i
KATA SAMBUTAN
KATA SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BAPPENAS
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Selain untuk mencapai sasaran pembangunan nasional, pembangunan di daerah juga bertujuan untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Untuk mendapatkan suatu gambaran tentang prestasi yang telah dihasilkan dalam upaya mencapai suatu tujuan dan sasaran pembangunan yang diinginkan, setiap aktivitas perencanaan haruslah dapat diukur tingkat capaian/target tentang apa yang harus dicapai. Undang-undang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa perencanaan harus didasarkan pada data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kerangka inilah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menerbitkan Buku “Pembangunan Daerah Dalam Angka 2009” setiap tahunnya sebagai suatu alat untuk melihat pencapaian kinerja pembangunan daerah di masing-masing wilayah di seluruh provinsi di Indonesia, sekaligus sebagai masukan untuk perencanaan tahun berikutnya. Buku “Pembangunan Daerah Dalam Angka 2009” ini, berupaya menyajikan informasi perkembangan berbagai aspek pembangunan daerah serta analisis pencapaiannya dari aspek kewilayahan. Semoga buku ini dapat menjadi media informasi yang sangat berguna bagi para perencana baik di pusat maupun di daerah di dalam penyusunan dokumen perencanaan.
Jakarta,
Desember 2010
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, MA
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
i
iii
KATA PENGANTAR
Buku Pembangunan Daerah Dalam Angka 2010 (PDDA) ini merupakan kelanjutan dari publikasi sejenis tahun sebelumnya yang disusun oleh Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Dalam publikasi ini disajikan data dan informasi tentang perkembangan hasil pembangunan daerah dalam kurun waktu 2004 sampai dengan 2009. Yang, mencakup enam pokok bahasan yaitu: (i) geografis dan administrasi wilayah, (ii). kondisi fisik wilayah, (iii). sosial ekonomi dan kependudukan, (iv). perekonomian daerah, (v). prasarana wilayah, dan (vi) kondisi lingkungan hidup Seluruh data sebagian besar diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sebagian lainnya bersumber dari Kementerian dan lembaga yang kompeten di bidangnya. Uraian dari setiap pembahasan dalam laporan ini tentunya belum menggambarkan perkembangan dari keseluruhan aspek pembangunan, karena keterbatasan ketersediaan data yang tersedia. Namun, dalam penyusunan laporan mendatang diharapkan dapat terus disempurnakan dengan berbagai indikator yang lebih relevan, cakupan informasi yang lebih luas dan mutakhir sejalan dengan kemudahan dalam perolehan data dari berbagai instansi terkait. Kami mengucapkan terimakasih atas segala dukungan berbagai pihak dalam penyusunan laporan ini. Kami sangat menghargai kritik dan saran dari berbagai pihak guna menyempurnakan Laporan di masa mendatang.
Jakarta,
Desember 2010
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Max H. Pohan
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
ii
vi
DAFTAR ISI
Kata Sambutan
i
Kata Pengantar
iii
Tim Penyusun
v
Daftar Isi
vi
Daftar Tabel
vii
Daftar Gambar
xii
BAB 1. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI WILAYAH
I-1
BAB 2. KONDISI FISIK DAN LINGKUNGAN
II-1
BAB 3. SOSIAL EKONOMI DAN KEPENDUDUKAN
III-1
1.1. Geografis 1.2. Administrasi Wilayah
2.1. Kondisi Iklim 2.2. Sumberdaya Alam 2.2.1. Air 2.2.2. Lahan dan Hutan 2.2.3. Energi 2.2.4. Perikanan dan Kelautan
3.1. Kependudukan 3.1.1. Jumlah, Persebaran dan Laju Pertumbuhan Penduduk 3.1.2. Kepadatan Penduduk 3.1.3. Komposisi Penduduk Berdas arkan Usia, Jenis Kelamin, dan Tipe Daerah 3.2. Ketenagakerjaan 3.2.1. Angkatan Kerja 3.2.2. Penduduk Bekerja 3.2.3. Pengangguran Terbuka 3.3. Kesehatan 3.4. Pendidikan 3.5. Kemiskinan 3.6. Indeks Pembangunan M anusia (IPM)
BAB 4. PEREKONOMIAN DAERAH
4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 4.1.1. PDRB Menurut Lapangan Usaha 4.1.2. PDRB Menurut Penggunaan 4.2. Penanaman Modal dan Investasi 4.2.1. Penanaman Modal Dalam Negeri ( PMDN ) 4.2.2. Penanaman Modal Asing ( PMA ) 4.3. Perdagangan Eks por dan Impor 4.3.1. Ekspor 4.3.2. Impor 4.4. Monenter dan Perbankan
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
I-1 I-2
II-1 II-2 II-2 II-3 II-6 II-9
III-1 III-2 III-1
III-3 III-4 III-4 III-6 III-10 III-13 III-17 III-20 III-24
IV-1
IV-1 IV-1 IV-9 IV-14 IV-14 IV-15 IV-17 IV-17 IV-19 IV-21
vii
DAFTAR ISI 4.5. Perkembangan Produksi dan Sektor Unggulan Daerah 4.5.1. Tanaman Pangan dan Palawija 4.5.2. Tanaman Perkebunan 4.5.3 Peternakan 4.5.4. Perikanan 4.5.4.1. Perikanan Tangkap 4.5.4.2. Perikanan Budidaya 4.5.5. Nilai Tukar Petani
IV-26 IV-26 IV-28 IV-35 IV-36 IV-36 IV-38 IV-40
4.6. Keuangan Daerah 4.6.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 4.6.2. Dana Perimbangan 4.6.3 Kapasitas Fiskal daerah
IV-41 IV-41 IV-42 IV-49
BAB 5. PRASARANA WILAYAH
V-1
BAB 6. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
VI-1
5.1. Jaringan Irigasi 5.2. Prasarana Transportasi 5.2.1. Prasarana Trans portasi Darat 5.2.2. Prasarana Trans potasi Laut 5.2.3. Prasarana Trans portasi Udara 5.3. Kelistrikan 5.4. Sumber Air Bersih
6.1. Bencana Alam 6.2. Lingkungan 6.3. Hutan dan Lahan 6.3.1. Lahan Kritis 6.3.2. Laju Defores tasi 6.3.3. Alih Fungsi Sawah dan Hutan 6.3.4. Kebakaran Lahan dan Hutan LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-1 V-2 V-2 V-7 V-9 V-10 V-14
VI-1 VI-1 VI-3 VI-3 VI-3 VI-5 VI-6
vi
xii
Daftar Gambar
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Posisi Geografis Negara Republik Indonesia
I-1
Gambar 2.1.
Rata-rata Curah Hujan di Beberapa kota di Indonesia Tahun 2008 (dalam mm/tahun) Peta Cekungan Tanah di Indonesia Tahun 2007 Jumlah Titik Sungai Tercemar Berat menurut Provinsi tahun 2008 Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 2005 (persen) Proporsi luas kawasan hutan dan perairan tahun 2007(dalam persen)
II-1 II-3 II-3 II-4 II-5
Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11. Gambar 3.12. Gambar 3.13. Gambar 3.14. Gambar 3.15. Gambar 3.16. Gambar 3.17. Gambar 3.18. Gambar 3.19. Gambar 3.20. Gambar 3.21. Gambar 3.22. Gambar 3.23.
Laju Pertumbuhan Penduduk Antarprovinsi, Tahun 2005-2010 Pola Sebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2009 Persentase Penduduk Berdasarkan Golongan Usia Tahun 2005-2010 ( persen ) Persentase Penduduk Provinsi Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2010 Perkembangan Ketenagakerjaan Tahun 2004-2009 Perkembangan Angkatan Kerja Tahun 2004-2009 Jumlah Angkatan Kerja dan Laju Pertumbuhannya pada Tahun 20042009 Menurut Provinsi. Jumlah Penduduk Bekerja Menurut Perkotaan dan Perdesaan Tahun 2004-2008. (dalam juta jiwa) Jumlah Penduduk yang Bekerja Februari 2004-2009 (Juta Jiwa) dan Laju Pertumbuhannya (% per tahun). Komposisi Penduduk Usia 15 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2009 Komposisi Penduduk Usia 15 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Antarprovinsi Tahun 2009 Komposisi Penduduk yang Bekerja Menurut menurut Lapangan Usaha Secara Nasional Tahun 2009 Perkembangan Jumlah (dalam juta) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (dalam persen). Tahun 2004-2009. Perkembangan Tingkat pengangguran Terbuka Provinsi-provinsi di Wilayah Sumatera Tahun 2004-2009. (dalam persen) Perkembangan Tingkat pengangguran Terbuka Provinsi-provinsi di Wilayah Jawa-Bali, dan Kalimantan Tahun 2004-2009. (dalam persen) Perkembangan Tingkat pengangguran Terbuka Provinsi-provinsi di Wilayah Sulawesi, Maluku, dan PapuaTahun 2004-2009. (dalam persen) Komposisi Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan dan Provinsi Pada Tahun 2009 (Februari). (dalam persen) Perkembangan Angka Kematian Bayi Tingkat Nasional, Tahun 2000, 2005, 2007 Kondisi Angka Kematian Bayi (AKB) Antarprovinsi Tahun 2005 dan 2007. (per 1.000 kelahiran hidup) Perkembangan Umur Harapan Hidup (UHH) Nasional Tahun 2005-2008 Umur Harapan Hidup (UHH) Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2008 Perkembangan Status Gizi Buruk dan Kurang Tahun 2003, 2005, dan 2007. (dalam persen) Persentase Status Gizi Buruk dan Kurang Menurut Provinsi Tahun 2007 di tolong Tenaga Medis, Tahun 2005-2008
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-1 III-2 III-2 III-3 III-3 III-3 III-5 III-5 III-6 III-7 III-8 III-8 III-9 III-10 III-11 III-11 III-12 III-13 III-13 III-14 III-14 III-14 III-15
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.24. Perkembangan Persentase Persalinan Terakhir Gambar 3.25. Persentase Persalinan Ditolong Tenaga Medis Menurut Provinsi tahun 2004 dan 2007. Gambar 3.26. Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-rata lama sekolah Tahun 2005-2008 Gambar 3.27. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2008. (dalam tahun) Gambar 3.28. Angka Melek Huruf (AMH) Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2008. (dalam persen) Gambar 3.29. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke atas menurut Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Menurut Provinsi, Tahun 2007. (dalam persen) Gambar 3.30. Angka Partisipasi Murni (APM) SD, SMP, Sekolah Menengah (SM) Sederajat Menurut Provinsi, Tahun 2008. Gambar 3.31. Perkembangan APM SD, SMP dan SMA Sederajat, Tahun 2004-2008. Gambar 3.32. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Tahun 20042009. Gambar 3.33. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2009. Gambar 3.34. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Menurut Wilayah Sumatera Tahun 2009. (dalam persen) Gambar 3.35. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Menurut Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua Pada Tahun 2004-2009 Gambar 3.36. Perkembangan IPM dan Komponen Pembentukannya Tahun 2005-2008 Gambar 3.37. IPM Menurut Provinsi pada Tahun 2005 dan 2008 Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10. Gambar 4.11. Gambar 4.12. Gambar 4.13. Gambar 4.14. Gambar 4.15.
xiv
PDB Nasional Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2009 (dalam miliar rupiah) Kontribusi PDRB Pulau Terhadap Total ADHB Tahun 2008 (Rp Triliun) Perbandingan PDRB ADHB Pulau Tahun 2008 (dalam persen) PDRB dengan Migas ADHB Menurut Provinsi Tahun 2008 (dalam Rp Triliun) Struktur PDB Nasional Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2009 (persen) Perumbuhan Ekonomi Nasional (ADHK 2000) Tahun 2004-2008 (dalam persen) Pertumbuhan Ekonomi ADHK Provinsi di Wilayah Sumatera Tahun 2004-2008 (dalam persen) Pertumbuhan Ekonimi Nasional ADHK 2000 Provinsi di Wilayah JawaBali Tahun 2004-2008 Pertumbuhan Ekonomi ADHK 2000 Provinsi di Wilayah Kalimantan Tahun 2004-2008 (persen) Pertumbuhan Ekonomi ADHK 2000 Provinsi di Wilayah Sulawesi Tahun 2004-2008 (dalam persen) Pertumbuhan Ekonomi (harga konstan tahun 2000) Tahun 2004-2008 di Pulau Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua PDRB Perkapita dengan Migas ADHK Tahun 2000 Menurut Provinsi Tahun 2004-2008 (Rp. Juta per Jiwa) Struktur PDB Menurut Penggunaan ADHK Tahun 2000 Tahun 2008 (dalam persen) Perkembangan PDRB Penggunaan ADHK Tahun 2000 Menurut Komponen Pengeluaran Tahun 2001-2008 (dalam persen) Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga ADHK Tahun 2000 Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-15 III-16 III-17 III-17 III-18 III-19 III-19 III-20 III-20 III-21 III-22 III-22 III-24 III-24 IV-1 IV-1 IV-2 IV-2 IV-3 IV-4 IV-5 IV-5 IV-6 IV-6 IV-6 IV-7 IV-8 IV-8 IV-10
xii
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.16. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (harga konstan tahun 2000) Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008 (Triliun Rp) Gambar 4.17. Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB (harga konstan tahun 2000) Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008 (Triliun Rp) Gambar 4.18. Nilai Ekspor Barang dan Jasa (harga konstan tahun 2000) Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008 (Trilun Rp) Gambar 4.19. Nilai Impor Barang dan Jasa (harga konstan tahun 2000) Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008 (triliun Rp) Gambar 4.20. Perkembangan Realisasi PMDN dan Proyek Tahun 2004-2008 Gambar 4.21. Distribusi Persentase Realisasi PMDN Menurut Pulau Tahun 2004 dan 2008 (dalam persen) Gambar 4.22. Realisasi PMA menurut Nilai dan Jumlah Proyek Tahun 2004-2008 (dalam juta US$) Gambar 4.23. Perbandingan Distribusi Persentase Realisasi PMA Menurut Wilayah Tahun 2004 dan 2008 (dalam persen) Gambar 4.24. Perkembangan Nilai Ekspor Gas dan Non Migas Nasional tahun 20042008 (juta US$) Gambar 4.25. Peranan Wilayah dalam Total Ekspor Non Migas Nasional Tahun 2008 (dalam Persen Gambar 4.26. Perkembangan Nilai Impor Gas dan Non Migas Nasional Tahun 20002007 (juta US$) Gambar 4.27. Peranan Wilayah dalam Impor Non Migas Nasional Tahun 2008 (dalam Persen Gambar 4.28. Nilai dan Pertumbuhan Kredit Usaha Kecil dan Kredit Bank Umum tahun 2004-2009 Gambar 4.29. Posisi Kredit Usaha Kecil yang diberikan Rupiah dan Valas Bank Umum Antarprovinsi Tahun 2004-2009 Gambar 4.30. Perkembangan Posisi Pinjaman Rupiah yang diberikan Bank Umum dan BPR Antarprovinsi Tahun 2004-2009 Gambar 4.31. Posisi Pinjaman Rupiah yang diberikan Bank Umum dan BPR Antarprovinsi Tahun 2004-2009 Gambar 4.32. Rasio Kredit Rupiah terhadap Posisi Simpanan Rupiah Masyarakat Menurut Provinsi Tahun 2004 dan 2009 Gambar 4.33. Laju Inflasi Gabungan 66 Kota Desember 2008 di Pulau Sumatera Pulau Jawa-Bali dan Luar Pulau Sumatera dan Jawa-Bali (2007=100) Gambar 4.34. Pola Spasial Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Provinsi Tahun 2006 Gambar 4.35. Pola Spasial Areal Perkebunan Karet Menurut Provinsi Tahun 2006 Gambar 4.36. Pola Spasial Areal Perkebunan Kopi Menurut Provinsi Tahun 2006 Gambar 4.37. Pola Spasial Areal Perkebunan Kakao Menurut Provinsi Tahun 2006 Gambar 4.38. Pola Spasial Areal Perkebunan Tembakau Menurut Provinsi Tahun 2006 Gambar 4.39. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Menurut Pulau Tahun 20052007 (dalam ton) Gambar 4.40. Perkembangan Nilai Tukar Petani Nasional Tahun 2000-2009 Gambar 4.41. Nilai Tukar Petani Menurut Provinsi Tahun 2009 Gambar 4.42. PAD dan Rasio PAD terhadap Total Pendapatan Menurut Provinsi Tahun 2007 Gambar 4.43. Realisasi Dana Perimbangan Tahun 2005-2009 (miliar rupiah)
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-10 IV-11 IV-12 IV-12 IV-13 IV-14 IV-15 IV-16 IV-18 IV-18 IV-20 IV-20 IV-22 IV-23 IV-23 IV-24 IV-25 IV-27 IV-36 IV-36 IV-36 IV-37 IV-37 IV-40 IV-43 IV-44 IV-45 IV-46
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7. Gambar 5.8. Gambar 5.9. Gambar 5.10. Gambar 5.11. Gambar 5.12. Gambar 5.13. Gambar 5.14. Gambar 5.15. Gambar 5.16. Gambar 5.17. Gambar 6.1. Gambar 6.2. Gambar 6.3.
xvi
Perkembangan Luas Fungsional Irigasi Nasional Pada Tahun 2004-2007 Perkembangan dan Distribusi Daerah Irigasi yang Memiliki Jaringan Utama Berdasarkan Provinsi Tahun 2004 dan 2005 Perkembangan Panjang Jalan Berdasarkan Statusnya, Tahun 1999-2005 Perkembangan Kondisi Permukaan Jalan (Aspal/tidal Aspal) Tahun 1999-2005 Gambaran Kapasitas Jalan dan Kerapatan Jalan Per Provinsi Tahun 2005 Kondisi Jalan Provinsi Antarprovinsi Tahun 2007 (kondisi 15 januari) Perkembangan Jumlah Pelabuhan Di Indonesia Tahun 2005-2006 Perkembangan Pembangunan Dermaga Di Indonesia Tahun 2004-2006 Perkembangan Jumlah Armada Pelayaran Nasional dan Asing Tahun 2003-2006 Perkembangan Produksi Muatan Angkutan Laut Dalam dan Luar Negeri Tahun 2002-2006 Realisasi Pembangunan Fasilitas Landasan Tahun 2000-2006 Realisasi Pembangunan Fasilitas Bangunan, Tahun 2000-2006 Perkembangan Energi yang Diproduksi dan Jenis Pembangkit PT PLN Tahun 1994-2005 Jumlah Energi Listrik Terjual Menurut Provinsi Tahun 2007 (dalam GWh) Jumlah Energi Listrik Terjual Menurut Provinsi Tahun 2007 (dalam GWh) Komposisi Energi Terjual per Kelompok Pelanggan (%) Menurut Provinsi Tahun 2007. (dalam persen) Persentase Desa per Provinsi Menurut Sumber Air Minum/Memasak yang Umum di Gunakan masyarakat Tahun 2008 Jumlah emisi yang berasal dari kendaraan roda empat tahun 2006 (ton/tahun) Persentase luasan lahan kritis di indonesia tahun 2007 (dalam persen) Perubahan deforestasi menurut pulau kurun waktu 2000-2005 (hektar/tahun)
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-1 V-2 V-2 V-2 V-3 V-4 V-5 V-5 V-5 V-6 V-7 V-7 V-8 V-9 V-9 V-10 V-12 VI-2 VI-3 VI-4
xii
I
GEOGRAFI & ADMNISTRASI WILAYAH
1.1.
Geografis
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan wilayah negara kelautan dengan luas wilayah laut sekitar 7,9 juta Km2 (81 persen dari seluruh luas wilayah) dan luas wilayah darat 1,86 juta Km2 (19 persen), terdiri atas 17.504 pulau1) besar dan kecil. 8.651 pulau sudah bernama, dan 8.853 pulau belum bernama, dan sekitar 6000 pulau diantaranya tidak berpenghuni yang menyebar disekitar khatulistiwa dan beriklim tropis (Sumber: Departemen Dalam Negeri, 2005). Secara koordinat geografi Wilayah Indonesia terletak antara 6o 08’ Lintang Utara dan 11o 15’ Lintang Selatan dan antara 94o 45’ dan 141o 05’ Bujur Timur, serta terletak diantara dua benua yaitu benua Asia dan Benua Australia. Batas wilayah Indonesia searah penjuru mata angin: (i) Utara berbatasan dengan Negara Malaysia, Singapura, Filipina dan Laut Cina Selatan; (ii) selatan berbatasan dengan Australia, Timor Leste, dan Samudera Hindia; (iii) Barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan (iv) Timur berbatasan dengan Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera Fasifik. Lokasi Indonesia juga terletak pada pertemuan lempeng tektonik sehingga rawan terjadi gempa bumi yang dapat berpotensi menimbulkan tsunami. Indonesia juga banyak memiliki gunung berapi salah satu yang sangat terkenal adalah gunung Krakatau, terletak di selat Sunda antara Pulau Sumatera dan Jawa (Gambar 1-1). Dengan bentang wilayah dari Barat ke Timur hampir setara dengan bentang benua Eropa, Indonesia memiliki tiga daerah waktu, yaitu:
Daerah Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) meliputi Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali , Pulau Madura, Provinsi Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah: (GMT + 07 = 00);
Daerah Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA) meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan Timur, dan Pulau Sulawesi: (GMT + 08 = 00);
Daerah Waktu Indonesia Bagian Timur (WIT) meliputi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat: (GMT + 09 = 00). Gambar 1-1: Peta Wilayah Negara Republik Indonesia
1 ) 24
Pulau tenggelam pada tahun 2005 - 2007 - 24 islands were sink at 2005-2007
P E M B A N G U NA N D A ER AH D A L A M A NG K A 2 0 1 0
I-1
I
GEOGRAFI & ADMNISTRASI WILAYAH
1.2.
Administrasi Wilayah.
Secara administrasi wilayah NKRI saat ini terdiri dari 33 provinsi, 400 kabupaten, 97 kota, 6.448 kecamatan, serta 77.882 desa dan kelurahan. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2008 telah terbentuk 3 provinsi baru, yaitu Provinsi Kepulauan Riau hasil pemekaran dari Provinsi Riau pada tahun 2002, Provinsi Sulawesi Barat hasil pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004, dan Provinsi Papua Barat merupakan hasil pemekaran Provinsi Papua pada tahun 2003.
