REFORMASI BIROKRASI
“Remunerasi Bukan Obat Mujarab Reformasi Birokrasi” Pengantar Birokrasi merupakan susunan jabatan yang bertingkat-tingkat dengan pengangkatan yang bebas dari pengaruh pihak lain, dengan tingkat keahlian tertentu, hak dan kekuasaannya ditetapkan dengan teliti (Hendarmin Ranadireksa, 2007, 244)1. Weber secara gamblang mengidentifikasi karakteristik birokrasi yang ideal, seperti pembagian kerja, hirarki wewenang, pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi, impersonal hubungan, kemampuan teknis, dan karir. Ciri ini memisahkan antara politik (pembuat aturan) dengan administrasi atau pelaksana aturan, sehingga birokrasi dapat patuh kepada rakyat melalui pengabdian kepada eksekutif yang dipilih oleh rakyat. Korupsi yang menggurita dan sistemik di dalam birokrasi Indonesia, salah satu sebabnya adalah birokrasi yang menganut model birokrasi patrimonial. Hubungan birokrasi yang bersifat patrimonial, berbentuk piramid antara patron dan client. Hubungan juga bersifat primodial dengan kelompok sebagai basis dukungan sebagai posisi tawar untuk menduduki jabatan dalam struktur birokrasi. Seperti dikemukakan oleh Weber, birokrasi patrimonial ialah suatu sistem birokrasi dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familier, hubungan pribadi dan hubungan ‘bapak-anak buah’ (patron client). Max Weber berkeyakinan, struktur birokrasi patrimonial tidak akan melancarkan perkembangan ekonomi yang berciri kapitalis dan swasta, yang berorientasi mencari rente. Birokrasi terjebak pada kekuasaan sebagai tujuan. Jabatan merupakan orientasi yang harus dicapai dalam karir birokrasi, padahal seharusnya kekuasaan merupakan alat untuk mencapai tujuan dari organisasi. Inilah yang menjadi penyebab birokrasi melupakan masyarakat yang seharusnya dilayani. Elit penguasa merupakan penentu kenaikan karir seorang birokrat, maka kecenderungan birokrasi tidak netral tergantung dari elit politik dan pemerintah yang berkuasa. Dengan keahlian dan posisi yang tinggi dalam status sosial politik masyarakat, menyebabkan birokrasi sering terlibat dalam “persaingan politik” dengan politisi untuk memperoleh dukungan partai dalam meraih karir birokrasi. Hubungan patron-client yang kuat antara birokrasi dengan interest group, sering menumbuhkan dukungan yang kuat bagi birokrasi. Dalam proses pemilihan secara langsung, kecenderungan membawa birokrasi ke ranah politik sulit untuk di elakkan. Mobilisasi birokrasi untuk terlibat dalam politik praktis karena daya tarik-nya yang memiliki struktur mulai dari level atas sampai terendah (desa). Sekali lagi, hubungan patron client yang bersifat mutualisme antara elit politik yang mencari dukungan dan rente bertemu dengan birokrasi yang berorientasi pada kekuasaan, inilah yang menjadi penyebab carut marutnya birokrasi di Indonesia. Gambaran persoalan ini sebenarnya yang menjadikan reformasi birokrasi menjadi keharusan dalam agenda pembenahan tata pemerintahan. Presiden SBY di masa pemerintahan pun menetapkan reformasi birokrasi sebagai prioritas pertama dalam RPJMN-nya. Tulisan ini mencoba menguraikan persoalan reformasi birokrasi dalam konteks anggaran dan upaya yang dilakukan beserta implikasinya dalam anggaran.
1
Dikutip dari bahan presentasi suwondo: Reformasi Birokrasi; Tantangan dan Peluang
Dominansi Birokrasi Dalam Kebijakan Anggaran Birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar melaksanakan kebijakan (MohtarMas,oed, 1994, 68). Kerap terjadi, birokrasi tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan, bahkan telah masuk ke dalam ranah pembuatan kebijakan. Kasus berbagai Peraturan Menteri yang tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan, justru mengatur melampaui pengaturan UU yang menjadi rujukannya. Kegiatan memerinci dan penerapan kebijakan termasuk anggaran menjadi monopoli birokrasi. Akibat keahlian ini, termasuk keahlian teknokrasi yang dimiliki, maka rakyat dan juga wakil rakyat sulit melakukan kontrol terhadap birokrasi. Untuk melihat dominansi birokrasi sebagai pembuat kebijakan, khususnya anggaran, dapat dilihat dari pendekatan politik anggaran. Yakni, menelaah arah kebijakan anggaran menurut periodisasi Presiden terpilih dan pengaruh fungsi anggaran DPR dalam membahas anggaran. Idealnya, Presiden terpilih dari partai berbeda memiliki program kebijakan yang berbeda antara satu dan lainnya, terlebih jika berasal dari partai yang berbeda. Contoh kasus yang coba digambarkan adalah kebijakan anggaran antara pada masa Presiden Megawai dan Presiden SBY. Arah kebijakan anggaran sektor-sektor publik dapat menggambarkan ke arahmana prioritas pembangunan kedua Presiden ini pada saat menjabat. Dari segi arah kebijakan prioritas anggaran selama mereka menjabat, tidak menunjukan policy position yang berbeda satu sama lain. Bahkan untuk sektor pertanian, pertambangan, ketenagakerjaan, pertahanan kemananan, lingkungan/perencanaan sosial, dan infrastruktur rata-rata kebijakan alokasi anggaran selama mereka menjabat memiliki proporsi yang sama. Sedikit perbedaan pada sektor pendidikan dan kesehatan SBY relatif lebih tinggi 2% dibandingkan Megawati, sementara di sektor Aparatur Pemerintah Justru Megawati memiliki rasio yang lebih rendah 2 % ketimbang SBY. Dalam gambaran di atas dapat dikatakan siapapun Presidennya tidak terjadi perubahan kebijakan alokasi anggaran yang signifikan. Tabel 1. Rata-rata Rasio Kebijakan Alokasi Sektor Terhadap Belanja Pemerintah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sektor Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan Perdagangan, keuangan/utang/subsidi Aparatur Pemerintah ketenagakerjaan Pertahanan & keamanan Lingkugan & Perencanaan Spasial Infrastruktur
Mega 2.5 14.8 11 0.2 41.3 12 1 6.6 0.8 11
SBY-JK 2.5 16.4 13 0.2 40.4 14 1 6.5 0.9 11
Sumber; Data Diolah dari APBN 2005-2009.
Gambaran diatas menandakan kuatnya birokrasi dalam kebijakan penganggaran. Kebijakan anggaran masih bersifat incremental, siapapun Presidennya anggaran untuk birokrasi Kementerian/Lembaga selalu memperoleh kenaikan setiap tahunnya. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang dieksplanasi oleh Adrian Fozzar (2001), birokasi akan mempertahankan dirinya untuk melawan pemotongan anggaran dan berupaya meningkatkan alokasinya daripada secara ketat memaksimalkan anggaran yang dimilikinya2 Dominansi birokrasi juga ditandai dalam penetapan kebijakan anggaran, khususnya dalam pembahasan APBN dengan DPR. Salah satu fungsi DPR, fungsi anggaran dijamin konstitusi. Konstitusi secara tegas
2
The Basic Budgeting Problem, Approaches to Resource Allocation in the Public Sector and their Implications for Pro-Poor Budgeting. ODI working paper, July 2001.
