STRATEGI DAN RENCANA IMPLEMENTASI MRV REDD+ (DRAFT)
1
Daftar Isi
DAFTAR ISI
2
BAB I RASIONALISASI
6
1.1. 1.1.1. 1.1.2. 1.1.3. 1.1.4.
Latar Belakang Perubahan Iklim dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Berbasis Lahan Komitmen Indonesia Perlunya Sistem MRV Kondisi di Indonesia
6 6 7 7 9
1.2.
Tujuan Penyusunan Dokumen
10
1.3.
Ruang Lingkup
11
BAB II SISTEM MRV
12
2.1. 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.1.6
Definisi Pengukuran (Measurement/M) Pelaporan (Reporting/R) Verifikasi (Verification/V) Emisi GRK Penghidupan masyarakat dan jasa lingkungan: Co-benefit Pemicu (drivers) emisi GRK dan aktivitas penurunan emisi GRK dan kondisi pemungkin (enabling conditions)
12 12 12 13 14 15
2.2.
Visi, Misi dan Tujuan
16
2.3.
Cakupan dan arsitektur sistem MRV Penurunan Emisi GRK Indonesia
17
BAB III LEMBAGA MRV
15
25
3.1
Sistem Kelembagaan MRV
25
3.2 3.2.1. 3.2.2. 3.2.3.
Kerangka Lembaga MRV Tujuan Lembaga MRV Mandat Lembaga MRV Tata Kelola Lembaga MRV
26 26 28 29
3.3
Prinsip-prinsip Lembaga MRV Indonesia
31
2
BAB IV ROADMAP MRV
33
4.1 4.1.1. 4.1.2. 4.1.3.
Penyiapan faktor pemungkin terkait dengan kelembagaan, infrastruktur dan data Penyiapan Lembaga MRV Standardisasi, Pemutakhiran dan Data Exchange Peningkatan kemampuan (capacity building)
33 33 40 40
4.2 4.2.1. 4.2.2. 4.2.3. 4.2.4. 4.2.5. 4.2.6.
Penyiapan dan Implementasi MRV MRV dengan pendekatan Proxy Deforestasi National Level Land based Emission Monitoring (NALEM) National Level Peat Monitoring (NAPEM) Implementation Area/high priority area level Land based emission monitoring (ILEM) Implementation Area/High Priority Area Level Peat Emission Monitoring (IPEM) Sistem Informasi Jasa Lingkungan dan Drivers
41 41 41 42 43 44 45
REFERENSI
46
LAMPIRAN I ACUAN TEKNIS
47
Overview IPCC
47
Review Guideline IPCC 2006
47
VCS (Verified Carbon Standard)
51
Review Verified Carbon Standard (VCS)
52
Sistem Monitoring Emisi dari Lahan Gambut
53
Standar data dan informasi geospasial
54
Tantangan dalam mengadopsi IPCC dan/atau VCS ke dalam sistem MRV Nasional
55
Status dan Tantangan Teknis Non Teknis
56 56 57
LAMPIRAN II INISIATIF MRV DAN PEMBELAJARAN
60
Inisiatif Elemen-Elemen MRV Nasional Inisiatif Terkait dengan Pemantauan Sumber Daya Lahan Inisatif Terkait dengan Inventarisasi Hutan (Stok Karbon) Terestris Inisiatif Terkait dengan Inventarisasi Lahan Gambut
60 60 63 67
3
Rekomendasi Sistem MRV Nasional 69 DNPI: Rekomendasi Langkah Tindak - Pengembangan Measurable, Reportable and Verifiable (MRV) (April, 2010) 69 UN-REDD : REDD+ Indonesia Information, Monitoring & Measurement, Reporting and Verification (MRV): United Nations Recommendation (Juni, 2011) 70 Pembelajaran dari Elemen Sistem MRV Internasional Brazil Australia India Norwegia United States
71 71 72 73 75 75
Pembelajaran untuk Indonesia
77
LAMPIRAN III SPESIFIKASI TEKNIS
79
Pemantauan Deforestasi (MODEF) Cakupan Justifikasi Usulan Pendekatan
79 79 79 79
Monitoring Emisi Berbasis Lahan Nasional (NALEM) Cakupan Justifikasi Usulan pendekatan
81 81 82 82
Monitoring emisi dari Lahan Gambut Nasional (NAPEM) Cakupan Justifikasi Usulan pendekatan
84 84 84 85
Monitoring Emisi Berbasis Lahan Sub Nasional/Area Implementasi (ILEM) Cakupan Justifikasi Usulan pendekatan
85 85 85 86
Monitoring Emisi dari Lahan Gambut Sub Nasional/Implementasi Area (IPEM) Cakupan Justifikasi Usulan pendekatan
89 89 89 89
Sistem Informasi Jasa Lingkungan dan Driver Deforestasi dan Degradasi Hutan Cakupan Justifikasi
91 91 91
4
Informasi mengenai safeguard
92
5
Bab I RASIONALISASI
1.1.
Latar Belakang
1.1.1.
Perubahan Iklim dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Berbasis Lahan
Perubahan iklim yang disebabkan oleh kenaikan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer merupakan suatu fenomena yang tidak terbantahkan. Dampak dari fenomena ini telah dirasakan secara luas baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Di Indonesia, dampak ini telah terjadi antara lain dalam bentuk pergeseran musim dan peningkatan intensitas curah hujan maupun tingkat kekeringan, serta peningkatan risiko terjadinya bencana alam yang terkait dengan cuaca ekstrim. Pada akhirnya, dampak ini tidak hanya akan mengancam aktivitas ekonomi tetapi juga timbulnya korban jiwa. Urgensi dari pengurangan emisi untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer telah mendorong berbagai pemikiran dan upaya mitigasi perubahan iklim yang diwadahi dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Selain upaya mitigasi, dalam UNFCCC juga ditekankan perlunya upaya adaptasi perubahan iklim untuk meminimalkan dampak dari perubahan iklim. Emisi GRK dari sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (land use, land-use change and forestry, LULUCF) berkontribusi secara signifikan yaitu sekitar 17% terhadap total emisi GRK secara global. Khusus untuk negara berkembang yang kaya akan tutupan hutan, sektor LULUCF merupakan sumber emisi GRK yang paling dominan. Di Indonesia lebih dari 60% total emisi GRK bersumber dari sektor LULUCF (Indonesia Second National Communication 2010), terutama karena kondisi unik Indonesia yang mempunyai lahan gambut tropis terbesar di dunia (11% dari area terestris). Lahan gambut, karena cadangan karbon di bawah tanah yang sangat besar, berpotensi sangat tinggi melepaskan GRK apabila dikeringkan dan dibakar. Terdapat kekhawatiran beberapa pihak bahwa upaya mitigasi perubahan iklim akan melibatkan biaya yang signifikan dan berpengaruh buruk terhadap kondisi perekonomian. Namun, hasil kajian-kajian internasional (Stern 2007) maupun nasional (DNPI 2010) dan sub-nasional (ICRAF 2007) menunjukkan bahwa upaya menurunkan emisi GRK dari sektor LULUCF secara signifikan dapat dilakukan dengan efektif dalam hal biaya dan sekaligus memberikan manfaat dalam hal menghindari terjadinya risiko bencana besar (catastrophic) yang dapat menimbulkan kerugian signifikan terhadap kondisi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang, secara lokal maupun global. Selain itu upaya-upaya untuk mendukung mitigasi perubahan iklim berkesempatan untuk menangkap peluang besar pasar baru yang diciptakan oleh transisi dunia menuju perekonomian rendah karbon (low carbon economy).
6
1.1.2.
Komitmen Indonesia
Dalam rangka mengatasi masalah perubahan iklim global, REDD+ dipandang sebagai suatu mekanisme kebijakan internasional yang berpotensi besar untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, yang telah diakui dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties, COP) ke-15 dari UNFCCC. Di Indonesia, REDD+ telah diidentifikasi dan dicanangkan sebagai program nasional yang akan diimplementasikan pada skala sub-nasional. Selain REDD+, aktivitas pengurangan emisi dari LULUCF juga diprogramkan dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK) yang diatur oleh Perpres 61/2001, yang selanjutnya akan dijabarkan menjadi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Berdasarkan RAN-GRK, penurunan emisi GRK dari sektor LULUCF ditargetkan sekitar 80% dari target total penurunan emisi atau sekitar 23% dari total emisi Indonesia pada tahun 2020. Sinergi dan koordinasi antara REDD+ dan RAN-GRK pada tataran nasional serta lokal perlu dibentuk sejak tahap perencanaan. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan tambahan dukungan internasional pada tahun 2020, yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia pada pertemuan G20 di Pittsburgh, September 2009. Berbagai inisiatif telah diambil pada tingkal lokal dan nasional dalam kaitannya dengan pewujudan komitmen tersebut. Khususnya terkait dengan REDD+, kegiatan penyiapan dan pembuatan proyek percontohan telah banyak dilakukan sejak terselanggaranya COP 13, dimana Indonesia menjadi tuan rumah dari peluncuran Bali Road Map yang menandai tonggak awal penting dalam menuju kesepakatan internasional tentang REDD+. Diantara berbagai kegiatan pada tataran institusi terkait dengan REDD+, kemitraan bilateral pertama ditandatangani pada bulan Mei 2010 dalam bentuk Surat Niat (Letter of Intent, LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia. LoI ini menyangkut kemitraan dalam hal penurunan emisi GRK yang berasal dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan serta dari lahan gambut. Untuk memperkuat kerjasama tersebut, telah dibentuk Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) yang bertugas untuk melaksanakan kegiatan persiapan untuk implementasi Surat Niat tersebut melalui Keputusan Presiden no 19 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden no 25 Tahun 2011. 1.1.3.
Perlunya Sistem MRV
Salah satu dari kegiatan persiapan utama yang perlu dilakukan untuk implementasi REDD+ adalah mengembangkan suatu strategi untuk membentuk kerangka awal dari suatu kelembagaan independen untuk melakukan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (Measurement, Reporting and Verification/ MRV) terhadap kinerja REDD+ dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan untuk pengembangan MRV dalam cakupan yang lebih luas, termasuk semua Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) pada sektor Land Use Land-Use Change and
7
Forestry (LULUCF) seperti yang sudah termaktub di dalam Peraturan Presiden no 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Secara global, sistem MRV merupakan persyaratan mendasar dan utama dari pelaksanaan program REDD+ yang berazaskan insentif yang dinilai berdasarkan kinerja (pay for performance). Sistem MRV yang bertanggung jawab untuk mengukur, memantau dan melaporkan tingkat emisi dari waktu ke waktu secara sahih, akurat, menyeluruh, transparan, dan terbuka untuk diverifikasi akan memungkinkan penilaian kinerja dari REDD+ secara kuantitatif.
International Registry
National Registry
Lembaga Verifier Nasional
Lembaga Verifier Internasional
Lembaga MRV REL/RL Lembaga Pelaksana Program Penurunan Emisi LULUCF Lembaga REDD+ Nasional dan subNasional Bappenas, Bappeda Carbon Market
Lembaga Koordinasi Program Penurunan Emisi Berbasiskan Lahan Daerah
Lembaga Pelaksana Kegiatan Penurunan EmisiLULUCF Proponent Swasta, masyarakat, KPH Pemda
Instrumen Pendanaan
Aliran data/informasi flow Aliran dana Gambar I – 1. Sistem MRV dalam konteks kelembagaan Program Penurunan Emisi GRK secara keseluruhan
8
Perbedaan antara emisi GRK yang terukur oleh sistem MR dengan Tingkat Referensi Emisi/Tingkat Referensi (Reference Emissions Level/Reference Level, REL/RL) yang disepakati oleh para pihak di tingkat sub-nasional maupun nasional adalah ‘additionality’ atau reduced emission yang merupakan kinerja dari kegiatan yang dilakukan. Apabila kinerja dari suatu kegiatan telah dibuktikan melalui sistem verifikasi yang disetujui bersama sejak awal oleh para pihak, maka kegiatan tersebut memenuhi persyaratan (eligible) untuk menerima insentif yang telah disepakati sebelumnya dalam REDD+. Kinerja yang diukur oleh sistem MRV ini merupakan input utama bagi instrumen pembiayaan dalam keseluruhan siklus kelembagaan REDD+ dan merupakan bahan utama untuk mendapatkan pengakuan (attribution) dan distribusi insentif. Sistem MRV hendaknya merupakan satu payung tunggal dan menjadi landasan bagi estimasi emisi GRK hasil kinerja REDD+ di Indonesia. Sistem ini haruslah merupakan sistem yang: (i) salience (sesuai antara yang diperlukan dan yang dilakukan/dihasilkan baik dalam hal akurasi hasil pada level yang berbeda-beda dan layak dalam hal proses-waktu-sumberdaya (proses-timing-resource feasibility), (ii) kredibel (mengacu pada metode yang baik dan benar, diterima secara ilmiah berdasarkan teknologi terbaik yang ada dengan biaya paling rendah untuk menjawab apa yang diperlukan, dengan jaminan Kualitas/Kontrol Kualitas (Quality Assurance/Quality Control ) dan (iii) legitimate (dilakukan oleh lembaga yang memang diberi legitimasi oleh pihak yang berwenang memberi untuk melakukan kegiatan MRV serta mempertanggungjawabkan hasil dan proses verifikasi dari pihak-pihak berwenang). Gambar I-1 memberikan hubungan skematik dari lembaga terkait dan aliran dana serta data/informasi. Dalam pertemuan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) pada bulan Juni 2011 telah kembali dikonfirmasikan bahwa MRV untuk REDD dan MRV untuk NAMA harus saling konsisten satu sama lain. Konsensus internasional ini selayaknya diacu dalam merancang sistem MRV di Indonesia. Dalam hal ini, panduan oleh Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) untuk LULUCF yang ada saat ini sebagai bagian dari penghitungan GRK nasional, selayaknya tetap dipakai sebagai acuan pelaporan internasional. Dengan demikian, meskipun sebuah negara bisa melakukan penghitungan dengan tingkat ketelitian lebih dari standar minimum yang ditetapkan, keterkaitan antara metodologi penghitungan yang dipakai dengan standar yang sudah disepakati bersama harus bisa ditunjukkan. 1.1.4.
Kondisi di Indonesia
Dalam membangun sistem MRV untuk kinerja REDD+ di Indonesia, status, situasi dan kondisi Indonesia secara nasional dan sub-nasional perlu dipahami secara mendalam agar sistem yang dibangun tepat guna dan tepat sasaran. Hal ini penting diingat agar sistem MRV yang dibangun akan tetap relevan dalam menjawab kebutuhan nasional dan internasional dalam mengurangi emisi GRK. Untuk mewujudkan hal itu, terdapat tiga aspek penting yang perlu dianalisis: 1. Situasi dan kondisi yang berhubungan dengan kinerja yang akan diukur, dipantau dan dilaporkan, yaitu hal-hal yang menyangkut aspek biofisik seperti topografi, iklim, jenis tanah
9
(termasuk di dalamnya lahan gambut yang merupakan lahan gambut tropis terluas di dunia), keragaman hayati, aspek tutupan lahan dan penggunaan lahan, pemicu perubahannya dan trennya, serta aspek institusi dan kebijakan penggunaan lahan (70% dari area terestrial Indonesia berada pada kawasan hutan) dan pemicu perubahannya (dominasi akuisisi lahan berskala besar, penggunaan lahan masyarakat dengan skala kecil yang berbasis pada pepohonan/agroforestry) pada tingkat nasional dan keragaman antar tingkat sub-nasional. 2. Status dan kondisi yang berhubungan dengan sistem yang akan mengukur, memantau dan melaporkan, yaitu yang menyangkut aspek data dan informasi yang telah terkumpul, teknologi dan standarisasi yang ada, kapasitas teknis yang tersebar di berbagai lembaga, serta berbagai aspek kelembagaan maupun alur data dan alur kerja antar lembaga pemerintah 3. Status dan kondisi yang menempatkan aksi pengurangan emisi dari sektor LULUCF di Indonesia pada konteks lokal, nasional dan global. Pada konteks lokal, keterkaitan antara beberapa aktivitas pembangunan dan penurunan emisi dengan berbagai skema pendanaan harus dipahami. Pada skala nasional, keterkaitan antara daerah dan wilayah di Indonesia harus dimengerti dan disintesa dengan baik; demikian pula keterkaitan dengan sektor lain di luar LULUCF. Pada skala global, kerjasama bilateral, multilateral maupun voluntary carbon market serta kerterkaitannya dengan kepentingan nasional harus senantiasa dicermati. Pada akhirnya sistem MRV harus bisa memfasilitasi agar kinerja nasional dan sub-nasional yang terukur bisa diterima pada konteks yang lebih luas dan diakui oleh masyarakat internasional.
1.2.
Tujuan Penyusunan Dokumen
Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Implementasi MRV REDD+ ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mendukung pencapaian komitmen Presiden Indonesia dari sisi kontribusi sektor LULUCF untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 berdasarkan proyeksi emisi dengan skenario BAU (Business As Usual); 2. Menindaklanjuti Keppres No 19 Tahun 2010 dan Keppres No 25 Tahun 2011 yang mengamanatkan agar Satuan Tugas REDD+ menyusun Sistem MRV. 3. Memberikan panduan bagi pengembangan sistem MRV untuk kinerja REDD+ di Indonesia sehingga sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan kondisi khusus di Indonesia serta memenuhi standar internasional yang disepakati bersama; 4. Membangun landasan kerja bagi implementasi sistem MRV yang efisien, efektif dan berkelanjutan di Indonesia yang mengindahkan Perpres no 71 Tahun 2011, dengan menggarisbawahi bahwa sistem MRV untuk kinerja REDD+ tetap mempertimbangkan kemungkinan untuk pengembangan MRV dalam cakupan yang lebih luas dan mempunyai
10
tujuan yang lebih spesifik dalam mengkaitkan hasil penurunan emisi dengan pelaku pengurangan emisi. 5. Mendukung amanat Strategi Nasional (Stranas) REDD+, selain itu dalam peran yang sama, sistem MRV juga mendukung RAN-GRK dari sektor berbasis lahan, serta usaha penurunan emisi GRK dari sektor yang sama yang didukung oleh sumber pendanaan lain.
1.3.
Ruang Lingkup
Dokumen ini disusun berdasarkan hasil analisis dan sintesis dari apa yang sudah dicapai dan apa yang bisa dilakukan dengan mengacu pada panduan mengenai pelaporan emisi gas rumah kaca yang sudah ada dan/sedang dikomunikasikan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak (standar IPCC maupun standar-standar lainnya). Sistem MRV ini wajib dibangun karena merupakan prasyarat untuk menunjukkan pencapaian komitmen yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional, mendapatkan manfaat dari mekanisme kerjasama internasional REDD+ serta mekanisme pendanaan lain untuk menurunkan emisi GRK dari sektor berbasis lahan. Sistem ini mengkoordinasi kegiatan monitoring, pelaporan dan verifikasi, yang dilakukan di Indonesia dengan memperhatikan karakter-karakter khusus Indonesia dan sekaligus memenuhi prinsip-prinsip maupun standar internasional. Cakupan dari dokumen ini meliputi rasionalisasi, sistem MRV, lembaga MRV dan peta jalan (roadmap) tentang bagaimana sistem pengukuran/pemantauan, pelaporan dan verifikasi dari cakupan sistem MRV bisa ditindak-lanjuti menuju operasionalisasi MRV. Sistem MRV REDD+ mencakup : (i) emisi GRK dari sektor LULUCF, (ii) pembangunan (pertumbuhan ekonomi dan pemerataan), keanekaragaman hayati (kehati) dan jasa lingkungan lain, (iii) kondisi pemungkin: regulasi dan penegakan hukum, perubahan paradigma dan budaya kerja, pelibatan para pihak, dan (iv) aktivitas yang dilakukan untuk menurunkan emisi dan menghindari leakage, serta interaksi drivers. Pada dokumen ini, baru cakupan (i) yang dibahas secara mendetail sedangkan untuk cakupan yang lain dibahas secara paralel dan secara detail akan dibahas pada dokumen terpisah. Untuk cakupan (i) sistem MRV disusun dan dirinci dalam 3 jalur dengan menggunakan pendekatan bertahap. Dokumen ini bersifat terbuka untuk umum, namun dikhususkan pada berbagai pihak yang akan terlibat langsung dalam kegiatan penurunan emisi. Pada intinya dokumen ini berguna bagi: (i) pengambil keputusan sebagai pedoman dalam memantau perkembangan sistem MRV, (ii) pihak teknis yang akan terlibat langsung dalam kegiatan penghitungan emisi GRK maupun jasa lingkungan lain, ataupun (iii) pihak pelaku kegiatan penurunan emisi.
11
Bab II SISTEM MRV
2.1.
Definisi
MRV REDD+ merupakan suatu kegiatan untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi pencapaian penurunan emisi GRK dari aktivitas REDD+ secara berkala, sahih, akurat, menyeluruh, konsisten dan transparan. 2.1.1
Pengukuran (Measurement/M)
Pengukuran dilakukan secara periodik terhadap emisi GRK yang berasal dari perubahan stok karbon dan/atau emisi GRK yang merupakan hasil kegiatan REDD+ yang mencakup (1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) konservasi; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon. Selain itu, emisi yang berasal dari lahan gambut (terutama yang terkait dengan proses deforestasi dan degradasi hutan) merupakan salah satu keunikan sumber emisi yang juga perlu dilaporkan karena jumlahnya yang besar. Dalam IPCC Good Practice Guidance, kegiatan pengukuran mengkombinasikan informasi data aktifitas/activity data (jenis tutupan lahan, luasannya dan luas perubahannya yang dimonitor menggunakan citra satelit) dan faktor emisi atau serapan (emission factor/stok karbon dan perubahan stok karbon yang diketahui melalui pengukuran terestris pada plot-plot inventarisasi hutan). Mekanisme pengukuran akan dilakukan oleh pengembang kegiatan untuk periode waktu tertentu. Setiap tahapan proses dikontrol dengan menggunakan protokol/standar Quality Assurance/Quality Control (QA/QC) untk menjamin konsistensi dan akuntabilitas data dan metode. Dalam sistem MRV, secara mutlak diperlukan penghitungan tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang berasal dari inventarisasi petak, dari pemetaan dan dari kombinasi, perluasan cakupan (upscaling) dan interpolasi yang dilakukan untuk mendapatkan estimasi emisi GRK pada skala nasional dan sub-nasional. 2.1.2
Pelaporan (Reporting/R)
Pelaporan mengenai emisi GRK hasil kinerja REDD+ akan mencakup: (i) (ii)
Pelaporan kepada Kementerian Lingkungan Hidup sebagai koordinator komunikasi nasional (NatCom) kepada UNFCCC. Sebagai laporan yang harus diberikan kepada Lembaga REDD+ untuk diteruskan kepada Lembaga Pendanaan agar bisa dilakukan pendistribusian insentif sebagaimana disepakati dalam persetujuan antara pelaksana REDD+ (proponent) dengan Lembaga REDD+.
12
(iii) Sebagai laporan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam kaitannya dengan RAD-GRK. (iv) Sebagai pelaporan entitas pelaksana REDD+ (proponent) (v) Sebagai laporan kepada lembaga yang berfungsi melakukan pencatatan (registry) nasional (vi) Sebagai pelaporan kepada publik mengenai deforestasi dengan tetap menerima masukan-masukan (review 3600/multisource feedback) (vii) Sebagai bahan masukan kepada unit pengendali pembangunan mengenai status pengelolaan kawasan yang terkait dengan penggunaaan lahan, penutupan lahan dan perubahannnya (LULCC) Pelaporan minimal harus mengikuti prinsip-prinsip UNFCCC 2009 (UNFCCC/SBSTA technical paper on costs of monitoring for REDD yang dipublikasikan pada bulan Juni 2009, (http://unfccc.int/resource/docs/2009/tp/01.pdf) yang meliputi: 1. Consistency: Pendekatan pengukuran yang sistematik dan konsisten diperlukan; 2. Transparency: Informasi tersedia dengan mudah, terbuka dan mudah diakses untuk keperluan kaji ulang (review and check and re-check) dan verifikasi. Untuk menjamin kredibilitas, Lembaga MRV harus terbuka terhadap tuntutan publik dan proses verifikasi dari lembaga independen. 3. Comparability: Metodologi yang bersifat umum dan panduan harus dapat dipakai untuk menghasilkan hasil-hasil yang dapat dibandingkan. Metodologi yang diadopsi harus bisa diulang dengan hasil yang mirip (replicable) (GOFC-GOLD Source book) 4. Completeness: Data, sumber data, metode sampling dan pengumpulan data, analisa, asumsi, bersifat menuju kelengkapan sesuai Tier. 5. Accuracy: Tingkat akurasi dan ketidakpastian (uncertainty) dari data harus diketahui dan dinyatakan. Ketelitian data merupakan unsur penting yang terkait dengan efektivitas penurunan emisi. Aspek kualitas dari pengambilan, pengumpulan dan analisis data perlu dilakukan sedemikian rupa agar kesalahan dugaan (error estimates)-nya dapat dihitung dan ke depan bisa diperbaiki. Aspek QC (berkaitan dengan proses internal dalam penghitungan) dan QA (berkaitan dengan penilaian dari pihak luar mengenai kualitas dari informasi yang dilaporkan) dalam perhitungan GRK mengacu kepada IPCC 2006 Guidelines for National Greenhouse Inventories. 2.1.3
Verifikasi (Verification/V)
Verifikasi merupakan serangkaian proses kaji ulang (review) yang dilakukan secara independen (terutama untuk memeriksa akurasi dan kualitas informasi) terhadap laporan National Communication yang disampaikan yang akan dilakukan oleh Sekretariat UNFCCC. Sedangkan untuk program bilateral maupun multilateral melalui investasi dana publik untuk REDD+, proses dan
13
persyaratan untuk verifikasi belum ditetapkan. Apabila mengacu kepada CDM A/R (Clean Develoment Mechanism for Afforestation and Reforestation) dan skema VCS (Verified Carbon Standard), hanya verifikator (verifier) yang mempunyai sertifikasi internasional yang berwenang melakukan verifikasi. Maksud dari proses verifikasi untuk National Communication adalah “to assess whether the information is well-documented, based on IPCC methodologies, and transparent and consistent with the UNFCCC guidelines” (Meridian Institute 2009). Sekretariat UNFCCC melalui panel-ahlinya akan melakukan verifikasi tehadap metode dan data yang dilaporkan di dalam Inventarisasi Nasional GRK. Dalam kaitannya dengan kerjasama reduksi emisi multilateral REDD+, metodologi yang spesifik tidak ditetapkan akan tetapi dokumentasi metodologi harus dilakukan dengan sangat baik. 2.1.4
Emisi GRK
Emisi GRK dihitung sebagai perkalian dua variabel, yaitu data aktifitas (activity data) dan faktor emisi (emission factor). Data aktifitas adalah cakupan terjadinya aktifitas manusia, sedangkan faktor emisi adalah koefisien yang mengkuantifikasikan emisi atau serapan GRK per satuan aktifitas. Dalam REDD+, contoh data aktifitas adalah luasan deforestasi (perubahan kategori) dengan satuan hektar, sedangkan contoh faktor emisi adalah banyaknya emisi GRK per hektar akibat deforestasi. Penghitungan emisi GRK dilakukan dengan mengkalikan data aktifitas dan faktor emisi sebagai berikut: a) Pemantauan activity data (perubahan tutupan lahan) menggunakan berbagai citra satelit; dan b) Pemantauan besaran emisi atau serapan GRK yang terjadi pada 5 (lima) macam sumber karbon (carbon pool) yang akan menjadi kajian sesuai tingkat keakuratan (Tier) (lihat Tabel 1) dengan melakukan monitoring di lapangan (Forest Inventory): biomassa atas tanah (aboveground biomass), nekromas (dead wood), akar (belowground biomass), serasah (litter), dan karbon tanah (soil carbon). Menurut prosesnya, faktor emisi dibedakan menjadi dua: faktor emisi dari komponen biomassa dan faktor emisi dari dekomposisi soil carbon pada lahan (mineral maupun gambut).
