STRATEGI PENDIDIKAN NASIONAL (Bunga rampai dan pemikiran A.A. Navis dalam buku “Filsafat dan Strategi Pendidikan M.Sjafei”)
Watak budaya suatu bangsa, termasuk alam pikiran dan perilaku, dibentuk oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya, watak budaya orang pantai berbeda dengan orang pegunungan; orang gurun pasir berbeda dengan orang lembah hijau; orang bermusim salju dengan orang khatulistiwa. Selain itu, juga dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, terdapat perbedaan watak bangsa – bangsa seperti yang dikenal dalam sejarah. Watak budaya itu dapat juga dibentuk oleh sistem dan pertumbuhan ekonomi dan industri terhadap masyarakat yang semula agraris. Namun, dapat pula dibentuk oleh konsep pendidikan berdasar strategi politik suatu negara. Pendidikan amat berperan terhadap keunggulan suatu bangsa. Misalnya, bangsa Sparta 1000 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, bangsa-bangsa yang mendiami Balkan hidup terpencar dalam kota-kota kecil yang terpisah oleh gunung dan pulau-pulau. Mereka senantiasa dilanda perang antara sesamanya. Oleh karena itu, bangsa Sparta di bawah pimpinan Lycurgus, seorang pendidik, membangun kekuatan dengan sistem pendidikan militer yang keras sejak anak berusia 10 tahun. Akhirnya, Sparta disegani bangsa-bangsa di sekitarnya. Tentu saja strategi dan program pendidikan itu didukung oleh sistem sosial secara konsisten. Kemudian, “Pendidikan Sparta” menjadi amsal bagi pendidikan dengan disiplin keras. Lain lagi dengan Jepang. Ketika mereka sadar telah tertinggal jauh dari bangsa Eropa, seperti Sparta juga, Jepang mengubah strategi pendidikan dengan tujuan mengejar ketertinggalan itu. Mereka melaksanakan program pendidikan yang ketat dan konsisten, ditunjang oleh seluruh kekuatan sosial dan ekonomi. Berbeda dengan Sparta, Jepang bukan hanya membangun kekuatan militer, melainkan juga membangun kekuatan ekonomi dan industri. Apa saja yang ada di Eropa mereka tiru. Sejak dari sistem tata negara, militer, industri, pendidikan, bahkan cara berpakaian pun. Namun, ada satu hal yang mereka pertahankan, yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa Jepang yang memiliki tradisi samurai yang sakral, yang terpelihara lebih dari 1000 tahun. Seperti Sparta juga, dengan kekuatan militernya Jepang menjarahi bangsa-bangsa sekitarnya. Meski akhirnya kekuatan militernya terkalahkan, semangat yang tertanam oleh sistem pendidikan yang strategis itu, Jepang tetap tampil sebagai bangsa yang kuat di bidang ekonomi. Pendidikan Kolonial Strategi pendidikan yang dikembangkan Belanda untuk bangsa Indonesia ialah untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya. Kepada bangsa Indonesia ditanamkan mitos bahwa Eropa, terutama Belanda, adalah bangsa yang unggul. Sebaliknya, bangsa Indonesia bodoh, malas dan kumuh. Juga ditanamkan semangat “anak jajahan” yang penurut, elistis, feodalistik dan berpecah – belah. Sekolah didirikan dengan jenis dan tingkat yang berbeda-beda. Untuk pribumi didirikan 2 tingkat sekolah : Sekolah rakyat 3 tahun dan Sekolah rakyat 5 tahun. Sekolah ini tidak ada sambungannya, selain ke sekolah pertukangan untuk mendidik tenaga kerja di bengkel perusahaan milik Belanda.Untuk golongan elit didirikan sekolah tingkat rendah sampai tingkat atas berbahasa Belanda. Sekolah berbahasa Belanda itu didirikan bukan bertujuan untuk mendidik bangsa Indonesia agar maju, melainkan untuk disiapkan menjadi amtenar atau pekerja kantoran yang cakap dan loyal serta memiliki prestise elitis atau priayi. Dengan begitu, seluruh orang terpesona dan bercita-cita pula menjadi amtenar atau priayi. Apabila kemudian diperbanyak sekolah berbahasa Belanda, itu bukan karena pemerintah memerlukan lebih banyak amtenar atau tenaga kerja, melainkan untuk memenuhi tuntutan para amtenar agar anak mereka dapat bersekolah seperti yang mereka peroleh sehingga memperluas pengaruh golongan elit “anak jajahan”. Pembanyakan jumlah sekolah itu tentu saja berakibat pada meningkatnya jumlah
pengangguran tamatan sekolah, baik sekolah rendah maupun sekolah menengah, karena lowongan kerja tidak sebanyak jumlah tamatan sekolah. Kondisi dan situasi itu tampaknya tidak mengkhawatirkan pemerintah karena dari orang-orang yang bermental “anak jajahan” tidak akan mungkin timbul dampak politik maupun keamanan. Apabila kemudian bangsa Indonesia dapat mencapai kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, itu karena dipelopori oleh mereka yang telah menduduki perguruan tinggi, maka wawasan dan konsep pendidikannya jauh berbeda dengan sekolah di bawahnya. Oleh dominasi hasil pendidikan elistis yang feodalistik, pada umumnya golongan menengah ke atas tidak menghayati makna demokrasi sebagai cita-cita nasional. Pendidikan yang