KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR
Anne Puspitasari
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT ANNE PUSPITASARI. Food Consumption, Health Status, Depression Level and Nutritional Status of Elderly Participant and Non Participants Home Care in Tegal Alur, West Jakarta. Under direction CLARA M KUSHARTO. Home care is a service system which is used to overcome problems arising from the increasing number of elderly population, such as malnutrition. The purpose of this study was to identify food consumption, health status, depression level and nutritional status of elderly participants and non participants Home Care, as well as to analyze the relationship. A cross sectional study was conducted on elderly people aged 60 years and above in Tegal Alur, West Jakarta. A total of 60 elderly (30 participant and 30 non participants) were actively followed as participants. They were interviewed on demography and social economic status, one-month semi-quantitative food frequency questionnaire, health status, geriatric depression scale (GDS) short version, and assessed by anthropometric measures. Average level of adequacy energy, protein, calcium, phosphorus dan vitamin C of participant relatively lower than non participants (87,5% vs 95,5%; 80% vs 90%; 51,4% vs 59,2%; 104% vs 116,1% and 73,1% vs74,9%, respectively). The study showed that no significant difference in term food consumption, health status, depression level, and nutritional status between the elderly participant vs non participants. And as much as 63,3 % participant and 53,3% non participants experienced more than one type of health complaince and most of them are well nourished and not depressed. The statistical analysis with correlation test showed that health status of elderly significantly positive with the level of depression. While other variables such as duration of illness significantly negative with level of adequacy of energy, protein, minerals, and nutritional status. Percent RDA of energy, protein and minerals are positively associated with nutritional status. Key words: elderly, home care, health status
RINGKASAN ANNE PUSPITASARI. Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar. Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta program home care di Tegal Alur, Jakbar. Adapun tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur; 2) mengidentifikasi karakteristik lansia peserta dan bukan peserta home care; 3) membandingkan konsumsi pangan lansia peserta dan bukan peserta home care; 4) membandingkan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta home care, 5) membandingkan tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care; 6) membandingkan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care; 7) menganalisis hubungan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi, dan status gizi lansia. Penelitian dilakukan di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat pada bulan September sampai November 2010 dengan menggunakan desain cross sectional study. Contoh dalam penelitian ini diambil secara purposive dengan kriteria inklusi lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik, dan bersedia diwawancara sebagai responden. Jumlah contoh dalam penelitain ini adalah 60 orang lansia, masingmasing 30 orang untuk lansia peserta dan bukan peserta home care. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara dan pengukuran langsung. Data primer meliputi data karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, living arrangement), konsumsi pangan, status kesehatan (keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan) sebulan terakhir, tingkat depresi satu minggu terakhir dan data status gizi. Data sekunder meliputi pelaksanaan home care di Tegal Alur. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007 dan SPSS for Windows versi 16. Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga. Proses/ tahapan penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi, seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon penerima layanan, implementasi program serta monitoring, evaluasi dan pelaporan. Pelayanan yang diberikan berkembang tiap tahunnya, tahun 2004 pelayanan yang diberikan hanya pelayanan sosial berupa kunjungan pendamping 1x/minggu kemudian berkembang pada tahun 2009 dengan program pelayanan kesehatan, ramah lansia, senam lansia, pemberian sembako 1x/bulan dan pinjaman modal UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Tahun 2010, bantuan JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia) dari Depsos dan perbaikan kamar lansia dari PT Sido Muncul dapat dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta berada pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta dan bukan peserta adalah tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta tidak bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak.
Status pernikahan lansia peserta dan bukan peserta sebagain besar berstatus cerai mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga. Lansia pada kedua kelompok mengonsumsi nasi lebih dari satu kali dalam 1 hari dengan lauk tempe dan tahu. Pangan sumber protein hewani, sayur-mayur dan buah-buahan hanya dikonsumsi secara mingguan oleh lansia pada kedua kelompok. Jenis pangan lainnya yang dikonsumsi satu kali dalam satu hari adalah kopi (lansia peserta) dan bakwan (lansia bukan peserta). Rata-rata konsumsi nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari) dengan lauk tempe dan tahu. Ikan basah, telur, dan susu dikonsumsi sebagai protein hewani yang terbesar jumlahnya dikonsumsi. Sayur berdaun hijau dan sayur lain dikonsumsi dengan kuantitas terbesar. Buah-buahan yang dikonsumsi dengan kuantitas terbesar adalah mangga (198,4 g/minggu) pada lansia peserta dan pepaya (298,6 g/minggu) pada lansia bukan peserta. Selain itu, pangan lainnya yang dikonsumsi dengan kuantitas terbesar pada lansia peserta dan bukan peserta adalah bakwan. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia peserta temasuk defisit tingkat ringan dan normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, sedangkan tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata tingkat kecukupan gizi antara kedua kelompok (p>0,05). Lebih dari separuh lansia peserta (63,3%) dan bukan peserta (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan kesehatan dalam satu bulan terakhir. Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan kesehatan yang dialami lansia peserta dan bukan peserta (p>0,05). Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta dan bukan peserta adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah hipertensi, katarak dan rematik, sedangkan pada lansia bukan peserta adalah hipertensi, asam urat dan maag. Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta dan bukan peserta adalah pegal-pegal. Rata-rata lama sakit terpanjang pada lansia peserta adalah penyakit ISPA, sedangkan pada lansia bukan peserta adalah TBC. Frekuensi sakit yang paling sering diderita dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun bukan peserta adalah demam. Berdasarkan tindakan pengobatan, persentase terbesar lansia peserta memilih pergi ke puskesmas, sedangkan lansia bukan peserta memilih untuk menggunakan obat warung dalam mengatasi gangguan kesehatan yang dialami. Menurut kategori tingkat depresi, sebanyak 73,3% lansia peserta dan 66,7% lansia bukan peserta tergolong kategori normal. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) tingkat depresi pada kedua kelompok. Bagian terbesar status gizi lansia peserta (46,7%) dan lansia bukan peserta (56,7%) berstatus gizi normal. Hasil uji T menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi pada kedua kelompok. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor. Artinya semakin lama durasi sakit maka tingkat kecukupan kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor semakin rendah. Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi. Artinya semakin banyak keluhan kesehatan yang dialami maka tingkat depresi akan semakin tinggi. Tetapi tidak
terdapat hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi. Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor dengan status gizi. Artinya semakin tinggi tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor maka status gizi akan semakin tinggi. Terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi.
KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR
ANNE PUSPITASARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
Nama NIM
: Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar : Anne Puspitasari : I14061204
Disetujui : Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M.Sc NIP 19510719 198403 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar” dilakukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. drh. Clara M Kushatro, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemadu seminar dan penguji atas masukan dan kritikan yang telah diberikan. 3. Dra. Eva A. J. Sabdono, MBA selaku ketua Yayasan Emong Lansia (YEL) beserta staff lainnya, terutama Ibu Dida Soerodjo, yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian 4. Drs. Sofyan Manurung selaku koordinator lapang YEL, Ibu Suciati selaku koordinator pendamping, ibu-ibu pendamping home care yang telah membantu kelancaran penelitian serta para lansia yang telah bersedia diwawancarai. 5. Bapak, mamah, adik, kakak serta keluarga tercinta atas doa, dukungan dan nasihat yang tiada henti diberikan. 6. Fitria Dwinanda dan Sulastri yang telah meluangkan waktu dan membantu penulis saat pengambilan data. 7. Karlina, Merita, Siti Masturoh dan Lutfhi selaku pembahas seminar 8. Teman-teman Pondok Assalamah (Mba Tatik, Dewi, Ninda, Evi, Siti, Mey, Mai, Fathin, Ayu) yang telah memberikan dukungan dan bantuannya selama penulisan skripsi serta terima kasih atas kehangatan seperti keluarga yang telah dihadirkan selama kebersamaan kita. 9. Bebeh-bebeh (Hany, Fitri, Yessica, Mpie) dan teman seperjuangan (Andris, Arina) atas doa, dukungan dan bantuan selama ini, semoga persaudaraan kita selalu terjaga.
10. Teman – teman Gizi Masyarakat 43 atas segala dukungan yang telah diberikan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan bermanfaat bagi semua. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, Mei 2010
Anne Puspitasari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 9 Mei 1988. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Dede Setiawan dan Ibu Ai Sumiati. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1994 – 2000 di SDN Tarogong 2. Penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 1 Garut pada tahun 2000 – 2003. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis pada tahun 2003 – 2006 di SMA 1 Tarogong Kidul. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai staf Divisi Klub Peduli Pangan dan Gizi (KPPG) HIMAGIZI 2007/2008. Penulis juga tercatat sebagai sekertaris OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Garut 2008/2009. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMAGIZI, BEM Fakultas Ekologi Manusia dan OMDA Garut. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Penulis juga melaksanakan Internship Dietetika di RSIJ Pondok Kopi Jakarta pada tahun 2010. Sejak tahun 2010 – 2011 penulis aktif mengajar di pusat bimbingan belajar Genpi (Generasi Prestasi) sebagai pengajar Matematika dan IPA/IPS.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. x DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................ 2 Kegunaan .......................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4 Lansia ................................................................................................ Konsumsi Pangan .............................................................................. Status Kesehatan ............................................................................... Tingkat Depresi .................................................................................. Status Gizi ......................................................................................... Home Care ........................................................................................
4 5 9 11 13 16
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 19 METODE PENELITIAN ............................................................................. 21 Desain, Tempat, dan Waktu ............................................................... Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... Definisi Operasional ...........................................................................
21 21 21 22 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 28 Gambaran Umum Lokasi ................................................................... Home Care di Tegal Alur .................................................................... Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care .............................. Tahapan Penyelenggaraan Home Care ....................................... Sasaran Pelayanan Home Care ................................................... Jenis Pelayanan Home Care ......................................................... Pendamping Home Care ............................................................... Peserta dan Bukan Peserta Home Care ...................................... Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain .............................. Karakteristik Lansia ............................................................................ Usia ............................................................................................. Jenis Kelamin ............................................................................... Tingkat Pendidikan ....................................................................... Pekerjaan ..................................................................................... Sumber Pendapatan .................................................................... Status Pernikahan ........................................................................ Living Arrangement ...................................................................... Konsumsi Pangan .............................................................................. Frekuensi, Jumlah, dan Jenis Konsumsi Pangan ......................... Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ..................................
28 29 29 30 32 33 35 36 37 39 39 40 40 41 42 42 43 44 44 50
Status Kesehatan ............................................................................... 53 Keluhan Kesehatan ...................................................................... 53 Jenis Penyakit dan Keluhan Kesehatan ....................................... 54 Lama dan Frekuensi Sakit............................................................. 55 Tindakan Pengobatan .................................................................. 56 Tingkat Depresi .................................................................................. 57 Status Gizi ......................................................................................... 60 Hubungan Antarvariabel ....................................................................... 61 Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ...................................................................... 61 Hubungan Status Kesehatan (Keberadaan Keluhan) dengan Tingkat Depresi ............................................................................ 61 Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ........................................................................................ 62 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi ................................................................................... 62 Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Status Gizi ................................................................................... 62 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 63 Kesimpulan .......................................................................................... 63 Saran ................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65 LAMPIRAN ................................................................................................ 68
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Angka kecukupan gizi untuk lansia per orang per hari .................
7
2
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia .........
15
3
Variabel dan indikator data yang dianalisis ..................................
24
4
Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care ............................................................
37
5
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut usia ....
40
6
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis kelamin .................................................................................
40
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut tingkat pendidikan .........................................................................
41
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut pekerjaan ......................................................................................
41
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut sumber pendapatan ......................................................................
42
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut status pernikahan .........................................................................
43
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut living arrangement .......................................................................
43
Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat peserta dan bukan peserta home care .........................................
44
Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber protein hewani peserta dan bukan peserta home care .........................................
45
Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber protein nabati peserta dan bukan peserta home care .........................................
46
Frekuensi dan jumlah konsumsi sayur-mayur peserta dan bukan peserta home care .............................................................
47
Frekuensi dan jumlah konsumsi buah-buahan peserta dan bukan peserta home care .............................................................
49
Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan lainnya peserta dan bukan peserta home care .............................................................
50
Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care .............................................................
51
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut keberadaan keluhan kesehatan ...................................................
53
Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis penyakit dan keluhan ....................................................................
55
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nomor 21 22
Halaman Rata-rata lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir ..........................................................................................
56
Tindakan pengobatan yang dilakukan peserta dan bukan peserta home care.........................................................................
56
DAFTAR GAMBAR Nomor 1
Halaman Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) dan papan kayu pembentuk 900 ......................................................................... 0
14
2
Posisi lutut membentuk 90 ......................................................
14
3
Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang .........................
14
4
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi pada lansia ...............................................................................
20
5
Sebaran jawaban SDG per pertanyaan ...................................
57
6
Sebaran tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care ...............................................................................
59
7
Sebaran status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care menurut IMT ...........................................................
60
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2 3
Halaman Jenis pangan yang biasa dikonsumsi peserta dan bukan peserta home care ...................................................................
68
Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care ........................
69
Dokumentasi kegiatan .............................................................
70
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia, terutama di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, penurunan kematian bayi, penurunan fertilitas dan peningkatan usia harapan hidup. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk usia lanjut. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010) melaporkan bahwa Indonesia memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena pada tahun 2000 jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun sebesar 7,18 persen. Pada tahun 2010 diperkirakan usia harapan hidup penduduk Indonesia adalah 67,4 tahun dengan jumlah lansia mencapai 23,9 juta jiwa (9,77%) dan diperkirakan akan menjadi 28 juta lebih pada tahun 2020. Namun di satu sisi, adanya peningkatan jumlah lansia berdampak timbulnya berbagai masalah jika tidak ditangani dengan segera. Salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah terkait gizi. Beberapa kelompok dalam populasi lansia beresiko terkena malnutrisi. Malnutrisi pada lansia sama halnya seperti pada balita atau dewasa, lansia dapat mengalami gizi kurang maupun gizi lebih. Boedhi-Darmoyo (1995) diacu dalam Muis (2006) melaporkan bahwa lansia di Indonesia yang ada dalam keadaan kurang gizi sejumlah 3,4 persen, berat badan kurang sebesar 28,3 persen, berat badan ideal berjumlah 42,4 persen, berat badan lebih ada 6,7 persen dan obesitas sebanyak 3,4 persen. Masalah gizi pada lansia dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan dan status kesehatan mereka. Secara alamiah lansia akan mengalami kemunduran (degenerasi) fungsi organ-organ tubuh. Sari (2006) menambahkan dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan indera penciuman dan pengecapan mulai menurun. Selain itu, hilangnya sebagian geligi sering menimbulkan lansia tidak nafsu makan dan menyebabkan berkurangnya asupan makanan pada lansia. Faktor kesehatan yang berperan dalam masalah gizi adalah naiknya insidensi penyakit degeneratif dan nondegeneratif yang berakibat pada perubahan asupan makanan, perubahan absoprsi dan utilisasi zat-zat gizi pada tingkat jaringan serta penggunaan obat-obat tertentu yang harus diminum lansia karena penyakit yang sedang diderita (Muis 2006). Perubahan kondisi ekonomi akibat masa pensiun, isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah pasangannya meninggal dan rendahnya pemahaman gizi
menyebabkan memburuknya keadaan gizi lansia (Muis 2006). Perubahanperubahan pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia mengalami gejala depresi. Harris (2004) menyatakan bahwa depresi dapat mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Home care atau pelayanan berbasis keluarga merupakan salah satu sistem pelayanan yang dicoba oleh Depsos untuk mengatasi keterbatasan PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) dalam memberikan pelayanan pada lansia terlantar. Saat ini home care sudah berjalan di 10 provinsi di Indonesia, salah satunya di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat. Home care di Tegal Alur telah menyelenggarakan berbagai pelayanan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia peserta home care seperti pelayanan sosial, pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan lansia. Akan tetapi karena keterbatasan pendamping, belum seluruhnya lansia terlantar di Tegal Alur mendapatkan pelayanan yang sama. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mempelajari konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur 2. Mengidentifikasi karakteristik contoh, meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, dan living arrangement lansia peserta dan bukan peserta home care 3. Membandingkan konsumsi pangan lansia peserta dan bukan peserta home care 4. Membandingkan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta home care 5. Membandingkan tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care
6. Membandingkan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care 7. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, status kesehatan, dan tingkat depresi dengan status gizi lansia. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai konsumsi pangan, status gizi, status kesehatan, dan tingkat depresi bagi lansia. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi lansia.
TINJAUAN PUSTAKA Lansia Istilah usia lanjut menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. World Health Organization (WHO) diacu dalam Komnas Lansia (2008) menggolongkan lansia berdasarkan aspek kronologis (batasan usia) menjadi: 1. usia pertengahan (middle age): usia 45-59 tahun 2. usia lanjut (elderly): 60-74 tahun 3. usia tua (old): 75-90 tahun 4. usia sangat tua (very old): diatas 90 tahun Dahlan diacu dalam Arisman (2004) menyatakan bahwa di Indonesia orang dikatakan lansia jika telah berumur di atas 60 tahun. Jika mengacu pada usia pensiun, lansia ialah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun. Proses Penuaan Penuaan merupakan proses yang terjadi dari awal kelahiran hingga kematian. Penuaan, periode hidup setelah usia 30 tahun, adalah proses yang melibatkan seluruh tubuh. Selama periode pertumbuhan, proses anabolik melebihi perubahan katabolik. Ketika tubuh mencapai kedewasaan fisiologis, laju katabolik atau perubahan degeneratif mungkin lebih tinggi dibanding laju anabolik. Hasil akhir berkurangnya sel dapat membawa pada penurunan efisiensi dan gangguan fungsional pada berbagai tingkat. (Harris 2004). Secara alami fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring pertambahan usianya. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia pada dasarnya meliputi penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya perubahan ini juga mengakibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem syaraf, sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular hingga penurunan kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010). Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 – 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya resiko penyakit kronis. Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga
kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada lansia. (Harris 2004). Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang dan keadaan gizi lebih (kegemukan/ obesitas). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik, traumata/ kecelakaan, maupun gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988). Menurut Arisman (2004) terjadi beberapa kemunduran dan kelemahan yang bisa diderita oleh lansia yaitu: 1. pergerakan dan kelemahan lansia 2. intelektual terganggu (demensia) 3. isolasi diri (depresi) 4. inkontinensia dan impotensia 5. defisiensi imunologis 6. infeksi, konstipasi, dan malnutrisi 7. latrogenesis dan insomnia 8. kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi, dan integritas kulit 9. kemunduran proses penyembuhan. Konsumsi Pangan dan Zat Gizi Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan serta perencanaan produksi pangan. Jenis dan jumlah pangan merupakan hal yang penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah & Briawan 1994). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, pada gilirannya zat gizi tersebut berfungsi untuk menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh,
dan
pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh. Konsumsi makanan haruslah beragam karena tidak ada satu jenis makanan yang mengandung komposisi zat gizi yang lengkap. Oleh karena itu, kekurangan gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan
susunan zat gizi jenis makanan yang lain sehingga diperoleh asupan yang seimbang. Selain itu, konsumsi makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki kecukupan akan zat-zat gizi dan menunjukkan perlindungan terhadap serangan berbagai
penyakit
kronik
yang
berhubungan
dengan
proses
penuaan
(Wirakusumah 2001). Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) Food Frequency Questionnaire (FFQ) bertujuan untuk menilai frekuensi pangan atau kelompok pangan yang dikonsumsi pada selang waktu tertentu. Sebenarnya FFQ didisain untuk menyediakan data mengenai pola konsumsi pangan secara deskriptif kualitatif. Akan tetapi dengan menambahkan perkiraan jumlah porsi yang dikonsumsi, metode menjadi semi-kuantitatif sehingga memungkinkan penghitungan energi dan zat gizi terpilih (Gibson 2005). Metode ini terdiri dari dua komponen dasar yaitu daftar makanan dan frekuensi konsumsi untuk melaporkan seberapa sering suatu makanan dikonsumsi. Keuntungan FFQ terletak pada beban kerja yang relatif rendah bagi responden disamping analisis kuesioner ini yang cukup sederhana dan murah karena dapat dilakukan sendiri serta dapat dipindai dengan mesin. Kerugian FFQ terdapat pada keharusan responden melakukan tugas kognitif yang levelnya cukup tinggi untuk memperkirakan frekuensi dan ukuran takaran saji yang lazim (Pietinen & Patterson 2009). Pengukuran asupan makanan pada lansia secara retrospektif yang memerlukan konfirmasi kurang tepat dilakukan. Tidak satupun metode dietary assessment menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada lansia karena adanya defisit memori atau gangguan lainnya. Dietary history dan dietary record tampaknya menghasilkan nilai under-estimate pada makanan yang dikonsumsi lansia. Penggunaan FFQ lebih tepat digunakan bagi lansia untuk menilai rata-rata asupan zat gizi daripada metode food weighing yang memerlukan waktu lama
dan biaya
yang
mahal.
Metode FFQ
yang
menggunakan ukuran porsi (semi-kuantitatif) dapat memberikan estimasi jumlah makanan atau zat gizi yang dikonsumsi pada masa lampau (Sanjur & Maria 1997 dalam Fatmah 2010). Perhitungan asupan zat gizi secara keseluruhan pada metode FFQ semi kuantitatif diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masingmasing pangan. Sebagian kuesioner frekuensi justru memasukan pertanyaan tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen,
penggunaan vitamin dan mineral tambahan serta makanan bermerek lain. (Arisman 2004). Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi terjadinya penurunan tingkat aktivitas dan metabolisme basal tubuh para lansia. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang sehat. Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel dan tidak mutlak (Wirakusumah 2001). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan diatas 65 tahun sebagai berikut: Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Kalsium (mg) Fofor (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Angka Kecukupan Gizi Pria Wanita 50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun 2250 2050 1750 1600 60 60 50 45 800 800 800 800 600 600 600 600 600 600 500 500 90 90 75 75
Energi Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah 2010). Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan bijibijian. Selain itu bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbiumbian, dan gula murni (Almatsier 2004). Protein Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam
tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel darah merah (Fatmah 2010). Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi konsumsi protein 11,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut dan kronis (Harris 2004). Bahan makanan hewan merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004). Mineral Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99 persen, berada di tulang dan gigi bersama fosfor membetuk kalsium fosfat, zat keras yang memberikan kekakuan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting (Latham 1997). Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem imunitas tubuh (Fatmah 2010). Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju. Ikan dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitata, dan oksalat (Almatsier 2004). Fosfor merupakan mineral kedua yang paling banyak di dalam tubuh dan jumlahnya 6,5-11 g/kg berat badan dewasa. Sekitar 85% fosfor berada dalam tulang bersama kalsium (Latham 1997). Fosfor mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh seperti klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengaturan keseimbangan asam-basa. Fosfor terdapat di dalam semua
makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahannya, kacang-kacangan dan hasil olahannya, serta serealia (Almatsier 2004). Vitamin Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau ketersediaannya dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010). Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung, dan lain-lain (Almatsier 2004). Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna kuningjingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005). Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti, nenas, rambutan, jeruk, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2004). Status Kesehatan World Health Organization (WHO) pada tahun 1947 mendefinisikan kesehatan adalah keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Status kesehatan adalah keadaan kesehatan pada waktu tertentu
(Smet 1994). Secara umum, status kesehatan pada lansia tidak sebaik saat usia muda. Seringkali lansia menderita berbagai penyakit yang umumnya terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (McKenzie et. al. 2008). Penyakit adalah kegagalan tubuh dalam beradaptasi. Secara jelas penyakit adalah terganggu atau tidak berlangsungnya fungsi-fungsi psikis dan fisik, yaitu ada kelainan dan penyimpangan yang mengakibatkan kerusakan dan bahaya pada organ/ tubuh sehingga bisa mengancam kehidupan (Sarafino 1994). Beberapa pengarang membagi pengertian penyakit ini menjadi penyakit communicable (yang dapat menular) dan non-communicable (yang tidak dapat menular) (WHO-SEARO 1986, Diekstra 1989). Akan tetapi ada juga yang membagi penyakit menjadi penyakit infeksi dan penyakit kronis (Smet 1994). Penyakit-penyakit infeksi adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994). Sebagai contoh malaria, cacar air, diare, influenza, tipus, dll. Penyakit-penyakit kronis adalah penyakit-penyakit degeneratif yang berkembang selama kurun waktu yang lama seperti jantung, kanker dan stroke. Umumnya, penyakit kronis adalah non-communicable (tidak menular) sedangkan penyakit infeksi adalah communicable (menular). Akan tetapi, tidak semua penyakit ini cocok untuk kategori penyakit infeksi maupun kronis seperti AIDS. AIDS adalah penyakit infeksi (communicable) karena disebabkan oleh virus dan penyakit kronis (ciri-ciri degeneratif dan waktu lama) (Smet 1994). Penyakit atau gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau infeksi saluran pernapas bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi kulit (Rahardjo et al. 2009). Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian dini dan gangguan multi organ (Azad 2002). Malnutrisi merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di
sisi lain keberadaan penyakit, penyakit infeksi, akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami peyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi. Suhardjo (2008) menambahkan bahwa antara infeksi dan status gizi kurang terdapat pola interaksi bolak-balik. Infeksi menimbulkan efek langsung pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah menimbulkan kehilangan nitrogen. Tingkat Depresi Lansia merasa khawatir dengan kesehatan mental mereka, khususnya mereka
fokus
pada
mulai
menurunnya
ingatan.
Menurunnya
ingatan
memungkinkan berdampak negatif mempengaruhi kemampuan merawat diri dari hari ke hari dan berfungsi secara independen. Salah satu masalah mental yang dialami lansia adalah depresi (Mezey et. al 1993). Depresi adalah istilah yang akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Depresi adalah penyakit medis yang ditandai dengan kesedihan terus menerus, kekecewaan dan hilangnya harga diri. Depresi mungkin disertai dengan menurunnya energi dan konsentrasi, masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu makan, kehilangan berat badan, dan sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010). Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali dan diobati. Depresi merupakan masalah yang meluas diantara lansia, akan tetapi seringkali tidak dapat secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih, gangguan tidur dan nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin dianggap sebagai bagian normal pada lansia. Orang-orang terakadang menganggap bahwa masalah dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh perubahan berpikir terkait penuaan dibandingkan karena depresi. Lansia mengalami kesulitan untuk berbicara mengenai perasaan sedih atau depresi (Better Health Channel 2010). Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu depresi. Namun, tidak semua depresi dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko depresi pada lansia diantaranya: 1.
Kesepian dan isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial, berkurangnya mobilitas karena sakit
2.
Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik
3.
Masalah kesehatan. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh
4.
Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko terkena depresi
5.
Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah keuangan serta kesehatan
6.
Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga bahkan binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia Wirakusumah (2001) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial,
kondisi yang terisolasi, kesepian dan berkurangnya aktivitas menjadikan para lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera makan terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan. Oleh karena itu, kondisi mental yang tidak sehat secara tidak langsung dapat memicu terjadinya status gizi yang buruk. Skala Depresi Geriatrik Skala depresi dapat bermanfaat untuk memeriksa depresi atau distres psikologi menyeluruh. Skala Depresi Geriatrik (SDG) didisain sebagai alat tes skrining depresi pada lansia. Konsep dasar dari SDG, depresi pada lansia sama halnya seperti pada orang muda (gangguan tidur, hilangnya berat badan, pesimis akan masa depan) sebagai efek penuaan atau karena sakit jasmani. Skala depresi geriatrik (SDG) didisain secara sederhana, jelas, dan skala pelaporan sendiri. Meskipun secara normal, SDG didisain sebagai skala pelaporan sendiri, SDG juga dapat dibacakan oleh pewawancara dan wawancara melalui telepon. Rentang waktu yang digunakan untuk pengukuran SDG adalah satu minggu terakhir. Skala depresi geriatrik (SDG) terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab “ya” atau “tidak”. Sheikh dan Yesavage mengusulkan bentuk singkat dari SDG. Hal ini ditujukan untuk mengurangi masalah kelelahan terutama pada responden dengan sakit fisik atau demensia. Bentuk singkat SDG hanya berisi 15 pertanyaan terpilih. Skala depresi geriatrik (SDG) fokus pada aspek perasaan dari depresi. Skala ini mudah digunakan dan dilaporkan secara cepat. Skala depresi geriatrik (SDG) telah digunakan baik pada contoh komunitas ataupun pasien, dan hasilnya memiliki reliabilitas dan sensitivitas yang tinggi diantara lansia. Selain itu, SDG versi pendek telah divalidasi untuk kebutuhan
klinis dan penelitian. Validasi dibandingkan dengan SDG versi panjang dengan nilai r=0,84 (McDowell 2006). Penelitian Matsubayashi et al. (2003) yang dilakukan di Bandung dan Karawang menyebutkan bahwa SDG versi pendek memiliki nilai sensitivitas (88% - 92%) dan spesifisitas (62% - 81%) yang cukup tinggi. Status Gizi Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, seperti tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik dan faktor yang bersifat relatif yaitu gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization), dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran (excretion and destruction) dari zat gizi tersebut dalam tubuh (Supariasa et al. 2001). Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2004). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu, survei konsumsi pangan, statistika vital, dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2001). Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada bebagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah pola distribusi lemak (Muis 2006). Penilaian status gizi lansia diukur dengan antopometri atau ukuran tubuh, yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan tinggi badan karena kompresi vertebra, kifosis, dan osteoporosis. Pengukuran tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan
pengukuran tinggi lutut (menggunakan kaliper tinggi lutut) atau pengukuran rentang lengan (arm span) (Sari 2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson 2005). Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) untuk digunakan sebagai prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih (lansia). Tinggi lutut diukur dengan sebuah kaliper berupa tongkat pengukur yang dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk sudut 90 derajat. Gambar di bawah menunjukkan alat pengukur tinggi lutut:
0
Gambar 1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) dan papan kayu 90 (kanan)
Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri yang dibengkokan pada lutut dengan sudut 90 derajat (Gambar 2). Salah satu ujung kaliper diposisikan di bawah, dibagian tumit, sedangkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas bagian lutut (Gambar 3). Batang kaliper disejajarkan dengan tibia dan kemudian sedikit ditekan pada bagian ujung atas (tempurung lutut).
Gambar 2 Posisi lutut membentuk sudut 90
0
Gambar 3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat
badan,
maka
mempertahankan
berat
badan
normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, aitesis dan hepatomegalia (Supariasa et.al 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Berikut merupakan kategori ambang batas IMT menurut WHO: Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia 2
Klasifikasi IMT kg/m ) Underweight <18,5 Normal 18,5-25 Overweight >25 Obesitas >30 Sumber: WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008
Keadaan Gizi Lansia Lansia merupakan golongan yang rawan mengalami malnutrisi. Azad (2002) mendefinisikan malnutrisi sebagai keadaan yang diakibatkan oleh terlalu rendahnya intake makronutrien (defisiensi protein, mineral, vitamin), terlalu banyak intake makronutrien (obesitas) atau berlebihannya jumlah zat-zat yang tidak diperlukan, seperti alkohol. Malnutrisi secara nyata dapat mempengaruhi kesejahteraan lansia, menyebabkan penurunan status fungsional dan membuat masalah medis semakin buruk. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga kurangnya asupan makanan. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme (Muis 2006). Faktor-faktor ini dapat menyebabkan malnutrisi pada lansia dan jika bergabung maka
akan
mengakibatkan
keburukan
nutrisi
yang
akhirnya
dapat
membahayakan status kesehatan mereka (Watson 2003). Kehilangan berat badan dianggap sebagai indikator yang banyak digunakan untuk mendiagnosa kurang gizi. Kehilangan berat badan 10 persen
dalam 6 bulan, 7,5 persen dalam 3 bulan atau 5 persen dalam 1 bulan dianggap sangat serius, karena berhubungan langsung dengan kesakitan dan kematian (Morley et al. 2009). Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan kemakmuran dan gaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang makin membaik dan tersedianya makanan siap saji yang enak terutama sumber lemak, asupannya melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan kelebihan gizi yang dimulai awal usia 50 tahun ini akan membawa lansia pada keadaan obesitas dan dapat pula disertai dengan munculnya berbagai penyakit metabolisme seperti diabetes mellitus dan dislipidemia (Muis 2006). Home care Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lanjut usia dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga (Depsos 2009a). Sabdono (2010) menambahkan bahwa home care merupakan pelayanan yang diberikan di rumah dan bukan di panti maupun di rumah sakit. Home care dapat dilakukan oleh anggota keluarga ataupun masyarakat. Home care pun dapat dilakukan oleh tenaga profesional atau tenaga sukarela. Akan tetapi meskipun dilakukan oleh masyarakat, hal ini bukanlah bermaksud untuk mengambil alih fungsi keluarga. Home care dapat dilakukan siang ataupun malam hari. Hal ini memungkinkan lanjut usia untuk tetap tinggal di lingkungannya sendiri selama mungkin. Fungsi home care (Depsos 2009a) antara lain pencegahan, promosi, rehabilitasi, dan perlindungan serta pencegahan. Penyelenggaraan home care ditujukan bukan hanya bagi lansia itu sendiri, akan tetapi juga bagi keluarga lansia. Depsos (2009b) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan home care antara lain: 1.
meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk menerima kondisi kemunduran fisik, fisiologis dan psikis
2.
memenuhi kebutuhan dasar lanjut usia secara wajar
3.
meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat meningkatkan kesejahteraan lanjut usia
4.
terciptanya rasa aman, nyaman dan tentram bagi lanjut usia.
dalam
upaya
Penyelenggara
home
care
adalah
lembaga/yayasan/lembaga
sosial/badan sosial/lembaga swadaya masyarakat/organisasi sosial/lembaga kesejahteraan sosial lainnya berstatus badan hukum maupun tidak berbadan hukum. Sebagai lembaga swadaya masyarakat, home care lanjut usia membangun kemitraan lintas disiplin dan lintas sektoral. Kemitraan lintas disiplin antara lain dengan pekerja sosial, dokter, perawat, ahli gizi, psikolog, rohaniawan, guru, pemadu kebugaran jasmani. Kemitraan lintas sektor antara lain pemerintah (dinas sosial, dinas kesehatan, pemerintah provinsi /kabupaten/ kota/ kecamatan/ kelurahan/ desa), perguruan tinggi dan dunia usaha (Depsos 2009a). Till (2001) menambahkan bahwa penyelenggara home care bisa individu, organisasi sosial, dan pemerintah seperti departemen kesehatan dan departemen sosial. Bentuk pelayanan yang perlu disediakan dalam home care berupa perawatan sosial, pendampingan, dan pemenuhan kebutuhan lanjut usia. Perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial kepada lanjut usia yang membutuhkan perawatan dengan jangka waktu lama. Bentuk perawatan sosial umumnya
secara
fisik
maupun
emosional
yang
bersifat
non
medis.
Pendampingan sosial lanjut usia di rumah merupakan upaya membantu lanjut usia dan keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan lanjut usia yang bersangkutan (Depsos 2009b). Till (2001) menyebutkan bahwa secara umum home care dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pelayanan sosial dan perawatan kesehatan. Perawatan sosial mncakup dukungan emosional dan praktek. Hal ini termasuk bantuan merawat rumah, mengantar atau menyiapkan makanan, menemani lansia ke tempat-tempat penting, beberapa bantuan perawatan pribadi, dan pertemanan. Pelayanan sosial biasanya diberikan oleh anggota keluarga, teman, tetangga, sukarelawan dan pekerja sosial baik terlatih ataupun tidak. Perawatan kesehatan meliputi pemeriksaan kesehatan, pendidikan kesehatan, perawatan, dan terapi. Perawatan kesehatan biasanya diberikan oleh orang-orang terlatih dibawah pengawasan pekerja kesehatan profesional seperti dokter, perawat, terapis, atau pekerja sosial. Terdapat beberapa jenis model penyelenggaraan home care, yaitu volunteer-based home help services, paid home help services, home nursing services, home-based medical services, dan case management services. Volunteer-based home help services biasanya merupakan bagian dari program
home care dengan keterbatasan dana dan sumerdaya profesional. Sukarelawan memegang peranan penting dalam mempertahankan kualitas hidup lansia dengan menyediakan pelayanana sosial dan pertemanan. Paid home help services biasanya meliputi perawatan pribadi, rumah tangga, mencuci, pengaturan rumahtangga, berbelanja, menyiapkan atau mengantarkan makanan. Home nursing services menyediakan perawatan jangka pendek biasanya untuk tujuan khusus seperti untuk pengobatan luka. Home-based medical services memegang peran penting untuk menciptakan akses perawatan medis bagi lansia yang sangat lemah atau miskin. Akan tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal dan terbatasnya dokter. Case management services meliputi penilaian kebutuhan lansia dan pengkoordinasian jaringan pelayanan formal dan informal untuk menyediakan paket perawatan dan dukungan (Till 2001).
KERANGKA PEMIKIRAN Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga. Home care memberikan pelayanan lanjut usia seperti pelayanan sosial, pelayanan kesehatan, dan pelayanan gizi. Lansia peserta home care mendapatkan seluruh pelayanan yang disediakan, tetapi bagi lansia bukan peserta home care hanya mendapatkan pelayanan kesehatan. Diduga, dengan pemberian berbagai pelayanan tersebut maka kondisi konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta home care akan lebih baik dibanding lansia bukan peserta home care. Status gizi pada lansia secara langsung dapat dipengaruhi oleh status kesehatan. Antara status kesehatan (terutama penyakit infeksi) dan status gizi terdapat pola interaksi yang bolak-balik. Status kesehatan juga secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan tingkat depresi lansia. Seseorang yang mengalami penyakit, terutama infeksi, akan kehilangan nafsu makan sehingga menurunkan asupan energi dan zat gizi lainnya. Perasaan depresi akan muncul jika lansia mengalami suatu gangguan fisik akibat terganggunya status kesehatan lansia dengan adanya penyakit yang diderita. Perasaan depresi yang muncul pada lansia memungkinkan timbulnya sikap apatis lansia terhadap makanan dan lansia cenderung mengurangi konsumsi pangannya. Selain dipengaruhi oleh status kesehatan, status gizi lansia juga secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangannya.
peserta
Karakteristik responden: - Usia - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - Pekerjaan - Sumber pendapatan - Status pernikahan - Living arrangement
Pelayanan sosial Pelayanan kesehatan Pelayanan gizi
bukan peserta
Pelayanan kesehatan
Status Kesehatan: - Keluhan kesehatan - Lama sakit - Frekuensi - Pengobatan
Konsumsi Pangan
Status Gizi (IMT): Berat badan Tinggi lutut
Tingkat Depresi
Keterangan: Varaibel yang diteliti
:
Variabel yang tidak diteliti
:
Hubungan yang diteliti
:
Hubungan yang tidak diteliti : Gambar 4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi pada lansia
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian mengenai keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, kondisi mental dan status gizi pada lansia peserta dan bukan peserta home care menggunakan disain cross sectional study. Peneliti melakukan observasi pada lansia tanpa melakukan intervensi. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tegal Alur untuk lansia peserta (binaan Yayasan Emong Lansia) dan bukan peserta home care. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai November 2010. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah lansia berusia 60 tahun ke atas. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Contoh yang diambil harus memenuhi kriteria lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik dan bersedia diwawancara sebagai responden. Lansia peserta dan bukan peserta home care yang telah memenuhi kriteria inklusi kemudian diambil secara purposive, masing-masing 30 orang lansia. Penentuan lansia peserta dan bukan peserta home care yang dijadikan contoh atas bantuan pendamping (caregiver), disesuaikan dengan kriteria inklusi sama seperti lansia peserta home care. Jumlah seluruh responden adalah 60 orang lansia. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, living arrangement), konsumsi pangan (jumlah, jenis dan frekuensi) satu bulan, data status gizi (berat badan dan tinggi lutut), status kesehatan (keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan) sebulan terakhir, dan tingkat depresi satu minggu terakhir. Data sekunder meliputi data keadaan umum Yayasan Emong Lansia (YEL) serta pelaksanaan home care di Tegal Alur. Data karakteristik responden, konsumsi pangan, status kesehatan, dan tingkat depresi diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu
kuesioner. Konsumsi pangan dinilai dengan kuesioner FFQ semikuantitatif berisi bahan pangan yang telah disusun sebelumnya, lansia ditanyakan mengenai kebiasaan makan selama satu bulan terakhir sebelum wawancara serta bahan pangan lainnya yang mungkin dikonsumsi lansia tetapi tidak terdapat di dalam kuesioner. Hasil jawaban lansia kemudian akan dikonfirmasi ulang kepada keluarga atau pendamping yang menemani. Data status kesehatan yang terdiri dari keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan ditanyakan satu bulan terakhir sebelum wawancara. Data status kesehatan diperoleh dengan penilaian subjektif berdasarkan hasil wawancara tanpa melakukan pemeriksaan klinis. Tingkat depresi diukur dengan menggunakan kuesioner SDG versi pendek yang berisi 15 pertanyaan bersifat tertutup. Lansia ditanyakan mengenai kondisi sesuai dengan kuesioner SDG selama satu minggu terakhir sebelum wawancara. Jawaban diperoleh dengan menyanyakan pertanyaan kuesioner secara langsung maupun tidak
langsung
(sesuai dengan cerita yang
disampaikan lansia selama proses wawancara). Pertanyaan terbuka diajukan untuk mengetahui berbagai alasan yang melatarbelakangi jawaban setiap pertanyaan sehingga dapat mendukung jawaban yang diberikan lansia. Penilaian status gizi ditentukan berdasarkan pengukuran berat badan dan tinggi lutut. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak Health Scale yang memiliki ketelitian 1kg. Lansia berdiri di atas timbangan dan pandangan lurus kedepan tanpa menggenggam atau menyentuh apapun, sepatu, tas, barang lain dilepas, kemudian angka penunjuk dibaca. Tinggi lutut dipergunakan sebagai prediktor tinggi badan, diukur dengan menggunakan kaliper pengukur tinggi lutut (terbuat dari alumunium yang diberi pita meteran) dengan ketelitian 0,1cm. Tinggi lutut diukur dengan posisi berbaring (terlentang) pada kaki kiri, antara tulang tibia dan tulang paha membentuk 900, kemudian kaliper pengukur tinggi lutut ditempatkan sejajar tulang tibia, di antara tumit sampai bagia proksimal dari tulang platela, kemudian skala dibaca. Pengukuran tinggi lutut dilakukan dua kali pengukuran, kemudian diambil nilai rata-ratanya, untuk meningkatkan ketelitian pengukuran. Pengolahan dan Analisis Data Tahapan pengolahan data dimulai dari editing, coding, entri, cleaning, selanjutnya
dianalisis.
Penyusunan
coding
sebagai
panduan
entri
dan
pengolahan data. Selanjutnya dilakukan entri data sesuai kode yang telah dibuat
dan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukan data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows. Pengolahan data konsumsi pangan menggunakan data yang diperoleh dari wawancara dengan kuesioner FFQ (food frequency questionnaire) semi kuantitatif. Data konsumsi dalam ukuran gram per hari kemudian dikonversi dengan program Microsoft Excel 2007 untuk mendapatkan kandungan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor. Jumlah konsumsi energi dan zat gizi kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004) untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dapat dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1990): 𝑇𝐾𝐺𝑖 = Keterangan:
𝐾𝑖 𝑥100% 𝐴𝐾𝐺𝑖
TKGi = tingkat kecukupan zat gizi individu Ki
= konsumsi zat gizi individu
AKGi = angka kecukupan zat gizi individu yang dianjurkan Status kesehatan responden meliputi keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan. Keluhan kesehatan dikelompokkan menjadi penyakit infeksi, non infeksi, dan berbagai keluhan lain. Lama sakit dan frekuensi sakit dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi. Penyakit infeksi dikelompokkan menjadi penyakit diare, ISPA, demam, dan infeksi lainnya. Tingkat depresi diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG) versi pendek berisikan 15 pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan diberi skor 1 dan 0 dengan skor maksimal 15. Beberapa pertanyaan ada yang bersifat invers (kebalikannya). Tingkat depresi dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), depresi berat (12-15) (McDowell 2006). Pengolahan data status gizi menggunakan data hasil pengukuran berat badan dan tinggi lutut. Tinggi lutut digunakan sebagai prediksi tinggi badan. Fatmah et al.(2008) merekomendasikan model prediksi tinggi badan lansia, yaitu: Laki-laki
: Prediksi TB = 56,343 + 2,102 tinggi lutut
Perempuan
: Prediksi TB = 62,682 + 1,889 tinggi lutut
Status gizi ditentukan dengan IMT, perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Status gizi dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu kurang (IMT < 18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m2 ≤ IMT ≤ 24,9 kg/m2), overweight
(IMT ≥ 25,0 kg/m2), obesitas (IMT ≥ 30,0 kg/m2) (WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008). Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif disajikan berupa tabel frekuensi, rata-rata dan standar deviasi pada variabel penyelenggaraan home care, karakteristik contoh, konsumsi pangan per golongan pangan, status kesehatan, tingkat depresi, dan status gizi. Uji statistik yang digunakan yaitu: 1. Uji beda, uji yang digunakan adalah uji T sampel independen (independent-sampel t test) untuk data rasio dan uji Mann Whitney untuk data ordinal. Perbedaan konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi serta status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care dianalisis dengan uji T, sedangkan perbedaan tingkat depresi dan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta home care dianalisis dengan uji Mann Whitney. 2. Uji hubungan, Uji korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi, hubungan lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan zat gizi, dan hubungan lama sakit infeksi dengan status gizi. Uji Person digunakan karena data kedua variabel bersifat rasio. Selain itu, untuk variabel data ordinal digunakan uji korelasi Spearman untuk menganalisis hubungan keluhan kesehatan dengan tingkat depresi dan hubungan tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi. Pengkategorian variabel disajikan pada tabel di bawah: Tabel 3 Variabel dan indikator data yang dianalisis No 1 -
Variabel Karaktersitik responden Umur (WHO)
-
Jenis kelamin
-
Tingkat pendidikan
-
Pekerjaan
Kategori variabel 1. 2. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5.
Usia lanjut (60-74 tahun) Usia tua (75-90 tahun) Laki-laki Perempuan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat PT Petani Buruh Wiraswasta Tidak bekerja Lainnya
No
2
-
Variabel Sumber pendapatan
-
Status pernikahan
-
Living arrangement
Konsumsi pangan - Tingkat kecukupan Energi dan Protein (Depkes 1996 diacu dalam Sukandar 2007) -
3
4
5
Tingkat kecukupan Kalsium, Fosfor, Vitamin A, dan Vitamin C (Gibson 2005) Status Gizi (WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008)
Status Kesehatan - Keluhan kesehatan
-
Jenis penyakit keluhan
-
Lama sakit
-
Frekuensi sakit
-
Tindakan pengobatan
Tingkat 2006)
depresi
dan
(McDowell
1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 1. 2.
Kategori variabel Sosial Anak Cucu Sendiri Pensiunan Lainnya Menikah Tidak menikah Cerai hidup Cerai mati Tinggal sendiri Tinggal bersama keluarga
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2.
Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) Defisit tingkat ringan (80-89%AKG) Normal (90-119% AKG) Berlebih (>120% AKG) Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG)
1. 2. 3. 4.
Kurang (IMT < 18,5 kg/m ) 2 2 Normal (18,5 kg/m ≤ IMT ≤ 25 kg/m ) 2 Overweight (IMT > 25,0 kg/m ) 2 Obesitas (IIMT ≥ 30,0 kg/m )
2
1. Tidak ada 2. Terdapat 1 jenis keluhan 3. Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan 1. Infeksi 2. Non infeksi 3. Keluhan Dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi Dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi 1. Puskesmas 2. Dokter 3. Obat warung 4. Obat tradisional 1. Normal (0-4) 2. Depresi ringan (5-8) 3. Depresi sedang (9-11) 4. Depresi berat (12-15)
Definisi Operasional Lansia adalah orang yang lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik dan bersedia diwawancara sebagai responden.
Home care adalah bentuk pelayanan sosial bagi lansia, dibawah naungan Yayasan Emong Lansia (YEL), yang dilakukan oleh pendamping berupa pelayanan minimal kunjungan satu kali dalam satu minggu, bantuan sembako perbulan, pelaksanaan kegiatan ramah lansia serta pelayanan kesehatan. Peserta home care adalah lansia yang terdaftar sebagai lansia binaan YEL, mendapatkan pelayanan kunjungan minimal 1kali seminggu dari pendamping, bantuan sembako perbulan, serta pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan dokter minimal 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah lansia, serta pelayanan rujukan ke tempat pelayanan kesehatan setempat jika mengalami sakit diluar pemeriksaan rutin. Bukan peserta home care adalah lansia yang tidak terdaftar sebagai lansia binaan YEL, mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan dokter 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah lansia. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang dijalani lansia diukur dengan lamanya tahun pendidikan atau jenjang pendidikan Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya meliputi sandang, pangan, dan papan, tidak selalu dalam bentuk uang namun dapat dalam bentuk lain. Living arrangement adalah pengaturan tempat tinggal lansia yang menunjukkan keberadaan tinggal lansia. Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan oleh lansia dengan tujuan untuk mendapatkan uang. Status penikahan adalah status hubungan lansia dengan lawan jenisnya yang sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya). Konsumsi pangan adalah jumlah dan frekuensi pangan per kelompok pangan yang dikonsumsi lansia, diukur satu bulan terakhir dari waktu wawancara dengan menggunakan FFQ semi-kuantitatif. Status kesehatan adalah kondisi lansia yang meliputi keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit dan tindakan pengobatannya selama 1 bulan terakhir. Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik karena sakit, kecelakaan atau hal lainnya, termasuk orang yang menderita penyakit kronis meskipun pada saat pendataan tidak kambuh penyakitnya.
Lama sakit adalah jumlah hari sakit yang dialami lansia sebulan terakhir dari waktu wawancara Frekuensi sakit adalah jumlah pengulangan atau kekambuhan penyakit tertentu yang dialami lansia sebulan terakhir dari waktu wawancara Status gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi lutut untuk kemudian dihitung IIMT, dikategorikan menjadi, status gizi kurang (IMT < 18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m2 ≤ IMT ≤ 25 kg/m2), overweight (IMT > 25,0 kg/m2) dan obesitas (IMT ≥ 30,0 kg/m2). Tingkat depresi adalah keadaan emosi yang dirasakan responden selama 1 minggu terakhir yang diukur menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG) versi pendek dengan kategori normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), dan depresi berat (12-15).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Yayasan Emong Lansia Yayasan Emong Lansia (YEL)- HelpAge Indonesia adalah organisasi non-profit berbasis masyarakat, didirikan pada tanggal 29 Mei 1996 di Jakarta oleh Steven King mewakili HelpAge Internasional, Mr. Cho Ki Dong (HelpAge Korea), Ibu Joyce Sosrohadikusumo dan Dr. Tony Setiabudhi, PhD. Terdaftar pada kantor Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial dengan nomor: 06.12160.118/076.6-B. Tujuan dari YEL untuk meningkatkan kualitas hidup warga usia lanjut yang memungkinkan mereka hidup secara terhormat. Visi dari YEL adalah lanjut usia sehat, mandiri, dan sejahtera sedangkan misi YEL adalah meningkatkan kualitas hidup warga lanjut usia secara berkesinambungan. Program kerja yang dilakukan yaitu, home care, sponsor a grandparent, policy advokasi, access to helath services, pelatihan ITCOA, emergency relief and rehabilitation, dan informasi. Home care merupakan kunjungan ataupun pendampingan di rumah bagi lanjut usia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal sendiri. Pilot project home care dilakukan di Tegal Alur yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah, khususnya Departemen Sosial RI, menjadi Program Nasional pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah (Home Care) dengan SK Menteri Sosial RI No. 67/HUK/2006. Alasan diadopsinya program home care ini dikarenakan beberapa hal seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk mendirikan sebuah panti jompo (panti werdha), sumber daya manusia yang terbatas serta budaya Indonesia sendiri yang menganggap bahwa kurang pantas memasukan orangtua ke panti jompo. Hingga saat ini penyelenggaraan home care dibawah binaan YEL tidak saja dilakukan di Tegal Alur, tetapi juga dilakukan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sponsor a grandparent berupa penggalangan dana untuk pelayanan sosial, terutama bagi lanjut usia yang kurang mampu di bidang pangan, sandang, kesehatan, spiritual, perbaikan tempat tinggal, olah raga dan rekreasi. Policy advokasi berupa Lokakarya Nasional yang menghasilkan Rencana Aksi Nasional (RAN) 2003-2008 dan Komisi Nasional Lanjut Usia dengan Keputusan Presiden No. 52 tahun 2004. Yayasan Emong Lansia pun menyelenggarakan access to health services/ pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dimaksudkan adalah
YEL sebagai fasilitator untuk membuka jejaring dengan puskesmas atau rumah sakit setempat sehingga lansia dapat melakukan pengobatan secara gratis. Pelatihan ITCOA (International Training Center on Aging) ditujukan bagi lanjut usia dan bagi mereka yang terlibat langsung dalam pelayanan baik lokal maupun internasional. Emergency relief and rehabilitation berupa bantuan sosial bencana dan sesudahnya sedangkan dalam bidang informasi, YEL menerbitkan majalah “Gerbang Lansia” secara berkala untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan lanjut usia itu sendiri untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang dihadapi. Struktur organisasi YEL: Dewan Penangggung Jawab (Board of Trustees) 1. Ketua
: Ibu Y.S. Nasution
2. Anggota
: Ibu Soepardjo Roestam Ibu BRA Mooryati Soedibyo Dr. Tony Setiabudhi, PhD
Dewan Penasehat (Board of Advisor) 1. Ibu Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo 2. DR. Dr. Nugroho Abikusno, MSc. PhD 3. Bapak Dick S. Sapi-ie Dewan Pelaksana 1. Ketua
: Ibu Eva Sabdono, MBA
2. Wakil Ketua
: Ibu Dida Soerodjo
3. Bendahara
: Ibu Elfy B Santoso
4. Humas
: Ibu Murniyati Arisandi
Bidang Umum 1. Drs. Sofyan Manurung 2. H. Azhari Sekertaris 1. Siti Rahmawati 2. Sundari Home Care di Tegal Alur Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis
keluarga. Latar belakang diadakannya pilot project home care di Indonesia adalah mengingat kesepakatan antara pemerintahan Korea dan ASEAN Secretariat untuk mengembangkan home care sebagai pilot project di sepuluh negara anggota ASEAN melalui HeplAge Korea dan HelpAge Internasional. Pilot project home care di Indonesia dilaksanakan oleh YEL (HelpAge Indonesia), di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat mulai 1 Oktober 2003 hingga Maret 2006 dengan bantuan dana dari HelpAge Korea. Pemilihan tempat di Kelurahan Tegal Alur merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional tahun 2002 bersama Komnas Lansia. Lokakarya Nasional yang dihadiri kelompok sosial dan kelompok kesehatan memilih Tegal Alur sebagai daerah percontohan karena Tegal Alur merupakan daerah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lansia yang tinggal di daerah IDT rentan tinggal sendirian karena anak atau keluarga lainnya sibuk dengan aktivitas perekonomian. Tahapan Penyelenggaraan Kegiatan Home Care Proses penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi, seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon penerima layanan, implementasi program, serta monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Penyelenggaraan home care diawali dengan proses sosialisasi. Sosialisasi dilakukan setelah penentuan lokasi, pada tahun 2004, kepada pihak pemerintah daerah mulai dari walikota, dinas sosial, kecamatan dan kelurahan serta organisasi-organisasi sosial yang peduli pada lansia seperti PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), PMI (Palang Merah Indonesia) dan PKK. Tahapan kedua yang dilakukan adalah seleksi calon pendamping yang berasal dari masyarakat sekitar dan anggota organisasi-organisasi sosial peduli lansia. Awal pendataan terdaftar sejumlah 125 orang yang kemudian diseleksi dan diterima sebanyak 40 orang pendamping. Selanjutnya pendamping yang telah terpilih diberikan pelatihan pertama oleh ITCOA. Pelatihan yang diberikan kepada pendamping dilakukan dengan dua cara yaitu berupa pemberian teori dan praktek lapang. Tenaga pendamping harus mempunyai pengetahuan dasar tentang teknik-teknik pendampingan dan perawatan lansia (non medis) untuk dapat memberikan pelayanan terhadap lansia antara lain: a. permasalahan yang dihadapi lansia baik mental maupun fisik b. teknik komunikasi c. pengetahuan dasar tentang konseling
d. pengetahuan dasar tentang asuhan keperawatan (non medis) e. metode pekerjaan sosial f. pengetahuan tentang gizi Praktek lapang dilakukan setelah pemberian teori dilakukan. Praktek lapang ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan para pendamping. Pendamping terlebih dahulu magang di tempat-tempat yang menyediakan pelayanan lansia seperti panti jompo lansia. Pelatihan pendamping tahap kedua selanjutnya dilakukan bekerjasama dengan BKBI (Balai Keluarga Berencana Indonesia), BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Tahapan kegiatan penyelenggaraan home care selanjutnya adalah pendataan lansia calon penerima layanan oleh pendamping. Pendataan awal diperoleh sebanyak 520 orang lansia calon penerima layanan. Jumlah tersebut kemudian disesuaikan dengan jumlah pendamping dan keterbatasan pelayanan serta persyaratan lansia peserta, hingga terpilih 60 orang lansia yang terdaftar sebagai lansia peserta. Tahapan
terpenting
dalam
penyelenggaraan
home
care
adalah
implementasi program. Penyelenggaraan pelayanan home care perlu didukung oleh fasilitas dalam bentuk saranan dan prasarana yang memadai. Fasilitas ini perlu
disediakan
untuk
mempermudah
dan
mempercepat
pelayanan.
Berdasarkan surat Lurah Tegal Alur No. 153/I.864 tanggal 5 Agustus 2004, YEL mendapatkan izin penggunaan beberapa ruangan yaitu ruang kantor gedung dan aula kantor kelurahan lama. Tempat tersebut menjadi Pusat Kegiatan Lanjut Usia (PKLU) Kelurahan Tegal Alur. Sarana penunjang yang dilengkapi yaitu pembuatan kamar mandi, penyediaan kursi lipat, meja tulis, white board serta perlengkapan lain yang dibutuhkan sejalan dengan peningkatan pelayanan kepada lansia. Pemeliharaan kebersihan tempat tersebut dilaksanakan oleh pendamping dalam bentuk piket harian di PKLU. Tahapan terakhir dalam penyelenggaraan home care adalah proses monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Monitoring adalah proses pemantauan yang dilakukan secara terarah mengenai proses dan kemajuan pelayanan home care untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelayanan, dilakukan secara berkala setiap minggu. Monitoring dilakukan saat pertemuan rutin seluruh pendamping dengan koordinator lapangan dilakukan secara rutin setiap minggu. Pertemuan tersebut membahas berbagai kendala yang ditemui selama proses pendampingan dan kemajuan pelayanan yang ada.
Evaluasi adalah proses menghitung, mengukur dan menilai proses pelayanan dan hasilnya terhadap pelayanan home care. Tujuannnya adalah teridentifikasinya proses dan hasil pelayanan (keluaran, pencapaian hasil, manfaat dan dampaknya). Evaluasi dilakukan secara bersama-sama antara YEL dengan koordinator lapang serta pendamping. Evaluasi dampak dari pilot project home care pernah dilaksanakan pada tahun 2006, menilai apakah pelayanan memenuhi kebutuhan masyarakat. Responden pada evaluasi dampak ini dipilih secara acak, terdiri dari lansia, keluarga lansia, pendamping, anggota masyarakat, puskesmas, kepala lurah dan kepala RW/RT. Evaluasi dampak ini menilai lima aspek khusus, yaitu mengukur: 1. berapa banyak orang tahu tentang adanya program 2. penerimaan layanan dari sudut pandang budaya 3. tingkat kepuasan pelayanan 4. tingkat pentingnya perawatan rumah yang dilakukan bagi lansia miskin 5. dampak program itu sendiri Hasil evaluasi dampak pilot project home care di Tegal Alur adalah pelayanan yang dilaksanakan YEL memuaskan bagi lansia dan pihak lain yang terlibat
seperti keluarga,
pendamping, masyarakat sekitar
serta aparat
pemerintah. Evaluasi ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh masyarakat yang terlibat dalam pelayanan ini memiliki minat yang sama dalam kesejahteraan lansia dan mendukung semua kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan ini adalah upaya yang diselenggarakan oleh, dari dan untuk masyarakat dengan peran aktif pemerintah daerah. Pelaporan merupakan pendokumentasian pelayanan home care secara teknis maupun administratif yang disusun secara lisan maupun tertulis. Laporan secara lisan biasanya dilakukan saat pertemuan mingguan pendamping dengan koordintator lapang. Kemudian, setiap bulannya pendamping melaporkan secara tertulis kondisi umum lansia peserta kepada koordinator lapang. Koordinator lapang nantinya akan menyusun laporan hasil kinerja secara tertulis kepada pimpinan YEL. Sasaran Pelayanan Home Care Sasaran pelayanan home care ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Sasaran langsung adalah lanjut usia (berusia 60 tahun lebih), miskin, tinggal sendiri, terlantar dan mengalami masalah dengan kesehatan atau aktivitasnya. Lansia yang akan menjadi peserta tidak hanya memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan, tetapi juga harus mendapatkan surat izin dari keluarga lansia atau kepala RW/RT setempat bagi lansia yang tinggal sendiri. Jumlah lansia yang menjadi peserta home care dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Pada awal pelaksanaan, sebanyak 60 lansia terdaftar sebagai peserta home care. Kemudian, pada tahun 2009 jumlah peserta berjumlah 80 orang lansia. Hingga saat ini pelayanan home care di Tegal Alur baru dilakukan di 13 RW dari 16 RW yang ada di kelurahan Tegal Alur dengan jumlah lansia peserta 75 orang. Perubahan jumlah lansia ini disebabkan oleh berubahnya jumlah pendamping serta beberapa lansia yang sudah meninggal. Sasaran tidak langsung pelayanan home care adalah keluarga, masyarakat serta berbagai kelembagaan baik pemerintah maupun organisasi sosial yang peduli terhadap lansia. Keluarga dalam hal ini diharapkan menjadi lebih peduli terhadap lansia. Pendamping memotivasi keluarga lansia untuk merawat lansia seperti yang dilakukan pendamping. Kelembagaan pemerintah maupun organisasi sosial menjadi salah satu pihak penting yang menjadi sasaran pelayanan home care. Hal ini berkaitan dengan proses kerja sama atau kemitraan yang akan dijalin antara YEL dengan kelembagaan tersebut untuk mendukung terlaksananya pelayanan home care. Hingga saat ini berbagai lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah seperti Departemen Sosial (Depsos), walikota, kecamatan, kelurahan, RW/RT serta Puskesmas setempat sudah menjalin kerjasama dengan baik. Selain itu, organisasi-organisasi sosial seperti PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), PMI (Palang
Merah
Indonesia)
dan
PKK
ikut
juga
terlibat
dalam
proses
penyelenggaraan pelayanan home care di Tegal Alur disamping beberapa pihak lain yang tidak ingin nama atau institusinya disebutkan. Jenis Pelayanan Home Care Jenis pelayanan home care yang dilaksanakan di Tegal Alur mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pada awal pendirian tahun 2004, pelayanan dipusatkan
pada
pelayanan
sosial,
pendampingan
lansia
di
rumah.
Pendampingan ini berupa kunjungan yang dilakukan pendamping ke rumah lansia satu kali dalam satu minggu untuk mendengar berbagai cerita atau keluhan yang dialami lansia. Jika lansia tinggal sendiri atau mengalami keterbatasan mobilitas, pendamping membantu lansia melakukan aktivitas keseharian atau kegiatan rumah tangga seperti membersihkan ruangan tempat tinggal lansia.
Tahun 2009, pelayanan yang diberikan tidak hanya pelayanan sosial, akan tetapi juga diberikan pelayanan lainnya. Bentuk pelayanan yang dilaksanakan berupa pelayanan kesehatan. Pendamping bertugas menemani ke puskesmas atau merujuk ke rumah sakit bila lansia perlu dirawat. Pemberian bantuan pun diberikan berupa alat bantu bagi lansia yang membutuhkan antara lain, kursi roda, tongkat, kaca mata. Pelayanan juga ditujukan untuk meningkatkan gizi lansia peserta meskipun sifatnya terbatas, yaitu dengan pemberian sembako (beras, susu, biskuit, mie instan) secara berkala setiap satu bulan satu. Selain itu, diadakan pula kegiatan ramah lansia tingkat RW, senam lanjut usia serta pemberian pinjaman modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Kegiatan ramah lansia tingkat RW dilakukan satu kali dalam satu bulan. Kegiatan rutin yang dilakukan pada kegiatan ramah lansia adalah pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan oleh dokter yang diutus dari puskesmas, sedangkan untuk kegiatan tambahan seperti pemberian keterampilan beragam setiap bulannya tergantung kepada pendamping. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan adalah pemeriksaan umum seperti tekanan darah dan penimbangan berat badan. Apabila hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa lansia sakit atau lansia menyatakan berbagai keluhan yang dialaminya, dokter akan memberikan obat secara gratis kepada seluruh lansia yang mengikuti pemeriksaan tersebut. Bahkan jika pemeriksaan dianggap cukup parah, dokter akan memberikan surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke puskesmas atau rumah sakit daerah. Senam lansia dilakukan setiap satu kali dalam satu minggu. Senam lansia dipimpin oleh seorang instruktur senam yang juga pendamping home care. Pemberian pinjaman modal UEP diberikan pada lansia yang masih produktif atau keluarga lansia sejumlah Rp 500.000,00. Pemberian modal UEP kepada keluarga lansia dengan harapan keuntungan dari usaha yang dijalankan dapat membantu lansia. Jenis usaha yang dijalankan sebagian besar berada pada lingkup usaha makanan. Tidak ada mekanisme ketat yang mengatur sistem pengembalian pinjaman modal UEP. Lansia atau keluarga lansia dapat mengembalikan pinjaman sesuai kemampuan lansia membayar baik dari segi besarnya uang yang dibayarkan maupun waktu pengembalian. Tahun 2010, YEL atas dukungan PT Sido Muncul dalam rangka Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) telah memberikan bantuan perbaikan kamar lansia kepada 10 orang lansia peserta home care. Sebanyak 14 orang lansia
