HUBUNGAN POLA KONSUMSI, LINGKUNGAN PENGASUHAN, DAN STATUS KESEHATAN DENGAN STATUS GIZI DAN PERKEMBANGAN BALITA
ENGKUN ROHIMAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola Konsumsi, Lingkungan Pengasuhan, dan Status Kesehatan dengan Status Gizi dan Perkembangan Balita adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Engkun Rohimah NIM I14100146
ABSTRAK ENGKUN ROHIMAH. Hubungan Pola Konsumsi, Lingkungan Pengasuhan, dan Status Kesehatan dengan Status Gizi dan Perkembangan Balita. Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan NETI HERNAWATI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pola konsumsi, lingkungan pengasuhan, dan status kesehatan dengan status gizi dan perkembangan balita. Desain penelitian adalah cross sectional dengan contoh sebanyak 63 balita. Variabel pola konsumsi diambil dengan menggunakan kuesioner FFQ, lingkungan pengasuhan dengan menggunakan instrumen HOME inventory, dan perkembangan balita dengan menggunakan instrumen BKB. Hasil uji beda menunjukan adanya perbedaan signifikan (p<0.05) antara kualitas lingkungan pengasuhan anak usia batita dengan anak usia prasekolah. Kualitas lingkungan pengasuhan anak usia prasekolah lebih baik dibandingkan dengan kualitas lingkungan pengasuhan anak usia batita. Selain itu, uji beda juga menunjukan adanya perbedaan signifikan (p<0.05) antara lama waktu menonton televisi anak laki-laki usia batita dengan lama waktu menonton televisi anak perempuan usia batita. Waktu menonton televisi anak laki-laki adalah lebih lama dibandingkan dengan anak perempuan pada usia batita. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara status pekerjaan ibu dan pola asuh kesehatan dengan status gizi (BB/TB); pendapatan per kapita dengan status gizi (TB/U); pengetahuan gizi dan kesehatan dengan perkembangan anak; lama waktu menonton televisi dengan perkembangan, dan riwayat penyakit sebulan dengan status gizi (BB/U). Kata kunci: pola konsumsi, lingkungan pengasuhan, status kesehatan, status gizi, perkembangan, balita
ABSTRACT ENGKUN ROHIMAH. Relationship between Food-Consumption Pattern, Quality of Child Care Environment, and Health Status with Nutritional Status and Development of Children Under-Five Years. Supervised by LILIK KUSTIYAH and NETI HERNAWATI This study aimed to analyze relationship between patterns of consumption, quality of child care environment, and health status with nutritional status and development of children under-five years. The design of this study was cross sectional and using subjects of 63 children under-five years. Collection data of food-consumption pattern used FFQ semi-quantitative questionnaire, quality of child care environment used HOME inventory instruments, and child development used BKB instruments. The result showed that the quality of preschool child care environment was better than the toddler (p<0.05). Moreover, toddler’s spent time viewing TV was significantly longer for boys than girls (p <0.05). There were significant correlation (p<0.05) between maternal employment status and health
parenting with nutritional status (WHZ) , income per capita with nutritional status (HAZ), nutrition and health knowledge with child development, period of spent time viewing TV with child development, and disease history with nutritional status (WAZ). Key words : food-consumption pattern, quality of child care environment, health status, nutritional status, development, children under-five years
HUBUNGAN POLA KONSUMSI, LINGKUNGAN PENGASUHAN, DAN STATUS KESEHATAN DENGAN STATUS GIZI DAN PERKEMBANGAN BALITA
ENGKUN ROHIMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Hubungan Pola Konsumsi, Lingkungan Pengasuhan, dan Status Kesehatan dengan Status Gizi dan Perkembangan Balita Nama : Engkun Rohimah NIM : I14100146
Disetujui oleh
Dr. .Ir. Lilik Kustiyah, M.Si Pembimbing I
Neti Hernawati, SP, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M. Si dan Ibu Neti Hernawati, SP, M.Si selaku pembimbing pertama dan kedua yang telah memberikan banyak masukan. 2. Bapak dr. Naufal Muharam Nurdin, S.Ked selaku dosen pemandu seminar dan Ibu Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan koreksi dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ibu Ayos yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah. 4. Bapak (Suyud), Ibu (Ayanah), dan adik (Pipit) atas dukungan dan kasih sayangnya. 5. Para pembahas seminar yang telah memberikan masukan dan perbaikan skripsi ini yaitu Erik, Susan, Wahyu, dan Umami 6. Ibu-ibu kader posyandu Cucak Rawa, Amel, Dahlia, Yusi, Melinda, dan Karera yang telah banyak membantu dalam pengambilan data 7. Teman-teman saya yakni Dinah, Yeni, Wahyu, Indah, Ade, Kiki, Evi, dan Ami yang telah banyak memberikan bantuan, doa, motivasi dan semangat 8. Teman-teman Gizi Masyarakat 47 termasuk teman-teman kloter 1 Dharmais atas dukungan dan bantuannya. 9. Teman-teman kosan Andika House yang telah banyak memberikan semangat, motivasi, dan dukungan. Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diperlukan untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat mencapai tujuan dengan maksimal dan memberikan manfaat bagi banyak pihak.
Bogor, September 2014
Engkun Rohimah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
3
Manfaat
3
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
6
Desain, Tempat, dan Waktu
6
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
7
Pengolahan dan Analisis Data
8
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
10 11
Gambaran Umum
11
Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga
12
Waktu Menonton Televisi
15
Pola Konsumsi
16
Status Kesehatan
18
Pola Asuh Kesehatan
18
Lingkungan Pengasuhan
20
Status Gizi
22
Perkembangan anak
24
Hubungan Antar Variabel
27
SIMPULAN DAN SARAN
34
Simpulan
34
Saran
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
38
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Cara pengumpulan data primer Jenis variabel, kategori, dan acuan pengolahan data penelitian Sebaran contoh berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan sub skala pengetahuan gizi dan kesehatan Sebaran contoh berdasarkan kategori lama waktu menonton televisi dan kelompok usia Frekuensi rata-rata konsumsi pangan contoh dalam seminggu Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit 1 bulan terakhir dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan sub skala pertanyaan pola asuh kesehatan Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan kualitas lingkungan pengasuhan dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan sub skala kualitas lingkungan pengasuhan dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan perkembangan dan kelompok usia Sebaran contoh berdasarkan sub skala perkembangan dan kelompok usia Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan status gizi dan perkembangan anak Sebaran contoh menurut pola asuh kesehatan dan status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan Sebaran contoh menurut pola asuh kesehatan dan status gizi berdasarkan berat badan menurut umur Nilai rata-rata skor perkembangan contoh berdasarkan kategori lama waktu menonton televisi dan sub skala perkembangan Sebaran balita menurut status gizi (BB/U) dan perkembangan anak Sebaran balita menurut status gizi (BB/TB) dan perkembangan anak
7 9 12 13 15 15 17 18 19 19 20 22 24 25 26 28 29 30 31 33 33
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji korelasi Spearman 2 Dokumentasi penelitian
38 46
PENDAHULUAN Latar Belakang Anak balita merupakan anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang (Mary 2011). Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, dan otot, sehingga anak balita membutuhkan makanan bergizi lebih banyak dalam proporsi tertentu (Kathleen et al. 2008). Masa balita merupakan masa yang penting karena dimasa ini terjadi pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak di masa selanjutnya (Diasmarani 2011). Pertumbuhan anak yang lengkap dan sempurna akan menunjang perkembangan anak sehingga perkembangan anak menjadi lebih optimal. Pertumbuhan mencakup bertambahnya tinggi dan berat badan anak sedangkan perkembangan mencakup perubahan dan kematangan fungsi tubuh ke arah yang lebih baik. Kegagalan pertumbuhan dan perkembangan di masa balita dapat berpengaruh terhadap kehidupannya di masa dewasa. Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya status gizi, status kesehatan dan konsumsi zat gizi. Status gizi, status kesehatan dan konsumsi zat gizi yang baik dapat mendukung perkembangan anak yang lebih optimal (Agustin 2011). Usia balita merupakan usia yang rentan terhadap status gizi kurang. Kekurangan gizi pada balita disebabkan dari interaksi antara berbagai faktor, tetapi faktor yang utama adalah akibat konsumsi makanan yang kurang memadai baik kuantitas maupun kualitas (Mary 2011). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 prevalensi gizi kurang sebesar 19.6% (Depkes 2013). Nilai prevalensi gizi kurang di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO) yaitu sebesar 10% (Syukriawati 2011). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2012, sebanyak 60 893 balita di Banten mengalami gangguan masalah gizi dimana 7 213 balita diantaranya mengalami gizi buruk dan 53 680 balita lainnya kekurangan gizi (Dinkes Banten 2013). Balita yang mengalami kekurangan gizi di Banten menyebar di empat kabupaten dan empat kota. Salah satunya Kota Tangerang Selatan dengan jumlah balita gizi kurang sekitar 3 363 Balita (Dinkes Banten 2013). Pramudiarja (2013) mengatakan bahwa gizi kurang menurut Walikota Tangerang Selatan, bukan hanya karena ketidakmampuan orang tua saja tetapi karena ketidaktahuan orang tua. Selain berhubungan dengan asupan makanan, status gizi juga dipengaruhi oleh status kesehatan balita (Diasmarani 2011). Anak yang sakit biasanya memiliki nafsu makan yang turun dan asupan makanan yang terbatas. Penyakit yang berasal dari virus atau bakteri akut memang umumnya membutuhkan waktu yang singkat, namun hal ini dapat menyebabkan dibutuhkannya peningkatan cairan, protein, atau nutrisi lainnya untuk anak (Kathleen et al 2008). Menurut Mary (2011), status gizi kurang pada balita selain karena faktor konsumsi makanan disebabkan juga oleh adanya faktor penyakit infeksi yang sering dialami oleh balita, antara lain campak, diare, infeksi saluran pernapasan akut, cacingan, dan lain-lain. Balita mudah terkena penyakit infeksi karena segera setelah anak dapat berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, mereka akan lebih
2 sering berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya, sehingga anak mudah untuk terkena penyakit infeksi terutama untuk anak yang memiliki daya tahan tubuh lemah (Mary 2011). Faktor infeksi dan masalah gizi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak. Riskesdas (2007) menunjukkan, penyebab kematian balita sebesar 17,2% terjadi karena diare (Depkes 2012). Selain gizi kurang, balita gizi buruk di Tangerang Selatan juga masih cukup banyak yaitu berjumlah 24 anak pada tahun 2012 yang ada di beberapa kecamatan termasuk Kecamatan Pamulang. Balita yang terserang gizi buruk umumnya juga disebabkan oleh kesibukan orang tuanya khususnya ibu balita saat bekerja yang tidak memperhatikan kebutuhan gizi bagi balita (Joniansyah 2011). Bagi ibu yang bekerja, waktu yang diberikan kepada anak balitanya akan berkurang daripada ibu yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja di luar rumah setiap hari umumnya tidak dapat mengawasi secara langsung pola makan sehari-hari anak balitanya. Makanan anak balita diserahkan kepada pengasuh anak, pembantu rumah tangga, keluarga ataupun tempat penitipan anak (Syukriawati 2011). Keadaan ini mengakibatkan pola makan anak mungkin saja menjadi tidak teratur sehingga akan berdampak pada status gizi anak yang kurang baik dan akhirnya berdampak pula kepada perkembangan anak. Selain dipengaruhi oleh bekerja atau tidaknya ibu, pola makan anak juga dipengaruhi oleh kebiasaan anak menonton televisi. Televisi bisa mempengaruhi kebiasaan makan anak. Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa semakin lama seorang anak menonton televisi, maka konsumsi makanan seperti yang diiklankan dalam televisi juga meningkat. Ini membuktikan kebiasaan makan anak dapat berubah karena intervensi iklan di televisi. Penemuan lainnya adalah meningkatnya waktu menonton televisi akan membuat anak mempengaruhi pola belanja makanan orang tuanya di pasar swalayan. Pada saat orang tua akan berbelanja, anak langsung menyampaikan daftar pesanan makanan yang harus dibeli ibunya. Meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi panganan padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton televisi membuat anak-anak rawan terhadap obesitas (Putri 2012). Kebiasaan anak menonton televisi juga mempengaruhi perkembangan anak. Karena jadwal kesibukan cukup padat, orang tua lebih senang membiarkan anaknya menonton televisi untuk melengkapi kebutuhan edukasi sekaligus hiburan sang anak sehingga orangtua dapat memperoleh lebih banyak waktu untuk bekerja dan beristirahat. Menurut penelitian Dimitri dari University of Washington, AS menunjukkan bahwa vokalisasi, kosakata, dan percakapan yang dilakukan oleh pendamping anak (orangtua, pengasuh) berkurang secara bermakna selama ia menonton televisi. Hal ini menimbulkan pengurangan stimuli pada anak untuk berkomunikasi sehingga berakibat pada perkembangan bahasa anak (Tiwi 2012). Status gizi dan perkembangan balita juga dipengaruhi oleh pengasuhan orang tua. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi perkembangan anak (Marlina 2012). Anak balita yang memperoleh kualitas pengasuhan yang lebih baik, besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang juga relatif lebih baik (Syukriawati 2011). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pola konsumsi, lingkungan pengasuhan, dan status kesehatan terhadap status gizi dan tumbuh kembang anak usia balita peserta kegiatan BKB.
3 Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pola konsumsi, lingkungan pengasuhan, dan status kesehatan dengan status gizi dan perkembangan anak usia balita. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik anak dan orang tua, pola konsumsi, lingkungan pengasuhan anak, riwayat kesehatan, pola asuh kesehatan anak, lama waktu menonton televisi, status gizi anak dan nilai perkembangan anak 2. Menganalisis perbedaan karakteristik anak dan orang tua, pola konsumsi, lingkungan pengasuhan anak, riwayat kesehatan, pola asuh kesehatan anak, lama waktu menonton televisi, status gizi dan nilai perkembangan anak berdasarkan kategori jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak 3. Mempelajari hubungan antara pola konsumsi, lingkungan pengasuhan, waktu menonton televisi dan riwayat kesehatan dengan status gizi dan perkembangan anak
Manfaat Bagi masyarakat sekitar Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat menjadi mengetahui pentingnya pola konsumsi dan lingkungan pengasuhan yang baik guna mendukung status gizi perkembangan anak. Selain itu, diharapkan juga masyarakat dapat lebih menjaga kesehatan anak balita mereka agar anak tersebut tidak memiliki riwayat kesehatan yang tidak baik yang dapat mengganggu status gizi dan perkembangan anak. Bagi kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita) Melalui penelitian ini diharapkan kegiatan BKB ini juga memusatkan perhatian pada penyuluhan mengenai pentingnya pola konsumsi anak yang baik, pentingnya menjaga dan memperbaiki lingkungan pengasuhan, dan pentingnya menjaga kesehatan anak agar anak memiliki status gizi dan dapat tumbuh serta berkembang dengan baik. Karena selama ini BKB lebih memusatkan kepada pola pengasuhan yang baik.
KERANGKA PEMIKIRAN Masa balita merupakan masa emas pada proses kehidupan manusia, yang ditandai dengan pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif, kemampuan untuk bersosialisasi dengan lingkungan serta kemampuan psikomotor (Yulia 2008). Pertumbuhan dan perkembangan balita dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah status gizi. Menurut Mary (2011), status gizi kurang pada balita
4 merupakan akibat dari adanya interaksi antara berbagai faktor, tetapi yang paling utama adalah akibat konsumsi makanan yang kurang mencukupi baik kuantitas maupun kualitas. Kuantitas dan kualitas konsumsi balita dapat dilihat dari pola konsumsi balita. Selain berhubungan dengan asupan makanan, status gizi juga dipengaruhi oleh status kesehatan balita (Diasmarani 2011). Infeksi yang terjadi pada balita dapat memperburuk status gizi balita. Hal ini dikarenakan pada saat balita mengalami infeksi, balita biasanya kehilangan nafsu makan dan pada kejadian tertentu, keadaan infeksi dapat menyebabkan terjadinya malabsorpsi, sehingga zat gizi yang berasal dari makanan tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh akibatnya status gizi balita tersebut akan semakin memburuk (Yulia 2008). Status kesehatan dan adanya infeksi dipengaruhi oleh pola asuh kesehatan anak. Pola asuh kesehatan akan sangat mempengaruhi status kesehatan anak, karena apabila pola asuh kesehatan yang diberikan kurang baik, maka kemungkinan konsumsi pangan anak akan ikut terganggu, akibatnya akan terjadi penurunan kekebalan tubuh. Keadaan ini menyebabkan anak balita akan terkena berbagai penyakit (Syukriawati 2011). Pola makan anak juga dipengaruhi oleh kebiasaan anak menonton televisi. Televisi bisa mempengaruhi kebiasaan makan anak. Anak-anak yang menonton televisi lebih lama makan lebih banyak makanan berkalori dan minum bersoda. Selain itu, anak-anak yang menonton televisi lebih banyak memakan makanan rendah gizi, tetapi berkalori tinggi. Kebiasaan anak menonton televisi juga mempengaruhi perkembangan anak. Televisi mengganggu perkembangan kecerdasan, pemikiran dan keterampilan imajinasi serta mengganggu perkembangan bahasa (Vancouver Island 2011). Selain itu, status gizi dan perkembangan balita juga dipengaruhi oleh pengasuhan orang tua. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peran penting bagi perkembangan anak. Anak balita yang memperoleh kualitas pengasuhan yang lebih baik, kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang lebih rendah dan status gizi yang relatif lebih baik (Syukriawati 2011). Perbedaan karakteristik keluarga seperti besar keluarga dan pekerjaan orangtua dapat mempengaruhi proses pengasuhan yang diterapkan orang tua kepada anak. Makin besar jumlah anggota keluarga maka akan semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak, karena semua itu harus dibagi dengan anggota keluarga yang lainnya. Selain itu, besar anggota keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi. Kebutuhan makanan akan menjadi lebih mudah dipenuhi pada keluarga yang memiliki jumlah anggota lebih sedikit (Yulia 2008). Rendahnya pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik (Rahmawati 2006). Pendapatan keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi keluarga, rendahnya pendapatan keluarga akan menurunkan daya beli. Keluarga yang mempunyai pendapatan rendah, kemungkinan balita yang dimilikinya akan mengalami gangguan gizi karena ketidakmampuan keluarga untuk membeli zatzat gizi yang dibutuhkan (Syukriawati 2011). Gambar 1 menunjukkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.
5 Perkembangan Balita
Genetik
Lama menonton televisi Status Gizi Balita BB/U TB/U BB/TB
Status Kesehatan Lama sakit Diare ISPA Infeksi
Pola konsumsi (frekuensi, jumlah dan jenis konsumsi)
Pola Asuh Gizi dan Kesehatan Kualitas Lingkungan Pengasuhan
Karakteristik Keluarga Pekerjaan dan usia ibu Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu Besar keluarga Pendapatan per kapita Pendidikan Ibu
Keterangan: : variabel yang diamati : variabel yang tidak diamati : hubungan yang dianalisis
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
6
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain cross sectional study. Pengamatan terhadap variabel bebas dan terikat dilakukan sekaligus pada suatu saat dan secara langsung. Adapun tempat penelitian yang diambil adalah di Kota Tangerang Selatan. Pemilihan Kota Tangerang Selatan sebagai tempat penelitian dilakukan secara purposive. Kota Tangerang Selatan memiliki 7 kecamatan yang memiliki kegiatan BKB (Bina Kelurga Balita). Namun, dari ketujuh kecamatan itu hanya ada 4 kecamatan yang aktif mengadakan kegiatan BKB yaitu kecamatan Serpong Utara, kecamatan Ciputat, kecamatan Serpong, dan Kecamatan Pamulang. Adapun kecamatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah kecamatan Pamulang. Pemilihan ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan kemudahan akses ke lokasi. Selain itu, lokasi menurut dinas kesehatan Kota Tangsel termasuk lokasi dimana balita gizi buruk dan gizi kurang umumnya berada. Karena Kecamatan Pamulang ternyata terbagi menjadi dua lokasi wilayah yang memiliki posyandu dengan kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita) yaitu wilayah Pamulang dan wilayah Benda Baru maka dipilihlah wilayah Benda Baru secara purposive. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juli 2014.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Contoh penelitian ini adalah anak usia di bawah lima tahun (balita) yang tinggal di lokasi penelitian. Pemilihan contoh dilakukan secara purposive, dengan kriteria keluarga lengkap atau utuh yang tinggal dalam rumah tangga yang sama, mempunyai anak balita berusia 2-5 tahun, aktif mengikuti kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita), dan kegiatan lain di posyandu misalnya penimbangan serta bersedia untuk dijadikan contoh. Survei pendahuluan dilakukan untuk melakukan sampling, yang akan mengelompokkan keluarga yang memiliki balita. Berdasarkan data ada sekitar 70 balita di wilayah Benda Baru, Kecamatan Pamulang yang aktif mengikuti kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita) dari posyandu. Adapun jumlah sampel yang diambil adalah seluruh populasi balita yang berjumlah 70 balita tersebut. Balita yang ada kemudian dikelompokkan menjadi 2 yaitu sebagai berikut batita (2-3 tahun) = 32 contoh prasekolah (di atas 3 tahun sampai 5 tahun) = 38 contoh Namun, setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat 2 balita yang tidak bisa diamati karena sedang tidak berada di tempat dan 5 balita yang ibunya tidak dapat ditemui dan memiliki pengasuh utama bukan ibu. Karena itu, maka balita yang dijadikan contoh menjadi berjumlah 63 anak. Adapun pengelompokannya adalah batita (2-3 tahun) = 30 contoh prasekolah (di atas 3 tahun sampai 5 tahun) = 33 contoh
7 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data sekunder diambil dari format posyandu yang berisi nama-nama anak berusia 2-5 tahun dan alamat tinggalnya. Data primer mencakup karakteristik keluarga, karakteristik anak balita, pola konsumsi pangan anak balita, lingkungan pengasuhan balita, status kesehatan balita, status gizi dan perkembangan balita. Data karakteristik rumahtangga terdiri dari umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengetahuan gizi ibu. Karakteristik anak balita mencakup umur anak balita dan jenis kelamin anak balita. Pola konsumsi pangan anak balita meliputi tingkat konsumsi pangan anak balita dan frekuensi konsumsi pangan anak balita melalui wawancara menggunakan Food Frequencies Questionnaire (FFQ) konsumsi pangan rumah tangga. Lingkungan pengasuhan diukur dengan menggunakan HOME (Home Observation for Measurement of the Environment) inventory. HOME inventory terdiri atas 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Karena contoh yang diambil berumur 2-5 tahun maka kedua versi ini akan digunakan. Perkembangan diukur dengan instrumen BKB (Bina Keluarga Balita) yang dikembangkan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Instrumen ini juga dibedakan berdasarkan umur yaitu instrumen untuk anak usia 1-2 tahun, 2-3 tahun, 3-4 tahun, dan 4-5 tahun. Tabel 1 menunjukkan cara pengumpulan data primer. Tabel 1 Cara pengumpulan data primer Data Karakteristik keluarga Pengetahuan gizi dan kesehatan Pola konsumsi Pola asuh kesehatan Status kesehatan Waktu menonton televisi Lingkungan pengasuhan
Metode Wawancara Pengisian kuesioner Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara dan observasi
Status gizi Perkembangan
Pengukuraan Observasi
Instrumen Kuesioner Kuesioner Kuesiner FFQ Kuesioner Kuesioner Kuesioner Instrument HOME inventory Timbangan, mikrotois Instrumen perkembangan BKB
Status gizi diperoleh dengan mengukur berat badan dan tinggi badan anak secara langsung. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu diperoleh dari pengisian kuesioner yang dilakukan oleh ibu balita sendiri, sedangkan pola asuh kesehatan dan waktu menonton televisi diperoleh lewat wawancara dengan ibu balita. Status kesehatan diperoleh dengan mencatat jenis, kejadian (pernah atau tidak pernah), dan frekuensi sakit balita lewat wawancara dengan ibu balita.
8 Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi entry, coding, editing dan analisis. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Program Social Sciences (SPSS) versi 13.0 for Windows. Analisis statistik korelasi Spearman, Chi-Square dan uji beda Mann Whitney digunakan dalam penelitian ini. Data karateristik anak balita meliputi data umur dan jenis kelamin balita. Umur anak balita diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu 24-36 bulan dan 3759 bulan. Data jenis kelamin anak balita terdiri dari dua kategori yaitu laki-laki dan perempuan. Data usia ibu yang diperoleh dikategorikan berdasarkan kelompok usia, yaitu remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dan dewasa madya (3150 tahun) (Turner JS & Helms DB 1991, diacu dalam Gabriel 2008). Besar keluarga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5 sampai 7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang) (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Pengetahuan gizi dan kesehatan didapatkan melalui pengisian kuesioner oleh responden yang terdiri dari 15 pertanyaan. Kuesioner pengetahuan gizi menggunakan pertanyaan tertutup, dengan nilai 1 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah, sehingga nilai maksimum yang diperoleh adalah 15. Total nilai untuk jawaban yang benar kemudian dipersentasikan terhadap jumlah nilai maksimum dan dikategorikan menjadi tiga, yaitu baik (≥ 80%), sedang (6080%), dan rendah (≤ 60%) (Khomsan 2000). Penilaian status gizi anak balita diperoleh dengan pendekatan antropometri berdasarkan pada simpangan baku (z-skor) menurut BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan menggunakan software WHO-Antro. Selanjutnya hasil perhitungan z-skor diklasifikasikan ke dalam baku WHO-NCHS. Status kesehatan balita diamati dari kejadian sakit pada sebulan terakhir yang meliputi jenis gangguan kesehatan (jenis penyakit), kejadian sakit (pernah/tidaknya sakit) dan frekuensi sakit. Variabel yang digunakan dalam uji korelasi adalah variabel kejadian sakit (pernah/tidaknya sakit). Kualitas lingkungan pengasuhan anak dapat dilihat dari reaksi emosi yang diberikan orang tua, dorongan positif yang diberikan orang tua kepada anak, suasana yang nyaman yang diberikan orang tua kepada anak, kasih saying yang ditunjukkan orang tua, sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak yang disediakan orang tua, ikut berpartisipasinya orang tua dalam kegiatan positif bersama anak, aktif terlibatnya orang tua dalam kegiatan bersama anak, dan lingkungan fisik yang nyaman yang ada di rumah. Pola asuh kesehatan merupakan cara dan kebiasaan orang tua/ keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita dan mencegah terjadinya gangguan kesehatan seperti pembiasaaan orang tua pada anak untuk mencuci tangan, menggosok gigi, dan menggunting kuku. Perkembangan balita dapat dilihat dari perkembangan gerakan kasar, gerakan halus, mengerti isyarat dan pembicaraan, mengungkapkan dengan isyarat/kata-kata, kecerdasan, menolong diri sendiri, dan bergaul (tingkah laku sosial). Jenis variabel, kategori dan acuan pengolahan data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
9 Tabel 2 Jenis variabel, kategori dan acuan pengolahan data penelitian No
Variabel
Kategori
1.
Usia anak
1. 2.
2.
Jenis kelamin
3.
Pendidikan ibu
4.
Pekerjaan ibu
5.
Usia ibu
6.
Besar keluarga
7.
Pendapatan (Rp/kap/bulan) Pengetahuan gizi dan kesehatan
8.
9.
Pola asuh kesehatan
10.
Status kesehatan
11.
Skor frekuensi konsumsi pangan
12.
Kualitas lingkungan pengasuhan
13. 14.
Lama waktu menonton televisi Status gizi BB/U
15.
Status gizi TB/U
16.
Status gizi BB/TB
17.
Perkembangan anak
Acuan Papalia et al. 2004
1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 0. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2.
Batita (2-3 tahun) Prasekolah (di atas 3 tahun sampai 5 tahun) Laki-laki Perempuan Tidak tamat SD SD SMP SMA Perguruan tinggi Ibu rumah tangga (tidak bekerja) PNS Wiraswata Wirausaha Karyawan Remaja : 13-19 tahun Dewasa muda : 20-30 tahun Dewasa madya : 31-50 tahun Kecil : ≤4 orang Sedang : 5 sampai 7 orang Besar : ≥8 orang Rendah : <375 341 Tinggi : >375 341 Kurang : <60% Sedang :60-80% Baik : >80% Kurang : <60% Sedang :60-79% Baik : ≥80% Tidak pernah sakit 1-2 kali sakit 3-4 kali sakit 5-6 kali sakit Rendah : 0-33.3 Sedang : 33.4-66.6 Tinggi : 66.7-100 Kurang : <60% Sedang :60-80% Baik : >80% ≤4 jam >4 jam Gizi lebih : >+2 SD Gizi baik : -2 SD s/d +2 SD Gizi kurang : -3 SD s/d -2 SD Gizi buruk : <-3 SD Normal : ≥-2 SD Pendek (stunting) : ≤-2 SD Gemuk : >+2 SD Normal : -2 SD s/d +2 SD
1. 2. 3.
Kurang : <60% Sedang :60-80% Baik : >80%
Penuntun praktikum tumbuh kembang anak
Turner JS & Helms DB 1991, diacu dalam Gabriel 2008 Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008 Litbang Kota Tangerang 2012 Khomsan et al. 2013
Hidayati 2010
Marliyati 2008 dalam Ayu 2013 Penuntun praktikum pengasuhan anak Torres et al 2000 WHO-NCHS
WHO-NCHS WHO-NCHS
10 Jumlah pertanyaan pada instrumen perkembangan anak berbeda untuk setiap umur karena itu hasil nilai tersebut disetarakan dengan menggunakan rumus indeks. Adapun rumusnya adalah : Y=
skor aktual – skor minimum Skor maksimum – skor minimum
X 100
Data frekuensi konsumsi pangan berdasarkan Marliyanti et al. (2008) dalam Ayu (2013) dikategorikan menjadi skor 0=tidak pernah mengkonsumsi, skor 1=konsumsi kurang dari 1 kali/minggu (jarang), skor 10=konsumsi kurang dari 3 kali/minggu (1-2 kali/minggu), skor 15=konsumsi 3 kali/minggu, skor 25=konsumsi 1 kali sehari (4-7 kali/minggu), dan skor 50=konsumsi lebih dari 1 kali sehari. Kemudian hasil pemberian skor dikonversi ke dalam bentuk persentase dengan menggunakan rumus : Y=
X – skor minimum X 100 Skor maksimum – skor minimum
Keterangan : Y = persentase skor frekuensi konsumsi tiap kelompok pangan contoh X = skor frekuensi konsumsi tiap kelompok pangan yang diperoleh contoh
Definisi Operasional Anak balita adalah anak laki-laki atau perempuan dalam keluarga yang berusia antara 24-48 bulan. Pola konsumsi adalah informasi mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang pada waktu tertentu. Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam memilih makanan yang akan membentuk pola perilaku makan. Ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain. Kebiasaan makan balita biasanya masih dipengaruhi oleh orang tua atau pengasuhnya. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal menetap bersama dalam satu atap dan hidup dari penghasilan yang sama. Peubah besar keluarga diukur dengan mengelompokkannya menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5 sampai 7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang). Status gizi anak balita adalah keadaan tubuh anak balita yang ditentukan berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan menggunakan baku WHO-NCHS. Frekuensi sakit adalah jumlah pengulangan terjadinya penyakit tertentu yang dialami contoh selama tiga bulan terakhir dari waktu wawancara. Status kesehatan balita adalah keadaan kesehatan balita yang diukur dari kejadian penyakit (ada tidaknya penyakit) dan frekuensi penyakit yang diderita balita dalam tiga bulan terakhir dari waktu wawancara.
11 Pola Asuh Kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang tua/ keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita dan mencegah terjadinya gangguan kesehatan. Lingkungan Pengasuhan adalah Kondisi dimana orang tua menciptakan lingkungan yang mendukung proses pengasuhan anak seperti lingkungan yang menyediakan stimulasi, kasih sayang, dan memenuhi kebutuhan anak. Perkembangan anak adalah proses berkembangnya kemampuan anak dalam melakukan gerakan kasar, gerakan halus, mengerti isyarat dan pembicaraan, mengungkapkan dengan isyarat/kata-kata, kecerdasan, menolong diri sendiri, dan bergaul (tingkah laku sosial). Pertumbuhan anak adalah bertambahnya tinggi badan dan berat badan anak sesuai dengan usianya
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Posyandu Cucak Rawa merupakan posyandu yang memiliki kegiatan bina keluarga balita di wilayah puskesmas Benda Baru, Pamulang. Posyandu ini terbentuk pada tanggal 19 Mei tahun 2011 dengan SK nomor 21/kel.KDG/V/2011. Bina keluarga balita (BKB) sendiri terbentuk pada tanggal 19 Mei 2011 dengan SK nomor 4004/002-Kesra/KEL-KDG/Kpts/2011. Jumlah pertemuan untuk kegiatan BKB mula-mula 1x perbulan tapi selanjutnya sejak tahun 2012 dilakukan 2x perbulan. Mitra kerja BKB posyandu cucak rawa adalah puskesmas dengan pemberian vitamin A, pemeriksaan gigi dan dengan universitas UIN, yaitu mengadakan seminar tentang pola asuh dan cara mendidik anak yang baik. Visi bina keluarga balita cucak rawa adalah terwujudnya keluarga sejahtera yang sehat, cerdas, dan mandiri. Sedangkan misi bina keluarga balita cucak rawa adalah mengupayakan dan membentuk sarana yang bermanfaat bagi masyarakat luas, meningkatkan wawasan dan kepedulian serta menjadi panutan kepada masyarakat, serta membina kerukunan dan meningkatkan kesejahteraan lingkungan sekitarnya. Tujuan bina keluarga balita cucak rawa adalah meningkatkan peran dan kemampuan ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Wilayah yang dibina dan didata oleh bina keluarga balita cucak rawa adalah terdiri dari 3 RT. Pada awal terbentuknya BKB dimulai dengan 5 orang kader tetapi di tahun berikutnya bertambah menjadi 7 orang dan sekarang berjumlah 10 orang. Pekerjaan semua kader adalah ibu rumah tangga. Bina keluarga balita cucak rawa menempati tanah seluas 300 meter persegi yang merupakan tanah wakaf. Lokasi ini sama dengan lokasi posyandu, PAUD, dan posbindu cucak rawa. Berikut contoh kegiatan yang dilakukan bina keluarga balita cucak rawa. 1. Penyuluhan 10 indikator PHBS 2. Penyuluhan tentang minyak sayur yang sudah 2x terpakai 3. Penyuluhan tentang garam beryodium 4. Penyuluhan tentang alat-alat kb 5. Penyuluhan tentang fungsi dan manfaat kb bagi keluarga
12 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Penyuluhan tentang manfaat ASI bagi ibu dan anak Penyuluhan tentang MP-ASI Penyuluhan tentang garam beryodium Penyuluhan tentang KMS Penyuluhan tentang balita Penyuluhan tentang kemasan pangan plastik Penyuluhan tentang KKA Penyuluhan tentang waspada pangan yang mengandung bahan berbahaya Penyuluhan tentang mendongeng Penyuluhan tentang mengasuh balita dan anak Mengenalkan kembali fungsi KB Memasak menu 4 sehat 5 sempurna Mengenalkan alat kontrasepsi
Posyandu ini termasuk posyandu yang aktif mengikuti kegiatan lomba baik di tingkat kecamatan, Kota, maupun Provinsi. Posyandu ini pernah memenangkan lomba posyandu dengan kegiatan BKB terbaik di wilayah Kota Tangerang Selatan karena memiliki catatan administrasi terlengkap.
Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga Contoh dalam penelitian ini adalah balita yang berada di sekitar posyandu Cucak Rowo, Pamulang, Tangerang Selatan. Contoh dari kelompok usia batita dan prasekolah hampir seimbang jumlahnya. Demikian juga, jumlah contoh untuk laki-laki dan perempuan hampir seimbang jumlahnya. Tabel 3 menyajikan karakteristik balita. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Kelompok usia Batita (2-3 tahun) Prasekolah (di atas 3 tahun sampai 5 tahun) Total
Laki-laki n % 15 50.0 16 48.5
Perempuan n % 15 50.0 17 51.5
n 30 33
% 47.6 52.4
31
32
63
100.0
100.0
100.0
Total
Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik keluarga (Fauziah 2009). Selain mempengaruhi konsumsi pangan, karakteristik keluarga juga mempengaruhi pengasuhan yang dilakukan di rumah. Karakteristik keluarga yang dimaksud diantaranya adalah pekerjaan ibu, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, besar keluarga, pendapatan orang tua, dan pendidikan orang tua. Tabel 4 menunjukkan bahwa besar keluarga contoh sebagian besar hanya memiliki keluarga kecil saja. Hasil ini sama dengan penelitian Sebagian besar orang tua contoh memiliki pendapatan tinggi. Pekerjaan ibu sebagian besar adalah ibu rumah tangga atau tidak bekerja, sedangkan sisanya bekerja sebagai PNS, wiraswasta, wirausaha, dan karyawan. Hasil ini sesuai dengan pernyataan
13 Rahmawati (2006) yang menyatakan bahwa pada masyarakat tradisional biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga Persentase ibu dengan pendidikan terakhir SMA dari anak perempuan usia batita lebih banyak 7X dibandingkan dengan anak laki-laki usia batita. Namun, untuk persentase ibu dengan pendidikan terakhir perguruan tinggi lebih banyak dari anak laki-laki usia batita dibandingkan dengan anak laki-laki usia batita. Persentase kategori kurang pada pengetahuan gizi dan kesehatan berasal dari ibu yang memiliki anak laki-laki usia batita dan anak perempuan usia prasekolah. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan kelompok usia Karakteristik
Batita L
P
Prasekolah L P
Total
p value
Pendidikan ibu Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi Total
0.0 6.7 20.0 60.0 13.3 100.0
0.0 46.7 0.0 53.3 6.7 100.0
0.0 0.0 25.0 56.2 18.8 100.0
0.0 17.6 5.9 58.8 17.7 100.0
0.0 15.9 12.7 57.1 14.3 100.0
Pekerjaan ibu IRT PNS Wiraswasta Wirausaha Karyawan Total
73.3 0.0 20.0 6.7 0.0 100.0
80.0 0.0 6.7 13.3 0.0 100.0
87.5 0.0 0.0 6.2 6.3 100.0
82.4 5.9 11.7 0.0 0.0 100.0
81.0 1.6 9.5 6.3 1.6 100.0
Usia Ibu (tahun)a Remaja Dewasa muda Dewasa madya Total
29.33±5.54 0.0 0.0 66.7 73.3 33.3 26.7 100.0 100.0
31.73±6.23 0.0 0.0 43.8 64.7 56.2 35.3 100.0 100.0
30.59±5.99 0.0 61.9 38.1 100.0
0.211
Besar Keluarga (orang) a Kecil Sedang Besar Total
3.97±1.07 60.0 80.0 40.0 20.0 0.0 0.0 100.0 100.0
4.06±0.95 62.5 70.6 37.5 29.4 0.0 0.0 100.0 100.0
4.02±0.99 68.3 31.7 0.0 100.0
0.778
Pendapatan (Rp/Kap/bulan) a Rendah Tinggi Total Pengetahuan gizi dan kesehatan (skor) a Kurang Sedang Baik Total a
692 786±375 821 20.0 80.0 100.0
20.0 80.0 100.0
80.20±10.43 6.7 53.3 40.0 100.0
= nilai rata-rata ± standar deviasi
0.0 53.3 46.7 100.0
747 424±444 470 31.3 68.7 100.0
17.6 82.4 100.0
81.20±10.34 0.0 50.0 50.0 100.0
5.9 41.2 52.9 100.0
0.217
0.413
721 406±410 834 22.2 77.8 100.0
0.688
80.70±10.31 3.2 49.2 47.6 100.0
0.531
14 Pengetahuan gizi ibu adalah landasan penting untuk mencukupi intake gizi anak. Pengetahuan gizi yang diimplementasikan dalam sikap dan praktik akan mendorong terbentuknya pola makan yang baik di dalam rumah tangga (Khomsan et al 2013). Pengetahuan gizi dan kesehatan yang dimiliki ibu contoh rata-rata berkategori sedang dan baik. Lama pendidikan yang diterima ibu minimal adalah 6 tahun sedangkan lama pendidikan yang diterima ibu maksimal adalah 19 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu adalah 11.17±2.94. Lama pendidikan yang diterima ayah minimal adalah 6 tahun, sedangkan lama pendidikan yang diterima ayah maksimal adalah 16 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu adalah 11.56±2.57. Besar keluarga yang dimiliki sampel cukup bervariasi mulai dari 3 orang sampai maksimal 7 orang. Rata-rata besar keluarga sampel adalah 4.02±0.99. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik keluarga yang dimiliki anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik keluarga yang dimiliki anak perempuan usia batita dengan anak lakilaki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara karakteristik keluarga yang dimiliki anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Sebagian besar ibu dari contoh usia prasekolah memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan baik. Sedangkan sebagian besar ibu dari contoh usia batita memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan sedang. Skor pengetahuan gizi dan kesehatan terendah dari ibu contoh adalah 53.3, sedangkan skor tertinggi yang diperoleh ibu contoh adalah 100. Rata-rata skor pengetahuan gizi dan kesehatan contoh adalah 80.70±10.31. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan gizi dan kesehatan anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan gizi dan kesehatan dari ibu anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara pengetahuan gizi dan kesehatan dari ibu anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Contoh pengetahuan kesehatan yang paling banyak dijawab salah oleh ibu contoh adalah soal mengenai bahaya penggunaan formalin, pewarna tekstil, dan zat lainnnya. Sebagian besar ibu menjawab bahwa formalin, pewarna tekstil, dan zat lainnnya adalah dapat menyebabkan kematian padahal jawaban yang paling tepat adalah menyebabkan keracunan. Selain itu, soal yang juga masih cukup banyak dijawab salah oleh ibu contoh adalah soal mengenai kandungan makanan ringan atau cemilan dan cara mencuci sayur yang benar. Soal pengetahuan gizi yang paling banyak di jawab salah oleh sebagian besar ibu adalah soal mengenai contoh makanan sumber tenaga, contoh makanan sumber zat pengatur dan contoh makanan sumber zat pembangun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.
15 Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan sub skala pengetahuan gizi dan kesehatan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Pengetahuan Gizi Contoh makanan sumber zat pengatur Contoh makanan sumber tenaga Contoh makanan sumber zat pembangun Contoh menu makanan yang baik Zat gizi untuk pertumbuhan tulang dan gigi Zat gizi untuk mencegah terjadinya rabun ayam Zat gizi untuk mencegah gondok dan anak berprestasi Zat gizi untuk anak dapat fokus di sekolah Pengetahuan Kesehatan Guna makanan sebagai perlindungan bagi anak Bahaya penggunaan formalin, pewarna tekstil, dll Waktu yang tepat untuk mencuci tangan Kandungan makanan ringan atau cemilan Cara memasak air untuk minum Cara mencuci sayur yang benar Cara menyimpan makanan yang telah masak
Salah
Benar
Total
36.5 54.0 36.5 1.6 6.3 9.5 3.2 27.0
63.5 46.0 63.5 98.4 93.7 90.5 96.8 73.0
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
4.8 60.3 3.2 22.2 0.0 20.6 3.2
95.2 39.7 96.8 77.8 100.0 79.4 96.8
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Waktu Menonton Televisi Aktivitas anak sebelum dan sesudah munculnya televisi tampak berbeda, dulu anak-anak lebih sering bermain bersama teman-temannya di luar rumah tetapi sekarang anak-anak lebih memilih untuk menonton televisi seharian di rumah. Berdasarkan penelitian terdapat hubungan positif antara jumlah waktu menonton televisi dengan frekuensi makanan cemilan (Putri 2012). Penelitian lain telah menunjukkan bahwa : (1) anak-anak yang menonton TV lebih lama makan lebih banyak makanan berkalori dan minum bersoda; (2) anak-anak yang menonton TV lebih banyak memakan makanan rendah gizi, tetapi berkalori tinggi; (3) prestasi akademik turun tajam untuk anak-anak yang menonton lebih dari 10 jam TV seminggu; (4) TV mengganggu perkembangan kecerdasan, pemikiran dan keterampilan imajinasi; (5) TV mengganggu perkembangan bahasa; (6) TV menghambat pengembangan rentang perhatian yang lebih lama; (7) Beberapa jenis TV menumbuhkan perilaku agresif atau kekerasan (Vancouver Island 2011). Tabel 6 menyajikan sebaran contoh berdasarkan lama waktu menonton televisi. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan lama waktu menonton televisi dan kelompok usia Lama waktu menonton TV sehari Rata-rata (menit) ≤4 jam >4 jam Total
Batita L
P
Prasekolah L P
212±90.84 60.0 93.3 40.0 6.7 100.0 100.0
225±61.39 81.2 70.6 18.8 29.4 100.0 100.0
Total 218.81±76.47 38.1 61.9 100.0
p value
0.825
16 Lama menonton televisi pada contoh bervariasi mulai dari 0 menit (tidak menonton televisi) sampai 420 menit (7 jam). Rata-rata lama menonton televisi pada contoh adalah 218.81±76.47 menit. Anak yang memiliki waktu menonton televisi 0 menit adalah anak yang tidak pernah menonton televisi dalam sehari. Anak ini tidak memiliki televisi sehingga waktu yang dimilikinya digunakan untuk belajar menulis dengan ibunya. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama waktu menonton televisi anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Lama waktu yang digunakan untuk menonton televisi untuk anak usia batita dan prasekolah hampir sama yaitu rata-rata sekitar 3,5 jam. Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama menonton televisi pada anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah (p>0.05). Namun, hasil uji beda Mann Whitney antara lama menonton televisi pada anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05). Anak perempuan usia batita lebih sedikit menggunakan waktunya untuk menonton televisi dibandingkan dengan anak laki-laki usia batita. Rata-rata lama menonton televisi pada anak perempuan usia batita tergolong tidak lama yaitu 182 menit (≤4 jam), sedangkan rata-rata lama menonton televisi pada anak laki-laki usia batita tergolong lama yaitu 242 menit (>4 jam).
Pola Konsumsi Pangan Konsumsi pangan dapat dilihat dari metode penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu, rumah tangga, atau nasional. Metode penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu dibagi menjadi dua. Metode pertama adalah metode penilaian yang bersifat kuantitatif contohnya recall atau record. Metode kedua adalah metode penilaian yang bersifat kualitatif contohnya food frequency questionnaire dan dietary history. Food frequency questionnaire digunakan untuk menilai frekuensi suatu jenis pangan atau suatu kelompok pangan yang dikonsumsi seseorang dalam periode waktu tertentu sehingga kuesioner ini dapat memberikan informasi mengenai pola konsumsi pangan seseorang (Gibson 2005). Kuesioner ini juga merupakan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun hasil yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar balita sering mengkonsumsi nasi dan susu. Pangan serealia yang paling sering dikonsumsi balita adalah nasi. Pangan sayuran dan buah yang paling sering dikonsumsi balita adalah bayam dan wortel. Pangan kacang-kacangan yang paling sering dikonsumsi balita adalah tahu. Pangan jajanan yang paling sering dikonsumsi balita adalah chiki. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Atsaniyah (2014) dimana makanan pokok yang sering dikonsumsi balita dalam sebulan terakhir adalah nasi, mie roti. Protein nabati yang sering dikonsumsi balita dalam sebulan terakhir adalah tempe, tahu, dan kacang hijau.
17 Tabel 7 Frekuensi rata-rata konsumsi pangan contoh dalam seminggu Bahan makanan Serealia Nasi Mie Biskuit Protein hewani Daging ayam Hati ayam Daging sapi Susu Keju Telur ayam Ikan asin Ikan Kacang-kacangan Tahu Tempe Kacang ijo Oncom Jajanan Chiki Permen Es lilin/mambo Roti Donat Bakso Cilok Sosis Nuget Agar-agar Wafer Siomay Mie ayam Gorengan Es krim Sayuran dan buah Kangkung Bayam Sawi Kol putih Wortel Pisang Pepaya Jeruk manis
Rata-rata ± SD (kali/minggu) Batita
Prasekolah
Total
15.57 ± 7.11 1.45 ± 1.55 3.80 ± 4.41
17.28 ± 5.33 1.43 ± 1.23 3.55 ± 6.23
16.45 ± 6.26 1.44 ± 1.38 3.67 ± 5.39
2.58 ± 2.08 0.77 ± 1.47 0.13 ± 0.25 21.58 ± 23.36 0.48 ± 1.37 3.53 ± 2.80 0.64 ± 1.52 2.10 ± 2.28
2.90 ± 2.26 0.46 ± 0.74 0.29 ± 0.65 19.25 ± 12.53 1.03 ± 1.89 7.80 ± 9.04 2.20 ± 8.72 2.74 ± 3.11
2.75 ± 2.16 0.61 ± 1.15 0.21 ± 0.50 20.38 ± 18.46 0.77 ± 1.67 5.74 ± 7.06 1.45 ± 6.35 2.43 ± 2.74
3.63 ± 4.33 2.90 ± 2.89 0.79 ± 1.36 0.30 ± 0.79
5.16 ± 8.57 5.00 ± 8.63 1.95 ± 2.82 0.85 ± 2.06
4.42 ± 6.84 3.98 ± 6.55 1.39 ± 2.29 0.58 ± 1.59
3.75 ± 5.11 5.27 ± 5.59 2.80 ± 3.79 3.07 ± 4.29 0.73 ± 1.43 2.60 ± 2.36 0.71 ± 1.49 2.43 ± 3.37 0.93 ± 1.50 1.98 ± 2.29 3.21 ± 3.07 2.53 ± 2.98 0.31 ± 0.51 1.72 ± 2.39 2.99 ± 4.46
5.26 ± 4.71 6.56 ± 5.97 4.50 ± 4.06 3.13 ± 3.20 1.40 ± 2.28 2.49 ± 2.65 1.50 ± 2.52 2.84 ± 2.72 1.52 ± 1.92 1.67 ± 2.22 3.90 ± 4.25 2.51 ± 2.97 1.21 ± 2.00 1.76 ± 2.32 4.48 ± 3.65
4.53 ± 4.92 5.94 ± 5.78 3.68 ± 3.99 3.10 ± 3.73 1.08 ± 1.93 2.55 ± 2.50 1.12 ± 2.11 2.64 ± 3.03 1.23 ± 1.74 1.82 ± 2.24 3.56 ± 3.71 2.52 ± 2.95 0.78 ± 1.54 1.74 ± 2.33 3.77 ± 4.09
1.16 ± 1.53 1.80 ± 1.83 1.10 ± 1.51 0.87 ± 1.25 3.27 ± 3.17 1.03 ± 1.52 0.69 ± 1.43 1.50 ± 1.88
2.62 ± 8.65 3.42 ± 8.60 1.43 ± 2.03 1.88 ± 3.09 4.77 ± 8.79 1.80 ± 1.97 0.94 ± 1.49 1.54 ± 2.26
1.91 ± 6.30 2.64 ± 6.32 1.27 ± 1.79 1.39 ± 2.42 4.04 ± 6.68 1.43 ± 1.80 0.82 ± 1.46 1.52 ± 2.07
Contoh usia batita mengkonsumsi susu dengan frekuensi lebih banyak yaitu 21.58 ± 23.36 kali/minggu dibandingkan dengan contoh usia prasekolah yaitu 19.25 ± 12.53 kali/minggu. Namun, untuk makanan pokok seperti nasi, contoh usia prasekolah mengkonsumsi dengan frekuensi lebih banyak yaitu 17.28 ± 5.33 kali/minggu dibandingkan dengan contoh usia batita yaitu 15.57 ± 7.11 kali/minggu. Frekuensi konsumsi makanan jajanan, kacang-kacangan, sayur dan buah semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia. Frekuensi konsumsi
18 makanan jajanan, kacang-kacangan, sayur dan buah contoh usia prasekolah lebih banyak dibandingkan dengan usia batita.
Status Kesehatan Balita merupakan golongan individu yang mudah terserang penyakit terutama penyakit menular. Terjadinya masalah gizi tidak hanya disebabkan oleh asupan gizi yang kurang, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup, tetapi sering terserang diare, atau ISPA, dan demam, akhirnya dapat mengalami kurang gizi. Status kesehatan dapat diperoleh dengan mendaftarkan jenis, kejadian (pernah/tidaknya) sakit dan frekuensi sakit yang pernah diderita balita dalam jangka waktu satu bulan sebelumnya. Adapun jenis penyakit yang ada dalam kuesioner penelitian ini adalah sakit diare, demam, batuk pilek, ISPA, penyakit kulit, dan penyakit lainnya. Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari 50% contoh pernah mengalami sakit 1-2X dalam sebulan. Sakit yang paling sering diderita contoh adalah demam dan batuk pilek. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit 1 bulan terakhir dan kelompok usia Riwayat Penyakit 1 bulan terakhir Tidak pernah sakit Sakit 1-2X Sakit 3-4X Sakit 5-6X Total
Batita L P 13.3 13.3 73.4 73.4 13.3 13.3 0.0 0.0 100.0 100.0
Prasekolah L P 6.3 23.5 81.2 53.0 12.5 23.5 0.0 0.0 100.0 100.0
Total 14.3 69.8 15.9 0.0 100.0
p value
0.825
Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara riwayat penyakit sebulan anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara riwayat penyakit sebulan anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara riwayat penyakit sebulan anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Pola Asuh Kesehatan Engle et al. (1996) mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Tabel 9 menunjukkan bahwa dari semua pertanyaan mengenai pola asuh kesehatan, pertanyaan yang masih bernilai kurang adalah pertanyaan mengenai “apakah anak sudah mulai belajar mandi sendiri”, “berapa kali anak
19 menggosok gigi”, dan “dimana anak biasa bermain”. Sebagian besar anak belum terbiasa mandi sendiri terutama anak-anak yang berusia batita. Masih ada beberapa anak yang menggosok gigi kurang dari satu kali atau satu kali dalam sehari dan terbiasa hanya main di dalam rumah saja. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan sub skala pertanyaan pola asuh kesehatan Pola Asuh Kesehatan 1. Berapa kali anak mandi dalam sehari 2. Apakah anak sudah mulai belajar mandi sendiri 3. Apakah anak diimunisasi secara rutin 4. Berapa kali anak menggosok gigi dalam sehari 5. Apakah anak terbiasa mencuci tangan sebelum makan 6. Apakah anak BAB di kamar mandi 7. Apakah anak terbiasa menggunting kuku 8. Berapa kali anak menggunting kuku dalam seminggu 9. Apakah anak memiliki peralatan makan dan minum sendiri 10. Apakah peralatan makan anak mempunyai bentuk, warna, ukuran yang sesuai umur anak 11. Dimana anak biasa bermain 12. Bagaimana sikap ibu jika mainan anak kotor 13. Apakah anak terbiasa mencuci tangan dan kaki setelah bermain 14. Apakah anak selalu datang ke posyandu 15. Siapa yang bertugas membawa anak berobat jika sakit
Nilai 1 4.8
Nilai 2 0.0
Nilai 3 Total 95.2 100.0
50.8 6.3
0.0 0.0
49.2 100.0 93.7 100.0
22.2
0.0
77.8 100.0
0.0 0.0 1.6
31.7 4.8 0.0
68.3 100.0 95.2 100.0 98.4 100.0
19.0
0.0
81.0 100.0
14.3
0.0
85.7 100.0
11.1
0.0
88.9 100.0
20.6 0.0
1.6 46.0
77.8 100.0 54.0 100.0
0.0 3.2
25.4 38.1
74.6 100.0 58.7 100.0
0.0
1.6
98.4 100.0
Pola asuh kesehatan yang sudah baik dan banyak diterapkan oleh ibu contoh adalah kebiasaan mandi dua kali sehari, BAB di kamar mandi, imunisasi secara rutin, dan menggunting kuku. Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata nilai pola asuh kesehatan contoh adalah 89.80±6.70. Jawaban pola asuh kesehatan terdiri dari jawaban a, b, dan c. Nilai 3 diberikan untuk jawaban yang paling baik, nilai 2 untuk jawaban yang cukup baik, dan nilai 1 untuk jawaban yang kurang baik. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan kelompok usia Pola Asuh Kesehatan Rata-rata nilai Kurang Sedang Baik Total
Batita L
P
88.50±5.69
0.0 0.0 100.0 100.0
0.0 13.3 86.7 100.0
Prasekolah L P 91.00±7.38
0.0 18.7 81.3 100.0
0.0 5.9 94.1 100.0
Total
p value
89.80±6.70
0.0 9.5 90.5 100.0
0.465
20 Sebanyak 93.3% ibu dari contoh usia batita dan 87.9% ibu dari contoh usia prasekolah memiliki pola asuh kesehatan yang baik. Nilai pola asuh kesehatan terendah yang dimiliki ibu contoh adalah 73.3, sedangkan nilai tertinggi yang dimiliki ibu contoh adalah 100. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang tua atau keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola asuh kesehatan anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola asuh kesehatan yang dimiliki anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara pola asuh kesehatan yang dimiliki anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Lingkungan Pengasuhan Kualitas lingkungan pengasuhan anak dapat dilihat dari reaksi emosi yang diberikan orang tua, dorongan positif yang diberikan orang tua kepada anak, suasana yang nyaman yang diberikan orang tua kepada anak, kasih sayang yang ditunjukkan orang tua, sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak yang disediakan orang tua, ikut berpartisipasinya orang tua dalam kegiatan positif bersama anak, aktif terlibatnya orang tua dalam kegiatan bersama anak, dan lingkungan fisik yang nyaman yang ada di rumah. Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kualitas lingkungan pengasuhan pada anak usia prasekolah lebih tinggi yaitu 80.44±7.78 dibandingkan dengan nilai rata-rata kualitas lingkungan pengasuhan pada anak usia batita yaitu 74.44±6.28. Nilai kualitas lingkungan pengasuhan pada anak usia prasekolah bervariasi mulai dari 60 sampai 92.7, sedangkan nilai kualitas lingkungan pengasuhan pada anak usia batita bervariasi mulai dari 64 sampai 86.7. Tabel 11
Sebaran contoh berdasarkan kualitas lingkungan pengasuhan dan kelompok usia
Kualitas Lingkungan pengasuhan Rata-rata nilai Kurang Sedang Baik Total
Batita L
P
74.44±6.28
0.0 80.0 20.0 100.0
0.0 80.0 20.0 100.0
Prasekolah L P 80.44±7.78
0.0 62.5 37.5 100.0
0.0 41.2 58.8 100.0
Total
p value
77.59±7.67
0.0 65.1 34.9 100.0
0.019
Sebagian besar contoh berusia batita memiliki kualitas lingkungan pengasuhan sedang, sedangkan sebagian besar contoh berusia prasekolah memiliki kualitas lingkungan pengasuhan sedang dan baik dengan jumlah yang
21 tidak terlalu jauh. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas lingkungan pengasuhan anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p<0.05). Hal ini diduga karena pada kualitas lingkungan pengasuhan anak usia prasekolah mencakup pertanyaan mengenai stimulasi belajar, stimulasi bahasa, dan stimulasi akademik yang umumnya sudah diberikan orang tua dibandingkan dengan kualitas lingkungan pengasuhan anak usia batita yang lebih mencakup pertanyaan stimulasi psikososial seperti penerimaan ibu terhadap perilaku anak dan keterlibatan ibu yang sebagian masih kurang diterima anak. Anak usia prasekolah dalam penelitian ini memang sebagian besar sudah mengikuti kegiatan PAUD sehingga stimulasi yang didapatkannya di PAUD ikut mempengaruhi nilai stimulasi yang didapatkannya di rumah. Sebagai contoh anak yang mengikuti PAUD umumnya memiliki pensil, crayon, spidol, dan buku sehingga pada stimulasi belajar, anak ini memiliki nilai yang sedang atau baik. Begitu pun anak yang mengikuti PAUD umumnya mendapatkan pekerjaan rumah berupa materi untuk membedakan warna, angka, huruf, dan nama-nama binatang atau benda di sekitarnya sehingga anak ini mendapatkan bantuan dari orang tuanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan akhirnya berdampak pada nilai stimulasi bahasa dan belajar anak yang termasuk dalam kategori baik. Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas lingkungan pengasuhan pada anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara kualitas lingkungan pengasuhan pada anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Tabel 12 menunjukan bahwa untuk kualitas lingkungan pengasuhan anak batita pada sub skala tanggap rasa dan kata serta pengorganisasian lingkungan anak sebagian besar contoh termasuk dalam kategori baik. Akan tetapi untuk sub skala keterlibatan ibu sebagian besar masih dalam kategori kurang. Sebagian besar contoh untuk sub skala penerimaan terhadap perilaku anak dan penyediaan mainan termasuk dalam kategori sedang. Kualitas lingkungan pengasuhan anak usia batita untuk sub skala keterlibatan ibu sebagian besar masih dalam kategori kurang karena masih banyak ibu yang tidak mengawasi anaknya bermain saat ibu sedang bekerja, tidak berbicara pada anak saat ibu mengerjakan suatu pekerjaan, dan tidak mengatur waktu bermain anak (kapan anak boleh bermain dan tidak boleh bermain). Kualitas lingkungan pengasuhan anak prasekolah pada sub skala stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, serta stimulasi akademik dan hukuman sebagian besar masuk dalam kategori baik. Akan tetapi untuk modelling dan variasi stimulasi anak masih berada dalam kategori sedang. Kualitas lingkungan pengasuhan anak usia prasekolah untuk sub skala modelling sebagian besar masih dalam kategori sedang karena masih banyak ibu yang tidak menentukan waktu yang tepat untuk anak jajan atau makan dan meminta anak menunggu waktu tersebut. Selain itu, masih banyak ibu yang tidak menetapkan batasan waktu untuk anak menonton televisi sehingga TV bisa saja hidup setiap saat.
22 Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan sub skala kualitas lingkungan pengasuhan dan kelompok usia Kualitas Lingkungan Pengasuhan Anak usia batita Tanggap rasa dan kata Penerimaan terhadap perilaku anak Pengorganisasian lingkungan anak Penyediaan mainan Keterlibatan ibu Kesempatan variasi asuhan Anak usia prasekolah Stimulasi belajar Stimulasi bahasa Lingkungan fisik Kehangatan dan penerimaan Stimulasi akademik Modelling Variasi stimulasi pada anak Hukuman
Kurang
Sedang
Baik
Total
0.0 0.0
0.0 60.0
100.0 40.0
100.0 100.0
0.0
10.0
90.0
100.0
33.3 90.0 60.0
50.0 10.0 40.0
16.7 0.0 0.0
100.0 100.0 100.0
39.4 3.0 9.1 3.0
42.4 0.0 24.2 27.3
18.2 97.0 66.7 69.7
100.0 100.0 100.0 100.0
0.0 3.0 24.2 0.0
6.1 75.8 51.5 6.1
93.9 21.2 24.2 93.9
100.0 100.0 100.0 100.0
Kualitas lingkungan pengasuhan anak usia prasekolah untuk sub skala variasi stimulasi anak sebagian besar masih dalam kategori sedang dan ada juga yang termasuk kategori kurang karena masih banyak anak usia prasekolah yang tidak diajak jalan-jalan oleh orang tuanya baik jalan-jalan untuk piknik, atau jalanjalan ke museum serta hasil karya anak masih ada yang tidak ditempel di rumah (dihargai bersama).
Status Gizi Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia dan klinis. Antropometri merupakan metode pengukuran yang umum digunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama, yaitu masalah gizi buruk (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur (Fauziah 2009). Pengukuran antropometri terutama dari anak sangat penting dalam menilai status gizi mereka (Okoroigwe dan Okeke 2009). Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Fauziah 2009). Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2001).
23 Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi medadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Karena itulah, indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi yang menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa et al. 2001). Status gizi berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan massa tubuh yang relatif terhadap umur. Rendahnya nilai status gizi berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan ringannya berat tubuh seseorang dan menggambarkan patologis kekurusan seseorang akibat ketidakseimbangan berat badan dengan umur seseorang atau hilangnya berat badan seseorang (Gibson 2005). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa et al. 2001). Menurut Gibson (2005) Status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) mengukur pertumbuhan linear seorang anak sehingga dapat menggambarkan nilai status gizi masa lampau anak atau status kesehatan anak. Rendahnya nilai status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) anak menggambarkan pendeknya tinggi badan seseorang anak dan menggambarkan proses patologis gagalnya seorang anak mencapai pertumbuhan linear yang sesuai tahapan umur anak tersebut. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan merupakan indeks yang independen terhadap umur (Supariasa et al. 2001). Dengan mengukur BB, TB, dan U anak atau kelompok anak, dapat dihitung tiga jenis indikator atas dasar kombinasi ketiga ukuran tersebut. Dengan mengetahui keadaan dari masing-masing ke-3 indikator di atas dapat disimpulkan secara tepat keadaan gizi anak atau kelompok anak. Interpretasi keadaan gizi anak dengan ketiga indikator ini menjadi lebih tajam. Tabel 13 menunjukan bahwa status gizi sangat kurus dan kurus masih ada pada usia batita tetapi tidak ada di usia prasekolah. Begitupun status gizi kurang jumlahnya lebih banyak di usia batita dibandingkan dengan usia prasekolah. Status gizi kurang jumlahnya lebih banyak di usia batita dibandingkan dengan usia prasekolah karena menurut USU (2013) anak usia batita umumnya sukar atau kurang mau makan; nafsu makan anak sering berubah, hari ini makan banyak, tetapi besok tidak mau makan; hanya menyukai jenis makanan tertentu saja; dan cepat bosan serta tidak tahan makan sambil duduk dalam waktu lama. Selain itu, anak usia batita umumnya baru belajar makan sendiri sehingga makannya pun masih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan anak usia prasekolah yang umumnya sudah dapat makan sendiri. Status gizi balita sangat penting untuk diperhatikan karena secara luas memiliki dampak besar dan berkepanjangan pada status kesehatan anak, perkembangan fisik dan mental serta produktivitas anak saat dewasa (Okoroigwe dan Okeke 2009).
24 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan kelompok usia Status gizi
Batita L
Status gizi (BB/U) Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Total Status gizi (TB/U) Pendek Normal Total Status gizi (BB/TB) Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total
0.0 13.3 86.7 0.0 100.0
P
Prasekolah L P
Total
0.0 0.0 13.3 6.3 86.7 93.7 0.0 0.0 100.0 100.0
0.0 5.9 88.2 5.9 100.0
0.0 9.5 88.9 1.6 100.0
20.0 13,0 12.5 80.0 25 87.0 87.5 100.0 100.0 100.0
11.8 88.2 100.0
14.3 85.7 100.0
6.7 6.7 86.6 0.0 100.0
1.6 3.2 92.1 3.2 100.0
0.0 0.0 6.7 0.0 86.6 94.1 6.7 5.9 100.0 100.0
1.6 3.2 92.1 3.2 100.0
p value
0.216
0.609
0.172
Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Vinod et al. (2011) yang menyatakan bahwa gizi pada anak balita (kelompok usia 0-5 tahun) sangat penting karena merupakan fondasi untuk kesehatan sepanjang hidupnya nanti, juga kekuatan dan kemampuan intelektualnya. Anak balita merupakan salah satu tahapan yang paling rentan terhadap kekurangan gizi. Meskipun sebaran contoh terlihat cukup berbeda, namun, hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara status gizi anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menonjol dalam peningkatan tinggi dan berat badan anak sehingga perbedaan jenis kelamin juga dimungkinkan tidak menonjol dalam status gizi anak yang menggunakan indikator berat badan dan juga tinggi badan.
Perkembangan Anak Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan juga merupakan perubahan yang terjadi secara kualitatif. Perkembangan dapat berlangsung dengan dibantu oleh adanya rangsangan. Walaupun sebagian besar perkembangan terjadi karena kematangan dan pengalaman dari lingkungan. Namun, ada juga yang dapat
25 membantu perkembangan agar lebih optimal yaitu melalui adanya rangsangan (Hurlock 1980). Dalam perkembangan terjadi proses bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara, dan bahasa, serta sosialisasi, dan kemandirian. Gerak halus (motorik halus) adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu. Misalnya kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menggunting, menyusun balok, dan menulis. Gerak kasar (motorik kasar) adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar anggota tubuh. Motorik kasar merupakan gerakan fisik yang membutuhkan keseimbangan dan koordinasi antar anggota tubuh. Misalnya kemampuan duduk, menendang, berlari, dan naik turun tangga (Fida dan Maya 2012). Perkembangan bahasa seorang anak perlu diperhatikan orang tua. Karena melalui interaksi dengan orang dewasa, anak mulai belajar mengonsolidasikan isi, bentuk, dan pemakaian bahasa dalam percakapannya. Seiring berkembangnya kecerdasan dan pengalamam efektif, ia pun mulai mampu berbicara memakai kata-kata yang tersimpan dalam memorinya. Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri seorang anak berhubungan dengan aspek perkembangan perilaku. Misalnya kemampuan anak makan sendiri dan membereskan mainannya selesai bermain, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya (Fida dan Maya 2012). Tabel 14 menunjukan bahwa sebagian besar contoh yang berusia batita memiliki rata-rata nilai perkembangan sebesar 71.60±11.91, sedangkan contoh yang berusia prasekolah memiliki rata-rata nilai perkembangan sebesar 68.08±15.54. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perkembangan anak usia batita dengan anak usia prasekolah (p>0.05). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan dan kelompok usia Perkembangan anak Rata-rata skor Kurang Sedang Baik Total
Batita L P 71.60±11.91 31.2 41.2 43.8 23.5 25.0 35.3 100.0 100.0
Prasekolah L P 68.08±15.54 33.3 13.3 40.0 60.0 26.7 26.7 100.0 100.0
Total 69.75±13.94 30.2 41.3 28.6 100.0
p value
0.514
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 60.6% contoh usia prasekolah memiliki nilai sub skala kemandirian yang tergolong kategori kurang. Usia prasekolah terdiri dari anak usia 3-4 tahun dan 4-5 tahun. Sub skala kemandirian untuk contoh umur 3-4 tahun sebagian besar sudah bernilai sedang dan baik. Akan tetapi untuk sub skala kemandirian contoh umur 4-5 tahun hampir seluruhnya tergolong kurang. Hal ini terjadi karena sub skala kemandirian contoh umur 4-5 tahun terdiri dari dua pertanyaan mengenai kemampuan contoh untuk dapat memotong makanan dengan pisau dan dapat mengikat tali sepatu. Sebagian besar anak belum dapat melakukan kedua hal ini atau hanya mampu melakukan salah satunya saja sehingga nilai yang diperoleh untuk sub skala ini sebagian besar adalah kurang (<60%).
26 Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan sub skala perkembangan dan kelompok usia Perkembangan anak Motorik kasar Kurang Sedang Baik Motorik halus Kurang Sedang Baik Komunikasi pasif Kurang Sedang Baik Komunikasi aktif Kurang Sedang Baik Kecerdasan Kurang Sedang Baik Kemandirian Kurang Sedang Baik Bertingkah laku sosial Kurang Sedang Baik
Batita
Prasekolah n %
Total n %
n
%
14 16 0
46.7 53.3 0.0
3 13 17
9.1 39.4 51.5
17 29 17
27.0 46.0 27.0
26 2 2
86.7 6.7 6.7
14 11 8
42.4 33.3 24.2
40 13 10
63.5 20.6 15.9
2 17 11
6.7 56.7 36.7
13 14 6
39.4 42.4 18.2
15 31 17
23.8 49.2 27.0
0 20 10
0.0 66.7 33.3
10 8 15
30.3 24.2 45.5
10 28 25
15.9 44.4 39.7
3 8 19
10.0 26.7 63.3
9 8 16
27.3 24.2 48.5
12 16 35
19.0 25.4 55.6
0 21 9
0.0 70.0 30.0
20 6 7
60.6 18.2 21.2
0 27 16
0.0 42.9 25.4
8 7 15
26.7 23.3 50.0
10 13 10
30.3 39.4 30.3
18 20 25
28.6 31.7 39.7
Padahal menurut Hurlock (1980) anak-anak yang berada pada usia taman kanak-kanak sudah seharusnya dapat mandi dan berpakain sendiri serta mengikat tali sendiri. Namun, dalam kondisi saat ini, memang dimungkinkan anak belum bisa mengikat tali sepatu akibat tidak pernah dilatih untuk melakukannya, karena mengingat di masa sekarang ini sepatu anak-anak yang tidak bertali lebih banyak ada di pasaran. Sebagian besar batita (86.7%) pada sub skala motorik halus masih berada dalam kategori kurang karena masih banyak anak batita yang belum memiliki kemampuan menggunakan tangannya untuk memegang alat tulis, meniru garis lurus dan lingkaran serta menggambar bentuk-bentuk. Sedangkan untuk anak prasekolah hanya tinggal 42.4% saja yang belum memiliki kemampuan mengggunakan tangannya. Kondisi ini diduga terjadi karena sebagian besar anak usia prasekolah telah mengikuti kegiatan PAUD. Sebanyak 39.4% anak usia prasekolah masih berada dalam kategori kurang untuk sub skala komunikasi pasif karena masih ada beberapa anak usia prasekolah yang belum memahami konsep sebab akibat, Begitu juga untuk sub skala komunikasi aktif, masih ada 30..3% yang masih berada dalam kategori kurang karena masih ada beberapa anak yang
27 belum dapat berbicara tentang hubungan sebab akibat dengan menggunakan karena dan jadi. Selain itu, dalam kelompok usia prasekolah masih ada anak yang belum dapat berbicara dengan lancar. Sebagian anak usia prasekolah masih ada yang belum memulai permainan drama dan permainan drama tersebut belum mendekati kenyataan. Selain melakukan uji beda berdasarkan usia anak, dilakukan juga uji beda berdasarkan jenis kelamin pada setiap kelompok usia anak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perkembangan anak perempuan usia batita dengan anak laki-laki usia batita (p>0.05). Begitupun, hasil uji beda Mann Whitney antara perkembangan anak perempuan usia prasekolah dengan anak laki-laki usia prasekolah menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Hubungan Antar Variabel Hasil uji korelasi spearman antara beberapa kategori karakteristik keluarga dengan kategori perkembangan dan status gizi anak menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Namun, hasil uji korelasi spearman antara kategori pekerjaan ibu dengan kategori status gizi berat badan menurut tinggi badan menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05) dengan nilai koefisien korelasi -0.306. Uji korelasi spearman antara kategori pendapatan dengan kategori status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur juga menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05). dengan nilai koefisien korelasi 0.327. Tabel 16 menyajikan hasil uji korelasi beberapa variabel karakteristik keluarga dengan status gizi dan perkembangan anak. Pekerjaan ibu pada tabel 16 tidak berpengaruh signifikan dengan perkembangan anak. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2007) bahwa sejumlah penelitian tidak menemukan dampak merugikan dari ibu yang bekerja bagi perkembangan anak. Bekerja dapat menghasilkan pengaruh positif dan negatif pada pengasuhan. Stress karena pekerjaan bisa meluas dan membahayakan pengasuhan sehingga memberikan pengaruh negatif pada pengasuhan. Namun, perasaan sejahtera karena bekerja bisa menghasilkan pengasuhan yang lebih positif. Kondisi ini berbeda dengan ibu yang bekerja di tahun pertama kehidupan anaknya. Ibu yang bekerja di tahun pertama kehidupan anaknya, bisa memberikan pengaruh negatif pada perkembangan anak selanjutnya. Sebagai contoh, studi longitudinal baru-baru ini menemukan bahwa anak usia tiga tahun dari ibu yang bekerja sebelum anak berusia 9 bulan, memiliki kemampuan kognitif yang lebih lemah daripada anak usia tiga tahun yang ibunya tinggal di rumah pada sembilan bulan pertama kehidupan anak. Efek negatif dari bekerja pada sembilan bulan pertama kehidupan anak lebih kecil ketika ibu bekerja kurang dari 30 jam seminggu (Santrock 2007). Pendapatan keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi keluarga, rendahnya pengeluaran keluarga akan menurunkan daya beli. Keluarga yang mempunyai pengeluran rendah, kemungkinan balita yang dimilikinya akan mengalami gangguan gizi karena ketidakmampuan keluarga untuk membeli zat-zat gizi yang dibutuhkan.
28 Tabel 16
Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan status gizi dan perkembangan anak
Karakteristik keluarga
Perkembangan anak
BB/U
Pendidikan ibu p 0.202 0.857 r 0.163 0.023 Pendapatan p 0.542 0.599 r 0.078 -0.067 Besar keluarga p 0.405 0.300 r -0.107 0.133 Pekerjaan ibu p 0.587 0.739 r 0.070 0.043 Usia ibu p 0.812 0.589 r 0.031 0.059 Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu p 0.003** 0.362 r 0.371 0.117
Status Gizi TB/U
BB/TB
0.829 -0.028
0.695 -0.050
0.009** 0.327
0.219 -0.157
0.914 0.014
0.564 0.074
0.120 0.198
0.015** -0.306
0.755 0.040
0.929 -0.012
0.445 0.098
0.257 0.145
**memiliki hubungan signifikan pada p<0.005
Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih makanan yang baik (Syukriawati 2011). Karena makanan seorang anak dapat mempengaruhi seberapa tinggi anak itu akan tumbuh dan bahkan seberapa efektif anak berpikir dan memecahkan masalah (Santrock 2007). Anak dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung mendapatkan perawatan dan pemenuhan kebutuhan gizi yang lebih baik. Oleh karena itu, perkembangan tinggi, berat, dan otot-otot badan cenderung lebih baik (Hurlock 1980). Santrock (2011) menyatakan bahwa berdasarkan hasil tinjauan terhadap tinggi dan berat tubuh dari anak-anak di seluruh dunia, disimpulkan bahwa terdapat dua faktor terpenting yang mempengaruhi perbedaan tinggi tubuh, yakni asal usul etnis dan zat gizi. Anak-anak sulung yang tinggal di kota dan berstatus sosial ekonomi menengah, lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang bukan sulung, tinggal di pedesaan, dan berstatus sosial ekonomi lebih rendah. Pada masyarakat tradisional biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga (Rahmawati 2006). Santrock (2007) mengatakan bahwa waktu yang dihabiskan orang tua dengan anak menjadi terbatas saat kedua orang tua tersebut bekerja. Menurut Satoto (1990) dalam (Gabriel 2008) seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Ibu yang berkerja memberikan efek yang kurang baik terhadap gizi anak terutama ibu yang berkerja 40 jam perminggu dan ditambah jarak antara rumah dan tempat kerja yang telalu jauh. Hasil uji korelasi spearman antara kategori pengetahuan gizi dan kesehatan dengan kategori perkembangan anak menunjukkan hasil yang
29 signifikan (p<0.05) dengan koefisien korelasi 0.356. Namun, hasil uji korelasi spearman antara kategori pengetahuan gizi dan kesehatan dengan kategori status gizi menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Rendahnya pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Menurut Mary (2011) konsumsi makanan yang kurang mencukupi baik kuantitas maupun kualitas dapat menyebabkan status gizi kurang pada balita. Status gizi kurang pada balita mempengaruhi perkembangan balita. Anak yang memiliki status gizi berat badan menurut tinggi badan yang tidak normal berjumlah 5 orang, 3 orang diantaranya merupakan anak yang berasal dari ibu yang bekerja. Anak yang memiliki status gizi berat badan menurut tinggi badan yang normal sebagian besar berasal dari ibu yang tidak bekerja. Anak yang memiliki status gizi tinggi badan menurut umur dengan kategori pendek (stunted) berasal dari keluarga yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar 557 778, sedangkan anak yang memiliki status gizi tinggi badan menurut umur dengan kategori normal berasal dari keluarga yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar 748 677. Anak yang memiliki ibu dengan nilai pengetahuan gizi dan kesehatan yang kurang, rata-rata memiliki nilai perkembangan sebesar 59.24. Anak yang memiliki ibu dengan nilai pengetahuan gizi dan kesehatan yang sedang, rata-rata memiliki nilai perkembangan sebesar 65.60. Anak yang memiliki ibu dengan nilai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, rata-rata memiliki nilai perkembangan sebesar 74.74. Hasil uji korelasi spearman antara kategori pola asuh kesehatan dengan kategori status gizi berdasarkan berat badan menurut umur, status gizi tinggi badan menurut umur, dan perkembangan anak menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Namun, hasil uji korelasi spearman antara kategori pola asuh kesehatan dengan kategori status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05) dengan koefisien korelasi 0.305. Anak yang memiliki status gizi berat badan menurut tinggi badan dengan kategori tidak normal berasal dari keluarga yang memiliki rata-rata nilai pola asuh sebesar 83.6, sedangkan status gizi berat badan menurut tinggi badan dengan kategori normal berasal dari keluarga yang memiliki rata-rata nilai pola asuh sebesar 90.4. Tabel 17 menunjukan bahwa anak yang memiliki nilai pola asuh kesehatan baik umumnya memiliki status gizi normal sedangkan anak yang memiliki pola asuh kesehatan sedang ada yang memiliki status gizi gemuk. Tabel 17 Kategori Pola Asuh Kesehatan Sedang Baik Total
Sebaran contoh menurut pola asuh kesehatan dan status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan Status Gizi Berat Badan Menurut Tinggi Badan Sangat kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % 0 0.0 0 0.0 4 6.3 2 3.2 1 1.6 2 3.2 54 85.7 0 0.0 1 1.6 2 3.2 58 92.0 2 3.2
Total n 6 57 63
% 9.5 90.5 100.0
30 Jika dilihat sebarannya, pola asuh kesehatan sebenarnya cenderung berhubungan dengan status gizi berat badan menurut umur. Tabel 18 menyajikan sebaran contoh menurut pola asuh kesehatan dan status gizi berdasarkan berat badan menurut umur. Anak dengan pola asuh kesehatan yang baik cenderung memiliki status gizi baik. Demikian juga pada anak yang memiliki status gizi lebih cenderung memiliki pola asuh kesehatan yang sedang. Engle et al. (1996) dalam Yulia (2008) mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Tabel 18 Kategori Pola Asuh Kesehatan Sedang Baik Total
Sebaran contoh menurut pola asuh kesehatan dan status gizi berdasarkan berat badan menurut umur Status Gizi Berat Badan Menurut Umur gizi kurang gizi baik gizi lebih n % n % n % 1 1.6 4 6.3 1 1.6 5 7.9 52 82.5 0 0.0 6 9.5 56 88.9 1 1.6
Total n 6 57 63
% 9.5 90.5 100.0
Hasil uji korelasi spearman antara kategori lingkungan pengasuhan dengan kategori status gizi dan perkembangan anak menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Hasil ini bertentangan dengan pernyataan dari Marlina (2012) bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Anak balita yang memperoleh kualitas pengasuhan yang lebih baik, kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang lebih rendah dan status gizi yang juga relatif lebih baik (Syukriawati 2011). Nilai hasil uji korelasi spearman antara kategori lingkungan pengasuhan dengan kategori status gizi dan perkembangan anak yang tidak signifikan ini terjadi karena sebaran contoh tidak merata pada semua kategori nilai kualitas lingkungan pengasuhan. Nilai yang dimiliki contoh semuanya masuk dalam kategori sedang dan baik, tidak ada contoh yang masuk dalam kategori kurang. Hasil uji korelasi spearman antara riwayat penyakit sebulan terakhir dengan status gizi berdasarkan berat badan menurut umur menunjukkan hasil yang signifikan. Namun, hasil korelasi spearman antara riwayat penyakit sebulan terakhir dengan kategori status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur, status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan dan perkembangan anak menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Akan tetapi nilai koefisien korelasi menunjukan adanya hubungan yang positif (nilai koefisien korelasi 0.285) antara riwayat penyakit sebulan terakhir dengan status gizi berdasarkan berat badan menurut umur. Hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan Gabriel (2008) bahwa anak yang mendapatkan makanan yang cukup, tetapi sering terserang diare, atau ISPA, dan demam, akhirnya dapat mengalami kurang gizi. Karena anak yang sakit biasanya memiliki nafsu makan yang turun dan asupan makanan yang terbatas. Selain itu, penyakit yang berasal dari virus atau bakteri akut memang umumnya membutuhkan waktu yang singkat, namun hal ini dapat menyebabkan dibutuhkannya peningkatan cairan, protein, atau nutrisi lainnya untuk anak (Kathleen et al. 2008). Kondisi ini diduga terjadi karena lama sakit semua contoh rata-rata seragam yaitu hanya sekitar 1 hari saja.
31 Hasil uji korelasi spearman antara kategori lama waktu menonton televisi dengan kategori status gizi anak menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Hasil ini berbeda dengan penelitian Dennison et al. (2005) yang menemukan bahwa waktu yang digunakan untuk menonton TV dan video berhubungan signifikan dengan prevalensi obesitas pada anak. Hal ini terjadi karena anak yang menonton televisi dalam waktu lama dan tidak lama rata-rata memiliki status gizi yang normal. Nilai status gizi contoh memang sebagian besar berkategori normal. Sementara itu, hasil uji korelasi spearman antara kategori lama waktu menonton televisi dengan kategori perkembangan anak menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05) dengan koefisien korelasi -0.266. Kebiasaan anak menonton televisi dapat mempengaruhi perkembangan anak. Karena jadwal kesibukan cukup padat, orang tua lebih senang membiarkan anaknya menonton televisi untuk melengkapi kebutuhan edukasi sekaligus hiburan sang anak sehingga orangtua dapat memperoleh lebih banyak waktu untuk bekerja dan beristirahat. Menurut penelitian Dimitri dari University of Washington, AS menunjukkan bahwa vokalisasi, kosakata, dan percakapan yang dilakukan oleh pendamping anak (orangtua, pengasuh) berkurang secara bermakna selama ia menonton televisi. Hal ini menimbulkan pengurangan stimuli pada anak untuk berkomunikasi sehingga berakibat pada perkembangan bahasa anak (Tiwi 2012). Anak dengan nilai perkembangan kurang memiliki rata-rata lama waktu menonton televisi sebanyak 235 menit. Anak dengan nilai perkembangan sedang memiliki rata-rata lama waktu menonton televisi sebanyak 219 menit. Anak dengan nilai perkembangan baik memiliki rata-rata lama waktu menonton televisi sebanyak 202 menit. Tabel 19 menyajikan nilai rata-rata contoh berdasarkan lama waktu menonton televisi dan sub skala perkembangan. Tabel 19 Nilai rata-rata skor perkembangan contoh berdasarkan kategori lama waktu menonton televisi dan sub skala perkembangan Lama waktu menonton TV Tidak lama Lama
Moto rik kasar
Moto rik halus
Komuni kasi pasif
Komuni kasi aktif
Kecerda san
Kemandir ian
Tingkah laku sosial
71.3 64
56.9 51.4
72.5 61.3
77.1 69.3
77.7 76.8
70.5 61.7
76.2 59.0
Tabel 19 menunjukkan bahwa nilai rata-rata untuk tiap sub skala pada contoh yang menonton televisi dalam waktu lama (>4 jam) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata contoh yang menonton televisi dalam waktu tidak lama (≤4 jam). Namun, berdasarkan uji korelasi sperman antara lama waktu menonton televisi dengan tiap sub skala perkembangan diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama waktu menonton televisi dengan sub skala motorik kasar, motorik halus, komunikasi aktif, komunikasi pasif, kecerdasan, dan kemandirian. Akan tetapi, berdasarkan uji korelasi sperman antara lama waktu menonton televisi dengan sub skala perkembangan tingkah laku sosial menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0.005) dengan koefisien korelasi -0.299. Nilai rata-rata sub skala tingkah laku sosial pada contoh yang menonton televisi dalam waktu lama (>4 jam) lebih rendah yaitu 59.0
32 dibandingkan dengan nilai rata-rata contoh yang menonton televisi dalam waktu tidak lama (≤4 jam) yaitu 76.2. Anak-anak yang menonton televisi cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi dibandingkan dengan berinteraksi sosial dan bermain dengan anak lainnya. Padahal, menurut Hurlock (1980) masa anak-anak adalah masa dimana mereka mulai mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. Penelitian menemukan bahwa menonton televisi atau duduk di depan layar televisi tidak meningkatkan perhatian, meningkatkan keterampilan sosial, atau mendorong permainan kreatif. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi memiliki sedikit waktu untuk berinteraksi dan bermain bebas, padahal kedua hal ini penting untuk perkembangan anak yang sehat (Graham 2011). Menonton televisi membuat orang tua hanya melakukan sedikit percakapan dengan anak, terutama jika orang tua tidak menemani anak menonton televisi. Padahal banyaknya percakapan anak dengan orang tua mempengaruhi perkembangan anak. Para peneliti menemukan bahwa rumah untuk anak-anak yang perkembangannya lambat mempunyai sedikit mainan atau buku dan sedikit percakapan antara anak dengan orang tua (Santrock 2007). Hasil uji korelasi spearman antara kategori skor frekuensi setiap jenis pangan jajanan, skor frekuensi setiap jenis pangan nabati, skor frekuensi setiap jenis pangan buah, skor frekuensi setiap jenis pangan sayur, skor frekuensi setiap jenis pangan hewani, dan skor frekuensi setiap jenis pangan serealia dengan kategori status gizi dan perkembangan anak hampir semuanya menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Namun, hasil uji korelasi spearman antara kategori skor frekuensi mie dengan status gizi tinggi badan menurut umur, dan kategori skor frekuensi telur ayam dengan perkembangan menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05). Ini dimungkinkan karena umumnya skor frekuensi makan pada contoh relatif sama yaitu skor 1 (rendah) untuk frekuensi buah, skor 1(rendah) dan 2 (sedang) untuk frekuensi frekuensi pangan nabati, frekuensi sayur, dan frekuensi pangan hewani. Hanya skor frekuensi jajan dan frekuensi pangan serealia yang tersebar dalam semua kategori (rendah, sedang, tinggi) meskipun skor ini juga masih relatif sama terutama untuk frekuensi pangan serealia. Hasil ini sesuai dengan penelitian Olivares et al. (2004) yang menemukan bahwa anak-anak cenderung kurang dalam mengkonsumsi buah dan sayur, Namun, cenderung tinggi dalam mengkonsumsi makanan ringan. Penelitian Vinod et al. (2011) di India, juga menemukan bahwa balita umumnya sering mengkonsumsi nasi dan sereal. Berdasarkan hasil uji korelasi spearman, kategori skor frekuensi mie dengan status gizi tinggi badan menurut umur berhubungan negatif dengan nilai koefisien korelasi -0.266. Semakin sering frekuensi makan mie seorang anak maka status gizi tinggi badan menurut umur anak akan semakin tidak normal. Hal ini diduga karena semakin banyak anak mengkonsumsi mie akan berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi selain karbohidrat yang diperlukan olehnya untuk tumbuh sehingga mengakibatkan anak mengalami status gizi tinggi badan menurut umur yang pendek (status gizi tidak normal).
33 Hasil uji korelasi spearman antara kategori perkembangan anak dengan kategori status gizi menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0.05). Namun jika dilihat sebarannya, status gizi berat badan menurut umur sebenarnya cenderung berhubungan dengan perkembangan meski hubungan ini tidak signifikan. Tabel 20 menyajikan sebaran balita menurut status gizi (BB/U) dan perkembangan anak. Tabel 20 Sebaran balita menurut status gizi (BB/U) dan perkembangan anak Status Gizi (BB/U) Kurang Sedang Baik Total
n 3 16 1 20
Perkembangan Anak Kurang Sedang % n % 4.8 3 4.8 25.4 22 34.9 1.6 0 0.0 31.7 25 39.7
Total Baik n 0 18 0 18
% 0.0 28.6 0.0 28.6
n 6 56 1 63
% 9.5 88.9 1.6 100.0
Anak dengan status gizi baik cenderung memiliki perkembangan yang sedang dan baik sedangkan anak yang memiliki status gizi kurang cenderung memiliki perkembangan yang kurang dan sedang. Demikian juga pada anak yang memiliki status gizi lebih cenderung memiliki perkembangan yang kurang. Sebaran status gizi berat badan menurut tinggi badan dan perkembangan anak juga menunjukkan bahwa sebenarnya status gizi berat badan menurut tinggi badan cenderung berhubungan dengan perkembangan meski hubungan ini tidak signifikan. Tabel 21 menyajikan sebaran balita menurut perkembangan anak dan status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan. Tabel 21 Sebaran balita menurut status gizi (BB/TB) dan perkembangan anak Status Gizi (BB/TB) Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total
Perkembangan Anak Kurang Sedang n % n % 1 1.6 0 0.0 1 1.6 1 1.6 17 27.0 23 36.5 1 1.6 1 1.6 20 31.7 25 39.7
Total n 0 0 18 0 18
Baik % 0.0 0.0 28.6 0.0 28.6
n 1 2 58 2 63
% 1.6 3.2 92.1 3.2 28.6
Anak dengan status gizi normal cenderung memiliki perkembangan yang sedang dan baik sedangkan anak yang kurus dan gemuk cenderung memiliki perkembangan yang kurang dan sedang. Demikian juga pada anak yang sangat kurus cenderung memiliki perkembangan yang kurang. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Muljati et al. (2005) bahwa salah satu dampak gangguan gizi pada usia balita adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan adalah proses bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara, dan bahasa, serta sosialisasi, dan kemandirian (Fida dan Maya 2012).
34
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi berat badan menurut tinggi badan, pendapatan dengan status gizi tinggi badan menurut umur, pengetahuan gizi dan kesehatan dengan perkembangan anak, pola asuh kesehatan dengan status gizi berat badan menurut tinggi badan, lama waktu menonton televisi dengan perkembangan dan riwayat penyakit sebulan dengan status gizi berat badan menurut umur. Selain itu berdasarkan sebaran contoh diketahui bahwa terdapat kecenderungan hubungan antara pola asuh kesehatan dengan status gizi berat badan menurut umur, status gizi berat badan menurut umur dengan perkembangan anak, dan status gizi berat badan menurut tinggi badan dengan perkembangan anak, meskipun hasil uji tidak signifikan. Anak dengan pola asuh kesehatan yang baik cenderung memiliki status gizi baik. Demikian juga pada anak yang memiliki status gizi lebih cenderung memiliki pola asuh kesehatan yang sedang. Anak dengan status gizi baik cenderung memiliki perkembangan yang sedang dan baik sedangkan anak yang memiliki status gizi kurang cenderung memiliki perkembangan yang kurang dan sedang. Demikian juga pada anak yang memiliki status gizi lebih cenderung memiliki perkembangan yang kurang. Anak dengan status gizi normal cenderung memiliki perkembangan yang sedang dan baik sedangkan anak yang kurus dan gemuk cenderung memiliki perkembangan yang kurang dan sedang. Demikian juga pada anak yang sangat kurus cenderung memiliki perkembangan yang kurang. Berdasarkan uji beda ditemukan adanya perbedaan signifikan antara kualitas lingkungan pengasuhan anak usia batita dengan anak usia prasekolah. Hal ini mungkin terjadi karena nilai rata-rata kualitas lingkungan pengasuhan pada anak usia prasekolah lebih tinggi yaitu 80.44±7.78 dibandingkan dengan nilai rata-rata kualitas lingkungan pengasuhan pada anak usia batita yaitu 74.44±6.28.
Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun posyandu yang dijadikan contoh aktif mengadakan kegiatan BKB (bina keluarga balita). Namun, perkembangan anak peserta kegiatan BKB masih tergolong kurang dan sedang. Oleh karena itu, sebaiknya sebagai posyandu yang mempunyai BKB, posyandu ini lebih meningkatkan pemberiaan materi mengenai gizi dan perkembangan anak. Selain itu, diusahakan agar seluruh ibu peserta BKB dapat hadir saat pemberiaan materi. Hal ini didasarkan data dari daftar hadir bahwa tidak semua ibu peserta BKB hadir pada saat dilakukan penyuluhan atau pemberian materi. Sebagai pengasuh, ibu sebaiknya lebih memberikan perhatian kepada anak terutama memberikan pengawasan kepada anak meskipun saat itu ibu juga sedang melakukan pekerjaan. Ibu juga sebaiknya tetap mengajak anak berbicara meskipun saat itu ibu juga sedang melakukan pekerjaan. Orang tua juga sebaiknya
35 sesekali mengajak anak pergi jalan-jalan baik untuk piknik atau untuk mengunjungi museum.
DAFTAR PUSTAKA [Depkes] Departemen Kesehatan. 2012. Capai Target MDG’S Demi Terwujudnya Derajat Kesehatan Masyarakat yang Tinggi [Internet]; [diunduh 2013 Mar 2]. Tersedia pada: http://depkes.go.id . 2013. Hasil Riskesdas 2013 [Internet]; [diunduh 2014 Mar 25]. Tersedia pada: http://depkes.go.id [Dinkes] Dinas Kesehatan Banten. 2013. 60 Ribu Balita di Banten Kurang Gizi [Internet]. Banten (ID); [diunduh 2013 Mar 2]. Tersedia pada: http://bantentoday.com Aminah L. 2012. Hubungan Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, dan Keseimbangan Energi dengan Ketahanan Fisik Taruna Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. Diasmarani. 2011. Karakteristik dan Perkembangan Bahasa Anak Balita Stunted di Desa Sukawening Kabupaten Bogor; [diunduh 2013 Mar 10]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id Ersiyoma E. 2013. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Pola Asuh, Status Gizi, dan Status Kesehatan Anak Balita Di Wilayah Program Warung Anak Sehat (WAS) Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Fauziah D. 2009. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita yang Tinggal di Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Fida, Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta (ID): D-Medika Gabriel A. 2008. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Serta Hidup Bersih dan Sehat Ibu Kaitannya dengan Status Gizi dan Kesehatan Balita di Desa Cikarawang Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York (US): Oxford University Press Graham, Judith. 2011. Children, Television, and Screen Time. [Internet]. Maine (US); [diunduh 2014 Sep 1]. Tersedia pada: http://umaine.edu Hurlock, EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta (ID): Erlangga Husaini YK. 2006. Perilaku Memberi Makan untuk Meningkatkan Tumbuh Kembang Anak. http://www.persagi.org [Internet]. Jurnal Ilmiah Persagi. (32) Joniansyah. 2012. Ribuan Balita Tangerang Bergizi Buruk [Internet]. Banten (ID); [diunduh 2013 Mar 2]. Tersedia pada: 2011. http://www.tempo.co/ Jurnas. 2012. Puluhan Anak di Tangsel Alami Gizi Buruk [Internet]. Banten (ID); [diunduh 2013 Mar 2]. Tersedia pada: http://www.jurnas.com Kathleen et al. 2008. Krause's Food & Nutrition Therapy, International Edition, 12e. Philadelphia (US): Saunders Khomsan et al. 2013. Tumbuh Kembang dan Pola Asuh Anak. Bogor (ID): IPB Press.
36 Marlina PWN. 2012. Studi Keterkaitan antara Status Gizi dan Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah pada Keluarga Miskin Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang; [diunduh 2013 Feb 19]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id Mary BE. 2011. Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta: ANDI Muljati S, Hapsari D, Budiman B. 2005. Gangguan Pertumbuhan dan Defisit Berat Badan pada Balita di Perkotaan dan Pedesaan. http://www.persagi.org [Internet]. Jurnal Ilmiah Persagi. 2005(97) Vinod N, Swarnakanta L, Smita P, Pushpa D. 2011. Nutritional Status and Dietary Pattern of Underfive Children In Urban Slum Area. National Journal Of Community Medicine 2(1) Okoroigwe F, Okeke E. 2009. Nutritional Status of Preschool Children aged 2-5 years in Aguata L. G. A of Anambra State, Nigeria. International Journal of Nutrition and Metabolism 1(1) Pramudiarja. 2013. Duh, Ibunya Dandan Kok Anaknya Kurang Gizi. [Internet]. Banten (ID); [diunduh 2013 Mei 11]. Tersedia pada: http://infopamulang.net/ Putri. 2012. Chapter 2; [diunduh 2014 April 30]. Tersedia pada: http://repository.usu.ac.id/ Putri DS. 2013. Studi Analisis Keadaan Rumah Ibu Balita, Kebiasaan Makan Balita, Status Gizi Balita dan Status Kesehatan Balita di Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Rahmawati D. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak di Taman Pendidikan Karakter Semai Benih Bangsa Sutera Alam, Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Siagian. 2010. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Aktivitas Fisik; [diunduh 2014 Mar 25]. Tersedia pada: http://repository.usu.ac.id/ Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga . 2007. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga . 2011. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta (ID): Erlangga Soblia ET. 2009. Tingkat Ketahan Pangan Rumah Tangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumah Tangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Supariasa DN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC. Syukriawati R. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Kurang pada Anak Usia 24-59. Bulan di Kelurahan Pamulang Barat Kota Tangerang Selatan Tahun 2011; [diunduh 2014 Agustus 27]. Tersedia pada: http:// perpus.fkik.uinjkt.ac.id Tiwi. 2012. Perkembangan Bicara dan Bahasa pada Anak. [Internet]. Jakarta (ID); [diunduh 2014 Mei 01]. Tersedia pada: http://klinikdrtiwi.com USU. 2013. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan pada Anak; [diunduh 2013 Mar 2]. Tersedia pada: http:// ocw.usu.ac.id Vancouver Island. 2011. Screen Time Can Be Harmful to Your Children's Health. [Internet]. Columbia (GB); [diunduh 2014 April 30]. Tersedia pada: http://wishart.sd62.bc.ca Yulia C. 2008. Pola Asuh Makan dan Kesehatan Anak Balita pada Keluarga Wanita Pemetik Teh di Kebun Malabar PTPN VIII [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
37
LAMPIRAN Lampiran 2 Hasil uji korelasi Spearmen
3 7
2 38
339
440
541
42 6
43
44 2
4 5 Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
Gambar 2 Pengukuran berat badan
Gambar 3 Pengukuran tinggi badan
Gambar 4 Pengukuran perkembangan
Gambar 5 Pengukuran Perkembangan
45 3
4
5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 29 September 1991 dari ayahanda Suyud Suyadi dan ibunda Ayanah. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 1 Bambu Apus tahun 1998-2004, kemudian melanjutkan sekolah di MTs Negeri Tangerang II Pamulang tahun 2004-2007. Tahun 2007-2010 penulis bersekolah di SMA Negeri 1 Tangerang Selatan. Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) divisi Peduli Pangan dan Gizi, Forum Silaturahmi Mahasiswa Islam FEMA (FORSIA) divisi Dakwah dan Keputrian, Ecoagrifarma divisi produksi, dan Badan Konsultasi Gizi (BKG). Penulis pernah melakukan Kuliah Kerja Profesi di Desa Pabuaran, Kecamatan Sukamakmur pada bulan Juni-Agustus 2013 dan Internship Dietetik di RS Kanker Dharmais pada bulan Februari 2014 dengan kasus yang dipelajari adalah kasus penyakit anak yaitu Primitive Neuroectodermal Tumor (PNET) dengan konstipasi, kasus penyakit dalam yaitu seminomatestis dengan gagal ginjal akut, dan kasus bedah yaitu kanker endometrium dengan tindakan laparatomi. Selama bersekolah SMA penulis pernah bekerja sambilan sebagai guru privat. Setelah lulus SMA, sebelum kuliah di IPB, penulis pernah bekerja di bimbingan belajar Learning Etc.sebagai pengajar selama 1 bulan. Setelah masuk IPB, penulis pernah bekerja di Childfund sebagai data entry selama satu bulan saat liburan semester berlangsung.