DRAFT COPY
BAPPENAS
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Draft Strategi Nasional REDD+
DRAFT COPY
Draft Strategi Nasional REDD+
ii
Draft Strategi Nasional REDD+
Daftar Isi Kata Pengantar Executive Summary
iii v
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Visi dan Tujuan Dasar Hukum Ruang Lingkup Pengertian
1 2 4 5 6 7
BAB II ANALISIS KONDISI DAN PERMASALAHAN Emisi Dari Sektor Penggunaan Lahan dan Kehutanan di Indonesia Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Penyebab Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan Kondisi Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia
9 10 11 16 27
BAB III STRATEGI NASIONAL REDD+ Strategi Pemenuhan Prasyarat Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) Strategi reformasi pembangunan sektor
29 30 31 36
BAB IV SISTEM TERUKUR, DAPAT DILAPORKAN DAN DAPAT DIVERIFIKASI (MEASURABLE, REPORTABLE AND VERIFIABLE (MRV))
41 41
BAB V PENGADMINISTRASIAN DAN PENGARUSUTAMAAN STRANAS DAN RAN REDD+ PADA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
45
BAB VI PENUTUP
51
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
53 55
Draft Strategi Nasional REDD+
iii
Kata Pengantar
BAPPENAS
BADAN PERENCANAANPembangunan PEMBANGUNAN NASIONAL Menteri Perencanaan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rakhmat dan karunia-Nya, Naskah Strategi Nasional Naskah Strategi Nasional Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasri Hutan (Stranas REDD plus) dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini dapat dikategorikan luar biasa, karena Stranas REDD+ dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, namun telah melalui suatu proses yang inklusif. Saya sangat memahami penyusunan naskah Stranas REDD+ dilakukan melalui suatu proses yang cukup melelahkan untuk meramu proses teknokratik, partisipatif, bottom up dan top down secara sekaligus dalam intensitas dan frekuensi kerja yang tinggi. Penyusunan Stranas REDD+ dilatarbelakangi dengan adanya komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usual/tanpa rencana aksi). Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan karena merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Kondisi ini kemudian distimulasi dengan ditandatanganinya Letter of Intent antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Norwegia yang mensyaratkan pembentukan suatu strategi nasional yang disusun secara inklusif. Indonesia merupakan transmitor utama gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, namun Indonesia juga sangat rentan terhadap dampak pemanasan global yang akan menyebabkan kekacauan ekonomi dan merusak hasil yang telah dicapai sehubungan dengan Pembangunan Milenium. Hujan yang tidak dapat diperkirakan, banjir, musim kemarau, dan bencana alam yang lebih sering terjadi telah mempengaruhi jutaan penduduk Indonesia, terutama kaum miskin yang tinggal di daerah kumuh perkotaan dan daerah pedalaman di Timur Indonesia. Inilah sebabnya Program UN-REDD, dan dukungan dari negara-negara sahabat, menjadi sangat penting bagi Indonesia. Reducing Emissions from Deforestration and Forest Degradation (REDD) merupakan inisiatif global yang bertujuan memberikan kompensasi melalui pasar karbon global untuk negara-negara yang berhasil mengurangi tingkat emisi nasional dengan menghentikan dan membalikkan penggundulan hutan dan degradasi tanah. Permasalahan ini sebenarnya telah diantisipasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Disebutkan bahwa Pembangunan sumber daya hutan ke depan tidak lagi difokuskan pada pemanfaatan kayu saja, tetapi perlu melihat manfaat hutan dalam mempertahankan keseimbangan siklus hidrologi. Karena itu, selain harus menerapkan konsep
iv
Draft Strategi Nasional REDD+
pembangunan hutan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersisa maka upaya rehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis serta perlindungan dan konservasi sumber daya hutan pada Daerah Aliran Sungai harus menjadi prioritas nasional. Arah pembangunan ini kemudian dipertajam dan dielaborasi lebih lajut oleh Stranas REDD+ ini, tentunya dengan mempertimbangkan berbagai data dan informasi terkini, serta berbagai inisiatif yang telah ada, termasuk Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Stranas REDD+ diharapkan juga akan menjadi bagian integral dari upaya Pemerintah untuk mengantisipasi pemanasan global. Dalam jangka panjang, Stranas REDD+ juga diharapkan berkontribusi terhadap pencapaian visi bangsa menuju masayarakat adil, makmur, aman, damai dan sejahtera. Strategi-strategi yang ditawarkan dalam Stranas REDD+ ini dilaksanakan melalui pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), intervensi dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan pengelolaan sektor utama yaitu kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor penunjang (perkebunan dan pertanian, pertambangan), serta pengarus-utamaan strategi dan rencana aksi pada semua tingkatan kelembagaan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten maupun unit manajemen. Strategi ini diharapkan akan ditindaklanjuti dalam bentuk rencana aksi yang realistis, konkrit dan tercapai indikator pemenuhannya.
Jakarta, November 2010 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana
Draft Strategi Nasional REDD+
v
Executive Summary Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk menyusun Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) sebagai dasar dalam melakukan penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan yang terkait dengan REDD+. Stranas REDD+ berisikan identifikasi penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan tanaman. Karena pertimbangan adanya strategi dari sektor pertanian ,pertambangan dan penggunaan lahan lainnya maka ruang lingkup Stranas REDD+ setara dengan LULUCF (land use, land use change and forestry). Analisa permasalahan deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penerapan REDD+ ini bertujuan untuk menyediakan data, informasi dan pengetahuan mengenai fenomena atau gejala yang dianggap sebagai masalah deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat ditentukan alternatifalternatif solusi bagi pengambilan keputusan. Berdasarkan analisa fishbone maka dapat diidentifikasi beberapa masalah utama penyebab deforestasi dan degradasi yaitu tata tuang yang lemah, unit manajemen hutan yang tidak efektif, lemahnya tata kelola, permasalahan tenurial dan dasar hukum serta penegakan hukum lemah. Berdasarkan perumusan masalah penyebab utama tersebut maka dapat dirumuskan menjadi tiga strategi yaitu strategi pemenuhan prasyarat, strategi pemenuhan kondisi pemungkin (enabling conditions) dan reformasi pembangunan sektor. Strategi pemenuhan kondisi pemungkin terdiri dari program pembuatan peraturan yang terkait
pelaksanaan REDD+, program pembentukan metodologi REDD+. Strategi pemenuhan kondisi pemungkin terdiri dari program reformasi perencanaan pembangunan sektor penggunaan lahan, program reformasi dasar dan penegakan hukum, program pelibatan pemangku kepentingan dan program penguatan tata kelola. Penjabaran strategi reformasi pemangunan sektor terdiri dari program reformasi pembangunan sektor kehutanan, program reformasi pembangunan sektor pertanian, reformasi pembangunan sektor pertambangan dan program sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan. Partisipasi Indonesia di dalam REDD+ mengharuskan Indonesia membangun sistem terukur (measurable), dapat dilaporkan (reportable) dan dapat diverifikasi (variable) (MRV) agar setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di dalam hutan dapat diukur secara akurat. Strategi Nasional REDD+ ini akan dapat dijalankan apabila dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan serta pembangunan mekanisme penerapan REDD+ di beberapa daerah. Selain itu, dukungan pembiayaan juga merupakan hal yang sangat penting untuk meaksanakan kegiatan-kegiatan REDD+. Untuk memastikan pelaksananaan Strategi Nasional (Stranas) dan Rencana Aksi Nasional (RAN) REDD+ berjalan dengan baik, kerangka kerja monitoring dan evaluasi perlu disusun sebagai pedoman monitoring dan dievaluasi Stranas dan RAN REDD+. Penerapan Strategi Nasional hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu pengarusutamaan strategi nasional REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.
Draft Strategi Nasional REDD+
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Draft Strategi Nasional REDD+
Latar Belakang Kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah terjadi sejak abad ke 19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pemanasan global (global warming). Peningkatan emisi yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sangat drastis dan membawa dampak berupa kemarau yang berkepanjangan, banjir, badai dan peningkatan permukaan air laut. Hal itu mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi penduduk dunia yang tinggal di daerah sekitar pantai sampai pegunungan, penurunan kualitas lingkungan global dan ancaman ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang. Sesuai dengan Stern Review (2006) deforestasi dan degradasi hutan berkontribusi sebesar kurang lebih 18% dari emisi global, dari jumlah tersebut 75% nya berasal dari negara-negara berkembang. Kondisi tersebut menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat lokal, fungsi daerah-daerah aliran sungai serta keberadaan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, pengurangan jumlah emisi karbon dari sektor kehutanan menjadi penting karena tidak saja mendukung upaya dunia untuk membatasi terjadinya peningkatan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi juga memberikan manfaat lain bagi kepentingan masyarakat, ekosistem dan keanekaragaman hayati. Menurut Stern, tindakan yang cepat untuk mengurangi emisi dari sektor ini harus segera dilakukan. Dukungan internasional untuk membantu negara berkembang dalam mengurangi emisi dari sektor ini juga harus dilaksanakan. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usual/tanpa rencana aksi)1. Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan karena
1 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20, Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009.
merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Hutan tropis di Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Namun di sisi lain laju kehilangan hutannya relatif sangat cepat akibat dari tingginya deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, Indonesia memiliki posisi sangat penting dalam menyukseskan program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus atau disingkat sebagai REDD+). Untuk merealisasikan pengurangan emisi GRK sesuai dengan target di atas perlu disusun berbagai intervensi serta rencana aksi yang disesuaikan dengan kebijakan program mitigasi perubahan iklim di berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, antara lain meliputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Isu deforestasi sendiri muncul dibawah agenda “Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara Berkembang (RED)” pada saat Konferensi Antar Pihak (Conference of Parties-COP) ke 11 dalam kerangka United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC) di Montreal pada tahun 2005 dan direspon secara positif oleh banyak negara. Dalam berbagai forum di bawah UNFCCC termasuk COP dan Subsidiary Body (SB), banyak pihak memandang bahwa skema RED seharusnya melibatkan partisipasi dari semua negara. Tantangan terbesar dari isu ini adalah cara mengatasi perbedaan kondisi nasional pada masing-masing negara diakomodasi secara adil dan proporsional dengan mempertimbangkan pendekatan pemecahan isu kehutanan di bawah konvensi iklim.
Draft Strategi Nasional REDD+
Istilah REDD Plus (REDD+) muncul pada saat diselenggarakan konferensi perubahan iklim ke 13 (COP 13) pada tahun 2007 di Bali. Istilah yang termuat dalam Bali Action Plan paragraf 1 b (iii) ini pertama digunakan di dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang di bawah konvensi pada sesi ke-6 di Bonn pada tanggal 12 Juni 2009 (catatan kaki dokumen FCCC/AWGLCA/2009/8, 19 Mei 2009). Dalam dokumen ini, aksi di bawah paragraf 1 b (iii) Bali Action Plan yang berisikan isu yang terkait pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang dan pentingnya peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di
3
negara berkembang disebut secara bersama sebagai REDD+. Istilah REDD+ juga termuat dalam Copenhagen Accord sebagai hasil pertemuan COP ke 15 pada tahun 2009 di Kopenhagen. Untuk mengantisipasi negosiasi global dalam UNFCCC khususnya yang terkait dengan REDD+ maka Pemerintah Indonesia telah melakukan kerjasama dengan beberapa mitra untuk mengembangkan Demontration Activities (DA) REDD. Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk menyusun Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) sebagai dasar dalam melakukan penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan yang terkait dengan REDD+.
4
Draft Strategi Nasional REDD+
Visi dan Tujuan Visi
Pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan dalam rangka mitigasi perubahan iklim
Tujuan
Strategi Nasional REDD+ dalam jangka menengah (hingga 2020) bertujuan untuk: »» Peningkatan dan penyempurnan perencanaan, terutama terkait dengan penataan ruang, penatagunaan lahan, dan proses perijinan pemanfaatan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. »» Penurunan emisi GRK, khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan lahan (LULUCF) melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dan menciptakan sebuah pijakan bagi pengurangan emisi yang lebih substansial dengan investasi lebih lanjut.
»» Peningkatan stok karbon melalui kegiatan pengelolaan hutan secara lestari, konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi hutan. »» Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan kawasan hutan. »» Peningkatan pengelolaan sumberdaya alam hayati melalui pelestarian ekosistem yang bernilai tinggi, melindungi keanekaragaman hayati dan terjaganya fungsi daerah aliran sungai »» Peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia dan pendanaannya di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam progam pengelolaan hutan secara lestari dan pelestarian kawasan lindung.
Draft Strategi Nasional REDD+
5
Dasar Hukum Dasar Hukum yang digunakan untuk penyusunan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ terdiri dari: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change; 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim; 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025; 9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika;
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan; 17. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014;
6
Draft Strategi Nasional REDD+
Ruang Lingkup Stranas REDD+ berisikan identifikasi penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan tanaman. Karena pertimbangan adanya strategi dari sektor pertanian ,pertambangan dan penggunaan lahan lainnya maka ruang lingkup Stranas REDD+ setara dengan LULUCF (land use, land use change and forestry). Stranas REDD+ juga merupakan panduan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun program-program yang mendukung pelaksanaan REDD+. Stranas REDD+ merupakan panduan/ guidelines implementasi REDD+ dalam kaitannya dengan pemenuhan komitmen penurunan emisi 26%, 41% dan lebih dari 41%. Apabila dikaitkan dengan implementasi
Nationally Appropiate Mitigation Actions (NAMA’s) maka 26% dapat dikategorikankan sebagai unilateral NAMA’s, 41% sebagai supported NAMA’s (dukungan dana asing) dan di atas 41% sebagai carbon credit atau mekanisme pasar. Dalam pelaksanaan ketiga kategori tersebut, kegiatan kapastitas building dan transfer teknologi merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara kontinyu dan didukung oleh pendanaan hibah internasional. Pada dasarnya Strategi Nasional REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Stranas REDD+ ini kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Aksi Nasional REDD+ (RAN REDD+) sebagai dokumen kerja yang menjadi landasan bagi berbagai Kementerian/ Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan penurunan emisi dari sektor kehutanan dan tata guna lahan.
Grafik 1. Kategori NAMA’s berdasarkan komitmen Presiden RI
Draft Strategi Nasional REDD+
7
Pengertian Mempertimbangkan adanya berbagai definisi terkait dengan REDD+, LULUCF dan AFOLU, hutan, deforestasi, degradasi, gambut dan kawasan hutan, maka dokumen Stranas dan RAN REDD+ perlu menetapkan definisi kerja yang dipergunakan. Diharapkan, pengertian yang ditetapkan ini menjadi rujukan dalam penyusunan strategi, program dan kegiatan di dalam Stranas dan RAN REDD+. Sejumlah pengertian terkait dengan REDD+ adalah sebagai berikut: REDD+ Definisi REDD Plus (REDD+) berdasarkan pada Bali Action Plan paragraf 1 b (iii), yaitu ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang. Hutan Menurut UU No 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan Hutan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Deforestasi Deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10% untuk jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m (in situ) dan areal minimum 0,5 ha (FAO). Degradasi Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan
atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan. Dalam lingkup REDD, degradasi hutan berakibat pada hilangnya karbon dari ekosistem. Satu cara untuk mengukur degradasi adalah dengan mengukur pengurangan cadangan karbon per unit area (misalnya hektar). LULUCF (Land use, land use change, and forestry ) adalah sektor alih guna lahan dan kehutanan yang mengakibatkan terjadinya emisi gas rumah kaca, sebagai akibat kegiatan manusia (IPCC). AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) adalah sektor-sektor Pertanian, Kehutanan, dan Pengguna Lahan lainnya yang berperan dalam emisi gas rumah kaca (GRK). Istilah ini diterapkan dalam Pedoman Umum Inventarisasi GRK. ( IPCC Guideline 2006). Kawasan bergambut Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama (Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung. Lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon (carbon stock) yang lebih tinggi daripada lahan mineral karena karakteristik morfologi tanahnya. Kandungan karbon di bawah permukaan lahan gambut dapat mencapai sebesar antara 300-6.000 t C per hektar. Semakin dalam gambut, semakin tinggi juga jumlah karbon yang dapat disimpan. Lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan cenderung lebih dalam dibandingkan dengan di Papua, (BAPPENAS, 2010). REL/RL Menurut UN Doc FCCC/SBSTA/2008/6, REL (Reference Emission Level) atau tingkat emisi referensi adalah basis atau baseline untuk mengukur emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, berdasarkan data historis,
8
Draft Strategi Nasional REDD+
dengan mempertimbangkan, inter-alia, tren/ kecenderungan, awal waktu dan panjang periode referensi, ketersediaan dan keandalan/ keterpercayaan data historis, dan situasi/ kondisi khusus/ spesifik nasional. Hasil pertemuan para ahli REDD-UNFCC yang diadakan di Bonn, 23-24 Maret 2009, RL (Reference Level) atau tingkat referensi yang artinya jumlah net/emisi kotor dan kepindahan dari wilayah geografis diperkirakan dalam jangka waktu referensi (konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan karbon stok). MRV MRV (Measurable, Reportable and Verifiable) merupakan bagian dari sistem monitoring dan evaluasi dari aksi mitigasi yang akan didaftarkan oleh negara-negara kepada
UNFCCC. Dalam pelaksanaannya, MRV harus mengikuti prinsip prinsip yang berlaku dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto, khususnya prinsip common but differentiated responsibilities and respective capablities serta historical responsibilities dari emisi GRK setiap negara. Displacement of emission atau leakage adalah dampak dari kegiatan mitigasi penurunan emisi yang terjadi di luar lingkup kegiatan reforestasi dan rehabilitasi serta konservasi hutan. Kegiatan REDD+ yang mempunyai lingkup nasional maka leakage menjadi tidak ada.
Draft Strategi Nasional REDD+
9
BAB II
ANALISIS KONDISI DAN PERMASALAHAN
10
Draft Strategi Nasional REDD+
Emisi Dari Sektor Penggunaan Lahan dan Kehutanan di Indonesia Di level nasional Hutan memainkan peran penting dalam siklus karbon global. Hutan dapat berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi (removal). Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional dengan berbasis (base-year) tahun 2000 mendapatkan bahwa sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter). Emisi ini pada umumnya berasal dari deforestasi, degradasi, dan kebakaran hutan termasuk gambut (2nd National Communication, 2009). Indonesia “Net Emitter” Emisi GRK Nasional (base year 2000)
Kebakaran gambut 13%
Limbah 11%
Energi 20%
Industri 3% Pertanian 6%
Sektor
Gg CO2e
Energi
280938
Industri
42815
Pertanian
75420
LUCF (tidak termasuk kebakaran gambut)
649254
Kebakaran Gambut
172000
Limbah
157328
LUCF 47%
Total tanpa LUCF Total dengan LUCF (termasuk kebakaran gambut)
535730 1 356 984
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2009 (Second National Communication)
Gambar 1. Profil Emisi Sektor Kehutanan di Tingkat Nasional
9:)(),&.$),+;6<,8===>8==?,@A2BC"-D,8==EF 5"-.,-%/,6782
!"#$%&"'()
*#+,,,,
!"-./ 0%/12$()
!"-./ 0%/(2$1.()
!"#$"%&'(&&)%*+,-&.#,/,&0123*%&41563"7"7&8,&06$&9"/,*7"-
!"-./ +)/&"/3
+.)//4.
Gambar 2. Profil Emisi Sektor Kehutanan di Sub Nasional
Pada tahun ....., sektor kehutanan menyumbang 48% emisi GRK nasional. Angka ini termasuk paling besar dibandingkan sektor lain. Untuk dapat lebih berperan bagi kehidupan di dunia, Indonesia berkomitmen menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020 dengan dana sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Peran sektor kehutanan menjadi sangat penting karena untuk menurunkan emisi sebesar 26% maka sektor kehutanan berkontribusi sebesar 14%. Besaran target yang telah dicanangkan Pemerintah ini perlu direalisasikan ke dalam tindakan nyata di lapangan dan dapat diukur, dilaporkan, transparan, dan diverifikasi oleh pihak independen. Kuantifikasi dari upaya menurunkan emisi ini perlu dilakukan dengan cara pengurangan terhadap sumber-sumber emisi di sektor kehutanan yang dibedakan atas fokus dan locus program dan kegiatan.
Di Level Sub Nasional Dari kontribusi sektor kehutanan sebesar 48% terhadap emisi GRK nasional, besaran emisi di sub-nasional bervariasi dari satu pulau ke pulau lainnya, demikian pula di level propinsi maupun kabupaten. Bila dilihat lebih jauh, besarnya emisi ini berasal dari sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) pada tahun 2000-2005 yang mencapai angka laju deforestasi seluas 5.45 juta ha atau rata-rata 1.1 juta ha per tahun. Selain dari deforestasi, kontribusi emisi GRK dari sektor LULUCF juga berasal dari kebakaran lahan gambut dan konversi lahan gambut di dalam kawasan hutan bagi perkebunan.
Draft Strategi Nasional REDD+
11
Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Pemicu deforestasi dan degradasi hutan berasal dari dalam dan luar sektor kehutanan. Dari dalam sektor kehutanan, pemicu deforestasi dan degradasi hutan dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kegiatan, yaitu 1) Penebangan baik illegal maupun dari pengelolaan hutan yang tidak lestari, 2) kebakaran hutan, 3) perubahan hutan alam (tanah mineral dan gambut) untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta 4) lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan konsesi hutan. Dari luar sektor kehutanan, pemicu deforestasi dan degradasi hutan antara lain 1) perambahan hutan oleh masyarakat, 2) kebakaran lahan (non kawasan hutan), 3) perluasan permukiman, 4) pemekaran wilayah, 5) ekstensifikasi perkebunan (sawit, karet, kakao, kopi), 6) ekstensifikasi lahan pertanian, 7) pembukaan tambak di hutan mangrove, 8) peningkatan lahan penggembalaan (pasture land), 9) pertambangan, dan 10) pembangunan infrastruktur. Penyebab tersebut diatas dapat bertambah, dan pada dasarnya adalah fakta yang dapat dikategorikan sebagai gejala (phenomena) penyebab deforestasi dan degradasi hutan. Penyebab utama terjadinya deforestasi dan degradasi hutan perlu dikaji lebih mendalam mengingat tingginya kemungkinan kaitan antara satu faktor dengan faktor penyebab lainnya sehingga rumusan masalahnya dapat dipahami secara lebih objektif dan lengkap. Kelengkapan dan kedalaman pemahaman terhadap permasalahan ini sangat berpengaruh pada proses pengambilan keputusan untuk penanganannya.
Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia mempunyai luas daratan yang terbagi menjadi kawasan hutan dan areal penggunaan lain seluas 187.787 juta hektar. Berdasarkan tutupan lahan atau hutannya, luas daratan tersebut yang tertutupi dengan hutan (forest cover) seluas 100.740 juta hektar sedangkan luas wilayah yang tanpa tutupan hutan seluas 87.047 juta hektar. Menurut status hukum yang berlaku luas daratan Indonesia tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kawasan hutan dengan luas 132.399 juta hektar dan areal penggunaan lain seluas 55.388 juta hektar. Dari luas kawasan hutan 132.399 juta hektar, luas tutupan hutan di dalam kawasan hutan seluas 92.328 juta hektar atau 49% dari luas daratan Indonesia. Sedangkan luas wilayah yang tidak tertutup hutan di dalam kawasan hutan seluas 40.071 juta hektar atau 21% dari luas daratan Indonesia. Luas tutupan hutan di areal penggunaan lain seluas 8.412 juta hektar atau 4% dari luas daratan Indonesia. Sedangkan luas wilayah yang tidak tertutup hutan adalah 49.976 juta hektar atau dengan kata lain sebesar 25% dari total daratan Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan pada tahun 2006, perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi tidak berhutan seluas 42.263 juta hektar. Sebagian besar luasan tersebut berupa perubahan menjadi alang-alang yaitu sebesar 36%. Sedangkan yang menjadi lahan
Tabel 2.1. Tabel Rekalkulasi Tutupan Lahan Penutuan Lahan
Kawasan Hutan
Areal Penggunaan Lain
Total
Area (ha)
%
Area (ha)
(%)
Area (ha)
%
2
3
4
5
6
7
92,328 (Primer= 43,801; (LOA=48,526)
49
8,412
4
100,740
54
Tidak Berhutan
40,071
21
56,976
25
87,047
46
Total
132,399
71
55,388
29
187,787
100
1 Berhutan
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2008, diolah dari Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006
12
Draft Strategi Nasional REDD+
pertanian sebesar 26%. Sedangkan sisanya terdiri dari semak, wetland, perumahan dan penggunaan lainnya. Tingkat deforestasi per tahun di Indonesia bervariasi dari periode tahun satu ke berikutnya. Pada periode tahun 1990 – 1996, rata-rata laju deforestasi per tahun di Indonesia adalah 1,87 juta hektar. Laju ini terus meningkat dengan cepat pada periode tahun 1996 – 2000 yang mencapai 3,51 juta hektar. Kemudian laju ini menurun sekitar 1,08 juta hektar per tahun pada periode tahun 2000 – 2003 dan kembali meningkat sekitar 1,17 juta hektar pertahun pada periode waktu 2003 – 2006. Dari hasil histori data tersebut maka laju deforestasi di Indonesia dapat diproyeksi sekitar 1,125 juta hektar per tahun. Dalam hal dedradasi hutan, berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2010, rata-rata degradasi hutan di Indonesia yang disebabkan aktivitas logging sebesar 0,626 juta hektar per tahun.
Potensi Deforestasi Akibat Tekanan Sektor Pertanian Sektor pertanian secara umum merupakan sektor yang cenderung secara signifikan akan terkena dampak perubahan iklim, terutama tanaman pangan. Namun demikian, bidang pertanian juga menghasilkan emisi GRK. Tanpa Rencana Aksi (BAU) di lahan padi sawah non-gambut akan menghasilkan emisi CH4 dan N2O dalam kondisi tergenang (anaerobik), sedangkan padi sawah di lahan gambut emisi GRK yang dikeluarkan terutama adalah CH4. Untuk perkebunan di lahan gambut karena kondisi yang dibutuhkan anerobik, maka emisi GRK utama yang dilepaskan adalah CO2. Emisi kumulatif GRK di bidang pertanian bila tanpa dilakukan rencana aksi (BAU) diperkirakan 117 juta ton CO2. Sektor pertanian juga berpotensi menyumbang Tabel 2.2. Proyeksi kebutuhan bahan pangan pokok tahun 2020. No. Komoditas
Perkiraan Kebutuhan di 2020 (juta ton)
1
Beras
37.021*
2
Jagung
18.940**
3
Kedelai
2.381**
4
Gula
2.530
* beras, setara 68,8 juta ton gkg. **biji kering
emisi karbon signifikan bilamana terjadi pembukaan lahan baru pada areal yang masih berhutan atau areal bergambut pada kedalaman di atas 3 meter. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, sektor pertanian perlu melakukan beberapa kebijakan untuk menurunkan emisi GRK. Berdasarkan data BPS (2008) total luas lahan pertanian adalah 69,15 juta Ha. Sedangkan menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2008 (table 2.1) menunjukan bahwa Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk untuk pertanian, pemukiman, infrastuktur da lainlain seluas 55,388 juta hektar. Dari data penggunaan lahan sejak tahun 1986 sampai tahun 2004 terlihat bahwa luas lahan sawah tidak banyak mengalami perkembangan, bahkan menurun dari 8,5 juta ha pada tahun 1993 menjadi 7,7 juta ha pada tahun 2004. Perluasan areal yang pesat terjadi pada perkebunan, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, dan lada. Perkembangan terbesar adalah perkebunan sawit yaitu dari 593.800 ha di tahun 1986 menjadi sekitar 6,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan areal secara besarbesaran terjadi sejak tahun 1996. Luas lahan perkebunan kakao juga berkembang dari 95.200 ha pada tahun 1986 menjadi 1,2 juta ha pada tahun 2006. Pada konteks ketahanan pangan, untuk mempertahankan bahan pangan pokok tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 2.2. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut diperlukan perkiraan tambahan lahan seluas 1,6 juta ha lahan sawah dan 2,4 juta ha lahan kering pada tahun 2020.
Tabel 2.3. Kebutuhan penambahan lahan baru, untuk ketahanan pangan nasional s/d 2020. Lahan Tersedia 2008 (x 1000 ha)
Kebutuhan Penambahan s/d 2020 (x 1000 ha)
1. Sawah
6.841
1.614
2. Lahan kering
5.500
2.419
Total
12.341
4.033
Jenis lahan
Draft Strategi Nasional REDD+
Melalui tumpang tepat (overlayed) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan (BPN, 2002-2004) diperoleh data penyebaran lahan yang belum dimanfaatkan yang saat ini ditumbuhi alang-alang dan semak belukar, baik di lahan kering maupun di lahan rawa. Tanpa memperhatikan status kepemilikan, lahan tersebut diasumsikan sebagai lahan potensial yang tersedia untuk pengembangan pertanian. Hasil analisis spasial tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30,67 juta ha merupakan lahan yang belum dimanfaatkan (dianggap tersedia), yang terdiri dari 8,28 juta ha lahan untuk perluasan pertanian lahan basah semusim (sawah), 7,08 juta ha untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta ha untuk pertanian tanaman tahunan terdapat pada Tabel 2.4. Diperkirakan sekitar dua pertiga (20,3 juta ha) lahan tersedia tersebut berada di kawasan kehutanan (di luar kawasan lindung) yang saat ini juga ditumbuhi alangalang dan semak belukar, terluas terdapat
13
di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera terdapat pada Tabel 2.5. Lahan yang belum dimanfaatkan berupa semak belukar seluas 10,3 juta ha yang berada di kawasan budi daya pertanian (bukan di kawasan hutan). Dengan demikian, sampai tahun 2020 kebutuhan lahan pertanian tanaman pangan (1,6 juta ha di lahan basah dan 2,4 juta ha di lahan kering) masih bisa terpenuhi dari kawasan budi daya pertanian yang ada yang tidak memerlukan konversi hutan (bukaan) baru. Proyeksi lain di sektor pertanian, dari total luas daratan Indonesia terdapat sekitar 94,1 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian yang dianggap tidak akan mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 63,7 juta ha. Dengan demikian sektor pertanian masih optimis dapat melakukan perluasan areal pertanian sekitar 30,4 juta hektar dengan 24 juta ha diantaranya merupakan lahan subur untuk persawahan, perkebunan dan pengembangan
Tabel 2.4. Luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan basah dan lahan kering. Lahan basah semusim Rawa
Pulau
Non-rawa
Total
Lahan kering
Lahan kering
semusim*
tahunan**
Total
……………..………………… 000 ha ………………………………………. Sumatera
354.9
606.2
960.9
1.312.8
3.226.8
6.499.4
Jawa
0
14.4
14.4
40.5
159,0
213.9
Bali dan NT
0
48.9
48.9
137.7
610.2
796.7
Kalimantan
730.2
665.8
1.396.0
3.639.4
7.272.0
12.307.4
0
423.0
423.0
215.5
601.2
1.239.6
Maluku+ Papua
1.893.4
3.539.3
5.432.7
1.739.0
3.441.0
10.612.7
Indonesia
2.978.4
5.297.6
8.275.8
7.083.8
15.310.1
30.669.7
Sulawesi
Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007) Keterangan : * Lahan kering semusim juga sesuai untuk tanaman tahunan ** Lahan kering tahunan pada lahan kering dan sebagian gambut
Tabel 2.5. Lahan tersedia untuk pertanian pada kawasan budidaya pertanian dan kehutanan No.
Pulau
Kawasan budi daya Pertanian
Kehutanan
Total (ha)
2.741.632
2.757.776
5.499.408
1.
Sumatera
2.
Jawa
129.022
84.868
213.890
3.
Bali dan Nusa Tenggara
515.874
280.872
796.746
4.
Kalimantan
3.907.977
8.399.413
12.307.390
5.
Sulawesi
682.192
557.412
1.239.604
6.
Maluku+Papua
2.331.106
8.281.545
10.612.651
Indonesia
10.307.803
20.361.886
30.669.689
Sumber: BBSDLP (2008)
14
Draft Strategi Nasional REDD+
komoditas lain, sedangkan 6,4 juta ha lainnya merupakan sawah pasang surut, lebak dan gambut yang masih memerlukan inovasi khusus. Di samping itu, hingga saat ini lahan pertanian terlantar jumlahnya cukup luas, yaitu sekitar 12,4 juta hektar. Dengan merujuk pada perbandingan data Kementerian Kehutanan dan Data Sektor Pertanian di atas, diperkirakan terdapat tumpang tindih kawasan minimal seluas 19 juta hektar. Kemudian, dari proyeksi perluasan areal pertanian hingga tahun 2020 maka tumpang tindih kawasan akan membesar hingga mencapai 39 juta hektar. Ketidakjelasan data akan semakin tinggi jika memperhitungkan sektor penggunaan lahan lainnya di luar kehutanan dan pertanian, seperti petambangan, infrastruktur dan lain-lain. Kondisi ini memperlihatkan ketidakterpaduan antar sektor dan lemahnya data dan informasi sehingga berbagai keputusan penggunaan lahan menjadi sangat tidak akurat.
