STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Penyusun: Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Mei, 2009
Judul
: Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan
Penyusun
: Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan
Koordinator : 1. Diani Sadiawati, SH., LL.M. 2. Mas Achmad Santosa, SH., LL.M. Anggota : A. Patra M. Zen, SH., LL.M. Aryo Bimmo SP., SH., LL.M. Bobby Rahman, SH., LL.M. Indro Sugianto, SH., MH. Myrna A. Safitri, SH., MSi. Muji Kartika Rahayu, SH. Nenad Bago, LL.M Noor Andrini Wuryandari, SH., MH. Paulus Agung Pambudhi, MM. Drs. Pungky Sumadi, MCP. Dr. Rahma Iryanti, MT. Dra. Sulistyowati Irianto. Prof. Dr. Santi Kusumaningrum, S.Sos., MSi. Taufik Rinaldi, SH. Yunety Tarigan, SE. Zulfikar Judge SH., Sp.N., M.Kn.
Cetakan Pertama, Mei 2009
Cover Foto : LEAD Project; Edison Paulus (finalis BAPPENAS-UNDP 2008 MDGs Photo Competition)
Penerbit
: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Direktorat Hukum dan HAM Gedung Asmen, Lt. Dasar Jl. Taman Suropati No. 2, Jakarta 10310 Telp. 021-31936207; Fax. 021-3145374 Website : http://www.bappenas.go.id
Daftar Singkatan ABK APBN BAPPENAS BPHN BPK BPKP BPS CLEP DAK DAS DEPKEU DEPKUMHAM DPD DPR DPRD ICW KEJARI KEPMEN KPI KPK KPPOD LEAD Project LHKPN LSM MA MENPAN MPR MDGs PERADI PPHI PNPM PPATK PP P2TP2A RAN-PK RIA RKP RPJM
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Biro Pusat Statistik Commission on Legal Empowerment Dana Alokasi Khusus Daerah Aliran Sungai Departemen Keuangan Departemen Hukum dan HAM Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Indonesia Corruption Watch Kejaksaan Negeri Keputusan Menteri Keterbukaan Informasi Publik Komisi Pemberantasan Korupsi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Legal Empowerment and Assistance for the Disadvantage Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara Lembaga Swadaya Masyarakat Mahkamah Agung Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Majelis Permusyawaratan Rakyat Millenium Development Goals Perhimpunan Advokat Indonesia Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan Peraturan Pemerintah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Rencana Aksi Nasional-Pemberantasan Korupsi Regulatory Impact Analysis Rencana Kerja Pemerintah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
i
RPJMD RPJPN RUU SAMSAT SK SNPK STRANAS UUD 1945 UNDP UNICEF UU WCC YLBHI
ii
: : : : : : : : : : : : :
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Rancangan Undang-undang Sistem Administrasi Bersama di Bawah Satu Atap Surat Keputusan Strategi Nasional Penangulangan Kemiskinan Strategi Nasional Undang-undang Dasar 1945 United Nations Development Programme United Nations Children’s Fund Undang-undang Women Crisis Center Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
KATA PENGANTAR Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh Salam Sejahtera untuk Kita Semua Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah S.W.T, karena atas karuniaNya lah, Naskah Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan (Stranas Akses terhadap Keadilan) dapat diselesaikan dengan baik. Saya sangat memahami penyusunan naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan telah dilakukan melalui berbagai proses yang cukup panjang dan melelahkan demi untuk menciptakan strategi dan rencana aksi yang secara konkrit benar-benar dapat implementatif dan yang terpenting adalah mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Dari sisi proses penyusunan yang membutuhkan waktu kurang lebih 17 bulan saya pun juga melihat sangat partisipatif, yaitu melibatkan kombinasi antara Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi melalui sebuah pembentukan working group; kemudian menyusun tema-tema strategi, outline, dan berbagai pelaksanaan pertemuan dengan para pakar dari 33 provinsi melalui 3 (tiga) pertemuan regional, pertemuan dengan kementerian/lembaga terkait dengan tema strategi; pertemuan dengan kepala biro perencanaan kementerian/lembaga; dan melibatkan tim penyusun dalam pembahasan trilateral meeting untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2010. Solusi yang ditawarkan dalam naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan juga mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat, dan sejauh ini menjadi pilihan untuk diangkat menjadi suatu kebijakan nasional pada 5 (lima) tahun mendatang pada RPJMN 2010-2014, yaitu: Strategi Akses terhadap Keadilan pada Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan; Strategi Akses terhadap Keadilan dalam pada Bidang Bantuan Hukum; Strategi Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah; Strategi Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tanah dan Sumber Daya Alam; Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Perempuan; Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Anak; Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Tenaga Kerja; dan Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan. Saya semakin yakin dengan pelaksanaan Stranas Akses Terhadap Keadilan ini, karena telah dilengkapi dengan rencana aksi (action plan), yang diharapkan tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah semata, namun perlu bersama-sama dengan komponen masyarakat lainnya sejalan dengan proses demokratisasi yang selama ini telah semakin berjalan dengan baik di Indonesia. Penekanan pada kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam naskah Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, semata-mata didasarkan pada pertimbangan bahwa kelompok tersebut
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
iii
selama ini belum secara optimal memperoleh pelayanan publik dari Pemerintah yang benar-benar mencerminkan pemenuhan hak-hak dasar sebagaimana tertuang dalam Konstitusi UUD 1945. Salah satu dari sekian banyak penyebabnya adalah masih terbatasnya akses yang dimiliki masyarakat untuk memperoleh informasi dari berbagai mekanisme dan prosedur pelaksanaan pelayanan dari berbagai kegiatan pembangunan baik yang sifatnya mikro maupun makro. Gambaran kondisi yang diharapkan dari pelaksanaan Akses Terhadap keadilan dalam konteks Indonesia pada dasarnya adalah bahwa Negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945, dan warga negara (claim holder) sebagai bagian dari masyarakat mengetahui, memahami dan menggunakan hak-hak dasar tersebut, di dukung oleh mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang baik dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri. Apabila berbagai hal tersebut di atas telah dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik secara bersama baik oleh aparat pemerintah dan masyarakat, diharapkan kondisi kemiskinan akan semakin minimal dan kesejahteraan secara perlahan tetapi pasti akan terwujud. Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masyarakat telah memperoleh akses terhadap keadilan dalam naskah Stranas dimaksud yaitu: (1) kerangka normatif; (2) kesadaran hukum; (3) akses kepada forum yang sesuai; (4) penanganan keluhan yang efektif; (5) pemulihan hak yang memuaskan; (6) terselesaikannya permasalahan kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan, telah merumuskan secara tepat, langkah-langkah yang akan ditindaklanjuti dalam bentuk rencana aksi yang realistis, konkrit dan tercapai indikator pemenuhannya. Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan nantinya diharapkan juga akan menjadi bagian dari upaya memperkuat peningkatan kesejahteraan rakyat yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Strategi Nasional Penangulangan Kemiskinan (SNPK) yang ditindaklanjuti dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Untuk itu kolaborasi yang terintegrasi dengan baik, dengan orientasi yang kuat dari pelaku-pelaku pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera menjadi syarat yang tidak dapat ditawar lagi dalam melaksanakan pembangunan bangsa ke depan sebagaimana visi Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Pengimplementasian Stranas Akses Terhadap Keadilan dan Rencana Aksinya yang terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL); Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKASKPD) untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) dan menciptakan rasa kepemilikan (ownership) menjadi tolok ukur Komit men dan dukungan Pemerintah Pusat serta pemerintah daerah. Di samping itu sejalan dengan proses demokratisasi, maka kerjasama (partnership) dengan berbagai komponen masyarakat, khususnya lembaga swadaya masyarakat yang selama ini telah berjalan dengan baik diharapkan dapat terus dilanjutkan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas. Dalam kesempatan ini, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada para penyusun naskah Stranas Akses terhadap Keadilan; LEAD Project-UNDP; dan kepada semua pihak secara umum yang telah mendukung terselesaikannya naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan dan Rencana Aksinya mulai dari proses awal sampai dengan tersusunnya naskah Stranas Akses terhadap Keadilan dan rencana aksinya; serta Gubernur Sulawesi Tengah, Gubernur Sulawesi Tenggara dan Gubernur Maluku Utara serta Bupati/Walikota dan Bappeda dari ketiga Provinsi tersebut yang telah mendukung upaya peningkatan Akses Terhadap Keadilan di Provinsi masingmasing melalui LEAD Project-UNDP, serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
iv
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Semoga dengan niat baik seluruh komponen Bangsa Indonesia, dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur, melalui pelaksanaan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan dan rencana aksinya ke depan senantiasa memperoleh rakhmat dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Amien. Wassalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh Jakarta,
Mei 2009
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional H. Paskah Suzetta
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
v
UCAPAN TERIMA KASIH Strategi Nasional ini merupakan hasil kelompok kerja Akses terhadap Keadilan yang dibentuk oleh BAPPENAS atas dukungan United Nations Development Programme-LEAD Project. Untuk itu Kementerian Negara PPN/BAPPENAS mengucapkan terima kasih atas kontribusi, gagasan dan dana yang telah diberikan oleh The United Nations Development Programme (UNDP) dan LEAD Project yang dipimpin oleh Thomas Crick, dan didukung oleh Abdul W. Situmorang, Risya Kori, Yesua Pellokila dan Agus, serta para donor: the Swedish International Development Coorperation Agency, Royal Norwegian Embassy and Royal Netherlands Embassy dalam kerjasamanya yang dirancang kegiatan yang saling berkaitan dan melengkapi, yang memfasilitasi terwujudnya Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan. Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada anggota Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan yang telah memberikan kontribusi intelektualnya dalam menyusun Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan: Diani Sadiawati (BAPPENAS) selaku Ketua Kelompok Kerja, Mas Achmad Santosa (UNDP) selaku Wakil Ketua Kelompok Kerja, dengan anggota Pungky Sumadi (BAPPENAS), Rahma Iryanti (BAPPENAS), Aryo Bimmo (BAPPENAS), Noor Andrini (BAPPENAS), Zulfikar Judge (Fasilitator Pengembangan Strategi), Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia), Myrna Safitri (Ph.D Student, Leiden University), Indro Sugianto (ICEL), Muji Kartika Rahayu (KRHN), Arief Patra M. Zen (YLBHI), Paulus Agung Pambudhi (KPPOD), Taufik Rinaldi (Justice For The Poor), Santi Kusumaningrum (UNICEF), Ibu Sulastri Helmi (Kanwil Depkumham, Sulteng), Johny N. Simanjuntak (Komnas HAM) serta dukungan kerja oleh para Staf Direktorat Hukum dan HAM, BAPPENAS, Bobby Rahman (LEAD Project), Mohammad Kusadrianto (UNDP),Yunety Tarigan (LEAD Project), Regi Wahono (UNDP), Verena Riyaningsih (LEAD Project), Nanette Herawati (LEAD Project), Riana Nedya (Event Administrator), Sandra Buana Sari (Event Administrator), Clara Widyasari (Event Administrator) dan Nenad Bago. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para kolega yang telah hadir dalam seri konsultasi Strategi Nasional baik di Jakarta, Bali, Medan dan Makassar, terima kasih kepada Bappeda Provinsi seluruh Indonesia yang telah hadir dan terlibat. Kepada Departemen/Lembaga/Kementrian, Akademisi dan CSO yang telah memberikan masukan sehingga strategi nasional ini menjadi sempurna. Sebagai tambahan para kolega di bawah ini juga memberikan masukan yang berharga melalui partisipasi konsultasi tingkat tinggi di BAPPENAS bulan Februari 2009: Bapak Dr. Ir. Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Dr. Prasetjono Widjojo, Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah, BAPPENAS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kepolisian Indonesia, Kejaksaan, Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri dan Wakil Watimpres.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
vii
Dukungan yang besar dari Gubernur Sulawesi Tengah, Gubernur Sulawesi Tenggara dan Gubernur Maluku Utara serta Bupati/Walikota dan Bappeda dari ketiga provinsi tersebut untuk mendukung upaya peningkatan akses terhadap keadilan di provinsi masing-masing, untuk itu kami ucapkan terima kasih. Serta pihak-pihak lain yang tidak disebutkan satu per satu yang telah mendukung terselesaikannya naskah Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan.
viii
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
RINGKASAN EKSEKUTIF Upaya untuk memberikan penguatan akses terhadap keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam tahun-tahun mendatang merupakan langkah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal tersebut didasarkan pada belum optimalnya pemenuhan hak-hak rakyat Indonesia sebagai warga negara yang seharusnya dijamin oleh konstitusi. Berbagai langkah telah diupayakan untuk lebih meningkatkan pemberdayaan masyarakat pada berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang sosial dan ekonomi. Bidang ekonomi dan sosial merupakan hak yang mendasar bagi rakyat Indonesia. Namun akan lebih bernilai lagi apabila pemenuhan di bidang sosial dan ekonomi juga dikuatkan dengan penguatan hak-hak di bidang hukum. Dengan demikian, perwujudan Indonesia sebagai negara hukum, sedikit banyak dapat diwujudkan melalui pemenuhan akses terhadap keadilan. Penegakan prinsip keadilan adalah salah satu ciri dari negara hukum. Keadilan adalah hak dasar manusia yang sejalan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pemulihan (remedy) atas pelanggaran hak yang mereka derita, sedangkan negara memiliki kewajiban untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersebut. Akumulasi dari hak-hak tersebut mengafirmasi bahwa keadilan telah menjadi suatu hak asasi manusia yang wajib dihormati dan dijamin pemenuhannya. Ada kebutuhan untuk menempatkan konsep akses terhadap keadilan sebagai suatu affirmative action berdasarkan perspektif hak asasi manusia dengan tujuan bukan untuk menimbulkan suatu diskriminasi, tetapi sebagai ‘bantuan’ yang bersifat sementara bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan sampai mereka berada dalam posisi mampu untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Fokus akses terhadap keadilan mengalami perkembangan. Pada awalnya akses terhadap keadilan hanya menekankan upaya penyediaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, kemudian berkembang menjadi penyatuan kepentingan dari para pihak yang berperan dalam pemberian akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin. Pihak-pihak tersebut terdiri dari berbagai institusi negara terkait seperti kejaksaan, pengadilan, ombudsman, kementerian pelayanan publik terkait serta lembaga masyarakat yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat. Perkembangan berikutnya adalah pada langkah-langkah mendukung reformasi yang tengah berlangsung untuk mencapai tujuan yang lebih besar lagi yaitu pembenahan sistem hukum untuk mencapai bentuk negara hukum yang ideal. Konsep Akses terhadap Keadilan pada intinya berfokus pada dua tujuan dasar dari keberadaan suatu sistem hukum yaitu: 1) sistem hukum seharusnya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan; dan 2) sistem hukum seharusnya dapat menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Gagasan dasar yang hendak diutamakan dalam konsep ini adalah untuk mencapai keadilan sosial (social justice) bagi warga negara dari semua kalangan.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
ix
Seluruh pihak, baik pemerintah maupun pihak-pihak lainnya perlu memberikan kontribusi yang seimbang dalam mengimplementasikan konsep akses terhadap keadilan. Pemberian akses terhadap keadilan telah dijamin dalam UUD 1945 melalui Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D(1) dan 28I(1), sebagai bentuk hak asasi manusia yang harus terpenuhi. UUD 1945 juga mengafirmasi kewajiban Pemerintah untuk memenuhi dan melindungi hak-hak warga negara untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Keseluruhan hak dan kewajiban yang digariskan dalam UUD 1945 merupakan kesatuan upaya untuk mencapai tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, yang juga menjadi tujuan konsepsi akses terhadap keadilan. Maka dari itu, penentuan definisi konsep akses terhadap keadilan bagi Indonesia memerlukan unsur terpenting yaitu keseimbangan peran para pihak yang terkait serta pertimbangan akan kondisi-kondisi khas yang dihadapi oleh Indonesia sebagaimana akan dibahas dalam bagian selanjutnya. Akses terhadap keadilan dalam konteks Indonesia mengacu pada keadaan dan proses di mana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi setiap warga negara (claim holder) agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun informal, didukung oleh keberadaan mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang mudah diakses masyarakat dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat yang optimal untuk memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri. Tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dicapai melalui pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Salah satu visi RPJPN 2005-2025 adalah “Indonesia yang Adil”, yang berarti bahwa pembangunan dilakukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Seluruh rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan tidak adanya praktik diskriminasi dalam berbagai bentuk. Selain itu, sebagai bagian masyarakat dunia, Indonesia memiliki keterikatan secara politis dan moral terhadap beberapa kesepakatan internasional seperti Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs) yang harus dapat dicapai pada tahun 2015. Salah satu tujuan dalam MDGs adalah pengentasan kemiskinan yang memerlukan strategi baru yang mengakomodasi aspek pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Kemiskinan harus dipahami tidak hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Pemberdayaan masyarakat miskin dalam memperoleh hak-hak dasarnya, baik melalui jalur formal maupun informal, dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi dan menanggulangi kemiskinan. Tanpa ada kemampuan untuk mempertahankan atau memperjuangkan hak-hak tersebut, maka akan sulit bagi kaum miskin untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan akan menguraikan bagaimana hukum turut memberikan andil terjadinya kemiskinan. Namun demikian tetap diyakini bahwa upaya penanggulangan kemiskinan harus dimulai dari pembenahan sistem hukum termasuk substansi hukum, institusi penegakan hukum dan pemberdayaan hukum dalam kerangka negara hukum yang demokratis (rule of law). Pencapaian akses terhadap kead ilan dilakukan dengan menganalisis enam elemen pendekatan yang dipilih, yaitu: (i) kerangka normatif; (ii) kesadaran hukum; (iii) akses kepada forum penyelesaian sengketa yang sesuai; (iv) penanganan keluhan masyarakat yang efektif; (v) pemulihan hak yang
x
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
memuaskan; (vi) terselesaikannya permasalahan-permasalahan kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan. Elemen-elemen tersebut merupakan acuan untuk menilai delapan permasalahan akses terhadap keadilan di Indonesia yang sejauh ini dipilih yaitu: (i) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan; (ii) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Bantuan Hukum; (iii) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah; (iv) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tanah dan Sumber Daya Alam; (v) Akses terhadap Keadilan bagi Perempuan; (vi) Akses terhadap Keadilan bagi Anak; (vii) Akses terhadap Keadilan bagi Tenaga Kerja; dan (viii) Akses terhadap Keadilan bagi Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan. Reformasi hukum dan peradilan harus terus-menerus dilakukan, karena bidang ini merupakan pilar utama dalam mewujudkan akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan, apalagi UUD Negara RI 1945 telah menyebutkan bahwa negara kita adalah negara hukum. Reformasi hukum dan peradilan harus dilihat sebagai suatu sistem yang komprehensif yang mencakup aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Walaupun telah dilakukan berbagai upaya untuk pembenahan hukum dan peradilan, namun berbagai permasalahan dan tantangan masih mengemuka, misalnya substansi peraturan perundang-undangan yang seringkali bertentangan dengan konstitusi dan disharmoni satu dengan yang lainnya yang berakibat terhambatnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kelemahan di lembaga eksekutif dan legislatif sebagai lembaga pendukung utama proses pembuatan legislasi. Pada aspek struktur hukum, reformasi di kelembagaan peradilan (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) yang kini sedang berlangsung belum menunjukkan dampak yang signifikan terhadap perubahan perilaku aparat, perbaikan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat serta tingkat kepercayaan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari masih bermunculannya kasus korupsi dan pelanggaran etika perilaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Belum dapat diatasinya kondisi ini juga disebabkan oleh masih lemahnya lembaga-lembaga negara yang berfungsi untuk melakukan pengawasan eksternal, seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Sedangkan pada aspek kesadaran hukum, peran serta masyarakat dalam reformasi hukum dan peradilan mendapatkan hambatan yang salah satu penyebabnya adalah ketiadaan akses terhadap informasi maupun perlindungan hukum. Meski kedua hambatan tersebut sudah dijawab dengan berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah, namun dalam praktiknya belum berjalan baik. Banyaknya inisiatif masyarakat untuk menyelesaikan sengketa di luar peradilan, seperti mekanisme adat, musyawarah melalui mediasi, dan lain-lain tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Akibatnya, kesadaran hukum masyarakat belum dapat dimanifestasikan melalui jalurjalur penyelesaian konflik dan sengketa dalam mewujudkan akses terhadap keadilan. Untuk itu dibutuhkan strategi reformasi hukum dan peradilan secara lebih komprehensif dan sistematis, yang ditujukan untuk memudahkan masyarakat untuk mendapat keadilan. Bertitik tolak dari berbagai persoalan tersebut di atas, maka strategi yang relevan adalah pertama, pengembangan paradigma dan arah pembangunan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum harus dijabarkan lebih lanjut untuk menjawab sistem hukum seperti apa yang cocok dengan watak hukum masyarakat Indonesia. Kejelasan sistem hukum ini akan menentukan ke mana dan bagaimana arah pembangunan hukum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025). Amandemen keempat tersebut dapat dibaca sebagai keinginan bangsa ini untuk lebih mempertegas identitas Indonesia sebagai negara hukum. Dari berbagai tipologi dan karakterisasi negara hukum di dunia dapat disimpulkan betapa luas dan luwes makna negara hukum
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xi
itu. Negara hukum menampung dan dapat menjadi wadah dari berbagai ideologi politik, baik liberal maupun yang lain serta mewadahi pula berbagai tipe penggunaan kekuasaan, baik yang berkekerasan serta memaksa (coercive) maupun tidak. Oleh karena itu, betapa pentingnya untuk menyadari bahwa Negara Hukum Indonesia tidak hanya sebuah merek, melainkan benar-benar dimaknai sebagai berproses menjadi Indonesia, membumi ke dalam habitat, tradisi, nilai-nilai, kosmologi serta citacita modern Indonesia. Kedua, pengembangan sistem pendidikan hukum formal yang berwawasan keadilan rakyat. Strategi ini diharapkan mampu menciptakan lulusan yang profesional, berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap masyarakat miskin dan termarginalkan. Selain itu, lembaga pendidikan hukum formal harus lebih aktif berperan dalam pendidikan hukum kepada masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga penegak hukum. Ketiga, perbaikan politik legislasi, baik dari aspek proses maupun substansi. Pada aspek proses, yang perlu mendapat perhatian adalah transparansi dan pelibatan pemangku kepentingan dalam pembentukan peraturan perundangan. Sedangkan pada aspek substansi adalah memastikan bahwa UU tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta tidak terjadi tumpang tindih dan disharmonisasi satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundangan. Keempat, penajaman, penguatan dan penuntasan pelaksanaan agenda reformasi kelembagaan peradilan, baik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, birokrasi maupun lembaga Komisi Negara yang berfungsi untuk pengawasan eksternal, seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar penyimpangan etika profesi dan korupsi tidak lagi terjadi pada institusi tersebut sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan hukum lebih baik, mudah dan profesional. Kelima, penguatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan publik, melalui penguatan peran pekerja bantuan hukum dan paralegal dengan memperkuat peran negara dalam memberikan dukungan nyata seperti kemudahan akses informasi, perlindungan hukum terhadap pekerjaan mereka dan pengalokasian dana yang disediakan negara bagi dukungan kerja mereka. Terkait bantuan hukum, permasalahan yang masih dihadapi antara lain belum ditetapkannya undangundang yang secara khusus mengatur tentang bantuan hukum bagi orang miskin; belum konsistennya aparat penegak hukum dalam menerapkan peraturan yang terkait dengan berperkara secara prodeo dan hak-hak tersangka dalam peradilan pidana; serta masih lemahnya sistem pendidikan hukum formal untuk mengembangkan profesi hukum yang memiliki daya kritis masyarakat terhadap kebijakan yang terkait dengan hajat hidup mereka. Sejauh ini kegiatan bantuan hukum pada kenyataannya lebih banyak diprakarsai oleh masyarakat sipil, dan dukungan Pemerintah terutama pendanaan masih belum dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sementara itu permintaan layanan bantuan hukum dari masyarakat melebihi kapasitas yang dapat disediakan oleh masyarakat sipil. Oleh karena itu, pelayanan dan intervensi negara dalam penyelenggaraan bantuan hukum dan upaya mendayagunakan lembaga bantuan hukum yang sudah ada serta lembaga bantuan dan konsultasi hukum yang tersebar di hampir seluruh universitas di Indonesia merupakan hal yang penting, karena merupakan potensi yang besar dalam mengatasi keterbatasan layanan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Pilihan strategi yang dipilih di bidang bantuan hukum adalah: pertama, pemenuhan hak atas bantuan hukum, dan memastikan setiap orang yang miskin dan terpinggirkan memperoleh bantuan hukum saat berhadapan dengan perkara hukum dan mendapat pembelaan oleh advokat saat hendak memperjuangkan haknya melalui peradilan. Kedua, perencanaan legislasi bantuan hukum melalui penyusunan rencana pengembangan yang komprehensif yang mencakup: (i) pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjamin akses masyarakat miskin untuk memperoleh layanan dan bantuan
xii
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
hukum; (ii) pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia; (iii) penyediaan dana pemerintah untuk memperluas akses terhadap bantuan hukum; (iv) pengembangan paralegal yang berasal dari masyarakat sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat; (v) pengembangan pendidikan hukum yang mendukung implementasi bantuan hukum; dan (vi) pemberian penghargaan (reward) bagi pengabdi bantuan hukum untuk memotivasi semangat para pekerja bantuan hukum dan mengembangkan daya tarik generasi muda untuk terlibat dengan kegiatan ini. Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan memilih prioritas untuk memperluas akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, dengan menerapkan dan mewujudkan kebijakan non-diskriminasi dan menerapkan kebijakan affirmative actions. Perlu dipenuhi beberapa prasyarat dasar bagi penyediaan bantuan hukum, yaitu: pertama, mewujudkan prinsip ’wajib’ (compulsory) dan ’cuma-cuma’ (free of charge), atau sekurang-kurangnya prinsip keterjangkauan secara ekonomi (afordabilitas), dalam pemenuhan akses masyarakat miskin terhadap keadilan. Kedua, masyarakat miskin yang dapat mempertahankan dan memperjuangkan hak konstitusional dan hak hukumnya, tanpa terdiskriminasi karena ’kemiskinannya’. Dalam bahasa hak asasi manusia, situasi ini dicakup dalam jaminan pengakuan hak setiap orang di muka hukum dan pemerintahan. Ketiga, orang yang tidak mampu, tidak menerima hambatan dan bahkan difasilitasi untuk memperoleh sumber daya hukum yang sama dengan orang kaya atau berkuasa. Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan daerah selama delapan tahun dalam sistem pemerintahan yang desentralistik untuk mewujudkan tiga tujuan utama otonomi daerah yakni: peningkatan demokratisasi, pelayanan dasar publik, dan akses terhadap aktivitas perekonomian, menghadapi sejumlah permasalahan regulasi dan birokratisasi. Beberapa permasalahan utama tersebut adalah: inefiensi anggaran akibat struktur dan mekanisme kerja organisasi pemerintah daerah; penyerapan dan kualitas pemanfaatan dana desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang memprihatinkan; pemekaran daerah yang sangat pesat; dan rendahnya kualitas kebijakan daerah. Permasalahan tersebut menyebabkan minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar publik sebagai bagian penting dalam akses terhadap keadilan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, strategi peningkatan akses terhadap keadilan dari perspektif tata kelola pemerintahan daerah hendaknya dilakukan berdasarkan 4 (empat) pilar utama yakni: (i) debirokratisasi untuk efisiensi dan peningkatan profesionalisme birokrasi; (ii) harmonisasi dan peningkatan kualitas kebijakan daerah berdasarkan prinsip transparansi, partisipatif dan akuntabilitas; (iii) kebijakan penggunaan anggaran nasional dan daerah untuk optimalisasi anggaran; dan (iv) penataan dan peningkatan kualitas pemekaran daerah. Upaya pemenuhan akses pada keadilan di sektor pertanahan dan sumber daya alam menghadapi permasalahan yang kompleks, meliputi antara lain penurunan kualitas lingkungan, kemiskinan, konflik, liberalisasi pengelolaan sumber daya alam, dan kelembagaan yang belum terintegrasi. Akar permasalahan terutama berasal dari terjadinya tumpang tindih dan pertentangan peraturan perundang-undangan; belum memadainya norma-norma peraturan perundang-undangan yang memberikan pengakuan dan perlindungan serta pemulihan hak masyarakat miskin, masyarakat adat dan kelompok terpinggirkan lain; paradigma pembangunan hukum yang yang mengesampingkan konteks sosial dalam pembentukan dan penegakan hukum; belum adanya lembaga khusus yang mampu menyelesaikan konflik pertanahan dan sumber daya alam; serta belum tersedianya mekanisme pemulihan lingkungan hidup yang menjamin masyarakat miskin dan terpinggirkan memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan sumber daya alam yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xiii
Strategi akses terhadap keadilan di sektor pertanahan dan sumber daya alam mencakup: (i) pengembangan kerangka hukum dan kebijakan yang integratif dan holistik serta berbasis pada keadilan sosial dan lingkungan, dan perbaikan proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang membuka ruang partisipasi lebih luas bagi kelompok masyarakat miskin, adat dan pengguna tanah serta sumber daya alam lainnya; (ii) harmonisasi penataan ruang dan perizinan pada tingkat pusat dan daerah untuk memastikan adanya ruang bagi masyarakat miskin dan adat untuk memperoleh hak serta akses untuk mendapatkan manfaat dari tanah dan sumber daya alam; (iii) menciptakan mekanisme penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam yang mampu melindungi hak-hak masyarakat miskin dan terpinggirkan, termasuk transformasi konflik menjadi kemitraan antara para pemangku kepentingan; (iv) pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh dan terkoordinasi; (v) pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan lain atas tanah dan sumber daya alam; (vi) perbaikan kualitas pelayanan publik dan pengaduan; (vii) pemulihan lingkungan fisik dan sosial di mana masyarakat tersebut hidup dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam. Beberapa capaian dalam isu perempuan di Indonesia adalah pertama, semakin tumbuhnya gerakan perempuan bersama dengan gerakan masyarakat madani yang luas dalam memperjuangkan hakhak perempuan dalam ranah politik, hukum, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan, yang menandai majunya demokrasi di Indonesia. Kedua, lahirnya sejumlah instrumen hukum yang mengupayakan perlindungan terhadap perempuan khususnya di era reformasi. Ketiga, semakin banyak yurisprudensi yang berperspektif keadilan gender. Sungguhpun demikian masih ada persoalan utama dalam bidang perempuan, yaitu masih minimnya pemahaman kepekaan gender di lingkungan institusi formal. Perempuan miskin dan tidak terdidik mengalami hambatan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya di muka hukum, termasuk dalam proses peradilan. Ketiadaan perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan dalam struktur pengambilan keputusan, termasuk di tingkat daerah, mengakibatkan lahirnya produk hukum dan kebijakan terutama dalam bidang anggaran, yang kurang memberikan perhatian kepada perempuan. Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai bentuk pencarian keadilan melalui mekanisme informal di mana kultur patriarki yang kuat menghalangi akses perempuan untuk memperoleh keadilan. Strategi yang diusulkan ke depan adalah: pertama, pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan daerah yang bias perempuan. Kedua, pelibatan perempuan dalam berbagai proses pengambilan keputusan di bidang legislasi dan anggaran dengan memperhitungkan kebutuhan dan pengalaman perempuan (gender budgeting). Ketiga, dukungan bagi terwujudnya gagasan “sistem peradilan pidana terpadu-penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan”, yang merupakan koordinasi terpadu antar penegak hukum, instansi pemerintah terkait dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Keempat, peningkatan kesadaran bagi aparat hukum untuk memahami peningkatan akses keadilan terhadap perempuan. Kelima, engendering kurikulum pendidikan tinggi hukum. Status dan posisi kelompok anak yang khas dalam struktur masyarakat, secara politik, sosial, maupun budaya menempatkan anak sebagai kelompok yang memerlukan perlindungan khusus. Perkembangan fisik dan mentalnya menghadapkan mereka pada serangkaian risiko penyalahgunaan. Kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi yang dialami anak akan menyumbang pada ketidakberdayaan dan kemiskinan. Penanganan masalah dengan perspektif keadilan bagi anak, merupakan salah satu prioritas penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Ketika mengalami kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi, maka anak menghadapi risiko berurusan dengan hukum dan sistem peradilan,
xiv
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku akibat terlibat atau dilibatkannya mereka pada tindak pidana. Serangkaian problematika yang menghambat pencapaian akses terhadap keadilan bagi anak adalah: belum paham dan pekanya aparat penegak hukum dan penyedia layanan keadilan terhadap hak-hak anak, masih lemahnya struktur dan mekanisme khusus perlindungan anak pada sistem peradilan baik formal maupun nonformal, kebelumberdayaan anak untuk menyuarakan dan menuntut hak-haknya, dan lemahnya kesadaran di tingkat masyarakat akan perlindungan anak. Pengintegrasian isu anak akan sangat menguntungkan upaya pembaruan secara keseluruhan. Pemenuhan hak-hak asasi manusia dan pembaruan sistem peradilan secara keseluruhan hanya dapat dicapai apabila isu anak diintegrasikan ke dalam inisiatif reformasi dan pemberdayaan hukum yang lebih luas, dan apabila anak memiliki akses pada sistem peradilan anak yang adil, transparan, dan peka terhadap hak-hak anak. Berbagai gagasan yang sifatnya eksperimental dalam hal pembaruan sistem hukum dan peradilan sesungguhnya dapat lebih mudah diujicobakan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan anak karena sifat isunya yang relatif non-kontroversial dibanding dengan isu orang dewasa. Strategi yang telah diidentifikasi dapat mempercepat pencapaian hal-hal di atas adalah: pertama, pengintegrasian, pengembangan dan penguatan aturan mengenai hak-hak dan perlindungan anak beserta program dan pengalokasian anggarannya. Kedua, perubahan paradigma keadilan ke arah yang lebih restoratif dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, melalui penguatan proses legislasi sampai dengan mekanisme pemantauan dan evaluasi. Ketiga, penguatan pemberdayaan peradilan dan kesejahteraan sosial untuk memastikan penegakan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Kompleksnya permasalahan tenaga kerja antara lain disebabkan masih lemahnya perlindungan yang memadai bagi sektor migran (Tenaga Kerja Luar Negeri) dan sektor anak di bidang ketenagakerjaan. Kurangnya penyediaan lapangan kerja menyebabkan meningkatnya jumlah pekerja sektor informal sebagai limpahan dari sektor formal yang tidak mampu menampung mereka, serta meningkatnya jumlah tenaga kerja luar negeri yang berpendidikan rendah. Adanya kebutuhan untuk memperoleh pekerjaan menyebabkan permintaan terhadap lapangan pekerjaan lebih besar dari yang tersedia di dalam negeri, sedangkan negara lain membutuhkan pekerja. Peluang untuk bekerja ke luar negeri yang cukup besar, ditambah dengan rangsangan penghasilan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penghasilan di dalam negeri, merupakan daya tarik bagi pekerja untuk bekerja ke luar negeri. Patut disayangkan, kebanyakan tenaga kerja yang bermigrasi ke luar negeri adalah tenaga kerja kurang terampil (unskilled labor), yang hanya mengandalkan pekerjaan-pekerjaan seperti pembantu rumah tangga, buruh bangunan, pekerja perkebunan, sopir, dan karyawan pabrik. Dalam kenyataannya, banyak musibah yang menimpa para pekerja migran di luar negeri, seperti penganiayaan, pemerkosaan, kasus bunuh diri, sampai tidak diberikannya upah selama bekerja. Banyak yang berpandangan masalah ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan para pekerja migran. Namun selain hal tersebut, minimnya sistem perlindungan terpadu dari negara, baik negara pengirim maupun negara tujuan, turut memberi andil pada kenyataan di atas. Sistem perlindungan bagi pekerja sampai saat ini belum mengakui kelompok tenaga kerja luar negeri yang bekerja pada sektor informal, baik secara nasional maupun internasional. Pendekatan penegakan hukum terhadap pengaturan migrasi di negara-negara tujuan cenderung menempatkan pekerja migran tak berdokumen pada posisi tidak menguntungkan, karena mereka umumnya harus menanggung konsekuensi dijadikan sasaran perlakuan kurang manusiawi dan sering disebut sebagai ilegal.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xv
Di sektor pekerja anak, krisis ekonomi telah meningkatkan angka pekerja di bawah umur atau dikenal sebagai pekerja anak yang putus sekolah dan terpaksa membantu ekonomi keluarga. Dalam praktik, pekerja anak ditampung oleh para pemberi kerja karena upah yang murah dan sifat mereka yang penurut. Strategi yang diusulkan bagi kelompok tenaga kerja ke depan adalah: pertama, penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang diarahkan pada aspek perlindungan pekerja anak dan tenaga kerja luar negeri. Kedua, peningkatan kualitas perlindungan, penanganan dan mekanisme pengaduan bagi pekerja. Ketiga, melakukan langkah-langkah percepatan pemulihan dalam penanganan pekerja yang menjadi korban kekerasan. Keempat, melakukan peningkatan akses pelayanan remitansi (transfer uang) tenaga kerja luar negeri, dan Kelima mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesadaran hukum di kalangan pekerja. Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat sipil selama ini terfokus pada upaya pemberdayaan di bidang ekonomi saja, Namun sesungguhnya yang harus juga dilakukan adalah meningkatkan upaya pemberdayaan hak-hak, baik melalui hukum maupun kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Untuk dapat mencegah dan menanggulangi kemiskinan, sangat penting bagi kelompok masyarakat miskin untuk meningkatkan kemampuannya dalam mencari dan memperoleh pemulihan hak baik melalui lembaga keadilan formal maupun nonformal. Ketika membahas persoalan akses terhadap keadilan dari berbagai isu di atas, pada dasarnya terdapat satu irisan kelompok masyarakat yang disasar yaitu kelompok miskin dan terpinggirkan. Kelompok inilah yang mengalami berbagai hambatan terbesar dalam mengakses keadilan, baik ketika membahas mengenai reformasi lembaga peradilan, bantuan hukum, tata kelola pemerintahan daerah maupun tanah dan sumber daya alam. Kelompok ini ada di setiap isu hukum dan perempuan, anak dan tenaga kerja. Oleh karena itu, sebagai upaya penguatan pesan dari strategi nasional ini, pembahasan tentang kelompok miskin dan terpinggirkan diletakkan dalam satu bagian tersendiri. Naskah strategi nasional ini mengakui bahwa kemiskinan di Indonesia dan tempat lain di seluruh dunia merupakan kemiskinan yang diciptakan oleh struktur politik, ekonomi dan hukum yang memang memiskinkan dan meminggirkan sekelompok masyarakat dibanding kelompok lainnya. Sama halnya dengan permasalahan pencapaian keadilan bagi masyarakat miskin pada dasarnya bukan hanya masalah legal teknis melainkan lebih merupakan masalah sosial politik: bagaimana memperkuat posisi tawar kelompok miskin untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum. Naskah strategi ini berpegang pada anggapan bahwa paradigma keadilan dalam perspektif hukum perlu diubah menjadi paradigma keadilan sosial (social justice) di mana reformasi hukum dan keadilan seharusnya memiliki tujuan pokok yaitu melindungi hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat miskin serta memperkuat posisi tawar mereka agar dapat memperoleh keadilan baik melalui mekanisme formal maupun nonformal. Untuk mendukung pencapaian tujuan pokok tersebut, naskah ini merekomendasikan 3 (tiga) strategi penguatan akses keadilan bagi kelompok miskin dan marginal. Pertama, perubahan paradigma pendidikan hukum di Indonesia dari legalistik formal menuju paradigma pendidikan yang mengendepankan keadilan sosial dengan memperhatikan masalah dan pengalaman masyarakat dalam upaya pencapaian keadilan. Kedua, untuk menjawab tantangan geografis dan akses informasi hukum bagi kelompok miskin, direkomendasikan untuk melakukan berbagai upaya mendukung pengembangan keparalegalan di Indonesia. Ketiga, Pihak pemerintah dan non pemerintah mengintegrasikan inisiatif penguatan akses keadilan di Indonesia ke dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat yang
xvi
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
sudah dilaksanakan selama ini dalam berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, jalan dan air bersih serta program bantuan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat seperti dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pokok-pokok strategi nasional akses terhadap keadilan ini merupakan sintesa dari berbagai strategi dalam delapan isu, yaitu reformasi hukum dan peradilan, bantuan hukum, tata kelola pemerintahan, sumber daya alam, ketenagakerjaan, akses terhadap keadilan bagi kelompok perempuan, anak dan orang miskin. Pembahasan terhadap setiap isu mengacu pada komponen yang sama, yaitu kerangka normatif, kesadaran hukum, akses terhadap forum yang sesuai, penanganan keluhan yang efektif, pemulihan hak yang memuaskan, permasalahan mengenai kelompok miskin, dan strategi nasional. Ada 4 (empat) prinsip kerja dalam Pokok-pokok Strategi Nasional, yaitu: 1. Setiap komponen sama pentingnya; 2. Kerjasama sinergis antara pemerintah pusat dan daerah; 3. Keseimbangan antara sistem keadilan negara dan sistem keadilan alternatif; penyelenggara keadilan dan pencari keadilan; 4. Pengawasan, pemantauan dan transparansi. Ada 6 (enam) pokok-pokok strategi nasional yang diusulkan, yaitu: 1. Perubahan paradigma pembangunan hukum dan peranan pendidikan hukum di Indonesia; 2. Pengakuan dan dukungan terhadap kegiatan bantuan hukum dan pembangunan paralegal di Indonesia; 3. Perbaikan legislasi dan politik anggaran yang mendukung Akses terhadap Keadilan; 4. Formulasi dan penerapan Standar Pelayanan Minimum dalam pelayanan publik; 5. Penguatan mekanisme pengaduan dan penyelesaian/pemulihan bagi masyarakat yang dirugikan dalam kerangka pelayanan publik; 6. Penguatan dan pemberdayaan sistem keadilan berbasis komunitas. Strategi nasional ini dilengkapi dengan rencana aksi yang secara lengkap terlampir dalam naskah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xvii
DAFTAR ISI Kata Pengantar.................................................................................................................................... iii Ucapan Terima Kasih......................................................................................................................... vii Ringkasan Eksekutif........................................................................................................................... ix
Daftar Isi........................................................................................................................................... xix Daftar Ilustrasi................................................................................................................................ xxiii Daftar Istilah.................................................................................................................................... xxv
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................................................... 1 1.2 Pembangunan Hukum dan Akses terhadap Keadilan: Tantangan dan Harapan........................ 2 1.3 Menuju Akses terhadap Keadilan yang Berpihak pada Rakyat................................................. 4 1.4 Kerangka Konsep Akses terhadap Keadilan di Indonesia......................................................... 5
BAB 2 SKEMA dan METODE KERJA............................................................................................ 9 2.1 Skema Proses Akses terhadap Keadilan di Indonesia............................................................... 9 2.2 Metode Kerja........................................................................................................................... 10
BAB 3 STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN............................................ 13 3.1 Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan............................ 13 3.1.1 Kerangka Normatif.................................................................................................................. 18 3.1.2 Pendidikan Hukum................................................................................................................... 25 3.1.3 Sarana dan Prasarana Keadilan................................................................................................ 26 3.1.4 Pelayanan Hukum, Pengaduan dan Sengketa.......................................................................... 26 3.1.5 Kesadaran Hukum . ................................................................................................................. 28 3.1.6 Hukum dan Peradilan untuk Masyarakat................................................................................. 29 3.1.7 Strategi Nasional Akses Keadilan dalam Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan............... 29 3.1.8 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan dalam Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan.... 32 3.2 Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Bantuan Hukum....................................................... 40 3.2.1 Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan di Indonesia: Beberapa Tantangan................................................................................................................. 41 3.2.2 Bantuan Hukum dan Akses terhadap Keadilan........................................................................ 45 3.2.3 Strategi Nasional Akses terhadap Bantuan Hukum ................................................................ 52
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xix
3.2.4 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan di Bidang Bantuan Hukum..................................... 59 3.3 Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah........................... 67 3.3.1 Kerangka Normatif.................................................................................................................. 67 3.3.2 Kesadaran Hukum . ................................................................................................................. 69 3.3.3 Akses terhadap Forum yang Sesuai dan Penanganan Keluhan yang Efektif........................... 69 3.3.4 Pemulihan Hak yang Memuaskan........................................................................................... 70 3.3.5 Permasalahan tentang Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan................................................ 70 3.3.6 Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah............................................................................................................... 70 3.3.7 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan di bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah.......... 76 3.4 Akses terhadap Keadilan Bidang Tanah dan Sumber Daya Alam........................................... 85 3.4.1 Permasalahan pada Kerangka Normatif................................................................................... 86 3.4.2 Kesadaran Humum, Kesadaran Hak dan Kesadaran atas Keadilan pada Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah dan Sumber Daya Alam........................................................................... 92 3.4.3 Akses terhadap Forum yang Sesuai......................................................................................... 94 3.4.4 Penanganan Keluhan yang Efektif........................................................................................... 95 3.4.5 Pemulihan Hak yang Memuaskan........................................................................................... 96 3.4.6 Permasalahan Khusus untuk Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan.................... 97 3.4.7 Strategi Nasional Akses Keadilan terhadap Tanah dan Sumber Daya Alam........................... 98 3.4.8 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan dalam Bidang Pertanahan dan Sumber Daya Alam................................................................................................................ 102 3.5 Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Perempuan.......................................................... 133 3.5.1 Kerangka Normatif................................................................................................................ 135 3.5.2 Kesadaran Hukum.................................................................................................................. 137 3.5.3 Akses terhadap Forum yang Sesuai....................................................................................... 137 3.5.4 Penanganan Keluhan yang Efektif......................................................................................... 138 3.5.5 Pemulihan Hak yang Memuaskan......................................................................................... 138 3.5.6 Permasalahan mengenai Perempuan Miskin, Tertindas dan Terpinggirkan.......................... 139 3.5.7 Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Perempuan.............................. 139 3.5.8 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan bagi Kelompok Perempuan................................... 141 3.6 Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Anak.................................................................... 144 3.6.1 Definisi Keadilan bagi Anak dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum........................... 146 3.6.2 Prinsip-prinsip Keadilan bagi Anak....................................................................................... 146 3.6.3 Keadilan bagi Anak dan Penanggulangan Kemiskinan......................................................... 147 3.6.4 Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Anak......................................................................... 147 3.6.5 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan bagi Kelompok Anak............................................ 151 3.7 Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Tenaga Kerja....................................................... 164 3.7.1 TKI Luar Negeri.................................................................................................................... 165 3.7.2 Pekerja Anak.......................................................................................................................... 169 3.7.3 Strategi Nasinal Akses Keadilan terhadap Pekerja................................................................ 171 3.7.4 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan bagi Kelompok Tenaga Kerja............................... 172
xx
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
3.8 Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan............... 175 3.8.1 Masalah Utama Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Miskin dan Terpinggirkan......... 175 3.8.2 Peluang Penguatan Akses terhadap Keadilan........................................................................ 178 3.8.3 Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Miskin dan Terpinggirkan....... 179 3.8.4 Rencana Aksi Akses Terhadap Keadilan bagi Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan......................................................................................................................... 182
BAB 4 POKOK-POKOK STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN: IMPLIKASI & TANTANGAN................................................................................................................... 187 4.1 Perbaikan Pembangunan Hukum di Indonesia Melalui Pendidikan Hukum dan Pengetahuan Lembaga Penegak Hukum . .................................................................................................. 188 4.2 Pengakuan dan Dukungan terhadap Kegiatan Bantuan Hukum dan Pembangunan Keparalegalan di Indonesia............................................................................ 190 4.3 Perbaikan Legislasi dan Politik Anggaran yang Mendukung Akses terhadap Keadilan....... 191 4.4 Formulasi dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum dalam Pelayanan Publik............... 193 4.5 Penguatan Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian Pemulihan bagi Masyarakat yang Dirugikan dalam Pelayanan Publik........................................................... 194 4.6 Penguatan dan Pembudayaan Sistem Keadilan Berbasis Komunitas.................................... 196 Lampiran - 1..................................................................................................................................... 197 Catatan Akhir................................................................................................................................... 204 Daftar Pustaka.................................................................................................................................. 211
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xxi
DAFTAR ILUSTRASI GAMBAR: Gambar 1: Kerangka Konseptual Akses terhadap Keadilan—9 TABEL: Tabel 1: Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara—22 Tabel 2: Investasi Pemerintah untuk Bantuan Hukum di Beberapa Negara Demokrasi—40 Tabel 3: Perbandingan Investasi Pelayanan Hukum—43 Tabel 4: Perbandingan Alokasi Dana Bantuan Hukum di Beberapa Negara—44 Tabel 5: Undang-Undang Bantuan Hukum di Beberapa Negara—55 Tabel 6: Perbandingan Mekanisme Prosedur Bantuan Hukum—56 Tabel 7: Data Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan—139
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xxiii
DAFTAR ISTILAH Ad-hoc Bersifat sementara/situasional untuk menanggapi/mengatasi suatu kejadian/masalah tertentu untuk jangka waktu yang pendek.
Affirmative-policy Kebijakan yang dibuat berdasarkan suatu pemihakan terhadap entitas/subjek tertentu mengenai suatu hal yang dilatarbelakangi adanya kondisi yang tidak menguntungkan bagi entitas/subjek tertentu tersebut.
Anak Semua yang berusia di bawah 18 tahun.
Anak yang berhadapan dengan hukum Anak yang menjadi korban, saksi maupun anak yang diduga, didakwa atau telah dinyatakan melanggar hukum pidana.
APBD Anggaran pembangunan dan belanja daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Audit Peraturan Perundang-undangan Suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menginventarisasi, memetakan, menganalisis, menetapkan peraturan perundang-undangan yang perlu diubah dan/atau dicabut/ dibatalkan.
Complaint mechanism Mekanisme pengaduan.
Daerah tertinggal Wilayah administrasi pemerintahan daerah yang dikategorikan sebagai ‘daerah tertinggal’ berdasarkan sejumlah kriteria yang ditetapkan pemerintah (pusat), yang perlu mendapat perhatian khusus oleh Pemerintah.
DAK Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN (anggaran pendapatan dan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xxv
belanja nasional) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana dekonsentrasi Dana yang berasal dari APBN (anggaran pendapatan dan belanja nasional) yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah (pusat) yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. DAU Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Diskriminasi Diskriminasi terhadap anak adalah pembedaan, penyingkiran, atau pembatasan terhadap anak berdasarkan keanggotaannya dalam suku, agama, ras, atau kelompok tertentu, yang menyebabkan anak tidak dapat menikmati hak-hak pendidikan, kesehatan, sosial, politik, budaya, ekonomi, perlindungan atau bidang-bidang lainnya.
Diversi Mekanisme pengalihan kasus anak dari sistem formal kepada penanganan nonformal berbasis masyarakat. Idealnya dapat dilakukan di setiap tahapan pemeriksaan dan pemidanaan, dan harus dipantau melalui sebuah sistem yang mapan agar tidak terjadi praktik-praktik berkedok diversi yang tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas, tranparansi dan hak-hak anak.
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. DPOD Dewan pertimbangan otonomi daerah adalah dewan yang dibentuk Presiden untuk melakukan evaluasi dan memberikan masukan atas penyelenggaraan otonomi daerah, di antaranya namun tidak terbatas pada pertimbangan tentang perlu tidaknya pemekaran suatu daerah. E-procurement Proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi, yang diyakini akan memberikan jaminan atas objektivitas proses yang efisien dan efektif.
Eksploitasi dalam bentuk pekerjaan terburuk Eksploitasi terhadap anak terjadi saat anak secara sengaja dan/atau paksa diperlakukan seperti komoditas berdasarkan motif keuntungan ekonomi bagi pelaku. Sebagai korban eksploitasi, anak menerima sangat sedikit atau bahkan tidak menerima sama sekali keuntungan ekonomi tersebut. Termasuk di dalamnya perdagangan anak.
xxvi
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Free and prior informed consent (persetujuan dini tanpa paksaan dengan informasi awal yang akurat) Persetujuan bebas tanpa intervensi, manipulasi dan paksaan dari pihak luar yang diberikan oleh seluruh anggota masyarakat, utamanya masyarakat adat, terhadap suatu kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap seluruh aspek kehidupan mereka, berdasarkan informasi awal yang secara akurat menjelaskan tentang tujuan, lingkup kegiatan dan kemungkinan dampak yang akan mengenai anggota masyarakat tersebut, yang disampaikan dengan bahasa dan melalui proses komunikasi yang dipahami masyarakat serta dengan menghormati adat istiadat mereka.
Gender budgeting Kebijakan dalam bidang anggaran yang memperhitungkan suara dan kepentingan perempuan dalam perumusan dan alokasi penganggarannya, sehingga kebutuhan perempuan dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum, tercermin dalam kebijakan anggaran tersebut secara lebih adil.
Gender Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial dan budaya seiring dengan perbedaan ciri-ciri biologisnya. Lihat Sex.
Keadilan gender Suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan lingkungan Situasi di mana akses pada manfaat lingkungan dan sumber daya alam, serta risiko dan bahaya lingkungan yang menyertainya didistribusikan secara adil dan tanpa diskiriminasi. Termasuk dalam keadilan lingkungan adalah dinikmatinya akses pada informasi tentang lingkungan dan sumber daya alam dan partisipasi dalam pengambilan keputusan oleh semua pihak.
Keadilan transisional Kerangka tindakan guna mewujudkan keadilan di masa transisi, yaitu masa peralihan dari rezim otoriter kepada rezim demokratik, yang pada hakikatnya adalah perumusan ulang konsep dan prinsip-prinsip keadilan yang didasarkan pada pengakuan terhadap kebenaran, penghormatan pada martabat manusia dan perlindungan pada korban-korban ketidakdilan. Prinsip-prinsip utama keadilan transisional adalah melakukan koreksi pada ketidakadilan di masa lampau serta mendahulukan yang tidak beruntung dan paling rentan terhadap ketidakadilan (masyarakat adat, petani, buruh, masyarakat miskin, anak-anak, perempuan dan sebagainya).
Keadilan restoratif Paradigma keadilan di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersamasama memecahkan masalah dan merancang penanganan terhadap akibat dapat timbul di masa yang akan datang. Dilihat melalui kaca mata keadilan restoratif, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap orang dan relasi di antara mereka. Tindak pidana menciptakan kewajiban bagi semua pihak untuk membuat segala sesuatunya menjadi pulih kembali dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dengan cara yang menentramkan hati.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xxvii
Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangunan merupakan suatu mekanisme untuk merencanakan pembangunan dalam suatu kurun waktu tertentu, yang dalam setiap tahap perencanaannya memberikan kesempatan kepada para pemangku peran untuk berpartisipasi di dalamnya.
Ombudsman Lembaga yang dibentuk oleh legislatif untuk menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah, juga permasalahan antara masyarakat dengan lembaga peradilan namun tidak mempunyai kewenangan eksekusi.
Otonomi daerah Pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PAD Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik Kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Plasma Nuftah Sumber daya genetik yang merupakan bahan dari tumbuhan/hewan atau jasad renik yang mempunyai fungsi dan kemampuan mewariskan sifat. Pemekaran daerah Pemecahan daerah induk menjadi lebih dari satu daerah otonom baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.
Pendekatan hukum berperspektif perempuan Sebuah pendekatan dalam ilmu hukum modern yang mengedepankan pertanyaan perempuan berdasarkan pengalaman-pengalamannya, untuk menganalisis secara kritikal berbagai produk legislasi dan kebijakan.
Pendekatan bio/ekoregion Pendekatan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan pada keterpaduan pengelolaan ekosistem darat, pesisir, laut dan udara termasuk pulau-pulau kecil dengan masyarakat dan kebudayaan yang hidup di dalamnya yang tidak terikat oleh batas-batas administratif wilayah.
Pendekatan sosio-legal Pendekatan lintas disiplin yang menggabungkan perspektif ilmu sosial dan ilmu hukum. Termasuk dalam ranah sosio-legal adalah sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, psikologi dan hukum, kajian politik terhadap hukum dan kajian lain yang sejenis.
xxviii
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Penelantaran anak (neglect) Penelantaran terhadap anak terjadi jika orangtua/wali/pengasuh/orang dewasa di sekitar anak secara sengaja tidak menyediakan kebutuhan mendasar bagi anak untuk dapat bertumbuh kembang normal secara fisik, psikis dan emosional.
Pengarusutamaan gender Strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.
Peradilan formal bagi anak Melibatkan institusi penegakan hukum dan peradilan yang dijalankan oleh negara, termasuk polisi, jaksa, pengadilan (pidana dan perdata), advokat, pemasyarakatan, dan kementrian terkait yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pengawasan serta implementasi kebijakan politik, hukum dan keamanan.
Peradilan nonformal bagi anak Peradilan adat, agama, dan mekanisme nonformal lainnya yang biasa digunakan sebagai media penyelesaian perselisihan di level komunitas.
Perda Peraturan daerah yang dibuat oleh daerah otonom baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota untuk menjalankan kewenangan otonomnya.
Perdagangan anak untuk eksploitasi seksual Perdagangan anak (child traficking) adalah rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan anak dengan atau tanpa ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, untuk tujuan mengeksploitasi anak. Misalnya, untuk dipekerjakan secara paksa di tempat pelacuran, diperbudak, atau untuk pengambilan organorgan tubuh.
Perimbangan keuangan Sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan (pusat – propinsi – kabupaten/kota).
Perlakuan salah fisik (physical abuse) Perlakuan salah fisik terjadi jika secara sengaja dan/atau paksa, kekerasan dilakukan terhadap bagian tubuh anak yang dapat menghasilkan luka fisik pada anak.
Perlakuan salah seksual (sexual abuse) Perlakuan salah seksual terjadi jika secara sengaja dan/atau paksa, kekerasan dilakukan terhadap genital dan/atau bagian tubuh tertentu anak untuk tujuan seksual. Termasuk penyalahgunaan anak untuk pornografi.
Perlakuan salah psikis (emotional abuse) Perlakuan salah psikis meliputi serangan terhadap perasaan dan harga diri anak. Bentuknya bisa mempermalukan anak, penghinaan atau penolakan terhadap anak.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
xxix
Prolegnas Program legislasi nasional, yang menempatkan prioritas rancangan undang-undang yang akan dibahas di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dalam masa persidangan tertentu.
PPP Public private partnership adalah kerja sama antara pemerintah dengan pihak swasta dengan berbagai model teknis kerja sama menyangkut hak dan kewajiban para pihak.
Reforma atau pembaruan agrarian Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
RIA: regulatory impact analysis/assessment Suatu kerangka kerja dalam proses penyusunan suatu kebijakan publik dengan mempertimbangkan manfaat (benefit) dan biaya (cost) atas dikeluarkannya kebijakan tersebut, yang dalam proses penyusunannya harus melibatkan pemangku peran terkait.
Sex (jenis kelamin) Pembedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan ciri-ciri biologis yang terberi, yang hampir tidak dapat diubah oleh manusia. Lihat Gender.
Sistem pemerintahan sentralistik Sistem pemerintahan yang pelaksanaan pemerintahan baik di tingkat nasional maupun daerah didominasi oleh pemerintah (pusat).
Sistem pemerintahan desentralistik Sistem pemerintahan yang memberikan kewenangan yang luas kepada kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di daerahnya masing masing.
Stakeholder Pemangku peran yang merupakan unsur-unsur masyarakat warga yang akan terkena dampak atas diberlakukannya suatu peraturan/kebijakan pemerintah, dan oleh karenanya memiliki hak untuk ikut terlibat dalam proses pembuatan peraturan/kebijakan tersebut.
Tugas pembantuan Penugasan dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
xxx
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
BAB 1
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Akses terhadap keadilan adalah salah satu bentuk pengejahwantahan dari prinsip negara hukum dan pengakuan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Keseluruhan hak dan kewajiban yang digariskan dalam UUD 1945 merupakan kesatuan upaya untuk mencapai tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tercapainya keadilan sosial ini juga menjadi tujuan konsepsi akses terhadap keadilan. Tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dicapai melalui pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Salah satu visi RPJPN 2005-2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”, yang diartikan bahwa semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan, memperoleh lapangan kerja, mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan, mengemukakan pendapat, melaksanakan hak politik, mengamankan dan mempertahankan negara serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan didepan hukum. Bangsa yang adil berarti tidak ada deskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah.1 Dalam rangka mewujudkan RPJPN, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Pada tahun 20052006, Pemerintah Indonesia c.q. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan The United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, telah melakukan kerjasama selama 18 (delapan belas bulan) untuk melakukan penelitian “Akses terhadap Keadilan”, dengan menetapkan 5 (lima) provinsi di Indonesia yaitu, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara,2 sebagai wilayah pilot. Penetapan wilayah tersebut didasari pada pertimbangan, masyarakat pada lima provinsi tersebut merupakan kelompok yang paling terkena dampak akibat konflik yang terjadi baik secara horisontal maupun vertikal. Dampak yang dialami tersebut antara lain berupa sangat minimalnya akses untuk memperoleh berbagai pelayanan publik yang selayaknya diperoleh sebagai warga negara Indonesia. Kondisi ini dirasakan sebagai suatu bentuk ketidakadilan yang dilakukan olehnegara. Ketidakadilan tersebut terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan, karena faktor lokasi dan fasilitas infrastruktur yang sangat jauh dari memadai serta minimnya pemahaman mengenai hak-hak dasar yang secara jelas dijamin pemenuhannya dalam UUD 1945. Penelitian tentang akses keadilan di lima (5) wilayah pilot tersebut bertujuan untuk mengetahui kebutuhan akses terhadap keadilan bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan. Lingkup penelitian terfokus pada usaha untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan pokok
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
1
terkait dengan isu keadilan di dalam masyarakat dan langkah-langkah yang telah ditempuh untuk memecahkan permasalahan tersebut, beserta alasan-alasannya.3 Kinerja dari mekanisme hukum formal dan nonformal turut dipertimbangkan dalam penelitian ini, termasuk berbagai perkembangan terbaru dari sisi legislatif dan institusional yang memiliki potensi mempengaruhi isu akses terhadap keadilan secara umum.4 Menindaklanjuti rekomendasi dari penelitian di atas, pada bulan Juli tahun 2007, Pemerintah Indonesia dan UNDP telah menandatangani kerjasama untuk meningkatkan Pemberdayaan Hukum Bagi Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan (Legal Empowerment and Assistance for the Disadvantage) atau disingkat LEAD. Salah satu kegiatan dari kerjasama LEAD adalah menyusun suatu naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, yang akan menjadi bahan penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 bidang hukum serta bidang lain yang terkait.5 Penyusunan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan mendasarkan pada rekomendasi hasil penelitian “Akses terhadap Keadilan” yang ditindaklanjuti melalui projek LEAD, meliputi 6 (enam) permasalahan pokok, sebagai berikut:6 1. Akses terhadap Pelayanan dan Bantuan Pemerintah; 2. Kepemilikan dan Pengelolaan atas Tanah dan Sumber Daya Alam; 3. Kekerasan dan Diskriminasi Gender; 4. Hak-hak Buruh dan Hak atas Pekerjaan yang Layak; 5. Kriminalitas dan Penegakan Hukum yang belum Memadai; 6. Keamanan Pasca Konflik, Hak atas Harta Benda, dan Permasalahan-permasalahan Lainnya. Penajaman terhadap 6 (enam) permasalahan pokok yang dilakukan oleh kelompok kerja yang ditugaskan untuk menyusun naskah Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, menghasilkan 8 (delapan) fokus permasalahan yaitu: (i) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan; (ii) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Bantuan Hukum; (iii) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah; (iv) Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tanah dan Sumber Daya Alam; (v) Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Perempuan; (vi) Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Anak; (vii) Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Tenaga Kerja; (viii) Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan.
1.2
Pembangunan Hukum dan Akses terhadap Keadilan: Tantangan dan Harapan
Tema akses terhadap keadilan sangat penting untuk diberi perhatian saat ini dan mendatang, setelah melihat pengalaman sejarah pembangunan hukum yang panjang, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sebuah laporan yang diluncurkan oleh Commission on Legal Empowerment mengemukakan bahwa empat milyar orang di seluruh dunia berada pada kemiskinan, karena mereka tersisihkan dari rule of law dan access to justice (CLEP, 2008). Pembangunan hukum hampir dipastikan gagal untuk memberi akses terhadap keadilan kepada orang miskin. Perspektif dalam melihat “kemiskinan” dan upaya penanggulangannya yang belum tepat, menyebabkan kemiskinan tetap menjadi permasalahan laten. Bila akses terhadap keadilan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan, maka akses tersebut bukanlah permasalahan hukum semata. Selama ini,
2
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
pembangunan hukum terlalu dipusatkan pada pembangunan sistem peradilan negara, yang ternyata belum terlalu berhasil untuk mewujudkan terbangunnya reformasi hukum, kesejahteraan, dan akses terhadap keadilan. Pembangunan hukum seyogyanya terintegrasi pada sektor pembangunan kemiskinan pada bidang apa pun, seperti pendidikan, kesehatan, sumber daya alam dan lingkungan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan akan menguraikan bagaimana hukum turut memberikan andil terjadinya kemiskinan. Namun demikian, tetap diyakini bahwa upaya penanggulangan kemiskinan harus dimulai dari pembenahan sistem hukum termasuk substansi hukum, institusi penegakan hukum dan pemberdayaan hukum, dalam kerangka rule of law. Model pembangunan hukum yang ditawarkan melalui naskah ini adalah pembangunan hukum yang prokeadilan rakyat yaitu: (i) program pembangunan hukum diintegrasikan dengan pembangunan di sektor-sektor lain dan secara langsung dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan; (2) dirancang secara buttom-up melibatkan para ahli dan masyarakat sipil yang memahami persoalan hukum dari prespektif kemasyarakatan; (3) ditujukan secara khusus kepada kelompok yang terpinggirkan (orang miskin, perempuan dan anak), serta melibatkan partisipasi aktif dan dukungan publik. Kemiskinan adalah buatan manusia (CLEP, 2008). Penyebab esensialnya adalah eksploitasi berlapis dari negara maju terhadap negara miskin, dari penguasa terhadap rakyat; kurang dipahaminya bahwa kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masih lemahnya akses kepada keadilan. Kesempatan orang miskin sangat terbatas untuk berpartisipasi pada proses pembuatan hukum dan kebijakan, termasuk pada bidang anggaran. Mereka belum punya pilihan, bahkan terpaksa tunduk pada hukum dan kebijakan yang belum pro-rakyat. Gerakan pembangunan hukum kali pertama dicanangkan tahun 1960-an dengan tujuan mempromosikan demokrasi dan pembangunan di banyak negara yang baru merdeka (Afrika, Asia), dan Amerika Latin. Pada gerakan pembangunan tersebut dilakukan transformasi model Barat, dengan harapan modernisasi dan demokrasi dapat diwujudkan di dunia ketiga. Namun gagasan ini ternyata gagal ketika dijalankan. Para ahli berpendapat bahwa hal itu tidak mengherankan, karena sarjana hukum barat belum memahami dengan baik sistem hukum dan konteks kemasyarakatan dunia ketiga. “What did lawyers understand about the development of the third world?” (BendaBeckman, F, 2006). Trubek dan Galanter mengatakan bahwa pembangunan hukum tersebut didasarkan pada teori yang salah tentang “hukum dan masyarakat”, bahkan Gardner menyebut pembangunan hukum semacam itu sebagai “legal imperialism” (Stephenson, 2006). Setelah itu, hukum dianggap belum penting dan menghilang dari wacana teori dan aktivitas pembangunan. Hukum baru diperhitungkan lagi ketika muncul gerakan the Rule of Law awal tahun 1990-an, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Rule of law diartikan sebagai suatu sistem di mana hukum merupakan pengetahuan umum, jelas maknanya dan berlaku sama untuk setiap orang (Carothers, 2006). Gerakan Rule of Law kembali dijalankan di dunia ketiga termasuk bekas Uni Soviet. Dipercaya bahwa rule of law adalah terapi untuk meliberalisasi dunia ketiga pasca-komunis dan membebaskannya dari korupsi, stimulus bagi investasi asing, pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, prioritas mereka adalah pembangunan hukum yang ramah terhadap investasi dan dunia bisnis. Prioritas hukum bisnis menyebabkan banyak negara di Asia termasuk Indonesia yang memodifikasi hukum dan institusi hukum komersial.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
3
Namun setelah lebih dari sepuluh tahun dan menghabiskan banyak dana, program tersebut belum terlalu berhasil. Reformasi institusi hukum masih berjalan lambat. Sistem peradilan Amerika Latin tetap terbelakang. Reformasi hukum di Rusia belum terjadi. Manajemen pengadilan di Indonesia masih belum tertata rapi, dan “mafia peradilan” masih marak terjadi. Namun, asumsi dasar gerakan rule of law orthodoxy, “dipatahkan” oleh negeri China, yang selama 20 tahun terakhir berhasil membangun ekonomi dan mendatangkan investasi asing, meskipun tanpa Rule of Law model barat. Disadari bahwa program pembangunan hukum tersebut belum berakar pada masyarakat penerima. Golub (2005) menyebutnya sebagai rule of law orthodoxy, dan bagaikan “a house without a foundation”. Rincian kegagalannya adalah, pertama, program terlalu berfokus pada institusi negara, khususnya pengadilan. Padahal beracara di pengadilan pada umumnya merupakan hal yang dihindarkan karena masyarakat lebih dekat dengan akses terhadap keadilan “non formal”, termasuk forum sengketa alternatif. Justru forum “non formal” inilah yang seharusnya diperkuat, terutama ketika institusi peradilan negara, belum mampu memberi keadilan yang memadai kepada setiap orang. Kedua, problem hukum dan penanganannya baru dipusatkan pada permasalahan hukum bisnis, reformasi institusi dan proses hukum di mana para sarjana hukum memainkan peranan penting. Di samping bukan hanya prioritasnya yang tidak tepat sasaran, namun juga keadilan hukum belum identik dengan keadilan sosial, yang seharusnya ditangani secara multidisipliner dan interdisipliner, agar menyentuh permasalahan keadilan yang paling mendasar. Ketiga, peranan masyarakat sangat terbatas dan adanya ketergantungan terhadap ahli dan inisiatif asing. Sejauh ini para pengambil kebijakan masih belum optimal menyediakan forum yang memadai bagi warga masyarakat untuk dapat menyampaikan kebutuhannya agar dapat mengakses keadilan.
1.3
Menuju Akses terhadap Keadilan yang Berpihak pada Rakyat
Belajar dari kegagalan di atas, saat ini lembaga dunia melalui kerja sama internasional mulai mempromosikan pembangunan hukum dengan tujuan memampukan setiap orang untuk mengakses keadilan, dan akhirnya akan menghapuskan kemiskinan. Pembangunan ini secara khusus ditujukan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan. Pembangunan hukum berangkat dari kebutuhan rakyat, dijalankan dan dipantau oleh warga masyarakat sendiri. Akses terhadap keadilan mensyaratkan dimilikinya pengetahuan dan kesadaran hukum tentang hakhak dan prinsip keadilan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum. Bila pengetahuan dan kesadaran hukum sudah dimiliki oleh kelompok terpinggirkan, akan lahir rasa percaya diri, yang kemudian akan memampukan mereka menciptakan strategi yang tepat untuk mengakses keadilan (Nelson, 2007). Rule of law (penegakan hukum), adalah pintu masuk bagi pemenuhan hak-hak dasar lain dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan akses kepada sumber daya alam dan lingkungan. Sudah saatnya melihat kemiskinan dan upaya penanggulangannya dengan perspektif yang berbeda, yaitu menjadikan hukum sebagai panglima tetapi sekaligus pelayan.
4
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
1.4
Kerangka Konsep Akses terhadap Keadilan di Indonesia
Penegakan prinsip keadilan adalah salah satu ciri dari negara hukum.7 Keadilan adalah hak dasar manusia yang sejalan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh effective remedy atas pelanggaran hak yang mereka derita, yang dibarengi oleh kewajiban negara untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersebut.8 Akumulasi dari hak-hak tersebut mengafirmasi bahwa keadilan telah menjadi suatu hak asasi manusia yang patut dihormati dan dijamin pemenuhannya.9
Akses terhadap Keadilan dan Kemiskinan Akses terhadap keadilan dalam buku ini dipandang tidak hanya sebatas permasalahan hukum semata, tetapi menyangkut juga by product dari sistem hukum, yaitu permasalahan kemiskinan. Hal ini memunculkan pertanyaan, “Kepada siapakah akses terhadap keadilan harus difokuskan?” Rakyat miskin harus menjadi fokus karena sebagaimana temuan CLEP 2008, kemiskinan berkaitan erat dengan pengabaian dari rule of law dan access to justice.10 Ada kebutuhan untuk menempatkan konsep akses terhadap keadilan sebagai suatu affirmative action11 berdasarkan perspektif HAM dengan tujuan bukan untuk menimbulkan suatu diskriminasi, tetapi sebagai ‘bantuan’ yang bersifat sementara bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan sampai mereka berada dalam posisi mampu untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Fokus akses terhadap keadilan mengalami perkembangan. Pada awalnya akses terhadap keadilan menekankan upaya penyediaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, kemudian berubah fokus pada penyatuan kepentingan dari para pihak yang berperan dalam pemberian akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin.12 Para pihak tersebut terdiri dari berbagai institusi negara terkait seperti kejaksaan, pengadilan, ombudsman, kementerian pelayanan publik terkait serta lembaga masyarakat yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat. Perubahan fokus berikutnya terkait pada langkah preservasi bagi proses-proses yang telah berlangsung sebelumnya dan bertujuan untuk menggali langkah yang lebih luas, yang mendukung reformasi yang tengah berlangsung untuk mencapai tujuan yang lebih besar lagi yaitu pembenahan sistem hukum untuk mencapai bentuk negara hukum yang ideal.13
Definisi Akses terhadap Keadilan Konsep akses terhadap keadilan pada intinya berfokus pada dua tujuan dasar dari keberadaan suatu sistem hukum14 yaitu: 1) sistem hukum seharusnya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan; dan 2) sistem hukum seharusnya dapat menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Ide dasar yang hendak diutamakan dalam konsep ini adalah untuk mencapai suatu keadilan sosial (social justice) bagi warga negara dari semua kalangan.15 Dalam naskah ini, akses terhadap keadilan dalam konteks Indonesia diartikan sebagai keadaan dan proses di mana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsipprinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi setiap warga negara (claim holder) agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun nonformal, didukung oleh mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang baik dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri. Dalam definisi
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
5
ini, secara langsung dikatakan bahwa akses terhadap keadilan mengandung tujuan pencegahan dan penanggulangan kemiskinan. Unsur penting dalam definisi ini adalah adanya kemampuan orangorang dari kelompok yang tidak diuntungkan terhadap akses keadilan melalui institusi formal dan nonformal. Artinya, institusi keadilan negara dan masyarakat mendapat tempat yang sama sebagai penyedia keadilan bagi warga masyarakat, ketika mereka membutuhkan pemulihan hak. Selanjutnya, penting juga untuk melihat bahwa warga masyarakat, khususnya kelompok miskin, sudah seharusnya mendapatkan akses terhadap mekanisme yang adil, efektif dan akuntabel untuk melindungi hak, menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan penyelesaian konflik. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan mendapatkan penyelesaian melalui mekanisme formal dan nonformal dalam sistem hukum, serta kemampuan untuk memperoleh dan terlibat dalam proses pembuatan, penerapan dan pelembagaan hukum, sebagaimana dikemukakan di bawah ini: “Kemampuan orang-orang untuk mencari dan memperoleh pemulihan hak melalui lembaga-lembaga keadilan formal dan nonformal sesuai dengan standar hak asasi manusia. Akses bagi masyarakat, khususnya bagi kelompok miskin terhadap mekanisme yang adil, efektif dan akuntabel untuk melindungi hak, menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan penyelesaian konflik. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan mendapatkan penyelesaian melalui mekanisme formal dan nonformal dalam sistem hukum, serta kemampuan untuk memperoleh dan terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan dan pelembagaan hukum” (UNDP, 2006).16
Berdasarkan definisi ini dapat dilihat bahwa akses masyarakat terhadap keadilan ditujukan kepada masyarakat secara keseluruhan dengan penitikberatan kepada kelompok miskin (mengindikasikan akses terhadap keadilan sebagai affirmative action). Definisi ini juga mengindikasikan pencapaian keadilan berdasarkan sistem hukum yang berlaku hanya merupakan satu bagian dari pencapaian keadilan dari perspektif yang lebih luas. Ini sesuai dengan definisi keadilan yang disetujui oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penekanan dilakukan pada dua poin penting yang bersifat bottom up dan top down: (i) bahwa masyarakat harus memiliki kesadaran hukum, kesadaran akan hakhak mereka, kesadaran akan forum-forum ‘untuk mencari dan memperoleh pemulihan hak’ mereka serta kendaraan untuk menerapkan hak mereka; (ii) pihak yang berwenang, dalam hal ini Pemerintah dan pihak-pihak lainnya yang terkait, khususnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan, memiliki kewajiban untuk ‘menyadarkan’ masyarakat akan hak-hak mereka dan menyediakan effective remedy bagi pemulihan hak-hak yang dilanggar. Standar hak asasi manusia dalam hal ini juga sangat krusial sebagai panduan dan dasar bagi adanya akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin. Definisi ini juga menggarisbawahi arti penting akses terhadap keadilan bagi rakyat yaitu pemulihan hak untuk melindungi diri dari kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh orang lain ketika terlibat dalam perselisihan atau konflik kepentingan. Pemulihan adalah tindakan yang memberi perbaikan terhadap kerugian yang diderita. Untuk mendapatkan pemulihan kembali dibutuhkan jaminan oleh hukum atau norma-norma kebiasaan. Pemulihan tersebut disebut pemulihan hukum (legal remedies) dan pemulihan peradilan (justice remedies). Pemulihan hukum yang secara khas melibatkan pihak ketiga (mekanisme atau institusi peradilan), yang keberfungsiannya juga diatur oleh norma-norma dalam menyelesaikan perselisihan. Sistem-sistem peradilan bertindak untuk mengakui hak rakyat atas pemulihan ketika hak ini sedang diperselisihkan. Dalam konteks Indonesia, yang diperlukan adalah kontribusi yang seimbang antara seluruh pihak yang terkait dalam mengimplementasikan konsep akses terhadap keadilan (baik pemerintah maupun pihak-pihak lain yang terkait erat). Pemberian akses terhadap keadilan juga turut dijamin dalam UUD 1945 melalui pasal 28D(1) dan 28I(1), sebagai bentuk hak asasi manusia yang harus terpenuhi.