14
Gambar II – 1. Pendekatan IPCC untuk menghitung emisi GRK antropogenik dengan emisi dan serapan pada simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDDProgramme 2011)
2.1.5
Penghidupan masyarakat dan jasa lingkungan: Co-benefit
Selain diperuntukkan bagi pelaporan kegiatan yang berkaitan dengan kerjasama internasional dalam penurunan emisi GRK, sistem MRV yang dibangun tidak sekedar memonitor perubahan tutupan lahan dan emisi GRK, namun juga akan memonitor penghidupan masyarakat yang terkena dampak usaha penurunan emisi GRK dan juga jasa lingkungan selain mitigasi perubahan iklim, khususnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Sesuai dengan yang termaktub di dalam Dokumen Stranas REDD+, kerangka pengaman (safeguards) merupakan sebuah kriteria dan indikator yang tercakup di dalam kebijakan nasional untuk memastikan bahwa pelaksanaan REDD+ tidak menyimpang dari tujuan awalnya, terutama adanya risiko-risiko yang terkait dengan lingkungan hidup. Selain itu sistem informasi pada tingkat lapangan yang bersifat non-biomass dan non-carbon ini juga akan dibangun untuk mengawal agar mekanisme REDD+ mampu memberikan penghargaan (reward) yang lebih besar untuk dapat diterima oleh masyarakat setempat yang kinerja reduksi emisinya berjalan baik. 2.1.6
Pemicu (drivers) emisi GRK dan aktivitas penurunan emisi GRK dan kondisi pemungkin (enabling conditions)
Keefektifan usaha untuk mengatasi pemicu (driver) dari deforestasi dan degradasi hutan akan sangat tergantung dari kehandalan dari informasi yang terkait dengan pemicu itu sendiri dan pemahaman terhadap isu yang relevan. Beberapa pemicu yang umum terkait dengan
15
pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan isu tata kelola, sedangkan faktor lain dapat bersifat unik dan khusus lokasi. Untuk itu, sistem informasi yang terkait dengan usaha untuk mengidentifikasi pemicu deforestasi dan degradasi hutan dan bagaimana cara untuk mengatasinya perlu dibangun. Berdasarkan hasil identifikasi melalui analisis tulang ikan (fishbone) yang dinyatakan dalam Draft Stranas REDD+ (2011), diketahui bahwa faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan yaitu: (1) perencanaan tata ruang tidak efektif; (2) masalah tenurial, (3) manajemen hutan yang tidak efektif, dan (4) tata kelola (governance) dan (5) dasar hukum dan penegakannya yang lemah. Adanya sistem MRV yang dapat memastikan data dan informasi tentang REDD+ dapat secara terbuka di akses publik akan sangat diperlukan. Selain berfungsi sebagai alat transaksi untuk mekanisme mitigasi perubahan iklim, sistem MRV juga dapat digunakan sebagai alat bantu intervensi kebijakan sehingga kondisi aktual yang merupakan pra-kondisi bagi kondisi pemungkin (enabling conditions) untuk implementasi REDD+ dan pembangunan berkelanjutan dapat diperbaiki secara bertahap.
2.2.
Visi, Misi dan Tujuan
Visi
dari sistem MRV Indonesia adalah menjadi sistem nasional yang konsisten, transparan, lengkap (complete), akurat, partisipatif dan adaptif sesuai dengan kondisi sosial, bio-eco-region Indonesia, dalam mendukung pengelolaan sumberdaya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan.
Misi
dari sistem MRV Indonesia adalah melakukan pengukuran (measuring) dan pelaporan
(reporting) serta memfasilitasi proses verifikasi yang mampu mendukung implementasi dari strategi nasional REDD+, RAN-GRK maupun skema penurunan emisi GRK lain menuju pencapaian standar internasional dengan mengakomodasi keunikan pola emisi-serapan karbon sesuai keragaman ekosistem dan pola manajemen berbasis lahan yang ada di Indonesia.
Tujuan
sistem MRV Nasional adalah untuk mendukung strategi nasional REDD+, RAN-GRK
maupun sesama penurunan emisi lain yang diselaraskan dengan tantangan heterogenitaskompleksitas perilaku emisi pada tingkat nasional dan sub-nasional serta tuntutan untuk memenuhi persyaratan IPCC dan beyond IPCC (co-benefits dan safeguards), dengan pentahapan tujuan sebagai berikut: 1. Jangka pendek (2011-2013): (1) pada skala nasional membangun kelembagaan dan sistem MRV dengan menggunakan pendekatan dua proksi (proxy), yaitu proxy deteksi dini deforestasi dan proxy deforestasi dan degradasi sebagai instrumen untuk mendukung perbaikan kondisi tata kelola hutan; (2) pada skala sub-nasional adalah membangun
16
monitoring deforestasi-degradasi dan emisi dari lahan gambut menuju persyaratan sekurang-kurangnya Tier 2 IPCC. 2. Jangka menengah (2014 - 2020): pada skala nasional menuju tercapainya tingkat keakuratan Tier 3 IPCC untuk mendukung target-target penurunan emisi nasional sebesar 26% dan atau 41%. 3. Pada jangka panjang (2021-2030): mewujudkan kemampuan mandiri dalam MRV pada tingkat nasional serta sistem informasi yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan Indonesia berkelanjutan dengan mengubah perannya dari net-emitter sector menjadi net-sink sector pada tahun 2030. Untuk kebutuhan akan pengukuran mekanisme safeguards, mengingat hanya berlaku pada daerah/areal yang melakukan aksi penurunan emisi, skala pengukuran bukan ditargetkan untuk wall-to-wall secara nasional. Panduan dan bahasan lebih lanjut/detail untuk mekanisme safeguards akan dideskripsikan pada dokumen terpisah. Dalam kaitan pentahapan kesiapan menuju fase operasional REDD+, kinerja pengembangan MRV di Indonesia akan menyesuaikan pendekatan bertahap (Phased Approach) (Draft Stranas REDD+ 2011). Implementasi ini pada awalnya akan mengacu pada kegiatan berdasarkan hasil (resultbased activity) sebagai dasar dari pemberian insentif (Fase I), diikuti oleh masa transisi pada saat uji coba pemakaian kinerja sebagai basis pemberian insentif (Fase II), dan pada akhirnya menjadi program berbasis kinerja penuh (Fase III), dimana pada saat ini sebuah sistem Pengukuran dan Pemantauan (Measuring and Monitoring), Pelaporan (Reporting) dan Verifikasi (Verification) (MRV) sudah terbangun dan berjalan dengan baik.
2.3.
Cakupan dan arsitektur sistem MRV Penurunan Emisi GRK Indonesia
Sistem MRV yang akan dibangun merupakan referensi bagi pengukuran kinerja seluruh kegiatan REDD+ dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan untuk pengembangan MRV dalam cakupan yang lebih luas, termasuk semua Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) pada sektor Agriculture, Forestry and Land Use (AFOLU) mengikuti (Appendix II of Decision 1/CP.16). Di dalam kerangka REDD+ (FCCC/CP/2010/7/Add.1/C/Par.70), kegiatan yang termasuk didalamnya adalah : (i) Reduksi emisi dari deforestasi; (ii) Reduksi emisi dari degradasi hutan; (iii) Konservasi stok karbon; (iv) Pengelolaan hutan lestari (sustainable management of forests), dan (v) Peningkatan stok karbon. Khususnya untuk Indonesia, karena kondisi spesifiknya dalam luasan lahan gambut tropis dan emisi dari lahan gambut di masa lalu, penurunan emisi dari pengelolaan lahan gambut merupakan bagian kegiatan yang juga absah (eligible) dalam mekanisme kompensasi penurunan emisi REDD+.
17
Sistem MRV mencakup 4 sub-sistem yang disusun berdasarkan tahapan untuk mencapai penurunan emisi GRK (Tabel II – 1). Tujuan bisa dicapai apabila outcome yang diperoleh dari output yang dihasilkan oleh aktivitas bisa didorong sampai menghasilkan dampak terukur (tangible impact). Indikator yang tepat untuk mengukur keberhasilan masing-masing tahapan diidentifikasi dan dituangkan ke dalam empat sub-sistem. Keempat sub-sistem tersebut adalah: 1. 2. 3. 4.
Emisi GRK Jasa lingkungan (jasling) dan pembangunan Kondisi pemungkin (Enabling conditions) Aktivitas penurunan emisi, penghindaran leakage dan interaksi drivers
Lebih lanjut, sub-sistem tersebut dipecah menjadi beberapa komponen; kaitan antar sub-sistem dan komponen dalam sistem MRV dituangkan dalam Gambar II – 2. Dalam Sub-sistem ke-1, informasi yang harus diperoleh adalah dinamika besarnya emisi GRK untuk setiap penggunaan lahan dan perubahan penggunan lahan (faktor emisi dan serapan), serta luas areal masing-masing penggunaan lahan maupun perubahan penggunaan lahan (data aktivitas). Sub-sistem ke-2 mengukur mekanisme safeguards dalam hal penghidupan masyarakat dan jasa lingkungan lain untuk menjamin bahwa usaha penurunan emisi melalui REDD+ tidak menghasilkan dampak negatif terhadap penghidupan masyarakat maupun jasa lingkungan lain. Sebaliknya, dampak positif (co-benefit) juga dapat diukur melalui Sub-sistem ke-2. Untuk aktivitas dan mekanisme REDD+ bisa berjalan, beberapa kondisi pemungkin telah diidentifikasi di dalam Draft Stranas REDD+ (2011) sebagai berikut: (i) adanya regulasi yang mendukung serta penegakan hukum, (ii) perubahan paradigma dan budaya kerja, dan (iii) pelibatan para pihak. Sub-sistem ke-3 dapat dipakai untuk mengukur kelengkapan kondisi pemungkin, dan melaporkan sumbatan-sumbatan yang ada sehingga dapat dicari solusi pemecahannya.
Tujuan
Tabel II – 1. Tahapan dalam pencapai penurunan emisi GRK dari sektor berbasis lahan Kriteria pencapaian
Indikator pencapaian
1.
Emisi GRK turun dan biomasa/cadangan karbon meningkat
-
Kehati dan jasling terpelihara
-
2.
-
3.
Ekonomi tetap tumbuh dan
-
Tingkat dan laju deforestasi dan degradasi turun, tingkat dan laju emisi turun dibandingkan REL Tingkat dan laju penyimpanan (sequestration) meningkat dibandingkan RL Jumlah individu spesies utama meningkat, kualitas dan kuantitas habitat meningkat, fragmentasi berkurang, area konservasi terhubung Fungsi DAS terpelihara, indicator penyangga meningkat Laju pertumbuhan ekonomi baik dalam GDP maupun HDI meningkat
Sub-sistem MRV
1.1, 1.2, 1.3
2.1
2.2, 2.3
18
pemerataan meningkat
Outcome
1.
2. 3. 1.
Activitas & Output
2.
3.
Kerangka hukum, peraturan dan penegakan hukum yang sesuai Perubahan paradigm dan budaya kerja Pelibatan para pihak Kegiatan penurunan emisi GRK terlaksana sesuai rencana yang disepakati Kegiatan pencegahan leakage dan displacement activities berhasil Interaksi drivers akibat pelaksanaan kegiatan tidak mengancam tercapainya tujuan kegiatan
-
Lima capital dalam kerangka Sustainable Livelihoods (physical, financial, human, social and natural) meningkat ~ Indikator sedang dalam pengembangan ~
3.1
~ Indikator sedang dalam pengembangan ~
3.2
~ Indikator sedang dalam pengembangan ~
3.3
4.1
~ Indikator sedang dalam pengembangan ~ dalam menilai output: Pengelolaan landsekap yang berkelanjutan Sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara lestari Konservasi dan rehabilitasi
4.2
4.3
Atribusi aktor, aksi, driver terhadap hasil penurunan emisi GRK hanya bisa dilakukan apabila usaha-usaha penurunan emisi GRK dipantau, dilaporkan dan diverifikasi. Oleh karena itu sistem MRV mencakup kegiatan penurunan emisi sebagai Sub-sistem ke-4. Tabel II – 2 merinci pembagian sub-sistem lebih lanjut menjadi komponen, beserta elemen masukan yang diperlukan, proses yang dilakukan dan keluaran yang diharapkan, beserta indikasi tingkat akurasi yang relevan. Selain diperuntukkan bagi pelaporan kegiatan yang berkaitan dengan kerjasama internasional dalam penurunan emisi GRK, informasi mengenai dinamika tutupan lahan dan emisi GRK ini juga menuntun pada pengertian akan proses yang melatar belakangi (underlying processes) sosialekonomi-politik yang menjadi drivers dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Hal ini berguna sebagai alat diagnosis yang efektif bagi pengembangan kebijakan di berbagai tingkat dan mengawal agar program penurunan emisi GRK secara nasional akan berhasil. Hasil diagnosis ini juga berperan bagi pembangunan (perencanaan-implementasi-evaluasi-perbaikan kebijakan) berbasis lahan secara berkelanjutan. Dengan demikian proses ini bukan merupakan proses monitoring yang bersifat pasif mengenai dinamika tutupan lahan dan bukan hanya berguna untuk hal-hal yang berkaitan dengan usaha penurunan emisi GRK saja.
19
Emisi GRK
Kehati dan Jasling
Pertumbuhan dan pemerataan pembangunan
Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan (LULCC)
Kegiatan penurunan emisi dan pencegahan leakage
Interaksi drivers
Kerangka hukum, peraturan dan penegakan hukum Perubahan paradigm dan budaya kerja Pelibatan parapihak
Gambar II – 2. Sub-sistem dan kaitannya dalam sistem MRV serta tahapan dalam mencapai obyektif program penurunan emisi GRK
20
Tabel II – 2. Masukan dan keluaran dari Sub-sistem dalam sistem MRV Sub-sistem
Komponen
1. Emisi GRK
1.1. Pemantauan deforestasi
2. Jasling dan Pembangunan
3. Enabling conditions 4. Aktivitas dan drivers
1.2. Penghitungan dan pemantauan net emisi GRK wallto-wall seluruh Indonesia 1.3. Penghitungan dan pemantauan net emisi pada area implementasi 2.1. Kehati
Extent dan frekuensi Seluruh Indonesia, bulanan Seluruh Indonesia, dua-tahunan
Elemen masukan
Proses
Keluaran
Citra satelit resolusi rendah, groundtruthing, masukan public
Klasifikasi otomatis, iterasi untuk editing
Peta tutupan hutan dalam GIS format
Citra satelit resolusi sedang, petak sampel, kelas karbon untuk masingmasing tutupan dan penggunaan lahan spesifik terhadap ecoregion Indonesia, termasuk gambut
Klasifikasi otomatis, groundtruthing, inventarisasi plot, pemodelan alometri, upscaling berdasarkan stock-difference, estimasi uncertainty
Peta tutupan dan penggunaan lahan serta perubahannya, database kelas karbon, peta kerapatan karbon, estimasi emisi dan tingkat akurasinya
Sedang
Area Implementasi , tahunan
Citra satelit resolusi tinggi, petak permanen
Data historis mengenai tingkat populasi flagship species, peta tutupan lahan dan perubahan tutupan lahan Identifikasi Jasling yang relevan pada area implementasi dan factor-faktor yang mempengaruhi.
Peta tutupan dan penggunaan lahan, serta perubahannya, peta kerapatan karbon, stock difference dan gain-loss untuk mengestimasi emisi serta tingkat akurasi Perubahan populasi species flagships, perubahan luasan habitat dan kualitas, fragmentasi dan konektivitas PA Perubahan indicator yang relevan dalam merfleksikan Jasling. Contoh: flow persistence dari aliran sungai yang menunjukkan fungsi penyangga DAS Perubahan Indikator kualitatif dan kuantitatif dari waktu ke waktu
Tinggi
Area implementasi, dua-tahunan
Klasifikasi otomatis, groundtruthing secara sistematis, pengukuran berkala petak permanen , serta aktivitas yang mempengaruhi gain and loss Survey biodiversitas, analisa spatial untuk menaksir luas dan kualitas habitat
SDP SDP SDP SDP SDP SDP
SDP SDP SDP SDP SDP SDP
3.2. Jasling lain
Area implementasi, dua-tahunan
3.3. Ekonomi dan penghidupan masyarakat
Area implementasi, dua tahunan
SDP SDP SDP SDP SDP SDP
SDP SDP SDP SDP SDP SDP
Data Indikator ekonomi , HDI di masa lalu serta baseline data tentang 5 kapital (Fisik, Finansial, Human, Social, Natural) SDP SDP SDP SDP SDP SDP
Metode Penaksiran Cepat Jasa Lingkungan seperti RHA (Rapid Hydrological Appraisal) dalam hal air Pengumpulan data sekunder pada level kabupaten dan propinsi serta pengumpulan data primer Rumah Tangga dan Desa SDP SDP SDP SDP SDP SDP
Tingkat akurasi Rendah
Tinggi
Medium
Medium - Tinggi
Ket: SDP = sedang dalam pengembangan
21
Data dan informasi yang dihasilkan oleh sistem MRV terutama dari Sub-sistem ke-1 sangat diperlukan oleh implementer maupun Lembaga REDD+ dan pemerintah, dalam kaitannya dengan RAN- dan RAD-GRK, ataupun lembaga lain yang berfungsi sebagai sumber pendanaan dalam menetapkan Reference Emission Level yang disetujui bersama. Reference Emission Level adalah proyeksi emisi di masa yang akan datang apabila tidak ada intervensi apapun (skenario Business as Usual/BAU). Skenario BAU inilah yang perlu dinegosiasikan oleh para pihak dalam batasan regulasi yang diberikan oleh pemerintah nantinya. Berbagai opsi penetapan skenario BAU adalah: (i) proyeksi linear dari LUCC di masa lalu, (ii) pemodelan drivers LUCC di masa lalu, (iii) forward looking scenario (berdasarkan rencana penggunaan lahan yang ada sekarang). Masing-masing opsi dalam pelaksanaannya akan memerlukan data dan informasi dari sistem MRV Sub-sistem ke-1 dan data lain yang mendukung, untuk kemudian di-submit kepada sistem MRV untuk disertakan dalam siklus penghitungan berikutnya. Data dari Sub-sistem ke-2 akan diperlukan untuk menentukan Reference Level bagi penghidupan masyarakat dan jasa lingkungan lain yang disepakati sebagai bagian dari mekanisme safeguard. Perlu digarisbawahi bahwa penetapan REL maupun RL bukan merupakan bagian maupun tanggung-jawab dari sistem MRV, melainkan, memperoleh input dari sistem MRV dan memberikan input kepada sistem MRV. Khususnya untuk Sub-sistem ke-1, Emisi GRK, diidentifikasi 3 komponen yang ditujukan untuk meliput 3 track yang berbeda, yaitu: 1.1. Monitoring Proxy Deforestasi secara nasional akan dilakukan dengan frekuensi tinggi (mendekati real-time) terutama untuk mengidentifikasi area dengan tingkat deforestasi tinggi yang tidak direncanakan dan hendaknya menjadi fokus REDD+; 1.2. Monitoring Level National (wall-to-wall) akan melakukan pemantauan dan pelaporan dinamika deforestasi, degradasi dan perubahan emisi, yang dilakukan secara cepat, otomatis dan setiap 2 tahun, dengan didukung juga oleh data inventarisasi hutan, informasi berbagai peta tematik dan informasi dari publik sebagai cerminan good governance; 1.3. Monitoring Sub-nasional/Level Area Implementasi dengan frekuensi dan resolusi tinggi; dengan tingkat sampel inventarisasi hutan dan tingkat intensitas pengukuran ulang lebih tinggi untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan stok karbon dengan tingkat akurasi lebih tinggi pada tingkat sub-nasional, yaitu pada area yang mengimplementasikan skema penurunan emisi GRK; Karena pada akhirnya kinerja program REDD+ maupun RAN- dan RAD-GRK akan dinilai pada tingkat nasional maka sistem MRV ini harus mencakup keseluruhan areal. Hasil reduksi emisi dari kegiatan implementasi REDD+ atau demonstration activity yang bersifat sub-nasional akan diaglomerasi secara nasional bersama-sama dengan hasil reduksi emisi dari skema pendanaan lain untuk mengukur tingkat keberhasilan program nasional penurunan GRK secara menyeluruh, yang
22
dipilahkan berdasarkan sumber pendanaan untuk atribusinya. Skema hubungan serta aliran dana dan data/informasi antar lembaga-lembaga terkait telah disajikan melalui Gambar I – 1. Gambar II – 3 menunjukkan hubungan antar komponen di dalam sub-sistem 1, Emisi GRK, serta kaitannya dengan Sub-sistem 2 dan 4.
Level Nasional Sub-sistem 1.1: Pemantauan Deforestasi (MODEF)
Sub-sistem 2 dan 4: Jasling, Drivers DD
Sub-sistem 1.2: Emisi - Lahan Kering (NALEM) - Lahan gambut (NAPEM)
Sub-sistem 1.3: Emisi - Lahan kering (ILEM) - Lahan gambut (IPEM)
Alur informasi utama Alur informasi untuk cross-cheking/nesting
Level Sub-Nasional
Gambar II – 3. Komponen dalam Sub-sistem 1, Emisi GRK, dan kaitannya dengan Subsistem 2 dan 4
Tabel II – 3 menyampaikan relevansi masing-masing komponen dalam sub-sistem terhadap 4 sumber pendanaan yang berbeda. Dalam kaitannya dengan RAN GRK, hampir semua komponen sangat relevan, kecuali emisi GRK pada area implementasi yang menuntut tingkat ketelitian tinggi. Dengan makin telitinya metodologi pengukuran emisi yang dipersyaratkan oleh sumber pendanaan Private Investment dan Trade Financing, makin tinggi relevansi komponen 1.3, sedangkan komponen lain mempunyai relevansi rendah. REDD+ dan sumber pendanaan multilateral lain masih mengutamakan safeguards serta tata kelola yang baik, meskipun seharusnya lebih rendah relevansinya dibandingkan kepentingan nasional yang didanai oleh APBN/D.
23
Tabel II – 3. Sumber Pendanaan dalam kaitannya dengan Sub-sistem MRV Sumber Pendanaan Public Funding: - Unilateral - Multilateral Private Investment Trade Financing
Emisi GRK 1.1
1.2
1.3
√√√ √√√ √√ √√
√ √√ √√√ √√√
Jasling, Pembangunan 2.1 2.2 2.3
Enabling Condition 3.1 3.2 3.3
Aktifitas dan Driver 4.1 4.2 4.3
√√√ √√√ √√√ √√√ √√√ √√√ √√√ √√√ √√√ √√ √√ √√ √√ √√ √√ √√ √√ √√ √ √ √ √√ √√ √√ √
√
24
Bab III LEMBAGA MRV
3.1
Sistem Kelembagaan MRV
Salah satu kunci utama dalam kerjasama pengurangan tingkat emisi GRK adalah tersedianya lembaga yang memiliki kredibilitas tinggi dimata dunia internasional yang mampu mengkoordinasikan kegiatan yang berkenaan dengan MRV. Kelembagaan MRV perlu dibangun secara simultan karena modal kompetensi MRV saat ini sesungguhnya sudah tersedia namun masih tersebar pada berbagai instansi pemerintahan, lembaga penelitian, universitas dan Ornop dengan hambatan utama bagaimana meningkatkan kualitas, kapasitas, transparansi, akses publik terhadap data/informasi dan mengintegrasikan modal kompetensi MRV tersebut untuk memenuhi harapan yang ada. Oleh karena itu diperlukan payung hukum kelembagaan MRV yang dapat menjembatani berbagai modal kompetensi yang sudah berjalan untuk dapat diintegrasikan ke dalam suatu sistem. Payung hukum tersebut juga diupayakan untuk dapat mendorong proses keterbukaan informasi, transparansi dan peningkatan akses publik terhadap data dan informasi yang selama ini menjadi hambatan komunikasi dan koordinasi antar sektor. Sistem kelembagaan MRV perlu dirancang dengan mengutamakan azas-azas: (1) tata kelola yang baik (good governance), (2) professional, dengan memastikan bahwa kegiatan MRV dilakukan oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya, (3) efisiensi biaya untuk mencapai tujuan (cost effectiveness), dan (4) akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh urusan terkait MRV di Indonesia. Secara khusus, di samping keempat azas umum di atas, seluruh komponen dalam sistem kelembagaan MRV Indonesia akan dikembangkan dengan memastikan terpenuhinya prinsipprinsip berikut: 1. Menghormati kedaulatan negara, hak konstitusional kelembagaan dan hak otonomi daerah yang dijamin dalam hukum perundang-undangan yang berlaku; 2. Menentukan koridor kewenangan, aksi dan komunikasi secara jelas bagi setiap lembaga yang dibangun untuk dapat menjalankan fungsinya secara efektif tanpa mengambil alih atau mengecilkan fungsi lembaga lain; 3. Melibatkan semua pihak yang relevan dalam pengambilan keputusan terkait rancangbangun kelembagaan. Dalam lingkup operasional, luas cakupan dan keunikan Indonesia memiliki konsekuensi bahwa sistem MRV nasional akan memobilisasi sumberdaya yang besar terkait aliran data dan informasi, finansial, personil dan lembaga di berbagai tingkatan pemerintahan. Beberapa protokol harus dibangun dalam sistem kelembagaan MRV untuk dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut yang minimal mencakup:
25
1. Protokol dalam melakukan proses pengumpulan data dan informasi kaitannya dengan emisi dan safeguards. 2. Protokol dalam mengintegrasikan data dan informasi yang kemudian dianalisis untuk dilaporkan. 3. Protokol dalam mengevaluasi kualitas data dan informasi yang dibutuhkan. 4. Protokol dalam menata kelola hubungan antar institusi pusat (K/L) yang memiliki tupoksi yang cukup dalam mendukung sistem MRV. 5. Protokol dalam menata kelola hubungan antar level pelaksanaan MRV (nasional, subnasional/area implementasi). 6. Protokol dalam menata kelola partisipasi publik yang bersifat multistakeholder dalam mendukung sistem MRV. 7. Protokol dalam membakukan hasil penelitian dan pengembangan yang relevan dengan MRV ke level implementasi. 8. Protokol dalam mendukung tata laksana kegiatan verifikasi dari pihak ketiga.
3.2
Kerangka Lembaga MRV
Dokumen Strategi Nasional REDD+ menyatakan bahwa monitoring, pelaporan dan verifikasi (MRV) atas pengurangan emisi GRK merupakan proses penting dalam kegiatan REDD+. Melalui proses ini efektivitas upaya dan efisiensi biaya pengurangan emisi akan terukur secara kuantitatif, dan pembagian manfaat akan terlaksana secara adil. Oleh karena itu sistem MRV harus dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang independen, namun berkoordinasi dengan Lembaga REDD+ sebagai governing council dari keseluruhan inisiatif REDD+ di Indonesia. Independen dapat diartikan sebagai mekanisme (proses) yang independen terutama yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Independen bukan diartikan dari bentuk lembaga sehingga Lembaga MRV yang independen dapat merupakan lembaga baru ataupun lembaga yang diikatkan dalam lembaga yang sudah ada. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas output/kinerja yang akan dilakukan oleh lembaga Dana Kemitraan REDD+. Karakteristik Lembaga MRV yang akan dibentuk dapat diilustrasikan pada Gambar III – 1. 3.2.1.
Tujuan Lembaga MRV
Lembaga MRV Indonesia berfungsi sebagai clearing house yang mengumpulkan data dan informasi emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, mengelompokkan, dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu Lembaga MRV akan memiliki sistem pencatatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang teratur, yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh lembaga independen. Sistem pencatatan ini bersifat transparan dan mudah diakses oleh publik. Matriks dari tugas lembaga MRV dapat dilihat di Tabel III – 1.
26
Tabel III – 1. Matriks Lembaga MRV Pengukuran (Measurement/M)
Pelaporan (Reporting/R)
Verifikasi (Verification/V)
Elemen
• • • •
Fungsi
• Penyempurnaan data dan informasi dengan memanfaatkan sumber informasi lain yang tersedia. • Mengelola data spasial dan non-spasial yang dapat diakses oleh public • Memberdayakan sistem perhitungan karbon Indonesia. • Merumuskan standar nasional yang sesuai dengan protokol internasional dan cara terbaik (best practise)
• Melaksanakan mekanisme pelaporan sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional yang relevan • Memberikan informasi kepada lembaga pengelola dana terkait hasil MRV untuk proses pembayarannya.
• Mengembangkan mekanisme koordinasi, harmonisasi, dan validasi perhitungan • Menentukan tingkat rujukan dengan berbagai pendekatan.
Karakteristik
• Consistency, Transparency, Comparability, Completeness, Accuracy • Berbasis ilmiah, credible method • Memiliki power of access terhadap data, dan membangun data apabila diperlukan • Memiliki untuk penjaminan kualitas data (quality assurance) seperti Badan POM • Memiliki kapabilitas teknis dalam manajemen, analisis data dan pelaporan
• Reference (rujukan) • Hasilnya final (tidak dapat diganggu gugat)
• Tidak ada conflict of interest (harus independen terhadap proposal develover) • Independen
Output
• Sistem Monitoring Deforestasi, • Sistem Monitoring Emisi Level Nasional (wall to wall), • Sistem Monitoring Emisi Sub-Nasional/Level Area Implementasi, • Sistem Informasi Safeguard • Informasi tentang status emisi GRK • Reference Emission Level (REL/RL)
• Verified Emission Reduction (VER)
• Standard Operating Procedure (SOP) • Laporan hasil verifikasi
Penurunan laju deforestasi; Penurunan laju degradasi hutan; Peningkatan konservasi; Peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon.
27
Gambar III – 1. Karakteristik Lembaga MRV
3.2.2.
Mandat Lembaga MRV
Secara nasional Lembaga MRV memiliki beberapa mandat, yaitu untuk: 1. Menyusun kebijakan, standar dan berbagai mekanisme terkait kegiatan MRV untuk disahkan oleh Lembaga REDD+. Termasuk dalam hal ini mekanisme koordinasi, harmonisasi, dan validasi perhitungan karbon dengan teknologi yang tersedia pada berbagai tingkatan; 2. Mengkoordinasikan kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi pengurangan emisi GRK. 3. Menjalankan fungsi registry dan clearing house dan mengelola serta mengolah data spasial dan non-spasial terkait sehingga dapat diakses oleh para pemangku kepentingan; 4. Mengembangkan mekanisme pelaporan kepada lembaga-lembaga nasional dan internasional yang relevan serta para pelaku pasar; 5. Mengintegrasikan pengukuran kerangka pengaman untuk menilai kinerja pengamanan sosial dan lingkungan; 6. Memberikan informasi hasil verifikasi penurunan emisi dari suatu tapak atau kegiatan/proyek/program REDD+ kepada lembaga pengelola dana terkait untuk proses pembayaran kinerja; 7. Membangun kapasitas pengukuran dan pelaporan (M+R) di jajaran pelaksana program/proyek/kegiatan REDD+ (untuk kebutuhan kendali mutu internal [internal quality control] upaya penurunan emisi); 8. Membangun kapasitas koordinasi penyelenggaraan MRV di Lembaga REDD+ Daerah.
28
3.2.3.
Tata Kelola Lembaga MRV
Lembaga MRV di tingkat nasional berkoordinasi dengan Lembaga REDD+ di tingkat sub-nasional untuk membangun sistem MRV di tingkat regional yang merupakan pencerminan dari lembaga MRV nasional. Langkah ini diperlukan untuk mempersiapkan prosedur agregasi data dan informasi dalam sistem MRV dengan pendekatan berjenjang. Lembaga MRV sub-nasional dapat dibentuk di tingkat implementasi REDD+ untuk melakukan pengukuran yang lebih detail dan kemudian hasilnya dilaporkan ke Lembaga MRV Nasional (Gambar III – 2). Selanjutnya Lembaga MRV di kedua tingkat tersebut akan membangun Interim RL (Reference Level) untuk tingkat regional, dengan memanfaatkan berbagai inisiatif baik yang dilaksanakan oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah sendiri. Rujukan sub-nasional dapat dihitung dengan pendekatan yang sama namun disesuaikan dengan dinamika LULUCF dan kondisi ekosistem wilayah tersebut.
Gambar III – 2. Tata Kelola Lembaga MRV Pembagian tugas dan wewenang Lembaga MRV dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Tingkat Nasional Lembaga MRV Nasional akan bertugas untuk: a.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam menata kelola hubungan antar institusi pusat (K/L) yang memiliki tupoksi yang cukup dalam mendukung sistem MRV
29
b.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam menata kelola hubungan antar level pelaksanaan MRV (nasional dan sub-nasional/area implementasi)
c.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam melakukan proses pengumpulan data dan informasi kaitannya dengan emisi dan non-emisi. Secara khusus Lembaga MRV Nasional akan mengkoordinasikan mekanisme sub-sistem MODEF, NALEM, NAPEM dan Jasling & Driver dan mengkompilasikan informasi yang didapat dari mekanisme sub-sistem ILEM/IPEM
d.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam mengintegrasikan data dan informasi yang kemudian dianalisis untuk dilaporkan
e.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam mengevaluasi kualitas data dan informasi yang dibutuhkan
f.
Melaksanakan protokol dalam menata kelola partisipasi publik yang bersifat multistakeholder dalam mendukung sistem MRV
g.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam membakukan hasil penelitian dan pengembangan yang relevan dengan MRV ke level implementasi
h.
Melaksanakan protokol dalam mendukung tata laksana kegiatan verifikasi dari pihak ketiga
2. Tingkat Sub Nasional/Area Implementasi Lembaga MRV Sub Nasional/Area Implementasi akan bertugas untuk: a.
Melaksanakan protokol dalam menata kelola hubungan antar level pelaksanaan MRV (nasional dan sub nasional/area implementasi)
b.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam melakukan proses pengumpulan data dan informasi kaitannya dengan emisi dan non-emisi di wilayahnya. Secara khusus Lembaga MRV Sub Nasional/Area Implementasi akan melaksanakan mekanisme sub-sistem ILEM/IPEM dan Jasling & driver di wilayahnya dengan merujuk pada hasil mekanisme sub-sistem MODEF dan NALEM/NAPEM
c.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam mengintegrasikan data dan informasi di wilayahnya yang kemudian dianalisis untuk dilaporkan ke lembaga MRV nasional
d.
Melaksanakan protokol dalam menata kelola partisipasi publik yang bersifat multistakeholder dalam mendukung sistem MRV di wilayahnya
30
3.3
e.
Merancang, melaksanakan dan mengevaluasi protokol dalam mengevaluasi kualitas data dan informasi yang dibutuhkan
f.
Melaksanakan protokol dalam membakukan hasil penelitian dan pengembangan yang relevan dengan dengan MRV ke level implementasi
Prinsip-prinsip Lembaga MRV Indonesia
Prinsip-prinsip utama yang perlu diterapkan dalam membangun dan mengelola sistem MRV untuk REDD+ di Indonesia tetap mengacu pada prinsip-prinsip IPCC. Akan tetapi mengingat keunikan Indonesia maka prinsip-prinsip lain yang perlu dijadikan pegangan adalah: 1. Tepat sasaran: harus dipertimbangkan kondisi dan situasi Indonesia yang unik dalam hal: (i) faktor biofisik (bio-ecoregion, tutupan awan), (ii) penyebab dari perubahan penggunaan/tutupan lahan(socio-cultural, konsesi skala besar, agraris (demand-on-land), agroforest, forest fire), (iii) keragaman dan akses (negara kepulauan), (iv) tata kelola (governance ) perubahan penggunaan/tutupan lahan, (v) areal lahan gambut terusik yang luas, dan (vi) fungsi hutan produksi yang dikelola dengan selective-logging dengan kemampuan untuk mengembalikan stok biomassanya secara alami/pengelolaan. 2. Tepat waktu dan pelaku: perencanaan phased approach dalam mengembangkan sistem dalam jangka relatif pendek untuk bisa beroperasi secara optimal dan lestari serta adaptable dalam jangka panjang, yaitu dengan: (i) rancangan database yang fleksibel dan modular, (ii) pembuatan standarisasi, (iii) peningkatan kapasitas teknis nasional dan sub-nasional (termasuk mekanisme alternatif transisional untuk membantu technology transfer, dan (iv) merangkul lembaga-lembaga yang ada dan mengatur alur kerja dan alur data antar lembaga yang terlibat. 3. Tepat skala: sistem yang multi-level yang bersinkronisasi dengan phased approach dan tahapan persiapan untuk menjawab berbagai kebutuhan dalam implementasi REDD+ dan pelaporan: (i) pemantauan deforestasi secara cepat pada skala nasional, (ii) National AFOLU emissions pada lahan mineral dan gambut (iii) Implementation area AFOLU emissions pada lahan mineral dan gambut. Perbandingan antar level harus dapat dijamin. 4. Tepat guna: Mampu meng-atribusikan emisi pada kegiatan yang tercakup dalam REDD+ yang telah disepakati oleh berbegai pihak dalam COP16, 2010 (FCCC/CP/2010/7/Add.1/C/Par.70): (i) reducing emissions from deforestation, (ii) reducing emissions from forest degradation, (iii) conservation of forest carbon stocks, (iv) sustainable management of forests, dan (v) enhancement of forest carbon stock. Untuk kasus Indonesia, pengurangan emisi dari lahan gambut merupakan keunikan tersendiri karena memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia. 5. Diterima (Accepted): Proses pengembangan awal yang bisa diterima secara politis, sosial dan budaya Indonesia serta mengacu pada kendala dan kesempatan unik yang ada di Indonesia serta meningkatkan leverage data dan informasi yang sudah ada, inklusif dalam merangkul
31
para pihak dan transparan, sehingga mendukung sistem yang yang sustainable dan kontinyu dan bersifat adaptif mengikuti dinamika yang ada. 6. Kredibel dalam hal: (i) mengukur additionality, leakage, permanence dengan metode yang sahih untuk kelima sumber karbon, sesuai dengan standar internasional, (ii) comprehensive, (iii) cost effective dengan accuracy yang tinggi, (iv) QA/QC, verifikasi – technical acceptance, dan (v) konsisten dengan National Level Reporting to UNFCCC for land-based sector dan antar level. 7. Terlegitimasi (Legitimate) dalam hal: (i) lembaga yang diberi kewenangan (ii) inklusif dalam melibatkan lembaga lain, dan (iii) masyarakat sebagai bagian integral, sehingga menjamin kepemilikan nasional, teradopsi secara politik dan didukung, transparansi dan keberlanjutan.
32
Bab IV ROADMAP MRV
Langkah Strategis MRV Indonesia diarahkan untuk menciptakan kondisi pemungkin (enabling condition) dan kerangka teknis yang handal, yaitu : 1. Peyiapan faktor pemungkin terkait dengan kelembagaan, infrastruktur dan data 2. Penyiapan dan Implementasi MRV yang terbagi menjadi 3 Sub-Sistem: a. Deteksi Dini (MODEF) b. National (NALEM & NAPEM) c. Sub-National Project (ILEM & IPEM) 3. Penyiapan sistem informasi jasa lingkungan dan driver deforestasi dan degradasi hutan Target dan strategi pencapaian road map disajikan pada Tabel IV – 2.
4.1
Penyiapan faktor pemungkin terkait dengan kelembagaan, infrastruktur dan data
4.1.1.
Penyiapan Lembaga MRV
Pendirian lembaga MRV yang independen dan didukung dengan payung hukum yang jelas merupakan langkah pertama yang penting dan diharapkan terjadi pada akhir tahun 2014. Lembaga MRV tidak hanya merupakan lembaga yang pasif sebatas mengukur dan melaporkan, tetapi menjadi lembaga yang proaktif mengkomunikasikan hasil analisis kepada Lembaga REDD+ dan lembaga pemerintah terkait untuk melakukan tindakan perbaikan/intervensi terhadap adanya indikasi kerusakan sumberdaya hutan. Untuk itu diperlukan penataan hubungan kerja antara lembaga MRV Nasional dan Sub Nasional, Lembaga MRV dengan Lembaga REDD + dan Lembaga MRV dengan kementerian dan dinas serta simpul-simpul lembaga MRV. Proses tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian diskusi dan lokakarya sehingga dapat dirumuskan secara partisipatif peran/tupoksi (kewenangan) masing-masing lembaga dan mekanisme koordinasi antar lembaga yang terkait. Kepastian tupoksi dan koordinasi ini perlu dirumuskan untuk memastikan hasil MRV dapat digunakan secara efektif untuk mendukung pengelolaan sumberdaya hutan. Penataan hubungan kelembagaan tersebut juga menjadi pintu masuk untuk standarisasi dan pemutahiran produk peta yang terkait penerapan MRV. Seiring dengan proses pembentukan lembaga MRV perlu disiapkan perangkat keras, SDM yang handal baik di level nasional, dan sub-nasional/area implementasi, serta sistem/mekanisme yang menjamin akuntabilitas pelaporan, partisipasi dan transparansi kepada publik.
33
Terkait dengan proses persiapan lembaga yang masih memerlukan waktu, tetapi proses teknis MRV harus tetap berjalan maka diperlukan suatu lembaga transisi yang akan mengakomodasi fungsi lembaga MRV untuk sementara (maksimal 2 tahun). Lembaga transisi ini juga yang akan menjadi host untuk workshop/diskusi terkait bentuk dan fungsi lembaga MRV. Untuk menjaga aspek independensi maka diusulkan agar lembaga transisi ini tidak diikatkan pada kementerian/lembaga teknis. Terdapat 3 pilihan lembaga yang mungkin dapat menjadi host lembaga berdasarkan tugas pokok dan fungsinya yaitu: DNPI, UKP-PPP dan Bappenas (Tabel IV – 1). Tabel IV – 1. Tupoksi DNPI, UKP-PPP dan Bappenas Aspek
Payung Hukum Pertimbangan
Tugas & Fungsi
Lembaga potensial sebagai host sementara (transisi) Lembaga MRV Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Perpres 46 thn 2008
UKP-PPP
BAPPENAS
Perpres 54 thn 2009
UU 25 thn 2004
Untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim
Agar dapat disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan nasional yang merupakan tanggung jawab presiden dengan dibantu oleh Menteri
Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dam kegiatan pengendalian perubahan iklim; Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan; Merumuskan kebijakan pengaturan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim; Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim
Konsistensi dan sinkronisasi kebijakan perlu dijaga untuk mencapai program prioritas nasional; Pengawasan dan pengendalian pembangunan secara menyeluruh merupakan upaya mengefektifkan pencapaian sasaran kebijakan nasional di semua bidang Membantu Presiden dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan sehingga mencapai sasaran pembangunan nasionaldengan penyelesaian penuh Prioritas pelaksanaan tugas UKP-PPP ditentukan dari waktu ke waktu oleh Presiden meliputi bidang: (a) peningkatan kapasitas dan efektifitas sistem logistik nasional; (b) peningkatan efektifitas dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi dan perbaikan pelayanan umum; (c) perbaikan iklim usaha dan investasi; (d) peningkatan kinerja dan akuntabilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis; bidang lain yang ditentukan Presiden
Melaksanakan dan mengkoordinasikan proses tahapan perencanaan pembangunan nasional yang meliputi Penyusunan rencana Penetapan rencana; Pengendalian pelaksanaan rencana; dan Evaluasi pelaksanaan rencana
Skema pilihan-pilihan Lembaga Transisi MRV dapat dilihat pada Gambar IV – 1, IV – 2 dan IV – 3, yaitu:
34
1. Lembaga Transisi MRV dapat diikatkan pada DNPI, karena DNPI memiliki tupoksi dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 2. Lembaga Transisi MRV dapat diikatkan pada UKP-PPP, karena UKP-PPP adalah alat monitoring Presiden. 3. Lembaga Transisi MRV dapat diikatkan pada Bappenas, karena Bappenas merupakan lembaga yang memiliki fungsi perencanaan dan pengendalian.
Gambar IV – 1. Lembaga Transisi MRV diikatkan pada DNPI
35
Gambar IV – 2. Lembaga Transisi MRV diikatkan pada UKP-PPP
Gambar IV – 3. Lembaga Transisi MRV diikatkan pada Bappenas
36
Tabel IV – 2. Strategi dan Roadmap MRV No 1
Kegiatan
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2
Penyiapan faktor pemungkin (Enabling condition) untuk bidang Kelembagaan, infrastruktur/komponen dasar: Pembentukan Lembaga MRV & payung hukumnya baik di Pusat dan daerah. Penataan hubungan kerja antara Lembaga MRV pusat dan daerah, hubungan lembaga MRV dengan simpul lembaga MRV (Kementrian teknis) serta Lembaga REDD+ Pembangunan system (hardware, software, SDM,peraturan, protokol ) Penyiapan perangkat lunak/keras Training & workshop peningkatan SDM Penyiapan peraturan dan protokol Standardisasi & pemutahiran data peta, faktor emisi yang terkait dengan implementasi MODEF, ILEM, NALEM dan IPEM dan NAPEM) Penentuan default faktor emisi dan gambut
2
Implementasi Monitoring Deforestasi (MODEF) Disain dan pembangunan system (Pemilihan teknik Monitoring, QA/QC, Reporting) Uji coba teknik monitoring (akurasi) Pelaksanaan sistem dan maintenance MRV untuk MODEF
37
No 3
Kegiatan
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2
National Level Land-based Emission Monitoring (NALEM): Disain dan pembangunan system (Monitoring , QA/QC, Reporting) Uji coba teknik Monitoring (akurasi) Pelaksanaan system dan maintenance MRV untuk NALEM Propinsi Kalteng Sumatera, Kalimantan, Papua Total propinsi
4
National Level Peat Emission Monitoring (NAPEM): Konsorsium Nasional Gambut Nasional & membuat kesepakatan emission factor Melakukan kajian riset yg diperlukan Pelaksanaan dan Maintenance NAPEM
5
Implementation Area/High Priority Area Level Land-based Emission Monitoring (ILEM) Disain dan pembangunan system ILEM (Monitoring , QA/QC, Reporting) Pelaksanaan dan maintenance system MRV untuk ILEM Kajian & review implementasi serta hasil riset elemen faktor emisi yang telah ada
6
Implementation area level peat emission monitoring (IPEM) Pelaksanaan dan maintenance Propinsi Kalteng Sumatera, Kalimantan, Papua Total propinsi
7
Penetapan Sistem Informasi Jasa Lingkungan dan Driver Deforestasi dan Degradasi Hutan Pembentukan unit khusus dibawah Lembaga MRV untuk menangani Sistem
38
No
Kegiatan Informasi Jasa Lingkungan dan Driver Propinsi Kalteng Sumatera, Kalimantan, Papua Total propinsi Penyusunan petunjuk teknis & sistem informasi Jasa Lingkungan dan Drivers
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2
39
4.1.2.
Standardisasi, Pemutakhiran dan Data Exchange
Pada level nasional perlu segera dilakukan sinkronisasi peta tematik dengan peta dasar (RBI) Bakosurtanal terkait dengan sistem proyeksi, legenda, dan skala. Hal penting lainnya adalah sinkronisasi pengkelasan tutupan lahan yang dapat diacu secara horizontal (antar sektor) dan hierarchical (antar level MRV) mencakup definisi dan metode untuk mendapatkan data tutupan lahan dari berbagai jenis citra satelit yang dapat di setujui oleh pemangku kepentingan. Langkah penting ini diharapkan selesai pada tahun 2012. Peta-peta tematik tertentu pada level nasional (misal peta gambut, administrasi dan infrastruktur) perlu dimutakhirkan. Khusus peta yang terkait dengan hak pengusahaan (peta kawasan hutan, peta konsesi perkebunan, konsesi hutan alam/IUPHH-HA & tanaman industri/IUPHH-HT) selain perlu pemutahiran, Lembaga MRV bisa menjadi pendorong untuk pelaksanaan di lapangan, agar menjamin kejelasan batas wilayah yang merupakan kondisi pemungkin (enabling condition) pengelolaan hutan secara lestari. Terkait dengan pengelolaan hutan, lembaga MRV perlu mendorong implementasi pengelolaan hutan lestari (SFM) yang juga merupakan salah satu kegiatan yang disetujui dalam skema REDD+. Tahapan ini diharapkan selesai pada tahun 2013. Seiring dengan sinkronisasi dan pemutahiran data spasial, perlu disusun protokol terkait dengan data sharing dan exchange antar dan inter departemen teknis (simpul MRV), sehingga menjamin kelancaran, keamanan, akurasi, akuntabilitas, dan keseragaman format data. Tahapan ini harus selesai pada tahun 2013. 4.1.3.
Peningkatan kemampuan (capacity building)
Peningkatan kemampuan lembaga MRV nasional, sub nasional dan lembaga lain yang terlibat harus segera dilakukan untuk mendukung sistem MRV. Program ini dapat dimulai secara paralel mulai tahun 2012 yang akan difasilitasi oleh Lembaga MRV. Untuk itu beberapa masalah kekurangan kapasitas yang berkaitan dengan aspek teknis, pendanaan dan kelembagaan harus dipecahkan menjelang akhir tahun 2013. Peningkatan kemampuan di bidang teknis pengukuran (measurement) akan mencakup pengadaan sarana MRV, kompilasi dan pemilihan (penyusunan) metode pengukuran yang sesuai untuk keadaan Indonesia seyogyanya mengacu kepada IPCC Guidelines. Kemampuan SDM dalam pemahaman dan teknik pengukuran proxy dapat ditingkatkan melalui on-the-job training pada tingkat nasional dan beberapa provinsi percontohan.
40
4.2
Penyiapan dan Implementasi MRV
4.2.1.
MRV dengan pendekatan Proxy Deforestasi
Proxy deforestasi sebaiknya segera dilaksanakan pada semester pertama tahun 2012 tanpa menunggu terbentuknya lembaga MRV. Untuk keperluan tersebut MRV untuk Proxy Deforestasi dapat dimandatkan kepada lembaga terkait yang sudah ada. Untuk itu perlu langkah identifikasi keberadaan lembaga yang mampu dan bersedia untuk menjalani fungsi tersebut. Mandat kepada lembaga tersebut bersifat sementara hingga lembaga MRV terbentuk. 4.2.2.
National Level Land based Emission Monitoring (NALEM)
Sistem NALEM dimulai pada tahun 2012 untuk propinsi percontohan sebagai ujicoba implementasi nasional. Pembelajaran dari ujicoba implementasi MRV nasional dari propinsi percontohan tersebut akan diperluas pada 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua pada tahun 2013 dan dilanjutkan untuk semua propinsi pada tahun 2014. Metode yang akan digunakan untuk menghitung emisi dan serapan emisi adalah metode stock difference, dimana emisi dihitung sebagai selisih antara karbon stock pada semua tipe penggunaan lahan saat akhir periode dengan stok karbon pada saat awal periode. Pada tingkat Nasional yang akan ditentukan adalah Activity Area. Untuk menghitung emisi, variabel yang diperlukan adalah perubahan luas penggunaan lahan dan emisi per unit luas. Variabel yang diukur pada tingkat nasional adalah dalam konteks REDD+ adalah perubahan luasan. Untuk Provinsi Kalimantan Tengah akan dihitung berapa perubahan luas pada periode 2012 (Jan. 2012 – Des. 2012). Pada tahap berikutnya, perubahan luas ini diukur dalam jangka waktu 1,5 tahun yaitu periode Januari 2013 sampai dengan Juni 2014. Selanjutnya mulai Juli 2014, pengukuran dilakukan dengan interval 2 tahun sekali. Hal ini dilakukan untuk penyeragaman waktu pelaksanaan perhitungan emisi untuk Indonesia. Nilai faktor emisi di tingkat nasional ditentukan berdasarkan himpunan nilai-nilai faktor emisi di tingkat sub-nasional. Untuk pulau-pulau contoh (Sumatera, Kalimantan, Papua), persiapan dilakukan mulai awal 2012 selama 6 bulan. Pengukuran perubahan luas penggunaan lahan dimulai Awal Juli 2012 dengan interval 2 tahun sekali. Kemudian kegiatan untuk seluruh Indonesia, persiapan dimulai awal 2014 selama 6 bulan dan pengukuran dimulai Juli 2014. Dengan demikian Pada Juli 2014, semua pengukuran perubahan luas penggunaan lahan di Indonesia dilakukan pada waktu bersamaan. Untuk tingkat nasional, citra yang digunakan mempunyai resolusi yang lebih rendah dibanding dengan sub nasional dan digunakan untuk memberi gambaran umum dan waktu yang cepat untuk seluruh wilayah Indonesia.
41
4.2.3.
National Level Peat Monitoring (NAPEM)
Untuk mewujudkan NAPEM tahapan strategis yang harus ditempuh adalah sebagai berikut : 1. Membentuk suatu konsorsium nasional untuk mengkoordinasikan kegiatan nasional yang bersifat strategis dalam pengitungan stok dan emisi, pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dan dalam kaitannya dengan kegiatan penurunan emisi GRK. 2. Membuat kesepakatan berdasarkan expert review dari berbagai hasil riset yang sudah ada dan pengembangan metodologi untuk secara khusus mengangkat beberapa hal mengenai penghitungan emisi GRK dari lahan gambut agar sesuai dengan standar IPCC. Selain itu juga melakukan kajian sintesis dan aksi riset yang masih diperlukan untuk melakukan pengukuran di lapangan secara terkoordinasi untuk mengkalibrasi besaran emisi GRK menggunakan proxy value, diantaranya : (i) tinggi muka air, (ii) laju peat-subsidence dan (iii) peat-fire, termasuk didalamnya emisi gas CH4 dan N2O. 3. Membangun peta gambut standar sebagai acuan penghitungan emisi mengembangkan kemampuan deteksi dini perubahan status hidrologi pada kawasan gambut yang memiliki resiko tinggi sebagai hot spot emisi GRK. 4. Mengembangkan sistem evaluasi, audit dan monitoring mandatory terhadap pengelolaan lahan gambut yang sudah mendapat ijin dan diusahakan sebagai kawasan pertanian, perkebunan dan/atau hutan produksi (HTI-HPH) agar senantiasa mampu meminimumkan tingkat emisi GRK sehingga berpotensi berkelanjutan. Pemantauan yang dilakukan terutama status hidrologi dan laju peat-subsidence menggunakan kombinasi pendekatan terestrial dan penginderaan jauh. 5. Membangun sistem penghitungan GRK dan carbon balance berbasis pengukuran terrestris pada beberapa stasiun riset lapangan pada berbagai lahan gambut yang representatif dari tiap eco-region (Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, Papua) dimana monitoring emisi GRK, carbon balance dan proses pengendalinya (controlling-factors) secara kontinyu akan dikoordinasikan secara nasional dengan pendekatan cutting-edge, melibatkan jejaring kerja internasional, nasional dan institusi di daerah masing-masing. Informasi yang dikumpulkan merupakan bahan untuk mengembangkan pemodelan untuk upscaling emisi GRK dan carbon balance dari lahan gambut secara nasional untuk juga menjadi dasar masukan mengenai faktor non-anthropogenic terutama yang berkaitan dengan peningkatan drastis emisi GRK dari lahan gambut pada tahun-tahun El-Nino. 6. Membangun sistem informasi mengenai panduan best practice pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan Langkah konkret yang perlu segera dilakukan adalah sebagai berikut : 42
1. Updating dan endorsement, peta lahan gambut nasional dengan skala 1:250.000 yang memuat luasan, ketebalan, kematangan dan simpanan karbon (carbon stock). Verifikasi peta lahan gambut yang ada perlu dilakukan untuk memperbarui dan memperbaiki informasi mengenai delineasi dan kedalaman gambut pada tingkat nasional. Informasi ini juga akan menjadi bahan evaluasi terhadap status pemanfaatan lahan gambut yang ada 2. Identifikasi sebaran lahan gambut yang terkait dengan aktifitas manusia terutama resiko kerusakan status hidrologi sehingga berpotensi menjadi sumber emisi permanen dilakukan dengan analisis: a) adanya sejarah hot spot mengunakan citra MODIS,NOAA atau lainnya (terutama pada tahun-tahun El Nino), b) ada tidaknya kanalisasi dan penggenangan periodik (inundation) menggunakan citra SAR resolusi menengah. Adanya hot spot, kanalisasi dan kondisi tidak tergenang pada musim hujan mengindikasikan kondisi lahan gambut yang sudah terusik. 3. Berdasarkan perilakunya, activity data lahan gambut akan dibedakan menjadi dua yaitu : a) lahan gambut yang belum terusik status hidrologinya dan b) yang sudah terdrainase secara permanen. Dalam penghitungan emisi GRK, masing-masing activity data ini akan memiliki emission factor yang berbeda, yang pada tingkat nasional akan disepakati berdasarkan banyak kajian emisi yang dilakukan dengan metode terbaik pada lahan gambut di Indonesia untuk melaporkan emisi tahunan. Perkecualian akan dilakukan pada tahun-tahun ekstrim (El Nino dan La Nina) Tahapan di atas harus selesai menjelang tahun 2012. Sejalan dengan itu akan dibentuk suatu tim studi dibawah Konsorsium Gambut Nasional untuk melakukan kompilasi data hasil penelitian dan data survey (updating) lahan gambut untuk penentuan proxy faktor emisi dan penyusunan manual pengukuran proxy carbon stock dan besaran emisi dan estimasi besaran emisi dengan menggunakan proxy tersebut. Proxy ini akan dijadikan acuan untuk pengukuran berkala, terutama pada tingkat sub-nasional. 4.2.4.
Implementation Area/high priority area level Land based emission monitoring (ILEM)
Tahap pertama (tahun 2012) dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Tahap kedua tahun 2013 di areal-areal prioritas (priority area) di Kalimantan, Sumatra dan Papua dengan berkoordinasi dengan plot-plot demonstation area (DA) yang sudah ada. Tahap ketiga (2014) diimplementasikan untuk seluruh Indonesia berdasarkan pembelajaran dari tahap satu dan tahap dua. Pada tahap ketiga ini akan diupayakan agar mekanisme results-based REDD+ sudah dapat diimplementasikan oleh semua pemangku kepentingan yang berminat untuk terlibat dalam REDD+. Metode yang digunakan di tingkat sub nasional untuk menghitung emisi dan serapan emisi dapat dipilih dengan menggunakan metode Gain-Loss atau metode stock difference. Perbedaannya dengan level nasional terletak pada resolusi citra satelit dan penentuan faktor emisi. Pada tingkat sub nasional, resolusi citra yang digunakan lebih tinggi dari nasional. Selain itu, pada tingkat sub 43
nasional ada pengukuran faktor emisi di lapangan sedang pada nasional tidak ada pengukuran lapang. Untuk Provinsi Kalteng akan dihitung berapa emisi pada periode 2012 (Jan. 2012 – Des.2012). Pengukuran dilakukan setahun sekali. Pada tahap berikutnya, emisi diukur dalam jangka waktu 1,5 tahun yaitu periode Januari.2013 sampai dengan Juni 2014. Selanjutnya mulai Juli 2014, pengukuran dilakukan dengan interval 2 tahun sekali. Hal ini dilakukan untuk penyeragaman pelaksanaan perhitungan emisi untuk provinsi lainnya. Untuk Pulau-pulau contoh (Sumatera, Kalimantan, Papua), persiapan dilakukan mulai awal 2012 selama 6 bulan. Pengukuran perubahan luas penggunaan lahan dimulai Awal Juli 2012 dengan interval 1 tahun sekali. Kemudian kegiatan untuk seluruh Indonesia, persiapan dimulai awal 2014 selama 6 bulan dan pengukuran dimulai Juli 2014. Dengan demikian Pada Juli 2014, semua pengukuran emisi dari penggunaan lahan di Indonesia dilakukan pada waktu bersamaan. 4.2.5. Implementation Area/High Priority Area Level Peat Emission Monitoring (IPEM) Pada tingkat implementasi, beberapa tahapan yang akan dilakukan adalah : 1.
Penyusunan peta gambut semi detil (1:50.000) akan dibuat secara paralel untuk provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2012 dan untuk ‘provinsi gambut’ lainnya menjelang akhir tahun 2014. Teknik penyusunan ini akan mengkombinasikan: survey topografi resolusi tinggi menggunakan LiDAR/laser altimetry untuk pemodelan kubah dikombinasikan dengan pengeboran di lapangan.
2.
Sintesis informasi untuk membuat kesepakatan mengenai default value dari emission factor pada tingkat bio-eco-region atau pada tingkat implementasi serta melakukan kegiatan riset terkordinasi jika masih diperlukan untuk itu terutama untuk memahami perilaku faktor pengendali terhadap besaran emisi untuk menentukan faktor koreksi.
3.
Membangun dan/atau meneruskan kegiatan riset untuk mencari proxy value dari emission factor yang dapat diaplikasikan pada skala luas dan dapat dimonitori secara periodik berdasarkan perilaku: a) peat subsidence rate ; b) peat fire dan c) status hidrologi (tinggi muka air). Kandidat proxy value peat subsidence rate dan status hidrologi ini akan didekati dengan baik monitoring terestris maupun citra satelit berbasis SAR.
Pada lahan gambut, estimasi emisi dan removal dari biomasa tanaman di atas permukaan tanah akan mengikuti prosedur dan informasi yang diperoleh pada kegiatan ILEM. Tahap pertama dari kegiatan ini yang akan dilaksanakan pada paruh pertama tahun 2012 adalah berupa penentuan REL tingkat nasional melalui kompilasi hasil penelitian terkait. Penentuan REL pada tingkat provinsi akan dimulai di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2012 dan diikuti dengan ‘provinsi gambut’ lainnya menjelang akhir 2014. Selain melalui kompilasi data spasial, 44
penentuan REL pada tingkat provinsi akan dilengkapi dengan ground truthing tutupan lahan dan proxy faktor emisi. Pengukuran berkala akan dilaksanakan pada tingkat provinsi sekali dalam empat tahun dimulai tahun 2012 di Kalimantan Tengah tahun berikutnya di provinsi lain sesudah peta lahan gambut semi detail tersedia. 4.2.6. Sistem Informasi Jasa Lingkungan dan Drivers Informasi tentang jasa lingkungan dan driver DD dilakukan pada setiap Proxy untuk menjamin cobenefit dari REDD+ dan distribusi manfaat REDD+ secara adil Untuk menjamin co-benefit dari REDD+ dan distribusi manfaat REDD+ secara adil diperlukan adanya safeguard. Konsep safeguard dikenalkan di COP15 dan diadopsi sebagai bagian dari Keputusan REDD+ di COP16 (1/CP.16). Untuk mematuhi keputusan ini, para Negara perlu untuk membuat sebuah sistem informasi safeguards yang memberikan semua informasi secara terbuka. Untuk membangun sistem informasi safeguards, perlu disiapkan guideline dan persiapan lembaganya. Untuk Provinsi Kalimantan Tengah aktifitas ini dilakukan pada semester ke 2 tahun 2011 . Bersamaan dengan penyusunan guideline dan persiapan, tahap penyiapan sarana dan prasarana juga dapat dimulai , yang direncanakan dari Semester 2 2011 sampai semester 2 2012. Mengingat banyaknya data yang harus dihimpun, maka Pengadaan data dan informasi meliputi aspek legal, pengelolaan, sosial dan keruangan juga harus sudah dilaksanakan. Prasarana dan sarana untuk pengumpulan data diasumsikan sudah terlaksana, sambil melaksanakan persiapan pembentukan sub-lembaga MRV yang mengurusi safeguards. Pengumpulan data ini dapat dilaksanakan sejak awal 2012 dan merupakan proses yang terus berlangsung. Pada pertengahan tahun 2012 diharap sub-lembaga MRV yang bertugas menangani sistem informasi ini dapat dilegalisasikan. Setelah legalisasi, tugas utama dari lembaga ini adalah, disamping terus menghimpun data, membangun jaringan kerja terkait sistem informasi dan merancang bentuk hubungan dengan stakeholder. Perancangan web site tentang safeguards juga sudah bisa dilaksanakan karena sudah banyak data yang dihimpun, dan penggunanya sudah dapat diperkirakan. Salah satu kegiatan penting yang dapat dilakukan sub-badan MRV ini adalah monitoring akar penyebab Deforestasi dan degradasi. Hal ini sehubungan dengan bentuk-bentuk pengumpulan data yang dilakukan. Mengingat legalitasnya, monitoring ini secara formal dapat dilaksanakan sejak awal 2013.
45
REFERENSI Cochran, William G. (1977). Sampling Techniques (Third ed.). Wiley. New York. Snedecor , G.W. dan W.G. Cochran (1971). Statistical Methods applied to Experiments in Agriculture and Biology. Wiley. New York. Aini FK, Kurniawan S, Wibawa G, Hairiah K. (2010) . Studi Biodiversitas: Apakah Agroforestri Mampu Mengkonservasi Keanekaragaman Hayati di DAS KONTO? Working paper 119. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Program. Departemen Kehutanan (2009). Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.33/Menhut-II/2009. IPCC ( 2006), 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Brown, S., (1997). Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. (FAO Forestry Paper - 134). FAO. Rome. Basuki, T.M., et al. (2009). Allometric equations for estimating the above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp forests. Forest Ecol. Manage. (2009), Elsevier. Loetsch, F. Zohrer, F. Haller, KE. (1973). Forest Inventory, Vol. I, BLV Verlagsgesellschaft, Munchen.
46
LAMPIRAN I ACUAN TEKNIS
Sistem MRV perlu mengacu kepada standar yang telah berlaku secara internasional, khususnya oleh IPCC. Acuan lain yang dikeluarkan oleh VCS (Verified Carbon Standard) pada prinsipnya sejalan dengan yang dikeluaran oleh IPCC. VCS perlu juga dimasukkan dalam sistem MRV karena berpotensi untuk dapat mengakomodasi berbagai inisiatif yang bersifat sukarela (voluntary).
Overview IPCC Guideline IPCC 2006 (The 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories) menjelaskan metodologi pendugaan inventarisasi nasional emisi antropogenik dengan sumber dan buangan gas-gas rumah kaca. Arahan ini merupakan pengembangan dari Arahan IPCC 1996 (Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories), GPG 2000 (Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories) dan GPG-LULUCF (Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry). Secara keseluruhan arahanarahan ini mengemukakan metode yang telah disepakati internasional untuk melakukan inventarisasi nasional GRK dan pelaporannya kepada UNFCCC. Arahan ini terdiri dari 5 volume ditambah Overview. Masing-masing volume membicarakan General guidance and reporting, Energy inventory, Industrial process and product use, AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) inventory dan Waste. Volume 1 membicarakan tahapan utama pengembangan inventarisasi, volume 2 sampai 5 membicarakan arahan estimasi pada berbagai sektor ekonomi. Volume 4, AFOLU, membicarakan metodologi yang dapat diterapkan pada berbagai kategori pemanfaatan lahan, juga emisi-emisi dari pengelolaan ternak, N2O dari pengelolaan tanah dan CO2 dari pemupukan dan pengapuran. Panduan ini menggunakan 6 tipe lahan yaitu lahan hutan (forest land), lahan pertanian (cropland), padang rumput (grassland), lahan basah (wetland), pemukinan (settlement) dan lahan lainnya (other land).
Review Guideline IPCC 2006 Review ini dilakukan berdasarkan Guideline IPCC 2006 (The 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories). Dalam Arahan inventarisasi ini ada 4 volume (Volume 2 sampai Volume 5) yang membicarakan kategori berbeda yaitu energi, Industrial process and product use, AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) dan Waste. Sehubungan dengan topik REDD+ di Indonesia, review ini hanya berkonsentrasi pada Volume 4 tentang AFOLU, khususnya tentang lahan hutan. 47
Deforestasi secara sederhana ditafsirkan sebagai perubahan jangka panjang atau permanen lahan hutan menjadi lahan non-hutan dimana satuan yang digunakan adalah luas. Salah satu definisi degradasi yang disarankan adalah besarnya kehilangan karbon hutan yang dihitung dalam periode waktu tertentu dan tidak termasuk deforestasi (GOFC-GOLD, 2009, A sourcebook of methods and procedures for monitoring and reporting anthropogenic greenhouse gas emissions and removals caused by deforestation, gains and losses of carbon stocks in forest remaining forests, and forestation; GOFC-GOLD Report Version COP15-1 (GOFC-GOLD Project Office, Natural Resources Canada, Alberta, Canada). Mengingat bahwa tidak semua karbon yang keluar dari hutan diemisikan, maka definisi degradasi dalam konteks REDD+ disarankan sebagai hilangnya kemampuan hutan untuk menyerap emisi yang dihitung dalam waktu tertentu. Emisi dihitung untuk tiap penggunaan lahan. AFOLU membedakan penggunaan lahan ke dalam 6 kategori yaitu: lahan hutan (forest land), lahan pertanian (cropland), padang rumput (grassland), lahan basah (wetland), pemukinan (settlement), dan lahan lainnya (other land). Kategori ini kemudian dibagi lagi, berdasarkan perubahan lahan, menjadi lahan yang tetap kategorinya (misal: lahan hutan tetap lahan hutan) dan lahan yang dikonversi dari non-hutan menjadi lahan hutan. Emisi dan serapan emisi ditentukan untuk setiap kategori lahan meliputi CO2 yang bersumber dari biomassa, sisa bahan organik dan tanah dan meliputi non-CO2 dari pembakaran dan dari sumber lain. Proses emisi dan serapan emisi dalam AFOLU dibagi menjadi 4 komponen ekosistem, yaitu : biomassa (atas dan bawah tanah), bahan organik mati (kayu mati dan serasah), tanah dan ternak. Informasi mengenai perubahan stok karbon dapat diperoleh dengan berbagai cara, IPCC telah mengelompokkan berdasarkan kebutuhan data dan kerumitan dalam analisis (Tier- tingkat kerincian). Perubahan dari Tier 1 ke Tier 3 akan meningkatkan akurasi dari estimasi emisi GRK. Dalam penerapannya, penggabungan Tier juga dimungkinkan, misalnya untuk biomassa digunakan Tier 2 tetapi untuk survei tanah digunakan Tier 1. Tabel L1 – 1 Pembagian Tier Tier 1
Tier 2
Tier 3
metode paling sederhana dimana persamaan-persamaan dan nilai-nilai default (misalnya faktor emisi) mengacu pada Pedoman IPCC yang sudah disediakan. Tingkat uncertainty yang tinggi Pendekatan lebih akurat, nilai default menggunakan emisi dan faktor perubahan cadangan karbon yang spesifik dari negara ybs nya atau dari daerahnya untuk kategori penggunaan lahan terpenting. Activity data diperoleh dengan menggunakan resolusi waktu dan keruangan yang tinggi metode yang melibatkan penggunaan model dan sistem pengukuran inventarisasi yang disesuaikan dengan keperluan nasional, dilakukan berulang kali, dan diarahkan oleh data aktifitas beresolusi tinggi serta dipisahkan pada level sub-nasional
48
Pelaporan pada aktifitas yang banyak berkontribusi terhadap emisi GRK nasional (di Indonesia misalnya emisi yang berasal dari deforestasi dan dari lahan gambut) perlu dilakukan dengan memenuhi standar Tier dengan tingkatan 2 atau bahkan 3. Arahan dan metode inventarisasi untuk menduga emisi dan serapan emisi meliputi GRK yang utama. Definisi tentang carbon pool yang digunakan dalam AFOLU untuk setiap kategori penggunaan lahan dicantumkan dalam Dokumen Volume 4_01 , Tabel 1.1. Secara umum ada dua metode pendugaan emisi GRK, yaitu: (i) (ii)
metode generik dan metode yang khusus diterapkan untuk satu tipe penggunaan lahan.
Dalam review ini metode inventarisasi dibatasi pada metode generik yaitu metode yang dapat digunakan untuk semua tipe penggunaan lahan. Metode ini meliputi pendugaan perubahan cadangan karbon dan emisi CO2 dan non-CO2 dari kebakaran atau pembakaran biomassa. Secara umum perubahan cadangan karbon diduga melalui perubahan cadangan pada semua pool (biomassa atas dan bawah tanah, kayu mati, serasah, tanah dan produk kayu tebangan). Semua perubahan cadangan karbon (misalnya pertumbuhan, busuk dan lainnya) harus dinyatakan dalam satuan karbon untuk menjaga konsistensi data. Ada dua pendekatan dalam pendugaan perubahan yaitu: (1) pendekatan Process-based atau Gain-Loss Method dan (2) pendekatan stock-based atau Stock Difference.
49
Uncertainty Semua inventarisasi harus memberikan nilai uncertainty. Uncertainty dijelaskan secara detail dalam Guideline IPCC 2006 Vol 1_3. Uncertainty didefinisikan sebagai kelemahan pengetahuan (lack of knowledge) tentang nilai sebenarnya sebuah variabel atau kombinasi beberapa variabel. Nilainya dinyatakan dalam bentuk selang kepercayaan (confidence interval) dengan tingkat kepercayaan 95%. Sumber dari uncertainty berasal dari : (i) data activity (kualitas data remote sensing, pengolahan dan interpretasi citra, error yang berkaitan dengan interoperability dari sensor yang digunakan , perbedaan standar thematik dan tidak dilakukannya kalibrasi ) (ii) emission factor (error yang berkaitan dengan penentuan stok karbon, stratifikasi yang keliru, strategi sampling yang tidak memadai dan error yang berkaitan dengan pengukuran (iii) uncertainty yang berkaitan dengan upscaling Penilaian uncertainty mempunyai dua komponen yaitu sumber data dan informasi dan teknik yang digunakan. Sumber data secara umum ada tiga yaitu: informasi yang berasal dari model, data empiris dari pengukuran emisi dan data aktifitas, dan perkiraan dari expert judgement. Pendekatan yang digunakan untuk menduga uncertainty dari model, termasuk diantaranya, adalah: (1) perbandingan hasil dari model yang digunakan dengan data independen untuk tujuan verifikasi, (2) perbandingan dengan prediksi dari model-model alternatif, dan (3) expert judgement tentang besarnya uncertainty model. Untuk data besar, uncertainty nilai rataan diduga dengan 2 x galat baku (standard error) dan dapat dinyatakan dalam persentase terhadap nilai rataan. Pendekatan yang digunakan untuk menduga uncertainty dari data empiris dapat dilakukan dengan analisis statistik. Tahapan yang digunakan adalah : (1) kompilasi dan evaluasi faktor emisi, data aktifitas dan parameter estimasi lain, (2) visualisasi data dengan fungsi distribusi, (3) penyuaian dan pemilihan model fungsi distribusi untuk menggambarkan keragaman data aktifitas dan data faktor emisi, (4) pendugaan uncertainty pada rataan, (5) kalau uncertainty sudah ditemukan maka nilai tersebut digunakan untuk menentukan uncertainty pada emisi total, dan (6) bagi uncertainty yang berkontribusi paling besar untuk uncertainty keseluruhan (overall uncertainty) disarankan untuk melakukan analisis sensitivitas. Menduga uncertainty dengan expert judgement sebaiknya dilakukan kalau data yang ada tidak cukup atau kurang mewakili populasi. Expert judgement meliputi fungsi peluang, atau kisaran nilai yang mungkin terjadi. Kalau uncertainty pada data aktifitas, faktor emisi atau emisi suatu kategori telah diketahui, maka nilai-nilai tersebut perlu dikombinasikan untuk memperoleh nilai uncertainty untuk inventarisasi. Untuk mengkombinasikan, digunakan dua pendekatan yaitu: (1) persamaan error propagation dan (2) teknik Monte Carlo. Pendekatan (1) mensyarakatkan bahwa koefisien keragaman (simpangan baku dibagi rataan) harus kurang dari 0,3 . Kalau koefisien keragaman lebih besar dari 0,3 atau distribusi tidak normal, dianjurkan untuk menggunakan teknik Monte Carlo. Penilaian uncertainty memberi informasi yang sangat berguna baik untuk pelaku maupun pengguna inventarisasi. Bagi pelaku inventarisasi informasi ini berguna untuk menunjukkan mana bagian yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kualitas, sedang bagi pengguna informasi ini dapat digunakan sebagai bahan penilaian.
50
Gambar L 1 – 1. Dua cara berbeda dalam penentuan perubahan stok karbon Dalam pendekatan Gain-Loss, pertumbuhan diberi nilai karbon (+) positif dan pembusukan diberi nilai (-) negatif yang artinya cadangan karbon berkurang. Dalam metode stock difference, pengukuran karbon dilakukan di awal dan di akhir periode. Perubahan cadangan karbon diperoleh melalui pembagian beda (selisih) cadangan dibagi dengan lama periode, sehingga diperoleh nilai besarnya beda cadangan per tahun.
VCS (Verified Carbon Standard) VCS telah mengembangkan berbagai metodologi untuk pengukuran dan monitoring karbon. Ada lima kategori aktifitas proyek yang dapat dimasukkan ke dalam AFOLU
ARR: Afforestation, Reforestation and Revegetation ALM: Agricultural Land Management IFM: Improved Forest Management REDD: Reducing Emissions from Deforestation and Degradation PRC: Peatland Rewetting and Conservation
VCS mempunyai beberapa versi, versi yang dibicarakan di sini adalah versi V3.0 (8 Maret 2011). Tujuan VCS adalah menentukan standar global untuk proyek-proyek pengurangan GRK. Standar ini menggunakan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam dokumen ISO (International Organization for Standarization), yaitu ISO 14064-2:2006, ISO 14064-3:2006 dan ISO 14065:2007. Standar ini selain membicarakan aturan dan persyaratan dalam pengelolaan VCS, juga membicarakan proses registrasi proyek, sistem register VCS, proses persetujuan metodologi yang digunakan dan persyaratan akreditasi untuk lembaga-lembaga verifikasi/validasi. Dalam VCS, kondisi proses-proses fisik yang menghasilkan emisi GRK tanpa intervensi harus difahami, stabil dan dapat dikuantifikasikan. Kalau proses-proses tersebut dibangun dengan 51
memanfaatkan model, maka parameternya harus berdasarkan studi ilmiah yang peer reviewed. Uncertainty model harus dihitung berdasarkan Guideline IPCC 2006 atau pembaharunya. Prinsip dasar yang digunakan adalah relevansi, kelengkapan, konsistensi, ketepatan, transparansi dan konservatif. VCS V3.0 membicarakan persyaratan-persyaratan proyek, metodologi serta validasi dan verifikasi. Dalam persyaratan proyek dicantumkan ketentuan tentang keproyekan seperti Awal Proyek, periode kredit, skala, lokasi, kepemilikan, dan batas. Selain itu ketentuan mengenai metodologi tentang baseline-scenario, additionality, kuantifikasi pengurangan emisi dan monitoring juga harus disebutkan. Persyaratan untuk proyek pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain dicantumkan dalam Dokumen VCS : AFOLU Requirement. Ketentuan mengenai validasi dalam VCS V3.0 secara umum mengikuti ISO 14064-3:2006. Validasi harus dilakukan oleh lembaga yang memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam ISO 14064:2007. Pelaporan dilakukan dengan mengacu pada VCS Validation Report Template, atau template dari program GRK yang disetujui. Hasil-hasil validasi yang harus dicantumkan dalam laporannya mencakup: tujuan, ruang lingkup, tipe data dan kesimpulan termasuk kualifikasi atau keterbatasan yang ada. Versi VCS yang di-review di sini adalah versi V3.0 (8 Maret 2011). Prinsip yang digunakan dalam program ini adalah: relevansi, kelengkapan, konsistensi, akurasi, transparansi dan konservatif. VCS 2007.1: mencantumkan 4 kategori proyek AFOLU, yaitu: (1) Afforestation, Reforestation and Revegetation - ARR, (2) Agricultural Land Management - ALM, (3) Improved Forest Management – IFM, dan (4) Reduced Emissions from Deforestation and Degradation – REDD.
Review Verified Carbon Standard (VCS) VCS dapat memberikan kredit pada aktifitas yang menurunkan konversi lahan hutan menjadi non hutan yang seringkali bersamaan dengan aktifitas yang mengurangi degradasi hutan dan meningkatkan cadangan karbon dari hutan rusak atau hutan sekunder yang akan dibuka (deforestasi) kalau tidak ada aktifitas REDD. Termasuk dalam kategori ini adalah aktifitas-aktifitas yang bertujuan: (a) menghindari deforestasi terencana – misalnya pembatalan izin konversi lahan, (b) menghindari deforestasi dan degradasi hutan di kawasan frontier (pedalaman)- misalnya pembukaan hutan akibat adanya jalan, (c) menghindari deforestasi dan degradasi mosaic tak terencana – misalnya perladangan di kawasan lindung. Untuk monitoring VCS, walaupun biomassa di atas tanah merupakan carbon pool utama, dalam carbon accounting semua pool yang menunjukkan pengurangan cadangan karbon, sebagai akibat keberadaan proyek, lebih dari 5% harus diukur dan dimonitor. Hasil hutan kayu harus diukur kalau ekstraksi kayu berhubungan dengan deforestasi dan degradasi hutan (karbon lebih banyak disimpan dalam produk berjangka panjang dari pada di emisikan). Dengan demikian jumlah 52
biomassa hidup dalam scenario base-line yang menjadi produk berjangka panjang harus dikuantifikasikan. Dalam monitoring, VCS V3.0 mengharuskan adanya penjelasan tentang data dan parameter yang dilaporkan, termasuk sumber data dan satuan (unit) pengukuran. Standard dan faktor yang digunakan dalam menghitung emisi harus berasal dari sumber terpercaya seperti IPCC atau data publikasi pemerintah. Pendugaan emisi mensyaratkan nilai conservative agar tidak over- estimate. Satuan yang digunakan adalah metric ton. Rencana pelaksanaan monitoring yang meliputi tujuan, prosedur pengukuran dan perhitungan serta kualitas data dan frekuensi monitoring harus dijelaskan. Pendugaan emisi, QA/QC, dan analisis uncertainty mengacu pada Guideline IPCC 2006. Metodologi pemantauan harus mencakup: (1) tujuan, (2) prosedur, termasuk pendugaan, modelling, dan pendekatan dalam perhitungan, (3) prosedur pengelolaan kualitas data, dan (4) pemantauan frekuensi dan prosedur pengukuran. Dalam pengukuran tahapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Penentuan batas wilayah kerja dan bagian-bagiannya, (2) Menentukan carbon pools dalam setiap bagian, (3) menentukan proyek baseline, (4) menilai dan mengelola leakage (kebocoran), dan (5) mengestimasi dan memonitor benefit dari proyek. Penentuan baseline dari proyek mempunyai dua komponen utama, yaitu: komponen perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan serta perubahan cadangan karbon pada masing-masing komponen. Untuk proyek REDD, baseline dinilai ulang paling sedikit dalam waktu 10 tahun. Penilaian ulang ini divalidasikan pada waktu yang sama dengan VCS verifikasi. Leakage harus dinilai dan dikelola dalam 3 aktifitas REDD: (1) Dalam kasus penghindaran deforestasi terencana, kebocoran harus dikontrol dan diukur dengan cara memonitor aktifitas pemilik yang awalnya berencana untuk membuka hutan. (2) Dalam kasus penghindaran deforestasi atau degradasi tak terencana, si pengembang wajib untuk merancang dan mengimplementasikan aktifitas yang bisa mengurangi kebocoran dan memonitor kebocoran dengan metodologi yang disepakati. Validasi dalam VCS adalah penilaian proyek secara independen oleh lembaga verifikasi yang menentukan apakah proyek sesuai dengan aturan-aturan VCS. Validasi dan verifikasi adalah proses risk-based dan harus dilakukan dengan mengikuti pedoman ISO-14064-3:2006 dan ISO14065:2007. Teknik yang digunakan adalah teknik sampling dimana sampel akan digunakan sebagai dasar penentuan level of assurance.
Sistem Monitoring Emisi dari Lahan Gambut Pada bulan 2011 VCS Guidelines for Peatland Rewetting and Conservation (PRC) telah diterbitkan. PRC menyediakan standar pengukuran dan monitoring emisi dan penyerapan GRK untuk kegiatan mitigasi pada lahan gambut (rewetting, revegetation, conservation). Proxy metodologi yang 53
mudah dilakukan untuk pengukuran dan monitoring emisi dan penyerapan GRK dari lahan gambut sedang dikembangkan di beberapa negara Eropa (e.g. Belarus, Ukraine, Germany) dan Asia Tenggara (Indonesia and Malaysia). Metodologi tersebut dikembangkan berdasarkan tinggi muka air (water level), vegetasi dan peat subsidence, untuk mampu melaporkan pada tingkat Tier yang lebih tinggi. Pendekatan metodologi praktis ini mampu diterapkan pada banyak kondisi di lapangan, karena pengukuran emisi di lapangan memerlukan teknik dan peralatan yang rumit. Pengukuran emisi langsung menggunakan chamber measurement hanya akan diadopsi di tingkat pilot site terutama untuk mengembangkan, mengkalibrasi dan memverifikasi proxy yang diusulkan. Emisi pada lokasi yang berlainan juga akan dimonitor dengan proxy tersebut. Untuk menjamin kemudahan dalam aplikasi dan verifikasi, parameter-parameter proxy tersebut harus dibangun dari indikator yang cukup sederhana. Baik water level, vegetasi dan peat subsidence telah memungkinkan penyusunan dan monitoring baseline karena dari parameter-parameter tersebut langsung bisa dibuat peta untuk memperkirakan emisi GRK. Akurasi dapat diperbaiki lebih lanjut.
Standar data dan informasi geospasial Terbitnya UU tentang Informasi GeoSpasial (UU IG No 4 Th 2011) dan sudah adanya standarstandar yang diperlukan (misalnya Standar Nasional Indonesia/SNI Peta Rupabumi, SNI Peta Penutupan Lahan, dll) akan memudahkan terlaksananya MRV, karena UU IG tersebut mengamanatkan beberapa hal sbb : a. kepastian hukum; informasi yang berkaitan dan dibutuhkan REDD+ dapat disediakan b. keterpaduan; mengintegrasikan berbagai inisiatif survey dan pemetaan yang diperlukan c. keterbukaan; dapat diakses dan di-update oleh publik d. kemutakhiran; selalu ter-updated e. keakuratan; memenuhi standar tertentu dengan mencantumkan f. kemanfaatan; g. demokratis UU-IG memuat prinsip penting, bahwa informasi geospasial dasar (IGD) dan secara umum informasi geospasial tematik (IGT) yang diselenggarakan instansi pemerintah dan pemerintah daerah bersifat terbuka. Semangat UU ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Artinya segenap WNI dapat mengakses dan memperoleh IGD dan sebagian besar IGT untuk dipergunakan dan dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat pun dapat berkontribusi aktif dalam pelaksanaan penyelenggaraan IG, sehingga diharapkan industri IG dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Sementara itu 54
segenap penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan geospasial (ruang-kebumian) wajib menggunakan IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tantangan dalam mengadopsi IPCC dan/atau VCS ke dalam sistem MRV Nasional Meskipun kedua acuan teknis tersebut berisi mengenai teknik penghitungan emisi dan/atau penyerapan GRK pada berbagai aktifitas manusia dalam penggunaan lahan, namun Indonesia perlu memberikan perhatian utama bagi activity data yang merupakan sumber utama emisi GRK, misalnya aktifitas deforestasi-degradasi hutan dan emisi dari drainase dan/atau kebakaran pada lahan gambut. Dalam pedoman IPCC, activity data utama tersebut disebut sebagai Kelompok Utama (Key Category), dan ini bersifat unik pada tiap negara. Penghitungan emisi GRK dari activity data dari Key category yang unik ini memerlukan dukungan data mengenai emission/removal factor tertentu, dan pada kondisi belum tersedia terpaksa harus mengadopsi default value IPCC sehingga Komunikasi Nasional ke IPCC hanya akan memenuhi Tier 1. Selain itu, terdapat pengelompokan activity data yang berbeda antara acuan IPCC (6 kelas tutupan lahan) , VCS (4 aktifitas berbeda) dan yang selama ini telah diterapkan di Indonesia (23 kelas tutupan lahan). Adopsi dari masing-masing acuan ini menyesuaikan kondisi yang ada di Indonesia. Untuk memudahkan dalam sinkronisasi pengelompokan activity data ini telah disusun SNI (Standar Nasional Indonesia SNI 7645:2010 mengenai Klasifikasi Penutup Lahan) oleh Badan Standarisasi Nasional, namun demikian tantangan dalam penyeragaman klasifikasi ini tetap akan ada. Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi dalam penentuan activity data, perlu dilakukan interpretasi terhadap citra remote-sensing dengan resolusi lebih tinggi sehingga pembagian kelas tutupan lahan bisa dilakukan dengan tingkat kesalahan yang rendah. Selain itu, pembagian menjadi sub-kelas tutupan lahan (tidak hanya 6 kelas tapi menjadi 12 atau 23 kelas tutupan lahan), kalau dilakukan secara konsisten akan memberi kesempatan untuk mencapai standar Tier lebih tinggi. Dalam penghitungan emisi GRK, kedua prinsip stock-difference dan gain-loss method sama-sama digunakan dalam MRV di Indonesia. Pada skala nasional, reduksi emisi dapat dilakukan menggunakan prinsip stock-difference method, yaitu dengan menggunakan data remote sensing time-series (yang dikalibrasikan dengan stok biomassa/karbon dari inventarisasi hutan nasional dan ground truthed data lainnya untuk mengetahui perubahan stok karbon pada periode tertentu. Sedangkan informasi dinamika tegakan dan/atau pemodelan pertumbuhan yang berasal dari monitoring plot permanen yang dibangun pada berbagai bio-eco-region akan menjadi model penyusunan emission/removal factor yang bersifat site-spesific namun memiliki tingkat konfidensi yang lebih tinggi. Dari kajian yang relevan dengan MRV yang sudah, yaitu: (i) persamaan alometrik untuk penghitungan biomassa total dan (ii) model pertumbuhan dan dinamika tegakan dari 55
berbagai tipe hutan pada berbagai bio-eco-region, Indonesia berpotensi untuk mencapai tingkat Tier 3 dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun, monitoring perubahan biomass pada lahan gambut, tidak dapat dilakukan menggunakan pendekatan stock-difference maupun gain-loss, karena perubahan stok karbon jauh lebih kecil dari stok yang ada. Sebagai alternatif, emisi GRK dapat dilakukan karena akan menggambarkan berapa karbon yang dilepaskan ke atmosfer dari lahan gambut (IPCC, 2006). Berdasarkan panduan VCS, penggunaan parameter-parameter seperti water level, vegetasi dan peat subsidence sebagai proxy emission factor dapat segera diadopsi untuk aplikasikan pada lahan gambut di Indonesia
Status dan Tantangan Teknis
a) Standar Data Spasial. Data spasial tematik sumberdaya lahan/hutan di Indonesia dibuat oleh berbagai institusi untuk tujuan beragam dengan menggunakan peta dasar yang berbeda sehingga menimbulkan berbagai masalah diantaranya keragaman skala ketelitian dan keragaman datum/sistem proyeksi, dan keragaman klasifikasi dengan inter-operability yang rendah. Secara nasional acuan pembuatan peta telah ditentukan dengan Perpres No.85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) dan Perpres No. 112 tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, sehingga inisiatif sinkronisasi akan lebih mudah dilakukan. UU GeoSpasial 2011 telah disahkan dan diharapkan mampu mempercepat inisatif sinkronisasi dan integrasi dari berbagai lembaga tersebut. b) Accuracy dan uncertainty. Data yang dihasilkan dari monitoring skala luas biasanya bersifat scale-dependent, yaitu akurasi dapat ditingkatkan jika hanya mencakup luasan yang kecil dan sebaliknya pada monitoring skala luas (apalagi tingkat nasional), akurasi belum banyak dikaji dan diperkirakan akan memiliki banyak tantangan. Ini memerlukan proses negosiasi yang mendalam untuk mencapai kesepakatan termasuk dengan pihak verifier, guna menentukan batas akurasi dan uncertainty yang dapat diterima dan juga mampu dilakukan secara nasional secara efektif dan efisien. c) Kondisi hutan yang beragam. memerlukan informasi yang lebih mendalam terutama untuk mengelompokkan dan melakukan deliniasi activity data sesuai bio-eco-region yang serupa dan untuk menentukan emission factor pada tiap activity data yang nantinya dapat dipakai dalam proses upscaling ke dalam skala lebih luas. d) Kondisi tutupan awan dan/atau asap pada sebagian besar daerah sehingga kemampuan untuk mendapatkan citra remote sensing (optik) dengan kualitas tinggi secara nasional dan periodik mendapat banyak tantangan. Sementara kemampuan untuk memanfaatkan citra satelit berbasis SAR masih terkendala dalam hal biaya dan kemampuan untuk penafsiran.
56
Indonesia juga belum memiliki satelit yang didisain memenuhi keperluan (special tailored), sehingga masih tergantung terhadap satelit yang dimiliki negara lain. e) Keterbatasan sumberdaya manusia. Pada tingkat nasional, kegiatan MRV memerlukan dukungan sumberdaya manusia yang cakap, penuh dedikasi dan dalam jumlah yang memadai yang diperlukan untuk mendukung operasional di berbagai tingkatan. Beberapa keahlian khusus masih bersifat langka dan perlu dilakukan program pendidikan profesi di tingkat pendidikan tinggi untuk mendukung program MRV ini f) Prosedur dan protokol alur kerja dan alur data belum tersedia. Kegiatan MRV memerlukan serangkaian pemrosesan dan pengintegrasian informasi dalam jumlah yang sangat besar dan ini memerlukan ketersediaan baik perangkat keras, perangkat lunak, sumberdaya pada berbagai level serta sistem organisasi secara keseluruhan untuk menangani hal ini dalam waktu yang cepat dan dengan kualitas yang tinggi. Exercise ini belum pernah dilakukan di Indonesia dengan baik. Pembelajaran dari berbagai kelemahan dalam organisasi data pemilu atau sensus nasional perlu dicermati. g) Hambatan kegiatan lapangan. Banyak kegiatan MRV yang akan meliputi pengecekan di lapangan terutama dalam hal pengukuran emission factor. Kegiatan lapangan memerlukan dukungan sumberdaya profesional yang dedikatif, dukungan dana yang besar (karena lokasinya banyak yang terpencil) dan komitmen jangka panjang, hal-hal tersebut banyak terkendala di Indonesia. Non Teknis
1. Profesionalism and Credibility. Salah satu faktor penentu keerhasilan proses kerjasama internasional dalam program penurunan emisi GRK REDD+ adalah lolos tidaknya verifikasi. Hal ini sangat ditentukan oleh tingkat profesionalitas dan kredibiltas lembaga (dan termasuk metodologi dan aturan lain) yang dibangun untuk menangani MRV. Masih banyak tantangan di Indonesia untuk membentuk lembaga dengan porto-folio semacam ini. 2. Kelembagaan dan organisasi. Diperlukan kelembagaan yang kuat dan mampu mengorganisasi serangkaian proses MRV yang kemungkinan besar akan berlangsung pada multiinstitusi. 3. Kontinuitas Data. Kebanyakan aktifitas bersifat temporer (proyek) dengan masa aktifitas terbatas dan tidak berkesinambungan dengan hambatan, terutama dalam hal penyediaan data yang konsisten dalam jangka panjang yang merupakan syarat utama monitoring; sangat sedikit plot yang diamati secara mendalam dalam jangka yang panjang karena tidak ada keberlanjutan pendanaan.
57
4. Updating yang lemah. Banyak sumberdaya dan/atau kegiatan yang semestinya bisa disinkronisasikan tujuan dan metodenya untuk memperkuat kapasitas MRV nasional menjadi sia-sia. 5. Isu keberlanjutan kegiatan. Beberapa elemen MRV sudah ada tersebar di beberapa lembaga seperti: Lembaga penelitian, universitas, NGO, dan lainnya. Beberapa dilakukan dalam rentang waktu proyek, beberapa sudah dalam kegiatan yang berkelanjutan (terutama di instansi pemerintah). 6. Metode yang tidak terstandardkan; meta-analysis sulit sehingga tingkat uncertainty tidak dapat dinilai. ini merupakan salah satu karakter penelitian lapangan dengan faktor yang dihadapi cukup banyak dan bervariasi, tanpa perencanaan dan penyesuaian metode yang dapat disepakati, integrasi informasi dari berbagai kajian multi-lokasi dan dalam rentang waktu yang panjang akan mendapat banyak hambatan. 7. Institutional borders walls are sometimes hard to break; salah satu hambatan utama dalam integrasi dan sinkronisasi; meskipun telah banyak kegiatan MRV yang relevan pada antarinstitusi namun kemauan dan kemampuan nasional untuk mengintegrasikannya amat lemah sehingga banyak sumberdaya dimanfaatkan secara tidak efisien dan tumpang-tindih. Sumberdaya nasional yang ada tidak mampu diarahkan untuk memecahkan masalah yang rumit dan strategis, seperti halnya permasalahan yang dijumpai dalam pengembangan sistem MRV. 8. Political issues; jika ingin memanfaatkan peluang bagi kemaslahatan bangsa, isu REDD+ termasuk pengembangan MRVnya memerlukan national leadership yang kuat untuk memberikan dukungan secara lebih taktis dan mendukung inisiatif untuk sinkronisasi dan integrasi antar lembaga. Banyak polemik dan pro- dan kontra- mengenai apakah REDD+ semestinya diadopsi oleh Indonesia di berbagai kalangan, meskipun secara nasional Presiden telah memutuskan untuk memilih. 9. Perbedaan antara kawasan vs non-kawasan. Adanya tumpang-tindih yang besar ini menyulitkan dalam pendefinisian planned vs unplanned deforestation and/or forest degradation yang berkaitan langsung dengan monitoring emisi GRK. 10. Belum adanya standar internasional gambut; meskipun emisi GRK dari lahan gambut meliputi proporsi yang cukup besar terhadap emisi GRK nasional, namun standar IPCC maupun beberapa panduan lain (GOFC GOLD, dll) masih hanya memberikan panduan sederhana yang belum mampu mengakomodasi kerumitan emisi dari lahan gambut di Indonesia. Secara prinsip ekspektasi IPCC terhadap ini masih relatif rendah namun belum tentu bersifat menguntungkan bagi kepentingan nasional (misalnya faktor emisi dari baseline activity yang cenderung rendah). 58
Shooting a moving target; standar UNFCCC dan IPCC masih terus berkembang dan nampaknya juga akan terus terjadi serupa phased approach terhadap ekspektasi pelaporan emisi GRK sesuai dengan perkembangan metodologi dan ekspektasi donor dan/atau multi-pihak pada COP mendatang. Kondisi ini perlu diantisipasi dengan desain MRV yang cukup adaptif. Misalnya meskipun standar pelaporan emisi GRK dari lahan gambut sesuai IPCC relatif masih mentolerir tingkat uncertainty yang tinggi namun berdasarkan berbagai kemajuan pengetahuan yang berasal dari hasil kajian lapangan terkini mengindikasikan bahwa dalam waktu mendatang ekspektasi terhadap tingkat uncertainty ini akan makin meningkat. Contoh lain adalah keputusan yang bersifat mandatory pasca COP 16 bahwa MRV perlu memasukkan sistem informasi safeguard yang sama sekali tidak berkaitan dengan substansi MRV
59
LAMPIRAN II INISIATIF MRV DAN PEMBELAJARAN
Sistem MRV REDD+ perlu mengacu pada panduan IPCC untuk sektor AFOLU, dan hendaknya konsisten dengan Perhitungan Karbon Nasional (National Carbon Accounting) dan pelaporan internasional. Beberapa negara maju sudah mempunyai sistem National Carbon Accounting yang telah berjalan, diantaranya Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Finlandia. Sistem MRV yang sudah berkembang dan berjalan untuk REDD+ belum ada, meskipun ada beberapa negara berkembang sedang dalam proses membangun sistem MRV, termasuk Indonesia, Guyana dan beberapa negara lain. Dalam pengembangan sistem MRV, selayaknya prinsip, status, situasi dan kondisi masing-masing negara merupakan faktor utama dalam perancangannnya. Meskipun demikian, pembelajaran dari proses maupun sistem penghitungan yang telah ada tentunya akan berguna.
Inisiatif Elemen-Elemen MRV Nasional Dalam konteks MRV Nasional, yang menjadi kunci utama dari monitoring adalah mengintegrasikan informasi sejauh mana aktivitas manusia (activity data) dilakukan dengan nilai/koefisien yang menghitung emisi dan serapan per unit aktivitas (emission factor). Informasi ini kemudian diintegrasikan untuk mendapatkan informasi mengenai inventarisasi GRK, yang akan menjadi bahan untuk pelaporan dari MRV. Sistem MRV akan memberdayakan sistem perhitungan karbon nasional yang merupakan integrasi dari simpul‐simpul informasi yang dihasilkan oleh berbagai inisiatif, baik dari institusi yang sudah ada maupun melalui kerjasama bilateral atau kerjasama lainnya. Melalui integrasi ini Sistem MRV mendorong penyempurnaan kualitas dan aliran data, khususnya dalam rangka perbaikan emission factor dan activity data perubahan tutupan lahan. Beberapa inisiatif yang sudah dilakukan dapat digunakan sebagai dasar untuk membangun kapasitas dan kesiapan Indonesia dalam pengembangan activity data dan emission factor untuk perhitungan emisi GRK.
Inisiatif Terkait dengan Pemantauan Sumber Daya Lahan
1. Inisiatif Kementerian Kehutanan
60
Kementerian Kehutanan (melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan) menerbitkan data statistik kehutanan setiap tahun, yang memuat kondisi hutan dan laju kerusakan hutan. Kondisi tutupan lahan (hutan dan non hutan) dihasilkan dari analisis data penginderaan jauh citra landsat 5 TM dan atau Landsat 7 ETM resolusi 30 m, dengan metode klasifikasi secara visual. Sedangkan laju deforestasi (perubahan dari hutan menjadi non hutan) dihasilkan dari data citra SPOT Vegetation dengan resolusi spatial 1 km, dengan teknik secara digital. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga merilis WebGIS Kehutanan (http://appgis.dephut.go.id/appgis/) yang menyajikan peta interaktif yang bersifat indikatif (umum) dan mudah digunakan untuk memperoleh informasi spasial. Informasi ini akan terus disempurnakan dan dilengkapi sesuai dengan perkembangan terakhir untuk meningkatkan keakurasian, ketepatan waktu dan kelengkapan data. Data ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan activity data untuk sistem MRV. 2. Inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan monitoring tutupan hutan dalam rangka program “Menuju Indonesia Hijau”. Program ini telah dimulai pada tahun 2006, melalui pencanangan oleh Presiden Indonesia pada peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tanggal 12 Juni 2006. Program ini ditujukan untuk menilai kinerja pemerintah kabupaten terhadap penataan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan. Data penginderaan jauh yang digunakan adalah Citra Satelit Landsat 7 ETM, resolusi 30, dengan menggunakan teknik klasifikasi secara visual. Meskipun metode dan citra satelit yang digunakan untuk menganalisis tutupan hutan yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh Ditjen Planologi Kehutanan, namun peta tutupan hutan yang dihasilkan oleh kedua institusi ini cukup berbeda. Sinkronisasi peta perlu dilakukan untuk meminimalisasi keragaman klasifikasi. 3. Inisitiaf Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian (melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP)), telah melakukan inventarisasi dan pemetaan tanah, evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian dan mengembangkan sistem manajemen tanah untuk pertanian yang berkelanjutan. Sejauh ini institusi ini sudah menghasilkan peta tanah skala 1:250.000, yang mencakup hampir 70% luas lahan di Indonesia, dengan cakupan yang lengkap untuk Sumatra dan Jawa dan sebagian Sulawesi, Kalimantan dan pulau lainnya. Seluruh (183 juta ha) lahan Indonesia dicakup dalam peta sumber daya lahan skala 1:1.000.000. Areal-areal terpilih telah dipetakan pada peta tanah dan kesesuaian lahan dengan skala yang lebih detil (1:100.000 atau lebih besar). 4. Inisiatif Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
61
Bakosurtanal dalam rangka mendukung komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi, telah melakukan beberapa inisiatif dengan fokus utama pada penyiapan data set utama (fundamental data set) berupa informasi geospasial dasar (IGD) dan informasi geospasial tematik (IGT) serta pembangunan infrastruktur data spasial nasional (IDSN). Penyiapan IGD diantaranya adalah menyiapkan Jaring Kontrol Geodesi, gaya berat, stasiun pasang surut nasional dan peta dasar Rupabumi (RBI) pada berbagai skala. Penyiapan IGT diantaranya berupa penyiapan peta dasar tematik kehutanan pada skala 1:250.000, peta ekoregion nasional skala 1:1000.000 dan peta ekoregion wilayah sampai skala 1:50.000 untuk seluruh Indonesia. Berbagai Informasi tematik lain yang terkait dan dilakukan secara sistematik adalah liputan lahan nasional, serta neraca sumberdaya alam spasial meliputi neraca sumberdaya hutan spasial, neraca sumberdaya air spasial, neraca sumberdaya mineral spasial, dan neraca sumberdaya lahan spasial pada skala 1:250.000. Pembangunan IDSN berupa pembentukan INASDI yang merupakan lembaga clearing house data geospasial sektoral. Salah satu momentum emas adalah lahirnya undang-undang no 4 tahun 2011 tentang informasi geospasial yang bertujuan menjamin ketersediaan data geospasial, menjamin penyelenggaraan dan mendorong penggunaan data geospasial dengan sistem referensi tunggal. Undang-undang ini juga menjamin akses publik atas semua data utama pembangunan yang bersumber dari pendanaan publik serta keterlibatan perorangan dalam menyiapkan informasi geospasial dasar. 5. Inisiatif INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System) INCAS merupakan inisiatif baru yang didisain oleh pemerintah Indonesia (melalui Kementerian Kehutanan) untuk memantau dan mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan. Dalam pengembangannya pemerintah Indonesia dibantu oleh pemerintah Australia melalui kerjasama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP). INCAS dirancang untuk memenuhi kriteria/standar UNFCCC dan IPCC terkait dengan robustness, transparency dan verifiability dalam perhitungan dan pemantauan cadangan karbon, untuk menghindari leakage dan menetapkan additionality dalam upaya pengurangan emisi. INCAS akan menjadi sistem nasional yang mengintegrasikan data dan informasi dari berbagai sektor, yaitu: (a) perubahan penutupan lahan berdasarkan penginderaan jauh, (b) manajemen dan penggunaan lahan, (c) iklim dan tanah, (d) biomassa dan pertumbuhan, dan (e) pemodelan ekosistem secara spasial dan temporal. Berbagai organisasi/institusi perlu terlibat dan berkoordinasi untuk menyediakan data dan analisis yang diperlukan dalam pengembangan INCAS. Saat ini, LAPAN sudah menyelesaikan prototipe perubahan penutupan lahan (forest gain and loss) untuk tahun 1999-2009 untuk wilayah Sumatra dan Kalimantan. Kajian mengenai informasi stok karbon dalam biomassa hutan sudah dilakukan dan database biomassa hutan serta persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk menghitung stok karbon dalam biomassa juga sedang disusun di Kementerian Kehutanan. Data perubahan tutupan lahan dan stok karbon dalam biomassa 62
pada berbagai jenis hutan dan tutupan lahan akan diintegrasikan untuk menentukan faktor emisi GRK dan perubahan stok karbon. Sistem perhitungan ini akan mengantar Indonesia menuju ke pelaporan Tier 3. 6. Inisiatif Proyek ALLREDDI (Accountability and Local Level Initiative to Reduce Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia) Untuk mendapatkan activity data, proyek ini sudah melakukan analisis wall-to-wall peta tata guna lahan dan tutupan lahan nasional dengan skema klasifikasi cadangan karbon yang relevan pada tahun 1990, 2000, 2005 (26 kelas, termasuk kerapatan hutan dan lahan gambut dibandingkan dengan tanah mineral). Pemetaan untuk tahun 2010 masih berlangsung dan akan diselesaikan pada akhir tahun 2011. Untuk mendapatkan faktor emisi/serapan, sebanyak 2500 plot sampel permanen (PSP) dari data inventarisasi hutan nasional (NFI), 2500 plot inventarisasi dari berbagai studi ICRAF dan data sekunder plot sampel temporer hutan dan non hutan digunakan. Basis data lain yang relevan digunakan adalah: basis data kerapatan kayu spesifik wilayah (region-specific wood density database) di seluruh Indonesia, dan persamaan alometri untuk berbagai zona iklim dan tanaman perkebunan yang dominan. Metode yang digunakan untuk menghitung emisi adalah stock-difference, Tier 3 IPCC untuk cadangan biomassa karbon di atas tanah (above-ground biomassa C pool). Output yang dihasilkan adalah emisi bruto dan netto (gross and net emissions), peta kerapatan karbon seluruh Indonesia khusus untuk above-ground biomassa C pool. Tier 1 emisi gambut di bawah permukaan (below ground peat emissions) dapat diestimasikan. 7. Penundaan Ijin Baru untuk Hutan Primer dan Lahan Gambut Dengan keluarnya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, peta yang menyertai Inpres ini (Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru/PIPIB) juga turut dirilis dengan skala 1:250.000 yang terdiri dari 291 lembar untuk seluruh Indonesia. PIPIB akan direvisi setiap 6 bulan untuk meminimalisasi ketidakkonsistenan data dan sebagai tonggak untuk inisiatif yang lebih maju dalam rangka penyeragaman standar pemetaan nasional.
Inisatif Terkait dengan Inventarisasi Hutan (Stok Karbon) Terestris
1. NFI (National Forest Inventory) Kegiatan National Forest Inventory (Inventarisasi Hutan Nasional) mulai dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (Ditjen Planologi Kehutanan) pada tahun 1989 dan sudah membangun sekitar 2735 petak contoh permanen (PSP)/temporer (TSP) (masing-masing berukuran 1 ha) pada jarak 20 x 20 km secara sistematis di Indonesia. Pengukuran pertama dilakukan pada periode tahun 1989 – 1996 dan informasi mengenai statistik sumberdaya 63
hutan dilaporkan pada tahun 1996. Informasi statistik yang dilaporkan diantaranya adalah jumlah pohon menurut jenis, kelas diameter, dan menurut provinsi/lokasi. Poin-poin sampel pohon dalam PSP dicatat azimuth dan jarak dari pusat plot, yang akan memudahkan relokasi pohon pada saat pengukuran ulang. Semua pohon dalam plot diukur diameter setinggi dada (diameter at breast height/dbh), tetapi untuk tinggi pohon pengukuran hanya dilakukan pada sub-sampel pohon. Selain pengukuran diameter dan tinggi, karakteristik tajuk, kerusakan, dan nama jenis juga diidentifikasi. Informasi lokasi termasuk histori gangguan dan kondisi permudaan, dan data vegetasi bukan pohon (bambu, rotan, dsb) juga dicatat. 1149 PSP diukur ulang pada periode tahun 1996 – 2000, dan 406 diantaranya diulang ukur pada periode tahun 2000 – 2006. Meskipun data pengukuran ulang belum mencakup semua 2735 PSP, analisis data NFI memberikan informasi yang penting untuk penyusunan model-model pertumbuhan tegakan hutan, termasuk biomassa dan stok karbon di atas tanah. Informasi ini berpotensi sebagai ground-truthed data terhadap citra satelit untuk pengukuran stok karbon skala nasional. 2. IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala) Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock), yang dilaksanakan secara berkala 1 kali dalam 10 tahun pada seluruh petak di dalam kawasan hutan produksi di setiap wilayah unit pengelolaan/manajemen. IHMB pada prinsipnya berbasis keragaman potensi hutan, dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) dan pengelola KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi), serta dilaporkan kepada Ditjen Bina Usaha Kehutanan (Kementerian Kehutanan). Inventarisasi pada hutan alam dilakukan pada semua jenis pohon dan inventarisasi pada hutan tanaman dilakukan pada pohon hasil tanaman pada tanaman pokok. Pengambilan plot contoh IHMB dilakukan berbasis petak yang didasarkan pada kondisi areal efektif dalam areal kerjanya. Plot contoh untuk pengamatan pohon di hutan alam berbentuk empat persegi panjang dengan luas 0,25 hektar dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 125 m, sedangkan di hutan tanaman berbentuk lingkaran dengan berbagai ukuran, tergantung pada umur atau kelas umur tanaman. Data ini digunakan sebagai dasar dalam penyusunan rencana pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan produksi lestari, selain dapat digunakan untuk menganalisis potensi kandungan karbon dalam biomassa pohon dan tegakan hutan di atas permukaan tanah. Informasi ini berpotensi sebagai groundtruthed data terhadap citra satelit untuk pengukuran stok biomassa skala luas. 3. ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) adalah kegiatan pencatatan, pengukuran dan penandaan pohon dalam areal blok kerja tahunan yang diperlukan dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Tahunan, dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK dan dilaporkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi. Data yang dicatat/diukur meliputi pohon inti 64
(dbh 20-49 cm yang akan ditebang pada periode rotasi berikutnya), pohon dilindungi, dan pohon yang akan ditebang. Data ini terbatas hanya pada blok tebangan tahunan dan pohonpohon berdiameter di bawah 20 cm tidak diukur. Meskipun demikian, data ini berpotensi digunakan untuk menghitung biomassa tingkat pohon (dbh 20 cm ke atas) di atas tanah. 4. ITT (Inventarisasi Tegakan Tinggal) Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) adalah kegiatan pencatatan dan pengukuran pohon dan permudaan alam pada areal tegakan tinggal (tegakan hutan yang sudah ditebang pilih dan dipelihara sampai saat penebangan berikutnya) untuk mengetahui komposisi jenis, penyebaran dan kerapatan pohon, jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti. Data dilaporkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi. Kualitas data hasil pengukuran mungkin perlu diperhatikan, namun data yang berkualitas baik dapat digunakan untuk menggambarkan degradasi (tingkat kerusakan tegakan akibat pemanenan). 5. LHP (Laporan Hasil Penebangan) Laporan hasil penebangan mencatat semua hasil pengukuran untuk semua pohon yang ditebang di lokasi blok tebangan. Data hasil pengukuran dilaporkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi. Meskipun hanya mencatat pohon-pohon komersial saja, data hasil pengukuran dapat digunakan untuk pendugaan biomassa di atas tanah yang dikeluarkan dari hutan. 6. PUP (Petak Ukur Permanen) Petak Ukur Permanen adalah petak ukur yang dibangun di areal hutan bekas tebangan (1-3 tahun setelah tebangan) digunakan untuk pemantauan pertumbuhan dan riap tegakan hutan di areal IUPHHK. PUP digunakan sebagai salah satu kelengkapan dalam penilaian kinerja pengelolaan hutan. Setiap konsesi hutan diwajibkan untuk membangun PUP. Untuk tipe hutan alam lahan kering jumlah PUP yang harus dibangun minimal 6 buah dalam satu seri dan untuk hutan alam rawa atau payau jumlah minimal yang harus dibangun dalam satu unit pengelolaan 16 PUP. PUP berbentuk segi-empat dengan ukuran jarak datar minimal 200 m x 200 m. Didalam setiap PUP, dibuat petak pengamatan berukuran 100m x 100m dimana terhadap semua pohon berdiameter 10 cm atau lebih dilakukan pengukuran keliling pohon, tinggi pohon dan diidentifikasi jenisnya. Data hasil pengukuran dan monitoring PUP dilaporkan kepada Ditjen Bina Usaha Kehutanan dan Badan Litbang Kehutanan (Kementerian Kehutanan), digunakan untuk mendapatkan informasi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan. Data ini sangat berpotensi digunakan untuk mengetahui potensi dan pertumbuhan (dinamika) biomassa atau karbon pohon di atas tanah (dbh 10 cm ke atas). 7. Penelitian Stok Karbon/Biomassa dari Lahan Hutan di Indonesia
65
Saat ini informasi hasil-hasil penelitian terkait dengan biomassa hutan sudah banyak tersedia, baik dalam bentuk jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian, maupun skripsi/thesis/disertasi mahasiswa. Dari hasil kompilasi dan kajian penelitian biomassa hutan di Indonesia, diperoleh beberapa informasi yang dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) Persamaan alometrik yang dapat dikelompokkan menurut jenis dan atau lokasi, (2) Kandungan biomassa di atas tanah, (3) Kandungan biomassa di bawah tanah, (4) Kandungan biomassa dari komponen ekosistem lain (tumbuhan bawah, serasah, nekromas), (5) Informasi tambahan mengenai lokasi sampling (site, kondisi lingkungan, umur tegakan/sejarah penggunaan lahan). Meskipun demikian, data dan informasi yang tersedia di Indonesia saat ini pada umumnya relatif masih terbatas pada jenis pohon tertentu, ukuran tertentu, dan pada lokasi atau tipe hutan tertentu. Untuk menghitung stok karbon hutan secara nasional diperlukan data dan informasi biomassa yang lengkap mencakup seluruh bagian pohon dan ekosistem, jenis dan tipe hutan. Dengan demikian diperlukan strategi yang tepat dalam pengambilan sampel untuk mengukur biomassa di lapangan sehingga data yang diambil cukup representatif dalam mencerminkan variasi jenis, umur dan tipe hutan atau lokasi. 8. Inisiatif Penyusunan Standar Nasional Indonesia terkait Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon Hutan Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Kementerian Kehutanan) beserta Badan Standardisasi Nasional dan didukung berbagai pihak telah telah melakukan inisiatif penyusunan Rancangan Standard Nasional Indonesia (RSNI) terkait dengan pengukuran dan penghitungan cadangan karbon. Inisiatif ini dilakukan dalam rangka aplikasi IPCC 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, IPCC 2003 Good Practice Guidance for Land Use, Land Use Changes and Forestry (AFOLU) dan acuan Keputusan COP-15 tentang arahan metodologi REDD+ (Doc. 4/CP-15). Dua RSNI yang sudah disiapkan, dibahas dan disepakati dalam rapat konsensus adalah: (1) RSNI Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based carbon accounting), dan (2) Penyusunan persamaan alometrik untuk penaksiran cadangan karbon hutan berdasar pengukuran lapangan (ground based carbon accounting). Standar yang pertama menetapkan metode pengukuran lapangan dan penghitungan cadangan karbon hutan dari lima carbon pools. Standar yang kedua menetapkan metode penyusunan persamaan alometrik pohon dalam rangka pendugaan biomassa pohon di atas permukaan tanah, digunakan apabila belum tersedia persamaan alometrik yang sesuai dengan kondisi biogeografis. Standar yang disusun ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Plot Demonstrasi/Percontohan REDD+ yang ada di lapangan untuk pengukuran dan penghitungan cadangan karbon. Standard ini juga diharapkan menjadi suatu panduan di tingkat nasional yang dapat memuat aspek transparansi, konsisten, lengkap, komparabel, dan berkualitas, yang dapat mengantar Indonesia menuju ke pelaporan Tier 3.
66
Inisiatif Terkait dengan Inventarisasi Lahan Gambut
1. Inisiatif Kementerian Pertanian Institusi ini telah memetakan tanah gambut (Histosol) dalam survey tanah dan kesesuaian lahan. Untuk tanah gambut, data historis kerapatan lindak (bulk density/BD), relatif kurang tersedia dibandingkan dengan data C organik (Corg). Selain itu pengukuran, baik untuk BD maupun Corg, biasanya hanya dilakukan pada lapisan 50 cm, dimana lapisan ini cenderung berbeda dengan lapisan-lapisan di bawahnya. Penelitian sejak 2-3 tahun terakhir memperhitungkan BD dan Corg dari lapisan permukaan sampai lapisan paling bawah dari gambut. Pemetaan lahan gambut ke depan perlu untuk mengambil sampel dan menganalisis BD dan Corg gambut dari lapisan atas sampai lapisan bawah, selain mengukur kematangan dan ketebalan gambut. 2. Inisiatif Wetland International Wetland International (WI) telah mempublikasikan “Peta Distribusi, Luas dan Kandungan Karbon Lahan Basah untuk Sumatra, Kalimantan dan Papua masing-masing pada tahun 2003, 2004 dan 2007. Luas lahan gambut ditentukan berdasarkan kebasahan seperti direfleksikan oleh citra Landsat TM. Peta RePPProT, peta lain sebelumnya, dan juga data penelitian digunakan sebagai basis untuk penyusunan unit pemetaan. Beberapa verifikasi lapangan dilakukan untuk Sumatra dan Kalimantan, tetapi sangat sedikit di Papua. Selain itu, kandungan karbon gambut dan kerapatan lindak hanya diukur pada lapisan 0-40 cm (menjelang ditemukan permukaan air tanah), dan untuk lapisan yang lebih dalam diasumsikan mempunyai nilai yang sama dengan lapisan permukaan. Peta yang dihasilkan dibagi menjadi beberapa kelas ketebalan gambut: sangat dangkal (< 50 cm), dangkal (50-100 cm), medium (100-200 cm), dalam 200-400 cm dan sangat dalam (> 400 cm). Klasifikasi ini dipertimbangkan cukup untuk tujuan pembangunan pertanian, tetapi informasi yang lebih detil berdasarkan penilaian setiap kedalaman tanah 50 cm atau minimal 100 cm, penting untuk tujuan pemetaan stok karbon lahan gambut. Peta WI dibuat pada skala 1:250.000, dapat digunakan sebagai referensi untuk perencanaan tata guna lahan level nasional dan pendugaan stok karbon. Informasi lain yang tersedia dari peta adalah tingkat kematangan gambut, yang berguna untuk evaluasi kecocokan lahan sebagai proxi stok karbon. Akan tetapi, peta ini tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar untuk REDD+ karena ketidak lengkapan pengukuran stok karbon dan delineasi sebaran lahan gambut. Untuk itu peta tersebut perlu diperbaharui dengan pengecekan lapangan, analisis stok karbon serta memetakan interface antara lahan gambut dengan tanah mineral. Informasi sebaran dan karakteristik lahan gambut ini akan bermanfaat sebagai input activity data dari lahan gambut untuk penentuan emisi GRK tingkat nasional setelah dikalikan dengan nilai proxy emission factor. Untuk tingkat sub nasional pada lokasi percontohan akan diperlukan peta pada skala yang lebih detil.
67
3. Penelitian Emisi GRK dari Lahan Gambut di Indonesia Emisi GRK di Indonesia dari lahan gambut berasal dari beberapa tipe lahan gambut dengan berbagai proses termasuk kebakaran, drainase dengan berbagai tingkat dan berbagai kondisi tutupan lahan. Sifat tanah gambut sangat bervariasi sehingga emisinya juga bervariasi dan tingkat uncertainty-nya cukup besar. Kajian untuk memahami proses siklus karbon pada lahan gambut di Indonesia telah dan sedang dilakukan oleh banyak kegiatan riset terutama di Kalimantan Tengah (EU Stratapeat, Restorpeat Carbopeat, JICA, KFCP, dll) dan telah tersedia beberapa review article pada jurnal internasional yang berusaha mensintesis faktor emisi ini. Dalam rekomendasi MRV FAO-UNREDD 2011 dan Sourcebook GOFC-GOLD versi pasca COP 16, monitoring emisi dari lahan gambut dengan mengacu kepada kondisi unik di Indonesia telah mulai diangkat. Hal ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk mengembangkan sistem MRV nasional yang mengintegrasikan perubahan tutupan lahan (deforestasi-degradasi) dan emisi dari lahan gambut. Dalam beberapa tahun terakhir beberapa lembaga nasional, termasuk Balai Besar Penelitian Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) dan beberapa perguruan tinggi telah melaksanakan penelitian tentang stok karbon dan emisi dari lahan gambut di Sumatera dan di Kalimantan. Pada waktunya diharapkan penelitian ini akan dapat memperkaya laporan emisi gas rumah kaca yang sudah ada, yang kebanyakan berasal dari penelitian di Kalimantan Tangah. 4. Penelitian Emisi GRK dari Lahan Pertanian di Indonesia Kementerian Pertanian telah melakukan kegiatan monitoring emisi GRK dari lahan sawah terutama CH4 (gas metana) untuk memformulasikan faktor emisi dan faktor koreksi untuk jenis tanah yang berbeda. Dari kompilasi data-data hasil penelitian tersebut diperoleh faktor emisi CH4 dengan kisaran 0,67-79,86 g/m2/musim dengan nilai tengah faktor emisi sebesar 16,09 g CH4/m2/musim, nilai ini lebih kecil 2 g CH4/m2/musim dibandingkan nilai default dari IPCC 1996 sebesar 18 g CH4/m2/musim. Revisi faktor skala dan faktor koreksi untuk emisi GRK berbagai jenis tanah di Indonesia dilakukan untuk upscaling emisi pada tingkat nasional. Perhitungan emisi CH4 dari lahan sawah Indonesia di tingkat nasional dilakukan atas dasar luas lahan sawah (activity data) menurut kabupaten yang ada untuk tahun 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, dan 2005 dari BPS. Activity data ini kemudian dikalikan dengan faktor emisi dan faktor koreksi untuk mendapatkan tingkat emisi nasional. Model monitoring ini dapat dijadikan sebagai salah satu pembanding bagaimana peghitungan emisi GRK dari lahan gambut pada tingkat nasional dapat dilakukan, tentunya dengan banyak penyesuasian mengingat kondisi pada lahan gambut dengan berbagai jenis tutupan lahan jauh lebih kompleks.
68
Rekomendasi Sistem MRV Nasional DNPI: Rekomendasi Langkah Tindak - Pengembangan Measurable, Reportable and Verifiable (MRV) (April, 2010)
Pengembangan sistem MRV secara teknis direkomendasikan untuk mencakup 3 sub-sistem: (1) Pengumpulan/akuisisi data, (2) Pengolahan/analisis data, dan (3) Pengembangan sistem pelaporan yang didukung oleh sistem basis data yang terstruktur. Dalam prakteknya, pengembangan sistem ini lebih jauh akan melibatkan berbagai rincian teknis untuk mengatur alur informasi antar lembaga, proses standarisasi maupun pengembangan berbagai perangkat analisis pendukungnya. Kelembagaan MRV yang kredibel perlu dibangun, didukung dengan sumberdaya teknis yang handal serta dukungan finansial yang memadai untuk menjamin kelancaran dan keberlanjutan sistem MRV. Kemampuan teknis ini sangat diperlukan untuk: (1) Mengkonsolidasikan berbagai data dan informasi dari berbagai sumber kedalam basis data yang terintegrasi, (2) Mengelola dan mengolah basis data untuk kepentingan pengarsipan maupun analisis, (3) Menyusun pelaporan dan verifikasi secara teratur baik untuk kepentingan para pembuat keputusan baik nasional maupun berbagai lembaga yang terkait, dan (4) Memberikan arahan, tuntunan dan rekomendasi teknis pelaksanaan MRV. Struktur organisasi kelembagaan MRV yang direkomendasikan minimal mencakup: 1. Pengumpulan/akuisisi data spasial dan non-spasial (termasuk standardisasi dan integrasi data), 2. Pengolahan/analisis data (penghitungan karbon, analisis performa capaian kegiatan penurunan emisi, dan pengarsipan hasil analisis), 3. Pelaporan (Executive Summary, Dashboard Management, laporan rinci hasil analisis berdasarkan RAN/RAD, verifikasi data dan fakta lapangan), dan (4) Unit lainnya untuk menunjang pelaksanaan kegiatan sehari-hari dari organisasi (Sekretariat dan pembangunan kapasitas organisasi) Isu implementasi dan rekomendasi langkah tindak dalam pengembangan sistem MRV: 1. Perluasan cakupan MRV dalam konteks Good Governance a. Penetapan konsensus untuk membangun mekanisme kelembagaan dalam pelaksanaan MRV (baik lembaga pengawas maupun pelaksana) b. Pembangunan sistem informasi yang terintegrasi dalam rangka pengawasan pelaksanaan kegiatan pengurangan emisi 2. Ketersediaan data, akses data dan penguatan kelembagaan pemasok data a. Berbagai pilihan pemenuhan data untuk MRV perlu dilakukan 69
b. Perlu dilakukan asesmen data dan informasi yang lebih teknis (ketersediaan dan keterbatasan teknologi yang ada) c. Standar pertukaran data dan mekanisme pertukaran data (interoperability) perlu segera dirumuskan (melibatkan lembaga pemasok data untuk MRV) d. Pembangunan basis data dengan ketelitian yang rinci (khususnya di high-priority area) perlu segera dilakukan 3. Peningkatan kapasitas teknis dalam pengolahan dan pengelolaan data MRV. a. Mengkonsolidasikan kegiatan peningkatan kapasitas teknis (pelatihan teknis dan fasilitasi dialog teknis). b. Uji coba (Proof of Concept), terutama pada high-priority area. 4. Dukungan finansial. a. Segera mengkonsolidasikan semua kegiatan yang terkait dengan pembangunan basis data di berbagai lembaga. b. Program komprehensif melalui pendanaan yang signifikan. c. Pembangunan infrastruktur data dan informasi. Beberapa hal belum dicakup dalam rekomendasi ini, diantaranya adalah status terkini, strategi dan roadmap MRV. UN-REDD : REDD+ Indonesia Information, Monitoring & Measurement, (MRV): United Nations Recommendation (Juni, 2011)
Reporting and Verification
UN-REDD merekomendasikan rencana aksi untuk mengembangkan, menerapkan dan mengoperasionalisasikan sistem Informasi, Pemantauan dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) untuk REDD+ di Indonesia, mengikuti keputusan terbaru yang telah disepakati secara internasional oleh UNFCCC dan mengikuti pedoman IPCC. Pelaksanaan Sistem Informasi, Pemantauan, dan MRV Indonesia perlu mengikuti pendekatan bertahap, sejalan dengan tiga fase REDD+. Persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia pada setiap tahap adalah: 1. Pada Tahap 1, Indonesia perlu membangun kapasitas nasional REDD+ melalui kemitraan internasional dan inisiatif. Pada tahap ini Indonesia perlu untuk lebih menentukan pengaturan kelembagaan untuk Informasi, Monitoring dan MRV, membangun Lembaga MRV dan menyusun kebijakan dan langkah-langkah REDD+ nasional. 2. Pada Tahap 2, Indonesia harus mulai melaksanakan kebijakan nasional dan kegiatan demonstrasi REDD+ sub-nasional, dan mengembangkan sistem untuk memberikan informasi tentang bagaimana kerangka pengaman REDD+ ditangani dan diperhatikan. 70
3. Pada Tahap 3, REDD+ sepenuhnya terintegrasi dengan mekanisme mitigasi lainnya di bawah UNFCCC, yang berarti bahwa kegiatan REDD+ harus sepenuhnya diukur, dilaporkan dan diverifikasi. Diperlukan Sistem Pemantauan Lahan berdasarkan Satelit (Satellite Land Monitoring System) untuk mendapatkan data aktivitas mengenai luas hutan dan perubahan luas hutan, dan Inventarisasi Hutan Nasional untuk mengukur emisi atau serapan per unit aktivitas REDD+. Kompilasi data ini akan menjadi informasi Inventarisasi GRK REDD+ sebagai kinerja mitigasi kegiatan REDD+, dan dilaporkan ke UNFCCC sebagai bagian dari Komunikasi Nasional Indonesia. Dalam mengembangkan dan menerapkan elemen-elemen MRV, diperlukan pengaturan kelembagaan dan pembangunan kapasitas, yang mencakup aturan, peran dan tanggung jawab kelembagaan, mandat institusi, dan mekanisme koordinasi. Pengaturan kelembagaan MRV sedapat mungkin didasarkan pada institusi dan kemampuan yang ada (institusi yang baru dibangun jika diperlukan). Pendekatan yang diambil untuk pengembangan dan implementasi Sistem Informasi, Monitoring dan MRV REDD+ perlu disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan kunci dan prinsip-prinsip teknis. Kebijakan-kebijakan kunci yang dimaksud adalah: (1) kepemilikan nasional, (2) mendukung proses UNFCCC, (3) otonomi, dan (4) tanggung jawab. Sedangkan prinsip-prinsip teknis yang diperlukan adalah: (1) disesuaikan dengan kondisi nasional, (2) operasional, (3) terkoordinasi, terstandardisasi dan terukur, (4) memanfaatkan kompetensi, kapasitas dan informasi yang ada, (5) Kepatuhan IPCC, (6) efisiensi biaya, (7) manfaat ganda, dan (8) pendekatan bertahap.
Pembelajaran dari Elemen Sistem MRV Internasional Brazil
The Brazilian National Institute of Space Research (INPE) mengembangkan dan menerapkan sistem pemantauan dan pelaporan penutupan hutan Amazon melalui analisis citra, dan mempublikasikan laju deforestasi tahunan hutan Amazon. INPE mengoperasikan tiga sistem berbasis penginderaan jauh yang independen namun saling melengkapi (PRODES, DETER dan DEGRAD) untuk memantau deforestasi dan degradasi hutan secara wall-to-wall di hutan Amazon. PRODES, the Legal Amazon Deforestation Monitoring Program, telah memantau dan melaporkan deforestasi di Amazon secara tahunan sejak tahun 1988. PRODES menggunakan data satelit Landsat TM, CBERS Brasil-Cina dan DMC resolusi relatif tinggi (20 sampai 30 meter), untuk memetakan area yang terdeforestasi yang luasnya lebih besar dari 6,25 ha. PRODES hanya memetakan wilayah di mana hutan primer telah benar-benar ditebang habis. PRODES menggunakan data multi-sensor untuk meminimalkan tutupan awan dan mendapatkan cakupan yang lengkap. 71
DETER, the Real Time Deforestation Detection System, dibangun pada tahun 2004 untuk memberikan repon yang lebih cepat. DETER menggunakan citra resolusi 250 m dari MODIS NASA, peta dan sensor CBERS untuk memetakan luas deforestasi secara progresif (lebih dari 25 ha) setiap 2 mingguan. Meskipun demikian, karena adanya tutupan awan, tidak semua deforestasi lebih besar dari 25 ha dapat dideteksi setiap bulannya. DEGRAD dimulai tahun 2008 untuk memetakan degradasi atau area yang mengalami proses degradasi dengan menggunakan resolusi yang lebih tinggi daripada DETER. DEGRAD menggunankan Landsat dan citra CBERS yang sama dengan PRODES, dan meregister removal pohon secara parsial karena kebakaran dan logging di area yang lebih luas dari 6.25 ha dan melaporkannya secara tahunan. Sistem DETEX sekarang mulai dikembangkan oleh INPE dan Brazilian Forest Service untuk memonitor dan mengontrol selective logging di area konsesi hutan dengan menggunakan citra yang sama seperti yang digunakan PRODES. Sistem ini digunakan untuk mengecek apakah intensitas dan frequensi logging sudah memenuhi Sustainable Management Plan dan apakah terjadi illegal logging. Untuk dapat menggunakan DETEX dalam skala operasional, diperlukan inventarisasi hutan yang lengkap. Data inventarisasi hutan memberikan referensi mengenai biomassa dan karbon pada semua tipe hutan dan diupdate setiap 5 tahun. Perhitungan emisi didasarkan pada laju deforestasi tahunan (misal dari PRODES) dikalikan dengan jumlah karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan di atas tanah dalam satuan hektar.
Australia
Australia membangun Sistem Perhitungan Karbon Nasional (National Carbon Accounting System = NCAS) sejak tahun 1998. NCAS dibangun berdasarkan analisis data spasial secara wall-to-wall yang mencakup data time series yang panjang sejak tahun 1970. Semua data emisi dihitung berdasarkan sistem berbasis proses (Tier 3) yang mengintegrasikan semua kategori pelaporan dan tujuan untuk mencapai konsistensi di semua sektor tanpa ada overlap. NCAS terus dikembangkan selama beberapa fase mengikuti persyaratan pelaporan untuk kegiatan LULUCF yang disepakati UNFCCC dan Protokol Kyoto. NCAS Australia didesain untuk dapat menduga cadangan karbon dan emisi gas rumah kaca pada level nasional, sub-nasional dan proyek. Kegiatan pengelolaan lahan (pengelolaan hutan dan pertanian) dimodelkan. Emisi diduga berdasarkan pemodelan proses ekosistem FULLCAM yang mengintegrasikan: 1. Ribuan citra satelit (Landsat) untuk memonitor penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan di seluruh Australia sejak tahun 1972 dan diperbaharui setiap tahunnya, 72
2. Peta informasi iklim bulanan (seperti curah hujan, suhu dan kelembaban), 3. Peta tipe tanah dan karbon tanah, dan 4. Database yang berisi informasi jenis pohon/tanaman, pengelolaan lahan, dan perubahan manajemen lahan sepanjang waktu. Australia telah menyusun protokol untuk pengambilan sampel biomassa pohon (atas dan bawah permukaan tanah) dan biomassa tegakan, kerapatan kayu, tanah dan serasah untuk penyusunan dan kalibrasi model. Data satelit Landsat time-series yang terdiri dari 18 Coverages nasional digunakan untuk memetakan perubahan tutupan hutan antara tahun 1972 dan 2009 (diperbarui setiap tahun). Program verifikasi nasional digunakan untuk memperoleh dan menguji spesifikasi yang konsisten dan kuat secara nasional, serta berbiaya rendah. Spesifikasi ini menggambarkan pendekatan dan standar untuk setiap langkah pengolahan, termasuk urutan pengecekan jaminan kualitas pada setiap tahap pengolahan. Perbaikan independen yang terus-menerus dan program verifikasi telah dikembangkan dan diterapkan. Dua kajian yang melibatkan ahli independen juga telah selesai. Data dapat digunakan dan diakses secara luas dan bebas dalam komunitas peneliti. Produk tambahan (selain deforestasi) yang berasal dari analisis data arsip yang meliputi hutan tanaman, vegetasi non-hutan berkayu yang jarang, panenan di hutan primer yang dikelola dan kerapatan penutupan tajuk vegetasi berkayu. NCAS juga dilengkapi dengan prototipe Toolbox Perhitungan Karbon Nasional (NCAT) yang memungkinkan pengelola lahan untuk melacak emisi dan serapan gas rumah kaca di lokasi tertentu berdasarkan kegiatan manajemen khusus mereka, seperti pembangunan dan pemanenan hutan, pengolahan tanah, manajemen kebakaran dan aplikasi pupuk. Dugaan yang dihasilkan dari NCAT pada level lokasi konsisten dengan NCAS di level nasional karena keduanya menggunakan system pemodelan dan data yang sama (FullCAM). Pengguna dapat mengakses data perhitungan karbon untuk berbagai jenis dan sistem pengelolaan lahan. Model-model dalam NCAS dapat mengukur karbon pada level yang berbeda (level nasional, subnasional, unit pengelolaan hutan, tegakan dan proyek) dan menghubungkan aktivitas penggunaan lahan secara langsung dengan emisi. Tool NCAT dapat digunakan secara langsung oleh pengelola lahan untuk melacak emisi dan serapan GRK pada lokasi yang spesifik berdasarkan aktivitas pengelolaan yang spesifik. Dugaan yang dihasilkan pada level site konsisten dengan dugaan pada level nasional karena keduanya menggunakan sistem pemodelan dan data yang sama.
India
India sudah melaksanakan sistem pemantauan penutupan hutan dan inventarisasi hutan nasional sejak tahun 1987, dan sudah melaksanakan pemetaan tipologi hutan serta pelaporan emisi karbon berbasis hutan. Penutupan hutan diklasifikasikan menjadi 3 kelas kerapatan: (1) hutan sangat rapat (> 70% penutupan hutan), hutan berkerapatan sedang (40-70%) dan hutan terbuka (1073
40%). Klasifikasi tidak membedakan antara hutan alam dan tanaman, dan tidak mencakup status kepemilikan atau penggunaan lahan. Analisis perubahan penutupan hutan dilakukan dengan menggunakan sensor Landsat (1987-1993), dan kemudian sensor IRS dengan resolusi 23m x 23m. Pemetaan awal dilakukan melalui interpretasi visual tetapi selanjutnya dengan digital. Peta dan laporan mengenai kondisi hutan dipublikasikan setiap 2 tahun. Informasi ini telah digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan hutan, penegakan hukum, penyusunan kebijakan, peningkatan kesadaraan publik dan pelaporan ke dunia internasional. Sejak 2002, inventarisasi kawasan hutan nasional dan pohon-pohon di luar kawasan hutan dilakukan secara sistematik dengan melakukan stratifikasi menjadi 14 zona. Sampling dilakukan pada plot-plot contoh yang diambil secara random (sekitar 4000 plot temporer disampel setiap tahun). Informasi yang dikumpulkan meliputi vegetasi, status permudaan, keragaman hayati, karbon tanah, dugaan stok tegakan, serta parameter lain. India juga sudah membuat Sistem Database Inventarisasi Hutan Nasional elektronik yang dipersiapkan untuk pemasukan, pengolahan dan pelaporan data. Modul pemasukan data telah diinstall di semua kantor wilayah. Inventarisasi lapangan dan pemasukan data dilakukan oleh kantor wilayah tetapi pemeriksaan dan pengolahan data dilakukan di kantor pusat. Sejak tahun 2004, India memiliki sistem deteksi kebakaran hutan nasional (mendekati real-time) dengan menggunakan data MODIS. Informasi lokasi hotspot difax atau diemail ke kantor Kementerian sebagai kontrol. Informasi hotspot juga dipostingkan di website FSI dan dapat diunduh menurut tanggal dan lokasi (provinsi dan kabupaten). Klasifikasi tipe hutan dimulai pada tahun 2009. Analisis overlay peta tipe hutan (200 kelas) dengan peta penutupan hutan 2 tahunan (tiga kerapatan tutupan canopi) menghasilkan 600 strata tipe hutan dan kerapatan kanopi yang homogen. Dengan menggunakana data inventarisasi (biomassa dan tanah) dan faktor expansi biomassa yang dikembangkan, perubahan karbon hutan dapat diduga dari level distrik sampai ke level nasional bersamaan dengan pemetaan penutupan hutan 2 tahunan. Pemantauan penutupan hutan ini memenui persyaratan IPCC GPG Tier 3. Sistem yang dikembangkan oleh India ini nampaknya cukup lengkap, komparabel, konsisten dan cost-effective. Hal ini akan sangat membantu untuk memiliki informasi dan metodologi online untuk dapat dilihat dan diverifikasi oleh publik. Deforestasi dan reforestasi dimonitor secara periodik menggunakan sumberdaya yang tersedia – sensor satelit milik sendiri, infrastruktur, dan tenaga yang memiliki keahlian di remote sensing dan inventarisasi lapangan. Degradasi hutan tidak dimonitor. Sistem tidak termasuk informasi penggunaan lahan dan kepemilikan yang penting untuk pemantauan REDD+, dan tidak ada verifikasi proses dan hasil yang independen.
74
Norwegia
Norwegia menempatkan National Forest Inventory (NFI) menjadi alat monitoring untuk pencapaian standar pengelolaan hutan lestari. Norwegia merupakan salah satu negara pertama di dunia yang menerapkan NFI (sejak tahun 1919). Pada saat mulai dilakukan, kondisi hutan di Norwegia mengalami kerusakan yang cukup parah karena eksploitasi kayu berlebih dan program NFI dilakukan untuk memastikan bahwa program perbaikan hutan secara nasional berjalan dan mampu dimonitor. Siklus monitoring pada awalnya sekitar 10 tahun dan mulai tahun 1980 diperpendek menjadi 5 tahun. Hingga saat ini telah mencapai 10 siklus: (1) 1919 – 1930, (2) 1937 – 1956, (3) 1957 – 1964, (4) 1964 – 1976, (5) 1980 – 1986, (6) 1986 – 1993, (7) 1994 – 1998, (8) 2000 – 2004, (9) 2005 – 2009, dan (10) 2010 – 2015. Desain National Forest Inventory (NFI) Norwegia meliputi 11,000 plot permanen dengan jarak interval 3×3 km. Penetapan posisi dilakukan dengan GPS meskipun dalam pelaporan informasi posisi ini dirahasiakan. Selain dengan cara pengukuran plot permanen di lapangan, monitoring skala nasional menggunakan citra satelit Landsat dilakukan guna melengkapi kegiatan NFI, dimana metode pengitungan menggunakan algoritma kNN (k-nearest neighbour) digunakan untuk melengkapi cara penghitungan biomassa secara nasional. Beberapa pendekatan remote sensing resolusi lebih tinggi berbasis foto udara, InSAR dan LiDAR juga dikembangkan untuk monitoring biomassa skala luas. Dengan luas total kawasan hutan 123,840 km2, hasil NFI menunjukkan total stok biomassa sebesar 823 juta m3 dengan penambahan sekitar 125 juta m3 selama 10 tahun terakhir. Informasi mengenai penambahan stok biomassa ini selain menunjukkan bahwa program perbaikan pengelolaan hutan secara nasional berhasil, juga menunjukkan bahwa program NFI telah mampu secara meyakinkan memantau dinamika biomassa, terutama penambahan biomassa yang terjadi.
United States
Penghitungan karbon nasional untuk sektor AFOLU di Amerika Serikat mengacu pada panduan IPCC (2006) yang dikumpulkan melalui ketiga program berikut: 1. Forest Inventory and Analysis (FIA) yaitu NFI yang dilakukan oleh USDA-Forest Service. Data yang dihasilkan adalah data resmi untuk area kawasan hutan dan pengelolaan. Sampling dilakukan secara berjenjang dengan bantual citra satelit maupun foto udara untuk membuat 2 kategori: hutan dan non-hutan serta pengumpulan data lapangan pada penggunaan lahan hutan. Data-data ini digunakan untuk mengestimasi perubahan C-stock pada kawasan hutan. Masing-masing plot diukur kembali setiap 5 tahun 75
2. Natural Resources Inventory (NRI) yang dilakukan oleh USDA-Natural Resource Conservation Service menghasilkan data resmi pada semua penggunaan lahan di kawasan non-hutan yang tidak dimiliki negara. Rancangan sampling NRI adalah bertahap berdasarkan batas administrasi, kemudian dipilih tiga titik secara acak pada unit 64.75 ha. NRI memakai data penginderaan jauh dan data lapangan untuk memperoleh informasi mengenai penggunaan dan pengelolaan lahan, terutama untuk lahan pertanian dan padang rumput. Data ini digunakan sebagai data dasar untuk menghitung perubahan stok karbon pada lahan pertanian. Survei NRI dilakukan setiap 5 tahun sekali di masa lampau dan saat ini menjadi kegiatan tahunan. 3. National Land Cover Dataset (NLCD) yang dilakukan oleh United States Geological Survey (USGS) menghasilkan database tambahan untuk mengisi kesenjangan data pada penggunan lahan pada lahan pemerintah yang belum dicakup oleh database NRI dan FIA. Skema klasifikasi tutupan lahan NLCD (21 kelas) sudah diterapkan untuk pemetaan tahun 1992 dan 2001 untuk merepresantasikan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan. Citra yang digunakan adalah Citra Landsat. Kategori tutupan lahan bisa diagregasikan ke dalam kategori penggunaan lahan IPCC. NLCD hanya merupakan sumber data tutupan lahan dan tidak memberikan informasi mengenai kondisi lokal, tipe crop, dan pengelolaan untuk mengestimasi perubahan C-stock pada lahan-lahan tersebut. Estimasi stok dan flux dari ekosistem hutan diestimasi menggunakan metode stock-difference untuk kelima carbon pools sesuai panduan IPCC. Semua estimasi didasarkan pada data yang dikumpulkan dari plot sampel permanen di AS maupun pemodelan. Digunakan kombinasi tiers seperti yang tertera di IPCC (2006) untuk mengestimasi stok dan flux: 1. C stock dari biomassa memenuhi Tier 3 dan berasal dari data individual pohon yang merupakan bagian inventarisasi hutan. 2. C pool dari necromass dan pada tanah memenuhi Tier 2, dan berdasarkan pada pemodelan empiris maupun proses yang didasari oleh data inventarisasi. Semua faktor konversi karbon adalah region-specific yang kemudian dikelaskan sesuai dengan tipe hutan pada masingmasing region. Program FIA sudah melakukan survey kehutanan secara konsisten berdasarkan sampling secara statistik pada hampir semua kawasan hutan, sejak tahun 1952. Tujuan utama dari program FIA adalah untuk mengestimasi luasan, volume stok yang tumbuh, output dari hasil kayu dan faktor pemakaian. Berbagai QA/QC dari program FIA mencakup: kalibrasi diantara team lapangan, survei berulang untuk beberapa plot, pengecekan sistematik pada data yang tercatat. Protokol sampling,
76
ringkasan data dan database inventarisasi tersedia untuk diunduh dari USDA Forest Service website1.
Pembelajaran untuk Indonesia 1. Pemantauan perubahan penutupan lahan (deforestasi dan reforestasi) Karena kondisi Indonesia yang unik (bio-ecoregion dan tutupan awan), pemantauan perubahan penutupan lahan dapat mengadopsi metode penginderaan jauh menggunakan citra resolusi tinggi (misalnya: seri Citra Landsat, seri Citra SPOT, IRS) seperti yang digunakan oleh Australia, Brazil, dan United States yang dikombinasikan dengan pengukuran lapangan. Pemantauan seperti ini juga memberikan hasil yang transparan, konsisten dan akurat dari waktu ke waktu. 2. Pemantauan deforestasi aktual (real-time) Pemantauan deforetasi aktual untuk kontrol dan pelaksanaan (control and enforcement) program pemerintah sudah terbukti berhasil di Brazil menggunakan data CBERS dan MODIS, yang menunjukkan perbedaan dalam hal pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sistem pemantauan seperti ini dapat diterapkan di Indonesia untuk memantau deforestasi. 3. Pemantauan degradasi hutan dan pengelolaan hutan lestari (SFM) Brazil sudah mencoba sistem DETEX untuk pemantauan kegiatan tebang pilih di areal konsesi hutan. Degradasi hutan pada skala yang lebih besar dapat dihitung dengan menggunakan model probabilistik. Model parameter bisa bervariasi tergantung tipe proses degradasi. Perubahan stok karbon dari degradasi dapat diukur dengan metode gain-loss. Biomass gain diduga berdasarkan pertumbuhan (mean annual increment) dikurangi dengan biomassa losss yang diduga dari aktivitas seperti pemanenan kayu, dampak kerusakan akibat pemanenan, kebakaran, dsb. Sistem monitoring degradasi hutan seperti ini dapat diadopsi di Indonesia dengan mengkombinasikan data pertumbuhan/riap dengan aktivitas. 4. Inventarisasi hutan nasional Data inventarisasi hutan nasional digunakan untuk menentukan perubahan stok karbon dengan perubahan penggunaan lahan. Untuk dapat menghitung stok karbon pada skala
1
Source: U.S. Environmental Protection Agency. 2011. INVENTORY OF U.S. GREENHOUSE GAS EMISSIONS AND SINKS: 1990 – 2009. Published online at www.epa.gov/climatechange/emissions/usinventoryreport.html, on 15 April 2011. 77
nasional, data spesifik lokasi perlu dikumpulkan dari plot-plot contoh (diutamakan plot permanen) pada berbagai tipe hutan dan diperbaharui secara periodik. Semua negara yang ditelaah di bab ini memiliki sistem inventarisasi hutan nasional (kecuali Australia) untuk menghitung stok karbon terestris secara lebih akurat dan konsisten. Indonesia berencana menuju sistem pelaporan Tier 3 yang mensyaratkan penggunaan data inventarisasi hutan aktual dan pengukuran perubahan biomassa secara berulang dari petak contoh permanen untuk memberikan dugaan emisi GRK secara akurat. Sistem Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) yang sudah dimiliki Indonesia saat ini dapat digunakan sebagai awal untuk menghitung faktor emisi nasional paling tidak untuk komponen biomassa di atas tanah. Pelaporan Tier3 IPCC memerlukan data dari lima carbon pool (biomassa di atas dan di bawah tanah, kayu mati, serasah, dan karbon organik tanah). Dalam pelaporan, Indonesia mungkin bisa mengambil pengalaman dari Brazil yang hanya melaporkan emisi dari sumber biomassa di atas tanah sebagai langkah awal dan menambah empat pool karbon yang lain pada pelaporan berikutnya. 5. Manajemen data and pemodelan sistem Australia sudah mengembangkan sistem perhitungan dan pemodelan karbon secara komprehensif (NCAS) untuk mengintegrasikan informasi perubahan penggunaan lahan, manajemen hutan dan gangguan, data inventarisasi dan biomass expansion factors untuk mendapatkan dugaan perubahan stok karbon hutan nasional secara akurat, konsisten dan transparan untuk pelaporan Tier 3. Dengan bantuan dari Australia, Indonesia saat ini sedang mengembangkan Sistem Perhitungan Karbon Nasional Indonesia (Indonesia National Carbon Accounting System) yang mengintegrasikan berbagai informasi dan data (penginderaan jauh dan inventarisasi hutan nasional) untuk bisa mengantar Indonesia menuju ke pelaporan Tier 3.
78
LAMPIRAN III SPESIFIKASI TEKNIS
Pemantauan Deforestasi (MODEF) Cakupan
Deforestasi didefinisikan secara sederhana sebagai perubahan lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan. Pemantauan, termasuk pengukuran, ditujukan pada aspek fisik dan proses kegiatan. Untuk aspek fisik monitoring dilakukan dengan mencermati dinamika perubahan lahan hutan menjadi lahan bukan hutan secara cepat, otomatis dan periodik bulanan pada level nasional (wallto-wall). Untuk pemantauan proses, pencermatan dilakukan pada tahapan logis dan capaian di masing-masing tahap.
Justifikasi
Pertemuan para pihak di Cancun (COP 16) telah mengadopsi lima aktivitas kehutanan yang berada dalam REDD+, yaitu : (i) menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor LULUCF; (ii) mengurangi emisi dari degradasi hutan, (iii) konservasi stok karbon, (iv) pengelolaan hutan lestari, dan (v) peningkatan stok karbon. Lebih jauh, dalam pembangunan jangka panjang REDD+, Indonesia menambahkan (i) bahwa REDD+ memastikan kelestarian keanekaragaman hayati; dan (ii) meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan bagi masyarakat. Berdasarkan hal ini maka system MRV REDD + yang dibangun tidak hanya sekedar mendukung transaksi perdagangan karbon, tetapi juga memastikan pengelolaan hutan secara lestari, sehingga perlu di bangun sistem MRV yang dapat memberikan data informasi cepat dan akurat mengenai dinamika keutuhan hutan, sehingga dapat diambil langkah pencegahan/intervensi kebijakan. Proxy Deforestasi di desain untuk menyediakan data dan informasi secara berkala (bulanan) mengenai kondisi tutupan hutan national.
Usulan Pendekatan
a) Lembaga Lembaga yang melakukan monitoring deforestasi adalah lembaga MRV atau lembaga teknis yang diserahi mandat oleh lembaga MRV. b) Sistem Monitoring 79
Pertimbangan Teknis Pemantauan deforestasi perlu didukung minimal oleh data penginderaan jauh yang mampu membedakan penutupan lahan hutan dan non-hutan. Pemantauan deforestasi dilakukan periode bulanan sehingga perlu dukungan ketersediaan data secara rutin. Pilihan ini menentukan tingkat resolusi spatial dan resolusi temporal data penginderaan jauh. Data dengan tingkat resolusi spatial tinggi biasanya mempunyai resolusi temporal yang rendah, sebaliknya resolusi spatial rendah akan mempunyai resolusi temporal yang tinggi. Dengan memperhitungkan keberadaan awan (pengaruh cuaca) dan keperluan analisis data pada level deforestasi, pilihan yang paling tepat adalah data resolusi spatial rendah namun memiliki resolusi temporal yang tinggi. Beberapa pilihan data penginderaan jauh disajikan pada Tabel L3 – 1. Pemilihan ini juga didukung oleh serangkaian penelitian yang sudah dipublikasi secara internasional. Pertimbangan Biaya Data penginderaan jauh sampai dengan resolusi sedang telah banyak yang gratis, sehingga biaya tidak menjadi masalah. Banyak tipe instrument penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penutupan lahan secara global/regional, diantaranya adalah NOAA-AVHRR, MODIS, SPOT Vegetation, AATSR, ASTER,dan VIRS (Boyd, Foody dan Ripple, 2002). Teknik atau algoritme yang digunakan untuk memonitor perubahan penutupan lahan sangat beragam. Salah satu teknik yang sudah terbukti efektif adalah indeks vegetasi, yang dibuat berdasarkan band Near Infra Red (NIR) dan Red (Al-Bakri dan Taylor, 2002: Lunetta, Knight dan Ediriwickrema, 2006). Namun dibandingkan dengan NDVI, menurut Boyd, Foody dan Ripple (2002), pemakaian teknik Neural Network menunjukkan hasil yang lebih baik. Selain kedua teknik tersebut, Kressler dan Steinnocher (1999) telah menggunakan NOAA untuk studi perubahan penutupan lahan dengan menggunakan spectral mixture. Data MODIS juga dapat digunakan untuk deteksi clear cutting (Bucha, dan Stibig, 2008).
Tabel L3 – 1. Beberapa pilihan data pengideraan jauh yang dapat digunakan No
Data penginderaan jauh
Resolusi Spasial
Resolusi Temporal
Biaya
1.
National Oceanic and Atmospheric Administration - Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) SPOT vegetasi
1.1 km
1 hari
Publik (tidak dipungut biaya)
1.15 km
46 hari
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)
0.25 km
16 hari
Publik (tidak dipungut biaya) Publik (tidak dipungut biaya)
2. 3.
c) Pelaporan Data yang dilaporkan dari kegiatan monitoring adalah distribusi dan besaran deforestasi yang dirinci menurut provinsi, fungsi kawasan hutan, tipe tanah (gambut/bukan gambut), kawasan hutan dan konsesi pada setiap bulan. Proses analisis yang dilakukan overlay analisis hasil 80
pengukuran/monitoring data penginderaan jauh multiwaktu dengan berbagai peta tematik (Tabel L3 – 2). Dokumen pelaporan ini digunakan sebagai bahan dasar untuk menentukan kegiatan monitoring emisi berbasis lahan nasional. Tabel L3 – 2. Data peta No.
Jenis Peta
Skala
Lembaga
Kendala
1.
Ijin Pelepasan Kawasan
Kementrian Kehutanan
Pemutakhiran
2.
Peta Lahan Gambut
1:50.000 atau 1:100.000 1 : 250 000
Wetland
3.
Peta Administrasi
BPS
4.
Peta IUPHHK-HA & HT beserta RKT-nya Peta Perkebunan
1:50.000 atau 1:100.000 1:50.000 atau 1:100.000 1:50.000 atau 1:100.000 1:50.000 atau 1:100.000 1:50.000 atau 1:100.000 1:250 000
Problem akurasi pada skala detil Pemutakhiran
Kementrian Kehutanan
Pemutakhiran
Kementrian Pertanian
Pemutakhiran
Kementrian Kehutanan
Pemutakhiran
Kementrian Kehutanan
Pemutakhiran
1:50.000 atau 1:100.000
Bakosurtanal
5. 6.
8.
Peta Rehabilitasi (Peta OBIT) Peta Penunjukan Kawasan Hutan Land system
9.
Peta topografi
7.
Bakosurtanal -
Permasalahan yang dapat timbul dalam melakukan analisis untuk pelaporan/reporting adalah berbagai kendala terkait dengan kondisi peta tematik adalah standard peta dan tingkat kemutahiran data. Pemecahan permasalahan ini merupakan kondisi pemungkin (enabling condition) untuk menjamin pelaporan dengan ketidakpastian (uncertainty) yg rendah.
Monitoring Emisi Berbasis Lahan Nasional (NALEM) Cakupan
Emisi berbasiskan lahan adalah emisi yang dikeluarkan tipe-tipe penggunaan lahan. Emisi dihitung sebagai perkalian dua variabel yaitu data aktifitas dan faktor emisi. Data aktifitas adalah cakupan terjadinya aktifitas manusia, sedang faktor emisi adalah koefisien yang mengkuantifikasikan emisi atau serapan per satuan aktifitas. Dalam REDD+, contoh data aktifitas adalah luasan deforestasi (perubahan kategori) dengan satuan hektar sedang contoh faktor emisi adalah banyaknya emisi 81
per hektar. Perhitungan emisi dilakukan secara nasional dengan cara mensintesiskan data dari sub nasional.
Justifikasi
MODEF mampu memberikan informasi lokasi, besaran dan pemicu deforestasi secara periodik dan cepat, namun tidak bisa digunakan untuk menghitung emisi karbon secara akurat, karena tidak sesuai (comply) dengan petunjuk (guideline) yg disepakati internasional karena petunjuk IPCC mensyaratkan pembagian penutupan lahan yang lebih detil. Untuk itu perlu disusun MRV dengan tingkat ketelitian yang lebih detil.
Usulan pendekatan
a) Lembaga Lembaga yang melakukan NALEM adalah lembaga MRV dengan dukungan suplai data dari lembaga terkait. b) Sistem Monitoring Pemantauan penggunaan lahan atau activity data dilakukan secara periodik 2 – 3 tahunan dengan menggunakan data penginderaan jauh dan diolah secara konsisten (data dan metodologi). Resolusi spatial yang digunakan harus mampu mendeteksi berbagai tipe penutupan lahan lebih detil. Ada beberapa pilihan resolusi spasial data penginderaan jauh yang dapat digunakan (Tabel L3 – 3). Untuk mencapai tingkat ketelitian yang tinggi perlu didukung dengan pengamatan lapangan (ground truth) yang representatif berdasarkan tipe penggunaan lahan yang disusun berhirarki sesuai dengan ekoregion-nya. Landsat 5 ataupun Landsat 7 telah secara luas digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan dan analisis perubahan penutupan lahan. Namun, satelit ini memiliki kekurangan, yaitu adanya kerusakan pada instrumen yang menyebabkan tidak sempurnanya citra yang dihasilkan (SLCoff pada landsat 7) dan gangguan awan. Kedua gangguan ini menyebabkan timbulnya data yang tidak lengkap dan bias (error) yang besar dalam analisis, sehingga perlu dicari solusinya. Salah satu teknik yang telah diaplikasikan adalah dengan menggantikan data tidak lengkap tersebut dengan citra komplementer. Sedangkan, untuk gangguan awan diatasi dengan membuat komposit bulanan data landsat yang bebas awan. Teknik ini sering tidak sempurna apabila dilakukan di daerah tropis yg sepanjang tahun tertutup awan. Pada kondisi tersebut, perlu dicari alternatif penggunaan data penginderaan jauh yang bebas pengaruh awan (misalnya: citra RADAR/citra LIDAR). 82
Tabel L3 – 3. Pilihan citra satelit penginderaan jauh untuk NALEM No 1.
Resolusi Spasial 30 m
Resolusi Temporal 16 hari
2.
Data penginderaan jauh Landsat 5/7 atau penggantinya ALOS PALSAR
12.5 – 50 m
46 hari
3. 4.
ALOS AVNIR-2 ASTER VNIR
10 m 15 m
46 hari 16 hari
5. 6.
SPOT 4/5/6 SRTM/ASTER DEM
8 – 10 30 – 90 m
-
Status data Domain publik untuk data arsip Domain publik untuk skala 1 : 50.000 Komersial Komersial untuk resolusi 15 m Komersial Domain publik
Perhitungan faktor emisi nasional, dilakukan dengan mensintesiskan faktor-faktor emisi yang diperoleh di tingkat sub-nasional dengan memperhatikan karakteristik eko-region. Perhitungan faktor emisi secara rinci akan dijelaskan pada pengukuran di tingkat sub-nasional. Lembaga MRV Nasional bertugas membuat stratifikasi tutupan lahan secara umum sesuai dengan kondisinya sehingga setiap stratum dapat menggambarkan adanya keseragaman kawasan. Semua prosedur dan bahan yang digunakan akan dicantumkan untuk memenuhi prinsip keterbukaan. c) Pelaporan Pelaporan dilakukan dengan mengintegrasikan hasil monitoring activity data, faktor emisi & removal dan emisi lahan gambut dengan perhitungan statistik dan analisis spasial. Produk reporting adalah peta penutupan lahan, perubahan penutupan lahan, peta kandungan karbon dan perubahan karbon pada periode analisis pada skala 1 : 250 000. Pada periode jangka pendek (2013) NALEM diharapkan dapat memenuhi persyaratan IPCC, paling tidak Tier 2 untuk dry land, non-peat wetland dan peatland. Pada periode jangka panjang (2021) dapat mencapai Tier 3. Pelaporan dilakukan secara periodik 2 – 3 tahunan, yang mencakup distribusi lokasi deforestasi dan degradasi hutan, luas dan penyebab deforestasi (drivers) baik terencana maupun tidak terencana. Verifikasi akan dilakukan oleh lembaga diluar lembaga MRV Indonesia, yang diberi mandat oleh UNFCCC ataupun investor bilateral.
83
Monitoring emisi dari Lahan Gambut Nasional (NAPEM) Cakupan
Sistem ini mencakup pengkajian dinamika emisi GRK di lahan gambut. Pengkajian dinamika emisi dilakukan dengan menurunkan dari peta sebaran lahan gambut. Peta ini kemudian di-overlay-kan dengan data/peta perubahan tutupan lahan (activity data) untuk mendapatkan nilai emisi gambut dari berbagai macam penggunaan lahan dan perubahannya; sedangkan status hidrologi gambut, terutama ada tidaknya kanalisasi dan genangan (inundation) secara periodik, dapat di kenali lewat pemantauan menggunakan citra satelit berbasis radar yang dikalibrasi dengan pengecekan di lapangan. Setiap tahapan dalam aktifitas, termasuk pelaku, akan dikaji dan dievaluasi sebagai bentuk dari kegiatan monitoring terhadap proses.
Justifikasi
Ekspansi pengelolaan lahan gambut akibat keterbatasan lahan mineral yang tersisa serta ijin dan proses pengelolaan yang belum didukung oleh ketersediaan sistem informasi yang memadai megenai sebaran dan karakteristik lahan gambut merupakan pemicu kunci peningkatan laju emisi GRK dari sektor lahan gambut. Pada tahun 2005, besaran emisi GRK dari sektor pengelolaan lahan gambut sekitar 772 MtCO2, mencapai 38% dari total emisi nasional 2010 (National Communication, 2010). Diprediksikan bahwa emisi GRK dari sektor lahan gambut ini tetap mendominasi profil emisi nasional pada tahun 2020. Kemampuan untuk mengendalikan tingkat emisi dari lahan gambut serta memonitornya merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia. Dari kajian yang ada, tingkat uncertainty dari estimasi emisi GRK dari lahan gambut tingkat nasional masih sangat tinggi, misalnya emisi nasional GRK dari lahan gambut pada tahun 2005, dari 10 kajian berbeda hasil estimasi berkisar antara 470 s/d 2398 MtCO2e (Osaki et al., 2010). Untuk dapat diintegrasikan ke dalam strategi nasional, MRV untuk lahan gambut tidak sematamata dikembangkan untuk memantau tingkat emisi namun juga menyediakan informasi untuk mendukung pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan, terutama menyediakan informasi delineasi makro- dan mikro- untuk kepentingan pemberian ijin dan pemantauan praktek pengelolaan lahan gambut agar tingkat emisinya menjadi lebih terkendali. Informasi mengenai kondisi tutupan lahan, kondisi hidrologis dan kebakaran (hot spot) lahan gambut juga diperlukan pada tingkat nasional untuk mengidentifikasi sebaran lahan gambut yang berpotensi besar sebagai hot spot emisi GRK.
84
Usulan pendekatan
a) Lembaga Lembaga yang melakukan kegiatan ini adalah Lembaga MRV dengan dukungan suplai data dari lembaga terkait. b) Sistem monitoring Penghitungan emisi GRK dari lahan gambut akan dibedakan menurut eco-region, status hidrologi, musim (kering-basah) yang akan menentukan besar faktor emisi, faktor skala (SF) dan faktor koreksi (CF) dalam penghitungan emisi CO2, CH4 dan N2O. Data sebaran lahan gambut diperoleh dengan menggunakan peta gambut yang telah tersedia dan yang akan diverifikasi, status hidrologi akan diperoleh dari citra remote sensing (optik dan SAR) serta besar faktor emisi, faktor skala, faktor koreksi akan diperoleh dari kesepakatan hasil kajian pengukuran yang sudah ada dan akan diperbaiki dengan mengagendakan kegiatan riset yang masih diperlukan. Status gangguan pada lahan gambut akan direpresentasikan dari activity data NALEM. c) Pelaporan Pelaporan dilakukan bersama-sama dengan NALEM .
Monitoring Emisi Berbasis Lahan Sub Nasional/Area Implementasi (ILEM) Cakupan
Melakukan pemantauan dan pelaporan dinamika deforestasi, degradasi dan perubahan emisi, yang dilakukan dengan tingkat ketelitian tinggi (uncertainty rendah), dengan bantuan data peta dan satelit berbasis optik, radar ataupun LIDAR resolusi tinggi serta didukung dengan oleh pengukuran faktor emisi yang akurat di lapangan. Pemantauan juga dilakukan terhadap prosesproses untuk memperoleh nilai faktor emisi.
Justifikasi
Penentuan faktor emisi di tingkat sub-nasional sangat penting sebagai dasar untuk perhitungan di tingkat nasional dan sebagai dasar penentuan kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam konteks REDD+. Karena itu pengukuran di tingkat ini harus mempunyai kecermatan yang tinggi.
85
Usulan pendekatan
a) Lembaga Lembaga yang melakukan adalah lembaga MRV sub-nasional bersama dengan lembaga terkait (lembaga pemerintah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang relevan). b) Sistem Monitoring Ada dua hal yang perlu dimonitor dalam implementasi area yaitu : luasan dan faktor emisi. Data pemantauan (activity data) dapat menentukan luas untuk masing-masing tutupan lahan. Data ini diperoleh dari sistem monitoring pada level sub national/area implementasi yang dibangun dengan menggunakan data satelit beresolusi tinggi, radar dan/atau LIDAR serta didukung juga oleh data/informasi berbagai peta tematik. Pemantauan dilakukan secara periodik dengan metode yang telah diterima secara international dan tahapan proses dikontrol dengan menggunakan protokol/standard QA/QC, sebelum dilaporkan ke lembaga donor/pihak ke tiga untuk di verifikasi. Sistem ini diharapkan sesuai dengan guideline IPCC Tier 3. Penentuan Faktor Emisi di tingkat sub-nasional mengikuti tahapan sebagai berikut : a. Stratifikasi dan Penentuan Luas Teknik untuk stratifikasi dan penentuan luas adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam aspek teknis untuk memperoleh activity data. b. Penentuan aspek-aspek teknik sampling Sampling biomassa dilakukan untuk setiap stratum. Pembuatan stratum dalam teknik sampling bertujuan agar veriabel yang diinginkan di dalam sebuah stratum kurang lebih seragam (Cochran, William G., 1977). Berdasarkan hal ini maka distribusi plot-plot sampel dilakukan secara sistematik dengan awal teracak (systematic random sampling with random start). Desain sistematik akan menjamin bahwa semua areal dalam stratum terwakili dan teknis lapangan mudah dilakukan. Koordinat dari semua plot sampel harus dicatat menggunakan koordinat global (misalnya koordinat UTM). Penentuan jumlah plot sampel dapat dilakukan berdasarkan nilai keragaman variabel yang diinginkan (Snedecor and Cochran, 1971) yaitu biomassa dan tingkat ketelitian yang ingin diperoleh. Keragaman biomassa dapat diperoleh dari informasi survey lain atau melakukan survey awal dengan tujuan untuk menghitung keragaman biomassa. Setelah jumlah plot diperoleh, maka posisi plot kemudian disebarkan dalam bentuk kuadrat, atau dalam bentuk jalur berplot. 86
c. Penentuan bentuk dan ukuran plot Pada hutan alam bentuk plot adalah persegi panjang dan tersarang, dimana pohon berukuran besar diukur pada plot yang besar sedang pohon yang berukuran kecil diukur pada plot kecil. Contoh plot semacam ini digunakan pada RACSA (Aini et el., 2010) atau pada Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (Departemen Kehutanan, 2009), Hal ini penting mengingat bahwa distribusi ukuran (diameter) di hutan alam berbentuk J-terbalik. Contoh bentuk plot sampel yang dapat digunakan adalah bentuk plot untuk pengukuran biomassa/karbon dari Kementerian Kehutanan. Luas plot minimal di hutan alam adalah 0,2 ha. Untuk plot di hutan tanaman atau kebun , luas plot disesuaikan dengan ukuran / umur tanaman. Makin tua tanaman, makin besar ukuran plot. Untuk hutan tanaman yang berumur 5 tahun ke atas , luas plot minimal 0,09 ha (30 m x 30 m). d. Penentuan variabel yang diukur (biomassa, DOM, tanah) Pengukuran biomassa dalam plot dilakukan pada semua carbon pool yaitu biomassa, bahan organik mati dan tanah (IPCC Vol.4, 2006.). Variabel pohon yang diukur dalam plot adalah diameter acuan (diameter pada ketinggian 1,3 m) dari atas tanah dan identifikasi jenis. Variabel ini nantinya akan dikonversikan ke biomassa melalui persamaan-persamaan alometri. Ukuran pohon mati berdiri maupun rebah yang ada di dalam plot juga diukur dan tingkat pembusukannya diestimasi. Tumbuhan bawah yang ada dalam plot , sampel tanah dan juga serasah, langsung ditimbang dan kemudian diambil sampel untuk pengukuran kandungan karbon di laboratorium. Kandungan biomassa bawah tanah dilakukan dengan menggunakan nilai default atau pengukuran langsung kalau kondisinya memungkinkan. Dengan perhitungan standar, dari pengukuran semua variabel ini diperoleh nilai kandungan C per plot yang kemudian dikonversikan ke biomassa per hektar. Contoh teknis pengukuran biomassa untuk hutan tropika disajikan dalam Brown (1997). e. Pembuatan persamaan alometrik Bersamaan dengan pembuatan plot sampel dalam inventarisasi dilakukan pula pengukuran-pengukuran untuk membuat persamaan alometri. Pembentukan persamaanpersamaan biomassaini dilakukan untuk semua bio-ekoregion, mengingat kondisi wilayah yang berbeda-beda. Pengukuran dilakukan dengan destruktif sampling, dengan tujuan untuk mendapatkan data : jenis kayu, diameter acuan, tebal kulit, panjang kayu komersial (merchantable length), tinggi total, volume tajuk, tinggi tunggak dan berat kayu/ satuan volume dan berat kulit/ satuan volume untuk setiap pohon sampel. Dari pengukuran ini bisa dihitung biomassa pohon. Data diameter acuan kemudian dihubungkan dengan biomassa untuk memperoleh persamaan alometrik biomassa. Selain itu data volume 87
individu kayu tebangan juga dihubungkan dengan biomassa untuk memperoleh persamaan alometri volume komersil-biomassa. Persamaan alometri disusun untuk jenis atau kelompok jenis dengan karakter yang sama. . Contoh teknis penyusunan persamaan alometri disajikan dalam Basuki (1997). f.
Perhitungan biomassa / karbon stok Tahapan berikutnya adalah menghitung biomassa plot berdasarkan data jenis dan diameter dari inventarisasi dan persamaan alometri untuk jenis yang bersangkutan. Biomassa plot ini kemudian dikonversikan sesuai ukuran plot menjadi nilai biomassa per hektar. Dari nilai biomassa per hektar dapat dicari nilai statistik rataan dan confidence intervalnya sesuai dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan. Biomassa total dapat diperoleh dengan perkalian biomassa per hektar dengan luas stratum. Citra satelit dapat digunakan untuk menghitung biomassa hutan dengan lebih detail, kalau asumsi ada hubungan yang erat antara nilai spektral citra dengan biomassa terpenuhi. Untuk itu diperlukan membangun sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara biomassa dengan nilai spektral citra. Kalau hubungannya cukup kuat, maka model dapat digunakan untuk menduga biomassa keseluruhan areal. Kalau hubungannya tidak kuat, maka nilai rataan biomassa per hektar dari inventarisasi digunakan sebagai nilai rataan stratum.
g. Perhitungan Faktor Emisi Untuk mengetahui emisi, plot sampel diukur ulang. Desain pengukuran berulang ini dilakukan mengikuti metode Continuous Forest Inventory (Loetsch, et al, 1973) . Perbedaan biomassa menunjukkan adanya emisi atau serapan. Besarnya emisi / serapan dinyatakan dalam satuan ton ha-1 karbon dan kemduain dikonversikan menjadi satuan ton ha-1 CO2 . Data dan informasi dari proses ini harus didokumentasikan dan disampaikan ke Lembaga MRV Nasional. Data harus direkam dalam bentuk digital dan semua proses harus dicantumkan dengan jelas dalam dokumen pengantar. Arsip tentang program perhitungan faktor emisi harus disimpan di Lembaga MRV atau Lembaga yang ditugaskan di daerah. c) Pelaporan Reporting dilakukan secara periodik setiap 2 tahun, yang mencakup distribusi lokasi deforestasi, luas dan penyebab deforestasi (drivers) baik terencana maupun tak terencana,dan perubahan emisi karbon/equivalent CO2 pada setiap tutupan lahan yang digunakan. d) Verifikasi 88
Verifikasi akan dilakukan oleh lembaga diluar lembaga MRV Indonesia, yang diberi mandat oleh UNFCCC dan donor/pihak ke tiga.
Monitoring Emisi dari Lahan Gambut Sub Nasional/Implementasi Area (IPEM) Cakupan
Pada dasarnya menghitung emisi di implementasi area sama dengan cara yang digunakan di tingkat nasional, kecuali bahwa di area implementasi ada pengukuran-pengukuran lapang untuk memperoleh beberapa variabel. Variabel yang diukur antara lain adalah kedalaman gambut, tingkat kematangan gambut dan tinggi muka air. Pengkajian dinamika emisi dilakukan dengan menurunkan dari peta sebaran lahan gambut. Peta ini kemudian di-overlay-kan dengan activity data menggunakan citra satelit resolusi tinggi; sedangkan status hidrologi gambut, terutama ada tidaknya kanalisasi dan genangan (inundation) secara periodik, dapat di kenali lewat pemantauan menggunakan citra satelit berbasis SAR yang dikalibrasi dengan pengecekan di lapangan.
Justifikasi
Karena tingkat uncertainty emisi GRK dari lahan gambut sangat tinggi, maka pada tingkat subnasional/area implementasi akan dirancang pendekatan untuk memperbaiki kualitas pemantauan emisi, meskipun pada awal kegiatan, standar Tier 1 atau menuju 2 akan menjadi acuan. Informasi yang diperlukan untuk menuju Tier 2 atau 3 dari faktor emisi dari lahan gambut ini akan dilakukan dengan cara pemantauan berkelanjutan emisi GRK beserta faktor terkait lainnya (status hidrologi, peat subsidence, peat fire). Kumpulan informasi yang berasal dari riset di Kalimantan Tengah, Jambi dan Riau dapat digunakan untuk merancang kegiatan lebih detil . Selain itu MRV pada lahan gambut, terutama menuju tersedianya peta lahan gambut terverifikasi dengan tingkat resolusi tinggi (misalnya: 1:50.000) juga merupakan prasyarat terlaksananya pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan, terutama dengan menyediakan informasi delineasi makro dan mikro pada tahap proses pemberian ijin dan monitoring/evaluasi atau bahkan guna merancang intervensi kebijakan terhadap pengelolaan lahan gambut yang sudah berijin agar mampu berkinerja berkelanjutan dan berkontribusi terhadap penurunan tingkat emisi GRK.
Usulan pendekatan
a)
Lembaga 89
Lembaga yang melakukan adalah lembaga MRV sub-nasional bersama dengan lembaga terkait (lembaga pemerintah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang relevan). b)
Sistem monitoring MRV gambut akan dikembangkan secara lebih spesifik untuk mampu memberikan informasi mengenai besaran emisi GRK yang berasal dari proses dekomposisi yang biasa dilakukan dengan pengukuran terestris (chamber measurement). Penentuan default value untuk lahan gambut dapat diturunkan dari sintesis dan telaah hasil-hasil kajian mengenai emisi GRK pada lahan gambut di Indonesia yang telah dipublikasikan secara internasional untuk dijadikan sebagai acuan baik pada tingkat nasional atau pada tingkat eco-region. Dari berbagai hasil kajian, status air (terutama tinggi muka air) pada lahan gambut merupakan salah satu pengendali utama tingkat emisi GRK. Oleh karena itu pemantauan status air dalam skala luas secara kontinyu (kombinasi pemasangan automated water-level logger versi ekonomis dan kalibrasi-upscaling dengan citra satelit SAR) merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan pada skala luas. Di lapangan akan dipasang alat pemantauan peat-subsidence untuk memonitor berapa kehilangan lapisan gambut setiap tahun. Untuk mencapai kemampuan MRV memenuhi Tier 3 secara nasional pada masa mendatang, perlu dibangun beberapa stasiun riset lapangan pada berbagai lahan gambut yang representatif dari tiap eco-region (Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, Papua) dimana pemantauan emisi GRK, carbon balance dan proses pengendalinya (controlling-factors) secara kontinyu akan dapat dikoordinasikan secara nasional dengan pendekatan cuttingedge, melibatkan network internasional, nasional dan institusi di daerah masing-masing. Informasi yang dikumpulkan merupakan bahan untuk mengembangkan pemodelan untuk upscaling emisi GRK dan carbon balance dari lahan gambut secara nasional. Data yang sudah tersedia di beberapa stasiun riset di Kalteng, Jambi dan riau dapat digunakan untuk menentukan faktor emisi di kawasan tersebut. Pemantauan juga dilakukan terhadap proses pelaksanaan kegiatan, berdasarkan laporan yang diajukan. Hal ini dilakukan dengan azas keterbukaan.
c)
Pelaporan Reporting dilakukan secara periodik setiap 1 tahun. Laporan ini mencakup distribusi lokasi lahan gambut, gangguan dan penyebab gangguan (drivers) baik terencana maupun tidak terencana dan perubahan emisi karbon/equivalent CO2 pada lahan gambut
d)
Pelaporan
90
Verifikasi akan dilakukan oleh lembaga diluar lembaga MRV Indonesia, yang diberi mandat oleh UNFCCC dan donor/pihak ke tiga. Verifikasi emisi ini dapat dilakukan terhadap : (i) data pengamatan kontinyu di berbagai lokasi, (ii) analisis citra satelit, dan (iii) verifikasi terhadap pemodelan yang diadopsi berdasarkan kesepakatan yang telah diambil oleh suatu panel yang beranggotakan ahli nasional dan international yang ditunjuk.
Sistem Informasi Jasa Lingkungan dan Driver Deforestasi dan Degradasi Hutan Cakupan
Sesuai dengan yang tertera pada Stranas REDD+, kerangka pengaman (safeguards) merupakan sebuah kriteria dan indikator yang tercakup di dalam kebijakan nasional untuk memastikan bahwa pelaksanaan REDD+ tidak menyimpang dari tujuan awalnya, terutama adanya risiko-risiko yang terkait dengan isu sosial, isu tata kelola keuangan dan isu dampak terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian safeguards dapat dikatakan sebagai kerangka pengaman untuk semua pelaksanaan aktifitas REDD+. Mengingat kawasan REDD+ yang luas dan peluang-peluang untuk bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan daerah, maka kerangka ini penting untuk disosialisasikan agar dapat diketahui banyak fihak yang berkepentingan. Diseminasi kerangka pengaman yang murah dan dapat dengan mudah diakses orang adalah dengan membangun website. Dengan sifatnya yang berjangka panjang, maka perlu adanya pengelolaan untuk menjaga isi dan keberlanjutan website tersebut. Agar cakupannya luas dan pengelolanya mudah mendapatkan data yang diperlukan, maka website akan dikelola oleh lembaga MRV Nasional.
Justifikasi
Dalam pelaksaan aktifitas REDD+ , dengan cakupan areal yang luas maka besar kemungkinan akan ada konflik yang muncul dengan antara pelaksana program dengan masyarakat setempat. Selain itu, banyak proyek atau kegiatan yang pelaksanaannya tertutup tanpa memberi informasi dan tanpa melibatkan masyarakat. Pelaksanaan aktifitas terkadang tidak selaras dengan program kehutanan atau program masyarakat yang sedang berjalan. Semua hal ini menunjukkan dibutuhkannya suatu sistem informasi yang mampu menyampaikan keberadaan dan rambu-rambu aktifitasnya. Rambu-rambu ini dalam REDD+ disebut dengan safeguards (rambu-rambu pengaman) dan sebagaimana disebutkan sangat dibutuhkan sebagai bentuk transparansi kegiatan. Safeguards ini sudah menjadi bagian dari keputusan REDD+dalam COP 16 (1/CP.16.) dan wajib dilaksanakan oleh pelaksana REDD+ . 91
Informasi mengenai safeguard
Setelah evaluasi pengaman awal, pelaksana proyek/program menyusun langkah‐langkah mitigasi risiko yang diidentifikasi, dan menjalankannya bersamaan dengan pelaksanaan proyek/program. Pengaman bukan merupakan suatu hal yang baru karena saat ini hal tersebut telah termuat pada beberapa peraturan perundang‐undangan di Indonesia dan diterapkan dalam berbagai proyek pembangunan fisik. Informasi mengenai driver dan safeguard ini akan disajikan dalam web interface agar dapat diakses oleh publik, namun juga memberi peluang bagi banyak pihak untuk mengunggah informasi yang mereka punyai sehingga merupakan salah satu bentuk partisipasi aktif dalam pembangunan sistem informasi. Dalam hubungannya dengan aktifitas REDD+, safeguards tersebut adalah: 1. Tindakan-tindakan yang dilaksanakan harus konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional, dengan konvensi dan persetujuan-persetujuan internasional. 2. Keterbukaan dan mempunyai struktur tata kelola hutan yang efektif. 3. Menghargai pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. 4. Partisipasi penuh dan efektif dari semua stakeholder yang relevan. 5. Tindakan yang dilaksanakan harus konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman biologi. 6. Tindakan harus memperhatikan resiko pembalikan (permanence) 7. Tindakan harus mengurangi pemindahan emisi (kebocoran) Informasi tersebut harus disebarluaskan melalui sebuah sistem, tentang bagaimana safeguards ini harus diperhatikan dan dipatuhi dalam implementasi aktifitas REDD+. Untuk ini dibutuhkan sebuah Sistem Informasi Safeguards REDD+. Sistem Informasi harus menyediakan semua informasi penting secara terbuka, juga bagaimana safeguards diperhatikan dalam implementasi aktifitas demonstrasi (DA) REDD+ di level nasional dan sub-nasional. Safeguards ini harus sudah berjalan di tahap II REDD+. Informasi yang disediakan harus tersedia secara terbuka bagi banyak orang, selain itu pengelolaannya juga harus efisien. Untuk memenuhi kondisi itu, salah satu usaha yang dianjurkan adalah dengan membangun web-portal. Informasi yang harus diadakan meliputi: 1. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penggunaan lahan. 2. Tanah atau wialayah adat, serta semua tindakan Pemerintah yang mempromosikannya. 3. Struktur dan fungsi tata kelola lembaga penggunaan lahan , dari pemerintahan pusat dan pemerintah provinsi, termasuk kawasan yang dilindungi. 4. Aktifitas-aktifitas swadaya , seperti LSM, swasta, dan masyarakat.
92
Sistem informasi disarankan dibangun oleh Lembaga REDD+ Nasional yang dalam implementasinya harus diarahkan komisi independen yang terdiri dari berbagai stakeholder. Untuk mendukung fungsi penyebaran informasi, berarti lembaga REDD+ nasional ini juga harus mempunyai data sosial, geospasial, tata kelola dan data penting lainnya. Selain itu lembaga REDD+ harus mengelola website dengan mengunggah dan mengunduh data dan informasi terkini. Semua pihak yang terkait dengan program REDD+, seperti Kementerian Kehutanan, LAPAN, Lembaga Penelitian, harus bersedia untuk memberikan datanya. Paling tidak ada 6 tahapan yang harus dilakukan berkaitan dengan pengelolaan sistem informasi safeguards yaitu: 1. Penyiapan peraturan tentang sistem informasi safeguards termasuk lembaganya. 2. Legalisasi lembaga yang menangani sistem informasi. 3. Membangun jaringan kerja terkait sistem informasi dan mengatur bentuk hubungan dengan stakeholder. 4. Pengadaan data dan informasi meliputi aspek legal, pengelolaan, sosial dan keruangan. 5. Perancangan website 6. Pembukaan website dan pengelolaannya termasuk updating data.
93