KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor adalah benar-benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016
Hendry Noer Fadlillah NIM F252124085
RINGKASAN HENDRY NOER FADLILLAH. Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor. Di bawah supervisi LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO. Setiap produk pangan yang diedarkan wajib memiliki label pada kemasannya. Label tersebut dapat menjadi sarana komunikasi antara produsen dan konsumen. Kebiasaan membaca label dapat membantu konsumen untuk mengetahui informasi terkait produk yang akan dibeli. Beberapa informasi yang dimaksud antara lain mengenai produsen, keamanan, kandungan gizi, komposisi, dan lainnya. Salah satu informasi penting yang bisa diperoleh dari membaca label adalah mengenai BTP (Bahan Tambahan Pangan). Penggunaan BTP merupakan praktek yang umum terjadi dewasa ini. BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP bukan untuk dikonsumsi langsung, tetapi ditambahkan untuk tujuan dan fungsi tertentu, seperti menjaga kestabilan emulsi, memberi aroma atau rasa, meningkatkan cita rasa, memperpanjang umur simpan, mencegah penggumpalan, mempertahankan warna, dan lainnya. Hampir semua produk pangan dalam kemasan mengandung BTP dalam jenis dan jumlah yang spesifik. Walau digunakan dalam jumlah yang sedikit, penggunaan BTP diatur secara ketat. Di Indonesia, secara teknis, BTP diatur oleh Kementerian Kesehatan RI dan Badan POM RI. Beberapa hal yang diatur antara lain jenis yang diijinkan, batas maksimum penggunaan, persyaratan, hingga pencantuman pada label. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data mengenai kebiasaan konsumen dalam membaca label, informasi yang dibaca oleh konsumen pada label, pengenalan konsumen terhadap BTP, dan seberapa besar kepedulian terhadap BTP. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan industri pangan untuk menyusun strategi dalam memberikan edukasi. Selain itu penelitian ini juga penting bagi produsen dalam pengembangan produk dan juga menyusun strategi promosi di pasar. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan mewawancarai responden. Area studi dilaksanakan di Kota Bogor. Responden dibagi ke dalam dua kelompok, yakni usia 15-24 tahun dan usia 24 tahun. Survei dilakukan dengan pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden oleh enumerator. Responden diminta untuk mengisi setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Pertanyaan dalam kuesioner dibagi dalam beberapa bagian, yang meliputi profil responden, kebiasaan membaca dan kepedulian terhadap label, serta pemahaman dan kepedulian mengenai BTP. Data diolah secara statistik dengan menggunakan Microsoft Excel dan SPSS. Hasil penelitian yang melibatkan 201 responden usia 15-24 tahun dan 150 responden usia >24 tahun, menunjukkan bahwa responden yang selalu membaca label untuk kelompok usia 15-24 tahun dan >24 tahun masing-masing adalah 22% dan 67%. Berdasarkan uji statistik kelompok usia lebih dari 24 tahun, memiliki kebiasaan dalam membaca label lebih sering secara nyata dibandingkan dengan kelompok usia 15-24 tahun. Informasi yang paling diperhatikan pada label untuk kelompok 15-24 tahun adalah klaim kesehatan, mengetahui informasi BTP, dan berat/volume pangan di dalam kemasan. Sedangkan kelompok >24 tahun lebih
memperhatikan nomor registrasi, nama produsen, dan berat/volume. Jumlah responden yang mengenal istilah BTP untuk kelompok 15-24 tahun dan >24 tahun masing-masing adalah 95% dan 73% dari yang membaca label. Secara statistik usia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan kelompok usia >24 tahun. Sebanyak 19% responden selalu membaca informasi BTP pada kelompok 15-24 tahun, dan 24% pada kelompok >24 tahun. Sumber utama informasi BTP pada responden berusia 15-24 tahun adalah internet dan sekolah/kuliah. Sedangkan bagi responden berusia >24 tahun, sumber informasi BTP utamanya berasal dari televisi dan sekolah/kuliah. BTP yang paling banyak mendapat perhatian untuk kedua kelompok tersebut adalah perisa dan penguat rasa. Hasil penelitian ini juga menunjukkan korelasi antara kebiasaan membaca label dengan jenis kelamin (pada usia 15-24 tahun), serta pendidikan dan pendapatan (pada usia 15-24 tahun dan >24 tahun). Responden wanita lebih sering membaca label dibandingkan responden pria pada kelompok 15-24 tahun. Selain itu, semakin tinggi pendidikan dan pendapatan juga menunjukkan kebiasaan membaca label lebih sering pada kedua kelompok tersebut. Kata kunci: label pangan, bahan tambahan pangan, komposisi, kepedulian konsumen
SUMMARY HENDRY NOER FADLILLAH. Consumer Awareness on Label of Food Packaging and Information of Food Additives in Bogor City. Supervised by LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Label on the food packaging is a compulsory. It could be communication media between producers and consumers. Consumer’s habit of reading the labels can help them to get information about the products to be purchased. The information includes the manufacturer, safety, nutrition content, composition, and others. One of the important information that can be obtained from reading the label is about food additives. The used of food additive is general practices in food industries. Food additive are substances added to food to improve properties of food. Food additives are not for direct consumption, but to provide spesific purpose and function, such as emulsifying, flavoring, enhancing taste, increasing shelf life, preventing cacking, protecting color, and others. Most of processed food contain food additive in certain amount. Evenhough it is used in small amount, food additive is tighly regulated. Technically, in Indonesia, food additives are regulated by Ministry of Health and National Agency of Food and Drug Control (NAFDC). The regulation include variety of food additive that can be added to food, maximum level permitted, requirement and information allowed on label. This research was conducted to evaluate consumer’s habit in Bogor city in reading food label, their awareness on label information, understanding and awareness of food additives. The obtained data could be used by government and food industries to develop education program. Industries could also use the data for consideration in developing new products and develop promotion program. The research was conducted by interviewing respondents in Bogor City. The respondent was divided into two groups. The first group was 15-24 years old respondent, and the second groups was >24 years old respondent. Question divided into several parts, including respondent profile, habit and awareness in reading label, understanding and awareness on food additives. Data are analyzed statistically by using Microsoft Excel and SPSS program. There were 201 for 15-24 years old respondent and 150 for >24 years old respondent. Respondents, who always read label for 15-24 and >24 years old group are 22% and 67%. Statistically, the frequency of reading label of >24 year old respondents significantly higher than 15-24 years old respondents. The information read by 15-24 years old respondents were mostly health claim, food additive information and weight/volume; while registration number, producer name, and weight/volume were mostly read by the other group. The survey showed 15-24 years old respondents had better knowledge on food additives than >24 year old group. The number of respondents who were familiar with the term of food additive for groups of 15-24 and > 24 years respectively 95 % and 73 % of respondents reading label. Statistically aged 15-24 years was more familiar with the term food additive than group > 24 years. As many as 19 % of respondents of 15-24 years always read food additive information, and 24 % of respondents of >24 years. The main source of food additives information of
respondents aged 15-24 years were internet and school /college. As for respondents aged> 24 years, food additive information mainly from television and school / college. Flavor and flavor enhancer were the most aware food additives by both group. The results also showed a correlation between the habit of reading labels by gender (age 15-24 years), as well as education and income (at the age of 15-24 years and > 24 years). Respondents female were more often to read label than male respondents on group of 15-24 years. Moreover, the higher education and income also showed the habit of reading labels more frequently in both groups. Key words: food label, food additive, ingredients, consumer awareness
Hak Cipta Milik IPB, 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Pada Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Judul Tesis
Nama NIM
: Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor : Hendry Noer Fadlillah : F252124085
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Lilis Nuraida, MSc Ketua
Dr Eko Hari Purnomo STP, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 26 Februari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNYA sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 hingga September 2015 ini adalah Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Lilis Nuraida dan Dr Eko Hari Purnomo yang telah banyak memberikan saran untuk penyelesaian penelitian, serta Dr Ir Nurheni Sri Palupi yang juga memberi masukan terhadap hasil penelitian ini . Di samping itu, penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak dan Ibu Pimpinan PT Media Pangan Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk penyelesaian studi. Ungkapan terima kasih juga dihaturkan kepada bapak, ibu, istri, dua buah hati, dan seluruh keluarga yang telah mendukung dan memberikan doa kepada Penulis. Kepada rekan-rekan di MPTP dan PT Media Pangan Indonesia, penulis juga menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini, terutama pada saat penyelesaian studi. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016 Hendry Noer Fadlillah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Label Pangan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Keamanan BTP Peraturan Pelabelan BTP Kepedulian terhadap Label 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Metode 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian kuesioner Profil Responden Perilaku Konsumen dalam Membaca Label Pengaruh Label terhadap Keputusan Pembelian Informasi yang Diperhatikan pada Label Pengenalan Responden terhadap BTP Jenis BTP yang Menjadi Perhatian Konsumen BTP Pemanis BTP Pewarna BTP Pengawet BTP Penguat Rasa BTP Perisa Hasil Uji Korelasi 5 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xii xii xiii 1 1 2 2 2 2 3 3 3 4 6 7 11 11 11 16 16 17 17 18 20 21 26 26 27 28 29 30 31 34 35 38 50
DAFTAR TABEL 1. 2. 3.
Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen Amerika Serikat Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden Fungsi dan penggunaan informasi jumlah ingridien oleh konsumen
8 10 10
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Irlandia Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner Karakteristik responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk kepedulian terhadap label dan informasi BTP Alasan responden membaca label Alasan responden tidak membaca label Hasil uji ranking terhadap informasi yang diperhatikan konsumen saat membaca label Alasan responden membaca informasi BTP Alasan responden tidak membaca informasi BTP BTP yang paling menjadi perhatian responden Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pemanis Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pewarna Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pengawet Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP penguat rasa Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP perisa Hasil uji korelasi antara profil responden dengan label dan informasi BTP Korelasi antara jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan dengan kebiasaan membaca label
16 18 19 20 22 25 26 27 27 29 29 30 31 33 34
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat Frekuensi membaca label konsumen Irlandia Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen Irlandia Tahapan penelitian Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi Tahapan pelaksanaan survei Frekuensi jawaban responden pada pengujian kuesioner Kebiasaan konsumen berdasarkan tingkat usia dalam membaca label Pengaruh label terhadap keputusan pembelian responden berdasarkan tingkatan usia 10. Pengenalan responden berdasarkan kelompok usia terhadap istilah BTP 11. Tingkat kepentingan informasi BTP berdasarkan kelompok usia responden 12. Sumber informasi BTP bagi responden berdasarkan kelompok usia 13. Kebiasaan konsumen berdasarkan kelompok usia dalam membaca informasi BTP 14. Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian 15. Pengaruh kandungan BTP pemanis terhadap keputusan Pembelian responden berdasarkan tingkatan usia 16. Pengaruh kandungan BTP pewarna terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia 17. Pengaruh kandungan BTP pengawet terhadap keputusan pembelian
8 9 9 12 14 15 17 19 21 23 23 24 25 25 27 28 29
berdasarkan tingkatan usia 18. Pengaruh kandungan BTP penguat rasa terhadap keputusan pembelian 30 berdasarkan tingkatan usia 19. Pengaruh kandungan BTP perisa terhadap keputusan pembelian 31 berdasarkan tingkatan usia
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data Perancangan pertanyaan untuk kuesioner
39 47
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan (PP, 1999). Pemberian label pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan (UU, 2012). Oleh sebab itu, konsumen perlu memberikan perhatian yang cukup terhadap informasi yang tercantum pada label pangan, termasuk diantaranya mengenai bahan tambahan pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk pangan merupakan praktek yang umum terjadi di industri pangan. Hampir semua produk pangan dalam kemasan mengandung BTP. Industri menggunakan BTP untuk fungsi tertentu, karena BTP dalam produk pangan memiliki sifat dan peranan yang spesifik. Berdasarkan fungsinya, CAC (2014a) membagi BTP ke dalam beberapa kelas, yakni sebagai pengatur keasaman, antikempal, antibuih, antioksidan, pemutih, peningkat volume, pengkarbonasi, pembawa, peretensi warna, pengemulsi, garam pengemulsi, pengeras, penguat flavor, perlakuan tepung, pembuih, pembentuk gel, pelapis, humektan, gas untuk kemasan, pengawet, propelan, sekuestran, penstabil, pemanis, dan pengental. Penggunaan BTP diatur secara ketat, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Sebelum digunakan, BTP harus mendapat ijin terlebih dahulu dari lembaga terkait. Di Indonesia, BTP wajib terlebih dahulu didaftarkan ke Badan POM RI. Praktek penggunaan BTP telah diatur oleh Pemerintah, baik dalam bentuk Undang-undang (Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan), Peraturan Menteri Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan), atau Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan BTP Pemanis, dan lain-lain). Beberapa hal yang diatur antara lain meliputi jenis dan batas maksimum penggunaan BTP, pencantumannya pada label, dan lainnya. Namun demikian, masih banyak praktek-praktek penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain dosis yang menyalahi aturan, penggunaan bahan kimia berbahaya yang bukan diperuntukkan sebagai BTP, dan lainnya. Selain itu terdapat BTP yang harus mendapat perhatian khusus bagi kelompok konsumen tertentu. EFSA (2014) menyebutkan, bahwa penderita fenilketonuria (PKU) dilarang untuk mengonsumsi pemanis buatan aspartam. PKU merupakan suatu kondisi kelainan dalam metabolisme asam amino. Konsumsi aspartam dapat membahayakan penderita PKU, sebab dapat menyebabkan peningkatan asam amino fenilalanin dan bersifat toksik.
