FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTO
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh: Syahrul Wilda NIM:1111033100016
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H. / 2017 M.
i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
ABSTRAK FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTO Ajaran Astabrata pada hakikatnya memuat ajaran-ajaran yang baik dan bijak apabila diterapkan oleh setiap manusia dan pemimpin khususnya. Berdasarkan data dan analisa penulis, Soeharto sebagai pemimpin yang lama berkuasa di Indonesia sangat banyak menerapkan ajaran Astabrata dalam bertindak, hanya sebagian kecil dari ajaran tersebut yang tidak diterapkannya. Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menganalisa sejauh mana keterikatan dan penerapan Soeharto dengan budaya Jawa selama memimpin Indonesia, khususnya ajaran Astabrata yang juga menjadi gagasan utamanya dalam menjalankan kepemimpinan. Berdasarkan literatur dan referensi yang penulis dapat, dari delapan watak Dewa yang ada dalam ajaran Astabrata, yaitu dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, dan Brama hanya dua yang belum diterapkan oleh Soeharto secara sempurna, yaitu watak Dewa Indra tentang pemerataan kesejahteraan dan watak Dewa Surya dalam sifat pemaaf. Kata Kunci: Dewa, Kepemimpinan, Jawa, Soeharto, Astabrata.
v
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum wr. wb. Syukur atas nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para hamba-Nya dalam segala proses kehidupan. Karena-Nya penulis diberi kemudahan selama penyusunan skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan materil maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Agus Darmaji, M. Fils., selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan arahan, motivasi dan membimbing penulis dengan baik, hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. 3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam dan Abdul Hakim Wahid, SHI.,MA., selaku Sekretaris Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. 4. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian yang telah mengajarkan pada penulis tentang ketelitian dan ketekunan. 5. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Ayahanda Sanusi Saputra dan Ibunda Fatmadewita, kedua orang tua yang selalu memberikan motivasi, serta doa selama penulis menjalankan pendidikan di manapun penulis berada, serta adik-adik tercinta, Syahrul Thaib, Raudhatul Jannah, Zaharatul Jannah, Annisatul Fauziah, Annisatul
vi
Fitri, dan Muhammad Farhan. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada mereka. 7. Desy Yeni Verawati, wanita yang begitu terspesial yang telah banyak membantu dan menemani perjuangan penulis untuk menyelesaikan studi ini. 8. Sahabat dan uda-uda seperantauan yang berasal dari Minangkabau, Erikh, Muhammad Hafiz, Muhammad Hanafi, Muhammad Ishaq, Hafiz Satria Putra. 9. Sanak seperjuangan Gagah Kamek 2011 yan telah memberikan kebersamaan dan dukungan kepada penulis, Rizan, Firdo, Capaik, Momon, Zaim, Yolla, Dilla, Rifa, Andam, dll. 10. Seluruh sahabat Aqidah Filsafat 2011, baik yang sudah selesai ataupun yang belum. Yang belum semoga cepat selesai. 11. Teman-teman seangkatan, al-Fatih dan el-Khansa yang masih tetap kompak bersama-sama berjuang, Amir, Ghani, Hary, Aji, Ihsan Nita, Ghina, Yayat, Siti, Nadia, dll. 12. Keluarga Ikatan Alumni Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek Ciputat, Rasyid, Harry, Oktaviondri, dll yang telah banyak membantu penulis selama masa studi. 13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam perjuangan penulis, terima kasih tak terhingga penulis sampaikan. Semoga kita dirahmati Allah Swt. Amin.
vii
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan pengetahuan bagi siapapun yang berkesempatan membacanya. Wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, 29 Maret 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii ABSTRAK .............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9 F.
Metode Penelitian ...................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 12 BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA ...................................... 14 A. Pengertian Filsafat Kepemimpinan ............................................................ 14 B. Pengertian Astabrata ..................................................................................... 18 C. Sejarah dan Perkembangan Ajaran Astabrata .............................................. 19 D. Konsep Kepemimpinan Astabrata ............................................................. 23
ix
BAB
III
RIWAYAT
HIDUP
DAN
KEPEMIMPINAN
PRESIDEN
SOEHARTO…………………………………………………………………….. 33 A. Riwayat Hidup Soeharto ............................................................................ 33 B. Indonesia di Bawah Soeharto ..................................................................... 41 BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT ASTABRATA....................................................................................................... 51 A. Soeharto dan Filsafat Astabrata ................................................................. 51 B. Analisis Kepemimpinan Soeharto Berdasarkan Filsafat Astabrata ........... 53 C. Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Islam ....................................................... 77 1. Kepemimpinan Perspektif al-Fārābī .......................................................... 78 2. Analisis Nilai-Nilai Kepemimpinan Islam dengan Astabrata pada Soeharto……………………………………………………………………. 81 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 84 A. Kesimpulan ................................................................................................ 84 B. Saran-saran ................................................................................................. 85 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
xi
BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Soeharto merupakan presiden yang paling lama menjabat dan berkuasa di pemerintahan Indonesia yaitu selama 32 tahun. Masa pemerintahannya dikenal sebagai Orde Baru. Menurut O.G Roeder banyak para kritikus yang mengenal sebagai seorang yang otoriter, militeristik, ambisius namun murah senyum. 1 Selama masa kepemimpinannya, Soeharto banyak meninggalkan jasa-jasa baik dalam bidang politik, perokonomian, kesehatan, maupun pendidikan. Meskipun pada akhir kepemimpinannya terjadi krisis ekonomi, kerusuhan nasional, sosial dan politik.2 Kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto diterima dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), pada 12 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden hingga setahun kemudian akhirnya dilantik menjadi presiden ke-2 Indonesia. 3 Selama masa pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas nasional sangat dijaga, sehingga banyak kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut seperti, dwifungsi ABRI, pembatasan jumlah partai politik, menjadikan Pancasila sebagai
1
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Penerjemah A. Bar Salim & A. Hadi Noor (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hal. 5. 2 Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi:Pertumbuhan dan Pemerataan” dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), hal. 146. 3 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 190.
1
2
asas tunggal organisasi-organisasi masyarakat yang ada. Semua tentara dan pegawai hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa, Partai Golongan Karya (Golkar). Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada masa itu bisa diberikan penilaian dari dua sisi, pertama memang kebijakan tersebut dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pemerintah masa itu, kedua kebijakan tersebut sangat memberikan batasan kepada manusia Indonesia dalam menyampaikan aspirasi ataupun sikap tidak setuju mereka dengan pemerintah, dan bahkan juga ada pendapat yang mengatakan tindakan tersebut merupakan kejahatan HAM. William Liddle, guru besar Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Columbia sebagaimana dikutip M. Fadjroel Rahman mengatakan sebagai mantan ketua Dewan Pembina Golkar pada Orde Baru, Golkar selalu mendukung Soeharto 100 persen selama 32 tahun, tujuh kali masa jabatan presiden, tak peduli apakah Soeharto telah melakukan kejahatan HAM sejak 1965-1998, mematikan demokrasi, menjajah Timor Timur ataupun menembak dan memenjarakan mahasiswa serta rakyat.4 Akan tetapi, benarkah apa yang telah dilakukan oleh Soeharto merupakan suatu kejahatan HAM dan menindas demokrasi, karena tak jarang kita temui sekarang ini masih ada slogan-slogan yang merindukan kepemimpinan Soeharto kembali. “Piye kabare? Enakan jamanku toh?” Kalimat dalam bahasa Jawa tersebut sering kita temui di tempat-tempat publik dalam bentuk stiker, bahkan sampai kepada kaos yang dipakai sehari-hari. Gaya
kepemimpinan
kepemimpinan 4
Soeharto
proaktif-ekstratif
merupakan
dengan
gabungan
adaptif-antisipatif,
dari
gaya
yaitu
gaya
M. Fadjroel Rachman,”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar,” dalam Bagus Dharmawan ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 527.
3
kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Selain itu sebagai pribumi asli Indonesia, keturunan Jawa, gaya kepemimpinan Soeharto juga dikenal dengan istilah “gaya kepemimpinan Jawa” karena pada masa kepemimpinannya Soeharto banyak mengadopsi budaya kekuasaan Jawa. Budaya Jawa berpengaruh besar dalam politik pemerintahan tidak pernah pupus sejak Indonesia memasuki kemerdekaan hingga kini. Presiden Soekarno misalnya, pernah menerapkan prinsip bahwa seorang bapak adalah pemimpin bagi anak-anaknya, sebagaimana raja-raja Jawa terhadap rakyat kebanyakan. Upaya sistematis untuk menghidupkan kembali pola lama kekuasaan raja tradisional diteruskan oleh pemerintah Soeharto dengan lebih intens.5 Sebagai bukti keterkaitan kepemimpinan Soeharto dengan budaya Jawa adalah pendapat Wilson berikut. Wilson dalam artikelnya mengatakan bahwa Soeharto pada masa Orde Baru menjalankan kekuasaannya berdasarkan filosofi Astabrata. 6 Selain itu seperti dikatakan oleh Denys Lombard “Soeharto sering meminta nasehat pada dukun Jawa, dan istrinya telah memperkokoh pertalian Soeharto dengan Mataram dan membawanya ke dalam lingkaran keraton Mangkunegaraan.”7 Bukti lain adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan
5
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 81. 6 Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10. 7 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Penerjemah Winarsih Arifin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 71.
4
dalam penataran Pancasila serta dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung utama Sekretariat Negara di Jakarta.8 Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola pikir Islam biasanya diambil dari ajaran-ajaran tasawuf yang mengedepankan aspek wara’(menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederahana seperti seorang sufi yang meninggalkan kehidupan dunia untuk mencapai kebahagiaan sejati. Sedangkan pengaruh Hindu di antaranya Gung Binatara (besar seperti dewa), Ambeg Paramarta (bagaikan dewa), Panatagama (pemimpin itu merupakan penata agama), Astabrata (ajaran 8 sifat dewa).9 Berdasarkan pemaparan di atas tentang kepemimpinan Soeharto dan budaya kepemimpinan Jawa, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gaya kepemimpinan Soeharto secara lebih mendalam dan memandangnya dari sisi filsafat kepemimpinan Astabrata. Astabrata diyakini sebagai ajaran tentang kode etik kepemimpinan sejak dulu hingga saat ini, ajarah Astabrata sangat populer dalam kehidupan masyarakat Jawa. Astabrata dikenali masyarakat melalui tradisi tulis dan tradisi lisan. Tradisi tulis yang memuat Astabrata dapat ditemukan pada karya tulis atau karya sastra Jawa tradisional (zaman istana atau masa kerajaan). Sebagai contoh, pada masa
8
Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari 2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata 9 Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal. 6.
5
pemerintahan kraton Surakarta telah digubah sastra Jawa bertuliskan huruf Jawa yang memuat ajaran Astabrata.10 Dalam kitab-kitab bertuliskan huruf Jawa, nama Astabrata dapat ditemukan dalam beberapa naskah. Pertama, nama Astabrata terdapat dalam Ramayana Kakawin seperti dalam bait berikut:11 (Hyang Indra Yama Surya Candra, Bayu, Kuwera Baruna, Agni nahan wolu, Sirata ma angga sang Bhupati, Matang nira ninisthi Astabrata.) (Hyang Endra, Yama Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Brahma(Agni), yaitu namanya dewa delapan. Dewa delapan itu menyatu dalam pribadi raja, maka dewa itu disebut Astabrata.)
Nama Astabrata juga terdapat dalam naskah Serat Nitisuri zaman sastra Jawa pertengahan. Kutipannya sebagai berikut:12 (Salwir bawane kang sinung wadi Ing naya mong jagad jaga-jaga Arjuning rat saestine Astagina ginelung kang ginulang-gulang ing pangling, reh Sang Ramawijaya, wijiling pamuwus warah ring Sang Wibisana sananing Astaguna guniteng sari sarehning Astabrata) (Semua yang telah diberi pelajaran, Diberi tahu pengetahuan rahasia menjaga dunia, Agar mulia dan sejahtera Yang selalu diinginkan hati adalah delapan hal, Maka selalu dipelajari dan dibicarakan setiap hari Apakah yang disebut delapan hal itu? Yaitu nasihat pelajaran Sri Ramawijaya Kepada Arya Wibisana, Tentang tata cara menjalankan negara, Yaitulah yang disebut ajaran Astabrata) 10
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja ( Yogyakarta: Adiwacana, 2006), hal. 50. 11 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51. 12 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51
6
Selain itu nama Astabrata juga terdapat dalam naskah-naskah lain seperti Serat Rama Jarwa, Pakem Makutharama, atau dalam kitab Babad Sangkala. Sementara itu dalam tradisi lisan, Astabrata dikenali masyarakat melalui naskah pakem wayang dan pementasan wayang purwa (wayang kulit).13 Selain itu Astabrata juga diajarkan melalui sastra tulis dan seni pertunjukan. Untuk seni pertunjukan terdapat dua jenis tradisi seni pertunjukan yang menjadi medium pengajaran nilai-nilai Astabrata, yakni seni pertunjukan berupa naskah dan seni pertunjukan dalam bentuk pegelaran wayang kulit. Dalam sastra tulis wayang, ajaran Astabrata terdapat dalam buku Pakem Makutharama yang ditulis oleh Siswaharsoyo. Nilai-nilai Astabrata disampaikan oleh tokoh bernama Begawan Kesawasidi kepada Arjuna. Tampaknya ajaran Kesawasidi kepada Arjuna tersebut berasal dari kitab Babad Sangkala. Hal itu terlihat dari tokoh simbolik yang dicontohkan yang memiliki watak kepemimpinan. Dalam kitab Babad Sangkala watak kepemimpinan tidak lagi diambil dari watak delapan dewa sebagaimana terdapat dalam kitab Kakawin Ramayana, Serat Nitisruti, dan Serat Rama karya Yasadipura di Surakarta, melainkan diambil dari delapan watak benda-benda alam.14 Ada beberapa alasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian ini. Pertama, karena Soeharto merupakan seorang pemimpin yang cukup lama memimpin Indonesia, ada pendapat yang mengatakan pada masa Soeharto Indonesia menjadi makmur dan damai, sehingga bisa dikatakan beliau merupakan sosok pemimpin yang baik, tetapi tak sedikit juga yang mengatakan bahwa beliau
13 14
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51-52. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 53-54.
7
otoriter dan membunuh demokrasi. Kedua, Filsafat kepemimpinan Astabrata mengatur tentang kebaikan raja atau pemimpin yang disamakan dengan kebaikan Dewa dalam agama Hindu. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa pada sosok pemimpin yang baik juga melekat kebaikan para Dewa. Salah satu yang dikatakan kebaikan dewa dan harus dimiliki oleh raja dalam Astabrata adalah kemampuan untuk membasmi semua kejahatan demi menjaga negara yang tentram. Bisa dikatakan salah satu tindakan Soeharto untuk menjaga ketentraman Indonesia pada masa Orde Baru, sama dengan salah satu teori dalam Astabrata tersebut, sehingga bisa mempertahankan kekuasaannya yang begitu lama. Ketiga, penulis mengangkat tokoh Soeharto karena ia merupakan seorang tokoh keturunan Jawa, dan Astabrata merupakan filsafat kepemimpinan berdasarkan budaya Jawa. Sebagaimana kita ketahui sejauh ini pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya merupakan orang Jawa, maka penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh filsafat kepemimpinan Astabrata bagi seseorang, dan bisakah ajaran filsafat kepemimpinan Astabrata menjadi pegangan bagi seorang pemimpin. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha mengangkat permasalahan tersebut dalam satu pembahasan skripsi dengan judul: “Filsafat Astabrata: Implementasi Dalam Kepemimpinan Soeharto”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada konsep filsafat Astabrata yang delapan, serta menghubungkannya dengan gaya kepemimpinan presiden Soeharto. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas pada skripsi ini, yakni: 1. Bagaimana filsafat kepemimpinan berdasarkan filsafat Astabrata?
8
2. Bagaimana kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat kepemimpinan Astabrata?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendiskripsikan sifat-sifat seorang pemimpin berdasarkan filsafat kepemimpinan Astabrata. 2. Mendeskripsikan
kepemimpinan
Soeharto
berdasarkan
filsafat
kepemimpinan Astabrata. 3. Menganalisa relevansi kepemimpinan Soeharto dengan ajaran-ajaran Astabrata. 4. Upaya memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1). D. Manfaat Penelitian Selain untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), penelitian ini juga dilakukan untuk memberikan manfaat pada khayalak. Serta dapat menambah wawasan tentang filsafat kepemimpinan Astabrata yang merupakan salah satu filsafat asli Jawa. Penulis juga hendak menghadirkan bahwa Indonesia ataupun Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri. Yang berbeda dari filsafat lain, baik Barat maupun Timur bagi para akademisi secara umum dan di Fakultas Ushuluddin secara khusus.
