Jenis
:
Dokumen SRAP REDD+ Aceh
No. Dokumen
:
A.1.P.01 SRAP Aceh
Tanggal
:
12 Desember 2013
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
TIM PENYUSUN 1. Dr. Husnan, ST. MP 2. Nanda Yuniza, ST, MT 3. M. Daud, S.Hut, M.Si 4. Win Rima Putra S. Hut 5. Muhammad Fadhil, ST, MT 6. Marthunis, ST, DEA 7. Ir. Anggria Zultina Rosa, M.Si 8. Zulharidsyah, S.Hut 9. Dedek Hadi Ismanto, S.Hut, M.Si 10. Dr. Ir. Hairul Basri, M.Sc. 11. Dr. Ir. Syakur, MP 12. Abdul Syakur 13. Maidar, SP 14. Lestari Suci DS, S.Si, MT 15. Umri Praja Muda, S.Hut, M.Si 16. Fikri Arief Utama, ST 17. Ir. Agus Halim, M.Si 18. Dahlan, S.IP 19. Erwanto Kasyah, SE, MA 20. Dewa Gumay
TIM PENGUMPUL DATA 1. Heldi Syukriadi, ST 2. Fatriansyah 3. Imed Badradul, SP 4. Hery Yanto, S.Hut 5. Yudi Armanda, S.Hut 6. Aryandi, SE 7. Nanda Maulina, S.Si 8. Ary Herfiansyah, ST 9. Maida Fithria, ST 10. Bambang Arianto, S.Hut 11. Farwiza 12. Rahmadani 13. Milda Agustina
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh telah dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim Penyusun SRAP REDD+ Aceh yang telah bekerja keras menyelesaikan dokumen ini dalam waktu yang terbatas. Apresiasi dan ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Satuan Tugas (Satgas) REDD+ dari Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang telah memberikan dukungan teknis, serta UNDP (United Nation for Development Program) yang mendukung pendanaannya. REDD+ merupakan mekanisme baru, setelah memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan pengayaan cadangan karbon. Keberhasilan REDD+ di Aceh memerlukan perubahan paradigma yang cukup mendasar. Perubahan ini akan melibatkan transformasi kelembagaan, aspek hukum dan kebijakan serta sistem tata kelola yang terkait dengan implementasi REDD+. Dokumen SRAP REDD+ merupakan dokumen sinergis yang diharapkan menjadi acuan dalam pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam sistem perencanaan pembangunan daerah. Dengan demikian ada jaminan SRAP REDD+ dapat diimplementasikan pada kegiatan di SKPA/SKPK maupun stakeholders lainnya, serta menjaga dokumen tetap mengikuti perkembangan dinamika sosial, politik dan ekonomi maka secara periodik akan dilakukan peninjauan ulang. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Banda Aceh, November 2013 Kepala BAPPEDA Aceh,
Prof. Dr. Ir. Abubakar Karim, M.S.
iii
iv
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
DAFTAR ISI Nomor
Tubuh Utama
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................. v DAFTAR SINGKATAN..................................................................... ix BAB I
PENDAHULUAN.............................................................. 1 1.1. Latar Belakang......................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan................................................................. 3
1.3. Dasar Hukum............................................................................. 4
1.4. Ruang Lingkup........................................................................... 6
1.5. Metodologi ................................................................................. 7
BAB II
KONDISI DAN PERMASALAHAN ................................... 9
2.1. Kondisi Kawasan Hutan di Aceh............................................. 9
2.2. Kondisi Perizinan Sektor Kehutanan di Aceh......................... 13
2.3. Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh..................... 15
2.4. Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Hutan di Aceh..... 22
2.5. Penyusunan Baseline Emisi GRK ........................................... 28
2.6. Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Aceh ............... 29
BAB III STRATEGI REDD+ ACEH................................................. 37
3.1. Keterkaitan REDD+ Aceh dengan Program Lain...................... 37
3.2. Kerangka Strategi REDD+ Aceh................................................ 41
BAB IV PELAKSANAAN STRATEGI RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH...................................................... 55
.1. Skenario Penurunan Emisi.......................................................... 55
4.2. Strategi Rencana Aksi Penurunan Emisi.................................. 57
4.3. Pelaksanaan REDD+.................................................................. 58
BAB V
PENUTUP........................................................................ 69
v
DAFTAR TABEL Nomor
Tubuh Utama
Halaman
Tabel 2.1 Luas Kawasan Hutan Aceh Menurut Fungsi dan Sebarannya........ 12 di Kabupaten/Kota Berdasarkan SK Menhutbun No.170/Kpts-II/2000 Dihitung Secara Planimetris Tabel 2.2. Daftar IUPHHK-Hutan Alam di Provinsi Aceh............................... 14 Tabel 2.3. Daftar IUPHHK-HTI di Provinsi Aceh............................................. 15 Tabel 2.4. Situasi Deforestasi Hutan Aceh periode 1945 – 2009..................... 17 Tabel 2.5. Tutupan Lahan, Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh................ 19 Tabel 2.6. Luas Kelas Kekritisan Lahan Propinsi Aceh Tahun 2010................ 21 Tabel 2.7. Luas Kekritisan Lahan menurut Fungsi Kawasan di Aceh.............. 22 Tabel 2.8. Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah Aceh............ 24 Tahun 2011 Tabel 2.9. Data yang Digunakan untuk Memperkirakan Emisi Bidang........... 25 Kehutanan dan Lahan Gambut Tabel 2.10. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari ........................ 25 Masing-Masing Kawasan Tabel 2.11. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari......................... 26 Masing-Masing Alih Guna Lahan Tabel 2.12. Rangking dan Kumulatif Sumbangan Emisi Kehutanan dan Gambut. 27 Tabel 2.13. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi........ 34 Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008 Tabel 3.1. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kelembagaan REDD+ Aceh... 47 Tabel 3.2. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kerangka Hukum dan............ 49 Peraturan REDD+ Aceh Tabel 3.3. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas untuk Program-Program Strategis 50 Tabel 3.4. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Perubahan Paradigma........... 52 dan Budaya Kerja Tabel 3.5. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Pelibatan Para Pihak.............. 54 Tabel 4.1. Program pembangunan Aceh yang berkaitan dengan Emsi CO2........ 56 Tabel 4.2. Strategi dan Rencana Aksi Pelaksanaan REDD+ Aceh.................... 61
vi
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
DAFTAR GAMBAR Nomor
Tubuh Utama
Halaman
Gambar 1.1. Tahapan dan metoda yang digunakan dalam penyusunan.......... 7
dokumen SRAP REDD+
Gambar 2.1. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi D.I. Aceh.............. 11 Gambar 2.2. Peta Kawasan Hutan Aceh SK Gubernur Aceh No. 19,................ 13
Tanggal 19 Mei 1999 dan SK Menhutbun RI No. 170/Kpts-II/2000
Gambar 2.3. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 1945 s/d 2006................... 17 Gambar 2.4. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 2006 s/d 2009.................. 18 Gambar 2.5. Grafik Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah....... 24
Aceh Tahun 2011
Gambar 3.1. Keterkaitan SRAP REDD+ Aceh dengan Program lain................. 40 Gambar 3.2. Kerangka Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh....... 41 Gambar 3.3. Usulan Kelembagaan REDD+ Aceh.............................................. 43 Gambar 4.1. Grafik BAU Historical di Provinsi Aceh............................................ 55 Gambar 4.2. Grafik BAU Forward looking dan Skenario Penururnan Emisi........ 56
di Provinsi Aceh
vii
viii
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
DAFTAR SINGKATAN AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APL : Areal Penggunaan Lain BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAU : Business As Usual (sebagaimana digunakan selama ini) BPDAS : Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai BPKEL : Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPM : Badan Pemberdayaan Masyarakat BPN : Badan Pertanahan Nasional COP : Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak) CFLF : Climate Friendly Legal Framework Daerah Aliran Sungai DAS : DDPI : Dewan Daerah Perubahan Iklim D.I. : Daerah Istimewa DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Driver DD : Driver Deforestation and Degradation FFI : Flora Fauna Indonesia FGD : Focus Discussion Group FPIC/ PADIATAPA : Free, Prior and Informed Consents/ Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan : Gas Rumah Kaca GRK HCVFs/As : High Concervation Value of Forest/Areas (Kawasan Hutan dengan Nilai Konser vasi Tinggi) HGU : Hak Guna Usaha HPH : Hak Pengusahaan Hutan UPHHK : Ijin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis LULUCF : Land Use, Land Use Change and Forestry (Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan) Menhut : Menteri Kehutanan Medium Term Expenditure Framework MTEF : MP3EI
: Master Plan Percepatan dan Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia MDGs : Millennium Development Goals
BAB I
ix
: Measurement, Reporting, Verification (Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi) Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan PHL : Pengelolaan Hutan Lestari RAD-GRK : Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca RAN-GRK : Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca RDTR : Rencana Detil Tataruang REDD+ : Reducing Emissions from Deforestations and Forest Degradation REL : Reference Emission Level Renstra SKPD : Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah RKL/RPL : Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan RKPD : Rencana Kerja Pembangunan Daerah RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten RPJPA : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh RPJP Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMA : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh RTH : Ruang Terbuka Hijau RTRWA : Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh SATGAS REDD+ : Satuan Tugas REDD+ SDA : Sumber Daya Alam SIS : Sistem Informasi Safeguard SKPA/SKPD : Satuan Kerja Perangkat Aceh/ Satuan Kerja Perangkat Daerah STRANAS/ STRADA : Strategi Nasional/Strategi Daerah SRAP : Strategi dan Rencana Aksi Provinsi SVLK : Sistem Verifikasi Legalitas Kayu TGHK : Tataguna Hutan Kesepakatan TIPERESKA : Tim Penyusunan Rencana Strategis Kehutanan Aceh Tier : Tingkat Ketelitian UNDRIP : United Nation on the Right od Indigenous People UPTD KPH : Unit Pelaksana Teknis Daerah Kawasan Pemangkuan Hutan UKP4 : Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Upaya Pemantauan Lingkungan/ Upaya Pengelolaan Lingkungan UPL/UKL : UNFAO : United Nations Food and Agriculture Organization UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change (Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim) YLI : Yayasan Leuser International UU : Undang-undang MRV
x
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian berbagai pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk mengatasi penyebabnya (mitigasi) dan mengantisipasi akibatnya (adaptasi). Penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2) yang terjadi karena pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, khususnya deforestasi hutan tropis. Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan bahwa secara global dalam periode 2002-2005 kontribusi kegiatan penggunaan lahan, alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF) adalah sekitar 17% dari total emisi per tahun sebesar 32,3 Gt CO2e (IPCC 2007). Sejak pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak ke-13 (13 Conference of Parties/COP 13) Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) di Bali tahun 2007 yang lalu, pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim berangsur-angsur membaik. Apalagi ketika pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/ REDD) menjadi salah satu keputusan COP 13 dan menjadi bagian penting dalam Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan/BAP) untuk mitigasi perubahan iklim. Hutan menjadi pokok pembicaraan yang menarik dalam konteks perubahan iklim. Biaya penurunan emisi dari sektor LULUCF yang relatif murah di negara berkembang. (Stern 2007) menunjukkan bahwa mitigasi perubahan iklim melalui sektor LULUCF dapat diprioritaskan dengan tetap memanfaatkan peluang-peluang ekonomi. Selanjutnya konsep REDD ini berkembang menjadi REDD+ yang diakui dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada COP 15. th
Dalam Prioritas Nasional 2009-2014, perubahan iklim adalah salah satu bagian penting dari Prioritas 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Saat pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% berdasarkan skenario Business As Usual (BAU). Ditambahkan pula, jika negara-negara industri bersedia membantu, emisi tersebut dapat diturunkan sampai sebesar 41%.
BAB I
1
REDD adalah sebuah mekanisme yang baru, apalagi setelah berubah menjadi REDD+ karena memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan pengayaan cadangan karbon. Keberhasilan REDD+ di Aceh memerlukan perubahan paradigma yang cukup mendasar. Perubahan lintas sektoral ini akan melibatkan transformasi kelembagaan, aspek hukum dan kebijakan serta sistem tata kelola yang terkait dengan implementasi REDD+. Arsitektur REDD+ perlu dirancang bangun dengan strategi daerah yang utuh dan memberikan pilihan-pilihan kebijakan yang mengutamakan efektivitas penurunan emisi dan peningkatan cadangan karbon hutan, efisien secara ekonomis sehingga memberikan keuntungan finansial, serta memberikan manfaat tambahan (co-benefit) secara sosial dan ekologis. Bagi Aceh, arsitektur REDD+ sebenarnya adalah desain ulang tata ruang dan tata kelola hutan. Dalam konteks tersebut, skema REDD+ memungkinkan terciptanya paradigma baru dalam tata kelola hutan yang mengutamakan dialog dengan para pihak melalui pendekatan ‘pengarusutamaan gender’ (Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan). Paradigma baru ini memungkinkan aspek-aspek yang terkait dengan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) terintegrasi dalam tata kelola hutan. Pendekatan ini sejalan dengan dasar hukum yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI pada Beijing Conference 1995 sebagai kebijakan global maupun aturan manifestasinya melalui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan Undang-undang lainnya. Penyusunan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh diharapkan dapat memberi arah solusi bagi tumpang tindih kewenangan lintas sektor dan benturan kepentingan antara pelaku bisnis dan masyarakat lokal, dan memperjelas kewenangan dan koordinasi antara kementerian/lembaga pusat dan antara pemerintah pusat dan daerah.
2
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
1.2. Maksud dan Tujuan 1.2.1. Maksud Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ ini disusun dengan maksud, sebagai berikut: 1. Mendukung pencapaian komitmen Presiden RI dari sisi kontribusi sektor kehutanan untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26% di bawah proyeksi emisi tahun 2020 berdasarkan skenario BAU; 2. Menindaklanjuti Bali Action Plan, Copenhagen Accord dan Keputusan COP 16 UNFCCC di Cancun; 3. Menyiapkan sistem kelembagaan dan pengelolaan yang efektif untuk melaksanakan program REDD+. Sistem ini akan memastikan bahwa pengurangan emisi dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi, dan didukung dengan instrumen pendanaan yang dapat dipertanggunggugatkan (accountable); 4. Memberi dasar dan arahan bagi sistem tata kelola dan peraturan yang terintegrasi untuk menaungi pelaksanaan skema REDD+ yang dijalankan oleh masyarakat, korporasi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah; 5. Mendukung tujuan pembangunan yang berkelanjutan melalui pendekatan yang didasarkan pada perspektif masyarakat lokal, termasuk perempuan dan kelompok rentan yang terkait dengan skema REDD+, sehingga skema REDD+ dapat memberikan manfaat pada semua kelompok secara adil serta mendorong rasa memiliki pada masyarakat; 6. Membangun proses yang partisipatif dan pendekatan yang sistematis dan terkonsolidasi bagi upaya-upaya penyelamatan hutan alam Aceh dalam konteks perubahan nilai lahan dan harga komoditi yang sangat dinamis; dan 7. Memberikan acuan bagi pengembangan investasi oleh semua pihak pada semua skala dalam bidang pemanfaatan lahan hutan dan gambut baik untuk komoditi kehutanan dan/atau pertanian serta jasa lingkungan (ecosystem service) termasuk penyerapan dan pemeliharaan stok karbon. Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ menjadi acuan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di Aceh serta menjamin pencapaian targettarget penurunan emisi GRK nasional. Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh merupakan bagian dari Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang memayungi secara umum upaya penurunan emisi karbon sesuai komitmen 26%. BAB I
3
1.2.2 Tujuan Secara garis besar tujuan penyusunan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) tahapan yaitu: 1. Tujuan jangka pendek (2011-2013): pelaksanaan REDD+ adalah untuk memperbaiki kondisi tata kelola kehutanan secara keseluruhan agar Aceh dapat memberikan sumbangsih pencapaian komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi sebesar 26 - 41% pada tahun 2020. 2. Tujuan jangka menengah (2014-2020) adalah untuk mempraktekkan mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya agar target-target penurunan emisi tahun 2020 dapat dicapai. 3. Tujuan jangka panjangnya (2021-2030) adalah mengubah peran hutan Aceh dari net emitter sector menjadi net sink sector pada tahun 2030 dan keberlanjutan fungsi ekonomi dan pendukung jasa ekosistem lainnya dari hutan.
1.3. Dasar Hukum Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh yang disusun saat ini, tentu tidak lepas dari sebuah landasan hukum yang telah ada di Indonesia saat ini, antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1); 2. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam jo. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/ 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002; 3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change; 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 7. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase danUndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara; 9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim; 10. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025; 13. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh; 14. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 15. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; 16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 17. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan; 18. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan; 19. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01/2001 tentang Mediasi di Pengadilan; 20. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; 21. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar; 22. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 23. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan; 24. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; 25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
BAB I
5
26. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014; 27. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/Kpts- II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh; 28. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang pembangunan yang berwawasan gender; 29. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah; 30. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; 31. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 15 Tahun 2002 tentang Perizinan Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 32. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh Tahun 2012-2017. Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 121.
1.4. Ruang Lingkup Strategi dan Rencana Aksi ini dirancang sebagai sebuah arahan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek). Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi bertanggung jawab, (2) Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis dan (3) Keadilan antar generasi. Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi: (1) Penurunan emisi dari deforestasi, (2) Penurunan emisi dari degradasi hutan, (3) Penguatan peran konservasi, (4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, dan (5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi (source) dan meningkatkan simpanan (sink) karbon. Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang diuraikan pada BAB II, maka strategi daerah REDD+ Aceh terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu: (1)
6
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, (2) Peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), dan (3) Reformasi pembangunan sektor, terutama sektor kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor pengguna lahan lainnya (perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur).
