27
BAB II TATA CARA PENGAJUAN ITSBAT NIKAH YANG DILAKUKAN PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN
A. Perkawinan dan Pengaturannya di Indonesia 1. Pengertian dan Asas Perkawinan Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.36 Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
36
Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta,Cetakan I 1988, hal.97.
27
Universitas Sumatera Utara
28
Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.37 R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.38 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya. 39 Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam Sudikno Mertokusumo bahwa “perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja. Maksudnya bahwa undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Gereja, melainkan undang-undang hanya mengenal “perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan Sipil”.40 Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” 37
Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74. 38 R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61. 39 Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61. 40 Ibid., hal 61.
Universitas Sumatera Utara
29
menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.41 Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.42 Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan aldammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.43 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan menurut hukum perdata perdata yang mengartikan perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan samasama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari : 1. Kesepakatan Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak 41
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453. 42 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468. 43 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
30
ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan. 2. Kecakapan Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orangorang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian. 3. Hal tertentu Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa. 4. Sebab yang dibolehkan Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.44 Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 45 Bermacam-macam pendapat
yang dikemukakan
mengenai pengertian
perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur
44 45
Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6. Ibid., hal 6.
Universitas Sumatera Utara
31
tersebut dalam perumusan pengertian perkawinan. Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan:46 a.
Perkawinan dilihat dari segi hukum Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian al-
Qur'an Surat an-Nisaa ayat (21) menyatakan “... perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqan ghaliizhaan”. Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian karena adanya: 1) cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. 2) cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya. b.
Perkawinan dilihat dari segi sosial. Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum/tidak menikah.
c.
Pandangan perkawinan dari segi agama; suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan 46
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986, Jakarta, hal. 47-48.
Universitas Sumatera Utara
32
menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan oleh alQur'an Surat an-Nisaa ayat (1). Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu, berdasarkan pada perubahan 'illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram:47 a. Hukumnya beralih menjadi sunnah. Dengan 'illah: seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan. b. Hukumnya beralih menjadi wajib. Dengan 'illah: seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi
dan
dipandang
dari
sudut
pertumbuhan
jasmaniahnya
sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin. c. Hukumnya beralih menjadi makruh.
47
Ibid., hal. 49-50.
Universitas Sumatera Utara
33
Dengan 'illah: seseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk kawin. d. Hukumnya beralih menjadi haram. Dengan 'illah: apabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi lakilaki itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat an-Nisaa ayat (24) dan ayat (25) serta dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat (231). Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini seorang wanita walaupun tidak ada niat dan maksud menganiaya atau memperdayainya sebagai ketentuan ayatayat yang bersangkutan tetapi menurut perhitungan yang wajar dan umum, bahwa perkawinannya itu akan berakibat penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan. Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki segi-segi hukum perdata. Asas-asas hukum perkawinan Islam adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan
Universitas Sumatera Utara
34
memilih pasangan, kemitraan suami isteri, untuk selama-lamanya, dan monogami terbuka:48 a. Asas Kesukarelaan Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam. b. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dari asas yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagai persetujuan. Hadits Nabi mengatakan bahwa tanpa persetujuan pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan. Jika calon suami atau calon isteri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari keadaan
48
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 139-141.
Universitas Sumatera Utara
35
tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya. Istilah dalam Islam disebut akil baligh, berakal, atau dewasa.49 c. Asas Kebebasan Memilih Pasangan Asas kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.50 d. Asas Kemitraan Suami Isteri Dalam beberapa hal kedudukan suami isteri adalah sama, namun dalam beberapa hal berbeda (lihat Q.S. an-Nisaa ayat 34 dan Q.S. al-Baqarah ayat 187). Asas kemitraan suami isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal dan pembawaan). Suami menjadi kepala keluarga sedangkan isteri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah tangga. e. Asas Untuk Selama-lamanya
49 50
Sayuti Thalib, Op.Cit., hal. 66. Ibid., hal 66.
