laporan perkara tahunan Peradilan Agama Jakarta Selatan bahwa tahun 2007 perkara itsbat nikah yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan berjumlah 31. Sedangkan pada tahun 2008 yang perkara itsbat nikah berjumlah 56 perkara. Hasil wawancara penulis dengan seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang cara-cara pengajuan itsbat nikah adalah pemohon datang ke Kantor Peradilan Agama
di wilayah tempat tinggal dengan membawa surat-surat yang
diperlukan misalnya surat keterangan dari Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW), Lurah/Kepala Desa setempat atau surat keterangan kehilangan akta nikah dari 64
kepolisian bila akta nikah hilang. Kemudian mengajukan permohonan baik secara tertulis yang memuat identitas pemohon, alasan-alasan pengajuan itsbat nikah mupun secara lisan. Yang terakhir adalah membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan Pradeo (pembebasan biaya). D. Stasus Nikah Sirri setelah dilaksanakannya itsbat nikah Dalam pembahasan Bab III sudah dijelaskan bahwa nikah sirri pada zaman sekarang adalah nikah yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang mana pencatatan nikah ini bertujuan yaitu adanya jaminan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap para istri agar terlindung dari sikap suami yang berlaku sewenang-wenang. Apabila suami berlaku sewenang-wenang terhadap istrinya, maka istri dapat mengadukan suami ke pengadilan. Lalu bagaimana status nikah sirri apabila sudah diitsbatkan?. Ketika nikah sirri itu sudah diitsbatkan berarti status nikah itu sudah diakui oleh Negara dan mempunyai kekuatan hukum, karena sudah jelas dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan agama. Maka apabila nikah sirri itu sudah diitsbatkan status nikahnya adalah sah. Sehingga apabila ada permasalahanpermasalah perdata dalam rumah tangga maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Dan status anaknya pun adalah anak sah sesuai dengan UU No. I tahun 1974 tentang
65
Perkawinan pasal 42 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sehingga anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya tidak hanya dengan ibunya dan anak tersebut mempunyai hak anak yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara (pasal 1 ayat 12 Undang-undang tentang Perlindungan Anak UUPA No. 23 Tahun 2002).
66
67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian yang berjudul “Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 10/Pdt.P/2007/PA.JS dengan Nomor 040/Pdt.P/2008/PAJS)”,
maka ada
beberapa kesimpulan yang bisa ditarik, yakni sebagai berikut: 1. Prosedur yang harus dilakukan apabila seseorang akan mengajukan itsbat nikah adalah pemohon membawa surat keterangan dari RT, RW, dan Kepala Desa setempat. Kemudian mengajukan permohonan secara tertulis yang memuat identitas pemohon, alasan-alasan pengajuan itsbat nikah maupun secara lisan. Kemudian membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu dapat mengajukan Pradeo (pembebasan biaya). 2. Prosedur yang diberikan oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan penetapan itsbat nikah khususnya dalam dua perkara ini diantaranya bahwa dalam pernikahan tersebut telah terpenuhi syarat-syarat rukun nikah. Dengan demikian, hakim memandang bahwa pernikahan tersebut dapat dinyatakan sah menurut hukum Islam. Namun, kedua perkara juga menunjukan bahwa para hakim sering menekankan unsure kemaslahatan dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah. 69
3. Di antara alasan-alasan yang dapat diajukan oleh orang yang akan melakukan itsbat nikah yakni untuk melakukan perceraia, untuk membuat akta nikah, membuat akta nikah baru, karena akta nikah yang lama hilang, untuk mengurus pensiunan dan TASPEN dan untuk menetapkan ahli waris. Akan tetapi alasan pengajuan itsbat nikah yang sering masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah untuk perceraian. 4. Setelah dilaksanakannya itsbat nikah maka status nikah tersebut sudah diakui oleh negara dan secara otomatis pernikahan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum, karena sudah jelas pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama, sehingga apabila ada permasalahan-permasalahan perdata dapat diajukan ke Pengadilan Agama. B. Saran Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka penulis menyarankan agar: 1. Pihak-pihak yang terkait untuk lebih luas mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnnya pencatatan perkawinan. Dan bagi pihak KUA (Kantor Urusan Agama) haruslah menjalin hubungan pembantu KUA dan tokoh masyarakat, agar tidak terjadi perkawinan tanpa sepengetahuan KUA.
70
2. Alim Ulama atau tokoh masyarakat tidak menikahkan seseorang tanpa melalui prosedur pencatatan perkawinan, untuk menjadikan perkawinan sebuah perkara yang sah baik menurut agama dan secara hukum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
71
DAFTAR PUSTAKA Abbas Ahmad Sudirman. Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persefektif Fiqih. Cet. 1. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004. Abdullah Abdul Ghani. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. Jakarta: Intermasa, 1991. Aini Noryamin. Kompilasi Karya Ilmiyah, 2008. Ali Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al Zuhaili Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu. Damaskus: Dar al-fikr, 1989. Daly Peunoh. Hukum Perkawinan Islam (suatu study perbandingan dalam kalangan Ahlus-sunnah dan Negara-negara Isla. Cet. 2. Jakarta: PT Bulan Bintang, 19894. Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Departemen Agama,. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta Kompilasi Hukum Islam. Jakarta, 2004. Dirojsworo Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Ghazaly Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003. Kamarusdiana. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Press, 2001. Kuzairi Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Makarao Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT Rinea Cipta, 2004. Manan Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Marzuki Kamaluddin A (Penterjemah). Fiqih Sunnah. Cet. 1. Bandung: PT Alma’arif, 1987. Marzuki Peter Mahmud. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Pranada Media, 2005.
72
Mas’ud Ibnu. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia, 2007. M. Mahmud. Fenomena Nikah sirri. Cet. 1. Jakarta: IKAPI, 1996. Moleong, lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Posdakarya, 2004. Munawir Ahmad Warson. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Nuruddin Amir. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004. Rofik Ahmad. Hukum Islam di Indonesi. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Rusyd Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Sastroatmodjo Arso. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Sunggono Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Syaharani. Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni tth, 2004. Yanggo Huzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
73
74
WAWANCARA Hasil wawancara penulis dengan salah satu hakim pengadilan agama Jakarta Selatan yaitu Bpk Agus, SH, MH pada tanggal 27 april 2010 adalah sebagai berikut T
: Bagaimana pendapat bapak tentang nikah sirri?
J
: Menurut saya pernikahan yang disebut pernikahan sirri pada zaman sekarang adalah suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Maka pernikahan semacam itu tidak memenuhi syarat administrasi yang telah ditentukan oleh aturan Negara Indonesia.
T
: Alasan apa yang sering dikemukakan oleh pemohon untuk melakukan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
J
: Alasan yang sering dijadikan pemohon untuk melakukan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah untuk perceraian, TASPEN, membuat akta kelahiran anak, membuat akta kelahiran baru, karena yang lama hilang. Akan tetapi yang paling sering dijadikan alasan oleh pemohon untuk melakukan itsbat nikah adalah untuk bercerai.
T
: Pertimbangan apa saja yang dikeluarkan oleh hakim sehingga perkara itsbat nikah pernikhana sirri itu dapat diputuskan atau ditetapkan?
J
: Diantara salah satu pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara ini adalah demi kemaslahatan karena sebetulnya pernikahan sirri pada zaman sekarang itu adalah pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA, akan tetapi pernikahan sirri itu secara hukum Islam sudah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Apabila
itsbat pernikhana sirri itu tidak diputuskan banyak
dampak negative yang diperoleh oleh pemohon salah satunya akibatnya adalah anak pemohon tidak akan mendapat akata kelahiran sehingga anak tersebut tidak bisa sekolah. T
:Bagaimana menurut bapak status pernikahan sirri setelah diitsbatkan/
J
: Apabila pengadilan sudah menyatakan dan menetapkan bahwa pernikahan si A yang tidak dicatatkan itu sah, maka akibat hukumnya sama dengan perkawinan yang sah, ada hak-hak perdata yang dapat diperoleh setelah pernikahan sirri itu diitsbatkan seperti mendapat pelayanan dari lembaga public misalnya untuk mengurus Akta Kelahiran dan bisa dijadikan untuk alat bukti dipengadilan apabila pernikahan itu ada masalah.
T
: Bagaimana menurut bapak prosedur untuk melakukan itsbat nikah?
J
: Prosedur yang harus dilakukan oleh seseorang ketika akan melaksanakan itsbat nikah tentunya yang paling utama adalah datang terlebih dahulu ke Pengadilan Agama setempat dengan membawa surat-surat keterangan contohnya surat keterangan dari RT / RW atau surat keterangan kehilangan
Akta nikah dari kepolisian apabila Akta nikahnya hilang, disamping itu juga pemohon dapat mengajukan permohonannya baik secara lisan atau secara tulisan, kemudian pemohon membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan pradeo (pembebasan biaya).
Jakarta, 27 April 2010
Bpk Agus, SH, MH