6
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
UUD 1945 juga mengafirmasi kewajiban Pemerintah untuk memenuhi dan melindungi hak-hak warga negara untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Keseluruhan hak dan kewajiban yang digariskan dalam UUD 1945 merupakan kesatuan upaya untuk mencapai tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, yang juga menjadi tujuan konsepsi akses terhadap keadilan. Maka dari itu, penentuan definisi konsep akses terhadap keadilan bagi Indonesia memerlukan unsur terpenting yaitu keseimbangan peran para pihak yang terkait serta pertimbangan akan kondisi-kondisi khas yang dihadapi oleh Indonesia sebagaimana akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
7
BAB 2
BAB 2 Skema dan Metode Kerja 2.1
Skema Proses Akses terhadap Keadilan di Indonesia
Pemikiran mengenai akses terhadap keadilan akan lebih memiliki makna apabila digambarkan sebagai sebuah proses dalam rangka pemenuhan akses terhadap keadilan bagi kelompok terpinggirkan. Dalam proses tersebut terdapat berbagai faktor yang saling berhubungan. Interaksi antarfaktor dapat dijelaskan melalui kerangka konseptual yang disarikan dari berbagai temuan dan tulisan para ahli di bidang akses terhadap keadilan serta dokumen resmi organisasi internasional,17 sebagaimana digambarkan di bawah ini: Penanganan
elesaian
Gambar 1: Kerangka Konseptual Akses terhadap Keadilan Kerangka Normatif
Kerangka normatif berbagai undangundang, prosedur, dan struktur administratif berada pada tempatnya dan dipahami oleh para pemilik klaim dan pengemban tugas.
Kesadaran Hukum Para pemilik klaim mengetahui hukum dan hakhaknya yang dijamin oleh hukum dan mengetahui apa yang harus dilakukan sekiranya mereka menghadapi masalah.
Akses kepada Forum yang Sesuai
Penanganan yang Efektif terhadap Masalah
Penyelesaian yang Memuaskan
Para pemilik klaim mencari penyelesaian bagi masalah-masalah mereka melalui mekanismemekanisme yang sesuai dan masalah-masalah itu diterima oleh para pengemban tugas.
Para pengemban tugas mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memberikan penyelesaian bagi masalah-masalah.
Para pemilik klaim menerima penyelesaianpenyelesaian yang sesuai, sejalan dengan standarstandar HAM.
Pengawasan, Pemantauan and Transparansi
Sumber: Keadilan Untuk Semua, UNDP, 2006
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
9
Secara singkat, cakupan kerangka konseptual yang disarikan dari berbagai temuan dan tulisan para ahli di bidang akses terhadap keadilan serta dokumen resmi organisasi internasional18 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kerangka hukum normatif yang mendukung akses terhadap keadilan. Kerangka hukum normatif merujuk pada terbentuknya payung hukum yang merumuskan hak dan kewajiban, merefleksikan kebiasaan dan menerima perilaku sosial. Hal ini mencakup hukum negara dan hukum yang hidup dalam masyarakat yang meliputi dengan tiga elemen, yaitu: (i) substansi peraturan; (ii) proses penyusunan dan mekanisme perubahan; dan (iii) pelaku dan lembaga yang terlibat dalam proses dan substansi; 2. Kesadaran hukum, menyangkut peraturan, hak, kewajiban dan cara mengakses berbagai alternatif penyelesaian masalah; 3. Akses kepada lembaga di mana kelompok miskin dapat menerjemahkan kesadaran hukum dalam upaya nyata sebagaimana dinyatakan dalam World Development Report 2006, “people’s legal rights remain theoretical if the institutions charged with enforcing them are inaccessible.”19 Ketika perbaikan peraturan pro-kelompok miskin mulai terbentuk, serta kesadaran hukum mulai meningkat, pada saat itulah lembaga penegakan hukum formal atau nonformal, harus sudah dapat diakses; 4. Administrasi hukum yang efektif baik melalui lembaga formal maupun nonformal. Elemen lain yang penting dalam strategi akses hukum dan keadilan adalah kinerja lembaga hukum formal. Masyarakat seharusnya percaya bahwa kinerja lembaga hukum adalah efisien, netral dan profesional. Lembaga hukum harus menerapan peraturan prosedur yang konsisten dan setara bagi berbagai status sosial masyarakat. Hal ini penting tidak hanya untuk menjamin kepuasan atas hasil akhir proses hukum untuk setiap kasus, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum; 5. Pemulihan hak yang memuaskan yang mensyaratkan imparsialitas, tepat waktu, konsistensi norma, bebas korupsi dan intervensi politik, serta kesesuaian dengan norma dan standar hak asasi manusia nasional dan internasional; 6. Permasalahan mengenai kelompok miskin dan terpinggirkan merupakan permasalahan yang terdapat pada bagian akses terhadap keadilan yang lain; 7. Monitoring dan pengawasan yang akan mendukung transparansi dan akuntabilitas pada keenam bidang di atas.20
2.2
Metode Kerja
Sebagai salah satu tindak lanjut dari Nota Kesepahaman, maka BAPPENAS dan UNDP melalui Program Legal Empowerment and Assistance for the Disadvantaged Project (LEAD Project), membentuk suatu kelompok kerja untuk menyusun naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (selanjutnya disebut Kelompok Kerja) pada bulan November 2007. Tujuan pembentukan Kelompok Kerja ini adalah: (i) menyusun naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan sebagai bahan penyusunan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014; dan (ii) menghasilkan Rencana Aksi implementasi Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan. Kelompok Kerja terdiri dari 14 anggota yang masing-masing memiliki posisi dan keahlian khusus yang dapat disumbangkan bagi penyusunan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan. Anggota Kelompok Kerja terdiri dari perwakilan BAPPENAS, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Bank Dunia, UNDP, akademisi (Universitas Indonesia), LSM, YLBHI dan UNICEF. Direktur Hukum
10
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
dan Hak Asasi Manusia BAPPENAS menjadi ketua dari Kelompok Kerja ini dan wakil dari UNDP menjadi wakil ketua. Para anggota kelompok adalah perempuan dan laki-laki dalam jumlah yang seimbang yang memiliki keahlian dan pengalaman di berbagai bidang, yaitu: (i) Reformasi Hukum dan Peradilan; (ii) Bantuan Hukum; (iii) Tata Kelola Pemerintahan Daerah; (iv) Tanah dan Sumber Daya Alam; (v) Perempuan; (vi) Anak; (vii) Tenaga Kerja; (viii) Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan. Kelompok Kerja menyelenggarakan pertemuan mingguan secara rutin dalam proses penyusunan naskah. Berbagai modifikasi dilakukan terus-menerus sesuai dengan diskusi yang berkembang, misalnya terjadi penambahan komponen kajian akses terhadap keadilan bagi kelompok tenaga kerja, kelompok anak dan kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan sebagai bagian dari kelompok rentan dalam struktur masyarakat kita. Dalam proses tersebut tidak tertutup kemungkinan kerangka yang sudah terbangun kemudian dielaborasi dan disempurnakan lagi berdasarkan isu yang berkembang. Munculnya berbagai ide, inspirasi dan informasi baru menyebabkan naskah terus mengalami perkembangan. dan penyempurnaan. Rancangan naskah strategi nasional kemudian dikonsultasikan kepada para pihak melalui serangkaian konsultasi dan diskusi publik. Pertemuan pertama diadakan di Jakarta dengan mengundang peserta yang terdiri dari para ahli dan narasumber di tingkat nasional, pada tanggal 11 dan 12 Februari 2008. Untuk mendapatkan masukan pemikiran dan aspirasi di tingkat regional, diadakan konsultasi publik di Bali pada tanggal 16 dan 17 April 2008, Medan pada tanggal 10 dan 11 Juli 2008, dan Makassar pada tanggal 27 dan 28 Agustus 2008. Hasil yang didapatkan dari konsultasi regional sangat penting dan bermakna, karena berisi informasi baru, gagasan, dan konteks lokal yang memang dibutuhkan bagi strategi nasional agar menyentuh persoalan mendasar di tingkat lokal. Dengan demikian naskah strategi nasional terus berkembang seiring dengan proses kegiatan dalam skema kerja. Tahap terakhir adalah menterjemahkan strategi nasional ke dalam rencana aksi yang lebih teknis, Hal itu dimaksudkan agar dapat digunakan sebagai kerangka program, yang dapat diimplementasikan dalam RPJMN maupun RPJMD.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
11
BAB 3
BAB 3 Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan Berdasarkan elemen-elemen kerangka normatif, kesadaran hukum, akses terhadap forum yang sesuai, penanganan keluhan yang efektif, dan pemulihan hak yang memuaskan, strategi akses terhadap keadilan pada delapan bidang, yakni: reformasi hukum dan peradilan, bantuan hukum, tata kelola pemerintahan daerah, tanah dan sumber daya alam, perempuan, anak, tenaga kerja dan kelompok miskin dan terpinggirkan, dijabarkan sebagai berikut:
3.1
Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan
Reformasi hukum dan peradilan adalah strategi penting dalam penguatan akses masyarakat terhadap keadilan di Indonesia, setidaknya, karena tiga hal. Pertama, Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Dengan demikian, prinsip supremasi hukum menjadi dasar penyelenggaraan negara dan kehidupan sosial. Negara dan rakyat terikat pada prinsip tersebut. Meskipun demikian, dalam penyelenggaraan negara, prinsip supremasi hukum cenderung ditafsirkan sebagai pengejawantahan fungsi kepastian hukum daripada fungsi hukum untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Semestinya, ketiga fungsi ini (kepastian, keadilan dan kemanfaatan) berjalan bersama dan tidak saling menegasikan. Kedua, pembentukan hukum (lawmaking) di Indonesia masih belum menempatkan partisipasi masyarakat sebagai prasyarat penting bagi penerapan prinsip negara hukum yang demokratis. Prinsip tersebut mensyaratkan adanya keterlibatan masyarakat yang luas dalam pengaturan kehidupan bersama. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan hukum menjadi hal yang penting. Namun demikian, partisipasi ini masih terbatas, baik dalam pembentukan hukum di tingkat pusat maupun daerah. Demikian pula, pengaturan terkait dengan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan masih belum memuat ketentuan yang dapat mendorong adanya partisipasi masyarakat yang hakiki dalam pembentukan hukum. Akibatnya, banyak peraturan perundang-undangan kehilangan legitimasi sosial ketika diterapkan. Ketiga, lembaga pengadilan yang semestinya merupakan muara terakhir bagi masyarakat untuk menuntut keadilan dan pemulihan hak-hak dasar yang telah dilanggar oleh negara ataupun pihak lain banyak yang belum berfungsi dengan baik. Demikian pula, masih ada aparat dan lembaga penegakan hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung dan Organisasi Profesi Hukum) belum
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
13
menunjukkan kinerja yang maksimal dalam menjalankan tugas penegakan hukum ataupun pelayanan pada masyarakat. Koordinasi antar lembaga penegakan hukum pun misalnya masih lemah. Hal ini mengakibatkan lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya berhasil menyediakan keadilan bagi masyarakat terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Masyarakat miskin dan terpinggirkan memerlukan pembangunan hukum yang dapat menyeimbangkan fungsi hukum sebagai pemberi keadilan dan kemanfaatan selain kepastian. Untuk menuju ke arah itu, dalam kurun waktu lima tahun ke depan, perlu dilakukan reformasi dalam bidang hukum dan peradilan yang meliputi: (i) perubahan paradigma dan arah pembangunan hukum yang dapat menyeimbangkan fungsi kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat; (ii) perbaikan proses pembentukan hukum menuju proses yang mampu melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; (iii) pembenahan menyeluruh terhadap kinerja lembaga penegakan hukum agar mampu menyediakan akses bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam memperoleh keadilan substansial dan mendapatkan pemulihan atas hak-hak dasarnya yang dilanggar oleh negara maupun kelompok masyarakat dan warga negara lain; dan (iv) pemberdayaan hukum bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Berbagai Upaya Reformasi Hukum dan Peradilan Kajian-kajian yang dilakukan oleh beberapa lembaga tentang persepsi masyarakat terhadap hukum dan peradilan menemukan bahwa kemampuan hukum dan lembaga penegakan hukum di Indonesia untuk memberikan dan membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan memperoleh keadilan masih dipertanyakan (lihat kotak 3.1). Meskipun demikian, patut diakui bahwa upaya melakukan reformasi hukum dan peradilan telah dimulai di Indonesia. Berbagai prakarsa pembaruan seperti Law Summit, Agenda Percepatan Pemberantasan Korupsi, Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK) dan penyusunan cetak biru (Blue Print) sebagai peta jalan (road map) pembaruan dan programprogram pembaruan di Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan dan Kepolisian adalah beberapa ikhtiar yang memunculkan harapan terhadap perubahan.
Law Summit Law Summit adalah forum pertemuan pejabat tinggi negara di bidang hukum dan peradilan (Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan merupakan upaya untuk mendukung lembaga-lembaga hukum negara dan para pemangku kepentingan lainnya merumuskan dan melakukan agenda pembaruan hukum dan peradilan secara transparan, partisipatif dan terintegrasi. Selama tahun 2002-2004 telah berlangsung tiga kali Law Summit. Law Summit I yang diselenggarakan tanggal 29 Januari 2002 berhasil membangun komitmen di antara para pejabat tinggi negara di bidang hukum tersebut untuk melaksanakan agenda pembaruan hukum dan peradilan secara bersama-sama dengan cara membangun pola hubungan baru antarlembaga tinggi negara bidang hukum dan peradilan. Komitmen yang telah dihasilkan pada Law Summit I tersebut, dievaluasi dan diperkuat pada Law Summit II yang diselenggarakan tanggal 16 Oktober 2002. Law Summit II ini berhasil menyusun rencana aksi pembaruan peraturan perundang-undangan, pembaruan peradilan, pembaruan kejaksaan, pembaruan kepolisian, dan pemberantasan korupsi. Law Summit III yang diselenggarakan tanggal 31 Maret 2004 telah menghasilkan Nota Kesepakatan yang ditandatangani tanggal 16 April 2004 oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonsia (Kapolri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Nota Kesepakatan tersebut berisikan delapan isu penting, yaitu membenahi sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses 14
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
publik, mengembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel, mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan mendorong peningkatan profesionalisme, mengembangkan sistem manajemen anggaran yang transparan dan akuntabel, meningkatkan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektifitas penegakan hukum, penguatan kelembagaan (termasuk pembentukan Komisi Yudisial) dan pembaruan materi hukum terutama terkait dengan hukum acara dan proses penegakan hukum yang didasarkan pada konsep sistem Peradilan Pidana Terpadu.21 Kerangka aksi yang terdapat dalam Nota Kesepakatan Law Summit memberikan inspirasi dan acuan bagi pelaksanaan agenda pembaruan di lembaga-lembaga penegakan hukum, khususnya Mahkamah Agung dan Kejaksaan.
Pembaruan Mahkamah Agung Pembaruan MA secara sistematis dimulai pada tahun 2001 setelah MA bersama-sama masyarakat sipil melakukan studi tentang kondisi MA, yang menghasilkan Blue Print Mahkamah Agung. Blue Print ini berisi paparan kondisi MA baik secara normatif maupun empiris menyangkut independensi, organisasi, sumber daya manusia, manajemen perkara, akuntabilitas, transparansi dan manajemen informasi, pengawasan dan pendisiplinan hakim dan hakim agung, sumber daya keuangan dan fasilitas; dan perubahan (pembaruan) di MA. Blue Print juga memuat rekomendasi yang harus dilakukan oleh MA, seperti halnya mendorong terbentuknya Undang-undang tentang Komisi Yudisial, perlunya MA mengatur sanksi dalam kode perilaku dan perlunya MA membangun sistem informasi yang baik. Dalam rangka melaksanakan berbagai rekomendasi yang tertuang di dalam Blue Print Pembaruan MA, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/26/SK/IV/2004 sebagaimana diubah terakhir kali dengan SK KMA No.KMA/085/ SK/VII/2008 tentang Pembentukan Tim Pembaruan Peradilan pada Mahkamah Agung RI. Tim Pembaruan ini bertugas menerjemahkan rekomendasi Blue Print ke dalam program kerja. Untuk itu Tim Pembaruan dibagi menjadi beberapa kelompok kerja: Kelompok Kerja Manajemen Perkara dan Keterbukaan Informasi, Kelompok Kerja Informasi dan Teknologi, Kelompok Kerja Pendidikan dan Pelatihan Kelompok Kerja Sumber Daya Manusia, Kelompok Kerja Manajemen Keuangan dan Kelompok Kerja Pengawasan. Kelompok kerja ini beranggotakan Tim Pembaruan Peradilan dan pejabat struktural di Mahkamah Agung RI. Kelompok Kerja ini bertugas mengembangkan strategi, mengkoordinasi berbagai kegiatan, mengawasi serta mengevaluasi program-program terkait dengan pembaruan di MA. Salah satu capaian penting dari Pembaruan MA adalah diterbitkannya Pedoman Perilaku Hakim melalui SK Ketua MA No. 104A/SK/XII/2006, pada Desember 2006. Pedoman itu memuat sepuluh prinsip yang menjadi pedoman bagi perilaku hakim, yaitu adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan profesional. SK tentang Pedoman Perilaku Hakim tersebut belum memuat sanksi dan penjabaran perilaku yang lebih rinci. Oleh karena itu, Ketua Mahkamah Agung kemudian menerbitkan SK Nomor 215/KMA/SK/XII/2007 tentang Pelaksanaan dan Penegakan Perilaku Hakim. Capaian penting yang lain terkait pembaruan di tubuh MA adalah terbitnya SK KMA No. 144/KMA/ SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. SK ini memuat jenis-jenis informasi yang harus diumumkan oleh pengadilan serta mekanisme pengumumannya; jenis-jenis informasi yang dapat diminta masyarakat kepada pengadilan; prosedur dalam memberikan pelayanan informasi (termasuk biaya dan waktu pelayanan); pihak yang bertugas memberikan pelayanan informasi; dan sanksi. Salah satu implementasi dari SK ini adalah dibukanya akses masyarakat pada putusan MA melalui secara on-line melalui website www.mahkamahagung.go.id atau www.putusan.net.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
15
Agenda Reformasi Birokrasi juga terkait dengan percepatan pembaruan di Mahkamah Agung. Agenda ini dijalankan berdasarkan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (pedoman terbaru dibuat pada bulan Juni 2008). Agenda Reformasi Birokrasi ditujukan untuk membangun/membentuk profil dan perilaku aparatur negara yang memiliki integritas tinggi, produktivitas tinggi, bertanggung jawab, dan berkemampuan memberikan pelayanan prima pada publik. Salah satu prioritas dalam agenda reformasi birokrasi ini adalah reformasi pada lembaga lembaga pelayanan hukum. Program reformasi birokrasi Mahkamah Agung dilakukan melalui perbaikan manajemen sumber daya manusia, manajemen keuangan, penelusuran aset dan manajemen teknologi informasi. Ketua Mahkamah Agung telah menyampaikan lima program pokok quick win (yang harus dicapai dalam waktu cepat) terkait reformasi birokrasi pada pertemuan institusi percontohan bulan Juni 2007. Program ini meliputi transparansi putusan, manajemen informasi teknologi, pelatihan kode etik, pengelolaan pendapatan negara tidak kena pajak dan manajemen sumber daya manusia.
Pembaruan Kejaksaan Pembaruan di Kejaksaan Agung RI dilakukan salah satunya dengan pembentukan Tim Pembaruan Kejaksaan pada tahun 2005. Tim yang diketuai Jaksa Agung ini mempunyai program utama yang meliputi: (1) Pembaruan organisasi dan tata kerja kejaksaan dan sumber daya manusia; (2) pembaruan organisasi dan tata kerja Badan Intelijen Kejaksaan; (3) pembaruan manajemen umum; (4) pembaruan manajemen perkara; dan (5) pembaruan sistem pengawasan. Dalam perkembangannya, Tim Pembaruan Kejaksaan ini berhasil menyusun pembaruan sistem rekruitmen dan pembinaan karir jaksa, menyusun Kode Perilaku Jaksa, standar minimum profesi jaksa, dan pembaruan sistem pengawasan (meliputi program kerja pengawasan, instrumen pengawasan kinerja kejaksaan dan instrumen pengawasan pengawas kejaksaan). Selain itu, Tim ini juga menyelenggarakan pendidikan dan latihan manajemen untuk Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan mendorong adanya komputerisasi kegiatan di Kejaksaan yang meliputi penyusunan basis data dan profil pejabat serta perkembangan penanganan kasus. Masih dalam semangat melakukan pembaruan kejaksaan, Presiden membentuk Komisi Kejaksaan melalui Peraturan Presiden No. 18 tahun 2005. Komisi tersebut bertugas melakukan pengawasan terhadap kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya, sikap dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan dan kondisi organisasi yang meliputi kelengkapan sarana dan prasarana dan sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan. Terkait dengan tugas pengawasan, Komisi Kejaksaan telah membuat kesepakatan bersama Jaksa Agung (melalui Nota Kesepahaman No. KEP-056/A/JA/07/2006 dan Nomor NK-001/KK/07/2006) untuk mengatur tata cara kerja penerimaan laporan/pengaduan masyarakat, penyampaian salinan laporan oleh Komisi Kejaksaan kepada Jaksa Agung RI, pelaksanaan pemeriksaan oleh pengawasan internal, pemantauan dan pelaporan hasil pemeriksaan internal, pengambilalihan pemeriksaan oleh Komisi Kejaksaan dan rekomendasi Komisi Kejaksaan kepada Jaksa Agung RI. Dalam nota kesepahaman itu disepakati bahwa jika dalam jangka waktu tiga bulan, bagian pengawasan internal kejaksaan tidak dapat menyelesaikan pengaduan yang masuk dari masyarakat, maka Komisi Kejaksaan dapat mengambil alih kasus tersebut. Ini artinya Komisi Kejaksaan lebih bersifat supervisi dan berfungsi melakukan oversight (penegakan disiplin “lapis kedua”). Namun demikian karena beberapa faktor, Komisi Kejaksaan belum mampu menjadi mitra efektif kejaksaan untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan internal dalam tubuh kejaksaan.
16
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Agenda Percepatan Pemberantasan Korupsi
Pada tahun 2004, Presiden mengeluarkan instruksi untuk mempercepat pemberantasan korupsi (Inpres No. 5 Tahun 2004). Instruksi ini dikelompokkan menjadi instruksi umum dan instruksi khusus. Instruksi umum ditujukan kepada seluruh pimpinan instansi pusat dan daerah untuk melaksanakan percepatan pemberantasan korupsi, sedangkan instruksi khusus ditujukan kepada beberapa pimpinan instansi untuk melaksanakan tugas khusus yang diberikan kepadanya.
Instruksi Umum Terdapat sebelas instruksi umum percepatan pemberantasan korupsi, yaitu: (1) pemberian dorongan untuk melaporkan Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) bagi para pejabat; (2) pemberian bantuan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal LHKPN; (3) penetapan kinerja; (4) peningkatan kualitas pelayanan publik; (5) penetapan program dan wilayah bebas korupsi; (6) pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; (7) kesederhanaan hidup; (8) dukungan kepada penegak hukum; (9) kerja sama dengan KPK untuk melakukan perubahan dan kajian sistem yang menimbulkan korupsi; (10) peningkatan pengawasan; dan (11) tuntutan melaksanakan Inpres No.5 tahun 2004 dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Presiden.
Instruksi Khusus Instruksi khusus terkait percepatan pemberantasan korupsi meliputi: (1) kajian dan uji coba e–procurement oleh Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Meneg PPN)/Kepala BAPPENAS; (2) pengawasan terhadap perpajakan dan cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta pengkajian peraturan tentang Keuangan Negara oleh Menkeu; (3) penyusunan RAN-PK oleh Meneg PPN/Kepala BAPPENAS; (4) perumusan kebijakan pelayanan publik, perumusan kebijakan penetapan kinerja, perumusan kebijakan prinsip-prinsip good governance, perumusan kebijakan kepegawaian, dan koordinasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Inpres 5/2004 oleh Men.PAN; (5) amendemen Undang-undang dalam optimalisasi pemberantasan korupsi dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk pelaksanaan pemberantasan korupsi oleh Menteri Hukum dan HAM; (6) penerapan praktik good corporate governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara; (7) penanaman semangat dan perilaku antikorupsi oleh Menteri Pendidikan Nasional; (8) sosialisasi antikorupsi oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi; (9) optimalisasi penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi (tipikor), pemberian sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang, penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara oleh Jaksa Agung; (10) optimalisasi penyidikan dan penuntutan tipikor, pemberian sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang, penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara oleh Kapolri; dan (11) penerapan prinsip-prinsip good governance, peningkatan pelayanan publik, pencegahan kebocoran APBD dan APBN oleh gubernur, bupati, dan walikota. Sebagai tindak lanjut Inpres No. 5 tahun 2004, disusun RAN-PK yang dikoordinasikan Kementerian Negara PPN/BAPPENAS dengan melibatkan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) terkait dan unsur masyarakat serta KPK. Pelaksana RAN-PK berjumlah 92 unit organisasi, yang berasal dari 18 Kementerian, 14 LPND, KPK, Komisi Ombudsman, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Secara garis besar, RAN- PK meliputi: (1) pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi; (2) penindakan terhadap perkara korupsi; (3) pencegahan dan penindakan korupsi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Nanggore Aceh Darussalam; dan (4) monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN-PK.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
17
Kotak 3.1 Masih ada Tantangan: Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Hukum dan Peradilan Meski berbagai inisiatif untuk melakukan reformasi hukum dan peradilan sudah dilakukan, namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum berubah. Sebuah hasil studi Bank Dunia yang berjudul Forging the Middle Ground, engaging non state justice in Indonesia, tahun 2008 menemukan bahwa masyarakat di Maluku, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Jawa Timur hanya 35% percaya kepada pengadilan, 33% paham tentang pengadilan dan hanya 5% yang berhubungan dengan pengadilan. Sedangkan indeks tentang Rule of Law yang dibuat oleh Bank Dunia (2007), dengan skala -2,5 sampai 2,5 menunjukkan bahwa skor Indonesia adalah -0,8. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat Rule of Law di Indonesia masih belum bagus. Selain itu, TI’s Global Corruption Barometer, 2006 telah melakukan survei tentang persepsi korupsi pada Institusi Publik, dengan skala 1-5. Angka 1 menunjukkan bahwa tidak ada korupsi sama sekali dan 5 menunjukkan sangat korup. Berdasarkan hasil survei tersebut, skor Negara Indonesia pada tahun 2004 dan 2006 adalah 4.2. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih termasuk negara yang korup. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tantangan terbesar dari pembaruan hukum dan peradilan di Indonesia adalah mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap hukum dan peradilan. Mampukah hal ini diciptakan jika peradilan masih belum menjadi alat untuk mengakses keadilan?
Elemen penting dalam sebuah negara hukum adalah tersedianya sistem hukum dan peradilan yang ‘baik dan adil’. Sistem ini memungkinkan masyarakat miskin dan terpinggirkan memperoleh keadilan dan mendapat perlindungan atas hak-haknya. Upaya memberikan dan menguatkan akses masyarakat terhadap keadilan adalah sinergi dari perbaikan kerangka normatif, pelayanan hukum, infrastruktur keadilan, kesadaran dan pendidikan hukum. Meskipun demikian, masih banyak kendala untuk melaksanakannya. Bagian ini mengidentifikasi sejumlah kendala utama terkait dengan kondisi elemen-elemen akses terhadap keadilan di bidang hukum dan peradilan.
3.1.1 Kerangka Normatif Persoalan reformasi hukum dan peradilan terbesar di Indonesia adalah belum memadainya kualitas legislasi dan penegakan hukum serta masih jauhnya norma peraturan perundang-undangan yang ada dalam membuka peluang keadilan bagi masyakat. Kondisi ini terkait dengan paradigma dan arah pembangunan hukum yang sekarang digunakan, politik legislasi yang dilaksanakan dan lemahnya integritas serta kinerja penegakan hukum.
Paradigma Hukum Reformasi hukum dan peradilan akan mampu berkontribusi meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan jika hukum didasarkan pada paradigma yang menyeimbangkan fungsi keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Paradigma hukum ini harus tercermin dalam pembentukan, penerapan dan penegakan hukum.
18
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Paradigma hukum saat ini masih meletakkan kepastian hukum menjadi hal utama, tanpa mempertanyakan apakah hukum yang ada telah mengacu pada prinsip-prinsip moral dan keadilan. Supremasi hukum, sebagai prinsip penting dalam negara hukum pun akhirnya mengerucut menjadi supremasi prosedur hukum yang dalam banyak hal sering tidak berkesesuaian dengan rasa keadilan masyarakat dan realitas pluralis dari masyarakat Indonesia. Paradigma ini, umumnya dikenal sebagai paradigma positivistik, mengarahkan aparatur hukum dan penegak hukum menafsirkan hukum secara kaku dan tekstual tanpa mampu mengaitkannya dengan konteks sosial ataupun menafsirkannya secara progresif demi mencapai terpenuhinya keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Hal ini pada akhirnya menciptakan keputusasaan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap sistem hukum dan peradilan formal. Pada tahap pembentukan hukum, paradigma positivistik dapat dikenali dengan melihat cara pembuat hukum (lawmakers) menentukan prioritas. Di tingkat nasional dapat ditelusuri misalnya melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selain itu, paradigma ini juga dapat diketahui dengan menilai apakah peraturan perundang-undangan yang telah dibuat telah mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Proses partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan juga menjadi cermin lain dari paradigma ini. Sedangkan paradigma hukum dalam tahap penegakan hukum dapat terlihat dari kecenderungan hakim menafsirkan hukum pada putusan-putusannya (lihat lebih lanjut pada bagian politik legislasi dan penegak hukum).
Arah Pembangunan Hukum Pembangunan hukum semestinya didasarkan dan diabdikan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan keadilan. Namun demikian pembangunan hukum di Indonesia belum dilakukan secara komprehensif. Contohnya adalah UU No. 17 tahun 2007 tentang Program Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menyebutkan bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hakhak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global. Program pembangunan hukum yang dimuat dalam RPJPN masih belum menyentuh perubahan paradigma hukum. Pembangunan hukum cenderung dititikberatkan pada aspek penegakan hukum formal dengan penguatan lembaga yang sudah ada dan pembentukan lembaga-lembaga baru yang semi independen, seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya. Pendidikan hukum, baik melalui pendidikan tinggi hukum maupun melalui program-program pendidikan hukum yang dilakukan oleh organisasi masyarakat belum menjadi perhatian yang besar. Padahal pendidikan hukum ini sangat besar kontribusinya untuk meningkatkan kualitas pekerja hukum maupun kesadaran hukum masyarakat. Lembaga dan mekanisme alternatif dalam penyelesaian sengketa juga belum banyak mendapat perhatian. Beberapa undang-undang telah mengatur mengenai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa seperti UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
19
di Luar Pengadilan, UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Meskipun demikian, arah pembangunan hukum sejak 2004 belum memprioritaskan strategi penguatan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alternatif ini. Demikian pula belum ada strategi untuk penguatan mekanisme (peradilan) adat sebagai penyedia keadilan bagi masyarakat.
Politik Legislasi Proses pembentukan hukum yang tidak partisipatif berimplikasi pada kesenjangan substansi peraturan perundang-undangan dengan kebutuhan masyarakat memperoleh keadilan. Selain itu, kualitas pembuat hukum yang belum memadai, penggunaan anggaran legislasi yang rentan dengan penyimpangan dan minimnya keterlibatan masyarakat menjadi masalah lain dari proses pembentukan hukum di Indonesia. Akibatnya, banyak peraturan perundang-undangan yang memicu terjadinya ketidakadilan terutama bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan.22 Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang miskin partisipasi masyarakat memungkinkan lahirnya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif (memberlakukan secara berbeda terhadap warga negara). Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak terkoordinasikan dengan baik dan mengutamakan kepentingan tiap-tiap kementerian/lembaga (egosektoral) mengakibatkan peraturan perundang-undangan saling bertentangan dan tumpang tindih. Salah satu contohnya adalah pertentangan antara UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur ketentuan tentang izin Presiden untuk pemeriksaan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang terlibat tindak pidana. Begitu pula UU No. 22 tahun 2003 mengatur izin pemeriksaan dari Presiden bagi anggota MPR, DPR dan DPD yang diduga melakukan tindak pidana. Sementara UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa campur tangan dari pihak lain di luar peradilan dalam proses peradilan tidak dibenarkan, dan pasal 5 menyebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (equality before the law). UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK juga tidak mengatur kewajiban untuk meminta izin kepada Presiden jika KPK akan memeriksa kepala daerah/wakil kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan mengatur tentang tahapan pembentukan undang-undang, yang meliputi perencanaan, perancangan, pembahasan, sampai pengundangan. Terkait dengan pembentukan undang-undang, DPR telah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki proses pembahasan undang-undang, seperti administrasi jadwal RUU agar tidak bertentangan dengan agenda sidang dari alat kelengkapan yang lain, dan inisiatif menetapkan rapat Panja yang bersifat terbuka untuk umum (mengingat Tata Tertib DPR menyatakan bahwa rapat Panja pada dasarnya tertutup kecuali dinyatakan terbuka). Namun sayangnya upaya perbaikan tersebut belum mendorong perubahan secara menyeluruh. Misalnya pada tahapan perancangan, masih ada beberapa UU yang diajukan tanpa Naskah Akademik. Padahal Naskah Akademik sangat bermanfaat untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat serta cara mengatasi berbagai persoalan-persoalan tersebut. Selain itu, Naskah Akademik memberikan argumentasi secara historis, yuridis dan filosofis terhadap sebuah undang-undang. Pada tahap penyerapan aspirasi masyarakat, persoalan yang muncul adalah tidak adanya mekanisme mengenai tindak lanjut apa yang harus dilakukan terhadap setiap masukan yang diterima oleh DPR.
20
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Sedangkan pada tahap penyebarluasan informasi, terdapat persoalan mengenai adalah dokumen pembahasan RUU yang belum dapat diakses dengan mudah oleh publik. Dokumen lengkap hanya dapat diakses di Biro Persidangan DPR. Persoalan pembentukan hukum lainnya terkait dengan anggaran. Sistem penganggaran yang diterapkan di DPR sudah berbasis kinerja (anggaran berbasis kinerja - ABK), yang memungkinkan pemberian honorarium pada anggota DPR pada setiap pembahasan UU. Tetapi, nilai honorarium tersebut disamaratakan dan terlalu besar sehingga cukup membebani keuangan negara. Pada rencana anggaran tahun 2007, misalnya, anggaran untuk satu RUU inisiatif DPR (mulai perencanaan sampai pengesahan) adalah Rp 5 milyar dan RUU inisiatif pemerintah adalah Rp 2,5 milyar. Angka tersebut belum termasuk anggaran untuk studi banding yang menjatahkan Rp 3 milyar untuk 3 negara yang dikunjungi pada sebuah RUU. Menyamakan anggaran untuk semua RUU menujukkan ketidakadilan anggaran. Tidak semua RUU mempunyai beban pembahasan yang sama. RUU tentang pengesahan konvensi misalnya, tidak memerlukan pembahasan yang berat. Beban pada tahap sinkronisasi juga berbeda dengan tahap pembahasan pertama. Begitu pula anggaran untuk studi banding. Hal ini tidak mencerminkan prinsip efisiensi anggaran. Tidak semua RUU membutuhkan studi banding ke negara lain. Persoalan lain yang tidak kalah peliknya adalah menyangkut kualitas sumber daya manusia untuk mendukung proses pembentukan undang-undang. Personel atau unit kerja di DPR yang terkait dengan tugas ini meliputi deputi bidang perundang-undangan, pusat pengkajian, pengolahan data dan informasi dan staf ahli komisi/staf ahli badan legislasi. Deputi bidang perundang-undangan bertugas memberikan dukungan teknis, administratif dan keahlian di bidang perundangan. Pusat pengkajian data dan informasi bertugas menyiapkan kajian-kajian dan pengolahan data ataupun informasi pendukungnya. Persoalan yang muncul terkait dengan sumber daya manusia tersebut adalah belum adanya perencanaan ataupun konsep pembentukan maupun hubungan kerja antar unit dan belum ada analisis tentang beban kerja. Sekretariat DPR telah melakukan upaya dengan membentuk Tim Peningkatan Kinerja DPR. Dalam laporannya, Tim ini menyebutkan bahwa masalah utama yang muncul adalah terkait dengan kualitas UU yang kurang memberi manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat, terkait target penyelesaian RUU yang telah ditetapkan oleh Prolegnas yang belum terpenuhi dan terkait proses pembahasan RUU yang kurang transparan sehingga sulit diakses oleh publik. Namun sayangnya, temuan tersebut tidak diikuti dengan rencana implementasi yang dapat menjelaskan bagaimana menjalankan rekomendasi, siapa yang bertanggungjawab dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan rekomendasi.
Lemahnya Integritas dan Kinerja Penegak Hukum Merujuk pada Inpres Nomor 5 tahun 2004, ada dua hal penting yang dapat digunakan untuk mengukur integritas dan kinerja aparat dan lembaga penegakan hukum yaitu kepatuhan pejabat negara (dalam hal ini aparat penegak hukum) dalam melaporkan harta kekayaannya dan kinerja internal lembaga penegakan hukum serta kinerja pelayanan publiknya. Terkait dengan laporan harta kekayaan, berdasarkan laporan KPK per 31 Agustus 200723 dan 10 September 200824, diperoleh data sebagai berikut:
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
21
Tabel 1: Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara SEKTOR PEJABAT NEGARA
JUMLAH WAJIB LAPOR
JUMLAH YANG MELAPOR
TINGKAT KEPATUHAN
2007
2008
2007
2008
2007
2008
Eksekutif
62.703
70.712
42.005
60.613
66,99%
85%
Legislatif
23.791
16.341
16.654
16.271
70%
99%
Yudikatif
20.424
17.685
9.206
12.498
44%
70%
BUMN/ BUMD
7.426
6.154
5.434
5.986
73,18%
97%
Dari data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2007, tingkat kepatuhan pejabat negara di bidang yudikatif paling rendah dibandingkan bidang yang lain. Pada tahun 2008, tingkat kepatuhan tersebut meningkat cukup signifikan, meskipun masih terendah dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain. Hal ini menunjukkan perkembangan positif meskipun demikian masih tetap sahih dipertanyakan apakah peningkatan ini terjadi karena keberhasilan agenda pencegahan korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum atau karena didorong kepentingan personal aparat penegak hukum untuk memperoleh promosi jabatan dan peningkatan pendapatan. Peningkatan tingkat kepatuhan lembaga-lembaga yudikatif dalam hal pelaporan kekayaan semestinya perlu terus dilakukan sehingga menjadikan lembaga-lembaga ini sebagai teladan bagi lembaga-lembaga lain. Terkait dengan kinerja internal dan pelayanan publik, tiap-tiap lembaga penegakan hukum mempunyai persoalan sebagaimana dijabarkan berikut ini.
Kinerja Kepolisian Kepolisian masih belum menunjukkan inisatif menyusun standar kinerja yang secara khusus digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan polisi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Standar kinerja yang sekarang digunakan pada umumnya mengacu pada program atau standar yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain. Sebagai upaya menjalankan RAN-PK, misalnya, Kepolisian RI telah melakukan reformasi untuk menggeser paradigma hubungan polisi dan masyarakat. Jika semula polisi berkomunikasi searah dengan masyarakat, kini menjadi komunikasi dua arah yang menjadikan polisi bermitra dengan masyarakat.25 Selain itu, Kepolisian juga telah menerapkan standar pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunan Aparatur Negara (Menpan) No. 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik, sebagaimana terlihat dalam strategi baru pelayanan Sistem Administrasi Bersama di Bawah Satu Atap (Samsat) melalui Samsat keliling dengan prinsip first in first out dan komputerisasi ujian SIM dan BPKB. Pihak Kepolisian menyatakan bahwa selama tahun 2006 perkara korupsi yang disidik kepolisian adalah 223 kasus. Dari jumlah tersebut 98 kasus berkaitan dengan pemerintah daerah, 27 kasus berkaitan dengan BUMN/BUMD, 32 kasus berkaitan dengan pemborongan dan 66 kasus lain-lain. Dari jumlah tersebut, 33 kasus sudah dilimpahkan ke penuntut umum dan 190 masih dalam proses penyidikan.26 Selanjutnya, untuk meningkatkan kerja sama dengan sesama penegak hukum, telah dihasilkan Peraturan bersama Kapolri dan Kejaksaan Agung serta kerja sama antara Kepolisian dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)/Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI (BPKP) dan Sekretariat Negara dalam hal izin pemeriksaan dan pelatihan dan lokakarya.27
22
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Laporan kinerja kepolisian selama 2006-2007 menunjukkan adanya kemajuan kerja. Meskipun demikian, hal ini tidak menutupi masalah masih banyaknya proaktik korupsi di lingkungan Kepolisian. Sebuah survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional pada tahun 2007 sebagaimana dikutip dalam Laporan Pengembangan Manusia Asia-Pasific yang dibuat oleh UNDP pada tahun 200828 mengatakan bahwa kepolisian adalah salah satu lembaga yang paling korup di antara lembagalembaga negara yang lain.29
Kinerja Kejaksaan Di internal kejaksaan, ada beberapa inisiatif pembaruan yang patut diapresiasi, antara lain agenda reformasi birokrasi yang sudah dimulai sejak tahun 2005, kesepakatan-kesepakatan rapat kerja nasional dan instrumen penilaian kinerja jaksa (berdasarkan amanat dari Peraturan Jaksa Agung Nomor 069 tahun 2007 tentang Ketentuan Pengawasan di Kejaksaan). Dibentuknya Komisi Kejaksaan juga memberikan kontribusi positif dalam pengawasan terhadap jaksa. Meski demikian, beberapa inisiatif tersebut masih di tahap awal yang belum bisa dilihat hasil dan dampaknya. Beberapa konsep dan instrumen masih memerlukan uji coba dan implementasi, di mana keberhasilannya juga tidak bisa dilepaskan dari agenda pembaruan di lembaga penegak hukum yang lain seperti polisi, hakim dan lembaga pemasyarakatan.
Kinerja Mahkamah Agung Mahkamah Agung telah menjalankan program reformasi yang dalam beberapa hal mengindikasikan perbaikan dan peningkatan kinerja. Terkait dengan pengawasan, misalnya, Mahkamah Agung memiliki Ketua Muda Bidang Pengawasan, membentuk badan pengawasan dan pedoman pengawasan (SK Ketua Mahkamah Agung No. KMA/080/SK/VIII/2006) dan menyediakan kemudahan pelayanan informasi kepada publik (SK Ketua Mahkamah Agung No.144/KMA/SK/VIII/2007). Namun, belum semua program tersebut berjalan dengan baik. Pelaksanaan pelayanan informasi kepada publik menghadapi kendala karena beberapa hal. Pertama informasi tentang kebijakan ini belum dimiliki dan dipahami oleh seluruh pengadilan; kedua, belum semua pengadilan memiliki information officer dan meja informasi sebagaimana dipersyaratkan oleh SK Ketua MA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007; Ketiga, sikap dan perilaku staf dan karyawan peradilan yang cenderung menjadikan informasi sebagai komoditas belum dapat dihapus secara keseluruhan. Kerangka normatif sebagai dasar reformasi birokrasi MA dan peningkatan kinerja hakim masih memerlukan waktu yang lama untuk melihat hasilnya. Masih banyak persoan terkait kinerja hakim. Laporan pengaduan masyarakat mengenai kinerja hakim yang disampaikan kepada Komisi Yudisial misalnya mencapai 4.257 dengan perincian 388 pengaduan (pada tahun 2005), 1.456 pengaduan (pada tahun 2006), 1.557 pengaduan (pada tahun 2007) dan 856 pengaduan (sampai Juni 2008). Dari jumlah tersebut, baru 308 yang bisa ditindaklanjuti dan telah dilakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan. Bahkan 27 di antaranya sudah direkomendasikan kepada MA untuk dijatuhi sanksi, mulai pemberhentian dari jabatan hakim, pemberhentian sementara maupun teguran tertulis.30
Paradigma Pemidanaan dan Kinerja Lembaga Pemasyarakatan31 Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga untuk melaksanakan putusan pengadilan adalah ujung dari proses peradilan. Persoalan di Lembaga Pemasyarakatan umumnya terkait dengan paradigma pemidanaan. Bab I tentang Ketentuan Umum, pasal 1 (1), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan bahwa “Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”. Kemudian
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
23
Pasal 2 dan Pasal 3 menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Paradigma pemidanaan pada umumnya masih penjeraan. Akibatnya, baik polisi, jaksa maupun hakim cenderung untuk memenjarakan sebanyak-banyaknya orang. Akibatnya, lembaga pemasyarakatan menanggung kelebihan beban. Dalam kondisi ini sulit mengharapkan fungsi pemasyarakatan (yang mengandung unsur pengamanan, pembinaan dan pembimbingan) dapat berjalan dengan baik. Selain paradigma pemidanaan, hal lain yang memengaruhi kinerja lembaga pemsayarakatan adalah sumber daya manusia, anggaran, manajemen pembinaan dan perspektif aparat terhadap persoalan pemidanaan terhadap perempuan dan anak. Untuk mengatasi masalah ini, Menteri Hukum dan HAM telah mengesahkan sebuah Blue Print tentang Pembaruan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan (Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 01.ot.02.02 Tahun 2009). Blue Print ini memuat tentang sistem pemasyarakatan, hubungan sistem pemasyarakatan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana terpadu, tinjauan manajemen organisasi, manajemen sumber daya manusia, perencanaan dan penganggaran, pola pembimbingan, pelayanan, pengelolaan, pembinaan, dan sistem informasi pemasyarakatan, pengawasan dan partisipasi publik dan manajemen perubahan. Blue Print ini merupakan pedoman yang lebih rinci bagi Direktorat Genderal Pemasyarakatan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan.
Kinerja Komisi-Komisi Independen Pembangunan hukum pasca reformasi banyak diarahkan pada pengembangan kelembagaan dengan salah satunya membentuk lembaga-lembaga kuasi negara atau Komisi-komisi independen. Beberapa lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan (eksternal) terhadap kinerja aparat hukum seperti Komisi Kepolisian (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial (KY) dibentuk untuk menjawab belum efektifnya pengawasan internal di lembaga-lembaga penegak hukum. Komisikomisi independen itu mempunyai kewenangan yang bermacam-macam dan penataan kelembagaan (institutional building) yang baik, serta melibatkan kalangan independen dan profesional. Namun, masih terdapat beberapa kelemahan terkait kinerja Komisi-komisi independen. Peningkatan kinerja Komisi Kejaksaan, misalnya, menghadapi beberapa tantangan, antara lain pertama, Komisi Kejaksaan hanya bertugas memberikan rekomendasi. Kedua, Perpres Nomor 18 Tahun 2005 belum mengatur secara optimal peran publik dalam proses seleksi komisioner dan akses terhadap Laporan Kinerja Komisi Kejaksaan. Komisi Kejaksaan melaporkan hasil kerjanya kepada Presiden dan Jaksa Agung, akibatnya publik tidak memiliki akses informasi yang memadai. Ketiga, sekretariat komisi berada di lingkungan Kejaksaan Agung dengan pejabat, anggaran dan staf pendukung berasal dari Kejaksaan Agung. Hal ini sangat memengaruhi independensi Komisi Kejaksaan. Selain itu, penataan sekretariat, masih diatur oleh Jaksa Agung. Tidak ada tenaga ahli yang membantu komisioner. Keempat, dari aspek pelaksanaan tugas dan wewenang, ada kendala keterbatasan SDM dibandingkan dengan luasnya cakupan wilayah dan kompleksitas persoalan di kejaksaan. Terakhir, Komisi Kejaksaan belum terlibat dalam agenda pembaruan kejaksaaan, yang salah satunya adalah terkait dengan sistem rekrutmen jaksa. Selain itu, KY belum mampu mengoptimalkan kinerjanya karena keterbatasan kewenangan. Kewenangan yang ada selama ini hanya terkait dengan rekrutmen dan pengawasan hakim. Masih belum ada kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pendidikan etik profesional bagi para hakim, termasuk pendidikan tentang etika hakim kepada masyarakat. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, keluhuran martabat dan perilaku hakim yang diharapkan. Selain itu,
24
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
keterbatasan kinerja KY juga terkait dengan belum terjalinnya kerja sama efektif antara KY dan MA. Meskipun telah disadari di dalam Blue Print MA bahwa KY dibutuhkan dalam rangka reformasi MA, namun tidak serta merta MA menerima keberadaan dan aktivitas KY. Akibatnya dalam beberapa hal tertentu, rekomendasi KY tentang hakim yang perlu diberi sanksi tidak ditindaklanjuti oleh MA. Perubahan mungkin dapat diharapkan dari UU Mahkamah Agung yang baru disahkan tanggal 18 Desember 2008. UU ini memberikan peluang bagi efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh KY, yaitu melalui pasal yang mengatur tentang komposisi Majelis Kehormatan Hakim, di mana jumlah anggota Majelis yang berasal dari KY lebih banyak daripada yang dari Mahkamah Agung. Dengan komposisi yang demikian, diharapkan mekanisme sanksi akan berjalan secara lebih efektif, sehingga semakin meningkatkan kewibawaan hakim.
Kinerja Profesi Hukum Faktor yang tidak kalah penting dalam agenda reformasi hukum dan peradilan adalah peran lembaga profesi hukum terutama advokat. Sedikitnya ada tiga isu penting terkait dengan profesi advokat, yaitu integritas, kualitas pelayanan hukum dan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Persoalan muncul ketika advokat justru memaknai peradilan sebagai wadah untuk memenangkan perkara, bukan wadah untuk menguji kebenaran dan menemukan keadilan. Akibatnya, banyak cara yang bertentangan dengan kode etik advokat dilakukan. Meskipun di organisasi advokat sudah ada mekanisme untuk menegakkan kode etik, namun banyak advokat yang justru tidak menghormati mekanisme tersebut.32 Untuk menjaga kualitas advokat, juga disediakan mekanisme pendidikan khusus advokat dan magang, namun demikian hasilnya belum cukup menggembirakan. Persoalan lain adalah rendahnya kepekaan dan kesadaran advokat terhadap masyarakat miskin dan terpinggirkan. Meskipun UU tentang advokat memberikan kewajiban kepada advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma dan ada pos bantuan hukum di pengadilan, namun dalam praktiknya hal ini tidak berjalan maksimal. Dalam bantuan hukum cuma-cuma itu, honor untuk profesi hukum ditiadakan tetapi biaya perkara tetap harus dibayar. Selain itu, dalam bantuan hukum yang diberikan oleh advokat seringkali tidak ada unsur pendidikan hukum kepada klien. Bantuan hukum cuma-cuma banyak dilakukan oleh advokat yang bekerja di LSM (lembaga bantuan hukum-LBH). Kasus-kasus prodeo sering dilimpahkan kepada LBH atau LSM yang peduli pada bantuan hukum. Sementara itu, pemerintah tidak mensubsidi advokat maupun lembaga yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut (lihat bagian akses terhadap keadilan pada bidang bantuan hukum).
3.1.2 Pendidikan Hukum Pendidikan hukum merupakan proses pembentukan watak selain pengetahuan dan keterampilan hukum bagi calon aparat penegak atau pembuat hukum. Pendidikan hukum ini belum menjadi perhatian dalam rencana pembangunan hukum. Beberapa persoalan terkait dengan pendidikan hukum di Indonesia adalah: 1. Orientasi pendidikan hukum yang memisahkan antara akademisi dan praktisi. Bahkan dunia pendidikan hukum sering tidak berhubungan dengan dunia praktis, akibatnya materi yang diajarkan tidak menjawab persoalan masyarakat. 2. Kurikulum pendidikan hukum, yang meliputi istilah jurusan, metode pengajaran yang menghafal dan core curriculum yang disepakati hanya 120 SKS sehingga para pengajar saling berebut
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
25
memasukkan mata kuliahnya. Akibatnya memunculkan usaha-usaha untuk menggeser ilmu-ilmu sosial agar tidak masuk ke dalam core curriculum. 3. Pendidikan hukum belum berkontribusi secara maksimal untuk memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat, akibatnya bermunculan gerakan-gerakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum, seperti penggunaan kekerasan dalam penyampaian kehendak.
3.1.3 Sarana dan Prasarana Keadilan Kemudahan akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, mulai gedung pengadilan yang mudah dijangkau, penataan gedung yang “ramah”, jumlah aparat yang cukup, profesional dan peka, pilihan-pilihan metode penyelesaian masalah dan bahkan ketersediaan wadah untuk keberatan jika masyarakat tidak puas dengan kinerja lembaga yang ada. Persoalan minimnya sarana dan prasarana di pengadilan berawal dari sistem dua atap di mana anggaran pengadilan salah satunya menjadi bagian dalam anggaran Departemen Hukum dan HAM. Hanya saja, alokasi anggaran tersebut sangat kecil. Akibatnya banyak gedung yang terbatas fasilitasnya, jauh dari pemukiman penduduk, tidak memadai, dan sebagainya. Ketika sistem anggaran sudah satu atap di mana Mahkamah Agung sudah mengelola sendiri anggarannya, perbaikan sedikit demi sedikit dilakukan. Dalam agenda reformasi MA, penyediaan sarana dan prasarana dan ketersediaan hakim yang profesional menjadi program prioritas. Pembangunan gedung pengadilan sedang dilakukan secara bertahap tetapi tentu saja belum menjangkau seluruh daerah. Masalah keterbatasan sarana peradilan tidak selesai di sini. Pemekaran wilayah menjadi akar permasalahan baru. Banyak daerah yang baru dibentuk belum memiliki gedung pengadilan. Di Propinsi Bangka Belitung, misalnya, ada tiga kabupaten yang belum memiliki kantor kejaksaan dan pengadilan, sementara gedung yang ada jaraknya 200-500 kolometer sehingga terlalu jauh untuk diakses oleh masyarakat. Jumlah aparat penegak hukum juga masih jauh dari cukup. Jumlah polisi sampai tahun 2007 adalah 360.381 orang. Dari jumlah tersebut 11.706 (3,25%) adalah perempuan.33 Dengan penduduk Indonesia kira-kira 200 juta orang maka seorang polisi akan menangani 550 penduduk Indonesia. Dengan perbandingan seperti ini tentu sangat berat bagi polisi bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal. Sementara itu, sedikitnya jumlah polisi wanita menjadi masalah terkait dengan perspektif gender dalam penegakan hukum. Masalah lain di luar keterbatasan jumlah polisi adalah rendahnya profesionalitas dan kepekaan polisi pada kondisi masyarakat miskin.
3.1.4 Pelayanan Hukum, Pengaduan dan Sengketa Memilih forum penyelesaian sengketa yang tepat akan menjadi salah satu penentu tingkat kepuasan masyarakat terhadap keadilan yang diperolehnya. Sistem keadilan formal ataupun nonformal, masing-masing menyediakan forum penyelesaian sengketa. Namun, seperti dilansir dalam studi Bank Dunia yang disebutkan dalam kotak 3.1, sangat sedikit masyarakat miskin dan terpinggirkan yang memanfaatkan dan memperoleh manfaat dari sistem peradilan formal. Dengan demikian, penataan lembaga peradilan formal hanya menjawab kebutuhan masyarakat yang percaya dan berhubungan dengan pengadilan. Padahal, masih banyak kelompok masyarakat yang membutuhkan
26
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diyakini lebih populer, cepat, murah dan mudah. Studi Bank Dunia yang sama menunjukkan bahwa pelaku penyelesaian sengketa terbesar di lingkungan masyarakat miskin adalah pemerintah desa (42%), pemimpin adat (35%) dan polisi (27%). Melihat data ini, dibutuhkan strategi untuk penguatan pemerintah desa dan pemimpin adat dalam hal penyelesaian sengketa masyarakat, agar tidak kontraproduktif. Banyak kasus menunjukkan pula bahwa penggunaan forum penyelesaian sengketa nonformal belum menjamin dinikmatinya keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, terutama perempuan dan anak, seperti yang terjadi di Poso, ada beberapa kasus di mana aparat hukum yang bertugas di Poso menghamili perempuan desa dan penyelesaiannya adalah melalui kesepakatan adat yaitu pelaku harus membayar ganti rugi tanpa pertanggungjawaban hukum.34 Namun demikian ada juga contoh inisiatif penyelesaian sengketa alternatif yang positif seperti penyelesaian sengketa atas kasus anak di Sulawesi Barat dalam kasus anak mencuri. Anak pelaku pencurian dipertemukan dengan korban dan melakukan perdamaian sedangkan barang yang dicuri dikembalikan. Anak tersebut dikenai sanksi sosial yaitu membersihkan masjid. Hasilnya efektif karena anak tersebut tidak mencuri lagi bahkan semakin rajin beribadah di masjid.35 Contoh lain adalah di Maluku, yaitu dengan adanya Perda tahun 2005 tentang Negri sebagai Kesatuan Masyarakat Adat. Perda ini merupakan inisiatif pemulihan pasca-konflik dengan mengembalikan sistem pemerintahan kepada sistem negri (sebelum UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintah daerah). Perda ini mengatur beberapa istilah seperti desa menjadi negri dan kepala desa menjadi raja. Perda ini berlaku untuk kampung. Perda mengatur sertifikasi tanah sampai mekanisme penyelesaian sengketa. Semua sengketa dibawa ke negri, diselesaikan secara damai. Jika tidak cukup baru dibawa ke mekanisme formal. Kasus-kasus yang diselesaikan meliputi kasus sengketa tanah, keluarga dan pidana ringan.36 Pelayanan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Masyarakat tidak mengetahui ke mana mereka harus mengadukan keluhannya terutama jika harus berhadapan dengan oknum peradilan yang “mengatur perkara”. MA sudah melakukan banyak langkah untuk reformasi peradilan. Salah satunya mempermudah akses informasi proses peradilan dengan keluarnya SK Ketua MA Nomor 144 tahun 2007 yang diikuti dengan pengumuman tentang biaya perkara, alur perkara, dan status penanganan perkara. Tetapi, hal ini belum cukup untuk memangkas habis praktik penyimpangan dalam tubuh peradilan, apalagi belum diterapkan dengan baik di seluruh pengadilan.37 Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat juga sering dirugikan oleh keputusan dan tindakan penyedia keadilan nonformal (kepala adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya) tanpa tahu ke mana harus mengadu. SK Ketua MA Nomor 144 tahun 2007 akan semakin kuat dengan adanya UU No. 13 tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini mengamanatkan pembentukan Komisi Informasi yang berwenang menangani keluhan masyarakat terkait pemenuhannya hak-nya untuk mendapatkan informasi publik. Namun sayangnya, lembaga ini tidak sepenuhnya independen karena dalam UU tersebut ditentukan bahwa anggota Komisi Informasi yang berjumlah 7 orang harus terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Adanya unsur pemerintah ini, berpotensi mereduksi independensi Komisi Informasi yang semestinya independen. Terlebih tidak ditegaskan berapa orang dari unsur pemerintah, akan membuka peluang dominasi dari unsur pemerintah. Terkait dengan lembaga-lembaga pengaduan yang sudah ada, persoalannya adalah lembaga yang tersedia baru sebatas melayani pengaduan terhadap lembaga formal, itu pun tidak sampai di seluruh
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
27
daerah. Kewenangan lembaga pengaduan ini pun terbatas dan mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum belum seluruhnya terbentuk. Secara internal, kepolisian yang banyak menjadi pelaku dalam penyelesaian sengketa masyarakat, tidak menyediakan ruang pengaduan di setiap kantornya. Secara eksternal, Komisi Kepolisian baru berinisiatif untuk membuat mekanisme pengaduan masyarakat. Sedangkan Komisi Kejaksaan belum melakukan kerja sama dengan para pihak di luar kejaksaan. Komisi Yudisial telah memulai membangun jaringan dengan berbagai pihak di setiap daerah untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Namun belum berjalan maksimal karena belum dilengkapi dengan membuka pos-pos pengaduan di setiap pengadilan, apalagi di banyak pengadilan, keterbukaan informasi belum berjalan maksimal. Prakarsa lain untuk media pengaduan masyarakat terhadap kinerja lembaga-lembaga penyedia layanan publik adalah ombudsman, yang kedudukannya telah diperkuat dengan UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Masyarakat berharap dengan telah diaturnya ORI dengan sebuah UU, maka kinerja ORI akan semakin efektif.
3.1.5 Kesadaran Hukum Pilar lain yang juga penting dalam reformasi hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Paradigma kepastian hukum seringkali diikuti dengan anggapan bahwa kesadaran hukum masyarakat sama dengan kepatuhan masyarakat terhadap hukum atau lebih tepatnya kepatuhan terhadap aparat hukum. Selain itu, masyarakat juga diposisikan sebagai objek hukum yang hanya menerima sosialisasi dan harus mematuhi hukum. Dalam kaitan dengan akses terhadap keadilan, kesadaran hukum seharusnya diartikan sebagai proses untuk memahami hak-hak dasar mereka serta kemampuan untuk memperjuangkan hak-hak tersebut melalui jalur-jalur hukum formal maupun non formal. Kesadaran hukum masyarakat juga harus diartikan sebagai upaya untuk memperkuat kemauan dan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam reformasi hukum dan peradilan agar menghasilkan public demand untuk mempercepat proses reformasi hukum itu sendiri. Meski peran serta masyarakat sudah diakui dalam beberapa peraturan, seperti UU No. 10 tahun 2004 dan PP No. 71 tahun 2000 tentang pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, namun praktiknya, kriminalisasi dan intimidasi masih bermunculan. Dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak tahun 1996 sampai tahun 2007, sedikitnya ada 40 orang whistle blower38 yang mengalami ancaman, baik pemecatan, mutasi, intimidasi, kekerasan hingga kriminalisasi. Di Sulawesi Utara misalnya, seorang aktivis dilaporkan melakukan pencemaran nama baik dan ijasah palsu karena berdemo meminta penyidikan korupsi walikota Tomohon. Sementara di Merauke, aktivis diusir oleh Pemda untuk keluar dari Merauke, ketika dia menuntut adanya transparansi anggaran.39 Untuk menjawab persoalan kriminalisasi oleh polisi tersebut, KPK melakukan terobosan dengan melakukan kerja sama dengan kepolisian. Menindaklanjuti kerja sama ini, Kabareskrim menginstruksikan Kapolda se-Indonesia40 agar jika ada laporan masyarakat tentang kasus korupsi kemudian ada laporan balik dari terlapor dengan pasal-pasal pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan sebagainya diharapkan kepolisian mendahulukan kasus korupsinya. Kebijakankebijakan pemerintah untuk melindungi pelapor inilah yang perlu terus diperkuat.
28
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan mejawab persoalan intimidasi terhadap peran serta masyarakat. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang baru terbentuk ini bertugas memberikan perlindungan terhadap masyarakat terutama yang menjadi saksi dan korban agar dapat dijamin rasa aman baik secara fisik, politik dan ekonomi.
3.1.6 Hukum dan Peradilan untuk Masyarakat Kebijakan yang mengakomodasi perlindungan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan cenderung terkesan sebagi “politik etis”. Ketentuan tentang biaya perkara prodeo dalam UU No. 2 tahun 2006 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 tahun 2004 dan ketentuan tentang bantuan hukum cuma-cuma dalam UU No. 18 tahun 2008 tentang Advokat, misalnya, tidak sebanding dengan banyaknya UU lain yang justru berimplikasi pada pemiskinan masyarakat, misalnya peraturan perundangan yang terkait dengan sumber daya alam (lihat bab tentang Tanah dan Sumber Daya Alam dan bab tentang Bantuan Hukum). Selain itu, persoalan juga muncul ketika ketentuan bahwa orang yang tidak mampu bisa berperkara secara cuma-cuma, tidak serta merta bisa diwujudkan dengan mudah. Secara administrasi, harus ada surat keterangan tidak mampu dari kelurahan/kecamatan. Pada tahap meminta surat keterangan ini, masyarakat dihadapkan pada praktik-praktik korupsi kecil seperti pungutan yang tidak legal dari petugas yang memberikan pelayanan. Meski aparat penegak hukum sudah memiliki kode perilaku, namun masih saja muncul keluhan terkait sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam kode perilaku tersebut. Dalam Pedoman Perilaku Hakim disebutkan bahwa hakim harus berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan profesional. Pedoman perilaku ini sudah digagas sejak tahun 1966 pada Kongres Luar Biasa Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Semarang. Selanjutnya pada Munas VIII IKAHI di Bandung tahun 2000, dibahas lagi. Begitu pula pada Raker Mahkamah Agung di Surabaya tahun 2002 disempurnakan dan terakhir pada April 2006. Nampaknya persoalan muncul pada tingkat implementasi dan pengawasan Kode Perilaku yang belum maksimal. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengawal pelaksanaan Kode Perilaku tersebut, baik dengan pemberian penghargaan kepada yang mematuhi maupun sanksi terhadap yang melanggar. Selain itu adalah bagaimana pelaksanaan kode perilaku bisa sejalan dengan pengembangan dan optimalisasi sistem dan mekanisme pengawasan internal, baik pengawasan melekat maupun fungsional yang struktur serta instrumen pengawasannya sudah tersedia.
3.1.7 Strategi Nasional Akses Keadilan dalam Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan Reformasi hukum dan peradilan menjadi tumpuan harapan untuk memperoleh dan melindungi akses masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap keadilan. Secara umum, strategi yang perlu dilakukan adalah perubahan paradigma hukum dari paradigma yang terlalu mengedepankan aspek kepastian menuju paradigma hukum yang menyeimbangkan aspek kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Selanjutnya perubahan paradigma hukum harus tercermin dalam politik pembangunan hukum yang harus dilakukan secara komprehensif (mulai pembuatan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
29
hukum, pendidikan hukum dan pelembagaan hukum). Pembangunan hukum juga harus diarahkan pada penghormatan terhadap pluralisme hukum. Dalam konteks pemenuhan dan penguatan akses masyarakat terhadap keadilan, reformasi hukum dan peradilan juga memerlukan perbaikan kinerja kelembagaan, khususnya lembaga penegakan hukum dan penguatan budaya hukum masyarakat yang menghormati hak-hak kelompok miskin dan terpinggirkan pada keadilan. Strategi-strategi tersebut dijabarkan lebih jauh sebagai berikut:
1. Pengembangan paradigma dan arah pembangunan hukum yang sesuai dengan nilainilai Pancasila dan UUD 1945.
Pelaksanaan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 memerlukan penegasan tentang sistem hukum yang sesuai dengan persoalan hukum dan kemasyarakatan serta karakter pluralisme hukum pada masyarakat Indonesia. Kejelasan sistem hukum ini akan menentukan ke mana dan bagaimana arah pembangunan hukum berjalan. Amandemen UUD 1945 atau setidak-tidaknya revisi UU No. 17 tahun 2007 perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk melihat kembali apakah sasaran dan arah pembangunan hukum relevan dengan kondisi sekarang dan tantangan yang akan datang dari persoalan hukum dan keadilan di Indonesia.
2. Perbaikan politik legislasi.
Perbaikan politik legislasi dilihat dari dua aspek, yaitu pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan kualitasnya. Dari sisi proses, diperlukan strategi untuk membuat prioritas pembahasan RUU, strategi proses pelibatan masyarakat secara hakiki dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan strategi untuk memastikan bahwa pembahasan setiap UU sejalan dengan prinsip demokrasi. Untuk itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: (a) perbaikan tata tertib DPR, yang meliputi standar prioritas RUU, mekanisme pelibatan masyarakat yang hakiki dan proses pembahasan yang demokratis; (b) peningkatkan efektivitas unit-unit pendukung dalam proses legislasi seperti halnya deputi bidang perundang-undangan, pusat pengkajian, pengolahan data dan informasi dan staf ahli komisi/staf ahli badan legislasi di DPR; (c) harmonisasi peraturan perundang-undangan baik dalam sektor yang sama maupun lintas sektor untuk memastikan bahwa setiap UU tidak bertentangan dengan konstitusi dan keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Inisiatif harmonisasi ini harus memiliki legitimasi politik dan intelektual. Karenanya, diperlukan dasar hukum yang memperkuat keberadaan Tim Kerja harmonisasi yang melibatkan kalangan perguruan tinggi dan LSM.
3. Pembenahan kinerja aparat penegak hukum dan aparat birokrasi serta lembaga komisi negara yang berkaitan dengan penegakan hukum.
30
Upaya reformasi di kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun lembaga pemasyarakatan sedang dilakukan. Meskipun demikian masih banyak persoalan terkait dengan rendahnya kinerja beberapa lembaga tersebut termasuk kinerja pelayanan publiknya serta banyaknya kasus-kasus hukum yang muncul sehingga memerlukan percepatan pembaruan di lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut. Berangkat dari capaian terhadap proses pembaruan yang sedang berjalan di lembagalembaga penegakan hukum, diperlukan strategi antara lain pertama, mengevaluasi capaian dari proses reformasi yang sedang dilakukan; kedua, mensinergikan agenda pembaruan di berbagai lembaga penegakan hukum dan tim-tim yang mengawal pembaruan tersebut; ketiga, memperkuat keberadaan lembaga-lembaga pengawas eksternal, sehingga mampu berperan lebih maksimal; keempat, memastikan bahwa revisi UU Komisi Yudisial akan memperkuat posisi lembaga tersebut; dan kelima, merevisi Perpres Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan dan Perpres tentang Komisi Kepolisian untuk mengoptimalkan peran dari kedua komisi tersebut.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
4. Pengembangan sistem pendidikan hukum formal.
Strategi ini diharapkan mampu menciptakan aktor-aktor hukum dan peradilan yang peka terhadap nilai-nilai keadilan masyarakat, memiliki keberpihakan kepada masyarakat miskin dan memiliki semangat untuk membangun citra hukum dan peradilan. Beberapa kegiatan untuk mendukung strategi ini misalnya: (a) mengkaji ulang orientasi dan kurikulum pendidikan hukum yang tidak hanya diarahkan menguasai teknis hukum saja tetapi juga memfasilitasi pengajaran hukum dalam keterkaitannya dengan konteks politik, sosial dan kultural, menyeimbangkan kebutuhan praktis dan akademik, serta meningkatkan kepekaan terhadap ketidakadilan yang dialami kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan; (b) mengubah sistem pengajaran yang menuju pemahaman bukan penghapalan; (c) penguatan kapasitas pengajar ilmu hukum agar dapat mendorong pengembangkan pendidikan hukum alternatif; dan (d) penguatan lembaga pengabdian masyarakat dan klinik hukum.
5. Penguatan budaya hukum masyarakat.
Penguatan budaya hukum masyarakat ditujukan untuk memperkuat peran serta masyarakat dalam reformasi hukum, agar masyarakat semakin memahami hak dan kepentingannya untuk mendapatkan keadilan. Lebih dari itu, peran serta masyarakat juga diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemauan masyarakat untuk memperjuangkan haknya tersebut dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. Sejalan dengan itu, kemampuan masyarakat untuk memengaruhi kebijakan agar mengedepankan keadilan bagi masyarakat perlu ditingkatkan. Strategi yang relevan untuk dilakukan adalah: (a) memperkuat lembaga-lembaga yang telah melakukan program keparalegalan; (b) mengkaji berbagai inisiatif masyarakat dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan; (c) memperkuat lembaga-lembaga yang dibentuk kelompok masyarakat sipil yang telah melakukan monitoring/ pengawasan terhadap kinerja lembaga penegak hukum; (d) mempermudah akses informasi bagi masyarakat melalui pos pengaduan dan pos informasi di kantor polisi, kejaksaan, pengadilan maupun Lembaga Pemasyarakatan; dan (e) memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses legislasi.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
31
32
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
1. Pengarusutamaan prinsip-prinsip akses bagi keadilan dalam merumuskan peraturan/ kebijakan
HAMBATAN
1. Masih banyaknya persoalan ketidakharmonisasian peraturan perundangundangan dan substansi peraturan yang belum mendukung pemenuhan dan penguatan akses masyarakat terhadap keadilan.
1.a. merumuskan pedoman harmonisasi peraturan perundangan yang berbasis akses terhadap keadilan
RENCANA AKSI
1.a.3. ada dasar hukum (misalnya Inpres) untuk memperkuat pedoman harmonisasi tersebut
1.a.2. ada konsep tentang pedoman harmonisasi peraturan perundangan.
1.a.1. ada tim perumus konsep harmonisasi peraturan perundangan berbasis akses terhadap keadilan, yang melibatkan organisasi masyarakat dan akademisi
KELUARAN Partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan dilakukan secara sungguhsungguh dan substansi peraturan ditujukan untuk masyarakat serta tidak ada konflik peraturan perundang-undangan, baik vertikal maupun horisontal dan
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
3.1.8 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN DALAM BIDANG REFORMASI HUKUM DAN PERADILAN
Presiden
BAPPENAS, Depkumham, PSHK, KRHN
BAPPENAS, Depkumham, PSHK, KRHN
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
33
HAMBATAN
STRATEGI
1.c. melakukan sosialisasi pedoman harmonisasi kepada sekretariat DPRD dan bagian hukum pemda
1.b.melakukan sosialisasi pedoman harmonisasi peraturan kepada sekretariat DPR dan bagian hukum di departemen-departemen
RENCANA AKSI
Tim Perumus Pedoman Harmonisasi (BAPPENAS, Depkumham, KRHN, PSHK) dan staf di sekretariat DPRD dan staf bagian hukum di pemerintah daerah
Tim Perumus Pedoman Harmonisasi (BAPPENAS, Depkumham, KRHN, PSHK) dan staf di sekretariat DPR dan staf bagian hukum di departemen
Tim Perumus Pedoman Harmonisasi (BAPPENAS, Depkumham, KRHN, PSHK)
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
1.c.2. ada pilot project peraturan daerah yang akan dilakukan harmonisasi
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Tim Perumus Pedoman Harmonisasi (BAPPENAS, Depkumham, KRHN, PSHK)
HASIL
1.c.1. pedoman harmonisasi bisa dipahami dengan baik dan digunakan dalam merumuskan Rancangan Perda
1.b.2. ada pilot project peraturan yang diusulkan untuk dilakukan harmonisasi bersama Tim perumus
1.b.1. pedoman harmonisasi peraturan digunakan dalam merumuskan Rancangan UU
KELUARAN
34
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
2. Belum efektifnya unitunit pendukung legislasi.
HAMBATAN
2. Memperkuat kinerja dan integritas sekretariat DPR/DPRD
STRATEGI
2.b. Monitoring terhadap pelaksanaan blueprint dan renstra
2.a. penyusunan Blueprint dan rencana strategi sekretariat DPR/ DPRD
1.e.3. diusulkan dalam prolegnas/prolegda (jika rekomendasinya amandemen peraturan)
1.e. Menindaklanjuti rekomendasi dari harmonisasi peraturan perundangan/perda
1.d. melakukan harmonisasi peraturan yang telah diusulkan menjadi proyek percontohan.