Universitas Sumatera Utara
36
Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. ar-Ruum ayat 21). Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selamalamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan. f. Asas Monogami Terbuka Pada prinsipnya perkawinan Islam menganut asas monogami, namun dalam halhal tertentu dibolehkan berpoligami. Laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang isteri (lihat Q.S. An-Nisaa ayat 129). Syarat utamanya adalah bisa berlaku adil diantara isteri-isterinya. Dalam Al-Quran Surat An-Nisaa ayat (129) Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat berlaku adil, karenanya kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan darurat, agar terhindar dari dosa. Apabila dilihat dari ketentuan hukum perkawinan nasional
asas hukum
perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
Universitas Sumatera Utara
37
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.51 Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang No. 1 Tahun 1974 atau UU perkawinan berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.52 2. Tujuan Perkawinan Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah: 53 a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. an-Nisaa ayat (1). b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama suami isteri tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan. Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk: 54 a. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi akad nikah, isteri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah
51
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hal. 25 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta , 2005, hal. 9. 53 Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 46-47. 54 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 13-21. 52
Universitas Sumatera Utara
38
tangga. Suami pun merasa tenteram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar. c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain (keluarga sakinah). Maksud pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga, adapun tujuannya adalah untuk menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran Surat an-Nisaa ayat (19), serta diliputi dengan suasana “mawaddah warahmah” yang ditentukan dalam al-Quran Surat ar-Ruum ayat (21).55 Sedangkan menurut pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
55
Sudarsono, Op.Cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
39
Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. “Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.56
“Tujuan perkawinan menurut
Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.57 Artinya tujuan perkawinan itu adalah: a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna. b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.58 Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa : Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita 56
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62. Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000, hal 14. 58 Sulaiman Rasjid.H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, 57
Universitas Sumatera Utara
40
yang menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.59 Jadi, dengan perkataan ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir dan ikatan batin itulah yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.60 Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat-istiadat.61 Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam
59
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 27. 61 Ibid. 60
Universitas Sumatera Utara
41
keluarga merupakan hasil putusan bersama antara suami isteri berdasarkan hasil perundingan yang didasari oleh sifat musyawarah.62 B. Pencatatan sebagai Syarat Untuk Melahirkan Akibat Hukum Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat. Ta'rif (pengertian) perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah.63 Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau
62
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung , 1992, hal. 16. 63 Lihat Pasal 2 Jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
42
karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya karena pembatalan perkawinan. Soemiyati mengatakan bahwa : Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukumhukumnya.64 Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan
64
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
43
dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan. Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tanggal 2 Januari 1974. Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual. Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak.
Universitas Sumatera Utara
44
“Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.65 Agar suatu perkawinan menjadi sah, maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan di dalam pasal-pasalnya mengenai adanya persyaratan tertentu. Para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi persyaratan tertentu yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Syarat-syarat perkawinan tersebut dapat dibedakan menjadi syarat materiil dan syarat formil. Wahyono Darmabrata
dan Surini Ahlan Syarif memberikan
pengertian mengenai syarat materiil dan syarat formil sebagai berikut: Syarat materiil adalah syarat mengenai atau berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan.66 Syarat materiil dapat dibedakan menjadi syarat materiil umum dan syarat materiil khusus. Syarat materiil umum artinya syarat mengenai diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil umum lazim juga disebut dengan syarat materiil absolut pelangsungan perkawinan karena
65
Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74. Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 21-22. 66
Universitas Sumatera Utara
45
jika tidak dipenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon suami isteri tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil umum bersifat mutlak, artinya harus dipenuhi oleh calon suami isteri untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil khusus suatu perkawinan adalah syarat mengenai diri pribadi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan dan berlaku untuk perkawinan tertentu. Syarat materiil khusus lazim disebut dengan syarat relatif untuk melangsungkan perkawinan, berupa kewajiban untuk meminta izin kepada orang-orang tertentu dan larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan.67 Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Hilman Hadi Kusuma mengatakan bahwa : Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya. 68 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”. Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orangorang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan,
kecuali
apabila
dilakukan
menurut
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya itu. Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah: a. Syarat materiil
68
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1992, 26-27.