mendapatkan bantuan program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos berupa uang sejumlah Rp 300.000,00 per bulan. Pendamping Home Care Pelayanan home care didampingi oleh para pendamping yang ditunjuk dan memenuhi syarat untuk membantu para lansia. Kriteria para pendamping ini diantaranya, berbadan sehat, tinggal di wilayah pelayanan, usia 21-55 tahun, pendidikan minimal SD, telah memiliki pengalaman melayani atau merawat lansia, dan mempunyai motivasi untuk merawat lansia. Selain itu, kriteria yang harus dipenuhi adalah telah lolos dalam seleksi baik secara lisan (wawancara) maupun tulisan yang kemudian bersedia mengikuti pelatihan secara penuh dan bersedia menjadi pendamping selama satu tahun dengan mengunjungi lansia minimal satu jam sekali seminggu. Tugas pendamping adalah melakukan penelaahan serta pengungkapan masalah dan kebutuhan, menghubungkan lansia dengan sumber pelayanan dan mendampingi lansia dalam kegiatan lansia yang secara terprogram dibuat oleh YEL. Informasi yang perlu diketahui oleh pendamping adalah berbagai permasalahan dan kebutuhan lanjut usia baik fisik, psikososial maupun mental spriritual yang kemudian dilaporkan dalam bentuk jurnal setiap minggunya. Dalam rangka perbaikan pelayanan kepada lansia, YEL juga melakukan perbaikan pelayanan bagi pendamping. Pendamping secara bergantian diberikan kesempatan memperoleh pelatihan yang diselenggarakan oleh Depsos, Depkes RI. Studi banding juga dilakukan ke Sukabumi, tempat yang menyelenggarakan home care. Selain itu, beberapa kegiatan yang ditujukan bagi lansia seperti kegiatan senam lansia dan pemberian bantuan modal usaha (UEP) juga diberikan bagi pendamping. Pekerjaan sebagai pendamping home care merupakan pekerjaan sosial tanpa bayaran apapun. Pendamping yang sebagian besar berasal dari kader, PKK atau PSM mendapat kartu berobat gratis dari kelurahan untuk 17 rumah sakit DKI Jakarta. Selain itu, sebagai penghargaan kepada pendamping, YEL biasanya memberikan tunjangan hari raya (THR) setiap tahunnya. Tunjangan ini bukan berupa uang, tetap biasanya berupa makanan, pakaian, rompi, kerudung atau sajadah yang tiap tahunnya diberikan berbeda. Jumlah pendamping dari awal pelaksanaan home care sampai sekarang mengalami perubahan. Pada awal pendirian terdapat 40 orang pendamping yang berasal dari kader, PKK, PMI, PSM. Kemudian pada tahun berikutnya, beberapa
pendamping dari PMI mengundurkan diri dengan alasan jarak atau transportasi yang jauh. Pada tahun 2008, jumlah pendamping hanya 22 orang kemudian bertambah menjadi 30 orang pada tahun 2009. Pada saat penelitian dilaksanakan, tahun 2010, jumlah pendamping terdaftar sebanyak 35 orang. Terdapat
beberapa
alasan
yang
mendasari
pengunduran
diri
seorang
pendamping, antara lain dengan alasan sakit-sakitan, pindah domisili, meninggal atau karena alasan transportasi yang dirasa jauh. Satu pendamping bertugas mendampingi dua orang lansia, tetapi saat ini dikarenakan jumlah pendamping berkurang maka terdapat beberapa pendamping yang mendampingi lebih dari dua lansia. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pendamping mengenai motivasi, kendala pendampingan serta persepsi mengenai kegiatan yang telah dilakukan YEL, diperoleh pendapat yang hampir serupa. Seluruh pendamping menyebutkan bahwa motivasi mereka untuk menjadi pendamping adalah untuk membantu sesama, terutama lansia. Pendamping merasa tergerak hati nuraninya untuk menolong lansia yang berada di daerahnya karena mereka merasa senang jika bisa berbagai kebahagiaan dengan para lansia. Selama proses pendampingan, para pendamping merasa tidak ada hambatan. Respon yang diterima pendamping baik dari lansia maupun dari keluarga lansia cukup baik karena mereka merasa senang ada yang memperhatikan dan mendukung mereka. Persepsi para pendamping terhadap pelayanan yang telah dilaksanakan oleh YEL cukup bagus. Para pendamping berharap kedepannya kegiatan pelayanan home care dapat berlangsung secara kontinu dan lebih ditingkatkan pelayanannya. Penyelenggaraan home care ini mengalami berbagai kendala. Kendala yang dihadapi antara lain transportasi pendamping belum ada, jumlah pendamping yang terbatas sedangkan jumlah lansia yang memerlukan pendampingan masih banyak, serta hambatan dalam hal dana. Peserta dan Bukan Peserta Home Care Selama proses penyelenggraan home care di Tegal Alur, berbagai pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL ternyata tidak hanya menjangkau lansia peserta tetapi juga menjangkau lansia bukan peserta home care. Beberapa pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL dapat diikuti baik oleh lansia peserta maupun bukan lansia peserta home care. Tabel di bawah
menunjukkan perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care: Tabel 4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care Jenis Pelayanan Pelayanan kunjungan dari pendamping 1x/minggu Pemeriksaan kesehatan 1x/bln Kegiatan ramah lansia (pelatihan kerajinan tangan) Pengobatan gratis ke puskesmas Pemberian modal UEP Perbaikan kamar lansia Pemberian JSLU dari Depsos Pemberian sembako 1x/bulan Senam lansia 1x/minggu Keterangan: “√”: ya, “−“: tidak
Peserta √ √ √ √ √ √ √ √ √
Home care Bukan peserta − √ √ √ − − √ − √
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pelayanan kesehatan 1x/bulan, kegiatan ramah lansia, pengobatan gratis ke Puskesmas, pemberian JSLU dari Depsos dan senam lansia 1x/minggu dapat diperoleh baik oleh lansia peserta maupun bukan peserta home care. Pengajuan JSLU yang dilakukan oleh pendamping tidak hanya ditujukan bagi lansia peserta home care. Lansia yang miskin, sakit-sakitan, sudah tidak berdaya serta mendapatkan makanan dari pemberian orang lain, menjadi sasaran utama calon penerima bantuan JSLU meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care. Pelayanan kunjungan pendamping 1x/minggu, pemberian modal UEP, perbaikan kamar lansia, dan pemberian sembako 1x/bulan hanya diperoleh oleh lansia peserta home care. Hal ini dikarenakan keterbatasan pendamping dan dana untuk bisa menjangkau seluruh lansia yang ada di Tegal Alur. Meskipun demikian, hal ini tetap menunjukkan bentuk kepedulian YEL terhadap lansia, meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care meningat kondisi lansia yang secara psikologis mudah merasa iri atau tersinggung jika ada lansia lain yang mendapatkan perhatian lebih. Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain Penyelenggaraan home care di Indonesia, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah Korea (HelpAge Korea) dengan negara ASEAN untuk mengembangkan home care sehingga model pelayanan yang diberikan didisain sesuai dengan yang diselenggarakan di Korea dan tetap disesuaikan dengan kebutuhan lokal, sumbedaya yang ada, dan budaya masing-masing negara. Model home care yang berhasil dilakasanakan di Korea adalah volunteer based home care (Volunteer-based home help services)
sehingga HelpAge Korea diminta untuk mengembangkan model tersebut di ASEAN. Penyelenggaraan home care di Korean dimulai pada tahun 1982, diselenggarakan oleh NGO (non-goverenment organization) HelpAge Korea dengan bantuan dana dari HelpAge Internasional, ditujukan untuk mendukung lansia miskin dan membutuhkan dukungan. Pertama kali dilakukan dengan memperkenalkan pendamping (relawan) untuk mengurus lansia yang mengalami imobilitas, berpendapatan rendah, dan dapat melakukan beberapa perawatan pribadi sendiri. Home care ditujukan bagi lansia miskin, rentan, dan terisolasi agar bisa hidup mandiri di masyarakat. Pelayanan yang diberikan berupa bantuan untuk pekerjaan rumah tangga, perawatan pribadi, pertemanan dan menjalankan tugas-tugas lainnya. Pemerintah Korea sendiri baru mengadopsi home care menjadi kebijakan nasional pada tahun 1989 dan kemudian dikembangkan secara nasional dengan bantuan NGO. Penyelenggaraa home care di negara ASEAN adalah NGO yang peduli dengan lansia, baik didanai ataupun tidak oleh pemerintah. Tujuan utama home care adalah untuk membantu lansia yang rentan untuk terus bisa hidup di keluarga dan masyarakat, baik secara mandiri atau bersama dengan keluarga mereka. Populasi yang menjadi sasaran home care adalah lansia miskin, yang sering tinggal sendiri, memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian, membutuhkan dukungan yang tidak didapat dari keluarga. Pelayanan diberikan di rumah lansia dengan minimal kunjungan 1 kali dalam 1 minggu. Pendamping bekerja secara sukarela. Pelayanan mendasar yang diberikan adalah berupa pertemanan untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial, yang berarti meluangkan waktu untuk bercerita dengan lansia yang kesepian dan membutuhkan dukungan emosional. Di luar itu, jenis pelayanan bersifat fleksibel, biasanya berupa bantuan pekerjaan rumah tangga, perawatan diri, atau mengantar lansia ke tempat penting (dokter, acara sosial, rumah ibadah). Model penyelenggraan home care yang dikembangkan adalah volunteer based home care yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi kemudian menghasilkan tiga model utama: 1)
Volunteer based home care model, penyelenggara home care menyediakan pelayanan di rumah secara teratur bagi lansia miskin dan memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian, pendamping dipilih dari masyarakat sekitar. Model ini dikembangkan
di negara Brunei, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. 2)
Volunteer & older peoples association (OPA) based home care model, penyelenggara home care bekerja sama dengan asosiasi lansia di masyarakat memberikan pelayanan sukarela. Model ini dikembangkan di negara Kamboja dan Filipina.
3)
Family
caregiver
support
model,
penyelenggara
home
care
menyediakan pelatihan bagi anggota keluarga atau orang lain yang tinggal bersama lansia di masyarakat untuk merawat lansia. Model ini dikembangkan di negara Laos. Secara garis besar dampak dari penyelenggaraan home care di negara ASEAN mencakup berbagai pihak, 1) Lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi terisolasi di masyarakat dan berterima kasih kepada pendamping yang selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi mereka dan memungkinkan mereka untuk tetap tinggal di rumah selama mungkin, 2) Keluarga menjadi lebih peduli kepada lansia dan mengapresiasi keberadaan pendamping karena dapat menutupi kurangnya perhatian dari keluarga, 3) Pendamping merasa puas dengan peran mereka dan merasa bangga dengan keikutsertaan mereka karena mendapat tanggapan positif dari keluarga sehingga mereka termotivasi untuk melanjutkan sebagai pendamping, 4) Masyarakat menjadi sadar bahwa masih banyak lansia miskin dan terlantar sehingga memotivasi mereka untuk lebih perhatian terhadap kebutuhan dan perubahan yang terjadi pada lansia, 5) Pemerintah menyadari bahwa home care telah memenuhi kebutuhan lansia yang ingin tinggal di masyarakat, terbukti hemat biaya dibandingkan dengan sistem pelayanan institusi lain serta sesuai dengan tradisi dan budaya masing-masing. Program home care yang telah diperluas ke provinsi lain oleh NGO dengan bantuan pemerintah baik secara teknis maupun pendanaan diselenggarakan di 4 negara, yaitu indonesia, Myanmar, Filipina dan Vietnam. Karakteristik Lansia Usia Contoh pada penelitian ini adalah lanjut usia, pria dan wanita yang berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. Jumlah keseluruhan contoh adalah 60 orang lansia yang diambil dari peserta dan bukan peserta home care di Kelurahan Tegal Alur masing-masing sebanyak 30 orang.
Tabel 5 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut usia Karakteristik Lansia Lanjut usia (60-74 tahun) Lanjut usia tua (75-90 tahun) Total
Peserta n % 23 76,7 7 23,3 30 100
Home care Bukan n % 25 83,3 5 16,7 30 100
Total n 48 12 60
% 80 20 100
Usia peserta home care berkisar antara 63-84 tahun dengan rata-rata 71,03 tahun dan standar deviasi 4,94 tahun, sedangkan usia bukan peserta home care berkisar antara 62-84 tahun dengan rata-rata 68,9 tahun dan standar deviasi 5,74 tahun. Lebih dari separuh peserta home care (66,7%) dan bukan peserta home care (83,3%) berada pada kelompok usia lanjut usia yaitu antara 60-74 tahun (WHO diacu dalam Komnas Lansia 2008). Jenis Kelamin Sebagian besar lansia peserta (83,3%) dan bukan peserta home care (90%) berjenis kelamin wanita. Lebih lanjut Abikusno (2007) menyebutkan bahwa wanita merupakan mayoritas populasi lansia, di sebagian besar negara, dan bahkan mayoritas terbesar pada populasi lanjut usia tua. Usia harapan hidup wanita pada tahun 2010 mencapai 70,5 tahun dibanding pria yang hanya 66,9 tahun. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun berikutnya. Tabel 7 menunjukkan sebaran lansia menurut jenis kelamin: Tabel 6 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis kelamin Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Total
Peserta n % 25 83,3 5 16,7 30 100
Home care Bukan peserta n % 27 90 3 10 30 100
Total n 52 8 60
% 86,7 13,3 100
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh lansia pada kedua kelompok cukup bervariasi, mulai dari lansia yang tidak pernah sekolah sampai dengan lansia yang pernah mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)/ sederajat (Tabel 7). Berdasarkan hasil penelitian, lansia yang tidak pernah sekolah memiliki persentase terbesar yaitu 56,7 persen pada peserta home care dan 40 persen pada lansia bukan peserta home care. Baik pada peserta maupun bukan peserta home care, lansia tidak menamatkan jenjang Sekolah Dasarnya (SD) menempati urutan kedua persentase tertinggi yaitu 30 persen peserta home care dan 33,3 persen lansia bukan peserta home care.
Tabel 7 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut tingkat pendidikan Tingkat pendidikan
Home Care Bukan n % 12 40,0 10 33,3 5 16,7 1 3,3 2 6,7 30 100
Peserta n % 17 56,7 9 30,0 3 10,0 0 0,0 1 3,3 30 100
Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Total
Total n 29 19 8 1 3 60
% 48,3 31,7 13,3 1,7 5,0 100
Lansia menyebutkan bahwa alasan mereka tidak pernah bersekolah atau tidak menamatkan SD karena mereka lahir dan mengalami masa kanak-kanak pada masa kolonial dan awal kemerdekaan RI. Selain jumlah sekolah yang masih terbatas, akses untuk menuju sekolah dirasa sulit. Hal ini sejalan dengan hasil Susenas 2008 yang menunjukkan persenyase penduduk lansia yang berpendidikan rendah relatif tinggi. Lansia yang tidak atau belum pernah sekolah mencapai 33,98 persen dan 33,95 persen lansia tidak menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Keterbatasan fasilitas, sarana dan prasarana akibat sisa-sisa penjajahan pada masa kemerdekaan menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan lansia (BPS 2008). Pekerjaan Baik pada peserta maupun bukan peserta home care, kecenderungan lansia tidak bekerja cukup besar, lansia peserta home care (90%) lebih banyak yang tidak bekerja dibandingkan bukan peserta home care (76,7%). Tabel 8 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut pekerjaan
Petani Buruh Wiraswasta Tidak Bekerja Lainnya
Peserta n % 0 0,0 1 3,3 1 3,3 27 90,0 1 3,3
Home care Bukan n % 1 3,3 5 16,7 0 0,0 23 76,7 1 3,3
n 1 6 1 50 2
% 1,7 10,0 1,7 83,3 3,3
Total
30
30
60
100
Pekerjaan
100
100
Total
Kondisi ini selain terkait masalah usia, juga diduga dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan lansia. Secara umum lansia akan mengalami penurunan produktivitas kerja seiring menurunnya kondisi fisik (Komnas Lansia 2008). Persentase lansia bekerja pada lansia bukan peserta home care (23,3%) lebih tinggi dibandingkan peserta home care (10%). Lansia peserta home care bekerja sebagai buruh,
wiraswasta dan lainnya, sedangkan lansia bukan peserta home care bekerja sebagai petani, buruh dan lainnya. Alasan penduduk lansia untuk bekerja antara lain disebabkan oleh jaminan sosial dan kesehatan yang masih kurang, disamping desakan ekonomi. Sumber Pendapatan Sumber pendapatan merupakan asal biaya utama yang secara rutin digunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti makan, pakaian dan tempat tinggal, tidak selalu berupa uang. Tabel 9 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut sumber pendapatan Sumber Pendapatan Sosial Anak Cucu Sendiri Pensiunan Lainnya (saudara lain/ tetangga) Total
Peserta n % 2 6,7 17 56,7 2 6,7 3 10,0 3 10,0 3 10,0 30 100
Home care Bukan n % 0 0,0 18 60,0 0 0,0 7 23,3 3 10,0 2 6,7 30 100
Total n 2 35 2 10 6 5 60
% 3,3 58,3 3,3 16,7 10,0 8,3 100
Dilihat dari sumber pendapatan secara total yang diterima baik oleh lansia peserta maupun bukan peserta home care, bantuan yang berasal dari anak menduduki persentase paling tinggi yaitu 56,7 persen (peserta home care) dan 60 persen (bukan peserta home care). Berdasarakan hasil wawancara, bantuan yang diberikan sebagian besar berupa makanan, disamping pakaian, tempat tinggal serta pengobatan. Makanan untuk lansia sudah disediakan oleh anaknya baik berupa bahan mentah maupun makanan yang siap saji. Peringkat kedua sumber pendapatan pada lansia peserta home care berasal dari sendiri (10%), pensiunan (10%) dan lainnya (10%). Pada lansia bukan peserta home care peringkat kedua sumber pendapatan adalah sendiri (23,3%), artinya pada lansia bukan peserta home care lebih banyak yang masih bekerja untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Status Pernikahan Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar lansia baik peserta maupun bukan peserta home care berstatus cerai mati. Persentase lansia berstatus cerai mati pada peserta home care (80%) lebih tinggi dibandingkan pada lansia bukan peserta home care (73,3%). Lansia bukan peserta home care (26,7%) lebih banyak yang masih menikah dibandingkan lansia peserta home care (20%).
