STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI REDD+
TIM SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI REDD+ TIM SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA
DISCLAIMER UNTUK KESELURUHAN SRAP (FINAL 15 Mei 2013) DISCLAIMER
Dokumen ini sepenuhnya milik dan karya para pihak yang penyusunannya dimotori oleh tim penulis di Provinsi Papua. Isi dan operasionalisasi dokumen ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab provinsi yang bersangkutan dan tidak mencerminkan opini atau posisi Satuan Tugas Nasional (Satgas) REDD+. Dalam proses, Satgas REDD+ melalui Tim Kerja Implementasi Strategi dan Program (TKISP), berperan sebagai fasilitator dengan mendorong proses penyusunan yang memenuhi prinsip partisipasi yang inklusif dan memoderasi substansi untuk memastikan bahwa dokumen memiliki kaitan yang erat sebagai jabaran Strategi Nasional REDD+ kedalam konteks, situasi, kondisi dan dinamika pembangunan provinsi yang bersangkutan.
2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Kata Pengantar Gubernur Papua Provinsi Papua dengan luas 317.063 km2 memiliki kekayaan sumber daya hayati yang sangat besar, dengan luas kawasan lebih kurang 31.687.680 ha (RTRW Papua, 2012). Luas hutan di Provinsi Papua tersebut memiliki keanekaragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang tinggi. Data statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukan bahwa pada periode 2003 2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/tahun) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/tahun). Sampai sekarang belum dapat dieleminir bahwa faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan ini disebabkan oleh alih fungsi hutan atau perambahan hutan secara ilegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara tidak langsung berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan global). Menurut Goddar Institut for space Studies NASA (Badan Antariksa USA) panas rata-rata bumi telah 0,8% sejak tahun 1880 menurut IPCC ll dari 12 tahun terakhir merupakan tahun terpanas sejak tahun 1850 (National Geographic News, 28 Oktober 2010). Dengan naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi seperti ini akan beresiko pada kepunahan tumbuhan dan hewan, yang selanjutnya akan berdampak pada kelangsungan hidup umat manusia. Pemerintah Indonesia melalui UU No. 6 Tahun 1994 telah ikut meratifikasi konvesi perubahan iklim. Dengan dermikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut yang meliputi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan pencapaian tujuan konvensi tersebut. Dalam Pertemuan-pertemuan Antar Negara (Conference Of Parties) selanjutnya antara lain dalam COP 13 di Bali tahun 2007, disepakati bahwa negara-negara maju berkewajiban membantu pendanaan bagi negara-negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kacanya. Karena pentingnya upaya-upaya mitigasi GRK ini, maka dalam pertemuan COP 15 di Kopenhagen, Pemerintah Indonesia membuat komitmen untuk mengurangi tingkat Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia pada tahun 2020, sebesar 26% dengan sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% dengan bantuan pendanaan dari luar negeri. Komitmen ini melahirkan upaya-upaya Pemerintah Indonesia di Pusat maupun di Daerah yang didukung dengan lahirnya Peraturan Pemerintah RI No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca, yang kemudian mendorong dibuatnya Rencana Aksi Daerah untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAD GRK) serta Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP REDD+). Salah satu upaya yang sangat signikan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca adalah dengan manajemen pemanfaatan hutan dan lahan yang mencegah terjadinya degradasi dan deforestasi hutan, sekaligus menambah penyerapan CO2 dengan penanaman pohon.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
3
Sejalan dengan hal tersebut Gubernur Provinsi Papua melalui Visi, Misi “Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera” menterjemahkannya dengan mencanangkan “Papua Menanam Untuk Paru-Paru Dunia” pada tanggal 5 Juni 2013 dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup sedunia tahun 2013. Untuk memastikan upaya-upaya tersebut, maka disusunlah suatu buku Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam implementasi REDD+ di Papua, yang diharapkan menjadi bagian penting dari RTRW Provinsi Papua. Buku ini merupakan bentuk kongkrit komitmen Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat di Papua untuk disumbangkan kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sebagai bagian integral dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional REDD+. Apresiasi yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam menyelesaikan buku ini. Buku ini masih perlu disempurnakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang, semoga bermanfaat bagi para pembaca.
4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
RINGKASAN EKSEKUTIF Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukkan bahwa pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 594.661 ha (148.665 ha/thn). Sedangkan pada periode 2006 - 2009 terjadi deforestasi hutan seluas 728.416 ha (182.104 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/thn). Sekalipun proses deforestasi dan degradasi hutan di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun, namun faktor penyebab utama deforestasi hutan belum dapat dieliminir secara pasti apakah disebabkan oleh alih fungsi hutan atau oleh perambahan hutan secara illegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan) global yang saat ini lagi hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Provinsi Papua sebagai bagian dari Provinsi-Provinsi berhutan di Indonesia secara tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam mengawal isu pengurangan emisi ini. Selama beberapa tahun terakhir melalui satuan tugas pembangunan ekonomi rendah karbon. Ide pembentukan pembangunan ekonomi rendah karbon ini kedepan diharapkan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan cerdas dan bijaksana bagi para pengambil kebijakan di Papua dalam mengawal dan menjalankan roda pembangunan ekonomi rendah karbon. Instrumeninstrumen kebijakan dan kelembagaan di tingkat daerah memang perlu dipersiapkan sejak dini untuk meramu dan mewujudkan pemikiran-pemikiran ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP-REDD+) ini diharapkan menjadi sebuah langkah maju dalam rangka mempersiapkan pembangunan Papua yang bermanfaat dan berkelanjutan baik Ekonomi, Sosial maupun Ekologi. Strategi dan rencana aksi daerah ini dalam proses penyusunannya mengandung prinsip dinamis dan fleksibel, mencerminkan bahwa (a) berbagai hal mengenai bentuk dan mekanisme tata kelola REDD+ global di tingkat internasional masih memunculkan ketidakpastian; (b) di tingkat nasional, strategi dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun, bentuk struktur dan tupoksi belum terumuskan dengan jelas; (c) Data dan informasi yang dibutuhkan untuk penyusunan perencanaan yang mantap belum memadai dan tersebar diberbagai sektor di Provinsi Papua. Dokumen Strategi Nasional REDD+ mengamanatkan bahwa setiap rencana dan strategi di tingkat daerah yang disusun diharapkan menjadi landasan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di daerah serta mencapai target-target penurunan emisi nasional. Secara khusus Rencana dan Strategi Aksi Provinsi REDD + Provinsi Papua dapat memberikan jaminan bahwa kegiatan mitigasi mampu mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan serta memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi GRK nasional. Rumusan Visi SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah: Tata Kelola hutan dan lahan mendukung pembangunan berkelanjutan yang adil dan merata di Provinsi Papua tahun 2020, yang dijabarkan dalam misi berikut: (1) Memastikan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan hutan dan lahan kearah yang lebih baik, (2) Memantapkan Fungsi Lembaga Pengelolaan Hutan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
5
yang efektif dan efisien, (3) Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Hutan dan lahan yang rendah karbon, (4) Mengoptimalkan penegakan hukum dan kelembagaan sektor hutan dan lahan, (5) Memastikan peran masyarakat adat sebagai pelaku aktif dalam pengelolaan hutan dan lahan. Maksud disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Provinsi Papua adalah sebagai acuan resmi pemerintah, masyarakat dan stakeholder dalam implementasi skema REDD+ untuk penentuan prioritas program dan aksi mitigasi pembangunan rendah karbon. Tujuan umum dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah mengurangi degradasi dan deforestasi akibat penggunaan hutan dan lahan. Isu-isu strategis terkait deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Papua yang menjadi perhatian dan landasan berfikir dalam penyusunan SRAP-REDD+ adalah: (1) Prosedur Alih Fungsi Kawasan (pemukiman, perkebunan, pinjam pakai kawasan, dan kebutuhan kawasan strategis daerah merupakan fenomena perluasan Areal Penggunaan Lain (APL), (2) Percepatan penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota sebagai dokumen legal perencanaan pembangunan daerah berbasis lahan, (3) Illegal Logging dan perambahan hutan masih terjadi, (4) Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan/lahan belum terjamin secara legal formal, (5) Berbagai sektor pembangunan cenderung memarjinalkan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan lahan, (6) Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan antar sektor baik provinsi, kabupaten/kota dan nasional belum optimal, (7) Wewenang dan tanggung jawab perijinan, rekomendasi perijinan masih tumpang tindih antara SKPD daerah dan antar kementerian, (8) Konservasi Keanekaragaman Hayati belum dikelola secara optimal. Sedangkan isu-isu yang terkait dengan kebijakan adalah: (1) Tidak konsistennya ketentuan dan peraturan di bidang Kehutanan dari level kebijakan sampai pada level pelaksanaannya, termasuk inkonsistensi antara kebijakan pusat dan daerah, (2) Belum selesainya pelaksanaan tata batas luar dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Papua, (3) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH; KPHK, KPHL dan KPHP) sebagai unit manajemen di tingkat tapak belum seluruhnya terbangun, (4) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi sering menimbulkan konflik sosial, (5) Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan serta pengamanan kawasan konservasi belum menunjukkan keberhasilan yang siginifikan, terbukti dengan adanya kasus pencurian kayu dan berkurangnya kawasan hutan, (6) Belum maksimalnya pelibatan secara penuh masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam kegiatan/program kehutanan, terutama untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi, (7) Pemberian akses dan distribusi manfaat dari pengelolaan dari SDA yang melimpah belum menghasilkan nilai tambah yang signifikan untuk daerah dan masyarakat Provinsi Papua, (8) Terbatasnya ketersediaan Sumber Daya teknis kehutanan, sarana prasarana dan dana, (9) Tumpang tindih kewenangan (mengacu pada UU No 41 dan UU Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001), (10) Evoria masyarakat untuk melakukan pemekaran kabupaten dan kota terus meningkat. Aksi pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur (measurabel), dilaporkan (Reportable), dan diverifikasi (Verifiable). Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian MRV nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai mekanisme penurunan emisi yang berpotensi besar. Ditinjau dari keefektifan biaya (cost effective) REDD+, maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk REDD+, yaitu: (1) Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use); (2) Kombinasi metode inventarisasi penginderaan jauh (remote-sensing inventory) & didasarkan pengamatan lapangan (groundbased inventory); (3) Memperhitungkan ke lima penumpukan karbon (carbon pools); dan (4) Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review dan diakses oleh publik.
6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Rencana aksi mitigasi Provinsi Papua dalam implementasi REDD+ terbagi dalam 2 kelompok aksi yaitu: (a) peningkatan serapan karbon hutan, mencakup aksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL); Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR); Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm); Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI); dan Pelaksanaan Restorasi Ekosistem Hutan (REH); dan (b) Stabilisasi simpanan karbon hutan, mencakup aksi: Pencegahan perambahan hutan dalam KSA dan HL; Pengurangan konversi hutan menjadi APL; Penurunan luas areal RKT IUPHHK; Implementasi Reduced Impact Logging (RIL)/PHPL dan SVLK; dan Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat Adat (PHL-BMA) Hasildan perhitungan berdasarkan Skenario aksi mitigasi penurunan emisi dan peningkatan Strategi Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ serapan karbon hutan dan lahan untuk REDD+ Provinsi Papua jika dibandingkan dengan Reference Emission Level (REL) seperti dideskripsikan dalam tabel gambar berikut. Kontribusi Penurunan Emisi
No
Aksi Mitigasi
No
Aksi Mitigasi
I
Kontribusi Penurunan Emisi Optimis Skenario Pesimis Skenario Skenario Pesimis% ton CO2-Eq
I
1
Pencegahan Perambahan Hutan
1
182,512,237
21.706
Implementasi RIL
28,573,438
3.398
142,867,188
16.991
Pengurangan Konversi Hutan
20,889,432
2.484
104,447,161
12.422
Penurunan luas areal RKT IUPHHK
17,143,951
2.039
85,719,757
10.195
617,520
0.073
3,087,600
0.367
2
Implementasi RIL
Pengurangan Konversi Hutan
4
Penurunan luas areal RKT IUPHHK
5
PHBMA
4 5
36,502,447
28,573,438
617,520
Peningkatan Serapan Karbon Hutan
Restorasi Ekosistem Hutan Restorasi Ekosistem Hutan
142,867,188
16.991
104,447,161
12.422
85,719,757
10.195
3,087,600
518,633,943
518,633,943
0.367
61.681
61.681
12,907,840 12,907,840
1.535 1.535
1,137,503 1,137,503
0.135 0.135
5,687,517 5,687,517
0.676 0.676
0.153 0.153
863,960 863,960
0.103 0.103
860,523 860,523
0.102 0.102
6,452,160 6,452,160
0.767 0.767
4,319,800 4,319,800
0.514 0.514
4,302,613 4,302,613
0.512 0.512
6,733,986 6,733,986
0.801 0.801
33,669,930 33,669,930
4.004 4.004
110,460,774.00 110,460,774.00
13.137 13.137
552,303,873.00 552,303,873.00
65.686 65.686
Sub Sub Total Total IIII
1: HISTORICAL
21.706
0.307 0.307
HutanTanaman Tanaman Rakyat Hutan Rakyat JUMLAH JUMLAH
182,512,237
2,581,568 2,581,568 1,290,432 1,290,432
Pelaksanaan HKm Pelaksanaan HKm
1: 2: 3: 4:
12.336
Peningkatan Serapan Karbon Hutan
Rehabilitasi Hutan Lahan Rehabilitasi Hutan dandan Lahan
5 5
0.073
12.336
103,726,788
Pembangunan HTI Pembangunan HTI
3 3 4 4
2.039
103,726,788
Sub Total I
1 1 2 2
3.398
2.484
17,143,951
Sub Total I
II
4.341
20,889,432
PHBMA
II
%
4.341
3
3
ton CO2-Eq
36,502,447
Pencegahan Perambahan Hutan
2
Skenario Optimis% ton CO2-Eq
ton CO2-Eq % Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan
2: FORWARD LOOKING
3: Skenario Pesimis
4: Skenario Optimis
900000000
2 3 1 1: 2: 3: 4:
2 450000000 1
1
1: 2: 3: 4: Page 1
3
1 0
2006.00
2
3
2
3
4
4
4
4
2009.50
2013.00 Y ears
2016.50
2020.00
6:50 PM Wed, Apr 24, 2013
Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+ Provinsi Papua Rencana Aksi Provinsi (SRAP) pada Papua tahun dalam Implementasi REDD+13,137%7 di atas, Strategi target dan penurunan emisi sampai 2020 mencapai
Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+ Provinsi Papua di atas, target penurunan emisi sampai pada tahun 2020 mencapai 13,137% pada skenario pesimis dan 65,686% pada skenario optimis dengan asumsi bahwa semua skenario aksi mitigasi terpilih didukung dengan komitmen penuh seluruh stakeholders, terimplementasi secara konsisten sesuai skenario dan kondisi pemungkin dapat dikendalikan dan diintegrasikan dengan baik.
8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
KATA PENGANTAR Atas berkat karya dan karsa Tuhan Yang Maha Kuasa, karsa yang dianugerahkan kepada kita semua sehingga dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua mampu diselesaikan sesuai dengan target waktu dan substansi yang disyaratkan. Pujian dan syukur yang patut kita naikan kepada Sang Pencipta kita. Dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua disusun secara partisipatif melibatkan berbagai Stakeholders di tingkat Provinsi dan kebupaten serta diasistensi oleh Tim SRANAS REDD+ sebagai Tim Pengarah. Proses penyusunannya melalui beberapa tahapan dan hasil dari setiap tahapan menjadi dasar dalam penyusunan dokumen tahap selanjutnya. Dengan proses demikian diharapkan substansi dokumen bersifat dinamis dan fleksibel. Sifat dinamis dan fleksibilitas dokumen demikian dimungkinkan karena : (1) Bentuk, tata kelola, dan mekanisme REDD+ di tingkat Internasional belum dapat dipastikan; (2) strategi dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun dan struktur kelembagaan serta tugas pokok dan fungsinya belum jelas; dan (3) data dan informasi yang digunakan dalam menyusun dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua masih terbatas, sehingga memerlukan klarifikasi Stakeholders. Berbagai kendala yang dihadapi dalam proses penyusunan dokumen ini bukan berarti bahwa substansi dari dokumen ini belum dapat digunakan sebagai arah dan pedoman dalam mengimplementasikan berbagai strategi aksi mitigasi penurunan emisi dan peningkatan serapan karbon hutan dan lahan di Provinsi ini. Strategi aksi mitigasi dan skenario mitigasi yang direncanakan telah dapat diimplementasikan dalam bentuk pilot project disetiap tapak prioritas terpilih. Untuk itu, dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua ini digunakan sebagai ramburambu untuk memantapkan implementasi berbagai strategi aksi mitigasi sektor kehutanan dan lahan, sehingga pada saatnya nanti dapat diperoleh strategi aksi mitigasi yang mantap dengan kelembagaan tatakelola, MRV dan skema pendanaan REDD+ yang lebih sesuai dengan kebutuhan Lokal, Regional, Nasional, dan Internasional. Substansi Dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat terdiri atas (1) Pendahuluan, (2) Gambaran Umum Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua Barat, (3) Visi-Misi, Isu dan Strategi Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua, (4) Landasan Spesifik SRAP-REDD+ Provinsi Papua, (5) Pendekatan Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring (MRV), (6) Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua, (7) Penutup. Tersusunnya dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak, baik dari Lembaga Pemerintah, Lembaga non Pemerintah, Akademisi dan Masyarakat Adat. Atas segala kontribusi waktu, tenaga, pikiran dan pendanaan yang telah diberikan oleh berbagai pihak, kami sampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
9
Akhirnya kami sangat menyadari masih banyak kekurangan substansi dan sesuai dengan sifat kedinamisan dan fleksibilitas dari dokumen ini, maka saran, kritik serta ide kreatif dari semua pihak demi penyempurnaan masih sangat dibutuhkan. Semoga dokumen ini dapat bermanfaat dalam mendukung seluruh program pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi Papua. Jayapura, April 2013
Penyusun
10
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Daftar Isi Kata Pengantar Gubernur Papua............................................................................................................................ 3 RINGKASAN EKSEKUTIF.................................................................................................................................................. 5 KATA PENGANTAR (Penulis)......................................................................................................................................... 9 DAFTAR ISI................................................................................................................................................................................. 11 DAFTAR TABEL........................................................................................................................................................................ 13 DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................................................. 14 BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................................................................................... 17 1.1.Latar Belakang........................................................................................................................................................ 17 1.2.Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK......................................................................................................... 18 1.3.Dasar Hukum........................................................................................................................................................... 19 1.4.Sistematika Penulisan......................................................................................................................................... 20 1.5.Metodologi Pengumpulan data.................................................................................................................. 21 1.6.Proses Penyusunan Dokumen...................................................................................................................... 21 BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA......... 23 2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua................................................................................................. 23 2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua...................................................................... 26 2.3. Kondisi Demografi dan Dampaknya Terhadap Hutan Papua.................................................. 32 2.4. Permasalahan Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Papua....................................... 38 BAB III. VISI, MISI, ISU DAN STRATEGI IMPLEMENTASI REDD+ DI PROVINSI PAPUA........ 41 3.1. Visi dan Misi............................................................................................................................................................. 41 3.2. Maksud dan Tujuan............................................................................................................................................ 41 3.3. Isu dan Strategi REDD+.................................................................................................................................... 42 BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA........................................................... 45 4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua................................................. 45 4.2. Identifikasi Akar Masalah dan Isu Utama.............................................................................................. 46 4.3. Prioritas Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua.................................................................... 47 4.4. Kesiapan Provinsi Papua dalam Implementasi REDD+................................................................ 48 BAB V. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING........................................................................................................................................................................... 51 BAB VI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA............ 61 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua................................................................................................ 61
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
11
6.2. Rencana Aksi Mitigasi di Provinsi Papua........................................................................................................... 67 6.3. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition)......................................................................................................... 96 BAB VII. PENUTUP................................................................................................................................................................ 101 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................................................ 102 DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................................................................................... 103 TERMINOLOGI......................................................................................................................................................................... 104
12
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Daftar Gambar & Tabel Daftar Tabel Tabel 2.1. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Provinsi Papua ......................... 24 Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua ..................................................................................................................................................................... 27 Tabel 2.3. Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten/kota dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua .......................................................................................................................................................................... 28 Tabel 2.4. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua ..................................................................................... 29 Tabel 2.5. Kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan degradasi selama periode tahun 2006-2011 ........................................................................................................ 29 Tabel 2.6. Luas deforestasi, degradasi dan perubahan tutupan lahan lain di Provinsi Papua sebagai sumber emisi pada setiap fungsi kawasan ......................................................................................... 32 Tabel 2.7. Jumlah penduduk asli papua dan non papua di Provinsi Papua berdasarkan kabupaten/kota pada Tahun 2010 .............................................................................................................................. 34 Tabel 2.8. Sebaran kampung berdasarkan kawasan hutan dan tipe hutan ...................................... 35 Tabel 2.9. Luas areal pemukiman transmigrasi yang telah dimanfaatkan dan sisa areal yang belum dimanfaatkan ............................................................................................................................................................ 37 Tabel 5.1. Pembagian kategori hutan Indonesia ke dalam IPCC Guideline ....................................... 54 Tabel 5.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK sektor kehutanan menurut IPCC Guideline 2006. .............................................................................................................. 56 Tabel 5.3. Total Stok Karbon (Above Ground Biomass) Provinsi Papua periode 2006-2021 ....... 57 Tabel 5.4. Tujuan, output, outcome dan indikator REDD+ pada unit pengelolaan hutan (Modifikasi dari UNEP, 2009 dalam Purbawiyatna, 2012) ............................................................................... 58 Tabel 6.1. Perbandingan Net emisi Provinsi Papua periode tahun 2006-2021 berdasarkan tipe kawasan hutan .............................................................................................................................................................. 62 Tabel 6.2. Net emisi (ton CO2-Eq) di Provinsi Papua berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi ............................................................................................................................................................................ 63 Tabel 6.3. Persentase (%) Net emisi (ton CO2-Eq) berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi terhadap Net emisi total di Provinsi Papua ............................................................................................... 64 Tabel 6.4. Rata-rata perubahan tutupan lahan tiap tahun di Provinsi Papua selama periode tahun 2006-2011 .................................................................................................................................................................... 65 Tabel 6.5. Ranking 10 besar penyebab deforestasi di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 ................................................................................................................................................................................... 65 Tabel 6.6. Ranking 10 besar penyebab degradasi hutan di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 .................................................................................................................................................................... 66 Tabel 6.7. Peningkatan pengurangan emisi gas CO2 berdasarkan kelompok aksi mitigasi di Provinsi Papua ..................................................................................................................................................................... 68
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
13
Tabel 6.8. Kontribusi aksi mitigasi terhadap penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua ..... 69 Tabel 6.9. Aktor dan perannya dalam kegiatan RHL ......................................................................................... 70 Tabel 6.10. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Provinsi Papua ............................................ 71 Tabel 6.11. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTR ....................................................................... 72 Tabel 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua ...................... 73 Tabel 6.13. Aktor dan perannya dalam pembangunan HKm ..................................................................... 75 Tabel 6.14. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua ....................................................... 76 Tabel 6.15. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTI ......................................................................... 76 Tabel 6.16. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua ..................... 77 Tabel 6.17. Aktor dan perannya dalam kegiatan REH ...................................................................................... 78 Tabel 6.18. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua .................................................. 79 Tabel 6.19. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam pencegahan ................................. 81 Tabel 6.20. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pengurangan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemegang IUPHHK di Provinsi Papua .......................................................................................................................................................................... 84 Tabel 6.21. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua ....................... 86 Tabel 6.22.Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua ............................................................ 87 Tabel 6.23. Aktor dan perannya dalam PHBMA (Hutan Desa) .................................................................... 88 Tabel 6.24. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua .......... 89 Tabel 6.25. Matriks rencana aksi Provinsi Papua dalam rangka implementasi REDD+ ............... 90 Daftar Gambar Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi Papua ............... 22 Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua .... 26 Gambar 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi Papua, 2010 ................. 27 Gambar 2.3. Kegiatan Penebangan liar dan bentuk kerusakan hutan yang terjadi di Cagar Alam Biak Utara pada ruas jalan Biak-Sorendiweri, (Foto oleh :Alfred Antoh, Desember 2011) .................. 30 Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman Nasional Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012) ............................................................................................................ 30
14
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Gambar 2.5. Pembangunan Jalan dan Jembatan di Sarmi (Foto :Alfred Antoh, Oktober 2012) .... 31 Gambar 2.6. Distribusi Penduduk Papua berdasarkan tingkat kepadatan (BPS Prov Papua, 2010) ...... 33 Gambar 2.7 . Tingkat Kepadatan penduduk Provinsi Papua (BPS Papua, 2010) ............................... 33 Gambar 2.8. Laju Pertumbuhan Penduduk Papua tahun 2000-2010 (BPS Papua, 2010) ............ 34 Gambar 2.9. Peta sebaran kampung menurut kawasan hutan dan perairan di Provinsi Papua (RTRW Provinsi Papua, 2012) .............................................................................................................................. 36 Gambar 2.10. Potret pemicu deforestasi dan degradasi hutan di Papua: Aktivitas HPH, Pembangunan sarana fisik pemerintahan “bangungan kantor” dan pembangunan jalan untuk menghubungkan kampung-kampung di kabupaten pemekaran, Mamberamo Raya ...... 39 Gambar 5.1. Pendekatan IPCC untuk menghitung emisi GRK antropogenik dengan emisi dan serapan pada simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDD Programme 2011) ..... 52 Gambar 5.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam Sistem MRV untuk penerapan REDD+ ................................................................................................................................................................. 53 Gambar 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua ........................................................................... 61 Gambar 6.2. Kontribusi aksi mitigasi Provinsi Papua tehadap penurunan emisi ............................ 68 Gambar 6.3. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Papua .................................................................................................... 71 Gambar 6.4. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua .............................................................. 73 Gambar 6.5. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua ............................................................................................... 75 Gambar 6.6. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua ............................................................. 77 Gambar 6.7. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua .......................................................................................... 79 Gambar 6.8. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan perambahan hutan di Provinsi Papua ......................................................................................... 81 Gambar 6.9. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi penurunan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHK di Provinsi Papua ......................................... 83 Gambar 6.10. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua .................................................................. 84 Gambar 6.11. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua ................................................................................................... 87 Gambar 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua ....................................... 89
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
15
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukkan bahwa pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 594.661 ha (148.665 ha/thn). Sedangkan pada periode 2006 - 2009 terjadi deforestasi hutan seluas 728.416 ha (182.104 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/ thn). Sekalipun proses deforestasi dan degradasi hutan di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun, namun faktor penyebab utama deforestasi hutan belum dapat diidentifikasi secara pasti apakah disebabkan oleh alih fungsi hutan atau oleh perambahan hutan secara illegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan) global yang saat ini lagi hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Pemanasan global terjadi sebagai akibat peningkatan suhu bumi yang mencapai 0.6º C dalam satu dekade terakhir. Pemanasan global ini menjadi pemicu perubahan iklim dunia yang ekstrim, sehingga berdampak lanjut terhadap perubahan menyeluruh terhadap ekosistem dunia. Faktor utama yang menyebabkan pemanasan global adalah peningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, yaitu karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan N2O. Ketiga faktor GRK tersebut menyebabkan emisi CO2 di atmosfir meningkat dua kali lipat dari 1400 juta ton/ tahun menjadi 2900 ton/tahun (Betha L. et al., 2001). Meningkatnya emisi CO2 di atmosfir menyebabkan terbentuknya lapisan kedap panas, sehingga suhu permukaan bumi meningkat tajam kembali dan tidak dapat dibaurkan ke atmosfer. Peran hutan hutan sebagai pengendali iklim mikro dan sekaligus sebagai penyangga kehidupan belum memperoleh perhatian yang memadai dari aspek finansial baik di dalam mekanisme penganggaran yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam sistem pasar terhadap produk dan jasa hutan. Berdasarkan Refence Emission Level (REL) untuk kategori Provinsi, Provinsi Papua bersama dengan Provinsi Kalimantan Tengah diprediksi memiliki stok (cadangan) karbon lebih dari 1.000 Mega Ton hingga tahun 2020. Pada sisi lain, kedua provinsi ini juga diduga memiliki tingkat emisi carbon yang cukup besar jika laju degradasi dan deforestasi hutan tidak mampu dikendalikan sampai pada tingkat minimum (Budiarto, 2009). Konsep REDD (Reduced Emission From Deforestation and Degradation) dimulai ketika konsep Clean Development Mechanism (CDM) diluncurkan sebagai salah satu produk Protokol dinilai belum mampu menjawab tantangan negara-negara berkembang atas kepemilikan hutan tropis terbesar di dunia. Kemudian dimunculkan konsep REDD pada pertemuan COP (Conference of Parties) 13 di Bali yang dinilai lebih lebih aplikatif. REDD adalah proposal reduksi emisi gas rumah kaca melalui upaya mencegahan terhadap deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Ide dasarnya sederhana; hutan adalah sarana paling efektif menyerap emisi GRK dengan cara mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi. Negara-negara maju terikat kewajiban
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
17
menurunkan emisinya dengan cara membantu pendanaan bagi Negara berkembang yang mampu mengurangi laju deforetasi dan degradasi hutan. Oleh sebab itu Pemerintah melalui President RI berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan menggunakan pendanaan pemerintah dan 41% dengan bantuan dana Internasional. Penurunan emisi tersebut lebih dititikberatkan pada perubahan tutupan lahan yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Selain itu dilakukan upaya peningkatan kemampuan hutan untuk menyerap CO2 di atmosfer melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Komitmen ini melahirkan usulan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik ditingkat pusat maupun di tingkat Provinsi. Lahirnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca mendorong lahirnya Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK yang dibentuk di Provinsi. Selanjutnya, Satuan Tugas Nasional REDD+ dan UKP4 melakukan konsolidasi membangun komitmen bahwa 11 provinsi prioritas perlu menyusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ untuk mengurangi emisi yang diakibatkan oleh Deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di wilayah provinsi. 1.2. Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK Deforestasi terjadi sebagai akibat penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak terkendali. Dilakukan dengan cara menebang, membakar, atau mengalihkan fungsi hutan menjadi bukan hutan (seperti lahan pertanian, perkebunan, peternakan, permukiman, dan pertambangan). Degradasi hutan merupakan penurunan kualitas dan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Degradasi ditandai dengan menurunnya kualitas hutan sehingga tidak sesuai lagi dengan fungsi peruntukannya. Akibat langsung deforestasi dan degradasi hutan adalah hilangnya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam hutan, berupa punahnya satwa maupun tanaman yang berkhasiat yang dibutuhkan oleh manusia. Deforestasi dan degradasi hutan juga dapat menghilangkan nilai jasa hutan seperti pengatur tata air, pencegah bahaya banjir dan erosi, pengaturan iklim mikro, penyedia udara bersih serta penyerapan carbon. Dampak kumulatif terburuk dari kerusakan hutan adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrim. Dampak ini telah dirasakan saat ini dimana cuaca berubah secara ekstrim dan perubahan cuaca ini telah mengakibatkan perubahan musim yang tidak teratur. Cuaca dan musim yang tidak teratur ini akan berdampak terhadap perkembangan populasi hama tanaman pertanian yang tidak terkendali yang disertai dengan perubahan sifat resistensi yang tinggi terhadap upaya pemberatasan hama secara kimiawi. Meningkatnya intensitas kegiatan manusia setelah era pra-industri telah mempercepat laju emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca (GRK) utama yang menyumbang sekitar 77% dari total emisi gas rumah kaca di dunia. Sisanya berasal dari gas metan (14%) dan nitrogen oksida (8%), sebagian kecil (1%) berasal dari gas-gas yang mengandung floor (SF6, PFCS, DAN HFCS). Sejak awal revolusi industri, konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat sekitar 35 %. Sumber emisi utama ialah berasal dari pembakaran bahan bakar fosil kemudian penggunaan lahan, alih guna lahan dan hutan (Land Use, Land Use and Change Forestry, LULUCF) yaitu masing-masing sebesar 67% dan 33%. Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian secara sistematis oleh semua pihak terutama oleh instansi teknis terkait sektor hutan, lahan gambut dan pertanian, maka laju peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer akan berlangsung dengan cepat dengan konsentrasi yang tinggi. Tingginya konsentrasi GRK di atmosfir akan menghambat
18
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
rambahan panas yang bersumber dari permukaan bumi (biosfer). Akibatnya suhu permukaan bumi meningkat dan akhirnya mengganggu iklim secara global, dan inilah yang dikenal dengan efek rumah kaca (pemanasan global). Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) adalah sebuah pilihan pembangunan ekonomi yang strategis bagi Indonesia dalam rangka mewujudkan komitmen Pemerintah RI untuk melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mentransisikan perekonomian Indonesia menjadi ekonomi rendah karbon atau ekonomi hijau. Program REDD+ adalah bagian dari upaya pengurangan emisi GRK dari sektor LULUCF yang mencakup keseluruhan akitifitas pembangunan ekonomi berbasis lahan. Sektor ini menyumbang sekitar 75 % dari total emisi GRK Indonesia. Disamping biaya penurunan emisi dari sektor ini relatif murah dibanding sektor-sektor lain. Pada sisi lain, Indonesia memiliki urgensi untuk menurunkan emisi dari LULUCF, karena Indonesia adalah Negara berkembang yang pembangunan ekonominya berbasiskan sumberdaya alam dalam arti luas. Penurunan produksi pangan dan meningkatnya bencana alam akibat pergeseran pola dan intensitas musim adalah dampak perubahan iklim yang mulai dirasakan. REDD+ merupakan sebuah pilihan strategi pembangunan ekonomi yang positif dalam transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia, terutama provinsi Papua, memiliki potensi hutan yang relative masih baik sebagai modal dasar untuk mengembangkan ekonomi rendah karbon. Emisi dari LULUCF Indonesia bersumber pada deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Karena itu SRAP REDD+ diletakkan pada upaya pembenahan tata kelola sektor kehutanan dan lahan gambut dengan tujuan utama mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Sebagai negara berkembang dengan tutupan hutan tropis seluas 136,8 juta Ha (RKTN, 2010), Indonesia tidak hanya dapat memperoleh manfaat finansial dari skema REDD+ tetapi juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membenahi tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pemerintah sebagai pemangku kawasan yang memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan tata kelola, penyusunan regulasi dan memiliki sumberdaya untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan yang lain mempersiapkan dan menciptakan prakondisi yang memadai agar program-program dapat diimplementasikan secara efektif. 1.3. Dasar Hukum Landasan hukum dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ di Provinsi Papua sebagai berikut: 1. Landasan konstitusional Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang sudah diamandemen; 2. Landasan Operasional, terdiri dari : a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); b. Undang – undang 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan c. Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus Nomor 21 Tahun tentang Pemberlakuan Daerah khusus Provinsi Papua;
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
19
d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2009 tentang Penyerapan Karbon e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) ; f. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca ; g. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas REDD; h. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 64 tahun 2010 Tentang pembentukan kelompok Kerja Hutan dan Perubahan iklim. 1.4. Sistematika Penulisan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ di Provinsi Papua disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK 1.3. Dasar Hukum 1.4. Sistematika Penulisan 1.5. Metodologi Pengumpulan data 1.6. Proses Penyusunan Dokumen BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA 2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua 2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua 2.3. Kondisi Demografi dan Dampaknya Terhadap Hutan Papua 2.4. Permasalahan Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Papua BAB III. VISI, MISI, ISU DAN STRATEGI IMPLEMENTASI REDD+ DI PROVINSI PAPUA 3.1. Visi dan Misi 3.2. Maksud dan Tujuan 3.3. Isu dan Strategi Implementasi BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua 4.2. Identifikasi Akar Masalah dan Isu Utama 4.3. Prioritas Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua 4.4. Kesiapan Provinsi Papua dalam Implementasi REDD+ BAB V. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING
20
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
BAB VI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua 6.2. Rencana Aksi Mitigasi di Provinsi Papua 6.3. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) BAB VII. PENUTUP 1.5. Metode Pengumpulan Data Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data-data penyusunan SRAP REDD+ Papua adalah studi pustaka (Penelusuran Data Sekunder) yang bersumber dari dokumen-dokumen yang tersedia di Intansi terkait baik di tingkat Provinsi maupun di Tingkat Kabupaten/kota. Dokumen-dokumen dapat berupa peta-peta, dokumen perencanaan, laporan hasil penelitian dan laporan tahunan. Disamping dokumen-dokumen tersebut dikumpulkan pula data-tada parsial yang tercatat di setiap instansi baik dalam bentuk file elektronik. Selain data-data yang bersumber dari dokumen tersebut di atas, dikumpulkan pula data-data kualitatif terkait dengan kebijakan pemerintah dan komitmen parapihak yang diperoleh melalui wawancara maupun melalui diskusi terfokus, baik secara individu maupun kelompok. Wawancara individu dilakukan terutama kepada pimpinan daerah, pimpinan instansi/SKPD terkait dan wawancara kelompok dengan teknik FGD (Focus Group Discussion). Untuk verifikasi terhadap data-data spesifik tertentu dilakukan observasi lapangan guna klarifikasi dan validasi data dengan menggunakan indikator-indikator lapangan. Data kuantitatif dan kualitatif tersebut kemudian dideskripsikan dan diorganisasi sesuai sifat dan urgensi datanya yang selanjutnya dianalisis guna memperoleh fakta dan permasalahan yang terkait dengan hutan dan lahan gambut serta pengelolaan dan pemanfatannya. 1.6. Proses Penyusunan Dokumen Dokumen SRAP-REDD+ Papua dilakukan melalui serangkaian pendekatan partisipatif yang dilakukan secara bertahap. Tujuan pendekatan demikian adalah agar semua stakeholders dapat berkonstribusi dalam bentuk pemikiran sehingga substansi dokumen mampu menjaring aspirasi seluruh stakeholders dan menjadi kesepahaman bersama. Harapannya bahwa dokumen SRAP-REDD+ Papua yang dihasilkan adalah milik bersama dan menjadi tanggungjawab bersama untuk mengimplementasikannya. Tahapan proses penyusunan Dokumen SRAP-REDD+ di Papua disajikan dalam bagan alir Gambar 1.1.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
21
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Tahapan proses penyusunan Dokumen SRAP-REDD+ di Papua disajikan dalan bagan alir Gambar 1.1.
Konsultasi/FGD di Provinsi Papua tentang kebutuhan pengembangan strategi daerah dan rencana aksi mitigasi untuk pembangunan rendah karbon
Mengumpulkan dan menganalisa potretsektor potret sektorkehutanan kehutanandan danlahan lahan di Provinsi Papua berdasarkan data
Analisis dan sintesis masalah terkait degradasi dan deforestasi hutan dan lahan di Provinsi Papua
Telaah dokumen dan sinkronisasi dengan STRANAS REDD+
Draft ‘0’ Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
FINAL DOKUMEN SRAP REDD+ Provinsi Papua
Pendahuluan Maksud dan tujuan Ruang lingkup Pilar-pilar strategis Analisis emisi dari sektor kehutanan dan lahan Rencana aksi mitigasi
Lokakarya Diskusi dan konsultasi Provinsi Draft ‘1’ SRAP REDD+ Provinsi Papua
Lokakarya Diskusi dan konsultasi Provinsi Draft ‘0’ SRAP REDD+ Provinsi Papua
Draft ‘1’ Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendahuluan Maksud dan tujuan Ruang lingkup Pilar-pilar strategis Analisis emisi dari sektor kehutanan dan lahan Rencana aksi mitigasi bersama dengan skenario penurunan emisi
Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi Papua. Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi Papua.
Pendahuluan
22
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
I-9
BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA 2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua Kebijakan pengelolaan sumber daya hutan diarahkan untuk meningkatkan kelestarian sumber daya hutan dan kemakmuran masyarakat. Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan Papua dinilai telah memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional dan telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja serta mendorong pembukaan isolasi dan pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur pada kawasan terisolir serta mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan kehutanan di Provinsi Papua maka salah satu aspek penentu keberhasilan yang perlu mendapat perhatian adalah tersedianya suatu rencana yang sistematis dan berkelanjutan dengan memanfaatkan segenap sumber daya tersedia yang bersifat indikatif dan antisipatif serta dapat diukur tingkat keberhasilannya dalam rangka menjawab tuntutan perkembangan baik dalam lingkungan internal maupun eksternal. Hutan merupakan modal dasar pembangunan, mempunyai fungsi : 1) fungsi ekologis atau fungsi penyangga kehidupan, mencakup fungsi pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem; 2) fungsi ekonomi, mencakup penghasil barang dan jasa baik kayu, non kayu, maupun kepariwisataan serta jasa lingkungan lain; 3) fungsi sosial, mencakup fungsi sosio-kultural mencakup berbagai sumber kehidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berupaya bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, kepentingan pendidikan dan penelitian, guna pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS), bahkan tempat pemujaan (religius). Hakekat pembangunan di Provinsi Papua bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang semakin baik dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan Papua di masa yang akan datang. Kongkritnya bahwa kesinambungan pembangunan harus dapat diwujudkan melalui program-program pembangunan yang bersifat strategis, sinergis dan berpihak kepada rakyat serta mengandung prinsip-prinsip keberlanjutan (principles of sustainability). Ditinjau dari aspek pemanfaatan sumberdaya hutan, laju kerusakan hutan (deforestasi) dan penurunan kualitas hutan Provinsi Papua (degradasi) setiap tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia akan hasil hutan. Peningkatan kebutuhan manusia akan hasil hutan mendorong peningkatan kegiatan eksploitasi hutan. Pengelolaan hutan produksi di Provinsi Papua melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) telah berlangsung sejak tahun 1970an dan hingga sekarang areal hutan produksi (HP, HPT dan HPK) yang telah dibebani hak IUPHHK seluas 4.387.508 ha yang tersebar di 17 kabupaten. Areal konsesi IUPHHK ini potensial menyebabkan terjadinya degradasi hutan dan merupakan sumber emisi bila pengawasan terhadap implementasi system silvikultur dan tata kelola usaha tidak dilakukan secara intensif.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
23
Tabel 2.1. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Provinsi Papua SK HPH / IUPHHK
KABUPATEN / PEMEGANG IUPHHK
NOMOR
TGL
LUAS (HA)
1
2
3
4
5
I
KAB JAYAPURA DAN KABUPATEN SARMI
1
PT. Tunggal Yudhi Unit I (Jpr)
489/Kpts-II/95
14 Sep 95
NO
JUMLAH I
II
KABUPATEN KEEROM
2
PT. Batasan
3
PT. Hanurata Coy. Ltd Jayapura
III
KABUPATEN SARMI
4
PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II
5
69,400
KETERANGAN
7
Stagnasi sejak 2003
69,400
342/Kpts-II/97
01 Jun 97
601/Menhut-II/2012
30 Oktober 2012
JUMLAH II
106,643
Aktif
56,325
SK PERPANJANGAN IUPHHK
162,968
723/Menhut-II/2011
12/20/2011
169,170
Aktif
PT. Bina Balantak Utama
SK. 365/MenhutII/2011
07 Juli 2011
298,710
Aktif
6
PT. Mondialindo Setya Pratama
SK.466/MENHUTII/2006
19 Sept 2006
94,800
Aktif
7
PT. Sumber Mitra Jaya Unit II
SK.556/MENHUTII/2006
22 Des 2006
52,160
Aktif
8
PT. Salaki Mandiri Sejahtera
SK. 396/MenhutII/2006
17 Juli 2006
79,130
Aktif
IV
KABUPATEN SARMI DAN JAYAPURA
9
PT. Papua Hutan Lestari Makmur
10
PT. Sumber Mitra Jaya Unit I
JUMLAH III
693,970
334/Menhut-II/2009
15 Januari 2009
103,510
Aktif
SK.396/MENHUTII/2005
23 Nop 05
102,250
Aktif
JUMLAH IV
V
KABUPATEN WAROPEN
11
PT. Irmasulindo Unit Serui
205,760
04/Kpts-II/2001
11 Jan 01
JUMLAH V
VI
KABUPATEN WAROPEN, PANIAI DAN MAMBERAMO RAYA
12
PT. Wapoga Mutiara Timber Unit III
VII
KABUPATEN NABIRE
13
PT. Jati Dharma Indah PI
169/Kpts-II/97
25 Mar 97
JUMLAH VI
407,350
Aktif
96/Kpts-II/97
31 Jan 97
163,930
Aktif
163,930
KABUPATEN MIMIKA
14
PT. Diadyani Timber
15
PT. Alas Tirta Kencana
IX
KABUPATEN ASMAT, YAHUKIMO DAN MAPPI
16
PT. Kayu Pusaka Bumi Makmur
SK.292/MENHUT-II/09
18 Mei 2009
205,160
Aktif
649/Kpts-II/95
30 Nop 95
87,500
Aktif
JUMLAH VIII
292,660
70/Kpts-II/96
26 Peb 96
JUMLAH IX
X
KABUPATEN MAPPI DAN BOVEN DIGOEL
17
PT. Mukti Artha Yoga
24
Aktif
407,350
JUMLAH VII
VIII
174,540 174,540
171,100
Stagnasi Sejak 2011
171,100
SK.57MENHUT-II/2007
22 Peb 2007
151,690
Mengurus RKU Basis IHMB di Pusat
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
JUMLAH X
XI
KABUPATEN BOVEN DIGOEL DAN PEG. BINTANG
18
PT. Tunggal Yudhi Unit II (Mrk)
XII
KABUPATEN BOVEN DIGOEL
19
PT. Dharmali Mahkota Timber
20
151,690
489/Kpts-II/95
14 Sep 95
203,600
JUMLAH XI
Stagnasi sejak 2002
203,600
248/Kpts-II/94
07 Jun 94
156,800
Stagnasi
PT. Tunas Sawaerma/Tunas Timber Lestari
SK.101/MenhutII/2009
12 Maret 2009
214,935
Aktif
21
PT. Digul Daya Sakti Unit I
614/Kpts-II/95 Jo. 354/ Kpts-II/1997
15 Nop 95 Jo. 9 Juli 1997
344,800
Pelaksanaan IHMB
22
PT. Digul Daya Sakti Unit II
614/Kpts-II/95 Jo. 354/ Kpts-II/1997
15 Nop 95 Jo. 9 Juli 1997
103,200
Pelaksanaan IHMB
XIII
KABUPATEN YAHUKIMO, MAPPI & BOVEN DIGOEL
23
PT. Rimba Megah Lestari
JUMLAH XII
819,735
303/Kpts-II/96
18 Jun 96
250,000
JUMLAH XIII
XIV
KABUPATEN YAHUKIMO,ASMAT & NDUGA
24
PT. Global Partner Indonesia
XV
KABUPATEN MERAUKE DAN BOVEN DIGOEL
25
PT. Merauke Rayon Jaya
XVI
KABUPATEN MERAUKE
26
PT. Selaras Inti Semesta
27
PT. Inocin Abadi
SK.39/Menhut-II/2009
09 Pebruari 2009
144,940
JUMLAH XIV
Belum Beroperasi
144,940
05/Kpts-II/98 Jo SK.251/Menhut-II/08
1 Juli 2008
206,800
JUMLAH XV
Belum Operasi
206,800
SK.18/Menhut-II/2009
22 Januari 2009
169,400
Aktif
SK. 606/MenhutII/2011
21 Oktober 2011
99,665
Aktif
JUMLAH XVII TOTAL
Stagnasi 2008
250,000
269,065 4,387,508
Sumber: Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 2012 Luas hutan Papua sesuai perhitungan terakhir adalah 31.228.696 Ha. Apabila Tata Hutan berdasarkan fungsi peruntukannya di Papua ditumpang susun (overlay) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pembangunan (RTRWP) terhadap tutupan lahan tahun 2006 – 2011, maka akan dijumpai fakta sebagai berikut: Areal Penggunaan Lain (APL) bertambah 401.975 ha (+47,7%), Hutan Lindung bertambah 3.151.028 ha (+43.8%), Hutan Produksi berkurang 4.960.251 ha (-60%), HPK bekurang 2.847.146 ha (-43.9%), HPT bertambah 4.338.821 ha (+237.7%), KSA/KPA bertambah 312.225 ha (+4.4%). Fakta ini mengindikasikan bahwa pemerintah Papua benarbenar berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan yang konservatif dan berwawasan lingkungan. Namun demikian sempitnya alokasi hutan untuk fungsi produksi dan hutan produksi konversi masih perlu diperdebatkan. Karena kebutuhan pembangunan yang bersumber dari hasil hutan dan lahan untuk kepentingan infrastruktur wilayah semakin hari semakin meningkat, ketersediaan areal hutan untuk produksi dan untuk dikonversi kemungkinan tidak mampu mengimbangi tuntutan peningkatan kebutuhan pembangunan sesuai dengan yang diharapkan.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
25
untuk kepentingan infrastruktur wilayah semakin hari semakin meningkat, ketersediaan areal hutan untuk produksi dan untuk dikonversi kemungkinan tidak mampu mengimbangi tuntutan peningkatan kebutuhan pembangunan sesuai dengan yang diharapkan.
Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang RencanaRencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi(RTRW) Papua. Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua. 2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia secara umum disebabkan sistem kebijakan politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan bagi kepentingan politik dan keuntungan pribadi (FWI/ GFW, 2001). Undang-undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 memberi makna yang besar guna II-4 mampu memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Implementasi Otsus juga telah memunculkan eforia berlebihan terutama dari aspek tuntutan pemekaran wilayah kabupaten/kota yang berlebihan dengan harapan untuk memperoleh keadilan dan pemerataan pembangunan. Tuntutan pemekaran akan berdampak langsung pada meningkatnya kebutuhan lahan untuk infrastruktur pembangunan yang pada akhirnya akan berimplikasi pada meningkatnya luas kawasan hutan yang akan dikonversi bagi kepentingan non hutan.
Kondisi dan Umum dan Permasalahan Kehutanan di Provinsi Papua
Greenpeace mencatat laju kerusakan hutan di Bumi Cenderawasih tiap tahun mencapai 300 ribu hektare (ha). Kerusakan terparah di bagian selatan Papua dan sejumlah wilayah yang memiliki perkebunan sawit raksasa. Itu data kita pada penelitian tahun 2009 dan 2010. Kerusakan hutan setelah itu bisa saja bertambah,” kata Charles Tawaru, Koordinator Greenpeace di Papua, Jumat, 10 Agustus 2012. Ia mengatakan, mega proyek Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke serta aktivitas penebangan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, berperan besar meningkatkan deforestasi di Papua.
26
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
4500000 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 Sangat Kritis
Kritis
Agak Kritis
Potensi Kritis
Gambar 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi Papua, 2010
Gambar Menurut 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua yang dikeluarkan oleh Papua, 2010 Provinsi Papua Tahun 2010 menunjukkan bahwa angka deforestasi Dinas Kehutanan dan Konservasi di dalam dan diluar kawasan hutan seluas 169.100 hektar/tahun. Selanjutnya menurut sumber yang sama bahwa lahan kritis di Provinsi Papua mencapai 4.976.051 hektar. Tingkat kekritisan kawasan Sebaran luas tidakterlihat produktif di masing-masing hutan di Provinsi Papualahan sebagaimana pada histogram pada Gambar 2.2. kabupaten
menurut Sebaran tingkatluaskekritisan lahan didimasing-masing Provinsi kabupaten Papua menurut sepertitingkat disajikan lahan tidak produktif kekritisan di Provinsi pada lahan Tabel 2.2. Papua seperti disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan tingkat kekritisan di
Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan Provinsi Papua tingkat kekritisan di Provinsi Papua No 1 2 3 4 5 6
Luas Lahan Kritis di Provinsi Papua (Ha) Luas Lahan Kritis di Provinsi Papua (Ha) SK K AK PK Jumlah SK 25,383 K 97,511 AK839,451 PK Jumlah 1 KSA/KPA 962,345 KSA/KPA 25,383 97,511 839,451 962,345 2 HL 39,693 412,255 349,712 365 802,025 3 HPT 5,538 29,078 35,537 1,465 71,618 HL 39,693 412,255 349,712 365 802,025 4 HP 6,175 78,490 1,234,760 3,930 1,323,355 HPT 5,538 29,078 35,537 1,465 71,618 5 HPK 23,687 297,704 1,154,853 5,776 1,482,020 HP 6,175 78,490 1,234,760 3,930 1,323,355 6 APL 2,129 53,814 244,759 33,883 334,585 HPK 23,687 297,704 1,154,853 5,776 1,482,020 Jumlah 102,605 968,852 3,859,072 45,419 4,975,948 APL 2,129 53,814 244,759 33,883 334,585 Keterangan : Sk = sangat kritis; K = kritis; AK = agak kritis; PK = potensial kritis Sumber : Balai Pengelola Daerah Alisan Sungai Mamberamo, 2011. Jumlah 102,605 968,852 3,859,072 45,419 4,975,948 NO
Kawasan Hutan Luas Kawasan Hutan
Data pada Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa luas lahan kritis yang berada di dalam kawasan Keterangan : Sk = sangat kritis; K = kritis; AK = agak kritis; PK = potensial kritis suaka alam/pelestarian alam (KSA/KPA) Hutan Lindung (HL) 2011. masing-masing 962.345 ha dan Sumber : Balai Pengelola Daerah Alisan dan Sungai Mamberamo, 802,025 ha. Fakta ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kegiatan perambahan dalam kawasan yang seharusnya Kegiatan perambahan ini terjadi selain sebagai luas akibat adanya Datadikonservasi. pada Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa lahanpemekaran kritis wilayah kabupaten pada kawasan tersebut, tetapi juga diduga karena kegiatan pengelolaan yang yang belum berada di dalam suaka alam/pelestarian alam intensif. Banyak faktor yangkawasan berperan dalam pembentukan lahan-lahan kritis tersebut yang perlu diidentifikasi sehingga dapat ditentukan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
(KSA/KPA) dan Hutan Lindung (HL) masing-masing 962.345 ha dan 802,025 ha. Fakta ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kegiatan perambahan dalam kawasan yang seharusnya dikonservasi. Kegiatan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
perambahan ini terjadi selain sebagai akibat
adanya pemekaran
27
Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten di provinsi Papua seperti disajikan pada Tabel Tabel 2.3. Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten/kota dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua. NO
Kabupaten/Kota
Luas Lahan Kritis di Provinsi Papua (Ha) SK
K
AK
PK
Jumlah
1
Merauke
487
29,105
2,389,672
2
Jayawijaya
2,478
54,951
53,818
2,419,264
3
Jayapura
7,408
21,729
28,904
14,224
72,265
4
Nabire
11,184
31,923
54,934
1,886
99,927
5
Yapen
1,123
8,695
5,306
6
Biak
3,391
18,123
37,918
7
Paniai
4,230
39,988
21,072
64,290
8
Puncak Jaya
2,327
42,303
10,123
54,753
9
Mimika
13,300
22,364
22,797
10
Boven Digoel
170
7,078
164,520
19,257
191,025
11
Mappi
306
61,601
655,205
1,973
719,085
12
Asmat
714
79,543
80,257
13
Yahukimo
15,123
141,486
15,991
202,600
14
Pegunungan Bintang
2,025
105,343
15,086
122,454
15
Tolikara
595
56,065
27,210
83,870
16
Sarmi
161
2,967
23,471
17
Keerom
129
3,708
26,165
7,466
37,468
18
Waropen
158
20,186
42,168
82
62,594
19
Supiori
48
1,477
4,571
6,096
20
Mamberamo Raya
833
16,972
89,527
107,332
21
Nduga
677
23,558
1,726
25,961
22
Lanny Jaya
194
53,130
12,054
65,378
23
Mamberano Tengah
57
26,059
13,922
40,038
24
Yalimo
584
21,512
8,587
30,683
25
Puncak
21,371
31,835
15,856
69,062
26
Dogiyai
4,220
29,871
19,685
53,776
27
Intan Jaya
8,624
56,147
8,517
73,288
111,247
15,124 531
59,963
59,461
26,599
28
Deiyai
821
2,439
344
3,664
29
Kota Jayapura
522
8,522
10,381
19,425
102,606
968,851
3,859,073
Jumlah
45,419
4,975,949
Keterangan : Sk = sangat kritis; K = kritis; AK = agak kritis; PK = potensial kritis Sumber : Balai Pengelola Daerah Alisan Sungai Mamberamo, 2011.
2.3. Pemerintah Provinsi Papua mengambil kebijakan bahwa hingga 2011 dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayati di Provinsi Papua, telah menetapkan kawasan konservasi yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) sebanyak 11 unit terdiri dari 7 unit CA dan ditambah dua unit Taman Nasional (TN) dengan luasan mencapai 6.211.688 ha. Rincian luas kawasan konservasi Komposisi di Provinsi Papua menurut status kawasan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.4
28
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.4. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua No 1.
Kawasan Konservasi
Luas (Ha)
Taman Nasional a. Lorentz
2.505.600
b. Wasur 2.
413.810
Cagar Alam a. Pegunungan Cycloop
22.500
b. Pegunungan Wayland
128.220,23
c. Bupul
3.
92.000
d. Yapen Tengah
119.000
e. Biak Utara
6.138,04
f. Pulau Supiori
41.990
g. Tanjung Wiay
4.378,70
Suaka Margasatwa a. Danau Bian
100.000
b. Pulau Dolok
664.627,97
c. Pulau Pombo
100
d. Pulau Savan
8.260
e. Pulau Komolom
84.000
f. Mamberamo Foja
2.018.300
g. Jayawijaya 4.
800.00
Taman Wisata Alam a. Teluk Youtefa
1.675
b. Nabire
100 Jumlah
6.211.688
Sumber : Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 2011. Berdasarkan data luas kawasan yang dikonservasi di Papua, ternyata terdapat beberapa kawasan yang telah mengalami perambahan dan pembalakan liar yang sistematis di Papua. Data kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan degradasi di Provinsi Papua selama periode tahun 2006-2011 dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan degradasi selama periode tahun 2006-2011. No 1
Kawasan Konservasi CA Tanjung Wiay
2
CA Yapen Tengah
3
SM Mamberamo-Foja
4
TN Loretz Jumlah
Luas 6,646.95
Deforestasi (ha)
Degradasi (ha)
11.47
1,389.00
112,700.25
967.38
5.24
1,667,820.16
8,383.15
36,090.23
2,339,759.96
8,212.19
7,629.65
4,126,927.32
17,574.19
45,114.12
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
29
Bentuk kerusakan hutan konservasi akibat pembalakan liar seperti terlihat pada Gambar 2.3. Bentuk kerusakan hutan konservasi akibat pembalakan liar seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Kegiatan Penebangan liar dan bentuk kerusakan hutan yang terjadi di Cagar Utara pada ruas jalan Biak-Sorendiweri, (Foto oleh :Alfred Antoh, Desember Gamb Alam 2.3. Biak Kegiatan Penebangan liar dan bentuk kerusakan hutan yang2011) terjadi
di Cagar Alam Biak Utara pada ruas dijalan Biak-Sorendiweri, (Foto “Sekilas melihat kayu-kayu gergajian yang ditemukan sepanjang jalan tersebut memberi gambaran bahwa kayu olahan telah dikomersilkan atau sudah dipasarkan ke cukongoleh :Alfred Antoh,tersebut Desember 2011) cukong (Pembeli Kayu secara illegal) tertentu. Pembiaran aktivitas kegiatan illegal tersebut dapat “Sekilas melihat gergajian ditemukan di barang sepanjang jalan mempercepat kerusakan kayu-kayu hutan dan kawasan Cagar yang Alam Biak Utara sudah tentu akan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ terdegradasi. Beberapa informasi yang diperoleh di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa jenis tersebut memberi gambaran bahwa kayu olahan tersebut telah dikomersilkan kayu diangkut untuk kebutuhan infrastruktur bangunan fisik di Kayu Sorendiweri, Kabupaten Supirori. Hal atau sudah dipasarkan ke cukong-cukong (Pembeli secara illegal) tertentu. ini amat sangat membahayakan eksistensi Cagar Alam Hutan Biak Utara. Apabila terjadi pembiaran Pembiaran aktivitas kegiatan illegal tersebut dapat mempercepat kerusakan seperti ini maka Cagar Alam ini hanya akan meninggalkan cerita bahwa pernah ada hutan Cagar hutan Alam dandi daerah kawasan Cagar Alam Biak Utara sudah barang tentu akan ini”. (Laporan Antoh dkk - Tim Pungumpul Data SRAP REDD+ Zona Utara, 2012).
terdegradasi. Beberapa informasi yang diperoleh di lapangan mengindikasikan Walaupun secara peraturanuntuk pemerintah telah berusaha menekan laju bangunan deforetasi bahwa beberapa jenis hukum kayu dan diangkut kebutuhan infrastruktur dan degradasi hutan, namun pada kenyataannya seperti telah diuraikan di atas bahwa kerusakan fisik di Sorendiweri, Kabupaten Supirori. Hal ini amat sangat membahayakan hutan masih terus terjadi pada kawasan yang di konservasi seperti Taman Nasional Wasur. eksistensi Cagar Alam Hutan Biak Utara. Apabila terjadi pembiaran seperti ini maka Cagar Alam ini hanya akan meninggalkan cerita bahwa pernah ada hutan Cagar Alam di daerah ini”. (Laporan Antoh dkk - Tim Pungumpul Data SRAP REDD+ Zona Utara, 2012).
Walaupun secara hukum dan peraturan pemerintah telah berusaha menekan laju deforetasi dan degradasi hutan,
namun pada kenyataannya
seperti telah diuraikan di atas bahwa kerusakan hutan masih terus terjadi pada kawasan yang di konservasi seperti Taman Nasional Wasur. Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman Nasional
Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012). Nasional Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012).
30
Potret kerusakan hutan akibat (SRAP) penebangan liarImplementasi dan perambahan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua dalam REDD+ hutan
diperlukan oleh masyarakat yang memanfaatkan hutan dan lahan. Teladan: masyarakat mengambil kayu dan juga menjadikan kawasan yang telah ditetapkan untuk kawasan konservasi sebagai areal berusaha tani dan Potret kerusakan hutan akibat penebangan liar dan perambahan hutan seperti di untuk atas di pembukaan areal permukiman baru. Sebagian areal hutan juga digunakan
Papua akan terus terjadi untuk berbagai suplai kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang memanfaatkan Teladan: masyarakat mengambil kayu jembatan. dan juga menjadikan pembangunanhutan fisik dan baiklahan. gedung, bangunan sekolah, jalan dan kawasan yang telah ditetapkan untuk kawasan konservasi sebagai areal berusaha tani dan pembukaan areal permukiman baru. Sebagian areal hutan juga digunakan untuk pembangunan fisik baik gedung, bangunan sekolah, jalan dan jembatan.
Gambar 2.5. Pembangunan Jalan dan Jembatan di Sarmi (Foto :Alfred Antoh, Oktober 2012)
Kondisi dan Umum dan Permasalahan Kehutanan di Provinsi Papua
II-10
Degradasi luas hutan juga sebagian besar terjadi sebagai akibat pemanfaatan areal hutan areal hutan untuk pembangunan jalan dan jembatan guna menghubungkan kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Contoh : untuk membangun jalan dan jembatan di Kabupaten Sarmi membutuhkan luas 371.184 m² (Dinas PU Kabupaten Sarmi, Oktober 2012). Semakin banyak wilayah pemekaran baru, semakin panjang infrastruktur dasar yang diperlukan untuk menghubungkan antar wilayah pemekaran dengan kabupaten induk, semakin luas pula areal hutan yang akan terbuka. Meningkatnya penggunaan areal hutan yang dikonversi untuk berbagai kepentingan memberi peringatan dan gambaran bahwa laju deforestasi hutan di Papua cukup tinggi. Semakin meningkatnya aktivitas pembangunan fisik, semakin luas areal yang dikonversi, akan semakin luas pula kebutuhan alih fungsi kawasan. Inilah dampak bila motif kebijakan yang menganggap sumberdaya hutan hanya dinilai manfaat ekonomi semata, tanpa memperdulikan manfaat ekologis dan nilai jasa dari hutan. Akibat dari kebijakan pembangunan dan kebutuhan konversi hutan untuk wilayah pemekaran serta aktivitas perambahan lain telah terjadi deforestasi dan dengradasi hutan yang memungkinkan menurunnya daya serap karbon oleh hutan dan sekaligus menurunkan sediaan karbon hutan. Data rata-rata deforestasi dan degradasi hutan serta perubahan tutupan lahan lain (Other Land Cover Change) tahunan sebagai sumber emisi di provinsi Papua disajikan pada Tabel 2.6.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
31
Tabel 2.6. Luas deforestasi, degradasi dan perubahan tutupan lahan lain di Provinsi Papua sebagai sumber emisi pada setiap fungsi kawasan. Sumber Emisi No
Zona
Deforestasi Luas (ha)
%
Degradasi Luas (ha)
Total
OLCC %
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
1
Kawasan Suaka Alam/ Pelestarian Alam
5,505.16
2.46
19,008.34
8.49
9,315.28
4.161
33,828.78
15.11
2
Hutan Lindung
4,524.02
2.02
14,179.36
6.33
2,141.72
0.957
20,845.10
9.31
3
Hutan Produksi
2,408.40
1.08
79,445.90
35.49
24.86
0.011
81,879.16
36.57
4
Hutan Produksi Konversi
3,938.62
1.76
29,244.66
13.06
1,403.72
0.627
34,587.00
15.45
5
Hutan Produksi Terbatas
3,107.98
1.39
34,525.28
15.42
1,422.10
0.635
35,055.36
17.44
6
Areal Penggunaan Lain
6,195.46
2.77
5,367.38
2.40
2,122.08
0.948
13,684.92
6.11
25,679.64
11.47
181,770.92
81.19
16,429.76
7.339
Total
223,880.32
100.00
Sumber : Hasil analisis tutupan lahan 2006-2011 Data pada Tabel mengindikasikan suatu fenomena yang menarik, yang mana pada persentase luas deforestasi yang terjadi di KSA/PA (Kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam) dan HL (Hutan Lindung) lebih tinggi dibanding deforestasi pada HP, HPL dan HPK. Hal ini diduga sebagai akibat adanya konversi hutan untuk kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana fisik umum pada kabupaten pemekaran yang berada di kawasan KSA/PSA dan HL. Sedangkan degradasi hutan juga pada kedua fungsi kawasan hutan tersebut memiliki prosentase luas relatif tinggi walaupun masih lebih rendah dari HP, HPT dan HPK. Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi dan hutan lindung belum intensif dan kegiatan perambahan belum dapat dikendalikan. Masalah ini perlu menjadi isu utama yang perlu dipertimbangkan dalam mengimplementasikan aksi mitigasi dalam skema REDD+ di Papua. 2.3. Kondisi Demografi dan Dampaknya Terhadap Hutan di Papua 2.3.1. Penduduk Papua Hasil Sensus 2010 Penduduk Papua berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 berjumlah 2.833.381 jiwa yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 735 629 jiwa (25,96 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 2.097.752 jiwa (74,04 persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa penduduk Papua sebagian besar masih berada di pedesaan atau kampung yang secara langsung berinteraksi dengan hutan. Walaupun penduduk Papua sebagian besar berada di kampung namun penyebarannya tidak merata, konsentrasi penyebaran penduduk Papua masih bertumpu pada kabupaten/kota yang telah berdiri cukup lama. Sebagian besar penduduk Papua berada di Kota Jayapura (9,06 persen), Kabupaten Jayawijaya (6,92 %), Merauke (6,91 %), dan Kabupaten Mimika (6,42 %). Kapupaten dengan persentase penduduk < 1 % adalah Waropen (0,87 %), Mamberamo (0,65%), dan Supiori (0,56 %). Kabupaten lain di provinsi Papua dengan persentase > 1 hingga < 6 % terhadap jumlah penduduk seluruh Papua (BPS Provinsi Papua, 2010). Pemusatan dan persebaran jumlah penduduk demikian menunjukkan keberagaman kepadatan penduduk terhadap luas wilayahnya.
32
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
keberagaman kepadatan penduduk terhadap luas wilayahnya.
Gambar 2.6. Distribusi Penduduk Papua berdasarkan tingkat kepadatan (BPS Prov Papua, 2010)
Gambar 2.6. membandingkan Distribusi Penduduk PapuaPapua berdasarkan tingkat maka kepadatan Dengan luas wilayah Provinsi dan jumlah penduduk diperoleh (BPS Prov Papua,sebanyak 2010) 9 orang per km2. Kota Jayapura adalah daerah yang tingkat kepadatan penduduk
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
paling padat dengan tingkat kepadatan mencapai 339 orang per kilometer persegi. Gambar 2.7 . Tingkat Kepadatan pendudukluas Provinsiwilayah Papua (BPSProvinsi Papua, 2010)Papua dan jumlah Dengan membandingkan
penduduk maka diperoleh tingkat kepadatan penduduk sebanyak 9 orang per km2. Kota Jayapura adalah daerah yang paling padat dengan tingkat kepadatan mencapai 339 orang per kilometer persegi.
Kondisi dan Umum dan Permasalahan Kehutanan di Provinsi Papua
II-13
Gambar 2.7 . Tingkat Kepadatan penduduk Provinsi Papua (BPS Papua, 2010) Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
33
Gambar 2.7 . Tingkat Kepadatan penduduk Provinsi Papua (BPS Papua, 2010)
Gambar 2.8. Laju Pertumbuhan Penduduk Papua tahun 2000-2010 (BPS Papua, 2010).
Gambar 2.8. Laju Pertumbuhan Penduduk Papua tahun 2000-2010 (BPS Papua, Laju pertumbuhan 2010). penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 5,55 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Deiyai adalah yang tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi Papua yakni sebesar 18,91 persen, sedangkan yang terendah di Kabupaten Mamberamo yakni sebesar 0,02 persen. Kota Jayapura walaupun menempati urutan pertama dari jumlah penduduk di Provinsi Papua namun dari sisi laju pertumbuhan adalah relative moderatPapua yakni sebesar 4,16 persen Penduduk PapuaII-14 Kondisi dan Umum danpenduduk Permasalahan Kehutanan di Provinsi masih lebih dominan dibanding penduduk non Papua dimana persentase penduduk Papua ratarata mencapai 76,21 persen, sedangkan penduduk non Papua hanya 23,79 persen. Tabel 2.7. Jumlah penduduk asli papua dan non papua di Provinsi Papua berdasarkan kabupaten/kota pada Tahun 2010. Kabupaten/ Kota Merauke Jayawijaya
Papua
Non Papua
Total
Persentase Papua
73,082
122,634
195,716
37.34
177,698
18,387
196,085
90.62
Jayapura
68,430
43,513
111,943
61.13
Nabire
62,119
67,774
129,893
47.82
Kepulauan Yapen
64,338
18,613
82,951
77.56
Biak
93,482
33,316
126,798
73.73
Paniai
149,427
4,005
153,432
97.39
99,339
1,809
101,148
98.21
Mimika
75,267
106,734
182,001
41.36
Boven Digoel
37,355
18,429
55,784
66.96
Puncak Jaya
Mappi
72,390
9,268
81,658
88.65
Asmat
68,641
7,936
76,577
89.64
162,194
2,318
164,512
98.59
62,361
3,073
65,434
95.30
Yahukimo Pegunungan Bintang
34
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Tolikara
113,315
1,112
114,427
99.03
Sarmi
22,935
10,036
32,971
69.56
Keerom
19,725
28,811
48,536
40.64
Waropen
20,396
4,243
24,639
82.78
Supiori
15,283
591
15,874
96.28
Mamberamo Raya
17,088
1,277
18,365
93.05
Nduga
78,377
676
79,053
99.14
148,354
168
148,522
99.89
39,315
222
39,537
99.44
Lanny Jaya Mamberamo Tengah Yalimo
50,327
436
50,763
99.14
Puncak
92,510
708
93,218
99.24
Dogiyai
83,395
835
84,230
99.01
Intan Jaya
40,414
76
40,490
99.81
Deiyai
61,565
554
62,119
99.11
Kota Jayapura
90,196
166,509
256,705
35.14
Total
2,159,318
674,063
2,833,381
76.21
Sumber : BPS Papua, 2010
2.3.2. Sebaran Kampung Penduduk asli Papua telah lama tinggal dan menetap dalam kawasan hutan dan memiliki wilayah adat dan tersebar di berbagai lahan dengan status hutan yang ada. Jumlah kampung di Provinsi Papua tahun 2010 adalah 2.113 kampung. Kampung yang berada di dalam Hutan Konservasi sebanyak 189 kampung (9,0%), kampung di dalam kawasan Hutan Lindung sebanyak 399 kampung (19 %), di dalam kawasan Hutan Produksi terdapat 467 kampung (22%), sebaran kampung terbanyak ada di dalam kawasan Hutan Produksi Konversi yaitu 711 kampung (34%). Sedangkan jumlah kampung di dalam Areal Penggunaan Lain sebanyak 333 kampung (16%). Sebaran jumlah kampung menurut fungsi dan tipe kawasan hutan seperti disajikan pada Tabel 2.8. Tabel 2.8. Sebaran kampung berdasarkan kawasan hutan dan tipe hutan Kampung di Kawasan Hutan
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Non Hutan
Jumlah dan (%)
Hutan Konservasi
58
29
102
189 (9%)
Hutan Lindung
112
44
243
399 (19%)
Hutan Produksi
114
106
247
467 (22%)
Hutan Produksi Konversi (HPK)
130
80
501
711 (34%)
Jumlah pada Kaw. Hutan
414
259
1.093
1.766 (84%)
Areal Peng Lain
16
22
295
333 (16%)
435 (21%)
283 (13%)
1.395 (66%)
2.113 (100%)
Jumlah Sumber: RTRW Provinsi Papua, 2012
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
35
Sebaran pemukiman kampung berdasarkan tipe hutan kampung-kampung tersebar di Hutan Primer sebanyak 435 (21 %), di dalam Hutan Sekunder sebanyak 283 kampung (13 %) dan di dalamdan tipe Rencana non HutanAksi sebanyak kampung atau (66 %). Strategi Provinsi1.395 (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Memperhatikan data sebaran kampung menurut fungsi kawasan hutan dan tipe hutan di atas mengindikasikan bahwa sebanyak 84 % pemukiman penduduk berada di dalam dan di dan tipe hutan di atas mengindikasikan bahwa sebanyak 84 % pemukiman pinggir kawasan hutan, sedangkan hanya 16 % yang berada di luar kawasan hutan. Fakta ini penduduk berada di dalam dan masyarakat di pinggir kawasan hutan, sedangkan 16 mengindikasikan bahwa kehidupan Papua sangat bergantung padahanya keberadaan % yang dan berada di luar kawasan hutan. ini mengindikasikan bahwa hutannya akibat ketergantungan tersebut makaFakta tidak mustahil bahwa interaksi masyarakat dengan hutanmasyarakat sangat intensif. Intensifikasi iteraksi ini merupakan tantangan, sekaligus berpotensi kehidupan Papua sangat bergantung pada keberadaan hutannya potensi sebagai ancaman atas kegiatan pengelolaan dan pelestarian hutan. Banyaknya pusatdan akibat ketergantungan tersebut maka tidak mustahil bahwa interaksi pusat pemukiman yang berada dalam kawasan hutan, terutama di dalam kawasan hutan lindung masyarakat dengan hutan sangat intensif. iteraksi ini merupakan dan kawasan konservasi merupakan peluang untuk Intensifikasi mengimplementasikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang mana masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan berperan tantangan, sekaligus berpotensi potensi sebagai ancaman atasdapat kegiatan aktif dalam pengelolaan hutan adatnya. Namun sebaliknya dibutuhkan strategi khusus yang pengelolaan dan pelestarian hutan. Banyaknya pusat-pusat pemukiman yang benar-benar dapat mendorong masyarakat agar secara sadar mau berpartisipasi aktif untuk berada dalam hutan,dari terutama dalamHalkawasan lindung dengan dan mengelola hutankawasan sebagai bagian budaya di mereka. ini seringhutan bertentangan prinsip pengelolaan hutan berbasis investasipeluang yang memandang hanyalah sebagai kawasan konservasi merupakan untuk masyarakat mengimplementasikan obyek dalam kegiatan investasi masyarakat, atau usahanya.yang Hal ini akan masyarakat menjadi salahdisatu permasalahan pengelolaan hutan berbasis mana dalam dan di yang akan dihadapi dalam implementasi rencana aksi REDD+ di Papua. sekitar kawasan dapat berperan aktif dalam pengelolaan hutan adatnya. Namun
sebaliknya dibutuhkan strategi khusus yang benar-benar dapat mendorong Gambar 2.9. Peta sebaran kampung menurut kawasan hutan dan perairan di Provinsi Papua masyarakat (RTRW Provinsi agar Papua,secara 2012) sadar mau berpartisipasi aktif untuk mengelola hutan
sebagai bagian dari budaya mereka. Hal ini sering bertentangan dengan prinsip pengelolaan hutan berbasis investasi yang memandang masyarakat hanyalah sebagai obyek dalam kegiatan investasi atau usahanya. Hal ini akan menjadi salah satu permasalahan yang akan dihadapi dalam implementasi rencana aksi REDD+ di Papua. 36 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
2.3.3. Pemukiman Transmigrasi Pelaksanaan program transmigrasi di Papua dilaksanakan sejak pra PELITA sampai dengan sekarang dengan jumlah transmigran yang telah ditempatkan di Propinsi Papua sebanyak 147 UPT atau 53.853 KK atau 207.277 jiwa. Luas lahan yang digunakan untuk pembangunan permukiman transmigrasi dari 9 (sembilan) Kabupaten seluas 231.620 Ha , dari luas lahan yang dicadangkan dan potensial untuk lokasi permukiman sebanyak 906.857 Ha, sehingga sisa lahan yang belum dibuka 675.237 Ha . Luas lahan yang dicadangkan sebanyak 906.857 Ha, yang telah mempunyai SK. Pelepasan kawasan hutan sebanyak 15 Kawasan ( lokasi ) seluas 92.304,10 Ha, telah ada persetujuan prinsip pelepasan kawasan Hutan sebanyak 74 lokasi/kawasan seluas 115.026,83 Ha (Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemukiman Prov Papua, 2012). Sejak diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua program transmigrasi tidak lagi dilaksanakan hal ini diperkuat dengan Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa program transmigrasi akan dilaksanakan setelah jumlah orang Asli Papua mencapai jumlah 20 (dua puluh) juta jiwa (pasal 44 ayat 1). Melalui kebijakan ini diharapkan luas kawasan hutan yang ada tetap dapat dipertahankan dengan memanfaatkan sisa lahan dari luas lahan yang telah di alokasikan. Tabel 2.9. Luas areal pemukiman transmigrasi yang telah dimanfaatkan dan sisa areal yang belum dimanfaatkan. No
Lokasi/Kabupaten
Luas areal yang telah dimanfaatkan
Luas Areal (Ha)
Sisa Areal
1
Jayapura
40.150
13.360
26.790
2
Keerom
3
Sarmi
76.172
36.890
39.282
92.000
20.690
71.310
4
Paniai/Nabire
5
Biak Numfor
135.610
27.586
108.024
100
38
62
6 7
Merauke
155.000
111.336
42.664
Yapen Waropen
260.250
7.960
252.290
8
Jayawijaya
1.500
0
1.500
9
Mimika
146.075
13. 760
132.315
Jumlah
906.857
231.620
675.237
Sumber: Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemukiman, 2012 Luas areal 675,237 ha merupakan lahan usaha II (lahan cadangan transmigran) yang difungsikan sebagai lahan usaha tanaman keras atau perkebunan. Areal inilah yang menjadi perhatian investor di bidang perkebunan dan kehutanan (usaha izin pemanfaatan kayu/IPK), karena lahan ini dikategorikan sebagai APL (Areal Penggunaan Lain). Namun bila dilihat dari potensi tegakan dan tutupan hutannya, areal-areal tersebut masih layak untuk dipertahankan sebagai hutan. Inilah dilema pengelolaan hutan alam di Papua, yang mana masih menyisahkan areal hutan konversi untuk dapat dijadikan lahan non hutan. 2.3.4. Menempatkan Masyarakat Adat dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Papua memiliki budaya yang tinggi; salah satu indikatornya adalah bahasa daerah yang mewakili suku-suku di Papua dan ini menjadi dasar bahwa perencanaan pembangunan termasuk strategi dan rencana aksi REDD+ Provinsi. Papua harus melibatkan masyarakat adat
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
37
dalam pengelolaan sumberdaya hutan baik yang berada di luar maupun di dalam kawasan hutan. Masyarakat adat memandang bahwa semua hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya adalah hutan adat yang mereka miliki dan dapat mereka manfaatkan untuk pencukupan seluruh kebutuhan hidupnya. Sebaliknya pemerintah menganggapnya sebagai hutan Negara yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah bagi kemakmuran rakyat. Kedua perbedaan anggapan dan pemahaman ini akan terus menjadi pertentangan selama tidak ada kebijakan kompromistik yang dilakukan kedua belah pihak (lihat keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012). Dalam kaitannya dengan SRAP-REDD+ ini, soal perbedaan ini dapat menjadi salah satu kondisi pemungkin yang harus disediakan lebih awal. Kondisi ini dapat diciptakan melalui adanya kebijakan untuk melakukan pemetaan partisipatif Areal hutan masyarakat hukum adat yang nantinya diintegrasikan dalam RTRWP/RTRWK. Batas lahan/hutan masyarakat hukum adat harus terdeleniasi dalam setiap struktur dan pola ruang pembangunan dalam RTRWP/RTRWK. Dengan demikian masyarakat merasa ada pengakuan dan sekaligus legitimasi pemerintah terhadap hak-hak adat masyarakat atas lahan/hutan. 2.4. Permasalahan Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Papua Secara umum deforestasi dapat diklasifikasikan menjadi deforestasi terencana dan tidak terencana. Berkurangnya luas kawasan hutan untuk keperluan penggunaan lahan non-hutan dikelompokkan kedalam “deforestasi terencana”. Deforestasi terencana ini bisa disebabkan oleh konversi hutan sebagai akibat dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), konversi untuk keperluan perizinan untuk penggunaan lahan di luar kehutanan seperti perkebunan dan pertambangan. Dalam kawasan hutan, pembukaan hutan tidak terencana dan degradasi dipicu oleh: (i) pembalakan liar dan pengelolaan hutan secara tidak berkelanjutan; (ii) alih guna hutan alam menjadi hutan tanaman, perkebunan dan pertambangan; dan (iii) penegakan peraturan pengelolaan hutan yang lemah. Meningkatnya laju deforestasi hutan di Papua saat ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya usaha penebangan liar (illegal logging) baik yang dilakukan oleh pengelola sumberdaya hutan maupun oleh masyarakat. Juga minimnya kontrol dalam pengelolaan sumberdaya hutan melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH), konversi sumberdaya hutan untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan dan transmigrasi, kebakaran hutan serta tidak adanya pengakuan dan kepastian hak penguasaan akan sumberdaya lahan dan hutan (land tenure right) bagi masyarakat hukum adat yang sering menimbulkan konflik sosial. Seperti diketahui menurut RTRW Provinsi Papua yang secara teknis telah disahkan Menteri Kehutanan tahun 2012, tampak bahwa hampir 80% sebaran kampung di Papua berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Selain itu Penggunaan lahan untuk pembangunan infrastruktur jalan, pemekaran wilayah (Kabupaten/ kota) yang kemudian diikuti oleh pemekaran distrik dan kampung juga memberi dampak pada deforestasi dan degradasi hutan. Tanpa pelaksanaan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), maka dapat berpotensi terjadinya open akses terhadap kawasan hutan di Papua.
38
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam
si Provinsi (SRAP) Papua Implementasi REDD+ dan degradasi hutan di Papua: Aktivitas HPH, Gambardalam 2.10. Potret pemicu deforestasi
H PT. Mandiri di Kab. a (areal PT. kawasan aPH dekat
as Mandiri di Kab. aya (areal da dekat kawasan
ana jalan untuk angunan dan arana jalan untuk ampung-
bangunan dan kampung-
Pembangunan sarana fisik pemerintahan “bangunan kantor” dan pembangunan jalan untuk menghubungkan kampung-kampung di kabupaten pemekaran, Mamberamo Raya.
a. Salah satu gedung kantor milik Pemda Kab. Mamberamo b. Salah satu gedung kantor milik Kab. Mamberamo Raya RayaPemda yang lokasinya kantor yangdalam lokasinya kantor berada berada kawasan Suaka b. dalam Salah satu gedung kantor milik kawasan Suaka Margasatwa Mamberamo Pemda Kab. Mamberamo Raya Foja_©John Mampioper) yang lokasinya kantor berada dalam kawasan Suaka
b. Logpon milik HPH PT. Mamberamo AlasHPH Mandiri a. Logpon milik PT.di Mamberamo Alas Mandiri Kab. Mamberamo Raya (areal di Kab. Mamberamo Raya (areal konsesinya berada dekat konsesinya berada dekat kawasan kawasan Suaka Margasatwa Mamberamo Foja_©John Mampioper)
b. Salah sat Pemda K yang loka dalam ka
c. Pembangunan sarana jalan untuk mendukung pembangunan dan menghubungkan kampung-
c. Pembangunan sarana jalan untuk mendukung Gambar Potret pemicu deforestasi dan degra micu deforestasi dan degradasi hutan di Papua:2.10. Aktivitas pembangunan dan HPH, Pembangunan sarana fisik pem micu deforestasi dan degradasi hutan di Papua: Aktivitas bangunan sarana fisik pemerintahan “bangungan kantor” menghubungkan kampungdan pembangunan jalan untuk meng mbangunan sarana fisik pemerintahan “bangungan kantor” angunan jalan untuk menghubungkan kampung-kampung kampung yang dilakukan di kabupaten pemekaran, Mamberam bangunan jalan untuk en pemekaran, Mamberamo Raya. kampung-kampung Pemdamenghubungkan Kab. Mamberamo aten pemekaran, Mamberamo Raya. Raya melintasi kawasan Suaka Margasatwa Mamberamo Foja_©John Mampioper)
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
39
BAB III. VISI, MISI, ISU DAN STRATEGI IMPLEMENTASI REDD+ DI PROVINSI PAPUA 3.1. Visi dan Misi Visi : Tata Kelola hutan dan lahan mendukung pembangunan berkelanjutan yang adil dan merata di Provinsi Papua tahun 2020. Misi : 1. Memastikan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan hutan dan lahan kearah yang lebih baik 2. Memantapkan Fungsi Lembaga Pengelolaan Hutan yang efektif dan efisien 3. Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Hutan dan lahan yang rendah karbon 4. Mengoptimalkan penegakan hukum dan kelembagaan sektor hutan dan lahan 5. Memastikan peran masyarakat adat sebagai pelaku aktif dalam pengelolaan hutan dan lahan
3.2. Maksud dan Tujuan Maksud disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Provinsi Papua adalah sebagai acuan resmi pemerintah, masyarakat dan stakeholder dalam implementasi skema REDD+ untuk penentuan prioritas program dan aksi mitigasi terkait dengan pembangunan rendah karbon. Tujuan umum dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah mengurangi degradasi dan deforestasi akibat penggunaan hutan dan lahan gambut. Secara khusus dan operasional, tujuan penyusunan SRAP-REDD+ Papua adalah untuk: 1. Mengintegrasikan RTRWP, RTRWK, KPH dan wilayah masyarakat Hukum Adat 2. Meningkatkan tata kelola dan kepengurusan hutan dan lahan melalui implementasi pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 3. Meningkatkan upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dan pengembangan hutan tanaman rakyat 4. Mengembangkan ekonomi hijau melalui usaha pemanfaatan hutan dan jasa hutan 5. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam rangka adaptasi terhadap gejala dan dampak perubahan iklim.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
41
3.3.
Isu dan Strategi REDD+
Isu-isu utama terkait dengan degradasi dan deforestasi di Provinsi Papua dirumuskan sebagai berikut : 1. Prosedur Alih Fungsi Kawasan (pemukiman, perkebunan, pinjam pakai kawasan, dan kebutuhan kawasan strategis daerah merupakan fenomena perluasan Areal Penggunaan Lain (APL). 2. Percepatan penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota sebagai dokumen legal perencanaan pembangunan daerah berbasis lahan. 3. Illegal Logging dan perambahan hutan. 4. Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan/lahan belum terjamin secara legal formal. 5. Berbagai sektor pembangunan cenderung memarjinalkan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan lahan. 6. Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan antar sektor baik provinsi, kabupaten/kota dan nasional belum optimal. 7. Wewenang dan tanggung jawab perijinan, rekomendasi perijinan masih tumpang tindih antara SKPD dan antar kementerian 8. Konservasi Keanekaragaman Hayati belum dikelola secara optimal Isu-isu yang terkait dengan kebijakan mencakup : 1. Tidak konsistennya ketentuan dan peraturan di bidang Kehutanan dari level kebijakan sampai pada level pelaksanaannya, termasuk inkonsistensi antara kebijakan pusat dan daerah. 2. Belum selesainya pelaksanaan tata batas luar dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Papua. 3. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH; KPHK, KPHL dan KPHP) sebagai unit manajemen di tingkat tapak belum seluruhnya terbangun. 4. Pemanfaatan kawasan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi sering menimbulkan konflik sosial. 5. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan serta pengamanan kawasan konservasi belum menunjukkan keberhasilan yang siginifikan, terbukti dengan adanya kasus pencurian kayu dan berkurangnya kawasan hutan. 6. Belum maksimalnya pelibatan secara penuh masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam kegiatan/program kehutanan, terutama untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi. 7. Pemberian akses dan distribusi manfaat dari pengelolaan dari SDA yang melimpah belum menghasilkan nilai tambah yang signifikan untuk daerah dan masyarakat Provinsi Papua. 8. Terbatasnya ketersediaan Sumber Daya teknis kehutanan, sarana prasarana dan dana. 9. Tumpang tindih kewenangan (mengacu pada UU No 41 dan UU Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001). 10. Eforia masyarakat dan pejabat untuk melakukan pemekaran kabupaten dan kota terus meningkat.
42
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Strategi yang dibangun untuk menjawab isu-isu utama di atas melalui implementasi rencana aksi dalam skema REDD+ di provinsi Papua adalah : 1. Mempercepat proses pemantapan kawasan hutan (melalui pembentukan KPH, penataan batas, pengukuhan kawasan hutan, pemetaan wilayah hukum adat dan resolusi ronflik kepemilikan dan penguasaan lahan) 2. Praktek terbaik Pengelolaan Sumber Daya Alam melalui penerapan sertifikasi PHPL dan SVLK serta intensifikasi pengawasan penerapan RIL 3. Pengembangan ekonomi berbasis budaya masyarakat setempat melalui peningkatan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan 4. Mengupayakan kepastian ruang kelola masyarakat melalui skema HKm, HD (hutan desa) dan Perhutanan sosial lain termasuk RHL. 5. Memantapkan Kelembagaan, Regulasi dan Organisasi pengelolaan hutan 6. Pengembangan Keanekaragaman Hayati dan usaha Jasa Lingkungan yang lebih optimal
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
43
BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1.
Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua
Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi Papua mengacu pada beberapa aturan mendasar selain melihat pada potensi yang dimiliki. Landasan tersebut terdiri dari : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421). 2. Undang – undang 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. 3. Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana yang telah diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 Tentang PERPU No. 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua. 4. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan. 5. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. 6. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. 7. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. 8. Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Selain beberapa dasar hukum di atas, Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di Provinsi Papua berpedoman pada Renstra Provinsi ; Rencana Strategi Provinsi (Masing-masing SKPD yang terkait dengan REDD+), Renstra masing-masing Kabupaten/Kota, RPJMD dan RTRW Provinsi serta RTRW Kabupaten yang digunakan untuk pengembangan pelaksanaan konsep REDD+ di Provinsi Papua. Untuk menunjang pelaksanaan strategi dan rencana aksi REDD+ dilapangban dibutuhkan data dan fakta lapangan untuk menjadi acuan dalam implementasi SRAP REDD+ di Provinsi Papua, dengan mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan mendasar deforestasi dan degradasi hutan baik terencana maupun tidak terencana sehingga tujuan aksi mitigasi dan adaptasi dapat menurunkan level emisi dan meningkatkan stok karbon hutan di wilayah ini.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
45
4.2.
Indentifikasi Akar Masalah dan Isu Utama
Departemen Kehutanan mengeluarkan Kebijakan strategis kehutanan mengacu dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tanggal 27 Januari 2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, dengan 8 sasaran pokok program pembangunan kehutanan sebagai , yakni : a) Pemantapan Kawasan Hutan; b) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); c) Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan; d) Konservasi keanekaragaman hayati; e) Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan; f ) Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan; g) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan; h) Penguatan kelembagaan kehutanan. Rencana Strategi yang dibuat oleh Departemen kehutanan sangat mendukung kebijakan pengelolaan hutan yang rendah emisi terutama pada kebijakan pemantapan kawasan hutan, Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS, pengamanan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati. Kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan Kehutanan pemerintah Provinsi Papua antara lain : Hak kepemilikan hutan dikembalikan ke rakyat dan diatur oleh Pemerintah Daerah melalui Undang-undang Otonomi Khusus dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai peraturan pelaksanaannya. Hak kepemilikan hutan dikembalikan ke rakyat dan diatur oleh Pemerintah Daerah melalui Undang-undang Otonomi Khusus dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) 21 tahun 2008 sebagai peraturan pelaksanaannya antara lain : 1. Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat. 2. Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu. 3. Peraturan Gubernur Nomor: 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA). 4. Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakan. 5. Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Cara Industri Primer Hasil Hutan kayu Rakyat. 6. Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat.
46
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
7. Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu. 8. Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Provinsi Papua . 9. Peraturan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan. Selain peraturan daerah khusus ada juga rencana dan strategis pembangunan kehutanan antara lain : 1. Pemantapan Kawasan Hutan (Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan) 2. Pembangunan Hutan Rakyat 3. Pembangunan Industri Kayu Rakyat 4. Pengembangan Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu 5. Pengembangan Pengamanan dan Perlindungan Hutan 6. Pengembangan SDM dan Kelembagaan Kehutanan.
4.3.
Prioritas Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua
Pada prinsipnya impelementasi SRAP REDD+ Papua mengacu pada 5 pilar strategi yang dikembangkan, yaitu ; (1) Kelembagaan, regulasi dan organisasi, (2) Pemantapan Kawasan Hutan, (3) Kepastian ruang kelola masyarakat adat, (4) Pengembangan ekonomi masyarakat adat dan (5) Pengembangan konservasi dan keanekaragaman hayati. Dari 5 pilar spesifik di atas yang menjadi prioritas untuk diimplementasi dalam SRAP REDD+ Papua adalah Kelembagaan, regulasi dan organisasi dan pembentukan kelembagaan REDD+ Provinsi Papua. Sedangkan pilar spesifik yang berikut adalah pemantapan kawasan hutan melalui pembentukan KPH (KPHL, KPHP dan KPHK), penataan batas, pengukuhan kawasan serta resolusi konflik. Kedua strategi ini yang akan menjadi pra kondisi implementasi SRAP REDD+ Papua. Contoh pada strategi tersebut adalah pembentukan lembaga REDD+ di Papua, Pengembangan dan Pembangunan 56 Unit KPH, Review regulasi dan tata kelola hutan dan perijinan serta pembentukan lembaga MRV sedangkan contoh lain pada strategi berikut adalah ; Redesain tata batas, percepatan penetapan fungsi kawasan, dan penentuan lokasi prioritas pengembangan REDD+ Papua. Walaupun demikian bukan berarti bahwa 3 strategi lainnya tidak dijalankan dalam Dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua, tetapi akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Pengembangan SRAP REDD+ Papua selanjutnya mencakup semua strategi merupakan implementasi yang akan dikembangkan untuk menurunkan emisi di Provinsi Papua khususnya dari sektor kehutanan, lahan gambut dan pertanian.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
47
4.4. Kesiapan Papua dalam Implementasi REDD+ Provinsi Papua sebagai salah satu wilayah dengan kawasan hutan alam yang luas dan sangat kaya akan sumberdaya alam, akan menghadapi kemungkinan laju deforestasi dan degradasi hutan yang tinggi di masa sekarang dan akan datang. Diperkirakan laju deforestasi hutan di Papua dalam kurun waktu 10 tahun ke depan bila tidak dikendalikan dapat mencapai 1 juta ha/ tahun. Dari peta tutupan hutan dan perairan Papua, dari luasan total hutan Papua 31,22 juta ha, sekitar 376.000 ha di dalamnya telah dibebani Ijin, baik IUPHHK-HA, IUPHHK HTI maupun konversi hutan untuk perkebunan. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir permintaan lahan untuk investasi IUPHHK maupun konversi untuk areal perkebunan cukup meningkat. Kondisi ini menjadi sebuah tolak ukur awal untuk mendukung argumentasi bahwa Papua adalah wilayah yang sangat layak untuk pelaksanaan REDD+. Dengan mengadopsi prinsip REDD klasik bahwa skema global untuk pengurangan emisi yang hanya bisa dijalankan pada wilayah-wilayah yang tingkat keterancamannya cukup tinggi terhadap deforestasi dan degradasi hutan, maka ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa Papua akan menjadi salah satu wilayah berhutan yang berpeluang mendapatkan inisiatif global lewat skema ini. Isentif global ini perlu direalisasikan lewat pendanaan yang cukup besar bagi Papua agar aktif menjaga hutan dari ancaman deforetasi dan degradasi. Besar-kecilnya dana tersebut tergantung banyak faktor yang tidak bisa diatur oleh pemerintah Papua (misalnya, harga pasar dan peraturan main pedagangan karbon), tetapi juga pada beberapa faktor yang dapat dipengaruhi pemerintah, termasuk jaminan hak atas karbon, jaminan pelindungan hutan, dan mekanisme pembagian manfaat. Secara substantif REDD memberikan peluang bagi Papua untuk menjamin tutupan hutannya tetap terjaga pada luasan yang optimum. Selain memberikan manfaat ekologis berupa dipertahankannya tutupan hutan Papua, REDD+ menyiapkan sebuah manfaat ekonomi dan sosial bagi daerah dan masyarakat yang memiliki hutan melalui pengakuan hak tenurial atas hutan adat dan pembagian manfaat adil dan merata. Tentu dengan syarat Papua menjamin adanya sebuah kelembagaan yang dapat dipercaya, kepastian hak atas hutan adat dan kawasan hutan, sistem monitoring pelaporan dan verifikasi yang dirancang memenuhi standar nasional/internasional dan perangkat-perangkat lain yang menjadi syarat implementasi REDD+ secara baik. Hal penting dalam pemanfatan ruang di Provinsi Papua dalam mendukung implementasi REDD+ adalah tata ruang. Dimana saat ini RTRWP Papua telah mendapatkan Persetujuan Substansi dari Menteri Kehutanan RI. Di dalamnya terdapat visi pembangunan berkelanjutan yang dijadikan dasar dalam mengawal dan mengawasi pemanfaatan ruang di Papua. Ruang-ruang strategis yang menjadi ruang hidup masyarakat dan sumber biodiversity Papua akan dipertahankan. Visi 100 tahun ke depan adalah membangun kualitas hidup manusia Papua dengan tetap mempertahankan kekayaan sumber daya alamnya. Visi Papua 2100 juga menekankan Papua akan menjadi perhatian dunia karena mampu mempertahankan hutan sebagai bagian dari penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup. Untuk kegiatan-kegiatan pembangunan rendah karbon termasuk REDD+ belum disebutkan secara jelas dalam RTRWP yang ada. Namun dalam rencana strategis pola dan struktur ruang RTRWP telah mendapatkan perhatian melalui penetapan beberapa kawasan strategis provinsi untuk pengembangan pembangunan ekonomi rendah karbon.
48
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Perencanaan dan persiapan yang matang menjadi langkah awal sebelum REDD+ di implemetasikan di Papua. Persiapan termasuk pembuatan kerangka kebijakan, standar-standar, mekanisme dan protokol untuk REDD+ harus dilakukan oleh pemerintah provinsi dan keterlibatan para pihak. Langkah-langkah langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah provinsi Papua terkait implementasi REDD+ antara lain: • Pembentukan Satuan Tugas Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Papua oleh Gubernur Papua, yang dibentuk pasca Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati di Papua tahun 2009. • Melakukan sosialisasi dan lokakarya tentang REDD+ bekerjasama dengan mitra kerja pemerintah baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. • Upaya penyiapan dan peningkatan SDM daerah baik di tingkat pemerintah dan masyarakat dalam rangka implementasi REDD+ melalui pelatihan-pelatihan teknis REDD+. • Melakukan inventarisasi dan pendugaan cadangan karbon kawasan hutan Papua. • Membangun Proyek percontohan lokasi REDD+ di daerah kabupaten/kota bersama mitra kerja • Mendorong investasi yang berkelanjutan dan etis dalam bidang produksi bahan makanan, air dan keamanan energi dengan dua focus utama, yaitu mendorong UKM untuk berivestasi hijau di Papua dan melakukan restrukturisasi investasi yang tidak aktif atau tidak efisien. • Menggandeng investors dari luar Papua yang membutuhkan partner untuk investasi hijau di Papua.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
49
BAB V. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING Sebagai suatu bahan negosiasi, aksi REDD+ mempunyai banyak isu yang terkait dengan lawas, skala spasial, pendekatan dan metode penghitungan pengurangan emisi karbon, hasil yang tidak diinginkan, tingkat rujukan, MRV (monitoring, reporting and verification) dan mekanisme pembayaran. Dalam tingkat unit pengelolaan hutan, maka lawas REDD+ mencakup deforestasi, degradasi hutan, konversi dan pemanfaatan lahan gambut, sedangkan skala spasialnya adalah lokal atau unit pengelolaan hutan. Pendekatan penghitungan karbon REDD+ berbasis pada kinerja (performance). Kebocoran (leakage) bukanlah isu pada tingkat unit pengelolaan hutan, sedangkan unsur waktu (permanence/liability) merupakan isu dalam pengelolaan hutan lestari. Tingkat rujukan (reference level) akan memakai data prediktif atau model pendugaan berbasis data inventarisasi. Sedangkan isu MRV pada tingkat unit pengelolaan hutan lebih banyak mengarah pada bagaimana kegiatan pemantauan persediaan karbon dilakukan, cara melaporkan, dan siapa yang akan memverifikasi serta berapa biayanya. Sedangkan nilai kompensasi harusnya terdiri atas dua tipe, pertama dana insentif untuk inisiasi aksi REDD+ dan kedua pembayaran berbasis kinerja (tingkat pengurangan emisi karbon). Kegiatan MRV akan mengukur dan melaporkan efektivitas pengurangan emisi dan/atau peningkatan serapan GRK secara kuantitatif menggunakan metode dan prosedur yang handal (akurat, presisi, tepat waktu, lengkap, standar, kompatibel), transparan dan akuntabel. MRV merupakan bagian dari sistem monitoring yang mana metode pengukuran dan hasil yang disampaikan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah baku dan konsisten. Hasil dari MRV akan dijadikan dasar bagi pembayaran atas output/kinerja yang dilakukan oleh lembaga dana kemitraan REDD+. Setiap kegiatan MRV harus sejalan dengan prinsip-prinsip pelaporan IPCC (Intergovermental Panel on Climat Change), yaitu harus transparan, dapat diperbandingkan, konsisten, akurat dan lengkap, ketidakpastian yang minimal, sepanjang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas nasional. Formulasi pendekatan IPCC seperti diilustrasikan pada Gambar 5.1. MRV dalam implementasinya harus menganut pinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Konsisten (taat azas). Sistem MRV harus menggunakan metoda dan prosedur yang konsisten sehingga hasil pengukuran, pelaporan dan verifikasi pengurangan emisi GRK dapat diperbandingkan dari waktu ke waktu. Sebuah sistem MRV akan menentukan nilai acuan level emisi (reference level/RL) yang akan digunakan sebagai “benchmark” implementasi REDD +. 2. Terbuka (Transparan). Hasil MRV harus mempunyai kredibilitas yang memadai oleh karena itu sistem MRV harus dapat diverifikasi oleh lembaga independen dan dapat diakses oleh publik secara terbuka. 3. Lengkap (menyeluruh). Sistem MRV menggunakan input data dan menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi menyajikan semua cadangan carbon dari semua komponen
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
51
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
kapasitas nasional.
Formulasi pendekatan IPCC seperti diilustrasikan pada
Gambar 5.1.
Gambar 5.1. IPCC untuk emisi GRK antropogenik dengan emisi dan Gambar 5.1.Pendekatan Pendekatan IPCCmenghitung untuk menghitung emisi GRK antropogenik serapan pada simpanan (UN-REDD Programme 2011). dengankarbon emisipada danberbagai serapantutupan pada lahan simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDD Programme 2011).
ekosistemnya yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above-ground biomass) seperti batang, MRV dalam harus permukaan menganuttanahpinsip-prinsip sebagai cabang, ranting dan implementasinya daun dan biomasa di bawah (below-ground biomass) seperti akar dan biomasa yang sudah mengalami dekomposisi sebagian atau seluruhnya berikut: (kayu mati/nekromasa, serasah/humus, dan karbon tanah mineral).
1. Konsisten (taat azas). Sistem MRV harus menggunakan metoda dan
4. Akurat (sahih). Diartikan sebagai tingkat kemampuan memberikan hasil pengukuran yang prosedur yang konsisten sehingga hasil pengukuran, pelaporan dan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sedangkan ketelitian menyatakan verifikasi pengurangan GRK dengan dapat keragaman diperbandingkan dari keakuratan waktu ke tingkat ketepatan yang dapat emisi digambarkan rendah. Tingkat sangat input MRV data dan metode pengukuran yang Sistem emisi MRV waktu.bergantung Sebuah pada sistem akan menentukan nilaidigunakan. acuan level harus menghasilkan informasi dengan penuh kehati-hatian yang diturunkan dari data yang (reference level/RL) yang akan digunakan sebagai “benchmark” diukur secara cermat dan diolah dengan metode yang handal.
implementasi REDD +.
5. Dapat diperbandingkan (Komparabel). Hasil MRV harus dapat diperbandingkan dengan hasil 2. MRV Terbuka (Transparan). Hasil MRV harus kredibilitas yang dari negara-negara lain, khususnya dikaitkan denganmempunyai perdagangan karbon internasional. Karena itu metode pengukuran dan rumus perhitungan emisi harus baku. oleh lembaga memadai oleh karena itu sistem MRV harus dapat diverifikasi Secara umum,dan kerangka dari MRV seperti diilustrasikan pada Gambar 5.2. Tantangan independen dapatpikir diakses oleh publik secara terbuka. sistem MRV diperjelas dengan rincian yang memfokuskan pada bagaimana pengukuran, pelaporan, monitoring dan verifikasi dapat dilaksanakan dengan metode yang komparabel dengan kegiatan mitigasi nasional, serta memenuhi persyaratan internasional.
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 52
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
V-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Gambar 5.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon Sistem MRV Gambar 5.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam Sistemdalam MRV untuk penerapan untuk penerapan REDD+ REDD+ A. Prinsip MRV dan Perhitungan Emisi
A. Prinsip MRV dan Perhitungan Emisi Aksi pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur (Measurable), dapat dilaporkan (Reportable), dan dapat diverifikasi (Verifiable). Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus Aksi MRV pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur (Measurable), siap dengan nasional yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian MRV nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai mekanisme dapat dilaporkan (Reportable), dan dapat diverifikasi (Verifiable). Presiden penurunan emisi yang berpotensi besar. Ditinjau dari keefektifan biaya (cost effectiveness) REDD+, memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional yang maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk REDD+, yaitu:
sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian MRV 1. Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use)
nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai mekanisme 2. Kombinasiemisi metode inventarisasi penginderaan (remote-sensing inventory) biaya & didasarkan penurunan yang berpotensi besar. jauh Ditinjau dari keefektifan (cost pengamatan lapangan (ground-based inventory)
effectiveness) REDD+, maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk REDD+, 3. Memperhitungkan ke lima penumpukan karbon (carbon pools)
yaitu:
4. Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review dan diakses oleh publik
1. Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture,
Untuk mendukung prinsip tersebut, maka perhitungan emisi termasuk REDD+ harus Forestry, Other LandMRV Use) didasarkan kepada data perubahan tutupan hutan dari hasil remote sensing, penggunaan faktor 2. dan Kombinasi metode penginderaan jauh (remote-sensing emisi faktor serapan karbon inventarisasi lokal serta tersedianya data kegiatan seperti perubahan luas berbagaiinventory) penutupan &lahan sub kategori hutan, luaslapangan hutan tanaman (hasil kegiatan misalnya didasarkan pengamatan (ground-based inventory) program RHL/GERHAN, HTI, HTR, HR) serta angka kerusakan hutan seperti dampak pembalakan, 3. Memperhitungkan ke lima penumpukan karbon (carbon pools) kebakaran, perambahan dan data pendukung lainnya.
4. Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review dan diakses
Data cadangan karbon dan perubahannya didasarkan kepada IPCC-GL 2006, yang oleh publik memperhitungkan lima sumber penumpukan karbon (carbon pools). Metode pengukuran karbon di lapangan dengan menempatkan plot-plot MRV contoh tersebut, telah dikembangkan (McDicken 1997,emisi IPCC Untuk mendukung prinsip maka perhitungan GL, 2006, Kurniatun dan Rahayu, 2007, GOFC-Gold, 2009). Lima penumpukan karbon yaitu :
termasuk REDD+ harus didasarkan kepada data perubahan tutupan hutan dari hasil remote sensing, penggunaan faktor emisi dan faktor serapan karbon lokal
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring
53
V-4
1. Biomassa di atas tanah (above ground biomass), 2. Biomassa di bawah tanah (below ground biomass), 3. Pohon yang mati (dead wood), 4. Serasah (litter), 5. Tanah mineral (mineral soil) Metode perhitungan penurunan emisi dari kegiatan REDD+, yang diakui internasional seperti metode IPCC GL. IPCC (Inter Governmental panel on Climate Change) telah mengembangkan metode inventasisasi GRK sejak tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance (IPCC GPG) 2003 dan IPCC Guideline (GL) 2006. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan diperbaharui dengan IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 akan menghasilkan inventarisasi yang lebih baik, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertainity), konsisten pembagian kategori lahan, estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, karbon pool yang relevan serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Hal ini berimplikasi kepada penyediaan data untuk activity data dan faktor emisi terhadap seluruh kategori lahan, karbon pool dan non-CO2 gas yang terkait. LULUCF IPCC GPG 2003 dan GL 2006, membagi kategori lahan kedalam 6 kategori yaitu: (1) lahan hutan (Forest land), (2) padang rumput (Grassland), (3) Lahan pertanian (Cropsland), (4) Lahan gambut (Wetland), (5) Permukiman (Settlement), dan (6) lahan lainnya (Other land). Setiap kategori penggunaan lahan memiliki potensi lahan GRK yang berbeda tergantung tingkatdihubungkan aktivitas yang Kategori penggunaan versi IPCC 2006, pada apabila terjadi pada masing-masing penggunaan lahan tersebut.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
dengan pembagian kelas tutupan hutan versi Departemen Kehutanan (Dirjen KategoriIndonesia penggunaanseperti lahan versi IPCC pada 2006, apabila dengan pembagian kelas Planologi) tampak Tabel dihubungkan 5.1. tutupan hutan versi Departemen Kehutanan (Dirjen Planologi) Indonesia seperti tampak pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1.Pembagian Pembagian kategori Indonesia dalam IPCC2006. Guideline 2006. Tabel 5.1. kategori hutanhutan Indonesia ke dalamke IPCC Guideline
Keterangan:
FL 54
GL
: Forestland Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
: Grassland
Keterangan: FL
:
Forestland
GL
:
Grassland
WL
:
Weatlands
OL
:
Other Land
CL
:
Cropland
S
:
Settlemant
Untuk kepentingan REDD+, metode penghitungan penurunan emisi menggunakan IPCC GL, 2006 telah disediakan instrumen perhitungan (spreadsheet Excel). Pada prinsipnya besarnya emisi adalah hasil perkalian antara data aktivitas (activity data) dengan faktor emisi (emission factor). Untuk data aktivitas REDD+ harus menggunakan data spasial dengan resolusi yang baik, yang dapat memantau terjadinya perubahan penutupan lahan sesuai dengan kategori penutupan lahan IPCC. Sedangkan untuk faktor emisi dan serapan karbon harus menggunakan data lokal dari hasil pengukuran lapangan (hasil pengukuran karbon pada plot standar). Pengukuran persediaan karbon di lapangan pada dasarnya untuk mendapatkan kerincian yang tinggi (Tier 3). Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi metode IPCC GL adalah terletak pada terminologi perubahan tutupan lahan yang digunakan, termasuk pendefinisiannya serta standar kriteria dan indikator penetapannya. Operasionalisasi terminologi perubahan tutupan lahan ini akan berkaitan dengan penetapan nilai faktor emisi akibat perubahan tutupan lahan dimaksud. Ketidak jelasan definisi dan kriteria yang digunakan, akan menyebabkan bias dalam penentuan nilai indeks faktor emisi perubahan tutupan lahan dalam formulasi perhitungan dengan metode IPCC-GL Untuk MRV dan penghitungan karbon (carbon accounting) dikenal ada tiga tingkat (tier): tier 1, 2 dan 3. Makin tinggi tier makin rinci. Tier 1 menggunakan parameter dan formula default global, Tier 2 menggunakan parameter spesifik nasional, sedangkan Tier 3 menggunakan metode, model dan inventarisasi yang dilakukan secara berulang pada skala lokal. Penghitungan emisi karbon pada tingkat unit pengelolaan hutan ada dalam MRV Tier 3. Metode perhitungan karbonnya dapat dilakukan dengan dua pendekatan (IPCC, 2006) yaitu “perbedaan stok” (stockdifference approach) dan “tambah-hilang” (gain-loss approach). Pendekatan perbedaan stok adalah menghitung beda stok karbon pada dua waktu yang berbeda. Ini dapat digunakan jika kedua stok karbon telah diukur, misalnya melalui inventarisasi hutan berkala pada plot permanen. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menduga emisi karbon yang terjadi sebagai akibat baik oleh deforestasi maupun degradasi hutan ataupun aksi mitigasi. Untuk pembalakan tebang pilih (selective logging) seperti Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), data hutan utuh (Virgin forest) dapat digunakan untuk hutan yang belum ditebang. Deforestasi umumnya disebabkan oleh konversi lahan baik secara terencana maupun tidak direncanakan. Sedangkan degradasi hutan disebabkan oleh pembalakan sistem tebang pilih, kebakaran hutan skala luas, perambahan hutan skala luas dan penggunaan hutan untuk pertanian/perkebunan. Formulasi umum perhitungan perbedaan stock carbon pada dua waktu pengukuran adalah:
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
55
penentuan nilai indeks faktor emisi perubahan tutupan lahan dalam formulasi perhitungan dengan metode IPCC-GL Tabel 5.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK Tabel 5.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK sektor kehutanan sektor kehutanan menurut IPCC Guideline 2006. menurut IPCC Guideline 2006.
56
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
ΔC = (Ct2 - Ct1)/(t2-t1) Stok Karbon Tahun ke-1
dimana, ΔC = Perubahan stok karbon tahunan (tC/tahun) Ct1 = Karbon stok pada t1 (tC) Ct2 = Karbon stok pada t2 (tC)
Stok Karbon Tahun ke-2
Gambar 5.3. Pendekatan perbedaan stok karbon (IPCC, 2006; Angelsen dkk, 2008)
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas maka stok karbon Provinsi Papua yang dihasilkan pada berbagai zona fungsi hutan berdasarkan tutupan lahan hasil interprestasi citra satelit tahun 2006-2011, serta stok karbon hasil simulasi berdasarkan rencana pembangunan di Provinsi Papua dengan pendekatan perbedaan stok karbon disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Total Stok Karbon (Above Ground Biomass) Provinsi Papua periode 2006-2021. Total Stock Karbon Provinsi Papua (ton x 1 Juta) No.
Zona
Luas (Ha)
Thn 2006 Stock
Thn 2011
(%)
Stock
Thn 2016
(%)
Stock
Thn 2021
(%)
Stock
(%)
1
KSA
5,161,950.40
726.30
15.98
716.67
16.00
707.54
16.13
698.95
16.26
2
HL
6,431,449.90
1,045.89
23.01
1,040.79
23.23
1,035.48
23.61
1,029.80
23.95
3
HP
4,385,910.30
654.31
14.39
635.13
14.18
618.28
14.10
603.56
14.04
4
HPK
3,138,152.50
393.57
8.66
385.30
8.60
380.62
8.68
357.78
8.32
5
HPT
4,588,417.20
747.58
16.44
738.31
16.48
729.20
16.63
720.40
16.76
6
APL
1,608,762.60
181.47
3.99
176.45
3.94
135.37
3.09
119.04
2.77
7
KSA Gambut
1,500,816.10
224.35
4.93
222.30
4.96
220.27
5.02
218.25
5.08
8
HL Gambut
1,416,348.30
231.20
5.09
228.71
5.10
226.29
5.16
223.93
5.21
9
HP Gambut
340,420.10
41.02
0.90
40.02
0.89
39.08
0.89
38.21
0.89
10
HPK Gambut
906,401.60
85.56
1.88
85.40
1.91
85.24
1.94
85.08
1.98
11
HPT Gambut
1,370,466.30
206.27
4.54
203.28
4.54
200.45
4.57
197.70
4.60
12
APL Gambut
84,497.60
8.79
0.19
8.02
0.18
7.40
0.17
6.90
0.16
30,933,592.90
4,546.30
100.00
4,480.37
100.00
4,385.21
100.00
4,299.57
100.00
JUMLAH
Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa stok karbon (Above Ground Biomass) di Provinsi Papua pada akhir periode mitigasi (tahun 2021) mencapai 4.299.570.000 ton CO2 –eq. Stok karbon per zona tutupan lahan diurutkan menurut nilai tertinggi ke terendah berturutturut Hutan Lindung sebesar 1.253.730.000 ton CO2-eq (29,16%), Hutan Produksi Terbatas sebesar 918.100.000 ton CO2-eq (21,35%), Kawasan dan Suaka Alam/Pelestarian Alam sebesar 917.2000.000 ton CO2-eq (21,33%), Hutan Produksi (HP) sebesar 641.760.000 ton CO2-eq (14,93%), Hutan Produksi Konversi (HPK) sebesar 442.850.000 ton CO2-eq dan Areal Penggunaan Lain (APL) sebesar 125.930.000 ton CO2-eq. Pendekatan “tambah-hilang” merupakan pendekatan berdasarkan konsep ekologi hutan, yaitu bagaimana hutan tumbuh dan bagaimana hutan terganggu atau ditebang. Pendekatan ini memperkirakan neraca bersih dari penambahan dan pengurangan stok karbon. Penambahan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
57
stok karbon diperoleh dari pertumbuhan dan perpindahan antara lokasi penumpukan karbon. Misalnya dari stok karbon pada biomassa tumbuhan ke stok karbon tanah dan atau necromasa. Kehilangan stok karbon bisa terjadi oleh pemanenan kayu, kebakaran hutan dan lain-lain. Petak ukur permanen (PUP) diperlukan untuk memperkirakan pertambahan karbon tiap tahun. Formula umum perhitungan perbedaan karbon dengan pengekatan “Tambah-Hilang” sebagai berikut:
Pengambilan Carbon lewat pertumbuhan
ΔC = ΔCgain – ΔCloss
Gangguan
Tipe Penggunaan Lahan
dimana, ΔC = Perubahan stok karbon tahunan (tC/tahun) ΔCgain = Penambahan karbon tiap tahun tC/tahun) ΔCloss = Kehilangan karbon tiap tahun (tC/tahun)
Pemanenan
Untuk kepentingan penilaian keberhasilan aksi REDD+ pada unit pengelolaan hutan, maka hubungan antara Kegiatan (Activity), tujuan (Objective), luaran (Output), dampak (Outcome) dan indikator (Indicator) yang dapat digunakan seperti dideskripsikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Tujuan, output, outcome dan indikator REDD+ pada unit pengelolaan hutan (Modifikasi dari UNEP, 2009 dalam Purbawiyatna, 2012) Kegiatan
Output
Outcome
Indikator
Penurunan Deforestasi (“D” Pertama)
Pendekatan dan metode untuk: • PHL (pengelolaan Hutan Lestari) • Konservasi keanekaragaman hayati • Konservasi stok karbon • Kebijakan dan insentif untuk menurunkan konversi hutan
1. Pelaksanaan (commiting) hutan sebagai rosot karbon dan stabilisasi kawasan hutan dengan tutupan pohon. 2. Sinergi mitigasi dan adaptasi untuk mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
• Kawasan hutan yang dikonservasi (Ha) • Reduksi emisi CO2 (ton)
Penurunan degradasi hutan (“D” Kedua)
• Pendekatan dan metode untuk PHL • Kebijakan dan insentif untuk adopsi PHL sebagai praktek untuk penurunan GRK • RIL dan SVLK
1. Pengembalian hutan sebagai rosot karbon 2. Sistem PHL dilaksanakan. 3. Sinergi mitigasi dan adaptasi untuk mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
• Reduksi emisi CO2 (ton) • % tutupan tajuk pohon • Peningkatan % dalam karbon tanah
Peningkatan stok karbon di hutan dan bukan hutan (“+” pada REDD+)
Pendekatan dan metode untuk • Pengelolaan lanskap: • Aforestasi, reforestasi, agroforestry, pengayaan karbon tanah • Peningkatan stok karbon dan pengurangan emisi CO2 di lahan pertanian • Konservasi keanekaragaman hayati • Peningkatan produktivitas dan penghidupan masyarakat.
1. Pengembalian rosot karbon yang hilang dalam lanskap 2. Pembuatan karbon pool yang baru dalam lanskap. 3. Pengelolaan lahan untuk beragam jasa lingkungan 4. Pengembangan kebijakan untuk pengelolaan lahan terpadu melalui pendekatan ekosistem
• Lahan yang teraforestasi dan terreforestasi (Ha) • Lahan yang kembali direstorasi (Ha) • Peningkatan karbon stok (ton) di lahan hutan dan bukan hutan • Peningkatan karbon tanah (%) • Lapangan kerjaan yang tersedia
Tabel di atas menunjukkan bagaimana pengelolaan hutan lestari berperan dalam kegiatan REDD+ pada tingkat unit pengelolaan hutan. Lawas REDD+ terfokus pada penurunan emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan peningkatan stok karbon. Informasi dari kegiatan pengurangan deforestasi merupakan pendekatan dan metode untuk pengelolaan hutan lestari yang meliputi konservasi karbon dan keanekaragaman hayati serta kebijakan dan insentif untuk mengurangi konversi hutan. Sedangkan hasil nyata dari kegiatan deforestasi berupa pelaksanaan pengelolaan hutan dinilai sebagai rosot (sink) karbon serta sinergi dengan kegiatan adaptasinya. Indikator dari pengurangan emisi deforestasi adalah kawasan hutan yang tetap dipertahankan sebagai hutan (Ha) dan penurunan emisi karbon (ton) yang diserap oleh hutan untuk pertumbuhan (carbon stock). Untuk pengurangan emisi dari degradasi hutan, luarannya adalah pendekatan dan metoda pengelolaan hutan lestari serta kebijakan dan insentif untuk mengadopsi model pengelolaan hutan lestari sebagai praktek untuk mereduksi GRK (RIL, PHPL/SVLK). Hasil dari kegiatan ini adalah pengembalian hutan sebagai rosot karbon, sebagai akibat terlaksananya sistem pengelolaan hutan lestari dan sinergi antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Indikator keberhasilannya adalah penurunan emisi karbon (ton), peningkatan tutupan tajuk (%) dan peningkatan stok karbon tanah (% atau ton). Sedangkan kegiatan peningkatan sediaan karbon hutan menghasilkan pendekatan dan metode pengelolaan lanskap, aforestasi, reforestasi, agroforestry, pengayaan karbon tanah, hutan peningkatan stok karbon di lahan pertanian, konservasi keanekaragaman hayati dan peningkatan penghidupan masyarakat. Kegiatan ini diantaranya akan mengembalikan rosot karbon yang hilang dan membuat sedian karbon yang baru. Indikator keberhasilannya adalah lahan berhutan baru atau hasil reforestasi, peningkatan sedian karbon dan tersedianya lapangan kerja baru.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
59
BAB VI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua Penyusunan Reference Emission Level (REL) pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Papua (REDD+) menggunakan metode perbedaan stok karbon (stock difference) dari perubahan tutupan lahan. Pendekatan ini dianggap lebih praktis karena hanya menghitung emisi dari tutupan lahan (land cover) yang mengalami perubahan. Sehingga perubahan lahan dianggap akan menyebabkan emisi maupun sequestrasi karbon. Emisi terjadi apabila terjadi penurunan kualitas tutupan lahan, sedangkan sequestrasi terjadi bila terjadi peningkatan kualitas tutupan lahan. Data tutupan lahan yang digunakan dalam perhitungan REL Provinsi Papua adalah data tutupan lahan tahun 2006 dan tahun 2011 yang berasal dari Badan Planologi (BAPLAN) Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Perubahan tutupan lahan pada periode 20062011 menjadi pilihan untuk perhitungan karena didasarkan pada kesepakatan nasional untuk menggunakan periode data dimaksud. REL yang menjadi dasar untuk implementasi REDD+ di Provinsi Papua dikuantifikasi berdasarkan pendekatan masa lalu (historical based) dan juga berdasarkan rencana pembangunan (forward looking) di Provinsi Papua. Hal ini bertujuan untuk membandingkan pemanfaatan lahan untuk kepentingan pembangunan di masa lalu (2006-2011), dengan pemanfaatan lahan dimasa yang akan datang yang disesuaikan dengan rencana pembangunan, terutama yang terkait dengan penggunaan hutan dan lahan. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Emisi Komullatif (ton CO2-Eq)
Gambar 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua
1,000,000,000 900,000,000 800,000,000 700,000,000 600,000,000 500,000,000 400,000,000 300,000,000 200,000,000 100,000,000 0 2006
2011
2016
2021
Tahun Emisi Historical
Emisi Forward Looking
Gambar 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan emisi kumulatif 61 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan emisi kumulatif dengan 2 (dua) pendekatan perhitungan yang dilakukan. Emisi berdasarkan data masa lalu memiliki bias yang sangat besar karena hanya didasarkan pada data/informasi perubahan penggunaan lahan di masa lalu yang diproyeksikan hingga tahun 2021. Sehingga perubahan tutupan lahan pada masa yang akan datang diasumsikan sama. Pendekatan kuantifikasi dengan pendekatan forward looking menunjukkan emisi kumulatif yang berbeda. Hal ini terjadi karena pendekatan ini selain menggunakan data penggunaan lahan di masa lalu, juga menggunakan data-data rencana pembangunan yang terkait dengan penggunaan dan perubahan penggunaan lahan yang telah dituangkan di dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Provinsi Papua. Hasil kuantifikasi dengan forward looking dianggap menggambarkan perhitungan emisi yang lebih real. Hasil perhitungan Net emisi (emisi bersih) periodikal dengan pendekatan historical dan forward looking berdasarkan perubahan tutupan lahan pada berbagai tipe kawasan hutan di Provinsi Papua dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Perbandingan Net emisi Provinsi Papua periode tahun 2006-2021 berdasarkan tipe kawasan hutan. Net Emisi (ton CO2-Eq/year) No.
1 2 3 4 5 6
Zona
KSA HL HP HPT HPK APL JUMLAH
Pendekatan Historical
Tahun 2006-2011
Tahun 2011-2016
Tahun 2016-2021
Net Emisi
(%)
Net Emisi
(%)
Net Emisi
(%)
8,579,503.93
17.40
8,112,739.29
17.57
7,714,280.47
17.75
Forward looking
8,579,503.93
17.40
8,188,722.45
11.51
7,788,690.22
14.96
Historical
5,591,280.37
11.34
5,577,311.21
12.08
5,563,777.59
12.80
5,591,280.37
11.34
5,914,580.82
8.31
5,897,552.60
11.33
Historical
Forward looking
15,027,869.59
30.48
13,257,441.05
28.71
11,734,864.18
27.00
Forward looking
15,027,869.59
30.48
13,343,210.29
18.75
11,816,190.29
22.70
6,528,760.96
13.24
6,200,803.96
13.43
5,908,239.23
13.59
Historical Forward looking
6,528,760.96
13.24
6,199,189.06
8.71
5,491,232.03
10.55
Historical
9,221,372.13
18.70
8,936,796.06
19.35
8,667,665.02
19.94
Forward looking
9,221,372.13
18.70
9,026,114.09
12.68
8,754,517.26
16.82
Historical
4,357,164.02
8.84
4,099,898.39
8.88
3,874,446.95
8.91
Forward looking
4,357,164.02
8.84
28,490,581.86
40.04
12,313,523.92
23.65
Historical
49,305,951.00
100.00
46,184,989.96
100.00
43,463,273.43
100.00
Forward looking
49,305,951.00
100.00
71,162,398.58
100.00
52,061,706.32
100.00
Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2006-2011, net emisi terbesar di Provinsi Papua berasal secara berturut-turut adalah dari kawasan Hutan Produksi sebesar 15.027.869,59 ton CO2-eq (30,48%), Hutan Produksi Konversi sebesar 9.221.372,13 ton CO2eq (18,70%), Kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam (KSA/PA) sebesar 8.579.503,93 ton CO2-eq (17,40%), Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebesar 6.528.760,96 (13,34%), Hutan Lindung (HL) sebesar 5.591.280,37 ton CO2-eq (11,34%) dan Areal Penggunaan Lain (APL) sebesar 4.357.164,02 (8,84%). Hal yang menarik dari kondisi eksisting ini adalah bahwa HL dan KSA/PA yang merupakan kawasan hutan yang seharusnya terlindungi dan dimanfaatkan secara terbatas, ternyata memberikan kontribusi yang nyata terhadap net emisi Provinsi Papua yaitu sebesar 28,74%. Data Net emisi pada periode 2011-2021 tentunya akan berubah menurut rencana pembangunan dan intensitas penggunaan lahan terutama yang terkait dengan penggunaan lahan dan konversi hutan. Namun demikian penggunaan lahan untuk pembangunan lebih diprioritaskan pada areal penggunaan lain dan lahan hutan produksi konversi yang benar-benar tidak dapat dipertahankan sebagai hutan. Prioritas berikutnya adalah pemanfaatan lahan-lahan tidak produktif di dalam kawasan hutan.
62
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Sekalipun prioritas penggunaan lahan untuk kebutuhan pembangunan ini sulit sekali untuk direalisasikan secara murni. Namun bila di dalam penyusunan RTRWP/K, prioritas tersebut telah dijadikan dasar pertimbangan dalam penentuan struktur dan pola ruang. Dengan demikian, paling tidak RTRWP/K sebagai dokumen legal pelaksanaan pembangunan telah mengimplementasikan perencanaan pembangunan yang berpihak pada pengurangan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang diharapkan dalam skema aksi REDD+. Hasil perhitungan Net Emisi (Emisi Bersih) menurut zona fungsi kawasan dan sumber emisi di Provinsi Papua seperti dideskripsikan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Net emisi (ton CO2-Eq) di Provinsi Papua berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi. No. 1
Zona KSA
Sumber Emisi
2,325,157.52
2,400,382.89
2,425,135.08
2,499,452.64
5,003,250.25
5,002,560.58
4,579,030.25
4,577,799.09
871,150.35
871,150.35
784,331.52
785,778.98
710,115.14
711,438.49
8,579,503.93
8,579,503.93
8,112,739.29
8,188,722.45
7,714,280.47
7,788,690.22
Deforestasi
2,135,679.20
2,135,679.20
2,196,713.48
2,529,748.69
2,254,863.25
2,584,981.02
Degradasi
3,294,285.11
3,294,285.11
3,230,036.81
3,229,701.73
3,167,295.53
3,166,315.86
141,618.80
146,255.71
5,563,777.59
5,897,552.60
1,330,914.38
1,337,271.12
1,425,460.82
1,341,829.22
1,427,379.71
13,695,132.14
11,918,329.79
11,915,910.03
10,391,175.17
10,386,951.92
1,823.07
1,823.07
1,840.14
1,839.45
1,859.78
1,858.67
15,027,869.59
15,027,869.59
13,257,441.05
13,343,210.29
11,734,864.18
11,816,190.29
Deforestasi
1,602,792.67
1,602,792.67
1,763,173.28
1,870,516.83
1,897,249.11
1,585,951.03
Degradasi
4,789,504.20
4,789,504.20
4,311,088.49
4,309,124.30
3,891,462.10
3,887,922.32
136,464.09
136,464.09
126,542.19
19,547.93
119,528.01
17,358.68
6,528,760.96
6,528,760.96
6,200,803.96
6,199,189.06
5,908,239.23
5,491,232.03
Deforestasi
1,656,941.24
1,656,941.24
1,679,953.19
1,770,093.62
1,701,913.75
1,790,881.90
Degradasi
7,423,172.96
7,423,172.96
7,118,148.11
7,116,759.96
6,829,251.57
6,826,613.78
141,257.93
141,257.93
138,694.77
139,260.51
136,499.70
137,021.57
9,221,372.13
9,221,372.13
8,936,796.06
9,026,114.09
8,667,665.02
8,754,517.26
Deforestasi
2,762,046.94
2,762,046.94
2,653,437.76
26,171,040.15
2,554,554.33
11,072,448.44
Degradasi
1,418,894.74
1,418,894.74
1,265,439.28
1,265,263.90
1,134,726.13
1,134,409.76
OLCC
176,222.35
176,222.35
181,021.36
1,054,277.80
185,166.49
106,665.72
4,357,164.02
4,357,164.02
4,099,898.39
28,490,581.86
3,874,446.95
12,313,523.92
Deforestasi
11,705,487.88
11,705,487.88
11,955,706.34
36,167,243.00
12,175,544.74
20,961,094.75
Degradasi
36,112,229.27
36,112,229.27
32,846,292.72
32,839,320.50
29,992,940.76
29,980,012.73
1,488,233.85
1,488,233.85
1,382,990.90
2,155,835.08
1,294,787.94
1,120,598.85
49,305,951.00
49,305,951.00
46,184,989.96
71,162,398.58
43,463,273.43
52,061,706.32
Sub Total 5 Total 1+2+3 + 4+5
155,130.40 5,914,580.82
1,330,914.38
OLCC APL
150,560.92 5,577,311.21
13,695,132.14
Sub Total 4 6
161,316.06 5,591,280.37
Degradasi
OLCC HPT
161,316.06 5,591,280.37
Deforestasi
Sub Total 4 5
FL
5,491,240.13
OLCC HPK
Historical
2,217,113.45
Sub Total 3 4
2016-2021 FL
5,491,240.13
OLCC HP
Historical
2,217,113.45
Sub Total 2 3
2011-2016 FL
Degradasi OLCC HL
2006-2011 Historical
Deforestasi
Sub Total 1 2
Net Emisi (ton CO2-Eq/thn)
OLCC Jumlah Deforestasi+Degradasi + OLCC
Data pada Tabel memperlihatkan bahwa sumber emisi utama adalah deforestasi, degradasi hutan dan perubahan tutupan hutan lain (other land cover change/OLCC). Aktivitas yang menjadi sumber emisi tersebut terjadi di semua zone fungsi kawasan. Yang menarik dari data yang dideskripsikan pada Tabel 6.2 tampak bahwa aktivitas degradasi dan deforestasi serta perubahan tutupan lahan lain yang terjadi di zona KSA dan HL seharusnya tidak terlalu besar. Namun berdasarkan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
63
hasil perhitungan emisi ternyata emisi bersih yang terjadi di KSA dan HL hampir sama dengan emisi bersih pada hutan Produksi dan areal penggunaan lain. Artinya bahwa deforestasi dan degradasi hutan pada KSA dan HL terjadi secara intensif mendekati seperti yang terjadi di Hutan Produksi dan areal penggunaan lain. Fakta ini dibuktikan dengan hasil interprestasi Citra Satelit tahun 2006-2011, bahwa terjadi perubahan tutupan lahan yang nyata pada zone fungsi kawasan KSA dan HL selama periode tersebut. Dan perubahan tutupan lahan ini hampir sama dengan yang terjadi di hutan produksi dan areal penggunaan lain. Sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, seharusnya pada kawasan hutan konservasi dan hutan lindung aktivitas deforestasi dan degradasi hutan seminimal mungkin. Fakta ini dimungkinkan terjadi sebagai akibat adanya pemekaran wilayah pada kawasan konservasi yang relatif intensif pada tahun-tahun terakhir sehingga banyak kawasan-kawasan yang terbuka untuk kepentingan pembangunan, termasuk di dalamnya kebutuhan areal untuk membuka isolasi wilayah. Persentase (%) Net emisi (ton CO2-Eq) berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi terhadap Net emisi total di Provinsi Papua dapat dilihat pada Tabel 6.3. Tabel 6.3. Persentase (%) Net emisi (ton CO2-Eq) berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi terhadap Net emisi total di Provinsi Papua No.
Zona
Sumber Emisi
Net Emisi (ton CO2-Eq/thn) 2006-2011 Historical
1
KSA
4.50
5.03
Degradasi
11.14
11.14
1.77
1.77
17.40 4.33
Deforestasi
HP
8.79
1.63
1.37
17.40
17.57
11.51
17.75
14.96
4.33
4.76
3.55
5.19
4.97
4.54
7.29
6.08
0.22
0.33
0.28
11.34
11.34
12.08
8.31
12.80
11.33
Deforestasi
2.70
2.70
2.90
2.00
3.09
2.74
Degradasi
27.78
27.78
25.81
16.74
23.91
19.95
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
30.48
30.48
28.71
18.75
27.00
22.70
3.25
3.25
3.82
2.63
4.37
3.05
Degradasi
9.71
9.71
9.33
6.06
8.95
7.47
OLCC
0.28
0.28
0.27
0.03
0.28
0.03
13.24
13.24
13.43
8.71
13.59
10.55
Deforestasi
3.36
3.36
3.64
2.49
3.92
3.44
Degradasi
15.06
15.06
15.41
10.00
15.71
13.11
0.29
0.29
0.30
0.20
0.31
0.26
18.70
18.70
19.35
12.68
19.94
16.82
5.60
5.60
5.75
36.78
5.88
21.27
Degradasi
2.88
2.88
2.74
1.78
2.61
2.18
OLCC
0.36
0.36
0.39
1.48
0.43
0.20
Sub Total 5
8.84
8.84
8.88
40.04
8.91
23.65
Deforestasi
23.74
23.74
25.89
50.82
28.01
40.26
Degradasi
73.24
73.24
71.12
46.15
69.01
57.59
3.02
3.02
2.99
3.03
2.98
2.15
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
OLCC Jumlah Deforestasi+Degradasi + OLCC
64
10.54
1.10
6.99
Deforestasi
Total 1+2+3 + 4+5
7.03
1.70
0.33
Sub Total 4 APL
10.83
6.68
OLCC 6
4.80
0.33
Deforestasi
HPT
FL
5.58
6.68
Sub Total 4 5
Historical 3.37
0.33
Sub Total 3 HPK
FL
Degradasi
OLCC 4
2016-2021
OLCC Sub Total 2 3
Historical
4.50
Sub Total 1 HL
FL
Deforestasi OLCC
2
2011-2016
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Berdasarkan data pada tabel di atas, pada perhitungan Net emisi dengan pendekatan rencana pembangunan (forward looking), pada periode tahun 2006-2011, deforestasi hutan memberikan kontribusi sebesar 23,74% terhadap net emisi, sedangkan degradasi hutan memberikan kontribusi yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 73,24%, serta Other Land Cover Change (OLCC) sebesar 3,02%. Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan data rencana pembangunan di Provinsi Papua, maka pada periode tahun 20011-2016 deforestasi hutan memberikan kontribusi sebesar 50,82% terhadap Net emisi, sedangkan degradasi hutan memberikan kontribusi yang lebih rendah yaitu sebesar 46,15%, serta Other Land Cover Change (OLCC) sebesar 3,03%. Pada periode 2016-2021, deforestasi hutan memberikan kontribusi sebesar 40,26% terhadap Net emisi, sedangkan degradasi hutan memberikan kontribusi yang lebih tinggi yaitu sebesar 57,59%, serta Other Land Cover Change (OLCC) sebesar 2,15%. Analisis Citra Satelit juga membantu menyajikan data tentang luasan hutan di Provinsi Papua yang mengalami perubahan tutupan lahan selama periode tahun 2006-2011. Data luas tutupan lahan yang mengalami perubahan dapat dilihat pada Tabel 6.4 Tabel 6.4. Rata-rata perubahan tutupan lahan tiap tahun di Provinsi Papua selama periode tahun 2006-2011. No.
Sumber Emisi
Luas (Ha)
Net Emission (ton CO2-Eq/year)
Persentase (%)
1
Deforestasi
25,679.64
11,705,487.88
23.74
2
Degradasi
181,770.92
36,112,229.27
73.24
3
OLCC Jumlah
16,429.76
1,488,233.85
3.02
223,880.32
49,305,951.00
100.00
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata tahunan luas tutupan hutan yang mengalami deforestasi selama periode tahun 2006-2011 adalah seluas 25.679,64 ha/tahun, degradasi hutan seluas 181.770,92 ha/tahun dan Other Land Cover Change (OLCC) sebesar 16.429,76 h/tahun. Apabila perubahan tutupan lahan tersebut tidak dikendalikan dengan berbagai aksi mitigasi yang mampu meminimalisir laju deforestasi dan degradasi hutan, maka tingkat Net emisi akan terus meningkat. Data penyumbang Net emisi terbesar dari kegiatan yang menyebabkan deforestasi berdasarkan tingginya sumbangsih emisi dapat dilihat pada Tabel 6.5. Tabel 6.5. Ranking 10 besar penyebab deforestasi di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 No
Zona
Tutupan Lahan Awal
Perubahan
Luas (Ha)
Net Emission (ton CO2-Eq/ year)
Persentase (%)
1
HL
HLKP
SB
1,596.12
889,570.88
1.80
2
HP
HLKP
TT
1,251.50
823,695.58
1.67
3
APL
HLKS
PLKC
1,979.02
797,479.09
1.62
4
HPT Gambut
HRP
BR
1,046.00
652,888.79
1.32
5
HL
HLKS
PLKC
1,556.22
627,104.79
1.27
6
KSA
HLKS
PLKC
1,484.38
598,155.66
1.21
7
KSA
HLKS
SB
1,455.18
586,389.03
1.19
8
HPK
HLKS
SB
1,243.70
501,169.64
1.02
9
HPK
HLKS
PLKC
1,226.72
494,327.27
1.00
10
APL
HLKS
SB
721.90
290,901.64
0.59
Ket: HLKP=Hutan Lahan Kering Primer, HLKS=Hutan Lahan Kering Sekunde, HRP= Hutan Rawa Primer, SB = Semak Belukar, BR= Belukar Rawa, TT= Tanah Terbuka, PLKC= Pertanian Lahan Kering Campur.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
65
Data pada Tabel menunjukan bahwa deforestasi hutan tertinggi di Provinsi Papua terjadi pada kawasan Hutan Lindung yaitu seluas 3.152,34 ha/tahun dan Kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam yaitu seluas 2.939,56 ha/tahun. Fakta ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perambahan yang cukup intensif terjadi pada kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Provinsi Papua periode tersebut. Hasil overlay dengan peta kawasan konservasi di Provinsi Papua menunjukan bahwa kawasan konservasi yang mengalami gangguan sangat tinggi adalah Suaka Margasatwa Mamberamo Foja mengalami deforestasi seluas rata-rata 1.676,63 ha/tahun dan Taman Nasional Lorentz seluas rata-rata 1.642,44 ha/tahun. Hal ini membuktikan bahwa penetapan wilayah konservasi tersebut ternyata tidak mengurangi aksesibilitas pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Dan faktor utama yang diduga menjadi pemicu utama tingginya perambahan dan pemanfaatan kawasan di kawasan tersebut adalah pemekaran wilayah Kabupaten/Kota. Data penyumbang Net emisi terbesar dari kegiatan yang menyebabkan degradasi hutan berdasarkan tingginya kontribusi emisi dapat dilihat pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Ranking 10 besar penyebab degradasi hutan di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011. No
Zona
Tutupan Lahan Awal
Perubahan
Luas (Ha)
Net Emission (ton CO2-Eq/ year)
Persentase (%)
1
HP
HLKP
HLKS
72,497.08
11,191,132.58
22.70
2
HPK
HLKP
HLKS
27,864.00
4,301,272.80
8.72
3
HPT
HLKP
HLKS
23,503.64
3,628,178.56
7.36
4
KSA
HRP
HRS
8,169.22
3,231,716.20
6.55
5
HPT
HRP
HRS
6,349.60
2,511,880.59
5.09
6
HP
HRP
HRS
4,554.06
1,801,570.96
3.65
7
HL Gambut
HRP
HRS
4,288.32
1,696,445.10
3.44
8
HL
HLKP
HLKS
9,213.76
1,422,297.42
2.88
9
KSA
HLKP
HLKS
8,241.52
1,272,215.97
2.58
10
KSA Gambut
HRP
HRS
2,419.88
957,296.46
1.94
Ket: HLKP=Hutan Lahan Kering Primer, HLKS=Hutan Lahan Kering Sekunde, HRP= Hutan Rawa Primer, HRS= Hutan Rawa Sekunder.
Data pada tabel di atas mendeskripsikan bahwa deforestasi tertinggi secara berturut-turut terjadi pada Hutan Produksi seluas 77.051,14 ha/tahun, Hutan Produksi Terbatas seluas 29.853,24 ha/tahun, Hutan Produksi Konversi 27.864 ha/tahun, Hutan Lindung seluas 13.502,08 ha/tahun dan Kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam seluas 10.661,40 ha/tahun. Hal yang sangat lumrah bila degradasi hutan terjadi pada kawasan hutan produksi karena areal ini memang diperuntukan untuk produksi kayu. Namun data pada tabel tersebut menunjukkan adanya perambahan pada wilayah hutan lindung dan kawasan konservasi yang sangat besar. Hasil overlay dengan peta kawasan konservasi di Provinsi Papua menunjukan bahwa kawasan konservasi yang mengalami gangguan sangat tinggi adalah Suaka Margasatwa Mamberamo Foja mengalami deforestasi seluas rata-rata 7.218,05 ha/tahun dan Taman Nasional Lorentz seluas rata-rata 1.525,93 ha/tahun. Hal ini membuktikan bahwa penetapan wilayah konservasi tersebut ternyata tidak mengurangi aksesibilitas untuk melakukan penebangan kayu pada wilayah kawasan konservasi dimaksud. Tingginya kebutuhan kayu untuk menunjang pembangunan fasilitas umum dan pemukiman akibat adanya pemekaran wilayah menjadi salah satu faktor tingginya aktifitas penebangan hutan serta aksesibilitas wilayah yang semakin mudah akibat program pembukaan isolasi wilayah di daerah pemekaran.
66
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Bila mengacu pada data 10 besar penyebab deforestasi di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 (Tabel 6.5 ) dan data 10 besar penyebab degradasi hutan di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011 (Tabel 6.6), maka dapat disimpulkan bahwa deforestasi hutan tersebut hanya menyumbang 12.6%, sedangkan degradasi hutan sebesar 64.1%. Ini menunjukan bahwa upayaupaya pencegahan degradasi hutan perlu diprioritaskan. 6.2. Rencana Aksi Mitigasi di Provinsi Papua Rencana aksi mitigasi Provinsi Papua dalam implementasi REDD+ terbagi dalam 2 kelompok aksi yaitu: a. Stabilisasi simpanan karbon hutan.
Stabilitas simpanan karbon hutan merupakan usaha yang dilakukan untuk mempertahankan sediaan karbon hutan melalui berbagai program kegiatan dan insentif kebijakan, seperti - Pencegahan perambahan hutan dalam KSA dan HL - Pengurangan konversi hutan menjadi APL - Pengurangan Perizinan Jatah Tebangan Tahunan (JTT) berdasarkan kemampuan produksi RKT berjalan. - Implementasi Reduced Impact Logging (RIL) dalam rangka sertifikasi PHPL dan SVLK - Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA)
b. Peningkatan serapan karbon hutan.
Peningkatan serapan karbon hutan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan aksi sebagai berikut : - Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) - Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) - Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) - Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) - Pelaksanaan Restorasi Ekosistem Hutan (REH)
Rencana aksi mitigasi REDD+ Papua ini diimplementasikan dengan pendekatan skenario guna memberikan gambaran kemungkinan-kemungkinan pencapaian pengurangan emisi dan peningkatan sediaan kabon hutan selama periode mitigasi dan adaptasi. Pendekatan skenario dipilih karena implementasi aksi mitigasi yang direncanakan memiliki ketidakpastian yang tinggi dan masih dalam taraf uji coba untuk menemukan suatu model mitigasi dan adaptasi REDD+ yang lebih realistis, termasuk model-model perhitungan, pelaporan dan verifikasi serta skema pendanaan aksi mitigasi dengan indikator-indikator keberhasilan yang dapat diberlakukan dan memenuhi kriteria-kriteria secara Regional, Nasional dan Internasional yang disyaratkan, disamping dapat diimplementasikan secara teknis dalam program pembangunan di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Hasil perhitungan emisi kumulatif sampai tahun 2020 berdasarkan rencana aksi mitigasi Provinsi Papua menunjukkan bahwa aksi mitigasi peningkatan serapan karbon hutan ternyata mampu memberikan kontribusi pengurangan emisi sebesar 6,55%, sedangkan aksi mitigasi stabilisasi simpanan karbon hutan memberikan kontribusi pengurangan emisi sebesar 93,45% dari total penurunan emisi dari aksi mitigasi yang direncanakan selama kurun waktu perencanaan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.2 dan Tabel 6.7.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
67
pengurangan emisi sebesar sebesar 6,55%, sedangkan aksi mitigasi stabilisasi pengurangan emisihutan sebesar sebesar 6,55%, sedangkan aksi mitigasi stabilisasi simpanan karbon memberikan kontribusi pengurangan emisi sebesar simpanan hutan memberikan pengurangan emisi sebesar 93,45% darikarbon total penurunan emisi dari kontribusi aksi mitigasi yang direncanakan selama 93,45% dari total penurunansebagaimana emisi dari aksidiperlihatkan mitigasi yangpada direncanakan kurun waktu perencanaan, Gambar selama 6.2 dan kurun waktu perencanaan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.2 dan Tabel 6.7. Gambar 6.2. Kontribusi aksi mitigasi Provinsi Papua terhadap penurunan emisi. Tabel 6.7. 1: Peningkatan Serapan Karbon 1: 2: 3:1: 2: 3:
1: 2: 3:1: 2: 3:
552303873 1: Peningkatan Serapan Karbon
2: Stabilisasi Simpanan Karbon 2: Stabilisasi Simpanan Karbon
3: Total 3: Total
552303873
276151937
1: 2:1: 3:2: 3: Page 11 Page 11
276151937
0 0
6:06 AM Sun, Apr 21, 2013 6:06 AM Sun, Apr 21, 2013
Gambar 6.2. Kontribusi aksi mitigasi Provinsi Provinsi Papua Papuatehadap tehadappenurunan penurunanemisi. emisi. Gambar Kontribusi aksi mitigasi Tabel 6.7. 6.2. Peningkatan pengurangan emisi gas CO2 berdasarkan kelompok aksi mitigasi di Provinsi Papua
Tabel6.7. 6.7.Peningkatan Peningkatan pengurangan pengurangan emisi Tabel emisi gas gas CO CO22berdasarkan berdasarkankelompok kelompokaksi aksi mitigasi di Provinsi Papua mitigasi Provinsi Data pada Tabel didi atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi melalui peningkatan serapan karbon hutan diperkirakan dapat mengurangi emisi kumulatif sampai tahun 2020 sebesar 33.669.930 ton CO2-eq atau sebesar 4,004% dari emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun 2020. Data ini mengindikasikan bahwa aksi mitigasi penurunan emisi melalui program peningkatan serapan karbon kurang begitu nyata dalam menurunkan emisi karbon. Selain memberikan kontribusi penurunan emisi yang rendah, aksi mitigasi ini membutuhkan biaya implementasi kegiatan lapangan Reference Emission Level (REL) dan dan Aksi Mitigasi Mitigasi Papua VI-11 yang sangat mahal. Sebagai contoh, untukProvinsi membangun Reference Emission Level (REL) Aksi Provinsi Papua 1 Ha HTI daur pendek dengan jenis cepat VI-11 tumbuh membutuhkan biaya sebesar ± Rp. 16.000.000,- hingga umur daur. Perbandingan biaya mitigasi yang dikeluarkan dengan persentase konstribusi pengurangan emisi yang dihasilkan aksi menjadi pertimbangan kunci dalam menentukan aksi mitigasi REDD+ di Provinsi Papua. Aksi mitigasi stabilisasi simpanan karbon secara kumulatif akan mampu menurunkan emisi sebesar 518.633.943 ton CO2-eq atau sebesar 61,681% dari emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun 2020. Nilai konstribusi penurunan emisi dari aksi mitigasi ini dimungkinkan karena Provinsi Papua dengan hutannya yang luas, akan sangat efektif menurunkan emisi dengan menjaga stabilisasi simpanan karbon hutan khususnya pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan termasuk lahan-lahan
68
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
gambut yang terdapat disetiap fungsi kawasan. Implementasi aksi mitigasi ini membutuhkan biaya yang relatif lebih rendah dibanding dengan aksi mitigasi peningkatan serapan karbon. Karena aktivitas lapangan yang dilakukan lebih pada efektivitas kegiatan sosialisasi, penyuluhan dan pengamanan terhadap kawasan termasuk penegakan hukum yang konsisten. Kontribusi seluruh aksi mitigasi yang direncanakan di Provinsi Papua secara keseluruhan akan menurunkan emisi kumulatif sebesar 552.303.873 ton CO2-eq atau sebesar 65,686% dari total emisi kumulatif pada akhir mitigasi tahun 2020 sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Jika diasumsikan bahwa setiap Provinsi memiliki kewajiban menurunkan emisi sesuai komitmen Nasional sebesar 26% dengan inisiatif nasional dan 41% dengan bantuan internasional, maka Provinsi Papua melalui aksi mitigasi yang direncanakan telah melampaui persentase yang telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Bahkan konstribusi penurunan emisi telah melebihi kuota sebesar 24,686% (207.565.152 ton CO2-eq) dari kuota penurunan 41% emisi dan sebesar 39,686% (333.689.075 ton CO2-eq) dari kuota 26%. Capaian ini mengasumsikan bahwa pelaksanaan seluruh aksi mitigasi berjalan sesuai dengan skenario optimis. Artinya bahwa semua aksi mitigasi yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan selama periode mitigasi. Besarnya kontribusi masing-masing kelompok aksi mitigasi terhadap penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua dapat dilihat pada Tabel 6.8. Tabel 6.8. Kontribusi aksi mitigasi terhadap penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua Kontribusi Penurunan Emisi No
Aksi Mitigasi
Skenario Pesimis ton CO2-Eq
I
Skenario Optimis %
ton CO2-Eq
%
Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan
1
Pencegahan Perambahan Hutan
36,502,447
4.341
182,512,237
21.706
2
Implementasi RIL
28,573,438
3.398
142,867,188
16.991
3
Pengurangan Konversi Hutan
20,889,432
2.484
104,447,161
12.422
4
Penurunan luas areal RKT IUPHHK
17,143,951
2.039
85,719,757
10.195
5
PHBMA Sub Total I
II 1
617,520
0.073
3,087,600
0.367
103,726,788
12.336
518,633,943
61.681
12,907,840
1.535
Peningkatan Serapan Karbon Hutan Pembangunan HTI
2,581,568
0.307
2
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
1,290,432
0.153
6,452,160
0.767
3
Pelaksanaan HKm
1,137,503
0.135
5,687,517
0.676
4
Restorasi Ekosistem Hutan
863,960
0.103
4,319,800
0.514
5
Hutan Tanaman Rakyat
860,523
0.102
4,302,613
0.512
Sub Total II JUMLAH
6,733,986
0.801
33,669,930
4.004
110,460,774
13.137
552,303,873
65.686
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua lebih banyak pada aksi mitigasi stabilisasi simpanan karbon hutan yaitu berkisar antara 12,336% (pesimis-rendah) – 61,681% (optimis-tinggi). Kelompok aksi mitigasi ini harus menjadi prioritas bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam rangka pengurangan emisi karena secara nyata memberikan kontribusi yang besar dan memerlukan biaya yang relatif lebih rendah. Sedangkan kelompok aksi mitigasi peningkatan serapan karbon memberikan kontribusi yang sangat rendah terhadap penurunan emisi yaitu berkisar antara 0,801% (pesimis-rendah) – 4,004% (optimistinggi). Selain itu, kelompok aksi mitigasi ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi di dalam implementasinya.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
69
- Rehabilitas Hutan dan Lahan (RHL) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis merupakan salah satu rencana aksi mitigasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan target penurunan emisi sebesar 18,35 juta ton CO2-eq pada DAS prioritas dan 1,47 ton CO2-eq pada hutan mangrove dan hutan pantai. Penanggung jawab aksi mitigasi ini adalah Kementerian Kehutanan dan pelaksanaannya dilakukan pada seluruh Provinsi di Indonesia kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak ada alokasi rehabilitasi hutan mangrove. Secara umum ada 4 (empat) tahapan di dalam kegiatan RHL yaitu: (1) Penyusunan Rencana Kerja RHL, (2) Penyediaan bibit, (3) Penanaman dan (4) Pemeliharaan 1 dan 2. Aktor yang terlibat dan peranannya di dalam kegiatan RHL dapat dilihat pada Tabel 6.9. Tabel 6.9. Aktor dan perannya dalam kegiatan RHL No.
Aktor
Peran
1
Ditjen BPDASPE
Penyusunan pedoman, pembinaan dan pengendalian
2
UPT BPDAS
Menilai dan mengesahkan RKRHL swakelola, menilai RKRHL kontraktual, pembinaan dan pengendalian
3
UPT KSDA
Penyusun rancangan RHL hutan konservasi, pengesahan, pengendalian, pengawasan, pelaksanaan
4
Kadinhut Provinsi
Penyusun rancangan RHL tahura, pengesah rancangan, koordinasi RHL, pengendalian dan pengawasan
5
Kadinhut Kabupaten/Kota
Penyusun rancangan RHL kabupaten/kota, pengesah rancangan, pelaksana RHL, pengendalian dan pengawasan
6
Penyuluh
Pendampingan masyarakat
7
Pihak Ketiga
RKRHL kontraktual
8
Kelompok Tani
Penyedia bibit, penanam, pemeliharaan 1 dan 2
Rencana aksi mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Papua diasumsikan dilakukan pada lahan kritis, dengan target luas areal kritis yang ditanami seluas 5.000 Ha/tahun sejak tahun 2011 serta diasumsikan bahwa jenis pohon yang ditanam adalah jenis cepat tumbuh (fast growing species) tanpa daur. Selain itu skenario tingkat keberhasilan RHL dibagi dalam 5 (lima) skenario yaitu skenario dengan tingkat keberhasilan terendah 20%, skenario tingkat keberhasilan 40%, skenario tingkat keberhasilan 60%, skenario tingkat keberhasilan 80%, serta skenario dengan tingkat keberhasilan tertinggi yaitu 100%. Skenario keberhasilan yang dimaksud disini adalah keberhasilan luas pertanaman dengan persentase hidup tanaman normal lebih dari 80%. Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan RHL di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.3. Grafik di atas menjelaskan bahwa semakin tinggi keberhasilan RHL, maka akan memberikan kontribusi yang semakin besar pula dalam penurunan emisi gas CO2 yang berada di atmosfer. Penurunan emisi ini dimungkinkan karena C02 di atmosfer akan diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis. Semakin aktif proses pertumbuhan tanaman dan semakin tinggi tingkat kerapatan tegakan per satuan luas akan semakin besar jumlah CO2 yang diserap untuk aktifitas pertumbuhan tegakan. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan RHL 20% (pesimisrendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan RHL 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam kegiatan RHL dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi RHL dapat dimaksimalkan.
70
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
100%. Skenario keberhasilan yang dimaksud disini adalah keberhasilan luas pertanaman dengan persentase hidup tanaman normal lebih dari 80%. Perbandingan penurunan emisi secara komulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan RHL di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.3.
Gambar 6.3. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Papua. Kontribusi RHL: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
7000000 5
4 1:
5
3500000
3 4 5
1:
0
2 1 2011.00
3
4
2
3
5 1
1
2
2013.25
Page 1
2
3
4
2015.50 Y ears
1
2017.75 2020.00 5:34 AM Fri, Apr 19, 2013
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Besar kontribusi aksi mitigasi RHL pada berbagai skenario keberhasilan dilihat Gambar 6.3. Perbandingan penurunan Net emisitingkat komulatif padadapat berbagai pada Tabel 6.10. penurunan net hutan emisi dan kumulatif CO2-eq) pada Tabel 6.10. Perbandingan skenario mitigasi rehabilitasi lahan (ton di Provinsi Papua. berbagai skenario mitigasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Tabel 6.10. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai Provinsi Papua skenarioGrafik mitigasidi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)semakin di Provinsitinggi Papua keberhasilan RHL, atas menjelaskan bahwa
maka akan memberikan kontribusi yang semakin besar pula dalam penurunan emisi gas CO2.yang berada diatmosfer.
Penurunan emisi ini dimungkinkan
karena C02 di atmosfer akan diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis. Semakin aktif proses pertumbuhan tanaman dan semakin tinggi tingkat kerapatan tegakan per satuan luas akan semakin besar jumlah C02 yang diserap untuk aktifitas pertumbuhan tegakan. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan RHL 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan RHL 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam kegiatan RHL dapat menjalankan perannya Ket: angka 1=skenario 20% implementasi , 2= 40% 40%, 3= skenario berhasil, Ket: angka 1=skenario 20% berhasil ,berhasil 2= skenario 40%skenario berhasil 3= berhasil skenario 60% berhasil, 4=dimaksimalkan. skenario60% 80% berhasil dan 5= dengan baik sehingga aksi40%, mitigasi RHL dapat 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. skenario 100% berhasil.
DataBesar pada tabel di atas menunjukkan bahwa mitigasi RHL padaskenario berbagai skenario kontribusi aksi mitigasi RHLaksipada berbagai tingkat dapat memberikan kontribusi di penurunan Net emisi kumulatif Provinsi padaRHL tahun pada 2020 Data pada atasTabel menunjukkan bahwa aksiPapua mitigasi keberhasilan dapat tabel dilihat pada 6.10. sebesar 0,15% (pesimis-rendah) - 0,77% (optimis-tinggi) dengan Net emisi kumulatif yang dapat berbagai skenario dapat memberikan kontibusi penurunan Net emisi komulatif diturunkan sebesar 1.290.432 ton CO2-eq – 6.452.160 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif Provinsi PapuaLevel pada tahun 2020Provinsi sebesar 0,15% (pesimis-rendah) - 0,77% sebesar 840.826.148 ton hal lain yang harus diperhatikan bahwa biaya RHL Reference Emission (REL)CO2-eq. dan Aksi Namun Mitigasi Papua VI-15 berdasarkan Harga Satuan Pokok Ditjen BPDAS-PS tahun 2012 pada rayon V (Papua, Papua Barat, (optimis-tinggi) dengan Net emisi komulatif yang dapat diturunkan sebesar Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur) sebesar ± Rp. 17.958.000,-/ha.
1.290.432 ton CO2-eq – 6.452.160 ton CO2-eq dari total emisi komulatif sebesar
840.826.148 ton CO2-eq. Namun hal lain yang harus diperhatikan bahwa biaya RHL berdasarkan Harga Satuan Pokok Ditjen BPDAS-PS tahun 2012 pada rayon V (Papua, Papua Utara dan Papua Nusadalam Tenggara Timur)REDD+ sebesar ± Rp. 71 Strategi dan Barat, RencanaMaluku Aksi Provinsi (SRAP) Implementasi
Kendala yang umum dihadapi dalam pelaksanaan RHL adalah: (1) kesulitan mencari lokasi penanaman yang clean and clear, (2) persentase hidup rendah, yang dikarenakan pemeliharaan hanya dilakukan pada tahun 1 dan 2. Seharusnya pemeliharaan dilakukan hingga tahun ke 5, (3) Kapabilitas SDM di daerah yang rendah terutama tenaga teknis lapangan yang siap untuk melaksanakan kegiatan di lapangan, termasuk kegiatan pengawasan. - Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disebut HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. IUPHHK-HTR adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) diharapkan dapat dijadikan salah satu rencana aksi mitigasi di Provinsi Papua. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011, aksi mitigasi pembangunan HTR diharapkan dapat memberikan kontribusi penurunan emisi sebanyak 110,10 Juta ton CO2-eq. Rencana aksi mitigasi HTR di Provinsi Papua diasumsikan dilakukan tiap tahun pada areal seluas 5000 Ha. Aktor yang terlibat dan peranannya di dalam pembangunan HTR dapat dilihat pada Tabel 6.11. Tabel 6.11. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTR No
Aktor
Peran
1
Menteri Kehutanan
Alokasi dan penetapan areal HTR
2
Dirjen BUK
Pembinaan teknis pelaksanaan pembangunan HTR dan pengawasan
3
BPKH
Pengukuran dan perpetaan
4
BPPHP
Verifikasi atas persyarakat administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon
5
Kadinhut
Laporan periodik, fasilitasi dan pengawasan
6
Gubernur
Menerbitkan keputusan IUPHHK-HTR
7
Bupati/Wali kota
Sosialisasi ke kampung terkait mengenai alokasi dan penetapan areal HTR. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas masyarakat
8
Camat
Fasilitas penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas masyarakat
9
Penyuluh
Fasilitasi pembuatan sketsa areal HTR
10
Kepala Kampung
Keterangan koperasi dibentuk oleh masyarakat setempat. Verifikasi keabsahan persyaratan permohonan oleh perorangan atau kelompok dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Wali kota
11
Masyarakat/koperasi
Mengajukan permohonan IUPHHK-HTR
Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan pembangunan HTR di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.4 dibawah ini. Grafik di atas mendeskripsikan bahwa semakin besar keberhasilan pembangunan HTR, maka akan memberikan kontribusi yang semakin besar juga terhadap penurunan emisi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan pembangunan HTR 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan pembangunan HTR 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam pembagunan HTR dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi pembangunan HTR dapat dimaksimalkan.
72
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Gambar 6.4. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Kontribusi HTR: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
5000000
5
4 1:
5
2500000
3 4 5
1:
0
2 1 2011.00
3
4
3
5 1
2
2013.25
Page 2
2
3
4
2 1 2015.50 Y ears
1
2017.75 2020.00 5:42 AM Fri, Apr 19, 2013
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Besar kontribusi aksi mitigasi pembagunan HTRnet padaemisi berbagai skenario tingkat Gambar 6.4. Perbandingan penurunan komulatif padakeberhasilan berbagai dapat dilihat pada skenario Tabel 6.12. mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Tabel 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada di Provinsi Papua. berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Tabel 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai (HTR) di Provinsi Papua di atas mendeskripsikan semakin besar keberhasilan skenarioGrafik mitigasi pembangunan Hutan Tanamanbahwa Rakyat (HTR) di Provinsi Papua
pembangunan HTR, maka akan memberikan kontribusi yang semakin besar juga terhadap penurunan emisi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan pembangunan HTR 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan pembangunan HTR 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam pembagunan HTR dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi pembangunan HTR dapat dimaksimalkan. Besar kontribusi aksi mitigasi pembagunan HTR pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.12. Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil.
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pembentukan HTR pada berbagai skenario Data dapat memberikan penurunan Net emisi kumulatif pada tahun pada tabel kontribusi di atas menunjukkan bahwa aksi Provinsi mitigasiPapua pembentukan 2020 sebesar 0,001% (pesimis-rendah) - 0,005% (optimis-tinggi) dengan Net emisi kumulatif yang HTR pada berbagai skenario dapat memberikan kontibusi penurunan Net emisi dapat diturunkan sebesar 860.523 ton CO2-eq – 4.302.613 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif komulatif ProvinsitonPapua 2020 sebesar (pesimis-rendah) sebesar 840.826.148 CO2-eq.pada Hal initahun memang terhitung sangat0,001% kecil jika dibandingkan denganaksi mitigasi yang lain. Selain itu biaya yang untuk pembangunan HTR sangat besar 0,005% (optimis-tinggi) dengan Netdibutuhkan emisi komulatif yang dapat diturunkan yaitu berkisar antara Rp. 9.115.525 – Rp.12.602.126/ha. Namun HTR diyakini dapat memberikan
sebesar 860.523 ton CO2-eq – 4.302.613 ton CO2-eq dari total emisi komulatif
sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Hal ini memang terhitung sangat kecil jika dibandingkan dengan aksi mitigasi yang lain. Selain itu biaya yang dibutuhkan Strategi dan Rencana Provinsi (SRAP)yaitu Papuaberkisar dalam Implementasi REDD+ untuk pembangunan HTRAksi sangat besar antara Rp. 9.115.525 73 –
peran bagi masyarakat di dalam pengelolaan hutan dan seyogyanya akan memberikan nilai tambah dari hutan produksi. Beberapa kendala yang mungkin akan dijumpai di dalam pelaksanaan HTR adalah: (1) Belum kuatnya kelembagaan yang ada di masyarakat, (2) Proses birokrasi perizinan yang panjang, (3) Tumpang tindih klaim antara hutan Negara dan hutan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal lainnya, (4) Pemasaran hasil produksi. Selain itu pelaksanaan HTR belum mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai motivasi agar masyarakat mau berpartisipasi di dalam kebijakan HTR. Belum optimalnya dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR melalui proses perijinan, pendampingan, dan sosialisasi secara intensif tentang pentingnya HTR untuk masyarakat. Selain itu HTR harus dibingkai dalam isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran serta perlindungan hutan ke perusahaan kayu sebagai rangsangan masyarakat untuk menanam kayu. Pra kondisi yang perlu dibangun adalah insentif kebijakan yang perlu disiapkan adalah Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan perlu mengalokasikan kawasan hutan dekat pemukiman atau lahan-lahan kosong dalam kawasan hutan produksi sebagai areal kelola HTR, karena terbukti pembangunan HTR meningkatkan serapan karbon hutan walaupun dibangun di areal bekas tebangan, dan tingkat penyerapan karbon ini akan semakin meningkat jika pembangunan HTR dilakukan di lahan kosong bekas ladang berpindah atau dalam APL. - Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan Negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa menggangu fungsi pokoknya. Lokasi HKm adalah bagian dari wilayah pengelolaan HKm yang dikelola oleh masyarakat setempat sebagai HKm berdasarkan ijin yang diberikan oleh Bupati/Wali Kota (Kepmenhut No.31/Kpts-II/2001). Pemanfaatan hutan melalui HKm ditujukan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Areal sasaran lokasi HKm adalah kawasan hutan (Hutan Negara) tidak produktif yang ijin pengelolaannya diberikan kepada perorangan atau kelompok masyarakat. Berdasarkan bentuk kegiatan, HKm dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: (1) Aneka Usaha Kehutanan, merupakan suatu bentuk kegiatan HKm dengan memanfaatkan ruang tumbuh atau bagian dari tumbuh-tumbuhan hutan. Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam aneka usaha kehutanan antara lain budidaya rotan, pemungutan getah-getahan, minyak-minyakan, buah-buahan/biji-bijian, budidaya lebah madu dan obat-obatan. Alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan sangat tergantung pada kondisi awal tegakan pokok yang telah ada. (2) Agroforestry, merupakan suatu bentuk HKm yang memanfaatkan lahan secara optimal dalam suatu hamparan, menggunakan kombinasi produksi berdaur panjang dan berdaur pendek, dan menyediakan hampir semua hasil dan fasilitas hutan alam. Agroforestry dapat dikembangkan dalam beberapa model, antara lain tumpang sari (cara bercocok tanam antara tanaman pokok dan tanaman semusim, silvopasture (campuran kegiatan kehutanan, penanaman rumput dan peternakan), solvifishery (campuran kegiatan pertanian dengan usaha perikanan) dan farmforesry (campuran kegiatan pertanian dan kehutanan). HKm pada umumnya melakukan penanaman pada lokasi yang telah ditetapkan baik dengan pola aneka usaha kehutanan maupun agroforestry, sebab lokasi HKm biasanya ditetapkan pada lokasi hutan yang terdegradasi dalam kawasan hutan.
74
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Tabel 6.13. Aktor dan perannya dalam pembangunan HKm No.
Aktor
Peran
1
Ditjen BPDAS PS
Verifikasi, pembinaan dan pengendalian
2
BPDAS
Mencari calon lokasi HKm, memfasilitasi, verifikasi
3
Gubernur
Menerbitkan IUPHKm lintas kabupaten, mengesahkan rencana kerja, pembinaan dan pengendalian
4
Bupati
Usulan penetapan areal kerja HKm, memfasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan kelompok masyarakat, menerbitkan IUPHKm, pembinaan dan pengendalian
5
Masyarakat
Mengajukan permohonan IUPHKm
6
LSM/PT/BUMN/BUMS
Fasilitasi
Aktor yang terlibat dan peranannya di dalam pembangunan HKm dapat dilihat pada Tabel 6.13. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan pengurangan emisi melalui pembangunan HKm di Provinsi Papua adalah bahwa tiap tahun diberikan ijin pengelolaan HKm seluas 3000 Ha. Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan pembangunan HKm di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.5. Gambar 6.5. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Kontribusi HKm: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
6000000 5
4 5 1:
3000000
3 4 5 4
1: Page 3
0
2 1 2011.00
3
4
2
3
5 1 2013.25
2
2
3 1
1 2015.50 Y ears
2017.75 2020.00 5:49 AM Fri, Apr 19, 2013
Gambar Net besar emisikeberhasilan komulatif pelaksanaan pada berbagai Grafik 6.5. di atasPerbandingan mendeskripsikanpenurunan bahwa semakin Hutan skenario Hutankontribusi Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Kemasyarakatan (HKm), maka mitigasi akan memberikan yang semakin besar juga terhadap Papua. penurunan emisi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan pelaksanaan HKm 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan pelaksanaan HKm 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam Grafik di atas mendeskripsikan bahwa semakin besar keberhasilan kegiatan HKm dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi pelaksanaan Hutan (HKm), maka akan memberikan kontribusi pelaksanaan HKm dapatKemasyarakatan dimaksimalkan.
yangBesar semakin jugapelaksanaan terhadapHKm penurunan emisi gastingkat CO2keberhasilan . Garis 1 kontribusibesar aksi mitigasi pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 6.14. skenario keberhasilan pelaksanaan HKm 20% (pesimismenunjukan persentase
rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan pelaksanaan HKm 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam kegiatan HKm dapat menjalankan perannya dengan baik Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
sehingga implementasi aksi mitigasi pelaksanaan HKm dapat dimaksimalkan.
75
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Tabel 6.14. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario Kemasyarakatan di Tabel 6.14. Perbandingan penurunan mitigasi net emisi Hutan kumulatif (ton CO2-eq) pada(HKm) berbagai Provinsi Papua skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. skenario 100% berhasil.
DataData pada pada tabel ditabel atas menunjukan bahwa aksi mitigasi pembentukan HKmpembentukan pada berbagai di atas menunjukan bahwa aksi mitigasi skenario dapat memberikan kontribusi penurunan Net emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun HKm pada berbagai skenario dapat memberikan kontibusi penurunan Net emisi 2020 sebesar 0,14% (pesimis-rendah) - 0,68% (optimis-tinggi) dengan net emisi kumulatif yang komulatif Provinsi Papua pada sebesar 0,14% dapat diturunkan sebesar 1.137.503 tontahun CO2-eq2020 – 5.687.517 ton CO2-eq dari(pesimis-rendah) total emisi kumulatifsebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Hal ini memang terhitung sangat jika diturunkan dibandingkansebesar dengan 0,68% (optimis-tinggi) dengan net emisi komulatif yangkecil dapat aksi mitigasi yang lain. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan HKm cenderung 1.137.503 ton CO2-eq – 5.687.517 ton CO2-eq dari total emisi komulatif sebesar tinggi yaitu ± Rp.10.483.588,-/ha. Namun HKm diyakini dapat memberikan peran bagi masyarakat 840.826.148 ton CO Haldapat ini memang terhitung sangat kecil jikaterjadi. dibandingkan 2-eq.serta di dalam pengelolaan hutan mengurangi perambahan hutan yang
dengan aksi mitigasi yang Industri lain. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk - Pembangunan Hutan Tanaman (HTI) pembangunan HKm cenderung tinggi yaitu ± Rp.10.483.588,-/ha. Namun HKm Hutan Tanaman Industri (HTI) dikembangkan terutama untuk memenuhi kebutuhan akan
diyakini dapat memberikan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan bahan baku industri kayu yang tidak bisabagi dipenuhi dari hutandialam. Lokasi pembangunan HTI menurut peraturan adalah pada lahan hutan hutan yang kurang serta dapat mengurangi perambahan yang produktif terjadi. dan pada areal alang-alang. Aktor yang terlibat dan peranannya di dalam pembangunan HTI dapat dilihat pada Tabel 6.15.
- Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)
Tabel 6.15. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTI No.
Aktor Hutan Tanaman Industri (HTI) dikembangkanPeran terutama untuk memenuhi Menerima atau menolak permohonan IUPHHK-HTI. Menerbitkan SP1 dan SP2.
1 Menteri Kehutanan kebutuhan akan bahan baku Menerbitkan industry keputusan kayu yang bisa dipenuhi tentang tidak IUPHHK-HTI. Penilaian proposaldari hutan 2 Gubernur teknis peraturan adalah pada lahan hutan alam. Lokasi pembangunan Rekomendasi HTI menurut 3
Bupati
Rekomendasi teknis
5
Dinas Kehutanan Provinsi
Analisis fungsi kawasan hutan
6
Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota
Memberikan pertimbangan teknis kepada Bupati/Wali Kota bahwa areal yang diusulkan tidak dibebani hak-hak lain
7
Pemohon
Mengajukan IUPHHK-HTI, menyusun AMDAL, membayar lunas IIUPH
yang kurang produktif dan pada areal alang-alang. 4 BPKH Analisis fungsi kawasan hutan
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan pengurangan emisi melalui pembangunan HTI di Provinsi Papua adalah bahwa tiap tahun dilakukan penanaman HTI seluas 10.000 ha/tahun. Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan pembangunan HTI di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.6.
76 Reference Emission dan Aksi Provinsi Papua StrategiLevel dan (REL) Rencana AksiMitigasi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
VI-23
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan pengurangan emisi melalui pembangunan HTI di Provinsi Papua adalah bahwa tiap tahun dilakukan penanaman HTI seluas 10.000 ha/tahun. Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan pembangunan HTI di Gambar 6.6. Perbandingan penurunan Net emisi 6.6. kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua. Kontribusi HTI: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
20000000
5 1:
10000000
4 5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 4 5
2
3
4
3
Grafik di atas mendeskripsikan bahwa semakin besar keberhasilan 2 1 3 5 3
2
4
1
1 2 maka akan 1 0 HTI, 1: pembangunan memberikan kontribusi yang semakin besar juga 2011.00
2013.25
2015.50
2017.75
2020.00
Page 4 5:54 AM Fri,skenario Apr 19, 2013 menunjukan persentase terhadap penurunan emisi gas CO2. Garis 1Y ears
keberhasilan pembangunan HTI 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan pembangunan HTI 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya Gambar 6.6. Perbandingan penurunan Net keberhasilan emisi komulatif pada HTI, berbagai Grafik di atas mendeskripsikan bahwa semakin besar pembangunan maka skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) akan memberikan semakin besar juga terhadap penurunan emisi gas CO2. Garisdi penurunan emisikontribusi gas COyang 2, semua aktor yang berperan dalam pembangunan HTI Provinsiskenario Papua.keberhasilan pembangunan HTI 20% (pesimis-rendah) dan 1 menunjukan persentase dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan pembangunan HTI 100% (optimis-tinggi). Dalam pembangunan dapat dimaksimalkan. upaya penurunanHTI emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam pembangunan HTI dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi pembangunan HTI Reference Emissionkontribusi Level (REL) dan Aksimitigasi Mitigasi Provinsi Papua VI-24 Besar aksi pembangunan HTI pada berbagai skenario dapat dimaksimalkan. tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.16. Besar kontribusi aksi mitigasi pembangunan HTI pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.16. Tabel 6.16. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada Tabel 6.16. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada Industri berbagai berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman skenario mitigasi pembangunan (HTI) di Provinsi Hutan PapuaTanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40%3=berhasil 40%, 3= skenario 60% Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, skenario 60% berhasil, 4= skenario 80%berhasil, berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil.
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pembentukan HTI pada berbagai skenario keberhasilan dapat memberikan kontibusi Strategi Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papuapada dalamtahun Implementasi REDD+ 0,31%77 penurunan Netdan emisi komulatif Provinsi Papua 2020 sebesar
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pembentukan HTI pada berbagai skenario keberhasilan dapat memberikan kontribusi penurunan Net emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 0,31% (pesimis-rendah) – 1,54% (optimis-tinggi) dengan net emisi kumulatif yang dapat diturunkan sebesar 2.581.568 ton CO2-eq – 12.907.840 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Aksi mitigasi pembangun HTI memberikan kontribusi yang relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan aksi mitigasi peningkatan serapan karbon hutan lainnya. Namun perlu juga diketahui bahwa pembangunan HTI membutuhkan biaya yang lumayan besar yaitu berkisar antara Rp.12.111.875 – Rp.16.663.034,-/ha. Kendala pembangunan HTI berdasarkan hasil diskusi Ditjen BUK dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) adalah: (1) Adanya penerbitan ijin kebun di areal konsesi IUPHHK-HTI yang izinnya masih berlaku, (2) Retribusi oleh Pemda dan pungutan masyarakat, (3) Kegiatan pertambangan dan kebun illegal di areal konsesi tanpa penegakan hukum, (4) Penguasaan lahan oleh Masyarakat Adat, (5) Tumpang tindih pemeriksaan/pengawasan oleh Pejabat, dengan biaya ditanggung oleh perusahaan dan (6) Perlindungan HTI. - Restorasi Ekosistem Hutan (REH) Restorasi Ekosistem Hutan (REH) diartikan sebagai upaya untuk mengembalikan unsur hayati yakni flora dan fauna serta non-hayati yakni tanah dan air pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistem. Pengelolaan REH lebih dititikberatkan pada perbaikan ekologi dari pada orientasi keuntungan. REH sangat kental dengan usahausaha konservasi, agar hutan dapat terlindungi. IUPHHK-REH merupakan salah satu jalan keluar untuk memulihkan ekosistem hutan, terutama areal bekas tebangan hutan produksi yang telah ditinggalkan pengelolanya. Aktor yang terlibat dan peranannya di dalam kegiatan REH dapat dilihat pada Tabel 6.17. Tabel 6.17. Aktor dan perannya dalam kegiatan REH No.
Aktor
Peran
1
Menteri Kehutanan
Menerima atau menolak permohonan IUPHHK-RE. Menerbitkan SP1 dan SP2. Menerbitkan keputusan tentang IUPHHK-RE. Penilaian proposal
2
Gubernur
Rekomendasi teknis
3
Bupati
Rekomendasi teknis
4
BPKH
Analisis fungsi kawasan hutan
5
Dinas Kehutanan Provinsi
Analisis fungsi kawasan hutan
6
Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota
Memberikan pertimbangan teknis kepada Bupati/Wali Kota bahwa areal yang diusulkan tidak dibebani hak-hak lain
7
Pemohon
Mengajukan IUPHHK-RE, menyusun AMDAL, membayar lunas IIUPH
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan pengurangan emisi melalui kegiatan REH adalah bahwa tiap tahun kegiatan RE pada hutan bekas tebangan seluas 20.000 Ha/tahun. Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan kegiatan REH di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.7. Grafik di atas mendeskripsikan bahwa semakin besar keberhasilan mitigasi REH, maka akan memberikan kontribusi yang semakin besar juga terhadap penurunan emisi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan mitigasi REH 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan mitigasi REH 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan
78
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
seluas 20.000 Ha/tahun. Perbandingan penurunan emisi secara komulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan kegiatan REH di Provinsi Papua Gambardilihat 6.7. Perbandingan penurunan dapat pada Gambar 6.7. Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua. Kontribusi RE: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
5000000 5
5 1:
2500000
4
5
3
4
1:
0
1
2
3
2011.00
2 1 2013.25
Page 5
3
3
4 5
4
2
2 1 2015.50 Y ears
1
2017.75 2020.00 8:33 PM Thu, Apr 18, 2013
emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam aksi mitigasi RE dapat menjalankan perannya
Gambar 6.7. Perbandingan penurunan Net emisi komulatif pada berbagai dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi RE dapat dimaksimalkan. skenario mitigasi Restorasi Ekosistem HutanREDD+ (REH) di Provinsi Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi Papua. Besar kontribusi aksi mitigasi RE pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat Tabel 6.18. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada pada Tabel 6.18. Grafikberbagai di atas skenario mendeskripsikan bahwa semakin besar keberhasilan mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Tabel 6.18. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai Provinsi mitigasi REH, maka Papua akan memberikan kontribusi yang semakin besar juga skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua.
terhadap penurunan emisi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan mitigasi REH 20% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario keberhasilan mitigasi REH 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam aksi mitigasi RE dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi RE dapat dimaksimalkan. Besar kontribusi aksi mitigasi RE pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.18. Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. skenario 100% berhasil.
DataData padapada tabel tabel di atasdimenunjukkan bahwa aksi mitigasi kegiatan REHkegiatan pada berbagai atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi REH skenario dapat memberikan kontribusi penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun pada berbagai skenario dapat memberikan kontribusi penurunan net emisi 2020 sebesar 0,10% (pesimis-rendah) – 0,51% (optimis-tinggi) dengan net emisi kumulatif yang komulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 0,10%dari (pesimis-rendah) – dapat diturunkan sebesar 863.945 ton CO2-eq – 4.319.726 ton CO2-eq total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Aksinet mitigasi REH memberikan kontribusi penurunan emisi yang 0,51% (optimis-tinggi) dengan emisi komulatif yang dapat diturunkan sebesar
863.945 ton CO2-eq – 4.319.726 ton CO2-eq dari total emisi komulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Aksi mitigasi REH memberikan kontribusi penurunan Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua VI-27 emisi yang lebihAksi rendah jika dibandingkan dengan REDD+ aksi mitigasi 79 Strategirelatif dan Rencana Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi
relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan aksi mitigasi peningkatan serapan karbon hutan lainnya. Namun perlu juga diketahui bahwa kegiatan REH membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan aksi mitigasi peningkatan serapan karbon hutan lainnya, yaitu berkisar antara Rp.4.500.000 – Rp.6.000.000,-/ha. Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan REH antara lain: (1) Areal yang dimohon umumnya sudah diokupasi oleh masyarakat atau pengusaha kebun dan tambang, (2) Areal yang dicadangkan untuk kegiatan REH masih tumpang tindih dengan ijin-ijin sah lainnya, (3) Kegiatan REH hanya rehabilitasi, reklamasi dan restorasi yang semuanya memerlukan biaya yang lumayan besar, namun perusahaan tidak boleh menebang dan hanya memanfaatkan jasa lingkungan dan HHBK, (4) Belum ada insentif nyata bagi pemegang IUPHHK-REH agar dapat bertahan untuk merestorasi kawasan hutan konsesinya, dan (5) Pemegang IUPHHK-RE diharusnya menyelesaikan sendiri konflik-konflik sosial yang banyak terjadi di wilayah konsesi. - Pencegahan Perambahan Hutan Perambahan adalah individu atau kelompok individu yang menduduki, menguasai dan mengusahakan areal tertentu di dalam Kawasan Konservasi untuk kepentingan individu atau kelompok dengan motif subsisten dan atau ekonominya yang tidak sesuai dengan tujuan konservasi dan dilakukan secara illegal. Pelaku perambahan hutan adalah individu atau kelompok individu yang melakukan upaya-upaya terorganisir melalui dukungan pembiayaan atau memberikan modal, akses dan perlindungan bagi masyarakat tertentu untuk melakukan perambahan di dalam kawasan hutan konservasi. Aktor intelektual dapat berupa oknum TN/KSDA, oknum Polisi/TNI, Tokoh Masyarakat dan sebagainya. Dari sisi pelaku (aktor), perambah dapat diartikan sebagai individu maupun etnitas, baik orang per orang, kelompok atau yang lebih formal dalam pengertian badan hukum. Perbedaan mendasar antara perambahan hutan oleh individu atau kelompok dengan yang berbadan hukum adalah skala perambahan dan tujuan utamanya. Tujuan perambahan hutan adalah menguasai lahan dalam kawasan hutan untuk menanam tanaman pertanian atau perkebunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Penyebab perambahan hutan adalah: (1) Lepasnya kendali masyarakat dalam menyambut euforia era reformasi, (2) Timbulnya tekanan kehidupan masyarakat akibat krisis ekonomi, (3) Kesalahan masyarakat dalam mengartikan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Berdasarkan penafsiran data Citra Satelit tutupan lahan Provinsi Papua tahun 2006-2011, diperoleh data bahwa luas Hutan Lindung dan Kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam yang mengalami gangguan (perambahan) selama 5 (lima) tahun seluas 273.470 Ha atau rata-rata tiap tahun seluas 54.694 Ha. Pada periode tahun 2006-2011 aktifitas perambahan hutan yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasai hutan pada kawasan hutan lindung dan hutan konservasi berupa kegiatan pembukaan areal untuk perladangan, penebangan hutan untuk kayu gergajian dan kebakaran hutan . Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario keberhasilan pencegaran perambahan hutan di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.8.
80
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Gambar 6.8. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan perambahan hutan di Provinsi Papua.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Ramhut: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 200000000
1:
5
5
100000000
1:
4
5
3
4
0
1:
1
2
2011.00
2
3
1 2013.25
Page 6
3
3
4 5
4
2
2 1 2015.50 Y ears
1
2017.75 2020.00 7:22 PM Sat, Apr 20, 2013
Grafik di atas mendeskripsikan bahwa semakin besar keberhasilan pencegahan perambahan
Gambar 6.8. Perbandingan penurunan Net emisi komulatif pada berbagai hutan, maka akan memberikan kontribusi yang semakin besar juga terhadap penurunan emisi skenario mitigasi pencegahan perambahan hutan di Provinsi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario keberhasilan 20% (pesimis-rendah) dan Garis Papua. 5 menunjukan skenario keberhasilan 100% (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktordiyang berperan dalam pencegahan perambahan hutan dapatkeberhasilan menjalankan Grafik atas mendeskripsikan bahwa semakin besar perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pencegahan perambahan hutan, maka akan memberikan kontribusi yang dapat dimaksimalkan. Strategi dan Rencana Provinsi (SRAP) Papua emisi dalam gas Implementasi REDD+ semakin besar jugaAksi terhadap penurunan CO2. Garis 1 menunjukan
Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario
persentase skenario keberhasilan 20% (pesimis-rendah) dan -eq) Garis tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.19. pada5 Tabel 6.19. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO 2 berbagai mitigasi pencegahan di menunjukan skenario skenario keberhasilan 100% (optimis-tinggi). upaya Tabel 6.19. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (tonperambahan CO2-eq) Dalam padahutan berbagai Provinsi Papua skenario mitigasi pencegahan hutan diyang Provinsi Papua dalam pencegahan penurunan emisi gas COperambahan , semua aktor berperan 2
perambahan hutan dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga implementasi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan dapat dimaksimalkan. Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.19.
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil.
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario dapat memberikan kontribusi Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
81
penurunan net emisi komulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 4,34%
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario dapat memberikan kontribusi penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 4,34% (pesimis-rendah) – 21,31% (optimis-tinggi) dengan Net emisi kumulatif yang dapat diturunkan sebesar 36.502.447 ton CO2-eq – 182.512.237 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan merupakan aksi mitigasi yang memberikan kontribusi tertinggi untuk pengurangan emisi di Provinsi Papua. Selain itu aksi mitigasi ini membutuhkan biaya yang relatif kecil, jika didekati dengan biaya pengamanan hutan untuk HTI yang berkisar antara Rp.103.000 – Rp.141.625,-/ha. Terdapat beberapa kendala yang dapat dihadapi dalam pengendalian perambahan hutan. (1) Pelaksanaan pencegahan perambahan hutan masih mengalami kendala terkait dengan persepsi dari para pemangku kepentingan. (2) Pelaksanaan pencegahan perambahan hutan masih dipandang sebagai upaya yang represif dari rezim yang berkuasa sehinga mudah dijadikan komoditas politik bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. (3) Pelaksanaan pencegahan perambahan hutan bukanlan prioritas utama bagi Pemerintah Pusat dan Daerah sehingga terkesan terjadi pembiaran terhadap kegiatan perambahan hutan. (4) Penegakan hukum atas perambahan hutan sangat lemah, terutama atas aktor-aktor yang berbentuk perusahaan atau berbadan hukum. (5) Penegakan hukum dilakukan secara diskriminatif dan terjadi hanya pada masyarakat perambah dengan skala luasan yang kecil. (6) Pelaksanaan penyuluhan ke kampung-kampung sekitar hutan belum berjalan sebagaimana mestinya dan (7) Pemberdayaan masyarakat kampung di sekitar hutan belum dilaksanakan secara terpadu dan lintas sektoral. - Pengurangan Perijinan Jatah Tebangan Tahunan (JTT) berdasarkan kemampuan produksi RKT berjalan. Para pemegang IUPHHK memainkan peran yang cukup nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui pencegahan degradasi hutan di Indonesia. Data Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 menunjukkan bahwa kurang lebih 34 juta hektar hutan Indonesia berada di bawah pengelolaan pemegang ijin IUPHHK Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Untuk Provinsi Papua, kawasan hutan produksi yang menjadi areal konsesi IUPHHK seluas 6.874.228 ha. Penurunan luas areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) bagi pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) merupakan salah satu pilihan mitigasi yang diusulkan. Mitigasi ini tercantum dalam 7 (tujuh) rencana mitigasi Kementerian Kehutanan sebagai strategi untuk menurunkan emisi GRK di sektor kehutanan sebesar 56% dari target 26%. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, selama ini realisasi luas tebangan RKT oleh pemegang IUPHHK hanya ± 60% dari luas RKT yang disetujui. Selain itu pemegang IUPHHK lebih banyak memprioritaskan penebangan kayu jenis Merbau saja. Dampak yang ditimbulkan model pembalakan ini adalah tingkat keterbukaan areal bekas tebangan tinggi dan tingkat kerusakan tegakan tinggal meningkat, terutama pada areal-areal yang potensi kayu merbau tinggi. Perusahaan juga cenderung membuka areal hutan lebih luas untuk mencari habitat pertumbuhan merbau. Pada sisi lain, akibat pemberian RKT yang melebihi kemampuan perusahaan, banyak areal hutan yang sebenarnya masih merupakan Hutan Lahan Kering Primer (HLKP) tetapi sudah dianggap (dikategorikan) sebagai Hutan Lahan Kering Sekunder (HLKS) karena di dalam peta pemegang IUPHHK dan peta perubahan lahan sudah dianggap sebagai areal bekas tebangan (logged over area/LOA) yang diasumsikan jenis-jenis kayu komersial dengan diameter di atas 50 cm telah ditebang seluruhnya, dan yang tertinggal adalah tegakan pohon ini. Ketika areal konsesi
82
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
itu telah menjadi LOA, asumsinya bahwa areal hutan tersebut telah terbuka dan tutupan lahan Rencana mitigasi telah berkurang, padaaksi hal masih tersisapenurunan 40 % berupaluas hutanareal utuh. Rencana Kerja Tahunan
(RKT) pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Rencana aksi mitigasi penurunan luas areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemegang Ijin
diasumsikan dilakukan pada hutan produksi yang dilakukan berada dalam wilayah konsesi Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) diasumsikan pada hutan produksi yang berada dalam wilayah IUPHHK. skenario luasdisetujui areal RKT adalah yang disetujui IUPHHK. Selain itukonsesi skenario luasSelain arealituRKT yang 50%, adalah 60%, 50%, 60%, 70%, 80% dan 90% dari luas areal yang di usulkan.
70%, 80% dan 90% dari luas areal yang diusulan.
Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario penurunan Perbandingan penurunan emisi secara komulatif berdasarkan 5 (lima) luas RKT pemegang IUPHHK di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.9.
skenario penurunan luas RKT pemegang IUPHHK di Provinsi Papua dapat dilihat Gambar 6.9. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pada Gambar 6.9. penurunan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHK di Provinsi Papua. Penurunan AAC: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
200000000
5
1:
5
100000000 4
5
1:
0
1
2
2011.00
3
3
4
2 1 2013.25
Page 7
3
3
4 5
4
2
2 1 2015.50 Y ears
1
2017.75 2020.00 9:44 PM Thu, Apr 18, 2013
Grafik di atasPerbandingan mendeskripsikan bahwa semakinNet besaremisi keberhasilan aksi mitigasi Gambar 6.9. penurunan komulatif pada penurunan berbagai luas RKT pemegangskenario IUPHHK dimitigasi Provinsi Papua, maka akan kontribusi yang semakin penurunan luasmemberikan Rencana Kerja Tahunan (RKT) besar juga terhadap penurunan emisi gas CO2. Garis 1 menunjukan persentase skenario IUPHHK di Provinsi Papua. penurunan luas RKT 10% (pesimis-rendah) dan Garis 5 menunjukan skenario penurunan luas RKT 50%Grafik (optimis-tinggi). upaya penurunan emisisemakin gas CO2, besar semua aktor yang berperan di atas Dalam mendeskripsikan bahwa keberhasilan aksi dalam pencegahan perambahan dapat menjalankan sehingga mitigasi penurunan luas RKThutan pemegang IUPHHK diperannya Provinsidengan Papua,baik maka akan implementasi aksi mitigasi penurunan luas RKT pemegang IUPHHK di Provinsi Papua. Aksi mitigasi memberikan kontribusi yang semakin besarsecara juga intensif terhadap penurunan gas ini akan berhasil apabila pengawasan dilakukan dengan tingkat emisi kepatuhan terhadap persyaratan yang ditetapkan tinggi. CO 1 menunjukan persentase skenario penurunan luas RKT 10% 2. Garis
(pesimis-rendah) dan Garis menunjukan skenario penurunan luas Berdasarkan Gambar di atas, 5tampak bahwa skenario mitigasi penurunan luasRKT areal50% RKT tahunan pemegang IUPHHK dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam penurunan (optimis-tinggi). Dalam upaya penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang
total emisi di Provinsi Papua. Semakin besar luas RKT tahunan yang disetujui maka akan semakin besar emisi yang dihasilkan dan sebaliknya. Jadi, peningkatan luas RKT akan berbanding terbalik dengan baik sehingga dengan pengurangan emisi. implementasi aksi mitigasi penurunan luas RKT
berperan dalam pencegahan perambahan hutan dapat menjalankan perannya pemegang IUPHHK di Provinsi Papua. Aksi mitigasi ini akan berhasil apabila Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario pengawasan dilakukan secara intensif tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.20. dengan tingkat kepatuhan terhadap persyaratan yang ditetapkan tinggi.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
83
pengurangan emisi. Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.20. Tabel 6.20.Perbandingan Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO pada 2-eq) Tabel 6.20. penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai berbagai skenario mitigasi Kerja pengurangan luas Rencana Kerja skenario mitigasi pengurangan luas Rencana Tahunan (RKT) pemegang IUPHHK di Provinsi PapuaTahunan (RKT) pemegang IUPHHK di Provinsi Papua
Ket: angka 1=skenario penurunan 10% penurunan , 2= skenario penurunan 20%, 30%, 3= skenario 30%, Ket: angka 1=skenario penurunan 10% , 2= skenario 20%, 3= skenario penurunan 4= skenariopenurunan penurunan 40% dan 5= skenario penurunan 50%. 40% dan 5= skenario penurunan 50%. 4= skenario penurunan
tabel atas menunjukkan mitigasiluas penurunan luas DataData padapada tabel di atas di menunjukkan bahwa aksibahwa mitigasiaksi penurunan RKT pemegang IUPHHKpemegang di Provinsi Papua pada di berbagai skenario dapatpada memberikan kontribusi penurunan RKT IUPHHK Provinsi Papua berbagai skenario dapat net emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 3,40% (pesimis-rendah) – 16,99% memberikan kontibusi penurunan net emisi komulatif Provinsi Papua pada tahun (optimis-tinggi) dengan net emisi kumulatif yang dapat diturunkan sebesar 28.573.438 ton CO22020 sebesar ton 3,40% (pesimis-rendah) – 16,99% (optimis-tinggi) dengan net eq – 142.867.188 CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Kendala yang mungkin menjadi keberhasilansebesar aksi mitigasi ini adalah adanya kebijakan emisi komulatif yangpenghambat dapat diturunkan 28.573.438 ton CO 2-eq – peningkatan kuota produksi disatu sisi oleh Pemerintah serta kebijakan Pemerintah Daerah 142.867.188 ton CO2-eq dari total emisi komulatif sebesar 840.826.148 ton CO2untuk tidak memperbolehkan log keluar dari Provinsi Papua pada sisi lainnya. eq. Kendala yang mungkin menjadi penghambat keberhasilan aksi mitigasi ini - Implementasi Reduced Impact Logging (RIL) dalam rangka sertifikasi PHPL dan SVLK
adalah adanya kebijakan peningkatan kuota produksi disatu sisi oleh Pemerintah Perubahan praktek logging konvensional ke Pemanenan berdampak rendah (Reduced impact logging atau RIL) pada umumnya akan mengurangi emisi karbon melalui: pengurangan Provinsi sisi lainnya. kerusakan Papua tegakanpada sisa melalui penentuan lokasi arah rebah yang tepat, perbaikan seleksi pohon yang akan ditebang berdasarkan inventarisasi dengan mempertimbangkan ukuran dan -lokasi Implementasi Reduced Logging (RIL)maupun dalam rangka PHPLkayu. pohon, perbaikan teknikImpact penyaradan (skidding) penataansertifikasi jalan angkutan dan SVLK Aksi mitigasi ini terintegrasi dalam kebijakan sertifikasi PHPL dan SVLK sebagai bagian dari implementasi prinsip SFM (Sustainable Forest Manajement).
serta kebijakan Pemerintah Daerah untuk tidak memperbolehkan log keluar dari
Pelaksanaan RIL bisa meningkatkan persediaan karbon hutan. Dari beberapa penelitian RIL hanya mengambil 30% dari biomassa (Bertault and Sist, 1997) , atau dengan kata lain sisa biomassa Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua VI-34 di hutan sekitar 70%. Bandingkan dengan sisa 50% di hutan akibat pembalakan konvensional. Peningkatan manajemen hutan diperkirakan akan meningkatkan karbon stok 30 ton/ha. Dihutan setelah 30 tahun pembalakan (Putz et.al., 2008). TNC (2009) mengemukakan ada lima cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi degradasi hutan yaitu: RIL, sertifikasi (sustained yield principle), perlindungan kawasan konservasi, manajemen konflik sosial, pemberantasan pembalakan liar), pengendalian kebakaran, peningkatan tata kelola dan pengelolaan pengambilan kayu bakar serta meningkatkan nilai tambah hasil hutan melalui sertifikasi PHPL dan SVLK.
84
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Reduced Impact Logging merupakan salah satu aksi mitigasi yang direncanakan di Provinsi Papua. Penerapan sistem RIL oleh pemegang IUPHHK diharapkan dapat meminimalisir kerusakan hutan, terutama pada tegakan tinggal. Jika RIL dapat diimplementasikan dengan baik maka jumlah emisi yang diakibatkan oleh eksploitasi hutan dapat dikurangi hingga 30% (Putz et.al., 2008). Berdasarkan fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan lestari akan berperan dalam menyisakan stok karbon di hutan setelah penebangan (just after harvesting), dan meningkatkan karbon stok di hutan setelah penebangan dengan pertumbuhan yang lebih baik. Bila asumsi perbandingan antara RIL (menyisakan 70% stok karbon di hutan) dan pembalakan konvensional (menyisakan 50% stok karbon di hutan) benar, maka RIL telah mengkonservasi karbon sebesar 20% dari stok karbon hutan alam. Jadi kalau stok karbon di hutan alam ratarata adalah ton/ha, Aksi makaProvinsi RIL telah mengkonservasi karbon sebesar 54REDD+ ton/ha. Pembalakan Strategi dan268 Rencana (SRAP) Papua dalam Implementasi konvensional bisa dianggap sebagai RL (reference level) sedangkan RIL dianggap sebagai aktivitas baik sebagaisebagai pengelolaan hutan lestari dan REDD+. dianggap RL (reference level) sedangkan RIL dianggap sebagai aktivitas
baikPerbandingan sebagai pengelolaan hutansecara lestari dan REDD+. penurunan emisi kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario implementasi RIL di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.10
Perbandingan penurunan emisi secara komulatif berdasarkan 5 (lima)
Gambar 6.10. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi skenario implementasi RIL di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.10 implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua. Kont RIL: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
90000000 5
5
1:
4
5
45000000
1:
0
1
2
2011.00
2
3
4 3
2 1 2013.25
Page 8
3
3
4 5
4
2 1
1 2015.50 Y ears
2017.75 2020.00 9:56 PM Thu, Apr 18, 2013
Gambar 6.10. penurunan Net realisasi emisi komulatif pada Gambar di atasPerbandingan menunjukkan bahwa semakin besar implementasi sistemberbagai RIL oleh skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di pemegang IUPHHK maka akan semakin besar jumlah emisi yang dapat dikurangi. Provinsi Papua. Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.21.
Gambar
di
atas
menunjukkan
bahwa
semakin
besar
realisasi
implementasi sistem RIL oleh pemegang IUPHHK maka akan semakin besar jumlah emisi yang dapat dikurangi. Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan perambahan hutan pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.21 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
85
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Tabel 6.21. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi implementasi Reduced logging Tabel 6.21. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq)Impact pada berbagai (RIL) di Provinsi PapuaImpact logging (RIL) di Provinsi Papua. skenario mitigasi implementasi Reduced
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5=
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, skenario 100% berhasil. 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil.
DataData pada pada tabel ditabel atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi implementasi RIL diimplementasi Provinsi Papua di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pada berbagai skenario dapat memberikan kontribusi penurunan Net emisi kumulatif Provinsi RIL di Provinsi Papua pada berbagai skenario dapat memberikan kontibusi Papua pada tahun 2020 sebesar 2,04% (pesimis-rendah) – 10,19% (optimis-tinggi) dengan net penurunan Net emisi komulatif Provinsi Papua pada tahun –2020 sebesar 2,04% emisi kumulatif yang dapat diturunkan sebesar 17.143.951 ton CO2-eq 85.719.757 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. (pesimis-rendah) – 10,19% (optimis-tinggi) dengan net emisi komulatif yang - Pencegahan Konversi Hutan17.143.951 ton CO2-eq – 85.719.757 ton CO2-eq dari dapat diturunkan sebesar
totalKebijakan emisi kumulatif sebesar 840.826.148 tonyang CO2terkait -eq. dengan konversi hutan adalah: dan peraturan perundang-undangan (1) PP Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
-dan Pencegahan Hutan (2) Permenhut Konversi No.P33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Data Kementerian Kehutanan tahun 2012 berdasarakan SK pelepasan kawasan hutan konversi hutan adalah: (1) PP Nomor 10 tahu 2010 tentang Tata Cara Perubahan menunjukan bahwa konversi hutan di Papua rata-rata seluas 53.401,88 ha/tahun, dengan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan dan (2) Permenhut No.P33/Menhutrincian konversidan untuk pemukiman seluas 41.686,44 ha/tahun dan Pinjam pakai kawasan untuk pertambangan dan non seluas 11.715,438 ha/tahun. dalamyang perhitungan II/2010 tentang Tatapertambangan Cara Pelepasan Kawasan Hutan Namun Produksi dapat pengurangan emisi dalam rangka mitigasi, angka konversi hutan yang digunakan adalah luas dikonversi (HPK). konversi hutan yang tidak terencana (tidak berdasarkan rencana pembangunan daerah) yang diperoleh berdasarkan analisis citra satelit tahun 2006-2011 adalah seluas rata-rata 15.650 ha/ Data Kementerian Kehutanan tahun 2012 berdasarakan SK pelepasan tahun.
kawasan hutan menunjukan bahwa konversi hutan di Papua rata-rata seluas Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.11.
53.401,88 ha/tahun, dengan rincian konversi untuk pemukiman seluas 41.686,44 ha/tahun
dan
Pinjam
pakai
kawasan
untuk
pertambangan
dan
non
Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan konversi hutan pada berbagai skenario tingkat pertambangan seluaspada11.715,438 ha/tahun. Namun dalam perhitungan keberhasilan dapat dilihat Tabel 6.22.
pengurangan emisi dalam rangka mitigasi, angka konversi hutan yang digunakan adalah luas konversi hutan yang tidak terencana (tidak berdasarkan rencana
Reference Emission dan Aksi Provinsi Papua 86 StrategiLevel dan (REL) Rencana AksiMitigasi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
VI-37
pembangunan daerah) yang diperoleh berdasarkan analisis citra satelit tahun 2006-2011 adalah seluas rata-rata 15.650 ha/tahun. Perbandingan penurunan emisi secara komulatif berdasarkan 5 (lima) skenario pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua dapat dilihat pada
Gambar 6.11. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua.
Gambar 6.11.
K Konv ersi: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
200000000
1:
100000000
5 5 4
5 5
1:
0
1
2
3
1
2
3
3
4
4
4
3
2 1
2 1
2011.00 Aksi Provinsi 2013.25 2015.50 Implementasi 2017.75 Strategi dan Rencana (SRAP) Papua dalam REDD+ Page 9
Y ears
2020.00 7:42 AM Sat, Apr 20, 2013
Tabel 6.22.Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Tabel 6.22.Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai Papua Gambar 6.11. pencegahan Perbandingan penurunan Net emisi skenario mitigasi konversi hutan di Provinsi Papua.komulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua.
Besar kontribusi aksi mitigasi pencegahan konversi hutan pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.22.
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. skenario 100% berhasil.
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi pencegahan konversi hutan Data pada di atas menunjukkan bahwakontribusi aksi mitigasi pencegahan di Provinsi Papua padatabel berbagai skenario dapat memberikan penurunan Net emisi kumulatif pada tahun 2020pada sebesar 2,48% (pesimis-rendah) – 12,42% (optimiskonversi Provinsi hutan Papua di Provinsi Papua berbagai skenario dapat memberikan tinggi) dengan net emisi kumulatif yang dapat diturunkan sebesar 20.889.432 ton CO2-eq – kontibusi penurunan Net emisi komulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 104.447.161 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Persentase sebesar 2,48%bahwa (pesimis-rendah) – 12,42% dengan net emisi ini menunjukan pencegahan konversi hutan (optimis-tinggi) merupakan rencana aksi mitigasi yang memberikan kontribusi terbesarsebesar untuk penurunan emisiton gasCO CO2 di Papua setelah aksi komulatif yang dapatkedua diturunkan 20.889.432 – 104.447.161 2-eq mitigasi pencegahan perambahan hutan. Nilai kontribusi penurunan emisi dari aksi mitigasi ton CO2-eq dari total emisi komulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. ini akan lebih besar lagi apabila konversi hutan menjadi non kehutanan yang direncanakan Reference EmissioniniLevel (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua VI-38 Persentase menunjukan bahwa pencegahan konversi merupakan dilakukan secara selektif melalui implementasi kebijakan bahwa HPK yanghutan diperbolehkan untuk rencana aksi mitigasi yang memberikan kontribusi kedua terbesar untuk
penurunan emisi gas CO2 di Papua setelah aksi mitigasi pencegahan perambahan Nilai konstribusi penurunan dari aksi mitigasi Strategihutan. dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua emisi dalam Implementasi REDD+ini akan87
dikonversi hanya HPK yang benar-benar tidak dapat dipertahankan sebagai hutan atau HPK yang benar-benar tidak produktif. - Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Hutan Desa merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan Desa adalah Hutan Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Desa serta belum dibebani ijin atau hak (P.49 tahun 2008 tentang Hutan Desa). Hutan desa merupakan salah satu skema kepastian areal kelola Masyarakat Adat yang mantap jangka panjang, karena periode ijin selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Hutan Desa merupakan salah satu kelembagaan pengelolaan hutan yang relatif baru dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan produksi dan hutan lindung yang belum dibebani oleh hak. Hutan Desa diyakini dapat mengurangi kerusakan hutan akibat eksploitasi yang selama ini sering dilakukan oleh pemegang IUPHHK dan pembalakan liar oleh masyarakat tertentu. Hal ini terjadi karena pengelolaan Hutan Desa menggunakan sistem semi mekanis dan dapat dilaksanakan dengan pola kemitraan sehingga pembukaan areal hutan dapat dikendalikan. Aktor yang terlibat dan peranannya di dalam kegiatan REH dapat dilihat pada Tabel 6.23. Tabel 6.23. Aktor dan perannya dalam PHBMA (Hutan Desa). No.
Aktor
Peran
1
Menteri Kehutanan
Menetapkan IUPHHK-HA dalam Hutan Desa atau IUPHHK-HTI dalam Hutan Desa, pembinaan dan pengendalian
2
Ditjen BPDASPS
Verifikasi, fasilitas
3
BPDAS
Mencari calon lokasi Hutan Desa, fasilitasi
4
Gubernur/Pemerintan Provinsi
Verifikasi, fasilitasi, memberikan hak pengelolaan Hutan Desa, pembinaan dan pengendalian
5
Bupati
Usulan penetapan areal kerja Hutan Desa, memfasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan kelompok masyarakat, pembinaan dan pengendalian
6
Pemerintah Desa
Sosialisasi, pembuatan Peraturan Desa
7
LSM/PT/BUMN/BUMS
Fasilitasi dan pemodal/mitra kerja
8
Masyarakat
Mengajukan permohonan Hutan Desa
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan PHBMA salah satu aksi mitigasi di Provinsi Papua adalah pelaksanaan PHBMA seluas 10.000 ha/tahun. Perbandingan penurunan emisi secara kumulatif berdasarkan 5 (lima) skenario pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar 6.12. Besar kontribusi aksi mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.24. Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi PHBMA di Provinsi Papua pada berbagai skenario dapat memberikan kontribusi penurunan Net emisi kumulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 0,073% (pesimis-rendah) – 0,367% (optimis-tinggi) dengan net emisi kumulatif yang dapat diturunkan sebesar 617.520 ton CO2-eq – 3.087.600 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Persentase ini menunjukan bahwa PHBMA merupakan rencana aksi mitigasi yang memberikan kontribusi terkecil dalam aksi mitigasi stabilisasi cadangan karbon hutan, namun PHBMA memiliki sifat eksternalitas kegiatan terhadap pencegahan emisi karbon dari faktor-faktor pemicu lainnya.
88
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Perbandingan penurunan emisi secara komulatif berdasarkan 5 (lima) skenario Gambar 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua dapat dilihat Papua. pada Gambar 6.12. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Kont PHBM: 1 - 2 - 3 - 4 - 5 1:
4000000
5
5 1:
4
2000000 4
5 3
4 5
3
4 0
1:
1
2
2011.00
3
2 1 2013.25
3 2
2 1 2015.50
1
2017.75
Page 10 dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam PM Y ears Implementasi10:36 Strategi REDD+
2020.00 Thu, Apr 18, 2013
Tabel 6.24. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Berbasis Masyarakat Gambar Perbandingan penurunan Net emisiHutan komulatif pada berbagai Tabel 6.24.6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai Adat (PHBMA) di Provinsi Papua skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua. (PHBMA) di Provinsi Papua.
Besar kontribusi aksi mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) pada berbagai skenario tingkat keberhasilan dapat dilihat pada Tabel 6.24.
Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, Ket: angka 1=skenario 20% berhasil , 2= skenario 40% berhasil 40%, 3= skenario 60% berhasil, 4= skenario 80% berhasil dan 5= 4= skenario 80% berhasil dan 5= skenario 100% berhasil. skenario 100% berhasil.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam PHBMA adalah kurangnya kapabilitas Kampung Data memenuhi pada tabel di atas perijinan, menunjukan bahwa aksidan mitigasi PHBMAoleh di (Desa) untuk persyaratan kurangnya fasilitasi pendampingan Pemda. Selain itu proses dan pemberian hak PHBMA perlu disederhanakan untuk Provinsi Papua padapembangunan berbagai skenario dapat memberikan kontibusi penurunan meminimumkan biaya transaksi. Net emisi komulatif Provinsi Papua pada tahun 2020 sebesar 0,073% (pesimisRingkasan aksi Provinsi Papua dalam rangka implentasi dilihat pada Tabel. 6.25. rendah) – 0,367% (optimis-tinggi) dengan net REDD+ emisi dapat komulatif yang dapat
diturunkan sebesar 617.520 ton CO2-eq – 3.087.600 ton CO2-eq dari total emisi kumulatif sebesar 840.826.148 ton CO2-eq. Persentase ini menunjukan bahwa PHBMA merupakan rencana aksi mitigasi yang memberikan kontribusi terkecil dalam aksi mitigasi stabilisasi cadangan karbon hutan, namun PHBMA memiliki sifat eksternalitas kegiatan terhadap pencegahan emisi karbon dari faktor-faktor89 VI-41
Strategi Level dan Rencana AksiMitigasi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Reference Emission (REL) dan Aksi Provinsi Papua
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
1
(3) Program ini dilakukan pada lahan-lahan kritis yang telah ditentukan oleh BPDAS Remu Ransiki pada tingkatan DAS dan Sub DAS
URAIAN
(4) Masyarakat sebagai (4) Masyarakat selama eksekutor lapangan ini hanya dipandang kegiatan RHL harus sebagai pekerja (buru) dibekali pengetahuan kasar yang dipekerjakan dasar RHL dan indikator- pada proyek RHL, sehingga pengetahuan indikator mereka tentang teknik keberhasilannya dasar RHL cenderung diabaikan
(3) Belum ada pembagian tugas yang jelas antara semua stakeholder, sehingga pembagiaan tugas yang terjadi selama ini lebih mengutamakan pembagian kekuasaan dan distribusi manfaat ekonomi semata
(2) Anggaran yang tersedia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat tergantung pada setoran DR daerah, sehingga akan sangat fluktuatif
(2) Tersedianya anggaran yang mencukupi, baik ditingkat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan (monitoring)
(3) Pembagian tugas yang jelas antara semua stakeholder yang terlibat dlm kegiatan RHL, baik di tingkatan pusat, provinsi maupun kabupaten
(5) (1) Perencanaan yang selama ini berjalan hanya bersifat tahunan (temporer), sehingga sulit untuk menilai kesuksesan RHL dalam periode waktu tertentu
PROBLEM SYARAT POKOK
(4) (1) Tersedianya rencana 5 (lima) tahunan rehabilitasi hutan dan lahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten sebagai eksekutor kegiatan
SYARAT POKOK KEGIATAN
Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua
(2)
PROGRAM
(1)
No. (6)
Pilar 2, 3 dan 4
AKAR MASALAH DAN STRANAS ALTERNATIF SOLUSI
Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
Provinsi, Kabupaten/Kota
(8)
LOKUS SOLUSI
Perlu adanya pelatihan Kabupaten/Kota secara terencana dan terukur, untuk menyiapkan masyarakat sebagai eksekutor lapangan kegiatan RHL tentang teknis dasar RHL dan indikator-indikator keberhasilannya
Pembagian tugas dan Pusat, Provinsi, wewenang pemerintah baik Kabupaten/Kota di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota harus jelas, untuk menghindari bentukan yang hanya mementingkan ekonomi sesaat proyek
Pengkhususan anggaran RHL yang tidak terkait dengan penganggaran rutin, sehingga dana RHL ini dapat digunakan tanpa mengikuti skema penganggaran pemerintah yang cenderung tersedia hanya pada akhir tahun anggaran
(7) Penyusunan rencana 5 (lima) tahuan RHL yang bersifat aplicable dan merupakan perencanaan yang berbasis tapak (site specific)
KEGIATAN
STRATEGIS
STRATEGIS
STRATEGIS
(9) STRATEGIS
SIFAT KEGIATAN
Tabel 6.25. Matriks aksi Provinsi Papua dalam rangka implementasi REDD+. Tabel 6.25. Matriks rencana aksi Provinsi Papuarencana dalam rangka implementasi REDD+
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Kegiatan RHL selama ini hanya dipandang sebagai salah satu proyek yang dapat memberikan manfaat ekonomi sesaat kepada stakeholder yang terlibat, tanpa memikirkan tujuan utama dari RHL untuk membangun hutan. Selain itu indikator keberhasilan RHL hanya dinilai pada tahun-tahun awal pelaksanaan. Pada hal seharunya tingkat keberhasilan RHL harus dinilai secara menyeluruh pada tahun kelima pelaksanaan, bukan hanya pada persen dan realisasi pertumbuhan di lapangan, tetapi juga pada level perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring.
90 UNIT PELAKSANA
Masyarakat memiliki kemampuan dasar teknis RHL dengan sertifikasi khusus
Tersedianya kelembagaan RHL dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas
Tersedianya dana khusus yang dapat digunakan dari awal tahun berjalan kegiatan
VI-43
(10) (11) Tersedianya Pemerintah Pusat, rencana 5 (lima) Provinsi, tahunan RHL Kabupaten/Kota yang aplicable
INDIKATOR KINERJA
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
91
Hutan tanaman dikembangkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri Hutan Tanaman yang tidak bisa Industri (HTI) dipenuhi dari hutan alam
Hutan Kemasyarakatan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu Hutan fungsi pokok dari Kemasyarakatan hutan (HKm)
(3) HTR diharapkan menjadi salah satu aksi mitigasi yang dapat melibatkan Pembangunan masyarakat di Hutan Tanaman dalam Rakyat (HTR) pengelolaan hutan produksi lestari
(2)
Pemerintah Provinsi Papua wajib menyediakan lahan yang dicadangkan untuk HTI pada lahan hutan yang kurang produktif dan pada areal alangalang
Pemerintah Provinsi Papua wajib menyediakan lahan yang dicadangkan untuk HTR
(4) Pemerintah Provinsi Papua Barat wajib menyediakan lahan yang dicadangkan untuk HTR
Kondisi kesuburan tanah secara umum di Provinsi Papua relatif kurang subur jika dibandingkan dengan kondisi tanah di wilayah kalimantan dan sumatera. Karena tanah di Papua didominasi oleha tanah podsolik merah kuning
HKm merupakan program kementerian kehutanan secara nasional sejak tahun 2001 namun hingga sekarang belum pernah diimplenetasikan di Provinsi Papua
(5) HTR merupakan program yang relatif baru di Provinsi Papua Barat
Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua
4
3
2
(1)
Rp. 16.000.000. Hal ini tentunya memerlukan investasi yang sangat besar.
Pembangun Hutan Tanaman Industri (HTI) harus dilakukan secara bersamaan dengan industri yang akan memanfaatkan produksi kayu dari HTI tersebut. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk membangun 1 Ha HTI ±
Masyarakar secara umum di Provinsi Papua lebih cenderung melakukan sistem sistem perladangan berpindah sehingga perubahan pola pikir untuk beralih ke aneka usaha kehutanan dan agroforestry merupakan hal yang relatif baru
Pilar 3 dan 4
Pilar 4 dan 5
(6) Peran masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan selama ini hanya berfokus pada kegiatan ekstraktif yang dilakukan oleh IUPHHK, Pilar 2, 4 dan 5 sehingga perlunya sosialisasi yang sangat intensif untuk pembangunan HTR
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
HTI dapat dikembangkan Kabupaten/Kota untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan untuk keperluaan pembangun sarana dan prasarana serta segala jenis infrastruktur yang membutuhkan kayu di Papua, sehingga penebangan hutan alam (ekstraktif) bisa lebih dikurangi
Kabupaten/Kota HKm dengan kegiatan aneka usaha kehutanan dan agroforestry dapat mulai dibangun pada arealareal bekas tebangan IUPHHK atau areal-areal terdegradasi lainnya untuk mencegah perladangan berpindah masyarakat, untuk mengurangi perambahan hutan oleh masyarakat, serta untuk meningkatkan peran masyarakat di dalam pengeloaan hutan
(7) (8) Kabupaten/Kota HTR dengan pola agroforestry dapat mulai dibangun pada areal-areal bekas perladangan berpindah masyarakat, untuk mengurangi perambahan hutan oleh masyarakat, serta untuk meningkatkan peran masyarakat di dalam pengeloaan hutan
STRATEGIS
STRATEGIS
(9) STRATEGIS
VI-44
Terbangunnya Pemerintah HTI seluas Provinsi, 10000 Ha tiap Kabupaten/Kota tahun di Provinsi Papua
Terbangunnya Pemerintah IUPHKm seluas Provinsi, Kabupaten/Kota 3000 Ha tiap tahun di Provinsi Papua
(10) (11) Terbangunnya Pemerintah Provinsi, HTR seluas Kabupaten/Kota 5000 Ha tiap tahun di Provinsi Papua
92
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Luas kawasan konservasi di Papua yang mencapai luas ± 5 Juta Ha membutuhkan petugas pengamanan hutan (PolHut) yang tentunya sangat banyak
Pencegahan perambahan bertujuan untuk mencegah individu, kelompok ataupun koorporasi yang menduduki, menguasai dan mengusahakan areal tertentu di dalam kawasan konservasi untuk kepentingan individu atau kelompok dengan motif subsisten dan atau ekonominya yang tidak sesuai dengan tujuan konservasi dan dilakukan secara ilegal
Pencegahan Perambahan Hutan
(4) Pemerintah Provinsi Papua menentukan lokasi bekas IUPHHKHA yang dianggap dulunya memiliki potensi flora dan fauna yang tinggi serta yang memiliki dampak eksternalitas tinggi.
(3) Restorasi ekosistem bertujuan untuk mengembalikan unsur hayati yakni flora dan fauna serta non hayati yakni tanah dan air Restorasi pada suatu Ekosistem (RE) kawasan dengan jenis asli, serta tercapai kesetimbangan hayati dan ekosistemnya
(2)
Personil pengamanan hutan (Polhut) di Provinsi Papua memiliki jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan luas kawasan konservasi yang harus diamankan dari kegiatan perambahan
(5) Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) pada bekas areal IUPHHKHA tidak dilakukan sehingga informasi mengenai degradasi jenis flora dan fauna cenderung sedikit, sehingga restorasi ekosistem yang dilakukan cenderung tidak memiliki acuan yang jelas
Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua
6
5
(1)
Kawasan konservasi masih dianggap sebagai kawasan hutan dengan cost centre , sehingga cenderung tidak menjadi prioritas di dalam penganggaran baik secara nasional maupun di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, penunjukan kawasan hutan yang dilakukan secara top down tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di kawasan konservasi merupakan problem klasik di negara ini
(6) Kegiatan restorasi ekosistem hutan hanya rehabilitasi, reklamasi dan restorasi yang semuanya memerlukan dana yang besar, namun perusahaan tidak boleh menebang dan hanya memanfaatkan jasa lingkungan dan HHBK
Pilar 2, 3, 4 dan 5
Pilar 3, 4 dan 5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
(9) STRATEGIS
Pencegahan perambahan Kabupaten/Kota, ProvinSTRATEGIS hutan dapat dilakukan dengan meningkatkan peran masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, yang tentunya harus disertai dengan perbaikan ekonomis masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi
(7) (8) IUPHHK-RE bisa Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan memaksimalkan potensi HHBK dan jasa lingkungan, serta pelaksana dapat memperoleh akses yang lebih mudah terhadap modal (pinjaman bank)
VI-45
Pemerintah Berkurangnya Provinsi, perambahan Kabupaten/Kota hutan di kawasan konservasi yang selama ini terjadi pada areal seluas ± 43.237 Ha yang mengakibatkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan
(10) (11) Terbangunnya Pemerintah konsesi IUPHHK- Provinsi, RE seluas 20000 Kabupaten/Kota Ha tiap tahun di Provinsi Papua
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
93
Penurunan luas RKT Pemegang IUPHHK
Pengurangan Konversi hutan
(2)
Hal ini dilakukan karena rata-rata realisasi RKT tahunan IUPHKK selama ini hanya sekitar ± 60% dari total luas RKT IUPHHK yang disetujui
(3) Pengurangan konversi hutan merupakan kegiatan prioritas di dalam REDD+ untuk pengurangan emisi CO2. Pencegahan konversi ini harus di prioritaskan pada konversi hutan yang tidak direncanakan di dalam pembangunan daerah
(1) Luas RKT yang disetujui selama ini adalah seluas RKT yang diusulkan
(2) Pemegang IUPHHK harus mempertimbangkan aspek-aspek lain dalam pengelolaan hutan selain aspek ekonomi
(2) Pemegang IUPHHK harus realistis dalam mengusulkan RKT
(5) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi Papua baru dilakukan pada tingkat provinsi, sehingga kebutuhan lahan untuk konversi di Kabupaten/Kota dalam kerangka otonomi khusus belum terencana secara jelas
(1) Dinas Kehutanan Provinsi sebagai Pengesah RKT harus mengacu pada realisasi RKT tahun sebelumnya
(4) Pengidentifikasian kegiatan konversi hutan yang terencana di dalam rencana pembangunan daerah, serta konversi yang tidak terencana harus dilakukan secara cermat, sehingga penentuan langkahlangkah kebijakan untuk pencegahan konversi dapat dilakukan secara cermat
Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua
8
7
(1)
(6) Pembangunan dengan target pertumbuhan ekonomi tertentu membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Selain itu perijinan yang tumpang tindih terkait lahan dan hutan merupakan hal-hal yang menjadi faktor pemicu tingginya kegiatan konversi hutan
Pilar 2 dan 3
Pilar 2, 3 dan 5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Pemegang IUPHHK selama ini memiliki kapasitas produksi kayu yang cenderung lebih rendah dari yang diusulkan. Hal ini disebabkan karena IUPHHK cenderung melakukan perencanaan penebangan secara umum sebagaimana yang lazim dikerjakannya selama ini. Pada hal perencaaan pengelolaan hutan harusnya bersifat site specific
STRATEGIS
STRATEGIS
Provinsi Dinas Kehutanan harus secara tegas menurunkan luas areal RKT pemegang IUPHHK sesuai dengan realisasi penabangan pada tahun sebelumnya
Pengawasan secara ketat Provinsi oleh tenaga teknis kehutanan yang bermoral terhadap pelaksanaan RKT IUPHHK
(7) (8) (9) Konversi hutan harus dapat Kabupaten/Kota, ProvinSTRATEGIS dibatasi pada kegiatan konversi yang telah direncanakan di dalam rencana pembangunan daerah, sehingga luas yang akan dikonversi sangat terukur
Pemberian luas areal RKT yang optimal
(10) Berkurangnya konversi hutan yang tidak direncanakan yang selama ini terjadi seluas 15.650 Ha per tahun di pada kawasan hutan
VI-46
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota
Pemerintah Provinsi
(11) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ Pemetaan wilayah ada di Provinsi Papua hingga sekarang belum dilakukan
(2) Pemegang IUPHHK belum memahami secara jelas sistem RIL dan bagaimana melaksanakannya di lapangan
(2) Pemegang IUPHHK secara sadar dan bertanggung jawab melakukan RIL secara bertahap
PHBMA harus dilakukan pada kelompok masyarakat yang telah memiliki batasan wilayah kelola adat yang jelas
(5) (1) RIL selama ini masih dipandang oleh pemegang IUPHHK sebagai sistem pengelolaan hutan dengan biaya tinggi (high cost ) dan sangat sulit untuk diimplementasikan
(4) (1) Kementerian Kehutanan bersama dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota telah melakukan sosialisasi RIL
Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua
10
(3) RIL diharapkan menjadi salah satu sistem penebangan hutan yang diadopsi oleh pemegang IUPHHK
Pengeloaan Hutan berbasis masyarakat adat dapat diterapkan sesuai dengan Pengelolaan perdasus PHMA Hutan Berbasis di Provinsi Papua Masyarakat Adat ataupun melalui skema Hutan Desa
(1) (2) 9 Penerapan Sistem Penebangan Berdampak Rendah (RIL)
(6)
Kesejahteraan masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan serta kualitas SDM yang rendah menjadi penghambat peran masyarakat adat itu sendiri di dalam PHBMA,
Pilar 2 dan 3
Pilar 3, 4 dan 5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Pemegang IUPHHK selama ini berada pada posisi yang dilematis, karena selain ada kewajiban-kewajiban formal yang harus dipenuhi, ada juga kewajiban-kewajiban informal yang diwajibkan oleh oknum Dinas Kehutanan setempat yang akan semakin menaikkan biaya eksploitasi hutan. Sehingga sistem apapun yang ditawarkan akan sangat susah untuk diimplementasikan
94 (8) Areal IUPHHK
STRATEGIS
(9) STRATEGIS
Masyarakat adat diberikan Kabupaten/Kota, ProvinSTRATEGIS peran di dalam pengelolaan hutan melalui PHBMA yang tentunya harus disertai dengan peningkatan SDM dan kemudahan akses terhadap pinjaman modal (dana)
Provinsi Pemegang IUPHHK melaporkan secara triwulan realisasi pelaksanaan RIL, termasuk kendala-kendala dalam implementasi di lapangan
(7) Komitmen menerapkan sistem RIL harus menjadi syarat utama persetujuan RKT IUPHHK
VI-47
Pemberian ijin Pemerintah konsesi PHBMA Provinsi, seluas 10000 Ha Kabupaten/Kota tiap tahun kepada masyarakat adat
Laporan triwulan Pemegang IUPHHK pelaksanaan RIL
(10) (11) Laporan realisasi Pemegang IUPHHK pelaksanaan RIL yang sesuai dengan fakta lapangan
Secara umum keberhasilan aksi mitigasi pada sektor kehutanan (REDD+) diukur dengan menggunakan tiga kriteria yang disebut 3E+ (Stern, 2007; Angelsen dkk., 2008) yaitu effectiveness (berapa besar emisi GRK yang diturunkan), efficiency (pada tingkat biaya minimum), equity (sebaran manfaat bagi banyak pihak) dan co-benefits (manfaat lain yang didapat). Kriteria 3E+ mengukur apakah sebuah aksi mitigasi dapat dijalankan dengan baik. Keefektifan. Evaluasi awal tentang keefektifan sebuah rencana akan mempertimbangkan beberapa kriteria tambahan seperti kedalaman dan nilai tambahan, rentang dan cakupan, keluwesan dan kekuatan, kendali atau pencegahan kebocoran, kekekalan dan liabilitas, dan sejauh mana suatu tindakan mengatasi penyebab pokok deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Tata kelola dan korupsi juga menjadi pertimbangan yang penting. Misalnya, sampai sejauh mana tindakan yang diusulkan rawan akan praktek-praktek korupsi. Suatu evaluasi akhir akan mengukur perubahan cadangan karbon secara langsung dan membandingkannya dengan standar kondisi seperti yang direncanakan (business as usual/BAU). Efisiensi, mempertimbangkan biaya pengadaan termasuk penguatan kemampuan, biaya berjalan untuk keuangan dan sistem informasi (MRV), kompensasi untuk kehilangan pendapatan (biaya imbangan) dan nilai sewa (nilai sewa adalah transfer dikurangi biaya) serta biaya implementasi dari pemilik, pengelola dan pengguna lahan hutan. Seluruh bentuk biaya ini termasuk dalam biaya transaksi, kecuali kompensasi dan nilai sewa. Kesetaraan, mempertimbangkan berbagai skala yang berbeda (Global, Nasional, Subnasional), dan berbagai kelompok pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan pendapatan, sejumlah aset seperti lahan, etnis, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Dalam menilai kesetaraan, juga terdapat perbedaan antara nilai sewa REDD+, transfer rata-rata dan biaya tindakan. Perdebatan sekarang umumnya lebih menyoroti pembagian manfaat (transfer) daripada masalah pendistribusian biaya. Kebanyakan program REDD+ tidak membayar langsung kepada pemilik dan pengguna lahan hutan, tetapi akan menimbulkan biaya atau kehilangan suatu peluang. Misalnya, sejumlah kebijakan untuk menurunkan permintaan bahan bakar kayu akan menyebabkan hilangnya pendapatan bagi produsen arang. Biaya semacam itu seharusnya juga ikut dipertimbangkan. Manfaat Tambahan. REDD+ bukan hanya berkaitan dengan perubahan iklim. Tujuan lainnya yang dikenal sebagai manfaat tambahan (misalnya, manfaat tambahan selain menurunnya perubahan iklim) juga merupakan hal yang penting. Setidaknya ada empat macam manfaat tambahan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, konservasi hutan selain menyimpan karbon juga menyediakan jasa lingkungan lainnya, seperti melindungi keanekaragaman hayati. Kedua, sejumlah tindakan REDD+ (misalnya pembagian manfaat) dan konservasi hutan akan mendatangkan keuntungan sosial ekonomi, seperti menurunkan kemiskinan, meningkatkan mata pencarian dan mendorong pembangunan ekonomi produktif masyarakat. Ketiga, berbagai tindakan REDD+ dapat menyebabkan terjadinya perubahan politik menuju tata kelola yang lebih baik, mengurangi korupsi dan sikap lebih menghargai hak-hak dari kelompok yang lemah. Keempat, berbagai tindakan REDD+ dan konservasi hutan dapat meningkatkan kemampuan hutan dan masyarakatnya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
95
6.3. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) Kondisi pemungkin (enabling condition) merupakan suatu prasyarat yang mutlak yang perlu dipersiapkan agar implementasi rencana aksi mitigasi REDD+ di Papua dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kondisi pemungkin ini merupakan merupakan faktorfaktor kunci keberhasilan yang perlu diperhatikan oleh stakeholders utama aksi mitigasi utama REDD+, yang dalam hal ini oleh Instansi Pemerintah terkait dengan kegiatan pembangunan berbasis lahan. Kondisi-kondisi pemungkin ini dipersiapkan dengan cara mengoptimalkan kekuatan internal dan peluang eksternal yang memungkinkan akselerasi implementasi rencana aksi mitigasi REDD+ di Papua. Pada aspek lain kondisi pemungkin juga dapat dilakukan melalui upaya meminimumkan kelemahan internal dan meniadakan ancaman eksternal yang mungkin dapat menghambat akselerasi implementasi rencana aksi REDD+. Kondisi-kondisi pemungkin implementasi rencana aksi REDD+ di Papua baik dari aspek kepastian hukum kawasan maupun implementasi kebijakan dan penegakan hukum terkait pengelolaan hutan lestari di Papua, serta Strategi Nasional REDD+ di Provinsi. Hasil identifikasi kondisi pemungkin yang dinilai dapat menjadi faktor pendorong sekaligus penghambat implementasi rencana aksi mitigasi REDD+ di Papua dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kondisi pemungkin eksternal adalah (1) Kepastian wilayah kelola Masyarakat Adat: (2) Akselerasi implementasi pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); dan (3) Review perijinan pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan. Kedua, kondisi pemungkin internal adalah (1) Kelembagaan REED+ di Daerah; (2) Instrumen MRV; dan (3) Instrumen pendanaan. Optimalisasi faktor pendorong akan menghasilkan skenario optimistik aksi mitigasi REDD+ di Papua. Sebaliknya minimalisasi faktor penghambat akan menghasilkan skenario pesimistik aksi mitigasi. Kedua golongan skenario aksi mitigasi tersebut perlu direncanakan sebagai alternatif pilihan prioritas aksi mitigasi REDD+ Papua selama periode perencanaan. Uraian dari masing-masing kondisi pemungkin tersebut sebagai berikut. 6.3.1. Kondisi Pemungkin Eksternal - Kepastian Ruang Kelola Masyarakat Adat Kepastian ruang kelola masyarakat hukum adat merupakan salah satu kondisi pemungkin yang perlu diupayakan agar dapat diakomodir di dalam setiap rencana pembangunan terutama terkait dengan upaya-upaya untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam proses pembangunan termasuk dalam rangka implementasi rencana aksi REDD+ di Papua sebagai bagian dari upaya pengelolaan hutan dan lahan secara berkelanjutan. Kepastian ruang kelola Masyarakat Adat sebagai salah kondisi pemungkin yang dimaksudkan adalah kepastian lokasi, kepastian batas dan kepastian legalitas. Kepastian ini diharapkan dapat terintegrasi dalam berbagai perencanaan ruang pembangunan di wilayah ini. Selama ini wilayah penguasaan adat masyarakat atas lahan dan sumber daya alam belum terakomodasi dalam berbagai ruang pembangunan, bahkan secara nyata hak-hak masyarakat hukum adat belum diakui dalam hukum formal. Untuk itu pemerintah harus menfasilitasi penetapan ruang kelola masyarakat adat dalam RTRWP, RTRWK dan KPH sehingga ada kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya. Proses dan tahapan pemastian ruang kelola masyarakat adat tersebut dapat dilakukan melalui pemetaan pastisipatif dan mediasi, review kebijakan perizinan, dan penguatan panitia tata batas/pengukuhan wilayah adat masyarakat.
96
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Pemetaan dan mediasi dilakukan agar dalam proses penentuan batas-batas penguasaan wilayah adat antar suku dan batas penguasaan antar dapat dipastikan tanpa adanya konflik. Bila terjadi konflik maka perlu dilakukan mediasi sehingga ada kesepakatan bersama yang saling menguntungkan baik dalam masyarakat hukum adat maupun dengan pemerintah. Penentuan batas-batas wilayah masyarakat hukum adat di lapangan harus dilakukan secara partisipatif sehingga tidak ada konflik horizontal bila batas-batas itu didokumentasikan di dalam peta resmi sebagai dokumen perencanaan. Di dalam proses pemetaan partisipatif ini pun, pemerintah perlu melakukan review seluruh perijinan pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan yang ada sehingga ketika areal kelola masyarakat telah tetapkan, tumpang tindih perijinan yang ada dapat dituntaskan. Untuk dapat menetapkan wilayah kelola masyarakat adat terlebih dahulu harus ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di suatu wilayah yang diakui legalitas hukumnya. Untuk memperoleh legalitas harus melalui tahapan-tahapan penataan batas dan pengukuhan kawasan yang legal pula. Peta batas wilayah Masyarakat Adat disuatu wilayah hasil penataan batas tersebut harus ditantadangani oleh suatu panitia tata batas/panitia pengukuhan batas. Karena itu harus ada penguatan-penguatan panitia tata batas/pengukuhan batas di suatu wilayah yang juga dilegalkan kewenangannya. Selanjutnya peta tersebut dilegalisasi oleh Pemerintah melalui Peraturan Daerah. Peraturan Daerah inilah yang menjadi kepastian hukum hak masyarakat hukum adat di suatu wilayah termasuk di dalamnya obyek dan subyek hak atas lahan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya yang dikuasai masyarakat hukum adat bersangkutan. Atas dasar batas-batas tersebut dapat ditetapkan wilayah kelola masyarakat hukum adat pada suatu wilayah yang mantap jangka panjang dan terintegrasi dengan RTRWP, RTRWK dan KPH. Dengan ditetapkannya areal kelola Masyarakat Adat, maka Masyarakat Adat dapat melaksanakan pengelolaan hutan dan lahan adatnya berdasarkan kearifan lokal dan nilainilai budaya yang dianutnya secara legal. Adanya kepastian ruang kelola Masyarakat Adat, maka masyarakat hukum adat dapat berperan aktif dalam kegiatan aksi mitigasi REDD+, terutama pada program HKm dan PHMB. Demikian pula dengan adanya kepastian areal kelola Masyarakat Adat, maka setiap perijinan untuk memanfaatkan lahan dan sumberdaya alam dalam areal kelola Masyarakat Adat dapat dinegosiasikan dan mendapat oleh pemilik hak adat serta pihak pihak yang ingin memanfaatkan lahan Masyarakat Adat menghormati keberadaan Masyarakat Adat di suatu wilayah. - Akselerasi Implementasi Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah satu bentuk kelembagaan pengelolaan hutan yang menganut prinsip-prinsip pengelolaan hutan serbaguna dan lestari. Dengan konsep KPH, maka sasaran pengelolaan adalah kawasan. Dengan demikian melalui konsep KPH, fungsi serbaguna hutan dapat dikelola secara optimal dan lestari merlalui penataan unit-unit pengelolaan sesuai dengan potensi dan fungsi hutan. Dengan konsep KPH, maka unit usaha dapat diorganisasi dalam unit manajemen tapak spesifik lokal serta kelembagaan merupakan prasyarat utama yang harus disediakan dalam taraf perencanaan kawasan. Konsep KPH, maka unit-unit pengelolaan tingkat tapak dapat dilaksanakan sesuai dengan potensi kawasan serta mampu mengakomodir kepentingan Masyarakat Adat dalam kawasan melalui program-program kemitraan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Rakyat dan HTI kemitraan. Percepatan dan implementasi KPH diharapkan akan mampu meminimalisir konflik vertikal dan konflik horizontal atas pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan. Dengan adanya percepatan dan implementasi KPH, maka lokasi sasaran aksi mitigasi REDD+ di Papua dapat ditentukan secara pasti sesuai dengan sumber penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Kondisi pemungkin
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
97
ini seyogyanya menjadi perhatian Pemerintah untuk segera merealisasikan sebagai salah satu paradigma baru pengelolaan hutan yang dinilai dapat mengakomodir berbagai kepentingan serta dapat menjamin prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan. - Review Perizinan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Tumpang tindih perijinan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan sebagai akibat tumpang tindih kewenangan dan kepentingan merupakan faktor penghambat implementasi aksi mitigasi REDD+ di Papua. Adanya tumpang tindih perijinan akan menjadikan ketidak pastian dalam hal penanggung jawab pelaksanaan kegiatan termasuk pendanaan. Karena itu perlu dilakukan review perijinan disetiap fungsi kawasan untuk memastikan bahwa tidak terjadi tumpang tindih ijin ataupun adanya ijin pada kawasan-kawasan yang terbebani hak. Bila terjadi hal demikian, maka sebelum lokasi tersebut akan dijadikan lokasi aksi mitigasi REDD+, maka harus dipastikan lokasi tersebut hanya berlaku satu ijin atau satu beban hak. Review perijinan ini juga merupakan bagian dari pemaduserasian pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam RTRWP/RTRWK dan KPH serta areal kelola Masyarakat Adat. 6.3.2. Kondisi Pemungkin Internal - Sistem Kelembagaan REDD+ Papua Barat Kelembagaan REDD+ Papua dibangun untuk memastikan bahwa SRAP-REDD+ dan implementasinya berjalan sesuai strategi, rencana aksi, prinsip-prinsip dan tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Sistem kelembagaan yang dibangun bersifat independen memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai berikut : a. Menyediakan informasi terkait wilayah dan peluang pengelolaan REDD+ di Papua b. Menyusun juknis MRV/REL Papua c. Menetapkan kriteria dan indikator kelayakan proyek REDD+ dan memberi rekomendasi perijinan pemanfaatan dan penggunaan lahan dan hutan dengan skema REDD+ d. Memantau pelaksanaan proyek REDD+, termasuk kewajiban keterbukaan informasi dan PADIATAPA, peningkatan peran aktif masyarakat dan pembagian manfaat yang adil dan merata. Kelembagaan REDD+ di Papua harus diintegrasikan dengan perkembangan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional, sehingga terjadi keselarasan dan sinergitas kewenangan antara kelembagaan pusat dan daerah. Provinsi Papua dalam struktur Pemerintahan Daerah terdapat dua instansi yang sangat erat kaitannya dengan implementasi aksi mitigasi REDD+ di daereh yaitu Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua dan Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Pemerintah Daerah juga telah membentuk Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Provinsi Papua. Satuan Tugas ini mengambil fungsi koordinasi di fase preparedness. Sekretariat dari Satuan Tugas Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Papua di bawah koordinasi langsung oleh Kepala Badan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Salah satu kelompok kerja (working Group) di bawah fasilitasi dan kordinasi Satuan Tugas ini adalah Tim Kerja Penyusunan SRAP-REDD+ Papua.
98
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Sistem Kelembagaan REDD+ Papua yang diusulkan untuk dibangun adalah sistem kelembagaan yang akan mampu menjamin terwujudnya visi, misi yang diemban dan tujuan yang ditetapkan serta memberikan dampak nyata terhadap pengurangan Emisi Karbon dan optimalisasi nilai manfaat secara berkelanjutan. Untuk itu unsur-unsur kelembagaan haruslah bersesuaian dengan cakupan ruang lingkup bidang kegiatan dari REDD+. Atas pertimbangan ini maka kelembagaan yang diusulkan berbentuk komisi yang berfungsi mengkoordinir semua bidang Tugas dan Fungsi Pokok seluruh SKPD dan Lembaga Non Pemerintah yang terkait dengan bidang pembangunan ekonomi berbasis lahan yang potensial penyebab degradasi dan deforestasi serta penurunan emisi dan peningkatan serapan/stok karbon. Lembaga ini bersifat non struktural dan bersifat independen, tetapi bersesuaian dengan kebijakan Peraturan Daerah agar kewenangan dapat dilegalisasi dan memiliki akses untuk memperoleh pendanaan dari Pemerintah baik melalui APBN maupun APBD serta dapat mengelola dana hibah Internasional. - Pendanaan Untuk REDD+ Provinsi Papua Pendanaan REDD+ Papua berasal dari berbagai sumber, beragam penggunaan dan mengacu pada tata kelola keuangan multipihak. Oleh karena itu diperlukan instrumen pendanaan yang dapat mengakomodir keberagaman sumber dan tata kelola keuangan multipihak. Instrumen yang dimaksud haruslah menganut prinsip : a. Mendukung pengembangan berbagai program dan kegiatan REDD+ sesuai dengan potensi reduksi emisi bidang pembangunan ekonomi berbasis lahan terutama kegiatan kehutanan dan lahan b. Menyediakan mekanisme penyaluran dana yang memungkinkan calon donor dan investor tertarik mendanai program REDD+ Papua c. Mendorong pemanfaatan dana yang efisien dan distribusi manfaat yang adil dan merata dari pengembangan program dan REDD+ Papua d. Memastikan ketiga unsur tersebut menjadi kerangka dasar dalam pengamanan dana REDD+ yang diperoleh dari berbagai sumber untuk kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan hidup. Berdasarkan kebutuhan membangun instrumen pendanaan tersebut maka strategi spesifik pendanaan REDD+ Papua adalah : a. Mengelola dana REDD+ Papua secara independen, profesional, dan kredibel dengan standar akuntabilitas global. b. Memobilisasi dana dari berbagai sumber publik dan swasta di dalam dan luar negeri skema fund raising secara sistematis, terprogram dan profesional. c. Menyiapkan mekanisme penyaluran dana untuk mendukung seluruh kegiatan, termasuk dana operasional lembaga, biaya investasi, pengembangan input tapak dan pendanaan penyiapan pra kondisi (kondisi pemungkin), biaya kinerja Pemerintah/LSM/Lembaga yang terlibat, biaya kinerja pelaksana program dan kegiatan REDD+ yang telah diverifikasi, biaya insentif kepatuhan dalam implementasi RTRWP/K, biaya peningkatan kapasitas SDM dan lain-lain d. Membangun mekanisme pertanggung gugatan (accountability) yang memungkinkan instrumen berjalan transparan melalui audit keuangan dari Lembaga audit independen, Nasional dan Internasional secara berkala
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
99
- Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) REDD+ Papua. MRV adalah rangkaian kegiatan pengukuran (measurement), pelaporan (reporting) dan verifikasi (verification) capaian penurunan emisi, pemeliharaan dan peningkatan cadangan GRK dari kegiatan/proyek/program REDD+ secara berkala di tingkat Daerah. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas output/kinerja dari Instrumen Pendanaan REDD+ Papua Barat kepada pelaksana kegiatan/proyek/program. Pembentukan Institusi MRV difasilitasi oleh Lembaga REDD+. Institusi MRV dibangun untuk mengembangkan kebijakan, standar, serta mekanisme kerja MRV yang sesuai dengan keputusan-keputusan UNFCCC untuk disahkan oleh Lembaga REDD+ Nasional maupun Daerah serta mengkoordinasikan kegiatan MRV. Institusi MRV beroperasi secara independen di bawah koordinasi Lembaga REDD+ Provinsi Papua. Prinsip dari MRV REDD+ Papua Barat haruslah menjamin : a. Metodologi pengukuran yang konsisten dari waktu ke waktu pada seluruh lokasi kegiatan REDD+ dan penetapan tingkat emisi rujukan sesuai REL. b. Kelengkapan informasi mencakup cadangan persediaan karbon di semua sumber penumpukan karbon (di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah (akar) serta nekromasa, serasah dan humus/gambut). c. Ketelitian data untuk efektifitas penurunan emisi CO2 d. Hasil dan metodologi pengukuran penurunan emisi yang dilaporkan secara terbuka dan dijamin sebagai informasi publik oleh institusi MRV. e. Hasil pengukuran dapat diperbandingkan antar waktu untuk program yang sama atau antar tapak aksi mitigasi yang sama tipologinya di Papua. f. Lembaga disertifikasi dan diakreditasi sesuai dengan persyaratan tingkat emisi tertentu. Atas prinsip tersebut maka Lembaga MRV REDD+ Papua merupakan bagian dari manajemen kelembagaan REDD+, namun bersifat independent dalam melaksanakan tugasnya. Sekalipun demikian Lembaga REDD+ Papua memiliki kewenangan yang kuat untuk mengendalikan instrumen MRV untuk menjamin efektifitas, transparansi dan akuntabilitas dari hasil pelaksanaan aksi mitigasi REDD+ Papua.
100
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
BAB VII. PENUTUP SRAP-REDD+ Papua merupakan turunan dari Stranas REDD+ yang memfokuskan pada kegiatan bidang pembangunan berbasis lahan terutama kegiatan pembangunan yang potensial menyebabkan degradasi dan deforestasi serta potensial dalam meningkatan serapan cadangan karbon hutan dan lahan. Sebagai suatu strategi aksi, maka diperlukan serangkaian kegiatankegiatan strategi pra kondisi untuk menghasilkan berbagai kondisi pemungkin sehingga aksi-aksi mitigasi dalam rangka pengurangan emisi GRK melalui penurunan tingkat deforestasi, degradasi hutan dan lahan, pengurangan deforestasi serta peningkatan nilai tutupan lahan dan hutan untuk meningkatkan cadangan karbon hutan dan lahan. Untuk itu berbagai aksi mitigasi dan skenario yang ditawarkan dalam dokumen ini masih memerlukan serangkaian kegiatan pra kondisi guna menumbuhkan berbagai kondisi pemungkin agar aksi-aksi mitigasi tersebut memberikan nilai efektifitas, efisiensi, kemerataan manfaat dan manfaat tambahan yang diharapkan. Beberapa pra kondisi yang diperlukan untuk dapat menciptakan kondisi pemungkin implementasi serangkaian aksi mitigasi REDD+ di Provinsi Papua sebagai berikut : 1. Dukungan komitmen pemerintah daerah melalui penerbitan regulasi terkait dengan kepastian kawasan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam serta perizinan investasi . 2. Perubahan pola pikir dan pola tindak dari pelaku pembangunan diperlukan serta pemahaman bersama akan paradigma pembangunan rendah karbon melalui strategi REDD+ untuk semua stakeholders baik pada tingkat pimpinan, pelaksana, masyarakat dan pihak ketiga . 3. Koordinasi, sinkronisasi dan integrasi program kegiatan SKPD baik di tingkat provinsi, Kabupaten/kota yang terbingkai dalam RTRWP dan RTRWK dan KPH serta kepastian wilayah kelola masyarakat adat merupakan kondisi pemungkin utama yang harus dibangun terlebih dahulu sebelum aksi-aksi mitigasi diimplementasikan disetiap fokus dan lawas aksi mitigasi. 4. Kelembagaan pengelola, sumber pendanaan dan instrumen-instrumennya terutama dalam MRV telah mantap dan telah terbangun baik ditingkat nasional maupun daerah. 5. Berdasarkan skenario aksi mitigasi REDD+ Provinsi Papua bila prakondisi dan kondisi pemungkin tersebut di atas terbangun dengan baik, maka target penurunan emisi tingkat provinsi hingga tahun 2020 sebesar 65,69%.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
101
DAFTAR PUSTAKA Angelsen A (ed.). 2008. Moving ahead with REDD: Issues, options and Implications. Bogor: CIFOR. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. Papua Dalam Angka 2010. Jayapura: BPS Provinsi Papua . Bernadinus Steni, ed. (2010), Beyond Carbon: Rights-based Safeguard Principles in Law, HuMa, Jakarta, Indonesia. CIFOR. 2008. Reducing Emission From Deforestation and Degradation in Indonesia (IFCA Consoludation Report). Bogor: CIFOR. Dinas Kehutanan dan Konvervasi Provinsi Papua. 2012. Statistik kehutanan Provinsi Papua Tahun 2012. Jayapura: Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua. IPCC 2006. Guidelines for national greenhouse gas inventories – volume 4: Agriculture, land use and forestry (GL-AFOLU). http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/2006gl/vol4.html (10 Januari 2011). MoE (Ministry of Environment). 2010. Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention On Climate Change. Jakarta. Peraturan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2011. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Sekretariat Kabinet Purbawiyatna.A, Agung Prasetyo.F, Purnomo.H. 2012. Studi Penyusunan Panduan Penyiapan Unit Pengelolaan Hutan Alam Untuk Pembangunan Program REDD+. Jakarta: GIZ and Forclaim. Putz FE, Zuidema PA, Pinard MA, Boot RGA, Sayer JA, Sheil D, Sist P, Elias, Vanclay JK. Improved Tropical Forest Management for Carbon Retention. Perspective, PLoS Biology, preprint, doi:10.1371/journal.pbio.0060166 Satgas REDD+ Indonesia. 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta.
102
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
DAFTAR SINGKATAN APL
= Areal Penggunaan Lain
GRK
= Gas Rumah Kaca
HD
= Hutan Desa
HKm
= Hutan Kemasyarakatan
HPK
= Hutan Produksi Konversi
HTI
= Hutan Tanaman Industri
HTR
= Hutan Tanaman Rakyat
IUPHHK
= Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
KPH
= Kesatuan Pengelolaan Hutan
LSM
= Lembaga Swadaya Masyarakat
LULUCF
= Land use, land use change and forestry
MRV
= Measuring, Reporting and Verification
PHPL
= Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
PHBMA
= Pengelolaan Hutan Berbasisi Masyarakat Adat
REDD
= Reduced Emission From Deforestation and Degradation
REH
= Restorasi Ekosistem Hutan
REL
= Reference Emission Level
RHL
= Rehabilitasi Hutan dan Lahan
RIL
= Reduced Impact Logging
RTRWK
= Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
RTRWP
= Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
SFM
= Sustainable Forest Management
SILIN
= Silvikultur Intensif
SKPD
= Satuan Kerja Perangkat Daerah
SRAP
= Strategi dan Rencana Aksi Provinsi
STRANAS = Strategi Nasional SVLK
= Sertifikasi, Verifikasi Legalitas Kayu
TPTI
= Tebang Pilih Tanam Indonesia
UKP4
= Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
103
TERMINOLOGI Aforestasi (afforestation) — Konversi lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (biasa disebut penghijauan), penyebaran biji, dengan menggunakan jenis tanaman (species) asli (native) atau dari luar (introduced).Menurut Marrakech Accord (2001) kegiatan penghijauan tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya bukan merupakan hutan. Agroforestry — Sistem pertanian dimana tanaman pangan dan tanaman kehutanan ditanam dalam lahan yang sama. Akumulasi — Terkumpulnya suatu zat tertentu menjadi satu kesatuan dalam kurun waktu tertentu. Allometric Equation — Persamaan allometrik yang disusun untuk menduga nilai karbon hutan berdasarkan parameter tertentu. Umumnya parameter yang dipakai adalah diameter pohon. Annex I countries / Parties — Negara-negara industri yang terdaftar pada lampiran 1 konvensi perubahan iklim (UNFCCC) yang mempunyai komitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkat tahun 1990 pada tahun 2000 sebagaimana tercantum pada Artikel 4.2 (a) dan (b). Termasuk negara ini adalah 24 anggota asli negara OECD, Uni Eropa, dan 14 negara transisi ekonomi (Croatia, Lichtenstein, Monaco, Slovenia, Chech Republic). Negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I ini secara otomatis disebut Non-Annex I countries. Annex II Countries / Parties — Negara-negara yang terdaftar pada lampiran 2 Konvensi perubahan iklim UNFCCC yang mempunyai kewajiban khusus untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang. Negara-negara ini termasuk 24 negara OECD ditambah dengan negara-negara Uni Eropa. Annex B Countries — Negara yang termasuk dalam lampiran B Protocol Kyoto yang telah setuju untuk mentargetkan emisi GRK-nya, termasuk negara-negara Annex I kecuali Turkey dan Belarus. Anthropogenic emission — Emisi yang diakibatkan karena kegiatan manusia. APL — Area untuk Penggunaan Lain, suatu kawasan hutan yang direncanakan dapat dikonversi untuk kebutuhan sektor lain. APL disebut juga KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan). APL ini bisa masih berhutan dan bisa sudah tidak berhutan. BAU (Business as Usual) — Emisi yang akan terjadi apabila tidak dilakukan tindakan mitigasi dan tindakan pengurangan emisi lainnya. Baseline — Referensi yang menjadi tolok ukur untuk mengetahui pencapaian suatu aksi yang terukur kuantitasnya. Biasanya yang menjadi tolok ukur ini adalah informasi dasar dari suatu aksi tanpa adanya intervensi kebijakan atau kegiatan proyek; perubahan cadangan karbon tanpa proyek. Ada tiga macam konsep baseline, yaitu (1) historical baseline yakni tingkat deforestasi dan degradasi hutan (DD) serta emisi CO2 dihasilkan selama sekian tahun yang telah lewat; (2) proyeksi DD dalam skenario situasi penanganan seperti biasanya (BAU-business as usual). Baseline BAU merupakan tanda batas untuk memutuskan dampak dari kegiatan REDD serta untuk meyakink
104
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
ada tidaknya additionality; dan (3) crediting baseline yaitu suatu tanda batas untuk memberikan penghargaan kepada suatu negara atau proyek bila Negara atau proyek tersebut dapat mencapai emisi dibawah tanda batas tersebut. Base Year — Tanggal (spesifik atau rata-rata dari beberapa tahun implementasi) yang dipakai sebagai titik awal / tahun dasar untuk merunut balik emisi suatu perusahaan setiap waktu. Belowground biomass — Semua biomassa yang ada di/dalam tanah termasuk serasah daun dan kayu, akar. Biodiversity — Keanekaragaman hayati. Total keanekaragaman semua organisme dan ekosistem pada berbagai skala keruangan (mulai dari genus sampai ke seluruh bioma). Biomass — Total massa (berat kering) material organik yang berasal dari tanaman ataupun hewan pada suatu kawasan atau volume yang telah ditetapkan; Total berat kering (dry weigth) satu spesies atau semua spesies mahluk hidup dalam suatu daerah yang diukur pada waktu tertentu. Ada dua jenis biomassa, yaitu biomassa tanaman dan biomassa binatang. Business as usual (BAU) — Besarnya emisi karbon / carbon stock dalam mekanisme REDD+ dimana emisi/stock karbon tersebut dihasilkan berdasarkan kegiatan-kegiatan yang sudah rutin dilaksanakan, tanpa adanya usaha-usaha tambahan untuk menanggulangi isu emisi karbon ini. Cadangan Karbon (Carbon Stock) — Simpanan Karbon. Banyaknya kandungan karbon yang ada di pohon pada suatu areal hutan pada jangka waktu tertentu. Asumsinya pohon menyerap dan menyimpan CO2. Carbon market (Pasar Karbon) — Suatu mekanisme perdagangan dimana Negara-negara konvensi dapat membeli atau menjual unit emisi GRK dalam upaya untuk memenuhi batas emisi nasionalnya, baik di bawah Protokol Kyoto atau di bawah kesepakatan lain. Dipakai istilah karbon karena CO2 adalah gas yang dominan dalam perubahan iklim. Untuk gas lainnya diukur dengan unit satuan yang disebut ‘carbon-dioxide equivalent – setara karbon-dioksida”. Carbon pool — Suatu sistem yang mempunyai kapasitas untuk mengakumulasi atau melepaskan karbon. Contoh: biomassa hutan, produk kayu, tanah, dan atmosfer. Carbon removal — Serapan karbon, penyerapan karbon dari atmosfir oleh tanah, tumbuhan, dan air (laut). Carbon sink — Simpanan karbon. Carbon credits — Menyerap karbon; carbon removal; suatu komponen usaha nasional dan internasional untuk melakukan mitigasi pertumbuhan konsentrasi GRK. Satu kredit karbon sama dengan satu ton karbon. Carbon cycle (siklus karbon) — Suatu istilah untuk menggambarkan aliran karbon dari atmosfer, lautan, daratan, biosphere dan lithosphere. Carbon dioxide (CO2) — Rumus kimia untuk zat asam arang adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. CO2 berbentuk gas pada keadaan temperature dan tekanan standar dan dapat ditemui di atmosfir bumi. Rata-rata konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi kira-kira 387 ppm berdasarkan
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
105
volume walaupun jumlah ini bisa bervariasi tergantung pada lokasi dan waktu. Karbon dioksida adalah Gas Rumah Kaca yang penting karena gas CO2 ini menyerap gelombang inframerah dengan kuat. Carbon emission — Pengeluarkan karbon, debits, emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfir, terutama yang berasal dari berbagai kegiatan manusia. Carbon Markets — Suatu lembaga pendanaan dan mekanismenya yang dapat membeli kredit karbon dari suatu aktivitas yang telah diverifikasi. Ini dapat dalam bentuk voluntary market (yang dibentuk berdasrkan perjanjian bilateral antara dua negara yang bersangkutan) atau compliance market (pasar yang secara legal diatur untuk memenuhi target penurunan emisi dibawa perjanjian multilateral). Carbon Sequestration — Suatu proses menghilangkan CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon melalui fotosintesis, yang kemudian disimpan dalam kayu dan vegetasi; penambatan karbon — proses penyingkiran (mengurangi/ removing) karbon dari atmosfer. Carbon Pool — Sumber karbon; bagian atau tempat karbon tersimpan. Carbon Trading — Perdagangan Karbon. adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfir. Ada dua jenis perdagangan karbon. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida; Suatu transaksi yang telah diverifikasi atau yang telah disertifikasi dengan sertifikat karbon kredit REDD. CDM (Clean Development Mechanism) — Adalah salah satu mekanisme dibawah Kyoto Protocol/ UNFCCC, yang dimaksudkan untuk : (a) membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC); merupakan salah satu mekanisme di bawah protokol Kyoto yang memperbolehkan negara-negara berkembang “menjual” penurunan emisi melalui berbagai proyek kepada negara-negara maju. Dalam mekanisme ini, negara Annex I berinvestasi di negara non-Annex I untuk proyek- proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang Tersertifikasi (Certified Emission Reduction/CER). CER (Certified Emission Reduction) — Sertifikasi penurunan emisi GRK yang dilakukan melalui proyek CDM. Unit satuan dalam CER adalah 1 metrik ton. CER dikeluarkan untuk mengurangi emisi dari aktivitas CDM. CER ini bisa dialihkan kepada negara-negara maju yang membutuhkannya, biasanya dengan harga tertentu. CDM Executive Board, berkedudukan di Sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman, mengatur tatakelola CDM ini dan menerbitkan CER bagi aktivitas yang telah diverifikasi. CFC (Chlorofluorocarbon) — CFC merupakan GRK sumber pemanasan global setelah CO2. CFC merupakan zat kimia yang banyak digunakan sebagai zat pendingin (kulkas, dan AC). CFC juga merupakan bahan utama sebagai gas pendorong pada aerosol, yaitu bahan yang dikemas dalam kaleng pada tekanan tinggi. Bahan tersebut dapat disemprotkan dengan memijat tombol. Beberapa contoh adalah parfum, hairspray, deodorant, pembersih kaca, obat serangga, dan cat semprot. CFC juga digunakan untuk membersihkan permukaan mikrocip dari kotoran (industri
106
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
elektronika), dry cleaning, untuk membuat plastik busa (bantal kursi, jok mobil, plastik pelindung dalam kemasan), piring plastik dan gelas plastik. CO2 (Karbondioksida) — Salah satu dari GRK yang utama dan dijadikan referensi GRK yang lain dalam menentukan Indek GWP-nya =1. GRK ini banyak dihasilkan dari pembakaran BBF, biomassa dan alih guna lahan. CO2-eq (Carbon Dioxide Equivalent / Ekuivalen karbon dioksida) — yaitu standar internasional yang menunjukkan sumbangan pemanasan global dari masing-masing enam gas rumah kaca. Co-benefits - Manfaat dari implementasi skema REDD selain manfaat penurunan emisi GRK seperti penurunan tingkat kemiskinan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan peningkatan pengelolaan hutan; multiple benefit. Conservation of carbon stock — Konservasi simpanan karbon yang ada dalam tumbuhan, tanah dan air. Conference of Parties (COP) — Konferensi para pihak. Badan otoritas tertinggi dalam suatu konvensi, bertindak sebagai pemegang otoritas pengambil keputusan tertinggi. Badan ini merupakan suatu assosiasi dari semua negara anggota konvensi. DA (Demonstration Activity) — Kegiatan lapangan yang bertujuan mengurangi emisi karbon dan atau peningkatan cadangan karbon dan/atau konservasi cadangan karbon melalui kegiatan REDD+ berbasis penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry) sebagai sarana pembelajaran termasuk pengujian dan pengembangan metodologi, teknologi, institusi, peningkatan kapasitas dan pelaksanaan safeguards dan/atau result based action yang menghasilkan pembayaran dan/atau insentif atas pengurangan/pencegahan emisi/peningkatan cadangan karbon hutan yang dicapai. Deforestasi — Konversi lahan hutan menjadi menjadi lahan untuk pemanfaatan lain atau pengurangan luas hutan untuk jangka panjang di bawah batas minimum 10% (FAO); perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009). Deforestasi hutan — Konversi lahan hutan yang disebabkan oleh manusia menjadi areal pembukaan lahan (definisi menurut Marrakech Accords); konversi hutan menjadi lahan pemanfaatan lainnya atau pengurangan luas hutan untuk jangka waktu panjang di bawah batas minimum 10% (definisi FAO). Degradasi Hutan — Penurunan kuantitas dan kualitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009). Sampai saat tulisan ini dibuat, definisi degradasi hutan dalam mekanisme REDD belum disepakati, atau IPCC belum mengeluarkan definisi degradasi hutan. Definisi umum tentang degradasi hutan adalah pembukaan hutan hingga tutupan atas pohon pada tingkat diatas 10%. 3E (effectiveness, efficiency and equity) — Ketiga istilah ini pertama kali muncul dalam laporan Stern yang mengevaluasi skema penurunan emisi karbon dimana kesimpulannya dipakai dalam negosiasi perubahan iklim sehingga menghasilkan skema REDD+. 3E ini kemudian sering muncul dalam negosiasi ataupun perdiskusian terkait REDD+ atau perubahan iklim.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
107
Ecosystem services — Manfaat yang diberikan oleh suatu ekosistem ke manusia. Contoh: hutan untuk penyedia makanan, air, kayu, dan serat. Hutan mengatur iklim, banjir, penyakit dan kualitas air. Hutan juga menjadi tempat rekreasi, tempat yang estetik, dan bermanfaat bagi tenaga spiritual. Efek rumah kaca — Suatu proses pemantulan energi panas ke atmosfer dalam bentuk sinarsinar infra merah. Sinar-sinar infra merah ini diserap oleh karbondioksida dan di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu; Suatu proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824. Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat. Ekosistem — Seluruh organisme hidup dan lingkungan hidupnya; sekelompok organisme hidup yang saling bergantung satu sama lain dan sama-sama bergantung pada lingkungan tempat mereka hidup bersama. Emisi karbon — Lepasnya gas karbon hutan ke atmosfer dari sumber karbon (carbon pool) yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Emisi historis — Lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer akibat deforestasi dan degradasi hutan pada suatu area dalam jangka waktu tertentu dimulai dari masa lampau. Emission Factor — Suatu nilai konstanta untuk mengestimasikan emisi GRK dengan menggunakan suatu unit data kegiatan yang tersedia (misal ton bahan bakar yang dikonsumsi, ton produksi yang dihasilkan) dan emisi absolut GRK. Emission Trading (Perdagangan Emisi) — merupakan pendekatan administrasi yang digunakan untuk mengendalikan pencemaran dengan memberikan insentif ekonomi untuk menurunkan emisi pencemar atau polutan. Pengaturan perdagangan emisi ini bersumber pada konvensi internasional, salah satunya disebut sebagai Protocol Kyoto dimana Indonesia telah ratifikasi konvensi tersebut dalam siding pleno DPR pada 28 Juni 2004 melalui pembahasan panjang sejak 1997. Biasa disebut juga carbon-trade. FIP (Forest Investment Program) — Skema investasi pendanaan karbon yang dikembangkan oleh Bank Dunia. Program FIP ini bersama-sama program global UNFCCC dalam paket FCPF, UN-REDD dan FIP untuk membantu readiness Negara berkembang dalam menyongsong mekanisme REDD+. FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) — Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau di Indonesia dikenal dengan nama PADIATAPA, yaitu suatu prinsip yang memungkinkan masyarakat adat dan lokal mempunyai peran untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah kebijakan atau kegiatan yang berpotensi mempengaruhi kehidupan masyarakat di kawasannya. FPIC masuk dalam safeguard information system tetapi belum mencakup semua 7 safeguard hasil Cancun.
108
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Gas Rumah Kaca (GRK) — Yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC dan PFC. Gas-gas ini merupakan akibat aktivitas manusia dan menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Hal ini menyebabkan fenomena pamanasan global yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi secara global. Pemanasan global mengakibatkan Perubahan Iklim, berupa perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya akan mengubah pola iklim dunia. Gigaton (109ton) — Unit yang sering digunakan untuk menyatakan jumlah karbon atau karbondioksida di atmosfer. GHG (Green House Gases) — Gas Rumah Kaca (GRK). Global Warming — Pemanasan global yaitu peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut selama beberapa dekade terakhir dan proyeksi untuk beberapa waktu yang akan datang. Greenhouse Effect (Efek rumah kaca) — Terperangkapnya panas oleh gas-gas yang ada di udara yang terjadi secara alami ( uap air, CO2, N2O, NH4, O3) dan secara buatan ( (CFCs, SF6, HFCs, PFCs) dimana gas-gas ini menyerap radiasi sinar merah. Efek rumah kaca secara ala mini membuat bumi selalu terasa hangat sekitar 30°C (55°F) atau lebih hangat lagi bila gas-gas ini tidak ada. HTI — Hutan Tanaman Industri adalah program penanaman lahan hutan tidak produktif dengan tanaman-tanamanan industri seperti kayu jati dan mahoni guna memasok kebutuhan serat kayu (dan kayu pertukangan) untuk pihak industri. Hutan — Suatu kawasan dengan luas paling sedikit 0,001 – 1 hektar dengan tutupan atas berupa pohon lebih dari 10-30%, dan tumbuh di kawasan tersebut sehingga mencapai ketinggian minimal 2-5 meter (FAO); Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU.41/1999). Definisi hutan yang aktual dapat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya karena Protokol Kyoto memperbolehkan masingmasing negara untuk membuat definisi yang tepat sesuai dengan parameter yang digunakan untuk penghitungan emisi nasional. Hutan Hak — Adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan Negara — Adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan Adat — Adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan Desa — Adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani ijin/hak Hutan Produksi — Adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Lindung — Adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
109
Hutan Konservasi — Adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Iklim — Keadaan rata-rata cuaca pada suatu daerah dalam kurun waktu yang relatif lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas – menggambarkan kondisi sistem iklim selama satu kurun waktu dan biasanya digambarkan dalam rata-rata atau variasi berbagai variabel seperti suhu, curah hujan, dan angin, sebagian besar umumnya berkaitan dengan cuaca. Implementation (implementasi) — Suatu aksi (legislasi atau regulasi, keputusan hukum, atau aksi lainnya) yang diambil pemerintah untuk menerjemahkan perjanjian internasional ke dalam undang-undang / peraturan dan kebijakan domestik. Indigenous peoples — Masyarakat asli, masyarakat setempat, masyarakat adat; belum ada definisi yang secara internasional diterima. Insentif — Manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD berupa dukungan finansial dan atau transfer teknologi dan atau peningkatan kapasitas. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) – Suatu Panel ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 oleh pemerintah anggota Konvensi Perubahan Iklim yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk melakukan pengkajian (assessment) terhadap perubahan iklim, menerbitkan laporan khusus tentang berbagai topik yang relevan dengan implementasi Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim. Panel ini memiliki tiga kelompok kerja (working group) : I. Dasar Ilmiah, II. Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan, III. Mitigasi. JI (Joint Implementation) — Sebuah mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan oleh antar negara maju untuk menghasilkan ERU (Emission Reduction Unit), suatu penurunan emisi GRK. Kawasan hutan — Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan ini dapat ditumbuhi hutan atau tidak ditumbuhi vegetasi hutan (kosong). Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity atau Biodiversity) - Keanekaragaman mahluk hidup dan hal-hal yang berhubungan dengan ekologinya, dimana mahluk hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman Hayati mencakup keaneragaman genetik, spesies dan ekosistem. Kyoto Protocol — Protokol Kyoto, merupakan perjanjian internasional untuk membatasi dan menurunkan emisi gas-gas rumah kaca — karbon dioksida, metan, nitrogen oksida, dan tiga gas buatan lainnya. Negara-negara yang setuju untuk melaksanakan protokol ini di negara masingmasing berkomitmen untuk mengurangkan pembebasan gas CO2 dan lima GRK lain, atau bekerjasama dalam perdagangan kontrak pembebasn gas perdagangan kontrak pembebasan gas jika mereka menjaga jumlah atau menambah pembebasan gas-gas tersebut, yang menjadi puncak gejala pemanasan global. Protokol ini di adopsi di Kyoto pada tahun 1997 pada saat COP 3, mulai berlaku tahun 2005, dan akan berakhir tahun 2012. Negara-negara yang termasuk dalam Annex B dari protokol ini berkewajiban menurunkan emisi sebesar 5% dibawah emisi tahun 1990 pada tahun 2008 –2012. Indonesia sebagai negara berkembang tidak dikenakan kewajiban untuk menurunkan emisinya. Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Kyoto pada 3 Desember 2004, melalui UU no. 17/ 2004.
110
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
Land use and Land-use change (LULUCF) — Land-use, Land-use Change and Forestry adalah kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan yang berpengaruh langsung terhadap emisi GRK karena adanya pelepasan dan penyerapan karbon dalam bentuk dekomposisi dan pembentukan biomassa, seperti dalam hal penebangan dan kebakaran hutan. Leakage — Permasalahan di mana pengurangan deforestasi di sebuah wilayah karena proyek avoided deforestation akan berujung meningkatnya deforestasi di wilayah lain. Padahal deforestasi total tidak banyak berkurang. Mitigasi — Upaya untuk mengurangi emisi GRK sehingga laju perubahan iklim dapat ditekan; Semua intervensi manusia yang menurunkan sumber-sumber gas rumah kaca atau yang meningkatkan penyerapannya. Contoh: penggunaan bahan bakar fosil lebih efisien dalam suatu industri atau pembangkit listrik dengan cara misalnya mengalihkan energinya bersumber dari tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin, dll. MRV (Measurable, Reportable and Verifiable) — Suatu sistem/proses untuk mengukur/ memantau, mendokumentasikan/melaporkan, dan memverifikasi perubahan tutupan hutan dan cadangan karbon dari pelaksanaan DA REDD+/REDD+ yang akurat (reliable) dan dapat dipertanggungjawabkan dari pelaksanaan DA REDD+. National Forest Monitoring System (NFMS) — Salah satu keputusan kerangka kerja REDD+ di Cancun yaitu negara / Paties depan memulai melakukan pengembangan sistem monitoring hutan nasional dan sub-nasional yang transparan dan menyeluruh (Framework ke 3 REDD+). NFI (National Forest Inventory) — Inventarasi Hutan di tingkat nasional. Untuk Indonesia, NFI dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan. NFI Indonesia yang saat ini ada masih menitik beratkan pada informasi tentang kayu. Terkait dengan perubahan iklim / REDD+, saat ini Kementerian Kehutanan bersama-sama dengan UN-REDD/FAO sedang menyempurnakannya agar bisa mengakomodasi isu karbon. Non-Annex 1 Parties — negara-negara yang telah meratifikasi atau menyetujui konvensi PBB tentang perubahan iklim yang tidak termasuk ke dalam Annex 1 Konvensi. Non-governmental organization (NGO) — Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu organisasi yang bukan merupakan bagian dari struktur pemerintah. Termasuk kelompok ini adalah kelompok lingkungan, lembaga penelitian, kelompok bisnis, dan asosiasi pemerintah desa dan lokal. NGO yang bisa ikut menghadiri konvensi PBB harus NGO yang nir-laba. O3 (Ozon) — Komposisi kimia yang terbentuk di lapisan atmosfer atas (stratosfer) guna melindungi bumi dari pancaran radiasi ultra-violet yang berlebihan. Peat (gambut) — Jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Peatland — Lahan gambut, salah satu jenis lahan wetland. Lahan gambut merupakan lahan yang penting dalam perubahan iklim karena kemampuannya dalam memproses gas yang menyebabkan efek rumah kaca, seperti CO2 dan metan. Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
111
yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan, baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif. Planted forest (forest plantation) — Hutan tanaman (masuk kategori ini bisa hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat). Pembangunan berkelanjutan — Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pengelolaan Hutan — Aplikasi prinsip-prinsip biologi, fisika, kuantitatif, manajerial, sosial dan politik pada regenerasi, pemeliharaan, pemanfaatan dan konversi hutan untuk memenuhi maksud dan tujuannya dengan tetap mempertahankan produktifitas hutan. Perdagangan Karbon REDD — Kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Permanence — Cadangan tetap; kelangsungan pool karbon dan stabilitas cadangan karbon, walaupun dengan adanya pengelolaan dan gangguan lingkungan yang dapat terjadi. Perubahan iklim — Semua perubahan dalam iklim dalam suatu kurun waktu, apakah karena perubahan alamiah atau sebagai akibat aktivitas manusia. UNFCCC mendefinisikan sebagai suatu perubahan iklim akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia yang merobah komposisi gas di atmosfer sehingga menyebabkan terjadinya variasi iklim alam pada selang masa tertentu (Article 1). Pool Karbon — Sebuah sistem yang memiliki kapasitas untuk mengakumulasi atau melepas karbon. Sebagai contoh biomass hutan, produk-produk kayu, tanah, dan atmosfer. Unit yang digunakan adalah massa (misalnya t C). Protokol Kyoto — Protokol ini merupakan amandemen the United Nations Framework Convention on Climate Change yang menugaskan pewajiban batasan emisi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca kepada negara-negara yang menandatangani kesepakatan itu. REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation) - Suatu skema atau mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif atau kompensasi bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD mencakup semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan (Permenhut 30/ 2009). REDD merupakan suatu inisiatif untuk mengurangi emisi GRK yang terkait dengan penggundulan hutan dengan cara memasukkan ‘avoided deforestation’ ke dalam mekanisme pasar karbon. Secara sederhana adalah suatu mekanisme pembayaran dari komunitas global sebagai pengganti kegiatan mempertahankan keberadaan hutan yang dilakukan oleh negara berkembang. REDD merupakan mekanisme internasional yang dibicarakan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-13 akhir tahun 2007 lalu di Bali dimana negara berkembang dengan
112
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
tutupan hutan tinggi selayaknya mendapatkan kompensasi apabila berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ (Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus) - Suatu mekanisme penurunan emisi yang dikembangkan dari REDD (expanded REDD) dimana penggunaan lahan yang tercakup didalamnya meliputi hutan konservasi, pengelolaan hutan lestari (SFM), degradasi hutan, aforestasi dan reforestasi; semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pengurangan dan/atau pencegahan, dan/atau perlindungan, dan/atau peningkatan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Reduced Impact Logging (RIL) — Suatu kegiatan dari perencanaan pemanenan hasil hutan kayu yang telah memperhatikan aspek keselamatan lingkungan dan dikerjakan dengan benar oleh para operator yang terlatih. Reference emission — Emisi acuan, tingkat emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam kondisi tidak ada skema REDD dan dapat ditetapkan berdasarkan trend historis maupun skenario pembangunan di masa datang. Reference emissions level (REL) — Basis untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang akan dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang. Reference level (RL) — Tingkat cadangan karbon yang akan dijadikan basis (benchmark) untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam mengkonservasi dan/atau meningkatkan cadangan karbon dari upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari, penanaman atau kegiatan lainnya. Reforestasi — Umumnya berarti penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut Marrakech Accord (2001), kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan yang telah rusak sebelum 31 Desember 1989. Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) — Suatu rencana aksi yang diputuskan oleh Presiden yang tertuang dalam Perpress 61/2011. Rencana ini memuat aksi-aksi nasional untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan lahan gambut, pertanian, limbah, industri dan transportasi, serta energi. Restoration (restorasi) — Suatu usaha untuk membuat ekosistem hutan asli dengan cara menata kembali (reassembling) komplemen asli tanaman dan binatang yang pernah menempati ekosistem tersebut. Satgas REDD+ —Suatu tim ad hoc yang dibentuk oleh presiden Republik Indonesia untuk mempersiapakan agensi REDD+ beserta infrastruktur yang diperlukan. Satgas REDD+ ini sangat terkait dengan LoI Indonesia dan Norwegia untuk program penurunan emisi karbon dari degradasi hutan dan lahan gambut. Sequestration — Proses peningkatan kandungan karbon dari karbon pool selain dari atmosfer; lihat carbon sequestration.
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+
113
Sertifikat REDD — Suatu bentuk dokumen pengakuan tentang pengurangan emisi dan manfaat lain yang diperoleh dari kegiatan REDD yang diberikan kepada pelaku REDD. Sertifikat ini baru merupakan suatu wacana, belum benar-benar ada pada tahun 2012 ini. Sinks (definisi menurut UNFCCC) — Semua proses atau aktivitas atau mekanisme yang memisahkan GRK atau gas-gas penyusunnya dari atmosfer; Proses, aktivitas atau mekanisme yang menghilangkan GRK, aerosol, atau cikal bakal gas rumah kaca dari atmosfir. Istilah ini umum dipakai di perubahan iklim dan mencakup pengertian menyerap serta menyimpan. Hutan dan vegetasi lainnya dianggap seba gai sink karena menyerap CO2 dari udara dan menyimpan carbonnya di batangnya. Source — Process, aktifitas atau mekanisme yang melepas gas GRK, aerosol, atau biang gas GRK ke atmosphere (IPCC 2007c). Stranas REDD+ — Dokumen strategi nasional Republik Indonesia untuk menjalankan REDD+. Dokumen ini disusun berdasarkan draft stranas yang disusun oleh Bappenas bersama-sama dengan UN-REDD kemudian diserahkan ke Satgas REDD+ untuk penyempurnaan lebih lanjut. SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) — Suatu sistem legalitas yang menjamin kayu dari Indonesia yang diekspor sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) - Konvensi Perubahan Iklim PBB, sebuah kesepakatan yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK, atau Green House Gas-GHG) di atmosfir, pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.6/1994. Vegetasi — Tumbuh-tumbuhan pada suatu area yang terkait sebagai suatu komunitas tetapi tidak secara taksonomi. Atau jumlah tumbuhan yang meliputi wilayah tertentu atau di atas bumi secara menyeluruh.
114
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+