Kepengacaraan untuk kepentingan publik dan Akses Kelompok Marjinal Terhadap Keadilan Indriaswati Dyah Saptaningrum S.H., L.LM
Saat ini dua belas tahun sudah berlalu semenjak genderang reformasi pertama dijejakkan di tahun 1998. Krisis ekonomi di tahun 1997 secara cepat menggulirkan tuntutan perubahan politik, mengakhiri perjalanan panjang praktek otoritarianisme di bawah Orde baru yang memperoleh kekuasaan melalui serangkaian kekerasan berdarah yang merenggut jutaan nyawa manusia dan meninggalkan tuntutan keadilan dari korban dan keluarganya yang belum juga dapat direspon oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Pengalaman akan kesewenangan di masa lampau jelas merupakan pengalaman yang tak ingin lagi dirasakan di masa reformasi. Oleh karena itu tak heran bila salah satu tuntutan terbesar yang mengemuka adalah supremasi hukum. Praktek di masa Orde Baru dimana hukum dibaca sebagai instrumen untuk melegitimasi tindakan pemegang kekuasaan atas nama tertib publik ingin dikembalikan kepada fungsi sosialnya, melindungi dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Hukum (positif) dibaca sebagai suatu instrumen yang efektif melindungi dari kesewenangan negara. Hukum dan institusi hukum merupakan sentral perbincangan dalam ranah politik ketata negaraan saat ini. Pertanyaannya kemudian, apakah dalam situasi yang seperti ini, hukum dan institusi hukum dan advokat di dalamnya telah membawa masyarakat pada harapan yang dicitakan melalui reformasi. 1. Lanskap pembaharuan hukum dan ham dan implikasinya terhadap kebutuhan individu atas sistem hukum Pembaharuan hukum merupakan salah satu karakter utama yang mewarnai proses penataan struktur ketatanegaraan paska 1998. Realitas ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan akan Rule of Law yang secara sederhana dipahamai sebagai suatu supremasi hukum sebagai suatu prasyarat untuk mengakhiri kesewenangan di masa Orde Baru. Supremasi hukum diyakini dapat menjamin proses keseimbangan dalam pemerintahan, dimana semua orang termasuk pemerintah sendiri tunduk pada aturan dan norma hukum. Kecenderungan ini sejalan dengan kecenderungan global dimana gagasan Rule of Law berkembang sebagai suatu resep menjamin stabilitas dan perkembangan politik dan ekonomi dimana melalui gagasan yang sama diletakkan standar penilaian terhadap keabsahan suatu pemerintahan diletakkan (Tamanaha; 2003). Hal ini melatarbelakangi serangkaian proses yang mencakup pembaharuan konstitusional dan pembaharuan hukum yang terus berlangsung pada saat ini. Selain itu, corak pembaharuan institusional yang kental dengan warna internasional tak dapat dihindari membawa pengaruh pada arah dan pola pembaharuan di bidang hukum, yang disadari atau tidak, sedikit banyak memiliki kemiripan dengan gelombang besar penataan konstitusional di berbagai negara di dunia dalam upaya mewujudkan suatu sistem perekonomian global yang terintegrasi (Sklair; 1996; Vedi R Hadiz dan Richard Robison ;2005, Paul Brietzke; Pembaharuan ini ditempuh melalui amandemen konstitusi, penguatan keseimbangan kekuasaan dengan penguatan kekuatan
legislatif dan yudikatif dan menggeser kecenderungan executive heavy dimasa orde baru, pembentukan berbagai hukum positif yang baru yang berupaya menjamin hak asasi manusia dengan lebih konkrit maupun perubahan dan pembentukan lembaga-lembaga di ranah hukum dan ketatanegaraan seperti pembentukan mahkamah konstitusi, komisi yudisial, dan berbagai komisi kenegaraan lainnya yang bertujuan mendorong tegaknya supremasi hukum. Beberapa karakteristik ini jelas terlihat dalam perkembangan kelembagaan paska reformasi. Lembaga legislatif memiliki ruang yang lebih besar dalam pembentukan peraturan dan dalam menjalankan fungsi pengawasan kinerja eksekutif. Institusi yudisial merupakan salah satu fokus perubahan yang melahirkan berbagai kreasi dan inisiatif seperti pembentukan mahkamah konstitusi, dan komisi yudisial. Pembentukan komisi yudisial meskipun