Tabel 1-1: Luas Wilayah dan Jumlah Daerah Administratif Menurut Pul au/Kepulauan WILAYA H Su mat era Jawa B ali Kalimant an Sulaw esi Nusa Ten ggar a Maluku Papu a NASIONA L
Luas Wilayah (Km2 ) 480.793 135.218 544.150 188.522 67.290 78.897 416.060 1.910. 930
Jumla h Prov
Kota
10 7 4 6 2 2 2 33
34 34 9 11 3 4 2 97
Kab.
Kec
117 93 46 62 28 16 38 400
1.726 2.185 579 913 401 175 469 6.448
Desa/ Kel 24.087 26.139 6.864 9.706 4.016 2.123 4.947 7.882
Sumber: Permendagri: No. 6 Tahun 2008
Berdasarkan pembagian wilayah seperti disajikan pada Tabel 1-1 diatas, Indonesia terbagi dalam 7 wilayah pulau besar yaitu: Pulau Sumatera terdiri dari 10 provinsi, Pulau JawaBali dengan 7 provinsi, Pulau Kalimantan yang terdiri dari 4 provinsi dengan luas wilayah 544.150 Km2 merupakan pulau terbesar di Indonesia, Pulau Sulawesi dengan 6 provinsi, Pulau Nusa Tenggara dengan 2 provinsi, Kepulauan Maluku dengan 2 provinsi, dan Pulau Papua dengan 2 provinsi. Sementara untuk Provinsi terluas adalah Provinsi Papua dengan luas wilayah 319.036 km2 dan Kalimantan Timur dengan luas wilayah 204.534 Km2, luas untuk setiap provinsi disajikan pada Tabel 1-2. Tabel 1-2: Luas Wilayah Provinsi di Indonesia Provinsi
Luas (Km2)
NAD 57.956 Sumatera Utara 72.981 Sumatera Barat 42.013 Riau 87.024 Jambi 50.058 Sumatera Selatan 91.592 Bengkulu 19.919 Lampung 34.624 Bangka Belitung 16.424 Kepulauan Riau 8.202 D K I Jakarta 664 Sumber: Permendagri No. 6 Tahun 2008
Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah D I Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
Luas (Km2) 35.378 32.801 3.133 47.800 9.663 5.780 18.572 48.718 147.307 153.565 38.744
Provinsi Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Luas (Km2) 204.534 13.852 61.841 46.717 38.068 11.257 16.787 46.914 31.983 97.024 319.036
Indonesia merupakan negara kelautan yang terdiri dari kepulauan kecil dan besar. Menurut penyebarannya jumlah pulau bernama paling banyak dijumpai di Kawasan Timur Indonesia sebanyak 5.459 pulau atau sebesar 63,1 persen dari total pulau bernama, yang tersebar di Pulau Sulawesi sebanyak 1.212 pulau, Pulau Papua sebanyak 1.229 pulau, Kepulauan Maluku 1396 pulau, dan Pulau Nusa Tenggara sebanyak 942 pulau, dan di Pulau Kalimantan sebanyak 680 pulau. Sedangkan jumlah pulau bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.192 pulau atau sebesar 36,9 persen, yang tersebar di Pulau Sumatera sebanyak 2.654 pulau dan Pulau Jawa dan Bali sebanyak 538 pulau. Penyebaran pulau belum bernama di Kawasan Timur Indonesia sebanyak 5.597 pulau atau sebesar 63,2 persen dari total pulau belum bernama, yang tersebar di Pulau Papua sebanyak 1.286 pulau, Pulau Maluku sebanyak 2.924 pulau, Pulau Nusa Tenggara 1.114 pulau, Sulawesi sebanyak 1.288 pulau, dan Kalimantan 381 pulau. Penyebaran pulau belum bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.256 pulau atau sebesar 36,8 persen dari total pulau belum bernama, dengan sebaran di Pulau Sumatera 2.623 pulau dan 633 pulau di Jawa-Bali.
I-2
P E M B AN G U N A N D A ER A H D A L A M A N G K A 2 0 1 0
I
GEOGRAFI & ADMNISTRASI WILAYAH
Tabel 1-3: Jumlah Pulau di Indonesia Menurut Provinsi Provinsi Nanggroe Aceh D arussal am Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep Riau P. Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa T engah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali P. Jawa-Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur P. Nusa Tenggara Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur P. Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Sel atan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat P. Sulawesi Maluku Maluku Utara Kep. Maluku Papua Barat Papua P. Papua Jumlah
Pulau Bernama 205 250 210 73 16 43 23 87 311 1.436 2.654 111 22 74 22 236 48 25 538 461 481 942 257 27 164 232 680 311 170 196 360 126 49 1212 768 628 1396 928 301 1229 8.651
Pulau Belum Bernama 458 169 181 66 3 10 24 101 639 972 2.623 107 109 222 1 51 83 60 633 403 711 1114 82 5 156 138 381 358 580 37 290 10 13 1288 631 897 1528 989 297 1286 8.853
Jumlah 663 419 391 139 19 53 47 188 950 2.408 5.277 218 131 296 23 287 131 85 1171 864 1.192 2056 339 32 320 370 1061 669 750 233 650 136 62 2500 1.399 1.525 2924 1.917 598 2515 17.504
Sumber :Departemen Dalam Negeri Per 30 Juni 2006
P E M B A N G U NA N D A ER AH D A L A M A NG K A 2 0 1 0
I-3
II
KONDISI FISIK WILAYAH
2.1.
Kondisi Iklim
Musim, indonesia hanya mengenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin bertiup dari Benua Australia tidak banyak mengandung uap air mengakibatkan musim kemarau. Musim kemarau panjang berdampak pada kekeringan dan gagal panen di beberapa daerah sering menimbulkan tingginya intensitas kebakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret, arus angin berhembus dari Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air yang menyebabkan terjadinya musim penghujan. Keadaan seperti itu berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November. Suhu dan Kelembaban Udara, pada Tahun 2004, suhu udara rata-rata berkisar antara 25,30oC sampai 31,47oC. Suhu udara maksimum terjadi di Surabaya, sebesar 32,750C, sedangkan suhu minimum terjadi di Nangapinoh (Kalimantan Barat) sebesar 20,90o C. Tingkat kelembaban udara di Indonesia relatif tinggi berkisar antara 61,53 sampai 80,98 persen. Curah Hujan dan Keadaan Angin, kondisi curah hujan dibeberapa kota besar di Indonesia tahun 2008 menunjukkan Kota Ambon dengan curah hujan rata-rata tahunan diatas 4000 mm, dan Bogor berkisar anatara 3500-4000 mm, sedangkan kota lainnya yang tergolong tinggi atau berkisar antara 2000-3000 mm adalah Kota Makasar, Manado, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Pontianak, Bengkulu, Tanjungpandan, Palembang, Padang, Pangkalpinang, dan Medan. Kota dengan curah hujan dibawah 2000 mm adalah Jayapura, Manokwari, Ternate, Kupang, Denpasar, Kendari, Majene, Palu, Gorontalo, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Serang. Gambar 2-1: Rata-rata Curah Hujan di Beberapa Kota di Indonesia Tahun 2008. (dalam mm/tahun)
S umber: BMKG, Tahun 2008
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
II-1
KONDISI FISIK WILAYAH 2.2.
Sumberdaya Alam
2.2.1. Air Ketersediaan sumber daya air, baik air tanah maupun air permukaan, sangat penting bagi kegiatan pertanian dan industry pengolahan. Oleh sebab itu, pemusatan kegiatan pertanian dan industri di Indonesia terjadi di Pulau Jawa. Wilayah Sumatera dan Papua mempunyai ketersediaan sumber air yang sangat memadai dan potensial sebagai pusat pengembangan kegiatan pertanian dan industri. Potensi ketersediaan sumberdaya air tanah dapat diindikasikan antara lain oleh data Cekungan Air Tanah (CAT), sebagaimana data dalam Tabel 2-1 dan Gambar 22 yang diterbitkan Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2007). Data dalam tabel tersebut menunjukkan jumlah, luas dan potensi CAT di beberapa pulau di Indonesia. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa Indonesia memiliki 421 CAT, dengan luas mencapai 895.306 km2 atau 89.530.600 hektar dengan potensi air tanah mencapai 484.716 juta m3 tahun. Potensi cadangan air tanah terbesar terdapat di Pulau Papua yaitu sebesar 222.518 juta m3 per tahun dengan luas CAT seluas 262.870 Km 2, kedua terbesar adalah di Pulau Sumatera dengan potensi air tanah sebesar 112.808 juta m3 per tahun dengan luas CAT 272.848 Km2, sedangkan potensi air tanah paling rendah yaitu di Bali dengan potensi sebesar 1.577 juta m3 pertahun, Nusa Tenggara Barat sebesar 1.908 juta m3 per tahun, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 8.591 juta m3 per tahun. Tabel 2-1: Jumlah dan Luas Potensi CAT di Beberapa Pulau di Indonesia Tahun 2007. Daerah Sumatera Jawa dan P. Madura Bali NusaTenggara Barat NusaTenggaraTimur Kalimantan Sulawesi Kepulauan Maluku Papua Total
Jumlah CAT
Luas CAT (Km 2)
65 80 8 9 38 22 91 68 40 421
272.843 81.147 4.381 9.475 31.929 181.362 37.778 25.83 262.87 907.615
Potensi Air Tanah (Juta M3 ) 112.808 38.851 1.577 1.908 8.591 67.963 18.331 12.169 222.518 484.716
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, ESD Tahun 2007
Sedangkan menurut jumlah titik dan status mutu sungai terlihat kondisi sungai di Indonesia mengalami pencemaran berat. Berdasarkan Gambar 2-3 terlihat bahwa daerah yang memiliki titik sungai terbanyak adalah di Provinsi Riau sebanyak 53 titik dengan status mutu tercemar berat, selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta sebanyak 15 titik dengan status mutu tercemar berat, Provinsi Jambi sebanyak 12 titik dengan status mutu tercemar sedang, dan Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 12 titik dengan status mutu tercemar sedang. Daerah provinsi dengan titik sungai paling sedikit adalah Maluku dan Maluku Utara dengan jumlah titik sungai sebanyak 3 titik dengan status mutu tercemar ringan.
II-2
P EM BA N GUN A N DA ER A H DA L A M A NG KA 2 0 1 0
II
KONDISI FISIK WILAYAH
Gambar 2-2: Peta Cekungan tanah di Indonesia 2007
Sumber: Pusat L ingkungan Geologi, Badan Geolog i Departemen ESDM, 2007
Gambar 2-3: Jumlah Titik Sungai Tercemar Berat Menurut Provinsi Tahun 2008 60
53
50 Titik Sungai
40 30 20
12
11
10 6
6
15 6 8 6 6
6 6 6 7
10
6 6 5 6 6 6 6 6 8 6
12 6
3 3
6 6
0 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Bengkulu Selatan Babel Lampung DKI Banten Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kaltim Kalteng Kalsel Gorontalo Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Maluku Utara Papua
II
Provnsi
Sumber : Pusarpedal, KNLH, 2008
2.2.2. Lahan dan Hutan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan yang paling dominan adalah untuk pertanian. Berdasarkan data BPS tahun 2005 (tidak termasuk Papua dan Maluku), dari luas total lahan yang ada di Indonesia sekitar 76,27 persen merupakan lahan yang digunakan untuk pertanian, terdiri dari lahan sawah seluas 7.885.878 hektar atau sebesar 11,230 persen, lahan kebun campuran seluas 14.614.144 hektar (20,82 %), lahan kolam sebesar 778.939 hektar (1,11 %), lahan untuk tanaman kayukayuan/hutan rakyat seluas 9.303.625 hektar (13,25 %), lahan perkebunan seluas 18.489.489 hektar (26,34 %). Sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan bukan pertanian sekitar 27,25 persen terdiri dari lahan pekarangan/lahan untuk bangunan dan halaman sekitarnya 7,63 persen, lahan padang rumput 3,46 persen, dan lahan yang sementara tidak diusahakan 16,16 persen. Pola penggunaan lahan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2-4. Proporsi penggunaan lahan tahun 2005 menurut pulau disajikan pada Tabel 2-2. Pola penggunaan lahan di Pulau Sumatera didominasi oleh jenis penggunaan lahan perkebunan seluas 10.350.867 hektar atau sekitar 37,76 persen, selanjutnya kebun campuran seluas P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
II-3
KONDISI FISIK WILAYAH
5.529.217 hektar atau 20,17 persen, dan lahan untuk kayu-kayuan seluas 3.505.440 hektar atau 12,79 persen. Pola penggunaan lahan di Pulau Jawa-Bali sebagian besar didominasi dengan sawah yaitu seluas 3.315.757 hektar atau sekitar 33,35 persen, selanjutnya kebun campuran seluas 3.218.528 hektar (32,37%), dan pekarangan/lahan untuk bangunan seluas 1.816.607 hektar (18.27 %); di Pulau Kalimantan pola penggunaan lahan didominasi dengan lahan sementara tidak diusahakan seluas 6.216.100 hektar (32,70 %), perkebunan seluas 4.834.965 hektar (25,44 %), dan lahan untuk kayu-kayuan seluas 1.942.226 hektar (14,60 %); Pola penggunaan lahan di Pulau Sulawesi sebagian besar didominasi dengan kebun campuran seluas 2.225.901 hektar (23,34 %), perkebunan seluas 2.089.394 hektar (21,91 %), dan lahan untuk kayu-kayuan seluas 1.942.226 hektar (20,36 %); dan di Pulau Nusa Tenggara pola penggunaan lahan didominasi dengan kebun campuran seluas 984.582 hektar (22,86 %), padang rumput seluas 936.812 hektar (21,75 %), dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 789.582 hektar (18,33 %). Gambar 2-4: Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 2005. (persen)
Kolam; 3,46 %
Lahan untuk kayu-kayuan; 13,25 %
Pekarangan &Bangunan; 7,63 %
Sawah; 11,23 %
Kebun Campuran; 20,82 %
Perkebunan; 26,34 %
lahan sementara tidak diusahakan; 16,16 %
Sumber: BPS 2005
Pola sebaran penggunaan lahan antarprovinsi berdasarkan data BPS 2005, terlihat pola pemusatan penggunaan lahan sawah berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Lampung, seluruh provinsi di Pulau Jawa-Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pola pemusatan penggunaan lahan kebun campuran berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Lampung, Kep. Bangka Belitung, dan Bengkulu, seluruh provinsi di Pulau Jawa-Bali, NTT, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selawesi Tengah, dan Gorontalo. Pemusatan untuk penggunaan lahan sementara tidak diusahakan terkonsentrasi di Provinsi Jambi, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tmur. Pola penggunaan lahan perkebunan terkonsentrasi pada seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan Bali, kecuali Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Luas lahan padang rumput terkonsentrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Pulau Sulawesi kecuali Provinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo. Luas Penggunaan Lahan untuk kolam terkonsentrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Selatan, di Pulau JawaBali kecuali di Bali, NTB, Banten, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Penggunaan lahan untuk kayu-kayuan, terkonsentrasi di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Penggunaan lahan pekarangan memusat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau , Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan seluruh provinsi di Pulau Jawa-Bali.
II-4
P EM BA N GUN A N DA ER A H DA L A M A NG KA 2 0 1 0
II
II
KONDISI FISIK WILAYAH
Tabel 2-2: Luas Penggunaan Lahan Menurut Pulau di Indonesia Tahun 2005. (dal am Ha dan persen) WILAYAH
Sawah
Kebun Campuran
Lahan sementara tidak diusahakan
Perkebunan
Padang Rumput
Kolam
Lahan untuk kayukayuan
Pekarang an/lahan Bangunan halaman
Total
(dalam hektar) Sumatera
2.340.642
5.529.217
3.074.867
10.350.057
480.678
219.067
3.505.440
1.908.745
Jawa-Bali
3.315.757
3.218.528
53.345
786.275
47.223
196.060
509.474
1.816.607
9.943.269
Kalimantan
995.919
2.655.916
6.216.100
4.834.965
540.289
159.077
2.775.869
829.082
19.007.217
Sulawesi
892.256
2.225.901
1.208.178
2.089.394
427.111
191.367
1.942.226
561.242
9.537.675
Nusa Tenggara
341.304
984.582
789.267
428.898
936.812
13.368
570.616
241.920
4.306.767
Maluku
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
Papua
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
9.303.625
5.357.596
70.203.641
Nasional
7.885.878
14.614.144
11.341.757
18.489.589
2.432.113
778.939
27.408.713
(dalam persen) Sumatera
8,54
20,17
11,22
37,76
1,75
0,80
12,79
6,96
100,00
Jawa-Bali
33,35
32,37
0,54
7,91
0,47
1,97
5,12
18,27
100,00
Kalimantan
5,24
13,97
32,70
25,44
2,84
0,84
14,60
4,36
100,00
Sulawesi
9,36
23,34
12,67
21,91
4,48
2,01
20,36
5,88
100,00
Nusa Tenggara
7,92
22,86
18,33
9,96
21,75
0,31
13,25
5,62
100.00
Maluku
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
Papua
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
Sumber: BPS, 2008
Hutan Hutan di Indonesia merupakan sumberdaya sangat penting dan memiliki fungsi beragam, baik sebagai fungsi ekonomis maupun fungsi ekosistem dan lingkungan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, kawasan hutan dibagi menjadi beberapa kawasan, yaitu Hutan Lindung (HL), Suaka Alam dan Pelestarian Lingkungan, Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap, dan Hutan yang dapat dikonversi. Menurut data Statistik Planalogi Kehutanan 2007 (Gambar 2-5), luas Hutan Lindung seluas 31.604.032 ha atau 23,05 persen dari total nasional, kawasan suaka alam perairan seluas 3.395.783 hektar (2,48 %), kawasan suaka alam daratan seluas 19.908.234 hektar (14.52 %), luas hutan produksi terbatas seluas 22.502.724 hektar (16,41 %), hutan produksi tetap 36.649.918 hektar (26,73 %), hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 22.795.961 (16,63 %), dan luas taman buru 233.814 hektar (0,17 %).
