KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Disusun oleh: Muhammad Fanshobi 109033100020
FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN AQIDAH-FALSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
ABSTRAK KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ Kata Kunci: Kepemimpinan, Negara Utama, Al-Fārābī.
Tulisan ini memfokuskan pada konsep kepemimpinan yang ditulis al-Fārābī dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah atau secara singkat disebut Negara Utama. Di dalam buku itu, al-Fārābī menuliskan ciri-ciri negara utama yang menurutnya sebagai konsep ideal untuk dijadikan contoh membangun negara. Di dalam ciri-ciri negara utama itu, al-Fārābī menuliskan beberapa konsep kepemimpinan. Hal ini dikerenakan dalam membangun suatu negara ideal, tentu harus diimbangi dengan kepemimpinan yang ideal pula. Negara diibaratkan sebagai tubuh, kemudian pemimpin menjadi pusat dari keinginan tubuh itu sendiri, maka dari itu kepemimpinan menjadi poin penting dalam membangun negara ideal. Dengan menguraikan konsep kepemimpinan yang ideal, maka akan terwujud negara yang ideal pula. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī. Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa buku Negara Utama memuat konsep-konsep kepemimpinan ideal. Konsep itu berdasarkan pemikiran al-Fārābī yang dipengaruhi oleh doktrin agama dan juga pengaruh falsafat Yunani. Diawali dengan tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan, alFārābī mengungkapkan metode-metode bagaimana mencapai kebahagiaan itu, salah satunya dengan membangun Negara Utama/Ideal yang didalamnya terdapat masyarakat ideal dan kepemimpinan ideal. Dua objek itulah yang menjadi unsur utama dalam membangun Negara Utama/Ideal. Sedangkan tulisan ini hanya memfokuskan kepada kepemimpinan ideal. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik materiil dan immateriil, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Mursyidi Jayadi dan Ibunda Yani yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai; 2. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi Penulis, terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk Penulis; 3. Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta; 4. Dr. Edwin Syarif, MA dan Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Akidah-Filsafat; 5. Sahabat terdekat Andhini Iasha Amala untuk
menemani dalam
penyusunan skripsi ini; 6. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Attaqwa Putera angkatan 2009 yang berkulian di UIN Jakarta; 7. Seluruh Teman-teman anggota Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta; 8. Seluruh teman-teman Akidah-Filsafat A angkatan 2009;
ii
iii
9. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik materiil maupun imateriil, Penulis memanjatkan doa semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Jakarta, September 2014
Muhammad Fanshobi
PEDOMAN TRANSLITERASI Arab
Indonesia
Inggris
Arab
Indonesia
Inggris
ا
a
a
ط
ṭ
ṭ
ب
b
b
ظ
ẓ
ẓ
ت
t
t
ع
‘
‘
ث
ts
th
غ
gh
gh
ج
j
j
ف
f
f
ح
ḥ
ḥ
ق
q
q
خ
kh
kh
ك
k
k
د
d
d
ل
l
l
ذ
dz
dh
م
m
m
ر
r
r
ن
n
n
ز
z
z
و
w
w
س
s
s
ه
h
h
ش
sy
sh
ء
ص
ṣ
ṣ
ي
y
y
ض
ḍ
ḍ
ة
h
h
Vokal Panjang Arab
Indonesia
Inggris
آ
ā
ā
إى
ī
ī
أو
ī
ī
iv
Daftar Isi Abstrak .................................................................................................................... i Kata Pengantar ..................................................................................................... ii Pedoman Transliterasi ......................................................................................... iv Daftar Isi .................................................................................................................v Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1 B. Batasan Rumusan Masalah...........................................................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................5 D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................6 E. Metodologi Penelitian ..................................................................................8 Bab II Riwayat Hidup al-Fārābī A. Pendidikan ..................................................................................................10 B. Kehidupan Sosial Politik ............................................................................12 C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik.............................................................14 D. Karya-Karya ...............................................................................................19 Bab III Konsep Kepemimpinan menurut al-Qur’ān dan Ḥadīts A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan .........................................................26 B. Tugas dan Fungsi .......................................................................................44 C. Pengangkatan Pemimpin ............................................................................46 D. Kriteria .......................................................................................................48 Bab IV Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī A. Konsep Negara Ideal/Utama ......................................................................59 B. Tugas dan Fungsi Pemimpin ......................................................................71 C. Pengangkatan Pemimpin ............................................................................76 D. Kriteria Pemimpin ......................................................................................82 Bab V Penutup A. Kesimpulan.................................................................................................97 B. Saran ...........................................................................................................98
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pendapat tentang kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para ahli. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan manusia, kepemimpinan merupakan instrumen penting. Sebagai contoh ketika manusia membangun sebuah keluarga, dalam komunitas kecil itu, seorang bapak menjadi kepala keluarga yang berfungsi sebagai pemimpin. Kemudian komunitas yang cakupannya lebih besar seperti halnya pemerintahan negara, pada akhirnya akan dipimpin oleh kepala negara. Hal ini dilakukan karena setiap manusia membutuhkan pemimpin dan salah satu fungsi pemimpin adalah meningkatkan efektifitas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai di setiap komunitas. Maka dari itu, dalam kepemimpinan akan banyak dibicarakan tentang kriteria pemimpin, tugas dan fungsi pemimpin, dan lain sebagainya. Di antara sekian banyak para ahli di setiap bidang ilmu yang membicarakan tentang kepemimpinan, terdapat seorang ahli falsafat politik Islam klasik yang layak menjadi salah satu referensi. Pemikirannya yang falsafi dan mendalam menjadi nilai lebih dalam menjadikannya referensi tentang kepemimpinan. Ia adalah Abū Naṣr al-Fārābī (259-339 H./870 -956 M.)1 Sebenarnya ia adalah seorang idealis bahkan cenderung utopis seperti Plato. Al-Fārābī telah menyumbangkan pemikiran falsafat politiknya terhadap khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah 1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 49.
1
2
Negara Utama (madīnah fāḍilah). Konsep tentang Negara Utama banyak diwarnai oleh pemikiran Plato di dalam karangannya yaitu Republic. Di samping itu, alFārābī juga hidup dalam kondisi politik yang kacau yang dipimpin oleh khalifah dinasti ʻAbbāsiyyah, sehingga kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya berpikir mengenai suatu bentuk negara ideal. Dalam memikirkan negara ideal itu, seperti halnya Plato, al-Fārābī juga melihat bahwa kehancuran negara diakibatkan oleh hancurnya moralitas pemimpinnya. Untuk kepemimpinan dalam Negara Utama, al-Fārābī menjelaskan tentang kriteria dan mekanisme pengangkatan kepala negara dan bermaksud agar para pemimpin yang diangkat oleh rakyat lebih bermoral dan kompeten. Di samping itu pula, pemimpin yang bermoral dan kompeten dapat menjadi fasilitator rakyat untuk mencapai kebahagiaan. Di dalam konsep Negara Utama al-Fārābī, kepala negara adalah satusatunya orang yang memegang peranan penting, karena kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan jantung dalam sistem organ tubuh manusia, sumber dan pusat koordinasi sebagai suatu hal yang penting di dalam diri manusia yang sempurna. Oleh karena itu, pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan etis sebagai pengendali way of life.2 Kemudian dalam rangka merealisasi Negara Utama, di samping membicarakan tentang pembagian negara berdasarkan ideologi dan pandangan tentang masyarakat, al-Fārābī juga membahas tentang kepala negara atau seorang pemimpin. Dengan tidak menutup kemungkinan mobilisasi vertikal dari kelas Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh Richard Walzer, al-Farabi on The Perfect State (Oxford: Claeedon Press, 1985), h. 247. 2
3
yang lebih bawah, karena mekanisme alamiah, tetapi perlu ditegaskan bahwa tidak semua warganya, tentu saja, akan mampu dan dapat menjadi kepala negara atau pemimpin negara. Hanya orang yang berada pada kelas tertinggilah yang boleh menjadi pemimpin negara. Tingkat tinggi-rendah posisi mereka ditentukan oleh dekat-jauh mereka dari “jajaran kepala” negara dan ini ditentukan oleh tingkat kesempurnaan pengetahuan mereka tentang keutamaan dan kebahagiaan sesungguhnya. Negara atau Kota Utama yang menjadi cita-cita al-Fārābī adalah kota-kota yang memiliki ciri-ciri kota yang benar-benar utama, yang dipimpin oleh penguasa utama.3 Lawan dari al-Madīnah al-Fāḍilah (negara utama) adalah alMadīnah al-Fāsidah (negara rusak/korup) yang ditandai dengan kebodohan, kebobrokan, gonjang-ganjing, dan merugi. Al-Fārābī
memberikan kriteria khusus untuk menjadi seorang kepala
negara, seperti yang disebutkan di bawah ini: 1. Sempurna anggota badannya 2. Besar pengertiannya dalam memahami 3. Bagus daya tangkapnya 4. Sempurna ingatannya 5. Cakap dan bijak dalam berbicara 6. Mencintai pengetahuan 7. Tidak serakah dalam minuman, makanan, dan hubungan seks 8. Cinta akan kebenaran dan benci kebohongan 9. Cinta akan keadilan dan benci kezaliman 10. Tidak hidup dalam kemewahan dunia dan foya-foya 11. Sanggup menegakkan keadilan, optimisme dan besar hati 12. Kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil.4
3
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2002), Cet Ke-1, h. 65. 4 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8, h. 127.
4
Al-Fārābī ingin menggambarkan pula keutamaan bagi kepala negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktifitas hewani, seperti korupsi, manipulasi, tirani, yang merupakan aktualisasi pemerintah jahiliyyah, pemerintahan fasik, pemerintahan apatis dan pemerintahan sesat. Karena kepala negara menjadi sumber peraturan dan keserasian hidup dalam masyarakat, maka ia harus bertubuh sehat, kuat, berani, pintar, serta cinta kepada ilmu pengetahuan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sehingga yang paling ideal menjadi kepala negara adalah mampu berkomunikasi dengan akal aktif.5 Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail yang ada di negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengangkatan kepala negara. Namun, seandainya tidak ada satu orang pun yang memenuhi kriteria menurut al-Fārābī, kepala negara dapat dipilih secara kolektif “presidium”.6 Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara dan komunikasi, dan sebagainya. Dengan demikian, penulis ingin mencoba mengangkat judul skripsi yang berasal dari sebuah pembahasan menarik di atas yaitu, “Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī”
5
Kautsar Azhari Noer, “Pemikiran dan Peradaban”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 215. 6 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali, 1996), h. 79.
5
Itulah gambaran penalaran yang memberikan alasan mengapa penulis memilih judul ini. Berawal dari wacana di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat sebuah judul yang telah penulis paparkan pada latar belakang masalah di atas.
B. Batasan Rumusan Masalah Agar skripsi ini dapat terarah, tersistematisasi dan teridentifikasi maksudnya, penulis ingin memberi batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan masalah dalam skripsi ini adalah tentang definisi kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī. Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk melacak jawaban dan masalah pokok secara terarah maka dibuat satu pertanyaan: Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Negara Utama menurut Al-Fārābī dengan fokus pada empat (4) hal; pertama, kepemimpinan menurut al-Fārābī; kedua, tugas dan fungsi pemimpin; ketiga kriteria kepala negara; keempat, pengangkatan kepala negara.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama Al-Fārābī, bertujuan
menceritakan secara mendalam
tentang kepemimpinan dalam konsep Negara Utama al-Fārābī.
6
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui pandanganpandangan al-Fārābī tentang kepemimpinan dan Negara Utama guna menambah perspektif baru dalam memandang dan mencari pemimpin dan negara yang ideal. D. Tinjauan Pustaka Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya yang membahas tentang pemikiran politik al-Fārābī. Adapun karya tersebut adalah: Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, yang mengungkapkan tentang hubungan sosial antara masyarakat dengan masyarakat negara, negara (bangsa) dengan negara. Selain karya di atas, penulis menemukan buku-buku yang membahas tentang pemikiran falsafat politik al-Fārābī, seperti buku-buku yang berjudul Negara Utama menurut al-Fārābī, yang dikarang oleh Ahmad Zainal Abidin. Di dalam bukunya ia menggambarkan bagaimana Negara Utama menurut al-Fārābī, dan buku tersebut membahas tentang bagaimana hubungan sosial antara masyarakat dengan masyarakat dan negara dengan negara. Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Filsafat Politik Islam: Antara alFārābī dan Khomeni, yang dikarang oleh Yamani. Di dalam bukunya, Yamani membahas perbandingan pemikiran Khomeini dengan pemikiran al-Fārābī dengan beberapa tujuan. Pertama, ia memaparkan falsafat politik al-Fārābī yang belum banyak diketahui. Padahal banyak peneliti yang percaya bahwa pemikiran tokoh ini merupakan suatu upaya yang cukup berhasil dalam menjelaskan batang tubuh falsafat klasik. Kedua, penyandingan ini bermaksud untuk melacak kemungkinan adanya akar-akar Wilāyah al-Faqīh pemikiran Ayatullah Khomeini dalam
7
pemikiran al-Fārābī. Di dalam buku tersebut, keduanya membahas tentang seorang pemimpin yang saleh, arif, dan bijaksana, bahkan dianggap maʻṣūm berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala agama. Selain buku-buku dan karya-karyanya, penulis juga telah menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi Koencoro salah satu mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2000-2001. Adapun skripsi tersebut berjudul Relevansi Politik Abad Modern dalam Rekonstruksi Pemikiran al-Fārābī. Di dalam skripsinya, ia membahas sepenuhnya pemikiran yang dituangkan oleh al-Fārābī, yang membandingkan dengan pemikiran Ayatullah Khomeini tentang konsep imamah (Wilāyah al-Faqīh) terhadap pemerintahan Iran juga tentang tubuh struktur Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ia berusaha menelusuri adanya kemiripan konsep kepemimpinan dalan struktur pembagian kekuasaan PBB dengan konsep bentuk-bentuk kerja sama antar elemen masyarakat yang terbagi dalam tiga kategori, khususnya dalam Masyarakat Besar (salah satu pemikiran al-Fārābī), yang bekerja sama antara bangsa yang dimiliki oleh dewan keamanan PBB dengan sosial struktur masyarakat al-Fārābī yang sekaligus merupakan bentuk Islamisasi konsep struktur sosial Plato. Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Amirullah salah satu mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2001-2002. Adapun skripsi tersebut berjudul Negara Utama al-Fārābī dan Ide Demokrasi. Di dalam skripsinya ia membahas
8
tentang al-Fārābī yang telah menyumbangkan pemikiran filsafat politiknya terhadap khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah Negara Utama. Konsep tersebut merupakan sebuah perkumpulan kerjasama manusia untuk mencapai tujuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan. Negara Utama al-Fārābī merupakan sebuah konsep politik Islam yang lahir pada abad klasik, berbeda dari demokrasi yang pada kenyataannya berkembang pesat hingga saat ini. Pemikiran al-Fārābī yang lain yang sejalan dengan filsafat politik Plato adalah mengenai bentuk negara ideal yang diidealkan oleh keduanya, yaitu bentuk Negara Kota. Al-Fārābī mengidolakan Negara Kota yang utama, bukan bentuk negara demokratis, seperti juga Plato dan Aristoteles. Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di atas adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan terhadap pembahasan mengenai konsep kepemimpinan yang diungkapkan al-Fārābī dan konsep Negara Utama yang dituliskan al-Fārābī dalam bukunya yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah alFāḍilah. Di dalam buku tersebut di antaranya dibahas tentang negara ideal yang di dalamnya terdapat pembagian negara-negara berdasarkan ideologi menurut alFārābī, kriteria kepala negara, dan sebagainya.
E. Metode Penelitian Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
9
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian.7 Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī. Jenis data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, sekunder, dan lainnya. Data primer ini merujuk pada buku-buku hasil karya alFārābī seperti Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Data sekunder, berupa tulisantulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel, yang mengandung pembahasan tentang kepemimpinan dan komentar, maupun analisis terhadap pemikiran alFārābī yang ditulis oleh para sarjana dan cendekiawan yang menggeluti pemikiran al-Fārābī. Data yang lain ialah seperti ensiklopedi, kamus, internet, koran, jurnal dan lain-lain, yang relevan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap rujukan yang penulis sebutkan sebelumnya. Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal “Ilmu Ushuluddin” yang diterbitkan Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
7
37.
Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: UI Press. 1993), h.
BAB II RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ A. Pendidikan Nama lengkap al-Fārābī adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī. Ia lahir pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. dan meninggal pada tahun 339 H./950 M.1, pada zaman pemerintahan Kerajaan Sammāniyyah. Di Barat ia terkenal dengan sebutan
Avennasar.2 Menurut
keterangan, bapaknya berasal dari Persia atau keturunan Persia (kendatipun nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Sedangkan ibunya berasal juga dari Persia. Bapak al-Fārābī bekerja sebagai seorang pegawai tentara kerajaan, sedangkan pekerjaan ibunya tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, ia bisa disebut orang Persia dan orang Turki.3 Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil bernama Wāsij, Fārāb, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana yang masih masuk wilayah Turkistan.4 Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhārā. Setelah mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen 1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 49. 2 Abd. Sidiq, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra, 1984), h. 89; lih. juga, Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion (Londen: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284. 3 Menurut Eliade, The Encyclopedia of Religion (London: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284, lebih tegas ia disebut sebagai orang Turki “Turkish Descent”, atau “Turkish Origin”. 4 M.M. Sharif, Para Filosof Muslim, terj. dari buku tiga bagian, The Philosophers, dalam History of Islam Philosophy ,1963 (Bandung: Mizan, 1994), cet. Ke-7, h. 55-58; De boer, The History of Philosophy in Islam (London: Lizac & Company, 1970), h. 107-109.
10
11
Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuḥannah ibn Haylān. Pada masa kekhalifahan al-Muʻtadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylān pergi ke Baghdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak memberi sumbangsih dalam penempaan falsafat baru dalam bahasa Arab meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab. Pada kekhalifahan al-Muktafī (902-908) dan awal kekhalifahan alMuqtadir (908-932) al-Fārābī pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta memelajari seluruh silabus falsafat. Pada tahun 297 H. bersamaan 910 M., ia telah kembali ke Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengaji buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Setelah hijrah ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu falsafat, logika, etika, ilmu politik, musik, dan lain sebagainya.5 Di sinilah ia kembali memerdalam falsafat Yunani. Al-Fārābī adalah seorang komentator falsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para failasuf Yunani: Plato, Aristoteles, dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, falsafat, pengobatan, bahkan musik. Al-Fārābī telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah karya penting dalam bidang musik, Kitāb al-Mūsīqā. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan berbagai alat musik. Pada tahun 330 H. bersamaan 942 M., al-Fārābī telah berpindah ke Damaskus yaitu satu daerah di negara Syiria akibat kekacauan dan ketidakstabilan 5
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol. 1, Cet. Ke-4, h. 331.
12
politik yang berlaku di Baghdad. Pada tahun 332 H. bersamaan 944 M., al-Fārābī pergi ke Mesir, tetapi tidak diketahui tujuan, mengapa dan kegiatan ia di sana, tapi menurut Ibn Abī ʻUṣaybīʻah yang mana merupakan seorang ahli sejarah, al-Fārābī telah mengarang sebuah karya mengenai politik ketika berada di Mesir yaitu sekitar tahun 337 H. Pada bulan Rajab 339 H. bersamaan 950 M., al-Fārābī meninggal dunia di Damaskus, saat berumur 80 tahun. Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di bagian luar pintu selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Sayf al-Dawlah sendiri yang memberi tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah alFārābī.
B. Kehidupan Sosial Politik Al-Fārābī hidup pada masa zaman kekuasaan Dinasti ʻAbbāsiyyah yang digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan, dengan berbagai motif; agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud dengan cara infiltrasi subversi dan kudeta, bekerja sama dengan kelompok Syīʻah yang berkeyakinan lebih berhak memerintah dan berkuasa daripada keturunan ʻAbbās, paman Nabi Muḥammad SAW. Stabilitas lebih kacau lagi dengan
13
hilangnya Imam Muḥammad Mahdī (Imam Keduabelas dari Syīʻah Imāmiyyah) dalam usia empat atau lima tahun.6 Akhir periode ʻAbbāsiyyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan khalifah mengalami kemunduran. Sedangkan yang berkuasa adalah dinasti-dinasti baru yang kebanyakan dari Turki dan Persia. Pada akhirnya, dinasti-dinasti ini menguasai Baghdad itu sendiri, dan khalifah pun praktis merupakan boneka di tangan mereka.7 Pada hidupnya al-Fārābī tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintah. Ia lahir pada zaman pemerintahan Khalifah al-Muʻtamīd (892-902 M) dan meninggal pada masa Khalifah al-Muṭīʻ yang merupakan suatu periode paling kacau dengan stabilitas politik yang sangat mengenaskan. Hal ini yang disinyalir menyebabkan dirinya merasa perlu untuk memikirkan dan menemukan pola-pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal di samping pengaruh dari pendidikan falsafat Yunani yang banyak dipelajarinya. Kehancuran
demi
kehancuran
dinasti
membuatnya
berpikir
dan
berimajinasi mengenai suatu bentuk negara ideal yang pernah ia lihat pada dinasti Sammāniyyah. Seperti halnya Plato, al-Fārābī juga melihat bahwa kehancuran sebuah negara atau dinasti adalah akibat dari kehancuran moralitas bangsa dan pimpinan pada khususnya. Dari situlah kemudian ia tertarik untuk menawarkan sebuah negara yang sejahtera melalui negara utama dengan pimpinan yang utama dan masyarakat yang utama pula. 6
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 79-80. 7 Yamani, al-Farabi Filosof Politik Muslim (Jakarta: Teraju, 2005), Cet. 1, h. 13.
14
Stabilitas politik dan kondisi kehidupan al-Fārābī menunjukkan bahwa ia hidup di dalam sebuah negara yang mengalami kekacauan yang ditimpa berbagai macam konflik yang dilatarbelakangi adanya motif politik, sehingga al-Fārābī di dalam kehidupannya memberikan beberapa konsep tentang falsafat politik khususnya terhadap negara. Dengan latar belakang motif politik dan kondisi kehidupan yang kacau, al-Fārābī menuangkan konsep pemikirannya dalam bentuk negara utama, karena di dalam konsep tersebut al-Fārābī menjelaskan tentang sebuah negara yang masyarakatnya memunyai suatu tujuan yaitu mencapai kebahagiaan. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran alFārābī dilatarbelakangi dengan beberapa poin. Pertama, adanya kondisi kehidupan yang kacau yang di dalamnya mengalami keributan dan perebutan kekuasaan di dalam kerajaan. Kedua, stabilitas poiltik yang tidak aman, yang mengalami beberapa pergantian khalifah, sehingga tidak adanya suatu efektifitas pemerintahan yang stabil. Dari kedua faktor tersebut al-Fārābī menuangkan pemikirannya di dalam falsafat politik dalam sebuah konsep dengan istilah Negara Utama al-Fārābī.
C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik Sebagaimana para failasuf Muslim lain pada umumnya, pemikiranpemikiran falsafi al-Fārābi tidak luput dari pengaruh pemikiran-pemikiran para failasuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
15
Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al-Fārābi membahas tentang kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Taḥṣīl ʻalā Sabīl al-Saʻādah, dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga golongan yaitu; ʻāmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi keadilan sebagai barometer kebaikan.8 Keadilan merupakan hal yang penting dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal. Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah pemerintah atau failasuf.9 Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini adalah budi yang pandai menguasai diri. Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara. Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu. Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah (Hyderabad: Majlis Dā’irah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah, 1349 H.), h. 36-37. 9 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 145 8
16
Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini. Golongan paling atas adalah pemerintah atau failasuf. Mereka adalah orang-orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain itu, waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam falsafat dan pengetahuan tentang idea kebaikan sehingga memerdalam kesempurnaan budi kebijaksanaan. Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil, menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio (ephitymia, enerji, thymas dan logos). Jika keinginan dan enerji – di bawah pimpinan rasio – dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagianbagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar, sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masingmasing sepadan
dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama,
golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia. Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.10 Plato adalah pencipta ajaran serba cita (idenleer), karena itu falsafatnya disebut idealisme. Ajaran Plato lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis. Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca 10
P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote Filosofen over de Mens (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 16-17
17
indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan (yang sebenarnya) tidak hanya terbatas pada pengamatan (inderawi). Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam, bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana bendabenda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita (ide) kuda misalnya, yang memunyai sifat-sifat benda dalam bentuk yang murni tidak dapat diamati di dunia ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna dan sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang sempurna di dunia ini.”11 Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua failasuf besar Yunani (Plato dan Aristoteles). Ketika berbicara tentang politik dan negara, al-Fārābī, selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis, berpijak dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas kolektif.12 Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena 11 12
P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h. 16-17. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.
18
dia (Aritoteles) adalah seorang realis. Akan tetapi, pada dasarnya, Aristoteles juga seorang idealis dan menjadikan alam pikiran sebagai pokok penyelidikan, hingga kemudian orang mendapat tanggapan-tanggapan abstrak seperti adil, tidak adil, negara dan lain sebagainya, yang sangat berarti pada dunia kenyataan. Aristoteles juga berpendapat seperti Plato, bahwa dalam suatu masyarakat rohani yang luasnya terbatas dan terdiri dari orang-orang merdeka, ada lebih besar harapan akan terciptanya keadilan. Ini berarti seyogyanya pemerintah harus membuat masyarakat yang dipimpinnya merasa merdeka sambil menjalankan pemerintah yang adil dan bijaksana. Keadaan ini untuk Plato hanya merupakan tanggapan pikiran, sedangkan Aristoteles memerdalam penyelidikannya untuk menciptakan dan memertahankan keadaan tersebut. Pada akhirnya, baik Plato maupun Aristoteles berpendapat bahwa jika tidak ada kecenderungan etis dan sosial pada warga negara, maka tak ada harapan akan tercapai suatu keadilan yang tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah orang-orang baik dan dengan undang-undang yang baik pula. Maka ini semua laksana jiwa dan badan yang harus ada keseimbangan sebagai keadilan.13 Pandangan kedua failasuf (Plato dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi pimpinan negara/kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negara. Kebajikan itu dapat berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan barang
13
J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato tot Kant) (Jakarta: Pembangunan, 1965), h. 46.
19
siapa yang mengurangi bagian itu – lanjut al-Fārābī – dia adalah orang yang curang dan tidak patut menjadi pimpinan.
D. Karya-karya Hampir di segala bidang ilmu pengetahuan, al-Fārābī mengarang bukubuku yang berharga. Baik buku-buku itu berisi karangan dan pemikirannya sendiri, maupun bersifat terjemahan atau komentar-komentar terhadap failasuffailasuf yang mendahuluinya. Pengarang al-Qifṭī dalam bukunya Ikhbār al-
ʻUlamāʼ fī Akhbār al-Ḥukamāʼ, dan Ibn ʻUṣaybīʻah dalam bukunya ʻUyūn alAkhbār fī Ṭabaqāt al-Ṭibbāʻī menghitung bahwa buku-buku al-Fārābī berjumlah 102 buah yang terbagi kepada: 17 buah bersifat komentar, 60 buah karangan dan 25 buah risalah. ʻAbbās Maḥmūd berdasarkan catatan-catatan sejarah, menghitung jumlah sampai 117 buah, yang dibaginya menurut bidang pengetahuan kepada enam bidang: 43 buah mengenai mantiq, yang meliputi hermeneutik, analytica priora, analytica aposteriora, topica, sophistica elenchi, rhetorica dan poetic. 11 buah mengenai ilmu-ilmu kepandaian yang meliputi ilmu-ilmu musik, teknik, bintangbintang, hitungan, dan lain-lain. Sebelas (11) buah mengenai ilmu ketuhanan yang meliputi metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. Empat belas (14) buah mengenai ilmu politik yang meliputi ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dua puluh delapan (28) buah mengenai “Bunga Rampai” yang meliputi komentar-
20
komentar terhadap karangan-karangan failasuf Yunani dan segala macamnya. Termasuk di dalam bagian “Bunga Rampai” buku Iḥṣāʼ al-ʻUlūm.14 Jika memerhatikan bidang-bidang yang diisi oleh al-Fārābi dengan karangan-karangannya di atas, dapat kita yakini bahwa failasuf Islam itu betulbetul menguasai segala cabang ilmu pengetahuan. Muḥammad Luṭfī Jumʻah dalam bukunya Tārīkh Falāsifah al-Islāmī menerangkan bahwa buku-buku al-Fārābī yang sudah dicetak ke dalam bahasa Arab berjumlah 6 buah, ditambah dengan 12 buah buku-bukunya yang tersebar di berbagai perpustakaan-perpustakaan Eropa mengenai ilmu logika, kemudian 8 buah buku mengenai politik dan akhlak, sehingga jumlah-jumlah yang masih diperoleh sekarang 26 buah.15 Buku-buku karangan al-Fārābī mulai ditulis sewaktu berada di Harran pada 310 H./ 941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika diperhitungkan bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti paling lama waktunya mengarang tak lebih dari 30 tahun. Pertama, Mengenai bukunya (Iḥṣāʼ al-ʻUlūm) adalah himpunan segala ilmu. Sebagaimana namanya, buku itu memuat pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan sampai kepada masanya. Buku itu membagi segala ilmu kepada 5 golongan: 1. 2. 3. 4.
h. 23.
Ilmu-ilmu sastra Ilmu-ilmu logika Ilmu-ilmu matematika Ilmu-ilmu alam
14
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madīnah al- Faḍīlah) (Jakarta: Kinta. 1968),
15
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 23.
21
5. Ilmu-ilmu politik, sosial dan ekonomi Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, menamakan buku itu “Encyclopaedia of Islam”. Dikatakannya: “Iḥṣāʼ al-ʻUlūm itu memberikan peninjauan kembali secara umum tentang ilmu-ilmu. Para ahli bangsa Latin memberikan ide tentang pembagian ilmu-ilmu pengetahuan menurut cabang ilmu ada lima macam, yaitu bahasa, logika, matematika, ilmu-ilmu alam, dan politik serta sosial ekonomi.” Buku itu tersebar di Eropa karena terjemahannya yang banyak. Terjemahan pertama berbahasa Latin diterjemahkan oleh John of Spain (John of Seville, atau John of Toledo, atau John of Luna or Limia, atau John Avendehut) yang meninggal pada 1157 M. Buku itu menggunakan nama Alpharabu Vetustissimi Aristotelis interpretis, opera omnia, quae Latina lingua. Terjemahan itu disebarkan oleh Guiliemus Comerarius, guru besar teologi di Universitas Paris, pada tahun1938 M. dan sekarang dapat diperoleh dalam British Museum di London. Terjemahan bahasa Latin yang kedua dilakukan oleh Gerards de Ceremona yang meninggal pada 1187 M. dengan judul buku De Scientus yang sebagian disebarkan oleh Dr. Eilhard Wiedmann dalam bahasa Jerman pada 1907 dan sekarang naskah terjemahan itu masih terdapat di perpustakaan Paris No. 9335 fols. 148-184. Terjemahan yang ketiga dilakukan oleh Dominicus Guinissalinus yang diberi judul De Devisione Philosophiae. Walaupun Wustandfel mengatakan buku
22
itu bukanlah terjemahan dari karangan al-Fārābī, tetapi setelah diselidiki oleh Wolff, hampir 2/3 dari buku al-Fārābī dimuat di dalamnya. Adapun aslinya dalam bahasa Arab barulah dicetak pertama kali oleh majalah al-ʻIrfān pada 1821 M. dari naskahnya tertanggal abad 13 M. Cetakan kedua diterbitkan oleh Dr. Otsman Amien pada tahun 1931. Kedua, selain itu ada bukunya yang bernilai tinggi ialah komentarnya terhadap karangan Aristoteles bernama Aghrāḍ Kitāb mā Warāʼa al-Ṭabīʻah li Arisṭū (On the Objects of Metaphysica, Tujuan buku Aristoteles tentang Metafisika). Mengenai buku ini, diakui oleh Ibn Sīnā, bahwa dia telah membaca buku Metaphysic of Aristoteles (Metafisika dari Aristoteles) sampai diulanginya, tetap dia tidak mengerti. Tapi setelah membaca komentar al-Fārābī terhadap buku itu barulah dia mengerti seluruh isinya dengan sekali baca saja Ketiga, buku lain yang penting juga ialah Al-Taʻlīm al-Tsānī (pelajaran falsafat yang kedua), yang dikarangnya atas permintaan kepala daerah. Karena buku itu, nama al-Fārābī menanjak tinggi dengan gelar “Second Preceptor” (Maha Guru Kedua), sesudah Aristoteles sebagai Maha Guru Pertama. 16 Di antara hasilhasil karyanya yang berjumlah 117 buah, buku karangannya di bidang politik cukup populer dan sangat mengagumkan. Segala buku-buku itu meliputi tiga bidang: 1. Politik dan Hukum 2. Sosial dan Ekonomi 3. Akhlak
16
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 24-28
23
Adapun nama buku-buku politik karangan al-Fārābī itu ialah: 1. Mabādiʼ Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (The principle of the community of model city, dasar-dasar ideologi warga negara utama), atau singkatnya dinamakan Madīnah al-Fāḍilah. Menurut keterangan Ibn Abī ʻUṣaybīʻah, buku itu mulai dikarang al-Fārābī sewaktu di Bahgdad dan dibawanya pindah ke Syām pada akhir 330 H., lalu disempurnakan di Damaskus pada 331 H. Barulah selesai dengan membagi-bagi bab dan pasalnya pada 337 H., sewaktu dia berada di Mesir. Jadi diselesaikan dalam waktu 7 tahun. Naskah buku ini masih terdapat di Dār al-Kutub di Mesir No. 743 bagian ilmu kalām. Sudah dicetak dan diterbitkan di Leiden pada 1895 dan kemudian di Mesir. 2. Siyāsah al-Madaniyyah (political economy, politik ekonomi). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew oleh Moses ben Tebon pada 1248 M. dan juga telah disebarkan oleh M. Philopporski dalam suatu kumpulan yang dinamakannya “Sepher ha~Asiph” pada 1850 di London. Buku siyasah ini dinamakan juga Mabādiʼ al-Mawjūdāt (dasar-dasar segala wujud)”, telah dicetak di Heyderabad, India, pada 1346 H. Kedua buku di atas diakui oleh Ibn Abī ʻUṣaybīʻah dan al-Qifṭī sebagai “Dua buku yang tidak ada bandingannya”. 3. Jawāmiʻ al-Siyāsah (cimpedium of politics, himpunan politik) disebarkan oleh Shaiko dari manuskripnya yang masih tersimpan di Vatikan.
24
4. Jawāmiʻ Kutub al-Nawāmīs li Aflāṭūn (a summary of Plato laws, ringkasan dari buku hukum karangan Plato). Manuskrip aslinya terdapat di perpustakaan Leiden No. 1429. 5. Kitāb al-Alfāẓ al-Flāṭūniyyah wa Takwīn al-Siyāsah al-Mulukiyyah wa alAkhlāq (monarchal policy making and moral, kata-kata Plato tentang pembentukan negara monarki dan akhlak). Manuskripnya tersimpan di Aya Sophia, Istanbul, No. 2820. 6. Risālah fī Qawd al-Juyūsy (risalah tentang pembentukan tentara) 7. Al-Maʻāyisy wa al-Ḥurub (hubungan ekonomi dan peperangan) 8. Al-Ijtimāʻiyyah wa al-Madīnah (community of the city, masyarakatmasyarakat kota) 9. Al-Faḥṣ al-Madanī (penyelidikan rencana pembangunan). 10. Taḥṣīl al-Saʻādah (reality of the happines, merealisasikan tujuan kebahagiaan). Buku ini telah dicetak di Heyderabad pada 1345 H. Dan naskahnya disimpan di Dār al-Kutub Mesir, No 601 bagian Hikmah. 11. Risālah fī al-Saʻādah (pamphlet on happines, risalah tentang kebahagiaan), dapat diperoleh di Dār al-Kutub, Mesir No. 120. 12. Risālah fī at-Tanbīh ʻalā Subul al-Saʻādah (risalah tentang peringatan mengenai jalan-jalan menuju kebahagiaan). Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan satu naskah aslinya tersimpan di British Museum, London No. 77. 13. Al-Ṣīrāṭ al-Faḍīlah (model of etihcs, akhlak utama). Buku ini pernah dipuji sebagai puncak karangan al-Fārābī di bidang akhlak.
25
14. Ṣadr Kitāb al-Akhlāq li Arisṭū (preface to ethics of aristotle, pengantar dari buku akhlak karangan aristoteles). Menurut Steincheineder, kemungkinan besar buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, karena kebanyakan pengarang-pengarang Yahudi selalu menyebut-nyebutnya, seperti Maimonides, Samuel ben Taboun, Jozef ben Shantoub dan David ben Jahuda. 15. Jawāmiʻ al-Sayr al-Marḍiyyah fī Iqtifāʼ al-Faḍāʼil al-Insiyyah (himpunan akhlak-akhlak yang baik dalam mengikuti sifat-sifat keutamaan manusia). Satu naskah buku ini terdapat dalam perpustakaan di Leiden, No. 1931.17 Demikianlah jumlah buku-buku
karangan al-Fārābī. Kita menyadari
bahwa pembagiannya kepada tiga bidang di atas (politik dan hukum, sosial dan ekonomi, dan akhlak), tidaklah begitu tepat. Tidak mungkin suatu buku membatasi dirinya kepada suatu bidang saja dengan tidak mencampuri bidang lainnya. Misalnya buku-buku mengenai kebahagiaan, dapat dimasukkan ke dalam soal-soal sosial dan ekonomi, sebagai tujuan negara, tetapi dapat juga dimasukkan dalam soal politik, bahkan juga dalam bidang akhlak. Dari buku-buku yang disebutkan di atas ada tiga buah buku yang merupakan puncak tertinggi dari setiap bidang yaitu: 1. Mabādī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, dalam soal-soal politik 2. Siyāsah al-Madāniyyah dalam soal-soal sosial dan ekonomi 3. Al-Ṣīrāṭ al-Faḍīlah dalam soal-soal akhlak Jika buku-buku yang merupakan puncak di bidang masing-masing itu dihimpun menjadi satu, kita melihat satu kesempurnaan yang mengagumkan bagi
17
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 30-33.
26
uraian-uraian al-Fārābī di bidang ilmu kenegaraan. Buku-buku inilah yang menjadi konsepsi al-Fārābī.
BAB III KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT AL-QURʼĀN DAN ḤADĪTS
A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rancangan atau buram surat, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.1 Woodruff mendefinisikan konsep sebagai suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu obyek, produk subyektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap obyek-obyek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap obyek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa obyek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan kompleks, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman atau kejadian tertentu.2 Sedangkan kepemimpinan menurut KBBI adalah perihal pemimpin, cara memimpin.3 Setiap kegiatan manusia yang dilakukan secara kolektif selalu membutuhkan suatu sistem kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang
1
Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, 13/03/2014, pukul 14.15 WIB. 2 http://carapedia.com/pengertian_definisi_ konsep_menurut_ para_ahli_info402.html, 13/03/2014, pukul 14.30 WIB. 3 Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, 13/02/2014, pukul 17.55 WIB.
27
28
jutaan banyak ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih dan memersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian
dilakukan
orang
untuk
memelajari
masalah
pemimpin
dan
kepemimpinan. Maka dari itu, pembahasan dalam bab ini akan fokus pada konsep atau ide tentang hal apa saja yang berkaitan dengan kepemimpinan atau cara memimpin berdasarkan al-Qurʼān dan Ḥadīts yang memang merupakan landasan utama kehidupan. Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan ayat beserta tafsir dengan tujuan agar kita dapat melihat kesesuaian ayat dengan bahasan. Ditambah juga beberapa pandangan ahli Ḥadīts tentang Ḥadīts-Ḥadīts yang akan penulis ungkapkan. Adapun mengenai ayat al-Qurʼān, tafsir pada pembahasan nanti akan diungkapkan berdasarkan dua tafsir: Pertama, Tafsīr al-Ṭabarī yang ditulis sebelum kelahiran al-Fārābī. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat mengetahui bagaimana trend tafsir yang beredar pada masa-masa kehidupan al-Fārābī dan bagaimana pengaruhnya. Kedua, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, yang ditulis pada abad 20. Hal ini dimaksudkan supaya kita dapat melihat perkembangan penafsiran di era modern di mana sudah banyak teori kepemimpinan yang berkembang. Dua tafsiran di atas cukup merepresentasikan pandangan tentang kepemimpinan di zaman klasik yang diwakili oleh Tafsīr al-Ṭabarī dan zaman modern yang diwakili oleh Tafsir al-Mishbah. Dengan begitu, kita dapat melihat bagaimana perkembangan teori kepemimpinan dalam pandangan mufassir.
29
Dari sekian banyak tokoh yang menulis tentang kepemimpinan menurut al-Qurʼān adalah Munawir Sjadzali yang menulis buku Islam dan Tata Negara yang menjadi referensi utama. Hal ini dikarenakan beberapa ayat yang ia cantumkan di dalam bukunya itu sesuai dengan pembahasan mengenai kepemimpinan. Tulisan ini kita mulai dari bagaimana al-Qurʼān berbicara mengenai kepemimpinan. Munawir Sjadzali mengungkapkan, di dalam al-Qurʼān terdapat ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ayat-ayat tersebut di antaranya:4 Pertama, mengajarkan tentang kedudukan manusia di muka bumi sebagai pemimpin yaitu:
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165). Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, Allah SWT berfirman kepada Nabi, “Wahai manusia, dan Dialah yang menjadikan kamu sekalian manusia, sebagai penguasa-penguasa di bumi, dengan memusnahkan orang-orang dan umat-umat sebelum kalian, serta menjadikan
4
Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 4.
30
kalian sebagai khalīfah dan pengganti mereka di muka bumi. Kalian menguasai bumi dan menjadi penguasa setelah mereka.”5 Firman Allah SWT, “dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,” sesungguhnya dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa keadaan manusia berbeda-beda, dan Dia menjadikan status sebagian lebih tinggi dari sebagian lain dengan melapangkan rizki sebagian mereka, sehingga sebagian manusia menjadi lebih utama disebabkan rizki dan kekayaan yang dianugerahi kepada mereka lebih tinggi dari si fakir. Selanjutnya firman Allah SWT, “Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu,” maksudnya adalah untuk menguji manusia dengan apa yang dianugerahkan kepadanya berupa keutamaan dan rizki, sehingga dapat diketahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya. Kemudian maksud dari, “Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” adalah sesungguhnya Allah akan menutupi dosa orang-orang yang diberi ujian berupa kenikmatan, atau diuji dengan perintah dan larangan. Kemudian ia menerima dan taat kepada-Nya, maka Allah akan menutupi kehinanaan pada saat ia dihisab.6 Sedangkan menurut Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan disamping Allah SWT sebagai pemelihara segala sesuatu, “Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi,” yakni pengganti umat-umat yang lalu dalam mengembangkan alam. “Dan Dia meninggikan” derajat akal, ilmu, harta kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain-lain “sebagian kamu atas Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 787. 6 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 787. 5
31
sebagian” yang lain “beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi Muḥammad SAW “amat cepat siksaan-Nya” karena Dia tidak membutuhkan waktu, alat, dan tidak pula disibukkan oleh satu aktifitas untuk menyelesaikan aktifitas yang lain “dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun” bagi yang tulus bertaubat “lagi Maha Penyayang” bagi hamba-hamba-Nya yang taat. Kata khalāʼif adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata ini terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalīfah seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ini karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang sesudah yang ada atau datang sebelumnya.7 Kedua, prinsip yang sangat mendasar adalah keadilan sebagaimana di dalam al-Qurʼān Allah berfirman:
Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26). Maksud ayat di atas dalam Tafsīr al-Ṭabarī adalah, Allah katakan kepada Dāwud, “Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalīfah di 7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Jilid IV, hal. 362.
32
muka bumi sesudah Kami menjadikanmu sebagai rasul yang memutuskan perkara di antara penduduk bumi”8 Kemudian, berilah keputusan secara adil dan tengah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, dalam memutuskan perkara di antara mereka sehingga engkau menyimpang dari kebenaran, karena hawa nafsu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat di akhirat atas kesesatan mereka dari jalan Allah lantaran melupakan perintah Allah yang dalam hal ini tidak memberi keputusan secara adil dan tidak menaati Allah.9 Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah dikatakan bahwa Allah SWT mengangkat Dāwud sebagai khalīfah, Allah berfirman: “Hai
Dāwud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah” yakni penguasa “di muka bumi,” yaitu di Bayt al-Maqdis, “Maka berilah Keputusan” semua persoalan yang engkau hadapi “di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu” antara lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum mendengarkan semua pihak, sebagaimana yang engkau lakukan dengan kedua pihak yang berperkara tentang kambing itu, “karena” jika engkau mengikuti nafsu, apapun dan yang bersumber dari siapa pun, baik dirimu maupun mengikuti nafsu orang lain, maka “ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang” terus-menerus hingga tiba ajalnya “sesat dari
8 9
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 144. Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 144.
33
jalan Allah akan mendapat adzab yang berat” akibat kesesatan mereka itu, sedang kesesatan itu sendiri adalah “karena mereka melupakan hari perhitungan.” Kata khalīfah pada mulanya berarti “yang menggantikan” atau “yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya”. Pada masa Dāwud, terjadi peperangan antara dua penguasa besar Ṭālūt dan Jālūt. Dāwud adalah salah seorang pasukan Ṭālūt. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarkannya pada keberhasilan dalam membunuh Jālūt, dan setelah keberhasilan itu dan setelah Ṭālūt meninggal, Allah mengangkatnya sebagai khalīfah menggantikan Ṭālūt.10 Ketiga, tentang musyawarah, di dalam al-Qurʼān Allah berfirman:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38). Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orangorang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakanNya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang disembah selain Dia.11
10 11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 132. Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.
34
Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib sesuai dengan batas waktunya. Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu perkara, maka mereka saling bermusyawarah. Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.12 Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar-
benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat “mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunnah.
12
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.
35
Kata syūrā terambil dari kata syawur. Kata syūrā bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memerhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat syirtu al-ʻasal yang bermakna: saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti memersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun bisa dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyampaikan.13 Keempat, tentang ketaatan kepada pemimpin, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. al-Nisāʼ: 59). Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī mengatakan: maksudnya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah sebagai Tuhanmu, patuhilah segala perintah-Nya dan larangan-Nya. Serta taatilah Rasul-Nya yaitu Muḥammad SAW, karena sesungguhnya ketaatanmu kepada Muḥammad adalah bentuk ketaatanmu kepada Tuhanmu dan semata-mata karena menjalankan perintah Allah kepadamu.”14
13 14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512. Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 249.
36
Para mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan makna ūlū al-amr pada ayat ini. Namun, Abū Jaʻfār mengatakan pendapatnya bahwa maksudnya adalah para pemimpin dan penguasa, berdasarkan ḥadīts ṣaḥīḥ dari Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk taat kepada perintah (yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin) para imam dan penguasa. Dan firman Allah, “Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.” Maksudnya adalah, wahai orang-orang beriman, jika kamu berbeda pendapat dalam urusan agama dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān), yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan pemimpin kalian perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian dapatkan di dalamnya. Kemudian ayat, “Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” maksudnya adalah kembalikanlah apa saja yang kamu perselisihkan kepada Allah dan Rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi Allah pada hari kamu dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu, sebab itu mengajak kepada kasih sayang dan meninggalkan peselisihan serta perpecahan.15 Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, maksud ayat di atas adalah memerintahkan kaum Mukmin agar menaati putusan hukum siapa pun yang berwenang menetapkan hukum. Secara berturut dinyatakan-Nya, “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah” dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam
15
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 249-266.
37
al-Qurʼān “dan taatilah Rasul (Nya)” yakni Muḥammad, dalam segala macam perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak melakukan sesuatu, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, “dan” perkenankan juga perintah “ūlū al-amr” yakni yang berwenang menangani urusanurusan kamu, selama mereka merupakan bagian “di antara kamu” wahai orangorang Mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau perintah rasul-Nya. “Kemudian jika kamu tarik-menarik” yakni berbeda “pendapat tentang sesuatu” karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qurʼān dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang sahih, “maka kembalikanlah ia kepada” nilai-nilai dan jiwa firman “Allah” yang tercantum dalam al-Qurʼān serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan “Rasul” yang kamu temukan dalam sunnahnya, “jika kamu benar-benar beriman” secara mantap dan berkesinambungan “kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu” yakni sumber hukum ini adalah
“baik” lagi sempurna, sedang lainnya buruk atau
memiliki kekurangan, “dan” di samping itu, ia juga “lebih baik akibatnya”, baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak. Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ūlū al-amr. Dari segi bahasa, ūlū adalah bentuk jamak dari walī yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, ūlū al-amr adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat
38
bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga adalah bahwa mereka yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.16 Kelima, tentang hubungan antar umat dari berbagai agama, Allah berfirman:
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim (Q.S al-Mumtaḥanah: 8-9) Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah Allah tidak melarang kita mencintai atau berkasih sayang kepada orang-orang yang tidak memerangi kita atas dasar agama, dan tidak pula mengusir kita dari rumah kita. Kita boleh berbuat baik kepada mereka dan melakukan tindakan adil, yaitu tetap berbuat baik kepada mereka.17
16 17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 459. Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 942.
39
Kemudian kita hanya dilarang oleh Allah untuk berbuat baik kepada orang yang memerangi karena agama dan mengusir kita. Dan siapa yang menjadikan mereka kawan, menjadikan mereka pembela selain yang diperbolehkan Allah atau menempatkan pertemanan itu bukan pada tempat seharusnya, berarti telah menyelisihi perintah Allah.18 Akan tetapi menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah bahwa perintah untuk memusuhi kaum kafir (non Muslim) yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru ini, ayat-ayat di atas menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum Muslimin dan non Muslim. Ayat di atas secara tegas menyebut nama Yang Maha Kuasa dengan mengatakan: “Allah” yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir—walaupun keluarga kamu “tidak melarang kamu” menjalin hubungan dan berbuat baik “terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.” Allah tidak melarang kamu “berbuat baik” dalam bentuk apapun “bagi mereka dan” tidak juga melarang kamu “berlaku adil pada mereka.” Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang salah, maka kamu harus membela dan memenangkan mereka. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah” tidak lain “hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu” orang lain “untuk
18
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 942-947.
40
mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan” tempat menyimpan rahasia, “maka mereka itulah” yang sungguh jauh kebejatannya dan “orang-orang yang zalim” yang sungguh mantap kezalimannya.19 Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas beberapa Ḥadīts Nabi yang berkaitan dengan kepemimpinan. Penulis mengungkapkan pendapat Ibn Khaldūn mengenai Ḥadīts. Hal ini dikarenakan Ibn Khaldūn memiliki pemikiran yang brilian tentang bagaimana memandang Ḥadīts. Seperti Ḥadīts yang mensyaratkan keturunan Quraysy untuk pemimpin negara, dan Ḥadīts lainnya yang terkait dengan masalah politik, Ibn Khaldūn berusaha meninjau kembali bagian-bagian dari Ḥadīts Nabi yang membahas tentang politik termasuk duniawi. Menurutnya Ḥadīts yang seperti itu tidak perlu dianggap sebagai suatu yang absolut dan suci yang mengatasi ruang dan waktu. Nabi Muḥammad, menurut Ibn Khaldūn, tidak ingin umatnya mengikuti secara taqlid tanpa melihat sebab-sebab atau alasan yang ada di baliknya. Lagi menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh Nabi yang mengacu kepada urusan dunia harus ditempatkan dalam konteksnya yang temporal dan relatif, tidak sebagaimana tradisi agama murni. Tradisi sekular hanya patut untuk batasan ruang dan waktu di mana peristiwa itu berlangsung.20 Dalam hal ini, Ibn Khaldūn dapat dianggap sebagai orang pertama dalam Islam yang menempatkan Ḥadīts Nabi dalam batas ruang dan waktu. Kepemimpinan dalam literatur Islam, khususnya sunnah Nabi Muḥammad SAW. baik dalam praktik politik, atau teks-teks Ḥadīts yang terkait dengannya,
19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XIV, hal. 168. Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Hidayat), Cet. Ke-I, h. 50. 20
41
juga perlu dikaji dengan seksama, agar didapat pengetahuan yang menyeluruh dan benar tentang masalah ini. Hal ini penting karena banyak pemahaman dan praktik politik kaum Muslimin yang tidak terlepas dari hasil pemahaman mereka terhadap Ḥadīts-Ḥadīts Nabi. Seluruh prinsip-prinsip bermasyarakat bernegara ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. seperti Ḥadīts yang diriwayatkan ʻĀʼisyah istri Nabi, ketika ia ditanya tentang perilaku Rasulullah, ia menjawab bahwa segala perilaku Nabi adalah berlandaskan al-Qurʼān (kāna khuluquhu al-Qurʼān) dan diteruskan juga oleh para pengikut beliau yakni al-Khulafāʼ al-Rāsyidūn, yang dengan teguh dan konsisten memegang dan melaksanakan prinsip-prinsip alQurʼān, dalam bermasyarakat bernegara dan memimpin umat. Ḥadīts paling terkenal populer yang berbicara mengenai kepemimpinan adalah Ḥadīts Nabi yang berbunyi:
Dari Ibnu ʻUmār r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Begitu pula seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya (Ḥ.R. Bukhārī Muslim).21 Di samping itu, dalam literatur Ḥadīts Nabi terdapat beberapa riwayat tentang istilah “khalīfah”, “imāmah”, dan juga “amīr al-muʼminīn”. Di antaranya adalah Ḥadīts yang diriwayatkan dari Abī Hazm RA:
Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, terj. H. Salim Bahreisy (Bandung: alMaʻārif, 1987) Jilid I, h. 491. 21
42
Aku telah berteman dengan Abū Hurayrah selama lima tahun, kemudian aku mendengarkan ia meriwayatkan Ḥadīts dari Nabi SAW: Bani Israel adalah kamu yang dipimpin oleh para nabi, ketika nabi mereka meninggal lalu diganti lagi oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi sesudahku, akan tetapi adalah para khalīfah (pengganti), dan mereka banyak jumlahnya. Sahabat bertanya: Kemudian apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah bersabda: Maka baiatlah mereka satu demi satu dan berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah yang nanti akan menanyai kepemimpinan mereka.22 Dari Ḥadīts ini terdapat batasan tentang karakteristik sistem kekhilāfahan Islam yang berbeda dari sistem Yahudi. Dalam pandangan Yahudi kekuasaan agama menjadi satu dengan kekuasaan politik, karena mereka selalu dipimpin oleh seorang nabi, dan ketika nabi tersebut meninggal kemudian digantikan lagi oleh nabi yang lain. Sedangkan dalam Islam para khalīfah bukanlah nabi, karena nubuwwah tidak ada lagi sesudah wafat Rasulullah SAW. Kata “imārah” dan “amīr” adalah dua isilah yang sudah dikenal dan digunakan dalam literatur sunnah Nabi sebelum munculnya sistem khilāfah. Pada periode Nabi Muḥammad, istilah imārah digunakan untuk kepemimpinan pasukan tentara, pemimpin kota-kota, dan daerah-daerah. Sama halnya pula kata “umarāʼ”, seperti riwayat sebuah Ḥadīts:
Imām al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh” (Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987), h. 230. 22
43
Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa berbuat maksiat kepadaku, sesungguhnya ia telah maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amīrku, maka sesungguhnya ia telah taat kepadaku, dan siapa orang berbuat maksiat terhadap amīrku, maka sesungguhnya ia telah berbuat maksiat terhadapku.23 Riwayat Ḥadīts lain menyebutkan:
Barangsiapa melihat sesuatu (kekurangan) terhadap amīrnya (pemimpinnya) kemudian membencinya, maka hendaklah ia bersabar, karena tidak ada seorang yang berpisah dari jamaah kecuali ia mati dalam keadaan mati Jahiliyyah.24 Dalam sunnah Nabi juga dijumpai cukup banyak istilah “imām” dan kebanyakan kata tersebut memberikan arti “yang terdepan”, “ketaqwaan”, “petunjuk”, dan “pengetahuan”. Ḥadīts yang diriwayatkan Ibn ʻAwf dari Rasulullah SAW menyatakan:
Sebaik-baik pemimpinmu (imām) adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, menghormati kalian, dan kalian menghormati mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin di antara kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka membenci kalian, dan orang-orang yang kalian murkai dan mereka murka pada kalian.25
Lih. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitāb al-Aḥkām, Jilid IX (Kairo: Dār al-Syaʻb), h. 77-78. Lih. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitb al-Aḥkām,, h. 78. 25 Lih. Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, Jilid 12, h. 224. 23 24
44
Dalam Ḥadīts ini tidak didapat pemahaman bahwa yang dimaksud dalam Ḥadīts ini adalah pemimpin pemerintah, atau pemimpin politik dan kepala negara. Dan Ḥadīts ini tidak pula menegaskan bahwa yang dimaksud imām di sini adalah para pemimpin agama, seperti dikatakan oleh Imam Muslim dalam kitab Ṣaḥiḥnya, di mana ia tidak mengkhususkan bahwa yang dimaksud adalah pemimpin tertinggi pemerintah atau bidang politik ataupun khusus pada pengertian lainnya. Tapi yang dimaksud imām di sini berlaku umum kepada siapa saja yang terdepan dalam sebuah kepemimpinan baik besar maupun kecil, agama maupun negara, dan lain sebagainya. Pada intinya, masalah kepemimpinan negara dalam Islam secara khusus tidak ditemukan teks-teks yang kuat untuk menjustifikasi praktik politik yang pada dasarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri. Al-Qurʼān dan Ḥadīts lebih kepada memberikan pedoman-pedoman atau garis besarnya saja dalam kehidupan manusia di dunia, kecuali beberapa hal yang terkait langsung dengan apa yang disebut sebagai ibadah maḥḍah (ritual keagamaan murni). Karenanya kemudian, pemahaman terhadap teks-teks agama dalam masalah ini lebih kepada interpretasi manusia terhadap teks-teks tersebut yang hasilnya juga bersifat manusiawi. Karena itu untuk membantu memahami bentuk kepemimpinan negara banyak ulama yang lebih condong kepada upaya menelusuri praktik politik yang dijalankan langsung oleh Rasulullah SAW. dan para penerusnya, yaitu al-Khulafāʼ al-Rāsyidūn, sehingga didapat gambaran yang lebih jelas bagaimana sebenarnya inti dari konsep politik Islam.
45
B. Tugas dan Fungsi Hal penting yang juga menjadi pembahasan dalam kajian kepemimpinan adalah masalah dasar dari fungsi dan tugas pemimpin. Di antara sekian banyak tokoh falsafat Islam klasik yang berbicara tentang politik, Ibn Abī Rabīʻ menjadi pertimbangan penulis dalam berbicara tentang tugas dan fungsi pemimpin. Hal ini dikarenakan Ibn Abī Rabīʻ hidup sebelum al-Fārābī. Dengan begitu kita dapat melihat bagaimana kondisi pemikiran falsafat politik sebelum al-Fārābī. Ibn Abī Rabīʻ menulis karyanya di bidang politik dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang terbaik. Dengan memberikan alasan rasional mengenai kekuasaan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahwa seorang raja “yang memiliki segala keutamaan” yang serba lebih dibandingkan dengan para warga negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara, dan tidak harus tunduk kepada hukum negara seperti warga-warga negara lainnya. Bahkan raja merupakan hukum, sumber dan pelaksanaan hukum, karena serba lebih dalam segala keutamaan dan kemampuan politik. Seorang raja berhak memaksakan pandangan dan perintahnya tanpa merusak keserasian hubungan dengan negara selama kebijaksanaannya tetap untuk kepentingan negara. Selanjutnya Ibn Abī Rabīʻ mencari dasar dari otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Ia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala keutamaan, telah memerkokoh kedudukan mereka di muka bumi, dan memercayakan hamba-hamba-Nya kepada raja atau pemimpin negara. Kemudian Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan taat
46
kepada perintah kepala negara. Dalam hubungan ini ia mengemukakan dua ayat al-Qurʼān berikut:
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisāʼ: 59). Jadi, dari pernyataan Ibn Abī Rabīʻ itu, tampak bahwa dasar dari kekuasaan dan otoritas pemimpin negara adalah mandat dari Tuhan, atau merupakan tugas yang diberikan Tuhan dengan kedudukan istimewa berupa keutamaan dan keunggulan, demi memerkokoh kekuasaan pemimpin negara, dan memberikan kepada pemimpin negara untuk memerintah hamba-hamba-Nya dari
47
semua tingkatan, atau tunduk dan taat kepada pemimpin negara demi kesejahteraan negara.26
C. Pengangkatan Pemimpin Terjadi perbedaan pendapat dalam hal kepemimpinan tentang cara-cara pengangkatan pemimpin, yaitu apakah pengangkatan tersebut berdasarkan nas (penunjukan) atau al-ikhtiyār (pemilihan). Inilah permasalahan pokok yang menjadi perdebatan di antara kaum Muslim seputar masalah pengangkatan pemimpin. Ada sekelompok kecil dari golongan ahl al-sunnah, ahli Ḥadīts, dan golongan al-Ẓāhiriyyah berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara berdasarkan nas. Alasan mereka adalah bahwa khilāfah Abū Bakr itu berdasarkan nas dari Rasulullah. Mereka menyebut riwayat tersebut dari Ḥasan al-Baṣrī dan sejumlah ahli Ḥadīts. Salah satunya adalah yang diriwayatkan dari Aḥmad bin Hanbal dan Ibn Hazm dari al-Ẓāhiriyyah juga berpandangan sama dengan kelompok kecil yang disebut dengan golongan al-Bakriyyah. Akan tetapi mereka berbeda sudut pandang dalam argumen pemahaman nas dengan kelompok lainnya. Ibn Hazm menolak bahwa pengangkatan Abū Bakr sebagai khilāfah telah selesai, dengan menganalogikannya sebagai “imam salat” yang diberikan oleh Rasulullah menjelang wafatnya kepada Abū Bakr.27 Terlepas dari itu, dalam hal ini Rasulullah mengungkapkan bahwa tidak boleh mengangkat seorang pemimpin terkecuali ditunjuk. Karena melalui 26 27
Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara, h. 47-48. Ibnu Hazm, al-Ahkām fī Uṣul al-Aḥkam (Kairo: 1921), h. 986.
48
penunjukan berarti seorang pemimpin itu mampu memenuhi kriteria dalam memimpin, sebagaimana sabda Nabi:
Dari Abū Saʻīd ʻAbd al-Rahmān bin Samurah r.a. berkata: Rasulullah telah bersabda kepada saya: Ya ʻAbd al-Rahmān bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa meminta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya. Tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata kau melakukannya dengan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu (Ḥ.R. Bukhari Muslim).28 Hal tersebut juga senada dengan Ḥadīts Nabi di bawah ini:
Dari Abū Dzarr r.a. berkata: Ya Rasulullah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Hai Abū Dzarr kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat memenuhi hak kewajibannya, dan mememuni tanggung jawabnya (Ḥ.R. Muslim).29 Dari pernyataan Ḥadīts di atas, nampaknya dalam persoalan mengangkat seorang pemimpin, yaitu menggunakan cara penunjukan. Hal ini dikarenakan melalui penunjukan seorang pemimpin itu berarti sudah memenuhi kriteria ideal. 28 29
Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, h. 502 Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, h. 503.
49
Namun, urusan pengangkatan seorang pemimpin tidak selesai pada metode penunjukan seorang pemimpin. Pada selanjutnya, timbul pertanyaan, siapa orang yang menunjuk pemimpin tersebut? Dalam hal ini timbul banyak perdebatan, karena memang dalam al-Qurʼān tidak dibahas secara detail pengangkatan pemimpin, apalagi sampai kepada pembahasan siapa yang menunjuk seseorang untuk dijadikan pemimpin. Sedangkan dalam riwayat Ḥadīts sendiri, hanya dapat diketahui melalui riwayat penunjukan Abū Bakr sebagai imam salat pada saat Rasul sakit. Riwayat tersebut tidak cukup untuk memberikan informasi mengenai siapa yang menunjuk seseorang menjadi pemimpin. Menurut hemat penulis, di sanalah ruang untuk mengembangkan teori kepemimpinan dalam hal pengangkatan pemimpin: Apakah ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya, atau ditunjuk oleh rakyat?
D. Kriteria Pemimpin memiliki tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban, yaitu memelihara agama, menegakkan hukum, menjaga keamanan, memerluas keamanan pertahanan negara, mengatur keuangan, dan lain-lain. Oleh karena itu, pemimpin harus memiliki kriteria sebagai kelayakan diri menjadi pemimpin. Dalam hal ini penulis mengutip kriteria berdasarkan Tafsir al-Qurʼan Tematik: alQurʼan dan Kenegaraan yang diterbitkan Kementerian Agama Republik Indonesia. Dalam kriteria itu diungkapkan berdasarkan penafsiran dari Lajnah
50
Pentashih Mushaf al-Qurʼān yang terdiri dari mufassir Indonesia. Adapun kriteriakriteria itu adalah sebagai berikut:30
a.
Beriman dan Bertaqwa Seorang pemimpin
negara
harus
beriman
dan
bertaqwa
dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban. Dengan demikian, dapat diharapkan ia mendapat taufik dan hidayah dari Allah untuk mengatasi berbagai kesulitan yang diatasi. Ia juga mengetahui bahwa segala perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di dunia, terutama di akhirat akan mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatan, sebagaimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (Q.S. al-Māʼidah: 51) Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī mengungkapkan bahwa: Sesungguhnya Allah melarang seluruh orang Mukmin untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan pemimpin bagi
orang-orang
yang
beriman
kepada
Allah
dan
Rasul-Nya.
Juga
memberitahukan bahwa barangsiapa menjadikan mereka (Yahudi dan Nasrani)
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011), Cet. Ke-I, hal. 191. 30
51
sebagai penolong, pemimpin, dan wali, sesungguhnya ia telah termasuk golongan mereka dalam membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka telah memutuskan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.31 Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengungkapkan jika keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani—atau siapa pun, seperti dilukiskan oleh ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan hukum Allah, bahkan bermaksud memalingkan kaum Muslim dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah, maka “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil” dengan susah payah, apalagi dengan mudah “orang-orang Yahudi dan Nasrani” serta siapa pun yang bersifat seperti sifat mereka—yang dikecam ini, jangan mengambil mereka “menjadi pemimpin-pemimpin(mu)” yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain” dalam menghadapi kamu, karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda. “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka” yang memusuhi Islam itu “menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk” dan tidak mengantar “orang-orang yang zalim” menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.32
b.
Sehat Jasmani dan Rohani, Jujur, serta Memiliki Kemampuan
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 103. 32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Cet. Ke-1, Jilid III, hal. 144. 31
52
Seorang pemimpin negara harus kuat, yaitu sehat jasmani dan rohani, atau sehat fisik dan mental, jujur (dapat dipercaya) dan berani, serta memiliki kemampuan, yaitu berilmu dan memiliki wawasan yang luas, seperti firman Allah:
Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata:Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya (Q.S. al-Qaṣaṣ: 26). Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah sesungguhnya orang yang paling baik dijadikan sebagai penggembala ternak—dalam konteks itu, adalah orang yang kuat menjaga hewan-hewan ternakmu dan melaksanakan tugas demi kebaikan ternakmu. Al-Amīn adalah orang yang tidak perlu dikhawatirkan akan berbuat khianat terhadap sesuatu yang kamu percayakan kepadanya.33 Dalam ayat ini disebutkan bahwa sesungguhnya orang yang paling baik dipekerjakan adalah orang yang kuat dan terpercaya. Menurut Quraish Shihab, kekuatan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kekuatan dalam berbagai bidang. Karena itu, terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang dipilih. Selanjutnya kepercayaan yang dimaksud adalah integritas pribadi, yang menuntut adanya sifat amanah sehingga orang yang dipilih itu tidak merasa milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat yang harus dipelihara dan bila dimintai kembali, maka ia harus rela mengembalikan.34
33 34
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid XX, h. 188. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid X, hal. 334
53
c.
Adil dan Profesional Kata adil berasal dari bahasa Arab dalam bentuk maṣdar yaitu ʻadl yang
berarti lurus atau sama. Dari makna ini kata ʻadl berarti menetapkan hukum dengan benar. Selanjutnya berkenaan dengan adil yang merupakan salah satu syarat menjadi pemimpin, Allah berfirman:
Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26).
Tafsir ayat di atas, sudah penulis cantumkan dalam subjudul pertama yaitu konsep kepemimpinan menurut al-Qurʼān dan Ḥadīts.
d.
Bertanggung jawab dan Amanah Agar pemimpin negara itu bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya, diperlukan pula sifat amanah dari pemimpin negara, karena prinsip kekuasaan dalam suatu negara adalah amanah. Allah memerintahkan agar manusia melaksanakan amanah yang diemban di pundaknya dalam Surah al-Nisāʼ ayat 58:
54
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī berkata: menurutku pendapat yang paling tepat adalah bahwa ayat itu ditujukan kepada para pemimpin kaum Muslim agar melaksanakan amanat kepada orangorang yang telah menyerahkan urusan dan hak mereka, serta berbagai urusan mereka yang telah mereka percayakan kepada para pemimpin. Oleh karena itu, para pemimpin sebaiknya berlaku bijak dalam memberikan keputusan di antara mereka, serta berlaku adil dalam membagi-bagikan hak mereka, karena itu menunjukkan sikap yang bertanggung jawab. Selanjutnya, wahai pemimpin kaum Muslim, sesungguhnya Allah memberikan sesuatu yang dapat menjadi pelajaran bagi kalian dengan sebaikbaiknya dan memberikan pelajaran dalam melaksanakan perintah-Nya, agar dapat melaksanakan amanat yang telah diserahkan kepada ahlinya dengan baik dan agar memberikan keputusan dengan seadil-adilnya. Hal ini dikarenakan Allah senantiasa mendengar apa yang kamu ucapkan, dan melihat apa yang kamu kerjakan dalam melaksanakan tanggung jawabmu terhadap hak-hak tanggungan dan harta mereka.35
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 248. 35
55
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, “Sesungguhnya Allah” yang Maha Agung, yang wajib wujud-Nya serta menyandang segala sifat terpuji lagi suci dari segala sifat tercela, “menyuruh kamu menyampaikan amanat” secara sempurna dan tepat waktu “kepada yang berhak menerimanya”, baik amanat Allah kepadamu maupun amanat manusia, betapapun banyaknya yang diserahkan kepada kamu. “Dan” Allah juga (menyuruh kamu) “ apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia” baik yang berselisih dengan manusia lain maupun tanpa perselisihan, maka “kamu” harus “menetapkan” putusan “dengan adil,” sesuai dengan apa yang diajarkan Allah, tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau lawanmu dan tidak pula memihak kepada temanmu. “Sesungguhnya Allah” dengan memerintahkan untuk menunaikan amanah dan menetapkan hukum dengan adil, telah “memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu”. Karena itu, berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan ketahuilah bahwa Dia yang memerintahkan kedua hal ini mengawasi kamu, dan “Sesungguhnya Allah” sejak dahulu hingga kini “adalah Maha mendengar” apa yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain maupun dengan hati kecilmu, “lagi Maha Melihat” sikap dan tingkah lakumu.36 Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 457.
56
adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.37
e.
Berani dan Tegas Berkenaan dengan sikap berani dan tegas, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Māʼidah: 54). Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, bahwa firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya” maksudnya adalah orang yang kembali (kafir) di antara kamu, orang yang telah mengganti dan mengubahnya ke dalam kekafiran, baik Yahudi atau Nasrani, atau yang lain dari golongan kafir. Dan firman Allah, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,” maksudnya adalah
37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 457.
57
kelak Allah akan mendatangkan kaum yang mengganti kaum yang murtad, suatu kaum yang mencintai Allah dan Allah mencintai mereka. Kemudian firman Allah: “Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin,” maksudnya adalah bersikap halus kepada mereka, welas asih terhadap mereka. Dan firman Allah: “Yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,” maksudnya adalah orang yang bersikap kasar dan kejam kepada mereka (orang kafir). Firman Allah: “Yang berjihad di jalan Allah,” adalah orang-orang Mukmin, orang-orang yang telah Allah janjikan kepada mereka bahwa jika salah seorang dari mereka ada yang murtad juga, maka Allah akan menggantikan dengan orang yang bersungguh-sungguh berjihad. Firman Allah: “Dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela,” maksudnya adalah jangan kalian takut terhadap zat Allah yang telah memerangi musuh-musuh yang telah mencela mereka. Kemudian firman Allah: “Itulah karunia Allah”, maksudnya adalah inilah nikmat Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bersikap lemah lembut yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, “dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”38 Menurut M. Quraish Shihab, sikap tegas kepada orang-orang kafir yang disebutkan dalam ayat tersebut, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksa mereka memeluk Islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi
38
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid IX, h. 122-140
58
mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka. Tetapi yang dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka yang melecehkan ajaran agama Islam dan kaum Muslim, apalagi jika mereka merebut hak sah kaum Muslim.39
f.
Cinta Kebenaran dan Musyawarah Pemimpin yang cinta kebenaran adalah pemimpin yang benar dalam
segala urusannya dan selalu memerintahkan para pembantu, keluarga, dan rakyatnya untuk selalu benar dalam perkataan, perbuatan, niat, dan cara berpikir. Di samping cinta kebenaran dari pemimpin negara, juga dia harus cinta pada musyawarah. Dalam melaksanakan urusan negara, pemimpin harus bermusyawarah dengan lembaga-lembaga, atau para pejabat yang terkait, sebagaimana firman Allah:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38). Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orangorang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan-
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid III, hal. 131.
59
Nya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang disembah selain Dia. Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib sesuai dengan batas waktunya. Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu perkara, maka mereka saling bermusyawarah. Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.40 Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar-
benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat “mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun
40
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.
60
selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunnah.41
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512.
BAB IV KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ
A. Konsep Negara Ideal/Utama Jikalau pada bab sebelumnya telah dibahas tentang konsep kepemimpinan menurut al-Qurʼān dan Ḥadīts yang merupakan landasan kehidupan, di mana kita mendapati banyak ayat dan Ḥadīts yang berbicara kepemimpinan secara umum, maka pada bab ini akan dibahas tentang konsep kepemimpinan menurut al-Fārābī, karena di sana akan didapatkan rincian konsep kepemimpinan yang mendalam dan menarik. Di dalam karya fenomenal al-Fārābī yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, pembicaraan mengenai Negara Ideal/Utama dimulai dengan keterangan asal-usul negara bahwa negara muncul karena kumpulan manusia, yang di dalamnya manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan, dan ini adalah bibit pertama bagi lahirnya negara. Al-Fārābī beranggapan bahwa negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat yang saling membantu memenuhi kebutuhan hidup. Setiap individu memunyai kepandaian yang berbeda-beda, tapi berjanji akan menyumbangkan hasil kepandaiannya untuk memenuhi kebutuhan individu lainnya, agar tercapai cita-cita bersama, yaitu kebahagiaan. Al-Fārābī menyatakan dalam Ārāʼ Ahl alMadīnah al-Fāḍilah bahwa:
61
62
1
Setiap individu manusia secara natural saling membutuhkan di dalam kelompoknya untuk memenuhi kebutuhannya yang banyak, maka ia tidak mungkin dapat mengatasai semuanya sendirian, tetapi ia membutuhkan kelompok untuk mengatasi setiap kebutuhannya.
Selanjutnya al-Fārābī juga berbicara mengenai komunitas dari sisi sifat yang berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan yaitu terdiri dari komunitas sempurna dan komunitas tidak sempurna. Komunitas sempurna adalah komunitas yang saling memenuhi kebutuhan dan memunyai cita-cita bersama. Sedangkan komunitas tidak sempurna adalah komunitas yang belum sanggup memenuhi kebutuhannya dan tidak memunyai cita-cita bersama.2 Kemudian dari cakupan teritorial, ia membagi komunitas sempurna dibedakan atas tiga jenis, yaitu besar, menengah, dan kecil. Komunitas besar adalah komunitas masyarakat yang bertempat di al-ma’mūrah (komunitas masyarakat dunia), komunitas menengah adalah suatu umat yang bertempat di suatu bagian dari dunia, dan komunitas kecil adalah komunitas masyarakat kota yang bertempat tinggal di bagian-bagian dari belahan suatu wilayah. Adapun komunitas tidak sempurna terdiri dari masyarakat desa, masyarakat yang tinggal di daerah tertentu, masyarakat di tempat-tempat umum dan masyarakat keluarga.3
1
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,h.
2
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama (Jakarta: Kinta, 1968), h. 57. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 118.
118. 3
63
Sedangkan yang banyak dibahas dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah adalah pembahasan mengenai komunitas sempurna. Di dalamnya terdapat perubahan-perubahan bentuk suatu komunitas yang sudah mampu memenuhi kebutuhan dan memiliki cita-cita bersama. Perubahan ini berupa pengristalan tujuan masyarakat kepada suatu bentuk sempurna yang terdapat dalam corak kepemimpinan yang ada di dalam Negara Ideal/Utama. Bentuk perubahan itu diawali dengan manusia yang saling berinteraksi dalam suatu komunitas, baik komunitas kecil, menengah maupun besar, dan kemudian komunitas itu membentuk organisasi negara dan mereka sebagai warga. Setelah saling memenuhi kebutuhan pokok, para warga memiliki tujuan utama yang ingin dicapai. Tujuan utama mereka itu merupakan cerminan dari tujuan hidup yang ingin mereka raih. Setelah tujuan awal mereka raih, maka akan muncul dalam jiwa mereka perasaan-perasaan seperti puas, merasa bermanfaat, terhormat dan lain sebagainya. Namun setelah itu, ada sesuatu yang belum mereka peroleh dan rasakan sebagai faktor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam jiwa mereka. Itulah yang ingin mereka raih selanjutnya. Keadaan semacam itu, membuat mereka pada akhirnya berpaling dari tujuan pertama ke tujuan lain setelah keperluan pokok mereka teratasi. Tujuan yang ingin diraih itu adalah suatu tujuan yang diyakini lebih baik dari tujuan pertama yang dapat membawa mereka kepada ketentraman dan menjadikan hidup mereka berbahagia dalam arti yang sebenarnya.4
4
Al-Fārābī, al-Siyāsah al-Madaniyyah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), Cet Ke- II, h. 44.
64
Tujuan di sini seperti yang al-Fārābī inginkan bahwa setiap warga negara harus memunyai ide (Ārāʼ) yang mesti diperjuangkan terus-menerus dan menuju kepada satu titik terakhir dari suatu negara, yang menjadi harapan dan tujuan bersama. Bagi al-Fārābī tujuan akhir itu adalah kebahagiaan. Dalam buku Negara Utama (Madīnah Fāḍilah) karya Ahmad Zainal Abidin yang meneliti buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah bahwa persetujuan masyarakat untuk mendirikan negara didasarkan kepada keikhlasan mereka untuk meniadakan hak-hak individual mereka demi kebahagiaan bersama. Perjanjian untuk saling meniadakan hak-hak (individu) adalah dasar dari segala penaklukan diri secara damai kepada negara. Jika ada penduduk yang mencoba menekan penduduk yang lain, seluruh penduduk akan bersatu dan saling membantu untuk memertahankan kemerdekaannya.”5 Saling meniadakan hak-hak pribadi, tidak diartikan bahwa seluruh hak-hak kemanusiaan harus dikorbankan dan dilenyapkan, sehingga manusia hidup dan diperintah bagai hewan. Meniadakan hak-hak itu untuk suatu maksud dan cita-cita yang lebih luhur, ialah menciptakan ideologi negara. Al-Fārābī memisahkan antara satu negara dari negara lainnya berdasarkan ideologi yang dianut oleh negara itu. Ia tidak mengikuti cara-cara Yunani yang membagi negara menurut kepala negara seperti monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dan tidak pula ia sepakat dengan pembagian negara secara modern yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan, dan kedaulatan hukum. Al-Fārābī menempuh jalannya sendiri, yaitu pembagian
5
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 53.
65
berdasarkan ideologi, di mana al-Fārābī menuliskan konsep Negara Ideal/Utama beserta negara-negara yang berlawanan terhadap konsep Negara Ideal/Utama.6 Pertama, Madīnah al-Fāḍilah (Negara Ideal/Utama) menurut al-Fārābī adalah negara yang didirikan oleh warga negara yang memunyai tujuan yang tegas yaitu kebahagiaan. Dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah dinyatakan bahwa terwujudnya Kota Ideal/Utama dalam Negara Ideal/Utama adalah suatu kota yang para warganya memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut:
(Para warganya) memiliki pengertian-pengertian tentang sebab pertama dan segala sifat-sifatnya, segala bentuk yang menjadi halangan terjalinnya hubungan dengan akal aktif, benda-benda langit dan segala sifatnya, benda-benda fisik dan di bawahnya, bagaimana (benda) itu muncul dan kemudian hancur. (Mereka juga memiliki kesadaran) akan munculnya segala yang ada ini berjalan dengan serasi dan adil lagi penuh hikmah. (Tuhan) yang menciptakan segalanya tidak mungkin memiliki kekurangan dan tidak mungkin pula Dia berbuat zalim. (Mereka juga memiliki kesadaran) akan (tujuan) keberadaan manusia, bagaimana munculnya daya-daya jiwa, bagaimana jiwa itu diterangi oleh sinar yang beremanasi dari akal aktif sehingga dia mengenal wujud pertama, bagaimana (manusia) memiliki kehendak dan pilihan. Kemudian munculnya 6
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 102.
66
pemimpin utama dan (diperolehnya) wahyu. Kemudian pemimpinpemimpin yang menjadi wakil-wakil pemimpin utama kalau pemimpin utama berhalangan dan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang seharusnya dimiliki oleh warga dalam Negara Ideal/Utama. Kemudian munculnya Kota Ideal/Utama yaitu suatu kota yang para warganya memeroleh kebahagiaan yang diidam-idamkan. 7 Hal ini juga ditegaskan dalam Negara Utama (Madīnah al-Fāḍilah) karangan M. Zainal Abidin berdasarkan buku al-Siyāsah al-Madaniyyah karya al-Fārābī bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang tertinggi dan yang diidamidamkan. Tidak satu pun yang lebih tinggi daripadanya, yang mungkin dicapai oleh manusia. Ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu pengetahuan dan dengan usaha. Dan manusia tidak bisa memahami kebahagiaan secara baik, kecuali sesudah mengenal arti keutamaan.”8 Dikutip dari buku yang sama berdasarkan buku al-Fārābī Taḥṣīl alSaʻādah, ada empat macam keutamaan manusia yang dapat menjamin bagi segala bangsa di dunia dan segala penduduk dari suatu negara, akan kebahagiaan sejati dan sempurna. Unsur-unsur keutamaan itu adalah: 1. Keutamaan pikiran dan ilmu pengetahuan, yaitu keunggulan cara berpikir dan menyelidiki ilmu pengetahuan yang melebihi bangsa lain. 2. Keutamaan tanggapan di dalam menetapkan barang yang paling berguna, yaitu keunggulan di dalam mengatur dan merencanakan barang yang paling berguna. 3. Keutamaan moral di dalam berpikir dan berbuat, yaitu keunggulan di dalam budi pekerti dan akhlak yang tetap memelihara kemanusiaan dan kesopanan. 4. Keutamaan cara bekerja dan berusaha, yaitu keunggulan dalam teknik pekerjaan di dalam segala lapangan perusahaan, baik perusahaan teknik dan perindustrian, atau perusahaan lainnya.9
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 146. Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 72. 9 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 112. 7 8
67
Jalan satu-satunya untuk mencapai 4 (empat macam) keutamaan itu ialah setiap orang bekerja untuk bakatnya di bawah pemimpin yang memunyai bakat yang lebih besar dan sungguh-sungguh kuat.10 Kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan usaha yang mati-matian, yaitu kebahagiaan yang dikatakan al-Fārābī sebagai “saʻādah mādiyyah wa maʻnawiyyah”. Kebahagiaan jasmani dan rohani, material dan spritual, untuk hidup dunia dan akhirat. Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tidaklah dapat dilakukan dengan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri. Negara harus menghimpun segenap tenaga yang ada, dengan membuat rencana yang lengkap untuk melakukan pembangunan. Al-Fārābī mengemukakan tiang-tiang utama bagi pembangunan: 1. Kerja sama manusia secara kolektif 2. Kesucian pribadi masing-masing dalam pikiran dan perbuatan 3. Semangat kemasyarakatan berupa koperatif, harmoni, dan simpati11 Dengan tiga tiang utama yang disebutkan di atas, maka sistem pembangunan tidak bersifat individualis. Al-Fārābī tetap tidak mengingkari adanya hak perseorangan, tetapi menganjurkan supaya bekerja sama, gotong royong, dan saling simpati antara satu sama lain. Al-Fārābī mengatakan bahwa di samping adanya hak milik bersama di mana masing-masing orang dan tiap-tiap kelas memunyai hak yang sama,12 diizinkan pula memunyai hak pribadi sebagai hasil dari kepandaian dan kerja keras.13
10
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 113. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 113. 12 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 88. 13 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 93. 11
68
Kedua, Madīnah al-Jāhilah (Negara Jahiliyah) ialah negara yang tidak memunyai ideologi yang tinggi, artinya tidak memunyai tujuan yang ideal sama sekali atau menganut ideologi yang salah, yang bertentangan dengan kebahagiaan. Kota ini dihuni oleh warga yang tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang seharusnya menjadi tujuan utama manusia) dan hal ini memang tidak pernah terlintas di dalam benak mereka. Bahkan, jika diarahkan secara benar untuk sampai
kepada
hal
tersebut
(kebahagiaan),
mereka
tetap
tidak
dapat
memahaminya, bahkan tidak memercainya. Hal-hal baik yang mereka kenali hanyalah hal-hal yang secara superfisial, tetapi mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang paling baik dan itu pulalah yang mereka jadikan tujuan hidup. Di antara hal-hal baik dan esensial yang menjadi perhatian dan tujuan mereka hanayalah seperti kesehatan badan, kemakmuran, kenikmatan kesenangan jasmani (badani), kebebasan melampiaskan hawa-nafsu, dan merasa dihormati. Menurut para warga kota kebodohan, hal-hal ini merupakan unsur-unsur yang menjadi kelengkapan dari kebahagiaan. Kebahagiaan terbesar dan paling sempurna bagi mereka adalah apabila orang dapat memeroleh semuanya itu secara total. Sebaliknya, menurut mereka, keadaan-keadaan seperti badan yang tidak sehat, kemiskinan, tidak adanya hiburan, ketiadaan kebebasan melampiaskan hawanafsu, dan tidak memeroleh penghormatan merupakan sebuah penderitaan.14 Untuk itu mereka berusaha menghindari hal-hal tersebut. Menurut al-Fārābī, jiwa penduduk kota/negara kebodohan adalah tidak sempurna karena keinginan mereka terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu
14
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128.
69
besar dan tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu yang kemudian berujung (pengenalan) kepada Pencipta Pertama. Mereka bagaikan binatang yang tanpa memunyai perasaan akan adanya kehidupan akhirat. Semua yang ada ini, bagi mereka, pada akhirnya akan hilang (musnah) juga.15 Al-Fārābī
membagi Kota/Negara Kebodohan menjadi enam macam
yaitu; 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Al-Madīnah al-Ḍarūriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar). Al-Madīnah al-Baddālah (Kota/Negara Jahat) Al-Madīnah al-Khissah wa al-Siqūṭ (Kota/Negara Rendah dan Hina) Al-Madīnah al-Karāmah (Kota/Negara Kehormatan, Aristokratik) Al-Madīnah al-Taghallub (Kota/Negara Imperialis) Al-Madīnah al-Jamāʻiyyah (Kota/Negara Komunis)
Al-Madīnah al-Ḍarūriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar) adalah suatu kota/negara yang di dalamnya para warga hanya memrioritaskan persoalanpersoalan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan mereka, seperti makan, minum, berpakaian, bertempat tiggal, dan menikah. Mereka selalu berusaha sungguh-sungguh dan saling bahu membahu dalam memerolehnya.16 Al-Madīnah al-Baddālah (Kota/Negara Jahat), yaitu suatu kota/negara yang warganya menjadikan kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan sebagai tujuan hidup,17 dan mereka tidak mau membelanjakan (harta benda) kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan dasar (jasmani). Apa yang mereka peroleh bisa berasal dari pekerjaan dari berbagai jenis profesi maupun dari sumber daya alam yang ada di negeri itu. Yang paling utama di antara mereka adalah yang paling dapat memeroleh kekayaan itu dengan mudah. Sedangkan yang menjadi Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 139. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 17 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 15 16
70
pimpinan bagi mereka adalah orang yang paling banyak perolehannya dan selalu dapat memertahankan perolehan (kekayaan itu).18 Al-Madīnah al-Khissah wa al-Siqūṭ (Kota Hina dan Rendah) yaitu suatu kota/negara yang tujuan hidup para warganya hanya memburu kesenangan, dan kenikmatan belaka. Kesenangan dan kenikmatan itu bisa berwujud makanan, rninuman, dan menikah (hubungan seks). Kenikmatan indrawi dan khayali itu mereka lakukan tidak lain hanyalah bertujuan untuk bersenda gurau dan mainmain belaka.19 Al-Madīnah al-Karāmah (Kota/Negara Kehormatan Aristokratik), yaitu suatu kota/ negara yang tujuan para warganya adalah untuk meraih kehormatan, pujian dari bangsa-bangsa lain,
(merasa) dimuliakan, baik dengan kata-kata
maupun dengan perbuatan (perlakuan), memiliki kebanggaan dan kemegahan, baik di mata orang lain maupun di antara mereka (warga) itu sendiri.20 Madīnah al-Taghallub (Kota Imperialis), yaitu kota/negara yang tujuan pokok warganya hanyalah untuk mengalahkan (menundukkan) orang lain, mencegah orang (kelompok) lain mengalahkan dan menundukkan dirinya, dan kerja keras mereka hanyalah didasari pada rasa mengalahkan orang lain.21 Al-Madīnah al-Jamāʻiyyah (Kota/Negara sosialis) yaitu suatu kota yang tujuan inti para warganya adalah memeroleh kebebasan yang tanpa batas untuk
18
Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h. 97. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 20 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 21 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 19
71
melampiaskan hawa nafsu. Dalam kota itu tak seorang pun berhak melarang apa yang menjadi keinginan dan apa yang dilakukan oleh warga kota22. Ketiga, Madīnah al-Fāsiqah (Kota/Negara Fasiq) ialah negara yang pandangan-pandangan para warganya adalah pandangan Kota Ideal/Utama. Mereka mengetahui (konsep) kebahagiaan, dengan meyakini akan adanya (mengenal) Allah, benda-benda langit, dan akal aktif, dan semua cara yang lazim dilakukan oleh warga negara utama untuk mencapainya tetapi apa yang mereka lakukan sangat bertolak belakang dengan pandangan mereka. Perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan yang lazim dilakukan oleh warga negara kota kebodohan.23 Mereka melakukan itu semua dengan alasan yang bermacammacam;
ada
kalanya
demi
memeroleh/memertahankan
jabatan,
demi
penghormatan atau demi kemenangan dan gengsi sehingga mereka melakukan hal-hal demikian di luar apa yang mereka yakini kebenarannya.24 Jadi, persamaan warga kota ini dan warga Kota Ideal/Utama hanyalah dalam hal pendapat yang mereka yakini saja, tidak pada praktiknya.25 Penduduk Kota/Negara Fāsiqah ini memiliki jiwa yang sakit karena sebenarnya mereka menderita oleh perbuatanperbuatan mereka yang hina. Jiwa ini, sebagaimana dinyatakan al-Fārābī, akan tersiksa dan tetap menderita selama-lamanya atau dalam bahasa lain, mereka akan selalu ada dalam kesengsaraan.26 Pandangan-pandangan mereka tentang bagaimana seharusnya bernegara dan apa yang seharusnya menjadi tujuan inti dalam bernegara itu sudah benar, namun karena adanya faktor-faktor dari luar Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 24 Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h. 103. 25 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 26 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 22 23
72
yang memengaruhinya, mereka berbalik arah sehingga melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pandangannya. Keempat, Madīnah al-Mubaddilah (Negara/kota yang bertukar kebutuhan) ialah negara yang pandangan-pandangan dan perbuatan-perbuatan penduduknya pada mulanya sama dengan pandangan dan perbuatan-perbuatan masyarakat negara utama kemudian beralih dari pandangan-pandangan itu karena kemasukan pandangan lain sehingga menyeleweng dari pandangan semula.27 Penyelewenganpenyelewengan itu menyebabkan negara menyimpang jauh dari garis-garis yang ada dalam negara utama sehingga apa yang mereka lakukan semakin menjauh dari tercapainya kebahagiaan.28 Kelima, Madīnah al-Ḍāllah (Kota/Negara Sesat) ialah negara yang para warganya memrediksi adanya kebahagiaan sejati setelah mati di akhirat tetapi mereka berubah (pikiran). Penduduk kota ini memercayai adanya Tuhan, malaikat-malaikat dan akal aktif dengan keyakinan yang rusak (tidak benar) dan mengekspresikan dalam bentuk patung-patung dan khayalan-khayalan. Pemimpin utama mereka adalah orang yang dipercaya yang kemudian kepercayaan itu disalahgunakan dan dia menciptakan opini tersendiri yang kemudian berujung kepada kepalsuan, penipuan, dan pengelabuan.29 Dari uraian di atas mengenai konsep Negara Ideal/Utama beserta negara yang berlawanan dengan Negara Ideal/Utama, kita mulai mendapati pemahaman tentang pembagian-pembagian negara. Pembagian negara itu berdasarkan ideologi
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 104. 29 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133.. 27 28
73
warga dan pemimpinnya, karena memang unsur utama dalam negara adalah warga dan pemimpinnya. Lalu pada sub bab selanjutnya, penulis akan memfokuskan pembahasan pemimpin. Di sana akan dibahas mengenai kepemimpinan ideal yang ada di dalam Negara Ideal/Utama yaitu berupa pembahasan mengenai apa tugas dan fungsi pemimpin yang ideal, seperti apa cara pengangkatan pemimpin yang ideal, dan bagaimana kriteria pemimpin ideal.
B. Tugas dan Fungsi Pemimpin Sudah banyak dibahas dalam ilmu kepemimpinan modern mengenai pengertian tugas dan fungsi pemimpin yaitu melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan
yang
terdiri
dari:
merencanakan,
mengorganisasikan,
menggerakkan, dan mengawasi. Namun hal ini berbeda dari pengertian tugas dan fungsi seorang pemimpin menurut al-Fārābī. Al-Fārābī memahami tugas dan fungsi pemimpin sebagai simbol yang bersifat falsafi. Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin. Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.30
30
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), h. 47.
74
Kemudian juga al-Fārābī memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang memiliki kesempurnaan tujuan. Apabila perbuatan-perbuatan, keutamaankeutamaan, dan kreatifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain pemimpin adalah orang yang paling utama, paling kreatif, dan memiliki tujuan yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana yang dimiliki oleh seorang failasuf.31 Karena itu bagi al-Fārābī, agar semua komunitas manusia ini memeroleh kebahagiaan sejati, pemimpin utama (dalam melaksanakan tugasnya) di Negara Utama bisa memergunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan karakter. Metode pengajaran dilakukan dengan memerkenalkan kebajikan teoritis, dengan harapan orang dapat memahami teori-teori dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan teoritis normatif tersebut. Sedangkan pembentukan karakter adalah metode memerkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan membiasakan bangsa dan penduduk untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersumber dari keadaan lingkungan sekitar yaitu dengan cara membangkitkan pada diri mereka tekad untuk melakukan tindakan-tindakan (utama) baik secara persuasif maupun paksaan.32 Di sini ada dua unsur utama yang sebenarnya memungkinkan untuk berpartisipasi dalam membangun umat yaitu, kelompok pertama adalah orang Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah (Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah, 1349 H.), h. 43. 32 Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 29. 31
75
berilmu teoritis yang dengan suka hati dan kemauannya sendiri menransfer ilmu pengetahuan teoritisnya kepada orang lain, dan kelompok kedua adalah kelompok orang yang menransfer ilmu pengetahuan teoritisnya dengan terpaksa. Laksana sebuah rumah tangga, pemimpin adalah pengajar dan pembentuk karakter semua anggota-anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk karakter semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai yang beranjak dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara lemah lembut dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus keras dan paksaan. Demikian halnya dengan umat, ada yang cukup dengan perlakuan lemah lembut, tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan mereka menjadi warga yang baik. Tujuan dari semua itu adalah kebahagiaan tertinggi.33 Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona tetapi mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya dimiliki orang-orang yang memahami falsafat secara baik, dia adalah failasuf sejati, bukan failasuf palsu atau failasuf pendusta yaitu para failasuf yang memelajari ilmu pengetahuan (teoritis) dan kebenaran dan kebijaksanaan tetapi tidak memraktikkannya.34 Kemudian juga semakin amat terlihat jelas, bahwa al-Fārābī benar-benar memahami pemimpin sebagai simbol yaitu tentang teorinya mengenai organisme,
33 34
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 31-32. Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 44.
76
di mana hakikat negara adalah laksana suatu tubuh yang hidup sebagaimana tubuh manusia. Sebagai ciri-ciri dari organisme ialah sifatnya yang berubah-ubah. Badan organisme yang hidup dapat menerima dan mengambil bahan-bahan dan zat-zat dari luar dirinya, lalu diolah untuk kebutuhan hidup dan kemudian dipisahkan mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Di dalam organisme terdapat struktur dan hierarki sehingga setiap bagiannya memiliki kedudukan tertentu.35 Hal ini sebagaimana yang dikutip dari Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah bahwa Negara Ideal/Utama tak ubahnya bagaikan susunan tubuh manusia yang sehat dan sempurna:
Negara Ideal/Utama tak ubahnya bagaikan susunan tubuh manusia yang sehat dan sempurna. Masing-masing anggotanya bekerja sama untuk menyempurnakan dan memelihara segala kebutuhan hidup bersama. Setiap anggota tubuh memiliki fungsi dan kemampuan yang berbeda-beda, yang masing-masing bertugas sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Dia atas semua itu ada suatu anggota yang berfungsi sebagai kepala yang mengendalikan segala gerak dari keseluruhan bagian tubuh yang lain yaitu hati (jantung).36 Pemimpin utama itu laksana jantung manusia. Jantung adalah organ utama dalam tubuh manusia. Dia harus dalam kondisi prima sebelum anggota-anggota tubuh vital lainnya. Anggota-anggota tubuh vital (selain jantung) itu dalam beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga
35 36
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 54. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 118.
77
pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi pemimpin-pemimpin di bawahnya dan seterusnya yang memiliki kapasitas dan dalam posisi memimpin dan dipimpin.37 Sebagaimana jantung adalah anggota utama tubuh yang paling vital yang harus pertama kali dalam keadaan prima sebelum anggota tubuh vital lainnya, demikian juga pemimpin utama, bahwa ia harus dalam keadaan prima baik secara fisik maupun psikis, karena apa yang terjadi pada pemimpin utama itu pasti akan berimbas kepada pemimpin-pemimpin lain di bawahnya. Pemimpin utama adalah seorang yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang tingkat kemuliaannya sedikit.38 Sebab utama adanya peringkat kepemimpinan itu adalah bahwa pemimpin utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua kawasan
(wilayah)
lainnya.
Pemimpin
utama
cenderung
untuk
tidak
memerdulikan hal-hal yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian. Pemimpin utama fokus kepada satu tujuan utama, yaitu (mengabdi) kepada Sebab Pertama, tunduk kepada-Nya dan mencukupkan diri hidup untuk-Nya. Pemimpinpemimpin di bawahnya mengikuti apa yang dilakukan pemimpin utama namun tidak terlalu fokus pada tujuan utama, demikian seterusnya.39
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 119. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 120. 39 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 121. 37 38
78
Setelah kita memahami tugas dan fungsi pemimpin ideal menurut alFārābī yang bersifat simbolis dan falsafi, dapat kita lihat bahwa pemikiran alFārābī amat terpengaruh doktrin-doktrin agama yang menganalogikan negara sebagai tubuh manusia sebagaimana Ḥadīts di bawah ini:
Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa demam (H.R. Bukhārī Muslim).
Kita patut apresiasi ide ini karena al-Fārābī mengemukakan teorinya begitu detail sehingga pesan-pesan falsafi itu sampai kepada kita, kemudian kita dapat memahami bagaimana tugas dan fungsi pemimpin yang sifatnya simbolis dan falsafi. Selanjutnya,
untuk
lebih
memfokuskan
pembahasan
tentang
kepemimpinan, penulis akan membahas mengenai tata cara pengangkatan pemimpin ideal menurut al-Fārābī.
C. Pengangkatan Pemimpin Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail menurut tata cara negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengangkatan kepala negara.40 Namun dalam hal ini ada beberapa
40
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali, 1996), h. 79.
79
pemikiran al-Fārābī, khususnya berkaitan dengan pengangkatan pemimpin banyak dipengaruhi oleh kaum Syīʻah. Sebelum membahas tata cara pengangkatan seorang pemimpin, kita harus mengerti apa sebenarnya yang diinginkan al-Fārābī mengenai sosok pemimpin yang ideal. Hal ini dikarenakan setelah kita mengetahui keinginan al-Fārābī tentang sosok pemimpin yang ideal, kita akan tahu bagaimana al-Fārābī mengemukakan tata cara pengangkatan pemimpin. Untuk itu kita awali dengan mengidentifikasi pemimpin utama menurut al-Fārābī. Bagi al-Fārābī sendiri, pemimpin utama adalah pemegang otoritas utama yang tidak mungkin dipimpin oleh pimpinan lain. Demikian pula pemimpin utama dalam negara utama tidak mungkin dipimpin oleh pemimpin-pemimpin lain di atas atau di bawahnya. Dia adalah orang yang menjadi panutan bagi pemimpinpemimpin yang lain dalam segala hal, dan di tangan dialah segala persoalanpersoalan dalam negara utama itu bermuara. Dia adalah orang yang paling sempurna di antara yang lain. Dia adalah ʻaql sekaligus maʻqūl, daya khayalnya secara natural telah mencapai kesempurnaan. Daya ini adalah daya yang secara natural ada padanya, baik waktu terjaga maupun di waktu tidur, muncul dari akal aktif partikular, baik dengan sendirinya maupun di sebabkan oleh pengaruh lain. Akal potensial telah mencapai kesempurnaan dengan segala bentuk-bentuk sehingga dapat melepaskan arti-arti materinya dan menjadi akal aktual.41 Lalu, barang siapa yang akal potensialnya telah mencapai kesempurnaan dengan segala bentuk kemudian menjadi akal aktual sekaligus bentuk aktual,
41
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 123.
80
bentuk-bentuk itu yang dia peroleh dari dalam akalnya, ia telah mencapai akal aktual yang tingkatannya di atas akal potensial. Ia lebih sempurna dan berpisah dari materi, dekat dengan akal aktif, yang disebut dengan akal mustafad. Dia berada di tengah-tengah antara akal potensial dan akal aktif, di saat itu tidak ada lagi pembatas antara dirinya dengan akal aktif.42 Akal aktif adalah sesuatu yang menyebabkan arti-arti dari materi menjadi terlepas. Arti-arti itu telah memunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya. Bukan lagi dalam bentuk potensial tetapi dalam bentuk aktual, dan yang dapat menangkap akal aktif itu adalah daya berpikir. Daya berpikir terdiri dari dua macam yaitu daya berpikir teoritis dan daya pikir praktis. Daya berpikir praktis adalah daya berpikir yang berimplikasi pada juzʼiyyāt/partikular, sekarang dan yang akan datang. Sedangkan daya pikir teoritis meliputi bentuk-bentuk materi yang belum diketahui. Daya imajinasi merupakan perantara untuk dua jenis daya pikir ini.43 Kemudian akal aktif yang ditangkap oleh daya imajinasi itu dapat bereaksi pada diperolehnya sesuatu yang berupa bentuk-bentuk materi, al-maʻqūlāt, yang dihasilkan oleh daya pikir yang teoritis dan kadang-kadang dapat berupa juzʼiyyāt al-maḥsūsāt (partikular inderawi) yang dihasilkan oleh daya pikir praktis. Daya imajinasi itu menangkap arti dari bentuk-bentuk inderawi yang telah tersusun sebagaimana adanya dan kadang-kadang menerima partikular (rincian)-nya
42 43
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 124. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 125.
81
setelah melalui proses imajinatif dan juga kadang-kadang diikuti pula dengan benda-benda inderawi.44 Setelah penjelasan al-Fārābī di atas tentang akal, pada akhirnya al-Fārābī memberi pengertian terakhir tentang pemimpin utama bahwa:
Allah SWT memancarkan akal aktif dengan perantara akal mustafad terhadap akal potensial dan kuatnya imajinasi. Jika akal aktif yang dipancarkan oleh Allah SWT melalui akal mustafad kepada akal potensial, maka akan menghasilkan seorang failasuf yang bijaksana dan memunyai pemikiran yang sempurna. Dan jika akal aktif yang dipancarkan oleh Allah melalui akal mustafad kepada kekuatan imajinasi, maka akan menghasilkan seorang nabi yang memberi peringatan, dialah yang akan memberikan informasi terhadap masalah-masalah partikular dengan adanya akal yang di dalamnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Dan manusia seperti itu adalah manusia yang paling sempurna dan memiliki derajat kebahagiaan yang paling tinggi. Dia (nabi) menjadi sosok sempurna yang bersatu dengan akal aktif sebagaimana yang dijelaskan. Manusia seperti ini juga merupakan manusia yang setiap tindakannya memungkinkan untuk menggapai kebahagiaan, dan ini merupakan syarat pertama untuk menjadi seorang pemimpin.45 Dari pendapat al-Fārābī di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebenarnya al-Fārābī menginginkan seorang nabi untuk dijadikan pemimpin, karena nabi memiliki kriteria sempurna dan akan menjadi pemimpin yang dapat berhubungan sekaligus bersatu dengan Akal Aktif yaitu Tuhan. 44 45
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 125. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.
82
Hal ini dikarenakan kenabian dalam pandangan al-Fārābī, bukanlah sesuatu di luar jangkauan manusia dan bukan pula merupakan hal yang luar biasa, ia adalah sebagai fenomena sebagaimana dalam fenomena alam lainnya. Nabi adalah seorang manusia yang daya khayalnya telah sampai kepada kesempurnaan. Daya khayal ini dalam pandangan al-Fārābī memegang peranan penting. Ia menghimpun bentuk-bentuk yang berasal dari luar alam indrawi ke alam indrawi. Ia meramu susunan bentuk-bentuk itu untuk memunculkan bentuk-bentuk baru di alam indrawi dan alam nyata. Hal yang penting dari itu semua adalah bahwa nabi memiliki daya (kemampuan) untuk selalu berhubungan dengan alam tertinggi. Inilah yang disebut dengan mimpi yang benar dalam sebuah (konsep) kenabian.46 Nampaknya, meskipun tersirat, al-Fārābī ingin melegitimasi konsep Imāmiyyah dalam Syīʻah, karena pemimpin-pemimpin dalam Syīʻah ditunjuk berdasarkan garis keturunan Nabi. Bagi Syīʻah pemimpin yang disebut imam, tidaklah dipilih oleh rakyat, ia merupakan hak ahl al-bayt (keturunan Nabi) secara turun-temurun dari bapak ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian seterusnya. Penentuan pengganti imam ini adalah secara limpahan (al-fayḍ), yang oleh Syīʻah disebut wasiat (al-waṣiyyah).47 Dalam konteks sejarah juga, memang pada masa itu sedang terjadi perseteruan Syīʻah-Sunnī, sehingga melegitimasi konsep kepemimpinan menjadi penting karena bagian dari kampanye Syīʻah. Dalam buku Antara Al-Fārābī dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Yamani menulis dalam pendahuluannya bahwa memang terdapat spekulasi bahwa 46
M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah alIslāmiyyah (Beirut: ʻUwaydah li al-Nasyr wa al-Ṭibāʻah, 2000) h. 448. 47 Falsafah Kenabian Al-Fārābī, http://yolmartohidayatasmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html, 07/05/2014, pukul 10.45 WIB.
83
falsafah politik al-Fārābī, khususnya gagasan mengenai penguasa utama, mencerminkan rasionalisasi ajaran Imāmah dalam Syīʻah. Penulis seperti Fauzy Najjar, Walzer, Henry Corbin, Ibrahim Madkour, Hosein Nasr, dan Osman Bakar—kendatipun yang disebut terakhir skeptis terhadap spekulasi ini—percaya bahwa al-Fārābī memang seorang Syīʻah. Kenyataan bahwa al-Fārābī menyebut imam sebagai Pemimpin Pertama, meskipun pada dasarnya dipinjam dari falsafah politik Plato, tentu mudah digunakan oleh penganut Syīʻah untuk membenarkan rezim imam yang ilahiah ini. Menurut Najjar, kita juga jadi melihat paralelisme tertentu antara ajaran (falsafah) al-Fārābī dan ajaran (doktrinal) Syīʻah. Untuk membenarkan hubungan ilahiah imam itu, kaum Syīʻah menemukan dalam teori neo-Platonis mengenai emanasi dan gagasan “akal universal”, adanya dukungan “rasional” yang kuat untuk melihat dalam karya-karya politis al-Fārābī, dan adanya suatu upaya terselubung untuk mendukung gerakan Syīʻah hererodoks melawan serangan gencar ortodoksi Sunnī.48 Richard Walzer, salah seorang ahli terkemuka dalam hal al-Fārābī, percaya bahwa falsafah al-Fārābī sangat dipengaruhi oleh Syīʻah Imāmiyyah. Dengan menganalisis isi al-Madīnah al-Fāḍilah, khususnya teori tentang penguasa maupun eskatologinya, dia berkesimpulan bahwa konsep imāmah al-Fārābī “kelihatan
seperti
counter-part
pandangan-pandangan
Imāmiyyah
pada
zamannya.” 49 Hal ini juga diungkapkan Dedi Supriyadi dalam Pengantar Filsafat Islam bahwa dalam pengangkatan pemimpin al-Fārābī lebih cenderung kepada proses 48 49
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini: Falsafah Politik Islam, h. 45. Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini: Falsafah Politik Islam, h. 45.
84
penunjukan langsung, tidak dengan pemilihan oleh seluruh warga negara. Pandangan ini mirip dengan paham Syīʻah, di mana pemimpin ditunjuk langsung bukan
dipilih
oleh
warga
masyarakat.
Seorang
pemimpin
negara
adalah maʻṣūm, dan secara tabiatnya, ia telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadi kepala negara. Dengan demikian, kepala negara ada lebih dahulu, baru kemudian rakyatnya.50 Namun, bukan berarti al-Fārābī menganggap pengangkatan pemimpin dengan cara penunjukan langsung adalah benar sepenuhnya. Seperti telah diungkapkan sebelumnya memang tidak detail tata cara pengangkatan pemimpin menurut al-Fārābī khususnya dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Penulis hanya berusaha menelusuri data yang ada dan sesuai dengan kutipankutipan al-Fārābī. Terlepas dari itu, perdebatan mengenai tata cara pengangkatan pemimpin akan selalu menarik dibahas, terlebih pada zaman sekarang. Kemudian setelah membahas tentang pengangkatan pemimpin, tibalah pada pembahasan yang terakhir mengenai kriteria pemimpin. Di samping kita harus memahami tentang tugas dan fungsi pemimpin, lalu pengangkatan pemimpin, kita juga harus memahami kriteria pemimpin. Hal ini dikarenakan itu semua bagian dari konsep sebuah kepemimpinan.
D. Kriteria Pemimpin Pokok penting dari pembahasan mengenai kepemimpinan adalah kriteria pemimpin. Dalam hal ini al-Fārābī ingin mengungkapkan kriteria ideal bagi
50
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 95-96.
85
seseorang yang akan menjadi pemimpin. Pembahasan tentang kriteria pemimpin amat gamblang dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karena al-Fārābī menuliskannya dalam bab khusus mengenai kriteria pemimpin, sehingga kita dapat memahaminya dengan baik tanpa interpretasi yang cukup rumit seperti pembahasan dalam sub bab sebelumnya. Kemudian sebelum membahas kriteria pemimpin menurut al-Fārābī ada tiga golongan manusia, dari segi kapasitasnya untuk memimpin, yaitu: 1.
Manusia yang memiliki kapasitas yang memandu dan menasehati. Ini yang disebut oleh al-Fārābī Akhaṣṣ al-Khawāṣṣ. Ia wajib menduduki (jabatan) sebagai pemimpin utama karena secara natural memiliki bakat memimpin atau yang disebut dengan Khuṣūṣ al-Khāṣṣ dan menjadi teladan bagi semua orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Untuk menjadi teladan, pemimpin harus memiliki otak cemerlang dan pengetahuan luas sehingga ia dapat memberi arahan kepada pimpinan-pimpinan di bawahnya maupun kepada masyarakat umum tentang kebahagiaan sejati dan keutamaan paripurna dengan penjelasan yang meyakinkan.
2.
Manusia yang berperan sebagai penguasa subordinat yang memimpin sekaligus dipimpin disebut al-Fārābī dengan al-Khāṣṣah. Mereka selain memiliki ilmu-ilmu teoritis yang spesifik, juga memiliki keyakinan terhadap kebenaran dari apa yang diajarkan (pimpinan di atasnya) dan mengajarkannya kepada orang lain. Mereka memiliki kemampuan memimpin di atas rata-rata masyarakat tetapi hanya mampu memimpin suatu kota saja.
86
3.
Manusia yang dikusai sepenuhnya atau tanpa kualifikasi, al-Fārābī menyebutnya al-ʻĀmmah. Mereka yang memiliki kemampuan teoritis dan kekuatan yang amat terbatas.51 Maksud dari al-Fārābī menentukan kapasitas pemimpin adalah untuk
memberi gambaran umum kriteria manusia agar kita dapat menentukan pemimpin berdasarkan potensi-potensinya dalam memimpin. Pemimpin pada peringkat pertama adalah pemimpin yang secara natural memiliki 12 persyaratan dasar sebagaimana dikutip dari Ārāʼ Ahl al-Madīnah alFāḍilah:
51
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 36-38.
87
52
Pertama,
memiliki
anggota
badan
yang
sempurna,
sehingga
memungkinkan dia untuk melakukan perkerjaan-pekerjaan secara baik. Apabila ada pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dengan anggota badan dia dapat melakukannya dengan mudah.53 Kecuali memiliki anggota badan yang sempurna, seorang pemimpin harus sehat badannya. Badan yang sakit akan berakibat pada rusaknya indra (rasa) dan kepekaan, seperti manis, bagi orang sakit bisa terasa pahit, sesuatu yang tepat di mata orang sakit bisa menjadi tidak tepat. Analogi ini bisa diterapkan kepada orang-orang yang buruk (perangainya) dan tidak 52 53
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127-129. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127.
88
sempurna. Mereka ini, oleh al-Fārābī, disebut dengan orang yang sakit jiwanya. Bagi mereka hal-hal yang baik, di matanya, bisa menjadi buruk. Demikian pula sebaliknya, hal-hal yang buruk, di matanya bisa menjadi baik. Adapun orang yang utama dan memiliki keutamaan akhlaq akan selalu condong dan selamanya merindukan tujuan-tujuan yang terbaik dalam arti sebenarnya dan orang yang buruk perangainya akan selalu condong dan selalu merindukan keburukan sebagaimana yang dibayangkannya sebagai suatu kebaikan disebabkan jiwanya yang "sakit”.54 Padahal untuk mencapai kebahagiaan salah satu di antaranya adalah dengan menghilangkan keburukan/kejahatan yang ada di tengah-tengah (masyarakat) kota dan dan umat.55 Kedua, secara natural, memiliki pemahaman dan penggambaran yang baik terhadap apa (persoalan) yang disampaikan orang kepadanya sehingga (dengan pemahaman tersebut) dia dapat menanggapi (memecahkan) persoalan sesuai dengan maksud dan harapannya.56 Hal ini terkait erat dengan kemampuan berpikir baik pada seorang pemimpin; yaitu kemampuan berpikir yang berakibat pada terjadinya kepuasan dan ketepatan kesimpulan tentang sesuatu secara lebih baik dan lebih tepat sehingga berimplikasi pada terjadi kebaikan pada orang lain. Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan sejati, bertujuan mulia dan utama yang kemudian bermuara pada diperolehnya kebahagiaan.57 Ketiga, memiliki ingatan dan hafalan yang kuat, baik terhadap apa yang dipahami, dilihat, didengar, maupun diketahuinya. Dengan kata lain, secara
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 56-57. Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h.. 84. 56 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 57 Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 55. 54 55
89
umum, dengan ingatan dan hafalan yang kuat itu, apa yang dialaminya tidak ada yang terlupakan.58 Keempat, memiliki kepandaian dan kecerdasan yang baik. Apabila dia melihat sesuatu dengan sedikit bukti (dalil), ia cepat tanggap ke arah mana dalil (bukti) itu akan menuju.59 Untuk itu akal teoritis seorang pimpinan utama sangat dominan, karena akal teoritis yang dimilikinya merupakan daya yang ada secara natural, tidak dicari dan tidak pula (dipelajari) secara analogis. Dia mengetahui premis-premis pokok yang universal yang berfungsi sebagai permulaan ilmu, misalnya pengetahuan bahwa universal itu lebih besar dari partikular, mengukur benda yang sama dengan ukuran sama akan memeroleh hasil yang sama pula, dan premis-premis yang lain sampai pada pengetahuan tentang segala yang ada. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa semua yang ada ini bukan karya manusia melainkan ciptaan Tuhan.60 Kelima,
baik
penyampaiannya,
dengan
kata-katanya
dia
dapat
menerangkan dengan baik apa (keterangan) yang tersembunyi di balik keterangan itu dengan keterangan penjelasan yang baik dan sempurna.61 Keenam, cinta kepada ilmu pengetahuan, dapat mengambil manfaat (hikmah) dari apa yang diketahui dan dirasakannya, suka dikritik, mudah/bersedia menerima (saran), tidak mudah putus asa, dan siap menerima risiko apapun yang terjadi padanya.62 Ilmu itu memang beragam jenisnya tetapi ilmu teoritis
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 60 Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 50. 61 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 62 Al-Fārābī, ĀrāʼAhl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 58 59
90
partikular yang utama adalah ilmu yang berujung pada keyainan jiwa terhadap Pencipta segala yang ada dengan bukti yang nyata.63 Ketujuh, apa yang dimakan, diminum dan dinikahi, diperoleh melalui jalan yang baik. Secara natural terhindar dari sifat senang bermain-main (berfoya-foya) dan dia benci terhadap kenikmatan-kenikmatan seperti itu.64 Kedelapan, mencintai kejujuran dan orang berbuat yang jujur, membenci kebohongan dan orang-orang yang bohong.65 Kesembilan, memiliki jiwa besar, (menyukai pekerjaan-pekerjaan) terhormat; berjiwa besar terhadap masalah-masalah (kesulitan-kesulitan) yang menimpa dirinya, yang secara otomatis akan meningkatkan derajatnya kepada yang lebih tinggi.66 Kesepuluh, memandang bahwa dirham dan dinar (harta benda) dan segala sesuatu yang bersifat duniawi adalah sesuatu yang remeh baginya.67 Kesebelas mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil, membenci kelaliman dan aniaya beserta para pelakunya, memberikan separoh dari apa yang dimilikinya dan menganjurkan yang lain untuk berbuat demikian.68 Keduabelas, memiliki kemauan yang keras untuk melakukan sesuatu yang diyakini benar dan harus dilakukannya. Dia melakukannya dengan penuh keberanian, maju terus dan tidak takut risiko, dan dia tidak lemah jiwanya.69
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 51. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 65 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 66 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 67 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 68 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 69 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129. 63 64
91
Dua belas persyaratan di atas adalah rincian dari sifat-sifat failasuf-nabi yang merupakan syarat utama seorang pemimpin sebagaimana kutipan di bawah ini:
Manusia (yang memiliki sifat failasuf-nabi) seperti ini juga merupakan manusia yang setiap tindakannya memungkinkan untuk menggapai kebahagiaan, dan ini merupakan syarat pertama untuk menjadi seorang pemimpin.70 Dengan menjadikan seorang pemimpin yang memiliki sifat failasuf-nabi, maka akan mendekatkan para warga menuju kebahagiaan yang diidam-idamkan. Hal ini dikarenakan Pemimpin Utama/Ideal yang memiliki sifat failasuf-nabi dapat sampai pada tingkatan (yang berhubungan) dengan ʻaql al-faʻʻāl, akal aktif, di mana pada tingkatan itu dapat diperoleh wahyu dan ilham. ʻAql al-faʻʻāl, sebagaimana kita ketahui adalah salah satu dari akal kesepuluh (dalam teori emanasi) yang telah lepas dari alam dan dia (akal kesepuluh) menjadi titik pertemuan antara Tuhan dan hamba-Nya. Ia merupakan sumber segala syariʻah, undang-undang (ketentuan/aturan) hidup secara etis (al-Khuluqiyyah) dan sosiologis (ijtimāʻiyyah).71 Kalau diteliti, semua ini memang merupakan khayalan al-Fārābī, meskipun bisa dikatakan (agak) lebih mendekati kenyataan daripada khayalan Plato. Ketika pengarang Republic (Plato) berkhayal tentang munculnya failasuf Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126. Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Ṭatbīquh (Kairo: Dār alMaʻārif), h. 76. 70 71
92
yang turun dari alam ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik (di Yunani), maka al-Fārābī berharap pemimpin Kota Ideal/Utama bangkit dari alam ruh. Dia akan lebih banyak hidup dengan ruhnya daripada jasadnya dan al-Fārābī mensyaratkan bahwa pemimpin negara utama harus dapat terus-menerus berhubungan dengan akal aktif. De Boer, sebagaimana dinukil Madkour menyatakan,
“Sebagai
persyaratan
pemimpin
negara
utama,
al-Fārābī
menggabungkan seluruh sifat-sifat manusia dan failasuf, dan dia ini bisa disebut sebagai Plato dengan baju kenabian Muḥammad.”72 Demikian indah cita-cita al-Fārābī sehingga Ibrahim Madkour mengatakan bahwa kita dihadapkan dengan suatu Negara Ideal yang penduduknya terdiri dari orang-orang yang suci belaka, sedang kepala negaranya adalah seorang yang bersifat nabi, suatu negara yang belum pernah terwujud yang hanya hidup di dalam fantasi al-Fārābī.73 Dengan meletakkan al-nubuwwah di tengah masyarakat manusia, dapatlah dipecahkan sengketa-sengketa yang timbul di sekitar pemimpin agama dan pemimpin politik yang telah menggoncangkan kaum Muslim sejak abad pertama. Bagi al-Fārābī, jabatan-jabatan nabi, imam, raja, hakim, dan failasuf yang diajarkan Plato dalam bukunya Republic adalah untuk kepentingan politik belaka. Merekalah yang mengatur susunan masyarakat dengan berpedoman kepada perintah Ilahi. Mereka harus sanggup menghubungkan rohani mereka dengan
72 73
Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 76. Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 85.
93
Tuhan, baik waktu sadar maupun tidur, baik dengan perantara khayal atau dengan pikiran mereka.74 Selanjutnya al-Fārābī memberikan alternatif untuk pemimpin negara utama pada peringkat kedua, karena persyaratan pemimpin ideal sulit terpenuhi. Pemimpin peringkat kedua yaitu, pemimpin yang dapat menjadi pelanjut dari pemimpin utama yang ideal dengan kriteria-kriteria bahwa pemimpin kedua itu harus terdapat beberapa persyaratan yang melekat pada dirinya sejak lahir, masa kanak-kanak, dan berlangsung sampai dia beranjak dewasa. Persyaratanpersyaratan itu, sebagaimana disebutkan oleh al-Fārābī ada 6 (enam) yaitu: 1. Bijaksana75 Kebijaksanaan atau dalam bahasa Arab ḥikmah digunakan untuk menyempurnakan tujuan ilmu yaitu kebahagiaan tertinggi dan kesempurnaan paripurna yang dapat diraih oleh manusia. Dengan demikian, yang diajarkan oleh hikmah tidak lain adalah bagaimana ilmu dapat sampai pada tujuan utamanya yaitu kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya.76 2. Mengerti dan mampu melaksanakan undang-undang Dia harus mengerti dan mampu menjaga syariʻat, undang-undang dan melaksanakannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Sehingga apa-apa yang dipraktikkan adalah sebagai penyempurna dari apa yang pernah dilakukan oleh mereka (para pendahulu) itu.77 3. Memiliki kecerdasan dalam mengambil kesimpulan Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 122. Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129. 76 Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 62. 77 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129. 74 75
94
Memiliki kemampuan yang baik dalam mengambil kesimpulan terhadap syariʻat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan kontemporer (yang belum muncul di masa lalu). 4. Mampu memrediksi persoalan yang terjadi di masa mendatang Memiliki kemampuan yang baik dalam pengambilan kesimpulan terhadap fenomena yang terjadi sekarang kemudian dapat memrediksi persoalan-persoalan yang akan dihadapi nanti. 5. Mampu menasehati orang Mampu memberi nasihat dengan kata-kata yang baik tentang pelaksanaan syariʻat, sebagaimana yang dijalankan oleh para terdahulunya dan memiliki kemampuan untuk menerangkan kesimpulan-kesimpulan pelaksana syariʻat yang diambil oleh orang-orang sesudahnya. 6. Berbadan sehat Secara fisik ia sehat, bahkan
memiliki kemampuan untuk berperang
apabila diperlukan sewaktu-waktu dan dalam peperangan dia mampu menjadi panglima.78 Apabila persyaratan tersebut tidak ditemukan pada satu orang, tetapi ada pada dua orang, yang satu adalah orang yang penuh kebijaksanaan sedangkan persyaratan selebihnya dimiliki oleh yang lain, maka keduanya dapat bersamasama menjadi pemimpin-pemimpin negara yang bekerja sama satu sama lain. Apabila persyaratan itu terdapat pada beberapa orang, kebijaksanaan (persyaratan pertama) ada pada diri seseorang, persyaratan kedua, ketiga, keempat, kelima, dan
78
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 130.
95
keenam pada orang yang berbeda-beda, mereka secara kolektif adalah pemimpin utama. Namun apabila terdapat persyaratan semua di atas tetapi tidak ada hikmah (kebijaksanaan), sebagai bagian dari persyaratan, negara itu sama dengan tidak memunyai pemimpin karena di dalamnya tidak ada orang yang bijaksana, yang dapat mengatur negara itu dengan baik. Akibatnya negara akan mengalami kehancuran dalam waktu yang tidak lama lagi.79 Dalam hal ini, al-Fārābī ternyata tidak memutlakkan kriteria terhadap satu orang saja, tetapi kriteria itu bisa juga terdapat pada beberapa orang. Di sini kita dapat melihat keluwesan al-Fārābī dalam mengemukakan teorinya. Seperti kutipan di atas, al-Fārābī membolehkan sebuah sistem kolektif, di mana dalam sistem kenegaraan modern disebut sistem parlementer. Sistem parlementer sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Parlemen adalah satusatunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan atau lembaga legislatif. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Dalam sistem parlementer, presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen
79
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 130.
96
dan non-departemen. Sedangkan kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebagai simbol kedaulatan dan keutuhan negara.80 Jika kita urai, ada beberapa kesamaan antara sistem kolektif al-Fārābī dengan sistem perlementer: Pertama, terletak pada peranan parlemen yang amat penting dalam pemerintahan yang diisi oleh beberapa orang. Sedangkan al-Fārābī juga mengganggap penting peran beberapa orang sebagai pemimpin dengan tidak memutlakkan kriteria pemimpin dalam satu individu saja. Kedua, dalam sistem parlementer, pemimpin adalah simbol. Al-Fārābī juga menganggap pemimpin utama adalah simbol, hal ini sebagaimana dalam sub bab sebelumnya tentang tugas dan fungsi pemimpin. Ketiga, mengenai perdana menteri. Dalam sistem parlementer perdana menteri memunyai hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, artinya ini bersifat teknis. Bagi al-Fārābī pemimpin utama adalah seorang yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan
80
16.45 WIB.
http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistem-parlementer/, 16/06/2014, pukul
97
pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang tingkat kemuliaannya sedikit.81 Sedangkan selebihnya adalah hal-hal teknis yang sifatnya sebagai pelengkap. Namun pada intinya, al-Fārābī ikut memberikan kontribusi pemikiran dalam politik modern meskipun tidak secara langsung. Dari ungkapan al-Fārābī tentang kriteria pemimpin peringkat utama, kriteria pemimpin peringkat kedua, sampai alternatif ketiga, kita dapat melihat keluwesan pemikiran al-Fārābī. Di samping ia memunyai standar tinggi dalam menentukan kriteria pemimpin yaitu sosok failasuf-nabi, ia juga tetap menolerir standar minimal seorang pemimpin. Ini dikarenakan memiliki seorang pemimpin adalah suatu hal yang diperlukan sebagaimana firman Allah yang telah dibahas pada bab sebelumnya, di mana al-Qurʼān dan Ḥadīts sendiri yang merupakan landasan kehidupan berbicara tentang manusia yang hidup bermasyarakat dan konsep kepemimpinan dalam masyarakat. Sedangkan al-Fārābī berusaha merinci konsep kepemimpinan yang memang sudah dilandaskan pada al-Qurʼān dan Ḥadīts melalui pemikirannya. Tidak ayal pemikiran-pemikiran al-Fārābī di samping banyak dipengaruhi oleh failasuf Yunani, juga dipengaruhi oleh doktrin agama yaitu al-Qurʼān dan Ḥadīts. Terlebih konsep metafisika berupa emanasi yang amat kental unsur ketuhanan dalam konsep tersebut. Hal ini sebagaimana menurut M. Abd. Rahman Marhaba bahwa apa yang dilakukan al-Fārābī adalah sebagai usaha penggabungan antara falsafat dan agama
81
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 120.
98
sebagai ciri khas Falsafat Islam. Falsafat Islam sendiri adalah falsafat yang memadukan antara falsafat dan agama sebagaimana perpaduan pendapat antara falsafat Plato dan Aristoteles. Falsafat dan agama adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan tidak ada perbedaan pengertian antara keduanya apabila dipahami secara mendalam. Untuk itu agama dan falsafat hanya nampak berbeda dari luarnya saja. Tetapi pada hakikatnya keduanya adalah sama, tidak ada perbedaan. Kebenaran agama sama nilainya dengan kebenaran falsafat, begitu juga sebaliknya, karena keduanya saling menguatkan.82 Jadi tidak heran jika pemikiran al-Fārābī amat kental unsur keagamaan dan unsur falsafat Yunani, karena dari perpaduan itu kita mendapati pemikirian yang tidak semata-mata idealistis dan tidak semata-mata realistis. Maka demikian besar pemikiran al-Fārābī sehingga banyak yang menjuluki ia al-Muʻallim al-Tsānī yaitu Guru Kedua.
82
M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah alIslāmiyyah, h. 379.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelum, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Mengenai konsep kepemimpinan, al-Fārābī amat menekankan kriteria pemimpin yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī, nabi merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin sedangkan failasuf adalah sosok nyata yang juga dapat dijadikan pemimpin. Maka dari itu, al-Fārābī menguraikan beberapa kriteria pemimpin yang sebenarnya merupakan rincian dari sifat-sifat kenabian sekaligus failasuf.
2.
Mengenai konsep Negara Ideal/Utama, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus berada di tangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.
3.
Pemikiran al-Fārābī banyak dipengaruhi doktrin-doktrin agama, yaitu berupa al-Qurʼān dan Ḥadīts yang mendominasi konsep kepemimpinan ideal alFārābī. Salah satunya mengenai tugas dan fungsi pemimpin yang al-Fārābī paparkan berdasarkan teori organisme yang sudah ada sebelumnya di dalam Ḥadīts. Tidak hanya itu, teori tentang pembentukan negara juga banyak dikutip berdasarkan ayat al-Qurʼān tentang keharusan membuat komunitas untuk saling mengenal.
99
100
4.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Plato dapat dilihat di karangan alFārābī. Di antaranya karangan Plato berupa Republic, yang hampir mirip dengan karangan al-Fārābī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Namun itu tidak serta-merta al-Fārābī menjiplak semuanya, penggabungan filsafat dan agama menjadi produk orisinal dari karya al-Fārābī.
B. Saran Setelah penulis selesaikan tulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang terkait dengan pembahasan pada tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu: 1.
Konsep kepimpinan al-Fārābī yang sifatnya klasik amat terlihat dalam pembahasan ini. Tentu sangat mudah menilai kekurangan dalam konsep kepemimpinan al-Fārābī yaitu dengan membandingkan dengan konsepkonsep kepemimpinan modern. Salah satunya mengenai rincian metode pemimpin yang ideal, seperti gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan sebagainya.
2.
Ditambah juga, al-Fārābī tidak detail dalam mengungkapkan metode pengangkatan pemimpin, bahkan tidak menuliskan sama sekali periodisasi kepemimpinan, padahal itu sangat penting dalam menunjang teori kepemimpinan ideal.
3.
Sedangkan dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah hampir setengahnya berisi tentang teori metafisika. Hal ini dirasa tidak perlu karena dalam mengutarakan teori negara ideal, cukup diungkapkan metode-metode bagaimana manusia mampu mewujudkan negara ideal.
DAFTAR PUSTAKA Abd. Rahman Marhaba, M.. Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah alIslāmiyyah. Beirut: ʻUwaydah li al-Nasyr wa al-Ṭibāʻah, 2000. al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī. terj. Akhmad Affandi dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Abū Zakariyyā Yaḥyā, Imām. Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, terj. H. Salim Bahreisy. Bandung: al-Maʻārif, 1987. Jilid I. Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali, 1996. Baali, Fuad & Ali Wardi. Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka Hidayat. Cet. Ke-I. Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Bukhāri, Imām. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitāb al-Aḥkām, Jilid IX. Kairo: Dār al-Syaʻb. Edward, Paul, The Encyclopedia of Philosophy. London: Collier Macmilian Publisher, 1927. Vol.3 Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. London: Macmillan Publishing Company, 1987. Vol Ke-5. Al-Fārābī. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Beirut: Dār al-Masyriq, 2002. Cet. Ke-8. -------. al-Siyāsah al-Madaniyyah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993. Cet Ke- II. -------. Fuṣūl Muntazaʻah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993. -------. Taḥṣīl al-Saʻādah. Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah, 1349 H. -------. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh Richard Walzer. Oxford: Claeedon Press, 1985. Hazm, Ibnu. al-Ahkām fī Uṣul al-Aḥkam. Kairo: 1921. Kemendikbud. http://kbbi.web.id/pimpin. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”.
101
102
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan. Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011. Cet. Ke-I. Kusnadiningrat, E, “Al-Farabi Tentang Negara Utama”, Refleksi, No.3, Vol. III, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001. al-Nawawī, Imām. Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh”. Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987. Madkour, Ibrahim. Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Ṭatbīquh. Kairo: Dār al-Maʻārif. Noer, Kautsar Azhari, “Pemikiran dan Peradaban”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove. Quraish Shihab, M. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2001. Ridwan, Kahrawi (ed.). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999. Vol. 1. Cet. Ke-4. Sevilla, Consuelo G dkk, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press. 1993. Sharif, M.M.. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994. cet. Ke-7. Sidiq, Abd. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra, 1984. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang. 1990. Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Van der Weij, P.A.. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote Filosofen over de Mens. Jakarta: Gramedia, 1988. Von Schmid, J.J.. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato tot Kant). Jakarta: Pembangunan, 1965. Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan, 2002. Cet Ke-1 -------, Al-Farabi Filosof Politik Muslim. Jakarta: Teraju, 2005, Cet Ke-1. Zainal, Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinah Fadilah), Jakarta: Kinta, 1968.
103
Definisi Konsep. http://carapedia.com/pengertian_definisi_ konsep_menurut_ para_ahli_info402.html. Falsafah Kenabian Al-Fārābī. http://yolmartohidayatasmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html. Sistem Parlementer. http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistemparlementer/.