diawal pembentukannya sepenuhnya didukung oleh mahkamah Agung, dalam perjalanannya mengalami berbagai hambatan mendasar terkait dengan yurisdiksi kewenangan pengawasannya melalui putusan mahkamah konstitusi. Selain itu, periode ini juga diwarnai dengan pembentukan berbagai pengadilan di bawah yurisdiksi peradilan umum seperti pengadilan niaga, pengadilan ham, pengadilan hubungan industrial dan beberapa pengadilan lain yang lahir lebih belakangan. Sebagai tambahan lahirnya berbagai komisi negara juga mewarnai proses pembaharuan hukum dan institusi paska 1998. Hampir selalu gagasan pembaharuan dibarengi dengan pembentukan undang-undang khusus yang didalamnya memandatkan adanya pembentukan suatu lembaga negara tersendiri untuk secara khusus menangani hal tersebut. Kecenderungan ini oleh banyak kalangan dipandang sebagai suatu inflasi kelembagaan, khususnya apabila mengingat sampai saat ini telah ada sekitar 70an lembaga negara baik yang dibentuk berdasarkan undang-undang ataupun keputusan dan peraturan presiden. Perkembangan institusi dan mekanisme hukum yang dicapai melalui proses pembaharuan dimasa reformasi telah membawa hukum dan perbincangan mengenai hukum menjadi suatu keseharian baru dalam masyarakat. Sebagai contoh, mekanisme uji konstitusionalitas atas suatu peraturan perundang-undangan telah menjadi mekanisme yang dipahami secara luas bagi masyarakat pencari keadilan. Sepanjang tahun 2009 Mahkamah Konstitusi menangani sebanyak 90 perkara peninjauan undang-undang, semerntara untuk perkara yang terkait perselisihan pemilu, MK menangani sebanyak 657 perkara, dimana sebagian besar gugatan tersebut ditolak (416 perkara). Perkembangan di bidang institusi institusi hukum ini juga langsung atau tidak langsung diikuti dengan semakin pentingnya peran profesi advokat. Advokat muncul sebagai figur populer baru dalam berbagai ranah perbincangan, mulai dari politik, gerakan sosial, sampai dunia entertainment. Proses hukum dan mekanisme hukum menjadi bahasa yang umum diucapkan baik dalam perbincangan politik dan kalangan politisi, kelompok masyarakat sipil dalam upaya perjuangan hak, maupun dalam media entertainment dimana hukum dan mekanisme hukum fasih dibicarakan dalam perbincangan para sosialita dan celebrity. Dalam kaitan dengan upaya perjuangan hak masyarakat sipil, perkembangan kelembagaan dan pembaharuan hukum ini memungkinkan munculnya berbagai insiatif baru dalam konteks mekanisme seperti mekanisme gugatan pembayar pajak (citizen law suit), mekanisme pengadilan ad hoc seperti dalam pengadilan ham beserta komposisi hakim dan jaksa ad hoc.
Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah, apakah seluruh upaya pembaharuan tersebut sungguh dapat menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya mereka yang sejak semula merupakan kelompok yang paling tidak diuntungkan dari kebijakan pembangunan. Hal ini mencakup, kelompok korban pelanggaran hak asasi manusia, kelompok perempuan dan anak, kelompok transgender, serta secara umum kelompok miskin yang secara fomal berdasarkan data BPS tercatat sebanyak 32, 53 juta (http://www.bps.go.id/?news=697) . Lebih lanjut, apabila hal ini tidak sepenuhnya terjawab, pertanyaannya kemudian adalah siapakah yang sesungguhnya menikmati seluruh kemajuan mekanisme dan pelembagaan mekanisme hukum melalui pembaharuan hukum tersebut? Dengan demikian pertanyaan mengenai akses menjadi salah satu pertanyaan substansial yang mengikuti. Siapakah sesungguhnya yang memiliki akses atau bahkan tidak memiliki akses terhadap seluruh perkembangan ini.
2. Mengenai kelompok dominan penerima manfaat dan akses terhadap keadilan Berbagai perkembangan diranah hukum dan mekanisme hukum seperti tergambar secara singkat dalam paparan tersebut tak dapat dipungkiri membawa kemanfaatan bagi masyarakat. Persoalan mendasarnya kemudian, kelompok masyarakat manakah yang sesungguhnya memiliki akses terbesar dalam menikmati seluruh perkembangan tersebut.
