Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
19
REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH MENUJU GOOD GOVERNANCE Oleh : Ayu Desiana, S.H., M.H. Abstrak Pemerintah daerah merupakan ujung tombak untuk keberhasilan otonomi daerah. Kedudukan pemerintah daerah yang sangat strategis ini membutuhkan birokrasi yang berkualitas untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang akan mengkaji masalah reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis upaya-upaya yang dilakukan untuk mereformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mewujudkan good governance. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang brtujuan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis, prinsip, konsepsi dan doktrin hukum yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier beserta sumbernya. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum belum mencapai hasil yang sangat memuaskan. Prinsip good governance belum diterapkan dengan baik pada kinerja dan kualitas pelayanan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.dan kedepannya perlu dilakukan penataan sistem, struktur dan kultur birokrasi agar aparat birokrasi dapat bekerja sesuai dengan standar-standar yang telah ditetapkan tanpa harus masuk pada wilayah politik pimpinan. Dan perlunya dilakukan peningkatan kontrol / pengawasan terhadap aparat birokrasi oleh suatu lembaga yang independent (Ombudsman) agar aparat birokrasi dalam menjalankan tugasnya dapat menerapkan prinsip good governance. Keywords : Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance. I.
PENDAHULUAN Pada hakikatnya pemerintah dibentuk bertujuan untuk menjaga ketertiban dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah diadakan bukanlah untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakatnya. Pemerintah memiliki dua fungsi dasar yaitu fungsi primer atau fungsi pelayanan, dan fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan. Fungsi primer yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia (provider) jasajasa publik yang tidak diprivatisasikan termasuk jasa pertahanan keamanan, layanan sipil, dan layanan birokrasi. Fungsi sekunder yaitu sebagai penyedia kebutuhan dan tuntutan yang diperintah akan barang dan jasa yang mereka tidak mampu penuhi sendiri karena
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
20
masih lemah dan tak berdaya termasuk penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana. Sementara itu menurut Rasyid (1997 : 48), pemerintah mempunyai tiga fungsi hakiki yaitu pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development). Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Pendapat ini memberikan kesan bahwa peran pemerintah tersebut hanya cocok diterapkan pada masyarakat di Negara berkembang yang tingkat pemberdayaan masyarakatnya masih rendah sehingga ketergantungannya kepada pemerintah masih tinggi. Meskipun demikian, seiring dengan hasil fungsi-fungsi pembangunan dan pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, serta keterbatasan yang dimiliki pemerintah, secara perlahan masyarakat dituntut untuk secara mandiri mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian fungsi pembangunan dan pemberdayaan itu bersifat sementara. Paradigma baru pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler (1992 : 25-48) bahwa pemerintahan yang dulunya berperan langsung sebagai penyedia pelayanan publik (rowing) dan terlibat dalam kegiatan yang bersifat teknis operasional untuk pemenuhan kebutuhan publik, akan bergeser perannya pada fungsi mengerahkan (steering).
Fungsi ini mengharuskan pemerintah untuk dapat lebih
memberdayakan (empowering) masyarakat dengan mendorong tumbuhnya partisipasi dalam menyediakan pelayanan publik. Tugas birokrasi pemerintahan yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan kepada rakyat selama masyarakat belum mampu menyelenggarakan urusan atau kebutuhannya secara mandiri. Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan keperluan itu sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai salah satu bentuk pelayanan. Paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimamana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa titik berat penyelenggaraan desentralisasi diletakkan pada pemerintahan kabupaten dan kota. Hal ini sesuai dengan batasan pengertian tentang desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
21
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah jelas memerlukan perubahan dan adaptasi yang menyeluruh. Dampak dari adanya perubahan ini penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak lagi ditangani secara sentralistik, tetapi lebih mengedepankan masyarakat dan pemerintahan di daerah yang dilaksanakan dalam pola desentralisasi. Dengan pola ini pemerintah kabupaten dan kota memiliki hak, kewajiban, tanggung jawab dan wewenang dalam menyelenggarakan administrasi publik yang sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat serta kepentingan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat desentralistik memerlukan adanya peningkatan kompetensi aparatur pemerintahan daerah serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu diperlukan adanya perubahan prilaku segenap unsur penyelenggara pemerintahan dan masyarakat. Hal ini diperlukan karena masyarakat menjadi faktor penting dalam sistem dan manajeman pemerintahan daerah. Peran masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan kreativitas masyarakat mengembangkan pola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat yang ada di daerah. Dalam disiplin ilmu dan sistem administrasi publik kontemporer, dijelaskan bahwa organisasi publik mempunyai fungsi peranan dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan yang baik dan mampu memuaskan masyarakat (Thoha, 1995 : 4). Pada tataran empirik dapat dilihat secara kasat mata, adanya indikasi kuat kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurang puasnya masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kurang puasnya masyarakat ini dapat dilihat dari sikap yang dilakukan oleh masyarakat sebagai
wujud rasa ketidakpuasannya, dari cara yang paling sopan dengan
menyampaikan saran dan kritik kepada pemerintah melalui media sampai kepada cara yang kasar dengan melakukan orasi dan demonstarsi. Memperhatikan kenyataan sebagaiman yang dikemukakan di atas, upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya adalah jawaban dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan adanya tuntutan ini mendorong pemerintah daerah untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam menyelenggarakan
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
22
pemerintahan daerah. Kenyataan yang dihadapi masyarakat sekarang ini adalah bahwa pemerintahan belum optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aparat yang bertugas sebagai ujung tombak dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat banyak yang tidak memahami filosofi, strategi dan teknik pemberian pelayanan kepada masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena pemerintah bersifat monopoli dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga tidak ada kompetisi hal ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap kompetensi aparat yang memberikan pelayanan. Dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintahan terutama dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat, sangat diperlukan adanya suatu sistem birokrasi pemerintahan yang rasioanl yang dapat melayani kebutuhan masyarakat dengan maksimal dan terhindar dari hal-hal yang bersifat subjektif dan tidak rasional akibat adanya hubungan yang bersifat emosional serta memihak di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu makalah ini akan membahas lebih jauh lagi mengenai ” Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah
menuju Good Governance” dengan
permasalahan : 1. Bagaimana kinerja dan kualitas pelayanan pada birokrasi Pemerintahan di daerah? 2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintahan daerah menuju good governance. II. PEMBAHASAN 1. Kinerja dan Kualitas pelayanan pada birokrasi pemerintahan di daerah Kinerja bagi sebuah organisasi merupakan tolok ukur dari keberadaan organisasi itu sendiri. Artinya, semakin baik kinerja dari suatu organisasi maka semakin baik pula keberadaannya, demikian pula sebaliknya. Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam visi dan misinya. 1
1Kausar AS, Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah Dalam Bayang-Bayang Budaya Patron Klien, Alumni, Bandung, 2009, hal.34.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
23
Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, upaya memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Selain itu, informasi mengenai kinerja akan memberikan gambaran sejauh mana hasil kerja yang telah dicapai untuk kemudian dilakukan upaya memperbaiki kinerja dengan memperhatikan kekurangan dan kesalahan yang terjadi. Penyelenggaraan roda pemerintahan belum terbiasa melakukan penilaian terhadap kinerja birokrasi publik, berbeda dengan organisasi bisnis yang kinerjanya dengan mudah dapat dilihat dari profitabilitas, yang diantaranya tercermin dari indeks harga saham di bursa. Birokrasi publik tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan tidak mudah diperoleh informasinya oleh publik. Terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh pemerintah. Tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dari ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Perlakuan pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerja birokrasinya. Misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasi, pemerintah sama sekali tidak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input bukan output. Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan bukan hasil yang akan diberikan birokrasi pada masyarakatnya. Akibatnya dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional. Kenyataan bahwa birokrasi memiliki stakeholders yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan antara satu dengan lainnya membuat birokrasi mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya ukuran kinerja organisasi di mata stakeholders berbeda-beda. Untuk mengetahui kinerja pemerintah, perlu dilakukan penilaian tentang efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan yang dapat diukur melalui pencapaian hasil
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
24
atau pencapaian tujuan, pelaksanaan fungsi dan orientasi visi. Rue dan Byars (dalam Keban, 1995 : 1).2 mengemukakan bahwa kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atau pencapaian tujuan organisasi. Kinerja berfaedah untuk menilai kuantitas, kualitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan serta motivasi kerja aparatur pemerintahan. Pengukuran kinerja pemerintah tidak cukup hanya dengan menilai indikatorindikator yang melekat pada penyelenggaraan pemerintahan seperti efisiensi dan efektivitas kerja, tetapi harus diamati juga dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, akuntabilitas aparatur, dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena pemerintah seringkali meggunakan kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Ketika pelayanan yang diberikan pemerintah tidak memuaskan pelanggan, pengguna jasa tidak dapat berbuat banyak karena tidak ada pilihan lain sehingga puas tidak puas masyarakat terpaksa menerima apa adanya. Kesulitan mendasar dalam penilaian kinerja pemerintah adalah terbentur pada masih kaburnya visi dan misi birokrasi pemerintahan. Bahkan juga disebabkan terlalu multi dimensionalnya tujuan dan misi pemerintah sehingga sulit untuk dilakukan penilaian. Di sisi lain pemerintah sebagai pelayan publik juga mengalami kesulitan dalam merumuskan misi yang jelas. Akibatnya ukuran kinerja pemerintah di mata masyarakat juga berbeda-beda. Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi sangat relevan dalam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan publik menghadapi masalah yang sangat fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang diterapkan adalah peninggalan pemerintah Kolonial yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa dari pada pemenuhan hak sipil warga Negara.(Thoha : 2003) Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrument untuk mengatur dan mengawasi prilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada
2
Ibid.,hal.39.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
25
masyarakat. Misi utama administrasi Negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol prilaku individu. Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari yang diharapkan. Masih belum terciptanya budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery kulture). Sebaliknya yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan. Dalam kultur yang demikian, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan seringkali terabaikan. Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran , kedudukan dan fungsi administrasi Negara dalam pembangunan Negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia tidak memiliki visi, dan berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi karena tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di Negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi. Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan, tetapi juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi Negara sebagai agen pembangunan. Prinsip loyaliats yang dipahami keliru oleh aparat pelayanan turut pula memberikan implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan tindakan diskresi. Prinsip loyalitas yang dipahami dalam konteks struktur pyramidal kekuasaan birokrasi menyebabkan persepsi yang berkembang dalam birokrasi adalah loyal kepada pimpinan karena jabatan pimpinan, bukan loyalitas yang dipahami sebagai ketaatan secara institusional dan professional atas dasar visi dan misi organisasi serta tujuan pelayanan. Kesalahan dalam memahami makna loyalitas telah mnyebabkan orientasi kinerja aparat cenderung vertikal dan ini yang membuat hubungan Patron klien berkembang dan bukannya bersandar pada kepentingan-kepentingan masyarakat pengguna jasa. Struktur atau hirarki kewenangan dalam birokrasi dengan sistem nilai budaya patronase yang masih berkembang menyebabkan aparat pelayanan di tingkat bawah masih memiliki pemehaman harus loyal kepada pimpinan sebagai pribadi, bukan kepada
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
26
