Draft 1
Strategi Nasional REDD+ Revisi tanggal 23 September 2010
BAPPENAS
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Draft 1
Strategi Nasional REDD+ Revisi tanggal 23 September 2010
ii
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Daftar isi Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif
iii vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Visi dan Tujuan 1.3 Dasar Hukum 1.4 Ruang Lingkup 1.5 Pengertian
1 3 6 7 8 10
BAB II ANALISIS KONDISI DAN PERMASALAHAN 2.1 Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Kehutanan 2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan 2.3 Perumusan Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan 2.4 Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan 2.5 Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia
13 15 18 25 28 46
BAB III STRATEGI NASIONAL REDD+ 3.1 Strategi Pemenuhan Prasyarat 3.2 Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) 3.3 Strategi Reformasi Pembangunan Sektor
53 57 59 67
BAB IV SISTEM TERUKUR, DAPAT DILAPORKAN DAN DAPAT DIVERIFIKASI
73
BAB V TAHAPAN PELAKSANAAN REDD+ DI INDONESIA 5.1 Penyusunan STRANAS dan RAN REDD+ Indonesia 5.2 Menumbuhkan Kesiapan dan Pelaksanaan Tindakan Awal
79 79 81 84
BAB VI PENUTUP
89
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
iii
Kata Pengantar
BAPPENAS
Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rakhmat dan karunia-Nya, Naskah Strategi Nasional Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Stranas REDD plus) dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini dapat dikategorikan luar biasa, karena Stranas REDD+ dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, namun telah melalui suatu proses yang inklusif. Penyusunan naskah Stranas REDD+ dilakukan melalui suatu proses yang cukup melelahkan untuk meramu proses teknokratik, partisipatif, bottom up dan top down secara sekaligus dalam intensitas dan frekuensi kerja yang tinggi. Penyusunan Stranas REDD+ dilatarbelakangi dengan adanya komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dengan upaya sendiri (unilateral) dan sampai dengan 41% dengan dukungan dari luar negeri (multilateral) pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usual/ kegiatan pembangunan yang dilakukan tanpa tindakan pengurangan emisi). Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan kontribusi dari sektor kehutanan dan tata guna lahan karena sektor tersebut merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Penandatanganan Letter of Intent antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Norwegia merupakan salah satu momentum dalam rangka penyusunan suatu strategi nasional yang disusun secara inklusif. Posisi dan peran Indonesia sangat unik terkait dengan isu perubahan iklim. Di satu sisi, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca yang cukup signifikan berkontribusi terhadap perubahan iklim, namun disisi lain Indonesia sebagai negara kepulauan dan sebagian besar kota besarnya
iv
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
berada di wilayah pantai, menjadi sangat rentan terhadap dampak pemanasan global. Perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya suhu bumi dan berakibat naiknya permukaan air laut akan memberikan dampak negatif luar biasa pada Indonesia. Di samping itu hujan yang tidak dapat diperkirakan, banjir, musim kemarau, dan bencana alam yang lebih sering terjadi, munculnya penyakit baru, dan dampak dampak negative lain akan mempengaruhi jutaan penduduk Indonesia, terutama kaum miskin yang tinggal di daerah perkotaan maupun daerah pedalaman Indonesia. Inilah sebabnya upaya untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan lahan menjadi sangat penting bagi Indonesia melalui skema REDD Plus (REDD+). REDD+ merupakan ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang. Permasalahan ini sebenarnya telah diantisipasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Disebutkan bahwa Pembangunan sumber daya hutan ke depan tidak lagi difokuskan pada pemanfaatan kayu saja, tetapi perlu melihat manfaat hutan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem. Karena itu, selain harus menerapkan konsep pembangunan hutan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersisa maka upaya rehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis serta perlindungan dan konservasi sumber daya hutan pada Daerah Aliran Sungai harus menjadi prioritas nasional. Namun kita harus menyadari bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor kehutanan dan perubahan lahan harus dipertajam dan bilamana perlu dilakukan upaya upaya perbaikan, penyempurnaan dan reformasi berbagai bidang sehingga arah pembangunan menjadi lebih fokus dan dengan dasar prioritasi dengan tetap mempertimbangkan aspek aspek lain secara komprehensif dari berbagai data dan informasi terkini, serta berbagai inisiatif yang telah ada, termasuk Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Stranas REDD+ akan menjadi bagian integral dari upaya Pemerintah untuk mengantisipasi pemanasan global. Dalam jangka panjang, Stranas REDD+ juga akan berkontribusi terhadap pencapaian visi bangsa menuju masayarakat adil, makmur, aman, damai dan sejahtera. Strategi-strategi yang ditawarkan dalam Stranas REDD+ ini dilaksanakan melalui pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), intervensi dalam rangka penyempurnaan,
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
v
perbaikan pengelolaan, dan reformasi di beberapa bidang sektor utama yaitu kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor penunjang (perkebunan dan pertanian, pertambangan), serta pengarus-utamaan strategi dan rencana aksi pada semua tingkatan kelembagaan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten maupun unit manajemen. Strategi ini diharapkan akan ditindaklanjuti dalam bentuk rencana aksi yang realistis, konkrit dan tercapai indikator pemenuhannya. Dengan demikian pelaksanaan REDD+ di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat berkontribusi dalam menangani perubahan iklim serta melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Jakarta, September 2010 Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Lukita Dinarsyah Tuwo
vi
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Ringkasan Eksekutif Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dan Strategi Nasional REDD+ Perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah membawa dampak berupa banjir, kemarau panjang, badai, dan naiknya permukaan air laut yang secara langsung mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumber utama emisi GRK (umumnya dalam bentuk karbon dan methan) adalah deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, tindakan untuk mengurangi emisi GRK yang dampaknya juga berpengaruh secara global, perlu segera dilakukan, terutama dari sektor kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengutarakan tekad untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi berdasarkan data BAU (business as usual) atau kegiatan pembangunan yang dilakukan tanpa tindakan pengurangan emisi sebesar 2,9 Gton CO2e di tahun 2020.1 Disadari bahwa meski hutan tropis di Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo, namun kehilangan hutannya relatif sangat cepat akibat tingginya deforestasi dan degradasi. Dengan demikian, Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam menyukseskan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus atau disingkat sebagai REDD+). Penambahan plus (+) dimaksudkan sebagai penyertaan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan, dan peningkatan stok karbon hutan, selain penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Stranas REDD+ berisikan identifikasi penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan tanaman.
1 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20, Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
vii
Identifikasi Penyebab Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia Analisis permasalahan deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penerapan REDD+ ini bertujuan untuk menyediakan data, informasi, dan pengetahuan mengenai fenomena atau gejala yang dianggap sebagai masalah deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat ditentukan alternatif-alternatif solusi bagi pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis fishbone, dapat diidentifikasi beberapa masalah utama penyebab deforestasi dan degradasi seperti lemahnya tata tuang, tidak efektifnya unit manajemen hutan, lemahnya tata kelola, permasalahan tenurial, dan lemahnya dasar hukum serta penegakan hukum. Kategori Masalah
Komponen Masalah
Tata Ruang yang lemah
Lemahnya Data dan Informasi yang sahih dan akurat Perencanaan sektorat tidak terpadu Partispasi dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan lemah Konflik lahan tidak pernah tuntas Status dan batas kawasan hutan tidak jelas Masyrakat adat tidak memiliki hak formal Budaya dan pola mata pencaharian berbasis lahan Terbatasnya alternatif sumber pendapatan
Tenurial Bermasalah
Unit Manajemen Hutan Tidak Efektif
Hutan produksi kolap, hutan lindung terancam, hutan konservasi rentan Kinerja organisasi pengelolaan hutan rendah Integritas dan kapasitas pengelola hutan rendah
Tata Kelola Lemah
Ketidakadilan distrubusi manfaat dari sektor hutan Koordinasi antar sektor dan antara pusat dan daerah lemah Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas rendah Efektivitas dan efisiensi pengelolaan kegiatan dan anggaran rendah Korupsi dan kolusi
Dasar dan Penegakan Hukum Lemah
Isi dasar hukum kontraproduktif dan tidak jelas Tumpang tindih dasar hukum penegakan hukum lemah, termasuk adanya mafia hukum
viii
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Perumusan Strategi Nasional REDD+ Strategi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah arahan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek). Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi bertanggung jawab. 2. Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis. 3. Keadilan antar generasi. Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi : 1) Penurunan emisi dari deforestasi, 2) Penurunan emisi dari degradasi hutan, 3) Penguatan peran konservasi, 4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, dan 5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi (source) dan meningkatkan simpanan (sink) karbon.
Skema Strategi REDD+ Indonesia
Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka strategi nasional REDD+ Indonesia terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu : (1) pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, (2) peningkatan dan penguatan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
ix
kondisi pemungkin (enabling conditions), serta (3) reformasi pembangunan sektor, terutama sektor kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor pengguna lahan lainnya (perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur).
Strategi pemenuhan prasyarat dan kondisi pemungkin Strategi pemenuhan prasyarat terdiri dari program pembuatan peraturan yang terkait dengan pelaksanaan REDD+, program pembentukan metodologi REDD+, dan program pembangunan pembagian manfaat dan tanggung Jawab. Strategi pemenuhan kondisi pemungkin terdiri dari program reformasi perencanaan pembangunan sektor penggunaan lahan, program reformasi dasar dan penegakan hukum, program penguatan pemberdayaan ekonomi lokal, program pelibatan pemangku kepentingan, dan program penguatan tata kelola. Penjabaran strategi reformasi pembangunan sektor terdiri dari program reformasi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, pertambangan, dan sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan.
Strategi reformasi pembangunan beberapa sektor terkait Strategi Pembangunan sektor kehutanan bertumpu pada aspek penurunan sumber emisi GRK dan peningkatan dan perlindungan stok karbon. Beberapa aspek yang dicakup dalam upaya penurunan emisi GRK adalah (1) penguatan konservasi dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan sektor kehutanan, (2) penguatan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, (3) peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH, dan (4) penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan. Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink) mencakup delapan kegiatan utama, yaitu (1) Peningkatan kualitas pengelolaan kawasan lindung (kawasan konservasi, hutan lindung dan kawasan lindung lainnya yang akan ditetapkan kemudian dalam tata ruang wilayah) dalam rangka pemeliharaan simpanan karbon, (2) peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan terdeforestasi, (3) pengembangan insentif untuk meningkatkan stok karbon di daerah yang terdegradasi dan lahan bekas kebakaran, (4) pelaksanaan pengkayaan (enrichment planting) pada kawasan terdegradasi, (5) pelaksanaan restorasi hutan pada hutan lindung, kawasan konservasi, dan pada kawasan IUPHHK-Restorasi, (6) peningkatan upaya restorasi lahan gambut yang terdeforestasi dan terdegradasi, (7) peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove, dan (8) pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang.
x
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Strategi pembangunan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim difokuskan pada upaya meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Sejalan dengan itu, strategi pembangunan pertanian juga diarahkan pada upaya intensifikasi dan penerapan teknologi tepat guna yang menghindari pembukaan lahan baru pada kawasan-kawasan yang masih memiliki tutupan hutan sedang sampai baik. Penguatan sektor pertanian dalam rangka mendukung pelaksanaan REDD+ ini antara lain : (1) penyempurnaan perencanaan pertanian yang menghindari perluasan pada kawasan yang memiliki tutupan hutan sedang sampai baik serta perlindungan terhadap kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di kawasan perkebunan; (2) penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta untuk peternakan; (3) pemanfaatan lahan tidur/ bongkor atau lahan terlantar; (4) penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral dari lahan dengan stock C tinggi (>100 t C/ha) ke lahan dengan stock C rendah (<35 t C/ha); (5) penerapan sistem irigasi berselang (intermittent) pada lahan sawah; (6) perluasan lahan pertanian pada tanah mineral dan tidak berhutan; (7) penyempurnaan tata cara pemberian izin dengan mempertimbangkan emisi karbon; (8) pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan kegiatan dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan; (9) penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub-sektor peternakan melalui perbaikan teknologi pakan ternak serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas dan kompos; dan (10) perbaikan pengelolaan lahan gambut melalui pendekatan kebijakan hingga teknis. Strategi pembangunan sektor pertambangan dilakukan melalui empat kegiatan utama, yaitu: (1) penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan yang diarahkan pada larangan pemberian izin KP di lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter, (2) penyempurnaan perencanaan pertambangan yang diarahkan untuk menghindari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan pada kawasan hutan dan kawasan lain yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik serta perlindungan terhadap kawasankawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan pertambangan, (3) pembatasan perizinan dan peningkatan pengawasan pertambangan melalui rasionalisasi izin KP hingga penegakan hukum, dan (4) peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan. Sementara strategi pembangunan sektor pembangunan lahan lain setidaknya meliputi dua aspek pokok, yaitu : (1) penyempurnaan pembangunan infrastruktur yang lebih mempertimbangkan emisi karbon, dan (2) penguatan visi pembangunan yang lebih mempertimbangkan aspek emisi karbon dalam jangka jangka panjang.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
xi
Pembangunan Sistem MRV (measurement, reporting dan verification) Partisipasi Indonesia di dalam REDD+ mengharuskan Indonesia membangun sistem terukur (measurable), dapat dilaporkan (reportable) dan dapat diverifikasi (verifiable) atau MRV agar setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di dalam hutan dapat diukur secara akurat. Selain pengukuran perubahan areal hutan berdasarkan tipenya dan stok karbon di dalam hutan, ruang lingkup pengukuran MRV juga mencakup pengukuran terhadap distribusi manfaat atas pelaksanaan REDD+; kontribusi pelaksanaan REDD+ terhadap penghidupan yang berkelanjutan, dan pengurangan kemiskinan bagi masyarakat yang penghidupannya tergantung pada hutan. Untuk membangun sistem MRV yang akuntabel dan transparan, diperlukan beberapa prasyarat seperti (1) penyusunan standar nasional yang sejalan dengan protokol internasional dan good practices untuk mengukur perubahan stok karbon di dalam hutan, (2) Pendirian lembaga nasional yang independen untuk melakukan pengukuran dan verifikasi informasi; dan (3) pengembangan mekanisme koordinasi dan harmonisasi penghitungan karbon dan sistem MRV lintas sektor dan skala.
Tahapan Pelaksanaan REDD+ di Indonesia Dengan banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dan untuk menjaga kredibilitas serta efektivitas pelaksanaan REDD+, secara umum tahapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia akan meliputi : (1) penyusunan strategi yang mencakup strategi nasional dan rencana aksi nasional REDD+; (2) membangun
xii
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
kesiapan dan pelaksanaan tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+, pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatankegiatan awal; dan (3) implementasi yang mencakup pengarusutamaan REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMN dan implementasi penuh, terutama di daerah-daerah percontohan berdasarkan kriteria yang ditentukan. Strategi Nasional REDD+ ini akan efektif apabila dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan serta pembangunan mekanisme penerapan REDD+ di beberapa daerah. Selain itu, dukungan pembiayaan juga merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan REDD+. Untuk mengawal pelaksananaan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ berjalan dengan baik, perlu disusun kerangka kerja monitoring dan evaluasi sebagai pedoman monitoring dan evaluasi Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+. Penerapan Strategi Nasional hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu pengarusutamaan strategi nasional REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan
Kesimpulan Seluruh tahapan pelaksanaan REDD+ tersebut dilaksanakan secara inklusif dengan melibatkan para pemangku kepentingan di tingkat nasional dan sub nasional, mulai dari unsur pemerintah (multi sektor dan pusat-daerah), pakar yang berkompeten dan komponen masyarakat sipil yang yang memiliki perhatian terhadap pelaksanaan REDD+ serta kelompok mayarakat yang berpotensi terkena dampak. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia merupakan komitmen nasional yang didukung oleh semua kompomen bangsa.
BAB I
PENDAHULUAN
Halaman ini sengaja dikosongkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
3
1.1 Latar Belakang Kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah terjadi sejak abad ke 19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pemanasan global (global warming). Peningkatan emisi yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sangat drastis dan membawa dampak berupa kemarau yang berkepanjangan, banjir, badai dan peningkatan permukaan air laut. Hal itu mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi penduduk dunia yang tinggal di daerah sekitar pantai sampai pegunungan, penurunan kualitas lingkungan global dan ancaman ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang. Sesuai dengan Stern Review (2006) deforestasi dan degradasi hutan berkontribusi sebesar kurang lebih 18% dari emisi global, dari jumlah tersebut 75% nya berasal dari negara-negara berkembang. Kondisi tersebut menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat lokal, fungsi daerah-daerah aliran sungai serta keberadaan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, pengurangan jumlah emisi karbon dari sektor kehutanan menjadi penting karena tidak saja mendukung upaya dunia untuk membatasi terjadinya peningkatan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi juga memberikan manfaat lain bagi kepentingan masyarakat, ekosistem dan keanekaragaman hayati. Menurut Stern, tindakan yang cepat untuk mengurangi emisi dari sektor ini harus segera dilakukan. Dukungan internasional untuk membantu negara berkembang dalam mengurangi emisi dari sektor ini juga harus dilaksanakan. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dengan pendanaan dalam negeri dan 41% dengan bantuan dari internasional pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usual/kegiatan pembangunan tanpa pengurangan emisi1. Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan berasal dari sektor kehutanan, tata guna lahan, dan perubahan tata guna lahan karena merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Hutan tropis di Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Namun di sisi lain laju kehilangan hutannya relatif sangat cepat akibat dari tingginya deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, Indonesia memiliki posisi sangat penting dalam mensukseskan program 1 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20, Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009.