menyampaikan tiga fungsi DPR, yang salah satunya fungsi anggaran. Dalam konstitusi disebutkan kekuatan fungsi anggaran DPR, apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan Presiden, Pemerintah hanya dapat menjalankan APBN tahun yang lalu. Indikator dominansinya birokrasi dalam pembahasan anggaran dan pengaruh fungsi anggaran DPR dapat dilihat dari seberapa besar perubahan pergeseran anggaran dari RAPBN yang diajukan Pemerintah setelah dibahas oleh DPR dan ditetapkan menjadi APBN. Dari analisis FITRA (tabel 2. ), terlihat perubahan/pergeseran dari RAPBN ke APBN tidak mengalami perubahan signifikan. Pada tahun 2005, 2007 dan 2008, asumsi ekonomi makro yang merupakan ranah panitia anggaran DPR tidak mengalami perubahan dari rancangan yang diajukan birokrasi Sementara tahun 2006 dan tahun 2009, merupakan tahun dimana terjadinya perubahan R-APBN karena terjadinya krisis, sehingga perubahan lebih dikarenakan perubahan yang diajukan Pemerintah. Hal ini menunjukan lemahnya kemampuan panitia anggaran DPR. Demikian pula dari segi struktur anggaran (pendapatan-belanja), DPR hanya mampu merubah tidak lebih dari 3% RAPBN yang diajukan Pemerintah. Dari sisi belanja menurut fungsi ditahun 2007 dan 2008 hanya bergeser 1.7% dan 1.5% dari rancangan. Sementara dari sisi belanja menurut organisasi yang merupakan wilayah pembahasan anggaran di tiap-tiap komisi, perubahan terbesar tidak lebih dari 10%. Gambaran ini menunjukan dominansinya birokrasi dalam pembahasan anggaran, dan tidak bekerjanya fungsi anggaran yang dimiliki DPR. Tabel 2. Pergeseran Anggaran Dari Rancangan ke Penetapan No 1
2
3 4
% Pergeseran R-APBN
Keterangan Asumsi ekonomi Pertumbuhan ekonomi tahunan (%) Inflasi (%) Nilai tukar Rupiah per US$ Suku bunga SBI 3 bulan (%) Harga minyak internasional (US$/barel) Produksi minyak Indonesia juta barel/hari) Struktur Pendapatan Belanja Pembiayaan Belanja Fungsi Belanja Organisasi
2005
2006
2007
2008
2009
0 0 0 0 0 0
0 1 300 1.5 17 -25
0 0 n.a. n.a. -2 0
0 0 0 0 0 0
-0.2 0.3 300 -0.5 n.a. 10
0 1.2 0 n.a. 3.5
16 16 -13.2 14 30.7
1.3 2.2 -22.4 1.7 10
2.6 2.1 2.3 1.5 9.2
-12.3 -13.8 -35 -17.3 -0.8
Sumber: Seknas FITRA, diolah dari R-APBN 2005-2009.
Reformasi Birokrasi = Penggemukan Anggaran Birokrasi Genderang reformasi birokrasi di Indonesia di pelopori oleh Departemen Keuangan pada tahun 2007. Pilot proyek reformasi birokrasi Depkeu, diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007. Atas nama reformasi birokrasi ini, pejabat dengan level eselon I atau Direktur Jenderal di lingkungan Departemen Keuangan memperoleh remunerasi mencapai Rp 46,9 Juta per bulannya. Menurut UU No. 1 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Meteri Keuangan merupakan Bendahara Umum Negara. Lalu apakah selaku Bendahara Negara, Depkeu dapat menambah penghasilan dengan mengatasnamakan reformasi birokrasi, cukup dengan landasan yuridis keputusan internal? Dengan alasan pilot project, alih-alih memberikan early warning, BPK sebagai auditor Negara, turut mendapat kucuran tambahan remunerasi. Meskipun, belum ada kejelasan landasan hukum kenaikan