visi dan misi institusi birokrasi serta tujuan pelayanan kepada publik. Ketakutan aparat pelayanan di tingkat bawah untuk berbeda pendapat dengan pimpinan juga merupakan salah satu faktor yang turut menyebabkan masih rendahnya tingkat diskresi dikalangan aparat pelayanan. Birokrasi sebagaimana organisasi lainnya yang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlihat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya local. Budaya birokrasi yang berkembang di suatu daerah tertentu, misalnya tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya yang sering mengalami perubahan. Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki symbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi birokrasi dan selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Situasi seperti ini tampaknya juga bekerja pada birokrasi pemerintahan di darrah yang masih etnik. Bekerjanya banyak partai yang anggotanya terdiri dari berbagai etnik dan kelompok kepentingan tertentu telah mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan di daerah. Penghambaan, hubungan mengabdi dan memperabdi juga telah bekerja dengan didasari oleh berbagai faktor keterikatan seperti atasan dan bawahan, kesamaan loyalitas terhadap partai yang sama maupun atas dasar hal lain seperti kesamaan etnis dan keturunan sehingga telah memperkuat hubungan Patron klien di wilayah ini. Fenomena seperti ini akan terjadi seiring dengan bekerjanya dan tersebarnya para anggota partai politik ataupun simpatisan partai tertentu dalam tingkatan dan eselonering di pemerintahan daerah (eksekutif) atau pun di DPRD (legislatif), yang dalam proses interaksinya saling terkait dengan berbagai hubungan yang terjadi dalam rangka kepentingan kelompok etnik maupun partai dengan hubungan orang-orang yang mengabdi dan memperabdi itu berada. Hadirnya partai politik dalam suatu
sistem pemrintahan akan berpengaruh
terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
27
pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik.3
•
Kinerja dan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah daerah dalam konteks kepuasan dan kepercayaan masyarakat Masalah kepuasan masyarakat ini menjadi sorotan seiring dengan bergulirnya
proses reformasi di tanah air. Dengan adanya reformasi yang pada dasarnya adalah upaya untuk mengedepankan kehidupan demokratis , masyarakat menjadi berani untuk mengemukakan pendapat. Upaya untuk mengemukakan pendapat ini dilakukan dari cara yang santun berupa koreksi dan kritik-kritik yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan pada media massa, sampai kepada cara yang kurang sopan dengan mengerahkan sejumlah orang untuk berunjukrasa
menyatakan rasa ketidakpuasannya terhadap
kebijakan pemerintah. Apabila ditelaah dari latar belakang secara konseptual, kepuasan masyarakat menurut hasil penelitian (Handi, 2003 :2) ternyata pada awalnya merupakan konsep bisnis yang fundamental dan sederhana, tetapi dalam implementasinya sangat kompleks. Di dunia bisnis kepuasan pelanggan sudah berkembang sejak awal abad ke-20. praktisi bisnis mendudukkan kepuasan pelanggan sebagai faktor utama dalam proses manajemen. Berkaitan dengan ini, apabila dikaitkan dengan ketidakpuasan pada sector publik, Suryawikarta (1996 : 10-12) dalam Kausar mengungkapkan, perubahan sosial yang berlangsung cepat pada decade tahun 1980 akibat kemajuan yang pesat dibidang ilimu pengetahuan dan teknologi yang diimplementasikan dalam kehidupan dan proses manajemen telah mendorong birokrasi publik untuk mengadakan perubahan yang mendasar. Manajemen publik dikembangkan lebih efisien , efektif dan akuntabel dengan menempatkan “costumer satisfaction”, kepuasan pelanggan sebagai sandaran utama dalam pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah. Birokrasi pemerintahan daerah menitikberatkan terhadap fungsi pelayanan kepada masyarakat sehingga identik dengan sector publik. Pada sector publik, teori kepercayaan 3Miftah
Thoha, Birokrasi &Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003,hal.151.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
28
lebih relevan digunakan untuk melihat kualitas pelayanan dalam kaitannya dengan usaha pemenuhan berbagai kebutuhan barang dan jasa publik terhadap masyarakat. Dalam konteks hubungan pemerintahan, kepercayaan dapat dikatakan sebagai jembatan penghubung komunikasi yang efektif antara pemerintah dengan masyarakat . sikap dan prilaku yang dapat dipercaya dalam konteks pemerintahan dijelaskan oleh Ndraha (2001 : 122-123) sebagai penghubung antara janji dan percaya yang disebutkan bahwa kepercayaan masyarakat berbanding lurus dengan kemampuan dan kualitas pemenuhan janji dan kewajiban pemerintah. Kemampuan pemenuhan janji dan kewajiban ini sangat erat kaitannya dengan legitimasi pemerintahan. Terpenuhinya suatu kebutuhan akan menciptakan suatu kenyamanan, dan kenyamanan adalah kepuasan, yang dengan demikian banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat. Faktor-faktor yang mendorong kepuasan masyarakat (Barnes, 2003 : 67) meliputi pelayanan dengan nilai tambah, tampilan produk atau jasa dan aspekaspek tertentu dari bisnis yang bersangkutan. Lebih lanjut Barnes menjelaskan, ketika masyarakat pelanggan sedang dilayani, kepuasan atau ketidakpuasan tampak dari keseluruhan penilaian terhadap sejumlah proses pelayanan yang diterimanya. Selanjutnya, Johnson (1995 : 48) berpendapat bahwa semakin tinggi keterlibatan emosi masyarakat pelanggan dan resiko yang diterimanya, semakin besar tingkat sensitivitas terhadap kepuasan dan ketidakpuasan. Lebih lanjut, Babin dan Griffin (1998 :36) mengartikan kepuasan masyarakat pelanggan sebagai suatu emosi yang dihasilkan dari penilaianpenilaian atas rangkaian pengalaman. Dengan demikian, penilaian ini akan terdiri dari berbagai proses yang berbeda dan memicu respon efektif. Dan dalam kaitan ini, bahwa respon tersebut adalah respon emosional sehingga bisa memberi arti dalam membina hubungan yang melibatkan emosi, pelanggan memberikan penilaian terhadap pelayanan melalui serangkaian level, karena mereka menikmati pelayanan dalam level yang berbeda-beda. Dari uraian tersebut tampak kepuasan masyarakat secara keseluruhan merupakan suatu variable gabungan yang terdiri dari sebuah kompilasi yang diperhitungkan atau sebuah perkiraan dari berbagai faktor yang berbeda yang terlibat dalam hubungan antara pemerintah dengan publik dimanapun pemerintah itu berada dan pada level apapun.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
29
2. Upaya yang dilakukan untuk melakukan reformasi birokrasi Pemerintahan daerah menuju Good governance Reformasi birokrasi dan Good Governance merupakan dua konsep utama bagi perbaikan kondisi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kedua konsep ini merupakan konsep yang saling terkait satu sama lainnya dan bukanlah merupakan konsep yang relatif baru. Namun demikian sampai saat ini dan bahkan sampai tahun-tahun yang akan datang kedua konsep tersebut akan sangat berperan dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pengalaman di sejumlah Negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan Negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga mampu menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan dari reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan Good Governance karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan Good Governance. Reformasi administrasi Negara merupakan langkah awal dan prioritas dalam pembangunan. Administrasi Negara menjadi sector pembangunan sekaligus menjadi instrument penting pembangunan. Reformasi administrasi Negara pada umumnya dilakukan melalui dua strategi yaitu merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, dan menata kembali sistem administrasi Negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (pegawai negeri) serta relasi antara Negara dan masyarakat. Reformasi administarsi ini sejalan dengan upaya untuk melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar dari pengalaman di beberapa Negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administarsi Negara. Sebagai contoh misalnya Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi peran administarsi negarasejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan pada saat itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciousness reform movement, dan social purification movement (Hwang, 2004). Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
30
tahun 1988, reformasi administarsi negaradiperkuat melalui deregulasi dan simplifkasi prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi administarsi.