9
E. Tinjauan Pustaka Sebagai
seorang mantan
presiden
Indonesia,
pembahasan
tentang
kepemimpinan Soeharto menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Di UIN Jakarta beberapa mahasiswa telah menulis tentangnya. Di antaranya adalah Dudi Maududi dalam skripsinya Islam dan Soeharto: Analisis Kebijakan Politik Pemerintahan Soeharto Terhadap Islam Politik (Skripsi, Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005). Dalam skripsinya tersebut Dudi Maududi membahas keadaan Islam politik pada masa Soeharto yang terpinggirkan berdasarkan ketetapan dan kebijakan pemerintahan Soeharto. Penyebab terpinggirkannya Islam politik pada masa itu; pertama, umat Islam pada masa itu berpandangan bahwa partai Islam satu-satunya kendaraan untuk mencapai tujuan politik. Sehingga, Soeharto berpandangan hal tersebut sebagai suatu ancaman politik, dan harus disingkirkan. Kedua, sumber daya manusia dari kalangan Islam Politik belum siap bersaing dengan kelompok lain. Akibatnya, Soeharto memilih kelompok lain sebagai partner dalam menjalankan pemerintahannya dengan tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik dan ekonomi. Kemudian, Saiman Vidiananda dengan skripsinya Nasionalisme Pancasila dalam Perspektif Soeharto (Skripsi, Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Dalam skripsinya dijelaskan bahwa menurut Pancasila bagi Soeharto merupakan suatu pandangan hidup yang digali dan ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Konsep pemikiran Soeharto tentang Nasionalisme Pancasila sangat menciptakan terbentuknya suatu kehidupan yang adil, makmur, demokratis. Dengan Nasionalisme Pancasila inilah bangsa Indonesia dapat bersama-sama meraih kemerdekaan.
10
Selanjutnya, Yuanita Rusalia Harneni dengan judul Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009). Dalam skripsinya, ia membahas etika politik Soeharto yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Jawa yang dipelajarinya saat masih kecil, dikatakannya Soeharto tidak peduli dengan etika politik modern, kalaupun ada diterapkan hanya pada segi formalnya saja, adapun esensi hukum yang diterapkan Soeharto tetap mengacu pada etika budaya Jawa. Skripsi yang terakhir adalah karya Nita Setiawati tentang Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik (Studi Terhadap Undangundang No. 8 Tahun 1985) (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006). Skripsi tersebut membahas tentang bentuk konfigurasi politik pada masa Soeharto yang menunjukkan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik. Pemerintahan Soeharto juga telah melahirkan politik hukum demokrasi yang tidak adil dan tidak demokratis. Ditandai dengan lahirnya undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengenai penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah penulis teliti dan uraikan di atas, maka skripsi yang penulis ini merupakan sesuatu yang berbeda dengan tulisantulisan sebelumnya yang juga membahas tentang Soeharto. F. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan). Teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik primer maupun sekunder. Literatur primer yang penulis gunakan tentang filsafat
11
Astabrata adalah buku Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja karya Pardi Suratno terbitan Adiwacana di Yogyakarta pada tahun 2006. Sementara sumber primer tentang Soeharto adalah buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis oleh Ramadhan K.H dan G. Dwipayana merupakan autobiografi dari wawancara langsung Soeharto, yang diterbitkan oleh Citra Lamtoro Gung Persada di Jakarta pada 1989. Sedangkan literatur sekunder yang penulis gunakan di antaranya adalah Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi ditulis oleh beberapa orang penulis yang mayoritas merupakan para sarjana dari luar negeri dan Donald K. Emmerson sebagai editornya, para penulis dalam buku ini membahas bagaimana kondisi Indonesia pada masa Soeharto, pra Soeharto dan pasca Soeharto, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation pada tahun 2001. Indonesia dalam Arus Sejarah karya Daud Aris Tanudirjo yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru Van Hoeve di Jakarta pada tahun 2011. Sri
Wintala
Achmad
dengan
bukunya
yang
berjudul
Falsafah
Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX dan Jokowi terbitan Araska Publisher di Yogyakarta pada 2013, buku ini selain memaparkan falsafah kepemimpinan tokoh yang menjadi judul buku di atas juga memaparkan falasafah kepemimpinan raja-raja jawa dahulu. Ada juga buku Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX yang pada awalnya
12
merupakan tesis karya Soemarsaid Moertono dan kemudian diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1985 di Jakarta. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena pada inti permasalahan. Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun 2011/2012 Program Strata Satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun oleh Tim Penyusun Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin). G. Sistematika Penulisan Untuk
keserasian
pembahasan
dan
mempermudah
penulis
dalam
menganalisa materi penulisan, maka penulis menggambarkan sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang uraian permasalahan secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup pembahasan yang terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
13
Bab II, penulis membahas tentang riwayat hidup Soeharto, pemerintahan Orde Baru dan sangat memfokuskan pada tulisan tentang keadaan Indonesia di bawah pimpinan Soeharto. Bab III, penulis mendeskripsikan tentang filsafat kepemimpinan Astabrata yang mencakup: pengertian filsafat kepemimpinan, sejarah dan perkembangan ajaran Astabrata, dan delapan sifat pemimpin berdasarkan filsafat kepemimpinan Astabrata. Bab IV yang merupakan inti pembahasan penulis dari skripsi ini, berisi tentang bagaimana kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat Astabrata. Bab V berisi tentang penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan dari pembahasan dengan memberikan jawaban atas rumusan masalah yang telah dicantumkan pada bab Pendahuluan.
BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA A. Pengertian Filsafat Kepemimpinan Untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata, penulis mengambil acuan terlebih dahulu kepada apa itu pengertian filsafat, apa itu pengertian kepemimpinan. Hal ini sangatlah penting sehingga penulis tidak melenceng terlalu jauh untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata yang juga merujuk kepada beberapa sumber lain nantinya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata benda “falsafah” dengan “gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup.” Kata kerja ”berfalsafah” diartikan dengan “ memikirkan dalam-dalam tentang sesuatu; mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam, yang dijadikan pandangan hidup.”1 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga ditemukan kata benda lain “filsafat” yang diartikan “teori tentang kebenaran; ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.”2 Jadi sebenarnya dalam bahasa Indonesia “filsafat” memiliki arti yang lebih luas dari “falsafah”, dan kata “falsafah” merupakan salah satu arti kata “filsafat”. Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, philos atau philei yang berarti cinta atau suka, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan atau hikmah
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 387. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 392.
14
15
(wisdom), jadi philosophia berarti cinta akan kebijaksanaan. Maksudnya orangorang yang berfilsafat akan berusaha untuk menjadi bijaksana.3 Selain itu kata philosophy juga mempunyai banyak arti lain, diantaranya: 1) Mencintai dan memajukan kebijaksanaan dengan menggunakan sarana intelektual dan moral disiplin-diri; 2) Investigasi terhadap sebab-sebab dan hukum-hukum yang mendasari realitas; 3) Penyelidikan terhadap keadaan segala sesuatu berdasarkan pemikiran logis daripada metode-metode empiris; 4) Ilmu pengetahuan
yang terdiri atas logika, etika, estetika, metafisika, dan
epistemologi.4 Namun, pengertian secara etimologi ini tidak dianggap cukup untuk memahami filsafat, sehingga harus memperhatikan konsep dan definisi yang dibuat para filsuf dengan masing-masing sudut pandangnya. Di antara pandangan tersebut yaitu, Plato memberikan istilah dengan dialetika yang berarti seni berdiskusi untuk mencapai pengetahuan kebenaran asli. Filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran, di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles). Menurut al-Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada, Descartes mengatakan filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu. Bagi Imanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: 1) Apa yang dapat kita 3
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), hal. 9 Abdul Azis, “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada Seminar “Bill of Human Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives” (Ciputat, 20 September 2016), hal. 2. 4
16
kerjakan (metafisika), 2) Apa yang seharusnya kita kerjakan (etika), 3) Sampai di mana harapan (agama), 4) Apakah yang dinamakan manusia (antropologi).5 Konsep dan defenisi yang diajukan para filsuf itu banyak sekali dan berbeda-beda, namun dari semua perbedaan itu dapat diambil garis besarnya, bahwa: Filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan), untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, serta tidak khusus dan tidak parsial).6 Tetapi menurut penulis, sesuai dengan pembahasan skripsi ini lebih tepat mengartikan filsafat dengan apa yang disebut Bahasa Indonesia dengan falsafah yaitu, gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat tentang kehidupan. Sementara untuk kata “kepemimpinan”, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskannya berasal dari kata “pimpin” diartikan (dalam keadaan) dituntun, dibimbing, jari berpegangan (bergandengan) tangan. “Memimpin” antara lain diartikan: mengetuai, mengepalai, membimbing, memandu, melatih supaya dapat mengerjakan sendiri. Sedangkan “kepemimpinan” diartikan: perihal pemimpin, cara memimpin.7 Kata “kepemimpinan” sepadan dengan bahasa Inggris leadership dan dalam Bahasa Arab imamah. Secara etimologis, kata kerja to lead berasal dari kata Inggris lama leden, atau loaden yang berarti “membuat berlangsung, 5
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 20-21. 6 Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 11. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 1074.
17
membimbing, menunjukan jalan” dan dari bahasa Latin ducere yang berarti “menghela,
menyeret,
menarik;
mengarahkan,
membimbing.
Kata
lead
mempunyai beberapa arti, di antaranya: membimbing dengan tangan, memimpin ke tempat mana saja, memimpin sebagai kepala atau komandan, memperlihatkan cara mencapai, menularkan suatu tata krama. Leader didefinisikan; seorang yang memimpin, seorang yang bergerak lebih dahulu, ketua partai atau fraksi.8 Terdapat beberapa tokoh yang memberikan definisi tentang pengertian kepemimpinan, di antaranya Swansburg (1995), kepemimpinan merupakan proses untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. George Terry (1986), kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka rela di dalam mencapai tujuan kelompok. Sementara Sullivan dan Decker menyebutkan, kepemimpinan merupakan penggunaan keterampilan seseorang di dalam mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan sesuatu dengan sebaikbaiknya selaras dengan kemampuannya.9 Berdasarkan beberapa definisi di atas maka penulis memberikan definisi kepemimpinan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “filsafat kepemimpinan” dalam tulisan ini, penulis mengutip pendapatnya Abdul Azis yang disampaikan pada seminar internasional tentang “Filsafat Kepemimpinan dalam Perspektif AgamaAgama di Indonesia” pada 20 September 2016, yaitu:
8 9
Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 3. Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 22-23.
18
Proses berpikir dengan cara radikal, rasional, menggali dasar-dasar yang paling hakiki, guna menemukan kebenaran tentang kepemimpinan dalam semua orientasi dan perspektifnya. Ke dalam “falsafah kepemimpinan” ini, termasuk menemukan gagasan yang berada di balik berbagai teori kepemimpinan, dan mengenali paradigma di balik pemikiran-pemikiran falsafi tentang kepemimpinan. Penjelasan bagian terakhir ini penting, mengingat falsafah kepemimpinan tidak terlepas dari kontek kelahirannya. Hal ini berarti, perspektif falsafah kepemimpinan tidak terbatas kepada apa yang telah diurai di atas, melainkan dapat diperluas dengan perspektif keyakinan agama, perspektif kultural, perspektif wilayah geografis dan seterusnya.10
B. Pengertian Astabrata Nama atau kata Astabrata berasal dari dua kata, yakni asta dan brata. Kata astha merupakan kosa kata dalam bahasa Jawa kuno atau Sanskerta. Kata astha berarti “delapan.” Sementara itu kata brata merupakan kosa kata Jawa baru yang berasal dari kosa kata Jawa kuno. Kata brata berarti “laku”. Kata “laku” dapat juga disejajarkan dengan sikap, tindakan, atau sejenisnya. Kata laku dapat juga disejajarkan dengan kata watak atau sifat. Dengan demikian Astabrata dapat dimaknai “delapan laku” atau “delapan watak” atau “delapan sifat”. Kata asta juga dekat dengan kata astha yang berarti membawa atau memegang. Dari kata asta dapat dibentuk menjadi ngasta artinya memegang. Jika dihubungkan dengan makna Astabrata, nama Astabrata dapat berarti tindakan atau laku memegang; dan yang dipegang adalah negara. Jadi Astabrata dapat diartikan sebagai delapan syarat dalam memegang negara atau pemerintahan.11 Berdasarkan definisi filsafat kepemimpinan yang telah dijelaskan di atas, ajaran Astabrata bisa dikategorikan sebagai suatu kontek filsafat kepemimpinan, berdasarkan pemaparan di atas bahwa filsafat kepemimpinan juga bisa berasal dari perspektif keyakinan agama dan kultural. 10 11
Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 4. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 54.
19
C. Sejarah dan Perkembangan Ajaran Astabrata Kisah lahirnya ajaran Astabrata bisa diketahui dalam cerita wayang kulit atau wayang purwa, khususnya dalam cerita Ramayana.12 Kisah tentang lahirnya ajaran Astabrata tidak ditemukan dalam Ramayana di negara India, tetapi bisa ditemukan di cerita Ramayana Kakawin atau Ramayana Jawa Kuna. Oleh sebab itu sekalipun konsep ajaran tersebut telah ada dalam naskah agama Hindu di India, namun cerita tentang lahirnya ajaran tersebut semata-mata merupakan kreativitas pujangga Jawa. Ajaran Astabrata terdapat dalam beberapa karya sastra Jawa, antara lain kitab Nitisruti, Serat Rama Jarwa, Babad Sangkala, Serat Pakem Makutharama, dan Serat Partawigena.13 Cerita-cerita dalam ajaran tersebut menggambarkan nasehat Rama kepada
adiknya Bharata untuk memimpin kerajaan Ngayodya dan kepada Wibisana ketika ragu-ragu untuk memimpin kerajaan Ngalengka setelah perang Brubuh. Nasehat yang disampaikan Rama kepada Bharata dan Wibisana inilah yang disebut dengan Astabrata pada sastra Jawa. 14 Sementara dalam cerita Mahabarata, ajaran Astabrata ini biasa disampaikan kepada seorang satria dalam lakon-lakon tertentu, misalnya dalam Wahyu
Makutharama
yang
menceritakan
diterimanya
wahyu
kearifan
kepemimpinan Rama Wijaya ini kepada Arjuna. Lakon ini dikenal dengan sebutan Rama Nitik.15
12
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 55. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65. 14 Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal. 61. 15 Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal 61. 13
20
Sejak ajaran Astabrata menjadi populer, penyebarannya menjadi berkembang melalui berbagai media, seperti buku terbitan, siaran radio, sarasehan, seminar, dan berbagainya. Bahkan kisah atau inti ajaran Astabrata menjadi pahatan relief atau diorama pada museum Purnabakti Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ajaran Astabrata juga pernah dikutip dalam pidato presiden Soeharto dalam salah satu acara penting di istana Bogor.16 Pada awalnya, Astabrata dalam Serat Rama Jarwa karya Yasadipura terkait dengan ajaran kepemimpinan yang berkiblat pada watak delapan dewa, sebagaimana ajaran Astabrata dalam agama Hindu tentang etika perilaku (pemimpin) ke delapan Dewa tersebut adalah: 1. Dewa Indra. 2. Dewa Surya. 3. Dewa Bayu. 4. Dewa Kuwera. 5. Dewa Baruna. 6. Dewa Yama. 7. Dewa Candra. 8. Dewa Brama. Di antara delapan Dewa di atas terdapat satu perbedaan antara ajaran Astabrata Jawa dengan Astabrata Hindu, dalam agama Hindu terdapat watak Dewa Agni yang dijadikan teladan bagi seorang pemimpin dan tidak terdapat watak Dewa Brama.17
16
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65-66. K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), hal. 60. 17
21
Sesuai dengan perubahan cara pikir Jawa, orientasi watak kepemimpinan itu menjadi bergeser kepada watak benda-benda alam. Pergeseran itu diawali tatkala kelahiran ajaran Astabrata dimuat di dalam Babad Sangkala. Kemudian teladan watak kepemimpinan pada benda-benda alam itu semakin mengental dalam sosialisasi ajaran Astabrata melalui pagelaran wayang purwa, seperti dalam ajaran Makutharama.18 Watak benda-benda alam yang menjadi teladan kepemimpinan berikutnya adalah: 1. Watak bumi. 2. Watak air atau samudra. 3. Watak api. 4. Watak angin. 5. Watak matahari. 6. Watak rembulan. 7. Watak lintang atau bintang. 8. Watak mendhung atau awan. Mengenai pergeseran orientasi tersebut terdapat ahli budaya yang mengatakan telah terjadinya pergeseran pemanfaatan ajaran Astabrata. Jika dahulu Astabrata diperuntukan para penguasa atau pemimpin, maka pergeseran orientasi kepada benda-benda alam menunjukkan bahwa ajaran Astabrata telah menjadi ajaran kerakyatan. Implikasinya tidak hanya pemimpin yang perlu
18
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 66.
