HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN KONSUMSI DAN STATUS KESEHATAN TERHADAP STATUS GIZI SANTRI PUTRI DI DUA PONDOK PESANTREN MODERN DI KABUPATEN BOGOR
SITI MASTUROH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT SITI MASTUROH. The Consumption Adequacy Level and Health Status in Relation to Nutritional Status of Female Adolescent Boarders at Two Modern Islamic Boarding Schools in Bogor. Under directions of RIZAL DAMANIK and TIURMA SINAGA. The consumption adequacy level and health status affect the nutritional status. Meanwhile, little is known concerning to the consumption adequacy level, health and nutritional status of female adolescent boarders at Modern Islamic boarding schools which has a food service system. The aim of the study was to identify the consumption adequacy level and health status in relation to nutritional status of female adolescent boarders at two modern Islamic boarding schools in Bogor: knowing the process of a food service, energy and nutrients consumption; assessing energy and nutrients consumption adequacy level; determining nutritional and health status of female adolescent boarders; and revealing environmental condition of female adolescent boarders dormitory at Sahid and Ummul Quro Al-Islami modern Islamic boarding schools (PP Sahid and PP UQI). The study was an observational type used cross sectional design held for two periods, on April 2011 (PP Sahid) and from September to October 2011 (PP UQI). The subjects were 68 at PP Sahid and 87 at PP UQI of female adolescent boarders chosen by simple random sampling with purposive site selection. The results showed that both boarding schools did not meet the required food serving standard. The average of energy and nutrients consumption of subjects was still below the recommended adequacy value, except for vitamin B1 in the two groups of subjects (28,92 mg and 14,46 mg) and calcium in the subjects at PP Sahid (1018,35 mg). Most energy and nutrients consumption adequacy levels of the subjects were in the deficit category except for vitamin B1 consumption adequacy level in the subjects at PP Sahid (54,4%). Most (69,1% and 79,3%) nutritional status (BMI for age) of both groups of subjects was in the normal nutritional status category. Most (97,1% and 88,5%) health status of both groups of subjects was unhealthy (sick). The dormitory environmental conditions on both the boarding school had not fully met the health requirements. The results showed that energy and calcium consumption adequacy levels were significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects. Meanwhile, the consumption adequacy levels of protein, vitamin A, B1 and C, phosphorus and iron were not significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects. Besides, the health status was not significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects. Keywords: consumption adequacy level, nutritional status, health status, female adolescent boarders
RINGKASAN SITI MASTUROH. Hubungan Tingkat Kecukupan Konsumsi dan Status Kesehatan terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RIZAL DAMANIK dan TIURMA SINAGA. Konsumsi makanan dan status kesehatan secara langsung mempengaruhi status gizi. Status gizi yang baik sangat diperlukan terutama untuk santri putri (remaja putri) agar dimasa kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat badannya adekuat. Makanan santri putri yang tinggal di pondok pesantren dapat berasal dari makanan yang disediakan oleh asrama melalui penyelenggaraan makanan dan dari makanan jajanan di kantin, warung atau pedagang kaki lima yang berada di luar asrama. Penyelenggaraan makanan di asrama yang baik dalam segi kualitas dan kuantitas akan menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan gizi masing-masing santri putri. Santri putri yang mengonsumsi makanan yang cukup kandungan gizinya akan memiliki status gizi yang baik, begitupun sebaliknya. Santri putri yang kesehatannya buruk sangat rawan karena akan berpengaruh pada merosotnya nafsu makan, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi yang langsung berpengaruh pada status gizi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor, yaitu di Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) dan Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI). Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) mengetahui proses penyelenggaraan makanan di PP Sahid dan PP UQI, 2) mengetahui konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI, 3) menilai tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI, 4) menilai status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI, 5) menilai status kesehatan santri putri di PP Sahid dan PP UQI, 6) mengetahui kondisi lingkungan pemondokan santri putri di PP Sahid dan PP UQI, dan 7) menganalisis hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Pemilihan pondok pesantren secara purposive sampling. Penelitian dilakukan di PP Sahid pada bulan April 2011 dan di PP UQI pada bulan September-Oktober 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah santri putri. Pemilihan contoh dilakukan secara simple random sampling. Contoh pada penelitian ini berjumlah 155 orang terdiri dari 68 contoh PP Sahid dan 87 contoh PP UQI. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: 1) karakteristik contoh, 2) karakteristik orang tua contoh, 3) proses penyelenggaraan makanan, 4) konsumsi makanan, 5) status kesehatan, dan 6) kondisi lingkungan pemondokan. Data sekunder yaitu data karakteristik pesantren. Data yang diolah dari hasil penelitian kemudian dianalisis secara deskriptif dan diuji statistik. Analisis uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda Mann-Whitney U dan uji korelasi Spearman. Santri putri di PP Sahid berjumlah 346 orang (tahun ajaran 2010/2011) dan di PP UQI berjumlah 1556 orang (tahun ajaran 2011/2012). Kisaran umur contoh antara 12-19 tahun. Sebagian besar uang saku/bulan contoh PP Sahid (55,9%) berada pada kategori tinggi (≥Rp 500.000), sedangkan pada PP UQI (57,4%) berada pada kategori sedang (Rp 200.000-Rp 499.999).
Sebagian besar pendidikan ayah contoh PP Sahid (51,5%) adalah tamat Sarjana/Pascasarjana, sedangkan pendidikan ibu contoh PP Sahid (39,7%) adalah tamat SLTA/sederajat. Sebagian besar pendidikan ayah (42,5%) dan ibu (35,6%) contoh PP UQI adalah tamat SLTA/sederajat. Sebagian besar pekerjaan ayah contoh PP Sahid (47,1%) dan PP UQI (49,4%) adalah berwiraswasta. Sebagian besar pekerjaan ibu contoh PP Sahid (48,5%) dan PP UQI (63,2%) adalah ibu rumah tangga. Sebagian besar pendapatan orang tua/bulan contoh PP Sahid (47,1%) berada pada kategori tinggi (≥Rp 6.000.000), sedangkan pada contoh PP UQI (50,6%) berada pada kategori sedang (Rp 2.000.000-Rp 5.999.999). PP Sahid menyerahkan penyelenggaraan makanan kepada Katering Barakah, sedangkan PP UQI melakukan penyelenggaraan makanan sendiri. Jumlah porsi yang dilayani PP Sahid sekitar 400 porsi/sekali makan, sedangkan pada PP UQI sekitar 1560 porsi/sekali makan. Jumlah tenaga kerja penyelenggaraan makanan PP Sahid sebanyak 12 orang, sedangkan pada PP UQI sebanyak 13 orang. Belum ada tenaga kerja profesional (ahli gizi) pada penyelenggaraan makanan di kedua pesantren. PP Sahid belum menyediakan fasilitas untuk penerimaan bahan pangan, persiapan bahan pangan dan penyimpanan peralatan; sedangkan PP UQI belum menyediakan fasilitas untuk penerimaan bahan pangan, persiapan bahan pangan dan pencucian peralatan. Peralatan untuk mengolah makanan terdiri atas peralatan besar dan utensils, peralatan tersebut belum memadai dari segi kualitas bahan di PP Sahid, sedangkan belum sesuai dengan fungsinya di PP UQI. Sumber biaya yang dipakai di kedua pesantren berasal dari SPP. Dianggarkan untuk makan santri dari SPP sebesar Rp 12.000/hari pada PP Sahid, sedangkan sebesar Rp 8.000/hari pada PP UQI. PP Sahid dan PP UQI menyusun menu dengan siklus menu tujuh hari. Pembelian bahan pangan di kedua pondok pesantren dilakukan secara informal (langsung). Penerimaan bahan pangan di PP Sahid dilakukan dengan cara konvensional (invoice receiving), sedangkan di PP UQI dengan cara buta (blind receiving). Namun, metode pembelian di kedua pesantren belum sepenuhnya memenuhi prosedur penerimaan bahan pangan secara benar. PP Sahid dan PP UQI melakukan proses penyimpanan dengan tujuan untuk mempertahankan mutu supaya tidak berubah kualitasnya. Proses penyimpanan di kedua pesantren belum sepenuhnya memenuhi prosedur penerimaan bahan pangan secara benar. Proses persiapan bahan pangan di kedua pesantren juga belum sepenuhnya mengikuti prosedur yang benar. Kegiatan memasak di PP Sahid dan PP UQI dilakukan di dapur sebanyak tiga kali sehari dengan kegiatan memasak antara lain mengukus, merebus, menumis, menggoreng dan lain sebagainya. Luas lantai dapur di kedua pondok pesantren sudah sesuai dengan Kepmenkes RI No. 715/MENKES/SK/V/2003 yaitu sedikitnya 2 m2 untuk setiap orang pekerja. Sistem distribusi yang digunakan di kedua pesantren yaitu secara desentralisasi dengan sistem pelayanan Cafetaria dengan Pelayanan. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi pada kedua kelompok contoh masih di bawah angka kecukupan yang dianjurkan, kecuali untuk vitamin B1 yaitu sebesar 28,92 mg (PP Sahid) dan 14,46 mg (PP UQI), serta kalsium pada contoh PP Sahid (1.018,35 mg). Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi dari makanan asrama pada contoh PP Sahid lebih besar dibandingkan dari makanan luar asrama. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi dari makanan asrama pada contoh PP UQI lebih kecil dibandingkan dari makanan luar asrama. Sebagian besar tingkat kecukupan konsumsi energi contoh PP Sahid (88,2%) dan PP UQI (74,7%) berada pada kategori defisit. Sebanyak 85,4%
contoh PP Sahid dan 72,3% contoh PP UQI mempunyai tingkat kecukupan konsumsi protein defisit. Sebagian besar tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral pada kedua kelompok contoh berada pada kategori defisit kecuali untuk vitamin B1 pada contoh PP Sahid (54,4%). Sebagian besar status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid (69,1%) dan PP UQI (79,3%) adalah normal. Sebagian besar status gizi (TB/U) contoh PP Sahid (88,2%) dan PP UQI (75,9%) adalah normal. Sebagian besar status gizi (BB/U) contoh PP Sahid (91,2%) dan PP UQI (92,0%) adalah gizi baik. Sebagian besar contoh PP Sahid (97,1%) dan PP UQI (88,5%) memiliki status kesehatan yang tidak sehat (sakit). Gejala/penyakit yang paling banyak diderita contoh yaitu gejala/penyakit infeksi. Sebagian besar lama sakit contoh PP Sahid (39,4%) dan PP UQI (44,2%) adalah 4-7 hari. Sebagian besar frekuensi sakit contoh PP Sahid (66,7%) adalah 1 kali/bulan, sedangkan pada PP UQI (40,3%) adalah ≥3 kali/bulan. Sebagian besar skor morbiditas contoh PP Sahid (82,4%) dan contoh PP UQI (94,3%) berada pada kategori rendah. Sebagian besar contoh PP Sahid (83,3%) dan PP UQI (61,1%) melakukan tindakan pengobatan ketika sakit yaitu dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan formal. Kedua pesantren belum memenuhi standar/persyaratan ‘rumah sehat’ menurut Riskesdas (2010) yang diperkuat Kepmenkes No. 829/MENKES/SK/VII/1999 untuk kondisi fisik kamar tidur. Akses terhadap sumber air minum terlindung pada kedua pesantren sudah memenuhi kriteria MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010). Cara pembuangan sampah dikedua pesantren sudah dikategorikan ‘baik’ menurut Riskesdas (2010). Akses terhadap sanitasi layak terkait pembuangan tinja pada PP Sahid sudah memenuhi kriteria, sedangkan pada PP UQI belum memenuhi kriteria MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010). Ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL) pada PP Sahid sudah memenuhi kriteria, sedangkan pada PP UQI belum memenuhi kriteria Riskesdas (2010). Ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi kalsium dengan status gizi (IMT/U) pada contoh PP Sahid (p<0,01). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi, protein, vitamin A, B1 dan C, serta fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid (p>0,05). Ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP UQI (p<0,05). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi protein, vitamin A, B1 dan C, serta kalsium, fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP UQI (p>0,05). Secara total contoh, ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dan kalsium dengan status gizi (IMT/U) (p<0,05). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi protein, vitamin A, B1 dan C, serta fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) total contoh (p>0,05). Tidak ada hubungan yang nyata antara status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) pada contoh PP Sahid dan PP UQI (p>0,05). Secara total contoh, tidak ada hubungan yang nyata antara status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) (p>0,05).
HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN KONSUMSI DAN STATUS KESEHATAN TERHADAP STATUS GIZI SANTRI PUTRI DI DUA PONDOK PESANTREN MODERN DI KABUPATEN BOGOR
SITI MASTUROH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPERTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul
: Hubungan Tingkat Kecukupan Konsumsi dan Status Kesehatan terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bogor : Siti Masturoh : I14070138
Nama NRP
Menyetujui : Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Drh. Rizal Damanik, MRepSc, PhD. NIP. 19640731 199003 1 001
Tiurma Sinaga, B.Sc, MFSA NIP. 19610521 198312 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Kecukupan Konsumsi dan Status Kesehatan terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bogor” dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak, mamah, kakak dan adik-adik atas doa, semangat, kasih sayang dan keceriaan yang diberikan kepada penulis.
2.
Kementerian Agama Repulik Indonesia yang telah memberikan beasiswa melalui program beasiswa santri berprestasi (PBSB).
3.
Bapak Drh. Rizal Damanik, MRepSc, PhD. dan Ibu Tiurma Sinaga, B.Sc, MFSA selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, semangat, do’a dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD. selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi atas masukan dan saran yang diberikan.
5.
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing akademik atas do’a dan bimbingannya selama ini.
6.
Ketua Departemen Gizi Masyarakat beserta staf pendidik dan kependidikan atas bimbingan, arahan dan bantuannya selama penulis menjadi mahasiswi.
7.
Teman dan rekan yang terlibat langsung dalam penelitian ini, Aomi dan Rina (teman satu tempat penelitian) atas kerjasamanya, Pak Wawan yang setia menemani saat pencarian tempat penelitian, A Mufti yang selalu berkenan membantu, serta Ka Aqiilah, Setya, Suphe dan Krisna atas bantuan dan kekompakannya menjadi pembahas seminar. Teman-teman se-kosan (Mita, Spetri, Rizki, Isti, Linda dan Tia) atas bantuan, do’a dan semangatnya.
8.
Semua teman-teman GM 44 dan CSS MoRA 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kebersamaan, kekeluargaan dan kekompakannya selama ini. Bogor, Maret 2012
Siti Masturoh
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara pasangan Bapak Ade Hidayat, BA dan Ibu Ade Sumiarsih. Penulis dilahirkan di Garut, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat pada tanggal 28 Agustus 1989. Pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Tanjung Kamuning I pada tahun 1995. Setelah itu, penulis melanjutkan sekolah ke Madrasah Tsanawiyah pada tahun 2001 dan ke Madrasah Aliyah pada tahun 2004 dengan madrasah yang sama yaitu Ma’had Al-Ittihady Al-Islamy (Pesantren Persatuan Islam) No.76 Tarogong Garut. Tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrerian Agama Republik Indonesia dengan Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti staf divisi syiar Mushola Al-Izzah Asrama Putri TPB A-3 periode 2007-2008, staf divisi fundraising perekonomian Forum Syiar Islam Fema (FORSIA) periode 2008-2009 dan staf divisi informasi dan komunikasi Community of Santri Scholar of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) IPB periode 2009-2010. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitian yang diselenggarakan FORSIA, CSS MoRA IPB, HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi), dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) FEMA baik skala kampus maupun skala nasional. Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Profesi di Desa Suka Damai, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti Interenship Dietetic di rumah sakit umum daerah (RSUD) Cibinong Bogor pada tahun 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... v PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan ...................................................................................................... 3 Hipotesis .................................................................................................. 4 Kegunaan ................................................................................................. 4 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5 Pesantren ................................................................................................. 5 Remaja dan Tumbuh Kembangnya .......................................................... 6 Proses Penyelenggaraan Makanan .......................................................... 7 Konsumsi Pangan .................................................................................. 13 Kecukupan Energi dan Zat Gizi .............................................................. 15 Status Gizi .............................................................................................. 15 Status Kesehatan ................................................................................... 18 Kesehatan Lingkungan ........................................................................... 19 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 23 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 25 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 25 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ....................................................... 25 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................ 26 Pengolahan dan Analisis Data................................................................ 27 Definisi Operasional ............................................................................... 32 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 34 Gambaran Umum Lokasi........................................................................ 34 Karakteristik Contoh ............................................................................... 37 Karakteristik Orang Tua Contoh ............................................................. 38 Sejarah Penyelenggaraan Makanan....................................................... 40 Input Penyelenggaraan Makanan ........................................................... 41 Proses Penyelenggaraan Makanan ........................................................ 45 Konsumsi Energi dan Zat Gizi ................................................................ 57
ii
Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi dan Zat Gizi ................................. 61 Status Gizi .............................................................................................. 66 Status Kesehatan ................................................................................... 68 Kondisi Lingkungan Pemondokan .......................................................... 72 Hubungan Antar Variabel ....................................................................... 75 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 79 Kesimpulan ............................................................................................ 79 Saran ..................................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82 LAMPIRAN ........................................................................................................ 87
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Perkiraan persentase luas area dalam food production ...................... 12 Tabel 2 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri............................ 15 Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data primer .......................................... 27 Tabel 4 Sebaran santri putri PP Sahid menurut tingkat pendidikan ................. 35 Tabel 5 Sebaran santri putri PP UQI menurut tingkat pendidikan.................... 36 Tabel 6 Sebaran contoh menurut umur ........................................................... 37 Tabel 7 Sebaran contoh menurut uang saku................................................... 38 Tabel 8 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua....................... 38 Tabel 9 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan orang tua ........................... 39 Tabel 10 Sebaran contoh menurut tingkat pendapatan orang tua ..................... 40 Tabel 11 Anggaran biaya penyelenggaraan makanan PP Sahid dan PP UQI... 44 Tabel 12 Sebaran contoh menurut rata-rata konsumsi energi dan protein ........ 58 Tabel 13 Sebaran contoh menurut rata-rata konsumsi vitamin ......................... 59 Tabel 14 Sebaran contoh menurut rata-rata konsumsi mineral ......................... 60 Tabel 15 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan konsumsi vitamin .......... 64 Tabel 16 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan konsumsi mineral .......... 64 Tabel 17 Rata-rata tingkat ketersediaan dan kontribusi energi dan zat gizi dari konsumsi menu makanan asrama di PP Sahid dan PP UQI .............. 65 Tabel 18 Sebaran contoh menurut status gizi ................................................... 67 Tabel 19 Sebaran contoh menurut status kesehatan ........................................ 68 Tabel 20 Sebaran contoh menurut gejala/jenis penyakit ................................... 69 Tabel 21 Sebaran contoh menurut lama dan frekuensi sakit............................. 70 Tabel 22 Sebaran contoh menurut skor morbiditas ........................................... 71 Tabel 23 Sebaran contoh menurut tindakan pengobatan .................................. 72 Tabel 24 Kondisi lingkungan pemondokan PP Sahid dan PP UQI .................... 74 Tabel 25 Hubungan tingkat kecukupan konsumsi energi dengan status gizi contoh ................................................................................................ 75 Tabel 26 Hubungan status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) contoh ......... 76
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian............................................... 24 Gambar 2 Tingkat kecukupan konsumsi energi contoh PP Sahid dan PP UQI . 62 Gambar 3 Tingkat kecukupan konsumsi protein contoh PP Sahid dan PP UQI 63
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran
1 Pengkategorian variabel penelitian.............................................. 88
Lampiran
2 Menu makanan asrama PP Sahid ............................................... 90
Lampiran
3 Menu makanan asrama PP UQI.................................................. 91
Lampiran
4 Contoh menu makanan asrama yang bisa diterapkan di PP UQI 91
Lampiran
5 Waktu belanja penyelenggaraan makanan PP Sahid .................. 92
Lampiran
6 Waktu belanja penyelenggaraan makanan PP UQI..................... 92
Lampiran
7 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri ..................... 93
Lampiran
8 Tingkat ketersediaan makanan asrama PP Sahid dan PP UQI ... 93
Lampiran
9 Nilai signifikansi variabel berdasarkan uji beda Mann-Whitney U 94
Lampiran 10 Nilai signifikansi antar variabel contoh PP Sahid berdasarkan uji korelasi Spearman ...................................................................... 95 Lampiran 11 Nilai signifikansi antar variabel contoh PP UQI berdasarkan uji korelasi Spearman ...................................................................... 96 Lampiran 12 Nilai signifikansi antar variabel total contoh berdasarkan uji korelasi Spearman ...................................................................... 97 Lampiran 13 Foto............................................................................................. 98
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) 2015 merupakan cita-cita mulia yang didasari kenyataan bahwa pembangunan yang hakiki adalah pembangunan manusia yang mencakup semua komponen pembangunan dengan tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Bappenas 2010). Dalam upaya meningkatkan kulitas sumber daya manusia, remaja sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya pembangunan yang optimal perlu diperhatikan. Pondok pesantren merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang berperan penting dalam pengembangan sumberdaya manusia (Depkes 2007). Istilah modern dalam dunia pesantren bukan dimaksudkan kepada ajaran agamanya tetapi kepada metode pembelajarannya dan sistem pengelolaannya (Gitosardjono 2006).
Model
pondok
pesantren
modern
yang
memodernisasi
metode
pembelajaran dan sistem pengelolaannya diharapkan lebih mampu dalam mengembangkan sumber daya manusia (santri). Umumnya santri yang tinggal di pondok pesantren adalah remaja. Menurut Depkes (2005), masa remaja menjadi masa yang begitu khusus dalam hidup masusia karena pada masa tersebut terjadi awal proses kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Pada remaja putri, perubahan itu ditandai dengan mulainya menstruasi. Masa remaja juga merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, dimana banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan
kekacauan-kekacauan batin pada remaja,
sehingga masa remaja juga sering disebut sebagai masa pancaroba. Kondisi ini menyebabkan remaja dalam kondisi rawan menjalani proses pertumbuhan dan perkembangannya (Depkes 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya meningkatkan kesehatan dan status gizi. Status gizi yang baik diusia remaja sangat diperlukan terutama untuk remaja putri agar dimasa kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat badannya
adekuat,
tetapi
hal
itu
seringkali
diabaikan
guna
menjaga
penampilannya dan bentuk tubuh (Arisman 2010). Seorang remaja putri dengan status gizi kurang, berisiko terjadinya keadaan Kurang Energi Kronik (KEK)
2
sehingga memberikan kontribusi kurang baik terhadap kenaikan berat badan selama hamil. Ibu yang mempunyai riwayat kekurangan berat badan cenderung melahirkan lebih cepat (premature) serta berisiko bagi kelangsungan hidup ibu dan bayinya (Moore 1997 diacu dalam Yuliansyah 2007). Menurut Smith & Haddad (2000) diacu dalam Riyadi (2001) bahwa faktor (determinan) langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan. Jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan (Hardinsyah & Martianto 1989). Lain halnya dengan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan dan hiburan, manusia hanya membutuhkan asupan pangan dalam jumlah yang terbatas atau secukupnya. Kelebihan atau kekurangan asupan pangan akan berdampak negatif pada status gizi. Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai contoh, kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50% pada masa remaja (Riyadi 2001). Menurut The Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) (1997) di Amerika Serikat hanya 19 % anak perempuan usia 9-19 tahun yang memenuhi rekomendasi kalsium hariannya (Tucker et al. 2002). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Fikawati et al. (2005) pada sampel penelitian siswi kelas 1 dan kelas 2 di 13 SMUN di Kota Bandung menunjukan bahwa konsumsi kalsium pada remaja perempuan dengan suplemen kalsium hanya 52,5% AKG dan bila tanpa suplemen kalsium hanya 48,9% AKG. Kalsium sangat penting dalam pembentukan tulang pada usia remaja dan dewasa muda. Kekurangan kalsium selagi muda merupakan penyebab osteoporosis di usia lanjut, dan keadaan ini tidak dapat ditanggulangi dengan meningkatkan konsumsi zat ini ketika (tanda) penyakit ini tampak (Arisman 2010). Peningkatan kebutuhan besi (Fe) untuk pengembangan massa sel darah merah dan mioglobin pada masa remaja penting untuk pertambahan jaringan otot baru, remaja putri membutuhkan besi yang lebih banyak (sampai 15%) untuk mengkompensasi kehilangan darah akibat menstruasi (Riyadi 2001). Di negara yang sedang berkembang, sekitar 26% remaja putri menderita anemia. Dampak anemia pada remaja putri yaitu tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi, mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang, semangat belajar/
3
prestasi menurun, sehingga pada saat akan menjadi calon ibu dengan keadaan berisiko tinggi (Arisman 2010). Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa masalah kesehatan merupakan gangguan
kesehatan
yang
dinyatakan
dalam ukuran
tingkat
kesakitan
(morbiditas) dan kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan (Supariasa et al. 2002). Status kesehatan seseorang juga dapat dilihat dari kapan terakhir kalinya sakit. Remaja yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan karena akan berpengaruh pada merosotnya nafsu makan, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi yang langsung berpengaruh pada status gizi (Fatimah 2002). Menurut Roedjito (1989) bahwa infeksi berbagai penyakit akan memperburuk tingkat keadaan gizi karena zat gizi yang didapat dari makanan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Usia santri putri yang berada di pondok pesantren yang umumnya adalah remaja, merupakan sumber daya yang berpotensi besar bagi pembangunan suatu bangsa. Jika ternyata kualitas sebagian generasi mudanya buruk, maka apa yang dapat diperbuat generasi tersebut untuk negaranya. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin melihat bagaimana hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor. Tujuan Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor, yaitu di Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) dan Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI). Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui proses penyelenggaraan makanan di PP Sahid dan PP UQI 2. Mengetahui konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI
4
3. Menilai tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI 4. Menilai status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI 5. Menilai status kesehatan santri putri di PP Sahid dan PP UQI 6. Mengetahui kondisi lingkungan pemondokan santri putri di PP Sahid dan PP UQI 7. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan konsumsi dengan status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor 2. Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor Kegunaan Data hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi bagi pihak pondok pesantren mengenai status gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara umum hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk keperluan penelitian yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam program perbaikan gizi pondok pesantren.
5
TINJAUAN PUSTAKA Pesantren Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu pondok dan pesantren. Ada yang menyebut pondok saja atau pesantren saja, namun kebanyakan menyebut dengan lengkap yaitu pondok pesantren. “Pondok” artinya tempat berteduh atau tempat menginap. Adapun “Pesantren” berasal dari kata “santri” ditambah awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri (Gitosardjono 2006). Pengertian atau ta’rif Pondok Pesantren menurut Depag (2003) tidak dapat diberikan dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri pengertian Pondok Pesantren. Setidaknya ada 5 (lima) ciri yang terdapat pada suatu lembaga Pondok Pesantren, yaitu kyai, santri, pengajian, asrama dan masjid dengan aktivitasnya. Gitosardjono (2006) berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan perpaduan antara konsep pendidikan Islam dengan model pendidikan yang merupakan budaya lokal yang sudah berkembang sebelumnya khususnya di pulau Jawa pada saat datangnya agama Islam pertama kali. Menurut Dhofier (1982) dalam Maftukha (2006), sebuah pesantren digolongkan kecil bila memiliki santri dibawah 1000 orang dan pengaruhnya hanya sebatas kabupaten. Pesantren sedang memiliki antara 1000-2000 orang yang pengaruh dan rekruitmen santrinya meliputi beberapa kabupaten. Pesantren besar memiliki santri lebih dari 2000 orang dan biasanya berasal dari beberapa kabupaten dan provinsi. Diantara model-model pesantren itu adalah: 1.
Pesantren Tradisional (Salafiyah) Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan
sistem pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik. Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolahsekolah umum. Murid dan mahasiswa boleh tinggal di pondok atau di luar, tetapi mereka diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab dengan cara sorogan maupun bandongan, sesuai dengan tingkatan masing-masing. 2.
Pesantren Modern (Khalafiyah/’Ashriyah) Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang mengintegrasikan
secara penuh sistem klasikal pondok dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri masuk pondok dan terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab tidak lagi menonjol, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.
6
Demikian pula cara sorogan dan bandongan mulai berubah bentuk menjadi bimbingan individual dalam belajar dan kuliah ceramah umum atau stadium general.
Jadi
selain
menyelenggarakan
kegiatan
kepesantrenan
juga
menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal atau jalur sekolah (Depag 2003). Perkembangan
pesantren
saat
ini
sangat
diperhitungkan
oleh
masyarakat, selain mempertahankan kekhasannya juga dapat mengembangkan pengetahuan lain sebagai kegiatan tambahan bagi para santrinya. Menurut catatan Depag (2009), pondok pesantren di Indonesia berjumlah 24.206 dengan jumlah total santri sebanyak 3.647.719 yang terdiri atas 1.953.992 (53,6%) santri putra dan 1.693.727 (46,4%) santri putri. Sejumlah tersebut menunjukkan bahwa pesantren sangat potensial dalam bidang pendidikan yang keberadaannya makin diminati
masyarakat.
Secara
kuantitatif
pesantren
cukup
besar
dalam
memberikan sumbangsihnya terhadap pengembangan sumber daya manusia karena pesantren telah mengakar di tanah air dan bangsa Indonesia. Remaja dan Tumbuh Kembangnya Menurut Arisman (2010), laju pertumbuhan anak, baik perempuan maupun laki-laki hampir sama cepatnya sampai pada usia 9 tahun. Usia antara 10-12 tahun pada anak perempuan mengalami percepatan pertumbuhan yang lebih dahulu dibandingkan dengan anak laki-laki karena tubuhnya memerlukan persiapan menjelang usia reproduksi, sedangkan anak laki-laki baru dapat menyusul dua tahun kemudian. Puncak pertambahan berat badan dan tinggi badan perempuan tercapai pada usia masing-masing 12,9 dan 12,1 tahun, sedangkan laki-laki 14,3 dan 14,1 tahun. Menurut Depkes (2005), masa remaja dibedakan dalam tiga tahap, yaitu masa remaja awal (10-13 tahun), masa remaja tengah (14-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Masa remaja menjadi masa yang begitu khusus dalam hidup manusia, karena pada masa tersebut terjadi proses awal kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Masa remaja juga sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan
kekacauan-kekacauan batin pada remaja,
sehingga masa remaja sering juga disebut sebagai masa pancaroba. Kondisi ini menyebabkan remaja dalam kondisi rawan menjalani proses pertumbuhan dan perkembangannya.
7
Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi. Disamping itu, tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman 2010). Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen pertumbuhan tinggi badan total dan sekitar 50 persen massa tulang dewasa dicapai selama masa remaja, sehingga hal ini menyebabkan kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50%. Disamping peningkatan kebutuhan besi (Fe) untuk pengembangan massa sel darah merah dan mioglobin pada pertambahan jaringan otot baru, remaja putri membutuhkan besi yang lebih banyak (sampai 15%) untuk mengkompensasi kehilangan darah akibat menstruasi (Riyadi 2001). Pertumbuhan dan kematangan manusia merupakan proses yang terus berlanjut, dan adanya transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa tidak berlangsung
secara
mendadak.
Periode
remaja
mencakup
perubahan-
perubahan yang cepat dalam pertumbuhan fisik dan kematangan biologi serta perkembangan psikologi. Masalah kesehatan pada periode remaja dicirikan oleh prevelensi penyakit kronik dan infeksi yang rendah, tetapi mereka beresiko tinggi terhadap masalah kesehatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan obatobatan, penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual, kehamilan dan luka akibat kecelakaan atau kesengajaan (Riyadi 2001). Proses Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan, persiapan, pemasakan dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika dilihat sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Sistem penyelenggaraan makanan ini terdiri atas enam elemen, yakni input, thruput, output, control, feedback dan environment (Perdigon 1989). Penyelenggaraan makanan menurut Depkes (1991) adalah serangkaian kegiatan
yang
merupakan
suatu
sistem
mencakup
kegiatan/subsistem
penyusunan anggaran belanja makanan, penyediaan/pembelian bahan pangan,
8
penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan pangan, persiapan dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan, pelaporan dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di suatu institusi. Perencanaan Menu Kata menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya suatu daftar yang tertulis secara rinci. Tipe menu menurut Palacio & Theis (2009) yakni selective menu, semi-selective menu, non-selective menu, static menu, single-use menu dan cycle menu. Menurut Nursiah (1990) bahwa perencanaan menu merupakan rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Sedangkan menurut Depkes (2003), perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan menu: 1) informasi tentang pelanggan yang akan dilayani, meliputi jumlah, usia, jenis kelamin, kebutuhan gizi, makanan kesukaan, kemampuan membayar; 2) pengetahuan tentang proses kegiatan meliputi peralatan yang tersedia di dapur, keterampilan, anggaran dan jenis penyelenggaraan; 3) faktor lingkungan seperti waktu, musim, iklim dan ketersediaan sumber bahan pangan; dan 4) estetika meliputi variasi makanan, kombinasi warna, tekstur, bentuk, rasa dan konsistensi (Perdigon 1989). Menurut Yuliati & Santoso (1995) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan
penyelenggaraan
makanan
institusi
adalah
tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Menu perlu direncanakan secara matang. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan tipe institusi, bahan pangan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran yang tersedia, dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang ditugaskan merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas tentang seluk beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis bahan pangan yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga bahan pangan di pasar, serta metoda dan prosedur persiapan makanan mulai dari belanja, pengolahan sampai dengan penyajian. Perencanaan menu disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru masak, pengelola dan konsumen. Menu dapat disusun untuk satu rangkaian waktu 5, 7, 10 atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6
9
bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan pangan per porsi menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan pangan yang digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per satu resep (Depkes 1991). Perencanaan Biaya Menurut Depkes (1991), perencanaan biaya atau anggaran belanja untuk suatu
penyelenggaraan
makanan
dalam
jumlah
banyak
seharusnya
direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas pengalamanpengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan adalah untuk bahan pangan, peralatan, tenaga dan pengeluaran lain yang disebut biaya overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih dan sebagainya). Faktor utama yang dipantau dalam pengendalian biaya adalah food (bahan pangan), labor (tenaga kerja), operating (operasi) dan overhead cost (biaya lainnya) seperti listrik, pajak dan sebagainya. Food cost (biaya bahan pangan) adalah yang paling mudah dikendalikan. Prinsip-prinsip yang mendasari pengendalian biaya bahan pangan harus diterapkan ketika: 1) perencanaan menu, 2) pembelian bahan pangan, 3) penerimaan bahan pangan, 4) penyimpanan bahan pangan, 5) persiapan bahan pangan, dan 6) penyediaan makanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi labor cost (biaya tenaga kerja) adalah: 1) jenis jasa makanan, 2) jam pelayanan, 3) pola menu, 4) jenis/bentuk bahan pangan yang dibeli, 5) ukuran dan tata letak dapur serta area pelayanan, 6) labor-saving equipment, 7) kebijakan personil, dan 8) jadwal karyawan. Operating cost and overhead cost (Biaya operasi dan biaya lainnya) perlu menjadi perhatian dalam penyelenggaraan makanan. Beberapa biaya ini meliputi barang-barang
kertas,
perlengkapan
pembersih,
utilitas
(pemanas
air,
penerangan, air dan lain-lain), laundry dan perlengkapan linen, serta perbaikan, penggantian dan pemeliharaan peralatan (Shirley 1999). Pembelian Bahan pangan Palacio & Theis (2009) mendefinisikan pembelanjaan bahan pangan sebagai sebuah proses pembelian atau pengadaaan suatu produk pada waktu yang tepat dengan jumlah, kualitas dan harga yang sesuai. Ada dua tipe jenis pembelanjaan bahan pangan, yaitu centralized purchasing pembelanjaan
10
terpusat) dan group and corporate purchasing (pembelanjaan kelompok). Pembelanjaan secara terpusat yang dilakukan oleh departemen pengadaan bahan pangan yang bertanggung jawab untuk mendapatkan kebutuhan bahan atau peralatan untuk seluruh unit dalam suatu organisasi, biasa digunakan pada organisasi besar termasuk universitas, sekolah, rumah makan dengan banyak cabang dan rumah sakit. Tipe pembelanjaan kelompok dapat menguntungkan pembeli untuk meningkatkan volume pembelian sehingga dapat mengurangi harga. Metode pembelian menurut Perdigon (1989) yaitu informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), formal competitive bid buying (pembelian bahan pangan dengan pelelangan), dan semi-formal method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan musyawarah). Pada informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), buyer mengumpulkan informasi pasar tentang macam, kualitas, harga, ketersediaan bahan pangan, memutuskan pilihan, dan membuat order pesanan. Saat bahan pangan dikirim, buyer mengecek macam, jumlah spesifikasi sesuai kesepakatan. Transaksi antara pembeli dan penjual dapat dilakukan di lokasi pasar itu sendiri, melalui telepon atau melalui seorang salesman yang menghubungi pembeli. Pada formal competitive bid buying (pembelian bahan pangan dengan pelelangan) melibatkan pengajuan spesifikasi tertulis beserta kebutuhan akan kuantitas kepada pemasok dengan undangan bagi mereka untuk mengajukan harga untuk item yang tercantum. Semi-formal method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan musyawarah) merupakan praktek pembelian yang terpaksa pada saat produksi musiman dan terbatas. Metode ini yang menyediakan sarana yang fleksibel untuk memperoleh tindakan yang cepat dan tepat di pasar yang berfluktuasi. Pembeli membuat kontrak dengan vendor secara langsung dan meminta penawaran yang disampaikan secara tertulis sesegera mungkin. Ada peraturan kurang ketat dalam jenis penawaran ini jika dibandingkan dengan pembelian pelelangan. Penerimaan Bahan pangan Penerimaan adalah proses lain dalam sistem penyelenggaraan makanan, yang memastikan apa yang telah dibeli benar-benar sesuai kualitas dan kuantitasnya
dengan
apa
yang
telah
dikirimkan.
Sebuah
faktur
yang
ditandatangani membuktikan kelengkapan dan keakuratan pengiriman. Oleh
11
karena itu, petugas penerima yang bertanggung jawab untuk memeriksa barangbarang harus selalu memastikan barang yang dikirimkan memenuhi spesifikasi, dan bahwa kuantitas, kualitas serta harga sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya. Untuk membantu petugas penerima dalam kinerja yang tepat dari pekerjaan ini, fasilitas dasar diperlukan: 1) lokasi penerimaan terletak di dekat pintu masuk layanan dan penyimpanan terlebih dahulu dilengkapi dengan tabel penerimaan dan skala berat yang akurat; 2) set rincian makanan dan bahan lainnya yang akan diterima; 3) bagan konversi dan berat untuk kemudahan dalam membaca; dan 4) termometer dan kalkulator (Perdigon 1989). Penerimaan bahan pangan didasarkan atas pesanan bahan pangan, yang menyatakan macam, jumlah dan kualitas bahan pangan. Pesanan bahan pangan harus diteliti dan diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/ penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman bahan pangan. Bahan pangan yang telah diteliti dan diamati kemudian dikirim ke gudang/ruang penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan pangan. Prosedur penerimaan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara konvensional seperti yang telah diuraikan, atau secara blind (tanpa diperiksa), karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga (Depkes 1991). Penyimpanan Bahan pangan Menurut Depkes (2003), penyimpanan bahan pangan adalah suatu tata cara menata, menyimpan, memelihara keamanan bahan pangan kering atau basah baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan pangan kering dan basah serta pencatatan dan pelaporannya. Depkes (1991) menjelaskan bahwa penyimpanan bahan pangan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi bahan pangan, mencegah kerusakan/gangguan lingkungan bahan pangan, melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga, pembersihan, suhu dan kelembabannya. Pengolahan Bahan pangan Menurut Wirakusumah (1991) bahwa pada prinsipnya pengolahan bahan pangan meliputi persiapan dan pemasakan bahan pangan. Persiapan adalah suatu proses kegiatan dalam rangka menangani bahan pangan dan bumbu
12
sehingga siap atau layak untuk dilanjutkan dengan kegiatan pemasakan. Depkes (1991) menjelaskan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/ melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan harus dihindari dalam persiapan bahan pangan. Perlakuan terhadap bahan pangan ini selain selama persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta perlakuan selama masakan disimpan. Persiapan bahan pangan meliputi kegiatan pencucian
bahan
pangan,
pemotongan,
perendaman,
penggilingan,
penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan dan perlakuan lain sebelum bahan pangan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat diatasi. Pemasakan adalah suatu proses perubahan dari bahan pangan mentah atau makanan setengah jadi menjadi makanan siap dimakan (Wirakusumah 1991). Menurut Depkes (1991), pemasakan adalah proses kegiatan terhadap bahan pangan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan menggunakan berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus, mengukus, menggoreng, mengetim dan sebagainya dalam rangka meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan pangan dan menghilangkan/mematikan kuman-kuman yang berbahaya. Fungsi area dan luas yang disarankan dalam proses food production disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 Perkiraan persentase luas area dalam food production Fungsi area Penerimaan bahan pangan Penyimpanan bahan pangan Persiapan bahan pangan Pemasakan Tempat pencucian Lalu lintas jalan Tempat sampah Fasilitas pekerja Lain-lain Total
Luas yang disarankan (%) 5 20 14 18 5 16 5 15 2 100%
Sumber: (Kazarian 1989 diacu dalam Sinaga 1995) Pendistribusian dan Penyajian Makanan Penyajian merupakan kegiatan yang dilakukan setelah bahan pangan selesai diolah atau diproses. Hidangan yang lezat tanpa penyajian yang menarik akan mengecewakan atau menghilangkan selera makan konsumen. Oleh karena
13
itu, tahap penyajian dan distribusi makanan merupakan tahap yang tidak boleh diabaikan (Wirakusumah 1991). Ada dua cara yang dapat digunakan dalam mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada rantang makanan masingmasing konsumen ataupun dalam kotak makanan. Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi (Depkes 1991). Menurut Perdigon (1989), cara makanan disajikan kepada pelanggan dalam lembaga yang berbeda dapat diklasifikasikan ke dalam table, counter and tray service. Table service sebanding dengan makanan yang disajikan di sebuah rumah yang nyaman. Ruang makan dengan suasana khas hotel dan restoran biasanya menggunakan layanan semacam ini. Counter service merupakan layanan makanan yang cepat dengan jumlah minimum yang diperlukan untuk pesanan meja makan. Warung kopi memanfaatkan layanan jenis ini. Pada Tray service, pelanggan dapat dilayani dalam privasi kamar rumah sakit atau mobilnya (curb service) daripada di ruang makan umum. Cara lain dalam penyajian makanan yaitu pelanggan memilih untuk melayani dirinya sendiri. Cara penyajian dengan melayani diri sendiri (selfservice) terdapat di outlet makanan seperti cafetarias, buffet service (prasmanan) dan take-out service. Pada cafetarias, pelanggan mengambil/menentukan pilihan sendiri dari sajian makanan yang ditampilkan di loket pelayanan dan menyusun sendiri makanan di nampan untuk dibawa ke meja. Cafetaria diklasifikasikan lebih lanjut sesuai dengan jenis klien yang dilayani, contohnya Cafetaria Kantor, Cafetaria Sekolah, Cafetaria Industri Tanaman dan lain-lain. Pada buffet service memerlukan counter atau meja tempat makanan yang ditata baik untuk melayani diri sendiri atau dilayani oleh seorang petugas. Menu mungkin terbatas atau luas dan layanan mungkin formal atau informal. Pada take-out service, makanan atau snack dikemas yang bisa dibeli dari tempatnya oleh pelanggan sendiri atau dengan cara pemesanan melalui telepon (Perdigon 1989). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal/beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi tujuan memperoleh pangan adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi
14
yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut selanjutnya akan menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan (Harper et al. 1986). Keadaan gizi pada dasarnya ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut (Sukandar 2008). Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif serta gabungan dari keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan pangan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Metode Estimated Food Record Metode estimated food record merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu, metode ini disebut juga food records atau diary records (Supariasa et al. 2002). Food record adalah catatan contoh tentang jenis dan jumlah makanan dan minuman dalam suatu periode waktu, biasanya antara 1 sampai 7 hari (Achadi 2007). Metode ini dilakukan dengan cara meminta contoh untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut (Supariasa et al. 2002). Kelebihan food record antara lain: a) tidak tergantung pada memori, b) mendapatkan data asupan yang detail, c) mendapatkan data tentang eating habit, dan d) multiple day lebih representatif menggambarkan usual intake, valid sampai 5 hari. Adapun keterbatasan food record antara lain: a) membutuhkan kerjasama yang tinggi dari contoh, b) contoh harus dapat membaca dan menulis, c) dapat mengubah kebiasaan makan, d) analisis intensif dan mahal, e) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data, harus menimbang dan mencatat, dan f) respons rate dapat menjadi rendah karena memberikan beban terhadap contoh (Achadi 2007).
15
Kecukupan Energi dan Zat Gizi Hardinsyah & Briawan (1994) menjelaskan bahwa kecukupan gizi antar individu sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis kelamin, berat badan, umur, tinggi badan, keadaan fisiologis, aktivitas, metabolisme tubuh dan sebagainya. Menurut Sediaoetama (2006) bahwa kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Kegiatan jasmaniah pada remaja laki-laki sangat meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking dan sebagainya. Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi. Secara rinci dapat dilihat kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri pada Tabel 2. Tabel 2 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri Zat gizi Energi (Kal) Protein (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vit A (RE) Vit B1 (mg) Vit C (mg)
10-12 2050 50 1000 1000 20 600 1,0 50
Perempuan (tahun) 13-15 16-18 2350 2200 57 50 1000 1000 1000 1000 26 26 600 600 1,1 1,1 65 75
19-29 1900 50 800 600 26 500 1.0 75
Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Menurut Supariasa et al. (2002), status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Menurut Smith & Haddad (2000) bahwa faktor (determinan) langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan.
16
Determinan langsung tersebut dipengaruhi oleh tiga determinan tidak langsung yang terdapat pada level rumah tangga, yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak yang cukup, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan. Faktor kunci yang mempengaruhi semua determinan tidak langsung adalah kemiskinan. Determinan tidak langsung dari status gizi (dan juga kemiskinan) dipengaruhi oleh determinan dasar, yaitu potensi sumberdaya yang tersedia di suatu negara, atau masyarakat. Potensi sumberdaya ini dibatasi oleh lingkungan alam, akses terhadap teknologi, dan mutu sumberdaya manusia. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya mempengaruhi kemampuan penggunaan potensi sumberdaya yang dimilliki, dan bagaimana mereka memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk ketahanan pangan, perawatan, serta lingkungan dan pelayanan kesehatan (Riyadi 2001). Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu melalui penilaian asupan pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai kesehatan, pemeriksaan antropometris serta data psikososial (Arisman 2010). Setiap metode penilaian status gizi mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Faktor
yang
perlu
dipertimbangkan
antara
lain
tujuan
pengukuran, unit sampel yang akan diukur, jenis informasi yang dibutuhkan, tenaga, waktu, dana dan lain sebagainya (Supariasa et al. 2002). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2002). Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja (Riyadi 2001). Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Menurut direkomendasikan
Riyadi
(2001)
bahwa
IMT
menurut
umur
sebagai indikator terbaik untuk remaja.
(IMT/U)
Indikator ini
memerlukan informasi tentang umur. Indikator ini juga sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas, dan indikator ini juga sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Indeks massa tubuh diukur dengan menggunakan rumus IMT=BB/TB2 (kg/m2). Walaupun IMT belum sepenuhnya divalidasi sebagai indikator kekurusan atau gizi kurang pada remaja, IMT merupakan indeks masa tubuh tunggal yang dapat diterapkan untuk mengukur keadaan yang sangat kekurangan dan
17
kelebihan gizi. Sedikit sekali informasi tentang level IMT spesifik pada remaja dan hubungannya dengan resiko pada masa sekarang atau masa mendatang, atau
responnya
terhadap
intervensi.
IMT/U
remaja
Amerika
Serikat
direkomendasikan untuk digunakan selama belum tersedia data referensi untuk remaja yang lebih baik (Riyadi 2001). Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks TB/U selain menggambarkan status gizi masa lalu juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Supariasa et al. 2002). Menurut Supariasa et al. (2002) bahwa indeks TB/U memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Keuntungan dari indeks TB/U, antara lain: a) baik untuk menilai status gizi masa lampau; dan b) ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Adapaun kelemahan indeks TB/U adalah: a) tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun; b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya; dan c) ketepatan umur sulit didapat. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa et al. 2002). Menurut Supariasa et al. (2002) bahwa indeks BB/U memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Indeks BB/U mempunyai beberapa kelebihan antara lain: a) lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, b) baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, c) berat badan dapat berfluktuasi, d)
18
sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan e) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Disamping mempunyai kelebihan, indeks BB/U juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain: a) dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites; b) di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur seringkali sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik; c) memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun; d) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan; dan e) secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Status Kesehatan Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan (Notoatmodjo 2007). Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut Smet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), status kesehatan adalah keadaan kesehatan seseorang pada waktu tertentu. Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa status kesehatan dapat diukur dengan sebuah indikator kesehatan. Indikator yang dapat digunakan adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan, serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatu daerah. Penilaian atau “assessment” terhadap kesehatan individu didasarkan pada
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan
laboratorium
dan
pemeriksaan-
pemeriksaan lain terhadap kesehatan yang bersangkutan. Penilaian terhadap kesehatan masyarakat didasarkan kepada kejadian-kejadian penting yang menimpa penduduk atau masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai indikator kesehatan masyarakat, seperti angka kesakitan, angka kematian, angka kelahiran dan sebagainya (Notoatmodjo 2003). Menurut Bloem (1979) diacu dalam Notoatmodjo (2003) bahwa kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu faktor keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut disamping berpengaruh langsung kepada kesehatan juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Sukarni
19
(1994) berpendapat bahwa faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat. Faktorfaktor tersebut saling berinteraksi secara dinamis dan berhubungan dengan faktor-faktor kependudukan, sosial budaya, ekologi sumberdaya alam dan ekonomi. Penyakit yang sangat erat hubungannya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan biologis adalah penyakit infeksi (Sukarni 1994). Menurut Smet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri atau virus yang ada di dalam tubuh. Di Indonesia, tingginya angka kesakitan akibat penyakit infeksi seperti diare dan ISPA, disebabkan kerena faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan biologis. Terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah serta lingkungan perumahan yang kotor dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi tersebut (Sukarni 1994). Kesehatan Lingkungan Kesehatan lingkungan menurut P. Walton Purdon (1980) diacu dalam Atmodjo (1993) didefinisikan sebagai aspek kesehatan masyarakat yang memperhatikan tentang bentuk kehidupan, substansi, kekuatan dan kondisi yang ada disekitar manusia yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Notoatmodjo (2003) berpendapat bahawa kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Menurut Atmodjo (1993), secara garis besar, ruang lingkup kesehatan lingkungan di Indonesia mencakup: 1) penyediaan air bersih yang cukup kualitas dan kuantitasnya, 2) program sanitasi dasar bagi masyarakat yang meliputi pembuangan air kotor dan tinja manusia, pengelolaan sampah, pengawasan makanan, pengawasan pencemaran udara, pengawasan pencemaran vektor penyakit dan penataan perumahan atau pemukiman; dan 3) program-program pelengkap seperti kebersihan tempat umum, pencegahan kecelakaan dan bencana, pencegahan bahaya radiasi dan lain sebagainya. Pemondokan Pemondokan (asrama) merupakan tempat tinggal santri selama berada di pondok pesantren. Kondisi pemondokan menentukan kondisi kebersihan dan
20
sanitasi lingkungan. Pemondokan yang sehat harus memenuhi beberapa variabel kondisi kesehatan lingkungan sesuai Surat Keputusan Menkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan antara lain kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan alami dan kelembaban udara. Variabel-variabel tersebut erat kaitannya dengan penularan penyakit menular (Lamsidi 2003). Pemondokan
dengan
pencahayaan
yang
kurang
memudahkan
perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra violet yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara berkaitan dengan penularan penyakit.
Pemondokan
dengan
ventilasi
yang
baik
akan
menyulitkan
pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat memecah dan mengurai konsentrasi kuman di udara. Bahan bangunan pemondokan berdampak pada sanitasinya. Pemondokan dengan lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin dan keramik bila ditinjau dari segi kesehatan. Dinding tembok atau beton jauh lebih baik daripada anyaman bambu atau dinding semi permanen (Widoyono 2011). Kriteria ‘rumah sehat’ menurut Riskesdas (2010) adalah bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap
berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis
lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup dan tidak padat huni. Menurut Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 bahwa luas lubang ventilasi alamiah yang permanen yaitu minimal 10% luas lantai, pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yaitu dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Kepadatan hunian dilihat dari luas kamar tidur yaitu minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih besar dari dua orang tidur.
Persyaratan
Kesehatan
Perumahan
dalam
Kepmenkes
RI
No.
829/MENKES/SK/VII/1999 berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman. Sumber Air Minum Sarana air minum merupakan bagian yang sangat penting dari kesehatan lingkungan. Sumber air minum dapat berasal dari sumur gali, sumur pompa tangan dalam/dangkal (SPTDL-SPTDK), sumur artesis, perpipaan atau PDAM, penampungan air hujan (PAH) dan penampungan mata air (PMA). Semua sumber tersebut harus memenuhi syarat kesehatan air minum, yaitu kadar E. Coli nol atau negatif. Sumur gali misalnya, harus berjarak minimal 10 meter dari
21
septic tank. Sarana ini sangat erat kaitannya dengan penyakit diare (Widoyono 2011). Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan Millenium Development Goals (MDGs) 2010 adalah bila jenis sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 meter dan air hujan. Kriteria sumber air terlindung yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHOUNICEF 2004 adalah berasal dari sumber air yang ‘improved’ dan sumber air minumnya berada dalam radius satu kilometer dari rumah. Air kemasan (bottled water) baik pada kriteria MDGs maupun JMP WHO-UNICEF tidak dikategorikan sebagai sumber air minum terlindung (Riskesdas 2010). Pembuangan Sampah Menurut Notoatmodjo (2003) sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang; yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikro organisme penyebab penyakit
(bacteri
patogen),
dan
juga
binatang
serangga
sebagai
pemindah/penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak menganggu atau mengancam kesehatan masyarakat (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan Riskesdas (2010) bahwa
cara
pembuangan
sampah
dikategorikan
‘baik’
apabila
cara
pembuangannya diambil petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah. Dikategorikan kurang baik jika dibakar, dibuang ke sungai atau sembarangan. Pembuangan Kotoran Manusia Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zatzat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feces), air seni (urine) dan CO2, sebagai hasil dari proses pernapasan. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia (tinja dan urine) merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran
22
manusia (feces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks (Notoatmodjo 2003). Tempat pembuangan tinja dan urine, yang pada umumnya disebut latrine (jamban atau kakus) harus memenuhi syarat-syarat kesehatan. Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan mampu mencegah penularan penyakit melalui lalat dan vektor lainnya. Tinja manusia yang dibuang sembarangan merupakan media yang sangat baik bagi kuman penyakit (Widoyono 2011). Kriteria akses terhadap sanitasi layak menurut MDGs 2010 dalam pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu ‘improved’, ‘shared’, ‘unimproved’ dan ‘open defecation’. Dikategorikan sebagai ‘improved’ bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Riskesdas 2010). Pembuangan Air Limbah Air limbah atau air buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar, karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatan-kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar). Air limbah ini selanjutnya akan mengalir ke sungai atau laut dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola dan atau diolah secara baik (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan Riskesdas (2010) untuk sarana pembuangan air limbah dilihat dari cara pembuangannya yaitu ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Saluran pembuangan air limbah (SPAL) juga berkontribusi terhadap sanitasi lingkungan. Halaman rumah yang becek karena buruknya SPAL memudahkan penularan penyakit terutama yang ditularkan oleh cacing dan parasit (Widoyono 2011).
23
KERANGKA PEMIKIRAN Makanan santri putri yang tinggal di pondok pesantren dapat berasal dari makanan yang disediakan oleh asrama melalui penyelenggaraan makanan dan dari makanan jajanan di kantin, warung atau pedagang kaki lima yang berada di luar asrama. Pihak asrama harus menyediakan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi santri putri melalui penyelenggaraan makanan. Hal ini bertujuan untuk mendukung aktivitas belajar maupun aktivitas fisik santri putri baik di sekolah maupun di asrama. Penyelenggaraan makanan yang baik dalam segi kualitas dan kuantitas akan menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan gizi masing-masing santri putri. Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1986). Smith & Haddad (2000) diacu dalam Riyadi (2001) menjelaskan bahwa faktor (determinan) langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan. Santri putri yang mengkonsumsi makanan yang cukup kandungan gizinya akan memiliki status gizi yang baik. Menurut Fatimah (2002) bahwa santri putri yang kesehatannya buruk sangat rawan karena akan berpengaruh pada merosotnya nafsu makan, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi yang langsung berpengaruh pada status gizi santri putri. Roedjito
(1989)
menjelaskan
bahwa
infeksi
berbagai
penyakit
akan
memperburuk tingkat keadaan gizi karena zat gizi yang didapat dari makanan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu faktor keturunan, pelayanan
kesehatan,
perilaku
dan
lingkungan
(fisik,
biologis
dan
kemasyarakatan) (Bloem 1979 diacu dalam Notoatmodjo 2007). Faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan (Sukarni 1994). Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa morbiditas (ukuran tingkat kesakitan) berhubungan erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan. Kondisi lingkungan tersebut nantinya akan bermuara secara tidak langsung terhadap status gizi. Secara sistematis hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor dijabarkan dalam kerangka pemikiran yang dapat dilihat pada Gambar 1.
24
Proses Penyelenggaraan Makanan
Makanan Asrama
Pengetahuan Gizi
Makanan Luar Asrama
Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Kebiasaan Makan
Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Status Gizi Kondisi lingkungan pemondokan : - Kondisi fisik kamar tidur - Sumber air minum - Pembuangan sampah, kotoran manusia dan air limbah
Status Kesehatan
Perilaku Kesehatan
Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti
= Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian
25
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha mengumpulkan berbagai informasi pada suatu waktu (cross sectional study) dimana peneliti tidak melakukan atau memberikan intervensi apapun kepada contoh. Pemilihan pondok pesantren di Kabupaten Bogor dilakukan secara purposive sampling sebagai
lokasi
penelitian
karena
kemudahan
jangkauan
dan
dengan
pertimbangan bahwa pondok pesantren telah menyelenggarakan makan bagi santrinya. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah survei pendahuluan (penimbangan berat badan dan tinggi badan santri putri). Tahap kedua adalah pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara mengenai karakteristik santri putri dan orang tua santri putri, proses penyelenggaraan makanan di asrama, konsumsi makanan (food record 7x24 jam) dan status kesehatan, serta pengamatan langsung kondisi lingkungan pemondokan santri putri. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) pada bulan April 2011 dan di Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI) pada bulan September-Oktober 2011. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah pondok pesantren modern yang mengadakan penyelenggaraan makanan untuk santrinya. Pemilihan pondok pesantren secara purposive sampling dengan beberapa persyaratan tertentu. Berdasarkan daftar pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama Kabupaten Bogor, diambil dua pondok pesantren modern yang memenuhi kriteria. Kriteria pondok pesantren yang dijadikan sebagai tempat penelitian antara lain: 1) terdaftar di Kabupaten Bogor, 2) mengadakan penyelenggaraan makanan untuk santri, 3) tiap santri mendapatkan porsi makanan sendiri, 4) belum pernah dijadikan sebagai tempat penelitian sejenis, dan 5) bersedia dijadikan sebagai tempat penelitian. Contoh dalam penelitian ini adalah santri putri di pondok pesantren yang terpilih. Santri putri yang akan dijadikan contoh yaitu santri putri yang tidak sedang menghadapi ujian akhir nasional dan santri putri yang sudah tinggal di asrama minimal sekitar satu tahun (bukan santri baru). Pemilihan santri putri dilakukan secara simple random sampling dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Notoatmodjo 2005) :
26
n = ____N____ 1+ N (d2) Keterangan : n
= Jumlah contoh
N
= Jumlah populasi
d
= Tingkat kesalahan yang yang dapat ditolerir (10%) Berdasarkan perhitungan, jumlah calon contoh dari PP Sahid sebanyak
78 orang dan dari PP UQI sebanyak 94 orang. Tidak semua calon contoh mengumpulkan data food record secara lengkap (7x24 jam), sehingga jumlah contoh pada penelitian ini sebanyak 155 orang terdiri dari 68 contoh PP Sahid dan 87 contoh PP UQI. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: 1) karakteristik contoh yang mencakup umur, berat badan, tinggi badan dan uang saku, 2) karakteristik orang tua contoh yang meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua, 3) proses penyelenggaraan makanan yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan, 4) konsumsi makanan (food record 7x24 jam), 5) status kesehatan, dan 6) kondisi lingkungan pemondokan. Cara pengumpulan data untuk data karakteristik contoh yaitu dengan pengisian kuesioner, wawancara dan pengukuran langsung. Data karakteristik orang tua contoh dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner dan wawancara. Cara pengumpulan data untuk data proses penyelenggaraan makanan yaitu dengan pengisian kuesioner, wawancara, pengukuran langsung dan pengamatan langsung. Data konsumsi makanan (food record 7x24 jam) dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner, wawancara dan pengamatan langsung. Cara pengumpulan data status kesehatan yaitu dengan pengisian kuesioner dan wawancara. Data kondisi lingkungan pemondokan dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner, wawancara dan pengamatan langsung. Secara rinci dapat dilihat jenis, cara dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer pada Tabel 3. Data sekunder yaitu data karakteristik pesantren meliputi data gambaran umum pesantren, fasilitas secara umum, serta jumlah santri, guru dan karyawan. Data gambaran umum pesantren serta jumlah santri, guru dan karyawan diperoleh dengan melakukan wawacara dengan pihak pesantren, sedangkan
27
data fasilitas secara umum diperoleh dengan cara melakukan pengamatan langsung. Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data primer No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis data Karakteristik contoh 1. Umur 2. Berat badan 3. Tinggi badan 4. Uang saku Karakteristik orang tua contoh 1. Pendidikan orang tua 2. Pekerjaan orang tua 3. Pendapatan orang tua Proses penyelenggaraan makanan 1. Perencanaan menu 2. Pelaksanaan (pembelian, penerimaan, penyimpanan dan pengolahan bahan pangan, pendistribusian dan penyajian makanan) Konsumsi makanan (food record 7x24 jam)
Status kesehatan 1. Gejala/jenis penyakit, lama sakit dan frekuensi sakit 2. Tindakan pengobatan yang dilakukan Kondisi lingkungan pemondokan 1. Kondisi fisik kamar tidur 2. Sumber air minum 3. Pembuangan sampah, kotoran manusia dan air limbah
Cara pengumpulan data - Pengisian kuesioner - Wawancara - Pengukuran langsung
Alat Kuesioner, timbangan injak digital, microtoise
- Pengisian kuesioner - Wawancara
Kuesioner
-
Pengisian kuesioner Wawancara Pengukuran langsung Pengamatan langsung
Kuesioner, timbangan makanan digital
- Pengisian kuesioner - Wawancara - Pengukuran langsung
Kuesioner, timbangan makanan digital Kuesioner
- Pengisian kuesioner - Wawancara
- Pengisian kuesioner - Wawancara - Pengamatan langsung
Kuesioner
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pengeditan (editing), pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning) dan analisis data. Tahapan pengeditan dilakukan dengan cara pengecekan kelengkapan data. Tahapan pengkodean (coding) dilakukan dengan cara menyusun code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data. Tahapan pemasukan data (entry) dilakukan dengan cara memasukan data ke tabel entri. Tahapan pengecekan ulang (cleaning) dilakukan untuk memastikan
28
tidak ada kesalahan dalam memasukan data. Pengolahan data menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007, Software Nutrisurvey 2007 dan Software Anthroplus WHO 2007, kemudian dianalisis menggunakan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 16,0. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif, uji beda Mann-Whitney U, dan uji korelasi Spearman. Pengelompokan atau pengkategorian terhadap beberapa variabel tertentu dilakukan dalam rangka memperdalam analisis. Menurut Dahlan (2008) bahwa uji komparatif tidak berpasangan dengan skala pengukuran kategorik menggunakan uji beda Mann-Whitney U dan uji korelatif dengan skala pengukuran kategorik menggunakan uji korelasi Spearman. Analisis deskriptif digunakan untuk proses penyelenggaraan makanan dan kondisi lingkungan pemondokan. Uji beda Mann-Whitney U digunakan untuk mengetahui perbedaan karakteristik contoh (umur dan uang saku), karakteristik orang tua contoh (tingkat pendidikan dan pendapatan), tingkat kecukupan konsumsi, status gizi, status kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit dan skor morbiditas. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mencari hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi. Daftar jenis variabel, batasan jenis kategori variabel, dan sumber yang menjadi acuan pengkategorian variabel dapat dilihat pada Lampiran 1. Umur. Data umur contoh dikelompokan berdasarkan Depkes (2005) menjadi tiga kategori, yaitu remaja awal (10-13 tahun), remaja tengah (14-16 tahun) dan remaja akhir (17-19 tahun). Uang saku. Data uang saku contoh diolah dengan mengelompokannya menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokan uang saku contoh dengan mencari simpangan kuartilnya. Berdasarkan perhitungan dengan mencari simpangan kuartilnya, diperoleh tiga kategori untuk uang saku contoh yaitu
kategori
rendah
(
200.000/bulan),
sedang
(Rp
200.000-Rp
499.000/bulan), dan tinggi (≥Rp 500.000/bulan). Pendidikan orang tua. Data tingkat pendidikan orang tua contoh diolah dengan mengelompokannya menjadi enam kategori, yaitu tidak tamat SD, tamat SD/sederajat,
tamat
SLTP/sederajat,
tamat
SLTA/sederajat,
tamat
Diploma/Akademi dan tamat Sarjana/Pascasarjana. Pekerjaan orang tua. Data pekerjaan orang tua contoh diolah dengan mengelompokannya menjadi sebelas kelompok, yaitu tidak bekerja, PNS, pegawai swasta, bekerja di BUMN, TNI/POLRI, wiraswasta, ibu rumah tangga, petani, pedagang, buruh dan lainnya.
29
Pendapatan orang tua. Data pendapatan orang tua contoh diolah dengan mengelompokannya menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokan pendapatan orang tua contoh dengan mencari simpangan kuartilnya. Berdasarkan perhitungan dengan mencari simpangan kuartilnya, diperoleh tiga kategori untuk pendapatan orang tua contoh yaitu kategori rendah (
= Kandungan zat gizi –i dalam bahan pangan –j
Bj
= Berat makan –j yang dikonsumsi (g)
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan pangan ke-j
BDDj = Bagian bahan pangan -j yang dapat dimakan Tingkat kecukupan konsumsi. Untuk menghitung tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok umur) digunakan rumus sebagai berikut : AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan : AKGI = Angka kecukupan gizi contoh Ba
= Berat badan aktual sehat (kg)
30
Bs
= Berat badan patokan (kg)
AKG
= Angka kecukupan gizi yang dianjurkan WNPG (2004)
Perhitungan tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein menggunakan rumus di bawah ini : TKG = (K/AKGI) x 100% Keterangan : TKG
= Tingkat kecukupan konsumsi gizi
K
= Konsumsi gizi (food record 7x24 jam)
AKGI = Angka kecukupan gizi contoh Vitamin dan mineral dihitung langsung dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan WNPG (2004), tanpa menggunakan angka kecukupan gizi contoh (AKGI). Perhitungan untuk tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral menggunakan rumus seperti pada tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein. Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dikelompokan menjadi lima kategori, yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (7079% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG) (Depkes 1996). Tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral dikelompokan menjadi dua, yaitu defisit (<77% AKG) dan cukup (≥77% AKG) (Gibson 2005). Status gizi. Data status gizi diperoleh dengan melakukan penimbangan berat badan (kg) menggunakan timbangan injak digital merek Camry dengan kapasitas 150 kg dan tingkat ketelitian 0,1 kg. Pengukuran tinggi badan (cm) dilakukan dengan menggunakan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan tingkat ketelitian 0,1 cm. Data status gizi contoh ditentukan berdasarkan data yang sudah diperoleh yaitu umur, berat badan dan tinggi badan contoh, dengan parameter indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Pengkategorian indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) dalam WHO (2007) yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (-3≤ SD <-2), normal (-2≤ SD ≤+1), overweight (+1< SD ≤+2) dan obesitas (>+2 SD). Pengkategorian indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dalam WHO (2007) yaitu sangat pendek (<-3 SD), pendek (-3≤ SD <-2) dan normal (≥-2 SD). Pengkategorian indeks berat badan
31
menurut umur (BB/U) dalam CDC (2000) yaitu gizi kurang (<-2 SD), gizi baik (-2≤ SD ≤+2) dan gizi lebih (>+2 SD). Status kesehatan. Status kesehatan dilihat berdasarkan ada tidaknya contoh yang sakit dalam satu bulan terakhir meliputi gejala/jenis penyakit, lama sakit, dan frekuensi sakit. Gejala/jenis panyakit yang diteliti mencakup gejala/jenis penyakit infeksi dan non infeksi. Lama sakit dikategorikan berdasarkan BPS (2000) yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari. Frekuensi sakit dikelompokan menjadi 1 kali/bulan, 2 kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Untuk keperluan analisis, data skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Data tindakan pengobatan sebagai data penunjang diolah dengan mengelompokannya menjadi delapan kelompok, yaitu melakukan tindakan pengobatan ke rumah sakit, puskesmas, klinik, tempat praktek dokter, apotek, obat warung, obat tradisional dan tidak berobat. Kondisi lingkungan pemondokan. Data kondisi lingkungan yang diamati meliputi data kondisi fisik kamar tidur, sumber air minum, pembuangan sampah, pembuangan kotoran manusia dan pembuangan air limbah. Penilaian untuk kondisi fisik kamar tidur mengacu kepada kriteria ‘rumah sehat’ menurut Riskesdas
(2010)
yang
diperkuat
oleh
Kepmenkes
RI
No.
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan meliputi jenis atap, dinding, lantai, ketersediaan jendela, ventilasi, pencahayaan alami dan kepadatan penghuni. Penilaian untuk sumber air minum mengacu kepada MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010), yaitu akses terhadap sumber air minum terlindung. Penilaian untuk pembuangan sampah mengacu kepada Riskesdas (2010), yaitu cara pembuangan sampah yang baik. Penilaian untuk pembuangan kotoran manusia mengacu kepada MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010), yaitu akses terhadap sanitasi layak terkait pembuangan tinja. Penilaian untuk pembuangan air limbah mengacu kepada Riskesdas (2010), yaitu ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL).
32
Definisi Operasional Angka kecukupan gizi adalah jumlah zat gizi yang harus dipenuhi oleh santri putri per hari berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan kondisi fisiologis. Contoh adalah santri putri di pondok pesantren yang terpilih. Frekuensi sakit adalah seberapa sering santri putri mengalami sakit dengan gejala/jenis penyakit yang sejenis dalam satu bulan terakhir dan dikelompokan menjadi 1 kali, 2 kali dan ≥3 kali mengalami sakit. Gejala/jenis penyakit adalah jenis serangan yang bersifat infeksi maupun non infeksi dari luar maupun dari dalam tubuh santri putri yang menyebabkan terganggunya fungsi normal tubuh. Gejala/jenis penyakit dinyatakan dengan pernyataan contoh. Kondisi fisik kamar tidur adalah bagian-bagian fisik kamar tidur santri putri yang meliputi jenis atap, dinding, lantai, ketersediaan jendela, ventilasi, pencahayaan alami dan kepadatan penghuni. Kondisi lingkungan pemondokan adalah keadaan lingkungan pemondokan (asrama) santri putri dan sekitarnya yang meliputi kondisi fisik kamar tidur, sumber air minum, pembuangan sampah, kotoran manusia dan air limbah. Konsumsi makanan adalah jumlah masing-masing zat gizi dari makanan yang sebaiknya dipenuhi santri putri agar hampir semua santri putri hidup sehat berupa energi dan zat gizi (protein, vitamin A, B1 dan C, serta kalsium, fosfor dan zat besi). Lama sakit adalah waktu yang dilalui santri putri dalam keadaan sakit (dalam hari) akibat serangan penyakit atau infeksi dan dikelompokan menjadi 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari. Makanan asrama adalah makanan yang diperoleh oleh santri putri dari penyelenggaraan makanan di asrama. Makanan luar asrama adalah makanan yang diperoleh oleh santri putri dari luar penyelenggaraan makanan di asrama, seperti makanan jajanan di kantin, warung atau pedagang kaki lima yang berada di luar asrama. Menu makanan adalah susunan hidangan makanan yang dikonsumsi santri putri pada waktu pagi, siang dan malam.
33
Proses
penyelenggaraan
makanan
adalah
suatu
proses
dalam
penyelenggaraan makanan yang dimulai dari perencanaan menu sampai penyajian makanan. Skor morbiditas adalah keadaan atau kondisi tubuh santri putri yang dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit kemudian dikategorikan menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh santri putri yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan melalui parameter indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Status kesehatan adalah keadaan atau kondisi tubuh santri putri yang dilihat berdasarkan ada tidaknya santri putri yang sakit dalam satu bulan terakhir meliputi gejala/jenis penyakit, lama sakit dan frekuensi sakit. Status kesehatan berbanding terbalik dengan skor morbiditas, semakin tinggi skor morbiditas maka status kesehatan semakin rendah begitupun sebaliknya. Tindakan pengobatan adalah tindakan yang dilakukan oleh santri putri ketika sakit. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain berobat ke pelayanan kesehatan formal, beli obat di warung atau pengobatan tradisional. Tingkat kecukupan konsumsi adalah perbandingan konsumsi rata-rata zat gizi makro maupun zat gizi mikro terhadap angka kecukupan gizi santri putri yang dianjurkan menurut umur berdasarkan WNPG (2004) dan dinyatakan dalam persen.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) Lokasi pondok pesantren modern Sahid terletak di jalan KH. Abdul Hamid KM 6, Gunung Menyan Pamijahan Bogor, Jawa Barat. Pondok pesantren ini berdiri di atas tanah seluas 70 hektar (700.000 m2). Fasilitas yang terdapat di PP Sahid diantaranya yaitu dua komplek bangunan yang diperuntukkan untuk asrama putra dan asrama putri, masing-masing asrama terdiri dari empat unit dengan total kamar sebanyak 80 buah. Setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi. Jumlah penghuni setiap kamar yaitu enam orang santri. Fasilitas lainnya yaitu masjid, gedung sekolah, perkantoran, auditorium, perpustakaan, dapur, ruang makan, kantin, anjungan telepon di asrama, klinik dan mini market. Selain itu, terdapat sarana olah raga, laboratorium IPA, laboratorium komputer, serta lahan pertanian dan peternakan yang luas. Santri putra dan putri PP Sahid tahun ajaran 2010-2011 berjumlah 775 orang, terdiri dari 429 santri putra (55,4%) dan 346 santri putri (44,6%). PP Sahid diresmikan pada tanggal 27 Mei 2000 setelah mendapat ijin operasional dari Departemen Agama Provinsi Jawa Barat dengan nama Pesantren Sahid Mandiri. Nama tersebut kemudian diubah menjadi Pondok Pesantren Modern Sahid. Sejak didirikannya, PP Sahid telah mencanangkan visi dan misi yang jelas. Visi dari PP Sahid adalah menjadi pusat pendidikan Islam yang modern dan bertaraf Internasional, guna mempersiapkan generasi unggul, berbudaya, Islami dalam rangka mengimplementasikan ajaran Islam sebagai “rahmatan lil’Alamin”. Guna mencapai visi tersebut disiapkan sarana prasarana secara bertahap, sumber daya manusia (SDM) dan sistem yang selalu diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun misinya dirumuskan sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan pendidikan Islam yang modern dan bertaraf Internasional mulai tingkat Raudhatul Athfal, Ibtidaiyyah, Tsanawiyah sampai Aliyah 2. Menyelenggarakan dakwah dan pengembangan potensi umat 3. Berperan aktif dalam pengembangan pendidikan Islam Pengasuh dan guru di PP Sahid sebagian berasal dari alumni beberapa pesantren modern di Jawa dan sebagian lagi berasal dari perguruan tinggi seperti IKIP, IPB, UGM, UNS, UIN dan ISID. Selain itu didatangkan Syeikh dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
35
Santri diwajibkan membayar uang SPP pada setiap bulannya sesuai jumlah yang telah ditentukan oleh pihak pesantren. Santri dapat dikunjungi oleh orang tua atau keluarga di luar jam belajar atau kegiatan wajib lainnya. Selain itu santri diijinkan keluar pesantren untuk keperluan pribadi atau organisasi, berobat atau acara keluarga dengan cara mengikuti prosedur perijinan yang ditentukan asrama, serta saat liburan pesantren yang ditentukan berdasarkan kalender pendidikan PP Sahid. Jumlah santri putri di PP Sahid pada tahun ajaran 2010/2011 yang tertampung keseluruhannya berjumlah 346 orang yang terbagi dalam tiga kelas Tsanawiyah dan lima kelas Aliyah. Data santri putri PP Sahid menurut tingkat pendidikan secara rinci disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran santri putri PP Sahid menurut tingkat pendidikan Kelas Tsanawiyah (SLTP) Aliyah (SLTA) Total
n 224 122 346
% 64,7 35,3 100,0
Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI) Lokasi pondok pesantren modern Ummul Quro Al-Islami terletak di kampung Banyusuci, Leuwimekar Leuwiliang Bogor, Jawa Barat. Pondok pesantren ini berdiri diatas tanah seluas 10 hektar (100.000 m2). Fasilitas yang terdapat di PP UQI diantaranya yaitu dua komplek bangunan yang diperuntukkan untuk asrama putra dan asrama putri. Khusus untuk asrama putri terdapat tujuh gedung dan dinamakan dengan gedung keramat luar batang I-VII. Jumlah keseluruhan kamar yaitu 40 buah, tiap kamar dihuni sekitar 35-40 orang (termasuk di dalamnya 4 orang pengurus kamar). Fasilitas lainnya yaitu asrama guru, tempat peristirahatan tamu, kamar mandi putra dan putri, masjid, gedung serba guna (GSG), sekolah, perkantoran, perpustakaan, dapur pusat dan dua dapur khusus, ruang makan guru, kantin, wartel, klinik dan koperasi. Selain itu, terdapat lapangan serba guna, laboratorium IPA, laboratorium bahasa dan laboratorium komputer. Santri putra dan putri PP UQI tahun ajaran 2011-2012 berjumlah 3332 orang, terdiri dari 1776 santri putra (53,3%) dan 1556 santri putri (46,7%). PP UQI didirikan pada tanggal 1 Muharram 1414 H/21 Juni 1993 M. Satu tahun kemudian PP UQI beroperasi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran, tepatnya pada tanggal 10 Juli 1994 M. Kurikulum pendidikan dan
36
pengajaran di PP UQI merupakan perpaduan antara Kurikulum Nasional dan kurikulum yang berlaku di pondok pesantren pada umumnya. Visi dari PP UQI adalah terwujudnya generasi Islam yang unggul dalam prestasi, berakhlak mulia, beramal shaleh dan tekun beribadah berdasarkan paham “akhlussunnah wal jamaah”. Adapun misinya dirumuskan sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dalam pencapaian prestasi akademik dan non akademik 2. Mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat yang mutafaqih fi addin berfaham ahlussunnah waljamaah 3. Mempersiapkan generasi Islam yang kompeten (science, skill, social, behaviour) untuk berkiprah di dunia internasional. 4. Mendidik generasi Islam yang taat kepada Allah dan RasulNya serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa Pengasuh dan guru di PP UQI sebagian berasal dari alumni beberapa pesantren di Jawa dan alumni dari PP UQI dan sebagian lagi berasal dari perguruan tinggi seperti IKIP, UIN, STAI, IPB, PAKUAN, UHAMKA dan beberapa universitas di Timur Tengah. Santri diwajibkan membayar uang SPP pada setiap bulannya sesuai jumlah yang telah ditentukan oleh pihak pesantren. Santri dapat dikunjungi oleh orang tua atau keluarga di luar jam belajar atau kegiatan wajib lainnya. Selain itu santri diijinkan keluar pesantren untuk keperluan pribadi atau organisasi, untuk berobat atau acara keluarga dengan cara mengikuti prosedur perijinan yang ditentukan asrama, serta saat liburan pesantren yang ditentukan berdasarkan kalender pendidikan PP UQI. Jumlah santri putri di PP UQI pada tahun ajaran 2011/2012 yang tertampung keseluruhannya berjumlah 1556 orang yang terbagi dalam tiga kelas Tsanawiyah dan enam kelas Aliyah. Data santri putri PP UQI menurut tingkat pendidikan secara rinci disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran santri putri PP UQI menurut tingkat pendidikan Kelas Tsanawiyah (SLTP) Aliyah (SLTA) Total
n 810 746 1556
% 52,1 47,9 100,0
37
Karakteristik Contoh Umur Setiap individu mengkonsumsi makanan dalam jumlah dan jenis yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah umur. Konsumsi makanan biasanya terkait dengan jumlah energi yang diperlukan oleh individu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Jumlah energi yang diperlukan tubuh pada masa anak-anak tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan pada masa remaja. Jumlah energi tersebut akan meningkat dengan pertambahan umur dan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh selanjutnya akan mengalami penurunan kembali pada saat usia lanjut (Suhardjo 1989). Berdasarkan hasil pengkategorian umur menurut Depkes (2005), sebagian besar umur contoh PP Sahid (57,4%) dan PP UQI (43,7%) berada pada kategori remaja tengah (14-16 tahun). Berdasarkan uji beda Mann-Whitney U menunjukan bahwa sebaran umur contoh adalah berbeda nyata (p<0,05). Data umur contoh secara rinci disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh menurut umur Umur Remaja awal (10-13 tahun) Remaja tengah (14-16 tahun) Remaja akhir (17-19 tahun) Total
n 21 39 8 68
PP Sahid % 30,9 57,4 11,8 100,0
PP UQI n % 19 21,8 38 43,7 30 34,5 87 100,0
Uang Saku Uang saku yang diperoleh contoh merupakan pemberian orang tua yang digunakan untuk memenuhi keperluan mereka sehari-hari di pondok pesantren, baik untuk jajan maupun keperluan lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian jumlah uang saku kepada contoh yaitu besarnya pendapatan orang tua. Jumlah uang saku yang semakin besar membuat contoh dapat memilih makanan jajanan yang lebih beragam dan berkualitas. Berdasarkan hasil pengkategorian dengan mencari simpangan kuartilnya, diketahui sebagian besar uang saku contoh PP Sahid (55,9%) berada pada kategori tinggi (≥Rp 500.000/bulan), sedangkan pada contoh PP UQI (57,4%) berada pada kategori sedang (Rp 200.000-Rp 499.999/bulan). Sebaran Uang saku contoh berdasarkan uji beda Mann-Whitney U adalah berbeda nyata (p<0,05). Data uang saku contoh secara rinci disajikan pada Tabel 7.
38
Tabel 7 Sebaran contoh menurut uang saku PP Sahid n % 1 1,5 29 42,7 38 55,9 68 100,0
Uang saku Rendah (
PP UQI n % 28 32,2 50 57,4 9 10,3 87 100,0
Karakteristik Orang Tua Contoh Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan dapat dijadikan sebagai cerminan keadaan sosial ekonomi di dalam masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin
tinggi
pekerjaannya,
yang
memungkinkan
seseorang
memiliki
kesadaran yang lebih tinggi terhadap suatu hal (Sumarwan 2011). Berdasarkan pengkategorian terhadap tingkat pendidikan orang tua contoh, diketahui sebagian besar pendidikan ayah contoh PP Sahid (51,5%) adalah tamat Sarjana/Pascasarjana, sedangkan pendidikan ibu contoh PP Sahid (39,7%) adalah tamat SLTA/sederajat. Sebagian besar pendidikan ayah dan ibu contoh PP UQI adalah tamat SLTA/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 42,5% dan 35,6%. Berdasarkan uji beda Mann-Whitney U menunjukan bahwa sebaran tingkat pendidikan orang tua contoh adalah berbeda nyata (p<0,05). Data tingkat pendidikan orang tua contoh secara rinci disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua Tingkat pendidikan
PP Sahid n
Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat Diploma/Akademi Tamat Sarjana/Pascasarjana Total
1 2 20 10 35 68
Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat Diploma/Akademi Tamat Sarjana/Pascasarjana Total
0 1 27 14 26 68
% Ayah 1,5 2,9 29,4 14,7 51,5 100,0 Ibu 0,0 1,5 39,7 20,6 38,2 100,0
PP UQI n
%
10 9 37 8 23 87
11,5 10,3 42,5 9,2 26,4 100,0
20 11 31 7 18 87
23,0 12,6 35,6 8,0 20,7 100,0
39
Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima. Pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan individu (Suhardjo 1989). Berdasarkan pengelompokan terhadap jenis pekerjaan orang tua contoh, diketahui sebagian besar pekerjaan ayah contoh PP Sahid (47,1%) dan PP UQI (49,4%) adalah berwiraswasta. Sebagian besar pekerjaan ibu contoh PP Sahid (48,5%) dan PP UQI (63,2%) adalah ibu rumah tangga. Data jenis pekerjaan orang tua contoh secara rinci disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan orang tua Jenis pekerjaan
PP Sahid n %
PNS Pegawai Swasta Bekerja Di BUMN TNI/Polri Berwiraswasta Petani Pedagang Lainnya Total
11 20 3 2 32 0 0 0 68
PNS Pegawai Swasta Berwiraswasta Ibu Rumah Tangga Petani Pedagang Buruh Lainnya Total
10 5 15 33 0 0 0 5 68
Ayah 16,2 29,4 4,4 2,9 47,1 0,0 0,0 0,0 100,0 Ibu 14,7 7,4 22,1 48,5 0,0 0,0 0,0 7,4 100,0
PP UQI n % 13 20 1 2 43 2 1 5 87
14,9 23,0 1,1 2,3 49,4 2,3 1,1 5,7 100,0
10 2 6 55 1 4 1 8 87
11,5 2,3 6,9 63,2 1,1 4,6 1,1 9,2 100,0
Pendapatan Orang Tua Orang yang berpenghasilan rendah di negara-negara berkembang cenderung
membelanjakan
pendapatannya
untuk
makanan.
Pendapatan
merupakan faktor langsung yang mempengaruhi konsumsi pangan, pendapatan termasuk penentu baik atau buruknya keadaan gizi seseorang atau sekelompok orang (Berg 1986). Berdasarkan pengkategorian dengan mencari simpangan kuartilnya, diketahui sebagian besar pendapatan orang tua contoh PP Sahid (47,1%) berada pada kategori tinggi (≥Rp 6.000.000/bulan), sedangkan pada contoh PP UQI (50,6%) berada pada kategori sedang (Rp 2.000.000-Rp
40
5.999.999/bulan). Sebaran tingkat pendapatan orang tua contoh berdasarkan uji beda Mann-Whitney U adalah berbeda nyata (p<0,05). Data tingkat pendapatan orang tua contoh secara rinci disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh menurut tingkat pendapatan orang tua Tingkat pendapatan Rendah (
PP Sahid n % 9 13,2 27 39,7 32 47,1 68 100,0
PP UQI n % 30 34,5 44 50,6 13 14,9 87 100,0
Sejarah Penyelenggaraan Makanan PP Sahid sejak didirikan dan diresmikan tidak mempersiapkan dan tidak memasak sendiri makanan untuk santri, tetapi menyerahkan kepada usaha jasa boga yaitu kepada Katering Barakah. PP Sahid menyediakan dapur, ruang makan untuk santri dan urusan belanja. Selebihnya seperti peralatan masak dan peralatan makan serta tenaga kerja dari persiapan bahan pangan hingga distribusi dan penyajian makanan dilakukan sendiri oleh Katering Barakah. Katering Barakah dikontrak setiap dua tahun sekali dan sampai sekarang masih menyelenggarakan makanan untuk santri. Katering Barakah sebelumnya menyediakan makanan untuk santri putra dan putri, kemudian PP Sahid membuat kebijakan baru yaitu penyelenggaraan makanan untuk santri putra dan putri dilakukan secara terpisah dengan katering yang berbeda. Jumlah porsi santri yang dilayani oleh Katering Barakah ditentukan oleh PP Sahid setiap awal bulan (tanggal satu) dan berlaku selama satu bulan, untuk sekali makan yaitu sekitar 400 porsi. Katering Barakah menyediakan tiga kali makan untuk santri putri yaitu pagi, siang dan malam. PP UQI sejak didirikan sudah melakukan penyelenggaraan makanan sendiri untuk santri putra dan putri, yaitu mempersiapkan dan memasak sendiri makanan yang diperlukan dan sekaligus melayani distribusi makanan kepada santri putra dan putri. PP UQI mempersiapkan seluruh fasilitas yang diperlukan seperti dapur, gudang penyimpanan, peralatan untuk mengolah makanan, tenaga kerja dan biaya yang diperlukan. Dapur PP UQI terdiri atas dua macam yaitu dapur utama untuk mempersiapkan makanan santri dan dapur khusus di rumah Pimpinan PP UQI untuk mempersiapkan makanan bagi Asatidz (guru). PP UQI menyediakan sekitar 3332 porsi untuk sekali makan dan sekitar 1560 porsi
41
untuk sekali makan santri putri. PP UQI menyediakan tiga kali makan untuk santri putri yaitu pagi, siang dan malam. Input Penyelenggaraan Makanan Tenaga Kerja Menurut Perdigon (1989) bahwa tipe penyelenggaraan makanan sekolah berasrama dengan jumlah porsi 1350/hari (sarapan, makan siang, makan malam dan snack) membutuhkan minimal 21 tenaga kerja, terdiri dari 1 orang ahli gizi, 1 orang supervisor (pengawas), 1 receiving clerk (petugas penerimaan), 3 orang koki (juru masak), 2 orang asisten koki, 4 orang counter girls (pelayan konter), 5 orang dish-washer (petugas pencucian), 2 orang busboys (pelayan) dan 2 orang relievers (pembantu umum). Penyelenggaraan makanan di PP Sahid yang menyediakan sekitar 1200 porsi/hari memiliki tenaga kerja sebanyak 12 orang, terdiri dari 1 orang supervisor (pengawas), 1 orang penanggung jawab, 1 orang operational katering, 1 orang koki, 3 orang asisten koki dan 5 orang pramusaji. Penyelenggaraan di PP UQI yang menyediakan sekitar 9996 porsi/hari (4680 porsi/hari untuk santri putri) memiliki tenaga kerja sebanyak 13 orang terdiri dari 1 orang penanggung jawab dapur dan 12 orang pegawai dapur. Jumlah tenaga kerja di PP Sahid dan PP UQI masih kurang untuk melayani porsi dengan jumlah tersebut. Selain itu, di kedua pondok pesantren belum ada tenaga profesional yaitu ahli gizi. Penting adanya seorang ahli gizi karena bertugas untuk merencanakan menu yang sesuai dengan prinsip gizi seimbang sehingga memenuhi kebutuhan gizi santri. Jumlah tenaga kerja yang kurang di PP Sahid dan PP UQI mengakibatkan variasi menu makanan asrama di kedua pesantren menjadi kurang beragam karena tidak cukup waktu untuk melakukan proses persiapan dan pemasakan bahan pangan. Fasilitas Fisik dan Peralatan Fasilitas Fisik Fasilitas fisik pada penyelenggaraan makanan setidaknya memiliki fasilitas untuk penerimaan bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, persiapan bahan pangan, pemasakan bahan pangan, penyimpanan peralatan, pelayanan/penyajian, pencucian peralatan, fasilitas untuk karyawan termasuk kantor dan fasilitas pembuangan sampah (Perdigon 1989). PP Sahid menyediakan fasilitas fisik untuk Katering Barakah antara lain dapur, gudang kering, gudang basah, tempat pencucian bahan pangan dan
42
peralatan, ruang makan santri, ruang untuk tenaga kerja, tempat pembuangan sampah akhir dan tempat pembuangan air limbah. PP Sahid belum menyediakan fasilitas untuk penerimaan bahan pangan, persiapan bahan pangan dan penyimpanan peralatan. Penerimaan bahan pangan dilakukan di depan pintu dapur, persiapan bahan pangan dilakukan di luar dapur (halaman sekitar dapur), peralatan masak disimpan di dapur dan peralatan makan (plato) disimpan di gudang kering. PP UQI
menyediakan fasilitas fisik untuk penyelenggaraan makanan
antara lain dapur, gudang penyimpanan bahan pangan, gudang peralatan, ruang tenaga kerja, kamar mandi tenaga kerja, tempat pembuangan sampah akhir dan tempat pembuangan air limbah. PP UQI belum menyediakan fasilitas untuk penerimaan bahan pangan, persiapan bahan pangan dan pencucian peralatan. Penerimaan bahan pangan dilakukan di dekat dapur, persiapan bahan pangan dilakukan di ruang penyimpanan bahan pangan dan pencucian peralatan masak dilakukan di dapur. PP UQI tidak menyediakan peralatan makan untuk santri karena santri diwajibkan untuk membawa sendiri peralatan makan dan mencucinya sendiri. Peralatan Jenis
dan
jumlah
peralatan
disediakan
berdasarkan
kebutuhan
operasinya dan bertujuan untuk membuat pekerjaan lebih mudah; mengurangi biaya tenaga kerja, meningkatkan sanitasi; mempertahankan nilai gizi dari waktu penyajian makanan; mengurangi biaya; serta menambah daya tarik dan variasi menu. Peralatan dikelompokkan berdasarkan penggunaannya dalam pekerjaan utama di dapur antara lain peralatan untuk penimbangan dan penyimpanan; peralatan mekanik dan mesin untuk menyiapkan, memasak, dan menyajikan makanan; serta peralatan kebersihan (Perdigon 1989). Katering Barakah menyediakan sendiri peralatan untuk mengolah makanan. PP Sahid hanya menyediakan peralatan makan untuk santri berupa plato (tray). Peralatan untuk mengolah makanan terdiri atas peralatan besar dan utensils. Peralatan yang digunakan di PP Sahid belum memadai dari segi kualitas bahan, sebagai contoh wadah untuk menyajikan sayur yang masih panas yaitu di wadah berbahan plastik. Seharusnya wadah untuk menyajikan makanan yang masih dalam keadaan panas yaitu disimpan di wadah yang berbahan alumuniaum atau stainless steel, jika disimpan diwadah yang berbahan
43
plastik makanan akan terkontaminasi oleh zat kimia dari bahan plastik. Namun, peralatan tersebut terbagi sesuai dengan fungsinya antara lain : 1. Penyimpanan bahan pangan: bakul bambu (kapasitas 5 kg), kaleng bumbu giling dan bubuk (kapasitas 2,8 liter), keranjang rempah (volume 0,3x0,2x0,05 m), freezer (volume 0,9x0,6x0,9 m) dan rak besar (pajang 2 m, lebar 0,5 m, dan tinggi 3 m) dengan lima penyekat. 2. Persiapan bahan pangan: berbagai jenis pisau, talenan, saringan santan (diameter 0,3 m), ayakan (diamter 1 m), cobek (diameter 0,3 m), baskom (kapasitas 5 kg), penampan (Luas 0,3x0,2 m), bakul plastik (kapasitas 5 kg), timbangan makanan (kapasitas 5 kg), blender (kapasitas 1 liter), dan bak cuci besar (kapasitas 500 liter). 3. Pemasakan: kompor gas, wajan besar (diameter 40 cm), wajan kecil (diameter 24 cm), dandang besar (kapasitas 10 kg), panci besar (kapasitas 12 liter), panci kecil (kapasitas 8 liter), rice cooker (kapasitas 2,5 kg), teflon (diameter 24 cm), alat pemanggang (luas 0,3x0,2 cm), cetakan telur (kapasitas 8 cetak butir telur), sendok sayur, sodet, saringan minyak (diameter 0,2 m) dan sebagainya. 4. Distribusi dan penyajian makanan: baskom aluminium (kapasitas 3 kg), termos nasi besar (kapasitas 20 liter), box/kontainer makanan (volume 0,6x0,41x0,34 m, 0,7x0,48x0,42 m, dan 0,6x0,41x0,27 m), sendok sayur, penjepit makanan, centong nasi serta peralatan makan berupa plato. 5. Alat kebersihan: tempat sampah plastik (diameter 0,3 m dan tinggi 0,4 m), bak sampah besar (diameter 0,5 m dan tinggi 0,6 m), sapu lantai, sapu lidi, serokan, alat pel dan lap meja. Peralatan yang digunakan dalam penyelenggaraan makanan PP UQI terdiri atas peralatan besar dan utensils, tetapi belum lengkap sesuai dengan fungsinya. Peralatan besar antara lain kompor gas, wajan besar (diameter 1 m), dandang besar (kapasitas 20 kg), termos nasi besar (kapasitas 20 liter), dan bakul plastik (kapasitas 5 kg). Utensils antara lain pisau, talenan, blender (kapasitas 1 liter), sodet, saringan minyak (diameter 0,3 m), saringan santan (diameter 0,3 m), centong nasi, sendok sayur, gayung air dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat tempat sampah besar (diameter 0,5 m dan tinggi 0,6 m) dan alat kebersihan seperti sapu lantai, sapu lidi, serokan, alat pel dan lap meja.