Universitas Sumatera Utara
47
Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orangorang tersebut yang memberikan izin. 6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.69 Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil mutlak terdiri dari: a) kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b) persetujuan bebas dari kedua pihak; c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; 69
Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
48
d) izin dari pihak ketiga; e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.70 2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.71 Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang: a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya. c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri. d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/ paman susuan. e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.72 Sedangkan Pasal 10 UU Perkawinan mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin
70
Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997, hal 28. 71 Ibid. 72 Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
49
lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain. b. Syarat formil Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan; 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masingmasing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.
Universitas Sumatera Utara
50
Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :73 1) Pemberitahuan Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur: a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. c) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. d) Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan. 2) Pengumuman Setelah
semua
persyaratan
terpenuhi
maka
pegawai
pencatat
menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor
73
Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Universitas Sumatera Utara
51
pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975. 3) Pelaksanaan Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja.74 Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Ahmad Djumairi mengatakan bahwa : Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.75 Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: a) Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan
74
Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39. Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24. 75
Universitas Sumatera Utara
52
sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b) Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan
maksudnya
untuk
menjaga
kesehatan
suami-isteri
dan
keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum dewasa. c)
Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d) Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali. e)
Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.
f)
Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat (1) dapat minta dispensasi kepada Pengadilan. Kemudian
di
dalam
KUH
Perdata,
syarat
untuk
melangsungkan
perkawinan juga dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.
Universitas Sumatera Utara
53
Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu: a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi: 1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH Perdata). 2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata). 3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18 (delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun (Pasal 29 KUH Perdata). 4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata). 5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata). b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
54
1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan. 2) Larangan kawin karena zina, 3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 (satu) tahun. Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu: a.
b.
Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.76
Selain menurut UU Perkawinan dan KUH Perdata, dalam praktek juga dikenal syarat
perkawinan
menurut
Kompilasi
Hukum
Islam.
Syarat
sah
perkawinan/pernikahan harus memenuhi rukun nikah, yaitu: a. Calon suami. b. Calon isteri. c. Wali. d. Dua orang saksi. e. Ijab dan Kabul. 76
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
55
Syarat calon suami: 1) Harus beragama Islam. 2) Harus laki-laki (bukan banci). 3) Harus lelaki yang tertentu. 4) Harus yang boleh kawin dengan isteri itu. 5) Sudah tahu atau pernah melihat kepada calon isteri. 6) Harus suka dan ridla. 7) Harus tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah. 8) Harus perempuan yang halal dikawini. 9) Dan jika sudah beristeri, belum ada empat orang isteri. Syarat calon isteri: 1) Harus beragama Islam. 2) Harus wanita (bukan banci). 3) Harus perempuan yang tertentu. 4) Harus yang boleh dikawin. 5) Harus sudah luar iddah. 6) Harus suka dan ridha. 7) Tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah. Syarat wali : 1) Laki-laki 2) Baligh 3) Berakal sehat 4) Dapat mendengar dan melihat
Universitas Sumatera Utara
56
5) Bebas/tidak dipaksa 6) Tidak sedang mengerjakan ihram haji 7) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul. Perkawinan tanpa wali, tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dan tidak dapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah pokok dalam perkawinan. Syarat dua orang saksi: 1) Beragama Islam 2) Berakal sehat 3) Dewasa 4) Laki-laki 5) Merdeka. 6) Bersikap adil 7) Dapat melihat, mendengar, dan berbicara dengan benar 8) Tidak fasiq. Tidak sah saksi fasiq 9) Sentosa pikiran (tidak terlalu pemarah). Tidak sah saksi seorang yang besar nafsu ketika marah terhadap orang lain, sehingga melampaui batas kewajaran. Syarat-syarat Ijab Kabul : 1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria yang telah baligh secara pribadi 2) Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang 3) Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
57
4) Hendaklah pengantin lelaki jangan terlalu lama dalam menjawab ucapan wali yang menikahkan pengantin wanita. 5) Hendaklah muafakat pengucapannya wali pada pengantin lelaki. 6) Hendaklah muafakat dalam penyebutan wali pada jumlah maskawin. 7) Hendaklah antara keduanya faham akan bahasa yang diucapkan. 8) Hendaklah ijab dan qabul di dengar dan di pahami oleh kedua orang saksi. 9) Ijab dan kabul tidak boleh bertaklik (penggantungan pada sesuatu kejadian). Ijab yaitu ucapan dari wali/ orang tua atau wakilnya pihak perempuan sebagai penyerahan kepada pihak laki-laki. Sedangkan Kabul yaitu ucapan dari pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara Ijab dan Kabul ini, dilakukan dimuka PPN (pejabat pencatat nikah) yaitu di Masjid, boleh di rumah dengan memanggil PPN/ harus ada di bawah pengawasan PPN. Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hakhak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul.
Universitas Sumatera Utara
58
Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum,
antara lain
timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pencatatan perkawinan merupakan pemenuhan syarat formil dalam melangsungkan perkawinan yang dilakukan melalui pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan, Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. C. Kaitan Perkawinan dan Itsbat Nikah Selain
dari
berbagai
pengertian
dan
pengaturan
perkawinan
sebagaimana diraikan pada bagian sebelumnya di atas, dalam bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam beberapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan : (1) Perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2) (sudah) beristri atau berbini
Universitas Sumatera Utara
59
(3) Dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh. 77 Dalam literatur fiqh berbahasa Arab perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua kata yaitu “ nikah” dan “zawaj”. “Nikah” berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad. 78 Berdasarkan definisi Perkawinan yang termuat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana diuraikan di atas ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan : Pertama
Digunakannya kata “Seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat.
Kedua,
Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
Ketiga,
Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawanan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
Keempat,
Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. 79
77
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Islam, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 41. 78 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media Jakarta, hal 35-36. 79 Ibid., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
60
Selain definisi yang dikemukakan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti definisi UU tersebut namun bersifat menambah
penjelasan, dengan rumusan bahwa
“Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah, Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2). 80 Ungkapan: akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizhan) merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. Di samping perkawinan itu merupakan suatu perbuatan ibadah dan perempuan yang dijadikan isteri tersebut merupakan amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui prosesi keagamaan dalam akad nikah. Hal ini sejalan dengan hadis 80
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
61
Nabi yang berasal dari Ibnu Abbas yang artinya : “Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat dan cara-cara yang ditetapkan Allah”. Pengertian sederhana tentang kawin juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kawin diartikan dengan (1) menikah (2) cak bersetubuh (3) berkelamin (untuk hewan). Kawin acak, keadaan yang memungkinkan terjadinya perkawinan antara jantan dan betina dewasa secara acak. 81 Muhammad Amin Summa yang mengutip Kamus Bahasa Indonesia mengatakan bahwa perkawinan adalah : (1) pernikahan : hal (urusan dan sebagainya) kawin; (2) pertemuan hewan jantan dan hewan betina secara seksual. Dengan kata lain kawin diartikan dengan menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh. 82 Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Brunei Darussalam), digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah “Perikatan yang sah antara lelaki dengan perempuan menjadi suami istri, nikah”. Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri (suami). 83
81
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal.
243. 82
Muhammad Amin Summa, Op.Cit., hal. 42. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1998, hal 558. 83
Universitas Sumatera Utara
62
Muhammad Amin Summa dalam mempersoalkan definisi nikah beliau mengemukakan bahwa : Sebagian ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah “sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) nikah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanafiah mendefinisikan nikah dengan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata nikah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang)”. 84 Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan (pernikahan) dapat juga dilihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang
Republik
Indonesia
Nomor
1 Tahun
1974
tentang
Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang dirumuskan sebelumnya. Jika rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan di atas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan yang dimaksudkan ialah : Pertama, dalam rumusan undang-undang, tercermin keharusan ada ijab-kabul (‘aqdun-nikah) pada sebuah perkawinan seperti tersurat 84
Muhammad Amin Summa, Op.Cit., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
63
dalam anak kalimat: “Ikatan lahir batin”. Sedangkan KHI meskipun di dalamnya disebutkan kata “akad yang sangat kuat”, lebih mengisyaratkan pada terjemahan kata-kata mitsaqan ghalizhan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan kepada sebutan atau julukan lain dari sebutan akad nikah. Kedua, kata-kata: “antara seorang pria dengan seorang wanita”, menafikan kemungkinan ada perkawinan antara sesama pria ( gay) atau antara sesama wanita (lesbian) di negara hukum Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa tahun terakhir ini. Di antaranya ialah negara-negara Belanda, Belgia, dan sebagian negara bagian Canada. Sedangkan KHI sama sekali tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini sungguhpun dapat diyakini bahwa KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-undang Perkawinan. Ketiga, Undang-undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yakni “membentuk keluarga (rumah-tangga) bahagia dan kekal”, sementara KHI yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri dalam Pasal 3 lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam kalimat: “Untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Padahal, rata-rata kitab hadis hukum dan fiqih memasukkan bahasan munakahat (perkawinan) dalam kitab (bab) muamalah tidak dalam kitab (bab) ibadah. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol daripada aspek ibadah sungguhpun di dalamnya memang terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan”. 85 Di antara unsur hakiki bagi sebuah perkawinan adalah kerelaan dua pihak (mempelai pria dan wanita) yang hendak melangsungkan akad nikah, dan persesuaian kesepakatan antara keduanya dalam melakukan tali ikatan perkawinan itu. Mengingat kerelaan dan persesuaian kesepakatan tergolong ke dalam hal-hal yang bersifat kejiwaan, yang tidak bisa diekpresikan begitu
85
Ibid., hal. 46-47.
Universitas Sumatera Utara
64
saja tanpa menyatakannya dalam bentuk ucapan (isyarat), maka mau tidak mau perasaan rela dan kesesuaian antara calon suami dengan calon istri itu harus dituangkan dalam bentuk ucapan (ikrar) oleh kedua belah pihak. Ikrar yang dinyatakan pihak pertama lazim disebut dengan ijab, sedangkan ikrar yang disampaikan pihak kedua, dinamakan kabul. Selanjutnya terhadap pelaksanaan pernikahan tersebut dilakukan pencatatan, yang diselenggarakan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan kedua mempelai
menanda
tangani
akta
nikah
dan
salinannya
yang telah
dipersiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa “Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”. Penandatanganan akta perkawinan dan pencatatan ini dituangkan dalam sebuah Akta Nikah. Akta Nikah inilah yang selanjutnya menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang
Universitas Sumatera Utara
65
telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Jadi apabila tidak dilakukannya penandatanganan akta perkawinan dan pencatatan secara resmi pelaksanaan perkawinan menurut ketentuan Undangundang Perkawinan di Indonesia adalah belum sah karena belum memenuhi ketentuan syarat formil. Dengan tidak sahnya perkawinan tentunya menjadi hambatan bagi para pihak apabila suami melanggar ketentuan taklik talak, maka pihak istri yang dirugikan tidak dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar dikeluarkannya akta nikah atau yang dalam masyarakat dikenal dengan buku nikah. Di dalam akta perkawinan
memuat
antara
lain
nama,
tanggal
dan
tempat
lahir,
agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman uami istri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu bila telah pernah kawin. Selain itu, juga memuat nama,
Universitas Sumatera Utara
66
agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mereka serta berbagai data kelengkapan lainnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pengertian “itsbat nikah” menurut Zainuddin Ali adalah “penetapan nikah”. Di dalam ketentuan perundang-undangan tentang itsbat nikah tidak terdapat pengertian dengan jelas karena tidak disebutkan pengertiannya. Namun pengertiannya dapat ditelaah dari ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tentang Pencatatan Perkawinan, yang menjelaskan bahwa : (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974;
Universitas Sumatera Utara
67
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. 86 Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa itsbat nikah adalah pengajuan pengesahan nikah yang dilakukan tidak melalui Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, pengertian yang dikemukakan di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan KHI tersebut dapat diartikan bahwa itsbat nikah adalah suatu permohonan yang diajukan untuk penetapan nikah yang tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. D. Tata Cara Pengajuan Itsbat Nikah yang Dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya akta nikah menjadi merupakan bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu
dan mengajukan gugatan perkaranya ke Mahkamah
Syar’iyah. Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan
86
Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tentang Pencatatan Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
68
tidak dapat dilakukan, karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini dibenarkan oleh Ismarnis, bahwa untuk dapat melakukan suatu gugatan atas sengketa dalam perkawinan bukti nikah yang diakui oleh Pengadilan Agama adalah Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) seperti yang ditentukan oleh ketentuan yang berlaku. 87 Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan para pihak untuk memperoleh pengesahan nikah walaupun tidak memiliki akta nikah yang diakibatkan oleh tidak dilakukannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah atau perkawinan dilakukan di bawah tangan menurut hukum Islam. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. 88 Hal ini juga dibenarkan oleh Ismarnis bahwa aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Aturan pengesahan nikah tercantum dalam Pasal 2 ayat (5) 87 88
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan
Universitas Sumatera Utara
69
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam. 89 Keterangan di atas menjelaskan bahwa para pihak untuk memperoleh pengesahan nikah walaupun tidak memiliki akta nikah yang akibat tidak melakukan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah
apabila suatu
keadaan menghendaki dapat mengajukan itsbat nikah. Hasil penelitian pada Pengadilan Agaman Medan juga ditemukan adanya pengajuan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama Medan dalam periode Januari - Desember 2009
terdapat 36 permohonan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
89
Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan
Universitas Sumatera Utara
70
TABEL 1 JUMLAH PERMOHONAN YANG MASUK PADA KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN TAHUN 2009 Jumlah Sisa Perkara Jumlah Perkara No Jenis Perkara Perkara Tahun Lalu Diputus Masuk 1. Izin Poligami 1 1 2. Pembatalan Perkawinan 2 9 9 Kelalaian Kewajiban 3. 2 1 Suami Isteri 4. Cerai Gugat 67 408 375 5. Cerai Talak 128 938 893 6. Harta Bersama 2 10 9 7. Penguasaan Anak 1 5 2 8. Perwalian 2 15 17 Asal Usul Anak/ 1 4 5 9. Pengangkatan Anak 10. Itsbat Nikah 36 36 11. Dispensasi Nikah 3 12. Kewarisan 18 108 101 13. Hibah 2 2 14. Wakaf 2 3 3 JUMLAH
225
1.547
1.460
Sumber : Hasil Penelitian pada P.A. Klas IA Medan, Nopember 2010
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada Pengadilan Agama Klas IA Medan pada periode tahun 2009 terdapat jumlah perkara yang masuk 1.547 perkara dan sisa perkara tahun 2008 sebanyak 225 perkara. Sedangkan perkara yang berhasil diputuskan adalah 1.460 perkara. Kondisi ini menunjukkan tingginya perkara yang
Universitas Sumatera Utara
71
harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama Klas IA Medan. Jumlah perkara tersenut juga dapat dibagi menjadi perkara gugatan dan perkara permohonan yang jumlahnya dapat dirinci masing-masing:90 1. Perkara Gugatan
: 1.419 Perkara
2. Perkara Permohonan
:
Total
128 Perkara
: 1.547 Perkara
3. Perkara yang diputus
: 1.460 Perka
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari keseluruhan perkara yang ada di Pengadilan Agama Klas IA Medan tersebut juga terdapat 36 perkara yang merupakan permohonan penetapan nikah atau dikenal dengan permohonan Itsbat Nikah.91 Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa yang menjadi alas an pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Klas IA Medan antara lain sebagai dapat dilihat pada tabel berikut : TABEL 2 ALASAN PENGAJUAN ITSBAT NIKAH PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA KOTA MEDAN TAHUN 2009 No.
Alasan Pengajuan Itsbat Nikah
Jumlah
1
Kehilangan akta nikah
9
2
Pengurusan perceraian
14
3
Mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan
7
4
Alasan lainnya
6
Jumlah
36
Sumber : Hasil Penelitian pada P.A. Klas IA Medan, Nopember 2010 90 91
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan
Universitas Sumatera Utara
72
Berdasarkan tabel di atas jelaslah bahwa itsbat nikah diajukan dengan berbagai macam alasan diantaranya (1) kehilangan akta nikah, (2) pengurusan perceraian dan (3) guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. 92 Sebagai contoh mengenai Permohonan Itsbat Nikah ini dapat dilihat pada uraian permohonan yang diajukan berikut. Medan, ………………2009 Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Medan Medan Assalamu'alaikum wr. wb. Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Hj. Hmd Nst Binti AH Nst, umur 75, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, warganegara Indonesia, tempat kediaman di Jalan Pembangunan No. 69 Kelurahan Helvetia Timur Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan selanjutnya disebut sebagai Pemohon Dengan ini Pemohon mengajukan permohonan pengesahan nikah Pemohon dengan suami Pemohon yang bernama : Nama Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, yang telah meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Nopember 1990, karena sakit. Adapun dalil/alasan Pemohon mengajukan permohonan Pengesahan Nikah adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon telah menikah secara sah dengan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, secara syariat Islam di Dolok Sinembah Kabupaten Simalungun pada tahun 1955 dengan berwalikan ayah abang kandung Pemohon karena orang tua Pemohon sudah meninggal dunia dengan dihadiri oleh 2 orang saksi yang bernama Abdul Jalil dan yang seorang lagi Pemohon lupa namanya dan mahar berupa seperangkatan alat sholat tunai. 2. Bahwa pada saat pemikahan tersebut Pemohon berstatus gadis dan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs berstatus lajang dan tidak ada sesuatu hal yang dapat menghalangi terjadinya pemikahan tersebut berdasarkan hukum Syara' atau pun peraturan hukum yang beriaku.
92
Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan
Universitas Sumatera Utara
73
3. Bahwa Pemikahan Pemohon dengan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, belum pernah didaftarkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti sekarang ini. 4. Bahwa selama pemikahan Pemohon dan Amir Husin Lubis bin Musa Lubis, telah dikaruniai 11 (sebelas) orang anak masing-masing bernama : a. b. c. d. e. f. g. h. l. j. k.
Rln Lbs, perempuan, umur 54 tahun. Rsl Lbs, laki-laki umur 52 tahun Nr Hs Lbs, laki-laki, umur 50 tahun. Nrls Lbs, laki-laki, umur 48 tahun. RsnnLbs, perempuan, umur 46 tahun Msdr Lbs, laki-laki umur 44 tahun. Ahm Nj, laki-laki sudah meninggal dunia. Rnn, perempuan umur 40 tahun. Sbrd, laki-laki umur 38 tahun. Nrwn, perermpuan umur 36 tahun. St Kdj, perempuan umur 31 tahun.
5. Bahwa selama masa pemikahan Pemohon dan Amir Husin Lubis bin Musa Lubis, tidak pernah bercerai dan masyarakat tidak ada yang keberatan dengan pemikahan Pemohon dengan Amir Husin Lubis bin Musa Lubis. 6. Bahwa surat pengesahan nikah ini Pemohon gunakan untuk menyatakan bahwa Pemohon adalah isteri sah dari Amr Hsn Lbs bin MS Lbs dan dapat dijadikan alat bukti bagi Pemohon tentang pemikahan Pemohon dengan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs. 7. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas Pemohon mohon kapada bapak Ketua Pengadilan Agama Medan Cq. Majelis Hakim kiranya berkenan untuk menetapkan suatu hari persidangan dengan memanggil Pemohon dan para saksi yang dibutuhkan dan seterusnya menjatuhkan penetapan yang amamya berbunyi sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menetapkan sah pemikahan Pemohon (Hj. Hmd Nst Binti AH Nst) dengan suami Pemohon bemama (Amr Hsn Lbs bin MS Lbs), yang dilaksanakan pada tahun 1955 di Dolok Sinembah Kabupaten Simalungun. c. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sesuai peraturan yang beriaku. Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya; Demikian atas terkabulnya permohonan ini, Pemohon menyampaikan terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb. Pemohon, 93
Hj. Hmd Nst Binti AH Nst.
93
Sumber data : Hasil Penelitian pada P.A. Klas IA Medan, Nopember 2010
Universitas Sumatera Utara
74
Berdasarkan contoh pengajuan itsbath nikah di atas, jelaslah bahwa pengajuan permohonan penetapan nikah tersebut dimaksudkan untuk mengesahkan perkawinan yang telah dilakukan pemohon, dimana pada saat dilakukannya perkawinan tersebut belum ada ketentuan yang berlaku secara khusus tentang perkawinan. 94 Dengan kata lain, perkawinan yang dilakukan pemohon dilakukan sebelum berlakunya ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Namun alas an pengajuan itsbat nikah tersebut dapat juga dilakukan karena kehilangan akta nikah, pengurusan perceraian dan guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. Dalam Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nornor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi
94
Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan
Universitas Sumatera Utara
75
Hukum Islam ini banyak dipraktekkan di Pengadilan Agama Klas IA Medan. Berdasarkan uraian tersebut menurut penulis bahwa perkawinan yang tidak
dicatatkan
oleh
Pegawai
Pencatat
Nikah
banyak
berindikasi
penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama harus berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan nikah/itsbat
pengesahan nikah
tidak
nikah/itsbat dijadikan
nikah, alat
agar
untuk
proses
melegalkan
pengesahan perbuatan
penyelundupan hukum. Jadi
dengan demikian, tujuan
diberikannya kesempatan
untuk
mengajukan itsbat nikah ini adalah melindungi hak-hak para pihak yang terkait dalam perkawinan tersebut secara hukum. Pihak Pengadilan Agama sendiri dalam memberikan penetapan juga harus melalui pertimbangan yang didasarkan pada bukti-bukti
yang kuat
dan keterangan saksi
yang
membenarkan telah dilakukannya perkawinan yang diajukan penetapannya kepada Pengadilan Agama. Dalam hal pengajuan Itsbat Nikah putusan hakim adalah bersifat putusan voluntair yang berarti berupa penetapan pengadilan terhadap permohonan pengesahan yang diajukan oleh para pihak. Penetapan itsbat nikah merupakan suatu upaya yang diberikan kepada mereka yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
76
pernikahan tetapi tidak tercatat dengan sendirinya tidak dapat menuntut hakhaknya atas nafkah atau warisan (jika suaminya meninggal). Pernikahan mereka meskipun secara agama sah, tetap tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga anak-anak yang dilahirkannya hanya mempunyai hubungan perdata/nasab dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Universitas Sumatera Utara