1.5. Metodologi Penyusunan dokumen STRADA REDD+ Aceh ini dilakukan dengan dukungan kombinasi teknik pendekatan, yaitu: (a) studi data primer dan data sekunder, seperti laporan dan juga peraturan kebijakan terkait (on desk study) dari tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, dilanjutkan dengan (b) pelaksanaan konfirmasi data/ informasi yang telah dihimpun (dan sebagian diolah) dengan para pihak (stakeholders) dan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) terkait; serta (c) konsultasi draft laporan melalui diskusi terfokus (Focused Group Discussion/FGD) dalam lokakarya yang diikuti parapihak (Akademisi, Organisasi Non Pemerintah, Masyarakat) dan SKPD terkait di tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota. Tahapan dan metoda yang digunakan dalam penyusunan dokumen SRAP REDD+ ini secara lengkap disajikan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Tahapan dan metoda yang digunakan dalam penyusunan dokumen SRAP REDD+
BAB I
7
Sebagai catatan, walaupun dokumen SRAP REDD+ Aceh ini berkaitan dengan arahan strategi dan rencana aksi Provinsi untuk tujuan jangka pendek (2011-2013); jangka menengah (2014-2020) dan jangka panjang (2021-2030), akan tetapi tidak berarti bahwa dokumen yang dihasilkan bersifat final. Akan dilakukan pemantauan dan evaluasi sesuai dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi (lokal, nasional dan bahkan global) dan oleh karenanya secara periodik dalam hal ini pada setiap 5 (lima) tahun sekali akan dilakukan tinjauan ulang dan bilamana perlu akan dilakukan revisi.
8
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
BAB II KONDISI DAN PERMASALAHAN 2.1. Kondisi Kawasan Hutan di Aceh Hutan merupakan anugerah dari Allah SWT, sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan memegang peranan penting dalam memberikan jaminan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan. Sebagai salah satu sumberdaya alam hutan memiliki fungsi ekonomi dan sosial sekaligus mempunyai fungsi lindung dalam perannya sebagai pengatur tata air, penahan erosi, produser oksigen, pengikat dan penyerapan gas rumah kaca yang berpotensi menimbulkan perubahan iklim, dan sebagai habitat bagi flora dan fauna. Sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) hutan yang terdiri dari berbagai jenis pohon dan biodiversity di dalamnya memiliki siklus dan interaksi yang berjalan secara berimbang, melalui pembagian peranan dalam tatanan ekosistem yang saling mempengaruhi. Hilangnya salah satu komponen penyusun dalam ekosistem hutan akan berpengaruh langsung pada tatanan dan siklus keseimbangan ekosistem sehingga berpengaruh pada penurunan daya dukung hutan yang sekaligus juga berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Implikasi konkret dari degradasi dan penurunan fungsi ekologi hutan diantaranya adalah terjadinya peningkatan frekuensi bencana alam seperti banjir, kekeringan, longsor dan bencana ekologi lainnya. Hutan Aceh terbentang dari ujung Barat pulau Sumatera, sampai dengan perbatasan wilayah administrasi propinsi Sumatera Utara. Hutan Aceh memiliki karakteristik berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya secara biofisik, struktur penyusun, fungsi maupun peruntukannya yang sebagian besar dipengaruhi faktor faktor edafis maupun klimatis. Wilayah pesisir Aceh merupakan wilayah dataran rendah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan memiliki wilayah hutan yang tidak begitu luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan yang sangat luas yang terbentang dari wilayah ekosistem Ulu Masen di bagian Utara dan Barat meliputi 6 kabupaten (Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat dan sebagian kecil pada wilayah Aceh Tengah) serta wilayah Ekosistem Leuser di bagian Selatan, Tengah dan Tenggara Aceh meliputi 13 kabupaten/kota (Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues) Sejarah kawasan hutan di Aceh dimulai sejak zaman Belanda dimana pada zaman
BAB II
9
Belanda telah ditetapkan kawasan hutan di Provinsi Aceh sebanyak 3 (tiga) kelompok hutan, yaitu : 1. Kroeengatjeh Utara, yang ditunjuk dengan Gouvernementsbesluit van 15 Juli 1933 Nomor 15, proses verbal tanggal 3 Agustus 1939 dan tanggal 8 September 1939, ditetapkan tanggal 18 Desember 1939 seluas 14.685 hektar; 2. Kroeengatjeh Timur, yang ditunjuk dengan Gouvernementsbesluit van 12 Desember 1929 Nomor 19, proses verbal tanggal 26 April 1940 dan tanggal 27 April 1940, ditetapkankan tanggal 5 Agustus 1940 seluas 29.745 hektar; 3. Oost – Langsa, yang ditunjuk dengan Gouvernementsbesluit van 26 November 1936 Nomor 141/Agr, proses verbal 3 Oktober 1938, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1938 dan ditetapkan tanggal 6 Desember 1938 seluas 29.795 hektar. Atas kesepakatan multi stakeholder, pada tahun 1982 dibuat Tata Guna Kesepakatan (TGHK) Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Tata Guna Hutan Kesepakatan tersebut disepakati dan ditandatangani oleh : 1. Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 2. Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 3. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 4. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 5. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 6. Kepala Direktorat Agraria Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 7. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 8. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 9. Kepala Balai Planologi Kehutanan Wilayah I. Hasil kesepakatan tersebut selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 924/Kpts/Um/12/1982 tanggal 12 Desember 1982 dimana Wilayah Hutan Aceh luasnya mencapai ± 3.475.010 hektar. Tata Guna Hutan kesepakatan tersebut disajikan pada Gambar 2.1.
10
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Gambar 2.1. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi D.I. Aceh
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Provinsi diamanatkan untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Sesuai dengan amanat UU tersebut Pemerintah Provinsi D.I. Aceh Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Daerah Istimewa Aceh yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 9 Tahun 1995. Terdapat beberapa ketidakselarasan antara kawasan hutan di dalam Peta RTRWP Aceh dengan Peta TGHK yang telah ditetapkan sebelumnya. Menindaklanjuti hal tersebut Menteri Dalam Negeri melalui Surat Edaran Nomor 050/1752/Bangda tanggal 21 Agustus 1998 dan surat Nomor 050/2221/Bangda tanggal 9 September 1998 memerintahkan untuk melakukan paduserasi antara RTRWP dengan TGHK dan kemudian dilakukan paduserasi antara TGHK dengan RTRWP Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
BAB II
11
Hasil paduserasi secara prinsip disetujui oleh DPRD Provinsi D.I. Aceh yang dituangkan dalam Surat Ketua DPRD D.I. Aceh Nomor 650/2216 Tanggal 8 Mei 1999 tentang Persetujuan Prinsip Penyesuaian Arahan Fungsi Hutan ke dalam RTRWP Daerah Istimewa Aceh. Hasil paduserasi tersebut selanjutnya ditetapkan oleh Gubernur Aceh melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penyeseuaian Arahan Fungsi Hutan ke dalam RTRWP Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan hasil paduserasi TGHK dengan RTRWP Daerah Istimewa Aceh yang telah disetujui oleh DPRD dan telah ditetapkan oleh Gubernur Aceh, maka ditunjuk kembali kawasan hutan dan perairan di Provinsi Aceh dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh seluas ± 3.332.047 hektar dengan rincian sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 2.1. dan pada Gambar 2.2. Tabel 2.1 Luas Kawasan Hutan Aceh Menurut Fungsi dan Sebarannya di Kabupaten/Kota Berdasarkan SK Menhutbun No.170/Kpts-II/2000 Dihitung Secara Planimetris
Sebagian besar kawasan hutan tersebut berfungsi sebagai hutan lindung (55,30%) dan hutan konservasi (25,56%) sedangkan sisanya sebagai hutan produksi tetap (18,03%) dan hutan produksi terbatas (1,11%). Permasalahan pengelolaan kawasan hutan di Aceh sebagian besar dipicu dari tidak jelasnya status hukum kawasan hutan di lapangan yang disebabkan belum terselesaikannya proses pengukuhan dan penetapan kawasan hutan setelah lahirnya penunjukan kawasan hutan (TGHK/1982) dan selanjutnya melalui (SK. Menhut No. 170 tahun 2000). Kepastian hukum kawasan hutan di lapangan yang disepakati dan dipahami secara multi pihak mutlak diperlukan dalam upaya perbaikan tata kelola sektor kehutanan ke arah yang lebih baik.
12
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Gambar 2.2. Peta Kawasan Hutan Aceh SK Gubernur Aceh No. 19, Tanggal 19 Mei 1999 dan SK Menhutbun RI No. 170/Kpts-II/2000
2.2. Kondisi Perizinan Sektor Kehutanan di Aceh Filosofi dalam penebangan hutan (logging exploitation) adalah bahwa hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) melalui pengelolaan tertentu. Pohon sebagai individu penyusun hutan mempunyai grafik pertumbuhan berbentuk sigmoid. Artinya, setelah pada umur tertentu mencapai laju pertumbuhan maksimalnya, pohon akan mengalami penurunan laju perumbuhan dan pada akhirnya menuju kepada kematian alami (over maturity). Pohon-pohon yang mati tersebut akan digantikan oleh pohon lain yang lebih muda (suksesi alami), dan hal ini berlangsung sepanjang waktu. Tanpa ditebangpun pada akhirnya pohon-pohon yang berada di hutan yang sudah mencapai kondisi klimaks
BAB II
13
akan mati dan digantikan oleh pohon lain. Jadi, penebangan pohon yang dilakukan secara terencana dan terukur dimaksudkan sebagai pemanfaatan dan peningkatan efisiensi dari kemubaziran proses alamiah yang terjadi pada hutan. Dalam kontek pengurusan dan pengelolaan hutan, dasar pemikiran di atas diinterpretasi dan diimplementasikan dalam aktifitas pemanfaatan hutan (forest utilization). Seperti halnya pengelolaan hutan di Indonesia secara umum, kebijakan pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman di Aceh juga mengikuti kebijakan nasional. Namun permasalahan kondisi keamanan dan kondisi konflik bersenjata, berdampak pada pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman tidak berjalan secara optimal seperti halnya di luar Aceh. Konflik menyebabkan kegiatan investasi di sektor kehutanan mengalami stagnasi meskipun secara terbatas tetap beroperasi dan berproduksi dalam skala yang lebih kecil. Beberapa perizinan dan atau konsesi pemanfaatan hutan alam dan tanaman diberikan sebelum tahun 2007 atau sebelum kebijakan moratorium logging diterapkan oleh Pemerintah Aceh. Sejak kebijakan moratorium logging diterapkan di Aceh mulai tanggal 6 Juni 2007, praktis tidak ada satupun izin pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat di Aceh. Berdasarkan statistik Dinas Kehutanan Aceh tahun 2011, konsesi pemanfaatan hutan yang masih berlaku izin terdiri dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) sebanyak 5 unit izin dengan luas areal kerja ± 312.460 hektar (Tabel 2.2) dan IUPHHK-HT sebanyak 8 unit izin dengan luas areal kerja ± 247.265 hektar (Tabel 2.3). Tabel 2.2. Daftar IUPHHK-Hutan Alam di Provinsi Aceh No. 1 2 3 4 5
Nama Perusahaan PT. Hargas Industries Ind
No.SK HPH/ Tanggal
741/Menhut-IV/1994 6 Juni 1994 863/Kpts-VI/1999 PT. Lamuri Timber 12 Oktober 1999 859/Kpts-VI/1999 PT. Aceh Inti Timber 12 Oktober 1999 PT. Raja Garuda Mas 851/Kpts-VI/1999 Unit II 11 Oktober 1999 K o p o n t r e n 876/kpts-II/1999 Najmussalam 14 oktober 1999 Jumlah
Luas (Ha)
Izin HPH Berakhir
Lokasi
Kota Subulussalam 14 Nopember Kab. A. Jaya, 44.400 2034 A. Barat, Pidie Kab. Aceh 80.804 9 Juli 2049 Jaya 11 Agustus Kab. Aceh 96.500 2052 Barat 14 Oktober 30.846 Kab. Bireun 2054 312.460 59.910 6 Juni 2014
Sumber: Dinas Kehutanan Aceh, 2011
14
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Sisa Berakhir Izin
Aktifitas
± 4 Tahun
Tidak Aktif
± 24 Tahun Tidak Aktif ± 39 Tahun Tidak Aktif ± 42 Tahun Tidak Aktif ± 44 Tahun Tidak Aktif
Tabel 2.3 Daftar IUPHHK-HTI di Provinsi Aceh No. SK. HPHTI/ No Nama Perusahaan Luas (Ha) Tanggal 1
495/Kpts-II/1992 1 Juni 1992
7.300,00
L u a s Tanaman Izin Berakhir Lokasi s.d saat ini (Ha) 1 Juni 2045 3.627,00 Kab. Aceh Timur
PT. Gunung Medang Raya Utama Timber 2 PT. Tusam Hutani Lestari
556/Kpts-II/1997 97.300,00 12 Mei 2035 1 September 1997
3 PT. Aceh Nusa Indrapuri
95/Kpts-V/1997 17 Februari 1997
4 PT. Rimba Wawasan Permai
558/Kpts-II/1997 5.200,00 1 September 1997
Keterangan -
13.158,00 Kab. A. Tengah Kab. B. Meriah
-
111.000,00 5 Agust 2035 22.458,00 Kab. A. Besar Kab. Pidie
-
15 Juli 2035
1.600,00
Kab. Aceh Timur
-
5 PT. Rimba 195/Kpts-II/1997 Penyangga Utama 4 April 1997
6.150,00
21 Peb 2035
2.474,00
Kab. Aceh Timur
-
6 PT. Rimba Timur Sentosa
262/Kpts-II/1997 4 April 1997
6.250,00
25 Sept 2053 2.130,00
Kab. Aceh Timur
-
7 PT. Aceh Swaka Wana Nusa Prima
529/Kpts-II/1997 15 Agustus 1997
7.050,00
21 Sept 2035 1.343,00
Kab. Aceh Utara
8.015,00
23 Des 2053
Kab. Aceh Utara
Telah dicabut (SK Menhut No.SK.250/ MENHUTII/2011 tanggal 3 Mei 2011) -
8 PT. Mandum Payah 522/052/2003 Tamita 23 Desember 2003 Jumlah
247.265,00
-
46.790,00
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh, 2011
2.3. Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh Menurut UN FAO, deforestasi adalah suatu kondisi dimana tutupan kanopi area berhutan berkurang sebesar 10% atau kurang dari itu. Merujuk pada definisi ini, hutan di Indonesia sudah tergolong rusak. Selama tahun 1990-2000, tingkat deforestasi sudah mencapai 1,2% dibandingkan dengan total deforestasi dunia sebesar 0,2% (Bulte and Engel, 2006). Dalam tatanan Aceh, sebelum kebijakan moratorium logging diberlakukan pada tanggal 6 Juni 2007, fakta kondisi hutan Aceh sudah pada posisi yang memerlukan perhatian secara serius, hal ini dapat dilihat dari trend kehilangan tutupan hutan yang dipantau oleh berbagai pihak, serta jika didasarkan atas beberapa indikator lainnya seperti intensitas banjir dan longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik kepentingan di
BAB II
15
sektor kehutanan yang terus meningkat. Terdapat beberapa kepentingan yang saling kontradiktif dan bersifat dilematis dalam pengelolaan disektor kehutanan. Satu sisi, ada masalah bencana dan konflik yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan di sisi lain ada dorongan melakukan ekstraksi terus menerus untuk memenuhi kebutuhan kayu guna rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, selain sektor kehutanan selama ini sudah distigmakan sebagai sumber pendapatan bagi pusat dan daerah. Salah satu penyebab deforestasi adalah buruknya pengelolaan dan kinerja pengoperasian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (dulu disebut HPH). Lemahnya sistem pengawasan dan pelaksanaan silvikultur pada hutan alam, maupun hutan tanaman menjadikan sumberdaya hutan terkesan diektraksi tanpa koridor dan aturan yang berakibat terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas tutupan hutan alam yang diusahakan, bahkan pada beberapa kasus terjadi konversi terhadap kawasan hutan. Selain buruknya pengelolaan IUPHHK-HA/HPH, laju kerusakan hutan juga dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi. Pada tahun 2006, terdapat sekitar 120.209,50 m3 kayu dari hasil illegal logging berhasil disita. Angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu sekitar 33.249,25 m3. Berdasarkan data kajian spatial Tipereska (Tim terpadu) tahun 2008, tutupan hutan Aceh pada tahun 1945 tercatat 4.908.019 ha, sampai dengan tahun 1980 hutan Aceh tersisa hingga 4.085.741 ha atau kehilangan luas hutan sekitar 822.278 ha. Dengan demikian, laju kerusakan hutan pada periode tersebut adalah 23.494 ha per tahun. Sedangkan pada periode 1980 sampai dengan tahun 1990 total deforestasi hutan Aceh sebesar 383.436 ha atau 38.344 ha per tahun, karena hutan yang tersisa adalah 3.702.305 ha. Pada saat berlangsungnya konflik bersenjata di Aceh pada periode 1990 hingga 2000, hutan Aceh terdeforestasi sebesar 346.426 ha atau laju kerusakan pada periode yang sama adalah 34.643 ha per tahun. Pada periode 2000 hingga 2006 total deforestasi hutan Aceh selama kurang lebih 6 tahun adalah sebesar 184.560 ha, laju kerusakan hutan Aceh mencapai 30.760 ha per tahun, dan pada tahun 2006 existing tutupan hutan Aceh yang tersisa adalah ± 3.171.319 ha. Selanjutnya pada pasca konflik periode tahun 2006 hingga 2009 total deforestasi hutan Aceh sebesar 92.497 ha atau laju kerusakan hutan Aceh sebesar 23.124 ha per tahunnya. Secara keseluruhan uraian situasi deforestasi di atas dapat dilihat pada Tabel 2.4. dan Gambar 2.3.