Gambar 2-5: Proporsi Luas Kawasan Hutan dan Perairan Tahun 2007. (dalam pers en) Hutan Produksi Terbatas; 16,41 %
Hutan produksi dapat dikonversi ; 16,63 % Taman buru; 0,17 % Kws. Suaka perairan; 2,48 %
Hutan Produksi tetap; 26,73 %
Kws. Suaka daratan; 14,52 %
Sumber: Badan Planalogi Kehutanan, Tahun 2007
Proporsi luas penggunaan lahan hutan antarprovinsi, menunjukkan proporsi terbesar untuk luas hutan lindung berada di Provinsi Papua yaitu sebesar 10.619.090 hektar, Kalimantan Timur seluas 2.751.702 hektar, dan Kalimantan Barat seluas 2.307.045 hektar, sedangkan luasan hutan lindung terendah berada di Provinsi Banten, D.I. Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sebaran terluas untuk hutan produksi terbatas yaitu di Provinsi Kalimantan Timur seluas 4.612.960 hektar, Kalimantan Tengah seluas 3.400.000 hektar, dan Kalimantan Barat seluas 2.445.985 hektar, sedangkan luasan terkecil di provinsi Bali seluas 6.719 hektar. Proporsi luas lahan Hutan Produksi Tetap terbesar berada di Provinsi Papua seluas 10.585.210 hektar, P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
II-5
KONDISI FISIK WILAYAH
Kalimantan Tengah seluas 6.068.000 hektar, dan Kalimantan Timur seluas 5.121.688 hektar, sedangkan luasan terkecil berada di Provinsi DKI Jakarta, Bali dan D.I. Yogyakarta. Luas Hutan yang dapat dikonversi terbesar berada di Provinsi Papua seluas 9.262.130 hektar, Riau seluas 4.770.085 hektar, dan Kalimantan Tengah seluas 4.302.581 hektar. Indonesia memiliki wilayah konservasi yang cukup luas, kawasan konservasi terdiri dari kawasan konservasi daratan dan kawasan konservasi laut. Luas kawasan konservasi darat hingga tahun 2006 tercatat seluas 17,80 juta hektar yang tersebar di 368 lokasi dan kawasan konservasi laut seluas 4,4 juta hektar yang tersebar di 29 lokasi. Kawasan konservasi darat terdiri dari 175 lokasi cagar alam seluas 2,3 juta hektar, 47 lokasi suaka margasatwa seluas 2,5 juta hektar, 81 lokasi Taman wisata seluas 0,28 juta hektar, 15 lokasi Taman buru seluas 2,47 juta hektar, 34 lokasi taman nasional seluas 11,06 juta hektar, dan taman hutan rakyat seluas 0,32 juta hektar yang tersebar di 16 lokasi (Tabel 2-3). Luas kawasan konservasi darat terbesar terdapat di wilayah Papua seluas 6,79 juta hektar atau sebesar 38,18 persen dari total kawasan konservasi daratan di Indonesia. Sementara untuk kawasan konservasi laut (Tabel 2-4), terdiri dari cagar alam seluas 0,21 juta hektar yang tersebar di 8 lokasi, Suaka margasatwa seluas 65.220 hektar tersebar di 3 lokasi, Taman wisata seluas 0,43 juta hektar tersebar di 12 lokasi, dan taman nasional seluas 3,68 juta hektar yang tersebar di 6 lokasi. Kawasan konservasi laut terluas terdapat di Wilayah Sulawesi seluas 2,14 juta hektar (5 lokasi) dan Papua seluas 1,7 juta hektar (4 lokasi). Tabel 2-3: Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Daratan Menurut Wilayah Kepulauan Tahun 2006 Cagar Alam WILAYA H Su mat era Jawa-B ali Kalimant an Sulaw esi Nusa Ten ggar a Kep. Maluk u Papu a Jumla h
Unit 34 77 15 18 6 12 13 175
Luas ( Ha) 77.661 67.780 389.867 367.334 29.927 55.807 1.369.599 2.357.975
Suaka Margasa twa Unit 14 6 2 14 4 3 4 47
Luas ( Ha) 533.466 31.619 186.000 192.383 8.060 14.000 2.552.018 3517547
Taman Wisa ta Luas (Ha) 14 21143 28 6530 7 66178 14 112608 10 48742 2 11734 6 14283 81 281219
Unit
Taman Baru Luasa n (Ha) 5 129650 1 12420 0 0 4 39010 5 66312 0 0 0 0 15 247392.7
Unit
Taman Na sional Luasa n (Ha) 8 3.502.061 8 373.654 7 3.177.259 3 610.300 5 353.298 1 189.000 2 2.863.810 34 11.069.382
Unit
Un it 7 4 1 2 2 0 0 16
Tahura Luasa n (Ha) 174.823 25.608 112.000 15.005 5.055 0 0 332.491
Sumber : Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan
Tabel 2-4: Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Lautan menurut Wilayah Kepulauan Tahun 2006 Cagar Alam Suaka Margasatwa Taman Wisata Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Sumatera 2 13.930 2 231.400 Jawa-Bali 2 1.850,35 Kalimantan 1 77.000 1 220 1 280 Sulawesi 2 131.800 Nusa Tenggara 1 2.000 5 120.078 Kep. Maluku 2 116.500 3 2.378 Papua 2 65.000 1 183.000 Jumlah 8 211.280,35 3 65.220 12 437.536 Sumber : Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan WILAYAH
Taman Nasional Unit Luas (Ha) 2 218.117,3 3 2.009.830 1 1.453.500 6 3.681.447,3
2.2.3. Energi Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi dan mineral yang beragam yang dapat di transformasikan menjadi tenaga listrik. Jenis sumberdaya tersebut terdiri dari batu bara, gas alam, minyak bumi, panas bumi dan air. Untuk menjamin kebutuhan energi di dalam negeri, telah dilakukan optimasi produksi minyak dan gas bumi, serta batubara. Peningkatan produksi minyak nasional yang tidak seimbang dengan pertumbuhan permintaan domestik telah menyebabkan peran Indonesia dari pengekspor menjadi pengimpor minyak sejak tahun 2004. Produksi minyak mentah (crude) terus menurun sejak tahun 1994, yakni sebesar 1.095 barel per hari (2004), menjadi 976 ribu barel per hari (2008). Namun
II-6
P EM BA N GUN A N DA ER A H DA L A M A NG KA 2 0 1 0
II
II
KONDISI FISIK WILAYAH
demikian, dengan adanya penemuan cadangan baru, seperti di lapangan minyak Blok Cepu, diharapkan dalam waktu lima tahun kedepan akan terjadi kembali peningkatan produksi minyak mentah. Pada tahun 2008, sebanyak 60% dari total produksi minyak mentah dimanfaatkan untuk keperluan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri, dan sisanya diekspor. Pasokan minyak mentah tersebut masih belum cukup untuk memenuhi permintaan BBM nasional, yakni sebesar 1.038 barel per hari sehingga masih diperlukan impor minyak mentah dan BBM. Pada tahun 2008, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, sebanyak 247 barel per hari minyak mentah dan sebanyak 423 barel per hari BBM dipasok dari pasar internasional. Pemanfaatan gas bumi di Indonesia didominasi oleh industri pupuk, baja, kilang petrokimia, LPG (Liquefied Petroleum Gas), dan sebagainya. Pada tahun 2008, sebanyak 47,8% dari total produksi gas bumi sebesar 7.883 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), telah dimanfaatkan untuk kebutuhan di dalam negeri, terutama untuk keperluan bahan baku. Sebagian besar dari gas bumi yang diproduksi masih diekspor ke Jepang, Taiwan dan Korea dalam bentuk LNG, dan sebagian diekspor melalui pipa ke Singapura dan Malaysia. Pemanfaatan gas untuk memenuhi keperluan dalam negeri akan semakin meningkat dengan adanya beberapa Perjanjian Jual Beli Gas Bumi yang ditandatangani dalam kurun waktu 2002-2008, sesudah UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diterbitkan. Persentasi pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri menurut perjanjian jual beli tersebut rata-rata meningkat, mencapai sekitar 63,5%, dan sisanya untuk ekspor. Potensi batu bara di dalam negeri cukup memadai dan potensinya cukup besar meskipun pemanfaatan batubara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri realatif masih kecil dibandingkan untuk ekspor. Peranan batubara dalam sumber energi di dalam negeri semakin penting, hal ini ditunjukkan oleh produksi batubara yang semakin meningkat. Pada tahun 2008, produksi batubara meningkat dari 135 juta ton (2004) menjadi 189 juta ton, dimana sekitar 25% dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2008, cadangan minyak bumi mencapai 8,3 milyar barel. Apabila diproduksi sesuai dengan tingkat produktivitas saat ini, yakni 0,357 milyar barel per tahun, maka cadangan ini akan bertahan selama 23 tahun. Cadangan gas bumi sebesar 170 trilyun kaki kubik (TSCF) dan dengan tingkat produksi saat ini mencapai 2,9 TSCF per tahun, maka cadangan akan bertahan selama 62 tahun. Cadangan batubara sebesar 20,98 miliar ton, dengan tingkat penambangan seperti saat ini, yakni sekitar 200 juta ton per tahun, maka cadangan ini akan bertahan selama 82 tahun. Selain upaya-upaya peningkatan produksi minyak dan gas bumi, guna menjamin pasokan energi di dalam negeri, upaya-upaya penganekaragaman (diversifikasi) sumber energi lainya, selain minyak bumi, terus dilakukan. Dengan upaya diversifikasi ini, peran minyak bumi dalam penyediaan energi nasional menurun dari 55 persen (2004) menjadi 48,4 persen (2008). Upayaupaya ini antara lain adalah pemanfaatan gas dan batubara, serta energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi, tenaga surya dan angin, mikrohidro, dan sebagainya, serta bahan bakar alternatif non-BBM, seperti bahan bakar nabati (BBN) dan batubara cair dan gas (liqeufied dan gasified coal). Pada tahun 2008, kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 1.064 MW, meningkat dari 854 MW (2004). Penambahan kapasitas terutama dari pembangkit listrik tenaga panas bumi, yakni 1.052 MW. Kapasitas terpasang energi tenaga surya sebesar 12,1 MW, dan tenaga angin sebesar 1,1 MW. Pemanfaatan BBN pada tahun 2008 mencapai 2.558,7 ribu kilo liter (KL) pada tahun 2008, yang terdiri dari bio-diesel sebanyak 2.329,1 ribu KL, bio-ethanol sebanyak 192,4 KL, dan bio –oil sebanyak 37,2 ribu KL. Guna mempercepat pemanfaatan EBT, program Desa Energi Mandiri (DME) telah dikembangkan guna memanfaatkan EBT potensi setempat. Potensi EBT terbesar adalah air (hydro), yakni sebesar 75.670 MW. Namun pada tahun 2008, hanya sekitar 4.200 MW atau hanya sekitar 5 persen dari potensial yang ada baru dimanfaatkan. Saat ini, upaya pemanfaatan energi air ini terus dilakukan, terutama melalui P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
II-7
KONDISI FISIK WILAYAH
akuisisi teknologi mikrohidro (50 kW-500kW) yang telah berkembang, untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan listrik di pedesaan. Saat ini, kapasitas terpasang minihidro dan mikrohidro mencapai 86,1 megawatt dari 500 MW sumber daya yang tersedia. Potensi EBT terbesar kedua adalah panas bumi, dengan total potensi panas bumi sekitar 27 GW. Potensi terbesar panas bumi ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, dan sisanya tersebar di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dari potensi sebesar ini yang dimanfaatkan baru sebesar 4 persen, yaitu PLTP di Kamojang, Lahendong, Dieng, Gunung Salak, Darajat, Sarula, Sibayak dan Wayang Windu. Potensi sumber energi biomassa juga cukup besar dan diperkirakan mencapai 50.000 MW, yang sampai saat ini hampir belum dikelola. Disamping itu, bahan baku BBN cukup bervariasi dan tersedia dengan jumlah yang cukup melimpah, seperti kelapa sawit, jarak, jagung, tebu, ubi, dan aren. Ketersediaan bahan mentah yang melimpah ini membuat BBN akan menjadi salah satu fokus utama dalam pemanfaatan EBT di tahun-tahun yang akan datang. Tabel 2-5, menunjukkan potensi sumberdaya untuk pembangkit listrik menurut pulau yaitu , potensi terbesar batu bara berada di Pulau Sumatera, sebanyak 104.820 juta ton atau sebesar 65,67 persen dari total nasional yang tersebar di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan, dan di Pulau Kalimantan sebanyak 54.405 juta ton atau sebesar 34,08 persen, yang terpusat di Provinsi Kalimantan Timur. Potensi gas alam terbesar berada di Pulau Sumatera, yaitu sebesar 93 TSCF atau 56,20 persen dari total nasional yang sebagian besar berada di Provinsi Kepulauan Riau (Kep. Natuna) sebanyak 53 TSCF, dan Sumatera Selatan sebesar 27 TSCF, selanjutnya di Kalimantan Timur sebesar 21 TSCF atau sebesar 13 persen, dan Papua Barat sebesar 24 TSCF atau sebesar 4 persen. Potensi Minyak Bumi terbesar berada di Sumatera sebesar 5.669 MMSTB atau 67,46 persen dari total potensi minyak bumi nasional yang tersebar di Provinsi Kepulauan Riau dan Riau, Sumatera Selatan, Pulau Jawa-Bali sebesar 19 persen (Jawa Barat dan Jawa Timur), dan di Kalimantan sebesar 9 persen (Kalimantan Timur). Potensi Panas Bumi terbesar berada di Pulau Sumatera dan Jawa, masing-masing sebesar 13.419 Mwe atau sebesar 48,78 persen, dan 9.852 Mwe atau sebesar 35,81 persen. Di Pulau Sumatera potensi terbesar berada di Provinsi Sumatera Utara (3.345 Mwe), Lampung (2.855 Mwe), Sumatera Selatan (1.911 Mwe), dan Sumatera Barat (1.656 Mwe), Pulau Jawa-Bali potensi terbesar di Provinsi Jawa Barat (5.966 Mwe), Jawa Tengah (1.629 Mwe). Di Pulau Sulawesi potensi panas bumi sebesar 7,38 persen dan terbesar di Provinsi Sulawesi Utara sebanyak 793 Mwe. Potensi Air terbesar berada di Pulau Papua sebesar 24,119 MW atau sebesar 57,92 persen, Kalimantan sebesar 7.547 MW atau sebesar 17,5 persen, dan Sumatera sebesar 5.490 MW atau sebesar 12,73 persen. Tabel 2-5: Potensi Sumberdaya Energi Pembangki t Listrik Menurut Provinsi Tahun 2007 Batu Bara1)
Gas Alam 2)
(juta ton) 104.820
(TSCF)
Sumatera Jawa-Bali
WILAYAH
Minyak Bumi2)
Panas Bumi1)
Air3)
93
(MMS TB) 5.669
(lokasi) 84
(Mwe) 13.419
(MW) 5.490
14
13
1.651
76
9.852
120
0
0
0
22
1.380
292
Kalimantan
54.405
21
769
3
45
7.547
Sulawesi Kep. Maluku
233 2
8 6
95 98
51 18
2.030 734
4.479 217
Nusa Tenggara
Papua Jumlah
153
24
121
2
50
24.974
159.628
165
8.403
256
27.510
43.119
Sumber: Statistik & Direktori Badan Geologi Tahun 2007 2) Sumber: Ditjen Migas 2007; 3) Sumber: diolah dari beberapa sumber *) tidak termasuk potensi air di Jawa Barat ; Keterangan: TSCF: Trillion Standard Cubic Feet ; MMSTB: Million Stock Tank Barrels ; MW: Mega Watt BM: Billion Meter Cubic
II-8
P EM BA N GUN A N DA ER A H DA L A M A NG KA 2 0 1 0
II
II
KONDISI FISIK WILAYAH
2.2. 4. Perikanan dan Kelautan Berdasarkan Tabel 2-6, Indonesia memiliki potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan usaha perikanan cukup luas, namun potensi tersebut belum termanfaatkan secara optimal dalam pengembangan-pengembangan perikanan. Dengan luas potensi lahan yang yang tersedia, peluang pengembangan sektor perikanan budidaya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan dan diharapkan akan memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian daerah dan devisa bagi Negara. Berdasarkan data dari DKP tercatat, potensi lahan terbesar adalah lahan untuk budidaya laut sebesar 8.363.501 hektar, lahan budidaya perikanan sawah sebesar 1.538.379 hektar. Namun pemanfaatan lahan tersebut masih rendah, seperti terlihat pada Tabel 2- 6 budidaya laut baru sebesar 87.465 hektar atau sekitar 1,05 persen; dan budidaya perikanan di sawah (mina padi) baru mencapai sebesar 127.994 hektar (8,3 %). Sementara pemanfaatan lahan untuk jenis budidaya tambak dan kolam relatif cukup besar masing-masing sebesar 613.175 hektar (50,09 %) dan kolam sebesar 241.891 hektar (44,7 %). Tabel 2-6: Potensi Lahan Budidaya Perikanan dan Tingkat Pemanfaatan di Indonesia, (dalam hektar) Jenis Budidaya Tambak Kolam Perairan Umum Sawah Laut
Potensi
Pemanfaatan
1.224.076 541.100 139.336 1.538.379 8.363.501
613.175 241.891 943 127.944 87.465
Peluang Pengembangan 610.901 299.209 138.393 1.410.435 8.276.036
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009
Potensi lahan untuk pengembangan budidaya tambak sebagian besar terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan pemanfaatan baru mencapai 28 persen, Kalimantan Timur (43 %), Sulawesi Selatan (6,6 %), dan Lampung (21 %). Potensi lahan budidaya kolam sebagian besar terdapat di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah dengan pemanfaatan hingga saat ini masingmasing baru mencapai 2,15 persen, 32,5 persen dan 26,3 persen. Potensi lahan untuk pengembangan budidaya perairan umum terbesar berada di Provinsi Riau dengan pemanfaatan sebesar 0,02 persen dan Kalimantan Timur sebesar 1,01 persen. Potensi lahan untuk pengembangan budidaya mina padi sebagian besar terdapat di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Sementara potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut terbesar terdapat di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan (Tabel 2-7).
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
II-9
II
KONDISI FISIK WILAYAH
Tabel 2-7: Potensi Lahan Budidaya Perikanan Indonesia dan Tingkat Pemanfaatannya Menurut Provinsi Tahun 2009. (Dalam Hektar) Jenis Budidaya PROVINSI
Tambak
Kolam
Per airan Umum
Potensi 120.309
Realisasi 34.078
Potensi 29.000
Realisasi 3.445
Sumatera Utara
44.568
8.091
31.800
6.279
Sumatera Barat
32.989
11
24.300
9.622
R i au
22.995
1.637
8.200
J amb i
21.671
1.186
Sumatera Selatan
28.674
28.903
Bengkulu
2.572
Lampung Kep. Bangka Belitung
NAD
DKI Jakarta
Mina Padi
Budidaya Laut
Realisasi 9
Potensi 49.202
Realisasi 7.000
Potensi 90.347
Realisasi
5.056
21
170.635
13.411
72.296
30
1.306
43
55.140
1.598
37.233
7
3.685
38.548
11
49.110
71.139
324
3.000
1.606
453
11
48.299
19
193.470
8.700
10.190
99
61.473
6.205
409.889
395
19.400
1.227
116
3
8.154
5.329
6.172
99.696
21.601
19.900
6.722
2.069
22
34.254
1.575
260.188
55.084
129
36
50
121
Kep. Riau
Potensi
1
1
14.235
1.059
250
296
127
5
2.001
84
Jawa Barat
52.069
53.637
86.700
28.176
401
879
259.606
25.952
23.995
774
Jawa Tengah
32.028
32.677
83.200
21.960
408
8
132.841
2.123
1.123
270
675
35
5.700
788
3
12.145
786
-
Jawa Timur
62.207
51.609
92.400
1.988
183
18
301.595
33.643
23.596
Banten
19.511
8.644
1.632
139
4
14.382
7.836
48.886
71
B a l i
2.643
443
9.000
565
41
7
29.856
271
5.779
619
Nusa Tenggara Barat
49.361
6.477
14.600
8.692
50
12
24.396
1.448
102.926
5.827
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat
11.324
5.110
6.500
1.387
11
156
97
112.210
7.822
39.879
7.312
3.500
1.951
24
Kalimantan Tengah
89.172
804
2.000
728
Kalimantan Selatan
38.766
9.397
5.700
556
Kalimantan Timur
119.116
51.967
600
4.990
102
1.029
638
71
7.400
1.294
14
18.789
Sulawesi Tengah
42.094
10.373
12.100
1.428
1
22.620
Sulawesi Selatan
D.I. Yogyakarta
Sulawesi Utara
142.255
9.459
34.800
60
Sulawesi Tenggara
51.927
12.260
7.400
963
Gorontalo
11.675
Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara
JUMLAH
91 4.302
23.200
726
2.400
173
747
259
5.700
77
Papua Barat Papua
302 93.959
120
6.294 9.475
735
39
170.691
53
20.403
695.607
61
3.841
439.836
4
12
24.711
133.497
259
283.408
492
161.660 51
4
18.789
88
9.830
1
1.606 2.331 14
5.981
885
17.100
339
452.901
541.100
125.398
78
386.864
4.012
29.335
319
137.386
7.305
45.177 717.899 290.458
96
902.570
250
6 139.336
1.493
P EM BA N GUN A N DA E RA H DA L A M A N GKA 2 0 1 0
577 60.110
2.321
200
1.224.076
39.010
2.407
1.538.379
Sumber: Data Potensi dan Realisasi adalah Data tahun 2007; Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2009
II-10
185
6.893 95
84
118.320
315
2.616.278
203
8.363.501
91.055
KEPENDUDUKAN
3.1.
Kependudukan
3.1.1. Jumlah, Persebaran dan Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 237,56 Juta orang, yang terdiri dari 119,5 juta laki-laki dan 118,.1 juta perempuan. Penyebaran penduduk terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Tabel 3-1: Bali yaitu sebesar 59,1 persen, diikut wilayah Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah Pulau, Tahun 2010. Sumatera sebesar 21,3 persen, sementara JUMLA H PENDUDUK konsentrasi penduduk terendah di wilayah (Juta Jiwa) DISTRIB USI Maluku sebesar 1 persen. Provinsi Jawa Barat, WILAYAH/ PULAU LAKIPEREM PENDUDUK (% ) LAKI (L) PUAN (L+P ) Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan tiga (P) provinsi dengan urutan teratas yang Sumatera 25,63 24,98 50,61 21,31 berpenduduk terbanyak, yaitu masing-masing Jawa + Bali 70,41 70,04 140,45 59,12 berjumah 43,0 Juta orang, 37,5 juta orang, dan Nusa Tenggara 4,50 4,67 9,18 3,86 32,4 juta orang. Sedangkan Provinsi Sumatera Kalimantan 7,09 6,68 13,77 5,80 8,65 8,71 17,36 7,31 Utara merupakan wilayah yang terbanyak Sulawesi 1,30 1,26 2,57 1,08 penduduknya di luar Jawa, yaitu sebanyak Maluku 1,91 1,70 3,61 1,52 13,0 juta orang, dan Provinsi Papua Barat Papua INDONESIA 119,51 118,05 237,56 100,00 merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk Sumber: Sensus Penduduk tahun 2010, BPS terendah sebanyak 760,86 ribu jiwa.
6 5
43
37
4.99 32
4 %
5.46
3.8
3
2.67 13
2
1.89 2.06
1.49
1
1
0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
Juta Jiwa
Gambar 3-1: Jumlah Penduduk Tahun 2010 dan Laju Pertumbuhan Penduduk periode 2000-2010 Menurut Provinsi
Babel Kepri Bengkulu Jambi Aceh Sumbar Riau Sumsel Lampung Sumut Dl Yogyakarta Bali DKI Jakarta Banten Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat NTB NTT Kalteng Kaltim Kalsel Kalbar Gorontalo Sulbar Sultra Sulut Sulteng Sulsel Maluku Utara Maluku Papua Barat Papua
III
SUMATERA
JAWA BALI
NT
KALIMANTAN
SULAWESI
MLK PAPUA
Jumlah Penduduk Tahun 2010 (juta Jiwa) Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi (%) Periode 2000-2010 Laju Pertumbuhan Penduduk Nasional (%) Periode 2000-2010
Secara nasional, laju pertumbuhan selama sepuluh tahun terakhir rata-rata sebesar 1,49 persen. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua adalah yang tertnggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu sebesar 5,46 persen. Bila dilihat menurut wilayah/ pulau atau kelompok kepulauan, provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk tertnggi dan terendah adalah sebagai berikut: Wilayah Sumatera, laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 4,99 persen, sementara laju pertumbuhan penduduk terendah di Provinsi Sumatera Utara sebesar 1,11 persen.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-1
KEPENDUDUKAN
Wilayah Jawa dan Bali, laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Banten sebesar 2,79 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,37 persen. Wilayah Nusa Tenggara, laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Nusa TenggaraTimur sebesar 2,15 persen, sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 1,17 persen. Wilayah Kalimantan, laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 3,80 persen, sementara laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat sebesar 0,91 persen. Wilayah Sulawesi, laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 2,67 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 1,17 persen. Wilayah Maluku danPapua, laju pertumbuhan penduduk tertnggi adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 5,46 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Maluku Utara sebesar 2,44 persen. Tabel 3-2: Kepadatan Penduduk Antarwilayah, Tahun 2010
3.1.2. Kepadatan Penduduk
Jumlah ( jiwa)
WILAYAH
Dengan luas wilayah Indonesia sekitar 1.910.931 km2, rata-rata tingkat kepadatan penduduk Indonesia adalah sebesar 124 orang per km2. Wilayah Jawa + Bali menunjukkan kepadatan pebduduk paling tnggi, yaitu sebesar 1.039 jiwa per km2. Sementara itu, wilayah Papua memiliki kepadatan penduduk paling rendah yaitu sebesar 9 jiwa per km2.
