KETERKAITAN KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI, DAN STATUS KESEHATAN LANSIA DI KOTA BANDUNG
RATIA YULIZAWATY
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013
Ratia Yulizawaty NIM. I14090074
RINGKASAN RATIA YULIZAWATY. Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan VERA URIPI.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui keterkaitan konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia di Kota Bandung. Adapun tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1) Mengidentifikasi karakteristik lansia di panti Werdha dan non panti, 2) Mengidentifikasi dan membandingkan konsumsi pangan, tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, B6, asam folat dan vitamin C di panti Werdha dan non panti, 3) Mengidentifikasi dan membandingkan status gizi di panti Werdha dan non panti, 4) Mengidentifikasi dan membandingkan status kesehatan di panti Werdha dan non panti, 5) Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, B6, dan vitamin C terhadap status gizi dan status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti, 6) Menganalisis hubungan tekanan darah terhadap kejadian anemia lansia di panti Werdha dan non panti, 7) Menganalisis hubungan status gizi terhadap status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung berjudul “A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspect of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home” yang didanai oleh Neys–van Hoogstaren Foundation, the Netherlands. Desain yang digunakan dalam penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2012. Lansia yang dipilih menjadi contoh merupakan lansia yang tinggal di panti dan masyarakat (non panti) sebanyak 115 orang. Data yang digunakan meliputi karakteristik lansia, karakteristik sosial ekonomi, konsumsi pangan, tekanan darah, kadar hemoglobin, status kesehatan, dan perawatan kesehatan lansia. Lansia yang menjadi responden terdiri dari 95 orang laki–laki (82.6%) dan 20 orang perempuan (17.4%). Sebagian besar lansia berada pada rentang usia 60– 74 tahun tahun (69.6%) dan 75–90 tahun (28.7%), hanya 1.7% lansia yang berusia >90 tahun. Lebih dari setengah (58.3%) status pernikahan lansia tergolong janda/duda, 27.8% berstatus menikah dan 13.9% berstatus tidak menikah. Sebanyak 44.3% lansia tidak tamat SD, 21.7% SD, 16.5% SMP, 12.2% SMA dan hanya 5.2% perguruan tinggi. Keseluruhan lansia umumnya sudah tidak bekerja (67.0%) dan pensiunan (15.7%). Pendapatan umumnya tergolong tinggi (52.2%) dan rendah (29.1%), hanya 8.7% yang tergolong sedang. Sebagian besar lansia mengonsumsi pangan sumber kalsium, khususnya tahu dan tempe sebanyak 8 kali dalam seminggu sedangkan susu hanya 4 kali dalam seminggu. Jenis minuman yang paling sering dikonsumsi lansia adalah air putih, teh dan kopi masing–masingnya 31, 7, dan 5 kali dalam seminggu. Tingkat kecukupan energi dan protein yaitu 95.5% dan 63.3%. Tingkat kecukupan mineral berupa kalsium dan zat besi berturut–turut yaitu 52.9% dan 78.3%. Tingkat kecukupan vitamin berupa vitamin C, B1, B2 dan B6 berturut–turut yaitu 40.8%, 29.7%, 41.4% dan 44.7%. Tingkat kecukupan kalsium dan zat besi lansia yang 1
tinggal bersama keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tinggal di panti. Tingkat kecukupan vitamin secara keseluruhan tidak terlalu berbeda antara lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Sebanyak 34.8% lansia berstatus gizi normal, 29.6% overweight, 24.3% obese 1 dan hanya 11.3% tergolong kurus. Secara keseluruhan, 71.3% lansia tergolong hipertensi dan hanya 27.8% normal. Status anemia menunjukkan sebanyak 60% lansia laki–laki tergolong kurang dan 40% normal sedangkan sebanyak 51% lansia perempuan tergolong kurang dan 49% tergolong normal. Persepsi status kesehatan lansia menunjukkan bahwa sebanyak 70.4% tergolong baik, 16.5% sangat buruk dan 13% sedang. Penyakit yang paling umum terjadi pada lansia adalah hipertensi (41.7%), arthritis (45.2%), dan sakit maag (32.2%). Secara keseluruhan disabilitas fisik lansia tergolong baik untuk penglihatan (47%) dan pendengaran (92.2%). Pemeriksaan kesehatan yang paling sering dilakukan adalah tekanan darah (63.5%), fisik (42.6%) dan gula darah (16.5%). Pemeliharaan kesehatan yang sering dilakukan lansia adalah menjaga pola makan (72.2%), membatasi makanan (66.1%), menghindari stres (62.6%), berolahraga (68.7%) dan beribadah (76.5%). Uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi, kalsium, zat besi, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin B6 dengan status gizi. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (r=–0.371 dan p=0.000). Uji korelasi Spearman menunjukkan hanya vitamin B1 dan vitamin B2 yang berhubungan signifikan dengan status kesehatan, yaitu (r=0.184 dan p=0.048) dan (r=0.290 dan p=0.002). Uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan antara tekanan darah dengan status anemia (r=–0.211 dan p=0.024) akan tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan zat besi dengan status anemia (r=–0.068 dan p=0.473).
2
ABSTRAK RATIA YULIZAWATY. Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan VERA URIPI. Penurunan fungsi tubuh akan terjadi pada populasi usia lanjut. Penurunan fungsi tubuh akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk bekerja secara normal terutama dalam mengonsumsi makanan. Kurangnya konsumsi pangan pada usia lanjut akan berdampak pada status gizi dan meningkatkan risiko terhadap kejadian anemia dan masalah status kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia yang tinggal di Panti Werdha dan bersama keluarga di Kota Bandung. Desain penelitian yang digunakan adalah studi retrospektif dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Jumlah lansia yang digunakan sebanyak 115 orang lansia. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi tergolong normal, protein tergolong kurang, kalsium tergolong kurang, zat besi tergolong cukup, dan vitamin tergolong kurang. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, B6 dan vitamin C dengan status kesehatan (p>0.05). Namun, terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi, tingkat kecukupan vitamin B1 dan B2 dengan status kesehatan, status gizi dan status anemia dengan status kesehatan serta tekanan darah dengan status anemia (p<0.05). Kata kunci: konsumsi pangan, lansia, status kesehatan, status gizi
ABSTRACT RATIA YULIZAWATY. Relationship of Food Consumption, Nutritional Status, and Health Status on Elderly in Bandung. Under direction of ALI KHOMSAN and VERA URIPI. Decreases of physiological function in the body will occur in the elderly population. As a result, the elderly body’s ability to work normally is decreased, especially in term of consuming foods. The lack of food consumption in the elderly will affect their nutritional status and increase the risks of the occurrence of anemia and health status problems. The objective of this study was to know the relationships of food consumption, nutritional status, and health status of the elderly living in nursing homes and families at the City of Bandung. A retrospective study of 115 elderly people was conducted and data collected on May 2012. The study showed that level of energy intake was normal, protein was lack, calcium was lack, iron was adequate, and vitamins were lack. Correlation test showed that there was no correlation among level of energy, protein, calcium, iron, vitamin B1, B2, B6 and vitamin C intake to health status (p>0.05). However,
there was correlation among level of protein intake to nutritional status, level of vitamin B1 and B2 intake to health status, nutritional status and anemia to health status, as well as blood pressure to anemia (p<0.05). Keywords: elderly, food consumption, health status, nutritional status
KETERKAITAN KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI, DAN STATUS KESEHATAN LANSIA DI KOTA BANDUNG
RATIA YULIZAWATY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung Nama : Ratia Yulizawaty NIM : I14090074
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Pembimbing I
dr. Vera Uripi S. Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia–Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan, dengan judul Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing Skripsi atas waktu, bimbingan dan masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini. 2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan skripsi. 3. Neys–van Hoogstaren Foundation, the Netherlands yang telah membiayai penelitian payung yang berjudul ―A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspects of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home‖, beserta para penelitinya yaitu Rita Patriasih, M.Si, Dr. Isma Widiaty, dr. Mira Dewi, Msi dan Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. 4. Keluarga tercinta : ibunda tersayang (Ibu Lina), Ratna Ayu Safitri dan Randi Putra Pranata (Kakak) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan kasih sayangnya. 5. Teman–teman terdekat : Avliya Quratul Marjan, Rammona Jayana, Yusvita Sari, Arnati Wulansari, Qurratu Aini, Chairunnisa Utami, Bibi Ahmad Chahyanto, Noeryda Pramudyta, Ksatriadi Widya Dwinugraha yang banyak membantu dalam memberikan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 6. Teman–teman satu bimbingan : Utami Wahyuningsih, Heti Sondari dan Ika Rohmah Sekarayu atas semangat dan kerjasamanya. 7. Teman–teman Internship Dietetik (ID) dan Kuliah Kerja Profesi (KKP) : Niken Rizki Amalia, Estu Nugroho, Anisa Rahmi, Indah Dwi Pertiwi, Rikardo Sembiring, dan Faris Husaini El Shabir yang selalu memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 8. Teman–teman OMDA IKPMR angkatan 46 (Esi, Sarah, Arini, Ayu, Dila, Dana, Wal, Ilham) serta Azyl Yunia Komala Sari yang selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 9. Teman–teman pembahas seminar : Meirisa Rahmawati, Soni Fauzi, Heti Sondari dan Karina Indah Pertiwi yang telah memberikan saran selama seminar. 10. Teman–teman Gizi Masyarakat 46, 47 dan 48 serta kakak kelas 45 dan teman–teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan penyusunan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2013 Ratia Yulizawaty
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitan
2
Tujuan Umum
2
Tujuan Khusus
2
Hipotesis Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
3
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE PENELITIAN
5
Desain, Tempat, dan Waktu
5
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
5
Pengolahan dan Analisis Data
6
Definisi Operasional
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Keadaan Umum Panti Werdha
11
Keadaan Umum Kecamatan Sukasari
13
Karakteristik Lansia
13
Pola Konsumsi Pangan
16
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
19
Tingkat kecukupan Kalsium dan Zat Besi
22
Tingkat Kecukupan Vitamin C, B1, B2 dan B6
23
Status Gizi
25
Tekanan Darah
26
Anemia
27
Status Kesehatan
29
Hubungan Antar Variabel
31
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi
31
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Kesehatan
33
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Status Anemia
34
Hubungan Tekanan Darah dengan Status Anemia
34
Hubungan Status Anemia dan Status Gizi dengan Status Kesehatan
35
SIMPULAN DAN SARAN
35
Simpulan
35
Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
41
RIWAYAT HIDUP
48
DAFTAR TABEL Tabel 1 Data peubah dan cara pengumpulan data
6
Tabel 2 Oxford equation untuk estimasi kebutuhan energi lansia usia >60 tahun Tabel 3 Faktor aktivitas lansia menurut status gizi dan jenis kelamin
7 8
Tabel 4 Sebaran dan statistik lansia di panti dan non panti Tabel 5 Sebaran statistik frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium
14 17
Tabel 6 Sebaran statistik frekuensi konsumsi minuman Tabel 7 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein lansia
19 20
Tabel 8 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein Tabel 9 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan mineral lansia Tabel 10 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan kalsium dan zat besi
21 23 23
Tabel 11 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin B dan C lansia Tabel 12 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan vitamin B dan C Tabel 13 Sebaran lansia menurut status gizi Tabel 14 Sebaran lansia menurut tekanan darah
24 25 26 27
Tabel 15 Sebaran lansia menurut kadar hemoglobin
29
Tabel 16 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan
30
Tabel 17 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami Tabel 18 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi
30
dan protein dengan status gizi Tabel 19 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan vitamin
32
dan mineral dengan status gizi
33
Tabel 20 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan
33
Tabel 21 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan
34
DAFTAR GAMBAR 1 Bagan kerangka pemikiran keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan lansia
4
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian
41
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemajuan perekonomian sangat berperan pada peningkatan taraf hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Meningkatnya usia harapan hidup penduduk merupakan indikator keberhasilan pembangunan yang harus dicapai dalam suatu negara. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai dampak dari peningkatan kualitas kesehatan. Lanjut usia adalah suatu proses alami yang pasti akan terjadi pada setiap individu yang diberikan umur panjang. Dekade belakangan ini menunjukkan populasi lanjut usia meningkat dinegara berkembang, yang awalnya hanya terjadi dinegara maju. Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia, telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18.57 juta jiwa, meningkat sekitar 7.93% dari tahun 2000 sebanyak 14.44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan bertambah sekitar 34.22 juta jiwa (BPS 2010). Peningkatan jumlah penduduk lansia yang cukup tinggi tentunya akan menjadikan lansia menjadi salah satu kelompok yang sangat penting diperhatikan, terutama terkait kesehatan, baik secara klinis maupun fisik. Masalah kesehatan lansia erat kaitannya dengan penyakit degeneratif dan progresif. Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki/mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo 2006). Berdasarkan hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, penyakit terbanyak diderita lansia adalah penyakit sendi (52.3%), hipertensi (38.8%), anemia (30.7%) dan katarak (23.0%). Penyakit–penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (Komnas Lansia 2010). Prevalensi sindrom metabolik pada usia 60 tahun keatas hampir dua kali lipat pada wanita dibandingkan pria, sehingga diperlukan perhatian yang lebih banyak pada status kesehatan wanita usia lanjut (Kim et al. 2010). Penurunan angka metabolisme basal tubuh dan gangguan gigi dapat berpengaruh pada kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan perubahan asupan makanan sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi (Wirakusumah 2001). Secara tidak langsung, perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi. Defisiensi zat gizi termasuk zat besi pada lansia mempunyai dampak terhadap status gizi dan kesehatan lansia sehingga kemampuan fisik dan kekebalan tubuh akan berkurang. Status kesehatan akan berpengaruh terhadap penilaian kebutuhan zat gizi lansia (Arisman 2004). Masalah gizi yang umum terjadi pada lansia adalah gizi kurang dan gizi lebih. Darmojo (2009) menyatakan lansia di Indonesia yang tinggal di perkotaan mengalami kurang gizi sebesar 3.4%, berat badan kurang 28.3%, berat badan lebih 6.7%, obesitas 3.4% dan berat badan ideal 42.4%. Sementara itu,
2 menurut Depkes (2003) menyatakan bahwa lebih dari 28% lanjut usia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Jakarta memiliki IMT dibawah normal. Penelitian Mainake (2012) menyatakan bahwa status gizi lansia di Manado yang tinggal bersama keluarga sebanyak 68.4% normal, 25% gemuk dan 6.6% kurus dengan rerata IMT 23.6. Hasil penelitian ini menunjukkan rata–rata lansia memiliki status gizi normal dan akan berdampak baik terhadap derajat kesehatan lansia. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangan, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit (Depkes 2003). Keluarga merupakan sosok yang paling utama dalam menjaga dan merawat lansia. Peran keluarga tentunya menjadi sangat penting dalam kelangsungan hidup lansia. Selain keluarga, masyarakat dan pemerintah juga berperan penting dalam menjaga dan merawat lansia. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah menyediakan fasilitas berupa tempat tinggal dan perawatan bagi lansia yang sudah tidak tinggal dengan keluarga dan terlantar. Dengan demikian, Panti Werdha merupakan salah satu alternatif yang diberikan pemerintah untuk membantu pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia (Rusilanti & Kusharto 2006). Penyelenggaraan makan pada lansia yang tinggal bersama keluarga dan Panti Werdha sebaiknya harus memenuhi kebutuhan gizi lansia sehingga lansia dapat memiliki pola makan yang tepat dan kondisi kesehatan yang baik. Mengingat kelompok lanjut usia merupakan kelompok yang rentan terhadap konsumsi makanannya maka peneliti ingin mempelajari keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan lansia yang tinggal di panti Werdha dan bersama keluarga di Kota Bandung. Tujuan Penelitan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia di Kota Bandung, khususnya lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik lansia yang tinggal di panti dan non panti Werdha. 2. Mengidentifikasi dan membandingkan konsumsi pangan, tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B dan C di panti dan non panti Werdha. 3. Mengidentifikasi dan membandingkan status gizi di panti dan non panti Werdha. 4. Mengidentifikasi dan membandingkan status kesehatan di panti dan non panti Werdha. 5. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B dan C terhadap status gizi dan status kesehatan lansia di panti dan non panti Werdha.