remunerasi di tubuh BPK ini. Tunjangan prestasi terus bergulir ke tubuh MA. Melalui Perpres No 19 tahun 2008. Seolah tidak mau rugi, Perpres ini berlaku surut mulai September 2007. Ketua MA mendapatkan tunjangan kinerja hingga Rp 50 Juta. Lengkap sudah, Bendahara yang punya kuasa atas uang, dan sang auditor anggaran serta sang hakim yang memutuskan kebenaran, semua mendapat jatah remunerasi. Dipastikan tambahan tunjangan ini “aman”. Tunjangan ditambah, maka prestasi akan meningkat dan korupsi akan berkurang, adalah tidak relevan. Hasil pemeriksaan BPK menemukan piutang pajak tahun 2007 sebesar Rp. 42,04 triliyun, tidak berhasil ditarik Depkeu. BPK juga melansir lagi-lagi Laporan Keuangan Pemerintah pesat disclaimer. Tambahan tunjangan juga tidak berpengaruh terhadap keterbukaan MA soal uang perkara yang tidak mau diaudit Berdasarkan catatan FITRA, kenaikan belanja pegawai pada tahun 2008 di ketiga lembaga ini, menyedot anggaran hingga Rp. 9,5 Trilyun dengan mengalami kenaikan belanja pegawai di Depkeu hingga 270%, MA sebesar 230% dan BPK 163%. 269
300
230
250 200
MA
163
Depkeu
150 % Kenaikan
100 50
62 36494249 29 11
BPK 68
45 23
0 2006-2007
2007-2008
Meneg PAN Depdiknas Depkes Deps os
Tahun
Sumber : Seknas FITRA, diolah dari APBN 2006 - 2008
Pada tahun anggaran 2009, dengung reformasi birokrasi ini mulai jauh berkurang. Tentunya, Presiden SBY sebagai incumbent akan menjaga citranya dengan tidak mengeluarkan kebijakan tidak populer di tahun Pemilu. Sebagai instrumen politik, kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri sebesar 15% di tahun 2009 cukup efektif meraih simpati pemilih ditubuh birokrasi. Namun setelah Presiden Incumbent terpilih kembali dengan suara meyakinkan, Presiden memanfaatkan semaksimal mungkin UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian/Lembaga, dengan membentuk Kabinet yang mengakomodasi seluruh anggota koalisinya dengan jumlah 34 .Tidak cukup sampai disana, Presidenpun menambah 10 jabatan Wakil Menteri yang sampai saat ini belum jelas pembagian kerjanya dengan Menteri maupun Pejabat Esselon I. Dengan meraih dukungan lebih dari separuh pemilih, tidak cukup membuat Presiden percaya diri membangun struktur yang ramping, kaya fungsi dan hemat anggaran yang seharusnya menjadi roh dari reformasi birokrasi. Lembaga Kepresidenan sebagai lokomotif reformasi birokrasi justru tidak mampu memberikan contoh bagi Kementerian/Lembaga lain. Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dengan struktur. Maka dibentuk lagi, lembaga di lingkungan istana Presiden seperti, staff khusus, staff pribadi, juru bicara, unit kerja, dewan pertimbangan Presiden , satgas mafia hukum hingga tim 8 yang telah berakhir masa jabatannya. Ironisnya, pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektivitasnya. Bahkan cenderung menambah beban anggaran Negara. Tercatat pada APBN 2010, saat ini Unit Kerja Presiden telah memiliki nomenklatur tersendiri dengan anggaran Rp. 17,1 milyar dan Dewan Pertimbangan Presiden dengan anggaran Rp. 34, 5 milyar.
Dalam hitungan hari, setelah Presiden dan jajaran Menteri KIB jilid II dilantik, para pejabat tidak mampu mengerem keinginannya naik gaji. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari gaji kecil dibandingkan direksi BUMN, dibandingkan Negara lain, sampai dengan menggunakan tameng reformasi birokrasi. Tampaknya, era kedua Presiden SBY sudah tidak memiliki beban mengeluarkan kebijakan tidak populer untuk menjaga citranya. Berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), para Menteri memiliki kekayaan milyaran hingga trilyunan rupiah.Karenanya, sangat ironis jika pejabat Negara setingkat Presiden dan Menteri masih meributkan lagi pundi-pundi pribadinya. Jabatan Menteri bukanlah lowongon bagi pencari kerja untuk memperoleh penghasilan sebesar-besarnya, dengan mengeruk duit rakyat. Status pejabat Negara adalah suatu kehormatan menjadi orang-orang terpilih untuk mengabdikan dirinya melayani rakyat. Sebagai Menteri, berbagai privilege fasilitas Negara sudah lebih dari cukup. Dapat dikatakan, penghasilan yang diterima menteri utuh masuk kantong pribadi. Mobil Dinas seharga 350 juta, rumah dinas, uang makan, pensiun sampai dengan dana taktis operasional senilai 100 juta. Penghasilan Menteri juga sangat mungkin membengkak ketika terdapat proyek-proyek dimana Menteri memperoleh honor dari kegiatan di instansinya. Usulan yang mengangkangi rasa keadilan rakyat ini, jelas tidak tepat disaat dampak krisis ekonomi global yang belum pulih, kenaikan minyak dunia yang mengancam beban APBN dan Indeks Pembangunan Manusia yang merosot dari peringkat 107 ke peringkat 109 pada tahun 2009, serta ancaman kegagalan pencapaian target MDGs. Hal ini semakin menggambarkan kebijakan reformasi birokrasi tidak memperhatikan budget constraint, yang tentunya dapat menimbulkan implikasi serius terhadap kondisi fiskal negara ini. Potret belanja Pemerintah Pusat saat ini menunjukan kenaikan belanja pegawai yang mengalami peningkatan. Tahun 2010 belanja pegawai mengalami kenaikan sebesar Rp. 28 trilyun menjadi Rp. 162 Trilyun. Belanja pegawai terdiri dari gaji dan tunjangan, honorarium dan vakasi serta kontribusi sosial. Komponen gaji dan tunjangan pada belanja pegawai dialokasikan untuk kenaikan 5%, gaji 13 dan acrees. Sementara komponen honorarium dan vakasi yang direncanakan untuk kenaikan gaji Menteri dan Presiden serta remunerasi di 12 Kementerian/Lembaga lain anggarannya meningkat Rp. 11 trilyun, dari Rp. 13,8 trilyun pada APBN-P 2009 menjadi Rp. 25,43 trilyun di APBN 2010. Dari gambaran grafik di bawah ini, secara umum dapat dikatakan ongkos tukang (belanja pegawai) memiliki kecenderungan untuk terus naik, sedangkan pekerjaannya (belanja modal dan barang) justru tidak mengalami signifikan. Ongkos tukang naik, akan tetapi pekerjaan tidak bertambah. Perlu dicatat juga, dari Rp. 107 trilyun belanja barang, Rp. 19,5 trilyun untuk perjalanan dinas (lihat data pokok APBN 2010). Grafik Trend Belanja Menurut Jenit Lima Tahun Terakhir
Sumber: Diolah dari data pokok APBNP 2010
Implikasi beban keuangan Negara tidak hanya terjadi pada APBN 2010. Diperkirakan terdapat 7,000 pejabat Negara yang diusulkan kenaikan gaji, mulai dari Presiden, Menteri sampai dengan Kepala Daerah beserta wakilnya. Otomotis, beban APBN akan semakin berat hanya untuk membiayai para pejabat sampai dengan uang pensiun dan membayar utang. Kenaikan gaji Kepala Daerah dipastikan juga akan menguras APBD, yang berdampak pada kenaikan penghasilan 15.000 anggota DPRD diseluruh Indonesia, mengingat parameter yang dipergunakan penghasilan DPRD adalah gaji pokok kepala daerah. Tanpa adanya kenaikan gaji pejabat daerah, kondisi potret kebijakan anggaran di daerah sudah sangat memprihatinkan. Belanja daerah pada APBD tidak mampu menjadi sektor penggerak pertumbuhan ekonomi di daerah. Pasal kebijakan anggaran daerah pada empat tahun terakhir terbesar didominasi oleh belanja pegawai. Ironisnya ditengah belanja daerah dan transfer ke daerah yang tidak memiliki laju signifikan, belanja pegawai justru menghabiskan hampir separuh dari proporsi belanja daerah. Sementara belanja modal yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi justru berbanding terbalik dengan kenaikan belanja pegawai. Belanja Modal justru terus meluncur turun, bahkan terendah dalam 4 tahun terakhir. Sulit dibayangkan, jika kenaikan gaji pejabat daerah dan DPRD jadi dikabulkan, dapat dipastikan APBD praktis hanya digunakan untuk membayar ongkos tukang.
Sumber : Data Pokok APBN 2007 - 2010
Kesimpulan dan Rekomendasi Alasan yang kerap dikemukan, terjadinya korupsi sistemik di tubuh birokasi karena minimnya penghasilan yang diperoleh. Sehingga yang sangat menonjol adalah reformasi birokrasi dapat diselesaikan dengan obat mujarab pemberian remunerasi, untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan kinerja birokrasi. Premis ini tentunya dapat dengan mudah terbantahkan. Hanya dalam waktu 12 jam melakukan inspeksi mendadak, KPK menemukan uang suap sebesar Rp. 500 juta di lingkungan Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai Tanjung Priok. Mencuatnya kasus Gayus Tambunan sang makelar pajak yang tergolong pegawai rendahan yang telah menerima remunerasi di Dirjen Pajak, telah menyadarkan publik dan menjadi pelajaran berharga terhadap kebijakan reformasi birokrasi. Korupsi di ranah anggaran mulai dari hulu {baca:penerimaan Negara) sampai dengan hilir (baca: belanja Negara) masih merupakan lahan subur korupsi. Birokrat koruptif mulai
dari pengelola anggaran (KeMenKeu serta Dirjen Pajak yang mengelola penerimaan dan belanja) maupun pengguna anggaran (Kementerian/Lembaga yang membelanjakan anggaran) masih menggurita dan tidak dapat dihentikan dengan pemberian remunerasi. Birokrasi koruptif warisan orde baru, yang telah mengakar sulit dihilangkan, meskipun dilakukan rekrutmen pegawai baru dan pemberian remunerasi. Model patron client bawahan-atasan mengkontaminasi pegawai baru dengan remunerasi tinggi untuk menyetor ke atasan yang merupakan produk warisan birokrasi koruptif. Oleh karenanya, reformasi birokrasi harus diawali dengan pembuktian terbalik untuk mengidentfikasi para birokrat yang memiliki harta kekayaan tidak wajar dari hasil menyalahgunakan jabatannya.
Kenaikan gaji tidak akan mampu menyelesaikan masalah birokrasi dan mengurangi korupsi. Korupsi yang terjadi karena rendahnya penghasilan adalah corruption by need. Sementara dengan kekuasaan jabatan Menteri, korupsi tidak lagi karena kebutuhan, melainkan nafsu dan keserekahan dari kekuasaan yang dimiliki. Reformasi birokrasi yang setengah matang ini justru hanya menambah beban anggaran Negara dan mengurangi alokasi anggaran pembangunan dan anggaran orang miskin. Reformasi birokrasi tidak mengaddress persoalan sebenarnya, seperti patron client dengan elit penguasa dan pembuat kebijakan. Reformasi birokrasi jutru melawan arus dari birokrasi yang efisien dan kaya fungsi. Penting bagi Pemerintah untuk mengkaji ulang disain besar reformasi birokrasi dan menghentikan sementara pemberian remunerasi. Prinsip utama birokrasi yang efisien dan kaya fungsi dengan tidak membebani anggaan Negara merupakan prasyarat penting dalam reformasi birokrasi.
***