RENCANA AKSI
2.b.1. laporan pelaksanaan program dan dokumen hasil evaluasi
2.a.2. ada dokumen blueprint dan renstra
2.a.1. ada SK Sekjend DPR tentang Tim Penyusun Blue Print
Sekretariat DPR memiliki kualitas dan intergritas yang bagus sehingga bisa mendukung proses legislasi secara maksimal.
Pemohon judicial review disesuaikan dengan obyek peraturan
1.e.2. mengusulkan dilakukan judicial Review (jika berbentuk peraturan dan rekomendasinya dicabut)
sekjend DPR, PSHK, KRHN
sekjend DPR, PSHK, KRHN
Sekjend DPR, PSHK, KRHN
Sekretariat DPR/DPRD dan bagian hukum di Departemen/Pemda
Sekretariat DPR/DPRD dan bagian hukum di departemen/pemda
Tim harmonisasi
1.e.1. memasukkan dalam Naskah Akademik (jika masih berbentuk Rancangan Peraturan)
1.d.3. ada laporan hasil harmonisasi peraturan/perda
Tim harmonisasi
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
1.d.2. ada daftar isu yang menjadi pilot project harmonisasi
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Tim harmonisasi
HASIL
1.d.1. Tim Harmonisasi telah terbentuk
KELUARAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
35
4. penguatan lembagalembaga pengawasan eksternal (extra auxiliries bodies)
3.mensinergikan prinsipprinsip akses terhadap keadilan dalam agenda reformasi kelembagaan (kepolisian, kejaksaan dan MA) yang telah ada
3. Agenda pembaruan di lembaga penegak hukum lebih fokus pada manajemen kelembagaan, namun belum banyak berkaitan dengan peningkatan pelayanan publik sehingga masyarakat belum banyak melihat keberhasilan agenda ini.
4. Lembaga-lembaga pengawas eksternal memiliki banyak kelemahan baik dari aspek kewenangan maupun dukungan sekretariat.
STRATEGI
HAMBATAN
4.a.1. ada rumusan agenda tindak lanjut
4.b.1. konsep amandemen Inpres tentang Kompolnas dan Komisi Kejaksaan
4.b. Lokakarya membahas amandemen Inpres tentang Kompolnas dan Komisi Kejaksaan
3.c.1. ada hasil studi tentang efektifitas peradilan khusus dan rekomendasi perbaikannya
3.b.2. ada kesepakatan strategi untuk merespon hasil evaluasi
3.b.1. ada dokumentasi setiap pertemuan
3.a.2. ada kesepakatan tentang indikator dan mekanisme evaluasi program tersebut
3.a.1. program pembaruan di lembaga penegak hukum mencerminkan upaya mempermudah akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan
KELUARAN
4.a. FGD untuk menindaklanjuti hasil evaluasi terhadap komisi-komisi yang ada terutama dari aspek efektifitas kerja dan manfaatnya. Termasuk standar sekretariat (sistem rekruitmen pegawai, gaji, dll)
3.c. studi tentang efektifitas peradilan khusus
3.b. bertemuan berkala untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program
3.a. FGD tentang akses terhadap keadilan dalam agenda pembaruan lembaga penegak hukum
RENCANA AKSI
Lembaga-lembaga pengawas eksternal semakin kuat dan independen.
Agenda pembaruan ditujukan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan akses keadilan.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
BAPPENAS, KHN, KRHN, YLBHI, KY, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Ombudsmen
BAPPENAS, KHN, KRHN, YLBHI, KY, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Ombudsmen
BAPPENAS
BAPPENAS, Leip, MAPPI, PGR, KRHN, Tim Pembaruan MA, Tim Pembaruan kejaksaan, Tim Pembaruan Kepolisian
BAPPENAS, Leip, MAPPI, PGR, KRHN, Tim Pembaruan MA, Tim Pembaruan kejaksaan, Tim Pembaruan Kepolisian
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
36
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
5. membangun kerjasama dengan lembaga pengawas yang diprakarsai oleh kampus/ masyarakat yang telah ada
HAMBATAN
5. Lembaga pengawas eksternal yang diprakarsai oleh kampus/ masyarakat belum dimanfaatkan secara maksimal.
5.a.1. ada daftar dan profil lembaga pengawas eksternal di daerah (termasuk informasi ttg hubungan kerjasama dgn lembaga pengawas negara) 5.b.1. ada rumusan program pengawasan bersama, misalnya posko pengaduan satu atap
5.c.1. ada komitmen dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di daerah untuk mendukung program pengawasan bersama tsb, baik dalam bentuk dukungan finansial maupun perlindungan hukum 5.d.1. komitmen pemerintah daerah dan aparat hukum di daerah tetap terjaga.
5.b. workshop utk merumuskan program pengawasan bersama dengan lembagalembaga pengawas tersebut 5.c. workshop dengan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di daerah untuk memperluas dukungan bagi program pengawasan bersama 5.d. pertemuan berkala dengan lembaga pengawas di daerah, pemda dan aparat hukum di daerah
4.c.1. dokumen setiap kegiatan
KELUARAN
5.a. melakukan profilling lembaga kampus/masyarakat yg melakukan pengawasan thd lembaga penegak hukum
4.c. melakukan advokasi (lobbi, kampanye, dll) agar presiden mengamandemen inpres tersebut
RENCANA AKSI
Adanya kerjasama yang konstruktif antara pemerintah dengan lembaga pengawas yang diinisiasi oleh masyarakat
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
BAPPENAS, KHN, KRHN, YLBHI, KY, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Ombudsmen, Pemda, Aparat hukum di daerah
BAPPENAS, KHN, KRHN, YLBHI, KY, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Ombudsmen, Pemda, Aparat hukum di daerah
BAPPENAS, KHN, KRHN, YLBHI, KY, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Ombudsmen
KY, KRHN, PGR
BAPPENAS, KHN, KRHN, YLBHI, KY, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Ombudsmen
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
37
STRATEGI
6.a. Pengembangan prinsip-prinsip akses terhadap keadilan (terutama aspek kesadaran hukum masyarakat) dalam system pendidikan hukum formal
HAMBATAN
6. Kesadaran hukum masyarakat masih rendah dan peran lembaga pendidikan hukum formal untuk mendukung pendidikan hukum kepada masyarakat belum maksimal serta belum ada sinergi antara dunia teori dan dunia praktik.
BAPPENAS, Pemerintah Daerah
YLBHI, LPM, NGO lokal, Pemerintah Daerah, BAPPENAS
6.b.3. ada dukungan finansial
6.b.4. laporan hasil evaluasi
6.b.3. pertemuan dengan pemerintah daerah dan lembaga funding utk menggalang dukungan 6.b.4. pertemuan berkala untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan hukum
YLBHI, LPM, NGO lokal,
Dirjen Pendidikan Tinggi, ILRC , YLBHI
Dirjen Pendidikan Tinggi, ILRC , YLBHI
Dirjen Pendidikan Tinggi, ILRC , YLBHI
6.b.2. laporan pelaksanaan kegiatan
T1 T2 T3 T4 T5
6.b.2. melakukan pendidikan hukum
Ada mainstreaming akses terhadap keadilan dalam sistem pendidikan tinggi hukum.
HASIL
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
6.b.1. rumusan modul dan program pendidikan hukum kepada masyarakat yang berorientasi kepada kemandirian masyarakat dalam menyelesaikan persoalan hukumnya
6.a.2. ada konsep kurikulum dan sistem ajar yang berorientasi pada kesadaran hukum masyarakat
6. a.1. ada hasil evaluasi terhadap kurikulum dan metode pengajaran yang berbasis akses terhadap keadilan (khususnya aspek kesadaran hukum masyarakat), yang melibatkan multi stakeholders
KELUARAN
WAKTU
6.b.1. workshop bersama semua LPM, LBH, pengacara untuk merumuskan program pendidikan hukum kepada masyarakat
6. a. evaluasi kurikulum dan metode ajar yang melibatkan praktisi dan organisasi yang melakukan pendidikan hukum alternatif kpd masyarakat
RENCANA AKSI
38
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Aparat mendekati masyarakat
7.a. meningkatkan implementasi SK MA tentang keterbukaan informasi di pengadilan
7. Upaya merespon hambatan informasi dan kriminalisasi bagi peran serta masyarakat dalam reformasi hukum baru sampai pada penguatan regulasi. Masih bermunculan praktik kriminalisasi terhadap saksi dan hambatan dalam mengakses informasi di pengadilan.
8. Kantor-kantor pengadilan tidak mudah diakses oleh masyarakat karena faktor geografis.
STRATEGI
HAMBATAN
8.a. program pengaduan masyarakat di tempat publik seperti di pasar, perkebunan, hutan, dll. Kerjasama antara lembaga penegak hukum dan posko pengaduan
7.b.4. setiap lembaga memiliki aturan untuk menjamin hak masyarakat utk mendapatkan informasi
7.b.3. semua kantor memiliki pegawai khusus yang bertugas memberikan informasi kepada masyarakat
8.a.1. masyarakat menyampaikan keluhannya dengan lebih nyaman, murah dan mudah.
Kepolisian, YLBHI, LPM, NGO yg melakukan paralegal
BAPPENAS, LPSK, Kapolri, ELSAM
Pimpinan di lembaga penegak hukum daerah
Leip, Tim Pembaruan MA
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
7.b.2.semua kantor memiliki sistem informasi yang berisi alur, biaya dan waktu penanganan kasus/perkara
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
BAPPENAS, Jaksa Agung, Kapolri, Dirjen Lapas
Masyarakat tetap mendapat pelayanan hukum tanpa hambatan geografis.
Masyarakat semakin mudah, aman dan nyaman untuk berperan serta dalam reformasi hukum.
HASIL
7.b.1. ada komitmen dari Kapolri, Jaksa Agung dan dirjen lapas untuk mengembangkan program keterbukaan informasi
7.a.1. laporan hasil evaluasi
KELUARAN
7.c. koordinasi dengan 7.c.1. komitmen bersama LPSK untuk meningkatkan optimalisasi kerja LPSK
7.b. koordinasi dengan Jaksa Agung, Kapolri dan Dirjen Lapas utk memastikan program keterbukaan informasi di lembaga2 tsb
7.a. memperluas program evaluasi pelaksanaan SK MA tentang keterbukaan informasi di pengadilan, di seluruh tingkat pengadilan
RENCANA AKSI
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
39
9. Lembaga-lembaga dan mekanisme di luar pengadilan yang menangani sengketa masyarakat seperti mekanisme adat, kepala desa, dll lebih dominan tetapi seringkali masih muncul persoalan karena kurang memahami metode penyelesaian sengketa dan kurang tersedia wadah dan mekanisme pengaduan jika masyarakat dirugikan oleh proses di luar pengadilan tersebut. Dalam kasus pidana, juga muncul konflik kewenangan dengan polisi.
HAMBATAN
9.b.ada komitmen untuk memperkuat lembagalembaga penyelseaian sengketa alternatif yang ada 9.c.1. ada program penguatan lembaga penyelesaian sengketa alternatif
9.c. menyusun program untuk menindaklanjuti rekomendasi dalam penelitian tersebut
9.a.1. ada tim peneliti, anggaran dan rencana teknis utk penelitian
KELUARAN
9.b. sosialisasi hasil kajian kepada lembaga-lembaga terkait (tokoh adat, kepala desa,
peningkatan efektifitas 9.a. melakukan kajian penanganan sengketa terhadap efektifitas di luar pengadilan mekanisme adat dan mekanisme alternatif yang lain dalam menyelesaikan sengketa masyarakat, dr perspektif keadilan korban
STRATEGI
RENCANA AKSI Lembaga dan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berperan secara maksimal dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
HUMA
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3.2
Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan isu krusial untuk mewujudkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Jumlah masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum di Indonesia sangat besar. Tercatat sedikitnya 28.000 orang mengadukan masalah hukum dan diberikan konsultasi serta pendampingan hukum oleh YLBHI dan kantor-kantor LBH periode 2007. Angka ini akan semakin besar jika ditambah dengan jumlah pengaduan dan pencari keadilan di Lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum di universitas, LBH partai politik, LBH ormas, posbakum (pos bantuan hukum), Pos Pertolongan Pertama pada Kasus Hukum (P3K Hukum) dan sebagainya. Tabel 2 Investasi Pemerintah untuk Bantuan Hukum di Beberapa Negara Demokrasi Negara
Investasi Bantuan Hukum Masyarakat
Investasi Bantuan Hukum Masyarakat per $ 10,000 PDB
Amerika Serikat
$800 Juta
$0.80
Jerman
$520 Juta
$2,25
Irlandia
$26.9 Juta
$2,35
Finlandia
$35.6 Juta
$2,35
Kanada
$287 Juta
$2,80
Selandia Baru
$30 Juta
$2,25
Hong Kong
$67 Juta
$4,07
Skotlandia
$33.5 Juta
$4.90
Belanda
$300 Juta
$6.90
Irlandia Utara
$27 Juta
$7.00
Inggris
$1.24 Milyar (tidak termasuk kasus imigrasi) $1.61 Milyar (termasuk kasus imigrasi)
$7.90 (tidak termasuk kasus imigrasi) $10.50 (termasuk kasus imigrasi)
Sumber: Dikutip dari http://www.ncbp.org/
Hak atas bantuan hukum merupakan hak asasi manusia yang telah diatur di dalam norma dan standar internasional hak asasi manusia. Banyak standar hak asasi internasional yang menekankan pentingnya akses masyarakat atas bantuan hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik – yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 – yang menjamin persamaan hak setiap orang dimuka hukum tanpa diskriminasi dan berhak atas perlindungan hukum adalah salah satu contoh.41 Contoh lain, Program Aksi yang diadopsi Konferensi Dunia Ke-2 Pemberantasan Rasisme dan Diskriminasi Rasial 1983, mewajibkan negara menyediakan bantuan hukum bagi korban yang berasal dari kelompok masyarakat miskin yang menjadi korban diskriminasi untuk memperoleh keadilan dan pemulihan hak melalui badan-badan peradilan. Selain itu juga ada UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“the Beijing Rules”), yang menyatakan perlunya bantuan hukum cuma-cuma pada anak-anak yang bermasalah dengan hukum42; UN Declaration on the Rights of Disabled Persons juga yang menyatakan perlunya bantuan hukum yang berkualitas pada orang cacat (disable persons).43 Bantuan hukum di Indonesia diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. UUD 1945 memuat prinsip-prinsip negara hukum, pemenuhan keadilan dan hak asasi manusia yang berkaitan
40
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
dengan hak asasi setiap warga negara untuk mendapat bantuan hukum.44 Selanjutnya, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan, ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.45 Bagian Keempat UU tentang HAM itu menjamin hak setiap orang untuk memperoleh keadilan. Pasal 18 ayat (4) UU ini juga menjamin hak setiap orang yang diperiksa untuk mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
3.2.1 Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan di Indonesia: Beberapa Tantangan Dalam UUD 1945 dan UU 39 tahun 1999 dimandatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab pemerintah.46 Namun sayangnya sampai sekarang kebijakan kongkrit dari pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab dalam promosi dan pemenuhan hak atas bantuan hukum utamanya bagi masyarakat miskin belum berjalan optimal. Hal ini bisa dilihat dari tiga hal penting. Pertama, di level substansi hukum, belum ada UU yang khusus mengatur tentang bantuan hukum. Dalam Pertemuan Puncak Bantuan Hukum, pada April 2006, Presiden RI yang membuka acara tersebut, belum menyampaikan rencana pemerintah untuk menerbitkan UU Bantuan Hukum. Presiden hanya menyinggung bahwa inisiasi LBH untuk mengajukan RUU Bantuan Hukum, dipersilakan diajukan ke DPR, selain ke pemerintah. Ketentuan terkait bantuan hukum terdapat dalam Pasal 22 UU 18 tahun 2003 tentang Advokat. Namun pengaturan ini tidak cukup dan tidak sesuai dengan makna bantuan hukum sebagai hak asasi manusia. Bantuan Hukum dalam UU Advokat tidak lebih sebagai ”charity” atau ”aksi belas kasihan” advokat, bukan sebagai tanggung jawab negara. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum yang seharusnya diatur melalui Peraturan Pemerintah hingga saat ini belum dapat diterbitkan. Padahal UUD 1945 jelas menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (vide Pasal 28I ayat (4)). Harus diakui bahwa pada RPJM 2004 - 2009, permasalahan dan agenda pembenahan sistem dan politik hukum telah dirumuskan, namun RPJM periode tersebut belum secara khusus memuat agenda mempromosikan dan memenuhi hak masyarakat miskin atas bantuan hukum. Kedua, di level penegakan hukum, masih banyak dijumpai ketidakkonsistenan aparat penegak hukum dalam menerapkan peraturan. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah contoh, antara lain terkait dengan berperkara secara prodeo. Akses informasi terhadap pembebasan biaya perkara belum dapat dinikmati oleh masyarakat. Selain itu, tidak sedikit aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan dan hakim serta petugas lembaga pemasyarakatan tidak memberikan informasi tentang hak setiap tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, hak-hak tersangka dan terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum, bertemu dan berkonsultasi dengan advokat atau penasihat hukum juga seringkali diabaikan. Hal ini
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
41
selain menunjukkan integritas aparat penegak hukum yang masih rendah, juga menunjukkan bahwa aparat penegak hukum masih kurang memiliki kepekaan terhadap orang miskin. Ketiga, di level budaya hukum, pemerintah belum melakukan pendidikan hukum secara optimal untuk mengembangkan daya kritis masyarakat. Saat ini dapat dikatakan kemauan politik pemerintah belum maksimal untuk mendukung penyediaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, dan hal ini adalah tantangan utama pengembangan bantuan hukum di Indonesia. Dalam konteks ini perlu ada rekonstruksi dan optimalisasi program-program pendidikan yang telah dijalankan pemerintah dan lembaga penegak hukum, seperti program Keluarga Sadar Hukum (kadarkum) atau penyuluhan hukum bagi masyarakat. Dalam Program Pembangunan Nasional 2000 - 2004 upaya merekonstruksi konsep, metode dan mekanisme program pendidikan sebenarnya telah dilakukan, antara lain dengan mengganti istilah penyuluhan hukum dengan penyadaran hukum yang bersifat dialogis. Optimalisasi perlu dilakukan dalam dua aspek: substansi hukum dan jangkauan serta jumlah penerima manfaat dari program ini. Selain itu, masih banyak permasalahan yang menghambat pelaksanaan dan pengembangan bantuan hukum sebagaimana dijelaskan beberapa di antaranya di bawah ini. a. Ketiadaan Informasi Penting Terkait dengan Bantuan Hukum Bantuan hukum adalah refleksi gerakan hak asasi manusia. Sebagai gerakan masyarakat perlu diberikan informasi yang cukup, dan dilakukan pada tingkat akar rumput. Bantuan hukum hanya akan efektif menjangkau sasaran kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan jika didasarkan pada ketersediaan informasi berikut: (i) informasi jumlah masyarakat miskin pencari keadilan;(ii) jumlah anggaran yang dialokasikan untuk bantuan hukum cuma-cuma dan jumlah yang benar-benar dapat diakses oleh masyarakat pencari keadilan; (iii) jumlah penyedia bantuan hukum yang benarbenar menyediakan bantuan hukum cuma-cuma; dan (iv) jumlah advokat yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma di badan-badan peradilan. Pemerintah melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia berkewajiban untuk menyediakan database informasi ini. Penerapan sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum) yang telah dilakukan Depkumham, dapat diadopsi dan diterapkan dalam bantuan hukum: sistem administrasi bantuan hukum (Sisminbahu). Tentu Depkumham perlu bekerja sama dengan lembaga hukum: MA, Kejagung, Polri dan organisasi advokat. Saat ini Mahkamah Agung telah menerbitkan SK MA No. 144 tahun 2007 mengenai keterbukaan informasi pengadilan. Sosialisasi aturan ini perlu dilakukan secara meluas kepada masyarakat pencari keadilan. Selain itu, Direktorat Genderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara/ Militer, pada 2004 juga telah menerbitkan sebuah buku panduan “Bantuan Hukum Bagi Golongan Masyarakat Kurang Mampu. Bagaimana dan Di mana Anda Dapat Memperoleh Dana Bantuan Hukum”. Sayangnya, buku panduan ini tidak merinci hal-hal yang seringkali ditanyakan masyarakat, antara lain, siapa atau pejabat mana yang harus dihubungi untuk memperoleh informasi tentang bantuan hukum? Berapa rata-rata alokasi dana bantuan hukum yang disediakan melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara kepada para advokat yang memberikan bantuan hukum cumacuma? Berapa alokasi dana APBN yang dialokasikan kepada lembaga bantuan hukum? Berapa rata-rata alokasi dana yang dialokasikan untuk sebuah perkara atau kasus yang dihadapi masyarakat miskin? Berapa jumlah advokat dan lembaga bantuan hukum yang memanfaatkan dana bantuan hukum dari Mahkamah Agung?
42
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Tabel 3 PERBANDINGAN INVESTASI PELAYANAN HUKUM (Peringkat negara-negara disusun berdasarkan bagian PDB yang diinvestasikan dalam pelayanan (dari yang terendah sampai tertinggi) NEGARA atau bagian negara seperti provinsi dsb
Total investasi pemerintah dalam pelayanan hukum (dalam USD) [Di AS termasuk tingkat pusat, negara bagian dan pemerintahan lokal expenditures]
Investasi pemerintah dalam pelayanan hukum per kapita (dalam USD)
Investasi pemerintah dalam pelayanan hukum per USD 10.000 dari PDB di Amerika Serikat
AS (tahun 1998)
$600 juta [populasi=270 juta]
$2.25
$0.70
$4.86
$1.90
Jerman (1996) $390 juta [populasi=80 juta] AUSTRALIA (tahun 199899) -New South Wales
Total investasi pelayanan hukum di Amerika Serikat jika AS menginvestasikan sebesar PDB negara lain
[=70 sen] $0.6 milyar [e.g., 600 juta] $1.6 milyar
[tiap negara bagian memiliki program masing-masing] $31 Juta [populasi=6 juta]
$5.12
CANADA (tahun 199899)
$2.75
$2.3milyar
[tiap negara bagian memiliki program masing-masing]
-Quebec
$52 Juta [populasi=7.3 juta]
$7.07
$3.50
$3.0 milyar
-Ontario
$82 juta [populasi=11.5 juta]
$7.06
$3.60
$3.0milyar
-British Columbia
$32 juta [populasi=4 juta]
$7.80
$4.00
$3.34 milyar
Belanda (1998)
$150 juta [pop=15.5 juta]
$9.70
$4.20
$3.5 milyar
Selandia Baru (tahun 199899)
$27 juta [populasi=3.8 juta]
$7.10
$5.10
$4.25 milyar
ENGLAND (1999)
$2 milyar $39.00 $1.35 milyar [populasi=53 $26.00 juta]
Gross=$17.00 Net = $12.00
$14.2 milyar $10.1 milyar
Sumber: http://www.equaljusticelibrary.org.cnchost.com/
Sebagai tambahan, sejak 30 April 2008 lalu, telah diundangkan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Secara eksplisit dinyatakan tujuan UU ini antara lain menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses serta alasan pengambilan suatu keputusan publik (Pasal 3 huruf a). b. Prasyarat Membangun Kepercayaan Masyarakat Setidaknya ada enam kondisi dari sistem peradilan di barat yang membuat warga negara mau dan percaya sistem ini dapat memberikan keadilan. Keenam kondisi itu sebagai berikut: (i) adanya profesionalisme aparat penegak hukum; (ii) adanya sistem informasi terintegrasi yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat; (iii) adanya transparansi di tubuh institusi penegak hukum;
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
43
(iv) aparat penegak hukum menjalankan kewenangan dan pelayanan kepada masyarakat secara bertanggung jawab; (v) menempatkan aparat penegak hukum dalam profesi yang mulia; dan (vi) adanya perlindungan profesi serta insentif bagi para penegak hukum. Di Indonesia, hal-hal yang disebutkan di atas belum seluruhnya terwujud. Aparat penegak hukum seringkali direduksi dan mereduksi diri hanya menjadi alat kepentingan kekuasaan. Dalam situasi seperti ini maka bantuan hukum menghadapi kesulitan membantu warga miskin dan terpinggirkan memperoleh keadilan dari sistem keadilan formal. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum mempunyai hubungan erat dengan praktik dan pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia. Kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam praktik menghindari dan takut menggunakan mekanisme hukum, terutama memperjuangkan keadilan melalui badan peradilan, karena seringkali justru menjadi korban dari praktik mafia peradilan. c. Rendahnya Tingkat Kepekaan Politik Pemerintah Ini merupakan masalah umum yang ada pada pemerintahan di negara-negara berkembang. Ketika masyarakat menyampaikan kritik, aspirasi atau pengaduan adanya ketidakadilan, hukum yang pilih kasih dan pandang bulu serta kesewenang-wenangan, pemerintah tidak berupaya memperbaiki dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada sistem dan lembaga peradilan. Meskipun ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah telah mendorong pemenuhan hak-hak warga dan masyarakat, termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya, yang dapat membantu perwujudan modal sosial masyarakat. Demikian pula kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi dan mengalokasikan dana bagi peningkatan dan perluasan akses terhadap keadilan bagi masyarakat perlu ditingkatkan. Di Indonesia, belum ada anggaran dalam APBN yang secara khusus dialokasikan untuk membantu organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi advokat dalam menjalankan bantuan hukum. Sebagai perbandingan, pemerintah Afrika Selatan pada tahun 2004/2005 mengalokasikan USD 71,446,868 untuk dana bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat dan organisasi penyedia bantuan hukum. Tahun anggaran berikutnya, jumlah itu naik menjadi USD 73,790,087 (2005/2006) dan kembali naik sebesar USD 77,734,666 (2006/2007) atau jika dinilai dengan rupiah, Rp 723.709.740.460 (dengan kurs 1USD = Rp 9.310). Sementara itu, APBN Indonesia masih sebatas mengalokasikan dana untuk memberkas, memeriksa orang, menuntut dan memvonis orang, tetapi belum ada alokasi bahkan untuk lembaga-lembaga yang melakukan pembelaan dalam proses peradilan. Bagaimana hal ini dapat menjelaskan pelaksanaan jargon-jargon supremasi hukum, keadilan atau peradilan yang fair di Indonesia? Masalah lainnya adalah ketidakjelasan apakah alokasi anggaran untuk program peningkatan pelayanan dan bantuan hukum memang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin.47 Tabel 4 Perbandingan Alokasi Dana Bantuan Hukum di Beberapa Negara No
Negara
Tahun
Jumlah Dana
1.
Inggris
2004 – 05
GBP 2 juta
1997 – 98
GBP 1.5 juta
2006 – 07
USD 77, 735 juta
2005 – 06
USD 73, 791 juta
2004 – 05
USD 71, 447 juta
2.
Afrika Selatan
Sumber: diolah dari berbagai sumber
44
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
DPR dan Pemerintah akan lebih memikirkan bagaimana memenuhi hak pencari keadilan yang tidak mampu, termasuk menyiapkan kerangka hukum, infrastruktur dan prosedurnya, dan alokasi anggaran dalam APBN untuk untuk organisasi-organisasi yang memberikan bantuan hukum cumacuma. Pengaturan pengalokasian dana untuk pembelaan hukum masyarakat, utamanya masyarakat miskin, juga bisa dilakukan dalam UU tentang Bantuan Hukum. Selanjutnya, muatan minimal yang mesti dimuat dalam UU Bantuan Hukum, adalah sebagai berikut: (i) prinsip-prinsip hak atas bantuan hukum sebagai hak asasi manusia; (ii) obligasi negara untuk pemenuhan hak atas bantuan hukum; (iii) persyaratan (eligibility); (iv) Organisasi Bantuan Hukum; (v) mekanisme dan prosedur bantuan hukum; dan (vi) mekanisme pengaduan dan pelaporan. d. Kemauan Politik Pengambil Keputusan Supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak-hak semua orang di negara-negara barat bukan tanpa tantangan. Namun, bisa diwujudkan karena upaya sistematis dan serius, dengan dipimpin oleh orang-orang yang memang benar-benar mencurahkan perhatiannya, termasuk para filsuf dan akademisi, yang memberikan perhatian bagi perwujudan hak atas bantuan hukum. Program-program pembaruan hukum dan pembaruan institusi penegak hukum saat ini menelan jutaan US dollar, seperti program pembaruan kejaksaan, pembaruan mahkamah agung, pembaruan insititusi kepolisian, termasuk pembenahan manajemen perkara, pelatihan dan seterusnya. Namun tanpa ada ketegasan dan kemauan yang kuat dari tiap-tiap pimpinan lembaga, program-program semacam ini tidak akan berdampak banyak pada peningkatan akses terhadap keadilan bagi masyarakat. Demikian juga dalam hak atas bantuan hukum, tanpa ada kemauan politik pengambil keputusan, pemenuhan hak ini akan sulit terwujud. Sebagai contoh sampai saat ini belum diterbitkan UU Bantuan Hukum yang berpihak pada masyarakat miskin dan terpinggirkan. e. Ketidakberhasilan Reformasi Hukum Sudah banyak ikhtiar dilakukan, namun reformasi hukum masih terseok-seok dan masalah masih bertumpuk. Mengapa reformasi hukum yang telah dilaksanakan atau yang sedang berjalan tidak memuaskan? Kelangkaan figur yang tegas, keras dan berani, karenanya dicari sebagai pimpinan lembaga kehakiman, kejaksaan, advokat, dan kepolisian serta tokoh-tokoh masyarakat yang dapat menjadi teladan adalah salah satu penyebabnya. Meningkatnya kepercayaan masyarakat miskin terhadap hukum dan peradilan terkait dengan ada tidaknya pemberdayaaan hak hukum untuk memenuhi keadilan bagi mereka. Tentu saja, untuk mewujudkan hal ini dibutuhkan figur yang mempunyai komitmen kuat, tegas dan berani. Dengan kata lain, para pemimpin yang berpihak kepada kaum miskin.
3.2.2 Bantuan Hukum dan Akses terhadap Keadilan A Kerangka Normatif dan Kelembagaan Penyediaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan memerlukan landasan hukum yang mendukung. Ironisnya, beberapa perangkat normatif dan kelembagaan yang dibutuhkan untuk mendukung bantuan hukum justru absen, seperti tergambar dalam butir-butir di bawah ini.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
45
(a) Belum ada UU Bantuan Hukum yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum. Dari Pertemuan Puncak Bantuan Hukum di Jakarta dan penyelenggaran forum publik di lima propinsi48, dapat dikemukakan temuan dan masalah tentang Akses terhadap Keadilan bagi masyarakat miskin, antara lain: (1) biaya perkara yang mahal dan penyelesaian perkara yang memakan waktu lama; (2) keterampilan dan pengetahuan spesialisasi hakim dan keringnya perspektif gender dan aspirasi keadilan masyarakat; (3) putusan tidak berdasarkan kebenaran materiil yang berdasarkan aspirasi keadilan masyarakat; (4) masalah pendampingan masyarakat miskin jika menghadapi perkara hukum, disebabkan defisit advokat yang mau memberikan bantuan hukum cuma-cuma; (5) masalah proses mengadili orang miskin oleh hakim tunggal dalam perkara-perkara tindak pidana; (6) masalah penundaan eksekusi perkara-perkara yang mengabulkan gugatan masyarakat miskin atau korban pelanggaran hak asasi manusia, seperti dalam perkara masyarakat adat Kajang, Sulawesi Selatan vs. PT London Sumatera. Kasus konflik pertanahan ini sudah berlangsung hingga 26 tahun hingga saat ini; (7) standar pelayanan peradilan, termasuk masalah akses informasi, dan (8) jaminan keamanan fisik dan psikis bagi korban, saksi atau pelapor. Masalah-masalah di atas akan dapat dicegah dan diminimalisasi jika setiap orang termasuk masyarakat miskin didampingi seorang advokat atau pembelanya. Adanya pendampingan hukum oleh advokat diharapkan akan mencegah praktik-praktik penyimpangan yang berkaitan dengan proses peradilan. Sejak awal, para advokat dapat berperan untuk memastikan proses hukum dilakukan secara adil dan tidak memihak, yang bermuara pada pemenuhan hak setiap orang terhadap keadilan. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memuat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, menjadi hak setiap orang, termasuk si miskin, mendapat bantuan hukum dalam proses peradilan. Namun sayangnya, penjabaran Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berupa penerbitan UU Bantuan Hukum belum terlaksana hingga saat ini. Di Australia, UU Bantuan Hukum mengatur empat komponen utama sistem pelayanan bantuan hukum, yakni Komisi Bantuan Hukum (Legal Aid Commissions); Pusat Legal Komunitas (Community Legal Centres/CLCs); Pelayanan Hukum Masyarakat Pribumi; Pendampingan Cuma-Cuma (Pro Bono) oleh Advokat Privat. UU Bantuan Hukum di Indonesia tidak akan berbeda tujuannya, yakni menyelesaikan masalah pendampingan masyarakat utamanya yang tidak mampu jika menghadapi perkara hukum.
(b) Implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaan dan perbedaan dalam praktik. UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang disahkan pada 5 April 2003 mendefinisikan bantuan hukum sebagai ”jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu” (Pasal 1 angka 9). UU ini hanya mengatur tentang advokat dan organisasi advokat. Padahal seperti dalam UU Bantuan Hukum di Afrika Selatan maupun Australia, jasa hukum tidak hanya diberikan oleh organisasi advokat, melainkan organisasiorganisasi bantuan hukum, seperti Yayasan LBH Indonesia dan kantor-kantor LBH di seluruh Indonesia, klinik bantuan hukum di kampus/perguruan tinggi dan lembaga bantuan hukum lainnya. Tak pelak mayoritas advokat hanya memberi perhatian kepada kasus-kasus dari para klien yang mampu membayar, tetapi tidak buat pencari keadilan yang kurang mampu. Dari aspek pencari keadilan, peraturan perundang-undangan, pendampingan hukum terhadap warga negara masih sangat terbatas. Peraturan perundang-undangan secara terbatas hanya
46
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
mengatur hak-hak tersangka/terdakwa atau hak-hak terpidana dan berperkara secara cumacuma (prodeo) atau dengan biaya dengan tarif yang dikurangi dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara pidana, ketentuan advokat negara yang ditunjuk oleh pejabat hanya bagi tersangka/terdakwa tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara 15 (lima belas) tahun atau atau bagi yang tergolong tidak mampu secara ekonomi, yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih – berdasarkan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Dalam praktik, ketentuan ini pun seringkali diabaikan, utamanya di pengadilan-pengadilan yang jauh dari keramaian dan perhatian masyarakat. Dalam perkara perdata, sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata (Reglement op de Reschsvordering), S.1847-52 jo. 1849-63, Pasal 887 Reglemen Acara Perdata telah memuat ketentuan berperkara secara cuma-cuma atau tarif yang dikurangi. Namun dari banyak perkara, dapat dihitung dengan jari pendaftaran gugatan secara prodeo disetujui, seperti klien LBH Surabaya mendaftarkan gugatan perwakilan masyarakat (class action) – kasus pengungsi Sambas – ke PN Surabaya secara prodeo, dan dikabulkan oleh PN. Perlu digarisbawahi, fasilitas ini hanya berlaku dalam lingkup pendaftaran gugatan, bukan biaya yang perlu dikeluarkan dalam proses persidangan perdata. Secara singkat UU Bantuan Hukum diharapkan mengatur penyedia jasa hukum cuma-cuma dan menjamin hak setiap orang untuk mendapat jasa hukum tersebut. Peraturan Presiden No 105/2007 tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat tahun 2008 mencantumkan alokasi dana program pelayanan dan bantuan hukum sebesar Rp 1,1 trilyun. Semestinya alokasi pelayanan bantuan hukum ini diatur dalam UU Bantuan Hukum dan dipastikan agar dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh para pencari keadilan, utamanya masyarakat miskin.
(c) Transparansi dan akuntabilitas pejabat pemerintah dan pejabat penegak hukum. Sebagaimana disampaikan di bagian atas, pada dasarnya pemerintah telah mengalokasikan dana pelayanan dan bantuan hukum, namun belum terlihat pertanggungjawaban pejabat dalam pengelolaan dana ini, baik pejabat pemerintah maupun pejabat di lembaga-lembaga hukum. Belum maksimalnya tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolan dana bantuan hukum berpotensi merugikan para pencari keadilan. Padahal, transparansi dan akuntabilitas itu sangat dibutuhkan untuk membangun kepercayaan masyarakat pada sistem hukum. Jika pengelolaan dana peningkatan pelayanan dan bantuan hukum dikelola dengan baik dan dijamin pemenuhannya melalui peraturan perundang-undangan, maka masyarakat sangat merasakan manfaatnya. Bagaimana pun, tidak semua pencari keadilan mampu membayar biaya perkara. Seringkali masyarakat miskin tidak mau dan atau tidak mampu membayar biaya perkara yang mahal. Oleh karena itu mereka sangat berkepentingan mendapatkan kemudahan dalam membayar biaya perkara. Ironisnya, penentuan diterimanya biaya perkara secara prodeo mutlak atas kebijakan pejabat pengadilan, dan tidak semua disertai alasan mengapa permohonan pengajuan biaya perkara prodeo ditolak. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana yang dikumpulkan dari biaya berperkara di pengadilan ini juga telah mencederai integritas lembaga pengadilan. Berpuluhpuluh tahun para pihak yang berperkara tidak mengambil dana titipan biaya perkara setelah
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
47
memenangkan perkaranya. Dana inilah yang diminta BPK untuk diaudit, kemudian ditolak Ketua MA dengan alasan bukan termasuk anggaran negara. Perlu dicatat, pihak-pihak yang berperkara bukan berasal dari golongan yang kaya saja, namun juga masyarakat miskin. Oleh karena itu, semestinya MA membuat mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk mengambil dana titipan ini. Sampai sekarang tidak diketahui secara pasti berapa anggaran negara, anggaran pemerintah daerah, termasuk hibah dari lembaga donor yang benar-benar dialokasikan untuk kepentingan pembelaan dan pendampingan hukum masyarakat miskin. Tanpa memberikan perhatian terhadap hal ini, reformasi hukum maupun reformasi peradilan tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat miskin pencari keadilan. Selama ini, Negara hanya memberikan dana dan fasilitas kepada kepolisian untuk menangkap dan menahan orang; memberikan dana dan fasilitas kepada kejaksaan untuk mendakwa dan menuntut orang; memberikan dana dan fasilitas kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus perkara. Namun belum ada dana APBN yang secara khusus membantu operasional organisasi-organisasi bantuan hukum yang memberikan pelayanan bagi masyarakat miskin saat terkena kasus hukum atau ingin memperjuangkan hak-haknya melalui prosedur hukum – baik formal maupun nonformal. Kemajuan justru terjadi di tingkat pemerintah daerah. Pemerintah DKI Jakarta sebagai contoh mengalokasikan APBD untuk membantu organisasi bantuan hukum, termasuk memfasilitasi pembangunan gedung atau kantor YLBHI dan program bantuan hukum yang dijalankan LBH Jakarta. Contoh lain adalah Pemda Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan, Pemda Kabupaten Sleman di Yogyakarta. Inisiatif semacam ini perlu diadopsi sebagai kebijakan seluruh pemerintah daerah dan terutama oleh Pemerintah Pusat.
(d) Kurangnya sumber daya (lembaga bantuan hukum dan advokat) yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma. Profesi Advokat Sangat sulit bagi masyarakat miskin untuk mendapat pembelaan dan pendampingan hukum dari advokat disebabkan antara lain jumlah advokat tidak sebanding dengan jumlah masyarakat miskin pencari keadilan. Tahun 2005, data BPS memuat perkiraan angka kemiskinan mencapai 62 juta jiwa atau 28.44% dari total penduduk 218 juta orang. Sementara data Mahkamah Agung menyebutkan bahwa jumlah advokat yang bergabung dalam organisasi profesi hanya mencapai 14.000 orang. Saat ini diperkirakan jumlah advokat yang aktif menjalankan profesinya tidak lebih dari 20.000 orang. Sementara advokat yang aktif memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma lebih sedikit lagi. Di Indonesia jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 200 orang. Angka ini tentu hanya perkiraan, karena minimnya data yang tersedia dan dapat dikatakan belum ada penelitian secara rinci tentang ini. Data dari 14 kantor LBH menunjukkan, seorang advokat publik mesti memberikan jasa hukum cuma-cuma rata-rata 2 – 5 kasus per hari, dan menangani perkara lebih dari 3 kasus. Sebagai ilustrasi, sejak 1990-an hingga 2007, LBH Jakarta menerima rata-rata 1.000 – 5.000 kasus. Periode 2000 – 2005, tidak kurang dari 96.681 pencari keadilan terbantu. Selanjutnya pada 2006, sebanyak 1.123 kasus yang diterima oleh LBH Jakarta, dengan jumlah masyarakat yang terbantu tidak kurang dari 10.015 jiwa.
48
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Kurangnya jumlah advokat yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu menyebabkan kasus-kasus individual baik perdata maupun pidana yang melibatkan orang miskin tidak dapat ditangani secara maksimal. Ke depan, perkara-perkara individual semacam ini mesti juga diberikan perhatian sekaligus menjadi prioritas penanganan perkara oleh organisasi-organisasi bantuan hukum. Paralegal Upaya menyediakan pelayanan jasa hukum, antara lain dilakukan melalui pemberdayaan sumber hukum masyarakat, seperti paralegal dan sukarelawan bantuan hukum mahasiswa. Paralegal ini sangat penting untuk memasifkan dan memperluas akses masyarakat terhadap layanan dan bantuan hukum, termasuk memajukan gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Namun, saat ini sangat banyak hambatan bagi paralegal dalam menjalankan fungsi dan kerjanya. Hambatan bagi seorang paralegal untuk bisa mendampingi klien atau korban dalam proses peradilan dan pendidikan, antara lain, seringkali aparat kepolisian tidak mengizinkan paralegal untuk mendampingi korban atau pelaku saat pengambilan keterangan. Selain itu, kepolisian, jaksa, hakim dan advokat yang berperkara meminta para pengabdi bantuan hukum untuk menunjukkan izin beracara. Hal inilah yang menyebabkan sangat banyak para pencari keadilan yang sebenarnya memerlukan pembelaan dan pendampingan advokat LBH namun karena kurangnya sumber daya manusia tidak dapat dilayani dengan maksimal. Kantor-kantor LBH seringkali didatangi para pencari keadilan yang tidak mampu, setelah mereka ditolak didampingi atau dibela oleh para advokat privat atau bahkan direkomendasi oleh aparat kepolisian untuk meminta pembelaan ke kantor LBH. Tetapi keterbatasan advokat di LBH menyebabkan mereka tidak terlayani. Oleh sebab itu, keberadaan paralegal sebenarnya sangat membantu. Namun, kebijakan melarang mereka terlibat dalam proses peradilan tanpa surat izin beracara menjadikan semakin banyak orang miskin yang tidak mendapat layanan bantuan hukum. Pengembangan paralegalisme di Indonesia, dapat dilakukan dengan mengadopsi program pemerintah yang telah berjalan. Pengembangan gerakan paralegal ini perlu dilaksanakan dengan menggunakan standar dan prosedur tertentu. Hal ini disebabkan, jika tidak ada pendampingan, evaluasi dan pengawasan, peran paralegal juga dapat menimbulkan masalah yang tidak sedikit, seperti paralegal menjadi “elite” baru di masyarakatnya; menjadi bagian dari mafia peradilan, seperti menjadi makelar atau calo perkara, dengan memungut biaya.
(e) Sistem penyelesaian sengketa nonformal belum maksimal digunakan. Salah satu cara penyelesaian sengketa yang saat ini sedang dipromosikan yakni penyelesaian nonformal. Mekanisme ini pada umumnya diberlakukan di lapangan hukum perdata. Namun jika upaya ini dimaksimalkan, tentu akan membantu para pencari keadilan, antara lain dalam sengketa dan konflik tanah dan sumber daya agraria lainnya. Dalam konteks ini, perlu mengefektifkan peraturan perundangan-undangan yang telah ada, seperti UU No. 30 tentang 1999 tentang Arbitrase. Dalam praktik, penyelesaian sengketa nonformal umumnya dapat terlaksana jika pihak yang berperkara tidak berbeda jauh sumber daya hukumnya. Namun jika yang berperkara berbeda jauh sumber daya hukumnya, maka yang terjadi antara lain praktik kriminalisasi kepada masyarakat miskin. Dalam kasus-kasus perselisihan perburuhan, biasanya pihak pengusaha
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
49
atau pemilik modal malah lebih memilih penyelesaian lewat pengadilan perselisihan perburuhan ketimbang mendialogkannya dengan buruh/pekerja. Penyelesaian sengketa nonformal, tentu akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap legal representation, melalui advokat walaupun sangat terbatas jumlah perkaranya. Untuk kasus-kasus pidana yang menimpa masyarakat tidak mampu, tentu diperlukan pembelaan dan pendampingan hukum oleh advokat. Alternatif penyelesaian perkara dalam kehidupan sehari-hari telah dijalankan sejak lama melalui cara adat atau community justice. Namun, pengakuan terhadap eksistensi adat dan community justice ini belum banyak digali untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum yang terjadi di masyarakat. Dalam menggunakan mekanisme adat, tentu para pihak yang menggunakan mekanisme ini perlu diberikan informasi bahwa tidak semua aturan adat sejalan dengan standar dan norma hak asasi manusia. Selain itu, dalam praktik juga sering ditemukan contoh lemahnya eksekusi hasil dari penyelesaian sengketa dan para pihak yang tidak puas, masih meneruskan perkaranya ke proses pengadilan.
B. Kesadaran Hukum (a) Belum maksimalnya kepekaan pemerintah dan kelembagaan hukum. Dalam pemenuhan hak asasi manusia, pemerintah mempunyai peran penting, utamanya dalam promosi, perlindungan dan pemenuhan hak setiap orang atas bantuan hukum. Pemerintah dalam hal ini telah mengalokasikan dana untuk peningkatan pelayanan dan bantuan hukum yang jumlahnya pada 2008 sebesar Rp 1,1 trilyun. Namun belum maksimal upaya memastikan dana ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat miskin. Selain pemerintah, akses terhadap bantuan hukum, sebenarnya dapat dijalankan oleh empat lembaga yang sangat terkait dengan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, yakni Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan organisasi advokat Peradi. Dapat dikatakan, tidak ada kebijakan khusus dari lembaga-lembaga ini yang secara langsung dapat diklaim memperluas akses terhadap keadilan bagi masyarakat terhadap bantuan hukum. Terdapat diskursus dan rekomendasi kepada lembaga-lembaga penegak hukum untuk memperluas bantuan hukum bagi masyarakat miskin namun belum mendapat perhatian serius, antara lain: (1) Ketua MA diharapkan mengeluarkan kebijakan – Peraturan MA atau Surat Edaran MA – untuk memperbolehkan pengabdi bantuan hukum – dengan kualifikasi tertentu – untuk dapat beracara di pengadilan mendampingi kelompok masyarakat yang kurang mampu.; (2) Kapolri diharapkan mengeluarkan kebijakan, dalam bentuk surat edaran yang memperbolehkan pengabdi bantuan hukum dan paralegal agar dapat mendampingi klien atau korban yang tidak mampu saat diperiksa di kepolisian; (3) organisasi advokat diharapkan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma, dan memberi sanksi jika ada advokat yang tidak mau melaksanakannya. Dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Orang Miskin perlu dilaksanakan dan ditindaklanjuti dengan konsisten.
50
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Namun hingga saat ini, kebijakan-kebijakan semacam itu belum dilakukan. Padahal, keberadaannya diperlukan sebagai bentuk perhatian dan ”kebijakan antara” sebelum diterbitkannya UU Bantuan Hukum.
(b) Akses terhadap forum yang sesuai. Saat masyarakat miskin ingin membela hak-haknya ataupun mendapatkan keadilan, dapat ditempuh jalur peradilan dan nonformal, termasuk mediasi, arbitrase dan community justice. Hal ini perlu juga didukung oleh para penyedia bantuan hukum untuk mendampingi proses memperoleh keadilan itu sendiri. Penyedia Bantuan Hukum yang teridentifikasi selama ini meliputi: (i) pelayanan Bantuan Hukum oleh Pemerintah. Semestinya pelayanan bantuan hukum oleh pemerintah ini bukan diperuntukkan untuk pejabat yang menjadi tersangka atau terdakwa korupsi, melainkan untuk memperluas akses terhadap keadilan bagi masyarakat, utamanya bagi yang tidak mampu; (ii) pelayanan bantuan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum; (iii) pelayanan bantuan hukum oleh Organisasi Advokat; (iv) pelayanan bantuan hukum oleh Civitas Akademika; (v) pelayanan bantuan hukum oleh Partai Politik dan underbow-nya; (vi) pelayanan bantuan hukum oleh Organisasi Masyarakat; (vii) pelayanan bantuan hukum oleh Organisasi Mahasiswa; dan (viii) pelayanan bantuan hukum oleh Pusat Pelayanan Hukum. Pelayanan bantuan hukum sedapat mungkin dapat diakses oleh masyarakat terpinggirkan. Cara pengembanganannya, antara lain melalui pengembangan pos bantuan hukum berbasis komunitas (berdasarkan sektor, misalnya sektor buruh, tani, dan kelompok miskin perkotaan; dan/atau berbasis wilayah/teritori, yang memungkinkan masyarakat miskin yang tinggal di kawasan yang jauh dari pusat kekuasaan juga mendapat akses bantuan hukum). Selain itu, pengembangan program bantuan hukum berjalan (mobile legal aid) juga diperlukan, utamanya untuk menjangkau masyarakat miskin yang berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Informasi dan publikasi perlu dilakukan dengan melibatkan seluas-luasnya masyarakat dengan menggunakan infrastruktur sosial yang sudah ada dan sudah tumbuh di masyarakat itu sendiri. Dengan cara ini, maka akses bantuan hukum dapat diinformasikan dari pintu ke pintu untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
(c) Penanganan keluhan yang efektif. Bantuan hukum semestinya menfasilitasi masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menemukan lembaga atau pihak di mana mereka bisa menyampaikan keluhannya, baik keluhan terhadap pelayan publik dari lembaga pemerintahan pusat dan daerah ataupun badan-badan peradilan. Selain itu, perlu disadari bahwa keluhan masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap penyedia bantuan hukum juga perlu ditangani. Untuk memastikan adanya penanganan keluhan yang efektif, maka diperlukan upaya, antara lain: (i) adanya standar pelayanan minimum yang berlaku untuk semua organisasi penyedia bantuan hukum; (ii) melakukan pemetaan kebutuhan bantuan hukum para pencari keadilan (justice seekers) dan wilayah-wilayah yang belum pernah tersentuh akses terhadap bantuan hukum; (iii) menghapuskan kesenjangan antara peraturan perundang-undangan yang ditetapkan, dengan rasa keadilan masyarakat, utamanya yang berkaitan dengan penyelesaian masalah dalam masyarakat adat; (iv) menyediakan akses terhadap informasi yang transparan. Terdapat sejumlah dana untuk kasus pro-bono. Namun biasanya hanya diberikan kepada
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
51
rekanan advokat kepolisian dan pengadilan. Di samping itu, dalam praktik sangat sulit memperoleh akses informasi, misalnya anggaran di pengadilan untuk alokasi dana advokat pro-bono; dan (v) perlunya technical assistance dari pemerintah pusat dan pemerintah pusat mengadopsi contoh-contoh terbaik dari pemerintah daerah. Penanganan keluhan efektif ini, merupakan bagian yang juga diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum. Dalam RUU Bantuan Hukum telah dimuat prosedur dan mekanisme keluhan masyarakat terhadap layanan dan bantuan hukum yang dijalankan oleh semua lembaga dan organisasi penyedia bantuan hukum cuma-cuma. Lembaga-lembaga yang telah dibentuk juga perlu dioptimalkan fungsi dan perannya, seperti Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial, organisasi advokat, ombudsman. Dalam UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman, lembaga ini diberi kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan. Sebagai contoh, dimungkinkan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan melaporkan atau mengadu ke Ombudsman jika mereka menjadi korban maladministrasi.
(d) Bentuk Bantuan Hukum yang sesuai. Bantuan hukum semestinya dilaksakan sesuai dengan standar-standar hak asasi, dan memuat prinsip-prinsip: (i) ketersediaan pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan; (ii) keterjangkauan biaya (affordability); (iii) aksesibilitas. Akses masyarakat terhadap jasa dan pelayanan hukum: Organisasiorganisasi bantuan hukum, Pos Bantuan Hukum dan/atau Pos Pertolongan Pertama pada Kasus Hukum (P3K Hukum) mesti dapat diakses oleh masyarakat terpinggirkan; (iv) lokasi, tidak hanya di tingkat propinsi, melainkan juga dapat diakses di tingkat komunitas. Sebagai contoh, di Australia dikembangkan pusat-pusat hukum masyarakat (community legal centres – CLCs); (v) kesesuaian budaya (cultural adequacy). Bentuk-bentuk bantuan hukum mesti mempertimbangkan ekpresi identitas budaya masyarakat dan komunitas pencari keadilan.
3.2.3 Strategi Nasional Akses terhadap Bantuan Hukum A. Arah Kebijakan Arah kebijakan ke depan, perlu mengutamakan kebijakan yang pro-poor dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Kebijakan ini memilih prioritas untuk memperluas akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, dengan menerapkan dan mewujudkan kebijakan nondiskriminasi dan menerapkan kebijakan affirmative action bagi para masyarakat miskin dan terpinggirkan pencari keadilan. Saat ini masyarakat miskin dan terpinggirkan belum maksimal memperoleh ’akses’ terhadap sistem peradilan dan keadilan - the quality of being just or fair. Dalam praktik, masalah terbesar dalam memperluas akses masyarakat miskin dan terpinggirkan atas keadilan, bukan karena negara tidak memiliki kemampuan, melainkan, ketidakmauan negara dan pejabat negaranya untuk secara sungguhsungguh dan konsisten memenuhi hak atas keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan.
52
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Makna kata ’akses’ memiliki persamaan dengan hak untuk memperoleh, menggunakan dan mendapatkan manfaat dari sesuatu. Oleh karena itu, akses masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap keadilan dapat diperoleh melalui pengadilan, maupun melalui mekanisme nonformal. Akses ini semestinya memungkinkan masyarakat miskin mendapat jaminan dan pengakuan dalam menggunakan hukum acara dan sarana dalam sistem peradilan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil. Kata ‘akses’ juga mengandung pengertian ‘ketersediaan’. Dalam sistem peradilan, kata akses berarti adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, dalam disiplin hukum hak asasi manusia, negara diwajibkan untuk menyediakan advokat secara cuma-cuma, menyediakan penerjemah, membebaskan biaya perkara, dan seterusnya. Kondisi adanya ketersediaan, atau sebaliknya ketidak-tersediaan sarana semacam ini, sangat menentukan proses pencapaian keadilan. Sebagai contoh, tidak adanya pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dapat berakibat hak-hak hukum yang bersangkutan terlanggar maupun dilanggar: di sejumlah kasus pidana, orang miskin diperiksa tanpa didampingi advokat, atau diadili oleh hakim tunggal. Sebagai tambahan, kata akses dapat diartikan sebagai sebuah metode dan prosedur. Upaya memperluas akses masyarakat miskin atas keadilan, tanpa membahas metode dan prosedur pelayanan, pencapaian dan pemenuhannya, bisa berakibat keadilan tidak akan pernah dinikmati oleh masyarakat miskin. Untuk memperluas akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin, diperlukan kemauan politik dari negara dan pemimpinnya, juga kemampuan sumber daya politik masyarakat untuk mendorong perluasan dan keterbukaan akses ini. Perlu dipenuhi beberapa prasyarat dasar bagi penyediaan bantuan hukum, seperti: Pertama, mewujudkan prinsip ’wajib’ (compulsory) dan ’cuma-cuma’ (free of charge) atau sekurangkurangnya prinsip afordabilitas (keterjangkauan secara ekonomi) dalam pemenuhan akses masyarakat miskin atas keadilan (Harian Fajar, 2006). Kedua, masyarakat miskin yang dapat mempertahankan dan memperjuangkan hak konstitusional dan hak hukumnya, tanpa terdiskriminasi karena ’kemiskinannya’ (Radar Bali, 2007). Dalam bahasa hak asasi, situasi ini, dicakup dalam jaminan pengakuan hak setiap orang di muka hukum dan pemerintahan. Ketiga, orang yang tidak mampu, tidak menerima hambatan dan sebaliknya difasilitasi untuk memperoleh sumber daya hukum yang sama dengan orang kaya atau berkuasa. Sebagai contoh, UU Advokat yang mewajibkan semua advokat untuk memberikan jasa hukum kepada orang yang tidak mampu, mempunyai tujuan agar jasa hukum bisa dinikmati semua orang. Dalam praktik, masalah uang, bayaran dan fee, adalah penghambat pokok ketidakmauan advokat untuk memberikan jasa hukum kepada orang miskin. Karenanya dukungan semua pihak sangat penting dalam upaya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma.
B. Strategi (a) Pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum 1. Pemenuhan hak atas bantuan hukum. Bantuan hukum memiliki 2 fungsi pokok: (1) menyediakan perlindungan dan pemenuhan persamaan setiap orang di muka hukum, termasuk mewujudkan fair trial; (2) memajukan dan berkontribusi terhadap agenda kesejahteraan sosial pemerintah dan program pembangunan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
53
negara, seperti program peningkatan kesejahteraan buruh/tenaga kerja, kewirausahaan, dan kepemilikan. Visi pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan adalah memberikan dukungan kepada agenda kesejahteraan dan keadilan sosial yang hendak dilaksanakan negara dan pemerintah. Sistem bantuan hukum (legal aid system) yang fair dan efektif akan menyediakan Akses terhadap Keadilan dan pemberdayaan hukum masyarakat. Alokasi dana negara dari pembayaran pajak masyarakat digunakan untuk program bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan terpinggirkan. Perwujudan pemenuhan bantuan hukum selama 5 tahun ke depan adalah memastikan setiap orang yang miskin dan terpinggirkan memperoleh bantuan hukum saat berhadapan dengan perkara hukum dan mendapat pembelaan oleh advokat saat hendak memperjuangkan haknya melalui peradilan atau melalui mekanisme nonformal.
2. Mewujudkan persamaan setiap orang di muka hukum. Mengingat jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat banyak, alokasi APBN dan APBD untuk program bantuan perlu ada prioritas pembiayaan bantuan hukum, sebagai berikut: (i) memastikan setiap orang miskin didampingi seorang advokat untuk mendapatkan fair trial; (ii) Alokasi dana dinikmati oleh orang atau kelompok masyarakat yang secara sosial terpinggirkan, di mana mereka ini tanpa bantuan hukum tidak dapat menikmati fair trial dan hak asasi manusia lainnya; dan (iii) berkontribusi terhadap pembelaan masyarakat miskin untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, seperti hak atas pekerjaan, hak atas tanah, hak atas air, hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan.
3. Mewujudkan sistem peradilan yang fair dan efektif. Program Bantuan Hukum akan: (i) melindungi hak-hak orang miskin yang tidak bersalah, rentan dan terpinggirkan; (ii) memastikan adanya pendampingan dan pembelaan orang miskin oleh advokat; (iii) adanya keseimbangan dukungan termasuk alokasi dana negara kepada hakim, polisi, dan jaksa; dan (iv) menyeimbangkan alokasi dana negara untuk Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Polri dengan lembaga-lembaga bantuan hukum dan organisasi advokat.
4. Mempromosikan peningkatan kualitas pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Program bantuan hukum akan mewujudkan: (i) sebuah pelayanan dan jasa hukum yang kompetitif dan aktif dengan memberikan remunerasi bagi para advokat publik dan praktisi; (ii) memastikan semua advokat dan praktisi yang memberikan jasa hukum bagi masyarakat tidak mampu mendapatkan remunerasi yang layak; dan (iii) mendorong pelaksanaan tanggung jawab profesi advokat dan praktisi hukum.
5. Menyelesaikan masalah hukum lebih cepat dan mencegah konflik sosial. Bantuan hukum yang efektif akan berkontribusi pada penyelesaian sengketa dan masalah hukum secara efektif, yang secara langsung dan tidak langsung memperkecil dampak sosial yang serius, sosial exclusion. Masalah hukum masyarakat miskin yang tidak cepat diselesaikan akan menghentikan dan membatasi peluang dan kesempatan yang seharusnya dinikmati dan tersedia untuk semua orang dalam masyarakat.
54
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Pemerintah dapat mempromosikan resolusi konflik secara efektif dan segera melalui program bantuan hukum, dengan tujuan: (i) mengurangi jumlah perkara hukum dan sengketa konflik langsung dan segera kepada orang yang bersangkutan; (ii) memfasilitasi pelayanan diproses dan tingkat awal, sehingga mencegah dan berkembang menjadi lebih serius dan mahal (more serious and costly); (iii) fokus kepada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan, yakni buruh, petani, kelompok miskin kota, masyarakat adat, dan kelompok perempuan dan anak.
(b) Perencanaan Legislasi, Kebijakan dan Aktivitas yang terkait dengan Pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum Strategi ini diwujudkan melalui penyusunan rencana pembangunan yang komprehensif mengenai hak masyarakat atas bantuan hukum. Strategi ini bertujuan menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya untuk mewujudkan hak atas bantuan hukum, dengan prinsip dan asas pokok: masyarakat diposisikan sebagai subjek dari program pembangunan, bukan semata hanya menjadi objek dari program yang akan direncanakan dan diimplementasikan. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan semestinya ‘full and meaningful’, sehingga manfaat dari program pembangunan itu benarbenar dirasakan masyarakat terpinggirkan. Dengan kata lain, program pembangunan semestinya memberi ruang yang optimal bagi partisipasi masyarakat miskin dan terpinggirkan sehingga manfaat dari program pembangunan itu benar-benar mereka rasakan.
1. Pembentukan perangkat hukum yang menjamin akses masyarakat miskin untuk memperoleh bantuan hukum. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang Bantuan Hukum, padahal di banyak negara berkembang telah ditetapkan UU semacam ini, seperti Afrika Selatan, dan sejumlah negara Eropa Timur seperti Estonia, Hungaria dan Slovenia. Australia, Jepang, Kanada, Swedia dan Inggris merupakan contoh-contoh negara yang juga telah menetapkan undang-undang bantuan hukum (legal aid act). Tabel 5 Undang-Undang Bantuan Hukum di Beberapa Negara Negara
Dasar Hukum
Definisi
Penerima
Belanda
Legal Aid Act 1994 Reform in 2004
Adanya pembedaan antara legal representation dan legal advice
Orang atau badan hukum
Afrika Selatan
The Constitution of South Africa: Act 108 of 199; Bill of Rights; Public Finance Management Act; Restitution of Land Rights; Security of Tenure; Criminal Procedure Act
Menyediakan - Orang yang pelayanan Kasus pidana; hukum (legal minimum services) sebagai ancaman lebih pembiayaan oleh dari 3 bulan; Negara - Kasus perdata, bagi orang miskin yang menenuhi kriteria
Pendaftaran Legal Aid, Advice and Assistance Center
- organisasi bantuan hukum - legal aid officer yang ada di pengadilan
Sumber: diadopsi dari Nenad Bago, “Access to Justice”, presentasi pada Pertemuan Puncak Bantuan Hukum, 2006.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
55
Tabel 6 Perbandingan Mekanisme dan Prosedur Bantuan Hukum Negara
Kasus Hukum
Pemilihan Advokat
Pembiayaan
Relevansi untuk Indonesia
Belanda
Semua kasus
Bebas memilih advokat yang diinginkan
Bantuan hukum hanya untuk councel’s fee, tidak termasuk ongkos lain
Mesti termasuk ongkos berperkara
Afrika Selatan
- pidana - perdata - kasus keluarga - perselisihan perburuhan - administration of justice - konservasi lingkungan dan satwa
Advokat, secara individual atau ditunjuk oleh Legal Aid Board
Dibiayai semua oleh Negara melalui Legal Aid Board
Relevan untuk memasukkan kasus KDRT dan kasus lingkungan
Sumber: Diadopsi dari Nenad Bago, “ Access to Justice”, presentasi pada Pertemuan Puncak Bantuan Hukum, 2006. Perlunya UU Bantuan Hukum sebenarnya sudah muncul di tahun 1980-an. Namun baru di tahun-tahun mendatang akan menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional. UU Bantuan Hukum akan menjamin kepastian si miskin untuk memperoleh jasa layanan hukum. Dengan UU ini, maka obligasi (kewajiban) pemerintah untuk mempromosikan, memberikan perlindungan dan menyediakan dana untuk bantuan hukum bagi si miskin akan diatur, termasuk pengalokasian dana yang disediakan ketika si miskin mesti berperkara di peradilan.
2. Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya hukum. Tidak semua lembaga bantuan hukum mempunyai standar pelayanan yang sama, termasuk proses rekrutmen advokat publik atau pengabdi bantuan hukum di lembaga masing-masing. Kemampuan dan kinerja lembaga bantuan hukum mesti mendapat perhatian, karena akan berpengaruh pada kualitas layanan yang diterima masyarakat tidak mampu pencari keadilan. Kualitas dan kapasitas kelembagaan dan sumber daya yang baik menjadi penentu efektifnya pelayanan bantuan hukum untuk membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan mengakses keadilan. Pengembangan kualitas dan kapasitas dilakukan melalui pengembangan kinerja organisasi bantuan hukum agar memiliki manajemen yang baik dalam melayani masyarakat miskin pencari keadilan secara maksimal. Peningkatan kualitas profesi advokat dan paralegal atau sukarelawan bantuan hukum merupakan prasyarat lain bagi tersedianya sumber daya hukum yang baik.
3. Pengembangan pendanaan untuk pengembangan akses terhadap bantuan hukum. Program pemenuhan hak atas bantuan hukum ini merupakan aktivitas yang dilakukan dengan dukungan semua pihak dan mesti menjadi kebijakan negara. Salah satu upaya untuk
56
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
memastikan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin adalah pengalokasian APBN dan APBD. Dalam konteks APBD perlu revisi Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mesti memuat secara tegas mata anggaran program peningkatan dan pelayanan bantuan hukum. Alokasi anggaran juga perlu ditujukan untuk pembebasan biaya perkara bagi masyarakat miskin pencari keadilan dan biaya-biaya yang terkait dan muncul dalam proses peradilan, termasuk biaya eksekusi putusan pengadilan. Disamping itu gagasan masyarakat madani yang didukung pemerintah dan komunitas internasional (negara-negara sahabat melalui pemberian hibah) perlu dijajagi untuk mengembangkan dana abadi (endowment fund) seperti halnya yang dikembangkan di bidang konservasi keanekaragaman hayati yang dikelola oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Dana abadi (melalui pemberian hibah skala kecil dan menengah) ini sangat diperlukan terutama untuk mendukung pendanaan kegiatan bantuan hukum dan paralegal yang dilakukan di daerah-daerah terpencil dan pemerintah daerahnya belum mampu untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.
4. Pengembangan keparalegalan. Dalam situasi keterbatasan atas akses geografis, pengetahuan dan keterampilan hukum di masyarakat, paralegal atau kader hukum memainkan peranan sangat penting seperti: (i) melakukan pendidikan hukum di masyarakat; (ii) pendampingan penanganan kasus - baik lewat mekanisme formal maupun nonformal; (iii) fasilitator advokasi; (iv) mediasi serta fungsi lain yang pada prinsipnya menjembatani warga masyarakat miskin dan terpinggirkan dengan jaringan bantuan hukum dan advokasi di tingkat lokal bahkan tingkat nasional. Posisi paralegal sangat penting dalam menjaga keberlanjutan berbagai program pemberdayaan hukum atau pemberdayaan masyarakat - dengan menggunakan paradigma masyarakat sebagai subjek, bukan objek belaka. Untuk itu, diperlukan penguatan visi dan posisi paralegal dalam peta bantuan hukum di Indonesia, sejak dari pengakuan tentang peran dan fungsinya dalam peraturan perundang-undangan, peningkatan mutu pelatihan dan pendampingan serta penguatan jaringan kerja bagi paralegal atau kader hukum yang sudah diinisiasi oleh berbagai organisasi masyarakat sipil di berbagai bidang seperti: NGO perempuan, bantuan hukum, advokasi, pertanahan, perburuhan, masyarakat adat dan sebagainya.
5. Pengembangan pendidikan hukum yang menopang implementasi bantuan hukum Program pendidikan hukum sangatlah penting untuk menyediakan sumber daya para sarjana dibidang hukum yang juga mempunyai paradigma pengetahuan yang berperspektif hak asasi manusia dan menggunakan keahliannya itu untuk bersama-sama terlibat dalam gerakan bantuan hukum. Karenanya, perlu dikembangkan Bantuan Hukum, sebagai salah satu mata kuliah yang diajarkan di semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia, yang mempunyai fakultas atau jurusan ilmu hukum. Mengingat jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak, maka diperlukan sebuah paket kurikulum law on poverty, sebagai bentuk kontribusi Fakultas Hukum merespon dan mencarikan solusi bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Selain itu mata pelajaran bantuan hukum dan law on poverty juga perlu diberikan dalam pendidikan bagi kepolisian, kejaksaan, hakim, profesi advokat dan petugas lembaga pemasyarakatan.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
57
6. Pemberian penghargaan bagi pengabdi bantuan hukum. Program ini akan dikembangkan pemerintah untuk memberikan apresiasi bagi para pengabdi bantuan hukum: anggota masyarakat, advokat, paralegal, tokoh masyarakat, akademisi dan profesi lain yang secara konsisten mendorong pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Sebagaimana program pemberian kalpataru yang dilakukan pemerintah untuk pahlawan-pahlawan lingkungan hidup. Diharapkan pemberian penghargaan ini akan memberikan motivasi bagi kelompok masyarakat lainnya untuk mendukung kegiatan bantuan hukum dan keparalegalan.