3 6. Menganalisis hubungan tekanan darah terhadap kejadian anemia lansia di panti dan non panti Werdha. 7. Menganalisis hubungan status gizi terhadap status kesehatan lansia di panti dan non panti Werdha. Hipotesis Penelitian 1. Adanya kaitan antara konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti. 2. Adanya hubungan antara kejadian anemia terhadap status gizi dan status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti. Kegunaan Penelitian 1. Bagi mahasiswa, memberikan informasi mengenai pentingnya konsumsi pangan dengan gizi seimbang untuk mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal. 2. Bagi masyarakat, memberikan informasi tentang penyakit anemia yang mempengaruhi status gizi dan hubungannya dengan konsumsi pangan, khususnya pada lansia sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit anemia yang mungkin terjadi. 3. Bagi pemerintah, menjadi pertimbangan untuk pemerintah dalam pengadaan program kesehatan lansia dan penyuluhan gizi mengenai pola dan jenis makanan yang tepat.
KERANGKA PEMIKIRAN Lansia merupakan seseorang yang mengalami proses penuaan secara terus menerus ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap terjadinya penyakit, baik secara degeneratif maupun infeksi. Penurunan daya tahan fisik akan mengakibatkan penurunan kesehatan lansia. Penurunan kesehatan lansia juga didukung oleh berkurangnya nafsu makan yang diakibatkan oleh menurunnya fungsi indera pengecap dan permasalahan pada gigi. Hal demikian akan mempengaruhi konsumsi pangan lansia. Konsumsi pangan lansia juga dipengaruhi oleh makanan yang disediakan dan jajanan yang terdapat di luar rumah/panti. Selain itu, konsumsi pangan tentunya juga dipengaruhi oleh kebiasaan, preferensi dan tabu terhadap makanan. Lansia sangat membutuhkan sumber makanan yang tinggi kandungan zat gizi, baik makro maupun mikro. Salah satu zat gizi mikro yang perlu diperhatikan untuk lansia adalah zat besi (Fe). Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk heme dan non heme yang banyak terdapat dalam lauk hewani dan sayuran. Akan tetapi dikarenakan adanya penurunan nafsu makan dan penyakit yang dialami, konsumsi pangan khususnya hewani dan nabati sangat rendah. Rendahnya konsumsi zat besi heme dan non heme ini dapat mempengaruhi nilai hemoglobin yang berperan sebagai pembawa oksigen ke darah. Nilai hemoglobin yang kurang dari nomal akan berhubungan dengan masalah klinis seperti anemia (Anggraeni 2012).
4 Karakteristik lansia berupa umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan akan mempengaruhi kebutuhan zat gizi tubuh baik makro maupun mikro. Selain kebutuhan zat gizi, karakteristik lansia juga akan mempengaruhi konsumsi pangan dan pola makan. Pangan yang dikonsumsi oleh lansia akan mengalami penurunan apabila kondisi lansia mengalami perubahan. Perubahan kondisi yang paling sering dialami oleh lansia adalah penurunan nafsu makan yang salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mengunyah makanan. Konsumsi pangan dapat diukur dari tingkat kecukupan zat gizi yang dikonsumsi lansia. Tingkat kecukupan lansia yang rendah dan berlangsung terus menerus dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia. Berikut ini adalah bagan kerangka keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan (pada Gambar 1). Karakteristik Lansia - Jenis Kelamin - Usia - Pendidikan - Pekerjaan Konsumsi Pangan - Makan di rumah/panti - Makan dari luar rumah/panti
Status Anemia - Kadar Hemoglobin (Hb) - Tekanan Darah
Asupan Energi dan Zat Gizi
Konsumsi Zat Besi (Heme dan Non Heme)
Tingkat Kecukupan
Status Kesehatan - Persepsi status kesehatan - Jenis Penyakit yang diderita - Disabilitas fisik - Perawatan Kesehatan
Status Gizi - Defisiensi zat besi – Berat badan (kg) – Tinggi badan (cm)
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan lansia Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis
5
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul ―A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspects of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home‖ yang dibiayai oleh Neys-van Hoogstaren Foundation, the Netherlands. Desain penelitian yang digunakan adalah studi retrospektif, yaitu studi yang waktu kejadiannya terjadi di masa lampau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2012 di Bandung. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi yaitu lansia yang berusia 60 tahun ke atas, mampu mengonsumsi makanan melalui mulut, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami gangguan ingatan, bersedia diwawancarai sebagai responden, tinggal bersama keluarga dan di panti Werdha. Lansia yang telah memenuhi kriteria kemudian diambil dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Total sampel yang terdapat pada penelitian payung ini adalah 82 orang di panti dan 336 orang di masyarakat. Penarikan jumlah lansia dilakukan dengan menggunakan presisi 10% dan prevalensi 20.8%. Prevalensi anemia dewasa sebesar 20.8% diketahui berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Berdasarkan prevalensi anemia yang telah diketahui, dengan populasi lansia di panti 150 orang dan non panti 13.038 orang maka dapat diperoleh jumlah sampel yang berada di panti sebesar 45 orang dan non panti sebesar 63 orang. Penentuan jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Lemeshow (1997), yaitu : Z21–α/2 p (1–p) N n= d2 (N–1) + Z21–α/2 p (1–p) Keterangan : n = jumlah sampel minimal yang diperlukan α = derajat kepercayaan p = proporsi lansia yang mengalami penyakit anemia d = limit dari error atau presisi absolut Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data diperoleh dalam bentuk file berupa entry data dari kuesioner penelitian ―A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspects of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home‖. Peubah–peubah yang diteliti, yaitu: 1) karakteristik lansia, yaitu usia, jenis kelamin dan status pernikahan; 2) karakteristik sosial ekonomi, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan; 3) konsumsi pangan, yaitu jumlah, jenis
6 dan frekuensi; 4) status anemia, yaitu kadar hemoglobin; 5) tekanan darah; 6) status gizi meliputi tinggi badan, berat badan dan tinggi lutut; 7) status kesehatan meliputi persepsi status kesehatan, penyakit yang dialami, disabilitas fisik dan perawatan kesehatan. Data dan metode pengumpulan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Data peubah dan cara pengumpulan data No Data Alat dan Cara Pengumpulan 1. Karakteristik lansia Umur Wawancara langsung dengan lansia Jenis kelamin Status pernikahan 2. Karakteristik sosial ekonomi Pendidikan Wawancara langsung dengan lansia Pekerjaan Pendapatan 3. Konsumsi pangan Jenis Wawancara jenis dan frekuensi Jumlah pangan selama 2 hari dan di Frekuensi konversi URT ke dalam gram Tingkat kecukupan energi, protein, vit. C, vit. B, Fe dan Ca 4. Anemia Hemocue Kadar hemoglobin 5. Tekanan darah Alat pengukur tekanan darah digital 6. Status Gizi Penimbangan dengan timbangan Berat badan (kg) injak Tinggi badan (cm) Pengukuran menggunakan meteran Tinggi lutut (cm) 7. Status Kesehatan Persepsi status kesehatan Penyakit yang dialami Wawancara langsung dengan lansia Disabilitas Perawatan kesehatan Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data dimulai dari proses editing, coding, entry, cleaning dan selanjutnya dianalisis. Proses editing dilakukan untuk pengecekan data, selanjutnya dilakukan coding untuk penggolongan sesuai dengan peubah dan dilakukan entry data sesuai dengan coding yang telah ditentukan sebelumnya, kemudian dilakukan cleaning yang bertujuan mengecek data untuk melihat kesesuaian pada kode yang telah ditentukan dan melihat data yang tidak sesuai. Pengolahan dan analisis data menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 20.0 for Windows. Karakteristik lansia meliputi usia, jenis kelamin, dan status pernikahan sedangkan karakteristik sosial ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan individu diolah dengan memberikan pengelompokan atau skala pada
7 setiap peubah. Pengelompokan umur lansia dikelompokkan menurut WHO, yaitu kelompok usia lanjut (elderly) yaitu 60–74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu 75–90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun (Notoatmodjo 2007). Pengkategorian jenis kelamin dibedakan menjadi dua, yaitu laki–laki dan perempuan. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi lima, yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Status pekerjaan dikategorikan menjadi dua, yaitu bekerja (pedagang, PNS/ABRI, swasta, pensiunan, buruh, petani, lain– lain) dan tidak bekerja. Data konsumsi pangan terdiri dari jenis, jumlah, dan frekuensi konsumsi pangan berupa makanan dan minuman. Frekuensi pangan sumber kalsium dan minuman dilihat berdasarkan instrumen FFQ (Food Frequency Questionnaire). Lansia diwawancarai tentang frekuensi mengonsumsi pangan dan minuman selama satu bulan kemudian dikonversi menjadi frekuensi mingguan. Data konsumsi lansia diperoleh dengan wawancara menggunakan Food Recall 2x24 jam. Lansia diminta untuk mengingat kembali makanan dan minuman yang dikonsumsi satu hari sebelum waktu wawancara. Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh responden dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke ukuran berat dengan menggunakan ukuran yang ada di Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) sehingga diperoleh konsumsinya sendiri (Supariasa et al. 2001). Setelah dikonversi, dihitung kandungan zat gizi seperti energi, protein, kalsium, zat besi (Fe), vitamin B dan vitamin C dengan menggunakan DKBM. Sebelum dilakukan perhitungan terhadap tingkat kecukupan zat gizi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan konsumsi zat gizi terlebih dahulu. Berikut adalah rumus yang digunakan dalam menghitung konsumsi zat gizi : Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)} Keterangan : Kgij = Kandungan zat gizi–i dalam bahan makanan–j Bj = Berat makanan–j yang dikonsumsi (g) Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan–j BDDj = Bagian bahan makanan–j yang dapat dimakan Kebutuhan energi lansia usia >60 tahun dihitung berdasarkan pada oxford equation. Rumus perhitungan oxford equation (Henry 2005) kemudian dikoreksi dengan faktor aktifitas (PAL/ physical activity level) pada rumus perhitungan energi dari Institute of Medicine (IOM) tahun 2002 dalam Mahan & Escoot– stump (2008). Perhitungan kebutuhan energi lansia usia >60 tahun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Oxford equation untuk estimasi kebutuhan energi lansia usia >60 tahun (Henry 2005) Jenis kelamin Laki–laki Perempuan
BMR (11.4xBB) + (541xTB) – 256 (8.52xBB) + (421xTB ) +10.7
Kebutuhan energi BMR x PA BMR x PA
Keterangan: (Berdasarkan Oxford equation) BMR = Level metabolism basal PA = Koefisien aktivitas fisik
Faktor aktivitas ditentukan berdasarkan pekerjaan masing–masing lansia. Lansia yang tidak bekerja dan pensiunan termasuk dalam kategori faktor aktivitas yang sangat ringan. Lansia yang bekerja sebagai TNI/PNS, wiraswasta dan pedagang termasuk dalam kategori faktor aktivitas yang ringan sedangkan yang
8 bekerja sebagai petani/buruh termasuk dalam kategori faktor aktivitas yang sangat aktif. Perhitungan kebutuhan berdasarkan faktor aktivitas (PA) dari rumus Institute of Medicine (IOM) tahun 2002 dalam Mahan & Escoot–stump (2008). Faktor aktivitas ditentukan dari pekerjaan masing–masing lansia karena pada data penelitian payung tidak terdapat data terkait waktu dari aktivitas fisik lansia. Berikut adalah faktor aktivitas berdasarkan status gizi dan jenis kelamin menurut Mahan & Escoot– stump (2008) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Faktor aktivitas lansia menurut status gizi dan jenis kelamin Kategori Laki–laki status gizi normal
Laki–laki status gizi gemuk
Perempuan status gizi normal
Perempuan status gizi gemuk
Faktor Aktivitas (PA) PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.11 (ringan) PA = 1.25 (aktif) PA = 1.48 (sangat aktif) PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.12 (ringan) PA = 1.29 (aktif) PA = 1.59 (sangat aktif) PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.12 (ringan) PA = 1.27 (aktif) PA = 1.45 (sangat aktif) PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.16 (ringan) PA = 1.27 (aktif) PA = 1.44 (sangat aktif)
Keterangan : Berdasarkan Mahan & Escoot–stump (2008)
Angka kecukupan protein (AKP) bagi orang dewasa didasarkan pada rata– rata kebutuhan protein orang dewasa yang dibedakan menurut umur dan gender dan dikalikan dengan berat badan, ditambah faktor keamanan (safe level) sebesar 24% dan dikoreksi dengan faktor mutu sebesar 1.2 (Almatsier 2009). Dengan demikian, penentuan kebutuhan protein lansia dihitung berdasarkan WNPG 2004, yaitu : Kebutuhan protein : 0.8 g x kg BB/hari x 1.2* Ket *: 1.2 (faktor koreksi mutu) Perhitungan tingkat kecukupan gizi ditentukan dengan membandingkan antara zat gizi yang dikonsumsi dengan kebutuhan zat gizi masing–masing lansia berdasarkan perhitungan rumus kebutuhan untuk zat gizi makro, yaitu energi dan protein. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk tingkat kecukupan zat gizi berdasarkan kebutuhan. Tingkat kecukupan zat gizi (%) = Pengkategorian tingkat kecukupan zat gizi makro untuk energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah :
9 Defisit tingkat berat :<70% Defisit tingkat sedang : 70–79% Defisit tingkat ringan : 80–89% Normal : 90–119% Lebih :≥120% TKFe, TKCa, TKVit B dan TKVit C dihitung tanpa menggunakan koreksi berat badan melainkan dengan membandingkan konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan WNPG VIII (2004) sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral <77% AKG tergolong kurang dan ≥ 77% tergolong cukup (Gibson 2005). Status gizi dinilai dengan menggunakan indikator antropometri dan status anemia yang dilihat berdasarkan tinggi lutut, berat badan, dan kadar hemoglobin. Kriteria anemia menurut Almatsier (2009) ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin, yaitu wanita <12–14 gr/dl dan laki–laki <13–16 gr/dl. Pengkategorian status gizi ditentukan berdasarkan IMT menurut WHO (2005), yaitu : sangat kurus (<14.9), kurang (15–18.4 kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m2), overweight (23–27.5 kg/m2), obese I (27.6–40.0 kg/m2), dan obese II (≥40 kg/m2). Status kesehatan meliputi persepsi status kesehatan, disabilitas fisik dan perawatan kesehatan lansia. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 20.0 for Windows. Uji statistik yang dilakukan, antara lain: 1. Analisis Deskriptif a. Karakteristik lansia : usia, jenis kelamin, status pernikahan b. Karakteristik sosial ekonomi : pendidikan, pekerjaan dan pendapatan c. Konsumsi pangan lansia berupa makanan dan minuman d. Tekanan darah dan kadar hemoglobin e. Status gizi dan status kesehatan f. Tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, kalsium, vitamin B dan vitamin C 2. Uji beda Independent Sample t–test digunakan untuk mengetahui perbedaan frekuensi pangan, tingkat kecukupan zat gizi, tekanan darah, status gizi, kadar hemoglobin dan status kesehatan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. 3. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar peubah penelitian dengan skala ordinal, meliputi : a. Menganalisa hubungan pendapatan dengan pendidikan. b. Menganalisa hubungan status kesehatan dengan tingkat kecukupan zat gizi, status anemia, tekanan darah dan status gizi. c. Menganalisa hubungan kadar hemoglobin dengan tekanan darah. 4. Uji korelasi Pearson yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar peubah–peubah penelitian dengan skala rasio dan interval, meliputi : a. Menganalisa hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi. b. Menganalisa hubungan tekanan darah dengan status gizi. Definisi Operasional Contoh adalah lansia yang berusia 60 tahun keatas yang dibedakan menjadi dua yaitu lansia yang tinggal bersama keluarga dan panti Werdha yang masih
10 mampu untuk mengonsumsi makan menggunakan mulut, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami gangguan ingatan dan bersedia diwawancarai sebagai responden. Lansia adalah seseorang yang sudah mencapai usia lanjut, yaitu 60 tahun. Karakteristik lansia adalah ciri khusus yang dimiliki oleh lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga yaitu usia, jenis kelamin, agama dan status pernikahan. Karakteristik sosial ekonomi adalah ciri khusus terkait sosial ekonomi lansia dan keluarga yang memiliki kecenderungan terhadap status gizi, status kesehatan dan kejadian anemia yaitu pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Pendidikan adalah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia dalam kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal berdasarkan kategori SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan Tinggi/sederajat. Pekerjaan adalah suatu usaha atau predikat yang dimiliki lansia untuk memperoleh penghasilan dalam memenuhi kebutuhan sehari–hari seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh lansia untuk mencukupi kebutuhan sehari–hari berupa kebutuhan pangan, tranportasi, pendidikan, kesehatan, tabungan dan lainnya. Tempat tinggal (non panti) adalah tempat lansia menetap untuk tinggal bergabung bersama keluarga menjalani hidupnya dan berinteraksi bersama orang lain. Tempat tinggal (panti Wredha) adalah tempat lansia menetap dan bergabung bersama orang–orang seusianya untuk menjalani hidup dan berinteraksi. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh lansia berupa makanan dan minuman dalam setiap waktu makan dengan menggunakan metode Recall 24 jam. Tingkat kecukupan gizi adalah angka perbandingan jumlah zat gizi pangan yang dikonsumsi oleh lansia dengan angka kecukupan gizi berdasarkan usia, jenis kelamin dan berat badan lansia. Anemia adalah ukuran nilai hemoglobin seseorang yang menunjukkan angka kurang dari 13 gr/dl untuk perempuan dan 14.67 gr/dl untuk laki–laki. Status gizi adalah ukuran mengenai kondisi tubuh lansia yang dapat dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) dan makanan yang dikonsumsi serta kadar hemoglobin lansia. Pengkategorian IMT dibedakan menjadi sanagat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4 kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m2), overweight (23–27.5 kg/m2), obese I (27.6–40.0 kg/m2), dan obese II (≥40 kg/m2). Status Kesehatan adalah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari persepsi status kesehatan, disabilitas fisik, penyakit yang dialami, kemampuan dan perawatan kesehatan yang dilakukan.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Panti Werdha Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Pertiwi PSTW Budi Pertiwi terletak di Kota Bandung, tepatnya di Jalan Sancang No.2 Kelurahan Burangrang, Kecamatan Lengkong. Panti ini didirikan pada tanggal 19 November 1948 oleh Organisasi Wanita Budi Istri yang bekerja sama dengan PMI. Saat awal berdiri, panti ini menampung 30 lansia wanita yang tidak memiliki tempat tinggal setelah ditinggal oleh suami dan anaknya karena revolusi. Lalu, panti ini dipindah ke sebuah gedung baru yang dibangun di atas sebidang tanah dengan luas 1900 m2 yang berlokasi di Jalan Sancang No.2 atas bantuan dari Departemen Sosial (Patriasih 2005). Pengelolaan panti secara langsung dilakukan oleh yayasan sehingga ketua yayasan berperan langsung sebagai kepala panti. Jumlah lansia yang tinggal di PSTW Budi Pertiwi saat ini adalah 34 orang dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Panti ini diurus oleh 18 orang pengurus yang terdiri dari ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, guru mengaji, guru olahraga, dokter, tukang masak, tenaga kebersihan, sopir dan tukang kebun (Atmaja 2012). Lansia yang tinggal di panti ini tidak dikenakan biaya, baik biaya pendaftaran maupun biaya bulanan. Sumber pendanaan panti diperoleh melalui sumbangan donatur antara lain Departemen Sosial, Yayasan Dharmais dan masyarakat. Sumber dana panti lainnya diperoleh dari tabungan dan hasil penjualan kerajinan rajutan yang dibuat oleh para lansia. Luas PSTW Budi Pertiwi adalah 1.884 m2 dan terbagi menjadi beberapa ruangan. Ruangan yang ada di panti ini adalah ruang kamar, ruang isolasi, aula, mushola, klinik dan ruang kantor. Jumlah ruangan di panti ini adalah 20 kamar dengan luas yang berbeda–beda. Luas masing–masing kamar tergantung pada jumlah pemilik kamar. Kamar yang ditempati oleh satu orang lansia berjumlah empat kamar dengan ukuran luas 2x2 m2, kamar yang ditempati oleh dua orang lansia berjumlah satu kamar dengan ukuran luas 4x4 m2, kamar yang ditempati oleh tiga orang lansia berjumlah satu kamar dengan ukuran luas 8x8 m2, kamar yang ditempati oleh empat orang lansia berjumlah tiga kamar dan yang ditempati oleh lima orang lansia berjumlah tiga kamar. Setiap kamar di panti ini dilengkapi oleh tempat tidur, lemari, meja dan kursi. Masing–masingnya juga dilengkapi dengan tempat sampah. Jumlah kamar mandi di panti ini sebanyak 13 kamar mandi yang dilengkapi dengan jamban pada setiap kamar mandi. Sarana dan prasarana tambahan yang dimiliki PSTW Budi Pertiwi antara lain fasilitas olahraga, seperti aula dan taman serta fasilitas kesehatan, yaitu klinik. Penyelenggaraan makan di panti ini dikelola oleh pihak panti. Dana yang digunakan untuk penyediaan makanan lansia sekitar Rp 11.000.000 per bulan. Makanan yang diberikan terdiri atas makanan utama dan makanan selingan. Makan utama diberikan dengan frekuensi sebanyak tiga kali, yaitu makan pagi diberikan pada pukul 06.00, makan siang diberikan pada pukul 11.00 dan makan sore diberikan pada pukul 17.00. Selain makan utama, diberikan juga makanan selingan yang diberikan pada pagi dan sore hari. Selingan pagi biasanya diberikan
12 pada pukul 09.00 dan sore diberikan pada pukul 15.00. Makanan utama yang diberikan terdiri dari nasi dan lauk pauk pada pagi hari. Makanan lengkap, yaitu nasi, sayur, lauk hewani dan lauk nabati diberikan pada saat siang hari sedangkan makan sore hanya terdiri dari nasi dan sayur. Menu makanan di panti ini menggunakan siklus menu 10+1 hari. Lansia yang tinggal di panti pada umumnya memiliki kegiatan utama, seperti pengajian yang dilakukan tiga kali dalam seminggu, olahraga yang dilakukan dua kali dalam seminggu dan kesenian angklung yang dilakukan dua kali dalam seminggu. Selain itu, kegiatan tambahan yang sering dilakukan adalah merenda dan menjahit. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Senjarawi PSTW Senjarawi terletak di Kota Bandung, tepatnya di Jalan Jeruk No 7 Kelurahan Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan. Panti ini didirikan pada tanggal 4 Oktober 1949 yang sebelumnya merupakan bangunan tempat penampungan anak– anak yang ditinggalkan orang tuanya yang bertugas berjuang pada zaman perang kemerdekaan. Bangunan ini kemudian dialihfungsikan menjadi Panti Werdha dengan nama Senjarawi yang dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan (Salvatory Army) pada tahun 1949 (Patriasih 2005). Lansia yang tinggal di panti saat ini berjumlah 87 orang dengan jumlah lansia wanita sebanyak 63 orang dan pria sebanyak 24 orang. Pengelolaan panti ini dilakukan oleh lima orang pengurus yang merupakan pendeta gereja. Pengurus lainnya dibedakan menjadi pegawai dalam dan luar yang masing–masingnya berjumlah 15 orang. Tenaga kerja lainnya yang terdapat di panti ini adalah 18 orang tenaga kebersihan, 15 orang tukang masak dan dua orang satpam (Atmaja 2012). Sumber dana panti ini berasal dari Dinas Sosial, bantuan dari Yayasan Dharmais sebesar Rp 2.000.000/bulan dan dari induk organisasi Yayasan Bala Keselamatan (Salvatory Army) sebesar 50% dari keseluruhan dana. Sumber dana lainnya adalah donatur tidak tetap dan subsidi silang dari keluarga penghuni panti sebesar 30% keseluruhan dana. PSTW Senjarawi mempunyai luas bangunan sebesar 4.100 m2. Bangunan tersebut terdiri dari 26 rumah, 1 ruang bangsal, kantor dengan luas 2.5x6 m2, dapur 12x5 m2, tempat cuci pakaian (wash ray), gudang dengan luas 2.5x6 m2, aula dengan luas 10x5 m2, gereja dan kamar jenazah. Ruang bangsal ditempati oleh 37 orang lansia yang membutuhkan perawatan dan pelayanan khusus. Sarana lainnya yang terdapat di panti ini adalah fasilitas olahraga berupa lapangan dan area jalan kaki yang disertai dengan fasilitas kesehatan berupa klinik. Pemeriksaan kesehatan dilakukan secara rutin setiap hari Rabu oleh seorang dokter dan perawat yang bertugas tetap di panti. Selain fasilitas kesehatan dan obat–obatan disediakan juga kursi roda, tongkat dan tabung oksigen. Penyelenggaraan makan di panti ini dikelola oleh pengurus panti. Dana yang digunakan untuk penyediaan makanan adalah Rp 17.000.000 per bulan. Makanan yang diberikan berupa makanan utama dan makanan selingan. Makanan utama diberikan sebanyak tiga kali dalam sehari, yaitu pagi, siang dan malam hari sedangkan selingan hanya diberikan satu kali dalam sehari. Makanan utama diberikan pada pukul 06.00 untuk makan pagi, pukul 11.30 untuk makan siang
13 dan pukul 17.00 untuk makan sore. Air minum yang digunakan berasal dari PDAM yang sudah difilter (Atmaja 2012). Keadaan Umum Kecamatan Sukasari Kecamatan Sukasari merupakan salah satu bagian eks wilayah Bojonegara Kota Bandung dengan memiliki luas lahan sebesar 627.518 Ha. Secara geografis Kecamatan Sukasari memiliki bentuk wilayah datar / berombak sebesar 85% dari total keseluruhan luas wilayah. Ditinjau dari sudut ketinggian tanah, Kecamatan Sukasari berada pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Suhu maksimum dan minimum Kecamatan Sukasari berkisar 220C, sedangkan dilihat dari segi curah hujan berkisar 1.807 mm/th. Kecamatan Sukasari memiliki jumlah penduduk sebanyak 67.904 jiwa, yang terdiri dari 35.072 jiwa laki–laki dan 32.832 jiwa perempuan. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sukasari saat ini mencapai 13.792 KK. Berdasarkan data kependudukan dari kecamatan pada tahun 2009 yang dilihat dari segi kepadatan penduduk sebesar 108 jiwa per hektar dan dilihat dari pertumbuhan penduduk, intensitas populasinya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Kecamatan Sukasari terdiri dari 4 Kelurahan, yaitu : Kelurahan Isola yang terdiri dari 6 RW dan 29 RT, Kelurahan Gegerkalong yang terdiri dari 8 RW dan 56 RT, Kelurahan Sarijadi yang terdiri dari 11 RW dan 100 RT dan Kelurahan Sukarasa yang terdiri dari 7 RW dan 38 RT (Diskominfo Bandung 2011). Lansia dalam penelitian ini dipilih secara acak yang berasal dari Kelurahan Gegerkalong dan Kelurahan Sarijadi. Karakteristik Lansia Jenis Kelamin Sebagian besar lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga memiliki jenis kelamin perempuan (82.6%), hanya sekitar 17.4% lansia berjenis kelamin laki–laki. Lebih dari setengah lansia yang tinggal di panti (84.8%) dan yang tinggal bersama keluarga (80.9%) berjenis kelamin perempuan. Penelitian Jauhari (2003) menyatakan bahwa sebanyak 70% lansia yang tinggal di panti adalah perempuan. Penelitian Tarbiyati (2004) juga menyatakan bahwa sebanyak 68.9% lansia yang tinggal di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta adalah perempuan. Sebaran lansia menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.
14 Tabel 4 Sebaran dan statistik lansia di panti dan non panti Karakteristik lansia Jenis kelamin Laki2 Perempuan Total Usia 60–74 tahun 75–90 tahun > 90 tahun Total x± SD Status pernikahan Menikah Janda/Duda Tidak Menikah Total x ± SD Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA PT Total x ± SD Pekerjaan Tidak Bekerja Pedagang PNS/ABRI Swasta Pensiunan Buruh Petani Lain–lain Total x ± SD Tingkat pendapatan Rendah (<500000) Sedang (500000–1000000) Tinggi (1000000–3000000) Total x ± SD
Panti n
%
n
7 39 46
15.2 84.8 100
13 56 69
27 58.7 19 41.3 0 0 46 100 1.4 ± 0.5
Non Panti %
Total n
%
18.8 81.2 100
20 95 115
17.4 82.6 100
53 14 2 69
76.8 20.3 2.9 100 1.3 ± 0.5
80 33 2 115
69.6 28.7 1.7 100 1.3 ± 0.5
0 0 30 65.2 16 34.8 46 100 2.4±0.5
32 37 0 69
46.4 53.6 0 100 1.5±0.5
32 67 16 115
27.8 58.3 13.9 100 1.9±0.6
19 41.3 9 19.6 11 23.9 5 10.9 2 4.3 46 100 2.1± 1.2
32 16 8 9 4 69
46.4 23.2 11.6 13.0 5.8 100 2.1± 1.3
51 25 19 14 6 115
44.3 21.7 16.5 12.2 5.2 100 2.1± 1.2
35 1 0 0 1 1 1 7 46
42 8 0 0 17 1 0 1 69
60.9 11.6 0.0 0.0 24.6 1.4 0.0 1.4 100
77 9 0 0 18 2 1 8 115
67.0 7.8 0.0 0.0 15.7 1.7 0.9 7.0 100
76.1 2.2 0.0 0.0 2.2 2.2 2.2 15.2 100
2.4±2.7
2.3±1.9
2.3±2.2
38 82.6 3 6.5 5 10.9 46 100.0 316552± 462788
7 10.1 7 10.1 55 79.7 69 100.0 2629101±3659925
45 39.1 10 8.7 60 52.2 115 100.0 1704082±3047699
Usia Batasan lansia menurut Undang–Undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia adalah usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998, kelompok usia dikategorikan menurut kategori WHO yaitu kelompok usia
15 lanjut yaitu 60–74 tahun, lanjut usia tua yaitu 75–90 tahun dan usia sangat tua yaitu >90 tahun (Notoatmodjo 2007). Usia lansia dalam penelitian ini adalah 60 tahun keatas yang bertempat tinggal di panti Werdha dan tinggal bersama keluarga. Rata–rata usia lansia adalah 71.2±8.1 tahun dengan persentase lebih dari setengah lansia, yaitu 69.6% pada rentang usia 60–74 tahun, hanya 28.7% lansia yang berada pada rentang usia 75–90 tahun dan 1.7% lansia yang berusia >90 tahun. Berdasarkan tempat tinggal, lansia yang tinggal dipanti dan bersama keluarga berusia 60–74 tahun yaitu masing–masingnya 58.7% dan 76.8%. Penelitian Batubara et al. (2012) menyatakan bahwa sebagian besar lansia (94.4%) yang tinggal di Kecamatan Tanjung Pura umumnya berusia 60–70 tahun tetapi berbeda dengan penelitian Fauziah (2012) yang menyatakan bahwa sebesar 65.6% lansia yang tinggal di panti Salam Sejahtera umumnya berkisar pada usia 75–90 tahun. Sebaran lansia menurut usia disajikan pada Tabel 4. Status Pernikahan Status pernikahan lansia dibedakan menjadi menikah, janda/duda dan tidak menikah. Rata–rata status pernikahan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga adalah janda/duda (1.9±0.6), yaitu 58.3%. Sebanyak 34.8% lansia yang tinggal di panti berstatus tidak menikah sedangkan lansia yang tinggal bersama keluarga sebesar 46.4% berstatus menikah. Penelitian Nuryanti et al. (2012) menyatakan bahwa lebih dari setengah lansia (59%) berstatus janda/duda di UPT Pasuruan Babat Lamongan. Penelitian Tarbiyati et al. (2004) menyatakan bahwa sebanyak 47.5% lansia berstatus kawin dan 52.5% lansia tidak kawin di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta. Sebaran lansia menurut status pernikahan disajikan pada Tabel 4. Tingkat Pendidikan Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang akan menjadi bekal dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, tingkat pendidikan secara tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi seseorang. Menurut tingkat pendidikan, sebagian besar lansia baik yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga sebesar 44.3% tidak sekolah, 21.7% tamat SD, 16.5% tamat SMP, 12.2% tamat SMA, dan 5.2% tamat perguruan tinggi (PT). Cukup tingginya jumlah lansia yang tidak bersekolah dikarenakan lansia hidup saat zaman penjajahan sehingga sangat sedikit lansia yang memungkinkan untuk bersekolah. Rata–rata tingkat pendidikan lansia baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga adalah 2.12±1.25. Sebaran lansia menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 4. Pekerjaan Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007), kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan pekerjaan
16 dan pendapatan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu. Status pekerjaan lansia menunjukkan sebagian besar lansia sudah tidak bekerja atau pensiunan dikarenakan faktor umur yang tidak memungkinkan untuk bekerja lagi, hanya sekitar 17% lansia yang masih bekerja. Berdasarkan tempat tinggal, sebagian besar lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga sudah tidak bekerja atau pensiunan yaitu masing–masingnya 78.3% dan 85.5%. Sebaran lansia menurut pekerjaan disajikan pada Tabel 4. Pendapatan Martianto dan Ariani (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi. Menurut Sukandar (2007), salah satu pengukuran status ekonomi adalah pendapatan total yang dimiliki oleh individu dan keluarga. Tingkat pendapatan lansia dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Sebagian besar lansia (52.2%) memiliki pendapatan pada kategori tinggi (Rp 1000000–Rp 3000000), sebanyak 39.1% lansia memiliki pendapatan pada kategori kurang (< Rp 500000) dan sebanyak 8.7% lansia yang berada pada kategori sedang, yaitu (Rp 500000–Rp 1000000). Rata–rata pendapatan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga sebesar 1704082±3047699. Sebanyak 82.6% lansia yang tinggal di panti memiliki pendapatan tergolong rendah, 10.9% memiliki pendapatan tergolong tinggi dan 6.5% memiliki pendapatan tergolong sedang. Hal ini disebabkan lansia yang tidak bekerja dan tidak mendapatkan kiriman, tetap mendapatkan pendapatan perbulan yang diberikan dari panti. Terkadang panti memberikan uang kepada lansia setiap minggu akan tetapi ada beberapa panti yang memberikan uang hanya saat ada donatur yang berkunjung. Umumnya, uang yang diberikan kepada lansia perbulannya berkisar antara Rp 15000 – Rp 20000. Sebesar 79.7% lansia yang tinggal bersama keluarga memiliki pendapatan tergolong tinggi, hanya 10.1% lansia memiliki pendapatan tergolong sedang dan rendah. Hal ini dikarenakan lansia yang tinggal bersama keluarga pada umumnya merupakan seorang pensiunan dan juga masih mendapatkan uang dari anak maupun kerabat terdekat. Berdasarkan uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif (p<0.05 dan r=0.213) antara pendapatan dan pendidikan lansia. Semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula pendapatan seseorang. Penelitian Guhardja et al. (1992) diacu dalam Sukandar (2007) menyatakan bahwa pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi. Sebaran lansia menurut pendapatan disajikan pada Tabel 4. Pola Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan sejumlah pangan, secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Kualitas konsumsi
17 pangan dipengaruhi oleh jumlah asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Semakin sesuai asupan zat–zat gizi yang diperlukan tubuh, maka semakin baik kualitas konsumsi pangannya (Nasoetion & Briawan (1993) dalam Rusilanti (2006). Pola konsumsi pangan lansia dipengaruhi oleh perubahan akibat proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 2003) Frekuensi Pangan Sumber Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh, yaitu 1.5–2% dari berat badan orang dewasa. Jumlah kalsium yang dikonsumsi akan mempengaruhi absorpsi kalsium. Penyerapan kalsium meningkat jika kalsium yang dikonsumsi menurun. Kalsium terdapat pada beberapa jenis kelompok pangan yang berbeda–beda. Sumber kalsium utama terdapat pada susu dan produk olahannya seperti keju dan yoghurt, ikan, serealia, kacang–kacangan dan hasil olahannya serta sayuran hijau (Almatsier 2009). Kebiasaan mengonsumsi pangan sumber kalsium pada lansia dinilai dengan menggunakan food frequency questionnaire (FFQ) dalam satu bulan terakhir kemudian dikonversi dalam satu minggu. Pangan sumber kalsium dibedakan menjadi bayam, ikan teri, tempe, tahu, daun singkong, dan susu. Alasan pemilihan kelompok pangan ini berdasarkan pada kandungan kalsium tertinggi yang mewakili masing– masing kelompok pangan. Berikut ini disajikan sebaran statistik frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran statistik frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium Jenis Pangan Bayam Ikan Teri Tempe Tahu Daun Singkong Susu
Frekuensi (kali/minggu) Panti Non Panti Total x±stdev x±stdev x±stdev 1.0±0.6 1.4±1.4 1.3±1.2 0.5±0.3 1.1±1.5 0.9±1.3 9.0±6.7 7.2±5.7 7.9±6.2 8.9±6.8 7.4±6.0 8.1±6.4 0.5±0.6 0.8±0.7 0.8±0.7 5.2±4.4 4.1±4.8 4.5±4.6
Uji Beda p–value 0.100 0.019 0.165 0.250 0.084 0.322
Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata–rata±stdev
Tabel 5 menunjukkan nilai rata–rata frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium yang terdiri dari sayur bayam, ikan teri, tempe, tahu, daun singkong dan susu. Secara keseluruhan, frekuensi konsumsi tahu dan tempe merupakan konsumsi pangan sumber kalsium terbesar yaitu dengan rataan masing–masingnya 8.1±6.4 dan 7.9±6.2 kali dalam seminggu. Selain itu, susu juga merupakan salah satu pangan sumber kalsium yang cukup sering dikonsumsi oleh lansia yaitu sekitar 4 kali dalam seminggu. Bahan pangan sumber kalsium lainnya seperti sayur bayam, ikan teri dan daun singkong sangat jarang dikonsumsi hanya berkisar 1 kali dalam seminggu. Hal ini menunjukkan frekuensi lansia untuk mengonsumsi kalsium masih kurang, terutama sumber hewani. Alasan lain yang menyebabkan kurangnya konsumsi kalsium adalah jarang tersedianya menu yang disertai dengan ikan teri dan sayur bayam di panti maupun keluarga. Kelompok
18 pangan sayuran seperti daun singkong sering tidak menjadi pilihan makanan pada lansia dikarenakan daun singkong dapat menyebabkan rematik. Sebaiknya, lansia mengonsumsi susu setiap hari dikarenakan lansia mengalami peningkatan kebutuhan kalsium karena terjadi penurunan absorbsi kalsium akibat penuaan. Individu yang memiliki kebiasaan minum susu sejak kecil memiliki kesehatan tulang yang lebih baik di masa lanjut usia (McCabe 2004). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium, seperti sayur bayam, tempe, tahu dan susu akan tetapi terdapat perbedaan yang cenderung nyata terhadap frekuensi konsumsi ikan teri dan daun singkong antara lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Konsumsi ikan teri dan daun singkong pada lansia yang tinggal di panti sangat jarang, tidak pernah atau hanya 1 kali dalam seminggu dan biasanya diperoleh dari luar panti. Konsumsi ikan teri dan daun singkong pada lansia yang tinggal bersama keluarga berkisar 1–3 kali dalam seminggu, hal ini dikarenakan menu makanan yang tersedia mengikuti menu makanan keluarga lansia. Menurut Almatsier (2009), serealia, kacang–kacangan dan hasil kacang– kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik, tetapi bahan makanan ini mengandung banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat. Frekuensi Pola Konsumsi Minuman Tabel 6 menunjukkan bahwa lansia mengonsumsi air putih sebanyak 31 kali dalam seminggu (31.2±21.3). Jenis minuman lainnya yang sering dikonsumsi oleh lansia dalam seminggu adalah teh 7 kali, kopi 5–6 kali, sirup 2 kali, jus 1–2 kali, jamu 3 kali, minuman lainnya seperti bandrek 5 kali. Berdasarkan tempat tinggal, lansia yang tinggal di panti lebih banyak mengonsumsi air putih selama seminggu, yaitu sekitar 38 kali dalam seminggu. Berbeda pada lansia yang tinggal bersama keluarga, hanya mengonsumsi air putih sekitar 26–27 kali dalam seminggu. Hal ini dikarenakan lansia yang tinggal bersama keluarga mempunyai ketersediaan terhadap minuman yang lebih beragam sehingga tidak hanya mengonsumsi air putih akan tetapi juga disertai dengan jenis minuman lainnya. Menurut WNPG (2004), kebutuhan air bagi lansia adalah 1500 ml atau berkisar 6 gelas per hari. Oleh karena itu, sebaiknya lansia sering mengonsumsi minuman khususnya air putih agar dapat memenuhi kebutuhan air pada lansia. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) terhadap frekuensi minum air putih antara lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Frekuensi minum air putih pada lansia yang tinggal di panti lebih banyak dibandingkan dengan lansia yang tinggal bersama keluarga diduga karena lansia lebih terbiasa mengonsumsi air putih dan keterbatasan jenis minuman yang disediakan di panti. Sebaran statistik frekuensi konsumsi minuman disajikan pada Tabel 6.
19 Tabel 6 Sebaran statistik frekuensi konsumsi minuman Jenis Minuman Air Putih Teh Kopi Sirup Jus Jamu
Panti x±stdev 38.2±13.9 7.1±5.8 6.0±6.0 2.6±2.6 2.5±1.4 4.2±3.9
Frekuensi (kali/minggu) Non panti Total x±stdev x±stdev 26.5±24.1 31.2±21.3 7.8±9.7 7.6±8.4 5.4±4.3 5.7±5.0 1.2±2.4 2.0±2.1 1.5±0.9 1.8±1.1 2.5±2.13 3.2±3.0
Uji Beda p–value 0.001 0.702 0.705 0.152 0.158 0.171
Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata–rata±stdev
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Energi dan protein merupakan bagian dari zat gizi makro yang sangat berperan penting didalam tubuh. Kedua zat gizi ini sangat berperan untuk pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Tingkat kecukupan energi dan protein ditentukan dengan cara membandingkan konsumsi pangan lansia dengan angka kebutuhan energi dan angka kebutuhan protein lansia sehingga diketahui rasio antara konsumsi pangan yang dinyatakan dalam persen. Energi diperoleh dari lemak 9.4 kal, karbohidrat 4 kal, dan protein 4 kal per gramnya. Bagi lansia komposisi energi sebaiknya 20–25% berasal dari protein. Lansia akan mengalami pengurangan pada masa otot akan tetapi kebutuhan tubuhnya akan protein tidak berkurang karena pada lansia efisiensi penggunaan senyawa nitrogen (protein) oleh tubuh telah berkurang yang disebabkan oleh pencernaan dan penyerapan yang kurang efisien (Depkes 2003). Konsumsi pangan lansia yang tinggal dipanti umumnya relatif sama karena tidak adanya perbedaan menu antar panti akan tetapi berbeda pada lansia yang tinggal bersama keluarga dikarenakan menu lansia lebih mengikuti siklus dari masing–masing keluarga. Selain itu, hal yang diduga dapat membedakan konsumsi lansia adalah konsumsi pangan tambahan yang berasal dari luar panti maupun rumah serta kemampuan lansia untuk menghabiskan makanan yang disediakan dari panti maupun keluarga. Lansia yang tinggal di panti disajikan menu yang berbeda setiap harinya sedangkan lansia yang tinggal bersama keluarga terkadang disajikan menu yang sama tergantung dari habis atau tidaknya menu makanan yang disajikan. Lansia yang tinggal dipanti dan keluarga diberikan makan utama tiga kali dalam sehari. Makanan utama yang diberikan berupa makanan pokok dan lauk pauk, seperti nasi, sayuran, protein hewani dan nabati. Sayuran yang umum dikonsumsi lansia yang tinggal di panti adalah buncis, labu siam, kacang panjang, sawi dan wortel. Sayuran yang sering dikonsumsi lansia di panti tidak jauh berbeda dengan lansia yang tinggal bersama keluarga akan tetapi terdapat perbedaan pada beberapa jenis sayuran lainnya seperti daun singkong, bayam dan kool yang juga dikonsumsi oleh lansia yang tinggal bersama keluarga. Lauk pauk yang dikonsumsi oleh keseluruhan lansia pada umumnya adalah protein hewani dan nabati berupa ayam, telur, daging, tongkol, kembung, tempe dan tahu. Makanan
20 selingan yang biasa diberikan pada lansia, yaitu roti, ubi rebus, singkong goreng, bolu kukus dan buah seperti pisang dan pepaya. Tabel 7 menunjukkan rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dari keseluruhan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Rata–rata konsumsi lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga berturut–turut, yaitu 1023 kkal dan 1057 kkal. Tingkat kecukupan energi lansia yang diperoleh berdasarkan angka kebutuhan tidak terlalu berbeda baik di panti maupun yang tinggal bersama keluarga, yaitu 97.4% dan 93.6%. Rata–rata tingkat kecukupan energi lansia berada dalam kategori normal, yaitu >90–119% (Depkes 1996). Sumber energi yang dikonsumsi lansia umumnya berupa nasi, bihun, singkong, ubi dan roti. Makanan pokok yang disediakan oleh pihak panti dan keluarga disesuaikan dengan kemampuan lansia untuk menerima makanan yang diberikan. Asupan energi yang berlebihan dan tertimbun didalam tubuh, terutama dalam jaringan adiposa dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang pada akhirnya akan menyebabkan resistensi insulin dan sindrom metabolik (Gross et al. 2004). Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga, berturut-turut sebesar 29.0 g dan 31.9 g. Tingkat kecukupan protein berdasarkan angka kebutuhan menunjukkan bahwa rata–rata tingkat kecukupan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga tergolong defisit tingkat berat, yaitu <70% (Depkes 1996). Hal ini diduga sumber protein yang sering dikonsumsi lansia adalah lauk nabati, berupa tempe dan tahu sedangkan lauk hewani tidak setiap hari disediakan di panti maupun keluarga. Selain itu, jumlah protein yang sering dikonsumsi lansia umumnya tidak mencapai satu penukar sehingga dapat dikatakan bahwa konsumsi protein lansia masih sangat kurang. Kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan, dan protein hewani lainnya karena kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi, harus diingat bahwa konsumsi protein yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati (Fatmah 2010). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga. Hal ini diduga konsumsi lansia yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga hampir sama dikarenakan pada lansia telah terjadi penurunan nafsu makan dan kesulitan dalam mengunyah. Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein lansia Variabel
Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan Panti Non Panti
Energi (kkal) Konsumsi Angka kebutuhan Tingkat kecukupan (%)* Uji Beda (p–value) Protein (g) Konsumsi Angka kebutuhan Tingkat kecukupan (%)* Uji Beda (p–value) Ket : * (Berdasarkan angka kebutuhan)
1023 1078 97.4
1057 1132 93.6 0.533
29.0 48.9 64.5
31.9 52.4 62.1 0.661
21 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tingkat kecukupan energi lansia secara keseluruhan tergolong pada kategori yang beragam. Sebanyak 32.2% lansia tergolong pada kategori normal, 47% tergolong pada kategori defisit dan 20.9% tergolong pada kategori lebih. Masih banyaknya lansia yang defisit terhadap kecukupan energi dikarenakan lansia telah mengalami penurunan nafsu makan sehingga makanan yang dikonsumsi hanya dalam jumlah kecil dari porsi yang telah disediakan. Selain itu, beberapa lansia memang mengurangi konsumsi pangan sumber karbohidrat dengan alasan menderita penyakit diabetes mellitus, akan tetapi terdapat beberapa lansia yang mengonsumsi energi dalam jumlah normal maupun lebih. Hal ini dikarenakan lansia masih merasa cocok terhadap makanan yang disajikan sehingga konsumsi lansia terhadap makanan masih sama seperti sebelumnya. Lansia yang mengonsumsi energi dalam jumlah lebih juga tetap harus diperhatikan karena dapat mengakibatkan timbulnya penyakit obesitas atau lainnya. Menurut Arisman (2009), konsumsi pangan dalam jumlah yang kecil tercermin dari nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia. Sebagian besar tingkat kecukupan protein lansia tergolong pada kategori defisit berat (70.4%), hanya 8.7% lansia yang tergolong pada kategori normal. Kurangnya konsumsi protein hewani sebagai sumber protein dapat mengakibatkan tingkat kecukupan protein lansia menjadi defisit berat. Selain itu, terdapat beberapa lansia yang mengalami penurunan kemampuan mengunyah makanan sehingga merasa kesulitan dalam mengonsumsi sumber protein yang bertekstur keras seperti ayam dan daging. Terdapat 5.2% lansia tergolong dalam kategori berlebih. Tingkat kecukupan protein yang berlebih dipengaruhi oleh konsumsi protein yang berlebih dari susu dan daging. Menurut Wellman dan Kamp (2004), asupan protein yang berlebih akan memaksa kerja ginjal yang fungsinya telah menurun akibat penuaan. Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein Kategori Energi Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total Protein Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total
Panti
Non Panti n %
n
%
10 4 5 16 11 46
21.7 8.7 10.9 34.8 23.9 100
23 7 5 21 13 69
32 3 3 6 2 46
69.6 6.5 6.5 13.0 4.3 100
49 8 4 4 4 69
Total n
%
33.3 10.1 7.2 30.4 18.8 100
33 11 10 37 24 115
28.7 9.6 8.7 32.2 20.9 100
71.0 11.6 5.8 5.8 5.8 100
81 11 7 10 6 115
70.4 9.6 6.1 8.7 5.2 100
22 Tingkat Kecukupan Kalsium dan Zat Besi Menurut Almatsier (2009), peningkatan kebutuhan kalsium terjadi pada masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Densitas tulang berbeda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Pembentukan struktur tulang dan metabolisme kalsium juga membutuhkan mineral–mineral lain, seperti fosfor dan zat besi. Zat besi berperan dalam inhibitor kalsium karena zat besi yang tinggi dapat menjadi racun pada sel tulang dan berkontribusi pada terjadinya osteoporosis atau penyakit tulang lainnya (Illich & Kerstetter 2003). Berbeda dengan tingkat kecukupan energi dan protein, tingkat kecukupan kalsium dan zat besi ditentukan dengan cara membandingkan konsumsi pangan lansia yang diperoleh dari hasil recall 2x24 jam dengan angka kecukupan kalsium dan zat besi yang terdapat dalam WNPG (2004) sehingga diketahui rasio antara konsumsi dan kecukupan yang dinyatakan dalam persen. Rata–rata konsumsi kalsium lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga berturut–turut adalah 330.4 mg dan 516.2 mg. Sumber kalsium yang sering dikonsumsi adalah tempe dan tahu. Beberapa lansia juga mengonsumsi susu sebagai sumber kalsium akan tetapi sekitar 40% lansia yang tidak mau mengonsumsi susu. Beberapa lansia yang tinggal bersama keluarga juga mengonsumsi ikan tongkol dan kembung sebagai sumber kalsium. Rata–rata tingkat kecukupan kalsium lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga secara berturut–turut adalah 41.5% dan 64.5%. Persentase ini menunjukkan lansia masih tergolong dalam kategori defisit, yaitu <77% (Gibson 2005). Menurut Almatsier (2009), asam fitat merupakan ikatan yang mengandung fosfor akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga kalsium tidak dapat diabsopsi. Asam fitat banyak terdapat pada pangan yang umum dikonsumsi seperti teh, bayam, dan lainnya. Dengan demikian, konsumsi sumber kalsium seperti susu yang bersamaan dengan teh atau sumber asam fitat lainnya akan menganggu penyerapan kalsium. Rata–rata konsumsi zat besi lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga, berturut–turut adalah 9.2 mg dan 9.8 mg. Tingkat kecukupan zat besi lansia yang tinggal di panti adalah 75.8% dan tergolong defisit (<77%). Hal ini diduga lansia yang tinggal di panti sangat kurang mengonsumsi makanan sumber zat besi seperti bayam, hati dan daging. Berbanding terbalik pada lansia yang tinggal bersama keluarga, tingkat kecukupan zat besi tergolong dalam kategori normal (>77%). Hal ini diduga terdapat beberapa lansia yang tinggal bersama keluarga mengonsumsi hati, daging, dan sayuran hijau yang merupakan sumber zat besi. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang cenderung nyata antara tingkat kecukupan kalsium dan zat besi pada lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Hal ini diduga lansia yang tinggal bersama keluarga cenderung lebih sering mengonsumsi makanan sumber kalsium dan zat besi. Selain itu, menu makanan lansia yang tinggal bersama keluarga lebih beragam daripada lansia yang tinggal di panti. Berikut disajikan rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium dan zat besi pada Tabel 9.
23 Tabel 9 Rata– rata konsumsi dan tingkat kecukupan mineral lansia Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan Panti Non Panti
Variabel Kalsium (mg) Konsumsi Angka kecukupan Tingkat kecukupan (%) Uji Beda (p–value) Zat Besi (mg) Konsumsi Angka kecukupan Tingkat kecukupan (%) Uji Beda (p–value)
330.4 800 41.3
516.2 800 64.5 0.063
9.2 12.2 75.8
9.8 12.2 80.8 0.009
Tabel 10 menunjukkan tingkat kecukupan kalsium pada lansia sebanyak 84.3% tergolong dalam kategori defisit. Rendahnya konsumsi kalsium lansia disebabkan kurangnya konsumsi lansia terhadap sumber kalsium utama, seperti ikan teri dan susu. Menurut DKBM (2010), 100 gram tepung susu mengandung kalsium sebesar 904 mg dan 100 gram ikan teri mengandung kalsium sebesar 1200 mg. Hanya 15.7% lansia yang tergolong pada kategori normal. Hal ini dikarenakan beberapa lansia mengonsumsi susu dengan alasan kesehatan dan dianjurkan dokter untuk minum susu. Lebih dari setengah (56.5%) lansia tergolong defisit untuk tingkat kecukupan zat besi. Hal ini dikarenakan tidak semua lansia sering mengonsumsi pangan sumber zat besi seperti hati dan daging merah. Secara keseluruhan, persentase tingkat kecukupan kalsium dan zat besi masih tergolong defisit. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2004). Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan kalsium dan zat besi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan kalsium dan zat besi Kategori Kalsium (Ca) Defisit Normal Total Zat Besi (Fe) Defisit Normal Total
Panti
Non Panti n %
n
%
41 5 46
89.1 10.9 100
56 13 69
25 21 46
54.3 45.7 100
40 29 69
Total n
%
81.2 18.8 100
97 18 115
84.3 15.7 100
58.0 42.0 100
65 50 115
56.5 43.5 100
Tingkat Kecukupan Vitamin B1, B2, B6 dan C Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walaupun ketersediaannya di dalam tubuh sangat kecil, namun sangat diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Vitamin B dan C merupakan vitamin yang larut dalam air dan dibutuhkan setiap hari oleh tubuh dalam jumlah yang sangat kecil. Secara keseluruhan, di Amerika Serikat jarang terjadi defisiensi terhadap vitamin B dan C terkecuali pada pecandu alkohol, orang yang diet
24 rendah kalori dan lanjut usia (Bellows & Moore 2012). Penentuan tingkat kecukupan vitamin dilakukan dengan cara yang sama dengan kalsium dan zat besi yang telah dijelaskan sebelumnya. Vitamin C pada tubuh lansia berperan untuk meningkatkan sistem imun orang tua. Vitamin C dalam hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua, peningkatkan aktivitas limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari serangan infeksi virus (Fatmah 2006). Rata–rata konsumsi vitamin C pada lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga tidak jauh berbeda yaitu, 33.7 mg dan 29.4 mg. Tingkat kecukupan vitamin C keseluruhan lansia tergolong kurang, baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga, yaitu 44% dan 37.7%. Hal ini disebabkan konsumsi buah dan sayur yang dikonsumsi masih kurang beragam. Sama halnya dengan vitamin C, vitamin B baik itu B1 (Thiamin), B2 (Riboflavin), B6 (Piridoksin) dan asam folat menunjukkan konsumsi masih sangat jauh dari kecukupan. Secara keseluruhan, tingkat kecukupan lansia baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga tergolong defisit (<77%). Hal ini diduga sifat vitamin yang larut dalam air sehingga banyak vitamin yang hilang pada saat proses pengolahan makanan dan hanya sedikit yang terserap oleh tubuh. Menurut Fatmah (2006) pemberian vitamin B (koenzim), khususnya B6 pada orang tua dapat memperbaiki respon limfosit yang menyerang sistem imun, berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6 menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas selular. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan vitamin B dan C pada contoh yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga. Hal ini diduga karena kurangnya konsumsi contoh terhadap buah dan sayur serta cara pengolahan yang kurang tepat mengingat sifat vitamin B dan C yang mudah larut air. Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin lansia disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin lansia Variabel Vitamin C(mg) Konsumsi Angka kecukupan Tingkat kecukupan (%) Uji Beda (p–value) Vitamin B1(mg) Konsumsi Angka kecukupan Tingkat kecukupan (%) Uji Beda (p–value) Vitamin B2(mg) Konsumsi Angka kecukupan Tingkat kecukupan (%) Uji Beda (p–value) Vitamin B6(mg) Konsumsi Angka kecukupan Tingkat kecukupan (%) Uji Beda (p–value)
Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan Panti Non Panti 33.7 77.3 44.0
29.4 77.8 37.7 0.451
0.2 0.8 29.8
0.3 0.9 29.7 0.968
0.4 1.1 38.5
0.5 1.1 44.3 0.251
0.7 1.5 45.9
0.7 1.6 43.6 0.478
25 Secara keseluruhan (>80%) lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga tergolong dalam kategori defisit terhadap vitamin B dan C. Hal ini disebabkan kurangnya konsumsi sayur dan buah serta sifatnya yang mudah larut pada air sehingga sangat berpengaruh saat proses pengolahan. Hanya 13.9% lansia tergolong dalam kategori normal untuk vitamin C dan riboflavin. Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan vitamin B dan C disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan vitamin B dan C Kategori
Panti
n Vitamin B1 (Thiamin) Defisit 46 Normal 0 Total 46 Vitamin B2 (Riboflavin) Defisit 42 Normal 4 Total 46 Vitamin B6 (Piridoksin) Defisit 45 Normal 1 Total 46 Vitamin C Defisit 41 Normal 5 Total 46
%
Non Panti n %
Total n
%
100 0 100
67 2 69
97.1 2.9 100
113 2 115
98.3 1.7 100
91.3 8.7 100
57 12 69
82.6 17.4 100
99 16 115
86.1 13.9 100
97.8 2.2 100
62 7 69
89.9 10.1 100
107 8 115
93.0 7.0 100
89.1 10.9 100
58 11 69
84.1 15.9 100
99 16 115
86.1 13.9 100
Status Gizi Status gizi adalah suatu ukuran yang digunakan mengenai kondisi tubuh seseorang yang dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh (Almatsier 2009). Status gizi lansia ditentukan berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT), yaitu perbandingan berat badan aktual dengan tinggi badan. Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi lutut yang kemudian dikonversi menjadi tinggi badan. Pemeriksaan tinggi lutut ini bertujuan untuk memprediksi tinggi badan lansia karena ada beberapa pertimbangan tertentu, seperti keadaan lansia yang membungkuk sehingga pengukuran tinggi badan secara langsung dianggap kurang akurat. Pengukuran berat badan pada lansia yang tidak mampu berdiri menggunakan lingkar lengan atas dan dikonversi menjadi berat badan. Menurut WHO (2005), status gizi dibedakan menjadi 6 kategori, yaitu sangat kurus, kurus, normal, overweight, obesitas 1 dan obesitas 2. Berdasarkan kategori tersebut, keseluruhan lansia sebanyak 11.3% tergolong kurus, 34.8% tergolong normal, 29.6% tergolong overweight dan 24.3% tergolong obese 1. Nilai rata–rata IMT menunjukkan bahwa keseluruhan lansia tergolong pada ketegori overweight, yaitu (25.1±0.9). Keseluruhan lansia yang tinggal di panti memiliki status gizi normal (37.0%) dan overweight (34.8%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak lansia yang tinggal di panti tergolong dalam kategori normal dan overweight daripada lansia yang tinggal bersama keluarga.
