Hak Asasi Manusia : Persoalan dan Upaya Perlindungannya di Indonesia Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. L.LM1 1. Pengantar Diskursus mengenai HAM dan negara hukum, pada awalnya merupakan dua diskursus yang berkembang dalam dua ranah yang berbeda. Keduanya merupakan konsep yang didekati sebagai gagasan yang pengertiannya terus berkembang dari waktu ke waktu. Meski kedua konsep telah dikenal dan diterapkan secara luas, pemahaman dari satu lokalitas tertentu ke lokalitas yang lain mengenai keduanya beragam. Oleh karenanya, alih‐alih mencoba mencari satu konsensus atas definisi dari konsep tersebut, negara hukum didekati melalui berbagai pendekatan yang berbeda sehingga karakteristik dan elemen‐elemen penandanya dapat diidentifikasikan. Berdner misalnya menawarkan kerangka kerja pendekatan terhadap negara hukum melalui dua fungsi yang menjadi tujuan dari konsep negara hukum dan berdasarkan pendekatan tersebut kemudian diturunkan dalam tiga kategori elemen penting yakni elemen substantif, elemen prosedur dan mekanisme kontrol.2 Senada, Peerenboom mendekatinya melalui pembedaan antara yang formal yang diidentifikasi melalui elemen‐ elemen dasar yang lebih bersifat formal prosedural dan yang lebih substantive yang melibatkan tak hanya elemen formal prosedural melainkan juga moralitas politik seperti struktur dan tata ekonomi dan sistem politik yang melingkupi penerapannya dalam satu negara.3 Barangkali dalam kelenturan diskursus inilah, gagasan mengintegrasikan dan menarik garis relasi antara hak asasi dan negara hukum menemukan jalannya. Meski terdapat kecenderungan untuk menegaskan keterkaitan yang signifikan antara keduanya, seperti terefleksikan dalam kecenderungan politik pembangunan global, dan intervensi internasional dalam kebijakan pembangunan di beberapa negara yang berada dalam situasi paska konflik, sejumlah kritik menunjukkan kedua tak selalu berjalan beriringan.4 Dalam perkembangannya, keniscayaan hubungan tersebut mewarnai kecenderungan utama kebijakan global yang dijalankan oleh institusi‐institusi seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan Direktur Eksekutif ELSAM, lembaga swadaya masyarakat yang melakukan advokasi kebijakan untuk mendorong pemajuan HAM www.elsam.or.id Disampaikan dalam Seminar Nasional Dies Natalis Universitas Atma Jaya Yogyakarta ke‐47 bertajuk “Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi ”, 8 September 2012, Penulis dapat dijangkau melalui
[email protected] 2 Berner, Adrian, Berner, An Elementary approach to the Rule of Law, Hague Journal on the Rule of Law, 2; 48‐78, 2010, Accer Press and contributors. 3 Lihat, Peerenboom, Randall Human Rights and the Rule of Law; what’s the relationship, UCLA public Law series, 2005, hal 21‐25 4 LIhat, Peerenboom, Randall, supra note 2, hal 61‐68; lihat juga, Balakrishnan Rajagopal, Invoking the Rule of Law in Post‐conflict Rebuilding: A Critical Examination, 49 Wm. & Mary L. Rev. 1347 2008 untuk kritik atas proliferasi penerapan gagasan Negara hukum secara global yang sebenarnya merupakan cerminan atas pandangan yang keliru yang melihat gagasan tersebut sebagai panasea atas problem‐problem keamanan, pelanggaran ham dan kegagalan pembangunan; juga, Brietzke, Paul H, The Politics of legal Reform, Washington University Global Studies Law Review 3:1; 1‐62, 2004 1
1
berbagai institusi regulator dunia seperti OECD, dan Persemakmuran negara‐negara Eropa dan kebijakan pembangunan yang diterapkan pada negara‐negara dunia ketiga atau negara yang berada dalam konteks transisi dari situasi konflik. Kecenderungan ini tercermin pula apabila mencermati perkembangan unit‐unit kerja di badan PBB, seperti terefleksikan dalam pembentukan unit kerja Rule of Law yang secara khusus tak hanya mewadahi komitmen finansial negara‐negara anggota tapi juga melibatkan kerja aktif setidaknya 40 unit kerja dalam badan PBB untuk secara aktif bekerja dalam framework ini di 110 negara di dunia semenjak berhasil menjadi salah satu agenda utama di tahun 1992.5 Sebagai gambaran, dalam salah satu program yang dikelola UNDP saja, sepanjang tahun 2010‐2011melalui program global penguatan ‘rule of law’ yang dikelola di 20 negara paska konflik menghabiskan tak kurang dari 22 juta US dolar.6 Dengan demikian, dapat dibayangkan besaran sumberdaya dan sumber dana yang dipergunakan secara keseluruhan oleh Badan PBB yang lain untuk menyokong agenda besar ini. Di Indonesia sendiri, gagasan negara hukum telah diperbincangkan dalam proses pembentukan negara di awal kemerdekaan seperti tercermin dalam perdebatan Badan Penyiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia BPUKI . Pemikiran ini ditelusuri dalam perdebatan yang melibatkan tokoh‐tokoh seperti Soepomo dan Moh Yamin. Sebagai gagasan yang memiliki makna dinamis, lebih lanjut gagasan ini berkembang secara terbatas di kalangan akademisi hukum melalui jejak pemikiran Attamimi. Dalam perkembangan kontemporer jejak ini ditemukan pada pemikiran yang lebih progresif yang memaknai gagasan negara hukum dengan lebih substantif seperti pendekatan yang dilakukan oleh Satjipto Rahardjo, maupun Soetandyowignyosubroto. Diskursus ini kembali menguat paska transisi politik 1998 dimana jejak keterkaitan dengan konteks global seperti terurai diatas dapat lebih jelas ditelusuri, terlebih dengan diterimanya tuntutan hak asasi manusia sebagai salah satu tuntutan utama diluar isu korupsi sebagai permasalah mendasar dalam perbincangan awal proses transisi.7 Dalam konteks ini, gagasan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia tentu tak dapat dipisahkan dari konteks dan kecenderungan global yang melingkupinya seperti diuraikan diatas. Namun tanpa bermaksud melakukan evaluasi atas validitas mantra dominan tersebut dalam melihat perkembangan institusionalisasi standar hak asasi
Lihat, http://www.un.org/en/ruleoflaw/index.shtml Lebih jauh lihat, UNDP, Building Peace through justice and security, 2011 77 Beberapa butir pemikiran yang mencoba memasukkan keterkaitan antar kedua unsur tersebut misalnya, Jimly Asshidique, Gagasan Negara Hukum Indonesia, makalah , dapat diakses pada http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf 5 6
2
manusia di Indonesia, paparan berikut bermaksud memberikan gambaran yang lebih sederhana mengenai gambaran aktual dinamika masalah dan perlindungan HAM 2. Institusionalisasi Hak Asasi dan permasalahannya Di tingkat domestik, hak asasi manusia awalnya muncul sebagai bahasa advokasi dan perlawanan dalam berbagai inisiatif perlawanan atas kesewenangan pemerintah di bawah rejim Orde Baru. Diskursus mengenai urgensi institusionalisasi standar dan prinsip hak asasi manusia memperoleh ruang yang memadai seiring dengan proses transisi politik 1998. Hak asasi manusia dan pemberantasan Korupsi Kolusi dan nepotisme merupakan dua tuntutan utama dalam transisi politik yang berakhir dengan lengsernya Soeharto dan melahirkan suatu pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai order reformasi. Transisi politik ini, telah membuka ruang yang cukup besar untuk merealisasikan institusionalisasi standar dan norma HAM ke dalam ranah hukum nasional. Gagasan institusionalisasi HAM, berkembang bersamaan dengan gagasan menegakkan kembali supremasi hukum untuk menghentikan kesewenangan baca‐kekuasaan eksekutif dimasa Soeharto. Hukum baca Undang‐undang muncul sebagai instrumen yang dapat menghindarkan kesewangan . Hak asasi dan perwujudan tata baru negara hukum yang demokratis kemudian memperoleh artikulasi sebagai salah satu agenda politik nasional di masa transisi seperti tercermin dalam TAP MPR no V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional . 8 Oleh karenanya tak dapat dipungkiri bila gagasan institusionalisasi norma Ham secara cepat bergerak dan didominasi gagasan untuk membadankannya dalam hukum‐hukum positif yang berlaku efektif. Upaya ini dapat berupa adopsi berbagai instrumen hukum HAM internasional ke dalam ranah domestik melalui ratifikasi, pengadopsian standar HAM dalam penyusunan undang‐undang, atau pembentukan berbagai lembaga‐lembaga yang memiliki mandat khusus dalam penghormatan dan perlindungan HAM. Meskipun proses pengadopsian instrumen internasional HAM ke dalam hukum nasional juga dilakukan dimasa Orde Baru, namun pada umumnya instrumen‐instrumen ini adalah standar HAM yang dipersepsikan ‘tidak berbahaya’ dan tidak terkait dengan kekerasan politik yang terjadi di bawah rejim Orde Baru. Berbagai instrumen utama HAM seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvensi
8 Melalui TAP ini diakui adanya praktek penyalahgunaan kekuasaan pada masa Orde Baru yang mengakibatkan ketidakadilan dan konflik sosial bagi masyarakat. Oleh karena itu, dalam langkah tindak pelaksanaannya, TAP ini memandatkan dibentuknya komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu dan Pelanggaran HAM di masa lalu. Lihat, Tap MPR/V/2000, Bab V paragraf 3.
3
menentang Penyiksaan, serta beberapa instrumen utama lain baru berhasil diadopsi paska transisi politik di tahun 1998, seperti terlihat dalam tabel berikut: Tabel: Instrumen HAM yang telah diadopsi dalam sistem hukum Nasional Pembentukan UU, perubahan konstitusi atau penerbitan kebijakan di
Ratifikasi
tingkat eksekutif executive order seperti Keppres, PP, dst 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
UUD 1945, amandemen II, tentang hak asasi manusia; Undang‐Undang No. 68 tanun 1958 tentang Hak hak politik perempuan; UU no 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional; Perpres no 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004‐2009;; UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang‐Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; Undang‐Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Undang‐Undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; Undang‐Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU no 13/2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Undang‐Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang UU no 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; Perpres No. 23 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional RANHAM 2011‐2014
1.
1. 2. 3. 4.
5. 6.
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Undang‐Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita CEDAW ; Keppres 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights on the Child UU no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan UN Convention on Biological Diversity Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi ILO tentang 87 tentang Kebebasan Berserikat; Undang‐Undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan “Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”; Undang‐Undang Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengesahan “ILO Concention Number 105 concerning the Abolition of Forced Labour”; Undang‐Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan “ILO Convention Number 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment’ Undang‐Undang Nomor 21 tahun 1999 tentang Pengesahan “ILO Convention Number 111 concerning Dscrimination in Respect of Employment and Occupation”; UU no 29/1999 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi Rasial UU no 21 tahun 2004 mengenai Pengesahan Cartagena protocol on the protection of Biodiversity to the UU no 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and cultural rights UU no 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights UU No 6 tahun 2012 mengenai ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak‐Hak. Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya UU no 19 tahun 2011 mengenai pengesahan ratifikasi Konvensi mengenai Hak‐Hak Penyandang
Disabilitas
Selain melalui proses ratifikasi, standar dan norma HAM diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional melalui pembaharuan konstitusional. Amandemen UUD 1945 yang kedua menguatkan jaminan penghormatan dan perlindungan HAM pada tingkat tertinggi sebagai hak konstitutional yang melekat pada setiap warga negara.9 Upaya ini memperkuat jaminan perlindungan HAM yang sebelumnya dilakukan melalui pembentukan UU no 39/1999 tentang HAM. 9
Amandemen ini mengadopsi perlindungan HAM yang tercantum dalam DUHAM ke dalam konstitusi
4
Tabel jaminan perlindungan HAM menurut Konstitusi dan UU no 39/1999 tentang HAM UUD 1945 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
27. 28.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul Ps 28 Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan ps 28 A Hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah ps 28B ayat 1 Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi 28B ayat 2 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ps 28C ayat 1 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya ps 28Cayat 2 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ps 28D ayat 1 Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. ps 28Dayat 2 Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. ps 28D ayat 3 Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan ps 28D ayat 4 . Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ps 28E ayat1 memilih pendidikan dan pengajaran, ps 28E ayat 1 memilih pekerjaan, ps 28 Eayat 1 memilih kewarganegaraan, ps 28E ayat 1 memilih tempat tinggal diwilayah negara danmeninggalkannya, serta berhak kembali. ps 28E ayat 1 Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ps 28E ayat 2 Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. ps 28E ayat 3 Hak atas informasi ps 28F Hak atas perlindungan martabat, dan kehormatan dan kepemilikan ps 28Gayat 1 Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusia yang merendahkan martabat kemanusiaan ps 28Gayat 2 Hak untuk memperoleh suaka politik ps 28Gayat2 Hak untuk hidup sejahtera, memperoleh layanan kesehatan, dan bertempat tinggal dan mendapat lingkungan yang baik ps 28Hayat1 Hak untuk mendapat perlakuan khusus untuk mencapai keadilan dan persamaan ps 28H ayat 2 Hak atas jaminan sosial ps 28H ayat 3 Hak untuk memiliki hak milik pribadi ps 28Hayat 4 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. ps 28I ayat 1 Hak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif ps 28I ayat 2 Hak atas penghormatan identitas budaya ps 28Iayat 3
UU no 39 tahun 1999 1. 2.
Hak untuk hidup ps 9 Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan ps 10 3. Hak untuk mengembangkan diri ps 11 – 16 4. Hak memperoleh keadilan ps 17 – 19 5. Hak atas kebebasan pribadi ps 20 – 27 6. Hak atas rasa aman ps 28 – 35 7. Hak atas kesejahteraan ps 36 – 42 8. Hak untuk turut dalam pemerintahan ps 43 – 44 9. Hak perempuan ps45 – 51 10. Hak Anak ps 52 ‐66
Dalam perkembangan selanjutnya proses integrasi standar HAM semakin banyak dilakukan melalui perumusan pasal‐pasal yang ditujukan untuk memberikan jaminan perlindungan HAM, seperti perlindungan dari praktek diskriminasi, perlindungan saksi dan korban, jaminan atas hak‐hak sosial dan budaya, jaminan atas hak untuk didampingi penasehat hukum, dan beberapa hak lain yang secara khusus diatur dalam undang‐undang. Pesatnya proses ini tak dapat dipisahkan dari peran aktif masyarakat sipil yang secara terus menerus melibatkan diri dalam
5
berbagai inisiatif penguatan perlindungan HAM melalui proses pembentukan ketentuan hukum normatif. 10 Meskipun demikian, apabila dilihat secara umum dalam konteks kinerja legislasi DPR, tingkat kesesuaian dengan prinsip dan standar HAM ini masih jauh dari menggembirakan. Hal ini disebabkan baik karena tingkat pemahaman dan kemampuan menurunkan pemahaman tersebut dalam teknis drafting perundang‐undangan, maupun karena masih terus berlangsungnya politik transaksional dalam proses legislasi. Dalam kajian atas proses legislasi selama kurun waktu 2004‐2009, melalui metode yang sederhana dengan melihat proses pembahasan maupun isi dari teks 8 produk legislasi selama periode tersebut, terlihat bahwa proses pembahasan substantif merefleksikan minimnya diskursus HAM serta minimnya partisipasi publik untuk memberikan kontribusi terhadap proses pembahasan.11 Selain itu, rendahnya kualitas produk legislasi juga dapat dicermati dari semakin meningkatnya jumlah UU yang dimintakan uji konstitusionalitasnya di Mahkamah konstitusi. Semenjak tahun 2003 ampai tahun 2012 ini setidaknya terdapat 716 perkara pengujian Undang‐undang yang diterima Mahkamah, 134 diantaranya merupakan perkara yang diperiksa untuk tahun 2012 ini.12 Secara umum data tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah perkara yang diajukan dari tahun ke tahun.13 Meski berbagai inisiatif masyarakat sipil mendorong lahirnya berbagai undang‐undang yang berperspektif HAM berhasil mendorong semakin banyaknya standar ham yang terintegrasi dalam ketentuan perundangan ditingkat nasional, berbagai perkembangan dalam politik legislasi terkini tak sepenuhnya bergerak ke arah yang sama. Terus berlangsungnya transaksi politik dalam proses legislasi di DPR seperti diuraikan dalam laporan HAM ELSAM tahun 2011 menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan. Selain karena buruknya kualitas rumusan substansi, ancaman terhadap perlindungan HAM datang dari dua hal lain, pertama, Hampir seluruh diskursus mengenai penguatan standar perlindungan HAM yang ada melibatkan keterlibatan aktif NGO melakukan intervensi proses penyusunan Undang‐undang. Sebagian besar justru inisiatif ini datang dari masyarakat sipil, seperti UU no13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, merupakan hasil dari advokasi panjang yang diawali oleh kelompok koalisi perlindungan saksi korban yang beranggotakan berbagai NGO seperti ELSAM, ICW, PSHK, MAPPI, dsb. Koalisi ini tak hanya menyediakan kapasitas untuk menyusun gagasan awal mengenai UU perlindungan saksi korban, namun juga terlibat secara aktif dalam mendorong pembentukan Lembaga Perlindungan saksi korban sebagaimana dimandatkan dalam Undang‐undang tersebut. 11 Untuk lengkapnya, lihat, Indriaswati D, Wahyudi djafar, dkk, ELSAM, Hak Asasi Manusia dalam pusaran Politik Transaksional: Assessment Terhadap Kebijakan Hak Asasi Manusia Dalam Produk Legislasi dan Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPR RI Periode 20 2004‐2009 2004‐2009, ELSAM, 2010 12 Lihat, Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang‐undang dari tahun 2003 – 2012, diakses pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page website.Persidangan.RekapitulasiPUU; pada 7 September 2012 . Meskipun demikian peningkatan jumlah perkara dari tahun ke tahun ini juga tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran dan pemahaman warga Negara dan kelompok masyarakat sipil akan HAM dan pentingnya melakukan klaim atas hak konstitusionalnya. Dari seluruh 716 perkara yang dimohonkan, hanyak sebanyak 425 perkara yang diputus. Dari seluruh permohonan hanya sebanyak 117 permohonan yang dikabulkan. 13 Lihat juga, ELSAM, Me lanjutkan untuk melanggar: pemantauan kondisi HAM di Indoesia pada kuartal I 2012, naskah dapat diakses pada ; juga PSHK, Legislasi atau Transaksi: catatan Kinerja Legislasi 2011, PSHK, 2012 10
6
tertunda atau macetnya RUU yang sebenarnya dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan HAM seperti RUU KUHAP dan KUHP, dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kedua, semakin banyaknya inisiatif UU baik dan pemerintah maupun DPR yang bersifat represif dan justru mengancam perlindungan HAM, seperti UU intelijen, UU Pengendalian Konflik Sosial, UU pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan merupakan sebagian contoh dari berbagai produk serupa lainnya.14 Selain produk legislasi DPR, beberapa ketentuan perundang‐undangan yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif, baik berupa peraturan menteri masih jauh dari sesuai dengan standar HAM yang ada, seperti tercermin dengan berbagai peraturan seperti SKB tiga menteri mengenai pendirian rumah ibadah. Sementara itu, perkembangan politik legislasi ditingkat lokal juga menunjukkan kecenderungan yang serupa, khususnya terkait dengan jaminan terhadap hak atas kebebasan menganut agama dan kepercayaan. Berbagai peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terus bermunculan.15 Pembentukan institusi dengan mandat khusus Amandemen konstitusi ini juga menjadi landasan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran besar dalam mewujudkan justisiabilitas HAM melalui kewenangan melakukan review konstitusionalitas Undang‐undang setelah peraturan tersebut diundangkan. Kewenangan ini membuka ruang bagi setiap warga negara merasa terlanggar haknya oleh suatu undang‐undang untuk mengajukan review dan memohonkan pembatalan atas undang‐undang tersebut. Terlepas dari beberapa persoalan terkait dengan konsistensi model intepretasi konstitusi yang diterapkan dalam pemeriksaan perkara maupun Sampai saat ini, mekanisme ini merupakan salah satu forum utama warga negara untuk melakukan klaim konstitusionalnya. Selain itu, beberapa lembaga negara dibentuk dengan mandat baik yang bersifat khusus maupun umum yang terkait dengan penghormatan dan perlindungan HAM. Komnas Ham merupakan satu lembaga yang secara khusus untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM.16 Selain Komnas Ham terdapat setidaknya dua komisi serupa dengan mandat yang lebih khusus, yakni Komisi Nasional untuk penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap perempuan, Komisi Perlindungan anak Indonesia. Beberapa komisi lain juga didirikan sebagai pelaksanaan dari UU
Lihat, Laporan HAM ELSAM 2011, Menuju titik Nadir Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM: Ketika Negara Kembali Menjadi Aktor Utama Pelanggaran HAM, ELSAM, 2011 14
Sebagai contoh, terdapat setidaknya… perda yang melarang keberadaan Ahmadiyah, Lihat, ps 75 UU no 39/1999. Pertama kali didirikan melalui Keppres sebagai pelaksanaan dari komitmen Konvensi Wina 1993, melalui Keppres no 50 tahun 1993 yang disahkan pada tanggal 7 Juni 1993.
15 16
7
yang terkait dengan pemajuan HAM seperti Lembaga perlindungan saksi dan korban, dan Komisi Informasi. Berbagai komisi negara tersebut melengkapi mekanisme penerapan komitmen penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM yang umumnya dilakukan baik melalui pengalokasi sumber daya finansial melalui APBN, birokrasi pemerintah maupun menjamin justisiabilitas hak melalui lembaga peradilan.17 Perkembangan justisiabilitas hak melalui mekanisme pengadilan ini tak dapat dipisahkan dari peran aktif kelompok masyarakat sipil termasuk NGO dalam mendorong berbagai terobosan dalam beracara baik melalui penggunaan mekanisme‐mekanisme baru seperti gugatan kelas, gugatan atas nama pembayar pajak, maupun menggunakan mempergunakan standar hak asasi dalam prosedur‐prosedur hukum yang telah ada, seperti dalam pengajuan gugatan melalui gugatan perdata dengan alas gugat perbuatan melawan hukum. Selain itu, dalam beberapa kasus, realisasi justisiabilitas hak ini juga didukung oleh praktek aktivisme judisial oleh hakim.18 Penyelesaian tuntutan keadilan di masa transisi Selain itu, proses awal institusionalisasi HAM mencerminkan dinamika umum negara transisional dari rejim otoriter ke rejim yang lebih demokratis. Hal ini terlihat dari dinamika isu HAM utama yang memperoleh respon dalam proses pembentukan kebijakan paska 1998. Pada awal‐awal proses transisi, gagasan utama institusionalisasi HAM diwarnai dengan tuntutan perwujudan keadilan dari para korban kekerasan di masa lalu dan jaminan ketidak berulangan kejahatan serupa di masa yang akan datang. Tuntutan ini berkelindan dengan perkembangan di tingkat internasional dimana kewajiban negara terhadap korban kekerasan di masa lalu dan perlindungan atas hak‐hak korban berkembang sebagai standar HAM yang berlaku universal. Konteks ini melahirnya berbagai inisiatif keadilan transisional Gagasan ini yang melahirkan diskursus keadilan transisional di awal‐awal bergulirnya reformasi, baik yang berupa akuntabilitas hukum melalui mekanisme judisial berupa tuntutan pemidanaan maupuan non judisial seperti pengungkapan kebenaran, reparasi dan berbagai bentuk reformasi kelembagaan. Upaya perlindungan melalui mekanisme ini merupakan salah satu yang mengalami kemandegan. Seperti negara‐negara yang mengalami transisi politik, Indonesia juga dihadapkan Meski lambat, klaim pemenuhan hak melalui mekanisme pengadilan semakin dikenal dan menjadi pilihan pencari keadilan. Beberapa klaim berhasil memperoleh pemenuhan, seperti gugatan Nani Nurani untuk memperoleh hak mendapatkan KTP seumur hidup yang diajukan ke PTUN Jakarta. Nani Nurani adalah mantan penari Istana di jaman Presiden Soekarno yang kehilangan hak sipilnya terkait dengan administrasi kependudukan karena dituduh terlibat dengan PKI. Dalam putusannya, pengadilan mendasarkan pertimbangan penerapan prinsip seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan menyatakan demikian. Pertimbangan ini mengukuhkan perlindungan hak konstitusionalnya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, serta bebas dari tindakan diskriminatif. Lihat, http://hukumonline.com/berita/baca/hol8372/preseden‐bagi‐ekstapol‐ ptun‐kabulkan‐gugatan‐ny‐nani‐ 18 Sebagai contoh dalam perkaran pengadilan kasus Tanjung Priok, majelis hakim pada tingkat pertama dalam putusannya mencantumkan adanya kompensasi ganti kerugian pada para korban. Meskipun demikian, putusan ini kemudian dibatalkan oleh putusan majelis hakim di tingkat banding. 17
8
pada persoalan yang serupa segera setelah proses transisi bergulir di tahun 1998. Tuntutan keadilan yang dilandasi pada pemahaman akan hak asasi, khususnya yang datang dari korban dan masyarakat memaksa negara untuk melakukan beberapa inisiatif baik yang bersifat penuntutan hukum maupun penyelesaian non judisial lainnya. Berbagai mekanisme yang dibentuk segera sesudah transisi bergulir seperti pengadilan HAM terbukti gagal menghadirkan keadilan, sebaliknya justru mengundang pertanyaan komunitas HAM internasional mengenai kemauan willingnes dan kemampuan ability pemerintah untuk menunjukkan komitmen yang orisinal dalam melakukan penuntutan atas pelanggaran HAM.19 Dari seluruh kasus yang ditangani, hampir seluruhnya berakhir dengan bebasnya tersangka.20 Dalam beberapa kasus lain, pengadilan justru menegasikan dan gagal menegaskan telah terjadinya pelanggaran Ham berat.21 Sampai saat ini, masih seluruh berkas penyelidikan kasus‐kasus pelanggaran ham yang diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti melalui pengadilan ham masih terus tertahan tanpa ada kejelasan status.22 Bahkan dalam perkembangan terakhir, direktora pelanggaran Ham di dalam Kejaksaan Agung telah dibubarkan dan dilebur dengan direktorat lainnya. Perkembangan ini tentu semakin mengindikasikan suramnya masa depan keberlangsungan dan efektifitas mekanisme ini. Selain itu, pembentukan pembentukan mekanisme non yudisial dalam menjawab tuntutan keadilan atas kejahatan di masa lalu juga mengalami kemandegan, khususnya setelah pembatalan UU no 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan pencabutan UU tersebut, sampai saat ini tidak terdapat kerangka hukum normatif yang tersedia untuk merespon tuntutan keadilan tersebut. Meskipun beberapa inisiatif untuk menghadirkan kembali payung hukum ini telah dilakukan baik melalui penyiapan RUU baru oleh Direktorat Jendral Hukum dan Ham maupun upaya mendorong lahirnya kebijakan lain melalui lembaga eksekutif baca Presiden belum menunjukkan adanya kemajuan yang berarti.23 Pengadilan HAM dibentuk sebagai upaya menghindari kemungkinan pembentukan tribunal internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Timor timur, melalui UU no 26/2000. Mekanisme ini memiliki beberapa kelemahan mendasar baik yang terkait dengan kapasitas aparat penegak hukumnya maupun yang terkait dengan kehendak politik pemerintah reformasi untuk menghadapkan mereka yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan tersebut dimuka hukum. 20 Dalam kasus Timor timur, dari 18 terdakwa yang diajukan ke pengadilan dalam 11 berkas perkara tak satupun yang dipidan, demikian juga dalam perkara Tanjung Priok, dari 14 terdakwa yang diajukand alam 3 berkas perkara tidak ada satu terdakwa yang dijatuhi hukum, sementara dalam kasus Abepura, tiga pejabat tinggi kepolisian yang diajukan dalam pengadilan ini juga akhirnya dibebaskan. 21 Dalam kasus Abepura yang diperiksa melalui mekanisme pengadilan Ham, pengadilan menolak kekerasan yang terjadi sebagai pelanggaran berat ham. Hal serupa juga terlihat dalam putusan akhir kasus pengadilan ham ad hoc kasus Tanjung Priok. Lebih lanjut mengenai putusan dan seluruh dokumen persidangan dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/new/index.php?cat Pengadilan%20HAM/900&lang in 22Perkara penyelidikan dibawah UU no 26/2000 yang telah diserahkan KOMNAS HAM ke Kejaksaan Agung meliputi kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Wasior dan Wamena, kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997‐1998, serta kasus 13‐15 Mei 1998. Sampai saat ini tidak terlalu jelas status dari berkas‐berkas tersebut. Pada tahun 2012 ini KOMNAS HAM menyerahkan hasil penyelidikan kasus 1965, dan Penembakan Misterius. 23 Lebih lanjut secara lebih detail mengenai pasang surut upaya mendorong kembali lahirnya kebijakan ini, lihat, ELSAM, Mendorong Pembentukan Kembali UU KKR, 2010, dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/downloads/1301382601_Brief_Paper_Mendorong_Pembentukan_Kembali_UU_KKR.pdf 19
9
3. Residu transisi dan dampaknya pada perlindungan HAM Seluruh uraian pada bagian terdahulu mengenai institusionalisasi standar dan norma HAM semenjak 1998 menunjukkan adanya gap kesenjangan yang besar antara realitas tekstual seperti tergambar dengan berbagai peraturan‐peraturan hukum positif yang ada dengan realitas implementasinya di tingkat praktis. Akibatnya gagasan penguatan perlindungan HAM belum sepenuhnya dapat diwujudkan, bahkan seperti jalan ditempat. Situasi ini tak dapat didiskusikan dalam ruang yang terpisah dari konteks dan sifat dan kecenderungan transisi politik yang bergulir. Tak dapat dipungkiri, transisi politik yang bergulir selain memiliki elemen internasional yang cukup kental, juga merupakan proses transisi dimana elit dan kekuatan lama dari rejim pemerintahan sebelumnya turut menentukan arah dan proses transisi. Sayangnya, empat belas tahun proses yang berlangsung justru semakin menguatkan keberadaan elit dan kekuatan lama dalam proses politik. Pembaharuan politik elektoral yang diharapkan dapat memperbaiki mekanisme dan kualitas partisipasi politik justru menguatkan kecenderungan oligarkhi partai politik dan menduplikasi struktur yang sama di tingkat lokal melalui mekanisme desentralisasi. Dalam konteks ini, agenda dan konsensus baru mengenai tata kelola yang lebih demokratis sulit untuk direalisasikan, termasuk konsensus sosial baru yang meletakkan hak asasi manusia sebagai bagian yang inheren dari pemerintahan yang demokratis.24 Selain itu, akibat belum berhasilnya proses transisi menarik garis tegas dari praktek dimasa lalu, residu dari kegagalan ini terlihat dari terus berulangnya praktek dan pola kekerasan dari waktu ke waktu. Salah satu potret yang dapat mencerminkan hal ini adalah kecenderungan terus berlangsungnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sepanjang Januari – April 2012 berdasar laporan pemantauan ELSAM terdapat setidaknya 21 kasus yang terkait dengan jamina kebebasan beragama, sebagian besar diantaranya melibatkan penggunaan kekerasan sepihak atas nama agama yang dilakukan oleh satu kelompok tertentu pada kelompok yang lain.25 Apabila dicermati, kekerasan seperti ini merupakan bukanlah pola kekerasan baru melainkan memiliki kemiripan dengan berbagai bentuk kekerasan serupa dimasa lalu.26 Diluar Lebih jauh mengenai kualitas representasi demokrasi dan kecenderungan oligarkhi politik lihat, Demos, Satu Dekade Reformasi, maju mundurnya demokrasi Indonesia, Survey nasional kedua masalah dan pilihan Demokrasi 2007 – 2008, juga Demos, 2012, Demokrasi tanpa representasi: Masalah dan pilihan demokrasi di empat daerah. 25 Lihat, ELSAM, 2012, Melanjutkan untuk melanggar: Laporan situasi HAM kuartal pertama 2012. Pola ini juga terulang dalam kasus penyerangan kelompok Syiah di Sampang baru‐baru ini, yang memiliki ciri dan kemiripan dengan kasus‐kasus kekerasan yang terjadi para periode Januari‐April 2012 sebagaimana dilaporkan dalam laporan kuartal pertama tersebut, khususnya apabila dibandingkan dengan peristiwa penyerangan terhadap kelompok jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, awal tahun 2012 ini. Dan seperti dalam kekerasan‐kekerasan sejenis, langkah penyelesaiaan yang konkrit dari pemerintah untuk menjamin perlindungan hak asasi jauh dari memadai, bahkan para korban justru harus mengalami relokasi. 26 Lebih lanjut mengenai perulangan pola dan peristiwa, lihat dokumentasi pelanggaran HAM ELSAM, dapat diakses pada http://dokumentasi.elsam.or.id/ 24
10
perulangan lingkaran kekerasan yang mengancam secara langsung hak asasi warga negara tersebut, mandegnya proses reformasi institusional di berbagai lembaga negara yang pada masa lampau menjadi bagian dari pelanggaran HAM dimasa lampau seperti TNI, Polri, dan institusi Kejaksaan menjadi penunjuk sederhana residu transisional paska 1998 ini. Dalam konteks inilah dapat dibaca kecenderungan melemahnya perlindungan HAM dan semakin menguatnya masalah‐masalah yang terkait dengan jaminan dan perlindungan hak asasi di masa yang akan datang.
*********
11