KUMPULAN SAMBUTAN DR. BOEDIONO MENTERI NEGARA PPN/KEPALA BAPPENAS
MASA KABINET REFORMASI PEMBANGUNAN
OKTOBER 1999
KATA PENGATITAR Keberhasilan pembangunan bangsa Indonesia di hampir semua bidang terutama ekonomi dalam beberapa dekade telah mendapat pujian dari berbagai lembaga internasional khususnya Bank Dunia yang pada tahun 1993 menyebutnya "The Newly industrializing economiesro,bersama dengan negara tetangga Thailand dan Malaysia. Pujian tersebut tentu memberi kebanggaan dan harapan bagi seluruh anak bangsa untuk diakui sebagai warga dari negara industri baru. Tragisnya semua tiba-tiba sirna, diawali pula oleh krisis moneter negara tetangga Thailand pada pertengahan tahun 1997 dan berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik. Pada kondisi krisis itulah seorang ekonom yang bersahaja dan penuh pengabdian, Dr. Boediono, diangkat menjadi pembantu Presiden sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas masa Kabinet Reformasi Pembangunan. Kesahajaan Dr. Boediono senantiasa diingat oleh keluarga besar Bappenas dari keseharian, dan ucapan ajakan beliau dalam diskusi terbuka dengan seluruh pegawai. Sepenggal kata-kata beliau yaitu: Kita di sini bekerja untuk rakyat ...... Sangat berdosa kalau kita menggunakan dana rakyat itu untuk salah satu kelompok saja. Kalau kita yakin bahwa apa yang kita lakukan ini untuk kepentingan rakyat dan kita sendiri bersih, tidak main-main, jangan khawatir, jangan ragu-ragu, jalan terus,'. Salah satu bukti kesungguhannyao dalam kondisi krisis ekonomi yang sangat menekan kehidupan terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, telah dikembangkan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Kumpulan sambutan Dr. Boediono dalam berbagai kesempatanselaku Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas masa Kabinet Reformasi Pembangunan dimaksudkan untuk lebih mengetahui dan memahami arah kebijakan melalui buah pemikirannya di dalam upaya menanggulangi krisis dan pemulihan ekonomi serfa melanjutkan pembangunan. Untuk mernudahkan identifikasi suasana waktu penyampaian pidato, buku ini disusun berdasarkan urutan tanggal pelaksanaan.
Jakarta, Oktober 1999 Penyusun
DAFTARISI Halaman I I
Primus Inter Pares
I
2
Introductory Remarks, Pada Acara "Road Show" ke Korea dan Singapure Dalam Rangka Perbaikan Ekonomi denganBankir-Bankir.
15
Pembicara Utama Pada Seminar Bisnis Indonesia Mengenai Implikasi Reformasi Pada Dunia Usaha , Jakarta.30Juni 1998.
22
SambutanPadaRaker Wakil Gubernur Selaku Ketua TP-P2W, di Jakarta,20-21 Juli 1998.
3l
Addressing the Social Cost of the Indonesian Crisis, Paris,July, 29,1998.
37
Sambutan Dalam Seminar Nasional Masyarakat Profesi Penilai Indonesia, Jakafta, 12 Agustus 1998.
42
Sambutan Dalam Mukernas Gapensi Mengenai Peranan Sektor Jasa Konstruksi Dalam Program Stabilisasi Ekonomi, Jakafta,24 Agustus 1998.
51
Sambutan Pada Acan Pertemuan Konsultan Pembangunan PrasaranaPendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Tahun Anggaran L998/99, Jakarta, 27 Agustus 1998.
59
Sambutan Pada Acara Pembukaan POR'98 Dalam Rangka Memperingati Hari Kemerdekaan, Tanggal 6 September1998.
65
1 0 Sambutan Kepada Calon Duta Besar dan Kepala
68
Perwakilan RI Mengenai Krisis Ekonomi dan Langkah Penanggulangannya, Iakafia, I 8 September I 998.
11
Sambutan Pada Seminar Nasional dan Kongres Ikatan Geografer Indonesia, Universitas Gadiah Mada. 10 Oktober 1998.
76
I2
Sambutan Pada Pembukaan Pekan Orientasi Wartawan Kelompok Kerja Kantor Menko Ekuin dan Bappenas,Jakarta,20 November 1998.
83
t3
Statement at the Interim CGI Meeting, Jakarta, January25,1999.
90
t 4 Sambutan Pada Pembukaan Pameran Besar Seni
93
Grafis Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 23 Februari 1999. l)
Meeting on Development Cooperation: Responding to the Asian Crisis Sydney, March 5, 1999, Addressing the Social Impacts.
96
16
Pembicara Utama Pada Kongres Ikatan Alumni Australia Ke-I, Jakarta, 20 Maret 1999.
103
t 7 Transkripsi Sambutan Tanpa Teks Pada Acara 106 "Coffee Morning" di Ruang Rapat Serba Guna, Rabu,5 Mei 1999.
1 8 Statement to the Interim Meeting of the Consultative
111
Group for Indonesia, Jakarta,May 11, 1999.
l9
Sketsa Perekonomian Indonesia Modern, Disampaikan Pada Sidang DPK-EKU, Mei 1999.
20
Pengarahan Pada Raker Menko Kesra dan Taskin 126 Tentang Pembiayaan Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Perkotaan, Daerah Pantai dan Desa Tertinggal, Jakarta,8 Juli 1999.
21
The Agenda in Public Procurement, Jakarta,July 22, 1999.
lll
115
t32
22
Building a Long-Term Development Agenda, Consultative Group for Indonesia, Jakarla, July 23, 1999.
r37
Remarks at the Launch of the Australian Technical AssistanceManagement Facilify, August 10, 1999.
145
24
Presented in the Meeting to Review Draft Country Strategy for the Cooperation of the Government of Indonesia and IJNICEF, Jakarta,August ll,1999.
148
25
Opening Remarks for LPEM/PEG Jakafia,August I 8, I 999.
26
Development Shategy for a New Millenium, 1 5 8 Opening Speech, 1999 Capital Market Conference, Jakarta,August 24, 1999.
21
Sambutan Pada Rapat Teknis PerencanaanBimas Tingkat Nasional, Yogyakarta, 3 September 1999.
170
28
Sambutan Pada Seminar Penataan Kota Memasuki Millenium Ketiga, Iakarta, 14 September 1999.
171
29
Pengarahan Pada Rapat Evaluasi Penyelenggaraan 182 Transmigarsi SelamaKabinet Reformasi, Jakarta,2l
ZJ
Conference, 1 5 1
September 1999. 30
Statement at The Joint Annual Discussion. 190 September28-30,1999.
a1 JI
Sambutan Pada Rakomas II Pengelolaan 193 Lingkungan Hidup, Jakafia,9-l1 Oktober 1999. Opening Remarks at Meeting on Indonesia's 1 9 8 Economic Program, Jakarta,October ll, 1999.
JJ
Transkripsi Sambutan Tanpa Teks Pada Acara Ramah Tamah dengan Karyawan/I(aryawati Bappenas,22 Oktobet 1999, iv
201
PRIMUS INTERPARES")
Boediono
Sebagai mahasiswa undergraduale di Australia pada awal tahun 1960an, salah satu hal yang saya rasakan paling sulit adalah untuk mengerti teori pertumbuhan ekonomi Harrod - Domar. Hal itu tidak dipermudah dengan tuntutan sang dosenagar sedapatmungkin para mahasiswa membaca sumber aslinya. Buku Evsey Domar Essays in the Theory of Economic Growth begitu "njlimet" dari awal, sehinggamahasiswa seperti sayamudah hilang di tengahjalan sewaktu membacanya, dan buku Roy Harrod Toward Dynamic Economics dengan gaya Oxfordnya tidak terlalu mudah dicerna. Kedua buku itu tidak pernah selesaisayabaca. Strategi yang paling "efisien" bagi saya adalah mencari sumber-sumber yang menyarikan teori tersebut secara singkat dan dalam bahasayang lebih sederhana.Dalam rangka pencarian bahan ini saya menemukan di perpustakaanuniversitas sebuah karangan berjudul "The Relevance of Growth Models for Less Developed -Economies" (Ekonomi Keuangan dan Indonesia, November/Desember 1960) oleh seorang penulis yang bernama Widjojo Nitisastro. Pada waktu itulah pertama kali saya mengenal nama Pak Widjojo. Dalam karangan itu diungkapkan dengan sangat jelas pokok permasalahandan inti dari teori Harrod - Domar dalam beberapa halaman dan bahkan disertai pula dengan "kritik" mengenai teori tersebut apabila diterapkan pada r'egara berkembang. Karangan itu sangat membantu saya dan saya lulus Economics30. Sejak itu nama Widjojo Nitisastro melekat di benak saya. Sejak itu pula saya selalu mencari karangan-karanganbeliau lainnya yang kebetulan ada di perpustakaan universitas. Pada waktu itu nama orang Indonesia yang masuk dalam katalog perpustakaan masih sangat langka. Buku karangan beliau bersama Dr. Nathan Keyfitz kebetulan juga ada di sana dan menjadi bahan ilustrasi bagi
-)
Ditulis Juni 1997,sebelunkrisismulai,urtuk bukuperingatan ulangtahunProf.Widjojo Nitisastroyangke-70,Septernber 1997
I
kami mengenai interaksi antara demografi dan pertumbuhan ekonomi yang kami pelajari dari kuliah ekonomi pembangunanr). Buku Population Trends yang sekarangtelah menjadi karya klasik di bidang studi kependudukan Indonesia baru sayajumpai sepuluh tahun kemudian2).Membaca buku ini orang tidak bisa tidak terkesan oleh kecermatan analisanya. Yang juga sangat berkesan bagi saya pada waktu itu adalah ketika saya menemukan terbitan Cornell Monograph Series yang berisi diskusi yang diadakan pada tahun 1950-an mengenai sistem perekonomian Indonesia antara tokoh politik yang dikenal luas, mantan Perdana Menteri Mr, Wilopo dengan ahli ekonomi muda Drs. Widjojo Nitisastror). Untuk menyegarkankembali ingatan saya, baru-baru ini saya mencoba mencari kembali monografi ini di beberapa perpustakaandi Indonesia dan di Australia, tetapi belum berhasil mendapatkannya lagi. Saya masih ingat di situ terlihat kontras antara pendekatan seorang ahli politik dan sarjana hukum dengan pendekatan seorang ekonom. Namun betapapun saya melihat perbedaan-perbedaanpandangan dari keduanya, saya juga merasakan adanyakesamaanyang mendasar,yailu adanyaketulusan hati, keterbukaan pikiran kedua tokoh ini dalam diskusi tersebut dan keinginan mereka untuk menyumbangkan pikiran bagi bangsanya. Saya menikmati benar diskusi antara tokoh senior yang bijak dan tokoh muda yang segar dan menguasaiilmunya ini. Tahun 1965 - 1968 kami mahasiswa-mahasiswa Indonesiadi Australia mengikuti perkembanganluar biasa yang terjadi di bidang politik dan ekonomi di tanah air melalui terbitan-terbitan yang ada sefta ceritera-ceritera dari mereka yang kembali dari lawatannya ke Indonesia. Kami mendengar adanya tim ahli-ahli ekonomi dari Universitas Indonesia yang ditugaskan untuk membantu pemerintah Orde Baru membenahi ekonomi Indonesia yang kacau pada waktu itu. Nama-nama Widjojo Nitisastro, Muhamad Sadli, Sarbini Sumawinata, Ali Wardhana, juga Subroto dan Emil Salim sudah
l) 2) 3\
Dr. Nathan Keyfitz dau Drs. Widjojo Nitisastro, Soal Penduduk dan Pembdngilnan Indonesin, P.T. Pembalgunan, ! akafia, 1962. Widjojo Nitisastro, Popukrtion Trends in Indonesiq Comell University Press, Ithaca and London, 1970. Widjojo Nitisastro and Wilopo, The Socio-Economic Basis of the Inalonesian State, translatcd by A. Brothefton, Depafiment ofFar Eastem Studies, Comell University, Ithaca, 1959' ')
dikenal di antara mahasiswa-mahasiswaIndonesia nada tahun-tahun itu. Sumber informasi mengenai perkembangandi tanah air sangat langka. Salah satu sumber yang kami rasakan sangat bermanfaat untuk mengikuti perkembangan adalah Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) terbitan Australian National University, yang barangkali pada waktu itu merupakan satu-satunya sumber yang memonitor secara sistematis perkembangan ekonomi Indonesia. Dari waktu ke waktu kami juga mendapatkan ceritera tangan pertama dari orang-orang Indonesia, diplomat dan akademia Australia yang baru berkunjung ke Indonesia. Kami mendengar ceritera mengenai "a remarkable group of young economists" yang sedang bekerja keras untuk menata kembali perekonomian yang kacau karena salah urus. Nama Widjojo Nitisastro dan carakerjanya yang sangat cermat selalu mencuat dalam ceritera-ceriteratersebut. Semua menyebutkan peran Prof. Widjojo di belakang programprogram pembenahan pada waktu itu. Pada tahun 1966 seorang Profesor yang baru saja melawat ke Indonesia menceriterakan bagaimana Prof. Widjojo mengetik sendiri angka-angka perkiraan APBN (yang pertama dalam masa Orde Baru?) yang disusun berdasarkan informasi yang sangat langka, karena memang sudah bertahun-tahun sektor Pemerintah semrawut dan tidak beronerasi berdasarkanrencana apapun. Keberhasilan upaya stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi 19661968 yang luar biasa dan peran sentral tim ahli ekonomi itu saya ikuti.dari laporan-laporan dalam BIES dan majalah-majalah seperti Far Eastern Economic Review. Terus terang pada waktu itulah baru saya benar-benar meyakini bahwa ilmu ekonomi sesungguhnya dapat mempunyai kegunaan dalam praktek. Ilmu ekonomi bukanlah seperti sindiran J.H. Clapham, hanya suatu "dismal science" yang penuh dengan "empty boxes". Kebijakan-kebijakan ekonomi yang kami kenal dalam buku teks ternyata "jalan" dan dapat digunakan untuk mengobati penyakit ekonomi nyata. Saya mulai meyakini bahwa ilmu ekonomi itu, apabila dipraktekkan dengan benar dan sungguh-sungguh dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi kehidupan nyata, dan tidak kalah dengan ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu teknik yang hasil-hasilnya lebih kasap mata. Dan bagi saya dan teman-teman mahasiswa ekonomi lain, kami merasa menemukan role models bagi profesi yang sedangkami tekuni.
Sekarang, masa tersebut selalu saya kuliahkan kepada mahasiswa-mahasiswasaya sebagai contoh bagaimana perangkatperangkat kebijakan ekonomi "konvensional" dapat mengobati penyakit ekonomi yang parah dalam dunia nyata. Masa tersebut juga masa diletakkannya untuk pertama kali sendi-sendi dasar pengelolaan ekonomi makro yang masih berlaku dan tetap relevan sampai saat ini, seperli prinsip arggaran belanja berimbang dan sistem devisa bebas. Sekarang hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang "taken for granted" atau sebagai "conventional wisdoms", Tetapi dalam konteks situasi ekonomi-politik pada waktu itu prinsip-prinsip tersebut adalah sesuatu yang melawan arus dan, menggunakanjargon pada waktu itu, "revolusioner". Untuk mengkaitkan dengan keadaan yang mereka baca sekarang, masa tersebutjuga saya gambarkan sebagaibukan hanya masa stabilisasi dan rehabilitasi, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai masa transisi dari sistem ekonomi lama yang didasarkan pada komando dan peraturan ke sistem ekonomi baru yang lebih memanfaatkan mekanisme pasar, persis seperti apa yang sekarang sedang dilaksanakan (dengan banyak kesulitan) oleh eks-negaranegara sosialis dan komunis yang kini dikenal sebagai kelompok "economies in transition". Pengalaman Indonesia waktu itu merupakan contoh prosestransisi ekonomi yang sukses. Bagaimana tepatnya peranan para teknokrat, khususnya Prof. Widjojo di balik itu semua,hanya para pelakunya sendiri yang dapat menceritakannya. Bagi saya, rekonstruksi umum dari sejarah ekonomi Indonesia ini penting untuk menunjukkan kepada para rnahasiswa bahwa pembenahan ekonomi pada waktu itu adalah pekerjaan besar dan sekaligus menambah keyakinan mereka bahwa ilmu yang mereka pelajari itu "ada manfaatnya". Beberapa waktu yang lalu Panitia buku peringatan ini mengirimkan kepada para calon penyumbang karangan beberapa tulisan Prof. Widjojo, termasuk beberapa tulisan beliau di tahun 1960-ankhususnyadi sekitar tahun 1966, yang belum pernah saya baca sebelumnya. Semua itu lebih memperkuat kesan saya mengenai kemampuan beliau melihal dengan jernih problema ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi pada waktu itu, kemana arah langkah-langkah yang perlu diambil dan prioritas mana yarg harus didahulukan. Dengan bahasasederhanadan mudah dimengerti bottom-line permasalahan dapat terungkap jelas. Tulisan-tulisan 4
Prof. Widjojo selalu mendefinisikan permasalahan yang dibahas dengan cermat, jelas, proporsional dan seperti apa adanya. Persoalan-persoalan ekonomi yang selalu mempunyai dimensi sosial-politik senantiasadilihat sebagaikesatuanpermasalahanyang harus dipecahkan. Permasalahan yang memang kompleks tidak "dipermudah" dengan, misalnya menggunakan asumsi-asumsiyang sering kita jumpai dalam analisa ekonomi "teknis". Merumuskan masalah secara tepat dan cermat dan seperti apa adanya adalah langkah awal dari setiap upaya untuk menyelesaikan masalah. Analisa beliau selalu tajam, cermat, seimbang dan mengena persis pada inti permasalahannya. Pada tahun 1968, sewaktu saya kembali ke tanah air dan bekerja di Jakarta, keadaan ekonomi sudah berangsur membaik. Inflasi, the number one enemy, mulai dapat dijinakkan dan roda kegiatan ekonomi mulai bergerak lagi. Kerja keras para teknokrat mulai menunjukkan hasil. Beberapa waktu kemudian peran mereka dikukuhkan denganmasuknya mereka dalam kabinet. Setelah itu, saya hanya dapat mengikuti perkembangan dari jauh, yaitu Australia (1910-1912),Yogya (1913-1975)dan Amerika Serikat (1975-1979). Yogya termasuk "jauh" karena memang staf pengajar di FE-UGM tidak banyak terlibat dalam pemerintahan. Kiprah para teknokrat hanya dapat kami dengar dari tangan kedua melalui orang-orang seperti Prof. Sukadji dan Dr. Mubyarto yang pada waktu itu sering mondar-mandir Yogya-Jakarta, kalau tidak salah, dalam kapasitasnya sebagai anggota Policy Team-nya Prof. Sumitro. Kami mendengar, misalnya bagaimana kesibukan para teknokrat mencari beras ke seluruh penjuru dunia untuk mengatasi krisis beras pada waktu itu. Kami mendengar bagaimana GBHN diperdebatkan di MPR. Dari waktu ke waktu kami melakukan sejumlah penelitian yang sempat "trickle down" dari Jakarta.Tetapi secaraumum FE-UGM berada di luar proses pengelolaan ekonomi nasional. Di antara cabang-cabang ilmu ekonomi, FE-UGM menganggap ekonomi pefianian dan ekonomi pedesaan sebagai bidang unggulannya. Jurusan ekonomi pertanian pada waktu itu adalah jurusan yang terkuat di FE-UGM dan kegiatan penelitian, konsultasi dan penataran di bidang inilah yang terbanyak dilakukan di Fakultas. Bagi ekonom "umum" seperti saya, menjadi suatu keharusanuntuk mencobamembacaEarl Heady, A.T. Mosher, Vern
Ruttan, Sayogyo, Clifford Geertz, Selo Sumardjan untuk memperoleh "kredibilitas" dari rekan-rekan kami yang memang spesialis ekonomi pertanian dan pedesaaan.Kredibilitas tersebut tentu saja termasuk privilege untuk ikut serta dalam proyek penelitian mereka. Pada waktu itu monografi Pak Widjojo bersama Pak J.E. Ismael yang ditulis pada tahun 1950-an mengenai perekonomian dan pemerintahan desa Jabres di Jawa Tengah beserta studi kependudukan yang terkait, menjadi salah satu "model" bagi kami dalam melakukan penelitian ekonomi pedesaana).Barangkali tidak ada bidang penelitian yang menuntut pendekatan multidisipliner lebih dari ekonomi pertanian dan ekonomi pedesaan.Ilmu ekonomi, sosiologi, geografi, demografi, agronomi, manajemen dan sebagainya seringkali harus diterapkan secara saling menunjang. Studi Widjojo - Ismael tersebut merupakan contoh penerapan pendekatan multidisipliner yang baik sekali dengan menyoroti saling keterkaitan antara perekonomian, struktur sosial, dan pemerintahan di suatu desa. Bagi saya, studi ini sekaligusjuga menunjukkan bahwa sejak awal perhatian Prof. Widjojo tidak terbatas pada permasalahan "makro" semata, tapi juga masalah-masalah"mikro" dan bahkan masalah-masalah di luar ekonomi. Dari seorang rekan, saya mengerti bahwa Prof. Widjojo ternyata juga pernah mengajar ilmu sosiologi. Rekan ini sampai sekarang masih ingat kata-kata Prof. Widjojo bahwa inti dari sosiologi adalah"the whole is greater than the sum'of its parts". Suatu karakterisasi yang tepat sekali, sebab memang itulah esensi dari ilmu yang mempelajari dinamika kelompok manusia. Ketika saya kembali dari tugas belajar pada tahun 1919, di Yogya sedang sibuk-sibuknya diadakan penalaran P-4 bagi para dosen. Begitu saya lapor ke Fakultas, saya langsung dimasukkan dalam daftar peserta. Penataran itu sendiri bermanfaat karena memberi kesempatanbagi kami-kami ini untuk membaca kembali,
Widjojo Nitisastro and J.E. Ismael, The Govemment, Economy flnd Taxes of a Centrdl Javanese Village, lranslated by Nolbert Ward, Monograph Series, SoutheastAsia Program, Depaftnent of Far Eastem Studies, Collell University, Ithaca, 1959. Widjojo Nitisastro (ed.), "Beberapa Bahan Keterangan Mengenai Penduduk Djabres: Suatu Desa di Djawa Tetgah", Ekonomi dan Keuangan Indonesia,Desember 1956.
merenungkan, dan mendiskusikan dengan rekan-rekan makna dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bagi kehidupan ekonomi-sosial-politik di Indonesia. Inilah, seingat saya yang menjadi impetus bagi tumbuhnya kegiatan yang cukup intensif di FE-UGM di sekitar tahun 1980 mengenai pengkajian Ekonomi Pancasila. Pertanyaanpokok yang mendominasi pikiran kami pada waktu itu adalah: bagaimana menjabarkan secaranormatif nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam kehidupan ekonomi. Peftama, yang perlu dijawab adalah nilai-nilai mana yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yang relevan bagi aspek ekonomi (yaitu, segi material) dari kehidupan masyarakat. Peftanyaan selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana nilai-nilai tersebut dapat ditampung: apakah ditampung sebagai"s asaran"kebij akan operasional, ataupadatahap "pemilihan alternatif' kebijakan operasional, atau pada tingkat "sistem" atau "rules of the game", ataukah barangkali harus ditanamkan secara lebih mendasar lagi yaitu pada masing-masing pelaku ekonomi sebagai bagian dari "etika perilaku" mereka? Inilah kurang lebih beberapa "burning questions" yang ada dalam pikiran rekan-rekan di FE-UGM pada waktu itu. Ternyata tema tersebut dapat menimbulkan gairah di antara rekan-rekan saya di FE-UGM untuk berdiskusi dan mencoba menulis. Semuanya tidak lebih dari kegiatan akademis-intelektual y€urg normal di perguruan tinggi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika forumnya makin meluas, berbagai penafsiran ofeh sementara kalangan mulai berkembang. Ada yang menginterpretasikan bahwa FE-UGM sedang mengembangkan strategi pembangunan alternatif yang berbeda dengan GBHN. Ada yang menafsirkan kegiatan itu sebagai manifestasi dari persaingan antara FE-UGM dan FE-UL Ada pula yang mengartikannya sebagai "move" FE-UGM untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan atau kabinet. Hal itu sempat, untuk beberapa waktu, menjadi ganjalan antara kami di FE-UGM dengan rekan-rekan FE-UI dan mungkin juga dengankalangan-kalanganlain. Sepanjangsaya dapat menilai keadaanyang sebenarnyaterjadi pada waktu itu, tafsiran-tafsiran tersebut menurut hemat saya agak "overstretched". Tidak ada yang tidak menerima strategi yang teftuang dalam GBHN sebagai_strategi pembangunan nasional.
Persaingan antara dna fakultas tua di tanah air ini barangkali ada, tetapi persaingan di bidang akademis, yaitu di bidang pengajaran dan kegiatan ilmiah lainnya dan jelas bukan di bidang politik praktis. Stafpengajar di kedua fakultas tersebut sudah banyak yang saling mengenal cukup dekat, saling bekerjasamadi berbagai forum (misalnya, dalam konsorsium ilmu ekonomi, penelitian-penelitian, dsb), dan terus terang pandangan-pandangandasarnya sebagai ekonom barangkali tidak terlalu jauh berbeda satu sama lain. Tentu saja ada nuansa-nuansayang berbeda, dan hal itu timbul mungkin karena setiap harinya masing-masing menghadapi segmen masyarakat yang berbeda: FE-UGM lebih banyak mewancarai petani, berdialog dengan pamong desa dan pejabat daerah, sedang FE-UI lebih banyak berhadapandenganpelaku-pelakubisnis tingkat nasional dan berinteraksi dengan birokrasi pusat. Mengenai adanya ambisi untuk lebih berperan dalam pemerintahan,barangkali hal ini harus ditanyakan kepada masing-masing pribadi, karena sepanjang yang saya ketahui, FE-UGM sebagai lembaga tidak mempunyai agendaseperti itu. Bagi pelaksanaantugas utama Fakultas, semakin banyak yang tinggal di Fakultas tentunya semakin baik. Dekan biasanya enggan kehilangan orang-orangnya yang baik. Sampai sekarang saya tetap beranggapan bahwa pengkajian ilmiah mengenai hubungan dasar negara dengan pengelolaan ekonomi masih berguna. Tapi kilas balik kita lanjutkan. Tahun 1980-an sebenarnya adalah masa kritis bagi perekonomian Indonesia. Dengan anjloknya harga minyak pada awal dasawarsatersebut, Indonesia berada di persimpanganjalan dan jalan mana yang dipilih menentukanapakah selanjutnya Indonesia akan melaju di jalan tol atau terdampar di gang buntu. Sekarang kita dapat mengatakan dengan keyakinan bahwa kita samasekalitidak terperangkapdi jalan buntu, meskipun kita masih dapat perdebatkan apakah ekonomi Indonesia saat ini berada di jalan biasa, atau di jalan biasa yang menuju ke jalan tol ataukah sudah berada di jalan tol. Bagaimanapun, sewaktu di persimpanganjalan tadi nampaknya kita memilih jalan yang benar. Apakah itu semua karena keberuntungan? Saya kira tidak. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen adalah karena pilihan kebijakan yang benar. Dalam situasi harga minyak yang merosot cepat, Indonesia berani mengambil tindakan penyesuaian yang pahit tanpa menunda-nunda (dua kali devaluasi, penjadwalan
kembali besar-besaranproyek-proyek dan kebijakan fiskal yang ketat sepanjangtahun 1980-an). Tidak banyak negaradi dunia yang dapat menggunakan kebijakan fiskalnya untuk menanggung beban penyesuaian seperti Indonesia. Di samping itu, Indonesia juga dengan jernih dapat melihat ke depan dan memutuskan untuk secepat mungkin melepaskan diri dari ketergantungarnya pada minyak, begitu terlihat tanda-tanda bahwa minyak tidak dapat diandalkan lagi sebagaisumber dana pembangunan. Dalam rangka itu, serentetanpaket deregulasi dan reformasi yang menyangkut berbagai bidang diluncurkan sepanjang tahun 1980-an. Ekspor non-migas, penerimaanpajak, iklim usaha dan daya saing menjadi "battle cries" pemerintah. Sekarang, ekonomi kita "alive and well" dan minyak bumi, meskipun masih sangat penting, tidak lagi akan menimbulkan akibat-akibat fatal, seandainya harganya bergejolak. Di dunia internasional, pengalaman Indonesia tercatat sebagai salah satu contoh "structural adjustment" yang berhasil, Dan selama proses penyesuaian yang berat itu berlangsung, indikator-indikator sosial tidak memburuk, swasembadaberas tercapai dan angka kemiskinan terus menurun. Barangkali kita sebaiknya berhenti sejenak di sini, dan tidak terhanyut dalam proses "self-congratulation". Di balik prestasi "makro" yang cemerlang itu, orang mengatakan bahwa masih banyak masalah "mikro" yang menunggu pembenahan.Kita akan menyinggung lagi masalah ini kemudian. Tetapi marilah kita kembali ke pengalaman dalam dasawarsa1980-an dan menanyakan apa yang menjadi rahasia keberhasilan Indonesia. Menurut hemat saya kunci sukses kebijakan ekonomi Indonesia dalam dasawarsa 1980-andanjuga pada akhir 1960-anterletakpada dua hal, yaitu: a) Keberanian untuk mengambil diperlukan tanpa ditunda-tunda, dan
langkah-langkah
yang
b) Kemampuan melihat ke depan secara jernih, rasional dan realistis arah ya\g harus diambil dan kemudian melaksanakannyasecarakonsisten dan sistematis. Pertanyaanyang sekarangmengusik adalah: apakah dua kunci keberhasilan ini akan terus dapat dipertahankan dalam menghadapi tantangan-tantangafldi waktu mendatang?
Bagaimana peranan Prof. Widjojo dalam masa penyesuaian struktural itu? Pertanyaan ini barangkali hanya dapat dijawab oleh beliau sendiri (dan secaraparsial, oleh mentri-menteri dan pejabatpejabat yang langsung menangani paket-paket kebijakan tadi). Setiap pekerjaan besar selalu merupakan hasil kumulatif sumbangan banyak orang. Dari satu segi, barangkali pelaksanaan strategi ekonomi dapat dianalogikan dengan pembuatan sinetron. Ada ydng menulis skenarionya, ada yang melakonkan, ada sutradara, ada juga juru kamera dan juru rias, dan sebagainya. Yang penting adalah bahwa lakonnya dimainkan sebaik-baiknya oleh para pemain sesuai dengan skenario, sehingga ceriteranya secara keseluruhan memberikan "efek" yang diinginkan kepada para penonton. Mengenai bagaimana mengorganisir semua itu, konon khabarnya menurut teori "performing arts" ada dua cara, yalg saya sebut saja cara Srimulat dan cara Broadway. Dalam cara Srimulat hanya alur umum ceritanya serta garis besar peran masing-masing yang disampaikan kepada para pemain, dan selebihnya jalannya ceritera diserahkan kepada inisiatif para pemain untuk melakukan improvisasinya. Sedangkan dalam cara Broadway, ada skrip tertulis untuk setiap babak skenario yang harus diikuti kata demi kata oleh para pemain. Cara mana yang terbaik tentu tergantung keadaan. Tapi caramanapun yang dipilih, selalu harus adayangmenulis garis besar skenarionya dan melihat proses itu secara keseluruhan serta memastikan bahwa ceritera yang ditentukan dilakonkan sebaikbaiknya. Demikian pula kiranya dalam kebijakan ekonomi. Seperti disebutkan tadi, berbagai kalangan ada pendapatyang mengatakan bahwa prestasi "makro" ekonomi Indonesia sudah bagus, tetapi dari segi "mikro" belum terlalu bagus. Pendapatseperti itu kiranya perlu untuk didengar dan dikaji. Mengenai pembedaan masalah mikro dan masalah makro ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pembedaan mikro-makro memang ada manfaatnya untuk memberikan fokus pada permasalahan.Tetapi hal itu jatgan sampai ditarik terlalu jauh, sebabpada akhirnya masalah mikro akan selalu terkait dengan masalah makro. Prestasi yang satu akan mempengaruhi prestasi yang lain. Kedua, prestasi Indonesia di berbagai bidang pembangunan yang tergolong "mikro" (seperti bidang kesehatan, pendidikan, pengurangan kemiskinan) sama sekali tidak jelek dan bahkan sudah mendapatkan pengakuan internasional. Tapi saya kira harus diakui pula bahli a masih banyak aspek-aspek"mikro" pembangunanyang belum memenuhi harapan 10
masyarakat dan perlu ditangani dengan sungguh-sungguh,seperti masih adanya pungutan-pungutan liar, persepsi adanya praktekpraktek bisnis yang unfair, polusi sampah,vdara, dan air di kotakota dan mutu pendidikan yang belum memadai dan sebagainya. Yang berbahaya adalah apabila implikasi paradigma makromikro ini ditarik terlalu jauh, sehingga disimpulkan misalnya, bahwa untuk mengatasi prestasi "mikro" yang belum memuaskan itu, Pemerintah harus lebih banyak turun tangan dan mengatur kehidupan ekonomi secara "mikro". Interpretasi etatis ini perlu dihindari dan jangan sampai merayap masuk kembali. Apabila semuanya diatur, kreativitas manusia mati. Sudah terlalu banyak contoh kongkrit dalam sejarah (termasuk dalam sejarah Indonesia sendiri) bahwa aturan dan campur tangan yang terlalu banyak menghancurkan kehidupan ekonomi, sering bukan karena mal{.sud dari aturan dan campur tangan itu tidak baik, tetapi karena pelaksanaan aturan itu dalam kenyataarnya berbeda dan bahkan berlawanan denganyang diinginkan; suatu hal yang sangatmungkin terjadi apabila birokrasi Pemerintahbelum berjalan baik. Apakah dengan demikian tidak perlu ada aturan atau campurtangan Pemerintah terhadap perilaku "mikro" masyarakat? Saya kira tidaklah demikian. Masalahnya di sini, adalah apa dan sampai berapa jauh campurtalgan itu. Bidang yang jelas-jelas memerlukan campur tar^gan Pemerintah, tapi terkadang justru terabaikan, adalah dalam hal penciptaan dan penegakat aturan main. SeIiap interaksi sosial yang sehat memerlukan aturan main yang transparan dan adil, yang didukung oleh lembaga-lembaga pelaksananya yang efektif. Aturan main dan lembaga-lembaga pendukung ini adalahpresqrana sosial yang tidak kasap mata tetapi luar biasa pentingnya. Jalan, pelabuhan, listrik, jaringan telkom semuanya penting, tetapi aturan main dan institusi dari beberapa segi lebih penting dan lebih mendasarsifatnya. Prasaranafisik dapat dibangun dalam 1-2 tahun, tetapi pembangunan prasarana kelembagaan memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sulit karena akhirnya menyangkut perubahan sikap mental manusia. Prasarana fisik dapat dibangun dengan uang ataupun tenaga dari luar, apabila kita sendiri belum punya. Tetapi aturan main dan institusi harus homegrown, harus kita ciptakan, kita kembanglan dan kita tegakkan sendiri. Aturan main dan institusi sebenarnya adalahpotretjati diri kita. il
Kita telah berhasil melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi padatahun 1960-andan penyesuaianstrukturalsejaktahun 1980-an. Melihat ke depan, pembangunan institusi mungkin dapat menjadi tema strategis sewaktu Indonesia memasuki abad 2l ini. Isinya adalah memantapkan aturan main yang sudah baik, meluruskan yang belum pas, menciptakan yang belum ada serta meningkatkan kinerja semua institusi yang diperlukan agar aturan main tersebut benar-benar diikuti dan dilaksanakan oleh semua pelaku ekonomi. Dalam era globalisasi, mutu dan standar dari aturan main dan institusi sangatmenentukan apakahsuatu negara boleh masuk 'Jalan tol" atau tidak. Dalam kaitan dengan tema ini, 3 hal kiranya perlu diperhatikan. Pertama, pembenahanaturan main dan institusi tidak bisa tidak menyangkut terutama pembenahansektor pemerintah dan seluruh birokrasinya, Ini membutuhkan political y)ill yang benarbenar kuat, seperti halnya seseorangyang hendak mendisiplinkan diri sendiri. Kontrol sosial atau kontrol dari "luar" lainnya terhadap birokrasi harus dibuat makin efektif, sebab dalam sejarah tidak pernah ada kasus birokrasi yang dengan sukarela membenahi dirinya sendiri. Kedua, dan ini adalah salah satu konsekuensi dari butir pertama tadi, falsafah "the end justifies the means" dalam mencapai sasaran pembangunan, seandainya masih ada, harus dibuang jauh-jauh. Karena di sini aturan main yang ingin ditegakkan, maka sangat penting bahwa "means" yang digunakan untuk mencapai suatu "end" adalah benar dan sesuaidengan aturan main. Selamattinggal Machiavelli. Tidak lagi boleh adajalan pintas untuk mencapai sasaranpembangunan, apalagi kalau tindakan itu merusak aturan yang ada. Penegakanaturan main itu sendiri adalah "end" yang seharusnyaberkedudukan lebih tinggi dari "ends" yang lain. Ketiga, pengembanganaturan main dan institusi yang handal pada akhirnya menyangkut pembangunanmanusia,karena mutu dan keandalan aturan main dan institusi terutama ditentukan oleh profesionalisme, ketrampilan dan integritas manusia-manusia di belakangnya. Peralatan, gedung kantor dan prasarana fisik lain membantu tapi tidak menentukan. Oleh karena itu, apabila aturan main dan institusi menjadi sasaran pokok pembangunan, sumberdayamanusia yang terampil, profesional, tangguh dan above all mempunvai integritas tinggi harus disiapkan untuk mengisi
t2
posisi-posisi kunci dalam institusi-insititusi yang Demikianlah, memang prasyarat-prasyaratitu berat.
strategis.
Profesi ekonomi di Indonesia beruntung karena mempunyai tokoh-tokoh panutan sekaliber Dr. Mohamad Hatta, Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Prof. Widjojo Nitisastro. Beliau-beliau adalah "men of letters" dan sekaligus"men of affairs". Beliau-beliautelah memberikan bentuk dan warna terhadap perkembangan pemikiran ilmu ekonomi di Indonesia dan pelaksanaankebijakan ekonomi di tanah air. Beliau-beliau adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah profesi ekonomi Indonesia dan sejarah ekonomi Indonesia. Standar profesi yang sangat tinggi yang mereka contohkan akan terus menjadi sumber inspirasi bagi generasi-generasi ekonom setelahmereka. Saya beruntung dalam perjalanan karier saya, saya dapat mengenal Prof. Widjojo. Bagi ekonom-ekonomgenerasisaya dan sesudah saya, Prof. Widjojo akan selalu menjadi sumber untuk menimba wisdom dan nasehat. Cara-cara beliau yang khas untuk menyampaikan pesan, memberikan nasehat atau peringatan sudah banyak diketahui oleh mereka yang mengenal beliau. Foto copy dari arlikel atau laporan dari waktu ke waktu kami terima dengan goresan-goresanstabilo pada bagian-bagian yang penting, Jarang sekali disertai catatandari beliau. Biasanya saya perlu membaca dua kali bagian-bagian yang distabilo ini untuk meyakinkan diri apakah telah menangkap maknanya atau pesan yang tersirat di dalamnya. Saya teringat beberapa tahun yang lalu ketika saya memperoleh kiriman dari beliau foto copy buku les Prime MinisteP). Seperti kita ketahui, buku ini didasarkan pada seri komedi TV yang sangat populer dan menceriterakan bagaimana seorang perdana menteri Inggris sebenarnya disetir oleh Sekjennya dalam berbagai keputusannya, namun tetap merasa dialah bos dan pengambil keputusan yang sesungguhnya. Sangat witty dan entertaining. Peftanyaan pada diri saya waktu itu adalah: apa sebenarnyayang ingin dipesankan oleh Pak Widjojo? Barangkali beliau ingin berpesanagar sayatidak terlalu gampang"dikibuli" oleh anak buah; suatu pesan penting terutama bagi orang baru di lembaga lama. Barangkali itulah inti pesan beliau. Tetapi setelah berfikir sejenak ))
Jonathan Lynn dail Aitony Jay, Yes Prime Minister: ,lanrc.sHacker, Salern House Publishers. IJ
The Diaries of the Right I{on.
terlintas sekilas di pikiran saya kemungkinan yang kedua: mungkinkah beliau juga berpesan agar saya "menyetir" bos saya, seperti Sekjen itu? Masalah ini segera menjadi jernih ketika saya cek dengan bos saya dan ternyata beliau juga menerima kiriman buku tersebut. Jadi jelas kemungkinan kedua itu bukanlah maksud pesan beliau. Yang sampai sekarang belum saya lakukan adalah mencek apakah di antara anak buah saya ada yang menerima kiriman buku itu. SelamatUlang Tahun Pak Widjojo. Semogapanjang umur.
14
INTRODUCTORY REMARKS Pada Acara ooRoadShow" ke Korea dan Singapura Dalam Rangka Perbaikan Ekonomi dengan Bankir-bankir
Ladies and Gentlemen: I want to thank you for taking the time to come to this briefing. This forum provides us with an opportunity to report to you on the progress we have made in developing a framework that should allow for a fair restructuring of Indonesia's corporate debt, The specifics of the schemethat we are putting in place will be fully discussed in a few minutes. But before we turn to that paft of our agenda, let me briefly focus on the principals issues that underlie our efforts to create a framework for a reasonable resolution of corporate debt problems. Let me begin by bringing you up to date on the curuent economic situation of Indonesia. First the foreign trade. Non-oil exports rose from US$ 8.5 billion in the first quarter of 1997to US$ 10.6 billion in the same quarter in 1998, an increaseof 24.5%o. Exporting is a very profitable business now. However, oil exports are sharply lower, largely reflecting the continued drop in world oil prices, and this has pulled down total export growth. Trade activities were disrupted by the May upheavals, but we hope non-oil expofts will resume their strong trends for the rest of the year. Imports are declining sharply. Non-oil imports fell by 22.5% in the first quarter of 1998 while total imports were down 24.8%. The sharpdeclinesin oil imports. reflecting both lower prices and lower demand. On the international oil market, the ICP price for Indonesian benchmark SLC (Minas) fell to US$ 11.90/bblin June, down from US$ 12.02lbbl in May, a drop of 5.3Yo.Although OPEC and other producers made efforts to reduce supplies, it appears that the collapse of demand for crude in the Asian economiescombined with high stock levels in North America and Western Europe, will continueto put pressureon oil pricesin the nearterm. Overall, Ihe balance of trade rose by an astounding 203.4% comparing the January- April 1997 Io 1998 data.
15
Second the inflation. 'fhe consumerprice index rose by 4.64% during June,slowing slightly from the inflation recorded in May (5.24%) back to near the level recorded in April (4.70%). The lower inflation rate was achieved, despite larger price increasesfor food and clothing in June compared to May, by the stabilization of transpoftation prices, which generated a significant share of overall inflation when fuel and energy prices were raised temporarily in May. The increase in food prices was generatedlargely by a 20.61% increasein the price of grains, an almost shocking rate of inflation for a harvest month. The role of rice prices and possible future responsesin considered below in the final part of this section on inflation. Compounded on May inflation, the June figure brings inflation for the first quarter of the current fiscal year to 15.29%. On a yearto-year basis, the June inflation rate was 59.500 , up significantly compared to the figure reported in May of 52.17%. The year-to-year inflation rate will still rise for several months to come, reaching probably about 80% by the end ofthis calendar year, but then it is expected to decline fairly rapidly thereafter. Barring exceptional events, food production will starl picking up in the next 4 - 6 months. Third the exchangerates. The rupiah suffered a substantial depreciation of 25Yo during the month of June. While the exchangerate exhibited stability at the beginning of the month, at a rate of Rp. 11,500, the situation changed drastically during the middle of the month, when the value of rupiah collapsed,falling briefly to Rp. 17,000/US$.The rupiah recovered somewhat towards the end of the month to trade at Rn. 14,860/US$on June30. The continuing weakness of the rupiah during June was attributable to external as well as domestic factors. The weaknessof the Japanese yen worsened market sentiment towards all Asian crirrencies. However, the major driving force behind the depreciation was the need for commercial banks to settle their interbank and trade-finance arrears in line with the Frankfurt Debt Agreement. The increased demand for dollars, totaling roughly
l6
US$1.1 billion, contributed substantiallyto the weakening of the exchangerate, The trade-weighted real exchangerate rose to 290 in June, up from 23 1 in May. The large increase is primarily due to the pronounced fall of the nominal value of the rupiah. The high level of the real-trade weighted exchange rate index suggests that the rupiah is severely undervalued, providing some evidence that the culrent nominal market exchangerate is not being driven by macroeconomic fundamentals. We strongly believe that as our stabilization programs take hold, the rupiah will gradually and steadily strengthen. Ladies and gentlemen, Now, let me bring you up to date on the progresswe have since the conclusion of the Frankfurt agreement with the Steering Committee of creditor banks on June 4. First, and perhaps most important, it was agreed that Indonesian banks would fully repay their arrears on trade facility and interbank debts. This has been done. Secon.d,with the assistanceof foreign banks, our international trade credit lines were to be reestablished.We have made progress in this regard although it appearssome problems remain before the credit needs of our export sector are fully met. Neveftheless, I am encouraged by the recent developments in non-oil exports that I referred to earlier. I focus on the performance ofour non-oil exports because it is important to keep in mind that as we remove some of the financial and foreign exchange consffaints that have held back Indonesia's economy, our potential to earn foreign exchange, to provide jobs, and hence to meet our financial obligations will naturally increase. Third,we have enacteda bankruptcy law and are in the process of establishing courts and training judges and lawyers to handle bankruptcy and liquidation issues. This is an important aspect of creating an environment in which all parties, creditors and debtors, can engage in a process of reasonable restructuring and debt rescheduling. The new bankruptcy law is a significant improvement over the existing one, which had remained virtually unchanged, and unused, since 1905 The new bankruptcy decree defines a time frame within which bankruptciesneed to be resolved, adds provisions on interim actions that may be taken by creditors, confirms the functions and obligations of a receiver, and sets forth the rights and obligations of debtors during the bankruptcy pro11
ceedings. The new bankruptcy law will make it possible for the orderly exit of firms. And/ourth, we have begun to put into place the administrative and organizational structure that will allow us to effectively manage INDRA, allowing it to operateas foreseen. The issue of what should be done to alleviate the burden imposed on Indonesian corporations by the sharp depreciationofthe rupiah is a complex one involving arguments of economic justice, moral hazard. and the proper role of the state in the arena of private contracts. Let me admit that there are no clear or simple answersto these issues.It is possible to argue that private agents,who willingly incurred the debt, should be held accountablefor the repayment of such debts, Indeed this is a sound principle and one the Government subscribes to. In most circumstances private debt workouts that result from negotiations between creditors and debtors are likely to yield an efficient economic outcome.Governmentresourcesshould not be used to pay off debt or to force unfair settlements. Yet the magnitude, and the initial cause,of this crisis suggests that an alternative view is likely to be more productive to all parties; both creditors and debtors. There are, I believe, three reasonswhy it is imporlant that the issue of corporate debt restructuring involve a shared process for creditors and debtors. It is also clear, given the extent and depth of the economic crisis that the government must take an active role in providing a framework; one that will protect the rights and assetsof the creditors while ensuring that efficient and productive economic assets are quickly brought back into ploductive use. Let me elaboratea little the reasonswhy, in my view, the Frankfurt agreement provides the most reasonable framework for all parlies. First, there is little doubt that given the current severe economic crisis, holding borrowers fully accountablefor their debts would lead to further damage in both the private and public sectors. Simply put, private firms, burdened with debts that they can no longer service at the sharply depreciated exchange raIe, are effectively prevented from participating in economic activities. As a result their assetsare not brought into use, preventing such firms from earning even a minimum income stream that could be used to repay the debt. Such a waste of economic resourceswill have seriousconsequences. At the very leastsuch a scenarioimplies that creditors will have little chance of receiving any return on their 18
loans. The burden on our society as whole is likely to be even greater. Our inability to allow use the assetsalready in place will further reduce incomes and increase unemployment. These events will not only increasethe burden on our peoples but are very likely to lead to an extended period of social unrest and political upheavals,postponing economic recovery far into the future. Let me reverse a popular slogan. Pursuit of a policy that places the entire burden of repaying loans that were used to undertake fficient investmentsis a policy that can only lead to a"loss-loss" outcome. Neither Indonesia nor the creditors stand to gain from such an outcome. Second, it is impossible to entirely disregard one of the basic causes of the current crisis. While it is obvious that many factors contributed to the enormous crisis now confronting Indonesia, the sharp reversal in private capital flows was surely an important proximate cause.Indeed, I would suggestthat to a very large extent the crisis originated in the rapid reversal of capital flows which suddenly exposed the serious fault lines that characterized our economy. The large capital inflows that helped power our economic growth had their roots in a number of factors. On the one hand, domestic policy encouraged domestic firms, either adveftently or inadverlently, to borow abroad without forcing such borrowers to adequatelyreflect the risk of their undertaking in the cost of capital. Much of this capital was effectively invested although as we now know even many sound and savvy investors failed to hedge their loans. In many other instances borrowed funds were poorly invested. Once the exchange rate depreciated it became quickly clear that the risk of investing in Indonesia had been underestimated. Previously enthusiastic investors now rapidly withdrew their funds. This rapid and substantial reversal in capital flows turned a manageable exchange rate depreciation into an unprecedentedeconomiccrisis. It is true that domestic financial sector weaknessesallowed such funds to be borrowed and poorly mediated. Yet is also true that investors misread the risk of such investments.For example, in the early 1990s, the risk-adjusted spread on investments in many emerging market countries, including Indonesia, fell substantially. As a result, investing in Indonesia becameeven more attractive. Yet 19
the decline in the risk adjusted spread exceededwhat could be attributed to an improvement in economic performance. The decline in the risk adjusted spreads was more a reflection of rising global capital supplies than any improvement in the economic fundamentalsof the borrowing countries,including Indonesia.r) In other words, both lenders and borrowers engagedin risky behavior, Exuberance on the part of borrowers and lenders led to excessive reliance on foreign capital. Third, the debt restructuring processin which you are askedto participate will yield an economic and financial outcome that will benefit both parties. The debt restructuring process itself will serve to weed out the better investments and strengthenthe very activities that are now in default. Indeed, becausethe restructuring process doesnot reducethe local cost ofthe funds borrowed,only the better firms are likely to enter the process and only the viable firms can emerge successfully from the debt restructuring process, This is in adherencewith our flrm believe that public funds should not be used to bail out inefficient investments.What INDRA is designedto do is to provide relief for viable activities so that such activities can once again resume operations. Firms that are likely to fail in the restructuring process will be forced to enter liquidation. In this very real sense,the restructuring process will not provide funds for the relief of poor investments but it will provide an opportunity for sound firms to regain their footing and become productive again, Furthermore, the framework developed foresees that debtors will meet with creditors to develop, not only debt restructuring and debt relief programs, but to address such core issues as corporate reorganization and operational rationalizalion. In many caseswe are convinoed this will result in the creation of viable firms that are able to meet their debt obligations in local currency terms and allow the govemment to guarantee the repayment of the foreign exchange obligations. Creditors will see the repayment of their debt; and borrowers will have the opportunity to resume productive activities and thus contribute to the resumotion of economic srowth in Indonesia. Ladies and Gentlemen:
l)
Williarn R. Cline and Kevin J. S. Banes. "Spreads and Risks hr Ernerging Markets Lending". Washington, DC.: Institute of lntemational Finance,- (Novernber 1997).