Semua usaha Korea Selatan untuk merevitalisasi administarsi Negara
tidaklah sia-sia, karena hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya administrasi Negara yang professional, bersih dan berwibawa. Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam kaitan dengan reformasi birokrasi adalah
pertama, modernisasi manajemen kepegawaian. kedua,
restrukturisasi, downsizing dan rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi. Ketiga, rekayasa proses administrasi pemerintahan. Keempat, anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif. Kelima, hubungan-hubungan baru
antara
pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan. Modernisasi dan reformasi birokrasi dapat meliputi aspek eksternal dan internal. Dalam aspek eksternal, reformasi dan modernisasi birokrasi diletakkan pada penciptaan kontrak baru antara birokrasi dan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dan tanggung jawab pelayanan publik. Dalam aspek internal, reformasi dan modernisasi birokrasi di Indonesia dapat diletakkan pada
tiga titik tekan yaitu
debirokratisasi struktur internal birokrasi, modernisasi proses internal birokrasi, dan peningkatan kemampuan aparat birokrasi. Reformasi birokrasi bukanlah sekedar perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Lebih dari itu reformasi birokrasi harus meliputi perubahan sistem politik dan hukum secara menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat. Serta perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta partai politik. Harus terdapat kejelasan batas antara pejabat karir dan pejabat politik baik di birokrasi pusat maupun di daerah. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi pejabat politik dalam birokrasi. Sebagaimana diterapkan di negara-negara maju, maka pejabat politik hanya dimungkinkan jika dipilih secara langsung oleh rakyat atau mendapatkan persetujuan dari pejabat yang dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu Profesionalitas dan netralitas birokrasi harus menjadi sasaran utama reformasi birokrasi. Hal terpenting dalam reformasi birokrasi adalah komitmen dan national leadership. Tanpa komitmen yang baik dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, reformasi birokrasi hanyalah blueprint yang berada dalam ruang vakum.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
31
Konsep Good Governance Konsep good governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antarapemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (stoker, 2004). Upaya penciptaan Good governance sangatlah dipengaruhi oleh adanya komitmen dan national leadership. Komitmen dan national leadership ini merupakan faktor kunci keberhasilan good governance. Sebagai contoh misalnya reformasi birokrasi di Jerman pada tahun 1867. Otto Von Bismarck yang memiliki peran sangat besar dalam proses pembaharuan birokrasi Jerman yang masih dirasakan sampai saat ini. Komitmen dan national leadership Bismarck ini bahkan melahirkan pemikir-pemikir birokrasi dunia seperti Max Weber, Otto Von Meyer, dan Freiherr Vom Stein. Weber dengan karyanya yang monumental birokrasi, Meyer dengan akte administrasi (verwaltungsakt), dan Vom stein dengan otonomi komunal (kommunale selbstverwaltung). Kelahiran dan reformasi birokrasi tidak mungkin berhasil tanpa komitmen dan national leadership. Ada dua arah yang harus dituju oleh komitmen dan national leadership dalam penciptaan good governance di Indonesia. Pertama, komitmen untuk melakukan modernisasi birokrasi, dan kedua, komitmen untuk menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran birokrasi mulai dari mal administrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua komitmen ini harus diberikan tidak saja oleh pemerintah, dan terutama Presiden sebagai kepala negara, tetapi juga oleh lembaga-lembaga tinggi lainnya. Penciptaan good governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, responsivitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Dan inti dari upaya penciptaan good governance terletak pada reformasi birokrasi. Tidak adanya akuntabilitas dalam birokrasi di Indonesia merupakan faktor pendorong untuk melakukan reformasi birokrasi di Indonesia. Ketiadaan akuntabilitas ini menyebabkan penggunaan
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
32
birokrasi sebagai mesin kekuasaan pemerintahan. Akuntabilitas dalam birokrasi dimaksudkan bahwa setiap aktivitas dan penggunaan dana yang dilakukan oleh pemerintah
untuk
kegiatan
pemerintahan
dan
pembangunan
harus
dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Miftah Thoha faktor yang bisa mendorong timbulnya reformasi birokrasi pemerintah adalah : 1. Adanya kebutuhan malakukan perubahan dan pembaharuan; 2. Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis nasional; 3. Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global; 4. Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen pemerintahan; 4 Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan aparatur negara dan pemerintahan itu sangat tergantung dari kebutuhan pimpinan nasional kita. Jika pimpinan politik nasional kita merasa butuh melakukan perubahan, pasti perubahan dan pembaharuan aparatur itu akan terwujud. Kebutuhan itu didukung oleh kebijakan politik yang strategis dan dijadikan suatu program nasional dengan didukung oleh seluruh komponen rakyat, maka perubahan dan pembaharuan aparatur negara/pemerintah bisa dilakukan. Sebagaimana yang pernah dilakukan ketika pembaharuan aparatur dilakukan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dimulai dari kebutuhan untuk melakukan pembaharuan. Walaupun dasar yang melatarbelakangi atau kebutuhan yang menjadikan faktor dari kedua Presiden itu berbeda. Presiden Clinton ketika melakukan Reinventing Government (Osborn, 1983) karena didorong oleh kebutuhan melakukan pembaharuan birokrasi pemerintahannya. Margareth Tatcher (Dowding, 1995) juga melakukan pembaharuan birokrasinya karena didorong oleh kebutuhan memperbaiki birokrasi pemerintahannya. Jadi, kebutuhan itu harus dimulai dari pimpinan politik nasional. Kalau Presidennya tidak merasa butuh melakukan pembaharuan, maka bagaimanapun tidak akan terjadi pembaharuan terhadap aparatur negara/ pemerintah.5 Faktor perubahan lingkungan strategis nasional sangat penting dipahami. Karena faktor ini yang akan menimbulkan rencana dan tindakan pembaharuan aparatur 4Miftah
Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana, Jakarta, 2008, hal.106-
107. 5
Ibid.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
33
negara/pemerintah. Jika dilihat dan diamati semenjak jatuhnya pemerintahan Orde baru, perubahan lingkungan strategis nasional kita adalah terjadi krisis ekonomi/moneter dan perubahan sistem politik nasional. Dua kejadian ini yang perlu dijadikan dorongan dan rencana adanya perubahan dan pembangunan aparatur. Krisis moneter dengan sendirinya akan melahirkan suatu kebijakan melakukan pembaharuan aparatur yang efektif dan efisien.
Sedangkan
perubahan
sistem
politik
akan
melahirkan
sistem
yang
mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari kekuatan politik dan partai politik yang memperoleh kepercayaan suara rakyat terbanyak. Faktor perubahan lingkungan strategis global mendorong agar pembaharuan aparatur negara/pemerintah tidak berdiri sendiri melainkan mempertimbangkan perubahan global tersebut. Perubahan global antara lain sistem desentralisasi dan demokrasi yang sedang banyak dipakai oleh negara-negara di pentas dunia yang menginginkan terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance). Selain itu perkembangan teknologi imformasi yang mulai diterapkan dalam pemerintahan yang elektronik (elektronic government = e-government) penggunaan e government tidak lain agar pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada rakyat memberikan kepuasan yang prima kepada rakyat.6 Erat kaitannya dengan perubahan global adalah perubahan paradigma dalam tata kepemerintahan yang baik. Desentralisasi, otonomi, demokrasi, akuntabilitas publik, transparansi dan