4
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus atau disingkat sebagai REDD+). Untuk merealisasikan pengurangan emisi GRK sesuai dengan target di atas perlu disusun berbagai intervensi serta rencana aksi yang disesuaikan dengan kebijakan program mitigasi perubahan iklim di berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, antara lain meliputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Isu deforestasi sendiri muncul dibawah agenda “Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara Berkembang (RED)” pada saat Konferensi Antar Pihak (Conference of Parties-COP) ke 11 dalam kerangka United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC) di Montreal pada tahun 2005 dan direspon secara positif oleh banyak negara. Dalam berbagai forum di bawah UNFCCC termasuk COP dan Subsidiary Body (SB), banyak pihak memandang bahwa skema RED seharusnya melibatkan partisipasi dari semua negara. Tantangan terbesar dari isu ini adalah cara mengatasi perbedaan kondisi nasional pada masing-masing negara diakomodasi secara adil dan proporsional dengan mempertimbangkan pendekatan pemecahan isu kehutanan di bawah konvensi iklim. Istilah REDD Plus (REDD+) muncul pada saat diselenggarakan konferensi perubahan iklim ke 13 (COP 13) pada tahun 2007 di Bali. Istilah yang termuat dalam Bali Action Plan paragraf 1 b (iii) ini pertama digunakan di dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang di bawah konvensi pada sesi ke-6 di Bonn pada tanggal 12 Juni 2009 (catatan kaki dokumen FCCC/AWGLCA/2009/8, 19 Mei 2009). Dalam dokumen ini, aksi di bawah paragraf 1 b (iii) Bali Action Plan yang berisikan isu yang terkait pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang dan pentingnya peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang disebut secara bersama sebagai REDD+. Istilah REDD+ juga termuat dalam Copenhagen Accord sebagai hasil pertemuan COP ke 15 pada tahun 2009 di Kopenhagen.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
5
Untuk mengantisipasi negosiasi global dalam UNFCCC khususnya yang terkait dengan REDD+ maka Pemerintah Indonesia telah melakukan kerjasama dengan beberapa mitra di berbagai bidang baik metodologi, kelembagaan, maupun pembangunan Demontration Activities (DA) REDD. Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk menyusun Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) sebagai dasar dalam melakukan penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan yang terkait dengan REDD+.
6
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
1.2 Visi dan Tujuan Visi Pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada penyelenggaraan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
Tujuan Strategi Nasional REDD+ dalam jangka menengah (hingga 2020) bertujuan untuk: »» Peningkatan dan penyempurnan perencanaan, terutama terkait dengan penataan ruang, penatagunaan lahan, dan proses perijinan pemanfaatan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. »» Penurunan emisi GRK, khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dan menciptakan sebuah pijakan bagi pengurangan emisi yang lebih substansial dengan investasi lebih lanjut. »» Pemeliharaan dan peningkatan simpanan karbon (carbon stock) melalui kegiatan konsevasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem dan rehabilitasi hutan. »» Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan kawasan hutan. »» Peningkatan pengelolaan sumberdaya alam hayati melalui pelestarian ekosistem yang bernilai tinggi, melindungi keanekaragaman hayati dan terjaganya fungsi daerah aliran sungai »» Peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia dan pendanaannya di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam progam pengelolaan hutan secara lestari dan pelestarian kawasan lindung »» Peningkatan kepercayaan investor untuk melaksanakan kegiatan/usaha di Indonesia khususnya sektor yang berbasis penggunaan lahan.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
7
1.3 Dasar Hukum Dasar Hukum yang digunakan untuk penyusunan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ terdiri dari: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change; 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim; 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025; 9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan; 17. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014.
8
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
1.4 Ruang Lingkup Stranas REDD+ berisikan identifikasi penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi (hutan alam dan hutan tanaman). Di samping itu, strategi ini juga memasukkan pengurangan emisi dari sektor lain yang menggunakan lahan yaitu sektor pertanian, pertambangan dan infrastruktur. Stranas REDD+ juga merupakan panduan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun program-program yang mendukung pelaksanaan REDD+. Stranas REDD+ merupakan panduan/guidelines implementasi REDD+ dalam kaitannya dengan upaya penurunan emisi 26%, 41% dan lebih dari 41% dibandingkan dengan BAU 2020. Apabila dikaitkan dengan amanah Bali Action Plan) maka target penurunan emisi 26% dapat dikategorikankan sebagai unilateral “Nationally Appropiate Mitigation Actions (NAMA’s)”, 41% sebagai supported NAMA’s (dengan dukungan dana internasional), dan di atas 41% bila ditambah dengan mekanisme pasar (carbon credit) (lihat Gambar 1). Dalam pelaksanaan ketiga kategori tersebut, kegiatan kapastitas building dan transfer teknologi merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara kontinyu dan didukung oleh pendanaan hibah internasional.
Grafik 1. Gambaran opsi target pengurangan emisi melalui REDD+ dalam target pengurangan emisi nasional
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
9
Pada dasarnya Strategi Nasional REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030. Stranas REDD+ ini kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Aksi Nasional REDD+ (RAN REDD+) sebagai dokumen kerja yang menjadi landasan bagi berbagai Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan penurunan emisi dari sektor kehutanan dan tata guna lahan.
10
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
1.5 Pengertian Mempertimbangkan adanya berbagai definisi terkait dengan REDD+, maka dokumen Stranas dan RAN REDD+ perlu menetapkan definisi kerja yang dipergunakan. Diharapkan, pengertian yang ditetapkan ini menjadi rujukan dalam penyusunan strategi, program dan kegiatan di dalam Stranas dan RAN REDD+. Sejumlah pengertian terkait dengan REDD+ adalah sebagai berikut: REDD+ Definisi REDD Plus (REDD+) berdasarkan pada Bali Action Plan paragraf 1 b (iii), yaitu ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang. Hutan Menurut UU No 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan Hutan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU N0 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Deforestasi Deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10% untuk jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m (in situ) dan areal minimum 0,5 ha (FAO). Degradasi (FAO dan submisi Indonesia ke Sekretariat UNFCCC Maret 2008) Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan. Dalam konteks REDD+, degradasi dapat diartikan sebagai penurunan stok carbon (carbon stock degradation) hutan.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
11
Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama (Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung. Lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon (carbon stock) yang lebih tinggi daripada lahan mineral karena karakteristik morfologi tanahnya. Kandungan karbon di bawah permukaan lahan gambut dapat mencapai sebesar antara 300-6.000 t C per hektar. Semakin dalam gambut, semakin tinggi juga jumlah karbon yang dapat disimpan. Lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan cenderung lebih dalam dibandingkan dengan di Papua, (BAPPENAS, 2010). REL/RL (interpretasi dari Dec. 4/CP 15) REL (Reference Emission Level) atau tingkat emisi referensi adalah basis untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang. RL (Reference Level) atau tingkat referensi adalah basis untuk mengukur emisi/ removals yang dihasilkan dari kegiatan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan karbon stok dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang. MRV (Measuring, Reporting and Verifying) MRV merupakan bagian dari sistem monitoring dan evaluasi dari aksi mitigasi termasuk REDD+ yang akan dilaporkan oleh negara-negara kepada UNFCCC. Kegiatan REDD+ harus dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi. Dengan perkataan lain pengumpulan data dan laporan yang disampaikan kepada UNFCCC harus mengikuti metoda ilmiah yang baku dan konsisten dengan Keputusan COP. Displacement of emission Pengalihan emisi keluar batas geografis kegiatan REDD+. Dengan pelaksanaan REDD+ melalui pendekatan nasional (national approach) dan implementasi di tingkat sub-nasional, maka displacement of emission di dalam batas wilayah negara ditangani di tingkat nasional.
12
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Benefit sharing atau pembagian manfaat dan tanggungjawab Mekanisme distribusi benefit serta biaya dan resiko dalam REDD+ adalah salah satu komponen yang harus dipersiapkan dalam tahap readiness, yaitu dalam komponen pertama: management of readiness. Di tingkat internasional, arah pembicaraan atas mekanisme pembayaran akan berbasiskan kinerja suatu Negara khususnya dalam upaya menurunkan tingkat deforestasi, degradasi serta peningkatan simpanan karbon (carbon sink) maupun efektivitas pencapaian co-benefit dari program REDD+ tersebut. Disyaratkan pula agar mekanisme tersebut mengintegrasikan prinsip akuntabilitas, transparansi, memiliki manajemen resiko, mekanisme transfer benefit yang memadai, dan mekanisme administrasi yang efektif dan efisien. Adanya mekanisme distribusi benefit yang demikian akan memberi nilai positif yang kompetitif bagi Indonesia dalam menarik dana-dana internasional untuk mempersiapkan REDD+ di tingkat nasional.
BAB II
ANALISIS KONDISI DAN PERMASALAHAN
Halaman ini sengaja dikosongkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
15
2.1 Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Kehutanan 2.1.1 Di Level Nasional Hutan berperan penting dalam siklus karbon global dan dapat berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi (removal). Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional dengan berbasis (base-year) tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) tertinggi (Gambar 1). Emisi ini pada umumnya berasal dari deforestasi, degradasi, dan kebakaran hutan termasuk gambut (2nd National Communication, 2009).
Gambar 2.1 Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dari beberapa sektor dengan base year tahun 2000.
Berdasarkan base-year 2000, sektor kehutanan menyumbang 48% emisi GRK nasional, paling tinggi dibandingkan sektor lain. Untuk dapat lebih berperan bagi kehidupan di dunia, Indonesia akan berupaya menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020 dengan dana sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Sehubungan dengan itu, untuk menurunkan emisi sebesar 26% dari BAU tahun 2020 (2,95 Gton CO2e), sektor kehutanan
16
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
akan berkontribusi sebesar 14% sedangkan sisanya (12%) akan disumbang oleh sektor lainnya seperti pertanian, perhubungan, dan energi. Dengan demikian tingkat emisi referensi (TER=reference emission level (REL)/baseline) sektor kehutanan pada tahun 2020 adalah 1,5 Gton CO2e. Sehingga target penurunan emisi untuk sektor kehutanan sebesar 0,4 Gton CO2e (26% dari 1,5 Gton CO2e). Besaran target yang telah dicanangkan pemerintah ini perlu direalisasikan ke dalam tindakan nyata di lapangan yang dapat diukur, dilaporkan, transparan, dan diverifikasi oleh pihak independen. Kuantifikasi dari upaya menurunkan emisi ini perlu dilakukan dengan cara pengurangan terhadap sumber-sumber emisi di sektor kehutanan yang dibedakan atas fokus dan lokus program dan kegiatan.
2.1.2 Di Level Sub Nasional Dari kontribusi sektor kehutanan sebesar 48% terhadap emisi GRK nasional, besaran emisi di sub-nasional bervariasi dari satu pulau ke pulau lainnya, demikian pula di level provinsi maupun kabupaten. Besarnya emisi GRK ini berasal dari sektor kehutanan dan perubahan penggunaan lahan (LUCF) yang pada periode tahun 2000-2005 mencapai angka laju deforestasi seluas 5,45 juta ha atau rata-rata 1,1 juta ha per tahun. Selain dari deforestasi, kontribusi emisi GRK dari sektor LUCF juga berasal dari kebakaran lahan gambut dan konversi lahan gambut di dalam kawasan hutan menjadi perkebunan (Gambar 2). Berdasarkan panduan COP-15, perhitungan tingkat emisi referensi untuk masing-masing provinsi ditentukan berdasarkan data historis laju deforestasi hutan dan laju deforestasi gambut sehingga didapat kuota emisi tiap provinsi dan kabupaten1.
1 Angka REL ini masih angka sementara dan dipakai untuk memfasilitasi perolehan angka sub-nasional yang akan menjadi keputusan nasional. Angka ini akan terus diperbaiki sampai diperoleh angka yang valid pada tahun 2012.
Gambar 2.2. Tingkat emisi referensi untuk setiap provinsi berdasarkan data historis laju deforestasi hutan dan gambut.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
17
18
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Pemicu deforestasi dan degradasi hutan berasal dari dalam dan luar sektor kehutanan. Dari dalam sektor kehutanan, pemicu tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 kegiatan, yaitu 1) penebangan ilegal dan dari pengelolaan hutan yang tidak lestari, 2) kebakaran hutan, 3) perubahan hutan alam (tanah mineral dan gambut) untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 4) lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan konsesi hutan. Dari luar sektor kehutanan, pemicu deforestasi dan degradasi hutan antara lain adalah 1) perambahan hutan oleh masyarakat, 2) kebakaran lahan (non-kawasan hutan), 3) perluasan permukiman, 4) pemekaran wilayah, 5) ekstensifikasi perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kopi), 6) ekstensifikasi lahan pertanian, 7) pembukaan tambak di hutan mangrove, 8) peningkatan lahan penggembalaan (pasture land), 9) pertambangan, dan 10) pembangunan infrastruktur. Secara lebih sederhana, seluruh hal di atas dapat dikelompokan menjadi penyebab deforestasi akibat adanya konversi hutan menjadi kawasan non hutan baik secara terencana maupun tidak terencana, serta degradasi hutan akibat adanya penabangan liar dan kebakaran hutan..
2.2.1 Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia mempunyai luas daratan 187,787 juta ha yang terbagi menjadi kawasan hutan seluas 132,399 juta ha (Ditjen Planologi, 2008) dan areal penggunaan lain (APL) seluas 55,388 juta ha. Berdasarkan tutupan lahan atau hutannya, luas daratan yang tertutupi dengan hutan (forest cover) seluas 100,.740 juta ha sedangkan luas wilayah yang tanpa tutupan hutan seluas 87,047 juta ha. Sementara itu, kawasan hutan yang memiliki tutupan hutan adalah seluas 92,328 juta ha atau 49% dari luas daratan Indonesia dan sisanya tidak memiliki tutupan hutan seluas 40,071 juta ha atau 21% dari luas daratan Indonesia. Selanjutnya luas tutupan hutan pada APL adalah 8,412 juta ha atau 4% dari luas daratan Indonesia dan luas wilayah yang tidak tertutup hutan adalah 49,976 juta ha atau 25% dari total daratan Indonesia (Ditjen Palnologi, 2010). Berdasarkan data tahun 2006 yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan, perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi tidak berhutan seluas 42,263 juta ha. Sebagian besar luasan tersebut (36%) telah berubah menjadi lahan alang-alang sedangkan 26% merupakan lahan pertanian, dan sisanya terdiri dari semak, lahan basah (wetland), perumahan, dan penggunaan lainnya.
19
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Tabel 2.2. Rekalkulasi tutupan lahan (juta ha). Penutuan lahan 1 Berhutan
Kawasan hutan Area (ha) % 2 3 92,328 49
Areal penggunaan lain Area (ha) (%) 4 5 8,412 4
Total Area (ha) 6 100,740
% 7 54
(Primer= 43,801;
Tidak berhutan Total
(LOA=48,526) 40,071 132,399
21 71
46,976 55,388
25 29
87,047 187,787
46 100
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2008, diolah dari Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006.
Tingkat deforestasi di Indonesia bervariasi dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 1990–1996, rata-rata laju deforestasi per tahun adalah 1,87 juta ha. Laju ini terus meningkat dengan cepat sehingga mencapai 3,51 juta ha per tahun pada periode 1996–2000, lalu menurun menjadi 1,08 juta ha per tahun pada periode 2000–2003, dan kembali meningkat menjadi 1,17 juta ha pertahun pada periode 2003–2006. Berdasarkan data historis tersebut, laju deforestasi di Indonesia dapat diproyeksikan sekitar 1,125 juta ha per tahun. Sedangkan ratarata degradasi yang disebabkan oleh aktivitas logging adalah 0,626 juta ha per tahun (Kementerian Kehutanan, 2010).
2.2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Pada Lahan Gambut Lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga kestabilan ekosistem karena besarnya kemampuan lahan ini dalam menahan/menyimpan air, tingginya simpanan karbon (C), serta tingginya biodiversitas spesifik lahan gambut. Apabila hutan gambut dikonversi, karbon yang tersimpan di dalamnya akan mengalami oksidasi karena dekomposisi dan kebakaran sehingga mengemisikan CO2, gas rumah kaca terpenting. Emisi C dari lahan gambut dianggap sebagai masalah global yang sangat serius karena jumlahnya bisa dua sampai tiga kali lebih tinggi dari emisi tanah mineral. Emisi gambut sekaligus merupakan masalah lokal karena akan menyebabkan gambut menipis sehingga fungsi buffer hidrologisnya menghilang. Pengelolaan lahan gambut di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari prinsip perlindungan lahan gambut berkelanjutan. Lahan gambut tidak diperlakukan sebagai entitas khusus yang perlu dilindungi, tetapi dianggap
20
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
sebagai lahan biasa yang merupakan komoditas untuk mewadahi kegiatan perekonomian seperti kebun, hutan tanaman, dan tambang. Contoh fenomenal kegagalan pengelolaan lahan gambut yang terencana adalah mega project Kawasan Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah seluas 1,0 juta ha. Lahan gambut tersebut diprogramkan oleh Presiden Soeharto (1995) untuk dibuka menjadi lahan pertanian pangan. Ternyata pembukaan lahan tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar, antara lain kebakaran pada Kawasan PLG itu dan banjir di wilayah pemukiman sekitarnya. Pemerintah telah mencanangkan program rehabilitasi dan revitalisasi kawasan tersebut, namun belum terimplementasikan sampai sekarang. Potret lainnya dari pengelolaan ekosistem ini adalah banyaknya izin yang diberikan di atas lahan gambut, baik yang berketebalan kurang dari 3 m atau pun lebih. Selain itu, tidak sedikit pula lahan gambut yang diduduki oleh masyarakat untuk menjadi tempat tinggal dan diolah menjadi lahan pertanian bagi pemenuhan hidup masyarakat tersebut. Tingginya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia (sekitar 1,3% per tahun), semakin berkurangnya lahan kering potensial untuk pembangunan pertanian, dan pemberian izin yang tidak terkendali dan disertai oleh berbagai pernyimpangan ditengarai menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Di provinsi/kabupaten yang sebagian besar areal lahannya berupa lahan gambut seperti di Provinsi Riau, Kabupaten Kubu, dan Provinsi Kalbar, pemanfaatan lahan gambut sudah merupakan suatu keniscayaan, karena hanya lahan gambut yang dominan bagi perluasan pertanian. Dalam kondisi ini, penerapan metode pengelolaan lahan gambut berkelanjutan merupakan pilihan yang seyogianya diterapkan. Permasalahan yang melatarbelakangi buruknya pengelolaan lahan gambut, antara lain disebabkan oleh: 1) kurangnya pemahaman para stakeholder (pemerintah, masyarakat, dan swasta) akan urgensi perlindungan lahan gambut dan bagaimana cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan; 2) kewenangan pengelolaan lahan gambut yang tersebar dan tidak adanya pembagian kewenangan serta jaring koordinasi yang jelas; 3) belum adanya inventarisasi lahan gambut nasional, yang memberikan informasi yang lengkap dan terintegrasi mengenai sebaran, status, ketebalan, dan kondisi lahan; 4) kebakaran (baik disengaja maupun tidak) hutan dan lahan yang masih tinggi; 5) belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lahan gambut yang lengkap hingga tahap implementasi, termasuk sanksi2; 6) tumpang tindih kebijakan, baik antar instansi pusat maupun antar pemerintan pusat dan daerah; 7) konflik tata ruang dan tenurial; 8) perizinan di atas lahan gambut; 8) permasalahan ketersediaan sarana/prasarana dan pendanaan; 9) penegakan hukum yang lemah.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
21
2.2.3 Pengaruh Sektor Pertanian Terhadap Deforestasi Sektor pertanian, terutama tanaman pangan, secara signifikan cenderung terkena dampak perubahan iklim.. Tetapi bidang pertanian juga menghasilkan emisi GRK. Tanpa Rencana Aksi mitigasi perubahan iklim (BAU) di lahan padi sawah non-gambut akan menghasilkan emisi CH4 dan N2O dalam kondisi tergenang (anaerobik), sedangkan padi sawah di lahan gambut mengeluarkan emisi GRK terutama dalam bentuk CH4. Untuk perkebunan di lahan gambut, karena membutuhkan kondisi anerobik, emisi GRK utama yang dilepaskan adalah CO2. Emisi kumulatif GRK di bidang pertanian, bila tanpa dilakukan upaya pengurangan emisi, diperkirakan 117 juta ton CO2e. Tabel 2.3. Proyeksi kebutuhan bahan pangan pokok tahun 2020. No. Komoditas
Perkiraan Kebutuhan di 2020 (juta ton)
1
Beras
37.021*
2
Jagung
18.940**
3
Kedelai
2.381**
4
Gula
* beras, setara 68,8 juta ton gkg.