Tabel 10 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut status pernikahan Status pernikahan Menikah Cerai Mati Total
Peserta n % 6 20 24 80 30 100
Home care Bukan n % 8 26,7 22 73,3 100 100
Total n 14 46 60
% 3,3 76,7 100
Living Arrangement Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan pendamping (caregiver). Lansia yang tinggal sendiri lebih banyak yang miskin dibandingkan mereka yang tinggal bersama. Living arrangement dikelompokkan menjadi dua, yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (anak, cucu ataupun keluarga lain). Pada penelitian ini, lansia yang tinggal sendiri memiliki dua kemungkinan, pertama lansia memang tidak memiliki kerabat sehingga tinggal sendiri, kedua lansia yang masih memilki kerabat namun memilih untuk tinggal sendiri dengan berbagai alasan. Tabel 11 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut living arrangement Living arrangement Tinggal sendiri Tinggal bersama Total
Peserta n % 3 10 27 90 30 100
Home care Bukan n % 4 13,3 26 86,7 30 100
Total n 7 53 60
% 11,7 88,3 100
Sebagian besar peserta home care (90%) dan bukan peserta home care (86,7%) berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih banyak tinggal bersama dengan anak beserta cucu dalam satu rumah. Bagi lansia yang masih berstatus menikah, selain tinggal bersama anak-cucu, juga tinggal dengan pasangan hidupnya dalam satu rumah. Sebagian kecil peserta home care (10%) dan bukan peserta home care (13,3%) berstatus tinggal sendiri. Hasil wawancara mendalam menyebutkan, kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah membangun keluarga baru sehingga meninggalkan orang tua. Meskipun anakanaknya mengajak untuk tinggal bersama, tetapi lansia menolak karena merasa akan menjadi beban. Komnas Lansia (2008) menyebutkan lebih lanjut bahwa terdapat pergeseran struktur keluarga mengarah menjadi keluarga inti. Kondisi ini
sangat berpengaruh terhadap lansia karena perhatian pada lansia berkurang dan di sisi lain membuat lansia beranggapan kehadirannya tidak berguna dan hanya menjadi beban anak. Konsumsi Pangan Frekuensi, Jumlah, dan Jenis Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Konsumsi pangan dikelompokkan menjadi pangan sumber karbohidrat, sumber protein hewani, sumber protein nabati, sayur-mayur, buah-buahan serta pangan lainnya. Pangan yang disajikan di bawah merupakan pangan yang dikonsumsi oleh minimal 10 persen lansia (lampiran 1). Pangan Sumber Karbohidrat. Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi penduduk di dunia karena banyak di dapat dari alam dan harganya relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 Kal. Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacang-kacang kering dan gula. Hasil olahan seperti bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai, sirup juga merupakan pangan sumber karbohidrat (Almatsier 2004). Tabel 12 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Peserta dan Bukan Peserta Home Care Sumber Karbohidrat Frekuensi Konsumsi (kali/minggu): Nasi Biskuit/krakers Ubi dan hasil olahan Roti Singkong dan hasil olahan Mie Kentang dan hasil olahan Total Jumlah konsumsi (g/hari): Nasi Singkong dan hasil olahan Ubi dan hasil olahan Roti Biskuit/krakers Mie Kentang dan hasil olahan
Home care Peserta Bukan Rata-rata SD Rata-rata SD 16,33 2,31 2,07 2,02 1,53 0,98 0,00 25,25
3,83 2,06 3,49 1,87 1,81 0,83 0,00
17,73 4,53 1,12 3,01 2,94 2,42 2,54 34,29
4,77 4,68 1,01 2,73 3,93 2,58 3,09
375,0 25,4 17,5 15,9 12,7 12,0 0,0
105,7 23,7 25,2 11,8 12,6 12,2 0,0
386,7 56,5 10,7 23,0 22,4 12,7 12,9
107,4 100,6 10,8 21,8 19,2 15,1 14,5
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa frekuensi konsumsi nasi pada lansia peserta dan bukan peserta home care adalah 16,3 dan 17,7 kali per
minggu atau 2,33 dan 2,53 kali per hari. Secara kuantitatif, rata-rata konsumsi nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari). Hal ini menunjukkan bahwa nasi masih merupakan makanan pokok sebagian besar lansia yang diteliti. Berat yang dikonsumsi ini sudah cukup memenuhi Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Menurut PUGS, dalam sehari konsumsi nasi/pengganti bagi lansia yaitu 1 ½ - 2 piring dalam sehari atau setara 300-400 gram nasi dalam sehari. Selain nasi, sumber karbohidrat lain seperti kentang, singkong, ubi jalar serta hasil olahan tepung (mie dan biskuit) dikonsumsi 0,98-4,5 kali per minggu (Tabel 13). Meskipun pangan-pangan tersebut dapat dijadikan alternatif pangan sumber karbohidrat, bagi masyarakat Indonesia secara umum, makanan tersebut tidak dijadikan sebagai sumber energi utama. Protein hewani. Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang penting dalam makanan sebagai sumber asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis protein tubuh dan senyawa lain yang mengandung protein (Gibson 2005). Protein menurut sumbernya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu protein hewani (berasal dari hewan) dan protein nabati (berasal dari tumbuhan). Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier 2004). Tabel 13 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani Peserta dan Bukan Peserta Home Care Protein hewani Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Ikan basah Telur Susu Daging ayam Ikan diawetkan Daging sapi Udang dan hewan air lainnya segar Total Jumlah konsumsi (g/hari): Telur Ikan basah Susu Daging ayam Ikan diawetkan Daging sapi Udang dan hewan air lainnya segar
Home care Peserta Bukan Rata-rata SD Rata-rata SD 4,37 3,52 2,89 1,76 1,20 0,57 0,40 14,70
5,40 2,20 2,29 1,85 2,06 0,49 0,16
4,72 3,35 5,83 2,63 2,72 1,07 0,95 21,26
4,52 2,27 2,17 2,26 2,21 2,15 0,77
27,4 22,2 17,7 8,8 5,7 4,2 2,6
15,4 20,9 11,0 8,2 8,2 3,5 1,2
26,7 26,4 29,6 12,8 7,1 8,9 2,7
15,2 28,3 11,4 11,0 4,2 15,2 1,3
Pangan sumber protein yang paling sering dikonsumsi pada lansia peserta home care secara berurutan adalah ikan basah, telur dan susu dengan rata-rata frekuensi masing-masing 4,37; 3,52 dan 2,89 kali per minggu, sedangkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, ikan basah dan telur dengan rata-rata frekuensi masing-masing 5,83; 4,72 dan 3,35 kali per minggu. Hal ini menandakan bahwa pada kedua kelompok, protein hewani hanya dikonsumsi mingguan bahkan untuk daging serta udang dan hewan air lainnya dikonsumsi kurang dari satu kali seminggu. Bahan pangan sumber protein hewani yang jumlahnya paling banyak dikonsumsi lansia peserta home care secara berurutan adalah telur, ikan basah dan susu dengan jumlah konsumsi masing-masing 27,4; 22,2 dan 17,7 gram per hari sedangkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, telur dan ikan basah dengan jumlah konsumsi masing-masing 29,6; 26,7 dan 26,4 gram per hari. Menurut PUGS, konsumsi protein hewani 2 potong atau setara 100 gram daging sapi perhari. Jika berat pangan dikalikan dengan frekuensi pangan per minggu, kemudian dikonversikan dalam satuan hari maka akan kurang dari anjuran PUGS. Protein nabati. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang memiliki mutu atau nilai biologi tertinggi (Almatsier 2004). Meskipun kacang-kacangan memiliki memiliki kekurangan dalam beberapa asam amino, akan tetapi campuran makanan nabati jika dikonsumsi bersamaan maka dapat berfungsi sebagai pengganti protein hewani (Latham 1997). Tabel 14 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati Peserta dan Bukan Peserta Home Care Protein nabati Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Tahu Tempe Kacang-kacangan lain Oncom Total Jumlah konsumsi (g/hr): Tahu Tempe Kacang-kacangan lain Oncom
Home care Peserta Bukan Rata-rata SD Rata-rata SD 7,82 7,81 2,36 0,00 17,99
4,02 4,25 2,47 0,00
10,65 11,57 1,54 3,54 27,29
5,26 5,21 2,04 6,64
69,2 39,5 8,4 0,0
30,0 21,2 8,5 0,0
74,1 51,6 7,6 3,5
33,8 29,7 8,1 3,6
Berdasarkan Tabel 14, konsumsi pangan sumber protein nabati relatif sama. Pangan olahan kacang kedelai, tahu dan tempe, merupakan pangan yang paling sering dikonsumsi. Lansia peserta home care mengonsumsi tahu dan tempe masing-masing 7,82 dan 7,81 kali per minggu atau 1,12 kali per hari, sedangkan lansia bukan peserta home care mengonsumsi masing-masing 10,65 dan 11,57 kali per minggu atau 1,52 dan 1,65 kali per hari. Hal ini menunjukkan bahwa tahu dan tempe merupakan sumber protein utama pada lansia peserta dan bukan peserta home care. Secara kuantitatif, lansia bukan peserta home care mengonsumsi tahu (74,1 g/hr) dan tempe (51,6 g/hr) lebih banyak dibandingkan lansia peserta yaitu 69,2 g/hr (tahu) dan 39,5 g/hr (tempe). Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumaratna (2008) yang menunjukkan bahwa asupan protein utama pada lansia berasal dari protein nabati, seperti produk olahan kacang kedelai (tahu dan tempe). Menurut PUGS, konsumsi protein nabati adalah 3 potong sehari atau setara dengan 150 gram tempe. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata jumlah protein nabati yang dikonsumsi sudah memenuhi anjuran PUGS. Hal ini dikarena beberapa lansia mengurangi konsumsi protein hewani dan menggantinya dengan protein nabati dengan berbagai alasan baik karena kurang ekonomi maupun alasan kesehatan. Sayur-mayur. Sayur-mayur dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu, sayuran berdaun hijau, sayuran buah dan sayuran lain. Sayuran berdaun hijau yang dikonsumsi oleh lansia yaitu bayam, kangkung, sawi, daun ketela pohon, daun lompong talas, daun katuk, genjer dan daun kecipir. Sayuran buah meliputi wortel, mentimun, terong, leunca, jengkol, labu, nangka serta tomat. Sayuran lain meliputi sayur olahan dan sayuran lain yang tidak termasuk dalam kedua kelompok sebelumnya. Tabel 15 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Sayur-mayur Peserta dan Bukan Peserta Home Care Sayur-mayur Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Sayur lain Sayur daun hijau Sayur buah/akar Total Jumlah konsumsi (g/hr): Sayur lain Sayur daun hijau Sayur buah
Home care Peserta Bukan Rata-rata SD Rata-rata SD 5,33 5,14 3,51 13,97
4,61 4,66 3,94
4,64 5,46 4,47 14,57
4,87 3,97 6,34
47,8 43,6 29,1
32,9 37,4 28,0
37,6 45,1 29,6
22,8 41,2 34,8
Tabel 15 menunjukkan data mengenai konsumsi sayur-mayur, tampak bahwa lansia peserta home care mengonsumsi sayur lain (5,33 kali/minggu) lebih sering dibandingkan kelompok sayur berdaun hijau (5,14 kali/minggu) dan sayur buah (3,51 kali/minggu). Lansia bukan peserta home care mengonsumsi sayuran berdaun hijau (5,46 kali/minggu) lebih sering dibandingkan sayur buah (4,47 kali/minggu) dan sayur lain (4,64 kali/minggu). Secara kuantitatif, lansia peserta home care mengonsumsi sayur lain (47,8 g/hari) lebih banyak dibandingkan sayur berdaun hijau dan sayur buah, sedangkan lansia bukan peserta home care mengonsumsi sayur berdaun hijau (45,1 g/hr) lebih banyak dibandingkan sayur lain dan sayur buah. Baik secara frekuensi dan kuantitatif, lansia bukan peserta home care mengonsumsi lebih banyak sayur dibandingkan lansia peserta home care. Jika berat sayuran yang dimakan dikali dengan frekuensi makan dalam satu minggu kemudian dikonversikan dalam hari maka sudah memenuhi yang dianjurkan di dalam PUGS yaitu sekitar 1-2 mangkok sayur atau setara 100-200 gram sayur per hari. Buah-buahan. Nilai gizi utama yang terkandung dalam buah adalah vitamin C dan beberapa karoten (Latham 1997). Konsumsi buah dianjurkan untuk memenuhi makanan lengkap dan seimbang. Tabel 16 menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan relatif rendah. Buah yang paling sering dikonsumsi lansia peserta dan bukan peserta home care adalah salak, masing-masing 1,78 kali per minggu dan 2,94 kali per minggu. Jenis buah yang paling banyak dikonsumsi oleh peserta home care adalah mangga (28,3 g/hari), sedangkan buah yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia bukan peserta home care adalah pepaya (42,7 g/hari). Mangga dan pepaya memiliki berat per porsi yang lebih besar dibandingkan salak per porsi sehingga secara kuantitatif mangga dan pepaya dikonsumsi lebih banyak pada kedua kelompok, sedangkan buah yang paling sering dikonsumsi adalah salak. Menurut PUGS, konsumsi buah yang dianjurkan adalah 3 porsi atau setara 300 gram pepaya sehari. Rata-rata berat yang dimakan masih sangat rendah dibawah yang dianjurkan. Jika dilihat dari total rata-rata frekuensi konsumsi buah, buah dikonsumsi hanya satu kali per hari.
Tabel 16 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Buah-buahan Peserta dan Bukan Peserta Home Care Buah-buahan Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Salak Jeruk Semangka Melon Pepaya Pisang ambon Pisang lampung Mangga Apel Pir Anggur Pisang raja Jambu air Total Jumlah Konsumsi (g/hari): Mangga Pisang lampung Pisang ambon Pepaya Salak Semangka Pir Jeruk Melon Apel Anggur Pisang raja Jambu air
Home care Peserta Bukan Rata-rata SD Rata-rata SD 1,78 1,71 1,67 1,51 1,33 1,29 1,13 0,91 0,56 0,35 0,22 0,00 0,00 12,45
2,94 2,66 1,98 1,62 1,75 2,05 2,13 1,18 0,39 0,16 0,23 0,00 0,00
0,47 1,59 1,80 1,27 2,80 1,81 1,59 0,66 0,77 0,00 0,00 0,30 0,89 13,96
0,44 2,20 1,36 1,17 3,66 1,93 1,13 0,72 0,74 0,00 0,00 0,16 0,94
28,3 24,0 21,3 20,4 14,1 13,6 12,3 12,0 11,1 8,9 6,6 0,0 0,0
38,7 34,8 49,4 24,6 20,4 9,7 8,7 18,0 9,0 6,4 11,0 0,0 0,0
16,3 20,1 20,6 42,7 4,1 26,2 0,0 17,3 13,0 14,8 0,0 5,4 11,9
15,3 16,8 28,7 52,0 2,7 19,3 0,0 22,3 6,1 14,1 0,0 3,6 12,0
Selain itu, buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia pada kedua kelompok adalah pisang dan jeruk. Hal ini diduga buah-buahan tersebut selain mudah diperoleh karena dapat tumbuh sepanjang waktu, juga mudah dikunyah karena tekstur buah lunak. Pangan lainnya. Selain konsumsi pangan sebagai menu utama, terdapat beberapa pangan yang juga dikonsumsi sebagai makanan selingan. Tabel 17 menunjukkan bahwa jenis pangan yang sering dikonsumsi oleh lansia peserta home care adalah kopi dengan rata-rata konsumsi 10,89 kali per minggu atau 1,56 kali per hari, sedangkan lansia bukan peserta home care lebih sering mengonsumsi bakwan dengan rata-rata konsumsi 8,79 kali per minggu atau 1,26 kali per hari. Selain kopi dan bakwan, teh manis dan pisang goreng hampir dikonsumsi setiap hari oleh lansia pada kedua kelompok (Tabel 17). Kopi memiliki nilai gizi yang rendah tanpa penambahan susu atau gula, akan tetapi kopi disukai karena
rasa dan efek stimulan yang ditimbulkan. Kafein yang terkandung di dalam kopi menjadi penyebab utama stimulasi pada sistem syaraf pusat . Sama halnya dengan kopi, teh mengandung kafein yang cukup tinggi. Meskipun kafein tidak menyebabkan
keracunan,
pada
beberapa
orang,
efek
kafein
dapat
menyebabkan sulit tidur, perasaan gelisah, nadi yang tidak teratur dan tremor otot (Wiseman 2002). Tabel 17 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Lainnya Peserta dan Bukan Peserta Home Care Pangan lainnya Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Kopi Bakwan Teh manis Pisang goreng Kue-kue tradisional Mie bakso Jumlah konsumsi (g/hari): Bakwan Pisang goreng Kopi Teh manis Kue-kue tradisional Mie bakso Keterangan: *)penggunaan gula
Home care Peserta Bukan Rata-rata SD Rata-rata SD 10,89 9,80 7,00 5,24 2,53 0,60
5,09 3,83 0,00 4,89 3,02 0,44
6,35 8,79 6,70 6,06 2,61 0,87
1,94 5,18 0,95 3,46 2,76 1,00
72,0 57,7 44,3 23,6 20,0 13,0
27,4 51,4 19,2 3,3 24,9 9,4
67,9 64,8 25,8 1,3 22,6 19,1
34,1 41,4 8,9 0,9 21,8 27,7
Secara kuantitatif, pada lansia peserta dan bukan peserta home care pangan yang paling banyak dikonsumsi adalah bakwan, dimana jumlah konsumsi lansia peserta (72 g/hr) lebih banyak dibanding lansia bukan peserta home care (67,9 g/hari). Bakwan memiliki berat per porsi yang lebih tinggi dibanding kopi sehingga secara kuantitatif bakwan dikonsumsi lebih banyak, sedangkan pangan yang dikonsumsi paling sering adalah kopi. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Konsumsi zat gizi diperoleh dari konversi jumlah konsumsi pangan per hari. Konsumsi zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C. Rata-rata konsumsi zat gizi ini kemudian akan dibandingkan dengan AKG yang dianjurkan bagi lansia untuk melihat tingkat kecukupannya (Lampiran 2).
Tabel 18 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care No 1 2 3 4 5 6
Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Home care (rata-rata ± sd) Asupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Gizi (%) Peserta Bukan Peserta Bukan 1478 ± 329,42 1605 ± 306,15 87,5 ± 17,68 95,9 ± 18,83 38,4 ± 10,12 42,8 ± 13,27 80,0 ± 19,04 90,0 ± 27,49 411,2 ± 174,80 473,6 ± 204,61 51,4 ± 21,85 59,2 ± 25,58 623,9 ± 170,23 696,6 ± 203,55 104,0 ± 28,37 116,1 ± 33,92 590,9 ± 464,74 494,3 ± 339,47 114,1 ± 85,49 97,1 ± 65,44 56,5 ± 46,79 56,6 ± 40,58 73,1 ± 60,67 74,9 ± 54,57
Energi. Rata-rata konsumsi energi lansia peserta home care (1478 Kal) lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (1605 Kal) (Tabel 18). Persentase rata-rata tingkat kecukupan energi lansia bukan peserta home care (95,9%) lebih tinggi dibandingkan lansia peserta home care (87,5%). Jika dikategorikan, maka rata-rata tingkat kecukupan energi peserta home care berada pada kategori defisist tingkat ringan (80-89%), sedangkan pada lansia bukan peserta home care normal (90-119% AKG). Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan nyata konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok (p>0,05). Beberapa penelitian mengenai konsumsi pangan pada lansia juga menunjukkan hal serupa, tidak ada lansia yang memenuhi 100 persen kebutuhan energinya. Penelitian Nadhira (2006) pada lansia laki-laki di Ciampea, Bogor menunjukkan tingkat kecukupan energi sebesar 85,9 persen. Depkes (2010) menyatakan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi usia 56 tahun keatas hanya mencapai 86,9 persen. Menurut Schlenker (2000), konsumsi energi pada manusia usia lanjut seringkali
menjadi
masalah
karena
banyak
manusia
usia
lanjut
yang
mengonsumsi energi di bawah kecukupan yang dianjurkan. Hal ini antara lain disebabkan karena berkurangnya nafsu makan akibat menurunnya indera pencicip, kesulitan dalam mengolah makanan akibat kondisi fisiologis, serta rendahnya ketersediaan pangan karena faktor ekonomi dan lingkungan. Protein. Rata-rata konsumsi protein pada lansia bukan peserta home care (42,8 gram) lebih tinggi dibandingkan konsumsi peserta home care (38,4 gram). Rata-rata tingkat kecukupan protein peserta home care 80 persen dan 90 persen pada lansia bukan peserta home care. Jika dikategorikan, rata-rata tingkat kecukupan protein lansia peserta termasuk ke dalam kategori defisit ringan (80-89%) sedangkan pada lansia bukan peserta termasuk kategori normal (90-119%). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi protein nabati, hasil olahan
kacang kedelai (tahu dan tempe), lebih besar pada lansia bukan peserta home care. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) baik konsumsi protein maupun tingkat kecukupan protein pada kedua kelompok. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa ratarata tingkat kecukupan protein usia 56 tahun ke atas mencapai 91,7 persen. Sebanyak 49,2 persen penduduk Indonesia usia 56 tahun ke atas masih mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (80%) (Depkes 2010). Kalsium. Rata-rata konsumsi kalsium lansia peserta home care (411,2 mg) lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (473,6 mg). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi susu pada lansia peserta home care lebih sedikit. Almatsier (2004) menyebutkan bahwa susu dan produk susu (yoghurt dan keju) merupakan sumber kalsium utama. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium lansia peserta home care hanya mencapai 51,4 persen sedangkan pada lansia bukan peserta home care mencapai 59,2. Hal ini berarti, tingkat kecukupan kalsium pada kedua kelompok berada pada kategori kurang (<77% AKG). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi susu dan hasil olahannya masih rendah. Selain karena faktor ekonomi, beberapa lansia cenderung tidak mengonsumsi susu karena bau amis yang ditimbulkan. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium pada kedua kelompok. Fosfor. Rata-rata konsumsi fosfor pada peserta home care (623,9 mg) lebih rendah dibanding bukan peserta home care (696,6 mg). Tingkat kecukupan fosfor lansia peserta home care hanya mencapai 104 persen, lebih rendah dibandingkan lansia bukan peserta home care yang mencapai 116,1 persen. Jika dikategorikan, tingkat kecukupan kalsium dan fosfor lansia peserta dan bukan peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77%). Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok. Vitamin A. Rata-rata konsumsi vitamin A pada peserta home care (590,9 RE) lebih tinggi dibandingkan bukan peserta home care (494,3 RE). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi sayuran, sumber karotenoid provitamin A, pada peserta home care lebih tinggi (Tabel 16). Ahmed & Darnton-Hill (2008) menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga asupan vitamin A di negara industri berasal dari sumber makanan hewani yang sudah terbentuk sebelumnya
(performed), sementara di negara berkembang masyarakat bergantung pada senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber makanan nabati. Tingkat kecukupan vitamin A peserta home care mencapai 114,1 persen, sedangkan pada lansia bukan peserta home care tingkat kecukupannya 97,1 persen. Jika dikategorikan, tingkat kecukupan vitamin A pada lansia peserta dan bukan peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77% AKG). Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan pada kedua kelompok. Vitamin C. Rata-rata konsumsi vitamin C pada kedua kelompok tidak jauh berbeda. Konsumsi pada peserta home care sebesar 56,5 mg dengan tingkat kecukupan 73,1 persen, sedangkan lansia bukan peserta home care mengonsumsi sebesar 56,6 mg dengan tingkat kecukupan 74,9 persen. Tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok masih tergolong dalam kategori kurang (<77% AKG). Rendahnya konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C diduga karena jumlah konsumsi buah (jeruk, pepaya) dan beberapa sayur (sayuran daun-daunan dan jenis kol), sebagai sumber utama vitamin C, masih sedikit. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok. Status Kesehatan Keluhan Kesehatan Status kesehatan bagi penduduk lansia tidak boleh terlupakan saat penilaian status gizi dan sangat penting karena pada umumnya daya tahan tubuh mereka telah berkurang sehingga mengakibatkan seseorang menjadi rentan atau mudah terserang penyakit. Indikator kesehatan antara lain angka keluhan kesehatan, rata-rata lama sakit dan cara berobat penduduk lansia (BPS 2008). Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami meliputi berbagai keluhan dan penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir, termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh. Tabel 20 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut keberadaan keluhan kesehatan Keberadaan keluhan kesehatan Tidak ada keluhan Terdapat 1 jenis keluhan Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan Total
Peserta n % 3 10,0 8 26,7 19 63,3 30 100
Home care Bukan n % 5 16,7 9 30,0 16 53,3 30 100
Total n 8 17 35 60
% 13,3 28,3 58,3 100
Tabel 20 menunjukkan bahwa secara secara keseluruhan persentase terbesar (58,3%) lansia mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Lebih dari separuh lansia peserta home care (63,3%) dan bukan peserta home care (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas 2008 yang menunjukkan bahwa 55,42 persen lansia mengalami keluhan kesehatan dalam satu bulan terakhir (BPS 2008). Hal ini menggambarkan bahwa secara umum derajat kesehatan penduduk lansia cenderung masih rendah. Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan kesehatan yang dialami lansia peserta home care dan bukan peserta home care (p>0,05). Hal ini diduga karena pelayanan kesehatan yang diperoleh lansia relatif sama. Kegiatan ramah lansia yang menyertakan pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan dapat diikuti oleh seluruh lansia yang berada di wilayah pelayanan sehingga lansia peserta maupun bukan peserta home care bisa mendapatkan pelayanan pemeriksaan kesehatan yang sama. Apabila lansia mengalami sakit diluar pemeriksaan, baik lansia peserta home care maupun bukan peserta home care dapat tetap melakukan pengobatan gratis ke puskesmas setempat. Selain itu, metode yang digunakan untuk memperoleh data jenis penyakit yang diderita lansia adalah wawancara langsung, sehingga kecenderungan lebih subjektif dan memungkinkan terdapat jenis penyakit yang tidak teridentifikasi lansia, terutama pada jenis penyakit yang memerlukan pemeriksaan klinis. Jenis Penyakit dan Keluhan Kesehatan Keberadaan keluhan kesehatan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu penyakit infeksi, berbagai keluhan yang dialami satu bulan terakhir serta penyakit non infeksi meskipun saat wawancara tidak kambuh. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994). Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), lansia peserta home care (33,3%) lebih sedikit menderita ISPA dibandingkan lansia bukan peserta home care (36,7%). Rahardjo et al. (2009) menyatakan bahwa pada lansia, khususnya lansia di Indonesia, penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penyakit diare dialami oleh sebanyak 3,3 persen lansia peserta dan dan 10 persen lansia bukan peserta home care. Lansia yang terkena demam dalam satu bulan terakhir sebanyak 10 persen pada lansia peserta dan 16,7 persen pada lansia bukan
peserta home care. Tuberculosis (TBC) hanya diderita oleh lansia bukan peserta home care dalam jumlah yang sedikit. (Tabel 21). Tabel 21 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis penyakit dan keluhan* Keberadaan keluhan kesehatan
Home care Peserta n
Bukan %
n
Infeksi Diare 1 3,3 3 ISPA 10 33,3 11 Demam 3 10,0 5 TBC 0 0,0 1 Non infeksi Astma (sesak napas) 3 10,0 3 Hipertensi 7 23,3 5 Katarak 4 13,3 1 Rematik 4 13,3 2 Diabetes 2 6,7 2 Asam urat 2 6,7 5 Penyakit jantung 1 3,3 1 Maag 3 10 5 Keluhan Pusing 4 13,3 5 Gatal/alergi 2 6,7 1 Pegal-pegal 7 23,3 5 Tangan/kaki kesemutan 5 16,7 2 Bongkok 2 6,7 0 Jatuh 1 3,3 0 Keterangan: *)satu orang bisa menderita lebih dari 1 penyakit
% 10,0 36,7 16,7 3,3 10,0 16,7 3,3 6,7 6,7 16,7 3,3 16,7 16,7 3,3 16,7 6,7 0,0 0,0
Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah hipertensi (23,3 %), katarak (13,3 %) dan rematik (13,3 %), sedangkan pada lansia bukan peserta yang paling banyak diderita adalah hipertensi, asam urat dan maag masing-masing 16,7 %. Schlenker (2000) menyatakan bahwa hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang seringkali berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita. Hipertensi menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia. Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta adalah pegalpegal (23,3 %), sedangkan lansia bukan peserta paling banyak merasakan pegal-pegal dan pusing masing-masing 16,7 %. Selain itu, keluhan yang dialami lansia berupa gatal-gatal, tangan/kaki kesemutan, bongkok dan jatuh. Berbagai keluhan yang dirasakan lansia diduga berhubungan dengan penyakit yang diderita lansia, misal keluhan pegal-pegal dapat timbul karena penyakit rematik. Lama dan Frekuensi Sakit Lama dan frekuensi sakit yang dibahas adalah lama dan frekuensi sakit penyakit infeksi yang akan digunakan dalam analisis statistik. Tabel 22
menunjukkan rata-rata lama dan frekuensi sakit peserta dan bukan peserta home care cukup bervariasi. Tabel 22 Rata-rata lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir Penyakit infeksi Diare ISPA Demam TBC
Home care (rata-rata ± sd) Peserta Bukan Lama sakit Frekuensi Lama sakit Frekuensi (hari) (kali/bln) (hari) (kali/bln) 3,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0 1,3 ± 0,6 1,0 ± 0,0 6,2 ± 1,7 1,1 ± 0,3 4,5 ± 2,3 1,0 ± 0,0 2,3 ± 1,2 1,3 ± 0,6 2,6 ± 1,1 1,4 ± 0,5 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 20,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0
Rata-rata lama sakit pada lansia peserta home care bervariasi antara 2 hingga 6 hari dan frekuensi berkisar antara 1 hingga 1,3 kali. Pada lansia bukan peserta home care, lama sakit berkisar antara 1 hingga 20 hari dan frekuensi 1 hingga 1,4 kali dalam satu bulan terakhir. Pada lansia peserta home care, lama sakit terpanjang adalah penyakit ISPA (6 hari), sedangkan pada lansia bukan peserta home care lama sakit terpanjang adalah TBC (20 hari). Frekuensi sakit yang paling sering dideria dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun bukan peserta home care adalah demam, dimana 1,3 kali pada lansia peserta home care dan 1,4 kali pada lansia bukan peserta home care. Tindakan Pengobatan Seseorang yang mengalami sakit biasanya melakukan berbagai cara agar kesehatannya cepat pulih kembali, salah satu cara yang dilakukan adalah berobat (BPS 2008). Tindakan pengobatan yang dilakukan antara lain berobat ke pelayanan kesehatan formal (puskesmas/dokter/bidan), membeli obat warung dan pengobatan tradisional. Tabel 23 Tindakan pengobatan yang dilakukan lansia peserta dan bukan peserta home care Home care Tindakan pengobatan
Peserta n
Puskesmas Dokter Obat Warung Obat Tradisional
Bukan %
15 6 8 1
50,0 20,0 26,7 3,3
n
% 4 8 14 4
13,3 26,7 46,7 13,3
Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa separuh (50 %) lansia peserta home care memilih pergi ke puskesmas untuk tempat berobat, sedangkan 46,7 persen lansia bukan peserta home care memilih untuk menggunakan obat warung dalam mengatasi
gangguan
kesehatan
yang
dialami.
Meskipun
diberlakukan
pengobatan gratis bagi seluruh lansia yang berada di Tegal Alur, lansia bukan peserta home care (13,3%)
lebih sedikit yang memanfaatkan fasilitas ini
dibandingkan lansia peserta home care. Hal ini diduga karena lansia peserta home care bisa mengandalkan pendamping untuk mengantar lansia ke puskesmas saat mengalami gangguan kesehatan, sedangkan lansia bukan peserta home care tidak bisa sehingga terkadang tidak ada yang bisa menemani lansia untuk pergi ke puskesmas. Lansia mengungkapkan berbagai alasan dalam memilih tindakan pengobatan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang dialami seperti karena merasa sudah cocok, pertimbangan biaya serta persepsi tingkat keparahan penyakit yang mereka alami. Lansia peserta dan bukan peserta home care memilih dokter karena merasa penyakit yang dialami sudah cukup parah, sedangkan sedikit lansia pada kedua kelompok masih memilih obat tradisional (jamu) dengan alasan tidak biasa minum obat-obatan yang berasal dari bahan kimia. Tingkat Depresi Tingkat depresi diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik-15 (SDG-15). Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini berupa pertanyaan yang di jawab dengan “ya” atau “tidak”. Pertanyaan ditanyakan kepada lansia, perasaan yang dialami oleh lansia selama satu minggu terakhir. Pertanyaan terdiri dari 15 pertanyaan dengan 5 pertanyaan invers (ketika dijawab “tidak” maka mengindikasikan depresi dan 10 pertanyaan positif (ketika dijawab “ya” maka mengindikasikan depresi) 60.0 50.0 40.0 30.0
peserta (%)
20.0 bukan peserta(%)
10.0 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Gambar 5 Sebaran jawaban SDG lansia per pertanyaan
Keterangan: *)pertanyaan invers (pertanyaan 1, 5, 7, 11, 13) 1. Apakah anda puas dengan kehidupan sekarang? 2. Apakah anda mengurangi kegemaran atau aktivitas biasanya? 3. Apakah anda merasa hidup ini hampa? 4. Apakah anda merasa sering bosan? 5. Apakah anda memilki semangat yang cukup baik pada sebagian besar waktu? 6. Apakah anda takut sesuatu hal buruk akan terjadi? 7. Apakah anda merasa bahagia/ gembira pada sebagian besar waktu? 8. Apakah anda merasa tidak berdaya? 9. Apakah anda memilih tinggal di rumah, dibanding melakukan hal baru? 10. Apakah anda memiliki masalah dengan ingatan dari biasanya? 11. Apakah anda berpikir bahwa bisa hidup sampai saat ini adalah sesuatu yang menyenangkan? 12. Apakah anda merasa tidak berharga dengan anda sekarang? 13. Apakah anda merasa penuh dengan energi? 14. Apakah anda merasa keadaan saat ini kurang tidak ada harapan? 15. Apakah anda merasa sebagian besar orang lebih baik dari pada anda?
Pada lansia peserta home care, persentase terbesar (43,3%) lansia menjawab “ya” pada pertanyaan memilih untuk tinggal di rumah dibanding melakukan hal baru (pertanyaan ke 9). Hal ini diduga diakibatkan karena lansia peserta home care memiliki keluhan kesehatan yang lebih banyak (Tabel 22). Terdapat lansia peserta home care yang mengalami jatuh pada 2 minggu sebelum wawancara, serta sebanyak 3,6 persen lansia mengalami bongkok. Keadaan ini membuat lansia lebih memilih tinggal di rumah karena jika beraktivitas dalam intensitas sedang saja mereka akan merasa kelelahan. Berikut salah satu pernyataan seorang lansia peserta: “Nenek mengalami bongkong sudah lama, jangankan untuk keluar bersosialisai dengan yang lain, untuk berjalan di rumah saja sudah capek. Gak kuat berdiri lama-lama, paling cuma bisa duduk di depan pintu karena anak nenek kerja setiap harinya.jadi nenek sendirian di rumah” Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat pada lansia bukan peserta home care persentase terbesar (53,3%) lansia menjawab “ya” pada pertanyaan mengalami gangguan pada daya ingat pada satu minggu terakhir (pertanyaan ke 10). Takasihaeng (2000) mengatakan bahwa keadaan lupa berjalan sesuai dengan makin lanjutnya usia. Selain itu, kedaan ini makin parah dengan adanya penyakit menahun. Keadaan pelupa tidak dapat diobati, dikurangi atau dihilangkan, hanya dapat diperlambat. Lansia perlu dibantu keluarga terdekat di sekelilingnya dengan perhatian. Berikut salah satu pernyataan seorang lansia peserta: “Akhir-akhir ini memang nenek sering merasa lupa, misal saat menyimpan barang-barang. Maklum sudah tua, tetapi kadang nenek merasa jadi merepotkan anak karena sering bertanya letak barang-barang nenek”
Jawaban pertanyaan SDG-15 kemudian dikelompokkan menjadi 4 kategori untuk melihat tingkat gejala depresif yang dialami lansia, yaitu normal (04), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), dan depresi berat (12-15).
80
p>0,05
70 60 50 40
peserta (%)
30 20
bukan peserta(%)
10 0 Normal
Depresi ringan
Depresi sedang
Depresi berat
Gambar 6 Sebaran tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care
Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia peserta (73,3 %) dan lansia bukan peserta home care (66,7 %) tergolong kategori normal. Hanya terdapat 3,3 persen lansia home care yang mengalami gejala depresif berat. Hal ini diduga karena kondisi keluhan kesehatan yang dialami lansia. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) tingkat depresi pada kedua kelompok. Hal ini dikarenakan berbagai program yang diselenggarakan oleh YEL mencakup seluruh lansia baik peserta maupun bukan peserta home care. Misal, pada kegiatan ramah lansia, bukan hanya pemeriksaan kesehatan saja yang dilakukan, dilkukan juga kegiatan-kegiatan lain yang beragam setiap bulannya seperti kreativitas menyulam atau mengolah sampah plastik. Baik kegiatan ramah lansia maupun senam lansia ditujukan untuk mempertahankan kondisi lansia pada kesehatan seutuhnya. Komnas Lansia (2008) menyebutkan bahwa lansia akan lebih baik jika mempunyai kegiatan di luar rumah. Jika mereka hanya tinggal di rumah saja maka akan menjadi cepat tua dan sakit-sakitan. Jika lansia aktif mengikuti berbagai kelompok lansia, mereka bisa bisa bertemu dengan teman-teman dan
bisa saling bercerita pengalaman. Diharapkan lansia dapat menua secara aktif (Active Ageing) sehingga bisa terhindar dari gejala depresi. Status Gizi Status gizi pada penelitian ini ditentukan berdasarkan Indeks massa tubuh (IMT), merupakan metode pengukuran antropometri, yang mudah dan sering digunakan untuk mengidentifikasi seseorang berisiko gizi lebih atau kurang. Indeks massa tubuh merupakan perbandingan berat badan terhadap tinggi badan kuadrat dalam meter.
60
p>0,05 50 40 30
Peserta (%)
20
Bukan Peserta (%)
10 0 <18,5
18,5-25
> 25
≥ 30
Gambar 7 Sebaran status gizi menurut IMT
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan bagian terbesar (51,7%) status gizi lansia berada pada kategori normal (18,5≤IMT≤25). Hampir separuh (46,7%) peserta home care dan lebih dari separuh (56,7%) lansia bukan peserta home care berstatus gizi normal. Persentase terkecil pada kedua kelompok, lansia berada pada status gizi obesitas masing-masing 6,7 persen. Muis (2006) menyatakan bahwa kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang membaik membuat akses terhadap makanan yang enak dan tinggi kalori semakin besar. Kelebihan gizi pada usia 50 tahun akan membawa lansia pada keadaan obesitas dengan berbagia risiko penyakit degeneratif seperti dislipidemia dan diabetes mellitus. Persentase lansia yang mengalami gizi kurang pada lansia peserta home care (30%) lebih tinggi dibandingkan lansia bukan peserta home care (23,3%).
Status gizi kurang yang terjadi pada lansia dapat disebabkan karena berkurangnya nafsu makan serta kemampuan fungsi penyerapan zat gizi dalam sistem pencernaan yang menurun. Selain itu, status gizi yang rendah akan lebih buruk lagi apabila lansia menderita penyakit tertentu seperti infeksi (Supriasa et al. 2002). Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care. Depkes (2010) dalam laporan Riskesdas menyebutkan bahwa persentase status gizi penduduk lansia menurut IMT cukup beragam. Lansia laki-laki pada kelompok usia 60-64 tahun hanya 67,8 persen berstatus gizi normal dan sisanya 17,3 persen berstatus gizi kurang, 7,7 persen berstatus gizi overweight serta 7,1 persen berstatus gizi obesitas. Lansia perempuan pada kelompok usia 60-64 tahun, sebanyak 59,1 persen berstatus gizi normal, 18,5 persen berstatus gizi kurang, 12,4 persen berstatus gizi obesitas dan 10 persen berstatus gizi overweight. Persentase lansia bersatus gizi kurang, baik pada perempuan maupun laki-laki, meningkat dengan semakin bertambahnya usia (65 tahun keatas), sedangkan persentase lansia berstatus gizi normal, overweight dan obesitas menurun. Hubungan Antara Variabel Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi (r= -0,266; p<0,05), tingkat kecukupan protein (r= -0,283; p<0,05), tingkat kecukupan kalsium (r=-0,284; p<0,05) dan tingkat kecukupan fosfor (r= -0,338; p<0,05). Hal ini berarti semakin lama lansia mengalami sakit infeksi, maka tingkat kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor akan semakin rendah. Suhardjo (1989) menyebutkan bahwa infeksi akut dapat mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C (p>0,05). Hubungan Status Kesehatan (Keluhan Kesehatan) dengan Tingkat Depresi Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hasil yang nyata dan positif antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi (r=0,304; p<0,05). Hal ini berarti semakin banyak keluhan kesehatan yang dialami lansia, maka tingkat depresi pun akan semakin tinggi. Smith (2010) menyebutkan bahwa salah satu
faktor yang dapat memicu depresi adalah kondisi kesehatan fisik. Penelitian yang dilakukan Kim et. al (2009) pada lansia Jepang yang tinggal di masyarakat menunjukkan bahwa persepsi mengenai status kesehatan secara signifikan dan kuat mempengaruhi depresi. Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C (p>0,05). Watson (2003) menyebutkan bahwa secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti depresi akan menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan. Sikap negatif ini akan menurunkan selera dan frekuensi makan. Akan tetapi, pada penelitian ini, tidak adanya hubungan antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi diduga karena jumlah lansia yang mengalami depresi terlalu kecil. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia termasuk dalam kategori normal. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi (IMT) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan positif sangat nyata antara tingkat kecukupan energi (r= 0,797; p<0,05), tingkat kecukupan protein (r= 0,598; p<0,05), tingkat kecukupan kalsium (r= 0,334; p<0,05) serta tingkat kecukupan fosfor (r= 0,401; p<0,05) dengan status gizi (nilai IMT). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecukupan gizinya, maka nilai IMT semakin tinggi. Konsumsi pangan secara langsung mempengaruhi status gizi. Tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak memiliki hubungan yang nyata dengan status gizi (p>0,05). Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Status Gizi (IMT) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi (r= -0,289; p<0,05). Artinya semakin lama lansia mengalami sakit infeksi maka semakin menurun status gizinya. Azad (2002) menyatakan keberadaan penyakit, penyakit infeksi, akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami peyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proses penyelenggaraan home care terdiri atas sosialisasi, pendataan relawan, pendataan lansia, implementasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan. Pelayanan yang diberikan pada lansia yaitu pelayanan sosial berupa kunjungan setiap minggu, pemberian sembako setiap bulan serta pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta berada pada kelompok usia lanjut berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta dan bukan peserta adalah tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta tidak bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak. Status pernikahan lansia peserta dan bukan peserta sebagain besar berstatus cerai mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia peserta temasuk defisit tingkat ringan dan normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, sedangkan tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) tingkat kecukupan antara kedua kelompok. Berdasarkan status kesehatan, persentase terbesar kedua kelompok mengalami lebih dari satu jenis keluhan dengan ISPA sebagai keluhan yang paling banyak dialami. Lebih dari separuh lansia pada kedua kelompok tidak mengalami depresi (normal). Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) status kesehatan dan tingkat depresi pada kedua kelompok. Persentase terbesar status gizi pada kedua kelompok adalah normal. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi kedua kelompok. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C. Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi. Tetapi tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi.
Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor dengan status gizi. Tetapi tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan status gizi. Terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi. Saran Mengingat masih kurangnya asupan pangan secara kuailtas maka diperlukan adanya upaya peningkatan asupan pangan secara kualitas melalui peningkatan pengetahuan gizi lansia guna mencapai asupan gizi seimbang. Status kesehatan dan konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi lansia. Oleh karena itu, selain pemeriksaan rutin terkait status kesehatan, status gizi juga penting untuk dilakukan secara berkala pada lansia sehingga pendamping juga perlu diberikan pengetahuan terkait gizi lansia dan metode pengukuran status gizi lansia. Meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan berbagai kondisi antara lansia peserta dan bukan peserta home care, bukan berarti pelayanan home care ini tidak bermanfaat. Hal ini justru mengindikasikan bahwa pelayanan yang diberikan home care di Tegal Alur dapat mencakup lansia peserta dan bukan peserta home care. Jika akan melakukan penelitian serupa, diharapkan dilakukan di dua lokasi berbeda untuk bisa memisahkan secara jelas lansia yang mendapatkan pelayanan home care dengan lansia yang tidak mendapatkan pelayanan home care.
DAFTAR PUSTAKA Abikusno N. 2007. Older Population in Indonesia: Trends, Issues, and Police Responses. Thailand: UNFPA Indonesia. Ahmed F, Darnton-Hill. 2008. Defisiensi Vitamin A. Di dalam: Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC. Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Azad N. 2002. Nutrition in the elderly. The Canadian Journal of Diagnosis: 83-93 Better
Health Channel. 2010. Depression http://www.betterhealth.gov.au [6 Agustus 2010].
and
ageing.
[BPS] Badan Pusat Statsitik. 2008. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Indonesia-Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depsos] Departemen Sosial. 2009a. Pedoman Teknis Home Care Lanjut Usia Bagi Lembaga Penyelenggara. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________________. 2009b. Buku Saku Home Care: Pendampingan dan Perawatan Sosial Lanjut Usia Di Rumah. Jakarta: Departemen Sosial RI. Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono, Rahardjo TWB. 2008. Model prediksi tinggi badan lansia etnis jawa berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi lutut. Majalah Kedokteran Indonesia 58(12): 509-516. Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan. [Diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, IPB.
Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11th ed. USA: Elsevier. hlm. 319396. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2010. Usia Lanjut. http://www.menkokesra.go.id/ [9 Maret 2010]. [Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2008. Pedoman Rumah Pelayanan dan Kegiatan Lansia. Jakarta: Komnas Lansia. Kim Jeung-Im, Choe Myoung-Ae, Chae YR. 2009. Prevalence and predictors of geriatric depression in community-dwelling elderly. Asian Nurs Research 3(3) 121-129. Kusumaratna RK. 2008. Gender differences in nutritional intake and status in healthy free-living elderly. Universa Medicana 27(3) 113-124. Latham MC. 1997. Human Nutrition in The Developing World. USA: Food and Agriculture Organization of United Nation. McDowell I. 2006. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and Questionnaires 3rd ed. Oxford: University Press. McKenzie JF, Pinger PR, Kotecki JE. 2008. An Introduction to Community Health 8th ed. USA: Jones and Bartlett Publisher. Medical Encyclopedia. 2010. Depression elderly. http://www.nlm.nih.gov [10 Desember 2010]. Mezey MD, Rauckhorst LH, Stokes SA. 1993. Health Assessment of The Older Individula. New York: Springer Publishing Company. Morley et al. 2009. Undernutrition: Diagnosis, Causes, Consequences And Treatment. Di dalam: Raats M, de Groot L, van Staveren W, editor. Food For the Ageing Population. England: Woodhead Publishing Limited hlm 153-166. Muis. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo R, editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FK UI hlm. 539-547. Nadhira. 2006. Keadaan sosial ekonomi, pengetahuan gizi, gaya hidup, konsumsi pangan, dan status gizi lansia laki-laki di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jabar [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia. 2008. Pedoman Tatalaksana Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI. Pietinen, Patterson. 2009. Penilaian Konsumsi Pangan. Di dalam: Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rahardjo BW et al. 2009. Panduan Menuju Lanjut Usia Sehat. Jakarta: Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI). Sabdono E. 2010. Home care pilot project di Indonesia. Presentasi pada Lokakarya “Pengembangan Day Care dan Home Care Bagi Lanjut Usia di Indonesia“: Komnas Lansia. Sarafino EP. 1994. Health Phsychology: Biopsychosocial Interaction 2nd ed. Canada: John Wiley & Sons Inc. Sari NK. 2006. Deteksi Dini Malnutrisi pada Usia Lanjut. Di dalam: Harjodisastro D, Syam AF, Sukrisman L, editor. Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI Pr. hlm. 51-63. Schlenker ED. 2000. Nutrition and The Aging Adult. Di dalam: WorthingtonRoberts BS, Williams SR, editor. Nutrition Throughout The Life Cycle 3rd Edition. St Louis: Mosby-Year Book. Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo. Smith M. 2010. Depression in older adult and elderly. http://helpguide.org [6 Agustus 2010. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebdayaan Direktorat Jendral Pendikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Asek Pangan, Gizi, dan Sanitasi: Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Takasihaeng J. 2000. Hidup Sehat di Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Harian Kompas. Till C. 2001. Ageways: Home care and volunteers. HelpAge International. http://helpage.org [10 Mei 2011]. Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC. Wirakusumah E S. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara. Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. USA: Taylor & Francis Inc. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI
Lampiran 1 Jenis pangan yang biasa dikonsumsi peserta dan bukan peserta home care Bakan makanan Sumber Karbohidrat Nasi Singkong dan hasil olahan Ubi dan hasil olahan Kentang Biskuit/krakers Roti Mie Protein Hewani Ikan basah Udang dan hewan air lainnya segar Ikan diawetkan Daging sapi Daging ayam Telur Susu Protein Nabati Kacang-kacangan lain Tahu Tempe Oncom Sayur-mayur Sayur daun hijau Sayur buah Sayur lain Buah-buahan Jeruk Mangga Apel Salak Pisang ambon Pisang raja Pisang lampung Pepaya Jambu air Semangka Melon Pir
Peserta n %
Home care Bukan n %
Total n
%
30,0 17,0 18,0 0,0 27,0 12,0 16,0
100,0 56,7 60,0 0,0 90,0 40,0 53,3
30,0 25,0 14,0 6,0 15,0 18,0 6,0
100,0 83,3 46,7 20,0 50,0 60,0 20,0
60,0 42,0 32,0 6,0 42,0 30,0 22,0
100,0 70,0 53,3 10,0 70,0 50,0 36,7
23,0 3,0 15,0 6,0 21,0 25,0 18,0
76,7 10,0 50,0 20,0 70,0 83,3 60,0
23,0 6,0 11,0 7,0 24,0 23,0 12,0
76,7 20,0 36,7 23,3 80,0 76,7 40,0
46,0 9,0 26,0 13,0 45,0 48,0 30,0
76,7 15,0 43,3 21,7 75,0 80,0 50,0
12,0 28,0 29,0 0,0
40,0 93,3 96,7 0,0
15,0 28,0 26,0 9,0
50,0 93,3 86,7 30,0
27,0 56,0 55,0 9,0
45,0 93,3 91,7 15,0
25,0 16,0 23,0
83,3 53,3 76,7
22,0 19,0 25,0
73,3 63,3 83,3
47,0 35,0 48,0
78,3 58,3 80,0
16,0 20,0 8,0 5,0 11,0 0,0 10,0 17,0 0,0 5,0 7,0 4,0
53,3 66,7 26,7 16,7 36,7 0,0 33,3 56,7 0,0 16,7 23,3 13,3
16,0 19,0 5,0 3,0 15,0 3,0 4,0 16,0 3,0 7,0 5,0 0,0
53,3 63,3 16,7 10,0 50,0 10,0 13,3 53,3 10,0 23,3 16,7 0,0
32,0 39,0 13,0 8,0 26,0 3,0 14,0 33,0 3,0 12,0 12,0 4,0
53,3 65,0 21,7 13,3 43,3 5,0 23,3 55,0 5,0 20,0 20,0 6,7
Anggur Pangan lainnya Pisang goreng Teh manis Kopi Mie bakso Kue-kue tradisional Bakwan
5,0
16,7
0,0
0,0
5,0
8,3
13,0 5,0 9,0 4,0 5,0 5,0
43,3 16,7 30,0 13,3 16,7 16,7
11,0 10,0 9,0 7,0 10,0 5,0
36,7 33,3 30,0 23,3 33,3 16,7
24,0 15,0 18,0 11,0 15,0 10,0
40,0 25,0 30,0 18,3 25,0 16,7
Lampiran 2 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care Home care Zat Gizi Peserta Bukan mean sd mean sd Konsumsi (Kal) 1478 1605 329,4 306,2 Energi AKG (Kal) 1690 1680 169,9 140,6 Tingkat Kecukupan (%) 87,5 95,9 17,7 18,8 Konsumsi (g) 38,4 42,8 10,1 13,3 Protein AKG (g) 48 47,7 5,7 4,7 Tingkat Kecukupan (%) 80 90 19 27,5 Konsumsi (mg) 411,2 473,6 174,8 204,6 Kalsium AKG (mg) 800 800 0 0 Tingkat Kecukupan (%) 51,4 59,2 21,8 25,6 Konsumsi (mg) 590,9 432,5 464,7 147,6 Fosfor AKG (mg) 600 600 0 0 Tingkat Kecukupan (%) 63,6 72,1 23,5 24,6 Konsumsi (RE) 590,9 494,3 464,7 339,5 Vitamin A AKG (RE) 516,7 510 37,9 30,5 Tingkat Kecukupan (%) 114,1 97,1 85,5 65,4 Konsumsi (mg) 56,5 56,6 46,8 40,6 Vitamin C AKG (mg) 77,5 76,5 5,7 4,6 Tingkat Kecukupan (%) 73,1 74,9 60,7 54,6
Lampiran 3 Dokumentasi kegiatan
Kegiatan senam lansia
Kegiatan ramah lansia
Pertemuan mingguan relawan
Pelatihan penggunaan alat pengukur tekanan darah
Penyerahan sembako kepada perwakilan lansia