16
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Tabel 2.4. Situasi Deforestasi Hutan Aceh periode 1945 – 2009 Tahun
Luas Hutan (ha)
1945 4.908.019 1945 – 1980 4.085.741 1981 – 1990 3.702.305 1991 – 2000 3.355.879 2001 – 2006 3.171.319 Rata-rata deforestasi 1945 – 2009 Rata-rata deforestasi sebelum konflik (1945 – 1990) Rata-rata deforestasi selama konflik (1990 – 2006)
Deforestasi (ha) 822.278 383.436 346.426 184.560 1.684.384 1.205.714 914.422
Laju deforestasi (ha/ tahun) 23.494 38.344 34.643 30.760 26.318 34.449 57.151
Sumber: Kajian Spatial Tipereska 2008, dan working group analysis deforestasi hutan Aceh (Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Aceh Green, BPKEL, FFI, dan YLI tahun 2009)
Gambar 2.3. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 1945 s/d 2006
BAB II
17
Dampak yang ditimbulkan akibat deforestasi tersebut memberikan efek ganda (multiplier effect) khususnya di lingkungan Provinsi Aceh. Beberapa dampak yang memberikan kerugian langsung adalah kebencanaan seperti banjir dan tanah longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan. Akibat yang ditimbulkan tidak saja mengancam kehidupan masyarakat sekitar namun juga berpengaruh pada stabilitas sosial dan ekonomi di Provinsi Aceh. Kondisi luas tutupan lahan, deforestasi dan degradasi lahan di Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.5. dan Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 2006 s/d 2009
18
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
BAB II
19
C. Tidak Ada Data
Angka Degradasi Hutan Periode 20062009 (ha/th)
-
-
B. Hutan Primer- Hutan Lainnya
- Hutan Lahan kering primer- Lainnya
- Hutan Rawa primer- Lainnya
- Hutan Manggrove Primer- Lainnya
C. Hutan Sekunder- Hutan Lainnya
- Hutan Lahan Kering sekunder- Lainnya - Hutan Rawa Sekunder- Lainnya 3.7
-
-
-
- Hutan Manggrove primer- Sekunder
-
-
-
- Hutan Rawa Primer- sekunder
-
-
-
-
-
-
-
3.7 -
-
37,300
-
11,600
21,200
400 -
HPT 25,700
6
-
3.7
1,844,500
-
214,100
200
990,300
638,200
1,630,400
5
HL
Hutan Tetap
- Hutan Lahan Kering Primer- sekunder
A. Hutan Primer- Hutan sekunder
852,600
71,900
5,700
- Hutan Tanaman
B. Non Hutan
239,500
- Hutan Sekunder
- Hutan Manggrove Sekunder- Lainnya Total Angka Degradasi Periode 2006-2009
2
Luas Penutupan Lahan (ha) Tahun 2009/2010
1
535,500
780,700
A. Hutan
- Hutan Primer
4
KSA-KPA
3
Jenis Hutan
Total Luas Penutupan Lahan Periode 2009/2010
2
KETERANGAN
1
No
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
601,200
1,700
227,200
37,600
327,300
7,400
372,300
7
HP
Kawasan Hutan
3.7
-
-
-
-
-
-
-
3.7 -
3.7
3,335,600
1,700
524,800
43,500
1,578,300
1,181,500
2,809,100
8
Jumlah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3,335,600
1,700
524,800
43,500
1,578,300
1,181,500
2,809,100
10
Jumlah
-
-
-
-
-
-
-
9
HPK
Tabel 2.5. Tutupan Lahan, Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2,289,000
4,800
1,907,500
14,600
356,600
5,500
376,700
11
APL
3.7
-
-
-
-
-
-
-
3.7 -
3.7
5,624,600
6,500
2,432,300
58,100
1,934,900
1,187,000
3,185,800
12
Jumlah
TOTAL
100
-
43
1
34
21
57
13
%
20
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
KETERANGAN
Jenis Hutan 4 2,757.0 1,338.1 1,418.9 2,757.0
KSA-KPA 5 3,349.6 3,091.6 149.4 108.6 3,349.6
HL 6 618.2 618.2 618.2
HPT
Hutan Tetap 7 2,358.5 2,285.4 73.1 12.5 2,371.0
HP 8 9,083.3 7,333.3 1,568.3 181.7 12.5 9,095.8
Jumlah 9 -
HPK
-
10 8,901.6 7,333.3 1,568.3 181.7 12.5 9,095.9
Jumlah 11 22,993.1 12,176.1 10,817.0 66.0 1,5 23,060.5
APL Jumlah
TOTAL
12 31,894.7 19,509.4 12,385.3 247.3 14.0 31,908.7
Sumber : - Buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun2009/2010, - Buku Penghitungan Degradasi Hutan Indonesia Periode 2006-2009 - Buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode 2006-2010 - Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementrian Kehutanan Tahun 2011 - Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan
2 3 Angka Deforestasi A. Hutan Primer Hutan Periode 2006- - Hutan Lahan Kering Primer 2009 (ha/th) - Hutan Rawa Primer - Hutan Manggrove Primer B. Hutan Sekunder - Hutan Lahan Kering Sekunder - Hutan Rawa Sekunder - Hutan Manggrove Sekunder C. Hutan Lainnya* Total Angka Deforestasi Hutan Periode 2006-2009
1 3
No
Kawasan Hutan
-
13
%
Kondisi deforestasi dan degradasi hutan di Aceh juga dapat diindikasikan dari sebaran lahan kritis yang berada di wilayah Aceh, seperti terlihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Luas Kelas Kekritisan Lahan Propinsi Aceh Tahun 2010 No
Kelas Kekritisan Lahan
Luas (ha)
Persen
1. 2. 3. 4. 5.
Tidak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Kritis Sangat Kritis Jumlah
376,829.39 2,379,533.58 1,595,885.10 528,021.00 107,091.53 4,987,360.60
7.56 47.71 32.00 10.59 2.15 100.00
Sumber : BPDAS Kr. Aceh, Tahun 2010
Data pada Tabel 2.6 menunjukkan bahwa wilayah yang tidak termasuk kategori kritis (potensial kritis dan tidak kritis) mempunyai luas yang cukup dominan, yaitu 55,27%, sedangkan yang termasuk kategori kritis (termasuk kelas agak kritis, kritis dan sangat kritis) meliputi 44,73 % luas wilayah SWP DAS Krueng Aceh. Sedangkan jika didasarkan atas fungsi kawasan, sebaran lahan kritis di Aceh terluas berada di luar kawasan hutan dengan luas 1.258.363 hektar (25 % dari total luas wilayah pengelolaan BPDAS Kr. Aceh), dan di dalam kawasan hutannya dengan luas 983,470 Ha (19.72 % dari total luas wilayah pengelolaan BPDAS Kr. Aceh). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat praktek-praktek pengelolaan lahan skala luas yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi telah menyebabkan lahan kritis di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan seluas 2,241,833 ha atau sebesar 44.95 % dari total wilayah BPDAS Kr. Aceh yang luasnya 4,987,361 Ha. Sebaran lahan kritis di Aceh secara detil dapat dilihat pada Tabel 2.7.
BAB II
21
Tabel 2.7. Luas Kekritisan Lahan menurut Fungsi Kawasan di Aceh FUNGSI KAWASAN A. DALAM KAWASAN 1. Hutan Lindung - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis 2. Hutan Produksi - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis 3. Hutan Konservasi - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis 4. Hutan Produksi Terbatas - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis B. LUAR KAWASAN - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis TOTAL
Luas (Ha) 2,912,017 1,768,592 14,316 108,008 391,224 1,170,862 84,182 631,605 46,417 130,010 160,924 285,042 9,212 475,000 4,925 19,403 86,333 354,966 9,373 36,820 6,120 6,365 9,425 14,910 2,075,344 35,023 260,535 962,805 580,042 236,939 4,987,361
Persen 58.39 35.46 0.29 2.17 7.84 23.48 1.69 12.66 0.93 2.61 3.23 5.72 0.18 9.52 0.10 0.39 1.73 7.12 0.19 0.74 0.12 0.13 0.19 0.30 41.61 0.70 5.22 19.30 11.63 4.75 100.00
Sumber: Analisa Spasial Penentuan Lahan Kritis Tahun 2010 (BPDAS Kr. Aceh tahun 2010)
2.4. Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Hutan di Aceh Hutan Aceh mempunyai peranan penting dalam mempangaruhi iklim secara global. Perubahan iklim global seperti yang terjadi pada dekade terakhir ini diperkirakan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2). Meningkatnya konsentrasi CO2 disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat, seperti pembukaan dan pembakaran hutan dalam skala luas, pengeringan dan pembukaan lahan gambut untuk 22
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
dialih-fungsikan menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan, pengetahuan tentang ilmu dasar sangat diperlukan agar kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) berorientasi pada pemanfaatan yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Bahkan sistem pengelolaan SDA yang berkelanjutan dapat memberikan nilai tambah pada pemulihan kerusakan lingkungan dan mengurangi emisi C (karbon) lepas ke udara. Hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan dengan lahan pertanian atau perkebunan. Hutan alami dengan keragaman jenis yang terdiri atas pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpan C (karbon) tertinggi dibandingkan dengan lahan agroforestri maupun lahan pertanian lainnya. Hutan bila diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian, perkebunan atau bentuk fungsi yang lain maka jumlah karbon yang tersimpan akan terus mengalami penurunan. Padahal hutan alami (hutan primer) yang telah mengalami kerusakan, untuk pulih kembali ke bentuk struktur dan komposisi semula akan memerlukan waktu yang cukup lama (ratusan tahun). Hutan berperan penting dalam siklus karbon global dan dapat berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi. Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional dengan berbasis (base-year) tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) tertinggi, berasal dari deforestasi, degradasi, dan kebakaran hutan termasuk lahan gambut (2nd National Communication, 2009). Gambaran kontribusi emisi dari sektor penggunaan lahan dan hutan di Aceh diuraikan dalam dua sektor yaitu (1) sektor pertanian dan (2) sektor hutan dan lahan gambut.
2.4.1. Sektor Pertanian Kegiatan pertanian dalam arti luas yang berkembang di wilayah Aceh dan diperkirakan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan adalah pertanian tanaman pangan (padi dan palawija), perkebunan (besar dan rakyat), peternakan dan perikanan. Tekanan terhadap lingkungan tidak hanya terjadi secara fisik akibat penggunaan lahan (perluasan dan teknis pengolahan tanah), tetapi juga secara biologi dan kimia antara lain sebagai dampak penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta penyediaan unsur hara melalui pemupukan. Pada pembahasan emisi sektor pertanian ini, tidak dibicarakan emisi dari pupuk maupun pestisida. Hasil perhitungan emisi dalam RAD-GRK Provinsi Aceh Tahun 2012, perkiraan emisi gas Metan (CH4) dari lahan sawah Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.8 dan Gambar 2.5.
BAB II
23
Tabel 2.8. Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah Aceh Tahun 2011
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh dan Bapedal Aceh Tahun 2011
Gambar 2.5. Grafik Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah Aceh Tahun 2011
24
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
2.4.2. Sektor Hutan dan Lahan Gambut Sektor hutan dan lahan gambut memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi Carbon. Perhitungan emisi berbasis lahan dilakukan berdasarkan metode Stock Difference, dengan menggunakan data tutupan lahan 2003 dan 2010 dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan, serta data kawasan yang diturunkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) (Tabel 2.9). Dari ketiga data tersebut, diperoleh informasi luasan perubahan tutupan lahan dari tahun 2003 ke 2010 berdasarkan masing-masing kawasan. Hasil kalkulasi menunjukkan sumbangan emisi hutan dan lahan gambut dari masing-masing kawasan dapat dilihat dalam Tabel 2.10. Tabel 2.10. memberikan informasi bahwa areal penggunaan lain dengan luas 2.148.033,94 ha (38,4%) dari luas total wilayah Aceh (5.593.797,40 ha) memberikan kontribusi emisi yang terbesar dibandingkan kawasan lainnya yaitu sebesar 61,5%)
Tabel 2.9. Data yang Digunakan untuk Memperkirakan Emisi Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut No.
Jenis Data
1.
Hasil Intrepetasi Tutupan lahan dari Citra Landsat (Tier 2)
2. 3.
Tahun
Sumber
2003, 2010 Badan Planologi Kementerian Kehutanan Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) (Tier 3) 2012 Bappeda ACEH Rata-rata cadangan karbon pada beberapa tipe tutupan lahan 2012 Badan Planologi Kementerian (Tier 2) Kehutanan Sumber : RAD-GRK Prov. Aceh 2012
Tabel 2.10. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari Masing-Masing Kawasan KAWASAN
Luasan (ha)
Fraksi luas
Emisi historis per tahun (tCO2-eq)
SHARE
Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Negara Bebas Area Penggunaan Lain Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka dan Wisata Suaka Margasatwa Taman Buru
16.445,56 1.749.934,17 80,90 2.148.033,94 736.317,69 38.065,45 1.133,28 45.158,54 85.300,59
0,3% 31,3% 0,0% 38,4% 13,2% 0,7% 0,0% 0,8% 1,5%
0,00 1.698.185,40 0,00 9.209.060,61 1.465.601,60 256.205,47 19.691,03 292.738,61 1.199,28
0,0% 11,3% 0,0% 61,5% 9,8% 1,7% 0,1% 2,0% 0,0%
Taman Hutan Rakyat
5.718,09
0,1%
12.541,06
0,1%
Taman Nasional Taman Wisata Alam/Hutan Wisata Gambut Kawasan Hutan Gambut non Kawasan Hutan
596.161,62 26.624,28 48.39,77 96.023,51
10,7% 0,5% 0,9% 1,7%
467.735,35 169.180,32 1.392.794,42
3,1% 0,0% 1,1% 9,3%
Total
5.593.737,40
100%
14.984.933,15
100%
Sumber: Hasil Analisa RAD-GRK Prov. Aceh 2012 BAB II
25
Berdasarkan sumbangan emisi dari masing-masing kawasan hutan, maka sumbangan emisi terbesar dari sektor Areal Penggunaan Lain (APL) yaitu sebesar 9.209.060,61 ton CO2. Emisi yang dihasilkan dari kegiatan deforestasi yang paling besar berasal dari kegiatan deforestasi yang tidak direncanakan seperti perambahan kawasan, peladang berpindah dan pembukaan wilayah perkebunan. Kalkulasi Baseline Historical dilakukan untuk mendapatkan informasi emisi aktual yang terjadi akibat perubahan tutupan lahan. Kalkulasi ini menghasilkan perkiraan emisi dari perubahan tutupan hutan dan lahan, dari kalkulasi ini didapatkan perkiraan total emisi yang terjadi adalah 14.984.933,15 ton CO2-e. Hasil penghitungan mempergunakan software Abacus jumlah total persentase share (sumbangan) emisi kehutanan dari alih guna lahan untuk 5 (lima) kawasan adalah 83,29%, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari Masing-Masing Alih Guna Lahan No. 1 2 3 4 5 Total
Sumber Utama Dari Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Rawa Sekunder Hutan Rawa Sekunder Hutan Lahan Kering Sekunder
Menjadi Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campur Belukar Rawa Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering
Share 35.12% 19.29% 16.66% 5.22% 7.00% 83.29%
Sumber: Hasil Analisa RAD-GRK Prov. Aceh 2012
Sedangkan sumbangan/share emisi kawasan kehutanan dan gambut secara rangking dan kumulatif dapat dilihat pada Tabel 2.12.