Disadari atau tidak, organisasi politik dan elit politik merupakan satu kelompok yang secara efektif dapat memanfaatkan perkembangan yang dibawa oleh gagasan pembaharuan tersebut. Kecenderungan judisialiasi politik yang akan dibahas dalam forum lain dari seminar ini jelas menunjukkan bagaimana kelompok ini dapat mengkapitalisasi perkembangan hukum menjadi suatu political benefit dalam praktek politik praktis. Penguatan kelembagaan parlemen dan fungsi legislasi jelas memberikan ruang yang lebih besar bagi organisasi politik untuk mengatur dan menentukan maju mundurnya suatu produk legislasi. Perdebatan diseputar berbagai undangundang kontroversial seperti undang-undang pornografi mencerminkan secara nyata hal ini. Meskipun mendapat berbagai reaksi penolakan yang meluas dimasyarakat, kepentingan partai politik dapat dilakukan melalui politik legislasi di badan legislatif. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada lembaga mahkamah konstitusi. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap beberapa langkah yang ditempuh Mahkamah Konstitusi dalam menjamin perlindungan hak asasi, amatan terhadap sejumlah putusan atas berbagai perkara peninjauan undang-undang khususnya yang terkait dengan perlindungan hak asasi baik yang diajukan oleh kelompok masyarakat sipil, kelompok korban maupun perorangan, justru menunjukkan tingginya tingkat penolakan penguatan jaminan hak asasi. Salah satu yang lekat dalam ingatan publik tentu terkait pengujian mengenai undang-undang mengenai kelistrikan, air dan penanaman modal yang semakin memperkuat persepsi masyarakat bahwa pembacaan jaminan hak dalam konstitusi musti diselaraskan dengan upaya menciptakan suatu lingkungan yang ramah pasar. Selain itu, mekanisme ultra petita, memutuskan melebihi yang dimohonkan juga menjadi ingatan publik atas hilangnya harapan akan mekanisme untuk menggapai keadilan bagi berbagai pelaranggaran hak asasi manusia melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Putusan mana menempatkan upaya pencarian keadilan dari korban dan keluarganya dalam suatu lorong tak berujung hingga hari ini. Kecenderungan ini pun bukan sesuatu yang spesifik Indonesia,
sebab amatan terhadap praktek pengadilan konstitusional di beberapa negara menunjukkan betapa lembaga ini justru menjadi tempat kelompok politik lama untuk mempertahankan hegemoninya karena melaluinya mereka memperoleh kembali legitimasi politik untuk tetap bertahan dalam struktur yang baru paska transisi ( Ran Hirsch; 2004) Hal yang sama dialami di dalam pembaharuan di bidang perburuhan, dimana gagasan pembentukan pengadilan hubungan industrial yang awalnya diharapkan dapat membawa keadilan bagi kelompok buruh justru menjadi backlash karena dalam prakteknya justru hampir selalu menguntungkan pihak perusahaan. Kini, berbagai serikat buruh terus menerus melakukan serangkaian aksi dan demonstrasi menuntut pembubaran mekanisme ini.
3. Public interest lawyering sebagai upaya penegakan keadilan bagi kelompok marjinal Paparan mengenai penerima manfaat dan akses terhadap berbagai kerja pembaharuan yang berlangsung selama proses transisi tersebut semakin menunjukkan jauhnya kelompok marjinal dari seluruh kemanfaat tersebut. Tujuan pencapaian keadilan melalui serangkaian pembentukan mekanisme dan struktur tata hukum yang ada terbukti masih jauh dari jangkauan kelompok marjinal. Hal ini nampak pula dari serangkaian laporan dari daerah dimana hukum dan instusi judisial menjadi bagian dari persoalan yang dihadapi masyarakat pencari keadilan. Peristiwa penembakan petani di perkebunan di Kuansing, Riau baru-baru ini, penggusuran, pemidanaan dengan dalih pencemaran nama baik seperti dalam kasus Prita Vs RS Omni Internasional merupakan beberapa cerminan dari kondisi ini. Berdasarkan review ELSAM atas kinerja pemerintah selama 12 tahun masa reformasi, kondisi seperti terurai dalam tabel berikut merupakan suatu indikasi penting dari kegagalan realisasi hak asasi dalam program institusionalisasi jaminan hak dalam hukum dibawah reformasi. Tanggal 24 Nov 09
19 Nov 09
16 Des 09
Nama Manise (39) dan kedua anaknya Rusnoto (14) dan Juwono (16), Sri Suratmi (25) saudaranya, warga Dusun Secentong, Desa Kenconorejo, Kec. Tulis, Jawa Tengah. Nenek Minah (65) warga dusun Sidoharjo, desa Darmakradenan, Kec. Ajibarang, Kab. Banyumas, Jawa Tengah.
Basar Suyanto dan Kholil, warga Kel. Bujel, Kec. Mjoroto, Kediri, Jawa Timur.
Dakwaan Mencuri dua kilogram kapas senilai Rp 4.000,milik PT Sigaung, di Kec. Tulis, Kab. Batang, Jawa Tengah.
Pasal Penjerat Pasal 363 KUHP tentang tindak pidana pencurian, dengan ancaman 7 tahun penjara.
Vonis Pengadilan Belum divonis. Namun terdakwa telah menghuni Rutan Rowobelang, Batang, Jawa Tengah selama 1 bulan untuk menunggu proses hukum di pengadilan
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Batang, Jawa Tengah
Sumber Informasi Antara (25-11-09), Kompas online (25-11-09).
Mencuri tiga buah kakao milik PT. Rumpun Sari Antan di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kec. Ajibarang, Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Mencuri sebuah semangka milik Darwati (tetangga).
Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian.
Penjara 1 bulan 15 hari tanpa didampingi pengacara
PN Purwokerto, Kab. Banyumas, Jawa Tengah
Kompas cetak (2011-09).
Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian.
15 hari penjara. Ditahan selama 2 bulan 10 hari
PN Kota Kediri
Kompas online (16-Des-09), jbok.wordpress.co m (20-Des-09), http://ainuttijar.blog spot.com (28-Nop09).
Sumber: 12 Tahun Reformasi: Gagalnya Institusionalisasi Asasi Manusia dalam Lembaga-lembaga Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia, ELSAM, 2010
Cerminan ini dapat pula diamati dari serangkaian kasus yang melibatkan petani dan petani perkebunan di berbagai daerah, sebagian diantaranya ditangani ELSAM dan jaringan PIL-NET baik secara langsung maupun tidak langsung dalam beberapa tahun terakhir. No
Nama Kasus
Tahun Peristiwa
Sengketa/aparat hukum
1
Kriminalisasi Petani Kediri Burhana Juwito Mohammad Ali,dkk
2004 s/d 2007
PT.BISI (Benih Inti Subur Intani), Kepolisian, Serta PN. Magetan
2
Kriminalisasi Petani korban PTPN Jolotigo Pekalongan : Nasihin & M. Bisri
14 april 2005
PTPN IX Jolotigo
Pasal Pidana yg dikenakan
Pasal 47 jo 21 Undang-Undang No.18 tahun 2004 tentang perkebunan dan pasal 385 KUHP
Polres Pekalongan 3
Kasus Masyarakat Adat Dikampung Entebang : Tebi, Heribertus, Tinus dan Mikhael
24 November 2005
PT. Permata Hijau Sarana (PHS)- inti murni (Group Multi Prima Entakai/MPE) & Polsek Sekedau Hilir
4
Konflik Agraria Di Bandar Pasir Mandoge, Sumatera Utara : Sidabutar (50 thn) Syahmana Damanik (27 thn). Ibu Juniar br. Tampubolon (39 thn), Ibu Nuraini br. Panjaitan (60 thn)
27 maret 2006
PT. Bakrie Sumatera Plantation (100 orang security) dan aparat kepolisian (brimob)
5
Kriminalisasi terhadap Petani Pemilik Lahan Di desa Tanjung Isuy Kecamatan Jampang Kabupaten Kutai Barat: Tani, Indra Jaya Oesin, Asmara
20 Oktober 2006
PT. London Sumatera & Polsek Jempang
6
Penangkapan 15 orang petani buruh penggarap PT. Perkebunan Sari Bumi Kawi
2 November 2006
PT. Perkebunan Sari Bumi Kaki & Polres Blitar
7
Konflik Tanah Ulayat di Kecamatan Pangkalan Lampam Sumatera Selatan muhammad, roni, dan markos
19 February 2007
PT. PSM & Polres OKI
9
Kasus banyuwangi: Pak mul, Sabar, Holim, Sunar, Bisri, Uut,Yanto, Kesi, Pak Atin. Pak sanusi, Sarno, Iwan, adi, Rojab, Sugianto,Marbusar,Sugiono
15 Maret 2007
PTPN XII Kebun Malang sari & Polres Banyuwangi
Kasus Petani Mariah Hombang 18 orang Petani yg tergabung didalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang /FPNMH Penangkapan Petani Kecamatan Lengkong Kabupaten sukabumi : Pak Anda
19 April 2007
Polres Simalungun
31 mei 2007
Polres Sukabumi
10 11
Pasal 160 KUHP Jo Pasal 21 Jo pasal 47 UU perkebunan no. 18 tahun 2004 tentang perkebunan.
12
13
14
Warga Runtu Dikriminalisasi Oleh Aparat Negara : Sahridan (67 Tahun), Kusasi (56 tahun), Sapuani (37 tahun), Maswardi,Komarudin (36 tahun), Yusrani (40 tahun Kriminalisasi terhadap delapan orang aktivis LBH Banda Aceh Juli Fuady, SH, Mardiati, SH, Mustiqal Syahputra,SH, dan Juanda, Kamarudin, SH, Mukhsalmina, SH, Yulisa Fitri, SH, dan Sugiono Penangkapan secara paksa petani PT. MAS II Dusun Kreunang Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau
15 Juni 2007
Kepala Desa, Camat, PT. Tanjung Lingga Group, Polres Kota Waringin Barat
3 Juli 2007
Polres Langsa
5 september 2007
Aparat kepolisian yang dipimpin Bapak Maruka (Kapolsek Parindu)
160 jo 161 sub 335 KUHP, yakni menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan yang isinya menghasut dimuka umum dengan lisan ataupun tulisan. 160 jo 161 sub 335 KUHP, yakni menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan yang isinya menghasut dimuka umum dengan lisan ataupun tulisan.
Bapak Ameng, Bapak Andi, Bapak Syahrial, Maradona, Bapak Aleng 15
Kasus Pargulaan I : sebelas orang Desa Pargulaan yakni Ngatimin, Tumiran, Lasani, Zainuddin, Poniem, Satal, Rasman, Jumangin, Muhammad Nasrul, Rasiman Saragih, Enggal Trisno. Mendapat panggilan sebagai tersangka dari POLRES persiapan Serdang Bedagai
2007
POLRES persiapan Serdang Bedagai
16
Kasus Pargulaan II
2007
BPMP Vs PT Lonsum
putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli No. 274/Pid.B/2006/PN.TTD dan No. 275/Pid.B/2006/PN.TTD yang dibacakan tanggal 13 Desember 2006, menghukum para terdakwa Ngatimin, Tumiran, Rasiman Saragih, Lasani, Zainuddin, Jumangin, Muhammad Nasrul, Enggal Trisno masing-masing satu tahun penjara dan Satal, Rasman, Poniem masingmasing 6 bulan hukuman percobaan. Menjerat Ketua dan anggota BPMP dengan perkara pidana, dengan antara lain pasal 335 KUHP dan penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 310 KUHP
Sumber: Kriminalisasi di sektor perkebunan: penggunaan pasal-pasal pemidanaan dalam sengketa perkebunan di Indonesia; Supriyadi WE dan Wahyu Wagiman, ELSAM, 2009
Kondisi ini yang langsung atau tidak langsung melahirkan berbagai inisiatif praktek kepengacaraan untuk kepentingan publik yang hampir seluruhnya merupakan suatu praktek pro bono. Inisiatif yang digeluti melalui jaringan pengacara publik dalam pembelaan berbagai kasus yang mayoritas mendudukan kelompok petani miskin berhadapan langsung dengan perusahaan dan pemerintah melalui mekanisme hukum pidana tersebut bukanlah suatu kerja baru dalam sejarah kepengacaraan untuk kepentingan publik di Indonesia. Inisiatif ini secara historis juga dapat ditelusuri dengan kelahiran gerakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin melalui pendirian lembaga Yayasan Bantuan Hukum Indonesia yang sampai saat ini memiliki 15 kantor cabang. Melalui evolusi yang panjang, lembaga ini berhasil mendorong gerakan bantuan hukum yang bersifat charity dimasa awal pembentukannya ke arah gerakan hukum struktural pada periode tahun 1980an. Inisiatif serupa juga diikuti oleh lahirnya gerakan yang memiliki spirit yang sama yang berhimpun dalam PBHI. Dalam perkembangannya berbagai lembaga-lembaga lain juga muncul mendedikasikan diri untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma bagi kelompok miskin dan terpinggirkan seperti tampak dari kehadiran lembaga-lembaga seperti LBH Pers, LBH Kesehatan, LBH mawar saron, dan berbagai jenis lembaga bantuan hukum yang lainnya. Berbagai inisiatif tersebut, jelas memberikan kontribusi penting dalam menjembatani akses keadilan bagi korban dan kelompok marjinal. Sayangnya diantara sekitar 30 000 advokat yang ada di Indonesia, barangkali keberadaan kelompok ini tak lebih dari satu persennya saja. Apabila diperbandingkan jumlah orang miskin sebesar 32 juta orang, maka dapat dibayangkan berapa
jumlah orang miskin yang sampai saat ini tidak terlayani oleh inisiatif dari gerakan ini. Minimnya jumlah pelaksana praktek kepengacaraan untuk publik ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri, praktek memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma sebenarnya diwajibkan oleh Undang-undang no 18 tahun 2003 khususnya pasal 22. Salah satu kontribusi penting dari praktek kepengacaraan untuk kepentingan publik adalah kreasi dan inovasi dalam pemajuan mekanisme hukum di Indonesia. Berbagai gagasan seperti class action, legal standing untuk organisasi kelompok masyarakat sipil sebagai alas gugat dalam berbagai kebijakan publik atas dasar hak asasi manusia, citizen lawsuit dan berbagai inovasi lain tidak dapat dilepaskan keberadaannya dari praktek kepengacaraan ini. Selain itu, praktek ini memiliki karakteristik yang unik karena mampu merajut tak hanya profesi advokat sebagai representasi hukum dalam proses litigasi tapi juga ‘pokrol bambu’ dan para pengorganisir komunitas dalam satu jejaring kerja yang kuat, yang mendekatkannya pada cita profesi advokat sebagai suatu profesi yang luhur, yang mengedepankan gagasan pelayanan publik lebih daripada pemberian jasa berdasarkan kontraprestasi tertentu. Berbagai kasus dalam upaya mengubah kebijakan publik yang lebih mendekatkan diri pada kepentingan kelompok marjinal mencerminkan hal ini seperti dalam kasus Kedung Ombo, dan berbagai pembelaan atas proyek pembangunan dam besar di tanah air ini. Dengan demikian sungguh tidak terdapat suatu alasan mendasar untuk tidak mendukung hal ini menjadi suatu gerakan yang lebih besar, permasalahannya, seberapa kuat komitmen kelompok yang kecil ini dapat bertahan dari arus besar penegasian yang muncul baik di dalam komunitas penegak hukum sendiri, negara maupun masyarakat? Dalam konteks ini, inisiatif untuk melakukan tindakan afirmatif menjamin akses terhadap keadilan dari negara bisa jadi dipandang sangat jauh terlambat. Seperti diketahui, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan nasional bekerja sama dengan Badan PBB untuk program pembangunan ( UNDP) mengembangkan suatu Strategi nasional terhadap keadilan. Dalam dokumen yang disusun oleh suatu tim di bawah Bapennas tersebut dirumuskan pengertian akses terhadap keadilan sebagai “keadaan dan proses dimana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menjamin akses bagi setiap warga negara ( claim holder) agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembagalembaga formal maupun non formal, didukung oleh mekanisme keluhan publik ( public complaint mechanism) yang baik dan responsif agar dapat memperoleh manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupan sendiri.” Dalam penjelasan lebih lanjut, dokumen yang sama menegaskan sifat affirmatif action atas akses terhadap keadilan bagi kelompok miskin. Atau bisa jadi komitmen politik negara ini justu juga harus dipandang sebagai suatu kesempatan untuk merealisasikan gerakan tersebut. Satu hal yang patut dicatat, proses institusionalisasi oleh negara memiliki potensi deviasi yang tak kecil; mungkin saatnya membangun kewaspadaan bersama untuk menjadi agar karakteristik khusus gerakan kepengacaraan publik ini tidak luntur bahkan ketika gagasan itu telah diadopsi sebagai suatu gagasan yang menegara.
****