44
Dana/Biaya Faktor utama yang dipantau dalam pengendalian biaya adalah food (bahan pangan), labor (tenaga kerja), operating (operasi) dan overhead cost (biaya lainnya) seperti listrik, pajak, dan sebagainya (Shirley 1999). PP Sahid menyusun anggaran untuk penyelenggaraan makanan setiap bulan. Penyusunan anggaran biaya dilakukan oleh Kepala Bagian Kerumahtanggaan Asrama Putri. Sumber biaya yang dipakai untuk penyelenggaraan makanan berasal dari SPP santri setiap bulan. Sumber biaya dari SPP tersebut dianggarkan untuk makan santri sebesar Rp 12.000 per hari/santri. Dana dari SPP tersebut kemudian dianggarkan untuk biaya bahan pangan (81,7%), untuk biaya bahan bakar, transportasi, alat pembersih, dan lain-lain (biaya lainnya) sekitar 4,9%, dan untuk biaya upah tenaga kerja (13,4%). Anggaran untuk upah tenaga kerja diberikan kepada pemilik katering, kemudian pemilik katering yang akan membagikan upah tenaga kerja sesuai dengan tugas dan pekerjaan mereka. Secara rinci anggaran biaya dalam penyelenggaraan makanan PP Sahid dan PP UQI dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Anggaran biaya penyelenggaraan makanan PP Sahid dan PP UQI Biaya Anggaran makan dari SPP santri/bulan Harga makanan sekali makan Harga makanan per hari Biaya bahan pangan (Food Cost): Pengeluaran untuk belanja/bulan Biaya lainnya (Overhead Cost): Pengeluaran untuk transportasi/bulan, bahan bakar/bulan, dan lainnya Manpower Cost: Pengeluaran untuk upah tenaga kerja/bulan
PP Sahid
%
PP UQI
%
Rp
360.000
Rp
240.000
Rp
4.000
Rp
2.700
Rp
12.000
Rp
8.000
Rp 100.000.000
81,7
Rp 180.000.000
85,0
6.000.000
4,9
Rp 31.650.000
15,0
Rp 16.301.250
13,4
-
0,0
Rp
PP UQI memperoleh sumber biaya penyelenggaraan makanan dari sebagian SPP santri yaitu sebesar Rp 8.000 per hari/santri. Berdasarkan biaya tersebut, dianggarkan untuk biaya bahan pangan (85,0%) dan untuk biaya bahan
45
bakar, transportasi, alat pembersih, dan lain-lain (biaya lainnya) sekitar 15,0%. Anggaran untuk upah tenaga kerja tidak ada karena upah tenaga kerja langsung diberikan oleh Pimpinan PP UQI. Proses Penyelenggaraan Makanan Perencanaan Menu Kata menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya suatu daftar yang tertulis secara rinci (Palacio & Theis 2009). Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang (Depkes 2003). Kegiatan perencanaan menu PP Sahid dilakukan oleh kepala bagian kerumahtanggaan Asrama Putri yang selanjutnya dikonsultasikan dengan orang dari Puslitbangkes (Pusat penelitian dan pengembangan kesehatan). Kegiatan perencanaan menu PP UQI dilakukan oleh penanggung jawab dapur yang telah dipercaya oleh Pimpinan PP UQI untuk mengatur makanan santri. Menu yang telah disusun kemudian dikonsultasikan kepada Ibu Pimpinan PP UQI yang secara tidak langsung ikut mengatur makanan untuk santri. Menurut Depkes (1991) bahwa perencanaan menu seharusnya disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru masak, pengelola dan konsumen (santri dan orang tuanya). Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan menu: 1) informasi tentang pelanggan yang akan dilayani, meliputi jumlah, usia, jenis kelamin, kebutuhan gizi, makanan kesukaan dan kemampuan membayar; 2) pengetahuan tentang proses kegiatan meliputi peralatan yang tersedia di dapur, keterampilan, anggaran, serta tipe dan jenis pelayanan; 3) faktor lingkungan seperti waktu, musim, iklim dan ketersediaan sumber bahan pangan; dan 4) estetika meliputi variasi makanan, kombinasi warna, tekstur, bentuk, rasa dan konsistensi (Perdigon 1989). Perencanaan menu di PP Sahid hanya disesuaikan dengan anggaran yang telah ditetapkan yaitu seharga Rp 4.000 untuk sekali makan dan variasi masakan. Perencanaan menu di PP UQI disusun berdasarkan anggaran atau biaya yang tersedia yaitu seharga Rp 2.700 untuk sekali makan serta kondisi harga bahan pangan di pasar. Perencanaan menu di kedua pesantren belum mempertimbangkan faktor yang sangat penting yaitu kebutuhan gizi, hal tersebut karena tidak adanya tenaga profesional (ahli gizi). Kebutuhan gizi sangat penting diperhatikan saat perencanaan menu karena berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan asrama. Rendahnya kuantitas dan kualitas makanan
46
asrama menyebabkan santri masih merasa lapar setelah makan makanan asrama, sehingga santri membeli makanan dari luar asrama. Siklus menu adalah berbagai susunan menu yang direncanakan dengan matang untuk jangka waktu tertentu dan berulang setelah jangka waktu itu selesai (Yuliati & Santoso 1995). Menu dapat disusun untuk satu rangkaian waktu 5, 7, 10 atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6 bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru (Depkes 1991). Penentuan siklus menu berguna untuk memudahkan, menghemat waktu dan tenaga pegawai dalam pembelian bahan pangan baik yang langsung dimasak maupun yang disimpan sebagai persediaan (Yuliati & Santoso 1995). Menu di PP Sahid dibuat untuk siklus 7 hari yang telah digunakan selama 4 bulan. Menu makanan asrama yang direncanakan dalam siklus menu 7 hari PP Sahid dapat dilihat pada Lampiran 2. Menu di PP UQI dibuat untuk siklus 7 hari tetapi penyajian menu tidak tetap di hari yang sama kecuali untuk opor ayam pada hari rabu makan siang dan semur telur pada hari jumat makan siang. PP UQI dikatakan memiliki siklus menu walaupun penyajian menu tiap minggunya dapat berubah-ubah karena bahan pangan yang digunakan merupakan bahan pangan yang sama setiap minggunya. Namun, menu makanan yang direncanakan PP UQI belum bervariasi yaitu setiap hari berupa nasi putih, mie goreng, bihun goreng, masakan berbahan dasar tahu dan tempe, serta sayuran (sayur asem, sayur sop, sayur kol santan dan urap), kadang-kadang ikan asin. Tahu dan tempe dimasak bergantian menggunakan bumbu semur atau bumbu kuning (santan). Menu makanan asrama yang direncanakan dalam siklus menu 7 hari PP UQI dapat dilihat pada Lampiran 3. Harus ada standar untuk setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan pangan per porsi menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan pangan yang digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per satu resep (Depkes 1991). Standar porsi Katering Barakah PP Sahid ada untuk lauk hewani dan lauk nabati, yaitu masing-masing 1 potong (misal 1 ekor ayam dipotong 12 potong atau tempe dan tahu masingmasing 1 buah), tetapi untuk nasi, sayur dan buah tidak ada standar porsi karena santri bebas mengambil selama masih tersedia banyak. Katering Barakah memiliki standar resep, tetapi standar resep ini tidak ada dalam bentuk tertulis, hanya mengandalkan memori para juru masak.
47
Tidak ada standar porsi yang diterapkan di PP UQI. Sebenarnya sudah ada aturan bagi santri untuk makan secara sendiri-sendiri. Namun, kebanyakan santri mengambil makanan untuk dimakan bersama-sama sehingga sewaktu mengantri dan diambilkan makanan oleh penyaji, tidak ada porsi khusus tiap orang, tergantung santri meminta seberapa. Resep standar yang biasa digunakan PP UQI untuk masakan yaitu bumbu kuning dan bumbu semur untuk tahu dan tempe. Resep tidak ada standar secara tertulis, hanya berdasarkan pengalaman yang selama ini telah dilakukan. Pelaksanaan Penyelenggaraan Makanan Pembelian Bahan pangan Palacio & Theis (2009) mendefinisikan pembelanjaan bahan pangan sebagai sebuah proses pembelian atau pengadaaan suatu produk pada waktu yang tepat dengan jumlah, kualitas dan harga yang sesuai. Metode pembelian menurut Perdigon (1989) yaitu informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), formal competitive bid buying (pembelian bahan pangan dengan pelelangan) dan semi-formal method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan musyawarah). Metode pembelian bahan pangan PP Sahid dilakukan secara informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), yaitu dengan cara pemesanan melalui pemasok (PT Balapapat). PT Balapapat memasok bahan pangan, bahan pembersih/sabun, gas dan air minum. Pengadaan atau pembelian bahan pangan dilakukan dengan cara memesan bahan-bahan pangan yang dibutuhkan sesuai dengan menu yang telah ditetapkan. Pengadaan bahan pangan dilakukan setiap hari yaitu sehari sebelum menu diolah, tetapi untuk tiap bahan pangan memiliki waktu belanja masingmasing sesuai dengan kebutuhan. Pengadaan bahan pangan basah sehari sekali dan untuk bahan pangan kering dua hari sekali atau seminggu sekali sesuai dengan kebutuhan. Secara rinci dapat dilihat waktu belanja di penyelenggaraan makanan PP Sahid pada Lampiran 5. Metode pembelian di PP Sahid dinilai sudah cukup baik karena sudah ada perjanjian antara PT Balapapat dengan PP Sahid untuk pembelian bahan makanan, sehingga pengadaan bahan makanan sudah terjamin jumlah maupun kualitasnya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. PP Sahid tidak perlu mencari bahan makanan sendiri di pasar yang belum tentu ada sesuai dengan menu yang telah ditetapkan.
48
Metode pembelian bahan pangan PP UQI juga dilakukan secara informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), yaitu dengan cara membeli sendiri di pasar (Leuwiliang) dan dengan pemesanan melalui pemasok dari pasar (Leuwiliang). Pembelian sendiri di pasar dilakukan untuk sayuran, bumbu, rempah, minyak goreng, garam, ikan asin, gula pasir dan bahan pembersih. Bahan pangan lain yang harus selalu ada setiap hari di pesan melalui pemasok dan diantar langsung ke PP UQI. Bahan pangan
tersebut
antara lain beras, tahu, tempe, ayam, telur, kecap, bihun, mie telur dan gas bahan bakar. Pengadaan bahan pangan dengan membeli sendiri di pasar dilakukan setiap dua hari sekali, tetapi pengambilan bahan pangan tersebut dilakukan setiap hari. Bahan pangan yang dipesan kepada pemasok diantar pada waktu yang berbeda-beda tergantung kebutuhan. Secara rinci dapat dilihat waktu belanja di penyelenggaraan makanan PP UQI pada Lampiran 6. Jika dilihat dari segi tenaga dan biaya transportasi, pembelian dengan pemesanan melalui pemasok lebih menguntungkan dibandingkan dengan pembelian sendiri ke pasar. Jika dilihat dari segi kualitas bahan pangan, tidak ada yang lebih baik diantara keduanya karena PP UQI belum terlalu mementingkan terhadap kualitas bahan pangan. Pemesanan bahan pangan di PP Sahid dilakukan oleh Operational Katering Barakah, mencatatnya dalam nota belanja kemudian menyerahkan kepada Kepala Kerumahtanggaan Asrama Putri. Kepala Kerumahtanggaan selanjutnya akan memesankan bahan pangan maupun bahan-bahan lain kepada PT. Balapapat yang sudah dikontrak untuk menyediakan segala macam kebutuhan pesantren. Pengaturan pembelian bahan pangan di PP UQI dilakukan oleh penanggung jawab dapur. Orang yang diserahi tanggung jawab pembelian sebaiknya memiliki pengetahuan tentang berbagai produk bahan pangan, standar yang digunakan untuk menilai produk dalam hal mutu, jumlah, sanitasi dan harga, serta mempunyai pengetahuan tentang prosedur yang digunakan dalam memeriksa bahan pangan dan melaksanakan administrasi penerimaan (Sinaga 2010). Orang yang diserahi tanggung jawab pembelian di PP Sahid dan PP UQI adalah penanggung jawab dapur karena dinilai lebih mampu untuk melaksanakan/melakukan proses pembelian, walaupun belum sepenuhnya memenuhi persyaratan menurut Sinaga (2010), yaitu masih kurangnya pengetahuan tentang prosedur yang digunakan dalam memeriksa bahan pangan dan administrasi penerimaan.
49
Penerimaan Bahan pangan Penerimaan adalah proses lain dalam sistem penyelenggaraan makanan, yang memastikan apa yang telah dibeli benar-benar sesuai kualitas dan kuantitasnya dengan apa yang telah dikirimkan (Perdigon 1989). Prosedur penerimaan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara konvensional, yaitu pesanan bahan pangan diteliti dan diamati bagaimana cara pengepakan/ pembungkusan/penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman bahan pangan. Bahan pangan yang telah diteliti dan diamati selanjutnya dikirim ke gudang/ruang penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan pangan. Penerimaan bahan pangan juga dapat dilakukan secara blind (tanpa diperiksa), karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga (Depkes 1991). PP Sahid menerima bahan pangan yang telah dipesan dari PT Balapapat. Tidak ada ruangan khusus untuk penerimaan bahan pangan. Bahan pangan diantar menggunakan mobil bak tertutup untuk bahan pangan kering dan gerobak motor untuk bahan pangan basah. Kondisi alat transportasi tersebut dinilai sudah baik dalam hal kebersihannya karena kedua alat transportasi tersebut selalu dibersihkan secara berkala. Dua alat transportasi ini langsung menuju dapur dan menurunkan bahan pangan di depan pintu dapur. Bahan pangan yang telah diterima diletakkan dilantai sebelum dipersiapkan maupun dibawa ke ruang penyimpanan. Penerimaan bahan pangan PP Sahid dilakukan oleh Operational Katering dengan prosedur penerimaan secara konvensional, yaitu dengan mencocokan jumlah dan jenis bahan pangan yang diantar oleh PT Balapapat dengan catatan dalam nota belanja. Namun, pesanan bahan pangan belum diteliti
dan
diamati
bagaimana
cara
pengepakan/pembungkusan/
penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli. Proses penerimaan bahan pangan di PP Sahid dapat dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prosedur penerimaan yang baik secara konvensional. Bahan pangan yang dibeli sendiri oleh PP UQI dari pasar diangkut menggunakan mobil pick up khusus untuk belanja keperluan dapur. Bahan pangan dari mobil dipindah ke gerobak setelah sampai di dekat dapur. Bahan pangan selanjutnya dipersiapkan untuk segera diolah atau disimpan jika tidak langsung digunakan. Gerobak yang digunakan untuk keperluan belanja adalah gerobak yang sama ketika mendistribusikan makanan matang. Sebaiknya PP UQI memiliki gerobak yang berbeda untuk keperluan belanja untuk menghindari
50
adanya kontaminasi dari gerobak belanja ke makanan matang. Penerimaan bahan pangan yang dipesan PP UQI dilakukan oleh karyawan dapur, tidak ada yang khusus menangani penerimaan bahan pangan. PP UQI melakukan prosedur penerimaan bahan pangan secara blind karena sudah percaya dengan pihak pemasok bahan pangan. PP UQI sebelumnya memeriksa jumlah bahan pangan dengan cara menimbang, sekarang tidak dilakukan lagi karena sudah percaya. Pemeriksaan untuk kualitas bahan pangan kadang masih diperiksa oleh penanggung jawab dapur. Proses penerimaan bahan pangan di PP UQI belum bisa dikatakan benar karena metode penerimaan secara blind bukan maksudnya pesanan tidak diperiksa sama sekali. Pemeriksaan untuk kualitas mungkin bisa saja tidak diperiksa karena sudah percaya kepada pihak penjual/leveransir tetapi tetap pesanan harus dicek, ditimbang dan dihitung kemudian dicatat di buku laporan atau formulir yang dilengkapi dengan jumlah, berat, panjang, dan spesifikasi lain jika diperlukan (pemeriksaan secara kuantitas). Proses penerimaan bahan pangan di PP Sahid dan PP UQI sudah sesuai dengan pengendalian lajur makanan menurut Depkes (2001) yaitu memilih bahan yang baik dan bersih serta membuang bahan yang rusak dan kotor. Pada PP Sahid, jika terdapat bahan pangan yang tidak sesuai dengan jumlah dan jenisnya atau mengalami kerusakan makan akan dikembalikan, kemudian PT Balapapat akan mengganti pada hari berikutnya. Pada PP UQI, jika terdapat bahan pangan yang tidak sesuai atau mengalami kerusakan maka pemasok akan diberi peringatan. Jika pemasok melakukan kesalahan yang sama maka akan dicari pemasok yang lain. Penyimpanan Bahan pangan Penyimpanan
bahan
pangan
adalah
suatu
tata
cara
menata,
menyimpan, memelihara keamanan bahan pangan kering atau basah baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan pangan kering dan basah serta pencatatan dan pelaporannya (Depkes 2003). Penyimpanan bahan pangan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi bahan pangan, mencegah kerusakan/gangguan lingkungan bahan pangan, melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit yang memerlukan (Depkes 1991). PP Sahid dan PP UQI melakukan proses penyimpanan dengan tujuan untuk mempertahankan mutu bahan pangan supaya tidak berubah kualitasnya. Alat/fasilitas penyimpanan yang dimiliki Katering Barakah PP Sahid adalah bakul
51
bambu, kaleng bumbu giling dan bubuk, keranjang rempah, freezer serta rak besar. Katering Barakah melakukan pemisahan dalam menyimpan bahan pangan basah dan kering. Menurut Depkes (1991) bahwa penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga, pembersihan, suhu dan kelembabannya. Bahan makanan basah seperti daging, ikan, ayam dan olahnnya disimpan di dalam freezer, sedangkan telur disimpan dikeranjang telur pada suhu ruang. Seharusnya telur (bahan pangan berprotein) disimpan pada suhu <00C (frozen) jika disimpan untuk jangka waktu >24 jam (Depkes 2001). Buah-buahan seperti semangka, melon, pepaya, atau pisang diletakan langsung di atas lantai. Seharusnya buah-buahan disimpan pada suhu 100-150C (cooling) (Depkes 2001). Sayuran seperti wortel, kol, kentang dan labu siam diletakan di keranjangkeranjang sayuran pada suhu ruangan (250C). Seharusnya sayuran disimpan pada suhu 100-150C (cooling) (Depkes 2001). Bahan pangan kering seperti tepung, biji-bijian dan bahan pangan kering lainnya di simpan di rak besar. Karung-karung disimpan di atas lantai yang sebelumnya dialasi dengan papan (>15 cm). Bumbu kering dan rempah-rempah dipisah dalam masing-masing keranjang dan wadah, sedangkan bumbu basah/giling dibungkus plastik atau diletakkan di toples. Bumbu-bumbu ini disimpan di rak yang terdapat di dapur, dekat dengan tempat pengolahan makanan. Penyimpanan bahan makanan mentah di PP UQI hampir seluruhnya di gudang kering dapur utama dan tidak ada pengaturan suhu seperti kulkas atau freezer. Bahan makanan basah seperti sayuran, tahu, tempe dan ayam biasanya langsung diolah pada hari ketika bahan-bahan tersebut dibeli sehingga tidak diperlukan tempat penyimpanan. Telur yang biasanya dibeli sehari sebelum dimasak diletakan di box telur pada suhu ruang. Seharusnya telur (bahan pangan berprotein) disimpan pada suhu 00-40C (freezing) jika disimpan dalam jangka waktu sampai 24 jam. Bahan pangan kering seperti beras disimpan di gudang. Mie kering, bihun kering dan bumbu-bumbu disimpan di dapur khusus di rumah Pimpinan PP UQI. Pencatatan untuk penyimpanan bahan pangan di PP Sahid dilakukan untuk memeriksa bahan pangan apa saja yang sudah hampir habis kemudian dipesan lagi. Pencatatan untuk penyimpanan bahan pangan di PP Sahid belum
52
bisa dikatakan baik karena belum dicatat bahan pangan apa dan jumlahnya berapa yang masuk dan keluar, selain itu belum mencantumkan tanda dan tanggal pada bahan pangan, sehingga tidak dapat diperkirakan secara benar bahan pangan mana yang akan diolah terlebih dulu. Tidak ada pencatatan khusus untuk penyimpanan bahan pangan di PP UQI. Sebaiknya ada pencatatan untuk penyimpanan bahan pangan di PP UQI supaya dapat diketahui dengan jelas bahan pangan apa dan jumlahnya berapa yang masuk dan keluar, serta yang harus dipesan lagi. Selain itu supaya dapat ditentukan bahan pangan mana yang akan diolah terlebih dahulu. Pengolahan Bahan pangan Persiapan. Menurut Wirakusumah (1991) bahwa pada prinsipnya pengolahan bahan pangan meliputi persiapan dan pemasakan bahan pangan. Persiapan adalah suatu proses kegiatan dalam rangka menangani bahan pangan dan bumbu sehingga siap atau layak untuk dilanjutkan dengan kegiatan pemasakan. Depkes (1991) menjelaskan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan harus dihindari dalam persiapan bahan pangan. Perlakuan terhadap bahan pangan ini selain selama persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta perlakuan selama masakan disimpan. Katering Barakah PP Sahid melakukan persiapan bahan pangan sebelum diolah sesuai dengan menu yang telah direncanakan. Tidak ada ruangan khusus untuk persiapan bahan pangan. Kegiatan persiapan bahan pangan dilakukan di luar dapur, di halaman sekitarnya. Waktu persiapan bahan pangan yaitu untuk memasak pagi hari dilakukan sejak sore hari pada hari sebelumnya (sekitar pukul 15.30-17.00), persiapan bahan pangan untuk memasak siang hari dilakukan pada pagi hari setelah selesai masak untuk makan pagi (sekitar pukul 07.00-10.00) dan persiapan bahan pangan untuk memasak sore hari dilakukan pada siang hari setelah selesai memasak untuk makan siang (sekitar pukul 13.00-14.30), terkadang persiapan bahan pangan untuk memasak sore hari sebagian telah dipersiapkan berbarengan dengan persiapan bahan pangan untuk memasak siang hari karena waktu persiapan bahan pangan di pagi hari lebih panjang. Proses persiapan bahan pangan di Katering Barakah PP Sahid terdiri atas pengupasan, pemotongan dan pencucian untuk sayur dan buah, pencucian dan penumbukan untuk bumbu-bumbu masakan, dan juga pemotongan dan
53
pencucian untuk bahan-bahan yang lain. Sebaiknya dilakukan pencucian terlebih dahulu kemudian pemotongan, tujuannya untuk meminimalkan kehilangan zat gizi saat pencucian. Bahan pangan hewani seperti ayam, daging dan ikan biasanya sudah dalam keadaan potongan ketika diantar oleh pemasok, sehingga langsung dicuci kemudian dibungkus plastik dan disimpan pada alat pendingin untuk digunakan pada esok hari. Proses persiapan bahan makanan di PP Sahid belum
sepenuhnya
menghindari
kemungkinan-kemungkinan
yang
dapat
merusak/melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan. PP UQI melakukan persiapan bahan pangan di ruang yang sama untuk penyimpanan bahan pangan. Persiapan bahan pangan untuk makan pagi dilakukan pada malam hari (sekitar pukul 22.00-02.00), untuk makan siang dilakukan pada pagi hari (sekitar pukul 07.00-10.00), dan untuk makan malam dilakukan pada siang hari setelah selesai masak untuk makan siang (sekitar pukul 13.00-16.00). Kegiatan persiapan bahan pangan yang dilakukan antara lain pemotongan, pencucian dan penggilingan. Sayuran seperti labu siam tidak dikupas dengan alasan terlalu banyak jika harus mengupasnya satu persatu, sehingga langsung dipotong-potong dan dicuci. Sayuran lain dipotong-potong terlebih dahulu kemudian dicuci. Sebaiknya dilakukan pencucian terlebih dahulu kemudian pemotongan, tujuannya untuk meminimalkan kehilangan zat gizi saat pencucian. Ayam langsung dicuci karena sudah dipotong-potong ketika diantar oleh pemasok bahan pangan. Tempe dipotong-potong dan langsung diolah, sedangkan tahu tidak ada persiapan khusus. Telur juga langsung direbus tanpa ada persiapan khusus. Seharusnya telur dicuci sebelum diolah karena kotoran yang menempel di kulit telur merupakan sumber penyakit. Proses persiapan bahan makanan di PP UQI belum sepenuhnya menghindari kemungkinankemungkinan yang dapat merusak/melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan. Pemasakan. Pemasakan adalah suatu proses perubahan dari bahan pangan mentah atau makanan setengah jadi menjadi makanan siap dimakan (Wirakusumah 1991). Menurut Depkes (1991), pemasakan adalah proses kegiatan terhadap bahan pangan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan menggunakan
berbagai
cara
pemasakan
seperti
membakar,
merebus,
mengukus, menggoreng, mengetim dan sebagainya dalam rangka meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan pangan dan menghilangkan/mematikan kumankuman yang berbahaya.
54
Katering Barakah PP Sahid melakukan pemasakan sesuai dengan menu yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses memasak dilakukan oleh koki, asisten koki dan dibantu oleh pegawai yang lain, tanpa ada shift kerja. Jenis pemasakan bahan pangan sesuai dengan jenis menu makanan PP Sahid yang sangat beragam, antara lain mengukus, merebus, menggoreng, menumis, memanggang dan lain sebagainya. Kegiatan memasak dilakukan di dapur sebanyak tiga kali sehari untuk makan pagi, siang dan malam yaitu pukul 04.0005.30,
pukul
07.00-11.00
dan
pukul
13.00-16.00.
Masakan
kemudian
ditempatkan pada wadah masing-masing untuk didistribusikan dan disajikan. Kegiatan memasak di PP UQI antara lain mengukus, merebus, menumis dan menggoreng sesuai dengan menu makanan yang telah direncanakan. Pengolahan makanan dilakukan oleh tenaga kerja secara bergiliran, tetapi tidak ada jadwal atau pembagian kerja yang jelas. PP UQI melakukan pemasakan di dapur tiga kali sehari untuk makan pagi, siang dan malam yaitu pada pukul 22.00-02.30 untuk makan pagi, 07.30-11.30 untuk makan siang dan 13.00-17.00 untuk makan malam. Makanan yang telah matang dipisah-pisah dalam wadah masing-masing untuk didistribusikan dan disajikan. Menurut
Kepmenkes
RI
No.
715/MENKES/SK/V/2003
tentang
Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga bahwa luas untuk tempat pengolahan makanan harus cukup untuk bekerja pada pekerjaannya dengan mudah dan efisien agar menghindari kemungkinan kontaminasi makanan dan memudahkan pembersihan. Luas lantai dapur yang bebas dari peralatan sedikitnya 2 m2 untuk setiap orang bekerja. Luas lantai dapur PP Sahid sekitar 96 m2 atau 9,6 m2 untuk tiap orang. Luas lantai dapur PP UQI sekitar 26,25 m2 atau 2,2 m2 untuk tiap orang. Luas lantai dapur di PP Sahid dan PP UQI sudah sesuai dengan Kepmenkes RI No. 715/MENKES/SK/V/2003. Pendistribusian dan Penyajian Makanan Pendistribusian.
Ada
dua
cara
yang
dapat
digunakan
dalam
mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada rantang makanan masing-masing konsumen ataupun dalam kotak makanan. Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi (Depkes 1991).
55
PP Sahid mengatur jam makan untuk santri putri yaitu pukul 06.0007.15 (makan pagi), pukul 12.00-13.00 (makan siang, setelah sholat dzuhur) dan pukul 18.30-19.30 (makan malam setelah sholat maghrib). Distribusi makanan dari dapur dilakukan pada pukul 05.30 (makan pagi), pukul 11.00 (makan siang) dan pukul 17.00 (makan malam). Distribusi makanan menggunakan mobil khusus untuk mengantar makanan yaitu ke tempat makan yang jauh dari dapur. Sistem distribusi yang digunakan yaitu secara desentralisasi, yaitu penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi, makanan diporsikan ke dalam alat makan (plato) masing-masing santri putri. PP UQI mendistribusikan makanan ke tempat penyajian makanan oleh tenaga kerja secara bergiliran. Sistem distribusi yang digunakan yaitu desentralisasi. Makanan matang yang telah ditempatkan pada wadah masingmasing sesuai dengan jenisnya kemudian didistribusikan menggunakan gerobak. Distribusi makanan dari dapur dilakukan pada pukul 05.30 (makan pagi), pukul 13.00 (makan siang) dan pukul 18.00 (makan malam). Waktu makan santri juga telah ditentukan yaitu pukul 05.30-07.00 (makan pagi), pukul 13.00-14.00 (makan siang, setelah sholat dzuhur) dan pukul 18.00-19.00 (makan malam, setelah sholat maghrib). Penyajian. Menurut Wirakusumah (1991), penyajian merupakan kegiatan yang dilakukan setelah bahan pangan selesai diolah atau diproses. Hidangan yang
lezat
tanpa
penyajian
yang
menarik
akan
mengecewakan
atau
menghilangkan selera makan konsumen. Penyajian makanan PP Sahid dilakukan oleh tenaga kerja Katering Barakah. Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara PP Sahid dan Katering Barakah, tenaga kerja (pramusaji) yang menyajikan makanan di tempat makan minimal sebanyak tiga orang yang terdiri atas pengawas pengambilan makan, pengawas santri ketika makan, dan pengawas kebersihan. Selain itu pramusaji harus menggunakan pakaian seragam yang rapi, bersih dan islami ketika menyajikan makanan. Ruang makan santri putri terdiri atas empat tempat yang terpisah antara lain ruangan 1) Warung Sahid Ria (sebelah dapur), 2) Mat’am Sunan Giri (dekat Asrama Sunan Giri), 3) Panti Boga Putri (dekat kelas Aliyah dan dapur putra), dan 4) Kafe (dekat dengan kelas Tsanawiyah dan Taman Darul Maqomah).
56
Sistem penyajian yang digunakan PP Sahid yaitu Cafetaria dengan Pelayanan, sebagian menu makanan tersedia dalam bentuk porsi pada alat makan yang telah disediakan dan sebagian lagi menu makanan disajikan oleh pramusaji atas permintaan dari santri. Santri bebas mengambil nasi sesuai keinginan. Prinsip penyajian menurut Depkes (2001) yang diterapkan PP Sahid agar makanan terjaga kualitas dan keamanannya yaitu prinsip wadah (setiap jenis makanan ditempatkan pada wadah yang terpisah dan tertutup), prinsip edible portion (setiap bahan yang disajikan adalah bahan yang dapat dimakan), prinsip pemisah (makanan diporsikan secara terpisah pada plato), prinsip bersih (peralatan), prinsip handling (tidak ada kontak langsung antara makanan dengan anggota tubuh), dan prinsip tepat penyajian (menu, waktu, tata hidang dan volume). Prinsip kadar air dan prinsip panas belum diterapkan pada penyajian di PP Sahid, makanan yang berkuah tidak dicampur pada saat menjelang dihidangkan dan tidak dilengkapi dengan alat saji panas, sehingga seringkali menu makanan tersebut sudah dingin ketika akan dimakan. Belum ada ruang makan untuk santri putri di PP UQI. Penyajian makanan dilakukan di luar ruangan, yaitu disediakan semacam meja permanen yang dilapisi keramik. Meja permanen tersebut berjarak sekitar 5 meter dari dapur. Penyajian dilakukan pada wadah masing-masing selanjutnya santri mengantri dengan membawa piring, mangkuk atau nampan (sesuai yang dimiliki santri) untuk mengambil makanan yang disediakan, kemudian santri bebas makan dimana saja selain di masjid, ruang kelas dan kamar. Biasanya santri makan di depan kamar masing-masing. Sebaiknya PP UQI menyediakan ruang makan, lebih baik mendirikan sebuah tenda atau tempat makan outdoor daripada tidak ada tempat makan khusus sama sekali, sehingga nantinya diharapkan dapat terlihat rapi dan teratur ketika makan. Pelayanan yang digunakan PP UQI yaitu Cafetaria dengan Pelayanan. Santri mengantri untuk mendapatkan makanan yang akan dilayani/ diambilkan oleh petugas penjaga makanan (tenaga kerja dapur dan santri yang tugas piket). Prinsip penyajian menurut Depkes (2001) yang diterapkan PP UQI antara lain prinsip wadah (setiap jenis makanan ditempatkan pada wadah yang terpisah), edible portion (setiap bahan yang disajikan adalah bahan-bahan yang dapat dimakan), bersih (peralatan), handling (tidak ada kontak langsung dengan tubuh) dan tepat penyajian (menu, waktu dan tata hidang, sedangkan untuk volume belum tepat karena kadang masih terdapat santri yang tidak kebagian makanan).
57
Prinsip kadar air dan prinsip panas belum diterapkan pada penyajian di PP UQI, makanan yang berkuah tidak dicampur pada saat menjelang dihidangkan dan tidak dilengkapi dengan alat saji panas, sehingga seringkali menu makanan tersebut sudah dingin ketika akan dimakan. Tidak ada prinsip pemisah dalam pemorsian makanan di PP UQI. Pemorsian dijadikan menjadi satu mulai dari nasi, lauk pauk dan sayur karena wadah yang digunakan adalah piring, mangkuk atau nampan (tidak ada pemisah seperti pada plato), sehingga ketika makanan diporsikan menyatu antara nasi, lauk pauk dan sayur. Sebaiknya diterapkan prinsip pemisah saat pemorsian karena bila santri misalnya tidak menyukai salah satu menu makanan yang disajikan maka santri masih bisa memakan menu makanan lain. Tetapi jika tidak ada pemisah dalam pemorsian, menu makanan yang tidak disukai tadi bercampur dengan menu makanan lain dalam satu wadah, sehingga dikhawatirkan santri malah tidak mau memakan semua menu yang telah diporsikan tersebut karena bercampur dengan menu makanan yang tidak disukainya. Konsumsi Energi dan Zat Gizi Konsumsi Energi dan Protein Menurut Harper et al. (1986) konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut selanjutnya menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan. Metode survei konsumsi pangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode estimated food record. Metode estimated food record merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu, metode ini disebut juga food records atau diary records (Supariasa et al. 2002). Survei konsumsi pangan pada penelitian ini dilakukan dengan cara meminta contoh untuk mencatat semua yang ia makan dan minum (kecuali air putih) setiap kali sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) selama 7 hari berturut-turut. Saat di asrama selain mengkonsumsi makanan yang disediakan oleh asrama, contoh juga mengkonsumsi makanan yang dibeli di kantin asrama atau luar asrama. Oleh karena itu, sebagian dari kebutuhan energi dan zat gizi dipenuhi dari makanan kantin atau luar asrama. Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh PP Sahid adalah 1528 kkal dan 35,53 gram dan pada contoh PP UQI adalah 1555 kkal dan 39,11 gram. Berikut disajikan data secara rinci ratarata konsumsi energi dan protein contoh PP Sahid dan PP UQI pada Tabel 12.
58
Tabel 12 Sebaran contoh menurut rata-rata konsumsi energi dan protein Zat gizi
Makanan asrama
Energi (kkal) Protein (gram)
1170 ± 343 27,29 ± 8,00
Energi (kkal) Protein (gram)
764 ± 428 19,31 ± 11,08
Rata-rata konsumsi Makanan luar asrama PP Sahid 357 ± 265 8,24 ± 6,67 PP UQI 792 ± 403 19,81 ± 10,82
Total 1528 ± 320 35,53 ± 7,98 1555 ± 389 39,11 ± 11,08
Rata-rata konsumsi makanan asrama contoh PP Sahid menyumbangkan energi dan protein lebih banyak dibandingkan rata-rata konsumsi makanan luar asramanya.
Rata-rata
konsumsi
makanan
asrama
contoh
PP
UQI
menyumbungkan energi dan protein lebih sedikit dibandingkan rata-rata konsumsi makanan luar asramanya. Hal tersebut diduga karena faktor kebosanan terhadap menu makanan yang kurang bervariasi, sehingga santri putri di PP UQI mencari makanan dari luar asrama yang cukup beragam jenisnya. Penelitian yang dilakukan oleh Davis & Scoular (1956) pada mahasiswi yang berusia 17-27 tahun di asrama mahasiswi (Home Management House Duplex), North Texas State College, Denton menunjukkan bahwa rata-rata total konsumsi energi mahasiswi masih rendah yaitu sebesar 2174 Kalori/hari. Energi yang direkomendasikan oleh National Research Council’s (NRC) Committee on Food and Nutrition tahun 1941 untuk orang Amerika yaitu 2280 Kalori/hari untuk umur 16-20 tahun dan 2185 Kalori/hari untuk umur >20 tahun. Penelitian pada sampel dan tempat yang sama yang dilakukan oleh Scoular et al. (1956) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein masih rendah yaitu sebesar 52 gram/hari. Protein yang direkomendasikan oleh NRC tahun 1941 untuk orang Amerika yaitu 75 gram untuk umur 16-20 tahun dan 55 gram untuk umur >20 tahun. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa rata-rata energi dan protein santri putri di PP Sahid dan PP UQI masih dibawah angka kecukupan yang dianjurkan oleh WNPG tahun 2004 (Lampiran 7). Metode survei konsumsi pangan yang dilakukan pada penelitian Davis & Scoular (1956) serta Scoular et al. (1956) yaitu dengan metode dietary record selama 5 hari berturut-turut dan konsumsi makanan ditentukan secara selfselected diet (diet yang dipilih sendiri) dengan cara penyajian makanan asrama berupa prasmanan. Hal tersebut menunjukan bahwa cara penyajian berupa prasmanan tidak memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan cara
59
cafetaria seperti pada penelitian ini. Penyelenggaraan makanan di asrama PP Sahid dan PP UQI belum mampu menyediakan kebutuhan energi sehari bagi santrinya, menu makanan belum cukup baik dari segi besar porsi serta kandungan energi dan zat gizinya. Konsumsi Vitamin Peningkatan kebutuhan akan energi dan zat gizi remaja sekaligus memerlukan tambahan vitamin di atas kebutuhan semasa bayi dan anak. Asupan thiamin, riboflavin dan niacin harus ditambah sejajar dengan pertambahan energi. Vitamin diketahui berperan dalam proses pelepasan energi dari karbohidrat. Asupan vitamin A, C dan E perlu ditingkatkan untuk menjaga agar sel dan jaringan baru tidak cepat rusak (Arisman 2010). Berikut disajikan data secara rinci rata-rata konsumsi vitamin contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 13 Sebaran contoh menurut rata-rata konsumsi vitamin Zat gizi
Makanan asrama
Vitamin A (RE) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)
323,49 ± 136,36 0,69 ± 0,20 22,24 ± 9,22
Vitamin A (RE) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)
50,86 ± 41,75 0,17 ± 0,11 5,81 ± 5,96
Rata-rata konsumsi Makanan luar asrama Total PP Sahid 20,60 ± 30,05 344,09 ± 131,25 28,23 ± 68,81 28,92 ± 68,79 14,49 ± 41,19 36,73 ± 41,73 PP UQI 69,80 ± 59,16 120,65 ± 63,97 14,29 ± 36,85 14,46 ± 36,84 7,48 ± 5,73 13,29 ± 7,58
Rata-rata total konsumsi untuk vitamin pada contoh PP Sahid berturutturut adalah 344,09 RE (vitamin A), 28,92 mg (vitamin B1) dan 36,73 mg (vitamin C) dan pada contoh PP UQI berturut-turut adalah 120,65 RE (vitamin A), 14,46 mg (vitamin B1) dan 13,29 mg (vitamin C). Rata-rata total konsumsi vitamin (A, B1 dan C) pada contoh PP Sahid jauh lebih tinggi dibandingkan pada contoh PP UQI. Hal ini karena menu makanan asrama di PP Sahid menyediakan menu makan yang lebih lengkap (terdapat sayur dan atau buah pada setiap waktu makan) dibandingkan dengan makanan asrama di PP UQI. Rata-rata total konsumsi vitamin (kecuali vitamin B1) pada kedua kelompok contoh belum memenuhi angka kecukupan vitamin yang dianjurkan bagi remaja putri menurut WNPG (2004) (Lampiran 7). Sumber vitamin A dalam bentuk beta-karoten diantaranya banyak terdapat pada minyak sawit merah, sayuran berdaun hijau tua dan berbagai buah yang dagingnya berwarna kuning dan jingga. Begitu pula dengan sumber pangan
60
yang baik akan vitamin C, yaitu berasal dari buah-buahan dan sayuran berwarna hijau. Sumber yang sangat baik akan vitamin B1 (thiamin) meliputi ragi, hati, daging babi, butiran padi-padian utuh, kacang-kacangan dan biji-bijian yang mengandung minyak (Harper et al. 1986). Rata-rata total konsumsi vitamin B1 contoh sudah mencukupi angka kecukupannya, hal tersebut salah satunya diduga berasal dari jenis kue yang mengandung ragi seperti donat. Konsumsi Mineral Kebutuhan akan semua mineral pada remaja meningkat. Peningkatan kebutuhan akan besi dan kalsium paling mencolok karena kedua mineral ini merupakan komponen penting pembentuk tulang dan otot (Arisman 2010). Kalsium dan fosfor bekerja sama dalam tubuh untuk membentuk tulang dan gigi (Harper et al. 1986). Berikut disajikan data secara rinci rata-rata konsumsi mineral contoh PP Sahid dan PP UQI pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh menurut rata-rata konsumsi mineral Zat gizi
Makanan asrama
Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg)
158,36 ± 49,10 310,63 ± 88,35 6,85 ± 2,01
Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg)
118,91 ± 75,16 182,21 ± 104,25 6,29 ± 3,86
Rata-rata konsumsi Makanan luar asrama Total PP Sahid 859,99 ± 1227,53 1018,35 ± 1224,79 59,73 ± 70,18 370,36 ± 81,57 2,18 ± 1,93 9,03 ± 2,41 PP UQI 615,58 ± 761,27 734,49 ± 741,38 560,30 ± 777,70 742,51 ± 755,59 6,79 ± 4,03 13,09 ± 4,39
Rata-rata konsumsi mineral contoh PP Sahid berturut-turut adalah 1.018,35 mg (kalsium), 370,36 mg (fosfor) dan 9,03 mg (zat besi) dan pada contoh PP UQI berturut-turut adalah 734,49 mg (kalsium), 742,51 mg (fosfor) dan 13,09 mg (zat besi). Rata-rata total konsumsi kalsium contoh PP Sahid lebih tinggi dibandingkan dengan contoh PP UQI. Rata-rata total konsumsi fosfor dan zat besi contoh PP Sahid lebih rendah dibandingan dengan contoh PP UQI. Rata-rata total konsumsi mineral (kecuali kalsium contoh PP Sahid) pada kedua kelompok contoh belum memenuhi angka kecukupan mineral yang dianjurkan untuk remaja putri menurut WNPG (2004) (Lampiran 7). Menurut Harper et al. (1986) bahwa susu dan hasil olahannya merupakan sumber yang baik sekali akan kalsium. Sayuran yang berwarna hijau (kecuali sayuran yang mengandung asam oksalat), biji kacang kedelai dan rumput laut adalah sumber kalsium kedua yang sangat baik. Fosfor tersebar luas dalam
61
pangan. Sumber yang baik akan besi meliputi hati, telur, daging merah, kacangkacangan, buah keras, butiran padi-padian yang utuh, sayuran berdaun hijau dan buah yang dikeringkan (Harper et al. 1986). Rata-rata total konsumsi kalsium pada contoh PP Sahid sudah mencukupi angka kecukupannya, hal tersebut diduga karena rata-rata contoh PP Sahid banyak yang mengkonsumsi susu kemasan dari makanan luar asramanya, disamping diberikannya menu ekstra (tambahan) berupa susu kambing pada menu makan siang di hari rabu. Secara umum rata-rata konsumsi luar asrama contoh PP Sahid lebih rendah dibandingkan contoh PP UQI. Namun, berdasarkan hasil penelitian Dewi (2012) bahwa rata-rata uang jajan/hari (untuk membeli makanan luar asrama) pada contoh PP Sahid (Rp 6.925/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan contoh PP UQI (Rp 2.575/hari). Jenis jajanan yang biasa dikonsumsi oleh contoh PP Sahid (79,1%) dan PP UQI (96,4%) yaitu snack seperti chiki dan gorengan. Snack yang banyak tersedia di kantin sekitar asrama PP Sahid yaitu chiki-chikian sedangkan di PP UQI yaitu gorengan. Snack jenis chiki-chikian selain kurang menyumbangkan energi dan zat gizi juga harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan snack jenis gorengan, sehingga diduga hal tersebut yang menyebabkan rata-rata konsumsi energi dan zat gizi makanan luar asrama contoh PP Sahid lebih rendah dibandingkan contoh PP UQI, tetapi rata-rata uang jajan/hari contoh PP Sahid lebih tinggi dibandingkan contoh PP UQI. Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi dan Zat Gizi Tingkat kecukupan konsumsi energi. Departemen kesehatan (1996) mengklasifikasikan tingkat kecukupan konsumsi energi menjadi lima kelompok yaitu: 1) defisit tingkat berat (<70% AKG), 2) defisit tingkat sedang (70%-79% AKG), 3) defisit tingkat ringan (80%-89% AKG), 4) normal (90%-119% AKG) dan 5) lebih (≥120% AKG). Tingkat kecukupan konsumsi energi ditentukan kaitannya dengan jumlah yang diperlukan untuk mendukung tingkat pertumbuhan dan mempertahankan berat badan yang diinginkan. Sebagian besar tingkat kecukupan konsumsi energi contoh PP Sahid (88,2%) dan PP UQI (74,7%) berada pada kategori defisit (tingkat ringan, sedang dan berat). Terdapat hanya 10,3% contoh PP Sahid dan 23,0% contoh PP UQI yang memiliki tingkat kecukupan konsumsi energi normal, serta masing-masing 1,5% (contoh PP Sahid) dan 2,3% (contoh PP UQI) yang memiliki tingkat kecukupan konsumsi energi lebih. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, sebaran tingkat kecukupan konsumsi energi pada kedua kelompok contoh tidak
62
berbeda nyata (p>0,05). Hal ini menunjukan bahwa tingkat kecukupan konsumsi energi pada kedua contoh tidak jauh berbeda yaitu rata-rata contoh di kedua kelompok memiliki tingkat kecukupan konsumsi energi kategori defisit (tingkat ringan, sedang dan berat). Data tingkat kecukupan konsumsi energi contoh PP Sahid dan PP UQI dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Tingkat kecukupan konsumsi energi contoh PP Sahid dan PP UQI Tingkat kecukupan konsumsi protein. Departemen kesehatan (1996) mengklasifikasikan tingkat kecukupan konsumsi protein menjadi lima kelompok yaitu: 1) defisit tingkat berat (<70% AKG), 2) defisit tingkat sedang (70%-79% AKG), 3) defisit tingkat ringan (80%-89% AKG), 4) normal (90%-119% AKG) dan 5) lebih (≥120% AKG). Konsumsi protein yang rendah pada masa remaja akan menghambat pertumbuhan. Konsumsi energi yang rendah dapat menyebabkan inefesiensi penggunaan protein tubuh. Protein yang seharusnya digunakan untuk sintesis jaringan baru atau perbaikan jaringan tubuh yang rusak akan terhambat fungsinya karena digunakan untuk menutupi kekurangan energi tubuh (Nurdiani 2011). Sebanyak 85,4% contoh PP Sahid dan 72,3% contoh PP UQI mempunyai tingkat kecukupan konsumsi protein pada kategori defisit (tingkat berat, sedang dan ringan). Terdapat hanya 13,2% contoh PP Sahid dan 18,4% contoh PP UQI yang memiliki tingkat kecukupan konsumsi protein normal, serta masing-masing
63
1,5% (contoh PP Sahid) dan 9,2% (contoh PP UQI) yang memiliki tingkat kecukupan konsumsi protein lebih. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, sebaran tingkat kecukupan konsumsi protein pada kedua kelompok contoh adalah berbeda nyata (p<0,05). Data tingkat kecukupan konsumsi protein contoh PP Sahid dan PP UQI dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Tingkat kecukupan konsumsi protein contoh PP Sahid dan PP UQI Tingkat kecukupan konsumsi vitamin. Tingkat kecukupan konsumsi vitamin dikategorikan menjadi dua, yaitu cukup (tingkat kecukupan konsumsi ≥77% AKG) dan defisit (tingkat kecukupan konsumsi <77% AKG) (Gibson 2005). Sebagian besar tingkat kecukupan konsumsi vitamin A contoh PP Sahid (83,8%) adalah defisit dan pada contoh PP UQI seluruhnya (100%) defisit. Sebagian besar (54,4%) contoh PP Sahid memiliki tingkat kecukupan konsumsi vitamin B1 cukup, sedangkan pada contoh PP UQI sebagian besar (55,2%) defisit. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, perbedaan tingkat kecukupan konsumsi vitamin B1 pada kedua kelompok contoh adalah tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebagian besar (88,2%) tingkat kecukupan konsumsi vitamin C contoh PP Sahid adalah defisit dan pada contoh PP UQI seluruhnya (100%) defisit. Berikut ini disajikan data tingkat kecukupan konsumsi vitamin pada contoh PP Sahid dan PP UQI.
64
Tabel 15 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan konsumsi vitamin Tingkat kecukupan konsumsi vitamin Cukup Vitamin A Defisit Total Cukup Vitamin B1 Defisit Total Cukup Vitamin C Defisit Total
PP Sahid n 11 57 68 37 31 68 8 60 68
% 16,2 83,8 100,0 54,4 45,6 100,0 11,8 88,2 100,0
PP UQI n 0 87 87 39 48 87 0 87 87
% 0,0 100,0 100,0 44,8 55,2 100,0 0,0 100,0 100,0
Tingkat kecukupan konsumsi mineral. Tingkat kecukupan konsumsi mineral dikategorikan menjadi dua, yaitu cukup (tingkat kecukupan konsumsi ≥77% AKG) dan defisit (tingkat kecukupan konsumsi <77% AKG) (Gibson 2005). Sebagian besar tingkat kecukupan konsumsi kalsium contoh PP Sahid (63,2%) dan PP UQI (69,0%) adalah defisit. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, perbedaan tingkat kecukupan konsumsi kalsium pada kedua kelompok contoh adalah tidak berbeda nyata (p>0,05). Seluruh contoh PP Sahid (100%) memiliki tingkat kecukupan konsumsi fosfor dan zat besi defisit dan sebagian besar contoh PP UQI memiliki tingkat kecukupan konsumsi fosfor (71,3%) dan zat besi (93,1%) pada ketegori defisit. Berikut disajikan data tingkat kecukupan konsumsi mineral contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 16 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan konsumsi mineral Tingkat kecukupan konsumsi mineral Cukup Kalsium Defisit Total Cukup Fosfor Defisit Total Cukup Zat besi Defisit Total
PP Sahid n % 25 36,8 43 63,2 68 100,0 0 0,0 68 100,0 68 100,0 0 0,0 68 100,0 68 100,0
PP UQI n 27 60 87 25 62 87 6 81 87
% 31,0 69,0 100,0 28,7 71,3 100,0 6,9 93,1 100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan yang dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit merupakan faktor utama yang menyebabkan kurangnya konsumsi energi dan zat gizi contoh. Penelitian yang dilakukan oleh Maesaroh (2007) pada santri remaja putri di Ponpes Aribathul Islami Saribaru Kaliwungu menunjukkan bahwa 71,7% konsumsi energi, 58,5% konsumsi protein, dan
65
71,7% zat besi santri remaja putri dibawah AKG. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa secara umum tingkat konsumsi energi, protein, dan zat besi contoh masih dibawah AKG. Banyaknya contoh dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi defisit diduga karena tingkat ketersediaan dari makanan asrama belum memenuhi angka kecukupan sehari contoh. Rata-rata ketersediaan makanan asrama di PP Sahid dan PP UQI selama 7 hari secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Restantini (2003) pada santri putri usia 10-18 tahun di Ponpes Persis 85 Banjar yang menunjukkan bahwa 100% tingkat ketersediaan energi dan protein makanan asrama berada di bawah AKG yang dianjurkan. Menurut Adila (2012) bahwa Rata-rata kontribusi energi dan zat gizi dari menu makanan yang dikonsumsi terhadap angka kecukupan sehari contoh PP Sahid sebagian besar masih kecil persentasenya. Kontribusi yang paling besar yaitu konsumsi vitamin B1 yaitu 64% dari angka kecukupannya. Rata-rata kontribusi energi dan zat gizi contoh PP UQI dari konsumsi menu makanan yang disediakan dalam penyelenggaraan makanan masih sangat kecil bahkan di bawah 50%. Berikut disajikan tabel rata-rata tingkat ketersediaan dan rata-rata kontribusi energi dan zat gizi dari konsumsi menu makanan asrama di PP Sahid dan PP UQI. Tabel 17 Rata-rata tingkat ketersediaan dan kontribusi energi dan zat gizi dari konsumsi menu makanan asrama di PP Sahid dan PP UQI Zat gizi Energi (kkal) Protein (gram) Vitamin A (RE) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg)
Tingkat ketersediaan (%) PP Sahid PP UQI 67,5 57,1 85,2 62,1 78,3 15,9 78 31,3 46 20,4 28,6 18,2 52,7 29,1 41,8 38,4
Kontribusi menu makanan (%) PP Sahid PP UQI 55,0 37,0 54,0 39,0 54,0 9,0 64,0 16,0 33,0 9,0 16,0 12,0 31,0 19,0 27,0 24,0
Perbandingan antara kontribusi konsumsi terhadap tingkat ketersediaan menu makanan asrama disebut juga dengan tingkat kepatuhan konsumsi. Menurut Nurdiani (2011) bahwa tingkat kepatuhan konsumsi menggambarkan seberapa banyak menu yang disajikan dapat dihabiskan. Berdasarkan Tabel 17
66
dapat diketahui bahwa selain faktor ketersediaan makanan asrama juga karena faktor tingkat kepatuhan konsumsi makanan asrama belum maksimal. Tidak maksimalnya
kepatuhan
konsumsi contoh diduga karena
beberapa hal, yaitu adanya kebosanan contoh terhadap menu makanan dan adanya beberapa makanan yang tidak disukai. Berdasarkan hasil penelitian Adila (2012), sebesar 41% contoh PP Sahid belum mengkonsumsi semua atau satu porsi makanan yang disediakan pesantren. Masih cukup banyak contoh santri PP UQI yang hanya mengkonsumsi ½ bagian makanan (23%) dan ¾ bagian makanan (24%). Selain itu, tidak maksimalnya kepatuhan contoh diduga karena adanya beberapa contoh yang ditemui di lapangan cenderung mengambil jumlah/porsi makanan lebih sedikit dibandingkan dengan yang disediakan dengan alasan ingin berdiet karena sangat mementingkan bentuk badannya. Menurut Sediaoetama (2006) bahwa remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi. Adanya beberapa contoh yang berdiet tersebut diduga karena pengetahuan gizinya belum baik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) menunjukan bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan gizi contoh PP Sahid (49%) dan PP UQI (48%) masih dalam kategori sedang. Status Gizi Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Indeks BB/U menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status), sedangkan indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa et al. 2002). Menurut Riyadi (2001) bahwa IMT menurut umur (IMT/U) direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan indikator indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), sebagian besar status gizi contoh PP Sahid (69,1%) dan PP UQI (79,3%) adalah normal. Sama halnya berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U), sebagian besar contoh PP Sahid (88,2%) dan PP UQI (75,9%) berada pada status gizi normal. Berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U), sebagian besar contoh PP Sahid (91,2%) dan PP
67
UQI (92,0%) berada pada status gizi baik. Berikut ini disajikan data secara rinci sebaran status gizi contoh PP Sahid dan PP UQI pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh menurut status gizi Status gizi
Indikator IMT/U
Indikator TB/U
Indikator BB/U
Sangat kurus Kurus Normal Overweight Obesitas Total Sangat pendek Pendek Normal Total Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Total
PP Sahid n % 0 0,0 2 2,9 47 69,1 13 19,1 6 8,8 68 100,0 0 0,0 8 11,8 60 88,2 68 100,0 6 8,8 62 91,2 0 0,0 68 100,0
PP UQI n % 1 1,1 0 0,0 69 79,3 13 14,9 4 4,6 87 100,0 5 5,7 16 18,4 66 75,9 87 100,0 7 8,0 80 92,0 0 0,0 87 100,0
Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, perbedaan status gizi (IMT/U dan BB/U) pada kedua contoh adalah tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini menunjukan bahwa status gizi (IMT/U dan BB/U) contoh tidak jauh berbeda yaitu sebagian besar contoh memiliki status gizi (IMT/U) normal dan status gizi (BB/U) gizi baik. Status gizi (TB/U) contoh berdasarkan uji beda Mann-Whitney U adalah berbeda nyata (p<0,05). Hal ini menunjukan bahwa status gizi (TB/U) contoh PP Sahid
lebih banyak yang normal dan lebih sedikit yang pendek
dibandingkan dengan contoh PP UQI. Penelitian yang dilakukan oleh Restantini (2003) pada santri putri usia 1018 tahun di Pondok Pesantren Persis 85 Banjar menunjukkan bahwa sebagian besar santri putri mempunyai status gizi (BB/U) pada kondisi status gizi baik sebesar 97,8% dan sisanya sebesar 2,2% berstatus gizi kurang. Berdasarkan hasil Riskesdas (2010) bahwa sebagian besar remaja di Provinsi Jawa Barat memiliki status gizi (TB/U dan IMT/U) pada kategori normal, persentase masingmasing sebesar 65,1% (TB/U) dan 88,7% (IMT/U) pada remaja berumur 13-15 tahun dan sebesar 68,9% (TB/U) dan 88,0% (IMT/U) pada remaja berumur 16-18 tahun. Hasil penelitian Restantini (2003) dan hasil Riskesdas (2010) sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan bahwa secara umum rata-rata status gizi pada kedua kelompok contoh berada pada kategori normal atau status gizi baik. Hal ini menunjukkan bahwa santri putri yang memiliki tingkat konsumsi kurang
68
belum tentu memiliki status gizi kurang karena status gizi merupakan akibat dari konsumsi sebelumnya dan konsumsi makanan hanya gambaran bukti sementara dari tingkat konsumsi seseorang serta merupakan konsumsi pada saat diteliti (Roedjito 1989). Status Kesehatan Pengertian sehat menurut WHO (1945) adalah keadaan sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan (Notoatmodjo 2007). Status kesehatan adalah keadaan kesehatan seseorang pada waktu tertentu (Smet 1994 diacu dalam Fitriyani 2008). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar status kesehatan contoh PP Sahid (97,1%) dan PP UQI (88,5%) adalah tidak sehat. Berdasarkan hasil uji beda MannWhitney U, perbedaan status kesehatan pada kedua kelompok contoh adalah berbeda nyata (p<0,05). Berikut disajikan data mengenai sebaran contoh PP Sahid dan PP UQI berdasarkan status kesehatan. Tabel 19 Sebaran contoh menurut status kesehatan Status kesehatan Sehat Tidak sehat Total
PP Sahid n 2 66 68
% 2,9 97,1 100,0
PP UQI n 10 77 87
% 11,5 88,5 100,0
Gejala/jenis penyakit yang paling banyak ditemukan pada sebagian besar contoh yaitu gejala/jenis penyakit infeksi. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh suatu bibit penyakit seperti bakteri, virus, rickettsia, jamur, cacing dan sebagainya (Entjang 1985). Penyakit yang sangat erat hubungannya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan biologis adalah penyakit infeksi. Terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah dan lingkungan perumahan yang kotor dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi (Sukarni 1994). Gejala/jenis penyakit infeksi yang banyak diderita contoh PP Sahid dalam satu bulan terakhir yaitu ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dengan persentase sebesar 87,9%. Namun, gejala/jenis penyakit infeksi saluran pencernaan pada contoh PP Sahid juga cukup tinggi (68,2%). Gejala/jenis penyakit infeksi yang banyak diderita contoh PP UQI adalah ISP (Infeksi saluran pencernaan) dengan persentase sebesar 84,4%. Namun, gejala/jenis penyakit
69
ISPA pada contoh PP UQI juga cukup tinggi (81,8%). Berikut disajikan data mengenai gejala/jenis penyakit yang diderita oleh contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 20 Sebaran contoh menurut gejala/jenis penyakit PP Sahid
Gejala/jenis penyakit Gejala/jenis penyakit infeksi Demam ISPA Infeksi saluran pencernaan Penyakit kulit Hepatitis Gejala/jenis penyakit non infeksi Jantung Asma Konstipasi/sembelit Ginjal Lainnya
PP UQI
n
%
n
%
36 58 45 30 0
54,5 87,9 68,2 45,5 0,0
42 63 65 46 1
54,5 81,8 84,4 59,7 1,3
2 5 4 1 4
3,0 7,6 6,1 1,5 6,1
0 1 9 2 2
0,0 1,3 11,7 2,6 2,6
Gejala/jenis penyakit ISPA yang diderita contoh PP Sahid terdiri dari influenza, batuk, faringitis, bronkitis, tuberkulosis (TBC), tonsilitis dan sinusitis. Jenis/gejala penyakit ISPA yang diderita contoh PP UQI terdiri dari influenza, batuk, radang tenggorokan, bronkitis, dan tonsilitis. Jenis/gejala penyakit infeksi saluran pencernaan yang diderita contoh PP Sahid dan PP UQI terdiri atas diare, disentri, kecacingan, demam tipoid, gastritis, dan radang usus. Banyaknya contoh di kedua pesantren yang menderita diare salah satunya diduga karena pengelolaan makanan baik di asrama maupun luar asrama belum memenuhi prinsip hygiene dan sanitasi makanan. Menurut Depkes (2001) bahwa dengan pengelolaan yang baik dan benar akan menghasilkan makanan yang bersih, sehat, aman, dan bermanfaat serta tahan lama.
Berdasarkan
hasil
penelitian
Adila
(2012)
menunjukan
bahwa
penyelenggaraan makanan di PP Sahid dan PP UQI belum laik hygiene dan sanitasi jasaboga menurut Kepmenkes RI No. 715/Menkes/SK/V/2003. Menurut informasi dari pihak Pesantren UQI, pada tahun 2005 pernah terjadi kejadian luar biasa (KLB) pada santri PP UQI yaitu wabah muntah berak (muntaber). Penyebab wabah muntaber para santri tersebut diduga berawal dari air minum yang dihasilkan alat penjernih air di kompleks Pesantren UQI. Setelah terjadi KLB tersebut pihak pesantren akhirnya mengganti sumber air minum menjadi perpipaan (PDAM) yang dimasak terlebih dahulu sebelum diminum.
70
Lama dan Frekuensi Sakit Lama sakit. Berdasarkan pengkategorian badan pusat statistik (BPS) tahun 2000, lama sakit dibagi menjadi 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari. Jumlah seluruh contoh PP Sahid yang sakit yaitu 66 orang, sedangkan pada PP UQI jumlah contoh yang sakit yaitu 77 orang. Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa lama sakit sebagian besar contoh PP Sahid (39,4%) dan PP UQI (44,2%) adalah 4-7 hari. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, perbedaan lama sakit pada kedua kelompok contoh adalah berbeda nyata (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan lama sakit pada kedua contoh. Contoh PP Sahid yang menderita sakit selama 1-3 hari (19,7%) jauh lebih rendah dibandingkan contoh PP UQI (36,4%), sedangkan contoh PP Sahid yang menderita sakit selama >14 hari (36,4%) jauh lebih tinggi dibandingan contoh PP UQI (10,4%). Frekuensi sakit dikelompokan menjadi 1 kali/bulan, 2 kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa frekuensi sakit sebagian besar contoh PP Sahid (66,7%) adalah 1 kali/bulan, sedangkan pada contoh PP UQI (40,3%) mengalami sakit dengan frekuensi ≥3 kali/bulan. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, perbedaan frekuensi sakit pada kedua kelompok contoh adalah nyata (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan frekuensi sakit pada kedua contoh. Contoh PP Sahid yang memiliki frekuensi sakit 1 kali/bulan (66,7%) jauh lebih tinggi dibandingkan contoh PP UQI (29,9%), sedangkan contoh PP Sahid yang memiliki frekuensi sakit ≥3 kali/bulan (19,7%) jauh lebih rendah dibandingkan contoh PP UQI (40,3%). Berikut disajikan data mengenai lama dan frekuensi sakit pada contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 21 Sebaran contoh menurut lama dan frekuensi sakit PP Sahid n %
n
Total
13 26 3 24 66
19,7 39,4 4,5 36,4 100,0
28 34 7 8 77
36,4 44,2 9,1 10,4 100,0
Total
44 9 13 66
66,7 13,6 19,7 100,0
23 23 31 77
29,9 29,9 40,3 100,0
Lama dan frekuensi sakit Lama sakit 1-3 hari 4-7 hari 8-14 hari >14 hari Frekuensi sakit 1 kali/bulan 2 kali/bulan ≥3 kali/bulan
PP UQI %
71
Hasil penelitian memperkuat pernyataan bahwa
seseorang yang
kekurangan zat gizi akan mudah terserang panyakit (Supariasa et al. 2002). Selain itu, hasil penelitian ini juga memperkuat pernyataan bahwa keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan (Supariasa et al. 2002). Terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah dan lingkungan perumahan yang kotor dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi (Sukarni 1994). Skor Morbiditas Menurut Subandriyo (1993), indikator yang dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Angka kesakitan lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian sakit mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan, serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi dan pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Berikut disajikan data skor morbiditas contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 22 Sebaran contoh menurut skor morbiditas Skor morbiditas Rendah (skor 0-19) Sedang (skor 20-39) Tinggi (skor 40-60) Total
PP Sahid n 56 10 2 68
% 82,4 14,7 2,9 100,0
PP UQI n 82 5 0 87
% 94,3 5,7 0,0 100,0
Berdasarkan Tabel 22, sebagian besar contoh PP Sahid (82,4%) dan PP UQI (94,3%) berada pada kategori skor morbiditas rendah. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney U, perbedaan skor morbiditas pada kedua kelompok contoh adalah berbeda nyata (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan frekuensi sakit dan lama sakit pada kedua kelompok contoh. Skor morbiditas yang semakin tinggi bisa disebabkan oleh dua hal yaitu frekuensi sakit yang sering dan lamanya contoh menderita sakit.
72
Tindakan Pengobatan Menurut Skinner (1938) diacu dalam Notoatmodjo (2007), perilaku pencarian pengobatan merupakan salah satu perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain berobat ke pelayanan kesehatan formal (rumah sakit, puskesmas, klinik, tempat praktek dokter, beli obat di apotek), beli obat di warung dan pengobatan tradisional. Pemanfaatan pelayanan kesehatan formal oleh contoh cukup tinggi. Sebanyak 83,3% contoh PP Sahid dan 61,1% contoh PP UQI mencari pengobatan dengan berobat ke pelayanan kesehatan formal. Pelayanan kesehatan formal yang banyak dimanfaatkan contoh PP Sahid (43,9%) dan PP UQI (16,9%) ketika sakit adalah klinik. PP Sahid dan PP UQI menyediakan klinik sebagai tempat pelayanan kesehatan pesantren. Pertolongan pertama yang dilakukan kepada santri yang sakit adalah dengan membawa ke klinik pesantren. Berikut disajikan data tindakan pengobatan yang dilakukan contoh PP Sahid dan PP UQI ketika sakit. Tabel 23 Sebaran contoh menurut tindakan pengobatan Tindakan pengobatan Rumah sakit Puskesmas Klinik Tempat praktek dokter Apotek Obat warung Obat tradisional Tidak berobat Total
PP Sahid n % 5 7,6 2 3,0 29 43,9 5 7,6 14 21,2 9 13,6 1 1,5 1 1,5 66 100,0
PP UQI n 11 2 13 11 10 25 1 4 77
% 14,3 2,6 16,9 14,3 13,0 32,5 1,3 5,2 100,0
Upaya pengobatan sendiri tanpa memanfaatkan pelayanan kesehatan formal yaitu dengan membeli obat di warung masih banyak pada contoh PP UQI ketika sakit (32,5%). Hal tersebut diduga karena contoh merasa masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa gangguan aktivitas. Menurut Handayani et al. (2003) diacu dalam Fitriyani (2008) bahwa seseorang yang sakit tanpa gangguan aktivitas cenderung melakukan pengobatan sendiri. Kondisi Lingkungan Pemondokan Kondisi lingkungan pemondokan yang diamati meliputi kondisi fisik kamar tidur, sumber air minum, pembuangan sampah, pembuangan kotoran manusia dan pembuangan air limbah. Penilaian terhadap kondisi fisik kamar tidur mengacu kepada kriteria ‘rumah sehat’ menurut Riskesdas (2010) yang diperkuat
73
oleh Kepmenkes No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Kondisi fisik kamar tidur di PP Sahid belum memenuhi kriteria, walaupun atap sudah berflapon, dinding permanen (tembok), lantai keramik, tersedia jendela, ventilasi cukup (>10% luas lantai), namun pencahayaan alami masih kurang (belum menerangi seluruh ruangan) dan padat huni. Satu kamar tidur di PP Sahid dihuni oleh 6 orang dengan luas lantai sekitar 20 m2 (asrama putri) dan sekitar 23 m2 (asrama putri sementara). Begitu juga di PP UQI, kondisi fisik kamar tidur belum memenuhi kriteria, atap sudah berflapon, dinding permanen (tembok), lantai keramik, tersedia jendela, namun ventilasi belum cukup (<10% luas lantai), pencahayaan alami kurang (belum menerangi seluruh ruangan) dan padat huni. Satu kamar tidur di PP UQI dihuni sekitar 35-40 orang dengan luas lantai sekitar 81 m2. Akses terhadap sumber air minum terlindung menurut MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010) pada kedua pesantren sudah memenuhi kriteria, sumber air minum di PP Sahid berasal dari penampungan mata air (PMA), sedangkan di PP UQI berasal dari perpipaan/PDAM. Cara pembuangan sampah dikedua pesantren sudah dikategorikan ‘baik’ menurut Riskesdas (2010). Cara pembuangan sampah di PP Sahid yaitu dibuat kompos (sampah organik) dan dikubur dalam tanah (sampah anorganik), meskipun pembuatan kompos belum terkelola dengan baik. Cara pembuangan sampah di PP UQI yaitu diambil petugas untuk selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA Galuga). Akses terhadap sanitasi layak terkait pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) menurut MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010) di PP Sahid sudah memenuhi kriteria, yaitu fasilitas tempat BAB milik sendiri, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik. PP UQI belum memenuhi kriteria terhadap sanitasi layak terkait pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) karena tempat pembuangan akhir tinjanya langsung dibuang ke sungai melalui pipa yang terhubung dari jamban/kakus. Kriteria pembuangan air limbah menurut Riskesdas (2010) yaitu tersedianya sarana pembuangan air limbah (SPAL) dari air buangan kamar mandi, tempat cuci, dapur dan lain-lain. PP Sahid sudah menyediakan SPAL untuk pembuangan air limbah, sedangkan di PP UQI belum menyediakan SPAL, pembuangan air limbah di PP UQI yaitu disalurkan ke
74
sungai. Data kondisi lingkungan pemondokan PP Sahid dan PP UQI dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Kondisi lingkungan pemondokan PP Sahid dan PP UQI No 1.
Kondisi lingkungan pemondokan Kondisi fisik kamar tidur a. Atap berplafon b. Dinding permanen (tembok/papan) c. Jenis lantai bukan tanah d. Tersedia jendela
2.
3. 4.
5.
e. Ventilasi cukup (luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai) f. Pencahayaan alami cukup (dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata) g. Tidak padat huni (luas kamar tidur minimal 8m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari dua orang tidur) Sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung, dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran >10 meter dan air hujan Cara pembuangan sampah yaitu dengan cara diambil petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah. Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) a. fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama b. jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ c. tempat pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Tersedia sarana pembuangan air limbah (SPAL)
Pilihan Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Jawaban PP Sahid PP UQI √
√
√
√
√
√
√
√
√ √
Ya Tidak
√
√
Ya Tidak
√
√
Ya Tidak
√
√
Ya Tidak
√
√
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
√
√
√
√
Ya Tidak
√ √ √ √
75
Hubungan Antar Variabel Hubungan antar variabel dimaksudkan untuk melihat hubungan tingkat kecukupan konsumsi dengan status gizi dan status kesehatan dengan status gizi. Tinggi rendahnya tingkat kecukupan konsumsi akan mempengaruhi status gizi santri putri. Tingkat kecukupan konsumsi yang cukup diharapkan dapat berdampak baik terhadap status gizi santri putri. Berikut disajikan tabel dua arah mengenai hubungan tingkat kecukupan konsumsi energi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 25 Hubungan tingkat kecukupan konsumsi energi dengan status gizi contoh Variabel (%)
Tingkat Kecukupan Konsumsi energi
Tingkat Kecukupan Konsumsi energi
Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih
Sangat kurus
Status gizi (IMT/U) Over Kurus Normal weight PP Sahid
Obesitas
0,0
1,5
38,2
11,8
4,4
0,0
1,5
5,9
2,9
2,9
0,0
0,0
14,7
2,9
1,5
0,0 0,0
0,0 0,0
8,8 1,5 PP UQI
1,5 0,0
0,0 0,0
0,0
0,0
28,7
10,3
1,1
0,0
0,0
17,2
3,4
2,3
1,1
0,0
10,3
0,0
0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
20,7 2,3
1,1 0,0
1,1 0,0
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh PP Sahid (58,8%) dan PP UQI (56,2%) yang memiliki status gizi normal (IMT/U) ternyata mempunyai tingkat kecukupan konsumsi energi defisit (berat, sedang dan ringan). Hal tersebut pertama diduga karena banyaknya contoh yang berdiet karena merasa bentuk badannya tidak ideal. Menurut Sediaoetama (2006) remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi. Kedua, diduga karena status gizi contoh sebelum masuk pesantren sebagian besar sudah mempunyai status gizi baik, sehingga konsumsi yang kurang ketika di asrama tidak langsung merubah status gizinya. Menurut
76
Supariasa et al. (2002) bahwa status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Status gizi merupakan akibat dari konsumsi sebelumnya dan konsumsi makanan hanya gambaran bukti sementara dari tingkat konsumsi seseorang serta merupakan konsumsi pada saat diteliti (Roedjito 1989). Ketiga, diduga karena ketersediaan makanan asrama belum memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi santri putri. Pihak asrama seharusnya menyediakan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi santri putri melalui penyelenggaraan makanan. Penyelenggaraan makanan yang baik dalam segi kualitas dan kuantitas akan menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan gizi masing-masing santri putri. Selain faktor konsumsi pangan, faktor status kesehatan berpangaruh langsung terhadap status gizi (Riyadi 2001). Status kesehatan yang baik diharapkan dapat berdampak positif terhadap status gizi santri putri. Berikut disajikan tabel dua arah mengenai hubungan antara status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid dan PP UQI. Tabel 26 Hubungan status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) contoh Variabel (%)
Sangat kurus
Status kesehatan
Sehat Tidak sehat
0,0 0,0
Status kesehatan
Sehat Tidak sehat
0,0 1,1
Status gizi (IMT/U) Over Kurus Normal weight PP Sahid 0,0 2,9 0,0 2,9 66,2 19,1 PP UQI 0,0 9,2 1,1 0,0 70,1 13,8
Obesitas 0,0 8,8 1,1 3,4
Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh PP Sahid (66,2%) dan PP UQI (70,1%) yang memiliki status gizi normal (IMT/U) ternyata memiliki status kesehatan yang tidak sehat. Hal ini diduga karena sebagian
besar contoh banyak yang
sakit karena
kondisi lingkungan
pemondokan belum sepenuhnya memenuhi persyaratan kesehatan serta diduga karena perilaku hidup sehat contoh masih banyak yang kurang baik. Menurut Sukarni (1994) bahwa faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan. Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa morbiditas (ukuran tingkat kesakitan) berhubungan erat
77
dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan. Hubungan antara tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi dengan status gizi (IMT/U) Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan utilisasi
(utilization)
zat
gizi
makanan.
Faktor
yang
secara
langsung
mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan (Riyadi 2001). Berdasarkan uji korelasi Spearman, ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi kalsium dengan status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid (p<0,01), dan ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP UQI (p<0,05). Secara total contoh, ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dan kalsium terhadap status gizi (IMT/U) contoh (p<0,05). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi protein, vitamin (A, B1 dan C), fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) contoh (p>0,05). Adanya hubungan yang tidak nyata (p>0,05) diduga karena contoh dalam penelitian ini homogen. Hubungan antara tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi dengan status kesehatan dan skor morbiditas Uji korelasi Spearman tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi dengan status kesehatan dan skor morbiditas pada contoh PP Sahid dan PP UQI (p>0,05). Secara total contoh, ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi vitamin A dengan skor morbiditas contoh (p<0,01), tetapi tidak menunjukkan ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi, protein, vitamin (B1 dan C), kalsium, fosfor, dan zat besi terhadap skor morbiditas contoh (p>0,05). Observasi berbasis komunitas yang dilakukan oleh Sommer et al 1980-an mengungkapkan bahwa anak-anak Indonesia yang menderita xeroptalmia ringan dengan atau tanpa penampakan kelainan gizi lain menghadapi kemungkinan terkena diare atai infeksi pernapasan yang besarnya dua hingga tiga kali lipat dibandingkan anak-anak yang tidak menderita xeroptalmia. Defisiensi vitamin A akan meningkatkan risiko morbiditas penyakit infeksi dan sebaliknya, penyakit infeksi merupakan predisposisi terjadinya defisiensi vitamin A (Gibney et al. 2008). Selain itu, tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan
78
konsumsi energi dan zat gizi dengan status kesehatan contoh (p>0,05). Adanya hubungan yang tidak nyata (p>0,05) diduga karena contoh dalam penelitian ini homogen. Hubungan antara status kesehatan dan skor morbiditas dengan status gizi (IMT/U) Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan (Riyadi 2001). Menurut Roedjito (1989) bahwa infeksi berbagai penyakit akan memperburuk tingkat keadaan gizi, karena zat gizi yang didapat dari makanan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Berdasarkan uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara status kesehatan dan skor morbiditas dengan status gizi (IMT/U) pada contoh PP Sahid dan PP UQI (p>0,05). Secara total contoh, tidak ada hubungan yang nyata antara status kesehatan dan skor morbiditas dengan status gizi (IMT/U) contoh (p>0,05). Adanya hubungan yang tidak nyata (p>0,05) diduga karena contoh dalam penelitian ini homogen.
79
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan PP Sahid dan PP UQI menyusun menu dengan siklus menu tujuh hari. Pembelian bahan pangan di kedua pondok pesantren dilakukan secara informal (langsung). Penerimaan bahan pangan di PP Sahid dilakukan dengan cara konvensional (invoice receiving), sedangkan di PP UQI dengan cara buta (blind receiving). Namun, metode pembelian di kedua pesantren belum sepenuhnya memenuhi prosedur penerimaan bahan pangan secara benar. PP Sahid dan PP UQI melakukan proses penyimpanan dengan tujuan untuk mempertahankan mutu supaya tidak berubah kualitasnya. Proses penyimpanan di kedua pesantren belum sepenuhnya memenuhi prosedur penerimaan bahan pangan secara benar. Kegiatan persiapan bahan pangan di kedua pesantren juga belum sepenuhnya mengikuti prosedur yang benar. Kegiatan memasak di PP Sahid dan PP UQI dilakukan di dapur sebanyak tiga kali sehari dengan kegiatan memasak antara lain mengukus, merebus, menumis, menggoreng dan lain sebagainya. Luas lantai dapur di kedua pondok pesantren sudah sesuai dengan Kepmenkes RI No. 715/MENKES/SK/V/2003 yaitu sedikitnya 2m2 untuk setiap orang pekerja. Sistem distribusi yang digunakan di kedua pesantren yaitu secara desentralisasi dengan sistem pelayanan Cafetaria dengan Pelayanan. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi pada kedua kelompok contoh masih di bawah angka kecukupan yang dianjurkan, kecuali untuk vitamin B1 yaitu sebesar 28,92 mg (PP Sahid) dan 14,46 mg (PP UQI), serta kalsium pada contoh PP Sahid (1.018,35 mg). Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi dari makanan asrama pada contoh PP Sahid lebih besar dibandingkan dari makanan luar asrama. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi dari makanan asrama pada contoh PP UQI lebih kecil dibandingkan dari makanan luar asrama. Sebagian besar tingkat kecukupan konsumsi energi contoh PP Sahid (88,2%) dan PP UQI (74,7%) berada pada kategori defisit. Sebanyak 85,4% contoh PP Sahid dan 72,3% contoh PP UQI mempunyai tingkat kecukupan konsumsi protein defisit. Tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral pada kedua kelompok contoh berada pada kategori defisit kecuali untuk vitamin B1 pada contoh PP Sahid (54,4%). Sebagian besar status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid (69,1%) dan PP UQI (79,3%) adalah normal. Sebagian besar status gizi (TB/U) contoh PP Sahid
80
(88,2%) dan PP UQI (75,9%) adalah normal. Sebagian besar status gizi (BB/U) contoh PP Sahid (91,2%) dan PP UQI (92,0%) adalah gizi baik. Sebagian besar contoh PP Sahid (97,1%) dan PP UQI (88,5%) memiliki status kesehatan yang tidak sehat (sakit). Gejala/penyakit yang paling banyak diderita contoh yaitu gejala/penyakit infeksi. Sebagian besar lama sakit contoh PP Sahid (39,4%) dan PP UQI (44,2%) adalah 4-7 hari. Sebagian besar frekuensi sakit contoh PP Sahid (66,7%) adalah 1 kali/bulan, sedangkan pada PP UQI (40,3%) adalah ≥3 kali/bulan. Sebagian besar skor morbiditas contoh PP Sahid (82,4%) dan contoh PP UQI (94,3%) berada pada kategori rendah. Sebagian besar contoh PP Sahid (83,4%) dan PP UQI (61,0%) melakukan tindakan pengobatan ketika sakit yaitu dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan formal. Kedua pesantren belum memenuhi standar/persyaratan ‘rumah sehat’ menurut
Riskesdas
(2010)
yang
diperkuat
Kepmenkes
No.
829/MENKES/SK/VII/1999 untuk kondisi fisik kamar tidur. Akses terhadap sumber air minum terlindung pada kedua pesantren sudah memenuhi kriteria MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010). Cara pembuangan sampah dikedua pesantren sudah dikategorikan ‘baik’ menurut Riskesdas (2010). Akses terhadap sanitasi layak terkait pembuangan tinja pada PP Sahid sudah memenuhi kriteria, sedangkan pada PP UQI belum memenuhi kriteria MDGs 2010 diacu dalam Riskesdas (2010). Ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL) pada PP Sahid sudah memenuhi kriteria, sedangkan pada PP UQI belum memenuhi kriteria Riskesdas (2010). Ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi kalsium dengan status gizi (IMT/U) pada contoh PP Sahid (p<0,01). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi, protein, vitamin A, B1 dan C, serta fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP Sahid (p>0,05). Ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP UQI (p<0,05). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi protein, vitamin A, B1 dan C, serta kalsium, fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) contoh PP UQI (p>0,05). Secara total contoh, ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi energi dan kalsium dengan status gizi (IMT/U) (p<0,05). Tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan konsumsi protein, vitamin A, B1 dan C, serta fosfor dan zat besi dengan status gizi (IMT/U) total contoh (p>0,05). Tidak
81
ada hubungan yang nyata antara status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) pada contoh PP Sahid dan PP UQI (p>0,05). Secara total contoh, tidak ada hubungan yang nyata antara status kesehatan dengan status gizi (IMT/U) (p>0,05). Saran Saran yang dapat diberikan untuk penyelenggaraan makanan di PP Sahid dan PP UQI antara lain perlu dilakukan perbaikan fasilitas dan saran fisik yang belum memadai serta menambah fasilitas dan peralatan yang belum tersedia. Perlu adanya seorang profesional (ahli gizi) dalam penyelenggaraan makanan di asrama, guna perbaikan kualitas menu yang berpedoman pada gizi seimbang sehingga dapat memenuhi angka kecukupan gizi santri putri. Disarankan kepada orang tua santri jangan memberikan banyak uang saku kepada anaknya (santri putri), sebaiknya dialokasikan untuk dana perbaikan menu makanan asrama dengan cara dimusyawarahkan sehingga perbaikan kualitas menu berdasarkan kesepakatan bersama dapat tercapai. Konsumsi santri putri masih rendah, hal ini diduga karena kebosanan santri terhadap menu makanan yang disediakan serta adanya santri yang ingin berdiet karena mementingkan bentuk badannya. Oleh karena itu diharapkan dalam perencanaan menu lebih beragam, bergizi, dan berimbang, siklus menu yang lebih panjang dan diganti setelah santri merasa bosan. Contoh menu makanan asrama yang bisa diterapkan di PP UQI dapat dilihat pada Lampiran 4. Saran yang dapat diberikan untuk kantin di sekitar asrama yaitu sebaiknya tidak menjual makanan seperti yang disediakan oleh asrama, tetapi hendaknya yang dijual di kantin dapat menunjang makanan santri. Saran yang dapat diberikan untuk santri putri di PP Sahid dan PP UQI antara lain perlu ditingkatkan pengetahuan gizi. Adanya pengetahuan gizi yang baik maka santri putri dapat melakukan diet (pengaturan makanan) secara benar. Saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki status kesehatan santri putri di PP Sahid dan PP UQI antara perlu adanya pengawasan terhadap hygiene dan sanitasi makanan asrama maupun luar asrama serta perbaikan kondisi lingkungan pemondokan yang berpedoman pada standar/peraturan kesehatan.
82
DAFTAR PUSTAKA Achadi EL. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. Adila R. 2012. Penyelenggaraan makanan, daya terima menu makanan, dan kontribusinya terhadap kecukupan gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Arisman. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Atmodjo SM. 1993. Pengantar kesehatan lingkungan untuk bidang gizi masyarakat. Di dalam: Rustiawan A, Atmodjo SM, Subandriyo VU, Effendi YH. Ilmu Kesehatan Masyarakat [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas RI. Berg A. 1986. Gizi dalam Pembangunan Nasional. Diterjemahkan oleh Sayogyo. Jakarta: Rajawali Pers. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Statistics). Jakarta : BPS. [CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2000. CDC growth charts. http://www.cdc.gov/growthcharts/cdc_charts.htm. [5 Agustus 2011]. Dahlan S. 2008. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Davis AN, Scoular FI. 1956. The energi value of self-selected diets consumed by young college women. Journal of Nutrition (61): 289-294. [Depag] Departemen Agama RI. 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Depag RI. ______. 2009. Daftar Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009. Jakarta: Depag RI. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1991. Pedoman Pengelolaan Makanan bagi Pekerja. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes RI. ______. 1996. Laporan Akhir Konsumsi Gizi. Jakarta: Depkes RI. ______. 2001. Kursus Penyehatan Makanan bagi Pengusaha Makanan dan Minuman [modul]. Kerjasama Depkes RI dengan Yayasan Pelayanan Sanitasi Lingkungan Nasional (PESAN). Jakarta: Yayasan PESAN. ______. 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
83
______. 2005. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Jakarta: Direktorat Kesehatan Keluarga, Depkes RI. ______. 2007. Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI. Dewi AH. 2012. Hubungan pengetahuan gizi serta tingkat konsumsi terhadap status gizi santri putri di dua pesantren modern di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Entjang I. 1985. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Penerbit Alumni. Fatimah S. 2002. Status gizi dan perilaku hidup sehat santri putri di Pondok Pesantren Assyiddiqyah Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Fikawati S, Syafiq A, Puspasari P. 2005. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan kalsium pada remaja di Kota Bandung. Jurnal Universa Medica (24): 24-34. Fitriyani Y. 2008. Kondisi lingkungan, perilaku hidup sehat dan status kesehatan keluarga wanita pemetik teh di PTPN VII Pangalengan, Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Diterjemahkan olah Hartono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Public Health Nutrition. Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assesment. New York: Oxford University Press. Gitosardjono SS. 2006. Pengelolaan dan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Modern Sahid dan Usaha Sejahtera Terpadu Padepokan Sahid Wisata Gunung Menyan. Bogor: Yayasan Kesejahteraan, Pendidikan dan Sosial Sahid Jaya. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Hardinsyah, Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Diterjemahkan oleh Suharjo. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food, Nutrition, and Agriculture. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI.
84
Lamsidi A. 2003. Hubungan kondisi kesehatan lingkungan pemondokan dengan kejadian ispa di Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin Desa Jaya Karet Kecamatan Mentaya Hilir Selatan Provinsi Kalimantan Tengah [skripsi]. Semarang: Pascasarjana, UNDIP. Maesaroh. 2007. Tingkat konsumsi energi, protein, dan zat besi dan hubungannya dengan kadar Hb pada santri remaja putri [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, UNDIP. Maftukha E. 2006. Pengelolaan pesantren dalam perspektif manajemen modern (studi kasus di Pondok Pesantren Muhammadiyah Miftakhul ‘Ulum Pekajangan Pekalongan) [skripsi]. Pekalongan: Jurusan Tarbiyah, STAIN Pekalongan. [Menkes] Menteri Kesehatan. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/MENKES/SK/V/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Depkes RI. ______. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 715/MENKES/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Depkes RI. Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar). Jakarta: Rineka Cipta. ______. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ______. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nurdiani R. 2011. Analisis penyelenggaraan makanan di sekolah dan kualitas menu bagi siswa sekolah dasar di Bogor [tesis]. Bogor: Pascasarjana, IPB. Nursiah MA. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat bekerjasama dengan Akademi Gizi Depkes RI. Nutrisurvey. 2007. Nutrition surveys and calculations. http://www.nutrisurvey.de/. [20 Agustus 2011]. Palacio JP, Theis M. 2009. Introduction to Foodservice. Ed ke-11. Ohio: Pearson Education. Perdigon GP. 1989. Foodservice Management In The Philippines. Quezon City: U.P. College of Home Economics. Restantini S. 2003. Penyelenggaraan makanan ditinjau dari konsumsi energi protein dan pengaruhnya terhadap status gizi santri putri usia 10-18 tahun (studi di Pondok Pesantren Persis 85 Banjar) [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, UNDIP. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
85
Roedjito. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Scoular FI, Davis AN, Pace JK, Rankin AB, Boshart GJ. 1956. The protein metabolism of young college women consuming self selected diets. Journal of Nutrition (61): 297-305. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Shirley G. 1999. Food Service Management Study Course. Ed ke-3. Lowa: Lowa State University Press (AMES). Sinaga T. 1995. Feasibility Study dalam Food Service Management. Malang: Pendidikan Ahli Madya Gizi Malang. ______. 2009. Penerimaan bahan pangan in foodservice management. Di dalam: Sulaeman A, Sinaga T, Ekayanti I. Manajemen Jasa Makanan dan Gizi [diktat]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Subandriyo VU. 1993. Kesehatan keluarga. Di dalam: Rustiawan A, Atmodjo SM, Subandriyo VU, Effendi YH. Ilmu Kesehatan Masyarakat [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, IPB. Sukandar D. 2008. Studi Sosialisasi Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Nelayan di Jeneponto Sulawesi Selatan. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sumarwan U. 2011. Perilaku Konsumen (Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran). Jakarta: Penerbit PT Ghalia Indonesia. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC. Tucker LJ, Snelling AM, Adams TB. 2002. Development and validation of a stages of change algorithm for calcium intake for college female students. Journal of the American College of Nutrition (21): 530–535. [WHO] World Health Organization. 2007. Growth reference 5-19 years. http://www.who.int/growthref/en/index.html. [25 Maret 2011]. ______ World Health Organization. 2007. WHO http://www.who.int/growthref/tools/en/. [20 Agustus 2011].
anthroplus.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya). Ed ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
86
[WNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Wirakusumah ES. 1991. Manajemen Makanan dan Gizi Institusi. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, IPB. Yuliansyah D. 2007. Faktor–faktor yang berhubungan dengan status gizi remaja putri di Sekolah Menengah Umum Negeri Toho Kabupaten Pontianak [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran, UGM. Yuliati LN, Santoso H. 1995. Manajemen Gizi Institusi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud RI.
87
LAMPIRAN
88
Lampiran 1 Pengkategorian variabel penelitian No. 1.
Variabel Proses penyelenggaraan makanan
2.
Karakteristik contoh a. Umur b. Uang saku
3.
4.
5.
Kategori pengukuran 1. Perencanaan menu 2. Pelaksanaan (pembelian, penerimaan, penyimpanan dan pengolahan bahan pangan, penditribusan dan penyajian makanan) 1. 2. 3. 1. 2.
Remaja awal (10-13 tahun) Remaja tengah (14-16 tahun) Remaja akhir (17-19 tahun) Rendah (
Karakteristik keluarga contoh a. Pendapatan orang tua 1. Rendah (