26 Hal ini diduga lansia yang tinggal di panti memiliki aktivitas yang lebih sedikit sehingga zat gizi yang terdapat didalam tubuh tidak banyak digunakan untuk aktivitas melainkan disimpan di dalam tubuh. Kelebihan berat badan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi karena beberapa faktor, yaitu : massa tubuh yang makin besar, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dari makanan ke jaringan tubuh, dan volume yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (Ernitasari et al. 2009). Uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga. Hal ini dapat dilihat dari tabel 13 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi pada lansia yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga. Sebaran lansia menurut status gizi disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran lansia menurut status gizi Status Gizi Sangat kurus (<14.9) Kurus (15.0–18.4) Normal (18.5–22.9) Overweight (23–27.5) Obese 1 (27.6–40) Obese 2 (>40) Total Uji Beda (p–value)
Panti n 0 4 17 16 9 0 46
% 0 8.7 37.0 34.8 19.6 0 100
Non Panti n % 0 0 9 12.0 23 33.3 18 26.1 19 27.5 0 0 69 100 0.256
Total n 0 13 40 34 28 0 115
% 0 11.3 34.8 29.6 24.3 0 100
Tekanan Darah Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses sirkulasi dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah dan pembuluh darah yang memiliki dinding elastis dengan ketahanan yang kuat. Tekanan darah diperoleh berdasarkan perbandingan tekanan darah sistolik dan diastolik yang disajikan dengan satuan mmHg (Palmer 2007). Tekanan darah lansia diukur dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah digital. Saat pengukuran tekanan darah, lansia diminta dalam keadaan beristirahat. Umumnya, lansia yang tinggal di panti melakukan pemeriksaan tekanan darah di klinik panti. Pemeriksaan tekanan darah setiap panti berbeda–beda, PSTW Budi Pertiwi melakukan pemeriksaan tekanan darah setiap minggu sedangkan PSTW Senjarawi melakukan pemeriksaan tekanan darah hanya satu kali dalam sebulan dikarenakan keterbatasan tenaga kerja kesehatan. Pemeriksaan tekanan darah pada lansia yang tinggal bersama keluarga biasanya dilakukan di puskesmas terdekat, akan tetapi pemeriksaannya tidak rutin dan tergantung pada kondisi fisiologis lansia. Tekanan darah dibedakan menjadi dua, yaitu normal dan hipertensi. Secara keseluruhan, sebesar 71.3% lansia tergolong pada kategori hipertensi, hanya 27.8% lansia tergolong normal. Kadar lemak yang tinggi di
27 dalam menu sehari–hari akan berakibat meningkatkan tekanan darah (Khomsan 2002). Beberapa lansia yang memiliki tekanan darah tinggi menyatakan bahwa sebelumnya normal. Hipertensi merupakan penyakit yang umum terjadi pada manula karena berkaitan erat dengan semakin berkurangnya kerja sistem pembuluh darah dan kadar air dalam tubuh yang menyebabkan konsentrasi natrium dalam darah meningkat, konsistensi darah menjadi pekat, pembuluh darah kurang elastis dan timbul plaque yang menyebabkan sakit kepala dan pusing (Patriasih 2005). Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55–60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis (Krummel 2004). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tekanan darah lansia yang tinggal di panti dengan yang tinggal bersama keluarga. Hal ini diduga lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga memiliki faktor–faktor tertentu yang dapat mempengaruhi tekanan darah, seperti faktor genetik, usia, jenis kelamin dan faktor stres sehingga tekanan darah lansia dapat berubah sewaktu–waktu. Sebaran lansia menurut tekanan darah disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran lansia menurut tekanan darah Kategori Hipertensi Normal Total Uji Beda (p–value)
Panti n 33 12 46
% 71.7 26.1 100
Non Panti n % 49 71.0 20 29.0 69 100 0.629
Total n 82 32 115
% 71.3 27.8 100
Anemia Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit dan sel darah merah kurang dari kadar normal sebagai akibat defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial (Arisman 2004). Menurut Patriasih (2005), kurangnya asupan zat besi (Fe) yang sebagian besar bersumber dari pangan hewani akan menjadi penyebab terjadinya anemia. Sebagian manula membatasi pangan sumber hewani dengan tujuan untuk menghindari kolesterol. Selain itu, terjadinya penurunan kemampuan manula dalam mengunyah makanan sehingga asupan Fe menjadi rendah dan besi yang diserap semakin rendah. Kadar hemoglobin (Hb) lansia dibedakan menjadi 2, yaitu kurang dan normal. Menurut Almatsier (2009), cut off dikatakan anemia apabila <12–14 gr/dl untuk wanita dan <13–16 gr/dl untuk pria. Setengah lansia yang berjenis kelamin laki–laki tergolong dalam kategori kurang dan 35% lansia tergolong normal. Sama halnya dengan lansia yang berjenis kelamin laki–laki, lansia yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 51% lansia tergolong pada kategori kurang dan 49% tergolong normal. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan lansia berisiko terhadap penyakit anemia dikarenakan kadar hemoglobin lansia kurang dari normal. Rendahnya kadar hemoglobin diduga karena kurangnya konsumsi lansia
28 terhadap zat besi, khususnya pangan hewani dan metabolisme zat besi di dalam tubuh belum sempurna. Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari proses absorbsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Zarianis 2006). Menurut Wulansari (2006), anemia merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Keadaan kurang gizi besi yang berlanjut dan semakin parah akan mengakibatkan anemia gizi besi, dimana tubuh tidak lagi mempunyai cukup zat besi untuk membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam sel–sel darah yang baru. Berdasarkan hasil recall 2x24 jam lansia menunjukkan bahwa tingkat kecukupan zat besi lansia yang tinggal bersama keluarga tergolong cukup. Walaupun tergolong dalam kategori cukup, kadar hemoglobin lansia masih tergolong kurang. Hal ini diduga karena konsumsi zat besi bersamaan dengan beberapa bahan pangan yang bersifat menghambat penyerapan zat besi seperti teh. Kebiasaan konsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi seperti kopi dan teh secara bersamaan pada waktu makan menyebabkan serapan zat besi semakin rendah (Arisman 2009). Tabel 15 menunjukkan bahwa rata–rata kadar hemoglobin pada lansia laki–laki tergolong pada kategori kurang (12.4±1.6). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lansia laki–laki berisiko terhadap penyakit anemia. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar hemoglobin lansia laki– laki yang tinggal di panti dan non panti (p<0.05). Hal ini dapat dilihat dari tabel 23 yang menunjukkan bahwa rata–rata kadar hemoglobin lansia laki–laki yang tinggal di panti tergolong kurang (11.9±1.8) sedangkan lansia laki–laki yang tinggal bersama keluarga sudah mendekati kategori normal (12.8±1.4). Sama halnya dengan lansia laki–laki, rata–rata kadar hemoglobin lansia perempuan tergolong pada kategori kurang (11.9±1.6). Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar hemoglobin lansia yang tinggal di panti dan non panti (p<0.05). Rata–rata kadar hemoglobin lansia perempuan yang tinggal di panti dan bersama keluarga, masing–masingnya adalah 11.5±1.8 dan 12.6±1.2. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lansia yang tinggal di panti tergolong pada kategori kurang sedangkan lansia yang tinggal di panti tergolong pada kategori normal. Sebaran lansia menurut kadar hemoglobin disajikan pada Tabel 15.
29 Tabel 15 Sebaran lansia menurut kadar hemoglobin Kategori
Panti
n
%
Non Panti n %
Total n
%
Laki–laki Kurang (<13 mg/dl) Normal (13–16 mg/dl) Total x±stdev Uji Beda (p–value)
4 57.1 3 42.9 7 100 11.9±1.8
8 61.5 5 38.5 13 100 12.8±1.4 0.005
12 60.0 8 40.0 20 100 12.4±1.6
Perempuan Kurang (<12 mg/dl) Normal (12–14 mg/dl) Total x±stdev Uji Beda (p–value)
20 51.3 19 48.8 39 100 11.5±1.8
28 50.0 28 50.0 56 100 12.6±1.2 0.000
48 50.5 47 49.5 95 100 11.9±1.6
Status Kesehatan Menurut Depkes (2007), status kesehatan merupakan suatu tingkatan kesehatan perseorangan, kelompok atau masyarakat yang ditentukan berdasarkan mortalitas, morbiditas, status gizi dan usia harapan hidup (UHH). Umumnya, penyebab penyakit pada usia lanjut lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini disebabkan karena menurunnya fungsi tubuh karena proses yang menjadi tua, seperti sel parenkim yang diganti dengan sel penyangga (jaringan fibriotik), produksi hormon dan enzim yang menurun sehingga daya tahan tubuh semakin berkurang. Berdasarkan hasil survey di rumah sakit dan masyarakat diketahui bahwa hampir semua manula menderita penyakit lebih dari satu (Darmojo 2004). Status kesehatan dilihat dari persepsi kondisi kesehatan saat ini, penyakit yang dialami, dan perawatan kesehatan yang dilakukan lansia. Persepsi status kesehatan diukur dengan menggunakan instrumen garis lurus yang memiliki skala 10 cm. Garis paling kiri dengan angka 0 menunjukkan yang sangat buruk dan garis paling kanan dengan angka 10 menunjukkan kesehatan yang baik. Lansia diminta untuk mengatakan skala angka untuk menggambarkan kondisi kesehatannya saat ini dan menceritakan kondisi kesehatannya. Pengukuran diatas angka 5.5 dinyatakan baik, nilai antara 5–5.5 dinyatakan sedang dan kurang dari 5 dinyatakan buruk. Secara keseluruhan, lebih dari setengah (70.4%) kondisi kesehatan lansia berada dalam kondisi baik, 16.5% tergolong sedang, 13% tergolong buruk. Keadaan lansia saat diwawancarai tidak dalam keadaan sakit dapat dikatakan status kesehatan saat itu baik. Lansia yang tergolong dalam kategori sedang merupakan lansia yang ketika diwawancarai dalam keadaan kurang sehat tetapi tidak parah, seperti batuk dan tidak enak badan. Berbeda dengan yang lainnya, lansia yang tergolong buruk merupakan lansia yang kondisinya tidak mampu berjalan dan menggunakan alat bantu seperti tongkat dan kursi roda saat berjalan. Selain itu, lansia yang sedang mengalami perawatan dan tidak mampu
30 melakukan aktivitas dasar seperti mandi juga dikategorikan buruk. Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan Kategori Sangat buruk Sedang Baik Total
Panti n 11 8 27 46
Non Panti n % 8 11.6 7 10.1 54 78.3 69 100
% 23.9 17.4 58.7 100
Total n 19 15 81 115
% 16.5 13.0 70.4 100
Penyakit yang dialami lansia dilihat berdasarkan penyakit lansia selama satu tahun terakhir. Secara keseluruhan lansia yang tinggal di panti maupun non panti menunjukkan bahwa penyakit yang paling banyak diderita adalah arthritis (45.2%) dan hipertensi (41.7%). Penyakit lainnya yang juga dialami lansia adalah sakit maag (32.2%), jantung pembuluh darah (12.2%), diabetes (7%), gangguan pernapasan (5.2%), kolesterol (12.2%), batu ginjal (1.7%) dan katarak (15.7%). Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di negara maju maupun negara berkembang. Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan diastolik ≥90 mmHg. Populasi hipertensi pada populasi orang dewasa di Spanyol mencapai 45% (Soriguer 2003). Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami Penyakit Hipertensi Arthritis Maag Jantung pembuluh darah Diabetes Pernapasan Dislipidemia Batu Ginjal Katarak Lain-lain Uji Beda (p–value)
Panti n 27 21 18 10 3 3 6 1 14 0
% 58.7 45.7 39.1 21.7 6.5 6.5 13.0 2.2 30.4 0.0
Non Panti n % 21 30.4 31 44.9 19 27.5 4 5.8 5 7.2 3 4.3 8 11.6 1 1.4 4 5.8 1 1.4 0.003
Total n 48 52 37 14 8 6 14 2 18 1
% 41.7 45.2 32.2 12.2 7.0 5.2 12.2 1.7 15.7 0.9
Uji beda dilihat berdasarkan jumlah penyakit yang diderita oleh lansia, baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada jumlah penyakit lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Jumlah penyakit lansia yang tinggal dipanti umumnya lebih banyak daripada lansia yang tinggal bersama keluarga, yaitu 4–6 jenis penyakit pada masing–masing lansia. Permasalahan fisik pada lansia dibedakan menjadi penglihatan dan pendengaran. Masing–masing permasalahan dibedakan menjadi dapat melihat/ mendengar dengan baik, melihat/mendengar dengan menggunakan kacamata/alat
31 bantu dengar, dan masalah penglihatan/pendengaran yang serius. Keseluruhan lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 47% lansia melihat tanpa menggunakan kacamata, 46.1% melihat dengan kacamata dan hanya 7% lansia yang mengalami masalah penglihatan yang serius. Berbeda halnya dengan permasalahan penglihatan, lebih dari 90% lansia masih dapat mendengar dengan baik. Hanya 7% lansia yang dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan <1% lansia mengalami masalah pendengaran yang serius. Status kesehatan lansia juga dilihat dari pemeriksaan rutin yang sering dilakukan oleh lansia. Keseluruhan lansia, baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga menunjukkan pemeriksaan kesehatan yang paling sering dilakukan adalah tekanan darah (63.5%). Hal ini dikarenakan lebih dari 40% lansia yang mengalami penyakit hipertensi sehingga menjadi pusat perhatian bagi lansia untuk memeriksakan tekanan darahnya. Pemeriksaan lain yang juga dilakukan lansia adalah pemeriksaan fisik (42.6%), rekam jantung (13%), gula darah (16.5%), profil lipid (6.1%), fungsi hati/ginjal (5.2%), dan rontgen (2.6%). Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan oleh tenaga kerja kesehatan yang ada di panti atau puskesmas terdekat akan tetapi pemeriksaan fisik tidak terlalu rutin dilakukan hanya pada saat tertentu saja, seperti PSTW Budi Pertiwi yang melakukan satu kali dalam seminggu, PSTW Senjarawi satu kali dalam sebulan serta lansia yang tinggal bersama keluarga hanya pada saat kondisi lansia mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan terbatasnya tenaga kesehatan dan kurangnya kesadaran lansia untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Penyakit yang dialami oleh seseorang tentunya dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang dalam menjaga kesehatan dirinya sendiri. Pola makan yang salah akan dapat mengakibatkan timbulnya penyakit, seperti obesitas, hipertensi, anemia, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, hal–hal yang dilakukan lansia untuk menjaga kesehatan adalah menjaga pola makan (72.1%), menghindari makanan tertentu (66.1%), menghindari stres (62.6%), berolahraga (68.7%), beribadah (76.5%), mengonsumsi jamu (21.7%), mengonsumsi suplemen (17.4%) dan rutin cek ke dokter (32.2%). Banyak lansia yang menjaga pola makan dan menghindari makanan tertentu untuk menjaga kesehatan, baik panti maupun non panti sangat mementingkan hal tersebut. Selain itu, lansia juga berolahraga ringan seperti jalan santai dan senam di taman yang telah disediakan akan tetapi kegiatan senam hanya dilakukan terkadang satu kali dalam seminggu. Ibadah merupakan salah satu upaya lansia untuk menjaga kesehatan dengan mendekatkan diri pada agama yang dianut oleh masing–masing lansia. Hubungan antar Variabel Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi Tingkat kecukupan zat gizi dilihat dari energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin C dan vitamin B. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan tingkat kecukupan energi berdasarkan kebutuhan (TKE) lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga umumnya tergolong pada kategori normal. Hal ini menunjukkan bahwa lansia masih mampu untuk menghabiskan makanan yang disediakan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat
32 hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi dan status gizi. Hal ini diduga karena status gizi seseorang yang sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga konsumsi seseorang hanya pada hari tertentu tidak langsung mempengaruhi status gizinya. Penelitian Fauziah (2012) menyatakan bahwa konsumsi pangan serta asupan energi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi (r=0.063 dan p=0.847) dikarenakan recall 2x24 jam tidak dapat menggambarkan status gizi pada saaat itu. Berbeda halnya dengan energi, hasil korelasi Pearson untuk tingkat kecukupan protein menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (p<0.05). Hal ini diduga karena lansia sangat terbatas mengonsumsi makanan sumber protein sehingga kurangnya zat gizi protein secara terus menerus mempengaruhi status gizi lansia. Penelitian Puspitasari (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi pada lansia peserta dan bukan peserta program home care (r=0.598 dan p<0.05). Menurut Sukandar (2007), pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut. Penelitian ini mengambil contoh yaitu lansia yang merupakan kelompok yang telah mengalami penurunan fungsi dan metabolisme tubuh, sehingga penyerapan zat gizi dalam tubuh tidak optimal untuk menyediakan cadangan dalam tubuh. Dengan demikian, sulit untuk mempertahankan berat badan dan keadaan tubuh yang ideal (Wirakusumah 2002). Berikut disajikan hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein dengan status gizi pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi Peubah Status Gizi