berorientasi elistis juga membuat anak-anak desa terputus hubungannya dengan tradisi dan sistem budayanya. Sawah – ladang dan usaha kerajinan terlantar. Kalau tetap dikerjakan, hanya oleh orang – orang yang tidak terdidik sehingga mutu produksinya tidak bisa meningkat. Akan lain jadinya kalau lapangan kerja itu diminati orang terdidik yang mampu menggunakan otaknya mencari dan menemukan cara yang efektif dan efisien serta mutu yang baik. Bagi bangsa yang merdeka, menjadi amtenar atau pekerja kantoran tidaklah dipandang paling ideal. Yang ideal ialah bekerja di bidang produksi. Namun, bidang itu membutuhkan orang – orang aktif, kreatif dan produktif serta memiliki etos kerja dan semangat mandiri. Memang pemerintah mendirikan juga banyak sekolah kejuruan. Namun, programnya untuk mendidik tenaga kerja gajian, bukan mendidik orang terampil yang memiliki kemauan kerja dan mandiri. Pesan yang paling tepat dalam menggambarkan hal ini adalah “Lebih baik jadi tuan kecil daripada jadi budak besar”. Strategi pendidikan Belanda di negerinya, sama dengan yang berlaku pada umumnya bangsabangsa Eropa. Karena sistem tata negara mereka berdasarkan demokrasi, dimana manusia sebagai individu tanpa memandang golongan, sudah sama berwatak aktif-kreatif dan kritis dengan tradisi etos kerja, maka program pendidikan di sana tinggal mengutamakan dan mengembangkan nalar dan kebebasan mengeluarkan pendapat Meskipun beberapa materi kurikulum banyak persamaan dengan di Belanda, sistemnya jauh berbeda. Perbedaan yang mencolok sudah dimulai sejak sekolah rendah. Program dan kurikulum pendidikan di Belanda senantiasa dapat berubah untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman, baik karena perkembangan tata negara dan ekonomi, maupun karena ilmu dan teknologi yang meningkat. Namun, sistem dan metode diletakkan bagi sikap mental manusia yang dinamik, yang merdeka dan demokrasi. Dengan demikian, penghargaan tertinggi bukan pada sikap loyalitas pada pekerja kantoran, melainkan pada prestasi dalam profesi apapun, seperti negarawan, cendekiawan, ilmuwan, teknolog, olahragawan, seniman dan usahawan. Di Belanda, pemerintah tidak mendirikan sekolah lanjutan yang berfungsi menampung murid dari sekolah di bawahnya. Istilah pendidikan dengan pengajaran dipahami secara terpisah. Pada sekolah tingkat lebih rendah bobot pendidikan lebih besar daripada pengajaran. Di sekolah lanjutan, bobot pendidikan dikurangi dengan memperbesar pengajaran. Di sekolah tinggi yang diberikan semata-mata pengajaran tentang ilmu pengetahuan, teori dan praktek. Oleh karena itu, dalam program sejak awal pendidikan murid disiapkan memikirkan sendiri masa depannya: mau langsung bekerja dalam masyarakat atau melanjutkan sekolah. Menjadi mahasiswa atau memakai label sarjana tidaklah dimitoskan sebagai status sosial yang berprestise. Yang menjadi cita-cita utama ialah bagaimana supaya bisa bekerja dan tidak sampai menganggur. Pendidikan di Indonesia masih melanjutkan sistem pendidikan kolonial, yaitu dengan lebih memakai sistem verbal. Murid mendengar apa kata guru serta banyak menghafal pelajaran dan memberi banyak pekerjaan ulangan di rumah. Murid tidak diajak berpikir untuk mengembangkan nalar secara kritis, kemampuan mencari alternatif. Tidak diajarkan berani bertanya apalagi mendebat dengan menggunakan dalil yang argumentatif. Yang boleh bertanya hanya guru. Pendidikan Seusai Perang Kemerdekaan
Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda. Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan. Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol daripada studi. Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa. Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli, apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan. Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%, sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu. Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk. Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus dengan
sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh. Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program kurikulum “muatan lokal”. Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula. Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal” itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu. Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah. Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri. Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal, meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga. Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok , sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masih menanamkan citacita agar menjadi orang kantoran, padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran. Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan. Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi. Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri. Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis, penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan relevansi bidang studinya. Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek kejuruannya menjadi kian berkurang. Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan. Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas penjajah kepada anak jajahan. Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme. Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi meningkatkan kecerdasan otak. Pembaruan Pendidikan Nasional Strategi pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. Konsep politik pemerintah lazimnya terpakai pada suatu negara yang menganut sistem diktator. Arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan yang sedang berkuasa. Sementara itu, konsep suatu bangsa atau negara harus diatur berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan ke arah mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di tengah masyarakat dunia yang maju di jaman ini dan nanti. Ideologi bangsa Indonesia yang berakar dari kebangkitan nasional dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara politik, ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan seharusnya sejalan dengan tujuan untuk membangkitkan harkat manusia khatulistiwa yang berbudaya santai itu agar mampu berpacu secara mental mengejar ketertinggalan dalam arena hidup di dunia tanpa menghilangkan kodratnya yang beragam. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan, melainkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Dari sanalah seharusnya disusun strategi, program dan kurikulum pendidikan itu. Maksudnya, murid tidak dituntut untuk menguasai secara hafalan akan materi kurikulum, melainkan setiap materi kurikulum itu membantu murid agar memiliki nalar pada otaknya. Memaksa murid agar hafal semua materi kurikulum itu tidak menyebabkan mereka menjadi pintar
dan cerdas. Cara demikian lebih mendorong murid menjadi “pengekor”, bukan pemikir. Memberi nilai tinggi kepada murid yang mampu menghafal sebetulnya merupakan sistem yang keliru. Karena kebijaksanaan program pendidikan bertujuan agar setiap murid mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, maka bobot kurikulum menjadi berat ke bidang akademik. Tujuan perjuangan nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang merdeka di tanah airnya terabaikan. Formulasi makna nasionalisme yang dituangkan dalam Pancasila menuntut sistem dan kurikulum yang seharusnya bermuatan untuk mengangkat martabat manusia agar beradab, demokratis dan sejahtera. Akan tetapi, apabila bobot kurikulum berat ke bidang akademik, hasilnya akan tidak ada bedanya dengan pendidikan pada masa kolonial. Penyeragaman jenis, tingkat dan materi kurikulum untuk seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat pada penyeragaman kualitas dan wawasan manusia. Akibat lanjutannya ialah memusnahkan keragaman manusia itu sendiri. Hal itu bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan. Penggiringan murid untuk bercita-cita utama untuk menjadi pegawai negeri atau tenaga kerja melalui sistem dan proses pendidikan di sekolah, padahal sudah diketahui daya tampung sangat kecil, merupakan kesalahan besar. Meski sudah sering diomongkan bahwa bercitacita menjadi pegawai oleh sekolah sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat tinggi adalah keliru, program pendidikan tidak memberikan pengertian serius kepada murid sejak dini. Cita-cita yang keliru itu dibiarkan berkembang terus. Pendidikan pada madrasah di jaman penjajahan, tidak menjuruskan murid agar mencari pekerjaan ke kantor. Murid disiapkan untuk hadir dalam masyarakat sebagai warga yang mandiri. Salah satu kurikulum yang penting ialah ilmu mantiq atau logika sehingga murid mampu mengadu argumentasi dari suatu kebenaran yang dianutnya, serta tidak menjadi masyarakat yang taqlid buta. Para pakar dan para birokrat pendidikan sama memandang bahwa menjabat jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan status yang paling ideal dan terhormat. Oleh karena itu, mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan program pendidikan yang sudah ada, meski mereka pun mengetahui bahwa dalam kenyataannya hal itu adalah keliru. Merombak pandangan lama dengan pandangan baru secara total, selain membutuhkan keberanian politik juga sosio-psikologis. Dengan melakukan perombakan total itu, dengan sendirinya akan menurunkan letak posisi pegawai atau pejabat tinggi, atau dalam perkataan lain akan menurunkan posisi mereka sendiri di mata masyarakat. Kemungkinan faktor inilah yang menghambat pemikiran para perencana pembangunan bidang pendidikan selama ini. Andaikata penyusun kebijaksanaan diserahkan kepada golongan bukan dari birokrasi, program pendidikan nasional kita akan jadi lain. Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon mangga jangan diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang manis.” Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi manusia yang bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka manusia yang berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai berfungsi untuk menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah membangkitkan minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Anak pegawai atau pedagang di kota dan anak petani di desa harus diberi bentuk pendidikan yang berbeda karena masing-masing memiliki kondisi dan latar belakang budaya yang berbeda. Ada banyak materi kurikulum yang dapat dan perlu sama. Namun, ada banyak pula materi kurikulum yang tidak boleh sama untuk tempat dan kondisi yang berbeda. Makna pendidikan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa seperti yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah semacam “barang” hafalan. Ia harus berfungsi membentuk watak bangsa melalui metode pendidikan aktif-kreatif agar nalar pemikiran dan amal perbuatan berkembang. Setiap materi kurikulum sejak SD sampai SMA tidak hanya berfungsi mengajarkan ilmu, melainkan juga meningkatkan akal budi. Kurikulum matematik sebagai contoh. Fungsinya untuk memberi latihan berpikir matematis, logis dan sistematis. Hafal rumus-rumus bukan suatu hal yang pantas untuk dinilai. Rumus biarkan dalam buku untuk dijadikan pedoman pada waktu diperlukan, seperti melihat kamus atau ensiklopedi.
Ada baiknya jika ada sekolah yang mendidik anak pintar atau agar anak menjadi lebih pintar, tetapi bukan berarti seluruh sekolah melaksanakan program itu. Demikian pula jangan ada program untuk mendidik semua orang sama pintarnya. Untuk bangsa Indonesia yang hidup dalam alam tropis dan berbudaya santai, materi pendidikan yang utama diberikan ialah untuk mengubah watak budaya santai itu agar menjadi manusia berkemauan kerja keras, bermental ulet dan tekun. Disamping itu, perlu dipahami pula bahwa orang pintar yang bertabiat santai, tidak ada gunanya bagi mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Dalam program pendidikan di Indonesia lebih diutamakan susunan dan materi kurikulum pendidikan akademik. Akibatnya, sering terjadi perubahan dan penambahan materi yang serba tanggung sehingga tidak efektif bagi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Hal itu menjadi lebih buruk lagi hasilnya oleh sistem target dalam hal belajar mengajar dengan memakai standard NEM / NAN tertinggi. Dalam masyarakat yang berprilaku santai, sistem NEM / NAN mendorong sekolah untuk memanipulasi angka, baik dengan cara membocorkan materi ujian maupun membiarkan murid menyontek atau mengangkat nilai. Oleh karena itu, fungsi pendidikan sudah berubah dari tujuan mendidik murid menjadi memperalat murid demi memelihara “nama baik” sekolah. Dan secara tidak langsung telah memberi pelajaran kepada murid untuk melakukan manipulasi atau melakukan “jalan pintas”. Padahal untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, NEM / NAN tidaklah menentukan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Mungkin karena perguruan tinggi tidak percaya pada mutu sekolah di bawahnya, kemampuan murid harus diuji lagi. Kebijaksanaan program pendidikan di Indonesia dinilai tidak proporsional dan juga kontroversial. Sejak dari tingkat SD, murid disiapkan agar mampu menaiki jenjang pendidikan yang paling tinggi. Konsekuensinya, perguruan tinggi dibangun sebanyak – banyaknya dan jurusan bidang studi diperluas sebanyak-banyaknya agar dapat menampung sebanyak – banyaknya mahasiswa. Tampaknya, seperti tidak terpikirkan berapa banyak kebutuhan riil dari pengguna jasa pada produk perguruan itu. Strategi Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda, situasi dan kondisi alam yang tidak sama serta lingkungan hidup yang berlainan sehingga watak manusianya pun berbeda. Ada beberapa hal yang sama padanya, yaitu letak geografis di alam khatulistiwa serta pengalaman sejarah sebagai anak jajahan yang telah memerdekakan tanah airnya. Dalam posisi sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia berada jauh di bawah bangsa-bangsa yang berasal dari belahan bumi utara. Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji atau peluang yang luas untuk mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya menyamai posisi yang dimiliki bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat saja dipelajari karena otak bangsa Indonesia tidak kalah mutunya dari bangsa mana pun, berkat rahmat Alloh Yang Maha Adil. Pada umumnya, orang menyalahkan penjajahan Belanda yang menyebabkan bangsa Indonesia seperti keadaan sekarang. Anggapan itu sebagian saja yang benar jika mengingat bahwa Aceh belum sampai 40 tahun dijajah dan Minangkabau 100 tahun. Namun, sikap mental orang Aceh atau Minangkabau praktis sama dengan suku bangsa yang jauh lebih lama dijajah Belanda. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kondisi alam yang ramah yang menjadi penyebabnya. Penjajahan Belanda hanyalah mengekalkan kondisi itu melalui strategi pendidikan di sekolah. Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa manusia hidup dengan dinamika yang keras pula. Kalau tidak, mereka akan mati dimakan alamnya sendiri. Manusia yang hidup dalam alam yang lembut akan kalah bila berhadapan dengan manusia yang beralam keras. Seperti watak manusia yang dikatakan Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Manusia yang betapapun pintar otaknya, akan tidak berarti apa-apa dalam berhadapan dengan
bangsa yang selain pintar juga memiliki kemauan bekerja keras atau etos kerja seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya. Di masa pendudukan Jepang terjadi banyak kerusakan mental bangsa Indonesia umumnya. Pemerintah militer Jepang memang banyak membuka pabrik untuk kepentingan perangnya. Mereka yang mempunyai kemampuan kerja tangan atau keterampilan mendapat tempat untuk mencari nafkah hidup, baik sebagai pekerja di pabrik maupun membuka usaha sendiri. Akan tetapi, mereka yang hanya memiliki ilmu tanpa memiliki keterampilan, memilih “jalan pintas”. Pola “jalan pintas” itu menjadi kebiasaan yang diterima oleh umum sampai sekarang. Mereka tidak salah, melainkan disebabkan oleh kesalahan sistem dan program pendidikan yang hanya memberikan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi kemauan kerja keras. Akhirnya, pada waktu yang sulit, mereka memilih “jalan pintas” dengan akal dan ilmunya untuk mengatasi problem hidupnya. Kondisi dan situasi Indonesia setelah kemerdekaan adalah masa yang berat oleh berbagai tuntutan demi mengangkat harkat bangsa dan tanah air agar setara dengan bangsa yang lain. Karena tuntutan tidak tercapai sebagaimana yang diharapkan, orang pun menggunakan “jalan pintas” pula, yaitu melakukan aksi politik dengan mengadakan rapat, demonstrasi sampai ke pemberontakan di satu pihak, dan di pihak lain mengambil tindakan pragmatis dan berbagai manipulasi politik dan material untuk mengukuhkan kekuasaan dan kekayaan. Orang yang terdidik bekerja keras sama sekali tidak tertarik dengan cara-cara “jalan pintas” itu. Mereka inilah golongan yang mampu bertahan dalam hidupnya, tidak terombang-ambing oleh situasi ekonomi dan politik yang semrawut. Kerusakan dan kekacauan politik dan ekonomi, yang berakibat pada kerusakan moral itu, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara verbal atau menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam dan tradisinya. Tuntutan pemilikan ilmu pengetahuan teknologi menuntut mental yang berbeda jauh dengan watak bangsa yang berkebudayaan santai. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan mental disiplin sendiri, yang berakar pada etos kerja. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan sejak awal bagi bangsa Indonesia semestinya lebih mengutamakan mengubah mental santai itu. Strategi dan program pendidikan perlu diiringi dengan sistem dan metode yang cocok, yaitu yang mampu membangkitkan vitalitas murni sebagai manusia merdeka, mandiri, berprestasi, aktif dan kreatif serta produktif. Agar setiap murid mampu memilih arah hidupnya sendiri atau tidak akan merasa gamang memasuki masyarakat setelah menyelesaikan setiap jenjang pendidikan. Untuk masa yang masih panjang, pendidikan mental murid tidak mungkin dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua orang tua mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang kian tinggi tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa lalu yang bermental santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak memahami pentingnya arah pendidikan bagi generasi baru. Perlu juga dilaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi jurusan bidang studi yang tidak relevan dan fungsional supaya tidak terjadi pemborosan dana yang terus menerus. Dana yang dihemat itu dapat digunakan untuk meningkatkan mutu sarana. Perguruan tinggi yang banyak jumlahnya seperti dewasa ini tidak menunjukkan tingginya tingkat kecerdasan dan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Yang selalu dinilai ialah mutu dari produknya. Sesungguhnya merombak atau memperbaiki pola dan program serta sistem pendidikan itu membutuhkan keberanian moral dari pihak penentu kebijakan politik negara.