58
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
59
Belum Terpenuhi nya Hak atas Bantuan Hukum
HAMBATAN
Pemenuhan hak atas bantuan hukum
STRATEGI Adanya bank data mengenai kebutuhan bantuan hukum di Indonesia mencakup informasi jumlah masyarakat miskin pencari keadilan per tahun; jumlah anggaran yang dibutuhkan; jumlah penyedia bantuan hukum cuma-cuma; dan jumlah advokat yang benar-benar memberikan bantuan hukum cuma-cuma Adanya rekomendasi program dan identifikasi masyarakat yang belum memperoleh
Adanya Road Map pemenuhan hak atas bantuan hukum sebagai hak asasi
2. Evaluasi program bantuan hukum yang selama ini telah dilakukan melalui instansi pemerintah dan aparat penegak hukum 3. Penyusunan Road Map “Hak Bantuan Hukum adalah Hak Asasi Manusia”
KELUARAN
1. Mengidentifikasi kebutuhan bantuan hukum di Indonesia:
RENCANA AKSI
Pemenuhan Hak atas bantuan hukum dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan
Meningkatnya jumlah masyarakat miskin yang menerima manfaat dari program bantuan hukum cuma-cuma
Perencanaan dan pelaksanaan pemenuhan bantuan hukum lebih efektif dan bermanfaat bagi masyarakat miskin
HASIL
3.2.4 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN DI BIDANG BANTUAN HUKUM
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Depkumham; Mahkamah Agung; Kejaksaan Agung; Polri
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Depkumham; Mahkamah Agung; Kejaksaan Agung; Polri
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Depkumham; Mahkamah Agung
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
60
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI
Adanya data online yang Jumlah masyarakat dapat diakses tentang miskin yang dilayani organisasi bantuan hukum meningkat dan adanya tertib administrasi organisasi bantuan hukum
7. Fasilitasi pengelolaan sistem informasi dan administrasi bantuan hukum nasional (Sisminbahu)
Jumlah masyarakat miskin yang dilayani meningkat
Pelayanan lembaga bantuan hukum kepada masyarakat miskin di 33 provisi dan kabupaten/ kota
6. Memfasilitasi pembentukan dan pelayanan lembaga bantuan hukum di setiap wilayah hukum pengadilan negeri
Pengaduan dan permintaan pelayanan bantuan hukum dari masyarakat miskin dapat ditangani secara efektif
Pengaduan dan permintaan pelayanan bantuan hukum dari masyarakat miskin dapat ditangani secara efektif
HASIL
Partisipasi dan manfaat pelayanan bantuan hukum meningkat bagi masyakat miskin
Partisipasi dan manfaat pelayanan bantuan hukum meningkat bagi masyakat miskin
KELUARAN
5. Mempromosikan hak atas bantuan hukum melalui iklan layanan masyarakat
4. Mempromosikan hak atas bantuan hukum melalui iklan layanan masyarakat
RENCANA AKSI T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Depkumham
Depkumham; Mahkamah Agung; Pemda
Penanggung Jawab: BAPPENAS;
Mahkamah Agung; Kejaksaan Agung; Polri; Gubernur; Walikota; Bupati
Penanggung Jawab: Depkumham
Mahkamah Agung; Kejaksaan Agung; Polri; Gubernur; Walikota; Bupati
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
61
HAMBATAN
Menyelesaikan masalah hukum lebih cepat dan mencegah konflik sosial
STRATEGI
KELUARAN
Penggunaan mekanisme alternatif penyelesaian perkara meningkat
Adanya 'champion' dan best practices alternatif penyelesaian sengketa
Keputusan atau kesepakatan dipatuhi
Mempromosikan mekanisme penyelesaian sengketa yang berbasis kearifan masyarakat lokal, melalui website, leaflet, dan booklet Fasilitasi penggunaan prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif berbasis masyarakat Fasilitasi pengawasan kesepakatan dan penyelesaian sengketa yang telah disepakati/dihasilkan
8. Fasilitasi Adanya standar minimum penyusunan pelayanan bantuan standar minimum hukum cuma-cuma pelayanan bantuan hukum cuma-cuma
RENCANA AKSI
Lama dan biaya penyelesaian sengketa menurun
500 kasus masyarakat miskin per tahun diselesaikan lewat mekanisme penyelesaian sengketa alternatif
Masyarakat mendapatkan akses dan perlindungan dengan menggunakan penyelesaian sengketa alternatif
Mayarakat miskin dilayani dengan baik dan efektif
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Pemda
Penanggung Jawab: Depkumham
Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Pemda
Penanggung Jawab: Depkumham
Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Pemda
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
62
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Belum adanya legislasi yang memadai dan kebijakan yang efektif serta aktivitas untuk mewujudkan hak atas bantuan hukum
HAMBATAN
Pembentukan perangkat hukum yang menjamin akses masyarakat miskin untuk memperoleh bantuan hukum
Evaluasi dan Monitoring
STRATEGI
Adanya dasar hukum yang kuat dan mengikat tentang bantuan hukum Pelaksanaan undangundang bejalan baik karena didukung peraturan pelaksananya (Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden)
RUU Dibahas dan disetuji DPR dan Presiden untuk diundangkan RUU disahkan menjadi UU
Adanya peraturan pelaksana yang dimandatkan UU
Pembahasan RUU di DPR
Penerbitan UU tentang Bantuan Hukum
Aspirasi dan masukan masyarakat diadopsi dalam RUU
Adannya RUU yang benarbenar sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia
RUU Bantuan Hukum dimasukan dalam Prolegnas
Penyusunan RUU tentang Bantuan Hukum dimasukkan dalam Prolegnas
Program berjalan mencapai tujuan, akuntable dan transparan
Meningkatnya kepercayaan masyarakat menggunakan mekanisme penyelesaian perkara alternatif
HASIL
Adanya evaluasi dan pengawasan per triwulan
Masyarakat pencari keadilan memperoleh akses informasi dan pilihan dalam menyelesaikan kasus/ perkara
KELUARAN
Audit
Peningkatan kesadaran masyarakat
RENCANA AKSI T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Sekretariat Kabinet
Penanggung Jawab: Sekretariat Kabinet
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Pemda
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
63
HAMBATAN
Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya hukum masyarakat
STRATEGI
HASIL
Operasional pelayanan bantuan hukum berjalan efektif
Terbentuknya 33 kelompok masyarakat bantuan hukum di 33 provinsi
Fasilitasi dukungan kelembagaan bagi lembaga bantuan hukum dalam melayani dan memberikan bantuan hukum cuma-cuma Fasilitasi pengembangan masyarakat bantuan hukum
Fasilitasi penyusunan konsep Adanya Konsep Akreditas akreditasi lembaga bantuan Bantuan Hukum hukum
Adanya Master Plan
Tertib administrasi dan tercapainya pelayanan minimum bantuan hukum bagi masyarakat miskin
Angka penduduk miskin buta hukum menurun
Jumlah penerima bantuan hukum yang dapat dilayani dengan baik meningkat
Pengembangan SDM organisasi bantuan hukum terwujud berdasarkan rencana yang sistematis dan berkelanjutan
Masyarakat mengetahui substansi Adanya partisipasi masyarakat dan kegunaan UU Bantuan dalam pelayanan bantuan Hukum hukum
KELUARAN
Fasilitasi Master Plan pengembangan SDM organisasi bantuan hukum
Sosialisasi UU tentang Bantuan Hukum
RENCANA AKSI T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Depkumham
Pemda
Penanggung Jawab: Depkumham
Pemda
Penanggung Jawab: Depkumham
Depkumham
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
64
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
Pengembangan keparalegalan
Pengembangan pendanaan untuk pengembangan akses terhadap bantuan hukum
STRATEGI
Adanya transparansi dan akuntabilitas penyedia layanan bantuan hukum
Fasilitasi Penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja instansi dan lembaga swadaya masyarakat
Adanya 1650 orang paralegal di 33 provinsi
Adanya dana yang dikelola dan bermanfaat bagi masyarakat miskin
Fasilitasi asuransi bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan marjinal
Fasilitasi pendidikan paralegal di perkotaan dan pedesaan
Adanya unit/mata anggaran khusus bantuan hukum di APBN dan APBD; Alokasi yang efektif dan transparan; Tepat sasaran; berjalannya mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban
KELUARAN
Perencanaan, pengalokasian, dan pengawasan dana bantuan hukum dalam APBN dan APBD, termasuk menerbitkan Permendagri tentang Penyusunan RAPBD yang memuat mata anggaran bantuan hukum
RENCANA AKSI
Berjalannya P3K Hukum dan penguatan masyarakat bantuan hukum
Program bantuan hukum berjalan efektif dan efisien
Terpenuhinya akses dana dan bantuan hukum bagi masyarakat miskin
Terpenuhinya hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Depkumham
DepKeu, Depkumham, Pemda
Penanggung Jawab: BAPPENAS
DepKeu, Pemda
Penanggung Jawab: BAPPENAS
DepKeu, Pemda
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
65
HAMBATAN
Pengembangan pendidikan hukum yang menopang implementasi bantuan hukum
STRATEGI
Adanya kurikulum dan mata kuliah/materi ajar bantuan hukum di perguruan tinggi dan diklat yang dilaksanakan lembaga/aparat penegak hukum
Mata kuliah/mata ajar bantuan hukum menjadi kurikulum nasional
Paralegal dapat menjalankan fungsinya tanpa mengalami hambatan prosedural
Adanya jaminan dan pengakuan terhadap fungsi paralegal dalam proses hukum, seperti pendampingan di kepolisian
Penyusunan nota kesepakatan antara instansi penegak hukum tentang pengakuan dan jaminan fungsi dan aktivitas keparalegalan Fasilitasi penyusunan kurikulum bantuan hukum & "hukum dan kemiskinan" di perguruan tinggi dan pendidikan serta pelatihan bagi aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, hakim, dan advokat)
Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan contohcontoh terbaik yang dilakukan paralegal di komunitasnya
Pertukaran pengalaman dan sumber daya dalam pelayanan bantuan hukum cuma-cuma
Fasilitasi forum pertemuan paralegal di level provinsi, regional dan nasional
Angka penduduk miskin buta hukum menurun; penyelesaian sengketa hukum dilevel lokal
HASIL
Adanya 66 P2K Hukum sebagai program percontohan
KELUARAN
Fasilitasi pembentukan dan pengelolaan Pos Pertolongan Pertama Kasus Hukum (P3K Hukum) di wilayah pengadilan negeri
RENCANA AKSI T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Depkumham, Depdiknas dan perguruan tinggi, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Polri
Penanggung Jawab: BAPPENAS,
Kejaksaan Agung dan Polri
Penanggung Jawab: Mahkamah Agung,
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab: Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
66
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
Program pemberian penghargaan bagi pengabdi bantuan hukum secara berkala Audit
Evaluasi dan Monitoring
Mata kuliah/mata ajar bantuan hukum dan "hukum dan kemiskinan" diadopsi menjadi kurikulum diajarkan dalam pendidikan bagi aparat penegak hukum
RENCANA AKSI
Pemberian penghargaan bagi pengabdi bantuan hukum
STRATEGI
Adanya evaluasi dan pengawasan per triwulan
Adanya 10 pengabdi bantuan hukum yang diberi penghargaan per tahun
Adanya 10 perguruan tinggi dan diklat yang mengajarkan mata kuliah/mata ajar Bantuan Hukum
KELUARAN
Program berjalan mencapai tujuan, akuntable dan transparan
Meningkatnya kepedulian dan pengakuan profesi pengadi bantuan hukum
Perubahan paradigma dan pengarusutamaan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: BAPPENAS
Penanggung Jawab: Depkumham
MA, Kejagung, Polri
Penanggung Jawab: Perguruan Tinggi, dan Badan Diklat
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3.3
Akses terhadap Keadilan dalam Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah
Otonomi daerah telah mengubah paradigma tata kelola pemerintahan dari yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Fokus pembangunan bergeser dari pusat (nasional) ke daerah; dari yang semula dijalankan oleh aktor utama negara (pemerintah) secara konseptual semestinya berpindah ke masyarakat.49 Perubahan paradigmatik bernegara tersebut mengarahkan cara membentuk bangunan bangsa Indonesia melalui penciptaan pusat-pusat kewilayahan baru dalam aspek budaya, sosial, politik dan ekonomi. Perubahan tata kelola pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dipilih karena akan menciptakan iklim kepemerintahan yang berpeluang tinggi untuk mencapai: 1) demokratisasi, 2) perbaikan pelayanan dasar publik, dan 3) peningkatan akses ekonomi masyarakat. Pelaksanaan aspek demokratisasi, perbaikan pelayanan publik dan peningkatan akses ekonomi masyarakat di berbagai daerah bervariasi. Implementasi prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam penyusunan dan implementasi kebijakan publik di banyak daerah masih amat minim (KPPOD, 2004-05, GDS, 2005). Demikian pula peningkatan akses ekonomi masyarakat. Program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan terpinggirkan, menjadi fokus pembangunan untuk beberapa daerah, tetapi tidak atau belum dilaksanakan oleh sebagian besar daerah lainnya. Namun demikian, untuk pelayanan dasar publik di bidang pendidikan dan kesehatan secara umum mengalami perbaikan (World Bank, 2006). Ketiga tujuan desentralisasi pemerintahan tersebut, langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan akses terhadap keadilan, yaitu sejauh mana masyarakat, termasuk di dalamnya (atau terutama) masyarakat miskin dan terpinggirkan mendapatkan hak dan kewajibannya. Implikasi tata kelola pemerintahan daerah pasca desentralisasi terhadap akses terhadap keadilan masyarakat terutama dalam aspek demokratisasi dapat dilihat dari tingkat penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) setidaknya melalui transparansi, pendekatan partisipatoris dan akuntabilitas. Meskipun demikian, ketiganya tidak serta merta menjamin tercapainya prinsipprinsip good governance lainnya seperti efektivitas dan efisiensi. Ditinjau dari aspek perbaikan pelayanan dasar publik, Akses terhadap Keadilan terpenuhi dari program-program untuk pendidikan, kesehatan, hak kewarga negaraan, dan sarana dan prasarana dasar seperti jalan, air bersih, dan sebagainya. Sementara itu, peningkatan akses ekonomi masyarakat muncul melalui program-program peningkatan akses masyarakat untuk mendapatkan dan menciptakan pekerjaan. Masalah utama penguatan akses terhadap keadilan dalam konteks tata kelola pemerintahan daerah antara lain: (i) masih lemahnya kualitas pelayanan publik terutama menyangkut hak-hak dasar masyarakat seperti hak ekonomi, kesehatan dan pendidikan; (ii) sistem administrasi kependudukan yang berpengaruh pada hak-hak dasar seperti: kartu identitas, surat keterangan miskin, akte kelahiran, izin usaha dan sebagainya; (iii) belum ada alokasi khusus untuk pendidikan hukum dan pelayanan bantuan hukum masyarakat serta; dan (iv) tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan penanganan masalah dari masyarakat atas pelayanan publik.
3.3.1 Kerangka Normatif Tata kelola pemerintahan daerah dipengaruhi oleh perkembangan kerangka normatif di tingkat pusat maupun daerah. Terdapat beberapa aspek peraturan yang berpengaruh terhadap kemampuan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
67
pemerintah daerah untuk menjamin akses terhadap keadilan masyarakat terhadap keadilan yakni: Peraturan nasional yang cepat berubah. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cepat dari UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Pada saat ini bahkan sedang dipersiapkan perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang telah masuk dalam agenda Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2007. Rencana perubahan tersebut terjadi di saat peraturan pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004 belum lengkap dibuat, apalagi diimplementasikan. Cepatnya perubahan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional juga terjadi pada PP (Peraturan Pemerintah), Perpres (Peraturan Presiden), dan juga Permen (Peraturan Menteri) dalam hal keuangan daerah, struktur organisasi Pemda, standar pelayanan, dan sebagainya), di antaranya PP No. 38 tahun 2007, PP No. 41 tahun 2007, dan Permendagri No. 59 tahun 2007. Perubahan seperti ini membingungkan dan menyerap banyak perhatian Pemerintah Daerah (Pemda), bahkan dalam banyak hal membuat frustasi dan apatisme Pemda karena terjadi pada saat Pemda sedang dalam proses menerapkan ketentuan sebelumnya. Pada tingkat tertentu, hal ini mengakibatkan berkurangnya kualitas dan perhatian dalam pelayanan publik, terutama bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Rendahnya kualitas Perda erat kaitannya dengan kapasitas dan political will Pemda, terutama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Persentase terbesar pengaturan dalam Perda adalah pungutan untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berdampak pada pemenuhan Akses terhadap Keadilan, terutama akses masyarakat terhadap hak-hak ekonomi dan berusaha. Sebenarnya, pengaturan pungutan seperti ini tidak diperlukan karena kekurangan atas selisih kapasitas dan kebutuhan fiskal daerah semestinya telah ditutup atau dibiayai dari Dana Alokasi Umum (DAU). Pungutan yang tidak perlu tersebut terjadi karena tidak dipahaminya sistem perimbangan keuangan pusat–daerah oleh DPRD khususnya Pungutan yang tidak perlu tersebut juga menambah peluang bagi oknum pemerintahan untuk mendapatkan transaksi ilegal (rent seeking) pada proses pemungutan.50 Rendahnya kualitas Perda juga disebabkan minimnya partisipasi stakeholders dalam proses penyusunannya (KPPOD, 2003). Melalui penelusuran kualitatif di sejumlah daerah, rendahnya kualitas Perda juga dikarenakan minimnya implementasi prinsip ’transparansi dan akuntabilitas’ dalam penyusunan dan pelaksanaan Perda. Selain beberapa hal tersebut, banyak Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional akibat masih lemahnya mekanisme evaluasi Perda dari Pemerintah Pusat. Meskipun demikian, dalam dua tahun terakhir sudah ada perbaikan mekanisme dan kualitas pengawasan dengan adanya pendataan dan kajian Pemerintah atas Perda yang sebelumnya tidak dilakukan. Namun, masih belum dapat diketahui apakah perbaikan mekanisme dan kualitas pengawasan Perda tersebut berpengaruh positif terhadap akses terhadap keadilan. Tidak optimumnya penggunaan anggaran. Gemuknya struktur birokrasi Pemda telah mengurangi efisiensi penggunaan anggaran daerah sehingga menyebabkan kemampuan Pemda untuk mengalokasikan dana program pendidikan dan kesehatan tidak optimal. Meskipun secara umum World Bank (2007) menilai telah terjadi kenaikan anggaran pendidikan dan kesehatan, namun potensi kenaikan tersebut bisa lebih besar apabila dilakukan penghematan dengan memangkas birokrasi yang tidak perlu. Di sisi lain, struktur birokrasi Pemda dijalankan oleh aparatur yang tidak memiliki sensitivitas dan tidak responsif terhadap kebutuhan dasar masyarakat yang berimplikasi terhadap minimnya alokasi anggaran bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, hal ini terbukti dengan tidak terserapnya sejumlah besar APBD namun di saat yang sama tingkat kemiskinan masih tinggi dan pembangunan sarana & prasarana dasar masih minim (World Bank, 2007). Di sisi lain, pemahaman DPRD terhadap teknis penyusunan anggaran, persoalan kemiskinan, penguatan ekonomi rakyat, serta kepedulian DPRD pada masyarakat miskin dan terpinggirkan masih sangat rendah, sebagaimana 68
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
tercermin dari minimnya alokasi anggaran untuk memfasilitasi aktivitas masyarakat miskin dan terpinggirkan. Penyusunan dan Pemberlakuan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2005 mengatur kewajiban Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan wajib dalam hal pelayanan dasar kepada masyarakat. Peraturan ini belum ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan standarisasi pelayanan sebagai pedoman untuk melakukan pengawasan terhadap Pemerintah Daerahnya sendiri.
3.3.2 Kesadaran Hukum Persoalan kesadaran hukum mencakup tiga permasalahan utama yakni: (1) penyalahgunaan wewenang oleh Pemda dan DPRD; (2) rendahnya intensitas dan kualitas interaksi antara Pemda dan masyarakat mengenai pemahaman kebijakan; dan (3) pelanggaran hukum oleh masyarakat. Pemenuhan Akses terhadap Keadilan dicederai dengan kesadaran hukum yang rendah dari aparat pemerintah daerah, yang ditandai dengan terjadinya praktik pelanggaran hukum oleh pejabat daerah melalui penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya. Praktik korupsi atas dana APBD (termasuk dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan) dilakukan melalui praktik-praktik kolutif dengan pelaku usaha (penggelembungan biaya, pelanggaran mekanisme lelang, duplikasi anggaran, dan sebagainya), trade off politis peruntukan anggaran antara Pemda dengan DPRD/Partai Politik untuk programprogram yang tidak layak, anggaran perjalanan dinas yang tidak perlu, pelanggaran tata ruang untuk kepentingan bisnis dan pendapatan ilegal pejabat Pemda, dan sebagainya. Sementara itu, minimnya sosialisasi Perda dan kebijakan-kebijakan Pemda kepada masyarakat menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat atas ketentuan hukum yang berlaku bagi seluruh warga. Hal ini berimplikasi pada potensi pelanggaran hukum oleh masyarakat (terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan), misalnya: penghancuran plasma nuftah, pemanfaatan ‘kekayaan hutan, secara ilegal, pemusnahan satwa yang dilindungi, pemanfaatan lahan/tanah adat dengan menyalahi aturan, dan sebagainya.51 Sebaliknya, dukungan Pemda terhadap inisiatif masyarakat yang menunjukkan kesadaran hukum yang tinggi justru dipandang lain oleh Pemerintah Pusat. Sebagai contoh, Perda tentang praktik pengelolaan/pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan masyarakat dengan bimbingan Pemda, disalahartikan oleh Pemerintah Pusat sebagai upaya penguasaan hutan sehingga menyebabkan pembatalan Perda tersebut. Soal lain dalam tata kelola pemerintahan daerah terkait kesadaran/pelanggaran hukum adalah masih tingginya jumlah kasus-kasus warisan, perceraian-hak asuh anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya.
3.3.3 Akses terhadap Forum yang Sesuai dan Penanganan Keluhan yang Efektif Akses masyarakat atas forum yang memungkinkan untuk terlibat aktif merancang pembangunan daerah dan mengawasi pelaksanaannya amat minim. Jumlah daerah yang mempunyai forum stakeholder/pemangku peran yang dilaksanakan secara rutin masih sangat terbatas.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
69
Sementara itu, keberadaan Ombudsman, yang meskipun tidak memiliki kewenangan eksekusi terhadap penyelesaian permasalahan yang ditanganinya, diyakini penting untuk menyelesaikan masalah masyarakat dengan pemerintah atau dengan lembaga penyedia keadilan lainnya. Sayangnya, eksistensi Ombudsman yang penting sebagai forum untuk akses partisipasi dan penanganan masalah yang dihadapi masyarakat ini, hanya ada di sejumlah kecil daerah. Di sisi lain, upaya untuk penguatan peran akses masyarakat atas forum yang sesuai, sebagai salah satu hal yang diatur dalam RUU Pelayanan Publik, sayangnya sampai saat ini belum diputuskan di DPR.
3.3.4 Pemulihan Hak yang Memuaskan Mekanisme pemulihan hak rakyat atas kasus-kasus yang terjadi di masyarakat baik menyangkut kepemilikan lahan, hak warisan, dan sebagainya, yang selama ini ditangani melalui mekanisme hukum formal seringkali tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat miskin yang bisa dikatakan tidak memiliki sumber daya untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Sebagaimana diketahui secara umum, berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat lembaga penyedia keadilan termasuk Pemda, telah mempersulit rakyat miskin untuk mendapatkan pemulihan atas hak-haknya.
3.3.5 Permasalahan tentang Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan Persoalan masyarakat miskin dan terpinggirkan adalah persoalan struktural yang tidak dapat diatasi dengan pendekatan karitatif yang bersifat darurat dan temporer. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, beberapa daerah telah mulai memprioritaskan program untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar (kesehatan dan pendidikan) maupun peningkatan pemahaman hukum. Namun demikian hal tersebut masih amat terbatas. Demikian juga masih sedikit daerah yang melaksanakan program yang lebih fundamental untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan akses ekonomi masyarakat miskin dan terpinggirkan.
3.3.6 Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan di Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Melihat peluang penguatan Akses terhadap Keadilan bagi masyarakat dalam bidang tata kelola Pemerintahan Daerah di Indonesia, pilihan-pilihan strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
(1) Pemetaan dan Perbaikan Kualitas Kebijakan Kebijakan otonomi daerah membuka peluang bagi partisipasi masyarakat yang ditujukan bagi perbaikan kualitas kebijakan di daerah yang pro kepentingan masyarakat. Perbaikan kualitas kebijakan meliputi proses aspirasi, penyusunan rancangan peraturan, penetapan peraturan, pelaksanaan dan pengawasan sebagai prasyarat adanya hukum yang baik (the best laws) terutama menyangkut pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Oleh karena itu, aspek yang perlu diperhatikan antara lain:
70
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Pertama, perlu analisis lebih mendalam terhadap Perda-perda terkait Akses terhadap Keadilan, terutama Perda mengenai APBD, pungutan, dan pengaturan lainnya (pendidikan, kesehatan – bila diatur tersendiri). UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilengkapi dengan Perpres yang memberikan pedoman pelaksanaan pendekatan partisipatoris dalam penyusunan kebijakan publik, dilengkapi dengan pengaturan tentang pelembagaan pengawasan atas implementasinya. Untuk kebutuhan implementasi tersebut, diperlukan pedoman pemerintah pusat mengenai penilaian Perda berdasarkan proses Regulatory Impact Analysis (RIA) yang berbasis pada cost and benefit analysis, dan prinsip-prinsip good governance (transparansi, partisipatif, akuntabilitas, efektifitas, efisiensi), asas-asas hukum seperti lex specialis derogat legi generali, lex superiori derogat legi inferiori dan lex posteriori derogat legi priori, aspek sosiologis, aspek filosofis dan hak asasi manusia. Untuk melengkapi kewenangan represif pemerintah dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlu ditambahkan pengaturan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan pembatalan Perda, dan masyarakat dapat mengajukan judicial review, apabila Perda disusun tanpa disertai Naskah Akademik yang mencakup bukti-bukti telah dilaksanakannya RIA dalam rambu-rambu good governance. Untuk itu, diperlukan peningkatan akses masyarakat terhadap informasi hukum dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal analisis hukum. Kedua, perbaikan kualitas kebijakan juga dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas DPRD secara kelembagaan. Secara nasional diperlukan UU yang mengatur ketentuan penguatan kapasitas kelembagaan DPRD tersebut. Sebagai bagian da ri pelembagaan tersebut, diperlukan adanya staf ahli yang membantu DPRD agar menjadi mitra seimbang dengan Pemda dalam perumusan berbagai kebijakan strategis. Ketiga, perbaikan kualitas Daerah Otonom Baru & Kerjasama Antar Daerah. Perlu kehendak politik dari pemerintah pusat untuk memperkuat daerah pemekaran melalui berbagai program seperti peningkatan kapasitas dan dukungan anggaran. Di sisi lain, implementasi PP No. 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah yang telah direvisi dengan PP No. 78 tahun 2007 perlu didukung dengan dengan sejumlah rencana tindak yang nyata. Kerja sama antardaerah seperti dimandatkan UU No. 32 tahun 2004 perlu mendapat prioritas. Berbagai carut marut perebutan kepentingan antardaerah otonom, inefisiensi anggaran, menyempitnya skala ekonomi akibat sekat administratif pemerintahan, tata ruang wilayah, pengelolaan sumber daya alam, dan sebagainya dapat diatasi dengan kerjasama antardaerah. Kerja sama antardaerah untuk pengelolaan sumber daya alam misalnya, dapat dilakukan untuk pengelolaan daerah aliran sungai, hutan adat, dan sebagainya. Untuk terlaksananya kerja sama antardaerah dengan berbagai modelnya perlu dikenali beberapa prasyarat kerja sama (letak geografis, kesamaan kepentingan daerah dalam pengelolaan SDA, fasilitas pendidikan, dan sebagainya, daya dukung fiskal/manajemen, dan sebagainya) agar bisa efektif dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan best practice beberapa daerah yang telah melaksanakannya. Pelembagaan kerja sama antar daerah tersebut perlu dikuatkan dengan kebijakan daerah yang dapat diinisiasi melalui Peraturan Kepala Daerah, yang pada saatnya harus dikuatkan dalam Perda dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Keempat, Sosialisasi Kebijakan. Sebagai satu kesatuan dengan akses terhadap forum stakeholder pembangunan daerah, diperlukan sosialisasi kebijakan (baru) daerah yang memungkinkan masyarakat untuk menyikapi secara kritis kebijakan tersebut. Sosialisasi ini harus dikemas dalam satu kesatuan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
71
dengan diseminasi kinerja daerah atas implementasi kebijakan sebelumnya. Untuk mewujudkan hal di atas, diperlukan ketentuan dan panduan implementasi serta program penguatan stakeholder daerah (akademisi, LPSM-LSM-Pelaku Usaha, dan sebagainya) untuk melakukan mekanisme check & balance terhadap Pemda.
(2) Pemberdayaan Kembali Birokrasi Pemerintah Upaya beberapa Pemda untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan dengan penghematan anggaran melalui perampingan struktur birokrasi menegaskan pentingnya reformasi birokrasi. Dukungan perampingan birokrasi Pemda melalui PP No. 8 tahun 2003 jo. PP No. 41 tahun 2007 cukup berhasil. Namun demikian, masih banyak struktur organisasi Pemda (demikian pula pemerintah) yang gemuk dan miskin fungsi. Dengan demikian reformasi birokrasi perlu dilakukan secara konsisten dan selalu dievaluasi efektivitasnya melalui sejumlah rencana aksi kongkrit. Di tingkat nasional, upaya untuk mereformasi birokrasi yang dirintis Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara) dengan menyusun RUU Administrasi Pemerintahan – semacam ‘basic act of administration reform’, sayangnya belum dapat direalisasikan dalam sisa waktu 2009. Konsep reformasi birokrasi yang disusun minimal mencakup struktur organisasi, personel, pengembangan kapasitas, karir, penggajian dan pengawasan, dengan tetap memberikan keleluasaan Pemda untuk mengatur sesuai kebutuhan daerahnya. Dalam rangka reformasi birokrasi tersebut barangkali perlu dikaji lebih mendalam perlunya menerapkan standar kualifikasi pelayanan yang dimiliki pegawai negeri.52 Sementara itu, untuk memulai reformasi birokrasi, tiap institusi dapat melakukan reformasi birokrasi di lingkungannya masing-masing tanpa melanggar peraturan perundang-undangan. Reformasi birokrasi di tiap institusi yang berhasil dapat dijadikan model untuk replikasi institusi lainnya dengan tetap mempertimbangkan karakteristik lingkup institusinya masing-masing. Reformasi birokrasi pemerintah mutlak memerlukan dukungan aktor pelaksananya, para birokrat. Untuk kebutuhan jangka panjang dalam pembentukan karakter dan kapasitas para birokrat, diperlukan kontribusi lembaga pendidikan yang di antaranya bisa dicapai melalui perbaikan kurikulum pendidikan sekolah kedinasan. Dalam konteks ini, kesadaran hukum perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah kedinasan (STPDN Regional, dan sebagainya). Muatan kurikulum tentang keadilan, kemiskinan, gender, non-militeristik, dan sebagainya perlu diperbanyak. Upaya ini harus diikuti pula dengan muatan materi pendidikan di berbagai tingkat pendidikan, termasuk pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
(3) Politik Anggaran Peningkatan Anggaran untuk Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan Untuk mengimplementasikan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perlu ditingkatkan proporsi DAK dari total penghasilan bersih negara. Hal tersebut akan meningkatkan kapasitas Pemda daerah-daerah tertinggal untuk menjalankan program pendidikan, kesehatan, dan sarana dan prasarana pedesaan. Melalui kebijakan sektoral, pemerintah pusat juga dapat meningkatkan persentase alokasi anggaran tiap institusi pemerintah dengan mengarahkan programnya untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan (misalnya program: sertifikasi tanah, penguatan usaha mikro, dan sebagainya). Kebijakan sektoral mesti memiliki sensitivitas untuk mendukung daerah dalam menciptakan pusat-pusat baru kewilayahan, termasuk pusat-pusat baru aktivitas ekonomi. Harus dicari titik optimum untuk memperbesar kue pembangunan dari pusat-
72
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
pusat pertumbuhan ekonomi yang sudah ada, sekaligus penguatan potensi peningkatan pendapatan dari daerah-daerah terpinggirkan, berdasarkan analisis biaya dan manfaat untuk keseluruhan wilayah Indonesia. Selain itu, penggunaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan perlu dievaluasi secara komprehensif guna menilai efektivitasnya. Hasil evaluasi tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengalokasikan langsung dana tersebut sebagai dana desentralisasi agar dikelola sepenuhnya oleh Pemda. Lebih jauh, di daerah diperlukan affirmative policy terhadap prioritas alokasi anggaran bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Salah satu cara misalnya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur keberadaan fasilitator dari unsur masyarakat warga untuk mendampingi dan mewakili kepentingan masyarakat miskin dalam proses penyusunan anggaran daerah.
Efektivitas Anggaran Perlu ada keseimbangan antara diskresi Pemda untuk mengatur pemerintahan otonomnya dan kontrol pemerintah untuk menjaga kepentingan nasional. Untuk itu perlu dikaji ulang mekanisme penyusunan anggaran untuk menghilangkan hambatan sistem dan proses penganggaran daerah baik menyangkut produk hukum nasional maupun daerah yang memberikan keleluasaan otonomi daerah dalam rambu-rambu good governance. Perbaikan mekanisme penganggaran tersebut perlu dilengkapi dengan dasar penghitungan kebutuhan pelayanan dasar dengan benar untuk menjamin alokasi anggaran yang tepat. Untuk mendukung terlaksananya kebijakan tersebut, pemerintah perlu menerapkan sistem monitoring dan evaluasi kinerja keuangan daerah yang dilengkapi dengan mekanisme reward & punishment bagi Pemda dalam hal fiskal. Insentif dan disinsentif fiskal dapat diberikan kepada Pemda dengan tetap mempertimbangkan kepentingan terselenggaranya pelayanan publik. Pelanggaran atas penggunaan anggaran tidak boleh diselesaikan hanya dengan mekanisme hukuman pegawai negeri namun harus diselesaikan dengan mekanisme pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana.
(4) Pemberdayaan Hukum Masyarakat Pemerintah daerah berpeluang untuk memajukan inisiatif dukungan dan penguatan terhadap kegiatankegiatan pemberdayaan hukum karena memiliki otoritas memadai untuk mengalokasikan anggaran, mengelola sumber daya dan pelaksanaan kegiatan. Jika mandat pemberdayaan hukum hanya dijalankan oleh lembaga non pemerintah, maka akibat keterbatasan pendanaan, cakupan wilayah pelayanan dan pendidikan hukum bagi masyarakat akan terus berlangsung. Dalam jangka panjang situasi tersebut akan merugikan bagi pengembangan daerah itu sendiri karena proses pemberdayaan hukum yang tidak diadopsi sebagai kebijakan pemerintah seringkali berbalik menjadi ‘gangguan’ bagi stabilitas sosial di daerah seperti dalam bentuk konflik kekerasan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah yang terlihat saat ini. Komitmen Anggaran Bantuan Hukum. Untuk membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan, diperlukan penyediaan bantuan hukum daerah yang dibiayai dari persentase tertentu APBD. Untuk mendorong Pemda merealisasikannya, diperlukan UU yang mengatur atau mewajibkan bantuan hukum. Komitmen politik di DPR untuk menerbitkan UU tersebut, perlu didorong melalui sosialisasi intensif secara luas ke Pemda, masyarakat warga, dan para politisi tentang contoh komitmen APBD daerah yang telah melaksanakannya. Dapat juga diupayakan perubahan Permendagri yang diterbitkan setiap tahun tentang penyusunan dan pelaporan realisasi anggaran daerah dengan menyediakan opsi mata anggaran ‘bantuan hukum’ dalam ketentuan tersebut (terakhir Permendagri 19 tahun 2008).
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
73
Pencantuman opsi mata anggaran tersebut diharapkan memunculkan kesadaran Pemda mengenai pentingnya pelayanan bantuan hukum tersebut. Peluang diadopsinya anggaran bantuan hukum ini semestinya cukup besar mengingat bagi kepala daerah, anggaran untuk bantuan hukum tersebut selain memenuhi kebutuhan masyarakat, juga menjadi kredit positif kepemimpinannya. Pada prinsipnya, strategi pengarusutamaan gender dalam penganggaran yang sudah mulai berjalan, perlu diadopsi dalam pengarusutamaan bantuan hukum untuk mendapatkan akses terhadap keadilan khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan.
(5) Implementasi Prinsip Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Perlu jaminan kebijakan yang mewajibkan Pemda melaksanakan forum stakeholder atau pemangku kepentingan secara reguler. Untuk itu diperlukan ketentuan nasional yang mewajibkan Pemda memiliki Perda transparansi, partisipasi dan akuntabilitas (termasuk didalamnya kewajiban pembentukan Komisi Transparansi). Untuk mengimplementasikan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pemda perlu membentuk forum stakeholder secara reguler serta adanya Komisi Transparansi yang anggotanya terdiri dari perwakilan masyarakat. Untuk mendukung kualitas forum tersebut, Pemda perlu mengkonsolidasikan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dari berbagai bidang untuk terlibat aktif dalam forum tersebut. Di sisi lain, diperlukan sosialisasi best practice pendekatan pembangunan yang transparan, partisipatoris dan akuntabel. Untuk melakukannya, pemerintah dapat memanfaatkan upaya-upaya awal yang telah dilakukan berbagai kelompok masyarakat sipil. Hal ini sangat penting mengingat potensi keberhasilan implementasi kebijakan pada umumnya merupakan replikasi best practice dibandingkan ketentuan formal.
(6) Dukungan terhadap Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Tingkat Lokal: Strategi Kebijakan Pemulihan Hak Pemulihan hak masyarakat atas berbagai kasus terkait kepemilikan lahan, hak waris, nama baik, dan sebagainya, selain menggunakan mekanisme formal ketatanegaraan, perlu mempertimbangkan penguatan mekanisme adat atau desa yang masih berlaku di masyarakat dan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, sebagai salah satu opsi bagi masyarakat yang memerlukannya. Lembaga-lembaga masyarakat warga di tingkat desa selain dihidupi dengan sumber daya masyarakat, juga perlu mendapatkan dukungan anggaran dari Pemda. Kebijakan peran tersebut diharapkan dapat memperkuat posisi relatif otonomi desa di tengah hegemoni kekuasaan kabupaten/ kota dalam tata kelola pemerintahan daerah. Di sisi lain, lemahnya mekanisme penanganan konflik mesti diatasi dengan melembagakan mekanisme penanganan konflik yang menjamin kepastian terhadap keadilan. Pelembagaan mekanisme tersebut perlu mengoptimalkan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Di sisi lain, pelembagaan mekanisme penanganan konflik tersebut juga penting untuk memastikan keputusan-keputusan lembaga tersebut akan bisa efektif dijalankan, dan pada tingkat tertentu mampu menjamin tidak terulangnya konflik.
(7) Peningkatan Akses Ekonomi untuk Mencapai Akses terhadap Keadilan Peningkatan akses warga terhadap aktivitas ekonomi merupakan strategi amat penting bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk mendapatkan keadilan. Dengan meningkatnya kapasitas fiskal sebagai hasil perbaikan politik anggaran, pemerintah dapat mengalokasikannya untuk membantu daerah mengoptimalkan fungsi BLK (Balai Latihan Kerja) dan Balai-balai Latihan lainnya yang diinisiasi tiap-tiap institusi, seperti Departemen Perindustrian (BLKI), Departemen Pendidikan Nasional, dan
74
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
sebagainya. Revitalisasi lembaga-lembaga pelatihan tersebut sebagai program peningkatan akses ekonomi masyarakat miskin dan terpinggirkan perlu dilakukan. Public private partnership dalam pengembangan berbagai lembaga pelatihan termasuk di dalamnya kerja sama penyerapan tenaga kerja dari para lulusannya. Public private partnership tersebut sekaligus sejalan dengan konsep 3 in 1 (three in one yang merupakan sinergi tiga komponen sistem training nasional: pelatihan, sertifikasi dan penempatan) yang semestinya menjadi prioritas penting kebijakan Pemda. Sementara itu, peningkatan akses ekonomi masyarakat dalam mendapatkan dan menciptakan pekerjaan dapat dilakukan dengan alokasi anggaran untuk pembinaan usaha mikro & kecil (akses modal, akses pasar, kapasitas manajemen). Bila memungkinkan, secara nasional dapat ditentukan kewajiban bagi daerah untuk mengalokasikan persentase tertentu APBD untuk tujuan tersebut.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
75
76
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
KELUARAN
1. Birokrasi yang in-efisien dan tidak profesional
Reformasi birokrasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran
1. UU ‘Administrasi Pemerintahan’ termasuk didalamnya mencakup: struktur organisasi pemerintahan, prasyarat jabatan – rekrutmen – renumerasi – peningkatan kapasitas/pengembangan – jenjang karir – pengawasan) 2. SOTK baru masing-masing Kementrian Lembaga dan SKPD secara komprehenship
3. Rasionalisasi pegawai negeri di tingkat nasional dan daerah
1. Penerbitan UU ’Administrasi Pemerintahan’ sebagai rujukan utama reformasi birokrasi
2. Penataan ulang struktur birokrasi Struktur Organisasi Tata Kelola Pemerintahan (SOTK) Kementrian Lembaga (nasional) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) 3. Rasionalisasi pegawai negeri bilamana diperlukan sebagai bagian penting dalam reformasi birokrasi
I. Reformasi Birokrasi dan Peningkatan Pelayanan Dasar Publik
HAMBATAN
RENCANA AKSI
2. Efisiensi anggaran birokrasi (target penurunan biaya 30%) dialokasikan untuk anggaran pelayanan dasar di bidang: pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar (perumahan, air minum, listrik, dll.).
1. Birokrasi yang professional, efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
3.3.7 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN DI BIDANG TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH
Seluruh Menteri Kementrian, Kepala Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota
Seluruh Menteri Kementrian, Kepala Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota
Menteri PAN
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
77
Pelaksanaan PP 65/2005 dengan membuat Standar Pelayanan Minimum (SPM) di tingkat nasional dan daerah, dengan kelengkapan sistem monitoring dan evaluasinya
Modernisasi birokrasi pelayanan, disertai pembebasan biaya untuk pelayanan administrasi kependudukan
STRATEGI
Peningkatan kualitas pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar)
Peningkatan kualitas pelayanan sistem administrasi kependudukan
HAMBATAN
2. Pelayanan dasar yang belum terjangkau bagi masyarakat miskin dan tertinggal
RENCANA AKSI
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pembebasan biaya pelayanan administrasi kependudukan (Akte Kelahiran, KTP, Akte Perkawinan, Akte Kematian) bagi seluruh warga negara Indonesia
2. Indeks Kepuasan Masyarakat atas pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar) yang diberikan oleh Pemda
1. SPM setiap Kementerian Lembaga dan Pemda (khususnya bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar: perumahan, air, listrik, transportasi)
KELUARAN
Terjaminnya hak hak sipil warga negara dengan segala manfaat didalamnya.
Pemenuhan standar minimum pelayanan dasar publik, utamanya dibidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar (perumahan, air, listrik, transportasi)
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Menteri Dalam Negeri
Gubernur, Bupati/Walikota
Seluruh Menteri Kementrian Lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
78
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI
RENCANA AKSI
Menko Kesra dan Menko Prekonomian
Bupati/Walikota
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
4. Sistem pelayanan administrasi kependudukan yang menyatu dengan sistem jaminan sosial (nomor identitas tunggal)
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Bupati/Walikota
HASIL
3. Sistem pelayanan administrasi kependudukan dengan memanfaatkan teknologi informasi
2. Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati/Walikota (Perbup / Perwako) untuk pembebasan biaya pelayanan administrasi kependudukan (Akte Kelahiran, KTP, Akte Perkawinan, Akte Kematian) bagi seluruh warga negara Indonesia di daerahnya masing masing
KELUARAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
79
Penerapan/ peningkatan kualitas mekanisme pengaduan atas pelayanan (dasar) publik
STRATEGI Penerapan mekanisme pengaduan atas pelayanan publik dan penanganannya
Disharmoni dan rendahnya kualitas peraturan peraturan daerah (Perda) dan kebijakan daerah lainnya
Peningkatan kualitas kebijakan dan dukungan terhadap implementasinya
Pelembagaan RIA (Regulatory Impact Assestment) dalam penyusunan kebijakan daerah yang mencakup prinsipprinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas serta pertimbangan analisis manfaat dan beban suatu kebijakan
KELUARAN
2. Ketersediaan kelembagaan penanganan pengaduan atas pelayanan publik di daerah ( di minimal 1 Kabupaten/Kota setiap Provinsi
1. Panduan nasional (Permendagri) tentang pelembagaan mekanisme pengaduan atas pelayanan publik, dan penanganannya
1. Peraturan Presiden sebagai implementasi UU 10/2004 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” , khususnya pengaturan keharusan bagi Pemda – dan juga Pemerintah) untuk menerapkan RIA (Regulatory Impact Assestment) dalam penyusunan Perda (dan peraturan perundang-undangan lainnya) dengan segala kelengkapan SOP (standar dan prosedur) –nya, lengkap dengan kelembagaannya.
II. Harmonisasi dan Peningkatan Kualitas Kebijakan Daerah
HAMBATAN
RENCANA AKSI
Peningkatan kualitas dan akseptabilitas suatu kebijakan.
Peningkatan kepuasan masyarakat atas kualitas pelayanan publik
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Presiden – Menteri Hukum & HAM
Bupati/Walikota
Menteri Dalam Negeri
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
80
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI
Hasil evaluasi atas implementasi Perda / Perbup/Perwako (tentang Pengentasan Kemiskinan, atau Pajak & Retribusi, atau APBD, atau Hal lainnya) dengan menerapkan RIA (di minimal 1 Kabupaten/Kota setiap Provinsi)
3. Perda (tentang APBD, atau Hal lainnya) yang telah dibuat berdasarkan proses RIA
2. Penerapan kelembagaan RIA dalam SKPD (dan Kementrian Lembaga di tingkat nasional) yang telah ada (di minimal 1 Kabupaten/ Kota setiap Provinsi)
KELUARAN
Peningkatan kapasitas Penyediaan ‘resource kelembagaan DPRD person / Staff Ahli’ bagi DPRD
Pelembagaan RIA dalam evaluasi kebijakan daerah yang telah ada
RENCANA AKSI
PP untuk alokasi anggaran bagi pelembagaan Staff Ahli DPRD
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Gubernur, Bupati/Walikota
Gubernur, Bupati/Walikota
Seluruh Menteri Kementrian Lembaga, Gubernur dan Bupati/ Walikota
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
81
STRATEGI
KELUARAN
HASIL
Pelibatan masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah.
Alokasi anggaran untuk untuk peningkatan pengetahuan, kesadaran dan perlindungan / pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan
1. Tidak optimumnya • Kebijakan penggunaan anggaran anggaran yang untuk pemenuhan berpihak pada kebutuhan masyarakat miskin masyarakat miskin dan terpinggirkan dan terpinggirkan untuk mendapatkan pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar)
• Kebijakan Anggaran untuk peningkatan pengetahuan, kesadaran dan perlindungan / pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang paduan tahunan dalam penyusunan APBD untuk mewajibkan Pemda mengalokasikan anggaran penyuluhan dan bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam APBD
2. Perda APBD yang memperlihatkan alokasi dana yang memadai untuk pelayanan masyarakat miskin dan terpinggirkan (kesehatan, pendidikan, infrastruktur fisik dasar: perumahan, air, listrik, transportasi)
1. Keterlibatan masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam penyusunan APBD melalui proses RIA sebagai satu kesatuan dengan proses ‘musrenbang’
1. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat
Peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin dan terpinggirkan
III. Kebijakan Anggaran untuk mendapatkan/meningkatkan Akses terhadap Keadilan
HAMBATAN
RENCANA AKSI T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Menteri Dalam Negeri
Gubernur, Bupati/Walikota
Gubernur, Bupati/Walikota
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
82
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
3. Peningkatan kapasitas fiskal daerah dan kualitas penyerapannya untuk peningkatan pelayanan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan
STRATEGI
2. Bantuan teknis Pemerintah ke Pemda untuk peningkatan kualitas penyerapan anggaran (untuk 20 Kabupaten dan 10 Kota sebagai role-model)
2. Peningkatan kualitas penyerapan anggaran atas Dana Desentralisasi
Optimalisasi kualitas penggunaan anggaran program pusat – daerah
2. Perlindungan hukum bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan ( > 50% dari masyarakat yang berperkara)
2. Peraturan Daerah tentang APBD yang memperlihatkan alokasi anggaran penyuluhan dan bantuan hukum dalam APBD (minimal di 50% Kabupaten/Kota setiap Provinsi) 1. Pengalihan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi dana Desentralisasi, dalam bentuk DAK (Dana Alokasi Khusus) yang penggunaannya merupakan diskresi Pemda
HASIL
KELUARAN
1. Evaluasi secara komprehenship tentang efektifitas penggunaan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
RENCANA AKSI T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Menteri BAPPENAS dan Menteri Keuangan
Menteri Keuangan
Gubernur, Bupati/Walikota
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
83
STRATEGI
1.Pesatnya Pertumbuhan Daerah Daerah Otonom Baru
Bantuan teknis Pemerintah ke daerah daerah otonom baru untuk peningkatan kualitas pelayanan dasar – best practices, di bidang kesehatan, pendidikan, dan atau infrastruktur dasar Pelembagaan Kerjasama Antar Daerah untuk peningkatan pelayanan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan
1. Peningkatan kapasitas daerah otonom baru untuk peningkatan pelayanan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan
2. Sinergi kebijakan & program daerah daerah otonom atas kesamaan kepentingan
IV. Kebijakan ‘Pemekaran’ Daerah Otonom Baru
HAMBATAN
RENCANA AKSI
2. Pendampingan teknis bagi model ideal kerjasama antar daerah ( minimal percontohan 2 model kerjasama)
1. Panduan nasional (Permendagri) mengenai kerjasama antar daerah untuk antara lain: peningkatan pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar (perumahan, air,listrik, transportasi) bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan; atau implementasi konsep bio-region; atau Hal-hal lainnya.
Role-model sebagai daerah percontohan (10 Kabupaten / Kota) bagi daerah daerah otonom baru lainnya
KELUARAN
Peningkatan skala sumber daya dan optimalisasi pelayanan masyarakat
Peningkatan kualitas pelayanan daerah daerah otonom baru
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Menteri BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri
Menteri Dalam Negeri
Menteri Dalam Negeri
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
84
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
Kebijakan Desain Pemekaran Daerah untuk optimalisasi sumber daya daerah
STRATEGI Evaluasi daerah otonom baru hasil pemekaran
RENCANA AKSI
Menteri Dalam Negeri
Menteri Dalam Negeri
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3. Pelembagaan penggabungan daerah daerah otonom
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Menteri Dalam Negeri
Peningkatan kualitas pelayanan masyarakat melalui jumlah optimal daerah otonom
HASIL
2. Desain kuantitas dan kualitas pemekaran daerah berdasarkan pendekatan teknokratis dengan tetap membuka kemungkinan usulan pemekaran daerah dari berbagai pemangku peran, namun pengusulan pembahasan pemekaran untuk diasjukan ke DPR hanya melalui eksekutif
1. Hasil evaluasi komprehenship atas kinerja pemekaran daerah (utamanya untuk mengenali faktor keberhasilan dan kegagalan) agar bisa direplikasikan di daerah daerah otonom baru, dan sebagai salah satu rujukan penting untuk panduan pemekaran daerah
KELUARAN
3.4
Akses terhadap Keadilan pada Bidang Pertanahan dan Sumber Daya Alam
Selama ini tanah dan sumber daya alam di Indonesia dimanfaatkan untuk dan atas nama pembangunan. Meskipun demikian, penguasaan dan pengelolaannya belum memberikan kesejahteraan yang maksimal bagi seluruh rakyat terutama kelompok miskin dan terpinggirkan (termasuk di antaranya masyarakat adat, buruh tani, nelayan dan perempuan).53 Penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam masih jauh dari tujuan menciptakan keadilan sosial dan keadilan lingkungan bagi kelompok ini. Hal ini diindikasikan dari terbatasnya hak-hak masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menguasai tanah dan sumber daya alam; minimnya akses mereka untuk menikmati manfaat yang adil dari lingkungan dan sumber daya alam di wilayahnya; penurunan kualitas kehidupan kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan akibat kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang semakin rusak dan tercemar54 dan bencana lingkungan akibat salah kelola sumber daya alam oleh pemerintah maupun korporasi. Upaya pemenuhan akses masyarakat miskin dan terpinggirkan memperoleh keadilan pada penguasaan dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia menghadapi hambatan karena belum terselesaikannya masalah-masalah berikut: (1) ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam; (2) penurunan kualitas lingkungan yang berakibat terjadinya bencana lingkungan; (3) kemiskinan55; (4) konflik dan kecenderungan kriminalisasi pada kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat miskin dan masyarakat adat56; (5) kecenderungan liberalisasi pengelolaan sumber daya alam; (6) Kelembagaan yang belum terintegrasi; dan (7) Lemahnya tata kelola lembaga-lembaga publik di bidang pertanahan dan sumber daya alam. Tantangan terbesar dari strategi penguatan akses pada keadilan pada kurun waktu 2010-2014 adalah menyediakan kerangka kerja dan aksi yang terukur untuk mengurangi secara signifikan berbagai ekses dari ketujuh masalah tersebut serta menjadikan tanah dan sumber daya alam sebagai sumber kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan. Selain itu, tanah dan sumber daya alam juga diharapkan menyediakan arena bagi upaya pembangunan integrasi sosial, penguatan kapasitas kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk meneguhkan identitas kultural, mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab dan terlibat pada proses pengambilan keputusan terkait penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di wilayahnya.57 Secara khusus, harapan tersebut dapat terpenuhi antara lain dengan: (i) adanya konstruksi hukum yang jelas dan tegas tentang hak-hak kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan atas tanah dan sumber daya alam; (ii) tersedianya ruang yang aksesibel dan menguntungkan bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menguasai dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam; (iii) banyaknya kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan tanpa terkecuali yang mempunyai hak baik secara individual maupun komunal untuk memiliki dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam, serta memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak tersebut; (iv) peningkatan nilai tambah ekonomi dan jasa dari tanah dan sumber daya alam di wilayah yang dihuni dan dikelola kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan; (v) kemudahan bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk memulihkan hak-haknya yang hilang akibat konflik atau bencana; (vi) penguatan kelembagaan lokal baik yang berdasarkan pada adat atau pun basis normatif lainnya sebagai sarana pelaksanaan tata kelola tanah dan sumber daya alam berbasis komunitas (community governance) yang berkeadilan sosial dan memperhatikan keadilan lingkungan; (vii) perbaikan kualitas lingkungan dan sumber daya alam; dan (viii) perbaikan tata kelola pemerintahan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
85
Strategi pemenuhan akses keadilan di bidang pertanahan dan sumber daya alam tidak menafikan upaya-upaya pembaruan dan perubahan hukum dan kebijakan serta inisiatif penyelesaian konflik yang telah dilakukan atau dipromosikan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil. Perkembangan yang membaik dalam beberapa tahun terakhir dapat disebutkan di antaranya adalah pembaruan/reforma agraria sebagaimana dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional, pemberian kesempatan kepada masyarakat memperoleh akses memanfaatkan sumber daya hutan melalui Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan kebijakan lain yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, dan keberadaan peraturan-peraturan daerah terkait hak atas tanah adat, pengakuan masyarakat adat dan pengelolaan sumber daya hutan, laut dan pesisir berbasis masyarakat. Demikian pula proses pembentukan undang-undang atau peraturan daerah yang mulai melibatkan masyarakat melalui mekanisme konsultasi publik, dengan berbagai pendekatan dan metode, menunjukkan adanya upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat pada pembentukan hukum dan kebijakan publik lainnya, meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda. Sementara itu, di sejumlah daerah telah dilakukan upaya-upaya transformasi konflik menjadi kemitraan antara Pemerintah Pusat, Daerah, pelaku usaha dan masyarakat. Demikian pula, strategi ini memperhatikan komitmen Pemerintah Indonesia pada dunia internasional untuk perbaikan kualitas lingkungan dan sumber daya alam. Sebagai contoh adalah komitmen pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissons from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia-REDDI).58 Perangkat hukum dan kebijakan sedang dipersiapkan untuk memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan mekanisme ini.59 Demikian pula beberapa proyek percontohan REDD sedang dijalankan di daerah.60 Meskipun demikian masih perlu dipertanyakan seberapa jauh mekanisme REDD mampu melindungi dan memberikan keuntungan bagi kelompok miskin dan masyarakat terpinggirkan, terutama masyarakat adat. Apakah komitmen pengurangan emisi akan mengulangi kesalahan masa silam dari komitmen dan proyek konservasi yang dalam praktiknya menjadikan kelompok miskin dan masyarakat adat semakin sulit mempertahankan dan melindungi hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam sehingga berakibat pada buruknya kualitas kehidupan mereka serta memicu konflik di kawasan-kawasan konservasi? Upaya-upaya maupun kondisi yang telah disebutkan tadi merupakan titik awal yang dapat memberikan pijakan yang kuat bagi pembaruan hukum dan kebijakan serta penyusunan strategi pembangunan yang holistik namun realistis di bidang pertanahan dan sumber daya alam. Namun, harapan ini akan sulit terwujud jika beberapa masalah dan kelemahan dari kerangka hukum dan kebijakan, kelembagaan dan tata kelola pertanahan dan sumber daya alam sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut belum dapat diatasi dan diperbaiki.
3.4.1 Permasalahan pada Kerangka Normatif Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini menjadi landasan konstitusional bagi pengaturan tentang tanah dan sumber daya alam di Indonesia pada berbagai undang-undang di antaranya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan61; UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi; UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan; UU No. 26
86
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Meskipun demikian, keberadaan berbagai undang-undang itu secara umum belum memberikan arahan yang utuh pada penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam terutama bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan serta strategi pengelolaan termasuk pencadangan sumber daya alam secara holistik dan berkelanjutan.62 Ketetapan (TAP) MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam meskipun dimaksudkan untuk memberikan arah bagi reformasi hukum tanah dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia pada kenyataannya masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Reformasi hukum di sektor pertanahan dan sumber daya alam terhadang oleh sejumlah masalah, di antaranya adalah:
(1) Tafsir terhadap konsep hak menguasai negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan doktrin hak menguasai negara. Pada implementasinya, ketentuan ini banyak disalahtafsirkan. Negara yang direduksi menjadi pemerintah tidak hanya memiliki hak untuk merumuskan kebijakan (beleid) dan melakukan pengaturan (regelendaad) dan pengurusan (bestuursdaad) tetapi juga memiliki hak sebagai pemilik dan melakukan pengelolaan (beheersdaad) dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad) atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di padanya. Permasalahan muncul ketika atas nama hak menguasai negara, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan terkait dengan tanah dan sumber daya alam yang lebih memfasilitasi kepentingan investasi ataupun memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara donor dan lembaga keuangan internasional. Produk peraturan perundang-undangan yang dilahirkan-pun cenderung menjadi alat untuk memfasilitasi kepentingan investasi daripada memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau memberikan prioritas pada perlindungan lingkungan. Hal ini dapat dibuktikan dengan lahirnya berbagai kebijakan yang lebih banyak memberikan hak penguasaan sumber daya alam dan tanah kepada pemodal dibandingkan kepada masyarakat.63 Pengaturan tersebut berimplikasi pada mengecilnya peran rakyat, terutama kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan pada proses pembuatan peratuan perundang-undangan, berkurangnya akses mereka pada tanah dan sumber daya alam, melemahnya hubungan hukum antara rakyat dengan tanah dan sumber daya alam, lemahnya perlindungan hukum atas hak-hak rakyat pada tanah dan sumber daya alam di wilayahnya serta minimnya perlindungan pada pelestarian lingkungan.
(2) Tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan tanah yang saling berbenturan, bertumpang tindih, dan tidak harmonis baik secara vertikal (antar jenjang peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah) maupun secara horizontal (antar sesama jenjang peraturan perundang-undangan) adalah fakta lain dari pengaturan tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Lazim diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sebagai suatu instrumen kebijakan negara bukanlah sesuatu yang netral dan otonom, akan tetapi senantiasa diwarnai oleh pergesekan kepentingan elit kekuasaan, kepentingan sektoral dan kepentingan daerah. Inilah yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih, pertentangan dan ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan.64 Bahkan antar sesama peraturan perundangundangan pada sektor yang sama sering kali terjadi tumpang tindih dan perbenturan pengaturan. Kesadaran tentang terjadinya tumpang tindih pada pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan pertanahan ini melatarbelakangi diterbitkannya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada Pertimbangan butir (d) TAP MPR No. IX/
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
87
MPR/2001 dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
(3) Tumpang tindih dan terabaikannya prinsip kehati-hatian pada perizinan. Serupa dengan kondisi peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, aspek perizinan pada pengelolaan sumber daya alam juga menunjukkan hal yang sama. Pada suatu kawasan terdapat beberapa izin yang dikeluarkan oleh berbagai institusi pemerintah yang berbeda. Di kawasan hutan yang telah diberikan izin pengusahaan hutan misalnya ditemukan pula izin pertambangan. Penerbitan izin-izin yang kurang terkoordinasi antar sektor dan antar level pemerintah (pusat dan daerah; provinsi dan kabupaten) perlu dikaji ulang. Demikian pula pengkajian ulang perlu dilakukan pada kebijakan penerbitan izin yang tidak mengacu pada prinsip kehati-hatian dan kurang memperhatikan ketersediaan sumber daya alam sehingga berpotensi menimbulkan bencana lingkungan dan penipisan cadangan sumber daya alam nasional.
(4) Kepemilikan modal asing dan dampaknya bagi kesejahteraan rakyat. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden No. 77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No.111 tahun 2007 telah mendorong liberalisasi pada pengelolaan sumber daya alam. Beberapa ketentuan pada Peraturan Presiden dimaksud telah mengurangi kedaulatan rakyat atas sumber daya alam. Ketentuan tentang kepemilikan maksimal 95% modal asing pada usaha penyediaan air minum, budidaya beberapa komoditas pertanian strategis (padi, jagung, palawija, dan sebagainya) dan perkebunan di atas tanah seluas lebih dari 25 ha, pengeboran minyak dan gas bumi dan sebagainya perlu dicermati lebih jauh.
(5) Harmonisasi penataan ruang dan jaminan ketersediaan ruang bagi masyarakat. Penyusunan dan penetapan rencana tata ruang daerah diatur pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Meskipun demikian, kedua peraturan ini belum mampu mendorong penataan ruang yang terintegrasi, apalagi mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok masyarakat adat dan warga miskin. Tingginya kepentingan pemerintah pusat maupun daerah untuk memperbesar pendapatan mengakibatkan lahirnya kebijakan penataan ruang yang lebih melegitimasi kepentingan investor daripada penataan ruang yang berpihak pada kepentingan rakyat, khususnya masyarakat adat serta pada kepentingan perlindungan lingkungan. Berkembangnya konsentrasi industri di wilayah perkotaan dan di bantaran sungai banyak membutuhkan dan menghasilkan air pada proses produksinya. Hal ini menuntut pemerintah daerah memberikan toleransi pengalokasian wilayah industri di bantaran sungai atau yang memiliki akses pembuangan limbah ke sungai. Akibatnya, penataan ruang di sepanjang sungai tidak lagi berbasiskan kepada kepentingan penyelamatan ekologi DAS (daerah aliran sungai). Penataan ruang yang tidak berbasiskan DAS, tetapi lebih berbasiskan daerah administratif juga mengakibatkan terjadinya perusakan lingkungan di wilayah hulu sungai dan pencemaran air sungai yang belum teratasi. Selain menjadi potensi konflik antar daerah, kondisi ini juga menjadikan masyarakat miskin yang sejak awal hidup di sepanjang bantaran sungai mengalami degradasi kehidupan. Oleh karena itu penting dilakukan perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang mengedepankan prinsip integrasi sebagaimana halnya dengan penggunaan pendekatan bio/ekoregion.
88
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Koordinasi antar instansi pemerintah pada penataan ruang di daerah juga masalah lain yang perlu diselesaikan. Paduserasi kawasan hutan dengan tata ruang provinsi di Kalimantan Tengah dan Riau misalnya hingga kini belum terselesaikan. Tumpang tindih peruntukan dan pemanfaatan ruang serta kecenderungan alih fungsi kawasan hutan adalah masalah lain yang tidak kalah peliknya. Di beberapa wilayah di Pulau Jawa, misalnya, wilayah konsesi pertambangan bergeser dari lepas pantai ke wilayah daratan. Akibatnya terjadi perbenturan dan tumpang tindih areal pertambangan dengan wilayah pemukiman dan pertanian. Praktik penataan ruang lebih mengutamakan investasi pertambangan dibanding dengan penyelamatan lingkungan alam dan lingkungan sosial dari komunitas yang hidup di wilayah itu (sebagai ilustrasi adalah kasus Lumpur Lapindo di Jawa Timur). Sedangkan di luar pulau Jawa, intervensi investasi pertambangan ini bertumpang tindih dengan wilayah hutan, bahkan hutan lindung dan kawasan konservasi lain. Pada konflik ini pun, keberpihakan pada kepentingan eksploitasi pertambangan dibandingkan dengan penyelamatan hutan terlihat lebih besar. Dengan semangat mengutamakan pembangunan yang bersifat eksploitatif terhadap sumber daya alam, kebijakan alih fungsi kawasan hutan banyak dilakukan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip prinsip konservasi dan perlindungan hak-hak masyarakat. Pertumbuhan industri pada umumnya diikuti pula dengan pertumbuhan penduduk. Sayangnya, penataan ruang di kawasan industri masih belum seluruhnya menyediakan ruang yang layak untuk pemukiman buruh. Para buruh berpenghasilan rendah mempertahankan hidupnya dengan mendirikan “pemukiman terpaksa” di sekitar pabrik. Pada gilirannya, hal ini akan berbenturan dengan penataan ruang di wilayah tersebut dan konflik dengan masyarakat sekitar. Pertumbuhan ekonomi yang berpusat di tengah kota-kota besar juga berimbas pada tekanan terhadap ruang di wilayah penyangganya. Kebutuhan yang tinggi dari kaum pekerja di kota-kota besar akan pemukiman mendesak mereka pindah ke wilayah-wilayah pinggiran kota. Sudah dapat dipastikan, kebutuhan lahan yang besar untuk membangun pemukiman-pemukiman baru akan mengintervensi wilayah-wilayah pertanian abadi di wilayah pinggiran dan perlahan-lahan akan menggusur rakyatnya dari tanah-tanah mereka. Potensi konflik dengan masyarakat sekitar akhirnya tidak dapat dihindari. Menyediakan ruang yang memadai bagi masyarakat terutama masyarakat adat dan masyarakat miskin perlu menjadi perhatian. Fakta bahwa tanah-tanah telah dialokasikan secara formal sebagai kawasan hutan tidak menutupi fakta lain bahwa pada kawasan yang dimaksud terdapat pemukiman warga dan wilayah-wilayah adat.65
(6) Arah kebijakan pengelolaan tanah dan sumber daya alam. Belum ada arah kebijakan yang menyeluruh, terpadu dan dipatuhi tentang pengelolaan tanah dan sumber daya alam sebagai acuan utama dari berbagai peraturan perundang-undangan terkait tanah dan sumber daya alam. Kenyataan bahwa Indonesia memiliki TAP MPR No.IX/MPR/2001, UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, sekian banyak undang-undang tentang tanah dan sumber daya alam lainnya beserta peraturan pelaksanaannya masing-masing belum memberi jaminan bahwa pengelolaan sumber daya alam berjalan atas dasar pendekatan yang sama. Di satu sisi, beberapa produk peraturan perundang-undangan menekankan pada eksploitasi sumber daya alam, sedangkan di sisi lain terdapat produk peraturan lain yang mengutamakan konservasi. Pendekatan pada pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan pada keterpaduan pengelolaan ekosistem darat, pesisir, laut dan udara termasuk pulau-pulau kecil dengan masyarakat dan kebudayaan yang hidup yang ada di dalamnya yang tidak terikat oleh batas-batas administratif wilayah (pendekatan bio/eko-region) masih belum diadopsi secara utuh oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan. Pembentukan undang-undang baru dan perubahan undang-undang
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
89
lama66 serta pembentukan lembaga-lembaga baru yang berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam merumuskan kebijakan atau melakukan pemantauan semestinya berjalan atas suatu arah dan strategi pembangunan yang sama.
(7) Kekaburan konstruksi hukum atas hak-hak masyarakat adat termasuk kriteria dan prosedur pengakuan hak yang rumit pada peraturan perundang-undangan nasional dan daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perubahan, yang mengarah pada kemajuan, dalam hal pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Pasal 18B dan 28I amandemen kedua UUD 1945, TAP MPR IX/MPR/2001, UU No. 41 tahun 1999, UU No. 27 tahun 2007, Peraturan Menteri (Permen) Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 adalah beberapa contohnya. Meskipun demikian, banyak dari peraturan perundangundangan tersebut menyatakan pengakuan terhadap masyarakat adat/hak atas tanah dan sumber daya alam melalui ketentuan-ketentuan yang dirumuskan secara kabur dan terbatas, menggunakan kriteria normatif yang sulit dicari padanannya pada realitas kekinian masyarakat adat, serta dengan prosedur yang menyulitkan masyarakat adat untuk mendapat pengakuan. UUPA adalah satu dari sedikit undang-undang yang menyatakan pengakuan pada hak-hak masyarakat adat pada tanah/sumber daya alam. Meskipun demikian, UUPA menyatakan bahwa pengakuan itu harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang pada pelaksanaannya ditafsirkan secara luas dan beragam. Hal krusial lain dari UUPA terkait dengan ketegasannya terhadap status hak ulayat sebagai hak kolektif masyarakat adat. Di satu sisi, UUPA memandang hak tersebut adalah hak publik, yaitu bagian dari hak menguasai negara sebagaimana termuat pada Pasal 2 ayat 4, namun di sisi lain bagian dari hak ulayat diakui sebagai hak privat warga negara yang memungkinkan diberikannya hak-hak atas tanah yang disebutkan pada Pasal 16 antara lain sebagai hak milik, hak pakai, hak guna bangunan dan sebagainya (Safitri, 2006). Ketidaktegasan ketentuan ini memunculkan beragam tafsir terhadap status hak ulayat. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan misalnya, mengartikan hak ulayat atas hutan (hutan adat) sebagai bagian dari hutan negara (Pasal 5 ayat 2). Sementara itu UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memandang hak masyarakat adat sebagai hak privat sebagaimana terlihat dari peluang yang diberikan undang-undang ini kepada masyarakat adat untuk menjadi pemegang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir – HP3 (Pasal 18 butir c). Kerangka hukum di Indonesia masih belum mempunyai konsep yang solid terkait dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam. Apakah hak-hak masyarakat adat dipahami sebagai bagian dari hak publik atau sebagai hak privat, atau keduanya? Jika hak-hak adat itu menyatukan keping publik dan privat pada satu koin, masih ada pertanyaan tersisa: terhadap bagian tanah dan sumber daya apa karakter publik dan privat itu ada, dengan siapa penguasaan publik dan privat itu berlaku, serta bagaimana pengakuan hukum yang tepat terhadap kondisi ini? Kriteria penentuan keberadaan masyarakat adat juga sering dirumuskan terlalu sederhana dan belum mempertimbangkan realitas dan dinamika masyarakat adat. Menentukan bahwa keberadaan masyarakat adat harus memenuhi kriteria sebagai masyarakat yang berbentuk paguyuban, misalnya, pada kenyataannya dapat menyulitkan. Pemisahan yang ketat antara masyarakat paguyuban dan patembayan hanya dapat ditemukan pada literatur sosiologi klasik daripada pada kenyataan masa kini. Prosedur pengakuan masyarakat adat juga sulit dilaksanakan jika dipersyaratkan bahwa keberadaan masyarakat adat dapat diakui jika telah dikukuhkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 67 ayat 2 UU
90
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
No. 41 tahun 1999) namun tidak dijelaskan apakah Peraturan Daerah itu adalah Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten. Penerbitan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. S.75/Menhut-II/2004 yang mensyaratkan bahwa penetapan eksistensi masyarakat adat harus dilakukan melalui Peraturan Daerah Provinsi, di banyak tempat akhirnya dirasakan menyulitkan karena keterbatasan akses masyarakat adat pada pemerintahan provinsi. Pengakuan pada hak masyarakat adat pada tanah/sumber daya alam juga tidak bermakna apa pun jika terdapat ketentuan sebagaimana ada pada Permen Agraria No. 5 tahun 1999 yang menyatakan bahwa hak-hak ulayat hanya dapat dituntut atas tanah-tanah yang belum dibebani hak atas tanah, termasuk HGU. Ketentuan ini dirasakan kurang adil oleh masyarakat adat karena banyak dari pemberian HGU dilakukan secara sepihak atas tanah-tanah adat/ulayat.
(8) Ketepatan objek sasaran reforma agraria. Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan UU No. 17 tahun 2007, UUPA dan Peraturan Presiden No. 6 tahun 2006 tengah menjalankan reforma agraria sebagai cara untuk menata kembali struktur ekonomi, politik dan sosial dan pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengakses tanah. Sebagai perpaduan antara asset dan access reform, reforma agraria tidak sekadar distribusi tanah tetapi perluasan akses untuk meningkatkan nilai guna tanah.67 Reforma agraria dilakukan dengan mendistribusikan tanah negara yang meliputi tanah yang haknya tidak diperpanjang atau tidak mungkin diperpanjang dan tanah bekas kawasan pertambangan dan hutan produksi konversi kepada mereka yang masih belum memiliki tanah. Program reforma agraria ini perlu mendapat dukungan hukum, kelembagaan dan sosial yang tepat. Dalam jangka panjang, diperlukan konsep reforma agraria yang lebih terpadu yang meliputi redistribusi tanah, registrasi hak-hak atas tanah, restitusi dan rekognisi hak-hak masyarakat adat serta penyelesaian konflik.68 Meskipun demikian pada lima tahun ke depan, reforma agraria akan kehilangan banyak kesempatan melakukan restrukturasi penguasaan tanah jika belum ada re-definisi objek reforma agraria. Dengan menfokuskan pada tanah negara maka reforma agraria yang dijalankan sekarang bersifat terbatas. Lebih penting dari itu, penentuan tanah negara sebagai objek (re) distribusi69 tanah mengundang pertanyaan. Apakah yang diartikan dengan tanah negara dan di manakah tanah-tanah itu berada, bagaimana status tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adat namun secara legal formal tidak diakui dan karenanya diambil alih menjadi hutan atau wilayah pertambangan. Apakah tanah-tanah tersebut dikategorikan pula sebagai tanah negara dan karenanya menjadi objek reforma agraria? Apakah implikasi lebih jauh dari situasi ini terhadap keberhasilan reforma agraria? Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kualitas tanahtanah negara yang akan di (re) distribusikan terutama tanah-tanah bekas wilayah pertambangan dan hutan konversi. Seberapa jauh tanah-tanah itu layak manfaat bagi masyarakat miskin? Jika reforma agraria dipandang sebagai access reform maka kualitas tanah perlu menjadi pertimbangan utama agar masyarakat miskin dipastikan mengakses tanah-tanah yang pada waktu singkat dapat memperbaiki kualitas kehidupan mereka.
(9) Belum adanya lembaga dan mekanisme khusus penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam. Konflik tanah dan sumber daya alam pada umumnya memiliki karakter yang berbeda dengan konflikkonflik lainnya. Konflik ini menghadapkan secara diametral mereka yang yang memiliki akses sumber daya dan kekuasaan lebih kuat dengan mereka yang tuna akses atau sebelumnya memiliki akses sumber daya dan kekuasaan yang terbatas. Konflik-konflik tanah dan sumber daya alam juga banyak yang bersifat lintas waktu, yang dihasilkan dan diperumit oleh berbagai rezim pemerintahan yang berbeda. Oleh karena itu, penyelesaian konflik-konflik tanah dan sumber daya alam perlu memperhatikan berbagai dimensi: hukum, politik, sosial, ekonomi dan sejarah.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
91
Penyelesaian konflik semestinya dipandang sebagai bagian dari reforma agraria yang lebih luas. Penyelesaian konflik, selain untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban juga menjadi cara untuk mendorong perubahan struktur agraria yang lebih berkeadilan dalam hal pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam (Tjondronegoro, t.t). Penyelesaiaan yang memuaskan terhadap konflik-konflik tanah dan sumber daya alam tidak mungkin hanya dipenuhi melalui peradilan konvensional dengan prosedur beracara yang kompleks dan tidak mudah dipahami atau dimanfaatkan oleh masyarakat miskin dan terpinggirkan apalagi diperparah dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan penegak hukum. Proses semacam ini hanya memposisikan masyarakat korban menjadi korban lanjutan dari proses penyelesaian konflik yang sedang dijalaninya. Hal yang serupa juga terjadi jika pendekatan-pendekatan represif yang cenderung menggunakan ancaman dan kekerasan fisik digunakan. Alih-alih menghasilkan penyelesaian, pendekatan represif hanya akan menimbulkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang baru serta upaya kriminalisasi pada kelompok-kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan. Di tengah kesulitan mencari model penyelesaian konflik yang dapat diterima semua pihak, upaya menggunakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik secara nonformal serta proses-proses mediasi banyak digunakan. Pada kasus-kasus tertentu, hal ini dapat mentransformasikan konflik menjadi kemitraan antara pemangku kepentingan. Namun, pada banyak kasus yang lain, terutama jika melibatkan para pihak dengan posisi kekuasaan politik dan ekonomi yang berbeda tajam, penyelesaian melalui mekanisme nonformal dan mediasi bukanlah jaminan bagi perlindungan hakhak para pihak yang lebih lemah. Demikian pula model ini belum menjamin penyelesaian konflik secara permanen. Konflik-konflik tanah dan sumber daya alam di Indonesia memerlukan model dan lembaga penyelesaian konflik secara khusus. Perhatian ke arah ini telah muncul pada RPJMN 2004-2009 tetapi hingga saat ini masih belum ada inisiatif untuk mewujudkannya. Oleh sebab itu, RPJM 20102014 perlu menjadikan upaya pembentukan lembaga khusus untuk menyelesaiakan konflik-konflik tanah dan sumber daya alam sebagai agenda utama. Upaya ke arah itu perlu diawali dengan membuat dasar hukum yang kuat bagi pembentukan lembaga tersebut.
3.4.2 Kesadaran Hukum, Kesadaran Hak dan Kesadaran atas Keadilan pada Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah dan Sumber Daya Alam Kesadaran hukum menjadi elemen penting untuk menggapai akses pada keadilan ‘hanya jika’ telah terjadi pembenahan yang signifikan dari kerangka normatif yang ada. Banyak permasalahan ketidakadilan yang dialami rakyat di sektor pertanahan dan sumber daya alam bersumber bukan hanya dari rendahnya kesadaran hukum tetapi juga dari karakter peraturan perundang-undangan yang belum banyak berpihak pada rakyat. Pembenahan secara serius dari kerangka normatif yang ada perlu dilakukan, tetapi secara simultan pemerintah dan kelompok masyarakat sipil tetap perlu melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kesadaran rakyat akan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam dan mengubah paradigma kesadaran hukum dan sikap aparat pemerintah dan penegak hukum yang terlalu bersandar pada formalisme hukum daripada keadilan substantif yang akan dicapai oleh hukum. Upaya perbaikan dan peningkatan kesadaran hukum dan kesadaran hak itu perlu memperhatikan fakta-fakta berikut ini: 92
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
(1) Lemahnya akses informasi masyarakat tentang peraturan perundang-undangan/ instrumen hukum internasional sebagai landasan klaim penguasaan, pemanfaatan, pelestarian tanah dan sumber daya alam. Adagium “setiap orang dianggap mengetahui sebuah peraturan sejak tanggal diundangkannya” yang dijadikan doktrin dasar pada penegakan hukum di Indonesia kurang memberikan dorongan bagi Pemerintah untuk merasa berkewajiban mengembangkan akses informasi masyarakat terhadap hukum. Proses formalisme dan legitimasi keterwakilan rakyat oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada proses penyusunan peraturan perundang-undangan dipersepsikan telah cukup memberikan akses informasi kepada rakyat. Kesadaran akan penting dan strategisnya akses informasi pada kehidupan demokrasi mulai muncul ketika akses informasi ini diangkat sebagai hak yang dijamin oleh konstitusi sebagaimana tertuang pada pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, masih diperlukan upaya keras untuk mewujudkan pelaksanaan hak konstitusional ini pada tingkat peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan berbagai Peraturan Daerah yang sejenis perlu dilaksanakan secara konsekuen. Kekuatan dan kualitas akses informasi akan menentukan kekuatan dan kualitas peran masyarakat yang kemudian akan menentukan pula tingkat dan kualitas keadilan dan demokratisasi pada pengelolaan sumber daya alam dan pertanahan. Berdasarkan ketentuan pasal 28 F UUD 1945, perumusan akses informasi tentang sumber daya alam dan pertanahan harus diletakkan pada pemahaman: pertama, bahwa akses informasi adalah hak dasar rakyat dan sebaliknya merupakan kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, menegakkan hak tersebut; kedua, terhadap informasi tersebut, rakyat berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
(2) Lemahnya organisasi rakyat dan institusi lokal sebagai media peningkatan kesadaran dan tindakan kolektif memperjuangkan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam dan menjalankan tata kelola berbasis komunitas yang baik dan adil. Kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan masih belum terkonsolidasikan ke dalam organisasiorganisasi rakyat yang kuat. Keberadaan institusi lokal atau adat rentan terhadap kooptasi modal dan kekuasaan. Disintegrasi sosial menghambat upaya membangun kesadaran dan tindakan kolektif kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap ketidakadilan sosial dan lingkungan baik yang muncul akibat peraturan perundang-undangan maupun praktik penguasaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam.
(3) Lebih kuatnya pemahaman aparat pemerintah/penegak hukum terhadap elemenelemen negara hukum formal dibanding elemen keadilan substantif. Aparat pemerintah dan penegak hukum lebih banyak menjalankan peran sebagai pelaksana dan corong peraturan perundang-undangan, tanpa banyak upaya untuk memahami secara kritis kelemahankelemahan yang ada pada peraturan perundang-undangan atau membuat tafsir yang progresif untuk memberikan keadilan pada rakyat. Kuatnya pemahaman positivistik bahwa peraturan harus dijalankan secara konsisten, setiap tindakan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, dan penafsiran teks peraturan secara literal, telah menutup ruang-ruang penemuan hukum dan penerapan hukum yang adil bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan. Atas nama ketaatan pada hukum maka permasalahan-permasalahan perlindungan pada hak-hak individual dan kolektif rakyat pada tanah dan sumber daya alam terabaikan. Inilah yang menjadikan pelaksanaan dan penegakan hukum semakin jauh dari realitas dan tuntutan keadilan.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
93
(4) Inkonsistensi kemauan politik dan kebijakan pemerintah. Di tingkat pusat dan daerah dalam mendorong meningkatnya akses rakyat terhadap keadilan pada penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam mengakibatkan belum adanya arah yang jelas dari politik hukum tanah dan sumber daya alam di Indonesia.
(5) Korupsi yang menguras sumber daya alam. Perilaku korup aparat penegak hukum pada kasus-kasus hukum terkait dengan tanah dan sumber daya alam memberikan kontribusi yang signifikan pada kerusakan sumber daya alam dan lemahnya penegakan hukum di sektor ini. Korupsi dengan memanfaatkan sumber daya alam adalah fenomena global yang dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya: (i) kurangnya pengakuan negara terhadap hak kepemilikian rakyat terutama masyarakat miskin pada sumber daya alam sehingga banyak dari sumber daya alam itu secara de jure dinyatakan dimiliki/dikuasai negara namun pada kenyataannya adalah sumber daya tak bertuan; (ii) lemahnya kemampuan masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan korupsi; (iii) jauh dan tidak terjangkaunya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sehingga sulit melakukan pemantauan; (iv) ketidakjelasan kerangka normatif sehingga mengakibatkan pengaturan tentang sumber daya alam banyak didasarkan pada diskresi aparat pemerintah; (v) rantai perdagangan komoditi sumber daya alam yang kompleks; (vi) lemahnya pengawasan negara dan ’pembajakan negara’ untuk kepentingan korporasi sebagaimana terlihat dari pengaruh lobi dan kekuatan finansial korporasi pada pembentukan peraturan perundang-undangan dan perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam (UNDP, 2008).
(6) Pendidikan hukum tanah dan sumber daya alam. Pendidikan adalah salah satu penyumbang penting pada pembentukan pemahaman terhadap tanah dan sumber daya alam. Kecenderungan pengajaran mata kuliah hukum agraria di fakultas-fakultas hukum secara sempit, terbatas pada aspek pertanahan daripada mencakup seluruh sumber daya alam menyebabkan belum banyak berkembangnya pengajaran dan kajian-kajian kritis tentang hukumhukum kehutanan, pertambangan, air, dan penataan ruang. Pengajaran tentang hukum agraria ’non-tanah’, kalaupun ada, belum sampai menjangkau filosofi keadilan lingkungan dan pentingnya penggunaan pendekatan ekosentrisme70 dalam memahami tanah dan sumber daya alam. Demikian pula, masih minim pengajaran dan kajian kritis tentang pranata dan praktik kearifan lingkungan pada masyarakat adat di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan dangkal dan terkotak-kotaknya pemahaman tentang hukum dan tentang tanah dan sumber daya alam.
3.4.3 Akses terhadap Forum yang Sesuai Konflik-konflik tanah dan sumber daya alam memerlukan forum penyelesaian khusus. Selama ini terdapat lima modus penanganan konflik tanah dan sumber daya alam: (1) penggunaan lembagalembaga pengadilan; (2) penggunaan mediasi di tingkat lokal; (3) penggunaan forum-forum penyelesaian nonformal/adat; (4) pengaduan pada lembaga-lembaga tertentu (Komnas HAM, DPR/ DPRD); (5) Pembiaran. Kelima modus tersebut belum mampu menyelesaikan konflik secara cepat, mudah dan permanen. Lembaga-lembaga pengadilan, misalnya, banyak yang belum dapat menyelesaikan kasus-kasus sengketa tanah dan sumber daya alam yang memuaskan bagi masyarakat miskin dan masyarakat adat karena terlalu bertumpu pada keadilan formal. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pada tahun 2002 hingga 2006 terdapat 48 kasus yang lingkungan yang masuk ke 94
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
pengadilan. Pada tahun 2008, jumlah ini meningkat menjadi 68 kasus. Meskipun terjadi peningkatakan, namun tidak semua penanganan kasus lingkungan memberikan hasil yang memuaskan. Kajian yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebutkan bahwa dari 13 kasus perdata dan tata usaha negara terkait masalah lingkungan hidup, tujuh kasus ditolak oleh Pengadilan Negeri, satu kasus ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, dua kasus kalah di tingkat banding, satu kasus tidak dilanjutkan karena kesepakatan damai, dan dua kasus sebagian gugatannya diterima tetapi tidak dapat dieksekusi. Untuk kasus pidana, dari 16 kasus yang dicatat oleh ICEL, dua kasus dibebaskan, lima kasus diberi hukuman percobaan, tujuh kasus dihukum untuk terdakwa yang merupakan pelaksana tindak pidana di lapangan, satu kasus dijatuhi denda, dan satu kasus lagi tidak dapat dieksekusi karena terdakwa keluar dari Indonesia. Rata-rata putusan untuk kasus lingkungan menghukum terdakwa perusak/pencemar lingkungan sangat ringan.71 Hal ini menunjukkan bahwa membawa kasus-kasus konflik ke pengadilan bukan menjadi alternatif terbaik untuk memperoleh keadilan bagi rakyat ataupun keadilan pada lingkungan itu sendiri. Mekanisme-mekanisme non formal seperti penggunaan mediasi dan penyelesaian konflik secara adat memberikan jawaban lain terhadap kebuntuan dari mekanisme formal di pengadilan. Kedua cara ini relatif lebih mudah diakses oleh rakyat dan pada beberapa hal dapat digunakan untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Meskipun demikian, tetap saja ada kelemahan dari penggunaan cara-cara mediasi ataupun penyelesaian konflik secara adat. Efektivitas keduanya dalam memberikan perlindungan pada pihak yang lemah sangat bergantung pada adanya perimbangan kekuasaan dari para pihak. Manipulasi kepentingan pihak yang lebih kuat dan lebih berkuasa secara politik, ekonomi dan kultural sering menjadi kendala bagi upaya menggapai keadilan bagi kaum miskin, kelompok miskin dalam komunitas adat, perempuan dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan penggunaan lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan Komnas HAM. Meskipun pada beberapa hal keduanya bisa membantu penyelesaian konflik, namun tetap saja belum ada jaminan bahwa konflik-konflik bisa diselesaikan secara permanen. Upaya-upaya para pihak untuk membiarkan konflik pun menjadi api dalam sekam yang suatu ketika akan menjadikan konflik bergulir tanpa terkendali. Melihat pada ketidaksempurnaan berbagai upaya penyelesaian konflik ini maka diperlukan terobosan lain pada upaya mengurangi konflik-konflik tanah dan sumber daya alam. Sebuah lembaga khusus yang bekerja atas prinsip-prinsip keadilan transisional adalah pilihan yang perlu dipertimbangkan. Keadilan transisional ini merupakan pengejawantahan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dari mereka yang belum beruntung pada proses pengambilan keputusan di masa lampau. Kelompok ini meliputi masyarakat adat, petani dan nelayan, buruh, perempuan dan anak-anak (Fauzi, 2001). Pengalaman menjalankan prinsip-prinsip keadilan transisional di negara-negara lain seperti Afrika Selatan bisa menjadi rujukan yang berharga dalam mengembangkan gagasan pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam di Indonesia.
3.4.4 Penanganan Keluhan yang Efektif Salah satu penyebab munculnya konflik adalah belum tertanganinya keluhan dengan baik. Konflik perlu dipahami sebagai proses yang bergulir dari sebuah keluhan (Nader dan Todd, 1978). Sekalipun rakyat telah mengetahui lembaga yang berkompeten menangani keluhan mereka, tidak menjadi jaminan bahwa mereka dapat menyampaikan keluhannya dengan mudah. Minimnya keberadaan unit penanganan keluhan atau tersedianya fungsi penanganan keluhan yang efektif di lembaga-lembaga
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
95
pemerintah menjadikan banyak permasalahan tanah dan sumber daya alam belum dapat dideteksi sejak dini. Keberadaan ombudsman dan perwakilannya di daerah merupakan salah satu cara menangani keluhan. Namun, dalam praktiknya ombudsman di daerah sering belum mampu menjaga independensi sehingga terjebak dengan konflik kepentingan dan keberpihakan pada pemegang kekuasaan. Sekalipun unit pengaduan telah tersedia namun masyarakat miskin dan terpinggirkan sering mendapat kesulitan untuk mengakses lembaga-lembaga tersebut dengan mudah. Kendala geografis tidak memungkinkan mereka menyampaikan pengaduannya secara cepat dan murah pada lembagalembaga yang berwenang. Kendala kultural pada komunikasi rakyat dengan pejabat yang menangani pengaduan adalah sebab lainnya. Lambannya respon aparat yang bertanggung jawab menangani pengaduan pada kasus-kasus penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam menjadikan penanganan keluhan belum berjalan efektif. Cara kerja birokrasi yang belum efisien, masih lemahnya aparat khusus yang bertanggung jawab menangani pengaduan, masih lemahnya pengawasan publik terhadap cara aparat menangani keluhan hingga permasalahan budaya komunikasi birokrasi yang hierarkis dan kurang mempedulikan rakyat kecil menjadi kendala utama pada hal ini. Singkatnya, masih lemahnya sistem penanganan keluhan yang jelas menjadi salah satu sebab meningkatnya konflik-konflik tanah dan sumber daya alam. Akhirnya, permasalahan penanganan keluhan membentur masalah lain yakni lemahnya perlindungan hukum bagi saksi dan korban. Banyak terjadi intimidasi dan kekerasan pada berbagai derajatnya terhadap para pelapor pelanggaran-pelanggaran pada kasus-kasus tanah dan sumber daya alam. Hal ini menjadikan banyak pihak enggan melakukan pengaduan dan menyampaikan keluhannya. Memikirkan sebuah mekanisme penanganan keluhan terhadap kasus-kasus tanah dan sumber daya alam adalah cara preventif untuk mengatasi konflik. Upaya membuka akses informasi dan pengaduan bagi rakyat, terutama mereka yang menjadi korban, perbaikan cara kerja dan budaya birokrasi serta penyediaan instrumen hukum dan lembaga yang memberikan perlindungan pada saksi dan korban menjadi agenda mendesak yang perlu dilakukan.
3.4.5 Pemulihan Hak yang Memuaskan Degradasi lingkungan dan ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam adalah dua masalah utama di sektor pertanahan dan sumber daya alam. Keadilan yang hakiki bagi masyarakat akan sangat bergantung pada kesempatan untuk menikmati hak atas kualitas lingkungan yang baik serta memperoleh kembali hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam yang diambil secara sepihak oleh pihak lain. Kedua hal ini merupakan dua sisi mata uang yang harus ada untuk memberikan pemulihan hak secara memuaskan. Reforma agraria baik diartikan sebagai asset atau access reform dan upaya lain membuka akses penguasaan tanah pada umumnya dianggap sebagai cara populer untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam. Namun, cara ini belum akan mampu bekerja sendiri tanpa ada upaya serius melakukan pemulihan lingkungan yang telah rusak di wilayah-wilayah kehidupan masyarakat. Diperolehnya kembali hak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam serta pemberdayaan ekonomi berbasis akses pada tanah dan sumber daya alam
96
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
belum serta merta memulihkan kehidupan masyarakat jika hak-hak tersebut diberikan di atas tanah dan sumber daya yang rusak, telah berkurang nilai ekonomisnya, atau bahkan yang mendatangkan ancaman bencana. Mendasarkan pemulihan hak pada bentuk-bentuk ganti rugi materiil berdasarkan ketentuan normatif perlu pula ditinjau ulang. Segala bentuk pengambilan hak atas tanah dan sumber daya alam perlu didahului dengan penilaian yang utuh tentang kerugian ekonomi dan sosial budaya yang mungkin terjadi pada jangka panjang pada masyarakat yang menjadi korban. Penilaian tersebut perlu dilakukan bersama-sama dengan mereka yang akan menjadi korban dengan didasarkan pada prinsip ketersediaan informasi yang memadai sebelum disusunnya persetujuan bebas oleh masyarakat (free, prior and informed consent) yang akan menjadi korban tentang kegiatan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di wilayahnya. Pemulihan hak-hak masyarakat terhadap tanah dan lingkungan akibat bencana alam perlu mendapat perhatian khusus. Pemulihan yang cepat tanpa mengabaikan rasa keadilan masyarakat perlu dilakukan.
3.4.6 Permasalahan Khusus untuk Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan Masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, perempuan dan anak-anak adalah mereka yang banyak dirugikan pada kegiatan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Tiga hal yang umumnya mendorong mereka berada pada situasi ini adalah: (i) belum jelas atau masih lemahnya rumusan norma-norma pengakuan, perlindungan dan pemulihan hak-hak masyarakat miskin, masyarakat adat dan kelompok terpinggirkan lainnya pada tanah dan sumber daya alam; (ii) minimnya kebijakan penataan ruang yang memberikan alokasi yang memadai bagi masyarakat miskin dan masyarakat adat untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alam; (iii) sulitnya kelompok miskin, masyarakat adat, perempuan, dan sebagainya memperoleh keadilan pada penyelesaian konflik secara formal, semi formal dan nonformal. Tantangan pada pembaruan hukum tanah dan sumber daya alam ke depan adalah memastikan semakin banyaknya pengakuan hukum pada hak-hak masyarakat adat, kelompok miskin dan terpinggirkan lainnya atas tanah dan sumber daya alam. Terkait dengan hal ini, rekonseptualisasi tentang masyarakat adat, perempuan, serta masyarakat miskin dan terpinggirkan lainnya perlu dilakukan untuk memperjelas sasaran kerja dari inisiatif peningkatan akses terhadap keadilan. Mencari kelompok yang paling rentan dan belum terlindungi dari segmen masyarakat adat, kaum miskin dan perempuan adalah agenda penting yang perlu dilakukan. Inisiatif-inisiatif lokal seperti Peraturanperaturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang memberikan pengakuan pada masyarakat adat, tanah dan hutan adat di berbagai tempat perlu terus didorong. Meskipun demikian tetap perlu dipikirkan pentingnya harmonisasi antara peraturan perundang-undangan di daerah dan nasional. Demikian pula kebijakan penataan ruang di daerah yang mulai memasukkan wilayah-wilayah adat perlu didukung. Perlu pula dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan perundangundangan tanah dan sumber daya alam agar lebih merumuskan dengan jelas hak-hak masyarakat adat dan skema perlindungannya. Para hakim perlu didorong untuk menghasilkan putusan-putusan pengadilan yang berkeadilan bagi masyarakat adat, kaum miskin, buruh, perempuan dan anak-anak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
97
3.4.7 Strategi Nasional Akses Keadilan terhadap Tanah dan Sumber Daya Alam Secara umum, akses terhadap keadilan di sektor pertanahan dan sumber daya alam mencakup empat pilar. Pertama, mengembangkan kerangka hukum dan kebijakan yang integratif dan holistik serta berbasis pada keadilan sosial dan lingkungan, termasuk perbaikan pada penataan ruang dan perizinan. Kedua, mengembangkan prinsip dan mekanisme serta membentuk lembaga penyelesaian konflik, baik konflik masa kini dan masa lalu, yang tepat yang memungkinkan masyarakat miskin dan terpinggirkan (termasuk di sini masyarakat adat) memperoleh kembali pengakuan atas hak dan aksesnya pada tanah dan sumber daya alam serta perbaikan sturktur agraria yang timpang. Ketiga, pemberdayaan masyarakat miskin dan terpinggirkan agar dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di wilayahnya. Keempat, melakukan upaya pemulihan lingkungan fisik dan sosial di mana masyarakat miskin dan terpinggirkan hidup dan menggantungkan hidupnya. Kelima, memperbaiki tata kelola pemerintahan di bidang pertanahan dan sumber daya alam terutama terkait dengan perbaikan administrasi pertanahan, peningkatan pelayanan publik dan perluasan partisipasi publik pada pembentukan dan pemantauan hukum dan kebijakan. Strategi khusus yang perlu dilakukan untuk memenuhi akses masyarakat miskin dan terpinggirkan pada keadilan di bidang pertanahan dan sumber daya alam meliputi:
(1) Perbaikan kerangka hukum dan kebijakan serta proses penyusunan peraturan perundang-undangan terkait dengan tanah dan sumber daya alam. Salah satu kelemahan pada upaya memenuhi akses masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk memperoleh keadilan di sektor pertanahan dan sumber daya alam adalah keberadaaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tumpang tindih, inkonsisten, parsial, dan belum memberikan jaminan pada keadilan substansial bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan. Pada RPJMN 2009-2014, diperlukan strategi khusus untuk membenahi permasalahan ini melalui: a. Penciptaan mekanisme pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan terkait tanah dan sumber daya alam yang bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR IX/MPR/2001, yang membatasi akses terhadap keadilan pada penguasaan tanah dan sumber daya alam bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, yang memberikan peluang kepemilikan modal asing yang kurang proporsional, serta yang memiliki potensi mengancam keberlanjutan sumber daya alam. Mekanisme yang telah terbentuk menjadi dasar untuk melakukan pengkajian ulang peraturan perundang-undangan secara komprehensif. Hasil kaji ulang ini menjadi acuan bagi upaya perubahan, penyempurnaan atau harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada. b. Harmonisasi substansi peraturan perundang-undangan dan kebijakan formal di tingkat pusat dan daerah mengenai tanah dan sumber daya alam yang didasarkan pada sebuah pedoman yang memuat prinsip-prinsip yang jelas tentang pentingnya: (i) mengakui dan memberikan hakhak warga negara, terutama masyarakat adat, perempuan, kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan lain untuk secara individual dan kolektif memiliki, memanfaatkan, menikmati nilai tambah ekonomi dan jasa dari tanah dan sumber daya alam; (ii) menyediakan perlindungan hukum yang maksimal terhadap hak-hak tersebut; (iii) memberikan kesempatan kepada warga negara terutama masyarakat adat, masyarakat miskin dan terpinggirkan, dan perempuan untuk memperoleh kembali hak-haknya yang telah diambil pihak lain secara tidak sah dan melanggar prinsip keadilan atau hilang karena bencana alam/lingkungan dan konflik.
98
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
c. Pembentukan landasan hukum yang integratif tentang pengelolaan sumber daya alam yang dapat memberikan arah bagi strategi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana telah diawali dengan pembahasan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam sejak lebih dari lima tahun silam. Melanjutkan kembali pembahasan hingga pengesahaan RUU tersebut menjadi undang-undang perlu segera dilakukan. d. Perluasan pelaksanaan dan peningkatan kualitas partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
(2) Harmonisasi penataan ruang dan perizinan yang dilakukan melalui: a. Harmonisasi kebijakan penataan ruang di daerah, pulau/kepulauan, kawasan-kawasan strategis dan penataan ruang nasional agar memberikan keadilan pada lingkungan melalui penerapan pendekatan bio/eko-region dan keadilan spasial bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan dengan menyediakan ruang yang tepat dan layak, serta memastikan adanya partisipasi masyarakat pada proses penataan ruang dan perencanaan wilayah dan koordinasi penataan ruang antar wilayah. Sebagai bagian pula dari strategi ini adalah evaluasi kebijakan penataan ruang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip bio/eko-region dan keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Disamping itu diperlukan koordinasi untuk penyediaan peta penggunaan fungsi kawasan secara terpadu. b. Perbaikan sistem dan pelaksanaan perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam melalui pendataan dan penataan perizinan yang dilakukan dengan menghormati prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak.
(3) Penyelesaian konflik dan perbaikan ketimpangan struktur agraria. Konflik-konflik tanah dan sumber daya alam, sebagian di antaranya berasal dari masa lalu, tidak dapat dipungkiri menjadi penghambat pada setiap program pembangunan secara umum dan upaya pemenuhan akses terhadap keadilan secara khusus. Penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam yang dilakukan melalui lembaga pengadilan umum belum sepenuhnya mampu memenuhi rasa keadilan rakyat. Penyelesaian yang cepat, tepat, permanen dan memuaskan rasa keadilan bagi masyarakat korban perlu dilakukan. Penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam yang tidak terintegrasi dengan program reforma agraria juga belum mampu mendorong perubahan struktur agraria yang lebih berkeadilan. Strategi penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam dan perbaikan struktur agraria dilakukan melalui: a. Pembentukan dan penguatan mekanisme penyelesaian konflik melalui mediasi di tingkat lokal yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan peningkatan pemahaman para tokoh adat/ tokoh masyarakat/pelaku mediasi di tingkat lokal terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia, keadilan lingkungan, keadilan gender dalam penyelesaian konflik. b. Pembentukan lembaga dan mekanisme khusus untuk penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam, terutama konflik-konflik yang telah berlangsung lama, sebagai kelanjutan RPJM 20042009 dan implementasi konsep keadilan transisional. c. Percepatan pembentukan landasan hukum yang operasional untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh dengan mencakup objek tanah dan sasaran kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan yang tepat. d. Penyusunan strategi koordinasi dan pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh termasuk mengintegrasikan program reforma agraria dengan strategi pembangunan pedesaan.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
99
(4) Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan kelompok terpinggirkan lain atas tanah dan sumber daya alam melalui: a. Ratifikasi instrumen hukum internasional yang relevan bagi pemenuhan akses keadilan kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap tanah dan sumber daya alam, seperti halnya Konvensi ILO 169 tentang pengakuan masyarakat adat dan memastikan bahwa prinsip-prinsip yang tercantum pada Konvensi tersebut diadopsi oleh peraturan perundang-undangan lainnya. b. Perumusan konstruksi hukum yang tepat, jelas dan selaras tentang hak masyarakat adat secara komunal dan individual pada tanah dan sumber daya alam dalam peraturan perundangundangan. c. Pembentukan undang-undang bagi masyarakat adat dan revisi peraturan perundang-undangan yang berpotensi menghilangkan atau melemahkan hak-hak masyarakat adat adat tanah dan sumber daya alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam instrumen hukum internasional mengenai hak asasi manusia seperti halnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Deklarasai PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. d. Peningkatan pengakuan hak masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan di daerah. e. Penyusunan basis data tentang masyarakat adat dan masyarakat miskin di wilayah pemanfaatan sumber daya alam. f. Perluasan wilayah kelola masyarakat adat, masyarakat miskin dan masyarakat pengguna sumber daya alam lain (petani, nelayan dan penambang tradisional).
(5) Partisipasi masyarakat miskin, adat dan kelompok terpinggirkan lain dalam kebijakan pengelolaan tanah dan sumber daya alam serta pemberdayaan hukum bagi kelompok ini, yang dilakukan dengan: a. Peningkatan akses informasi masyarakat miskin, adat, perempuan dan kelompok masyarakat pengguna tanah dan sumber daya alam lain terhadap peraturan perundang-undangan, instrumen hak asasi manusia internasional, perencanaan pembangunan dan perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam. b. Peningkatan kesadaran hak bagi masyarakat adat, masyarakat miskin, perempuan dan masyarakat pengguna sumber daya alam lainnya. c. Fasilitasi kelompok masyarakat sipil untuk melakukan pemberdayaan hukum bagi masyarakat adat, masyarakat miskin, perempuan dan kelompok terpinggirkan lain di bidang pertanahan dan sumber daya alam. d. Peningkatan partisipasi masyarakat adat, masyarakat miskin, perempuan dan masyarakat pengguna sumber daya alam lainnya dalam perencanaan pembangunan, penataan ruang dan pemberian izin yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan dan kekuatan ekonomi serta modal sosial masyarakat melalui pelaksanaan prinsip free, prior and informed consent.
(6) Peningkatan kapasitas aparat pemerintah, penegak hukum dan akademisi untuk menerapkan/mengembangkan prinsip-prinsip keadilan substantif melalui pendekatan sosio-legal dalam persoalan penguasaan dan pemanfaatan serta konflik tanah dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan dan kelompok terpinggirkan lain. Strategi ini dilakukan melalui: a. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan pemerintah untuk penggunaan pendekatan sosio-legal dalam implementasi/penegakan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan
100
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
dan sumber daya alam yang berorientasi pada pemenuhan akses keadilan bagi masyarakat adat, miskin, perempuan dan kelompok terpinggirkan lain; b. Peningkatan kontribusi peradilan dalam memberikan akes terhadap keadilan bagi masyarakat adat, miskin, perempuan dan kelompok terpinggirkan lain melalui penemuan-penemuan hukum yang mengadopsi prinsip-prinsip akses terhadap keadilan dan hak asasi manusia. c. Peningkatan pengawasan publik terhadap putusan-putusan pengadilan pada kasus-kasus tanah/ sumber daya alam. d. Reorientasi pengajaran hukum agaria, lingkungan dan adat di fakultas-fakultas hukum.
(7) Pemulihan hak masyarakat miskin, adat dan kelompok pengguna sumber daya alam lain atas lingkungan yang sehat dan dapat menjadi sumber kesejahteraan. Strategi ini perlu dilakukan agar setiap upaya penyelesaian konflik atau pemberian dan pengakuan hak atas tanah dan sumber daya alam benar-benar memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Kenyataan bahwa banyak kegiatan pengelolaan sumber daya alam telah dan akan berpotensi merusak dan mencemari lingkungan yang didiami oleh masyarakat miskin dan terpinggirkan menjadi pertimbangan utama pada strategi ini. (8) Perbaikan administrasi, kualitas pelayanan publik dan pengaduan di bidang pertanahan dan sumber daya alam. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan legitimasi sosial, mencegah berkembangnya konflik serta untuk meningkatkan pelayanan publik pada masyarakat miskin, masyarakat adat dan terpinggirkan. Strategi ini dilakukan dengan: a. Memastikan ada dan berfungsinya unit-unit pengaduan di setiap instansi pemerintah terkait yang mudah diakses serta adanya mekanisme pengaduan yang mudah, murah dan cepat. b. Memperbanyak aparat yang bertanggung jawab khusus menangani pengaduan di tingkat pusat dan daerah. c. Memperbanyak pembentukan perwakilan ombudsman atau lembaga-lembaga penanganan pengaduan pelayanan publik di daerah serta meningkatkan kinerja ombudsman/lembaga penanganan pengaduan yang ada sehingga mampu mengurangi tindakan-tindakan maladministrasi dan mendorong peningkatkan mutu pelayanan publik di bidang pertanahan dan sumber daya alam. d. Menciptakan sistem pemantauan pengaduan oleh publik. e. Membentuk sistem administrasi pertanahan terpadu di seluruh wilayah Indonesia.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
101
102
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
Perbaikan menuju kerangka hukum dan kebijakan di bidang pertanahan dan sumber daya alam yang integratif, holistik dan berbasis pada keadilan sosial dan lingkungan.
HAMBATAN
Masih banyaknya peraturan perundangundangan/kebijakan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang tumpang tindih, kontradiktif, mengandung ketentuan yang kurang jelas dan belum menjamin keadilan sosial bagi kelompok miskin, masyarakat adat dan kelompok terpinggirkan lain serta pelestarian lingkungan secara menyeluruh.
o Menyusun panduan pelaksanaan harmonisasi peraturan perundangundangan, khususnya di bidang pertanahan dan sumber daya alam, yang telah ada maupun dalam proses penyusunan, yang memuat prinsip, kriteria, indikator dan tata cara bagi pelaksanaan harmonisasi peraturan perundangundangan dan mengacu pada pelaksanaan prinsipprinsip keadilan sosial dan keadilan lingkungan.
RENCANA AKSI HASIL Terlaksananya harmonisasi peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dan sumber daya alam, yang sedang berlaku maupun dalam proses penyusunan, dengan berdasarkan pada pedoman yang disusun secara partisipatif dan hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
KELUARAN Adanya ketentuan tentang pembentukan pedoman harmonisasi peraturan perundang-undangan melalui Peraturan Presiden dalam revisi UU No.10 tahun 2004.
T1
T2 T3 T4 T5
WAKTU
3.4.8 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN DALAM BIDANG PERTANAHAN DAN SUMBER DAYA ALAM
Pihak terkait: o Setkab o BPHN o BPN o Dephut o Dep PU (Ditjen Penataan Ruang dan Sumber Daya Air) o DKP o Dep ESDM o Deptan o KLH o Depdagri o BKTRN o BAPPENAS
Penanggung jawab: Dit.Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan (Depkumham)
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
103
HAMBATAN
STRATEGI
Publikasi hasil konsultasi publik.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang Kelompok Kerja Pengkajian Peraturan Perundang-undangan
o Membentuk Kelompok Kerja lintas sektor dan melibatkan kelompok masyarakat sipil untuk melakukan pengkajian ulang peraturan perundangundangan
Peraturan Presiden tentang Pedoman harmonisasi peraturan perundangundangan berdasarkan prinsip-prinsip akses terhadap keadilan dengan lampiran pedoman harmonisasi di bidang pertanahan dan sumber daya alam dan bidang-bidang strategis lainnya.
KELUARAN
o Melakukan konsultasi publik terhadap rancangan panduan harmonisasi peraturan perundangundangan.
RENCANA AKSI HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak terkait: Perguruan Tinggi; LSM; BPHN; BAPPENAS
Penanggung jawab: Dit Harmonisasi Depkumham
Pihak terkait: Perguruan Tinggi, LSM, BPHN, Bappeda.
Penanggung jawab: Dit Harmonisasi Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
104
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI
o Melakukan amandemen/ revisi UU, PP dan Perpres sesuai dengan rekomendasi hasil pengkajian harmonisasi.
o Melakukan pengkajian ulang berdasarkan panduan harmonisasi terhadap UU, PP dan Perpres di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
RENCANA AKSI
Amandemen/revisi UU, PP, Perpres di bidang pertanahan dan sumber daya alam sesuai dengan rekomendasi hasil kajian harmonisasi peraturan perundangundangan.
Dokumen hasil kajian dan rekomendasi untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
KELUARAN
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak terkait: o Baleg DPR o Setkab o BPN o Dephut o Dep PU (Penataan Ruang; Sumber Daya Air) o DKP o Dep ESDM o Deptan o KLH o Depdagri
Penanggung jawab: Dit Harmonisasi Depkumham
Pihak terkait: BPHN; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Dit. Harmonisasi PPU Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
105
HAMBATAN
Pembentukan dasar hukum yang integratif dan dapat memberikan arahan bagi pengelolaan sumber daya alam.
STRATEGI
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang Tim Pengkajian dan Penyusunan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam.
UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.
o Membahas kembali dan mempercepat pengesahan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Program harmonisasi peraturan perundangundangan bidang pertanahan dan sumber daya alam di lingkup kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah.
KELUARAN
o Membentuk Tim untuk memperbaharui penyusunan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam.
o Mendorong pelaksanaan harmonisasi internal terhadap peraturan perundang-undangan lain terkait dengan tanah dan sumber daya alam di setiap kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah dengan mengacu pada panduan harmonisasi yang telah ada.
RENCANA AKSI
Tersedianya landasan hukum yang memberikan arah dan prinsip umum bagi pengelolaan sumber daya alam.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Deputi Penaatan Hukum Lingkungan KLH Pihak yang terkait: o Baleg DPR o Setneg
Pihak yang terkait: BAPPENAS; BPHN; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Deputi Penaatan Hukum Lingkungan KLH.
Pihak terkait: o Setkab o Biro Hukum BPN o Biro Hukum Dephut o Biro Hukum Dep PU o Biro Hukum DKP o Biro Hukum Dep ESDM o Biro Hukum Deptan o Deputi Penaatan hukum+SAM bid Hukum KLH o Biro Hukum Depdagri o Dit Fasilitasi Perancangan Perda Depkumham o Pemerintahan Provinsi/ Kab/Kota.
Penanggung jawab: Dit.Harmonisasi PPU Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
106
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
Perluasan pelaksanaan dan peningkatan kualitas partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
HAMBATAN
Masih belum meluasnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
o Melakukan pengkajian tentang model-model pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan di tingkat nasional dan daerah.
RENCANA AKSI
PP tentang pedoman dan tata cara pelaksanaan konsultasi publik sebagai bentuk pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan.
Dokumen dan publikasi hasil kajian tentang model-model pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
KELUARAN Tersedianya landasan hukum bagi pelaksanaan partisipasi masyarakat yang dapat menjangkau masyakat miskin dan kelompok paling terpinggirkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Dit Perancangan UU Depkumham Pihak yang terkait: o Setneg o Dit Hukum dan HAM BAPPENAS o BPHN o Universitas o LSM o Depdagri
Penanggung jawab: Dit Hukum dan HAM BAPPENAS Pihak yang terkait: o Depkumham o Perguruan Tinggi o LSM o Baleg DPR
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
107
Tumpang tindihnya penataan ruang antar sektor dan daerah dan masih belum banyaknya ruang yang cukup dan tepat bagi masyarakat miskin dan masyarakat adat untuk memanfaatkan ruang sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosio-kulturalnya serta tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan.
HAMBATAN
Harmonisasi penataan ruang nasional, pulau/ kepulauan, kawasan strategis, daerah dan penataan ruang antar sektor.
STRATEGI
o Mengkaji kondisi dan permasalahan terkini dari penataan ruang antar sektor/daerah.
o Revisi Keppres 62/2000 tentang Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional agar selaras dengan UU No.26 tahun 2007 dan memuat keanggotaan baru BKTRN yang meliputi kementerian/lembaga terkait dengan penataan ruang seperti Departemen Kehutanan, DKP, dan Departemen ESDM.
RENCANA AKSI
Publikasi hasil kajian tentang kondisi dan permasalahan penataan ruang di Indonesia.
Keppres tentang BKTRN (pengganti Keppres 62/2000).
KELUARAN Terwujudnya harmonisasi penataan ruang yang dilakukan berdasarkan prinsip, kriteria dan indikator yang jelas dan proses yang partisipatif serta tersedianya ruang untuk kepentingan masyarakat miskin dan adat dalam rencana tata ruang sektor dan daerah.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: BKTRN Pihak yang terkait: o Perguruan Tinggi/LIPI o LSM
Pihak Terkait: BKTRN
Penanggung Jawab: Setkab
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
108
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI
o Menyusun PP tentang Kriteria dan Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang dengan mengadopsi hasil konsultasi publik.
o Melakukan konsultasi publik terhadap rencana penyusunan PP tentang Kriteria dan Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang dengan melibatkan kelompok LSM yang bekerja pada isu-isu lingkungan, penataan ruang partisipatif, pertanahan, masyarakat adat dan petani.
RENCANA AKSI
PP tentang Kriteria dan Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang.
Publikasi hasil konsultasi publik.
KELUARAN
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Ditjen Penataan Ruang Dep PU Pihak yang terkait: BKTRN LSM Perguruan Tinggi.
Penanggung jawab: Ditjen Penataan Ruang Dep PU Pihak yang terkait: BKTRN LSM Organisasi masyarakat adat, petani, nelayan dll. Perguruan Tinggi.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
109
HAMBATAN
STRATEGI
RENCANA AKSI HASIL Peraturan Daerah Provinsi tentang Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi di 5 wilayah provinsi yang terpadu antar sektor dan mengalokasikan ruang yang tepat dan memadai untuk kelompok miskin, masyarakat adat, petani, nelayan, penambang tradisional dan kelompok masyarakat pengguna sumber daya alam lainnya.
KELUARAN o Melakukan revisi tata ruang di 5 wilayah provinsi dengan mengacu pada PP tentang kriteria dan tata cara peninjauan kembali rencana tata ruang, berdasarkan pengkajian yang komrehensif dan konsultasi publik yang melibatkan para pihak terkait dan kelompok masyarakat miskin/adat dan kelompok pengguna tanah dan sumber daya alam lainnya.
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terkait: BKTRN Ditjen Penataan Ruang Dep PU LSM Organisasi masyarakat adat, petani, nelayan dll. Perguruan Tinggi.
Penanggung jawab: Bappeda Provinsi
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
110
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
Perluasan partisipasi masyarakat dalam kegiatan penataan ruang.
STRATEGI
PP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Pengganti PP 69/1996)
Permen PU tentang Standar Pelayanan Minimal di Bidang Penataan Ruang
o Penyusunan Peraturan Menteri PU tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang dengan melibatkan para pihak dan kelompok masyarakat sipil terkait serta mengandung materi muatan yang menjamin adanya kemudahan bagi masyarakat miskin/adat untuk mendapatkan informasi dan pelayanan lain terkait penataan ruang.
Publikasi hasil konsultasi publik
KELUARAN
o Finalisasi dan pengesahan RPP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dengan materi muatan mengadopsi hasil konsultasi publik.
o Pelaksanaan konsultasi publik yang lebih luas dengan melibatkan masyarakat miskin dan adat dalam penyusunan RPP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
RENCANA AKSI HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Ditjen Penataan Ruang Dep PU Pihak terkait: Perguruan Tinggi, LSM
Penanggung Jawab: Depdagri Pihak yang terkait: BKTRN. Ditjen Penataan Ruang Dep PU, Kementerian/ Lembaga terkait dengan penataan ruang (BPN, DKP, Dephut, Dep ESDM, Deptan, KLH), LSM, Perguruan Tinggi
Penanggung jawab: Depdagri Pihak yang terkait: BKTRN, LSM, Organisasi Masyarakat Adat/petani, Perguruan Tinggi
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
111
HAMBATAN
STRATEGI
o Memastikan adanya alokasi ruang bagi masyarakat miskin dan adat pada Rancangan Perpres Tata Ruang Pulau/ Kepulauan dan Kawasan Strategis.
o Menyelenggarakan konsultasi publik yang diperluas dengan melibatkan kelompok masyarakat miskin dan adat dalam proses penyusunan Rancangan Perpres tentang Rencana Tata Ruang Pulau/ Kepulauan dan Kawasan Strategis dan mengadopsi hasil konsultasi publik pada Rancangan Perpres tentang Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Kawasan Strategis
RENCANA AKSI
Perpres Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Kawasan Strategis yang memuat alokasi ruang bagi masyarakat miskin dan adat.
Publikasi hasil konsultasi publik.
KELUARAN
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Ditjen Penataan Ruang Dep-PU Pihak yang terkait: - Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS - Depdagri - LSM - Organisasi Masyarakat Adat dan Petani - Perguruan Tinggi - Pemerintah Daerah
Penanggung jawab: Ditjen Penataan Ruang Dep-PU Pihak yang terkait: Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS, Depdagri, LSM, Organisasi Masyarakat Adat dan Petani, Perguruan Tinggi, Pemerintah Provinsi
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
112
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
Perbaikan sistem dan pelaksanaan perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
HAMBATAN
Tumpang tindih perizinan pertanahan dan sumber daya alam.
o Mengembangkan sistem pendataan perizinan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang memuat antara lain informasi tentang dasar hukum, jenis, prosedur, areal dan pemegang izin pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di setiap semua kementerian/ lembaga terkait di bidang pertanahan dan sumber daya alam dan di 10 wilayah provinsi yang masih berlaku, dan dapat diakses publik dengan mudah.
o Menyusun panduan harmonisasi perizinan yang memuat prinsip, kriteria dan indikator penilaian yang jelas.
RENCANA AKSI
Program basis data perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam yang diperbaharui secara reguler dan dapat diakses melalui website resmi kementerian/ lembaga/pemerintah daerah.
Perpres tentang Panduan harmonisasi perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
KELUARAN Terwujudnya harmonisasi perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Menko Perekonomian Pihak yang terkait: Dephut, ESDM, Dep PU (Ditjen Sumber Daya Air), DKP, BPN, BKPM, Depkumham, Depdagri, Dep Perindustrian, Depkeu, Pemerintah Provinsi/ kabupaten/kota
Penanggung jawab: Setkab Pihak yang terkait: Kantor Menko Perekonomian, BKPM, Depdagri, Kementerian/ lembaga yang mengeluarkan izin di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
113
Masih banyaknya konflik penguasaan/ pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang harus segera diselesaikan.
HAMBATAN
Pembentukan mekanisme penyelesaian konflik melalui mediasi di tingkat lokal oleh para pihak yang terkait dan penguatan mekanisme yang telah ada.
STRATEGI Membuat analisis dampak perizinan terhadap kelestarian lingkungan, kemiskinan dan konflik di 10 wilayah provinsi dengan terlebih dahulu membentuk kelompok kerja lintas sektor dan melibatkan kelompok masyarakat sipil untuk melakukan analisis ini.
Publikasi hasil pemetaan dan kajian.
Program resolusi konflik tanah dan sumber daya alam yang dilakukan pemerintah daerah bersama dengan kelompok masyarakat sipil.
o Mendorong inisiatif pemerintah daerah untuk melakukan mediasi konflik atau memfasilitasi upaya mediasi yang dilakukan kelompok masyarakat sipil.
Penataan ulang berdasarkan hasil kajian dampak perizinan di 10 wilayah Provinsi.
Publikasi hasil kajian analisis dampak perizinan.
Keputusan Meneg PPN/ Kepala BAPPENAS tentang Kelompok Kerja untuk Analisis Dampak Perizinan dan
KELUARAN
o Melakukan pemetaan daerah-daerah konflik/rawan konflik tanah dan sumber daya alam serta pengkajian tentang tipologi, penyebabnya dan model-model penyelesaian yang telah dilakukan.
o Menata ulang perizinan di tingkat pusat dan di 10 provinsi dengan memperhatikan prinsip kepastian hukum dan keadilan lingkungan dan sosial.
-
RENCANA AKSI
Berkurangnya konflikkonflik tanah dan sumber daya alam.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Dit. Penanganan Konflik Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Depdagri Pihak yang terlibat: Deputi Pengkajian dan Penanganan Konflik BPN; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat/petani; Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota
Penanggung jawab: Deputi Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa BPN;Dit Penanganan Konflik Depdagri Pihak yang terlibat: Komnas HAM; Perguruan Tinggi/LIPI; LSM; Organisasi masyarakat adat/petani
Penanggung jawab: Menko Perekonomian Pihak yang terkait: Depdagri, Kementerian/lembaga yang mengeluarkan izin di 10 Provinsi terpilih, Pemerintah Provinsi , Pemerintah Kabupaten/kota
Penanggung Jawab: Deputi Pembangunan Regional dan Sumber Daya Alam BAPPENAS
Penanggung Jawab: Deputi Pembangunan Regional dan Sumber Daya Alam BAPPENAS Pihak yang terkait: Perguruan Tinggi/LIPI, LSM, Organisasi Masyaeakat Adat/Petani/ dll.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
114
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI
Program pemberdayaan dan bantuan hukum bagi masyarakat di daerah-daerah (rawan) konflik tanah dan sumber daya alam.
o Melakukan pemberdayaan dan memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang terlibat (menjadi korban) dalam konflik tanah dan sumber daya alam dengan perusahaan pemegang izin atau instansi pemerintah yang mengelola kawasan sumber daya alam tertentu.
Program Pelatihan HAM, keadilan lingkungan, keadilan gender dalam penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam di tingkat lokal.
Tersedianya unit pengaduan konflik di tingkat kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
Pelatihan HAM, keadilan lingkungan, keadilan gender pada para tokoh adat/ tokoh masyarakat dan mediator dalam penyelesaian konflik di tingkat lokal.
KELUARAN
o Membangun mekanisme pengaduan konflik dan pelaksanaan mediasi konflik tanah dan sumber daya alam di tingkat lokal.
o
RENCANA AKSI HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terlibat: Kanwil Depkumham; Biro Hukum Pemprov/Kab/ Kota Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat/ petani
Penanggung jawab: Komnas HAM
Penanggung jawab: Dit. Penanganan Konflik Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Depdagri Pihak yang terlibat: Deputi Pengkajian dan Penanganan Konflik BPN dan Kanwil BPN; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat/petani Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota
Penanggung jawab: Pemerintah Provinsi Pihak yang terlibat: Komnas HAM; LSM; Perguruan Tinggi; Organisasi Masyarakat Adat, petani, nelayan dll.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
115
STRATEGI
Pembentukan landasan hukum bagi lembaga khusus untuk penyelesaian konflik –konflik tanah dan sumber daya alam yang telah berlangsung lama dan belum dapat diselesaikan secara memuaskan melalui mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik yang telah ada.
HAMBATAN
Masih banyaknya kelemahan dalam penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam yang dilakukan melalui pengadilan atau mediasi dengan hubungan kekuasaan yang tidak berimbang menyebabkan banyak penyelesaian konflik, terutama konflik yang telah berlangsung lama akibat kesalahan kebijakan di masa lalu, yang belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat miskin, adat dan kelompok terpinggirkan lainnya dalam penguasaan dan pemanfatan tanah dan sumber daya alam.
o Melakukan kajian kebutuhan dan model-model kelembagaan penyelesaian konflik.
RENCANA AKSI Publikasi hasil kajian tentang analisis kebutuhan dan model-model kelembagaan penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam.
KELUARAN Terbentuknya Keppres sebagai dasar hukum bagi lembaga penyelesaian konflik tanah dan sumber
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terlibat: - BAPPENAS - Komnas HAM -Ditjen HAM Depkumham - Perguruan Tinggi - LSM - Organisasi masyarakat adat dan petani
Penanggung jawab: Deputi Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa BPN
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
116
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Belum adanya landasan hukum yang operasional dan belum terkoordinasinya pelaksaanaan reforma agraria.
HAMBATAN
Percepatan pembentukan landasan hukum yang kuat dan operasional bagi pelaksanaan Reforma Agraria.
STRATEGI
o Menyusun dan mengesahkan RPP untuk Reforma Agraria
o Menyusun Rancangan Keputusan Presiden untuk lembaga penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam
o Menyelenggarakan konsultasi publik tentang kelembagaan penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam.
RENCANA AKSI
PP untuk Reforma Agraria.
Keputusan Presiden untuk pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam.
Publikasi hasil konsultasi publik.
KELUARAN
Terbentuknya dasar hukum operasional bagi Reforma Agraria.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Dit.Penataagunaan tanah/ Landreform BPN Pihak terlibat: Setneg; Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Kementerian/lembaga terkait pertanahan dan sumber daya alam.
Pihak yang terlibat: - Setkab - BAPPENAS - Ditjen Kesatuan BangsaPolitik Depdagri - Ditjen HAM Depkumham - Komnas HAM - Perguruan Tinggi - LSM - Organisasi masyarakat adat dan petani
Penanggung jawab: Deputi Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa BPN
Penanggung jawab: Deputi Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa BPN Pihak yang terlibat: - BAPPENAS - Komnas HAM - Ditjen HAM-Depkumham - Perguruan Tinggi - LSM - Organisasi masyarakat adat dan petani
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
117
Belum adanya landasan hukum yang operasional dan belum terkoordinasinya pelaksaanaan reforma agraria.
HAMBATAN
Koordinasi Pelaksanaan Reforma Agraria.
Percepatan pembentukan landasan hukum yang kuat dan operasional bagi pelaksanaan Reforma Agraria.
STRATEGI
Perpres untuk koordinasi Reforma Agraria
Keppes dan Keputusan Kepala Daerah tentang Dewan dan Badan Reforma Agraria
o Membentuk Dewan Reforma Agraria yang bertugas menyiapkan kebijakan terkait dengan Reforma Agraria dan Badan Reforma Agraria yang bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan Reforma Agraria di tingkat pusat dan daerah.
Publikasi hasil konsultasi publik
KELUARAN
o Penyusunan Peraturan Presiden tentang Koordinasi Pelaksanaan Reforma Agraria.
o Menyelenggarakan Konsultasi Publik RPP Reforma Agraria
RENCANA AKSI
Terlaksananya Reforma Agraria secara menyeluruh dan terkoordinasi.
Terbentuknya dasar hukum operasional bagi Reforma Agraria.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Dit.Penatagunaan tanah/ Landreform BPN Pihak yang terlibat: Setkab; Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS; Kanwil BPN; Pemerintah Provinsi/Kab/kota dan dinas terkait; Perguruan Tinggi; LSM;
Penanggung jawab: Dit.Penatagunaan tanah/ Landreform BPN Pihak yang terlibat: Setkab; Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS. Perguruan Tinggi; LSM.
Pihak terlibat: Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat/ petani
Penanggung jawab: Dit. Penatagunaan tanah/ Landreform BPN
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
118
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Belum diadopsinya instrumen hukum/ HAM internasional yang relevan dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat.
HAMBATAN
Percepatan Ratifikasi Konvensi ILO 169.
STRATEGI
o Menyelenggarakan konsultasi Publik ttg rencana ratifikasi Konvensi ILO 169.
o Pemetaan obyek dan subyek reforma agraria yang akurat di seluruh wilayah provinsi.
RENCANA AKSI
Publikasi hasil konsultasi publik.
Peta lokasi dan kelompok masyarakat yang akan terlibat dalam program reforma agraria.
KELUARAN
Terintegrasinya prinsipprinsip HAM internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat
Terintegrasinya prinsipprinsip HAM internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Komnas HAM-Dit.Komunitas Adat Terpencil Depsos Pihak yang terlibat: Baleg DPR Ditjen HAM Depkumham; Pemerintah Provinsi/Kab/ Kota; Organisasi masyarakat adat; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Dit.Penatagunaan tanah/ Landreform BPN Pihak yang terlibat: Dit.Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS; Dit.Penataan Ruang Dep PU; Deptan; Dephut; Kanwil dan Kantor Pertanahan; Bappeda Provinsi/Kab/Kota; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat/ [petani.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
119
Kaburnya konstruksi hukum tentang hak masyarakat adat pada tanah dan SDA dalam peraturan perundangundangan yang ada.
HAMBATAN
Perumusan konstruksi hukum yang tepat, jelas dan selaras tentang hak masyarakat adat secara komunal dan individual pada tanah dan sumber daya alam dalam peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
STRATEGI
Publikasi hasil kajian.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang pedoman identifikasi, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam peraturan perundangundangan.
o Merumuskan Peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai pedoman identifikasi, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan nasional dan daerah.
Dokumen strategi implementasi prinsip-prinsip Konvensi ILO 169 dalam peraturan perundangundangan di Indonesia
o Menyusun strategi pengadopsian prinsip-prinsip Konvensi ILO 169 ke dalam rancangan peraturan perundangundangan tentang tanah dan SDA.
o Memperbaharui kajian tentang konstruksi hukum hak masyarakat adat di berbagai peraturan perundang-undangan tentang tanah dan sumber daya alam.
UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO 169
KELUARAN
o Meratifikasi Konvensi ILO 169
RENCANA AKSI
Terumuskannya bentuk konstruksi hak atas tanah dan sumber daya alam yang tepat bagi masyarakat adat.
Terintegrasinya prinsipprinsip HAM internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Ditjen Perlindungan HAM Depkumham Pihak yang terlibat: Organisasi masyarakat adat; Dit.Komunitas adat terpencil Depsos; Komnas HAM; LSM; Perguruan Tinggi.
Penanggung jawab: Komnas HAM Pihak yang terlibat: Organisasi masyarakat adat; Dit.Komunitas adat terpencil Depsos; Ditjen Perlindungan HAM Depkumham; LSM; Perguruan Tinggi.
Penanggung jawab: Dit.Komunitas Zdat Terpencil Depsos Pihak yang terlibat: Komnas HAM; Ditjen HAM Depkumham; Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Depdagri Dit Hukum dan HAM BAPPENAS; Organisasi masyarakat adat; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Di.Komunitas Adat Terpencil Depsos Pihak yang terlibat: Baleg DPR
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
120
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Masih sedikitnya pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan daerah.
HAMBATAN
Meningkatkan pengakuan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan daerah.
STRATEGI
o Membentuk Peraturan Daerah Provinsi untuk pengakuan masyarakat adat dan hak-hak adatnya atas tanah dan sumber daya alam sesuai dengan prinsip-prinsip HAM internasional dan sebagai pelaksanaan Permen Agraria 5/1999 di 10 Provinsi yang mempunyai banyak kasus konflik tentang tanah dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat adat.
o Memperbaiki kelemahankelemahan dalam Peraturan Menteri Agraria No.5/1999 khususnya yang terkait dengan ketentuan-ketentuan mengenai kriteria pengakuan masyarakat adat, obyek tanah yang diakui serta mekanisme penyelesaian konfliknya.
o Mempercepat penyusunan UU untuk masyarakat adat sebagaimana tercantum dalam Prolegnas 20042009.
RENCANA AKSI
Peraturan Daerah Provinsi di 10 wilayah yang mempunyai kasus konflik tentang tanah dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat adat.
Peraturan Kepala BPN untuk merevisi Permen Agraria No.5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
UU mengenai masyarakat adat.
KELUARAN
Terbentuknya dasar hukum bagi pengakuan masyarakat adat di tingkat nasional dan daerah.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terlibat: Pemerintahan Provinsi (Gubernur dan DPRD); Organisasi masyarakat adat; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Ditjen Otda Depdagri
Penanggung jawab: BPN Pihak yang terlibat: Ditjen Perlindungan HAM; Dit.Komunitas Adat Terpencil Depsos; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi Masyarakat Adat.
Penanggung jawab: Ditjen Perlindungan HAM Depkumham Pihak yang terlibat: Baleg DPR; Organisasi masyarakat adat; Dit. Komunitas adat terpencil Depsos; Komnas HAM; LSM; Perguruan Tinggi.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
121
STRATEGI
Penyusunan basis data masyarakat adat dan masyarakat miskin dalam wilayah pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di 10 provinsi.
HAMBATAN
Belum adanya basis data tentang masyarakat adat dan masyarakat lain yang berada di wilayahwilayah pemanfaatan sumber daya alam.
o Membuat basis data populasi, tipologi dan legalitas yang telah diberikan pada masyarakat adat dan masyarakat lain di dalam dan sekitar kawasan hutan serta di kawasan pesisir dan pertambangan pada 10 wilayah provinsi yang mempunyai banyak kasus konflik tanah dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat adat.
o Membuat panduan untuk identifikasi dan inventarisasi masyarakat adat dan masyarakat miskin pengguna tanah dan sumber daya alam di dalam dan sekitar kawasan hutan, pesisir dan lokasi pertambangan.
RENCANA AKSI
Dokumen cetak dan digital basis data masyarakat adat di 10 provinsi yang mempunyai banyak kasus konflik tanah dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat adat yang mudah diakses publik.
Panduan identifikasi dan inventarisasi masyarakat adat dan kelompok masyarakat lain di dalam dan sekitar kawasan hutan, pesisir dan lokasi pertambangan.
KELUARAN
Terdokumentasikannya situasi dan kondisi masyarakat adat dengan baik.
Terdokumentasikannya situasi dan kondisi masyarakat adat dengan baik.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Ditjen Perlindungan HAM Depkumham Pihak yang terlibat: Dit.Komunitas adat terpencil Depsos; Dit konflik Ditjen Kesbangpol Depdagri; Komnas HAM; BPS; Kementerian/lembaga terkait pertanahan dan sumber daya alam; Organisasi masyarakat adat; Pemerintahan provinsi, kab,kota; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Ditjen Perlindungan HAM Depkumham Pihak yang terlibat: Dit.Komunitas adat terpencil Depsos; Dit konflik Ditjen Kesbangpol Depdagri; Komnas HAM; Kementerian/lembaga terkait di bidang pertanahan dan sumber daya alam; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat, petani, nelayan, dll.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
122
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
Perluasan wilayah kelola masyarakat miskin, masyarakat adat, nelayan dan penambang tradisional.
HAMBATAN
Masih minimnya pengalokasian areal kawasan hutan, pesisir, pertambangan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, masyarakat adat dan nelayan dan penambang tradisional secara legal.
Pengakuan hak pengelolaan hutan adat dan peningkatan jumlah pemberian izin hak pengeloaan hutan desa, hutan tanaman rakyat dan hutan kemasyarakatan masyarakat adat/ miskin di dalam dan sekitar kawasan hutan yang disertai dengan program fasilitasi pengelolaan hutan lestari dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Peningkatan izin pengelolaan pesisir untuk masyarakat adat dan nelayan tradisional yang disertai dengan program fasilitasi pengelolaan wilayah laut dan pesisir yang ramah lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
- Menambah alokasi kawasan pesisir yang dikelola secara legal oleh masyarakat adat dan nelayan tradisional, memfasilitasi pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan, dan melakukan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat pemegang izin tersebut.
KELUARAN
o Menambah alokasi kawasan hutan yang dikelola secara legal oleh masyarakat adat/setempat dalam jangka panjang (Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan); memperbanyak penerbitan izin/hak kelola kawasan hutan untuk masyarakat miskin dan adat di seluruh fungsi kawasan hutan, termasuk dalam kawasan yang akan dialokasikan untuk implementasi demonstration activities REDDI; memfasilitasi pengelolaan hutan secara lestari di kawasan tersebut; dan melakukan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat pemegang izin tersebut.
RENCANA AKSI Peningkatan izin yang diterbitkan pemerintah daerah bagi pengelolaan tambang oleh masyarakat adat dan penambang tradisional yang disertai dengan program fasilitasi pengelolaan tambang yang ramah lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: DKP Pihak yang terlibat: Pemerintah Provinsi/Kab/ Kota; Organisasi masyarakat adat dan nelayan; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Departemen Kehutanan Pihak yang terlibat: Pemerintah Provinsi/Kab/ Kota; Organisasi masyarakat adat dan kelompok tani hutan; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
123
Terbatasnya unit-unit pengaduan tentang pelanggaran hukum dalam penguasaan dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait tanah dan sumber daya alam.
HAMBATAN
Pembentukan dan peningkatan kinerja unit-unit pengaduan di kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan ombudsman di daerah.
STRATEGI
Adanya unit-unit pengaduan di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait di bidang pertanahan dan sumber daya alam dengan kinerja aparat yang baik dalam menangani pengaduan masyarakat.
Peraturan Presiden tentang tata cara pemantauan publik terhadap pengaduan di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
o Menyusun Peraturan Presiden tentang tata cara pemantauan publik terhadap penanganan pengaduan sebagai bagian dari perbaikan sistem pelayanan publik.
Perda tentang penambangan tradisional dan izin penambangan untuk masyarakat adat dan penambang tradisional yang disertai dengan program fasilitasi pengelolaan tambang yang ramah lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
KELUARAN
o Membentuk unitunit pengaduan di kementerian/ lembagadan pemerintah daerah dengan jumlah aparat dan fasilitas yang memadai serta standar pelayanan publik yang baik.
- Mengatur pengalokasian kawasan pertambangan yang dapat dikelola oleh masyarakat adat dan penambang tradisional serta memberikan izin dan memfasilitasi mereka melakukan penambangan yang bersahabat dengan lingkungan dan melakukan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat pemegang izin tersebut.
RENCANA AKSI HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Setkab Pihak yang terlibat: Kementerian PAN; Ditjen Otda Depdagri; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Kementerian PAN Ditjen Otda Depdagri Gubernur, Bupati/Walikota. Pihak yang terlibat: Biro atau unit kerja yang menangani organisasi di kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi/kab/kota.
Penanggung jawab: Pemerintah Provinsi/Kab/ Kota (melalui Dinas yang mengurusi pertambangan) Pihak yang terlibat: Organisasi masyarakat adat; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
124
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Adanya dualisme sistem administrasi pertanahan di dalam dan di luar luar kawasan hutan.
HAMBATAN
Pembentukan/perbaikan sistem administrasi pertanahan terpadu di dalam dan di luar kawasan hutan.
STRATEGI
Publikasi hasil kajian evaluasi sistem administrasi pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan.
Peraturan Presiden tentang sistem administrasi pertanahan terpadu di dalam dan luar kawasan hutan.
o Menyusun Peraturan Presiden tentang sistem administrasi pertanahan terpadu di dalam dan luar kawasan hutan.
Adanya lembaga-lembaga untuk penanganan pengaduan pelayana publik dan ombudsman daerah baru dan program peningkatan kapasitas lembaga/ ombudsman daerah tersebut.
KELUARAN
o Mengkaji pelaksanaan administrasi pertanahan di dalam dan di luar kawasan hutan.
o Memperbanyak pembentukan lembagalembaga pengaduan pelayanana publik dan ombudsman daerah dan peningkatan kinerja lembagalembaga tersebut dalam menangani keluhan terhadap pelayanan publik di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
RENCANA AKSI
Terbentuknya sistem administrasi pertanahan terpadu di dalam dan luar kawasan hutan.
Akses masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap lembaga-lembaga pelayanan pengaduan meningkat.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terlibat: BPN Dephut
Penanggung jawab: Menko Perekonomian
Pihak yang terlibat: BPN; Dephut; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Menko Perekonomian
Pihak yang terlibat: Pemerintah provinsi Perguruan Tinggi; LSM
Penanggung jawab: Ombudsman nasional
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
125
STRATEGI
Peningkatan akses informasi kelompok miskin, masyarakat adat, perempuan dan kelompok masyarakat pengguna tanah dan sumber daya alam lainnya terhadap peraturan perundangundangan, instrumen HAM internasional, perencanaan pembangunan dan perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
HAMBATAN
Terbatasnya akses kelompok miskin, masyarakat adat, perempuan dan kelompok masyarakat pengguna tanah dan sumber daya alam lainnya terhadap informasi tentang peraturan perundangundangan, instrumen HAM internasional, perencanaan pembangunan dan perizinan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
Penanggung jawab: Depkominfo Biro Humas Pemprov, Pemkab/Pemkot Pihak yang terlibat: LSM, Organisasi masyarakat adat, petani dll.
Program diseminasi peraturan perundangundangan, perencanaan pembangunan, rencana tata ruang dan perizinan kepada kelompok masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat pengguna sumber daya lain.
Penanggung jawab: Ditjen Perundang-undangan Depkumham Pihak yang terlibat: Biro yang menangani hukum di setiap kementerian/ lembaga dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota; Setneg; Depkominfo.
o Memperluas penyampaian informasi peraturan perundangundangan, perencanaan pembangunan, rencana tata ruang dan perizinan kepada masyarakat miskin, adat dan kelompok terpinggirkan lain dengan metode, media dan bahasa yang mudah pahami.
T1 T2 T3 T4 T5
Penanggung jawab: Ditjen Otda Depdagri; Gubernur/Bupati/Walikota Pihak yang terkait: Ditjen PUU Depkumham; Biro yang menangani urusan hukum pada pemerintah provinsi/kab/kota.
Tersampaikannya informasi peraturan perundang-undangan kepada publik dengan mudah, murah dan cepat.
HASIL
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
Adanya dokumen digital peraturan perundangundangan, perencanaan pembangunan dan rencana tata ruang daerah yang dapat diakses publik dengan mudah pada website resmi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Dokumen digital peraturan perundang-undangan tentang tanah dan sumber daya ala di tingkat pusat dan 10 provinsi terpilih.
KELUARAN
WAKTU
o Mempermudah akses publik terhadap peraturan perundang-undangan dan perencanaan pembangunan serta tata ruang daerah melalui pembuatan/ pengaktifan/ pengembangan website resmi pemerintah daerah di 10 provinsi terpilih.
o Membuat digitalisasi dokumen seluruh peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dan sumber daya alam di tingkat pusat dan di 10 provinsi terpilih.
RENCANA AKSI
126
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN Melakukan program pemberdayaan dan bantuan hukum rakyat melalui kemitraan dengan kelompok masyarakat sipil di lokasi demonstration activities REDD.
o
Peningkatan kesadaran hak dan kesadaran hukum rakyat di lokasilokasi proyek konservasi yang didanai/didukung lembaga internasional.
o Menyusun Perpres sebagai dasar hukum bagi strategi dan pelaksanaan program pemberdayaan hukum rakyat.
o Meningkatkan dukungan teknis, kelembagaan dan finansial masyarakat sipil melalui pengembangan kemitraan dengan kelompok ini untuk pemberdayaan dan bantuan hukum rakyat.
Peningkatan kesadaran hak masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan dan kelompok pengguna tanah dan sumber daya alam lainnya.
Masih terbatasnya kesadaran masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan dan masyarakat terpinggirkan lain atas haknya pada tanah dan sumber daya alam.
Fasilitasi kelompok masyarakat sipil melakukan pemberdayaan hukum rakyat khususnya di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
STRATEGI
HAMBATAN
RENCANA AKSI
Program pemberdayaan dan bantuan hukum di lokasi-lokasi demonstration activities REDD.
Program kemitraan pemberdayaan dan bantuan hukum rakyat dengan kelompok masyarakat sipil.
Perpres berkenaaan dengan strategi dan pelaksanaan pemberdayaan hukum rakyat.
KELUARAN Kesadaran hak Masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan dan kelompok pengguna tanah dan sumber daya alam lain meningkat, dan kelompok ini dapat menggunakan hukum untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Biro Hukum Dephut Pihak yang terlibat: Deputi Sumber Daya Alam dan LH BAPPENAS; KLH; Ditjen Perlindungan HAM Depkumham; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Dit.Hukum dan HAM BAPPENAS Pihaj yang terlibat: BPHN; Depdagri; Pemerintah Prov/Kab/Kota; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Dit.Hukum dan HAM BAPPENAS Pihak yang terlibat: BPHN; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
127
STRATEGI
Peningkatan partisipasi kelompok masyarakat miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain dalam perencanaan pembangunan, penataan ruang dan pemberian izin yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan dan kekuataan ekonomi dan modal sosial mereka.
HAMBATAN
Masih terbatasnya partisipasi kelompok miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain dalam pengambilan keputusan penting terkait dengan penguasaan/ pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di lingkungannya.
o Mengkaji efektifitas pelaksanaan partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan, penataan ruang dan alokasi pemanfaatan tanah dan sumber daya alam.
o Menyusun Peraturan Presiden sebagai dasar hukum bagi pelaksanaan persetujuan bebas yang didahului dengan pemberian infomasi yang terbuka (free, prior and informed consent) pada kelompok masyarakat miskin, masyarakat adat dan kelompok rentan lain dalam pelaksanaan pembangunan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
RENCANA AKSI
Publikasi hasil kajian
Peraturan Presiden mengenai free, prior and informed consent.
KELUARAN
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terlibat: Ditjen PMD Depdagri; Ditjen Penataan Ruang Dep PU; Kementerian/lembaga lain di bidang pertanahan dan sumber daya alam; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat, petani, dll.
Penanggung jawab: Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS
Penanggung jawab: Ditjen Perlindungan HAM Depkumham Pihak yang terlibat: Dit Hukum dan HAM BAPPENAS; BPHN; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat, petani,dll.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
128
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Masih banyak praktik implementasi kebijakan dan penegakan hukum di bidang pertanahan dan sumber daya alam yang belum memberikan keadilan substantif pada kelompok miskin, adat, peremuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain.
HAMBATAN
Peningkatan kapasitas aparat pemerintah dan penegak hukum dalam penggunaan pendekatan sosio-legal dalam implementasi/penegakan peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
STRATEGI
o Melaksanakan pelatihan tentang isu-isu penguasaan/ pemanfaatan dan konflik tanah dan sumber daya alam dengan perspektif HAM dan sosio-legal terhadap aparataparat biro hukum di Kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di 10 wilayah provinsi
o Menyusun perbaikan/ mekanisme baru partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan, penataan ruang dan alokasi/perizinan tanah dan sumber daya alam.
RENCANA AKSI
Program pelatihan aparat pemerintah dan penegak hukum tentang isu-isu penguasaan/pemanfaatan dan konflik tanah dan sumber daya alam.
Panduan partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan, di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
KELUARAN
Meningkatnya pemahaman aparat pemerintah dan penegak hukum ttg isu-isu penguasaan/pemanfaatan dan konflik tanah dan sumber daya alam dalam perspektif HAM dan sosiolegal.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Ditjen Perlindungan HAM Depkumham Pihak yang terlibat: Deputi Pengkajian dan Penangangan Sengketa dan Konflik BPN; Biro yang menangani urusan hukum di seluruh kementerian/lembata terkait di bidang pertanahan dan sumber daya alam; Biro hukum di pemerintahan provinsi/Kab/Kota; Kanwil BPN Dinas provinsi/kab/kota terkait di bidang pertanahan dan sumber daya alam; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM.
Ditjen PMD Depdagri; Ditjen Penataan Ruang Dep PU; Kementerian/lembaga lain di bidang pertanahan dan sumber daya alam; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat, petani, dll.
Penanggung jawab: Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS Pihak yang terlibat:
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
129
STRATEGI
Peningkatan kontribusi peradilan dalam memberikan akses terhadap keadilan bagi kelompok miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain melalui penemuan hukum yang mengadopsi prinsip-prinsip akses terhadap keadilan dan HAM.
HAMBATAN
Masih banyak putusan pengadilan yang lebih bertumpu pada keadilan formal daripada keadilan substantif dalam kasuskasus tanah dan sumber daya alam sehingga banyak merugikan kelompok miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain.
o Menyusun Pedoman Ganti Kerugian pada Kasus-kasus pertanahan dan lingkungan/sumber daya alam yang mengintegrasikan prinsip pemulihan hak masyarakat miskin/terpinggirkan atas kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan.
o Melakukan pelatihan hakim di 10 provinsi tentang keadilan lingkungan, keadilan transisional, keadilan gender dan HAM dalam kasus-kasus pertanahan dan sumber daya alam. o Menyelenggarakan sertifikasi hakim untuk penanganan kasus-kasus lingkungan/ sumber daya alam dan pertanahan yang berperspektif HAM, keadilan transisional dan lingkungan.
RENCANA AKSI
Surat Edaran Ketua MA tentang Pedoman Ganti Kerugian untuk Kasus-kasus pertanahan dan lingkungan/ sumber daya alam.
Program Sertifikasi Hakim Penanganan Kasus Pertanahan dan Lingkungan.
Program pelatihan akses terhadap keadilan di bidang pertanahan dan sumber daya alam untuk para hakim.
KELUARAN Meningkatnya pemahaman hakim tentang akses terhadap keadilan bagi kelompok miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain di bidang pertanahan dan sumber daya alam.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Pihak yang terlibat: Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM Organisasi Masyarakat Adat/ Petani/Nelayan.
Penanggung jawab: Mahkamah Agung
Pihak yang terlibat: Komnas HAM; Ditjen Perlindungan HAM; KLH; BPN; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Mahkamah Agung
Pihak yang terlibat: Komnas HAM; Ditjen Perlindungan HAM; KLH; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Mahkamah Agung
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
130
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Belum berkembangnya materi pengajaran hukum sumber daya alam dan kearifan lingkungan dalam mata kuliah hukum agraria, lingkungan dan adat.
HAMBATAN
Reorientasi pengajaran hukum agraria, lingkungan dan adat di fakultas hukum.
Peningkatan pengawasan publik terhadap putusanputusan pengadilan pada kasus-kasus pertanahan/SDA.
STRATEGI
Publikasi hasil lokakarya dan konsultasi untuk reorientasi mata kuliah hukum agraria,
Publikasi hasil kajian
o Mengkaji materi cakupan dan metode pengajaran hukum agraria, lingkungan, adat di fakultasfakultas hukum.
Program peningkatan kapasitas kelompok masyarakat sipil melalukan pengawasan/eksaminsasi terhadap putusan-putusan pengadilan pada kasuskasus pertanahan dan sumber daya alam.
KELUARAN
o Menyelenggarakan lokakarya dan konsultasi untuk reorientasi materi mata kuliah hukum agraria, lingkungan dan adat.
o Mendorong pengawasan dan eksaminasi publik terhadap putusanputusan pengadilan pada kasus-kasus pertanahandan sumber daya alam yang diduga mengabaikan keadilan substantif bagi kelompok miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain.
RENCANA AKSI Berkurangnya putusanputusan pengadilan yang mengabaikan keadilan substantif bagi kelompok miskin, adat, perempuan dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Dit.Akademik Ditjen Dikti Depdiknas Pihak yang terlibat: Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Dit.Akademik Ditjen Dikti Depdiknas Pihak yang terlibat: Perguruan Tinggi; Komnas HAM; LSM.
Pihak yang terlibat: Ditjen Perlindungan HAM; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Komnas HAM dan Komisi Yudisial
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
131
Menurunnya kualitas lingkungan dan sumber daya alam akibat kesalahan pengelolaan dan bencana alam.
HAMBATAN
Pemulihan hak masyarakat miskin, masyarakat adat dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain atas tanah dan sumber daya alam serta lingkungan yang sehat dan dapat menjadi sumber kesejahteraan.
STRATEGI
o Memetakan wilayahwilayah dengan kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan tinggi dan membahayakan masyarakat miskin, adat, dan pengguna tanah dan sumber daya alam lain.
o Menyediakan anggaran penelitian bagi pengajar/peneliti/ mahasiswa untuk mengembangkan teori dan konsep tentang hukum tanah dan sumber daya alam di Indonesia dengan berbagai pendekatan.
o Menyusun nota kesepahaman antara 10 fakultas-fakultas hukum, Komnas HAM dan LSM yang bergerak pada isu lingkungan, agraria dan masyarakat adat untuk kerjasama, pengembangan dan integrasi kurikulum mata kuliah hukum agraria, lingkungan dan adat dengan mengadopsi prinsip-prinsip akses terhadap keadilan/ pemberdayaan hukum, HAM dan kearifan tradisional.
RENCANA AKSI Perubahan arah menuju integrasi pengajaran mata kuliah hukum agraria, lingkungan dan adat yang berperspektif HAM dan mengembangkan prinsip akses terhadap keadilan bagi kelompok masyarakat miskin dan adat.
Nota kesepahaman antara 10 fakultas hukum, Komnas HAM dan LSM di Indonesia.
Peta kerusakan lingkungan dan populasi masyarakat miskin/adat yang terdampak.
Program penelitian hukum tanah dan sumber daya alam dengan pendekatan multidimensi.
HASIL
KELUARAN T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS Pihak yang terlibat: Kementerian/lembaga di bidang pertanahan dan sumber daya alam; BAKOSURTANAL; Pemerintah Provinsi/Kab/ Kota; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM; Organisasi masyarakat adat, petani, dll.
Penanggung jawab: Dit.Akademik Ditjen Dikti Depdiknas Pihak yang terlibat: Perguruan Tinggi/LIPI.
Penanggung jawab: Dit.Akademik Ditjen Dikti Depdiknas Pihak yang terlibat: Perguruan Tinggi; Komnas HAM; LSM.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
132
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI Program pelatihan penegak hukum mengenai urgensi dan strategi pemulihan lingkungan termasuk penerapan prinsip perusak/ pencemar membayar dalam kasus-kasus lingkungan.
Perda-perda mengenai pemulihan lingkungan
Anggaran pembangunan pedesaan/perkotaan yang memasukkan komponen pemulihan lingkungan di 10 provinsi.
o Membentuk Perdaperda Provinsi/ Kabupaten tentang pemulihan lingkungan akibat kerusakan/ pencemaran. o Mengalokasikan anggaran untuk biaya pemulihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok miskin secara terpadu dalam pembangunan pedesaan/perkotaan.
KELUARAN
o Meningkatkan kapasitas penegak hukum agar mampu menegakkan hukum lingkungan yang mewajibkan pemulihan lingkungan bagi perusak/pencemar.
RENCANA AKSI Masyarakat miskin dan adat hidup dalam lingkungan yang sehat dengan tanah dan sumber daya alam yang dapat menjadi sumber kesejahteraan.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Deputi Sumber Daya Alam dan LH BAPPENAS Pihak yang terlibat: Ditjen Otda dan PMD Depdagri; KLH; Ditjen Anggaran Depkeu; Pemerintah prov/kab/kota.
Penanggung jawab: Ditjen Otda Depdagri Pihak yang terlibat: KLH; Pemerintah provinsi,kab,kota. Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung jawab: Deputi Penaatan Hukum Lingkungan KLH Pihak yang terlibat: Mahkamah Agung; Kejaksaan; Kepolisian; Organisasi advokat; Komnas HAM; Perguruan Tinggi; LSM.
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3.5
Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Perempuan
Mengapa isu perempuan dipilih sebagai komponen dalam Akses terhadap Keadilan adalah karena keberadaan perempuan sebagai bagian dari kelompok yang tidak diuntungkan (disadvantaged groups). Banyak aliran pemikiran dalam studi perempuan dalam dekade terakhir ini, menyetujui bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari kelompok yang tidak diuntungkan itu. Pembedaan, pengucilan dan pembatasan72 terhadap perempuan ternyata sangat berkaitan dengan persoalan ras, kelas, kolonialisme, dan naturisme (Tong, 1998; Harding, 1987; Moore, 1998; Shiva & Mies; 1993; Rosaldo 1974). Perempuan menjadi bagian dari kelompok yang tidak diuntungkan, karena mereka miskin, terbelakang, berasal dari ras, etnik, dan agama minoritas. Penjelasan terhadap peminggiran perempuan dalam literatur tersebut di atas, terfokus pada ketiadaan kekuasaan perempuan dalam relasi di antara dirinya dan orang-orang di sekitarnya, termasuk suami, kerabat (otoritas adat) sampai elite kekuasaan dalam pemerintahan. Ketiadaan kekuasaan ini menghalangi akses perempuan kepada keadilan hukum dan keadilan sosial. Dari sejarah awal gerakan perempuan di Indonesia (Suryocondro, 1995; Wieringa, 1995), dan diketahui melalui banyak penelitian dan aktivitas gerakan perempuan, kelompok perempuan sangat berperan dalam setiap fase sejarah perjalanan bangsa sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Masalah yang sangat krusial saat ini adalah terbatasnya pemahaman tentang hak konstitusional yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga negara. Perempuan terpinggirkan dari segala perbincangan mengenai isu kebangsaan, meskipun sangat berperan dalam pembentukan sejarah bangsa. Persoalan ketatanegaraan kurang memunculkan perspektif dan pengalaman perempuan. Hal ini terkait dengan persoalan nation building bangsa Indonesia yang belum selesai sampai hari ini, dan terefleksi dari adanya perebutan “ruang-ruang” negara oleh kelompok kepentingan (primordial). Dalam hal terjadinya perebutan ruang negara, yang antara lain dilakukan melalui proses legislasi, perempuan sering menjadi kelompok yang terpinggirkan, karena banyak produk legislasi yang berimplikasi merugikan perempuan. Sungguhpun peranan perempuan dalam sejarah kebangsaan tidak dapat diabaikan, namun dalam realitanya banyak perempuan belum memperoleh hak-hak dasar bagi hidupnya sebagai warga negara dan manusia yang bermartabat. Salah satu hak dasar yang penting adalah hak perempuan untuk diperlakukan adil di muka hukum dan dalam realita. Hal ini menyebabkan terbatasnya akses keadilan bagi perempuan. Dalam naskah ini, akses perempuan terhadap keadilan dicakup dalam dua permasalahan utama, yaitu akses terhadap institusi dalam proses peradilan negara, dan akses terhadap keadilan berbasis komunitas.
Akses Perempuan kepada “Keadilan Negara” Akses perempuan kepada keadilan dalam kerangka institusi peradilan negara adalah persoalan bagaimana perempuan ditempatkan dalam hukum (Bartlett, 1993; Cain, 1993; Smart, 1989), dan bagaimana ia diperlakukan oleh para penegak hukum dalam proses penyelesaian perkara di persidangan. Perempuan miskin dan tidak terdidik terhalang untuk memiliki pengetahuan hukum (legal knowledge) tentang hak-haknya untuk diperlakukan adil di muka hukum, mendapat pelayanan dan bantuan hukum yang memadai ketika membutuhkannya, bahkan sering diperlakukan tidak adil dalam proses peradilan (Irianto, et.all, 2004; Irianto dan Nurcahyo, 2006). Persoalan kemanusiaan perempuan sering tereduksi dalam persoalan prosedural formal dan tafsir tekstual yang hegemonik. Oleh karena itu, reformasi hukum secara mendasar harus dilakukan dan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
133
harus ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah, yang didukung oleh masyarakat sipil, untuk memberi akses keadilan kepada perempuan.
Akses Perempuan kepada Keadilan Berbasis Komunitas Institusi adat dengan berbagai mekanisme hukumnya adalah suatu realitas yang paling dekat dengan rasa keadilan rakyat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk menciptakan aturan hukumnya sendiri dan mengerti konsep keadilan seperti apa yang paling dibutuhkannya. Prof Harsja Bachtiar pernah mengingatkan bahwa di samping terdapat “nasion besar” yaitu Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI), terdapat nasion-nasion lama yang lebih kecil berbasis kesukubangsaan yang tersebar di seluruh Indonesia (1976). Nasion kecil ini memiliki “hukum adat” nya sendiri. Dengan demikian, mereka juga memiliki pengertian tentang keadilan hukum dan keadilan sosialnya sendiri. Dalam komunitas adat dapat dijumpai adanya berbagai mekanisme penyelesaian sengketa, yang dalam konteks tertentu sukar dipisahkan dari struktur politik lokal dan budaya setempat. Dalam hal ketidakmampuan negara menjangkau daerah (terpencil) untuk memberikan layanan hukum, maka acuan hukum rakyat satu-satunya adalah hukum pidana adat beserta forum peradilan adatnya. Ketidakmampuan negara dalam menjangkau komunitas lokal bukan hanya karena persoalan geografis, tetapi juga persoalan kultural yang tidak mampu dipahami oleh negara. Insiatif perempuan untuk menggunakan proses penyelesaian sengketa atau mekanisme alternatif (adat) yang ada dalam masyarakat dalam rangka mendapatkan akses kepada keadilan, juga sering tidak didukung oleh masyarakat luas yang secara kultural masih bersifat patriarkis (Tong, 1998; Moore, 1998). Permasalahannya adalah: bagaimana perempuan dan akses keadilan bagi perempuan ditempatkan dalam hukum adat? Ketiadaan kekuasaan perempuan dalam relasi di antara dirinya dengan fungsionaris adat, tokoh dalam struktur kekerabatan, menghalangi aksesnya kepada keadilan yang substantif. Sungguhpun pranata adat adalah yang paling dekat dengan rakyat, tetapi bila berkaitan dengan akses perempuan kepada sumber daya kesejahteraan73 (termasuk sumber daya tanah dan finansial), maka pada umumnya terdapat permasalahan serius yang perlu dicermati. Hukum “adat lama” pada masyarakat dengan kekerabatan patrilineal74, tidak menempatkan perempuan sebagai ahli waris dari ayah maupun suaminya. Pada masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal75 seperti Minangkabau, sungguhpun pewarisan dihitung berdasarkan garis ibu, tetapi perempuan tetap tidak memiliki kontrol sepenuhnya atas akses penguasaan dan pengelolaan tanah. Pihak yang berkuasa dan memegang kontrol atas harta waris tetaplah laki-laki, yaitu ninik mamak (saudara laki-laki ibu). Di tangan ninik mamak inilah pada umumnya segala keputusan akan lahir untuk menentukan siapa yang berhak mengelola harta keluarga dan peruntukannya. Pada masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral atau parental76 seperti di Jawa, anak perempuan dan istri sudah dianggap memiliki kedudukan yang sama dalam hal waris. Namun tetap saja porsi pembagian harta bagi laki-laki dan perempuan tidak menunjukkan keadilan. Pembagian waris anak laki-laki dan anak perempuan adalah sepikul segendhongan artinya, anak laki-laki akan mendapat bagian dua kali lebih banyak daripada anak perempuan. Hukum, nilai-nilai dan konsep-konsep budaya yang tidak menempatkan perempuan dalam kesetaraan dan keadilan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam dan kesejahteraan telah mendudukkan perempuan pada posisi yang marjinal. Akibatnya, perempuan menanggung beban atas pengucilannya dari akses kepada sumber daya. Keadaan itu telah menempatkan perempuan pada posisi yang rentan terhadap kemiskinan. Selanjutnya kemiskinan akan mudah sekali membawa perempuan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi, karena bersedia menjalani pekerjaan-pekerjaan yang 134
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
merendahkan dan berbahaya bagi dirinya sendiri, khususnya dalam bentuk perdagangan perempuan dan anak-anak. Di samping itu perlu dicermati, apakah sengketa yang diselesaikan dalam forum penyelesaian sengketa adat menguntungkan atau merugikan perempuan? Apakah perspektif keadilan gender dimiliki oleh para pemangku adat? Dalam diskusi regional di Bali dan Medan mengemuka bahwa perempuan tidak selalu diuntungkan dalam forum musyawarah adat seperti di Lontoleo (Manggarai, Nusa Tenggara Timur), dan maharta di kalangan orang Batak. Studi World Bank menunjukkan hal yang sama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat (World Bank, 2008). Praktik-praktik budaya yang merugikan perempuan masih berlangsung di banyak tempat, seperti mengawinkan korban perkosaan dengan pelaku demi menutup aib keluarga, mengawinkan anak perempuan di usia dini, dan kelonggaran bagi suami untuk berpoligami. Penjelasan terhadap sukarnya perempuan memenuhi kuota dalam pemilihan umum sebagaimana ditetapkan dalam UU Politik dan UU Pemilu, dapat ditemukan hubungannya dalam konteks ini. Keterwakilan perempuan di parlemen daerah maupun pusat, ada hubungannya dengan bagaimana perempuan diposisikan dalam masyarakatnya secara kultural.
3.5.1 Kerangka Normatif Bagaimana hukum nasional menempatkan perempuan? Di satu sisi, terdapat sejumlah instrumen hukum yang berdimensi keadilan gender. Di samping itu terdapat berbagai putusan pengadilan, khususnya Mahkamah Agung, yang memberi keadilan kepada perempuan, terutama dalam ranah hukum keluarga. Namun, di sisi yang lain terdapat sejumlah instrumen hukum yang dari perspektif perempuan secara substansial mengabaikan pengalaman perempuan, dan berimplikasi merugikannya. Peraturan perundang-undangan yang demikian sudah barang tentu bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945.
Beberapa Capaian • Dalam bidang legislasi, terdapat sejumlah instrumen hukum dan kebijakan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.77 Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun Era Reformasi (sejak 1998), banyak disahkan instrumen hukum berperspektif keadilan bagi perempuan. Gerakan sosial, khususnya gerakan perempuan, sangat berperan dalam advokasi dan terintegrasinya perspektif perempuan dalam proses legislasi. • Dalam bidang peradilan, terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang dapat diidentifikasi sebagai sebagai putusan yang progresif dalam memajukan hak perempuan untuk mendapatkan keadilan. Di antaranya adalah putusan hakim MA dalam bidang waris pada masyarakat patrilineal yang dikeluarkan tahun 1961 sampai 1983 (Irianto, 2003), dan putusan hakim MA dalam berbagai sengketa perdata dan pidana tahun 1955-2002 (Irianto dan Cahyadi, 2008). • Beberapa “terobosan hukum” selalu saja dapat dijumpai dalam praktik hukum. Di antaranya berupa penemuan hukum (recthsvinding) dalam putusan di mana perempuan terlibat sebagai pihak yang berperkara. Disamping itu, dalam pengamatan melalui berbagai kegiatan di Divisi Reformasi Hukum Komnas Perempuan (1998-2007), terdapat inisiatif yang tumbuh dalam proses peradilan khususnya melalui RPK Kepolisian (Ruang Pelayanan Khusus, yang dijalankan oleh polisi wanita).78
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
135
Permasalahan Di samping berbagai keberhasilan dalam mengembangkan kerangka normatif yang memajukan hak perempuan dalam bidang hukum, terdapat pula masalah hukum yang serius yang dihadapi perempuan. Permasalahan tersebut di antaranya adalah: (a) ketiadaan perspektif perempuan di kalangan perumus peraturan perundangan terutama di tingkat daerah, menyebabkan lahirnya berbagai peraturan daerah (Perda), yang merugikan perempuan, khususnya perempuan miskin. Terdapat sekitar 200-an Perda (menurut catatan Komnas Perempuan tahun 2007, yang juga menjadi perhatian dari Komite CEDAW PBB) yang substansinya sangat membatasi ruang gerak perempuan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya secara kultural, politik maupun ekonomi79. Fenomena ini juga mengindikasikan kurangnya pemahaman pembuat hukum di daerah tentang hidup bernegara, wawasan kebangsaan dan hak konstitusional, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Terdapat kebingungan di kalangan aparat pemerintah daerah dalam menyikapi otonomi daerah sehingga memunculkan primoridalisme dan religiositas yang sempit, yang telah mendiskriminasi perempuan dengan cara menempatkannya (tidak bersama laki-laki) sebagai penjaga moral daerah; (b) adanya pengabaian pengalaman perempuan yang tercermin dalam produk legislasi. Masih ada 21 peraturan perundang-undangan (Depkumham & UNDP, 2007), yang substansinya merugikan perempuan.80 Beberapa contoh adalah:81 • UU No. 25 tahun 2008 tentang Pornografi. Dari perspektif perempuan, substansi UU ini tidak sungguh-sungguh melindungi perempuan dan anak dari pornografi. UU ini justru merugikan perempuan dan anak karena potensial mengontrol tubuh perempuan dan mengkriminalisasi mereka, yang seharusnya justru dilindungi dari praktik eksploitasi akibat perdagangan perempuan dan industri pornografi. • Dalam ranah hukum keluarga (UU Perkawinan No. 1 tahun 1974) misalnya terdapat berbagai pasal yang menunjukkan adanya bias gender dan standar ganda.82 • Dalam ranah hukum pidana, misalnya beberapa rumusan yang menyangkut perkosaan terhadap perempuan dalam KUHP dikategorikan sebagai “kejahatan kesusilaan” (crime against ethics) (Bab VI, Buku III, Pasal 532-535), padahal kejahatan seksual terhadap perempuan juga membahayakan nyawa (crime against person). Kejahatan seksual terhadap anak, termasuk perkosaan, dikategorikan sebagai percabulan, yang ancaman pidananya lebih ringan jika dibandingkan dengan kejahatan seksual yang korbannya adalah perempuan dewasa (bandingkan Pasal 285, 286, 287 dan Pasal 294). • Dalam ranah publik (politik), rumusan dalam UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, Pasal 65 (1) yang mengatur kuota politik perempuan dalam parlemen, dikatakan bahwa partai politik “dapat”, bukan “wajib”, “harus” memberi tempat kepada perempuan yang memungkinkannya untuk menempati 30 persen kuota.83 Selanjutnya terdapat putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008, yang mencabut Pasal 214, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, berdasarkan pertimbangan “suara terbanyak”. Putusan ini sesungguhnya berdampak melemahkan upaya affirmative action dalam mewujudkan perwakilan yang adil bagi perempuan di parlemen, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, bahkan UU No.10 tahun 2008 itu sendiri, khususnya Pasal 55 tentang akses perempuan untuk terpilih. • Masih diperlukan adanya instrumen hukum yang menjamin terbentuknya komisi (forum) perempuan daerah, atau memperluas forum yang sudah ada. Hal ini berkaitan dengan terlalu banyaknya persoalan perempuan di daerah yang tidak mampu ditangani oleh lembaga dan komisi yang ada di pusat. Komisi dan forum daerah ini akan melakukan berbagai fungsi seperti peninjauan terhadap berbagai peraturan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundangan di atasnya, penanganan mekanisme keluhan dan layanan hukum, pemulihan, advokasi, dan monitoring evaluasi.
136
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Uraian di atas menunjukkan adanya hukum yang saling berkonflik dan disharmoni. Di satu sisi terdapat instrumen hukum yang progresif dalam menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, tetapi dan di sisi yang lain banyak produk legislasi yang merugikannya. Namun masukan dari berbagai daerah menunjukkan adanya berbagai kemungkinan terbukanya ruang untuk pencapaian akses terhadap keadilan, asalkan peluang tersebut diakomodasi oleh pemerintah pusat dalam proses perumusan legislasi dan kebijakan.
3.5.2 Kesadaran Hukum Pada umumnya, pengetahuan tentang instrumen hukum yang menjamin keadilan bagi perempuan dan laki-laki (kerangka normatif III.1.1.) sangat tidak memadai di berbagai kalangan seperti para penegak hukum (jaksa, hakim, polisi, pengacara) akademisi hukum, pendidik (guru), dan masyarakat luas termasuk perempuan sendiri. Kesadaran hukum di kalangan perempuan juga menjadi problem tersendiri, karena tingginya buta aksara perempuan bisa mengindikasikan adanya buta hukum (World Bank, 2007). 16% dari angka nominal buta huruf secara nasional adalah perempuan.84 Sementara itu dari konsultasi regional mengemuka bahwa rendahnya pengetahuan hukum perempuan adalah karena ketiadaan akses dari pemerintah, dan rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam mengimplementasikan strategi nasional. Lemahnya kesadaran dan pengetahuan hukum di kalangan penegak hukum menunjukkan: pertama, kurangnya pemahaman dan perspektif socio-legal di kalangan para penegak hukum, yang menyebabkan tujuan prosedural formal (interpretasi tekstual) dalam praktik hukum lebih dipentingkan daripada membuat terobosan-terobosan untuk tujuan kemanusiaan (Carothers, 2007; Golub, 2003; Irianto et.al, 2004; Irianto & Cahyadi 2008).856 Sumber dari daerah menyampaikan bahwa hakim yang ditempatkan di daerah tidak memiliki pengetahuan tentang hukum adat setempat. Dari perspektif perempuan, pengetahuan tentang adat lokal ini sangat dibutuhkan untuk dapat memahami bagaimana perempuan ditempatkan dalam hukum adat tersebut, dan dapat diidentifikasi bila ada bias gender di dalamnya.86 Kedua, kurangnya perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan tidak hanya terdapat dalam perumusan produk peraturan perundang-undangan, tetapi juga dalam implementasinya di lapangan.
3.5.3 Akses terhadap Forum yang Sesuai Pada umumnya forum penyedia layanan, konseling dan bantuan hukum untuk perempuan yang disediakan oleh masyarakat sipil jauh lebih berperan daripada forum yang diselenggarakan oleh negara (Asia Foundation, 2007). Berbagai lembaga bantuan hukum yang diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan beroperasi hampir tanpa bantuan keuangan dari pemerintah. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kehadiran dan keberlangsungan Lembaga Bantuan Hukum yang tersebar di 14 wilayah, dan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan seperti LBH APIK yang tersebar di 12 wilayah, bekerja dengan dana yang dicari sendiri. Di samping itu beberapa Pusat Krisis Terpadu (Women Crisis Center) di daerah juga sudah mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif dengan mengedepankan perspektif perempuan (korban). Kendatipun demikian, kemampuan forum masyarakat sipil untuk menjangkau masyarakat luas jauh dari cukup. Ketiadaan sumber daya manusia yang kompeten dan pendanaan yang memadai, dan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
137
kurang kepekaan gender oleh arapat negara menjadi kendala utama. Padahal karena berbagai sebab kultural, masyarakat lebih memilih forum yang disediakan oleh masyarakat sipil (dan adat) daripada pengadilan negara yang informasi dan prosedur birokrasinya dianggap jauh lebih rumit. Oleh karena itu diperlukan dukungan bagi pengembangan forum bantuan dan layanan hukum alternatif yang melibatkan kerjasama terpadu antara pemerintah, akademisi, dan gerakan masyarakat sipil (termasuk masyarakat adat).87 Dari konsultasi regional ditemukan bahwa terdapat resistensi hakim dan jaksa dalam menangani kasus-kasus perempuan, yang berdampak merugikan kepentingan perempuan yang berperkara. Hal ini sejalan dengan beberapa temuan penelitian sebelumnya. (Irianto dan Nurchayo, 2006, Irianto dan Cahyadi, 2008)
3.5.4 Penanganan Keluhan yang Efektif Keberhasilan penanganan keluhan yang efektif akan sangat terbantu oleh modal sosial yang sudah ada selama ini, seperti halnya kemitraan antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam mengembangkan gagasan Integrated Criminal Justice System,88 keberadaan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum berbasis universitas (legal clinic), program-program menumbuhkan dan mengembangkan paralegal yang terdiri dari para perempuan ibu rumah tangga, atau ibu kepala rumah tangga89. Meskipun demikian, berbagai program penanganan yang efektif tidak akan mencapai sasaran bila tidak didukung oleh adanya kepedulian dari berbagai pihak termasuk pemerintah mengenai pentingnya suatu program kemitraan.
3.5.5 Pemulihan Hak yang Memuaskan Perempuan sering kesulitan berhadapan dengan birokrasi pelayanan publik dari pemerintah. Ketiadaan akses kepada informasi dan sumber daya material dan imaterial menjadi kendala yang utama. Pada umumnya forum yang pertama didatangi oleh perempuan ketika berhadapan dengan hukum adalah yang dirasakan paling dekat, yaitu forum berbasis komunitas setempat (keluarga, pertetanggaan, adat, struktur pemerintah berdasarkan kewilayahan seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga). Namun dalam kasus yang serius seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang tidak bisa ditangani oleh forum berbasis komunitas lokal, diperlukan lembaga pemulihan. Pemulihan hak akan meliputi hak-hak dasar seperti hak politik, ekonomi, budaya, dan terbebas dari kekerasan. Ada beberapa lembaga pemulihan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau Women Crisis Center (WCC) yang didirikan oleh berbagai organisasi masa dan LSM, yang dalam operasinya bekerjasama dengan rumah sakit (dan kepolisian, khususnya Ruang Pelayanan Khusus). Di antaranya adalah Rumah Kita, Mitra Perempuan, Kepak Perempuan, Puan Amal Hayati dan Rifka Anisa. Ada pula lembaga intervensi trauma seperti Pulih yang didirikan oleh para akademisi (psikolog) dan aktivis LSM. Lembaga-lembaga ini memerlukan perhatian besar dalam bentuk pendanaan dan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten.
138
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
3.5.6 Permasalahan mengenai Perempuan Miskin, Tertindas, dan Terpingkirkan Perempuan, warga miskin dan kelompok yang tertindas atau terpinggirkan berada dalam relasi kekuasaan yang timpang dengan para pengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat dan pemerintahan. Oleh karena itu, mereka tidak berdaya dalam memperjuangkan akses keadilan dalam ruang politik, ekonomi, hukum yang termanifestasi dalam berbagai persoalan ketenagakerjaan, ketiadaan akses kepada sumber daya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Mereka sering pula mengalami kekerasan di ranah domestik dan publik, bahkan kekerasan oleh negara (Komnas Perempuan, 2007). Tabel berikut ini memperlihatkan semakin banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Tabel 7 Data Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
3.169
5.163
7.787
14.020
20.391
22.512
25.522
Sumber: Komnas Perempuan, Catatan Tahunan 2008: 10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender
Dalam hal terjadinya kekerasan terhadap perempuan, penjelasan tersebut menguatkan tesis tentang terjadinya kemiskinan yang diakibatkan oleh ketiadaan akses terhadap keadilan (CLEP, 2008). Naiknya angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan menggambarkan adanya potensi perempuan miskin terabaikan dari akses pemulihan hak, yang seharusnya disediakan oleh institusi negara maupun forum dalam masyarakat.
3.5.7 Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Perempuan Membuka, memperluas dan memperkuat akses perempuan terhadap keadilan dan hukum mensyaratkan dilaksanakannya tiga strategi utama. Pertama, perbaikan kerangka hukum nasional dan daerah, termasuk norma-norma lokal/adat ke arah pengakuan hak-hak perempuan untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Kedua, pembenahan kelembagaan yang meliputi lembaga peradilan formal dan forum lokal berbasis komunitas. Ketiga, pemberdayaan dan penyadaran hukum masyarakat. Secara spesifik, strategi ini meliputi:
(1) Reformasi hukum menuju terbentuknya hukum yang berperspektif perempuan. Wawasan kebangsaan dan kenegaraan sebagai penjabaran UUD 1945, Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, menjadi dasar bagi reformasi hukum untuk tujuan pemenuhan akses terhadap keadilan bagi perempuan. Reformasi hukum berperspektif perempuan dilakukan melalui: (1) pengkajian ulang dan pencabutan peraturan perundang-undangan dan aturan adat/lokal yang berimplikasi merugikan perempuan; (2) pelibatan perempuan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan anggaran (gender budgeting); (3) pembentukan lembaga dan mekanisme yang melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan di tingkat nasional dan daerah; (4) pembentukan komisi atau
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
139
forum perempuan di daerah atau memperluas forum yang sudah ada, yang dapat menyelesaikan masalah perempuan di daerah, yang tidak terjangkau oleh pemerintah pusat.
(2) Pembenahan insitusi peradilan formal, kelembagaan penegakan hukum dan program pembangunan. Hal itu dapat dilakukan melalui: (1) pembentukan “Sistem Peradilan Pidana Terpadu-Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan” (Integrated Criminal Justice System);90 (2) perbaikan kualitas penegak hukum agar mempunyai pengetahuan dan kepedulian pada perempuan termasuk peningkatan jumlah hakim dan penegak hukum perempuan; (3) pelaksanaan program sertifikasi bagi penegak hukum yang menangani kasus perempuan; (4) pembentukan standar pelayanan minimum bagi perempuan korban kekerasan; (5) pembentukan mekanisme pengaduan di daerah untuk kasuskasus perempuan termasuk peningkatan fungsi dan peran ombudsman; (6) penetapan kebijakan penempatan hakim yang paham hukum adat setempat yang berkenaan dengan perempuan; (7) pembenahan peradilan militer yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia bagi perempuan khususnya di daerah konflik; dan (8) membuat kebijakan penempatan gender focal point yang tepat, serta pengkajian ulang pada program-program pembangunan yang berdampak merugikan perempuan.
(3) Peningkatan kesadaran hukum dan pemberdayaan hukum masyarakat. Hal ini dilakukan melalui: (1) engendering kurikulum pendidikan tinggi hukum; (2) perluasan basis pengetahuan hukum (legal knowledge) di kalangan masyarakat luas; (3) pemberdayaan hukum melalui kemitraan antar berbagai pihak;(4) pembentukan pusat informasi yang mudah diakses serta peningkatan peran media masa bagi penyadaran hak-hak perempuan.
(4) Pendayagunaan dan peningkatan peran penyedia keadilan berbasis komunitas. Upaya ini dilakukan melalui: (1) penyediaan layanan hukum yang adil bagi perempuan melalui mekanisme formal dan nonformal oleh berbagai lembaga/aktor seperti LSM dan perguruan tinggi; (2) pembentukan peraturan perundang-undangan tentang bantuan hukum cuma-cuma dan terjangkau bagi perempuan; (3) pengembangan program paralegal berbasis komunitas; (4) pendayagunaan forum penyelesaian sengketa alternatif oleh kelembagaan adat atau agama; (5) penguatan para aktor agar mempunyai perspektif perempuan.
(5) Penguatan lembaga pemulihan. Kenyataan menunjukkan bahwa lembaga pemulihan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Pusat Krisis Terpadu (women crisis center) adalah instansi pertama yang sering didatangi oleh perempuan dan warga miskin yang mencari akses terhadap keadilan. Namun lembaga-lembaga ini mengalami kesulitan dalam hal pendanaan dan sumber daya manusia yang kompeten. Oleh karena itu perlu memberi dukungan dan penguatan bagi lembaga pemulihan untuk dapat meneruskan kegiatannya sebagai lembaga pertolongan pertama bagi perempuan, terutama kelompok miskin. Pembentukan komisi atau forum perempuan di daerah, atau pengembangan forum yang sudah ada, yang dapat melakukan fungsi pemulihan perlu diprioritaskan.
140
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
141
HAMBATAN
1. Reformasi ( substansi) hukum menuju terbentuknya hukum yang berperspektif perempuan.
STRATEGI
• Gender budgeting di tingkat daerah
• Berdayanya komisi/ forum baru atau P2TP2A
• Pembentukan komisi/forum baru atau pendayagunaan P2TP2A di Daerah
• Diubah/dicabutnya peraturan perundangundangan yang merugikan perempuan berdasarkan hasil kajian perundangundangan
• Hasil kajian peraturan perundang-undangan yang merugikan perempuan
KELUARAN
• Pelaksanaan kebijakan gender budgeting (Kepmendagri 13/2003 psl.17)
• Kaji ulang dan pencabutan peraturan perundangan yang merugikan bagi kepentingan perempuan
RENCANA AKSI
Terukurnya APBD yang responsive gender
Tersedianya peraturan perundang-undangan yang berperspektif keadilan bagi perempuan
HASIL
3.5.8 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN BAGI KELOMPOK PEREMPUAN
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Gubernur/Bupati/Walikota
BAPPENAS; Gubernur/ Bupati/Walikota
Penanggung jawab: Meneg PP, BAPPENAS, Bappeda, dan Depdagri
BAPPENAS; Meneg PP Biro Hukum di Pemda
Penanggung jawab: Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
142
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
RENCANA AKSI
Fasilitasi yang memungkinkah naiknya jumlah hakim, jaksa dan polisi perempuan di pusat dan daerah
program sertifikasi bagi penegak hukum yang menangani kasus perempuan
SPM bagi perempuan korban kekerasan baik ditingkat nasional maupun daerah
Pelaksanaan program sertifikasi perspektif gender bagi penegak hukum yang menangani kasus perempuan,
Pembentukan standar pelayanan minimal bagi perempuan korban kekerasan baik ditingkat nasional maupun daerah
Pembentukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu-Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
KELUARAN
Peningkatan jumlah hakim, jaksa dan polisi perempuan baik di tingkat pusat maupun daerah
2. Pembenahan • Mendorong lembagaan penegakan pembentukan hukum dan program “Sistem Peradilan pembangunan hukum Pidana TerpaduPenanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan”
STRATEGI
Terpenuhinya SPM bagi perempuan korban kekerasan ditingkat nasional dan daerah, dan adanya monitoring dan evaluasi
Tersedianya penegak hukum yang sudah bersertifikat dan memiliki perspektif keadilan gender
Naiknya jumlah hakim, jaksa dan polisi perempuan di pusat maupun daerah
Terbentuknya sistem peradilan pidana terpadu khusus penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung jawab: Mahkamah Agung dan Meneg PP Gubernur Dinas Pemberdayaan Perempuan
Penanggung jawab: Mahkamah Agung dan Meneg PP
Penanggung Jawab: Mahkamah Agung BAPPENAS ; Meneg PP
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
143
HAMBATAN
3. Peningkatan kesadaran hukum dan pemberdayaan hukum masyarakat
STRATEGI
Mengupayakan kegiatan yang memungkinkan terwujudnya engendering kurikulum pendidikan tinggi hukum Berjalannya kemitraan dalam peningkatan kesadaraan hukum bagi perempuan
• Pemberdayaan kemitraan antara berbagai pihak dalam peningkatan kesadaran hukum bagi perempuan terutama peningkatan peran media massa
Mengupayakan penempatan hakim dengan kualifikasi tersebut
KELUARAN
• Engendering kurikulum pendidikan tinggi hukum,
Penempatan gender focal point yang tepat, serta pengkajian ulang pada program-program pembangunan yang berdampak merugikan bagi perempuan.
Penempatan hakim di daerag yang memahami hukum adat lokal berkenaan dengan posisi perempuan
RENCANA AKSI
Tersedia kemitraan untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi perempuan
Tersedianya kurikulum pendidikan tinggi hukum yang berperspektif gender
Tersedianya gender focal di daerah
Tersedia Hakim yang mengetahui hukum adat lokal berkenaan dengan posisi perempuan di daerah
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penangungg Jawab: Meneg PP Mahkamah Agung, Kejaksaaan, Kejari, Media Massar
Penanggung Jawab: Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, Meneg PP, BAPPENAS
Gubernur/Bupati/walikota
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3.6
Akses terhadap Keadilan Bagi Kelompok Anak
Isu akses terhadap keadilan telah lama menjadi bagian penting dari agenda pembangunan global. Para pelaku pembangunan mengakui pentingnya akses terhadap keadilan dan keberfungsian sistem peradilan dalam upaya menanggulangi kemiskinan, mempromosikan perdamaian, keamanan dan hakhak asasi manusia. Akses terhadap keadilan juga dipercaya sebagai prasyarat penting bagi tercapainya tujuan pembangunan milenium (millennium development goals), terpenuhinya komitmen deklarasi milenium dan bagi pemenuhan serta penegakan hak-hak asasi manusia secara keseluruhan. Sejak tahun 1980-an terjadi peningkatan perlakuan terhadap anak sebagai pelaku, korban dan saksi dalam sistem peradilan dan pada norma-norma serta standar-standar internasional untuk peradilan anak. Namun di luar semua perkembangan yang terjadi, anak belum sepenuhnya dilihat sebagai salah satu kelompok yang memiliki peran strategis dalam inisiatif reformasi hukum dan pengembangan akses terhadap keadilan. Upaya implementasi standar peradilan anak sering berdiri sendiri dan terpisah dari upaya pembaruan yang lebih luas. Inisiatif peradilan anak masih menggunakan pendekatan vertikal yang melihat isu sistem peradilan untuk anak sebagai pelaku korban atau saksi, secara terpisah. Padahal, ketiga isu tersebut saling berkaitan dan merupakan tanggung jawab bersama sistem, strukur dan para penyedia layanan yang sama. Pemenuhan hak-hak asasi manusia dan pembaruan sistem peradilan secara keseluruhan hanya dapat dicapai apabila isu anak diintegrasikan ke dalam inisiatif reformasi dan pemberdayaan hukum yang lebih luas dan apabila anak memiliki akses pada sistem peradilan anak yang adil, transparan, dan peka terhadap hak-hak anak. Ide-ide yang sifatnya eksperimental dalam hal pembaruan sistem hukum dan peradilan sesungguhnya dapat lebih mudah diujicobakan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan anak karena sifat isunya yang relatif nonkontroversial dibanding dengan isu orang dewasa. Dengan demikian, pengintegrasian isu anak akan sangat menguntungkan upaya pembaruan secara keseluruhan. Sistem peradilan pidana di banyak negara termasuk Indonesia bersifat retributif yang menitikberatkan pada penghukuman pelaku dibanding pada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Seringnya sistem seperti ini kurang memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan masyarakat. Sistem yang lebih baik adalah keadilan restoratif, yang memproritaskan praktik diversi. Pendekatan ini memfokuskan pada perbaikan hubungan antara korban, pelaku dan masyarakat menjadi lebih baik sebagaimana sebelum kejahatan terjadi. Sistem yang restoratif mempromosikan solusi untuk memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat. Sistem ini dapat diaplikasikan pada segala usia dan menjadi amat penting bagi anak agar memiliki pilihan yang lebih baik bagi tumbuh kembang mereka. Terutama apabila dapat mencegah mereka untuk mengulangi perbuatannya.
Identifikasi Hambatan dan Peluang Berbagai kemajuan sudah mulai dirasakan dalam kaitannya dengan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, terutama dalam bidang kerangka hukum dan kebijakan. Selain tengah merevisi UU Pengadilan Anak menjadi UU tentang Sistem Peradilan Anak yang lebih komprehensif, Indonesia juga telah mengesahkan berbagai peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan anak. Pelatihan tentang perlindungan anak bagi para aparat penegak hukum secara aktif mulai banyak diberikan oleh organisasi sipil atau non144
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
pemerintah, baik nasional maupun internasional. Kebijakan-kebijakan sektoral mulai mengadopsi pentingnya mekanisme dan struktur khusus dalam penanganan anak. Namun, kemajuan di bidang kebijakan dan peraturan perundang-undangan tidak selamanya diikuti dengan perbaikan pada tahap implementasi. Selain itu, kualitas sumber daya manusia masih membutuhkan intervensi yang lebih sistematis dan institusional untuk memastikan keberlanjutannya. Pemantauan juga diperlukan untuk memastikan bahwa praktik yang berlangsung di lapangan sesuai dengan cita-cita perlindungan anak dan dapat didokumentasikan untuk menjadi pembelajaran bagi yang lain. Hambatan dan peluang yang dihadapi dalam isu anak dan akses anak pada keadilan seperti yang telah digambarkan sebelumnya, dapat diidentifikasi ada pada tataran kebijakan, anggaran, perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan, pada tataran sistem peradilan, bantuan hukum dan pelayanan sosial, dan pada tataran kesadaran, pengetahuan, sikap dan praktik-praktik di tingkat masyarakat, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: Kerangka hukum normatif, hambatan penguatan akses keadilan bagi anak adalah: (i) perangkat hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang anak masih saling bertentangan dan/atau tumpang tindih satu sama lain, baik secara horisontal di tataran yang sama maupun secara vertikal antar hierarki peraturan. Pada bidang-bidang tertentu di mana peraturan khusus tentang anak belum memadai. Sekalipun ada, masih terdapat muatan yang belum selaras dengan prinsip-prinsip hakhak anak dan perlindungan anak, dan (ii) anak tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut diri mereka atau apa pun yang akan berdampak pada kehidupan mereka. Orang dewasa selalu merasa punya hak dan kewenangan untuk bertindak atas nama mereka. Upaya pemulihan hak yang efektif, terdapat hambatan antara lain: (iii) keterbatasan jumlah SDM yang memiliki kepedulian, pengetahuan dan keterampilan tentang hak-hak anak dan perlindungan anak. Kenyataan tersebut menggambarkan ‘beban kerja ganda’ yang harus ditangani, karena selain memberikan layanan langsung pada anak juga harus menghadapi sistem yang sering tidak memiliki pemahaman dan memberikan penghargaan dan penilaian yang pantas pada perlindungan anak sebagai ukuran performa; (iv) belum adanya kesamaan persepsi antar instansi penegak hukum mengenai peran LSM atau organisasi masyarakat sipil yang memberikan bantuan hukum untuk berperkara secara prodeo. Aparat penegak hukum berpandangan bahwa peran LSM dan organisasi masyarakat sipil dalam memberikan bantuan hukum dan pendampingan adalah secara gratis, namun sumber dana yang ada pada pemerintah seperti APBD lebih banyak ditujukan bagi penyuluhan hukum; (v) salah satu kelemahan dari sistem perlindungan anak adalah tidak jelasnya mekanisme acara perlindungan anak dan pemulihan hak-hak anak. Karena Indonesia tidak mempunyai sistem peradilan anak secara khusus, maka hukum acaranya diserahkan pada sistem peradilan umum. Kesadaran hukum, masih terdapat hambatan utama sebagai berikut: (vi) masih rendahnya kesadaran hukum di dalam kelompok anak, orangtua dan komunitas tentang hak-hak anak dan pemenuhan perlindungan anak akibat dari tidak terjangkaunya mereka oleh program-program penyadaran hukum; dan (vii) masih rendahnya pemahaman tentang hak-hak anak dan perlindungan anak di antara tokoh dan pemuka masyarakat yang akan dirujuk dan menjadi penentu dalam pelaksanaan mekanismemekanisme nonformal di tingkat masyarakat, seperti penyelesaian kasus yang melibatkan anak yang akan merugikan bagi anak atau dilakukannya pemberian sanksi sosial yang mempermalukan dan merendahkan martabat anak.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
145
3.6.1 Definisi Keadilan bagi Anak dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tujuan dari pendekatan keadilan bagi anak adalah untuk memastikan bahwa semua anak dapat dilindungi dan dilayani dengan lebih baik oleh sistem hukum dan peradilan. Targetnya adalah untuk memastikan bahwa norma-norma, prinsip dan standar hak-hak anak secara penuh diaplikasikan untuk semua anak yang berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan baik sebagai korban, saksi maupun ketika diduga, didakwa atau telah dinyatakan melanggar hukum pidana, atau yang untuk seterusnya akan disebut dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Akses terhadap keadilan bagi anak juga bertujuan agar mereka dapat mencari dan mendapatkan pemulihan dalam proses peradilan, baik pidana maupun perdata. Akses anak terhadap keadilan hanya dapat dicapai apabila inisiatif pemberdayaan hukum juga mengikutsertakan anak. Setiap anak harus diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-haknya yang dilindungi oleh hukum serta kepada masyarakat agar dukungan terhadap pemenuhan hak-hak anak juga didapatkan dari lingkungan terdekatnya. Sistem peradilan dalam bagian ini terdiri dari dua, yaitu (1) formal, yang melibatkan institusi penegakan hukum dan peradilan yang dijalankan oleh negara, termasuk polisi, jaksa, pengadilan (pidana dan perdata), advokat, lembaga pemasyarakatan, dan kementerian terkait yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pengawasan serta implementasi kebijakan politik, hukum dan keamanan; dan (2) nonformal, yang melibatkan mekanisme nonformal seperti mekanisme peradilan adat, agama, dan mekanisme nonformal lainnya yang biasa digunakan sebagai media penyelesaian perselisihan di level komunitas. Selain sistem peradilan, konteks akses anak terhadap keadilan juga melibatkan berbagai entitas seperti asosiasi profesional, parlemen, komisi independen, perguruan tinggi, lembaga pendidikan dan pelatihan, pusat kajian, komisi independen pemantau hak asasi manusia, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan relawan bantuan hukum serta masyarakat sipil dan otoritas nonformal. Selain itu, sistem kesejahteraan sosial yang terdiri dari serangkaian mekanisme dan struktur yang menjamin perlindungan dan pelayanan sosial juga memegang peranan penting di dalam pencapaian keadilan bagi anak.
3.6.2 Prinsip-prinsip Keadilan bagi Anak Menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia adalah semangat dari pencapaian akses terhadap keadilan, termasuk bagi anak. Hak-hak anak digunakan sebagai pedoman pada tingkat perumusan kebijakan sampai dengan tingkat pemberian pelayanan langsung kepada anak. Terdapat 10 (sepuluh) prinsip pokok dalam penguatan akses keadilan terhadap anak, yaitu: (a) setiap anak berhak agar kepentingan terbaiknya dijadikan sebagai pertimbangan utama; (b) setiap anak berhak untuk diperlakukan adil dan setara, bebas dari segala bentuk diskriminasi; (c) setiap anak berhak untuk mengekspresikan pandangan mereka dan untuk didengarkan pendapatnya; (d) setiap anak berhak untuk dilindungi dari kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi; (e) setiap anak berhak untuk diperlakukan dengan martabat dan kasih sayang; (f) penghargaan terhadap jaminan dan kepastian hukum; (g) program pencegahan kenakalan remaja dan pencegahan terhadap kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi secara umum, harus menjadi bagian utama dari kebjakan sistem peradilan anak;
146
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
(h) perenggutan kebebasan dalam bentuk apa pun harus selalu digunakan hanya sebagai upaya terakhir dan apabila terpaksa dilakukan hanya untuk jangka waktu yang paling singkat; (i) perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok yang paling rentan dari anak, seperti (tapi tidak terbatas pada) anak yang menjadi korban konflik bersenjata, anak tanpa pengasuh utama, anak dengan disabilitas, anak dari kelompok minoritas, anak yang terimbas migrasi dan anak yang terinfeksi HIV/ AIDS; (j) pendekatan peka gender harus diambil di setiap langkah. Stigmatisasi dan kerentanan khas yang dialami anak perempuan dalam sistem peradilan harus diakui sebagai sebuah problematika nyata yang banyak berkaitan dengan status dan peran gendernya sebagai anak perempuan.
3.6.3 Keadilan bagi Anak dan Penanggulangan Kemiskinan Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan adalah yang paling rentan untuk berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan, baik sebagai pelaku, korban maupun saksi. Mereka lebih rentan untuk dilanggar hak-haknya dan lebih rentan mengalami kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi. Pada saat yang bersamaan, anak-anak dari kelompok masyarakat miskin, menghadapi kesulitan dan hambatan lebih untuk mencari dan mendapatkan pemulihan hak. Sebagai hasilnya, mereka akan jatuh ke dalam proses pemiskinan yang lebih dalam. Negara belum sepenuhnya menyediakan Akses terhadap Keadilan bagi semua orang, termasuk anak. Hal tersebut menyebabkan terhambatnya laju pembangunan karena para penanam modal enggan untuk melakukan investasi di negara-negara yang belum memiliki sistem hukum dan peradilan yang berfungsi dengan baik. Pemberdayaan hukum, akses terhadap keadilan dan berfungsinya sistem peradilan secara baik akan berkontribusi pada upaya memutus rantai kekerasan dan penanggulangan kemiskinan. Sistem hukum dan peradilan yang berfungsi baik dan dapat diakses semua orang tanpa diskriminasi, adalah medium utama bagi penegakan hak, pemulihan hak dari terjadinya eksklusi sosial dan pengabaian serta sebagai alat penjeraan bagi pelanggaran hak anak. Sistem ini harus dapat diakses oleh kelompok anak, terutama anak dari kelompok masyarakat miskin, dan mereka perlu diberikan pemberdayaan hukum. Sebagai hasilnya nanti, pemberdayaan hukum pada anak akan berdampak pada seluruh aspek kehidupannya, termasuk sebagai keterampilan hidup, sebagai kemampuan untuk melindungi diri, dan dimilikinya citra diri yang lebih positif.
3.6.4 Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Anak Seperti telah diuraikan sebelumnya, salah satu masalah utama dalam konteks pencapaian akses terhadap keadilan bagi anak adalah kenyataan bahwa isu keadilan bagi anak itu sendiri masih sering dianggap sebagai isu yang terpisah dari inisiatif atau gerakan besar seputar reformasi dan pemberdayaan sistem hukum dan peradilan. Melalui strategi dibawah ini, diharapkan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana telah diakui secara internasional dan telah diadopsi ke dalam kerangka hukum nasional, dapat terrefleksi di dalam strategi besar perubahan hukum dan keadilan. Untuk itu, strategi ini mengutamakan:
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
147
(1) Pengintegrasian, pengembangan, uji coba dan penguatan provisi mengenai hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum dan khusus mengenai keadilan restoratif, diversi dan alternatif terhadap perenggutan kebebasan di dalam: Program pelatihan dan pengembangan kapasitas institusional penyedia layanan keadilan formal (polisi, jaksa, hakim, advokat, petugas pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, paralegal, pendamping, anggota legislatif dan aparat pemerintah terkait) dan penyedia layanan keadilan non formal. Pengintegrasian isu anak serta kepekaan gender ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan dapat ditargetkan ke dalam tahap pre-service maupun in-service lembaga pendidikan formal dan nonformal. Penguatan lembaga independen pemantau hak-hak asasi manusia, dengan memastikan bahwa pemantauan terhadap sistem peradilan anak baik negara maupun nonformal, dan institusi penahanan dan pemenjaraan di mana terdapat anak di dalamnya, menjadi bagian penting dari program mereka. Perumusan dan pengalokasian anggaran negara dan anggaran program non-pemerintah untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai bagi implementasi yang layak.
(2) Perubahan paradigma keadilan dan pemberdayaan hukum melalui: Perubahan paradigma pencapaian keadilan dan pemberdayaan hukum ke arah yang lebih kritis dan restoratif melalui penguatan kurikulum pendidikan hukum diberbagai disiplin keilmuan dengan mengikutsertakan materi keadilan sosial, kepekaan gender, keberpihakan pada kelompok rentan termasuk hak-hak anak dan perlindungan anak. Audit legislasi (mulai dari penyusunan instrumen audit itu sendiri) terhadap berbagai perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, mulai dari UndangUndang, Peraturan Pemerintah dan Perda, untuk selanjutnya diikuti dengan upaya revisi, harmonisasi dan pembentukan perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana diperlukan. Penguatan proses legislasi, perencanaan dan penganggaran tentang anak dengan menyusun instrumen analisis dampak dan biaya yang dapat ditimbulkan dari diundangkannya peraturan tertentu pada kelompok rentan, dalam hal ini anak, dan instrumen analisis estimasi konsekuensi beban anggaran negara, dengan menggunakan pendekatan berbasis hak-hak anak dan pengarusutamaan perlindungan anak. Penguatan mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi peraturan perundangundangan dan kebijakan tentang anak termasuk transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran berbasis kinerja melalui mekanisme struktural pemerintah, legislatif, lembaga independen dan masyarakat sipil.
(3) Penguatan pemberdayaan hukum, sistem hukum, peradilan dan kesejahteraan sosial untuk memastikan penegakan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hakhak anak. Dalam kaitannya dengan apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, bidang-bidang khusus perlu dikuatkan untuk memastikan penegakan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, di antaranya: Membangun dan meningkatkan kemampuan sektor penyedia layanan keadilan untuk mencegah kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi terhadap anak. Selain itu juga untuk mendeteksi, menyelidiki dan memperkarakan pelaku kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi terhadap
148
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
anak, melalui penyusunan dan implementasi strategi pengembangan kapasitas institusional sektor keadilan. Membangun basis pengetahuan tentang anak yang berhadapan dengan hukum, melalui; (1) Pengembangan dan penguatan sistem pencatatan dan informasi; (2) Memasukkan pelaksanaan kajian berkala tentang anak yang berhadapan dengan hukum ke dalam agenda penelitian nasional, termasuk kajian biaya terhadap proses pidana dan pemenjaraan untuk anak dibandingkan dengan penyelesaian berbasis komunitas. Kajian juga harus dilakukan dengan melihat sejauh mana mekanisme nonformal yang ada, berjalan sesuai hak-hak anak dan kesetaraan gender. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban, saksi maupun pelaku (atau untuk alasan lainnya), juga tentang dampak yang ditimbulkan dari sistem peradilan terhadap anak. Fokus juga harus diberikan secara khusus pada kelompok dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak terbatas pada anak perempuan, anak dengan disabilitas, anak dari kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan. Pesan yang harus disampaikan dengan kuat adalah tidak ada toleransi terhadap kekerasan pada anak yang berhadapan dengan hukum dan bahwa kebijakan keras memberantas kejahatan tidak selamanya efektif dalam membangun masyarakat yang aman ketika kebijakan tersebut diterapkan pada anak. Mempromosikan dan membangun mekanisme keadilan restoratif, diversi dan alternatif terhadap perenggutan kemerdekaan. Perenggutan kemerdekaan harus selalu menjadi upaya terakhir dan untuk masa tersingkat, sehingga mekanisme restoratif, diversi dan penggunaan mekanisme alternatif terhadap penahanan atau pemenjaraan yang mengutamakan pembinaan dan reintegrasi, menjadi sangat penting untuk diaplikasikan. Diversi adalah mekanisme pengalihan kasus anak dari sistem formal kepada penanganan nonformal berbasis komunitas. Diversi idealnya dapat dilakukan di setiap tahapan pemeriksaan dan pemidanaan, dan harus dipantau melalui sebuah sistem yang mapan agar tidak terjadi praktik-praktik berkedok diversi yang tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas, tranparansi dan hak-hak anak. Mempromosikan dan membangun mekanisme peradilan nonformal yang sejalan dengan prinsip hak-hak anak. Dalam konteks anak dari kelompok yang paling rentan, mekanisme peradilan nonformal banyak berurusan dengan penyelesaian perselisihan yang melibatkan anak dari kelompok yang paling rentan. Sistem ini bisa jadi lebih ramah bagi anak karena secara fisik lebih dekat dan lebih mudah dipahami oleh anak itu sendiri. Tetapi, komunitas masih perlu terusmenerus disadarkan untuk memastikan bahwa mekanisme ini berjalan di dalam koridor hak-hak anak dan tidak diskriminatif dan mengandung bias terutama terhadap anak perempuan. Mendorong peran aktif dan membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial dalam mewujudkan keadilan bagi anak dan menguatkan koordinasi antara sektor kesejahteraan dengan sektor keadilan. Sektor kesejahteraan sosial memiliki peran penting dalam hal: (1) Mencegah anak untuk berurusan dengan hukum dan sistem peradilan dengan memberikan dukungan atau bantuan bagi keluarga-keluarga yang teridentifikasi rentan; (2) Selama proses peradilan berlangsung dilakukan pendampingan dan penelitian kemasyarakatan untuk digunakan sebagai landasan oleh aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan tentang anak; (3) Dalam program diversi lebih diutamakan pembinaan, pengawasan dan bimbingan dari pada penahanan dan pemenjaraan; (4) Menyediakan pendampingan psikososial dan bantuan yang diperlukan oleh anak korban kekerasan, perlakuan salah dan ekspolitasi; (5) Dalam proses reintegrasi dengan memfasilitasi penyatuan kembali anak ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Mendorong pendidikan tentang hak-hak anak dan kesadaran hukum bagi semua anak (termasuk anak dari kelompok paling rentan), keluarga dan masyarakat. Ini termasuk menginformasikan pada anak yang ada dalam sistem peradilan tentang hak-hak mereka, proses apa yang sedang berlangsung, pilihan-pilihan apa yang ia punya, dan konsekuensi-konsekuensi
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
149
apa yang dihadapinya. Pendidikan pemberdayaan hukum harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal dan nonformal. Mendorong dan membangun pendampingan hukum berbasis masyarakat dan pelayanan paralegal untuk anak. Strategi ini akan meliputi: (1) Mengembangkan kapasitas jaringan advokat, lembaga-lembaga payung profesi advokat dan paralegal profesional, termasuk perempuan. Paralegal adalah sumber daya multi-aspek yang amat penting dalam menjamin tersedianya informasi hukum yang mendasar bagi anak, memberikan saran, mewakili anak dalam proses (setidaknya) administratif, membantu dalam proses litigasi dan secara luas mempromosikan kesadaran hukum dan hak asasi manusia. Sebagai bagian dari masyarakat, paralegal umumnya adalah orang-orang yang berada di dekat anak, lebih leluasa menjangkau mereka, dan bagi anak sendiri kehadirannya tidak menakutkan; (2) Mendukung layanan yang disediakan oleh lembagalembaga non-pemerintah di tingkat masyarakat seperti pusat informasi hukum, klinik bantuan hukum dan sosial, dan konseling psikososial. Mendorong dan membangun kapasitas lembaga masyarakat sipil dalam memfasilitasi akses anak terhadap mekanisme keadilan nonformal, khususnya dalam: (1) Membangun kapasitas mereka untuk melakukan peningkatan kesadaran bagi masyarakat tentang mekanisme peradilan nonformal yang berbasis hak asasi manusia dan lebih peka terhadap kebutuhan anak; (2) Memberikan pelatihan dan penyadaran tentang hak-hak anak kepada penyedia layanan keadilan; (3) Memantau jalannya mekanisme peradilan nonformal dan melaporkan apabila terjadi pelanggaran hak anak dan untuk memastikan bahwa anak yang terlanggar mendapat bantuan yang memadai.
150
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
151
STRATEGI
1.1. Membangun basis pengetahuan tentang anak dengan pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender.
HAMBATAN
1. Perangkat hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang anak belum tersedia secara memadai, masih saling bertentangan dan/ atau tumpang tindih satu sama lain (baik secara horisontal di tataran yang sama maupun secara vertikal antar hirarki peraturan), atau sekalipun ada, masih terdapat muatan yang belum selaras dengan prinsip-prinsip hak-hak anak dan perlindungan anak.
Berjalannya sistem pencatatan, pangkalan data dan pengelolaan informasi tentang anak, di unit penyedia layanan di kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan dan di unit pelayanan terpadu (PPT)
Terintegrasinya indikator perlindungan anak di dalam Susenas dan Suskernas
1.1.2. Mengembangkan sistem kajian berkala tentang anak yang rentan dan/atau telah berhadapan dengan hukum, termasuk indikator, instrumen dan metodologi, ke dalam agenda penelitian/survei/ sensus nasional.
KELUARAN
1.1.1. Mengembangkan dan mengaplikasikan sistem pencatatan, pangkalan data dan pengelolaan informasi tentang anak di unit penyedia layanan di dalam sistem peradilan dan unit penyedia pelayanan terpadu (PPT) berbasis rumah sakit.
RENCANA AKSI HASIL Tersedianya basis data dan informasi tentang anak yang dapat diakses dan dimanfaatkan sebagai bukti dan dasar melakukan upaya pembentukan, perbaikan atau perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan anak
3.6.5 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN BAGI KELOMPOK ANAK
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BAPPENAS ● Kedeputian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak KPP ● BPS
● Direktorat I KamTranNas Bareskrim POLRI ● PusDokKes POLRI yang membawahi Pusat Pelayanan Terpadu di RS Bhayangkara ● Kedeputian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
152
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
1.2. Penguatan proses legislasi, perencanaan dan penganggaran tentang anak dengan menggunakan pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender.
STRATEGI Tersedia dan diadopsinya instrumen harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
Terharmonisasinya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah dan perda
Tersedianya dan diadopsinya instrumen analisis dampak dan biaya dan instrumen analisis estimasi konsekuensi beban anggaran negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tentang anak, berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
1.2.2. Mengaplikasikan instrumen harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangundangan yang telah dikembangkan tersebut dalam upaya pembentukan hukum yang mengatur tentang anak di semua tingkat 1.2.3. Menyusun, menguji coba dan membuat dasar hukum instrumen analisis dampak dan biaya dan instrumen analisis estimasi konsekuensi beban anggaran negara dalam penyusunan peraturan perundangundangan tentang anak, dengan menggunakan pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
KELUARAN
1.2.1. Menyusun, menguji coba dan membuat dasar hukum instrumen harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak dengan menggunakan pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender.
RENCANA AKSI Terjamin, terlindungi dan ditegakannya hak-hak anak melalui tersedianya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang disusun, diharmonisasi dan diadopsi berdasarkan proses yang berbasis kajian dan analisa dampak dan biaya, selaras dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Perancangan Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
● Direktorat Harmonisasi Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
● Direktorat Harmonisasi Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
153
2. Belum terdapat mekanisme untuk mengakomodir pendapat anak dalam proses pembentukan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan anak
HAMBATAN
2.1. Mendorong pendidikan tentang hakhak anak dan kesadaran hukum bagi semua anak, keluarga dan masyarakat, terutama bagi kelompok yang paling rentan.
STRATEGI
2.1.1. Menyusun dan menguji coba materi pendidikan dan pelatihan partisipatif tentang hakhak anak dan keadilan bagi anak, untuk anak dan masyarakat.
1.2.4. Mengaplikasikan instrumen analisis dampak dan biaya dan instrumen analisis estimasi konsekuensi beban anggaran negara yang telah dikembangkan tersebut dalam pembentukan hukum yang mengatur tentang anak di semua tingkat
RENCANA AKSI
Tersusunnya materi pendidikan dan pelatihan partisipatif tentang hak-hak anak dan keadilan bagi anak, untuk anak dan masyarakat.
Tersusunnya kebijakan dan peraturan perundangan tentang anak yang tepat sasaran dengan didasarkan pada analisis dampak dan biaya dan analisis estimasi konsekuensi beban anggaran negara
KELUARAN
Terlindunginya anak melalui meningkatnya kesadaran tentang hak-hak anak, dengan fokus yang juga harus diberikan secara khusus pada kelompok dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak terbatas pada anak perempuan, anak dengan disabilitas, dan anak dari kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Kedeputian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan ● Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BAPPENAS ● Direktorat pendidikan informal Departemen Pendidikan Nasional
● Direktorat Perancangan Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
154
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
2.2. Mendorong tersedianya forum untuk kelompok anak berdiskusi dengan bebas dan konstruktif, berbagi pengalaman dan pendapat tentang hukum dan keadilan dan terjaminnya akses dan mekanisme bagi kelompok anak untuk menyampaikan pendapat dan masukan pada proses pembentukan hukum, peraturan dan kebijakan
STRATEGI Terintegrasinya materi pendidikan dan pelatihan partisipatif tentang hak-hak anak dan keadilan bagi anak ke dalam program-program pemberdayaan hukum, PNPM Mandiri dan Forum Anak di tingkat daerah
Terjaminnya akses bagi kelompok anak untuk menyampaikan pendapat dan masukan pada proses pembentukan hukum dalam revisi UU 10/2004 dan tersusunnya peraturan pemerintah tentang mekanisme konsultasi anak dalam pembentukan kebijakan
Tersedianya landasan hukum dan anggaran bagi berdiri dan berkembangnya forum anak yang termasuk beranggotakan anak-anak dari kelompok paling rentan dan terpinggirkan
2.2.1. Mengintegrasikan jaminan akses dan mekanisme bagi kelompok anak untuk menyampaikan pendapat dan masukan pada proses pembentukan hukum, peraturan dan kebijakan di dalam upaya revisi UU 10/2004
2.2.2. Menjamin berdirinya atau keberlangsungannya forum anak yang termasuk beranggotakan anak-anak dari kelompok paling rentan dan terpinggirkan, baik dari segi landasan hukum maupun alokasi anggaran
KELUARAN
2.1.2. Materi pendidikan dan pelatihan partisipatif tentang hak-hak anak dan keadilan bagi anak yang telah disusun tersebut diintegrasikan ke dalam program-program pemberdayaan hukum, PNPM Mandiri dan Forum Anak di tingkat daerah
RENCANA AKSI
Terlindungi dan terjaminnya hak partisipasi anak melalui penguatan kapasitas anak untuk menyuarakan pendapatnya, penyediaan forum diskusi dan penyaluran pendapat anak tersebut melalui mekanisme khusus dalam pembentukan kebijakan
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Kedeputian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan ● Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BAPPENAS
● Direktorat Perancangan Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
155
3. Kapasitas individual dan kelembagaan penyedia layanan keadilan dan kesejahteraan sosial yang terbatas secara kuantitas dan kualitas.
HAMBATAN
3.1. Pengembangan kapasitas institusional penyedia layanan keadilan (polisi, jaksa, hakim, advokat, petugas pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial) dalam bidang penegakan dan pemenuhan hak-hak anak serta perlindungan anak
STRATEGI
3.1.2. Berdasarkan hasil uji kebutuhan, menyusun strategi pengembangan kapasitas bagi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan sektor kesejahteraan sosial tentang perlindungan anak
3.1.1. Melakukan uji kebutuhan kapasitas (baik individual maupun kelembagaan) kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan sektor kesejahteraan sosial tentang perlindungan anak.
RENCANA AKSI
Tersusunnya dan teradopsinya strategi pengembangan kapasitas bagi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan sektor kesejahteraan sosial tentang perlindungan anak
Terkaji dan terpetakannya kapasitas kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan sektor kesejahteraan sosial tentang perlindungan anak.
KELUARAN Anak terlindungi dan terlayani oleh sektor penyedia layanan keadilan yang memiliki kemampuan (1) mencegah kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi terhadap anak; (2) mendeteksi, menyelidiki dan memperkarakan pelaku kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi terhadap anak; dan (3) menegakkan keadilan restoratif, diversi dan upaya alternatif terhadap perenggutan kebebasan terhadap anak
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Kepolisian: Biro Pengembangan Personil DSESDM POLRI ● Kejaksaan: JAM Pembinaan yang membawahi Pusdiklat ● Pengadilan: Ketua Muda yang membawahi Pusdiklat ● Pemasyarakatan: Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham ● Sektor kesejahteraan sosial: Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial Pusdiklat
● Kepolisian: Biro Pengembangan Personil DSESDM POLRI ● Kejaksaan: JAM Pembinaan yang membawahi Pusdiklat ● Pengadilan: Ketua Muda yang membawahi Pusdiklat ● Pemasyarakatan: Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham ● Sektor kesejahteraan sosial: Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial dan Pusdiklat
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
156
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
3.2. Penguatan lembaga independen pemantau hak-hak asasi manusia, dengan memastikan bahwa pemantauan terhadap sistem peradilan anak dan mekanisme informal di tingkat masyarakat
STRATEGI
3.2.1. Mengakselerasi upaya ratifikasi protokol opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan yang menjamin mekanisme pemantauan independen terhadap institusi penahanan dan pemenjaraan di mana terdapat anak di dalamnya
3.1.2. Berdasarkan hasil uji kebutuhan, menyusun strategi pengembangan kapasitas bagi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan sektor kesejahteraan sosial tentang perlindungan anak
RENCANA AKSI
Diratifikasinya protokol opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan yang menjamin mekanisme pemantauan independen terhadap institusi penahanan dan pemenjaraan di mana terdapat anak di dalamnya
Tersusunnya dan teradopsinya strategi pengembangan kapasitas bagi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan sektor kesejahteraan sosial tentang perlindungan anak
KELUARAN
Terjamin dan terpantaunya perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk yang berada di dalam lembaga penahanan atau pemenjaraan atau institusi tertutup lainnya seperti penahanan imigrasi dan penampungan tenaga kerja, dan mekanisme informal di tingkat masyarakat.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Perancangan Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
● Kepolisian: Biro Pengembangan Personil DSESDM POLRI ● Kejaksaan: JAM Pembinaan yang membawahi Pusdiklat ● Pengadilan: Ketua Muda yang membawahi Pusdiklat ● Pemasyarakatan: Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham ● Sektor kesejahteraan sosial: Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial Pusdiklat
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
157
HAMBATAN
3.3. Mendorong dan membangun kapasitas lembaga masyarakat sipil dalam memfasilitasi akses anak terhadap mekanisme keadilan informal yang adil dan berbasis hak-hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
STRATEGI
Tersedianya data tentang kondisi kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi terhadap anak termasuk kenakalan anak, serta bentuk-bentuk pencegahan dan penanganan berbasis komunitas yang sudah ada dan berpotensi untuk dikembangkan
Terlatihnya lembaga independen pemantau hak-hak asasi manusia tentang hak-hak anak dan perlindungan anak
3.2.2. Melaksanakan pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas bagi lembaga independen pemantau hak-hak asasi manusia tentang hak-hak anak dan perlindungan anak
Terlatihnya lembaga independen pemantau hak-hak asasi manusia tentang hak-hak anak dan perlindungan anak
KELUARAN
3.3.1. Melakukan studi/ asesmen terhadap pengetahuan, sikap dan praktek-praktek yang berkaitan dengan kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi terhadap anak termasuk kenakalan anak, serta bentuk-bentuk pencegahan dan penanganan berbasis komunitasnya
3.2.2. Melaksanakan pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas bagi lembaga independen pemantau hak-hak asasi manusia tentang hak-hak anak dan perlindungan anak
RENCANA AKSI
Anak lebih terlindungi dengan adanya mekanisme pencegahan kekekrasan dan lembagalembaga masyarakat sipil, ahli, tokoh dan pemuka masyarakat yang mampu memfasilitasi akses anak terhadap mekanisme keadilan informal dan untuk memantau jalannya mekanisme peradilan non-formal dan untuk melaporkan apabila terjadi pelanggaran hak anak.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Ditjen HAM Depkumham ● KOMNAS HAM
● Pemerintah Daerah ● Pusat-pusat studi atau penelitian berbasis perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat
● Ditjen HAM Depkumham ● KOMNAS HAM
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
158
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
4. Indonesia tidak mempunyai sistem peradilan anak secara khusus, maka hukum acaranya diserahkan pada sistem peradilan umum.
HAMBATAN
4.1. Mempromosikan dan membangun mekanisme keadilan restoratif, diversi dan alternatif terhadap perenggutan kemerdekaan, dan mekanisme perlindungan khusus ramah-anak dan peka gender untuk anak yang menjadi korban dan/atau saksi dalam sistem peradilan yang ada.
STRATEGI 4.1.1. Mengakselerasi upaya pembentukan UU Peradilan Anak (yang merupakan revisi atas UU 3/1997) dan revisi UU Pemasyarakatan.
RENCANA AKSI (1) Diundangkannya UU Peradilan Anak yang meningkatkan usia pertanggungjawaban kriminal dari 8 menjadi 12 tahun, menjamin mekanisme diversi dan keadilan restoratif, memprioritaskan upaya non-institusionalisasi bagi anak sebagai tersangka dan menjamin prosedur yang ramah anak dan peka gender serta jaminan pemulihan hak anak sebagai korban dan/atau saksi. (2) Diundangkannya UU Sistem Pemasyarakatan yang melindungi anak dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan dengan mengutamakan pembinaan dan pendidikan konstruktif serta program reintegrasi yang meminimalisir stigmatisasi terhadap anak.
KELUARAN Terlindunginya anak yang berhadapan dengan hukum sebagai tersangka melalui mekanisme restoratif dan diversi, dan penggunaan mekanisme alternatif terhadap penahanan atau pemenjaraan yang mengutamakan pembinaan dan reintegrasi, serta anak sebagai korban atau saksi melalui sistem peradilan yang ramah anak dan peka gender.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Perancangan Ditjen PP Depkumham ● Ditjen HAM Depkumham ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
159
HAMBATAN
4.2. Mendorong peran aktif dan membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial dalam mewujudkan keadilan bagi anak
STRATEGI
4.2.1. Membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial untuk mencegah anak untuk terhindar dari berurusan dengan hukum dan sistem peradilan dengan memberikan dukungan atau bantuan bagi keluarga-keluarga yang teridentifikasi rentan
4.1.2. Membangun dan menguatkan struktur khusus yang menyediakan pelayanan dan perlindungan bagi anak di dalam sistem peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pembimbing kemasyarakatan) dan fasilitas kesehatan masyarakat, paling rendah setidaknya pada tingkat kabupaten/ kota dan pada tingkat kecamatan berdasarkan kebutuhan khusus.
RENCANA AKSI
Para pekerja sosial dan petugas kemasyarakatan mampu mencegah anak untuk terhindar dari berurusan dengan hukum dan sistem peradilan dengan memberikan dukungan atau bantuan bagi keluargakeluarga yang teridentifikasi rentan
Berdiri dan berfungsinya unit pelayanan perempuan dan anak setidaknya di semua POLRES dan tersedianya setidaknya satu orang penyidik khusus anak di tiingkat POLSEK, tersedianya jaksa khusus anak di setiap kejaksaan negeri, hakim anak di setiap pengadilan negeri, pembimbing kemasyarakatan di setiap tingkat kabupaten/kota, dan unit pelayanan terpadu di setiap puskesmas.
KELUARAN
Terlindunginya anak yang berhadapan dengan hukum atau rentan untuk berhadapan dengan hukum melalui peran aktif dan kapasitas prima sektor kesejahteraan sosial dalam mewujudkan keadilan bagi anak dan menguatkan koordinasi antara sektor kesejahteraan dengan sektor keadilan
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial
● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS dan Biro Perencanaan masing-masing lembaga
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
160
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI Berdiri dan berfungsinya unit pelayanan perempuan dan anak setidaknya di semua POLRES dan tersedianya setidaknya satu orang penyidik khusus anak di tiingkat POLSEK, tersedianya jaksa khusus anak di setiap kejaksaan negeri, hakim anak di setiap pengadilan negeri, pembimbing kemasyarakatan di setiap tingkat kabupaten/kota, dan unit pelayanan terpadu di setiap puskesmas. Para pekerja sosial dan petugas kemasyarakatan mampu melakukan pendampingan dan penelitian kemasyarakatan untuk digunakan sebagai landasan oleh aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan tentang anak.
4.2.2. Membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial untuk selama proses peradilan berlangsung melakukan pendampingan dan penelitian kemasyarakatan untuk digunakan sebagai landasan oleh aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan tentang anak.
KELUARAN
4.2.2. Membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial untuk selama proses peradilan berlangsung melakukan pendampingan dan penelitian kemasyarakatan untuk digunakan sebagai landasan oleh aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan tentang anak.
RENCANA AKSI HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial ● Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham
● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS dan Biro Perencanaan masing-masing lembaga
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
161
HAMBATAN
STRATEGI Para pekerja sosial dan petugas kemasyarakatan mampu melakukan pembinaan, pengawasan, dan bimbingan anak dalam program diversi dan program pembinaan non-penahanan atau pemenjaraan
Para pekerja sosial dan petugas kemasyarakatan mampu menyediakan pendampingan psikososial dan bantuan yang diperlukan oleh anak korban kekerasan, perlakuan salah dan ekspolitasi.
Para pekerja sosial dan petugas kemasyarakatan mampu memfasilitasi penyatuan kembali anak ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat dalam proses reintegrasi.
4.2.4. Membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial untuk menyediakan pendampingan psikososial dan bantuan yang diperlukan oleh anak korban kekerasan, perlakuan salah dan ekspolitasi. 4.2.5. Membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial untuk memfasilitasi penyatuan kembali anak ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat dalam proses reintegrasi.
KELUARAN
4.2.3. Membangun kapasitas sektor kesejahteraan sosial untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan bimbingan anak dalam program diversi dan program pembinaan non-penahanan atau pemenjaraan.
RENCANA AKSI HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial ● Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham
● Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial ● Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham
● Direktorat Pelayanan dan Perlindungan Anak Departemen Sosial ● Direktorat Bimkemas Ditjen Pemasyarakatan Depkumham
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
162
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
5.1. Mendorong dan membangun sistem bantuan hukum, pendampingan hukum berbasis masyarakat dan pelayanan paralegal untuk anak.
HAMBATAN
5. Belum adanya sistem bantuan hukum cumacuma untuk anak yang berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan.
Terbangunnya sistem bantuan hukum, pendampingan hukum berbasis masyarakat dan pelayanan paralegal untuk anak yang menjamin tersedianya informasi hukum yang mendasar bagi anak, memberikan saran, mewakili anak dalam proses (setidaknya) administratif, membantu litigasi dan secara luas mempromosikan kesadaran hukum dan hak asasi manusia. Terbangunnya struktur kelembagaan dan jaminan pendanaan terhadap program bantuan hukum, pendampingan hukum berbasis masyarakat dan pelayanan paralegal untuk anak. Terbangunnya layanan yang disediakan oleh lembagalembaga non-pemerintah di tingkat masyarakat seperti pusat informasi hukum, penyuluhan hukum, klinik bantuan hukum dan sosial, dan konseling psikososial.
5.1.2. Mengembangkan struktur kelembagaan dan jaminan pendanaan terhadap program bantuan hukum, pendampingan hukum berbasis masyarakat dan pelayanan paralegal untuk anak. 5.1.3. Menyediakan dukungan hukum dan anggaran bagi layanan yang disediakan oleh lembaga-lembaga nonpemerintah di tingkat masyarakat seperti pusat informasi hukum, penyuluhan hukum, klinik bantuan hukum dan sosial, dan konseling psikososial.
KELUARAN
5.1.1. Mengembangkan kapasitas jaringan advokat, lembagalembaga payung profesi advokat dan paralegal profesional tentang hakhak anak dan prinsipprinsip perlindungan anak
RENCANA AKSI Terlindunginya anak yang berhadapan dengan hukum dengan adanya sistem dan mekanisme bantuan hukum yang dijamin, dipelihara dan dibiayai oleh Negara, dengan keterlibatan aktif dan profesional organisasi advokat serta jaringan keparalegalan yang peka hak-hak anak dan peka gender
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● DepkumHAM ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
● DepkumHAM ● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS
● DepkumHAM ● Lembaga-lembaga payung profesi advokat (PERADI, YLBHI)
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
163
6. Prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender belum terintegrasi ke dalam ke dalam kurikulum pendidikan hukum baik formal maupun informal.
HAMBATAN
6.1. Perubahan paradigma pencapaian keadilan dari yang berorientasi hukum ke arah yang lebih kritis, berbasis keadilan sosial dan restoratif melalui perubahan dan penguatan kurikulum pendidikan hukum
STRATEGI Tersusun dan diaplikasikannya kurikulum pendidikan hukum dengan materi keadilan sosial, kepekaan gender, keberpihakan pada kelompok rentan termasuk hak-hak anak dan perlindungan anak, dan terintegrasinya pemberian materi pendidikan hukum di dalam berbagai disiplin keilmuan. Tersusun dan diaplikasikannya kurikulum pendidikan layak guna tentang hak-hak anak dan pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan formal dasar, menengah pertama dan atas, yang sesuai dengan kelompok usianya dengan berbasis hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
6.1.2. Menyusun dan menguatkan kurikulum pendidikan layak guna tentang hak-hak anak dan pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan formal dasar, menengah pertama dan atas, yang sesuai dengan kelompok usianya dengan berbasis hak asasi manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
KELUARAN
6.1.1. Menyusun dan menguatkan kurikulum pendidikan tinggi hukum dan mengarusutamakan pendidikan hukum ke dalam program-program pendidikan non-hukum yang mengadopsi prinsip keadilan sosial, hak asas manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender
RENCANA AKSI Terjaminnya perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum melalui perubahan paradigma hukum dan keadilan yang dibangun oleh pendidikan hukum yang berbasis keadilan sosial, hak asas manusia, hak-hak anak dan kepekaan gender.
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
● Kedeputian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan ● Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BAPPENAS ● Direktorat pendidikan dasar menengah Departemen Pendidikan Nasional
● Direktorat Hukum dan HAM BAPPENAS ● Direktorat pendidikan tinggi Departemen Pendidikan Nasional ● Universitas Negeri terkait
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3.7
Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Tenaga Kerja
Persoalan tenaga kerja migran (TKI Luar Negeri) dan pekerja anak sangat penting menjadi bagian dokumen Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, karena meskipun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya pemenuhan hak bagi mereka, namun tidak serta merta hak-hak tersebut terpenuhi dengan baik. Menjadi TKI Luar Negeri merupakan pilihan sulit bagi tenaga kerja itu sendiri karena bekerja di negara lain mensyaratkan kemampuan dan keterampilan lebih, sedangkan mereka pada umumnya berbekal keterampilan dan keahlian yang sangat minim, akibatnya resiko besar pun tidak terhindarkan. Persoalan muncul sejak mereka akan berangkat sampai tiba di rumah kembali. Sebelum berangkat, persoalan yang muncul adalah pemalsuan dokumen, pembekalan yang tidak memadai dan markup biaya pelayanan seperti biaya pembuatan paspor. Di tempat kerja di luar negeri, persoalan yang muncul kerja adalah pelanggaran kontrak kerja, dokumen diambil oleh majikan, tidak ada kamar sendiri sehingga berakibat rentan terhadap tindakan pelecehan seksual, tidak diijinkan berkomunikasi dengan keluarga, kekerasan fisik, psikis dan seksual. Ketika mengalami kekerasan seringkali TKI Luar Negeri tidak memiliki pilihan selain melarikan diri, tetapi akibat dari dokumen yang ditahan majikan, mereka akhirnya menjadi tidak berdokumen (undocumented). Sedangkan persoalan yang muncul pada tahap pemulangan adalah pemerasan di terminal khusus (Terminal III) yang ditengarai cukup marak. Bahkan ketika sudah sampai di rumah persoalan masih sering muncul. Bagi TKI Luar Negeri yang pulang dalam keadaan gagal atau hamil akibat perkosaan, maka mereka akan berhadapan dengan stigma dari keluarga dan masyarakat. Sedangkan bagi TKI Luar Negeri yang pulang dalam keadaan berhasil, tidak sedikit yang justru jadi ajang eksploitasi keluarga, misalnya uangnya habis untuk kebutuhan yang konsumtif seperti membangun rumah dan jika tidak cukup dia harus kembali menjadi TKI Luar Negeri. Bahkan tidak jarang, ketika TKI Luar Negeri pulang dia menjumpai suaminya sudah menikah lagi. Pekerja di sektor informal memiliki persoalan yang berbeda. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh BAPPENAS pada tahun 1998-2002, diketahui bahwa jumlah pekerja di sektor informal lebih besar dari pada pekerja di sektor formal. Badan Pusat Statistik (BPS) mengidentifikasi dari keseluruhan angkatan kerja, ada sekitar 70% yang bekerja di lapangan kerja informal dan sisanya sekitar 30% yang bekerja di lapangan kerja formal91. Lapangan kerja informal yang menjadi tempat bagi mayoritas pekerja untuk menggantungkan nasibnya, didominasi oleh angkatan kerja yang memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah, yaitu lulusan sekolah dasar (SD) dan tidak lulus SD. Keterbatasan kemampuan tenaga kerja untuk berkembang dan himpitan ekonomi keluarga menyebabkan mereka ingin memasuki dunia kerja. Kompleksnya persoalan ketenagakerjaan ditambah kondisi kemiskinan yang masih tinggi, tidak dapat dihindari menghadirkan pekerja anak dalam pasar kerja. Pekerja anak dapat dijumpai baik di lapangan kerja formal maupun informal. Pekerja anak berada dalam posisi sub-ordinat baik terhadap buruh lainnya (dewasa) maupun terhadap perusahaan. Pekerja anak tidak menjadi anggota dan agenda serikat buruh, karena serikat buruh hanya berorentasi pada buruh dewasa, sehingga pekerja anak tidak mendapatkan perhatian dari serikat pekerja. Sementara perusahaan lebih cenderung memilih pekerja anak karena murah dan penurut. Beberapa Konvensi Internasional terkait dengan ketenagakerjaan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia seperti: (a) Konvensi No. 29 tentang Kerja Paksa; (b) Konvensi No. 98 tentang Berlakunya
164
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama; (c) Konvensi No. 100 tentang Remunerasi Setara; Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berasosiasi dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi; (d) Konvensi No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa; (e) Konvensi No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan; (f) Konvensi No. 138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja, dan (g) termasuk Undang-undang No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Adanya Konvensi Internasional terkait dengan ketenagakerjaan semakin meyakinkan kita bahwa persoalan ketenagakerjaan adalah persoalan kemanusiaan yang universal. Strategi nasional akses terhadap keadilan di sektor ketenagakerjaan ini akan mencakup tenaga kerja migran (TKI Luar Negeri) dan buruh anak. Pembahasan akan dimulai dari permasalahan yang masih mengemuka, peluang yang ada, dan rumusan strategi yang relevan. Bagian ini juga akan memaparkan rencana tindak untuk mewujudkan strategi tersebut, yang akan bermanfaat sebagai acuan dalam pelaksanaannya.
3.7.1 TKI Luar Negeri A. Permasalahan di Level Normatif Di sektor TKI Luar Negeri, benefit atau keuntungan ekonomis dan pada saat yang sama persoalan yang semakin banyak telah memunculkan berbagai desakan agar pemerintah memberikan perhatian lebih serius, yang dilakukan baik oleh TKI Luar Negeri yang sudah terorganisir maupun lembaga non pemerintah. Upaya tersebut cukup berhasil, yang dapat kita lihat dari beberapa inisiatif kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah, baik di level internasional, nasional maupun lokal. Di level internasional dimulai dengan MoU dengan negara-negara penerima, penandatanganan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migran Workers, hingga penandatanganan Konvensi Internasional tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya tahun 1990. Bahkan khusus di kawasan Timur Tengah, pemerintah menginisiasi mandatory consular notification dengan Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar, yang intinya berisi kesepakatan bahwa Perwakilan RI akan segera mendapat pemberitahuan jika ada WNI yang ditahan. Di level nasional, kita bisa melihat adanya UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, di mana di dalamnya memandatkan pembentukan Badan khusus yang mengatur perlindungan dan pengiriman TKI ke luar negeri (BNP2TKI), Inpres Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI. Dan di level lokal, kita bisa melihat beberapa Perda yang mengatur tentang TKI Luar Negeri. Inpres No. 6 tahun 2006, selain sebagai mandat undang-undang, muncul karena keprihatinan Presiden terhadap kondisi TKI Luar Negeri, terutama setelah Presiden bertemu secara langsung dengan TKI Luar Negeri di negara tujuan. Pertemuan pertama adalah saat Presiden berkunjung ke Malaysia bulan Desember 2005. Pada kunjungan tersebut, Presiden berdialog dengan masyarakat Indonesia yang ada di sana. Pada dialog tersebut, keluhan yang muncul adalah mengenai pungutan liar, pelayanan aparat terhadap TKI dan perdagangan manusia yang memakan korban perempuan Indonesia. Setelah dialog, Presiden bersuara keras kepada pers dan menginstruksikan Kapolri untuk mengusut sejumlah
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
165
kejahatan dan penyimpangan di imigrasi. Pertemuan kedua adalah pada saat Presiden berunjung ke Timur Tengah, pertengahan Mei 2006, Presiden juga berdialog dengan TKI Luar Negeri. Dalam dialog tersebut, keluhan yang muncul dari TKI Luar Negeri di Qatar adalah pungutan liar dan merasa dipersulit oleh pejabat Depnakertrans. Inpres ini ditujukan kepada dua Menteri Koordinator, sembilan menteri, Kapolri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Inpres ini berisi lima kebijakan dasar yaitu terkait dengan penempatan, perlindungan, pemberantasan calo, lembaga penempatan TKI, dan dukungan lembaga perbankan. Masing-masing kebijakan didukung dengan program, tindakan, keluaran, waktu dan departemen penanggung jawab. Inpres ini menunjukkan kepekaan Pemerintah yang tinggi dan respons yang cepat serta kesadaran akan perlunya koordinasi lintas departemen. Inpres ini mencakup 27 butir rencana tindakan, di antaranya rencana untuk penempatan seperti memperpendek birokrasi layanan, memperluas pasar tenaga kerja di luar negeri, meningkatkan mutu dan jumlah calon TKI, penguatan fungsi perwakilan RI, pemberantasan praktik calo dan pemberantasan premanisme di embarkasi.92 Meski demikian, beberapa persoalan yang menimpa TKI Luar Negeri masih tetap saja mengemuka, baik di level peraturan maupun di level TKI Luar Negeri itu sendiri, sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
1. Paradigma undang-undang dan kebijakan yang lebih mengedepankan penempatan daripada perlindungan TKI Luar Negeri. Hal ini bisa kita lihat di semua level kebijakan dan peraturan. Misalnya, UU No. 39 tahun 1999 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri. Selain pasal-pasal yang mengatur penempatan lebih banyak dari pada pasal-pasal yang mengatur perlindungan, Undang-undang ini juga menegaskan bahwa perlindungan diserahkan kepada tanggungjawab agen rekrutmen. Pasal 78 memang menyatakan bahwa Perwakilan RI memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri sesuai dengan hukum dan kebiasaan internasional tapi Pasal 82 menyatakan bahwa pelaksanaan penempatan TKI swasta bertanggungjawab memberikan perlindungan kepada calon TKI sesuai dengan perjanjian penempatan. Lebih dari sekadar penempatan, masih ada peraturan dan kebijakan yang dipandang justru menjadikan TKI Luar Negeri sebagai komoditas. Hal ini bisa kita lihat dari substansi dua Perda tentang TKI Luar Negeri yang sudah ada, yaitu Perda Kabupaten Karawang No. 22 tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan dan Perda Kabupaten Sukabumi No. 21 tahun 2007 tentang Pengerahan Calon TKI ke Luar Negeri asal Sukabumi. Contoh lain, MoU antara Indonesia dan Malaysia justru dianggap sebagai legitimasi bahwa Indonesia menyetujui penahanan paspor oleh majikan karena hukum Malaysia mengijinkan penahanan paspor. Pemerintah berpendapat bahwa penahanan dokumen bertujuan untuk melindungi TKI Luar Negeri, yaitu TKI Luar Negeri yang awam tentang paspor akan terhindar dari kemungkinan kehilangan dokumen penting ini. Selain itu, dengan ditahannya paspor, maka “mafia” TKI Luar Negeri semakin sulit untuk mentransfer TKI Luar Negeri dari satu majikan kepada majikan yang lain. Penahanan paspor juga berfungsi untuk memperkecil kemungkinan TKI Luar Negeri menjadi undocumented, mempersempit kemungkinan perdagangan orang, adanya working card sebagai pengganti paspor dan adanya pertimbangan praktis. Namun keputusan ini dinilai justru merestui legalisasi perbudakan yang dijalankan oleh Malaysia93.
2. Yurisdiksi dan Kesiapan lembaga pelaksana yang menghambat pelaksanaan peraturan. Hambatan lain dalam perlindungan TKI Luar Negeri adalah karena faktor perbedaan yurisdiksi hukum, kekuatan mengikat dari hukum tersebut dan kesiapan lembaga pelaksana. Kendala 166
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
yurisdiksi dan kekuatan mengikat sebuah hukum bisa kita lihat pada peraturan di level internasional. Misalnya ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, yang ditandatangani pada tanggal 31 Januari 2007. Meskipun substansi deklarasi ini sangat mengakomodasi hak-hak TKI Luar Negeri namun deklarasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung dari komitmen masing-masing Negara penandatangan untuk mewujudkannya.94 Kendala yang sama juga terjadi pada Konvensi Internasional tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya tahun 1990. Pada umumnya negara-negara penerima TKI Luar Negeri belum meratifikasinya, bahkan Indonesia sendiri baru menandatangani dan belum meningkatkan ke ratifikasi. Mengenai berbagai MoU yang ditandatangani, meskipun ini bisa menyediakan kerangka kerjasama bilateral dalam proses penempatan dan penanganan isu TKI Luar Negeri, namun tidak bisa menembus sistem hukum Negara pihak lain. Peraturan di level daerah juga memiliki kendala yurisdiksi. Inisiatif pembuatan Perda-perda yang bagus menjadi tidak punya arti ketika daerah lain tidak memiliki Perda yang sama, mengingat karakter persoalan TKI Luar Negeri adalah lintas daerah dan bahkan lintas negara. Kasus-kasus pemalsuan identitas dan rekruitmen yang tidak berdokumen terjadi bukan di tempat tinggal calon TKI Luar Negeri. Apalagi UU No. 39 tahun 2004 tidak secara jelas mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan penempatan TKI Luar Negeri ke luar negeri dan dalam mengatur penyelesaian masalah TKI Luar Negeri. Sedangkan kendala kesiapan lembaga pelaksana bisa kita lihat pada Inpres No. 6 tahun 2006 tentang kebijakan reformasi sistem penempatan dan perlindungan TKI. Ada 19 rencana tindak yang 17 di antaranya harus selesai pada tahun 2006 di mana penanggungjawabnya adalah BNP2TKI. Sedangkan BNP2TKI sendiri baru dibentuk pada 8 September 2006 (satu bulan setelah Inpres No. 2 tahun 2006) dan proses pemilihan kepala badan dan jajarannya baru selesai pada awal tahun 2007.
B. Disharmoni Kelembagaan BNP2TKI yang dibentuk berdasarkan Perpres No. 81 tahun 2006, pada tanggal 6 September 2006 ini, memiliki fungsi untuk koordinasi karena anggotanya terdiri dari beberapa departemen. Lembaga ini telah menunjukkan langkah-langkah yang cukup bagus seperti membuat standar upah, mencabut ijin perusahaan yang bermasalah, dan sebagainya. Namun demikian, kendala yang muncul adalah lembaga ini hanya semata-mata pelaksana kebijakan. Pembuatan kebijakan di tingkat teknis masih menjadi kewenangan Depnakertrans, untuk itu tidak jarang menimbulkan benturan antara kedua lembaga tersebut.
1. Permasalahan kesadaran hukum. Masih rendahnya kesadaran hukum TKI Luar Negeri ditandai dengan dua hal, yaitu tingginya angka kasus-kasus yang terjadi dan rendahnya organisasi TKI Luar Negeri yang memiliki posisi tawar. Tingginya angka kasus-kasus yang terjadi pada TKI Luar Negeri, selain menunjukkan masih belum efektifnya berbagai kebijakan dan peraturan yang telah ada, juga menunjukkan rendahnya kemampuan TKI Luar Negeri untuk mempertahankan hak-haknya dan melawan tindakan-tindakan penipuan, pemerasan, pelecehan dan tindakan-tindakan lainnya baik yang dilakukan oleh oknum pegawai maupun pihak swasta. Posisi tawar TKI Luar Negeri tetap rendah, mengingat belum banyak organisasi TKI Luar Negeri (yang beranggotakan TKI Luar Negeri atau keluarganya) baik di negara tujuan maupun di Indonesia. Desakan-desakan pembentukan kebijakan selama ini lebih banyak dilakukan oleh organisasi nonPemerintah yang memiliki kepedulian terhadap persoalan TKI Luar Negeri. Organisasi TKI Luar Negeri di negara tujuan baru ada di Hongkong (Indonesia Migrant Centre dan International Migrant
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
167
Workers Union) dan di Arab Saudi. Sedangkan di Indonesia baru ada satu yaitu Serikat Buruh Migran Indonesia. Salah satu wujud lemahnya posisi tawar TKI Luar Negeri adalah pada saat keluarnya Inpres No. 6 tahun 2006. Meskipun salah satu faktor penyebab keluarnya Inpres ini adalah karena hasil pertemuan Presiden dengan TKI Luar Negeri di Malaysia dan Qatar, namun Rapat Koordinasi yang dilakukan oleh Depnakertrans untuk mempersiapkan Inpres ini, belum melibatkan TKI Luar Negeri ataupun organisasi non-Pemerintah yang selama ini menaruh perhatian pada pada isu TKI Luar Negeri.95
C. Permasalahan Terkait Akses terhadap Forum yang Tersedia Ada beberapa forum untuk menangani keluhan TKI Luar Negeri, antara lain bantuan hukum di negara tujuan, atase ketenagakerjaan dan lembaga bipartite dan tripartite. Namun demikian, tidak mudah bagi TKI Luar Negeri untuk mengakses forum-forum tersebut. Hal ini karena keterbatasan informasi tentang keberadaan forum tersebut dan posisi tawar yang masih rendah. TKI Luar Negeri yang tidak didaftarkan ke kantor perwakilan RI di negara tujuan sering tidak mengetahui di mana kantor perwakilan RI dan begitu pula sebaliknya pegawai di kantor perwakilan pun juga tidak mengetahui alamat TKI Luar Negeri. Akibat selanjutnya, ketika ada persoalan yang menimpa TKI Luar Negeri tersebut, kantor perwakilan tidak mudah mengetahui dan TKI Luar Negeri yang menjadi korban pun juga tidak tahu kemana akan melapor. Selain itu, meskipun pasal 80 UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri telah memerintahkan adanya bantuan hukum di negara tujuan, namun ini tidak bisa diakses oleh TKI Luar Negeri yang tidak berdokumen. Sedangkan forum bipartite antara calon TKI Luar Negeri dengan perusahaan yang merekrutnya, seringkali tidak sepenuhnya memenuhi keadilan korban karena sangat tergantung niat baik dari perusahaan tersebut. Kondisi akan berbeda jika TKI Luar Negeri telah terorganisir sehingga fungsifungsi negosiasi bisa dilakukan oleh organisasi tersebut.
D. Permasalahan Terkait Penanganan Keluhan yang Efektif Forum-forum yang telah disediakan pemerintah masih kurang efektif karena jumlahnya masih sedikit, baru mengedepankan aspek perlindungan hukum dan ekonomi dan masih mengalami kekurangan pengawasan terhadap kinerjanya. Indonesia baru memiliki Atase Ketenagakerjaan di Hongkong, Malaysia dan Arab Saudi. Melalui Inpres No. 6 tahun 2006 tentang Kebijakan reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI, Pemerintah merencanakan menambah atase tersebut di 6 negara yaitu Korea Selatan, Brunei Darusalam, Jordania, Singapura, Syria dan Qatar, namun harus diakui bahwa ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah TKI Luar Negeri yang ada dan tingkat sebarannya. Selain itu, perlindungan yang diatur dalam Inpres tersebut masih mengedepankan perlindungan dari aspek hukum dan ekonomi, sementara persoalan yang dihadapi oleh TKI Luar Negeri juga akibat dari tiadanya forum sosial seperti hak atas informasi sarana berkomunikasi dengan keluarga, layanan pendidikan jarak jauh, menjalin hubungan dengan institusi keagamaan dan kebudayaan di tempat kerjanya. Sebagai contoh, ada TKI Luar Negeri yang mengalami depresi akibat berbagai kekerasan fisik dan psikologis serta seksual, tidak bisa terjangkau oleh bantuan hukum.
E. Permasalahan Terkait Penyelesaian yang Memuaskan Kompleksnya persoalan mulai dari paradigma perundang-undangan, keterbatasan layanan perlindungan dan integritas pegawai, telah melahirkan ketidakpuasan bagi TKI Luar Negeri
168
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
sebagai korban. Kondisi semakin diperburuk oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh TKI Luar Negeri itu sendiri, mulai dari informasi, keahlian hingga posisi tawar. Untuk itu, tidak jarang pilihannya adalah bunuh diri dan melarikan diri dari rumah majikan. Tentu saja pilihan tersebut tidak menyelesaikan persoalan dan justru menimbulkan persoalan baru seperti kehilangan kontak dan status undocumented. Untuk itu, menyelesaikan persoalan TKI Luar Negeri harus sungguhsungguh ditujukan untuk penguatan dan perlindungan TKI Luar Negeri melalui perubahan paradigma pengaturan hingga pengawasan terhadap pegawai.
3.7.2 Pekerja Anak A. Permasalahan di Level Normatif 1. Ketentuan normatif tentang pekerja anak tidak berhasil diimplementasikan. Komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk turut berpartisipasi secara aktif menanggulangi masalah pekerja anak telah dilakukan dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 138 melalui UU No. 20 tahun 1999 serta Konvensi ILO No. 182 melalui UU No. 1 tahun 2000. Disamping itu, telah pula diterbitkan Keppres No. 12 tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional tentang Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Keppres No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ratifikasi dan atau pengesahan beberapa peraturan perundang-undangan ini membawa Indonesia sebagai salah satu negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan program penghapusan pekerja anak, termasuk bentuk-bentuk pekerjaan terburuknya.96 Namun demikian, dalam praktiknya saat ini ternyata ditemukan banyak anak-anak yang dipekerjakan bahkan diperdagangkan melintasi batas negara yang pada akhirnya dipekerjakan untuk tujuan dilacurkan. Menurut data dari Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2007, jumlah pekerja anak di Indonesia usia 10-14 tahun mencapai 1,1 juta orang. Sementara, berdasarkan data Depdiknas tahun 2008, jumlah anak yang putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar adalah 11,7 juta orang. Ketimpangan tersebut mengindikasikan bahwa ada sekitar 10 juta anak yang mungkin dipekerjakan secara terselubung. Berdasarkan studi antara ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2003, jumlah pekerja rumah tangga anak mencapai 700 ribu jiwa, di mana sebanyak 90% adalah anak perempuan. Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah (Antara, 26 Juni 2008). Menurut data yang sama, para pekerja anak di desa lebih banyak daripada di kota, yakni sebesar 79% untuk di desa dan 21% di kota. 62% bekerja di sektor pertanian, 19% di industri dan 19% di sektor jasa.97 Sampai saat ini, baru terdapat 3 putusan Pengadilan Negeri mengenai pelanggaran terkait pasal 74 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur bahwa siapapun dilarang untuk mempekerjakan anak dalam bentuk pekerjaan terburuk. Ketiga putusan tersebut berasal dari PN Jepara, Solo dan Jakarta Barat. Angka tersebut sangat kecil dibandingkan dengan temuan kasus yang dilaporkan oleh media dan organisasi non-pemerintah yang mencapai 512 kasus. Itu pun dasar pemidanaan yang digunakan oleh PN Jepara dan Solo bukan undang-undang, melainkan Perda tiaptiap daerah yang hanya menghukum pelaku di bawah 6 bulan kurungan. Kapasitas lembaga penegak hukum masih lemah, dalam merespon masalah keterlibatan anak seperti perdagangan perempuan dan anak, pekerja seks komersial, perdagangan obat, dan jenisjenis pekerjaan lainnya yang membahayakan mental dan moral anak. Selain itu, insitusi Penegak Hukum seperti pengadilan dan hakimnya serta kepolisian tidak melihat dan tidak mengetahui bahwa
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
169
terdapat banyak korban dalam pelibatan anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk. Penegak hukum dan kepolisian belum secara efektif dapat mengontrol dan memonitor keberadaan kelompok yang mengorganisir dan mempekerjakan anak dalam jenis-jenis pekerjaan yang dilarang Undang-undang dan Konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. Penegak hukum belum sepenuhnya memiliki pengetahuan hukum (legal knowledge) dan memahami Undang-undang yang melarang anak bekerja pada jenis pekerjaan yang membahayakan mental dan moral anak.
B. Permasalahan Kesadaran Hukum Pengertian kesadaran pekerja adalah kesadaran atas haknya, yang berbasis pada Konstitusi. Problemnya adalah seringkali hak konstitusional tersebut justru direduksi oleh UU, misalnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak direduksi dengan pengaturan tentang batasan upah minimum yang faktanya tidak layak. Selain itu, kesadaran pekerja akan haknya akan bisa terpenuhi jika pekerja memiliki posisi tawar. Namun faktanya, pekerja seringkali dihadapkan pada pilihan yang sulit, yaitu harus menerima kondisi hubungan kerja yang tidak layak atau tidak bekerja sama sekali. Dalam konteks buruh anak, posisi tawar buruh anak sangat rendah dan subordinasi ini berlapis. Di level pertama, posisi buruh anak subordinat dibandingkan dengan buruh dewasa dan di level kedua, posisi buruh anak subordinat dibandingkan pengusaha. Tidak ada serikat buruh khusus buruh anak, dan serikat buruh yang ada tidak memasukkan agenda terkait buruh anak. Pertimbangan pengusaha mempekerjakan buruh anak, salah satunya adalah memanfaatkan minimnya informasi dan posisi tawar buruh anak tersebut.
C. Permasalahan Terkait Akses terhadap Forum yang Tersedia Forum yang terkait dengan masalah pekerja anak adalah Komite Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di tingkat nasional (melalui Keppres No. 12 tahun 2001), provinsi melalui Peraturan atau Keputusan Gubernur, dan Kabupaten/Kota melalui Peraturan atau Keputusan Walikota/Bupati. Forum ini bertugas untuk mengkoordinasi, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain itu, juga ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak dan lembaga-lembaga perlindungan anak. Sampai saat ini keberadaan lembaga-lembaga tersebut di atas masih belum terinformasi dengan merata. Meski tugas yang diembannya begitu mulia, namun dalam praktiknya lembaga-lembaga tersebut belum berani ’menjemput bola’ terhadap kasus-kasus yang terkait dengan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Kedua hal tesebut berdampak pada minimnya atau tiadanya akses bagi anak untuk mendapatkan forum tersebut.
D. Permasalahan Penanganan Keluhan yang Efektif Akibat dari belum dikenalnya media penanganan kasus pekerja anak, sampai saat ini pekerja anak atau pihak lain yang peduli pada pekerja anak masih menyalurkan keluhan mereka kepada pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian. Adakalanya keluhan mereka ditindaklanjuti, namun seringkali karena keterbatasan sumber daya, pihak yang menerima pengaduan hanya menanggapi secara tertulis dan tidak dilanjutkan ke prosedur hukum yaitu penyelidikan, penyidikan sampai ke tingkat pengadilan.
E. Permasalahan Terkait Penyelesaian yang Memuaskan Sebagaimana dipaparkan diatas, media penyelesaian persoalan buruh anak belum bekerja secara efektif, terbukti baru 3 kasus yang diproses secara hukum dari 512 kasus yang termonitor. Namun
170
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
berbeda dengan buruh dewasa, buruh anak tidak memiliki kemampuan dan pilihan untuk melakukan pembelaan sendiri.
3.7.3 Strategi Nasional Akses Keadilan terhadap Pekerja Untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas, dibutuhkan strategi yang tepat dan komprehensif. Meskipun tiap-tiap sektor memiliki karakter persoalan yang berbeda, namun pada dasarnya bisa ditarik benang merah, yaitu adanya kebutuhan strategi mendasar di level paradigma, strategi di level peraturan dan implementasinya dan strategi penguatan posisi tawar pekerja, yang masing-masing akan dipaparkan secara singkat. Pertama, strategi di level paradigma. Strategi ini intinya adalah memandang pekerja dari sudut pandang hak asasi manusia. Artinya di satu sisi pekerja memiliki hak dasar baik sebagai manusia maupun dalam profesinya sebagai pekerja dan di sisi lain negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, mempromosikan, memajukan dan melindungi hak pekerja tersebut. Strategi ini penting karena akan menjadi dasar bagi strategi di level berikutnya (norma dan penguatan posisi tawar pekerja). Dengan paradigma hak asasi manusia, kita tidak lagi memposisikan pekerja sebagai obyek sistem produksi, perilaku bermasalah bahkan obyek perdagangan manusia. Di sektor TKI Luar Negeri, kebutuhannya adalah memastikan bahwa TKI Luar Negeri bekerja dalam hubungan kerja yang aman dan nyaman, memegang dokumen yang sah dan memiliki informasi yang cukup termasuk informasi tentang tempat, mekanisme dan cara pengaduan ketika mendapat masalah. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengubah paradigma undang-undang dari paradigma penempatan menjadi paradigma perlindungan, merevisi Perda-perda tentang TKI Luar Negeri yang bersifat eksploitatif dan meninjau kembali perjanjian internasional yang tidak menguntungkan TKI Luar Negeri. Selain itu, disharmoni antara BNP2TKI dan Depnakertrans yang berdampak pada kualitas pelayanan dan perlindungan terhadap TKI Luar Negeri harus segera diselesaikan. Sedangkan di sektor buruh anak, peran pemerintah harus lebih aktif untuk melakukan koordinasi dengan lembagalembaga lain yang terkait dan melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha, terutama ketika terjadi praktik eksploitasi dan perdagangan anak. Kedua, strategi penguatan posisi tawar pekerja. Strategi ini penting karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya keadilan bagi pekerja. Posisi tawar pekerja akan kuat jika mereka memiliki wadah/organisasi pekerja dan terlibat aktif dalam forum-forum pengambilan keputusan penting seperti pembuatan peraturan, kebijakan dan penyelesaian perselisihan. Peran strategis pemerintah dalam penguatan posisi tawar pekerja adalah dengan memfasilitasi terbentuknya serikat pekerja dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang menaruh perhatian pada advokasi dan pengorganisasian pekerja. Penguatan posisi tawar pekerja juga bisa dilakukan dengan menyediakan fasilitas informasi, bantuan hukum, trauma centre dan pusat pengaduan yang kesemuanya mudah diakses oleh pekerja. Khusus untuk pekerja anak, penting untuk memasukkan bahasan pekerja anak dalam agenda serikat pekerja yang telah ada, apalagi buruh anak ada di sektor formal maupun informal.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
171
172
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI
Peningkatan penyuluhan hukum tehadap calon tenaga kerja Indonesia yang akan di kirim ke luar negeri
HAMBATAN
Belum optimalnya perlindungan hukum terhadap pekerja migran
Membuat panduan penyuluhan dan perlindungan hukum bagi calon tenaga kerja Indonesia ke luar negeri
RENCANA AKSI
5. Peran media masa (pers) guna meliput dan menginformasikan tanggung jawab serta advokasi yang diemban oleh KBRI/KJRI bagi pekerja migran di luar negeri
4. Kesepakatan (MoU) antara pemerintah dengan pemerintah negara yang bersangkutan
3. Instrumen hukum berperspektif HAM terutama Konvensi ILO serta mekanisme internasional lainnya dalam memberi perlindungan kepada tenaga kerja migran secara kondusif
2. Akses perlindungan hukum kepada pekerja migran termasuk jaminan sosial dan kesehatan di Negara tujuan
Booklet panduan penyuluhan hukum bagi calon tenaga kerja Indonesia ke luar negeri mencakup: 1. Upaya pencegahan pengiriman tenaga kerja undocumented
KELUARAN Meningkatnya pemahaman calon tenaga kerja migran tentang hak dan kewajiban tenaga kerja sejak prapemberangkatan sampai dengan kembalinya tenaga kerja migran ke Indonesia
HASIL
3.7.4 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN BAGI KELOMPOK TENAGA KERJA
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
BNP2TKI
Penanggung Jawab: Depnakernas
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
173
STRATEGI
Meningkatkan upaya mencegah anak bekerja dalam bentuk pekerjaan terburuk (Pasal 3 UU No.1 tahun 2000 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, meliputi pelibatan/perburuhan anak dalam: segala bentuk perbudakan, termasuk pelibatan anak dalam konflik bersenjata; eksploitasi seksual; kegiatan-kegiatan ilegal, seperti perdagangan narkoba; dan pekerjaan berbahaya)
HAMBATAN
Masih banyaknya pekerja anak yang dilibatkan dalam bentuk pekerjaan terburuk
Memberdayakan lembaga-lembaga rujukan yang menangani permasalahan pekerja anak
RENCANA AKSI
4. Pengembangan “trauma center” bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, sebagai tempat rehabilitasi bagi anakanak yang mengalami trauma akibat bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
3. Evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
2. Tindak lanjut pada tingkat propinsi melalui Peraturan atau Keputusan Gubernur, dan pada tingkat Kabupaten/ Kota melalui Peraturan atau Keputusan Bupati/ Walikota
1. Sosialisasi lembaga rujukan yaitu: Komite Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di tingkat nasional yang dibentuk melalui Keppres No. 12 tahun 2001, yang bertugas untuk mengkoordinasi, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
KELUARAN Anak melalui orang tua/ walinya memiliki lembaga rujukan sebagai tempat pengaduan ketika dihadapkan pada bentukbentuk pekerjaan terburuk
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
POLRI, DepSos
Penanggung Jawab: Depnakernas
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
174
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Mengoptimalkan perlindungan hukum terhadap pekerja migrant dengan pendekatan lintas sektoral
Harmonisasi fungsi dan kewenangan antara Ditjen Binapenta dengan BNP2TKI
Disharmoni fungsi dan kewenangan antara Ditjen Binapenta dengan BNP2TKI
STRATEGI
Belum optimalnya penanganan terhadap pekerja migrant yang menghadapi perkara hukum di luar negeri
HAMBATAN
Penyempurnaan tugas pokok dan fungsi pada Ditjen Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Pengefektifan penanganan tenaga kerja migran yang terlibat kasus hukum di luar negeri
Penyediaan pendidikan luar sekolah yang layak bagi mantan pekerja anak
RENCANA AKSI
Tugas pokok dan fungsi dari masing-masing lembaga terkait
1. Percepatan pembangunan rumah singgah (shelter) di KBRI untuk pekerja migran bermasalah, dilengkapi dengan fasilitas dan perangkat yang memadai, khususnya bagi pekerja migran perempuan seperti adanya sarana konseling dan petugas perempuan 2. Prosedur pemulihan kondisi pekerja migran yang mengalami kekerasan fisik, mental, atau penyakit menular seksual termasuk HIV/ AIDS 3. Penyediaan pendampingan bantuan hukum oleh KBRI/KJRI bagi pekerja migran untuk penyelesaian kasus hukum
Format pendidikan khusus luar sekolah bagi mantan pekerja anak
KELUARAN
Harmonisasi dan sinkronisasi hubungan kelembagaan dalam pengurusan tenaga kerja migran di luar negeri
Penanggung Jawab:Depnakertrans, BNP2TKI
Penanggung Jawab:Depnakertrans, BNP2TKI, Depkumham, Deplu
Pekerja migran memperoleh akses forum yang sesuai ketika mengalami kasus hukum atau menjadi korban pelanggaran hukum di Negara tujuan
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas) Penanggung Jawab: Depdiknas, Depnakertrans
T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Mantan pekerja anak mendapatkan akses terhadap pendidikan yang dapat menjamin masa depan mereka
HASIL
3.8
Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan
Kemiskinan adalah sebuah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, perempuan dan lakilaki, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.98 Rumusan kemiskinan berbasis hak tersebut membawa implikasi antara lain: a) adanya kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin; sehingga pengabaian terhadap kewajiban tersebut merupakan pelanggaran oleh negara; dan b) kemiskinan tidak hanya mencakup pendapatan, melainkan juga kerentanan dan kerawanan untuk menjadi miskin. Dengan demikian, persoalan menyangkut kelompok masyarakat miskin mencakup pula persoalan orang atau kelompok orang yang tertindas dan terpinggirkan. Hak–hak dasar yang dimaksud adalah terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan dan ancaman tindakan kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Gangguan atau kegagalan untuk memperoleh, mengelola, mengambil manfaat dan mempertahankan hak-hak dasar tersebut, yang merupakan bentuk ketidakadilan, mengakibatkan terjadinya kemiskinan atau berlangsungnya proses pemiskinan. Dengan demikian, sangat jelas kesalingterkaitan antara kemiskinan dan akses kelompok masyarakat miskin terhadap keadilan. Akses terhadap keadilan juga berdampak langsung pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan mereka. Kelompok ini sangat rentan mengalami penurunan pendapatan dan kesejahteraan ketika menjadi korban dari tindak kejahatan atau persengketaan, misalnya ketidakmampuan melindungi hak mereka atas tanah atau ketika mereka gagal mempertahankan hak ekonomi dan sosial dalam kasus sengketa warisan atau perceraian. Padahal, kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan cenderung memilih untuk tidak mengambil tindakan hukum ketika menghadapi masalah atau persengketaan (The Asia Foundation, 2001: 61).
3.8.1 Masalah Utama Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Miskin dan Terpinggirkan A. Terbatasnya Pengetahuan Hukum Memperjuangkan Hak-hak Hukum.
dan
Lemahnya
Kemampuan
untuk
Sebuah penelitian secara nasional memperlihatkan bahwa 56% masyarakat tidak dapat menunjukkan satu saja contoh hak hukum yang mereka miliki. Angka tersebut meningkat drastis pada kelompok perempuan (66%) dan responden yang tidak memiliki pendidikan formal (97%) (World Bank, 2006:25). Padahal, penegakan hukum dan keadilan baru dapat terpenuhi apabila masyarakat dan kelompok masyarakat mendapatkan hak mereka atas pengetahuan hukum dasar dan pemberdayaan hukum. Pendidikan hukum yang merupakan aspek ‘apa’ dalam pengetahuan hak-hak dasar masyarakat, masih harus dilengkapi dengan pemberdayaan hukum yang akan memenuhi aspek ‘bagaimana’ untuk memperoleh, mengambil manfaat dan mempertahankan hak-hak dasar mereka tersebut. Situasi tersebut cukup disadari oleh Pemerintah, terbukti dengan telah dijalankannya berbagai program pendidikan dan penyadaran hukum yang dilakukan baik oleh instansi penegak hukum (Kadarkum, Hakim Masuk Desa, Jaksa Masuk Desa, dan sebagainya) maupun lembaga pendidikan tinggi
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
175
hukum serta, yang tak kalah penting, kegiatan pemberdayaan hukum oleh organisasi masyarakat. Dalam pelaksanaanya, masih terdapat beberapa kendala yang mengakibatkan masih lemahnya akses terhadap keadilan antara lain: (a) Jangkauan terbatas. Pendidikan hukum baru mencapai kelompok masyarakat elit dan terdidik, terutama di wilayah perkotaan. Persoalan klasik tentu saja prasarana pemerintah dan sebaran geografis Indonesia yang sulit untuk diakses. Namun jika ditilik lebih jauh, pada kenyataanya jangkauan birokrasi pemerintah yang mencapai sudut-sudut desa di wilayah paling terpencil tidak dilengkapi dengan aspek ‘pendidikan’ melainkan hanya ‘pengaturan’ dan ‘penegakan aturan’; (b) Metode pendidikan legalistik – normatif. Proses pendidikan hukum bagi masyarakat yang dijalankan oleh pemerintah dan pihak lain cenderung memakai metode pendidikan satu arah, biasanya untuk mensosialisasikan peraturan baru yang berisi ‘kewajiban masyarakat’ dan bukan ‘hak masyarakat’. Dalam ruang penyuluhan hukum masyarakat cukup sulit untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana jika hak masyarakat dilanggar oleh pemerintah atau pihak lain; (c) Kurang mengadopsi pengalaman dan masalah hukum konkrit yang dihadapi masyarakat. Substansi dan inisiatif pendidikan hukum yang ada berjalan satu arah; dari pemerintah untuk yang diperintah. Seringkali pengalaman hukum masyarakat di mana terdapat pembelajaran menyangkut kebijakan lokal tidak mendapat tempat. Begitu pula mengenai materi pendidikan yang seringkali tidak sejalan dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat di tempat tertentu pada waktu tertentu. Dengan kata lain, upaya terbatas pendidikan hukum bagi masyarakat belum diletakkan dalam kerangka kerja pemberdayaan hukum masyarakat jangka panjang. Kekosongan inilah yang dilengkapi oleh aktor terutama lembaga-lembaga bantuan hukum dan perguruan tinggi. Namun, dengan keterbatasan sumber daya yang ada, pemberdayaan hukum bersifat insidental yang merupakan bentuk reaksi atas masalah hukum yang besar seperti; sengketa pertanahan, sumber daya alam, korupsi atau perburuhan di mana seringnya pemerintah atau lembaga penegak hukum justru berada dalam posisi ‘pihak lawan’.
B. Rendahnya Posisi Tawar Minimnya pengetahuan dan keterampilan menggunakan hukum untuk mencapai keadilan mengakibatkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin. Upaya masyarakat untuk mengakses keadilan ketika berhadapan dengan persoalan hukum menyangkut hak-hak dasar terbagi menjadi dua mekanisme pokok; melalui mekanisme hukum formal (pengadilan) atau mekanisme nonformal (mediasi, arbritasi, negosiasi dalam adat atau lembaga lokal lain). Penelitian Justice for the Poor Program di 9 provinsi di Indonesia tahun 200399 lalu memberi gambaran menyangkut rendahnya posisi tawar tersebut: pertama, ketika hendak menggunakan mekanisme nonformal, kelompok miskin berhadapan dengan elit desa, tokoh adat atau tokoh agama yang bias kepentingan dan cenderung mempertahankan harmonisasi di tingkat desa. Akibatnya kepentingan hukum masyarakat, terutama kelompok perempuan dan miskin, diabaikan. Apalagi jika sengketa itu melibatkan pihak elit atau aparat pemerintah. Kedua, jika penyelesaian masalah memakai mekanisme formal, selain masalah geografis, kelompok miskin juga menghadapi kendala serius menyangkut pengetahuan akan prosedur dan pelayanan hukum yang seharusnya bisa didapat. Tanpa pengetahuan akan prosedur dan pelayanan hukum, proses hukum yang sederhana sekalipun mudah sekali mengintimidasi kelompok miskin. Mereka pun rentan terhadap upaya permintaan suap untuk mendapatkan pelayanan hukum yang lebih baik. Sebagaimana dinyatakan dalam World Development Report 2006, “people’s legal rights remain theoretical if the institutions charged with enforcing them are inaccessible (hak-hak hukum masyarakat akan tetap bersifat teori apabila lembaga penegakannya tidak dapat diakses)” (World Bank, 2006). Ketika perbaikan peraturan pro kelompok miskin mulai terbentuk serta kesadaran hukum mulai meningkat, pada saat itulah lembaga penegakan hukum, formal atau nonformal, seharusnya sudah
176
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
dapat diakses. Sayangnya, interaksi lembaga penegak hukum dan masyarakat miskin masih ditandai oleh beberapa kelemahan sebagai berikut: 1. Lemahnya pengawasan publik. Rendahnya akses kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa berakibat pada lemahnya pengawasan terhadap jalannya proses penyelesaian masalah/sengeketa hukum, baik yang diselesaikan melalui mekanisme hukum formal maupun nonformal. 2. Refomasi kelembagaan belum memperhatikan aspek dinamika masyarakat di tingkat lokal. Reformasi kelembagaan di sektor hukum formal (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian) beberapa tahun terakhir, masih menyisakan tantangan besar, terutama menyangkut perbaikan kepercayaan dan akses masyarakat terhadap pelayanan yang disediakan oleh negara melalui lembaga penegak hukum formal. Reformasi kelembagaan perlu memberi porsi perhatian yang cukup terhadap dinamika dan kebutuhan masyarakat. Jika hal ini diabaikan, reformasi yang berjalan pada dasarnya belum sepenuhnya berimplikasi pada perbaikan kehidupan masyarakat (target dari seluruh perbaikan dan reformasi hukum itu sendiri). 3. Masih sedikitnya perhatian pada lembaga nonformal. Masalah lain dari reformasi kelembagaan adalah terlalu terfokusnya reformasi pada sektor formal tetapi tidak menyentuh para pelaku/ lembaga yang justru lebih banyak dirujuk oleh para pencari keadilan. Padahal, sebagian besar persoalan hukum di tingkat lokal justru diselesaikan melalui lembaga nonformal. Perhatian yang diberikan pada sektor penegakan hukum nonformal ini akan menyeimbangkan antara proses reformasi yang dijalankan di tingkat nasional dengan upaya serupa yang bisa dijalankan di tingkat lokal. 4. Efektivitas administrasi hukum. Elemen lain yang penting dalam strategi akses hukum dan keadilan adalah kinerja lembaga hukum formal. Masyarakat seharusnya percaya bahwa kinerja lembaga hukum adalah efisien, netral dan profesional. Lembaga hukum harus menerapkan peraturan prosedur yang konsisten dan setara bagi masyarakat tanpa memandang status sosial. Hal ini penting tidak hanya untuk menjamin kepuasan atas hasil akhir proses hukum untuk setiap kasus tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. 5. Minimnya partisipasi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan oleh pemerintah. Dalam proses pembuatan rancangan Perda atau undang-undang, dibutuhkan tindakan afirmatif dari pemerintah dan organisasi masyarakat agar kepentingan dan perlindungan masyarakat miskin bisa terwakili. Jika tidak, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai penelitian mengenai peraturan daerah, misalnya, peraturan justru menjadi dasar untuk semakin memiskinkan masyarakat alih-alih melindungi hak dan kepentingannya. 6. Terbatasnya jangkauan pelayanan bantuan hukum. Ketika berhadapan dengan masalah hukum, setiap orang membutuhkan pelayanan bantuan hukum; konsultasi dan nasihat hukum, pelayanan mediasi, perwakilan ketika beracara di pengadilan. Untuk memperoleh pelayanan bantuan hukum memerlukan informasi, akses fisik dan jaringan kerja bantuan hukum dan uang (prasyarat yang tidak mudah dipenuhi oleh kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan). Analogi yang sering dipakai adalah membandingkan struktur bantuan hukum dan struktur pelayanan kesehatan masyarakat yang disediakan oleh pemerintah. Untuk menangani masalah kesehatan tersedia Posyandu di tingkat dusun, Polindes di Desa, Puskesmas di Kecamatan dan Rumah Sakit Umum di tingkat Kabupaten hingga Pusat. Sementara pelayanan bantuan hukum paling jauh hanya menjangkau tingkat kabupaten di mana disediakan bantuan pro bono di tiap-tiap pengadilan negeri dalam jumlah dan budget yang sangat terbatas. Padahal, sebagaimana penyakit, sengketa hukum dan ancaman perampasan hak-hak dasar bisa muncul kapan saja, di mana saja dan terhadap siapa saja.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
177
Seringkali sengketa atau masalah yang muncul tidak harus serta merta diselesaikan melalui mekanisme formal. Oleh karena itu, pelayanan bantuan hukum seharusnya hadir pada tempat pertama yang paling mudah diakses oleh masyarakat. Terdapat banyak persoalan hukum yang pada dasarnya bisa diselesaikan jika masyarakat bisa mengakses orang atau lembaga yang tepat untuk melaporkan masalah dan kemudian mendapatkan nasihat hukum pada tahap pertama. Tidak tersedianya orang atau lembaga yang mudah dijangkau berakibat pada tidak terselesaikannya banyak sengketa skala kecil yang seringkali bisa membesar dan berujung pada konflik kekerasan sebagaimana terjadi di banyak wilayah di Indonesia.
3.8.2 Peluang Penguatan Akses terhadap Keadilan Perbaikan kerangka hukum normatif. Penguatan akses keadilan bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam hal peraturan dan kebijakan memiliki dasar pijak yang sangat kuat di Indonesia. Selain diatur dengan jelas dalam Konstitusi, perubahan perspektif pemerintah Indonesia mengenai kemiskinan berbasis hak merupakan peluang strategis untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan penguatan akses terhadap keadilan. Penting pula untuk dicermati peluang yang muncul dari kebijakan politik nasional menyangkut desentralisasi pemerintahan dan pemilihan pemerintahan daerah secara langsung. Kedua kebijakan tersebut merupakan upaya afirmatif bagi keterlibatan dan keterwakilan kepentingan kelompok miskin yang bisa digunakan sebagai alat untuk memperoleh dan melindungi hak-hak dasar menyangkut ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan. Pendidikan dan pemberdayaan hukum masyarakat. Terlepas dari berbagai kelemahan implementasi, pemerintah secara konsisten meletakkan kegiatan pendidikan dan penyadaran hukum masyarakat dalam program dinas dan instansi penegakan hukum di Indonesia. Di sisi lain, sejarah panjang gerakan bantuan hukum di Indonesia memunculkan berbagai strategi, metode dan sebaran wilayah kerja pendidikan dan pemberdayaan hukum di Indonesia. Tantangan ke depan adalah menguatkan sinergi antara program pemerintah sehingga dapat memanfaatkan berbagai pembelajaran dari pengalaman lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada. Lebih jauh, para pelaku pemberdayaan hukum dapat saling melengkapi dan menggunakan wilayah dan struktur kerja satu sama lain. Tidak heran jika sejak beberapa dasawarsa terakhir, misalnya, dukungan pemerintah nasional maupun daerah terhadap lembaga-lembaga bantuan hukum kerap diserukan dengan catatan tidak mengabaikan independensi lembaga-lembaga tersebut. Penguatan jaringan kerja dalam mengintegrasikan program pemberdayaan ekonomi pemerintah dan program pemberdayaan hukum masyarakat. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam tiga dekade terakhir. Yang paling mutakhir adalah diluncurkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) sejak tahun 2007 dengan struktur program yang merentang dari tingkat nasional hingga tingkat desa dan cakupan wilayah kerja menjangkau 33 propinsi di Indonesia. Program pemberdayaan masyarakat secara spesifik mengarahkan dukungan bagi berbagai lapisan kelompok masyarakat miskin baik di perkotaan (Program Pemberdayaan Khusus Perkotaan/P2KP), pedesaan (Program Pengembangan Kecamatan/ PPK) atau daerah-daerah khusus dan tertinggal (Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus/P2DTK).
178
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Dengan struktur dan wilayah kerja yang lengkap dan seluas itu, program pemberdayaan ekonomi adalah lahan yang sangat strategis untuk pengembangan jaringan bantuan hukum dan pemberdayaan hukum masyarakat. Contohnya, pelaku program di tingkat desa (fasilitator desa) sekaligus dapat dilatih sebagai paralegal atau mediator desa. Sementara fasilitator penanganan masalah program di tingkat kabupaten atau propinsi bisa sekaligus berperan sebagai tenaga pengacara masyarakat. Atau, sebagaimana mulai diterapkan dalam program P2DTK, pusat kegiatan program pemberdayaan ekonomi masyakat di tingkat kecamatan sekaligus dipakai sebagai posko bantuan hukum masyarakat yang bekerja untuk pendidikan dan penanganan masalah dan sengketa yang terjadi di masyarakat. Peluang yang penting untuk dicermati adalah tersedianya berbagai pusat kajian dan pelayanan bantuan hukum yang disediakan oleh perguruan tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Meskipun pada umumnya lembaga-lembaga tersebut bertempat di kota kabupaten atau propinsi, namun wilayah kerja pendidikan dan bantuan hukum seringkali meluas hingga ke tingkat desa. Masih menyangkut perguruan tinggi, kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa bisa menerapkan tema spesifik bantuan hukum di mana calon sarjana bisa menerapkan ilmu dan keterampilannya untuk memberi bantuan hukum bagi masyarakat miskin di wilayah pedesaan.
3.8.3 Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan Mempertimbangkan persoalan pokok dan peluang penguatan akses terhadap keadilan terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan sebagaimana diuraikan di atas, berikut ini rekomendasi strategi dalam periode lima tahun mendatang.
1. Pendidikan dan Pemberdayaan Hukum Berbasis Masyarakat Pendidikan merupakan hak warga negara. Pendidikan hukum untuk penguatan akses terhadap keadilan bagi masyarakat meliputi hak untuk mendapat informasi dasar mengenai hak-hak di bidang ekonomi, kesehatan, pemerintahan dan lain-lain. Informasi tersebut perlu dilengkapi dengan pemberdayaan tentang berbagai mekanisme penyelesaian masalah yang bisa diakses serta pengetahuan tentang sumber-sumber informasi dan jaringan kerja pelayanan bantuan hukum yang tersedia di lokasi terdekat. Mencermati kelemahan program pendidikan hukum masyarakat selama ini maka: (i) substansi pendidikan hukum disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan konkrit yang (potensial) terjadi di wilayah atau segmen kelompok yang bersangkutan; (ii) metode yang dipakai dalam pendidikan hukum masyarakat adalah metode pendidikan orang dewasa dengan sebesar mungkin memakai pengalaman hukum masyarakat itu sendiri, serta (iii) pendididikan hukum tidak berdiri sendiri melainkan menggunakan momentum kegiatan yang terjadi di masyarakat seperti: pendidikan hukum pertanahan bagi petani atau masyarakat adat yang mengalami atau rentan terhadap sengketa sumber daya alam; pendidikan hukum pidana bagi masyarakat yang menghadapi dugaan korupsi dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi atau pendidikan tentang hak-hak perburuhan kepada serikat-serikat buruh terutama yang tengah mengalami sengketa perburuhan. Dengan kata lain, pendidikan hukum yang akan dikembangkan dalam waktu lima tahun mendatang adalah pendidikan hukum berbasis masyarakat yang terintegrasi dalam berbagai bentuk kegiatan pemberdayaan hukum dan penguatan akses terhadap keadilan masyarakat.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
179
Strategi ini secara langsung mensyaratkan adanya perubahan paradigma pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Disadari bahwa pendidikan tinggi hukum yang dijalankan oleh berbagai perguruan tinggi merupakan sumber utama lahirnya aktor-aktor yang bekerja dan menentukan perkembangan hukum dalam praktik (aparat penegak hukum, pengacara, pembuat peraturan, pelaku bantuan hukum dan sebagainya). Kurikulum pendidikan tinggi hukum sejauh ini masih didominasi oleh perspektif hukum yang normatif dan legalistik formal; hukum adalah alat milik negara untuk menjaga tertib sosial di masyarakat. Perspektif tersebut perlu segera dilengkapi dengan perspektif baru tentang bagaimana hukum bekerja di masyarakat di mana pengalaman dan kepentingan hukum masyarakat itu sangat dipertimbangkan dalam menjalankan fungsi-fungsi keadilan. Metode pendidikan hukum masyarakat bisa mempertimbangkan struktur jaringan bantuan hukum masyarakat: Lembaga Bantuan Hukum di tingkat nasional – propinsi – kabupaten hingga jaringan paralegal atau kader lokal. Sebagaimana direkomendasikan dalam hasil studi Justice for the Poor Program di atas, pendidikan hukum akan jauh lebih efektif jika dilakukan seiring dengan proses penanganan masalah atau kegiatan advokasi terhadap persoalan hukum di kelompok masyarakat yang bersangkutan. Pendidikan hukum berbasis masyarakat harus berada dalam kerangka strategi pemberdayaan hukum dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: (i) memiliki kaitan dengan hak ekonomi dan hak sosial politik masyarakat keseharian; (ii) mempertimbangkan konteks lokal, dan (iii) membangun kemitraan dengan menjembatani antara hakim, jaksa dan polisi dengan kelompok masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, kepercayaan publik dan memperbaiki kapasitas aparat hukum dalam merespon kebutuhan masyarakat.
2. Pengembangan Keparalegalan di Indonesia Paralegal adalah ujung tombak dalam jaringan pendidikan dan bantuan hukum bagi masyarakat. Paralegal, atau sering disebut dengan istilah lain seperti kader lokal, fasilitator kelompok, local leader, focal point dan sebagainya, pada dasarnya adalah seseorang, laki-laki atau perempuan, yang berasal dari kelompok masyarakat dampingan setempat yang dididik, dilatih dan didampingi untuk dapat menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat, advokasi dan penanganan kasus. Hampir semua program pemberdayaan hukum dan advokasi memiliki kegiatan keparalegalan—meski masih sektoral—seperti isu perempuan, isu perburuhan, petani, nelayan, miskin kota, pedagang kaki lima dan sebagainya. Jika selama ini kegiatan pembentukan paralegal masih bersifat sektoral dan temporer, penguatan akses terhadap keadilan masyarakat merekomendasikan pembentukan paralegal yang lebih komprehensif dan multidimensi di mana paralegal setidaknya bisa menjalankan peran pendidikan hukum, penguatan organisasi masyarakat, dan penanganan kasus. Paralegal juga bisa dilengkapi dengan keterampilan mediasi dan mekanisme penyelesaian masalah alternatif lainnya. Manfaat pengembangan keparalegalan antara lain: (i) menjawab persoalan aksesibilitas karena paralegal pada dasarnya tinggal dan hidup bersama masyarakat setempat; (ii) menjawab persoalan keberlanjutan (sustainability) karena, berbeda dengan program bentukan dari atas, paralegal akan tetap tinggal dan bisa menjalankan fungsinya tanpa dibatasi oleh waktu dan keterbatasan biaya program; (iii) menjawab persoalan metode pendidikan dan pemberdayaan hukum karena paralegal, dengan tingkat pelatihan dan pendampingan tertentu, adalah orang yang paling tepat untuk menerjemahkan berbagai informasi dan materi pendidikan hukum dalam bahasa yang bisa lebih dipahami oleh anggota masyarakatnya. Pengembangan keparalegalan bisa dimulai dengan membangun cetak-biru visi pengembangan keparalegalan di Indonesia yang secara umum merumuskan hal-hal mendasar seperti: peran apa
180
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
yang bisa dilakukan, cara dan materi pelatihan, cara dan materi pendampingan, kode etik serta posisi mereka dalam proses hukum formal di Indonesia. Salah satu langkah penting yang bisa segera dilakukan adalah dengan membentuk pusat pelatihan paralegal di Indonesia di mana berbagai kader program berbasis isu atau sektor bisa mendapat materi yang sama sebelum diperlengkapi dengan materi spesifik menyangkut materi isu atau sektor yang bersangkutan.
3. Mengintegrasikan Pemberdayaan Hukum dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Laporan Commision on Legal Empowerment of the Poor (CLEP) dengan tegas menunjukkan keterkaitan erat antara kemiskinan dan pemberdayaan hukum, “Pada abad ke-21, pemberdayaan hukum bagi empat miliar orang yang terpinggirkan merupakan kunci yang dapat membuka energi yang sangat diperlukan untuk memberantas kemiskinan dan membangun dunia yang lebih stabil dan damai.”100 Di lain sisi, berbagai penelitian merekomendasikan agar kegiatan pemberdayaan hukum masyarakat sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan di bidang lain seperti kegiatan ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Integrasi ini penting karena beberapa alasan: (i) pemberdayaan hukum lebih efektif dan mudah dipahami jika sejalan dengan persoalan atau kegiatan sehari-hari kelompok masyarakat sasaran; (ii) meminimalisasi penggunaan sumber daya dan biaya untuk membangun struktur program baru; (iii) keuntungan timbal balik, program pemberdayaan ekonomi mendapat keuntungan karena tersedianya mekanisme penanganan masalah (korupsi, penyalahgunaan dana, penyimpangan pelaksanaan program) sementara pada saat yang sama masyarakat mendapat kesempatan untuk mendapat pendampingan dalam pendidikan dan bantuan hukum, dan (iv) keberlanjutan program yang lebih terjaga. Sebagaimana sudah disinggung pada bagian terdahulu, program pemberdayaan hukum bisa memanfaatkan struktur dan wilayah program pemberdayaan sektor lain di mana peran-peran aktor program bisa dioptimalkan untuk mengembangkan mandat pendidikan dan pemberdayaan hukum masyarakat. Mempertahankan situasi di mana program pemberdayaan hukum dipisahkan dari program sektor lain tidak saja merugikan secara finansial tetapi sekaligus tidak efektif dalam metode dan keberlanjutan program. Dalam integrasi tersebut juga penting untuk melibatkan pelaku di luar pemerintah. Para pelaku kegiatan pemberdayaan hukum di Indonesia telah memiliki pengalaman panjang yang bisa diterjemahkan dalam perbaikan metode dan strategi pendidikan dan pemberdayaan hukum sebagai salah satu komponen pemberdayaan masyarakat.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
181
182
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
1. Pembaharuan pendidikan hukum Indonesia dimulai pada tahap pembaharuan paradigma pendidikan hukum yang menyeimbangkan antara perspektif kepastian hukum (rule of law) dan aspek keadilan sosial (social justice); Pendekatan pendidkan hukum yang sejalan dengan hakhak dasar masyarakat, menghargai konteks hukum di tingkat lokal dan mengintegrasikan antara teori dan upaya penyelesaian masalah hukum kelompok miskin dan terpinggirkan; hingga tahap penahapan pendidikan hukum pada pendidikan tinggi, kelompok masyarkat sipil dan pegiat bantuan hukum hingga pendidikan hukum bagi masyarakat.
1. Terbatasnya pengetahuan hukum masyarakat dan pemahaman mengenai proses bekerjanya mekanisme-mekaisme penyelesaian masalah hukum bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan. Selain menyangkut kendala sistem dan jangkauan pelayanan pendidikan di Indonesia, masalah ini berakar pada paradigma pendidikan hukum yang menitikberatkan aspek kepastian hukum dan mengabaikan aspek keadilan sosial (social justice)
2. Rendahnya posisi tawar kelompok masyarakat miskin terhadap lembaga hukum dan kelompok kepentingan lain. Akses keadilan pada dasarnya adalah persoalan penguatan posisi tawar daripada persoalan hukum teknis. Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin, berakibat pada: a)pengawasan publik lemah, b)partisipasi rendah dan c)ketidakmampuan melindungi hak-hak dasar.
STRATEGI
HAMBATAN
•
•
Dukungan bagi pembentukan dan bekerjanya asosiasi untuk perubahan paradigma pendidikan hukum, materi dan kurikulum pendidikan hukum di Indonesia Dukungan bagi kegiatan-kegiatan riset dan pusat kajian sosiologi dan antropologi hukum di Indonesia
RENCANA AKSI
•
•
•
•
•
asosiasi perubahan paradigm pendidikan hukum Indonesia Kertas kerja rekomendasi visi dan materi pendidikan hukum Indonesia Perubahan materi dan bahan ajar pendidikan tinggi hukum Alokasi anggaran bagi kegiatan riset dan kajian antropologi dan sosiologi hukum Riset dan kajian sosiologi dan antropologi hukum
KELUARAN Paradigma baru pendidikan hukum Indonesia yang menyeimbangkan antara aspek kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan sosial (social justice) Peningkatan kuantitas dan kualitas kajian dan penelitian antropologi dan sosiologi hukum yang ditujukan bagi penguatan lembaga dan inisiatif akses keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Direktorat Hukum dan HAM,l BAPPENAS berkoordinasi dengan Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdikbud dan perguruan tinggi
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
3.8.4 RENCANA AKSI AKSES TERHADAP KEADILAN BAGI KELOMPOK MASYARAKAT MISKIN DAN TERPINGGIRKAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
183
3. Pengabaian terhadap konteks sosiologis hukum masyarakat termasuk terbatasnya dukungan terhadap berbagai mekanisme penyelesaian masalah di tingkat lokal. Terbatasnya dukungan dan pengakuan atas berbagai mekanisme lokal oleh lembaga hukum formal.
HAMBATAN
2. Pengembangan keparalegalan di Indonesia yang terintegrasi dengan upaya penguatan hak-hak kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan di berbagai isu seperti: perempuan, hak-hak anak, buruh, petani, miskin kota dan sebagainya.
STRATEGI
•
•
Pembentukan peraturan perundangundangan yang memuat ketentuan tentang pengakuan terhadap peran dan posisi paralegal sebagai salah satu pelaku bantuan hukum yang sah; pendanaan bagi kegiatan bantuan hukum dan pendidikan hukum yang diselenggarakan oleh paralegal dan organisasi masyarakat sipil yang mendampinginya.
Penyusunan materi dan media pendidikan hukum yang bisa difahami dan berorientasi pada penyelesaian masalah hukum konkrit yang ditujukan bagi kegiatan pendidikan hukum bagi kelompok masyarkat miskin dan terpinggirkan
RENCANA AKSI
Peraturan perundangan yang mengatur alokasi anggaran dan pengakuan bagi paralegal sebagai pelaku bantuan dan pendampingan hukum masyarakat Blue print pengembangan keparalegalan di Indonesia (2010 – 2020)
•
•
KELUARAN
Meningkatnya kualitas dan kuantitas paralegal berbasis komunitas (bukan berbasis isu/sektor) yang kegiatannya didukung dan diakui oleh peraturan perundang-undangan yang sah
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab: Dep Hukum HAM
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
184
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
STRATEGI Menyusun cetak biru pengembangan keparalegalan di Indonesia yang meredefinisikan paralegal yang sesuai dengan situasi bantuan hukum, advokasi dan pendidikan hukum di Indonesia. Cetak biru juga dimaksudkan untuk meletakan agenda kerja pembangunan keparalegalan yang berkelanjutan.
Pembentukan pusatpusat pelatihan, riset dan dokumentasi keparalegalan yang didukung oleh pemerintah dan institusi penegak hukum yang dapat diakses oleh berbagai organisasi bantuan hukum dan advokasi dan terutama oleh kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan itu sendiri.
•
•
RENCANA AKSI
•
•
Posko bantuan hukum berbasis masyarakat yang melengkapi kegiatan pembentukan keparalegalan di Indonesia.
Terbentuknya lembaga (clearing house) 1 di tingkat nasional dan 6 lembaga di tiap-tiap wilayah Indonesia (Barat – Tengah – Timur)
KELUARAN
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
185
HAMBATAN
STRATEGI Pembentukan posko-posko bantuan hukum berbasis masyarakat dengan memanfaatkan kelembagaan milik masyarakat yang dilengkapi dengan fungsi pendidikan, mediasi dan bantuan hukum yang ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan Pengintegrasian kerja-kerja pengembangan keparalegalan secara lintas sektoral dalam berbagai program penguatan akses keadilan, pemberdayaan hukum dan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia
•
•
RENCANA AKSI Paralegal yang dibentuk, dilatih dan didampingi oleh program-program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
KELUARAN
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
186
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
HAMBATAN
3. Mengintegrasikan inisiatif akses terhadap keadilan ke dalam program-program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
STRATEGI Pembentukan komponen Mediasi dan Pemberdayan Hukum Masyarakat (MPHM) sebagai bagian integral dalam setiap desain program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan
Pembentukan unit khusus penerimaan dan penanganan pengaduan masyarakat (complaint handling mechanism) yang bertangungjawab untuk menerima, mengelola pengaduan dari masyarakat serta terutama member pendampingan bagi masyarakat dalam upaya penyelesaian yang berkeadilan. Penguatan lembaga-lembaga penyelesaian masalah di tingkat lokal (alternative dispute resolution) serta menjembatani hubungan antara mekanisme lokal dengan berbagai lembaga penegak hukum formal.
•
•
•
RENCANA AKSI
Setiap Program Pemberdayaan Masyarakat atau Penanggulangan Kemiskinan telah memiliki komponen MPHM
Setiap Program Pemberdayaan Masyarakat atau Penanggulangan Kemiskinan memiliki unit Penanganan Pengaduan Masyarakat (siapa dan bagaimana)
Peraturan Pemerintah mengenai Penguatan dan pendayagunaan mekanisme penyelesaian sengketa masyarakat
•
•
KELUARAN Terintegrasinya inisiatif dan kegiatan akses terhadap keadilan dalam programprogram penanggulangan kemiskinan di Indonesia SERTA Menguatnya peran mekanisme penyelesaian masalah di tingkat lokal yang sejalan dengan nilainilai keadilan universal yang mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga penegak hukum formal di Indonesia
HASIL T1 T2 T3 T4 T5
WAKTU
Beppenas berkoordinasi dengan Bappeda dan departemen terkait dengan pelaksanaan PNPM
Beppenas berkoordinasi dengan Bappeda dan departemen terkait dengan pelaksanaan PNPM
Penanggung Jawab (Instansi/Lembaga/ Dinas)
BAB 4
BAB 4 Pokok-Pokok Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan Pokok-pokok strategi nasional Akses terhadap Keadilan ini merupakan sintesa dari berbagai strategi dalam delapan isu, yaitu reformasi hukum dan peradilan, bantuan hukum, tata kelola pemerintahan, tanah dan sumber daya alam, ketenagakerjaan, akses keadilan bagi kelompok perempuan, anak serta kelompok miskin dan terpinggirkan. Pembahasan terhadap setiap isu mengacu pada komponen yang sama, yaitu kerangka normatif, kesadaran hukum, akses terhadap forum yang sesuai, penanganan keluhan yang efektif, pemulihan hak yang memuaskan, permasalahan mengenai kelompok miskin, dan strategi nasional. Ada empat prinsip kerja dalam Pokok-pokok Strategi Nasional, yaitu: (1) setiap komponen sama pentingnya; (2) kerja sama sinergis antara pemerintah pusat dan daerah; (3) keseimbangan antara sistem keadilan negara dan sistem keadilan alternatif, penyelenggara keadilan dan pencari keadilan; dan (4) pengawasan, pemantauan dan transparansi. Tiap-tiap prinsip penjelasannya sebagai berikut. Pertama, setiap komponen sama pentingnya sehingga tahap implementasinya harus dikerjakan bersamaan. Penguatan salah satu komponen akan mendorong tuntutan perbaikan pada komponen yang lain, atau sebaliknya, pengabaian terhadap salah satu komponen akan mempengaruhi keberhasilan komponen yang lain. Kedua, kerja sama yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Komitmen pemerintah pusat penting untuk mengimplementasikan seluruh komponen dalam strategi nasional. Meskipun demikian, pemerintah daerah juga memegang peranan penting karena desentralisasi memberikan otonomi untuk membentuk peraturan daerah dan merumuskan program-program terkait dengan penguatan Akses terhadap Keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan. Oleh karena itu, pelaksanaan strategi nasional ini harus menyadari peranan pemerintah daerah yang semakin besar serta mendukung upaya peningkatan kualitas peraturan, kebijakan dan program pembangunan daerah, dan konsistensinya dengan kerangka hukum dan program pembangunan di tingkat nasional. Ketiga, keseimbangan antara sistem keadilan negara dan sistem keadilan alternatif, penyelenggara keadilan dan pencari keadilan. Berbagai strategi Akses terhadap Keadilan sudah seharusnya bekerja pada dua wilayah penting yaitu reformasi berbagai peraturan dan lembaga penegakan hukum negara, dan berbagai mekanisme penyelesaian sengketa alternatif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Berbagai studi membuktikan bahwa pada dasarnya mekanisme formal dan nonformal
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
187
merupakan dua sisi dari mata uang, pelemahan pada mekanisme nonformal akan melemahkan yang formal, demikian pula sebaliknya. Keempat, pengawasan, pemantauan dan transparansi. Setiap strategi memerlukan rencana dan mekanisme pemantauan, pengawasan dalam proses yang menjamin adanya transparansi. Strategi penguatan Akses terhadap Keadilan pada dasarrnya memuat mandat perlunya pemerintah dan organisasi masyarakat memiliki rencana dan mekanisme pemantauan dan pengawasan bagi programprogram peningkatan Akses terhadap Keadilan. Di samping itu diperlukan sosialisasi pembelajaran (best practice) tentang pendekatan pembangunan yang tansparan, partisipatoris dan akuntabel. Untuk melakukannya pemerintah dapat memanfaatkan upaya dan inisiatif awal yang telah dilakukan berbagai kelompok masyarakat sipil. Terbukti dalam banyak hal bahwa potensi keberhasilan implementasi kebijakan pada umumnya merupakan replikasi pembelajaran (best practice) yang sudah lebih dulu ada dalam masyarakat.
Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan Ada enam pokok strategi nasional yang diusulkan, yang selanjutnya akan dipaparkan, yaitu: (1) perubahan paradigma pembangunan hukum dan peranan pendidikan hukum di Indonesia; (2) pengakuan dan dukungan terhadap kegiatan bantuan hukum dan pembangunan paralegal di Indonesia; (3) perbaikan legislasi dan politik anggaran yang mendukung Akses terhadap Keadilan; (4) formulasi dan penerapan Standar Pelayanan Minimum dalam pelayanan publik; (5) penguatan mekanisme pengaduan dan penyelesaian/pemulihan bagi masyarakat yang dirugikan dalam pelayanan publik; (6) penguatan dan pemberdayaan sistem keadilan berbasis komunitas.
4.1
Perbaikan Pembangunan Hukum di Indonesia melalui Pendidikan Hukum dan Penguatan Lembaga Penegakan Hukum
Pencapaian Akses terhadap Keadilan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan hukum secara keseluruhan. Strategi pembangunan hukum dalam konteks Indonesia membutuhkan berbagai upaya secara menyeluruh dan terpadu untuk menjawab permasalahan menyangkut paradigma hukum dan pendidikan hukum serta lembaga penegakan hukum.
Perubahan Paradigma Hukum dan Pendidikan Hukum Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) secara tegas menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang secara universal diartikan sebagai rule of law,101 perlu ditindaklanjuti dengan menjabarkan negara hukum seperti apa yang diinginkan. Apakah negara hukum yang lebih menekankan pada kepastian hukum (legal certainty) di atas nilai keadilan (justice). Ataukah keadilan yang berada di atas kepastian hukum. Profesor Satjipto Rahardjo berpendapat negara hukum Indonesia perlu menegaskan identitasnya, yang mungkin belum tuntas dipikirkan oleh para bapak kemerdekaan kita. Dan menjadi tugas kitalah untuk lebih menegaskan identitas tersebut. Penegasan identitas tersebut lebih mendesak lagi karena negara ini belum benar-benar menjadi rumah yang membahagiakan bangsa Indonesia secara keseluruhan102. Penjabaran paradigma hukum yang pada dasarnya memberikan landasan kepada seluruh aspek pembangunan hukum di Indonesia tersebut, terjalin erat dengan upaya pendidikan hukum. Pendidikan hukum merupakan wadah penyampaian, penyebarluasan dan internalisasi, yang kurikulum, 188
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
pendekatan dan metodenya otomatis dibentuk oleh paradigma itu sendiri. Selain itu, pendidikan hukum juga merupakan tempat munculnya diskursus-diskursus hukum yang berkontribusi pada dinamika, perkembangan dan perubahan paradigma hukum itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan hukum sebagai “hulu” yang melahirkan para pelaku hukum dan penyedia keadilan (seperti hakim, jaksa, advokat, perancang perundang-undangan, birokrat hukum dan sebagian polisi) berperan signifikan dalam menentukan arah pembangunan hukum ke depan. Melihat peran strategis pendidikan hukum dalam membentuk paradigma hukum dan menentukan arah pembangunan hukum yang berkeadilan di Indonesia, maka perlu diambil beberapa langkah prioritas sebagai berikut:
1. Memperkuat perspektif sosio-legal dalam kurikulum pendidikan hukum. Pendidikan hukum di perguruan tinggi saat ini nampak semakin menjauh dari kurikulum yang berpihak pada masyarakat miskin dan terpinggirkan, dengan semakin luasnya ruang yang diberikan kepada hukum komersial atas nama tuntutan pasar. Padahal, terdapat signifikansi antara kemiskinan dunia dengan pengabaian orang miskin dari tegaknya hukum dan Akses terhadap Keadilan (CLEP, 2008). Tidak kalah pentingnya, sifat masyarakat Indonesia yang plural dengan kondisi pluralisme hukum sebagai realitas. Sementara, kurikulum yang memungkinkan pengkajian yang lebih mendalam tentang hubungan hukum, masyarakat dan keadilan masih terbatas. Paradigma pendidikan hukum yang berorientasi legal formal memang diperlukan untuk menjaga kepastian dan tertib hukum. Namun pendidikan tinggi hukum yang hanya normatif dan legistis, akan menghasilkan sarjana hukum yang memahami hukum hanya sebagai huruf mati (dead letter), dan mengisolasi hukum dari konteks kemasyarakatan di mana hukum itu berada. Sarjana hukum yang demikian sukar sekali melahirkan terobosan hukum yang sangat diperlukan untuk menyeimbangkan hukum dengan perkembangan masyarakat. Akibatnya, hukum kian jauh dari keadilan sosial. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan hukum yang kurikulumnya diperkuat dengan perspektif keadilan sosial, kepekaan gender, hak asasi manusia (termasuk hak perempuan, hak anak dan hak kelompok terpinggirkan) dan berwawasan lingkungan hidup. Dengan demikian, para sarjana hukum tidak hanya bekerja untuk menjaga tertib hukum, tetapi juga ikut membentuk pelaku hukum dan penyedia keadilan yang memiliki kepekaan dan pemahaman mengenai pentingnya perlindungan kepentingan hukum dan keadilan kelompok rentan dan terpinggirkan. Dari mereka juga diharapkan kemampuan untuk melakukan terobosan-terobosan ketika substansi hukum tidak mampu untuk mengakomodasi berbagai persoalan kemasyarakatan. Dari pendidikan hukum yang multi-disiplin, akan dilahirkan sarjana hukum yang mampu merumuskan pembentukan berbagai peraturan hukum yang menjamin keadilan bagi masyarakat, lembaga penegak hukum yang responsif dan mengakomodasi budaya hukum masyarakat. Penguatan ini bisa dimulai dengan mengembangkan kurikulum di berbagai fakultas hukum, lembaga pendidikan hukum lain, dan kursus-kursus bagi para pelaku hukum dan penyedia keadilan di tingkat nasional maupun daerah.
2. Memperluas pendidikan hukum kritis di masyarakat. Sudah lama berkembang anggapan bahwa hukum dan persoalan keadilan bersifat rumit dan hanya mampu dipahami oleh orang-orang tertentu. Padahal Akses terhadap Keadilan mensyaratkan adanya jaminan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan hukum dan kesadaran hukum yang memadai. Rasa keadilan masyarakat juga sering tidak bertemu dengan paradigma positivisme hukum yang lebih mengutamakan keadilan hukum (legal justice)103. Ketiadaan perspektif pro-keadilan rakyat
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
189
dan pengabaian pengalaman kelompok-kelompok terpinggirkan dan miskin tercermin di dalam perumusan produk perundang-undangan dan implementasinya di lapangan. Berdasarkan situasi tersebut, perlu didukung penyebarluasan pendidikan hukum kritis berbasis komunitas. Tujuannya adalah agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hak-hak dasar yang menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya serta sipil dan politik, yang dijamin oleh Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan perluasan pendidikan hukum kritis bagi masyarakat, perlu juga dilakukan pembaharuan terhadap metode pendidikan hukum yang disesuaikan dengan sasaran yang dimaksud. Hal tersebut bisa dimulai di antaranya dengan menyusun metode pendidikan hukum kritis yang partisipatif dan interaktif. Di tengah upaya memperbaiki pembangunan hukum, pembenahan lembaga penegakan hukum juga perlu menjadi prioritas berikutnya. Pembenahan lembaga penegakan hukum yang strategis dapat dilakukan melalui upaya: (1) penguatan kapasitas individual aparat penegak hukum melalui pembaharuan kurikulum, pendekatan dan metode pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan aparat yang berkualitas dan berintegritas. Pembaharuan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku aparat terhadap pencapaian keadilan sosial, kepekaan gender, hak asasi manusia (termasuk hak perempuan, hak anak dan hak kelompok terpinggirkan) dan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; (2) penguatan kapasitas kelembagaan penegak hukum melalui pembenahan struktur, mekanisme dan prosedur yang berkaitan dengan independensi dan integritas penegakan hukum; pembenahan fungsi perencanaan, koordinasi, pemantauan dan evaluasi penegakan hukum; dan pemulihan kepercayaan publik melalui penguatan mekanisme pengaduan dan penanganan keluhan yang transparan dan akuntabel.
4.2
Pengakuan dan Dukungan terhadap Kegiatan Bantuan Hukum dan Pembangunan Keparalegalan di Indonesia
Semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat dan pelaksanaan program pemberdayaan hukum yang berjalan baik akan membawa dampak yang sangat signifikan terhadap penguatan Akses terhadap Keadilan di tingkat masyarakat. Permasalahan baru akan muncul jika perkembangan tersebut tidak dilakukan seiring dengan kesiapan lembaga pemerintah dan lembaga penegak hukum baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Pemberdayaan hukum yang tidak didukung oleh perbaikan kebijakan, budaya birokrasi dan pendanaan dari pemerintah berpeluang besar menghasilkan lebih banyak frustasi. Hal yang penting dalam perubahan paradigma pendidikan hukum menuju terwujudnya pemberdayaan hukum berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pengakuan dan dukungan bagi kegiatan bantuan hukum dan pembangunan keparalegalan di Indonesia. Pengakuan tersebut sangat diperlukan karena merupakan landasan yuridis yang memberi perlindungan bagi inisiatif pemberdayan hukum oleh masyarakat. Merealisasikan hak masyarakat, terutama yang miskin dan terpinggirkan atas bantuan hukum membutuhkan sejumlah prasyarat: Pertama, pembentukan landasan hukum yang menjamin akses masyarakat tersebut. Selama ini hak atas bantuan hukum tidak dijamin dalam Konstitusi dan landasan hukum yang memadai. Landasan hukum bantuan hukum selama ini sebatas diatur dalam kebijakan
190
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
yang mengatur profesi advokat (UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Banatuan Hukum secara Cumacuma). Bantuan hukum dalam konteks ini mengatur kewajiban setiap advokat memberikan bantuan hukum (di dalam maupun di luar pengadilan) sebagai bagian dari pengabdian profesi mereka (pro bono publico). Secara paradigmatik konsep pro bono publico berdasarkan UU Advokat dengan bantuan hukum dalam konteks mendorong Akses terhadap Keadilan memiliki perbedaaan karena pro bono publico diperlakukan sebagai wujud professional social responsibility dan terbatas pada bantuan hukum dalam konteks setelah ada perkara (dispute). Sedangkan bantuan hukum dalam konteks Akses terhadap Keadilan berorientasi kepada pemberdayaan dan penguatan sumber daya hukum masyarakat sebagai cara untuk mensejahterakan mereka. Bantuan hukum dalam konteks ini tidak harus menunggu adanya perkara telebih dahulu. Dengan demikian walaupun konsep pro bono publico dapat merupakan dukungan terhadap pengembangan Akses terhadap Keadilan, bantuan hukum untuk masyarakat miskin merupakan hal lain yang memerlukan pengakuan konstitusional104 dan perundang-undangan yang mengatur antara lain kewajiban pengalokasian anggaran bantuan hukum oleh negara. Kedua, penyelenggaraan bantuan hukum yang efektif menuntut keberadaan mekanisme pendanaan untuk mendukung program-program bantuan hukum yang diprakarsai oleh masyarakat termasuk perguruan tinggi. Gagasan dana abadi (endowement fund) sebagaimana diterapkan di sektor konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati perlu dikaji kemungkinan penerapannnya di bidang bantuan hukum untuk rakyat miskin di Indonesia. Salah satu langkah lainnya yang strategis untuk mendukung Akses terhadap Keadilan adalah dukungan pemerintah terhadap pengembangan keparalegalan di Indonesia. Paralegal adalah ujung tombak unttuk pendidikan dan bantuan hukum bagi masyarakat. Hampir semua program pemberdayaan hukum dan advokasi memiliki skema keparalegalan untuk isu atau sektor pembangunan tertentu: perempuan, perburuhan, petani, nelayan, masyarakat miskin kota, pedagang kaki lima dan sebagainya. Jika selama ini kegiatan pembentukan paralegal masih bersifat sektoral dan temporer, maka penguatan Akses terhadap Keadilan masyarakat merekomendasikan pengembangan paralegal yang lebih komprehensif dan multidimensi. Paralegal setidaknya bisa menjalankan peran pendidikan hukum, penguatan organisasi masyarakat, dan penanganan kasus. Paralegal juga bisa dilengkapi dengan keterampilan mediasi dan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Manfaat pengembangan keparalegalan yang utama adalah: (i) menjawab persoalan aksesibilitas karena paralegal pada dasarnya tinggal dan hidup bersama masyarakat setempat; (ii) menjawab persoalan keberlanjutan (sustainability) karena, berbeda dengan program bentukan dari pusat (negara), paralegal akan tetap tinggal dan bisa menjalankan fungsinya tanpa dibatasi oleh waktu dan keterbatasan biaya program; (iii) menjawab persoalan metode pendidikan dan pemberdayaan hukum karena dengan tingkat pelatihan dan pendampingan tertentu, paralegal adalah orang yang paling tepat untuk menerjemahkan berbagai informasi dan materi pendidikan hukum dalam bahasa yang mudah dipahami oleh anggota masyarakatnya.
4.3
Perbaikan Legislasi dan Politik Anggaran yang Mendukung Akses terhadap Keadilan
Sebagaimana dijelaskan di atas, pembentukan perundang-undangan masih dihadapkan pada berbagai persoalan. Pertama, perundang-undangan di Indonesia belum mampu mencerminkan sepenuhnya aspirasi masyarakat karena dilakukan melalui proses yang seringkali tidak transparan
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
191
dan partisipatif. Walaupun UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur hak masyarakat untuk memberikan masukan, namun dalam praktiknya partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan masih bersifat formalitas. Kedua, masalah harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan-undangan, baik yang bersifat vertikal (harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan yang lebih tinggi) maupun horizontal (harmonisasi dan sinkronisasi antar sesama peraturan perundang-undangan pada tingkat yang sama). Hal yang sama pentingnya adalah harmonisasi dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, antara lain prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Prakarsa negara untuk mengembangkan pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah perlu terus dikembangkan dan diperkuat. Prakarsa ini perlu diperluas dengan pembentukan pedoman harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Ketiga, implikasi sebuah legislasi terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat (regulatory/legislation impact assessment) perlu dikembangkan di Indonesia. Pedoman Kajian Dampak Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat Sekjen DPR perlu disosialisasikan dan diterapkan dalam setiap proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian sejak awal sebelum legislasi disahkan, implikasi dan dampak dari pemberlakuannya sudah dapat diketahui sehingga dampak buruk terhadap masyarakat terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan dapat dihindari. Untuk menjaga kualitas proses pembentukan perundang-undangan, diperlukan adanya penegasan kewajiban Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berupa: 1. Pembuatan naskah akademis yang terstandarisasi untuk setiap prakarsa Rancangan Undang Undang; 2. Pelaksanaan konsultasi publik yang hakiki dalam pembentukan legislasi yang perlu dijabarkan dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; 3. Pengembangan kebijakan tentang metodologi harmonisasi legislasi termasuk harmonisasi vertikal, horisontal dan subtansial di atas; 4. Pengembangan kebijakan tentang metodologi kajian dampak/implikasi dari peraturan perundangundangan (RIA - regulatory impact assessment) yang dapat terintegrasi dengan naskah akademis; 5. Penguatan peran Mahkamah Konstitusi dan pemasyarakatan mekanisme constitutional review (uji konstitusional dari sebuah undang-undang) di Mahkamah Konstitusi maupun judicial review (uji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang) di Mahkamah Agung (MA). Akses terhadap Keadilan membutuhkan strategi afirmatif bagi masyarakat pencari keadilan terutama kelompok miskin dan terpinggirkan. Pelayanan bantuan hukum misalnya mensyaratkan kemauan politik dari negara yang tertuang dalam politik anggaran dan sumber daya. Kebijakan anggaran untuk bantuan hukum yang sudah ada perlu ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Bantuan hukum harus mencerminkan prinsip ‘wajib’ (compulsory),‘cuma-cuma’ (free of charge) dan mudah diakses (accessible). Anggaran bantuan hukum harus dipastikan peruntukannya bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Dengan demikian, dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak konstitusionalnya, masyarakat miskin tidak akan terdiskriminasi karena kemiskinannya. Penyediaan anggaran bantuan hukum daerah perlu dibiayai melalui persentase tertentu dari APBD. Penguatan Akses terhadap Keadilan juga mensyaratkan perbaikan kapasitas fiskal daerah miskin dan tertinggal agar kepentingan masyarakat bisa lebih terlayani. Persoalan yang juga perlu mendapat perhatian adalah ketidakseimbangan pengalokasian anggaran antara kepentingan pemerintah dan kepentingan
192
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
masyarakat khususnya kelompok perempuan, anak, miskin dan terpinggirkan. Dengan demikian perlu memikirkan prinsip-prinsip keberpihakan kepada rakyat dalam perumusan anggaran. Inisiatif kelompok perempuan untuk mempromosikan anggaran berwawasan gender (gender budgeting) yang partisipatif di tingkat pusat maupun daerah, harus diperluas dalam rangka memberi ruang bagi semakin diperhatikannya alokasi anggaran yang adil bagi kelompok masyarakat miskin lainnya.
4.4
Formulasi dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum dalam Pelayanan Publik
Salah satu persoalan yang diidentifikasi menghambat teraksesnya keadilan dalam delapan kelompok isu, adalah buruknya kualitas pelayanan publik. Selain masih banyak kekurangan berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas sumber daya yang tersedia, baik manusia, kelembagaan, maupun finansial, secara substantif juga terdapat banyak masalah fungsi dan struktur yang membuat masyarakat kesulitan untuk mengaksesnya. Masalah kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia penyedia layanan publik terentang dalam sebuah spektrum mulai dari minimnya pengetahuan dan keterampilan, tidak dimilikinya perspektif pelayanan yang berdasarkan hak dan keadilan sampai dengan ketiadaan kepekaan sosial budaya. Mengenai kelembagaan, masalah prosedur yang tidak seragam, peraturan yang sebenarnya jelas tetapi dipahami dengan berbeda-beda sehingga dilaksanakan tanpa standarisasi sampai dengan peraturan yang tidak dijalankan sama sekali mewarnai penggambaran permasalahan yang ditemukan di kedelapan isu yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu, secara fungsi dan struktur, pelayanan publik yang selama ini dibangun di atas landasan berpikir yang kurang berpihak pada ide tentang “negara melayani masyarakat”, seringkali membuat masyarakat pada akhirnya “melayani” kebutuhan negara. Fungsi-fungsi pelayanan publik yang tidak baik atau tidak sejalan dengan apa yang sudah diatur seringkali tidak dapat disikapi masyarakat dengan seimbang. Seringkali tidak ada sanksi yang jelas bagi petugas penyedia layanan yang melanggar dan tidak ada jaminan yang tegas tentang hak-hak masyarakat atas layanan publik itu sendiri. Melihat permasalahan tersebut, langkah prioritas yang akan diambil oleh pemerintah adalah mengembangkan formulasi atau meninjau kembali peraturan yang sudah ada mengenai standar pelayanan minimum pelayanan publik, dan memastikan pelaksanaannya. Strategi ini diharapkan akan menyentuh dua kepentingan, yaitu para penerima manfaat dan pemerintah. Berdasarkan pengalaman banyak negara maju, standar pelayanan minimum adalah sebuah alat yang paling efektif dalam menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara. Dari sisi masyarakat, idealnya, standar pelayanan minimum adalah alat yang disusun dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia. Pendekatan tersebut memungkinkan dilakukannya identifikasi terhadap setiap tahapan dalam proses pelayanan publik, hak-hak masyarakat yang mana yang paling sering terlanggar saat proses itu berlangsung, dan bagaimana mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi. Sementara dari sisi pemerintah, penggiatan formulasi dan penerapan standar pelayanan minimum akan berkontribusi pada pelaksanaan semua urusan wajib Pusat dan Daerah, sebagaimana diamanatkan oleh UU Otonomi Daerah, PP No. 65 tahun 2005 dan PP No. 38 tahun 2007. Selain itu, adanya standar pelayanan minimum akan memperjelas kebutuhan alokasi anggaran dalam rangka menyediakan layanan publik yang memadai. Proses yang partisipatif harus dijamin dalam penyusunannya, dengan demikian standar pelayanan minimum juga dapat digunakan oleh masyarakat untuk memantau kinerja layanan publik.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
193
4.5
Penguatan Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian/Pemulihan bagi Masyarakat yang Dirugikan dalam Pelayanan Publik
Mekanisme pengaduan, penyelesaian sengketa dan pemulihan bagi masyarakat adalah elemen penting dalam Akses terhadap Keadilan yang dikelola oleh pemerintah sebagai kepanjangan tangan dari negara. Dalam konteks pemerintahan modern, pemerintah diartikan secara luas sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsinya untuk menjadi pelayan masyarakat. Hal ini adalah konsekuensi dari rangkaian aktivitas bernegara, di mana rakyat menyerahkan sebagian dari hak-haknya untuk dikelola negara, melakukan kewajiban-kewajiban tertentu seperti membayar pajak, dan sebagai imbal baliknya negara melayani dan menyelenggarakan hak-hak rakyat dalam konsep welfare state atau negara kesejahteraan. Ketika negara melakukan kelalaian, pengabaian ataupun pembiaran yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dalam pemenuhan hak-haknya, negara menyediakan tempat-tempat rujukan bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhannya, menjamin agar keluhan tersebut didengar dan ditangani, serta menjamin adanya jalur penyelesaian dan pemulihan bagi masyarakat yang merasa dirugikan (claim holder) dalam sebuah mekanisme yang terintegrasi. Harus diakui, kondisi tersebut ketika diletakkan pada konteks Indonesia ternyata masih sebatas wacana pada tataran gagasan ideal dan masih jauh dari situasi empiris. Perhatian terhadap pentingnya membuka akses pengaduan bagi masyarakat jauh lebih terasa di sektor swasta, misalnya pada lembaga perbankan swasta, dibandingkan dengan sektor pemerintahan. Konsep tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) di sektor pemerintahan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan good corporate governance di sektor swasta. Mekanisme pengaduan publik (public complain mechanism) termasuk bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, mensyaratkan beberapa kondisi, yaitu: (i) masyarakat mengetahui adanya lembaga dalam pemerintahan yang menangani pengaduan atau keluhan bagi mereka yang merasa dirugikan dalam pelayanan publik; (ii) adanya prosedur atau tata cara yang sederhana dan mudah diakses; (iii) adanya jaminan dan kesungguhan dari pemerintah bahwa pengaduan yang dilakukan masyarakat akan ditangani secara cepat dan dapat diketahui status dari penanganannya oleh pengadu/penyampai keluhan; dan (iv) adanya tindakan nyata dari lembaga penerima pengaduan untuk menyelesaikan pengaduan baik yang bersifat sengketa (antara anggota masyarakat dengan instansi tertentu) maupun bukan sengketa (permohonan dari anggota masyarakat untuk perbaikan kondisi tertentu dalam pelayanan publik). Tanpa adanya mekanisme pengaduan yang terstruktur sesuai prasyarat di atas, Akses terhadap Keadilan tidak akan dapat diwujudkan, karena masyarakat tidak memiliki atau terhalang untuk memiliki saluran untuk menyampaikan keluhannya. Berangkat dari pemahaman ini, mekanisme pengaduan yang jelas dan terinci, jalur-jalur penyelesaian dan pemulihan bagi masyarakat yang merasa dirugikan adalah mata rantai terakhir yang sangat menentukan dalam rangkaian Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan. Dalam upaya mengakses keadilan yang menghasilkan proses timbal balik antara masyarakat sebagai penerima manfaat dan negara sebagai penyedia layanan publik, kerangka kerja mekanisme pengaduan masyararakat dituntut semakin membaik seiring dengan semakin kuatnya kerangka hukum normatif dan tingkat kesadaran masyarakat mengenai hak-hak publik. Langkah strategis untuk lima tahun ke depan akan diprioritaskan pemerintah dalam upaya penguatan terhadap ombudsman sebagai lembaga penerima pengaduan yang telah ada namun belum berjalan
194
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
efektif, yaitu: pertama, sosialisasi UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia kepada lembaga pemerintahan dan masyarakat termasuk LSM; Kedua, penguatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan sebaran ombudsman; dan ketiga, penguatan upaya monitoring, pengawasan dan pemberian sanksi. Dalam strategi yang pertama, kerangka hukum normatif yang telah ada, terutama Undang-undang No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia perlu diperkuat dengan berbagai peraturan pelaksanaan sehingga gagasan tentang pencegahan dan penindakan terhadap kasus-kasus mal-administrasi yang dilakukan oleh lembaga negara dan pemerintahan dapat diimplementasikan secara efektif. Di sisi lain, perangkat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, di antaranya seperti Keputusan MenPAN No. 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik, Keputusan MenPAN No. 25 tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat dan Keputusan MenPAN No. 26 tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik harus diperkuat dan diadopsi ke tingkat undang-undang dan peraturan pemerintah. Dampak langsung dari strategi ini adalah, di satu sisi, lembaga pemerintahan departemen dan non-departemen akan menjalankan pedoman tersebut sebagai perintah undang-undang dan bukan sebagai ‘imbauan’ dari sesama kementerian. Pada sisi yang lain, masyarakat dapat melihat keseriusan negara melalui kemauan politik Pemerintah dan DPR dalam menyediakan akses bagi masyarakat yang dirugikan. Untuk mendukung keberhasilannya, secara simultan upaya-upaya ini perlu disosialisasikan juga melalui berbagai LSM yang merepresentasikan kepentingan masyarakat dalam pelayanan publik. Dukungan tersebut sangat penting mengingat proses pembentukan undang-undang tidak saja melibatkan eksekutif namun juga legislatif sebagai aktor utama. Dengan dukungan tersebut, RUU Pelayanan Publik yang saat ini sedang dalam pembahasan di DPR diharapkan dapat diselesaikan. Dukungan unsur masyarakat tersebut juga diharapkan memberikan dorongan bagi pemerintah untuk menuntaskan pembahasan antar departemen atas RUU Administrasi Pemerintahan yang telah cukup lama dibahas namun belum siap diajukan ke DPR. RUU ini sangat penting untuk menjaga agar keputusan administrasi yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau general principles of proper administration). Kedua, efektivitas pelaksanaan gagasan tersebut dapat diukur dari beberapa indikator, di antaranya adalah terbentuknya kantor perwakilan Ombudsman di daerah-daerah. Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan penguatan kapasitas kelembagaan bagi Ombudsman Republik Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah dukungan bagi penguatan sistem dan prosedur yang sederhana, mudah diakses oleh masyarakat dan menjamin adanya upaya penyelesaian dan pemulihan. Strategi kedua tersebut berkaitan erat dengan strategi ketiga, di mana pemerintah akan menyiapkan prosedur tetap tentang mekanisme yang jelas, tegas dan transparan mengenai langkah-langkah monitoring, pengawasan dan pemberian sanksi bagi lembaga negara dan pemerintahan yang melakukan maladministrasi dan/atau melanggar Standar Pelayanan Minimum.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
195
4.6
Penguatan dan Pemberdayaan Sistem Keadilan Berbasis Komunitas
Akses masyarakat miskin dan terpinggirkan terpenuhi tidak hanya melalui sistem keadilan formal tetapi juga melalui sistem keadilan yang berlaku dalam komunitas. Penyelesaian konflik, misalnya, dalam banyak hal lebih mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat jika menggunakan mekanisme penyelesaian konflik yang berakar dalam sistem sosial masyarakat (mekanisme adat, desa dan sebagainya). Meskipun demikian, sistem keadilan komunitas ini juga berpotensi untuk melanggar hak asasi manusia terutama pada masyarakat miskin, perempuan dan anak, serta tidak memperhatikan keadilan pada lingkungan. Efektivitas sistem keadilan komunitas dalam memberikan perlindungan pada masyarakat miskin dan terpinggirkan sangat bergantung pada perimbangan relasi kekuasaan dalam masyarakat dan pemahaman tokoh-tokoh lokal terhadap prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan. Lembaga-lembaga penyelesaian konflik oleh masyarakat perlu mendapat dukungan hukum dan anggaran. Kelemahan lembaga ini dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia pada masyarakat miskin dan terpinggirkan perlu diatasi dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang hak asasi manusia dari tokoh-tokoh lokal dan membuka ruang bagi mereka yang dirugikan untuk mengadukan penyalahgunaan kekuasaan politik dan kultural yang terjadi dalam mekanisme nonformal kepada lembaga-lembaga penyedia keadilan formal. Kelompok masyarakat sipil perlu meningkatkan fasilitasi pada kelompok miskin dan terpinggirkan untuk mendapat keadilan pada sistem-sistem berbasis komunitas. Enam pokok strategi nasional yang dijabarkan di atas memberikan dukungan atau merupakan prasyarat bagi keberhasilan dan efektivitas dari upaya-upaya untuk mengatasi delapan permasalahan Akses terhadap Keadilan di Indonesia, yaitu permasalahan di bidang reformasi hukum dan peradilan, bantuan hukum, tata kelola pemerintahan daerah, tanah dan sumber daya alam, perempuan, anak, tenaga kerja, dan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Dengan demikian Strategi Nasional dan Rencana Aksi tentang Akses terhadap Keadilan ini merupakan penjabaran dari enam pokok strategi dan program-program untuk menjawab delapan permasalahan Akses terhadap Keadilan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat miskin dan terpinggirkan.
196
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
197
Bantuan Hukum
Reformasi Hukum dan Peradilan
SEKTOR
• Aktivitas bantuan hukum dalam masyarakat sipil belum dapat memenuhi kebutuhan bantuan hukum yang semakin meningkat tanpa dukungan dana dari pemerintah
• Kelemahan sistem pendidikan hukum formal dalam membangun kesadaran hukum kritis atas kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat
3) Memastikan bahwa bantuan hukum dapat dijangkau dan tersedia pula bagi masyarakat miskin, bukan saja bagi golongan kaya dan berkuasa
2) Menjamin hak konstitusional bagi masyarakat miskin untuk dapat mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak hukum mereka tanpa terdiskriminasi akibat kemiskinannya
1) Pembentukan sistem bantuan hukum secara komprehensif, meliputi: (i) Undang-undang yang menjamin adanya akses terhadap bantuan hukum dan pelayanan jasa hukum bagi kelompok miskin; (ii) pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya hukum; (iii) peningkatan pendanaan untuk mempromosikan akses terhadap bantuan hukum; (iv) pengembangan kapasitas paralegal sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat; (v) pengembangan pendidikan hukum yang mendukung implementasi mekanisme bantuan hukum, dan; (vi) pemberian penghargaan untuk memotivasi dan menarik keterlibatan generasi baru di kalangan aktivis bantuan hukum
5) Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan publik
• Upaya-upaya masyarakat untuk mencapai penyelesaian sengketa melalui mekanisme adat dan mediasi belum memperoleh perhatian serius
• Belum adanya dasar hukum yang kuat tentang bantuan hukum bagi orang miskin di Indonesia, seperti halnya kita belum memiliki UU yang secara khusus mengatur Bantuan Hukum bagi orang miskin.
4) Penguatan agenda reformasi terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum,termasuk lembaga-lembaga pengawasan, untuk meningkatkan profesionalisme dan etika profesi di kalangan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
3) Perbaikan proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dengan transparansi dan pelibatan para pemangku kepentingan, dan perbaikan materi perundang-undangan melalui harmonisasi perundangundangan (antara satu dengan lainnya, dengan Konstitusi dan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia)
2) Pengembangan pendidikan hukum formal dengan perspektif keadilan sosial untuk menghasilkan profesi hukum yang memiliki integritas dan sensitivitas terhadap masyarakat miskin dan terpinggirkan, dan mendorong lembagalembaga pendidikan untuk melakukan peran secara lebih aktif dalam pendidikan masyarakat dan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum
1) Penjabaran makna Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
REKOMENDASI
• Partisipasi masyarakat dalam reformasi terhalang oleh kurangnya informasi dan perlindungan hukum, dengan hasil rendahnya kesadaran hukum masyarakat
• Masih lemahnya pengawasan eksternal oleh Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial
• Masih banyaknya kasus korupsi dan pelanggaran etika perilaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) yang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat
• Penjabaran belum jelasnya paradigma pembangunan hukum dan konsepsi negara hukum (rule of law) yang digunakan Indonesia untuk menjabarkan Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
TEMUAN
LAMPIRAN - 1 STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN STRATEGI PER SEKTOR
198
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Tanah dan Sumber daya Alam
Tata Kelola Pemerintahan Daerah
SEKTOR
• Belum tersedianya mekanisme pemulihan lingkungan hidup yang menjamin masyarakat miskin dan terpinggirkan memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan sumber daya alam yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka
• Belum adanya lembaga khusus yang mampu menyelesaikan konflik pertanahan dan sumber daya alam
• Belum memadainya norma-norma peraturan perundang-undangan yang memberikan pengakuan dan perlindungan serta pemulihan hak masyarakat miskin, masyarakat adat dan kelompok terpinggirkan lain
• Terjadinya tumpang tindih dan pertentangan peraturan perundang-undangan
• Rendahnya kualitas kebijakan daerah
• Pemekaran daerah yang sangat pesat
• Kurangnya efektivitas dekonsentrasi dan pelaksanaan tugas pembantuan
anggaran
REKOMENDASI
7) Pemulihan lingkungan fisik dan sosial di mana masyarakat tersebut hidup dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam
6) Perbaikan kualitas pelayanan publik dan mekanisme pengaduan
5) Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan lain atas tanah dan sumber daya alam
4) Pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh dan terkoordinasi
3) Menciptakan mekanisme penyelesaian konflik tanah dan sumber daya alam yang mampu melindungi hak-hak masyarakat miskin dan terpinggirkan, termasuk transformasi konflik menjadi kemitraan antara para pemangku kepentingan
2) Harmonisasi penataan ruang dan perizinan pada tingkat pusat dan daerah untuk memastikan adanya ruang bagi masyarakat miskin dan adat untuk memperoleh hak serta akses untuk mendapatkan manfaat dari tanah dan sumber daya alam
1) Pengembangan kerangka hukum dan kebijakan yang integratif dan holistik serta berbasis pada keadilan sosial dan lingkungan, dan perbaikan proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang membuka ruang partisipasi lebih luas bagi kelompok masyarakat miskin, adat dan pengguna tanah serta sumber daya alam lainnya
4) Penataan dan peningkatan kualitas pemekaran daerah
• Inefisiensi anggaran akibat struktur dan 1) Debirokratisasi untuk efisiensi dan peningkatan profesionalisme birokrasi mekanisme kerja organisasi pemerintah daerah 2) Harmonisasi dan peningkatan kualitas kebijakan daerah berdasarkan prinsip • Penyerapan dan kurangnya kualitas transparansi, partisipatif dan akuntabilitas pemanfaatan dana desentralisasi 3) Kebijakan penggunaan anggaran nasional dan daerah untuk optimalisasi
TEMUAN
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
199
Anak
Perempuan
SEKTOR
REKOMENDASI
• Kebelumberdayaan anak untuk menyuarakan dan menuntut hak-haknya, dan lemahnya kesadaran di tingkat masyarakat akan perlindungan anak
• Masih lemahnya struktur dan mekanisme khusus perlindungan anak pada sistem peradilan baik formal maupun non-formal
• Belum paham dan pekanya aparat penegak hukum dan penyedia layanan keadilan terhadap hak-hak anak
• Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai bentuk pencarian keadilan melalui mekanisme informal dimana kultur patriarki yang kuat menghalangi akses perempuan untuk memperoleh keadilan
• Ketiadaan perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan dalam struktur pengambilan keputusan, termasuk di tingkat daerah, mengakibatkan lahirnya produk hukum dan kebijakan terutama dalam bidang anggaran, yang kurang memberikan perhatian kepada perempuan
• Perempuan miskin dan tidak terdidik mengalami hambatan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya di muka hukum, termasuk dalam proses peradilan
4) Penguatan pemberdayaan peradilan dan kesejahteraan sosial untuk memastikan penegakan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak
3) Penguatan proses legislasi sampai dengan mekanisme pemantauan dan evaluasi
2) Perubahan paradigma keadilan ke arah yang lebih restoratif dan berpihak pada kepentingan terbaik anak
1) Pengintegrasian, pengembangan dan penguatan aturan mengenai hak-hak dan perlindungan anak beserta program dan pengalokasian anggarannya
5) Engendering kurikulum pendidikan tinggi hukum
4) Peningkatan kesadaran bagi aparat hukum untuk memahami peningkatan akses keadilan terhadap perempuan
3) Dukungan bagi terwujudnya gagasan “sistem peradilan pidana terpadupenanganan kasus kekerasan terhadap perempuan”, yang merupakan koordinasi terpadu antar penegak hukum, instansi pemerintah terkait dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
2) Pelibatan perempuan dalam berbagai proses pengambilan keputusan di bidang legislasi dan anggaran dengan memperhitungkan kebutuhan dan pengalaman perempuan (gender budgeting.)
• Masih minimnya pemahaman kepekaan gender 1) Pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat di lingkungan institusi formal nasional dan daerah yang bias perempuan
TEMUAN
200
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Kelompok Miskin dan Terpinggirkan
Tenaga Kerja
SEKTOR
• Paradigma keadilan dalam perspektif hukum perlu dirubah menjadi paradigma keadilan sosial (social justice) di mana reformasi hukum dan keadilan seharusnya memiliki tujuan pokok yaitu melindungi hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat miskin serta memperkuat posisi tawar mereka agar dapat memperoleh keadilan baik melalui mekanisme formal maupun non formal
• Pencapaian keadilan bagi masyarakat miskin pada dasarnya bukan hanya masalah legal teknis melainkan lebih merupakan masalah sosial politik
• Meningkatnya jumlah pekerja anak yang ditampung oleh para pemberi kerja karena upah yang murah dan sifat mereka yang penurut
• Banyak musibah yang menimpa para pekerja migran di luar negeri, seperti penganiayaan, pemerkosaan, kasus bunuh diri, sampai tidak diberikannya upah selama bekerja. Sistem perlindungan bagi pekerja sampai saat ini belum mengakui kelompok tenaga kerja luar negeri yang bekerja pada sektor informal, baik secara nasional maupun internasional
• Kurangnya penyediaan lapangan kerja menyebabkan meningkatnya jumlah pekerja sektor informal dan tenaga kerja luar negeri
TEMUAN
2) Pihak pemerintah dan non pemerintah mengintegrasikan inisiatif penguatan akses keadilan di Indonesia ke dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat yang sudah dilaksanakan selama ini dalam berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, jalan dan air bersih serta program bantuan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat seperti dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
1) Untuk menjawab tantangan geografis dan akses informasi hukum bagi kelompok miskin, direkomendasikan untuk melakukan berbagai upaya mendukung pengembangan keparalegalan di Indonesia
5) Mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesadaran hukum di kalangan pekerja
4) Melakukan peningkatan akses pelayanan remitansi (transfer uang) tenaga kerja luar negeri
3) Melakukan langkah-langkah percepatan pemulihan dalam penanganan pekerja yang menjadi korban kekerasan
2) Peningkatan kualitas perlindungan, penanganan dan mekanisme pengaduan bagi pekerja
1) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang diarahkan pada aspek perlindungan pekerja anak dan tenaga kerja luar negeri
REKOMENDASI
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
201
Formulasi dan penerapan Standar Pelayanan Minimum dalam pelayanan publik
Perbaikan legislasi dan politik anggaran yang mendukung Akses terhadap Keadilan
Pengakuan dan Dukungan terhadap Kegiatan Bantuan Hukum dan Pembangunan Keparalegalan di Indonesia
Perubahan paradigma pembangunan hukum dan peranan pendidikan hukum di Indonesia
POKOK-POKOK STRATEGI
TUJUAN
• Mendukung pembentukan Undang-undang Pelayanan Publik yang meliputi standar minimum pelayanan publik
• Mendukung pembentukan Undang-undang Administrasi Pemerintahan yang mengatur prinsip-prinsip “administrasi yang baik” (algemene beginselen van behoorlijk bestuur), meliputi kehati-hatian, transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan, pertimbangan yang tepat mengenai seluruh fakta dan kepentingan yang relevan sebelum pengambilan keputusan, pengambilan keputusan yang beralasan (sebuah keputusan harus memiliki alasan yang tepat dan alasan-alasan yuridis yang tepat harus dapat diakses)
• Mengkaji kembali semua peraturan perundang-undangan terkait dengan pelayanan publik untuk melakukan usulan amandemen yang diperlukan
• Membangun standar-standar minimum bagi pelayanan pemerintah terhadap masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah dalam melakukan pelayanan masyarakat
• Mengalokasikan anggaran dalam APBD bagi pemberdayaan hukum untuk masyarakat yang terpinggirkan, termasuk bantuan hukum bagi kelompok miskin
• Memperkuat dan mengimplementasikan panduan tentang Regulatory Impact Assessment
• Membuat panduan harmonisasi perundang-undangan
• Mendukung revisi UU No. 10 tahun 2004, dengan penguatan bagi partisipasi publik dalam pembuatan undangundang, harmonisasi dan penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA)
• Gagasan dana abadi (endowement fund) sebagaimana diterapkan di sektor konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati perlu dikaji kemungkinan penerapannya di bidang bantuan hukum untuk rakyat miskin
• Mempromosikan paralegalisme di Indonesia (melembagakan focal point, kurikulum pelatihan dan kode etik)
• Mempromosikan kewajiban setiap advokat memberikan bantuan hukum (di dalam maupun di luar pengadilan) sebagai bagian dari pengabdian profesi mereka (pro bono publico)
• Membangun landasan hukum yang solid untuk bantuan hukum bagi kelompok miskin dan terpinggirkan dengan melakukan advokasi hak-hak konstitusional atas bantuan hukum bagi kelompok miskin, dan menerbitkan undangundang khusus tentang bantuan hukum sebagai landasan legislasi bagi alokasi anggaran negara dalam programprogram terkait bantuan hukum
• Memperluas pendidikan hukum kritis di masyarakat
• Memperkuat perspektif sosio-legal dalam kurikulum pendidikan hukum
• Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) secara tegas menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang secara universal diartikan sebagai rule of law, perlu ditindaklanjuti dengan menjabarkan negara hukum seperti apa yang diinginkan
POKOK-POKOK STRATEGI
202
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
• Mendukung pendirian Ombudsman di tingkat daerah • Mempromosikan sistem keadilan non-formal, terutama mekanisme penyelesaian sengketa secara non-formal yang didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia
Penguatan dan pemberdayaan sistem keadilan berbasis komunitas
• Memperkuat peran Ombudsman (berdasarkan UU No No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman) dalam memproses pengaduan publik terkait administrasi pemerintahan
TUJUAN
Penguatan mekanisme pengaduan dan penyelesaian/pemulihan bagi masyarakat yang dirugikan dalam pelayanan publik
POKOK-POKOK STRATEGI
CATATAN AKHIR: 1
Lihat UU No. 17 tahun 2007
2
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nations Development Programme, Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia, UNDP: Jakarta, Januari 2007.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Bappenas dan UNDP, Project Document: Legal Empowerment and Assistance for the Disadvantage, Jakarta: Juli 2007, hlm. 24.
6
Ibid, hlm. 8. Lihat juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nations Development Programme, Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia, Supra note 1, hlm. 45-48. Permasalahan pokok ditetapkan berdasarkan hasil wawancara dengan kelompok-kelompok masyarakat yang belum diuntungkan (disanvantaged) dan konsepsi kelompok-kelompok tersebut berkenaan dengan kebelumadilan yang sering terjadi di bidang ekonomi dan sosial.
7
Lihat Mauro Cappilletti, J. Gordley dan E. Johnson Jr, Toward Equal Justice: a Comparative Study of Legal Aid in Modern Societies, Milan dan New York: Giuffre/Oceana Publications, 1975, hlm. x. Ketentuan tersebut antara lain terkandung dalam: Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 D dan 28 I; dan Universal Declaration of Human Rights 1948, pasal 7 dan 8.
8
9
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Kewilayahan Univesitas Gadjah Mada, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, United Nations Development Programme, Keadilan untuk Semua? Sebuah Penelitian Akses kepada Keadilan di Lima Propinsi di Indonesia, Jakarta: Bappenas dan UNDP, 2006, hlm. 3-5.
10
11
Commission on Legal Empowerment of the Poor, Making the Law Work for Everyone 2008 Vol. I, supra note 6, hlm. 1.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) of 1966, pasal 2, 3 dan 26, sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005.
12
Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds.), Access to Justice: Book I, supra note 1, hlm. 48.
13
Ibid., hlm. 49-52.
14
Ibid., hlm. 6-7.
15
Ibid., hlm. 6.
16
17
Merujuk UNDP (n.d.), ‘Access to Justice Practitioner Guide’, 2005.
Stephen Golub, “Beyond Rule of Law Orthodoxy: The Legal Empowerment Alternative,” Rule of Law Series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003. Referensi lain dapat dilihat di UNDP, Programming for Justice: Access for All – A Practitioner’s Guide to a Human Rights Based Approach to Access to Justice, 2005. Lihat juga The World Bank Group notes in the “Workshop on Legal Services for the Poor, volume I,” Washington DC, April 2003
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
203
18
Stephen Golub “Beyond Rule of Law Orthodoxy: The Legal Empowerment Alternative,” Rule of Law Series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003. Referensi lain dapat dilihat di UNDP, Programming for Justice: Access for All – A Practitioner’s Guide to a Human Rights Based Approach to Access to Justice, 2005. Lihat juga The World Bank Group notes in the “Workshop on Legal Services for the Poor, volume I,” Washington DC, April 2003
19
Supra 4.
20
UNDP, Access to Justice Practitioner Guide, 2005
21
Partnership for Governance Reform in Indonesia, Consolidating of The Rule of Law In Indonesia: Restoring Public Trust Through Institutional Reform, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2004.
22
Keberadaan Peraturan Daerah dan kebijakan pemerintah daerah yang bernuansa syariah di Kalimantan Selatan, seperti Perda Jumat Khusuk, Perda tentang bulan Ramadhan dan Instruksi Bupati untuk mengenakan jilbab bagi pegawai negeri perempuan, dirasakan mencederai rasa keadilan kelompok masyarakat tertentu. Demikian pula Perda-perda tentang retribusi di banyak daerah menimbulkan beban ganda bagi masyarakat. Bahkan munculnya kebijakan tentang Kuasa Pertambangan di Kab Morowali, Kab Bolaang Mongondouw dan Sangihe, serta Kab Halmahera Timur, sangat merugikan masyarakat setempat.
23
Sebagaimana disampaikan pada Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KNPK), Desember 2007
24
www.kpk.go.id, Laporan Tahunan 2008, KPK.
25
Laporan tahunan Kepolisian tahun 2007.
26
Laporan perkembangan pemberantasan korupsi di lingkungan Polri tahun 2006.
27
Ibid
28
Tackling Corruption, Transforming Lives, 2008, UNDP
29
Global Corruption Barometer, 2006 oleh Gallup International untuk Transparancy International (TI)
30
Laporan 3 Tahun Komisi Yudisial, 2005-2008
31
Bagian ini disusun berdasarkan paper posisi yang ditulis oleh koalisi LSM yang terdiri dari KRHN, LBH Jakarta, PGR tentang lembaga pemasyarakatan, 2008.
32
Salah satu faktor terbentuknya Kongres Advokat Indonesia adalah karena ketidakpuasan beberapa advokat atas sanksi yang diberikan oleh PERADI kepada mereka.
33
http://www.ri.go.id/id/index.php/index.php?option=com_content&task=view&id=5644&Itemid=701, 2007
34
Hasil konsultasi publik Startegi Nasional Akses terhadap Keadilan di Makassar, 27-29 Agustus 2008
35
Hasil konsultasi publik Startegi Nasional Akses terhadap Keadilan di Makassar, 27-29 Agustus 2008
36
Hasil konsultasi publik Startegi Nasional Akses terhadap Keadilan di Makassar, 27-29 Agustus 2008
37
Di Palu dan Ternate ada jejaring KY, tapi tidak efektif karena seringkali tidak bisa mendapatkan informasi dari pengadilan.
38
Whistle blower /peniup peluit adalah istilah yang populer untuk orang yang “vokal” menyuarakan indikasi penyimpangan baik korupsi, mal administrasi, kekerasan di lembaga tempat dia bekerja, dll.
39
Hasil konsultasi publik Startegi Nasional Akses terhadap Keadilan di Makassar, 27-29 Agustus 2008.
40
Surat dari Kabareskrim kepada Kapolda se-Indonesia (Surat No. B/345/III/2005/BARESKRIMO) perihal permohonan perlindungan saksi/pelapor.
41
Lihat DUHAM, Pasal 8 inter alia pasal 9; ICCPR Pasal 26.
204
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
42
Lihat GA Res. 40/33 of 29 November 1985, art. 15.1.
43
Lihat , GA Res. 3447 (XXX) of 9 December 1975, art. 11.
44
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 30 ayat (4).
45
UU 39/1999, Pasal 3 ayat (2). Lihat juga Pasal 4, Pasal 5 ayat (1).
46
UUD 1945 Pasal 28I ayat (4); UU 39/1999 Pasal 8.
47
Lihat Perpres 105/2007 tentang Rincian APBN Pusat 2008 menyangkut anggaran bidang Hukum dan HAM.
48
Yayasan LBH Indonesia, bekerja sama dengan kantor-kantor LBH, Mahkamah Agung, dengan dukungan European Union, menyelenggarakan Forum Publik di Padang (20-21 November 2006), Makassar (18-19 Desember 2006), Surabaya (5-6 Februari 2007), Denpasar (19-20 Februari 2007), dan Jayapura (4 Maret 2007), dengan tema “Meningkatkan Pemahaman dan Akses Masyarakat terhadap Sistem Peradilan dan Keadilan”.
49
Perubahan paradigmatik penyelenggaraan negara melalui desentralisasi yang diharapkan memberikan ruang terbesar bagi masyarakat agar menjadi aktor utama pembangunan belum selaras dengan rancang bangun peraturan perundang-undangan yang masih menempatkan negara sebagai aktor terpenting dalam pembangunan.
50
Dalam studi KPPOD, ditemukan 31% dari 1.025 peraturan daerah (perda) dalam bentuk berbagai jenis pungutan berpotensi mendistorsi aktivitas ekonomi. Dalam praktik birokrasi Indonesia, dengan diberlakukannya berbagai jenis pungutan tersebut, membuka peluang besar bagi aparat Pemda dan subjek pungutan (utamanya pelaku usaha) untuk melakukan transaksi ilegal agar menghindar dari ketentuan perda tersebut. Lebih jauh peraturan perundang-undangan nasional memberikan diskresi kepada Pemda untuk memberikan ‘dispensasi’ kepada para subjek pungutan, yang sangat rentan untuk terjadinya kesepakatan ilegal bagi kepentingan para pihak.
51
Pemanfaatan kekayaan hutan, misalnya ‘sarang burung walet alami’ yang oleh masyarakat dianggap anugerah alam yang bisa dimanfaatkannya untuk mendapatkan nilai ekonomis tanpa harus meminta izin pada pemerintah daerah, berbenturan dengan ketentuan dalam peraturan daerah yang mewajibkan masyarakat yang memanfaatkan hasil alam untuk mendapatkan perizinan dari Pemda dengan segala kewajiban retribusi daerah, dan sebagainya. Demikian pula halnya penguasaan/pemanfaatan tanah adat/ ulayat seringkali berbenturan dengan ketentuan hukum positif.
52
Lihat konsepsi reformasi birokrasi yang memerlukan perubahan conceptual framework secara menyeluruh (perubahan paradigmatik) yang digagas Prof. Sofian Effendi dalam konteks revisi UU 32/2004 Bab Aparatur Daerah.
53
Terminologi kelompok yang terpinggirkan mengacu pada kelompok sosial yang tersisih atau mempunyai akses dan partisipasi yang terbatas dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan di wilayahnya. Dalam banyak kasus, kemiskinan merupakan akibat dari keterpinggiran meskipun dalam kasuskasus lain keduanya merujuk pada kondisi yang terpisah. Masyarakat adat dan perempuan dapat keluar dari kategori kelompok miskin, tetapi dalam banyak hal mereka dapat digolongkan sebagai kelompok yang terisih dalam proses pengambilan keputusan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam.
54
Angka deforestasi pada tahun 2000-2005 menunjukkan penurunan menjadi 1,09 juta hektar per tahun dari sebelumnya 2,83 juta hektar per tahun (1997-2000). Meskipun demikian masih terdapat 51 juta hektar lahan kritis pada kawasan hutan. Pencemaran air sungai terjadi hampir di banyak wilayah. Pada tahun 2007, 50% air pada 33 sungai di 30 provinsi belum dapat digunakan untuk bahan baku air minum. Di sektor pertambangan, salah satu masalah adalah belum seimbangnya upaya reklamasi pasca tambang dengan kegiatan pembukaan lahan untuk penambangan. Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa dari sekitar 82.000 hektar lahan yang dibuka untuk pertambangan hanya 22.890 hektar yang telah direklamasi. Sementara itu terjadi peningkatan ekstraksi bahan tambang secara besar-besaran pada kurun waktu lima tahun terakhir terutama pada penambangan batu bara dan gas alam. Pada tahun 2006, misalnya, produksi batu bara nasional hanya 16,3 juta ton per hari, namun jumlah itu meningkat 8% setahun kemudian. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan banyaknya izin-izin penambangan batu bara yang telah dikeluarkan. Kecenderungan ekstraktif semacam
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
205
ini menjadi ancaman besar bagi ketahanan energi nasional mengingat cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia (termasuk batu bara) sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain. Cadangan batu bara Indonesia, misalnya, hanya 1,98% dari cadangan dunia (KLH, 2008). 55
Sebuah publikasi Bank Dunia, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat 50-60 juta penduduk pedesaan yang hidup di sekitar kawasan hutan, 20 persen di antaranya tergolong miskin (World Bank, 2006).
56
Pada tahun 2007, terdapat 2.810 konflik pertanahan yang dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional. Kasus ini diperkirakan terdapat pada 607.986 hektar tanah (Winoto, 2007). Pada tahun 2001, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat terdapat 1.475 kasus konflik pertanahan yang melibatkan 2.277 desa dan menyebar pada 2,5 juta hektar tanah. Konflik terbanyak terjadi pada obyek tanah-tanah perkebunan (Fauzi, 2005: 104-105). Di kawasan hutan, konflik tercatat meningkat dalam periode 1997-2000. Penyebab terbesar konflik di kawasan ini terkait dengan tata batas dan terbatasanya akses masyarakat pada kawasan hutan (Wulan, dkk, 2004: 3-5).
57
Banyak pembaruan hukum dan kebijakan serta proyek-proyek pembangunan mengusung tema keberpihakan pada kelompok miskin dan terpinggirkan. Meskipun demikian terdapat tafsir yang beragam mengenai hal ini. Diperlukan definisi yang jelas tentang kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Pada konteks tanah dan sumber daya alam, kebijakan semestinya bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki aset dan kapabilitas kelompok miskin (Hobley, 2007). Sementara itu, Borras dan Franco (2008) menegaskan bahwa reformasi kebijakan pertanahan yang peduli pada kelompok miskin perlu memandang tanah pada dimensi yang lebih luas daripada sekedar sumber daya ekonomi. Tanah merupakan sumber-sumber kesejahteraan dan kekuasaan bagi kelompok miskin. Kebijakan yang bertujuan melindungi kelompok ini semestinya mampu mentransformasikan sumber-sumber kesejahteraan dan kekuasaan yang berbasis pada tanah kepada kelompok miskin.
58
Komitmen ini sejalan dengan Keputusan Konferensi ke -13 dari Negara Pihak pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP 13) yang diselenggarakan di Bali, 3-15 Desember 2007 sebagaimana termuat pada Bali Action Plan. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UU No.6 tahun 1994) sehingga menjadi pihak yang terikat dengan konvensi tersebut.
59
Pada saat dokumen ini disusun, Departemen Kehutanan tengah mempersiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforesrasi dan Degradasi Hutan (REDD), Rancangan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Komisi REDD).
60
Proyek-proyek percontohan REDD di Indonesia sedang dilakukan di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Aceh (DTE, 2008).
61
Beberapa ketentuannya telah diubah dengan UU No.19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
62
Namun demikian patut dicatat bahwa berdasarkan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai pengganti UU No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan telah diatur tentang pencadangan sumber daya mineral dan batu bara meskipun belum terlihat jelas penerjemahannya ke dalam peraturan pelaksanaan dan implementasinya.
63
Di sektor kehutanan, misalnya, alokasi pemanfaatan hutan bagi usaha besar pada tahun 2007 adalah 27,5 juta hektar untuk hutan alam dan 10,3 juta hektar untuk hutan tanaman. Sementara itu pengalokasian kawasan hutan bagi masyarakat untuk dikelola berdasarkan skema kebijakan Hutan Tanaman Rakyat pada tahun yang sama tercatat hanya 113 ribu hektar dan untuk Hutan Kemasyarakatan hanya 8.614 hektar (Kartodihardjo, 2008)
64
Salah satu contoh tumpang tinding dan pertentangan undang-undang adalah adalah pertentangan antara UU No.41 tahun 1999 dengan UU No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU No.11 tahun 1967 yang menyediakan dasar hukum bagi penerbitan kontrak karya dan kuasa pertambangan belum membatasi di mana wilayah penambangan bisa diberikan, Akibatnya, banyak izin penambangan diberikan di dalam kawasan hutan. Sementara itu Pasal 38 ayat 4 UU No.41 tahun 1999 melarang dilakukannya penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Ketentuan ini mengancam legalitas penambangan pada kawasan hutan lindung yang telah dikeluarkan sebelum pemberlakukan UU No.41 tahun 1999. Untuk menyelesaikannya, Pasal 38 ayat 4 UU No.41 tahun 1999 diamandemen melalui Peraturan Pemerintah
206
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 tahun 2004 yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No.19 tahun 2004. 65
Terdapat paling belum 1.300-an desa di pada kawasan hutan, dengan luas mencapai 11 juta hektar dan dihuni oleh 1,8 juta jiwa. Sebagian besar kawasan itu digunakan sebagai areal pertanian (Kartodihardjo, 2008).
66
Salah satu di antaranya adalah revisi terhadap UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
67
Sambutan Kepala BPN pada Upacara Hari Agraria Nasional dan Peringatan UUPA ke-47, Jakarta, 24 September 2007.
68
Teori-teori tentang reforma agraria umumnya sepakat pada tipologi 4R yang meliputi registrasi, redistribusi, restitusi dan rekognisi (Meinzen-Dick, dkk, 2008).
69
Borras dan Franco (2008) mengartikan reforma agraria yang dilakukan pada tanah-tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara (belum lagi dibebani hak atas tanah) sehingga belum menyebabkan kelompok-kelompok yang menguasai tanah kehilangan haknya sebagai distribusi tanah. Hal ini berbeda dengan redistribusi di mana tanah-tanah yang telah dikuasai dengan haklah yang dibagikan kepada orangorang miskin dan mereka yang belum bertanah.
70
Ekosentrisme merupakan etika lingkungan yang menyeimbangkan kewajiban dan tanggung jawab moral pada seluruh realitas ekologis yang meliputi manusia dan alam. Etika ini melengkapi kelemahan etika biosentrisme yang memandang alam sebagai pusat dan entroposentrisme yang melihat manusia sebagai penentu (lihat Keraf, 2002).
71
Data dari Kementerial Lingkungan Hidup dan ICEL dapat dilihat pada Harian Kompas, 4 April 2009, ‘Kasus Lingkungan Naik’.
72
Lihat definisi diskriminasi terhadap perempuan, Pasal 1 Konvensi CEDAW, diratifikasi melalui UU no.1/1974.
73
UU Pokok Agraria No.5/1960 pasal 9 mengakui adanya kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan wanita dalam hal aksesnya kepada tanah, selengkapnya berbuyi: “tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.“
74
Menghitung keturunan melalui garis ayah, seperti pada masyarakat Batak, Bali, suku-suku bangsa di Nusa Tenggara dan Indonesia Timur, serta masyarakat keturunan Cina.
75
Menghitung keturunan melalui jalur ibu.
76
Menghitung keturunan baik melalui ayah maupun ibu.
77
Instrumen hukum penting pada masa Orde Baru di antaranya adalah CEDAW Convention (diratifikasi melalui UU No. 7/1984), UU No. 3/1997 tentang Perlindungan Anak, dan Declaration on the Elimination of Violence Against Women 1993. Pada masa Reformasi instrumen hukum yang dihasilkan cukup banyak di antaranya adalah: UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Pasal 45 menyebutkan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia), UU No. 23/2000 tentang Peradilan Anak , Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang gender mainstreaming dalam pembangunan nasional, UU No. 12/2003 tentang Pemilu, Pasal 65 (1) mengatur kuota politik perempuan dalam parlemen, dan UU Pemilu no 10/2008 yang memberikan peluang lebih besar kepada perempuan untuk menempati kursi di parlemen pusat maupun daerah, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 17/2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi, dan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU no 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik dan UU no. 13/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya. Peraturan Kapolri no. 10/2007 tentang pembentukan Unit Pelayanan Perempuan Anak (PPA) dari level Poles ke atas. Dalam hal ini ditegaskan bahwa Ruang Pelayanan Khusus (RPK) harus ada dalam unit PPA.
78
Misalnya para pelaku kekerasan domestik diminta membuat perjanjian tertulis untuk tidak mengulangi perbuatannya.Terobosan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum di luar pengadilan ini efektif menghentikan kekerasan terhadap perempuan dalam beberapa kasus. Hal ini berkaitan dengan rasa
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
207
keadilan perempuan, yang lebih menginginkan berhentinya kekerasan terhadapnya dari pada menginginkan suaminya masuk penjara. 79
Depdagri baru-baru ini membatalkan sejumlah 783 Perda dan satu qanun. Belum diketahui di antara Perda yang dibatalkan itu, berapa banyak Perda yang berimplikasi merugikan perempuan (Kompas,
80
Contoh lain dari UU yang bias gender adalah UU Kesehatan no 23/1992, UU Administrasi Kependudukan no. 23/2006.
81
Sebagai catatan, pengaturan dalam Revisi Rancangan KUHP menimbulkan perdebatan (ELSAM, 2005), bahkan dikatakan bahwa RUU KUHP ini secara umum bias kelas dan bias gender (Katjasungkana, 2003).
82
Di antaranya adalah pasal yang terkait dengan rumusan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 3). Rumusan ini menyebabkan antara lain, ketika diadopsi dalam dunia kerja, hanya laki-laki yang dianggap memiliki keluarga, sehingga perempuan kawin yang bekerja dianggap sebagai lajang dan tidak mendapat tunjangan keluarga dan berbagai fasilitas lain. Kemudian terdapat pasal yang membolehkan poligami dengan sejumlah persyaratan yang nampak ketat tetapi dalam praktiknya dapat dimanipulasi (Pasal 3 ayat 2,4,5).
83
Hal ini mengakibatkan perolehan suara perempuan di parlemen tetap sekitar 11 % tidak berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya. Minimnya suara perempuan di parlemen mengakibatkan berbagai produk perundangan dan kebijakan, terutama kebijakan dalam bidang anggaran, tidak mengakomodasi kepentingan perempuan.
84
Menurut sumber lain, secara nasional buta huruf perempuan itu tiga kali lipat daripada buta huruf laki-laki dan termasuk tiga kali lipatnya itu ada di Provinsi Papua. Angka nominal buta huruf secara nasional dari 16 persen seluruh Indonesia adalah perempuan. Sedangkan dari 221 juta penduduk Indonesia, 106 juta adalah perempuan (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/20/nas08.html).
85
Ketika belum ada UU yang mengatur apakah perempuan dan anak korban kekerasan dapat didampingi oleh pengacara, psikolog, atau pekerja sosial, banyak hakim menafsirkan kevakuman hukum tersebut dengan melarang hadirnya pendamping meskipun sangat diperlukan untuk menguatkan korban. Ketika sudah diterbitkan UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi, masih ada hakim yang tidak membolehkan korban didampingi dalam proses persidangan. Hal ini semata karena ketidaktahuan hakim bahwa sudah ada UU tersebut.
86
Focus Group Discussion yang diadakan untuk memberi masukan bagi naskah pertama policy paper ini di Jakarta, tanggal 11 dan 12 Februari 2008
87
Beberapa program yang telah dijalankan kelompok masyarakat sipil misalnya, Konsorsium Pengacara yang dibuat oleh Convention Watch UI, berdirinya Aliansi yang terdiri dari Komnas Perempuan, Derapwarapsari, LBH APIK, PKWJ UI, untuk mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu-Penangangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (Integrated Criminal Justice System), program paralegal di kalangan masyarakat sipil, seperti yang dilakukan LBH APIK Jakarta.
88
Kemitraan ini sudah terwujud antara pemerintah (melalui Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan), LSM Bantuan Hukum Perempuan (LBH APIK), LSM Polisi Wanita (Derapwarapsari), dan akademisi (PKWJ UI). Kemitraan ini juga sudah disampaikan kepada puncak pimpinan tertinggi Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian.
89
Salah satu contohnya adalah Program Pemberdayaan Hukum bagi Pekka (Perempuan yang menjadi Kepala Keluarga) yang dilakukan oleh World Bank (2007).
90
Konsep dan gagasan ini sedang diupayakan untuk diwujudkan melalui program kemitraan antara Komnas Perempuan, LBH APIK, Derapwarapsari dan PKWJUI. Beberapa penjelasan tentang Integrated Criminal Justice System lihat (http://www.komnasperempuan.or.id/metadot/index.pl?iid=2621).
91
Kompas, 22 Agustur 2008, diakses 11 Januari 2009.
92
Komnas Perempuan, 2006, Catatan Hasil pemantauan awalterhadap Inpres Nomor 6 Tahun 2006 dengan Judul Reformasi dibelenggu Birokrasi.
93
Membongkar kebijakan Ilegal dan Mitos Pembaharuan, Institute ECOSOC, 2008.
208
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
94
Salah satu substansi penting dari deklarasi ini adalah pengakuan bahwa TKI Luar Negeri seringkali tidak berdokumen bukan atas kesalahannya, oleh karena itu negara pengirim dan penerima harus bekerjasama untuk menangani kasus-kasus TKI Luar Negeri yang bukan atas kesalahannya tersebut.
95
Komnas Perempuan, 2006, Catatan Hasil pemantauan awal terhadap Inpres Nomor 6 Tahun 2006 dengan Judul Reformasi dibelenggu Birokrasi.
96
Dengan meratifikasi kedua Konvensi tersebut, Pemerintah RI berkewajiban melaksankaan ketentuanketentuan yang termaktub dalam Pasal 7 Konvensi 182, yaitu: ”Setiap anggota wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan agar ketentuan-ketentuan yang memberlakukan Konvensi ini dapat diterapkan dan dilaksanakan secara efektif, termasuk ketentuan dan penerapan sanksi pidana atau sanksi-sanksi lain sebagaimana perlunya.” Peraturan perundang-undangan, telah memandatkan untuk menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang membayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagai bagian dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; menetapkan pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk sebagai tindak pidana; dan merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak baik secara preventif maupun represif.
97
Benni Setiawan, Surya, Sabtu, 09 Augustus 2008, diakses 31 Januari 2009 14.00 Wib.
98
Naskah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Bappenas, 2005, http://www.bappenas.go.id/
99
Menciptakan Peluang Keadilan; Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia”, Justice for the Poor Program, World Bank, 2005.
100
Ringkasan Eksekutif, Memberdayakan Hukum Bagi Semua, Laporan Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Masyarakat Miskin, UNDP Indonesia, 2008.
101
United Nations (PBB) mendefinisikan Rule of Law sebagai: “It refers to a principle of governance in which all persons, institutions and entities, public and private. Including the state itself , are accountable to law sthat are publicly promulgated, equally enforced and independently adjudicated, and which are consistent with international human rights norms and standards. It requires as well, measures to ensure adherence to the principles of supremacy of law, equality before the law, accountability to the law, fairness in the application of law, separation of powers, participation in decision making, legal certainty, avoidance of arbitrariness and procedural and legal transparency” (UN Secretary General Report S/2004/616).
102
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Press, 2008, halaman 14.
103
Keadilan hukum (legal justice) menurut pengertian teori hukum adalah: “ it is a justice according to law and is justice whic is done or meted out as a result of the application of law. It may be the case that the law in question is unjust. The consequence would be that the outcome of the application of such unjust law may not be satisfactory. In other words, it may be regarded as unjust but it is still called legal justice. Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, 1994, hlm. 257.
104
Di Chile, kelembagaan bantuan hukum di tingkat nasional dan daerah (A Public Defenders Office/ Defensoria Penal) dijamin dalam konstitusi mereka sebagai bagian terintegrasi dari pembaruan di bidang criminal justice system. Dalam Konstitutsi Mexico juga mengatur bahwa setiap negara bagian memiliki lembaga bantuan hukum yang dibiayai negara (defensorias de oficio) yang memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat yang tidak mampu.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
209
DAFTAR PUSTAKA ADB Study. 2002. Sociolegal Status of Women in Indonesia, Malaysia, Philippines, and Thailand. ADB Study. 2007. Legal Empowerment for Women and Disadvantaged Group, Country Report Analysis, Indonesian Context. APIK dan UNDP. 2007. Need Assessment: Pentingnya Peningkatan Jumlah dan Peran Polisi Wanita dalam Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja POLRI. Bachtiar, H. 1976. “Masalah Integrasi Nasional” [Issue on National Integration], Prisma Journal, 8 August. Bartlet, K.T. 1993. Feminist Legal Methods, dalam Feminist Legal Theory: Foundation, D Kelly Weisberg (ed), Temple University Press. Benda-Beckmann F., et al. 2005. Mobile People Mobile Law. Expanding Legal Relations in a Contracting World. USA: Ashgate. Berita Kota Makassar. 2006. “Warga Membutuhkan P3K Hukum”, 20 Desember 2006. Makassar. Borras Jr, S.M. dan Franco, J.C. 2008, Land-Based Social Relations: Key Features of a Pro-poor Land Policy. UNDP-Oslo Governance Centre Brief 2. Borras Jr, S.M. dan Franco, J.C. 2008. How Land Policies Impact Land-based Wealth and Power Transfer. UNDP-Oslo Governance Centre Brief 3). Cain, P. A. 1993. “Feminist jurisprudence: Grounding the Theories” dalam D. Kelly Weisberg (ed), Feminist Legal Theory: Foundations. Philadephia, Temple University. Down to Earth (DTE). 2008, The Pressure for REDD. Dephukham.go.id. 2007. “Pilot Project Aksesibilitas Hukum”, 20 Maret. Jakarta. Fajar. 2006a. “Catatan dari Diskusi Panel Forum Pulik MA (1) Peradilan Biaya Murah Perlu Bukti”, 22 Desember 2006. Makassar. Fajar. 2006b. “Catatan dari Diskusi Panel Forum Pulik MA (2- Selesai) Peradilan Biaya Murah Perlu Bukti,” 23 Desember 2006. Makassar. Fauzi, N. 2001. ”Jalan Panjang Mendapat Keadilan: Nasib Korban Pelanggaran Hak atas Tanah dan Sumber Daya Alam Lainnya”. Dalam Prosiding Lokakarya Masyarakat Adat dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Asian Development Bank, hlm. 84-110.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
211
Forest Watch Indonesia. 2000. tidak ada judul (tanah dan SDA). Bogor. Gatot. 2007. Bantuan Hukum. Akses Masyarakat Marjinal terhadap Keadilan. Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan di Berbagai Negara. Jakarta: YLBHI, LBH Jakarta, IALDF. Gatracom. 2007. ”MA-LBH Surabaya Rintis Pos Bankum Orang Miskin”, 5 Februari. Jakarta. Golub, S. 2003. Beyond Rule of Law Orthodoxy. The Legal Empowerment Alternative. Rule of Law Series. Democracy and Rule of Law Project, number 41 October . USA: Carnegie Endowment. Harding, S. 1987. “The Instability of the Analytical Categories of Feminist Theory, Signs”: Journal of Women and Culture and Society 11 (4), 1987, hlm 645-665. Harian Fajar. 2006. “Akses Masyarakat terhadap Keadilan Belum Maksimal”, 19 Desember. Makassar. Hobley, M. 2007. Where in the world is there pro-poor forest policy and tenure reform? Washington D.C.: Rights and Resources Initiative. Irianto, Sulistyowati. 2005. Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum. Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris Melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cetakan kedua, (cetakan pertama 2003). Irianto, Sulistyowati dan Cahyadi. 2008. Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana, Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.go.id. 2006. DKI Akan Mudahkan Warga Miskin Peroleh Perlindungan Hukum dan Keadilan. Jakarta. Jatam. 2002. tidak ada judul (tanah dan SDA). Jurnal Nasional. 2006a. “YLBHI Sediakan Mobil Hukum”. 27 November 2006. Jurnal Nasional. 2006b. “Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin”. 27 November . Kartodihardjo, H. 2008. “Komentar Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan”. Hand Out Presentasi. Kemitraan, POLRI, Pemerintah Denmark. 2006. Wanita Berseragam: sebuah Kajian dalam Rangka Meningkatkan Jumlah dan Peranan Polisi Wanita. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2008. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2007. Jakarta: KLH. Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. Komnas Perempuan. 2004. Peta Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas Perempuan. 2006. Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Ladner, D. 2007. “Legal Empowerment for women and Disadvantaged Groups”, paper presented in the Regional Conference on Legal Empowerment for Women and Disadvantaged Groups, ADB Headquarters, Manila, 13-14 December. Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat (ELSAM). 2005. “Ke Arah Mana Pembaruan KUHP? Tinjauan Kritis atas RUU KUHP”, Paper Posisi Advokasi RUU KUHP Seri 7.
212
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
Meinzen-Dick, dkk. 2008. Pro-Poor Land Tenure Reform, Decentralization and Democratic Governance. UNDP-Oslo Governance Centre Brief 4. Moore, H. L. 1988. Feminism and Anthropology, USA: University of Minesota. Nader, L. dan Todd, H.F. 1978. ‘Introduction: the Disputing Process.’ Pada Nader, L. and Todd, H.F. (peny.), The Disputing Process-Law in Ten Societies. New York: Columbia University Press, hlm. 1-40. Nelson, M. 2007. “M&E: Four Components”, paper presented in the Regional Conference on Legal Empowerment for Women and Disadvantaged Groups, ADB Headquarters, Manila, 13-14 December . Nelson. M. 2007. “M&E: Four Components”, paper presented in the Regional Conference on Legal Empowerment for Women and Disadvantaged Groups, ADB Headquarters, Manila, 13-14 December 2007. Manila. Patroli. 2007. “Diupayakan Perluasan Akses Keadilan Bagi Rakyat Miskin”, 21 Februari. Pedoman Rakyat. 2006. “P3K, Pos Bantuan Pencari Keadilan”, 19 Desember . Polri (2006), Executive Summary: Hasil Pengkajian Kualitas Pemberdayaan Polwan. PSHK. 2006. Bobot Kurang Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang Kualitas Legislasi 2006. Jakarta. Purba. R. 2004. “Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian pada Masyarakat Karo”, Makalah dipresentasikan di Universitas Karo, 1 Juli, hlm. 22. Radar Bali. 2007. “Testimoni Siti Sapurah – Raymond Simamora, Korban Ketidakadilan Hukum di Bali. Tersayat Ingat Anak Umur Dua Tahun Diperkosa,” 20 Februari. Denpasar. Radjam, S.B. 2006. “Hak Warga Negara dalam Hukum Acara Pidana” dalam Patra M Zen dan Daniel Hutagalung (Penyunting). Rencana Pembangunan Jangka Menengah. 2004. Rinaldi. T, et al. 2007. Combating Corruption in a Decentralized Indonesia, World Bank, Jakarta. Rosaldo, M. 1974. “Women, Culture and Society: A Theoretical Overview”, dalam Marylin Rosaldo dan Louise Lamphere (ed), Women, Culture and Society, Stanforad, CA: Standforad University Press. Safitri, M.A. 2006. Communal Land Titling in Indonesia: Possibilities and Obstacles for Legal Protection of Adat Communties. Laporan tidak diterbitkan. Bogor: World Agroforestry Center. Shiva, V. dan Maria Mies, E. 1993. Australia: Spinifex Press . Smart, C. 1989. Feminism and the Power of Law, London: Routledge. Suara Karya. 2007. “Bantuan Hukum. LBH Harus Bela Rakyat Miskin”, 21 Februari. Jakarta. Surabaya Pagi. 2007. “Akses Masyarakat dalam Sistem Peradilan. Mafia Marak, Kelompok Marginal Sulit Dapat Akses Keadilan”, 7 Februari. Surabaya. Surabaya Post. 2007. “Orang Miskin Dilarang Cari Keadilan”, 7 Februari. Surabaya. Surya. 2007. ”LBH Minta Dana Prodeo”, 7 Februari. Surabaya. Suryochondro, S. 1995. “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia” dalam Ihromi Tapi Omas (ed), Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
213
The Asia Foundation. 2001. Survey Report on Citizen’s Perceptions of the Indonesian Justice Sector, hlm.61. Jakarta. Tjondronegoro, S.M.P. “Pembaruan Agraria dan Penyelesaian Konflik.” Pada Suwarno, H. Dkk (peny,), Di Bawah Satu Payung: Hasil Konsultasi Publik RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kehati, hlm.88-93. Tong, R. P. 1998. Feminist Thought, A More Comprehensive Introduction, Westview Press: Colorado), Second Edition. Tornieri, F. 2007. “Review of ADB Country Prorgam Portofolio”, paper presented in the Regional Conference on Legal Empowerment for Women and Disadvantaged Groups, ADB Headquarters, Manila, 13-14 December. Tribun. 2006. “LBH Bentuk 25 Pos Pertolongan Hukum”, 20 Desember. UNDP. 2008. Tackling Corruption, Transforming Lives: Accelerating Human Development in Asia and the Pacific. Colombo: UNDP. Winoto, J. 2007. ”Reforma Agraria dan Keadilan Sosial.” Materi Kuliah Umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Wieringa, S. 1995. The Politicization of Gender Relations in Indonesia. The Indonesian Women’s Movement . World Bank. 2006. World Development Report 2006: Equity and Development. New York: Oxford University Press. World Bank. 2006. Fact Sheet: “Migration, Remittances, and Female Migrant Workers”. World Bank. 2006. Sustaining Indonesia’s Forests: Strategy for the World Bank, 2006-2009. Jakarta: World Bank. World Bank. 2007. Tidak ada judul (gender). Wulan, Y.C., dkk. 2004, An Analysis of Forestry Sector Conflict in Indonesia 1997-2003. CIFOR Governance Brief 1. YLBHI, PSHK, LDF-Usaid. 2006. Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia. Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, hlm. 235 – 277. Jakarta. Zen, P.M., dan Mahyuni, R. 2007. Pemberdayaan Hukum bagi Masyarakat Miskin. Andai Para Pembuat Kebijakan Mau Melakukan. YLBHI, UNDP dan CLEP. Jakarta. Data Badan Pusat Statistik, 2005. Pusat Kajian Kriminologi UI dan UNICEF. 2007. Analisa Situasi Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Departemen Kriminologi UI. 2001. Studi terhadap Peran dan Fungsi BAPAS dalam Mengupayakan Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Sumber digital: 1. http://www.antara.co.id/en/arc/2007/12/18/president-ris-poverty-rate-down-from-422-pct-to165-pct/ 2. (http://www.komnasperempuan.or.id/metadot/index.pl?iid=2621 3. http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=432
214
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
4. http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Law+and+Crime&y=cybernews%7 C0%7C0%7C12%7C59. 2007. 5. CBN News: “YLBHI Desak PP Bantuan Hukum Gratis Diterbitkan”. Jakarta http://jkt1.detiknews. com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/08/tgl/09/time/072828/idnews/652400/idkanal/10. 2006. 6. Detikcom: “YLBHI Gelar Bantuan Hukum Berjalan”, 9 Agustus 2006. Jakarta 7. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14758&cl=Berita. 2006. Hukumonline: Membandingkan Bantuan Hukum Indonesia Dengan Negara Lain, 21 April.
STRATEGI NASIONAL AKSES TERHADAP KEADILAN
215
BAPPENAS Sekretariat Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan Direktorat Hukum dan HAM Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Gedung Asmen Jl. Taman Suropati No. 2, Jakarta 10310 Telp. 021-31936207; Fax. 021-3145374