r p
TKE –0.096 0.309
TKP –0.371 0.000
Menurut Almatsier (2009), sebagian besar vitamin larut air seperti vitamin B dan C merupakan komponen sistem enzim yang banyak terlibat dalam membantu metabolisme energi. Vitamin larut air biasanya tidak disimpan di dalam tubuh melainkan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah kecil. Oleh sebab itu, vitamin larut air perlu dikonsumsi setiap hari untuk mencegah kekurangan yang dapat menganggu fungsi tubuh normal. Mineral berperan penting dalam dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat kecukupan vitamin dan mineral seperti vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin C, kalsium dan zat besi tidak berhubungan dengan status gizi. Hal ini diduga karena konsumsi lansia terhadap sumber makanan vitamin dan mineral seperti protein hewani, sayuran dan buah masih sangat terbatas. Selain itu, adanya kebiasaan lansia yang mengonsumsi teh manis, sayur bayam dan daun singkong secara bersamaan sehingga zat gizi yang terserap ke dalam tubuh hanya sedikit disebabkan oleh sifat inhibitor yang terdapat pada setiap jenis bahan pangan. Zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain adalah asam fitat, asam oksalat, dan polifenol seperti tanin yang terdapat pada teh dan kopi
33 (Thankachan et al. 2008). Lukmasari (2010) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi rendahnya kadar Fe didalam tubuh antara lain adanya zat–zat penghambat penyerapan Fe yaitu asam fitat, asam oksalat, dan tanin yang banyak terdapat pada serealia, sayuran, kacang–kacangan dan teh. Berikut disajikan hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan vitamin dan mineral dengan status gizi pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan vitamin dan mineral dengan status gizi Peubah Status Gizi
r p
TKCa 0.091 0.334
TKFe –0.037 0.694
TKVitC 0.049 0.617
TKVitB1 0.085 0.366
TKVitB2 0.132 0.165
TKVitB6 0.072 0.445
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Kesehatan Status kesehatan lansia dilihat dari jumlah penyakit yang dialami, dimana jumlah maksimal penyakit yang dialami lansia sebanyak 6 penyakit dan sebanyak 21.7% lansia yang tidak menderita penyakit. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan jumlah penyakit yang diderita oleh lansia. Hal ini diduga karena tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam 2 hari saat Recall sedangkan penyakit yang dialami oleh lansia adalah penyakit yang telah lama diderita lansia. Supariasa et al. (2001) menyatakan bahwa kebiasaan mengonsumsi makanan yang berlebihan dapat mempengaruhi status gizi seseorang dan berpengaruh pada keadaan kesehatannya. Berikut hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan penyakit yang diderita disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan Peubah Status Kesehatan
r p
TKE –0.018 0.848
TKP –0.079 0.404
Konsumsi sayur dan buah berperan penting untuk tubuh karena mengandung berbagai macam vitamin dan mineral yang penting untuk menjaga kesehatan dan mengandung antioksidan untuk mencegah degenerasi sel dan mengandung serat yang baik untuk mencegah terjadinya penyakit degeneratif. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin B6, vitamin C, kalsium dan zat besi dengan jumlah penyakit yang diderita oleh lansia. Penelitian Zaddana (2011) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A dan vitamin C dengan banyaknya penyakit yang diderita oleh lansia. Berbeda dengan vitamin lainnya, tingkat kecukupan vitamin B1 dan B2 menunjukkan hubungan yang signifikan dengan banyaknya penyakit yang diderita lansia. Menurut Bellows & Moore (2012), kurangnya thiamin dan riboflavin dapat mengakibatkan lemah otot, terjadinya edema, gangguan mental, dermatitits pada hidung dan bibir, katarak dan luka pada bagian sudut mulut. Berikut hasil uji korelasi Spearman antara
34 tingkat kecukupan vitamin dan mineral dengan penyakit yang diderita disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan Peubah Status Kesehatan
r p
TKCa –0.009 0.927
TKFe 0.045 0.634
TKVitC 0.131 0.177
TKVitB1 0.184 0.048
TKVitB2 0.290 0.002
TKVitB6 0.149 0.111
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Status Anemia Menurut Fatmah (2010), faktor penghambat penyerapan zat besi antara lain adalah tanin, fitat, oksalat, dan kalsium yang akan mengikat zat besi sebelum diserap oleh mukosa usus menjadi zat yang tidak dapat larut, sehingga akan mengurangi penyerapannya. Dengan berkurangnya penyerapan zat besi, maka jumlah feritin juga akan berkurang yang berdampak pada menurunnya jumlah zat besi yang akan digunakan untuk sintesa hemoglobin dan mengganti hemoglobin yang rusak. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (r=–0.068 dan p=0.473) antara tingkat kecukupan zat besi dengan status anemia. Hal ini diduga karena tingkat kecukupan zat besi hanya diketahui dari hasil recall 2 hari konsumsi lansia sedangkan status anemia merupakan hasil akumulasi yang terserap dari zat besi yang dikonsumsi lansia. Selain itu, konsumsi lansia terhadap besi heme masih sangat kurang sehingga keberadaan zat besi sebagian besar diwakili oleh non heme. Humeid (2013) menyatakan tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan zat besi dengan kadar Hb yang disebabkan karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi sangat kurang atau bukan berasal dari besi heme sehingga kurang bisa mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Hubungan Tekanan Darah dengan Status Anemia dan Status Gizi Faktor–faktor yang turut mempengaruhi tekanan darah adalah faktor genetik, usia, stres, dan gaya hidup. Tekanan darah dewasa cenderung meningkat dengan pertambahan usia. Ansietas, takut, nyeri dan stres emosi mengakibatkan stimulasi simpatik yang meningkatkan frekuensi denyut jantung, curah jantung, dan tahanan vaskuler perifer karena menimbulkan stimulasi simpatik sehingga meningkatkan tekanan darah. Produksi sel darah merah dengan jumlah yang minimal atau produksi sel darah merah yang rendah akan menimbulkan gejala anemia seperti cepat lelah, konsentrasi menurun, penurunan nafsu makan dan mudah kesemutan (Potter & Perry 2005). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (r=–0.211 dan p=0.024) antara tekanan darah dengan status anemia. Uji korelasi menunjukkan arah negatif yang berarti semakin rendah tekanan darah maka akan semakin tinggi kejadian anemia yang terjadi pada lansia. Lansia pada umumnya sering mengalami perubahan tekanan darah yang sewaktu–waktu
35 karena beberapa faktor tertentu seperti usia, genetik dan stres sehingga mempengaruhi produksi sel darah merah dalam tubuh. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r=–0.027 dan p=0.772) antara tekanan darah dengan status gizi. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh oleh Destyana (2009) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan tekanan darah di Kecamatan Purwekerto Timur. Hal ini diduga karena tekanan darah dipengaruhi banyak faktor seperti faktor genetik, aktivitas saraf simpatis, konsumsi garam yang berlebihan dan aktivitas fisik. Hubungan Status Anemia dan Status Gizi dengan Status Kesehatan Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r=0.042 dan p=0.653) antara status anemia dengan status gizi. Hal ini diduga karena kadar Hb lansia yang berubah sewaktu–waktu dan tergantung pada tekanan darah, sedangkan status gizi merupakan akumulasi dari konsumsi pangan lansia dalam jangka waktu yang cukup lama. Uji korelasi Spearman antara status anemia dengan status kesehatan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan korelasi negatif (r=–0.214 dan p=0.022). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah kadar hemoglobin (status anemia) maka akan semakin tinggi jumlah penyakit yang diderita oleh lansia (status kesehatan). Uji korelasi Spearman pada status gizi dan status kesehatan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (r=0.198 dan p=0.034) antara status gizi dengan penyakit yang diderita lansia. Hasil uji korelasi menunjukkan hasil korelasi positif yang berarti semakin tinggi IMT maka akan semakin tinggi pula risiko penyakit yang akan dialami seseorang atau sebaliknya. Penelitian Puspitasari (2011) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah penyakit dengan status gizi lansia (r=–0.289 dan p<0.05). Menurut Azad (2003), status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian dini dan gangguan multi organ.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini terdiri dari 115 orang lansia yang berjenis kelamin laki–laki dan perempuan yang rata–rata berada pada rentang usia 60–74 tahun. Status pernikahan lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga adalah janda/duda. Secara keseluruhan, tingkat pendidikan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga adalah tidak sekolah dan tergolong pada kategori tidak bekerja dan pensiunan. Pendapatan lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga tergolong tinggi (Rp 1000000 – Rp 3000000). Secara keseluruhan, pangan sumber kalsium yang paling sering dikonsumsi lansia baik yang tinggal di panti maupun non panti adalah kacang– kacangan dan hasil olahannya, yaitu tempe dan adalah susu sebanyak 4 kali dalam
36 seminggu. Jenis minuman yang paling sering dikonsumsi lansia yang tinggal dipanti maupun bersama keluarga adalah air putih dengan frekuensi 31 kali dalam seminggu. Jenis minuman lainnya yang paling sering dikonsumsi adalah teh dan kopi sebanyak 5–7 kali dalam seminggu. Secara keseluruhan, rata–rata tingkat kecukupan energi lansia yang tinggal di panti maupun keluarga tergolong dalam kategori normal sedangkan protein masih tergolong dalam kategori defisit berat. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral pada umumnya tergolong defisit terutama kalsium, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin B6. Namun, berbeda pada tingkat kecukupan zat besi lansia yang tinggal bersama keluarga, yang sudah tergolong cukup sedangkan yang tinggal di panti masih tergolong kurang. Status gizi lansia yang tinggal dipanti maupun bersama keluarga pada umumnya berstatus gizi normal (34.8%), berstatus gizi overweight (29.6%), berstatus gizi obese (34.3%), hanya 11.3% lansia berstatus gizi kurang. Lebih dari setengah lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga tergolong dalam kategori hipertensi dan hanya 27.8% tergolong normal. Lebih dari setengah lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga yang berjenis kelamin laki–laki dan perempuan memiliki kadar hemoglobin kurang dari normal cenderung mengalami anemia. Keseluruhan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga memiliki persepsi status kesehatan yang tergolong dalam kategori baik. Jenis penyakit utama yang sering dialami lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga adalah hipertensi (41.7%), arthritis (45.2%) dan sakit maag (32.2%). Disabilitas fisik lansia menunjukkan bahwa sebagian besar lansia tergolong baik untuk pendengaran akan tetapi sebanyak 46.1% lansia sudah mengalami gangguan penglihatan. Pemeriksaan kesehatan yang sering dilakukan keseluruhan lansia adalah tekanan darah (63.5%) dan fisik (42.6%). Keseluruhan lansia menjaga kesehatannya dengan menjaga pola makan (72.2%), menghindari makanan tertentu (66.1%), menghindari stress (62.6%), berolahraga (68.7%) dan beribadah (76.5%). Uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi. Uji korelasi Spearman menunjukkan vitamin B1, vitamin B2, status anemia dan status gizi berhubungan signifikan dengan status kesehatan. Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tekanan darah dengan status anemia akan tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan zat besi dengan status anemia. Saran Konsumsi pangan sumber zat besi terutama besi heme masih sangat rendah. Keterbatasan dana yang tersedia mengakibatkan konsumsi lauk hewani seperti daging merah yang merupakan sumber zat besi utama masih sangat kurang, baik pada lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga. Selain itu, sebaiknya perlu adanya tenaga kesehatan, khususnya ahli gizi sehingga lebih memerhatikan pola makan dan jenis makanan yang tepat untuk lansia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi anemia dan risiko penyakit yang terjadi pada lansia.
37
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Anggraeni AC. 2012. Asuhan Gizi Nutritional Care Process. Jakarta (ID): Graha Ilmu. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): EGC. . 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang (ID): Universitas Sriwijaya. Atmaja NT. 2012. Konsumsi kalsium, status gizi, tekanan darah dan hubungannya terhadap keluhan sendi pada lansia di panti werdha Kota Bandung [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Azad N. 2003. Nutrition in the Elderly. The Canadian Journal of Diagnosis. 55: 83-93 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Penduduk Usia Lanjut. Jakarta (ID): CV Nasional Indah. . 2010. Statistik Laju Penduduk Indonesia 2010. Jakarta (ID): BPS. Batubara M et al. 2012. Gambaran perilaku konsumsi pangan dan status gizi lanjut usia di Kelurahan Pekan Tanjung Pura Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2012. Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara. Bellows L , Moore R. 2012. Water–Soluble Vitamins : B–Complex and Vitamin C. Colorado State University (US). Darmojo BR, Martono H. 2004. Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Darmojo BR. 2006. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut, FKUI, Jakarta 8(2). Jakarta (ID): EGC. . 2009. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi 4. Jakarta (ID) : FKUI. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. .1998. Pedoman Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan ii Materi Pembinaan. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. . 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Depkes RI. . 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta (ID): Depkes RI Destyana R, Saryono, Mursiyam. 2009. Hubungan antara indeks massa tubuh dengan tekanan darah dan golongan darah di Kelurahan Mersi Kecamatan Purwokerto Timur. The Soedirman Journal of Nursing. 4(2):54-60. DISKOMINFO Bandung. 2011. Keadaan geografis Kecamatan Sukasari. http://www.bandung.go.id/ [diakses 07 Juli 2013].
38 Ernitasari PD, Djarwoto B, Siswati T. 2009. Pola makan, rasio lingkar pinggang pinggul (RLPP) dan tekanan darah di puskesmas Mergangsan Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 6(2):71–77. Fatmah. 2006. Respons imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut. Makara Kesehatan. 10(1):47–53. . 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta (ID): Erlangga. Fauziah S. 2012. Konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor [Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Ed ke–2. New York (US): Oxford University Press. Gross LS, Li Li, Ford ES, Liu S. 2004. Increased consumption of refined carbohydrates and the epidemic of type 2 diabetes in the United States : an ecologic assessment. Am J Clin Nutr. 79: 774–9. Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott–Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11 th ed. USA (US): Elsevier. hlm. 319–396. Hayens B et al. 2003. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta (ID): Ladang Pustaka. Henry CJK. 2005. Basal Metabolic Rate Studies in Humans : Measurements and development of new equations. Public Health Nutrition. 8(7)A:1133–1152. Humeid E. 2013. Hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Ilich JZ, Kerstetter JE. 2003. Nutrition in bone health revisited : a story beyond calcium. Review. J American College Nutr. 19 (6) ; 715–737. Jauhari M. 2003. Status gizi, kesehatan dan kondisi mental lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2010. Pedoman Active Aging (Penuaan Aktif) Bagi Pengelola dan Masyarakat. Jakarta (ID) : Komnas Lansia. Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Kim JH, Ha AW, Shin DJ, Choi DW, Park SJ, Kang NE, & Kim YS. 2010. Eating habits, obesity related behaviors, and effects of Danhak exersice in elderly Res. and Pract. 4(4): 295—302. Koreans. Nutr. Doi :10.4162/nrp.2010.4.4.295. Krummel DA. 2004. Medical Nutrition Therapy for Cardiovascular Disease. Di dalam : Mahan LK dan Escott Stump S, editor. Food, Nutrition and Diet Therapy. USA (US): Saunders co. hlm 286–303. Lemeshow. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Gadjah Mada Universitas Press. Yogyakarta (ID). Alih Bahasa. Lukmasari YW.2010. Perbedaan pola konsumsi inhibitor Fe pada ibu hamil anemia dan non anemia di wilayah kerja puskesmas Gamping Yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta (ID): Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Mahan K, Escott S. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA (US): W.B Saunders Company. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993.
39 Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Di dalam Soekirman dkk. editor. Jakarta (ID): Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Mainake MB. 2012. Hubungan antara tingkat asupan energi dengan status gizi lansia di Kelurahan Mapanget Barat Kecamatan Mapanget Kota Manado [Artikel Penelitian]. Manado (ID). Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Sam Ratulangi. McCabe LD, Martin BR, McCabe GP, Johnston CC, Weaver CM, Peacock M.. 2004. Dairy intakes affect bone density in the elderly. Am J Clin Nutr. 80: 1066–1074. Notoatmojo S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): Penerbit Rineka Cipta Nuryanti et al. 2012. Hubungan perubahan peran diri dengan tingkat depresi pada lansia yang tinggal di UPT PSLU Pasuruan Babat Lamongan. Jurnal Penuaan dan Kesehatan Mental. 22(1):1–7. Palmer et al. 2007. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta (ID): Erlangga. Patriasih R. 2005. Pengetahuan dan sikap gizi, perilaku makan serta status gizi manula pada panti werdha di Kota Bandung [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Potter PA, Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental : Konsep, Proses, dan Praktik. Renata Komalasari dkk, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Ed ke-4. Puspitasari A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Rusilanti, Kusharto CM. 2006. Model hubungan aspek psikososial dan aktivitas fisik dengan status gizi lansia. Jurnal Gizi dan Pangan. 1(1):29–35 ______________ . Aspek psikososial, aktivitas fisik dan konsumsi makanan lansia di masyarakat. Jurnal Gizi dan Pangan. 1(2):1–7 [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Laporan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Soriguer F, Martinez GR, Dobarganes MC, Almeida JMG, Estera I, Beltran M, Adana MSRD, Tinahones F, Zumaqvero JMG, Fuentes EG et al. 2003. Hypertention is related to the degradation of dietary frying oils. Am J Clin Nutr. 78:1092-1097. Sukandar D. 2007. Studi sosial ekonomi, aspek pangan, gizi, dan sanitasi. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Supariasa et al. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tarbiyati et al. 2004. Hubungan antara insomnia dan depresi pada lanjut usia di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta [Resume Jurnal]. Yogyakarta (ID): Fakultas Kedokteran : Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Thankachan P et al. 2008. Iron absorption in young Indian women: the interaction of iron status with the influence of tea and ascorbic acid. Am J Clin Nutr. 87(88): 1–6.
40 Wellman NS, Kamp BJ. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam : Mahan LK dan Escott Stump S, editor. Food, Nutrition and Diet Therapy. USA (US): Saunders co. hlm 833–859. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Wirakusumah E. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta (ID): Puspa Swara. . 2002. Tetap Bugar di Usia Lanjut. Jakarta (ID): Trubus Agriwidya. [WHO] World Health Organization. 2005. Cut off point nutritional status. http://www.euro.who.intnutrtion–20030507_1 [diakses 10 Juli 2013] Wulansari Y. 2006. Estimasi kerugian ekonomi akibat anemia gizi besi di berbagai provinsi di Indonesia dan biaya penanggulangan melalui suplementasi [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Zaddana C. 2011. Keadaan sosial ekonomi, pola konsumsi makan, status gizi, tingkat stres dan status kesehatan lansia wanita peserta pemberdayaan lansia di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Zarianis. 2006. Efek suplementasi besi-vitamin C dan vitamin C terhadap kadar hemoglobin anak sekolah dasar yang anemia di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [Tesis]. Semarang (ID): Program Magister Gizi Masyarakat. Universitas Diponegoro.
41 Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
LAMPIRAN KUESIONER
STUDI STATUS GIZI, KARAKTERISTIK KESEHATAN DAN ASPEK PSIKOSOSIAL LANSIA YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA DAN DI PANTI WREDHA Sheet 1:Colans 1.
Enumerator
A1
:
1.Wiwi
2.Okta 3.Iin 4.Nining 6. ______
2.
Tanggal wawancara
A2
:
____________________ 2012
3.
Nomer Responden
A3
:
____________________
4.
Nama Responden
A4
:
_________________________________________ _____
5.
Tinggal
bersama
dengan A5
:
1.
Panti
Wredha,
A5L
nama:
Panti
__________________ 2. Keluarga 3. Tinggal sendiri/berdua, dekat keluarga (dalam 1 Rt/Rw) 4. Tinggal sendiri/berdua, jauh dari keluarga Alamat Rumah/Panti 6.
Rt
A6
:
____________________________
7.
Rw
A7
:
____________________________
8.
Desa
A8
:
____________________________
9.
Kelurahan
A9
:
____________________________
10.
Kecamatan
A10
:
____________________________
11.
Jam mulai wawancara
A11
:
____________________________
12.
Jam selesai wawancara
A12
:
____________________________
42 Sheet 2: Karaklans B. KARAKTERISTIK LANSIA 1.
Nama
B1
____________________________
2. 3. 4.
Jenis Kelamin Umur Agama
B2 B3 B4
5. 6.
Lama pendidikan B5 Pendidikan terakhir (berdasarkan B6 ijazah terakhir)
7.
Pekerjaan
B7
8.
Status pernikahan saat ini
B8
1. Laki–laki 2. Perempuan _________ Tahun 1. Islam 2. Kristen/Katolik 3. Hindu 4. Budha 5. Lainnya, B4L___________ __________ tahun 1. Tidak sekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan tinggi 1. Tidak bekerja 2. Pedagang 3. PNS/ABRI 4. Swasta 5. Pensiunan 6. Buruh 7. Petani 8. Lain–lain, sebutkan B7L:___________________ 1. Menikah 2. Janda/Duda 3. Tidak Menikah
Sheet 3: Sokelans C. SOSIAL KELUARGA LANSIA (Ditanyakan kepada lansia non panti wredha, responden tidak ikut didata) C1 No 1 2 3 4 5 6
C2
C3 Nama
Hub. dengan responden1)
C4 Usia
C5 JK2)
C6 Pendidikan 3)
C7 Pekerjaan Utama4)
43 7 8 9 10 Keterangan : 1).Hubungan dengan responden : 1.Suami 2.Istri 3.Anak 4.Kakek 5.Nenek 6. Cucu 7.Lainnya,sebutkan 2).Jenis Kelamin : 1=Laki–laki. 2=Perempuan 3).Pendidkan : 1.Tidak sekolah, 2.SD, 3.SLTP, 4.SLTA, 5.PT 4).Pekerjaan : 1=Tidak bekerja, 2=Petani, 3=Buruh, 4=Karyawan, 5=Pegawai negeri, 6=lainnya,sebutkan, 7.N/A
STATUS EKONOMI LANSIA Sheet 4: Incomkelans D. PENDAPATAN KELUARGA LANSIA D1
D2
Anggota Keluarga
D3
D4
D5
D6
Pendapatan1) :Rp per
Jenis Pekerjaan Hari
Minggu
Bulan2 )
Tahun
a. Pensiunan b. Kiriman 1. Lansia
c. Hasil kerja sendiri d. Lain–lain:
2. Anggota lainnya 3
1. Pasangan
a.
(suami/istri) a. 2. Anak
b. a.
3. Cucu
b. a.
4. Lainnya
b.
Keterangan : 1) Pilih salah satu (hari, minggu, bulan, tahun) 2) Kolom bulan digunakan untuk merekap kolom sebelumnya dan harus terisi 3) ditanyakan kepada lansia non panti wredha Sheet5: Expenditurlans E. PENGELUARAN E1. PENGELUARAN LANSIA DI PANTI =1 E2 E3 E4
D7
D8 D9 Jumlah Hari Kerja2) hari/ mgg/ bln/ mgg bln thn
44 Pengeluaran (Rp) per No.
Jenis Pengeluaran
1.
PANGAN 1.Makanan jajanan (total) NON PANGAN 2.1. Keperluan pribadi (total) 2.1.1. Sabun mandi 2.1.2. Pasta gigi 2.1.3. Sabun cuci 2.1.4. Shampoo 2.2. Pakaian (total) 2.3. Sosial (total) 2.3.1 Sumbangan 2.3.2 Zakat 2.3.3 Memberi keluarga 2.3.3 Lain–lain 2.4. Biaya tinggal di panti (total) 2.5. Biaya kesehatan (total) 2.6. Rokok (total) 2.7 Pulsa (total)
2.
Harian
Mingguan
E2. PENGELUARAN LANSIA NON PANTI WREDHA = 2 E2 E3 E4 Pengeluaran (Rp) per No. Jenis Pengeluaran Harian Mingguan 1.
2.
PANGAN 1.1. Makanan utama (total) 1.2. Makanan jajanan (total) NON PANGAN 2.1. Keperluan pribadi (total) 2.1.1 Sabun mandi 2.1.2 Pasta gigi 2.1.3 Sabun cuci 2.1.4 Shampoo 2.2 Pakaian (total) 2.3 Sosial (total) 2.3.1 Sumbangan 2.3.2 Zakat 2.3.3 Memberi keluarga 2.3.3 Lain–lain 2.4. Biaya kesehatan (total) 2.5. Rokok (total) 2.6. Lainnya (total) 2.6.1 Listrik 2.6.2. Pulsa/telepon
Bulanan
Tahuna n
# #
# #
# # # #
Bulanan # # #
# #
# # #
Tahuna n
45 E2
E3
E4 Pengeluaran (Rp) per
No.
Jenis Pengeluaran
Harian
Mingguan
Bulanan
Tahuna n
2.6.3. Bahan bakar Sheet6: FFQ F. Food Frequency Lansia (pangan sumber kalsium) F1 F2 F3 No.
Jenis Pangan
1 2 3 4 5
Bayam Ikan teri Tempe Tahu Daun singkong
F4
F5
F6
Frekuensi ............ kali per Hari
Minggu
Bulan
URT per makan
Tahun
kali
Sheet7: Pokonmi G. POLA KONSUMSI MINUMAN LANSIA G1 No.
G2 G3 Frekuensi Minum (kali per) Harian Mingguan 8 –
Jenis Minuman Lansia: Air putih
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
G4 G5 Volume yang diminum setiap kali minum URT ml 1 gelas 200
Air putih Susu Teh Kopi Sirup (sari buah) Juice Jamu Lainnya, sebutkan J8L:______________ Sheet8: Recallans H. KONSUMSI PANGAN LANSIA H1. Hari ke–1 = 1 H2 No. 0. 1. 2. 3.
Kode
Pangan/bahan2
1)
)
158
Ayam
URT satuan 1 Ptg sdg
gr/URT
Sisa (URT)
gr/UR T sisa
H3 Berat Bersih (gr)3)
No.
Satuan 50
2
48
0. 1. 2. 3.
46 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. H1. Hari ke–2 = 2 H2 No.
Ko de1)
Pangan/baha n2)
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
URT satuan
gr/ U RT 50
Sisa (URT) Satuan
gr/URT sisa
0. 158 Ayam 1 Ptg sdg 2 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Keterangan: 1) Berikan kode pangan/bahan pada saat editing sesuai kode pangan 2) Sebut nama bahan pangan bila pangan tersebut tidak tercantum pada DKBM 3) Berat bersih = (gr/URT) – (gr/URT sisa)
H3 Berat Bersih (gr)3) 48
No. 0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
47 Sheet9:Statgizlans I. STATUS GIZI LANSIA 1. 2. 3. 4. 5.
Berat Badan Tinggi Lutut Tekanan Darah (sistolik) Tekanan Darah (diastolik) Hb
K1 K2 K3 K4 K5
= =
kg cm =
= =
Sheet10:Statkeslans J. STATUS KESEHATAN LANSIA
I. STATUS KESEHATAN LANSIA SAAT INI Estimasi Status Global Pasien 1. Bagaimana kondisi kesehatan yang Anda rasakan saat ini?Pilih salah satu skala berikut ini L1: SANGAT BURUK SEDANG BAIK 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0
2.
Penyakit yang terdiagnosis (berdasarkan diagnosis dokter): 2.1. Tekanan darah tinggi 1=Ya 2=Tidak L21 2.2. Artritis (radang sendi/rematik) 1=Ya 2=Tidak L22 1=Ya 2=Tidak L23 2.3. Sindroma dyspepsia (sakit maag) 1=Ya 2=Tidak L24 2.4. Penyakit jantung pembuluh darah 1=Ya 2=Tidak L25 2.5. Diabetes 1=Ya 2=Tidak L26 2.6. Penyakit pernafasan (asma/radang paru) 1=Ya 2=Tidak L27 2.7. Dislipidemia (kolesterol) 1=Ya 2=Tidak L28 2.8. Batu ginjal 1=Ya 2=Tidak L29 2.9. Katarak 1=Ya 2=Tidak L210 2.10 Lain–lain, sebutkan………… Problem fisik/disabilitas 3. Masalah penglihatan L3: 1. Bisa melihat tanpa kacamata 2. Bisa melihat dengan bantuan kacamata 3. Masalah penglihatan serius 4. Masalah pendengaran L4: 1. Bisa mendengar dengan baik. 2.Bisa mendengar dengan bantuan alat bantu dengar (ABD) 3. Masalah pendengaran serius
Jenis pemeriksaan rutin L6 6.1. Pemeriksaan fisik 6.2. EKG (Rekam jantung) 6.3. Tekanan darah 6.4. Gula darah 6.5. Profil lipid
II. PEMERIKSAAN KESEHATAN Kode L61 L62 L63 L64 L65
1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya
Jawaban 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak
48 6.6. Fungsi hati/ginjal 6.7. Rontgen 6.8. Urinalisis 6.9. Lain–lain, sebutkan:L69L :__________________________ Efforts to keep healthy living 9. Apa yang anda lakukan untuk menjaga kesehatan? 9.1. Menjaga pola makan 9.2. Menghindari makanan tertentu 9.3. Menghindari stress 9.4. Berolah raga 9.5. Mengonsumsi jamu 9.6. Mengonsumsi suplemen 9.7. Rutin cek kesehatan ke dokter 9.8. Beribadah
1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya
L66 L67 L68 L69
L91 L92 L93 L94 L95 L96 L97 L98
1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya 1=Ya
2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak
2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak 2=Tidak
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 19 Juli 1991 dari ayah H. Syaiful Effendi dan ibu Hj. Djoniwaty Haslina. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak–kanak di Pekanbaru tahun 1996–1997, kemudian melanjutkan sekolah dasar tahun 1997– 2003. Tahun 2003–2009 penulis menduduki pendidikan di bangku SMP dan SMA. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pekanbaru dan lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum evaluasi nilai gizi pada tahun 2012/2013, asisten praktikum kulinari dan gizi pada tahun 2012/2013 dan asisten praktikum metode penelitian gizi pada tahun 2012/2013. Penulis juga pernah aktif sebagai staf divisi Keprofesian dan kepala divisi Kewirausahaan Himagizi IPB serta aktif dalam kepanitiaan acara departemen maupun acara di fakultas dan kepanitiaan terakhir penulis yaitu sebagai ketua divisi dana usaha Nutrition Fair 2012. Kompetisi yang pernah diikuti penulis antar lain Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Penelitian yang berhasil didanai oleh DIKTI pada tahun 2012. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Negarayu, Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes dan pada Maret 2013 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.