Nikah Sirri, di Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
NIKAH SIRRI, NIKAH BAWAH TANGAN, DAN STATUS ANAKNYA Darmawati Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda Abstract The status of unregistered marriage child, according to Islamic law, is legal, so he has biologically related to his father. However, according to cilvil law, the child is not legal as the marriage does not registered and is against marriage law chapter 2 article 1 anda2. As Islamic law states: ”Al-khuruj minal khilaf mustahab”, that is the avoidance of different views should be applied (mustahab), so the Indonesian Muslims should be based on marriage regulation and apply it consistently. Kata Kunci : Nikah
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
35
Nikah Sirri, Nikah Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
PENDAHULUAN
A
khir-akhir ini, fenomena nikah sirri ramai diperbincangkan oleh masyarakat dalam berbagai stratifikasi sosial, bahkan turut menghiasi perdebatan di media massa. Hal ini mencuat kepermukaan lantaran pemerintah beberapa waktu yang lalu akan mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan sebagai revisi atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dipandang kurang akomodatif terhadap persoalan kekinian di Indonesia. Tulisan ini akan membahas tentang tinjauan hukum Islam dan hukum positif tentang nikah sirri, nikah di bawah tangan dan status hukumnya. Sebelum membahasnya, terlebih dahulu perlu diidentifikasi apa yang di maksud dengan ”nikah sirri” dan ”nikah di bawah tangan” sebagai pokok bahasan. Sebagian masyarakat ada yang menyamakan kedua istilah tersebut. Pembahasan mengenai akibat hukum dari nikah sirri/nikah di bawah tangan ini difokuskan pada status nikahnya dan status anak yang lahir dari perkawinan saja. PEMBAHASAN 1. Pengertian Dan Status Nikah Sirri Lafadz ”sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab, yang artinya ”rahasia”. Jadi nikah sirri, artinya nikah rahasia (secret marriage). Menurut terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri, ialah : ”Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.” 1 Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi juga tidak membolehkan nikah sirri. Menurut mazhab Hanbali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja, hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, khalifah Umar bin Al Khathab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman had. 2 Demikianlah pengertian nikah sirri menurut terminologi fiqh dan status hukumnya menurut pendapat Khalifah Umar bin Al Khathab dan ketiga mazhab yang tersebut diatas. Menurut para ulama, bahwa nikah sirri menurut terminologi tersebut diatas adalah tidak sah. Sebab nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah dan su’udz-zhan, juga bertentangan dengan hadis-hadis Nabi SAW, antara lain :
1Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, vol. V11, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989. h. 71. 2Ibid
36
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
Nikah Sirri, di Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
a. ”Aw lim walau bi sya tin.” yang artinya “adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing.” (hadis riwayat al Bukhari dan Muslim dll dari Anas RA). 3 b. ”A’linuu hadza an nikah waj’aluu hu fi almasjidi wadhribu ’alaihi bi addufuufi.” yang artinya ”umumkanlah nikah ini, dan laksanakanlah di masjid, serta ramaikanlah dengan menabuh terbang.” (Hadis riwayat al-Tirmidzi dari Aisyah).4 Menurut hukum positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab tersebut diatas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syari’at Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di kalangan masyarakat, ada tiga tipe pengertian dan praktek nikah sirri, yakni : Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam (telah memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi masih bersifat intern keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), dan belum diadakan upacara menurut Islam dan adat (walimatul urusy/resepsi perkawinan dengan segala bunga rampainya). Pada tipe pertama ini, suami isteri belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena si isteri masih anak-anak, belum dewasa. Biasanya si suami sementara menunggu kedewasaan si isteri, ia belajar di pondok pesantren atau tinggal bersama mertua untuk membantu pekerjaan mertua. Motif nikahnya adalah untuk ketenangan, persiapan, dan kehalalan, bahkan mungkin juga sebagai ”kebanggaan” orang tua si gadis kecil. Kedua, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at Islam dan juga sudah dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan telah pula diberikan salinan akta nikah kepada kedua mempelai, karena calon suami isteri sudah memenuhi syarat-syarat sahnya nikah menurut hukum positif, termasuk telah mencapai minimal usia kawin (vide pasal 7 UU Perkawinan). Namun, nikahnya dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang sangat terbatas, belum diadakan resepsi perkawinan. Pada tipe kedua ini, kedua insan yang berlainan jenis kelaminnya itu belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri, karena mungkin salah satu atau keduanya masih sedang menyelesaikan studinya atau training kepegawaian atau perusahaan, atau belum mendapat pekerjaan tetap sekalipun sudah sarjana. Motif nikahnya itu terutama untuk mendapatkan ketenangan, persiapan dan kehalalan. Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam, karena terbentur pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP Nomor 10 tahun 1983 itu. Pada tipe ketiga ini, calon suami mengawini calon isteri secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami isteri untuk menghindari hukuman disiplin berupa 3AL-Suyuti,
Al-Jami’al-Shaghir, vol. 1, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Cairo,
1954, h. 11. 4Ibid.
h. 47 Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
37
Nikah Sirri, Nikah Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, sebagai pegawai negeri sipil (vide PP N0. 10/1983 pasal 4 ayat (1) dan pasal 13). Motif nikahnya itu terutama untuk pemenuhan biologis yang halal (terhindar dari perbuatan zina menurut hukum Islam). Nikah ini tanpa persetujuan isteri yang terdahulu, atasannya, dan Pejabat yang berwenang serta tanpa izin Pengadilan Agama. Menurut Masyfuk Zuhdi, bahwa nikah tipe yang pertama di atas sebenarnya bukanlah nikah sirri, karena tidak ada unsur ”sirri”. Yang terjadi adalah kawin anak-anak (child mariage), yang menurut fiqh sunni tidak dilarang atau sah hukumnya.5 Berdasarkan sunnah Nabi SAW yang mengawini Aisyah RA yang belum baligh ; sedangkan menurut Ibnu Syubrumah al-Dhahiri, nikah anak-anak tidak boleh dan tidak sah karena banyak mudharatnya.6 Dan berhubung keadaan masyarakat kini telah jauh berubah ketimbang masyarakat di zaman Rasulullah sebagai akibat kemajuan IPTEK, dan data statistik menunjukkan bahwa kawin anak-anak banyak membawa broken home, maka negara-negara Islam termasuk Indonesia melarang kawin anak-anak, dan menetapkan batas minimal usia kawin (karena alasan maslahah mursalah). Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan minimal usia kawin untuk pria 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16 (enam belas) tahun. Tetapi Pengadilan bisa diminta memberi dispensasi, jika ada alasan yang cukup kuat. Nikah tipe kedua, tampaknya juga tidak tepat disebut nikah sirri, karena tidak ada unsur ”sirri” dan motif nikahnya baik. Maka sah nikahnya menurut hukum Islam dan juga menurut hukum positif, karena nikahnya telah dilangsungkan menurut syari’at Islam dan juga sudah dicatat oleh PPN, sekalipun belum/tidak diramaikan dengan walimatul ursy dan tradisi tabuhan terbang, musik tingkilan dan sebagainya karena bukan rukun dan bukan syarat nikah, melainkan perintah sunnat. Adapun nikah tipe ketiga itulah yang benar-benar bisa disebut ”nikah sirri”, yang dilarang oleh Islam, karena niat nikahnya dan prakteknya jelek, sebab bisa merusak rumah tangga orang dan bisa merusak mental suami, serta dapat mendorong suami berbuat kolusi dan korupsi, karena punya isteri simpanan alias WIL yang bermasalah itu. Demikian pula, hukum positif melarang nikah tipe ketiga, karena melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1970 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. 2. Pengertian Dan Status Nikah Di Bawah Tangan Istilah ”nikah di bawah tangan” muncul setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang
5Masyfuk Zuhdi, Nikah Sirri dan Status Hukumnya, Mimbar Hukum, No. 28 Tahun VII, Tahun 2006. 6Ibn
38
Rusjd, Op. Cit. h. 9
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
Nikah Sirri, di Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
dilakukan menurut hukum. Dan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Dengan demikian, dapat dirumuskan, bahwa nikah di bawah tangan ialah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupaya pengakuan dan perlindungan hukum. Undang-undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menegaskan, ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undangundang ini. Kemudian pasal 2 ayat (1) menegaskan, ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat (1) menerangkan, ”Pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.” Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dari Undang-Undang Perkawinan tersebut, hingga kini kalangan teoritisi dan praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini : Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut di atas, yakni perkawinannya telah di laksanakan menurut ketentuan syari’at Islam secara sempurna (memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikah yang umumnya dianggap standar oleh dunia islam). Mengenai pencatatan nikah oleh PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban administrasif saja. Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh PPN secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syari’at Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap perkawinan yang sah. Dan perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan sebutan ”nikah di bawah tangan.” Pendapat yang lebih kuat dan mendasar terhadap masalah perkawinan ini, baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, ialah bahwa sahnya suatu akad nikah itu apabila telah dilangsungkan ketentuan syari’at Islam, dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) dan dicatat oleh PPN.7 Adapun dalil syar’inya adalah : 7H.
Abdul Gani Abdullah, ”Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan,” Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI, 1995 h. 33. Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
39
Nikah Sirri, Nikah Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
a. Mentaati perintah agama dan mentaati perintah negara atau pemerintah, adalah wajib sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat an- Nisa’ ayat 58 : Athi’ullah wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum,”. Perintah Al Qur’an ini sangat positif, karena mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. b. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang, adalah sangat bermanfaat dan maslahah bagi dirinya dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak kewarisannya), dan juga untuk melindunginya dari fitnah dan tuhmah/qadzaf zina (tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah untuk mendapatkan akta nikah itu sangat penting untuk sadd al dzar’iyyah dan juga mashlahah mursalah. Adapun alasan yuridis dari segi hukum positif yang memperkuat pendapat saya tersebut, ialah : a. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu telah dirumuskan secara organik oleh pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Dan tata cara pencatatan perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 PP tersebut. Kemudian disusul dengan tata cara perkawinannya sampai mendapat akta nikah, disebut dalam pasal 10 sampai dengan pasal 13 PP tersebut. b. Kompilasi Hukum Islam yang diundangkan dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154/1991, Pasal 5,6, dan 7 ayat (1) yang menguatkan bahwa unsur pencatatan nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya suatu akad nikah. Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut hukum positif, perkawinan adalah sah, jika dilaksanakan menurut hukum syari’ah di hadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). 3. Status Anak Dari Nikah Sirri Dan Nikah di Bawah Tangan Sebelum membahas status anak dari nikah sirri dan nikah di bawah tangan, ada baiknya terlebih dahulu membahas macam akad nikah dan akibat hukumnya. Menurut jumhur (mayoritas ulama), akad nikah pada garis besarnya ada dua macam,ialah : a. Aqad shahih taam (akad yang sah sempurna), ialah akad yang telah memenuhi semua rukun dan semua syarat sahnya nikah. Akad nikah sempurna ini membawa akibat hukum yang luas, antara lain suami wajib memberi mahar, nafkah lahir berupa makan, pakaian dan tempat tinggal) dan nafkah batin, isteri wajib taat dan setia kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami isteri, dan adanya hubungan nasab anaknya dengan bapaknya. b. Aqd fasid aw bathil (akad yang rusak atau batal), ialah akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah tidak terpenuhi, misalnya, antara suami isteri ternyata masih ada hubungan mahram, atau wanitanya masih terikat perkawinannya dengan orang lain, atau kawin tanpa wali atau saksi. Hukumnya wajib memisahkan diri atau dipisahkan atas keputusan Hakim 40
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
Nikah Sirri, di Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
segera seteelah diketahui catat rukun atau syarat sahnya nikahnya. Dan nikahnya tidak membawa akibat hukum, jika belum terjadi hubungan seksual antara keduanya. Dengan demikian, tidak ada mahar, nafkah, dan iddah, dan tidak ada pula hak mewarisi antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi seksual antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya, maka wajib di fasakh nikahnya, sekalipun telah cukup lama hidup sebagai suami isteri. Dan dalam hal ini, isteri berhak mendapat mahar dan ada iddahnya, serta si anak punya hubungan nasab dengan bapaknya. Mengenai status anak yang lahir dari nikah sirri, maka apabila nikah sirri itu diartikan menurut terminologi fiqah (nikah yang dirahasiakan atas permintaan suami), maka menurut hukum Islam, anak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sebab, nikah sirri itu termasuk nikah yang diperselisihkan ”boleh dan sahnya” oleh para ulama. Karena itu nikah sirri itu dianggap cacat/fasad yang ringan. Sedangkan menurut hukum positif, anaknya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Adapun status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) saja dari Undang-undang Perkawinan), maka menurut hukum Islam, anaknya sah dan mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum positif, anaknya tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Karena itu si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide UU Perkawinan pasal 43 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 100). PENUTUP Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut hukum Islam, karena ada unsur ”sirri” (dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran Islam.. Nikah sirri juga tidak sah menurut hukum positif, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baik dan benar, dan tidak pula diadakan pencatatan berlakunya UU perkawinan. Nikah di bawah tangan hukumnya sah menurut hukum islam, sepanjang tidak ada motif ’’sirri’’, karena telah memenuhi ketentuan hukum syari’ah yang benar. Nikah di bawah tangan ini juga tidak sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum perkawinan. Status anak yang lahir dari nikah sirri mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya, karena cacat hukumnya ringan. Sedangkan menurut hukum positif, anaknya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena nikahnya tidak sah (UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 43).
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
41
Nikah Sirri, Nikah Bawah Tangan dan Status Anaknya
Darmawati
DAFTAR PUSTAKA Ahmad bin Hambal, Musnad al-lmam Ahmad bin Hambal. jilid V. Beirut: Dar al-Fikr, t. th. Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000. AL-Suyuti, Al-Jami’al-Shaghir, vol. 1, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Cairo, 1954 Damsyi Hanan,”Pengertian Yuridis Sahnya Suatu perkawinan,”Mimbar Hukum No. 23 Thn. V1 1995 November-Desember. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, vol. V11, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989 Mahmud Yunus, Prof. DR. H. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, PT. Hidakarya Agung, 1986. Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000.
42
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 1 Mei 2010