20
Indonesia is engaged in a wide ranging reconstruction of its political, legal and economic structure. Our objective is nothing less than to lay the foundations for a modern revitalized economy. This is no simple processand it will take time to accomplishthis. But having started this process,we will not turn back. I ask you to view our efforts at corporate debt restructuring in this light. Our objective is not a bailout of inefficient or corrupt firms. Our objective is only to establish a framework in with the legitimate rights of the creditors can be protected while allowing efficient economic activities to resumeproduction. Thank you.
KEYNOTE SPEECH MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS PADA SEMINAR BISNIS INDONESIA MENGENAI IMPLIKASI REFORMASI PADA DUNIA USAHA JAKARTA.30 JUNI1998 Peftama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih kepada panitia penyelenggaraseminar atas undangannyakepada sayauntuk ikut hadir di sini dan menyampaikan pandangan saya mengenai masalah bes;aryang dihadapi bangsa kita dewasa ini, khususnya yang berkaitan dengan tema dari seminar ini, yaitu "Implikasi Reformasi pada Dunia Usaha." Tema ini mencakup aspekyang luas termasuk bidang sosial, politik, hukum dan ekonomi. Pada kesempatan ini saya ingin berbagi pandangan dengan Saudarasaudara tentang apa yang saya lihat sebagai pokok dari permasalahanekonomi nasional yang sedang kita hadapi, langkahlangkah kebijakan dan reformasi yang perlu diambil dan akhirnya apa implikasi dari semua itu bagi dunia usahauntuk beberapawaktu mendatangini. Saya akan mulai dengan keadaan ekonomi dewasaini. Secara singkat keadaan ekonomi kita sekarang dapat digambarkan sebagai perekonomian di dalam keadaankrisis. Laju inflasi melonjak tinggi, harga barang-barangkhususnyabahan-bahankebutuhanpokok terus membumbung, kegiatan ekonomi di hampir semua sektor menurun tajam dengan konsekuensi berkurangnya arus barang dan meningkatnya pengangguran. Sementaraitu jalur distribusi barang dan jasa terganggu dan arus barang seda jasa terhambat, kegiatan perdaganga.n(termasuk kegiatan ekspor yang seharusnyaterangsang oleh adanya depresiasi Rupiah yang sangat besar) merosot, perbankan nasional kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan tidak mampu melaksanakan fungsi utamanya sebagai distributor dana bagi pembiayaan kegiatan ekonomi, confidence para pelaku ekonomi, baik di dalam maupun di luar negeri, mengenai perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Tanah Air sangat rendah. Semuanyaitu jelas menggambarkansuatu keadaankrisis. Siapapun yang mengikuti keadaan akan mengambil kesimpulan yang sama, yaitu bahwa perhatian yang sangat khusus LZ
dan urgen harus kita berikan pada pembenahanekonomi. Kita dapat memastikan bahwa apabila tidak dilakukan langkah-langkah mendasar dan cepat untuk menghentikan proses spiral ke bawah, kondisi perekonomian Indonesia akan terus memburuk dari hari ke hari, dan beban ekonomi masyarakat kita makin berat. Namun saya harus mengatakanbahwa masih ada sementarakalanganyang belum menghayati urgensi dari keadaan. Penanganan masalah ekonomi tidak perlu diperlentangkan dengan langkah-langkah di luar ekonomi, sepanjangkita sendiri bertekad untuk mencari sinerginya dan bukan kontradiksinya. Di satu pihak, reformasi di segalabidang adalah cita-cita kita bersama dan merupakan suatu keharusanuntuk dilaksanakan secepatnya. Di lain pihak, penanganan masalah ekonorri yang kita hadapi saat ini juga begitu mendesak dan tidak dapat menunggu. Penanganan keadaan ekonomi saat ini sudah begitu mendesak karena menyangkut masalah perut rakyat. Oleh karena itu mutlak keadaan harus diupayakan agar tidak makin memburuk, agar supaya apa yang kita semua cita-citakan yaitu reformasi yang lancar dan damai di seluruh bidang kehidupan masyarakat kita, tidak justru berubah menjadi proses perubahan yang tidak terkendali dan dicemari oleh kekerasan. Sungguh memerlukan kearifan untuk dapat memadukan irama reformasi dan irama perut rakyat. Tapi rnarilah kita kembali sejenak ke situasi ekonomi kita. Apabila saya diperkenankan mengambil kesejajaran, keadaan ekonomi kita saat ini mirip dengan keadaan depresi yang digambarkan oleh John Maynard Keynes di 1930-an. Kegiatan ekonomi sektor swasta hampir lumpuh karena para pelaku ekonomi kehilangan confidence terhadap prospek ekonomi. Para "en.terpreneur" di dunia usaha kehilangan nyali. Sebagaiakibatnya, kegiatan ekonomi merosot, pengangguran meluas, daya beli masyarakat menurun tajam dan permintaan agregat masyarakat sangat lemah. Keadaan yang muram ini pada putaran berikutnya akan lebih menurunkan lagi minat pengusahauntuk berproduksi dan invei;tasi, yang pada gilirannya menurunkan lebih lanjut daya beli rrasyarakat dan permintaan agregat. Proses spiral ini akan terus berlanjut dan membawa perekonomian ke situasi yang makin memburuk. Diperlukan langkah yang mendasar untuk membalik proses spiral ini. Dalam keadaan seperti ini satu-satunyalembaga
z3
yang mempunyai potensi untuk melakukan pembalikan proses tersebut,menurut Keynes, adalah pemerintah. Analogi keadaan kita sekarang dengan keadaan depresi tahun 1930-an cukup dekat. Namun apabila kita renungkan lebih lanjut sebenarnya keadaan kita saat ini lebih mendekati keadaan suatu perekonomian yang baru saja dilanda peperangan.Dalam keadaan seperti ini bukan hatya daya beli masyarakat sangat merosot dan permintaan agegat yang menurun tajam, tetapi juga terjadi berbagai hambatan dan kerusakan pada sisi produksi dan distribusi, alau singkatnya sisi suplai, dari perekonomian. Gangguan pada sisi suplai ini mencakup hambatan dan kerusakanfisik, seperti masalah keamanan angkutan antar daerah, kerusakan pabrik-pabrik dan pusat-pusat distribusi sebagai akibat dari kerusuhan dan gangguan yang bersifat kelembagaan seperti macetnya sistem pembayaran lewat perbankan, ditolaknya LIC yang dibuka oleh perbankan nasional dan sebagainya. Sekali lagi keadaan kita mirip suatu perekonomian yang habis dilanda perang. Baik sisi permintaan maupun sisi penawaran (suplai) harus dibangun kembali. Kemampuan sektor swasta untuk menjadi motor penggerak ekonomi harus dibangkitkan kembali dan iklim yang menunjang diciptakan. Namun dalam jangka pendek hanya pemerintah yang dapat diharapkan mulai menggerakkankembali kegiatan ekonomi. Peranan pemerintah dalam situasi seperti ini ada dua macam, yaitu peranan langsung dan peranan tidak langsung. Peranan langsung pada gilirannya meliputi dua hal. Pertama, melalui peningkatan pengeluarannya, pemerintah dapat membantu mengangkat kembali permintaan agregal. Ini yang disebut pump priming: pengeluaran pemerintah dimaksudkan untuk memancing agar kegiatan swastabergulir kembali. Mengingat keterbatasandana yang ada pada pemerintah, kebijakan ini hanya dapat dilakukan secara terbatas dan untuk sementara. Termasuk dalam upaya ini adalah rnengarahkarrpengeluaran pemerintah pada simpul-simpul strategis perekonomian agar kegiatan ekonomi bergulir kembali. Sebagaicontoh upaya crash progrqm yang dilaksanakanpemerintah di bidang produksi pangan untuk mengejar musim tanam bulan Juli ini. Dengan menyediakan benih, penyuluhan serta subsidi untuk beberapa sarana produksi, produksi pangan diharapkan meningkat, daya beli di pedesaandan lapangan kerja tercipta, atau singkatnya ekonomi pedesaanbergerakkembali.
Peranan langsung pemerintah yang kedua dalam situasi krisis adalah penyediaan social safety net bagi kelompok-kelompok masyarakat yang paling parah terkena dampak krisis, yang mencakup pengamanan penyediaan kebutuhan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup dan denganharga yang terjangkau, kalau perlu dengan subsidi, serta program padatkarya untuk menciptakan lapangan kerja dan daya beli secaratersebardi masyarakat. Strategi kebijakan fiskal seperti yang digambarkan di atas itu saat ini sedang kita laksanakan. Untuk tahun 7998199 ini kita merencanakan semacam pump priming melalui defisit anggaran (dalam arli konvensional IMF) dalam jumlah yang aman menurut perhitungan ekonomi makro dan sekaligus kita mengarahkan dana yang tersedia untuk social safety net, program padat karya dan intervensi pada simpul-simpul strategis perekonomian. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa defisit fiskal tersebut samasekali tidak boleh ditutup dengan pencetakan uang dan seluruhnya harus dibiayai dengan sumber-sumber yang tidak menimbulkan tekanan inflasi. Pada saat ini sumber tersebut tidak bisa lain adalahbantuan luar negeri. Inilah yang saatini sedangkita upayakan melalui diplomasi yang intensif. Defisit anggaran kita patok sebesar 8,5yo dari PDB dan kita sedang usahakan pembiayaannya dari peningkatan bantuan luar negeri. Bersamaan dengan itu kita juga melakukan realokasi pengeluaran pemerintah ke arah pos-pos pengeluaran yang sejalan dengan prioritas yang saya sebut di atas. Sasaran-sasaranfiskal dan moneter yang tercantum dalam kesepakatan kita dengan IMF memberikan kerangka makro yang konsisten bagi strategi ini. Sekarang saya beralih kepada peranan tidak langsung dari pemerintah, yang sebenarnya justru lebih penting karena menyangkut penangananfaktor mendasarpenyebab krisis ini, yaitu upaya untuk mengembalikan confidence, baik para pelaku di dalam negeri maupun para pelaku ekonomi di luar negeri. Runtuhnya confidence inilah yang menjadi penyebab mengapa krisis di Indonesia lebih parah dari krisis serupa di negara lain. Upaya pengembalian confidence ini sangat kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan masyarakat yang perlu dibenahi secara mendasar. Peranan pemerintah sangat menentukan, tetapi tidak kalah pentingnyajuga peranan masyarakat dan dunia usaha sendiri. Faktor-faktor apa yang penting dalam upaya mengembalikan 25
confidence ini? Di sini saya hanya akan memberikan garis besamya saja. a.
Faktor yang paling mendasar adalah pengembalian rqsa qmqn di antara para pelaku ekonomi, dan ini harus dimulai dengan pengembalian rasa aman kepada para pelaku ekonomi dalam negeri sendiri. Dalam masa sulit seperti sekarang ini, kita kembali diingatkan kepada cita-cita para pendiri Republik ini, dan juga cita-cita kita semua, untuk membangun suatu negara yang dapat melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk seluruh warga negaranya,apapun agamalyq sukunya dan warna kulitnya. Kita melihat bahwa pemerintah sedang berusaha keras mengembalikan suasana tertib dan aman di seluruh pelosok Tanah Air. Namun jelas bahwa peranan dan keikutseftaan seluruh masyarakatsendiri, termasuk dunia usaha, untuk menormalkan kembali suasanasangatdiperlukan,
b.
Faktor kedua yafig sangat menentukan pengembalian con/idence adalahstabilitas sosial dan politik dalam negeri. Ini adalah pekerjaan rumah bagi bangsa kita dan masyarakat internasional mengamati dengan cermat langkah-langkah kita. Kita semua berharap agar tokoh-tokoh politik kita dengan penuh kearifan dapat mencapai konsensus yang mantap mengenai program reformasi politik yang akan memberikan landasan mantap bagi upaya pembenahan dan stabilisasi ekonomi yang tidak dapat kita tunda-tunda lagi. Kita semua wajib mendahulukan kepentingan seluruh bangsa dan masyarakat.
c.
Faktor ketiga yang sangat penting pula untuk mengembalikan confidence dapat dicakup dalam konsep good governance,baik disektor pemerintah Qtublic governance) maupun di sektor swasta (corporate governance). Masalah governance ini sangat penting bagi pemantapan confidence karena memberikan kepastian mengenai aturan main yang berlaku untuk semua pelaku secaraadil dan transparan.Termasuk dalam kategori ini adalahberbagai langkah untuk menyempurnakansistem hukum dan peradilan di Indonesia (reformasi bidang hukum). Juga termasuk di sini adalah upaya-upaya deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang untuk menghilangkan hambatan-hambatan birokrasi serta praktek-praktek KKN di pemerintahan dan dunia usaha. Juga termasuk dalam tema good /6
governance adalah upaya untuk menghilangkan praktekpraktek monopoli di berbagai sektor, khususnya praktekpraktek monopoli yang bersumber dari adanya ketentuanketentuan pemerintah yang menghambatterciptanya persaingan yang sehat serta level playing field bagi dunia usaha. Apabila monopoli tidak dapat dihindari (misalnya karena tuntutan teknologi seperli di sektor pelayanan umum atau public utilities), maka harus diciptakan aturan-aturan pengendalian monopoli yang efektif dan transparan. Yang tidak boleh dilupakan juga upaya untuk meningkatkan mutu, standar, dan penyebaran informasi yang penting bagi para pelaku ekonomi, termasuk di sini peningkatan standar akuntansi, penyediaan informasi w ajib (discI osure) oleh perusahaan-perusahaan. Inti dari upaya untuk menciptakan good governance adalah terbentuknya sistem check and balance bagi semua proses kegiatan ekonomi sehingga penyimpangan-penyimpangandan praktek-praktek KKN dapat dihindari sejauh mungkin. Kesepakatan kita dengan IMF memuat secara rinci langkahlangkah kongkrit, serta jadwal pelaksanaannya,menuju good governance. d.
Faktor keempat yang juga sangatmenentukan keberhasilankita dalam membangkitkan kembali kehidupan ekonomi nasional adalah pembenahan sektor perbankan. Saya tidak perlu mengulang di sini apa yang telah diumumkan pemerintah mengenai langkah-langkah yang akan kita ambil di bidang ini. Sektor perbankan dapat diibaratkan sebagai jantung yang memompakan likuiditas ke seluruh perekonomian untuk mendukung transaksi dan kegiatan ekonomi. Pembenahan sektor perbankan dimaksudkan untuk memfungsikan kembali dua peranan pokok perbankan yaitu sebagai distributor dana bagi perekonomian serta sebagai pelaku sentral dalam sistem pembayaran nasional dan internasional. Pembenahan sektor perbankan nasional ini nanti akan menuntut diambilnya langkah-langkah yang berat dan pahit. Langkah-langkah itu memang harus diambil, apabila kita menghendaki untuk keluar dari krisis yang kita hadapi sekarang ini. Satu hal yang perlu kita tekankan terus menerus kepada masyarakat adalah bahwa dengan adanyasistem penjaminan oleh pemerintah maka semua simpanan dan piutang masyarakat yang ada di bank tetap aman
27
dan dijamin penuh oleh pemerintah, meskipun bank-bank itu sendiri mengalami proses restrukturisasidan pembenahan, Demikianlah, kita melihat bahwa untuk dapat keluar dari krisis, kita harus melakukan reformasi dalam arti luas. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah implikasi dari reformasi tersebut bagi dunia usaha?Saya percaya masing-masingpelaku dunia usahadapat menarik sendiri implikasi-implikasi dari program untuk mengentaskan diri dari krisis yang saya sebutkan di atas. Namun beberapa hal dapat saya sampaikan disini untuk pemikiran lebih lanjut. a.
Untuk melepaskan diri dari krisis maka seluruh energi dari bangsaperlu dipadukan, termasuk dari dunia usaha,masyarakat dan pemerintah. Perahu kita sedangdilanda badai dan sewaktuwaktu dapat tenggelam. Memperuncing perbedaanpandangan di antara kita sendiri tidak akan membantu dan justru dapat mempercepatkapal kita tenggelam. Dalam suasanasulit seperti sekarang ini, seharusnya tujuan kita bersama adalah untuk saling memberi dukungan moral untuk memperkuat rasa percaya diri sebagai bangsa untuk keluar dari krisis. Prediksiprediksi yang terlalu pesimis mengenai prospek ekonomi kita, yang dibuat oleh sementara kalangan di antara kita sendiri, justru dapat memperlemah rasa percaya diri kita sebagai bangsa. Prediksi yang realistis tidak harus pesimistis yang berlebihan, sehinggajustru menakutkan diri kita sendiri. Hutya apabila kita sebagai bangsa dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita punya tekad bulat dan rasa percayadiri untuk dapat keluar dari krisis ini, maka dunia luar akan juga mempunyai rasa hormat dan mempunyai confidence terhadap Indonesia. Apabila kita sendiri ragu, tidaklah realistis kita mengharapkan dunia luar mempunyai kepercayaanterhadap kita, Kebangkitan confidence sebagai landasan kebangkitan ekonomi kita harus pertama-tamaberasal dari diri kita sendiri.
b.
Optimisme yang realistis harus melandasi sikap kita. Di tengahtengah suasana yang kurang menguntungkan ini pasti ada celah-celah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh dunia usaha kita. Ekspor adalah bidang yang sangat menjanjikan karena kurs rupiah saat ini sangat kompetitif. Hambatan-hambatan terhadap kegiatan ekspor harus dapat kita pecahkan bersama, dengan itikad yang semurni-murninya dari semua pihak untuk 28
kepentingan ekonomi nasional melalui peningkatan penerimaan devisa yang benar-benar akan dibawa ke dalam negeri untuk memperkuat kegiatan ekonomi kita. Kegiatan-kegiatan yang mengandalkan pada sumber alam (resource-based industr ies) juga merupakan sektor potensial yang perlu digarap. Sektor pertanian juga nampaknya mempunyai daya tahan yang cukup baik dalam krisis ini. Apabila iklim menunjang, sektor peftanian rakyat, dengan dukungan sewajarnyadari pemerintah, akan dapat bangkit kembali dengan cepat.Demikian pula sektor seperti pariwisata akan dapat menjadi sektor andalan untuk mengangkat kembali ekonomi kita, begitu masalah keamanan dan persepsi mengenai kestabilan sosial politik di dalam negeri mulai tertanam di kalangan para wisatawan. Sementara itu dunia usaha harus pula menyiapkan diri untuk menghadapi terjadinya reorientasi, pergeseran serta restrukturisasi di bidang masing-masing, sebagai akibat dari langkah-langkah reformasi mendasar yar'g kita ambil. Perubahan aturan main akan diikuti oleh proses seleksi pelakupelaku dunia usaha yang lebih wajar dan lebih alamiah. Dunia usaha harus siap menghadapi suasana baru seperti ini. Barangkali buku Charles Darwin perlu kita bacalagi. d.
Kita mengharapkan bahwa reformasi perbankan dapat kita laksanakan sebaik-baiknya sehingga sumber-sumber kegiatan dalam kegiatan ekonomi berangsur-angsur akan terbuka kembali secara normal. Dalam suasana inflasi yang tinggi seperti sekarang ini, kebijakan moneter tidak dapat tidak harus tetap ketat untuk membendung psikologi hiperinflasi agar tidak meluas. Namun dalam suasanaini pun akan selalu diupayakan bagaimana dapat mengalirkan kembali sumber-sumber pembiayaan, terutama bagi kegiatan-kegiatanyang vital seperti ekspor, produksi pangan, usaha kecil dan menengah, dan sebagainya. Suku bunga akan menurun apabila inflasi dapat diturunkan. Kita berharap bahwa laju inflasi yang luar biasa tingginya tahun ini akan cepat dapat diturunkan mulai tahun depan apabila c onfidenceberangsur-angsurpulih. Arus reformasi yang sedang kita jalankan mencakup pula reformasi dalam praktek-praktek di dalam masing-masing usaha, yaitu reformasi untuk membangun good colporqte governance. Dunia usaha kita harus siap untuk mawas diri dan 29
melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam pengelolaan usaha mereka berdasarkan standar yang diterima secara internasional. Di masa lalu kita mempunyai berbagai pengalamanyang kurang baik mengenai corporate governqnce. Namun dengan adanya krisis, kita sekarang makin menyadari bahwa good corporate governance menjadi paspor bagi dunia usaha kita untuk dapat diterima oleh masyarakat dunia usaha internasional. Tidak dipercayanya laporan-laporan keuangan kita oleh dunia internasional serta ditolaknya LIC kita oleh bank-bank di luar negeri adalah contoh-contoh konkrit bagaimana corporate governance yang di bawah standar mengakibatkan pengucilan dunia usaha kita oleh dunia usaha internasional,dengan akibat-akibat yang sangatmerugikan. f.
Dalam era reformasi dunia usaha nasional perlu juga menghayati pentingnya informasi sebagai sumber keunggulan kompetitifnya. Usaha memanfaatkansecaramaksimal informasi usahadan informasi pasar,baik di dalammaupun di luar negeri, perlu dimulai dari sekarang.
Demikianlah sambutansayauntuk mengawali seminarhari ini. Saya telah mencoba menguraikan mengenai masalah yang kita hadapi dewasaini, langkah-langkah yang kita ambil, reformasi yang harus kita laksanakan serta implikasi-implikasinyabagi dunia usaha nasional. Saya yakin, dan kita semua harus yakin, bahwa dengan tekad bulat dan rasa percaya diri bangsakita pasti dapat keluar dari cobaan ini. Kita menyadari bahwa langkah-langkah yang harus kita laksanakarr cukup berat. Kita menyadari pula bahwa urgensi permasalahanmenuntut kita untuk menghindari keterlambatansefta kesalahandalam langkah-langkah kita. Ini mengingatkan saya pada poster yang terpampang pada kantor Angkatan Udara Amerika Serikat, yang berisi pesan kepada para pilot mereka yang berbunyi: "The skf is safe, but there is no room for error". Slogan ini bisa kita adaptasiuntuk keadaankita saat ini, dan barangkali berbunyi"there is a way out of the present crisis, but there is no room for enor". Semogakita selaludiberi bimbingan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih dan selamatberseminar.
30
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS, DR. BOEDIONO PADA RAKER WAKIL GUBERNUR SELAKU KETUA TP-P2W. DI JAKARTA 20-21 JULI 1998 Ibu Menteri Negara Peranan Wanita, para peserta Raker dan para hadirin yth, 1.
Saya sangat berbahagia karena hari ini saya dapat ikut menyambut terselenggaranya Rapat Kerja Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dan para Wakil Gubernur KDH Tingkat I selaku Ketua Tim Pengelola Peningkatan Peranan Wanita (TP-P2W) Dati I se-Indonesia.
2.
Kita mengetahui bahwa program P2-W bersifat lintas sektor dan lintas bidang, dengan pelaksanaannyayang menyangkut instansi pusat dan daerah, dan bahkan juga melibatkan organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar pemerintahan, termasuk misalnya Tim PenggerakPKK, organisasi-organisasi Wanita, Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya. Oleh karena itu titik koordinasi yang kuat untuk perencanaan dan pelaksanaan di tingkat daerah, seperti TPP2W, sangat diperlukan. Oleh karena itu pula, saya melihat bahwa rapat kerja ini sangatpenting.
3.
Perkenankan saya dalam kesempatan yang baik ini menyampaikan 2 hal. Pertama, pandangan saya mengenai peranan wanita sewaktu bangsa kita sedang dirundung keprihatinan karena krisis yang berkepanjangan seperti sekarang ini. Dan kedua, mengenai operasionalisasi perencanaanyang didasarkan pada pendekatan komprehensif mengenai peningkatan peranan wanita dalam pembangunarT. Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah suatu kenyataan bahwa dalam masa krisis atau masa tidak normal, dampak negatif dari memburuknya keadaan secara tidak proporsional jatuh pada kaum wanita dan anak-anak. Merekalah yang pada akhirnya menanggung beban terberat dari situasitidak normal tersebut. a1 JI
4.
Dalil tersebut terbukti dimana-mana, di Ruwanda, Kuwait, Afganistan, di negara-negaraBaltik, dll. Di negara kita hal ini terbukti dari peristiwa kerusuhan yang terjadi baru-baru ini. Untuk beberapa waktu, di beberapa tempat di tanah air, law qnd order runtuh dan korban terbesar adalah kaum wanita. Peristiwa ini tentu sangat kita sesalkan dan tidak boleh terjadi lagi di Bumi Per-tiwi ini. Peristiwa itu mencorengmuka kita di antara bangsa-bangsaberadab. Akan memakan waktu lama untuk menghapus corengan tersebut. Keamanan dan keselamatan pribadi adalah kebutuhan paling mendasar bagi setiap orang, laki-laki maupun wanita, anak-anak maupun dewasa. Tetapi dalam situasi breakdown of law and order wanita dan anak-anaklah yang paling rawan kehilangan keamanan dan keselamatan dirinya, yang terenggut hak asasinya.Oleh karena itu, menurut pandangansaya, salah satu pilar dari masyarakat beradab adalah adanya keberpihakan dalam penegakanlaw and order kepada wanita dan anak-anak,
5.
Keberpihakan seperti ini harus dikembangkan sebagai nilai dasar masyarakat. Gallantry bukanlah nilai masa lalu yang tidak lagi relevan pada jaman sekarang. Sebaliknya gallantry merupakan salah satu fondasi dari kehidupan masyarakat modern yang memberi warna moral kepadanya. Menurut pendapat saya, jiwa kesatria, gallantry, dan sikap untuk siap melindungi yang lemah atau membela mereka yang rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasinya, merupakan nilai moral yang perlu ditanamkan sejak anak-anak, di rumah, di sekolah maupun di masyarakat luas dalam bentuk contohcontoh kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi bagian yang mantap dari watak bangsa. Potensi yang luar biasa dari kaum wanita dalam pembangunan akan menjadi kenyataan apabila, dan hanya apabila, hak-hak dasar mereka benar-benar dilindungi dan diamankan.
6.
Demikianlah, masa krisis atau masa tidak normal menggarisbawahi prioritas yang paling utama dalam upaya peningkatan peranan wanita, yaitu perlindungan hak asasinya. Di banyak negara berkembang dalam keadaan yang bukan krisis atau dalam keadaan normal pun, masalah hak asasi wanita perlu terus mendapat perhatian. Masalah kultur, sikap umum masyarakat dan penegakan hukum seringkali .JZ
menimbulkan bias yang tidak menguntungkan kaum wanita. Bahkan di negara-negarayangsudahmaju dan di masanormal pun bias dan kesenjanganmasih seringkali terjadi antara lakilaki dan wanita. Oleh karena itu upaya-upaya khusus perlu dilakukan untuk peningkatan peran aktif wanita baik sebagai pelaku maupun penikmat hasil pembangunan.Di negara kita, kita melaksanakanprogram P2W sebagaiupaya-upayake arah itu.
7.
Program P2W telah memberikan hasil dan akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Bagaimana meningkatkannya selanjutnya?Perkembangan pemikiran di tingkat internasional akhir-akhir ini mengarah kepada upaya penanganan secara lebih komprehensif masalah keterlinggalan wanita, yailu yang kita kenal denganpendekatan gender terhadap pembangunan. Pendekatan ini menuntut upaya peningkatan peran wanita di dalam pembangunan yang lebih mendasar lagi, yaitu dengan mengupayakan kemitrasejajaran yang harmonis arftara pria dan wanita ke dalam setiap tahap pembangunan ---termasuk tahap perenca\aan, tahap pelaksarraarr,tahap pemantuan, maupun tahap pengendalian--- dan hal itu dilaksanakan di seluruh sektor pembangunan. Pendekatan gender dalam pembangunan memperhatikan adanyakelompok sasaranyang terbagi atas kaum pria dan kaum wanita yang masing-masing memiliki potensi, aspirasi, kepentingan dan kebutuhan yalg berbeda, sehinggamemerlukan pendekatanyang berbedapula. Apabila kita bermaksud untuk meningkatkan program P2W menuju ke program yang komprehensif dan terintegrasi tersebut, maka berbagai persiapanperlu dilakukan, Yang jelas cara pendekatan yang komprehensif tersebut akan merupakan tantangan baru bagi para Wagub, bagi TP-P2W dalam tugasnya untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan peran wanita. Hal ini juga merupakan agendapenting bagi seluruh instansi sektoral, yang pada tingkat daerah termasuk semua instansi vertikal atau instansi dinas daerah untuk menyesuaikan tata kerjanya dengan paradigma baru tersebut.Apa persiapan-persiapanitu? Berikut ini beberapa hal yang menurut hemat saya perlu mendapat perhatian:
JJ
9.
Pertama, perlu bagi semua instansi yang terkait untuk mempunyai satu pengertian dan satu bahasa dalam masalah pendekatan terhadap peran wanita ini, yaitu yang kita sebut tadi dengan nama pendekatan gender. Penjabaranlebih lanjut mengenai pendekatan ini, khususnya mengenai apa dan bagaimanamengintegrasikanperananwanita pada setiaptahap perencanaan pembangunan perlu dilakukan dengan cermat. Dan masing-masing sektor akhirnya harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai hal-hal ini. Ini menentukan prosessosialisasi.
1 0 . Kedua, perlu bagi instansi sektoral baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk mengembangkantolok ukur bagi keberhasilan pembangunan sektoral masing-masing ditinjau dari pendekatan gender serta bagi perencanaan pembangunan selanjutnya. Tolok ukur ini dikenal dengan indikator gender. Saat ini, melalui kerjasamaantaraBappenas, seluruh instansi sektoral termasuk kantor Meneg Peranan Wanita dan BPS sedang dirampungkan pengembangan indikator gender menurut sektor tersebut. Barangkali hasil awalnya belum benar-benar sempurna,tetapi akan merupakan titik tolak bagi penyempurnaanselanjutnya. 1 1 . Ketiga, perlu dukungan dari instansi sektoral baik di pusat maupun di daerah untuk mempersiapkan data-data serta informasi yang diperlukan bagi upaya menelaah keberhasilan pembangunan sektoral tersebut. Tanpa adanya aliran data dan informasi yang teratur dan terpercaya, maka indikator yang telalr terbentuk tidak akan banyak manfaatnya.Seringkali data yang diperlukan tersebut berupa data kuantitatif yang perlu disediakan secara disagregasi berdasarkan gender, laki-laki dan perempuan. Dengan demikian sistem pengumpulan serta penyediaan data menjadi salah satu agendautama bagi semua instansi yang terkait di pusat maupun di daerah.Dengan data yang dirinci berdasarkan jenis kelamin diharapkan perencanaan pembangunan yang dilakukan lebih tajam dan lebih responsif terhadap gender. Pengembangan sistem informasi yang handal merupakan salah satu prasyarat utama bagi pendekatanbaru tersebut. 12. Keempat, perlu bagi instansi sektoral unfuk mengupayakan suatu pemahaman, pengetahuan, serta keterampilan dari ai
seluruh perencana dan pelaksana sektor baik di tingkat pusat maupun di daerah mengenai pendekatangender itu sendiri dan bagaitnana mengimplementasikan-nya ke dalam proses pembangunan. Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem komunikasi dan informasi yang terpadu oleh berbagai pihak. Selain itu juga perlu dilakukan suatu pelatihan yang secara intensif memberikan pengetahuan sefia keterampilan mengenai bagaimana mengimplementasikan pendekatan gender ke dalam prosesperencanaanpembangunan. lJ.
Kelima, adalah perlunya kesepakatan kita semua untuk menerapkanpendekatangendertersebutke dalam perencanaan tahap selanjutnya. Hasil telaah pembangunan yang telah berjalan dalam periode pembangunansebelumnyaberdasarkan indikator gender dapat merupakan masukan bagi perencanaan pembangunan mendatang. Untuk itu diharapkan perencanaan pembangunan masing-masing sektor baik di pusat maupun di daerah nantinya sudah dapat mengandung wawasan kem itras ejajar arr y aftg harm onis antara pr ia dan w anita dengan pendekatangender.
1 4 . Selain program khusus wanita dan program-program utama sektor yang telah mengandung wawasan kemitrasejajaranpria dan wanita, upaya peningkatan peranan wanita juga terintegrasi dalam program-program pembangunan lainnya, terutama program-program yang mempunyai visi pemberdayaan masyarakat. Perjalanan kita menunjukkan bahwa program-program terobosan tersebut terbukti turut mempercepatproses memampukan wanita dalam menjalankan perannya secara optimal dan berkualitas. Keberpihakan program terhadapkaum yang tertinggal, termasuk di dalamnya wanila, menjadikan program tersebut lebih efektif dalam upaya pemberdayaan tersebut. Dengan demikian programprogram semacam ini juga perlu menjadi perhatian TP-P2W dalam menjalankan fungsinya.
l5
Demikian uraian saya, namun sebelum saya mengakhiri sambutan saya, perkenankan saya menggarisbawahi beberapa pokok yang saya uraikan. Pertama, dan sangat mendasar adalah pentingnya melindungi keamanan dan keselamatan, serta hak asasi kaum wanita. Hal ini sangat penting apabila kita menginginkan kontribusi optimal dari kaum wanita
terhadap pembangunan. Upaya penegakan law qnd order harus berpihak dan memberi perhatian khusus kepada wanita dan anak-anak, apalagi dalam keadaankrisis atau situasi tidak normal. Dalam kaitan ini saya sebutkan bahwa peranan pendidikan dan penerangan sangat menentukan dalam jangka patjang, apabila kita menginginkan jiwa ksatria dan gallantry menjadi bagian watak bangsa. Kedua, dalam keadaan normal pun perlu adanya perhatian khusus untuk menjamin agar peranan wanita dalam pembangunan dapat sejajar dengan kaum pria. Pendekatan gender dalam pembangunan merupakan cara yang komprehensif untuk mencapai hal ini pada setiap tahap pembangunan.Namun, persiapan-persiapan harus dilakukan untuk itu, termasuk penyatuan bahasa bagi semua instansi, pengembangan indikator gender sektoral, pengembangansistem pengumpulan data dan informasi yang baik, penyiapan dan pelatihan pelaksana-pelaksananya,dan sebagainya.Bappenas akan mendukung upaya-upaya ke arah ini. Seperti yang tersirat dalam uraian saya tadi, langkahlangkah untuk memantapkan peranan wanita tidak harus berupa tambahan dana, tetapi lebih kepada reorientasi prioritas, penyempurnaan pendekatan serta peningkatan koordinasi. Di sini peran para Wakil Gubernur dan TP-P2W saya anggap sangatmenentukan, Sekian dan terima kasih.
36
Addressing the Social Cost of the Indonesian Crisis Remarks by Dr. Boediono Minister of State for National Development Planning/ Chairman of Bappenas Paris July 29,1998 Mr. Chairman, Distinguished Delegates,Ladies and Gentlemen: This is, perhaps, the most important Consultative Group meeting in decades.The last year has been extremely difficult and the year ahead promises to be no less of a challenge. There are critical and pressing issues in the economy, political development, and legal reform. However, of all of the tasks we face none is greater, more urgent or more difficult than addressing the social costsofthe crisis. Your presencehere,your work on our behalf and your concern over this issue are very much appreciated. As the video pointed out, we have been taking credit for reducing poverty, raising school enrollment, improving infant and maternal morlality and raising life expectancy for many years now. And as proud as we were of our economic growth, we were even more proud of theseachievements. All of this has changed.While it is still too soon to count the toll, over the last year we have suffered unacceptablesetbacksin all of these areas and more. I assure you that we cannot and will not concede these gains easily. Success in protecting these social accomplishments will determine not only whether we defend our achievementsbut whether we maintain sufficient social stability for the economy to recover. We must securethe short term welfare for those most at risk, while maintaining the flow of resourcesto those areas that will allow us to maintain or even acceleratepositive precrisis trends. Progressin these areasis, after all, the ultimate goal of development. What is our strategy in the face of these difficulties?
First, let me be honest, the social safety net is a broad and rather fuzzy concept. Nevertheless,we are thinking about support in three broad areas.First, we have to maintain transitional support for basic necessitiesto make them more accessibleto swelling numbers of the poor, while the economy adjusts to the exchangerate shock. Second, in a process that many of you may be familiar with, we have redesigned the budget to maintain spending in health and education at pre-crisis levels. Third, we are allocating additional resources for programs to create employments for the poor and reorient the other programs and projects supported by the national budget such that they are as labor intensive as possible. Let me discusssubsidiesfirst. The speed and decline in the value of the rupiah was unprecedented.Subsidies on food and fuel cover significant percentages of the budgets of the poor and are critically important to even those who are better off. Allowing these prices to move with the exchangerate would have added to already high levels of social distress.Rapid reduction at this point would almost cerlainly be counterproductive to managing the political and economic reform process we are putting in place. Thus we are forced to accept the logic of the subsidies.However, we fully appreciate the difficulties they create. They are currently budgeted at over 6Yo of GDP. They hold down the returns to farmers and others who produce the commodities. And furally, with the rupiah above 10,000 to the dollar, subsidizedproducts are being sold at prices that make them attractive as exporls. This situation is not sustainable,it puts tremendouspressureon the budget, mis*allocates resources,and risks being lost abroad. T'he key to reducing the level of subsidies is the recovery of the rupiah, and this is the goal of our overall economic strategy. However, we cannot passively wait for this to happen, as ws cannot be ceftain about either the ultimate level or timing of the recovery in the rupiah. There are several yyaysto reduce these subsidies.First, we need to target them to those who need them most. This is part of our poverty suppoft efforts such as the coupon based project to deliver rice to thosemost in need. Second,we needto establishhow rnuch we can afford and carefully determine which subsidies provide the greatest benefit to the greatest number and clearly publicize this information. The elimination of the subsidyon wheat to begin in October is an important step in this area. To reach the
38
poor, limited funds are better spent on rice and soybeans.However, our greatest challenge is in educating and raising people's awareness.Very few consider themselves so well off that they are undeserving of subsidies on gasoline, or cooking oil, or other commodities, or worse yet, are unaware of the cost of delivering these subsidies to them. We must do a better job of explaining the consequences,while, at the same time, working to better target those in need. The second major safety net effort is social sector spending. With the latest budget we will be able to protect health and education spending at 96/97 or 'pre-crisis' levels. This has, however, required the largest set of revisions to the budget that we have ever undertaken. We have had to review the entire portfolio of rupiah financed as well as donor assistedprojects,cancelsome,and reallocate the funds to these social sector objectives. This has definitely not been 'businessas usual'. Many of you are already,or will increasinglybe involved in this effort. Let me point out a few of these efforls. Maybe the most innovative,and well known, is the National Stay in SchoolProgram. It was the source of the video we just watched. One of our greatest fears is that many families will be forced by economic circumstancesto hold their children out of school either becauseof the costs or becausethey need the funds that the child may bring in. This desperateprivate calculus diverges widely from the social one. The income gains of the child, in an environment of high unemployment, are few. Futhermore their absencefrom school at a critical time, may destine them and society to lower productivity and earnings for a lifetime. We are directing a major effort at these children. We have targeted 70,000 schools and 1.8 million children in the primary grade, and 12,000junior high schoolsand 1.5 million studentsfor the program. We are combining an outreach program (with commercials already airing), with assistance to the schools (to reduce their need for funds from parents),and direct scholarships.A grand coalition of six ministries and a similar number of donors are working to make this program a success.We are working to complement it with an expanded school feeding program, and cognitive development efforls for poor children in selectedsettings. Finally, we are maintaining our long-standing non-formal education 39
programs to maintain opportunities for those who have dropped out, including a special effort to make sure that street and working children accessbasic education. in the health sector we are targeting the provision of generic drugs to health services extensively used by the poor. A major effort is also aimed at improving the health status of pregnant and nursing mothers and their infants. We are protecting expenditureson public health and communicable diseaseand are pushing aheadwith polio eradication and hepatitis protection. Finally, we are maintaining infrastructure investmentsin clean water and sanitation. Third, to reduce pressure on the prices of necessitiesand absorb workers we are focusing other expenditures on food production and employment generation. Again we have reoriented the budget. First, by reducing funds spent on major infrastructure projects including roads, porls, power stations etc. we can defend and even increase budgets on irrigation, and food production. Second, given the strength of INPRES block grants as locally driven, labor intensive programs we are increasing allocations in this area. Third, we have introduced a new program (padat karya). It consists of small scale efforls aimed at maintaining or upgrading existing infrastructure such as terliary irrigation networks, local schools, drainage, and road repair in rural and urban areas while hiring as many people as possible. Finally, the village oriented intiastructure suppoft component of the IDT program has been extended through the new KecamatanDevelopment Program, aimed at supporling locally initiated infrastructure projects and economic activities in poor villages. I believe that this restructuring of budget priorities marks a watershed in Indonesian development. First, new priorities have irreversibly shifted funds and decision making toward regional and local government.Second,the crisis is too large and too complex to be handled solely through public initiatives. For that reason we are encouraging those outside government to come forward with ideas and activities. To this end there is a new program called the Community Recovery Program (Program Pemulihan Keberdayaan Masyarakat). This is a grant funded private sector program that will provide assistanceto local communities in response to their proposals. Hopefully, this is the first of many programs from the
40
private sector designed to provide suppoft and assistance to communitiesand individuals in need, Finally, there is the important issue of monitoring these efforts. We know that many of these programs are getting started quickly, and under very difficult conditions. Thus we will have to provide effective, and transparent monitoring as we go. This monitoring is designed for two things, First, to make sure that the projects do not 'go astray'. Second,and more importantly,we need feedback. We need to know what is working, and whether the recipients are as intended. This will allow us to shift priorities over time. Given scarce resources,successneeds to be rewarded and failure eliminated. Fufther, in the spirit of reform, NGOs and community groups are being looked to for assistancein managing and monitoring theseeducation,and safetynet programs. Let me conclude my remarks today with an appeal. Our cooperationwith the donor community goes back several decades now, and I believe, in spite of the curent difficulties, that it has been successful. However, there is a lot at stake over the next few years, for both us and the world. Our ability to weather this crisis will depend on our ability to deliver safety net services quickly and efficiently. This will allow time for economicand political reform to take hold. I hope and trust you will join us in this endeavor. Thank you.
41
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS DALAM SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PROFESI PENILAI INDONESIA JAKARTA. 12 AGUSTUS 1998 Para peserta Seminar Nasional Masyarakat Profesi Penilai Indonesia yang saya hormati, Pertama-tama, saya ingin menyampaikan terima kasih atas kesempatan untuk memberi sambutan pada Seminar yang penting hari ini. Saya menilai usaha Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPD mengumpulkan anggotanyauntuk membahassecaraserius penyelamatandan pengamanankekayaannegara suatu langkah yang positif dan ikut membantu pemerintah dalam mengatasi masalah yang dihadapi dan keluar dari situasi yang amat sulit ini. Saya katakan membantu karena salah satu usahapemerintah untuk keluar dari kemelut ekonomi yang semakin melilit masyarakat adalah membangkitkan kembali rasa kepercayaan (confidence) di seluruh lapisan masyarakat termasuk dunia usaha serta masyarakat dunia akan kekuatan ekonomi kita. Perkenankan saya memberikan gambaran sekilas mengenai keadaan ekonomi dewasa ini dan langkah-langkah apa yang perlu kita lakukan. Secara singkat keadaan ekonomi kita sekarang dapat digambarkan sebagai perekonomian di dalam keadaan krisis. Laju inflasi melonjak tinggi, harga barang-barang khususnya bahanbahan kebutuhan pokok terus membumbung, kegiatan ekonomi di hampir semua sektor menurun tajam dengan konsekuensi berkurangnya arus barang dan meningkatnya pengangguran. Senrentaraitu jalur distribusi barang dan jasa terganggu dan arus barang serta jasa terhambat, kegiatan perdagangan (termasuk kegiatan ekspor yang seharusnyaterangsangoleh adanya depresiasi Rupiah yang sangat besar) merosot, perbankan nasional kehilangan kepercayaandari masyarakat dan tidak mampu melaksanakanfungsi utamanya sebagai distributor dana bagi pembiayaan kegiatan ekonomi, confidence para pelaku ekonomi, baik di dalam maupun di luar negeri, mengenai perkembangansosial, ekonomi dan politik di 42
Tanah Afu sangatrendah. Semuanyaitu jelas menggambarkansuatu keadaankdsis. Siapa-pun yang mengikuti keadaan akan mengambil kesimpulan yang sama, yaitu bahwa perhatian yang sangat khusus dan urgen harus kita berikan pada pembenahanekonomi. Kita dapat n:remastikan bahwa apabila tidak dilakukan langkah*langkah mendas"u'dan cepat untuk menghentikan proses spiral ke bawah, kondi'i perekonomian Indonesia akan terus memburuk dari hari ke hari. dan beban ekonomi masyarakatkita makin berat. Namun saya harur,mengatakanbahwa masih ada sementarakalangan yang belum merrghayati rrrgensi dari keadaan. Penanganan masalah ekonomi trrlak perlu dipertentangkan dengan langkah-langkah di luar ekonomi, s<:panjangkita sendiri bertekad untuk mencari sinerginya dan bukan kcntradiksinya. Di satu pihak, reformasi di segalabidang adalah cita-.citakita bersama dan merupakan suatu keharusanuntuk dilaksanakarr secepatnya. Di lain pihak, penanganan masalah ekonomi ..,angkita hadapi saat ini juga begitu mendesak dan tidak dapat merlunggu. Penanganan keadaan ekonomi saat ini sudah begitu mendesak karena menyangkut masalah perut rakyat. Oleh karrna i1.u mutlak keadaan harus diupayakan agar tidak makin rnembr,ruk, agar supaya apa yafig kita semua cita-citakan yaitu reforma,':i yang lancar dan damai di seluruh bidang kehidupan masyaiakat kita, tidak justru berubah menjadi proses perubahan yang tidak terkendali dan dicemari oleh kekerasan. Sungguh metncrlukan kearifan untuk dapat memadukan irama reformasi dan ire,maperut r;,kyat. Tapi r:arilah kita kembali sejenak ke situasi ekonomi kita. Apabila 5i11:d diperkenankan mengambil kesejajaran, keadaan ekonomi i,:ta saat ini mirip dengan keadaan depresi yang digambarkr;r oleh John Maynard Keynes di 1930-an. Kegiatan ekonomi s.:i
43
berlanjut dan membawa perekonomian ke situasi yang makin rnemburuk. Diperlukan langkah yang mendasar untuk membalik proses spiral ini. Dalam keadaan seperti ini satu-satunyalembaga yang mempunyai potensi untuk melakukan pembalikan proses tersebut,menurut Keynes, adalah pemerintah. Analogi keadaan kita sekarang dengan keadaan depresi tahun 1930-an cukup dekat. Namun apabila kita renungkan lebih lanjut sebenarnya keadaan kita saat ini lebih mendekati keadaan suatu perekonomian yang baru saja dilanda peperangan.Dalam keadaan seperti ini bukan hanya daya beli masyarakat sangat merosot dan permintaan agregatyang menurun tajam, tetapi juga terjadi berbagai hambatan dan kerusakan pada sisi produksi dan distribusi, alau singkatnya sisi suplai, dari perekonomian. Gangguan pada sisi suplai ini mencakup hambatan dan kerusakanfisik, seperti masalah keamanan angkutan antar daerah, kerusakan pabrik-pabrik dan pusat-pusat dishibusi sebagai akibat dari kerusuhan dan gangguan yang bersifat kelembagaan seperti macetnya sistem pembayaran lewat perbankan, ditolaknya LIC yang dibuka oleh perbankan nasional dan sebagainya. Sekali lagi keadaan kita mirip suatu perekonomian yang habis dilanda perang. Baik sisi permintaan maupun sisi penawaran (suplai) harus dibangun kembali. I{emampuan sektor swasta untuk menjadi motor penggerak ekonomi harus dibangkitkan kembali dan iklim yang menunjang diciptakan. Namun dalam jangka pendek hanya pemerintah yang dapat diharapkan mulai menggerakkankembali kegiatan ekonomi. Peranan pemerintah dalam situasi seperti ini ada dua macam, yaitu peranan langsung dan peranan tidak langsung. Peranan langsung pada gilirannya meliputi dua hal. Pertama, melalui peningkatan pengeluarannya, pemerintah dapat membantu mengangkat kembali permintaan agregat. Ini yang disebut pump priming: pengeluaran pemerintah dimaksudkan untuk memancing agar kegiatan swastabergulir kembali. Mengingat keterbatasandana yang ada pada pemerintah, kebijakan ini hanya dapat dilakukan secara terbatas dan untuk sementara. Termasuk dalam upaya ini adalah mengarahkan pengeluaran pemerintah pada simpul-simpul strategis perekonomian agar kegiatan ekonomi bergulir kembali. Sebagaicontoh upaya crash pragram yang dilaksanakanpemerintah dr bidang produksi pangan untuk mengejar musim tanam bulan Juli ini. Dengan menyediakan benih, penyuluhan serta subsidi untuk
44
beberapa sarana produksi, produksi pangan diharapkan meningkat, daya beli di pedesaandan lapangan kerja tercipta, atau singkatnya ekonomi pedesaanbergerakkembali. Peranan langsung pemerintah yang kedua dalam situasi krisis adalah penyediaan social safety net bagi kelompok-kelompok masyarakat yang paling parah terkena dampak krisis, yang mencakup pengamanan penyediaan kebutuhan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup dan dengan hargayang terjangkau, kalau perlu dengan subsidi, serta program padat karya untuk menciptakan lapangankerja dan daya beli secaratersebardi masyarakat. Strategi kebijakan fiskal seperti yang digambarkan di atas itu saat ini sedang kita laksanakan. Untuk tahun 1998/99 ini kita merencanakan semacam pump priming melalui defisit anggaran (dalam arti konvensional IMF) dalam jumlah yarrg aman menurut perhitungan ekonomi makro dan sekaligus kita mengarahkan dana yang tersedia untuk social safety net, program padat karya dan intervensi pada simpul-simpul strategis perekonomian. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa defisit fiskal tersebut samasekali tidak boleh ditutup dengan pencetakan uang dan seluruhnya harus dibiayai dengan sumber-sumber yang tidak menimbulkan tekanan inflasi. Pada saat ini sumber tersebut tidak bisa lain adalah bantuan luar negeri. Inilah yang saatini sedangkita upayakan melalui diplomasi yang intensif. Defisit anggaran kita patok sebesar 8,5yo dari PDB dan kita sedang usahakan pembiayaannya dari peningkatan bantuan luar negeri. Bersamaan dengan itu kita juga melakukan realokasi pengeluaran pemerintah ke arah pos-pos pengeluaran yang sejalan dengan prioritas yang saya sebut di atas. Sasaran-sasaranfiskal dan moneter yang tercantum dalam kesepakatan kita dengan IMF memberikan kerangka makro yang konsisten bagi strategi ini. Sekarang saya beralih kepada peranan tidak langsung dari pemerintah, yang sebenarnya justru lebih penting karena menyangkut penangananfaktor mendasarpenyebab krisis ini, yaitu upaya untuk mengembalikan confidence, baik para pelaku di dalam negeri maupun para pelaku ekonomi di luar negeri. Runtuhnya confidence inilah yang menjadi penyebab mengapa krisis di Indonesia lebih parah dari krisis serupa di negara lain. Upaya pengembalian confidence ini sangat kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan masyarakat yang perlu dibenahi secara 4a
mendasar. Peranan pemerintah sangat menentukan, tetapi tidak kalah pentingnyajuga peranan masyarakatdan dunia usaha sendiri. Faktor-faktor apa yang penting dalam upaya mengembalikan confidence ini? Di sini saya hanya akan memberikan garis besamya saja. a.
Faktor yang paling mendasar adalah pengembalian rasa qman di antarapara pelaku ekonomi, dan ini harus dimulai dengan pengembalian rasa aman kepada para pelaku ekonomi dalam negeri sendiri. Dalam masa sulit seperti sekarang ini, kita kembali diingatkan kepada cita-cita para pendiri Republik ini, dan juga cita-cita kita semua, untuk membangun suatu negara yang dapat melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk seluruh warga \egaranya, apapun agamanya,sukunya dan warna kulitnya. Kita melihat bahwa pemerintah sedang berusaha keras mengembalikansuasanatertib dan aman di seluruhpelosok' Tanah Air. Namun jelas bahwa peranan dan keikutsertaan seluruh masyarakat sendiri, termasuk dunia usaha, untuk menormalkan kembali suasanasangatdiperlukan.
b.
Faktor kedua yang sangat menentukan pengembalian confidence adalah stabilitas sosial dan politik dalam negeri. Ini adalah pekerjaan rumah bagi bangsa kita dan masyarakat internasional mengamati dengan cermat langkah-langkah kita. Kita semua berharap agar tokohtokoh politik kita dengan penuh kearifan dapat mencapai konsensus yang mantap mengenai program reformasi politik yang akan memberikan landasanmantap bagi upaya pembenahandan stabilisasi ekonomi yang tidak dapat kita tunda-tunda lagi. Kita semua wajib mendahulukan kepentingan seluruh bangsadan masyarakat.
c.
Faktor ketiga yaflg sangat penting pula untuk mengembalikan confidence dapat dicakup dalam konsep good governqnce, baik disektor pemerintah (public governance) maupun di sektor swasta (corporate governance). Masalah governance ini sangat penting bagi pemantapan confidence karena memberikan kepastian mengenai aturan main yang berlaku untuk semua pelaku secara adil dan transparan. Termasuk dalam kategori ini adalah berbagai langkah untuk menyempurnakan sistem 46
hukum dan peradilan di Indonesia (reformasi bidang hukum). Juga termasuk di sini adalah upaya-upaya deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang untuk menghilangkan hambatan-hambatan birokrasi serta praktek-praktek KKN di pemerintahan dan dunia usaha. Juga termasuk dalam tema good governance adalah upaya untuk menghilangkan praktek-praktek monopoli di berbagai sektor, khususnya praktek-praktek monopoli yang bersumber dari adanya ketentuan-ketentuan pemerintah yang menghambat terciptanya persaingan yang sehat serta level playing field bagi dunia usaha. Apabila monopoli tidak dapat dihindari (misalnya karena tuntutan teknologi seperti di sektor pelayanan umum atau public utilities), maka harus diciptakan aturan-aturan pengendalian monopoli yang efektif dan transparan. Yang tidak boleh dilupakan juga upaya untuk meningkatkan mutu, standar, dan penyebaran informasi yang penting bagi para pelaku ekonomi, termasuk di sini peningkatan standar akuntansi, penyediaan informasi w ajib (di scI osure) oleh perusahaanperusahaan. Inti dari upaya untuk menciptakan good governance adalah terbentuknya sistem check and balance bagi semua proses kegiatan ekonomi sehingga penyimpangan-penyimpangan dan praktek-praktek KKN dapat dihindari sejauh mungkin. Kesepakatankita dengan IMF memuat secara rinci langkah-langkah kongkrit, serta jadwal pelaksanaannya,menuju go od governance. d.
Faktor keempat yang juga sangatmenentukan keberhasilan kita dalam membangkitkan kembali kehidupan ekonomi nasional adalah pembenahansektor perbankan. Saya tidak perlu mengulang di sini apa yang telah diumumkan pemerintah mengenai langkah-langkah yang akan kita ambil di bidang ini. Sektor perbankan dapat diibaratkan sebagai jantung yang memompakan likuiditas ke seluruh perekonomian untuk mendukung transaksi dan kegiatan ekonomi. Pembenahan sektor perbankan dimaksudkan untuk memfungsikan kembali dua peranan pokok perbankan yaitu sebagai distributor dana bagi perekonomian serta sebagai pelaku sentral dalam sistem pembayarannasional dan internasional.Pembenahansektor perbankan nasional ini nanti akan menuntut diambilnya 41
langkah-langkah yang berat dan pahit. Langkah-langkah itu memang harus diambil, apabila kita menghendaki untuk keluar dari krisis yang kita hadapi sekarang ini. Satu hal yang perlu kita tekankan terus meneruskepada masyarakat adalah bahwa dengan adanya sistem penjaminan oleh pemerintah maka semua simpanan dan piutang masyarakat yatg ada di bank tetap aman dan dijamin penuh oleh pemerintah, meskipun bank-bank itu sendiri mengalami prosesrestrukturisasi dan pembenahan. Rasa confidence ini dapat dikembalikan dengan menciptakan good governance baik di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta. Good governance ini dapat diwujudkan bila setiap orang mengikuti aturan main yang baku dan mendapatkanperlakuan yang adil, dan tersedianya informasi yang cukup dan akurat bagi setiap pelaku ekonomi. Dengan demikian, dapat diusahakan berlangsungnya proses check and balance bagi setiap proses interaksi ekonomi. Dengan proses check qnd balance, praktekpraktek kecurangan dan KKN yang ingin kita hapuskan dalam era reformasi ini dapat dihindari dalam setiap interaksi. Di sinilah saya melihat usaha MAPPI dalam melakukan penilaian secara transparan dan independen sangat relevan dengan usaha pemerintah dalam mengembalikan rasa con/idence, dalam mendukung kelancaran proses reformasi dan restrukturisasi di berbagaibidang kehidupanekonomi. Profesi penilai merupakan salah satu profesi yang melibatkan banyak keahlian dan disiplin ilmu. Profesi ini belum begitu berkembang di Indonesia namun kehadirannya sangat diperlukan terutama dalam mengatasi berbagai kemelut ekonomi dewasa ini khususnya untuk mendapatkan informasi yang transparanmengenai kekayaan sesuatubadan usaha atau BUMN. Di dalam penilaian aset perlu diterapkan standar,ukuran dan kriteria yangjelas untuk semua aset yang dinilai. Di dalam melaksanakan penilaian tidak ada perbedaandi dalam menilai aset swastamaupun pemerintah ataupun BUMN. Salah satu langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah seperti restrukturisasi hutang swasta ke pihak kreditur luar negeri, penyelesaian hutang-hutang bank yang dilikuidasi, langkah-langkah untuk penyehatanbank dan privatisasi
48
berbagai BUMN, adalah mengetahui informasi yangtepat mengenai kekayaan masing-masing perusahaan atau BUMN terkait. Mengingat informasi yang diperlukan tidak hanya untuk keperluan dalam negeri, akan tetapi juga menjadi kepentingan pihak luar baik dalam rangka penyelesaianhutang maupun dalam rangka privatisasi BUMN, maka kriteria, teknik dan standarpenilaian kekayaan harus juga mengikuti apayang berlaku umum secarainternasional. Hal yang paling penting dari hasil penilaian kekayaan adalah tingkat akurasi dari nilai kekayaan yang ditaksir. Tingkat akurasi inilah yang akan menjadi salah satu penyebab kenapa penilaian atas kekayaan yang bernilai besar cenderung dilakukan oleh penilai dari luar. Usaha meningkatkan mutu penilaian sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia yang digunakan dalam melakukan penilaian. Masalah ini bukan masalah yang sederhana karena menyangkut mutu pendidikan perguruan tinggi di Indonesia atau ketersediaantenaga profesional di Indonesia yang berkualifikasi tinggi. Untukjangka pendek keterbatasantenagayang berkualitas dan berpengalaman mungkin dapat diatasi melalui kerjasama anggota MAPPI denganpihak penilai dari luar. Dari kerjasamaterjadi proses peningkatan mutu tenaga profesional Indonesia melalui transfer of knowledge. Proses ini sangat tergantung kepada kemampuan MAPPI dalam menjalin kerjasama dengan pihak luar dan membina anggotanya ke dalam. Pemerintah dalam batas-batasteftentu dapat membantu namun sesuai dengan ketentuan WTO bantuan pemerintah dalam melindungi usaha dalam negeri semakin dibatasi, sesuai dengan perkembangan era globalisasi. Kami melihat kemungkinan kerjasama dengan penilai dari luar merupakan salah satu tantangan yang perlu dipikirkan dalam mengatasi kekurangan tenaga penilai yang profesional di Indonesia dalam waktu dekat. I(iranya juga perlu dibina kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan dalam usaha menambah tenaga ahli penilai di Indonesia. Dewasa ini pemerintah tengah berusaha mengatasi berbagai masalah terutama masalah-masalahyatg berkaitan dengan kondisi ekonomi kita yang sedang dilanda krisis. Masalah-masalahtersebut antara lain penyelesaian hutang swasta ke luar negeri yang pada umumnya berjangka pendek, masalahperbankan, serta penyelesaian hukum masalah kepailitan. Kesemua masalah di atas akan sulit 49
dipecahkan tanpa adanya usaha untuk menilai kekayaan masingmasing pihak terkait. Begitu juga dengan usaha pemerintah untuk menswastakan BUMN, apakah melalui penjualan saham atau pemilihan mitra strategis sangattergantung dari penilaian kekayaan setiapBUMN. Barangkali tidak berlebihan, bila saya menyatakan krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia dewasa ini memberikan peluang besar bagi MAPPI dan anggota-anggotanyauntuk berkembang dan go international. Semua pihak; perbankan, industri, BUMN dan berbagai infrastruktur memerlukan penilaian berkaitan dengan penyelesaian hutang, penjualan atau privatisasi. Pihak yang berkepentingan bukan harya para pemilik aset yang akan dinilai akan tetapi menjadi kepentingan berbagai pihak seperti kreditur, calon investor dalam dan luar negeri dan bagi pemerintah sendiri.
50
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS DALAM MUKERNAS GAPENSI MENGENAI PERANAN SEKTOR JASA KONSTRUKSI DALAM PROGRAM STABILISASI EKONOMI JAKARTA. 24 AGUSTUS 1998
PENDAHULUAN l.
Terlebih dahulu saya ingin mengucapkan seTamatkepada pimpinan dan seluruh anggota GAPENSI yang sejak hari ini sampai dengan 26 Agustus 1998 menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional. Selanjutnya iznkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih kepada Badan Pimpinan Pusat GAPENSI yang telah memberikan kesempatankepada saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan berbagi pandangan dalam beberapa hal, khususnya mengenai prioritas program pemerintah dalam menghadapi krisis yang kita hadapi.
z.
Sebelum saya masuk ke topik pembahasan yang diminta, saya ingin mengajak Saudara-saudarupesefia MUKERNAS membuka kembali keputusan-keputusan RAPIMNAS GAPENSI dua bulan yang lalu. Ada tiga hal yang perlu saya catatdari keputusanRAPIMNAS GAPENSI yaitu: Pertama, GAPENSI ikut melakukan reformasi secarainternal dengan menghapuskanKKN di semuatingkatan organisasi; Kedua, GAPENSI menyadari krisis ekonomi yang kita hadapi menyebabkan kemampuan pemerintah membiayai pembangunansemakin berkurang; Ketiga, GAPENSI masih tegar. Walaupun mendapat pukulan berat dari krisis ekonomi, pimpinan GAPENSI mengingatkan kembali anggotanya kepada komitmen para pendiri republik ini dan juga menjadi komitmen kita bersama,yaitu semangat
Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), Citacita Proklamasi (1945), dan tetap pada cita-citapersatuan. Ketiga hal yang saya sebutkan di atas sejalan dengan langkah-langkah yang tengah dan akan diambil pemerintah, dan semangat yang melatarbelakangi usaha mengatasi krisis yang kita hadapi. PROGRAM STABILISASI EKONOMI J.
Selama lebih dari satu tahun terakhir ekonomi kita betul-betul mengalami goncangan. Laju inflasi melonjak tinggi, harga barang-barang terutama kebutuhan pokok sehari-hari terus meningkat, kegiatan ekonomi hampir di semua bidang mengalami penurunan, dan akibat yang paling pahit bagi sebagian masyarakat yaitu pemutusan hubungan kerja. Nilai rupiah yang semakin menurun mengurangi daya beli masyarakat beryenghasilan tetap. Nilai ekspor bukannya meningkat, malah semakin turun. Sektor perbankan mengalami pukulan berat. Impor bahan baku ataupun barang konsumen semakin sulit karena kesulitan pembiayaansebagai akibat dari kepercayaanluar negeri berkurang. Masalah ekonomi diperberat lagi oleh iklim yang tidak menguntungkan (El Nino), sehingga produksi pangan berkurang, dan kebutuhan akan impor bahan pangan semakin besar. Masih segar dalam ingatan kita, pada saat penurunan ekonomi beberapa bulan yang lalu, wabah demam berdarah merebak dimana-mana. Sebagian hutan di Kalimantan dan Sumatera terbakar, dan menimbulkan gangguan asap di negaratetangga.Akibatnya arus wisata di Indonesia menurun dengan cepat.
4.
Cobaan dan berbagai masalah yang datang bersamaantelah menimbulkan keputusasaandan kehilangan rasa confidence sebagianbesar masyarakatdan pelaku ekonomi. Untuk keluar dari kemelut ekonomi yalg semakin menyengsarakan masyarakat, pemerintah telah merumuskan program stabilisasidan reformasiekonomi. Program stabilisasi ekonomi yang pada intinya mengembalikan confidence masyarakat terutama para pelaku ekonomi diikuti dengan langkah-langkahreformasi di bidang JZ
politik, hukum, dan ekonomi. Di samping itu, dilakukan upaya-upaya untuk menangani langsung masalah-masalah konkrit di bidang ekonomi dan moneter yang mendesak.
6.
Langkah-langkah yang diambil kepercayaanmasyarakatmeliputi:
dalam mengembalikan
a.
Upaya untuk menciptakan kembali rasa aman pada semua pelaku ekonomi dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakatpada umumnya;
b.
Upaya untuk menggalang konsesus politik sebagai landasan bagi terciptanya suasana sosial dan politik dalam negeri yang stabil;
c.
Langkah-langkah untuk memperbaiki governance, baik di sektor pemerintah (public governance) maupun di sektor dunia usaha(corporate governance);
d.
Pembenahandan pengembaliankepercayaanmasyarakat terhadap sektor perbankan yang merupakanjantung bagi aliran pembiayaan kegiatan ekonomi dan pelaksanaan sistem pembangunannasional.
Langkah a dan b di atas dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh hasil sesegera mungkin, sedanglangkah c dan d dilakukan dengan jangka waktu yang relatif lebih lama, tergantung dari komitmen kita melaksanakanreformasi. REFORMASI DI BIDANG EKONOMI DAN MONETER
7.
Jalur lain yaitu langkah-langkah khusus di bidang ekonomi dan moneter meliputi hal-hal sebagaiberikut: a.
Prioritas peftama diberikan kepada empat hal yaitu: .
Mengamankan penyediaan kebutuhan bahan-bahan pokok masyarakat denganharga yang terjangkau;
r
Mencegahterjadinyahiperinflasi;
.
Memfungsikan kembali peranan utama perbankan dalam mendukung perekonomian, termasuk pemulihan kembali penyediaan pembiayaan bagi perdagangan(tr ade/inanc ing);
53
.
b.
Meningkatkan kemampuan lembaga-lembagautama perekonomian, khususnya dalam menghadapi krisis dan keadaandarurat.
Dari segi sektoral langkah-langkah di bidang ekonomi dan moneter in mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan di tiga sektor yaitu: .
Kebijaksanaanfiskal dan moneter;
.
Reformasi di sektor keuangan/perbankan;
r
Reformasidi sektorriil.
Guna menstabilkan kurs rupiah dan untuk menjaga agar inflasi yang terjadi sekarang tidak berkembang menjadi hiperinflasi, maka Bank Indonesia akan tetap mengendalikan jumlah uang beredar dengan ketat. Untuk beberapa bulan mendatang ini berbagai agregate moneter termasuk uang primer dan Aktiva Domestik Netto (NDA) diprogramkan untuk tumbuh 0%. Program moneter ini akan dikaji ulang dari waktu ke waktu untuk mengantisipasi perkembangan keadaanyang berubah cepat.
9.
Dalam kebijaksanaan fiskal dan moneter pemerintah berketetapanuntuk meringankan beban kelompok-kelompok masyarakat yang paling rawan terhadap dampak krisis, khususnya masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Untuk keperluan ini APBN dihitung kembali dan sejauh mungkin diupayakan untuk dapat menampung programprogram social safety n.et yarrg diarahkan untuk membantu kelompok-kelompoktersebut. r Karena menurunnya kurs rupiah sejak perhitungan APBN yang lalu, pos untuk subsidi berbagai bahan pokok dianggarkan lebih besar, dengan maksud agar harga-harga yang dibayar oleh masyarakat untuk barang-barang ini tidak makin memberatkan; . Pengeluaran untuk pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar juga ditingkatkan untuk menjamin agar pelayanan-pelayanan dasar ini dapat terjangkau oleh masvarakat luas:
. Program padat karya diperbesar, dengan tujuan untuk menciptakan daya beli bagi mereka yang menganggur sehingga membantu kemampuan mereka untuk membeli kebutuhanpokoknyal . Program untuk menggerakkan ekonomi rakyat khususnya usaha kecil dan koperasi diciptakan crash programs peningkatan peftanian pangan; o Proyek-proyek di luar prioritas di atas dikurangi untuk memberi tempat yang lebih luas bagi program social safety net, sehingga pembiayaan APBN 1998/99 masih di dalam batas-batasyang aman secaramakro dan moneter;
1 0 . Reformasi
di sektor keuangan/perbankan dilakukan melalui pembenahan dan restrukturisasi perbankan. Tujuan utama dari pembenahan perbankan adalah untuk secepatnya memulihkan kembali sistem perbankan agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendukung kegiatan ekonomi. Komponen pokok program pembenahan dan restrukturisasi perbankan mencakup: . Bank wajib memenuhi Capital Adequacy Ralio (CAR) minimal 4Yo pada akhir tahun 1998, 8Yopada akhir tahun 1999, dan l}Yo pada akhir tahun 2000. Pelanggaran terhadapketentuan ini akan dikenakan sanksi; o Bank-bank diberi kesempatanuntuk menambahmodalnya, mencari investor baru atav cara-cara lain untuk memperbaiki CAR-nya. Bank-bank yang sama sekali tidak mungkin untuk memenuhi CAR tersebut akan dibekukan operasinya, dan pemerintah akan tetap menjamin semua simpanan dan piutang masyarakat yang ada pada bankbank tersebut; . Bank-bank yang pada dasarnyadapat memenuhi ketentuan CAR tersebut, akan tetapi masih dianggap cukup kuat, akan terus didorong untuk melakukan rehabilitasi melalui antara lain: pelepasanaset-asetyang tidak lancar, merger, dan apabila perlu konversi dana pemerintah menjadi modal; r Bank-bank lainnya yang dianggap cukup kuat juga tetap didorong untuk memperklat diri dengan melepaskan aset))
asetnya yang tidak lancar, rekapitalisasi oleh investorinvestor dalam dan luar negeri, dan apabila perlu konversi dana pemerintah. Bank-bank yang lebih sehat ini nantinya akan menjadi tulang punggung dari sistem perbankanyang baru; o Bank-bank dalam negeri dan perusahaan-perusahaan dalam negeri (yang merupakan nasabah bank) didorong untuk menegosiasikan kembali hutang-piutang mereka melalui restrukturisasi hutang nasabah bank. Upaya ini dilaksanakan seiring dengan negosiasi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan tersebut sesuaidengan kesepakatan Frankfurt. Renegosiasi hutang ini sangat penting untuk menghidupkan kegiatan sektor riil. 11.
Reformasi struktural sektor riil meliputi penghapusan berbagai macam praktek monopoli, deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang termasuk perdagangan dalam dan luar negeri, dan bidang investasi serta privatisasi BUMN. Dalam usaha meningkatkan sumber-sumber pembiayaan beberapa BUMN dan dana non budgeter akan diaudit oleh auditor independen dalam waktu dekat, dengan tujuan untuk mengetahui secara tepat dan mutakhir status operasi dan keuangan masing-masing, dan untuk menentukan apakah ada kemungkinan dapat membantu APBN,
PERANAN SEKTOR JASA KONSTRUKSI DALAM PROGRAM STABILISASI DAN REFORMASI EKONOMI 12.
Dengan adanya porsi yang lebih besar dari APBN untuk social safety net dan berbagai subsidi maka anggaran pembangunan yang selama ini sebagian besar berwujud kegiatan konstruksi dan sebagian lagi kegiatan konsultansi semakin berkurang. Dalam konteks inilah seolah-olah "kemampuan pemerintah membiayai pembangunan semakin berkurang" sebagaimanakeputusan RAPIMNAS GAPENSI yang saya kutip di atas harus dilihat. Pengurangananggaran ataupun perubahan prioritas pembiayaan dalam batas-batas tertentu memang mengurangi porsi GAPENSI terutama yang berskala besar, Mengingat sebagianbesar anggota GAPENSI terdiri dari usaha menengah dan kecil yang kegiatan 56
operasionalnya berada di daerah, program jaringan pengamanan sosial dan padat karya kiranya masih dapat memberikan peluang yang cukup besar bagi kontraktor menengah dan kecil untuk berperan serta dalam memanfaatkanprogram-program tersebut. lJ.
14.
Sesuai dengan komitmen RAPIMNAS GAPENSI untuk melakukan reformasi dan menghapuskan praktek KKN, dimana tujuan utamanya untuk mewujudkan good governance baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta, maka kami mengajak GAPENSI sebagai mitra pemerintah untuk menegakkanpenerapanKeppres No. 16/94. Kami ingin menggarisbawahi semangat kompetitif dan keterbukaan (tranparansi) yang dituntut oleh masyarakat dalam era reformasi ini akan menjadi acuan di dalam setiap langkah yang akan diambil. Bagi anggota GAPENSI yang berskala besar masih terbuka kemungkinan untuk berpartisipasi di dalam pembangunan melalui proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai dengan modal swasta. Sebagaimanadiketahui dalam masa krisis ini, kebijaksanaan dan aturan main dalam pembangunan infrastruktur oleh pihak swasta dituangkan dalam Keppres No. 7/98. Untuk penjabaran alvran main yang lebih rinci Keppres No. 7/98 ini pernah dibahas dengan pengurus GAPENSI pusat dan berbagai pihak terkait, selanjutnya akan dituangkan di dalam peraturan Menteri Negara Perencanaan PembangunanNasional/Kepala Bappenas. PENUTUP
1 5 . GAPENSI adalah suatu organisasi asosiasi usaha jasa konsffuksi yang telah menunjukkan sumbangsihnya bagi pembangunan. Para kontraktor nasional telah menampilkan karya-karya yang membanggakan dalam pembangunan berbagai prasarana dan sarana ekonomi dan sosial. Namun saat ini seluruh negara kita sedang menghadapi cobaan; sebagian terbesar dari masyarakat kita sangat prihatin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kita semuaperlu menyatukan upaya bersama untuk keluar dari krisis ini dan menempatkannya di atas kepentingan kelompok masingmasing. Dengan semangat ini, GAPENSI diharapkan dapat
tetap menjadi wadah pembinaan dunia usahajasa konstruksi nasional yang mempunyai komitmen kepada kepentingan nasional dan prioritas nasional yang dituntut oleh keadaan. Dalam situasi ini GAPENSI dituntut untuk terus berbenah diri, menegakkan good governance dalam praktrek-praktek pelayananusahaj asakonstruksi. Insya Allah, kita dapat lepas dari musibah ini dalam waktu yang tidak lama.
58
SAMBUTAN Menteri Negara PerencanaanPembangunan Nasional / Kepala Bappenas PADA ACARA PERTEMUAN KONSULTAN PEMBANGUNAN PRASARANA PENDUKUNG DESA TERTINGGAL (P3DT) DAN PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN (ppK) TAHUN ANGGARAN 1998/99 JAKARTA. 27 AGUSTUS 1998
Assalqmu' al aikum Wr. ll b. BapalVibu sekalian yang saya hormati, Diiringi puji syukur kehadirat Tuhan Yang Esa, atas berkat rahmat dan hidayat-Nya sehinggakita dapat berkumpul dan bertatap muka dalam forum yang berbahagia ini. Di tempat ini kita akan menyamakan persepsi dari peran konsultan sebagai fasilitator penggerak masyarakattentang program P3DT dan PPK yang sedang kita laksanakansebagaiupaya pembangunanyang dilakukan sendiri oleh masyarakat. Program ini terasa sangat penting disaat kita m e n g a l a mki r i s i ss a a ti n i . Seperti yang sedang kita prihatinkan bersama bahwa perekonomian Indonesia sedang menghadapi cobaan berat akibat krisis nilai tukar rupiah yang berlanjut menjadi krisis ekonomi dan kepercayaan. Sudah menjadi komitmen bangsa Indonesia untuk segera menuntaskan krisis tersebut dan kembali membangun sendisendi perekonomian rakyat yang sempat terkoyak. Dalam rangka penanggulangan masalah krisis ekonomi yang belum pulih, semua kemampuan dan potensi yang kita miliki harus diarahkan pada upaya penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) melalui berbagai macam upaya seperti antara lain melalui Program Penciptaan Lapangan Kerja Produktif (PLKP), Social Safety Net (SSN/Jaringan Pengaman Sosial), urban poveny melalui Padat Karya Perkotaan, Ketahanan Pangan, Padat Karya Desa, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan Program Pengembangan Kecamatan(PPK). Kalau saja tidak terjadi krisis ekonomi sekarang ini, selama PJP I dan empat tahun Pelita VI pembangunanyang kita laksanakan 59
telah berhasil mencapai kemajuan pada berbagai aspek kehidupan yang telah secaranyata dapat dirasakan oleh masyarakat, antaralain semakin meningkatnya kegiatan perekonomian, meningkatny a taraf kesejahteraanmasyarakat, dan makin tercukupinya kebutuhan dasar masyarakattermasuk tingkat pendidikan dan kesehatan. Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial telah pula menghasilkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hal ini menunjukkan oleh berbagai indikator seperti antara lain; meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf, menurunnya angka kematian bayi per seribu kelahiran hidup, meningkatnya usia harapan hidup penduduk, demikian pula tingkat pendidikan telah menunjukkan kemajuan yang berarti seperli diperlihatkan oleh semakin meningkatnya angka parlisipasi kasar sekolah. Kemajuan lainnya adalahsemakin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Bapak/ibu sekalian yang berbahagia, Seperli telah dikemukakan sebelumnya bahwa permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah meliputi antara lain; ledakan pengangguran yang besar dan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Berdasarkan pada permasalahan tersebut, saat ini tengah disusun suatu upaya penyelamatan secara nasional yang dikenal dengan program Social Safety Net (SSN) atau program jaring pengaman sosial. Program ini dirancang dengan mekanisme khusus yang secara cepat dan efektif ditujukan untuk mengatasi kemerosoton kondisi sosial ekonomi masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Pada dasarnya ruang lingkup kegiatan dari program ini meliputi kegiatan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga mampu mengangkat kondisi sosial ekonominya. Namun dalam aspek penanganannyaprogram ini dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori, yaitu; program ketahanan pangan (food security), program padat karya dan penciptaan lapangan kerja (employment creation), program kesehatan dasar (basic health), program pendidikan dasar (basic education), dan program pengembangan industri kecil dan menengah(small and medium enterprises). Masalah penganggurandiupayakan ditangani melalui kegiatan penciptaan lapangan kerja produktif sefta revitalisasi dan
restrukturisasi kegiatan infrastruktur dengan pola padat karya. Dalam rangka ketahanan pangan, yang merupakan unsur penting dari ketahanan nasional yang diarahkan pada tersedianya pangan yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat serta diversifikasi konsumsi pangan masyarakatmelalui prioritas peningkatanproduksi bahan pangan utama sesuaidengankondisi dan karakteristik daerah. Sejalan dengan itu, di bidang pendidikan dan kesehatan dikembangkan suatu program dimana bantuan langsung diberikan kepada sekolah-sekolahuntuk biaya pendidikan anak-anak sekolah sefta pengadaan obat-obatan yang dibutuhkan di masing-masing puskesmas. Selanjutnya pemihakan terhadap unit-unit usaha kecil dan menengah yang menyerap tenaga kerja cukup besar terus ditingkatkan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan dan promosi, dan kemitraan. Sesuai dengan semangat reformasi, pemantapan rencana pembangunan hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip arfiara lain; a) kegiatan pembangunandiupayakan sebanyakmungkin dapat lnenyerap tenaga kerja dan menciptakan sefta memperluaslapangan kerja, b) pelaksanaan kegiatan pembangunan dapat dilakukan dengan swakelola atau melalui Kerjasama Operasional, c) apabila harus melibatkan pihak ketiga diusahakanmenggunakankontraktor lokal denganspesifikasiGolonganEkonomi Lemah (C2-GEL). Bapak/ibu sekalian yang berbahagia, Kita menyadari bahwa keberhasilan suatu program pembangunan ditentukan oleh sejauh mana penerima manfaat y ang dituju oleh program dalam meningkatkan kehidupannya sebagai dampak dari setiap program/proyek pembangunandan sejauh mana penerima manfaat tersebut mampu memelihara keberlangsungan (sustainability) dari berbagai aktivitas yang dikembangkan dan manfaat yang diperoleh. Kesalahpahamandalam melihat dampak proyek pembangunan akan menyebabkan kekeliruan dalam pelaksanaan program-program pembangunan dan pada gilirannya tujuan dari program pembangunan yang bersangkutan sulit untuk bisa mencapai sasaran yang ingin dituju untuk dapat keluar dari krisis ekonomi ini. Sebagai upaya pemulihan adalahmenjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama untuk secara terus menerus mengindentifikasi dan rnengkaji berbagai tantargan, masalah,dan kendala yang masih
61
menghambat pembangunan. Maka untuk itu, Pemerintah telah mengeluarkan salah satu kebijaksanaan yang secara langsung diarahkan kepada masyarakat akibat krisis ekonomi dalam mengatasimasalah kemiskinan adalahmelalui program pengentasan kemiskinan sebagaimana diamanatkan dalam Inpres No.5 tahun 1993 tentang Peningkatan PenanggulanganKemiskinan. Program yang digariskan dalam inpres ini biasanya disebut sebagaiProgram Inpres Desa Tertinggal (Program IDT) dengan mengarahkan program dan proyek-proyek kemiskinan secara langsung pada penduduk miskin yang berada di desa-desatertinggal di seluruh Indonesia. Program IDT ini dimaksudkanuntuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai program pembangunan yang sudah ada dalam kerangka penanggulangankemiskinan secara komprehensif. Pada tingkat kelompok sasaran, program IDT bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, mendorong perubahan struktur masyarakat, dan membangun kemampuan masyarakat melalui pengembangan, peningkatan, dan pemantapan kondisi sosial ekonomi. Bapak/ibu sekalian yang berbahagia, Sebagai suatu gerakan nasional, program IDT merupakan peluang yang sangat tepat bagi berbagai pihak untuk memberikan dukungan dalam upaya pemberdayaan masyarakat agar memperkecil dampak meluasnya kemiskinan. Keberhasilanprogram IDT mewujudkan kesejahteraanseluruh anggota masyarakat yang ditentukan oleh adanya kepedulian aktif seluruh masyarakat, motivasi penduduk miskin itu sendiri untuk mengubah nasibnya, dukungan aparat perencana dan pelaksana yang penuh dedikasi dalam penanggulangan kemiskinan, dan peran serta aktif dari berbagai pihak dalam menunjang keberhasilanprogram ini. Dengan kata lain, program IDT dapat diartikan pula sebagai upaya pembangunanyang memerlukan inisiatif, dedikasi dan transparansi. Selain itu, dalam kerangka spritual, keberhasilan program IDT tergantung dari tumbuhnya iman dan taqwa dari dalam diri para perencana, pelaksana, dan segenap pihak yang terlibat dalam program tersebut. Dengan program ini diharapkan penduduk miskin yang berada di berbagai pelosok tanah air dapat secara langsung memperoleh manfaat dari program atau proyek-proyek pengentasan kemiskinan yang dilakukan.
62
Strategi pembangunan nasional terkandung adanya suatu moral pembangunandimana bahwa pembangunandilaksanakandari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, adanya pemihakan kepada penduduk miskin di desa tertinggal, serta terselenggaranya koordinasi program pembangunan prasarana dan sarana yang diarahkan untuk membuka keterisolasian, dan meningkatkan peran sefia dan produktivitas masyarakatdalam kegiatan sosial ekonomi. Pada tahap awal pelaksanaannya (tahun anggaran 1994195) Progranr IDT dilakukan melalui bantuan yang sifatnya bergilir (revolving) kepada setiap desa yang termasuk dalam kategori desa tertinggal, dan mekanisme penyalurannya dilakukan melalui kelompok-kelompok masyarakat (POKMAS) yang terdiri dari penduduk miskin yang berada di desatertinggal, Padatahap selanjutnya,mulai tahun anggaran1995196,upaya pengentasan kemiskinan di desa-desa tertinggal diintegrasikan dengan pengembangan inftrastruktur desa tertinggal melalui pernbangunan jalan, jembatan, dan penyediaanair bersih. Kegiatan ini dikoordinasikan melalui Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Dengan program ini keterisolasian dan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pusat pemasaran dan pusat pelayanan serta rendahnya penyediaan air bersih dapat diatasi sedemikian rupa sehingggabeberapafaktor penting penyebab kemiskinan akan dapat di atasi. Guna mendukung lebih lanjut pelaksanaan program IDT, Pemerintah juga memandang perlu untuk meningkatkan bantuan pembangunankepada masyarakatdesamelalui koordinasi di tingkat kecamatanyaitu bantuan Program PengembanganKecamatan(PPK) yang saat ini memasuki tahun pertama dalam pelaksanaannya. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterpaduan pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembangunan prasarana dan sarana perdesaan dengan cakupan jenis yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perdesaan.Program Pengembangan Kecamatan ini juga diarahkan untuk menangani daerah yang mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan pengangguran dan bencana kebanjiran dan kekeringan yang mengakibatkan rawan pangan. Untuk membantu kegiatan pengelolaan pelaksanaanProgram P3DT dan PPK ini kepada Tim Koordinasi dan masyarakat maka
63
ditempatkan konsultan pendamping mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat desa. Dukungan dari aparaldi semuatingkatan serta partisipasi aktif dari masyarakat perdesaan yang cukup antusias seda peran dari pada tenaga konsultan pendamping yang membantu dalam terciptanya pemberdayaan masyarakat secara optimal merupakan penentu dari keberhasilanprogram ini. Pelibatan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam hal pembangunan prasarana mulai dari perencanaansampai dengan pelestarian/ pemeliharaansecaratidak langsung akan mempunyai dampak kepada pemanfaatanprasarana yang dibangun. Pelibatan masyarakat ini akan menimbulkan rasa rnemiliki dan rasa bertanggungjawab terhadap hasil pembangunan prasaranaitu sendiri. Semoga program yang sedang kita laksanakan ini dapat menjadi salah satu jalan keluar bagi kita dalam mengurangi dampak krisis ekonomi saat ini dengan mencapai tujuan dan sasarannya. Untuk itu saya harapkan agarkita semua bekeda keras dan bekerja sama dengan itikad semurni-murninya, sehingga bangsa kita bisa keluar dari krisis yang sedangkita alami ini. Demikian beberapa pokok-pokok pemikiran yang dapat disampaikan dalam forum ini, semoga kita selalu mempunyai persepsi yang sama dari program yang sedangkita laksanakan agar tujuan dari program pembangunan ini dapat sesuai dengan sasaran yang akan kita capai guna mewujudkan masyarakatyang sejahtera. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan bimbingan kepada kita semua dan merestui usahakita bersama.Akhirnya sayaucapkan selamatbekerja. I(qs salamu'alaikum lttr, Wb,
64
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS PEMBUKAAN PEKAN OLAH RAGA DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI KEMERDEKAAN TANGGAL 6 SEPTEMBER 1998
SaudaraWakil Kepala Bappenas; Para Pejabat Kantor Bappenasdan Kantor Menko Ekuin; Karyawan-karyawati di lingkungan Kantor Bappenas dan Kantor Menko Ekuin; Sefia para atlit yang sebentarlagi akan berlaga; Assalamu' alaikum Wn Wb. Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, pada pagi hari ini kita dapat berkumpul dalam rangka pembukaan Pekan Olah Raga di lingkungan Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kantor Menko Ekuin, sebagai bagian dari rangkaian acara memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-53. Tahun ini kita tetap mengadakan acara ini dengan sangat sederhana menyesuaikan diri dengan suasana bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis yang pengaruhnya menjangkau ke semua sendi kehidupan bangsakita. Kita ketahui bahwa semangat olahraga, yaitu semangalyang kuat untuk menang dalam persaingan atau mencapai prestasi setinggi-tingginya secara sportif, jujur dan sesuai dengan aturanaturan yang adil dan transparan,dapat menjadikan kita pribadi yang lebih tangguh, warga masyarakatyang baik dan bertanggungjawab, serta karyawan yang berprestasi, jujur dan berdisiplin tinggi. Olahraga meningkatkan kesehatan sefta dapat mempererat hubungan persatuan dan kesatuan antar kita semua. Hal ini dapat kita jadikan dasar untuk meningkatkan peransertakita semua bagi kemajuan bangsadan negara. Apabila Saudara-saudaramengikuti pemberitaan media massa beberapahari terakhir ini, Saudaramengetahui bahwa lembaga kita
65
--Bappenas-- mendapat berbagai sorotan. Umumnya sorotan yang kurang enak. Sorotan semacamitu akan terus ada dan apabila tidak kita beri responsyang baik, akan makin meningkat intensitasnya. Saudara-saudara, Dalam era reformasi, respons itu tidak boleh bersifat negatif, tidak bisa dengan cara marah, menutup-nutupi dan semata-mata mencari pembenaran diri. Respons itu harus bersifat positif, introspeksi, meluruskan hal-hal yang kita temukan tidak lurus, memantapkan apa-apayang sudah benar. Responsitu harus berawal dari diri kita masing-masing, yang didasarkan pada jiwa sportil pada hati yang jujur, itikad yang mumi, kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta keberanian untuk mengubah yang salah dan meluruskan y ang bengkok. Saudara-saudara, Dengan semangat sportivitas dan kejujuran dan semangat reformasi, saya mengajak Saudara-saudarasekalian untuk bersamasama melakukan pembenahan dan pemantapan lembaga kita ini. Saya meminta dan bahkan menuntut Saudara-saudara semua memegang standar etika, standar perilaku dan standar integritas pribadi yang tinggi. Ini berlaku untuk semuanya,mulai dari pegawai golongan I sampai para pimpinannya. Dan Saudara-saudaratidak perlu ragukan bahwa standar-standartersebutjuga akan saya tuntut kepada diri saya sendiri. Dengan respons seperti inilah, maka kita akan menjawab sorotan-sorotan negatif mengenai kita akhir-akhir ini. Saudara-saudara, Mensana in Corpore Sano. Dalamjasmani yang sehatterdapat rokhani yang sehat. Olahraga perlu dijadikan bagian dari irama kehidupan kita. Saya mengharapkan kepada seluruh karyawankaryawati agar kegiatan olahraga pada hari Jum'at setiap minggu terus dilakukan secararutin sesuai dengan Keputusan PresidenNo. 'I'ahun 17 1984 tentang Jam Krida Olah Raga dan bukan hanyapada saat Pekan Olah Raga pada setiap tahun. Hal itu penting mengingat kita di Bappenas menghadapi volume kerja dengan waktu kerja yang cukup padat, sehingga perlu diimbangi dengan kegiatan olah ragayang dapat diikuti secaraterus menerus.
66
Saudar q-saudar a sekal iqn, Sebagaimana pembukaan olah raga hari ini yang dilakukan secara sederhana, maka pada waktu penutupan nanti juga saya sarankan agar dilakukan secara sederhana.Dalam acara penutupan tersebut saya menerima masukan saran agar dalam acara penutupan nanti diacarakan pembagian sembako kepada karyawan-karyawati golongan I dan II. Saya setuju sekali, tetapi saya merasa usulan tersebut memerlukan dana yang cukup besar yang tidak mungkin didapatkan melalui dinas. Maka salah satu jalan untuk mendukung usulan tersebut adalah melalui partisipasi kita semua terutama para pejabat Eselon I dan II dengan menyumbangkan dana untuk memperoleh bahan-bahan pokok bagi karyawan-karyawati golongan I dan II tersebut melalui panitia Pekan Olah Raga Bappenas. Bila saran tersebut dapat diterima, maka atas partisipasi Saudarasaya ucapkan terima kasih. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh Panitia olah raga atas upaya yang telah dilakukan sampai terlaksananyakegiatan Pekan Olah Raga ini yang sebentarlagi akan sayabuka. Dan akhirnyapada pagi hari ini Minggu, tanggal 6 September 1998, denganmemohon ridho Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan I(antor Bappenas dan Kantor Menko Ekuin dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-53 secara resmi saya nyatakan dibuka. l4/ass alamu' alaikum Wr. lilb. Jakarta,6 September1998
6',7
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS KEPADA CALON DUTA BESAR DAN KEPALA PERWAKILAN RI MENGENAI KRISIS EKONOMI DAN LANGKAH PENANGGULANGANNYA Jakarta, 18 September1998
PENDAHULUAN Pertama-tama saya mengucapkan selamat bagi Saudarasaudara calon Kepala Perwakilan RI di beberapa negara Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Saya juga mengucapkanterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk memberikan pengarahanbagi saudara-saudara. Dewasa ini, bangsa Indonesia tengah mengalami proses perubahan yang mendasar di setiap sendi kehidupan berbangsadan bernegara. Kita sedang memperbaharui kembali seluruh tatanan kehidupan bangsa kita. Di tengah-tengah proses perubahan mendasar ini, Saudara-saudaratelah terpilih untuk mengemban tugas cukup berat dalam meningkatkan citra bangsa kita di mata dunia intemasional sekaligusmenggalangkerjasama dengannegaranegara sahabat.Dalam kesempatanini, saya ingin berbagi informasi dengan Saudara-saudarasekalian, terutama yang terkait dengan program stabilisasi dan reformasi ekonomi yang sedangberlangsung sekarangini. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA Apabila kita melihat kembali kondisi perekonomian kita beberapa tahun yang lalu, kita melihat bahwa perkembangannya cukup membesarkan hati. Ekonomi kita tumbuh rata-rata sekitar 7 persen dalam kurun waktu 1994 - 1997. Inflasi dapat dikendalikan pada sekitar 9 persen. Sektor industri berkembang cukup mantap dan memegang peran penting sebagai penggerak roda perekonomiankita. Minat dunia usaha baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk menanam modalnya di Indonesia juga cukup besar. Hal ini 68
tercermin pada tingginya realisasi investasi. Pada kurun waktu empat tahun pelaksanaan Repelita Vl (1994 - 1997) ruta-rata investasi mencapai di atas 30 persen PDB. Investasi tersebut sebagian besar dibelanjai dari dalam negeri, yaitu tabungan nasional, yang dalam kurun waktu yang sama mencapai sekitar 28 persenterhadap PDB, salah satu yang tertinggi di dunia. Selama tiga tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, kita mampu menciptakan surplus keuangan negara sebesar Rp. 5,3 triliun. Walaupun dalam kurun waktu tersebut kita mempercepat pembayaran pokok hutang luar negeri sebesarUS$ 2,6 miliar atau sekitar Rp. 6 triliun. Dalam kurun waktu yang sama, ekspor kita, terutama ekspor nonmigas, tumbuh rata-rata sebesar 13 persen setiap tahunnya. Seirama dengan kegiatan sektor industri yang terus berkembang, kegiatan impor bahan baku dan barang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri terus meningkat. Namun, defisit transaksi berjalan setiap tahunnya dapatdipertahankandi sekitar 2 4 persen terhadap PDB. Defisit ini dapat diimbangi oleh besarnya arus modal masuk, terutama arus modal swasta, untuk kegiatan investasi yang meningkat cukup besar. Dengan demikian jumlah cadangan devisa yang dapat dihimpun dari tahun ke tahun terus meningkat sehingga mencapai US$ 28,8 miliar pada pertengahan tahun 1997. Kinerja perekonomian kita yang cukup mantap ini, telah berhasil menciptakan lapangan kerja dan mengentaskanpenduduk miskin dalam jumlah yang cukup banyak. Jumlah lapangan kerja yang tercipta pada kurun waktu 1993 - 1997 mencapai sekitar 8,7 juta orang. Jumlah penduduk miskin dapat kita turunkan dari 25,9 juta padatahun 1993 menjadi 22,5 juta orangpadatahun 1996. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan keseimbangan ekonomi makro yang tetap terkendali masa itu, juga diikuti oleh semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Derajat kesehatan masyarakal Indonesia menjadi semakin tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian kasar dapat kita turunkan sehingga menjadi masing-masing 52 per seribu kelahiran hidup dan 7,5 per seribu penduduk pada tahun 1997. Penurunan angka kematian ini diikuti dengan meningkatnya angka harapan hidup penduduk menjadi 64,2 tahun. Tingkat pendidikan penduduk juga
69
semakin membaik. Angka Parlisipasi Kasar (APK), yaitu perbandingan antara jumlah murid tingkat tertentu dengan jumlah penduduk usia sekolah, dari tingkat SD sampai perguruan tinggi terus meningkat. Dalam kurun waktu sekitar satu tahun sejak pertengahan1997, perekonomian Indonesia jauh berubah. Dimulai adanya krisis keuangan yang melanda kawasan Asia, perekonomian Indonesia mendapat tekanan cukup berat sehingga mengalami krisis yang berkelanjutan sampai sekarang ini. Ikisis ini ditandai dengan terdepresiasinyanilai tukar rupiah yang sangat tajam terhadap mata uang dolar Amerika Serikat. Segala sendi perekonomian kita dalam situasi krisis. Kegiatan produksi terhambat. Sektor industri telah mengurangi kegiatannya, bahkan ada yang telah menghentikannya. Dengan demikian terjadi PHK sehingga jumlah pengangguran meningkat. Kegiatan perbankan, yang merupakan jantung perekonomian kita, juga sangat terpukul. Jaringan distribusi barang dan jasa terganggu, dan harga bahan kebutuhan pokok, khususnya bahan makanan, meningkat dengan cepat. Tingkat kepercayaan (confidence) masyarakat sangat rendah seperti yang tercermin dari mudah goyahnya nilai tukar Rupiah. Hal ini membawa tekananpada harga-harga di dalam negeri dan terhambatnya kegiatan produksi d a n i n v e s t a sdi i d a l a mn e g e r i . Krisis ekonomi dewasa ini telah membawa kita pada titik terburuk selama lebih dari tiga puluh tahun. Pada tahun 1998, ekonomi kita diperkirakanmenurun sebesarl0 - 15 persen.Inflasi membumbung tinggi dan diperkirakan mencapai lebih dari 80 persen. Jumlah penduduk miskin yang sudah mulai berkurang jumlahnya menjadi bertambah banyak lagi. BPS memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun ini jumlah penduduk miskin meningkat menjadi sekitar 80 juta atau hampir 40 persen dari j u m l a hp e n d u d u kI n d o n e s i a . PROGRAM STABILISASI, JARING PENGAMAN SOSIAL, DAN REFORMASI EKONOMI Upaya untuk mengatasi masalah mendesak tersebut dan memulihkan kembali kondisi perekonomiankita tidaklah mudah. Kita harus mengerahkan segenap kemampuan kita untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang menjerat perekonomian kita. Langkah awal yang harus dilakukan adalah
70
menghentikan keadaan menjadi lebih buruk lagi dengan menciptakan stabilitas, baik sosial maupun ekonomi, Hanya dengan demikian kita dapat membangun dan menggerakkan kembali rodaroda perekonomian sehinggaekonomi kita dapatpulih kembali. Kunci utama upaya untuk mengentaskandiri dari situasi krisis ini adalah pemulihan kepercayaan pelaku ekonomi dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini dapat tercipta apabilapelaku ekonomi merasa aman dan tenteram dalam melakukan aktivitasnya. Dengan pulihnya kepercayaan secara bertahap, nilai tukar Rupiah akan makin stabil dan secara bertahap makin membaik dan akhirnya mencapai tingkat yangwajar. Penyebabutama tingginya inflasi saat ini adalah melemahnya nilai tukar Rupiah. Dengan stabilnya nilai tukar pada tingkat yang wajar, tekanan terhadap inflasi akan mereda dan lajunya akan menurun. Harga barang-barangkebutuhan pokok, serla subsidi yang harus disediakan, akan juga menurun secara bertahap. Menurunnya inflasi akan diikuti dengan menurunnya tingkat bunga. Bersama-sama dengan mulai berhasilnya pembenahan di sektor perbankan dan makin banyaknya para pelaku ekonomi yang mulai merasa aman dalam menjalankan usahanya, penurunan tingkat bunga akan mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri. Proses ini akan bermuara pada tercapainya keadaan dimana kegiatan ekonomi kembali berjalan normal, terbukanya lapangan kerja baru, dan stabilitas moneter, yaitu inflasi menurun pada tingkat wajar, dan nilai tukar Rupiah relatif stabil pada tingkat yang konsisten denganpola kegiatan ekonomi normal. Langkah-langkah yang sedang dilakukan dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah : Pertama, menciptakan kembali rasa aman pada semua pelaku ekonomi dengan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat pada umumnya. Kedua, menggalang konsesus politik sebagai landasan bagi terciptanya suasanasosial dan politik dalam negeri yang stabil. Ketiga, tindakan untuk memperbaiki governqnce, baik di sektor pemerintah (public governance) maupun di sektor dunia usaha (corporate governance). Dan keempat adalah melakukan pembenahandan sekaligus mengembalikankepercayaanmasyarakat terhadap sektor perbankan yang menjadi jantung bagi aliran
pembiayaan kegiatan pembangunannasional.
ekonomi
dan
pelaksanaan
sistem
Upaya mengembalikan kepercayaanpelaku ekonomi di dalam negeri dan di luar negeri, harus didukung dengan upaya untuk secara langsung menangani masalah konkrit yang muncul dan mendesak di bidang ekonomi dan moneter. Kedua upaya ini saling menunjalg satu sama lain. Keberhasilan di satu sisi akan mendorong keberhasilandi sisi lainnya. Langkah-langkah khusus di bidang ekonomi dan moneter, diprioritaskan kepada 4 hal, yaitu: mengamankan penyediaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dengan harga terjangkau; mengendalikan laju inflasi sehingga tidak menjadi hiperinflasi; memfungsikan kembali peranan dunia perbankan dalam mendukung perekonomian, termasuk pemulihan kembali tersedianya pembiayaan bagi perdagangan (trade financing); dan terakhir adalah meningkatkan kemampuan lembaga-lembagautama perekonomian, khususnya dalam mengendalikankrisis dan keadaan darurat. Langkah-langkah di bidang ekonomi dan moneter tersebut mencakup kebijakan-kebijakan di 3 bagian penting, yaitu: kebijakan fiskal dan moneter, reformasi di sektor keuangan/perbankan,dan reformasi struktural di sektor riil. Kebijakan fiskal terutama diarahkan untuk meringankan beban kelompok masyarakat yang paling rawan terhadap dampak krisis, terutama masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Untuk itu, mulai tahun 1998199 digulirkan program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) untuk membantu kelompok masyarakat tersebut. Program ini terbagi dalam 4 (empat) kegiatan utam4 yaitu: penguatanketahanan pangan (food security), penciptaan lapangankerja produktif melalui padat karya, proteksi sosial yang terkait dengan sektor pendidikan dan kesehatanmasyarakat,dan penguatandan pengembanganusaha kecil dan menengah. Penguatan ketahanan pangan ditujukan pada tersedianya kebutuhan pokok yang memadai dan harganya terjangkau oleh masyarakat.Diversifikasi konsumsi panganjuga ditekankan melalui peningkatan produksi dari kebutuhan pangan utama yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah. Upaya mengatasi pengangguran yang cukup besar dilakukan melalui
72
kegiatan penciptaan lapangan kerja produktif dengan pola padat karya. Pola padat karya ini dimaksudkan untuk menciptakan daya beli bagi mereka yang menganggur, sehingga membantu kemampuan mereka untuk membeli kebutuhanpokok. Sejalan dengan itu, di bidang pendidikan dikembangkan upaya untuk memberikan bantuan langsung melalui sekolah-sekolah berupa biaya pendidikan anak-anak sekolah, terutama untuk anakanak dari keluarga miskin. Sedangkan pelayanan kesehatan dasar diupayakan melalui pengadaan obat-obatan untuk masing-masing Puskesmas.Selanjutnya, pemihakan terhadap unit-unit usaha kecil dan menengah yang mampu menyerap lenaga kerja cukup besar, terus ditingkatkan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan, dan promosi serta kemitraan. Dalam rangka ini, kita sekaligus mengusahakan perbaikan sistem distribusi bahan pokok dengan rnelibatkan lebih banyak peran koperasi dan usaha kecil. Kita harapkan distribusi kebutuhan pokok yang disubsidi, seperti beras dan minyak goreng, hanya akan dilakukan oleh koperasi dan usaha kecil. Yang juga sama mendesaknya adalah stabilisasi harga-harga. Untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah sekaligus menjaga agar inflasi tidak menjadi hiperinflasi, maka kebijakan moneter yang ketat masih harus dipertahankan.Untuk beberapabulan mendatang, berbagai aggregat moneter, termasuk uang primer dan Aktiva Domestik Bruto (NDA), diprogramkan untuk tumbuh nol persen. Program moneter ini akan dikaji ulang dari waktu ke waktu untuk menampung perkembangankeadaanyang berubah cepat. Kita juga sedang membenahi sektor keuangan kita, utamanya sistem perbankan. Reformasi di sektor keuangan tujuan utamanya adalah agar secepatmungkin sistem perbankanpulih kembali dalam melaksanakan fungsinya sebagai pendukung utama kegiatan ekonomi. Komponen utama dari pembenahanini antara lain adalah setiap bank wajib memenu'hi Capital Adequacy Ratio (CAR) minimal 4 persen pada akhir tahun 1998, 8 persen pada akhir tahun 1999, dan 10 persen pada akhir tahun 2000. Setiap bank diberi kesempatanuntuk menambah modalnya, mencari investor baru, dan cara-cara lain untuk memperbaiki CAR-nya. Pelanggaranterhadap ketentuan ini akan dikenakan sanksi. Bank-bank yang sama sekali tidak mungkin memenuhi ketentuan CAR tersebut akan dibekukan operasinya.Pemerintah tetap menjamin semuasimpananmasyarakat IJ
yang ada pada bank-bank yang dibekukan. Selain itu, bank-bank dan perusahaan-perusahaan dalam negeri didorong untuk menegosiasikan kembali hutang-piutang mereka melalui restrukturisasi hutang nasabah bank. Upaya ini selaras dengan proses negosiasi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan dalam negeri sesuaidengan kesepakatanFrankfurt. Re-negosiasihutang ini sangatpenting untuk menghidupkan kembali kegiatan sektor riil. Reformasi struktural di sektor riil ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan sekaligus rnenghilangkan berbagai praktek monopoli dan aturan-aturan yang menghambat dan merugikan perekonomian secarakeseluruhan.Demikian pula upaya deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dan investasi, terus dilanjutkan. Kita juga rnengupayakanprivatisasi BUMN. Program stabilisasi dan reformasi di bidang ekonomi dan moneter ini adalah program kita, yang selanjutnya kita mintakan dukungan berupa bantuan teknis dan dana dari IMF, Bank Dunia, Bank PembangunanAsia, dan negara-negarasahabat. Berbagai upaya yang saya sebutkan di atas memang tidak semuanya dapat segera nampak hasilnya, oleh karena luas dan dalamnya krisis ekonomi yang sedang kita alami dewasa ini. Namun, arahnya sudah jelas dm kita mempunyai harapan bahwa hanya dengan kerja keras kita akan mampu mengatasi masalah tersebut, betapapun beratnya. Kepercayaan akan kemampuan diri kita untuk mengatasimasalah ini amatlah penting.
PENUTUP Program stabilisasi dan reformasi ekonomi yang saya sampaikan di atas, kita laksanakan secara konsisten dan sungguhsungguh. Penyebarluasanprogram inipun telah kita lakukan baik melalui media cetak, media visual, maupun melalui media internet. Setiap langkah dapat diikuti dan dicermati oleh siapapunjuga yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada yang kita tutup-tutupi. Karena kita telah bertekaduntuk keluar dari krisis yang sedang menjerat perekonomian kita secepatnya. Kami berharap Saudara-saudarasekalian ikut menyebarluaskan program-program tersebut.
14
Dengan kondisi dalam negeri yang pada saat ini kurang menguntungkan baik dilihat dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial budaya, mau tidak mau citra Indonesia di dunia internasional akan menjadi negatif. Sehubungandengan itu, upaya meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional agar menjadi positif mutlak perlu terus kita lakukan. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita sadari bahwa kondisi ekonomi, politik dan sosial budaya di dalam negeri berdampak sangat besar terhadap pembentukan citra Indonesia di dunia internasional. Citra Indonesia di luar negeri merupakan refleksi dari kondisi di dalam negeri. Dengan demikian, keberhasilan kita dalam pembentukan citra yang positif di luar negeri sangat tergantang dan harus dimulai dari dalam negeri sendiri. Dan itulah yang sedangkita upayakan itu. Perlu saya tekankan di sini, upaya meningkatkan dan memulihkan citra Indonesia di luar negeri bukan hanya tanggung jawab Departemen Luar Negeri saja. Tetapi tanggung jawab kita semua seluruh instansi pemerintah maupun swasta,termasuk LSMLSM di dalam negeri, sefia pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaanpolitik dan hubungan luar negeri Indonesia. Dan upaya ini haruslah merupakan upaya yang berkesinambungan,mengingat bahwa citra yang positif harus ditanamkan, dikembangkan, dan ditingkatkan serta dipelihara secaraterus menerus sejalan dengan perkembangan yang terjadi. Namun demikian, kita tetap berharap Departemen Luar Negeri dan Perwakilannya di luar negeri secara pro-aktif melakukan pendekatan baik melalui forum bilateral maupun multilateral untuk memperjuangkan sekaligus memulihkan citra Indonesia di dunia internasional. Demikian informasi yar'g dapat saya sampaikan pada kesempatanini. Sekali lagi, saya mengucapkanterima kasih atas perhatian Saudara-saudarasekalian dan selamat menjalankan tugas sebagaiduta bangsaIndonesia.
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS PADA SEMINAR NASIONAL DAN KONGRES IKATAN GEOGRAFER INDONESIA YOGYAKARTA.
10 OKTOBER 1998
l.
Saya ingin menyampaikan terimakasih kepada Panitia Penyelenggara atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk memberikan sambutan pada Seminar Nasional dan Kongres Ikatan Geografer Indonesia hari ini. Saya selalu menganggap penting upaya setiap ikatan profesi meningkatkan perannya untuk dalam kegiatan pembangunan, dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, dalam membina kemampuan profesional para anggotanya, dan dalam memantapkan standar-standar profesi, karena upaya seperti itu merupakan unsur penting dari gerakan kita untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional kita, dengan demikian juga kemakmuran bangsa kita. Peningkatan profesionalisme adalah sumber penting peningkatan produktivitas dan efisiensi; dan peningkatan produktivitas dan efisiensi adalah sumber utama dan lestari dari peningkatan kemampuanekonomi suatu bangsa.
2.
Tema yang dimintakan dari saya adalah Dimensi Ruang dan Waktu dalam Perencarnan Nasional. Saya bukan seorang ahli geografi. Tapi saya akan mencoba merespon permintaan ini dengan menyampaikan pandangan saya mengenai hal itu dilihat dari teori perencanaan.
J.
Ruang dur waktu adalah dimensi yang harus diputuskan bagi pembangunan setiap proyek atau setiap kegiatan : dimana proyek atau kegiatan itu akan dibangun, kapan dimulai dan kapan selesai.Dalam konteks yang lebih luas, perencanaanpembangunanpada hakekatnya adalah upaya sistematis untuk menentukan sebaik mungkin pemanfaatan atau alokasi penggunaan sumberdaya yang terbatas jumlahnya untuk mencapai sasaranpembangunan,yafig secara umum dapat dikatakan sebagai peningkatan 76
kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan. Kita mempunyai sejumlah sumberdaya atau perkiraan sumberdaya dengan dimensi ruang dan waktu tertentu (constr aints). Kita ingin memanfaatkannyasecara optimal untuk mencapai sasaran tertentu, juga dengan dimensi ruang dan waktu (objectivefunction). Solusi dari problema optimasi ini adalah rencqnq kita, yaitu rencana pemanfaatansejumlah sumberdayatersebut, A
Sumberdayayang kita maksud dapat berupa apa saja yang jumlahnya terbatas sedang kebutuhannya lebih besar daripadayang tersedia. Dengan lain perkataan,sumberdaya yang bernilai ekonomis (economic resources). Sumberdaya yang tak terbatasjumlahnya atau suplainya melebihi yang dibutuhkan bukan merupakan constrqints dan tidak perlu diperhatikan dalam perhitungan optimasi tersebut. Secara kongkritnya, sumberdaya itu dapat berupa sumberdaya alam (misalnya, lahan pertanian, cadangan bahan tambang), sumberdaya manusia (seperti tenaga kerja kasar, terampil, profesional, entrepreuners), sumberdaya keuangan (seperti penerimaan dari minyak bumi dan gas, pajak, pinjaman luar negeri, kredit perbankan) maupun sumberdaya yang mewakili kemampuan teknologi dan organisasi (seperti pabrik-pabrik, mesin-mesin, lembagalembaga dan sebagainya). Semuanya mempunyai spesifikasi lokasi tertentu (dimensi ruang) dan spesifikasi bulan atau tahun tertentu (dimensi waktu).
6.
Pada tahap pembahasanini saya ingin menyebutkan suatu konsep yang sangat penting dalam perencanaan, yaitu pertukaran (exchange). Dalam kehidupan modern dimungkinkan adanya pedukaran anlara barang satu dengan barang lain, antara sumberdaya satu dengan sumberdaya lain dalam volume besar-besarandan dalam waktu singkat. Adanya kemungkinan pertukaran ini memberikan kesempatanbagi perencanauntuk mengubah profil sumberdaya dan juga profil dimensi ruang dan dimensi waktunya dengan mudah. Semua itu memperluas jumlah pilihan atau opsi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia, dan dengan demikian memungkinkan dicapainya 11
sasaran yang lebih tinggi dengan sumberdaya awal yang sama.
7.
Pertukaran memungkinkan transformasi dari satu sumberdaya ke sumberdaya lain, dari dimensi ruang dan waktu tertentu ke dimensi ruang dan waktu yang lain. Sebagai contoh : hak konsesi tambang dapat ditukar dengan uang tunai sekarang, sumberdaya yang relatif berlebih dapat diekspor dan ditukar dengan sumberdaya lain yang relatif langka di dalam negeri, sumberdaya keuangan (revenue) yang baru akan kita peroleh beberapa tahun yang akan datang dapat kita jual tunai melalui cara diskonto. Pertukaran tersebut dilakukan lewat lembaga yang secara generik disebut "pasar". Dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, maka semakin banyak barang, jasa dan sumberdaya yang mempunyai "pasar", sehingga dapat dengan mudah dipertukarkan menjadi barang, jasa, sumberdaya lain, dengan dimensi ruang dan waktu yang lain pula. Proses terjadinya peftukaran atau transformasi sumberdaya melalui lembaga "pasar" ini sering disebut sebagai"mekanismepasar".
9.
Mekanisme pasar adalahjuga suatu cara perencanaan,yaitu alokasi sumberdaya, dan sifatnya sangat istimewa. Mekanisme pasar adalah prosesperencanaanyangotomatis : masing-masing peserta atau pelaku pasar bertindak untuk mencapai yang terbaik bagi kepentingan masing-masing dan proses ini otomatis menghasilkan suatu pola alokasi sumberdaya tefientu. Jadi tanpa harus direncanakan oleh Bappenas, tanpa harus dirumuskan dalam problema optimasi, tanpa harus dihitung melalui komputer, mekanisme pasar dapat mencapai solusi otomatis dari problem alokasi sumberdaya.Dengan demikian mekanisme pasar merupakan proses perencanaanyang murah. Lebih dari itu ada suatu dalil penting dalam teori perencanaan, yaitu apabila bagi setiap sumberdaya kita memang mempunyai pasar yang berjalan dengan baik, maka pola alokasi sumberdayayang dihasilkan oleh proses pasar atau mekanisme pasar, merupakan pola alokasi yang terbaik, dalam arti menghasilkan nilai sasaran(objective function) 78
yang tertinggi. Inilah yang kita kenal dengan teorema Anow-Debrea. Mekanisme pasaryang berjalan baik adalah prosesperencanaanyang terbaik dan termurah.
10.
Sayangnya, tidak semua sumberdaya mempunyai "pasar", dan tidak semua sumberdaya yang mempunyai "pasar", dan tidak semua yang mempunyai pasar proses pasar atau mekanisme pasarnyaberjalan dengan baik. Oleh karena itu mekanisme pasar tidak dapat menjawab seluruh kebutuhan kita mengenai alokasi sumberdaya. Bagi sumberdayasumberdayayang termasuk dalam kategori ini, perlu proses perencanaantersendiri, perlu perencanay ang merumuskan problema optimasinya, menghitungnya dan menyelesaikannya,perlu Bappenasatau lembaga semacam itu. Sebagai catatan, pasar dikatakan tidak berfungsi dengan baik apabila terdapat ketimpangan antara kekuatan satu pelaku dan pelaku lain, apabila informasi pasar tidak tersebar merata, apabila tidak ada persaingan sehat (misalnya, karena ada praktek-praktek monopoli, aturanaturan yang menghambat kesetaraan antar pelaku dan sebagainya). Pasar semacam ini tidak memenuhi syarat teorema Anow-Debreu dan tidak dapat dijamin akan menghasilkan alokasi yang terbaik. Dalam kasus seperti ini, ada 2 pilihan : (a) pasar yang ada dibenahi agar berjalan baik atau (b) mekanisme pasar tidak dipakai dan diganti dengan perencanaan oleh lembaga perencanaan. Adanya UU Persaingan Sehat di berbagai negara adalah upaya melakukan pilihan (a), dan ini seringkali lebih murah daripadapilihan (b).
n.
Dengan latar belakang pemikiran seperti itulah maka strategi yang kita anut di Indonesia, seperti halnya dibanyak negara lain, adalah : sejauh mungkin gunakan mekanisme pasar, selebihnya gunakan proses perencanaal non-pasar (oleh lembaga yang ditugaskan untuk itu). Lebih dari itu, selama mekanisme pasar yang dianggap tidak berjalan dengan baik masih mungkin untuk diperbaiki atatJ selama pasar dapal diciptakan atau didorong perkembangannya bagi sumberdaya yang belum ada pasarnya, maka strategi yang terbaik adalah memperbaiki atau menciptakan pasar tersebut dan pemerintah jangan
terburu-buru mengambil alih fungsi alokasi tersebut (sebab nanti jatuhnya dapat lebih mahal atau hasilnya belum tentu lebih baik). Market failures kadangkala masih lebih baik atau lebih murah daripadagovernmentfailures.
12.
Perencanaan oleh Pemerintah adalah "residu" dari perencanaan oleh pasar. Namun lingkup "residu" inipun masih sangatbesar dan luas, sehinggasebenamyatidak ada alasan mengapa alokasi sumberdaya yang sudah cukup baik dilakukan oleh "pasar" perlu diambil alih oleh Pemerintah. Pekerjaan perencanaan yang terbuka bagi Pemerintah masih banyak. Bidang-bidang apakahini? Saya dapat sebutkanbeberapabidang penting : (a)
Pemerataan. Pemerataan pendapatan dan hasilhasil pembangunantidak dapat diserahkankepada pasar. Pasar dapat menghasilkan efisiensi dan tidak dapat menjamin pembagianpendapatanyang adil dan merata. Cara penyelesaianpermasalahan ini yang banyak dianut negara-negaradi dunia sekarang adalah tetap mengandalkan sejauh mungkin kepada pasar untuk menghasilkan "kue" nasional yang sebesar-besamya dan seefisien mungkin, dan sekaligus mengembangkan sistem redistribusi pendapatan ya\g efektif (pajak, alokasi a\ggaran unfuk pemerataan dan untuk kebutuhan dasarrakyat).
(b)
Barang-barang Sosial (Public Goods) dan Eksternolitqs. Taman di kota, misalnya adalah public goods yang tidak punya "pasar". Pembangunan taman-taman tersebut harus pertimbangan diputuskan berdasarkan kemanfaatan umumnya dan justru harus diamankan dari mekanismepasar (yang cenderung akan menggunakannya untuk gedung-gedung tinggi yang mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi). Lingkungan hidup merupakan contoh gejala eksternalitas yang tidak dapat direkam oleh pasar, sehingga apabila diserahkan kepada mekanisme pasar, alokasi sumberdaya untuk melestarikan lingkungan hidup kurang sekali atau 80
bahkan tidak ada. Harus ada perencanaan oleh Pemerintah atau setidak-tidaknya regulasi yang memaksa pelaku-pelaku pasar mengindahkan segi lingkungan hidup ini. Rencana tataruang adalah contoh penerapan mekanisme non-pasar bagi alokasi pemanfaatan lahan untuk menampung public goods dan gejala el<sternalitas.Pengenaan denda pada para pencemar lingkungan adalah cara lain untuk meng-internalkan eksternalitas sehingga aspek lingkungan hidup masuk pertimbangan pelaku-pelaku pasar. Ketentuan kehati-hatian terhadap perbankan Qtrudential rules) adalahcontoh lain untuk mengatasimasalah eksternalitos (yang apabila dibiarkan dapat membahayakan seluruh sistem perbankan atau systemic risks) adalahcontoh lain pengaturannon* pasar. Sebaliknya, ada juga eksternalitas yang positif, misalnya dengan menyatukan berbagai kegiatan usaha, timbul sinergi positif. Industrial Estates, Business Districts, KAPET, merupakan konsep-konsep yang secara teoritis berlandaskan pada perkiraan adanyaeksternalitaspositif ini. (c)
13.
Bidang-bidang yang "pasar"nya tidak berjalan baik (market imperfections),seperti karena adanya praktek monopoli, kolusi antara pelaku, teknologi yang mengharuskan skala ekonomi besar saja yang dapat hidup dan sebagainya.Dalam uraian saya di atas, langkah pertama sebaiknya adalah membenahi proses pasar itu sendiri (di sini UU Persaingan Sehat sangat relevan), sebelum Pemerintah mengambil oper alokasi sumberdayanya.
Demikianlah, dimensi ruang dan waktu merupakan bagian integral dari setiap perencanaan,yang saya artikan sebagai proses mengalokasikan sumberdaya yang terbatas untuk mencapai sasaran tertentu. Setiap sumberdaya hanya menjadi kongkrit, relevan dan operasional bagi perencanaan apabila mempunyai spesifikasi atau dimensi 8l
ruang dan waktu yang melekat padarrya.Saya menjelaskan 2 cara perer'canaan,yaitu melalui pasar dan oleh lembaga non pasar atau Pemerintah. Pada prinsipnya perencanaan melalui pasar lebih efisien dan lebih murah, sehingga cara ini harus dimanfaatkan sejauh mungkin. Prinsip ini kita anut di Indonesia, seperti halnya di banyak negaradi dunia, Residunya, yang masih sangat besar dan luas, ditangani dengan perencanaan oleh Pemerintah. Termasuk di sini adalah alokasi sumberdaya yang memasukkan dalam sasarannya keadilan dan pemerataan, dan tidak sekedar efisiensi; bidang-bidang yang menyangkut public goods dan eksternalitas; serta bidang-bidang yang menyangkut ketidak-sempurnaan pasar (market imperfecti ons), Prinsip ini juga melandasi perencanaan yang kita lakukan di Indonesia.
82
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS Pada Pembukaan Pekan Orientasi Wartawan Kelompok Kerja Kantor Menko Ekuin dan Bappenas Jakarta. 20 November 1998 ") Assalqmu'qlaikumwr. wb. Pertama-tama saya ingin menyampaikan: bahwa saya sangat mendukung kegiatan pekan orientasi wartawan ini karena satu hal, yaitu dalam era reformasi seperti ini peran saudara sekalian, para jurnalis makin menonjol, dan makin menentukan. Demokrasi tidak akan berjalan tanpa informasi, bukan disinformasi, bukan informasi yang distortif. Jadi, informasi dalam arti yang sebenarny\ yang mempunyai nilai untuk pengambilan keputusan. Siapa pengambil keputusan, dalam negara demokrasi, tentunya adalah rakyat dan ini adalah tugas utama dari pers untuk memberi informasi to inform the public bukan misinform the public. Oleh sebab itu dalam era reformasi, dalam upaya kita menjurus kepada demokrasi, saya kira tidak bisa tidak fungsi dari pers atau jurnalis perlu kita dukung untuk makin meningkat lagi terutama dari segi kualitas. Oleh sebab itu saya mendukung sekali, dan tadi ada saran bahwa harus lebih transparan, harus lebih dapat dipertanggungjawabkanitu saya kira itu memang cita-cita kita semua. Saudarasekalian, saya menyadari bahwa saya menteri transisi, Akan tetapi itu bukan berarli bahwa dalam masa yang tidak tahu beberapa lama ini, saya tidak dengan sungguh-sungguh menyumbangkan sesuatu bagi upaya kita untuk menuju ke arah demokrasi, ke arah transparansi, ke arah kehidupan masyarakat yang lebih baik dan saya tentunya membatasi pada bidang yang langsung di bawah tanggungjawab sayayaitu Bappenas. Saudarasekalian, saya kira sayamenginginkan dalam sesi-sesi ini saudara benar-benar lugas, saya juga minta rekan-rekan saya untuk lugas, tidak lagi terlalu banyak basa-basi,tetapi memang saya tahu kita semua dalam tahap belajar. Saudara belajar dalam masa *)
Transkip dari sambutan tanpa teks
83
menghadapi demokrasi/ keterbukaan yang lebih luas lagi dibanding beberapa bulan yang lampau, kami juga belajar untuk bagaimana menjadi mitra saudara-saudaradalam upaya memberikan informasi yang benar bagi masyarakat, sehingga mereka dapat memutuskan dengan benar wakil-wakilnya nanti. Sayaminta rekan-rekan baik di lingkungan Kantor Menko Ekuin maupun Bappenas untuk sejauh mungkin saudara-saudara sekalian membuka diri kalau ada peftanyaan dari rekan-rekan wartawan tolong dijawab sejauh saudara bisa tentunya, setiap pejabat ada batas dimana dia bisa mengeluarkan atau menyampaikan apa yang dia lakukan terbukti atau tidak adalah itu namanya rahasia jabatan, tapi jangan sampai rahasia jabatan itu dijadikan "kedok" untuk tidak memberikan informasi kepada saudara-saudara sekalian. Saya minta sejauh mungkin, selama itu tidak melanggar rahasia jabatan, tolong disampaikan pada rekan-rekan ini, saya menginginkan terutama kelompok dari wartawan yang meliput Kantor Menko Ekuin dan Bappenas dapat menjadi model bagi yang lain-lain. Saya minta kerjasamanya nanti bisa efektif, bisa lugas, bisa didasarkan atas kepercayaanbukan kecurigaan ataupunketertutupan, Saudara sekalian, saya ingin menyampaikan beberapa hal terutama yang kaitannya dengan apa yang kami lihat peranan Bappenas dalam masa krisis, dan setelahitu ini yang saya kira saya sampaikan kepada saudara-saudarasupaya tahu perspektif ini yang kita pikirkan yang tentunya nanti tergantung perkembangan selanjutnya dari segi politik dan seterusnya. Saya ingin kembali mengingatkan saudara-saudaramengenai krisis itu dulu kemudian dari situ saudara saya harapkan bisa melihat yang saya sampaikan beberapa point mengenai peranan Bappenas atau Kantor Menko Ekuin barangkali dalam konteks krisis dalam setelahkrisis. Kalau kita kembali kepada krisis itu sendiri, maka kalau kita menilai satu tahun ke belakang lebih, sekitar pertengahan tahun yang lalu satu faktor yang menyentil terjadinya krisis adalah Thailand, kemudian merembet ke beberapa negara mula-mula Malaysia, Filipina. Kita memang tidak langsung seketika ditulari oleh krisis ini, tetapi sebetulnyakita itu kemudian, tetapi tampaknya dampaknya itu yang paling luar biasa pada kita. Kita adalahnegara yang paling parah mengalami krisis dibanding negara lain, termasuk Thailand. Kondisi yang paling memungkinkan terjadinya proses kumulatif itu apa, saya sebutkan dengan satu kata saja yaitu
84
ekonomi gelembung (buble economy). Beberapa tahun sebelum ini terjadi pembentukan gelembung di berbagai negara di Asia Tenggara itu, dalam bentuk perkembangandari sektor properti yang luar biasa, seakan-akankalau menginvestasi di sektor properti itu tidak akan rugi, pokoknya taruh saja di situ semuanya begitu. Gelembung itu terjadi karena ada aliran dana yang masuk luar biasa besarnya. Sejak sekitar tahun 1993 sampai dengan 1996197awal, itu dana dari luar yang menyebabkan bahan bakarludara yang membentuk gelembung, makin besar makin besar gelembung udara yang berupa capital inflow tadi. Pada pertengahan tahun 1997 terjadi pembalikan psikologi, investor yang dulunya sangat optimis mengenai Asia Tenggara khususnyatermasuk Asia Timur kemudian berbalik karena berbagai sebab. Akibatnya terjadi pembalikan arah yang dulunya adalah capital inflow metjadi capital outflow. Jadi gelembung itu kemudian pecah, gembos dan apa terjadi selanjutnya adalah bahwa dulunya proyek-proyek yang mengandalkan kepada danayang masuk tadi tiba-tiba stop, bahkan danayang ada di dalam kemudian mulai keluar (capital outflow), bahkan terjadi capital flight untuk tahap selanjutnya. Hal ini mengakibatkan pada tahap pertamanya adalah krisis di bidang devisa (pasar devisa) yang kita amati di beberapa negara. Krisis nilai tukar dimana suplai dari devisa dollar AS tiba-tiba menciut. Kalau suplainya menciut dengan drastis sementara permintaannya (kebutuhannya) tetap ada, maka kurs (harga) menjadi melonjak dan ini terjadi, yang kita lihat adalah bahwa perlama-tama adalah terjadinya krisis nilai tukar, tetapi kemudian ini merembet ke sektor yang paling dekat dengan sektor devisa ini yaitu sektor perbankan dan sektor keuangan, karena erat kaitannya antara apa yang terjadi di pasar devisa dan apa yang terjadi di pasar kredit dan sebagainya. Ini berarti mengalami rembetan masalah dari krisis nilai tukar ini. Kemudian terlihat dari adanya orang berutang yang tidak bisa terbayar (dalam dollar AS), utangnya ke luar negeri tidak dapat terbayar, masalah yang berhubunga.ndengan utang piutang yang kemudian mengakibatkan beban kepada perbankan dan ini menjadi krisis perbankan. Kalau tidak salah mulai September-Oktober 1997 sudah menuju ke arah krisis perbankan dan ini di Indonesia yang berbeda dengan negara lain, ditambah dengan kehilangan kepercayaanmasyarakatterhadap perbankan pada waktu setelah 16 bank ditutup/dilikuidasi. Faktor yang menimbulkan krisis perbankan tadi adalah faktor ketidakpercayaan orang terhadap banknya sendiri/bank di dalam
85
negeri. Akibatnya orang berbondong-bondongmengambil uangnya dari bank (rush) lalu ditaruh di bawah bantal karena merasa lebih aman. Akibatnya tentunya memperparah krisis perbankan yang normal tadi, sebagai akibat logis dari krisis nilai tukar tadi. Likuiditas perbankan menjadi ketat, bank-bank menjadi kelabakan untuk mencari dana untuk memenuhi rush tadi dan ini terjadi pada bulan November 1997. Dari krisis perbankan kemudian hitungan saya di awal tahun 1998 berkembang lebih lanjut lagi menjadi krisis ekonomi. Jadi perembetan dari volume krisis nilai tukar ke krisis perbankan, sektor finansial ke sektor riil, di situ mulai terlihat terjadinya pengangguran (PHK), kebangkrutan atau penutupan dari berbagai pelaku sektor riil, krisis ekonomi dan juga tampaknya berlaku atau terjadi di mana-mana di negara-negara yarTg terpengaruh. Indonesia tampaknya yang paling parah, sektor riil kita ikut terpengaruh dan tahun ini perkiraannya minus 157o. Saya sendiri tidak bukan berpatokan pada suatu angka, tapi secararelatif bila dibanding dengan Thailand, Korea apalagi dengan Malaysia kita masih lebih parah, tetapi itu adalah krisis ekonomi. Menjelang Mei 1998, ini yang tidak terjadi di negara lain krisis ekonomi ini berkembang menjadi krisis sosial politik di negara kita yang sangat menghambat segi kehidupan ekonomi di negara kita. Jadi progresi peningkatannya itu demikian. Setelah Mei 1998 tentunya terjadi perubahan dan kita berusaha untuk memperbaiki kembali situasi, Sampai saat ini upaya kita yang kita lihat sekarang terutama dari segi ekonomi itu adalah beberapahal: yang satu adalah kepercayaan dari pelaku ekonomi terhadapsemuahal, di bidang ekonomi, politik maupun sosial sangat rendah. Kalau pelaku ekonomi kepercayaannya sangat rendah, mereka enggan melakukan sesuatu yang biasanya mereka lakukan baik di bidang produksi, investasi dan distribusi. Selain itu, apa yang saya sebut sebagaipeningkatan drastis dari biaya transaksi dari perekonomian nasional (transaction cost). Kalau suatu perekonomian itu mengalami peningkatan biaya transaksi secaramenyeluruh itu akan menghambat kelancaran arus transaksi itu sendiri dan setiap transaksi ekonomi menjadi mahal, Kenapa itu terjadi mestinya terkait dengankepercayaanyang rendah tadi, tetapi juga terkait denganketidakpastian dari berbagaihal. I adi, setiap transaksi itu mengandungrisiko, setiaptransaksi ekonomi ada risikonya apakah itu risiko komersial atau risiko devisa (kurs), apakah itu risiko tidak dibayar, misalnya transaksi saya dengan saudara saya belikan barang tetapi saya takut tidak dibayar pada
86
saatnya. Hal semacam ini menjadi meningkat luar biasa. Persepsi para pelaku ekonomi terhadap risiko meningkat luar biasa dan ini yang menghambat roda perputaran ekonomi, Orang enggan untuk memberikan barangnya sebelum kreditnya dibayar, bahkan orang enggan menggunakan rupiah pada waktu itu karena rupiahnya sendiri tidak bisa dipegang. Jadi saudaralihat orang menerima tunai apapun bentuknya yang penting tunai, yang dulunya dengan rupiah sekarang pakai dollar AS. Biaya transaksi meningkat, akibatnya ekonominya mengalami dua hal yaitu: pertama, di satu pihak penurunan kegiatan produksi, dari segi manusianya terjadi pengangguran yang meningkat; kedua, harga-hargameningkat. Jadi ada dua dampak ganda yang sekarang kita lihat dan kita upayakan untuk diredam, yaitu: pertama, inflasi dan kedua, pengangguran yang terjadi bersama-sama.Dua penyakit ini yang merupakan fokus untuk diatasi. Di balik dua penyakit ekonomi tadi, ada saya sebut sebagai kerusakan kelembagaan dari ekonomi kita. Beberapa kerusakan kelembagaan ini terjadi di bidang perbankan, distribusi dan sebagainya. Kerusakan kelembagaan ini juga merupakan pencerminan biaya transaksiyang tinggi tadi. Yang kita lakukan saat dalam upaya mengatasi keadaan ini secara bertahap dan memang ini tidak bisa kita janjikan untuk diatasi dalam satu hari atau dua hari. Memang suatu keadaan di mana langkah kita harus diarahkan untuk memperbaiki secara sistematis secara bertahap dengan penuh kesabaran. Kalau ada orang yang menjanjikan besok atau sebulan lagi akan bisa mengatasi kesemuanya,saya kira lebih baik saudaramikir dua kali bisa dipercaya atau realistis. Realistisnya adalah bahwa kita mengalami proses keluar dari krisis ini dalam waktu yang panjang barangkali tidak pendek, tapi ini tergantung dari hal-hal yang lain termasuknon-ekonomi. Sekarang dalam konteks seperti ini apa peranan Bappenas,itu yang ingin saya sampaikan kepada saudara-saudara sebagai penutup. Yang pertama,kalau kita melihat ini dalam konteks waktu dalam jangka pendek apa, dalamjangka yang lebih panjang apa. Ini adalah visi atau pandanganyang kita jadikan pedoman sampai saat ini sebagai kerangka kerja dari Bappenas dalam konteks krisis ini. Dalam jangka pendek saya sebutkan disini ada empat butir yang dijadikan fokus bagi kegiatan Bappenas: yang pertama, adalah melaksanakan jaring pengaman sosial (JPS) atau social safety net
81
fsslr. Di dalam masa normal SSN masih ada tapi dalam masa krisis peranan Bappenas dalam melaksanakan SSN lebih dituntut lagi karena lebih banyak orang yang terkena dampak dari krisis dan lebih banyak kandidat/calon yang masuk dalam JPS. Yang kedua, adalah yang saya sebut dengan islilah trouble shooting. Ini juga merupakan peranan yang dalam keadaan normal Bappenas juga melaksanakan ini. Contohnya adalah dalam melaksanakan koordinasi keadaan-keadaan darurat misalnya dalam rangka menghadapi banjir yang kita belum tahu bagaimana. Itu adalah keadaan-keadaan yang memerlukan koordinasi. Trouble shooting menyangkut koordinasi antardepaftemen yang menyangkut anggaranpembangunan. Kemudian yang ketiga, itu yang saya kira dalam situasi krisis ini adalah yang saya sebut dengan istilah bahasa inggris pump priming. Pump adalah pompa, jadi pump priming adalah upaya untuk memompa peftama kali. Jadi kalau pompa macet itu dipancing dengan air supaya berjalan. Ini yang jadi pengaman yang dalam masa normal tidak perlu dilakukan, Di dalam masa tidak normal dimana sektor swasta lemah, maka beban untuk menggerakkan kembali roda ekonomi ini ada pada pemerintah tentunya dalam batas-batas kemampuan pemerintah. Sekali lagi pump priming ini dalam jangka pendek tidak bisa diandalkan untuk menggerakkan roda ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Itu semua harus pada sektor swasta/dunia usaha. Akan tetapi, dalam jangka pendek memang kita usahakan supaya kegiatan pemerintah diarahkan unttkpump priming untuk ekonomi. Contohnya adalah kita mentargetkan pengeluaran pemerintah yang besar dari apayang secaranormal kita terima. Itu sebetulnya adalah semacam defisit, tetapi defisit yang dibiayai dengan caru-carayang tidak inflasionir, yaitu dengan pinjaman luar negeri, bukan dengan mencetak uang, tetapi sasarannyaadalah pengeluaran pemerintah jangan sampai anjlok, maksudnya supaya memberikan kegiatan di perekonomian. Kegiatan ini juga diarahkan kepada simpul-simpul yang secarateknis dapat menggerakkanroda ekonomi, misalnya di bidang pertanian kita sudah meTaksanakankegiatan crash program produksi pangan. Kita menyediakan dana untuk subsidi benih, pupuk, penyuluhan dan lain-lain untuk mengejar musim pangan sekarang. Yang keempat, dalam jangka pendek kita berusaha diberbagai bidang untuk memperbaiki implementasi dari proyekproyek. Ini menyangkut bagaimanakita bisa melancarkanarus dana, bagaimana kita bisa melaksanakan pengawasan secepatnya, 88
bagaimana kita mendesign proyeknya supaya ada cara untuk mengawasinya dan ini yang kita lakukan dalam beberapa proyek yang terakhir yang mungkin nanti saudara-saudaralebih mendalami lagi, misalnya pengembangankecamatan,pemberdayaandaerahdan sebagainya. Kemudian dalam jangka panjang itu ada tiga fokus pedoman kerja bagi Bappenasuntuk dijadikan arahbagi rencana-rencanakita. Yang peftama, saya sebutkan dengan istilah pengembangan institutisi (institution building). Tadi saya sebutkan mengapa Indonesia adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis, meskipun krisis itu mempengaruhi secarasama di berbagai negara lain tadi. Menurut pendapat saya dan pendapat banyak orang itu karena kelemahan institusinya. Oleh sebabitu kita mengalami lebih parah kena institusi kita tidak bisa merespon krisis dengan baik. Berbagai institusi termasuk perbankan, birokrasi, sistem peradilan dan sebagainya.Jadi dalamjangka panjang dan menengahsaya kira fokus dari Bappenas adalah mendukung institusi dan ini berarti mendukung dari segi perencanaan, dari segi budget, dari segi koordinasi dan sebagainya.Kemudian yang kedua, adalahyang saya sebut sebagaifaktor yang diberi nama governance. Perbaikanupaya pelaksanaanpekerjaan governance di segalabidang ini menyangkut bagaimana kita menghilangkan hal-hal yang berbau KKN dan sebagainyadi segalabidang. Dan ini tentunya Bappenasmempunyai fokus di bidang kegiatan-kegiatanpembangunandan menjadikan itu sebagai suatu tema upaya kita dalam jangka panjang. Yang ketiga adalah masalah policy. Policy ini menyangkut makro maupun sektoral. Bappenas nantinya masih terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan ekonomi makro, terlibat dalam perumusan dan pelaksanaankebijaksanaan sektoral, dan yang saya maksud dengan kebijaksanaan sektoral adalah bidang pertanian, lingkungan hidup, industri, perdagangan dan seterusnya. Bappenas akan ikut serta dalam policy planning seperti itu dan ini menurut pendapat saya nantinya akan merupakan porsi yang makin penting dibanding denganperanankita sebagaipengalokasi dana.Policy planning akan menjadi lebih menonjol dari pada budgettingplanning. Wassqlamu'alaikum Wr. I{b.
89
STATEMENT AT THE INTERIM CGI MEETING JAKARTA" JANUARY 25. 1999
Ladies and gentlemen, Good moming. I am very pleased to be speaking to you today in this interim meeting of the CGI members. I thank the World Bank for organizing this meeting which, you may recall, was agreed to at the CGI meeting in Paris in July last year. The purpose of this meeting is to review recent developments in Indonesia, especially the progress in the implementation of foreign assistancesince the last CGI meeting. Things are indeed moving very fast in this country that a midterm review like this becomesan imperative. In the course of the day, you will be examining the situation more systematically, so I will only be brief in my remarks. Beside, I know that virtually all of you are residentsof Jakarta.You know the actual situation as well as I do, if not better. So let me be not only brief but also candid in my comments. The first thing to note about the situation in this country is that on the economic front there have recently been some notable progress. The rupiah has strengthened markedly from its lowest level seven months ago and remained stable for some time, although very recently there are signs of weakening again. Inflation has largely been under control, interest rates are on their way down and there are signs that external funds are beginning to flow in again. Most importantly, famine and widespread human sufferings have been averted. I think our policies have worked. I also think that those policies have worked becausewe have receiveda solid supportand plenty of goodwill from the international community, especially the CGI members.For all tha't,lel me sincerelythank you all. The situation has improved, but overall it is still very fragile. Law and order has been a growing problem lately. The banking 90
sector is still not functioning, while the corporate sector is immersed in their debt problem. The economy is likely to continue contracting, albeit at a slower pace than before. If we are lucky a gradual turnaround can be expected in the latter part ofthis year and hopefully those laid off will begin to be hired again. But that is hardly a certainty. Much depends on the developmentsin the other areas,notably in politics. As you know, this year we have a very heavy agenda in political reforms, most important of which no doubt is the general election. I am told that most private investors would prefer to wait until the election is over, and some would do so until a new government is formed, before they begin to seriously think of investing,in this country. Although that is not the most helpful for the country, I can understandtheir position. I am happy to note that such a starce, namely to be a sideliner, has not been that of the CGI members. You together have committed substantial resourcesthis fiscal year to help us through the most critical stage of our crisis. I think we together have won an important battle, though not yet the war; we have succeeded in avoiding a potentially frightening human tragedy. The next 12 months or so remain very critical for Indonesia. It is critical not because of a looming threat of famine or hyperinflation, but because we are facing potentially explosive interactions between economic, social and political developments,if we do not play our cardswell. What we all want is that the elections be fair and free from frauds and violence. We all want that the elected government be popularly supported and effective, we want it to be a government that can get things done. We know that a high-quality election is the only way out of the presentpolitical crisis. In the next few months, it is imperative that we minimize the risks of failure and maximize the chance for preferred outcome to materialize. We, Indonesians,have to muster our energy, collective wisdom and good senseto create such a conducive situation. At the sametime, we will need all the supportthat you can give to us. We have to prevent the escallation of extremism and radicalism, to give a better chance for the election to produce the 91
desirable outcome. To contribute to that end, at least the same level of social safety net expenditure will need to be maintained this year. Yes, target groups may need to be sharpened,the delivery systems be improved but the overall level of efforts should not be allowed to diminish. We are facing a situation where private sector demand has collapsed and is collapsing. From macroeconomicpoint of view, what we need is a front-loaded fiscal expenditure. Such a strategy will at least cushion the effects of the contraction of the economy in the months before the turnaround. Banking reform must not be delayed, even if it means a heavy strain on the budget. Other structural reforms have to be implemented as speedily as possible to facilitate the economic turnaround. But all have to be done with due regards to social and political realities that exist in this very precarioustime. The stake is much too great for us as a nation to fail in this transition. The stake is also not inconsequentialfor the international community and for this region, if Indonesia cannot make it. I urge you not to hesitate in supporting us through this crucial time. We are open to your suggestions.If in your review you find that improvements need to be made in the implementation of the programs that you suppoft, let us work together to do so. Thank you.
92
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS PADA PEMBUKAAN PAMERAN BESAR SENI GRAFIS INDONESIA, DEWAN KESENIAN JAKARTA JAKARTA" 23 FEBRUARI 1999
Saudara-saudaraPengurusDewan Kesenian Jakarta, Budayawan dan Seniman sertahadirin yang berbahagia; Assalamu'alaikum Wr, Iilb. dan Salam Sejahtera, Pada sore hari ini kita bertemu di sini untuk menyaksikan pembukaanPameranBesar Seni Grafis Indonesia1999. Merupakan kehormatan bagi saya karena saya mendapat kesempatan untuk berada di tengah-tengah para budayawan, seniman dan Saudarasaudarasekalian dan sekaligus suatu kegembiraan bagi sayakarena dapat ikut menikmati hasilkarya seni yang memikat ini. Saudara-saud ara y arg budiman, Pembangunan bangsa tidak hanya dilakukan dengan membangun ekonomi dan infrastrukturnya saja, tetapi juga harus meliputi pembangunan sosial dan kebudayaan. Hal ini juga disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 32. Jika kita simak lebih lanjut penjelasan pasal tersebut, maka pembangunan kebudayaan harus membawa bangsa kita menuju ke arah kemajuan adab, kemajuan budaya, dan persatuandengan mengembangkannilai budaya daerah yang luhur dan tidak menolak bahan-bahanbaru dari kebudayaan asing. Tentu saja diperlukan seleksi dengan can yang bijak agar bahan-bahanbaru tersebut dapat memperkaya dan bersinergi dengan kebudayaan bangsa sendiri sehingga dapat mempertinggi martabat kemanusiaandi negarakita. Seni grafis atau rancang grafis yang diwujudkan dalam hasilhasil karya yang kita lihat hari ini merupakan upaya untuk merencanakan, mengorganisasikan dan mengendalikan berbagai bentuk visual kedalam satu citra (image) yang bermakna. Upaya ini juga meliputi kontrol yang ketat terhadap penyimpanganyang tidak direncanakan. Dari sisi ini saya melihat pekerjaan seniman grafis
93
tidak jauh berbeda dengan pekerjaan saya sebagai perencana di Bappenas. Seni grafis, seperti layaknya seni rupa, adalah media komunikasi bagi seorang seniman. Komunikasi yang dalam keseharian didominasi oleh bahasa verbal dituangkan kedalam media visual yang ekspresif. Seni grafis sebagai media ekspresi kesenian memiliki potensi dalam penciptaan seni yang mengandung rasa dan corak budaya. Di samping itu, dalam era globalisasi ini seni grafis juga dapat digunakan sebagai wahana komunikasi dan pernyataan budaya bangsauntuk memperoleh saling pengertian dan kerj asamadalam masyarakatantarbangsa. Karya seni grafis dapat memberikan kenikmatan bagi mereka yang memandangnya. Tapi lebih dari itu, seni grafis juga memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Ia dapat membantu mendekatkan Indonesia kepada dunia luar. Dunia yang dalam era informasi ini menjadi hampir tanpa batas negara. Ia dapat memperkenalkan produk-produk baru dalamnegeri kita serta obyek-obyek pariwisata kepada konsumen dunia. Ia juga dapat meningkatkan citra Indonesia dalam masyarakat antarbangsamelalui pesan-pesanyang menarik, efektif dan jujur. Potensi seni grafis dalam pengembangan dan pemacuan peningkatan ekspor melalui grafis pariwara sangallah tinggi. Dengan disain grafis yang dirancang secara serius, konsumen di manca negara dapat dengan mudah terpikat oleh produk-produk Indonesia, baik itu berupa produk kerajinan, tekstil, maupun pariwisata. Seni grafis juga dapat membantu meningkatkan kualitas produk tekstil dengan disain-disain grafis yang digali dari dan bernuansabudayalndonesia. Dalam era informasi di mana komputer dan internet telah menyatukan masyarakat dunia, seni grafis memiliki peluang pengembangan yang hampir tanpa batas. Seni grafis dibutuhkan hampir oleh semua homepage yang jutaan jumlahnya. Ketrampilan penggunaan instrumen-instrumen telematika nantinya harus merupakan bagian dari ketrampilan setiap seniman grafis. Hal lain yang ingin saya angkat adalah tentang penguasaan hak cipta, Karya seni adalah produk dari kretivitas, produk penciptaan. Untuk menumbuhkan iklim yang subur bagi kreativitas dibutuhkan perlindungan atas hasil-hasil ciptaan. Seringkali, karena 94
sifat seniman yang ingin bebas merdeka dan tidak mau terikat, mereka enggan untuk berurusan dengan hal-hal yang bersifat administratif untuk mengurus hak-hak cipta dan patennya. Hal ini menyebabkan perlindungan atas hak cipta dan paten menjadi sulit dilakukan. Dalam era globalisasi, persaingan bisnis berlangsung dengan tajam, dan penguasaan atas hak cipta dan paten dapat menjadi aset yang sangatberharga. Pada kesempatanini saya ingin mengucapkan selamatkepada Dewan Kesenian Jakarta yang telah mengupayakan pameran ini menjadi kenyataan dan kepada para budayawan dan seniman yang turut berpartisipasi dalam pameran besar ini. Mudah-mudahan parneran seni grafis ini dapat makin mendorong para seniman kita dan makin meningkatkan minat masyarakatkita di bidang seni ini. Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirohmannir Rohim Pameran Besar Seni Grafis Indonesia 1999 ini sava nvatakan dibuka. Terima kasih. I4/assql amu' alctikum t4rr. IIrb.
95
Meeting on Development Cooperation: Responding to the Asian Crisis Sydney March 5,1999 Addressing the Social Impacts Dr. Boediono State Minister for National Development Planning / Chairman of Bappenas Minister Downer, excellencies,ladiesand gentlemen; It is a pleasure to be back in Australia and I appreciate the oppoftunity to participate in these discussions. Developing an effective responseto fhe crisis remains the most pressingissue we face. It would be nice if I could tell you how well we are doing addressing the social impacts of the crisis in Indonesia. Unforlunately,that is not the case.InsteadI will sharewith you a brief, candid and personal assessmentof what we have been doing, including what we have been doing wrong, where we are going, and what we need to do in the future. Then, of course, I invite your commentsand generaldiscussion. To understand what went wrong we need some historical perspective. Indonesia has a long history of very high growth. In fact the overall GDP growth has been averaging above 6.50losince 1970 and well above 7Yofor much of the 1990s.In this perspective the virtually catastrophic 13+ percent real decline in the economy in 1998 only cancelstwo years of 7Yo growth. This economic growth is not just a statistic. It brought with it many, and I believe, lasting benefits. It opened up economic opportunities and jobs while fostering improvements in real welfare as poverty declined, and health and education statusimproved dramatically. Unfortunately there was a down side to this success.It was difficult to keep up with infrastructure demands, more difficult to improve education and health status and immeasurably more difficult to change incentive and governance mechanisms. In retrospect,successled to complacency.And complacencyled to a reluctance to take the hard steps required to change the way we do things.
96
It is no secretthat some of our friends at the World Bank have gone so far as to say that their performance in assisting Indonesia was only "marginally satisfactory". Given our relationship with the Bank this would have to be considered an evaluation of our development effofi as well. On behalf of the government, I have respondedto this assessment.I should not tax you by going into the details of our differences here. But I do want to emphasizethat we reject the allegation that economic growth in Indonesia was a mirage or that it did not deliver improved welfare. However, we accept that we, and to a lesser extent the Bank, did not work hard enough on improving the institutional, governance and human resource framework. These at a deeper level create necessary preconditions for sustainabledevelopment. The solution is not to restrain growth. This would amount to a serious misunderstandingof the roots of the crisis. Economic reforms in the 1980s did trigger the high growth that ended so abruptly but they brought lasting gains as well. These reforms were not the causeof our problems: they did not createthe conglomerates or disadvantage small companies or farmers. On the contrary, I firmly believe that our problems grew out of the areaswhere we did not push the reforms far enough or fast enough. In my view, the key to getting out of the current crisis is more reform and more economic growth. The best Social Safety Net there is, is the restoration of economic growth. Let me turn now to the social impact of the crisis in Indonesia. Our first reaction to the crisis, especially before the magnitude of the shock was clear, was to adjust by cutting back on expenditures. In late 7991, we cut the budget and canceled many public or public related projects. This was the strategy that we had used successfully a number of times in the past. However this time it was not effective. In pafi this was because this crisis was deeper than previous ones but, mostly it was becausethe crisis was, at least early on, a private sectorcrisis. By early 1998 it was clear that the economy was being severely impacted. Government revenueswere expectedto contract and spending mount. In order to slow the economic contraction and reduce pressure on those most severely affected we agreedwith the donors on an acceptable government budget deficit. Shifts in
91
spending designed to cushion the social impact of the crisis are the origin of the Social Safety Net (SSN) effort. At that point we were looking to prevent as many people as possiblefrom sliding below a minimum threshold, while interfering as little as possible with the existing informal SSN that existed. Unforlunately putting an effective program in place proved much easier said than done. Let me briefly sketch the problems we faced. The first problem was that, until late in the year, we did not really know the resources available to us. We knew our own resources were insufficient and we did have pledges from the donors. However, these pledges were only indicative ones and conditional at that. To make a long story short, due to uncertainties and a subsequentchange in government it was not until July 1998 that a reasonably firm budget could be put in place. In the meantime, not only did the government not have funds for the SSN programs, but even existing infrastructure and other projects were put on hold to conserve our resources for other eventualities. The sad fact is that virtually all non-routine government spending was halted for the four months during the heart of the crisis. In fact it was only by late last year that we were spending any significant amount of development funds and the SSN spending has lagged eventhis. A second issue relates to our initial mis-perceptions about the nature of the crisis. While the situation is still difficult, we need to remember just how much bleaker things looked last July. Extremely high, but preliminary, estimates of poverty, unemployment, and school drop-outs were widespread. In the absence of better information, these estimates gained credibility among both Indonesian and foreign observers. This led to a consensusthat the crisis was extremely widespreadas well as deep.Remembertoo that the early stages of the crisis coincided with the drought due to El Nino. El Nino had hit rural areashard and was still conditioning our expectations. Thus the first attempts to put in place SSN programs were understandably broad based and, given subsequent information, rushed and insufficiently targeted on those in most need.
98
This perception also led us to misallocate efforts and funds. It was easy to believe that maintaining existing food, fuel and other subsidized prices would be an effective strategy. These subsidies were expected to protect basic needs while maintaining purchasing power during the economic decline. However, even before the diverse nature of the crisis became clear. these subsidies became untenable. The vast difference in prices between Indonesia and abroad resulted in rapid losses to the government while insufficiently protecting consumers.Thus, by the end of 1998, most generalnon-energysubsidieshad beenabandoned. The next, and most fundamental, problem to putting a SSN in place was in our institutional response. Traditionally Indonesian government programs do not undergo much change, They are gradually modified, but few new projects are started and less are ended. However, the crisis, especiallythe urban dimension of the crisis, called for new and different delivery strategies.Developing these new programs or even significantly modifying existing ones has proved to be particularly difficult for the government bureaucracy. Things are improving however. Over the last few months we have begun to adapt our effoft based on feedback and changing circumstances. With the help of the donors, our own statistics, independent observers and time itself, the nature and magnitude of the problem in specific areas is becoming clearer. We can, and are, moving to target our responsebetter. We are moving to decentralize our effoft so that programs can be designed to meet local needs when the impact of the crisis is mixed. We are receiving better feedback on which programs are working and which are failing. We are beginning to detect the flaws in the monitoring systemsand are correcting them. As this improves we can increase resources in those programs that are working while reducing or eliminating them in those that are ineffective. We anticipate that the best of these programs will evolve into elementsof the future IndonesianSSN. Let me now addressthe longer run SSN issuesraisedby the organizers.In this area I believe that we need to do a number of other things.
99
First, we need to continue current decenlralization efforts including increased oversight by local political institutions. Our current experience in implementing decentralizedSSN programs is highlighting weaknesses in local decision making processes. However, over time, we expect decentralizalion to create local governments with responsibility for monitoring their own jurisdictions. They can and will be encouraged to design and implement programs to meet their needs. But it is also clear that affirmative action to strengthen local institutions has to be part of our overall package. Second, we, both central and regional governments, need to create systems whereby government programs have sunset rules. This should shift human resourcesto program design and evaluation while improving the ability of institutions to respond flexibly to changingcircumstances. We have to be prepared for more economic volatility in the future. This involves two components.First, we need a budgeting processthat can be ramped up and down faster and more efficiently. We need ways to cut spending quickly and efficiently. But equally we need to be prepared with off the shelf programs that can be used to maintain services and/or provide income/employment support in areas hit by national or regional economic crises. Second, we need to improve and expand true SSN programs that function as automatic stabilizers, for example unemployment insurance in the formal industrial sectors that have been hit so hard in this crisis. This must be done while keeping in mind the insidious effects of poorly designed programs on the recipients and the government itself. Finally, while information flows are improving, we need better, and more timely feedback, and we have to be prepared to commit the resourcesto achievethis. Let me recapitulate the main points. In the longer run we have a four part strategy, a) continued decentralization, b) improved program generation, evaluation, and monitoring, c) improved overall budgeting including the ability to change expenditures rapidly, d) improving or extending existing SSN efforts that work as automatic stabilizers, and e) committing
100
more resources to monitoring the economic and social situation acrossthe country on an ongoing basis. I believe that, the SSN effort will continue to be a linchpin of our strategy for economic recovery and long run stability. We do not have the luxury of waiting for perfect programs. There are families in desperateneed of assistancein Indonesia right there and now. That does not excuse us from working our hardest to improve the delivery of SSN services.So far our greatestsuccesseshave been in school assistanceprograms and the health sector with the record of work generating programs much more mixed. The nature of the problems varies immensely by region. Because of this variation the best way to deliver assistance is through local governments, and non-government agencies and in the longer run substitute insurance systems for direct provision mechanisms. Incentive systems must be considered, and oversight and audit mechanisms must be built in from the beginning. We have to break bureaucratic log-jams and effectively reallocate funds from demonstrably unsuccessful efforts, including programs and institutions, to those in regions and areas that are delivering better performance. Before closing let me emphasizea couple of things. Sustainable high-quality growth, i.e., growth in line with comparative advantageis probably the best SSN policy there is. The causes of the crisis are multiple and complex but I do not believe that it can be laid to the reform policies of the 1980s that fostered the growth of the 1990s.Rather, I believe our problem, to the extent that Indonesia has performed worse than the rest of the region, has been due to our own institutional and political rigidities. Whatever the outcome of the election in June, I believe that economic growth will remain an indispensableelement of any policy regime and I am convinced that any government will continue the thrust of the current reform and recovery ptogram. A key to making this a successfultransition is the support of the international community and the donors through the election period and beyond. This support involves your assistancein making the election itself a success,but to be honest, it involves your continuing to suppoft our efforts to fund the SSN for several more 101
years while revenuesrecover and the need for emergencyassistance declines. Finally, I know that many of you have concerns about Indonesia's regional stability and integrity. We don't have time to go into these issues deeply here, and this is not the forum in any event. However, we believe that current initiatives to foster democratic and decentralized decision making, as well as a clearer division of central-regional financial resourceswill satisfy demands for increased control over local affairs. The ties that bind Indonesia remain strong. I believe that we will complete this difficult transition. Thank you for your time and attention.
Keynote Speech Menteri Negara PerencanaanPembangunan Nasional / Kepala Bappenas Pada Kongres Ikatan Alumni Australia ke - I Jakarta. 20 Maret 1998 Pertama-tamasaya ingin mengucapkan selamatkepada Ikatan Alumni Australia (IKAMA) yang telah berhasil menghimpun para anggotanya untuk mengadakan Kongres IKAMA yang pertama. Saya berharap semogaperan dan kegiatan IKAMA semakin mantap setelahkongresnya yang pertama ini. Dalam suasana prihatin sekarang ini, kita tidak bisa melepaskanpikiran kita dari krisis nasional yang sedangkita hadapi. Mengapa bangsa kita sampai mengalami musibah seperti ini? Sampai berapa lama kita harus menanggungnya?Apa yang harus kita lakukan? Itulah beberapa pertanyaan sederhanatapi mendasar yang sering kita dengar, atau barangkali kita sendiri menanyakannya. Pertanyaan-peftanyaanseperti itu wajar dan dapat dimengerti. Tetapi saya harus mengatakan bahwa ada sesuatu yang "salah" dalam nada dari pertanyaan-petlanyaantersebut.Seakan-akandi situ ada konotasi bahwa karena musibah itu datang dengan sendirinya, maka ia akan pergi dengan sendirinya. Seolah-olah yang rnelontarkan pertanyaan bukan bagian dari masalah itu sendiri dan bukan bagian dari pemecahannya.Pertanyaan-pertanyaanseperti itu mempunyai nada kepasifan, kepasrahanbahkan kebingungan. Kita perlu menyadari bahwa problem yang kita hadapi tidak akan berlalu dengan sendirinya. Kapan problem itu akan selesai, tergantung pada tekad kita, pada usaha kita, yaitu waktu, upaya, jerih payah, singkatnya pengorbanan yang kita bersedia berikan untuk memecahkanmasalah yang kita hadapi. Kita memanen hanya apayang kita tanam. Kita semua adalah bagian integral dari situasi yang ada. Kita semua adalah penumpang di suatu kapal. Tidak ada di antara penumpang yang statusnyahanya "pengamat". Ingat kata filsuf Inggris Francis Bacon bahwa dalam kehidupan manusia ini, hanya malaikat yang berhak menjadi penonton. Dalam krisis yang kita hadapi ini, kita semua pelaku, tidak ada yang hanya pengamat. Dan apabila kita semua adalah pelaku, kita perlu tahu kita ini pelaku macam apa. Seperti kata seorang Jenderal dari Amerika Serikat
103
hanya ada dua macam pelaku : "If you are not part of the solution, thenyou are part ofthe problem". Dalam mengatasi krisis nasional ini, kita semua, tentunya ingin jadi part of the solution bukan part of the problem. Dalam batas-bataskemampuan pribadi kita masing-masing, saya kira kita wajib memberikan sumbangan kongkrit bagi pemecahan masalah yang kita hadapi. Apa yang perlu kita lakukan? Secara mikro atau secara individu, ini semua terpulang pada hati nurani kita masing-masing, pada apa yang kita alggap terbaik yang dapat kita berikan kepada bangsa, pada saat bangsa ini memerlukan yang terbaik dari kita, Secara makro, apa yang perlu kita lakukan, menurut hemat saya, cukup jelas. Kenapa kita sampai terperosok ke dalam krisis? Kenapa kita, di antara negara-negarayang terlanda krisis, mengalami krisis yang terberat? Kenapa kita nampaknyayang paling sulit keluar dari krisis? Jawabnya,menurut saya adalahbahwa institusi-institusi yang menjadi pilar kehidupan kemasyarakatankita, di bidang ekonomi, hukum, sosial dan politik ternyata lemah, tidak tahan terpaan badai. Lebih dari itu, kelemahan yang ada dalam satu institusi temyala eral kaitannya dengan kelemahan yang ada di institusi lain. Sehingga gangguan pada satu institusi merembet cepat ke institusi-institusi lain. Alhasil, apa yang pada awalnyahanya berupa gejolak di pasar devisa, segera berkembang menjadi krisis perbankan, kemudian krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis politik dan sosial. Jadi kuncinya adalah membenahi institusi, mereformasi dan mengembangkan lembaga-lembaga penyangga kehidupan masyarakat kita. Suatu institusi bukanlah nama lembaga yang terpampang atau sebuah gedung yang megah. Institusi pada hakekatnya adalah kumpulan aturan main. Institusi adalah kumpulan manusia yang menjalankan aturan main tersebut. Perangkat lunak inilah ---aturan main dan manusia--- yang merupakan inti dari setiap institusi. Suatu institusi dikatakan lemah apabila aturan main tidak jelas, atau manusia pelaksananyatidak melaksanakanaturan main tersebut denganbaik, atau kedua-duanya. Membenahi suatu institusi adalah membenahi aturan main dan membenahi manusia-manusiapelaksananya.Inilah, menurut hemat saya, tugas utama kita beberapa tahun mendatang - institutional r eJbrms dan inst itut i onal development.
104
Tidak jarang dimasa lampau kita terlalu getol mengejar targettarget kuantitatif pembangunan,yang masing-masingmerupakanhal yang baik apabila dapat dicapai. Tetapi dalam prosespencapaianitu kita kurang memperhatikan institusi-institusi yang harus kita bangun. Institusi-institusi ini penting untuk dapat mencapai sasaransasaran tersebut secara wajar dan berkelanjutan. Bahkan demi tercapainya target, kita boleh potong kompas, mengabaikan aturan main dan menutup sebelahmataterhadap perilaku manusia-manusia pelaksananya yang menyimpang dari aturan dasar. You are judged by results; dan bahkan kadang kala the end justifies the means. Target tercapai, tetapi institusi tidak terbangun. Krisis ini membuka mata kita, bahwa institusi yang kuat dan berfungsi baik adalah basis dari ketahanan nasional. Aturan-aturan main yang rasional dan jelas dan diberlakukan secaraadil terhadap semua, sefta manusia-manusia pelaksana yang profesional dan mempunyai integritas pribadi yang tinggi adalah kunci dari kelangsungan hidup kita sebagai bangsa. Krisis ternyata dapat menghapus sasaran-sasaran yang kita capai bertahun-tahun. Tetapi krisis tidak dapat begitu saja merobohkan institusi-institusi yang mengakar dan berfungsi baik. Ke depan, pembangunan kelembagaan harus merupakan prioritas pembangunan. Pendekatan mission oriented, yaitu mencapai sasaran pembangunan at all costs, harus ditinggalkan. Hasil akhir ternyata bukan segala-galanya.Cara mencapaihasil itu sama pentingnya, atau bahkan lebih penting. Selamat tinggal Machiavelli. Kita beri penghargaan pekerjaan yar'g tidak glamorous, tapi sangat penting kepada mereka yang dengan penuh kesabarandan ketekunan menata dan menegakkan,blok-demi blok, aturan main yang baik. Kita beri acungan jempol kepada mereka teguh melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan main tersebut, Jangan lagi kita silau dengan hasil-hasil yang gemerlapan, apabila hasil-hasil itu dicapai hanya dengan membengkokkan aturan main dasar dan denganmerusak institusi. Lets go back to basics: respect and uphold rules. Demikianlah, sedikit food for IKAMA. Selamatberkonsres. Terima kasih.
tu)
thought bagi para anggota
TRANSKRIPSI DARI PENGANTAR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS PADA ACARA "COFFEE MORNING" DI RUANG RAPAT SERBA GUNA RABU,5 MEI1999-)
Assqlamu'al ai kum wr. wb. Salam sejahteradan selamatpagi. Kami dengan Pak Waka dan Bapak/Ibu Deputi sudah memikirkan cukup lama untuk membuat suatu forum dimana kita bisa berinteraksi secara tidak formal. Saudara lebih mengenal satu sama lain, lebih mengenal saya dan para deputi yang mungkin bukan deputi yang langsung membawahi saudara-saudara dan sebagainya; maksudnya supaya lebih akrab. Tapi memang hari ini nampaknya cukup formil ini, jadi seakan-akan suatu pertemuan briefing atau apapun. Tetapi saya minta, nanti untuk yang akan datang formatnya jangan terlalu formil supaya ada kesempatan untuk berinteraksi secara luwes, tidak terlalu kaku. Lupakan sementarastatus atau kedudukan saudaradi hirarhi birokrasi di sini untuk satujam. Barangkali supayaada komunikasi yang lebih lancar antaramasing-masing, horizontal maupun vertikal. Saudara-saudarasekalian, Hari ini saya kira sangatpenting untuk kita mencoba mengerti apa yang kita laksanakan,terutama di satu program atau kelompok program yang akhir-akhir ini mendapatkansorotan yang luar biasa, yaitu Jaring Pengaman Sosial. Ini bukan satu program, yang seperti nanti akan saudara ketahui. Saya yakin saudara-saudaraketahui juga, tetapi ada banyak program. Nanti kalau adayang mengatakan, suara-suaradihentikan, itu yang mana yang dihentikan. Kalau gagal itu yang mana, mana yang perlu diperbaiki, itu kuncinya - bukan hanya ngomong secaraumum hentikan itu saja. Saudara-saudarasekalian,
o)
Transkip dari salnbutan tanpa teks
106
Kita memang menghadapi psikologi masyarakat yang bagi kita-kita ini pelaksana,itu sesuatuyang agak sulit untuk kita kelola, kita handle. Kita menghadapi psikologi masyarakat yalg sangat kritis terhadap apa saja yang dilakukan oleh pemerintah. Ini kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa,tetapi barangkali akumulasi dari pengalaman-pengalamanmasa lampau sehingga seakan-akan masyarakat itu kehilangan kepercayaan dengan apa yang kita katakan. Apa merasaberlahun-tahun dikibuli atau bagaimana?Oleh sebab itu saya minta kita semua mulai sejak - ya ini sejak kabinet reformasi ini - jangan sampai kita ngibulin masyarakat. Saudara-saudarasekalian, Memang kita, bqttle kita itu uphill sekarangini. Sangatmudah dulu kita melaksanakan program tanpa ada suara-suara, tapi sekarang era reformasi harus kita terima sebagai situasi dimana koreksi itu harus kita terima dengan dada lapang - lapang dada atau dada lapang. Saudara-saudarasekalian, Psikologi umumnya seperli itu. Jadi kalau ada programprogram yang mendapatkan kritik, kita introspeksi apa benar ini, jangan menutup diri. Itu satu. Instrospeksi,kalau adayang bisa kita betulkan, kita betulkan. Tapi kalau sudah kita yakin itu betul, kita laksanakan dengan baik untuk kepentingan masyarakat, jangan ragu-ragu,maju. Saudara-saudara sekalian, Selain psikologi umum itu, saudara tahu bahwa menjelang Pemilu bahkan barangkali setelah pemilu nanti masih ada nuansanuansa politik itu akan menjadi sangat menonjol untuk semua isu. Semua masalah itu akhirnya disoroti dari berbagai aspek bahkan segi politiknya itu akan sangatmenonjol termasuk program ini. Dan ini berarti bahwa memang adayang menggunakan ini untuk - terus ierang - tujuan politik. Kita tak boleh menutup mata untuk itu. Kita di sini bekerja untuk rakyat. Jangan sampai kita terlibat pada masalah politik. Berkali-kali saya menyampaikankepada saudara,di luar juga; jangan sampai menggunakan program kita untuk money politic. Kita tidak menjagokan salah satu partai, yang kita jagokan adalah rakyat. Sangat berdosa kalau kita menggunakandana rakyat itu untuk salah satu kelompok saja. Jadi berpegang pada itu,
107
Saudara-saudarasekalian saya minta dalam melaksanakan apapun yangjadi tugasnya. Saudara-saudarasekalian, Kalau ada suara-suaramengenai money politic itu barangkali di luar kita. Bahkan yang menyuarakanmoneypolitic,barangkali itu yarg money politic. Kalau orang bayar orang untuk berbondongbondong datang mengenai sesuatu di manapun, itu yang money politic ya\g mar.a. Apakah yang bayarin orang itu atau yang dituduh untuk melakukan ini. Saya tidak akan memperpanjang ini tapi sekali lagi pegangan kita adalah jangan sampai kita memanfaatkan ini untuk salah satu tujuan politik yang hanya memenangkanatau memberi keuntunganbagi satu pihak saja. Begitu pentingnya pemilu ini, begitu pentingnya kita bisa melaksanakanpemilu ini dengan aman, dengan adil, jujur, dan yang penting itu credible, bisa diterima oleh masyarakat. Tanpa itu, saya kira kita masih dalam lingkaran setan krisis ini. Salah satu celah keluarnya adalah pemilu yang aman,jujur, adil, dan credible. Di situ moga-moga saja ketidakpastian politik ini akan menyurut dan itu akan menyelesaikanbanyak hal. Dari segi ekonomi, sebetulnyabanyak sekali langkah-langkah kita sudah in place, sudah jalan sebetulnya, sudah pada posisinya, yang belum selesai - sama sekali belum selesai. Saudara bisa melihat dari segi inflasi, dari segi kurs, dari segi suku bunga. Bahkan dari segi produksi, kuartal I 1999 itu sudah ada pembalikan dari kuartal IV tahun 1998. Pembalikan, artinya sudahmulai positif. Ini semua adalah gejala-gejala bagus. Bank sudah kita coba untuk kita bersihkan, segera kita benahi. Hutang-hutang swasta yang membebani sektor riil, juga kita upayakan diberi jalan-jalan keluar. Ini semua harapan kita, kalau suasana seluruh - suasana politik-sosial ini - cukup tenang, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa ekonomi kita akan kembali meningkat dengan cepat, tidak sepesimisseperti beberapapakar. Saya sangatoptimis sebetulnya, hanya pegangannya atau kuncinya adalah bahwa ini memang suasanapolitik sosialini tenang.Itu yang sulit memang. Tapi kalau kita sebagai bagian dari kapal ini tidak ikut-ikut menyumbang, kan ya salah. Jadi saya katakan kemarin waktu kita ketemu, saudara nyoblos sesuai dengan hati nurani saudara. Tapi
108
saya harapkan memang saudara nyoblos. Karena kalau pemilu ini tidak - misalnya saja yang nyoblos itu hanya 20-30 persen,sekarang yang sudah daftar itu sudah 80 persen lebih menurut yang saya dengar kemarin. Tapi kalau yang nyoblos hanya 20 persen kan itu artinya pemilu kiIa, ya bukan gagal, tapi artinya tidak credible. Sayang sekali bagi negara kita yang dalam proses transisi menuju demokrasi diberi kesempatan ada celah untuk melaksanakanproses demokrasi tidak kita pakai. Jadi pesan saya gunakan hak suara saudarasebaik-baiknya sesuai denganhati nurani saudara. JPS-JPS ini, saya ingin memberikan - nanti akan detailnya tentunya rekan-rekan lain akan memberikan, tapi JPS tidak ditunda. Jangan sampai saudarasalah. Kalau baca koran itu sekarangitu jadi pusing kita. Ada yang bilang ya di sini, koran yang lain hari yang sama mengatakan tidak. Jadi pokoknya harus hati-hati kalau baca, apalagi headlinenya. Kadang-kadang headline itu tidak cocok dengan isinya. itu sering kita jumpai. Jadi tidak ditunda. Yang kita lakukan adalah konsolidasi dari berbagai program tadi. Ada yang jalan sangat baik, ada yang jalan biasa-biasa saja, ada yang kurang baik. Yang itu, yang kurang baik itu kita perbaiki. Caranya, konsolidasinya adalah kita gabung atau kita hilangkan yang memang dulunya kurang perform denganbaik. Ini berasaldari input dari lapangan. Ada yang kita ubah tata carcrrya. PDM-DKE itu program kita, itu kita tahu ada input-input dari lapangan dan kita terbuka untuk itu, tidak usah kita defensif, menutup diri. Kalau ada kita perbaiki. Dan ini kita dalam proses memperbaiki tata caratya, termasuk monitoring, disbursment dan macam-macam. Jalan terus itu,hanyatata caranyakita ubah. Sambil menunggu tata aaraini kita menunggu. kita selesaikan dulu yang lampau, Tata cara kita akan ubah dan itu tetap jalan terus. Beberapa kita hapus, kita konsolidasikan,yang lainnya kita teruskan. Support dari luar yang sering kali mendapatkan komentar bahwa kita sudah tidak dipercaya, sangat memalukan kita ini. Support dari luar terhadap Indonesia masih sangat kuat, saudara tidak perlu ragu-ragu, saya bisa membaca itu. Dari semuanya, termasuk dari lembaga-lembaga internasional; Bank Dunia, IMF, IDB termasuk dari negara-negarapenting seperti Jepang, G7 itu semua mendukung upaya kita untuk kembali keluar dari krisis ini. Belum tentu, ya memang belum tentu mereka itu mendukung ini untuk pemerintah sekarang. Ini belum tentu, tapi nyatanya mereka
109
mendukung dalam forum-forum di manapun program kita didukung, itu problem mereka. Pokoknya kita mempunyai dukungan, bahkan tadi malam saya ngomong dengan Pak Hubert Neiss untuk mengatakan dia akan mendukung ini, diteruskan JPS, Dia akan memberikan komentar, statementdi luar, temyata pagi ini ada juga. Ini penting ini, jadi saudara-saudarasekalian jangan ragu kalau ada yang mengatakan "Wah sudah deh nggak didukung", sama sekali tidak benar itu, Sekarangmasih dalam proses terutama yatg social safety net adjustment loan yang sering dihebohkan itu $ 600 juta itu dalam proses sekarang sudah on the way ke board. Moga-moga saja bisa disetujui nanti tanggal 18 Mei kalau tidak salah, Mei. Nah ini menunjukkan bahwa dukungannya kuat, hanya memangkita perlu memperbaiki. Saudara-saudarasekalian, Itu saya kira yang penting, peftama kita meneruskan JPS dengan penyempurnaan. Kita tahu perlu disempurnakan. Kita mendapat dukungan untuk ini dari berbagai pihak yang memang memberikan dukungan dana maupun keahlian di sini. Jadi tidak ada. Jangan ragu-ragu bahwa itu tidak ada dukungan dari luar, sama sekali tidak benar. Dan yang ketiga kalau kita yakin bahwa apa yarrg kita lakukan ini untuk kepentingan rakyat dan kita sendiri bersih, tidak main-main, jangankhawath, jangan ragu-ragu,jalan terus.
Terima kasih.
I(as sal amu'ctlaikum wr. wb.
110
Statement to The Interim Meeting of the Consultative Group for Indonesia Dr. Boediono Minister of State for National Development Planning/ Chairman of Bappenas Ladies and gentlemen, Good morning, I am once again pleased to join with the World Bank in welcoming you to this interim meetingof the CGI. We would like to take this opportunity to share views on the events and policy changesof the last few months, look aheadat what we expect in the months ahead and continue preparations for the Consultative Group meetingstentativelyset for July 27-28 inParis. The situation has continued to change dramatically. The macroeconomic situation in January was better than it had been in 1998, but was still uncertain as the rupiah was volatile, monthly inflation rates appearedto be rising and interest rates had plateaued. More recently inflation has been negative for two months, the rupiah is strengthening (is now close to the runge we had predicted for the budget), and interest rates are declining again. Finally, although much if not most of the work remains to be done, there has been important progress in the areas of bank and corporate restructuring. Till now we have argued that these promising signs were the preconditions for general recovery, but we are now seeing the signs of recovery in the real sector as well. The first quarter this year saw positive real growth and we are cautiously raising our estimatesfor growth for the entire year. These eventshave not gone unnoticed and the stock market has also seen some dramatic increasesin the last month. I will leavethe detaileddiscussionof the macroeconomic situation for later this morning but on behalf of the GOI I can state that we are pleased with the signs of recovery in recentvveeks. Perhaps most impressive of all is that these strong signs of recovery are occurring only one month before a what both domestic and fbreign observers agree will be a watershed election. There are lll
clearly external sources to the current rally in the exchange and stock market, but I believe that these rallies can only be interpreted as signs of confidence. In fact this confidence has two parts. First, that the recent policy direction is on the correct path and secondthat post election economicpolicies will continueto be clear, consistent and credible. Let me repeat my warning of last January though. Recovery is no certainty. Much depends on continuing our efforts to stabilize and reform the economy with the expectation that successin these areaswill pay dividends in political and social stability which will remain difficult. The election is a watershed event but will not eliminate uncefiainty and economic difficulty. The exact magnitudes of the numbers of poor and unemployed due to the crisis are still being determined.However the real impacts may not be found in these statistics but rather in the steep declines in real incomes and the shift of people to less secure and lower paid informal and agriculture sector employment and these are real sourcesof pain and insecurity. Thus is it critical that we continue to maintain government spending at the levels budgeted for the year ahead. Such an effort will maintain consistency in the post election period and continue to fuel the recovery. There is much talk about the recent rise in oil prices, and revised growth estimates,and the strength of income tax receipts. These are certainly positive but we can not count on them in our planning. Oil prices remain extraordinarily volatile and it would be very unwise to adjust our estimated revenues upward at this point. Second, the tax picture remains very uncertain, value added taxes have not done well at all, the upward revisions in growth are very modest, and we project that high income tax receipts may level off or even decline with falling interest rates and a strengthening rupiah. All in all we will continue to need your assistanceto reach the levels of development spending projected in the budget. Before closing let me turn to another area, Ihal has been occupying our attention in the last few months, at least for those of us at Bappenas. There has been some confusion about the spending on Social Safety Net programs and the role of the recently negotiated World Bank loan in this area. The Bank will discuss
112
these issuesin more detail but let me also take a moment to clear the air on this topic. We prepared last year's budget at the virtual bottom of the crisis approximately ayeat ago. We new, and statedeven then, that we could not come up with new "Social Safety Net"programs at the level needed to restore economic activity and protect the poor. We lacked the information, human resourcesand institutional structures to perform such a massive task. Thus we were indicating to the donors that while new programswould be developed,by necessity, existing government programs with a high labor content or other social safety net criteria would also be included. As I indicatedto many of you in the development community in my remarks in Australia even this effoft was difficult because of the lack of certainty about the level and even existence of donor funding and we got off to a very late start. In particular developing new programs has been difficult and we have not done as well in targeting, monitoring and evaluating these programs as I, or any of us at Bappenas, would have liked. In retrospect we should have been clearer about the distinction between "core" or new programs and the reorientation and strengthening of existing programs with SSN characteristics. These existing programs were and are important to the functioning of the government, do create employment and demand more generally and as such create the conditions for stabilization and recovery. More importantly they do not in any way per-se representa mis-allocation or mis-targeting of resources. To be candid we have to admit that the hurry to put in place the new "core" programs created problems. Core health and education programs and the rice support program have worked reasonably well. However, the employment generation programs have had serious problems. Partly this has been due to misunderstanding, but partly this has been due to ineffectivenesson the palt of officials involved. We are moving to improve the delivery of services in these areasand have recently agreedwith the Bank on a series of measuresthat we believe will significantly improve these programs. There are five elements to the improvements we are putting in place. First, we are moving to make the programs simpler and easierto supervise,secondwe are using improved information to better target delivery in line with the
113
situation in the locale in1999, and third we are putting in place an extensive information campaign to raise awarenessat every level of the services available in eachplace, fourth we arc putting in place a complaint resolution system, and finally we are moving to focus more resourceson women who have been laid off. Finally, one last issue has been raised that I would like to address.This includes the possibility that SSN funds are being used to effect the election. This is certainly not the intended use, and we will do everything that we can to stop this. However, there have been and probably will continue to be caseswhere individuals and organizations claim credit for these programs to affect the outcome of the election, this kind of behavior is not unique to Indonesia. Taking political credit for these programs is not right or fair, but the solution is not to stop the programs. The solution is the kind of public information campaign we are putting in place. Again there are signs of recovery but the recovery is far from robust and could easily stall. Our hopes are built on a political and economic rebirth and the CGI in July will come at a critical moment. We need your continued financial and vocal support to reinforce our own efforts in the months and vear ahead.
Thank you very much.
Jakarta, May 11,1999
t14
SKETSA -) PEREKONOMIAN INDONESIA MODERN Disampakan Pada Sidang DPK-EKU Mei.1999 Lebih dari 200 tahun, paling tidak sejak Adam Smith (Wealth of Nations, 1776), para ahli mencoba menyingkap rahasiamengapa bangsa yang satu lebih cepat maju daripada bangsa yang lain. Sampai saat ini upaya ini belum juga tuntas. Tetapi paling tidak sekarang sudah ada konvergensi pandanganmengenai faktor-faktor dasar yang dianggap menentukan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Setiap bangsa mempunyai budaya yang berbeda, sistem politik berbeda, iklim dan sumber alam yang berbeda, tetapi ada elemenelemen dasar yang harus ada untuk mendukung kemajuan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan. Elemen-elemen dasar ini merupakan building blocks dari setiap perekonomianmodern. Apa elemen-elemenini? Gambarberikut ini merekamelemenelementersebut.Secarasaris besar: o Peningkatan produktivitas adalah kunci bagi peningkatan kemakmuran atau pendapatanmasyarakat. Kemakmuran akan terus meningkat apabila produktivitas dapat terus menerus ditingkatkan. .
Produktivitas berasal dari interaksi 2 faktor kunci, yaitu: (a) kemampuan teknologi yang memberikan kemampuan untuk memanipulasi alam dan (b) kemampuan yang institusi menerjemahkan kemampuan teknologi menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari.
o Kemampuan teknologi suatu bangsa akhirnya beftumpu kepada mutu sumberdaya manusicrnyayalg tercermin pada kualitas hasil lembaga risetnya dan pada mutu sistempendidikannya.
o)
Disarnpaikan pada Sidang DPK-EKU, Mei 1999
l15
Kemampuan institusi ditentukan oleh 5 unsur pokok, yaitu: -
mqtauangyang stabil
-
lembaga keuanganyang sehat
-
pqsqr yang kompetitif
-
sistem hukum yang adil dan efekttf
-
pemerintahan/birokrasi yang bersih dan efektif
Pendapatan nasional terbagikan kepada para warga masyarakat melalui proses produltsi dan prrsses transfer. Proses produksi paling menentukan pola distribusi pendapatan dan proses transfer biasanya bersifat pendukung. Dalam proses produksi mutu sumberdaya manusia merupakan faktor paling menentukan; semakin merata mutu sumberdaya manusia semakin merata distribusi pendapatan via proses produksi. Prosestransfer dalam negara modern terutama dilaksanakan melalui sistem p erp aj akan/p engeluar an negcr a danj ar ing p engqman sosiql. Apabila pola distribusi awal sangat timpang, proses transfer yang lebih radikal, yaitu redistribusi aset (misalnya: land reform) kadangkala jnga dilakukan. Sementaraitu program khusus untuk usaha kecil dapat pula mempengaruhi distribusi pendapatan melalui proses produksi atau prosestransfer.
l16
KERANGKA DASAR PEREKONOMIAN INDONESIAMODERN
117
I.
PERTUMBUHAN EKONOMI
Kemakmuran Bersumber dari Produktivitas Konvergensi pandangan yang paling mendasar,di antara para ahli adalah bahwa dalam jangka panjang sumber utama peningkatan kemakmuran bangsa adalah peningkatan produktivitas dan bukan berlimpahnya sumber alam. Sejarah negara-negara modern membuktikan bahwa peningkatan produktivitas inilah yang merupakan sumber utama dari kemajuan negara-negatatersebut. Dalam kurun waktu ratusan tahun, "kue nasional" mereka meningkat karena produktivitas mereka meningkat, Produktivitas bersumber dafi kreativitqs manusia, Tersedianya sumber alam membantu, tetapi tidak selalu, dan justru dapat menghambatapabila melemahkan semangatatau etos kerja, Faktor Kunci: Teknologi dan Institusi Apa yang menentukan produktivitas? Secara mikro, peningkatan produktivitas adalah proses yang kompleks. Secara makro, seperti yang disebutkan di atas, produktivitas pada hakekatnya berasal dari interaksi 2 faktor kunci, yaitu: (a) kemampuan teknologi atau kemampuan memanipulasi alam, dan (b) kemampuan institusi untuk menerjemahkan ide atau kemampuan teknologi menjadi reahta, yaitu menjadi bagian sehari-hari kehidupan masyarakat. Semakin cepat kemajuan teknologi dan semakin efektif institusi-institusi tersebut, semakin cepat laju peningkatan produktivitas, Mutu Sumber Daya Manusia Apa yang menentukan kemajuan teknologi? Teknologi adalah produk dari riset. Oleh karena itu, mutu lembaga-lembaga riset sangat menentukan kemajuan teknologi. Mutu lembaga riset terutama ditentukan oleh mutu para penelitinya. Mereka ini adalah produk dari sistempendidikan yang bermutu. Sistem pendidikan itu sendiri merupakan subset dari kebijakan peningkatan mutu sumber daya manusia yang lebih luas dan mencakup tidak hanya aspek pengetahuan dan ketrampilan, tetapi juga aspek kesehatan, aspek etika dan moral singkatnya, pengembangan manusia seutuhnya. Penekananpada pendidikan disini dimaksudkan untuk memberikan fokus pada segi ini.
118
Lima Institusi Pilar Institus i-institusi ekonoml mempunyai peranan sangat penting karena menentukan apakah ide-ide dapat diterjemaltkan menjadi realita. Ide akan tetap tinggal jadi ide dan tidak memberikan manfaat apabila institusi-institusi ekonomi tidak mampu mengubahnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Seperti disebutkan di atas, ada 5 pilar dasar dalam kelembagaan ekonomi, satu sama lain saling menunjang dan kesemuanyaharus merupakan sasaran utama kebijakan pembangunan kelembagaan untuk beberapatahun mendatang.Kelima pilar dasartersebut adalah: c
Matauqngyang Stabil
o
Lembaga Keuanganyang Sehat
o
Pasar yang Kompetitif
o
Sistem Hukum yang Adil dan Efektif
c
Pemerintahan/Birokrasi yang Bersih dan Efektif
Fakta yang menyolok di negara-negaraberkembang,termasuk Indonesia, adalah bahwa institusi-institusi pokok ini belum berfungsi dengan baik, sehingga kegiatan ekonomi belum memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Banyak sekali nilai tambah atau produksi potensial yang hilang begitu saja setiap tahunnya, karena "bocor" melalui institusi-institusi ekonomi yang tidak berjalan baik. Tanpa perbaikan institusi-institusi ini lebih dahulu, kenaikan produktivitas potensial yang dengan susah payah diperoleh dari upaya pengembangan teknologi hanya akan hilang ditelan "lubang hitam" (black holes) ini. Pembenahan kelima institusi pokok ini sangaturgen untuk dilakukan. Matauang yang Stabil Matauang yang stabil mempunyai banyak keuntungan, antara lain: r
Membantu terpeliharanyaketenangansosial
o
Mempermudah kalkulasi perusahaan
r
Mendorong wirausaha untuk memusatkan energinya pada peningkatan efisiensi dan inovasi produksi dan bukan pada
119
kegiatau untuk mengejar capital gain atau menghindari capital loss r
Menurunkan biaya dana (suku bunga)
o
Melindungi mereka yang berpenghasilantetap
Secara operasional, matauang dikatakan stabil apabila di negara itu laju inflasi rendah (0 -2% untuk negaramaju dan 0 - 4% untuk negara berkembang karena masih adanya rigiditas struktural dalam perekonomiannya). Pengendalian inflasi adalah kuncinya. Dengan laju inflasi yang rendah, kurs otomatis akan stabil dan suku bungarendah. Prasyaratbagi terciptanyamala:uangyang stabil adalah: r
bank sentral yang independen dan sekaligus accountable secara profesional dan hukum
r
lembaga-lembagakeuangan yang sehat
.
kebUakanfiskal dan moneter yang berhati-hati
Lembaga Keuangan yang sehat Lembaga keuangan dan matauang mempunyai hubungan dua arah yang erat. Lembaga keuangan yang sehatmerupakan prasyarat bagi terciptanya matauang yang stabil dan sebaliknya malauang yang stabil sangat membantu terciptanya lembaga keuangan yang sehat. Lembaga keuangan adalah pelaku utama sistem pembayaran nasional dan wahana penting penyaluran dan alokasi dana pembiayaanke bidang-bidang usaha.Lembaga keuanganyang sehat memperlancar dan meningkatkan efisiensi kegiatan ekonomi. Prasyarat bagi terciptanya lembaga keuangan yang sehat antara lain adalah: .
adanya lembaga pengawasan yang independen dan efektif terhadap semua lembagakeuangan
.
diterapkannya standar-standar prudential internasional bagi semua lembaga keuangan
r
diterapkannya standar transparansi dan akurasi pelaporan perusahaankepada publik
120
Pasar vang Kompetitif Pasar yang kompetitif di semua sektor menjamin terselenggaranya alokasi sumberdaya ekonomi yang optimal bagi ekonomi nasional. Seperti halnya dengan sistem-sistemyang lain, sistem pasar dapat mencapai hasil yang maksimal apabila hambatanhambatan (constraints) yang membebaninya minimal. Hambatan terhadap proses kompetitif timbul karena lembaga-lembaga penunjang pasar yang ada (prasaranafisik, prasaranahukum) belum berjalan baik atau karena aturan-aturan lain yang dibuat oleh Pemerintah sendiri. Hambatan terhadap bekerjanya mekanisme pasar banyak dijumpai rli negara-negara berkembang. Langkah-langkah yang perlu adalah sebagaiberikut: o
Deregulasi dan debirokratisasi, yaitu menghilangkan ketentuan-ketentuan (daerah dan pusat) yang tidak perlu dan justru menghambat kegiatan ekonomi normal. Ini merupakan langkah yang paling mudah dilaksanakan dan paling cepat memberikan hasil dan oleh karena itu perlu dilakukan sejauh nrungkin.
.
Pelaksanaan Undang-Undang Anti Monopoli. Deregulasi tidak cukup untuk menghilangkan semua hambatan yang ada. Pelaksanaan Undang-Undang Anti Monopoli secara proaktif perlu untuk menghilangkan har d-c or e c onstr aints.
c
Tindakctn Proaktif untuk Membangun Kelembagaan Pasar. Terutama di negara berkembang, adakalanya sebagian pasar tidak berfungsi dengan baik karena kelemahan-kelemahan kelembagaan. Dalam hal ini Pemerintah harus proaktif memperkuat atau menciptakan lembaga-lembaga penunjang pasar itu sendiri. Pemerintah bertindak sebagai kqtalis. .Penlbentukanbursa saham dan bursa-bursakomoditi lain oleh Petrerintah adalah salah satu contoh. Di sektor-sektor lain, dukungan parsial, seperti diseminasi informasi pasar dapat membantu fungsi pasar. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa Pemerintah hanya sebagaikatalis dan sesegeramungkin menyerahkan fungsi tersebut kepada swasta. Harus dihindari keterlibatan terus menerus Pemerintah dalam pelaksanaan pasar.
121
Sistem Hukum yang Adil dan Efektif Dukungan regara yang paling penting terhadap sistem pasar adalah di bidang prasaranahukum. Pasarberfungsi baik apabila ada aturan-aturan main yang transparan, sanksi-sanksi yang jelas bagi pelanggar, dan penyelesaiandisputes yang cepat. Prasaranahukum bagi sistem pasar harus dibangun secarasistematis dan selanjutnya terus menerus disesuaikandengan perkembangankegiatan ekonomi itu sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri. Pemantapan prasarana hukum bagi sistem pasar ini merupakan bagian dari reformasi hukum secaramenyeluruh. Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Efektif Birokrasi yang bersih dan efektif sangat menentukan apakah kebijakan yang digariskan Pemerintah dapat berjalan baik di lapangan. Reformasi birokrasi secara mendasar, termasuk rasionalisasi, peningkatan gaji yang substansial,pembaruan sistem karier, penegakan disiplin mempunyai dampak yang luas kepada perbaikan kinerja ekonomi Indonesia. Penciptaan Birokrasi yang berdasarkan meritokrasi harus menjadi prioritas utama kebijakan pembangunankita di tahun-tahun mendatangini.
il.
PEMERATAANPENDAPATAN
Pendidikan Kunci Pemerataan Produktivitas yang meningkat cepat akan menghasilkan produksi nasional yang meningkat cepat. Memaksimumkan "kue nasional" adalah satu tujuan utama setiap sistem ekonomi. Membagikan "kue" tersebut secara adil dan merata adalah tujuan utama lainnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa di negaranegara modern mutu sumber daya manusia adalah faktor utama yang menentukan tingkat penghasilan.Khususnya ditemukan bahwa pendidikan adalah kunci bagi mobilitas vertikal maupun horisontal bagi para pelaku ekonomi. Dengan demikian, dalam masyarakat modern, pemerataan pendidikan dan kesehatan yang bermutu merupakan instrumen utama untuk pemerataan pendapatan anlar warga masyarakat. Peningkatan mutu sumber daya manusia mempunyai dampak ganda, yaitu terhadap produktivitas (dengan
122
demikian, pefiumbuhan produksi nasional) dan terhadap mobilitas (dengan demikian, pemerataanpembagianpendapatanmasyarakat). Dibantu Instrumen Fiskal dan JPS Strategi pemerataanpendidikan dan kesehatanyang bermutu sebagai instrumen pokok pemerataan perlu didukung oleh dua instrumen lain, yaitu: o
Sistemperpajakan progresif dan pengeluaranpemerintah yang mendukung pemerataandan infrastruktur ekonomi dasar.
t
Jaring Pengaman Sosial yatg dapat melindungi kelompok miskin dan masyarakat dari dampak negatif peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diperkirakan.
Redistribusi Aset Di negara-negara berkembang sering dijumpai penguasaan aset ekonomi antar warga masyarakat sangat timpang, khususnya tanah. Dari sini timbul pandanganbahwa apaya\g dilakukan di atas tidak cukup, atau terlalu lama dan perlu dibarengi dengankebijakan redistribusi aset, khususnya tanah. Land reform dapat membantu pemerataan. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses peningkatan kemakmuran yang mengandalkan pada sistem pasar tersebut di atas sangatpeka terhadap perubahaninsentif dan tingkat kepercayaan (confidence) para pelaku utamanya (produsen, investor, inovator). Globalisasi meningkatkan derajat kepekaan ini. Oleh karena ilu, land reform, apabila perlu, harus dilaksanakan dengan cara dan dalam bentuk yang market friendly sehinggatidak mengganggu insentif dan confidence tersebut. Program Usaha Kecil Usaha kecil sering menghadapi kendala-kendalakelembagaan yang tidak dihadapi oleh usaha-usahabesar.Hambatan-hambatanini yang paling pertama harus dihilangkan untuk menciptakan level playingfield bagi usaha kecil. Selain itu praktek-praktek monopoli, yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh yang besar, juga dapat menjadi penghambat dan harus dihilangkan. Di sini upaya pemerataanberjalan seiring dengan upaya untuk menciptakan pasar yang kompetitif dalam rangka mencapai efisiensi optimal, Banyak yang dapat dilakukan untuk membantu usaha kecil di 2 bidang ini: menghilangkan hambatan kelembagaan dan menghilangkan tzt
praktek-praktek monopoli. Upaya untuk membantu usahakecil akan bertabrakan dengan prinsip efisiensi apabila yang diinginkan lebih dari ini. Standar ganda dalam penerapan kaidah-kaidah efisiensi terhadap para pelaku ekonomi sebaiknyadihindarkan.
III.
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
PengamanarrSaving-InvestmentGap Sampai sekarang Indonesia masih harus mengandalkan pada dana luar negeri untuk menutup kekurangan pembiayaan pembangunannya.Bagi negara berkembang, tabungan dalam negeri hampir selalu tidak cukup untuk membiayai investasinya; dengan kata lain adanya saving-investment gap adalah hal yang normal. Yang penting untuk dijaga adalahrambu-rambu berikut: .
Setiap tahunnya gap tersebul tidak boleh melebihi batas yang aman. Saving-investment gap perdefinisi sama dengan defisit transaksi berjalan. Oleh karena itu defisit transaksi berjalan ini harus diamankan. Salah satu rule of thumb: defisit transaksi berjalan (sebagai % GDP) tidak melebihi % dari laju pertumbuhan GDP.
.
Proyek-proyek investasi yang dibiayai pada prinsipnya harus benar-benar diseleksi atas dasar kriteria ekonomis yang cermat dan obyektif. Proyek-proyek semacam ini akan dapat "membayar kembali" biaya investasinya sendiri tanpa membebaniekonomi nasionaldi masadepan.
.
Bagi proyek-proyek yang menggunakan dana luar negeri sebaiknya juga mempunyai income streams dalam devisa yang cukup.
.
Proyek-proyek yang tidak lulus uji komersial normal, tetapi dianggap perlu (misalnya, proyek-proyek yang bersifat developmental dengan jangka waktu panjang sebelum menghasilkan manfaat atau manfaatnya tersebar luas ke masyarakat, dan proyek-proyek "sosial"), perlu dipilih dengan cermat berdasarkan prinsip minimum costs. Dan agar tidak mengganggu cash flow makro seperti yang disyaratkan dalam rambu pertama di atas, jumlah proyek-proyek semacam ini dibatasi.
t24
o
Perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya "gelembung" (bubbles), yaitu entusiasmeyang berlebihan dalam berinvestasi yang akhirnya "pecah" dan menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi khususnya sektor keuangan. Bubbles biasanya terlihat di bidang properti dan bursa saham. Kebijakan fiskal-moneter proaktif untuk mengantisipasi berkembangnya b ubbles perlu dilaksanakan.
Kemandirian Pembiayaan Pembangunan Sejarah pembangunan ekonomi bangsa-bangsamenunjukkan bahwa Saving-Investment Gap secara bertahap akan menurun sejalan dengan kemajuan ekonomi bangsa itu. Pada tingkat kemajuan ekonomi tertentu, gap tersebut akan berubah dari negatif menjadi positif dan negara tersebut menjadi capital exporting country. Kemandirian Indonesia dalam pembiayaanpembangunanakan dapat dicapai secara bertahap melalui upaya peningkatan tabungan nasional secara sistematis dan dengan tetap menerapkan seleksi ketat terhadap proyek-proyek investasinya. Salah satu sasaranantata, sebelum dicapai kemandirian penuh, adalah dengan mengembangkan pasar modal dalam negeri (untuk saham maupun obligasi). Saham dan obligasi dalam negeri secara bertahap dapat dikembangkan dan didorong untuk menggantikan pinjaman luar negeri baik oleh swasta maupun oleh Pemerintah. Dalam hal ini rambu-rambu kehati-hatian makro tetap perlu diperhatikan.
Taman Suropati, 24Mei 1999
125
Pengarahan Menteri Negara PerencanaanPembangunan Nasional / Kepala Bappenas Pembiayaan Dalam Rangka PengentasanKemiskinan Daerah Kumuh Perkotaan, Daerah Pantai Dan Desa Tertinggal Dalam Raker Menko Kesra dan Taskin Jakarta. 8 Juli 1999
Pendahuluan Program penanggulangan kemiskinan pada dasarnya tetap mengacu pada kebijakan yang sekarang sedang dilaksanakan, dengan melakukan beberapapenyempurnaansehingga pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dapat lebih terpadu dan menyeluruh. Keterpaduan program penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan koordinasi Kantor Mesko Kesra/Taskin. Berbagai hambatan prosedural dan birokrasi yang selama ini dianggap mengurangi efektifitas dan efisiensi pelaksanaan program diusahakan dihilangkan. Perubahan juga dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan LSM, organisasi keagamaan secara langsung baik dalam pelaksanaan maupun dalam pengawasan. Dengan perubahan seperti ini upaya penanggulangan kemiskinan akan benar-benar menjadi gerakan seluruh masyarakat yang berlangsung secaramandiri, terencana,sistematisdan terpadu. Sebagai kelanjutan program IDT, Bappenas bersama dengan Deparlemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Keuangan mengkoordinasikan pelaksanaan Program Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program PengembanganKecamatan (PPK), Program PemberdayaanDaerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan Program pengananan wilayah perkotaan, serta Program kumuh PengembanganEkonomi Masyarakat di Daerah (PEMD)
tzo
Program Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) Program P3DT yang dimulai sejak tahun anggaran199511996 dimaksudkan untuk memperkuat kedua protgam IDT (bantuan modal usaha dan pendampingan) sefta untuk meningkatkan dan mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan dalam bentuk penyediaan prasaranadasar. Prasaranadasar yang dibangun adalah jalan, jembatan, tambalan perahu, air bersih dan MCK. Kelima komponen prasarana tersebut dapat dipilih sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing desa. Pada dasarnya tujuan Program P3DT adalah untuk menyediakan prasarana guna mendukung kegiatan usaha masyarakat desa, namun lebih ditekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di desa tefiinggal. Pemberdayaan terhadap masyarakat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pelestarian prasarana yarg akan dan telah dibangun. Dengan sasaran yang akan dicapai adalah (1) meningkatkan akses pemasaran dan mengurangi isolasi daerah, khususnya di desa tertinggal, (2) meningkatat derajat kesehatan masyarakat di desa tertinggal, (3) menciptakan lapangan kerja di perdesaan, (4) meningkatkan kapasitas manajemen pemerintah daerah tingkat II, kemampuan kelembagaan desa, dan peran sefta masyarakat, (5) meningkatkan ketrampilan masyarakat desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan prasarana, dan (6) meningkatkan pembentukanmodal di desa. Pelaksanaan bantuan P3DT menggunakan pendekatan kelompok wilayah beberapa desa, dengan menggunakan pola pelaksanaan swakelola dan pola kerjasama operasional. Pola swakelola dilakukan oleh masyarakat melalui wadah LKMD dan diberikan bantuan teknis oleh konsultan pendamping. Sedangkan pola kerjasama operasional dilakukan oleh kontraktor dan harus bekerjasama dengan LKMD. Untuk tahun anggarar. 199912000 alokasi danaP3DT sebesarRp. 1.037.miliar.
Program PengembanganKecamatan (PPK) Sebagai upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan, pemerintah memendang perlu meningkatkan bantuan pembangunan
121
kepada masyarakat desa melalui pengelolaan di tingkat kecamatan yaitu program pengembangan kecamatan (PPK). Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendukung lebih lanjut pelaksanaanprogram IDT, khususnya untuk meningkatkan keterpaduan pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembangunan prasarana dan sarana perdesaan dengan cakupan lebih luas untuk memenuhi kebutuhan masyarakatperdesaan. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) bertujuan memberdayakan masyarukat, memperkuat kelembagaan, dan mempercepat penanggulangan kemiskinan secara nasional melalui pemberian bantuan berupa modal usaha untuk pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembangunan prasa.ranadan sarana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi perdesaan. Dengan sararanpokok yaitu (l) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan dan melestarikan kegiatan sosial ekonomi masyarakat perdesaan,(2) meningkatkan kegiatan usaha, lapangan kerja dan sumber pendapatanbagi masyarakat perdesaan, (3) tersedia prasarana dan sarana bagi pengembangan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (4) meningkatkan kemampuan lembaga dan aparal di tingkat desa dan kecamatan untuk mengkoordinasikan dan memberdayakan masyarakat dalam melaksanakanprogram pembangunan. Sasaran lokasi adalah kecamatan dengan kriteria (1) jumlah desa tertinggal dalam kecamatan relatif besar, (2) presentasijumlah penduduk miskin lebih besar, (3) lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD) dan Unit Daerah Kerja Pembangunan(UDKP) telah terbentuk dan berjalan, dan (4) kecamatanyang mendapat bantuan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal atau bantuan lainnya lebih dari 5 desa dalam tahun afiggaran yang bersamaam. Untuk tahun anggaran 199912000 alokasi dana PPK sebesar Rp. 490,5miliar.
Program Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Akibat dari krisis ekonomi dan kekeringan maka daya beli masyarakat dan kegiatan ekonomi rakyat semakin menurun sehingga membawa dampak pada meningkatnya penganggurandan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun di 128
daerah perdesaan, Untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi tersebut pemerintah mengambil kebijakan dan langkah-langkah dalam bentuk program Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Program Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) bertujuan (1) meningkatkan kemampuan dayabeli masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, (2) menggerakkan kembali ekonomi rakyat dengan membangun kembali saran&dan prasarana ekonomi dan sosial yang mendukung sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang diusahakan oleh rakyat dan dibutuhkan oleh masyarakat, dan (3) meningkatkan fungsi sarana dar' prasarana sosial ekonomi rakyat sefta memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasarankegiatan program PDM-DKE adalah (l) pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi rakyat dan kelestarian lingkungan hidup antara lain jalan, saluran irigasi, pembuangan sampah dan lain-lain, (2) segala macam kegiatan ekonomi rakyat termasuk peningkatan ketahanan pangan, pengembangan usaha masyarakat yang mengalami kelesuan dengan pemberian modal usaha, dan pemantapan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi. Sedangkan sasaran penerima adalah penduduk miskin baik di pe*otaan maupun di perdesaan, yailu penduduk yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilannya,dan yang tidak cukup mempunyai sumber penghasilanbagi pemenuhankebutuhan hidup sehari-hari khususnya untuk pengadaanpangan,pembiayaan untuk pendidikan dan kesehatan, serta kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Untuk tahun anggaran 1999/2000 alokasi dana untuk program ini direncanakansekitar Rp. 800 milyar.
Program PenanggulanganKemiskinan di Perkotaan (P2KP) Program penanggulangan kemiskinan yang saat ini sedang dipersiapkan adalah Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Tujuan Program P2KP adalah mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui (1) penyediaan dana pinjaman untuk pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembukaan lapangan kerja baru, (2) penyediaan dana untuk pembangunan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang langsung
r29
maupun tidak langsung , (3) peningkatan kemampuan perorangan dan keluarga miskin melalui upaya bersama berlandaskan kemitraan, yang mampu menumbuhkan usaha-usaha baru yang bersifat produktif dengan berbasis pada usaha kelompok, (4) penyiapan, pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat di tingkat kelurahan untuk dapat mengkoordinasikan dan memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan, dan (5) mencegah penurunan kualitas lingkungan, melalui upaya perbaikan prasaranadan saranafisik. Program ini direncanakan akan diluncurkan pada tahun anggaran 1999/2000 dengan bantuan dari Bank Dunia sebesarRp. 573 milyar. Dengan kegiatan antara lain (l) bantuan kredit modal kerja bergulir bagi upaya peningkatan pendapatan secara berkelanjutan, (2) bantuan untuk pembagunan/rehabilitasiprasarana dan sarana dasar, dan (3) bantuan penciptaan kesempatan kerja, termasuk pelatihan untuk mencapai kemampuan mengembangkan kegiatan usaha-usahanya.
Program Kumuh
Peningkatan Prasarana Permukiman
Di
daerah
Program Peningkatan Prasarana Permukiman Di Daerah Kumuh/Nelayan bertujuan untuk melaksanakan pembinaan pengendalian pembangunan prasarana dasar perumahan dan permukiman yang meliputi pembangunan yang menunjang peningkatan pelayanan efisiensi permukiman kawasan kumuh/nelayan, penangananbanjir dan rawan kekeringan. Dengan kegiatan meliputi pembuatan saranadrainase,perbaikan lingkungan perumahan dan pembuatan saranaair bersih. Untuk tahun anggaran 1999/2000 terdapat di 13 propinsi dengan alokasi dana sebesar440 rniliar.
Program (PEMD)
Pengembangan Ekonomi Masyarakat
di Daerah
Program lain yang dikembangkan untuk penanggulangan kemiskinan adalah peningkatanjaringan kerja produksi - pemasaran agar masyarakat petani/nelayan dapat terlibat dalam kegiatar mata rantai kegiatan usaha melalui peningkatan bantuan modal usaha 130
penyedia sarana pendukung usaha, pengembanganjaringan usaha, dan penyediaan pelatihan ketrampilan. Kegiatan ini terkait dengan upaya pengelolaan ekonomi di tingkat daerah yang didasari pada bentuk koalisi antar pelaku dan dengandukungan dari pihak swasta, Saat ini sedangdisiapkan pinjaman dari negara/badanpeminjam dan dengan bunga lunak.
----- o -----
131
The Agenda in Public Procurement By Dr. Boediono Minister of State for National Development Planning / Chairman of National Development Planning Agency Republic of Indonesia Jakarta, July22,1999
Good morning ladies and gentlemen, Thank you for allowing me to share our thinking on the issue of public procurement with you this morning. The last couple of months have revealed the first signs of a recovery from the crisis that began in July 1997 and this recovery is clearly welcome. However, the crisis has left many seriousproblems in its wake. Real incomes have fallen dramatically, firms have closed and workers have been laid off, while poverty has mounted. With the help of the donor community we tried to maintain basic services but we inevitably fell behind in spending on infrastructure maintenance, and in our efforts to maintain much less increasethe levels of schooling and health. Thesewill needto be made up as the economy and budget begins to return to normal. There are at least two other legacies of the crisis. First, the increasedforeign borrowing that allowed us to maintain government services and the fiscal consequencesof bank restructuring will limit the resources available to government to address these spending needs. Second, as the crisis spread the extent of institutional weakness in both the integrity and ability of the government to deliver serviceswas revealed.The confidenceof the people in the government apparatus was seriously damaged by the revealed corruption, collusion and nepotism(KKN) as well as incompetence. We must rebuild this trust as we rebuild the economy. Let me addresstwo areas in my remarks. First, let me make a few brief comments on the overall effort to improve the climate in which the government operates, and then provide a more detailed look at developments in the area of procurement. I JZ
Reforms designedto reduce KKN The key reform in overall governanceis Law No. 28 passedon May 19, 1999. The law lays out the rights and obligationsof state employees in carrying out their duties and increased the participation and oversight of the people in creating improved governance. There are explicit disclosure provisions and an independent Investigation Commission was provided for. To implement the law a series of implementing regulations were provided by mid June. On the first of July the Parliament agreed to the formation of the Anti-Corruption Commission and this package was submitted to the Presidentfor signature. The secondmajor initiative in this area has been createdby the Indonesian Financial and Development Supervisory Agency (BPKP) with their "National Anti-Corruption Strategy". Based on their analysisthey are proposing a set ofproceduresthat provide us with guidelines for the treatment of suspectedcasesof corruption. Improved Government Procurement Clearly there are a number of areas of concern about government corruption, including direct interference in strictly private sector activities, regulatory functions, and even abuses within the government's own budget. However, a or perhaps, the key area for concern is the government's procurement policies. As I stated the crisis revealed broad patterns of abuse and institutional failure in delivering government services including those we contract for. However, this does not mean that we had not been attempting to addresssome of these issues.The key guidelines in this area were found in Presidential Decree 16 designed to regulate the implementation of the StateBudget and issuedin 1994. Keppres 16 as it is known was, among other things, designed to enhance transparency, and improve information dissemination while moving Indonesian procedures into line with international laws. This in turn was to have increasedefficiency and competition in procurement. More specifically Keppres 16 created more flexibility in procurement tenders; increased the amount of procurement being done by line ministries and regional authorities; strengthened oversight and management functions; improved
contractor selection procedures; and permited the consolidation of procurementsinto multi-year awards when appropriate. To directly increase competition and efficiency Keppres 16 provides rules by which procurement tenders are to be adverlised, provides selection criteria for contractors, and provides clearer interpretations of procurement policies, proceduresand practices. Finally, as in many other countries this Keppres allows for the preferential treatment of defined classesof contractors,in particular cooperatives,small businessesand domestic firms. Generally speaking these reforms were positive at least in their intent. However, we have had numerous problems in implementation. Problems have been most serious in the prequalification phase where tenders have often been reduced to a formality; becauseof poor businesspractices and ethics on the part of contractors; with poor supervision and law enforcement in discovering and prosecuting casesof abuse; and becauseof poor compliance with the rules designed to foster increasedparticipation by cooperatives,small businessesand domesticfirms. This Keppres was modified in Januaryof this year, by Keppres 6/1999, This new Keppres continues the process of decentralizing procurement authority, clarifying authority and eliminating duplication. With it procurement of less than 50 billion rupiah has been delegated to project managers and it is only above this level that the signature of a minister is needed. March 1999 saw the completion of draft comprehensiveset of government procurement regulations that are expectedto be adopted in August and disseminatedthroughout Indonesia at that time. Both Keppres 1611994 and newly drafted Keppres were formulated to accommodatedonor procurement requirements.In the event that there is a specific requirement from a lending agencies both Keppres provide room for donor's guidelines to be fully implemented. The goal continues to remain the same, that is increased competition. improved efficiency and higher quality and lower cost in the provision of government services.This time the regulations are accompanied by a clear and concise code of ethics for governmentemployees.Theseguidelinesspell out what is and what 134
is not acceptablepractice. Sadly we know that a statementof what is and what is not acceptablewill not end corruption. Our experience in providing social safety net services, taught us the importance of proceduresdesignedto improve the availability of information and broadened social ownership particularly in partnership with Non-Governmental Orgafizations, Thus we are explicitly building in a role for NGOs in future procurement at the pre-qualifying, implementation and supervision stage. In addition, the new Keppres moves to reduce conflicts of interest by separating the budgeting and procurement functions; further streamline pre-qualification procedures; increase the delegation of procurement authority to project managers to select contractors, suppliers and consultants and to manage the procurement process; broaden the level information available including explicit adverlising; clarify and improve the dispute resolution processesfor disputesthat arise in either the procurement or implementationprocess. As I indicated earlier, there remain a number of areas where we continue to face problems and these are on the immediate agenda. We face serious shortages in personnel with the qualifications and training required. In fact many qualified personnel have limited foreign language capability and as you are aware donor projects are oflen accompanied by documents and procedural guidelines that are difficult to understand,even by native speakers. Management and staff rotation systemsare insufficient to develop and maintain institutional memory. At the local level material budgets are limited in their capability to support effective procurement and supervision, often leading to a situation where the procurement laws, books, reference manuals are not available at the local level. With the delegationof expandedresponsibilitiesshould come additional technical assistanceby the central government to the line departments andthe regions. This is not happening. Finally, and perhaps most difficult of all, we face a situation where procurement personnel are far from adequately compensated compared to the responsibilities and temptations involved in their work. Clearly the constraints are many. Neverthelesswe are moving forward. Nationwide more than 4,000 governmentemployeeshave
been assignedto serve as project managersin the procurement area. Each of these individuals will be assistedby a tender committee comprised of at least five government employees, Thus as many as 30,000 employeeswill be involved in procurementrelated tasks. These newly appointed procurement managers will attend basic training on the revised laws, the ethics code and their responsibilitiesand obligations. Finally we are planning to create a "Procurement Institute" to strengthen the capabilities of project managers and support personnel. This Institute is expected to provide an umbrella for training leading to "certified" procurement professionals;to provide limited direct assistanceto provincial governments implementing development projects; to offer consulting services to private sector contractors who wish to raise their awareness or professionalism when responding to tender offers; and to provide a limited amount of pro-bono assistanceto small businessesand others who would like to be more effective in competing for contracts. We are pleased that the Asian Development Bank is considering joining us in this effort. Before closing let me return to my initial theme. We in the government need to improve the way we do businessto satisfy the demands of the people to reduce corruption and restore faith in government. However, there is an even more pressing agenda.The needs for government serviceshave grown in the wake of the crisis, and the resourceshave declined. We need to do more with less. Improving procurement is at the heart of this process. Thank vou for vour time and attention.
136
Building a Long-Term Development Agenda Dr. Boediono Minister of State for National Development Planning/ Chairman of Bappenas Consultative Group for Indonesia Iakarta,July 23,1999 Ladies and Gentlemen: I would like to add my welcome to those of my colleaguesin government and the World Bank. It is really a pleasure to reach a point where we can begin to refocus on such critical issues as our longer term development agenda. The external and internal causesof the crisis are complicated and remain hotly debated. However one thing is clear. The shock in July 1997 revealed an incentive system and institutions incapable of responseunder pressure.Fixing these has to be our highest the longterm as well as the shorl-term priority. The present challenge and highest priority for Indonesia is to restore the growth in income and overcome setbacksin poverty and other areas.The Bank points out how fragile the recovery is and the extent of the unfinished policy agenda.The government economic team sharestheir assessment,and we do not to leave an impression of complacency. However we appreciatethe Bank's request to address the longer-term agenda. We need to get back on track in building the social, physical and institutional infrastructure required to sustaingrowth and meet people's aspirations. Let me offer a caveat though. We have just participated in a path-breaking election, and the next government has yet to be formed. In coordination with the donors the economic team has worked to make sure that the political parties have been adequately informed of our plans. Based on these interactions I do not believe that there will be a major break in continuity in the near future whoever is responsiblefor setting policy direction,However, in the longer run there will be more discretionand the new team will move to impose their own vision. Nevertheless,at least at the agenda setting level, there is broad agreement and I will try to focus on theseareas. t)
I
For the sake of simplicity let's place the development agenda in three overlapping time periods. First, there is the crisis itself, including its immediate aftermath. Second, there is the period between a clear start to the recovery and the point at which we have achieved our sustainable growth path. Finally, there is the period after we have resumed sustainable growth. The frst of these periods involves moving forward and implementing the reform agendathat to which we have already committed. This has been the subjectofthe discussionearliertoday.
The middle-term The secondperiod begins as the recoverytakeshold, and lasts until we are back on our longer run economic growth path. Both the trajectory and level of this longer run path are difficult to project right now, but our best estimate is that this process might range from three to five years and in the end we will be growing between 5 uld79'o. An area of particular concern in the market and the donor community is the sustainability of our fiscal situation over this medium-term period. As immediate crisis related priorities decline energy, analysis and inevitably funds will have to shift. In fact, some things are already clear. We will have to continue to back off on the spendingpriorities ofthe crisis, especiallythe large subsidies left by unchanged administeredprices and much of the crisis related social safetynet spending. From our discussionswith you we know that we cannot continue to count on net foreign assistancefor a substantial share of our budget. Thus we will have to retum to our pre-crisisposition where we were paying down official foreign debt. Finally, we will have to honor our commitments to pay the Central Bank and the banking system for the costs of bank recapitalization. What is perhaps less well known, is the impact of the crisis had on recrucingour spending on infrastructure maintenance,while education and health service delivery were badly hit. As recovery takes off these programs need to be revitalized and the backlog of deferred maintenanceand service delivery must be cleared. Specifically we need to guaranteethe viability of the transport and water systems and other infrastructure required to support the
138
recovery. In education the priority has continue on programs that keep children in school, operations and maintenance and the provision of basic education services.In health the priority will remain on preventive care and the maintenance of systems already in place. Affording even these will be difficult tasks for the next government. Nevertheless our estimates indicate that a strong tax effoft, a substantialrecovery of banking assets,and the sale of state enterprises combined with reduced subsidies can recover a sustainablefiscal position by the end of the mid-term period. To achieve this we need to place on the national agendathree key issues. The first of these relates to the costs and equity of subsidies, the second is the appropriate type and level of taxation, and the third is the role and ownership of state enterprises. The second key area of concern is the reform of institutions and incentive regimes. I believe that this is the area with the greatest legacy from the crisis. The key task, simple to say but difficult to achieve, is to maintain these reforms. To my mind key reforms in the economic arena are those that have opened up and made investment more transparent and our trade commitments. These provide tremendous discipline for the domestic market. However, there are even more far reaching reforms in legal and administrative areasthat can also transform society. However, it is not enough to pass new laws and regulations. We have to work hard to make sure that there are incentives on the ground that include appropriate checks and balances.In this we can build on our lessonsin disbursing social safety net funds. We have learned that we have to make more information available, raise levels of transparency, increase NGO oversight and provide punishmentwhen appropriate. Over the same period we have to staff up new areas, and substantially revamp old ones. Staffing is of particular concern in areas that range from the competition commission, to a revamped banking supervision agency, and the judiciary. And we have to provide resourcesand training to make new and existing institutions work better in a decentralizedenvironment.
t39
ln fact the third major area on the development agendafor the nexf few years isjust this issue of decentralization.There has been a great deal of recent progress and useful debate but we have just begun to scratch the surface. The laws recently passed reflect a strong desire to move away from excessive central control. However, the transition is bound to be difficult. Rewards in terms of local ownership of the political process and efficiency gains make such a transition worthwhile and even inevitable. However, we do not want to underestimatethe monetary and policy costs. In fact as provinces and Kabupatens take greater control of their resource flows, there will be conflicts between richer and poorer regions, and these will have to be resolved through equalization measures that can only be funded by the central government. Cross boundary environment and transport issueswill need institutions and dispute resolution mechanisms.Finally, we have to be especially careful that local governments do not recreate the rent-seeking barriers that we are struggling so hard to get rid of in the central government. Until systems of checks and balances, including political ones, are effective at the local level the central government will have to provide information and indicators on local government activity. Again the key is making the transfers and projects in the regions transparent, among other ways through the Internet and parlnershipswith local NGOs. In sum, the issues involved in increased regional autonomy will move to center stage.The laws passedprovide some guidance on the division of responsibilitiesand revenues.However this is a rapidly evolving area and the next governmentwill have to resolve their vision of the final goal here, as well as the details on how to achieveit.
The catch all Finally there is a kind of laundry list of other areasthat have not seen enough activity recently and where much more progress is needed. The list is unfoftunately long and I do not have time to mention more than a few items. I know that manv of these issuesare
140
very important to you and I apologize for not having the time to do justice to them. Briefly, we need more analysis, energy, commitment and money put into environmental sustainability. We have to improve opporlunities for women, and address small enterprise potential as both have not shared sufficiently in development. The bulk of our population continue to live in rural areas and work on farms, thus we need to reduce constraints that impede agriculture and reduce rural incomes. These are just a few of the areasthat need more work and debate as part ofthe development agendain the next few years.
The long-term agenda Finally we arrive at the long-term agenda.As I indicated at the outset the distinctions between the periods are very imprecise. As we move into the period three to five years from now, we will still be preoccupiedwith many of the issuesI have been addressingand undoubtedly many new issueswill have arisen.However, the longterm development agenda is mostly about the government'score business and particularly about the effective use of the government'sfesources. I don't claim to have the agenda for these areas in my back pocket furlher we have to recognize that many of these priorities will be changedby the incoming government.Neverthelesssome things are fairly clear. The private sector has been rapidly increasing its role in areas that were traditionally provided by government. Given limited resources and private sector efficiency, this is a trend that should continue. However, there remain a core set of infrastrucfure areas and health and education services that need to be delivered and improved and this is the first area where we have to turn our attention. Let me turn to infrastructure. The pre-crisis discussionson the role, and regulations for private sector participation need to be restafted and given new urgency. For example, power generation commitrnents in the transition between public and private sector control led to poor decisions and we and our partners are suffering from these mistakes. Regulatory and especially tariff policies in 141
power, water, tolls and other areas need to be clarified within the government and the Parliament. This must be done quite soon and is one of the reasons that we are confident about our fiscal situation. However, clarity in these areas is also important to restarting the process of private infrastructure investment needed to underpine longer-term development in an environment of very limited public resources. The second area oflong term concern is in urbanization. Prior to the crisis Indonesia was urbanizing rapidly and post crisis this process is certain to restart and perhaps accelerate. We need thoughtful analysis and a national debateon the modes and locations of infrastructure required to accommodate in the context of increasedregional autonomy. The government will have to provide vision and leadership here, but we must also be very careful about taking on new projects and loans that have not been thought through. We in the government and you in the donor community need to insist on very careful project assessmentsas we move forward. In education the curriculum is overburdened and confusing and turns out students who are insufficiently trained and flexible. And this has occurred in spite of numerous efforts to addressthis problem over the years. Perhaps it is becauseI come from an academic background, but as far as I am concerned reforming education may be our single highest long-term priority. We need to pick up our goal of universal middle school educationbut we also need to make sure that we are providing it in an environment that fosters the development of students capable of succeeding in the world of work. The biggest break with the past has to come through clarifying responsibilities and increasinglocal control and content in the context of a core curriculum that maintains an Indonesian identity. This is a key element of the decentralization agenda I mentionedearlier. Perhapsthe greatestchange in education in the near future can be expected at the university level. One of the least noticed reforms in the last year or so has been the provision of fiscal autonomy in higher education and opening up the sector to foreign education institutions. As the economy and investment recover we expect
increased competition in higher education and improved skills of graduates,This is an areawhere we hope to seethe fastestpay-off. The delivery of health serviceswas a significant problem even before the crisis. In fact adjusting for income and education our health status indicators are estimated to have ranged up Io 40Yo below what we should have been achieving. It must be the casethat we are not spending either enough or wisely in this sector. Historically too little has gone for preventive health care, and bolstering the government contribution in this area has to be a key long-term priority. However, we have to do better in using the resources that we do have and keep the priority on the primary health care system.Control over the allocationand use of resources needsto be delegatedto local institutions so that they can efficiently meet urgent local needs. Finally, the role of the private sectorneeds to be strengthened, in part by broadening private health insurance coverage. Let me turn to a less conventional area. I was most struck during the crisis by our inability to quickly design and deliver social safety net services.There are a lot ofreasons for this problem, and I discussedthem at some of the earlier CGI sessions.However. a conclusion that I draw from this experience is the importance of systems and the need for programs that kick in automatically. We are working to change the way we go about budgeting and procuring services,and this should assistus in developingprojects and allowing old and/or ineffective projects die. However delivering social safety net services that cushion a variety of shocks should be on our long-term agenda. With the lessons from the crisis in hand we need to take a careful look at Jamsostekand related programs and revise them accordingly.
Conclusion I accept that the recovery is fragile, but I believe that we are on the mend. All of our hard work for the last year will pay off as we continue to advance the crisis reform agenda,However, shortly we will begin to move out of the crisis driven priorities and we can begin work on repairing the damage and building the institutions and incentive regimes that will make us more resilient in the future. In the longer run we can return to our core business, that is to 143
providing infrastructure, education and health services, and to improving the basic social safety net that are fundamental government responsibilities. There are impodant even critical choices in all of these areas.As the crisis winds down we need to pick up the debate as we work toward a consensusand build an agenda. I appreciate the opportunity to share my thoughts on this daunting topic with you, and will take your questions, if you have any.
Thank you.
144
Remarks at the Launch of the Australian Technical AssistanceManagement Facility by Dr. Boediono State Minister for National DevelopmentPlanning/ Chairman of Bappenas August,10,1999 Although I cannot be present personally with you today, it is always a pleasure for me to think that I am meeting with my friends from Australia. I appreciateyour offer to participate in the launch of your new Technical AssistanceManagementFacility. I am going to keep my remarks shorl today, but as we passthe secondanniversaryofthe float ofthe Rupiah and the beginningsof the crisis it is getting easier to see the positive heritage. Among other optimistic signs is the kind of assistancethat AUSAID is providing under this agreement and I want to return to this later in my remarks. First a little background or at least my view on what has been going over the last few months and into the year or so ahead. We are now quite confident that the economy has stabilized. The exchangerate has been reasonably stablebelow 7,000 rupiah to the dollar, while inflation has been negative for five months as favorable harvests and a strengthening exchange rate pass through into lower prices. The strengthening exchange rate and the falling inflation have led to dramatically reduced interest rates with SBI one month rates now close to l3%ofrom as high as 30+yoin April. Thus we believe that the economy has definitely stabilized and there are increasing signs of recovery. Domestic demand is beginning to grow and we expect it will continue to pick up through tlre resf of the year. Exports remain a problem. We hope that as the economy remains broadly stable and banks begin to work out their problems, trade financing will return and the competitivenessof the exchangerate will produce a turn around in exports that continues in the years ahead.However, the most serious problems are in banking
145
and corporate sector restructuring and we are focusing on these as the key priority in the year ahead. There are also concerns about our overall fiscal situation and we heard at the CGI from the donors that we need to begin to move or at least plan to move from fiscal stimulus to fiscal sustainability. We accept this advice and are moving to minimize our dependence on foreign resources as fast as possible. Our current estimates indicate that, as we increase taxes, phase out subsidies and recover our banking assets,and push on with our privatization program, we can reduce our reliance on foreign assistanceand eliminate the net inflow position within five years. A large fiscal stimulus is programmed this year, reaching close to 6Yo of GDP, although we expect it to begin to decline next year as the recovery takes hold and arevitalized private sector takes over as the locomotive of growth. This is a very brief overview of how we at Bappenassee the economy evolving over the next few years. Now let me turn for a minute to the silverlining in what was definitely a black cloud. As the crisis developed poor incentive systems and rigid institutions were revealed. We were not confident in our systemsand ourselves and this led to poor policy decisionsand panic and the crisis ended up worse in Indonesiathan elsewherein the region. Perhaps paradoxically, this has created the opportunity to fix these problems. This process is still underway, and there are of course setbacks. However, institutions, public and private across Indonesia have begun to respond to the crisis and are working to develop capacity, transparency and accountability. Most often these changesare under pressurefrom public that want more and sooner of all of these, but this too is for the good. However, laws and regulations are not enough, Procedures need to change, and more fundamentallychecksand balancesneedto be developed.To do this staff needs to be trained. This is obviously a big job and a long term agenda. And this is where I see the strength in the AUSAID program. A concern with foreign assistance,and this is a concern that has been around for years, is that, too often, it is generatedto meet the needs of the donors rather than our own, and is insufficiently focused on the transfer of knowledge and expertise. I see your program as being very responsive to Indonesian needs and very
146
strong on transferring skills, including what I hope will be an invaluable opportunity for some of our mid level staff to spend time in Australian government departments Your overall focus on improving systems and procedures seems well placed and very much in line with our own priorities as we emerge from the crisis and move to improve our institutions. The special emphasis of cunent and anticipated projects in the areas of improved information flows between the regions and the central government, training banks on restructuring, strengtheningdebt monitoring, and improved auditing are practical and very helpful steps as we move forward. Hopefully, the sum of millions of efforts like this improve confidence and reduce the likelihood or at least the severity of future crises. Australia and Indonesia have an important and enduring relationship. On behalf of the Indonesian government and people I want to thank you. I hope and trust the Technical Assistance Management Facility will continue to provide the kind of concrete and tangible assistancethat it has given every sign ofbeing capable of. Thank you
t41
Keynote Address / Opening Statement Minister of State for National Development Planning / Chairman of National Development Planning Agency Presented in the Meeting to Review Draft Country Strategy for the Cooperation of the Government of Indonesia and UNICEF Jakarta, August ll, 1999 Ladies and Gentlemen, Assalamu' alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera, dan SelamatPagi. It is a great pleasure for me to welcome you at this meeting to review the draft Country Strategy of the UNICEF - Indonesia program of cooperationfor the year 2001 to 2005. Today the main topic is human resourcesdevelopment,which I think is a most important aspectof national development.We face serious challenges in the current human resources situation. The economic crisis has proven to have profound social effects. Many of these effects are negative for optimum development and quality of life. As we observe, the numbers of malnourished infants and children, street children or school drop-outs are all increasing.Gains made prior to 1991 in infant and maternal mortality rates threatento be lost and even prior to the crisis the mortality rates were very high compared to those of other Asian countries. In addition, community participation is more difficult when many people are unemployed or have very insecureincome. At the same time, the country needs to maintain afi international role. Globalization is a necessarygoal for all nations, even if the goal may take time to achieve. However, economic competitiveness depends primarily on the quality of human resources,which will increasethe effectivenessof investmentsin the industrial or agricultural sectors.Children developing optimally, healthy adults, well-trained work force and strong communities are a few of the building blocks of human resourcesdevelopment. Indonesianeedsto be part of the growing world economyand the Government strongly suppofis the development of human resources.And in this essenceis the challenge:how to improve human resourcesin the face of the economicand social crisis.
148
We need clear strategiesto lead the way out of the problems. First, support for the poor is essential in order to ensure that the largest number of people can economically contribute and pafiicipate in development. Without participation of the poor, the development of the country will be hampered and social services costs will be much higher than necessary. Second, support for vulnerable groups, particularly women and children, is fundamental to future citizens who can maintain a good quality of life. Both of these strategieshave both a short-term, or emergency,orientation, as well as a long-term orientation. Implementation needs to realize both of theseorientations. In addition, the Government is committed to several national strategiesthat constitute a context for the implementation of human resources programs. First, it is essential that civil society, representedby NGOs/CBOs, are partners in planning, implementing and monitoring the programs. Second, the change to greater decentralizalion in the Government administration must be the context for decision making for human resourcesprograms, Third, transparency in decision making is a key requirement for the programs, in order to match the administration of other public institutions. Resources brought to bear on the problems of the poor and vulnerable groups are costly at the outset, but they will yield major benefits for all members of society in future. The cost-effectiveness of these strategies is not in doubt, judging from the experience successful preventive health programs. They are very beneficial investmentsfor the future. In this context the joint work of UNICEF and GOI together with other stakeholders to formulate the programs, strategies and projects of a new UNICEF Country Program is very important. The work highlights the problems that need to be addressedand incorporates innovative strategies into the services for the population. UNICEF has demonstrated over many years of cooperation with GOI a consistent commitment to Government policies and the welfare of the Indonesian people. TINICEF will be able to offer unique contributions as part of the Country Program for the years 2001 to 2005.
149
The challengehowever is very large. More contributionswill be neededto suppoft the developmentof human resources.Maybe LINICEF can increase resources available for the Country Program by joint implementation of certain programs with other agencies? Can other donors consider filling gaps that are not covered by the current discussions?Do we have opportunities to support and serve people in isolatedareas? Ladies and Gentlemen, These are serious questions.The Government is very eagerto hear your views on the strategies and means to implement them. Therefore, I hope that today's discussionwill produce a common understanding that is relevant to our responseto the situation that we are facing now. I look forward to the outcome of your deliberations. And of course the answersto my questionsto the extent possible. Your contributions will be an essentialpart of planning by Government, and of course the new Government takins resnonsibilitv in a few shoft months. This is all I want to say. We thank Mr. Kul C. Gautam who is visiting here just for these purposes. I also want to thank my colleaguesin Bappenaswho have organizedthis meeting. I wish you all success in your discussion, your review, and your deliberation on this very important issue. Once again, I hope it will be possible to formulate concrete results in this planning process and ensure successfulprograms for the future. Praising the name of Almighty, God Bismillahirrahmanirahim, I officially openthe meeting. Thank you. Wassalamu' alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
150
OPENING REMARKS FOR LPEM/PEG CONFERENCE By Dr. Boediono Minister of State for National Development Planningi Chairman of Bappenas Jakarta,August 18, 1999 Ladies and Gentlemen,my colleagues,Good Morning. I am pleased and honored to be invited to give the opening remarks at today's Conference on "Economic IssuesFacing the New Government". The timing of the conference is apt, as we are on the threshold of a political and economic transition. This is the time to analyze and weigh the different economic strategiesand options open to us. I would like to begin my remarks by taking stock of the current economic situation and then talk about some of the critical policy challengesand priorities. Near-Term Achievements The crisis hit Indonesiahard in mid-1997, and since then we have been operating in crisis mode with our energies directed at stabilizing the economy. The core stabilization program adopted or evolved to include: announcing, setting and publicizing rigorous monetary targets; a fiscal stimulus, funded by foreign financial assistanceand government debt rescheduling; a strict review of the government budget to accommodate supplementary spending programs aimed at the neediest; a series of measuresto restructure the banking system and corporate sector, and a series of real sector deregulation measuresthat may have been particularly important in the area of food distribution. The implementation of these stabilization measureshas obviously been difficult and the setbacks are well known. While we are not out of the woods, our efforts are beginning to show results. Financial stability began to return during the second halfof 1998; inflation and interestrateshave fallen significantlyand the Rupiah has re-gained much of its lost ground. More notably the real economy turned upwards earlier this year. Some of the recent indicators, most notably agricultural production, but also tourist 151
arrivals, electricity salesto industry, retail sales,cement, and motor cycle production confirm that the economy is on the mend. We are also getting some help from international oil prices, which are currently near US$20lbbl, almost double their level a year ago. One dark spot in these numbers is the performance of non-oil exports; where we have yet to see any firm indications of a rebound; a rebound which will eventually be neededto sustainthe recovery. While the social cost of the crisis has been and continuesto be high, the society has been more resilient than many anticipated. The worst fears about the impact of the crisis on standardsof living and levels of poverty have fortunately not materialized. The end of the drought contributed significantly to the rebound in rural areas, as have food pricing policies, which directly helped the many food producers. Part of it can also be attributed to the fiscal stimulus and emergency measures taken to strengthen the social safety net. However, much of it is, I believe, due to the strong ties and the adaptability of individuals and families in our society - the "informal" social safetynet. While we can find some comfort in these achievements,it is clearly only a beginning. The relative stability and early signs of recovery need nurturing and the task of re-building the economy is a daunting one. I would like to focus now on some of the difficult challenges that confront the new government as it prepares to assumeoffice. Economic Legacy of the Crisis The crisis left a costly economic legacy that will be with us for many years to come. This legacy includes: severe constraints on government finances; a devastatedbanking sector; a deeply indebted non-bank corporate sector; neglected infrastructure; and greater demandson the social safety net. On the government side, financial pressures are mounting from several directions. First and foremost, the cost of bank restructuring, undertaken to protect depositors, not to bailout bankers, will be very high, even after the recovery of substantial bank assets.Debt service is rising in line with higher public debt; consnmer subsidies are very large; decentralizationwill be costly in the short-run; and our civil service needs deep, and expensive
152
reform. At the sametime, crisis-driven assistancefrom the aid donor community will begin to wind down. This combination of factors will severely constrainthe government's spending activities, even after taking into account the proceedsfrom privatization. The restructuring of the banking system has been a difficult and prolonged process. The Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) was set up in early 1998 to salvagethe banking system, which was collapsing under the weight of ballooning foreign curency liabilities, non-performing loans and a shrinking deposit base. Out of the fifty-four banks placed under IBRA's control, forty-five have been closed. The remainder were either recapitalized or brought under IBRA management control. The costs of protecting depositors in this reshucturing process are large and the surviving banks have limited room for growth and expansion,in the immediate future. This is another great challenge in the financing of the recovery. Corporate debt restructuring, which international experience has shown to be a slow process at best, is still far from complete. Lately, the process of striking deals between domestic corporations and their creditors has been gaining momentum, but much remains to be done. The longer it takes for us to re-build the corporate sector,the slower will be the recoveryprocess. The crisis has also weakened our infrastructure. As a result of severe financial pressures, the development of new infrastructure slowed to a crawl, while maintenance and repair were put on hold. Any lasting deterioration of infrastructure would, obviously, have serious repercussionson the potential for renewed growth. Even though we are recovering, the demands on the social safety net remain very large. With increased joblessness and reduced income, safety net programs must stay. For at least two yearswe will needto set asidefunds to cover theseneeds. Priorities for Reforms As a result of this legacy, we need to push the reforms that support the emerging economic recovery. Without getting into too much detail, I would like to list what I view 1o be the most impofiant priorities:
153
. The government will have to become much more efficient and effective in raising revenues and targeting its expenditures. Domestic non-oil tax revenueswill have to rise very substantially (by several percentage points of GDP) over the next four or five years if we want to maintain a development effort in line with past performance and a budgetary stancethat is sustainable. o We will need to provide food security, basic health and education services more efficiently and better targeted at the neediest. These three areas are at the core of the social services provided by the government. While some of the problems sunounding these programs are difficult, there is little doubt that the delivery and funding mechanismscan be improved. e We must ensure that our infrastructure is preserved by prioritizing spending on operations and maintenance and in the longer run by encouraging private sector pafticipation in this area. For areas still under government control, we need to identify oppor-tunities for improving efficiency, enhancing revenue yields and adjustingservicelevels. . We must persevere with bank restructuring. We will also have to redouble our efforts to see that many more agreementsare reached between private sector corporate debtors (including public corporations) and their domestic and foreign creditors. o We must strengthen the businessenvironment by reducing unnecessaryimpediments to commercial opportunities. This means reforming a burdensome industrial licensing system, eliminating unnecessaryregulations and levies on small and medium-sized businesses,simplifying international trade and customs procedures, and facilitating and encouraging private investment. r And finally, to help underpin the renewal process, we will need major systemic reforms in the legal and judicial system. This is absolutely essential to create a businessenvironment characterized by fair commercial practices and orderly processesfor market entry and exit. This is an ambitious economic policy agenda.But the time is right, and the people of Indonesiawant change.
154
Road to Recovery and SustainedGrowth If we succeedin implementingthese reforms, we can see the shape of an emerging recovery and the path to sustainedeconomic growth. Initially, the recovery will be based on renewed consumer and investor confidence, built on improved financial stability, stronger institutional foundations and better governance. With growth prospects of 2 - 4Yothis fiscal year and 4 - 6% next year, the next 2 years could witnessrecovery ofover halfofthe output losses sustained during the crisis. This would be an excellent start, and well beyond expectationsjust a year ago. Initially, a rebound in consumer spending and inventory restocking is expected to lead the way. The economy's international competitiveness is strong and, as the financial position of domestic firms becomesmore favorable and accessto financing improves, the export sector will come around. The return of foreign capital and a resurgence of capital investment spending will eventually come, if reforms are enacted and maintained. This is the time when our economywill have fully recoveredits growth potential.
Political and Social Challenges In addition to the economic policy agenda, there are other important challenges relating to the broader political and social framework. I will confine my remarks to two of the most critical issues. These are the challenges of making the democratic process work and finding ways of re-balancing central and regional authority. There is little doubt that the June election fundamentally altered the political process. There is no longer a single dominant party; the authority of Parliament has been strengthened; and, governing by executive orders is unlikely to be the dominant option. Instead, we will see the formation of a coalition government, which will need to balance a diversity of views and govern in the framework of Parliamentary consent. In the long run, the new political processwill help us find and build a broad national consensus.However, in the short run, it can
155
create political divisiveness and contentiousness. The road to coalition government might be bumpy, as it is in many other democracies.Nevefthelessthe new environmenthas a number of effective checks and balances,an active Parliament, a free press, and analystslike those of us in this room. The other major issue on the political and social front is decentralization.There has been recent progress and useful debate, but we have just begun to scratch the surface here. The laws recently passedreflect a strong desire to move away from excessive central control. However, the transition is bound to be difficult. Rewards in terms of local ownership of the political process and efficiency gains make such a transition worthwhile and even inevitable. However, we do not want to underestimatethe financial and policy costs. Specifically, we need to find new mechanismsto help correct regional income disparities, to resolve cross-boundary environment and transport issues,and to avoid the creation of rentseeking barriers at the local level. More generally, it would require a radical shift in governmental responsibilities and resources,which would take time to accomplish, even under favorable economic and political circumstances. Finally, let me touch on perhaps the most fundamental aspect of political and social reform; good govemance.Good governance is a broad concept. To me, it means openness,transparency and accountability in government and business dealings. It means respect for the rule of law and democratic institutions. It means appropriate standards of professional conduct enforced by an impartial legal and judicial system. And, it meansan endto a system of bribery, corruption and favoritism. Conclusion Let me conclude my remarks this morning by stressingthat the policy agenda facing the new government is long and its irnplementation is far from easy. Regardless who is the next government, we all have an interest in preventing rational policies from becoming hostageto narrow political expediencies.Regardless our political orientation, we share an interest in making the political transition a smooth one with minimum disruptions to the economy and everydaylife ofour people.
156
It is undeniable that there is a strong, indeedjustified, demand for change in our society. But to be socially constructive these forces, this passion and this appetite for change must be guided, by sound reason and good judgment. Who else is better placed, indeed more duty-bound, than people like those of us in this room to assumethe responsibility for such a reconciliation?Let me quote Kahlil Gibran: Your soul is oftentimesa battlefield, upon which your reason and judgment wcrgewar against your passion and your appetile. Would that I could be the peacemaker in your soul, that I might turn the discord and the rivalry of your elementsinto onenessand melody. But how shall I, unlessyou yourselves be also the peacemakers,nay, the loyers ofallyour elementsT These wise words, it seemsto me, apply equally to the soul of a nation. Thank You
"DEVELO.T'MENT STRATEGY FOR A NEW MILLENIUM'' Opening Speech 1999 Capital Market Conference By Dr. Boediono Minister of State for National Development Planning/ Chairman of Bappenas Jakarta, August 24, 1999 Good morning, ladiesand gentlemen. I am very pleased and honored to be invited to deliver the opening speech at Bapepam's conference today. The crisis in Indonesia over the last two years has been very broad and has moved well beyond economic areas. However, highlighting the "Capital Market" in the economicrecoveryneedsto be underscored; just as it was at the center of the storm, it will have to be at the centerofthe recovery. The topic assigned to me "Development Strategy for a New Millenium" is a very broad topic encompassingmany pertinent issuestha1 are beyond me. With your permission,I would like to narrow considerably the topic and insteadconfine my remarks to the outlook of the Indonesian economy in the next few years and the development problems that are associatedwith it. Mlch of what I am going to say comes from preliminary results of ongoing study at Bappenas,which we hope can be made public next month. Let me begin by taking stock of the current econcmic situation and then move on to sketch the outlook. I will corr:lude my remarks with a list of issueson which policy actions auri reforms need to be taken in order to achieve the scenario lllscribed in ,he outlook. The period between now and when the new govemment takes office is a iime for stock taking, a time lo analyze and weigh different economic strategiesand a time to draw the road map to our medium aud long term growth paths. The signals remain confusing though. Some of us believe that economic recovery is underway while some others are less
158
optimistic. Neither side actually knows what the future will bring, and even the best of analysis can be upset by events completely out of our control, perhapsmost importantly a major downturn in one or more or our key trading partners. Nevertheless, almost everyone would have to agree that the economic situation has stabilized significantly over last year. Last week, on the back of the Bank Bali scandal, the exchange rate moved to over 8,000 Rp/USD, but has now returnedto the mid-7, 000 Rp/USD runge. Last year a movement of even this magnitude would have seemedsmall. Correspondingto this is domesticprice stability. The cumulative inflation for the first seven months of this year is less than 2oh, and we expect inflation to be around 4-5o/ofor this fiscal year. We are also getting help from international oil prices, which are currently near US$20lbbl, almost double their level a year ago,which will assistthe balanceof payments. The situation in the real sector is less clear. On the one hand, we have estimatesof positive growth for two successivequarters in 1999. Maintaining the average of these two quarters would give growth of close to 2Yo for the fiscal year (99/00). More importantly, the first quarter has virtually always been below the fourth quafter of the year before, thus that there was any registered growth at all was surprising much less the size. Presumably this growth is the pick up from a low base, but I believe, this is a sign of recovery itself and the second quarter growth adds to this. There is corroborating evidence that the economy is slowly beginning to pick up from a number of other sources. We see a recovery in tourism, increases in various areas of consumer demand, including retail sales and some durables, although again many of these are from a low base.On the industry side we are seeinghigher electricity sales to industry, and increasing cement production. Nevertheless,cautious observersmay prefer not to rush to any firm conclusions. One dark cloud hanging over the recovery is the performance of non-oil expofts; we have yet to see any firm indications of strong upswing in these numbers. Perhaps most importantly, questions remain whether underlying problems in banking, corporate debt restructuring or the government's own budget have progressedfar enough to foster a recovery. The current
159
snapshotof the real sector exhibits both sunshineand shades.The glasscan be said to be half empty or half full. We have to be candid and accept that whether the economic recovery has really begun or not, is an open question, and the trajectory of the economy from here is even more difficult to foretell. Nevefiheless, based on the numbers cited above and the forces behind the projection I describe below, I do believe that we have begun the recovery, fragile as it is, and that economic indicators and moreimportantly social welfare witl begin to pick up from here. I propose to cover two broad areasthis morning. First, I will touch on a set of macroeconomicissuesthat we believe need to be addressedand how the economymay evolve. SecondI would like to look into some more concrete areaswhere I believe that we need to either reinforce policy already enactedor set new policy direction. However, allow me to start with the legacy of the crisis, as it will set the policy issuesas well as the path to recovery. We did not escapethe crisis unscathed.The crisis left a costly economic legacy that will be with us fol many years to come. Severe constraints on government finances. A devastated and dysfunctional banking sector. A deeply indebted non-bank corporate sector. Neglected infrastructure. And rising demands on the social safety net from people whose jobs and welfare have declined dramatically. On the side of government, financial pressuresare mounting from several directions. First, the cost of bank restructuring is enormous, even affer we net out the recovery of substantial bank assets.In addition, debt service is rising in line with higher public debt; consumer subsidies are very large; decentralizationmay prove costly during the transition; and our civil service needs extensive refonn. Concurrently, crisis-driven assistancefrom the aid donor community will begin to wind down in the next year or so. This combination of factors will severely constrain the government's capacity to spend, even after taking into account the proceedsfrom privatization. The crisis has also weakened our infrastructure. As a result of severe financial pressures, development of new infrastructure has slowed to a uaw7, while too much maintenance and repair has been 160
put on hold. Any lasting deterioration of infrastructure would, obviously, have serious repercussionson the potential for renewed growth. Even though we are recovering, the demands on the social safety net remain very large. With increased joblessness and reduced incomes, there is more dependenseon safety net programs by more people, My estimate is that for at least two years we will needto set asidefunds to cover theseneeds. In our study at Bappenas we see four key issues in the macroeconomic area. These include managing under uncertainty, private debt sustainability, fiscal sustainability, and the problem of policy coordination. I obviously do not have time to more than highlight our thinking in these areasbut let me take a moment to do just that. Managing under unceftainty is an important issue because of the shift from the managed float to the free float system. We believe that we will continue to float the rupiah and focus policy on stabilizing domestic prices in the years ahead. Thus, we have to accept more volatility in the exchangerate than we have seen in the past. With this, any shock to the economy from whatever source, internal or external, will play itself out in a fluctuating rupiah. This has a number of implications. First, corporations,and even the government, have to understandbetter how they are hedged against exchangerate movements and take precautionsif they are not. Second, we need to improve the flow of financial information to the market. This is because better information reduces uncertainty. Managers, and that includes those of you in the private sector as well as those of us in the government,need accurateand timely information to make good decisions, particularly during tir,es of crisis. The decision of Bank Indonesia to release base money and reservesinformation each week seemsto have been very e{fective in changing expectations. But, in general, it is very clear that we do not have timely and accurate data in most sectors, and that there are information deficits on both the government and private sector sides. Our study is proposing to look carefully at several areasof data, including information on real sector outcomes, the budget and some additional monetary information to address thesedeficits.
161
The problems of lack of information in the private sector may have been even more serious and this leads me to our next area of concern, preventing a repeat of the private debt crisis that we have just undergone. As the crisis unfolded the level of short-term debt outstanding came as a real surprise, and almost all of it was unhedged. Some of this arose out of circumstances.The movements in the rupiah had been relatively predictable and we all got careless. Now we need to move on and we need solutionsto prevent this from happeningagain. Obviously, the next crisis will never be the same as the last, and we have to be practical. However, more and better information about corporate borrowing will improve decision making in the government and in the market. We hope that Bapepam and publicly listed corporations will take the lead in making sure that reports on debt positions are accurateand that your annual and quarterly reports, are truly representativeso that we can all be more confident. The third key macroeconomic issue we have identified at Bappenas is fiscal sustainability. The government came into the crisis in relatively good shape.Using the IMF systemwe had been running budget surpluses for several years, and government debt to GDP had fallen below 25%o.However, in the aftermath of the crisis things look different. Government foreign debt is now in the range of 50o/oof GDP and has been augmented by domestic debt at the same level. For various reasons we did not run the budget deficit that we would have liked last year, to help cushion the downturn, but we do expect to have a fairly sizable deficit this year to foster the recovery. Our concern now, is the budget situation over the longer run. Tax revenues have declined while expenditures for subsidies and bank restructuring are high and we have not been doing nearly enough on key physical infrastructures and social spending.I will come back to this presently. The final issue is policy coordination. The crisis has taught us that it is imporlant that economic policymakers effectively coordinate the available policy instruments. A case in point is the interaction between monetary and fiscal policy. During most of this crisis, monetary policy has carried the burden of stabilization policy, while fiscal policy has adopted a more expansionary stance especially since 1998. As the monetary authority is focused on domestic price stability we will have to shift the balance between
162
fiscal and monetary policy, with gradual fiscal policy tightening to ensurethat fiscal sustainability is adequatelyaddressed, Equally important is effective coordination of microeconomic policy - industrial, trade and investment policies. Too often in the past micro-economic policies were inconsistent with one another and with macro-policy. There will always be the temptation to provide protection or relief to firms or sectorsthrough tax cuts and other benefits or regulation. However, there is no free lunch. One policy will always affect someone else. Tax cuts mdan less resources will be available in the government budget for infrastructure maintenance or schools and health clinics. Protection of sectors means higher prices paid by consumersand downstream producers and, thus, reduced competitiveness. These considerations argue in favor of a strong, coordinated policymaking that cuts across many ministries and ensuresthat our macro policy stance is supported by consistent, non-distortionary micro-economicpolicies. Let me now talk about the scenariofor economicrecovery. As of mid-1999, financial stabilizationhad clearly taken hold. The rupiah had recovered a great deal of lost ground; inflation and interest rates were back to near pre-crisis levels. As I alluded earlier, several indicators of real activity including estimates of quarterly GDP, retail sales, tourist arrivals, and electricity sales to industry have all picked up and there are growing signs that foreign and domesticconfidenceis returning. But recovery cannot be taken for granted, The crisis has taught us that confidence is a fragile commodity that can be shattered easily by political or economic events. Inevitably, there will be some setbacksin the coming months. But viewing the crisis in a broad perspective, sentiment towards Indonesia, which was deeply negative barely a year ago, has now swung in our favor. Now is the time to nurture that confidence. We can do this by setting our priorities and delivering results, including convincing evidence that economic reform is launched in the proper direction, on an irreversible track. Strong political leadershipwill be absolutelynecessaryto mobilize public opinion and deliver fast results. With these efforts and barring any lbJ
unfavorable external shock, we can see the shape of an emerging recovery and the path to sustainedeconomic growth as follows. Initially, the recovery will be basedon renewedconsumerand investor confidence, built on improved financial stability, low inflation, stronger institutional foundations and better governance. With growth prospects of 2 - 4o/othis fiscal year and 4 - 6Yo next year, the next 2 years could witness recovery of over half of our income per capita (measured in US$) lost during the crisis. This would be an excellent start, and far beyond expectationsjust a year ago. In the longer run, we believe that we can bring the economy in 2003/04 back to growth rates of something between 6 and 7o/o.ln per capita dollar terms, the Indonesian GDP will be back to precrisis levels but on a more sustainable growth path with lower inflation, a stable exchange rate, lower interest rates and current account deficit, and sustainablegovernmentbudget. We believe that the central bank will target low inflation. Given their recent independentstatus,they will more or lesssucceed in bringing Indonesian inflation into line with international inflation rates in the 3 to 4Yorange over the mid-term. With this we expect the exchangerate will trade in the range of 6,000 to 8,000 dependinglargely on the strengthof private sector capital inflows. We are not expecting foreign capital inflows to reach the magnitude of the immediate pre-crisis period over the next five years. These will be made up of inflows of foreign capital and re-flows of capital that left during the crisis. With this level of "stability" in inflation and the exchange rate we expect Indonesian nominal deposit ratesto reach the 6-10% range with, by the end of the period, bank spreads to lending rates much closer to international averages. The net effect of this is a current account surplus for a few more years before we refurn to a small deficit. The "risk" if you will to this scenario is that the flows of foreign capital will be larger than anticipated and the exchangerate will appreciate relatively more, and the current account deficit higher. In our view, caution on all sideswill prevent or slow this but it cannotbe ruled out and you shouldbe preparedfor it as well.
164
Let me turn to the picture of government finances. We expect that there will need to be a commitment to civil service reform and some decenlralization costs and we anticipate this by raising personnelspendingby |5% of GDP over the period. Development spending, even with better targeted programs and projects, will have to remain broadly constant as a share of GDP to cover the job of putting back together the infrastructure and healing the social legacy ofthe crisis. To meet those spendingpriorities, we have to raise tax revenue by several percentage points of GDP over the next few years. In addition, we will have to make a move to substantially reduce subsidies as a share of GDP. Even with these efforts, in a few years ahead we will still have budget deficits that need to be financed by continued net foreign flows, privatization proceeds and the recoveredbankassets. By five years from now, we believe that we can successfully eliminate the need for net foreign flows, and indeed any need to have recourse to financing. Our budget will reach an overall balance. However, do not be mistaken, we will still need multi billions of dollars of new foreign financing for developmentprojects as tax revenues will have to be set aside to cover the amortization costs of foreign debt and bank restructuring at that time. This budget scenario is in line with our objective to have fiscal sustainability in the medium-term. The government debt, which includes foreign and domestic debt, will fall from almost l00Yo in this fiscal year to less than 600/oin five years. Overall, our medium-term picture shows a possible path of sustained growth at near pre-crisis level, with inflation and interest rates low, the budget moving into balance, a current account deficit lower than at pre-crisis level, and total external debt moving towards a more sustainablelevel. Is this scenariotoo rosy ? Yes, if you look from the bottom of the pit. But I believe no, if you have a better view of things existing a couple of years from now. In terms of our resource base, human and physical capital, our capacity to rebound is great. What we need is a good political climate, good economicpolicies and, yes, a little luck.
t65
To achieve this positive scenario, our study identifies four crucial areas, These include rebuilding the real economy; public services for promoting recovery; the social safety net; and improving the machinery of government. I don't have the time to touch on all of these areastoday, and if I did, you might not read the report. What I would like to do is talk in more detail about some priorities in Rebuilding the Real Economy, which I imagine may be closerto the interestsof those of you here and leave the other areasfor 7ater. There are actually no surpriseshere. We believe that the key to getting the economy growing lies in bank restructuring, corporate restructuring, reducing the impediments to doing business, and in legal andjudicial reform. The restructuring of the banking system has already been a difficult and prolonged process. When the Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) was set up in early 1998, the banking system was collapsing under the weight of ballooning foreign currency liabilities, non-performing loans and runs on deposits.The costs of protecting depositors in this restructuring process are a major expense to the Government, and the surviving banks have limited room for growth in the immediate future. However, the restoration of a healthy banking system is critical to getting the economy growing solidly again. Presently, the main issues are affordability and maintaining an adequatepace of progress. On the side of affordability, the cost is still subject to a wide range of uncertainty, but it's clear that it will be very large. To minimize costs, there are several alternatives.Asset recoveries are the most promising option, including the outright sale of viable banks, including newly acquired state banks. Privatization of the long-standing state banks should continue to be on the agenda,and more progressis neededin their consolidation.Also, if progressin judicial reform proceeds quickly, stronger legal sanctions could be taken against the debtors and former owners. Above all, IBRA needs to stick to the policy of divesting its assets,resisting the temptation to become the nation's largest conglomerate. Another concern relevant to this audience is the development of the secondary market for trading in bonds. We have heard for many years that government bonds, which would set a benchmark 166
for risk, were a pre-condition for development of a private bond market. This perceived hurdle will soon be overcome as govemment bonds are being issued in huge amounts as part of the bank recaprtalization program. As next steps, we must promote the development of trading in the bond market, by addressing issues related to the legal and electronic infrastructure, including scriptless trading in bonds, On the side of corporate restructuring, a reasonably effective mechanism is now in place, but the process of corporate restructuring has been slow. To some extent this is the result of the complexity of corporate restructuring dea]s, which cut across dozens of lenders and almost as many countries. But, it is also due to the judicial system and the bankruptcy law, which is not yet acting as a credible threat. In addition, greater efforts are needed to accelerateresolution of agreementsbetween creditors and debtors. In this context, we believe that the government should continue with policies that: D strengthen the bankruptcy framework and commercial courts; ii) streamline related regulatory investment procedures; and iii) address outstanding tax issues related to asset seizuresand mergers. There are also institutional issuesthat overlap with bank and corporate restructuring, which may need re-thinking. The Indonesian Bank Restructuring Agency QBRA) is now the largest single creditor of Indonesian debtors, and its policies have impofiant implications for resolution of the private debt problem. Some of thesepolicies could be reviewed with an eye to facilitating effective debt workouts. The third broad area where reforms can suppofi recovery is in reducing impediments to doing business.It is an old theme, but is still a relevant one. While substantialprogresshas been made in this area still more can be done to shengthen the businessenvironment. This means reforming a burdensome industrial licensing system, eliminating unnecessary regulations and levies on small and medium-sized businesses, simplifying international trade and customs procedures, and facilitating and encouraging private investment. Another area of greatest concern is local government trade restrictions. With decentralizalion, local governments are gaining
167
autonomy in their decision making; for example, investment approvals are already explicitly delegated to local governments. However, there always remains the risk that local governments,like national ones, will propose taxes that can have very negative impacts on trade within Indonesia. We do not want to recreate a situation in the regions that we are trying to get rid of in Jakarta. However, enforcing prohibitions on illegal levies is always difficult. As fast as one source is eliminated another will appear.We need to attack this problem at its source. On the one hand, we need to make sure that the regions are receiving adequateamounts of funds to at least deliver minimum service quality. To do this local sources of revenuewill be needed,but the rules need to be set clearly to avoid distorlions. However, the other part of the solution is to allow individuals and companies that are hurt by illegal trade distorting measuresto have legal redressincluding againstthe local or national government. To do this we may need something like a National Trade Commission that is analogous to (or, perhaps, part of) the Competition Commission being created under the Antimonopoly law. Such a commission would be responsiblefor drafting clear rules on what exactly constitutes illegal government constraints of trade and allows redressfor individuals that are hurt in this process. The final area where substantial improvement can be made to improve real sector recovery is the legal system. Clearly there is not the time to go into detailed proposals here. However, we need to take bold actions and the focus should be at least as much on measures designed to provide checks and balances in the judiciary as on new laws. All in all we need to push aheadon reforms that support the emerging economic recovery. Unfortunately, we will not be able to simultaneously pursue all worthy objectives with equal vigor. The agendais simply too long and our financial meanstoo limited. Clear thinking will be needed on priorities. Nevertheless a focus on just these areas would constitute a very ambitious economic policy agenda. But the time is right, and the people of Indonesia want change. Conclusion Let me conclude my remarks this morning by emphasizingthe undeniable demand for change in our society. Effective policy
168
responseon the part of governmentinvolves a long agendawhose implementation is far from easy, and we cannot afford to lose the next several months in bickering and counter-productive debate. Regardless of our respective political orientations, we have a responsibility to safeguard the progress to date in our stabilization program and to pass on the best-possible economy to the new government. I trust that your deliberations today will be in that spirit.
Thank you.
t69
Pokok-pokok Ceramah Menteri Negara PerencanaanPembangunanNasional/Kepala Bappenas Pada Rapat Teknis PerencanaanBimas Tingkat Nasional Yogyakarta, 3 September1999 Krisis dan Kelemahan Institusi Kri si s yang melanda b angsa In donesia telah b erlangsung lebih dari 2 tahun. Dampaknya sangat luas dan menjangkau hampir semua segi kehidupan, termasuk pada tataran pemikiran mengenai pembangunannasional. Mengapa perekonomian Indonesia yang telah tumbuh dengan baik selama 3 dasawarsaitu tidak tahan terhadapterpaan gelombang krisis? Mengapa Indonesia paling parah mengalami dampak krisis dibandingkan dengan negara-negaralain di kawasan ini? Dimana letak kerapuhannya?Apa yang perlu kita koreksi? Pertanyaan-peftanyaan seperti itu timbul karena kita mengalami krisis, berusahauntuk keluar darinya dan berusahauntuk menyiapkan diri agar nasib kita lebih baik apabila nanti datang lagi badai seperti ini. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-perlanyaan tersebut akan mengubah pandangan-pandangan kita mengenai strategi pembangunanuntuk waktu mendatang, Kita tidak perlu mendahului GBHN yang ditetapkan oleh MPR baru nanti. Tetapi kita sudah semestinya mulai membicarakannya sekarang, terutama yang menyangkut bidang kita masing-masing. Dalam kesaempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan kepada Saudara-saudarapandangan saya mengenai sebagian dari jawaban untuk peftanyaan-pertanyaan dasar yang saya sebutkan tadi. Selanjutnya saya akan mencoba menarik implikasinya bagi pembangunan peftanian. Hal pertama yang penting kita catat adalah bahwa krisis yang melanda negara kita mempunyai awal yang samadengankrisis yang tnelanda beberapa negata lain di kawasan ini, tetapi mempunyai akhir yang sangat berbeda. Krisis di negara kita yang berkembang menjadi krisis yang berdimensi banyak, yang jauh lebih kompleks daripada krisis yang dihadapi oleh misalnya Thailand, Korea, Hong Kong dan sebagainya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan
170
apabila dampaknya jauh lebih luas dan kerusakan ya\g ditimbulkannya jauh lebih dalam dibanding dengan apa yang kita fihat di negara-negaratersebut. Mengapa krisis di negara kita berkembangmenjadi krisis yang lebih besar dan lebih kompleks? Barangkali jawaban pertama yang teryikir oleh kita, adalah karena nasib kita yang buruk. El Nino telah mengakibatkan musim kering yang terburuk yang pernah kita alami beberapa dasawarsaterakhir ini. Harga berbagai komoditi ekspor kita, termasuk minyak bumi, mencapai titik-titik terendah. Suasana sosial politik dalam negeri tidak menguntungkan. Ya, semua itu telah ikut memperparah dampak krisis di Indonesia. Tetapi saya lebih cenderung memilih jawaban yanglain, yang lebih mendasar sifatnya. Menurut hemat saya, jawaban yang lebih mendasaradalahbahwa lembaga-lembagayangmenjadi pilar kehidupan ekonomi sosial, politik dan hukum temyata lebih rapuh daripada di Thailand, Korea, Hong Kong, Malaysia dan sebagainya. Institusi-institusi yang ada ternyata tidak dapat berfungsi di bawah tekanangelombangkrisis.
Pembangunan Kelembagaan Yang saya maksud dengan institusi adalah pranata-pranata dan aturan main yang mengatur lalu-lintas ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Krisis yang sekarangkita alami telah menggarisbawahi berbagai kelemahan insititusi-institusi kita. Kemacetan dan tabrakan sosial terjadi dimana-mana. Menurut hemat saya membenahi institusi di segala bidang harus menjadi prioritas kita nomor satu dalam upaya pembangunan kita. Institutional development harus menjadi tema pokok dalam strategi pembangunan kita di semua sektor. Saya termasuk orang yang berpendapat bahwa dengan institusi yang berfungsi baik, kemajuan dan pembangunan akan datang dengan sendirinya. Pemerintah tidak perlu langsung melaksanakankegiatan pembangunansendiri. Masyarakat dan dunia usaha yang akan melakukan kegiatan-kegiatan itu. Pemerintah mempunyai tugas utama untuk menjamin agar institusi-institusi, aturan main, itu berjalan baik sesuaifungsinya. Saya ingin kembali kepada pengertian institusi, agar tidak ada salah pengertian. Institusi adalah aturan main yang mengatur para
t7l
peseftanya.Tetapi jangan kita artikan bahwa aturan main ini artinya pengaturan pemerintah dan bahwa institusi adalah institusi pemerintah.
tiga Institusi Utama Sebenarnya paling tidak 3 kelompok institusi penting dalam kehidupan ekonomi nasional maupun sektoral: Pasar Lembaga-lembaga negara/pemerintah Lembaga-lembagamasyarakat
Ketiga-tiganya saling mengisi, dan seharusnyademikian, dan bukan saling berebut peranan. Dan dalam sistem ekonomi yang ada dan yang akan berkembang di masa depan, terutama dalam era global ini, institusi pasar adalahyang dominan. Ini adalah salah satu arus besar dunia (megatrend) dat kita harus mampu menyesuaikan diri terhadapperkembanganini, lebih cepat lebih baik. Inti dari strategi pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan kelembagaan (institutional development) adalah bagaimana meningkatkan kinerja masing-masing institusi tersebut, bagaimana membuat iklim agar berbagai institusi itu bersinergi positif satu sama lain dan bukan sebaliknya. Saya katakan tadi bahwa institusi pada intinya berisi pranata-pranatadan aturan main. Kinerja suatu institusi tidak ditentukan oleh besar gedungnya, oleh jumlah orang yang ada di dalamnya, atau oleh kecanggihan sistem komputernya. Kinerja suatu institusi ditentukan oleh "isi"nya, yaitu kualitas aturan main dan kualitas manusia-manusia yang menegakkan aturan-aturan main tersebut. Aturan main yang baik adalah aturan main yang rasional, transparan dan berlaku bagi semua, mengacu dan merupakan bagian dari sistem aturan main nasional yang lebih besar. Manusia pelaksana yang baik adalah mereka yang kompeten di bidangnya dan berintegritas tinggi mereka bukan hanya terampil, tetapi juga tidak suka membengkokkan aturan main untuk kepentingan-kepentingan teftentu.
172
Apakah konsekuensi dari tema pembangunankelembagaanini bagi pembangunan pertanian? Apabila strateginya menitikberatkan pada institutional development, maka fokus dari upaya, proyekproyek dan program harus diarahkan pada bagaimana semua itu dapat meningkatkan kinerja berbagai institusi-institusi yang ada, memberdayakan institusi-institusi yang kurang berfungsi, menyerasikan institusi-institusi yang peranannya temyata bertabrakan.
Pasar Saya sebutkan tadi bahwa, sesuai dengan megatrend yang terjadi, institusi yang dominan (dan yang akan makin dominan) adalah "pasar". Pertanyaan-pertanyaan pokok bagi kita, para perumus kebijakan dan perencana, adalah apakah ada pasar-pasar baik bagi produk pertanian maupun bagi saranaproduksi pertanian, yang belum berfungsi dengan baik? Apa hambatan-hambatan terhadap berfungsinya secara baik pasar-pasaritu? Kebijakan apa, program apa, proyek apa yang diperlukan untuk menghilangkan hambatan-hambatanitu? Mari kita ambil beberapa contoh masalah peningkatan kinerja "pasar" ini dari sektor pertanian: o
Pasar Produk: Apakah para petani dari komoditikomoditi utama telah dapat memperolah harga jual yang tetbaik bagi hasil produksinya? Apakah ada hambatan regulasi, informasi, komunikasi dan hambatan lain bagi mereka untuk mencapai tujuan tersebut? Kebijakan, program, proyek apa yang dapat mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan tersebut?
o
Pasar Saranq Produksi'. Apa yang menghambat pemanfaatanlanah yatg produktif? Apakah itu karena masalah kepastian hukum hak pemilikan/ penggunaan tanah? Apakah itu karena informasi tidak sempurna dalam "pasar tanah"'l Kebijakan, program apa yang dapat membantu meningkatkan kinerja pasartanah?
o
Pasar Sarana Produksi: Bagaimana dengan pasar sarana-sarana produksi lain, seperti kredit, pupuk, 113
benih? Apa hambatan-hambatanterhadap pasar-pasar ini untuk berfungsi secaralebih baik? Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan hambatanhambatannya? Bagaimana dengan "pasar" dari suatu sarana produksi pertanian yang sangat penting, yaitu "air"? Reformasi kelembagaanapayang diperlukan?
Pemerintah Bagaimana dengan institusi negara atau pemerintah? Di sini paling tidak ada 2 unsur penting, yaitu regulasi dan penyediaan public goods (termasuk prasarana),keduanya sangatmempengaruhi kinerja pasar-pasartersebut di atas. Regulasi 1: Apakah perlindungan (proteksi) yang diberikan kepada sektor industri tidak merugikan sektor perlanian? Cabang-cabang industri apa yang tingkat proteksinya (tataniaga, bea masuk, dan lainlain) mengganggukinerja sektor pertanian, dan dengan demikian perlu diturunkan atau bahkan dihapus? Apakah ada komoditi-komoditi pertanian yang dianakemaskan dan dianaktirikan, dilihat dari segi kebijakan regulasi, proteksi dan subsidi? Apa ada alasan yarg valid untuk memperlakukan secara berbeda komoditi-komoditi ini? Apa pengaruhnya terhadap efisiensi sektor pertanian secarakeseluruhan? Apakah masih ada hambatan-hambatanperdagangan antardaerahyang merugikan petani? Regulasi 2: Apa ada hambatan-hambatan berupa pengaturan-pengaturan, perizinan-perizinan, bagi wirausahakecil di pedesaandan sektor pertanianuntuk memulai usaha dan menjalankan usaha? Bagaimana menghilangkannya? Apakah para petani wajib ikttt organisasi-organisasiusahatertentu?Mengapa?
Pub I i c Goods: Prasarana-prasatana pertanian apa y ang masih harus dibangun untuk meningkatkan produktivitas produksi dan efisiensi pasar-pasar di sektor pertanian?Apakah prasarana-prasarana ini perlu 114
didanai oleh pemerintah (APBN/APBD) ataukah lebih baik dengan investasi swasta? Hambatan-hambatan apa yang mempengaruhi kinerja pasar-pasarpenelitian pertanian? Masalah organisasi, atau mutu SDM, atau mutu perulalan? Apa peran universitas dalam meningkatkan kinerja penelitian pertanian? Apa hambatan-hambatan untuk memanfaatkan hasil-hasil riset yang tersedia secara internasional bagi sektor pertanian di dalam negeri? Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja penyuluhan? Organisasi, SDM, peralatan? Selain pasar dan institusi pemerintah, lembaga-lembaga kemasyarakatanjuga sangat penting dan menentukan kinerja sektor pefianian. Peftanyaan-pertanyaarserupadapat kita ajukan mengenai hambatan-hambatan terhadap kinerja yang baik dari kelompokkelompok masyarakat,LSM, kelompok usaha,dan lain-lain.
Penutup Saya menyampaikan esensi dari tema pembangunan kelembagaan sebagai titik berat strategi pembangunan pertanian dalam bentuk pertanyaan-pertafiyaafl ini. Jawaban-jawabannyasaya serahkan kepada para ahli. Tetapi benang merah dari pertanyaanpertanyaan tersebut adalah bagaimana meningkatkan kinerja institusi-institusi penting di sektor pertanian. Dalam strategi pembangunanyang bertumpu pada pembangunankelembagaan,kita tidak berbicara mengenai pemilihan komoditi unggulan, pemilihan atau penentuan daerah-daerahunggulan, atau mengenai ketelibatan langsung pemerintah dalam produksi dan distribusi pertanian. Semua itu diserahkan kepada para pelaku ekonomi (petani, pedagang, dan investor). Fokus kita adalah pada identifftasi institusi-institusi penting di sektor peftanian dan bagaimana meningkatkan kinerjanya, khususnya dengan menghilangkan hambatan-humbatannya. Kita berbicara mengenai proyek atau program (misalnya peningkatan mutu SDM), tidak secara umum, tetapi masing-masing diarahkan kepada institusi-institusi tefientu secarakongkret. Muara dari kebijakan, program dan proyek adalah institusi seperti saya definisikan tadi. Apabila institusi-institusi ini dapat ditingkatkan kinerjanya, pembangunan pertanian hampir
175
otomatis akan terjadi dengan sendirinya, dan apabila badai krisis nantinya melanda kawasan ini lagi, ekonomi kita tidak akan terpuruk seperti sekarang ini, Sekali lagi, "isi" dari institusi itu adalah qturan main dan manusia-manusiayang menegakkan aturan main tersebut.
t76
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAANPEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS DALAM SEMINAR PENATAAN KOTA MEMASUKI MILLENIUM KETIGA JAKARTA. 14 SEPTEMBER1999
Bapak Menteri Pekerjaan Umum, Para Hadirin dan Peserta Lokakarya, Assqlamu'alaikum llr. IVb. dan salam sejahtera Dalam waktu yang kurang dari 3,5 bulan, kita akan memasuki tahun 20A0, yang merupakan tahun pintu masuk milenium ketiga. Perubahanmilenium itu sendiri hanya simbolis, karena kalender itu ciptaan manusia. Yang lebih hakiki adalah bahwa pada milenium ketiga, perubahan-perubahanmendasar yang telah terjadi akhirakhir ini akan makin mengkristalisasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi dan segi-segi kehidupan lain akan dipengaruhi oleh paradigma-paradigmabaru Can secaranyata akan mengalami perubahan.Paradigma-paradigma baru itu sendiri akan membawa nilai-nilai baru yang sifatnya universal. Tidak ada bangsa dan negara yang mampu berkembang, atau bahkan hanya untuk sekedarbefiahan, dalam millenium ketiga ini tanpa mengadaptasidiri terhadapnilai-nilai universal tersebut. Perubahan-perubahanmendasar tersebut juga sedang terjadi di negara kita dan ini merupakan bagian dari perubahan mendasar yang mendunia, dengan membawa nilai-nilai universal baru tersebut. Tata nilai yang mengetengahkan kesadaran atas HAM, lingkungan hidup, partisipasi masyarakat, desentralisasi dan otonomi, transparansi,good governance dan sebagainyamerupakan sebagian dari nilai universal baru tersebut. Nilai-nilai itu harus masuk dalam format perkembangan dan agenda pembangunan bangsa Indonesia di tahun-tahunmendatang.
r7'7
Reformasi yang sedangkita jalankan menyangkut perubahan konsepsi kita dalam melihat proses pembangunan. Ia menyangkut kemampuan kita untuk menampung segi-segi politik, ekonomi, sosial budaya dari kegiatan pemerintah dan dunia usaha, bahkan juga masyarakat di tingkat paling bawah (grassroot) dalam proses pembangunan. Dalam kerangka reformasi pembangunan nasional itu, perkotaan mempunyai kedudukan yang penting. Kota adalah pusat konsentrasi manusia dan hampir selalu menjadi pusat pengambilan keputusan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.Penataanperkotaan ikut secaralangsung maupun tidak langsung mempengaruhi keputusan-keputusanini, yang dampaknya menjangkau jauh di luar daerahperkotaan itu sendiri. Seperti halnya dengan penanganan bidang-bidang pembangunan lain, dalam menata perkotaan pada millenium ketiga, kita tidak dapat lepas dari tuntutan untuk menampung nilai-nilai universal tersebut. Nilai-nilai itu kemudian harus diterjemahkan ke dalam berbagai asas, arfiara lain; asas keterkaitan (dengan lingkungan global), asas desentralisasi, asas transparansi, asas pembangunan partisipatif, asas keseimbangan lingkungan, asas berorientasi pada masyarakat Qteople-centered), dan asas akuntabilitas. Penataan perkotaan pada millenium ketiga harus dilandaskan atas asas-asastersebut. Kita memerlukan satu visi baru bagi pengembanganperkotaan. Satu perkembangan penting di bidang perundangan perlu kiranya dicatat. Dengan diundangkannyaUU Nomor 22199 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25/99 tentang Perimbangan Keuangan antara Daerah dan Pusat, peranan perkotaan akan semakin mendapat tempat yang penting dalam upaya untuk menumbuhkembangkan potensi dan kemampuan daerah dalam menghadapi berbagai tantangan. Dengan desentralisasi dan otonomi, daerah beserta masyarakatnya memperoleh peluang luas untuk mendayagunakan potensi-potensi yang dimilikinya. Kesempatandan upaya yang lebih besar untuk mendayagunakan potensi-potensi yang dimiliki inilah yang sebenarnya merupakan inti dari falsafah desentralisasi dan otonomi, dan bukan sekedar memperbesarkewenangan daerah dan memperbesarbagian penghasilanbagi daerahsemata.
178
Perkenankan saya sekarang menyebutkan beberapa peranan mendasar dari perkotaan yang menurut hemat saya sangat penting untuk dipeftimbangkan dalam merumuskan penataan perkotaan di masamendatang: o
Pertama, peranan perkotaan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan mandiri. Perkotaan mempunyai peranan yang amat penting untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih beradab. Salah satu peran utama pengembangan perkotaan adalah untuk menciptakan suasanakehidupan yang mendukung terciptanya masyarakat madani. Perkotaan harus menjadi persemaian bagi berkembangnya manusia dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkualitas, berbudaya, dan beradab yang merupakan building blocks dari masyarakat madani. Perkotaan harus menj adi pusat peradaban.
o
Kedua, peranan perkotaan dalam upaya perkuatan ekonomi nasional dan daerah. Dalam kaitan ini, perkotaan perlu peningkatan dikembangkan sebagai pusat lahirnya produktivitas, efisiensi dan inovasi yang menjadi sumber utama bagi perkembangan ekonomi di setiap masyarakat modern. Peningkatanproduktivitas, efisiensi dan inovasi adalah produk dari kreativitas manusia. Perkotaanharus dapat menjadi persemaiankreativitas manusia yang tinggal di dalamnya.
o
Ketigq., peranan perkotaan dalam mewujudkan desentralisasi dan otonomi yang luas dan bertanggung jawab. Apabila pengembangan perkotaan dapat dikelola secara efisien dan efektif, maka banyak sumber daya nasional dan daerah yang dapat dihemat dan dimanfaatkan secara efektif. Inti dari pengembangan perkotaan yang demiki an adalah berfungsinya sistem kepemerintahan kota yang baik (good urban governance). Pola kepemerintahankota yang baik mengandung beberapa prasyarat arftara lain: tersedianya pola kebijakan pembangunan perkotaan yang jelas, tersedianya mekanisme, proses dan prosedur pembangunan perkotaan yang transparan, terwujudnya pendekatan pembangunan yang partisipatif yang melibatkan berbagai pelaku (stakeholders) dan pelaksanaan pembangunan perkotaan yang konsisten termasuk penegakan peraturannya.
t79
.
Keempa| peranan perkotaan dalam menciptakan keseimbangan lingkungan, kualitas lingkungan hidup perkotaan. Pembangunan perkotaan yang berwawasan lingkungan merupakan salah satu ciri yang makin dituntut dalam millenium ketiga. Standarkualitas lingkungan yang dituntut pun semakin tinggi dan penalti bagi pelanggaran terhadap standar tersebut akan semakin berat, baik penalti yang bersifat lokal maupun yang bersifat global.
o
Kelima, peranan perkotaan dalam meningkatkan keterkaitan yang saling menguntungkan antar bangsa dan antar negara. Peranan perkotaan dalam globalisasi akan sangat menonjol karena perkotaan merupakan simpul-simpul utama dalam jaringan global kegiatan ekonomi, sosial, politik danbudaya.
Agar dapat mengembangkan perkotaan dalam millenium ketiga yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, diperlukan manajemen pembangunan perkotaan yang berwawasan luas dan handal. Peningkatan kemampuan manajemen pembangunan perkotaan harus menjadi salah satu titik perhatian dalam agenda reformasi pembangunannasional. Manajemen pembangunan perkotaan akan berfungsi dengan baik apabila terdapat developmentplatform yang secarasubstansial disepakati oleh berbagai pelaku yang terlibat, yaitu pemerintah daerah, kalangan dunia usaha dan masyarakat luas. Setiap kota harus mampu mengembangkan suatu mekanisme yang efektif untuk mencapai kesepakatandi antarapelaku sehinggadapat dicapai platform tersebut. Kesepakatan itu menjamin adanya komitmen yang cukup dari pada pelaku. Dengan adanya dasar kebijakan pembangunan perkotaan yang jelas, maka para pelaku juga lebih mudah untuk mengelola kegiatannya dalam kerangka pembangunan perkotaan yang disepakati. Dengan kebijakan yang jelas, dan yang didasarkan pada kesepakatan para stakeholders, akan lebih mudah menata instrumen-instrumen pelaksanaankebij akan yang mencakup kelembagaan, kerangka peraturan, pendanaan dan sumber daya manusianya sehingga dapat dicapai implementasi kebijakan yang lebih efektif. Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi peranan perkotaan dalam pelaksanaan reformasi pembangunan nasional yang sedang kita kerjakan. Reformasi pembangunan perkotaan
180
mulai dari identifikasi paradigma yang lebih sesuai,sampai dengan perubahan yang diperlukan dalam proses, mekanisme dan hubungan antar pelaku perlu diwujudkan dalam bentuk yang sistematis dan mapan. Komunikasi yang intensif antarapara pelaku dan para ahli dalam forum lokakarya seperti ini akan membantu perumusan format baru pembangunanperkotaan. Seperti halnya di bidang-bidang pembangunan lain, waktu yang kita punyai untuk melakukan semua itu tidak banyak. Kita berpacu dengan waktu. Saya menaruh harapan besar pada lokakarya ini untuk dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran segar dan substantif dalam rangka merumuskan format baru tersebut. Selamatberlokakarya. Terima kasih. Wassalamu'alqikum Wr. Wb.
l8l
POKOK.POKOK PENGARAHAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL i KEPALA BAPPENAS PADA RAPAT EVALUASI PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI SELAMA KABINET REFORMASI JAKARTA. 21 SEPTEMBER 1999
Perubahan Konstelasi Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah (UIJPD) secara teoritis telah memberikan 2 (dua) bentuk otonomi kepada 2 (dua) daerah, yaitu otonomi terbatas kepada daerah propinsi dan otonomi luas kepada daerah kabupaten/kota. Seiring dengan hal tersebut, secara terbalik konsekuensinya telah dibatasinya kewenanganpusat. Dalam I-ruPD seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan adalah merupakan kewenangan daerah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, peftahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain meliputi: l) kebijakan tentang perencanaannasional dan pembangunan nasional secaramakro, 2) dana perimbangan keuangan, 3) sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian, 4) pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, 5) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, 6) konservasi, dan 7) standardisasi nasional. Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangandalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota meliputi: 1) pekerjaan umurn, 2) perhubungan, 3) kehutanan, dan 4) perkebunan. Kewenangan bidang
182
pemerintahan tefientu lainnya meliputi: 1) perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, 2) pelatihan bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia potensial, dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi, 3) pengelolaan pelabuhan regional, 4) pengendalian lingkungan hidup, 5) promosi dagangdan budaya/pariwisata,6) penangananpenyakit menular dan hama tanaman, dutT) perencanaantataruang propinsi. Kewenangan kabupaten dan kota sebagai daerah otonom mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan pusat dan propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: 1) pekerjaan umum, 2) kesehatan, 3) pendidikan dan kebudayaan, 4) pertanian, 5) perhubungan, 6) industri dan perdagangan,T) penanamanmodal, 8) lingkungan hidup, 9) pefianahan, l0) koperasi, dan ll) Ienaga kerja. Singkatnya, dengan ditetapkannyaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang notabene secara legal formal menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahandi Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka telah terjadi pergeseran titik pandang dalam melihat kewenangan dalam bidang pemerintahan. Dalam Undang-Undang yang lama, titik pandang kewenangan dimulai dari pusat ke daerah, sedangkan dalam Undang-Undang yang baru titik pandang kewenangandimulai dari daerah.
PerencanaanPembangunan SebelumReformasi Perencanaan pembangunan selama ini menggunakan pendekatan yang bersifat komprehensif (comprehensive p Ianning), yang mengkombinasi-kan pendekatan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning) dan dari bawah ke atas (bottom-up planning). Perencanaan dari atas meng-gunakan acuan Repelita, yang secara komprehensif-indikatif mencakup rencana pembangunan seluruh sektor selama lima tahun dalam kerangka pola pembangunan jangka panjang 25 tahun, dan kemudian dijabarkan dalam kerangka pendekatansektoral tahunan. Termasuk di dalamnya perencanaan pembangunan daerah yang juga dilaksanakan dalam kerangka pembangunan sektoral. Perencanaan dari bawah lebih dicerminkan oleh mekanismeperencanaantahunan 183
yang dilaksanakan melalui berbagai forum koordinasi perencanaan. Hal ini dilakukan mengingat luasnya negarakita yang terdiri atas27 propinsi dan sekitar 340 kabupaten/kota sehingga mekanisme p erencanaanselama ini dilakukan secaraberjenj ang (hier ar chi ca[). Berdasarkan pelaksanaannya selama ini, pendekatan perencanaan pembangunan mempunyai beberapa permasalahan seperli antaralain: a.
Proses peroncanaanmembutuhkan waktu cukup lama. Hal ini terjadi antaralain karena prosespengambilan keputusanbersifat sentralistis dan dilakukan secara berjenjang. Mekanisme perencanaan tahunan misalnya membutuhkan waktu kurang lebih 9 bulan.
b.
Perencanaandari atas ke bawah lebih menggunakanpendekatan yang bersifat sektoral dan parsial, termasuk pula pada perencanaansektor pembangunandaerah.
c.
Kualitas dan kapasitas perencanaan sangat beragam. Perencanaandari atas ke bawah, walaupun mempunyai konsep yang baik seringkali sulit diimplemetasikan, sedangkan perencanaandari bawah seringkali hanya berbentuk semacam pengajuan usulan keinginan (wishing list) tanpa memperhatikan kondisi daerah, aspirasi masyarakat setempat, dan kebutuhan nyata daerah.
d.
Proses perencanaan dinilai kurang transparan, karena tidak memungkinkan masyarakat untuk terlibat langsung dalam kegiatan pembangunandi daerahnya.
e.
Sumberdaya atau pembiayaan pembangunan bersifat sentralistis. Keterkaitan pembiayaan menjadikan pemerintah daerah sangat bergantung kepada Pusat dalam hal perencanaan pembangunannya. Belum adanya pengaturan perimbangan keuangan antarapusat dan daerah selama ini menjadi salah satu kendala utama pembangunandaerah.
Melihat berbagai permasalahan tersebut di atas, di masa mendatang, perencanaanyang menggunakanpendekatankombinasi antara top-down planning dan bottom-up planning ini mungkin masih perlu digunakan, namun melalui kerangka, proses dan
184
mekanisme perencanaanyang sama sekali baru, yang berlandaskan kepada keterbukaan,kej elasan,dan kebertanggungjawaban.
PerencanaanPembangunan Dalam Rangka Reformasi Salah satu tuntutan yang berkembang dalam era reformasi akhir-akhir ini bagi pembangunan daerah adalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya untuk semua daerah, yar'g menjamin kehidupan demokrasi dalam masyarakal. Pada masa transisi seperti sekarang ini, pembangunan daerah lebih diarahkan untuk mengatasi krisis ekonomi di daerah dalam wakfi sesingkatsingkatnya, terutama untuk pemulihan usaha ekonomi produktif baik dalam level daerah maupun level nasional. Hal ini dilakukan sebagai upaya menciptakan stabilitas daerah dan nasional, yafig pada gilirannya diharapkan dapat mewujudkan masyarakat madani (civil society) yang sesungguhnya. Dalam kerangka perencanaan pembangunan, mekanisme perencanaanpembangunantahunan yang tersedia selama ini (P5D) sudah selayaknya disesuaikan dengan berbagai perkembangan dan perubahan yang terjadi, terutama perubahan konstelasi perundangundangan yang mengatur hubungan antara pusat dan daerah, baik dalam hal kewenangan keuangan maupun kewenangan pemerintahan. Berkaitan dengan hal tersebut,maka reformasi yang mendesak untuk dilakukan adalah pada praktik dari mekanisme perencanaan tahunan. Sesuai dengan Undang-Undang yang baru maka diharapkan pola dan pendekatan mekanisme perencanaantahunan mulai dari Musbangdes, Temu Karya UDKP, Rakorbang Kabupaten/Kota, Rakorbang Propinsi, Konregbang, dan Konasbang, harus diarahkan dan dipusatkan kepada penyelesaian dokumen usulan perencanaan sesuai dengan tingkat kewenangan yang ada (planning by authority level). Dengan format mekanisme perencanaan tersebut maka diharapkan usulan perencanaanyang akan dilaksanakan di daerah dapat diselesaikan sepenuhnya di daerah, yang secarakeseluruhan telah memasukkan perlimbangan-pertimbanganlokalitas y ang ada, baik potensi maupun kebutuhan daerah(planning by locality).
185
Implikasi dari format mekanisme perencanaantersebut adalah adanya pembagian tanggungjawab (shared responsibility) dalam menyelesaikan usulan percncanaan di masing-masing tingkatan serta adanya konsentrasi (focusing) terhadap penyelesaian usulan perencanaan yarrg menjadi kewenangan di masing-masing tingkatan.
PerencanaanPembangunanDi Masa Datang Setelah kita melampaui masa transisi, perencanaan pembangunan daerah perlu segera ditata kembali agar tahap pembangunan selanjutnya dapat dilaksanakan secara sistematis. Tujuan pembangunan daerah pada masa mendatang mencakup antara lain : a.
Mengembangkan otonomi daerah melalui melalui perluasan dan peningkatan partisipasi masyarakat untuk menciptakan stabilitas daerah dan nasional.
b.
Memperluas kesempatan dan pilihan yang seluas-luasnya dalam seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan untuk mewujudkan masyarakatmadani.
c.
Mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat yang serasi antar golongan dan daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan keanekaragamandaerah.
d.
Mengembangkan pola pengelolaan sumberdaya alam yang bertanggunglawab dan memperhatikan nilai-nilai kelestarian lingkungan hidup.
Pencapaian tujuan pembangunan daerah tersebut sangat bergantung kepada keberhasilan pelaksanaan desentralisasi.Salah satu keuntungan dari desentralisasiadalahlebih dekatnya pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah daerah dengan masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian, diharapkan prioritas pembangunan dan kualitas pelayanan masyarakat dapat lebih mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat di suatu daerah, sedangkan sisi lain partisipasi masyarakat dalam pelaksanaandan pembiayaan pembangunan dapat berjalan. Beberapa prinsip yang
186
perlu dikembangkan agar desentralisasi berjalan baik adalah: keberlanggungj awaban,keterbukaan,dan keberkelanjutan.
Visi, Misi, dan Strategi Transmigrasi Berkaitan dengan latar belakang permasalahandi atas, maka pengelolaar transmigrasi, baik sebagai persoalan kelembagaandepartemental maupun sebagai persoalan pembangunan,sejak dini harus diarahkan kepada terciptanya visi, misi dan shategi yang mampu mengikuti dinamika perubahansertamemberikan kontribusi terhadap segenapupaya untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat secaraluas. Visi pengelolaan transmigrasi harus ditempatkan dalam kerangka pengembanganwilayah secarautuh dan terpadu, sehingga mobilitas penduduk yang terkait didalamnya mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam mewujudkan pembangunan masyarakatmadani (civil society) yang sesungguhnya. Untuk menerjemahkan visi tersebut maka berbagai misi yang harus dilakukan anlara lain adalah, pertama, menciptakan dan nrenyediakan berbagai peluang (accesib il it ies) untuk meningkatkan derajat kesejahteraanmasyarakatmelalui prosesmobilitas penduduk secarasosio-ekonomis yang wajar, Kedua, meningkatkan akselerasi pembangunan daerah, khususnya untuk daerah yang relatif tertinggal, guna mencapai keseimbangan laju pembangunan antardaerah.Ketiga, mewujudkan suatu komunitas masyarakat y ang relatif sejahtera, yang memiliki dinamika dan interaksi sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang positif, baik dalam kepentingan lokai maupun kepentingan nasional. Dan, keempat, mendorong dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya masyarakat baru sebagaibagian dari kelas menengahyang tangguh dan mandiri. Strategi pengelolaan transmigrasi dalam jangka panjang harus didekati dengan dua pendekatanvtam4 yaitu pendekatandemografi dan pendekatan ekonomi. Pendekatan demografi berarti bahwa transmigrasi harus dikelola sebagai suatu alat (tools) untuk mendorong mobilitas penduduk dalam kerangka persebaran penduduk antardaerah. Pendekatan ekonomi berarti bahwa transmigrasi harus dikelola sebagai suatu alat bagi peningkatan pendapatan, yang ditempuh dengan pengembangan sektor-sektor 187
ekonomi produktif yang terkait langsung dengan pengembangan wilayah. Dengan mengacu kepada UU No. 22 Tahw 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 berarti "demend'terhadap mobilitas penduduk dan pengembangan wilayah pada gilirannya muncul dari daerah. Afiinya, dengan berbagai kewenangan yang dimilikinya, daerah memerlukan "inpuf' sumberdaya manusia - baik yang bersifat sebagai "te\aga kerja" (manpower) maupun yang bersifat sebagai "penduduk" (resident people) - yang mampu mengembangkan berbagai sektor ekonomi produktif dalam pengelolaan potensi sumberdaya alam di daerah. Singkatnya, input sumberdayamanusia tersebut merupakan alat untuk mengelola sumberdaya alam yang selama ini masih underutilized. Peningkatan upaya pengelolaan sumberdaya alam melalui berbagai kegiatan ekonomi produktif dalam kerangka strategi pengembanganwilayah (r egional devel opment) diharapkan mampu menjadi faktor penarik (pull factor) bagi penduduk di wilayah yang relatif memiliki tingkat kepadatanpenduduk yang tinggi (seperti di kawasan Jawa-Bali) untuk melakukan "migrasi untuk menetap demografis secara sukarela" berdasarkan pertimbangan ekonomis yang rasional. Prinsip migrasi (demograJis) secara sukarela berdasarkan pertimbangan ekonomis yang rasional tersebut dalam konteks pengelolaan transmigrasi akan berimplikasi pada manajemen perencanaandan pelaksanaantransmigrasi yang bersifat profesional, yang mendasarkan kepada pencapaian efisiensi, efektifitas, dan ketepatansasarankegiatan. Dengan sifat manajementersebutberarti dalam jangka panjang transmigrasi tidak lagi hanya sekedarmenjadi "pilihan terakhir" (the last option), namun akan menjadi "pilihan rasional" (the rational option) secaraekonomis bagi segenappihak yang terlarik dan terlibat di dalamnya. Dengan mempertimbangkan arah desentralisasidan otonomi daerah yang berkembang akhir-akhir ini maka dalam jangka panjang manajemen perencanaan dan pelaksanaan transmigrasi harus ditempatkan dalam kerangka koordinasi (coordination), (linkage), keterkaitan keterpaduan (integratedness), dan keberlanjutan (sustainability), yang melibatkan berbagai level pemerintahan, mulai dari tingkat pusat, propinsi, dan 188
kabupaten/kota, dunia usaha, dan masyarakat. Dengan prinsip tersebut maka pengelolaan transmigrasi bukan lagi sekedar urusan dan kewenangan "sektoral-departemental" belaka, namun harus menjadi urusan dan kewenangan bersama (common business and authority), sesuai dengan pembagian tugas dan fungsi masingmasing pihak terkait. Akhirnya, sebagai konsekuensi dari perubahan internal dan eksternal yang terjadi maka paradigma, visi, dan misi diatas harus ditindaklanjuti melalui aksentuasi dan aktualisasi strategi pengelolaan transmigrasi yang secara nyata harus mengakomodasikan berbagai perubahan tersebut. Strategi kunci dalam pengelolaan transmigrasi adalah mendorong perubahan dalam kinerja mekanisme, dan kelembagaan dengan sumberdaya manusia yang bersifat profesional, proporsional, terbuka, dan bertanggungjawab.
189
STATEMENT BY H.E. BOEDIONO MINISTER OF STATE FOR NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING / CHAIRMAN OF BAPPENAS AT THE JOINT ANNUAL DISCUSSION SEPTEMBER 28 _ 30. 1999 Mr. Chairman, Governors, Ladies and Gentlemen: It is reassuring to hear the recent news about the world economy. The U.S. economy continues to show strength, while Europe and Japan are transmitting positive signals. Meanwhile, emerging economies as a group are also faring better. Japan, in particular, deserves to be congratulated for its remarkable turn around. Meanwhile, the proposed reform of the HIPC Framework would make not only good politics but also good economics. Turning to my country, Indonesia, it is clear that the better prospects of the world economy should provide a better environment for our recovery. Conversely, the world economy is bound to benefit from our quick recovery. Let me mention some recentfactsaboutIndonesia. One year ago, at the time of the last joint annual meetings, Indonesia's economic fortunes had reached a nadir. Inflation had risen to an annual rate of 82%o,the rupiah had depreciatedby some 75o/o ar'd traded at Rp. 10,000 per US$, one-month interest rates were at 64Yo, and real GDP had collapsed by 16%. At that time, no one knew whether things would get better or worse in the months to come. Significantpolitical uncertaintieslay ahead. T'oday the Indonesian economy is in far better shape but, unfortunately, similar uncertainties remain. Inflation has almost been eradicated, with the annual rate falling to less than 6Yo in August. The one-monthinterestrateshave droppedbelow 13%. By mid-July of this year the rupiah had strengthenedto Rp. 6,600 per US$, before it weakenedagainto the current level aroundRp. 8,400 per US$. Share prices on the Jakarta Stock Exchange have risen by more than 60oh from their level one year ago. Consumer spending, agricultural production and a few manufacturing activities are starling to look up. With oil prices having doubled from the beginning of the year and commodity prices beginning to stabilize,
190
Indonesia'sexternal payments position should improve in coming months. In recent weeks, these clear signs of economicrecovery have been blurred by unceftainties arising from the emergenceof a bank scandal, events in East Timor and rising political temperaturein the run up to the Presidential election. There is a lesson to be learned here. The underlying messageof this experience is that despite two years of unprecedented economic misfortune, the Indonesian economy remains alive and fundamentally strong. Given half a chance, it will bounce back. At the sametime, it is also clear that the recovery remains fragile and requires constantnurturing by a steady and caring hand. Much of the credit for the improved outlook is due to the implementation of a consistent economic stabilization and restructuring program, in support which the international community has played a crucial role. We wish to express our appreciation for this support. Financial sector restructuring and corporate debt resolution have been key elements of this program. Over the past year, notable progress has been made on both fronts, which I shall not elaboratehere. However, recent events threaten to undo much of such progress. The restructuring program has been paralyzed by a banking scandal that strikes at the integrity of the institutions charged with recapitalizing and restructuring our banks. We consider it to be a very serious matter and we know that we need to resolve it in a transparentmanner and in a manner that is consistent with Indonesian law. A judicial processfor the casewill start within a matter of Cays. I should add that the prevailing public sentiment ensuresthat only a transparentand complete resolution will meet the public's expectations. The upcoming Presidential election is another source of unceftainty. It is our hope that the resolution of thesetwo issueswill allow us to regain the momentum that we had attained earlier this year. Finally, I would like to expressthe deep regret of the people of Indonesiafor the loss of life causedby eventsin EastTimor. Let me reaffirm that the Government of Indonesia is committed to taking the steps necessaryto enable the fulfillment of the newly expressed 191
will of the majority of East Timorese to seek a new destiny outside Indonesia.
Thank you
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS DALAMRAKORNAS II PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP JAKARTA, 9-11 OKTOBER 1999 Pengantar Iftisis yang melanda bangsakita sejak pertengahantahun l99i merupakan musibah tapi juga mempunyai hikmah. Ada hal yang patut disyukuri, yaitu bahwa krisis tersebut telah mampu memberikan titik tolak bagi gerakan reformasi di Indonesia, yang mendorong langkah-langkah pembaruan dan pemikiran kembali kebijakan di berbagai bidang. Reformasi pengelolaan Lingkungan Hidup dan Tata Ruang dalam pembangunandi Indonesia tidak dapat lepas dari reformasi di bidang-bidang pembangunan lainnya. Perubahan terpenting dalam reformasi ini adalah akan berubahnyasistempemerintahankita yang sentralistik menjadi desentralistik. UU No. 22 dan No. 25 Tahun 7999 secarategas menyebutkan bahwa pemerintah daerah (Propinsi, Kabupaten dan Kota) memiliki kewenangan yang bulat dan utuh untuk mengelola sumber daya alam nasional dan lingkungan hidup di daerah masing-masing. Kewenangan tersebut tentu diiringi dengan tanggungjawab dan harus mampu dilaksanakan bersamaan dengan kewenangan-kewenangan dan tanggungjawabtanggrngjawab lainnya yang dilimpahkan kepada daerah. Kewenangan dan tanggungjawab itu tentu harus diikuti dengan pelimpahan sumber-sumber yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaannya. Ini berarli bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah, pemerintah daerah akan memiliki keleluasaandan kesempatan yang luas dalam membangun interaksi sosial-politik dengan sektor swastadan masyarakatmadani. Selama ini program-program pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang masih cenderungbersifat sentralistis,dimana peranan pemerintah pusat melalui departemen atau lembaga teknis lainnya dominan dalam menentukan sektor bahkan sampai kepada penentuan program-program dan kegiatannya. Di lain pihak pemerintah daerah belum memberikan kontribusi yang maksimal
193
terhadap usaha-usahapengelolaan dan konservasi lingkungan hidup karena hasil dari pengelolaan sektor lingkungan hidup di wilayahnya belum dirasakan cukup sebagai sumber penerimaan daerah. Kemampuan teknis yang tersedia pun belum memadai. Dalam rangka reformasi pada sektor lingkungan hidup dan tata ruang perumusan kebijakan lingkungan hidup harus makin ditempuh melalui proses demokratisasi dan penggalian aspirasi masyarakat dari bawah, dengan mengembangkanmekanismepublic hearing yang diikuti oleh berbagai stakeholders yang berkaitan dengan kebijakan tersebut.Undang-undangNo. 24 tentang Penataan Ruang dan PP No. 47 tahun 1997 tentang RTRWN memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada daerah untuk mengelola pemanfaatanruang yang bertanggungjawab dalam rangka kesatuan sistemTata RuangNasional. Dalam menghadapi perkembangan tersebut, pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang haruslah makin bertumpu pada potensi daerah dan masyarakatnya. Seluruh perencanaankegiatan pembangunan dan kelestarian sumberdaya alatn di daerah haruslah bertumpu pada kepentingan masyarakat banyak di daerah itu. Singkatnya, dalam reformasi perumusan program, baik pokok dan maupun penunjang, di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang perlu dilakukan penguatan lembaga daerah, penguatan masyarakat, penguatan badan pengendalian lingkungan dan penguatanpola kemitraan antarapemerintah, pihak dunia usahadan masyarakat. Penguatan Lembaga Daerah Penguatan lembaga daerah baik lembaga eksekutif maupun legislatif penting untuk menciptakan proses keputusan yang lebih independen dalam merencanakan kegiatan pembangunan yang bertumpu pada pengetahuan mengenai kondisi dan aspirasi lokal daerah itu sendiri. Pengambilan keputusan di tingkat daerah juga akan mengurangi inefisiensi yang disebabkan oleh birokrasi yang berbelit dan panjangjika keputusanharus ditentukan di tingkat yang lebih tinggi. Keputusan yang diambil oleh pemerintah di tingkat yang lebih tinggi dan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota, seringkali kurang dapat menangkap kondisi spesifik dari masing-masing daerah. Hal ini mengakibatkan tidak
194
terakomodasinyapermasalahanyang ada di daerah.Keputusan yang bertumpu pada kondisi lokal daerah itu sendiri diharapkan akan mampu untuk mengakomodasi permasalahan-permasalahan lingkungan dan tata ruang yang benar-benar relevan di daerah tersebut. Namun hal penting agar keputusan tersebut merupakan keputusan yang baik adalah bahwa lembaga legislatif (DPRD) di daerah nantinya haruslah makin mampu untuk mengontrol proses pengambilan keputusan tersebut. Kontrol legislatif yang efektif ini penting bagi setiap pengambilan keputusan kebijakan dalam alam demokrasi.
Penguatan Masyarakat
Proses check and balance eksekutif-legislatif tersebut masih perlu diperkuat dengan proses yang sama dengan masyarakat luas termasuk kelompok-kelompok masyarakat dan dunia usaha. Penguatan masyarakat merupakan bagian dari penguatan daerah. Masyarakat yang mengefii hak, kewajiban dan yang berpengetahuan akan menjadi masyarakatyang kuat. Mereka akan mampu ikut serta berperan dalam pembangunan sebagai mitra sejajar pemerintah, bukan hanya sebagaiobyek dari pembangunan. Penguatanmasyarakat ini termasuk pula penguatankelompok masyarakat tertentu yang ada di daerah tersebut, seperli kelompok masyarakat minoritas dan suku tefientu atau suku asli. Kelompok masyarakat seperti ini yang seringkali tersingkir dari pembangunan yang seharusnyajuga menguntungkanmereka. Untuk memperkuat masyarakat ini perlu dilakukan usahausahapendidikan masyarakatmengenai hal-hal yang perlu diketahui oleh mereka, terutama hak dan kewajiban mereka, juga mengenai pentingnya memperhatikan masalah lingkungan dan tata ruang dalarn pembangunan di daerah mereka. Usaha-usaha pendidikan masyarakat ini dapat dilakukan melalui kampanye yang harus dilakukan secara intensif. Masyarakat diharapkansecaralebih aktif ikut berkiprah dalam pembangunan sebagai mitra sejajar dari pemerintah. Dalam hal pengelolaanlingkungan hidup dan talan)ang kegiatan yang produktif tersebut akan mampu meningkatkan mutu 195
lingkungan hidup dan mutu ruang bagi masyarakat luas yang adil dan didukung oleh kepastianhukum dan tepat.
Penguatan Lembaga PengendalianLingkungan dan Tata Ruang Untuk memastikan internalisasi aspek lingkungan hidup dan tata ruang diakomodasi dalam kebijakan di daerah, diperlukan lembaga pengendalian lingkungan dan tata ruang yang independen dan jelas kewenangannya. Selain kemampuan teknis yang handal, beberapa fungsi dan kewenangan yang harus dipunyai oleh lembaga pengendali tersebut adalah kemampuan untuk memfasilitasi hubungan antara berbagai tingkatan pemerintah dan pemerintahan untuk antar mengharmonisasikan usaha-usahaperlindungan lingkungan hidup dan penataan ruang, kewenangan untuk melakukan pengawasan, evaluasi dan pengendalianterhadap semua kebijakan pembangunan dan pelanggarannya. Fungsi lain yang tidak kalah penting adalah menilai dan menganalisis dampak lingkungan dari proyek-proyek pemerintah maupun swasta. Lembaga yang sudah ada di daerah perlu diperkuat untuk menerima tanggungjawabtersebut.
Penguatan Pola Kemitraan Pemerintah, I)unia Usaha dan Masyarakat Kemitraan yang sejajar antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sangatlah diperlukan dalam pembangunan sehingga kepentingan semua pihak dapat terwakili dengan baik. Transparansi dan keterbukaan dalam pengambilan keputusanjuga membutuhkan hubungan yang sejajar antaraketiga pihak tersebut. Syarat untuk terjadinya pola kemitraan yang sejajar adalah bahwa ketiga pihak harus mempunyai pengetahuanyang seimbang mengenai masalah pembangunan,lingkungan hidup dan tata ruang. Masing-masing pihak juga harus mengetahuihak dan kewajibannya, termasuk pihak swasta, yarg dalam hal ini juga harus tahu peranannya dalam proses pembangunan yang berkelanjutan, yang akhirnya merupakan win-win solution bagi semuapihak. Untuk itu suatu kebijakan mengenai pendidikan atav pengembangan kapasitas bagi masing-masing pihak mengenai 196
nasalah pembangunan,lingkungan hidup dan tataruang perlu kita kembangkan bersama.Untuk lebih meningkatkan peran dunia usaha dalam perlindungan lingkungan perlu diupayakan adanyakebijakan yang mengarah pada penggunaaninsentif ekonomi. Walaupun pasal 10 dari UU No. 22 Tahun 1999 jelas menyebutkan bahwa wewenang pengelolaan sumberdaya nasional ada pada pemerintah daerah,namun sesuai pasal 7 pendayagunaan sumberdaya alam telap merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kebijaksanaan yang akan ditempuh dalam sektor lingkungan hidup dan Iata ruang harus lebih banyak mengakomodasikan berbagai masalah lokal dan kebutuhan masing-masing daerah. Berbagai program, baik program pokok maupun program penunjangnya, perlu lebih bernuansadesentralisasidan otonomi daerah yang lebih luas. Tentunya hal ini harus disertai dengan kesiapan dari stakeholders di daerah dari mulai Bupati dan aparatnya sampai kepada masyarakatnya.Tetapi perlu diingat pula bahwa masih ada, dan akan selalu timbul, masalah-masalahyang sifatnya mencakup antar-daerah dan berlingkup nasional (atau bahkan regional dan global). Konteks nasional masih tetap diperlukan, meskipun muatan-muatan lokal ditingkatkan. Keseimbangannya perlu kita rumuskan sebaik-baiknya.
Penutup Dalam rangka menyongsong otonomi daerahmelalui Undangundang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999, maka perumusan kebijaksanaan nasional sektor lingkungan hidup dan tata ruang di masa mendatang perlu lebih mengacu kepada beberapa hal pokok yang telah disebutkan di atas. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dan penataanruang seperti tersebut di atas perlu mendapat perhatianyang lebih mendalam.
191
Opening Remarks At Meeting on Indonesia's Economic Program Dr. Boediono Minister of State for National Development Planning / Chairman of Bappenas Jakarta. October ll. 1999 My esteemedfriends from the political parties, my colleagues from academia, and my associatesfrom the International Financial institutions, I would like to welcome you to this forum of dialogue on the future economic program for Indonesia. We are at an important point in our history, and the MPR's choiceof Presidentnext week is clearly a defining moment for Indonesia. Wc too have an important job. We have inherited a severe econorrric crisis and economic policy framework that has been shapedto meet it. We cannot ignore this history in our deliberations. Nevertheless, we do not want to be an unthinking captive to decisionsalreadytaken. There are four groups invited to this dialogue; experts from major political parties, our colleaguesin the universities, our friends at the IMF and those of us in the bureaucracy. However, the program for Indonesia must be its own program. All of those here have a seat at the table, and the IMF, the World Bank, and the Asian Development Bank as impofiant external stakeholders also have seats.We acceptthis, but they do not own the table. Let me also make very clear another thing. I have chosen the word dialogue carefully. This is a dialogue, not a forum designed to lead to an agreement. There is no letter of intent at the end of thesesessions. I start from the assumption that each of us is interested in implementing an economic program that is best for Indonesia. That is, we are searching for the program that will maximizes social welfare defined broadly. However, we will clearly disagree, and sometimes agree, on how to define these welfare goals and on the best means to achievethem. We would like this dialogueto be an occasion where, the technical experts in these areas, can share
198
openly (and privately) their thinking about the program already in place, where we need to go, and why and how we may need to change. No one owns the truth, we all need to reach out with understanding to each other, in the belief that people of good will can find solutions or at least agreeto disagree. To organize these discussionsthe visiting IMF team has offered to make initial presentations in seven areas; the macroeconomic framework, bank restructuring, the role of IBRA and Bank Indonesia, fiscal policy, structural reforms, and the balance of payments/external financing. After an initial presentation,the floor will be open to discussions,in what, should be an open and private dialogue on the issuesbefween partners and stakeholdersin the future oflndonesia. Again we do not expect or believe that we have to reach agreementson the nature of this issuesin each of these areas,much less on how we should solve the problemsinvolved, What I hope is that we can arrive at a professional appreciation of each other's position and an agreementthat dialogue is a continuous process. By the end of these sessions,we will have to put together a briefing for current and future policy makers that summarizes the discussionsand positions taken. Again this is not some sort of agreement that we will be giving to them, much less our surrender to the IMF for them to sign. Rather it should be an objective report on the areas where there is a widespread consensusat the technical level and on areaswhere we do not agree, and this includes, more impoftantly, clear reasoningbehind our differences of opinion. Let me speak for a moment about my own and Bappenas role in these proceedings and, perhaps, for those of you in other ministries. Besidesplaying the delightedhost, I, and my colleagues, are not disinterested parties, grey bureaucrats, only to happy to execute whatever policy we receive from our superiors. We too, share in the desire to find the best path for Indonesia and have our own opinions about what that path is and how to move along it. I believe that you have or will receive a just published study that provides Bappenasmid-term projection and policy agendathat greatly overlaps with the agendaof this dialogue. I hope you accept it in the spirit it is given, that is a contribution to the policy debate
r99
and issues facing Indonesia and that you will rbad it and provide us your thoughtsand criticisms. Taking advantage of having the floor here, let me be candid about my prejudices. The program that I believe in and that we outline, is not simply a continuation of the structural adjustment program of the last couple of years. It is, however, based on similar appreciation for the role of markets and a belief that our future lies in continuing to integrate our economy with the larger world through open trade and investment. In fact, speakingpersonally, my experience during the crisis has taught me that we need to broaden and deepen our reform efforts. In pafticular, we need to strengthen the foundations of our institutions both in government and outside. Let me not take too much of your time in theseremarks today, since a monologueby me would be the worst way to starta dialogue among us. Thank you again for your participation in what I expect and believe will be nine days of fruitful and historic meetings.
Ramah Tamah Menneg.PPN/Kepala Bappenasdengan Karyawan/Karyawati Bappenas Jum'at. 22 Oktober 1999.)
Rekan-rekan saya dari Bappenas semuanya, pertama-tama saya menyampaikan Assallamu 'alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Tadi waktu saya masuk ditepuki rasanya seakan akan jadi kandidat wakil presiden, atau apa. Terima kasih atas sambutan saudara-saudarasekalian. Saya harap tidak ada yang interupsi. Saudara-saudara, saya sudah bertemu dengan saudara-saudara beberapa waktu yang lalu dalam coffee morning. Dan saya juga menyampaikan apa yang saya pikirkan mengenai lembaga kita, perannya dan juga saudara-saudarasekalian sebagai bagian dari lembaga ini. Saya tidak akan mengulang itu. Tetapi saya hanya ingin menyampaikan beberapahal. Pertama "selamat qtas terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden baru bagi kita semua". Kita mengharapkan paling tidak satu kelompok permasalahan,mudah-mudahan bisa terselesaikan. Yaitu masalah ketenangan dibidang politik, akhirnya menjurus kepada masalah keamanan, barang kali juga kepada kepercayaan pasar. Ini fakta politik. Apa pun orientasi politik kita, memang negara kita memerlukan semacamconfidence di bidang ini. Dan ini nampaknya pasar sudah bereaksi baik. Tapi itu adalah awal saja. Saya kira saudaramengetahui bahwa masalahkonkritnya lebih dari itu, confidence. Mudah-mudahan bisa kembali sebagai titik tolak dari kerja konkritnya, kerja kerasnya. Dan disini Bappenas itu perannya sangatbesar. Saya mengikuti pada waktu pemungutan suara mengenai pertanggungjawabat, akhirnya ternyata banyak yang menolak. Saudara-saudara sekalian,sayabertanyapadahati sayasendiripada waktu itu. Apakah saya bersama rekan-rekan saya di Bappenasitu, telah menyumbangkan sesuatu atau tidak, dalam masa-masayang sulit itu? Kalau kita menoleh setahun, dua tahun yang lampau, aya kira perubahannya sudah sangat besar.Nah, saya meskipun melihat u)
Transkip dari sambutan taupa teks
201
bahwa pilihannya menunjukan pada rapor secara keseluruhan dari pemerintah yang lampau itu tidak lulus. Mungkin ya, denganmarjin yang tidak terlalu banyak, tetapi memang tidak lulus. Tetapi saya mengatakanpada diri saya, bahwa ini adalah penilaian yang politis. Saya mengatakan pada diri saya dan saya yakin saudara juga bertanya kepada diri saudara masing-masing apakah saya melakukan sesuatuyang berguna pada saat itu. Pada masa-masaitu, saya akan menjawab ya. Saya percaya bahwa kita sebagailembaga telah melaksanakantugas kita sebagaimanakita bisa lakukan dalam suasanaseperti itu. Saya garis bawahi dalam suasanayarg sangat sulit, kita menjadi sasaran tembak dari berbagai pihak. Toh, kita berjalan terus. Toh, hasilnyajuga ada. Saya kira apapunpenilaian di MPR kita harus percaya kepada diri kita sendiri bahwa apa yang kita Iakukan adalah apa yang kita bisa sumbangkankepada bangsa ini. Saudara-saudarasekalian, saya kira kepercayaan pandangan sepefti itu saya inginkan, saya tanamkan pada saudara-saudara sekalian. Jangan terpengaruh kepada penilaian politis. Politis ya politis, itu memang ada pertimbangan-pertimbangan macammacam. Tetapi sebagai lembaga yang mempunyai fungsi cukup jelas dalam suasanayang seperti kita alami selama hampir 2 tahun terakhir ini, saya kira respon kita baik. Kita tidak bisa menilai diri kita sendiri, tetapi saya kira kok, cukup fair kalau kita mempunyai pandanganseperti itu. Saudara-saudarasekalian, itu saya kira adalah titik awal bagi saudara-saudara sekalian untuk melangkah maju lagi, dengan pemerintahan yang baru. Nanti Insya Allah suasananya makin tenang, saudara-saudaradi Bappenasbisa memikirkan hal-hal yang lebih fundamental, terulama mengenai peran Bappenas itu sendiri, apa itu di masa mendatang ini, dan melakukan langkah-langkah yang penting. Tidak hanya berfikir tapi take action melakukan langkah-langkah untuk menuju ke arah itu. Saya bisa merasakan selama satu setengahtahun lebih ini hampir 2 tahun (17 bulan), itu ada sense diantara saudara-saudara sendiri unfuk melakukan reformasi pembaharuan. Saya bisa merasakan ini. Hidupkan itul Keep up that's spirit / Saya yakin itulah asetutama dari lembaga ini. Saudara-saudara sekalian, sangat berat bagi saya unfuk berpisah baik dengan saudara-saudara sekalian, ini sudah merupakan bagian dari karir dan riwayat hidup saya. Bappenas dan 202
lama sebelumnya,terutama selama 17 bulan terakhir ini benar-benar memberikan bekas kesan yang sangat baik pada diri saya, pada hati saya. Saya pada kesempatani4i, ingin menyampaikan terima kasih banyak atas kerjasama saudara-saudarasekalian pada masa-masa yang sangat sulit. Saya tahu ada yang bekerja sampai dini hari dan sebagainya. Tetapi saya kira itu sudah biasa bagi Bappenas. Saya sudah mencoba pada saat-saat yang penuh dengan beban itu mengurangi beban-beban lain, arfiara lain: kalau mau pidato saya menulis sendiri biar teman-teman saya tidak perlu dibebani dengan tugas kesusastraanini. Jadi saya kira, saya berusahauntuk itu dan saya inginkan pada waktu itu saudara berkonsentrasikepada tugas utama saudara yaitu merencanakan dan ikut memonitor programprogram yang sangatvital pada saatini. Jaring Pengaman Sosial itu identik dengan Bappenas, meskipun dilaksanakan di lembaga-lembaga lain. Tetapi, sebagaimana dalam suasana seperti itu, kita semua kena tembak. Saya minta saudara-saudara tegar. Kalau saudara menoleh ke belakang nanti akan ada assessmentyang lebih wajar. Jadi saya kira memang banyak hal-hal yang perlu kita benahi. Sayayakin saudarasaudara menyadari itu. Dan itu jangan menutup diri saudarauntuk memperbaiki program-program ini. Tetapi kalau kita hitung-hitung juga, berapa sih jumlah kasus yang benar-benar di beritakan itu ?, yang banyak sekali, yang kadang kala di ulang-ulang. Itu kalau dibandingkan dengan target besarnya itu, ya, mungkin masih wajar, 36.000 desa di targetkan dalam waktu singkat dalam keadaan darurat seperti itu, untuk dijangkau 10.000.000 keluarga untuk dibagikan dengan beras murah, 4.000.000 beasiswa, 130.000 sekolah itu dijangkau dengan DBO (Dana Bantuan Operasiona[) dalam waktu singkat. Kasus-kasus banyak, tetapi berapa ratus, coba? Kalau itu dibandingkan dengan sasarannya,barangkali bisa dimaafkan juga. Apalagi dalam situasi darurat seperti itu. Yang penting itu action pada saat itu, bukan perfection dahulu diatas kertas. Jadi ini sebagai pelajaran bagi kita untuk memperbaiki. Tetapi juga untuk tetap tegar dalam suasana-suasana dimana iklim itu bisa berganti-ganti. Ini tidak akan berhenti, karena suasana demokrasi memang menunjukkan atau memang menimbulkan fluktuasi dari situasi politik seperti itu. Saya harapkan mungkin tidak separahdimasa lampau yang kita telah lewati ini.
203
Saudara-saudara sekalian, saya ingin mengakhiri dengan meminta maaf kepada saudara.saudarasekalian apabila saya secara tidak sengaja melakukan hal yang tidak berkenan di hati saudarasaudara sekalian. Saya kira saya ingin menyampaikan bahwa meskipun kita berpisah secara fisik, saya akan tetap bersama saudara. Saya akan tetap terbuka bagi saudara-saudarasekalian apabila nanti ada yang melakukan dialog atau debat dengan saya, Saya siap untuk melayani atau menerima saudara-saudarasekalian. Bappenas termasuk saudara-saudarasekalian adalah bagian dari hidup saya. Dan saya kira tidak mungkin saya akan melupakan saudara-saudarasekalian. Dengan ini saya ingin menyampaikan selamat bekerja, selamat bertugas. Insya Allah saudaraakan mendapatkanpimpinan yang arif, bijaksana dan bisa memimpin saudara-saudarasekalian dalam masa-masareformasi ke depan ini, 'i'erima kasih 'alaikum Wassalamu Wr. Iltb.
204