22
meneladani delapan sifat dewa atau watak alam tersebut melainkan juga seluruh rakyat tanpa terkecuali.19 Selain itu, menurut penulis pergeseran orientasi ini juga tidak lepas dari perubahan pola pikir dan kepercayaan masyarakat Jawa. Orang Jawa yang dahulunya bersifat animisme dan dinamisme telah bergeser kepada kepercayaan terhadap agama-agama tertentu. Pada masa kerajaan di Jawa dahulu agama juga sangat berpengaruh terhadap kekuasaan, sehingga hal ini juga memberikan pengaruh kepada hukum, filsafat, dan sastra yang berkembang pada waktu itu. Meskipun mengalami pergeseran, simbolisasi benda alam sebagai watak panutan di atas sebagian besar memiliki kesejajaran makna dengan simbol dewa dalam pemikiran sebelumnya. Benda-benda alam itu sebagian besar merupakan nama lain yang identik dengan nama para dewa yang diharapkan jadi teladan kepemimpinan tersebut. Air adalah nama lain dari Baruna, rembulan dari Candra, angin dari Bayu, api dari Brama, matahari dari Surya, Kuwera sebagai Dewa kekayaan, lautan atau air simbol dari Dewa Baruna.20 Untuk memperjelas pembahasan tentang konsep kepemimpinan Astabrata penulis tidak bisa menghindarkan diri untuk masih mengambil landasan dari watak dewa-dewa yang pernah ada dalam Astabrata meskipun konsepnya sendiri mengalami pergeseran kepada watak benda-benda alam. Selain karena keterbatasan referensi yang penulis dapat, hal ini juga tidak menjadi kendala karena landasan uraian ini adalah dari perspektif budaya, bukan dari keyakinan seperti yang diyakini oleh masyarakat Jawa dahulu. 19 20
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 69. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 68.
23
D. Konsep Kepemimpinan Astabrata Ajaran kepemimpinan Astabrata baik yang digambarkan oleh konsep delapan dewa atau delapan simbol alam merupakan suatu kesatuan konsep yang integral. Artinya, kedelapan watak itu harus menyatu pada diri seorang pemimpin. Tidak dibenarkan seorang pemimpin hanya mengambil sebagian teladan tersebut, sebab jika satu saja tertinggal maka negara yang dipimpinnya akan cacat. 21 Apabila delapan watak tersebut dapat menyatu dalam diri seorang pemimpin watak tersebut disebut wolu-woluning ngatunggal (delapan dalam satu).22 1. Konsep kepemimpinan Dewa Indra Dalam teks Astabrata dalam Serat Rama yang telah diterjemahkan, dijelaskan bahwa dewa Indra merupakan dewa yang dengan bau-bauan menghujani bumi, derma dananya menghambur merata ke seluruh dunia kepada seluruh hambanya baik yang besar maupun yang kecil, tanpa membedabedakan.23 Dalam agama Hindu, Indra merupakan dewa yang paling penting di langit. Mempunyai senjata halilintar dan mengendarai kereta yang kecepatannya menyamai pikiran. Keberaniannnya sangat mempesona, Dia merupakan dewa yang membantai raksasa Vrtra dan melepaskan air yang disanderanya. Indra seringkali disamakan sebagai Tuhan Tertinggi. Kasih sayang dan welas asihnya sangat disanjung. Dalam beberapa pahatan di kuil-kuil Indra dilukiskan dalam
21
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 174. 22 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 70. 23 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 174.
24
wujud manusia dengan empat lengan, yang mengendarai gajah surgawi (Airavata).24 Dengan meneladani dewa Indra, seorang pemimpin diharapkan mampu melindungi rakyat-rakyat kecil dan sangat memerlukan bantuan. Para pemimpin hendaklah mampu dan berani memberikan perlindungan kepada rakyat kecil, sehingga perlindungan yang diberikan dapat menimbulkan kebahagian dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.25 2. Konsep kepemimpinan Dewa Surya Dalam etika Hindu, Surya merupakan pengendalian diri sesuai dengan sifat-sifat atau perilaku dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang memberikan sinarnya tanpa pilih kasih. Matahari juga meniadakan kegelapan dan memberi kekuatan kepada alam semesta. Umat Hindu khususnya para pemimpin harus dapat meniru sifat-sifat baik matahari. Mereka harus memberikan perhatian terhadap sesamanya tanpa pilih kasih. Pemimpin harus mampu memberikan bimbingan dan pendidikan agar manusia terhindar dari kegelapan tanpa pilih kasih atau membeda-bedakan pangkat dan golongannya.26 Sementara dalam teks Astabrata yang telah diterjemahkan, Dewa atau Batara Surya memiliki watak ambeg paramarta (berwatak halus), menurunkan segala yang harum, restunya menanamkan rasa suasana yang sejuk. Batara Surya selalu bersikap halus dan santun kepada siapapun. Maka siapapun yang berselisih pendapat dengannya tetap menaruh rasa simpati dan malu/pakewuh. Batara Surya 24
I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu (Surabaya: Paramita, 2007), hal. 9. K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian untuk Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya: Paramita, 2006), hal. 53. 26 K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 52-53. 25
25
sangat pandai mengambil hati terhadap semua pihak. Karena perangainya yang halus dan lembut semua orang tak terasa tengah dirayu oleh Batara Surya, bahkan musuh sekalipun dapat dirangkulnya tanpa merasa dikalahkan. Dengan demikian siapapun yang melakukan kejahatan dapat dijinakkannya.27 3. Konsep Kepemimpinan Dewa Candra Dewa Candra atau bulan menggambarkan sifat bulan yang memancarkan sinarnya dengan sangat lembut. Bulan memberikan sinar terang di malam gelap. Umat Hindu atau para pemimpin dalam agama Hindu hendaklah selalu bersikap lemah lembut, ramah tamah, murah senyum dan tidak mudah marah. Pemimpin juga harus menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam lingkungannya. Selain itu pemimpin juga harus dapat membantu rakyatnya yang dalam kesusahan (kegelapan).28 Hampir sama dengan ajaran Hindu di atas, dalam teks Astabrata Jawa watak Dewa Candra atau bulan merupakan seseorang yang memerintah dengan harum manis, semua tindakan dan perilakunya manis sehingga menyejukkan seluruh hati pegawai/bawahan dan rakyatnya. Selain itu Dewa Candra juga selalu penuh ampun dan disayangi oleh para pandita.29 4. Konsep Kepemimpinan Dewa Bayu (Angin) Angin atau udara merupakan suatu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Tanpa udara manusia tidak bisa hidup. Tiupan angin juga memberikan kesejukan kepada manusia yang dapat menghindarkannya dari rasa gerah 27
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233. K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53. 29 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233. 28
26
kepanasan. Dalam ajaran etika Hindu dengan menirukan sifat angin, para pemimpin hendaklah dapat mendorong seseorang untuk hidup rukun, hidup dengan penuh toleransi atau timbang rasa, sehingga dijauhkan dari silang sengketa yang dapat menimbulkan perkelahian sampai mati. Pemimpin juga harus dapat menciptakan suasana sejuk, suasana yang selalu segar, sehingga terjalin suatu kerjasama yang baik.30 Dewa Bayu atau watak angin merupakan dewa yang selalu meneliti dan menyelidiki seluruh sepak terjang dan perilaku seluruh rakyatnya, seperti halnya sifat angin yang mampu menelusup ke segala tempat dan situasi. Dalam menyelidiki perilaku rakyatnya seorang pemimpin yang meneladani watak dewa Bayu sangat berhati-hati dan hampir tidak kelihatan meskipun sedang melakukan pengawasan terhadap rakyatnya. Batara Bayu mampu mengetahui segala kejahatan dan kebaikan dari seluruh rakyatnya.31 Dengan watak angin, pemimpin setidaknya akan dapat (a) mengetahui derajat keberhasilan Negara dalam membangun rakyatnya, (b) mengetahui kekurangan pemerintahan yang telah dipimpinnya, (c) mengetahui penilaian rakyat atas kepemimpinannya, (d) memahami dan merasakan susah dan senangnya rakyat, (e) mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat di seluruh penjuru.32
30
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234. 32 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94. 31
27
5. Konsep Kepemimpinan Dewa Baruna Dalam ungkapan masyarakat Jawa, sering terdengar ungkapan pentingnya seorang pemimpin memiliki ati segara (hati lautan, artinya sabar). Maksudnya seorang pemimpin perlu memiliki watak menerima segala persoalan dengan lapang dada. Dewa Baruna dalam Serat Nitisruti, dan Serat Rama Jarwa merupakan simbol dari air. Dewa Baruna kemanapun ia pergi selalu membawa nagapasa, senjata yang sangat sakti. Sikap itu merupakan perlambangan bahwa seorang pemimpin harus siap siaga dalam menjalankan tugas menjaga keamanan dan kedamaian Negara. Dalam menjalankan tugasnya Dewa Baruna bekerja sama dengan Dewa Yama sebagai penegak hukum dan keadilan. Dalam hal ini Dewa Baruna berperan sebagai penangkap pelaku kejahatan dan Dewa Yama sebagai pengadil.33 Sementara itu dalam etika pengendalian diri Hindu, Dewa Baruna merupakan sosok yang patut dicontoh untuk selalu berusaha menegakkan keadilan dan kebenaran, selalu waspada atas kemungkinan terjadinya kejahatan dan selalu menghukum yang berbuat salah. Para pemimpin hendaknya selalu menghormati peraturan dan ketentuan yang berlaku dan tidak mencoba untuk melanggarnya. Mereka juga harus selalu waspada terhadap segala kejahatan yang akan muncul, serta berani bertindak tegas dalam menghadapinya. Di samping itu pemimpin juga harus berani menegakkan kebenaran dengan menghukum orang-orang yang salah.
33
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 99-100.
28
Sebaliknya, pemimpin juga harus mampu melindungi orang-orang yang tidak bersalah terutama orang-orang kecil.34 Berdasarkan pemaparan di atas terdapat persamaan dan perbedaan tentang sikap Dewa Baruna dalam ajaran Astabrata Jawa dan ajaran Astabrata Hindu. Secara garis besar kedua ajaran tersebut menggambarkan Dewa Baruna sebagai penegak keadilan dan selalu waspada. Tapi dalam ajaran Astabrata Jawa Dewa Baruna hanyalah sebatas penangkap pelaku kejahatan sedangkan dalam ajaran Hindu Dewa Baruna juga yang memberikan hukuman. Sesuai dengan pergeseran yang terjadi pada ajaran Astabrata, Dewa Baruna bergeser dengan watak air dan samudra, dengan meneladani watak air pemimpin
diharapkan
menjadi
sumber
kehidupan
bagi
masyarakatnya
sebagaimana air merupakan sumber kehidupan. Tidak ada makhluk hidup yang tidak memerlukan air, sama halnya dengan pemimpin yang selalu dibutuhkan dalam suatu masyarakat, suku bangsa, dan suatu bangsa.35 Sedangkan samudra adalah kawasan air yang sangat luas. Samudra adalah muara dari semua sungai yang memasuki lautan dengan membawa apa saja. Semua itu diterima oleh lautan dan tidak pernah menolaknya. Ajaran yang terkandung dari sifat samudra ini adalah seorang pemimpin harus dapat menerima segala tindakan, persoalan, dan segala hal yang terjadi di negaranya. Dalam menjalankan kepemimpinan itu ia harus menerima semuanya dengan lapang hati dan keluasan akal budinya, seluas permasalahan yang dihadapinya. Pemimpin tidak boleh menaruh rasa marah, dengki, dan benci sewaktu dicela dan dikritik 34
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 63-64. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 100.
35
29
oleh rakyatnya. Seorang pemimpin harus menyadari bahwa di dunia senantiasa ada dua hal yang saling berlawanan: senang dan susah, menyanjung dan menghina, sepaham dan berselisih, baik dan buruk, membangkang dan taat, damai dan rusuh. Kedua hal yang saling bertolak belakang itu menjadi isen-isening jagat (isi dunia) yang akan tetap ada sepanjang masa.36 Sebaliknya, samudra juga memberi limpahan yang bermanfaat seperti binatang laut yang cantik dan mempesona hati. Limpahan yang bermanfaat dan binatang cantik itu dapat diibaratkan sebagai perilaku bawahan atau rakyat yang baik. Akan tetapi, seorang pemimpin tidak harus mabuk pujian, tidak suka disanjung yang semuanya itu dapat membuat dirinya terlena dalam menjalankan kewajiban negara.37 6. Konsep Kepemimpinan Dewa Yama Dewa Yama merupakan dewa yang disimbolkan sebagai penjaga negara agung dalam ajaran Astabrata. Pekerjaan Dewa Yama adalah selalu menindak seluruh pelaku kejahatan tanpa pandang bulu meskipun terhadap kerabat sendiri. Siapapun yang terbukti melakukan kesalahan maka harus diberikan hukuman. Dewa Yama juga bekerja melacak segala pelaku kejahatan kemanapun bersembunyi dan menghabisinya sampai benar-benar habis walaupun dengan cara membunuhnya demi menjaga keamanan negara. Bahkan terhadap segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kejahatan dan kerusuhan pada negara diusir dari negara tersebut.38
36
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 103. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 104. 38 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 175. 37
30
Jadi, watak yang perlu diambil seorang pemimpin dengan mempelajari watak Dewa Yama adalah selalu memegang teguh keadilan dan kebenaran serta menghukum orang-orang yang bersalah. Seorang pemimpin hendaklah berlaku adil dalam menerapkan hukum, menjaga kebenaran, dan berani bertindak tegas untuk menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah dan mengganggu keamanan negaranya.39
7. Konsep Kepemimpinan Dewa Kuwera Dewa Kuwera atau disebut juga Dewa Dhana merupakan contoh yang diteladani umat Hindu untuk menjaga dan mempergunakan harta benda/kekayaan dengan sebaik-baiknya demi untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, dalam tata cara pengendalian diri. Kekayaan atau harta benda yang dimiliki hendaklah dipakai untuk tujuan baik, tidak dipakai untuk menyombongkan diri. Sebaiknya harta itu dipergunakan untuk membantu orang lain yang kekurangan agar tercipta masyarakat yang sejahtera. Namun kekayaan juga hendaknya selalu dijaga serta dimanfaatkan agar dapat berkembang dan menghasilkan. Para pemimpin hendaklah dapat menjaga dan memelihara harta benda yang dipercayakan kepadanya sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakatnya.40 Sementara dalam ajaran Astabrata pemimpin berwatak Dewa Kuwera disejajarkan dengan pemimpin berwatak bumi dengan filosofinya bumi sebagai sosok yang dapat menampung seluruh makhluk hidup dan Dewa Kuwera adalah Dewa yang menyangga bumi. Seorang pemimpin harus memiliki watak mampu
39 40
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 62. K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 65.
31
menampung seluruh rakyat dengan perangai dan keinginan masing-masing (beraneka ragam) sebagaimana bumi harus ikhlas diinjak oleh siapapun, entah orang baik atau jahat, orang berpangkat ataupun rakyat jelata, dan sebagainya. Semua makhluk (atau semua orang) memiliki hak untuk hidup di atas bumi dan bumi harus lapang dada menerima tugas dan kewajibannya dalam melayani semua orang dengan berbagai status dan perangainya.41 Bumi juga mempunyai sifat kuat sentosa dan suci. Dengan demikian dalam ajaran Astabrata seorang pemimpin harus memiliki sikap teguh, tidak mudah putus asa dalam menghadapi persoalan seberat apapun persoalannya sebagaimana bumi yang kuat dan tidak goyah membawa beban apapun diatasnya.42 Sifat suci bumi maksudnya seorang pemimpin harus bersifat jujur dalam memimpin pemerintahannya, mengatakan suatu hal sesuai kebenaran sehingga rakyat dapat memperoleh kepastian dari sikap dan ucapan pemimpin. Dalam pelaksanaan pemerintahan, pemimpin harus benar-benar mewujudkan segala ucapannya dalam tindakan nyata. Dalam Serat Rama, Dewa atau Hyang Kuwera merupakan pemimpin yang mampu menyediakan pangan berlebih terhadap mereka yang dipercayakannya mengatur negara. Sehingga para pembantunya tidak perlu lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhannya karena telah disediakan oleh raja atau pemimpin mereka.43
41
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 76. K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 73. 43 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 177. 42
32
8. Konsep Kepemimpinan Dewa Brama Sikap yang perlu diteladani seorang pemimpin dari Dewa Brama adalah bagaimana Dewa Brama selalu mengusahakan kebahagiaan rakyatnya dengan mengajak seluruh rakyatnya bekerja bersama-sama hingga tidak ada seorangpun yang tertinggal, menurut penulis dalam bangsa Indonesia bisa disamakan dengan gotong royong. Selanjutnya, Dewa Brama juga disimbolkan sebagai Dewa yang menjaga keamanan negara dengan selalu menindak musuh negara dan menyebabkan musuh negara selalu menjadi ketakutan. Pemimpin juga hendaknya selalu menghancurkan musuh negara sampai habis layaknya Dewa Brama.44 Demikianlah Astabrata atau delapan watak yang harus dimiliki oleh seorang Raja pada masa lampau, menurut penulis meskipun ajaran tersebut lahir pada masa lampau dan tertulis pada teks-teks Jawa lama namun ajaran Astabrata bersifat universal, bisa diterapkan di mana saja sepanjang masa. Meskipun ajaran kepemimpinan di atas ada warna dari agama Hindu tentang kehebatan para dewa, oleh orang Jawa dijadikan idealisme. Memimpin rakyat dapat dianggap akan sukses apabila penguasaan karakter dewa mendarah daging dalam dirinya. Hal ini sekaligus akan membuka peluang kewibawaan seorang pimpinan. Pimpinan yang memiliki kepribadian dewa tertentu secara otomatis dianggap lebih memiliki legitimasi. Pimpinan demikian pada gilirannya akan membahagiakan rakyatnya secara keseluruhan.
44
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 178.
BAB III RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN SOEHARTO BAB III RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN SOEHARTO A. Riwayat Hidup Soeharto Sebelum membahas tentang kepemimpinan pada masa presiden Soeharto maka penulis merasa perlu untuk membahas sedikit tentang riwayat hidup Soeharto. Dalam meriwayatkan kehidupan Soeharto penulis membaginya menjadi tiga bagian utama, yakni; 1) Masa kecil dan masa sekolah; 2) Karir dalam kemiliteran; 3) Karir sebagai presiden Republik Indonesia. 1. Masa Kecil dan Masa Sekolah Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tuanya yang sederahana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta. Ayah beliau bernama Kertosudiro merupakan seorang ulu-ulu, petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugas tersebut. Ibunya bernama Sukirah merupakan isteri kedua dari Kertosudiro, Soeharto merupakan anak ketiga dari Kertosudiro, dari isteri yang pertama Kertosudiro mempunyai dua anak. Hubungan kedua orang tua Soeharto kurang serasi hingga akhirnya tak lama setelah Soeharto dilahirkan mereka bercerai. Beberapa tahun kemudian Sukirah menikah lagi dengan seorang yang bernama Atmopawiro, pernikahan ini melahirkan tujuh anak, dan ayahnya menikah lagi dan mendapatkan empat anak.1 Soeharto bukanlah seorang keturunan ningrat, ayahnya hanyalah seorang ulu-ulu yang tidak memiliki lahan sejengkalpun. Belum sampai empat puluh hari setelah 1
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 6.
33
34
kelahirannya, Soeharto dibawa ke rumah mbah Kromodiryo karena ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Setelah berumur empat tahun Soeharto diambil lagi oleh ibu Sukirah.2 Selain ayah, ibu, dan mbah Kromodiryo seorang tokoh yang juga memberikan
banyak
pengaruh
pada
perkembangan
Soeharto
adalah
Prawirowihardjo, suami dari bibi Soeharto yang tinggal di daerah Wuryantoro. Prawirowihardjo merupakan orang tua angkat Soeharto. Kertosudiro khawatir anaknya mendapatkan pendidikan yang kurang baik jika tetap tinggal di daerah Godean. Karena itu Soeharto diserahkan kepada Prawirowihardjo. Prawirowihardjo merupakan seorang mantri tani di Wuryantoro. Latar belakang Soeharto dari keluarga petani dari desa Kemusuk menanamkan benihbenih simpati kepada petani dan dari Prawirowihardjo beliau banyak mendapatkan pengetahuan pada bidang pertanian secara teoritis dan praktis. Kehidupan dengan keluarga Prawirowihardjo ini sangat besar pengaruhnya kepada Soeharto, seperti penuturan beliau: “Keprihatinan hidup yang saya alami, pendidikan keluarga yang menjunjung tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah lanjutan rendah, pendidikan agama waktu mengaji, rasanya besar pengaruhnya dalam pembentukan watak saya. Saya juga diberi latihan spritual oleh ayah angkat saya seperti puasa tiap hari Senin dan Kamis dan tidur di tritisan. Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh keyakinan. Ada satu anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di bawah pawuhan, di bekas tempat bakaran sampah. Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafat hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan cara hidup Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga, “aja”,”aja kagetan”, “aja gumunan”,“aja dumeh”(jangan kagetan, jangan heran, jangan mentangmentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya. Saya ingat terus akan ajaran leluhur, “hormat kalawan Gusti, guru, ratu lan wong atuwo karo”, (hormat kepada Tuhan yang Maha Esa, guru, pemerintah, 2
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 8-9.
35
dan kedua orang tua. Sampai jadi presiden saya tidak merasa berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya.”3 Setelah dengan Prawirowihardjo, untuk melanjutkan sekolah lanjutan rendah (Schakel School,) Soeharto tinggal di Wonogiri bersama Hardjowijono teman ayahnya seorang pensiunan pegawai kereta api. Ketika bersama Hardjowijono, Soeharto memiliki ketertarikan kepada seorang kiai yang bernama Darjatmo. Dari kiai Darjatmo inilah Soeharto bisa mengerti apa itu samadi dan apa itu kebatinan, belajar filsafat hidup, agama dan kepercayaan.
4
Soeharto menamatkan
pendidikannya pada tahun 1939 dan selanjutnya memasuki dunia militer.
2) Karir dalam Kemiliteran Awal langkah Soeharto memasuki dunia militer terjadi ketika beliau masih berumur sembilan belas tahun, tepatnya pada tahun 1940. Soeharto diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong (Jawa Tengah). Setelah menjalani latihan dasar selama enam bulan, Soeharto lulus dari sekolah militer itu dengan prediket terbaik serta mendapatkan pangkat Kopral. Pada 1942 setelah Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang, Soeharto mendaftar sebagai Keibuho, polisi. Setelah lulus dari Keibuho dengan predikat terbaik lagi Soeharto dianjurkan oleh Kepala Polisi, opsir Jepang untuk mendaftarkan diri pada PETA. 5 Pada masa latihan di PETA ini terasa hidup patriotisme, kecintaan Soeharto untuk membela tanah air. Di PETA, karir Soeharto juga melonjak pesat, sesudah menjabat sebagai Komandan Resimen
3
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 13. O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta : Gunung Agung, 1976),
4
hal. 167.
5
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 22.
36
dengan pangkat Mayor, Soeharto diangkat sebagai Komandan Batalyon dengan pangkat Letnan Kolonel. Setelah kemerdekaan Indonesia, Soeharto beserta teman-teman militer lainnya di PETA membentuk suatu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pembentukannya diumumkan oleh pemerintah RI. Soekarno menyerukan agar bekas PETA, Heiho, Kaigun, KNIL dan para pemuda lainnya untuk bergabung dan mendirikan BKR-BKR ditempatnya masing-masing. Secara resmi Soeharto tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945 bersamaan dengan lahirnya Tentara Keamanan Rakyat.6 Semasa terjadi serangan umum di Yogyakarta pada Maret 1949, atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada Jendral Soedirman memerintahkan agar Soeharto melakukan serangan umum dan merebut kembali Yogyakarta dari tangan Belanda. Pasca serangan umum tersebut karir Soeharto dalam kemiliteran semakin meningkat. Ketika berusia 32 tahun Soeharto diangkat sebagai Komandan Resimen Infantri 15. Bertepatan 3 Juni 1956, Soeharto menjabat sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro Semarang. Kemudian pada tahun 1967 Soeharto mendapatkan pangkat Kolonel.7 Selain itu jabatan-jabatan penting yang diduduki Soeharto dalam dunia militer adalah: 1.
Komandan Brigade Garuda dengan tugas menumpas pemberontakan Andi Azis di Sulawesi.
2.
Komandan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) sektor kota Makasar dengan tanggung jawab meredam kekacauan yang dilakukan eks KNIL/KL. 6
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 28. Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 116. 7
37
3.
Deputi I kepala staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jendral pada tahun 1960.
4.
Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum Angkatan Darat) dan Panglima Kohandad (Komando Pertahanan Angkatan Darat), dan Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Perancis dan Bonn, Jerman pada 1961.
5.
Panglima Komando Mandala pembebasan Irian Barat dan Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makasar pada 1962.
6.
Mendapatkan pangkat Mayor Jendral dan diangkat menjadi Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat) pada 1963.
7.
Diangkat menjadi Panglima Kopkamtib sesudah dapat melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai kaum komunis pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 27 Maret 1968 secara resmi Soeharto diangkat menjadi presiden Republik Indonesia yang kedua.8
3) Karir sebagai Presiden Republik Indonesia Jumat, 11 Maret 1966 di Istana Merdeka sedang diadakan sidang Kabinet Yang Disempurnakan, Soeharto adalah satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang tersebut. Saat itu Soeharto telah menjabat sebagai menteri/Panglima Angkatan Darat. Sementara itu di luar istana mahasiswa melakukan demo dengan maksud membatalkan sidang. Baru sekitar 15 menit sidang berlangsung Bung Karno terpaksa meninggalkan ruangan sidang karena nota dari Brigjen Sabur tentang adanya pasukan yang tak dikenal mengepung istana, Bung Karno pun
8
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 117.
38
pergi menuju Bogor.9 Di tengah situasi yang rumit tersebutlah presiden Soekarno diketahui mengeluarkan perintah yang dikenal dengan nama SUPERSEMAR. SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) bisa disebut sebagai salah satu ujung tombak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Setelah diberikan perintah tertanggal 11 Maret 1966 oleh presiden Soekarno, Soeharto pun langsung bertindak. Perintah-perintah yang tertulis pada SUPERSEMAR adalah: 1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi. 2. Menjamin
keselamatan
pribadi
dan
kewibawaan
Pimpinan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi. 3. Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.10 Setelah menerima perintah tersebut Soeharto langsung mengambil beberapa langkah taktis, salah satunya dengan pembubaran PKI pada 12 Maret 1966, langkah tersebut menimbulkan reaksi keras dari presiden Soekarno yang memerintahkan Soeharto agar segera mencabut keputusannya, karena menurut Soekarno, Surat Perintah Sebelas Maret tidak terkait dengan masalah politik, hanya sebatas masalah keamanan. Akan tetapi Soeharto tetap teguh pendirian, ia menolak mencabut keputusan tersebut. Karena menurut penulis ini merupakan sikap dari Soeharto dalam mengartikan perintah pada poin yang pertama, yaitu
9
Julius Pour, “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan,” dalam Bagus Dharmawan ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 45. 10 Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), hal. 19.
39
“mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi.” Menurut Saleh As‟ad Djamhari, dosen luar biasa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 merupakan babak akhir dari pertarungan politik Soekarno melawan Soeharto yang dimulai sejak Oktober 1965 dengan pokok permasalahan penyelesaian peristiwa G-30-S dan akibatnya. Presiden Soekarno tidak pernah memberikan penyelesaian yang tegas. Setiap penyelesaiannya digantung dengan janji solusi politik. Oleh karena ingin mempertahankan status quo akibat dari janji solusi politik yang tak kunjung tiba, Presiden Soekarno ditinggalkan oleh Angkatan Bersenjata, terutama Angkatan Darat yang sejak semula mencurigainya sebagai pembela PKI. Sikap Angkatan Darat kemudian diikuti oleh sejumlah partai politik dan organisasi massa. Tanpa disadari oleh Soekarno, penundaan situasi politik berarti memberikan ruang dan waktu yang seluas-luasnya kepada Soeharto
melakukan
konsolidasi
untuk
mengubah
imbangan
kekuatan
(equilibrium) melalui hubungan persahabatan dengan partai-partai dan rakyat. Selain itu Soeharto melakukannya melalui operasi sosial politik yang sistematis serta operasi militer yang intensif terhadap sisa kekuatan PKI yang dianggap sebagai dalang kudeta G-30-S.11 Untuk selanjutnya, meskipun Soekarno mencoba bangkit kembali melalui pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” pada 17 Agustus 1966 namun masyarakat memandangnya dengan biasa-biasa saja. Media massa tidak terlalu antusias menanggapi pidato tersebut, pandangan masyarakat
11
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru,” hal. 20-21.
40
telah berubah, popularitas Soekarno telah menurun drastis. Begitu banyak tekanan, dan penghinaan yang diberikan kepada Soekarno, pembantunya banyak yang diadili karena dianggap sebagai penghianat bangsa. Selain itu Soekarnopun dituntut untuk melengkapi pertanggungjawabannya kepada MPRS sampai batas waktu 1967.12 Di tengah situasi nasional yang tidak stabil pada waktu itu ada pertanyaan dan dorongan dari beberapa orang kepada Soeharto, pertanyaannya adalah; Apakah surat perintah itu hanya satu “instruksi” Presiden kepada Soeharto ataukah satu “pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas?” Tapi Soeharto menjawab. Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat di mana integritas presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan. Saya tidak akan sering menggunakan SUPERSEMAR tersebut, lebih-lebih kalau surat perintah itu belum diperlukan. Mata pedang akan menjadi tumpul apabila selalu digunakan.13 Adapun tuntutan kepada Soeharto waktu itu adalah agar beliau segera tampil ke depan, ada politisi yang tidak sabar agar adanya perubahan dan terjadinya pergantian kepemimpinan, bahkan ada yang mengusulkan kepada Soeharto agar mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul tersebut langsung ditolak Soeharto dengan jawaban: “Kalau caranya begitu, lebih baik saya mundur saja, cara-cara seperti itu bukan cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuasaan militer tidak akan menimbulkan stabilitas yang langgeng. Saya tidak akan mewariskan sejarah yang menunjukan bahwa di Indonesia ini pernah terjadi perebutan kekuasaan dengan kekuatan militer. Saya tidak mempunyai sedikitpun
12
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," hal. 25. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 173.
13
41
pikiran di benak saya untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda. Gerakan serupa itu menurut saya tidak akan berhasil.14 Tetapi setelah satu tahun konflik politik tersebut berjalan Soeharto pun diangkat menjadi pejabat Presiden berdasarkan surat yang dikirimkan Soekarno kepada Soeharto melalui Mr. Hardi dari PNI. Ada dua surat yang dikirimkan, satu “Surat Penugasan” dan satunya lagi “nota pribadi”. Nota pribadi itu berisi penjelasan rancangan naskah “Surat Penugasan” , bahwa hal-hal yang tercantum dalam “Surat Penugasan” itu akan dinyatakan di depan Sidang Badan Pekerja MPRS. Sedangkan isi “Surat Penugasan” tersebut menyebutkan bahwa Presiden menugaskan khusus kepada pemegang Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966 untuk memegang Pimpinan Pemerintah sehari-hari dengan dibantu oleh segenap aparatur pemerintahan, khususnya bagi panglima Angkatan Bersenjata. Diterangkan juga bahwa dalam melaksanakan tugas itu, pemegang SUPERSEMAR harus selalu mengadakan konsultasi yang erat dengan Presiden sehingga wewenang dan tugas kewajiban sebagaimana terkandung dalam ketetapan MPRS 1966 dapat dilaksanakan dengan sempurna. Secara resmi Soeharto menjabat sebagai pejabat Presiden pada 20 Februari 1967, dan resmi sebagai presiden Republik Indoneia kedua pada Maret 1968 setelah diadakan sidang MPRS yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution.15 B. Indonesia di Bawah Soeharto 1. Bidang Ekonomi Prioritas utama Soeharto saat pertama kali diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia adalah memperbaiki kondisi perekonomian nasional, yang 14 15
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 185. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 187.
42
begitu anjlok pada sekitar tahun 1960-1965an yang juga disebabkan oleh situasi politik pada waktu itu. Kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru pada dasarnya merupakan cerminan dari dinamika pergulatan ekonomi politik pembangunan yang berkembang dalam “komunitas politik” negeri ini. Bisa dikatakan cita-cita besar rezim Orde Baru adalah penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadikan pemerintahan Orde Lama sebagai titik acuan koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang pernah terjadi. Perbedaan mendasar langkah yang dilakukan pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan sebelumnya adalah dengan tidak menganggap komitmen mereka terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai ideologi. Mereka menganggap dirinya pragmatis rasional yang mencoba untuk mengakhiri keterpesonaan bangsa Indonesia terhadap suatu ideologi. Karena menurut mereka ideologi dapat membangkitkan gerak hati primitif dan berbahaya yang tak menuju konflik sosial dan akan membelotkan rakyat Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan untuk meraih modernitas. Pemerintahan Soeharto merumuskan modernitas bukan sebagai suatu hasil utopis melainkan sebagai tujuan langkah-langkah yang inkremental (berkembang sedikit demi sedikit) dan praktis: menstabilkan harga, memperbaiki prasarana fisik, membuat pertanian lebih produktif, mendorong industri, memperluas lapangan kerja, memperbaiki pendidikan, dan meningkatkan penghasilan per kapita.16 Soeharto sangat menyadari keterbatasan pengetahuannya di bidang ekonomi, sehingga dia bersedia bekerja sama dengan beberapa ahli yang latar belakangnya berbeda. Soeharto banyak melibatkan pakar ekonomi lulusan 16
Robert Cribb, "Bangsa: Menciptakan Indonesia" dalam Donald K. Emmerson, ed,. Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 57-58.
43
Universitas Indonesia dan University of California Berkeley, Amerika Serikat, Soeharto memasukan beberapa ahli pada susunan kabinetnya. Itu merupakan salah satu upaya Soeharto dalam membangun kembali perokonomian nasional. Para pakar ekonomi yang diminta Soeharto untuk memperbaiki ekonomi Indonesia pada waktu itu adalah: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Soebroto, dan Emil Salim. Widjojo Nitiastro ditunjuk sebagai ketua dari tim ini yang mendapat julukan ”Mafia Berkeley ” hampir selama dua dasawarsa.17 Pembangunan ekonomi pemerintah Orde Baru bertumpu pada bantuan luar negeri dan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain lembagalembaga keuangan internasional dan penanaman modal asing bersedia mengucurkan bantuan dana atau menanamkan modal bila iklim sosial politik Indonesia dinilai kondusif. Tidak ada jalan bagi pemerintahan Orde Baru selain memulihkan keadaan perokonomian melalui kegiatan-kegiatan pembangunan. Strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru Soeharto saat itu adalah dengan menerapkan konsep pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan perokonomian semua harus berkorban. Soeharto percaya bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat adalah dengan membuka diri pada pasar dunia. Investasi seluas-luasnya termasuk membujuk modal asing dengan menawarkan berbagai fasilitas menjadi prioritas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.18 Pembangunan ekonomi Orde Baru berlandaskan Trilogi Pembangunan (stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan) memang membawa hasil nyata, pendapatan rata-rata orang Indonesia yang hanya 50 dollar AS pada 17
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan" dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hal. 154. 18 Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.
44
1965 perlahan-lahan naik menjadi 500 dollar AS pada 1980. Di antara 1968 dan 1981, perokonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7 persen setahun.19 Akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat dan hampir berkelanjutan selama tiga dasawarsa, maka pemerintahan Soeharto berhasil menjadikan Indonesia menjadi kelompok negara berpenghasilan menengah-bawah (lower middle income countries) yang sebelumnya Indonesia hanya berada pada kelompok negara berpenghasilan rendah (low income countries) pada awal 1990-an. Selama kurun waktu ini juga kemiskinan absolut telah berkuarang di Indonesia, lebih dari 60% jumlah penduduk pada tahun 1965 sampai hampir 16% pada tahun 1996.20 Selain itu, pemerintahan Soeharto juga berhasil memakmurkan Indonesia dari segi pertanian, petani-petani dari desa mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah, sehingga dengan suksesnya pertanian juga memberikan dampak terhadap keberhasilan pertumbuhan industri. Salah satu bentuk perhatian pemerintah pertanian adalah Repelita I (1969/1970-1973-1974) yang memberikan prioritas utama pada pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor pangan. Menurut para ahli prioritas kepada pembangunan sektor pertanian sangat perlu segera diambil oleh pemerintah, karena mayoritas penduduk Indonesia waktu itu adalah petani sehingga meningkatkan pendapatan dan daya beli petani. Dalam prakteknya, prioritas pada pembangunan pertanian terutama ditunjukan kepada swasembada beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan pemerintah Orde Baru bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi
19
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191. 20 Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 147.
45
stabilitas politik dan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (Repelita III, 1979/1980-1983/1984) tujuan swasembada beras diperluas menjadi swasembada pangan.21 Upaya intensif pemerintah Orde Baru meningkatkan produksi beras membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Indikator yang dipakai untuk mengukur keberhasilan ini adalah bobot padi yang dihasilkan per hektarnya. Keberhasilan program intensifikasi beras juga tercermin dengan tercapainya swasembada beras pada 1985. Keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai swasembada beras diakui oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang pada tahun 1985 itu memberikan piagam penghargaan kepada presiden Soeharto.22 Berkat kinerja ekonomi yang mengesankan, Indonesia pada tahun 1993 digolongkan sebagai salah satu “ekonomi Asia yang berkinerja tinggi” (HighPerforming Asian Economies, HPAEs) oleh Bank Dunia dalam bukunya yang terkenal The East Asian Miracle.23 Namun, di samping keberhasilan yang begitu pesat tersebut masih banyak kritikan yang datang terhadap pemerintahan Orde Baru soal pemerataan. Model pembangunan ekonomi trickle down effect justru menimbulkan kesenjangan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi hanya terpusat di pulau Jawa. Sedangkan daerah di luar Jawa hanya sedikit yang merasakan hal tersebut. Kebijakan dan strategi pembangunan pemerintah Orde Baru Soeharto memang lebih mengutamakan kepentingan pusat ketimbang daerah. Itu merupakan salah satu “warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah 21
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 158. Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 158. 23 Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan," hal. 192. 22
46
atau daerah yang berada di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan menyerahkan upeti kepada penguasa (raja) di pusat kekuasaan. Pembangunan yang menomorsatukan kepentingan pusat kerajaan atau keraton otomatis mendorong arus besar perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Kue pembangunan justru lebih banyak dinikmati pemerintah pusat ketimbang pemerintah daerah. Tak pelak, pertumbuhan tanpa pemerataan pun memunculkan gelombang kekecewaan dan ketidakpuasan di sejumlah daerah.24 2. Bidang Politik dan Sosial Gagasan dan tindakan Soeharto berikutnya adalah membenahi bidang politik dan pemerintahan. Orde Baru Soeharto meyakini bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat terwujud tanpa adanya stabilitas politik. Hampir semua aktivitas politik pada masa Orde Baru mendapatkan kontrol yang ketat dari pemerintah. Untuk itu Soeharto melakukan penyederhanaan partai berdasarkan persamaan golongan. Ada tiga golongan yang masuk dalam pandangan Soeharto, yakni golongan nasionalis, golongan agama, dan golongan karya. Soeharto mengharuskan seluruh partai menyatukan diri berdasarkan persamaan golongan. Maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari PNI, IPKI, dan Partindo untuk golongan nasionalis. Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSSI, dan Perti) untuk golongan agama, dan Golkar untuk Golongan Karya.25 Selanjutnya, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal yang harus dipegang oleh semua orang Indonesia untuk menghilangkan konflik
24
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109. Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara” dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hal. 60. 25
47
ideologi. Setiap partai politik diharuskan menganut ideologi yang sama yakni Pancasila. Jika ada yang menolak azas Pancasila tersebut maka itu dianggap sebagai potensi adanya ancaman. Sebagai contoh hukuman cekal (cegah dan tangkal) yang diberikan kepada pimpinan dan anggota “petisi 50” pada tahun 1980.26 Soeharto selalu mengidentifikasikan oposisi sebagai sesuatu yang membahayakan kepentingan nasional dan merongrong stabilitas. Suara kelompokkelompok yang kritis kadangkala dihadapi dengan tindak represi. Menurut Soeharto sikap kritis yang merupakan salah satu bentuk cara kontrol sosial seharusnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak menimbulkan keonaran dan mengusik stabilitas nasional.27 Terkait dengan peristiwa ini, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 10 tahun 1982 tentang Penataran Kewaspadaan Nasional pada 26 Juni 1982. Soeharto juga secara khusus menugaskan kepada Panglima Kopkamtib Laksmana Sudomo untuk menyelenggarakan penataran kewaspadaan nasional bagi para pejabat eselon I di departemen-departemen dan instansi pemerintah lainnya. Penataran tersebut dilakukan karena bangkitnya ancaman bahaya laten komunisme/marxisme/leninisme.28 Selanjutnya hal yang juga patut diperhatikan untuk menjaga keamanan dan stabilitas nasional adalah permasalahan sosial rakyat Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang begitu luas, terdiri dari berbagai etnik suku, agama, dan ras. Diantara suku-suku yang ada di Indonesia adalah Jawa, Sunda,
26
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 346. Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 115. 28 Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 62. 27
48
Melayu, Bugis, Batak, Minangkabau, Ambon, Madura, Betawi, Minahasa, Bajau, Makassar, dll. Sementara keragaman bangsa Indonesia dari segi ras terdapat warga negara Indonesia yang keturunan India, Arab, Cina, dan Eropa. Hubungan antara empat ras ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Keragaman pada bangsa Indonesia ini bisa menjadi sumber konflik, terlebih lagi pada masa pemerintah Hindia Belanda melakukan diskriminasi tentang lapisan masyarakat (stratifikasi sosial) meskipun pada akhirnya pemerintah Indonesia menghapus diskriminasi sosial ini. Setiap warga negara dilarang mempersoalkan perbedaan tersebut. Pada masa Orde Baru, pemerintah menggiatkan program transmigrasi yang memindahkan penduduk pulau Jawa ke seluruh wilayah Indonesia.29 Tulang punggung yang menjaga stabilitas politik dan sosial pada masa pemerintahan Soeharto adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, mereka dilibatkan dalam tata kelola negara melalui dwifungsi ABRI. Dalam Dwifungsi ABRI, ABRI berperan sebagai stabilisator dan dinamisator bagi bangsa Indonesia. Peran angkatan bersenjata merupakan sesuatu yang vital bagi Orde Baru dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat. ABRI membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil berdasarkan konsep Dwifungsi ABRI, yaitu ABRI berperan sebagai alat negara dan juga sebagai kekuatan sosial politik. Dalam buku otobiografinya Soeharto mengatakan, “ABRI bukan semata-mata Angkatan Bersenjata bayaran. ABRI adalah juga pengisi kemerdekaan, berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintah. Inilah sebab pokok pada masa Orde Baru ABRI mempunyai 29
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 65.
49
dua fungsi. Konsep Dwifungsi ABRI sebenarnya bukanlah murni gagasan Soeharto atau pemerintahan pada masa itu, konsep ini telah lama dikembangkan oleh Jendral Besar A.H Nasution di era sistem Demokrasi Terpimpin. Saat itu militer telah masuk ke dalam wilayah politik praktis, dan kehadirannya tidak terelakan karena sebagai pengimbang kekuatan komunis, yakni Partai Komunis Indonesia yang telah mendapat ruang politik dan berpengaruh pada masa presiden Soekarno.30 Berdasarkan kebijakan pemerintah pada waktu itu maka secara legal dan institusional, ABRI telah menjadi satu kekuatan yang memiliki peran politik sebagai halnya partai politik, selain tugasnya sebagai pertahanan dan keamanan negara. Akan tetapi keputusan ini sangat sulit dipahami bagi mereka yang kritis atau mengerti cara berpikir akademis pada masa itu, muncul kekhawatiran bahwa ABRI akan “terperosok” ke dalam lingkaran kepentingan politiknya daripada melindungi rasa aman dan kebebasan rakyat dalam berpolitik. Soeharto pun tahu dengan kekhawatiran sebagian pihak tersebut, namun ia menepis: ”Saya tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di sementara kalangan di luar negeri bahkan di dalam negeripun masih ada yang mengkhawatirkan bahwa dwifungsi ABRI serta perannya sebagai stabilisator dan dan dinamisator, suatu waktu akan melahirkan pemerintah yang militeristis, otoriter, atau totaliter. Kekhawatiran semacam itu tidak beralasan. Sejarah membuktikan bahwa dalam saat yang sulit sekalipun , dalam saat negara dan bangsa kita dihadapkan kepada bahaya yang mengancam keselamatan Pancasila, ABRI tidak pernah berpikir dan bertindak militeristis.” Soeharto begitu yakin ABRI tidak akan tergelincir
30
Firdaus Syam, “Militer dan Dwifungsi” dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hal. 32.
50
kepada militerisme, otoriterisme, dan totaliterisme karena semuanya itu lurus bertolak belakang dengan Demokrasi Pancasila.31
31
G. Dwipayana, Ramadhan KH. Soeharto, hal. 460.
BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT ASTABRATA BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT ASTABRATA A. Soeharto dan Filsafat Astabrata Dari awal berdiri negara Indonesia, budaya Jawa selalu berpengaruh besar terhadap politik dan pemerintahan, selain karena pusat pemerintahan berada di pulau Jawa menurut penulis hal ini tidak terlepas dari keberhasilan-keberhasilan kerajaan Jawa dahulu dalam mempersatukan Nusantara sehingga budaya Jawa masih memiliki pengaruh besar dalam politik dan pemerintahan. Politik memiliki keterkaitan dengan budaya dan identitas. Pimpinan politik akan membawa identitas masing-masing. Ketika identitas itu tidak dapat dikelola secara baik akan muncul egoisme. Semua gejala tersebut dapat dilihat bahwa sedikit banyak proses kultural politik dalam sistem politik Indonesia saat ini telah terbentuk oleh sebuah sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa. Misalnya dalam konteks pelaksanaan pembangunan sekarang ini yang selalu berorientasi ke pusat dengan budaya
"mohon
petunjuk"
sebelum
suatu
program
dilaksanakan
telah
membuktikan bahwa sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa telah merasuki sistem politik pemerintahan Orde Baru. Bagi orang Jawa, pemimpin haruslah seorang yang alus (berbudi halus), elegan, bertutur kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan reaktif, dengan kekuatan dari dalam sehingga mampu memberikan perintah secara tidak langsung dan sopan, yang dipermukaan tampak seperti merendahkan diri. Emosi-emosi
51
52
seperti kebahagiaan, kesedihan, kecewa, penyerahan, harapan, dan rasa kasihan tidak seharusnya diperlihatkan di muka umum, Soeharto adalah seorang pemimpin yang terampil dalam mendemonstrasikan sikap alus ini, terutama dalam hal penguasaan diri.1 Pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan keterkaitan Soeharto dengan filosofi budaya Jawa, dan bagaimana Soeharto memegang teguh filosofi tersebut dalam kehidupannya. Seperti ajaran “tiga ojo”, ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang) yang diakui Soeharto sebagai pegangannya dalam menghadapi persoalanpersoalan yang bisa mengguncangkan hidupnya. Sebagai orang Jawa, Soeharto tentu tidak bisa lepas dari filosofi Jawa selama kepemimpinannya khususnya dengan ajaran Astabrata. Ada beberapa argumen yang mengatakan Soeharto menjadikan Astabrata sebagai acuan dalam kepemimpinannya, di antaranya adalah: sebagaimana Wilson mengatakan dalam artikelnya bahwa Soeharto pada masa Orde Baru menjalankan kekuasaannya berdasarkan filosofi Astabrata. 2 Selain itu patung yang menggambarkan delapan kuda yang menarik kereta perang dan diatasnya terdapat Prabu Kresna yang memegang sais dan Arjuna yang memegang busur panah. Patung ini diilhami oleh kisah Barata Yudha dan dianggap menggambarkan filosofi kepemimpinan Astabrata yang dijalankan oleh Soeharto yang terkenal gemar menjunjung nilai-nilai budaya Jawa. 3 Bukti lain adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan dalam penataran Pancasila serta
1
Yuanita Rusalia Harneni, “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), hal. 45-46. 2 Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10. 3 Wilson,”Politik Hukuman Mati di Indonesia,” hal. 11.
53
dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung utama Sekretariat Negara di Jakarta.4
B. Analisis Kepemimpinan Soeharto Berdasarkan Filsafat Astabrata Pada bagian ini, yang merupakan pokok utama pembahasan skripsi ini penulis akan memberikan analisa tentang kepemimpinan Soeharto secara teori dan praktik dengan watak kedelapan Dewa sebagai pemimpin yang diajarkan dalam Astabrata. 1. Watak Dewa Indra Dalam ajaran Astabrata, dewa Indra merupakan dewa yang menjadi simbol bagi pemimpin dalam mensejahterakan rakyatnya secara merata, seperti dalam teks Astabrata berikut: Adapun tingkah laku Batara Indra: Ialah yang dengan bau-bauan menghujani bumi ini Derma dananya menghambur tersebar Merata ke seluruh dunia Kepada semua hambanya baik yan besar maupun yang kecil Tanpa membeda-bedakan orang Itulah tingkah laku Indra5
Sebagai seorang pemimpin bangsa, Soeharto memiliki gagasan sendiri tentang kesejahteraan, yaitu keberhasilan pembangunan ekonomi dan pemerataan 4
Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari 2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata 5 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 174.
54
terciptanya keadilan sosial. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakannya bertujuan untuk membuat rakyat sejahtera lahir dan batin.6 Menurut penulis secara konsep, pemikiran Soeharto ini sangat sinkron dengan ajaran kepemimpinan yang disimbolkan Dewa Indra dalam Astabrata. Jika dilihat secara praktekpun selama kepemimpinan Soeharto permasalahan ekonomi merupakan suatu prioritas utama untuk memulihkan keadaan Indonesia, sebagaimana juga sudah penulis paparkan pada bab II. Bagaimana keberhasilan Soeharto dalam meningkatkan perekonomian Indonesia telah penulis paparkan pada bab II, yang secara garis besar di bawah kepemimpinan Soeharto Indonesia berhasil meningkatkan perekonomian Nasional dari perkisaran tahun 1968-1981. Pada saat itu perekonomian Indonesia tumbuh di atas tujuh persen pertahunnya.7 Namun meskipun berhasil mencapai keberhasilan yang begitu pesat dalam bidang ekonomi, pemerintahan Soeharto masih mendapatkan kritik dari berbagai pihak soal pemerataan. Istilah “Jawa Sentris” mungkin sudah tidak asing lagi terdengar
untuk
mengungkapkan
kesenjangan
kesejahteraan
sosial
dan
ketidakadilan ekonomi pada masa Soeharto memimpin Indonesia. Sebagian besar masyarakat, terutama penduduk desa di daerah luar pulau Jawa dan kawasan Timur Indonesia yang seharusnya juga mendapat kesejahteraan yang sama dengan masyarakat di pulau Jawa hanya mendapat remah-remah kue pembangunan. 8
6
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 349-350. 7 Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191. 8 Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.
55
Menurut Anne Booth, pimpinan Orde Baru memilih dan menjalankan kebijakan yang dampaknya lebih menguntungkan kawasan Barat ketimbang Timur atau Utara. Pilihan ini dianggap tidak mengherankan karena pemerintah pusat sendiri bermarkas di Jakarta, ibukota yang terletak di Jawa dan struktur pemerintahan Soeharto telah sangat memusatkan kekuasaan di tangan pusat bukan di pemerintah daerah.9 Kebijakan dan strategi pembangunan pemerintahan Soeharto yang lebih mengutamakan kepentingan pusat ketimbang daerah dianggap sebagai salah satu “warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah atau daerah yang berada di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan menyerahkan upeti kepada penguasa di pusat kekuasaan. Pembangunan yang menomorsatukan kepentingan pusat kerajaan atau keraton otomatis mendorong arus besar perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Pertumbuhan tanpa pemerataan seperti inilah yang menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di sejumlah daerah.10 Mengenai pemerataan yang belum terwujud ini Soeharto sendiri secara jujur mengakuinya, tetapi keadilan sosial ini tetap merupakan suatu cita-citanya selama memimpin Indonesia. 11 Menurut penulis meskipun pemerataan kesejahteraan belum terwujud pada masa pemerintahan Soeharto, tetapi sebagai seorang pemimpin Soeharto sangat menerapkan ajaran kepemimpinan Astabrata, khususnya watak pemimpin yang disimbolkan oleh Dewa Indra tentang kesejahteraan dan keadilan sosial. Meskipun masih terdapat perbedaan dan 9
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" hal. 205. Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109. 11 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 349-350. 10
56
kepincangan sosial Soeharto tetap menegaskan bagaimana hasil pembangunan yang sangat nyata selama kepemimpinannya, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih baik daripada waktu sebelum pelaksanaan pembangunan pada masanya. Selain itu arah kebijaksanaan pembangunan yang berlandaskan kepada GBHN (Garis Besar Haluan Negara) akan terus bergerak menuju terwujudnya keadilan sosial.12 2. Watak Dewa Yama Dalam menganalisa kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Yama, penulis memfokuskan diri pada sikap Soeharto selaku pemimpin menjaga keamanan Nasional dan penerapan hukum pada masa kepemimpinannya karena sebagaimana telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, Dewa Yama merupakan teladan yang patut ditiru oleh seorang pemimpin agar bisa menjaga keutuhan dan keamanan negara. Masa kepemimpinan Soeharto, pernah diterapkan kebijakan operasi penembakan langsung kepada para penjahat kaliber yang waktu itu dikenal dengan istilah “Petrus” (Penembakan Misterius) dan hukuman mati. Bagi Soeharto langkah ini diterapkan pada masanya semata-mata hanya untuk memberikan perlindungan kepada rakyat dan menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan.13 Pelaksanaan “Petrus” mendapat protes dari sebagian pihak karena para penjahat itu dihukum tanpa melalui proses
12
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 389-390.
13
57
peradilan, dan dianggap melanggar HAM. Namun justru sebagian besar rakyat merasakan manfaat langsung dari adanya “Petrus” ini.14 Untuk berbagai macam kritik yang datang tersebut, Soeharto mengatakan bahwa mereka yang mengkritik tidak mengerti masalah yang sebenarnya. Soeharto hanya saja ingin bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan dan memang harus dengan kekerasan tindakan tegas itu dilaksanakan. Tetapi kekerasan yang itu bukan lantas dengan penembakan begitu saja, hanya kepada para penjahat yang melawanlah penembakan itu dilakukan. Selain itu para penjahat tersebut menurut Soeharto tidak hanya melakukan pelanggaran hukum, tetapi juga melanggar batas-batas perikemanusiaan. Sebagai contoh, seorang yang sudah tua dirampas hartanya, kemudian masih dibunuh. Bagi Soeharto ini dianggap sudah melampaui batas kemanusiaan.15 Lalu berkaitan dengan peristiwa “Petrus” ini, ada penjahat yang setelah ditembak mayatnya ditinggalkan begitu saja, Soeharto mengatakan tindakan demikian itu dilakukan untuk memberi shock therapy (terapi goncangan) supaya banyak yang mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bertindak tegas dan mengatasinya. Dengan tujuan bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas. Dan mengikis habis semua kejahatan-kejahatan yang menjijikkan.16 Kebijakan
selanjutnya
yang
juga
mendapatkan
kritik
pada
masa
kepemimpinan Soeharto adalah permasalahan penerapan hukuman mati di
14
Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Sange, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto, (Jakarta: Jakarta Citra, 2006), hal. 191. 15 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351. 16 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 390.
58
Indonesia. Wilson mengatakan bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk hukuman yang kejam di Indonesia. Bentuk dan cara pelaksanaan hukuman mati memang berubah dalam kurun ratusan tahun. Tetapi pada dasarnya filosofis hukuman mati sama saja sejak dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara hingga pasca kemerdekaan, yaitu untuk menegakkan superemasi ekonomi-politik dan superemasi moral penguasa untuk melakukan “kontrol” atas tertib sosial dan tertib politik, dan pada zaman Orde Baru Soeharto atas nama “stabilitas nasional”.17 Menurut penulis, tindakan Soeharto menerapkan kebijakan seperti di atas merupakan representasi dari sikap Dewa Yama membasmi para penjahat yang mengganggu ketentraman negara. Dalam teks Astabrata diuraikan cara Dewa Yama menindak penjahat sebagai berikut: Itu dinda, yang harus jadi tindakanmu Terhadap semua hamba yang menghuni bumi ini Adapun tingkah lakumu Menghukum tindak yang menyakiti Seluruh penjahat dalam negara terkikis punah Tak peduli walaupun sanak-kerabat sendiri Jika ia penjahat, dibunuhlah ia Siapapun yang berbuat laknat Diburu dan diusut sampai porak poranda Di tempat sembunyi dilacak Ditangkap dan dihabisi nyawanya Sampah negara diusahakan habis musnah Itulah Batara Yama
17
Wilson,“Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati,” hal. 1.
59
Caranya menjaga negara agung18
Pada petikan di atas secara jelas dinyatakan untuk menjaga suatu “negara agung”, maka seorang penguasa atau pemimpin dibenarkan untuk membunuh, menghabisi nyawa seseorang hingga tak berbekas. Selanjutnya cara yang dapat diambil seorang pemimpin melalui watak Dewa Yama untuk menjaga sebuah negara selain dengan menghilangkan kejahatannya adalah dengan “menyuruh pergi siapa yang berbuat salah”, dalam hal ini penulis mengartikannya bagaimana seorang pemimpin harus bisa menghapuskan sesuatu yang berpotensi melakukan kesalahan atau kejahatan yang dapat mengganggu keamanan dan kedaulatan negara. Stabilitas nasional merupakan syarat penting bagi Soeharto untuk pelaksanaan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga kekuatan-kekuatan yang berpotensi menentang pemerintah akan ditindak tegas, dalam hal ini yaitu sikap yang menyimpang dari Demokrasi Pancasila yang diterapkan Soeharto terlebih lagi penyimpangan terhadap apa yang telah disepakati oleh wakil-wakil rakyat yang akan menjadi langkah bersama ke depannya dalam jangka waktu 5 tahun.19 Pada masa pemerintahan Soeharto dapat dilihat bagaimana pemerintah Orde Baru waktu itu menyikapi gerakan petisi 50, permasalahan PKI, dan kontrol sosial yang ketat. Pada tahun 1980 hukuman cekal (cegah dan tangkal) diberikan kepada pimpinan dan anggota petisi 50 karena tindakan oposisi terhadap pemerintah. Namun tindakan yang dilakukan Soeharto sangat jauh berbeda dengan yang 18 19
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 175. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346-347.
60
digambarkan oleh Dewa Yama yang menyuruh pergi atau mengusir siapa yang dekat pada berbuat salah, Soeharto malahan mencegah para pelakunya untuk keluar dari Indonesia, menurut penulis hal ini karena Soeharto mencegah akan datangnya kekuatan dari luar negeri (Barat) yang akan mengganggu pemerintahannya. Soeharto sendiri menganggap oposisi yang dilakukan oleh anggota petisi 50 oposisi ala Barat, yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.20 3. Watak Dewa Surya Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa mengatakan bahwa kekuasaan yang sebenarnya dalam budaya Jawa nampak dalam ketenangan. Sikap tenang di sini memiliki kaitan erat dengan suatu sifat yang bagi orang Jawa merupakan inti dari kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukan kekuatan batin. Seorang penguasa atau dalam pembahasan penulis lebih tepat menggunakan kata pemimpin, haruslah seorang yang bersikap alus. Alus (halus) pertama-tama berarti suatu permukaan halus dalam arti fisik, tetapi dalam hal kekuasaan dan penguasaan lebih tepat dipakai arti lembut, luwes, sopan, beradab, peka, dan sebagainya. Kehalusan di sini bukanlah sebuah kelemahan, akan tetapi merupakan sesuatu kekuatan. Karena orang yang halus ia berarti dapat mengontrol dirinya sendiri.21 Seorang pemimpin sejati tidak akan berbicara dengan suara keras agar didengar, tidak pula marah-marah. Apabila ia memberikan perintah ia tidak akan memberikannya secara langsung. Cukup dalam bentuk sindiran, usul, anjuran; 20
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta:PT. Gramedia, 1991), hal.102. 21
61
sebagai perintah yang halus. Begitu pula ia tak memberi larangan secara kasar. Suatu ucapan kritis, pertanyaan yang sopan kepada lawan, senyuman toleran sudah cukup untuk menunjukan kehendaknya yang kuat seperti besi. Orang yang sungguh-sungguh berwibawa tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya dengan usaha-usaha lahiriah.22 Menurut penulis penjelasan Frans Magnis Suseno tentang sifat penguasa dalam budaya Jawa di atas merupakan pemaparan yang hampir sama dengan watak Dewa Surya dalam ajaran Astabrata yang menjelaskan pemimpin sebagai seorang yang berwatak ambeg pramata, selalu bersikap halus dan santun kepada siapapun. Menurut penulis, watak alus pada diri Soeharto dapat dilihat dari berbagai peristiwa, kesaksian dan beberapa penjelasan tentang Soeharto. Pada peristiwa perpindahan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru, sangat tampak bagaimana Soeharto bisa bersikap tenang dan tidak terburu-buru untuk menduduki status sebagai kepala negara meskipun sudah ada desakan kepadanya di tengah situasi politik dan nasional pada waktu itu.23 Selanjutnya sikap tenang, halus,bahkan masih menghormati lawannya (Soekarno) dapat dilihat dari penuturan Soeharto berikut: Lalu saya dihadapkan lagi kepada para mahasiswa yang tentunya tidak sendirian. Saya menyatakan dengan nada tenang di depan mereka, bahwa Bung Karno masih Presiden kita yang sah, sesuai dengan Undang-Undang Dasa 1945. Kita mesti menghormatinya.24
22
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 102-103. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 187. 24 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 179. 23
62
Pada masa konflik politik dan ajakan kepada Soeharto yang terus berganti tersebut akhirnya Soekarno menyetujui pengalihan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967 karena menyatakan diri tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai kepala negara. 25 Dan setelah itu Soeharto bisa mempertahankan kepemimpinannya lebih kurang selama 32 tahun. Menurut penulis rangkaian peristiwa di atas merupakan sikap Soeharto yang sesuai dengan teladan yang digambarkan oleh watak Dewa Surya dalam teks Astabrata berikut: Apa yang kau kehendaki, dengan jalan yang halus Menghisapnya dirasakan tanpa sakit Terisaplah apa yang kau kehendaki Tidak tergesa-gesa dalam semua usaha Si musuh pun dapat diluluhkan hatinya Dan tidak merasa bahwa hatinya kau masuki Karena usahamu dirasakan tiada congkak-rasa.26
4. Watak Dewa Candra Hal yang dapat diperhatikan dari seorang pemimpin berdasarkan watak Dewa Candra adalah bagaimana cara seorang pemimpin dalam bersikap dan memberikan perintah kepada bawahan atau pembantunya. Menurut penulis terdapat tiga sifat yang menjadi teladan dalam sosok Dewa Candra, ketiga sifat tersebutlah yang akan penulis paparkan dalam menganalisis kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Candra. 25 26
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 188. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 176.
63
1. Pemaaf (Penuh Ampun, itu sarananya memenuhi dunia ini) 2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis. (Agar enaklah hati seluruh negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya, tiap katanya manis didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh ketawa, senyumnya mencampuri tiap perilaku, tindakannya tiada sulit, hanya enaklah didengar semua perintahnya) 3. Mencintai dan dicintai oleh agamawan. (Hatinya penuh damai terhadap seisi buana, sampai ke lubuk berbaik hati, lebih-lebih harum manis serta kasih sayang para pendeta kepadanya) 1. Watak Pemaaf pada Soeharto Sifat pemaaf haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin dalam ajaran Astabrata, dan sifat ini merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki agar seseorang menjadi pemimpin yang ideal atau sejati. Menurut penulis, Soeharto yang begitu kental dengan kultur Jawa terkhususnya ajaran Astabrata selama menjalankan kepemimpinan Orde Baru pasti sangat tahu dengan ajaran Astabrata yang disimbolkan dengan Dewa Candra. Akan tetapi dalam praktik kepemimpinannya Soeharto bukanlah seorang yang pemaaf, bahkan Tjipta Lesmana menyebut Soeharto sebagai seorang pendendam karena kebiasaannya memberikan hukuman kepada pembantunya yang dinilainya telah melakukan kesalahan. Malah jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan sulit untuk memaafkannya. Dendam kesumat bisa terjadi terhadap orang itu.27
27
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009) hal. 137.
64
Beberapa kasus yang menggambarkan Soeharto memberikan hukuman ataupun dendam kepada para pembantunya adalah sebagai berikut, pertama kasus M. Jusuf, jendral TNI M. Jusuf merupakan menteri yang memiliki jabatan rangkap pada masa kepemimpinan Soeharto, Menteri Pertahanan-Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata yang diangkat pada Maret 1978. Belum sampai dua tahun setelah dilantik nama jendral M. Jusuf sangat popular di Indonesia sehingga lahir isu bahwa M. Jusuf memiliki agenda politik sendiri. Dan Soeharto merupakan orang yang paling tidak suka jika ada pembantunya yang popular dan lebih popular darinya.28 Dalam kultur Jawa, raja memang tidak boleh disaingi atau tersaingi oleh siapapun. Dalam kepemimpinan Jawa, penguasa hanya satu orang, yang lain hanya pembantu yang harus bekerja dengan loyalitas. Gagasan pluralitas kekuasaan tidak ada dalam paham politik Jawa, segala kekuasaaan dan hukum bersumber dari pribadi raja. Jangankan sosok, ide suatu hukum yang berada di atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam paham politik Jawa.29 Menurut
beberapa
pihak,
kepopuleran
M.
Jusuf
tersebutlah
yang
menyebabkan Soeharto menggantinya dengan Letnan Jendral TNI L.B Moerdani, Soeharto tahu bahwa jendral yang terlalu berkuasa dan popular dapat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan kekuasaannya.30 Kedua, Pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 dan naiknya B.J Habibie untuk menggantikannya, bisa dikatakan awal mula kebencian Soeharto kepada Habibie. Setelah posisinya digantikan, 28
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal 112-113. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 108. 30 Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 114-115. 29
65
Soeharto tidak pernah bersedia ditemui oleh Habibie, Soeharto merasa bahwa Habibielah yang telah berkhianat untuk menjatuhkannya. Bukan hanya Soeharto, bahkan keluarganyapun dilarang mengizinkan Habibie menginjakan kaki di kediamanannya di jalan Cendana. Setiap kali Habibie meminta bertemu dengan Soeharto selalu ditolak dengan berbagai alasan. Bahkan tatkala Soeharto dalam keadaan kritis, 15 Januari 2008 Habibie dan istrinya yang datang menjenguk tetap ditolak oleh keluarga Soeharto untuk menemuinya. Akhirnya Habibie hanya berdoa di ruang sebelah kamar Soeharto dirawat.31 Ketiga, Harmoko juga bisa dipastikan sebagai orang yang menjadi sasaran kemarahan dan rasa sakit hati Soeharto. Sama dengan Habibie, di mata Soeharto, Harmoko juga merupakan seorang pengkhianat. Kebencian Soeharto kepada Harmoko bisa diketahui melalui percakapan Soeharto dengan Nurcholis Madjid (Cak Nur) pada 18 Mei 1998, ketika itu Soeharto merasa tertarik pada gagasan reformasi Cak Nur yang dipaparkan sehari sebelumnya di markas besar ABRI. Kepada Soeharto, Nurcholis menyampaikan gagasannya tentang reformasi, dan dalam reformasi tersebut Cak Nur mengatakan bahwa Soeharto harus lengser. Menanggapi gagasan tersebut, Soeharto menanggapinya sambil tertawa dan mengatakan, “Saya kan sudah lama ingin itu. Ini kan gara-gara Harmoko dan Fraksi Karya Pembangunan.”32 Percakapan antara Cak Nur dan Soeharto itu terjadi ketika desakan agar Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sudah sangat besar. Penyebab mendasar yang menyebabkan kemarahan Soeharto kepada Harmoko adalah
31
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 124-126. Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 128-129.
32
66
karena dukungan yang diberikan Harmoko selaku ketua umum Golkar agar Soeharto kembali bersedia dicalonkan sebagai presiden Indonesia pada pemilu 1987. Karena rakyat masih menginginkan Soeharto memimpin pada waktu itu. Namun tak sampai setengah tahun setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia untuk kelima kalinya, Harmoko jugalah yang menyampaikan pernyataan sikap fraksi Golkar agar Soeharto mengundurkan diri.33 Padahal Soeharto dalam buku autobiografinya bisa diketahui sudah menampakkan sikap yang tidak begitu yakin atau mantap untuk kembali memimpin Indonesia dikarenakan tugas yang begitu berat. 34 Dan meskipun Golkar sudah resmi kembali mencalonkan Soeharto, Soeharto tetap meminta Golkar kembali mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, apakah benar keputusan tersebut karena aspirasi rakyat?35 Menurut Sardjono sebagaimana dikutip oleh Tjipta Lesmana, pernyataan Soeharto tersebut memang tidak dapat dipastikan apakah keluar tulus dari hatinya atau hanya sebatas sikap pura-pura, karena orang Jawa juga terkenal dengan sikap ethok-ethok.36
33
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 133. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
34
hal. 466. 35
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 131. Ethok-ethok merupakan prinsip kepura-puraan dalam gaya berbahasa orang Jawa. Pola perilaku kepura-puraan ini biasa dilakukan oleh penutur asli Jawa agar mampu mengendalikan diri dan situasi sehingga tidak menimbulkan keributan. Budaya Jawa mengunggulkan sikap dan perilaku yang tenang serta menghundari keributan sekalipun cuma bersifat verbal. (Lihat Herudjati Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di Jawa, hal. 72-73). Menurut penulis dengan sikap ethok-ethok ini dalam konteks kekuasaan maka akan menampilkan seorang sebagai penguasa sejati, seperti Soeharto yang menampilkan diri dengan sikap tidak yakin dan tenang menjelang pemilu 1987, tetapi tetap mendapatkan dukungan untuk kembali menjadi penguasa/pemimpin bangsa Indonesia. Dalam budaya Jawa sikap tenang merupakan perilaku yang menandakan kesejatian kekuasaan penguasa. 36
67
Rangkaian peristiwa tersebutlah yang membuat Soeharto marah kepada Harmoko, dan sampai mengeluarkan pernyataan “Ini kan gara-gara Harmoko dan Fraksi Karya Pembangunan” ketika berbincang dengan Cak Nur. Ketika mengumumkan pengunduran dirinya di Credential Room
Istana Merdeka,
Soeharto tidak ingin acara tersebut dihadiri oleh pimpinan DPR/MPR, dan Harmoko adalah orang yang menjabat sebagai ketua DPR/MPR pada waktu itu. Hampir sama seperti kemarahan Soeharto kepada Habibie, Harmokopun juga tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berkomunikasi dan bertemu sampai Soeharto meninggal.37 Selain contoh kasus tiga tokoh di atas, sejarah Orde Baru juga mencatat banyak mantan jendral populer yang kemudian mendadak hilang dari peredaran karena popularitasnya atau ada indikasi melawan kekuasaan Soeharto. Seperti Jendral (Marinir) Ali Sadikin, Letnan Jendral Sarwo Edhie Wibowo (Komandan Jendral RPKAD yang namanya juga populer dalam menumpas PKI pascaGerakan 30 September), Jendral Widodo (Kepala Staf Angkatan Darat yang dipecat secara mendadak), Jendral Soemitro (Panglima Kopkamtib yang karier militernya habis pasca-“Malari”), Letnan Jendral Kemal Idris (Panglima Kostrad yang kemudian sering mengkritik Soeharto), dan Jendral Benny Moerdani (Panglima Angkatan Bersenjata dan orang kepercayaan Soeharto yang akhirnya juga disisihkan).38 Beberapa contoh kasus di atas jelas sekali bahwa Soeharto memang mempunyai kebiasaan menghukum pembantunya yang dinilai telah melakukan
37
Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 135-136. Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 115.
38
68
kesalahan. Malahan jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan sangat sulit untuk memaafkannya. Dengan demikian menurut penulis, Soeharto bukanlah seorang pemimpin yang mempunyai sifat pemaaf seperti yang diteladankan oleh Dewa Candra dalam ajaran Astabrata. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Candra digambarkan sebagai sosok yang penuh ampun, itu sarananya memenuhi dunia ini.39 2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis Meskipun memiliki watak pendendam terhadap para pembantunya yang dianggap bersalah, Soeharto berdasarkan kesaksian para menteri pembantu kabinet pada masa Orde Baru tetap merupakan sosok seorang pemimpin yang santun, lembut, penuh wibawa, tidak keras dalam berbicara tetapi memiliki bobot ketika berbicara dengan menterinya. Sebagaimana kesaksian Muladi (mantan Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia masa Soeharto) yang disampaikan kepada Tjipta Lesmana mengatakan, Soeharto jika menolak usulan menterinya dia tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia menolaknya dengan cara yang halus, dan biasanya para menterinya paham dengan sikap Soeharto tersebut. 40 Menurut Tjipta Lesmana, komunikasi politik Soeharto sangat tertib, satu arah, singkat, dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai denga kebiasaan Soeharto untuk melihat segala sesuatu berjalan “tertib, aman, dan terkedali.” Selain itu juga sangat kental dengan kultur Jawa: banyak kepurapuraan (impression management), tidak to the point dan amat santun.41
39
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, hal.
176. 40
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52. Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52&55.
41
69
O. G Roeder seorang penulis Belanda menjulukinya sebagai The Smiling General (Jenderal yang selalu tersenyum) karena Soeharto merupakan seorang penguasa atau pemimpin yang sangat handal menyembunyikan sesuatu dibalik senyumannya, Soeharto mengikuti prinsip penggunaan kata-kata yang samarsamar dan cara-cara tidak langsung yang merupakan warisan kebudayaan Jawa.42 Usman Hamid dalam tulisan pengantarnya pada buku Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981 juga menuliskan kesaksian Ismid Hadad yang pernah bertemu dengan Soeharto di istana pada tahun 1980-an, Soeharto adalah seorang penguasa yang memiliki karisma pribadi yang kuat dengan senyuman khas gaya keramahan Jawa dan wajah Soeharto adalah wajah yang ramah dan penuh perbawa. Menurut penulis, selain ajaran tiga ojo yang menjadi pegangan bagi Soeharto untuk memberikan ketenangan dalam menghadapi berbagai permasalahan, sikap yang selalu ramah, murah senyum, dan penuh ketawa yang semuanya terdapat dalam ajaran Astabrata juga diterapkan oleh Soeharto dalam kepemimpinannya. Sebagai contoh adalah ketika Soeharto menghadapi peristiwa skandal Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia). Rabu, 16 Februari 1994, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Sudomo, mengahadap Presiden Soeharto. Dalam pertemuan itu Sudomo melaporkan referensi yang diberikannya kepada pimpinan Bapindo sehubungan dengan kredit sebesar Rp. 1,3 triliun yang dikucurkannya kepada seorang pengusaha yang bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra Rahardja (pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah bangkrut). Kasus ini sangat menghebohkan karena menyeret sejumlah pejabat tinggi, termasuk Sudomo yang 42
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, hal 4-6.
70
pernah menjadi Panglima Kopkamtib. Namun setelah ditanya oleh wartawan tentang tanggapan presiden Soeharto, Sudomo menjawab: “Pak Harto hanya tertawa.”43 Beberapa tokoh di atas menyampaikan kesaksiannya tentang Soeharto yang memiliki sifat ramah, santun, lembut, selalu tersenyum, dan juga dipenuhi tawa. Tapi kebanyakan dari mereka juga sepakat bahwa terkadang hanya Soehartolah yang mengetahui apa makna dibalik senyuman dan tawa tersebut. Namun dalam kehidupan orang Jawa yang ideal, apalagi yang berlatar kelompok priyayi atau bangsawan sikap demikian merupakan cara menyimpan rapat-rapat emosi dengan ekspresi wajah yang tenang. Orang Jawa tidak akan memperlihatkan raut wajah senang atau sedih yang berlebihan, jarang tertawa terbahak-bahak atau menangis tersedu-sedu.
44
Dalam prinsip komunikasi Jawa tindakan tenang dan
mengendalikan diri merupakan cara untuk menghindari keributan dan konflik, dan sangat sesuai dengan prinsip hidup orang Jawa yang mengunggulkan sifat rukun (damai).45 Menurut
penulis
inilah
bentuk
penerapan
ajaran
Astabrata
pada
kepemimpinan Soeharto kepada para pembantu kabinetnya pada masa Orde Baru “Agar enaklah hati seluruh negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya, tiap katanya manis didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh ketawa, senyumnya mencampuri tiap perilaku, tindakannya tiada sulit, hanya
43
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 58. Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 152-151. 45 Herudjati Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di Jawa, hal. 76-77. 44
71
enaklah didengar semua perintahnya” yang jika dilihat secara garis besar juga merupakan representasi dari prinsip hidup rukun dalam budaya Jawa. 3. Disayangi oleh para tokoh agama Dalam ajaran Astabrata, seorang pemimpin yang baik pasti akan dicintai oleh pandita (pendeta), tetapi dalam konteks kepemimpinan Soeharto menurut penulis akan lebih tepat menggambarkan bagaimana sikap pemuka agama yang resmi di Indonesia pada masa Soeharto, dan untuk kasus ini penulis hanya mengambil bagaimana sikap NU terhadap Soeharto karena NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia dianggap dapat mewakili bagaimana sikap-sikap pemuka agama Islam lainnya. Semasa Orde Baru, banyak pesantren dan figur kiai yang memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah untuk dijadikan pilar penyangga kekuasaan Soeharto. Sejumlah kiai masuk dalam daftar calon legislatif untuk meraih suara. Banyak pula program pemerintah seperti Keluarga Bencana (KB) sosialisasinya memanfaatkan karisma kekuatan komunikasi kiai.46 Selanjutnya sikap Abdurrahman Wahid selaku ketua umum Nahdlatul Ulama tentang penerimaan Pancasila sebagai falsafah negara maupun sebagai satusatunya asas bagi organisasi massa apapun di Indonesia. Dalam penjelasannya Wahid menyatakan Pancasila merupakan kendaraan terbaik untuk memberikan legetimasi nasional bagi setiap perilaku politik yang diperankan organisasinya. Dukungan yang disampaikan Gus Dur ini disampaikan setelah sepuluh tahun
46
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), hal. 47.
72
sejak Presiden Soeharto menyampaikan gagasannya yang pertama di depan MPR 16 Agustus 1982.47 Selain itu tokoh-tokoh NU yang juga kerap mendukung Soeharto adalah Achmad Siddiq, Tolchah Mansur, Syaifuddin Zuhri, Idham Chalid, dan Mohammad Dahlan. Dengan sikap tokoh-tokoh NU yang mendukung Soeharto tersebut, menurut Asep Saeful Muhtadi sikap keagamaan NU pada dasarnya dapat dilacak sampai pada pemikiran al-Ghazali tentang Islam dan manusia. Dalam hal ini NU tidak bersikap antithesis terhadap suatu nilai yang dianut masyarakat. Karena itu suatu sistem atau nilai dalam masyarakat senantiasa mempunyai potensi untuk dikembangkan agar sejalan dengan tujuan pokok syari‟at Islam sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan akidah Islam.48 5. Kepemimpinan Soeharto Berdasarakan Watak Dewa Bayu Dewa Bayu dalam ajaran kepemimpinan Astabrata juga merupakan simbol dari angin, sikap utama yang patut diteladani seorang pemimpin pada watak Dewa Bayu adalah tindakan yang selalu mengawasi gerak-gerik dalam negara dengan teliti dan rinci, hal ini bertujuan agar pemimpin mengetahui kekurangan pemerintahan yang telah dipimpinnya, memahami dan merasakan susah dan senangnya rakyat, dan mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat di seluruh penjuru. 49 Dalam mengawasi negara seorang pemimpin sangat berhati-hati dan
47
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal. 136. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal 146-148. 49 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94. 48
73
hampir tidak kelihatan seperti halnya angin yang mampu menelusup ke segala tempat dan situasi.50 Dalam konteks saat ini, maka seorang pemimpin perlu mengangkat orangorang atau pemimpin di bidang tertentu untuk memikul tugas dan tanggung jawab penyelidikan dan penjaringan untuk pengumpulan informasi yang akurat dan memadai. Dalam sistem pemerintahan Indonesia tugas-tugas seorang pemimpin yang sejalan dengan watak Dewa Bayu adalah seperti tugasnya Intelijen Negara. 51 Soeharto berdasarkan kebijakan dwifungsi ABRI memposisikan ABRI sebagai pengawas penduduk melalui komando teritorial yang meliputi seluruh negara dari Jakarta sampai ke pulau terpencil, termasuk setiap desa. Perwira yang berdinas aktif rata-rata menempati posisi juga sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan tetap memiliki tanggung jawab kepada atasannya dan terus menerus sampai ke pusat pemerintahan. Perwira yang aktif ataupun sudah pensiun diangkat memangku jabatan di pemerintahan sipil dengan alasan perlindungan dan pengawasan. 6. Watak Dewa Baruna Peran angkatan bersenjata merupakan suatu yang vital bagi pemerintahan Soeharto dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat. Pada masa Soeharto ABRI membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil menurut doktrin dwifungsi. Menurut gagasan itu angkatan bersenjata memiliki dua peran yang saling berkaitan: membela negara tidak hanya dari ancaman militer konvensional yang berasal dari luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam 50
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 92.
51
74
negeri yang berciri apapun, seperti militer, politik, ekonomi, sosial, budaya, atau ideologis.52 Hampir sama dengan penilaian William Liddle di atas, bagi Soeharto ABRI memang merupakan fondasi utama yang menjaga stabilitas nasional sebagai stabilitator dan dinamisator. 53 Pada praktiknya angkatan bersenjata melalui ketetapan dwifungsi ABRI pada masa Soeharto bisa menempatkan tenaga militer baik yang aktif maupun pensiunan di DPR, MPR, dan DPR tingkat provinsi dan kabupaten sebagai eksekutif dan staf di pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten. Serta dalam posisi kekuasaan formal maupun informal Golkar.54 Jika dalam ajaran Astabrata Dewa Baruna digambarkan selalu membawa nagapasa, suatu senjata yang sangat sakti sebagai perlambangan seorang pemimpin yang selalu siap siaga dalam menjalankan tugas dan keamanan negara, maka menurut penulis ABRI pada masa itulah yang merupakan nagapasanya Soeharto, terutama dengan konsep dwifungsi ABRI yang memberikan ABRI keleluasaan yang begitu luas untuk menjaga keamanan dan kedamaian negara. Bagi Soeharto kewaspadaan dan keamanan tidak boleh dikendorkan demi kemakmuran, tetapi bukan berarti juga kewaspadaan keamanan itu berlebihlebihan sehingga membatasi ruang gerak.55
52
R. William Liddle, ”Rezim Orde Baru,” dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 73-74 53 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 459. 54 R. William Liddle,” Rezim Orde Baru,” hal. 74. 55 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 463.
75
7. Watak Dewa Kuwera Dengan meneladani sikap kepemimpinan Dewa Kuwera, permasalahan pokok yang penulis analisa dengan kepemimpinan Soeharto adalah bagaimana Soeharto memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, meskipun dalam teks Astabrata tersebut dibatasi hanya kepada para pembantu seorang pemimpin tetapi jika ditarik lebih umum, memenuhi kebutuhan pangan rakyat tentu juga memenuhi kebutuhan pangan para pembantu pemimpin, dan bagaimana Soeharto bersikap dalam memuji ataupun menegur para pembantunya dalam pemerintahan. Karena berdasarkan ajaran Astabrata dalam serat Yasadipura Dewa Kuwera digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mempercayai pembantunya tetapi juga tidak pernah melupakan kebutuhan jasmani mereka, tidak berlebihan dalam menyanjung dan tidak terlalu menyalahkan pegawainya jika berbuat salah.56 Sebagai seorang pemimpin yang berlatar belakang dari keluarga petani, Soeharto sangat mengerti tentang kebutuhan pangan di Indonesia dan bagaimana kebutuhan pangan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemakmuran dan kestabilan sebuah negara. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan pemerintahan Soeharto di awal-awal Orde Baru yang memfokuskan peningkatan pertumbuhan produksi beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan pemerintah Orde Baru bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi stabilitas politik dan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (Repelita III, 1979/1980-1983/1984) tujuan swasembada beras diperluas menjadi swasembada pangan.57
56
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 177. Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi,” hal. 158.
57
76
Selain itu juga tak jarang Soeharto ketika berkunjung ke daerah-daerah pedesaan langsung terjun kepada para petani dan berkomunikasi langsung tentang pertanian sebagaimana ditulis oleh August Parengkuan dalam tulisannya Kepala Negara Menyelusup ke Desa-Desa.58 Bukti nyata keberhasilan Soeharto dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah penghargaan yang diberikan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 1985 kepada Soeharto karena keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai swasembada beras. 8. Watak Dewa Brama Gerakan pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Soeharto, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan politik bagi rakyat Indonesia, dengan harapan warganegara memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajibannya sebagai negara dan dengan demikian seluruh warganegara akan ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan.59 Secara bertahap Soeharto membentuk badan-badan yang ditugasinya untuk memikirkan bahan penataran, memberi arahan dan melaksanakan penataran itu baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah. Penataran P4 ini pada mulanya dimulai dari pegawai negeri dan anggota ABRI karena merupakan aparat pelaksana penyelenggara pemerintahan negara, dan selanjutnya baru ke masyarakat luas seperti anggota partai politik dan Golongan Karya, alim ulama
58
Julius Pour, Warisan (daripada) Soeharto, hal. 84. Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 336.
59
77
dan rohaniawan, pemuda, mahasiswa, karyawan, pengusaha, wanita, para wartawan, para artis, dan lain sebagainya.60 Dari program P4 di atas, menurut penulis ini merupakan langkah Soeharto sebagai pemimpin dalam mengajak seluruh warganegara bersama-sama dalam membangun bangsa Indonesia. Hal ini serupa dengan pekerjaan Dewa Brama dalam Astabrata yang mengajak seluruh rakyatnya bekerja bersama-sama dengan pejabat negara untuk kebahagiaan rakyat itu sendiri.61 Dewa
Brama
juga
digambarkan
sebagai
teladan
pemimpin
dalam
menghancurkan musuh negara dengan sikap gagah berani, tetapi untuk analisa tentang menghadapi musuh negara ini menurut penulis sama dengan analisa kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Yama dan Baruna, yang keduanya sama-sama mengupayakan keamanan dan kestabilan negara. C. Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Islam Pada sub bab ini, fokus utama pembahasan penulis adalah menganalisa kepemimpinan Soeharto dari sudut pandang ajaran Islam dan mengemukakan persamaan atau perbedaan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam Islam dengan ajaran kepemimpinan Astabrata. Soeharto sebagai seorang pemimpin negara merupakan seorang yang beragama Islam, sehingga sangat penting untuk mengetahui bagaimana Soeharto bisa menerima dan memposisikan ajaran Astabrata pada dirinya yang notabenenya berasal dari ajaran Hindu. Ajaran kepemimpinan Islam yang penulis paparkan sebagai perbandingan dengan Astabrata adalah nilai-nilai kepemipinan perspektif al-Fārābī, karena al-Fārābī 60
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 337. Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 235.
61
78
merupakan seorang pemikir Muslim yang memiliki gagasan kepemimpinan dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah, Tahşīl al-Sa’ādah, Fuşūl Muntaza’ah, dll. 1. Kepemimpinan Perspektif al-Fārābī Bagi al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin. Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.62 Kemudian al-Fārābī juga memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang memiliki kesempurnaan tujuan. Apabila perbuatan-perbuatan, keutamaankeutamaan, dan reaktifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain pemimpin adalah orang yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana yang dimiliki oleh seorang failasuf.63 Bagi al-Fārābī, agar semua komunitas manusia ini memperoleh kebahagiaan sejati, pemimpin utama dalam melaksanakan tugasnya bisa mempergunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan karakter. Metode pengajaran dilakukan dengan memperkenalkan kebajikan teoritis, dengan harapan orang dapat memahami teori-teori dan melaksanakannya sesuai dengan
62
Al-Fārābī, Fuşūl Muntaza’ah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), hal. 47.
63
Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah (Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah, 1349H.), hal. 43.
79
ketentuan-ketentuan teoritis normatif tersebut. Sedangkan pembentukan karakter adalah metode memperkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan membiasakan bangsa dan penduduk untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersumber dari keadaan lingungan sekitar yaitu dengan cara membangkitkan tekad untuk melakukan tindakan-tindakan (utama) baik secara persuasif maupun paksaan pada diri mereka.64 Laksana sebuah rumah tangga, pemimpin adalah pengajar dan pembentuk karakter semua anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk karakter semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai beranjak dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara lemah lembut dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus kerja keras dan paksaan. Demikian halnya dengan masyarakat ada yang cukup dengan lemah lembut tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan mereka menjadi warga yang baik. Tujuan dari itu semua adalah kebahagiaan tertinggi.65 Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat terhadap dirinya semakin kuat. Pemimpin tida hanya pandai tebar pesona tetapi mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang memahami filsafat secara baik, dia adalah filsuf sejati.66 Bagi al-Fārābī pemimpin utama itu laksana jantung manusia.Jantung adalah organ utama dalam tubuh manusia.Dia harus ada dalam kondisi prima 64
Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 29. Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 31-32. 66 Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 44. 65
80
sebelum anggota-anggota tubuh vital lainnya. Anggota-anggota tubuh lain lain dalam beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi pemimpin-pemimpin di bawahnya dan seterusnya yang memiliki kapasitas dalam posisi memimpin dan dipimpin.67 Apa yang terjadi pada pemimpin utama pasti akan berimbas kepada pemimpin-pemimpin lain di bawahnya. Pemimpin utama adalah yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis melakukan pekerjaanpekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang tingkat kemuliaannya sedikit. Sebab utama adanya peringkat kepemimpinan itu adalah bahwa pemimpin utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua kawasan lainnya. Pemimpin utama cendrung untuk tidak memperdulikan hal-hal yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian. Pemimpin utama fokus kepada satu tujuan utama, yaitu mengabdi kepada Sebab Pertama, tunduk kepadaNya dan mencukupan diri hidup untuk-Nya. Pemimpin-pemimpin di bawahnya mengikuti apa yang dilaukan pemimpin utama namun tidak terlalu fokus pada tujuan utama, demikian seterusnya.68 Konsep kepemimpinan al-Fārābī yang bersifat simbolis dan falsafi ada kesesuaian dengan doktrin-doktrin agama yang menganalogikan negara sebagai tubuh manusia, sebagaimana hadist Rasulullah di bawah ini:
hal. 118.
67
Al- Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,
68
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121.
81
Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tida bisa tidur dan merasa demam (H.R. Bukhari Muslim). 2. Analisis Nilai-Nilai Kepemimpinan Islam dengan Astabrata pada Soeharto Pada bab pertama, penulis telah menjelaskan bahwa salah satu ciri kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu.69 Orang Jawa pada masa Hindu memiliki konsep tentang organisme negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Bahwa pandangan tentang alam yang yang terbagi dalam mikrokosmos (dunia manusia) dan makrokosmos (dunia supra manusia) adalah sesuatu yang pokok bagi pandangan dunia orang Jawa. Dalam pandangan ini terkandung dua faktor yang penting bagi pemahaman orang Jawa mengenai kehidupan negara: pertama, adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, dan kedua, adanya pengaruh timbal-balik antara makrokosmos dan mikrokosmos.70 Karena pemahaman kesejajaranantara makrokosmos dan mikrokosmos raja pada masa Jawa atau Hindu dahulu disamasuaikan dengan Dewa.71 Hal ini tentu sangat bertentangan dengan ajaran Islam apabila memposisikan seorang raja atau pemimpin sejajar dengan Tuhan/Allah dan dalam konsep kepemimpinan alFārābī juga telah ditegaskan bahwa memang ada hierarki dalam kepemimpinan,
69
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal. 6. 70 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 33. 71 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34.
82
tetapi seorang pemimpin utama tidaklah sejajar dengan Sebab Pertama melainkan bertugas mengabdi kepada-Nya dan mencukupkan hidup hanya untuk-Nya.72 Identifikasi (penyamasuaian) raja dengan Dewa di Jawa tidak berlaku lagi pada masa Jawa Islam, karena ajaran Islam secara terang-terangan menolak penyamasuaian antara manusia dengan Tuhan. Teologi Islam menempatkan Raja dalam kedudukan yang tidak setinggi atau semulia sebelumnya, hanya sebagai kalipatullah.73 Ajaran Astabrta yang memuat delapan kebaikan yang ditentukan bagi raja atau pemimpin untuk memimpin suatu kerajaan atau negara memuat kebajikan yang disamakan dengan kebaikan delapan Dewa dalam pantheon Hindu. Soeharto sebagai seorang Muslim selama kepemimpinannya menerapkan ajaran ini, tetapi hal yang perlu digaris bawahi di sini menurut penulis adalah bagaimana penulis memandang Soeharto yang hanya menerapkan ajaran-ajaran Astabrata sebatas untuk mengatur masalah-masalah kebijaksanaan negara, yang meliputi kasih hati yang pemurah maupun kekerasan yang tiada kenal ampun dan tidak melupakan arti penting harta benda maupun daya kecerdasan.74 Secara garis besar, kebaikan-kebaikan pemimpin yang diatur dalam Astabrata menurut penulis memiliki kesamaan dengan gagasan al-Fārābī tentang seorang pemimpin yang utama, diantaranya: 1. Bagi al-Fārābī pemimpin haruslah seorang yang paling sejahtera, karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan bagi warga kota, sama halnya dengan kebaikan Dewa Indra dan Kuwera dalam Astabrata yang mengharuskan pemimpin untuk mensejahterakan rakyatnya secara merata. 72
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34. 74 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 52. 73
83
2. Bagi al-Fārābī pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis agar mendapat kepercayaan dari masyarakat, karakter ini hanya dimiliki oleh seorang failasuf. Dalam Astabrata pemimpin juga haruslah seorang yang memiliki pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam seperti sifat Dewa Bayu dan Baruna. 3. Bagi al-Fārābī agar semua komunitas memperoleh kebahagiaan sejati, pemimpin utama dalam melaksanakan tugasnya bisa menggunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan karakter. Hal ini bisa dilakukan secara persuasi maupun secara paksaan. Konsep ini menurut penulis bisa disamakan dengan kebaikan Dewa Surya, Candra yang lebih mengutamakan kelembutan dan kasih sayang dan Dewa Yama dan Baruna dalam bertindak tegas dalam menjaga negaranya untuk kebahagiaan rakyatnya. Selanjutnya, pada akhir bab ini penulis bisa menegaskan bahwa meskipun pada awalnya ajaran Astabrata berasal dari ajaran agama Hindu di India namun untuk penerapannya di Jawa dan Indonesia secara umum telah memisahkan antara kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya dengan konsepnya sebagai ajaran sebuah agama. Terlebih setelah Islam masuk ke Jawa konsep penyesamaan antara raja/pemimpin dengan Dewa telah dihapuskan. Soeharto
pun
dalam
menerapkannya
hanya
memandang
Hasta
Brata(Astabrata) sebagai sebuah wejangan (nasehat) atau pandangan hidup Orang Jawa bukan ajaran Hindu.
BAB V PENUTUP BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Filsafat kepemimpinan Astabrata merupakan ajaran kepemimpinan Jawa kuno yang mencontohkan agar seorang pemimpin bersikap layaknya dewa-dewa yang ada dalam naskah Astabrata. Karena dalam budaya kepemimpinan Jawa pemimpin adalah titisan dewa di muka bumi. Dalam menjalankan kepemimpinannya Soeharto sangat banyak terpengaruh oleh ajaran Astabrata, seperti dalam permasalahan hukum, keamanan negara, stabilitas nasional yang sangat kental dengan ajaran Dewa Yama. Namun, menurut penulis masih belum secara keseluruhan ajaran Astabrata dapat diterapkan Soeharto secara baik, seperti: Pertama, permasalahan kesejahteraan secara merata yang merupakan teladan Dewa Indra bagi seorang pemimpin tetapi penulis juga sepakat bagaimana pandangan Nurcholish Madjid tentang ketidakmerataan kesejahteraan pada masa Orde Baru, Nurcholish Madjid mengibaratkannya sebagai sebuah dilema pembagiaan kue yang baru akan membesar jika kuenya dibagi secara cepat dan merata kepada seluruh rakyat masing-masing hanya akan mendapat bagian yang sangat kecil, tetapi jika dibagikan hanya kepada segelintir kelompok tertentu (dalam permasalahan ini daerah pusat) maka kelompok lain akan bersusah payah menjemputnya ke pusat.
84
85
Kedua, watak pemaaf seorang pemimpin pada Dewa Surya tidak diteladani oleh Soeharto, hal ini bisa dilihat dari sikap-sikap Soeharto kepada pembantu ataupun orang dekatnya jika telah dianggap melakukan kesalahan. Secara keseluruhan ajaran Astabrata benar-benar telah diterapkan oleh Soeharto selama memimpin Indonesia, karena memang Soeharto sendiri juga membaca wejangan-wejangan (nasehat-nasehat) dalam ajaran Astabrata bahkan juga menyampaikannya kepada orang-orang dekat atau pembantunya dalam pemerintahan, sebagaimana keterangan Rudini (Kepala Staf Angkatan Darat) pada masa Soeharto bahwa Soeharto pernah mengeluarkan buku wejangan yang berjudul Hasta Brata. B. Saran-saran Dengan penulisan skripsi ini, penulis memberikan saran kepada semua pihak yang membaca tulisan ini, khususnya kepada jurusan Aqidah Filsafat bahwa bangsa Indonesia atau dahulunya bernama Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri yang berbeda dengan konsep yang ada di Barat ataupun Islam, tetapi tetap tidak lepas dari gagasan dasar filsafat secara umum, yaitu berfikir secara mendalam agar mencapai kebijaksanaan. Selain itu, menurut penulis filsafat Nusantara masih sangat layak untuk dipelajari di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah untuk memperkaya wawasan dan kematangan berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sri Wintala. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi. Yogyakarta: Araska, 2013. Akhmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Azis, Abdul. “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada seminar Bill of Human Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives, Ciputat, 20 September 2016. Booth, Anne, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan." Dalam Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 185-358. Cribb, Robert, "Bangsa: Menciptakan Indonesia." Dalam Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 3-64. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Djamhari, Saleh As'ad, "Lahirnya Orde Baru." Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011: hal. 2-27. Endaswara, Suwardi. Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2013. Fārābī, Al. Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah . Beirut: Dar al-Masyriq, 2002. -------------. Fuşūl Muntaza’ah . Beirut: Dār al-Masyriq, 1993. -------------. Tahşīl al-Sa’ādah. Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah, 1349H. Harneni, Yuanita Rusalia. “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009. K.H, Ramadhan dan Dwipayana, G. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
Saya.
Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
86
87
Liddle, R. William,”Rezim Orde Baru.” Dalam Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 65-122. Magnis Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:PT. Gramedia, 1991. Maksum, Ali. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016. Maswinara, I Wayan. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Paramita, 2007. Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES, 2004. Pour, Julius. “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan.” Dalam Bagus Dharmawan, ed. Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal. 4347. Rachman, M. Fadjroel. ”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar.” Dalam Bagus Dharmawan ed., Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal. 527-537. Sari, Dewi Ambar dan Sange, Lazuardi. Jakarta: Jakarta Citra, 2006.
Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto.
Suhardana, K. M. Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 2006. Suratno, Pardi. Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja. Yogyakarta: Adiwacana, 2006. Syam, Firdaus, “Militer dan Dwifungsi.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 28-53. Syukur, Abdul, “Hubungan Masyarakat dan Negara.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 54-77.
88
Wie, Thee Kian, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan." Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 146-163. Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati." Dalam Robertus Robet & Todung Mulya Lubis, ed. Politik Hukuman Mati di Indonesia. Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016: hal. 1-55. Wiwoho, Bambang. “Falsafah Kepemimpinan Astabrata.” Artikel diakses pada 15 Januari 2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata