i
KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, STATUS GIZI DAN STATUS KESEHATAN LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA SALAM SEJAHTERA BOGOR
SYIFA FAUZIAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
ABSTRACT SYIFA FAUZIAH. Food Consumption, Physical Activity, Nutritional Status and Health Status of the Elderly in Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor. Under direction of SITI MADANIJAH. The objective of this study was to learn and to analyze food consumption, physical activity, nutritional status and health status of the elderly in Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor. The design of this study used cross sectional study. The number of samples obtained as many as 32 elderly. The results showed that the sufficiency level of energy was normal category, protein was in high category, vitamin A and C were in sufficient category and then Ca and Fe classified as defficient category. The nutritional status of most male sampels was obese-I while female was normal. Most of the sampels physical activities classified as mild. Most diseases for the past 6-12 months on male samples were diabetes melitus and hypertension on female samples. Most of either male or female samples had a lower morbidity score with high health status. The result of Pearson correlation test showed that the energy and nutrients intake had no significant relationship with nutritional status and health status (p >0.05) either nor between physical activity with nutritional status and health status, and nutritional status with health status (p >0.05). Keywords : food consumption, physical activity, nutritional status, health status, elderly
iii
RINGKASAN SYIFA FAUZIAH. Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan dan status pernikahan); 2) mengidentifikasi konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi contoh; 3) mengidentifikasi aktivitas fisik contoh, 4) mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan contoh; 5) menganalisis hubungan konsumsi pangan dengan status gizi; 6) menganalisis hubungan konsumsi pangan dengan status kesehatan; 7) menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status gizi; 8) menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status kesehatan dan 9) menganalisis hubungan status gizi dengan status kesehatan Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Pengumpulan data dilaksanakan selama bulan November sampai dengan Desember 2011. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 32 lansia yang tinggal di panti. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data primer meliputi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan dan status pernikahan), konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi (berat badan, tinggi badan) dan status kesehatan (jenis penyakit, lama sakit, frekuensi sakit dan tindakan pengobatan). Data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan umum tempat penelitian, daftar menu makanan dan jadwal kegiatan penghuni panti. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 16,0 for windows. Analisis data menggunakan uji beda independent t-test dan uji korelasi Pearson. Jumlah keseluruhan contoh adalah 32 orang, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 20 orang perempuan. Sebagian besar contoh (65,6%) berada pada rentang usia 75-90 tahun. Berdasarkan pendidikan terakhir, sebagian besar contoh (68,8%) merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD). Jika dilihat dari pekerjaan contoh terdahulu sebelum masuk panti, contoh laki-laki (83,3%) berprofesi sebagai karyawan swasta dan perempuan (70%) sebagai biarawati dan pengasuh anak dengan status pernikahan sebagai janda/duda (90,6%). Konsumsi pangan contoh berasal dari makanan dalam dan makanan luar panti. Konstribusi makanan terbesar berasal dari makanan dalam panti dengan persentase energi 91,7%, protein 94,8%, vitamin A 96,5%, vitamin C 94,8%, Ca 80,3% dan Fe 96,3%. Konstribusi makanan dari luar panti terbesar berasal dari sumber Ca (19,7%). Rata-rata konsumsi energi, protein, vitamin A, C, Ca dan Fe pada laki-laki secara berturut-turut 1620 kkal, 62 g, 703 RE, 78 mg, 244 mg dan 8 mg, sedangkan pada contoh perempuan 1659 kkal, 64 g, 675 RE, 74 mg, 257 mg dan 8 mg. Tingkat kecukupan energi sebagian besar contoh laki-laki (91,7%) termasuk pada kategori defisit, sedangkan pada perempuan (60%) tergolong normal. Berdasarkan hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara tingkat kecukupan energi
iv
contoh laki-laki maupun perempuan. Tingkat kecukupan energi contoh perempuan (84,5%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (73,3%). Berbeda halnya dengan tingkat kecukupan protein, secara keseluruhan rata-rata tingkat kecukupan protein pada contoh laki-laki (75%) dan perempuan (100%) tergolong dalam kategori lebih. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa ada terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) pada tingkat kecukupan protein pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan protein contoh perempuan (154%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (128%). Tingkat kecukupan vitamin A pada seluruh contoh (100%) tergolong cukup. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan vitamin A (p=0,000); tingkat kecukupan viamin A pada contoh perempuan (135%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (117,1%). Tingkat kecukupan vitamin C hampir pada seluruh contoh (>75%) tergolong cukup. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan vitamin C (p=0,041) pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan viamin C pada contoh perempuan (98,8%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (87,2%). Tingkat kecukupan Ca pada seluruh contoh (100%) tergolong kurang. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,338) pada tingkat kecukupan Ca pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan Ca pada contoh perempuan (32,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (30,5%). Tingkat kecukupan Fe pada sebagian besar contoh (>95%) tergolong kurang. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p=0,000) pada tingkat kecukupan Fe baik contoh laki-laki maupun perempuan. Tingkat kecukupan Fe pada contoh perempuan (69,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (62,3%). Sebagian besar contoh (75%) tergolong beraktivitas ringan. Hasil uji independent t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,631) antara aktivitas fisik pada contoh laki-laki dan perempuan. Separuh contoh lakilaki (50%) berstatus gizi obese-I dan perempuan (55%) berstatus gizi normal. Tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,233) antara status gizi contoh laki-laki dan perempuan. Penyakit yang banyak diderita oleh contoh pada 6-12 bulan terakhir pada laki-laki (50%) diabetes melitus dan hipertensi pada perempuan (40%) dengan tindakan pengobatan oleh dokter. Sebagian besar contoh (78,1%) skor morbiditasnya tergolong kategori rendah dengan status kesehatan tergolong tinggi. Hasil uji independent t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,282) antara status kesehatan laki-laki dan perempuan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara konsumsi pangan dengan status gizi dan status kesehatan, aktivitas fisik dengan status gizi dan status kesehatan serta status gizi dengan status kesehatan.
v
KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, STATUS GIZI DAN STATUS KESEHATAN LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA SALAM SEJAHTERA BOGOR
SYIFA FAUZIAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vi
Judul Penelitian
: Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor
Nama Mahasiswa
: Syifa Fauziah
NIM
: I14096019
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS NIP. 19491130 197603 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
vii
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor” dapat terselesaikan. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibunda dan ayahanda, kakak-kakakku (Faizal dan Syaiful), serta segenap keluarga yang tidak henti-hentinya memberikan do’a, bantuan materi serta kasih sayang yang tiada henti-hentinya kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen akademik dan pembimbing. 3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji. 4. Pihak Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Kota Bogor yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian. 5. Yudhit Novi Andrini, S.Gz teman seperjuangan selama penelitian, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya selama ini 6. Miftah, A.Md, Raini Rahmania, A.Md, Citra Dian Permata, A.Md, Utari Sulistya, A.Md, Yuni Munggaranti, A.Md dan seluruh teman-teman Program Alih Jenis Mayor Ilmu Gizi Angkatan 3 terima kasih atas kebersamaan selama ini. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih untuk semuanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Mei 2012
Penulis
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1989 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Nanang Kuswara dan Ibu Oom Suhaemi. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Istiqomah Bogor tahun 1993-1994 dan SDN 1 Ujungjaya, Sumedang tahun 19942000. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Ujungjaya, Sumedang tahun 2000-2003 dan SMUN 1 Cimalaka, Sumedang tahun 20032006. Pendidikan Diploma 3 (D3) ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor pada Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan tahun 2006-2009 dengan Tugas Akhir Penerapan Good Manufacturing Practicies (GMP) pada Produk Ikan Masak Setu di PT. Angkasa Citra Sarana (ACS), Tangerang. Tahun 2009, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Sarjana (S1) melalui Program Penyelenggaraan Khusus (Sekarang Program Alih Jenis) S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Bulan Februari-Maret 2012, penulis juga melakukan Internship Bidang Dietetika di RS. Kanker Dharmais. Penulis juga mengikuti Kuliah Kerja Profesi di Kecamatan Banyuresmi, Garut, pada bulan JuliAgustus 2011.
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ...........................................................................................
Halaman x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Tujuan ................................................................................................. Kegunaan Penelitian ...........................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
5
Panti Werdha…………………………………………….......................... Lanjut Usia………...……………...………………................................... Konsumsi Pangan...............……………………………………………… Kebutuhan Energi dan Zat Gizi pada Lansia..………………………..... Aktivitas Fisik......……………….…………………………………………. Status Gizi................................………………………………………….. Status Kesehatan.................................................................................
5 5 6 7 13 14 16
KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………………………
19
METODE PENELITIAN…………………………………………………………
21
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………. Cara Penarikan Contoh…………………………………………………... Jenis dan Cara Pengumpulan Data……………………………………... Pengolahan dan Analisis Data…………………………………………… Definisi Operasional……………………………………………………….
21 21 21 22 27
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………….
29
Gambaran Umum ……...…………………………………………………. Karakteristik Contoh………………………………………………………. Karakteristik Keluarga Contoh…………………………………………… Konsusmsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi……………...... Aktivitas Fisik…………............…………………………………………… Status Gizi..............................…………………………………………… Status Kesehatan.........………..…………………………………………. Hubungan Antar Variabel………………………………………………...
29 32 33 35 44 46 47 48
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………….
51
Kesimpulan………………………………………………………………… Saran………………………………………………………………………..
51 52
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
53
LAMPIRAN………………………………………………………………………...
56
x
DAFTAR TABEL 1
Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari………...................
Halaman 8
2
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific ……..........
16
3
Jenis dan cara pengumpulan data………………....…………………..................
22
4
Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan Angka Metabolisme Basal...........
23
5
Jenis aktivitas yang dilakukan contoh..............................................................
24
6
Variable dan indikator data yang dianalsis ……………..…………………........
26
7
Fasilitas yang disediakan panti............................................................…........
30
8
Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh..........................................
32
9
Sebaran contoh berdasarkan anjuran masuk panti..............................….......
33
10 Sebaran contoh berdasarkan jenis bingkisan yang dibawa............................
34
11 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi kunjungan………………………........
35
12 Jumlah dan jenis pangan yang dominan dikonsumsi contoh………………..
37
13 Rata-rata ketersedian makanan yang disediakan........................................
38
14 Asupan sehari energi dan zat gizi contoh di panti ………………………........... 15 Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya pada contoh ……………............................................................................................
38
16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein..............
42
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin................................ 17 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral................................
43
19 Alokasi waktu contoh berdasarkan jenis aktivitas per hari……………....…….
45
20 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik.....................………………….......
45
21 Sebaran contoh berdasarkan status gizi……………........................................
46
22 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit…………………......................
47
23 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan lama sakit……............................
48
24 Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan.......…………........................
48
25 Hubungan asupan energi dan zat gizi dengan status gizi dan status kesehatan……………………………………………………………….……….
49
26 Hubungan aktivitas fisik dengan status gizi dan status kesehatan...............
49
27 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status kesehatan.....................
50
39
43
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan kerangka hubungan konsumsi, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia ………..................................................................
20
2
Struktur organisasi Panti Werdha Salam Sejahtera Kota Bogor........ …….......
31
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1
Daftar menu di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sehajtera………...............
Halaman 57
2
Contoh hidangan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejantera... …….......
58
3
Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status gizi pada contoh laki-laki………………………….........................….................
59
4
Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status kesehatan pada contoh laki-laki….........................................……….................
59
5
Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status gizi pada contoh perempuan……………....................................………...........
60
6
Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status kesehatan pada contoh perempuan....................................……….................
60
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun (Depsos 2007). Peningkatan ini menurut para ahli terjadi di hampir semua negara termasuk kawasan Asia seperti Jepang, Hongkong, Singapura, Korea, Cina, Thailand dan Indonesia. Hal ini dapat terjadi dengan semakin meningkatnya pelayanan kesehatan, peningkatan taraf hidup, serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Ruslianti dan Kusharto 2006) Perkembangan penduduk lanjut usia (Lansia) di Indonesia menarik diamati. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat melaporkan, jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,5%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,9%) dan UHH juga meningkat 66,2 tahun. Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,8% dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada tahun 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan UHH sekitar 71,1 tahun. Dari jumlah tersebut, pada tahun 2010 jumlah penduduk lansia yang tinggal diperkotaan sebesar 12.380.321 (9,6%) dan yang tinggal diperdesaan sebesar 15.612.232 (9,9%) (Depsos 2007). Semakin meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, maka perhatian yang harus diberikan kepada kelompok ini juga akan semakin besar. Masalah gizi lansia adalah salah satunya yang harus segera diperhatikan. Menurut Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini mempengaruhi kondisi seseorang baik aspek psikologis, fisiologis, dan sosioekonomi. Dengan keadaan gizi yang baik diharapkan para lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam berkarya. Melalui gizi yang baik, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Fatmah 2010). Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan
2
tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya. Selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia (Muchtaromah 2010). Masalah gizi akibat perilaku makan yang salah lebih peka terjadi pada lansia dibandingkan usia dewasa. Nafsu makan lansia umumnya mulai menurun karena semakin berkurangnya fungsi pengecap pada lidah. Hilangnya selera makan menjadi salah satu fenomena yang dapat memperburuk kondisi lansia seperti kurang gizi, defisiensi beberapa unsur zat gizi atau obesitas yang dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif (Wirakusumah 2001). Tilarso (1985) diacu dalam Mala (2000) mengatakan bahwa lansia perlu diberi latihan fisik untuk memperbaiki kondisi faali, psikologi serta pengontrolan berat badan dan pola makannya. Berdasarkan penelitian Pratiwi (1993) dalam Mala (2000) yang dilakukan terhadap 30 orang lansia di Kodya Yogyakarta diperoleh hasil bahwa keadaan gizi lansia dipengaruhi oleh aktivitas, terutama aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga kekebalan tubuh dan konsumsi pangannya meningkat. Status gizi dan status kesehatan sangat ditentukan oleh kondisi yang dialami oleh lanjut usia. Status gizi dan status kesehatan yang baik akan membawa seseorang kepada umur panjang yang sehat dan produktif. Selain itu, status kesehatan pada lansia akan berpengaruh dalam penilaian kebutuhan akan zat gizi (Arisman 2009). Beberapa data menunjukkan bahwa lebih dari 28% usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal. Di Yogyakarta 75% usia lanjut mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) kurang dari 12 g/dl (Depkes 2003). Pada masa lansia peranan keluarga sangat penting dalam kehidupan lansia. Keluarga merupakan sumber utama dan pertama untuk membantu merawat lansia. Selain peran keluarga dan masyarakat dalam upaya merawat lansia, diperlukan juga peran pemerintah dalam memberikan fasilitas pada lansia seperti menyediakan tempat perawatan bagi lansia yang terlantar atau bermasalah dengan keluarga karena semakin banyaknya keluarga yang tidak mampu merawat lansia. Dalam hal ini Panti Werda merupakan salah satu alternatif bentuk bantuan pelayanan kesejateraan sosial bagi lansia (Ruslianti dan Kusharto 2006).