26
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Tabel 2.12. Rangking dan Kumulatif Sumbangan Emisi Kehutanan dan Gambut Kawasan Penggunaan Lahan Sebelumnya Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Taman Nasional Hutan Lahan Kering Sekunder Suaka Margasatwa Hutan Rawa Sekunder Gambut non Kawasan HutPerkebunan Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Hutan Produksi Terbatas Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut non Kawasan HutSemak Belukar Gambut non Kawasan HutPertanian Lahan Kering Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut non Kawasan HutPertanian Lahan Kering Campur Hutan Produksi Terbatas Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut Kawasan Hutan Belukar Rawa Gambut non Kawasan HutPertanian Lahan Kering Campur Taman Nasional Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Taman Nasional Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Gambut Kawasan Hutan Hutan Rawa Sekunder Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Gambut Kawasan Hutan Perkebunan Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Campur Gambut non Kawasan HutSawah Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Produksi Hutan Mangrove Sekunder Hutan Penggunaan Lain Belukar Rawa Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Hutan Suaka dan Wisata Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Hutan Lindung Hutan Mangrove Sekunder Taman Nasional Hutan Lahan Kering Primer Hutan Penggunaan Lain Perkebunan Hutan Lindung Belukar Rawa Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Taman Hutan Rakyat Hutan Lahan Kering Sekunder
Penggunaan Lahan Baru Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campur Belukar Rawa Semak Belukar Semak Belukar Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering Campur Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Belukar Rawa Perkebunan Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Campur Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering Campur Semak Belukar Perkebunan Pertanian Lahan Kering Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Tanaman Pertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering Belukar Rawa Belukar Rawa Perkebunan Perkebunan Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering Perkebunan Tambak Pertanian Lahan Kering Sawah Pertambangan Tambak Tanah Terbuka Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering Semak Belukar Perkebunan Tambak Semak Belukar Tanah Terbuka Tambak Air Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering Campur Semak Belukar
Emisi 2,826,354 2,159,816 2,013,359 1,122,697 1,091,592 767,962 580,240 524,146 418,355 403,161 309,303 292,739 257,241 146,618 145,662 141,265 118,265 111,289 110,970 105,958 103,508 92,346 86,534 86,334 83,276 62,333 57,718 55,186 44,456 39,847 35,158 33,006 32,116 30,756 28,060 25,801 25,228 24,816 24,084 22,059 20,864 20,063 20,049 19,851 19,691 19,540 18,291 15,947 15,731 15,360 15,228 14,212 12,717 12,541
Rank Sumbangan Sumbangan kumulatif 1 18.9% 18.9% 2 14.4% 33.3% 3 13.4% 46.7% 4 7.5% 54.2% 5 7.3% 61.5% 6 5.1% 66.6% 7 3.9% 70.5% 8 3.5% 74.0% 9 2.8% 76.8% 10 2.7% 79.5% 11 2.1% 81.5% 12 2.0% 83.5% 13 1.7% 85.2% 14 1.0% 86.2% 15 1.0% 87.1% 16 0.9% 88.1% 17 0.8% 88.9% 18 0.7% 89.6% 19 0.7% 90.4% 20 0.7% 91.1% 21 0.7% 91.8% 22 0.6% 92.4% 23 0.6% 93.0% 24 0.6% 93.5% 25 0.6% 94.1% 26 0.4% 94.5% 27 0.4% 94.9% 28 0.4% 95.3% 29 0.3% 95.6% 30 0.3% 95.8% 31 0.2% 96.1% 32 0.2% 96.3% 33 0.2% 96.5% 34 0.2% 96.7% 35 0.2% 96.9% 36 0.2% 97.1% 37 0.2% 97.2% 38 0.2% 97.4% 39 0.2% 97.5% 40 0.1% 97.7% 41 0.1% 97.8% 42 0.1% 98.0% 43 0.1% 98.1% 44 0.1% 98.2% 45 0.1% 98.4% 46 0.1% 98.5% 47 0.1% 98.6% 48 0.1% 98.7% 49 0.1% 98.8% 50 0.1% 98.9% 51 0.1% 99.0% 52 0.1% 99.1% 53 0.1% 99.2% 54 0.1% 99.3%
BAB II
27
Gambut non Kawasan HutPermukiman Gambut Kawasan Hutan Pertanian Lahan Kering Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Hutan Produksi Belukar Rawa Hutan Produksi Terbatas Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Semak Belukar Taman Nasional Hutan Rawa Sekunder Gambut non Kawasan HutSemak Belukar Gambut Kawasan Hutan Sawah Hutan Produksi Hutan Tanaman Hutan Produksi Hutan Mangrove Sekunder Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Hutan Produksi Hutan Mangrove Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Belukar Rawa Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Gambut non Kawasan HutSemak Belukar Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Primer Gambut Kawasan Hutan Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Taman Buru Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lindung Hutan Mangrove Sekunder Hutan Lindung Pertanian Lahan Kering Campur Hutan Penggunaan Lain Semak Belukar Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Campur Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Hutan Penggunaan Lain Semak Belukar Hutan Penggunaan Lain Hutan Tanaman Gambut Kawasan Hutan Pertanian Lahan Kering Campur Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Primer Gambut Kawasan Hutan Semak Belukar Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Produksi Sawah Hutan Penggunaan Lain Belukar Rawa Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Hutan Produksi Pertanian Lahan Kering Campur Hutan Produksi Belukar Rawa Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Campur Gambut non Kawasan HutRawa
Permukiman Pertanian Lahan Kering Perkebunan Tanah Terbuka Perkebunan Tambak Pertanian Lahan Kering Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Campur Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Semak Belukar Tanah Terbuka Sawah Belukar Rawa Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Permukiman Pertanian Lahan Kering Tanah Terbuka Perkebunan Sawah Semak Belukar Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Sawah Semak Belukar Tanah Terbuka Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar Permukiman Pertanian Lahan Kering Campur Air Tanah Terbuka Pertanian Lahan Kering Campur Semak Belukar Rumput Pertanian Lahan Kering Rumput Rawa
12,503 10,138 9,996 7,837 5,934 5,655 4,585 4,446 4,231 4,023 3,821 3,516 3,128 2,890 2,787 2,420 1,815 1,627 1,533 1,502 1,326 1,258 1,233 1,199 1,185 787 741 539 488 470 358 269 208 191 180 154 138 47 31 26 8 7 4 -
55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
0.1% 0.1% 0.1% 0.1% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
99.4% 99.4% 99.5% 99.6% 99.6% 99.6% 99.7% 99.7% 99.7% 99.8% 99.8% 99.8% 99.8% 99.8% 99.9% 99.9% 99.9% 99.9% 99.9% 99.9% 99.9% 99.9% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
2.5. Penyusunan Baseline Emisi GRK Pengertian tentang Skenario Baseline Emisi (yang selanjutnya disebut dengan Baseline) yang digunakan dalam kegiatan ini mengikuti Buku Referensi Bappenas tentang Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Thamrinetal, 2011) yaitu: Sebuah perkiraan tingkat emisi dan proyeksi GRK dengan skenario tanpa intervensi kebijakan dan teknologi mitigasi dari bidang-bidang yang telah diidentifikasi dalam kurun waktu yang disepakati. Baseline akan digunakan untuk menentukan target pengurangan emisi dan bersamaan dengan itu juga untuk mengkuantifikasikan dampak aksi mitigasi atau kebijakan yang dilaksanakan. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 2011 sebagai tahun awal dan tahun 2021 sebagai tahun penutup.
28
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Baseline disusun berdasarkan data dan informasi teknis dari Bidang Pertanian, Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut. Sebagai referensi acuan dan perangkat bantu (tools) teknis yang digunakan adalah software Abacus versi 1.1.4. Khusus untuk Bidang Pertanian dan Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut mempergunakan software bantu lainnya yaitu program Geographic Information Systems (GIS) yang dimanfaatkan untuk mencari perhitungan luas dari berbagai kombinasi perubahan lahan. Luas perubahan lahan ini digunakan sebagai Data Aktifitas (Activity Data). Selanjutnya kalkulasi untuk mendapatkan gambaran mengenai BAU dengan pendekatan historical dan forward looking diuraikan pada BAB IV.
2.6. Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Aceh Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hutan Aceh tidak luput dari ancaman deforestasi dan degradasi. Hal ini tidak hanya menyebabkan luas hutan Aceh mengalami penciutan melainkan juga dapat menimbulkan berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor dan kebakaran hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut tidak hanya bersifat lokal, melainkan juga bersifat regional, nasional, maupun internasional. Analisis penyebab deforestasi dan degradasi Hutan Aceh yang dihasilkan melalui FGD pada Tahun 2011 dan telah domodifikasi oleh tim penyusun SRAP Aceh sebagai berikut :
2.6.1. Kepatuhan Terhadap Tata Ruang Yang Masih Lemah RencanaTata Ruang Wilayah Aceh ditetapkan melalui suatu kesepakatankesekapatan yang melibatkan berbagai macam stakeholder, baik yang berada pada level kabupaten, provinsi, maupun pusat. Keputusan penetapan perencanaan ruang tersebut berperan sebagai cetak biru (blue print) dalam melaksanaan kegiatan pembangunan di Wilayah Provinsi Aceh. Pembangunan di Wilayah Aceh harus mengacu pada perencanaan ruang yang sudah disepakati bersama sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kepentingan yang pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan kelestarian dari sumberdaya alam. Kepatuhan terhadap Tata Ruang mutlak diperlukan agar ruang yang tersedia dipergunakan sesuai dengan peruntukannya sehingga dapat menunjang kegiatan pembangunan yang optimal guna mendapatkan hasil pembangunan yang maksimal. Kepatuhan yang dimaksud tidak hanya pada tataran perencanaan pembangunan melainkan juga pada saat implementasi kegiatan pembangunan di lapangan. Pada saat ini Aceh masih tergolong relatif lemah dalam hal kepatuhannya terhadap tata ruang. Berbagai penyimpangan telah terjadi. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan pembangunan di Aceh masih memberikan skala prioritas yang tinggi hanya untuk suatu sektor tertentu sehingga kepentingan untuk sektor lainnya kadang dilupakan. Penegakan hukum dengan prinsip memberikan efek jera bagi
BAB II
29
pelanggaran tata ruang sebagai produk kesepakatan bersama mutlak diperlukan, selain juga dalam proses penyusunan revisi tata ruang yang saat ini sedang berjalan sedapat mungkin harus dapat melibatkan seluruh elemen yang terlibat, sebagai jaminan dalam membangun kesadaran dan konsistensi dalam penerapannya. 2.6.2. Konflik Tanurial Konflik pemanfaatan lahan seringkali terjadi baik antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan swasta, dan pihak swasta dengan masyarakat. Hal ini tidak hanya menyangkut dengan komitmen dalam pengaturan tata ruang, tetapi juga dalam hal proses penetapan areal untuk keperluan kegiatan investasi bagi privat sektor seperrti HGU untuk perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan. Bila proses tersebut tidak berjalan dengan benar maka berpotensi menimbulkan konflik antara pihak perusahaan dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat kehillangan assetnya untuk berusaha. Hal ini tentu akan menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar hutan kehidupannya akan semakin sulit karena lahan usahanya tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kondisi seperti itu tentu akan menimbulkan kerawanan terhadap kelestarian hutan akibat perambahan hutan dan illegal logging. Selain beberapa hal tersebut, permasalahan kepastian hukum kawasan hutan khususnya yang berbatasan langsung dengan areal budidaya masyarakat dan privat sektor juga belum terselesaikan. Batas luar kawasan hutan pasca penunjukannya, harus ditetapkan melalui proses pengukuhan dengan kegiatan tata batas di lapangan yang tentunya harus mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal dan pihak ketiga lainnya. Saat ini, belum secara keseluruhan batas luar kawasan hutan di Aceh dikukuhkan dan atau ditetapkan, sehingga interpretasi terhadap batas kawasan yang dipahami dan disepakati secara multi pihak belum terbangun, belum lagi dtambah permasalahan sumber peta acuan yang digunakan berbeda-beda. Hal ini berakibat pada semakin maraknya kegiatan ektrasi dan ekplotasi terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya, sebagai akibat tidak jelasnya batas kawasan hutan dan wilayah kelola yang secara fisik dan administrasi di pahami dan disepakati. Pengabaian hak-hak masyarakat adat dalam hal ini adalah mukim atau dengan sebutan lainnya di Aceh juga memicu terjadinya permaslahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hutan. Sehingga perlu pengakuan dan keterlibatan secara penuh terhadap entitas masyarakat adat seperti mukim atau sebutan lainnya di Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam dan hutan secara lebih konkret. 2.6.3. Institusi Pengelola Hutan yang Belum Efektif Keberadaan institusi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di Provinsi Aceh tidak hanya bersifat lokal tetapi juga bersifat nasional. Dalam memberikan pelayanannya, institusi-institusi tersebut seyogyanya beroperasi secara efektif dan efisien. Hal ini tidak hanya menyangkut sistem manajemen internal dari masing institusi pengelolaan hutan melainkan bagaimana masing institusi tersebut dapat berinteraksi
30
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
dan bersinergi dengan baik untuk menciptakan suatu keterpaduan program pengelolaan hutan Aceh. Untuk meningkatkan sistem manajemen internal harus didukung dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang sesuai dan memiliki kemampuan profesionalitas yang tinggi. Tidak semua institusi pengelolaan hutan dijalankan oleh SDM yang memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai sehingga dalam menjalankan tugasnya kurang profesional dan memiliki motivasi dan kreatifitas yang rendah. Ada kecenderungan bahwa penempatan personil di dalam institusi pengelolaan hutan tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai sehingga operasional kelembagaan berjalan kurang efektif, baik dari segi subtantif program maupun dalam manejemen keuangan. Selain hal tersebut di atas, permasalahan kelembagaan pengelola hutan pada tingkat tapak menjadi kebutuhan dan tuntutan, sebagai jaminan dalam operasional pengelolaan hutan yang dapat dijalankan secara efektif, efisien dan lestari. Penanganan kehutanan di Aceh saat ini dilaksanakan oleh Dinas yang menangani sektor kehutanan yang berada di provinsi dan 23 kabupaten/kota, dan dalam operasionalnya lebih fokus dalam pengurusan hutan (forest administration) serta belum secara optimal mampu melaksanakan tugas pengelolaan hutan (forest management) yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan (forest utilization), penggunaan kawasan hutan (forest use for non forestry purpose), rehabilitasi, reklamasi, perlindungan hutan serta konservasi alam. Pembentukan lembaga pengelolaan hutan pada unit terkecil (tingkat tapak) akan dapat menjalankan fungsi pengawasan, pembinaan, perlindungan, konservasi dan kegiatan pengelolaan hutan lainnya secara lebih efektif dan efisien, sehingga menjadikan kawasan hutan memiliki penanggung jawab dalam kontek pemangkuan kawasan serta lebih akomodatif dengan kondisi eksisting ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat. 2.6.4. Transformasi Mata Pencarian Pasca Konflik Belum Optimal Konflik yang berkepanjangan terjadi di Provinsi Aceh telah menimbulkan korban jiwa yang besar baik dari kalangan masyarakat luas, para pejuang, maupun aparat keamanan. Selain itu konflik yang berkepanjangan menyebabkan masyarakat Aceh cenderung terfragmentasi kedalam 2 kutub, yaitu: (1) masyarakat yang hidup secara normal dan terlibat dalam proses kegiatan pembangunan dan (2) masyarakat yang berjuang untuk memenuhi keinginan aspirasi perjuangannya dan cenderung terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh aparat keamanan. Pasca perdamaian telah mendorong kelompok-kelompok masyarakat yang berjuang kembali berbaur dengan masyarakat Aceh lainnya. Dalam hal ini diperlukan suatu proses transformasi sosial dan ekonomi sehingga masyarakat Aceh kembali berbaur secara sempurna dan terlibat di dalam aktivitas pembangunan di Aceh secara normal. Proses tersebut tampaknya belum berjalan lancar sehingga sebagian kelompok masyarakat tersebut masih termajinalisasikan sehingga menimbulkan masalah-masalah sosial, seperti pengangguran dan konflik sosial.
BAB II
31
Hal ini tentu harus dapat difasilitasi oleh pemerintah secara baik sehingga tidak berdampak terhadap kelestarian sumberdaya alam akibat kegiatan illegal dalam ekstraksi sumberdaya alam untuk memenuhi tuntutan ekonomi dalam kehidupan se hari-hari. Oleh sebab itu Pemerintah harus dapat menciptakan sumber-sumber alternatif usaha baru, beserta bimbingan teknis dan fasilitasi yang dapat memberdayakan kelompok masyarakat tersebut menuju kemandirian, dengan program dan kegiatan yang tentunya tidak menimbulkan masalah baru dalam aspek lingkungan dan sumberdaya hutan sehingga mereka dapat berkontribusi dalam pelaksanaan pembangunan di Aceh. 2.6.5. Skema Insentif dan Disinsentif Belum Dijalankan Konsep pelaksanaan pembangunan pada saat ini masih terfragmentasi berdasarkan administrasi pemerintahan sehingga pertimbangan keterpaduan ekologi sering terabaikan. Dengan kondisi seperti itu bisa saja tanggungjawab untuk menjaga kelestarian lingkungan tidak langsung melekat kepada penggunanya. Sebagai contoh dalam pengelolaan suatu DAS para pengguna jasa lingkungan yang berada di sebelah hilir dari suatu DAS tidak bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian dari daerah hulunya (cacthment area) karena dibatasi oleh aspek administrasi pemerintahan. Begitupula halnya dengan kabupaten-kabupaten yang memiliki areal kawasan lindung yang relatif luas dimana dalam pelaksanaan pembangunan lebih banyak melakukan kegiatan program konservasi daripada kegiatan ekonomi karena ketersediaan lahan terbatas. Oleh sebab itu perlu diciptakan skema insentif dan disinsentif sehingga proses subsidi silang dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini tentu dapat memberikan gairah bagi wilayah-wilayah yang berbatasan dengan kawasan konservasi untuk melaksanakan pembangunan dengan baik lewat dukungan pendanaan yang memadai, dengan lebih meminimalisir ektraksi sumberdaya alam.