Kondisi Deforestasi dan Degradasi Pada Lahan Gambut Lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga kestabilan ekosistem disebabkan besarnya daya menahan/ menyimpan air, dan besarnya simpanan karbon ( C) pada lahan gambut, serta tingginya biodiversitas spesifik lahan gambut. Apabila hutan gambut dikonversi, maka karbon yang tersimpan di dalamnya akan mengalami oksidasi karena dekomposisi dan kebakaran dan mengemisikan CO2, gas ruma kaca terpenting. Emisi C dari lahan gambut dianggap sebagai masalah global yang sangat serius karena jumlahnya bisa beberapa kali lebih tinggi dari emisi dari tanah mineral. Emisi gambut sekaligus merupakan masalah lokal karena akan menyebabkan gambut menipis sehingga fungsinya buffer hidrologisnya menghilang. Pengelolaan lahan gambut di Indonesia saat ini dapat dikatakan sangat jauh dari prinsip perlindungan lahan gambut berkelanjutan. Lahan gambut tidak diperlakukan sebagai entitas khusus yang perlu dilindungi tetapi dianggap sebagai lahan biasa yang merupakan komoditas untuk mewadahi kegiatan perekonomian, seperti kebun, hutan
tanaman, tambang, dll. Contoh fenomenal kegagalan pengelolaan lahan gambut yang terencana adalah mega project Kawasan Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah seluas satu juta hektar. Lahan gambut seluas satu juta hektar tersebut diprogramkan oleh Presiden saat itu (1995) untuk dibuka menjadi lahan pertanian pangan, namun ternyata pembukaan lahan tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar, berbagai bencana terjadi, antara lain kebakaran pada Kawasan PLG tersebut dan banjir di wilayah pemukiman sekitar PLG. Pemerintah telah mencanangkan program rehabilitasi dan revitalisasi kawasan tersebut, namun belum terimplementasikan sampai sekarang.Potret lainnya dari pengelolaan lahan gambut di Indonesia saat ini adalah begitu banyaknya izin yang diberikan di atas lahan gambut, baik berketebalan kurang dari 3m atau lebih. Selain izin, tidak sedikit juga lahan gambut yang diduduki oleh masyarakat. Selain menjadi tempat tinggal, lahan gambut tersebut juga diolah menjadi lahan pertanian untuk pemenuhan hidup masyarakat tersebut. Tingginya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia (sekitar 1.3% per tahun), semakin berkurangnya lahan kering potensial untuk pembangunan pertanian, dan pemberian izin yang tidak terkendali disertai dengan berbagai pernyimpangan menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Terutama pada provinsi/ kabupaten yang sebagian besar areal lahannya berupa lahan gambut, (seperti di Provinsi Riau, Kabupaten Kubu, Provinsi Kalbar), pemanfaatan lahan gambut bukan merupakan pilihan, tetapi suatu keniscayaan, karena hanya lahan gambut yang dominan mereka miliki untuk perluasan pertanian. Dalam kondisi ini, penerapan metode pengelolaan lahan gambut berkelanjutan merupakan salah satu pilihan yang tepat. Permasalahan yang melatarbelakangi buruknya pengelolaan lahan gambut tersebut, antara lain, disebabkan oleh: 1) kurangnya pemahaman para stakeholder (pemerintah, masyarakat, dan swasta) akan urgensi perlindungan lahan gambut dan bagaimana cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan; 2) kewenangan pengelolaan lahan gambut yang tersebar dan tidak adanya pembagian kewenangan serta jaring koordinasi yang jelas; 3) belum adanya inventarisasi lahan gambut nasional, yang memberikan informasi yang lengkap
Draft Strategi Nasional REDD+
dan terintegrasi mengenai sebaran, status, ketebalan, dan kondisi lahan; 4) kebakaran (baik disengaja maupun tidak) hutan dan lahan yang masih tinggi; 5) belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lahan gambut yang lengkap hingga tahap implementasi, termasuk sanksi; 6) tumpang tindih kebijakan, baik antar instansi pusat maupun antar pemerintan pusat dan daerah; 7) konflik tata ruang dna tenurial; 8) perizinan di atas lahan gambut; 8) permasalahan ketersediaan sarana/prasarana dan pendanaan; 9) penegakan hukum yang lemah. Karena tingginya potensi emisi CO2 dari lahan gambut apabila hutan gambut dikonversi, maka dikeluarkan kebijakan berhubungan dengan pembatasan konversi hutan/lahan gambut. Permentan No. 14 tahun 2009 melarang pembukaan lahan gambut untuk budidaya pertanian, pada: (1) lahan gambut dengan ketebalan >3m, (2) lahan gambut yang belum matang (tingkat kematangan fibrist) dan (3) lahan gambut dengan lapisan tanah dibawah gambut (substratum) berupa pasir kwarsa serta berpotensi sulfat masam.
15
16
Draft Strategi Nasional REDD+
Penyebab Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan
� � �
� � �
a. Keadaan atau fenomena yang ada yang memperlihatkan sebab langsung dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, yang dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : • Deforestasi yang terjadi
Pemansan Global disebabkan emisi GRK.
Persepsi Masalah
48 % Emisi GRK di Indonesia berasal dari Deforestasi dan Dedradasi Hutan Komitmen Menurunkan Emisi GRK 26 – 41% Porsi penurunan emisi GRK oleh Sektor Kehutanan sebesar 14% dari 26 %
Pernyataan Masalah
Apa kegiatan -kegitan yg berdampak pada terjadinya deforestasi dan degradasi hutan Apa yang menyebabkan kegiatan -kegiatan tersebut muncul ( underlying cause) Apa kekuatan pendorong munculnya penyebab kegiatan -kegiatan tersebut (driving force)
Struktur Masalah
sesuai
� �
�
�
� �
� �
Intervensi pada hutan ( reboisasi/restorasi) Intervensi pada aktivitas penyebab Deforestasi dan degradasi hutan (illegal logging , perambahan , konversi hutan alam untuk perkebunan sawit , dll) Intervensi pada tingkat penyebab munculnya aktivitas deforestasi dan degradasi atau underlying cause Intervensi pada kekuatan pendorong munculnya underlying cause Hutan pulih , suksesi menuju formasi primer) Illegal logging menurun , perambahan menurun , perluasan sawit di lahan tidak berhutan , dll Penyebab aktivitas DD atau underlying cause menurun /berhenti Kekuatan pendorong munculnya underlying cause menurun
Gambar 3. Kerangka Perumusan Masalah
Pemecahan Masalah
Benar
Solusi
Belum Terselsaikan Tidak Diselesaikan
Tak sesuai
Kesalahan/ Ketidaklengkapan data/informasi
Resolve
Dalam rangka penerapan REDD+ ini, diagnosa atau perumusan masalah deforestasi dan degradasi hutan harus betul-betul dilakukan secara sistematis dan logis. Secara sederhana perumusan masalah deforestasi dan degradasi hutan dalam konteks REDD+ ini adalah sebagai berikut :
Kesalahan Alat Bantu pengambilan keputusan
Analisa permasalahan deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penerapan REDD+ ini bertujuan untuk menyediakan data, informasi dan pengetahuan mengenai fenomena atau gejala yang dianggap sebagai masalah deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat ditentukan alternatif-alternatif solusi bagi pengambilan keputusan. Proses ini penting untuk dilakukan agar pengambil keputusan mengenai dua hal pokok, yaitu : 1) mengenal masalah yang dihadapi dan mampu merumuskannya, dan 2) mampu memilih dengan tepat alat bantu pengambilan keputusannya (Wallace, 1994).
1. Persepsi masalah, merujuk pada kondisi hutan dan dampak-dampaknya, yaitu kerusakan hutan telah menyebabkan peningkatan emisi GRK yang signifikan. 2. Pernyataan masalah, merujuk pada persepsi masalah dan mengambil konteks kewilayahan bahwa Indonesia sebagai salah satu emiter GRK sekaligus sebagai penyerap berkomitmen menurukan sumber-sumber emisi dan meningkatkan penyerapan karbon. 3. Struktur masalah, merujuk pada pernyataan masalah bahwa upaya penurunan sumber emisi berfokus pada penurunan tingkat kejadian deforestasi dan degradasi lahan. Dalam tahap ini, perlu untuk dibuat kategori dari masalah deforestasi ini, yaitu sebagai berikut :
Kesalahan/ Ketidaklengkapan data/Informasi
Kerangka Analisis Permasalahan
Salah
Draft Strategi Nasional REDD+
•
melalui konversi terencana dan tidak terencana (perluasan perkebunan, pertambangan, perambahan, dan lain-lain), dan Degradasi hutan yang terjadi akibat illegal logging dan kebakaran hutan.
b. Sedangkan penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya fenomena penyebab deforestasi dan degradasi di atas adalah : • Tata ruang yang lemah, • Unit manajemen yang tidak efektif, • Tata kelola pemerintahan yang lemah, • Dasar dan penegakan hukum yang lemah, dan • Tenurial yang masih mengambang.
•
• •
Le ad to
Kerangka kerja ini memberikan arahan untuk strategi, bahwa strategi ini bersifat terpadu, komprehensif dan mampu mewadahi seluruh kebutuhan tindakan atau intervensi pada semua tingkat dalam struktur masalah yang telah berhasil di susun, jika tidak maka strategi tersebut dapat dikatakan belum cukup terpadu atau komprehensif. Kerangka kerja ini juga mengarahkan kebutuhan intervensi pada lokus masalah sehingga pemilihan instrumennya dapat ditentukan dengan relevan.
TEKANAN
Terhadap Hutan (underlying cause )
Intervesi pada kekuatan pendorong munculnya penyebab-penyebab terjadinya perusakan hutan
Intervensi pada penyebab munculnya aktivitas yang merusak hutan
Permintaan (supply) akan kebuthan yang harus didukung oleh sumber daya hutan seperti kayu dan sawit pada tingkat global dan nasional melebihi kemampuan produksi dari pengelolaan hutan lestari; Target pertumbuhan ekonomi; Leadership yang lemah;
4. Pemecahan masalah, merujuk pada struktur masalah maka lokus dari masing-masing kategori masalah harus diketahui dan alat bantu untuk intervensi harus disesuaikan. Kerangka kerja DPSIR (driving force – pressure – state – impact respon), sebagaimana ditunjukan Gambar 5 membantu melihat arah intervensi yang diperlukan.
c. Kekuatan pendorong (driving force) merupakan kondisi-kondisi makro yang mendorong munculnya penyebab terjadinya kegiatan langsung pada kejadian deforestasi dan degradasi hutan. Termasuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut : • Belum patuhnya pengambil kebijakan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan;
KEKUATAN PENDORONG
Intervensi langsung pada aktivitas yang merusak hutan (illegal logging, perambahan, konversi, dll)
Aktivitas
KEADAAN Perubahan Tutupan Hutan dan Penurunan Kualitas Hutan
Intervesi langsung Pada hutan : Reahabilitasi dan Restorasi,
Menghasilkan Masalah
RESPON DAMPAK
Strategi → Program → Kegiatan
Me kebu nghasi lka tu n tinda han resp o k an- f eedb nack
Gambar 4. skema fishbone analysis
17
Peningkatan Emisi GRK
Orietnasi Ekonomi Jangka Pendek
Tumpang Tindih
Reward & Punisment tdk jelas
Attitude Buruk
Kinerja Rendah
Kerjsama Rendah
Administratif Visi tdk dp Substantif jelas
Monev Lemah
Organisasi
Inkonsistensi Kebijakan
Sistem
HL: Zero HK SFM tdk Management Rentan terwujud
Individu
Integritas Rendah
Kompetensi tidk layak
UNIT MANAGEMEN HUTAN TIDAK EFEKTIF
Kapasitas Rendah
GOVERNANCE
Ketidakjelasan aturan
Dasar Hukum Lemah
Tidak ada Dasar Hukum
Azas keadilan lemah
Tidak ada efek Jera
TENURIAL
Penyelsaian Konflik tidak pernah tuntas
Batas Kawasan Tidak Jelas
Penagakan Hukum Lemah
Mafia hukum
Konflik lahan berlarut-larut
DASAR DAN PENEGAKAN HUKUM LEMAH
Dasar Hukum Dasar Hukum Tidak Jelas Bertentangan
Efektivitas dan Efisiensi Rendah
Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor Hutan
Pengelolaa tidak ada di lapangan
Benturan antara pusat & daerah
Benturan antar sektor
DEFORESTASI & DEGRADASI
Tata Batas Kawasan Tidak jelas/tidak diakui
Masyarakat adat tidak diakuil
Prosedur pengakuan rumit dan panjang
Konversi Terencana ( perkebunan dan pertanian, tambang, infrastruktur, dll) Konversi Tidak Terencana(perambahan, kebakaran), Illegal logging,
Koordinasi yang lemah
Gambar 4. skema fishbone analysis
Partisipasi Rendah Tidak ada komitmen bersama
Tidak Transfaran
Salah lokasi
Stok data dan Informasi lemah
Keputusan tdk tepat
Tidak Menerapkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Belum ada kajian yang komprehensif
Transfaransi, Partispasi & akuntabilitas rendah
Kesenjangan Supply& Demand Kayu & Oil Palm
Target Pertumbuhan Ekonomi
Lack of Leadership
Paradigma Pembangunan Belum Patuh Pada prinsip SD
Perencanaan Sektoral tdk Terpadu
Konversi hutan yang masih baik ke non hutan
TATA RUANG YANG LEMAH
18 Draft Strategi Nasional REDD+
Draft Strategi Nasional REDD+
Pada bagian ini akan dibahas penyebab utama (underlying causes) yang menyebabkan munculnya fenomena penyebab langsung dari deforestasi dan degradasi (konversi, kebakaran hutan, dan illegal logging) yang terjadi karena adanya faktor pendorong (driving force). Perlu dipahami bahwa faktor pendorong (driving force) tidak dapat menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi melalui penyebab langsung (fenomena) apabila tidak terdapat faktor pendorong underlying causes yang sebetulnya merupakan penyebab utama dari fenomena yang ada. Untuk memahami secara lebih sederhana, proses analisa masalah ini dapat dilihat dalam skema fishbone analysis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Tata Ruang yang Lemah Rencana Tata Ruang disusun sebagai pedoman bagi pemerintah propinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang sekaligus sebagai wadah kepentingan para pihak di berbagai tingkatan, mulai dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, swasta maupun masyarakat dan bertujuan untuk mengoptimalkan ruang dengan tetap menjaga keseimbangan antara tujuan menaikan tingkat pertumbuhan daerah, kebutuhan pembangunan dan daya dukung lingkungan (Siagian dan Komarudin, 2009). Namun demikian, dalam prakteknya terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan instrumen RTRW tidak dapat secara memadai mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan. Di beberapa daerah, dokumen RTRW bahkan menjadi dokumen yang menyebabkan deforestasi melalui konversi yang terencana. Persoalan ini muncul karena berbagai hal, terutama hal-hal berikut : »» Pertama, orientasi pembangunan secara umum masih belum mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga perencanaan alokasi ruang lebih mengedepankan orientasi ekonomi jangka pendek serta kurang memperhatikan pertimbangan yang komprehensif terutama mengenai aspek konservasi dan daya dukung lingkungan. »» Kedua, perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan belum mampu menjadi dokumen yang secara independen
19
mengintegrasikan berbagai kepentingan sektoral. Saat ini masing-masing lembaga pada umumnya membuat rencana tahunan sendiri-sendiri dengan membuat alokasi sumber daya lahan terpisah. Demikian juga dengan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan deforestasi pada areal-areal yang berhutan dalam kondisi baik. »» Ketiga, ketersediaan dan akses yang terbatas pada data dan informasi spasial biofisik, maupun sosial ekonomi yang sahih dan akurat. Umumnya perencana juga tidak menggunakan metodologi yang memberikan informasi kepada pengambil keputusan dengan pilihan-pilihan prioritas termasuk isu karbon. Salah satu contoh akibat pengambilan keputusan tersebut adalah RTRW (baik kabupaten maupun propinsi) yang menetapkan kawasankawasan hutan yang telah terdegradasi tetap menjadi kawasan hutan, sedangkan kawasan hutan yang masih mempunyai hutan dengan kondisi sedang sampai bagus dimasukkan dalam rancangan dikonversi. Konversi hutan dengan kondisi demikian akan memberikan emisi yang sangat besar. »» Keempat, proses partisipasi dalam proses pembuatan rencana tata ruang wilayah yang tidak berjalan. Penyusunan RTRW masih bersifat top down dan belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun terjadi di lapangan, misalnya perambahan oleh masyarakat untuk pembukaan perkebunan, pertanian, pemukiman, pertambangan tanpa ijin dan lain-lain. Hal ini merupakan cerminan umum dari tingkat kecakapan sosial (sociability) masyarakat di Indonesia, yang seringkali menyalurkan ketidakpuasan dengan caracara yang justru merugikan sumberdaya hutan atau lingkungan.
20
Draft Strategi Nasional REDD+
Tenurial Lahan hutan dengan keragaman atas hak, status dan fungsinya telah menjadi suatu medan perebutan kepentingan yang pelik dan hingga saat ini masih belum terselesaikan. Konflik dan ketidaksepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan Kawasan Hutan negara merupakan sumber dari berbagai ketegangan, dan tidak jarang justru menyebabkan tindakantindakan yang merusak. Asal-usul ketegangan ini terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangannya. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran kontrol terhadap sumberdaya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap lahan dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh ketidakjelasan hak-hak tenurial harus diselesaikan dengan usaha serius melalui strategi tindakan yang jelas. Dualisme hukum atas pengakuan hak ulayat masyarakat adat di kawasan hutan serta non-kawasan hutan menjadi salah satu permasalahan tenurial ini. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam mengawasi kawasan hutan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkin mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat hukum terkesan sangat sulit dan panjang. Pemicu lain terhadap meningginya konflik tenurial adalah batas kawasan hutan yang tidak jelas di lapangan akibat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang tidak kunjung selesai .
Unit Manajemen Hutan Tidak Efektif Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 133,6 juta ha (Baplan 2008), sekitar 15% merupakan hutan konservasi (HK), 22% hutan lindung (HL), 46% hutan produksi (HP) dan 17% hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Berdasarkan data satelit 2007, kawasan hutan yang masih berhutan hanya sekitar 85.9 juta ha dan yang sudah tidak berhutan sekitar 39,1 juta ha. Luas hutan yang dapat dikonversi (HPK) mencapai 22,7 juta ha, dan hanya 10,7 juta ha yang masih berhutan.
Pengelolaan hutan di hampir seluruh fungsi hutan dalam keadaan yang rentan. Kelemahan unit manajemen hutan terjadi diseluruh tingkatan, baik pada sistem pengelolaan hutan, organisasi pengelola hutan maupun pada tingkat individu yang bekerja di sektor kehutanan pada berbagai fungsi hutan. Berikut ini akan dijelaskan berbagai peramasalahan unit manajemen hutan berdasarkan tingkatannya.
Sistem Pengelolaan Hutan yang Lemah Permasalahan pada tingkat sistem pengelolaan meliputi kerangka peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung atau menghambat pencapaian tujuan pengelolaan lestari. Diawali dari lemahnya data dan informasi dalam penyusunan perencanaan telah menyebabkan pengelolaan hutan pada semua fungsi hutan menjadi tidak valid dan sulit mencapai predikat berkelanjutan. Proses penataan batas kawasan hutan, yang mampu menunjukan dimana dan berapa luas kawasan hutan yang pasti secara legal maupun aktual diakui dan dihormati semua pihak, sampai saat ini belum mampu dilakukan. Kemudian, hampir seluruh hutan produksi dan hutan lindung di luar Jawa tidak jelas siapa penanggung jawabnya yang menyebabkan kawasan hutan menjadi open access dan memicu deforestasi dan degradasi baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan. 1. Pengelolaan Hutan Produksi yang Lemah Kondisi kawasan hutan produksi seluas 57.7 juta hektar semakin menurun, sebagaimana dapat disimak dari pernyataan berikut (Purnama & Daryanto, 2006): a. Hutan alam yang dibebani IUPHHK Hutan Alam/HPH dengan kondisi hutan yang relatif baik (Kategori I): 28,27 juta Ha. b. Hutan alam dengan kondisi hutan relatif “baik” , tapi open akses dan tidak dibebani hak pengelolaan (Kategori II): 12,98 juta Ha. c. Merupakan kawasan hutan rusak, dan open akses karena tidak ada pengelolanya (Kategori III): 7,14 juta Ha.
Draft Strategi Nasional REDD+
d. Merupakan kawasan hutan rusak tapi sudah di cadangkan untuk IUPHHK Hutan Tanaman (Kategori IV): 9,31 juta Ha. Di bidang pengusahaan hutan ini, dari jumlah 486 unit HPH di tahun 1992, yang masih bertahan sampai tahun 2007 sebanyak 115 unit atau hanya 24%, dengan berbagai sebab, baik kendala internal maupun eksternal. Pengelolaan hutan alam produksi masih jauh dari kaidah dan prinsip-prinsip Sustainable Forest Management (SFM). Para pelaku usaha di sektor kehutanan lebih memikirkan aspek bisnis daripada kelestarian produksi. Teknik pemanenan tidak lagi memperhatikan kaidah penurunan dampak penebangan (Reduced Impact Logging/RIL), pemanenan dilakukan melebihi jatah tebangan (over cutting), limbah dan derajat kerusakan hutan pada kawasan bekas tebangan (Log Over Area/LOA) akan sangat tinggi. 2. Pengelolaan Hutan Lindung dan Konservasi yang Rentan Upaya pelindungan hutan yang dilakukan pada hutan lindung dan hutan konservasi juga masih mendapat kendala. Pada hutan lindung, kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas sehingga hutan terkesan tidak bertuan dan open access. Dalam kondisi seperti ini peluang deforestasi tidak terencana semakin terbuka lebar. Pada pengelolaan hutan konservasi, hingga saat ini telah dibentuk 527 unit kawasan konservasi daratan dan laut, meliputi 50 unit Taman Nasional (TN), 118 unit Taman Wisata Alam (TWA), 22 unit Taman Hutan Raya (Tahura), 14 unit Taman Buru (TB), 248 unit Cagar Alam (CA) dan 75 unit Suaka Margasatwa (SM). Untuk kawasan konservasi laut telah ditetapkan sebanyak 7 unit Taman Nasional, 5 unit Cagar Alam, 2 unit Suaka Margasatwa, dan 14 unit Taman Wisata Alam. Masih lemahnya kapasitas pengelolaan menjadi tantangan utama saat ini. Sebagai
21
gambaran, dari seluruh unit kawasan konservasi, baru 34,4 % yang telah memiliki Rencana Pengelolaan. Pada umumnya TN dan TWA. Sedangkan penyusunan zonasi/blok pengelolaan, baru tercapai 8,4%. Untuk 21 Taman Nasional Model, semua telah memiliki Rencana Pengelolaan, namun demikian 19% diantaranya belum disahkan. 3. Kebijakan, Monitoring dan Evaluasi serta Reward dan Punishment tidak jelas Belum terdapat peraturan-perundangan yang secara efektif dan efisien mampu sebagai landasan memecahkan masalah kehutanan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan peraturanperundangan lebih memenuhi kebutuhan birokrasi dalam menjalankan tugas administrasinya daripada memecahkan persoalan yang dihadapi pengelola hutan di lapangan. Disamping itu juga ditemukan kurangnya alternatif pemecahan masalah di lapangan, karena sebagian besar isi peraturan mengandung larangan sebagai bentuk pengendalian kerusakan hutan. Di sisi lain, inkonsistensi kebijakan juga sering terjadi. Program-program unggulan yang dipayungi oleh keputusan pejabat teknis selalu selalu berubah-ubah, tergantung pejabat yang berwenang saat itu dan akan berubah ketika terjadi pergantian jabatan. Seperti dalam program pembentukan Taman Nasional Model yang saat ini terlantar dan tidak terukur keberhasilannya padahal telah mengaloksikan anggaran yang cukup besar. Kemudian pada hutan produksi, pemberian izin RKT yang dilakukan terhadap beberapa perusahaan dalam volume yang besar bertentangan dengan semangat pembatasan ekploitasi hutan alam atau bahkan menafikan informasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemohon ijin tersebut . di sisi lain, pelanggaran dalam proses pemberian izin baik yang dilakukan oleh pengaju izin maupun pemberi izin sangat sedikit yang dikenakan sanksi yang menimbulkan efek jera sehingga pelanggaran-pelanggaran terus terjadi.
22
Draft Strategi Nasional REDD+
Kelembagaan yang Lemah Belum terwujudnya kinerja kelembagaan seperti yang diharapkan, sehingga menjadi penyebab lemahnya pelayanan publik terkait perizinan dan penyelenggaraan ekonomi kehutanan, serta belum adanya prioritas nyata bagi penguatan organisasi pengelola hutan di tingkat lapangan/tapak. Kondisi demikian ini menjadi penyebab rendahnya informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan sebagai dasar penyusunan perencanaan maupun pengambilan keputusan. Disamping itu masalah kelembagaan yang lemah ini juga timbul dari ketidakjelasan penerapan otonomi daerah yang dipayungi oleh Undang-undang No 32/2004 dan turunannya dihubungkan dengan aturan sektoral maupun ketidaktepatan pembagian kewenangan itu sendiri, hal mana menyebabkan timbulnya ketidakjelasan penanggungjawab sektor kehutanan pada level tapak. Pada tingkat organisasi pengelola, sebagian besar waktu dan tenaga habis untuk masalah administratif dari pada substantif. Hal ini didorong oleh sistem penilaian kinerja organisasi yang hanya diukur dari penyerapan anggaran dan dokumen-dokumen laporan, tidak sampai pada efektivitas dan efisisensi anggaran, penilaian keluaran, hasil, dampak dan manfaat yang secara nyata terjadi di lapangan. Kondisi seperti ini mendorong cara kerja organisasi yang ekslusif dari pada inklusif sehingga upaya-upaya kerjasama baik di internal organisasi maupun kerjasama strategis dengan pihak-pihak lain yang berpotensi mendukung pengelolaan selalu terhambat. Hasil studi RAPPAM tahun 2005 yang diselenggarakan oleh Ditjen PHKA dan WWF terhadap Unit Pelaksanan Teknis (UPT) Balai Taman Nasional menunjukan bahwa efektivitas pengelolaan di setiap UPT sangat rendah dinilai dari input, proses, output maupun perencanaannya sehingga kinerja pengelolaan juga rendah. Pada organisasi pengelolaan hutan alam produksi, kinerja pelaku usaha belum sampai pada tahap memuaskan, yang diindikasikan oleh pencapaian kinerja menurut standard ekolabel maupun standard nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah. Unit manajemen yang telah menerima sertifikat ekolabel hanya sebanyak 6 unit (standard LEI) dan 5 unit (standard FSC). Dari pelaksanaan penilaian wajib independen
dengan menggunakan standarad pemerintah, tingkat kelulusan sebesar 73 unit dari 138 unit HPH yang dinilai.
Permasalahan Kapasitas Individu yang Lemah Permasalahan kapasitas pada tingkat individu mancakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan prilaku (attitude), dan integritas (etos kerja dan motivasi) dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di lapangan. Permasalahan di tingkat individu pada kondisi yang relatif normal biasanya disebabkan oleh situasi dalam organisasi yang tidak mendukung berkembangnya kapasitas individu. Bahkan terdapat kondisi dimana orang-orang di dalam organisasi cenderung pragmatis dan selalu mencari peluang untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan pribadinya.
Tata Kelola (governance) Analisis permasalahan terkait tata kelola hutan akan didasarkan atas kombinasi indikator yang dikembangkan secara khusus untuk menilai tata kelola hutan yang baik melalui (The Governance of Forests Initiative/ GFI Framework) dengan indikator yang dikembangkan dalam menilai tata kelola secara umum yaitu Partnership Governance Index. Dalam menilai tata kelola hutan, maka terdapat empat isu penting yang perlu dinilai yaitu, tenurial, tata ruang, manajemen hutan serta distribusi manfaat dari sektor kehutanan (forest revenue distribution). Seperti telah terlihat dalam pembahasan sebelumnya, dalam konteks Indonesia, ke empat isu tersebut menjadi penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Pada bagian ini, fokus analisa permasalahan adalah prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang pada dokumen ini akan difokuskan pada (a) koordinasi, (b) transparansi, partisipasi, (c) akuntabilitas, (d) efektivitas dan efisiensi, (e) aspek keadilan (fairness), dan (f ) ketidakhadiran pengelola di lapangan.
Koordinasi Terdapat beberapa isu dalam koordinasi, pertama adalah ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan
Draft Strategi Nasional REDD+
daerah yang juga dipengaruhi oleh penerapan rezim otonomi daerah yang masih pada tahap awal ini. Kasus Semenanjung Kampar menjadi contoh dari kondisi ini, dimana Kementerian Kehutanan mengeluarkan ijin RKT untuk Hutan Tanaman (HTI) kepada perusahaan HTI tersertifikat ekolabel melalui self approval (Permenhut no. P.62/ permenhut-II/2008 pasal 13) sedangkan pada saat yang sama Dinas Kehutanan sudah berhenti mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan ijin RKT di hutan alam, yang berdampak juga pada berhentinya penerbitan SKSHH. Gambaran dari ketidakjelasan ini juga terlihat pada tingkat sectoral. Data Ditjen Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa luas total APL kurang lebih 55 juta hektar, sementara data BPS tentang luas lahan pertanian saat ini kurang lebih 69 juta hektar. Dengan demikian, terdapat sekitar 14 juta hektar kawasan hutan yang telah berubah menjadi lahan pertanian tanpa diketahui oleh Kementerian Kehutanan. Dapat dibayangkan, ketidakjelasan data dan informasi ini telah menjadi setting situasi dalam setiap pengambilan keputusan selama ini sehingga dapat dipastikan kualitas keputusanya akan sangat rendah.2 Di kawasan hutan konservasi, menurut data Ditjen Planologi Kehutanan (2008) selama periode 8 tahun (1997 – 2005) terdapat pengurangan penutupan kawasan hutan menjadi non hutan seluas 480.000 Ha atau 1,7 % dari total luas kawasan konservasi. Sementara berdasarkan hasil rekalkulasi Ditjen Planologi tahun 2008, luas penutupan lahan pada kawasan hutan konservasi adalah 15,197 juta ha atau 77,1% dari luas kawasan konservasi terrestrial 19,698 juta ha dan laju deforestasi tahunan pada kawasan hutan konservasi adalah 55,6 ribu ha/tahun atau 4,7% dari 19,698 juta ha. Walaupun masih terdapat permasalahan sebagaimana tersebut di atas, kawasan konservasi relatif masih utuh dibanding kawasan hutan produksi dan hutan lindung karena memiliki unit manajemen yang jelas dan mandiri.
2 Dunn (1994) dalam Analisa Kebijakan Publik menyebutkan bahwa kebijakan adalah ilmu dan pengetahuan yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Sementara ilmu dan pengetahuan merupkan metamorposa dari data dan informasi.
23
Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Absennya transparansi dan partisipasi pemangku kepentingan juga menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terutama mereka yang tinggal di kawasan hutan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam proses perizinan serta melakukan pengawasan atas pelanggaran izin yang terjadi. Hal ini mengakibatkan tidak saja data yang lebih reliable tidak tersedia dalam proses pengambilan keputusan juga penyalahgunaan wewenang para pengambil kebijakan para pejabat yang berwenang dalam suatu proses perizinan tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan pengawasan yang memadai dari masyarakat. Keseluruhan hal ini memudahkan terjadinya pelanggaran baik dalam proses perizinan maupun dalam pelaksanaan izin. Persoalan minimnya transparansi dan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yaitu ketidakjelasan di tingkat aturan maupun lemahnya kapasitas masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.
Aspek Keadilan (Fairness) Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor kehutanan, baik antara pusat dan daerah maupun terhadap masyarakat di sekitar hutan memunculkan rasa ketidakadilan antar pihak yang berkepentingan (stakeholders). Rasa ketidakadilan tersebut juga berpengaruh terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan karena mereka yang merasa memiliki hak dan belum mendapatkan distribusi manfaat kemudian mengambil manfaat dari hutan. Keadaan tersebut ditambah dengan absennya sistem penegakan hukum yang kuat berdampakada meluasnya deforestasi dan degradasi.
Efektivitas dan efisiensi rendah Secara umum, efektivitas dan efisiensi pengurusan hutan rendah yang ditandai dengan tidak efektif nya pengawasan sehingga telah terjadi konversi tidak terencana secara besar-besaran di berbagai kawasan hutan yang tidak ditindak ataupun ketidaktepatan dan ketidakefektifan pelaksanaan berbagai program-program yang direncanakan seperti program GERHAN. Hal ini bersumber
24
Draft Strategi Nasional REDD+
dari berbagai faktor lain seperti peraturan perundang-undangan yang menyebabkan proses pengeluaran izin bersifat rumit dan panjang namun tanpa disertai dengan proses pengawasan yang jelas sehingga menimbulkan birokrasi yang tidak efektif dan berbiaya tinggi. Faktor lain adalah pemanfaatan anggaran yang tidak tepat sasaran serta sumber daya manusia yang tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara efektif. Hal terakhir juga terkait dengan sistem renumerasi, rekrutmen, mutasi dan promosi pegawai yang tidak didasarkan atas penilaian kinerja.
Pertama, paradigma pembangunan yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya hutan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi. Aturan yang mendukung paradigma ini antara lain adanya peraturan yang tumpang tindih pada satu areal/lahan yang sama seperti hutan dengan pertambangan dan pertanian. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka kepentingan investasi menjadi kepentingan yang didahulukan dibandingkan kerusakan lingkungan dan hutan yang disebabkan oleh kegiatan tambang terbuka di kawasan hutan lindung.
Dasar dan Penegakan Hukum Tidak Jelas
Paradigma ini juga terlihat pada aturan terkait perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan terutama bila dihubungkan dengan penegakan hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan berpotensi membuka peluang bagi terjadinya konversi lahan di seluruh kawasan hutan termasuk kawasan hutan lindung dan konservasi.
Dasar hukum Masa perubahan politik nasional juga menghasilkan tonggak baru pembangunan kehutanan, khususnya dengan lahirnya UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Undangundang Kehutanan tersebut berusaha mengembalikan tatanan kehutanan kepada sistem pengurusan dan pengelolaan secara utuh, namun belum banyak beranjak dari uniformitas perijinan. Ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara pusat-daerah, yang belum seluruhnya selesai sampai sekarang. Munculnya Undang-undang Tata Ruang No.24/92 dan kemudian diperbarui dengan Undang-undang No. 26/2007 belum mampu menyelesaikan berbagai tumpang tindih peruntukan dan dilanjutkan dengan tumpang tindah perijinan di lapangan. Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan secara umum memiliki berbagai masalah yang menjadi penyebab dari deforestasi dan degradasi hutan. Persoalan yang ada dapat dikelompokkan menjadi, pertama persoalan paradigma pembangunan yang masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, kedua ketidakjelasan (level of clarity) dan/atau ketidakharmonisan di tataran peraturan perundang-undangan, dan terakhir adalah aturan yang tidak secara lengkap menjamin tata kelola yang baik sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaannya. Contoh dari masing-masing permasalahan tersebut sebagai berikut:
Kedua, ketidakjelasan atau ketidakharmonisan aturan di bidang kehutanan dapat dilihat antara lain pada definisi hutan dan kawasan hutan yang tidak jelas baik di dalam UU Kehutanan sendiri maupun terkait dengan aturan di peraturan perundang-undangan yang lain. Ketiadaan definisi hutan pada UU Kehutanan yang terukur secara jelas berdampak pada ketidakjelasan pada berbagai aturan pelaksana UU ini. Misalnya ketentuan tentang ijin pinjam pakai untuk kawasan hutan yang diberi izin pinjam pakai untuk pertambangan membutuhkan definisi hutan yang jelas. Ketiadaan definisi ini tentunya akan berdampak negatif pada upaya land swap untuk kawasan hutan sehingga meninggikan deforestasi dan degradasi hutan. Pada akhirnya perbedaan definisi dan perlindungan serta perlakuan hukum terhadap hutan atau kawasan hutan berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. Misalnya, wilayah bertutupan hutan tidak termasuk dalam perencanaan pengelolaan sumber daya hutan seperti halnya hutan di kawasan hutan. Selain itu dalam konteks tata ruang, persoalan hukum di atas memberi peluang yang lebih besar bagi daerah, terutama daerah pemekaran baru menuntut pengalihan kawasan hutan sesuai dengan UU Tata Ruang untuk keperluan lain. Selain itu, lahirnya aturan kehutanan baru
Draft Strategi Nasional REDD+
yang sangat cepat serta tidak disertai dengan kesiapan aturan pelaksana yang lengkap dan disharmonisasi dengan aturan yang lama juga mengakibatkan ketidakjelasan aturan yang berlaku, yang berdampak pada penyimpangan pada tingkat implementasinya. Ketidakharmonisan tidak hanya terjadi antar aturan di bidang kehutanan tetapi juga antara aturan di bidang kehutanan dengan aturan tentang perlindungan gambut. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa lahan gambut berketebalan 3 meter atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai atau rawa merupakan kawasan lindung, namun hal ini tidak diakomodir dalam aturan di bidang kehutanan sehingga lahan gambut tersebut pun dapat merupakan hutan produksi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Ketiga, yaitu aturan yang tidak lengkap dan memudahkan terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pemberian perijinan kegiatan lain di kawasan hutan. UU Pertanian misalnya, memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di daerahnya. Walaupun UU Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan harus dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan. Terhadap hal ini ada dua persoalan di tingkat hukum, pertama ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan dan kedua ketidaklengkapan aturan sebab tidak adanya aturan tentang sanksi bagi pemberi izin yang melakukan kesalahan (yang bukan bersifat korupsi) pada saat mengeluarkan izin. Hal ini diperburuk dengan persoalan tata batas kawasan yang tidak jelas serta ditemui beberapa indikasi maraknya korupsi dan kolusi dalam proses pemberian izin. Proses perizinan yang tidak harmonis, rumit dan terkait dengan berbagai sektor dan lembaga pemerintah lainnya membutuhkan koordinasi yang kuat antar instansi. Ketidaklengkapan di tataran aturan ini juga terjadi karena peraturan perundangundangan tidak memberikan kewenangan kepada pihak yang tepat atau tidak disertai dengan insentif yang tepat. Sebagai contoh
25
adalah pemberian kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan penataan tata batas kawasan hutan pada PP No. 38/2007 terkait pembagian urusan pemerintah pusat daerah. Ketentuan ini menyebabkan kendala di tingkat implementasi karena sumber daya berada di Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Di lain pihak, sumber daya pendukung tidak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur untuk melaksanakan hal tersebut. Terkait aturan yang tidak lengkap, maka UU Kehutanan juga masih belum memberikan sanksi yang memadai bagi pelaku utama pembalakan liar, melainkan hanya terbatas pada pelaku di lapangan (physical perpetrator). Di sisi lain, pernerapan UU Lain seperti UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi maupun UU Lingkungan Hidup yang lebih siap untuk menangkap pelaku utama kejahatan kehutanan masih sangat minim.
Penegakan hukum tidak tegas Kondisi penegakan hukum di Indonesia sedang berada di dalam ambang yang kritis. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum sangat rendah karena maraknya praktek mafia hukum (Satgas PMH, 2010). Praktek mafia hukum juga terjadi di sektor kehutanan. Dalam hal ini, ditengarai bahwa modus operansi mafia hukum di sektor kehutanan terdapat sebelum dan setelah ada perkara. Pada saat sebelum ada perkara, modus yang terjadi mulai dari proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perizinan sampai dengan pada saat eksploitasi sumber daya hutan (pemberian dan pelaksanaan izin). Pada dasarnya dalam
!"#$"%&'(&)*+*,"-"+&./-/#&012*-34%&155*,"5&54,1+,&6778 Gambar 6. Penegakan hukum di sektor illegal logging 2008 Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, 2008.
26
Draft Strategi Nasional REDD+
Vonis Pengadilan tahun 2009
< 1 tahun: 15 1 - 2 tahun: 71 3 - 5 tahun: 8 6 - 10 tahun: 0 > 10 tahun: 0 Seumur hidup: 0 Ma�: 0 Bebas: 12
Gambar 7. Penegakan hukum disektor illegal logging 2009 Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, 2009.
seluruh proses tersebut ditemui banyak kasus dimana aparat penegak hukum terlibat dengan cara melindungi para pelaku kejahatan. Sehingga terjadi pembiaran yang tinggi yang berakibat pada kerusakan hutan yang sangat luas. Pada saat setelah ada perkara, kerap terjadi dalam seluruh proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pengambilan
putusan yang rentan terhadap mafia hukum. Hal ini menyebabkan angka tindak pidana kehutanan yang dihukum sangat sedikit dan mayoritas di adalah pelaku di lapangan. Sebagai gambaran adalah data berikut yang menunjukkan rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku illegal logging yang diproses. Data yang tersedia memang masih belum dapat membuktikan sejauh mana dugaan bahwa pelaku yang tertangkap belum menyentuh pelaku utama (mastermind) namun dari laporan yang masuk ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, terdapat indikasi kuat dimana banyak pelaku utama dari kejahatan kehutananbelum tersentuh oleh hukum.
Draft Strategi Nasional REDD+
27
Kondisi Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) sebagai sebuah mekanisme international yang akan diterapkan di Indonesia memerlukan perhatian khusus pada beberapa hal yang menjadi syarat keharusan mekanisme ini dapat berjalan. Syarat keharusan ini bersumber dari baik mekanisme yang disepakati di tingkat internasional maupun dari situasi dan kondisi internal Indonesia. Untuk itu, terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam penerapan REDD+ di Indonesia, yaitu : 1) Pemenuhan prasyarat pelaksanaan REDD+ yang telah dibahas dalam pertemuan-pertemuan resmi di tingkat internasional, 2) Pembentukan kondisi
pemungkin untuk mengimplementasikan REDD+. Beberapa prasyarat pelaksaaan REDD+ yang harus disiapkan adalah: 1. Tingkat Emisi Referensi yang digunakan, 2. Penanganan pengalihan emisi (displacement of emission), 3. Sitem Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), 4. Mekanisme distribusi manfaat/insentif dan tamggung jawab.
Draft Strategi Nasional REDD+
BAB III
STRATEGI NASIONAL REDD+
29
30
Draft Strategi Nasional REDD+
Strategi Pemenuhan Prasyarat Mengingat kompleksitas permasalahan di bidang ini, pengurangan emisi dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan komphrehensif (multi aspek). Pendekatan tersebut mempertimbangkan prinsip pengurangan sumber emisi (source) sekaligus meningkatkan simpanan (sink) karbon. Strategi nasional ini dilaksanakan melalui pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), intervensi dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan pengelolaan sektor utama yaitu kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor penunjang (perkebunan dan pertanian, pertambangan), serta pengarus-utamaan strategi dan rencana aksi pada semua tingkatan kelembagaan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten maupun unit manajemen.
Program Pembuatan Peraturan yang terkait pelaksanaan REDD+ Untuk mendukung terlaksananya program utama di atas maka diperlukan kegiatan: 1. Percepatan pembentukan landasan hukum dan pedoman yang kuat untuk pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional dan sub-nasional.
2. Pembentukan Kelembagaan REDD di tingkat Nasional dan sub nasional dengan ruang lingkup tugas pengelolaan REL/ RL, MRV, Registrasi, dan Pendanaan.
Program Pembentukan / Pengembangan Metodologi REDD+ Untuk mendukung terlaksananya program ini maka diperlukan kegiatan : 1. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan dan Pedoman Teknis penetapan RL pada tingkat Nasional dan Sub Nasional 2. Peningkatan kapasitas dalam penilaian dan penetapan RL terutama di subnasional. 3. Pembangunan sistem MRV pada tingkat nasional dan sub nasional
Draft Strategi Nasional REDD+
31
Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition)
Strategi pemenuhan kondisi pemungkin bertujuan untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang menjadi penyebab dan kekuatan pendorong terjadinya kegiatan perusakan hutan sebagai sumber emisi. Beberapa kategori yang termasuk dalam srategi ini adalah sebagai berikut :
Program Reformasi Perencanaan Pembangunan Sektor Penggunaan Lahan Pembangunan ekonomi rendah karbon bagi Indonesia akan memerlukan beberapa proses penguatan, khususnya terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten memegang peran penting dalam mengintegrasikan RTRW tingkat desa, sampai nasional dan pengambilan keputusan pada tata guna lahan antar sektor. Penguatan perencanaan di tingkat kabupaten akan memberikan modal kuat untuk perbaikan perencanaan di tingkat di bawahnya yaitu kecamatan, desa, masyarakat, maupun di tingkat atasnya, yaitu propinsi dan nasional. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka program penguatan perencanaan ini terdiri dari beberapa kegiatan utama, yaitu sebagai berikut : 1. Reformasi Rencana Tata Ruang Wilayah, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Penyempurnaan data dan informasi spatial, terutama data biofisik dan sosial ekonomi, yang berkualitas tinggi, transparan, dan sahih, termasuk lahan gambut untuk bahan analisis kesesuaian peruntukan ruang. b. Penyempurnaan mekanisme pengelolaan data spasial secara terpadu dan multi sektor, mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penentuan keputusan tata ruang di tingkat nasional maupun daerah. c. Pembentukan kelembagaan terpadu dan lintas sektoral untuk pengelolaan data dan informasi spasial sebagai pusat dan penanggung jawab untuk pengumpulan, analisis, dan
d.
e.
f.
g.
penyiapan rekomendasi perencanaan tata ruang. Penundaan/moratorium izin termasuk izin perubahan peruntukan dan/atau fungsi kawasan hutan sampai dengan penataan batas kawasan selesai dengan mantap. Penyempurnaan RTRW di beberapa propinsi dan kabupaten prioritas yang mempunyai potensi deforestasi dan degradasi tinggi. Penetapan komponen sosial-budaya yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan ruang spasial bagi beragam kebutuhan sosial budaya. Pembangunan mekanisme dan proses keterlibatan pemangku kepentingan dalam penetapan rencana tata ruang wilayah mulai dari tingkat desa, kabupaten, propinsi dan pusat.
2. Reformasi perencanaan di tingkat ‘land-use’ a. Penyusunan data dan informasi spasial pengunaan lahan dalam tingkat lanskap pulau, propinsi, kabupaten dan desa yang berkualitas tinggi, transparan, dan sahih. b. Pembangunan dan penetapan justifikasi penggunaan lahan dengan melakukan analisis kesesuaian peruntukan lahan berdasarkan daya dukung dan daya tampungnya. c. Perencanaan, penetapan dan pelaksanaan perlindungan terhadap kawasan-kawasan dengan nilai ekologis penting untuk dimantapkan sebagai kawasan-kawasan lindung yang saling dihubungkan dengan koridor-koridor alami atau semi alami. d. Penetapan kawasan-kawasan pusat kegiatan ekonomi dan pemberian ijin investasi yang patuh pada pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dalam kerangka konsep pembangunan ekonomi rendah karbon. e. Pembangunan mekanisme pemberian
32
Draft Strategi Nasional REDD+
ijin terkait penggunaan lahan yang terpadu, sederhana dan efektif. f. Pemasukan isu-isu pembangunan rendah karbon dalam penyempurnaan rencana pembangunan disetiap tingkat melalui mekanisme yang sudah ada (musrenbang, musrenprop, musrenkab). g. Penetapan mekanisme perencanaan top down and buttom up dalam pembangunan yang menggunakan sumberdaya lahan. 3. Reformasi perencanaan di tingkat unit manajemen hutan a. Percepatan penmantapan/pegukuhan kawasan hutan melalui proses-proses partispatif sehingga kawasan hutan dapat mantap secara legal maupun aktual dan dihormati keberadaannya oleh semua pihak. b. Penguatan data dan informasi kondisi dan potensi hutan yang aktual, sahih dan berkualitas tinggi sebagai basis untuk melakukan penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi serta perlindungan hutan dan konservasi alam. c. Percepatan terbentuknya kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) d. Perencanaan, penetapan dan perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada Kawasan Hutan Pronduksi (KPHP) baik di hutan tanaman maupun di hutan alam. e. Perencanaan, penetapan dan perlindungan kawasan gambut pada kawasan hutan. f. Perencanaan alokasi kawasan hutan untuk pembangunan hutan tanaman ditetapkan pada kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi dan degradasi. g. Rencana penggunaan kawasan hutan untuk sektor lain yang diusulkan oleh daerah atau instansi sektoral di tingkat pusat dipertimbangkan pada kawasan hutan yang dalam kondisi terdeforestasi.
4. Reformasi perencanaan spasial dan non spasial di tingkat desa a. Penguatan data dan informasi spasial dan non spasial di tingkat desa secara partipatif sebagai basis perencanaan pembangunan daerah dan nasional. b. Penguatan rencana pembangunan desa secara partispatif dengan memperhatikan kesimbangan aspek pertumbuhan, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan serta daya dukung lingkungan. c. Penguatan kelembagaan pemerintah desa.
Program Reformasi Dasar dan Penegakan Hukum Dalam rangka pelaksanaan REDD+ ini diperlukan dasar hukum yang kuat dan penegakannnya secara konsisten. Untuk itu, kegiatan-kegiatan utama dalam program ini meliputi penyemmpurnaan dasar hukum dan penegakan, yaitu sebagai berikut : 1. Reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan sektor khususnya terkait REDD+ melalui: a. Pembangunan prinsip-prinsip hukum yang mempertimbangkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan iklim atau juga disebut climate friendly legal framework didefinisikan (CFLF), termasuk mempertimbangkan safeguard dalam instrumen REDD+ yang akan dikembangkan. b. Pelaksanaan review seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya hutan berdasarkan prinsip-prinsip CFLF; c. Pelaksanaan amandemen dan/atau pembentukan peraturan perundangundangan terkait pengelolaan sumber daya hutan yang sehingga sesuai dengan prinsip CFLF; d. Perumusan konstruksi hukum yang tepat, jelas dan selaras tentang hak masyarakat adat dalam kawasan hutan; e. Pelaksanaan amandemen dan/ atau pembentukan peraturan perundang-undangan terkait
Draft Strategi Nasional REDD+
perlindungan lahan gambut di seluruh sector (pertambangan, kehutanan, pertanian, infrastruktur, dan industri), antara lain dengan memasukan lahan gambut dalam criteria penetapan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan, dan larangan membuka lahan gambut untuk pertambangan. Perumusan tata cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh sector sampai level implementasi. f. Perumusan kerangka hukum yang tepat, jelas, dan harmonis tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, dan distribusi kewenangan pengelolaan yang jelas dan koordinatif, serta pendanaannya.
e.
f. g.
2. Reformasi penegakan hukum terkait dengan sumber daya hutan, melalui: a. Penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana kehutanan; b. Pembentukan jaksa dan polisi lingkungan satu atap (One Roof Enforcement System / ORES) yang dipilih berdasarkan integritas dan pengathuan yang memadai mengenai paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu menjadi garda depan penerapan UU terkait untuk memberantas kejahatan kehutanan; c. Pembentukan hakim khusus yang akan memutuskan kasuskasus lingkungan termasuk kehutanan (Green Bench) yang dipilih berdasarkan integritas dan pemahaman yang excellent atas paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu memberi keadilan dan kepastian hukum di sector pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan d. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum secara umum agar memahami berbagai aturan yang
h.
33
dapat digunakan untuk memberantas kejahatan kehutanan; Penyempurnaan berbagai aturan terkait pengelolaan sumber daya hutan agar harmonis dan memungkinkan dihukum seberatberatnya pelaku utama dalam kejahatan hutan, antara lain UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Rata dan berbagai UU terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang; Pengembangan sistem pendanaan Penyempurnaan berbagai aturan untuk meminimalisir praktek mafia hukum dalam proses penegakan hukum, antara lain Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi Korban dan Pelapor, UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang agar memastikan terjadi mekanisme check and balances yang konstruktif serta memungkinkan mekanisme pembuktian terbalik bagi para pelaku korupsi serta perlindungan justice collaborators yang memadai; Pelaksanaan reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum terutama yang terkait dengan sektor kehutanan.
Program Pelibatan Pemangku Kepentingan Dalam pelaksanaan REDD+ ini setidaknya terdapat dua kelompok pemangku kepentingan yang akan ikut menentukan kesuksesan di lapangan, yaitu sebagai berikut : 1. Para pihak di tingkat nasional, yang terdiri dari pemerintah pusat, swasta nasional, peguruan tinggi nasional, organisasi non pemerintah di tingkat nasional, dan lain-lain. 2. Para pihak di tingkat sub nasional, yang terdiri dari pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, unit manajemen pengelola hutan, perguruan tinggi setempat, organisasi masayarakat lokal, dan lain-lain-lain.
34
Draft Strategi Nasional REDD+
Dengan memperhatikan potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan REDD+ ini maka perlu dirancang sejak awal mengenai format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut. Dalam penerapan REDD+, bentuk kerjasama atau kemiteraan diarahkan untuk empat tipe kemiteraan, yang sebelumnya didahului dengan penyusunan Free, Prior Informed Concern (FPIC) dan komitmen pelibatan kaum perempuan mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Kegiatan-kgeiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Penerapan prinsip FPIC dalam implementasi REDD+, termasuk di dalamnya adalah komitmen pelibatan kaum perempuan mulai dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi. 2. Peningkatan kesadaran, kesepahaman dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+ 3. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah 4. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanan REDD+ di tingkat tapak melalui berbagai bentuk kerjasama sebagai berikut : a. Kerjasama Kontributif (Contributory Partnership) , yaitu kerjasama yang sifatnnya support sharing dimana kontributor menyepakati usulan dan memutuskan untuk menyalurkan dana pada program atau proyek REDD+. Kontributor dapat sebagai pemerintah, swasta, atau yang lainnya. b. Pembangunan Kerjasama Operational (Operational Partnership), yaitu kerjasama yang sifatnya working sharing dimana para pihak yang terdiri dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat bersepakat bekerjasama dan bertukar sumberdaya dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. c. Pembangunan Kerjasama Konsultatif (Consultatif Partnership), yaitu kerjsama yang sifatnya advisory dimana pihak-pihak tertentu yang dianggap berkompeten memberikan masukan kebijakan, strategi,
rancangan, evaluasi dan penyesuaian untuk melancarkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. d. Pembangunan Kerjasama Kolaboratif (Collaboratif Partnership), yaitu kerjasama dalam decision making process, dimana para pihak bekerjasama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaiaan pelaksanaan REDD+ dengan kewenangan, pemilikan dan resiko dalam rangka dibagi bersama.
Program Penguatan Tata Kelola Program penguatan tata kelola terkait dengan seluruh program dan kegiata-kegiatan turunannya. Untuk itu program-program penyempurnaan perencanaan di seluruh sektor penggunaan lahan (tata ruang, land use, unit manajemen hutan), penguatan dasar dan penegakan hukum, serta pelibatan pemangku kepentingan harus memerhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi hal –hal sebagai berikut : 1. Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan, proses pengambilan kebijakan serta proses pemberian izin di sektor kehutanan yang dimulai dari pembenahan peraturan perundangundangan antara lain dengan memastikan agar mekanisme partisipasi diatur secara operasional serta kewajiban untuk mengimplementasikan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan. 2. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi pad appoint a khususnya pada kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak. 3. Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub-nasional akan peran penting pelibatan pemangku kepentingan agar keputusan yang diambil lebih obyektif dan berkualitas karena didasarkan atas informasi yang memadai serta meminimalisir conflict of interest baik yang nyata maupun tidak;
Draft Strategi Nasional REDD+
4. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) khususnya pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak untuk (i) memahami informasi yang ada serta (ii) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan. 5. Peningkatan kapasitas lembaga publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam konteks mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, terutama pada instansi pemerintah di sektor terkait, yaitu Kehutanan, Pertanian, Pertambangan dan Energi dan Pekerjaan Umum. 6. Pembangunan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
35
36
Draft Strategi Nasional REDD+
Strategi reformasi pembangunan sektor Program Reformasi Pembangunan Sektor Kehutanan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Kesatuan Pemangkuan Hutan merupakan bagian penting dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan utama dalam pembangunan KPH ini adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan penurunan sumber emisi (source), yang meliputi beberapa kegiatankegiatan, yaitu sebagai berikut : b. Peningkatan kualitas dan efektivitas kebijakan dan program konservasi untuk mencapai kemantapan pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung. c. Pembentukan kelembagaan KPH ditingkat Pusat dan Daerah, dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan hutan secara efektif sehingga mampu menurunkan deforestasi dan degradasi hutan, dengan ketentuan sebagai berikut : • Organisasi KPH yang dibentuk di tingkat pusat adalah organisasi KPHK, • Organisasi KPH yang dibentuk di tingkat kabupaten adalah organisasi KPHL dan KPHP sebagai perwujudan pelaksanaan desentralisasi yang bertanggung jawab. d. Penyelenggaraan kegiatan tata hutan di wilayah KPH, yang terdiri dari tata batas, inventarisasi hutan, pembagian ke dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan pemetaan. e. Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang dan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek di setiap KPH.
f. Penerapan reduced impact logging (RIL), sistem virifikasi legalitas kayu (SVLK), dan sertifikasi di hutan produksi yang dikelola oleh pemegang ijin (IUPHHK) untuk mengurangi degradasi hutan. g. Perlindungan hutan dari kebakaran baik yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun oleh alam h. Peningkatan kapasitas pekeja di bidang pengelolaan hutan dan pemberian reward yang pantas serta punishment i. Pembangunan pemberian insentif kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan hutan secara lestari 2. Kegiatan peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink), yang meliputi beberapa kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan terdeforestasi secara transparan, akuntabel dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan. b. Pengembangan insentif untuk meningkatkan stok karbon di daerah yang terdegradasi dan lahan bekas bakar, c. Pelaksanaan pengkayaan (enrichment planting) pada kawasan terdegradasi, terutama di dalam kawasan hutan. d. Pelaksanaan restorasi hutan pada kawasan konservasi dan pada kawasan IUPHHK-Restorasi. e. Peningkatan upaya restorasi lahan gambut yang terdeforestasi dan terdegradasi secara transfaran, akuntabel dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan. f. Peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove secara transfaran, akuntabel dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan. g. Pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang secara transfaran, akuntabel dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan.
Draft Strategi Nasional REDD+
3. Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH a. Peningkatan kapasitas penyidik pegawai negri sipil kehutanan b. Peningkatan kerjasama dengan aparatur penegak hukum 4. Kegiatan Penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan a. Pelaksanaan inventarisasi lahan gambut yang ada di kawasan hutan, lahan gambut yang berhutan dan tidak berhutan, yang meliputi kondisi biofisik (termasuk ketebalan), sosial ekokonmi yang lengkap, sahih, transfaran dan akuntabel. b. Penerapan best practices management sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk pemberian ijin baru di area Hutan Produksi Terbatas yang memiliki gambut kurang dari tiga meter c. Penerapan teknik tanpa bakar untuk pembukaan hutan gambut d. Penerapan pengelolaan tata air yang baik dalam mengelola hutan gambut e. Penerapan penggunaan amelioriant dalam mengkonservasi tanah di lahan gambut di dalam hutan f. Pelaksanaan rehabiitasi pada semua kawasan hutan yang terdegradasi melalui rehabilitasi hidrologi (seperti bloking kanal) g. Pengembangan pencegahan dan penanggulangan kebakaran gambut yang berada di dalam kawasan hutan h. Penataan ulang hutan gambut di area penggunaan lain dan hutan produksi konversi menjadi kawasan hutan lindung atau hutan konservasi i. Penataan ulang sisa lahan gambut yang belum diberikan izin atau konsesi untuk dijadikan kawasan hutan lindung atau hutan konservasi j. Pengalokasian ulang (land swap) izinizin konsesi yang berada di hutan gambut ke tanah mineral k. Pelaksanaan amandemen peraturan perundang-undangan atau penyusunan peraturan perundangundangan yang baru yang mengakomodir perlindungan hutan gambut hingga tahap implementasi, termasuk aturan insentif/disinsentif, penaatan dan penegakan hukum.
37
Program Reformasi Pembangunan Sektor Pertanian Prioritas utama pembangunan pertanian dalam menghadapi perubahan iklim adalah program aksi adaptasi untuk meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Selain itu, pembangunan pertanian juga berpotensi memberikan kontribusi dalam memitigasi emisi GRK, baik pada lahan gambut maupun lahan mineral dengan syarat bahwa mitigasi emisi GRK tidak menurunkan produktivitas dan tidak merugikan masyarakat tani. Apabila penerapan teknologi mitigasi emisi menimbulkan kerugian, baik berupa tambahan biaya produksi maupun penurunan produksi, maka perlu dialokasikan dana kompensasi untuk menutupi kerugian tersebut, baik berasal dari dalam negeri, maupun dari dana perdagangan karbon. Penguatan sektor pertanian yang terkait dengan mitigasi GRK terdiri atas: 1. Penyempurnaan perencanaan pertanian a. Perencanaan pembangunan pertanian dan perkebunan, proyeksi perluasannya dan pemberian ijin tidak pada kawasan hutan dan kawasan lain (areal penggunaaa lain) yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik (potensi simpanan karbon diatas 100 ton/ha). b. Perencanaan, penetapan, perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan perkebunan, terutama kebun kelapa sawit. c. Penerapan penundaan/moratorium izin perkebunan di kawasan yang bernilai konservasi tinggi seperti kawasan gambut. d. Pembangunan sistem monitoring dan evaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit untuk memantau aspek spasial perkebunan sawit sebagai basis untuk memperbaiki perencanaan secara berkala. 2. Penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta untuk peternakan
38
Draft Strategi Nasional REDD+
3. Pemanfaatan lahan tidur/bongkor atau lahan terlantar, 4. Penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral dari lahan dengan stock C tinggi (>100 t C/ha) ke lahan dengan stock C rendah (<35 t C/ ha). 5. Penerapan system irigasi intermittent pada lahan sawah. 6. Perluasan lahan pertanian pada tanah mineral dan tidak berhutan 7. Penyempurnaan tata cara pemberian ijin dengan mempertimbangkan emisi karbon 8. Pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan (land swap) 9. Penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub-sektor peternakan melalui perbaikan teknologi pakan ternak serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas dan kompos. 10. Perbaikan pengelolaan lahan gambut. Pengurangan emisi cukup significant dapat dicapai melalui berbagai program: a. Pentaatan terhadap Permentan No.14/2009 tentang penggunaan lahan gambut untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dimana pembukaan perkebunan di lahan gambut dilakukan secara sangat selektif yang 70% dari luasan lahan tersebut memenuhi kriteria: Gambut berketebalan <3m, tingkat kematangan sapris atau hemis, serta substratumnya bukan kwarsa atau sulfat masam. b. Pengendalian metode pembakaran gambut. Pembakaran gambut sering terjadi di kalanagn petani gurem dengan tujuan untuk mendapatkan hara dari abu bekas pembakaran gambut. Apabila gambut mempunyai simpanan C sebanyak 500 t/ha/m maka kebakaran 1 cm gambut berpotensi menyebabkan emisi sekitar 5 ton C/ha atau 18 t CO2-e/ ha. Apabila petani diberikan subsidi pupuk pada lahan gambut, maka emisi dari kebakaran akan dapat ditiadakan secara bertahap. c. Penataan drainase/tata guna air. Kedalaman saluran drainase sangat mempengaruhi emisi CO2 melalui dekomposisi gambut. Untuk itu kedalaman saluran drainase perlu
diminimalkan sampai tingkat yang tidak menurunkan produksi. d. Penggunaan ameliorant. Berbagai zat limbah, seperti tarak baja, yang mengandung Fe dan Si tinggi berpotensi mengikat (chelating) asam organic sederhana sehingga asam organic tersebut tidak mudah terdekomposisi. Penggunaan zat ini pada lahan gambut selain berpotensi menurunkan emisi, juga dapat memecahkan masalah pembuangan terak baja yang dewasa ini dikelompokkan sebagai limbah beracun dan berbahaya (B3).
Program Reformasi Sektor Pertambangan Penurunan daya serap karbon di sektor pertambangan terjadi akibat terjadinya konversi hutan ke areal pertambangan yang umumnya langsung ditebang habis dan seringkali mengubah rencana peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Pertambangan yang umumnya secara terbuka mengakibatkan kegiatan reklamasi sulit dilaksanakan. Aturan yang menyatakan bahwa pemilik pertambangan mempunyai kewajiban melaksakan reklamasi jarang dilakukan sehingga penyerapan karbon dari usaha reklamasi tidak ada. Perlindungan lahan gambut pun tidak diakomodir dalam sektor pertambangan. Program penyempurnaan pertambangan terdiri dari dua kegiatan, yaitu sebagai berikut : 1. Penyempurnaan peraturan perundangundangan di bidang pertambangan terkait REDD+ a. Pelaksanaan amandemen/ pembentukan peraturan perundangundangan baru di bidang pertambangan yang mengatur larangan pemberian izin KP di lahan gambut berketebalan lebih dari 3 meter, serta perlindungan terhadap lahan gambut di dalam kawasan pertambangan; b. Penyempurnaan aturan reklamasi tambang yang tepat, jelas, transparan, dan akuntabilitias, antara lain mengenai penentuan dana reklamasi, pengelolaan dana reklamasi, dan sistem verifikasi pelaksanaan reklamasi.
Draft Strategi Nasional REDD+
2. Perencanaan pertambangan a. Perencanaan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dihindari pada kawasan hutan dan kawasan lain yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik. b. Perencanaan, penetapan dan perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan pertambangan. c. Pembangunan sistem monitoring pelaksanaan pertambangan. 3. Peningkatan perijinan dan pengawasan pertambangan, yang terdiri dari beberapa kegiatan yaitu : a. Penerapan rasionalisasi pemberian ijin KP di kawasan hutan melalui penetapan ambang batas emisi yang diperkenankan pada perizinan KP untuk menekan tingkat emisi dan sekaligus menentukan kewajiban peningkatan stok karbon pada areal bekas tambang b. Penaatan terhadap rencana peruntukan kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditetapkan, izin KP dan/atau izin pinjam pakai tidak dikeluarkan dengan mengubah peruntukan lahan yang sudah ada; c. Penegakan hukum terhadap pemegang ijin KP yang melanggar ambang batas tingkat emisi dan kewajiban reklamasi
39
d. Penegakan hukum pertambangan tanpa izin e. Penerapan minimalisasi ‘open mining’ f. Penerapan perlindungan lahan gambut dalam izin KP 3. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan, yang terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: a. Peningkatan upaya reklamasi hutan dan lahan b. Pengembangan mata pencaharian alternatif secara ekonomis dan rendah emisi bagi penduduk sekitar areal pertambangan 4. Program reformasi sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan a. Penyempurnaan perencanaan pembangunan infrasrtuktur yang telah mempertimbangkan aspek emisi karbon b. Peningkatan kejelasan sektor terkait jangka panjang yang mempertimbangkan aspek emisi karbon.
Draft Strategi Nasional REDD+
41
BAB IV
SISTEM TERUKUR, DAPAT DILAPORKAN DAN DAPAT DIVERIFIKASI (MEASURABLE, REPORTABLE AND VERIFIABLE (MRV))
42
Draft Strategi Nasional REDD+
Partisipasi Indonesia di dalam REDD+ mengharuskan Indonesia membangun sistem terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV) agar setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di dalam hutan dapat diukur secara akurat dan dengan demikian dapat diberikan “reward” atas kinerja. Untuk itu, peta jalan pengembangan sistem MRV perlu dibangun menurut persyaratan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan prinsipprinsip efisien, efektif dan pantas. Frase terukur (measurable) disini mengandung arti metodologi yang dipergunakan harus kredibel, sedangkan dapat dilaporkan (reportable) mengandung arti laporan harus aktual dan serial/periodik dan dapat diverifikasi (verifiable) mengandung arti setiap laporan terkait dengan penurunan emisi dan atau peningkatan stok karbon memenuhi kriteria dan dapat diverifikasi oleh pihak independen. Sistem terukur, dapat dilaporkan, dan dapat diverifikasi (MRV) adalah bagian yang esensial untuk mengevaluasi pencapaian Strategi Nasional (Stranas) REDD+ dan mekanisme pembayaran internasional. Oleh karena itu, pengukuran butuh dilakukan secara teratur untuk mengukur perubahan stok karbon pada skala dimana perhitungan kinerja akan dibuat. MRV sendiri merupakan bagian dari sistem monitoring dan evaluasi dari aksi mitigasi yang akan didaftarkan oleh negara-negara kepada UNFCCC. Dalam pelaksanaannya, MRV harus mengikuti prinsip prinsip yang berlaku dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto, khususnya prinsip common but differentiated responsibilities and respective capablities serta historical responsibilities dari emisi GRK setiap negara. Dalam konteks Stranas REDD+, ruang lingkup pengukuran, dapat dilaporkan, dan dapat divervifikasi (MRV) tidak hanya terbatas kepada pengukuran perubahan areal hutan berdasarkan tipenya dan stok karbon di dalam hutan tetapi juga pengukuran terhadap distribusi manfaat atas pelaksanaan REDD+; kontribusi pelaksanaan REDD+ terhadap penghidupan yang berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan bagi masyarakat yang penghidupannya tergantung dengan hutan; pembangunan berkelanjutan dan pencapaian tujuan tata kelola yang baik; dan keterlibatan masyarakat di dalam implementasi REDD+.
Untuk membangun sistem MRV yang akuntabel dan transparan, beberapa prasyarat dibawah ini perlu dipenuhi: »» Penyusunan standar nasional yang sejalan dengan protokol internasional dan good practices untuk mengukur perubahan stok karbon di dalam hutan; »» Pendirian lembaga nasional yang independen untuk melakukan pengukuran dan verifikasi informasi; »» Pengembangan mekanisme koordinasi dan harmonisasi penghitungan karbon dan sistem MRV lintas sektor dan skala; »» Pengembangan sistem MRV bukan karbon termasuk usaha perlindungan sosial dan lingkungan (social and environmental safeguards). »» Pengembangan sistem yang transparan dengan mempergunakan teknologi yang tersedia dan terkoordinasi untuk mengelola informasi, dan memastikan bahwa semua informasi yang relevan baik spasial dan non spasial tersedia secara reguler dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. »» Pengembangan mekanisme pelaporan kepada lembaga-lembaga di tingkat nasional dan internasional yang relevan dan penyedian informasi yang relevan kepada aktor-aktor pasar karbon. Terkait dengan verifikasi dan safeguards, lembaga independen dibutuhkan untuk melakukan audit dan menyetujui capaian yang dihasilkan dan menyampaikannya ke publik sebagai bagian proses akuntabilitas dan transparansi melalui mekanisme yang tersedia. Ruang lingkup verifikasi ini meliputi sebagai berikut: »» Pelaksanaan MRV tidak hanya untuk kegiatan REDD+ tapi juga untuk emisi dari sumber lainnya dan co-benefit lainnya. »» Pengawasan bahwa MRV untuk karbon dilaksanakan menurut standar nasional dan internasional; »» Verifikasi atau sertifikasi pengurangan emisi untuk dapat diberikan “reward” dari pendanaan internasional; »» Pengawasan pelaksanaan sejumlah safeguards sosial dan lingkungan hidup; »» Pelaksanaan dan pengawasan prosedur penanganan pengaduan
Draft Strategi Nasional REDD+
Kerangka Kelembagaan MRV Di dalam implementasi Stranas REDD+, kapasitas lembaga yang melakukan MRV perlu dibangun untuk menjalankan kegiatan MRV karbon hutan yang efisien dan berkelanjutan. Untuk itu, kerangka kerja lembaga nasional MRV tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: »» Dalam konteks koordinasi, membangun mekanisme kerjasama dan koordinasi tingkat tinggi di tingkat nasional terkait dengan MRV karbon hutan dan kebijakan nasional untuk REDD+ dan menetapkan peran dan tanggungjawab kelembagaan MRV di tingkat nasional dan sub nasional dan co-benefits dan upaya monitoring lainnya. »» Dalam konteks pengukuran dan pemantauan, menyusun protokol dan unit-unit teknis untuk menganalisa data terkait dengan karbon hutan baik di tingkat nasional dan sub nasional. Ruang lingkup wewenang lembaga MRV di tingkat nasional bertugas untuk memantau indikator MRV secara nasional sedangkan wewenang lembaga MRV di tingkat sub nasional melingkupi klarifikasi/ground checking hasil pengukuran di tingkat nasional. »» Dalam konteks pelaporan, sebuah unit di lembaga MRV bertanggungjawab untuk mengumpulkan data yang relevan di dalam pusat database, melakukan estimasi nasional, dan pelaporan internasional menurut IPCC GPC, melakukan assesment ketidakpastian, dan perbaikan rencana; »» Dalam konteks verifikasi, lembaga independen untuk melakukan verifikasi efektivitas implementasi REDD+ dalam jangka panjang pada tingkat dan aktor yang berbeda. »» Lembaga yang meregistrasi kegiatan REDD+ mungkin dapat digabung dengan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih yang diperluas menjadi Komisi Nasional Perubahan Iklim. Di dalam pengembangan kelembagaan MRV untuk REDD+, Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan diberi mandat untuk membangun sistem MRV di tingkat nasional.
43
Draft Strategi Nasional REDD+
45
BAB V
PENGADMINISTRASIAN DAN PENGARUSUTAMAAN STRANAS DAN RAN REDD+ PADA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
46
Draft Strategi Nasional REDD+
Stranas dan RAN REDD+ ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan agar mempunyai dampak yang kongkrit bagi pencegahan pemanasan global dan keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Strategi dan Rencana Aksi dimaksud telah dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti: masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan, namun lebih jauh dari itu, pelibatan para pemangku kepentingan secara inklusif perlu terus dipertahankan dalam setiap tahapan siklus pembangunan. Prinsip umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pengarustamaan tersebut adalah: 1. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ merupakan bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran nasional dan karenanya harus bersinergi dengan dokumen perencanaan yang ada. 2. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca. 3. Perencanaan dengan pendekatan teknokratis, politis, partisipatif, top-down, dan bottom-up. 4. Penanganan masalah dengan pendekatan holistik dan pendekatan system.
Landasan Hukum Stranas REDD+ Tiga skenario landasan hukum yang dipertimbangkan agar Stranas REDD+ dapat dijalankan adalah : 1. Integrasi dengan RAN GRK Pengintegrasian dengan RAN GRK merupakan kondisi paling ideal yang diharapkan untuk kepentingan harmonisasi hukum. 2. Penyesuaian pada RPJMN 2010 – 2014 Meskipun opsi ini merupakan opsi yang tidak lazim dan dalam praktek belum pernah terjadi, namun dapat menjadi alternative kebijakan yang dapat diambil.
Penyesuaian pada RPJMN 2010-2014 (yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Pepres No. 5 Tahun 2010) mengharuskan adanya amandemen terhadap Perpres itu sendiri. Diperkirakan proses amandemen akan memakan waktu yang lebih lama dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi karena peliknya proses pembuatan RPJMN itu sendiri, dibandingkan dengan membuat Perpres yang terpisah. 3. Penyusunan dasar hukum tersendiri Pembuatan perpres tersendiri merupakan opsi kedua yang patut dipertimbangkan. Kegunaannya adalah memberikan dasar yang cukup untuk implementasi Stranas REDD+. Berntuk peraturan perundang-undangan yang diusulkan adalah Perpres, dengan pertimbangan bahwa tidak ada Undangundang yang memerintahkan secara langsung (sehingga kurang kuat bila diajukan dalam bentuk PP), namun harus cukup kuat untuk mengenyampingkan peraturan yang ditetapkan sebelumnya.
Pengintegrasian Stranas REDD+ Kedalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ merupakan dokumen sebagai panduan dari rangkaian kegiatan strategis dan terintegrasi bagi sektor terkait dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terutama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025 Hal ini diupayakan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan Stranas dan RAN REDD+. Namun proses pembentukan Stranas dan RAN REDD+ dilakukan setelah RPJMN 2010-2014 tersusun, sehingga menimbulkan kesenjangan pengaturan substansi terkait pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam RPJMN 2010-2014. Lebih jauh lagi,
Draft Strategi Nasional REDD+
karena pada saat ini sistem perencanaan dan penganggaran telah menerapkan Medium Term Expenditure Framework (MTEF), maka konsekuensinya adalah resource envelope yang telah ditetapkan dalam kerangka RPJMN mengikat selama periode perencanaan. Hal ini tentunya mempengaruhi pengalokasian dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian/Lembaga yang nomenklatur dan pagunya mengacu kepada RPJMN. Akibatnya substansi yang telah diatur dalam Stranas dan RAN REDD+ sangat mungkin tidak terakomodasi dalam Renstra dan RKA K/L terkait. Untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut di tingkat nasional, perlu dilakukan analisa kesenjangan (gap analysis) antara substansi yang tercakup dalam Stranas dan RAD REDD+ dengan pengaturan terkait di RPJMN 2010-2014. Sedangkan pada tingkat daerah, kondisinya akan lebih baik apabila proses penyusunan Stranas dan RAN REDD+ mendahului siklus perencanaan lima tahunan (RPJMD) yang berbeda-beda setiap daerahnya, tergantung dari siklus pemilihan kepala daerahnya. Stranas dan RAN REDD+ dapat segera diarustamakan dan diintegrasikan dalam RPJMD yang belum terbentuk. Kondisi yang lebih ideal lagi adalah RAD REDD+ disusun sebelum RPJMD dan RKA-SKPD dibentuk. Namun sebaliknya apabila sudah terbentuk maka perlu dilaksanakan analisa kesenjangan sebagaimana berlaku juga pada RPJMN 2010-2014. Hasil analisa kesenjangan kemudian dikomunikasikan dengan lembaga yang bertanggung jawab di bidang perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini dilakukan untuk menyearahkan Stranas dan RAN REDD+ dengan RPJMN 2010-2014 dan menyempurnakan rekomendasi yang dihasilkan melalui analisa kesenjangan. Rekomendasi-rekomendasi ini pada saatnya akan digunakan sebagai dasar untuk memperkaya detail kegiatan dan mempertajam indikator pencapaian dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dengan demikian, Pengintegrasian Stranas dan RAN REDD+ ke dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran akan dilakukan melalui kegiatan utama :
47
1. Penyusunan Analisa Kesenjangan (Gap Analysis) antara Rencana Aksi REDD+ dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2. Penyusunan Analisa Kesenjangan antara Rencana Aksi REDD+ dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 31 Propinsi 3. Koordinasi dan Penyearahan Hasil Analisa Kesenjangan dengan Lembaga Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah 4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah berdasarkan Hasil Analisa Kesenjangan 5. Pengintegrasian Stranas dan RAN REDD+ kedalam RPJMN 2015-2019 6. Penetapan Abatement Cost sebagai Bahan dalam Pengalokasin Pendanaan RPJMN 2015-2019
Program Penerapan REDD+ di Daerah Contoh Pelaksanaan RAD REDD+ perlu disertai dengan pemberian insentif bagi propinsi/ kabupaten yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan khususnya menurunkan emisi dalam bentuk fasilitasi dalam menjalankan program. Selain itu, keterbatasan sumberdaya yang dimiliki pusat maupun daerah dalam penerapan REDD+ mengharuskan pemberian fasilitasi penerapan REDD+ dipilih berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan daerah dengan kemungkinan tingkat keberhasilan tertinggi. Untuk itu perlu ditetapkan kriteria kesiapan (readiness) yang kemudian menjadi dasar pemilihan propinsi/kabupaten yang difasilitasi. Penentuan daerah perlu memperhatikan studi kelayakan yang dilaksanakan oleh setiap daerah. Dengan demikian, kegiatan utama dalam menentukan daerah penerapan REDD+ adalah : 1. Pembuatan kriteria dan indikator yang akan digunakan untuk menilai kesiapan daerah untuk mengimplementasikan REDD+ (readiness) 2. Penyusunan mekanisme untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam melaksanakan REDD+ di tingkat kabupaten
48
Draft Strategi Nasional REDD+
Sumber Pembiayaan Apabila mengikuti mekanisme klasifikasi kegiatan NAMA’s maka sumber pembiayaan REDD+ dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Untuk mendukung kegiatan penurunan gas rumah kaca sebesar 26% Pendanaan untuk kegiatan ini sering disebut sebagai unilateral NAMA’s dengan arti pendanaan berasal dari pendanaan dalam negeri yang menjadi prioritas utama dalam pendanaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat berupa rupiah murni maupun PHLN sesuai dengan rancangan RPJMN 20102014. Meskipun begitu, komitmen 26% yang dilakukan dengan upaya sendiri (unilateral) tidak hanya meliputi pendanaan pemerintah pusat, melainkan termasuk sumber pendanaan dalam negeri lainnya, seperti APBD, hutang pemerintah, investasi swasta (perbankan dan non-perbankan), dan corporate social responsibility (CSR). 2. Untuk mendukung kegiatan penurunan gas rumah kaca hingga 41% Sumber dana yang diperlukan untuk mendukung penurunan emisi di kategori ini berasal dari bantuan/hibah luar negeri baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral sehingga kategori ini dikenal dengan supported NAMA’s. 3. Untuk mendukung kegiatan penurunan gas rumah kaca lebih dari 41% Sedangkan sumber pembiayaan dari kategori kegiatan ini berasal dari kredit karbon atau carbon credit. Mekanisme kredit karbon ini masih dalam tahap pengembangan. Dalam konteks negosiasi UNFCCC, sejak COP 13 di Bali upaya mitigasi perubahan iklim telah memasukkan inisiatif Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) yang selanjutnya telah berkembang menjadi REDD+. Negosiasi ini telah membuka jalan bagi tersedianya dukungan pendanaan internasional bagi inisiatif REDD+ dan melahirkan kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk mengambil
peluang pendanaan internasional tersebut, termasuk Indonesia. Kegiatan capacity building dan technology transfer dilakukan secara kontinyu untuk mendukung ketiga kategori kegiatan di atas dengan pembiayaan yang bersumber dari hibah luar negeri.
Mekanisme Pendanaan Sumber dana dari APBN pada umumnya akan disalurkan melalui kementerian/lembaga pemerintah, pemerintah pusat, maupun BUMN dengan mekanisme yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, sumber dana dari APBN dapat disalurkan kembali kepada pihak swasta dengan mekanisme tertentu sesuai dengan jenis sumber dananya. Pengaturan pengelolaan hibah yang diterima dari luar negeri diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 2/2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan PHLN dan Peraturan Menteri No. 05/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang dibiayai dari PHLN. Untuk menampung berbagai sumber pembiayaan baik dari dalam maupun luar negeri dan untuk menyalurkan pada kegiatan-kegiatan REDD+ yang terintegrasi maka perlu dibentuk suatu wadah mekanisme pembiayaan yaitu REDD+ Trust Fund. Kelembagaan mekanisme pembiayaan ini dapat diintegrasikan ke dalam skema yang sudah ada yaitu Indonesia Climate Change Trust Fund sebagai salah satu window di mekanisme penadaan tersebut. Selain itu, saat ini Kementerian Keuangan sedang menyusun Peraturan Pemerintah tentang mekanisme pengelolaan hibah sehingga ide REDD+ Trust Fund dapat direalisasikan dan didukung dengan adanya peraturan ini.
Mekanisme Monitoring dan Evaluasi (Monev) Stranas REDD+ Untuk memastikan pelaksananaan Strategi Nasional (Stranas) dan Rencana Aksi Nasional (RAN) REDD+ berjalan dengan baik, kerangka kerja monitoring dan evaluasi perlu disusun sebagai pedoman monitoring dan dievaluasi Stranas dan RAN REDD+. Hasil dari monitoring dan evaluasi Stranas dan RAN REDD+ diharapkan dapat menjadi
Draft Strategi Nasional REDD+
umpan balik bagi perbaikan dokumen Stranas dan RAN REDD+ 2010 – 2020. Dengan demikian, dokumen Stranas dan RAN REDD+ akan menjadi suatu dokumen yang hidup (living document), yang dapat selalu diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan yang telah teridentifikasi
Ruang Lingkup Monitoring dan evaluasi disini mencakup semua aspek yang diatur dan disusun di dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ antara lain: »» Pencapaian visi dan tujuan »» Pelaksanan Strategi Nasional REDD+ yang terdiri dari strategi pemenuhan prasyarat, strategi pemenuhan kondisi, strategi penyempurnaan sektor dengan mempergunakan logframe Stranas REDD+ sebagai acuan untuk mengukur keberhasilan Stranas REDD+. »» Pengarusutamaan Stranas REDD+ pada pelaksanaan di semua level.
Mekanisme Monev Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Lembaga Pelaksana REDD+/ MRV dengan memegang prinsip-prinsip robust, transparent, and participatory dengan pelibatan organisasi masyarakat sipil utamanya kelompok masyarakat adat di dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Keterlibatan secara aktif komponen eksternal dapat diakomodasi dalam bentuk kelompok kerja yang dikoordinasikan Lembaga Pelaksana REDD+ di Indonesia. Dengan demikian, mekanisme monitoring dan evaluasi memungkinkan sebuah proses umpan balik yang “iterative” untuk melakukan perubahan perubahan dan penyesuaian Stranas REDD+ sehingga akan terjadi siklus manajemen yang menghasilkan masukan bagi penyesuaian Strategi, program dan rencana aksi pada periode tertentu.
49
Draft Strategi Nasional REDD+
BAB VI
PENUTUP
51
52
Draft Strategi Nasional REDD+
REDD + merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim. Sebagai pendekatan baru yang terkait dengan pengelolaan hutan pada khususnya dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan pada umumnya, pendekatan ini memerlukan pemahaman dan penerapan yang tepat. Pendekatan yang diawali dari suatu komitmen global untuk pengurangan emisi sudah selayaknya memperoleh perhatian khusus bagi Indonesia dengan tetap mengedepankan kepentingan dan manfaat nasional. Pendekatan ini harus dianggap sebagai pendekatan yang komplementer dengan pendekatan yang sudah dijalankan selama ini dengan prinsip dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan kebijakan maupun strategi yang sudah ada. Sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk memberikan kontribusi sukarela dalam pengurangan emisi global, strategi nasional REDD+ disusun dengan dasar penurunan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sembari meningkatkan serapan (sink) karbon dan mempertahankan simpanan (stock) yang berada di hutan. Strategi didasarkan atas kajian masalah dan sumber masalah sehingga menampilkan strategi prioritas beserta program yang harus dilakasanakan selama kurun waktu sampai dengan tahun 2020. Pendekatan dengan penyempurnaan dan pembentukan kondisi pemungkin dilanjutkan dengan penyempurnaan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan sektor diharapkan akan memberikan daya efektifitas tinggi. Penerapan Strategi Nasional hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu pengarus utamaan strategi nasional REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.
Draft Strategi Nasional REDD+
DAFTAR PUSTAKA
53
54
Draft Strategi Nasional REDD+
Angelsen, Arild veriable (eds). 2009. Realising REDD+ National Strategy and Policy Options. CIFOR, Bogor. Badan Litbang Kehutanan. 2010. Draft Badan Litbang Kehutanan tentang Strategi REDD+. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Boer, R. ..n.d. REL Policy, Methods and Guidelines. Center for Climate Risk and Opportunity Management. Bogor Agriculture University, Bogor Herold, M. and P.Bholanath. 2009. Preparing Guyana’s REDD+ participation: Developing capacities for monitoring, reporting and verification. Report and summary of a workshop and consultation, held 27. – 29. October 2009 in Georgetown, Guyana. ICEL. 2006. Manual Investigasi Illegal Logging; dengan pendekatan UU Kehutanan, UU. Khatarina, J, Murharjanti, P, Ivalerina, F, Indrarto, GB, Rahman, Y, Prana, MN & Lampiran Peraturan Presiden Republik
Indonesia Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 2010-2020 Permasalahan dan Strategi Penanggulangan, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta Pulungan, I, Profil sektor kehutanan Indonesia, Indonesia Center for Environmental Law dan CIFOR, Jakarta (forthcoming). Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. 2010. Modus Operandi, Akar . Sugardiman, R.A. 2010. Penentuan Tingkat Referensi Emisi (Sektor Kehutanan). Diskusi Penyusunan Strategi Nasional REDD+. Hotel Permata, Bogor. 13 Agustus 2010. Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Korupsi, ICEL bekerjasama dengan Kemitraan, Jakarta.
Draft Strategi Nasional REDD+
LAMPIRAN
55
• Semua prasyarat REDD+ diterapkan dengan baik.
• Terbentuknya dan berfungsinya aturan terkait REDD+ • Terbentuknya lembaga REDD+ yang kuat dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik
Outcome 1: Terpenuhinya prasyarat penerapan REDD+
Output 1: Tersedianya sejumlah peraturan yang terkait pelaksanaan REDD+
Outcome 2: Terpenuhinya kondisi pemungkin penerapan REDD+
Kegiatan Utama: 1. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan dan Pedoman Teknis penetapan RL pada tingkat Nasional dan Sub Nasional. 2. Peningkatan kapasitas dalam penilaian dan penetapan RL terutama di sub-nasional. 3. Pembangunan sistem MRV pada tingkat nasional dan sub nasional.
Output 2: Tersusunnya metodologi REDD+
• Semua kondisi pemungkin penerapan REDD+ terpenuhi dengan baik.
• Reference level (RL) dan MRV ditetapkan dan disepakati oleh stakeholders terkait
• Emisi gas rumah kaca menurun sebesar xxx dari xxx • Pendapatan masyarakat meningkat sebesar xxx • Keragaman hayati dapat dipertahankan
Goal: Tercapainya pembangunan berkelanjutan terintegrasi yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari dan berkontribusi terhadap peningkatan simpanan karbon serta penurunan emisi GRK
Kegiatan Utama: 1. Percepatan pembentukan landasan hukum dan pedoman yang kuat untuk pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional dan sub-nasional . 2. Pembentukan Kelembagaan REDD di tingkat Nasional dan sub nasional dengan ruang lingkup tugas pengelolaan REL/RL, MRV, Registrasi, dan Pendanaan
Indicators
Objectives/Activities
Logframe Strategi Nasional REDD+
Lampiran 1:
Hasil MRV
Hasil MRV
Hasil MRV
Hasil MRV
Means of Verifications
• Konsensus antar stakeholder tercapai • Dana tersedia
• Keputusan yang jelas dari pemerintah dan legislatif • Komitmen inter sektoral terhadap lembagapelaksanaan REDD+ kuat • Dana tersedia
• Kementerian/lembaga mendukung pemenuhan prasyarat implementasi REDD+ • Prasyarat yang disusun mendapat pengakuan nasional dan internasional
• Adanya dukungan politik yang kuat dari berbagai level • Tersedianya data yang akurat dan dapat diakses
Assumptions
56 Draft Strategi Nasional REDD+
Output 3: Menguatnya keterlibatan pemangku kepentingan
Kegiatan Utama: 1. Reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan sektor terkait serta khususnya terkait REDD+ 2. Reformasi penegakan hukum terkait dengan sumberdaya hutan
Output 2: Tercapainya reformasi dasar dan penegakan hukum dalam penerapan REDD+
• Prinsip-prinsip FPIC diimplementasikan dalam penerapan REDD+. • Kapasitas masyarakat meningkat terkait dengan REDD+ dan sejumlah bentuk kerjasama disepakati oleh para pihak dan operasional dilapangan
• Pelaksanaan dan penegakan hukum sejumlah undang-undang dan kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan REDD+ berjalan efektif.
• Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang dibuat berdasarkan pertimbangan ekologis, ekonomi dan sosial secara berimbang • Internalisasi konsep REDD+ dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Output 1: Membaiknya perencanaan pembangunan sektor pengunaan lahan
Kegiatan Utama: 1. Reformasi rencana tata ruang wilayah 2. Reformasi perencanaan di tingkat ‘land-use’ 3. Reformasi perencanaan di tingkat unit management hutan 4. Reformasi perencanaan spasial dan non spasial di tingkat desa
Indicators
Objectives/Activities
Hasil MRV
Hasil MRV
Hasil MRV
Means of Verifications
• Dukungan Pemerintah untuk mengakomodasi prinsip FPIC di dalam kerangka hukum nasional
• Komitmen yang kuat para pihak terkait pelaksanan prinsip-prinsip tata kelola yang baik
• Komitmen yang kuat dari para pihak dan di setiap level terkait dengan perbaikan perencanaan di masing-masing lembaga
Assumptions
Draft Strategi Nasional REDD+
57
• Semua pembangunan sektor berjalan sesuai dengan rencana di dalam Stranas dan RAN REDD+ • Deforestasi dan degradasi hutan menurun • Luas tanaman baru dan atau pengayaan hutan bertambah
Output 1: Tercapainya reformasi pembangunan sektor kehutanan
• Prinsip-prinsip tata kelola yang baik diaplikasi dalam perencanaan di seluruh sektor pengunaan lahan, penegakan hukum dan pelibatan pemangku kepentingan.
Indicators
Outcome 3: Tercepainya pembangunan sektor yang berkelanjutan
Kegiatan Utama: 1. Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, proses pengambilan kebijakan serta proses pemberian izin di sektor kehutanan. 2. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi khususnya pada kelompok yang potensial terkena dampak. 3. Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub-nasional. 4. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak. 5. Peningkatan transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat
Output 4: Menguatnya tata kelola di seluruh sektor pengunaan lahan, penguatan dasar dan penegakan hukum, serta pelibatan pemangku kepentingan
Kegiatan Utama: 1. Penerapan prinsip FPIC dalam implementasi REDD+, termasuk di dalamnya adalah komitmen pelibatan kaum perempuan mulai dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi. 2. Peningkatan kesadaran, kesepahaman dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+ 3. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah 4. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanan REDD+ di tingkat tapak
Objectives/Activities
Hasil MRV
Hasil MRV
Means of Verifications
• Komitmen yang kuat dari Kementerian Kehutanan • Dana tersedia
• Komitmen yang kuat antar sektor dalam melaksanakan perencaan yang telah disusun.
Assumptions
58 Draft Strategi Nasional REDD+
Output 3: Tercapainya reformasi pembangunan sektor pertambangan
Aktivitas Utama: 1. Penyempurnaan perencanaan pertanian 2. Penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta untuk peternakan 3. Pemanfaatan lahan tidur/bongkor atau lahan terlantar, 4. Penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral dari lahan dengan stock C tinggi (>100 t C/ha) ke lahan dengan stock C rendah (<35 t C/ha). 5. Penerapan system irigasi intermittent pada lahan sawah. 6. Perluasan lahan pertanian pada tanah mineral dan tidak berhutan 7. Penyempurnaan tata cara pemberian ijin dengan mempertimbangkan emisi karbon 8. Pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan (land swap) 9. Penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub-sektor peternakan melalui perbaikan teknologi pakan ternak serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas dan kompos. 10. Perbaikan pengelolaan lahan gambut
Output 2: Tercapainya reformasi pembangunan sektor pertanian
Aktivitas Utama: 1. Penurunan sumber emisi (source) dari aktivitas deforestasi dan degradasi hutan 2. Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink) 3. Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH 4. Penyempurnaan pengelolan gambut di kawasan hutan
Objectives/Activities
• Cara penambangan mempergunakan prinsip ramah lingkungan termasuk pelaksanaan penambangan tertutup pada kawasan hutan lindung. • Luas reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang terlaksana seluruhnya.
• Ketahanan pangan terjaga melalui penerapan usaha tani rendah emisi.
Indicators
Hasil MRV
Hasil MRV
Means of Verifications
• Komitmen yang kuat dari Kementerian Pertambangan dan Energi dan pemerintah daerah • Dana tersedia
• Komitmen yang kuat dari Kementerian Pertanian dan Perkebunan • Dana tersedia
Assumptions
Draft Strategi Nasional REDD+
59
Aktivitas Utama: 1. Penyempurnaan perencanaan pembangunan infrasrtuktur yang telah mempertimbangkan aspek emisi karbon 2. Peningkatan kejelasan sektor terkait jangka panjang yang mempertimbangkan aspek emisi karbon
Output 4: Tercapainya reformasi pembangunan sektor pengunaan lahan
Aktivitas Utama: 1. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan terkait REDD+ 2. Penyempurnaan perencanaan pertambangan 3. Peningkatan perijinan dan pengawasan pertambangan 4. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan
Objectives/Activities
• Optimalnya pemanfaatan lahan sesuai dengan daya dukung dan pertimbangan emisi karbon • Pemanfaatan lahan sesuai dengan potensi dantindak tumpang tindih
Indicators
Hasil MRV
Means of Verifications
• Komitmen yang kuat inter kementerian dan lembaga/pusat dan daerah • Dana tersedia
Assumptions
60 Draft Strategi Nasional REDD+
PEMENUHAN PRASYARAT REDD+
RENCANA AKSI
Pembuatan Peraturan yang terkait pelaksanaan REDD+
Percepatan pembentukan landasan hukum dan pedoman yang kuat dan operasional bagi pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional dan sub-nasional.
No.
1.
1
Peraturan perundangan
INDIKATOR SASARAN
VOLUME KEGIATAN
Rencana Aksi Nasional Strategi 1 REDD+ : Pemenuhan Prasyarat REDD+
2010-2012
PERIODE
LOKASI
BIAYA RP (MILYAR)
Kegiatan : 1. Percepatan pembentukan landasan hukum dan pedoman yang kuat dan operasional bagi pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional dan sub-nasional. 2. Pembentukan kelembagaan REDD nasional dan sub nasional dengan ruang lingkup tugas pengelolaan REL/RL, MRV, registrasi dan pendanaan. 3. Penyusunan petunjuk pelaksanaan dan pedoman teknis penetapan RL pada tingkat nasional dan sub nasional. 4. Peningkatan kapasitas dalam penilaian dan penetapan RL terutama di sub nasional 5. Pengembangan sistem MRV pada tingkat nasional dan sub nasional.
Program Utama : 1. Pembuatan Peraturan yang terkait pelaksanaan REDD+ 2. Pembentukan / Pengembangan Metodologi REDD+
STRATEGI
Rencana Aksi Nasional
Tabel RAN REDD Strategi 1
SUMBER
PENANGGUNG JAWAB/ PELAKSANA
Draft Strategi Nasional REDD+
61
RENCANA AKSI
Pembentukan kelembagaan REDD nasional dan sub nasional dengan ruang lingkup tugas pengelolaan REL/RL, MRV, registrasi dan pendanaan.
Pembentukan / Pengembangan Metodologi REDD+
Penyusunan petunjuk pelaksanaan dan pedoman teknis penetapan RL pada tingkat nasional dan sub nasional.
Peningkatan kapasitas dalam penilaian dan penetapan RL terutama di sub nasional
Pengembangan sistem MRV pada tingkat nasional dan sub nasional.
No.
2
2.
1.
2.
3.
Tersedia metodologi REDD yang diakui IPCC
Adanya komisi REDD+
INDIKATOR SASARAN
VOLUME KEGIATAN 2011
PERIODE
LOKASI RP (MILYAR)
BIAYA SUMBER
PENANGGUNG JAWAB/ PELAKSANA
62 Draft Strategi Nasional REDD+
PEMENUHAN KONDISI PEMUNGKINAN (ENABLING CONDITION)
Kegiatan : 1. Reformasi Rencana Tata Ruang Wilayah 2. Reformasi perencanaan di tingkat ‘land-use’ 3. Reformasi perencanaan di tingkat unit managemen hutan 4. Reformasi perencanaan spasial dan non spasial di tingkat desa 5. Reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan sektor khususnya terkait REDD+ 6. Reformasi penegakan hukum terkait dengan sumber daya hutan 7. Penerapan prinsip FPIC dalam implementasi REDD+ 8. Peningkatan kesadaran, kesepahaman dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+ 9. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah 10. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanan REDD+ di tingkat tapak 11. Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, proses pengambilan kebijakan serta proses pemberian izin di sektor kehutanan 12. Meningkatkan ruang transparansi dan partisipasi pada ppoint khususnya pada kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak 13. Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub-nasional 14. Penetapan prinsip Free, Prior Informed Concern (FPIC) dalam implementasi REDD+ 15. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) khususnya pada kelompok rentan 16. Peningkatan kapasitas lembaga publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 17. Pembangunan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
Program Utama : 1. Reformasi Perencanaan Pembangunan Sektor Pengunaan Lahan 2. Reformasi Dasar dan Penegakan Hukum 3. Pelibatan Pemangku Kepentingan 4. Penguatan Tata Kelola
STRATEGI
rencana aksi nasional
Tabel RAN REDD Strategi 2
Draft Strategi Nasional REDD+
63
RENCANA AKSI
Reformasi Perencanaan Pembangunan Sektor Pengunaan Lahan
Reformasi Rencana Tata Ruang Wilayah
Reformasi perencanaan di tingkat ‘landuse’
Reformasai perencanaan di tingkat unit managemen hutan
Reformasi perencanaan spasial dan non spasial di tingkat desa
Reformasi Dasar dan Penegakan Hukum
Reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan sektor khususnya terkait REDD+
Reformasi penegakan hukum terkait dengan sumber daya hutan
Pelibatan Pemangku Kepentingan
Penerapan prinsip FPIC dalam implementasi REDD+
Peningkatan kesadaran, kesepahaman dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+
Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah
No.
1.
1.
2.
3.
4.
2.
1.
2.
3.
1
2
3
INDIKATOR SASARAN
VOLUME KEGIATAN PERIODE
Rencana Aksi Nasional Strategi 2 REDD+ : Pemenuhan Kondisi Pemungkinan (Enabling Condition)
LOKASI RP (MILYAR)
BIAYA SUMBER
PENANGGUNG JAWAB / PEWLAKSANA
64 Draft Strategi Nasional REDD+
RENCANA AKSI
Pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanan REDD+ di tingkat tapak
Penguatan Tata Kelola
Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, proses pengambilan kebijakan serta proses pemberian izin di sektor kehutanan
Meningkatkan ruang transparansi dan partisipasi pada point khususnya pada kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan
Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub-nasional akan peran penting pelibatan pemangku kepentingan
Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak
Peningkatan kapasitas lembaga publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Pembangunan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
No.
4
4
1
2
3
4
5
6
INDIKATOR SASARAN
VOLUME KEGIATAN PERIODE
LOKASI RP (MILYAR)
BIAYA SUMBER
PENANGGUNG JAWAB / PEWLAKSANA
Draft Strategi Nasional REDD+
65
REFORMASI PEMBANGUNAN SEKTOR
Kegiatan : 1. Penurunan sumber emisi (source) 2. Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink) 3. Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH 4. Penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan 5. Penyempurnaan perencanaan pertanian 6. Penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta peternakan 7. Pemanfaatan lahan tidur/bongkor atau lahan terlantar 8. Penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral 9. Penerapan sistem irigasi bergilir (intermittent) pada lahan sawah 10. Perluasan lahan pertanian pada tanah-tanah mineral dan tidak berhutan 11. Penyempurnaan tata cara pemberian izin dengan mempertimbangkan emisi karbon 12. Pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan arealnya dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan (land swap) 13. Penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub sektor perternakan 14. Perbaikan pengelolaan lahan gambut di sektor pertanian 15. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan terkait REDD+ 16. Perencanaan pertambangan 17. Peningkatan perizinan dan pengawasan pertambangan 18. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan 19. Penyempurnaan perencanaan pembangunan infrastruktur yang telah mempertimbangkan aspek emisi karbon 20. Peningkatan kejelasan kebijakan sektor terkait jangka panjang yang mempertimbangkan aspek emisi karbon
Program Utama : 1. Reformasi Pembangunan Sektor Kehutanan 2. Penguatan Pembangunan Sektor Pertanian 3. Penyempurnaan Sektor Pertambangan 4. Penyempurnaan penggunaan sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan
STRATEGI
rencana aksi nasional
Tabel RAN REDD Strategi 3
66 Draft Strategi Nasional REDD+
RENCANA AKSI
Reformasi Pembangunan Sektor Kehutanan
Penurunan sumber emisi (source)
Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink)
Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH
Penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan
Reformasi Pembangunan Sektor Pertanian
Penyempurnaan perencanaan pertanian
Penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta peternakan
Pemanfaatan lahan tidur/bongkor atau lahan terlantar
Penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral
Penerapan sistem irigasi bergilir (intermittent) pada lahan sawah
Perluasan lahan pertanian pada tanahtanah mineral dan tidak berhutan
Penyempurnaan tata cara pemberian izin dengan mempertimbangkan emisi karbon
No.
1
1.
2.
3.
4
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
INDIKATOR SASARAN
VOLUME KEGIATAN
Rencana Aksi Nasional Strategi 3 REDD+ : Penyempurnaan Pembangunan Sektor
PERIODE
LOKASI RP (Milyard)
BIAYA SUMBER
PENANGGUNG JAWAB / PEWLAKSANA
Draft Strategi Nasional REDD+
67
RENCANA AKSI
Pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan arealnya dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan (land swap)
Penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub sektor perternakan
Perbaikan pengelolaan lahan gambut di sektor pertanian
Reformasi Sektor Pertambangan
Penyempurnaan peraturan perundangundangan di bidang pertambangan terkait REDD+
Perencanaan pertambangan
Peningkatan perizinan dan pengawasan pertambangan
Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan
Reformasi sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan
Penyempurnaan perencanaan pembangunan infrasrtuktur yang telah mempertimbangkan aspek emisi karbon
Peningkatan kejelasan sektor terkait jangka panjang yang mempertimbangkan aspek emisi karbon.
No.
8.
9.
10.
3.
1.
2.
3.
4.
4
1
2
INDIKATOR SASARAN
VOLUME KEGIATAN PERIODE
LOKASI RP (Milyard)
BIAYA SUMBER
PENANGGUNG JAWAB / PEWLAKSANA
68 Draft Strategi Nasional REDD+