Sebaliknya, bagi penderita diabetes, sangat penting untuk memilih produk dengan pemanis rendah kalori. Perhatian terhadap BTP juga penting untuk menakar jumlah yang boleh dikonsumsi, sebab sebagian diantaranya memiliki nilai ADI (acceptable daily intake). Artinya konsumen tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi BTP tertentu, karena dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Oleh sebab itu informasi dan pengetahuan mengenai BTP sangat penting bagi konsumen. Pemerintah melalui Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan mewajibkan produsen untuk mencantumkan label pada kemasan. Salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada dalam label adalah daftar bahan yang digunakan, termasuk di dalamnya bahan tambahan pangan (BTP). Konsumen perlu menjadikan BTP sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk memilih dan membeli produk pangan. Pemahaman dan perhatian terhadap BTP produk pangan dapat membantu konsumen dalam memilih produk yang tepat dan meminimalkan risiko kesehatan yang mungkin dapat muncul karena BTP. Perumusan Masalah Label merupakan sarana yang penting bagi konsumen untuk menilai suatu produk pangan, termasuk BTP. Namun demikian, saat ini masih terdapat keterbatasan data mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen membaca label, serta jenis informasi yang diperlukan konsumen pada label. Bahkan untuk BTP, studi yang secara khusus mengevaluasi pemahaman dan kepedulian konsumen masih terbatas, sehingga dapat menyulitkan bagi pemerintah dan produsen dalam menentukan strategi edukasi dan promosi yang tepat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data dan informasi mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen dalam membaca label, termasuk jenis informasi yang diperhatikan pada label. Selain itu, penelitian ini untuk mengevaluasi apakah responden mengenal BTP dan juga seberapa besar kepedulian responden terhadap informasi BTP pada label kemasan pangan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberi informasi mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen dalam membaca label, serta tingkat pengenalan dan kepedulian konsumen terhadap informasi BTP pada label. Data yang diperoleh dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan industri pangan dalam mendesain strategi edukasi dan promosi bagi konsumen. Data yang ada juga bisa digunakan sebagai masukan bagi pengembangan produk baru di industri pangan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survei terhadap responden di wilayah Kota Bogor. Produk yang dimaksud adalah produk pangan dalam kemasan. Pemilihan produk dalam kemasan karena hanya pada produk tersebut konsumen
dapat memperoleh informasi BTP yang digunakan, sesuai yang tercantum pada label pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Label pangan Menurut Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, label pangan didefinisikan sebagai setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Pemberian label pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan. Informasi yang dimaksud adalah yang terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan (UU, 2012). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label sebagaimana dimaksud berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya terdiri dari nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa (PP, 1999). Bahan Tambahan Pangan (BTP) Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes, 2012). Sedangkan CAC (2014b) mendefinisikan bahan tambahan pangan (food additives) sebagai senyawa yang tidak dikonsumsi dalam bentuk tunggal secara langsung dan tidak digunakan sebagai ingridien pangan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang penambahannya bertujuan untuk tujuan teknologi (termasuk organoleptik) dalam pengolahan, penyiapan, perlakukan, pengemasan, transportasi, atau alasan lainnya -baik berdampak secara langsung atau tidak, dimana penambahannya dapat mempengaruhi karakteristik pangan. Definisi tersebut senada dengan persyaratan BTP yang ditetapkan Kemenkes (2012), yakni: a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diberlakukan sebagai bahan pangan. b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Keamanan BTP Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (UU, 2012). Salah satu fokus perhatian dalam penyelenggaraan keamanan pangan dalam Undang-undang tersebut adalah pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan. Pemeriksaan keamanan bahan tambahan dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan: a) bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; dan/atau b) bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) hanya boleh digunakan bila tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Selain itu, penambahan dan pengurangan jenis BTP serta batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan harus mempertimbangkan persyaratan kesehatan berdasarkan bukti ilmiah yang sahih. Pengkajian dilakukan oleh Tim Mitra Bestari, yakni kelompok pakar yang ditetapkan oleh Kepala Badan untuk melakukan pengkajian dan memberikan rekomendasi tentang penggunaan komponen baru serta klaim gizi dan kesehatan. Batas Maksimum adalah jumlah maksimum BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam satuan yang ditetapkan. Batas Maksimum penggunaan BTP dapat berupa suatu nilai tertentu atau berdasarkan good manufacturing practices. Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik atau good manufacturing practice adalah jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM, 2014). Secara internasional, di CAC (2014b), kajian keamanan BTP dilakukan oleh oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). Setelah lolos pengujian, kemudian mendapatkan nomor INS (International Numbering System). Sementara itu di Uni Eropa, kajian terhadap keamanan BTP dilakukan oleh suatu panel ilmiah yang ditetapkan oleh EFSA (European Food Safety Authority). BTP yang telah mendapatkan ijin penggunaannya kemudian diberikan nomor E. Penetapan batas maksimum BTP yang bisa digunakan mengacu pada nilai ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima. ADI didefinisikan sebagai jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan (Kemenkes, 2012). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan juga diatur mengenai Bahan yang Dilarang Digunakan sebagai BTP. Bahan-bahan tersebut antara lain asam borat dan senyawanya (boric acid), asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt), dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC), dulsin (dulcin), formalin (formaldehyde), kalium bromat (potassium bromate), kalium klorat (potassium chlorate), kloramfenikol
(chloramphenicol), minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils), nitrofurazon (nitrofurazone), dulkamara (dulcamara), kokain (cocaine), nitrobenzen (nitrobenzene), sinamil antranilat (cinamyl anthranilate), dihidrosafrol (dihydrosafrole), biji tonka (tonka bean), minyak kalamus (calamus oil), minyak tansi (tansy oil), dan minyak sasafras (sasafras oil). BTP terdiri dari banyak jenis. Peraturan Menteri Kesehatan RI (2012) membagi BTP dalam 27 golongan berdasarkan fungsinya, yakni antibuih (antifoaming agent), antikempal (anticacking agent), antioksidan (antioxidant), bahan pengkarbonasi (carbonating agent), garam pengemulsi (emulsifying salt), gas untuk kemasan (packaging gas), humektan (humectant), pelapis (glazing agent), pemanis (sweetener), pembawa (carrier), pembentuk gel (gelling agent), pembuih (foaming agent), pengatur keasaman (acidity regulator), pengawet (preservative), pengembang (raising agent), pengemulsi (emulsifier), pengental (thickener), pengeras (firming agent), penguat rasa (flavor enhancer), peningkat volume (bulking agent), penstabil (stabilizer), peretensi warna (colour retention agent), perisa (flavouring), perlakuan tepung (flour treatment agent), pewarna (colour), propelan (propellant), dan sekuestran (sequestrant). Di dalam golongan tersebut terdapat beberapa jenis BTP, misalnya untuk antibuih, terdiri dari kalsium alginat (calcium alginate) serta mono dan digliserida asam lemak (mono- and diglycerides of fatty acids). Beberapa jenis BTP yang sering menjadi perhatian konsumen antara lain: BTP Pemanis Pemanis (sweetener) adalah bahan tambahan pangan berupa pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan. Pemanis alami (natural sweetener) merupakan pemanis yang dapat ditemukan dalam bahan alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi, sedangkan pemanis buatan (artificial sweetener) didefinisikan sebagai pemanis yang diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam. Pemanis alami yang diijinkan penggunaannya di Indonesia antara lain sorbitol (sorbitol), manitol (mannitol), isomalt/isomaltitol (Isomalt/Isomaltitol), glikosida steviol (steviol glycoside), maltitol (maltitol), laktitol (lactitol), silitol (xylitol), dan eritritol (erythritol). Sedangkan pemanis buatan yang diijinkan adalah asesulfamK (acesulfame potassium), aspartam (aspartame), siklamat (cyclamates), sakarin (saccharins), sukralosa (sucralose/ Trichlorogalactosucrose), dan neotam (neotame) (BPOM, 2014). BTP Pewarna Pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan pewarna sintetis, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna. Pewarna alami (natural food colour) adalah pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi (sintesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk pewarna identik alami. Pewarna sintetis (synthetic food colour) adalah pewarna yang diperoleh secara sintesis kimiawi. Jenis BTP pewarna alami yang diijinkan penggunaannya di Indonesia adalah kurkumin CI. No. 75300 (curcumin), riboflavin (riboflavins), karmin dan ekstrak cochineal CI. No. 75470 (carmines and cochineal extract), klorofil CI. No. 75810 (chlorophyll), klorofil dan
klorofilin tembaga kompleks CI. No. 75810 (chlorophylls and chlorophyllins, copper complexes), karamel I (caramel I – plain), karamel III amonia proses (caramel III - ammonia process), karamel IV amonia sulfit proses (caramel IV sulphite ammonia process), karbon tanaman CI. 77266 (Vegetable carbon), betakaroten (sayuran) CI. No. 75130 (carotenes, beta (vegetable), ekstrak anato CI. No. 75120 (berbasis bixin) (annatto extracts, bixin based), karotenoid (Carotenoids), merah bit (beet red), antosianin (anthocyanins), dan titanium dioksida CI. No. 77891 (titanium dioxide). Sedangkan pewarna buatan yang diijinkan antara lain tartrazin CI. No. 19140 (tartrazine), kuning kuinolin CI. No. 47005 (quinoline yellow), kuning FCF CI. No. 15985 (Sunset yellow FCF), karmoisin CI. No. 14720 (azorubine (carmoisine)), ponceau 4R CI. No. 16255 (Ponceau 4R (cochineal red A)), eritrosin CI. No. 45430 (erythrosine), merah allura CI. No. 16035 (allura red AC), indigotin CI. No. 73015 (Indigotine (indigo carmine)), biru berlian FCF CI No. 42090 (brilliant blue FCF); hijau FCF CI. No. 42053 (fast green FCF), dan coklat HT CI. No. 20285 (brown HT) (BPOM, 2013a). BTP Pengawet Pengawet (preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet yang diijinkan penggunaannya antara lain asam sorbat dan garamnya (sorbic acid and its salts), asam benzoat dan garamnya (benzoic acid and its salts), etil para-hidroksibenzoat (ethyl para-hydroxybenzoate), metil para-hidroksibenzoat (methyl parahydroxybenzoate), sulfit (sulphites), nisin (nisin), nitrit (nitrites), nitrat (nitrates), asam propionat dan garamnya (propionic acid and its salts) serta lisozim hidroklorida (lysozyme hydrochloride) (BPOM, 2013b). BTP Penguat rasa Penguat rasa (Flavour enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkuat atau memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan pangan tersebut tanpa memberikan rasa dan/atau aroma tertentu. BTP penguat rasa yang diijinkan di Indonesia antara lain asam L-glutamat dan garamnya (LGlutamic acid and its salts), asam guanilat dan garamnya (guanylic acid and its salts), asam inosinat dan garamnya (inosinic acid and its salts), serta garamgaram dari 5’-ribonukleotida (salts of 5’-ribonucleotides) (BPOM, 2013c). BTP Perisa Perisa (flavouring) adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam. Perisa (flavouring) dikelompokkan menjadi perisa alami, perisa identik alami, dan perisa artifisial (Permenkes, 2012). Peraturan pelabelan BTP Menurut Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, setiap pihak baik perseorangan maupun korporasi, wajib mencantumkan label dalam kemasan pangan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