2.6.6. Goverment (Political Will) Kelestarian kawasan hutan Aceh juga sangat ditentukan oleh keberpihakan pemerintah terhadap penanganan berbagai issue tentang lingkungan dan kaitannya dengan aspek kehutanan. Cara pandang (paradigma) pemerintah yang baik terhadap keberadaan sumberdaya hutan tentu sangat baik dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk menyelamatkan hutan dari berbagai intervensi kegiatan sektor lainnya. Sebagai contoh kebijakan Moratorium Logging yang telah diberlakukan. Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, Kebijakan Moratorium Logging tersebut telah berhasil memberhentikan aktivitas HPH yang beroperasi di Kawasan Hutan Aceh. Pada saat pemberlakukan kebijakan tersebut Pemerintah Aceh telah berhasil menekan laju kerusakan hutan akibat degradasi hutan dan deforestasi, hanya saja permasalahannya adalah moratorium logging tersebut diberlakukan hanya untuk meghentikan atau memberikan jeda tebang bagi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam /IUPHHK-HA (HPH), sehingga perlu kebijakan yang lebih efektif
32
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
untuk menekan dan meminimalisir aktifitas yang mengancam kelestarian sumberdaya alam yang lebih komprehensif seperti melalui penerapan kebijakan moratorium konversi. Lahirnya sebuah kebijakan yang akan menentukan kualitas pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, sangat dipengaruhi oleh pemahaman dari pengambil kebijakan itu sendiri, sehingga internalisasi konsep pengelolaan sumberdaya alam yang proporsional dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk dijalankan baik secara struktural, maupun secara fungsional.
2.6.7. Konflik Regulasi Kewenangan Aceh melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berada di wilayah aceh. Mengingat regulasi tersebut belum memilki aturan pelaksanaan sampai dengan saat ini, sehingga pemerintah pusat masih menerapkan peraturan dan perundangan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat nasional dengan kecenderungan diseragamkan dan mengabaikan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Aceh, serta nilai-nilai lokalitas biofisik, sosial dan budaya yang ada di Aceh. Implikasi selanjutnya adalah tupoksi yang saling tumpang tindih sebagai akibat lahirnya kebijakan tersebut yang belum memiliki pengaturan yang jelas, sehingga institusi-institusi yang menangani pengelolaan sumber daya alam dan hutan cenderung berjalan kurang efektif. Oleh sebab itu diperlukan upaya sinkronisasi sehingga kelembagaan pengelolaan hutan Aceh dapat berjalan secara harmonis dan saling bersinergi dengan baik dengan institusi-institusi lain dalam pengelolaan hutan Aceh.
2.6.8. Persepsi Terhadap Kawasan Hutan dan Sumber Daya Alam yang dibatasi Secara Administratif Hutan sebagai suatu sistem ekologi di alam secara alami memiliki bentuk interaksi yang saling terkait dalam hubungan saling ketergantungan yang unik. Pola tersebut menjadi penyeimbang yang sangat efektif dalam sistem kehidupan yang lebih luas. Fungsi dari ekosistem hutan tersebut memiliki struktur yang sangat berbeda dengan sistem administratif yang dikembangkan sebagai pembatas wilayah teritorial kekuasaan dan kewenangan. Penggunaan batas administratif sebagai dasar dalam mendileniasi areal/wilayah pengelolaan sumber daya alam tentunya akan mengesampingkan karakteristik ekosistem pendukunganya. Hal ini mengakibatkan mekanisme pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) menjadi tidak terkontrol, susah untuk dipulihkan baik secara alami maupun melalui intervensi. Kondisi tersebut juga membentuk paradigma politis dan sektoral yang memposisikan hutan sebagai aset ekonomi dan komoditi semata. Masing-masing wilayah administratif memandang hutan dan sumber daya alam hanya sebagai barang/
BAB II
33
komoditi yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk mendongkrak pembangunan wilayah, tanpa mempertimbangkan dampak bagi ekosistem yang tentunya jauh melintasi sekat-sekat batas administrasi yang diciptakan.
2.6.9. Sumber Alternatif Kayu. Tingkat kebutuhan kayu kayu Provinsi Aceh Aceh mencapai 394.511 m3 kayu olahan dan dan Tingkat kebutuhan Provinsi mencapai 394.511 m3 kayu olahan bulat. Beberapa kabupaten/kota membutuhkankayu kayuyang yangrelatif 732.941,33 m3 kayu 732.941,33 m3 kayu bulat. Beberapa kabupaten/kota membutuhkan
besar yaitu Kotayaitu Banda Aceh Utara, Aceh Barat, relatif besar KotaAceh, BandaKabupaten Aceh, Kabupaten Aceh Kabupaten Utara, Kabupaten Aceh dan Kabupaten Aceh Tamiang untuk kayu olahan dan kayu bulat. Rekapitulasi kebutuhan Barat, dan Kabupaten Aceh Tamiang untuk kayu olahan dan kayu bulat. kayu per kabupaten/kota untuk tahun 2008 di Provinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel Rekapitulasi kebutuhan kayu per kabupaten/kota untuk tahun 2008 di Provinsi 2.13. Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008.
Tabel 2.13. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008.
Untuk memenuhi kebutuhan permintaan kayu kayu tersebut makamaka akanakan memberikan Untuk memenuhi kebutuhan permintaan tersebut memberikan
tekanan terhadap sumberdaya hutan Aceh. OlehOleh sebab itu perlu dipikirkan strategi tekanan terhadap sumberdaya hutan Aceh. sebab itu perlu dipikirkan bagaimana mengalihkan ke sumber-sumber non kayu secara bertahap strategi untuk bagaimana untuk mengalihkan ke sumber-sumber non kayu secarauntuk penggunaan tertentu di dalam konstruksi suatu bangunan. Proses pengalihan tersebut bertahap untuk penggunaan tertentu di dalam konstruksi suatu bangunan. dapat dilakukan dengan upaya sosialisasi teknologi terhadap hal di atas dan disertai Proses pengalihan tersebut dapat dilakukan dengan upaya sosialisasi teknologi dengan pemberian insentif ekonomi. Insentif tidak hanya diberikan kepada penggunan terhadap hal di atas dan disertai dengan pemberian insentif ekonomi. Insentif 34
tidak hanya diberikan kepada penggunan tetapi kepada pihak pemroduksi yang
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
terlibat dalam menghasilkan produk non kayu, misalnya lewat skema kredit
tetapi kepada pihak pemroduksi yang terlibat dalam menghasilkan produk non kayu, misalnya lewat skema kredit perbankan, kemudahan dalam perizinan serta insetif lainnya yang mampu menstimulus pengembangan alternatif subtitusi dari kayu hutan alam dimaksud. Selain beberapa hal tersebut di atas, pengembangan sumber-sumber penghasil kayu yang berasal dari proses budidaya pada lahan-lahan yang tidak produktif di dalam maupun di luar kawasan hutan (Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat dll) perlu didorong melalui pemberian insentif dalam bentuk: regulasi, teknis dan pasar, sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu yang ada di Provinsi Aceh.
2.6.10. Penegakan Hukum Masih Lemah Dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya hutan maka aspek monitoring dan pengawasan sangat diperlukan. Dengan menggunakan sistem monitoring berlapis (remote sensing, foto udara, dan ground check) maka kondisi hutan Aceh yang relatif luas dapat diketahui dengan cepat dan tepat, termasuk berbagai sumber ancaman yang signifikan terjadi di Kawasan Hutan Aceh. Seyogyanya informasi yang berharga dari hasil monitoring perlu segera ditindaklanjuti dengan aspek penegakan hukum di lapangan. Dalam proses tersebut tentu institusi pengelola hutan harus bekerjasama dengan pihak aparat keamanan untuk melakukan pengawasan. Aspek penegakan hukum terhadap kawasan hutan Aceh relatif masih lemah. Hal ini tidak hanya terkait dengan ketersediaan jumlah personil penegak hukum di lapangan tetapi juga terkait dengan sistem penanganan kasus dan profesionalitas dari aparat penegak hukum. Secara lebih konkret, penanganan tindak pidana lingkungan dan sumber daya alam harus mendapatkan penanganan prioritas dalam upaya penegakan hukumnya, serta bisa memberikan efek jera bagi para pelakunya.
BAB II
35
36
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
BAB III STRATEGI REDD+ ACEH
Dengan banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dan untuk menjaga kredibilitas serta efektivitas pelaksanaan REDD+, secara umum tahapan pelaksanaan REDD+ di Aceh akan meliputi: (1) Penyusunan strategi yang mencakup strategi daerah dan rencana aksi daerah REDD+, (2) Membangun kesiapan dan pelaksanaan tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+, pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal, dan (3) Implementasi yang mencakup pengarusutamaan REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMA dan implementasi penuh berdasarkan kriteria yang ditentukan. Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh akan efektif apabila dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan serta pembangunan mekanisme penerapan REDD+. Selain itu, dukungan pembiayaan juga merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan REDD+. Untuk mengawal pelaksananaan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ berjalan dengan baik, perlu disusun kerangka kerja monitoring dan evaluasi sebagai pedoman monitoring dan evaluasi Strategi Daerah dan Rencana Aksi Daerah REDD+. Penerapan Strategi Daerah dan Rencana Aksi hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan. Oleh karena itu pengarusutamaan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.
3.1. Keterkaitan REDD+ Aceh dengan Program Lain Kerangka strategi REDD+ Aceh dibangun dan dikembangkan selaras dengan strategi nasional REDD+ Indonesia, strategi tersebut dikembangkan untuk mencapai tujuan jangka panjang yang dijabarkan sebagai berikut: (1) Menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor pengguna lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/ LULUCF); (2) Meningkatkan simpanan karbon; (3) Meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati; dan (4) Meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Strategi nasional REDD+ yang dijabarkan kedalam 5 pillar strategis merupakan acuan, dan selanjutnya diterjemahkan secara lebih rinci dalam strategi dan rencana aksi REDD+ Provinsi Aceh.
BAB III
37
Inventarisasi permasalahan perubahan iklim serta pengembangan programprogram penanggulangan telah diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA). Hal ini merupakan mandat dari beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang memberikan aturan terkait tata ruang, kehutanan dan lingkungan hidup, yaitu UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dan Perpres 71 tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Aturan perundang-undangan ini mengamanatkan Rencana Strategi REDD+ dikembangkan untuk menjadi acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan. Pada tingkat Provinsi Aceh, RAN GRK telah diterjemahkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 85 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Aceh (RAD GRK). Khusus untuk REDD+, Stranas REDD+ dan RAD GRK dituangkan menjadi Strategi dan Rencana Aksi Implementasi REDD+ Aceh untuk kemudian diadopsi ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan APBD. 3.1.1. Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK RAD-GRK merupakan dokumen yang menyediakan arahan bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan penurunan emisi, baik berupa kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam kurun waktu tertentu. Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca ACEH (RAD-GRK ACEH) mengimplikasikan aksi mitigasi di empat bidang prioritas, yaitu: 1. Bidang Pertanian; 2. Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut; 3. Bidang Energi dan Transportasi; serta 4. Bidang Industri dan Pengelolaan Limbah, Penyusunan dokumen RAD-GRK ACEH berpedoman pada RAN-GRK dan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur ACEH. Dimana rencana mitigasi masingmasing bidang prioritas terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang ACEH (RPJPA) 2005-2025, Rencana Tata Ruang Wilayah ACEH (RTRWA) 2012-2032 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah ACEH (RPJMA) 2012-2017. Oleh karena itu, terkait dengan penyusunan dokumen Strategi REDD+ Aceh adalah bersumber dari RAD-GRK Aceh khususnya bidang kehutanan dan lahan gambut
38
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
3.1.2 Strategi Nasional REDD+ REDD+ akan dikembangkan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau untuk memastikan bahwa upaya penanganan perubahan iklim dari sektor penggunaan lahan dilakukan sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain, atau 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional. Pemerintah akan melakukan ini sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Untuk mewujudkan komitmen ini pemerintah telah mengeluarkan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Perpres 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. REDD+ mendukung pencapaian target RAN-GRK dalam bidang pengelolaan hutan, lahan gambut dan pertanian. Kerangka program REDD+ terdiri dari lima pilar strategis. Kelima pilar saling terkait satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan REDD+. Kelima pilar tersebut dibagi menjadi 2 fase, yaitu; fase persiapan sebagai pra-syarat dan fase implementasi untuk mencapai tujuan jangka panjang REDD+. 1. Fase Persiapan a. Kelembagaan dan Proses b. Kerangka Hukum dan Peraturan 2. Fase Implementasi a. Program-program Strategis b. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja c. Pelibatan Para pihak Alur pikir keterkaitan strategi dan rencana aksi REDD+ Aceh dengan program lain dapat dilihat pada Gambar 3.1.
BAB III
39
TINGKAT NASIONAL L Pera aturan Perun ndang-Undan ngan Nasion nal (1) UU 26 tah hun 2007 ten ntang Penata aan Ruang, hun 1999 ten ntang (2) UU 41 tah Kehutana an, hun 2009 ten ntang (3) UU 32 tah Perlindun ngan dan Pen ngelolaan Lingkungan Hidup, 6 tahun 201 1 tentang (4) Perpres 61 Rencana Aksi Nasion nal Penuruna an Emisi Gas Rumah Ka aca, dan 7 tahun 201 1 tentang (5) Perpres 71 Inventaris sasi Gas Rum mah Kaca.
RP PJM Nasiona al 22010 – 2014 bilan Priorittas ke-semb Lingku ungan Hidup p dan Pengeelolaan Benc cana
Strate egi Nasionall REDD+: (Mempunyai mand dat untuk me elakukan perbaikan dan pen nyelarasan yyang diperluk kan atas seluruh s aturan perundang g-undangan dan d sistem m kelembaga aan sektor da an non-sekto or yang terkait t denga an tata kelola a dan penge elolaan hutan n dan peman nfaatan lahan n)
TINGKAT T PROVINSI Peratu uran Gubern ur Nomor 85 5 Tahun 2012 tentang Ren ncana Aksi Daerah D Penu urunan Emisii Gas Rumah h Kaca Provinsi P Aceh h (RAD GRK K). (Merupakan turunan dari Perpres s 61 tahun 2011 tentang Ren ncana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah h Kaca)
RPJM A Aceh 2012 – 2017 Prioritas; (9) (10)
Suumber Daya Alam Beerkelanjutan, dan kuualitas lingkungan daan kebencana aan
Strategi dan Rencan na Aksi REDD+ Aceh
Renccana Kerja Pemerintah P (RKP)
Gambar 3.1. Keterkaitan SRAP REDD+ Aceh dengan Program lain
40
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
3.2. Kerangka Strategi REDD+ Aceh Strategi REDD+ Aceh merupakan penjabaran dari strategi nasional REDD+ dan Rencana Aksi Daerah (RAD GRK) Provinsi Aceh, oleh karena itu baseline dari emisi GRK dari sektor pengguna lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF) dan driver atau sumber persoalan dari deforestasi dan degradasi hutan di Aceh pada dokumen RAD GRK akan menjadi baseline atau titik acuan. Sedangkan kerangka Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dibangun dengan menggunakan pendekatan lima pillar strategi nasional REDD+, dan dilaksanakan melalui dua tahapan atau fase, yaitu; (i) tahapan persiapan (enabling condition) sebagai prasyarat mutlak yang harus dipenuhi kemudian (ii) tahapan implementasi, yang akan dilakukan setelah kondisi pemungkinnya tercapai. Kerangka penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Kerangka Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh
3.2.1. Kelembagaan REDD+ Aceh Keberhasilan penerapan REDD+ di Provinsi Aceh sangat bergantung pada transformasi kelembagaan. Saat ini, kegiatan-kegiatan terkait dengan REDD+ (langsung dan tidak langsung) tersebar di berbagai Dinas/Badan/Instansi di Provinsi dan daerah.
BAB III
41
Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan di daerah, agar penerapan REDD+ dapat berjalan sinergis dan terkoordinasi dalam suatu sistem yang terpadu. Lembaga REDD+ akan menjadi badan pusat independen yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur untuk memimpin dan mengoordinasikan kinerja daerah dalam melaksanakan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, lembaga REDD+ membutuhkan mandat dan kewenangan dengan dasar hukum yang kuat. Lembaga REDD+ merupakan bagian dari lingkup penerapan REDD+ yang lebih besar, karena itu perlu dikoordinasikan secara ketat dengan instrumen pendanaan dan institusi MRV. Lebih lanjut, lembaga ini harus dapat menjamin harmonisasi dengan berbagai Instansi/Dinas/Badan dan pemangku kepentingan utama lain yang terkait, melalui hubungan kelembagaan dalam struktur tata kelolanya. Sistem kelembagaan REDD+ perlu dirancang dengan mengutamakan azas-azas: (1) tata kelola yang baik (good governance), (2) inklusif dengan memastikan partisipasi dari para pemangku kepentingan untuk efektivitas pencapaian pengurangan emisi, (3) efisiensi biaya untuk mencapai tujuan (cost effectiveness), dan (4) akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh urusan terkait REDD+ di Aceh. Di samping keempat azas umum di atas, rancangan awal Lembaga REDD yang dapat terdiri dari tiga bagian dengan fungsi yang berbeda dan penting: 1) Fungsi Pengarah adalah bertugas memberikan arahan dalam perumusan, perencanaan dan pelaksaan REDD+, 2) Fungsi Pelaksana adalah bertugas menjalankan mandat sebagaimana diuraikan sebelumnya, 3) Fungsi Pengawas adalah bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan REDD+. Lembaga REDD dibentuk dengan tujuan: 1) Memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Provinsi Aceh sebagai tata kelola pemerintahan provinsi dan badan koordinasi. 2) Menjadi katalis untuk mendorong percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan, lahan gambut dan APL yang memungkinkan penurunan deforestasi dan degradasi hutan dalam upaya penurunan emisi GRK. 3) Memastikan manfaat berupa peningkatan kesejahteraan dan prospek ekonomi untuk masyarakat melalui kepastian pelayanan pembiayaan yang efektif dan distribusi manfaat yang adil bagi pihak-pihak yang menjalankan program/ proyek/kegiatan REDD+ dengan pemenuhan persyaratan- integritas sistem pelaksanaan REDD+ (audit dan safeguards). Di mana misi-misi tersebut dibuat untuk mendorong adanya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkesinambungan sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengingat kompleksitas penerapan REDD+, maka dapat disimpulkan bahwa Lembaga REDD+ membutuhkan mandat lintas Dinas/Badan/Instansi dan lintas sektor 42
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
yang kuat, agar penerapan Strategi Daerah REDD+ dapat berjalan komprehensif dan koheren di seluruh wilayah yang relevan. Lembaga REDD+ bertanggung jawab terhadap seluruh upaya koordinasi dalam membangun dan menerapkan REDD+, serta memiliki fokus dan prioritas pada isu REDD+ tanpa melanggar perundang-undangan yang berlaku. Kelembagaan REDD+ Aceh yang akan dibentuk setidaknya mempunyai empat fungsi dalam menjalankan kewenangannya, selain fungsi koordinatif yang melekat, yaitu; 1. Sebagai payung atau wadah dari semua kegiatan REDD+ di Aceh 2. Mempunyai fungsi sebagai fund raising atau pendanaan untuk kegiatan REDD+ 3. Mempunyai fungsi atau peran dalam Monitoring, Reporting, dan Verification (MRV) 4. Lembaga/Pelaksana ditingkat tapak/project. Secara garis besar kelembagaan REDD+ Aceh dapat bersifat permanent melalui pembentukan Qanun Aceh yang mengatur tentang legalitasnya yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Aceh. Jika Badan REDD+ Aceh dibentuk dengan kelembagaan khusus, maka untuk fungsi Monitoring, Reporting, dan Verification (MRV) akan dibentuk melalui kelembagaan yang sudah ada yaitu fungsi melekat pada Bappeda, Dishutbun, dan Bapedal Aceh. Masing-masing kelembagaan ini bertanggungjawab kepada Gubernur, sementara satu dengan yang lain bersifat koordinatif. Lembaga REDD+ Aceh dipimpin oleh Kepala Badan dan dibantu oleh sekretariat untuk administratif, sementara untuk urusan teknis dibantu oleh bidang tematik. Untuk lebih jelasnya rencana usulan lembaga REDD+ Aceh dapat dilihat pada Gambar 3.3. Level Provinsi P Guberrnur Aceh
Lembaga MR RV
Kepala Badan D+ Aceh REDD Sekrettariat REDD+ + Aceh
Bidang Tematik
Bidang Te ematik
Bidang Tematik
Kelembagaan R REDD+ Ace eh Level Kabupaten/K Kota
Pelak ksana Prog gram/Proye ek/Kegiatan REDD+ A Aceh
Gambar 3.3. Usulan Kelembagaan REDD+ Aceh
BAB III
43
Untuk dapat mencapai tujuannya dengan efektif, Lembaga REDD+ memiliki mandat untuk: (1) Menjalankan fungsi-fungsi strategis terkait dengan pelaksanaan program REDD+ yang selama ini belum ada, yaitu: a. Menetapkan strategi, kebijakan dan program REDD+ Aceh dan mendorong penyusunan Strategi Daerah REDD+. Lembaga REDD+ akan secara periodik melakukan kajian atas strategi, kebijakan dan program-program terkait dengan REDD+; b. Membangun dan melakukan tata kelola sistem integrasi data dan peta, persetujuan dan registry untuk program/proyek REDD+ dan VER/CER, dan validasi informasi dari sistem MRV. Lembaga REDD+ akan mengembangkan protokol-protokol yang diperlukan untuk konsolidasi data dan peta yang merupakan pra-kondisi bagi implementasi program REDD+ yang kredibel, proses persetujuan dan registrasi proyek REDD+, serta pendaftaran VER/CER; c. Memfasilitasi pembentukan lembaga dan sistem pelaksanaan MRV. Sistem MRV Aceh juga akan mengadopsi ukuran-ukuran yang mencerminkan implementasi financial (keuangan), serta pengaman sosial dan lingkungan (social and environmental safeguards) yang berperspektif gender. Khusus untuk environmental safeguard dan untuk keperluan membuat dasar penilaian bagi program manfaat tambahan (co-benefit) dari REDD+, sistem MRV akan memuat indicator terkait dengan keanekaragaman hayati; d. Memastikan pembangunan lembaga dan sistem pengelolaan pendanaan REDD+ yang menarik bagi para donor dan investor, memiliki sistem pengelolaan dana yang efektif dan efisien, dan dapat mendistribusikan dana ke lapangan, Selain itu, Lembaga REDD+ akan memfasilitasi penyusunan kriteria untuk persetujuan program dan proyek yang akan disponsori oleh dana kemitraan REDD+, serta menyusun mekanisme distribusi manfaat untuk mendorong adanya penyaluran dana yang adil dan berimbang; e. Memfasilitasi pembangunan dan koordinasi pelaksanaan system integritas (safeguard dan audit) untuk bidang keuangan, sosial dan lingkungan hidup untuk pelaksanaan program/proyek REDD+. Jika diperlukan, Lembaga REDD+ dapat membentuk "Safeguard Steering Group" yang berada diluar Lembaga REDD+ dan secara independen memonitor pelaksanaan safeguard untuk program dan proyek REDD+. Safeguard Steering Group terdiri dari profesional yang relevan dan beberapa perwakilan para pihak, termasuk lembaga donor, masyarakat sipil, dan Lembaga REDD+; f. Sistem safeguard bagi REDD+ Aceh akan dirancang dengan tujuan mengantisipasi resiko-resiko yang terkait dengan pengelolaan aspek-aspek fiduciary, serta dampak sosial dan lingkungan hidup dari kegiatan REDD+ yang dilakukan, dan merumuskan langkah-langkah penanganan risiko yang diantisipasi tersebut untuk kemudian dijalankan sesuai dengan pelaksanaan proyek dan dinilai
44
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
secara berkala. Perumusan dan penetapan standar-standar safeguard dan sistem audit yang dilakukan bersama dengan pihak donor, lembaga-lembaga keuangan internasional dan para pihak yang relevan akan menghasilkan sistem yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan di lapangan; g. Membangun/memfasilitasi sistem pengembangan kapasitas profesional dan kelembagaan terkait REDD+ serta membangun rencana aksi, target dan program REDD. (2) Mengefektifkan fungsi-fungsi koordinasi tematik antara SKPA Pemerintah Aceh dan antara Aceh dengan kabupaten/kota dan melakukan trouble shooting/debottlenecking terkait pelaksanaan program REDD+: a. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program antara SKPA Pemerintah Aceh, dan antara Aceh dengan kabupaten/kota, terutama tetapi tidak terbatas pada hal-hal terkait dengan penataan ruang dan perizinan pemanfaatan lahan; b. Menyusun rencana dan melaksanakan koordinasi penegakan hukum untuk perlindungan hutan dan lahan gambut, terutama tetapi tidak terbatas pada halhal yang mencakup pembalakan liar (illegal logging), pemanfaatan lahan, dan penggunaan api dalam pembukaan lahan. Fungsi koordinasi penegakan hukum dalam kelembagaan REDD+ lebih difokuskan pada isu kejahatan kehutanan; c. Mengoordinasikan pelaksanaan lnpres tentang Penundaan Pemberian lzin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut moratorium. Dalam masa jeda pemberian izin baru, Lembaga REDD+ akan mengoordinasikan proses konsolidasi informasi dan peta izin-izin pemanfaatan lahan, pemanfaatan atau rasionalisasi lahan-lahan berizin yang ditelantarkan, penataan ulang proses perizinan pemanfaatan lahan, dan proses penyelesaian konflik penguasaan lahan dan tumpang tindih alokasi penggunaan lahan; d. Mengoordinasikan upaya-upaya penyelarasan system insentif (re-alignment of incentive system) untuk memastikan sinergi antar kebijakan/program Pemerintah Aceh terkait implementasi REDD+. Lembaga REDD+ akan mengoordinasikan proses peninjauan ulang (review) dan jika diperlukan, revisi berbagai mekanisme transfer fiscal dari pusat ke daerah yang sekarang berlaku (Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus Kehutanan dan Perubahan lklim). Tujuan dari penyelarasan ini adalah agar pada tahap implementasi penuh REDD+, terdapat struktur insentif finansial yang koheren dan konsisten antara transfer fiscal ke daerah dan pembayaran untuk proyek implementasi REDD+. Lembaga REDD+ akan menginisiasi pembuatan kebijakan insentif dan de-bottlenecking faktor-faktor yang menghambat pemberian dan efektivitas insentif bagi: (i) Pemerintah kabupaten/kota yang mendukung perluasan dan pengelolaan hutan lindung serta kawasan konservasi; BAB III
45
(ii) Pengusaha hutan yang mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari (PHL), Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dan sistem lainnya; (iii) Pemerintah kabupaten/kota yang berkomitmen menjadikan wilayahnya sebagai kabupaten konservasi dengan kriteria-kriteria tertentu. (3) Menjalankan komunikasi dan pelibatan para pemangku kepentingan yang efektif dengan para pemangku kepentingan di dalam dan luar negeri a. Membangun sistem, menjalankan program komunikasi yang efektif dengan pemangku kepentingan di dalam negeri serta memelihara hubungan dengan pemangku kepentingan di luar negeri; b. Mengoordinasikan pengembangan kebijakan dan positioning Aceh terkait REDD+ untuk menghadapi forum-forum internasional dan strategi dalam menjalankan international affairs; c. Memastikan komunikasi yang sistematis dan efektif dengan pemerintah kabupaten/kota untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di lapangan. d. Menyelenggarakan kampanye edukasi yang komprehensif. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah berdirinya Lembaga REDD+, kewenangan dan hubungan kelembagaan Lembaga REDD+ dengan format koordinasi tematik sudah dikomunikasikan dengan pemerintah kabupaten/kota mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan pelaksanaan kewenangan Lembaga REDD+. Lembaga REDD+ Aceh mengoordinasikan implementasi berbagai kewenangan yang akan dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kesiapan kapasitasnya yang antara lain mencakup, tapi tidak terbatas pada, bidang-bidang berikut: 1. Koordinasi perencanaan kegiatan dan pengembangan pembiayaan REDD+ di daerah yang melibatkan juga stakeholders dari tingkat kabupaten; 2. Koordinasi pengembangan kriteria dan mekanisme lokal untuk persetujuan dan pendaftaran program/proyek/kegiatan dan status lembaga pelaksananya; 3. Koordinasi penerimaan hasil M (monitoring) dan R (reporting) yang disiapkan oleh lembaga pelaksana REDD-i- dan kegiatan V (verification) yang akan dilakukan oleh penilai independen yang terakreditasi; 4. Koordinasi penyelenggaraan audit financial dan implementasi safeguards yang teringtegrasi dengan pelaksanaan MRV; 5. Koordinasi penyelenggaraan pembuatan dan konsolidasi data, peta dan informasi lain terkait pengelolaan dan pemanfaatan lahan di daerah; 6. Koordinasi penyelenggaraan kegiatan pengembangan kapasitas profesional dan kelembagaan di daerah terkait dengan implementasi REDD+;
46
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Tabel 3.1. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kelembagaan REDD+ Aceh
Kategori
Strategi Prioritas
Rencana Aksi Design kelembagaan REDD+ Aceh dan payung hukumnya;
Pembentukan Kelembagaan REDD+ dan Peraturan Terkait.
Penggalian berbagai sumber pendanaan; Perumusan kebijakan-peraturan yang mampu mengawal proses internalisasi REDD+. Penggalian berbagai metodologi ilmiah (Scientific based) REDD+;
Kondisi Pemungkin
Penyusunan petunjuk pelaksanaan P e m b e n t u k a n / P e n g e m b a n g a n (Juklak) dan pedoman teknis (Juknis) Metodologi REDD+ pembangunan sistem MRV; Penyiapan/pengadaan tools pendukung system MRV. 3.2.2. Kerangka Hukum dan Peraturan Untuk dapat melaksanakan skema REDD+ secara efektif dan efisien secara berkelanjutan diperlukan penguatan landasan hukum serta pembenahan kebijakan dan peraturan-perundangan. Kedua hal itu diperlukan untuk penataan ulang tata ruang wilayah, tata guna lahan, penataan hak-hak atas lahan, perbaikan tata kelola perizinan, penyelesaian berbagai konflik serta berbagai persoalan teknis di lapangan, serta penegakan hukum. Karena itu dimandatkan kepada Lembaga REDD+ untuk mewujudkan kerangka hukum yang berkesinambungan dengan konteks perubahan iklim (climate friendly legal framework/CFLF). 3.2.2.1. Penataan dan Penggunaan Ruang Percepatan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) terkait dengan kepastian terhadap penggunaan dan pemanfaatan ruang di Provinsi Aceh; Percepatan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang telah dimandatkan di dalam Undang Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Percepatan pelaksanaan UU No.4/2011 tentang Informasi Geo-Spasial terkait mandat integrasi peta dan pemetaan dengan mewujudkan penggunaan satu peta acuan untuk semua jenis perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan/atau APL oleh semua instansi yang memiliki kewenangan pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan lahan; BAB III
47
Telaah atau evaluasi perizinan dan kebijakan serta peraturan-perundangan dengan mengacu kepada kerangka hukum yang berkesinambungan dengan perubahan iklim yang telah disusun sebelumnya sebagai perangkat penting dalam penyelesaian konflik penggunaan ruang, dan ditindaklanjuti dengan: (1) Penindakan secara hukum (administratif, perdata, maupun pidana) hasil telaah perizinan yang mengindikasikan pelanggaran hukum, sesuai dengan ketentuan sanksi yang telah diatur melalui UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan lain yang terkait; (2) Pengembangan sistem perizinan yang transparan, akuntabel dan terintegrasi, dan penyederhanaan peraturan serta kejelasan birokrasi maupun administrasi sehingga terwujud pelayanan publik yang efisien dan iklim investasi yang kondusif, terutama bagi pengembangan usaha kecil dan menengah dari masyarakat lokal. 3.2.2.2. Penataan Tenurial Kejelasan atas tata batas dan hak kelola masyarakat terhadap sumber daya alam adalah hak konstitusional. Penataan tenurial atau hak-hak atas lahan dilakukan dengan tujuan menciptakan prakondisi yang penting bagi keberhasilan pelaksanaan REDD+. Melakukan penyelarasan dan penyesuaian (revisi) dalam peraturan dan kebijakan lain yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk menginternalisasi prinsip dan menjalankan proses Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dalam penetapan perizinan pemanfaatan sumber daya alam.
3.2.2.3. Moratorium Konversi Hutan Revisi Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Jeda Tebang untuk di tingkatkan menjadi moratorium konversi hutan, hal ini selaras dengan Instruksi Presiden terkait penundaan perijinan di hutan dan lahan gambut. Moratorium konversi hutan selaras dengan Instruksi Presiden terkait penundaan izin-izin baru di hutan dan lahan gambut, selain itu moratorium konversi hutan tidak hanya terbatas pada moratorium di sektor kehutanan, tetapi lebih menyeluruh kepada sector-sektor yang memanfaatkan lahan dan hutan. 3.2.2.4. Kebijakan terkait Benefit Sharing dan PADIATAPA PADIATAPA/FPIC merupakan standard yang dideklarasikanpada United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau disingkat UNDRIP. Pada pasal 32, butir (1) document UNDRIP, 2007, masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk pembangunan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya di wilayah adat mereka.
48
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Untuk memastikan terciptanya mekanisme distribusi benefit yang adil dan efektif, maka mekanisme distribusi benefit harus efektif dalam mengatur seluruh aktor yang bertanggungjawab terhadap terjadi deforestasi dan degradasi hutan. Untuk itu maka mekanisme ini harus: Menciptakan sistem reward berbasiskan kinerja; Memastikan adanya insentif bagi kinerja yang lebih baik dibandingkan tanpa skenario penurunan (reference scenario); Memberikan kompensasi secara memadai bagi para pihak yang mengalami kerugian akibat adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pelaksanaan REDD+; Tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis melainkan juga aspek lingkungan dan sosial, termasuk hak masyarakat adat dan lokal serta peranserta berbagai pihak untuk memastikan agar penurunan deforestasi dan degradasi efektif serta bersifat permanen; Bersifat sederhana serta mengintegrasikan prinsip-prinsip transparansi sehingga memudahkan pemantauan dan meminimalisasi penyalahgunaan di tingkat implementasi. Tabel 3.2. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kerangka Hukum dan Peraturan REDD+ Aceh
Kategori
Kondisi Pemungkin
Strategi Prioritas
Rencana Aksi
Penataan dan Penggunaan Ruang
Percepatan Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/ Kota; Percepatan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Provinsi dan Kabupaten/Kota; Percepatan pelaksanaan “One Map” integrasi peta dan pemetaan untuk perijinan; Evaluasi perijinan, penindakan, dan pengembangan system perijinan yang baik.
Penataan Tenurial
Memperjelas dan mempertegas pengakuan terhadap tenurial masyarakat/kelembagaan lokal melalui regulasi setingkat Qanun atau Pergub; Penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan pedoman teknis (Juknis) terhadap proses pengakuan tenurial masyarakat;
Moratorium Konversi Hutan
Revisi INGUB No.5 Tahun 2007 tentang “Jeda tebang” untuk direvisi menjadi Moratorium Konversi Hutan; Penyusunan peta indikatif moratorium konversi hutan Provinsi Aceh.
Design Mekanisme benefit Sharing; Kebijakan terkait Benefit Sharing dan Design atau mekanisme PADIATAPA; Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan Regulasi atau norma hukum Benefit sharing dan PADIATAPA.
3.2.3. Program – Program Strategis Program-program strategis berorientasi pada peningkatan efektifitas pengelolaan lanskap berkelanjutan, pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, dan konservasi dan rehabilitasi lahan; beserta perubahan seluruh prakondisi yang memungkin ketiganya dapat dicapai. Strategi prioritas dan rencana aksi untuk program-program strategis disajikan pada Tabel 3.3. BAB III
49
3.2.3.1. Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Pendekatan ini berbasis pada sistem pengelolaan lanskap yang memadukan beberapa sektor dan kepentingan dalam jangka panjang. Tujuan pembangunan secara terpadu di berbagai sektor, khususnya industri, kehutanan, agroforestri, pertanian, dan pertambangan, adalah menuju ekonomi hijau (green economy) yang menghasilkan emisi karbon rendah. 3.2.3.2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara berkelanjutan Strategi ini bertumpu pada cara-cara terbaik (best practices) dari pengelolaan lahan pertanian, perkebunan, penebangan dan silvikultur serta pertambangan. Prinsipnya adalah untuk meningkatkan produktivitas per unit luasan tanpa menambah emisi atau risiko kerusakan lingkungan lainnya tanpa mengurangi manfaat jangka panjang, sehingga kebutuhan perluasan lahan dapat ditekan. 3.2.3.3. Konservasi dan Rehabilitasi Program strategis konservasi bertujuan meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati dan keseluruhan jasa ekosistem hutan maupun lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan APL. Hutan dan lahan gambut dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest/HCVF) mendapatkan prioritas khusus dengan fokus pada: 1. Pemantapan fungsi kawasan lindung. Area hutan dan lahan gambut dengan cadangan karbon dan tingkat keanekaragaman hayati tinggi dilindungi dengan mengubah statusnya menjadi kawasan lindung. 2. Pengendalian konversi dan pembalakan hutan. di luar kawasan lindung dengan perlindungan HCVF dan telaah ulang atas izin, pada area yang tidak dibebani hak dengan pengetatan pengendalian pembangunan pertanian, dan pada area berizin yang belum dikonversi dengan mendorong land swap. Tabel 3.3. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas untuk Program-Program Strategis
Kategori
Strategi Prioritas
Rencana Aksi Membangun database kebakaran hutan dan lahan gambut;
Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan
Implementasi
Membangun kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut di tingkat tapak.
Memperbaiki tata-kelola hutan produksi melalui sertifikasi SVLK dan FSC; Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pemberdayaan ekonomi lokal bagi masyarakat di dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan sekitar Hutan; Secara Berkelanjutan Pengembangan kebijakan CSR yang lebih memberdayakan masyarakat. Percepatan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ditingkat tapak; Konservasi dan Rehabilitasi
Rehabilitasi hutan dan lahan.
50
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
3.2.4. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja Dengan tingginya emisi dari aktivitas LULUCF, diperlukan perubahan paradigma dan budaya kerja yang mendasar di sektor ini. Tantangan juga muncul dalam kaitannya dengan kapasitas pada tingkat individu yang mencakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan perilaku (attitude), serta integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan sumber daya manusia yang memiliki tanggung jawab dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan dan lahan bergambut di lapangan. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja dapat dilihat pada Tabel 3.4. 3.2.4.1. Penguatan Tata Kelola Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Pengembangan program pelaksanaan Undang – Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, seperti: 1. Program peningkatan transparansi dalam: (i) proses pembuatan peraturan; (ii) proses pengambilan kebijakan; dan (iii) proses pemberian izin di sektor kehutanan; 2. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi secara khusus bagi kelompok yang potensial terkena dampak seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak; 3. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak, khususnya pada kelompok perempuan dan kaum rentan untuk: (i) memahami informasi yang ada; dan (ii) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan; Penyediaan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan. 3.2.4.2. Kampanye untuk Aksi “Penyelamatan Hutan Aceh” Untuk meningkatkan dukungan publik diperlukan kampanye untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas terhadap pentingnya hutan untuk menyangga kehidupan. Perubahan paradigma masyarakat luas dari semua tingkatan sosial dan umur diperlukan untuk mengetahui nilai pentingnya keberadaan hutan sebagai penyeimbang kehidupan. Kampanye akan dilakukan oleh Lembaga REDD+ bekerja sama dengan pihakpihak yang memiliki keahlian di bidang komunikasi publik. Kampanye dilakukan melalui: 1. Pembuatan perangkat informasi populer yang akan menjadi bahan informasi di berbagai kalangan tentang pentingnya hutan dan mekanisme REDD+; 2. Kerjasama dengan media massa (cetak maupun elektronik) terkait dengan penyiaran informasi yang objektif dari berbagai perspektif terkait dengan upaya penyelamatan hutan Indonesia dan mekanisme REDD+; BAB III
51
3. Penyelenggaraan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan baik melalui jalur formal dan non-formal, maupun pendidikan pada tingkat komunitas secara langsung. 3.2.4.3. Pengembangan Insentif Dorongan untuk dapat mengubah budaya kerja dapat dilakukan apabila terdapat “imbalan” (reward) yang disediakan. Hal tersebut akan dilakukan pada kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan cara: 1. Pemberian penghargaan dan insentif finansial secara tahunan kepada Pemerintah Daerah dan badan usaha yang memiliki kinerja baik dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan lahan. 2. Insentif kepada pemerintah kabupaten/kota atau pengelolaan pada level tapak yang berhasil dalam pengembangan program REDD+
Tabel 3.4. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja
Kategori
Strategi Prioritas
Rencana Aksi
Implementasi
Mengembangkan Sistem Informasi yang diakses public; Mengembangkan mekanisme Complain Handling pada Penguatan Tata Kelola Kehutanan sector kehutanan dan pemanfaatan lahan; dan Pemanfaatan Lahan Pelaksanaan mekanisme PADIATAPA dalam proses pengambilan keputusan di tingkat tapak. Diseminasi informasi terkait pentingnya hutan dan REDD+; Kampanye Untuk Aksi “Penyelamatan Memasukkan isu hutan dan lingkungan kedalam kurikulum Hutan Aceh” muatan local pada jenjang tingkat pendidikan. Mengembangkan mekanisme dan indikator untuk insentif pemerintah kabupaten/kota yang berhasil mengembangkan program REDD+; Pengembangan Insentif Mengembangkan program-program yang bersifat kompetisi antar kabupaten/kota atau pada level tapak untuk program REDD+.
3.2.5. Pelibatan Para Pihak Sebagai bagian dari prinsip inklusif dan kolaboratif, pelibatan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan wajib dilakukan dalam pelaksanaan REDD+. Dengan memperhatikan kondisi dan karakter wilayah serta potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat, format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut perlu dirancang sejak awal. Strategi dan rencana aksi prioritas pelibatan para pihak apat dilihat pada Tabel 3.5.
52
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
3.2.5.1. Interaksi dan Strategi Pelibatan Para Pihak Upaya pengambilan keputusan secara kolaboratif. Lembaga REDD+ akan mengembangkan kemitraan strategis dengan berbagai kelompok pemerhati kehutanan dan forum-forum multipihak yang ada di Aceh, hal ini untuk memastikan bahwa pelibatan para pihak berjalan secara efektif dan kelompok-kelompok masyarakat rentan mendapat perlakuan yang adil. 3.2.5.2. Pelaksanaan Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) Lembaga REDD+ menetapkan prinsip dan pelaksanaan PADIATAPA menjadi bagian pelaksanaan program dan proyek REDD+, dan mengkoordinasikan pengembangan protokol pelaksanaannya. Tujuan PADIATAPA dalam pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+ ialah untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas dari pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan hak-haknya akan terkena pengaruh. 3.2.5.3. Penerapan dan Pembangunan Sistem Informasi Pelaksanaan Kerangka Pengaman Penyiapan instrumen kerangka pengaman (safeguard) bertujuan untuk memastikan adanya acuan dalam pelaksanaan penilaian risiko kegiatan/proyek/ program REDD+ dan penyiapan langkah-langkah penanggulangan terkait tata kelola program dan akuntabilitas finansial, dampak pada hubungan dan posisi sosial bagi kelompok masyarakat rentan, dan dampak terhadap lingkungan hidup. Kerangka pengaman merupakan sekumpulan kriteria dan indicator untuk memastikan pelaksanaan REDD+ tidak menyimpang dari tujuan awalnya. 3.2.5.4. Pembagian Manfaat Strategi pembagian manfaat yang adil didasarkan pada: (i) Setiap pemegang hak atas kawasan/wilayah tapak yang berada pada lokasi program/proyek/kegiatan REDD+ berhak mendapatkan pembayaran; (ii) Jasa yang diberikan kepada individu selain sebagai pekerja yang dibayar oleh penyelenggara program/proyek/kegiatan REDD+. Manfaat yang didasarkan pada pendekatan ‘service-based’ ini dapat juga diberikan secara kolektif, apabila jasa itu diberikan secara kolektif pula; (iii) Komunitas yang berkontribusi bagi pencapaian VER/CER di wilayah keberadaannya dalam bentuk kepemilikan kolektif atas lahan dan/atau penyediaan jasa pemeliharaan hutan secara kolektif di mana komunitas tidak mendapat pembayaran sebagai pekerja; (iv) Sistem dan mekanisme pendistribusian manfaat dilakukan secara terbuka dan akuntabel agar terhindar dari kesalahan alokasi manfaat.
BAB III
53
Tabel 3.5. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Pelibatan Para Pihak
54
Kategori
Strategi Prioritas
Implementasi
Identifikasi para pihak yang terkait pengembangan Interaksi dan Strategi Pelibatan Para REDD+ di Aceh; Pihak Sosialisasi dan diseminasi informasi melalui forum-forum pemerhati kehutanan dan terkait; Pelaksanaan Prinsip Persetujuan Atas Pelaksanaan PADIATAPA pada tingkat tapak, terutama Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan pada wilayah pengembangan REDD+. (PADIATAPA) Monitoring dan evaluasi PADIATAPA. Penerapan dan Pembangunan Sistem Membangun Sistem Informasi Safeguard (SIS), meliputi Informasi Pelaksanaan Kerangka indicator sosial ekonomi hutan dan informasi terkait jasa Pengaman lingkungan. Menetapkan kriteria dan indikator penerima manfaat REDD+; Pembagian Manfaat Identifikasi penerima manfaat dari program REDD+; Pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi pembagian manfaat.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Rencana Aksi
BAB IV PELAKSANAAN STRATEGI RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
4.1. Skenario Penurunan Emisi Kalkulasi ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai BAU dengan pendekatan historical dan forward looking serta estimasi penurunan emisi melalui skenario mitigasi dan adaptasi. Hasil perhitungan pendugaan emisi dengan pendekatan historical dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Grafik BAU Historical di Provinsi Aceh
Emisi yang terjadi akibat perubahan lahan tahun 2006 ke 2011 adalah sebesar 26.287.689 ton CO2e. Proyeksi dengan pendekatan historical dari angka ini, emisi yang akan terjadi pada tahun 2021 sebesar 36.366.935 ton CO2e. Untuk kalkulasi pendugaan emisi dengan pendekatan forward looking, hasil kalkulasi emisi tahun 2006 ke 2011 sama dengan pendekatan historical, yang menjadi perbedaan dengan pendekatan forward looking ini adalah dengan memproyeksikan perubahan tutupan lahan yang mungkin terjadi di tahun 2021 tidak berdasarkan pola-pola yang terjadi di tahun 2006 ke 2011, namun dengan mengakomodir rencana pembangunan di Provinsi Aceh. Hasil kalkulasi pendugaan emisi untuk BAU forward looking dengan skenario penurunan emisinya dapat dilihat di Gambar 4.2. Pada tahun 2021, emisi yang mungkin terjadi dengan pendekatan forward looking adalah sebesar 181,834,675 ton CO2e. Sementara penurunan emisi berdasarkan skenario pembangunan Aceh diperkirakan akan menurunkan emisi di tahun 2021 menjadi sebesar 172,500.00 ton CO2e atau sebesar 5,13 %.
BAB IV
55
Gambar 4.2. Grafik BAU Forward looking dan Skenario Penururnan Emisi di Provinsi Aceh
Berdasarkan RPJM Aceh 2012-2017, program-program yang berpotensi melepaskan emisi CO2 antara lain: program-program di sektor pertanian/perkebunan, peternakan dan pertambangan. Sedangkan program-program yang berpotensi menurunkan emisi CO2 meliputi beberapa sektor antara lain : sektor kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Program pembangunan Aceh yang berkaitan dengan Emsi CO2 PROGRAM PEMBANGUNAN A. Diprediksi Menurunkan Emisi CO2 No. Nama program 1 2 3 4 5
SKPA Pelaksana Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Dinas Hutan Kehutanan Perlindungan dan Konservasi Sumber Dinas Daya Hutan Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Perencanaan dan Pengembangan Dinas Hutan Kehutanan Pengembangan Kinerja Pengelolaan Bapedal Persampahan
B. Diprediksi Menaikkan Emisi CO2 No. Nama program SKPA Pelaksana 1 2 3 4 5
6
Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Bapedal
6
7
Program Perlindungan dan Konservasi SDA Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam Program pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Program Pengembangan Ekowisata dan Jasa lingkungan di kawasankawasan Lindung/ konservasi laut dan hutan
Bapedal
7
8 9 10
Pengembangan minyak dan gas bumi Pengembangan sentra-sentra industri potensial Peningkatan Produksi (Pertanian /perkebunan) Peningkatan Produksi Peternakan Peningkatan Penerapan Teknologi (Pertanian/ Perkebunan) Program peningkatan Ketahanan Pangan (Pertanian/ Perkebunan) Program pemanfaatan geologi dan sumberdaya mineral
Bapedal Bapedal Bapedal. Dinas Kehutanan. Dinas Kelautan dan Perikanan
Sumber : RPJM Aceh 2012-2017 (2013)
56
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Dinas Pertambangan dan Energi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perkebunan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Dinas Perkebunan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Dinas Pertambangan dan Energi
4.2. Strategi Rencana Aksi Penurunan Emisi 4.2.1. Penyusunan Rencana Aksi Daerah REDD+ Rencana Aksi Daerah REDD+ merupakan salah satu dokumen operasional pelaksanaan REDD+ yang merupakan penerjemahan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+. Dengan demikian, Rencana Aksi Daerah REDD+ ini akan memberikan informasi lebih jauh tentang Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+, yaitu antara lain: 1. Kegiatan-kegiatan turunan dari kegiatan-kegiatan utama yang secara indikatif telah tercantum dalam Strategi Rencana Aksi ProvinsiREDD+; 2. Tujuan dan sasaran masing-masing kegiatan; 3. Penanggungjawab atau lokus dari masing-masing kegiatan; 4. Indikator kinerja berdasarkan pencapaian keluaran, hasil, dampak dan manfaat dari setiap kegiatan-kegiatan 4.2.2. Persiapan Pelaksanaan REDD+ Kesiapan pelaksanaan REDD+ sebagaimana telah termuat secara eksplisit dari strategi terdiri dari dua bagian penting, yaitu: 1. Terpenuhinya infrastruktur prasyarat REDD+, dan 2. Terpenuhi kondisi pemungkin untuk dapat terselenggaranya berbagai perbaikan sektor penggunaan lahan. Kedua kegiatan tersebut merupakan syarat keharusan untuk dapat terlaksananya kegiatan REDD+ di Aceh. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan pokok dalam menumbuhkan kesiapan pelaksanaan REDD+ ini adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan infrastruktur REDD+, dilakukan melalui pembentukan kelembagaan dan kebijakan REDD+, penyiapan metodologi untuk berbagai aspek penyelenggaraan REDD+ (REL, MRV, registrasi, pendanaan) dan pembangunan skema pembagian tanggung jawab dan manfaat yang transparan. 2. Pemenuhan kondisi pemungkin, pada umumnya didekati melalui instrumen kebijakan dan perencanaan di sektor penggunaan lahan. Kesiapan Aceh dalam pelaksanaan REDD+ berarti merupakan kesiapan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Upaya untuk menumbuhkan kesiapan ini dipastikan akan membutuhkan waktu cukup panjang.
BAB IV
57
4.2.3. Pelaksanaan Tindakan Awal Tindakan awal terutama diarahkan pada upaya penurunan emisi dari sektor penggunanaan lahan, hutan dan lahan gambut di Aceh yang ditetapkan berdasarkan angka REL dan potensi besaran kontribusinya terhadap pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% dan atau 41% dari BAU. Beberapa bentuk kegiatan awal yang diperlukan adalah sebagai berikut: 1. Pendirian lembaga REDD+; 2. Persiapan instrument dan mekanisme pendanaan; 3. Persiapan pembentukan lembaga MRV (monitorable, reportableand, verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan terverifikasi) REDD+ yang independen dan terpercaya;
4.3. Pelaksanaan REDD+ 4.3.1. Pengarusutamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan agar mempunyai dampak yang kongkrit bagi pencegahan pemanasan global dan keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Strategi Rencana Aksi dimaksud telah dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti: masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan, namun lebih jauh dari itu, pelibatan para pemangku kepentingan secara inklusif perlu terus dipertahankan dalam setiap tahapan siklus pembangunan. Prinsip umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pengarustamaan tersebut adalah: 1. Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh merupakan bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran daerah dan karenanya harus bersinergi dan terinternalisasi dengan dokumen perencanaan yang ada. 2. Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Stranas REDD+. 3. Perencanaan dengan pendekatan demokratis, teknokratis, politis, partisipatif top-down, dan bottom-up. 4. Penanganan masalah dengan pendekatan holistik dan pendekatan sistem lokal.
58
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh merupakan dokumen panduan dari rangkaian kegiatan strategis dan terintegrasi bagi sektor terkait dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2025. Hal ini diupayakan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh. Proses pembentukan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh dilakukan setelah RPJMA 2012-2017 tersusun, sehingga menimbulkan kesenjangan pengaturan substansi terkait pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam RPJMN 2010-2014. Lebih jauh lagi, karena pada saat ini sistem perencanaan dan penganggaran telah menerapkan Medium Term Expenditure Framework (MTEF), maka konsekuensinya adalah resource envelope yang telah ditetapkan dalam kerangka RPJMA mengikat selama periode perencanaan. Hal ini tentunya mempengaruhi pengalokasian dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPA yang nomenklatur dan pagunya mengacu kepada RPJMA. Pengintegrasian Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh ke dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran akan dilakukan melalui kegiatan utama: 1. Penyusunan Analisa Kesenjangan (Gap Analysis) antara Rencana Aksi REDD+ dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2. Penyusunan Analisa Kesenjangan antara Rencana Aksi REDD+ 3. dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 4. Pengintegrasian Stranas REDD+ kedalam RPJMN 2015- 2019 5. Penetapan Abatement Cost sebagai bahan dalam Pengalokasian Pendanaan RPJMN 2015-2019.
4.3.2. Penerapan REDD+ Secara Penuh Pelaksanaan Rencana Aksi REDD+ perlu disertai dengan pemberian insentif bagi kabupaten/kota yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan khususnya menurunkan emisi dalam bentuk fasilitasi dalam menjalankan program. Selain itu, keterbatasan sumber daya yang dimiliki Aceh dalam penerapan REDD+ mengharuskan pemberian fasilitasi penerapan REDD+ dipilih berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan kabupaten/kota dengan kemungkinan tingkat keberhasilan tertinggi. Untuk itu perlu ditetapkan kriteria kesiapan (readiness) yang kemudian menjadi dasar pemilihan kabupaten/kota yang difasilitasi. Penentuan kabupaten/kota perlu memperhatikan studi kelayakan yang dilaksanakan oleh setiap kabupaten/ kota.
BAB IV
59
Dengan demikian, kegiatan utama dalam menentukan kabupaten/kota penerapan REDD+ adalah: 1. Pembuatan kriteria dan indikator yang akan digunakan untuk menilai kesiapan kabupaten/kota untuk mengimplementasikan REDD+ (readiness) 2. Penyusunan mekanisme untuk memfasilitasi pemerintah daerah kabupaten/ kota dalam melaksanakan REDD+ ditingkat kabupaten/kota Strategi dan rencana aksi pelaksanaa REDD+ Aceh dikelompokkan ke dalam 3 fase yakni: (1) fase pra persiapan, (2) fase persiapan dan (3) fase implementasi. Pada setiap fase tersebut diuraikan tentang strategi, rencana aksi, indikator kinerja, waktu pelaksanaan, lokasi dan instansi pelaksana yang secara rinci disajikan pada Tabel 4.2. Strategi pada fase pra persiapan adalah penyusunan strategi dan rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh. Strategi pada fase persiapan adalah pembentukan Badan/ Lembaga REDD+ Aceh dan pembentukan Lembaga Pendanaan REDD+ Aceh serta turunan dari Driver DD di sektor LULUCF. Strategi pada fase implementasi antara lain : pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lahan, pengelolaan lanskap yang berkelanjutan, penguatan tata kelola kehutanan dan pemanfaatan lahan, pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap kelestarian lingkungan.
60
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
BAB IV
61
Rencana Aksi
Pembentukan Lembaga Pendanaan REDD+ Aceh Peningkatan kepatuhan terhadap tata ruang
Terbentuknya lembaga pendanaan Meningkatnya kepatuhan terhadap tata ruang
Tersedianya Qanun Pembentukan Badan/Lembaga REDD+ Aceh
Terintegrasinya dokumen SRAP Aceh
Tersedianya dokumen SRAP Aceh
Indikator Kinerja
Penegakan hukum Tersusunnya RDTR terhadap pelanggaran tata ruang Berkurangnya alih Penyusunan rencana detail fungsi lahan tata ruang (RDTR)
Membentuk lembaga pendanaan REDD+ Aceh Sosialisasi rencana tata ruang wilayah (Provinsi dan kab/kot)
Membentuk lembaga REDD+ Aceh dan Menyusun detail struktur dan tupoksi
Penyusunan Strategi & Rencana Menyusun SRAP Aceh Aksi Provinsi REDD+ Aceh dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait. Mengintegrasikan dokumen SRAP Aceh kedalam RPJM tingkat provinsi dan kabupaten/ kota FASE PERSIAPAN Pembentukan Badan/Lembaga Merevisi tupoksi Surat REDD+ Aceh Keputusan Gubernur Nomor 050/717/2012 Tentang Pembentukan Tim Task Force REDD+ Aceh.
FASE PRA PERSIAPAN
Strategi
√
1
√
Tata Waktu Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun)
√ √
√
√
Pendek (1 tahun)
1
1
1
Pilar Strategi REDD+ Aceh
Tabel 4.2. Strategi dan Rencana Aksi Pelaksanaan REDD+ Aceh
Banda Aceh
Banda Aceh
Banda Aceh
Banda Aceh
Lokasi
Biro Organisasi, B a p p e d a , Bapedal,Dinas Kehutanan, Biro Hukum, DPRA Lembaga REDD+ Aceh Dinas Cipta Karya, Lembaga REDD+ Aceh, Bappeda, Inspektorat, Lembaga Penegak Hukum
B a p p e d a , Bapedal,Dinas Kehutanan, Biro Hukum, DPRA
Bappeda, Bapedal, Dinas Kehutanan, Akademisi, NGO’s
Instansi
62
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Rencana Aksi
Pengembangan skema insentif dan disinsentif pengelolaan sumber daya alam
Peningkatan Kapasitas Institusi Pengelola Hutan
Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam perencaan pembangunan yang berbasis lahan dan hutan Tersusunnya qanun insentif dan disinsentif
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang berbasis lahan dan hutan
Menyusun qanun insentif dan disinsentif
Berfungsinya lembaga pengelolaan hutan di tingkat tapak (UPTD KPH)
Tersusunnya SOP penyelesaian konflik tenurial Tersusunnya qanun pertanahan Aceh Terbentuknya badan pertanahan Aceh Tersusunnya one map (satu peta acuan) Aceh Terindentifikasinya hak penguasaan lahan oleh masyarakat adat Meningkatnya kapasitas SDM pengelola hutan
Indikator Kinerja
Operasionalisasi lembaga pengelolaan hutan di tingkat tapak (UPTD KPH)
Meningkatkan kapasitas SDM pengelola hutan
Percepatan penyelesaian konflik Menyusun SOP tenurial penyelesaian konflik tenurial Menyusun qanun pertanahan Aceh Membentuk badan pertanahan Aceh Menyusun one map (satu peta acuan) Aceh Identifikasi dan validasi Hak pengguasaan lahan oleh masyarakat adat
Strategi
2
1&2
2
Pilar Strategi REDD+ Aceh
√
√
Pendek (1 tahun) √
√
√
Banda Aceh
Banda Aceh
Tata Waktu Lokasi Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun) √ Banda Aceh
Dishut, Bappeda, Bapedal, DPRA, Biro Hukum, Kabupaten/ Kota
Dishut, Bappeda, UPT Kemenhut, Bapedal,
Biro Hukum, Bappeda, Dishut, Disbun, Distamben, DKP, Biro Administrasi Pembangunan, BPN, Biro Tata Pemerintahan, Distan
Instansi
BAB IV
63
Terlaksananya sosialisasi mekanisme pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem
Sosialisasi mekanisme pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem
FASE IMPLEMENTASI
Menyusun skema pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem
Terlaksananya sosialisasi UU PA dalam pengelolaan sumberdaya alam Tersusunnya skema pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem
Sosialisasi UU PA dalam pengelolaan sumberdaya alam
Membangun mekanisme pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem
Tersusunnya regulasi pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan
Menyusun aturan pelaksana pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan UU PA
Indikator Kinerja Tersedianya dokumen perencanaan pembangunan yang pro-lingkungan Terwujudnya regulasi pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan secara terpadu
Rencana Aksi
Mengintegrasikan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan dalam dokumen rencana pembangunan wilayah Harmonisasi aturan perundang- Sinkronisasi, regulasi undangan pengelolaan sumber pengelolaan sumberdaya daya alam (pusat/prov/kab-kota) alam berkelanjutan
Internalisasi konsep pembangunan berwawasan lingkungan dalam dokumen rencana pembangunan wilayah
Strategi 3
Pilar Strategi REDD+ Aceh
√
√
Pendek (1 tahun) √
√
√
Tata Waktu Lokasi Instansi Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun) √ √ P r o v / K a b - Bappeda Provinsi dan Kota Bappeda Kab/kota
64
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan
Pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lahan
Strategi
Menurunnya luas lahan yang terdegradasi dan terdeforestasi
Rehabilitasi lahan-lahan kritis, terdegradasi dan terdeforestasi
Meningkatnya luas hutan Pengembangan hasil hutan kemasyarakatan bukan kayu (HHBK) Meningkatnya HHBK Pengembangan tanaman Multi Purpose Tree Species dan MPTS (MPTS) Tersedianya data dan Peningkatan kegiatan tekhnologi dalam penelitian dan pengembangan konservasi pengembangan konservasi sumberdaya alam sumberdaya alam Pembangunan Ruang Tersedianya RTH minimal 30 % masingTerbuka Hijau di Kabupaten/Kota (Minimal masing kab/kota 30% dari luas wilayah) Meningkatnya Pengawasan terhadap pemanfaatan Tata Ruang pengawasan terhadap peman-faatan ruang
Pengembangan hutan kemasyarakatan
Menurunnya luas lahan kritis
Indikator Kinerja
Melaksanakan konservasi hutan dan lahan
Rencana Aksi
3
3
Pilar Strategi REDD+ Aceh Pendek (1 tahun)
√
√
Kab/Kota
Bappeda, Bapedal, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Bina Marga dan Cipta Karya
Tata Waktu Lokasi Instansi Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun) √ √ Provinsi Aceh Bappeda, Bapedal, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Perguruan Tinggi
BAB IV
65
Pemanfaatan lahan terlantar untuk sektor pertanian Pengendalian sistem ladang berpindah Peningkatan kapasitas masyarakat sekitar hutan Intensifikasi pertanian
Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan
Peningkatan pemahaman Sosialisasi dan penyuluhan masyarakat terhadap kelestarian penyelamatan hutan lingkungan Pelibatan media dalam sosialisasi
Pengendalian illegal logging dan illegal mining Pengendalian perambahan kawasan hutan Peningkatan kapasitas kelembagaan dan pengelola hutan Mendukung keberlanjutan kebijakan moratorium logging Insentif dan disinsentif pengelolaan hutan Pembatasan pemberian izin pembangunan di areal kawasan lindung
Rencana Aksi
Penguatan tata kelola kehutanan dan pemanfaatan lahan
Strategi Menurunnya kegiatan illegal logging dan illegal mining. Meningkatnya kapasistas kelembagaan dan pengelola hutan Terlaksananya regulasi insentif dan disinsentif pengelolaan hutan. Menurunnya pembangunan di areal kawasan lindung Meningkatnya pemanfaatan lahan terlantar Menurunnya system perladangan berpindah Meningkatnya upaya intensifikasi yang mengedepankan teknologi. Meningkatkan pemahaman masya-kat tentang pentingnya kelestarian lingkungan.
Indikator Kinerja
4
5
4
Pilar Strategi REDD+ Aceh
√
√
Pendek (1 tahun) √
√
√
Kab/Kota
Kab/Kota
Tata Waktu Lokasi Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun) √ Kab/Kota
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota
Bappeda, Bapedal, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, P e m e r i n t a h Kabupaten
Bappeda, Bapedal, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan, DPRA, Biro Hukum
Instansi
66
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
Meningkatnya pemanfaatan dana untuk kesejahteraan masyarakat. Terlaksananya kegiatan UKL dan UPL sesuai Amdal. Tersedianya pergub atau qanun tentang pembagian manfaat jasa lingkungan. Tersedianya data jenis satwa liar yang dilindungi Terlaksananya sosialisasi tentang regulasi perlindungan satwa liar yang dilindungi
Pengawalan terhadap dana Benefit Sharing (pembagian manfaat) Pengawalan terhadap implementasi UKL dan UPL dokumen AMDAL
Mengembangkan sosial pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan
Perlindungan satwa liar yang dilindungi
Pemetaan jenis satwa liar yang dilindungi Sosialisasi regulasi perlindungan satwa liar
Mengusahakan pembagian Penyusunan pergub atau manfaat (benefit sharing) secara qanun yang mendukung adil pembagian manfaat
Meningkatnya peran masyarakat adat dan pemerintah kab/kota dalam pengelolaan hutan.
Indikator Kinerja
Pelibatan peran serta masyarakat adat dalam pengelolaan hutan Peningkatan peran Pemerintah Kabupaten/ Kota dan stakeholder lainnya
Rencana Aksi
Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sosial swasta, organisasi non pemerintah, masyarakat adat/sosial dan internasional)
Strategi
4
5
5
5
Pilar Strategi REDD+ Aceh
√
√
√
Pendek (1 tahun) √
√
√
√
√
Provinsi Aceh Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota serta UPT Kehutanan
Provinsi Aceh Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota serta DPRA
Provinsi Aceh Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota
Tata Waktu Lokasi Instansi Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun) √ Provinsi Aceh Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota
BAB IV
67
Meningkatnya pemanfaatan material kayu dari hutan kemasyarakatan Menurunnya tingkat pelanggaran hukum terhadap pemanfaatan sumberdaya alam Meningkatnya peran masyarakat dalam pengamanan hutan dan pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif
Mengembangkan kayu yang berasal dari hutan kemasyarakatan
Meningkatkan peran masyarakat dalam pengamanan hutan dan pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif
Peningkatan penegakan hukum Meningkatkan kapasitas penegak hukum
Berkurangnya pemanfaatan material kayu sebagai bahan bangunan
Penggunaan material non-kayu sebagai bahan bangunan
Menurunkan ketergantungan terhadap kayu alam
Memperoleh rekomendasi pola yang tepat dalam penyediaan alternatif mata pencaharian Meningkatnya kapasitas penerima manfaat
Indikator Kinerja
Mengevaluasi pola bantuan langsung yang telah berjalan Meningkatkan kapasitas penerima manfaat Pembinaan dan pendampingan Insentif finansial kelompok masyarakat yang mempraktekkan rehabilitasi hutan
Rencana Aksi
Penyediaan alternative mata pencaharian yang berkesinambungan pasca konflik
Strategi
5
3
5
Pilar Strategi REDD+ Aceh
√
√
Pendek (1 tahun) √
√
√
Tata Waktu Lokasi Menengah Panjang (5 tahun) (20 tahun) √ √ Banda Aceh BPM, Disbun, Distan, Dishut, DKP, Dinsos, Disnakermobduk, Akademisi
Instansi
68
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
BAB V PENUTUP REDD+ merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim. Sebagai pendekatan baru yang terkait dengan pengelolaan hutan pada khususnya dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan pada umumnya, pendekatan ini memerlukan pemahamandan penerapanyang tepat. Pendekatan yang diawali dari suatu komitmen global untuk pengurangan emisi sudah selayaknya memperoleh perhatian khusus bagi Pemerintah Aceh dengan tetap mengedepankan kepentingan dan manfaat secara optimal. Pendekatan ini harus dianggap sebagai pendekatan yang komplementer dengan pendekatan yang sudah dijalankan selama ini dengan prinsip dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan kebijakan maupun strategi yang sudah ada. Sebagai bagian dari komitmen Aceh untuk memberikan kontribusi suka rela dalam pengurangan emisi global, Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh disusun dengan dasar penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sembari meningkatkan serapan (sink) karbon dan mempertahankan simpanan (stock) yang berada dihutan. Strategi didasarkan atas kajian masalah dan sumber masalah sehingga menampilkan strategi prioritas beserta program yang harus dilakasanakan selama kurun waktu sampai dengan tahun 2020. Pendekatan dengan penyempurnaan dan pembentukan kondisi mungkin dilanjutkan dengan penyempurnaan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan sektor diharapkan akan memberikan daya efektifitas tinggi. Penerapan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh hanya akan efektif bila mana masuk dalam sistem perencanaan baik di tingkat Pemerintah Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu pengarus utamaan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.
BAB V
69
70
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH