REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Acara Dialog Ilmiah Manajemen X ”POTENSI ACEH PASCA PENGESAHAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH” _________________________________
Saudara-saudara sekalian Para hadirin yang berbahagia, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama perkenankan saya secara tulus mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas ridha Nya sehingga kita dapat hadir bersama di ruangan ini untuk mengikuti acara Pada Acara Dialog Ilmiah Manejemen X dengan Tema ”POTENSI
ACEH
PASCA
PENGESAHAN UNDANG-
UNDANG PEMERINTAH ACEH”. Merupakan suatu kehormatan bagi saya menjadi salah satu Pemateri pada diskusi yang menurut saya memilih tema yang cukup menarik untuk dipikirkan secara bersama-sama baik oleh masyarakat Aceh sendiri, serta seluruh rakyat Indonesia pada umumnya.
1
Hal ini berlandaskan pemikiran
bahwa pengesahan UUPA dapat dianggap merupakan sesuatu keberhasilan kita semua dalam kerangka nasional rangka penerapan semangat perdamaian dan rekonsiliasi Aceh secara lebih konkrit setelah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) Perdamaian antara Republik Indonesia dengan Pihak GAM pada 15 Agustus 2005 lalu. Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan beberapa hal yang menurut hemat saya merupakan modal yang sangat penting untuk dipelihara dan dikembangkan lebih lanjut bagi pembangunan Aceh. Pada dasarnya, dengan diterapkannya berbagai kebijakan dan program yang terarah, maka beberapa aspek positif sudah mulai dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh pasca pengesahan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU PA), antara lain dengan terus meningkatnya integrasi masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam ke dalam NKRI, yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari upaya-upaya positif yang mulai berjalan cukup baik pasca penandatanganan perjanjian damai pada 2005. Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang saya hormati, Pada hemat saya, beberapa hal di bawah ini jelas merupakan tonggaktonggak dan peluang-peluang positif yang perlu mendapatkan perhatian bagi keberhasilan pembangunan Aceh lebih lanjut dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertama, keberhasilan integrasi kelompok bersenjata GAM ke dalam masyarakat sipil. Integrasi GAM dan penyerahan senjata-senjata mereka kepada negara adalah tonggak awal terpenting bagi proses integrasi Aceh ke dalam arus utama
Konsolidasi
Demokrasi
negara
2
dan
rakyat
Indonesia
secara
keseluruhan. Berhasil diterapkannya penyerahan senjata dan integrasi GAM ke dalam masyarakat, maka seperti halnya negara-negara demokrasi lain yang sudah maju,
Angkatan Bersenjata (TNI) merupakan satu-satunya pihak di
dalam NKRI yang memiliki senjata sebagai lembaga pertahanan serta Polri sebagai lembaga penjaga keamanan dan ketertiban yang sekaligus melindungi dan melayani masyarakat Indonesia.
Dalam demokrasi yang sehat, hanya
militer dan polisi yang diperkenankan memiliki dan menggunakan persenjataan sebagai representasi negara, dalam batas-batas yang digariskan oleh Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, adanya dukungan masyarakat internasional secara luas terhadap integrasi Aceh setelah diterimanya Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005. Melalui pengawasan dan monitoring masyarakat internasional (dalam hal ini Aceh Monitoring Mission/AMM), sesuai dengan isi dan semangat MOU Helsinki 2005, maka integrasi GAM ke dalam masyarakat secara damai, telah secara signifikan meningkatkan kredibilitas Aceh khususnya dan kualitas penegakan Demokratisasi di Indonesia pada umumnya di dalam pandangan masyarakat internasional. Sehingga tidak mengherankan bahwa Presiden SBY menjadi salah satu calon penerima HADIAH NOBEL UNTUK PERDAMAIAN TAHUN 2006. Hal ini menjadi simbol kepercayaan dunia internasional terhadap proses perdamaian Aceh dalam kerangka besar KONSOLIDASI DEMOKRASI di Indonesia yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Selain itu, dunia internasional memiliki kepentingan strategis terhadap keberhasilan integrasi Aceh ke dalam arus demokratisasi di Indonesia (NKRI), dengan demikian Aceh telah masuk ke dalam arus besar (mainstream) negara
3
demokrasi yang bersifat multikultural serta diharapkan dapat terhindar dari jebakan bentuk-bentuk kehidupan masyarakat Islam yang bersifat terlalu eksklusif dalam pergaulan dunia internasional yang lebih luas. Ketiga, adanya stabilitas politik dan keamanan secara umum di Aceh. Sejak ditandatanganinya MOU Helsinki 2005, jelas ada perubahan suasana umum yang sangat besar di dalam kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Hal ini antara lain disebabkan oleh pulihnya kekuasaan pemerintahan sipil karena sudah dicabutnya status tertib sipil di Aceh. Masyarakat secara perlahan tapi pasti sudah bebas dari ketakutan dan suasana tegang. Perekonomian dan aliran barang dan jasa relatif sudah dapat bergerak secara leluasa, sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia. Selain itu, seperti halnya dengan daerah-daerah lain, masyarakat Aceh makin menikmati suasana keterbukaan politik, sebagai bagian dari upaya demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Aceh sudah mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, mengajukan keberatan-kebaratan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah serta mengadukan aparat-aparat negara dan pemerintah apabila dianggap melakukan KKN. Keempat, sudah diterimanya secara wajar isi dan semangat dari UUPA. Meski pada awalnya diterima dengan sikap Pro dan Kontra yang cukup kuat, ternyata cukup besar jumlah anggota masyarakat yang menilai isi UUPA ini sudah baik. Survei dari lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) secara umum menunjukkan kecenderungan yang cukup menggembirakan dari
4
penerimaan masyarakat, baik pada tingkat nasional maupun lokal masyarakat Aceh. Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang saya hormati, Menurut hasil survei LSI yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2006, maka ternyata pada tingkat NASIONAL, masyarakat yang menyatakan bahwa UUPA sudah sangat/cukup sesuai dengan isi dan semangat MOU Helsinki adalah 40,4% (kurang/tidak sesuai: 10,8%, tidak jawab/tidak tahu: 48,8%). Sedangkan pada tingkat LOKAL (masyarakat Aceh), masyarakat yang menyatakan bahwa UUPA sudah sangat/cukup sesuai dengan isi dan semangat MOU Helsinki adalah 38,1% (kurang/tidak sesuai: 8,7%, tidak jawab/tidak tahu: 53,1%). Demikian juga apabila pendapat masyarakat di atas diperinci ke dalam persoalan-persoalan khusus yang terdapat di dalam UUPA, seperti masalah pengelolaan minyak dan gas; porsi pendapatan Aceh sebesar 70% dari hasil sumber daya alam, dan mengenai tambahan dana Otonomi Khusus untuk Aceh selama 20 tahun, maka pendapat masyarakat dapat dikatakan cukup positif. Namun demikian, hal-hal di atas harus terus dikelola secara baik nilainilai positifnya, sekaligus menjaga agar potensi negatif yang masih cukup besar dapat diminimalisir. Hal ini mengingat sebelumnya Aceh sudah berada dalam keadaan darurat selama hampir 30 tahun (1976-2005). Baik masyarakat Indonesia secara nasional maupun masyarakat Aceh harus terus menerus berinteraksi
secara
dinamis
dan
berkomunikasi
secara
aktif
untuk
menghindarkan berbagai ekses sosial politik dari integrasi Aceh, seperti persoalan kecemburuan sosial politik, ketertinggalan ekonomi serta persoalan-
5
persoalan perbedaan kebudayaan dan penerapan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat secara luas. Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang saya hormati, Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa konflik selama puluhan tahun telah membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi masyarakat Aceh. Hal ini tercermin dari laporan bersama yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dan Tim Gabungan para akademisi dan peneliti dari Aceh sendiri dengan dukungan Pemerintah Indonesia, yang menyebutkan masih tingginya tingkat kemiskinan di Aceh. Tidak mengherankan, dari sisi pendapatan perkapita, Aceh masih berada pada peringkat yang cukup rendah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Oleh karena itulah, saya mendorong setiap inisiatif, konsep dan kebijakan yang ditujukan untuk menggerakkan dan memajukan perekonomian rakyat, mengembangkan basis-basis usaha kecil dan menengah serta memajukan sektor riil.
Dalam kerangka inilah, maka Acara Dialog Ilmiah
semacam ini sangat perlu didukung untuk memperkaya pilihan-pilihan kita dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Acah. Sehinggga, seperti yang dikemukakan oleh penyelenggara acara ini, pembangunan yang dilaksanakan benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah masih cukup tingginya rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat Aceh terhadap itikad baik Pemerintah dalam menerapkan butir-butir kesepakatan damai yang tertuang dalam MOU Helsinki. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan Pemerintah memberikan keleluasaan yang cukup besar bagi AMM untuk menjadi pihak ketiga yang dianggap NETRAL dalam menjamin
6
adanya transparansi penerapan Nota Kesepahaman, termasuk di dalamnya empat tahap proses penyerahan dan pemusnahan senjata milik GAM, serta proses realokasi jumlah TNI dan Polri. Saya mengharapkan hal-hal penting yang sudah dicapai sejak Nota Kesepahaman dapat menjadi modal utama integrasi Aceh, sebaliknya hal-hal yang belum berhasil mendapatkan titik temu antara Pemerintah dengan pihak GAM, perlu terus dikomunikasikan dan dicarikan titik temunya. Terlepas dari berbagai kelemahan yang masih dikeluhkan, UU PA sudah sangat akomodatif terhadap aspirasi politik masyarakat Aceh, terutama berkaitan dengan disetujuinya
pembentukan partai politik lokal Aceh dan calon independen,
penerapan Syariah Islam untuk pemeluk Agama Islam, serta jaminan terhadap Hak Asasi Manusia di Aceh. Akhirnya, dengan mengenang saudara-saudara kita yang tertimpa musibah besar Tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, maka saya mengharapkan kita menghormati penderitaan dan pengorbanan mereka dengan itikad baik dan perbuatan-perbuatan yang terhormat untuk masa depan Aceh yang lebih sejahtera dan demokratis. Kita sebagai orang beragama meyakini, bahwa segala musibah semestinya menyadarkan kita terhadap segala perbuatan-perbuatan kita yang kurang baik pada masa lampau. Selain itu, pemahaman dan penerapan secara luas terhadap asas BHINNEKA TUNGGAL IKA merupakan prinsip yang tepat untuk berhasilnya pembangunan Aceh dan integrasinya ke dalam NKRI. Demikianlah, semoga Allah Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karunia-Nya bagi semua itikad baik kita bagi bangsa dan tanah air tercinta.
7
Terima kasih, Wassalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Banda Aceh, 22 November 2006 Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas
H. Paskah Suzetta
8