disebutkan bahwa informasi yang wajib tercantum pada label antara lain nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin edar bagi pangan olahan; dan asal usul bahan pangan tertentu (UU No. 18 tahun 2012). Keterangan tentang bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan dicantumkan pada Label sebagai daftar bahan secara berurutan dimulai dari bagian yang terbanyak, kecuali vitamin, mineral dan zat penambah gizi lainnya (PP No. 69 tahun 1999). Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan, pada Label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan Pangan. Bila BTP yang digunakan memiliki nama dan atau kode internasional, pada Label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode internasional dimaksud, kecuali BTP berupa pewarna. Untuk pewarna, selain pencantuman golongan dan nama BTP, pada Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang bersangkutan (PP, 2009). Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan disebutkan BTP golongan antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa, wajib dicantumkan pula nama jenis BTP, dan nomor indeks khusus untuk pewarna. Sedangkan pada label sediaan BTP, wajib dicantumkan a) tulisan “Bahan Tambahan Pangan”, b) nama golongan BTP, c) nama jenis BTP, dan d) nomor pendaftaran produsen BTP, kecuali untuk sediaan pemanis dalam bentuk table top. Selain itu, pada label pangan yang mengandung pemanis buatan, wajib dicantumkan tulisan “Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”. Sedangkan pada label pangan untuk penderita diabetes dan/atau makanan berkalori rendah yang menggunakan pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan “Untuk penderita diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah.” Produk yang menggunakan pemanis aspartam juga wajib memberikan peringatan pada label berupa “Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketonurik.” Peringatan lain yang wajib dicantumkan pada label adalah jika menggunakan poliol, yakni berupa tulisan “Konsumsi berlebihan mempunyai efek laksatif.” Pangan yang menggunakan gula dan pemanis buatan juga wajib mencantumkan tulisan “Mengandung gula dan pemanis buatan” (BPOM, 2012). Tidak hanya untuk pemanis, pada label pangan olahan yang mengandung perisa, wajib dicantumkan nama kelompok perisa dalam daftar bahan atau ingredient. Termasuk juga BTP ikutan (carry over), wajib dicantumkan setelah bahan yang mengandung BTP tersebut (BPOM, 2012). Kepedulian terhadap label Survei yang dilakukan oleh International Food Information Council Foundation (2012) di Amerika Serikat menunjukkan, informasi dalam label pangan mempengaruhi keputusan dalam membeli produk pangan. Masa kedaluwarsa dan informasi nilai gizi adalah informasi utama yang menjadi perhatian konsumen. Sementara itu, daftar ingridien (termasuk BTP) berada di urutan ketiga. Data tersebut juga menyebutkan, orang tua (usia 65-80 tahun) adalah golongan yang paling peduli terhadap daftar ingridien, masa kedaluwarsa,
informasi nilai gizi, petunjuk memasak, dan juga informasi terhadap ada tidaknya jenis ingridien tertentu (Tabel 1). Selain itu, diungkapkan konsumen Amerika Serikat percaya bahwa penambahan BTP bertujuan untuk memberikan manfaat tertentu. Beberapa manfaat dari penambahan BTP yang diketahui oleh konsumen Amerika Serikat adalah mempertahankan kesegaran, meningkatkan warna, dan menjaga flavor. Sedangkan dalam jumlah kecil menyadari keberadaan BTP yang berfungsi sebagai anti bakteri (Gambar 1). Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Kozelova et al.. (2012) melaporkan, mayoritas (87%) konsumen mengetahui informasi dan fungsi dari BTP. Ketepatan jawaban kuesioner dalam penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan. Tabel 1. Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen Amerika Serikat (IFIC, 2012) Jenis Informasi % Masa kedaluwarsa* 76 Informasi nilai gizi 66 Komposisi ingridien* 51 Takaran saji 50 Kalori dan informasi gizi pada bagian depan kemasan* 48 Merek 46 Petunjuk memasak/waktu penyiapan* 45 Pernyataan mengenai klaim gizi 42 Pernyataan mengenai klaim kesehatan 30 Pernyataan mengenai keberadaan ingridien tertentu* 24 Lainnya 4 Tidak satupun dari penyataan di atas 3 * Konsumen usia lanjut, khususnya yang berusia 65 hingga 80 tahun, memiliki kecenderungan melihat informasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengalaman yang dimilikinya, sehingga lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan dan memilih makanan yang akan dibeli.
Gambar 1. Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat (IFIC, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh Food Safety Authority of Ireland (2009) menunjukkan, sebanyak 25% responden Irlandia selalu membaca label ketika akan membeli produk pangan (Gambar 2). Informasi yang paling dicari ketika membaca label adalah informasi nilai gizi, jumlah kalori, dan ingridien tertentu (Gambar 3).
Gambar 2. Frekuensi membaca label konsumen Irlandia (FSAI, 2009)
Gambar 3. Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen Irlandia (FSAI, 2009) Dari segi tingkat kepentingan, sebagian besar responden menganggap informasi nama produk sebagai yang terpenting, kemudian diikuti oleh informasi ingridien dan kuantitas ingridien tertentu (Tabel 2). Di Irlandia, jumlah ingridien yang ditambahkan pada produk wajib dinyatakan dalam produk pangan. Dalam survei FSAI (2009) terungkap, 31% responden tidak menggunakan informasi tersebut. Sedangkan 29% menyatakan informasi jumlah ingridien penting untuk mengetahui kuantitasnya dan 22% berpendapat informasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan pembelian (Tabel 3). Namun demikian, terdapat sekitar 27% yang jarang atau bahkan tidak pernah membaca label saat membeli produk pangan. Alasannya antara lain loyalitas terhadap merek, waktu yang terlalu
sempit, kekurangan informasi akan pentingnya label, bingung karena terlalu banyak informasi pada label, dan lainnya. Tabel 2. Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden (FSAI, 2009). Tingkat kepentingan (%) Informasi Sangat Kurang Penting Tidak penting penting penting Nama pangan 55 17 14 6 Jenis ingridien 44 28 16 5 Jumlah ingridien 32 32 20 8 Berat/volume 26 22 15 15 Masa kedaluwarsa 81 12 12 12 Petunjuk penyimpanan 31 30 22 8 Kontak produsen 30 22 21 11 Asal 40 26 19 8 Instruksi penggunaan 39 30 17 7 Kadar alcohol 28 17 10 23 Tabel 3. Fungsi dan penggunaan informasi jumlah ingridien oleh konsumen Irlandia (FSAI, 2009) Fungsi % Tidak menggunakan 31 Mengetahui jumlah masing-masing ingridien 29 Mempengaruhi pembelian 22 Menghitung kalori dan lemak 13 Memperkirakan jumlah garam dan gula 6 Tidak memberikan jawaban 2 Memperkirakan zat gizi 2 Tidak tahu 1 Menghitung pengawet 1 Menentukan mutu 0.4 Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Zahara dan Triyanti (2009) menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan membaca label informasi zat gizi dan komposisi zat gizi pada responden umumnya masih rendah untuk label informasi zat gizi (39,1%) dan untuk label komposisi zat gizi (38,9%). Penelitian yang dilakukan oleh Devi et al.. (2013) menyebutkan, 82,1% responden yang berasal dari konsumen swalayan ADA, memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap label pangan. Namun demikian, responden dalam penelitian tersebut masih seragam, dan belum memberikan informasi yang spesifik mengenai jenis informasi pada label yang menjadi perhatian konsumen.
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1) kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data, 2) label produk pangan sebagai contoh, serta 3) program SPSS serta excel untuk pengolahan data. Metode Pelaksanaan penelitian menggunakan metode survei dengan interview secara langsung oleh enumerator. Namun sebelumnya, terlebih dahulu dilakukan penetapan responden, penyusunan kuesioner, pelatihan enumerator, dan pengujian kuesioner. Setelah itu, kemudian dilakukan survei di area Kota Bogor, pada bulan Juni hingga September. Gambar 4 menunjukkan tahapan penelitian yang dilakukan. Kuesioner lengkap disajikan pada Lampiran 1. Penetapan responden Dalam penelitian ini dipilih kelompok usia 15-24 dan >24 tahun. Kelompok usia 15-24 tahun termasuk dalam pengelompokan usia tertentu dan digunakan untuk mengevaluasi sasaran program pendidikan remaja. Usia tersebut berada dalam masa sekolah menengah dan perguruan tinggi (BPS, 2014). Penelitian ini mengevaluasi kelompok usia di atasnya (>24 tahun), karena kedua kelompok (15-24 dan >24 tahun) tersebut memiliki perbedaan karakter (seperti pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), yang kemungkinan dapat mempengaruhi kebiasaan membaca label dan kepedulian terhadap informasi BTP. Berdasarkan hal tersebut, kriteria inklusi dalam untuk mengetahui kebiasaan responden dalam membaca label adalah penduduk kota Bogor berusia 15-24 tahun dan lebih dari 24 tahun, serta berbelanja produk dalam kemasan. Sementara itu, untuk menggali kepedulian responden terhadap label maka untuk kriteria eksklusi ditambah konsumen yang tidak membaca label. Untuk kepedulian responden terhadap informasi BTP, kriteria eksklusinya bertambah tidak membaca informasi BTP pada label kemasan (Gambar 5). Survei dilakukan di beberapa tempat umum, seperti sekolah, tempat perbelanjaan, kantin, dan lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2015) menyebutkan jumlah penduduk kota Bogor mencapai 1.013.019 jiwa. Berdasarkan rumus Slovin maka jumlah sampel (Sevilla, 2007) yang perlu diambil untuk masing-masing kelompok adalah 100 orang. Rumus Slovin: n= n=
N
1 + N (e2) 1.013.019 1 1 + 1.013.019 (0.1)2
n=99,99
Keterangan: N = ukuran populasi n = ukuran sampel e = nilai batas ketelitian kesalahan dalam penarikan sampel (presisi yang ditetapkan 10%, dengan tingkat kepercayaan 90%) Penetapan responden
Penyusunan kuesioner
Pelatihan enumerator
Pengujian kuesioner
Pelaksanaan survei
Pengolahan data Gambar 4. Tahapan penelitian Total responden yang memenuhi kriteria inklusi dalam survei ini adalah 201 orang untuk kelompok usia 15-24 tahun dan 150 orang untuk kelompok usia >24 tahun. Kelompok responden 15-24 tahun terdiri dari 100 orang berjenis kelamin laki-laki, dan 101 orang berjenis kelamin perempuan. Gambar 5 menunjukkan jumlah responden yang memenuhi kriteria eksklusi pada berbagai bagian survei yang telah dilakukan. Penyusunan kuesioner Kuesioner dibagi menjadi 4 bagian, untuk mengetahui profil responden, kepedulian tentang label, pengetahuan tentang BTP, dan pengaruh informasi BTP
terhadap keputusan untuk membeli. Lampiran 2 menunjukkan informasi yang ingin diketahui dari penyusunan kuesioner. Kuesioner disusun dengan menggunakan pertanyaan tertutup. Pelatihan enumerator Pelaksanaan survei melibatkan 2 orang enumerator yang berasal dari Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA IPB. Sebelum pelaksanaan, enumerator memperoleh dua kali pelatihan. Materi pelatihan meliputi pemahaman istilah BTP, prosedur survei, penentuan target responden, dan juga tata cara menyampaikan pertanyaan. Pengujian kuesioner Pengujian kuesioner dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan yang dibuat mampu menghasilkan data yang sesuai dan juga dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai. Jumlah responden untuk tahapan ini adalah 15 orang untuk masing-masing kelompok. Enumerator melakukan survei dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun. Setelah itu dilakukan evaluasi, apakah pertanyaan dan pilihan jawaban yang diberikan dapat diterima dengan jelas oleh responden atau tidak. Jika masih belum jelas, maka pertanyaan dan jawaban direvisi, sehingga dapat lebih dimengerti maksudnya oleh responden. Pelaksanaan survei Survei dilakukan melalui pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden oleh enumerator. Responden diminta untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data kuesioner yang diperoleh lalu dipisah berdasarkan kelompok usia dan diolah secara statistik. Tahapan survei dapat dilihat pada Gambar 5. Pengolahan data Data yang diperoleh bersifat kategorik dan ordinal, sehingga diolah secara non parametrik menggunakan program SPSS dan Excel. Pengolahan data meliputi analisis deskriptif, uji ranking, uji beda, dan analisis korelasi. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui data responden yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, serta pendapatan rata-rata konsumen setiap bulan. Menurut Fukuda dan Yasuo (1997) uji beda dapat dilakukan menggunakan metode Mann Whitney, untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil antara jawaban responden kelompok 15-24 tahun dengan >24 tahun. Ranking untuk masing-masing parameter dihitung dari setiap responden, sehingga diperoleh ranking keseluruhan. Nilai terendah menunjukkan tingkat ranking yang lebih tinggi. Sedangkan analisis korelasi menggunakan uji Chi square. Uji tersebut digunakan untuk memeriksa ketergantungan antara dua variabel (bivariat) dalam 1 populasi, antara lain ketergantungan antara jenis kelamin dengan kebiasaan membaca label, tingkat pendidikan dengan kebiasaan membaca label, serta tingkat pendapatan dengan kebiasaan membaca label. Nilai cross tabulation (crosstab) dari uji Chi square digunakan untuk menentukan arah dan jenis korelasinya.
Sampling
Kriteria inklusi: Membeli produk pangan olahan dalam kemasan Penduduk Kota Bogor Usia 15-24 tahun & >24 tahun
15-24 tahun n=201 >24 tahun n=150
Kebiasaan Membaca Label
Kriteria eksklusi 1: Tidak membaca label
membaca 15-24 tahun n=166
15-24 tahun n=35
>24 tahun n=148
>24 tahun n=2
Kepedulian terhadap label
Pengenalan terhadap istilah BTP
Kebiasaan membaca BTP
Kriteria eksklusi 2: Tidak membaca informasi BTP pada label
membaca 15-24 tahun n=156
15-24 tahun n=10
>24 tahun n=123
>24 tahun n=25
Pengaruh informasi BTP pada label terhadap keputusan pembelian
Gambar 5. Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
Survei Profil responden Stop
Alasan
Tidak
Kebiasaan membaca label
Alasan
Kepedulian terhadap informasi BTP
Selalu/kadang2 Mencukupi n & menyeimbangka n pria & wanita
Tidak
Wanita/ Pria seimbang n<100
BTP yang menjadi perhatian
Penjelasan mengenai BTP
Ya Informasi yang ingin diketahui
Pemahaman
istilah BTP
Gambar 6. Tahapan pelaksanaan survei
Tidak
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian kuesioner Berdasarkan pengujian kuesioner terhadap masing-masing 15 responden berusia 15-24 tahun dan >24 tahun, diperoleh beberapa masukan perbaikan kuesioner. Tabel 4 menunjukkan masukan dan perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian tersebut. Tabel 4. Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner No. pertanyaan 8
25
27
29
31
33
Pertanyaan Sebelum perbaikan Setelah perbaikan Berapa kali frekuensi Berapa kali frekuensi berbelanja produk berbelanja produk pangan? pangan olahan dalam kemasan setiap bulannya? Apakah Anda akan Apakah Anda akan membeli produk membeli produk pangan yang pangan yang mengandung mengandung BTP pemanis? pemanis yang diijinkan oleh Badan POM RI? Apakah Anda akan Apakah Anda akan membeli produk membeli produk pangan yang pangan yang mengandung mengandung BTP pengawet? pengawet yang diijinkan oleh Badan POM RI? Apakah Anda akan Apakah Anda akan membeli produk membeli produk pangan yang pangan yang mengandung mengandung BTP pewarna? pewarna yang diijinkan oleh Badan POM RI? Apakah Anda akan Apakah Anda akan membeli produk membeli produk pangan yang pangan yang mengandung penguat mengandung BTP rasa? penguat rasa yang diijinkan oleh Badan POM RI? Apakah Anda akan Apakah Anda akan membeli produk membeli produk pangan yang pangan yang mengandung perisa? mengandung BTP perisa yang diijinkan oleh Badan POM RI?
Keterangan Perlu diperjelas produk pangan yang dimaksud, yakni yang berada dalam kemasan
Penambahan informasi menjadi BTP yang diijinkan oleh Badan POM RI sangat penting, sebab sebagian besar responden masih mencampuradukkan BTP dengan bahan kimia yang tidak diijinkan penggunaannya pada pangan.
Beberapa jawaban responden masih belum sesuai dengan tujuan survei. Sebagai contoh pada pertanyaan nomor 8, dimana beberapa responden menganggap produk pangan yang dimaksud adalah termasuk pangan segar (daging, sayur-mayur, dan lain-lain) yang tidak memiliki nomor registrasi. Komposisi responden yang menjawab sesuai, tidak sesuai, dan bahkan tidak menjawab (karena tidak mengerti) disajikan pada Gambar 7. Usia (tahun)
No pertanyaan n= 15-24 tahun & >24 tahun = 15
Gambar 7. Frekuensi jawaban responden pada saat pengujian kuesioner
Profil responden Dari segi pendidikan, kelompok 15-24 tahun didominasi oleh SMA (135 orang) dan kemudian diikuti oleh S1 (23 orang). Sebaliknya, kelompok > 24 tahun didominasi oleh S1 (80 orang), dan SMA (35 orang). Selain pendidikan, perbedaan juga terlihat dari segi pendapatan, pekerjaan, dan pengeluaran untuk pangan. Sedangkan dari frekuensi berbelanja, kelompok 15-24 tahun didominasi oleh responden yang berbelanja produk pangan dalam kemasan setiap hari, lebih dari sekali setiap minggu, atau minimum satu minggu sekali. Berbeda dengan kelompok >24 tahun, dimana frekuensinya lebih tersebar merata, terutama dalam sekali seminggu, dua minggu sekali, tiga minggu sekali, hingga satu bulan sekali. Dari segi tujuan berbelanja, responden berusia 15-24 tahun sebagian besar berbelanja untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan kelompok >24 tahun yang sebagian besar berbelanja untuk keluarga. Karakteristik responden selengkapnya yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kepedulian terhadap label dan kepedulian terhadap BTP dalam survei ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik responden pada tahapan kepedulian terhadap label, pengaruh label,dan kepedulian terhadap BTP Kriteria
Kepedulian terhadap Label
Jenis Kelamin
15-24 (n=201) L P
Total responden
100
Usia
101
Pengaruh Label
Kepedulian terhadap BTP
>24 (n=150) L P
15-24 (n=166) L P
>24 (n=148) L P
15-24 (n=155) L P
>24 (n=123) L P
74
65
73
59
55
76
101
75
96
68
Tingkat Pendidikan
- SD/sederajat
13
- SMP/sederajat
22
0
2
1
2
0
2
1
- SLTA/sederajat
49
86
19
16
47
86
19
16
- Perguruan Tinggi
16
15
51
57
16
15
51
57
0
0
1
1
0
0
0
- Lainnya
0
1
1
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
1
46
84
9
14
12
12
45
53
1
0
0
0
0
Pekerjaan
- PNS
0
0
15
15
0
0
15
15
0
0
14
15
- Swasta
5
7
30
31
5
7
29
30
3
5
16
28
- Ibu RT
0
0
0
12
0
0
0
12
0
0
0
10
- Wiraswasta
0
1
13
5
0
1
13
5
0
1
10
3
95
93
0
0
60
93
0
0
56
90
0
0
- Lainnya
0
0
16
13
0
0
16
13
0
0
15
12
- <1 juta
69
50
2
6
34
50
2
6
32
50
0
4
- 1-3 juta
24
45
16
13
24
45
15
12
23
42
8
12
- 3-6 juta
6
4
32
43
6
4
32
43
4
3
26
40
- >6 juta
1
2
24
14
1
2
24
14
0
1
21
12
- <1 juta
59
54
8
11
24
54
7
10
23
54
5
9
- 1-3 juta
41
45
25
26
41
45
25
26
36
42
15
25
- 3-6 juta
0
2
25
27
0
2
25
27
0
0
21
24
- >6 juta
0
0
16
12
0
0
16
12
0
0
13
10
- Pelajar/Mahasiswa
Pendapatan perbulan
Pengeluaran perbulan
Pengeluaran untuk pangan perbulan
-<500 ribu
59
71
19
33
40
71
18
19
38
68
12
17
-500 ribu - 1 juta
38
26
27
21
22
26
27
26
18
26
19
26
-1 - 1,5 juta
2
3
18
13
2
3
18
18
2
2
16
17
->1,5 juta
1
1
10
9
1
1
10
10
1
0
8
8
Frekuensi berbelanja perbulan
-Setiap hari
38
22
4
5
16
22
3
4
15
22
1
3
-Satu minggu
23
21
11
16
11
21
11
10
9
20
8
9
- >1 dalam seminggu
31
33
8
8
30
33
8
8
28
31
8
8
-Dua minggu sekali
1
13
14
19
1
13
14
14
1
13
10
13
-Tiga Minggu sekali
1
1
12
4
1
1
12
12
1
1
10
11
-Satu bulan sekali
1
10
19
19
1
10
19
19
0
8
17
18
-Tidak tentu
5
1
6
5
5
1
1
6
5
1
1
6
-Diri sendiri
89
91
13
17
57
91
13
12
50
88
11
13
-Keluarga
10
7
59
58
7
7
59
59
8
7
44
51
-Lainnya
1
3
2
1
1
3
2
2
1
1
0
0
Tujuan berbelanja
Perilaku konsumen dalam membaca label Label merupakan sarana komunikasi antara produsen dengan konsumennya. Oleh sebab itu, membaca label dapat membantu konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai produk yang dibeli. Dalam penelitian ini, responden ditanya mengenai kebiasaan dalam membaca label ketika membeli produk pangan dalam kemasan. Hasilnya, pada kelompok responden berusia 1524 tahun, 67 orang (33%) menjawab selalu membaca label, 99 orang (49%) menjawab kadang-kadang, dan 35 orang (18%) tidak membaca label ketika membeli produk pangan. Sedangkan kelompok responden berusia >24 tahun, sebagian besar (101 orang, 67%) selalu membaca label, 47 orang (31%) kadangkadang membaca label, dan hanya 2 orang (2%) yang tidak membaca label. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8.
n=150
n=201
Gambar 8. Kebiasaan konsumen berdasarkan tingkat usia dalam membaca label Responden membaca label pada dua kelompok responden umumnya adalah untuk memilih merek dan terkait kesehatan (Tabel 6). Menurut FSAI (2009), konsumen memperhatikan label jika ada produk baru (terkait merek); serta informasi alergi, intoleransi, pengaturan berat badan serta klaim kesehatan (terkait kesehatan). Tabel 6. Alasan responden membaca label Ranking 15-24 tahun (n=166) 1 2 3
Kelompok Usia Rata-rata >24 tahun ranking* (n=148)
Memilih merek 2.43 Memilih merek Terkait kesehatan 2.48 Terkait kesehatan Memilih produk 3.28 Mendapatkan yang sesuai informasi kebutuhan mengenai produk 4 Terkait keamanan 3.29 Terkait keamanan 5 Mendapatkan 3.60 Memilih produk informasi yang sesuai mengenai produk kebutuhan 6 Dan lain-lain 6.00 Dan lain-lain *Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Rata-rata ranking* 2.37 2.65 3.22
3.30 3.45
6.00
Berdasarkan uji ranking, responden 15-24 tahun yang tidak membaca label utamanya karena yakin produk aman. Hal ini dikarenakan, produk olahan dalam kemasan sudah terlebih dahulu mendapatkan nomor registrasi dari Badan POM RI (untuk produk MD atau ML) atau Dinas Kesehatan (untuk produk PIRT). Artinya, produk telah mendapatkan ijin edari dari lembaga tersebut. Alasan lainnya adalah tidak penting, tidak mengerti, dan informasi terlalu rumit. Bagi responden >24 tahun yang tidak membaca label, alasan utamanya karena informasi pada label dianggap tidak penting, informasi terlalu rumit, yakin produk aman, dan tidak mengerti (Tabel 7). Hasil ini mirip dengan survei FSAI (2009) terhadap konsumen Irlandia yang menunjukkan alasan utama konsumen tidak membaca label karena faktor loyalitas terhadap merek, terlalu sibuk (kurang waktu), tidak mengerti, hingga bingung dengan terlalu banyaknya informasi yang disampaikan pada label. Tabel 7. Alasan responden tidak membaca label Ranking
1 2
3 4
15-24 tahun (n=35)
Kelompok Usia Rata-rata >24 tahun ranking* (n=2)
Rata-rata ranking*
Yakin produk aman Tidak penting
2.88
Tidak penting
2.00
3.13
2.50
Tidak mengerti Informasi terlalu rumit
3.75 4.25
Informasi terlalu rumit/yakin produk aman Tidak mengerti
3.00
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Pengaruh label terhadap keputusan pembelian Hasil survei juga menunjukkan, informasi pada label ternyata mempengaruhi keputusan pembelian (Gambar 9). Uji statistik dengan Mann whitney diperoleh P-value 0.048, artinya terdapat perbedaan nyata antara kelompok usia 15-24 tahun dan >24 tahun terhadap tingkat pengaruh label terhadap keputusan pembelian. Pengaruh label terhadap keputusan pembelian pada kelompok usia >24 tahun lebih tinggi dibandingkan pada usia 15-24 tahun. Menurut Borra (2006) konsumen membaca label untuk memutuskan produk apa yang akan dibeli atau dikonsumsi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2009) yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa konsumen bersedia membeli produk dengan harga lebih mahal jika pada label diinformasikan bahwa produk tidak mengandung pengawet. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mensah et al. (2012) menyatakan bahwa label dapat mempengaruhi keputusan pembelian, setelah iklan dan harga.
n=148
n=166
Gambar 9. Pengaruh label terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia Informasi yang diperhatikan pada label Uji ranking juga dilakukan untuk mengetahui jenis informasi yang ingin diketahui oleh konsumen ketika membaca label (Tabel 8). Pada responden usia 15-24 tahun, klaim kesehatan menjadi informasi utama yang diperhatikan, kemudian diikuti oleh informasi BTP, berat/volume pangan, nama produsen dan lainnya. Agak berbeda dengan konsumen berusia >24 tahun, mereka lebih memastikan nomor registrasi dan nama produsen terlebih dahulu. Kemudian baru berat/volume, mengetahui informasi BTP, komposisi, dan lainnya. Hasil ini agak berbeda dengan survei yang dilakukan IFIC (2012) terhadap konsumen Amerika Serikat, yang menyebutkan bahwa masa kedaluwarsa, nilai gizi, dan komposisi adalah informasi utama yang dibaca pada label. Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan isu pelabelan di Negara masing-masing, sehingga tingkat perhatian terhadap jenis informasi juga berbeda. Sementara itu Borra (2006) menyebutkan, informasi ingridien dan gizi adalah faktor utama yang diperhatikan pada label. Hal ini menunjukkan perbedaan kepedulian konsumen di Negara masing-masing, sehingga tingkat perhatian terhadap jenis informasi juga berbeda. Bonsmann et al. (2010) juga mengungkapkan adanya perbedaan tingkat kepedulian terhadap informasi nilai gizi di Negara Uni Eropa. Di Indonesia, isu masa kedaluwarsa lebih banyak terjadi pada masa lebaran atau tahun baru, dimana pada saat itu sering beredar bingkisan (parcel) dengan produk yang melebihi masa kedaluwarsa. BPOM (2015) sering mengeluarkan himbauan agar mewaspadai pangan tidak memenuhi ketentuan menjelang natal dan tahun baru. Menjelang akhir tahun 2015, pangan kedaluwarsa menjadi temuan terbanyak dalam intensifikasi pengawasan pangan. Secara keseluruhan, BPOM menemukan 3.499 jenis produk (121.610 kemasan) pangan tidak memenuhi ketentuan dengan nilai keekonomian mencapai lebih dari 4,8 miliar rupiah di sarana ritel dengan rincian 34.947 kemasan pangan tidak memiliki ijin edar/TIE (28%), 76.156 kemasan pangan kedaluwarsa (63%), dan 10.507 kemasan pangan rusak (9%).
Tabel 8. Hasil uji ranking terhadap informasi yang diperhatikan konsumen saat membaca label Ranking Kelompok Usia 15-24 tahun Rata-rata >24 tahun Rata-rata (n=166) ranking* (n=148) ranking* 1 Klaim 2.02 Nomor 1.64 Kesehatan Registrasi 2 Informasi BTP 2.14 Nama Produsen 3.68 3 Berat/volume 2.30 Berat/volume 4.25 4 Nama Produsen 2.36 Informasi BTP 4.28 5 Komposisi 2.56 Komposisi 5.17 6 Nomor 2.65 Informasi nilai 5.18 registrasi Gizi 7 Informasi nilai 3.01 Klaim 5.41 Gizi Kesehatan 8 Merek 3.57 Merek 6.77 9 Lain-lain 3.77 Masa 8.57 Kedaluwarsa 10 Masa 4.34 Lain-lain 8.61 kedaluwarsa *Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Pengenalan responden terhadap BTP Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mengenal istilah BTP (Gambar 10). Uji statistik dengan menggunakan Mann whitney menghasilkan P-value 0.000, artinya terdapat perbedaan nyata tingkat pengetahuan istilah BTP pada kelompok usia yang berbeda. Responden berusia 15-24 tahun lebih mengenai istilah BTP dibandingkan responden berusia >24 tahun. Namun demikian, tidak ada perbedaan dalam tingkat perbedaan kepentingan informasi BTP (uji Mann whitney diperoleh P-value 0.635). Semua kelompok responden sebagian besar menyebutkan informasi BTP sangat penting dalam tingkat yang sama (Gambar 11). Washi (2012) menyebutkan perhatian konsumen terhadap bahan tambahan pangan semakin meningkat, tetapi diperlukan peran ahli pangan agar konsumen memiliki pemahaman yang tepat terhadap BTP. Szucs (2014) mengungkapkan, walaupun telah terdapat peraturan yang ketat, namun banyak konsumen yang khawatir terhadap keamanannya. Media dan sebagian masyarakat seringkali mencari sensasi dengan memberikan informasi yang tidak proporsional, sehingga menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan. Szucs (2014) menemukan adanya pemahaman atau informasi tidak lengkap yang diperoleh responden terhadap BTP. Sementara itu FSA (2005) mengungkapkan konsumen Inggris memberikan perhatian khusus terhadap isu BTP, terutama pengawet. Namun tingkat perhatian tersebut sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya (2004). Penjelasan mengenai BTP juga yang paling banyak diminta oleh konsumen kepada FSA, setelah senyawa kimia pada pangan. Penelitian yang dilakukan oleh IFIC (2010) terhadap konsumen Amerika Serikat menunjukkan mayoritas konsumen menyetujui fungsi dan peran dari BTP terhadap menjaga mutu produk pangan. Tiga fungsi BTP utama yang paling banyak diakui adalah peran BTP dalam menjaga kesegaran, meningkatkan warna, dan memperbaiki flavor produk.
BPOM (2013d) sejak 2011 telah dicanangkan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). Dengan penerapan strategi Aksi Nasional PJAS, jumlah PJAS yang memenuhi syarat meningkat secara bermakna sebesar 60%, 65%, dan 76% berturut-turut pada tahun 2010, 2011, dan 2012. Sampai akhir tahun 2012, dampak Aksi Nasional PJAS diperkirakan dapat melindungi sekitar 1,7 juta siswa dari PJAS yang tidak aman. Salah satu poin penting dalam PJAS tersebut adalah edukasi BTP kepada anak sekolah.
n=148
n=166
Gambar 10. Pengenalan responden berdasarkan kelompok usia terhadap istilah BTP
n=148
n=166
Gambar 11. Tingkat kepentingan informasi BTP berdasarkan kelompok usia responden Responden usia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP terutama karena mendapatkan informasi dari internet (35%) dan bangku sekolah/kuliah (27%). Besarnya pengaruh internet memang sangat sesuai dengan data Kemenkominfo (2014) yang menyebutkan bahwa sebanyak 80% pengguna internet di Indonesia adalah remaja berusia 15-19 tahun. Informasi BTP juga banyak menjadi materi dalam sekolah dan perkuliahan. Dalam survei ini, 94% responden berusia 15-24
tahun adalah pelajar/mahasiswa. Informasi BTP telah masuk dalam buku IPA Biologi untuk SMP/MTS kelas VIII terbitan Erlangga (2014), IPA Kimia SMP/MTS kelas VIII terbitan ESIS (2007), dan Biologi untuk SMA/MA kelas XI (2015). Dalam buku ajar terbitan ESIS (Lutfi 2007) disebutkan bahwa bahan aditif ditambahkan untuk tujuan tertentu, seperti mengawetkan, memberi warna, mengemulsi. Namun demikian masih terdapat beberapa informasi yang tidak tepat, misalnya gula dan garam yang disebutkan sebagai bahan pengawet. Padahal dalam Peraturan Kepala Badan POM RI No. 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pengawet, gula dan garam (NaCl) tidak termasuk sebagai BTP. Informasi lain yang perlu diperbaiki adalah, dalam buku tersebut zat aditif juga digunakan untuk meningkatkan nilai gizi. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 tentang Bahan Tambahan Pangan, BTP tidak termasuk bahan yang ditambahkan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi. Sedangkan untuk responden >24 tahun, televisi menjadi sumber utama informasi BTP. Selain televisi, sekolah dan perkuliahan juga menjadi sumber informasi BTP terbesar bagi kelompok >24 tahun. Gambar 12 menunjukkan sumber informasi BTP selengkapnya bagi responden.
33%
14%
9%
23%
1% 20% n=148
13%
9% 10%
35%
27%
6% n=166
Gambar 12. Sumber informasi BTP bagi responden berdasarkan kelompok usia Tidak seperti kebiasaan responden dalam membaca label, untuk BTP sebagian besar responden –baik pada kelompok usia 15-24 tahun maupun >24 tahun, masih kadang-kadang membaca informasinya (Gambar 13). Uji independen dengan Mann whitney diperoleh nila P-value 0.000, artinya terdapat perbedaan nyata kelompok umur dalam membaca informasi BTP. Responden usia 15-24 tahun lebih cenderung membaca informasi BTP dibanding responden >24 tahun. Hal ini dikarenakan responden 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan responden >24 tahun.
n=148
n=166
Gambar 13. Kebiasaan responden dalam membaca informasi BTP Informasi BTP juga mempengaruhi keputusan pembelian (Gambar 14). Uji independen dengan Mann whitney menghasilkan P-value 0.883, artinya perbedaan usia tidak berpengaruh terhadap jawaban apakah BTP mempengaruhi keputusan pembelian. Namun perlu dipahami, keputusan pembelian melibatkan beberapa faktor. Selain informasi BTP, konsumen juga dipengaruhi faktor-faktor lainnya yang nantinya mendorong konsumen untuk menetapkan pilihannya. Alasan responden membaca informasi BTP adalah adanya kepedulian terhadap jenis BTP tertentu, terkait kesehatan, dan terkait keamanan. Berdasarkan uji ranking, baik kelompok responden berusia 15-24 tahun ataupun >24 tahun, memiliki urutan prioritas yang sama (Tabel 9). Sedangkan alasan utama bagi responden yang tidak membaca informasi BTP pada label adalah merasa tidak penting (Tabel 10).
n=123
n=155
Gambar 14. Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian
Tabel 9. Alasan responden membaca informasi BTP Ranking Kelompok Usia 15-24 tahun Rata-rata >24 tahun (n=155) ranking* (n=123) 1 Peduli 3.35 Peduli terhadap jenis terhadap jenis BTP tertentu BTP tertentu 2 Terkait 3.75 Terkait kesehatan kesehatan 3 Terkait 4.40 Terkait Keamanan Keamanan 4 Lain-lain 4.67 Lain-lain
Rata-rata ranking* 1.46
1.90 2.62 2.00
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Tabel 10. Alasan responden tidak membaca informasi BTP Kelompok Usia Ranking 15-24 tahun Rata-rata >24 tahun (n=10) ranking* (n=25) 1 Tidak penting 2.80 Tidak penting 2 Tidak mengerti 3.90 Yakin sudah aman 3 Yakin sudah 4.18 Tidak mengerti aman
Rata-rata ranking* 1.48 2.00 2.52
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Jenis BTP yang menjadi perhatian konsumen Informasi BTP dapat dengan mudah dikenali oleh konsumen ketika membaca komposisi produk pangan yang terdapat pada label. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, produk pangan yang mengandung BTP, pada label wajib dicantumkan golongannya. Selain golongan, produk yang mengandung pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa juga wajib mencantumkan nama jenis BTP. Berdasarkan uji ranking, baik responden berusia 15-24 tahun maupun >24 tahun menunjukkan perhatian paling besar pada BTP perisa dan penguat rasa (Tabel 11). Kedua BTP tersebut ditambahkan dengan tujuan memberikan atau memperkuat rasa dan aroma. Rasa merupakan faktor utama dalam memilih produk pangan (EUFIC, 2005). Sementara itu Menurut Clark (1998) terdapat bukti kuat bahwa flavor (aroma dan rasa) menjadi faktor penting dalam pemilihan pangan. Sementara itu Spence dan Mary (2012) menjelaskan, bentuk dan warna pangan pun juga selalu diasosiasikan dengan flavor tertentu oleh konsumen. Untuk responden berusia 15-24 tahun, informasi BTP utamanya berasal dari sekolah atau kuliah. Buku ajar adalah salah satu sumber informasi tersebut, termasuk penguat rasa. Penguat rasa yang cukup populer adalah monosodium glutamat (MSG). Dalam buku Biologi untuk SMA/MA kelas XI terbitan Erlangga (Pratiwi et al. 2015) masih disebutkan, bahwa penggunaan MSG yang berlebihan dapat menyebabkan sakit kepala, sesak nafas, dan mudah letih. Padahal penelitian terbaru (Walker dan Lupien 2000) menunjukkan bahwa berbagai penelitian ilmiah tidak berhasil membuktikan kaitan MSG dengan efek negatif tersebut pada
kesehatan manusia. Dengan demikian, tidak semua materi buku ajar di sekolah tentang BTP sesuai dengan temuan ilmiah terbaru. Tabel 11. BTP yang paling menjadi perhatian responden Ranking Kelompok Usia 15-24 tahun Rata-rata >24 tahun (n=155) ranking* (n=123) 1 Perisa 1.88 Perisa 2 Penguat rasa 2.78 Penguat rasa 3 Pemanis 3.08 Pewarna 4 Pewarna 3.10 Pemanis 5 Pengawet 4.21 Pengawet 6 Lain-lain 5.00 Lain-lain
Rata-rata ranking* 1.29 2.57 3.31 3.45 4.37 4.41
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
BTP Pemanis Pemanis yang diperkenalkan pada responden adalah aspartam, sakarin, siklamat, asesulfam-K, silitol, dan laktitol. IFIC (2005) menyebutkan penggunaan BTP pemanis yang rendah kalori sebagai salah satu cara untuk mengatur berat badan dan meminimalkan risiko serangan diabetes. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP pemanis (Gambar 15). Alasan responden membeli produk yang berpemanis, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, rasa lebih baik, rendah kalori, aman, dan lainnya (Tabel 12).
n=123
n=155
Gambar 15. Pengaruh kandungan BTP pemanis terhadap keputusan pembelian responden berdasarkan tingkatan usia
Tabel 12. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pemanis Kelompok Usia Ranking
1 2 3 4 5
15-24 tahun (n=155) Faktor harga Rasa lebih baik Rendah kalori Aman Lain-lain
>24 tahun (n=123) Faktor harga Rasa lebih baik Rendah kalori Aman Lain-lain
Berdasarkan data Mintel (2012), disebutkan bahwa konsumen lebih memperhatikan jumlah pemanis yang digunakan, dibandingkan jumlahnya. Pemanis berada dalam peringkat tiga dari ingridien yang diperhatikan pada daftar komposisi yang tercantum pada label, di bawah kalori dan lemak/minyak. BTP Pewarna Penggunaan pewarna, selain untuk meningkatkan daya tarik, juga mampu memberikan kesan flavor dalam produk pangan (Garber et al. 2000). Southampton study yang menyimpulkan bahwa pewarna sintetik berkaitan dengan hiperaktivitas sempat menimbulkan kekhawatiran tersendiri, walau isu tersebut kemudian dibantah karena bukti ilmiahnya yang tidak mencukupi (Scotter 2011). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP pewarna (Gambar 16). Alasan responden membeli produk yang berpewarna, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, lebih menarik, terkait rasa atau aroma tertentu, aman, dan lainnya (Tabel 13).
n=123
n=155
Gambar 16. Pengaruh kandungan BTP pewarna terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
Tabel 13. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pewarna Kelompok Usia Ranking
1 2 3 4 5
15-24 tahun (n=155) Faktor harga Lebih menarik Terkait rasa/aroma tertentu Aman Lain-lain
>24 tahun (n=123) Faktor harga Lebih menarik Terkait rasa/aroma tertentu Aman Lain-lain
BTP Pengawet Pengawet digunakan dengan tujuan utamanya untuk menjaga keamanan dan memperpanjang umur simpan produk pangan (Brul dan Coote, 1999). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP pengawet (Gambar 17). Alasan responden membeli produk yang berpengawet, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, memudahkan penyimpanan, umur simpan lebih lama, aman, dan lainnya (Tabel 14).
n=123
n=155
Gambar 17. Pengaruh kandungan BTP pengawet terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia Tabel 14. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pengawet Kelompok Usia Ranking 15-24 tahun >24 tahun (n=155) (n=123) 1 Faktor harga Faktor harga 2 Memudahkan penyimpanan Memudahkan penyimpanan 3 Umur simpan lebih lama Umur simpan lebih lama 4 Aman Aman 5 Lain-lain Lain-lain
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2009) yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa konsumen bersedia membeli produk dengan harga lebih mahal jika tidak menggunakan pengawet. Hal ini dikarenakan semakin tingginya tingkat pendapatan konsumen di Cina, sehingga mereka rela membeli produk yang dianggap lebih aman jika tidak berpengawet. Hanya saja penelitian tersebut tidak mempertimbangkan manfaat dan penggunaan jenis pengawet, sehingga responden kemungkinan hanya memperoleh persepsi negatif selama pelaksanaan survei tersebut. BTP Penguat rasa MSG telah digunakan secara luas untuk meningkatkan cita rasa, mulai dari tingkat rumah tangga, industri jasa boga, hingga industri pangan. Berbagai studi, antara lain yang dilakukan oleh JECFA dan FAO/WHO, telah menyatakan keamanan MSG (Nuraida et al. 2014). Di Indonesia, nilai ADI (Acceptable Daily Intake) untuk MSG tidak dinyatakan (not specified) dengan batas maksimum CPPB, artinya jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM, 2013c). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP penguat rasa (Gambar 18). Alasan responden membeli produk yang berpenguat rasa, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, rasa lebih lezat, faktor kesehatan, aman, dan lainnya (Tabel 15). Monosodium glutamat (MSG) adalah salah satu jenis penguat rasa yang cukup populer. Prescott dan Young (2002) melakukan penelitian mengenai persepsi konsumen terhadap produk yang memberikan informasi “tanpa MSG/no added MSG” pada label produk pangan. Mereka mengevaluasi persepsi konsumen terhadap produk yang mengandung MSG. Hasilnya adalah responden tidak terpengaruh dengan informasi tersebut dan lebih memperhatikan mutu sensori dari produk yang dikonsumsinya.
n=123
n=155
Gambar 18. Pengaruh kandungan BTP penguat rasa terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
Tabel 15. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP penguat rasa Kelompok Usia Ranking 15-24 tahun >24 tahun (n=155) (n=123) 1 Faktor harga Faktor harga 2 Rasa lebih lezat Rasa lebih lezat 3 Faktor kesehatan Faktor kesehatan 4 Aman Aman 5 Lain-lain Lain-lain BTP Perisa Perisa adalah salah satu parameter utama yang menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam memilih produk pangan (Teff 1996). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP perisa (Gambar 19). Alasan responden membeli produk yang berpenguat rasa, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, rasa dan aroma lebih nikmat, faktor kesehatan, aman, dan lainnya (Tabel 16).
n=123
n=155
Gambar 19. Pengaruh kandungan BTP perisa terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia Tabel 16. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP perisa Kelompok Usia Ranking 15-24 tahun >24 tahun (n=155) (n=123) 1 Faktor harga Faktor harga 2 Rasa & aroma lebih nikmat Faktor kesehatan 3 Faktor kesehatan Rasa & aroma lebih nikmat 4 Lain-lain Aman 5 Aman Lain-lain
Hasil tersebut menggambarkan bahwa faktor harga cukup penting bagi responden dalam memilih produk pangan yang mengandung bahan tambahan pangan. Responden telah menyadari, BTP yang ditambahkan ke dalam pangan memiliki fungsi tertentu. Hal ini terlihat dari uji ranking, bahwa faktor harga selalu menjadi faktor pertama yang diperhatikan oleh responden, kemudian diikuti oleh fungsi penambahan BTP tersebut. Hasi uji korelasi Informasi pada label pangan berkaitan dengan beberapa faktor. Menurut Rodolfo dan Nayga (1999), kondisi kesehatan dan tren diet dapat mempengaruhi konsumen dalam menggunakan label. Begitupun dengan jenis kelamin dan pendapatan, juga dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap informasi pada label. Berdasarkan uji korelasi menggunakan Chisquare (Tabel 17) diperoleh hasil bahwa kebiasaan membaca label dipengaruhi oleh jenis kelamin (pada kelompok responden berusia 15-24 tahun). Nilai crosstab dalam uji Chi square menunjukkan responden wanita pada kelompok 15-24 tahun memiliki kebiasaan membaca label lebih tinggi dibandingkan responden pria (Tabel 18). Campos et al. (2010) menjelaskan label lebih banyak digunakan oleh konsumen wanita. Kebiasaan membaca label juga dipengaruhi oleh pendidikan pada dua kelompok responden. Semakin tinggi pendidikan, kebiasaan membaca labelnya juga lebih sering. Demikian juga dengan pendapatan, semakin tinggi pendapatan, kebiasaan membaca labelnya juga lebih sering. Perez dan Haldeman (2002) mengungkapkan pendapatan tidak berhubungan dengan mutu diet, tetapi responden yang memiliki pendapatan lebih tinggi menggunakan label lebih sering dalam mengambil keputusan. Campos et al. (2010) mengungkapkan bahwa frekuensi membaca label dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan juga pendapatan. IFIC (2012) mencatat, informasi terkait kesehatan berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Konsumen yang memiliki pendidikan tinggi memberikan perhatian yang lebih terhadap informasi-informasi tersebut. Kebiasaan membaca label tidak berkorelasi dengan jenis kelamin pada usia >24 tahun, pekerjaan (15-24 tahun), serta pengeluaran untuk pangan dan tujuan berbelanja (15-24 tahun dan >24 tahun). Dalam survei FSAI (2009) terungkap, responden wanita berusia 35 tahun ke atas (berada dalam kelompok responden berusia >24 tahun dalam survei ini) menyadari pentingnya label, tetapi mereka mengaku tidak memiliki waktu untuk membaca label terlalu seksama.
Tabel 17. Hasil uji korelasi antara profil responden dengan label dan informasi BTP Parameter Jenis kelamin Pendidikan Pendapatan Usia 15-24 thn Membaca label 0.000* Pengaruh label 0.270 terhadap keputusan pembelian Mengenal istilah BTP 0.491 Tingkat kepentingan 0.042* informasi BTP Kebiasaan membaca 0.232 informasi jenis BTP Apakah BTP 0.149 mempengaruhi keputusan pembelian Keterangan: *memiliki korelasi (hubungan)
Pengeluaran untuk pangan 15-24 thn >24 thn 0.242 0.540 0.955 0.547
>24 thn 0.532 0.503
15-24 thn 0.000* 0.782
>24 thn 0.000* 0.991
15-24 thn 0.000* 0.055
>24 thn 0.003* 0,809
0.085 0.410
0.000* 0.167
0.100 0.935
0.000* 0.018*
0.036* 0.256
0.551 0.043*
0.194
0.181
0.670
0.009*
0.392
0.148
0.676
0.683
0.254
0.052
Hipotesis H0: tidak ada hubungan H1: ada hubungan Tolak H0 jika p-value (asym.sig) lebih kecil dari alpha 5%
Tujuan berbelanja 15-24 thn 0.732 0.067
>24 thn 0.721 0.078
0.468 0.758
0.912 0.102
0.237 0.761
0.019*
0.236
0.673
0.087
0.558
0.381
0.231
0.211
Tabel 18. Korelasi antara jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan dengan kebiasaan membaca label Parameter Kebiasaan Membaca Label (%) 15-24 tahun >24 tahun Selalu Kadang- Tidak Selalu Kadang- Tidak kadang pernah kadang pernah Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
20.0 46.1
45.0 53.9
35.0 00.0
Pendidikan SD/sederajat SMP/sederajat SLTA/sederajat
D3 S1 S2
0.0 0.0 39.7 57.1 34.8 100.0
0.0 4.5 59.6 42.9 65.2 0.0
10.0 95.5 0.7 0.0 0.0 0.0
50.0 0.0 60.0 73.3 68.8 91.7
0.0 66.7 40.0 26.7 31.3 8.3
50.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
16.7 65.5 66.7 78.9
66.7 31.0 33.3 21.1
16.6 3.5 0.0 0.0
Pendapatan
< 1 juta 1-3 juta 3-6 juta > 6 juta
23.7 43.5 50.0 66.7
46.6 56.5 50.0 33.3
29.7 0.0 0.0 0.0
5 Simpulan dan Saran Simpulan Responden yang selalu membaca label untuk kelompok usia 15-24 tahun dan >24 tahun masing-masing adalah 22% dan 67%. Berdasarkan uji statistik kelompok usia lebih dari 24 tahun, memiliki kebiasaan dalam membaca label lebih sering dibandingkan dengan kelompok usia 15-24 tahun. Responden berusia 15-24 tahun lebih memerhatikan informasi mengenai klaim kesehatan dan informasi BTP. Sedangkan kelompok responden berusia >24 tahun lebih memerhatikan nomor registrasi dan nama produsen. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mengenal istilah BTP. Untuk kelompok 15-24 tahun dan >24 tahun yang mengenal BTP masing-masing adalah 95% dan 73%, sedangkan sisanya tidak mengenal istilah BTP. Responden berusia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan responden berusia >24 tahun. Sumber utama informasi BTP bagi kelompok 15-24 tahun adalah internet dan sekolah/kuliah. Sedangkan pada kelompok >24 tahun, informasi BTP terutama diperoleh dari televisi dan sekolah/kuliah. Mayoritas responden, baik pada kelompok 15-24 tahun maupun >24 tahun menganggap informasi BTP penting dan dapat mempengaruhi keputusan pembelian. Baik responden berusia 15-24 tahun maupun >24 tahun menunjukkan perhatian paling besar pada BTP perisa dan penguat rasa. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan dan pendapatan dalam kebiasaan membaca label pada dua kelompok responden. Pengenalan istilah BTP
berkorelasi dengan pendidikan (responden berusia 15-24 tahun), pekerjaan (responden berusia 15-24 tahun), dan pendapatan (untuk dua kelompok responden). Semakin tinggi pendidikan responden berusia 15-24 tahun, kebiasaan membaca labelnya semakin sering. Semakin tinggi pendidikan (15-24 tahun) dan pendapatan (15-24 tahun dan >24 tahun) juga menunjukkan kebiasaan membaca label yang juga semakin baik. Saran Hasil survei menunjukkan masih terdapat responden yang belum membaca label dan tidak mengenal istilah BTP. Oleh sebab itu, edukasi perlu dilakukan secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah, produsen, dan juga akademisi. Perbaikan terhadap penulisan informasi pada label juga perlu dipertimbangkan, sebab salah satu alasan responden tidak membaca label adalah terlalu rumit. Penelitian yang mencakup daerah lebih luas sebaiknya dilakukan untuk mengetahui hasil yang lebih menyeluruh terhadap kesadaran membaca label dan pengetahuan informasi BTP konsumen Indonesia. Perbaikan metode penelitian juga perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan menggali tingkat pemahaman responden terhadap BTP.
DAFTAR PUSTAKA Anggitasari A, Pujirahayu W, dan Ratnasari Y. 2014. Pengaruh Program Keamanan Pangan di Sekolah terhadap Pengetahuan Penjaja Pangan Jajanan dan Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Mutu Pangan 1(2):151-158 Bonsmann SSG, Fernandez C dan Grunert KG. 2010. Food Labelling to Advance Better Education for Life. European Journal of Clinical Nutrition 64: S14– S19 Borra S. 2006. Consumer Perspectives on Food Labels. American Journal of Clinical Nutrition 83(suppl):1235S [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. HK. 03.1.23.11. 11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pengawet [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pewarna [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 23 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Penguat Rasa [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013. GEBYAR SEHAT JAJANAN SEKOLAHKU "Sehat Duniaku Menuju Generasi Emas NTT yang Sehat dan Berkualitas Tahun 2013" Diunduh di
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/193/ Gebyar-SehatJajanan-Sekolahku.html pada 29 Desember 2015 [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2015. Waspadai Pangan Tidak Memenuhi Ketentuan Jelang Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Diunduh di http://www.pom.go.id/new/index.php/ view/pers/291/WASPADAIPANGAN-TIDAK-MEMENUHI-KETENTUAN--JELANG-NATAL2015-DAN-TAHUN-BARU-2016.html pada 29 Desember 2015 [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan BTP Pemanis [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Proyeksi Penduduk Indonesia Umur Tertentu dan Umur Satu Tahunan 2010-2025. Badan Pusat Statistik. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Kota Bogor 2014. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Bogor Brul S dan Coote P. 1999. Review: Preservative Agents in Foods Mode of Action and Microbial Resistance Mechanisms. International Journal of Food Microbiology 50:1-17 [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2014a. Food Additives Functional Classes. Diunduh di http://www.codexalimentarius.net/ pada 20 Maret 2015 [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2014b. General Standard for Food Additives. Codex Stan 192-1995 Clark JE. 1998. Taste and Flavour: Their Importance in Food Choice and Acceptance. Proceeding of the Nutrition Society 57:639-643 Campos S, Doxey J, Hammond D. 2010. Nutrition Labels on Pre-packaged Foods: A Systematic Review. Journal of Public Health:1-11 [EFSA] European Food Safety Authority. 2014. Scientific Opinion on Aspartame. Diunduh di http://www.efsa.europa.eu/fr/search/doc /factsheet aspartame.pdf pada 20 Maret 2015 [EFSA] European Food Safety Authority. 2015. Food Additives. Diunduh di http://www.efsa.europa.eu/en/topics/topic/additives.htm pada 9 Maret 2015 [EUFIC] European Food Information Council. 2005. The Determinants of Food Choice. Diunduh di http://www.eufic.org/article/en/expid/ review-foodchoice/ pada 3 Maret 2016 [FSA] Food Standards Agency. 2005. Consumer Attitudes to Food Standards 2005.TNS Wembley Point. London [FSAI] Food Safety Authority of Ireland. 2009. A Research Study into Consumers’ Attitudes to Food Labelling. Diunduh di https://www.fsai.ie/ WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=8900 pada 9 Maret 2015 Fukuda H dan Yasuo O. 1997. A Guideline for Reporting Results of Statistical Analysis in Japanese Journal of Clinical Oncology. Japan Journal of Clinical Oncology 27(3)121-127 Garber LL, Hyatt EM, Starr RG. 2000. The Effects of Food Color on Perceived Flavor. Journal of Marketing Theory and Practice:60-72 [IFIC] International Food Information Council. 2005. Gestational Diabetes amd Low-Claorie Sweetener. Answer to Common Questions. Diunduh di www.foodinsight.org/content/6/gestationaldiabetes.pdf. pada 6 Maret 2016
[IFIC] International Food Information Council. 2012. 2012 Food & Health Survey Consumer Attitudes Toward Food Safety, Nutrition & Health. Diunduh di http://www.foodinsight.org/Content/3840 /2012%20IFIC%20Food%20and%20Health%20Survey%20Report%20of %20Findings%20%28for%20website%29.pdf pada 9 Maret 2015 [Kemkominfo] Kementerian Komunikasi dan Informasi. 2014. Pengguna Internet di Indonesia Capai 82 Juta. Diunduh di http://kominfo.go.id/index. php/content/detail/3980/Kemkominfo %3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker #.VhBZVtKqqko pada 9 Maret 2015 Kozelová, M. Fikselová, S. Dodoková, L. Mura, A. Mendelová, V. Vietoris. 2012. Analysis of Consumer Preferences Focused on Food Additives. Acta Universitatis Agriculturae Et Silviculturae Mendelianae Brunensis.LX(6) Liu Y, Zeng Y, Yu X. 2009. Consumer Willingness to Pay for Food Safety in Beijing: A Case Study of Food Additives. Contributed Paper prepared for presentation at the International Association of Agricultural Economics Conference Beijing, China Nuraida L, Madaniyah S, Andarwulan A, Briawan D, Lioe HN, Zulaikhah. 2014. Free Glutamate Intake From Foods Among Adults: Case Study in Bogor and Jakarta. Jurnal Mutu Pangan 1(2):100-109 Perez RE dan Haldeman L. 2002. Food Label Use Modifies Association of Income with Dietary Quality. Journal of Nutritional Epidemiology 132:768-772 [Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan [PP] Peraturan Pemerintah RI. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Prescott J dan Young A. 2002. Does Information about MSG (monosodium glutamate) Content Influence Consumer Ratings of Soups with and Without Added MSG?. Appetite Journal 39(1):25-33 Rodolfo R dan Nayga Jr. 1999. Toward an Understanding of Consumers’ Perceptions of Food Labels. International Food and Agribusiness Management Review, 2(1): 29–45 Lutfi. 2007. IPA Kimia SMP dan MTs untuk Kelas VIII. Esis. Jakarta Mensah OJ, Lawer DR, dan Aidoo R. Consumers’ Use and Understanding of Food Label Information and Effect on their Purchasing Decision in Ghana; A Case Study of Kumasi Metropolis. Asian Journal of Agriculture and Rural Development. 2(3): 351-365 Mintel. 2012. Sweetener Story: It’s Not Which Type, But How Much. Diunduh di www.CornNaturally.com pada 9 Maret 2015 Pratiwi DA, Maryati S, Srikini, Suharno, Bambang. 2015. Biologi untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga. Jakarta Scotter MJ. 2011. Emerging and Persistent Issues with Artificial Food Colours: Natural Colour Additives as Alternatives to Synthetic Colours in Food and Drink. Quality Assurance and Safety of Crops & Foods.3:28-39 Sevilla CG. 2007. Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City
Spence C, Mary KN. 2012. Assessing the Shape Symbolism of the Taste, Flavour, and The Texture. http://www.flavourjournal.com/ content/1/1/12 diunduh pada 22 Januari 2016 Szucs V. 2014. Consumer Risk Perception of Food Additvies. Thesis of Doctoral (PhD) Dissertation. Corvinus University of Budapest. Budapest Teff KL. 1996. Physiological Effects of Flavour Perception. Elsevier Science 7:440-452 [UU] Undang-undang. 2012. Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan Vania CD, Agus S, dan Joko TI. 2013. Praktek Pemilihan Makanan Kemasan Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Label Produk Makanan Kemasan, Jenis Kelamin, dan Usia Konsumen di Pasar Swalayan ADA Setiabudi Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang. 2(2) Walker R dan Lupien JR. 2000. Glutamate Safety in The Food Supply. Journal of Nutrition. 130:1049S-1052S Washi S. 2012. Awareness of Food Labeling among Consumers in Groceries in Al-Ain, United Arab Emirates. International Journal of Marketing Studies 4(1):38-47 Zahara S dan Triyanti. 2009. Kepatuhan Membaca Label Informasi Zat Gizi di Kalangan Mahasiswa. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 4(2)
Lampiran
Lampiran 1 Nama Responden
:
Lokasi survei
:
No. HP
:
Kuesioner Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor Kuesioner ini digunakan sebagai bahan untuk menyusun tesis mengenai “Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor,” oleh Hendry Noer Fadlillah (F252124085, Mahasiswa Program Magister Teknologi Pangan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk meluangkan waktu mengisi kuisoner ini secara benar dan lengkap. Semua informasi yang diberikan bersifat rahasia dan dipergunakan untuk tujuan akademis. Petunjuk pengisian:
Mohon menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner ini Mohon memilih dan mengisi jawaban sesuai dengan pendapat dan pengetahuan saudara Berikan penilaian dengan menggunakan tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang disediakan atau tulis jawaban pada pertanyaan yang perlu diisi.
Profil responden 1. Jenis kelamin a. Laki-laki
b. Perempuan
2. Berapa usia Anda? a. 15 - 24 tahun
b. 24 tahun ke atas
3. Apa pendidikan terakhir Anda? a. SD/sederajat b. SMP/Sederajat c. SLTA/sederajat d. D3 e. S1 f. S2 g. S3 h. Lainnya (sebutkan) ……………….. 4. Apa pekerjaan saat ini? a. Pegawai negeri c. Ibu Rumah Tangga e. Pelajar/Mahasiswa
b. Pegawai swasta d. Wiraswasta f. Lainnya (sebutkan) ………………….
5. Berapa pendapatan setiap bulannya? a. < Rp. 1.000.000,00 b. Rp. 1000.000,00 - Rp. 3.000.000,00
c. Rp. 3.000.000 - Rp. 6.000.000,00
d. >Rp. 6.000.000,00
6. Berapa rata-rata pengeluaran setiap bulannya? a.
Rp. 6.000.000,00 7. Berapa rata-rata pengeluaran untuk membeli produk pangan olahan dalam kemasan setiap bulannya? a. Rp. 1.500.000,00 c. Rp. 1.000.000,00 - Rp. 1.500.000,00 8. Berapa kali frekuensi berbelanja produk pangan olahan dalam kemasan setiap bulannya? a. Setiap hari b. Satu minggu sekali c. Lebih dari satu kali setiap minggu d. Dua minggu sekali e. Tiga minggu sekali f. Satu bulan sekali g. Lainnya (sebutkan)…………………….. 9. Dimana biasanya Anda berbelanja produk pangan olahan dalam kemasan? (urutkan dari yang paling sering (nomor 1 adalah yang paling sering)) Tempat Berbelanja Ranking Pasar tradisional Minimarket Hipermarket Lainnya (sebutkan…………………………) 10.Untuk siapa Anda berbelanja? a. Diri sendiri b. Keluarga c. Lainnya (sebutkan)……………………….. 11.Bagaimana kondisi kesehatan Anda? a. Tidak menderita penyakit tertentu b. Menderita penyakit tertentu 1. diabetes 2. Jantung 3. Lainnya sebutkan………………… 12. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit tertentu? a. Tidak ada b. Ada 1. diabetes 2. Jantung 3. Lainnya sebutkan…………………
Kebiasaan/kepedulian konsumen terhadap label 13.Apakah Anda membaca label sebelum membeli produk pangan? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah (jika membaca label (selalu/kadang-kadang), maka dilanjutkan ke pertanyaan nomor 14. Jika tidak pernah, maka dilanjutkan ke pertanyaan 15).
14.Mengapa Anda merasa perlu untuk membaca label ketika membeli produk pangan? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Mendapatkan informasi lebih terkait produk pangan (flavor, cara penyimpanan, dll) Memilih produk yang sesuai kebutuhan Memilih merek Terkait dengan keamanan pangan Terkait dengan kesehatan dan risiko penyakit tertentu Dan lain-lain (sebutkan)
(Lanjutkan ke pertanyaan nomor 16 dan selanjutnya) 15.Mengapa Anda tidak membaca label pangan? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Yakin, produk sudah aman dan sesuai kebutuhan Informasinya terlalu rumit Tidak penting Tidak mengerti informasi yang diberikan Dan lain-lain (sebutkan)
(Survei dihentikan!!!) 16.Apakah label mempengaruhi keputusan untuk membeli? a. Iya, mempengaruhi keputusan membeli b. Tidak mempengaruhi keputusan untuk membeli 17.Informasi apa yang Anda perhatikan pada label pangan? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Jenis Informasi Ranking Merek Masa kedaluwarsa Informasi nilai gizi Klaim kesehatan Komposisi Kandungan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Nama produsen Berat/volume Nomor registrasi (MD/ML/PIRT) Dan lain-lain (sebutkan)
Pengenalan terhadap BTP 18. Apakah Anda mengenal istilah BTP (Bahan Tambahan Pangan)? a. Iya b. Tidak (Jika tidak, maka enumerator perlu menjelaskan pengertian BTP) 19. Seberapa penting informasi BTP bagi Anda? a. Penting b. Tidak Penting 20. Darimana Anda mendapatkan informasi seputar BTP? a. Televisi b. Koran/Tabloid/Majalah c. Media sosial d. Internet e. Lainnya (sebutkan)………………………… 21. Apakah Anda membaca informasi jenis BTP yang terdapat pada label? a. Selalu membaca b. Kadang-kadang c. Tidak membaca (Jika tidak membaca, lanjut kepertanyaan 22. Jika membaca (selalu membaca dan kadang-kadang), lanjut kepertanyaan 23 ) 22.Mengapa Anda tidak membaca informasi BTP pada label pangan? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Yakin sudah aman Tidak penting Tidak mengerti Dan lain-lain (sebutkankan)
(lanjut ke pertanyaan 24 dan seterusnya) 23.Mengapa Anda merasa perlu membaca informasi BTP pada label pangan? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Terkait dengan keamanan pangan Terkait isu kesehatan tertentu Peduli terhadap jenis BTP tertentu Dan lain-lain (sebutkankan)
(lanjut ke pertanyaan 24 dan seterusnya)
24. Jenis BTP apa saja yang menjadi perhatian pada label pangan? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Nama BTP Ranking Pemanis Pengawet Pewarna Penguat rasa Perisa Dan lain-lain (sebutkan)
Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan membeli 25. Apakah jenis BTP tertentu dapat mempengaruhi keputusan Anda membeli? a. Ya, dapat mempengaruhi b. Tidak mempengaruhi 26. Apakah Anda akan membeli produk pangan yang mengandung BTP pemanis yang diijinkan penggunaannya oleh Badan POM RI? a. Ya, akan membeli b. Tidak akan membeli (Jika Ya, lanjut ke pertanyaan 27 dan selanjutnya. Jika tidak, lanjut ke pertanyaan 28 dan selanjutnya) 27.Mengapa Anda membeli produk pangan dengan BTP pemanis yang diijinkan oleh Badan POM RI ? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Rendah kalori Rasa lebih baik Faktor harga Aman Dan lain-lain (sebutkan)
28. Apakah Anda akan membeli produk pangan dengan BTP pengawet yang diijinkan oleh Badan POM RI? a. Ya, akan membeli b. Tidak akan membeli (Jika Ya, lanjut ke pertanyaan 29 dan selanjutnya. Jika tidak, lanjut ke pertanyaan 30 dan selanjutnya)
29. Mengapa Anda akan membeli produk pangan dengan BTP pengawet yang diijinkan oleh Badan POM RI? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Aman Umur simpan lebih lama Faktor harga Memudahkan penyimpanan Dan lain-lain (sebutkan)
30. Apakah Anda akan membeli produk pangan yang mengandung BTP pewarna yang diijinkan oleh Badan POM RI? a. Ya, akan membeli b. Tidak akan membeli (Jika Ya, lanjut ke pertanyaan 31 dan selanjutnya. Jika tidak, lanjut ke pertanyaan 32 dan selanjutnya) 31. Mengapa Anda membeli produk pangan yang mengandung BTP pewarna yang diijinkan oleh Badan POM RI? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Tampilan lebih menarik Terkait dengan sifat/rasa/aroma tertentu Faktor harga Aman Dan lain-lain (sebutkan)
32. Apakah Anda akan membeli produk pangan dengan BTP penguat rasa yang diijinkan oleh Badan POM RI? a. Ya, akan membeli b. Tidak akan membeli (Jika Ya, lanjut ke pertanyaan 33 dan selanjutnya. Jika tidak, lanjut ke pertanyaan 34 dan selanjutnya) 33. Mengapa Anda akan membeli produk pangan dengan BTP penguat rasa yang diijinkan oleh Badan POM RI? Alasan Ranking Rasa lebih lezat Faktor kesehatan Aman Faktor harga Dan lain-lain (sebutkan)
34. Apakah Anda akan membeli produk pangan dengan BTP perisa yang diijinkan oleh Badan POM RI? a. Ya, akan membeli b. Tidak akan membeli (Jika Ya, lanjut ke pertanyaan 35 dan selanjutnya) 35. Mengapa Anda membeli produk pangan dengan BTP perisa yang diijinkan oleh Badan POM RI? (urutkan dari yang terpenting (nomor 1 adalah yang terpenting)) Alasan Ranking Rasa dan aroma lebih nikmat Faktor harga Faktor kesehatan Aman Dan lain-lain (sebutkan)
Terima kasih
Lampiran 2. Perancangan pertanyaan untuk kuesioner Tujuan Informasi yang ingin digali Mengenai Profil responden
Mengetahui Kebiasaan/kepedulian konsumen terhadap label
Pertanyaan
-Jenis kelamin
Nomor pertanyaan 1.
-Usia -Pendidikan terakhir -Jenis Pekerjaan -Pendapatan -Pengeluaran -Pengeluaran untuk membeli produk pangan -Frekuensi Berbelanja -Tempat Berbelanja -Tujuan berbelanja -Kondisi kesehatan -Kebiasaan membaca label ketika membeli
Berapa usia Anda? Apa pendidikan terakhir Anda? Apa pekerjaan saat ini? Berapa pendapatan setiap bulannya? Berapa rata-rata pengeluaran setiap bulan? Berapa rata-rata pengeluaran untuk membeli produk pangan setiap bulannya? Berapa kali berbelanja dalam sebulan? Dimana biasanya Anda berbelanja produk pangan? Untuk siapa Anda berbelanja? Bagaimana kondisi kesehatan Anda dan keluarga? Apakah Anda membaca label sebelum membeli produk pangan?
2. 3. 4. 5. 6. 7.
-Alasan mengapa membaca label -Alasan mengapa tidak membaca label -Pengaruh label terhadap keputusan membeli -Informasi pada label yang
Mengapa Anda merasa perlu untuk membaca label ketika membeli produk pangan? Mengapa Anda tidak membaca label pangan?
13.
Apakah label mempengaruhi keputusan untuk membeli?
15.
Informasi apa yang paling Anda perhatikan pada label?
16.
8. 9. 10. 11. 12.
14.
Mengetahui Pengenalan terhadap BTP
Mengetahui pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian
diperhatikan -Pengetahuan terhadap istilah BTP -Tingkat kepedulian konsumen terhadap BTP -Sumber informasi mengenai BTP -Kebiasaan membaca informasi BTP pada label -Alasan tidak memperhatikan informasi BTP -Alasan memperhatikan informasi BTP -Jenis BTP yang menjadi perhatian -Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan membeli -Pengaruh informasi BTP pemanis terhadap keputusan membeli -Alasan membeli produk dengan BTP pemanis -Pengaruh informasi BTP pengawet terhadap keputusan membeli
Apakah Anda mengenal istilah BTP?
17.
Seberapa penting informasi BTP bagi Anda?
18.
Darimana Anda mendapatkan informasi seputar BTP?
19.
Apakah Anda membaca jenis BTP yang tercantum dalam label pangan? Mengapa Anda tidak membaca jenis BTP pada label pangan?
20.
Mengapa Anda merasa perlu membaca informasi BTP pada label pangan? BTP apa saja yang menjadi perhatian Anda?
22.
Apakah jenis BTP tertentu dapat mempengaruhi keputusan Anda membeli?
24.
Apakah Anda akan membeli produk pangan yang mengandung BTP pemanis yang diijinkan penggunaannya oleh Badan POM RI?
25.
Mengapa Anda membeli produk pangan dengan BTP pemanis?
26.
Apakah Anda akan membeli produk produk pangan yang mengandung BTP pengawet yang diijinkan penggunaannya oleh Badan POM RI?
27.
21.
23.
-Alasan membeli produk dengan BTP pengawet -Pengaruh informasi BTP pewarna terhadap keputusan membeli -Alasan membeli produk dengan BTP pewarna -Pengaruh informasi BTP penguat rasa terhadap keputusan membeli -Alasan membeli produk dengan BTP penguat rasa -Pengaruh informasi BTP perisa/flavoring -Alasan membeli produk dengan BTP Perisa
Mengapa Anda membeli produk yang mengandung BTP pengawet? Apakah Anda akan membeli produk yang mengandung BTP pewarna yang diijinkan oleh Badan POM RI?
28.
Mengapa Anda membeli produk dengan BTP pewarna?
30.
Apakah Anda akan membeli produk dengan BTP penguat rasa yang diijinkan oleh Badan POM RI?
31.
Mengapa Anda membeli produk dengan BTP penguat rasa?
32.
Apakah Anda akan membeli produk dengan BTP perisa yang diijinkan oleh Badan POM RI? Mengapa Anda membeli produk dengan BTP Perisa
33.
29.
34.