ditegakkannya hukum merupakan dorongan-dorongan yang kuat
terhadap lahirnya perubahan dalam manajemen pemerintahan. Mengatur pemerintahan yang disandarkan pada sistem yang otoriter dan sentralistik yang menekankan pada kekuasaan penguasa saja akan menjauhkan dari tata kepemarintahan yang baik. Tata kepemerintahan yang tidak baik itu menurut pemikiran Lucas (1996) digolongkan pada tata struktur yang tidak logis (unlogical strukture). Digolongkan unlogical strukture karena sama sekali tidak memberikan akses pada aspirasi, kebutuhan dan keinginan rakyat untuk ikut berperan serta. Perlunya penataan kelembagaan birokrasi pemerintah Kelembagaan ini merupakan hal yang paling utama yang
harus dilakukan
penataan atau pembaharuan. Jika kelembagaan ini diperbaharui demikian pula sistem 6
Ibid.,hal.108.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
34
yang digunakan juga menggunakan sistem yang tepat, maka akan ada harapan untuk terwujudnya tata kepemerintahan yang baik. Kelembagaan terdiri dari kultur dan struktur. Kultur merupakan perpaduan tata nilai, kepercayaan dan kebiasaan yang diyakini kebenarannya untuk diperjuangkan. Kultur inilah yang nantinya akan membentuk boundary yang membedakan suatu pemerintahan itu dengan pemerintahan lainnya. Adapun struktur merupakan kerangka yang digunakan sebagai tata aliran proses bagaimana kultur itu bisa diteapkan dan diwujudkan dalam suatu pemerintahan. Kultur dalam lembaga pemerintahan sering kali muncul dan dipakai adalah kultur yang menjamin kebiasaan Asal Bapak Senang (ABS), kultur yang membiasakan partisipasi rakyat yang menjamin kebiasaan demokrasi inilah yang harus dipilih dalam strategi pembaharuan kelembagaan. Saya berharap jika kultur yang tumbuh itu adalah kultur yang demokratis, responsif, partisipatif, dan terbuka. Hal ini akan bisa melahirkan tata kepemerintahan yang baik. Jika kultur terpilih, maka struktur tinggal mewadahi dalam kerangka yang sesuai. Untuk menyusun struktur ini maka leverage points di atas mulai dipertimbangkan, misalnya perubahan sistem politik yang terjadi dalam lingkungan strategis nasional di negara kita dan krisis moneter yang melanda negara kita selama ini. Dengan mempertimbangkan perubahan sistem politik dan krisis tersebut, maka kita susun kerangka kelembagaan birokrasi pemerintah. Sistem penataan birokrasi amat menentukan dan sangat gtergantung pada visi dan kepentingan politik yang ada. Diharapkan visi dan keinginan politik itu menunjang terciptanya sistem yang menciptakan aparatur yang menghargai ditegakkannya hukum, profesional, kompeten, dan akuntabel. Merit sistem lebih dekat ke arah cita-cita tersebut. Jangan kita pilih sistem yang justru memberikan kelonggaran terhadap maraknya ketidakjujuran, korupsi dan suka tidak menghargai dan tidak mematuhi hukum. Sistem ini yang acap kali dipertanyakan banyak pihak mana yang lebih dahulu diperbaiki, sistemnya atau sumber daya manusianya. Bagaimanapun sistem ini perlu diutamakan, karena saya mempunyai keyakinan dengan sistem yang baik orang yang kurang baik bisa jadi baik, tetapi kalau orangnya baik bekerja dalam sistem yang jelek maka orang itu akan ikut jelek. Oleh karena itu sistem yang dipilih harus sistem yang telah dikenal baik sesuai dengan kebutuhan kita. Sistem penataaan kelembagaan yang bisa
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
35
menjamin adanya profesionalisme yang berlandaskan pada kompetensi, akuntabilitas, transparansi akan bisa mendorong kinerja yang baik. Sementara itu leverage points di atas juga harus dipertimbangkan untuk menyusun strategi pembaharuan sistem, seperti misalnya perubahan paradigma, lingkungan strategis nasional maupun global. Sistem ini sesuai dengan perubahan paradigma manajemen pemerintahan, dan kebutuhan global akan mengarahkan kita pada pilihan yang up to date
dan bisa diterima dalam perkembngan teknologi dan ilmu
pengetahuan. Dalam menyusun strategi yang memperbaharui sumber daya aparatur, kita amati persoalan yang timbul sekarang ini, SDM aparatur pemerintah ini dikenal sebagai aparatur yang tidak profesional dan kesejahteraannya amat kurang. Oleh karena itu leverage points di atas harus juga dijadikan pendorong timbulnya strategi pemecahan dan pembaharuan aparatur sumber daya manusianya. Masalah tidak profesionalnya SDM perlu perubahan lingkunga strategis global dan perubahan paradigma dijadikan pertimbangan agar SDM kita tidak jauh ketinggalan dari kemajuan global. Pendidikan dan pelatihan diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas masingmasing.pendidikan dan pelatihan teknis yang setaraf dengan vocational training kiranya amat dibutuhkan bagi pengembangan profesionalisme aparatur pegawai. Sementara itu, tingkat pendidikan formal perlu pula diberikan kesempatan bagi aparatur pegawai untuk menyelesaikannya. Jika profesionalisme tidak bisa diwujudkan, maka bisa ditempuh dengan mengisinya dengan sistem outsourcing. Kesejahteraan pegawai perlunditinjau kembali sistem penggajiannya yang selama ini dilakukan. Gaji pegawai dan kesejahteraannya membuat status pegawai negeri ini tergolong kaum dhuafa. Dan keadilan ini berkaitan dengan profesionalisme pegawai. Palayanan kepada masyarakat yang diharapkan dilakukan secara profesional, terhambat karena kesejahteraan mereka tidak mampu memberikan pelayanan yang prima. Selama ini kita mengenal aparatur negara/pemerintah selalu diterjemahkan dengan kepegawaian atau sumber daya manusia dalam pemerintahan. Aparatur negara menurut penjelasan dari ensiklopedi nasional indonesia adalah pelaksana pemerintahan negara yang intinya terdiri atas tiga bidang, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
36
kepegawaian. 7 Diantara ketiga bidang itu, bidang kepegawaian merupakan bagian terpenting. Sebab lancarnya penyelenggaraan pemerintahan suatu negara pelaksanaan pembangunannya terutama tergantung dari kesempurnaan aparaturnya. Kesempurnaan aparatur negara ini sangat tergantung pada mentalitas, kemempuan dan disiplin korps pegawai negeri. Itulah sebabnya ada pendapat yang kuat bahwa aparatur pemerintah itu sama dengan kepegawaian. Kelembagaan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah sekarang ini secara serius belum pernah dianalisis efektivitas dan ketepatan eksistensinya. Jumlah lembaga organisasi pemerintah terlalu banyak dan banyak juga yang double fungsi. Di pemerintahan pusat ada lemabaga organisasi pemerintah yang disebut kementrian negara yang fungsinga tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Lembaga negara non departemen (LPND). Kedua jenis organisasi itu memang kelihatannya berbeda, satunya kementrian negara yang dipimpin oleh seorang menteri, yang satunya non kementrian yang dipimpin oleh pegawai negeri. Di pemerintahan daerah ada organisasi perangkat daerah yang jenis dan jumlahnya ditetapkan seragam oleh peraturan pemerintah. Eksistensinya tidak didasarkan atas kebutuhan dan kemempuan daerah masing-maisng. Jumlah pegawai yang banyak di daerah menyulitkan penempatan pegawai ke dalam formasi jabatan pada organisasi pemerintah daerah. Pemerintah daerah jarang mau melakukan rasionalisasi antara pegawai yang dibutuhkan dengan jumlah organisasi perangkat yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa semua pegawai yang ada harus dimasukkan ke dalam unit organisasi yang dibuat berdasarkan kemampuan pemerintah pusat ini mengakibatkan struktur organisasi dirancang berdasarkan jumlah manusia bukan didasarkan atas kebijakan strategis yang seharusnya dibuat atau ditetapkan oleh masing-masing pemerintah dasrah yang otonom. Secara keseluruhan kebijakan penataan kelembagaan organsasi pemerintah pusat masih mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh pemerintah orde sebelumnya. Dengan kata lain eksistensi kelembagaan organisasi pemerintah pusat tempat PNS ini bekerja adalah peninggalan masa pemerintahan orde baru. Dahulu ketika Presiden Soeharto memerintah mempunyai arah kebijakan yang sesuai dengan kondisi lingkungan 7Miftah
Thoha, birokrasi pemerintahan Indonesia di era reformasi hal. 113.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
37
strategis nasional saat itu. Kondisi politik ekonominya tidak sama dan sangat berbeda dengan kondisi sistem politik dan perkembangan ekonomi saat ini. Kehidupan partai politik yang ikut pemilu saat itu hanya dua dan satu golkar, sekarang jauh lebih banyak. Dahaulu yang menang setiap pemilu hanya satu golongan, sekarang bisa bergonta-ganti tergantung pilihan rakyat. Dahulu yang memerintah dan mengatur kelembagaan pemerintah termasuk sistem kepegawaiannya tetap yakni golongan yang memerintah, sekarang partai yang memerintah bergantian. Selain itu krisis ekonomi yang sampai sekarang masih dirasakan yang mengakibatkan anggaran belanja pemerintah mengalami defisit. Keadaan ekonomi semacam ini mestinya diikuti dengan kebijakan penghematan anggaran. Namun yang kita jumpai kita selalu menambah utang untu menutupi defisit anggaran. Situasi perubahan semacam ini mestinya diikuti dengan perubahan kebijakan strategis yang mengatur kelembagaan organisasi pemerintahan. Banyaknya kelembagaan yang kembar jelas akan memakan jumlah anggaran yang tidak sedikit dan ini sama dengan pemborosan. Dan yang kita jumpai sampai saat ini pemerintah tidak tanggap terhadap perubahan itu. Ada baiknya sebelum diadakan perubahan atau reformasi kelembagaan birokrasi pemerintah sebaiknya pemerintah membentuk tim asseement (penilaian) efektivifitas kelembagaan organisasi birokrasi pemerintahan. Dengan demikian ada dua situasi yang berbeda pada zaman orde baru dengan sekarang, yang bisa digunakan sebagai pendorong perbaikan kebijakan kelembagaan organisasi birokrasi pemerintah. Yang pertama deorongan penghematan karena situasi ekonomi yang membuat anggaran belanja pemerintah mengalami kesulitan, dan yang kedua dorongan perubahan sistem politik, sistem pemilu, pemilihan presiden dan kepala daerah dan pelaksanaan demokrasi yang amat berbeda dengan pemerintahan orde baru. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh suatu pemerintahan baik di dalam maupun di luar negeri jika akan melakukan reformasi lemabaga birokrasi pemerintahannya dibentuk tim evaluasi. Tim ini melakukan kajian dan penelitian yang menyeluruh terhadap eksistensi birokrasi pemerintah. Hasil evaluasi dari tim nantinya diharapkan akan mampu menata kembali yang bisa menghilangkan kekembaran fungsi, wewenang, dan deskripsi tugas masing-masing lembaga organisasi pemerintah, baik antar lembaga departemen maupun intra departemen dan begitu juga dengan organisasi pemerintah daerah. Dengan
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
38
demikian bisa dilakukan penghematan anggaran dan bisa dimanfaatkan untuk biaya kesejahteraan pagawai. Selain itu klarifikasi antara jabatan karier birokrasi pemerintah dan jabatan politik yang memimpin birokrasi pemerintah. Proses rekruitmen kedua jabatan itu dan hubungan kerja diantara keduanyaperlu di tata dengan tepat. Selain lembaga organisasi birokrasi yang kebesaran dan kebanyakan, lembaga yang mengatur kepegawaian negara juga perlu dianalisis dan dibenahi secara serius. Sampai saat ini lenbaga-lembaga yang dianggap berperan penting mengelola kepegawaian negara antara lain Kementrian Negara pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Badan kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretaris Jendral Departemen (Biro Kepegawaian), dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Pemegang kekuasaan tertinggi atas lembaga-lembaga ini adalah Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), yang dijabat oleh pejabat politik. Lembaga politik ini memiliki wewenang membuat kebijakan pandayagunaan aparatur negara. Kewenangan Menpan sebagaimana yang tercantum dalam Keppres No. 101 Tahun 2001 Khususnya yang berkaitan dengan kepegawaian seringkali bersinggungan dengan lembaga lain yang juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam pengelolaan dan pengembangan SDM aparatur negara.
Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 pada Bab III bagian kedua yang mengatur kebijakan manajemen PNS, dinyatakan bahwa untuk membentu Presiden dalam merumuskan kebijakan manajemen PNS dan memberikan pertimbangan tertentu, menyatakan dengan tegas perlu dibentuk Komisi Kepegawaian Negara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden (Pasal 13 ayat 3) menurut Undang-Undang ini, kebijakan manajemen PNS yang mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum berada pada Presiden selaku kepala pemerintahan. Untuk membantu presiden dalam merumuskan kebijakan tersebut dibentuk Komisi Kepegawaian Negara (Pasal 13 ayat 3) Komisi ini terdiri dari dua orang anggota tetap yang berkedudukan sebagai ketua dan sekretaris komisi, serta tiga anggota tidak tetap yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 13 ayat 4 ). Komisi ini sampai sekarang belum dibentuk, maka jika komisi dibentuk seyogiyanya pembinaan karier PNS itu bisa dilakukan secara profesional.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
39
Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang selalu eksis dalam sebuah organisasi modern. Baik dalam organisasi publik maupun dalam organisasi non publik. Dalam sebuah sistem negara (baik dalam negara federal maupun negara kesatuan), kedua konsep ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (negara bagian). Karena itu tidak kita temukan sebuah negara yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya dengan desentralisasi. Meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat dalam ruang globalisasi tidak menyurutkan peran negara pusat sebagai motor dan moderator antara negara nasional dan negara internasioanl. Peran negara tersebut tercakup dalam konsepsi sentralisasi. Sebaliknya, menguatnya idenititas masyarakat lokal (lokalisasi) menuntut ruang gerak pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri. Tujuan inilah yang melahirkan program desentralisasi. Globalisasi dan lokalisasi (glokalisasi) adalah dua kekuatan dalam masyarakat yang bergerak dalam arah berlawanan tetapi saling mempengaruhi. Meskipun sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang selalu ada dalam sistem negara, terdapat beberapa kewenangan dan urusan yang tabu untuk di desentralisasikan. Kewenangan tersebut lazimnya berkaitan dengan keutuhan kedaulatan negara serta kesatuan hukum dan ekonomi nasional. Dan kewenangan tersebut adalah kewenangan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, kebijakan fiskal dan moneter, kewenangan dalam bidang agama, dan hukum. Sebaliknya terdapat beberapa kewenangan yang karena tuntutan efisiensi, efektivitas dan kedekatan partisipasi masyarakat, diselenggarakan oleh pemerintah daerah (atau negara bagian) Pada awalnya, konsepsi desentralisasi politik (dikenal juga sebagai devolusi) dapat dipahami sebagai pendelegasian kewenangan dan tugas-tugas pemerintahan kepada unit-unit pemerintahan di daerah yang memiliki independensi terhadap pemerintah pusat. Kontrol pemerintahan pusat lazimnya bersifat tidak langsung dan bertindak hanya sebagai supervisor (Rondinelli, Nellis, Cheema, 1983). Desentralisai politik menurut definisi tersebut memiliki lima karakter, pertama, unit desentarlisasi harus memiliki otonomi dan independensi. Kedua, unit desentralisasi memiliki batas-batas teritorial yang ditentukan secara legal formal. Ketiga, memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Keempat, memiliki organ dan struktur organisasi untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Dan kelima, unit desentralisasi merupakan
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
40
bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem suatu negara, sehingga secara fungsional dan struktural harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Berbeda dengan desentralisasi administrasi (dikenal sebagai dekonsentrasi) dimana unit desentralisasi hanya memiliki kewenangan untuk mengurus (authority tomanage) dan secara struktural merupakan perpanjangan pemerintahan pusat di daerah. Maka dalam konsepsi desentralisasi politik , unit-unit desentralisasi memiliki kewenangan mengatur dan mengurus (authority to regulate and to manage) sekaligus memanfaatkan sumber daya manusia dan alam untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang didelegasikan kepadanya. Desentralisasi politik dengan demikian merupakan proses politik dalam perubahan dan pembangunan suatu bangsa dan dijadikan sebagai instrumen politik untuk memperkuat participatory democracy (Pitschas, 2001). Tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam desentralisasi politik itu sendiri sangatlah luas. Hal ini meliputi antara lain konsolidasi dan dukungan proses demokratisasi, implus dan motor kompetisi dan percepatan pembangunan ekonomi, pengurangan arus urbanisasi, pemenuhan kepuasan sosial, kultural dan religius, efisiensi dan efektifitas pelayanan publik serta kedekatan antara birokrasi dan masyarakat. Struktur negara sentralistik hierarkis sebagimana dapat dilihat di sebagian besar negara-negara berkembang dan negara-negara transformasi sering kali tidak sejalan dengan proses dinamis perubahan masyarakat, birokrasi dan negara. Struktur negara sentralistik hierarkis semacam ini tidak memiliki fleksibilitas dan kemampuan adaptasi situatif sebagai prasyarat perubahan masyarakat. Perubahan dari negara berstruktur sentralistik hierarkis menjadi negara terdesentralisasi secara politis harus berbasis kepada asumsi bahwa negara tidak hanya menjadi aktor dan subjek pembangunan, tetapi juga secara bersamaan menjadi objek pembangunan dan reformasi. Atas landasan tersebut, desentralisasi politik dimaksudkan untuk mengurangi dan atau menghapus defisit struktur sentralistis birokratis yang selama ini diterapkan oleh negara-negara berkembang. Desentralisasi politik dengan demikian tidak hanya menjadi mode penyelenggaraan negara dalam kaitannya dengan bantuan pembangunan internasional, tetapi juga memberikan kerangka dasar dan arahan kepada pemerintah pusat untuk melakukan reformasi dan modernisasi.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
41
Secara global, desentralisasi merupakan sebuah isu yang berkembang baik secara teoritik dan praktek dalam ranah administrasi publik. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuan-bantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah sejak lama bersamaan dengan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembang. Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang vacum. Desentralisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi publik berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan daerah di Indonesia, dan juga ikut membangun kapasitas pemerintahan daerah. Karena isu ini bukan isu yang sesaat tapi isu yan terus akan berlanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat luas terutama untuk menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif. Juga untuk meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal. Penyelenggaraan desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah diharapkan dapat memberikan sejumlah efek positif terhadap fungsi pelayanan birokrasi di daerah dengan sejumlah alasan. Pertama, melalui desentralisai jalur birokrasi pusat ke daaerah menjadi lebih singkat. Kedua, proses debirokratisasi negara melalui desentralisasi akan memperkuat basis participatory democracy. Ketiga, debirokratisasi negara akan meningkatkan kompetisi antar daerah. Keempat, melalui kompetisi akan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab birokrasi dalam pelayanan publik untuk mempercepat proses pembangunan di daerah. Dan kelima, desentralisasi akan menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good governance yaitu pemerintahan daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas, participatory democracy dan rule of law. Dengan kata lain implementasi elemen-elemen dari good governance tersebut dapat dilakukan dengan efektif jika unit-unit desentralisasi menjadi motor dan katalisator pembangunan dan perubahan di daerah. Dengan demikian desentralisasi politik dan dukungan administrasi publik lokal menjadi salah satu instrumen penting dalam pengimplementasian good governance. Hanya saja kondidi ini dapat terjadi apabila
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
42
desentralisasi politik dapat dipahami sebagai instrumen demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak hanya sekedar sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain itu upaya mewujudkan good governance tidak bisa dilepaskan dari usaha mereformasi birokrasi. Dalam artian bagaimana mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk dapat mendukung implementasi dari prinsip-prinsip good governance tersebut. Oleh karena itu pembaharuan birokrasi daerah tidak dapat dihindarkan dan merupakan suatu keharusan. Perbaikan dan pembaharuan birokrasi pemerintah daerah ini harus diarahkan pada tiga kepentingan. Pertama, untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Kedua, mempertanggungjawabkan penerimaan maupun penggunaan sumber-sumber keuangan publik. Dan ketiga, untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas internal instansi pemerintahan dan terutama untuk menjadikan anggaran publik sebagai salah satu basis pengambilan keputusan. (manajemen control) Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai basis penciptaan local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa masalah. Ketidakmampuan daerah secara personal dan finansial dapat menjadi hambatan menuju keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses transformasi dari sistem yang sentralistis hierarkis menjadi desentralistis partisipatif tidak memiliki kejelasan peraturan pelaksana di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hukum harus menjadi dasar proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance. Faktor lainnya yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi menurut Rondinelli (1983) adalah pertama, kuatnya dukungan politik dan administratif dari pemerintah pusat. Kedua, pengaruh perilaku, tingkah laku dan budaya. Ketiga, faktorfaktor organisasi. Keempat, sumberdaya keuangan, manusia, dan fisik yang cukup dan memadai. Meskipun demikian dalam kebanyakan praktek di negara-negara berkembang, desentralisasi politik ditempatkan lebih sebagai instrumen efisiensi dan efktifitas dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, daripada sebagai instrumen peningkatan demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain secara prinsipil desentralisasi politik dipahami sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Pemahaman dan praktek semacam ini tidaklah mengherankan, karena konsepsi good governance oleh Bank dunia memang bersifat teknis dan bukan politis. Atas dasar
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
43
asumsi itu, tidak sulit untuk dipahami bahwa diskusi mengenai desentralisasi lebih erat berkaitan dengan modernisasi administrasi dan negara melalui paradigma baru new publik management. Sejalan dengan perkembangan pemahaman demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, konsepsi awal good governance yang notebene berkiblat kepada sistem anglo saxon (rule of law) tidak lagi memenuhi tuntutan tersebut. Atas dasar itulah negara-negara Eropa Kontinental mengembangkan perspektif baru good governance yang lebih menekankan pada aspek demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Peran Ombudsman dalam pengawasan pelaksanaan birokrasi Pemerintahan daerah terutama dalam hal pelayanan publik Perbuatan tercela yang dilakukan oleh aparat pemerintah tendensinya akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkena perbuatan tersebut. Demi keadilan perbuatan yang demikian ini pasti tidak dikehendaki adanya. Menyadari hal ini, Negara selalu akan berusaha untuk mengendalikan aparatnya jangan sampai melakukan perbuatan yang tercela ini. Sehubungan dengan ini, diadakanlah suatu sistem pengawasan (control sistem) terhadap perbuatan aparat pemerintahan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perbuatan yang marugikan masyarakat, setidaknya menekan seminimal mungkin terjadinya perbuatan tersebut. 8 Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Indonesia telah memiliki sebuah lembaga yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milim daerah (BUMD) dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Dan lembaga tersebut diberi nama Ombudsman. Pada sistem pengawasan Ombudsman, partisipasi adalah prasyarat penting dan menjadi mainstream utama. Untuk mencapai tujuannya (mewujudkan good governance) 8 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal.36.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
44
Ombudsman di Indonesia bertugas antara lain mengupayakan partisipasi masyarakat dengan menciptakan keadaan yang kondusif bagi terwujudnya birokrasi sederhana yang bersih, pelayanan umum yang baik, penyelenggaraan peradilan yang efisien dan professional termasuk proses peradilan yang independen dan fair sehingga dapat dijamin tidak akan ada keberpihakan.9 Pengawasan Ombudsman merupakan representasi dari pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok-kelompok civil society. Cara kerja Ombudsman juga mirip dengan cara kerja civil society, tidak dipungut biaya, dan berbagai kemudahan lainnya.selain sangat ditentukan oleh political will penyelenggara Negara dan dukungan politik di parlemen, efektifitas kerja Ombudsman juga sangat ditentukan dengan seberapa jauh masyarakat memiliki pemahaman tentang Ombudsman. Kesadaran perlunya menyuarakan praktek-praktek penyimpangan dan keberanian masyarakat melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara Negara. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman pada dasarnya berbasis pada pengawasan masyarakat. Produk yang dikeluarkan Ombudsman antara lain adalah rekomendasi yaitu saran tertentu kepada penyelenggara Negara dalam rangka melakukan perbaikan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman tidak mengikat secara hukum tetapi mengikat secara moral. Prinsip bahwa rekomendasi Ombudsman mengikat secara moral berlaku universal. Keberadaan UndangUndang kebebasan memperoleh informasi akan menambah bobot dari sifat mengikat secara moral dari rekomendasi Ombudsman. Karena meskipun tidak mengikat secara hukum, pejabat publik tetap berkewajiban memberikan dan membuka akses informasi terkait dengan kebijakan yang menjadi inti keluhan masyarakat. Sebagai lembaga pengawas eksternal yang independent, Ombudsman memiliki karakteristik yang relatif berbeda dengan pengawas-pengawas yang selama ini telah ada. Ombudsman memberikan peluang yang luas bagi terjadinya pelibatan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggara Negara. Keunikan lain dari Ombudsman adalah pada fungsinya sebagai pemberi pengaruh (magistrature of 9 Antonius Sujata dan Surahman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasioanl, komisi Ombudsman Nasioanl, Jakarta, 2002. hal.88.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
45
influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of sanction). 10 Pengaruh Ombudsman masuk melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada penyelenggara Negara. Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR untuk kasus-kasus tertentu yang yang signifikan dan krusial. Melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman. Karena rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat secara hukum, maka keberadaan Ombudsman menjadi sangat penting di atur dalam UUD 1945. rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat secara hukum memerlukan landasan politis yang sangat kuat. Pencantuman Ombudsman dalam UUD 1945 akan menempatkan keberadaan rekomendasi Ombudsman secara filosofis sekaligus secara politis bernilai tinggi, sehingga meskipun tidak mengikat secara hukum tetap dipatuhi oleh penyelenggara Negara. Dalam kedudukannya yang demikian Ombudsman memiliki peran sebagai berikut : 1. sebagai wakil masyarakat untuk mengurus kepentingannya yakni yang terkait dengan keluhan pelayanan oleh aparatur pemerintah dan lemabaga peradilan 2. sebagai
penghubung
pemerintah
untuk
memberikan
penjelasan
atau
mengklarifikasikan masalah-masalah yang terkait dengan keluhan masyarakat 3. sebagai pemberi peringatan dan penasihat pemerintah atas sikap tindakan yang dianggap keliru atau tidak patut di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan tugas memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya serta wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak dan mempermudah Pelapor. Dengan demikian Ombudsman dalam memeriksa Laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
10
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia” , PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005,
hal.33.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
46
publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. III. PENUTUP Untuk mewujudkan reformasi birokrasi di pemerintahan daerah sangat tergantung pada
political will dan komitmen dari kepala daerah sebagai pimpinan tertinggi
pelaksanaan birokrasi di daerah. Sebaik apapun peraturan- peraturan yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah tanpa adanya political will dan komitmen dari kepala daerah maka reformasi birokrasi untuk mewujudkan good governance akan sulit untuk diwujudkan. Political will dan komitmen kepala daerah untuk melaksanakan program dimulai dari membangun kesamaan visi, misi dan tujuan dengan aparat birokrasi, kepercayaan dan keterlibatan birokrasi dalam pelaksanaan program sangat menentukan. Artinya kemauan dan komitmen politik dari kepala daerah saja tidak cukup tanpa dukungan dan motivasi aparat birokrasi untuk melaksanakan program tersebut. Apalagi jika terdapat sejumlah orang dalam internal birokrasi yang kontrapoduktif terhadap gagasan dan pelaksanaan program. Kemampuan kepala daerah beserta aparat untuk melibatkan organisasi lokal seperti lembaga dan tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihakpihak terkait lainnya sangat penting dalam penyusunan prioritas juga dalam pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program. Dengan keterlibatan semua pihak dalam program akan meningkatkan dukungan politik, motivasi dan penerimaan masyarakat terhadap program. Struktur dan budaya lokal yang akomodatif merupakan faktor penguat keberhasilan program.
DAFTAR PUSTAKA Antonius Sujata dan Surahman. 2002. Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional. Komisi Ombudsman Nasional. Jakarta. Budi Masthuri. 2005. Mengenal Ombudsman Indonesia. PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
Reformasi Birokrasi, Pemerintahan Daerah, Good Governance
Kausar As.Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah Dalam Bayang-Bayang Budaya Patron Klien. PT.Alumni, Bandung. Miftah Thoha.2003.Birokrasi & Politik di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _____________________. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Kencana, Jakarta. Muchsan. 2007. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Liberty, Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
JMP, Volume I Nomor I Juni 2014
47