2.530 **biji kering
Sektor pertanian juga berpotensi menyumbang emisi karbon bila terjadi pembukaan lahan baru pada areal yang masih berhutan atau areal bergambut pada kedalaman di atas 3 m. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, sektor pertanian perlu melakukan beberapa kebijakan untuk menurunkan emisi GRK. Berdasarkan data BPS (2008) total luas lahan pertanian adalah 69,15 juta ha. Sedangkan menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2008 (Tabel 2.2), Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk untuk pertanian, pemukiman, infrastuktur dan lain-lain seluas 55,388 juta ha.
2 Saat ini, Indonesia telah memiliki aturan dasar perlindungan gambut, yaitu Perpres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung dan PP No, 26 Tahun 2008 tentang RTRWN jo. UU No, 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa lahan gambut berketebalan 3m atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai atau rawa harus ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun demikian, ketentuan tersebut baru diimplementasikan oleh sektor pertanian melalui Permentan No. 14 Tahun 2009 yang melarang pembukaan lahan gambut untuk budidaya pertanian, pada: (1) lahan gambut dengan ketebalan >3m, (2) lahan gambut yang belum matang (tingkat kematangan fibrist) dan (3) lahan gambut dengan lapisan tanah dibawah gambut (substratum) berupa pasir kuarsa serta berpotensi sulfat masam.
22
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Tabel 2.4. Kebutuhan penambahan lahan baru untuk ketahanan pangan nasional hingga tahun 2020. Lahan Tersedia 2008 (x 1000 ha)
Jenis lahan
Kebutuhan Penambahan s/d 2020 (x 1000 ha)
1. Sawah
6.841
1.614
2. Lahan kering
5.500
2.419
Total
12.341
4.033
Dari data penggunaan lahan sejak tahun 1986 sampai tahun 2004 terlihat bahwa luas lahan sawah tidak banyak mengalami perkembangan, bahkan menurun dari 8,5 juta ha pada tahun 1993 menjadi 7,7 juta ha pada tahun 2004. Perluasan areal yang pesat terjadi pada perkebunan, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, dan lada. Perkembangan terbesar terjadi pada perkebunan sawit, yaitu dari 593.800 ha pada tahun 1986 menjadi sekitar 6,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan areal secara besarbesaran berlangsung sejak tahun 1996. Luas lahan perkebunan kakao juga berkembang pesat dari 95.200 ha pada tahun 1986 menjadi 1,2 juta ha pada tahun 2006. Dalam konteks ketahanan pangan dengan proyeksi hingga 2020, diperkirakan tambahan lahan yang diperlukan adalah 1,6 juta ha lahan sawah dan 2,4 juta ha lahan kering.
Tabel 2.5. Luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan basah dan lahan kering. Lahan basah semusim Pulau
Rawa
Non-rawa
Total
Lahan kering semusim*
Lahan kering tahunan**
Total
……………..………………… 000 ha ………………………………………. Sumatera
354.9
606.2
960.9
1.312.8
3.226.8
6.499.4
Jawa
0
14.4
14.4
40.5
159,0
213.9
Bali dan NT
0
48.9
48.9
137.7
610.2
796.7
Kalimantan
730.2
665.8
1.396.0
3.639.4
7.272.0
12.307.4
0
423.0
423.0
215.5
601.2
1.239.6
Maluku+ Papua
1.893.4
3.539.3
5.432.7
1.739.0
3.441.0
10.612.7
Indonesia
2.978.4
5.297.6
8.275.8
7.083.8
15.310.1
30.669.7
Sulawesi
Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007) Keterangan : * Lahan kering semusim juga sesuai untuk tanaman tahunan ** Lahan kering tahunan pada lahan kering dan sebagian gambut
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
23
Melalui tumpang tepat (overlayed) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan (BPN, 2002-2004) diperoleh data penyebaran lahan yang belum dimanfaatkan yang saat ini ditumbuhi oleh alang-alang dan semak belukar, baik di lahan kering maupun di lahan rawa. Tanpa memperhatikan status kepemilikan, lahan tersebut diasumsikan sebagai lahan potensial yang tersedia untuk pengembangan pertanian. Hasil analisis spasial tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30,67 juta ha merupakan lahan yang belum dimanfaatkan (dianggap tersedia), yang terdiri dari 8,28 juta ha lahan untuk perluasan pertanian lahan basah semusim (sawah), 7,08 juta ha untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta ha untuk pertanian tanaman tahunan. Diperkirakan sekitar dua pertiga (20,4 juta ha) lahan tersedia tersebut berada di kawasan kehutanan (di luar kawasan lindung) yang saat ini juga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar, terluas terdapat di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera. Lahan yang belum dimanfaatkan berupa semak belukar seluas 10,3 juta ha yang berada di kawasan budi daya pertanian (bukan di kawasan hutan). Dengan demikian, sampai tahun 2020 kebutuhan lahan pertanian tanaman pangan (1,6 juta ha di lahan basah dan 2,4 juta ha di lahan kering) masih bisa terpenuhi dari kawasan budi daya pertanian yang ada yang tidak memerlukan konversi hutan (bukaan) baru. Tabel 2.6. Lahan tersedia untuk pertanian pada kawasan budi daya dan kehutanan. No. Pulau 1.
Sumatera
2.
Jawa
3.
Bali dan Nusa Tenggara
4.
Kalimantan
5.
Sulawesi
6.
Kawasan budi daya Pertanian
Kehutanan
Total (ha)
2.741.632
2.757.776
5.499.408
129.022
84.868
213.890
515.874
280.872
796.746
3.907.977
8.399.413
12.307.390
682.192
557.412
1.239.604
Maluku+Papua
2.331.106
8.281.545
10.612.651
Indonesia
10.307.803
20.361.886
30.669.689
Sumber: BBSDLP (2008)
Proyeksi lain di sektor pertanian, dari total luas daratan Indonesia terdapat sekitar 94,1 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian yang dianggap tidak akan mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 63,7 juta ha. Dengan demikian sektor
24
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
pertanian masih optimis dapat melakukan perluasan areal pertanian sekitar 30,4 juta ha dengan 24 juta ha di antaranya merupakan lahan subur untuk persawahan, perkebunan dan pengembangan komoditas lain, sedangkan 6,4 juta ha lainnya merupakan sawah pasang surut, lebak, dan gambut yang masih memerlukan inovasi khusus. Di samping itu, hingga saat ini lahan pertanian terlantar jumlahnya cukup luas, yaitu sekitar 12,4 juta ha. Data Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian di atas memperlihatkan adanya tumpang tindih kawasan yang cukup luas. Senjang data ini akan semakin lebar bila perluasan areal pertanian diproyeksikan hingga tahun 2020. Data tersebut akan semakin membingungkan kalau sektor pengguna lahan lainnya seperti petambangan dan infrastruktur turut diperhitungkan. Oleh karena itu, keterpaduan antar sektor untuk menghasilkan data yang lebih akurat perlu mendapat prioritas penanganan agar berbagai kebijakan penggunaan lahan menjadi lebih tepat sasaran.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
25
2.3 Perumusan Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan Analisis permasalahan deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penerapan REDD+ bertujuan untuk menyediakan data, informasi dan pengetahuan mengenai fenomena atau gejala yang dianggap sebagai masalah deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat ditentukan alternatif-alternatif solusi bagi pengambilan keputusan. Proses ini penting dilakukan agar pengambil keputusan peka akan dua hal pokok, yaitu : 1) mengenal masalah yang dihadapi dan mampu merumuskannya, dan 2) mampu memilih dengan tepat alat bantu pengambilan keputusannya (Wallace, 1994).
Gambar 2.3. Kerangka perumusan masalah
26
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Dalam rangka penerapan REDD+, diagnosis atau perumusan masalah deforestasi dan degradasi hutan harus betul-betul dilakukan secara sistematis dan logis. Secara sederhana, perumusan masalah deforestasi dan degradasi hutan dalam konteks REDD+ adalah sebagai berikut: 1. Persepsi masalah, merujuk pada kondisi hutan dan dampak-dampaknya, yaitu kerusakan hutan telah menyebabkan peningkatan emisi GRK yang signifikan. 2. Pernyataan masalah, merujuk pada persepsi masalah dan mengambil konteks kewilayahan bahwa Indonesia sebagai salah satu emiter GRK sekaligus sebagai penyerap berkomitmen menurunkan sumber-sumber emisi dan meningkatkan penyerapan karbon. 3. Struktur masalah, merujuk pada pernyataan masalah bahwa upaya penurunan sumber emisi berfokus pada penurunan tingkat kejadian deforestasi dan degradasi lahan. Dalam tahap ini, perlu dibuat kategori dari masalah deforestasi ini, yaitu sebagai berikut : a. Keadaan atau fenomena yang ada yang memperlihatkan sebab langsung terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, yang dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: • Deforestasi yang terjadi melalui konversi terencana dan tidak terencana (perluasan perkebunan, pertambangan, perambahan, dan lain-lain), dan • Degradasi hutan yang terjadi akibat ilegal logging dan kebakaran hutan. b. Sedangkan penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya fenomena penyebab deforestasi dan degradasi di atas adalah : • tata ruang yang lemah, • unit manajemen yang tidak efektif, • tata kelola pemerintahan yang lemah, • dasar dan penegakan hukum yang lemah, dan • tenurial yang masih mengambang. c. Kekuatan pendorong (driving force) merupakan kondisi makro yang mendorong terjadinya kegiatan langsung pada kejadian deforestasi dan degradasi hutan. Termasuk dalam kategori ini adalah: • belum patuhnya pengambil kebijakan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; • permintaan (supply) akan kebutuhan yang harus didukung oleh sumber daya hutan, seperti kayu dan sawit pada tingkat global dan nasional melebihi kemampuan produksi dari pengelolaan hutan lestari; • target pertumbuhan ekonomi;
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
27
4. Lemahnya leadership. Pemecahan masalah, merujuk pada struktur masalah maka lokus dari masing-masing kategori masalah harus diketahui dan alat bantu untuk intervensi harus disesuaikan. Kerangka kerja DPSIR (driving force – pressure – state – impact - respon), sebagaimana ditunjukkan Gambar 5 membantu melihat arah intervensi yang diperlukan.
Gambar 2.4. Kerangka kerja DPSIR (driving force – pressure – state – impact - respon)
Kerangka kerja ini memberikan arahan untuk strategi, bahwa strategi ini bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mewadahi seluruh kebutuhan tindakan atau intervensi pada semua tingkat dalam struktur masalah yang telah berhasil di susun. Jika tidak, maka strategi tersebut dapat dikatakan belum cukup terpadu atau komprehensif. Kerangka kerja ini juga mengarahkan kebutuhan intervensi pada lokus masalah sehingga pemilihan instrumennya dapat ditentukan dengan relevan.
28
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
2.4 Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan 2.4.1 Perencanaan Tata Ruang yang Lemah Rencana Tata Ruang disusun sebagai pedoman bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang sekaligus sebagai wadah kepentingan para pihak di berbagai tingkatan, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, swasta maupun masyarakat dan bertujuan untuk mengoptimalkan ruang dengan tetap menjaga keseimbangan antara tujuan menaikkan tingkat pertumbuhan daerah, kebutuhan pembangunan dan daya dukung lingkungan (Siagian dan Komarudin, 2009). Namun demikian, dalam prakteknya terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan instrumen RTRW tidak dapat secara memadai mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan. Di beberapa daerah, dokumen RTRW bahkan menjadi dokumen yang menyebabkan deforestasi melalui konversi yang terencana. Persoalan ini muncul karena berbagai hal, terutama hal-hal berikut:
Perencanaan Pembangunan Sektoral Tidak Terpadu Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan belum mampu menjadi dokumen yang secara independen mengintegrasikan berbagai kepentingan sektoral. Saat ini masing-masing lembaga pada umumnya membuat rencana tahunan sendiri-sendiri dengan membuat alokasi sumber daya lahan terpisah. Demikian pula halnya dengan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan deforestasi pada areal-areal berhutan yang masih dalam kondisi baik.
Ketersediaan dan Akses Data dan Informasi Lemah Ketersediaan dan akses pada data dan informasi spasial biofisik, maupun sosial ekonomi yang sahih dan akurat, masih terbatas. Umumnya perencana juga tidak menggunakan metodologi yang memberikan informasi kepada pengambil keputusan dengan pilihan-pilihan prioritas, termasuk isu karbon. Salah satu contoh akibat pengambilan keputusan tersebut adalah RTRW (baik kabupaten maupun provinsi) yang menetapkan kawasan-kawasan hutan yang telah terdegradasi tetap menjadi kawasan hutan, sedangkan kawasan hutan yang masih mempunyai hutan dengan kondisi sedang sampai bagus dimasukkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
29
dalam rancangan dikonversi. Konversi hutan dengan kondisi demikian akan memberikan emisi yang sangat besar.
Partisipasi Dalam Perencanaan Lemah Proses partisipasi dalam proses pembuatan rencana tata ruang wilayah tidak berjalan. Penyusunan RTRW masih bersifat top down dan belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun terjadi di lapangan, misalnya perambahan oleh masyarakat untuk pembukaan perkebunan, pertanian, pemukiman, pertambangan tanpa izin dan lain-lain. Hal ini merupakan cerminan umum dari tingkat kecakapan sosial (sociability) masyarakat, yang seringkali menyalurkan ketidakpuasan dengan cara-cara yang justru merugikan sumber daya hutan atau lingkungan.
2.4.2 Tenurial Penyelesaian Konflik Lahan Tidak Tuntas Lahan hutan dengan keragaman atas hak, status dan fungsinya telah menjadi suatu medan perebutan kepentingan yang pelik dan hingga saat ini masih belum terselesaikan. Konflik dan ketidaksepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan Kawasan Hutan negara merupakan sumber dari berbagai ketegangan, dan tidak jarang justru menyebabkan tindakan-tindakan yang merusak. Asal-usul ketegangan ini terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangannya. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran kontrol terhadap sumber daya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap lahan dan sumber daya alam yang disebabkan oleh ketidakjelasan hak-hak tenurial harus diselesaikan dengan usaha serius melalui strategi tindakan yang jelas.
Masyarakat Adat Tidak Memiliki Hak Formal Dualisme hukum atas pengakuan hak ulayat masyarakat adat di kawasan hutan serta non-kawasan hutan menjadi salah satu permasalahan tenurial ini. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang
30
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
menjadikan potensi mereka dalam mengawasi kawasan hutan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat hukum terkesan sangat sulit dan panjang. Pemicu lain terhadap meningkatnya konflik tenurial adalah batas kawasan hutan yang tidak jelas di lapangan, akibat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang tidak kunjung selesai.
Mata Pencaharian dan Kelangkaan Alternatif Sumber Pendapatan Keberadaan hutan biasanya memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap kelompok-kelompok masyarakat sekitar kawasan hutan. Banyak konsep yang menjelaskan mengenai masyarakat dan hutan, seperti sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan masyarakat adat. Konsep-konsep tersebut pada dasarnya menjelaskan keterikatan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan lahan dan sumber daya alam yang ada serta dihasilkan dari hutan tersebut. Dalam dua dekade terakhir, ketika kerusakan hutan sedang menjadi perhatian banyak pihak, keberadaan masyarakat sekitar hutan juga tidak terlepas di dalamnya. Keterkaitan masyarakat dengan deforestasi dan degradasi hutan sering menjadi pokok pembahasan. Hal ini dipicu oleh kenyataan bahwa budaya produksi atau mata pencaharian masyarakat di pedesaan biasanya berbasis pada pengelolaan lahan dan pemungutan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Dengan pertambahan penduduk yang pesat, kebutuhan terhadap lahan dan sumber daya alam ini juga akan semakin meningkat. Pandangan terhadap kondisi di atas juga sangat beragam. Paling tidak terdapat dua perpektif besar yang menjadi sumber perbedaan, yaitu perspektif hak azasi manusia dan konservasi sumber daya alam. Kedua perspektif ini menganggap memiliki kepentingan fundamental, yang diperkuat oleh berbagai argumentasi, nilai-nilai dan situasi lapangan yang menjadi fakta-fakta penguatnya. Untuk menghindari perdebatan mengenai hal ini maka perlu dibangun asumsi yang relatif dapat diterima, yaitu bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang memanfaatkan dan mengelola sumber daya secara langsung selalu berbuat sesuatu yang mereka anggap sebagai pilihan terbaik yang mereka bisa lakukan di antara pilihan-pilihan yang ada. Pada umumnya praktek pengelolaan masyarakat lokal berbasis pada prinsip berkelanjutan dan bijak secara ekologis. Bila tidak, mungkin pilihan-pilihan yang ada terkendala oleh banyak faktor yang tidak
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
31
mampu mereka kendalikan, misalnya peningkatan kebutuhan dan standar hidup layak. Jika kondisi miskin pilihan ini terus berlanjut tanpa ada intervensi yang layak dari luar, kemungkinan munculnya perilaku perambahan dan penebangan kayu dari hutan akan semakin besar. Bahkan dalam kondisi sosial politik yang tidak normal yang berkombinasi dengan tingkat kecakapan sosial (sociability) masyarakat yang baru, mereka bisa menyalurkan protes melalui tindakantindakan perusakan3 sehingga kerusakan yang masif dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka masalah sosial ekonomi masyarakat yang perlu dipecahkan dalam rangka pelaksanaan REDD+ ini adalah sebagai berikut : »» Terbatasnya alternatif mata pencaharian dan sumber pendapatan masyarakat lokal selain berbasis pengolahan lahan. »» Terbatasnya kepasitas masyarakat lokal dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif. »» Lemahnya akses terhadap pasar menyebabkan nilai dari hasil produksi masyarakat sangat rendah, di sisi lain kebutuhan dan gaya hidup terus meningkat. »» Melemahnya kelembagaan masyarakat lokal dan menurunnya kewibawaan nilai-nilai kearifan.
