REFORMASI BIROKRASI vs REMUNERASI Agustinus Sulistyo, SE., MSi.1 Abstract Bureaucracy reform became the government commitment with the aim of improving the performance of the government organization. Bureaucracy reform was carried out by improving the structure of the organization, improved business process, and improved the management of human resources. By running the bureaucracy reform, the government official will get remuneration that is taking the form of giving of the achievement allowance. But in fact, the condition that happened was the reverse. Organization carried out bureaucracy reform to receive remuneration. So bureaucracy reform that was carried out did not touch his root, but just met the condition for the documentation of bureaucracy reform and get the remuneration. Keywords : civil servant, bureaucracy reform, salary, allowance, remuneration.
Abstraksi Reformasi birokrasi menjadi komitmen pemerintah dengan tujuan meningkatkan kinerja organisasi pemerintah. Reformasi birokrasi dilakukan dengan meningkatkan struktur organisasi, meningkatkan proses bisnis, dan meningkatkan pengelolaan sumber daya manusianya. Dengan melaksanakan reformasi birokrasi, para PNS akan memperoleh remunerasi berupa pemberian tunjangan yang didasarkan pada pencapaian kinerjanya. Tapi pada kenyataannya, kondisi yang terjadi sebaliknya. Organisasi melakukan reformasi untuk memperoleh remunerasi. Sehingga tujuan reformasi birokrasi tidak menyentuh tujuan akarnya, hanya pada kelengkapan dokumentasi reformasi birokrasi dan memperoleh remunerasi. Kata Kunci : PNS, reformasi birokrasi, gaji, tunjangan, remunerasi. *) Tulisan ini pernah dimuat pada Jurnal Otonomi Daerah pada tahun 2012.
A. Reformasi di Indonesia Reformasi di Indonesia yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan dibawah Presiden Soeharto menjadi tonggak perubahan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Diawali dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang akhirnya berkembang menjadi krisis multi dimensi pada tahun 1998 telah mendorong terjadinya reformasi di Indonesia. Krisis multi dimensi tersebut telah mendorong semua lapisan masyarakat untuk menuntut pemerintah melakukan perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Para mahasiswa sebagai motor penggerak reformasi bergerak menduduki gedung DPR dan istana presiden serta memenuhi jalan-jalan ibukota dan akhirnya mendesak Presiden Soeharto untuk menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie pada bulan Mei 1998. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan reformasi tersebut. Penerbitan TAP MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang 1
Peneliti Muda LAN, bekerja di Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
1
Bersih dan Bebas dari KKN, yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN. Kemudian penerbitan TAP MPR-RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, TAP MPR-RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN, TAP MPR-RI Nomor II/MPR/2002 yang mengamanatkan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional termasuk reformasi birokrasi dan membangun penyelenggaraan negara dan dunia usaha yang bersih, serta TAP MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 yang mengamanatkan pemberantasan KKN, penegakan dan kepastian hukum, serta reformasi birokrasi dengan penekanan pada kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggungjawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Perjalanan reformasi setelah lebih dari satu dasa warsa terlihat banyak sekali perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut mencakup semua bidang, baik bidang sosial, politik, hukum, ekonomi termasuk pemerintahan. Sebagaimana diketahui dan dirasakan, reformasi di bidang politik telah berjalan dengan sangat cepat, ditandai dengan berlangsungnya PEMILU yang demokratis dan menghasilkan wakil-wakil rakyat, baik di tingkat DPR (pusat) maupun DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) serta pembentukan DPD (dewan perwakilan daerah yang merupakan representasi wakil dari masing-masing daerah) serta pemilihan presiden dan wakil presiden maupun kepala daerah baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota secara langsung oleh rakyat. Dengan kondisi ini keterlibatan rakyat dalam memberikan aspirasi, khususnya dalam menentukan pemimpinnya lebih dihargai dan lebih didengar. Sementara itu di bidang pemerintahan khususnya pemerintahan daerah juga terjadi perubahan yang cukup signifikan. Sistem pemerintahan yang pada masa orde baru cenderung menerapkan sentralisasi kekuasaan saat ini telah berubah dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang saat ini sedang dalam proses revisi). Demikian pula di bidang hukum, upaya penegakan hukum dirasakan semakin keras dilakukan oleh aparatur penegak hukum baik polisi, hakim maupun jaksa. Pembentukan