Sumatera Jawa - Bali
Kepadatan (jiwa/Km2)
50.613.947 140.454.570 9.176.171 13.772.543 17.359.398 2.566.880 3.612.854 237.556.363
Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua INDONESIA
105 1.039 136 25 92 33 9 124
Gambar 3-2: Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi di Wilayah Jawa Bali dan Luar Jawa Bali, Tahun 2010
Luar Jawa + Bali
Jawa + Bali Jiwa/ Km2
Bali
673
Jawa Timur
784
Jawa Tengah
987
Banten
1,102
Dl Yogyakarta
1,102
Jawa Barat
1,216
DKI Jakarta
14,440
Papua Barat Papua Kalteng Kaltim Kalbar Maluku Utara Maluku Sulteng Sultra Jambi Riau Sulbar Babel Aceh Sumsel Bengkulu Gorontalo Kalsel NTT Sumbar Sulut Sulsel Sumut Kepri Lampung NTB
Sumber: Hasil Olahan Data BPS
III-2
Jiwa/ Km2
8 9 14 17 30 32 33 43
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
59 62 64 69 74 77 81 86 92 94 96 115 164 172 178 206 219 242
III
III
KEPENDUDUKAN
Perbandingan kepadatan penduduk antarprovinsi di Indonesia, kepadatan tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 jiwa/Km2, dan terendah terdapat di Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 8 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk terendah di wilayah Jawa + Bali, yaitu di Provinsi Bali sebesar 673 jiwa/Km2, ternyata menunjukkan kepadatan lebih tinggi dibanding dengan kepadatan penduduk tertinggi di luar wilayah Jawa+Bali, yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 242 jiwa/Km2. 3.1.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dan Tipe Daerah Perkembangan penduduk berdasarkan usia pada tahun 2005 dan estimasi pada tahun 2010 menunjukkan kecenderungan penurunan proporsi penduduk pada kelompok usia 0-14 tahun, Gambar 3-3: peningkatan usia 65 tahun ke atas, dan peningkatan Persentase Penduduk Berdasarkan Golongan Usia kelompok usia produktif yaitu usia 15-64 tahun. Tahun 2005-2010. (persen) Hal ini menunjukkan terjadinya transisi demografi yang ditandai dengan peningkatan usia harapan Proporsi Penduduk 28.5 hidup dan penurunan angka kelahiran serta 26.7 Umur 0-14 Tahun kematian. Kelompok usia tidak produktif, yaitu usia Proporsi Penduduk 66.6 0-14 tahun sebesar 28,5 persen (tahun 2005) 68.2 Umur 15-64 Tahun meningkat menjadi 26,7 persen pada tahun 2010, 2005 Proporsi Penduduk 4.9 penduduk usia 65 tahun atau lebih sebesar 4,9 5.2 Umur 65+ Tahun 2010 persen (tahun 2005) meningkat menjadi 5,2 persen (2010). Sedangkan untuk penduduk usia produktif 0 20 40 60 80 (15-64 tahun) menunjukan peningkatan, yaitu dari % 66,6 persen (tahun 2005) menjadi 68,2 persen Sumber: Proyeksi penduduk Indonesia 2005-2025, Bappena s, BPS, UNF PA pada tahun 2010 (lihat Gambar 3.3.). Kondisi ini mengakibatkan turunnya angka ketergantungan atau disebut bonus demografi yang ditandai dengan menurunnya proporsi jumlah penduduk usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun terhadap jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun). Berlangsungnya angka ketergantungan yang rendah tersebut merupakan jendela peluang (Window of Opportunity) untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Perbandingan angka ketergantungan antar provinsi, kondisi terendah terdapat di DKI Jakarta dengan komposisi penduduk usia 0-14 tahun sebesar 23,4 persen, usia 65 tahun ke atas sebesar 3,5 persen, dan usia 14-64 tahun sebesar 73,1 persen. Provinsi D.I. Yogyakarta dengan komposisi penduduk usia 0-14 tahun sebesar 17,8 persen, usia 65 tahun ke atas sebesar 9,2 persen, dan usia 14-64 tahun sebesar 72,9 persen. Provinsi Jawa Timur dengan komposisi penduduk usia 0-14 tahun sebesar 21 persen, usia 65 tahun ke atas sebesar 7,3 persen, dan usia 14-64 tahun sebesar 71,7 persen. Angka Ketergantungan tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan komposisi penduduk usia 0-14 tahun sebesar 32,3 persen, usia 65 tahun lebih sebesar 4,7 persen, dan usia 14-64 tahun sebesar 63 persen, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan komposisi penduduk usia 0-14 tahun sebesar 33 persen, usia 65 tahun ke atas sebesar 3,3 persen, dan usia 14-64 tahun sebesar 63,7 persen. Provinsi Maluku dengan komposisi penduduk usia 0-14 tahun sebesar 31,6 persen, usia 65 tahun ke atas sebesar 4 persen, dan usia 14-64 tahun sebesar 64,4 persen. Lihat Gambar 3.4.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-3
KEPENDUDUKAN
Gambar 3-4: Persentase Penduduk Provinsi Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2010 100% 80% 60% 40%
0%
NTT Sultra Maluku Sumbar Maluku… Sumut NTB NAD Riau Kalbar Sumsel Sulsel Banten Sulbar Kepri Jambi Bengkulu Lampung Sulteng Kalteng Papua Barat Gorontalo Papua Jawa Barat Jawa Tengah Kep, Banbel Kalsel Kaltim Bali Sulut Jawa Timur DI… DKI Jakarta
20%
Proporsi Penduduk Umur 15-64 Tahun Proporsi Penduduk Umur 0-14 Tahun Proporsi Penduduk Umur 65+ Tahun
3.2.
Ketenagakerjaan
Kondisi ketenagakerjaan berdasarkan kondisi angkatan kerja, penduduk bekerja, serta Pengangguran terbuka, secara umum menunjukkan adanya perkembangan yang membaik yang diindikasikan oleh kecenderungan peningkatan penduduk yang bekerja, dan diikuti dengan penurunan pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir. Namun, peningkatan penduduk bekerja masih perlu terus ditingkatkan, karena angkatan kerja akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk .
Gambar 3-5: Perkembangan Ketenagakerjaan, Tahun 2005-2010 150
Juta Jiwa
3.2.1. Angkatan Kerja Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 116 juta orang, bertambah 2,17 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2009 sebesar 113,83 juta orang atau bertambah 2,26 juta orang dibanding Februari 2009 sebesar 113,74 juta orang.
116.0 105.8 106.3 108.1 111.5 113.7
100
94.9
95.2
97.6
102.0 104.5 107.4
50 Perkembangan angkatan kerja 10.9 11.1 10.5 9.4 9.3 8.6 selama periode 2005-2010 menunjukkan 0 peningkatan secara bertahap, yaitu sebanyak 105,8 juta jiwa pada tahun 2005, 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pengangguran Terbuka meningkat menjadi 116 juta jiwa pada Angkatan Kerja tahun 2010. Penyebaran angkatan kerja Bekerja sebagian besar berada di perdesaan, yaitu sebanyak 58,8% pada tahun 2005 dan Sumber: Sakernas Februari, BPS menurun menjadi 58,1% pada tahun 2009. Kondisi sebaliknya untuk di perkotaan, secara proporsional cenderung meningkat, yaitu dari 41,2% pada tahun 2005 menjadi 41,9% pada tahun 2009.
III-4
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III
KEPENDUDUKAN
Gambaran angkatan kerja menurut pulau (Tabel 3.3.), selama periode Agustus 2009Februari 2010 jumlahnya menunjukkan peningkatan di seluruh wilayah pulau, namun menurut distribusi antar wilayah pulau menunjukkan peningkatan di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi. Konsentrasi angkatan kerja masih di wilayah Jawa-Bali yaitu sebanyak 68,8 juta jiwa atau 61,5 persen dari total angkatan kerja nasional, dan meningkat sebesar1,5 juta jiwa, akan tetapi persentasenya berkurang menjadi 60,6persen dari total angkatan kerja secara nasional. Jumlah angkatan kerja terendah berada di wilayah Maluku dan Papua, masing-masing sebanyak 1,05 juta jiwa (0,9%) dan 1,5 juta jiwa (1,3%). Tabel 3-3: Jumlah dan Distribusi Angkatan Kerja Menurut Wilayah Pulau Tahun 2009- 2010 WILAYAH Sumatera Jawa + Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua NASIONAL
JUMLAH ANGKATAN KERJA DISTRIBUSI ANGKATAN (JIWA) KERJA (%) Ags 2009 Feb. 2010 ∆(’10-’09) Ags 2009 Feb. 2010 20,2 20,5 22.587.476 23.813.070 1.225.594 61,5 60,6 68.810.479 70.341.809 1.531.330 3,7 3,9 4.196.000 4.514.714 318.714 5,7 5,8 6.384.177 6.760.598 376.421 6,8 6,9 7.570.418 7.986.662 416.244 0,9 0,9 981.119 1.047.109 65.990 1,3 1,3 1.417.596 1.534.100 116.504 100,0 100,0 111.947.265 115.998.062 4.050.797
Sumber: Sakernas, BPS
Perbandingan jumlah angkatan kerja antarprovinsi Februari 2010, memperlihatkan konsentrasi angkatan kerja terbesar di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan terrendah berada di Provinsi Papua Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Jika dilihat perbandingan antarprovinsi di Pulau Jawa-Bali jumlah angkatan kerja terbesar yaitu di Provinsi Jawa Timur dan jumlah angkatan kerja terrendah di Provinsi DI Yogyakarta dan Bali. Di Pulau Sumatera jumlah angkatan kerja terbesar yaitu di Provinsi Sumatera Utara dan terrendah di Provinsi Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung. Sedangkan perbandingan angkatan kerja antarprovinsi di luar Pulau Jawa-Bali dan Sumatera, terbesar yaitu di Provinsi Sulawesi Selatan dan terrendah di Provinsi Papua Barat dan Gorontalo. Gambar 3-6: Perkembangan Angkatan Kerja Menurut Provinsi, Tahun 2010 Jumlah Angkatan Kerja (juta Jiwa) laju Pertumbuhan Angkatan Kerja Provinsi (%) Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja Nasional (%)
25 20 15 10 5 -
21
5.9
8.4 6.9
-0.31
10 8 6 % 4 2 0 -2
Kep. Babel Kep. Riau Bengkulu Jambi Aceh Sumbar Riau Sumsel Lampung Sumut DIY Bali Banten DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Timur NTB NTT Kalteng Kaltim Kalsel Kalbar Gorontalo Sulbar Sultera Sulut Sulteng Sulsel Maluku Utara Maluku Papua Barat Papua
Juta Jiwa
III
Tingkat perkembangan angkatan kerja selama periode Agustus 2009- Februari 2010, sebagian besar provinsi menunjukkan laju pertumbuhan positif, kecuali untuk Provinsi Bali, dan Maluku Utara yang masing-masing tumbuh -0.3%. Sementara laju pertumbuhan angkatan kerja tertinggi terdapat di Provinsi Gorontalo yaitu sebesar 8,4 persen.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-5
KEPENDUDUKAN
3.2.2. Penduduk Bekerja Jumlah penduduk bekerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 107,41 juta orang, bertambah 2,54 juta orang dibanding keadaan pada Agustus 2009 sebesar 104,87 juta orang atau bertambah 2,92 juta orang dibanding keadaan Februari 2009 sebesar 104,49 juta orang., Jumlah penduduk bekerja menurut wilayah pulau tahun 2010, terbesar terdapat di JawaBali sebanyak 64,76 juta jiwa meningkat sebesar 2,15 juta (1,1 persen) dibanding Agusrus 2009. Peningkatan persentase penduduk bekerja tertinggi juga dialami wilayah Sumatera yang meningkat sebesar 1,1 persen (1,38 juta). Peningkatan persentase penduduk bekerja tertinggi di wilayah Timur terdapat diwilayah Maluku yang meningkat sebesar 1 persen, sementara peningkatan terendah terdapat di wilayah Papua yang meningkat sebesar 0,2 persen dari jumlah angkatan kerja. Lihat Tabel 3.4. Tabel 3-4: Perkembangan Penduduk Bekerja Menurut Wilay ah Pulau/Kepul auan, Tahun 2009-2010 Penduduk Bekerja (jiwa) % Penduduk Bekerja WILAYAH Ags Feb. (Pulau/Kepulauan) Ags 2009 Feb. 2010 ∆(’10-’09) ∆(’10-’09) 2009 2010 Sumatera 20.780.151 22.162.333 1.382.182 92,0 93,1 1,1 Jawa + Bali 62.609.126 64.758.102 2.148.976 91,0 92,1 1,1 Nusa Tenggara 3.990.886 4.308.553 317.667 95,1 95,4 0,3 Kalimantan 5.952.691 6.323.457 370.766 93,2 93,5 0,3 Sulawesi 6.981.568 7.430.536 448.968 92,2 93,0 0,8 Maluku 894.112 964.617 70.505 91,1 92,1 1,0 Papua 1.344.216 1.457.974 113.758 94,8 95,0 0,2 INDONESIA 102.552.750 107.405.572 4.852.822 91,6 92,6 1,0
Perbandingan jumlah penduduk bekerja antarprovinsi pada tahun 2009, tertinggi di Provinsi Jawa Timur sebanyak 19,1 juta jiwa atau 18,3 persen dari total panduduk bekerja di Indonesia, Jawa Barat 16.8 juta jiwa (16,1%), dan Jawa Tengah 15,4 juta jiwa (14,7%). Jumlah penduduk bekerja terendah terdapat di Provinsi Papua Barat sebanyak 332,8 ribu jiwa, Maluku Utara 411,5 ribu jiwa, dan Sulawesi Barat 490,4 ribu jiwa. Berdasarkan perbandingan laju pertumbuhan penduduk bekerja dari tahun 2004-2009, laju pertumbuhan tertinggi terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 35,8 persen, Kalimantan Timur 27,1 persen, dan Kalimantan Tengah 26,8 persen. Sementara pertumbuhan negatif terjadi di Provinsi Jawa Tengah sebesar -0,8 persen, Sulawesi Selatan -2,8 persen, dan Papua -8,6 persen. Lihat Gambar 3.7.
Jumlah Penduduk Bekerja (juta Jiwa) 95.9 25 20 15 91.4 10 5 -
% Penduduk Bekerja 96.4 96.5 96.1
94.2 85.9
89.5
95.9 94.0 95.9 100 90.9 92.2
89.5
70
SUMUT
JAWA-BALI
NT KALIMANTAN
Sumber: Sakernas Februari, BPS
III-6
90 80
Aceh Sumut Sumbar Kep. Riau Riau Sulsel Lampung Jambi Kep. Babel Bengkulu Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Dl Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kaltim Kalsel Kalbar Kalteng Sulut Sulsel Gorontalo Sulteng Sultra Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Juta Jiwa
Gambar 3-7: Jumlah dan Persentase Penduduk Bekerja Menurut Provinsi (Februari 2010).
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
SULAWESI
MLK PAPUA
%
III
III
KEPENDUDUKAN
1. Penduduk Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan Pada bulan Februari 2010, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami kenaikan jika dibandingkan keadaan Agustus 2009. Pada Februari 2010, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap tinggi yaitu sekitar 55,31 juta orang (51,49 persen) sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi masih relatif kecil. Pekerja dengan pendidikan Diploma hanya sebesar 2,89 juta orang (2,69 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 4,94 juta orang (4,60 persen). Penyerapan tenaga kerja dalam enam bulan terakhir (Agustus 2010).
Gambar 3-8: Persentas e Penduduk Bekerja M enurut Pendidikan Terti nggi, Tahun 2010 Sekolah Diploma Universitas Menengah I/II/III 4.60% Kejuruan 2.69% 7.76% Sekolah Menengah Atas 14.55% Sekolah Menengah Pertama 18.90%
SD ke bawah 51.49%
Tabel 3-5: Perkembangan Penduduk Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi, Tahun 2008-2010 Pendidikan Tertinggi yang 2008 2009 2010 Ditamatkan Februari Agustus Februari Agustus Februari SD ke bawah 55,62 55,33 55,43 55,21 55,31 Sekolah Menengah Pertama 19,39 19,04 19,85 19,39 20,3 Sekolah Menengah Atas 13,9 14,39 15,13 14,58 15,63 Sekolah Menengah Kejuruan 6,71 6,76 7,19 8,24 8,34 Diploma I/II/III 2,66 2,87 2,68 2,79 2,89 Universitas 3,77 4,15 4,22 4,66 4,94 Jumlah 102,05 102,55 104,49 104,87 107,41
Proporsi penduduk bekerja berpendidikan rendah (maksimal tamat SD) masih mendominasi disemua wilayah, dan memiliki proporsi di atas 50 persen, kecuali di wilayah Sumatera yang mencapai 44,88 persen. Kondisi terburuk terdapat di wilayah Papua, Nusa Tenggara yang memiliki proporsi penduduk bekerja dengan pendidikan rendah (maksimal tamat SD), masing-masing sebesar 62,47 persen dan 61,56 persen. Komposisi dari persentase untuk setiap tingkat pendidikan, wilayah Sumatera menunjukkan kualitas komposisi tingkat pendidikan lebih baik dibanding wilayah lainnya. Lihat Tabel 3.6. Tabel 3-6: Komposisi Penduduk Usia 15 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Wilayah dan Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010. (dalam persen) WILAYAH ≤ SD SUMATERA JAWA-BALI NUSA TENGGARA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA INDONESIA
44,88 52,52 61,56 55,56 51,01 50,45 62,47 51,50
Komposisi PersentasePenduduk Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Diploma SMTA SMTA SMTP I/II/III/ Universitas Umum Kejuruan Akademi 22,23 18,19 7,74 2,98 3,99 18,30 13,12 8,47 2,69 4,89 15,58 13,17 4,41 1,87 3,40 17,71 14,58 5,86 2,66 3,64 18,76 16,71 5,81 2,41 5,29 17,82 17,98 5,69 3,13 4,94 11,37 13,21 6,38 1,68 4,88 18,90 14,55 7,77 2,69 4,60
JUMLAH
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-7
KEPENDUDUKAN
III
Bekerja
Menurut
Penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian di tahun 2010 masih tergolong dominan, yakni sebanyak 39,87 persen, menyusul untuk kelompok penduduk yang bekerja di sektor perdagangan sebesar 20,68 persen, jasa kemasyarakatan 14,54 persen, dan industri pengolahan sebesar 12,15 persen. Sektor terendah adalah sektor listrik, gas dan air sebesar 0,19 persen. Lihat Gambar 3.10.
SUMATERA
Penduduk yang Lapangan Usaha
JAWA - BALI
NT
KALIMANT AN
SULAWESI
MLK
PAPU A
Untuk penyebaran tenaga kerja yang dibedakan menurut 3 kelompok, yakni maksimal berpendidikan SLTP, pendidikan SLTA (umum/kejuruan) dan berpendidikan diploma Gambar 3-9: Komposisi Penduduk Bekerja Menurut Kelompok sampai dengan universitas, menunjukkan Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan dan Provinsi, dominasi penduduk bekerja dengan pendidikan Februari 2010. (dalam persen) maksimal SLTP, kecuali di Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau dengan persentase pekerja Max SLTP SLTA Diploma Ke atas dengan berdidikan maksimal SLTP masingPapua 77.8 masing sebesar 41,8 persen dan 40,9 persen. Papua Barat 60.9 Maluku Utara 69.3 Penduduk bekerja di Provinsi DKI Jakarta dan Maluku 67.5 Kepulauan Riau tersebut telah diimbangi Sulbar 76.5 Gorontalo 76.2 dengan persentase kelompok berpendidikan Sultra 69.1 SLTA yang masing-masing sebesar 40,4 persen Sulsel 69.4 Sulteng 73.2 dan 47,6 persen. Persentase penduduk bekerja Sulut 60.5 Kaltim 56.0 dengan berpendidikan maksimal SLTP tertinggi Kalsel 75.6 terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur Kalteng 78.1 Kalbar 80.0 (81,1 %), Kalimantan Barat 80%), serta N TT 81.1 Kalimantan Tengah, dan Jawa Tengah (78,1%). N TB 72.6 62.8 64.2 73.5 60.7 78.1 71.6 41.8 40.9 73.2 75.7 71.8 72.3 66.7 65.5 66.6 63.3 61.1
Bali Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kepri Kep, Banbel Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumsel NAD
0
25
50
40.4 47.6
75
100
Sumber: Sakernas Feb. 2010
Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2009, jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2010 mengalami kenaikan terutama di Sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 1,62 juta orang (11,52 persen) dan Sektor Pertanian Gambar 3-10: sebesar 1,22 juta orang (2,92 persen). Komposisi Penduduk yang bekerja Menurut Lapangan Usaha Sektor-sektor yang mengalami Secara Nasional Tahun 2010 penurunan adalah Sektor Konstruksi Industri, 13% sebesar 650 ribu orang (11,70 persen) Pertanian, 43 Konstruksi, 5 % dan Sektor Transportasi sebesar 300 % ribu orang (4,91 persen). Jika dibandingkan dengan Februari 2009 tidak semua sektor mengalami kenaikan jumlah pekerja. Sektor-sektor Perdagangan , 22% yang mengalami penurunan jumlah Transportasi, pekerja adalah Sektor Transportasi Lainnya, 1% pergudangan sebesar 130 ribu orang (2,19 persen) Jasa dan Kemasyaraka dan Sektor Pertanian sebesar 200 ribu Keuangan, 2 komunikasi, tan, 16% % orang (0,47 persen). Sektor Jasa 6% Kemasyarakatan, Industri dan Sumber: Sakernas, Februari 2010, BPS Perdagangan menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja pada bulan Februari 2010.
III-8
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III
KEPENDUDUKAN
Tabel 3-7: Perkembangan Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2009-2010 2009
Lapangan Pekerjaan Utama Februari Pertanian Industri Konstruksi Perdagangan Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi Keuangan Jasa Kemasyarakatan Lainnya1) Total
2010 Agustus
Februari
Laju Pertumbuhan Penduduk Bekerja Feb ‘09-Feb ‘10
Ags ‘09-Feb ‘10
43029,49 12615,44 4610,7 21836,77
41611,84 12839,8 5486,82 21947,82
42825,81 13052,52 4844,69 22212,89
-0,47 3,46 5,07 1,72
2,92 1,66 -11,70 1,21
5947,67
6117,99
5817,68
-2,19
-4,91
1484,6 13611,84 1348,94 104485,44
1486,6 14001,52 1378,29 104870,66
1639,75 15615,11 1397,13 107405,57
10,45 14,72 3,57 2,79
10,30 11,52 1,37 2,42
Gambaran komposisi lapangan usaha menurut wilayah, sektor pertanian masih merupakan penyedia lapangan kerja utama di semua wilayah, walaupun di wilayah Jawa-Bali sudah diimbangi dengan perkembangan sektor perdagangan, sektor industri dan jasa. Sektor lain yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi disetiap wilayah adalah sektor perdagangan, dan jasa, sementara untuk sektor industri masih dominan di wilayah Jawa-Bali, Lihat Tabel 3.8. Tabel 3-8: Komposisi Penduduk yang bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Wilayah Februari 2010. (dalam persen) WILAYAH
PERSENTASE PENDUDUK BEKERJA MEN URUT LAPAN GAN USAHA 1 2 3 4 5 6 7 8 9
TOTAL
SUMATERA JAWA-BALI NUSA TENGGARA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA
49,90 31,90 60,82 51,08 49,83 57,61 68,86
1,46 0,61 1,88 3,85 1,54 1,62 1,04
7,07 16,12 5,66 4,76 5,88 4,00 1,53
0,19 0,19 0,15 0,16 0,24 0,52 0,13
4,10 4,82 2,85 4,34 4,68 3,41 2,42
17,94 23,26 11,63 17,68 17,52 12,79 9,08
4,65 5,93 4,52 4,07 5,29 5,55 3,39
1,19 1,82 0,58 1,25 1,08 0,68 0,57
13,51 15,35 11,93 12,80 13,95 13,83 12,97
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
INDONESIA
39,87
1,11
12,15
0,19
4,51
20,68
5,42
1,53
14,54
100,00
KETERANGAN: 1. Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, 2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas dan air 5. Bangunan
6. Perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi 8. Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan 9. Jasa kemasyarakatan
Penduduk yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama Secara sederhana kegiatan formal dan informal dari penduduk yang bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi ini, maka pada Februari 2010 sekitar 33,74 juta orang (31,42 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 73,67 juta orang (68,58 persen) bekerja pada kegiatan informal. Dari 107,41 juta orang yang bekerja pada Februari 2010, status pekerjaan utama yang terbanyak sebagai buruh/karyawan sebesar 30,72 juta orang (28,61 persen), diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,92 juta orang (20,41 persen), dan berusaha sendiri sejumlah 20,46 juta orang (19,05 persen), sedangkan yang terkecil adalah berusaha
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-9
KEPENDUDUKAN
dibantu buruh tetap sebesar 3,02 juta orang (2,81 persen). Dalam satu tahun terakhir (Februari 2009–Februari 2010) terdapat penambahan pekerja dengan status buruh/karyawan sebesar 1,81 juta orang dan pekerja keluarga sebanyak 1,02 juta orang. Sementara itu pada status pekerja bebas di pertanian terjadi penurunan sebesar 30 ribu orang. 3.2.3. Pengangguran Terbuka
Gambar 3-11: Penduduk yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama, Tahun 2010 Berusaha Sendiri 4.92%
18.32%
19.05%
Berusaha dengan dibantu Buruh tidak tetap/tak dibayar Berusaha dengan Buruh Tetap/dibayar
20.41% 28.61%
5.89%
Pekerja/Buruh/Karyawan
2.81%
Sumber: Sakernas, Februari 2010
Juta Jiwa
Pengangguran Terbuka di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 8,59 juta jiwa atau 7,41 persen dari jumlah angkatan kerja. Perkembangan tersebut, berkurang sebesar 666,5 Ribu Jiwa dari pengangguran terbuka Februari 2009 sebesar 9,26 juta jiwa (8,14%). Penurunan pengangguran terbuka sebagian besar di Gambar 3-12: perdesaan yang berkurang sebesar 454,1 Perkembangan Jumlah (dalam juta) dan Tingkat ribu jiwa, sementara di perkotaan Pengangguran Terbuka (dalam persen). Tahun 2004 berkurang sebesar 212,3 ribu jiwa. 2009. Sementara berdasarkan penyebaran 12 12 11.1 10.9 % 10.5 jumlah pengangguran terbuka 9.4 9.3 antarwilayah, sebanyak 64,98 persen dari 10 10 10.4 8.6 10.3 9.8 total pengangguran terbuka berada di 8 8 8.6 wilayah Jawa-Bali, dan sebanyak 19,21 8.1 5.9 5.9 5.8 7.4 persen berada di wilayah Sumatera. 5.2 6 6 5.1 5.3 5.0
4.7
4.8
Perkembangan tingkat pengangguran 3.7 4 4 terbuka antarwilayah selama periode 2 2 Februari 2009-Februari 2010 secara umum menunjukkan penurunan, kecuali 0 0 di wilayah Nusa Tenggara yang 2005 2006 2007 2008 2009 2010 cenderung meningkat sebesar 0,23 Perdesaan (Juta Jiwa) persen. Penurunan tingkat pengangguran Perkotaan (juta Jiwa) tertinggi terjadi di wilayah Maluku yang Total (Juta Jiwa) berkurang sebesar 0,89 persen dan Tingkat Pengangguran Terbuka (%) wilayah Jawa-Bali berkurang sebesar 0,83 persen. Perbandingan tingkat pengangguran terbuka antarwilayah pada Sumber: Sakernas, Februari, BPS Februari 2010, tertinggi di wilayah JawaBali yaitu sebesar 7,94 persen, dan wilayah Maluku sebesar 7,88 persen. Sedangkan untuk tingkat pengangguran terendah terdapat di wilayah Nusa Tenggara dan Papua, yaitu masingmasing sebesar 4,57 persen dan 4,96 persen.
III-10
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
4.2
4.2
III
III
KEPENDUDUKAN
Tabel 3-9: Perkembangan Tingkat Pengaguran Terbuka Antarwilayah di Perdesaan dan Perkotaan, Tahun 2009-2010 Feb 2009 WILAYAH Ribu Jiwa Sumatera Jawa-Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua NASIONAL
1.792,13 6.077,72 190,10 459,69 576,13 90,31 72,89 9.258,96
% 7,68 8,77 4,34 6,99 7,51 8,77 5,02 8,14
Feb 2010 (Perkotaan) Ribu % Jiwa 812,60 10,02 3.421,26 9,89 87,57 7,87 231,13 10,05 217,76 9,44 29,92 10,35 43,71 14,80 4.843,95 9,88
Feb 2010 (Perdesaan) Ribu % Jiwa 838,14 5,34 2.162,45 6,05 118,59 3,49 206,01 4,62 338,37 5,96 52,57 6,94 32,42 2,62 3.748,54 5,60
Feb 2010 (TOTAL) Ribu % Jiwa 1.650,74 6,93 5.583,71 7,94 206,16 4,57 437,14 6,47 556,13 6,96 82,49 7,88 76,13 4,96 8.592,49 7,41
∆ (2010-2009) Ribu Jiwa -141,40 -494,01 16,06 -22,55 -20,00 -7,82 3,24 -666,47
% -0,75 -0,83 0,23 -0,52 -0,55 -0,89 -0,06 -0,73
Tingkat pengangguran terbuka antarprovinsi pada Februari 2010, tertinggi di Provinsi Banten sebesar 14,13 persen dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesra 3,49 persen. Dalam perkembangan selama periode Februari 2009-Februari 2010, penurunan tingkat pengangguran terbuka tertinggi terdapat Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 1,83 persen, sementara peningkatan tingkat pengangguran terbuka terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (0,71%) , Bali (0,64%), D.I Yogyakarta (0,01%), dan Provinsi Papua Barat (0,04%). Tabel 3-10: Perkembangan Jumlah dan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Provinsi, Februari 2009-Februari 2010 Jumlah Pengangguran Terbuka PROVINSI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua NASIONAL
Feb-2009 173.624 521.643 172.253 206.471 69.857 292.234 46.054 230.942 26.817 52.237 570.562 2.257.660 1.208.671 122.972 1.193.552 663.895 60.405 124.940 65.160 127.186 49.008 118.406 165.087 114.528 63.154 296.559 53.067 23.429 25.393 61.194 29.117 27.864 45.023 9.258.964
Feb-2010 166.275 512.825 172.084 169.164 60.055 237.118 35.677 223.486 23.324 50.729 537.468 2.031.550 1.174.897 124.379 1.011.950 627.828 75.635 122.837 83.324 125.188 42.731 108.745 160.477 112.608 62.964 284.370 49.297 24.479 22.408 57.041 25.451 28.559 47.567 8.592.490
Tingkat Pengangguran Terbuka Feb-2009 Feb-2010 9,31 8,60 8,25 8,01 7,90 7,57 8,96 7,21 5,20 4,45 8,38 6,55 5,31 4,06 6,18 5,95 4,82 4,24 7,81 7,21 11,99 11,32 11,85 10,57 7,28 6,86 6,00 6,02 5,87 4,91 14,90 14,13 2,93 3,57 6,12 5,78 2,78 3,49 5,63 5,50 4,53 3,88 6,75 5,89 11,09 10,45 10,63 10,48 5,11 4,89 8,74 7,99 5,38 4,77 5,06 5,05 4,92 4,10 10,38 9,13 6,61 6,03 7,73 7,77 4,13 4,08 8,14 7,41
∆ (Feb 2009- Feb 2010) Jumlah % -7.349 -0,71 -8.818 -0,24 -169 -0,33 -37.307 -1,75 -9.802 -0,76 -55.116 -1,83 -10.377 -1,25 -7.456 -0,22 -3.493 -0,59 -1.508 -0,61 -33.094 -0,67 -226.110 -1,28 -33.774 -0,42 1.407 0,01 -181.602 -0,97 -36.067 -0,76 15.230 0,64 -2.103 -0,35 18.164 0,71 -1.998 -0,14 -6.277 -0,65 -9.661 -0,86 -4.610 -0,64 -1.920 -0,15 -190 -0,22 -12.189 -0,76 -3.770 -0,61 1.050 -0,01 -2.985 -0,82 -4.153 -1,25 -3.666 -0,58 695 0,04 2.544 -0,05 -666.474 -0,73
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-11
KEPENDUDUKAN
III
Kondisi tingkat pengangguran terbuka antarprovinsi, sebanyak 12 provinsi berada di atas tingkat pengangguran terbuka nasional (7,41%). Di wilayah Sumatera, tingkat pengangguran terbuka tertinggi berada di Kepulauan Riau (8,6%) dan terendah di Provinsi Aceh (9,1%). Diwilayah Jawa-Bali, TPT tertinggi di Provinsi Banten (14,1%) dan terendah di Provinsi Bali (3,6%). Di wilayah Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, umumnya memiliki TPT di bawah nasional, kecuali di Provinsi Kalimantan Timur (10,5%), Sulawesi Selatan (7,99%), Sulawesi Utara (10,48%), Maluku (9,1%) dan Papua Barat (7,8%).
14.1
2.50 2.00
16
10.5
8.6
1.50
1.00 4.1
5.8 3.5 3.9
3.6
10.5
9.1
6.0
4.1
7.8
4.1
12
%
Juta Jiwa
Gambar 3-13: Jumlah Pengangguran Terbuka dan Tingkat Pengangguran Terbuka Antarprovinsi, Februari 2010
8 4
0.00
0
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Kep, Banbel Kepri Bali Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Banten NTT NTB Kalteng Kalbar Kalsel Kaltim Sulbar Sultra Sulteng Gorontalo Sulsel Sulut Maluku Utara Maluku Papua Papua Barat
0.50
SUMATERA JAWA-BALI Jumlah Pengangguran Terbuka Prov (Feb. 2009
NT KALIMANTAN SULAWESI MLK PAPUA Jumlah Pengangguran Terbuka Prov (Feb 2010)
Tingkat Pengangguran Terbuka Prov (Feb 2010)
Tingkat Pengangguran Terbuka Nas (Feb 2010)
Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2010 menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih didominasi oleh kelompok pendidikan Diploma I/II/III dan Universitas, yaitu masing-masing sebesar 15,71 persen dan 14,24 persen. Sementara menurut perkembangan selama periode Februari 2009-Februari 2010, penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya terjadi pada kelompok pendidikan tertinggi SLTA ke bawah, smentara untuk kelompok pendidikan Diploma I/II/III dan Universitas menunjukkan peningkatan masingmasing sebesar 0,33% dan 1,3 persen. Hal ini merupakan tantangan serius dalam kaitanyya dengan rendahnya peyerapan tenaga kerja peda kelompok pendidikan tinggi. Tabel 3-11: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Tahun 2008-2010. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan SD ke bawah Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan Diploma I/II/III Universitas Jumlah
2008
2009
2010
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
4,7 10,05 13,69 14,8 16,35 14,25 8,46
4,57 9,39 14,31 17,26 11,21 12,59 8,39
4,51 9,38 12,36 15,69 15,38 12,94 8,14
3,78 8,37 14,5 14,59 13,66 13,08 7,87
3,71 7,55 11,9 13,81 15,71 14,24 7,41
∆ Feb 2010-Feb 2009 -0,8 -1,83 -0,46 -1,88 0,33 1,3 -0,73
Komposisi Pengangguran terbuka antarwilayah ditinjau dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, sebagian besar sudah berpendidikan SLTA, kecuali di wilayah Jawa – Bali masih lebih tinggi untuk kelompok berpendidikan maksimal SD. Pengaguran terbuka dengan pendidikan Diploma dan Universitas tertinggi terdapat di wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Kondisi ini mengindikasikan fenomena pengangguran terdidik sebagian besar berada di luar wilayah Jawa-Bali. Lihat Tabel 3.7.
III-12
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
KEPENDUDUKAN
Tabel 3-12: Komposisi Pers entase Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Antarwilayah, Februari 2010 WILAYAH
SUMATERA JAWA-BALI NUSA TENGGARA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA INDONESIA
Komposisi Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (%) Diploma SMTA SMTA ≤ SD SMTP I/II/III/ Universitas Umum Kejuruan Akademi 19,89 16,31 31,73 14,18 7,51 10,38 27,15 21,75 20,78 16,52 5,22 8,59 22,04 10,73 35,75 9,48 10,84 11,16 27,20 16,89 27,76 13,19 5,79 9,16 17,41 11,00 31,18 15,13 10,11 15,17 14,06 11,75 39,30 11,39 11,60 11,91 15,50 9,06 34,53 12,83 12,31 15,77 24,77 19,29 24,57 15,56 6,26 9,54
TOTAL
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Proporsi pengangguran terbuka menurut 3 kelompok tingkat pendidikan tertinggi antarprovinsi menunjukkan dominasi pengangguran terbuka pada kelompok berpendidikan SLTA, (lihat Gambar…). dengan persentase tertinggi berada di provinsi Sulawesi Utara (63,4%), Maluku (55,6%), dan Kalimantan Timur (52,1%). Proporsi pengangguran terbuka yang berpendidikan SLTP ke bawah, persentase tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat 56,3 persen, Jawa Barat 54,6 persen, dan Gorontalo (53,9%). Sementara untuk proporsi pengangguran terbuka berpendidikan diploma ke atas, persentase tertinggi berada di Provinsi Sulawesi Barat (36,8%), Sulawesi Tenggara (34,8%), dan Provinsi Papua (32,88%). Gambar 3-14: Proporsi Pengangguran Terbuka Menurut Kelompok Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Antarprovinsi, Februari 2010 Max (SMTP) %
SMTA (Umum/Kejuruan)
Diploma I/II/III/Akademi/Universitas
63.4
70
56.3 54.6
60
50 40
31.1
36.8
34.8
30 20 10 0 Banten Jawa Tengah Kalsel Kalbar Gorontalo Jawa Barat Sumsel Maluku Utara Sulsel Sulteng Lampung Jawa Timur Sumbar Jambi NTB NTT Kep, Banbel Bengkulu Kalteng Sulbar Riau Papua DKI Jakarta Kepri Papua Barat NAD Sultra DIY Bali Sumut Kaltim Maluku Sulut
III
3.3.
Kesehatan
Perkembangan derajat kesehatan penduduk Indonesia selama periode terakhir menunjukkan kondisi perbaikan, yang diindikasikan oleh menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) , Angka Kematian Balita (AKBA), Angka Kematian Ibu (AKI) dan meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH. Menurut sumber SDKI 2007, pada tahun 2002-2003 dengan Angka Kematian Bayi 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup menurun menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka Kematian Balita pada tahun 2002-2003 sebesar 46 per 1000
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-13
KEPENDUDUKAN
kelahiran hidup berkurang menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Sementara Angka Kematian Ibu tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup berkurang menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Terdapat perbedaan signifikan pada angka kematian bayi antarprovinsi, yakni provinsi dengan AKB tertinggi hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi yang memiliki AKB terendah. Perbedaan drastis seperti ini mengindikasikan bahwa penyebab kematian bayi bersifat unik di masing-masing daerah. Angka kematian bayi tertinggi ditemui di Sulawesi Barat (74 per 100.000 kelahiran hidup), Nusa Tenggara Barat (72 per 1000 kelahiran hidup), Sulawesi Tengah (60 per 1000 kelahiran hidup), dan Maluku (59 per 1000 kelahiran hidup). Sedangkan provinsi dengan AKB terendah adalah DI Yogyakarta (19 per 100.000 kelahiran hidup), Aceh (25 per 100.000 kelahiran hidup), Jawa Tengah dan Kalimantan Timur masing-masing sebesar 26 per 1000 kelahiran hidup, lihat Gambar 4.2. Sementara Angka Kematian Balita (AKBA) tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 96 per 1000 kelahiran hidup, Maluku sebesar 93 per 1000 kelahiran hidup dan NTB sebesar 92 per 1000 kelahiran hidup, sementara AKBA terendah terdapat di DIY, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah masing-masing sebesar 22, 32 dan 34 per 1000 kelahiran hidup. . Gambar 3-15: Kondisi Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita Antarprovinsi Tahun 2007. (per 1.000 kelahiran hidup)
Per 1000 Kelahiran hidup
120 100
93
80
72
96
74
60 AKBA
40
AKB
22 20
AKBA BASIONAL AKB NASIONAL DIY Jawa Tengah Kalteng DKI Jakarta Bali Kaltim Sulut Aceh Jawa Timur Babel Riau Jambi Jawa Barat Sumsel Sulsel Lampung Kepri Banten Kalbar Sumbar Sultra Papua Barat Papua Bengkulu Sumut Sulteng Gorontalo Maluku Utara Kalsel NTT NTB Maluku Sulbar
0
Sumber: BPS, SDKI 2007.
III-14
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III
KEPENDUDUKAN
Perkembangan Umur Harapan Hidup secara nasional selama periode 2005-2008 menunjukkan peningkatan, yaitu dari 68,1 tahun Gambar 3-16: pada tahun 2005 meningkat menjadi 69 tahun pada Perkembangan Estimasi Umur Harapan Hidup tahun 2008. Lihat Gambar 3.16. (UHH) Nasional Tahun 2007-2010 Perkembangan estimasi umur harapan hidup antarprovinsi, meningkat secara merata di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi dengan UHH di bawah UHH nasional terdapat di 17 provinsi, dan sebanyak 13 provinsi diantaranya berada di bagian Indonesia Timur. Perbandingan estimasi UHH antarprovinsi pada tahun 2010, tertinggi di Provinsi D.I Yogyakarta sebesar 73,1 tahun, dan DKI Jakarta 72,9 tahun, sementara UHH provinsi terendah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 61,5 tahun, dan Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 63,1 tahun. Lihat Gambar 3.17.
71.0
70.9 70.8
Tahun
70.7 70.6
70.5 70.4
70.4
70.2 70.0 2007
2008
2009
2010
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS
Gambar 3-17: Estimasi Umur Harapan Hidup (UHH) Menurut Provinsi Tahun 2010 UHH Provinsi Tahun 2010 78 76 74 72 69.3 70 68 66 64 62
UHH Nasional Tahun 2010
76.2 72.6
74.9 73.2
69.7
69.2
67.0
68.9
69.2 69.8
Aceh Sumut Sumbar Riau Kep. Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Tahun
III
SUMATERA
JAWA + BALI
NT KALIMANTAN
SULAWESI
MLK PAPUA
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS
Gambar 3-18: Perkembangan Status Gizi Buruk dan Kurang Tahun 2003, 2005, dan 2007. (dalam persen)
Kondisi kesehatan masyarakat berdasarkan indikator status gizi balita, merupakan gangguan pertumbuhan bayi yang terjadi sejak usia dini (4 bulan) yang ditandai dengan rendahnya berat badan dan tinggi badan, dan terus berlanjut sampai usia balita. Hal tersebut terutama disebabkan rendahnya status gizi ibu hamil. Perkembangan kondisi status gizi balita secara nasional menunjukkan adanya perbaikan, yaitu status gizi buruk sebesar 8,55 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 5,4 persen pada tahun 2007. Sementara untuk balita gizi kurang sebesar 19,62 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 13 persen pada tahun 2007. Lihat Gambar 3.18.
25
19.62
19.24
20 13
15 % 10
8.55
8.8 5.4
5 0 2003
2005 gizi buruk
2007 gizi kurang
Sumber: BPS 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-15
KEPENDUDUKAN
Perbandingan status gizi balita antarprovinsi pada tahun 2007, balita gizi buruk tertinggi terdapat di Provinsi NAD sebesar 10,7 persen, kemudian di Sulawesi Barat 10 persen, dan Nusa Tenggara Timur 9,4 persen. Sementara untuk status gizi kurang, tertinggi di Provinsi NTT sebesar 24,2 persen, Sulawesi Tengah 18,7 persen, dan Maluku 18,5 persen. Kondisi gizi buruk terendah terdapat di Provinsi D.I. Yogyakarta sebesar 2,4 persen, DKI Jakarta 2,9 persen, dan Kepulauan Riau 3 persen. Sementara gizi kurang terendah terdapat di Provinsi Bali 8,2 persen, D.I.Yogyakarta 8,5 persen, dan Kepulauan Riau 9,4 persen. Jumlah komulatif dari gizi buruk dan gizi kurang antarprovinsi, tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 33,6 persen, Maluku 27,8 persen, dan Sulawesi tengah 27,6 persen. Sementara jumlah komulatif terendah terdapat di Provinsi D.I. Yogyakarta 10,9 persen, Bali 11,4 persen, dan Kepulauan Riau 12,4 persen. Lihat Gambar 3.19. Gambar 3-19: Persentase Status Gizi Buruk dan Kurang Menurut Provinsi Tahun 2007 Gizi Buruk Gizi Kurang Rata-rata Gizi Buruk Nasional Rata-rata Gizi Kurang Nasional
30 25 20 %
15
15.8 10.7
3 2.9
5
18.7
16.7
18.5 16.4
10
8.2 9.4
8.5
9.4
10
24.2
9.3
13 5.4
3.2
2.4
Jawa-Bali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
PAPUA
PAPUA BARAT
MALUT
MALUKU
SULBAR
GORONTALO
SULSEL
SULTRA
SULUT
SULTENG
KALSEL
KALTIM
KALTENG
NTT
Nustra
KALBAR
NTB
BALI
BANTEN
DIY
JATIM
JABAR
JATENG
KEPRI
DKI JAKARTA
LAMPUNG
KEP,BABEL
SUMSEL
Sumatera
BENGKULU
RIAU
JAMBI
SUMBAR
NAD
SUMUT
0
Papua
Sumber: BPS 2008
Indikator kesehatan lainnya yang menggambarkan kinerja dari pelayanan kesehatan bagi masyarakat adalah kondisi kesehatan ibu dan bayi yang berkaitan dengan proses melahirkan. Gambar 3.20. menunjukkan perkembangan persentase penolong persalinan terakhir yang ditolong tenaga medis selama periode 2005-2009 menunjukkan peningkatan, yakni dari 70,46 persen pada tahun 2005 meningkat menjadi 77,34 persen pada tahun 2009. Komposisi penolong persalinan pada tahun 2009 sebagian besar ditolong oleh bidan (61,2%), meningkat sebesar 3 persen disbanding tahun 2005. Sementara penolong dukun tradisional (21,3%) pada tahun 2009, menurun sebesar 5 persen disbanding dengan tahun 2005.
III-16
Gambar 3-20:. Perkembangan Persentase Persalinan Terakhir di tolong Tenaga Medis, Tahun 2005-2009 Tahun 2009 1.2
Famili dan Lainnya
3.2
Tahun 2005
21.3
Dukun Traditional
26.3 0.8
Tenaga Medis Lain
1.2 61.2
Bidan
58.2 15.3
Dokter
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
11.0 0
20
40
%
60
80
III
KEPENDUDUKAN
Gambar 3.21, Komposisi persentase kelahiran terakhir menurut tenaga penolong persalinan antarprovinsi pada tahun 2009, sebagian besar (>50%) ditolong tenaga medis (dokter, bidan, dan medis lainnya), kecuali untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat, dan Papua. Persentase kelahiran terakhir ditolong tenaga medis terbesar adalah di Provinsi DKI Jakarta (98.1%), D.I. Yogyakarta (96,9%) dan Bali (96,2%), sedangkan untuk persentase terrendah kelahiran dengan tenaga medis adalah di Provinsi Maluku (42,5%), Maluku Utara (47,2%), dan Sulawesi Barat (47,5%). Gambar 3-21: Persentase Persalinan Terakhir Balita Ditolong Tenaga Medis Menurut Provinsi tahun 2009. Provinsi (%)
100
%
98.1
88.9 70.5
75
Nasional (%)
96.9 96.2
85.2 82.8
68.9
77.3
47.2 60.4 47.5 42.5
49.9
50 25 0
Aceh Sumut Sumbar Riau Kep. Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat SUMATERA
JAWA + BALI
NT KALIMANTAN
SULAWESI
MLK PAPUA
Sumber: BPS
3.4.
Pendidikan
Pembangunan pendidikan telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah (RLS) tingkat nasional dari 7,3 tahun pada tahun 2005 menjadi sebesar 7,5 tahun pada tahun 2008, serta meningkatnya angka melek huruf (AMH) penduduk usia 15 tahun ke atas dari 90,9 persen pada tahun 2005 menjadi 92,2 persen pada tahun 2008. Lihat Gambar 3.22.
Gambar 3-22: Perkembangan Angka Buta Huruf Menurut Kelompok Umur Tahun 2005-2009 25
22.8
21.1 18.9 19.6 18.7
20
USIA 15+ Tahun
15
%
III
10
9.1
8.6
8.1
7.8
7.4
USIA 15-44 Tahun
Perkembangan RLS lebih rinci USIA 45+ Tahun antarprovinsi menunjukkan peningkatan di 3.1 2.9 3.0 5 2.0 1.8 seluruh provinsi, walaupun dengan nilai peningkatan yang beragam. Peningkatan 0 tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Barat 2005 2006 2007 2008 2009 sebesar 0,99 tahun, Kepulauan Riau sebesar Sumber: BPS 0,84 tahun, dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 0,77 tahun. Sementara berdasarkan pencapaian RLS antarprovinsi, tertin ggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 10,8 tahun, Sulawesi Utara dan kalimantan Timur sebesar 8,8 tahun, dan Provinsi D.I. Yogyakarta sebesar 8,7 tahun. Kondisi RLS terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 6,5 tahun, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 6,6 tahun, serta NTB dan Kalimantan Barat sebesar 6,7 tahun. Lihat Gambar 3.23.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-17
KEPENDUDUKAN
Gambar 3-23: Rata-rata Lama Sekolah (RLS) M enurut Provinsi Tahun 2009. (dalam tahun)
Rata-rata Lama Sekolah (Provinsi) Rata-rata Lama Sekolah (Nasional)
10.3
11 10 9 7.4 Tahun 8 7 6 5
8.8
8.7
8.6 7.1
7.1
6.6
8.2
6.4
Kep. Babel Jambi Sumsel Lampung Kep. Riau Bengkulu Sumbar Aceh Sumut Riau Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Bali Banten DI Yogyakarta DKI Jakarta NTB NTT Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Sulbar Gorontalo Sulsel Sulteng Sultra Sulut Maluku Utara Maluku Papua Papua Barat
6.6
8.6
SUMATERA
JAWA + BALI
NT KALIMANTAN
SULAWESI
MLK PAPUA
Sumber: IPM, BPS 2009
Perkembangan Angka Melek Huruf (AMH) antarprovinsi selama periode 2005-2008, menunjukkan perubahan positif diseluruh provinsi, dengan kecenderungan peningkatan rendah pada provinsi yang telah memiliki AMH tinggi, dan peningkatan relatif tinggi pada AMH rendah atau berada di bawah rata-rata nasional. Peningkatan tertinggi terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 6,75 persen, Sulawesi Barat 3,91 persen, D.I. Yogyakarta 2,76 persen, dan Provinsi NTT 2,06 persen. Berdasarkan pencapaian AMH antarprovinsi pada tahun 2008, tertinggi terdapat di Sulawesi Utara sebesar 99,31 persen, DKI Jakarta sebesar 98,76 persen, Maluku 98,12 persen. Sementara AMH terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 75,41 persen, NTB sebesar 80,13 persen, dan Sulawesi Selatan sebesar 86,53 persen. Posisi AMH antar provinsi dari rata-rata nasional sebesar 92,19 persen, sebanyak 12 provinsi yang berada di bawah rata-rata AMH nasional. Dengan penyebaran sebanyak 4 provinsi di wilayah Jawa-Bali, 2 provinsi di wilayah Nusa tenggara, 1 provinsi di wilayah Kalimantan, 3 provinsi di wilayah Sulawesi, dan 2 provinsi di wilayah Papua. Gambaran lengkap lihat Gambar 3.24. Gambar 3-24: Angka Melek Huruf (AMH) Menurut Provinsi Tahun 2009. (dalam persen)
89.70 80.18
JAWA + BALI
99.22 97.42
97.39 87.02
KALIMANTAN
Sumber: BPS 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
SULAWESI
92.94
MLK
Papua
PapuaBarat
Maluku
Sulut
Maluku Utara
Sulteng
Sultra
Gorontalo
Sulsel
Sulbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
NTT
NT
Kalbar
NTB
JawaBarat
DKIJakarta
DIY
Banten
JawaTengah
Bali
JawaTimur
Riau
Sumut
Sumsel
Aceh
Sumbar
Jambi
Kep.Riau
SUMATERA
III-18
AMH Nasional
70.29 Kep.Babel
Lampung
98.94
98.11 87.22
100 94.37 90 80 70 60 Bengkulu
%
AMH Provinsi
PAPUA
III
III
KEPENDUDUKAN
Indikator lainnya untuk mengetahui hasil pendidikan, juga dapat dilihat dari persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki. Berdasarkan indikator ini nampak masih rendahnya pendidikan yang diperoleh secara formal oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Sampai dengan tahun 2007, hasil pendidikan dengan ijazah hingga tingkat SLTP/MTs masih tinggi yaitu sebesar 76,63 persen. Dalam perkembangan 4 tahun sebelumnya, kelompok ini hanya berkurang sebesar 2,26 persen dan untuk hasil pendidikan dengan ijazah tertinggi SMA-Diploma_Perguruan Tinggi sebesar 23,37 persen meningkat sebesar 2,66 persen dari tahun 2002 (Lihat Tabel 3.13). Tabel 3-13: Perkembangan APK, APM dan APS M enurut Jenjang Pendidikan dan Kelompok Usia, tahun 2005-2009 ANGKA PARTISIPASI APK SD/MI APM S D/MI APS Usia 7-12 APK SMP/Mts APM SMP/ Mts APS Usia 13-15 APK SM/MA APM SM/MA APS Usia 16-18
TAHUN 2005 106,63 93,25 97,14 82,09 65,37 84,02 55,21 43,50 53,86
2006 109,96 93,54 97,39 81,87 66,52 84,08 56,69 43,77 53,92
2007 112,19 93,78 97,64 86,37 66,90 84,65 59,46 44,84 55,49
2008 111,12 93,99 97,88 86,86 67,39 84,89 59,06 44,97 55,50
2009 110,42 94,37 97,95 81,25 67,43 85,47 62,55 45,11 55,16
Sumber: BPS-RI, Susenas 2003-2009 Mulai tahun 2007 dan tahun-tahun berikutnya APM mencakup pendidik an non formal (paket A setara SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SMA/SMK/MA)
Berdasarkan perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM) secara nasional selama periode 2004-2008, pada jenjang SD meningkat secara perlahan dari 93 persen pada tahun 2004 menjadi 94 persen pada tahun 2008. Demikian pula APM pada jenjang pendidikan SMP, meningkat dari 65,2 persen pada tahun 2004 menjadi 66,8 persen pada tahun 2008. Sedangkan APM pada jenjang pendidikan SM sederajat meningkat dari 43 persen pada tahun 2004 menjadi 44,2 persen pada tahun 2008. Kondisi ini mengindikasikan masih cukup tingginya anak usia sekolah 13 tahun ke atas yang belum mengikuti pendidikan formal. Pada Gambar 3.25, memperlihatkan APM SD antar provinsi relatif tinggi dengan ratarata nasional sebesar 92,98 persen, kecuali di Provinsi Papua sebesar 82,9 persen, Gorontalo 90,4 persens, serta Papua Barat dan Sulawesi Utara sebesar 91,2 persen. Pada jenjang SMP sebanyak 17 provinsi masih berada di bawah rata-rata APM SMP tingkat nasional (66,75 persen). APM SMP tertinggi terdapat di DI. Yogyakarta 74,4 persen, Kepulauan Riau sebesar 72 persen, dan DKI Jakarta 71,3 persen. APM SMP terendah terdapat di provinsi Papua 48,6 persen, NTT 49,6 persen, dan Sulawesi Barat sebesar 51,7 persen. Kemudian untuk jenjang SM sederajat, sebanyak 17 provinsi masih berada di bawah APM SM sederajat tingkat nasional (44,22 persen), dengan APM tertinggi di Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 62 persen, Maluku 59,6 persen, dan Yogyakarta 57,7 persen. Sementara APM SM sederajat terendah terdapat di NTT sebesar 33,5 persen, Sulawesi Barat sebesar 33,7 persen, dan Kalimantan Selatan sebesar 35 persen.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-19
KEPENDUDUKAN
100 90 80 70 60 50 40 30 20
97.95 85.5
55.16
Kep. Babel Sumsel Jambi Lampung Bengkulu Sumbar Kep. Riau Sumut Riau Aceh Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali DKI Jakarta DIY NTT NTB Kalsel Kalbar Kalteng Kaltim Sulbar Gorontalo Sulsel Sulteng Sultra Sulut Maluku Utara Maluku Papua Papua Barat
%
Gambar 3-25: Angka Partisipasi Murni (APM) SD, SMP, Sekolah Menengah (SM) Sederajat Menurut Provinsi, Tahun 2008.
SUMATERA
3.5.
JAWA + BALI
NT KALIMANTAN
SULAWESI
MLK PAPUA
APS Provinsi 7-12 Tahun
APS Provinsi 13-15 Tahun
APS Provinsi 16-18 Tahun
APS Nasional 7-12 Tahun
APS Nasional 13-15 tahun
APS Nasional 16-18 Tahun
Kemiskinan
Juta
%
Gambar 3-26: Jumlah penduduk miskin di Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Indonesia pada bulan Maret Tahun 2005-2010 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Dibandingkan dengan 35 45 39.3 penduduk miskin pada 37.5 37.2 40 30 35.0 bulan Maret 2009 yang 32.5 35 Jumlah Penduduk 31.0 berjumlah 32,53 juta (14,15 25 21.80 Miskin 20.63 20.37 30 persen), berarti jumlah 18.93 17.34 20 16.56 25 Persentase penduduk miskin turun 16.37 Penduduk Miskin sebesar 1,51 juta. Jumlah 15.42 20 15 16.58 (Urban) 13.33 16.69 penduduk miskin di daerah 14.15 Persentase 15 13.48 12.52 10 perkotaan turun lebih Penduduk Miskin 11.65 10.72 10 (Rural) 9.87 9.85 banyak daripada daerah 5 5 perdesaan. Selama periode 0 0 2009-2010, penduduk 2005 2006 2007 2008 2009 2010 miskin di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, Sumber: BPS sementara di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang. Hal yang sama untuk persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan yang berkurang sebesar 0,82 persen. Pada tahun 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2010 meningkat menjadi 64,23 persen.
III-20
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III
III
KEPENDUDUKAN
Tabel 3-14: Perkembangan Jumlah, Pers entase Penduduk Miskin, dan Garis Kemiskinan Selama Periode Maret 2009- Maret 2010. Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Urban
Rural
(U+R)
Urban
Maret 2009
11.910,53
20.619,44
32.529,97
10,72
Maret 2010
11.097,80
19.925,63
31.023,43
-812,73
-693,81
-1.506,54
TAHUN
∆ (2010-2009)
Rural
Garis Kemiskinan (Rp./ per kapita per bulan)
(U+R)
Urban
Rural
(U+R)
17,34
14,15
179 835
222 123
200 262
9,87
16,56
13,33
192 354
232 989
211 726
-0,85
-0,78
-0,82
12.519
10.866
11.464
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama tahun 2009-2010, Garis Kemiskinan naik sebesar Rp. 11.464,00 (5,72%), yaitu dari Rp200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 menjadi Rp211.726 per kapita per bulan pada Maret 2010. Selama periode 2009-2010, peningkatan garis kemiskinan di perkotaan lebih besar dibanding perdesaan, yakni sebesar Rp. 12.519 Perkapita/bulan di perkotaan dan Rp. 10.866 Perkapita/bulan di perdesaan. Disisi lain, persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. perlu diperhatikan juga adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2009 - Maret 2010, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,50 pada keadaan Maret 2009 menjadi 2,21 pada keadaaan Maret 2010. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,68 menjadi 0,58 pada periode yang sama (Tabel 16.2). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Tabel 3-15: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia M enurut Daerah, Maret 2009- M aret 2010 Tahun Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Maret 2009 Maret 2010 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Maret 2009 Maret 2010
Kota
Desa
Kota+Desa
1,91 1,57
3,05 2,8
2,5 2,21
0,52 0,4
0,82 0,75
0,68 0,58
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada perkotaan. Pada bulan Maret 2010, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,57 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,80. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,40 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,75. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di d aerah perdesaan lebih parah daripada daerah perkotaan. Perbandingan distribusi jumlah penduduk miskin antarwilayah (Pulau), jumlah tertinggi berada di wilayah Jawa Bali sebanyak 17,50 juta jiwa atau 56,39 persen dari total penduduk miskin. Penyebaran penduduk miskin di wilayah Jawa-Bali tersebut sebanyak 57 persen berada
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-21
KEPENDUDUKAN
di perdesaan. Sementara jika dilihat dari persentase penduduk miskin dari total penduduk (head count), persentase penduduk miskin tertinggi berada di wilayah Papua, yakni sebesar 36,29 persen, dan terendah di wilayah kalimantan sebesar 7,35 persen. Perbandingan penyebaran penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan antarwilayah, konsentrasi kemiskinan di perdesaan tertinggi berada di wilayah Papua, Maluku dan Sulawesi, yalni masing-masing sebesar 96 persen, 91 persen, dan 86 persen. Lihat Tabel 3.16. Tabel 3-16: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah, Tahun 2010. Jumlah Penduduk Miskin (000) WILAYAH Sumatera Jawa-bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua INDONESIA Sumber: BPS, Maret 2010
Kota 2.267 7.505 660 262 324 44 36 11.098
Desa 4.385 9.989 1.363 756 2.024 426 982 19.926
K+D 6.653 17.495 2.023 1.018 2.347 470 1.018 31.023
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota 11,59 9,62 23,96 4,70 6,16 6,82 5,59 9,87
Desa
K+D
14,40 16,76 21,52 9,14 17,11 25,21 45,32 16,56
13,30 12,71 22,27 7,35 13,75 20,14 36,29 13,33
Distribusi Penduduk Miskin (%) 21,44 56,39 6,52 3,28 7,57 1,51 3,28 100,00
Penyebaran jumlah dan persentase penduduk miskin antarprovinsi disajikan pada Gambar 3-33. Jumlah penduduk miskin terbesar berada di Provinsi Jawa Timur sebesar 5,53 juta jiwa, Jawa Tengah sebesar 5,37 juta jiwa, Jawa Barat sebesar 4,77 juta jiwa. Sementara berdasarkan ukuran persentase penduduk miskin, tertinggi di Provinsi Papua sebesar 36,8 persen, Papua Barat 34,88 persen, Maluku 27,74 persen.
4 3 2 1 0
Juta Jiwa
40 35 30 23.2 23.0 21.6 25 21.0 18.9 18.3 18.1 17.1 16.8 16.6 15.3 15.5 20 13.6 11.6 11.3 11.3 15 9.58.78.3 9.4 9.1 9.0 7.2 6.85.27.7 6.58.1 4.9 10 3.5 5 0
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
%
Gambar 3-27: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2010. 36.8 6 34.9 5.5 5.4 4.8 Jumlah Penduduk 5 27.7 Miskin Provinsi (Ribu Jiwa)
Persentase Penduduk Miskin Provinsi (%) Persentase Penduduk Miskin Nasional (%)
Sumber: BPS, 2010
Gambaran perkembangan persentase penduduk miskin antarprovinsi pada lingkup pulau pada tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3.27. Tingkat kemiskinan tertinggi di wilayah Sumatera terdapat di NAD (20,98%), dan terendah di Provinsi Bangka Belitung (6,51%). Di wilayah Jawa Bali, tingkat kemiskinan tertinggi di Provinsi DI.Yogyakarta (16,83%) dan terendah di Provinsi Bali (4,88%).
III-22
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III
III
KEPENDUDUKAN
Tabel 3-17: Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi Periode Maret 2009-M aret 2010
Provinsi Aceh Sumat ra Ut ara Sumat ra B arat Riau Jambi Sumat ra Sel atan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan R iau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Di Yogy akarta Jawa Ti mur Banten Bali NTB NTT Kalimantan B arat Kalimantan Ten gah Kalimantan Sel atan Kalimantan Timur Sulawesi Ut ara Sulawesi Ten gah Sulawesi Sel atan Sulawesi Ten ggara Gorontalo Sulawsi B arat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
JUMLAH PENDUDUK MISKIN (RIBU JIWA) Urban Rural U+R 2009
2010
182,2 688,0 115,8 225,6 117,3 470,0 117,6 349,3 28,8 62,6 323,2 2.531,4 2.420,9 311,5 2.148,5 348,7 92,1 557,5 109,4 94,0 35,8 68,8 77,1 79,3 54,7 124,5 26,2 22,2 43,5 38,8 8,7 8,6 28,2 11.910,5
173,4 689,0 106,2 208,9 110,8 471,2 117,2 301,7 21,9 67,1 312,2 2.350,5 2.258,9 308,4 1.873,6 318,3 83,6 552,6 107,4 83,4 33,2 65,8 79,2 76,4 54,2 119,2 22,2 17,8 33,7 36,4 7,6 9,6 26,2 11.097,8
2009
2010
710,7 811,6 313,5 301,9 132,4 697,9 206,5 1.209,0 47,9 65,6
688,5 801,9 323,8 291,3 130,8 654,5 207,7 1.178,2 45,9 62,6
2.452,2 3.304,8 274,3 3.874,1 439,3 89,7 493,4 903,7 340,8 130,1 107,2 162,2 140,3 435,2 839,1 408,2 202,4 114,7 341,2 89,3 248,3 732,2 20.619,4
2.423,2 3.110,2 268,9 3.655,8 439,9 91,3 456,7 906,71 345,3 131,0 116,2 163,8 130,4 420,8 794,3 378,5 192,1 107,6 342,3 83,4 246,7 735,4 19.925,6
PERSENTASE PENDUDUK MISKIN Urban Rural U+R
2009
2010
2009
2010
2009
2010
2009
2010
892,9 1.499,7 429,3 527,5 249,7 1.167,9 324,1 1.558,3 76,6 128,2 323,2 4.983,6 5.725,7 585,8 6.022,6 788,1 181,7 1.051,0 1.013,2 434,8 165,9 176,0 239,2 219,6 489,8 963,6 434,3 224,6 158,2 380,0 98,0 256,8 760,4 32.530,0
861,9 1.490,9 430,0 500,3 241,6 1.125,7 324,9 1.479,9 67,8 129,7 312,2 4.773,7 5.369,2 577,3 5.529,3 758,2 174,9 1.009,4 1.014,1 428,8 164,2 182,0 243,0 206,7 475,0 913,4 400,7 209,9 141,3 378,6 91,1 256,3 761,6 31.023,4
15,44 11,45 7,50 8,04 12,71 16,93 19,16 16,78 5,86 7,63 3,62 10,33 15,41 14,25 12,17 5,62 4,50 28,84 14,01 7,23 4,45 4,82 4,00 8,14 10,09 4,94 4,96 7,89 12,59 11,03 3,10 5,22 6,10 10,72
14,65 11,34 6,84 7,17 11,8 16,73 18,75 14,3 4,39 7,87 3,48 9,43 14,33 13,98 10,58 4,99 4,04 28,16 13,57 6,31 4,03 4,54 4,02 7,75 9,82 4,7 4,1 6,29 9,7 10,2 2,66 5,73 5,55 9,87
24,37 11,56 10,60 10,93 6,88 15,87 18,28 21,49 8,93 8,98
23,54 11,29 10,88 10,15 6,67 14,67 18,05 20,65 8,45 8,24
14,28 19,89 22,60 21,00 10,70 5,98 18,40 25,35 10,09 8,34 5,33 13,86 11,05 21,35 15,81 23,11 32,82 16,65 34,30 13,42 44,71 46,81 17,34
13,88 18,66 21,95 19,74 10,44 6,02 16,78 25,1 10,06 8,19 5,69 13,66 10,14 20,26 14,88 20,92 30,89 15,52 33,94 12,28 43,48 46,02 16,56
21,80 11,51 9,54 9,48 8,77 16,28 18,59 20,22 7,46 8,27 3,62 11,96 17,72 17,23 16,68 7,64 5,13 22,78 23,31 9,30 7,02 5,12 7,73 9,79 18,98 12,31 18,93 25,01 15,29 28,23 10,36 35,71 37,53 14,15
20,98 11,31 9,50 8,65 8,34 15,47 18,30 18,94 6,51 8,05 3,48 11,27 16,56 16,83 15,26 7,16 4,88 21,55 23,03 9,02 6,77 5,21 7,66 9,10 18,07 11,60 17,05 23,19 13,58 27,74 9,42 34,88 36,80 13,33
Di wilayah Nusa Tenggara, tingkat kemiskinan di Provinsi NTB dan NTT masing-masing sebesar 21,55 persen, dan 23,05 persen, dan berada di atas tingkat kemiskinan nasional. Diwilayah Kalimantan, tingkat kemiskinan antarprovinsi berada di bawah tingkat kemiskinan nasional, tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 9,02 persen dan terendah di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 5,21 persen. Di wilayah Sulawesi, tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 23,19 persen dan terendah di Provinsi Sulawesi sebesar 9,10 persen. Di wilayah Maluku, tingkat kemiskinan tertinggi di Provinsi Maluku sebesar 27,74 persen, dan terendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 9,42 persen. Di wilayah Papua, baik di Provinsi Papua mapun Papua Barat merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yakni masing-masing sebesar 36,80 persen dan 34,88 persen.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
III-23
KEPENDUDUKAN
3.6.