2.4.3 Unit Manajemen Hutan Tidak Efektif Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 132,399 juta ha (Baplan 2008), sekitar 15% merupakan hutan konservasi (HK), 22% hutan lindung (HL), 46% hutan produksi (HP) dan 17% hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Berdasarkan data satelit 2007, kawasan hutan yang masih berhutan hanya sekitar 92,328 juta ha dan yang sudah tidak berhutan sekitar 40,071 juta ha. Luas hutan yang dapat dikonversi (HPK) mencapai 22,7 juta ha, dan hanya 10,7 juta ha yang masih berhutan. Pengelolaan hutan di hampir seluruh fungsi hutan dalam keadaan yang rentan. Kelemahan unit manajemen hutan terjadi di seluruh tingkatan, baik pada sistem pengelolaan hutan, organisasi pengelola hutan, maupun pada tingkat individu yang bekerja di sektor kehutanan pada berbagai fungsi hutan. Berbagai permasalahan unit manajemen hutan berdasarkan tingkatannya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
3 Nogroho, H. Kata Pengantar, dalam Awang, S.A. 2005. Politik Kehutanan Masyarakat. Debut Press. Yogyakarta.
32
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Sistem Pengelolaan Hutan Lemah Permasalahan pada tingkat sistem pengelolaan meliputi kerangka peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung atau menghambat pencapaian tujuan pengelolaan lestari. Diawali dari lemahnya data dan informasi dalam penyusunan perencanaan telah menyebabkan pengelolaan hutan pada semua fungsi hutan menjadi tidak valid dan sulit mencapai predikat berkelanjutan. Proses penataan batas kawasan hutan, yang mampu menunjukkan di mana dan berapa luas kawasan hutan yang pasti secara legal maupun aktual diakui dan dihormati semua pihak, sampai saat ini belum mampu dilakukan. Kemudian, hampir seluruh hutan produksi dan hutan lindung di luar Jawa tidak jelas siapa penanggung jawabnya yang menyebabkan kawasan hutan menjadi open access dan memicu deforestasi dan degradasi, baik yang direncanakan maupun tidak. 1. Pengelolaan Hutan Produksi yang Lemah Kondisi kawasan hutan produksi seluas 57,7 juta ha semakin menurun, sebagaimana dapat disimak dari pernyataan berikut (Purnama & Daryanto, 2006): a. Hutan alam yang dibebani IUPHHK Hutan Alam/HPH dengan kondisi hutan yang relatif baik (Kategori I): 28,27 juta ha. b. Hutan alam dengan kondisi hutan relatif “baik” , tapi open akses dan tidak dibebani hak pengelolaan (Kategori II): 12,98 juta ha. c. Merupakan kawasan hutan rusak, dan open akses karena tidak ada pengelolanya (Kategori III): 7,14 juta ha. d. Merupakan kawasan hutan rusak, tapi sudah di cadangkan untuk IUPHHK Hutan Tanaman (Kategori IV): 9,31 juta ha. Di bidang pengusahaan hutan ini, dari jumlah 486 unit HPH di tahun 1992, yang masih bertahan sampai tahun 2007 sebanyak 115 unit atau hanya 24%, dengan berbagai sebab, baik kendala internal maupun eksternal. Pengelolaan hutan alam produksi masih jauh dari kaidah dan prinsip-prinsip Sustainable Forest Management (SFM). Para pelaku usaha di sektor kehutanan lebih memikirkan aspek bisnis daripada kelestarian produksi. Teknik pemanenan tidak lagi memperhatikan kaidah penurunan dampak penebangan (Reduced Impact Logging/RIL), pemanenan dilakukan melebihi jatah tebangan (over cutting), limbah dan derajat kerusakan hutan pada kawasan bekas tebangan (Log Over Area/LOA) sangat tinggi.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
33
2. Pengelolaan Hutan Lindung dan Konservasi yang Rentan Upaya pelindungan hutan yang dilakukan pada hutan lindung dan hutan konservasi juga masih mendapat kendala. Pada hutan lindung, kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas sehingga hutan terkesan tidak bertuan dan open access. Dalam kondisi seperti ini, peluang deforestasi tidak terencana semakin terbuka lebar. Pada pengelolaan hutan konservasi, hingga saat ini telah dibentuk 527 unit kawasan konservasi daratan dan laut, meliputi 50 unit Taman Nasional (TN), 118 unit Taman Wisata Alam (TWA), 22 unit Taman Hutan Raya (Tahura), 14 unit Taman Buru (TB), 248 unit Cagar Alam (CA) dan 75 unit Suaka Margasatwa (SM). Untuk kawasan konservasi laut telah ditetapkan sebanyak 7 unit Taman Nasional, 5 unit Cagar Alam, 2 unit Suaka Margasatwa, dan 14 unit Taman Wisata Alam. Masih lemahnya kapasitas pengelolaan menjadi tantangan utama saat ini. Sebagai gambaran, dari seluruh unit kawasan konservasi, baru 34,4 % yang telah memiliki Rencana Pengelolaan, pada umumnya TN dan TWA. Sedangkan penyusunan zonasi/blok pengelolaan, baru tercapai 8,4%. Untuk 21 Taman Nasional Model, semuanya telah memiliki Rencana Pengelolaan, namun demikian 19% di antaranya belum disahkan. 3. Kebijakan, Monitoring dan Evaluasi serta Reward dan Punishment tidak jelas Belum terdapat peraturan-perundangan yang secara efektif dan efisien mampu menjadi landasan pemecahan masalah kehutanan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan peraturan-perundangan lebih memenuhi kebutuhan birokrasi dalam menjalankan tugas administrasinya daripada memecahkan persoalan yang dihadapi pengelola hutan di lapangan. Di samping itu juga ditemukan kurangnya alternatif pemecahan masalah di lapangan, karena sebagian besar isi peraturan mengandung larangan sebagai bentuk pengendalian kerusakan hutan. Di sisi lain, inkonsistensi kebijakan juga sering terjadi. Program-program unggulan yang dipayungi oleh keputusan pejabat teknis sering berubahubah, tergantung pejabat yang berwenang saat itu. Misalnya, program pembentukan Taman Nasional Model yang saat ini terlantar dan tidak terukur keberhasilannya. Kemudian pada hutan produksi, pemberian izin RKT yang dilakukan terhadap beberapa perusahaan dalam volume yang besar bertentangan dengan semangat pembatasan ekploitasi hutan alam atau bahkan menafikan informasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemohon izin tersebut. Di sisi lain, pelanggaran dalam proses pemberian izin baik yang dilakukan oleh pengaju izin maupun pemberi izin sangat sedikit yang dikenakan sanksi yang menimbulkan efek jera sehingga pelanggaran-pelanggaran terus terjadi.
34
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Kelembagaan yang Lemah Belum terwujudnya kinerja kelembagaan seperti yang diharapkan, sehingga menjadi penyebab lemahnya pelayanan publik terkait perizinan dan penyelenggaraan ekonomi kehutanan, serta belum adanya prioritas nyata bagi penguatan organisasi pengelola hutan di tingkat lapangan/tapak. Kondisi demikian ini menjadi penyebab rendahnya informasi mengenai kekayaan sumber daya hutan sebagai dasar penyusunan perencanaan maupun pengambilan keputusan. Selain itu masalah kelembagaan yang lemah ini juga timbul dari ketidakjelasan penerapan otonomi daerah yang dipayungi oleh Undang-undang No 32/2004 dan turunannya dihubungkan dengan aturan sektoral maupun ketidaktepatan pembagian kewenangan itu sendiri, hal mana menyebabkan timbulnya ketidakjelasan penanggungjawab sektor kehutanan pada level tapak. Pada tingkat organisasi pengelola, sebagian besar waktu dan tenaga habis untuk masalah administratif daripada substantif. Hal ini didorong oleh sistem penilaian kinerja organisasi yang hanya diukur dari penyerapan anggaran dan dokumen-dokumen laporan, tidak sampai pada efektivitas dan efisisensi anggaran, penilaian keluaran, hasil, dampak dan manfaat yang secara nyata terjadi di lapangan. Kondisi seperti ini mendorong cara kerja organisasi yang ekslusif dari pada inklusif sehingga upaya-upaya kerja sama, baik di internal organisasi maupun kerja sama strategis dengan pihak-pihak lain yang berpotensi mendukung pengelolaan selalu terhambat. Hasil studi RAPPAM tahun 2005 yang diselenggarakan oleh Ditjen PHKA dan WWF terhadap Unit Pelaksanan Teknis (UPT) Balai Taman Nasional menunjukkan bahwa efektivitas pengelolaan di setiap UPT sangat rendah dinilai dari input, proses, output maupun perencanaannya sehingga kinerja pengelolaan juga rendah. Pada organisasi pengelolaan hutan alam produksi, kinerja pelaku usaha belum sampai pada tahap memuaskan, yang diindikasikan oleh pencapaian kinerja menurut standard ekolabel maupun standar nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah. Unit manajemen yang telah menerima sertifikat ekolabel hanya sebanyak 6 unit (standar LEI) dan 5 unit (standar FSC). Dari pelaksanaan penilaian wajib independen dengan menggunakan standara pemerintah, tingkat kelulusan sebesar 73 unit dari 138 unit HPH yang dinilai.
Permasalahan Kapasitas Individu yang Lemah Permasalahan kapasitas pada tingkat individu mancakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan prilaku (attitude), dan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
35
integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan yang kuat dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di lapangan. Permasalahan di tingkat individu pada kondisi yang relatif normal biasanya disebabkan oleh situasi dalam organisasi yang tidak mendukung berkembangnya kapasitas individu. Bahkan terdapat kondisi dimana orangorang di dalam organisasi cenderung pragmatis dan selalu mencari peluang untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan pribadinya.
2.4.4 Dasar dan Penegakan Hukum Lemah Dasar hukum Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dilahirkan dengan semangat reformasi, berusaha mengembalikan tatanan kehutanan kepada sistem pengurusan hutan yang lebih baik. Namun demikian, undang-undang ini masih perlu penguatan, salah satunya dalam hal pengaturan kewenangan pusat dan daerah dalam semangat desentralisasi yang bertanggung jawab. Beberapa fenomena yang mendasari perlunya penguatan ini dapat dilihat dari kerancuan kewenangan beberapa perizinan pengusahaan hutan, dan tumpang tindih kawasan hutan dengan rencana tata ruang wilayah. Munculnya Undang-undang No. 26 tahun 2007 sebagai pembaruan dari Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang juga belum cukup membantu menyelesaikan masalah tumpang tindih peruntukan dan perizinan pemungutan hasil hutan di lapangan. Secara langsung atau tidak langsung, masih kurang kuatnya Undang-undang Kehutanan ini membuka peluang terjadinya deforestasi yang terencana (planned deforestation) masih terbuka. Masalah mengenai kurang kuatnya Undangundang kehutanan dapat dilihat dari kategori berikut : 1. Peluang ekploitasi hutan alam masih sangat terbuka Permintaan terhadap hasil hutan kayu masih tetap tinggi, bahkan cenderung meningkat. Berbagai industri hilir di dalam dan luar negeri sangat bergantung pada kayu yang berasal dari hutan alam Indonesia sebagai bahan bakunya. Pada dasarnya keberadaan industri berbasis kayu dan siklus produksinya secara berkelanjutan dan ramah lingkungan perlu difasilitasi dan dijamin keberlangsungannya oleh Undang-undang kehutanan. Karenanya, pembatasanpembatasan perlu dilakukan secara tegas agar kelestarian produksi pada industri hilir juga diikuti oleh kelestarian hutan sebagai sumber bahan bakunya. Merujuk pada sejarah pengusahaan hutan produksi dan kondisi terkini hutan alam di Indonesia maka sudah saatnya diberlakukan penghentian terhadap ekploitasi
36
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
hutan alam sekaligus mengintensifkan pembangunan hutan tanaman di arealareal yang telah terdeforestasi. Dalam konteks ini, Undang-undang Kehutanan memiliki kelemahan karena masih memberikan ruang yang cukup leluasa untuk ekploitasi hutan alam yang masih dalam kondisi baik. Sebagai contoh, ketidaktegasan pembatasan HTI pada hutan yang sudah tidak produktif dalam UU 41/1999 menyebabkan lahirnya peraturan pelaksana yang sangat berbeda dari waktu ke waktu.Pasal 30:3 PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan misalnya secara tegas menyatakan bahwa izin Hutan Tanaman hanya dapat diberikan pada lahan kosong, padang alang-alang atau semak belukar pada hutan produksi. Namun ketentuan ini kemudian berubah secara signifikan pada aturan kemudian yaitu PP No. 3/2008 yang mengubah PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang hanya menyatakan bahwa hutan tanaman diprioritaskan pada hutan produksi yang tidak produktif yang berarti membuka kemungkinan dilaksanakan pada seluruh kawasan hutan lainnya. Selain peluang ekploitasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, ekploitasi hutan alam juga masih terbuka untuk kegiatan di luar sektor kehutanan, seperti pertambangan dan perkebunan atau pertanian. UU 41/1999 membuka peluang dilakukannya konversi tanpa memberi batasan dasar yang jelas dan tegas. Akibatnya aturan pelaksana dari ketentuan ini juga dapat diartikan berbeda-beda dari satu waktu ke waktu lain yang tidak terlalu lama. Sebagai contoh, Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Perubahan Status dan Fungsi Kawasan mengatur bahwa untuk melepas kawasan hutan konservasi, maka status kawasan tersebut harus diubah secara bertahap menjadi hutan lindung dan hutan produksi sebelum bisa diubah menjadi APL. Tetapi kemudian, Pasal 4 jo Pasal 29 PP No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan menyebutkan bahwa Kawasan Hutan Konservasi dapat diubah menjadi APL melalui persetujuan DPR. Ketidakjelasan batasan pada UU 41/1999 sendiri telah menimbulkan perbedaan penfasiran atas kehendak UU dalam mengelola hutan sehingga memudahkan terjadinya pembentukan aturan berdasarkan kepentingan sesaat. Padahal apabila penentuan fungsi kawasan hutan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku (PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan serta PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam), maka seharusnya perubahan peruntukan dan fungsi tidak mudah untuk dilakukan.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
37
Pada tataran implementasi, perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Modus yang tidak langsung misalnya dengan menelantarkan hutan, izin konsesi yang telah diperoleh hanya dipergunakan untuk memanen kayu dan setelah itu hutan ditelantarkan sampai akhirnya diusulkan untuk areal perkebunan atau peruntukan lainnya dengan alasan bahwa hutan tersebut telah rusak, tidak produktif, atau terdegradasi. 2. Benturan atau ketidakharmonisan peraturan Benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan dapat terjadi secara horinzontal (antar sektor) atau vertikal (antara pusat dan daerah). Dengan terbitnya undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah menjadi sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya disebutkan pula bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan undangundang tersebut, antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Sayangnya pengalaman dalam memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu melalui PP No. 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi dan SK Menhut No. 5 tahun 2000 tentang Kriteria dan Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi Alam dan SK Menhut No. 310 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan memberikan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) sebesar 100 Ha kepada daerah telah memicu laju deforestasi pada kurun wktu 2000 - 2003.4 Dengan dicabutnya aturan tersebut melalui PP 34/2002 maka terjadi penurunan laju deforestasi hampir 300% secara umum.5
4 Kabupaten Sintang misalnya, pada periode 1999-2002 menerbitkan izin HPHH 100 sebanyak 944 buah. 5 Khatarina, J, Murharjanti, P, Ivalerina, F, Indrarto, GB, Rahman, Y, Prana, MN, & Pulungan, I, Profil Sektor Kehutanan Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law and CIFOR (forthcoming).
38
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Benturan antara pusat dan daerah biasanya tampak kasat mata dalam tata ruang wilayah yang dipayungi oleh Peraturan Daerah. Tumpang tindih atau usulan perubahan fungsi hutan untuk penggunaan lain selalu saja terjadi dalam tata ruang wilayah.6 Peraturan daerah tentang tata ruang memiliki dasar hukum yang kuat dari Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dasar hukum Tata Ruang Wilayah akan semakin kuat jika berkombinasi dengan kepentingan sektor lain, di mana undang-undang pada sektor tersebut bisa menjadi kekuatan hukum tambahan untuk perubahan fungsi hutan, misalnya Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, terdapat pula peraturan di sektor kehutanan yang memberikan peluang besar terjadinya perubahan fungsi hutan berdasarkan PP. No. 10 Tahun 2010 atau pinjam pakai kawasan hutan yang diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan. Menurut ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa wilayah hutan adalah yang ditunjuk dan atau yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Namun demikian, sampai dengan tahun 2004 penetapan secara hukum mengenai kawasan hutan hanya dilindungi melalui Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 759/KPTS/ UM/10/1982. Dengan adanya PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, TGHK harus dipaduserasikan sehingga menjadi RTRWP. Secara hukum, RTRW sendiri merupakan sebuah dokumen yang bersifat lebih tepat untuk menentukan batas kawasan hutan karena dokumen ini seharusnya menjadi pegangan seluruh sektor dan didasarkan atas kajian yang kuat akan fungsi kawasan. Sayangnya, hal ini berarti pula terbuka kemungkinan kepentingan yang lebih besar untuk turut serta menentukan batas dan pemanfaatan lahan yang pada faktanya kemudian menjadikan banyak usulan atas perubahan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan.7 Pada kasus tumpang tindih kawasan yang telah terlanjur terjadi, misalnya pembukaan pertambangan atau perkebunan yang terlanjur ada karena lemahnya koordinasi, proses penegakan hukumnya seringkali mendapat hambatan dari aspek lemahnya kemantapan kawasan hutan sebagai akibat dari proses pengukuhan kawasan yang tidak selesai. Dalam ketentuan pasal 14 ayat 2 6 Dalam Laporan Tim 8 yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan tahun 2010, disebutkan bahwa hingga tahun 2010 terdapat lebih dari 500 usulan perubahan fungsi hutan dari pemerintah daerah dengan berbagai kepentingan. 7 Sampai tahun 2010 terdapat usulan melakukan perubahan peruntukan kawasan hutan sebesar lebih dari 16 juta hektar di seluruh Indonesia.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
39
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses : 1) penunjukkan kawasan hutan; 2) penataan batas kawasan hutan; 3) pemetaan kawasan hutan; dan 4) penetapan kawasan hutan. Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing kegiatannya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan adalah hutan atau tidak, maka prosesnya harus memenuhi unsur dari pasal 14 ayat 2 tersebut. Bila tidak maka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal demi hukum, dan deforestasi atau degradasi yang terjadi akibat penggunaan untuk sektor penggunaan lahan lainnya tidak lagi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Ketidakharmonisan tidak hanya terjadi antar aturan di bidang kehutanan tetapi juga antara aturan di bidang kehutanan dengan aturan tentang perlindungan gambut. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa lahan gambut berketebalan 3 m atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai atau rawa merupakan kawasan lindung, namun hal ini tidak diakomodasikan dalam aturan bidang kehutanan sehingga lahan gambut tersebut dapat merupakan hutan produksi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. 3. Ketidaklengkapan Peraturan Aturan yang tidak lengkap akan memudahkan terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan lain di kawasan hutan. Undang-undang pertanian misalnya, memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di daerahnya. Walaupun Undang-undang Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan. Terhadap hal ini ada dua persoalan di tingkat hukum, yaitu 1) ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan, dan 2) ketidaklengkapan aturan sebab tidak adanya aturan tentang sanksi bagi pemberi izin yang melakukan kesalahan (yang bukan bersifat korupsi) pada saat mengeluarkan izin. Proses perizinan yang tidak harmonis, rumit, dan terkait dengan berbagai sektor dan lembaga pemerintah lainnya membutuhkan koordinasi yang kuat antar instansi. Ketidaklengkapan di tataran aturan ini juga terjadi karena peraturan perundang-undangan tidak memberikan kewenangan kepada pihak yang tepat atau tidak disertai oleh insentif yang tepat. Sebagai contoh adalah pemberian kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan penataan tata batas kawasan hutan pada PP No.
40
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
38/2007 terkait pembagian urusan pemerintah pusat daerah. Ketentuan ini menyebabkan kendala di tingkat implementasi karena sumber daya berada di Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Di lain pihak, sumber daya pendukung tidak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur untuk melaksanakan hal tersebut. Terkait aturan yang tidak lengkap, maka Undang-undang Kehutanan juga masih belum memberikan sanksi yang memadai bagi pelaku utama pembalakan liar, melainkan hanya terbatas pada pelaku di lapangan (physical perpetrator). Di sisi lain, pernerapan UU Lain seperti UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, maupun UU Lingkungan Hidup yang lebih siap untuk menangkap pelaku utama kejahatan kehutanan masih sangat minim.
Penegakan hukum tidak tegas Kondisi penegakan hukum di Indonesia sedang berada di dalam ambang yang kritis. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum sangat rendah karena maraknya praktek mafia hukum (Satgas PMH, 2010). Praktek mafia hukum juga terjadi di sektor kehutanan. Dalam hal ini, ditengarai bahwa modus operansi mafia hukum di sektor kehutanan terdapat sebelum dan setelah ada perkara.
Gambar 2.5.Gambar 6. Penegakan hukum disektor illegal loging 2008 Penegakan hukum di sektor illegal logging 2008 Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, 2008.
Pada saat sebelum ada perkara, modus yang terjadi mulai dari proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perizinan sampai dengan pada saat eksploitasi sumber daya hutan (pemberian dan pelaksanaan izin). Pada dasarnya
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
41
dalam seluruh proses tersebut ditemui banyak kasus di mana aparat penegak hukum terlibat dengan cara melindungi para pelaku kejahatan. Hal ini menyebabkan terjadinya pembiaran yang tinggi yang berakibat pada kerusakan hutan yang sangat luas. Pada saat setelah ada perkara, kerap terjadi dalam seluruh proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pengambilan putusan yang rentan terhadap mafia hukum. Hal ini menyebabkan angka tindak pidana kehutanan yang dihukum sangat sedikit dan mayoritas adalah pelaku di lapangan. Gambar 2.5 dan 2.6 menunjukkan rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku ilegal logging yang diproses. Data yang tersedia memang masih belum dapat membuktikan sejauh mana dugaan bahwa pelaku yang tertangkap belum menyentuh pelaku utama (mastermind), namun dari laporan yang masuk ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, terdapat indikasi kuat di mana banyak pelaku utama dari kejahatan kehutanan belum tersentuh oleh hukum.
Vonis Pengadilan tahun 2009
< 1 tahun: 15 1 - 2 tahun: 71 3 - 5 tahun: 8 6 - 10 tahun: 0 > 10 tahun: 0 Seumur hidup: 0 Ma: 0 Bebas: 12
Gambar 2.6. Penegakan hukum disektor illegal logging 2009 Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, 2009.
2.4.5 Tata Kelola (governance) Analisis permasalahan terkait tata kelola hutan akan didasarkan atas kombinasi indikator yang dikembangkan secara khusus untuk menilai tata kelola hutan yang baik melalui The Governance of Forests Initiative/GFI Framework dengan indikator yang dikembangkan dalam menilai tata kelola secara umum yaitu Partnership Governance Index.
42
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Dalam menilai tata kelola hutan, terdapat empat isu penting yang perlu dinilai yaitu, tenurial, tata ruang, manajemen hutan serta distribusi manfaat dari sektor kehutanan (forest revenue distribution). Seperti telah terlihat dalam pembahasan sebelumnya, dalam konteks Indonesia, ke-empat isu tersebut menjadi penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Pada bagian ini, fokus analisis permasalahan adalah prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang pada dokumen ini akan difokuskan pada (a) koordinasi, (b) transparansi, partisipasi, (c) akuntabilitas, (d) efektivitas dan efisiensi, (e) aspek keadilan (fairness), dan (f ) ketidakhadiran pengelola di lapangan.
Koordinasi Terdapat beberapa isu dalam koordinasi, pertama adalah ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah yang juga dipengaruhi oleh penerapan rezim otonomi daerah yang masih pada tahap awal. Kasus Semenanjung Kampar menjadi contoh dari kondisi ini, di mana Kementerian Kehutanan mengeluarkan izin RKT untuk Hutan Tanaman (HTI) kepada perusahaan HTI tersertifikat ekolabel melalui self approval (Permenhut no. P.62/permenhut-II/2008 pasal 13) sedangkan pada saat yang sama Dinas Kehutanan sudah berhenti mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan izin RKT di hutan alam, yang berdampak juga pada berhentinya penerbitan SKSHH. Gambaran dari ketidakjelasan ini juga terlihat pada tingkat sektoral. Data Ditjen Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa luas total APL kurang lebih 55 juta ha, sementara data BPS tentang luas lahan pertanian saat ini kurang lebih 69 juta ha. Dengan demikian, terdapat sekitar 14 juta ha kawasan hutan yang telah berubah menjadi lahan pertanian tanpa diketahui oleh Kementerian Kehutanan. Ketidakjelasan data dan informasi ini telah menjadi setting situasi dalam setiap pengambilan keputusan selama ini sehingga kualitas keputusanya akan sangat rendah.8 Di kawasan hutan konservasi, menurut data Ditjen Planologi Kehutanan (2008) selama periode 8 tahun (1997–2005), terdapat pengurangan penutupan kawasan hutan menjadi non-hutan seluas 480.000 ha atau 1,7% dari total luas kawasan konservasi. Walaupun masih terdapat permasalahan sebagaimana tersebut di 8 Dunn (1994) dalam Analisa Kebijakan Publik menyebutkan bahwa kebijakan adalah ilmu dan pengetahuan yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Sementara ilmu dan pengetahuan merupakan metamorphosa dari data dan informasi.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
43
atas, kawasan konservasi relatif masih utuh dibanding kawasan hutan produksi dan hutan lindung karena memiliki unit manajemen yang jelas dan mandiri.
Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas Absennya transparansi dan partisipasi pemangku kepentingan juga menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di kawasan hutan, untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam proses perizinan serta melakukan pengawasan atas pelanggaran izin yang terjadi. Hal ini mengakibatkan tidak saja data yang lebih akurat tidak tersedia dalam proses pengambilan keputusan, juga penyalahgunaan wewenang para pengambil kebijakan para pejabat yang berwenang dalam suatu proses perizinan tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan pengawasan yang memadai dari masyarakat. Keseluruhan aspek ini memudahkan terjadinya pelanggaran, baik dalam proses perizinan maupun dalam pelaksanaan izin. Tentang minimnya transparansi dan partisipasi masyarakat, paling tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu ketidakjelasan di tingkat aturan dan lemahnya kapasitas masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.
Aspek Keadilan (Fairness) Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor kehutanan, baik antara pusat dan daerah maupun terhadap masyarakat di sekitar hutan, memunculkan rasa ketidakadilan antar pihak yang berkepentingan (stakeholders). Rasa ketidakadilan tersebut juga berpengaruh terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan karena mereka yang merasa memiliki hak dan belum mendapatkan distribusi manfaat kemudian mengambil manfaat dari hutan. Keadaan tersebut ditambah dengan absennya sistem penegakan hukum yang kuat sehingga berdampak pada meluasnya deforestasi dan degradasi. Dalam konteks mekanisme distribusi benefit (benefit sharing) atas carbon credit sendiri saat ini belum terdapat landasan hukum yang dapat dijadikan pegangan. Secara umum, mekanisme distribusi benefit yang baik akan menghasilkan setidaknya tiga keuntungan, yaitu: 1. Pembagian tanggung jawab yang jelas dalam upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan carbon sink; 2. Terciptanya pembayaran serta manfaat lain yang pada dasarnya lebih tinggi dari biaya ekonomi karena adanya keputusan untuk melestarikan carbon stock; serta
Gambar 2.7. Identifikasi Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan dengan Analisis Fishbone
44 Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
45
3. Timbulnya manfaat-manfaat lain (co-benefit) akibat terlestarikanya keberadaan hutan, seperti terpeliharanya peran hutan untuk menjaga DAS, terperliharanya dan meningkatnya keanekaragaman hayati, dll.
Efektivitas dan efisiensi rendah Secara umum, efektivitas dan efisiensi pengurusan hutan termasuk rendah yang ditandai dengan tidak efektifnya pengawasan sehingga telah terjadi konversi tidak terencana secara besar-besaran di berbagai kawasan hutan yang tidak ditindak ataupun ketidaktepatan dan ketidakefektifan pelaksanaan berbagai program yang direncanakan seperti program GERHAN. Hal ini bersumber dari berbagai faktor lain seperti peraturan perundang-undangan yang menyebabkan proses pengeluaran izin bersifat rumit dan panjang namun tanpa disertai oleh proses pengawasan yang jelas sehingga menimbulkan birokrasi yang tidak efektif dan berbiaya tinggi. Faktor lain adalah pemanfaatan anggaran yang tidak tepat sasaran serta sumber daya manusia yang tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara efektif. Hal terakhir juga terkait dengan sistem renumerasi, rekrutmen, mutasi dan promosi pegawai yang tidak didasarkan atas penilaian kinerja.
46
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
2.5 Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia 2.5.1 Langkah-langkah yang Telah Dilakukan Dalam rangka mengetahui status kesiapan implementasi REDD baik dari aspek metodologi maupun kelembagaan dan meningkatkan pemahaman terhadap penyebab deforestasi dan degradasi hutan, serta menyusun strategi penurunan emisi maka pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan bekerjasama dengan para pemangku kepentingan nasional maupun internasional di bawah kerangka Indonesia Forest Climate Alliance- IFCA ( Indonesian Forest Climate Alliance /Aliansi Iklim Kehutanan Indonesia) melakukan analisis komprehensif dari berbagai aspek di atas. Analisis IFCA membagi lanskap penggunaan hutan dan perubahannya ke dalam 5 kategori sebagai berikut : (1) perkebunan kelapa sawit, (2) perubahan hutan alam menjadi hutan tanaman untuk bubur kayu dan kertas/HTI (3) pengelolaan hutan alam produksi, (4) pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung dan (5) hutan/lahan gambut. Dari studi di atas telah diperlihatkan emisi yang terjadi dan berbagai strategi mengurangi emisi tersebut. Untuk mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia , telah dikeluarkan berbagai peraturan dan gagasan : 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan demonstration activities pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. 2. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 30 tahun 2009 tentang Tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). 3. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI) : Readiness Strategy 2009-2012. 4. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 64 tahun 2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan dan Perubahan Iklim, yang bertugas memberikan input kebijakan dan memfasilitasi proses penyiapan perangkat implementasi REDD+, 5. Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional : Penanganan Perubahan Iklim Sektor Kehutanan 6. Draft Strategi REDD+ Kehutanan Nasional yang disusun Badan Litbang Kehutanan yang telah diserahkan kepada Bappenas.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
47
Disamping peraturan dan kebijakan tersebut di atas juga telah dilakukan beberapa kegiatan penyiapan perangkat implementasi REDD+ (readiness activities) baik di tingkat nasional maupun sub-nasional. Tabel 2.7. Aktivitas demonstrasi REDD di Indonesia dan biaya yang sudah disediakan. No Aktivitas demonstrasi
Keterangan
1 Proyek Kerjasama dengan Aus AID di Kalimantan Tengah dan Jambi
Hasan (2010 a)
2 Proyek Kerjasama dengan KfW Jerman di 3 Kabupaten ( Kapuas Hulu, Malinau dan Berau): FORKLIME
Hasan (2010 a)
3 Proyek Kerjasama dengan ITTO Meru Betiri Jawa Timur
Hasan (2010 a)
4 Proyek Kerjasama dengan TNC di Kabupaten Berau Hasan (2010 a) (Program Karbon Hutan Berau) 5 Proyek Kerjasama dengan KOICA di Mataram Timur (Hasan (2010 b) 6 GTZ Merang Sumatra Selatan
(Rekomendasi Bupati Musi Banyuasin No. 522/2235/ Kehut/2008 tgl 21 Oktober 2008) *)
8
**)
UN REDD Sulawesi Tengah
Sumber : *) Profil Proyek : Merang REDD Pilot Project, **) Indonesian Timber Market Report Vol. 15 No.15 Hal. 4.
Kegiatan pendukung, di luar Demonstration Activities yang sedang dikerjakan berbagai pihak adalah sebagai berikut : 1. ICRAF : Credible estimates of the dynamics of carbon stocks at the national level over the past 20 years that complies with Tier 3 approach. 2. Proposed Forest Carbon Partnerhip Facilities (FCPF): Establishment of PSPs(permanent sample plots) represented various forests types for groundbased forest carbon monitoring- Tier 3 approach. 3. JICA : Improvement of monitoring and assessment system through the use of satellite images and the capacity to estimate biomass and carbon. 4. UN-REDD : Riview Standard & Methodology MRV. 5. GOI management teams and equipment teams and equipment to support the INCAS. 6. Models adopted collaborated and further developed by GOI to estimate emissions from land use change. 7. (Siapa?)Wall-to-wall land cover change analysys compilation of land use and management information existing ground based measurement. 8. (Siapa) Capacity development of GOI to operate an effective data management system.
48
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
9. DNPI: melakukan kajian Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia dan Strategi Pembangunan Rendah Karbon di tiga provinsi yaitu Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. 10. Webgis Kementerian Kehutanan merupakan sistem informasi geografis, jaringan data spasial kehutanan yang diluncurkan Menteri Kehutanan tanggal 30 Juli 2010. Webgis yang dibuat Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi dapat memperlihatkan perubahan penutupan hutan setiap periode. Institusi ini telah berusaha untuk meningkatkan kualitas, mendukung pertukaran dan menyebarluaskan sajian data / informasi sepasial kehutanan baik dalam bentuk buku, peta dan website. Data spasial adalah data hasil pengukuran, pencatatan dan pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional No 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional. Sementara itu institusi yang terlibat dalam kegiatan REDD di Indonesia hingga saat ini adalah : 1. Research on Governance, Policy and Institutional Arrangements for REDD (ACIAR- Australian Centre for International Agriculture Research) 2. Proposed Forest Carbon Partnership Facilities (FCPF) tentang : a. Readiness Institutional Setting & Legal Framework for REDD b. Monitoring Readiness Activities Including Demonstration Activities. c. Awareness raising, comunication & outreach (incl. Policy and Scientific Dialogue) d. Capacity building of institutionals and stakeholders. 3. UN-REDD tentang: a. Consensus on key issuess for national REDD policy development. b. Dessimination of REDD lesson learned incl. Building national knowledge & learning network. c. Communications programme incl. National campaign, education & comunication materials, training with local stakeholders as targets. Yang sedang studi dalam bidang Payment Distribution : 1. ICRAFT-ASB : Analyze cost of alternative land uses and benefits. 2. FORCLIME : Establishment sustainable payment mechanism. 3. Porposed FCPF : a. Analysis of social and environmental impact of REDD strategies b. Setting incentives mechanism for REDD
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
49
4. UN-REDD : a. Compilation existing payment systems b. Analysis of benefits and constraints of existing systmes c. Option for modification to meet requerement of a REDD payment system. Kesungguhan Indonesia dan para mitra kerja dalam menangani REDD dapat dilihat dari biaya yang telah dikeluarkan/disediakan maupun direncanakan. Tabel 2.8. Dana yang dikeluarkan untuk menunjang kegiatan REDD+ No Aktivitas 1
Indonseia Forest Carbon Alliance (IFCA) : Studi/analisis cepat tentang aspek metodologi, kebijakan dan persiapan REDD di Indonesia
2
Demonstration Activities : a. Proposed Aus AID 2nd DemonstrationActivities b. GTZ Merang: Measures to restore forest areas; strategies and structures for peat forest management integrated; fire management scheme c. FORCLIME : Innovative designs for REDD demonstration activities incl. establishment of FMUs d. TNC : Demonstration activities ‘Berau Forest Carbon Program’ : improved forest management, forest restoration, oil palm swap, land use planning, policies and enforcement e. KFCP : Reducing deforestation & forest degradation (incl. rehabilitation of peat land); monitoring & carbon accounting; payment mechanism; readiness at provincial and district level. f. ITTO: Institutional setting to prevent deforestation; technology in restoration and rehabilitation of PSF; demonstration activities with the plantation of indigenous species g. KOICA: Joint research and implementation of pilot project on afforestation/reforestation CDM project and REDD. h. UN REDD : Capacity forspartial socio-economic planning incorporating REDD; empowered local stakeholders to benefit from REDD; Multi-stakeholder endorsed district REDD plus
Biayanya USD 900,000
€1,445,255 (2008-2011) *) €7 M (2010-2012) *) USD 3.6 M (2008-2010) USD 50 M (2011-2015) **)
AUD 30 M *)
USD 540 K (2010-2012) *)
USD 5 M (2009-2013) *) USD 1.5 M (2010-2011) *)
50
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
No Aktivitas 3
Biayanya
MRV • Capacity development of GOI to operate an effective Aus AID 2 M *) data management system • Wall-to-wall land cover change analysis; compilation of land use and management information, existing ground based measurements • Models adopted calibrated and further, developed by GOI to estimate emissions from land use change • GOI management teams and equipment to support the INCAS a. ICRAF: Credible estimates of the dynamics of carbon € 1,123 Million (2009-2011) *) stocks at the national level over the past 20 years that complies with Tier 3 approach b. Proposed FCPF: Establishment of PSPs represented USD 720K (2008-2011) *) various forest types for ground-based forest carbon monitoring-Tier 3 approach c. JICA: Improvement of monitoring and assessment USD 950K (2010-2011) *) system through the use of satellite images and the capacity to estimate biomass and carbon UNREDD: Review standard & methodology MRV.
4
Institusi : 1. UN-REDD: Consensus on key issues for national REDD USD 500 K (2010-2011) *) policy development 2. UN-REDD: Dissemination of REDD lesson learned incl. USD 400K (2010-2011) *) building national knowledge & learning network. 3. UN-REDD: Communications Programme – incl. USD 700K (2010-2011) *) national campaign, education & communication materials, training with local stakeholders as targets.
5
Payment Distribution 1. FORCLIME: Establishment sustainable payment € 20 Million (2010-2014) *) mechanism. 2. UN-REDD: USD 400K (2010-2011) *) c. Compilation existing payment systems d. Analysis of benefits and constraints of existing system e. Options for modifications to meet requirements of a REDD payment system
6
7
Environment safeguard : UN-REDD :Toolkit for priority setting to maximizepotential carbon benefits and incorporating co-benefits, at the provincial level.
USD 375K (2010-2011) *)
UN REDD Sulawesi Tengah (rencana)
USD 5.6 M ***)
Sumber : *) Sarsito (2010), **) Executive Summary Strategic Plan of Berau Forest Carbon (2010) dan* **) Indonesia Timber Market Report Vo. 15 No.15, 1st-15th August 2010 hal.4.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
51
2.5.2 Kondisi Kesiapan REDD+ di Indonesia REDD+ sebagai sebuah mekanisme internasional yang akan diterapkan di Indonesia memerlukan perhatian khusus pada beberapa hal yang menjadi persyaratan mekanisme ini untuk dapat berjalan. Persyaratan tersebut bersumber, baik dari mekanisme yang disepakati di tingkat internasional maupun dari kebijakan, situasi dan kondisi internal Indonesia. Untuk itu, terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam penerapan REDD+ di Indonesia, yaitu : 1) pemenuhan prasyarat pelaksanaan REDD+ yang telah dibahas dalam pertemuan-pertemuan resmi di tingkat internasional, 2) penciptaan kondisi pemungkin untuk mengimplementasikan REDD+, dan 3) penyempurnaan pembangunan sektor penggunaan lahan.
Pemenuhan Prasyarat Pelaksanaan REDD+ Prasyarat atau perangkat pelaksaaan REDD+ yang harus disiapkan adalah: 1. Pembuatan peraturan terkait pelaksanaan REDD+ 2. Pebangunan metodologi REDD+, termasuk di dalamnya penetapan Tingkat Emisi Referensi (Reference Emission Level/REL) di tingkat nasional dan REL/RL di tingkat sub-nasional, serta sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), termasuk penanganan pengalihan emisi (displacement of emission) 3. Kelembagaan finansial termasuk di dalamnya mekanisme distribusi manfaat/insentif dan tanggung jawab. Penyiapan prasyarat/perangkat pelaksanaan REDD+ tersebut pada dasarnya telah dimulai dengan sejumlah kegiatan (readiness activities) sebagaimana diuraikan pada Sub-Bab 2.5.1 dan ditargetkan sudah siap pada akhir tahun 2012.
Pemenuhan Kondisi Pemungkin REDD+ pada dasarnya merupakan pendekatan kebijakan dan aksi yang dilakukan melalui penanganan penyebab (driver) dari deforestasi dan degradasi hutan serta kegiatan yang menghasilkan pengurangan emisi, peningkatan dan stabilisasi stok karbon hutan. Tingkat keberhasilan intervensi kebijakan dan aksi penanganan sisi source (driver dari deforestasi dan degradasi hutan) dan dari sisi sink, akan mencerminkan tingkat kondisi pemungkin yang tercipta. Intervensi kebijakan dan aksi yang diperlukan untuk menciptakan kondisi pemungkin dimaksud antara lain sebagai berikut :
52
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
1. Reformasi perencanaan sektor penggunaan lahan, meliputi perencanaan tata ruang, perencanaan tata guna lahan, perencenaan kehutanan, dan perencanaan di tingkat desa, 2. Reformasi dasar dan penegakan hukum 3. Penguatan pemberdayaan ekonomi lokal 4. Pelibatan pemangku kepentingan 5. Penguatan tata kelola atau pemerintahan sektor kehutanan
Reformasi Pembangunan Sektor Penggunaan Lahan Reformasi pembangunan sektor penggunaan lahan merupakan inti dari kegiatan REDD+. Namun demikian, strategi ini tidak akan efektif jika dua strategi lainnya belum terlaksana. Secara umum, strategi ini terbagi dalam lima kegiatan REDD+, yaitu : 1) Penurunan deforestasi sebagai sumber emisi, 2) Penurunan degradasi hutan sebagai sumber emisi, 3) Penguatan konservasi sebagai upaya menjaga stabilitas stok karbon, 4) Pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan sebagai upaya meningkatkan kualitas praktek pengelolaan hutan sehingga di satu sisi tidak menjadi sumber emisi dan di sisi lain dapat meningkatkan kemapuan lahan atau hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon, dan 5) Penyerapan karbon melalui kegiatan rehabilitasi dan reboisasi. Kelima upaya tersebut tersebar dalam beberapa sektor pembangunan, karenanya dalam strategi ketiga akan dilakukan beberapa program utama sebagai berikut : 1. Reformasi pembangunan sektor kehutanan 2. Reformasi pembangunan sektor pertanian 3. Reformasi pembangunan sektor pertambangan, dan 4. Reformasi pembangunan sektor penggunaan lahan lainnya, seperti infrastruktur dan semacamnya.
BAB III
STRATEGI NASIONAL REDD+
Halaman ini sengaja dikosongkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
55
Strategi merupakan suatu kesatuan rencana yang komprehensif dan terpadu yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan dasar dapat dicapai1. Strategi juga merupakan sebuah pola pengalokasian sumber daya yang memungkinkan untuk memelihara atau meningkatkan kinerja. Suatu strategi yang baik adalah strategi yang bisa menetralisasi ancaman sekaligus mengekploitasi peluang dengan cara memanfaatkan kekuatan dan menghindari atau memperbaiki kelemahan2.
Gambar 3.1. Skema Strategi REDD+ Indonesia
Strategi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah arahan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek). Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi bertanggung jawab. 2. Pemeliharaan keseimbangan dan fungsi ekologis. 3. Keadilan antar generasi.
1 Glueck, G.1980. The great conservation debate. Portfolio2(2):44–51 2 Barney, Jay B. (1997) Gaining and sustaining competitive advantage Reading, Mass.: AddisonWesley Pub. Co.
56
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi : 1) Penurunan emisi dari deforestasi, 2) Penurunan emisi dari degradasi hutan, 3) penguatan peran konservasi, 4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, dan 5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi (source) sekaligus meningkatkan simpanan (sink) karbon, seperti ditunjukan pada Gambar 3.1. Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka strategi nasional REDD+ Indonesia terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu : pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), serta reformasi pembangunan sektor, terutama sektor kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor pengguna lahan lainnya (perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur).
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
57
3.1 Strategi Pemenuhan Prasyarat 3.1.1 Program Pembentukan Kelembagaan REDD+ dan Peraturan Terkait Pelaksanaan REDD+ Untuk mendukung terlaksananya program utama di atas maka diperlukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Pembentukan kelembagaan REDD+ di tingkat nasional dan sub nasional dengan ruang lingkup tugas pengelolaan REL/RL, MRV, Registrasi dan pendanaan 2. Percepatan pembentukan landasan hukum dan pedoman yang kuat untuk pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional dan sub-nasional .
3.1.2 Program Pembentukan / Pengembangan Metodologi REDD+ Untuk mendukung terlaksananya program ini, diperlukan kegiatan berikut: 1. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan dan Pedoman Teknis penetapan RL pada tingkat nasional dan sub-nasional. 2. Peningkatan kapasitas dalam penilaian dan penetapan RL, terutama di subnasional. 3. Pembangunan sistem MRV pada tingkat nasional dan sub-nasional.
3.1.3 Program Pembangunan Pembagian Manfaat dan Tanggung Jawab Untuk memastikan terciptanya mekanisme distribusi benefit yang adil dan efektif, maka mekanisme distribusi benefit harus efektif dalam mengatur seluruh aktor yang bertanggungjawab terhadap terjadi deforestasi dan degradasi hutan. Untuk itu maka mekanisme ini harus: 1. Menciptakan sistem reward berbasiskan kinerja; 2. Memastikan adanya insentif bagi kinerja yang lebih baik dibandingkan tanpa? skenario penurunan (reference scenario); 3. Memberikan kompensasi secara memadai bagi para pihak yang mengalami kerugian akibat adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pelaksanaan REDD+ 4. Tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis melainkan juga aspek lingkungan dan sosial, termasuk hak masyarakat adat dan lokal serta peran
58
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
serta berbagai pihak untuk memastikan agar penurunan deforestasi dan degradasi efektif serta bersifat permanen; 5. Bersifat sederhana serta mengintegrasikan prinsip-prinsip transparansi sehingga memudahkan pemantauan dan meminimalisasi penyalahgunaan di tingkat implementasi.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
59
3.2 Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) Strategi pemenuhan kondisi pemungkin bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab dan kekuatan pendorong terjadinya kegiatan perusakan hutan sebagai sumber emisi. Beberapa kategori yang termasuk dalam srategi ini adalah sebagai berikut :
3.2.1 Program Reformasi Perencanaan Pembangunan Sektor Penggunaan Lahan Pembangunan ekonomi rendah karbon bagi Indonesia akan memerlukan beberapa proses penguatan, khususnya terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten memegang peran penting dalam mengintegrasikan RTRW tingkat desa, sampai nasional dan pengambilan keputusan pada tata guna lahan antar sektor. Penguatan perencanaan di tingkat kabupaten akan memberikan modal kuat untuk perbaikan perencanaan di tingkat di bawahnya yaitu kecamatan, desa, masyarakat, maupun di tingkat atasnya, yaitu provinsi dan nasional. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka program penguatan perencanaan ini terdiri dari beberapa kegiatan utama, yaitu sebagai berikut : 1. Reformasi Rencana Tata Ruang Wilayah, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Penyempurnaan data dan informasi spasial, terutama data biofisik dan sosial ekonomi, yang berkualitas tinggi, transparan, dan sahih, termasuk lahan gambut untuk bahan analisis kesesuaian peruntukan ruang. b. Penyempurnaan mekanisme pengelolaan data spasial secara terpadu dan multi sektor, mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penentuan keputusan tata ruang di tingkat nasional maupun daerah. c. Pembentukan kelembagaan terpadu dan lintas sektoral untuk pengelolaan data dan informasi spasial sebagai pusat dan penanggung jawab untuk pengumpulan, analisis, dan penyiapan rekomendasi perencanaan tata ruang. d. Penundaan/moratorium izin termasuk izin perubahan peruntukan dan/atau fungsi kawasan hutan sampai dengan terbangunnya data dan informasi yang sahih dan akurat mengenai kondisi kawasan hutan dan penggunaan lahan lainnya sebagai dasar untuk penetapan kebijakan baru yang lebih tepat
60
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
e. Penyempurnaan RTRW di beberapa provinsi dan kabupaten prioritas yang mempunyai potensi deforestasi dan degradasi tinggi. f. Penetapan komponen sosial-budaya yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan ruang spasial bagi beragam kebutuhan sosial budaya. g. Pembangunan mekanisme dan proses keterlibatan pemangku kepentingan dalam penetapan rencana tata ruang wilayah mulai dari tingkat desa, kabupaten, provinsi, dan pusat. 2. Reformasi perencanaan di tingkat ‘land-use’ a. Penyusunan data dan informasi spasial penggunaan lahan dalam tingkat lanskap pulau, provinsi, kabupaten, dan desa yang berkualitas tinggi, transparan, dan sahih. b. Pembangunan dan penetapan justifikasi penggunaan lahan dengan melakukan analisis kesesuaian peruntukan lahan berdasarkan daya dukung dan daya tampungnya. c. Perencanaan, penetapan dan pelaksanaan perlindungan terhadap kawasan-kawasan dengan nilai ekologis penting untuk dimantapkan sebagai kawasan-kawasan lindung yang saling dihubungkan dengan koridor-koridor alami atau semi alami. d. Penetapan kawasan-kawasan pusat kegiatan ekonomi dan pemberian izin investasi yang patuh pada pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dalam kerangka konsep pembangunan ekonomi rendah karbon. e. Pembangunan mekanisme pemberian izin terkait penggunaan lahan yang terpadu, sederhana dan efektif. f. Pemasukan isu-isu pembangunan rendah karbon dalam penyempurnaan rencana pembangunan di setiap tingkat melalui mekanisme yang sudah ada (musrenbang, musrenprop, musrenkab). g. Penetapan mekanisme perencanaan top down and bottom up dalam pembangunan yang menggunakan sumber daya lahan. 3. Reformasi perencanaan di tingkat unit manajemen hutan a. Percepatan pemantapan/pegukuhan kawasan hutan melalui prosesproses partisipatif sehingga kawasan hutan dapat mantap secara legal maupun aktual dan dihormati keberadaannya oleh semua pihak. b. Penguatan data dan informasi kondisi dan potensi hutan yang aktual, sahih dan berkualitas tinggi sebagai basis untuk melakukan penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi serta perlindungan hutan dan konservasi alam. c. Percepatan terbentuknya kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
61
d. Perencanaan, penetapan dan perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada Kawasan Hutan Pronduksi (KPHP), baik di hutan tanaman maupun di hutan alam. e. Perencanaan, penetapan, dan perlindungan kawasan gambut pada kawasan hutan. f. Perencanaan alokasi kawasan hutan untuk pembangunan hutan tanaman ditetapkan pada kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi. Rencana penggunaan kawasan hutan untuk sektor lain yang diusulkan oleh daerah atau instansi sektoral di tingkat pusat dipertimbangkan pada kawasan hutan yang dalam kondisi terdeforestasi. 4. Reformasi perencanaan spasial dan non-spasial di tingkat desa a. Penguatan data dan informasi spasial dan non-spasial di tingkat desa secara partipatif sebagai basis perencanaan pembangunan daerah dan nasional. b. Penguatan rencana pembangunan desa secara partispatif dengan memperhatikan kesimbangan aspek pertumbuhan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan serta daya dukung lingkungan. c. Penguatan kelembagaan pemerintah desa.
3.2.2 Program Reformasi Dasar dan Penegakan Hukum Dalam rangka pelaksanaan REDD+ diperlukan dasar hukum yang kuat dan penegakannya secara konsisten. Untuk itu, kegiatan-kegiatan utama dalam program ini meliputi penyempurnaan dasar hukum dan penegakannya, yaitu sebagai berikut : 1. Reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan sektor khususnya terkait REDD+ melalui: a. Pembangunan prinsip-prinsip hukum yang mempertimbangkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan iklim atau juga disebut climate friendly legal framework (CFLF), termasuk mempertimbangkan safeguard dalam instrumen REDD+ yang akan dikembangkan; b. Pelaksanaan review seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya hutan berdasarkan prinsip-prinsip CFLF; c. Menyempurnakan Undang-undang Kehutanan yang diarahkan pada penguatan konservasi, perlindungan hutan alam produksi yang masih dalam kondisi baik, penguatan usaha kehutanan berbasis kayu hanya melalui pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan yang terlanjur terdeforestasi, pembatasan konversi hanya pada kawasan
62
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
hutan yang dalam kondisi terdeforestasi, peningkatan sanksi hukum terhadap pelanggaran peraturan, baik pelanggaran administratif maupun tindak pidana kehutanan, serta pengembangan mekanisme insentif untuk merangsang minat dan komitmen pelestarian hutan oleh pengelola maupun masyarakat. d. Menetapkan luas dan letak kawasan hutan berdasarkan masing-masing fungsinya dengan menggunakan payung hukum yang kuat dalam hirarki hukum yang berlaku sebagai pengganti TGHK yang hanya dipayungi oleh peraturan menteri. e. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan di sektor penggunaan lahan lain (Undang-undang pertambangan, pertanian, dan tata ruang) agar menyebutkan secara eksplisit untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan deforestasi pada areal berhutan yang masih dalam kondisi baik sampai sedang, baik di dalam kawasan hutan maupun di areal penggunaan lain. f. Pelaksanaan amandemen dan/atau pembentukan peraturan perundangundangan terkait perlindungan lahan gambut di seluruh sektor (pertambangan, kehutanan, pertanian, infrastruktur, dan industri), antara lain dengan memasukan lahan gambut dalam kriteria penetapan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan, dan larangan membuka lahan gambut untuk pertambangan untuk menghindari peningkatan emisi GRK yang signifikan dari konversi lahan gambut. Perumusan tata cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh sektor sampai level implementasi. g. Perumusan kerangka hukum yang tepat, jelas, dan harmonis tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, dan distribusi kewenangan pengelolaan yang jelas dan koordinatif, serta pendanaannya. h. Penyempurnaan berbagai aturan teknis untuk meminimalisasi praktek mafia hukum dalam proses penegakan hukum, antara lain Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi Korban dan Pelapor, UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang agar memastikan terjadi mekanisme check and balances yang konstruktif serta memungkinkan mekanisme pembuktian terbalik bagi para pelaku korupsi serta perlindungan justice collaborators yang memadai. 2. Reformasi penegakan hukum terkait dengan sumber daya hutan, melalui : a. Penegakan hukum administratif secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
b. c.
d.
e.
f.
63
HT/HA yang tidak melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan lestari dan kewajiban-kewajiban lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penegakan hukum secara tegas dan konsisten atas pelaku tindak pidana kehutanan untuk menimbulkan kepastian hukum dan efek jera. Pembentukan jaksa dan polisi lingkungan satu atap (One Roof Enforcement System / ORES) yang dipilih berdasarkan integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu menjadi garda depan penerapan UU terkait untuk memberantas kejahatan kehutanan. Pembentukan hakim khusus yang akan memutuskan kasuskasus lingkungan termasuk kehutanan (Green Bench) yang dipilih berdasarkan integritas dan pemahaman yang prima atas paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu memberi keadilan dan kepastian hukum di sektor pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum secara umum agar memahami berbagai aturan serta metode penyelidikan dan penyidikan yang dapat digunakan untuk memberantas kejahatan kehutanan. Pelaksanaan reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum, terutama yang terkait dengan sektor kehutanan.
3.2.3 Program Penguatan Pemberdayaan Ekonomi Lokal Salah satu fenomena dari deforestasi hutan adalah deforestasi yang tidak terencana (unplaned deforestation). Selain disebabkan oleh lemahnya partisipasi, fenomena ini juga disebabkan oleh kelangkaan alternatif pendapatan dan lemahnya produktivitas serta akses masyarakat terhadap pasar. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka dalam rangka pelaksanaan REDD+ ini diperlukan kegiatan-kegiatan utama sebagai berikut : 1. Penciptaan dan pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif masyarakat sekitar hutan yang berbasis pada sumber daya lokal dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan sumber daya alam lokal. 2. Peningkatan nilai tambah terhadap proses dan hasil produksi masyarakat lokal yang bermanfaat sebagai tambahan pendapatan masyarakat lokal. 3. Pengembangan teknologi lokal dan penerapan teknologi serapan tepat guna untuk meningkatkan nilai produksi masyarakat. 4. Membangun atau mengembangkan lembaga-lembaga ekonomi di tingkat
64
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
masyarakat lokal untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat. 5. Menciptakan dan melancarkan proses pemasaran yang lebih menguntungkan bagi masyarakat lokal sekitar hutan. 6. Pemberian insentif kebijakan kepada kelompok-kelompok masyarakat lokal di kawasan penyangga untuk memacu partisipasi kelompok-kelompok masyarakat lokal bersifat proaktif dalam pelestarian hutan.
3.2.4 Program Pelibatan Pemangku Kepentingan Dalam pelaksanaan REDD+ setidaknya terdapat dua kelompok pemangku kepentingan yang akan menentukan kesuksesan di lapangan, yaitu: 1. Para pihak di tingkat nasional, yang terdiri dari pemerintah pusat, swasta nasional, perguruan tinggi nasional, organisasi non-pemerintah di tingkat nasional, dan lain-lain. 2. Para pihak di tingkat sub-nasional, yang terdiri dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, unit manajemen pengelola hutan, perguruan tinggi setempat, organisasi masayarakat lokal, dan lain-lain-lain. Dengan memperhatikan potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan REDD+, sejak awal perlu dirancang mengenai format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut. Dalam penerapan REDD+, bentuk kerja sama atau kemiteraan diarahkan untuk empat tipe kemiteraan, yang sebelumnya didahului dengan penyusunan Free, Prior Informed Concent (FPIC) dan komitmen pelibatan kaum perempuan mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Kegiatan-kgeiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kesadaran, kesepahaman dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+. 2. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah, termasuk kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, dan perempuan. 3. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanan REDD+ di tingkat tapak melalui berbagai bentuk kerja sama sebagai berikut : a. Kerja sama Kontributif (Contributory Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnnya support sharing di mana kontributor menyepakati usulan dan memutuskan untuk menyalurkan dana pada program atau proyek REDD+. Kontributor dapat sebagai pemerintah, swasta, atau lainnya. b. Pembangunan Kerja sama Operational (Operational Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya working sharing di mana para pihak yang terdiri dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
65
bersepakat bekerja sama dan bertukar sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. c. Pembangunan Kerja sama Konsultatif (Consultatif Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya advisory di mana pihak-pihak tertentu yang dianggap berkompeten memberikan masukan kebijakan, strategi, rancangan, evaluasi dan penyesuaian untuk melancarkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. d. Pembangunan Kerja sama Kolaboratif (Collaboratif Partnership), yaitu kerja sama dalam decision making process, di mana para pihak bekerja sama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaiaan pelaksanaan REDD+ dengan kewenangan, pemilikan, dan risiko dalam rangka dibagi bersama.
3.2.5 Program Penguatan Tata Kelola Program penguatan tata kelola, terkait dengan seluruh program dan kegiatankegiatan turunan pada strategi pemenuhan kondisi pemungkin. Oleh karena itu, seluruh kegiatan dalam program reformasi perencanaan sektor penggunaan lahan, reformasi dasar dan penegakan hukum, penguatan pemberdayaan ekonomi lokal di kawasan penyangga hutan, serta pelibatan pemangku kepentingan harus mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance). Program tata kelola secara khusus dibangun untuk memastikan bahwa transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas diperkuat sehingga meningkatkan jaminan bahwa keputusan diambil berdasarkan kepentingan publik dengan menghindari conflict of interest serta berdasarkan atas informasi yang sahih dan akurat. Untuk itu program tata kelola akan mengarah secara khusus pada: 1. Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam (a) proses pembuatan peraturan perundang-undangan, (b) proses pengambilan kebijakan, serta (c) proses pemberian izin di sektor kehutanan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan mengatur secara eksplisit peraturan perundang-undangan mengenai mekanisme partisipasi yang bersifat operasional serta kewajiban akuntabilitas pengambil keputusan atas keputusan yang diambil dalam peraturan perundang-undangan terkait. 2. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi secara khusus pada kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak. 3. Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub-nasional akan peran penting pelibatan pemangku
66
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
kepentingan agar keputusan yang diambil lebih obyektif dan berkualitas karena didasarkan atas informasi yang memadai serta meminimalisasi conflict of interest dalam pengambilan kebijakan. 4. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people), khususnya pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak untuk (i) memahami informasi yang ada serta (ii) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan. 5. Dalam konteks mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, diperlukan adanya program untuk memastikan implementasi secara konsisten UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terutama pada instansi pemerintah di sektor terkait, yaitu kehutanan, pertanian, energi, pekerjaan umum, dan lain-lain melalui upaya peningkatan kapasitas badan publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai UU dimaksud. 6. Menyediakan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
67
3.3 Strategi Reformasi Pembangunan Sektor 3.3.1 Program Reformasi Pembangunan Sektor Kehutanan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Kesatuan Pemangkuan Hutan merupakan bagian penting dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota. Kegiatan utama dalam pembangunan KPH adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan penurunan sumber emisi (source), yang meliputi beberapa kegiatan, yaitu: a. Penguatan konservasi dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan sektor kehutanan sebagai berikut : • Penguatan pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini, baik pada tingkat sistem pengelolaan, organisasi, maupun sumber daya manusia untuk menjamin tidak terjadinya emisi karbon dari kegiatan perambahan dan illegal logging di kawasan konservasi. • Perlindungan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi (HCFV) pada kawasan hutan produksi. • Perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi (HCVF) pada kawasan perkebunan. • Penetapan kawasan yang masih dalam kondisi baik di luar kawasan hutan menjadi kawasan konservasi dengan mempertimbangkan mekanisme land swap. b. Penguatan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan (Sustainable Management of Forest), yang meliputi: • Percepatan pelaksanaan penataan hutan dalam rangka pelaksanaan KPH yang terdiri dari tata batas, inventarisasi hutan, pembagian ke dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan pemetaan. • Percepatan penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek di setiap KPH. • Penerapan reduced impact logging (RIL), sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), dan sertifikasi di hutan produksi yang dikelola oleh pemegang izin (IUPHHK) untuk mengurangi degradasi hutan. • Perlindungan hutan dari kebakaran, baik yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun oleh alam.
68
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
• Peningkatan kapasitas pekerja di bidang pengelolaan hutan dan pemberian reward yang pantas serta punishment • Pembangunan mekanisme pemberian insentif kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan hutan secara lestari c. Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH melalui peningkatan kapasitas polisi hutan, penyidik pegawai negeri sipil kehutanan dan peningkatan kerja sama dengan aparatur penegak hukum. d. Penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan melalui kegiatan-kegiatan berikut : • Pelaksanaan inventarisasi lahan gambut yang ada di kawasan hutan, lahan gambut yang berhutan dan tidak berhutan, yang meliputi kondisi biofisik (termasuk ketebalan), sosial ekonomi yang lengkap, sahih, transparan dan akuntabel. • Penerapan best practices management sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk pemberian izin baru di area Hutan Produksi Terbatas yang memiliki gambut dengan kedalaman kurang dari 3 m. • Penerapan teknik tanpa bakar untuk pembukaan hutan gambut. • Penerapan pengelolaan tata air yang baik dalam mengelola hutan gambut. • Penerapan penggunaan ameliorian dalam mengkonservasi tanah di lahan gambut di dalam hutan. • Pengembangan pencegahan dan penanggulangan kebakaran gambut yang berada di dalam kawasan hutan. • Melakukan review keabsahan izin/konsesi terhadap seluruh kegiatan yang dilaksanakan di atas lahan gambut dan melakukan penegakan hukum terhadap izin-izin yang tidak sah. • Penataan ulang hutan gambut di area penggunaan lain dan hutan produksi konversi menjadi kawasan hutan lindung atau hutan konservasi. • Penataan ulang sisa lahan gambut yang tidak dibebani izin atau konsesi untuk dijadikan kawasan hutan lindung atau hutan konservasi. • Pengalokasian ulang (land swap) izin-izin konsesi yang berada di hutan gambut ke tanah mineral. • Pelaksanaan amandemen peraturan perundang-undangan atau penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru yang mengakomodasi perlindungan hutan gambut hingga tahap implementasi, termasuk aturan insentif/disinsentif, penaatan dan penegakan hukum.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
69
2. Kegiatan peningkatan dan perlindungan/pemeliharaan stok karbon (sink), yang meliputi beberapa kegiatan berikut : a. Peningkatan kualitas pengelolaan kawasan lindung (kawasan konservasi, hutan lindung dan kawasan lindung lainnya yang akan ditetapkan kemudian dalam tata ruang wilayah) dalam rangka pemeliharaan simpanan karbon b. Peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan terdeforestasi secara transparan, akuntabel, dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan melalui program HTR, Hutan Desa, Hutan Kemasyrakatan, dan sebagainya. c. Pengembangan insentif untuk meningkatkan stok karbon di daerah yang terdegradasi dan lahan bekas bakar. d. Pelaksanaan pengkayaan (enrichment planting) pada kawasan terdegradasi, terutama di dalam kawasan hutan. e. Pelaksanaan restorasi hutan pada hutan lindung, kawasan konservasi, dan pada kawasan IUPHHK-Restorasi. f. Peningkatan upaya restorasi lahan gambut yang terdeforestasi dan terdegradasi melalui rehabilitasi hidrologi (seperti bloking kanal) secara transparan, akuntabel, dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan. g. Peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove secara transparan, akuntabel dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan. h. Pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang secara transparan, akuntabel dan partisipatif, terutama di dalam kawasan hutan.
3.3.2 Program Reformasi Pembangunan Sektor Pertanian Prioritas utama pembangunan pertanian dalam menghadapi perubahan iklim adalah program aksi adaptasi untuk meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Selain itu, pembangunan pertanian juga berpotensi memberikan kontribusi dalam memitigasi emisi GRK, baik pada lahan gambut maupun lahan mineral dengan syarat bahwa mitigasi emisi GRK tidak menurunkan produktivitas dan tidak merugikan masyarakat tani. Apabila penerapan teknologi mitigasi emisi menimbulkan kerugian, baik berupa tambahan biaya produksi maupun penurunan produksi, perlu dialokasikan dana kompensasi untuk menutupi kerugian tersebut, baik berasal dari dalam negeri, maupun dari dana perdagangan karbon. Penguatan sektor pertanian yang terkait dengan mitigasi GRK terdiri atas:
70
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
1. Penyempurnaan perencanaan pertanian a. Perencanaan pembangunan pertanian dan perkebunan, proyeksi perluasannya dan pemberian izin tidak pada kawasan hutan dan kawasan lain (areal penggunaaa lain) yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik (potensi simpanan karbon diatas 100 ton/ha). b. Perencanaan, penetapan, perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan perkebunan, terutama kebun kelapa sawit. c. Penerapan penundaan/moratorium izin perkebunan di kawasan yang bernilai konservasi tinggi seperti kawasan gambut. d. Pembangunan sistem monitoring dan evaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit untuk memantau aspek spasial perkebunan sawit sebagai basis untuk memperbaiki perencanaan secara berkala. 2. Penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta untuk peternakan. 3. Pemanfaatan lahan tidur/bongkor atau lahan terlantar. 4. Penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral dari lahan dengan stock C tinggi (>100 t C/ha) ke lahan dengan stock C rendah (<35 t C/ha). 5. Penerapan sistem irigasi berselang (intermittent) pada lahan sawah. 6. Perluasan lahan pertanian pada tanah mineral dan tidak berhutan. 7. Penyempurnaan tata cara pemberian izin dengan mempertimbangkan emisi karbon. 8. Pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan kegiatan dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan (land swap) 9. Penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub-sektor peternakan melalui perbaikan teknologi pakan ternak serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas dan kompos. 10. Perbaikan pengelolaan lahan gambut. Pengurangan emisi cukup significan dapat dicapai melalui berbagai program: a. Penataan terhadap Permentan No.14/2009 tentang penggunaan lahan gambut untuk perluasan perkebunan kelapa sawit di mana pembukaan perkebunan di lahan gambut dilakukan secara sangat selektif yang 70% dari luasan lahan tersebut memenuhi kriteria: gambut berketebalan di atas 3 m, tingkat kematangan sapris atau hemis, serta substratumnya bukan kuarsa atau sulfat masam. b. Pengendalian metode pembakaran gambut. Pembakaran gambut sering terjadi di kalangan petani gurem dengan tujuan untuk mendapatkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
71
hara dari abu bekas pembakaran gambut. Apabila gambut mempunyai simpanan C sebanyak 500 t/ha/m maka kebakaran 1 cm gambut berpotensi menyebabkan emisi sekitar 5 ton C/ha atau 18 t CO2-e/ha. Pemberian subsidi pupuk kepada petani di lahan gambut, akan dapat mengurangi emisi secara bertahap. c. Penataan drainase/tata guna air. Kedalaman saluran drainase sangat mempengaruhi emisi CO2 melalui dekomposisi gambut. Untuk itu, kedalaman saluran drainase perlu diminimalkan sampai tingkat yang tidak menurunkan produksi. d. Penggunaan amelioran. Berbagai zat limbah seperti tarak baja yang mengandung Fe dan Si tinggi berpotensi mengikat (chelating) asam organik sederhana sehingga tidak mudah terdekomposisi. Selain berpotensi menurunkan emisi, penggunaan zat ini pada lahan gambut juga dapat memecahkan masalah pembuangan terak baja yang dewasa ini dikelompokkan sebagai limbah beracun dan berbahaya (B3).
3.3.3 Program Reformasi Sektor Pertambangan Penurunan daya serap karbon di sektor pertambangan terjadi akibat terjadinya konversi hutan ke areal pertambangan yang umumnya langsung ditebang habis dan seringkali mengubah rencana peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Pertambangan yang umumnya secara terbuka mengakibatkan kegiatan reklamasi sulit dilaksanakan. Aturan yang menyatakan bahwa pemilik pertambangan mempunyai kewajiban melaksakan reklamasi, jarang dilakukan sehingga penyerapan karbon dari usaha reklamasi tidak ada. Perlindungan lahan gambut pun tidak diakomodasi dalam sektor pertambangan. Program penyempurnaan sektor pertambangan terdiri dari dua kegiatan, yaitu: 1. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan a. Pelaksanaan amandemen/pembentukan peraturan perundangundangan baru di bidang pertambangan yang mengatur larangan pemberian izin KP di lahan gambut berketebalan lebih dari 3 m, serta perlindungan terhadap lahan gambut di dalam kawasan pertambangan. b. Penyempurnaan aturan reklamasi tambang yang tepat, jelas, transparan, dan akuntabel, antara lain mengenai penentuan dana reklamasi, pengelolaan dana reklamasi, dan sistem verifikasi pelaksanaan reklamasi. 2. Perencanaan pertambangan a. Perencanaan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dihindari pada kawasan hutan dan kawasan lain yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik.
72
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
b. Perencanaan, penetapan dan perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan pertambangan. c. Pembangunan sistem monitoring pelaksanaan pertambangan. 3. Peningkatan perizinan dan pengawasan pertambangan, yang terdiri dari beberapa kegiatan yaitu : a. Penerapan rasionalisasi pemberian izin KP di kawasan hutan melalui penetapan ambang batas emisi yang diperkenankan pada perizinan KP untuk menekan tingkat emisi dan sekaligus menentukan kewajiban peningkatan stok karbon pada areal bekas tambang. b. Penaatan terhadap rencana peruntukan kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditetapkan, izin KP dan/atau izin pinjam pakai tidak dikeluarkan dengan mengubah peruntukan lahan yang sudah ada. c. Penegakan hukum terhadap pemegang izin KP yang melanggar ambang batas tingkat emisi dan kewajiban reklamasi. d. Penegakan hukum pertambangan tanpa izin. e. Penerapan minimalisasi ‘open mining.’ f. Penerapan perlindungan lahan gambut dalam izin KP. 4. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan, yang terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: a. Peningkatan upaya reklamasi hutan dan lahan. b. Pengembangan mata pencaharian alternatif secara ekonomis dan rendah emisi bagi penduduk sekitar areal pertambangan.
3.3.4 Program Reformasi Sektor penggunaan Lahan Lainnya 1. Penyempurnaan perencanaan pembangunan infrasrtuktur yang telah mempertimbangkan aspek emisi karbon. 2. Peningkatan kejelasan sektor terkait jangka panjang yang mempertimbangkan aspek emisi karbon.
BAB IV
SISTEM TERUKUR, DAPAT DILAPORKAN DAN DAPAT DIVERIFIKASI (MEASURABLE, REPORTABLE AND VERIFIABLE/MRV)
Halaman ini sengaja dikosongkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
75
Partisipasi Indonesia di dalam REDD+ mengharuskan Indonesia membangun sistem terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV) agar setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di dalam hutan dapat diukur secara akurat dan dengan demikian dapat diberikan “reward” atas kinerja. Untuk itu, peta jalan pengembangan sistem MRV perlu dibangun menurut persyaratan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan prinsip-prinsip efisien, efektif dan pantas. Frase terukur (measurable) disini mengandung arti metodologi yang dipergunakan harus kredibel, sedangkan dapat dilaporkan (reportable) mengandung arti laporan harus aktual dan serial/periodik dan dapat diverifikasi (verifiable) mengandung arti setiap laporan terkait dengan penurunan emisi dan atau peningkatan stok karbon memenuhi kriteria transparan, dan dapat diverifikasi oleh pihak independen. Sistem terukur, dapat dilaporkan, dan dapat diverifikasi (MRV) adalah bagian yang esensial untuk mengevaluasi pencapaian Strategi Nasional (Stranas) REDD+ dan mekanisme pembayaran internasional. Oleh karena itu, pengukuran butuh dilakukan secara teratur untuk mengukur perubahan stok karbon pada skala dimana perhitungan kinerja akan dibuat. MRV sendiri merupakan bagian dari sistem monitoring dan evaluasi dari aksi mitigasi yang akan didaftarkan oleh negara-negara kepada UNFCCC. Dalam pelaksanaannya, MRV harus mengikuti prinsip prinsip yang berlaku dalam Konvensi Perubahan Iklim, khususnya prinsip common but differentiated responsibilities and respective capabilities serta historical responsibilities dari emisi GRK setiap negara. Dalam konteks Stranas REDD+, ruang lingkup pengukuran, dapat dilaporkan, dan dapat divervifikasi (MRV) tidak hanya terbatas kepada pengukuran perubahan areal hutan berdasarkan tipenya dan stok karbon di dalam hutan tetapi juga pengukuran terhadap distribusi manfaat atas pelaksanaan REDD+; kontribusi pelaksanaan REDD+ terhadap penghidupan yang berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan bagi masyarakat yang penghidupannya tergantung dengan hutan; pembangunan berkelanjutan dan pencapaian tujuan tata kelola yang baik; dan keterlibatan masyarakat di dalam implementasi REDD+. Untuk membangun sistem MRV yang akuntabel dan transparan, beberapa prasyarat dibawah ini perlu dipenuhi: »» Penyusunan standar nasional yang sejalan dengan protokol internasional dan good practices untuk mengukur perubahan stok karbon di dalam hutan; »» Pendirian lembaga nasional yang independen untuk melakukan pengukuran dan verifikasi informasi;
76
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
»» Pengembangan mekanisme koordinasi dan harmonisasi penghitungan karbon dan sistem MRV lintas sektor dan skala; »» Pengembangan sistem MRV bukan karbon termasuk usaha perlindungan sosial dan lingkungan (social and environmental safeguards). »» Pengembangan sistem yang transparan dengan mempergunakan teknologi yang tersedia dan terkoordinasi untuk mengelola informasi, dan memastikan bahwa semua informasi yang relevan baik spasial dan non spasial tersedia secara reguler dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. »» Pengembangan mekanisme pelaporan kepada lembaga-lembaga di tingkat nasional dan internasional yang relevan dan penyedian informasi yang relevan kepada aktor-aktor pasar karbon. Terkait dengan verifikasi dan safeguards, lembaga independen dibutuhkan untuk melakukan audit dan menyetujui capaian yang dihasilkan dan menyampaikannya ke publik sebagai bagian proses akuntabilitas dan transparansi melalui mekanisme yang tersedia. Ruang lingkup verifikasi ini meliputi sebagai berikut: »» Pelaksanaan MRV tidak hanya untuk kegiatan REDD+ tapi juga untuk emisi dari sumber lainnya dan co-benefit lainnya. »» Pengawasan bahwa MRV untuk karbon dilaksanakan menurut standar nasional dan internasional; »» Verifikasi atau sertifikasi pengurangan emisi untuk dapat diberikan “reward” dari pendanaan internasional; »» Pengawasan pelaksanaan sejumlah safeguards sosial dan lingkungan hidup; »» Pelaksanaan dan pengawasan prosedur penanganan pengaduan
Kerangka Kelembagaan MRV Di dalam implementasi Stranas REDD+, kapasitas lembaga yang melakukan MRV perlu dibangun untuk menjalankan kegiatan MRV karbon hutan yang efisien dan berkelanjutan. Untuk itu, kerangka kerja lembaga nasional MRV tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: »» Dalam konteks koordinasi, membangun mekanisme kerjasama dan koordinasi tingkat tinggi di tingkat nasional terkait dengan MRV karbon hutan dan kebijakan nasional untuk REDD+ dan menetapkan peran dan tanggungjawab kelembagaan MRV di tingkat nasional dan sub nasional dan co-benefits dan upaya monitoring lainnya. »» Dalam konteks pengukuran dan pemantauan, menyusun protokol dan unit-unit teknis untuk menganalisa data terkait dengan karbon hutan baik di tingkat nasional dan sub nasional. Ruang lingkup wewenang lembaga MRV
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
77
di tingkat nasional bertugas untuk memantau indikator MRV secara nasional sedangkan wewenang lembaga MRV di tingkat sub nasional melingkupi klarifikasi/ground checking hasil pengukuran di tingkat nasional. »» Dalam konteks pelaporan, sebuah unit di lembaga MRV bertanggungjawab untuk mengumpulkan data yang relevan di dalam pusat database, melakukan estimasi nasional, dan pelaporan internasional menurut IPCC GPC, melakukan assesment ketidakpastian, dan perbaikan rencana; »» Dalam konteks verifikasi, lembaga independen untuk melakukan verifikasi efektivitas implementasi REDD+ dalam jangka panjang pada tingkat dan aktor yang berbeda. »» Lembaga yang meregistrasi kegiatan REDD+ dapat dipertimbangkan untuk digabung dengan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih yang diperluas menjadi Komisi Nasional Perubahan Iklim.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB V
TAHAPAN PELAKSANAAN REDD+ DI INDONESIA
Halaman ini sengaja dikosongkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
81
5.1 Penyusunan STRANAS dan RAN REDD+ Indonesia Pelaksanaan REDD+ di Indonesia secara umum terbagi dalam tiga tahap utama, yaitu: 1) Penyusunan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ Indonesia, 2) Persiapan dan kegiatan-kegiatan awal, dan 3) Pelaksanaan REDD+. Secara umum, tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Tahapan Pelasaknaan REDD+ Indonesia
Tahap penyusunan Strategi Nasional REDD+ dan Rencana Aksi Nasional dilaksanakan pada tahun 2010, yang meliputi dua kegiatan utama berikut ini :
5.1.1 Penyusunan strategi nasional REDD+ Strategi Nasional REDD+ (STRANAS REDD+) disusun secara inklusif dengan melibatkan berbagai sektor terkait dan para pemangku di tingkat nasional dan sub nasional. Kronologis penyusunan STRANAS REDD+ tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pembentukan Tim Pengarah yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS dan beranggotakan wakil dari berbagai kementerian/lembaga terkait 2. Pembentukan Tim Pelaksana yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS dan beranggotakan wakil dari berbagai kementerian/lembaga terkait serta para pakar dari berbagai lembaga yang berkompeten. 3. Pembentukan Tim Penulis Strategi Nasional REDD+ Indonesia 4. Penulisan draft dokumen Strategi Nasional REDD+ 5. Konsultasi pakar
Gambar 5.2. Skenario penyusunan Strategi Nasional REDD+ Indonesia
82 Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
83
6. Konsultasi regional yang diselenggarakan di 7 lokasi untuk menjaring aspirasi dan dukungan para pemangku kepentingan di tingkat sub nasional 7. Sosialisasi nasional dan peluncuran dokumen Strategi Nasional REDD+ Indonesia
5.1.2 Penyusunan Rencana Aksi Nasional REDD+ Rencana Aksi Nasional REDD+ (RAN REDD+) merupakan salah satu dokumen operasional pelaksanaan REDD+ yang merupakan penerjemahan STRANAS REDD+. Dengan demikian, RAN REDD+ ini akan memberikan informasi lebih jauh tentang Strategi Nasional REDD+, yaitu antara lain : 1. Kegiatan-kegiatan turunan dari kegiatan-kegiatan utama yang secara indikatif telah tercantum dalam STRANAS REDD+ 2. Tujuan dan sasaran masing-masing kegiatan 3. Penanggung jawab atau lokus dari masing-masing kegiatan 4. Rencana anggaran pelaksanaan kegiatan dan sumber pendanaannya 5. Indikator kinerja berdasarkan pencapaian keluaran, hasil, dampak dan manfaat dari setiap kegiatan kegiatan Penyusunan RAN REDD+ ini mengacu kepada beberapa target yang telah ditetapkan dan kondisi-kondisi daerah yang perlu penyesuaian, yaitu sebagai berikut : 1. Penurunan emisi GRK sebesar 26% dan atau 41% sesuai dengan tekad pemerintah Indonesia yang telah diketahui atau didaftarkan di UNFCCC 2. Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7%. 3. Angka kuota tingkat emisi referensi nasional dan sub nasional dan angka kuota pertumbuhan ekonomi setiap daerah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 7% di tingkat nasional. 4. Tipologi kondisi masing-masing daerah yang berbeda, yang konsekuensinya akan terjadi perbedaan pendekatan dan metodologi pelaksanaan kegiatan REDD+ di setiap daerah untuk mencapai target sesuai kuota REL yang telah di validasi dan disepakati daerah. Untuk itu, perlu ada penguatan di daerah melalui penyusunan Strategi Daerah dan Rencana Aksi Daerah Pelaksanaan REDD+. Penyusunan RAN REDD+ dengan berbagai skenario kegiatannya diharapkan dapat selesai hingga akhir tahun 2010. Sementara Stategi Daerah dan Rencana Aksi Daerah diharapkan dapat selesai pada akhir tahun 2011.
84
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
5.2 Menumbuhkan Kesiapan dan Pelaksanaan Tindakan Awal 5.2.1 Menumbuhkan Kesiapan Pelaksanaan REDD+ Kesiapan pelaksanaan REDD+ sebagaimana telah termuat secara eksplisit dari strategi terdiri dari dua bagian penting, yaitu : 1) terpenuhinya infrastruktur prasyarat REDD+, dan 2) terpenuhi kondisi pemungkin untuk dapat terselenggaranya berbagai perbaikan sektor penggunaan lahan. Kedua kegiatan tersebut merupakan syarat keharusan untuk dapat terlaksanya kegiatan REDD+ di Indonesia. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan pokok dalam menumbuhkan kesiapan pelaksanaan REDD+ ini adalah sebagai berikut : 1. Pembangun infrastruktur REDD+, dilakukan melalui pembentukan kelembagaan dan kebijakan REDD+, penyiapan metodologi untuk berbagai aspek penyelenggaraan REDD+ (REL, MRV, registrasi, pendanaan) dan pembangunan skema pembagian tanggung-jawab dan manfaat yang transparan. Pembangunan Infrastruktur REDD+ diharapkan dapat selesai pada akhir tahun 2011. 2. Pemenuhan kondisi pemungkin, pada umunya didekati melalui instrumen kebijakan dan perencanaan di sektor penggunaan lahan. Kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan REDD+ berarti merupakan kesiapan di tingkat nasional dan sub nasional. Upaya untuk menumbuhkan kesiapan ini dipastikan akan membutuhkan waktu cukup panjang. Untuk itu, periode waktu untuk melakukan upaya menumbuhkan kesiapan ini dialokasi selama 4 tahun, yaitu dimulai dari akhir tahun 2010 hingga akhir tahun 2014.
5.2.2 Pelaksanaan Tindakan Awal Tindakan awal terutama diarahkan pada daerah-daerah percontohan yang ditetapkan berdasarkan angka kouta REL dan potensi besaran kontribusinya terhadap pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% dan atau 41% dari BAU. Beberapa bentuk kegiatan awal yang diperlukan sesuai dengan mandate mandat dari Keppres No 10 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Pembentukan Kelembagaan REDD+ adalah sebagai berikut : 1. Pendirian lembaga REDD+; 2. Persiapan instrumen dan mekanisme pendanaan; 3. Persiapan pembentukan lembaga MRV (monitorable, reportable and verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan terverifikasi) REDD+ yang independen dan terpercaya;
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
85
Pelaksanaan tindakan-tindakan awal sejalan dengan upaya menumbuhkan kesiapan pelaksanaan REDD+. Sehingga kegiatan-kegiatan awal ini diharapkan dapat selesai pada akhir tahun 2014 sebelum pelaksanaan penuh REDD+ di tahun 2015.
5.2.3 Pelaksanaan REDD+ Pengarusutamaan REDD+ Dalam Pembangunan STRANAS dan RAN REDD+ ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan agar mempunyai dampak yang kongkrit bagi pencegahan pemanasan global dan keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Strategi dan Rencana Aksi dimaksud telah dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti: masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan, namun lebih jauh dari itu, pelibatan para pemangku kepentingan secara inklusif perlu terus dipertahankan dalam setiap tahapan siklus pembangunan. Prinsip umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pengarustamaan tersebut adalah: 1. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ merupakan bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran nasional dan karenanya harus bersinergi dengan dokumen perencanaan yang ada. 2. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca. 3. Perencanaan dengan pendekatan teknokratis, politis, partisipatif, top-down, dan bottom-up. 4. Penanganan masalah dengan pendekatan holistik dan pendekatan system. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ merupakan dokumen sebagai panduan dari rangkaian kegiatan strategis dan terintegrasi bagi sektor terkait dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terutama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025 Hal ini diupayakan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan Stranas dan RAN REDD+.
86
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
Namun proses pembentukan Stranas dan RAN REDD+ dilakukan setelah RPJMN 2010-2014 tersusun, sehingga menimbulkan kesenjangan pengaturan substansi terkait pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam RPJMN 2010-2014. Lebih jauh lagi, karena pada saat ini sistem perencanaan dan penganggaran telah menerapkan Medium Term Expenditure Framework (MTEF), maka konsekuensinya adalah resource envelope yang telah ditetapkan dalam kerangka RPJMN mengikat selama periode perencanaan. Hal ini tentunya mempengaruhi pengalokasian dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian/Lembaga yang nomenklatur dan pagunya mengacu kepada RPJMN. Akibatnya substansi yang telah diatur dalam Stranas dan RAN REDD+ sangat mungkin tidak terakomodasi dalam Renstra dan RKA K/L terkait. Untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut di tingkat nasional, perlu dilakukan analisa kesenjangan (gap analysis) antara substansi yang tercakup dalam Stranas dan RAD REDD+ dengan pengaturan terkait di RPJMN 20102014. Sedangkan pada tingkat daerah, kondisinya akan lebih baik apabila proses penyusunan Stranas dan RAN REDD+ mendahului siklus perencanaan lima tahunan (RPJMD) yang berbeda-beda setiap daerahnya, tergantung dari siklus pemilihan kepala daerahnya. Stranas dan RAN REDD+ dapat segera diarustamakan dan diintegrasikan dalam RPJMD yang belum terbentuk. Kondisi yang lebih ideal lagi adalah RAD REDD+ disusun sebelum RPJMD dan RKA-SKPD dibentuk. Namun sebaliknya apabila sudah terbentuk maka perlu dilaksanakan analisa kesenjangan sebagaimana berlaku juga pada RPJMN 2010-2014. Hasil analisa kesenjangan kemudian dikomunikasikan dengan lembaga yang bertanggung jawab di bidang perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini dilakukan untuk menyearahkan Stranas dan RAN REDD+ dengan RPJMN 2010-2014 dan menyempurnakan rekomendasi yang dihasilkan melalui analisa kesenjangan. Rekomendasi-rekomendasi ini pada saatnya akan digunakan sebagai dasar untuk memperkaya detail kegiatan dan mempertajam indikator pencapaian dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dengan demikian, Pengintegrasian Stranas dan RAN REDD+ ke dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran akan dilakukan melalui kegiatan utama: 1. Penyusunan Analisa Kesenjangan (Gap Analysis) antara Rencana Aksi REDD+ dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2. Penyusunan Analisa Kesenjangan antara Rencana Aksi REDD+ dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 31 Propinsi
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
87
3. Koordinasi dan Penyearahan Hasil Analisa Kesenjangan dengan Lembaga Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah 4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah berdasarkan Hasil Analisa Kesenjangan 5. Pengintegrasian Stranas dan RAN REDD+ kedalam RPJMN 2015-2019 6. Penetapan Abatement Cost sebagai Bahan dalam Pengalokasin Pendanaan RPJMN 2015-2019
Penerapan REDD+ Secara Penuh Pelaksanaan RAD REDD+ perlu disertai dengan pemberian insentif bagi propinsi/kabupaten yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan khususnya menurunkan emisi dalam bentuk fasilitasi dalam menjalankan program. Selain itu, keterbatasan sumberdaya yang dimiliki pusat maupun daerah dalam penerapan REDD+ mengharuskan pemberian fasilitasi penerapan REDD+ dipilih berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan daerah dengan kemungkinan tingkat keberhasilan tertinggi. Untuk itu perlu ditetapkan kriteria kesiapan (readiness) yang kemudian menjadi dasar pemilihan propinsi/ kabupaten yang difasilitasi. Penentuan daerah perlu memperhatikan studi kelayakan yang dilaksanakan oleh setiap daerah. Dengan demikian, kegiatan utama dalam menentukan daerah penerapan REDD+ adalah: 1. Pembuatan kriteria dan indikator yang akan digunakan untuk menilai kesiapan daerah untuk mengimplementasikan REDD+ (readiness) 2. Penyusunan mekanisme untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam melaksanakan REDD+ di tingkat kabupaten
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB VI
PENUTUP
Halaman ini sengaja dikosongkan
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
91
REDD+ merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim. Sebagai pendekatan baru yang terkait dengan pengelolaan hutan pada khususnya dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan pada umumnya, pendekatan ini memerlukan pemahaman dan penerapan yang tepat. Pendekatan yang diawali dari suatu komitmen global untuk pengurangan emisi sudah selayaknya memperoleh perhatian khusus bagi Indonesia dengan tetap mengedepankan kepentingan dan manfaat nasional. Pendekatan ini harus dianggap sebagai pendekatan yang komplementer dengan pendekatan yang sudah dijalankan selama ini dengan prinsip dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan kebijakan maupun strategi yang sudah ada. Sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk memberikan kontribusi sukarela dalam pengurangan emisi global, strategi nasional REDD+ disusun dengan dasar penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sembari meningkatkan serapan (sink) karbon dan mempertahankan simpanan (stock) yang berada di hutan. Strategi didasarkan atas kajian masalah dan sumber masalah sehingga menampilkan strategi prioritas beserta program yang harus dilakasanakan selama kurun waktu sampai dengan tahun 2020. Pendekatan dengan penyempurnaan dan pembentukan kondisi pemungkin dilanjutkan dengan penyempurnaan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan sektor diharapkan akan memberikan daya efektifitas tinggi. Penerapan Strategi Nasional hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu pengarus utamaan strategi nasional REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.