3
Panti
Werda
merupakan
salah
satu
bentuk
bantuan
layanan
kesejahteraan sosial bagi lansia. Pelayanan yang diberikan di Panti Werda berupa tempat tinggal, makanan, pakaian dan pemeliharaan kesehatan. Tujuannya yaitu agar lansia dapat menikmati masa tuanya dalam suasana aman, tentram dan sejahtera. Penyelenggaraan makan di Panti Werda harus memenuhi kebutuhan gizi lansia sehingga diperlukan penyusunan menu makanan yang dapat meningkatkan selera makan bagi lansia untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi untuk menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan tubuh serta menunjang masa pertumbuhan. Hal inilah yang mendasari pentingnya penelitian untuk mempelajari konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera Bogor. Tujuan Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera Bogor. Tujuan Khusus 1.
Mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan dan status pernikahan).
2.
Mengidentifikasi konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi contoh
3.
Mengidentifikasi aktivitas fisik contoh
4.
Mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan contoh
5.
Menganalisis hubungan konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi dengan status gizi
6.
Menganalisis hubungan konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi dengan status kesehatan
7.
Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status gizi
8.
Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status kesehatan
9.
Menganalisis hubungan status gizi dan status kesehatan Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk menggembangkan diri dan memperluas
pengetahuan serta wawasan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
4
informasi mengenai konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera Bogor. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi lansia.
5
TINJAUAN PUSTAKA Panti Werdha Menurut Departemen Sosial RI (1994) diacu dalam Nurlaela (2006) bahwa panti werda merupakan bentuk pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia yang pada awalnya merupakan inisiatif organisasi sosial yang pada waktu itu merasakan pentingnya penanganan permasalahan lanjut usia melalui panti. Lahirnya panti-panti tersebut berdasarkan atas adanya kebutuhan-kebutuhan akan perawatan kesehatan, kegiatan-kegiatan keagamaan dan komunikasi sosial yang bersifat efektif yang tidak didapat lansia diluar panti. Menurut Depsos (1997), tujuan pelayanan Panti Sosial Tresna Werda (PSTW) ini adalah tercapainya tingkat kualitas hidup dan kesejahteraan para lansia yang layak dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin. Di negara-negara berkembang memasukkan lansia di panti merupakan tindakan yang dianggap kurang pantas atau kurang etis. Tetapi, karena adanya kecenderungan pergeseran nilai-nilai masyarakat akibat globalisasi, maka hal ini sudah dianggap sesuatu yang wajar bahkan suatu keharusan. Saat ini banyak panti werda yang didirikan dengan tujuan untuk memberikan santunan dan pelayanan kepada golongan lansia. Panti werdha merupakan upaya terakhir setelah keluarga dan masyarakat yang tidak dapat memberikan pelayanan kepada lansia (Nurlaela 2006). Lansia yang masuk ke panti werdha umumnya adalah lansia yang terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang merawatnya. Selain itu, ada pula lansia karena keinginan sendiri atau dititipkan oleh keluarganya. Lansia yang dititipkan harus mempunyai sponsor. Pihak sponsor ini biasanya harus membayarkan biaya hidup di panti tiap bulan. Tujuan pembayaran ini selain untuk biaya pengelolaan dan perawatan juga agar para anggota keluarga tetap mempunyai perhatian pada lansia yang menjadi klien di panti (Wongkaren 1994 diacu dalam Nurlaela 2006). Lanjut Usia Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses perubahan yang rumit dan panjang, dimulai dari pembuahan sel telur dan berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besarnya, perkembangan
6
manusia terdiri dari beberapa tahap, yaitu meliputi kehidupan sebelum lahir, sewaktu bayi, masa kanak-kanak, remaja, masa dewasa dan masa usia lanjut (Fatmah 2010). Pengertian usia lanjut dapat dibedakan atas dua macam, yaitu usia lanjut kronoligis atau usia kalender dan usia lanjut biologis. Usia kronoligis mudah diketahui dan dihitung, yaitu saat seseorang merayakan ulang tahunnya. Sebaliknya usia biologis adalah usia yang sesungguhnya dimiliki seseorang. Usia biologis menunjukkan kondisi jaringan yang sebenarnya. Terlepas dari beberapa usia kronoligis seseorang, banyaknya kemunduran jaringan yang terjadi akan menyebabkan meningkatnya usia biologis orang yang bersangkutan. Usia biologis inilah yang sesungguhnya dapat diupayakan agar tidak terlalu cepat bertambah (Almatsier, Soetardjo dan Soekatri 2011). Usia lanjut dapat memberi persepsi yang berbeda, tergantung dari siapa yang menyebutnya dan untuk apa. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang di Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Muis, Nurkinasih dan Darmojo 1992). Namun, batasan lansia menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, adalah 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut WHO dalam Notoatmojo (2007), di antaranya: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly), antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75-90 tahundan usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun. Proses menua merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perubahan-perubahan fisik, psikologik, fungsi dan sosial-ekonomi sekelompok penduduk. Dari segi fisik penuaan sel-sel dapat berakibat pada penurunan cadangan faali berbagai fungsi, seperti ginjal, jantung dan sebagainya; kegagalan mempertahankan mekanisme homeostatik, misalnya gangguan pengontrolan tekanan darah; dan kegagalan sistem imunitas dengan akibat pada peningkatan
penyakit
keganasan
dan
autoimun. Perubahan
fisik yang
berkelanjutan dengan gangguan fungsi akan berhubungan dengan gangguan masukan zat gizi dan energi yang terjadi mulai dari alat penguyah, pengecap, pencernaan dan penyerapan. Intoleransi terhadap beberapa makanan dan obstipasi sering menjadi bagian dari keluhan para lanjut usia (Muis et al. 1992). Konsumsi Pangan Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis
7
kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di antaranya yakni gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction) zat tersebut di dalam tubuh (Supariasa, Bakri dan Hajar 2001). Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia. Adanya perubahan-perubahan pada tubuh lansia, menghendaki pola konsumsi pangan yang berbeda dibandingkan pada usia-usia yang lebih muda. Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik. Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat di atasi dengan mudah (Astawan dan Wahyuni 1988). Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan. Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang (Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan makanan ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan kebutuhan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan gizi. Kegiatan tersebut memerlukan informasi penunjang antara lain, status ekonomi, pekerjaan, dan aktivitas fisik (Depkes 2006). Kebutuhan Energi dan Zat Gizi pada Lansia Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan
energi
yang
dapat
dimetabolisme
dari
makanan
yang
akan
8
menyeimbangkan kebutuhan energi. Karyadi dan Muhilal (1996) menyatakan bahwa kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Adanya interaksi antara berbagai zat gizi memberikan gambaran perlunya suatu keseimbangan zat gizi yang dikonsumsi. Semakin beranekaragam bahan pangan yang dikonsumsi maka semakin tercapainya keseimbangan dalam interaksi zat gizi. Kebutuhan energi dan zat gizi sangat bervariasi meskipun faktor-faktor seperti ukuran badan, jenis kelamin, macam kegiatan dan faktor lainnya sudah diperhitungkan. Jumlah zat gizi yang dibutuhkan dapat tergantung pada kualitas makanan karena efisiensi penyerapan dan pendayagunaan zat gizi oleh tubuh dipengaruhi oleh kompisisi dan keadaan makanan secara keseluruhan (Soehardjo dan Koesharto 1992). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan di atas 65 tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (mg) Fe (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Angka Kecukupan Gizi Pria Wanita 50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun 2350 2050 1750 1600 60 60 50 45 800 800 800 800 13 13 12 12 600 600 500 500 90 90 75 75
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
Menurut Ruslianti dan Kusharto (2006), asupan energi lansia laki-laki khususnya yang berada di Kota Bogor hanya 70% dari angka kecukupan gizi (AKG) dan 30% dari mereka mempunyai indeks massa tubuh (IMT) <18,5. Berdasarkan ambang batas yang ditetapkan Ditjen Gizi Masyarakat, prevalensi gizi kurang ≥20% merupakan kriteria masalah gizi berat. Energi Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia pada periode lansia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Harris 2000). Manusia memperoleh energi dan zat gizi dengan mengonsumsi makanan yang dapat berasal dari hewan atau tumbuhan. Tubuh manusia menghasilkan energi yang berasal dari metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Energi dibutuhkan secara teratur untuk mempertahankan kondisi tubuh terutama untuk memelihara
9
fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total (Frary and Johnson 2000). Energi metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan aktivitas metabolisme sel dan jaringan, selain itu untuk mengatur proses sirkulasi darah, pernafasan, pencernaan dan sistem urinari. Kebutuhan energi setiap individu merupakan tingkat asupan energi yang didapat dari makanan yang akan menyeimbangkan pengeluaran energi yang sesuai dengan ukuran dan komposisi tubuh serta tingkat aktivitas fisik. Berat badan merupakan indikator kecukupan energi karena tubuh secara unik memiliki kemampuan mengubah karbohidrat, protein, dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi. Oleh karena itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit secara terus menerus akan berdampak pada perubahan berat badan (Frary and Johnson 2000). Energi yang dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah 2010). Protein Protein adalah substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim dan sel darah merah. Bagi lansia asupan protein total yang dibutuhkan manusia akan menurun sesuai dengan perubahan usia seseorang. Hal ini terkait dengan penurunan fungsi sel-sel tubuh manusia. Akan tetapi ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa kebutuhan asupan protein cenderung tetap karena proses regenarasi tubuh akan terus berlajan sesuai laju regenerasi sel yang terjadi (Fatmah 2010). Besaran protein dipatok pada angka 0,8 g/kg BB/hari. Angka ini diperoleh dari perhitungan asupan energi sebesar 1900 kkal untuk perempuan dan 2300 kkal untuk laki-laki (Arisman 2009). Bahan makanan yang berasal dari hewan merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya.
10
Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004). Pemilihan protein yang baik bagi lansia sangat penting menginggat sintesis protein di dalam tubuh tidak sebaik saat muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Pakar gizi menganjurkan kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan dan protein hewani lainnya karena kebutuhan asam amino essensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi harus diingat bahwa konsumsi protein berlebih akan memberatkan kerja ginjal dan hati (Fatmah 2010). Vitamin Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau ketersediaanya di dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010). Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup (Almatsier 2004). Vitamin A pada lansia memiliki fungsi untuk melawan radikal bebas yang menyebabkan penuaan. Selain itu juga, vitamin A berfungsi untuk memelihara kesehatan kulit mencegah timbulnya penyakit kanker dan jantung koroner. Manfaat lainnya menghambat pertumbuhan sel kanker, mencegah penyumbatan arteri yang menyebabkan serangan jantung dan menurunkan risiko stroke (Fatmah 2010). Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran terutama berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga mengandung karetenoid provitamin A (Gibson 2005). Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan menimbulkan efek samping atau penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan jarang terjadi pada usia lanjut; sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons
kekebalan
yang
menurun
(sering
terkena
penyakit
infeksi),
terhambatnya perkembangan mental dan yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia (Fatmah 2010)
11
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melindungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, memperbaiki kualitas sperma dan mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010). Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2000). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti nenas, rambutan, jeruk, pepaya, gandaria dan tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2004). Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan fungsinya pada sintesis kolagen menjadi terganggu dan akan tampak sebagai perdarahan terutama pada jaringan lunak seperti gusi. Gejala ini disebut sariawan (scurvy). Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C akan berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka (Fatmah 2010). Mineral Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2000). Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99%, berada di tulang dan gigi bersama fosfor membentuk kalsium fosfat, zat keras yang memberikan kekakuan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting. Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem imunitas tubuh (Fatmah 2010).
12
Sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahan susu, seperti keju. Ikan dimakan dengan tulang termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan produk olahan kacang-kacangan seperti tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat fitat dan oksalat (Almatsier 2004). Zat besi atau Fe merupakan mineral makro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g di dalam tubuh dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun banyak terdapat di dalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan sistem kekebalan (Almatsier 2004). Zat besi dapat diperoleh dari daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung kadar tinggi besi heme. Sumber besi non-heme berasal dari nabati seperti kedelai, kacang-kacangan, sayuran daun hijau, dan rumput laut. Kekurangan zat besi pada lansia bisa menyebabkan anemia, karena bentuk sel yang kecil serta inti sel menjadi pucat karena kekurangan kromatin. Sedangkan kelebihan zat besi dapat berakibat fatal pada lansia yang menderita parkinson, hemosiderosis dan talasemia yang dapat menyebabkan kulit menjadi keputihan, penyimpanan besi pada hati, jantung, pankreas dan paru-paru (Fatmah 2010). Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Untuk menilai tingkat kecukupan makanan (untuk energi dan zat gizi), diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recomended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang diteliti. Untuk Indonesia, Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang digunakan saat ini secara nasional adalah hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII tahun 1998. Dasar pengajian Angka Kecukupan Gizi (AKG) didasarkan pada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas, kondisi khusus (hamil dan menyusui) (Supariasa et al. 2001). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kebutuhan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen (%).
13
Menurut Hardinsyah et al (2002) rumus perhitungan tingkat kecukupan secara umum adalah sebagai berikut : TKG i =
Ki x100% AKGi
Depkes (1996) mengkategorikan tingkat kecukupan ke dalam kategori defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (≥120%). Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77%) dan cukup (≥77%) (Gibson 2005). Aktivitas Fisik Lansia akan mengalami penurunan aktivitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktivitas yang menuntut ketangkasan fisik. Penurunan aktivitas fisik pada lansia harus diimbangi dengan penurunan asupan energi, hal ini untuk mencegah terjadinya obesitas. Jika asupan energi tidak diimbangi dengan penurunan kalori maka akan mengakibatkan keseimbangan kalori positif (kelebihan kalori) sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya serangan beberapa penyakit degeneratif (Wirakusumah 2001). Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Aktivitas fisik sangat penting bagi lansia. Dengan melakukan aktivitas
fisik,
maka
lansia
tersebut
dapat
mempertahankan
bahkan
meningkatkan derajat kesehatannya. Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang sesuai bagi lansia di Indonesia, di antaranya ketahanan (endurance), kelenturan (flexibility) dan kekuatan (strength) (Fatmah 2010). Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan dapat membantu jantung, paru-paru, otot dan sistem sirkulasi darah agar tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga, contoh: berjalan kaki, lari ringan, senam dan berkebun. Aktivitas yang bersifat kelenturan dapat membantu pergerakan menjadi lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur), dan membuat sendi berfungsi dengan baik, contoh: peregangan, senam taichi/yoga, mencuci pakaian dan mengepel lantai. Aktivitas yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja
14
otot tubuh dalam menahan suatu beban yang diterima, menjaga tulang tetap kuat dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis, contoh:
push up, naik turun tangga,
membawa belanjaan dan senam terstruktur dan terukur (fitness) (Fatmah 2010). Aktivitas fisik utama yang penting dalam meningkatkan kesehatan lansia adalah olahraga (Almatsier et al. 2011). Sebaiknya olahraga dilakukan dengan seimbang, baik dari lamanya berolahraga, intensitas (seberapa keras dilakukan), maupun seringnya (frekuensi) berolahraga. Intensitas akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan tubuh, sedangkan lama dan seringnya berolahraga sebaiknya dijaga selalu konstan ketika tingkat yang baik sudah tercapai (Fatmah 2010). Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan risiko kegemukan, diabetes melitus tipe II, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, osteoporosis, beberapa jenis kanker dan depresi. Aktivitas juga dapat memperpaiki kualitas hidup seseorang melalui peningkatan kebugaran dan perbaikan rasa sehat. Elemen/ unsur program gerak badan yang baik seperti aerobik 3-5 kali dalam seminggu selama
30-60
menit,
latihan
angkat
beban ringan, kelenturan
latihan
keseimbangan dan pelemasan otot untuk mempertahankan kelenturan tubuh (Komnas Lansia 2010). Namun, menurut Polloc et al. dalam Harris (2000) 60% orang dewasa di Amerika tidak melakukan olahraga secara rutin, 25% melakukan aktivitas fisik rendah. Tingkat aktivitas fisik setelah usia 75 tahun menurun seiring dengan peningkatan usia. hasil penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa aktivitas fisik lansia di Kota Bogor tergolong pada tingkat aktivitas fisik sangat ringan dan ringan, hanya 6,2% yang tergolong tingkat aktivitas sedang. Status Gizi Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada seseorang (Depkes 2003). Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku
15
yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2009). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga, yaitu survei konsumsi pangan, statistika vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2001). Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA) dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah pola distribusi lemak (Muis 2006). Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan tinggi badan karena kompresi vertebrata, kifosis dan osteoporosis. Pengukuran tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan pengukuran tinggi lutut atau pengukuran rentang lengan (Muis 2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson 2005). Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) dalam Fatmah (2010) untuk digunakan sebagai predikor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Tinggi lutut diukur dengan sebuah caliper berupa tongkat pengukur yang dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk sudut 900. Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri yang dibengkokkan pada lutut. Salah satu ujung caliper diposisikan di bawah, di bagian tumit, sedangkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas bagian lutut. Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat
badan,
maka
mempertahankan
berat
badan
normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Indek masa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites dan hepatomegalia
16
(Supariasa et al. 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific Klasifikasi Underweight Normal Pre-obese Obese-I Obese-II
IMT (kg/m2) <18,5 18,5-22,9 23-24,9 25-29,9 >30
Sumber: WHO (2000) dalam PDGKI (2008)
Menurut Riyadi (2003) status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh asupan zat gizi dari makanan dan penyakit infeksi yang mengganggu proses metabolisme, penyerapan, dan penggunaan zat gizi oleh tubuh. Dengan kata lain status gizi merupakan keadaan kesehatan akibat proses interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Hasil survei Indeks Massa Tubuh (IMT) tahun 1995-1997 di 27 ibukota provinsi menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih mencapai 6,8% pada laki-laki dewasa dan 13,5% pada perempuan dewasa. Walaupun angka di atas tidak menunjukkan secara langsung jumlah usia lanjut yang mengalami kegemukan atau obesitas. Beberapa data juga menunjukkan bahwa lebih daripada 28% usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal (Depkes 2003). Status Kesehatan Status Kesehatan dapat dicerminkan oleh variabel morbiditas dan status gizi. Morbiditas meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberikan indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Alat tersebut adalah indikator kesehatan yang dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan
17
kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan (Depkes 2007). Menurut Sediaoetama (2006) salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung yaitu morbiditas (angka sakit), mortalitas dan berat lahir bayi yang rendah. Seiring dengan peningkatan usia, timbul masalah-masalah yang tidak dijumpai pada usia muda seperti gangguan kesehatan, gangguan kejiwaan dan gangguan adaptasi sosial. Hal ini disebabkan oleh proses menua sebagai akibat berubahnya kualitas kebutuhan pokok sebagai manusia yang berjalan kurang seimbang. Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita. (Astawan dan Wahyuni 1989). Jenis-jenis penyakit yang umum diderita lansia Indonesia adalah penyakit kardiovaskuler, TBC paru, gangguan pernapasan dan penyakit yang timbul karena infeksi. Pada masa yang akan datang, penyakit lansia akan berubah dari infeksi menjadi penyakit degeneratif yang memerlukan pelayanan kesehatan yang sempurna dan biaya mahal (Patmonodewo, dkk 2001). Namun, menurut Muis et al (1992) penyakit yang umum diderita oleh lansia yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, sendi dan tulang serta endokrin dan metabolik. Depkes (2003) menambahkan bahwa penyakit atau gangguan kesehatan pada usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif,
seperti
penyakit
hipertensi,
diabates
melitus,
osteoporosis,
demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagiannya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, TBC), infeksi saluran kemih, infeksi kulit. Penelitian epidemiologik berhasil mengidentifikasi berbagai faktor risiko bagi kejadian penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar faktor risiko tersebut berasal dari pola konsumsi bahan-bahan makanan tertentu oleh segment penduduk, maupun bangsa tertentu pula (Muis et al 1992). Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian dini dan gangguan multi organ (Azad 2002). Hasil penelitian Puspitasari (2010)
18
pada lansia peserta home care dan bukan home care yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dan status kesehatan (r=-0,289; p<0,05). Penyakit salah gizi merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di sisi lain keberadaan penyakit akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami penyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi (Soehardjo 2008).
19
KERANGKA PEMIKIRAN Kebutuhan akan diselenggarakannya makanan banyak didasarkan atas adanya kebutuhan segolongan masyarakat yang membutuhkan makanan akibat kebutuhan biologis tubuhnya yang tidak dapat dipenuhi oleh berbagai hal. Penyelenggaraan makanan pada hakekatnya adalah penyelenggaraan makanan dalam jumlah besar/banyak. Penyelenggaran makan umumnya banyak terdapat di institusi, salah satu contohnya penyelenggaran makan di Panti Werdha. Karakteristik contoh seperti umur dan jenis kelamin mempengaruhi kebutuhan energi maupun zat gizi lain dan konsumsi pangan. Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia (Muchtaromah 2010). Dengan adanya penyelenggaraan makan, maka diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mereka. Lansia identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai macam penyakit sehingga memerlukan asupan gizi yang cukup yang berasal dari konsumsi pangan baik dari dalam maupun luar panti agar kebutuhan gizinya terpenuhi. Aktivitas fisik yang dilakukan lansia dapat mempengaruhi status kesehatan lansia. Aktivitas fisik pada lansia membantu menyeimbangkan fisiologi tubuh, terutama kerja otak sebagai sistem koordinasi tubuh. Dengan asupan gizi yang baik maka aktivitas fisik pun dapat berlangsung dengan baik sehingga keadaan kesehatan dan status gizi yang diharapkan mampu tercapai dan dapat dipertahankan. Jika lansia mengalami keadaan sakit maka nafsu makan akan turun sehingga konsumsi makanan menjadi berkurang. Pengukuran konsumsi pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi merupakan total konsumsi pangan lansia yang dibandingkan dengan kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan. Jika nafsu makan lansia berkurang berlangsung lama dapat mengakibatkan tingkat kecukupan yang rendah dan status gizi lansia menjadi tidak normal serta kondisi kesehatan yang menurun. Bagan kerangka hubungan konsumsi, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan dapat dilihat pada Gambar 1.
20
Aktivitas Fisik - Jenis aktivitas
Karakteristik contoh
- Alokasi waktu untuk
- Umur
Sistem penyelenggaraan makan
- Jenis Kelamin
aktivitas fisik
Konsumsi Pangan Dalam Panti Luar panti
-
Asupan Energi dan Zat Gizi
Tingkat kecukupan
-
Status Kesehatan Riwayat Penyakit Lama sakit Frekuensi Sakit Tindakan pengobatan
-
-
Kebutuhan Zat Gizi Jenis Kelamin Usia Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (cm) Aktifitas Fisik
Status Gizi Berat Badan (Kg) Tingi Badan (cm)
Keterangan : : Variable yang diteliti : Variable yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Bagan kerangka hubungan konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia
21
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian mengenai konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan lansia menggunakan desain cross sectional. Desain ini merupakan pengamatan yang dilakukan dalam satu waktu yang bersamaan. Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera, Kota Bogor. Lokasi penelitian ditentukan secara purposif dengan pertimbangan bahwa panti memiliki jumlah lansia yang relatif banyak, kemudahan akses dan perizinan serta populasi yang beragam. Penelitian dilaksanakan selama bulan NovemberDesember 2011. Cara Penarikan Contoh Populasi pada penelitian ini adalah semua penghuni Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera yang berjumlah 65 orang. Contoh yang diambil harus memenuhi kriteria yaitu lansia laki-laki dan perempuan berusia ≥60 tahun, tidak mengalami gangguan pendengaran, dapat berkomunikasi dengan baik dan bersedia diwawancara sebagai contoh. Berdasarkan kriteria yang ditentukan jumlah contoh yang memenuhi kriteria sebanyak 32 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik contoh dan keluarga (nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sumber pendapatan), konsumsi pangan (recall 2x24 jam), aktivitas fisik (recall 2x24 jam), status gizi (berat badan, tinggi badan) dan status kesehatan (jenis penyakit, lama sakit, frekuensi sakit dan tindakan pengobatan). Pengumpulan data karakteristik contoh dan keluarga, konsumsi pangan, aktivitas fisik dan status kesehatan dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan pengumpulan data status gizi diperoleh dengan menggukur berat badan menggunakan timbangan dan pengukuran tinggi badan diukur dengan mengkonversi dari perhitungan tinggi lutut yang diukur menggunakan meteran. Data sekunder meliputi data keadaan umum panti, menu makanan, jadwal kegiatan penghuni panti dan riwayat penyakit penghuni Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera Bogor. Jenis dan cara pengumpulan data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
22
Pengolahan dan Analisis Data Tahapan pengolahan data dimulai dari proses editing, coding, entry, cleaning dan selanjutnya dianalisis. Untuk pengolahan dan analisis data, digunakan program Microsoft Excell dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) Versi 16.0 for Windows. Data karakteristik contoh dan keluarga (nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, status perkawinan,
sumber pendapatan)
ditabulasi
kemudian dianalisis
secara
deskriptif. Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data Variabel Karakteristik contoh dan keluarga
Jenis Data nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sumber pendapatan
Cara Pengumpulan Data Wawancara menggunakan kuesioner
Konsumsi pangan
Recall 2x24 jam
Wawancara menggunakan kuesioner dan recall 2x24 jam
Aktivitas Fisik
Jenis dan alokasi waktu untuk aktivitas fisik dan olah raga
Wawancara menggunakan kuesioner dan recall 2x24 jam
Status Gizi
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) 2 IMT (kg/m )
Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan CAMRY dengan derajat ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan diukur dengan mengkonversi dari perhitungan tinggi lutut menggunakan meteran BUTTERFLY dengan derajat ketelitian 0,1 cm IMT dihitung dengan perbandingan BB dan TB.
Status Kesehatan
Jenis Penyakit Lama Sakit Frekuensi Sakit Tindakan Pengobatan Skor Morbiditas
Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder riwayat penyakit
Data konsumsi pangan diperoleh dari recall selama 2x24 jam. Data yang dihitung yaitu kandungan energi, protein, vitamin (A dan C) dan mineral (Ca dan Fe) dengan menggunakan program Nutrisurvey. Asupan energi dan protein contoh dibandingkan dengan kebutuhan zat gizi yang telah dikoreksi dengan berat badan aktual contoh. Kebutuhan energi contoh dihitung berdasarkan FAO/WHO/UNU diacu dalam Almatsier (2004) dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan kebutuhan protein sehari yang dianjurkan pada usia lanjut adalah 0,8
23
g/kg BB (Depkes 2003). Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan Angka Metabolisme Basal (AMB) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan Angka Metabolisme Basal Kelompok Umur (tahun) 0-3 3-10 10-18 18-30 30-60 ≥60
AMB (kkal/hari) Laki-laki Perempuan ) ) 60,9 B* - 54 61 B* – 51 22,7 B + 495 22,5 B + 499 17,5 B + 651 12,2 B + 746 15,3 B + 679 14,7 B + 496 11,6 B + 879 8,7 B + 829 13,5 B + 487 10,5 B + 596
Keterangan: *) Berat Badan
Kebutuhan zat gizi dihitung dengan menggunakan hasil kebutuhan energi yang dikalikan dengan aktivitas fisik. Menurut FAO/WHO/UNU (2001) besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang dalam 24 jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
PAL = Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik) PAR= Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu)
Aktivitas fisik kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu ringan (1,40≤PAL≤1,69),
sedang
(FAO/WHO/UNU
2001).
(1,70≤PAL≤1,99), Jenis
aktivitas
dan fisik
berat yang
(2,00≤PAL≤2,39) dilakukan
contoh
dikelompokkan menjadi 18 jenis aktivitas berdasarkan PAR seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tingkat kecukupan zat gizi dapat dihitung dengan rumus (Hardinsyah, dkk 2002): TKG i =
Ki x100% AKGi
TKGi
= tingkat kecukupan energi dan zat gizi i
Ki
= konsumsi sumber energi dan zat gizi i
AKGi
= Angka kebutuhan zat gizi i yang dianjurkan
Penggolongan tingkat kecukupan yaitu sebagai berikut (Depkes 1996): Defisit tingkat berat
: <70%
Defisit tingkat sedang
: 70-79%
24
Defisit tingkat ringan
: 80-89%
Normal
: 90-119%
Lebih
: ≥120%
Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77%) dan cukup (≥77%) (Gibson 2005). Tabel 5 Jenis aktivitas yang dilakukan contoh Kategori
Berpakaian Membaca Nonton Tv Mendengarkan radio
PAR (kkal/mnt) Pria Wanita 1 1 1,2 1,2 1,2 1,2 3,3 2,4 1,3 1,2 1,7 1,6 1,4 1,6
Berdiri Kebersihan diri Makan dan minum Berjalan
1,4 2,3 1,4 2,1
Ibadah
1,5
Mencuci Baju Menyapu Mengepel Senam olahraga (joging)
3,5 6,6
Jenis aktivitas Tidur Berbaring Duduk diam
Ringan
Sedang
Berat
1,5 2,3 1,6 2,5 1,5 2,8 2,3 4,4 4,2 6,3
Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Pengolahan data status gizi menggunakan data hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan. Tinggi lutut digunakan sebagai prediksi tinggi badan. Gibson (2005) merekomendasikan model prediksi tinggi badan lansia, dengan rumus: Laki-laki
: (2,08 x TL) + 59,01
Perempuan
: (1,91 x TL) – (0,17 x U) + 75
status gizi lansia ditentukan berdasarkan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus :
Status gizi dikategorikan menjadi empat, yaitu kurang (IMT <18,5 kg/m2), normal (18,5
kg/m2
(23
kg/m2),
obese-I
25
(25
30,0 kg/m2) (WHO 2000 dalam PDGKI 2008). Status kesehatan contoh meliputi jenis penyakit, lama sakit, frekuensi sakit dan tindakan pengobatan. Riwayat penyakit dilihat dari jenis penyakit yang dialami oleh contoh selama 6-12 bulan terakhir. Lama dan frekuensi penyakit dianalisis berdasarkan sebaran data. Skor mobiditas diperoleh dengan mengalikan lama hari sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap jenis penyakit, seperti rumus berikut (Dijaissyah 2011): Skor Morbiditas = Lama hari sakit x Frekuensi sakit Skor morbiditas dapat dikategorikan berdasarkan perhitungan interval kelas (Sugiono 2009). Sedangkan status kesehatan berbanding terbalik dengan skor morbiditas. Status kesehatan yang tinggi menunjukkan skor morbiditas yang rendah. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif dan inferensia. Analisis statistik deskriptif disajikan berupa tabel silang, rata-rata dan standar deviasi pada variable karakteristik contoh dan keluarga, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan. Uji statistik inferensia yang digunakan yaitu uji beda independent t-test dan uji korelasi Pearson. Uji beda independent t-test untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sedangkan uji korelasi pearson untuk menganalisis hubungan konsumsi zat gizi dengan status gizi, aktivitas fisik dengan status gizi, konsumsi dengan status kesehatan dan aktivitas fisik dengan status kesehatan. Variabel dan indikator data yang dianalisis dapat dilihat pada Tabel 6.
26
Tabel 6 Variabel dan indikator data yang dianalisis No 1
Variabel Indikator Karakteristik contoh dan keluarga Umur 1.Usia pertengahan (Middle age), 45-59 tahun 2.Lanjut usia (elderly), 60-74 tahun 3.Lanjut usia tua (old), 75-90 tahun 4.Usia sangat tua (very old), > 90 tahun Jenis Kelamin
1.Laki-laki 2.Perempuan
Tingkat Pendidikan
1.Tidak sekolah 2.SD
Pekerjaan
1. Tidak bekerja 2. PNS 3. Karayawan swasta
Status Perkawinan
1. Menikah 2. Tidak menikah
Sumber pendapatan
1.Sosial 2.Keluarga
2
Konsumsi Pangan
Tingkat kecukupan Energi dan Protein 1. Defisit tingkat berat <70% 2. Defisit tingkat sedang 70-79% 3. Defisit tingkat ringan 80-89% 4. Normal 90-119% 5. Lebih ≥120% Tingkat kecukupan Vitamin dan Mineral 1. Kurang <77% 2. Cukup ≥77%
3
Aktivitas fisik
1. Ringan (1,40≤ PAL≤1,69) 2. Sedang (1,70≤PAL≤1,99) 3. Berat (2,00≤PAL≤2,39)
4
Status Gizi
1. Kurang (IMT <18,5 kg/m ) 2. Normal (18,5 kg/m2 < IMT 22,9 kg/m2) 3. Pre-obese (23 < IMT > 24,9 kg/m2) 2 4. Obese I (25 < IMT > 29,9 kg/m ) 2 5. Obese II (IMT > 30,0 kg/m )
5
Status Kesehatan
3. SMP 4. SMA
5. PT
4. Wiraswasta 5. Lainnya : ............ 3. Duda/Janda
3. Sendiri 5. Lainnya:..... 4. Pensiunan
2
Jenis Penyakit
Dianalisis berdasarkan sebaran data
Lama Sakit
Dianalisis berdasarkan sebaran data
Frekuensi Sakit
Dianalisis berdasarkan sebaran data
Tindakan Pengobatan
1. Puskesmas 2. Dokter 3. Obat warung 4. Obat tradisonal
Skor Morbiditas
1. Rendah (0-20) 2. Sedang (21-40) 3. Tinggi (41-60)
Status Kesehatan
1. Rendah (41-60) 2. Sedang (21-40) 3. Tinggi (0-20)
27
Definisi Operasional Contoh adalah lansia laki-laki dan perempuan yang berusia ≥60 tahun yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera. Panti Werdha adalah pelayanan kesejahteraan bagi lanjut usia dengan memberikan
tempat
tinggal,
pelayanan
makanan
dan
pelayanan
kesehatan. Tingkat Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani oleh contoh diukur dengan lamanya tahun pendidikan dan jenjang pendidikan. Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang menghasilkan uang/pendapatan yang pernah dilakukan oleh contoh sebelum masuk panti werdha. Sumber Pendapatan adalah sumber biaya yang diperoleh contoh untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik sandang, pangan dan papan. Status Perkawinan adalah status pernikahan contoh saat ini yang dikategorikan menjadi tidak menikah, menikah dan duda/janda. Konsumsi Pangan adalah jenis makanan yang dikonsumsi oleh lansia yang berasal dari makanan yang disediakan oleh panti maupun makanan dari luar panti yang diperoleh dengan cara me-recall selama 2x24 jam. Asupan Energi dan Zat Gizi adalah jumlah konsumsi makanan yang berasal dari makanan yang disediakan oleh panti maupun makanan dari luar panti. Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi adalah total asupan energi dan zat gizi yang berasal dari makanan yang disediakan oleh panti maupun makanan dari luar panti dibagi dengan kebutuhan zat gizi dikali dengan 100%. Aktivitas Fisik adalah aktivitas sehari-hari lansia yang dilakukan selama 2x24 jam dan kebiasaan berolahraga. Tingkat Aktivitas Fisik adalah nilai aktivitas fisik sebagai penjumlahan Physical Activity Rate (PAR) yang telah dikalikan dengan alokasi waktu tiap aktivitas dan dibagi dengan 24 jam kemudian hasilnya dikategorikan menjadi ringan (1,40≤ PAL≤1,69), sedang (1,70≤PAL≤1,99), dan berat (2,00≤PAL≤2,39). Status Gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk kemudian dihitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dan dikategorikan menjadi kurang (IMT<18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m230,0 kg/m2)
28
Jenis Penyakit adalah macam-macam jenis penyakit yang diderita oleh contoh selama 6-12 bulan terakhir. Lama Sakit adalah jumlah hari sakit yang dialami lansia selama 6-12 bulan terakhir setiap penyakit kambuh. Frekuensi Sakit adalah jumlah pengulangan atau kekambuhan penyakit yang dialami contoh selama 6-12 bulan terakhir. Skor Morbiditas adalah suatu nilai yang menunjukkan keparahan penyakit yang di hitung dari lamanya sakit dikalikan dengan frekuensi sakit selama 6-12 bulan terakhir. Status Kesehatan adalah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari jenis penyakit, skor morbidiats dan tindakan pengobatannya selama 6-12 bulan terakhir.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Panti Werda Salam Sejahtera Bogor Panti Werda Salam Sejahtera Bogor didirikan pada tahun 1996. Pendirian Panti Werda tersebut berawal dari suatu pertemuan yang diberi nama “Ikatan Kekerabatan/Kekeluargaan Tio Chiu”. Pertemuan ini menghasilkan gagasangagasan salah satunya muncul gagasan mulia dengan tujuan “Untuk mengadakan bentuk kegiatan yang lebih berarti, bukan untuk kalangan terbatas, tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas”. Gagasan tersebut yaitu membangun dan membentuk sebuah panti diberi nama “Panti Werda Salam Sejahtera” di bawah naungan “Yayasan Kasih Mulia Sejahtera”. Lokasi Panti Werdha Salam Sejahtera Kota Bogor cukup strategis baik untuk hubungan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya, pusat perbelanjaan dan Pemerintah Kota Bogor sehingga penghuni panti tidak merasa diasingkan dan dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi rasa ketentraman lahir bathin. Panti Werdha Salam Sejahtera Bogor terletak di Jalan Pajajaran Belakang Gedung Olympic, diapit oleh dua gedung pertokoan dan di belakangnya terdapat perumahan penduduk. Pembangunan Panti Salam Sejahtera di atas sebidang tanah seluas ± 3.600 m2, hibah dari Bapak Eddy Mulianto, seorang anggota Yayasan Kasih Mulia Sejahtera. Fasilitas yang disediakan oleh panti dapat dilihat pada Tabel 7. Tenaga kerja yang ada di panti berjumlah 25 orang yang meliputi tenaga administrasi, pengurus harian, perawat, pengolah makanan dan tenaga keamanan. Jam kerja dimulai pukul 09.00-16.00 WIB, terkecuali bagi pengolah makanan dan keamanan. Adapun struktur organisasi harian di Panti Werda Salam Sejahtera Bogor dapat dilihat pada Gambar 2. Lansia yang akan masuk dan tinggal di Panti Werda Salam Sejahtera Bogor harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan panti, sekaligus dengan biaya sewa kamar tiap bulan, harga disesuaikan dengan luas kamar. Dana operasional panti berasal dari donatur dan biaya sewa kamar tiap bulannya. Harga kamar yang berukuran kecil yaitu Rp. 750.000,-/bulan, kamar besar yaitu Rp. 1.250.000,-/bulan dan kamar di gedung baru Rp. 2.800.000,/bulan. Beberapa persyaratan untuk menjadi penghuni Panti Werda Salam Sejahtera, antara lain: berusia di atas 60 tahun, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta mandiri, ada sanak famili yang bertanggung jawab minimal tiga
30
orang, menyerahkan foto terbaru dan bersedia membayar iuran sewa kamar per bulan. Tabel 7 Fasilitas yang disediakan di panti No 1
2
3
Jenis Ruangan Administrasi a. Ruang Sekretariat b. Ruang Rapat
sebagai pusat informasi sebagai tempat pertemuan
Ruang Kesehatan a. Poliklinik
1
sebagai tempat perawatan kesehatan bagi lansia.
Ruang Hiburan a. Ruang karaoke
1
salah satu sarana hiburan bagi lansia berfungsi sebagai tempat membaca bagi lansia sebagai tempat berkumpul sebagai tempat untuk berhandai taulan dengan sesama penghuni panti.
b. Ruang perpustakaan
1
c. Serbaguna d. Gazebo
1 1
Ruang Ibadah
5
Ruang Penyelenggaraan Makanan a. Ruang Penyimpanan Bahan b. Dapur c. Ruang Makan
7
Fungsi
1 1
4
6
Jumlah
2
sebagai tempat beribadah
1
sebagai tempat menyimpan bahan makanan kering. sebagai tempat pengolahan bahan makanan bagi lansia serta pegawai panti. sebagai tempat makan bersama. Ruangan ini berkapasitas 150 orang
1 1
Ruang Beristirahat a. Wisma A b. Wisma B c. Wisma C d. Wisma D
26 26 26 75
sebagi tempat istirahat
Ruang Binatu
1
sebagai tempat penyimpanan pakaian
Panti Werdha Salam Sejahtera Bogor mengelola penyelenggaraan makan bagi penghuni panti maupun karyawan harian. Penghuni panti memiliki waktu empat kali makan, yang terdiri dari tiga kali makan utama dan satu kali makan selingan. Makan pagi pada pukul 07.00 WIB, makan siang pada 12.00 WIB dan makan malam pada pukul 17.30 WIB. Makanan yang disajikan di panti berupa makanan lengkap di antaranya makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah. Selain disediakan makanan lengkap, panti juga menyediakan makanan selingan yang biasa diberikan pada sore hari yaitu pukul 15.00 WIB. Pihak panti juga menetapkan dua hari dalam satu minggu sebagai hari minum
31
susu bersama setiap hari Senin dan Kamis pada waktu selingan. Para penghuni panti diwajibkan makan di ruang makan yang telah disediakan. Selain penyelenggaraan makan, Panti Werdha Salam Sejahtera juga menyediakan poliklinik. Para penghuni panti dapat memantau kesehatannya satu minggu sekali yaitu setiap hari Kamis. Di poliklinik terdapat dua orang dokter dan empat orang perawat yang jaga setiap harinya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Para penghuni panti pun memiliki jadwal tertentu untuk melakukan fisioterapi. Para penghuni panti memiliki kegiatan tertentu yang sudah diatur oleh pengelola panti. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh penghuni panti yaitu senam pagi setiap hari jum’at yang dilakukan pada pukul 08.00-09.00 WIB. Kegiatan lainnya yaitu kegiatan rohani, latihan karaoke, gunting rambut, perayaan ulang tahun penghuni panti dan sebagainnya. Ketua Pengurus
Wakil Ketua
Sekretaris
Bendahara
Wakil Sektetaris
Wakil Bendahara
Ketua Harian
Pelaksana Tata Usaha
Pengolah Makanan
Bendahara
Bagian Kebersihan
Bagian Kebun
Suster
Gambar 2 Struktur Organisasi Panti Werda Salam Sejahtera Kota Bogor
32
Karakteristik Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah lansia laki-laki dan perempuan yang berusia >60 tahun. Jumlah keseluruhan contoh adalah 32 orang lansia, terdiri dari 20 lansia berjenis kelamin perempuan dan 12 lansia berjenis kelamin lakilaki. Menurut WHO dalam Notoatmojo (2007), lansia dibedakan menjadi empat kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Sebagian besar contoh (68,8%) tergolong lanjut usia tua (old) dengan kisaran umur 75-90 tahun baik pada contoh laki-laki (66,7%) maupun perempuan (65%). Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh Kategori Umur (Tahun) 60-74 75-90 > 90 Total Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP Total Pekerjaan Tidak Bekerja PNS Karyawan Swasta Wiraswasta Lainnya Total Status Perkawinan Tidak Menikah Duda/Janda Total
Laki-laki n %
Jenis Kelamin Perempuan n %
Total n
%
4 8 0 12
33,3 66,7 0 100
6 13 1 20
30,0 65,0 5,0 100
10 21 1 32
31,2 65,6 3,1 100
1 10 1 12
8,3 83,3 8,3 100
2 12 6 20
10,0 60,0 30,0 100
3 22 7 32
9,4 68,8 21,9 100
0 0 10 0 2 12
0 0 83,3 0 16,7 100
2 2 0 2 14 20
10,0 10,0 0 10,0 70,0 100
2 2 10 2 16 32
6,2 6,2 31,2 6,2 50,0 100
1 11 12
8,3 91,7 100
2 18 20
10,0 90,0 100
3 29 32
9,4 90,6 100
Tabel 8 menunjukkan bahwa pendidikan tertinggi contoh adalah SMP. Namun sebagian besar contoh (68,8%) memiliki pendidikan terakhir SD baik contoh laki-laki (83,3%) maupun perempuan (60%). Pendidikan lansia tergolong rendah. Menurut para lansia bahwa jumlah sekolah yang masih terbatas, akses menuju sekolah yang sulit dan keterbatasan ekonomi merupakan alasan utama sehingga mereka sulit untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
33
Berdasarkan jenis pekerjaan terdahulunya, sebagian besar contoh lakilaki (83,3%) memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta yaitu sebagai buruh pabrik, sedangkan sebagian besar contoh perempuan (70%) sebagai biarawati dan pengasuh anak yang dikategorikan sebagai pekerjaan lainnya. Hampir seluruh contoh (90%) status pernikahannya tergolong janda dan duda. Sumber Pendapatan Sumber pendapatan merupakan asal biaya yang digunakan oleh lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar dan membiayai iuran sewa kamar per bulan. Sebagian besar sumber pendapatan contoh (96,9%) berasal dari keluarga baik dari anak, cucu, sepupu maupun keponakan. Hal ini seiring dengan yang menganjurkan contoh (81,3%) untuk masuk panti yaitu keluarga sehingga keluarga contoh bertanggungjawab dalam hal pembiayaan selama di panti. Hanya satu orang contoh sumber pendapatannya berasal dari perkumpulan keagamaan. Karateristik Keluarga Contoh Ada beberapa alasan sehingga para lansia ingin tinggal di panti di antaranya yaitu perubahan tipe keluarga, merasa tidak ingin merepotkan anggota keluarga lainnya dan perlunya bersosialisi dengan teman sebayanya (Widyastuti 2006). Sebaran contoh berdasarkan anjuran masuk panti dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan anjuran masuk panti Yang menganjurkan masuk panti Keluarga Kemauan Sendiri Lainnya
n 26 11 5
% 81,3 34,4 15,6
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (81,3%) mendapat anjuran dari keluarga untuk masuk dan tinggal di panti. Tidak adanya yang mengawasi merupakan alasan utama contoh dianjurkan untuk masuk panti oleh pihak keluarga. Selain adanya anjuran dari keluarga, kemauan sendiri (34,4%) dan anjuran dari pihak lainnya (15,6%) merupakan faktor pendorong contoh ingin tinggal di panti. Tidak ingin merepotkan dan ingin mencari ketenangan di hari tua merupakan alasan yang mendukung sehingga contoh ingin tinggal di panti atas dasar kemauan sendiri. Berbagai pihak lainnya yang mengajurkan contoh tinggal di panti di antaranya teman dan pengurus gereja, karena ada beberapa contoh yang terdahulu berprofesi sebagai biarawati sehingga pengurus gereja menganjurkan contoh tinggal di panti.
34
Sebelum tinggal di Panti Werdha Salam Sejahtera, terdapat dua contoh yang pernah tinggal di panti lain yaitu selama tiga bulan dan 10 tahun. Tidak adanya sanak keluarga dan merasa sungkan tinggal bersama anggota keluarga lainnya merupakan alasan utama contoh tinggal di panti lain. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depsos 1997). Pada lansia yang tinggal di panti, keluarga merupakan keberadaan individu yang mengakui akan keadaan para lansia dan bersedia membiayai kehidupan lansia yang tinggal di panti. Sebagian besar contoh (96,9%) masih memiliki sanak keluarga, pernah dikunjungi oleh keluarga dan selalu membawa bingkisan ketika berkunjung. Bingkisan yang selalu dibawa yaitu berupa buah-buahan seperti pisang, jeruk, apel, anggur dan mangga. Selain buah, bingkisan yang selalu dibawa pada saat berkunjung berupa snack seperti biskut, wafer dan crakers. Makanan besar berupa lauk pauk seperti ayam goreng, ikan goreng, abon dan sebagainya. Bingkisan lainnya yang dibawa diantara perlengkapan mandi seperti odol, sabun mandi, shampo, handuk dan sebagainya. Sebaran contoh berdasarkan jenis bingkisan yang dibawa dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan jenis bingkisan yang dibawa Bingkisan yang dibawa Makanan besar Snack Buah Lainnya
n 2 9 23 3
% 6,3 28,1 71,9 9,4
Frekuensi Kunjungan Hampir seluruh contoh (96,9%) selalu dikunjungi oleh keluarga seperti anak, cucu, sepupu maupun keponakan dan dikunjungi oleh pihak lainnya seperti tetangga, teman maupun kerabat dekat. Sebagian besar contoh (77,8%) selalu dikunjungi setiap satu bulan sekali oleh keluarga dan pihak lainnya setiap dua minggu dan lebih dari satu bulan sekali. Kunjungan yang dilakukan oleh keluarga contoh tergantung waktu luang yang dimiliki oleh masing-masing keluarga contoh. Contoh tidak selalu memaksakan keluarganya untuk berkunjung dikarenakan kesibukan dari masing-masing anggota keluarga yang berbedabeda. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi kunjungan dapat dilihat pada Tabel 11.
35
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi kunjungan Frekuensi Kunjungan 1 minggu 2 minggu 1 bulan > 1 bulan Total
Yang Berkunjung Keluarga Lainnya n % n % 1 3,7 0 0 5 18,5 2 40,0 21 77,8 1 20,0 0 0 2 40 27 100 5 100
Total n 1 7 22 2 32
% 3,1 21,9 68,7 6,3 100
Konsumsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Mengkonsumsi pangan tidak hanya penting bagi kesehatan, tetapi juga untuk kecerdasan dan kemampuan fisik tubuh. Pangan sebagai sumber zat gizi merupakan kebutuhan pokok yang harus dikonsumsi setiap hari. Namun kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya, karena kelebihan atau kekurangan pangan akan berdampak terhadap kesehatan (Hardinsyah et al. 2002). Penilaian konsumsi pangan pada contoh di Panti Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera dilakukan dengan recall 2x24 jam. Perhitungan konsumsi dilakukan dengan menghitung konsumsi makanan yang disediakan oleh panti dan konsumsi makanan yang berasal di luar panti. Konsumsi makanan yang berasal dari panti sama bagi setiap penghuni panti. Frekuensi makan yang disediakan oleh panti sebanyak empat kali makan, yang terdiri dari tiga kali makan utama dan satu kali makan selingan. Konsumsi Makanan di Dalam Panti Makanan yang disediakan oleh panti merupakan sumber utama dari ketersediaan energi, protein, vitamin serta mineral. Adapun jenis makanan yang disajikan oleh panti meliputi makanan pokok (nasi putih, nasi goreng, nasi uduk), lauk hewani (telur, daging sapi, ayam, ikan), lauk nabati (tahu, tempe), sayur (bayam, wortel, caisin, labu siam), buah (pepaya, semangka) serta selingan (pisang goreng dan bolu kukus). Jenis hidangan sumber karbohidrat yang disediakan oleh panti yaitu nasi goreng, nasi putih dan nasi uduk. Secara kuantitas, konsumsi pangan sumber karbohidrat pada perempuan (534 g) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (546 g). Dari ketiga jenis pangan tersebut makanan yang paling banyak dikonsumsi yaitu
36
nasi putih karena nasi putih disediakan pada makan siang dan malam, sedangkan nasi goreng dan nasi uduk hanya disediakan pada makan pagi. Jenis hidangan sumber protein hewani sangat bervariasi. Beberapa jenis hidangan sumber protein hewani yang disediakan oleh panti yaitu telur ceplok, semur daging, ayam goreng, telur dadar dan ikan goreng. Secara kuantitas, konsumsi pada contoh laki-laki (292,5 g) lebih tinggi dibandingkan perempuan (291 g). Jenis hidangan yang konsumsinya tinggi yaitu ayam goreng. Hampir separuh contoh (50%) menyukai menu ayam goreng. Hal ini ditunjang dengan daya terima contoh terhadap lauk hewani sangat baik yaitu sebesar 50% contoh menyukai lauk hewani (Andrini 2012). Jenis hidangan sumber protein nabati yang sediakan di panti yaitu tahu dan tempe. Ada beberapa jenis hidangan yang disediakan di panti di antaranya tahu goreng, tempe bacem, tempe goreng dan semur tahu. Konsumsi hidangan sumber protein nabati pada contoh perempuan (200 g) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (187 g). Jenis hidangan yang paling banyak disukai yaitu tahu goreng. Buah dan sayur merupakan sumber vitamin dan mineral. Buah-buahan yang disediakan oleh panti, di antaranya buah pepaya dan semangka. Buah yang paling disukai oleh contoh yaitu buah semangka. Secara kuantitas, konsumsi buah pada contoh laki-laki (184 g) lebih tinggi dibandikan perempuan (170 g). Jenis hidangan sayuran yang disediakan oleh panti di antaranya yaitu tumis labu siam, sayur caisin, bayur bayam jagung dan sayur sop. Konsumsi hidangan sayuran pada contoh laki-laki (363 g) lebih tinggi dibandingkan perempuan (338 g). Hidangan sayuran paling banyak disukai yaitu sayur bayam jagung. Jumlah dan jenis pangan yang dominan dikonsumsi contoh dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan hasil penelitian Andrini (2012), sebagian besar contoh menyukai hidangan yang disajikan, meliputi nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah dan juga selingan. Tingkat kesukaan tertinggi contoh terdapat dalam hidangan nasi, sayur, buah dan selingan. Selain waktu makan utama, panti juga menyediakan waktu makan selingan. Makanan selingan yang disediakan yaitu berupa snack manis yang diberikan pada sore hari yaitu pukul 15.00 WIB. Jenis snack manis yang diberikan yaitu pisang goreng dan kue bolu kukus.
37
Tabel 12 Jumlah dan jenis pangan yang dominan dikonsumsi contoh Jenis Hidangan Makanan Pokok Nasi Goreng Nasi Putih Nasi Uduk Total Lauk Hewani Telur Ceplok Semur daging Telur Dadar Ayam Ikan goreng Total Lauk Nabati Tahu Goreng Tempe Goreng Tempe Bacem Semur Tahu Total Sayur Tumis Labu Sayur caisin Sayur bayam Sup sayuran Total Buah Pepaya Semangka Total Lainnya Pisang Goreng Bolu Kukus Total
Jumlah yang dikonsumsi (g/org/hr) Laki-laki Perempuan 130 279 125 534
130 281 135 546
55 40 60 80 57,5 292,5
60 40 57 80 54 291
66 48 30 43 187
66 46 40 48 200
96 79 92 96 363
80 73 95 90 338
86 98 184
77 93 170
50 50 100
50 50 100
Rata-rata kandungan energi yang tersedia sebesar 1657 kkal, protein 65,7 g. Ketersediaan vitamin A sebesar 723,3±10,5 RE dan vitamin C 86,0±82,6 mg. Adapun ketersediaan Ca sebesar 233,0±43,3 mg dan Fe 9,1±0,6 mg. Secara keseluruhan, ketersediaan makanan yang disediakan oleh panti masih tergolong kurang jika dibandingkan dengan ketersediaan yang seharusnya (Andrini 2012). Menurut Moehyi (1992) ketersediaan makanan penyelenggaraan makanan institusi biasa dilakukan dengan memperkirakan penambahan sebanyak 10% dari ketersediaan yang sebelumnya sudah direncanakan. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan dapat dilihat pada Tabel 13. Konsumsi Makanan di Luar Panti Konsumsi makanan di luar panti merupakan makanan yang berasal dari makanan jajanan yang dijual di sekitar panti atau berupa makanan cemilan yang diberikan oleh keluarga pada saat berkunjung atau yang dibeli oleh contoh. Jenis
38
makanan yang biasa dikonsumsi berupa snack manis, snack asin, buah dan minuman. Snack manis yang biasa dikonsumsi yaitu biskuit, bubur kacang ijo, bubur sumsum, kue bolu kukus, kue lapis, kue apem, kue nagasari, kue pancong, pisang molen, roti dan ubi goreng. Snack asin yang biasa dikonsumsi yaitu bubur havermuth, lemper, lontong, pastel, risoles dan bihun goreng. Buahbuahan yang biasa dikonsumsi yaitu buah apel, jeruk dan pisang ambon. Sedangkan minuman yang biasa dikonsumsi yaitu susu segar dan teh manis. Tabel 13 Rata-rata ketersediaan makanan yang disediakan Ketersediaan
Energi dan Zat Gizi
Aktual 1657 ± 65,7 ± 723,3 ± 86,0 ± 233,0 ± 9,1 ±
Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Zat besi (mg)
30 9,3 10,5 82,6 43,3 0,6
1823 72,3 795,6 94,6 256,3 10,0
Ideal ± ± ± ± ± ±
33 10,2 31,6 90,9 47,6 0,7
Sumber: Andrini (2012)
Asupan energi dan zat gizi Asupan energi dan zat gizi berasal dari hasil penjumlahan rata-rata konsumsi makanan yang disediakan oleh panti (makanan dalam) serta makanan dari luar panti (makanan luar). Asupan sehari energi, protein, vitamin A, C, Ca dan Fe secara berturut-turut sebesar 1646 kkal, 63,2 g, 685,7 RE, 75,7 mg, 252,7 mg dan 8,2 mg. Asupan energi yang berasal dari makanan di dalam panti (1509±68 kkal/hari) lebih besar dibandingkan dengan makanan yang berasal dari luar panti (137±62 kkal/hari). Secara keseluruhan, >80% asupan energi dan zat gizi contoh berasal dari panti. Namun, persentase tertinggi asupan makanan dari luar panti hanya berasal dari sumber Ca sebesar 19,7%. Asupan energi dan zat gizi lain pada contoh dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Asupan sehari energi dan zat gizi contoh di panti Makanan Dalam
Makanan Luar
Jumlah 1509
% 91,7
Jumlah 137
% 8,3
59,9
94,8
3,3
5,2
63,2
661,6 71,8
96,5 94,8
24,1 3,9
3,5 5,2
685,7 75,7
Kalsium (mg)
203
80,3
49,7
19,7
252,7
Zat besi (mg)
7,9
96,3
0,3
3,7
8,2
Kandungan Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Total 1646
39
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Tingkat kecukupan energi dan zat gizi seseorang atau kelompok orang dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan kebutuhannya. Kebutuhan zat gizi perorangan selalu didasarkan pada patokan berat badan masing-masing kelompok umur, jenis kelamin dan aktivitas fisik (Hardinsyah dan Briawan 1994). Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada contoh dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada contoh Energi dan Zat Gizi
Laki-laki Asp
Energi (kkal) Rata-rata 1620 Stdev 53 Minimal 1537 Maksimal 1724 Protein (g) Rata-rata 62,3 Stdev 2,6 Minimal 56,2 Maksimal 65,3 Vitamin A (RE) Rata-rata 702,8 Stdev 47,6 Minimal 598,8 Maksimal 759,5 Vitamin C (mg) Rata-rata 78,5 Stdev 14,0 Minimal 55,0 Maksimal 104,9 Ca (mg) Rata-rata 243,8 Stdev 28,9 Minimal 206,1 Maksimal 279,5 Fe(mg) Rata-rata 8,1 Stdev 0,5 Minimal 8,8 Maksimal 6,9
Keb
Perempuan Tk Kec
Total
Asp
Keb
Tk Kec
Asp
Keb
Tk Kec
2227 195 1760 2474
73,3 7,1 65,4 89,9
1659 87 1503 1779
1826 121 1529 2061
91,2 7,2 78,3 105,2
1644 78 1503 1779
1976 248 1529 2474
84,5 11,3 65,4 105,2
49,5 6,1 33,6 57,1
128,0 20,6 104,6 185,7
63,6 3,0 58,4 68,1
37,3 4,3 31,5 47,2
169,6 20,1 129,7 204,5
63,1 2,9 56,2 68,1
42,3 7,5 32,0 57,1
154 28,6 104,6 204,5
600 0 600 600
117,1 7,9 99,8 126,6
675,1 64,7 535,0 751,4
500 0 500 500
135 12,9 107,0 150,3
685,5 59,6 535,0 759,5
537,5 49,2 500,0 600,0
128,3 14,2 99,8 150,3
90 0 90 90
87,2 15,5 61,1 116,6
74,1 10,9 53,9 99,9
75 0 75 75
98,8 14,5 71,8 133,2
75,8 12,1 53,9 104,9
80,6 7,4 75,0 90,0
94,5 15,7 61,1 133,2
800 0 800 800
30,5 3,6 25,8 34,9
256,9 40,6 193,7 335,5
800 0 800 800
32,1 5,1 24,2 41,9
252,0 36,7 193,7 335,5
800,0 0 800,0 800,0
31,5 4,6 24,2 41,9
13 0 13 13
62,3 4,2 53,1 67,3
8,3 0,6 7,1 9,4
12 0 12 12
69,1 4,8 59,2 77,9
8,2 0,6 6,9 9,4
12,4 0,5 12,0 13,0
66,5 5,6 53,1 77,9
Asupan energi contoh sehari berkisar antara 1503-1779 kkal/hari dengan rata-rata 1644±77 kkal/hari. Rata-rata asupan energi contoh perempuan (1659±86 kkal/hari) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (1620±53 kkal/hari). Namun kebutuhan energi pada contoh laki-laki (2227±195 kkal/hari) lebih tinggi dibandingkan perempuan (1826±120,5 kkal/hari). Secara keseluruhan asupan
40
energi contoh yang tinggal di panti masih rendah dibandingkan dengan kebutuhan yang seharusnya dipenuhi oleh contoh. Hal ini disebabkan karena sudah berkurangnya nafsu makan akibat menurunnya indera pencicip. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada contoh laki-laki (73,3%) tergolong defisit dan pada perempuan (91,2%) tergolong normal. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Pangan sumber energi yang paling banyak dikonsumsi yaitu nasi goreng, kue bolu kukus dan bihun goreng. Secara keseluruhan asupan protein pada contoh perempuan (63,6±3,0 g/hari) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (62,3±2,6 g/hari). Asupan protein contoh berkisar 56,2-68,1 g/hari dengan rata-rata 63,1±2,9 g/hari. Asupan tersebut sudah memenuhi rata-rata kebutuhan yang dianjurkan pada laki-laki sebesar 49,5 g/hari dan perempuan sebesar 37,3 g/hari. Rata-rata tingkat kecukupan protein pada contoh perempuan (169,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan lakilaki (128%). Namun tingkat kecukupan protein (154%) kedua contoh tergolong berlebih. Protein adalah suatu zat gizi yang berperan sebagai penghasil energi, pembentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Almatsier 2004). Pangan yang dikonsumsi dan kaya akan protein yaitu ayam goreng. Rata-rata asupan vitamin A pada contoh sebesar 685,5±59,6 RE/hari dengan kisaran 535,0-759,5 RE/hari. Rata-rata asupan vitamin A pada contoh laki-laki (702,8±47,6 RE/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (675,0±64,7 RE/hari). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada contoh pada contoh perempuan (135%) lebih tinggi dibandingkan dengan contoh laki-laki (117,1%). Namun tingkat kecukupan vitamin A (128,3%) kedua contoh tergolong cukup. Konsumsi vitamin A pada contoh sudah sesuai dengan yang dianjurkan pada laki-laki sebesar 600 RE/hari dan perempuan sebesar 500 RE/hari. Hal ini diduga karena jumlah konsumsi sayuran dan sumber karetonoid provitamin A sudah cukup baik. Pangan sumber vitamin A yang dikonsumsi yaitu berasal dari sayur sop yang banyak mengandung wortel yang merupakan sumber vitamin A.
41
Rata-rata asupan vitamin C sebesar 75,8±12,1 mg/hari. Rata-rata asupan vitamin C contoh laki-laki (78,5±14,0 mg/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (74,1±10,9 mg/hari). Asupan vitamin C pada contoh sudah sesuai dengan yang dianjurkan, laki-laki sebesar 90 mg/hari dan perempuan sebesar 75 mg/hari. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C pada contoh perempuan (98,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (87,2%), sehingga tingkat kecukupan vitamin C (94,5%) kedua contoh tergolong cukup. Hal ini diduga karena jumlah konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C sudah cukup baik. Sumber vitamin C yang banyak dikonsumsi yaitu buah pepaya dan jeruk. Asupan Ca pada contoh berkisar 193,7-335,5 mg/hari dengan rata-rata 252,0±36,7 mg/hari. Asupan Ca pada contoh masih sangat kurang dari kebutuhan dianjurkan sebesar 800 mg/hari. Asupan Ca pada contoh perempuan (256,9±40,6 mg/hari) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (243,8±28,9 mg/hari). Tingkat
kecukupan
Ca
pada
contoh
perempuan
(32,1%)
lebih
tinggi
dibandingkan dengan laki-laki (30,5%), sehingga tingkat kecukupan Ca (31,5%) kedua contoh tergolong kurang. Hal ini diduga karena rendahnya konsumsi pangan sumber Ca yang dikonsumsi oleh contoh. Salah satu sumber Ca terbesar berasal dari susu. Contoh yang tinggal di panti dalam kesehariannya sangat jarang mengkonsumsi susu. Mereka biasa mengkonsumsi susu setiap hari senin dan kamis sore, karena pada hari tersebut merupakan jadwal minum susu bersama. Pada saat pengambilan data recall tidak bertepatan dengan jadwal minum susu bersama sehingga tingkat kecukupan pangan sumber Ca contoh tergolong kurang. Rata-rata kisaran asupan Fe pada contoh sebesar 6,9-9,4 mg/hari dengan rata-rata 8,2±0,6 mg/hari. Asupan Fe pada kedua contoh tidak jauh berbeda, pada contoh laki-laki sebesar 8,1±0,5 mg/hari dan perempuan sebesar 8,3±0,6 mg/hari. Asupan Fe pada contoh masih rendah dengan kebutuhan yang dianjurkan sebesar 13 mg/hari sehingga tingkat kecukupan Fe pada kedua contoh tergolong kurang. Tingkat kecukupan Fe pada contoh laki-laki sebesar 62,3% dan perempuan sebesar 69,1%. Hal ini diduga karena jumlah konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi masih rendah sehingga asupan zat besi contoh rendah. Secara keseluruhan, berdasarkan hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) konsumsi energi dan zat gizi pada contoh laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut disebabkan
42
karena makanan yang disediakan sebagian besar berasal dari panti sehingga jenis dan jumlah makanan yang didapat contoh sama baik pada contoh laki-laki maupun perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan mengenai konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi lansia yang menunjukkan hal yang serupa. Penelitian Puspitasari (2011) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.005) konsumsi pangan serta asupan energy dan zat gizi pada kelompok peserta maupun bukan peserta home care baik laki-laki maupun perempuan. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein di panti Kategori Defisit Tkt. Berat Defisit Tkt. Sedang Defisit Tkt. Ringan Normal Kelebihan Total p
Energi Laki-laki Perempuan n % n % 5 41,7 0 0 6 50,0 1 5,0 1 8,3 7 35,0 0 0 12 60,0 0 0 0 0 12 100 20 100 0,000
Tingkat kecukupan Protein Total Laki-laki Perempuan n % n % n % 5 15,6 0 0 0 0 7 21,9 0 0 0 0 6 18,8 0 0 0 0 14 43,8 3 25,0 0 0 0 0 9 75,0 20 100 32 100 12 100 20 100 0,000
Total n 0 0 0 4 28 32
% 0 0 0 12,5 87,5 100
Tabel 16 dapat diketahui bahwa tingkat kecukupan energi sebagain besar contoh laki-laki (91,7%) tergolong defisit dan perempuan (60%) tergolong normal. Tingkat kecukupan energi yang defisit dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan tubuh kekurangan energi sehingga mengalami keseimbangan energi yang negatif akibat lebih besarnya energi yang dikeluarkan daripada energi yang masuk. Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki maka akan menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh (Almatsier 2004). Berdasarkan hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara tingkat kecukupan energi contoh laki-laki
maupun perempuan. Tingkat kecukupan energi
contoh
perempuan (84,5%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (73,3%). Berbeda halnya dengan tingkat kecukupan protein; hampir seluruh contoh tergolong lebih pada laki-laki (75%) dan perempuan (100%). Hal ini diduga karena
contoh
lebih
banyak
menghabiskan
makanan
sumber
protein
dibandingkan makanan sumber energi. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa ada terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) pada tingkat kecukupan protein pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan
43
protein contoh perempuan (154%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (169,6%). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin Kategori Kurang Cukup Total p
Vitamin A Laki-laki Perempuan n % n % 0 0 0 0 12 100 20 100 12 100 20 100 0,000
Tingkat kecukupan Vitamin C Total Laki-laki Perempuan n % n % n % 0 0 3 25,0 1 5,0 32 100 9 75,0 19 95,0 32 100 12 100 20 100 0,041
Total n 4 28 32
% 12,5 87,5 100
Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada seluruh contoh (100%) tergolong cukup. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan vitamin A (p=0,000). Tingkat kecukupan viamin A pada contoh perempuan (135%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (117,1%). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C beragam, pada contoh laki-laki (75%) dan perempuan (95%) tergolong cukup. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan vitamin C (p=0,041) pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan viamin C pada contoh perempuan (98,8%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (87,2%). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral Tingkat kecukupan Kategori Kurang Cukup Total p
Laki-laki n % 12 100 0 0 12 100
Ca Perempuan n % 20 100 0 0 20 100 0,338
Total n 0 32 32
% 100 0 100
Laki-laki n % 12 100 0 0 12 100
Fe Perempuan n % 19 95,0 1 5,0 20 100 0,000
Total n 31 1 32
% 96,9 3,1 100
Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan Ca seluruh contoh (100%) tergolong kurang. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,338) pada tingkat kecukupan Ca pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan Ca pada contoh perempuan (32,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (30,5%). Kurangnya konsumsi kalsium diduga karena contoh sangat jarang mengkonsumsi makanan sumber Ca, hanya mengandalkan hari minum susu bersama. Penelitian Puspitasari (2011) menunjukkan hal yang serupa bahwa konsumsi Ca menunjukkan tidak ada
44
perbedaan yang nyata (p>0,05) pada kelompok peserta dan bukan peserta home care baik laki-laki maupun perempuan. Tingkat kecukupan Fe pada sebagain besar tergolong kurang baik pada contoh laki-laki (100%) dan perempuan (95%). Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) pada tingkat kecukupan Fe baik contoh laki-laki maupun perempuan. Tingkat kecukupan Fe pada contoh perempuan (69,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (62,3%). Konsumsi sumber Fe yang kurang menyebabkan tingkat kecukupan Fe kurang. Sumber mineral paling baik terdapat dalam bahan pangan sumber hewani, dimana bahan pangan ini memiliki ketersediaan biologik yang lebih tinggi serta mengandung lebih sedikit bahan pengikat mineral daripada bahan pangan nabati (Fatmah 2010). Aktivitas Fisik Alokasi waktu terbanyak pada aktivitas ringan yaitu tidur siang dan malam (7,88 ± 0,52). Contoh terbiasa tidur malam pada pukul 21.00 WIB dan bangun pada pukul 04.00 WIB, sedangkan tidur siang tidak tentu tergantung dengan kondisi contoh. Selain tidur, alokasi waktu
aktivitas ringan yaitu duduk diam
(2,17 ± 0,26) dan nonton TV (2,16 ± 0,82). Kegiatan duduk diam biasanya berupa berbincang-bincang sesama penghuni panti. Alokasi waktu terbanyak aktivitas sedang yaitu makan dan minum (1,55 ± 0,15) dan berjalan (1,26 ± 0,40). Kegiatan makan contoh sudah terjadwal. Contoh memiliki empat waktu makan yaitu makan pagi (07.00 WIB), makan siang (12.00 WIB), selingan sore (15.00 WIB) dan makan malam (17.30 WIB). Aktivitas lainnya yang dilakukan contoh yaitu jalan-jalan sekitar panti atau jalan-jalan di sekitar perumahan dekat panti. Alokasi waktu terbanyak aktivitas berat yaitu olahraga berupa joging (1,02 ± 0,25) dan senam (0,50 ± 0,13). Joging merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh contoh setiap pagi setelah melakukan kegiatan kebersihan diri (mandi). Joging biasanya dilakukan di sekitar perumahan yang ada di sekitar panti pada pukul 05.30-06.30 WIB. Sedangkan senam biasanya dilakukan setiap jum’at pada pukul 08.00-09.00 WIB. Alokasi waktu contoh terhadap jenis aktivitas per hari dapat dilihat pada Tabel 19.
45
Tabel 19 Alokasi waktu contoh berdasarkan jenis aktivitas per hari Kategori
Ringan
Sedang
Berat
Jenis aktivitas
Alokasi Waktu (Jam) Perempuan Laki-Laki
Rata-rata
Tidur Berbaring Duduk diam Berpakaian
7,79 ± 0,50 1,31 ± 0,44 2,17 ± 0,22 0,25 ± 0,00
7,93 ± 0,54 1,70 ± 0,41 2,18 ± 0,28 0,26 ± 0,06
7,88 ± 0,52 1,55 ± 0,46 2,17 ± 0,26 0,26 ± 0,04
Membaca Nonton Tv Mendengarkan radio
1,81 ± 0,58 1,50 ± 1,04 1,60 ± 1,35
1,95 ± 0,10 2,55 ± 0,21 0,18 ± 0,34
1,90 ± 0,36 2,16 ± 0,82 0,71 ± 1,10
Berdiri
0,77 ± 0,07
0,90 ± 0,15
0,85 ± 0,14
Kebersihan diri Makan dan minum Berjalan Ibadah
0,50 ± 0,05 1,50 ± 0,00 1,35 ± 0,31 1,00 ± 0,00
0,53 ± 0,08 1,59 ± 0,19 1,20 ± 0,44 1,00 ± 0,00
0,52 ± 0,06 1,55 ± 0,15 1,26 ± 0,40 1,00 ± 0,00
Mencuci Baju
0,23 ± 0,07
0,21 ± 0,09
0,22 ± 0,08
Menyapu Mengepel Senam Joging
0,25 ± 0,00 0,23 ± 0,07 0,54 ± 0,14 1,15 ± 0,23
0,21 ± 0,09 0,21 ± 0,09 0,48 ± 0,11 0,94 ± 0,23
0,23 ± 0,07 0,22 ± 0,08 0,50 ± 0,13 1,02 ± 0,25
Sebagian besar contoh (75%) tergolong beraktivitas ringan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sari (2010) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik lansia di Kota Bogor tergolong pada tingkat aktivitas fisik sangat ringan dan ringan, hanya 6,2% yang tergolong tingkat aktivitas sedang. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik Kategori Ringan (1,40≤ PAL≤1,69) Sedang (1,70≤PAL≤1,99) Total p
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 9 75,0 15 75 3 25,0 5 25 12 100 20 100 0,631
Total n 24 8 32
% 75,0 25,0 100
Pada umumnya, gerak badan dan aktivitas fisik menurun secara signifikan dalam jangka panjang dengan meningkatnya penuaan seseorang (Komnas Lansia 2011). Proses penuaan menyebabkan perubahan komposisi tubuh. Hal ini ditandai dengan penurunan 20% masa tubuh tanpa lemak (lean body mass) per dekade. Kehilangan massa tubuh tanpa lemak (jaringan aktif untuk metabolisme). Biasanya diiringi dengan peningkatan massa lemak tubuh dan secara proporsional akan menurunkan angka metabolisme basal (Harris 2000). Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada
46
perbedaan yang nyata (p=0,631) aktivitas fisik pada contoh laki-laki dan lansia perempuan karena alokasi waktu aktivitas fisik pada contoh laki-laki maupun perempuan tidak berbeda jauh. Status Gizi Pengukuran status gizi pada contoh berdasarkan indeks masa tubuh (IMT). Namun dalam pengukuran tinggi badan pada contoh dilakukan estimasi dengan mengukur tinggi lutut lansia. Hal ini disebabkan karena tubuh contoh yang sudah bongkok sehingga hasil yang didapat tidak akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan status gizi Kategori Kurang Normal Pre-obese Obese-I Obese-II Total p
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 2 16,7 1 5 2 16,7 11 55 4 20 6 50,0 3 15 2 16,7 1 5 12 100 20 100 0,233
Total n 3 13 4 9 3 32
% 9,4 40,6 12,5 28,1 9,4 100
Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (40,6%) memiliki status gizi normal. Separuh contoh laki-laki (50%) berstatus gizi obese-I dan perempuan (55%) berstatus gizi normal. Berdasarkan penelitian Sari (2010) bahwa status gizi overweight dan obese lebih banyak terjadi pada lansia laki-laki (26,6%) dan status gizi normal lebih banyak pada lansia perempuan (76,5%). WHO (2000) dalam Sari (2010) menyatakan bahwa wanita cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak, tetapi pria secara signifikan lebih berkemungkinan menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena pria cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat akhir minggu atau waktu senggang dibandingkan wanita. Menurut Suhardjo (1989), status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelmpok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absropsi) dan utilitas makanan. Status gizi dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dan status kesehatan dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,233) status gizi contoh laki-laki dan perempuan.
47
Status Kesehatan Salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan dapat dilihat dari skor morbiditas. Angka morbiditas merupakan indikator kesehatan yang cukup sensitif (Depkes 2007). Penyakit yang banyak diderita oleh contoh pada 6-12 bulan terakhir pada contoh laki-laki (50%) diabetes melitus dan perempuan (40%) hipertensi. Menurut Depkes (2003), masalah gizi usia lanjut merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia muda yang manifestasinya timbul setelah tua. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para pakar, masalah gizi pada usia lanjut sebagian besar merupakan masalah gizi lebih dan kegemukan/obesitas yang memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, gout, rematik, ginjal, sirosis hati, empedu dan kanker. Penyakit yang jarang diderita oleh contoh yaitu patah tulang, kencing batu, jantung, katarak, maag dan vertigo (5%). Menurut Arisman (2009), sekitar 10% pada lansia sering terjadi jatuh sehingga mengakibatkan kondisi yang serius, di antaranya patah tulang 5% dan trauma jaringan lunak 5%. Wanita lebih sering terjatuh (46%) daripada pria (30%). Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan menurut skor morbiditas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit Jenis Penyakit Hipertensi Diabetes Melitus Asam urat Kolesterol Patah Tulang Stroke
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
2 6 0 0 1 2
16,7 50,0 0 0 8,3 16,7
8 3 5 2 1 0
40,0 15,0 25,0 10,0 5,0 0
Jenis Penyakit Ginjal Penyakit Jantung Katarak Kencing Batu Maag Vertigo
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
2 0 0 1 0 0
16,7 0 0 8,3 0 0
0 1 1 0 1 1
0 5,0 5,0 0 5,0 5,0
Lama dan frekuensi sakit menunjukkan rata-rata berapa kali dan berapa lama terjadinya sakit dalam 6-12 bulan terakhir. Frekuensi sakit dikategorikan menjadi satu kali, dua kali, tiga kali dan empat kali penyakit yang diderita kambuh pada 6-12 bulan terakhir berdasarkan sebaran data. Sedangkan lamanya sakit dikategorikan menjadi 1-4 hari, 5-6 hari dan >6 hari berdasarkan sebaran data. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan lama sakit dapat dilihat pada Tabel 23. Berdasarkan Tabel 23 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (46,9%) frekuensi sakit yang sering terjadi dalam 6-12 bulan terakhir yaitu tiga
48
kali dengan lama sakit 1-5 hari (75,0%). Dari frekuensi dan lamanya sakit dapat diperoleh skor morbiditas yang dapat menujukkan status kesehatan. Skor morbiditas pada sebagian besar contoh laki-laki (66,7%) maupun perempuan (85%) tergolong rendah. Berdasarkan hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,141) skor morbiditas pada contoh laki-laki dan perempuan. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan lama sakit
Frekuensi Sakit (Kali)
Lama Sakit (Hari)
Kategori 1 2 3 4 Total 1-5 6-10 > 10 Total
n 4 6 15 7 32 24 6 2 32
% 12,5 18,8 46,9 21,8 100,0 75,0 18,8 6,2 100,0
Skor morbiditas menunjukkan status kesehatan. Skor morbiditas yang rendah menunjukkan status kesehatan yang tinggi. Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (78,1%) status kesehatannya tergolong tinggi baik pada contoh laki-laki (66,7%) dan perempuan (85%). Tersedianya poliklinik, dokter dan perawat merupakan salah satu upaya yang dilakukan panti untuk mengurangi terjadinya sakit pada contoh. Hasil uji independent t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p=0,282) antara status kesehatan laki-laki dan perempuan. Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan Kategori Rendah Sedang Tinggi Total p
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 2 16,7 0 0 2 16,7 3 15 8 66,7 17 85 12 100 20 100 0,282
Total n 2 5 25 32
% 6,2 15,6 78,1 100
Hubungan Antar Variabel Hubungan Konsumsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi dan Status Kesehatan Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi tidak memiliki hubungan yang nyata dengan status
49
gizi dan status kesehatan (p>0,05). Recall 2x24 jam tidak dapat menggambarkan kondisi seseorang pada saat itu atau status gizi pada saat itu. Menurut Riyadi (2006), status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan
(absorpsi),
dan
pengguanaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Menurut Depkes (2003), masalah gizi dan kesehatan usia lanjut merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia muda yang manifestasinya timbul setelah tua. Hubungan asupan energi dan zat gizi dengan status gizi dan status kesehatan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Hubungan asupan energi dan zat gizi dengan status gizi dan status kesehatan Laki-laki Variable Energi Protein Vitamin A Vitamin C Ca Fe
Status Gizi r 0,063 -0,095 0,506 0,287 0,039 0,591
p 0,847 0,770 0,093 0,366 0,905 0,443
Status Kesehatan r p -0,252 0,430 -0,278 0,381 0,293 0,356 0,310 0,327 0,405 0,191 -0,019 0,153
Perempuan Status Status Gizi Kesehatan r p r p -0,295 0,207 0,075 0,753 -0,300 0,199 0,104 0,662 -0,089 0,710 -0,020 0,932 0,172 0,469 -0,219 0,353 0,083 0,728 0,007 0,975 0,138 0,561 0,161 0,499
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi dan Status Kesehatan Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara aktivitas fisik dengan status gizi dan status kesehatan (p>0,05). Tingkat aktivitas contoh yang sebagian besar tergolong kategori ringan menunjukkan bahwa aktivitas contoh rendah. Dengan tingkat aktivitas yang rendah, energi yang dikeluarkannya pun sedikit sehingga pengaruh terhadap perubahan status gizi maupun status kesehatan pun sedikit. Menurut Fatmah (2010) aktivitas fisik lansia seperti olah raga dapat meningkatkan derajat kesehatan lansia apabila memperhatikan frekuensi, intensitas dan waktu. Aktivitas fisik sebaiknya dilakukan secara teratur dengan frekuensi 3-5 kali seminggu. Intensitas aktivitas fisik yang baik yaitu apabila denyut nadi maksimum mencapai 70-85% serta waktu yang dilakukan untuk melakukan aktivitas yaitu 30 menit. Hubungan aktivitas fisik dengan status gizi dan status kesehatan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Hubungan aktivitas fisik dengan status gizi dan status kesehatan Variable Aktivitas
Laki-laki Status Gizi Status Kesehatan r p r p -0,037 0,908 0,334 0,288
Perempuan Status Gizi Status Kesehatan r p r p 0,215 0,362 0,222 0,927
50
Hubungan Status Gizi dengan Status Kesehatan Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan status kesehatan contoh (p>0,05). Hasil tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Puspitasari (2010) yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dan status kesehatan (r=-0,289; p<0,05). Jenis penyakit yang diamati dalam penelitian ini merupakan penyakit yang bersifat kronik. Penyakit yang banyak diderita oleh contoh pada 6-12 bulan terakhir pada contoh laki-laki (50%) diabetes melitus dan perempuan (40%) hipertensi. Menurut Depkes (2003), penyakit kronik merupakan suatu penyakit yang perjalanan penyakitnya berlangsung lama sampai bertahun-tahun dan sering kambuh. Masalah gizi dan kesehatan usia lanjut merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia muda yang manifestasinya timbul setelah tua. Menurut Azad (2002), status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian dini dan gangguan multi organ. Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status kesehatan pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status kesehatan Status Gizi Kurang Normal Pre-obese Obese I Obese II Total p r
Rendah n % 0 0 0 0 0 0 2 22,2 0 0 2 6,3
Status Kesehatan Sedang Tinggi n % n % 1 33,3 2 66,7 4 30,8 9 69,2 0 4 100,0 0 7 77,8 0 3 100,0 5 15,6 25 78,1 0,906 0,022
Total n % 3 100 13 100 4 100 9 100 3 100 32 100
51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian tentang konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejatera Bogor dilakukan pada sebanyak 12 orang contoh lansia laki-laki dan 20 orang contoh lansia perempuan yang berusia 75-90 tahun. Konsumsi pangan lansia berasal dari makanan dalam yang disediakan oleh panti dan makanan luar. Hampir >80% kontribusi terbesar berasal dari makanan dalam panti. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan Fe pada contoh laki-laki dan perempuan. Tingkat kecukupan energi contoh perempuan (84,5%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (73,3%). Tingkat kecukupan protein contoh perempuan (169,6%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (128%). Tingkat kecukupan viamin A pada contoh perempuan (135%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (117,1%). Tingkat kecukupan viamin C pada contoh perempuan (98,8%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (87,2%). Tingkat kecukupan Fe pada contoh perempuan (69,1%) lebih tinggi dibandingkan lakilaki (62,3%). Namun tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kecukupan Ca pada kedua kelompok contoh. Sebagian besar contoh tergolong beraktivitas ringan dengan hasil uji independent t-test menunjukkan tidak ada pebedaan yang nyata pada contoh laki-laki dan perempuan. Sebagian besar contoh laki-laki berstatus gizi obese-I dan perempuan berstatus gizi normal serta secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada contoh laki-laki dan perempuan. Penyakit yang banyak diderita oleh contoh pada 6-12 bulan terakhir pada laki-laki adalah diabetes melitus dan perempuan dipertensi, dengan tindakan pengobatan yang dilakukan oleh dokter. Sebagian besar contoh skor morbidtasnya tergolong kategori rendah dengan status kesehatan tergolong tinggi. Hasil uji independent t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara status kesehatan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara konsumsi pangan serta asupan energy dan zat gizi dengan status gizi dan status kesehatan, aktivitas fisik dengan status gizi dan status kesehatan serta status gizi dengan status kesehatan.
52
SARAN Kualitas maupun kuantitas makanan yang disajikan di dalam panti sebaiknya perlu ditingkatkan agar kebutuhan lansia dapat tercukupi sehingga tidak ada lansia yang tergolong defisit dan dapat memperbaiki status gizi lansia. Selain itu, aktivitas lansia sebaiknya lebih ditingkatkan dengan mengisi kegiatankegiatan yang positif seperti membuat keterampilan tangan, berkebun, dansa dan sebagainya, karena alokasi penggunaan waktu lansia belum optimal hanya duduk diam atau berbaring.
53
DAFTAR PUSTAKA Almatsier. 2002. Prinsip Ilmu Gizi Dasar. Jakarta: PT. SUN Almatsier S, Soetardjo S dan Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia Andrini, YN. 2012. Penyelenggaraan makanan, daya terima dan konsumsi pangan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang : Universitas Sriwijaya Press Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Palembang : Universitas Sriwijaya Press. Azad N. 2002. Nutrition in the Elderly. The Canadian Journal of Diagnosis. 55: 83-93 [Depsos] Departemen Sosial. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Dalam Panti. Jakarta: Depsos __________________________. 2007. Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah kesejahteraannya. http://www.depsos.go.id/modules.php?name= News&file=ar ticle&sid=522 [27 September 2011] [Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes ___________________________. 2003. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI ___________________________. 2006. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat-Depkes. ___________________________. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI Dijaissyah, N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi dan status kesehatan siswa PAUD [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energi Requirement. Rome: FAO/WHO/UNU. Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga Frary CD, Johnson RK. 2000. Energy. Di dalam: Mahan LK, Stump E, Editor. Krause’s: Food, Nutrition and Diet Therapr. Ed ke-11. USA: Elsevier
54
Gibson RS. 2005. Principle of Nutrition Asessment. University Press
New York:
Oxford
Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor ___________________, Retnaningsih, Herawati T dan Wijaya R. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor: PSKPG dan PPKP. _________, Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Prosiding widyakarya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI Harris NG. 2000. Nutrition in Aging. Di dalam: Mhan LK, Stump, editor. Krause’s: Food, Nutrition and Diet Therapy. Ed. Ke-11. USA: Else Karyadi D, Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama [Komnas Lansia] Komis Nasional Lansia. 2010. Pedoman Active Ageing (Penuaan Aktif) Bagi Pengelola dan Masyarakat. Jakarta: Komnas Lansia ____________________________________. 2010. Posyandu Lanjut Usia. Jakarta: Komnas Lansia
Pedoman
Pelaksanaan
Mala, EDY. 2002. Aktivitas fisik, konsumsi pangan dan status gizi manula wanita yang tinggal di Panti Werda Sukmaraharja dan di Desa Babakan [Skripsi]. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian Bogor Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara Muchtaromah, Bayyinatul. 2010. Kebutuhan gizi pada orang lanjut usia (Bagian 1). uin-malang.ac.id/bayyinatul/2010/07/10/kebutuhan-gizi-pada-oranglanjut-usia-bagian-1/ [27 September 2011] Muis F, Nurkinasih dan Darmojo B. 1992. Gizi untuk usia lanjut. Prosiding : Kongres Nasional Persagi IX dan KPGI, Semarang, 17-19 November 1992. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi Indonesia Muis. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo R, editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FK UI hlm. 539-547 Notoatmojo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Nurlaela E. 2006. Analisi daya terima lansia di beberapa panti werdha di Kota Bogor [Tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana
55
Patmonodewo S, Atmodiwirdjo ET, Mahmud S, Utami SC, Singgih, Soewondo dan Mutachir Y. 2001. Bunga Rampai Perkembangan Pribadi dari Bayi samapi Lanjut Usia. Jakarta: UI-Press [PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia. 2008. Pedoman Tatalaksana Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI. Puspitasari, A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Riyadi H. 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga edisi ke-2. Jakarta: Universitas Terbuka. Ruslianti, Kusharto CM. 2006. Model hubungan aspek psikososial dan aktivitas fisik dengan status gizi lansia. Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2006 1(1) ; 2935 Sari DP. 2010. Keragaan aktivitas fisik, kondisi gigi, status kesehatan dan pola konsumsi pangan lansia di kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Sediaoetama AD.2006. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat Sharkey JR, Branch LG, Zohoori N, Busby J and Haines PS. 2002. Inadequate Nutrient Intakes Among Homebound Elderly and Their Correlation With Individual Characteristics And Health-Related Factors. Am J Clin Nut. 76:1435-45 [terhubung berkala]. http://www.ajcn.org/cgi/reprint/76/6/1435 [21 Desember 2011]. Soehardjo, Koesharto CM. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius ________. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Widyastuti, Palupi. 2006. Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Wirakusumah ES. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta : Puspa Swara
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Daftar menu di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Hari
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
Makan Pagi
Bihun Goreng
Nasi Goreng
Makan Siang Nasi Putih Ayam Ngohiang Orek Tempe Cah Pokcoy Melon
Nasi Putih Semur Daging Tahu Goreng Tumis Labu Siam Pepaya
Kwetiau Goreng
Nasi Putih Bakut Sayur asin Rolade Mie Cah Sawi Putih Pisang
Mie Goreng
Nasi Putih Babi Kecap Tahu bb.kuning Cah Buncis wortel Pepaya
Nasi Uduk
Lontong Sayur
Bihun Kuah
Nasi Putih Ayam Goreng Tempe Goreng Sayur Bayam Semangka
Nasi Putih Ikan asam manis Mun Tahu Cah caisin Melon
Nasi Putih Telur balado Perkedel Mie Sayur Asin Semangka
Selingan
Makan Malam
Lontong Isi
Nasi Putih Opor Telur Perkedel Tahu Cah Kailan Melon
Pisang Goreng
Nasi Putih Cah Ayam Tempe Bacem Sayur Caisin Pepaya
Risoles
Nasi Putih Empal Tahu opor Sayur Wortel Pisang
Panada
Nasi Putih Soto Ayam Perkedel Telur rebus Pepaya
Bolu Kukus
Bubur Kc.Hijau
Pastel
Nasi Putih Ikan Selimut Tahu Kecap Sup Sayuran Semangka
Nasi Putih Fuyung Hai Tempe mendoan Capcay Kuah Melon
Nasi Putih Cah sapi Tahu goreng Sup sayuran Semangka
58
Lampiran 2 Contoh hidangan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera
Hidangan Makan Pagi
Hidangan Makan Siang
Selingan
Hidangan Makan Malam
59
Lampiran 3 Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status gizi pada contoh laki-laki Korelasi Protein
Energi Protein Vit A Vit C
Ca
Fe
**
r
.915
p
.000
r
-.308
-.262
p
.330
.411
r
-.424
-.438
.729
p
.169
.154
.007
r
-.510
-.394
.534 .584
p
.090
.205
.074
r
.515
.522
.276 -.092 .041
p
.087
.082
.386
.777 .899
r
.063
-.095
.506
.287 .039 .591
Vit A **
Vit C *
Ca .046
Fe
Sta gizi
*
p .847 .770 .093 .366 .905 .443 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 4 Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status kesehatan pada contoh laki-laki Korelasi
Energi Protein Vit A
Vit C
Ca
Fe
r
.915**
p
.000
r
-.308
-.262
p
.330
.411
r
-.424
p
.169
.154
.007
r
-.510
-.394
.534
.584
p
.090
.205
.074
.046
r
.515
.522
.276
-.092
.041
p
.087
.082
.386
.777
.899
r
-.252
-.278
.293
.310
.405 -.019
p
.430
.381
.356
.327
.191
Protein
Vit A -.438 .729**
Vit C *
Ca
Fe
Sta Kes **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
.953
60
Lampiran 5 Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status gizi pada contoh perempuan Korelasi
Energi Protein Vit A Vit C
Ca
Fe
*
r
.547
p
.013
r
.389
.298
p
.090
.201
r
.334
.072
.726
p
.150
.763
.000
r
.183
.116
.631** .584**
p
.439
.627
.003
.007
r
.431
*
.494
.504
*
.415
.335
p
.058
.027
.023
.069
.149
r
-.295
-.300
-.089
.172
.083
.138
p
.207
.199
.710
.469
.728
.561
Protein
Vit A **
Vit C
Ca
Fe
Sta gizi *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 6 Hasil statistik korelasi Pearson asupan energi dan zat gizi dengan status kesehatan pada contoh perempuan Korelasi Protein
Energi Protein Vit A Vit C
Ca
Fe
*
r
.547
p
.013
r
.389
.298
p
.090
.201
r
.334
.072 .726
p
.150
.763
r
.183
.116 .631** .584**
p
.439
.627
.003
.007
r
.431
.494
*
*
.504
.415
.335
p
.058
.027
.023
.069
.149
r
.075
.104 -.020 -.219
Vit A **
Vit C .000
Ca
Fe .007 .161
Sta Kes p .753 .662 .932 .353 .975 .499 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).