institusi KPK (komisi pemberantasan korupsi) dan penerbitan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (tipikor) telah banyak memberi angin segar pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sementara dalam upaya mengurangi sengketa dalam pelaksanaan peraturan atau kebijakan telah dibentuk MK (Mahkamah Konstitusi). Setelah lebih dari satu dasa warsa, atau bisa disebut sebagai reformasi jilid kedua perubahan-perubahan tersebut ada yang menunjukkan perbaikan tetapi ada juga yang menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. Di bidang politik terlihat semakin menguatnya posisi legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada jaman dulu, legislatif seringkali diposisikan sebagai tukang stempel saja dalam penyusunan kebijakan. Hampir semua kebijakan berasal dari pemerintah (legislatif), tetapi saat ini inisiatif suatu kebijakan ada yang berasal dari legislatif. Kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan perimbangan posisi antara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi penguatan posisi legislatif ini juga menimbulkan tersendatnya penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya perseteruan yang terjadi antara KPK dengan Komisi III DPR terkait penolakan kehadiran Bibit Samad dan Chandra Hamzah dalam rapat dengan DPR. Kondisi ini telah menyebabkan tersendatnya upaya penuntasan kasus Bank Century yang sudah berjalan sekian lama. Demikian pula dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi, yaitu terjadinya peningkatan pemekaran daerah, khususnya kabupaten dan kota. Data yang di-release di http://id.wikipedia.org/ (diunduh tanggal 9 Januari 2013), jumlah kabupaten/kota di Indonesia adalah sebanyak 34 provinsi, 409 kabupaten, 93 kota, 1 kabupaten administrasi 2
dan 5 kota administrasi di Indonesia. Kabupaten administrasi dan kota administrasi adalah daerah yang tidak mempunyai DPRD. Padahal pada awal tahun 1998, jumlah provinsi hanya 27, kabupaten/kota sebanyak 293. Data ini menguatkan pendapat bahwa kebijakan desentralisasi yang diambil pemerintah cenderung meningkatkan jumlah pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota). Apakah dengan peningkatan jumlah kabupaten/kota, kesejahteraan masyarakat meningkat? Selanjutnya dibidang hukum, pembongkaran kasus mafia pajak mantan pegawai Kementerian Keuangan Gayus Tambunan, pengungkapan suap anggota DPR dalam pemilihan Gubernur Senior BI, kasus politisasi pimpinan KPK, Bibit Samad dan Chandra Hamzah dan banyak kasus korupsi oleh kepala daerah merupakan contoh-contoh kasus yang sudah terbongkar. Bahkan terkait dengan korupsi di daerah, Kementerian Dalam Negeri mencatat, 173 pimpinan daerah terlibat kejahatan korupsi sejak tahun 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan dari jabatannya (berita-lampung.blogspot.com/2012/04/kepala-daerah-tersangka-korupsi-2004.html/, diunduh 9 Januari 2013). Sementara gambaran di tingkat kabupaten/kota berdasarkan data yang di-release oleh Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Januari 2011 disebutkan bahwa pada tahun 2010 ada 174 kasus korupsi yang terjadi di Jawa Tengah, lebih banyak apabila dibandingkan kasus pada tahun 2009 (39 kasus) dan tahun 2008 (29 kasus) atau ada kenaikan hingga empat kali lipat. Dari 174 kasus itu, kabupaten terkorup adalah Kota Semarang (11 kasus), disusul Kabupaten Temanggung (9 kasus) dan Kendal (8 kasus) dan daerah lainnya bervariasi jumlah kasusnya, antara 2-7 kasus (http://www.pikiranrakyat.com/, diunduh 4 Pebruari 2011). Gambaran yang hampir sama juga terjadi di Provinsi Bengkulu dimana terjadi 68 kasus korupsi dengan total kerugian keuangan negara mencapai Rp 16 Milyar yang terjadi di Provinsi Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kabupaten Muko-muko, Kabupaten Lebong dan Kota Bengkulu (http://bataviase.co.id/, diunduh 4 Pebruari 2011). Berbagai kasus yang terbongkar ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam pemberantasan kejahatan, khususnya dalam kejahatan korupsi menunjukkan hasil yang membaik. B. Reformasi Birokrasi Sementara itu reformasi di pemerintahan atau yang lebih dikenal dengan istilah reformasi birokrasi sudah dimulai sejak tahun 2007. Perubahan dalam tata kelola internal pemerintahan ini diawali dengan adanya pilot project untuk tiga instansi, yaitu Kementerian Keuangan, MA dan BPK. Perubahan yang dilakukan meliputi perampingan struktur kelembagaan sehingga bisa mendukung efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dilakukannya standarisasi terhadap business process atau tata kerja dalam bentuk penyusunan standard operating procedure (SOP) yang baku, dan penilaian kinerja pegawai yang dilakukan dengan menggunakan instrument yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai dan mengkaitkannya dengan pemberian insentif yang memadai (remunerasi). Tujuan perbaikan dalam tata kelola khususnya di tiga instansi ini adalah untuk meningkatkan kinerja instansi tersebut dan pada tahap awal bisa menjadi contoh bagi instansi lainnya. Dalam praktiknya, meskipun masih ada kendala dan hambatan, pelaksanaan reformasi birokrasi di tiga instansi ini dianggap cukup berhasil dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Kebijakan reformasi birokrasi dilanjutkan oleh Kementerian PAN, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, dengan mengeluarkan Keputusan Menteri PAN Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Pedoman ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi
3
kementerian/lembaga/ pemerintah daerah lainnya dalam melakukan reformasi birokrasi di instansinya masing-masing. Untuk lebih mempermudah kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam melakukan reformasi birokrasi, maka pada tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri PAN Nomor PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah. Tujuan dikeluarkannya peraturan ini adalah supaya ada kesamaan bentuk dokumen usulan rencana reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Pada tahun 2010, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. Dalam grand design ini dimuat mengenai tujuan dari grand design reformasi birokrasi, yaitu untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional selama kurun waktu 2010-2025 agar reformasi birokrasi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan. Kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi visi pembangunan nasional, arah kebijakan reformasi birokrasi, visi, misi, tujuan dan sasaran reformasi birokrasi. Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa visi pembangunan nasional adalah : Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa arah kebijakan reformasi birokrasi, mencakup dua hal, yaitu : 1. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun didaerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. (UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025). 2. Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi. (Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014). Visi reformasi birokrasi sendiri adalah menjadi pemerintahan kelas dunia, yaitu dengan mewujudkan birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat, menghadapi kompleksitas permasalahan di abad 21 melalui tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun 2025. Visi reformasi birokrasi tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam tiga misi, yaitu: 1. Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik; 2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan dan akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set; 3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. Tujuan dilakukannya reformasi birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berikinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dengan reformasi birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang berorientasi pada hasil melalui perubahan secara terencana, bertahap, berkelanjutan dan terintegrasi dari berbagai aspek
4
strategis birokrasi. Area perubahan yang menjadi target reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, yaitu : a. Organisasi, hasil yang diharapkan adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), b. Tatalaksana, hasil yang diharapkan adalah sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, c. Peraturan perundang-undangan, hasil yang diharapkan adalah regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif, d. Sumber daya aparatur, hasil yang diharapkan adalah SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berikinerja tinggi dan sejahtera, e. Pengawasan, hasil yang diharapkan adalah meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, f. Akuntabilitas, hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, g. Pelayanan publik, hasil yang diharapkan adalah pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat, h. Budaya kerja aparatur, hasil yang diharapkan adalah birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi. Untuk bisa melaksanakan semua tujuan dan sasaran reformasi birokrasi tersebut perlu adanya suatu peta jalan atau road map. Road map reformasi birokrasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010, disusun dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Tujuan ditetapkannya road map reformasi birokrasi adalah untuk mengawal/menjaga agar pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan. Berikut ini diberikan gambaran mengenai keterkaitan antara grand design reformasi birokrasi dengan road map reformasi birokrasi. Grand design reformasi birokrasi 2010-2025 memuat rancangan umum reformasi birokrasi untuk periode 20102025 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, road map reformasi birokrasi 2010-2014 memuat rencana rinci reformasi birokrasi untuk periode 2010-2014 yang lebih bersifat living document dan ditetapkan dengan PermenPAN dan RB, road map reformasi birokrasi 2015-2019 dan road map reformasi birokrasi 2020-2024 memuat rencana rinci reformasi birokrasi yang akan disusun sesuai dengan hasil pelaksanaan RPJMN dan road map reformasi birokrasi sebelumnya serta dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan, dan masa transisi 2024-2025 merupakan masa transisi perubahan dari RPJMN yang akan didasarkan pada RPJPN periode berikutnya. C. Kondisi Empiris Uraian diatas adalah gambaran yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalankan reformasi birokrasi. Banyak kebijakan yang sudah dihasilkan dan menjadi dasar dalam menjalankan reformasi birokrasi. Pada tahun 2012 ada dua puluh (20) instansi yang segera memperoleh remunerasi, yaitu : Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Badan Pusat Statistik, Lembaga Ketahanan Nasional, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Narkotika Nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Lembaga Sandi Negara, Arsip Nasional Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Lembaga Administrasi Negara 5
(http://remunerasipns.wordpress.com/ diunduh 9 Januari 2013). Kesembilan instansi tersebut menyusul melakukan reformasi birokrasi dan segera memperoleh remunerasi. Setelah sekian tahun melakukan reformasi, sangat menarik untuk melihat apakah memang ada perubahan yang terjadi dengan birokrasi Indonesia. Satu penelitian yang patut dicatat adalah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Jin Park dari KDI School of Public Policy and Management, Seoul, Korea Selatan. Dalam bukunya Governance Reform in Indonesia and Korea: a Comparative Perspective (2010), Prof. Jin Park menyebutkan adanya berbagai kesamaan yang ditemukan antara birokrasi yang dijalankan di Indonesia dengan birokrasi di Korea. Paling tidak ada empat kesamaan yang potensial menjadi permasalahan yang dicatat oleh Prof. Jin Park, yaitu : 1. Closed, rank-based system; lacking in specialization and competition, 2. Cronyism and a respect for a bureaucratic procedure, 3. Presidential system of 5 year term, 4. System of written law. Adanya persamaan permasalahan tersebut membuat lebih mudah dalam memberikan solusi dalam upaya perbaikan karena pada prinsipnya kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini pernah terjadi di Korea Selatan. Pemerintah Indonesia bisa belajar dari pengalaman pemerintah Korea Selatan dalam menangani permasalahan-permasalahan yang muncul dalam birokrasinya. Beberapa masalah yang berhasil diidentifikasi oleh Prof. Jin Park dalam penelitiannya terkait dengan pengelolaan kepegawaian. Beberapa masalah disebutkan berikut ini : - Karier pegawai pada awalnya ditetapkan berdasarkan pada tingkat pendidikannya, misalnya pegawai golongan II/a untuk pegawai dengan pendidikan SLTA, golongan III/a untuk pegawai dengan pendidikan S1 dan golongan III/c untuk pegawai dengan pendidikan S2. Ujian yang diberikan untuk golongan II dan III relatif sama padahal tingkat pendidikannya berbeda. Catatan pentingnya adalah bahwa tingkat pendidikan pegawai tidak berhubungan langsung dengan kompetensinya. - Kenaikan pangkat/golongan reguler setiap empat tahun sekali tanpa memperhatikan kompetensinya. Kenaikan pangkat/golongan juga bisa dilakukan dengan menempuh pendidikan formal, misalnya melanjutkan dari jenjang SLTA ke jenjang S1. Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa pegawai hanya sekedar mendapat ijasah tanda lulus saja tanpa memperhatikan peningkatan kompetensinya. - Mutasi dan rotasi tidak dilakukan secara rutin, ada pegawai yang seringkali berpindah tempat tugas tetapi ada juga pegawai yang sangat lama di tempat tugas yang sama. - Dua jenis jabatan, yaitu pejabat struktural dan pejabat fungsional belum mempunyai job specification dan job description yang jelas. - Sistem penggajian didasarkan pada pangkat/golongan dan masa kerja belum didasarkan pada kinerja pegawai. Dari permasalahan tersebut Prof. Jin Park memberikan solusi sebagai berikut : - Perlunya ada pembedaan tes masuk untuk PNS golongan II dan III, tes untuk golongan III harus lebih sulit dan komplek sesuai dengan posisi yang akan dimasukinya dan kemampuan yang diharapkan, - Calon pegawai yang lolos tes golongan III masuk ke tingkat/level yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pendidikannya, - Menghilangkan kenaikan pangkat secara otomatis (kenaikan reguler empat tahun sekali) dan digantikan dengan kenaikan berbasiskan kompetensi dan kinerja, - Adanya sistem mutasi dan rotasi yang rutin dilakukan, ini berlaku untuk jabatan struktural maupun fungsional dengan pertimbangan yang tepat,
6
-
Adanya job specification yang jelas diantara pegawai, baik struktural maupun fungsional, - Adanya penilaian kinerja yang jelas dan dikaitkan dengan pemberian reward and punishment, - Perlunya lembaga yang kuat untuk mengawal reformasi. Solusi yang diberikan oleh Prof. Jin Park tersebut rasanya bukan hal baru bagi pemerintah Indonesia karena sudah sering disampaikan oleh para ahli dari dalam negeri dalam berbagai kesempatan. Sebagai contoh, kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2010, Kajian Grand Design Reformasi PNS. Dalam kajiannya tersebut, LAN menyarankan untuk : (1) segera dilakukan penyusunan dan penetapan kebijakan atau peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian (PNS) dalam bentuk UndangUndang maupun peraturan pelaksanaannya, (2) segera dilakukan penguatan dan reposisi terhadap instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan PNS, yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN), (3) penerapan manajemen yang ideal dalam pengelolaan PNS, dan (4) Melaksanakan grand design reformasi PNS sesuai dengan road map yang ditetapkan. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah mengapa hal tersebut belum/tidak bisa dijalankan oleh pemerintah. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi oleh pemerintah? Dengan kondisi tersebut maka tidaklah mengherankan apabila dalam acara seminar launching buku Governance Reform in Indonesia and Korea: a Comparative Perspective (2010) di Jakarta, 20 Januari 2011 Prof. Jin Park memberikan kesimpulan yang “sangat keras” terkait pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Dalam makalahnya Prof. Jin Park menyebutkan adanya empat masalah utama dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Keempat masalah tersebut adalah : 1. No Action : especially for fundamental reform, 2. No Coordination : Only organizational level reform is pursued, 3. No Impact : Each ministry pretends to do reform for remuneration, 4. No Sustainability : How to drive reform after remuneration? Kesimpulan penelitian dengan empat masalah yang dicatat oleh Prof. Jin Park tersebut tentunya cukup mengejutkan. Reformasi birokrasi yang diharapkan bisa berjalan lancar, right on the track dengan adanya berbagai peraturan yang bisa dijadikan pedoman ternyata “telah salah arah” sehingga menghasilkan empat kesimpulan tersebut. Bisa dikatakan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi telah “gatot alias gagal total”. Tulisan ini mencoba membahas point ketiga saja dari empat masalah utama yang disampaikan oleh Prof. Jin Park, yaitu terkait remunerasi dan tindak lanjutnya. Hal ini sangat penting karena kondisi dilapangan menunjukkan adanya kesenjangan atau gap yang cukup besar dalam penerimaan take home pay antara pegawai yang instansinya sudah memperoleh remunerasi dengan pegawai yang instansinya belum memperoleh remunerasi. kesenjangan atau gap yang terjadi tersebut bisa memicu kecemburuan dan bisa berdampak menurunnya semangat kerja pegawai apabila tidak segera diatasi. Dan kondisi inilah yang mendasari instansi-instansi dalam melakukan reformasi, yaitu untuk memperoleh remunerasi sehingga pegawainya bisa menerima take home pay yang tidak berbeda jauh. Dan fenomena inilah yang dilihat oleh Prof. Jin Park sehingga menghasilkan kesimpulan ketiga, yaitu instansi berpura-pura dalam melakukan reformasi untuk memperoleh remunerasi. Melihat instansi yang sudah memperoleh remunerasi dengan jumlah yang cukup besar maka tidak mengherankan apabila muncul kecemburuan instansi lain yang belum memperoleh remunerasi. Instansi saling berlomba untuk bisa mengimplementasikan 7
reformasi birokrasi dengan harapan memperoleh remunerasi. Remunerasi menjadi salah satu upaya peningkatan kesejahteraan pegawai dan reformasi birokrasi menjadi jalan untuk mencapainya. Dalam konteks ini telah terjadi “salah-kaprah”. Seharusnya instansi melakukan reformasi birokrasi sehingga bisa memperbaiki kinerjanya dan layak memperoleh remunerasi, tetapi yang terjadi adalah melakukan reformasi birokrasi untuk memperoleh remunerasi. Maka tidak salah apabila yang terjadi adalah instansi berlombalomba memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diminta dalam Peraturan Menteri PAN Nomor PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, tetapi justeru melupakan esensi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi hanya berhenti pada penyediaan dokumen-dokumen saja tetapi implementasinya tidak ada. D. Reformasi vs Remunerasi Upaya peningkatan kesejahteraan pegawai memang menjadi konsentrasi dari pemerintah. Peningkatan ini tentu saja bukan hanya dengan menambah jumlah gaji semata tetapi harus dengan berbagai ukuran yang jelas. Kondisi selama ini menunjukkan bahwa hampir setiap tahun dilakukan penyesuaian atau perubahan gaji oleh pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini masih saja dikatakan kurang karena gaji yang diterima tidak mampu mencukupi kebutuhan. Padahal didalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 7 ayat (1) disebutkan PNS berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai beban kerja dan tanggung jawabnya. Gaji yang adil dan layak artinya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan mampu meningkatkan kesejahteraannya. Sesuai beban kerja dan tanggung jawab berarti masing-masing pegawai menerima gaji yang berbeda sesuai beban kerja dan tanggung jawab masing-masing. Pengaturan mengenai gaji PNS tersebut selanjutnya diatur secara teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Sistem Penggajian PNS sebagaimana telah disesuaikan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010. Didalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa pemberian gaji PNS didasarkan pada dua aspek, yaitu golongan/ruang dan masa kerja. Golongan/ruang PNS dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu : Golongan I terdiri dari 4 (empat) ruang : a, b, c, d; Golongan II terdiri dari 4 (empat) ruang : a, b, c, d; Golongan III terdiri dari 4 (empat) ruang : a, b, c, d; dan Golongan IV terdiri dari 5 (lima) ruang : a, b, c, d, e. Sementara masa kerja pegawai dihitung dalam tahunan dan setiap dua tahun sekali diberikan kenaikan gaji berkala. Hampir setiap tahun dilakukan penyesuaian terhadap nilai nominal gaji pokok PNS. Penyesuaian ini bertujuan supaya PNS bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan adanya peningkatan harga-harga kebutuhan. Berikut ini disajikan daftar gaji pokok PNS sejak sepuluh tahun terakhir. Tabel Gaji Pokok PNS (Tahun 2000-2010) Tahun
Gaji Terendah (Rp)
Gaji Tertinggi (Rp)
Perbandingan
2000
135.000
722.500
1:5
2001
150.000
1.500.000
1:3
2002
500.000
1.500.000
1:3
2003
575.000
1.800.000
1 : 3.1
2004
575.000
1.800.000
1 : 3.1
2005
575.000
1.800.000
1 : 3.1
8
2006
661.300
2.070.000
1 : 3.1
2007
760.500
2.405.400
1 : 3.1
2008
1.040.000
2.910.000
1 : 3.2
2009
1.095.000
3.400.000
1 : 3.3
2010
1.204.500
3.580.000
1 : 3.3
Sumber : http://remunerasipns.wordpress.com/
Dari data tersebut terlihat bahwa kenaikan tertinggi gaji pokok PNS terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar kurang lebih 270%. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sementara pada periode tahun 2003 sampai tahun 2005 tidak ada kenaikan gaji PNS, yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati dan pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sementara itu, apabila dilihat dari perbandingan antara gaji tertinggi dan terendah dalam tabel tersebut, rata-rata adalah sebesar 1 : 3 dengan perbedaan masa kerja selama 32 tahun. Pada tahun 2004, PNS diberikan gaji ketiga belas yang dibayarkan pada bulan Juni/Juli. Kebijakan ini terus berlangsung sampai saat ini. Tujuan pemberian gaji ketiga belas adalah untuk membantu PNS khususnya dalam pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Selain menerima gaji pokok sebagaimana dijelaskan didepan, PNS juga menerima berbagai tunjangan. Tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada PNS antara lain : 1. Tunjangan keluarga, yang besarnya untuk suami/istri adalah 10% dari gaji pokok, untuk anak sebesar 2% dari gaji pokok dan diberikan maksimal untuk dua orang anak. 2. Tunjangan pangan atau uang makan diberikan paling banyak 22 hari kerja dalan satu bulan. Pada tahun 2010 besaran uang makan adalah sebesar Rp 20.000 per hari. 3. Tunjangan jabatan yang diberikan kepada PNS yang menduduki jabatan tertentu, yaitu jabatan struktural (terakhir diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2007) dan jabatan fungsional tertentu yang sudah diatur dalam Peraturan Presiden sesuai dengan jabatan fungsionalnya. 4. Tunjangan umum yang diberikan bagi PNS yang tidak menduduki jabatan tertentu (staf pelaksana umum). Berikut ini disajikan besaran tunjangan jabatan struktural yang diterima oleh PNS periode tahun 2006 sampai dengan 2007 dan masih berlaku sampai sekarang. Besaran Tunjangan Jabatan Struktural PNS No
Jabatan
Tunjangan Jabatan (Rp) Perpres No 3/2006
Perpres No 26/2007
1.
Eselon IA
4.500.000
5.500.000
2.
Eselon IB
3.500.000
4.375.000
3.
Eselon IIA
2.500.000
3.250.000
4.
Eselon IIB
1.500.000
2.025.000
5.
Eselon IIIA
900.000
1.260.000
6.
Eselon IIIB
675.000
980.000
7.
Eselon IVA
360.000
540.000
9
8.
Eselon IVB
315.000
490.000
9.
Eselon VA
225.000
360.000
Sumber : Perpres No. 3 Tahun 2006 dan Perpres Nomor 26 Tahun 2007
Sedangkan besaran tunjangan umum PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum PNS adalah sebagai berikut : Besaran Tunjangan Umum PNS No
Golongan
Tunjangan (Rp)
1.
IV
190.000
2.
III
185.000
3.
II
180.000
4.
I
175.000
Sumber : Perpres Nomor 12 Tahun 2006
Sementara untuk tunjangan jabatan fungsional tertentu diatur dalam Peraturan Presiden yang berbeda-beda tergantung pada masing-masing jabatan fungsional. Besaran Tunjangan Fungsional PNS No
Jabatan
Tunjangan Jabatan Fungsional Tertentu (Rp) Peneliti
Widyaiswara
Dosen
1.
Utama
1.230.000
1.230.000
990.000
2.
Madya
1.094.000
958.000
709.000
3.
Muda
660.000
660.000
552.200
4.
Pertama
278.000
278.000
297.000
Sumber : Perpres Nomor 24 Tahun 2006, Perpres Nomor 52 Tahun 2006, Perpres Nomor 59 Tahun 2006
Untuk peneliti, pada akhir tahun 2012 sudah dinaikkan tunjangannya, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2012. Besarannya adalah : jenjang peneliti utama : Rp 5.200.000, jenjang peneliti madya : Rp 3.000.000, jenjang peneliti muda : Rp 1.750.000, jenjang peneliti pertama : Rp 1.100.000, satu kenaikan yang cukup besar. Semua data yang disajikan tersebut adalah pendapatan (take home pay yang terdiri dari gaji pokok dan tunjangan) yang diperoleh oleh seorang PNS. Meskipun secara nominal cukup besar, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang menyatakan bahwa gaji tersebut masih kurang. Total pendapatan PNS tersebut dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Agustinus Sulistyo (2010) menyebutkan bahwa dilihat dari besarannya gaji PNS dirasakan masih kurang, karena besaran gaji pokok PNS terendah masih lebih rendah daripada UMR (upah minimum regional) dan UMP (upah minimum provinsi) dari beberapa daerah. Sulistyo menjelaskan bahwa UMP atau UMR ditetapkan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) seorang pegawai yang besarannya ditetapkan berdasarkan pada hasil survei harga berbagai kebutuhan yang 10
meliputi makanan, minuman, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Sehingga besaran UMP/UMR ini dikatakan lebih memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup karena berbeda untuk masing-masing Provinsi atau Kabupaten. Ini berarti bagi PNS yang tinggal di daerah yang tingkat UMP/UMR-nya tinggi bisa dikatakan tidak sejahtera karena gajinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini mempertegas bahwa gaji PNS yang diberikan sama untuk semua pegawai, dimanapun si PNS bertugas dan hanya dibedakan oleh masa kerja dan pangkat/golongan ternyata tidak tepat. Karena kebutuhan hidup pegawai di daerah Jawa tentu berbeda dengan pegawai yang ada di daerah Papua. Kondisi lingkungan geografis di Papua yang sulit transportasinya berdampak pada tingginya harga-harga kebutuhan hidup. Sementara di daerah Jawa yang cenderung lebih baik jalur transportasinya maka harga kebutuhan hidup bisa lebih murah. Jadi dengan nominal gaji yang sama tentu saja mempunyai nilai yang berbeda untuk daerah yang berbeda. Itu adalah gambaran umum yang ada dalam sistem penggajian PNS. Saat ini dengan bergulirnya reformasi birokrasi yang diikuti dengan adanya sistem remunerasi, kondisi yang terjadi lebih “parah”. Mengapa lebih parah? Karena dengan adanya remunerasi, gap yang terjadi dalam pendapatan (take home pay) pegawai semakin lebar. Berikut ini disajikan tambahan yang diperoleh oleh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan atau disebut dengan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) yang diberikan setelah dilakukannya reformasi birokrasi. TKPKN disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 289/KMK.01/2007. Tabel Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) Kementerian Keuangan Grade
Tunjangan (Rp)
Gol/Ruang
Eselon
IV/e
Eselon I
IV/d
Eselon II
IV/b
Eselon III
III/d
Eselon IV
27
46.950.000
26
41.550.000
25
36.770.000
24
32.540.000
23
24.100.000
22
21.330.000
21
18.880.000
20
16.700.000
19
12.370.000
18
10.760.000
17
9.360.000
16
6.930.000
15
6.030.000
14
5.240.000
13
4.370.000
III/b
Eselon V
12
3.800.000
III/b
Pelaksana
11
3.450.000
10
3.140.000
11
9
2.850.000
8
2.550.000
7
2.360.000
6
2.140.000
5
1.950.000
4
1.770.000
3
1.610.000
2
1.460.000
1
1.330.000
II/c
Pelaksana
I/c
Pelaksana
I/a
Pelaksana
Sumber : http://remunerasipns.wordpress.com/
Data dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa TKPKN untuk pegawai dengan golongan/pangkat terendah di Kementerian Keuangan ternyata lebih besar dari tunjangan seorang pejabat Peneliti Utama dan Widyaiswara Utama. Seorang PNS dengan golongan ruang I/a, jabatan pelaksana dan tidak menduduki jabatan apapun (grade 1) menerima tunjangan sebesar Rp 1.330.000, sementara pegawai lainnya yang menduduki jabatan fungsional peneliti utama dengan golongan ruang IV/d atau IV/e hanya menerima tunjangan sebesar Rp 1.230.000. Untuk bisa menjadi peneliti utama harus mengumpulkan angka kredit yang tidak sedikit dan sulit serta harus dinilai oleh Tim Penilai Akhir LIPI. Sungguh suatu kondisi yang patut mendapat perhatian. Kondisi yang sama juga terlihat dari remunerasi yang diberikan kepada pegawai di lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian PAN dan RB yang sudah disetujui pada tahun 2010 dan diikuti dengan persetujuan pemberian remunerasinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian PAN dan RB. Berikut disajikan rincian remunerasi yang diberikan kepada pegawai di lingkungan Kementerian PAN dan RB. Tabel Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian PAN dan RB Kelas Jabatan
Tunjangan Kinerja (Rp)
17
19.360.000
16
14.131.000
15
10.315.000
14
7.529.000
13
6.023.000
12
4.819.000
11
3.855.000
10
3.352.000
9
2.915.000
8
2.535.000
7
2.304.000
12
6
2.095.000
5
1.905.000
4
1.814.000
3
1.727.000
2
1.645.000
1
1.563.000
Sumber : http://remunerasipns.wordpress.com/
Dari tabel tersebut terlihat bahwa pegawai pada kelas jabatan paling bawah menerima tunjangan kinerja sebesar Rp 1.563.000 jauh lebih besar dengan tunjangan jabatan seorang pejabat fungsional peneliti utama atau widyaiswara utama. Gambaran pelaksanaan reformasi birokrasi dan pemberian remunerasi di dua kementerian tersebut sudah memberikan fakta jelas mengapa sekarang ini banyak instansi yang mengejar untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Mengapa? Karena dengan adanya remunerasi maka pendapatan pegawai akan naik secara signifikan sehingga tingkat kesejahteraannya pun akan meningkat. Maka tidak mengherankan apabila Prof. Jin Park menemukan fakta bahwa kebanyakan instansi hanya berpura-pura melakukan reformasi, tetapi tujuan utamanya adalah memperoleh remunerasi. Memang untuk memperoleh itu, instansi harus memenuhi persyaratan tertentu, tetapi hal itu hanyalah pemenuhan syarat administrasi saja. Peningkatan kinerja yang ingin diraih rasanya masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan karena belum adanya instrumen-instrumen pendukung untuk pelaksanaannya. Misalnya, terkait kinerja pegawai yang baru diukur dari tingkat disiplin masuk kerja yang dilihat dari rekap absensi. Kinerja nyata pegawai tentu tidak dapat dipotret dari disiplinnya saja. Bisa saja pegawai datang pagi pulang sore tetapi bagaimana dengan kinerja di jam kerjanya. Apakah mereka melaksanakan tugas mereka, atau mereka hanya membaca koran, mengobrol? Kondisi ini tentunya perlu diukur dengan instrumen yang jelas, transparan dan mampu mengukur kinerja nyata pegawai. Sehingga reformasi tidak sekedar mengejar remunerasi. E. Kesimpulan Reformasi birokrasi adalah perubahan dalam tata kelola pemerintahan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerjanya. Hal ini dilakukan dengan melakukan perubahan dalam struktur organisasi dan business process dengan mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas. Selain itu juga dengan melakukan pengelolaan pegawai diantaranya dengan melakukan penilaian kinerja nyata pegawai yang dikaitkan dengan pemberian reward and punishment (remunerasi). Sehingga pegawai yang kinerjanya tinggi akan menerima reward yang lebih tinggi, dan pegawai yang kinerjanya rendah maka akan menerima punishment. Punishment bukan hanya dipahami sebagai pemberian sanksi atau hukuman tetapi juga berarti pengembangan kemampuan, misalnya dengan diikutkan diklat atau dimutasi di unit yang lebih sesuai dengan kemampuannya. Ini adalah gambaran ideal dari reformasi birokrasi yang diharapkan. Akan tetapi saat ini, di lapangan muncul kecenderungan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi diarahkan untuk memperoleh remunerasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pegawai. Hal ini tentu bukanlah langkah yang tepat. Remunerasi merupakan dampak dari dilaksanakannya reformasi birokrasi bukan menjadi tujuan reformasi birokrasi. Reformasi seperti ini hanya akan berhenti pada perubahan di tataran praktis saja bukan perubahan di tataran filosofis. Tentunya kondisi ini harus dikoreksi dan diperbaiki. Instrumen penilaian kinerja yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai menjadi sangat 13
penting supaya bisa membedakan mana pegawai yang berkinerja tinggi sehingga layak menerima remunerasi yang lebih besar dari pegawai lainnya.
Daftar Bacaan Lembaga Administrasi Negara : Kajian Grand Design Reformasi PNS, Jakarta, 2010. Park, Jin,. Prof. : Governance Reform in Indonesia and Korea: a Comparative Perspective, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010. Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi. Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Sistem Penggajian PNS sebagaimana telah disesuaikan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum PNS. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2012. Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Struktural PNS. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Widyaiswara. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Dosen. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian PAN dan RB. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. Sulistyo, Agustinus, : Sistem Penggajian PNS Berdasarkan Kinerja Instansi dan Individu, Indonesian Public Administration Review (IPAR), Volume 5 Nomor 2, Edisi April-Juni 2010, Jakarta, 2010. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 289/KMK.01/2007 tentang Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN). Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
14