KO ONSEP TAUHÎD SYAIKH‘ABD DURRA AHMAN SHIDDÎQ M KITA AB ‘AMA AL MA’RIFAH DALAM
Skripsi Diajukan keepada Fakulltas Ushuludddin dan Fillsafat untukk Memenuhii Persyarataan Memperroleh Gelarr Sarjana Fillsafat Islam m (S.Fil.I)
Disusun Oleeh:
ISMA AIL YUHA AIDIR 10060331011 126
PROGR RAM STU UDI AQID DAH FIL LSAFAT F FAKULTA AS USHU ULUDDIN N DAN FILSAFA AT UIN N SYARIIF HIDAY YATULL LAH JAKARTA A 14331 H / 2010 M
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk untuk memenuhi salah satu peersayaratan memperoleh gelar Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah; 2. Semua sumber yang telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16, September 2010
Ismail Yuhaidir
KONSEP TAUHÎD SYAIKH‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ DALAM KITAB ‘AMAL MA’RIFAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh; ISMAIL YUHAIDIR NIM: 106033101126
Pembimbing;
Dr. Sri Mulyati, M.A NIP: 19560417.198603.2.001
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Konsep Tauhîd Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq dalam Kitab ‘Amal Ma’rifah”: telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tangga 16 September 2010 M. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu Syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam(S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat. Sidang Munaqasyah
Jakarta, 16 September 2010
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP: 19610927.199303.1.002
NIP: 1968093 199403.2.002
Anggota,
Drs. Fakhruddin, MA
Dr. Sri Mulyati, M.A
NIP: 19580714.198703.1.002
NIP: 19560417.198603.2.001
Jakarta, 24 September 2010 NO
: Istimewa
Lampiran : 1 lembar Perihal
: Permohonan Mengikuti Wisuda Sarjana ke-81
Kpd Yth, Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Salam sejahtera saya sampaikan semoga Bpk selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah Swt. Selanjutnya saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Ismail Yuhaidir
NIM
: 106033101126
Fak/Jur/Smstr : Ushuluddin/Aqidah Filsafat/IX Program
: Reguler
Sudah mengikuti ujian skripsi pada tanggal 16 September 2010 dengan ini bermaksud mengajukan permohonan mengikuti wisuda sarjana ke-81 di karenakan sedang mengerjakan revisi skripsi dengan membutuhkan waktu sampai tanggal 16 November 2010 sehubungan batas akhir wisuda sarjana ke-81 di fakultas sampai tanggal 4 oktober 2010. Demikianlah surat permohonan ini saya buat, terima kasih atas segala perhatiannya. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Ketua Juruan Aqidah Filsafat
Pemohon
Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
Ismail Yuhaidi
NIP: 19610927 199303 1 002
NIM : 106033101126
ABSTRAKSI Ismail Yuhaidir dalam hasil penulisan dan penelitiannya skripsi pada tugas ahkir syarat kelulusan UIN Syarif Hidayatullah dengan judul “ Konsep Tauhîd Syaikh Abdurrahman Shiddik dalam kitab ‘Amal Ma’rifah,”Tokoh Ulama’ Bangka” di bawang bimbingan Dr. Sri Mulyati, M.A. Syaikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Indragiri Riau adalah salah seorang buyut dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau adalah seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1857-1939 M, sangat terkenal di Pulau Bangka. Dia adalah tokoh ulama yang telah membawa perubahan kultur keberagamaan di Bangka.dia juga telah banyak mencetak kader-kader ulama di kepulauan Bangka yang sampai sekarang nilai-nilai perjuangannya di kenang oleh banyak masyarakat, bahakan namanyapun di abadikan di sebuah perguruan tinggi di Bangka yaitu STAIN Syaikh Abdurrahman Shiddiq. Salah satu karya tulisnya yang populer adalah risalah Amal Ma’rifah. Kitab ini disusun oleh beliau untuk menjadi tuntunan bagi orang-orang yang mencari ilmu-ilmu kesempurnaan di zaman itu, sebab sedikit sekali guru tasawuf yang alim dan mampu mengajarkan tasawuf secara benar. Kitab ini juga sering dijadikan rujukan serta diajarkan oleh ulama atau guruguru agama di Bangka, dan ada kecenderungan kitab ini diidentikkan dengan kitab al-Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, serta dianggap bernuansa ajaran wahdat al-wujud. . Maka dari itu sangatlah penting bagi penulis untuk mengangkat pemikiran Sayikh Abudrrahman Shiddiq dalam karya tulisnya Amal Ma’rifah mudah-mudahan nantinya dapat mendorong kita untuk lebih memahami hakekat dari nilai ketuhanan yang kita jalani selama ini. Karena bagi penulis pemikikran Syaikh Abudrraman Shiddik cukup memberikan pencerahan yang sangat luar biasa dalam mengesakan Allah Swt.
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Untuk ini begitu besar rasa syukur yang terus menerus penuliskan haturkan atas nikmat, rahmat dan hidayah yang telah diberikan Allah Swt kepada hamba yang lemah ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh kemudahan dan kelancaran. Shalawat serta salam tidak lupa penulis senandungkan kepada junjungan Nabi akhir zaman beliau bernama Nabi Muhammad Saw. Perjalanan ini seungguh panjang namun berasa singkat sekali, tak terasa semenjak masuk pada angkat tahun 2006 dan berakhir pada tahun 2010. Tak terasa kini akan berakhirlah masa studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini untuk stara S 1 pada Jurusan Aqidah filsafat. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan hambatan yang dihadapi, serta penulis menyadari penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak sekali perbaikan-perbaikan dalam penulisan ini. apalagi data yang penulis kaji mengenai tokoh ini referensinya masih sangat minim sekali. Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapakan ribuan terimakasih tiada terhingga dan seakan kebaikankan semuanya tak dapat saya balaskan dengan apapun juga, mudah-mudahan apa yang telah mereka berikan selama ini dibalas oleh Allah Swt dengan setimpal dan ilmu yang saya dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat untuk ummat dan kemaslahatan agama. Saya tujukan ucapan terima kasih itu kepada kepada: 1. Ibu Dr. Sri Mulyati, M.A , sebagai Dosen pembimbing skripsi, yang telah mengarahkan sehigga terselesainya skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Zainun kamal, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, beserta jajarannya, pembantu Dekan I, II, III, mudah-mudahan dapat membawa Fakultas Ushuluddin menjadi Fakultas terdepan.
ii
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.A, beserta Ibu Dra. Tien Rohmatin, M.A, baik selaku Ketua Jurusan dan Sektretaris jurusan maupun dosen yang telah banyak membatu dalam kelancaran proses selama kuliah. 4. Kedua orang tuaku, Ba’ ku Mi’an dan Emakku Marfu’ah, yang selalu memberi motivasi dan do’anya yang tak terhingga,
doa itu mengalir dengan begitu
derasnya bagaikan air mengalir sehingga mengantarkan daku pada gerbang kesuksesan dalam menempuhkan studi di kampus tercinta ini. 5.
Kepada ayunda-ayundaku dan abangku tercinta, Siti Aminah, Nur Laila, Zaleha, Ridwan, terimakasihku selalu yang menyayangi adiknya yang manja ini, sehingga termotivasilah semangat diri ini untuk terus memberikan yang terbaik buat keluarga.
6. Tokoh masyarakat Bangka Belitung, terkhusus Masyarakat Desa Puding Besar. Terimaksih dorongan agar saya cepat menyelesaikan studiku, agar cepat balik kekampung halaman untuk mengabdi buat masyarakat di kampung. 7. Teman-teman seperjuanganku, Ali Ma’mun, Diah, Husen, Anwar, Euis, Mahbub, Kholik, Reyhan, Hasbullah, Adan, Fahmi, Tofik, Farid, 8. Teman-teman seperjuanganku di PAMALAYU BABEL, Joko Wasono, Rudy, Fahri, Zul, Budiman, Ican, Febri, 9. Keluarga Besar, KOMFUF, BEM-F Ushuluddin, BEM-J AF selamat berjuang sampai ketemu nanti di gerbang kesuksesan yang lebih cemerlang bermanfaat untuk agama dan bangsa nantinya, amin.
Jakarta, 02 September 2010
Ismail Yuhaidir
iii
DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................................. i KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii DAFATAR ISI ......................................................................................................... iv PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. vi BAB I.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 7 C. Metode Penelitian .................................................................................. 8 D. Tujuan Penulisan ................................................................................... 9 E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
BAB II. BIOGRAFI SYEKH ABDURRAHMAN SIDDIQ ............................... 13 A. Riwayat Hidup dan Perjuanganya ...................................................... 13 B. Karya-karya Syaikh Abdurrahman Siddiq ......................................... 29 BAB III. PENGERTIAN TAUHID DAN PERKEMBANGAN ISLAM ............ 35 A. Pengertian Tauhid dan Perkembangan Islam ...................................... 35 B. Perkembangan Islam di Bangka ......................................................... 38 BAB IV. POKOK-POKOH TAUHID SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIQ .................................................................................................... 42 A. Pengertian , Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah ............................ 42 1. Pengertian Syari’ah ..................................................................... 42 2. PengertianTarekat ....................................................................... 43 3. Pengertian Hakikat ...................................................................... 44 4. Pengertian Ma’rifat ..................................................................... 45 B. Konsep Pengesaan Allah dengan Afal-Nya, Asma-Nya, dan Dzat-Nya ............................................................................................ 49 1. Tauhid Af’al ................................................................................ 49
iv
2. Tauhid Asma’ ............................................................................. 55 3. Tauhid Sifat ................................................................................. 60 4. Tauhid dzat .................................................................................. 68 BAB V. PENUTUP ............................................................................................... 75 A. Kesimpulan ........................................................................................ 75 B. Saran ................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 78
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا
a
خ
kha
ش
sy
بb
د
d
صsh
تt
ذ
dz
ثts
ر
ج
j
ز
ح
h
ن
n
فf
و
w
ضdh
ق
q
ﻩ
h
r
ط
th
ك
k
ء
`
z
ظ
zh
ل
l
يy
سs
ع
‘
م
m
ة
Vokal Panjang
Vokal Pendek
ا
َ â
َ
= a
ِ ىî
ِ
= i
و
ُ
= u
ُ û
غ
Dibatas و
َ â
ْ ِ ىî َ ْو
iyy
(î Pada akhir
ُ uww (û Pada akhir kata
vi
gh
ah, at
الal
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran tauhid merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar tunggang dari ajaran Islam. 1 Tauhid juga merupakan suatu kumpulan kepercayaan atau keyakinan. Adapaun pokok-pokok keyakinan adalah iman kepada Allah SWT dan RasulNya, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab Rasul, iman kepada adanya Hari Kebangkitan, serta iman kepada qadla dan qadar. 2 secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring berjalanannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini pun secara berangsur-angsur mengalami sebuah distori pemahaman yang tentunya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh Nabi Adam as. 3 oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini sebagai utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep tauhid tersebut berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan 1 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dala Teoligi Islam ( Jakarta: Paramadina, 1990),h4 2 Ibn Taymiyyah, al-Aqidah al-wasathiyyah, (Beirut, Dar al-A'rabiyyah wa an-Nasrhr, tth)h.5 3 Taib Tahir Abd Mu'in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), cet., ke-3, h.15
1
2
kepada-Nya yang belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci” atau al-Qur'an. 4 Dalam agama Islam, ada ajaran yang jelas dan tegas yaitu ajaran ketuhanan Yang Maha Esa. Agama ini selalu menjelaskan bahwa seluruh semangat ajarannya berpusat pada paham ketuhanan Yang Maha Esa, yang secara spesifik disebut dengan istilah tauhid. Sepanjang ajaran Islam, tauhid itulah ajaran ketuhanan Yang Maha Esa secara sebenarnya,
yang
pengajarannya secara sistem dimulai dari Nabi Ibrahim, nenek moyang bangsa Israel (Yahudi) dan bangsa Arab (terutama Quraysy).5 Awalnya, tauhid yang merupakan pokok keyakinan bagi muslim tersebut bersumber pada nash yang bersifat naqli. Namun dalam perkembangannya, tauhid sebagai sebuah ilmu berkembang tidak hanya terbatas pada kawasan dalil naqli belaka, tetapi juga menambah kawasan dalil 'aqli. Perkembangan ilmu tauhid yang menggunakan landasan rasional tersebut terkadang disebut pula sebagai ilmu kalam, ilmu tauhid (ilmu kalam) tersebut juga memberikan suatu jalan bagi alasan rasional dan logis tentang pokok-pokok kepercayan Islam terhadap argumentasi yang dikeluarkan oleh para perusak aqidah Islam, seperti para orientalis yang berusaha mengaburkan konsep tauhid dengan tujuan agar umat Islam memiliki keraguan terhadap doktrin tauhid, sehingga diharapkan mereka menjadi murtad.
4 Taib Tahir, Ilmu kalam, h.16 5 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 199), h.xvi.
3
Dalam urusan menganut sebuah paham keislaman. Islam tidak membolehkan ada pemaksaan dalam bentuk apapun. Tugas Islam adalah menyeru kepada kebaikan, sepanjang ajaran Islam adalah berarti memenuhi konsekuensi paham tauhid secara benar, menurut keyakinan Islam, Tuhan yang Maha Esa sendiri mengajarkan, melalui wahyu-Nya, yaitu al-Qur'an, bahwa kita harus menganut prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama. 6 Tauhid merupakan bidang kajian penting dalam Islam yang mengupas pokokpokok agama (ushul ad-din). Hal tersebut mencakup kumpulan kepercayaan ('aqaid) yang harus diimani oleh setiap Muslim. Dengan katalain, tauhid merupakan aspek penting bagi ummat Islam. Tauhid memiliki hubungan yang erat dengan aspek Ibadah. Ibadah dalam arti sebagai suatu penghambaan diri kepada Allah SWT dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal tersebut juga merupakan hakikat dari agama Islam, karena makna Islam adalah penyerahan diri kepada-Nya dengan penuh rasa kerendahan diri dan penuh rasa cinta. Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan, baik secara lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. 7 Berangkat dari hal tersebut, perlu kiranya kita mengetahui masuknya Islam di Indonesia agar kita dapat memahami perkembangan dan penyebaran Islam di ranah Indonesia yang kita tempati ini. Ada beberapa pendapat mengatakan bahwa yang membawa masuknya Islam ke Indonesia adalah 6 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam era Reformasi, h. 77 7 Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab, kitab at-Tauhdi allazi huwa haq allah 'ala al-Abid, (Riyadl : Departemen Urusan Agama Islam, Dakwah, dan Irsyad, 1995). h. 11
4
orang-orang India, ada yang mengatakan orang Persia, ada yang mengatakan orang Arab. Masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang layak diperiksa dan teliti. Oleh karena permasalahan kita adalah masuknya tasawuf yang terkait dengan para pelopor dakwah Islam yang pertama itu, maka kita perlu memiliki informasi mengenai ini, baik kebangsaan mereka, aliran keagamaan,
maupun
tarekat,
dan
metode
yang
digunakan
untuk
memperkenalkan Islam kepada para penduduk di wilayah itu. 8 Sedangkan dalam perkembangan studi-studi Islam di Indonesia, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa dikotomi Islam tradisional-modern digunakan sebagai alat analisis. Tidak jarang, kajian Islam tradisional cenderung dikesampingkan atau paling tidak, kurang mendapat perhatian yang profesional. Padahal, dalam kenyataan, meskipun tidak ditemui data statistiknya, jumlah penganut Islam tradisonal di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penganut Islam Modern. Ironisnya lagi, penelitian tentang Islam tradisional seringkali menggunakan perspektif dan standard ukuran Islam Modern sehinga melahirkan kekeliruan dan kesalahpahaman mengenai Islam tradisonal itu sendiri terkhusunya penyebaran agama Islam di kepulauan Bangka. 9 Meskipun beberapa studi tentang Islam tradisonal sudah dilakukan tetapi kebanyakannya masih berpendirian bahwa Islam tradisonal itu merupakan entitas yang monolik, tanpa menunjukkan variasi yang terdapat di 8 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia,terj,, Depok, Pusataka IIMaN, 2009,hl 13. 9 Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisional di Bangka, Sungailiat, Shiddiq Press, 2007, hl 20.
5
dalamnya. Hal ini menunjukkan kekurangan nuansa analisis sehingga Islam tradisional hanya menunjukan kepada suatu pemahaman dan praktik keagamaan yang kontradiksi dengan Islam modern. Padahal, perbedaan kondisi sosiokultural suatu masyarakat akan melahirkan corak Islam tradisional tersendiri. Dari sini perlu kiranya penulis mengkaji Konsep Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq serta pengembangan Islam di Bangka. Dapat dilihat begitu besar pengaruh ajaran tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bagi masyarakat
kepulauan
Bangka.
Hal
tersebut
dapat
dilihat
dengan
berlangsungan kegiatan keagamaan di Bangka. Dalam hal ini penulis sedikit menguraikan tentang konsep Tauhid Syaikh Abdurraman Shiddik dalam kitab Amal Ma’rifah tasawuf yang beliau terapkan dalam metode dakwahnya. Tokoh ulama yang bernama Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari cukup dikenal di kalangan masyarakat Kalimantan terkhususnya di kepulaun Bangka, sebab beliau merupakan salah seorang zuriat ulama besar Kalimantan Syaikh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari, dan salah satu ulama yang masuk dalam entri Ensiklopedi Islam Indonesia. Beliau adalah seorang da‘i yang gigih, pendidik yang giat, mufti yang aktif, penerjemah, ulama yang warâ’, sufi yang tawadhu, dan juga penyair kondang yang pertama sekali memperkenalkan tasawuf di tanah Melayu terkhususya di Bangka. Syair-syair yang beliau susun mampu memukau orang-orang di zamannya, sehingga melalui syair-syair itu beliau juga berdakwah dan berusaha meluruskan aliran kalam dan pemahaman tauhid
6
yang cenderung menyimpang, disebabkan para tokohnya yang tidak memiliki dasar agama yang kuat dan hanya bertumpu pada khayalan dan alam kebatinan saja. Selain aktif berdakwah, ‘Abdurrahman Shiddîq juga aktif menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah Amal Ma’rifah dan Syajaratul Arsyadiyah. 10 Latar belakang ditulisnya kitab Amal Ma’rifah ini berangkat dari banyaknya orang yang menuntut ilmu ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari ilmu-ilmu “kesempurnaan” dalam rangka mencapai martabat seorang muslim yang betul-betul taat kepada Allah SWT. Namun pada saat itu banyak aliran kalam dan tasawuf yang cenderung menyimpang, karena tidak menempatkan porsi syari’ah secara benar sehingga masyarakat cenderung menjadi fatalis (Jabari), Kurangnya pemahaman suatu ajaran atau gagasan dari sebuah kitab tersebut, dapat merusak cara pemahaman mengenai paham tasawuf seseorang yang telah mereka konsepkan, bila saja pemahamanya salah maka akan berdampak negatif padahal konsep tasawuf yang mereka jadi rujukan tidak terlepas dari al-Qur‘an dan Hadits. Oleh karena itu, isi kitab tersebut perlu dikaji lebih menyeluruh lagi, sehingga diperoleh kejelasan yang lebih agar dapat dipertanggungjawabkan, dan terhindar dari kesalahan dalam memvonis ajaran seorang ulama. Karena bila hal ini sampai terjadi akan rusaklah reportasi seorang ulama di hadapan manusia.
10 M. Arrafie Abduh, Corak Tasawuf Abdurrahmad Shiddîq dalam Syair-Syairnya, Jurnal Penelitian Kutubkhanah. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau tahun 2000/2001.
7
Telah tertulis dalam kitab Amal Ma’rifah nampaknya bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq mengemukakan tentang konsep tauhid dan sufistik yang bernuansa Akhlaki ‘Amali paling jauh sampai kepada wahdah al-syuhûd, akan tetapi tidak sampai kepada wahdah al-wujûd meskipun ada sejumlah ungkapan yang mendekati ke arah itu. Hal ini karena pada saat itu setting sosial masyarakat banyak diwarnai paham wahdah al-wujûd, yang terlihat dengan banyaknya ajaran-ajaran yang mengarah kepada paham tersebut di masyarakat. 11 Karena itu melalui penulisan skripsi ini, penulis berusaha untuk memaparkan kehidupan ‘Abdurrahman Shiddîq, kemudian naskah kitab yang menjadi objek penelitian, ajaran-ajarannya serta konsep tauhid sufistik dan tasawuf yang terkandung dalam risalah Amal Ma’rifah tersebut. Kajian seperti ini sepengetahuan penuli sangat sedikit sekali orang untuk menggali kilasan sejarah perjuangan ulama lokal dan memiliki kemampuan yang luar biasa seperti halnya ulama-ulama nusantara yang menyebarkan dakwahnya di ranah negeri yang memiliki corak ragam suku dan memiliki budaya yang berbeda-beda.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Penulis membatasi hanya pada permasalahan Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitab Amal Ma’rifah.
11 http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010
8
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan: “Bagaimana Konsep Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitab ‘Amal Ma’rifah?”
C. Metode Penelitian Dalam melakukan pembahasan metode yang di pakai adalah metode penelitian
yang
bersifat
kepustakaan
(Library
Research),
yaitu
mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan seorang tokoh yang diteliti, baik buku-buku karyanya sendiri sebagai data primer, maupun karya orang lain sebagai data sekunder. Sumber primer adalah kitab Amal Ma’rifah buku ini menerangkan beberapa pendapat ahli ilmu tasawuf dan beberapa konsep tauhid yang beliau ajarkan, buku ini dicetak pada tahun 1332 H. Sedangkan sumber sekunder adalah Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq Mufti Iindargiri oleh H. M. Syafei Abdullah. Ensiklopedi Islam oleh dewan redaksi Ensiklopedi Islam. Seminar Hasil Penelitian Dosen Tahun 2007, Sya’ir Iabarah dan Khabar Qiyamah, (kajian Teks dan Kontekstual melalui pendekatan Teosentris dan Antroposentris). Dalam penulisan ini penulis mengunakan metode deskriptif analitis, yaitu sebuah penelitian yang bertujuan untuk Menelaah kitab, yaitu mempelajari secara mendalam kitab Amal Ma’rifah tentang isi ajaran yang terkandung dalam kitab tersebut, mendeskripsikan isi kitab, maksudnya menggambarkan atau menyajikan isi kitab apa adanya. Deskripsi isi kitab ini
9
dilakukan dengan mengemukakan pokok-pokoknya saja, sesuai dengan obyek yang diteliti. Dengan membandingkan ajaran tasawuf ‘Abdurrahman Shiddîq dengan teori-teori tasawuf terdahulu, maka akan diketahui ke arah mana kecenderungan corak, konsep atau pemikiran tauhid sufistik dan tasawuf ‘Abdurrahman Shiddîq. Adapun tehnik penulisan ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) oleh Penerbit CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan ke-II, April 2007.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan karya ini sebagai sebuah tugas akhir untuk melengkapi persyaratan kelulusan studi Strata Satu (SI), adalah bahwa penulis mencoba memahami pemikiran Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq mengenai ajaran tawasuf yang berkembang di Bangka. Sehingga nantinya dapat disusun mengenai ajaran beliau tentang dunia kesufian agar dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia pemikiran. Lebih penting lagi penulis ingin mengangkat ulama daerah yang namanya belum begitu tenar seperti halnya ulama-ulama tasawuf nusantara.
E. Tinjauan Pustaka Adapun karya-karya yang membahas tentang Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sepengetahuan penulis adalah: Hasil penelitian Bahran Noor Haira berjudul Kitab Amal Ma’rifah, Sebuah Interpretasi Baru, (1996) mengungkapkan pemahaman baru dan
10
berisikan bantahan terhadap anggapan orang yang menilai bahwa ‘Abdurrahman Shiddîq penganut tasawuf wahdah al-wujûd. Tulisan M. Arrafie Abduh berjudul “Corak Tasawuf ‘Abdurrahmad Shiddîq dalam Syair-Syairnya”, yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Kutubkhanah, Volume III, diterbitkan oleh IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru
Riau
tahun
2000/2001,
mengkaji
pemikiran
tasawuf
‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari lewat syair-syair yang telah beliau tulis. Tulisan Muhammad Nazir berjudul “Kontroversi Sikap Ulama Tentang Eksistensi Ilmu Kalam dan Pandangan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari”, yang dimuat dalam Jurnal Khazanah IAIN Antasari, Volume II, Nomor 3, Mei-Juni 2003, mengkaji dan mengungkapkan tentang pendapat dari ‘Abdurrahman Shiddîq terhadap eksistensi dan urgensi Ilmu Kalam, melalui salah satu karya tulisnya berkenaan dengan masalah tauhid, yang berjudul Aqaid al-Iman. Namun dalam penulisan ini saya berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya, adapun perbedaannya saya lebih menekankan pada pemikiran Tasawuf beserta konsepnya dalam pengenalan kepada Allah itu sendiri sehingga menguatkan keyakinan bagi siapa yang mendalami kitab Amal Ma’rifah ini nantinya. Dan sedikit penulis mengangkat kisah perjuangan beliau di kepulauan Bangka.
F. Sistematika Penulisan
11
Dalam penulisan skripsi, penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan menegnai topik tertentu, yaitu: Bab I Pendahuluan, dimaksud untuk memperjelaskan latar belakang masalah yang menjadi inti pokok bahasan dalam skripsi ini, arah pembahasan dan tujuan yang hendak dicapai, pemfokusan pada segi-segi tertentu dalam pembahasan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sehingga jelaslah apa yang hendak diditeliti oleh penulis maksud dan tujuan dari penelitian ini. Bab II Pemaparan tentang biografi Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq serta menjelaskan tentang Riwayat hidup beliau, sedikit mengungkapkan perjuangan beliau di Bangka untuk menyebarkan syi’ar Islam dan banyak sekali sekali karya-karya yang beliau tuliskan yang bisa di jadikan rujukan bagi mereka yang mau mengkaji pemahaman Islam secara mendalam. Bab III dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian tauhid itu sendiri dan perkembangn Islam di Bangka. Sehingga dengan ini dapatlah di mengerti begitu panjangnya sejarah perjalan Islam yang pada akhirnya di akui oleh banyak penduduk dunia, terkhususnya di Indonesia bila di lihat dari sejarah masuknya ajaran Islam dengan begitu kentalnya. Sama halnya ketika Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyebarkan konsep tawasuf yang beliau anut sangat banyak sekali tantangan yang beliau hadapi untuk menyebarkan Syarî‘ah Islam. Bab IV pokok ajaran tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam sebuah karyanya Amal Ma’rifah. Di sini penulis akan sedikit memaparkan
12
tentang pengertian Syari’at, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah. Dan lebih pentingnya lagi pada bab inilah kita akan mengetahui konsep dan pemikiran tasawuf yang di jalankan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitabnya Amal Ma’rifah. Mudah-mudahan nantinya dapat memberikan pencerahan bagi siapa saja yang membacanya. Bab V penutup ini melingkupi kesimpulan yang diambil dari ini pembahasan tersebut dan beserta saran-saran. Yang mana nantinya akan dapat dimegerti secara detail dari bab perbab sehingga memperoleh sebuah kesimpulan dari sekian banyak pembahasan.
BAB II BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ
A. Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1. Kelahiran Nama lengkapnya adalah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bin Muhammad Afif
bin Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari. 1 Ia
dilahirkan di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan pada tahun 1857 M pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), dengan nama ‘Abdurrahman. Kemudian saat menuntut ilmu di Mekkah, oleh salah seorang gurunya Sayid Bakri Syatha, seorang ulama terkenal yang menulis kitab fiqh terkenal I‘anah al-Thalibin memberi nama tambahan dengan “Shiddîq” pada namanya, sehingga menjadi ‘Abdurrahman Shiddîq. 2 Tidak ada informasi yang pasti tentang mengapa sang guru memberikan gelar itu kepadanya, tetapi cerita yang berkembang hingga sekarang ialah bahwa itu merupakan tanda penghargaan atas prestasi yang dicapaikannya dalam belajar, selain karena akhlaknya yang luhur. Nama ayahnya adalah H. Muhammad ‘Afif bin Mahmud bin H. Jamaluddin, sedangkan nama ibunya adalah Shafura binti H. Muhammad Arsyad (Pagatan). Silsilah dari pihak ayahnya, bertemu pada Syeikh 1
D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve,1999), cet. Ke-6,
h.27. 2
Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, (Pekan Baru: CV. Serjaya-Jakarta, 1982), h. 19.
13
14
Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama Gowat (Go Hwat Nio) seorang keturunan Cina. Dari istrinya ini Syaikh Muhammad Arsyad memiliki enam orang anak, di antaranya adalah Khalifah H. Zainuddin. H. Zainuddin kawin dengan Ambas melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Sari. Sari bersuamikan Mahmud dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya adalah H. Muhammad ‘Afif, orang tua dari ‘Abdurrahman Shiddîq. Silsilah keluarga dari pihak ibu juga bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad dari istrinya yang bernama Bajut. Bajut melahirkan anak yang bernama Syarifah. Syarifah bersuamikan Usman dan melahirkan Muhammad As’ad yang kawin dengan Hamidah dan melahirkan 12 orang anak. Salah satu di antara anak Muhammad
As’ad
dan
Hamidah
bernama
Muhammad
Arsyad.
Muhammad Arsyad beristrikan ‘Ummu Salamah dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Shafura dan Shafura inilah ibu dari ‘Abdurrahman Shiddîq. 3 2. Silsilah keturunan Adapun keturunan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq merupakan keturunan kelima dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1770-1812 M), pengarang kitab Sabil al-Muhtadin kitab agama yang terkenal dikalangan ummat Islam pada zaman itu. 4 Adapun dilihat dari keturunan ayahnya, ia masih termasuk keluarga sultan Banjar. Ibunya Safura binti 3
Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 19 4 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 19
15
Syaikh H. Muhammad Arsyad bin H. Muhammad As’ad, adalah cucu Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab Sabilal al-Muhtadin (Jalan- Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk) 5 . Kemudian apabila dilihat dari pihak neneknya, ‘Ummu Salmah, ‘Abdurrahman Shiddîq merupakan generasi keempat dari Syaikh Muhammad Arsyad, yakni ‘Abdurrahman Shiddîq bin Shafura bin ‘Ummu Salamah binti Pangeran Mufti H. Ahmad bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di lihat dari keturunan ayahnya, ia masih termasuk keluarga Sultan Banjar. Selain punya zuriat ke atas yang bertemu pada Syaikh Muhammad Arsyad, ‘Abdurrahman Shiddîq juga banyak melahirkan zuriat ke bawah melalui istri-istri yang pernah dinikahinya yang berjumlah sembilan orang, dan memiliki anak berjumlah 35 orang. Menurut pengakuannya sendiri dalam Risalah Syajarah alArsyadiyah, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dan sejumlah anaknya. Isteri dan anak-anaknya adalah sebagai berikut : 1. Nur Simah, di Mekkah, tidak mempunyai anak; 2) Fatimah di Belinyu tidak mempunyai anak; 3) Rahmah binti H. Usman mempunyai anak dua orang tetapi keduanya meninggal dunia dalam usia anak-anak; 4) Hajjah Salmah Amnati, mempunyai dua orang anak tetapi keduanya meninggal dunia dalam usia anak-anak; 5) Halimah binti Idris di Muntok Bangka, mempunyai anak delapan orang yaitu Shafura, Siti Hannah, Habibah, Raihanah, Hawa, Hamid Shiddîq, Siti Sarah, dan Siti Rahil; 6) Zulaikha, di Sungaiselan, 5
D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam h. 27
16
mempunyai anak satu orang yaitu ‘Ummu Salmah; 7) Hasanah binti Muhammad Thayib, di Puding Besar Bangka, mempunyai anak delapan orang, yaitu Muhammad As’ad, Hafsah, Saudah, Muhammad Fatih, Shafiyah, Siti Ma Khair, Mahabbah, dan Afifah; 8) Aminah binti Muhammad Khalid mempunyai anak delapan orang, yaitu Aisyah, Muhammad Amin, Mahmud, Maimunah, Mariyah al-Qibtiyah, Zainuddin, Zainab, dan Muhammad Jamaluddin; 9) Fatimah binti H. Muhammad Nasir mempunyai anak enam orang, yaitu Khajidah, Balqis, Muhammad Thayib, Abdullah, Muhammad Arsyad, dan Ummu Hani. Anak keturunan Syaikh Muhammad Shiddîq tersebar di berbagai daerah tempat beliau pernah lama menetap seperti di Bangka dan Riau. Dapat
dilihat
bahwa
keturunan
beliau
diakui
dalam
ketangguhannya dalam menyebarkan syi’ar Islam, wajar bila saja sifatsifat pengabdian untuk agamanya terus mengalir hingga keanak cucunya sampai sekarang ini. 6 3. Pendidikannya ‘Abdurrahman Shiddîq sewaktu kecilnya tidak sempat lama diasuh oleh ibunya, sebab di usia baru dua bulan ibunya Shafura meninggal dunia. Selanjutnya beliau diasuh oleh adik ibunya (Mak Ciknya) bernama Sa’idah. Sa’idah adalah seorang wanita yang termasuk alim pada masa itu dan ‘Abdurrahman Shiddiq dididik mengaji dan mengenali Islam sedikit 6
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, (Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006) h. 12.
17
demi sedikit. 7 Dalam masa pengasuhan ini dia tetap dipelihara dan dijaga oleh kakek dan neneknya yang sangat menyayangi beliau. Menjelang usia satu tahun, kakeknya yang bernama Mufti H. Muhammad Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad
di panggil kehadirat Allah Swt. Sejak
kepergian kakeknya untuk selama-lamanya saat itu hingga dewasa ‘Abdurrahman tinggal dan diasuh oleh neneknya yang bernama ‘Ummu Salamah. ‘Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang berilmu agama dan taat beribadah. Dalam pemeliharaannya inilah ‘Abdurrahman Shiddîq diajari membaca al-Quran dan setelah menjelang umur dewasa dia disuruh belajar oleh neneknya kepada guru-guru agama yang ada di Kampung Dalam Pagar guna memperluas pengetahuan agamanya. 8 Setelah ‘Abdurrahman Shiddik menginjak dewasa, ia mulai belajar bahasa Arab dengan pamannya H. A. Rahman Muda dan sudah ada tandatanda kecerdasan yang ia miliki, sempat pada waktu itu ia disuruh untuk melanjutkan studinya keMakkah namun karena masalah biaya ia menunda keberangkatanya sehingga ia melanjutan studinya ke Padang (Sumatera Barat). Sewaktu belajar agama di Padang ini, 9 ‘Abdurrahman Shiddîq sempat berguru dengan H. Muhammad Sa‘id Wali, H. Muhammad Khotib dan Syaikh H. ‘Abdurrahman Muda. Selama belajar di Padang 7
Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 19. 8 Syaik ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36. 9 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 20.
18
‘Abdurrahman Shiddîq bekerja membantu pamannya sebagai penjual emas yaitu sebagaimana lazimnya orang-orang Banjar Martapura yang terkenal keahlian mereka membuat barang-barang perhiasan pedagang emas, perak serta berlian. Untuk melaksanakan cita-cita melanjutkan studinya ke Mekkah oleh pamannya disuruh berdagang emas dan perak ke Barus dan Natal (Tapanuli Selatan). Setelah beberapa lama ia menjual barang dagang kepunyaan pamannya itu pulang pergi Padang-Tapanuli Selatan dengan mendapatkan hasil lumayan. Di samping itu juga ia sempat pula mengajar di Natal pada sebuah Surau. Disana ia mengajar kitab “Sabil al- Muhtadin” kitab ini adalah karangan kakeknya Syaikh H. Muhammad Arsyad Banjar. Namun ia tidak dapat untuk berdiam di Natal walaupun ia dipinta untuk mengajar dan menetap.hal ini terkendala ia masih memiliki keinginan untuk melanjutkan belajarnya ke tanah suci Makkah. 10 Setelah menamatkan pendidikannya di Padang tahun 1882, tidak lama kemudian sekitar pada tahun 1889 beliau pergi menuntut ilmu ke Mekkah. Ada versi mengatakan beliau berangkat ke tanah suci tahun 1887 dari pulau Bangka Sumatera Selatan yang menjadi tempat kediamannya saat itu. 11 Sebelum menuju tanah suci beliau singgah di Mentok (Bangka) untuk minta izin dan do’a restu dari ayahandanya yang telah bermukim di Mentok.
10
Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 20. 11 Syaik ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36.
19
Di Mekkah ia menuntut ilmu kepada para ulama besar yang membuka halaqah-halaqah pengajian agama di Masjidil Haram. Guruguru tempatnya belajar di antaranya adalah Ahmad Khatib Minangkabau (dikenal sebagai pembaharu Islam di Sumatera Barat) Syaikh Said Bakri Syatha, Syaikh Said Babasyid, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani 12 . Selain itu ‘Abdurrahman Shiddîq juga giat mengaji agama di halaqah-halaqah yang ada di Masjid Nabawi di Madinah. Sedangkan teman yang seangkatan dengan beliau sama-sama mengaji di Mekkah pada masa itu ialah Ahmad Khatib (Minangkabau), Ahmad Dhamyati (Mufti Mekkah tahun 1912). Syaikh ‘Abdullah Zamawi, Syaikh Said Yamani, Syaikh Mukhtar, Abdul Qadir Mandailing, Syaikh ‘Umar Sumbawa, Awang Kenali (Kelantan Malaysia), Hasyim Asy’ari (Jombang), Syaikh Sulaiman Arrasuli ( Candung Bukittinggi) dan Syaikh Tahir Jalaluddin. 13 ‘Abdurrahman Shiddîq tinggal di tanah suci Mekkah dan Madinah selama tujuh tahun, lima tahun menuntut ilmu dan dua tahun mengajar (tahliah) di Masjidil Haram. Sebelum pulang ke tanah air untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh atas izin dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, ‘Abdurrahman Shiddîq sempat pula
12
D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam h. 27. Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 20. 13
20
mengajar di Masjidil Haram dengan ilmu yang ia dapatkan selama belajar di sana. 14 4. Kembali ke Indonesia Kurang lebih dua tahun ia mengajar di masjidil haram Mekkah, beliau mengambil keputusan kembali ke tanah air (Indonesia). Mengingat di Indonesia pada masa itu masih terasa kekurangan guru agama, sedang di Mekkah sudah cukup banyak orang alim. Beliau berpendapat bahwa bila ilmu yang ia dapatkan selama di tanah suci akan lebih besar manfaatnya bila diamalkan di tanah air sendiri. Apalagi banyak dorongan sahabatsahabat di tanah air untuk kembali ke tanah air dalam rangka melawan penjajahan Belanda yang bertujuan untuk memecahkan akidah ummat Islam. 15 Dalam kepulangannya ke tanah air sebagian sahabatnya kurang setuju, terutama Syaikh Ahmad Khatib. Setelah selang beberapa waktu terjadilah keduanya saling tukar pikiran bagaimana menyingkapi akan hal ini sehingga mereka berdua bersepakat untuk kembali ketanah air. Setiba di Jakarta keduanya berpisah menuju daerahnya masing-masing. Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq
menuju
Kalimantan
Selatan
(Martapura).
Sedangkan Syaikh Ahmad khatib menuju ke kota padang. 16 Setelah delapan bulan berada di Kalimantan Selatan, Syaikh ‘Abdurrahman 14
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36. 15 Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 21. 16 Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 21.
21
Shiddîq berangkat ke Batavia atau Betawi. Selama tiga bulan di sana. Kepergian dia
kesana untuk menemui beberapa tokoh Sarikat Islam
seperti H. Samanhudi dan ‘Umar said Cokroaminoto dalam rangka menjalin kerja sama dalam perjuangan meningkatkan martabat bangsa dan perjuangan memperoleh kemerdekaan melalui dakwah di daerah pedalaman dan terbelakang walaupun dia sendiri tidak menjadi anggota organisasi tersebut. 17 Kemudian ia pergi ke Martapura (Kalimantan Selatan). Kurang lebih delapan bulan. Selama berada di Martapura beliau mengunjungi makam kakeknya H. Muhammad Arsyad sekaligus mengunjungi sanak famili dan handai taulan. Setelah sekian bulan ia tinggal di Martapura (Kalimantan Selatan) ia melanjutkan perjalanan ke Jakarta (1898) waktu itu Jakarta masih bernama Batavia. Ia menetap di Jakarta sekitar tiga bulan dan tinggal di rumah Syaikh Usman, beliau ditawarkan kedudukan mufti oleh Syaikh Usman untuk mengantikan kedudukan beliau. Namun tawaran ini ditolaknya karena ingin menetap di Bangka bersama ayahanda dan famili beliau. 18 5. Berjuang dan Berdakwah di Bangka Setelah sekian lama ia mendalami ilmu Agama ia memulai dakwahnya dengan mengajar ilmu agama di Mentok suatu kota kecil di pulau Bangka. Beliau berdakwah dari perkampungan pekampungan yang 17
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, (Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006) h. 20. 18 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 22.
22
berbeda-beda adapun sarana yang digunakan yaitu masjid, sesuai dengan tradisi penyebaran Islam di daerah Bangka tersebut. Adapun tujuan beliau berdakwah untuk memberantas syirik yang sedang melanda di daerah tersebut dan meluruskan akidah yang sedang dipercayai masyarakat setempat. Untuk menjawab tantangan tersebut beliau membuat sebuah tulisan yang ia beri nama “Amal Ma’rifah” buku ini selesai ditulis pada tahun 8 Rabiulawal 1332 H di Sapat Indragiri. Kitab ini ditulis sebagai tangkisan terhadap yang merusak akidah Islamiyah yang diperlengkap dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. 19 Sebelum ke Bangka, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq berkunjung ke Batavia untuk bertemu temannya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, yang akan kembali ke Mekkah. Pertemuan ini mereka manfaatkan untuk membahas tentang cara terbaik membina kehidupan ummat Islam di tanah air. Konon dia tinggal di kediaman Sayid Usman bin Yahya selama di Batavia. Sayid Usman adalah mufti Batavia dan tokoh kontroversial. Dia adalah teman dekat Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah kolonial Belanda untuk urusan pribumi dan Arab. Ada kabar bahwa Sayid Usman bin Yahya menawarkan jabatan
mufti Batavia kepada Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq mengantikan dirinya tetapi Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menolak jabatan tersebut. Mungkin berkat hubungan pertemanan
19
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 24.
23
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dengan Sayid Usman inilah yang menyebabkan tersebar luasnya karya-karya Sayid Utsman di Bangka. 20 Kedatangan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq di Bangka semula tidak mendapat sambutan baik dari ayahnya karena ayahnnya telah mendengar kabar yang menyatakan bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tidak belajar secara serius selama berada di Mekkah. 21 Selama beberapa bulan berada di Muntok, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tidak melaksanakan kegiatan pengajaran dan dakwah sama sekali kecuali tinggal di rumah dan bersilaturrahmi pada keluarga dan tetangga. Beliau tidak disuruh mengajar karena ayahnya belum begitu yakin bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dapat menguasai kitab-kitab yang diajarkan ayahnya. Hal ini bermula ketika ayahnya jatuh sakit masyarakat mengusulkan agar Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menggantikan ayahnya mengajar dipengajian tersebut. Setelah meneruskan kitab-kitab yang diajarkan yang diajarkan ayahnya. Dengan pengalaman mengajarnya di Mekkah dan didiskusinya dengan para ulama di Mekkah, Martapura, maupun Batavia, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dapat menjelaskan materi kitab dengan baik dan menarik sehingga pengajian pun semakin bertambah.
22
Dan ketika
ayahnya H. Muhammad Afif mendengar secara diam-diam baru dia yakin akan kemampuan anaknya. Sehingga akhirnya dengan besar hati H. 20
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 50. 21 Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 20. 22 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 20.
24
Muhammad Afif memberikan kepercayaan kepada anaknya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq untuk meneruskan pengajiannya. Semua kegiatan dakwah dan pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq semula berpusat di Muntok. Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di kota-kota dan di desa-desa di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan, Kemuja, Kundi, Puding Besar dan Kotawaringin. Kegiatan dakwah dan pendidikan tersebut dipusatkan di masjid-masjid dan rumah-rumah penduduk karena pada masa itu belum terdapat lembaga pendidikan formal di Bangka. Kondisi seperti ini berbeda dengan Jawa yang terkenal dengan lembaga pesantren, atau dengan Aceh yang terkenal dengan dayah dan Minangkabau dengan suraunya. Namun demikian, pada masa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq inilah penyebaran Islam berlangsung dengan pesat. Islam semakin berpengaruh dan berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bangka. 23 Sistem yang membedakan penyebaran dakwah keislaman di Bangka dan di daerah Jawa.Di Jawa biasanya penyebaran Islam diadakan di pesantren-pesantren sehingga sampai sekarangpun sistem ini terus berkembang dan sudah banyak diakui pemerintah sistemnya. Sedang pada masa itu penyebaran Islam di Bangka biasanya di adakan dari rumah ke rumah dari satu masjid ke masjid lainnya. Adapun alasan kenapa pengajian 23
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 21.
25
itu berpindah-pindah karena pada masa itu di Bangka belum ada pendidikan formal seperti sekarang, namun sekarang di Bangka telah banyak berdirinya pesantren-pesantren seperti di Jawa. Seperti pondok pesantren H. Nawi yang lebih condong pada pengajaran kitab kuning atau salafiahnya, dan pondok al-Ikhlas di Batu Rusa dan pondok pesantren Darur Abror Desa Kace, dan Pondok Pesantern Salafiah Bahrul Ulum Desa Kimak. Kegiatan dakwah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bermula di Muntok. Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di kotakota dan di desa-desa di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan, Kemuja, Kundi, Puding Besar, dan Kotawaringin. Selama di Bangka beliau juga aktif menulis brosur-brosur atau sekarang kita kenal dengan bulletin yang berisikan tentang masalah Tauhid, brosur ini oleh beliau dikirimkan ke Kalimantan dan juga ke luar negeri seperti Malaysia dan Singgapura. Dengan dituliskannya bulletin ini semakin membantu beliau dalam menyebarkan dakwah Islamiyah di kepulauan Bangka. Diceritakan oleh salah satu cucunya (Ibu Sahrum di Pudingbesar 20 Mei 2010) dari bebrapa muridnya adalah anak-anak pegawai pemerintah kolonial Belanda sehingga mempermudah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq melaksanakan kegiatan penyebaran Agama Islam. Bahkan ia mendapat “surat keterangan” yang berisi izin untuk mengajarkan ilmu-ilmu Agama Islam. Dengan demikian, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dapat secara leluasa berdakwah dan mengajar ke seluruh pelosok pulau Bangka. Beliau tinggal di Bangka kurang lebih lima
26
belas tahun sebagai ulama dan sebagai guru Agama dan akhirnya meninggalkan Bangka untuk melanjutkan dakwahnya ke wilayah yang lebih luas menuju kawasan Singapura dan Semenanjung Tanah Melayu. Sebelum berangkat meninggalkan pulau Bangka (1910) H. Abdurraman Shiddîq telah menyelesaikan sebuah buku sya’ir yang bernama “Sya’ir Ibarah dan Khabar Kiamat” sebagai kenang-kenangan bagi masyarakat Bangka dan sekaligus untuk mengalihkan kegemaran masyarakat pada cerita-cerita dongeng yang tidak bermanfaat pada masa itu. Ia juga menunjuk sepupunya, H. Muhammad Khalid, sebagai penggantinya menjadi guru agama dan melimpahkan kepercayaan kepada beberapa ulama untuk berdakwah dan mengajarkan agama Islam ke berbagai pelosok Pulau Bangka, beberapa murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq kemudian menjadi ulama terkenal di Bangka dan bahkan menjadi tokoh karismatis yang disegani pemerintah kolonial belanda 24 . Selain H. Ada juga seorang ulama bernama H. Khatamarrasyid salah satu murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq di daerah Belinyu. Ulama ini tidak hanya terkenal karena kedalaman pengetahuan agamanya tetapi juga karena kezuhudan dan kemuliaan akhlaknya. Selain itu, ia mempunyai banyak keistimewaan dan kekeramatan yang hingga saat ini masih diakui oleh masyarakat Bangka. Makamnya terletak di Bakik, daerah Jebus, masih 24
Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 24.
27
ramai diziarahi orang baik sebagai kegiatan tahunan maupun dalam rangka memenuhi nazar ketika mendapat suatu keberuntungan atau terhindar dari suatu musibah dan bahaya. Ziarah ke makam tersebut dipandang dapat mendatangkan berkah yang senantiasa dicari masyarakat di Bangka. Dua ulama terkenal lain yang pernah menjadi murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq adalah H. Suhaimi dan H. Hasan Basri, dua saudara yang lahir di kotawaringin. Semasa hidupnya H. Suhaimi aktif berdakwah dan memberikan pengajian diseluruh pelosok pulau Bangka. Dia dimakamkan di Pemakaman Keramat Pangkalpinang. H. Hasan Basri aktif mengajar dan memberikan pengajian, selain menjadi sesepuh Pondok Pesantren Darussalam Pangkalpinang. Adapun murid terkenal lainnya adalah H. Usman yang Banyak melaksanakan kegitan dakwah dan pengajaran agama di daerah Bangka Tengah. Setelah belajar dengan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, H. Usman bermukim di tanah suci untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan kemudian kembali menjadi ulama terkenal di Bangka. Setelah wafat dimakamkan di Desa Payabenua, kegiatan dakwah dan pengajaran agama dilanjutkan oleh anak-anaknya yang kebanyakan menjadi ulama dan tokoh agama yang disegani di daerahnya. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq juga banyak mempunyai murid di Kemuja karena dia pernah menetap di desa tersebut. Proses penyebaran ajaran Islam diseluruh pelosok Pulau Bangka dijalankan oleh murid-murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq yang kebanyakan meneruskan studinya di tanah suci Makkah. Oleh karena itu,
28
pada awal abad XX Islam sudah semakin kuat pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan masyarakat, baik yang pernah di Martapura (Kalimantan Selatan) dan Indagiri (Riau), maupun di Bangka beberapa putranya bahkan menjadi ulama dan tokoh agama terkenal di Bangka yang banyak melaksanakan kegiatan dakwah dan pengajaran agama Islam di Muntok, Pangkalpinang, Belinyu, Sungaiselan, salah seorang putranya adalah H. Muhammad Toyib yang tinggal di Pangkalpinang hingga wafat pada 1996. Dia adalah salah seorang ulama terkenal di Bangka yang memberikan pengajian di masjid-masjid di Pangkalpinag dan Desa sekitarnya. 25 Setelah mengabdikan ilmu di Martapura, bersama keluarga dia pindah ke Sapat, Indragiri. ‘Abdurrahman juga mengadakan perjalanan dakwah ke Semenanjung Melayu pada tahun 1911. Di Sapat Indragiri pada tahun 1912 beliau membangun sebuah masjid dan pondok pesantren di tengah-tengah perkebunan kelapa. Di sana selain sebagai guru agama dan muballigh beliau juga dikenal sebagai petani kelapa. Lokasi pesantren tersebut dikenal sebagai kampung Parit Hidayat, yang kemudian berkembang menjadi locus pendidikan di daerah Riau seiring dengan kedatangan para santri dari berbagai pelosok Indragiri. ‘Abdurrahman Shiddîq juga pernah ditawari untuk menjadi Mufti di beberapa tempat. Pertama sewaktu singgah di Betawi ditawari menjadi 25
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 23.
29
Mufti Betawi, yang ketika itu dijabati oleh Syaikh Said Usman Betawi. Kedua, beliau juga ditawari oleh Sultan Kerajaan Johor menjadi Mufti, namun kedua tawaran itu ditolaknya. Tawaran untuk menjadi mufti di kerajaan Indragiri Riau pun baru diterimanya setelah pihak kerajaan memohon berkali-kali, yang mulai diembannya sejak tahun 1919 sampai wafatnya tahun 1939.
B. Karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq salah satu ulama yang memiliki karya tulis yang cukup banyak dan bisa dikatakan ia adalah ulama ynag cukup produktif dalam karya tulisnya, di samping itu ia juga aktif dalam kegiatan pendidikan dan dakwah. Dia menulis tidak kurang dari delapan belas kitab yang mencakup beragam bidang ilmu agama Islam. 26 Dapat juga dikatakan bahwa ia mendakwahkan ajaran-ajaran Islam di daerah-daerah di Bangka dan Indragiri melalui tulisan. Selain melaui lisan dan cara-cara konvensional. Dari beberapa koleksi kitab-kitab yang beliau tulis tidak tersimpan disatu tempat tersendiri. Ini dikarenakan terjadinya agresi Belanda tahun 1948 yang
memporak-porandakan
kompleks
pesantren
di
Indragiri
yang
merupakan tempat menyimpan seluruh koleksi kitabnya. Dalam peristiwa tersebut tidak semua kitab terselamatkan. Hanya saja seluruh kitab yang ditulis Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq telah tersebar di berbagai daerah di 26
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 23
30
Bangka, Riau, atau di Kalimantan Selatan dan, oleh sebab itu, sebagian masih disimpan di rumah-rumah penduduk di daerah tersebut. Demikian juga, sejumlah tokoh, ulama, keturunnya sendiri masih menyimpan atau memelihara kitab-kitab ulama tersebut. 27 Adapun dalam bidang penulisan, karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq yang telah ditemui oleh tuan guru H. Wan Muhammad Saghir 28 adalah sebagimana yang ada di bawah ini yaitu: 1.
Asrarus Shalah, di selesaikan pada bulan rajab 1320 H. kandungannya membicarakan mengenai sembayang. Cetakan yang pertama matba’ H. Muhammad Sa’id bin H. Arsyad, kampong Silong, jalan Arab street, Kedai surat no. 82 Singapura. Akhir Dzulhijjah 1327 H. cetakan selanjutnya oleh Matba’ah al-Ahmadiyah, 12 jalan Sulttan Singapura, 1348 H/1929 M (cetakan ketiga).
2.
Fath al-‘alim, diselesaikan pada 10 sya’ban 1324 H. Kandungannya membicarakan akidah ahlus sunnah wal jamaah secara lengkap, di cetak oleh mathba’ah al-Ahmadiah, 82 jalan Sultan, Singapura, 28 Syaban 1347 H/ 8 Januari 1929 M.
3.
Risalah Tazkirah li nafsi wa lil qashirin mitsli, diselesaikan pada 20 Sya’ban 1324 H. kandungannya merupakan tazkiyah dan nasihat yang dipetik daripada majmu’ karangan Syaikh Muhammad Arsyad bin
27
Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 24. 28 Ringkasan yang diambil dari ustadz Sobri mengenai sejarah ulama Syaikh Abudrrahman Siddik.
31
Abdullah al-Banjari. Cetakan pertama, tempat cap H. Muhammad Amin, Singapura 1324 H. 4.
Risalah Amal Ma’rifah, diselesaikan di Sapat Inderagiri, 8 Rabiulawal 1332 H. kandungannya membicarakan akidah menurut padangan tasawuf, cetakan kedua, 30 Muharam 1344 H oleh Matba’ah alAhmadiah, 50 minto road, singapura. (kitab inilah yang akan ditranslitkan untuk tatapan pengunjung blog al-fansuri-insyaallah).
5.
Syair Ibarat dan Khabar Kiamat, diselesaikan 25 Zulhijjah 1332 H. kandungannya menceritakan peristiwa Hari Kiamat di tulis dalam bentuk syair. Dicetak oleh Matba’ah, 50 Minto Road, Singapura, 9 Syaaban 1344 H.
6.
Risalah Kecil Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam, diselesaikan 1 Safar 1334 H. Kandungannya merupakan pelajaran fardu ain untuk kanak-kanak. Cetakan yang ketiga oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura 1348 H/1929 M.
7.
Aqaidul Iman, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 16 Rabiulawal 1338 H. kandungannya membicarakan tentang akidah keimanan. Cetakan baru oleh toko buku hasanu, jalan Hasanuddin Bajarmasin atas izin Mahmud Shiddiq, Pagatan, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan 1405 M. diterbitkan daripada salinan tulisan tangan oleh Hasan Bashri Hamdani. Di awal-awal kitab ini, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyatakan bahwa mempelajari dan mengenal aqa’id al-iman merupakan suatu keharusan atau kewajiban bersifat individual (fardu ‘ain) bagi setiap
32
mukallaf seperti dikemukannya “fi hazihi rasalatun fi aqa’id al-iman allati tajibu ala al-mukallafin ma’rafatuha fardhan ‘ayniyyan”. Mukallaf yang dimaksudnya adalah orang-orang yang memiliki syarat Islam, balig, aqil. 8.
Syajaratul Arsyadiyah, diselesaikan 12 Syawal 1350 H. Kandungannya membicarakan asal-usul Syaikh Muhammad Asyad bin Abdullah alBanjari dan keturunan-keturunanya. Cetakan pertama oleh Matba’ah alAhmadiah, 82 jalan Sultan, Singapura.
9.
Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, diselesaikan 10 Shafar 1351 H. Kandungannya menceritakan tanda-tanda hari kiamat dan mengenai kedatangan Imam Mahdi. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan
Sultan,
Singapura,
dicetak
kombinasi
dengan
Syajaratul
Arsyadiyah (103 halaman) oleh pengarang yang sama, dan Risalah Qaulil Mukhtashar fi’Alamtil Mahdi Muntazhar (55 halaman) karya Syeikh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah bin ‘Abdullah al-Banjari. Kitab ini terdiri atas 33 halaman, buku ini disusun untuk menyempurnakan kitab Qawl al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazar (Perkataan Ringkas pada Tanda-tanda al-Mahdi al-Muntazar), karangan datuknya, Syaikh Muhammad Aryad Al-Banjari. Buku tersebut membicarakan tanda-tanda kiamat kubra (besar) yang diterjahkan ke dalam Bahaya Melayu oleh oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sendiri. 10. Mau’izah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, diselesaikan 5 Rajab 1355 H. kandunganya merupakan kumpulan pengajaran akhlak. Cetakan yang
33
pertama oleh Matba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1355 H. 11. Dan beberapa kumpulan Khutbah yang beliau tulis. Di cetak oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan, Singapura tanpa diketahui tahun cetakannya. 12. Majmu’ul Ayat wal Ahadits fi Fadhailil ‘Ilmi wal Ulama’ Muta’allimin wal
Mustami’in,
tanpa
dinyatakan
tarikh
selesai
penulisan.
Kandungannya merupakan kumpulan hadits serta terjemahanya dalam bahasa Melayu. Dicetak oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1346 H/1927 M. 13. Catatan, tanpa tarikh, ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. kandungannya merupakan beberapa catatan Syeikh ‘Abdurrahman Shiddiq mulai lahir malam Kamis, sebelum Subuh 1288 H/Juni/Juli 1871 M. wafat hari Senin, jam 5.40 pada 4 Syaban 1358 H/18 September 1939 M, dalam usia 70 tahun. Tahun 1306 H beliau ke Makkah. Tinggal di sana hingga tahun 1312 H. selain itu terdapat catatan kelahiran dan wafat anak-anaknya dan lain-lain. Demikianlah karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq yang, kalau dikaji secara mendalam dan komprehensif, mengambarkan karakter pemikiran dan padangan keagamaannya, dalam konteks tradisi intlektual Islam prinsipnya masih berpegang teguh pada tradisi Islam yang telah berakar kuat dalam jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah. Namun, unsurunsur semangat pemurnian aqidah dari praktek-praktek keagamaan yang
34
menyimpang telah mewarnai karya-karyanya tersebut, dan ingin meluruskan praktek-praktek tasawuf dengan menekankan pada keharusan bagi setiap orang memiliki pemahaman yang kuat akan teologi dan fiqh sebelum memasuki dunia sufisme. Dalam hal tarekat, dia adalah pengikut dan guru tarekat, dia adalah pengikut dan guru Tarekat Sammaniyyah (yang dinisbahkan kepada diri Syaikh Muhammad Samman) sebagaimana kakeknya, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Adapun dari beberapa buku yang beliau tulis tersebut, hanya beberapa buku saja yang dimiliki oleh penulis, karena karya-karyanya masih tercecer di berbagai tempat, dari sekian karya yang dimiliki oleh penulis adalah, Asrarus Shalah, Fathul ‘alim, Amal Ma’rifah, Syair ibarah dan Khabar Kiamat, Aqaidul Iman.
BAB III PENGERTIAN TAUHID DAN PERKEMBANGAN ISLAM
A. Pengertian Tauhid dan Perkembangan Islam Tauhid, sebagai sebuah kata, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan makna. 1 Pada tahapan pengertian bahasa, kata tauhid berasal dari kata kerja “wahada yuwahhidu-tauhidan” yang berarti “menyatukan”. Maksudnya adalah mengesakan, yaitu mengesakan Allah Swt. Dalam lisan al-Arab. Kata tauhid diartikan dengan “percaya kepada Allah Swt. Sebagai satu-satunya Tuhan dan tidak berbuat syirik terhadap-Nya. “Tauhid adalah bentuk mashdar atau infinif dari
kata
kerja
“wahada”
yang
merupakan
derivasi
dari
akar
kata
“wahdah”.artinya keesaan. 2 Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti keesaan Allah 3 sehingga kata mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah Swt. 4 Pada tahap berikutnya pengertian tauhid mengalami perluasan makna. Tauhid ketika itu didefenisikan sebagai “mengesakan Allah Swt, sebagai Tuhan (rubûbiyah), sembahan (ulûhiyyah), dengan segala nama, sifat, dan perbuatanNya. 5 Kata tauhid merupakan kata kerja (verbal noun) aktif (yakin, memerlukan perlengkapan penderita atau objek), sebuah derivasi dari kata “wâhid” yang
1
Ibrahim Muhammad al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam. Ter (Jakarta : Rabbani Press, 1998) cet ke-1, h 7 2 Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, cet Ke-3 h 90 3 Muhammad Ngafenan, Kamus Etologi Bahasa Indoneisa, (Semarang : Dahara Priza, 1990) cet ke-2 h. 171 4 Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pusaka, 1990) cet ke-3, h. 907098 5 Ibrahim Muhammad al-Buraikan, h 7
35
36
artinya “satu) atau “Esa”. Maka makna harfiah tauhid adalah “menyatukan “ atau :mengesakan” penggunaannya
hal-hal
yang
dalam
bahasa
berserahkan Arab
atau
“tauhîd
terpecah-pecah
al-kalimah”
yang
seperti berarti
“mempersatukan paham” dalam ungkapan “tauhîd al-quwwah” yang berarti” mempersatukan kekuatan. 6 Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Tauhid diambil dari kata “wahada”, yang berarti “mengesakan”, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa. Sebuah pengakuan atas keesaan Allah Swt. Yang tidak dapat dibagi-bagi, yang mutlak, dan sebagai satu-satunya Yang Maha Nyata. 7 Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt. 8 Sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam (yang ciciptakan oleh para mutakalimin atau ahli teologis dialektis Islam), kata-kata tauhid dimaksudkan sebagai faham “memahaesakan Tuhan” atau lebih sederhananya faham “ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata tauhid itu sendiri tidak terdapat dalam al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an adalah kata-kata “ahad” atau “wahid”) namun istilah ciptaan kaum mutakalimin itu memang secara tepat mengungkapakan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu ajaran tentang “memahaesakan Tuhan: Bahkan secara jelas tauhid juga menggambarkan inti ajaran semua nabi rasul yang diutus untuk setiap kelompok
6
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) cet-2, h. 72 7 Cyil Glasse, Ensiklopedia Islam, h, 409 8 B. D. Mc Donald, Tauhid, dalam M TH Housma, et, all. Frist Encylopedia of Islam, leiden E. J. Brill, 1987) vol, 8,h, 704
36
37
manusia di bumi hingga kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. 9 Salah satu sumber penyebaran Islam di Indonesia adalah berawal dari berdirinya kerajaan Pasai. Kerajaan ini menjadi sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di sumatera dan pesisir pulau Jawa. Penyebaran Islam di Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro, yang ketiganya adalah abituren Pasai, Melalui keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah. 10 Kemudian perkembangan Islam selanjutnya di jawa di kembangkan oleh para ulama yang sangat tinggi ilmunya yang lebih kita kenal dengan sebutan Wali Sanga atau wali Sembilan dari gelar tersebut cukuplah kiranya kita menyatakan bahwa mereka memiliki derajat kewalian yang sangat keramat. Perkembangan Islam di Indonesia memiliki keterkaitan
dengan
penyebaran tasawuf di ranah Nusantara, penyebaran Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Bahkan “Islam pertama” yang di kenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan pendekatan sufistik. Para penyebar Islam di Indonesia itu umumnya para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tasawuf. Mereka juga banyak yang menjadi pengamal dan penyebaran tarekat di Indonesia. 11
9
Nurcholis Majdjid, Islam, h. 72-73 Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, h. 27. 11 M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, h. 19. 10
37
38
B. Perkembangan Islam di Bangka Mengenai masuknya Islam ke Bangka belum ditemui data yang dapat dipercaya, namun bila dilihat dari letak geografisnya yang berada di jalur lalu lintas yang menghubungkan Malaka, Sumatera dan Jawa, besar kemungkinan Islam sudah masuk kepulauan Bangka bersamaan dengan masuknya Islam ke Palembang atau Jawa. Bahkan, kalau komunitas Muslim sudah terbentuk di Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak menutup kemungkian bahwa pada masa itu sudah ada orang Muslim yang datang ke Bangka meskipun belum membentuk suatu komunitas. Perlu dicatat bahwa sudah sejak lama pulau Bangka menduduki posisi penting bagi Kerajaan Sriwijaya yang ditandai dengan didirikannya prasasti di Kotakapur pada tahun 686. Konon katanya Pulau Bangka kemudian menjadi benteng pertahanan Kerajaan Sriwijaya untuk ekspansi ke Majapahit dan Melayu. Namun, berberapa abad kemudian Pulau Bangka menjadi sarang bajak laut yang dikenal oleh masyarakat Bangka dengan sebutan lanun dan sampailah pada penyebaran Islam di Bangka secara meluas. 12 Secara umum, Islam di Indonesia melalui pada dua jalur yaitu, Islam tradisional dan modern. Islam modern lebih mementingkan pemurnian dan pembaharuan aspek-aspek ajaran Islam sesuai dengan tuntutan
kehidupan
masyarakat modern, Sedangkan Islam tradisional cenderung memelihara dan mempertahankan tradisi Islam yang telah diterima secara turun temurun. Dua jalur agama tersebut sering kali terjadi perbedaan faham dan pendapat. 13
12
Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 11. 13 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, terj h. 13
38
Fi
Tartib al-Ta’lim, Syaikh
39
Menurut sejarah proses pengislamisasi di Bangka melalui lima jalur yaitu Jalur pertama lewat Johor (Malaysia) yang kedua melalui jalur Minangkabau, ketiga melalui jalur Banten, jalur keempat adalah Palembang, jalur yang terakhir adalah lewat Banjar (kalimantan Selatan) untuk lebih jelasnya lagi penulis akan menjelaskan ini dari tinjauan masa ke masa yang berkembang pada saat itu dengan sedikit dukungan info dari masyarakat setempat. Jalur pertama melalui Johor (Malaysia) karena pada abad XVI ini, Bangka sudah menjadi persinggahan kapal-kapal yang meneruskan pelayarannya dari Malaka ke Jawa dan daerah Nusantara lainnya. Semenjak pulaun Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Johor yang sebelumnya bersekutu dengan Kesultanan Minangkabau dan berhasil menumpas bajak laut di Bangka di sinilah tampak adanya pengislamisasi secara intens dan terus berkembang. Di samping itu pula Sultan Johor kemudian mengangankat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di pulau Bangka adapaun kedudukan kerajaannya terletak di Bangkakota. Tak lama setelah itu pasca wafatnya Panglima Sarah tampuk kekuasaan diserahkan kepada Kesultanan Minangkabau yang di pimpin oleh raja Alam harimau garang yang berkedudukan di Kotawaringin. Jalur kedua ini tidak lepas dari pengabdian kesultanan Minangkabau, bahwa pada masa kekuasaan Raja Alam Harimau perkembangn Islam cukup cepat. Karena di samping Raja Alam Harimau sebagai seorang pemerintah ia juga sebagai tokoh alim ulama. Salah satu masjid yang dirikan beliau adalah masjid jamik yang berada di tikungan dekat sungai Kotawaringin. Beliau wafat di Kotawaringin dan makamnya tetap masih terjaga sampai sekarang, dicerita oleh
39
40
masyarakat sekitar ketika beliau berjuang dan mengabdikan dirinya di Pulau Bangka bertempat di Kotawaringin beliau adalah salah seorang yang sangat gigih dalam membina dan memimpin masyarakat sekitar. Sehingga sampai sekarangpun namanya selalu dingat oleh masyarakat sekitar. 14 Jalur ketiga adalah Banten, nampaknya Banten memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Bangka ini dapat di lihat dari beberapa sejarah bahwa Banten juga mengambil peran penting dalam perjuangan pengislamisasi di Bangka. Peran penting ini diambil alih Sultan Agung Tirtayasa (1665-1692) dari Banten kemudian di tunjuklah Bupati Nusantara sebagai Raja Muda yang berkedudukan di Bangkakota. Degan demikikan Bangkakota kembali menjadi pusat pemerintahan, penyebaran Islam dan pengaturan masalah-masalah social kemasyarakatan di Bangka walaupun pada waktu itu pusat pemerintah sempat dipindahkan oleh Raja Harimau Garang. Berikutnya adalah jalur keempat yaitu Palembang. Setelah Bupati Nusantara wafat pada tahun 1671, Putrinya Khatijah yang menjadi isteri Sultan ‘Abdurrahman mewarisi pulau Bangka dan sekitarnya. Pada masa Sultan ‘Abdurrahman memegang kekuasaan tersusunlah hukum adat yang dinamakan Undang-Undang Simbur Cahaya. Sedangkan untuk daerah Bangka terbitlah dan diberlakukan hukum adat uyang dinamai Undang-Undang Sindang Mardika 15 . Adapun kedudukanya ada di kota Muntok hukum ini hak penuh di pegang oleh Rangga, Rangga adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mengepalai
14
Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 10. 15 Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim ‘Abdurrahman Shiddîq, h 13.
40
Fi
Tartib al-Ta’lim, Syaikh
Fi
Tartib al-Ta’lim, Syaikh
41
hukum tersebut. Hukum ini dapat berlaku bagi masarakat setempat dan hukum ini tidak hanya sebatas masalah perkara agama saja namun hukum ini memilki kekuatan untuk menentukan sampai kepada tututan kematian. Inilah awal berkembangnya islamisasi di Bangka. Peroses islamisasi di Bangka tampak jelas setelah kedatangan ulamaulama dari Banjar (Kalimantan Selatan). Pada jalur kelima inilah proses islamisasi berjalan intensif sejak pertengahan abad XIX. Salah satu tokoh ulama Banjar yang datang ke pulau Bangka adalah H. Muhammad Afif, namun data tak menemukan kapan beliau datang ke Bangka, dikisahkan banyaknya ulama Banjar merantau ke berbagai pelosok daerah karena pemerintahan Belanda ingin menghapus kesultan Banjar
sehingga banyaklah terjadi pemberontakan. Pemberontakan yang
dilakukan oleh masarakat Banjar selalu dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga sektor ekonomi lumpuh total dan keadaan semakin tidak aman. H. Muhammad Afif adalah salah seorang ulama Banjar yang ikut pindah dan meneruskan dakwahnya untuk menyebarkan syi’ar-syi’ar Islam. Dan seterusnya dilanjutkan oleh anaknya yang lebih kita kenal dengan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tokoh yang tulis kaji konsep ajaran tasawufnya pada skripsi ini. 16
16
http;//Bangka, Syaikh Abd. Siddik Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.
41
BAB IV POKOK-POKOK TAUHID SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ
A. Pengertian Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah Sebelum berbicara tentang pemikiran tauhid dan tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, perlu bagi kita mengetahui kedudukan syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifah. Keempat unsur ini memang penting bagi keagamaan seseorang dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Beliau sudah menegaskan, syariat tanpa hakikat hampa dan hakikat tanpa syariat batil, sebagaimana pendapat Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan bahwa “tiap-tiap hakikat yang tidak meneguhi akan dia oleh syariat, maka itu adalah zindik”. 1. Pengertian Syarî‘ah Dalam kitab amal ma’rifah di jelaskan bahwa barang yang ditiadakan oleh Allah SWT dari pada segala hukum ‘amar dan nahi dan lainnya, maka takluk ia pada anggota. 1 Penjelasan disini adalah bahwa ketika sesorang menjalankan syari’ah hendaklah ia turut pada perbuatan hati dan tunduk menjalankan syari’ah-Nya. Adapun dalam pandangan Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi mengenai syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia adalah ketentuan yang telah
1
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1929), h. 7.
42
43
ditetapkan Allah SWT. Sebagai al-Syari’ melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Baik yang berupa perintah maupun larangan. 2 Syari’ah merupakan aspek hukum dalam Agama Islam (Islamic Law). Syari‘ah diartikan sebagai cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah, yang biasa disebut sebagai rukun Islam, yang bersumber dari al- Qur’an dan Sunnah Rasul. Seseorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam tentang al-Qur’an dan Hadits. Sebab tanpa itu semua seseorang tidak akan mampu naik ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan menurut al-Ghazali, jika seorang sufi memasuki dunia tasawuf tanpa dibekali pengetahuan tentang syari’at, besar kemungkinan ia menjadi zindiq 3 . 2. Pengertian Tarekat Adapun tarekat artinya jalan. Yakni jalan yang menyempurnakan syariat seperti taubat dan zuhud dan tawakkal dan sabar, dan ridho dan shiddîq, dan mahabbah dan zikrul maut (ingat akan mati) dan lainnya dari pada segala perangai yang terpuji, thariqat juga harus takluk atau bersandar pada hati dan dalam perbuatan nyata. 4 Menurut Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq Dalam melakukan ibadah atau menjalankan syari’at kepada Allah seseorang akan mencari keridhaan Allah SWT. Maka diantara makhluk dengan khalik itu ada perjalanan hidup dan tata cara yang harus ditempuh sebagaimana yang telah tertera 2
h. 322.
3 4
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), Hamka, Tasawuf, h. 201. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 7.
44
dalam agama. Perjalanan hidup itulah yang dimaksud dengan thariqat (jalan). Atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal sebagai al-sayr wa alsuluk, yang di dalamnya sesorang sufi akan menempuh berbagai tingkatan maqamah dan keadaan-keadaan batin (ahwal) 3. Pengertian Hakikat Adapun pengertian Hakikat menurut Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, yaitu I’tiqad yang sebenarnya yang wajib dipercayakan sama ilahiyat (ketuhanan) atau nubuwwat (kenabian) atau sam’iat (perkaraperkara ghaib yang diimani) yaitu tunduk pada perbuatan hati. 5 Sedangkan hakikat adalah dimensi penghayatan dalam pengalaman syariat yang ada. Dengan penghayatan atas pengalaman syariat itulah maka sesorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma‘rifah. 6 Bila tarekat itu telah dijalani dengan segenap kesungguhan, maka akhirnya bertemulah dengan hakikat, yang merupakan tujuan dari perjalanan spiritual ini. Hakikat ialah mengetahui inti yang paling dalam dari sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi baginya. Pada tahap ini akan tercapailah apa yang dinamakannya kasyaf. Yaitu terbukanya rahasia yang senantiasa menyelubungi, yang menjadi di antara hamba dengan Sang Khalik sehingga hamba bisa memperoleh kenyataan akan Tuhan. Di sini muncul dua pendirian yang merupakan perasaan yang didapat oleh ahli suluk. Sebagian merasa dalam perjumpaan 5 6
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 8. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 323.
45
tersebut, dirinya telah lenyap. Yang ada dan yang disaksikannya hanyalah al-haqq. Di sinilah timbul paham hulul yaitu timbul kesatuan antara ‘Asyik dengan Ma’syuk. Sebagian yang lainnya berpendirian bahwa yang mungkin terjadi hanya ittisal, yaitu perhubungan antara aku dan Dia. Antara mahluk dengan Dia Khalik. Tiada kesatuan antara Khalik dan makluk. 7 4. Pengertian Ma’rifah Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan
bahwa akal manusia
sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu. 8 Dengan penghayatan atas pengalaman syari’ah itu maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma’rifah. Sedangkan Ma’rifah artinya pengenalan yang sempurna kepada Allah Ta’ala yaitu takluk pada sirr hati. Maka arti mengenal itu yaitu mengenal wahdaniah Allah Ta’ala pada af’al-Nya (perbuatan-Nya) dan pada asma’-Nya (nama 7 8
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 112. ‘Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), h. 220.
46
Nya) dan pada sifat dan pada dzat dengan i’tiqad yang yakin sekira-kira tetap pada i’tiqadnya tiada yang memperbuat sekalian kainat melainkan Allah Ta’ala dan tiada yang bernama didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang bersifat didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang maujud didalam kainat ini hanya Allah Ta’ala. 9 Adapun segala perbuatan mungkin dan asma’nya dan sifatnya dan wujûdnya, maka yaitu fana di dalam af’al Allah Ta’ala dan asma’-Nya dan sifah-Nya dan wujûd-Nya. Hasilnya yang ada pada mumkin ini majazi dan madzhar yakni kenyataan af’al Allah Ta’ala dan asma’-nya dan sifatnya dan wujudnya tiada mempunyai wujud hakiki yang sebenarnya. 10 Dalam kitab Asrar al-shalah min ‘iddah al-kutub al-mu’tamadah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menegaskan kembali makna ma’rifah yaitu mengenal uluhiyyah zat Allah dan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz dengan pengenalan yang sebenarnya berdasarkan dalil yang benar serta mengenal dalam arti wahdaniyyah (ketauhidan) Allah pada perbuatan, asma’, sifat-Nya serta sifat-Nya juga mengenai wahdaniyyah. 11 Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifat ini terkadang di pandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hâl. Dalam literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan al-Junaid, ma’rifah dianggap sebagai hâl, sedangkan dalam Risalah al 9
h. 8. h. 8.
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah,
10 11
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah.
Syaikh Abdurrahman Shiddiq,Asrar al-salah min ‘iddat al-kutub al-mu’tamadah. Singapura: Matba’ah Ahmadiya 1931 , h. 11.
47
Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam, sementara itu al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ’Ulum al-din memandang ma’rifah datang sebelum mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya mengambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan ma’rifah mengambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antar sufi dengan Tuhan. 12 Selanjutnya ma’rifah di gunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah mengambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari. 13 Dalam pandangan Syaikh Abdurrahman Shiddiq, untuk mencapai ma’rifah adalah hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya , dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai hl 57.
12
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1978)
13
. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam h75.
48
zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan. Proses sampainya qalb pada sinar Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli sebagaimana diungkapkan oleh para tokoh tasawuf yaitu:. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat Karena manusia memiliki sifat baik dan jahat. 14 Firman Allah Swt: ☺
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Q.S. al-Syam: 8)
Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Dalam firman-Nya ditegaskan: ⌧ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (Q.S. al-Syam: 9) Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:
14
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf h. 224.
49
☺
“Takkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan”. (Q.S. alA’raf:143) Demikianlah beberapa cara untuk mencapai pada Allah Swt, sampai di sini bukan berarti dapat melihat Allah secara utuh, namun ketenangan jiwalah yang akan kita peroleh bila telah melalui tiga tahapan ini. 15
B. Konsep Pengesaan Allah dengan Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat, dan DzatNya 1. Tauhid al-Af’al Tauhid atau wahdaniyah af’al, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq merumuskan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Tuhan. Bahwa semua perbuatan manusia baik yang positif berupa iman dan taat maupun perbuatan yang negatif berupa kafir dan maksiat, baik perbuatan itu bersifat mubasyarah (Langsung) maupun tawallud (terlahir) kesemuanya dalam pandangan mata hati adalah perbuatan Allah semata. Bila hal ini sudah diyakini secara haqqul yaqin, barulah seseorang hamba mendapat ma’rifah dalam wahdaniyah af’al dengan Allah. Pendapat 15
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf h. 14
50
demikian sepintas lalu meniadakan perbuatan makhluk, sehingga terkesan perbuatan makhluk itu tidak ada, yang ada hanya perbuatan Allah. Dasar yang digunakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam mengajarkan wahdaniyah af’al ini antara lain adalah surah ash-Shafaat ayat 96. ☺
“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu, karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia” Pendapat
ini
bila
dipahami
secara
sepotong-potong tentu
berbahaya. Orang awam yang tauhid dan syariatnya masih lemah boleh jadi akan enggan mengerjakan amal kebaikan, atau bahkan berani melakukan perbuatan jahat, karena beranggapan kedua sisi perbuatan itu berasal dari Allah juga. Jika Allah tidak menghendaki, tidak akan terwujud perbuatan baik dan jahat itu. Tetapi bagi orang yang keberagamaannya sudah mantap, hal demikian tidak jadi masalah, karena ‘Abdurrahman Shiddîq sendiri sudah menyediakan kata kuncinya, yaitu hakikat tanpa syariat itu batil, atau hakikat tanpa syariat zindik. Kemudian apabila syariat diteliti, maka tidak satupun ditemui ajarannya yang menyuruh mengabaikan amal kebaikan (ma’ruf) dan menyuruh mengerjakan kejahatan (munkar). 16 Tidak hanya itu, syariat juga memberi tempat kepada akal untuk menilai suatu perbuatan tergolong ma’ruf dan munkar. Abdul Qadir 16
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 10
51
Jaelani mengatakan: Artinya: “segala sesuatu yang bersesuaian dengan AlQur’an, hadits dan akal sehat disebut ma’ruf dan segala sesuatu yang bertentangan dengan ketiganya disebut munkar”. Jadi perbuatan (af’al) hamba yang baik dan buruk dapat diukur dengan syariat, yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits dan akal (ra’yu). Akal di sini adalah hasil ijtihad manusia yang juga dapat dijadikan landasan hukum sesudah al-Quran dan Hadits, meliputi ijma’, qiyas, istihsan, maslahat- mursalah, ‘urf, dan lain-lain. Karenanya tidak masuk akal bila syariat menyuruh berbuat yang munkar atau melarang yang ma’ruf. Disebabkan syariat Islam sejalan dengan akal, maka pasti perintah syariat adalah yang ma’ruf dan yang dilarangnya adalah yang munkar. Dengan demikian, walaupun pada dasarnya Allah yang menciptakan manusia dan semua af’al-nya (wahdaniyah af’al), namun tidaklah pantas menyandarkan perbuatan yang munkar kepada Allah atau sebagai perbuatan Allah. Yang benar adalah bahwa perbuatan baik (ma’ruf) lahir atas hidayah Allah dan sebaliknya perbuatan jahat (munkar) akibat kebodohan manusia itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
☺ ☺
⌧
52
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”(Q.S. an-Nisa’: 79) Pendapat ini bagi ‘Abdurrahman Shiddîq dimaksudkan agar manusia tidak tergelincir kepada akidah Qadariyah bahwa setiap perbuatan manusia adalah karena kodrat manusia itu sendiri dan memberi bekas atau sebaliknya tergelincir ke dalam akidah Jabariyah yang meyakini semua perbuatan baik dan buruk berasal dari Allah, sedangkan usaha dan ikhtiar manusia tidak memberi bekas seperti halnya bulu yang berterbangan ditiup angin. 17 Selain itu konsep wahdaniyah af’al ini oleh ‘Abdurrahman Shiddîq juga dimaksudkan untuk mewujûdkan tasawuf akhlaki pada hamba, yaitu terlepasnya mereka dari sifat syirik khafi, seperti ujub, riya, sum’ah dan lainnya. Sehingga dengan meyakini wahdaniyah af’al, manusia akan terhindar dari sifat riya dan ujub, misalnya merasa dirinya hebat karena rajin beribadah atau alim, mampu melakukan apa saja perbuatan baik. Sekiranya manusia tidak meyakini wahdaniyah af’al-Nya Allah, bisa jadi ia akan riya, ujub, sum’ah dan sifat tercela yang lainnya karena merasa hebat dengan perbuatannya serta merasa ia sendiri yang kuasa melakukan semua itu.
17
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 10-12.
53
Jadi wahdaniyat-Nya Allah pada af’al yang diajarkan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq punya dua muara. Pertama meluruskan akidah agar tetap berada di jalur Ahlussunah wal Jama’ah dan tidak cenderung kepada Qadariyah atau Jabariyah sebagimana ditekankan dalam pendahuluan kitabnya, kedua menumbuhkan tasawuf amali agar pada diri manusia terhindar dari sifat-sifat tercela. 18 Syaik Abdurrahman Shiddîq lebih jauh menjelaskan bahwa segala perbuatan, apakah itu terjadi pada diri sesorang maupun di luar dirinya, tidak terlepas dari perbuatan yang bersifat mubasyarah dan tawallud (terlahir). Contoh perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) menurut dia, ialah terjadinya gerakan pena di tangan seorang penulis, artinya gerakan pena itu terwujûd disebabkan oleh adanya gerakan tangan penulis yang mubasyarah (langsung) dengan gerakan pena. Sedangkan contoh perbuatan yang bersifat tawallud (terlahir) ialah terjadinya gerakan batu yang lepas dari tangan pelempar; artinya terjadinya gerakan batu karena tawallud (terlahir) dari pelempar 19 . Menurut dia, perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) dan yang bersifat tawallud (terlahir), kedua-keduanya pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah Swt. Adapun perbuatan manusia atau mahluk, baik ia bersifat mubasyarah (langsung) maupun bersifat tawallud (terlahir) hanya bisa dipandang sebagai perbuatan majazi (semu). 20 18
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 10-12. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, , Risalah Amal Ma’rifah, h 12 20 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, , Risalah Amal Ma’rifah, h 13 19
54
Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat Muhammad Nafis yang menjelaskan sebagai berikut, apabila salik membiasakan musyahadah (memandang) berbagai macam perbuatan pada hakikatnya hanya satu (tauhid al-af’al), dan pandangan itu diyakininya sepenuh hati (tahqiq), maka ini akan terlepas dari syirik khafi (syirik tersembunyi) sebagaiman tersebut di atas, dan pada akhirnya salik akan dapat memandang bahwa semua perbuatan majazi (semu) yang lenyap atau sirna (fana’) di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaikan sinarnya cahaya lampu di dalam sinar matahari yang terang benderang, bila salik mau terus berlatih dengan cara pandang (mubasyarah) demikian, sedikit demi sedikit dengan tidak membaurkan antara pandangan syari’at dengan pandangan hakikat, maka ia akan sampai pada peringkat (maqam) yang dinamakan maqam wahdaniyah af’al. Pada tingkat ini menurut Muhammad Nafis, seorang salik sudah mampu melenyapkan (memfana’kan) dirinya di dalam perbuatan Allah Ta’ala yang Maha besar. 21 Pendapat Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq ini juga tentang tauhid alaf’al ini, bila diteliti rujukannya agaknya cenderung kepada pendapat Junaid al-Baghdadi, yang membagi tauhid untuk ‘awam dan untuk orang khawwas. Berkenaan dengan tauhid khawwas menurut beliau adalah bila seseorang mampu mengesakan Allah dengan keyakinan bahwa manusia itu hanya laksana bayang-bayang di hadapan Allah, segala yang berlaku pada 21
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 100.
55
aktivitas, perbuatan manusia adalah ketentuan yang berlaku atas kuasa Allah, karena dalam pengesaan Allah itu manusia telah fana’ dari dirinya dan dari segala yang lainnya, dengan memandang kepada hakikat wujud dan keesaan Allah. Hilang lenyap perasaan indrawi manusia dan perbuatannya, sebab yang berlaku hanyalah af’al dan kehendak Allah saja dan eksistensi manusia itu seperti tidak ada. Dengan
demikian
pada
aspek
wahdaniyah
af’al
ini,
Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq tidaklah mengajarkan wahdah al-wujûd (tauhid wujûdi), tapi lebih kepada wahdah al-syuhûd (tauhid syuhûdi). Hal ini karena kesatuan af’al yang berasal dari Allah itu hanyalah pada hakikat dan pada pandangan batin, tanpa mengenyampingkan af’al atau usaha dan ikhtiar manusia. Sebab kewajiban manusia menjalankan syariat. 22 2. Tauhid Asma’ Maqam tauhid al-asma’ merupakan maqam (peringkat) kedua bagi para ‘arif billah setelah memahami dan menghayati betul-betul pada maqam (peringkat) awal, yakni tauhid al-af’al. Kematangan setiap jenjang (maqam) tersebut harus dipandang sebagai anugerah Allah kepada mereka yang tekun sebagai salik atau mendapat ilmunya melalui guru, maupun bagi mereka yang majzub, yaitu mendapatkan ilmunya langsung dari Allah tanpa melalui perantara guru dan latihan-latihan 23 . Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyebutkan bahwa segala nama pada hakiktanya bersumber 22 23
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 33-36. Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan., h. 133.
56
pada Allah Swt. Karena segala sesuatu yang wujûd selain Allah Swt adalah khayal (imajinasi) atau wahm (ilusi) belaka. Misalnya, bila kita melihat seorang pemurah, hendaknya kita memandang bahwa sifat pemurah itu adalah kepunyaan Allah SWT semata. Pemurah terdapat pada seseorang itu, juga pada lainnya, hanya mazhar (manifestasi) dari nama Tuhan, yaitu al-karim (Maha Pemurah). Adapun dalam kitab ‘amal ma’rifah di sebutkan tauhid asma’ adalah mengesakan Allah SWT pada asma’-Nya, yaitu bahwa engkau pandang dengan mata hatimu dan mata kepalamu dengan i’tikad yang putus bahwasanya Allah SWT saja wahdaniyah pada asma’-Nya, maksudnya pada segala nama maka tiada segala-gala di dalam alam ini mempunyai nama pada hakikatnya melainkan dzat-Nya Allah SWT. 24 Adapun segala nama didalam alam ini sekaliannya adalah hanya nama-Nya saja. Sungguhnya tiada yang maujud pada hakikatnya hanyalah Allah SWT sendiri. Dan wujûd segala alam ini hanya khayal saja dan hanya Allah lah yang memiliki ketetapan nama itu. Maka sebab itulah semuanya akan kembali. 25 Menurut ‘Abdurrahman Shiddîq, tauhid (wahdaniyah al-Asma) adalah meyakini dengan pandangan mata hati bahwa tiada sekali-kali yang ada di alam ini memiliki nama, kecuali pada hakikatnya zat Allah saja, atau yang wujud dan punya nama hanya Allah saja. Segala nama yang ada 24
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 7 . Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 8
25
57
☺ . “Maka ke manapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” Bila seseorang sudah musyahadah akan Esanya Allah pada asma’, maka bila melihat ada orang yang pemurah, dikembalikanlah kepada Allah bahwa hanya Dia Yang Maha Pemurah. Bila melihat orang kaya, Allah jualah yang Maha Kaya (Ghani), demikian seterusnya pada perumpamaanperumpamaan yang lain. Himpunan sekalian asma itu ada dua. Pertama jami’, artinya menghimpun sekalian mazhar pada asma, yang diistilahkan dengan:
.ﺷﻬﻮداﻟﻜﺜﺮة ﻓﻲ اﻟﻮﺣﺪة “Pandang yang banyak pada satu asma, maksudnya sekalian alam ini pada dasarnya dari Allah jua”. Kedua ma’ani, mecegahkan, yaitu tercegahnya sekalian mazhar mempunyai nama. Terbitnya dari Allah juga, yang diistilahkan dengan:
.ﺷﻬﻮداﻟﻮﺣﺪة ﻓﻲ اﻟﻜﺜﺮة “Pandang yang satu pada yang banyak, yakni permulaannya dan kesudahannya pada Allah jua.”
58
Jadi dalam wahdaniyat al-asma ini, muslim melihat segala yang di alam ini dari Allah juga berasalnya dan kepada Allah pula kembalinya. 26 Ajaran ini menurut penulis boleh jadi asal muasalnya berupa pandangan serba Tuhan (Panteisme). Menurut Harun Nasution, Panteisme berarti seluruhnya Tuhan, bahwa seluruh kosmos ini Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang ditangkap oleh pancaindra adalah bagian dari Tuhan. Tuhan adalah immanent, berada dalam alam, bukan di luar. Karena seluruh kosmos ini satu, maka Tuhan dalam Panteisme juga satu, hanya menurut Panteisme Tuhan mempunyai bagianbagian. Alam yang dilihat oleh panca indra hanya ilusi atau khayal saja, yang hak dan yang ada itu hanya Tuhan. Dilihat dari pengertian Panteisme di atas, maka nampak bahwa wahdaniyah al-Asma yang diajarkan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq memang agak identik. Namun, wahdaniyah al-Asma yang diajarkan ini juga hanya ada dalam penyaksian batin (syuhûdi), sehingga beliau mengajarkan syuhûd al-katsrah fi al-wahdah dan syuhûd al-wahdkah fi al-katsrah. Pendapat ini agaknya dipengaruhi oleh beberapa pendapat, diantaranya Abu Bakar al-Syibli dan Imam al-Ghazali. Al-Syibli pernah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat sesuatu terkecuali Tuhan”. Sufi yang menganut pendapat demikian akan mengalami penghayatan wahdah al-syuhûd dan tenggelam dalam mabuk 26
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 9
59
cinta (rapture to love) kepada Allah. Apa saja yang dipandangnya tampak sebagai Tuhan. Sementara dalam pandangan al-Ghazali wahdaniyah alAsma ini berada dalam tingkatan tauhid martabat ketiga. Menurut alGhazali, pada martabat ini seseorang melihat segala yang banyak dalam alam ini pada hakikatnya terbit dari yang satu yaitu Allah. Tauhid tingkat ini juga disebut tauhid ahl al-kasyf atau tauhid martabat muqarrabin, sebab seorang sufi melakukan musyahadahnya dengan jalan kasyf. Orang yang mencapai tauhid ini mampu menyaksikan keesaan Tuhan dengan kasyf melalui perantaraan nur al-Haqq. 27 Dengan demikian, ajaran tauhid al-Asma yang dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq boleh jadi mengacu kepada pendapat al-Syibli dan al-Ghazali, yaitu wahdah al-syuhûd. Walaupun ada kemiripan dengan Panteisme, kemungkinan itu hanya faktor kebetulan saja, sebab ‘Abdurrahman Shiddîq tidak mencantumkan pendapat para filosof di luar Islam sebagai acuan pendapatnya. Tauhid al-Asma’ ini juga bertujuan untuk memantapkan tauhid itu sendiri serta mencegah dari mengagumi sesuatu yang lain di luar Allah. Misalnya ketika melihat orang yang kaya ia tidak akan silau, sebab hanya Allah yang Maha Kaya dan Allah pulalah yang memberikan kekayaan pada orang tersebut. Pada sisi lain, orang yang sampai pada tauhid al-Asma‘ ini tidak lagi mementingkan harta benda dunia dengan berbagai nama ini dan tidak
27
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 133
60
pula risau atau iri dengan orang yang memilikinya, sebab semuanya telah mampu dikembalikannya kepada Asma’-Nya Allah. Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan oleh penulis bahwa ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tentang Tauhid al-Asma’ sebagai berikut : semua nama itu kembali kepada asma’ Allah. Maksudnya segala yang bernama di alam semesta ini semuanya berwujûd dari asma’ Allah. Semua nama itu memerlukan wujûd yang hakiki hanya satu, yaitu wujûd Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya hakikat asma’ pun hanya satu, yakni asma’ Allah. Dalam hubungan ini tampaknya ajaran tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sama dengan ajaran wahdah alwujûd. Tetapi ia menolak paham ittihad dan hulul, tampaknya dia sependapat dengan alGhazali atau aliran Tasawuf Sunni. 3. Tauhid Sifah Dalam kitab Amal Ma’rifah tauhid sifat adalah bagaimana mengesakan Allah SWT pada sifat, yaitu jika engkau pandang dengan mata hati dan mata kepalamu dengan i’tikad yang putus bahwasanya Allah SWT sajalah wahdaniyah segala sifat, artinya asa pada bersifat kodrat dan iradah dan ilmu dan hayat dan sama’ dan basar dan kalam dan lainnya, karena tiada ada dzat bersifat dengan yang tersebut itu pada hakikinya melainkan dzat Allah SWT dan dibangsakan sifat itu kepada mahluk yaitu hanya majaz saja bukan pada hakikinya. Dan engkau lihat sifat itu berdiri kepada mahkluk, maka apabila di pandang dengan haqqul yakin niscaya fana’lah sifat-sifat mahluk di dalam sifat Allah SWT yakni tiadalah kuasa
61
ia melainkan dengan qodrat Allah SWT dan tiada berkehendak ia melainkan dengan iradah Allah SWT hingga akhirnya. Maka ketika itu mufakatlah ma’rifah Engkau dengan al-Qur’an dan hadits beserta ijma’ ulama dalam firman Allah:
ﻋﻠَﻰ آُﻞ ﺷَﺊ ﻗَﺪﻳﺮ َ ان اﷲ “Bahwasanya Allah SWT yang amat kuasa atas tiap-tiap sesuatu” Dalam firman Allah SWT di dalam hadits qudsi menegaskan kembali tentang tauhid sifat ini :
ل ُ ﻻ َﻳﺰَا َ ﻋَﻠﻴْﻬﻢْ َو َ ْﺿﺖ َ ﻞ َأدَا ِء ﻣَﺎَأﻓْ َﺘ َﺮ ِ ْن ِﺑ ِﻤﺜ َ ْﻲ اﻟْ ُﻤ َﺘﻘَﺮ ُﺑﻮ ب ِإَﻟ ﱠ َ ﻣﺎ َﺗ َﻘ ﱠﺮ ﺳﻤْ َﻌ ُﻪ اﻟﺬﱢي َ ﺖ ُ ْﺣﺒﱠ ُﻪ َﻓِﺈذَا َأﺣْ َﺒﺒْ ُﺘ ُﻪ ُآﻨ ِ ﺣﺘﱠﻰ ُأ َ ﻞ ِ ﻲ ﺑِﺎﻟ ﱠﻨﻮَا ِﻓ ب ِإَﻟ ﱠ ُ اْﻟ َﻌﺒْ ُﺪ َﻳ َﺘ َﻘ ﱠﺮ ﻰ ِ ﻖ ِﺑ ِﻪ َو ُﻳﺪَا ُﻩ اﻟﱠﺘ ُﻄ ِ ْﺼ ُﺮ ِﺑ ِﻪ َوِﻟﺴَﺎ ُﻧ ُﻪ اﻟﺬﱢى َﻳﻨ ِ ْﺼ َﺮ ُﻩ اﻟﺬﱢي ُﻳﺒ َ َﻳﺴْ َﻤ ُﻊ ِﺑ ِﻪ َو َﺑ .ﺟَﻠ ُﻪ اﱠﻟﺘِﻲ َﻳﻤْﺸِﻲ ﺑِﻬَﺎ َو َﻗﻠْ َﺒ ُﻪ اﻟﱠﺬي ُﻳﻀْ ِﻤ ُﺮ ِﺑ ِﻪ ِ ﺶ ﺑِﻬَﺎ َو ِر ُ ﻄ ِ َْﻳﺒ “Tiada menghampirikan oleh segala orang menghampirkan dirinya kepada Aku dengan seumpama mengerjakan barang yang Aku fardukan atas mereka itu dan senantiasa hamba-Ku menghampirikan dirinya kepada Aku dengan mengerjakan segala ibadah sunnah hingga Aku kasih akan ia, Maka apabila Aku kasih akan dia niscaya adalah Aku Pendengarnya yang mendengar ia denga dia, dengan pengelihtannya yang melihat ia akan dia, dan lidahnya yang berkata-kata ia dengan dia, dan tangannya yang memegang ia dengan dia dan kakinya yang berjalan ia dengan dia dan Aku hatinya yang berjuta-juta ia dengan dia.
62
Tingkatan tauhid sifat inilah kesudahan yang diharuskan dan yang dimaksudkan dan yang ditetapkan. Dan tiada yang melampaui dari pada maqam ini melainkan Saydina Muhammad SAW dan Ambiya dan Auliya yang di bawah qidamnya. Maka maqam yang di atasnya yaitu maqam tauhid dzat. 28 Tauhid al-sifat, yakni fana’ (luluh)-nya seluruh sifat mahluk, termasuk dirinya sendiri, di dalam sifat Allat Swt. Sifat seperti qudrah (berkuasa), iradah (berkehendak), ‘ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), basar (melihat), dan kalam (berkata-kata), adalah sifat-sifat itu yang dimiliki Allah, sedangkan sifat mahluk hanyalah merupakan perwujudan dari sifat-sifat Allah, sebagaimana di katakan dalam oleh Muhammad Nafis Al-Banjari dalam kitabnya “seperti bahwa engkau lihat dan engkau musyahadahkan dengan hatimu dan iktikadmu bahwasanya sifat yang berdiri ia kepada dzat-Nya itu, yaitu seperti Qudrah, dan iradah, dan ‘ilmu, dan hayah, dan sama’, dan basyar, dan kalam, sekalianya itu sifat Allah Ta’ala, karena tiada ada dzat yang bersifat dengan segala sifat yang tersebut pada hakikatnya, melainkan dzat Allah Ta’ala jua, dan dibangsakan segala sifat itu kepada mahluk itu, yaitu madhar-Nya sifat Allah Ta’ala juga. 29 Dalam
wahdaniyah
sifat,
Syaikh
‘Abdurrahman
Shiddîq
mengajarkan hanya Allah yang Esa pada segala sifat; dalam kudrah, 28 29
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 33-36. Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan. h. 134.
63
iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar, kalam dan sebagainya. Tidak ada zat lain yang punya sifat seperti sifatnya Allah. Kalaupun ada makhluk punya sifat itu hanya majaz, hakikatnya hanya sifat Allah. Dengan memiliki dan meyakini wahdaniyah sifat ini, seorang hamba akan mampu mencapai maqam fana fillah dan baqa‘ bisifatillah. Hamba akan beroleh ma’rifah dan Allah akan membukakan rahasia sifatNya yang mulia kepada hamba. Pandangan demikian juga timbul karena penglihatan syuhûdi, bukan dalam realitas. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa ‘Abdurrahman Shiddîq menghilangkan eksistensi makhluk dan khaliq. Pengarang hanya menekankan tauhid al-Sifah ini pada segi zauqiyah (perasaan). Orang yang mencapai tauhid jenis ini merasakan mereka kehilangan diri dan sifat-sifat mereka dan merasa menyatu dalam sifat-Nya Tuhan.30 Dalam kitab Fath-‘Alim fi Tartib al-Ta’lim oleh Syaikh Abdurrahman Shdiddiq di sebutkan bermula fasal pada menyatakan berbagai sifat yang wajib kepada empat bagi ketahui olehmu bahwasanya sifat duapuluh itu terbagi ia kepada empat bagi pertama sifat nafsiah artinya sifat yang dibangsakan kepada diri zat Allah Swt karena melazimi sifat itu baginya kedua sifat salbiah artinya sifat yang dibangsakan kepada meninggalkan karena bahwasanya qidam meninggalkan berpermulaan adanya dan baqa’ meninggalkan berkesudahan adanya hingga akhirnya ketiga sifat ma’ani yang berdiri dengan zat Allah Swt, keempat sifat 30
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 35-36.
64
ma’nawiyah artinya sifat yang dibangsakan kepada makna yang berdiri bagi zat Allah Swt karena melazimi sifat ma’naiyah itu baginya syahdan sifat nafsiah itu satu wujûd dan takrifnya hiya al-hal al-wajibah li al-dzat ma damat al-dzat ghayr al-mu’allalatin bi ‘illatin artinya yaitu hal yang wajib bagi zat selama kekal zat tiada dikarenakan dengan suatu. Dan martabatnya maujud pada dzihn (rasanya) dan tiada maujud pada kharij (luarnya). Adapun sifat salbiah itu ada lima sifat qidam baqa’ mukhalafatuhu ta’ala li al-hawadits qiyamuhu ta’ala binafsih dan takrifnya hiya ‘ibaratun ‘an nafsi ma la yaliqu bihi jalla wa ‘azza artinya yaitu ibarat dari pada menafikan barang yang tiada layak dengan Tuhan kita yang Maha Besar dan Maha Mulia. Adapun sifat ma’ani itu tujuh sifat qudrah iradah ‘ilmu hayah sama’ bashar kalam dan takrifnya hiya kull shifatin mawjudatin qa’omatin bi mawjudin awjabat lahu hukman artinya yaitu tiap-tiap sifat yang maujud yang berdiri dengan zat yang maujud yang wajib baginya satu hukum yaitu hal ma’nawiyah dan martabatnya maujud pada dzihn dan tiada maujud pada kharij. Adapun sifat ma’nawiyah itu tujuh sifat qadirun muridun ‘alimun hayyun sami’un bashirun mutakallimun dan takrifnya hiya al-hal wajibah li al-dzat ma damat al-dzat mu’allamatan bi ‘illatin artinya yaitu hal yang wajib bagi zat selama kekal zat yang dikarenakan dengan suatu karena yaitu sifat ma’ani pada akal karena tiada terakal keadaannya yang kuasa melainkan
65
kemudian daripada terakal keadaannya yang kuasa melainkan kemudian daripada terakal kuasa hingga akhirnya. 31 Dalam sebuah kitab Awaluddin sifat dua puluh di jelaskan secara ringkas bahwasanya sifat Allah yang wajib secara ijmali terbagi empat bagian sebagaimana berikut: a. Sifat Nafsiah Artinya ialah suatu hal yang wajib bagi zat Allah. Bersifat dengan sifat wujûd yaitu “ada” tidak dikarenakan oleh karena yang lain adapun sifat nafsiah itu hanya satu yaitu wujûd b. Sifat Salbiah Arti dari sifat salbiah, ialah menolak atau menapikan, segala macam sifat yang tidak layak pada zat Allah Ta’ala. Sifat salbiah itu terdiri dari lima yaitu qidam, baqo, mukholafatu lilhawadits, wahdaniyah, qiyamuhu binafsih c. Sifat Ma’ani Arti dari sifat Ma’ani ialah sifat yang maujud (ada) yang diri pada zat Allah yang maujud. Yang mewajibkan zat itu bersifat dengan suatu hukum sifat ma’nawiah. Sifat ma’ani ini terdiri dari tujuh sifat yaitu, qudrah, iradah, ‘ilmu, hayah, sama’, bashar, kalam. d. Sifat Ma’nawiah
31
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Fath al-‘Alim Fi Tartib al-Ta’lim , (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1936), h. 7.
66
Arti dari sifat ma’nawiah ialah suatu yang tsabit, yang tetap bagi zat Allah bersifat dengan ma’ani, tegasnya anatara sifat ma’ani dengan sifat ma’nawiah jadi berlazim-laziman keduanya. Sedangkan sifat ma’nawiah ada tujuh sifat juga, yaitu, qodirun, muridun, alimun, hayyin, sami’un, bashirun, mutakallimun. 32 Melihat dari ajaran wahdah al-wujûd yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq ini agaknya juga dipengaruhi oleh pendapat Junaid al-Baghdadi. Dan pendapat ini juga searah dengan pendapat Hamzah Fansuri, menurut pandangan Hamzah Fansuri wujud itu pada dasarnya hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang satu ini berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah merupakan pernyataan saja dari pada wujud yang hakiki, dan wujud hakiki itulah yang disebut Allah. 33 Bila dilihat dari ajaran yang beliau ajarkan sepertinya ada kaitannya dengan Tarekat Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut oleh aliran ini. Keterkaitan ini diperkuat dengan penyebaran Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan yang disebar dan dibawakan oleh M. Arsyad AlBanjari hal ini beliau aplikasikan dalam bentuk qasidah pujian Syaikh Samman.
Syaikh M. Arsyad Al-Banjari masih keturunan Syaikh
32
Utsman bin Abdullah, Sifat duapuluh, Yayasan Sosial Pendidikan Pengembangan & Penelitian Islam M.A Jaya –jakarta, Indonesia, hl 29-31 33 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta, Kencana, 2006), h, 74
67
Abdurraman Shiddik dari pihak ayahnya 34 Dan di di daerah Bangkapun sampai sekarang masih sering terdengar bacaan Manaqib Samman dan Hikayat Syaikh Samman di majlis-majlis pengajian. Orang
yang
berhasil
mencapai
tauhid
al-Sifat
ini
akan
mengantarkannya kepada pengalaman dan penghayatan fana’ fillah. Fana, ecstasy, ini amat didambakan oleh para sufi. Orang yang mencapainya akan mengalami perubahan-perubahan: Pertama, peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian nafsu dan keinginannya. Kedua, lenyapnya kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling, baik pikiran, perbuatan dan perasaan, lantaran terhisap dalam penghayatan pada Tuhan, karena penghayatan hanya tertuju pada sifat-sifat Allah. Ketiga, lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya. Jadi orang yang mampu bertauhid sifat ini akan tenggelam perasaan, pikiran dan sifat-sifat dirinya dan semuanya terhisap atau tertuju pada sifat-sifat Tuhan saja. Orang tidak akan merasa ada makhluk yang kuasa, berilmu, berkehendak dan lain-lain, karena pemilik semua sifat-sifat utama hanya Allah saja, sebab hanya Allah yang amat berkuasa atas segala sesuatu. 35
34
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h194 35
http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.
68
4. Tauhid dzat Menurut Syaikh Abdurrahman Shiddiq maqam tauhid Dzat adalah setinggi-tingginya tingkatan. Tiada lagi maqam di atasnya yang sampai kepadanya
pengetahuan
mahluk.
Pada
maqam
inilah
kesudahan
musyahadah arifin billah. Dan perhatian perjalanan mereka itu dan kepadanya daripada oleh Dzat yang terlintas pada hati manusia dan kepadanya sehingga dan sehabis-habis supaya pengetahuan sekalian mahluk. 36 Adapun maqam yang di atasnya maka tiada mendapat akan dia anbiya dan mursalin dan malaikat mukarrabin. dalam firman Allah SWT:
.ﺴ ُﻪ َ ْﷲ َﻧﻔ ُ َو ُﻳﺤَﺬﱢ ُر ُآ ُﻢ ا “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya”. Kemudian Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq memperkuatkan lagi dalam sebuah hadits yang berbunyi : .ﻖ ُ َأﺣْ َﻤ
ﷲ ِ تا ِ ُآﻠﱡ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ذَا
“Sekalian kamu pada mendapat apa dzat Allah SWT ahmak (tidak dapat diketahui)”. Berkata Syaikh Abdul Wahab Sya’roni ra “bermula pengetahuan Dzat hak Allah tiada merasa dan tiada mendapat akan dia oleh seseorang juga dari pada sekalian mahluk-Nya karena bahwasanya Allah SWT bukan Ia yang dihukumkan akal dan bukan yang dihukumkan oleh mata hati dan mata kepala tetapi adalah ia baik yang demikian itu, maka bukan ia 36
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 37
69
demikan itu. Dan barang siapa mengetahui akan yang demikian itu wajib atasnya bahwa menyembah akan Dzat yang Suci lagi ghoib yaitu kenyataan yang di musyahadahkan dan itu ibadah yang disempurnakan. 37 Tiada yang sampai kepssada maqam (tingkatan) tauhid dzat ini melainkan Nabi Muhammad SAW sajalah dan Anbiya dan Auliya dan yang dibawahnya yang benar-benar menjalankan tauhid ini dengan bersungguh-sungguh. Maka bermula bagaimana mengesakan Allah SWT pada dzat-Nya yaitu bahwa engkau pandang dengan mata hati dan mata kepala dengan pandangan yang putus bahwasanya tiada yang maujud di dalam wujûdnya itu hanya Allah sajalah. Maka fanalah dzat kita dan sekalian makhluk dibawah dzat Allah Swt hingga tiada yang maujud melainkan Allah SWT sendirinya dan wujûd yang lain melainkan Allah adalah khayal saja. 38 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq juga mengumpamakannya dengan mimpi, baginya mimpi itu adalah tiada baginya hakiki atau sebenarnya ini dapat dinyatakan, apabila kita terbangun maka hilanglah ia seperti demikianlah wujûd Allah. Apabila kita mati niscaya hilanglah dan baharulah kita jaga dan kita lihat bahwasanya tiada baginya wujûd yang sebenarnya seperti sabda Rasulullah:
.س ﻧِﻴَﺎمٌ َﻓِﺈذَا ﻣَﺎﺗُﻮااﻧْ َﺘ َﺒﻬُﻮا ُ اﻟﻨﱠﺎ
37 38
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 42. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah h. 39
70
“Segala manusia itu tidur maka apabila mati mereka itu maka barulah terbangun mereka itu” Karena mati itu menurut ahli tasawuf dua perkara: Pertama, Mati rasa maksudnya menjauhnya ruh dari pada jasad. Kedua, Mati maknawi dan mati hakiki yaitu fana di dalam mar’rifatnya dan musyahadah akan af’al dari-Nya dan sekalian mahluk dan asma’-Nya dan sifah-Nya . Maka mati maknawi inilah yang diisyaratkan dalam hadits Nabi Muhammad:
ﻰ َوﺟْ ِﻪ َ ﺖ ﻳَﻤْﺸِﻰ ﻋَﻠ ٍ ﻈ َﺮ ِإﻟَﻰ َﻣ ﱢﻴ ُ ْﻞ َأنْ ﺗَ ُﻤﻮْ ُﺗﻮْا َو َﻣﻦْ َأرَا َد َأنْ َﻳﻨ َ ُْﻣﻮْ ُﺗﻮْا َﻗﺒ .ﻰ َأﺑِﻲ َﺑﻜْ ٍﺮ َ ﻈﺮْ إِﻟ ُ ْض َﻓﻠْ َﻴﻨ ِ ْاﻟَْﺄر “Matikanlah olehmu akan dirimu sebelum lagi kamu mati kamu dan barang siapa berkehendak bahwa memandang ia kepada mayit yang berjalan ia di atas bumi maka hendaklah memandang ia akan Abu Bakar Shiddîq (hadits) Maka dalil diatas tadi amat sangat banyak seperti apa yang disebutkan dalam al-Qur’an:
.ﻹآْﺮَا ِم ِ ْل َوا ِﻼ َ ﺠ َ ﻚ ذُوااْﻟ َ ن وَﻳَﺒْﻘَﻰ َوﺟْ ُﻪ َرﱢﺑ ٍ ﻋَﻠﻴْﻬَﺎ ﻓَﺎ َ ُْآﻞﱡ َﻣﻦ “Bermula tiap-tiap barang yang ada dari pada segala hayawan atau yang bersusun atas dzat dan sifat sekaliannya itu binasa pada masa yang dahulu dan pada masa sekarang dan masa yang lagi akan datang dan kekal dzat Allah Tuhan ya Muhammad yang mempunyai kebesaran kemulian”. Dan dalam firman Allah disebutkan lagi:
dan
71
.ﺊ هَﺎﻟِﻚٌ إِﻟﱠﺎ َوﺟْ َﻬ ُﻪ ٍﺷ َ ُآﻞﱡ “Bermula tiap-tiap sesuatu itu binasa ia pada masa yang telah lalu dan pada masa sekarang dan masa akan datang melainkan dzat Allah SWT saja tiada binasa”. 39 Pendapat ini sepaham dengan pendapat Ibnu ‘Arabi ia mengatakan bahwa gambaran alam yang disaksikan indra manusia di dunia ini adalah seperti gambaran dalam mimpi, yang perlu ditakwilkan. Dengan mengutip hadits Nabi bahwa manusia di dunia ini seperti orang-orang yang sedang tidur, bila mereka mati barulah mereka sadar (bangun), Ibnu ‘Arabi mengajarkan bahwa hadits itu Nabi Muhammad memperingatkan bahwa apa saja yang dilihat manusia dalam hidup di dunia ini adalah seperti mimpi bagi orang-orang yang tidur, merupakan khayal
yang harus
ditakwil alam ini hanyalah khayal dan ia sungguh-sungguh ada (haqq) sebenarnya. Penjelasan lebih lanjut tentang ini dari Ibnu ‘Arabi adalah sebagai berikut. Alam itu wahm, tidak memiliki wujûd hakiki; inilah makna khayal, yaitu dikhayalkan bagi anda bahwa dia (alam) adalah wujud tambahan, yang berdiri sendiri di luar dari wujud Tuhan; padahal tidak demikian kenyataan yang sesungguhnya. 40 Sedangkan menurut Muhammad Nafis dalam kitabnya kitabnya alDurr al-Nafis, alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada, yang ada hanya wujûd Allah. Wujud Allah mendapat segala sesuatu Allah tidak ada 39
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah h. 45-46 Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud), Tuhan Alam Manusia, dalam Tasawuf syamsuddin sumatrani,(Padang: Lain IB Press, 1999), h. 38. 40
72
persamaan-Nya dengan sesuatu (laisa kamislihi syaiun). Tidak maujud pada hakikatnya hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’ segala asma’ hamba pada asma’ Allah, fana’ pula sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah. Segala apapun yang ada pada mahluk ini hilang sirna dan semata-semata dan wahm (dugaan). Lenyap segala ketentuan yang Maha Mengetahui. Terlihat oleh hamba segala ketentuan pada yang Maha Mengetahui. Terlihat oleh hamba segala perbuatan Allah. Mahluk pada hakikatnya hanyalah laksana benang melayang di udara, kemana angin bertiup kesanalah ia ikut melayang. 41 ‘Abdurrahman Shiddîq juga menyatakan bahwa yang maujud di dalam maujud kecuali hanya Allah. Wujud manusia hanya khayal, semuanya akan fana’ dalam maujud Allah, seperti maujud dalam mimpi, setelah terbangun semua Dalam hal wahdaniyah zat, ‘Abdurrahman Shiddîq mengajarkan keyakinan bahwa tiada sirna, begitu juga maujud yang lain selain Allah. 42 Orang yang mampu mencapai tauhid keempat ini akan mampu menyelam dalam laut ahadiyat Allah atau keesaan Allah bagaikan tidak terselamatkan lagi atau mabuk dan tidak ingin siuman dari mabuknya. Ketika itu baginya habis fana fillah, hilangnya wujudnya dalam wujûdnya Allah. Namun, ia masih belum sampai ke tingkat al-baqa bi Allah, yakni 41 42
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 140. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 40
73
kekal bersama Allah dengan pandangan yang mantap bahwa Allah yang menyatakan kekekalan pandangan tersebut. 43 Pada ukuran tertentu paham ini sangat dekat kepada paham wahdaniyah al-wujûd dan hulul atau ittihad pada umumnya seperti Ibn Arabi dan al-Hallaj. Yang menjadi rujukan ‘Abdurrahman Shiddîq dalam tauhid dzat ini adalah Abu Yazid ia merupakan salah satu tokoh sufi yang cenderung kepada wahdah al-wujûd melalui konsep ittihad yang diajarkannya. Saat Abu Yazid syathahat dan mengalami penghayatan ittihad (the unitive state) ia mengatakan: “aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku”. Dan masih banyak lagi ucapan syathahat lainnya yang menunjukkan Abu Yazid sedang ittihad atau manunggaling kawula Gusti. Tetapi menurut ‘Abdurrahman Shiddîq, semua keyakinan itu haruslah dalam pandangan zauqiyah (perasaan), bukan pandangan qauli dan lafzi, sebab semua pandangan panca indra lemah dan tidak kuasa menembus alam gaib. Hanya orang yang zauq (merasa) yang akan mendapat pengalaman tesebut. Karenanya beliau tetap memegang kepada syuhûdul katsrah fil wahdah dan syuhûdul wahdah fil katsrah. 44 Dengan demikian dapatlah disimpulkan oleh penulis, paham wahdaniyat zat yang dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq, meski sangat dekat dengan ittihad dan wahdah al-wujûd, namun beliau menempatkannya dalam wahdah al-syuhûd saja. Walaupun mengacu 43 44
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 46 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 49
74
kepada beberapa pendapat Abu Yazid Bustami, namun ‘Abdurrahman Shiddîq sendiri tidak pernah mengucapkan kata-kata syathahat, seperti yang pernah diucapkan oleh Abu Yazid Bustami ataupun sufi yang lain. Beliau tetap teguh memegang prinsip bahwa Allah itu tidak sama dengan sesuatu apapun, serta baqanya zat Allah, sedangkan semua makhluk lain akan fana. Jadi dari keempat tingkat tauhid di atas, yakni wahdaniyat af’al, asma, sifat, dan zat yang beliau kenalkan semuanya mengacu kepada pendapat ulama sufi terdahulu seperti pendapat asy-Syibli, al-Baghdadi dan al-Ghazali dengan konsep wahdah al-syuhûd. Walau pada tingkat wahdaniyat zat pandangan ‘Abdurrahman Shiddîq sangat dekat dengan wahdah al-wujûd, namun tetap aspek syuhûdi yang ditekankannya. Jadi wahdah itu bukan fakta, bukan pada qauli dan lafzi, tapi pada zauqi saja. 45
45
http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan
uraian
di
atas
dapatlah
dikemukakan
beberapa
kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam Pemikiran Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dia mengenalkan beberapa konsep tauhid yaitu tauhid wahdaniyat af’al, tauhid wahdaniyat asma, tauhid wahdaniyah sifat dan tauhid wahdaniyah zat. 2. Dari Keempat bentuk konsep tauhid yang beliau jelaskan dalam kitab ‘amal ma’rifah ini sarat dengan tasawuf falsafi yang bermuatan wahdah al-syuhûd banyak dipengaruhi oleh pendapat Abu Bakar al-Syibli, Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Pada wahdaniyat zat, beliau hampir saja mendekati wahdah al-wujûd. Namun beliau tetap menekankan bahwa wahdaniyah al-Zat itu hanya pada dimensi zauqi, bukan qauli dan lafzi, sehingga
beliau
tidak
pernah
mengucapkan
kata-kata
syathahat
sebagaimana pernah diucapkan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj atau Ibnu Arabi. Melalui wahdaniyah af’al diharapkan manusia tidak syirik, ujub dan riya dengan af’alnya, karena pada hakikatnya hanya Allah yang memiliki af’al, sebab Allah tidak saja menciptakan manusia tapi juga menciptakan af’al manusia. Melalui wahdaniyah asma diharapkan manusia tidak silau oleh nama dan beragam nama yang ada pada makhluk dan yang dipunyai makhluk, sebab hakikatnya hanya Allah yang mempunyai nama-nama kesempurnaan. Melalui wahdaniyah sifat
75
76
diharapkan manusia tidak sombong dengan sifat-sifat dan kelebihannya, sebab hanya Allah yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Kemudian melalui wahdaniyah zat, diharapkan mata hati manusia menyatu dengan zat Allah, sehingga segala pikiran, perasaan dan perbuatan terkonsentrasi pada zat Allah saja, tapi bukan menyatu dengan Allah dalam bentuk wahdah al-wujûd atau manunggal dengan Tuhan.
B. Saran Berkenaan dengan Pemikiran Tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq (Telaah Atas Kitab Amal Ma’rifah), disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Walaupun berusaha meneliti dari kitabnya ‘Amal Ma’rifah dan biografinya sehingga ditemukanlah konsep tasawuf yang beliau ajarkan buat masyarakat, bukanlah berarti penulisan ini sudah cukup sebagai bahan rujukan bagi penulis sesudah ini, karena apa yang diteliti oleh penulis ini jauh dari kesempurnaan, maka perlu kiranya perbaikan dari semua pihak nantinya bila menemukan kekurangan dan keganjalan namun inilah usaha yang dilakukan penulis untuk mengangkat nama tokoh ulama’ Bangka. 2. Perlunya mengangkat nama tokoh ulama’ daerah kemuka umum, meningat betapa besar perjuangan mereka memperjuangkan agama Islam ini ke masyarakat, khususnya di kepulauan Bangka, dan harapan penulis kepada siapapun
yang
nantinya
meneliti
tentang
tokoh
ulama’
Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq hendaklah mencari informasi yang lebih akurat, mengigat data tentang beliau masih kurang sekali
77
3. Ajaran tauhid ‘Abdurrahman Shiddîq memang perlu dipelajari dipahami dan dihayati oleh umat, namun hendaknya terbatas bagi kalangan menengah ke atas saja yang penghayatan tauhid, i’tikad, dan pengamalan syariatnya sudah memadai. Bagi orang awam yang tauhid, i’tikad, dan syariatnya belum matang hendaknya dihindarkan dari mempelajari isi kandungan kitab Amal Ma’rifah ini, sebab dapat berakibat terabaikannya syariat serta terganggunya akidah. 4. Ajaran tauhid yang dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq hendaknya dipahami dalam konteks tasawuf akhlaki dan amali, sehingga dalam menghayati
tingkatan-tingkatan
tauhid,
seseorang
tetap
konsisten
menempuh maqamah-maqamah akhlak tasawuf yang terpuji dan tetap mengutamakan pengamalan syariat. Tegasnya pemahaman tauhid harus secara total dan berintegrasi dengan syariat dan hakikat (tasawuf), sehingga tidak terjadi pengabaian salah satunya.
DAFTAR PUSAKA
Abdullah. Syafe’i, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syekh H. A. Rahman Shiddik Mufti Indragiri, Jakarta: CV. Serjaya. 1982. Abduh M. Arrafie, Corak Tasawuf Abdurrahmad Siddiq dalam Syair-Syairnya, Jurnal Penelitian Kutubkhanah. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau tahun 2000/2001. Abdullah, Utsman bin, Sifat duapuluh, Pengembangan & Penelitian Islam
Yayasan
Sosial
Pendidikan
Anwar, Rohan, Ahlak Tasawuf, Bandung: Pusaka Setia, 2009 Achmad. Abu Bakar: Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo. Ramadhani, cet 9. 1996 Al-taftazani, Abu al-Wafa. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung : Pusaka salman, ct. I. 1980). Judul Asli, Madkhal ila al-Tasawwuf al-islam, cet. IV kairo : Dar al-al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi, 1983).Penerjemah : Ahmad Rofi Utsmani. Taib Tahir Abd Mu'in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975
Bruinessen. Martin Van. Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat. Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung. Mizan. 1999 B. D. Mc Donald, Tauhid, dalam M TH Housma, et, all. Frist Encylopedia of Islam, leiden E. J. Brill, 1987 vol, 8, Chirzin. M. Habib. Agama dan Ilmu dalam Pesantren” dalam Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta : LP3S 1983 Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, cet Ke-3 Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pusaka, 1990) cet ke-3, Harmi, Zulkifli dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib Alta’lim, Syaikh Abdurrahman Siddik, Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006. Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman Kesatuan Wujud ; Ajaran & kehidupan Spritual Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001
78
79
Hhtp;zuljs,s;i,blogdetik.com/2009/07/36., diskases pada 10 Juli 2010 Isa , Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 100. Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara, Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,Jakarta, Kencana, 2006 Muhammad, Ibrahim al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam. Ter (Jakarta : Rabbani Press, 1998) cet ke-1, h 7
Mulyati, Sri Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h194 Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) Nasution , Harun, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan karya Ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) Jakarta: CeQDA. 2007 Ngafenan, Muhammad, Kamus Etologi Bahasa Indoneisa, (Semarang : Dahara Priza, 1990) cet ke-2 h. 171 Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Mizan IIMaN, 2009) Shiddiq, Abdurrahman, Risalah Amal Ma’rifah, Banjarmasin: Munawaddah, 1329 H ---------------------Asrar al-Salah min ‘Iddat al-Kutub al-Mu’tamadah. Singapura: Matba’ah Ahmadiya 1931 -----------------------Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim. Singapura: Matba’ah ahmadiyah 1929. ----------------------Risalah fi Aqai’id al-Iman. Singapura : Matba’ah Ahmadiyah 1936 Sirojuddin , Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve,1999, cet. Ke-6.
80
Yunasril, Ali,. Manusia Citra Ilahi : Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili, Jakarta: Paramadina, cet. Ke-1, 1997. Yusuf M Yunan, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dala Teoligi Islam Jakarta: Paramadina, 1990 Taufik, et. Al. Peranan Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Pengmbangan Islam di Pulau Bangka. Sungailait : P3M STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Taufik, Seminar Hasil Penelitian Dosen Tahun 2007, Syair Ibarah dan Khabar Qiyamah oleh Syaikh Abdurrahman Siddik, Bangka STAIN SAS Ibn Taymiyyah, al-Aqidah al-wasathiyyah, Beirut, Dar al-A'rabiyyah wa anNasrhr, tth Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisional di Bangka, Sungailiat, Shiddiq Press, 2007.