III
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gambar 3-28: Perkembangan IPM dan Komponen Pembentuknya Tahun 2005-2008
Indeks Pembangunan Manusia dapat menunjukkan tingkat pembangunan manusia suatu wilayah berdasarkan ukuran keadaan penduduk yang sehat, dan berumur panjang, berpendidikan dan berketerampilan, serta mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Perkembangan IPM selama 4 tahun terakhir (2005-2008) meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan sebesar 0,76 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada periode 20072008, dengan peningkatan sebesar 0,92 persen. Gambar perkembangan IPM dan variabel pembentuknya pada periode 2005-2008 dapat dilihat pada Gambar3.28.
Indeks
76.8
65
77.4
69.6 60.1
70.1 60.4 49.3
48.7
77.8
78.2 71.2 62.0
70.6 61.1
49.8
50.1
45 2005
2006
2007
2008 Tahun
Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan
Sumber: BPS Tahun 2009
Perkembangan IPM selama empat tahun terakhir pada tingkat provinsi memperlihatkan peningkatan diseluruh provinsi (Gambar 3.29). Pada tahun 2008, jumlah provinsi dengan dengan IPM di atas rata-rata nasional sebanyak 15 provinsi dan peringkat tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta sebesar 77, Sulawesi Utara sebesar 75,2, dan Riau sebesar 75,1. Sedangkan provinsi dengan IPM di bawah rata-rata nasional sebagian besar berada di wilayah Indonesia Bagian Timur yaitu di Provinsi Papua sebesar 64 dan Nusa Tenggara Barat sebesar 64,1. Peningkatan IPM yang cukup pesat, umumnya terjadi di provinsi-provinsi yang sebelumnya memiliki IPM rendah dan sebagian besar berada di Bagian Timur Indonesia. Berbeda halnya untuk provinsi-provinsi yang memiliki IPM tinggi umumnya menunjukkan peningkatan yang relatif melambat. Gambar 3-29: IPM Menurut Provinsi Pada Tahun 2005 dan 2008 IPM Provinsi Tahun 2005
80
75.1
77.0
IPM Provinsi Tahun 2008
IPM Nasional Tahun 2008
75.2
74.9
75
71.2
70
64.1
65
64.0
60
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Kep, Banbel Kepri DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
55
Sumber: BPS Tahun 2009
III-24
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
PEREKONOMIAN DAERAH
Dari sisi ekonomi makro daerah terdapat 5 (lima) indikator utama yang sering dipakai untuk mengukur tingkat kemajuan ekonomi daerah yaitu: pertumbuhan ekonomi (PDRB), inflasi, investasi (penanaman modal), Ekspor-Impor, dan Produksi. Sedangkan indikator makro lainnya yang juga sering digunakan dalam perencanaan dan analisis perekonomian daerah adalah indikator moneter, perbankan, ekspor, impor, dan kemiskinan. Pada bagian ini disajikan tinjauan secara umum dari indikator perekonomian daerah pada tingkat provinsi. Indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam periode tertentu adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah (Value Added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (netto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS). PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu yang dipilih sebagai tahun dasar. PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun, karena faktor perubahan harga telah dikontrol.
4.1.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
4.1.1. PDRB Menurut Lapangan Usaha Gambar 4-1, menunjukkan tingkat perkembangan PDB ADHB dalam kurun waktu 2004-2009. Nilai PDB migas dan tanpa migas menunjukan peningkatan setiap tahunnya, nilai PDB dengan migas tahun 2004 sebesar Rp. 2.295.826,2 miliar meningkat pada tahun 2005 sebesar Rp. 2.774.281,1 miliar dan diakhir tahun 2009 nilai PDB mencapai Rp. 5.613.441,7miliar. Seperti halnya dengan PDB tanpa migas pada tahun 2004 sebesar Rp. 2.083.077,90 meningkat pada tahun 2005 menjadi Rp. 2.458.234,3 miliar atau menjadi Rp. 2.458.234,30 miliar dan hingga akhir tahun 2009 mencapai Rp. 5.146.512,1 miliar. Gambaran perekonomian antarwilayah pulau pada tahun 2009, berdasarkan nilai PDRB dengan migas (harga konstan tahun 2000), terlihat adanya ketimpangan yang cukup tinggi antara Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera dengan wilayah pulau lainnya, hal ini diperlihatkan dari kontribusi nilai PDRB terhadap PDRB Total (Gambar 4-2). Tercatat pada tahun 2009 kontribusi PDRB wilayah pulau terhadap pembentukan PDRB Total tahun 2009, kontribusi terbesar berasal dari Wilayah Jawa-Bali sebesar 61,97 persen, selanjutnya diikuti Wilayah Sumatera sebesar 21,19 persen, Wilayah Kalimantan sebesar 8,58 persen, dan Sulawesi sebesar 5,11 persen. Sedangkan wilayah Kep. Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara kurang dari 2 persen, yaitu masing-masing sebesar 0,33 persen, 1,42 persen, dan 1,41 persen. Tingginya PDRB Wilayah Jawa-Bali, dan Sumatera disebabkan oleh
Gambar 4-1: PDB Nasional Atas Das ar Harga Berlaku Tahun 2004-2009, (dalam miliar rupi ah) 6,000,000
PDB dengan Migas
5,000,000
Rp. miliar
IV
4,000,000 3,000,000
2,000,000 1,000,000 0 2004
2005
2006
2007
2008* 2009**
Sumber: BPS 2010
Gambar 4-2: Kontribusi PDRB Pulau Terhadap Total ADHK Tahun 2009, (miliar rupiah) Nusa Tenggara, 1.41 Sulawesi, 5.11
Kalimantan , 8.58
Papua, 1.42
Maluku, 0.33
Sumatera, 21.19
JawaBali, 61.9 7 Sumber: BI 2010
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-1
PEREKONOMIAN DAERAH
perkembangan aktivitasnya yang cukup pesat dan dukungan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang aktivitas ekonomi yang cukup memadai dibandingkan dengan wilayah lain. Disamping itu, perkembangan aktivitas ekonomi untuk sektor sekunder dan tersier lebih cepat khususnya di wilayah Jawa+Bali dibandingkan diluar wilayah Jawa+Bali. Berdasarkan PDRB ADHK tahun 2009, tercatat kontribusi sektor sekunder dan tersier di wilayah Jawa+Bali sebesar 89,21 persen, Sumatera sebesar 61,57 persen, Sulawesi sebesar 63,32 persen, dan Maluku sebesar 64,64 persen. Sementara untuk wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara masingmasing sebesar 56,56 persen dan 56,25 persen, sedangkan untuk wilayah Papua kontribusi sector sekunder+tersier hanya sebesar 33,61 persen dan kontribusi terbesar dari sector primer sebesar 66,39 persen. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi di beberapa wilayah (seperti: Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua) relatif masih terbatas dibandingkan wilayah lainnya. Gambar 4-3, perbandingan nilai PDRB dengan migas tahun 2009 (harga konstan) antarprovinsi di Wilayah Sumatera, PDRB tertinggi adalah di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 11.560,95 miliar, selanjutnya diikuti oleh Riau sebesar Rp. 93.725,99 miliar, dan Sumatera Selatan sebesar Rp. 60.459,61 miliar, sementara PDRB terrendah berada di Provinsi Bengkulu dan Kepulauan Bangka Belitung masing-masing sebesar Rp. 7.651,88 miliar dan Rp. 10.232,67 miliar. Di Pulau Jawa-Bali, PDRB tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 371.233,33 miliar, selanjutnya diikuti oleh Jawa Timur sebesar Rp. 320.082,76 miliar, dan Jawa Barat Rp. 302.620,14 miliar, sementara PDRB terrendah berada di Provinsi D.I. Yogyakarta yaitu sebesar Rp. 20.052,60 miliar dan Bali sebesar Rp. 26.224,51 miliar. Perbandingan PDRB provinsi di luar Jawa-Bali dan Sumatera, dari 16 provinsi PDRB tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar Rp. 103.556,99 miliar, selanjutnya diikuti oleh Sulawesi Selatan sebesar Rp. 45.508,39 miliar, Kalimantan Selatan sebesar Rp. 28.927,71 miliar, sementara PDRB terrendah di Provinsi Maluku Utara dan Gorontalo masing-masing sebesar Rp. 2.810,47 miliar dan Rp. 3.633,77 miliar. Gambar 4-3: PDRB dengan Migas ADHK Menurut Provinsi Tahun 2009. (dalam Rp. miliar) 400,000.00
371.233,33
350,000.00
320.082,76
Rp. miliar
300,000.00 250,000.00 200,000.00 150,000.00 100,000.00
111.560,95
103.556,99
45.508,39
50,000.00
22.758,99
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Su,sel Bengkulu Lampung Kep. Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
0.00
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
Sumber: BI 2010
IV-2
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Sulawesi
Nusa Tenggara, Maluku & Papua
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Struktur Ekonomi Perekonomian ekonomi nasional tahun 2008 (Gambar 4-4) masih didominasi oleh sektor industri pengolahan, pertanian, perdagangan hotel dan restoran, pertambangan dan penggalian, dan sektor jasa. Berdasarkan data PDB harga berlaku 2008 kontribusi sektor industri pengolahan sebesar 27persen, pertanian sebesar 15 persen, sektor perdagangan hotel dan restoran sebesar 13 persen, pertambangan dan penggalian sebesar 11 persen, dan sektor jasa sebesar 10 persen. Sedangkan sektor lainnya yang memberikan kontribusi cukup besar adalah sektor kontruksi sebesar 10 persen, sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan sebesar 7 persen. Sementara kontribusi sektor pengangkutankomunikasi dan sektor listrik, gas dan air bersih relatif kecil, masing-masing sebesar 7 persen dan 1 persen. Perekonomian Wilayah Sumatera tahun 2009 (Gambar 4-5), didominasi oleh tiga sektor utama, sektor pertanian, sektor industri pengolahan pertambangan dan penggalian dengan kontribusi masingmasing sebesar 21,94 persen sektor pertanian, 16,49 persen sektor pertambangan dan penggalian, dan 18,16 persen sektor industri pengolahan. Sementara kontribusi sektor lainnya, sektor perdagangan hotel dan restoran sebesar 16 persen meningkat dibandingkan tahun 2008 (13,72 persen), jasa sebesar 9,17 persen, pengangkutan dan komunikasi sebesar 7,19 persen, dan sektor listrik gas dan air bersih sebesar 0,55 persen. Di Wilayah Jawa-Bali perekonomian tahun 2009 (Gambar 4-6) didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu: sektor industri pengolahan sebesar 28,10 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 24,44 persen, dan sektor keuangan dan persewaan sebesar 12,60 persen. Kontribusi sektor lainnya yang cukup besar adalah sektor pertanian sebesar 9,37 persen, pengangkutan dan komunikasi (7,75 %), jasa (8,98 %), bangunan (5,73 %). Sementara listrik, gas dan air bersih, dan sektor pertambangan masing-masing sebesar 1,65 persen dan 1,42 persen.
Gambar 4-4: Struktur Perekonomian Nasional ADHB Tahun 2009, (dalam pers en) Keuangan, dan Jasa Perusahaan 7%
Jasa-jasa 10%
Pertanian 15% Pertambangan dan Penggalian 11%
Pengangkutan dan Komunikasi 6% Perdagangan, Hotel dan Restoran 13% Konstruksi 10%
Industri Pengolahan 27%
Listrik, Gas dan Air Bersih 1%
Sumber: BPS 2010
Gambar 4-5: Struktur Ekonomi Wilayah Sumatera ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam pers en) Keuangan, Persewaan, 4.67
Jasa, 9.17
Pertanian, 21.94
Pengangkutan & Komunikasi: 7.19 Perdagangan, Hotel & Restoran, 16.00
Pertambangan & Penggalian, 16.49
Bangunan, 5.82
Listrik, Gas & Air Bersih, 0.55
Industri Pengolahan, 18.16
Sumber: BI 2010
Gambar 4-6: Struktur Ekonomi Wilayah Jawa-Bali ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam pers en) Keuangan, Per sewaan, 12.60
Jasa, 8.95
Pertanian, 9.37
Pertambangan & Penggalian, 1.42
Industri Pengolahan, 28.10
Pengangkutan & Komu, 7.75
Perdagangan, Hotel & Restoran, 24.44
Bangunan, 5.73
Listrik, Gas & Air Bersih, 1.65
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Sumber: BI 2010
IV-3
PEREKONOMIAN DAERAH
Struktur perekonomian Wilayah Kalimantan tahun 2009 lebih dari 60 persen tergantung pada sumberdaya alam. Hal ini terlihat dari besarnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian, pertanian, dan industri pengolahan dalam pembentukan PDRB Wilayah Kalimantan (Gambar 4-7). Kontribusi sektor pertambangan dalam pembentukan PDRB sebesar 28,16 persen, sektor industri pengolahan sebesar 21,05 persen, dan sektor pertanian sebesar 15,29 persen. Sementara peranan sektor lainnya, sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 11,84 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 7,36), sektor jasa (6,49 %), sektor bangunan (5,35 %). Sementara kontribusi sektor keuangan dan jasa perusahaan, dan sektor litrik, gas dan air bersih memiliki kontribusi kurang dari 5 persen. Perekonomian Wilayah Sulawesi tahun 2009 (Gambar 4-8) didominasi oleh sektor pertanian, sektor perdagangan hotel dan restoran, dan sektor jasa. Kontribusi sektor pertanian sebesar 30,20 persen, sektor perdagangan dan restoran sebesar 16,04 persen, dan sektor jasa sebesar 13,74 persen. Sektor lainnya yang menyumbang cukup besar adalah sektor industri pengolahan sebesar 9,21 persen, pengangkutan dan komunikasi (9,35 %), bangunan (7,61 %), sementara sektor kontribusi terkecil berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 0,93 persen. Perekonomian Wilayah Nusa Tenggara tahun 2009 (Gambar 4-9) didominasi oleh sektor pertanian, sektor perdagangan hotel dan restoran, dan sektor jasa. Kontribusi sektor pertanian sebesar 30,42 persen, sektor jasa sebesar 16,42 persen, dan sektor perdagangan dan restoran sebesar 15,87 persen. Sektor lainnya yang menyumbang cukup besar adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 13,32 persen, bangunan (7,26 %), pengakutan dan komunikasi (7,76 %), sementara kontribusi dari sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, dan sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan masing-masing sebesar 3,76 persen, 0,39 persen, dan 4,79 persen.
IV-4
Gambar 4-7: Struktur Ekonomi Wilayah Kalimantan ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam persen) Keuangan, Pe rsewaan, 4.04
Jasa, 6.49 Pertanian, 15.29
Pengangkuta n & Komu, 7.36 Perdagangan , Hotel & Restoran, 11.84
Pertambanga n& Penggalian, 28.16
Bangunan, 5.35 Listrik, Gas & Air Bersih, 0.42
Industri Pengolahan, 21.05
Gambar 4-8: Struktur Ekonomi Wilayah Sulawesi ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam pers en) Sumber: BI 2010
Jasa, 13.74 Keuangan, Pe rsewaan, 6.44
Pertanian, 30.20
Pengangkuta n & Komu, 9.35
Perdagangan , Hotel & Restoran, 16.04
Pertambanga n& Penggalian, 6.48
Bangunan, 7.61
Listrik, Gas & Air Bersih, 0.93
Industri Pengolahan 9.21
Gambar 4-9: Struktur Ekonomi Wilayah Nus a Tenggara ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam persen) Jasa, 16.42 Pertanian, 30.42
Keuangan, Pe rsewaan, 4.79 Pengangkuta n & Komu, 7.76
Perdagangan , Hotel & Restoran, 15.87
Sumber: BI 2010
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Bangunan, 7.26
Listrik, Gas & Air Bersih, 0.39
Pertambanga n& Penggalian, 13.32 Industri Pengolahan, 3.76
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Perekonomian Wilayah Maluku tahun 2009 (Gambar 4-10) didominasi oleh sektor pertanian, sektor perdagangan hotel dan restoran, dan sektor jasa. Kontribusi sektor pertanian sebesar 33,26 persen, sektor perdagangan dan restoran sebesar 25,85 persen, dan sektor jasa sebesar 14,09 persen. Sektor lainnya yang menyumbang cukup besar adalah sektor pengakutan dan komunikasi (9,79 %), dan industri pengolahan (8,19 %), bangunan (7,26 %). Sementara kontribusi dari sektor, listrik, gas dan air bersih, sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, bangunan, dan sektor pertambangan dan penggalian, masingmasing sebesar 0,47 persen, 4,72 persen, 1,53 persen, dan 2,10 persen. Perekonomian Wilayah Papua tahun 2009 (Gambar 4-11) didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi sebesar 54,11 persen dan sektor pertanian sebesar 12,28 persen. Sementara sektor lainnya yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian wilayah Papua adalah sektor pengakutan dan komunikasi (7,11 %), sektor bangunan (7,94 %), sektor perdagangan hotel dan restoran, (7,05 %), dan sektor jasa (5,62 %). Sedangkan kontribusi dari industri pengolahan, listrikgas-air bersih, dan sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan cukup rendah yaitu masing-masing sebesar 2,37 persen, 0,22 persen, dan 3,30 persen.
Gambar 4-10: Struktur Ekonomi Wilayah Maluku ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam pers en) Jasa, 14.09 Keuangan, P ersewaan, 4.72
Pertanian, 33.26
Pengangkuta n & Komu, 9.79
Perdagangan , Hotel & Restoran, 25.85
Pertambang an & Penggalian, 2.10 Industri Pengolahan, 8.19 Listrik, Gas & Air Bersih, 0.47
Bangunan, 1.53
Sumber: BI 2010
Gambar 4-11: Struktur Ekonomi Wilayah Papua ADHK 2000 Tahun 2009, (dalam pers en) Keuangan, P ersewaan, Pengangkuta 3.30 n & Komu, 7.11
Jasa, 5.62
Pertanian, 12.28
Perdagangan , Hotel & Restoran, 7.05 Bangunan, 7.94 Listrik, Gas & Air Bersih, 0.22 Industri Pengolahan, 2.37
Pertambang an & Penggalian, 54.11
Sumber: BI 2010
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-5
PEREKONOMIAN DAERAH
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan (%)
Gambar 4-12: Perkembangan ekonomi Indonesia selama Pertumbuhan Ekonomi Nasional (ADHK 2000) periode 2005-2009 mengalami pertumbuhan Tahun 2004 2009. (dalam persen) ekonom dengan migas masing-masing sebesar 6,11 persen, 6,87 persen (2007), menurun pada tahun 7.00 2008 dan 2009 masing-masing menjadi sebesar 6,87 6,52 persen dan 4,93 persen. Seperti halnya 6,57 6.50 6,52 dengan pertumbuhan ekonomi tanpa migas 6,28 6,11 6.00 6,06 menurun cukup drastid pada tahun 2008 dan 2009 5,97 dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 6,28 5,69 5.50 5,50 persen dan 4,55 persen. (disajikan pada Gambar 412). Pada tahun 2007 membaiknya pertumbuhan 5.00 5,03 4,93 ekonomi didukung oleh peningkatan pertumbuhan 4.50 yang terjadi hampir disemua sektor. Sektor yang 4,55 PDB dengan Migas menjadi kontributor tertinggi terhadap 4.00 pertumbuhan ekonomi nasional adalah sektor 2004 2005 2006 2007 2008* 2009** pengangkutan dan komunikasi sebesar 14,04 persen, sementara kontribusi sektor lainnya yang Sumber: BPS 2010 cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sector kontruksi sebesar 8,53 persen, sector perdagangan, hotel dan restoran sebesar 8,93 persen, dan sector keuangan, jasa dan perusahaan sebesar 7,99 persen, dan sector jasa sebesar 6,59 persen.
Krisis ekonomi global yang terjadi mulai akhir tahun 2008 memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional, tercatat pertumbuhan ekonomi 2008 hingga akhir 2009 menurun dibandingkan tahun 2007, yaitu pada tahun 2008 sebesar 6,06 persen dan menurun cukup tajam pada tahun 2009 menjadi 4,55 persen. Pada tahun 2008 tercatat pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, dan sector jasa menurun dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya, sementara sektor yang berkontribusi tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2008 adalah pengangkutan dan komunikasi dengan pertumbuhan sebesar 16,57 persen dan sector listrik, gas dan air bersih sebesar 10,92 persen. Sementara pada tahun 2009 tercatat pertumbuhan ekonomi dari sembilan sektor hampir seluruh sector menurun terhadap pertumbuhan sebelumya, kecuali sector pertambangan dan penggalian, listrik gas dan air bersih, dan sector jasa-jasa meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor dengan kontribusi tertingg terhadap pertumbuhan ekonomi nasional adalah sector pengankutan dan komunikasi (15,53 %) dan sektor listrik-gas-air bersih (13,78 %). Tabel 4-1: Pertumbuhan Ekonomi Nasional ADHK 2000, Menurut Sektor Tahun 2005-2009. (dalam persen) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto Tanpa Migas
2005 2.72 3.20 4.60 6.30 7.54 8.30 12.76 6.70 5.16 5.69 6.57
2006 3.36 1.70 4.59 5.76 8.34 6.42 14.23 5.47 6.16 5.50 6.11
2007 3.47 1.93 4.67 10.33 8.53 8.93 14.04 7.99 6.44 6.35 6.95
Sumber: BPS 2010
IV-6
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2008* 4.83 0.68 3.66 10.92 7.51 6.87 16.57 8.24 6.23 6.01 6.46
2009** 4.13 4.37 2.11 13.78 7.05 1.14 15.53 5.05 6.40 4.55 4.93
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Gambar 4-13: Pertumbuhan Ekonomi ADHK 2000 Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Sumatera. (dalam persen) 10.00 8.00
NAD
%
6.00 4.00
Sumut
2.00
Sumbar
0.00 (2.00)
Riau 2005
2006
2007*) 2008**) 2009**)
(4.00)
Jambi
(6.00)
Sumsel
(8.00) (10.00) (12.00)
Gambar 4-14: Pertumbuhan Ekonomi ADHK 2000 Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Jawa-Bali. (dalam persen)
7.00 6.50 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00
%
Gambar 4-13, menunjukkan perbandingan tingkat pertumbuhan ekonomi antarprovinsi di Pulau Sumatera. Pertumbuhan ekonomi provinsi di Wilayah Sumatera selama periode 2005-2009, pertumbuhan ekonomi provinsi diwilayah Sumatera memiliki angka pertumbuhan positif dari tahun 2005-2009, kecuali Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki angka pertumbuhan negatif dari tahun 2005-2009., Pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun 2005 terdapat di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 6,57 persen dan Bengkulu sebesar 5,82 persen, sementara pertumbuhan ekonomi terrendah terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 3,28 persen. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi setiap provinsi rata-rata lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tercatat pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun 2009 terdapat di Provinsi Jambi sebesar 6,37 persen dan pertumbuhan ekonomi terrendah di Provinsi Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Bengkulu Lampung
DKI Jabar
Jaten g DIY Jatim
Pertumbuhan ekonomi antarprovinsi Bante di Wilayah Jawa-Bali selama periode 2005n 2005 2006 2007*) 2008**)2009**) 2009, pertumbuhan ekonomi setiap provinsi rata-rata mengalami peningkatan, namun pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Gambar 4-15: setiap provinsi rata-rata lebih rendah Pertumbuhan Ekonomi Menurut ADHK 2000 Provinsi dibandingkan pertumbuhan6,01 persen dan Tahun 2005-2009 di Wilayah Kalimantan. (dalam persen) Banten sebesar 5,88 persen, sementara 7.00 pertumbuhan ekonomi terrendah di Provinsi 6.00 DI Yogyakarta sebesar 4,73 persen. Kalbar 5.00 Sedangkan pada tahun 2009, pertumbuhan Kalten 4.00 ekonomi tertinggi terdapat di Provinsi Bali g 3.00 sebesar 5,33 persen dan terrendah di Kalsel 2.00 Provinsi Jawa Barat sebesar 4,29 persen. 1.00 Gambar 4-15, menunjukkan perkembangan ekonomi antarprovinsi di Wilayah 2005 2006 2007*) 2008**)2009**) Kalimantan selama periode tahun 20052009, pertumbuhan ekonomi setiap provinsi menunjukkan angka pertumbuhan positif dan rata-rata meningkat, kecuali pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi setiap provinsi menurun dibandingkansebesar 5,90 persen dan terrendah di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 3,17 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi tahun 2009 tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 5,48 persen dan terrendah di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 2,32 persen. %
IV
Gambar 4-16, menunjukkan perkembangan ekonomi antarprovinsi di Wilayah Sulawesi selama periode 2005-2009, setiap provinsi mengalami peningkatan dengan angka pertumbuhan positif. Pertumbuhan ekonomi tahun 2005 tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 7,57 peren dan terrendah di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 4,90 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi setiap provinsi tahun 2009 rata-rata memiliki angka pertumbuhan lebih
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-7
PEREKONOMIAN DAERAH
rendah dibandingkan tahun sebelumnya, kecuali untuk provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara, tercatat pertumbuhan ekonomi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 7,85 persen dan terrendah di Provinsi Sulawesi barat sebesar 6,03 persen. %
9.00 8.50 8.00 7.50 7.00 6.50 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00
Sulut Sulteng
Sulsel Sultra
2005
2006
2007*) 2008**) 2009**)
Gambar 4-17: Pertumbuhan Ekonomi ADHK 2000 Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua (dalam persen)
40.00
NTB
30.00
NTT
20.00
Maluk u Malut
10.00
%
Tingkat pertumbuhan ekonomi provinsi di Wilayah Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua selama periode 2005-2009 (Gambar 4-17), menunjukkan angka pertumbuhan setiap provinsi dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Namun rata-rata memiliki angka pertumbuhan positif, kecuali Provinsi Papua memiliki angka pertumbuhan negatif pada tahun 2006 dan 2008. Seperti terlihat pada Gambar 4-17, pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi tertinggi terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 6,80 persen dan terrendah di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 1,71 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi tahun 2009 setiap provinsi di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki angka pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya berbeda dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera, Jawa+Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 8,99 persen dan terrendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 6,02 persen.
Gambar 4-16: Pertumbuhan Ekonomi ADHK 2000 Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Sulawesi. (dalam persen)
0.00 (10.00)
2005
2006
2007*) 2008**)2009**)
Papua Barat Papau
(20.00)
PDRB Perkapita Tabel 4-2: PDRB perkapita rata-rata antarpulau PDRB Per Kapita dengan mi gas ADHK Tahun 2000 menunjukkan adanya perbedaan yang cukup Menurut Wilayah Tahun 2005-2009. tinggi antara Wilayah pulau (Tabel 4-2). (Rp. Juta/jiwa) Rata-rata PDRB perkapita (ADHK tahun 2005 2006 2007* 2008** 2009** 2000) tahun 2009 untuk Wilayah Sumatera WILAYAH sebesar Rp. 8,87 juta per jiwa meningkat dari Sumatera 9,21 9,42 9,57 8.78 8.87 tahun 2008 (Rp. 8,78 juta per jiwa), Jawa- Jawa-Bali 9,83 10,25 10,75 9.01 9.35 Bali sebesar Rp. 9,35 juta per jiwa meningkat Kalimantan 13,30 13,47 13,50 13.63 13.65 dari tahun 2008 (Rp. 9,01 juta per jiwa), 4,24 4,62 4,70 5.51 6.33 Kalimantan sebesar Rp. 13,65 juta per jiwa, Sulawesi 5,94 6,05 6,26 3.17 3.24 Papua sebesar Rp. 10,39 juta per jiwa, dan Nusa Tenggara Sulawesi sebesar Rp. 6,24 juta per jiwa. Maluku 2,57 2,64 2,72 2.82 2.94 Sementara Wilayah Kepulauan Maluku, dan Papua 10,05 8,69 8,90 9.07 10.39 Nusa Tenggara memiliki PDRB perkapita Sumber: BPS 2010 paling rendah yaitu masing-masing sebesar Rp. 2,94 juta per jiwa dan Rp. 3,24 juta per jiwa.
IV-8
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan PDRB perkapita dengan migas (harga konstan tahun 2000) menurut provinsi tahun 2009. Gambar 4-18, PDRB per kapita antarprovinsi menunjukan ketimpangan yang cukup tinggi antarprovinsi, ketimpangan ini disebabkan adanya beberapa provinsi dengan PDRB per kapita cukup tinggi, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Riau. PDRB per kapita DKI Jakarta mencapai sebesar Rp. 38,65 juta/jiwa dengan, selanjutnya diikuti Kalimantan Timur sebesar Rp. 33,337 juta/jiwa, Kepulauan Riau sebesar Rp. 25,47 juta/jiwa, dan Riau sebesar Rp. 17,55 juta/jiwa. Sementara PDRB 2009 PDRB per kapita terendah berada di Provinsi Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Utara dengan PDRB per kapita masing-masing sebesar Rp. 2,59 juta/jiwa, Rp. 2,51 juta/jiwa, dan Rp. 2,76 juta/jiwa. Gambar 4-18: PDRB Perkapita dengan Migas ADHK Tahun 2000 Menurut Provinsi Tahun 2009. ( Rp. juta per jiwa) 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
38,65 33,33. 25,47 17,55 6,98
9,19 2,59
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Kep. Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
PDRB Perkapita (Rp. juta/jiwa)
IV
Sumatera
Jawa+Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara, Maluku & Papua
S umber: BPS 2010
4.1.2. PDRB Menurut Penggunaan
Gambar 4-19
Dilihat dari sisi pengeluaran (Gambar 4- Struktur PDB Menurut Penggunaan ADHK Tahun 19), perekonomian nasional tahun 2008 masih 2000, Tahun 2008. (dalam persen) dominan untuk pengeluaran rumah tangga, ekspor barang dan jasa, dan impor barang dan jasa dengan peranan masing-masing sebesar 57,21 persen (Rp. Impor: 1.191.191 juta), 49,56 persen (Rp. 1.031.866 juta), 40 % Konsumsi dan 40 persen (Rp. 832.820 juta). Dengan Rumahtang ga: 57,21 % pertumbuhan ketiga komponen tersebut selama tiga tahun terakhir meningkat, pertumbuhan Ekspor : konsumsi rumah tangga tahun 2008 sebesar 5,34 49,56 % persen, ekspor dan impor masing-masing sebesar Konsumsi. PMTB: Pemerintah 23.69 % 9,49 persen dan 10,03 persen. Perbandingan : 8.,3 % antara PDRB menurut penggunaan dengan PDRB Perubahan Diskrepansi lapangan usaha pada tahun 2008 memiliki selisih Inventori: Statistik 1): sebesar Rp. 3.865 juta dan pengeluaran untuk 0,19 % 1,22 % impor barang dan jasa sebesar Rp. 832.820 juta. Sumber: BPS 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-9
PEREKONOMIAN DAERAH
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 -10.00 -20.00 -30.00
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Konsumsi Rumahtangga
3.49
3.84
3.89
4.97
3.95
3.17
5.01
5.34
Konsumsi Pemerintah
7.56
12.99
10.03
3.99
6.64
9.61
3.89
10.43
PMTB
6.49
4.69
0.60
14.68
-20.01
42.23
9.39
11.69
Ekspor Barang dan Jasa
0.64
-1.22
5.89
13.53
5.78
20.60
8.54
9.49
Impor Barang dan Jasa
4.18
-4.25
1.56
26.65
17.77
8.58
8.97
10.03
300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 -50.00 -100.00 -150.00
Perubahan Inventori (%)
komponen lainnya (%)
Gambar 4-20, menggambarkan perkembangan komponen PDRB menurut penggunaan. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dari tahun 2001-2008 menunjukan perkembangan yang baik dan meningkat setiap tahunnya, namun pada tahun 2005 dan 2006 menurun. Pertumbuhan terbesar konsumsi rumah tangga terjadi tahun 2007 dan 2008 tumbuh masing-masing sebesar 5,01 persen dan 5,34 persen. Sedangkan perkembangan komponen pengeluaran lainnya dari tahun 2001-2008, masing-masing komponen menunjukan angka pertumbuhan yang cukup fluktuatif setiap tahunnya. Pertumbuhan terbesar untuk pengeluaran konsumsi pemerintah terjadi pada tahun 2002 sebesar 12,99 persen, sementara pertumbuhan terkecil terjadi pada tahun 2004 dan 2007 masing-masing sebesar 3,99 persen dan 3,89 persen. Perkembangan PMTB tahun 2001-2008 menurun tajam hingga mencapai angga pertumbuhan negative (-20,01 %) pada tahun 2005, namun pada tahun 2006 meningkat cukup tajam dengan pertumbuhan terbesar mencapai 42,23 persen. Perkembangan Ekspor barang dan jasa tumbuh negatif tahun 2002 (-1,22 %), sementara pertumbuhan terbesar terjadi tahun 2006 dengan pertumbuhan sebesar 20,6 persen. Gambar 4-20: Pertumbuhan PDRB Penggunaan ADHK Tahun 2000 Menurut Komponen Pengeluaran Tahun 2001 s.d. 2008. (dalam persen)
Sumber: BPS 2009
Struktur Perekonomian wilayah pulau menurut PDRB penggunaan, perekonomian setiap wilayah tahun 2008 masih didominasi oleh pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga, ekspor barang dan jasa, dan Pembentukan Modal Tetap Bruto. Peranan konsumsi rumah tangga di Wilayah Timur Indonesia rata-rata lebih tinggi dibandingkan Wilayah Barat Indonesi, di wilayah Maluku kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 75,12 persen, Papua sebesar 69,11 persen, dan Nusa Tenggara sebesar 67,58 persen, kecuali untuk Wilayah Kalimantan. Pembentukan Modal Tetap Bruto terbesar di Wilayah Jawa-Bali sebesar 29,9 persen dan Papua sebesar 26,59 persen, sementara untuk peranan ekspor terbesar di wilayah Kalimantan dan Sumatera masingmasing sebesar 64. Persen dan 45,9 persen. Distribusi PDRB penggunaan, dari Tabel 4-3 terlihat persentase pengeluaran rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, ekspor dan impor persentase terbesar di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera (KBI). Sementara untuk Wilayah Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Nustra-Maluku-Papua (KTI) lebih rendah dibandingkan KBI. Persentase pengeluaran rumah tangga di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera mencapai 87,65 persen dari total pengeluaran rumah tangga, konsumsi pemerintah mencapai 76,01 persen, PMTB sebesar 87,19 persen, perubahan stok mencapai 143 persen dan di Wilayah Nustra-Maluku-Papua sebesar 43,34 persen, ekspor sebesar 73,92 persen dan Kalimantan memiliki persentase ekspor terbesar di KBI, dan impor di KBI sebesar 88,99 persen.
IV-10
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Tabel 4-3: Distribusi Persentase PDRB ADHB Tahun 2008 Menurut Wilayah dan Penggunaan. (dalam persen) Komponen Pengeluaran (%) KONSUMSI RUMAH TANGGA 20,38 67,27 4,48 4,43 3,44 87,65 12,35
WILAYAH Sumatera Jawa & Bali Kalimantan Sulawesi Nustra, Maluku & Papua KBI KTI
KONSUMSI PEMERINTAH
PMTB
PERUBAHAN STOK
EKSPOR
IMPOR
23,72 52,29 8,71 8,60 6,68 76,01 23,99
18,62 68,58 6,37 3,37 3,07 87,19 12,81
-59,38 202,72 -39,06 8,59 -12,87 143,34 -43,34
29,53 44,39 20,57 2,71 2,80 73,92 26,08
15,30 73,69 8,28 0,77 1,96 88,99 11,01
NET EKSPOR 49,27 3,73 37,62 5,39 3,98 53,00 47,00
Sumber: BPS 2009
Perkembangan konsumsi rumah tangga tahun 2008 setiap provinsi rata-rata meningkat dari tahun 2006 (Gambar 4.21). Tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk provinsi di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera relatif lebih tinggi dibandingkan di terhadap provinsi di luar wilayah Jawa-Bali dan Sumatera, kecuali untuk provinsi Sulawesi Selatan, Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga terbesar, yaitu Jawa Timur sebesar Rp. 214,64 triliun atau meningkat sebesar Rp. 21,59 triliun dari tahun 2006, Jawa Barat sebesar Rp. 187,39 triliun meningkat sebesar Rp. 20,22 triliun dari tahun 2006 , dan DKI Jakarata sebesar Rp. 186,22 triliun meningkat sebesar Rp. 26,24 triliun dari tahun 2006, sementara untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga terrendah di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dilihat dari pertumbuhannya, angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 33,9 persen, dan angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga terrendah di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 5,9 persen dan 5,7 persen.
250.00
40.0 29,1 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
33,9
200.00 150.00 100.00
18,8
17,1
18,6
11,4
50.00
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
0.00
%
Gambar 4-21: Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga ADHK tahun 2000 Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008.
Rp. Triliun
IV
Sumatera
Jawa-Bali
Konsumsi RT 2006
Kalimantan
Konsumsi RT 2008
Sulawesi
NustraMalukuPapua
Pertumbuhan 2006-2008
Sumber: BPS Tahun 2009
Perkembangan konsumsi pemerintah tahun 2008 setiap provinsi rata-rata meningkat dari tahun 2006, kecuali di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menurun sebesar 3,34 persen (Gambar 4-22). Tingkat pengeluaran konsumsi rumah pemerintah terbesar, yaitu Jawa Tengah sebesar Rp. 22,30 triliun atau meningkat sebesar Rp. 4,27 triliun dari tahun 2006, Jawa Timur sebesar Rp. 20,82 triliun meningkat sebesar Rp. 3,58 triliun dari tahun 2006, Jawa Barat sebesar Rp. 18.67 triliun, dan DKI Jakarta sebesar Rp. 17,17 triliun, sementara pengeluaran konsumsi rumah tangga terrendah di Provinsi Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Dilihat dari
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-11
PEREKONOMIAN DAERAH
pertumbuhannya, angka pertumbuhan konsumsi pemerintah tertinggi terdapat di Provinsi Papua sebesar 52,46 persen, Gorontalo sebesar 45,77 persen, dan Sulawesi Barat sebesar 30,65 persen, sementara angka pertumbuhan konsumsi pemerintah terrendah di Provinsi Sulawesi Utara dan Jawa Barat masing-masing sebesar 4,26 persen dan 6,94 persen.
25.00 Rp Triliun
52,46
45,77
20.00 29,30
15.00
23,71
22,45
10.00 5.00
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
0.00
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 -10.00
%
Gambar 4-22: Pengeluaran Konsumsi Pemerintah ADHK Tahun 2000 Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008. (dalam triliun rupiah)
Sumatera
Konsumsi Pemerintah 2006
Jawa-Bali
Kalimantan
Konsumsi Pemerintah2008
Sulawesi
NustraMalukuPapua
Pertumbuhan 2006-2008
Sumber: BPS Tahun 2009
Perkembangan PMTB setiap provinsi selama tiga tahun terakhir rata-rata meningkat dari tahun 2006 (Gambar 4-23). Nilai PMTB terbesar tahun 2008, yaitu DKI Jakarata sebesar Rp. 121,87 triliun atau meningkat sebesar Rp. 16,61 triliun dari tahun 2006, dan Jawa Timur sebesar Rp. 54,70 triliun atau meningkat sebesar Rp. 4,39 triliun dari tahun 2006, sementara untuk nilai PMTB terkecil di Provinsi Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Dilihat dari pertumbuhannya, angka pertumbuhan nilai PMTB tertinggi terdapat di Provinsi Bali sebesar 94,49 persen, Sulawesi Barat sebesar 80,21 persen, dan Kepulauan Riau sebesar 64,31 persen. Sementara angka pertumbuhan PMTB terrendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam, masing-masing sebesar 5,58 persen, 5,42 persen, dan 6,93 persen.
94,49
80,21
5,88
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
%
140 120 100 80 60 40 20 0
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
Rp. Triliun
Gambar 4-23: Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) ADHK Tahun 2000 Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008. (dalam triliun rupiah)
Sumatera PMTB 2006
Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi NustraMalukuPapua PMTB 2008 Pertumbuhan 2006-2008
Sumber: BPS Tahun 2009
Perkembangan Ekspor barang-barang dan jasa setiap provinsi selama tiga tahun terakhir rata-rata meningkat dari tahun 2006 (Gambar 4-24), kecuali di Provinsi Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Banten, Sulawesi Utara, NTB, NTT, Papua, dan Papua Barat menurun. Nilai ekdpor
IV-12
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
barang dan jasa terbesar tahun 2008, yaitu DKI Jakarta sebesar Rp. 148,16 triliun atau meningkat sebesar Rp. 6,25triliun dari tahun 2006, dan Kalimantan Timur sebesar Rp. 68,81 triliun atau meningkat sebesar Rp. 2,1 trliun dari tahun 2006, sementara untuk nilai Ekspor barang dan jasa terkecil di Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur. Namun dilihat dari pertumbuhannya, pertumbuhan ekspor tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 65,45 persen dan Kalimantan Tengah sebesar 60.95 persen, sementara angka pertumbuhan ekspor terrendah di Provinsi Kalimantan Timur dan Kepulauan Bangka Belitung.
60,95
65,45
40,87 16,99
16,37
80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 -20.00 -40.00 -60.00 -80.00
%
160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
Rp. triliun
Gambar 4-24: Nilai Ekspor Barang dan Jasa ADHK Tahun 2000) Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008. (dalam triliun rupiah)
Sumatera Ekspor 2006
Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Nustra MalukuPapua Ekspor 2008 Pertumbuhan 2006-2008
Sumber: BPS Tahun 2009
Perkembangan impor barang-barang dan jasa setiap provinsi selama tiga tahun terakhir rata-rata meningkat dari tahun 2006 (Gambar 4-25), kecuali untuk Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, DIY, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua menurun. Nilai impor barang dan jasa terbesar tahun 2008, yaitu DKI Jakarta sebesar Rp. 122,24 triliun atau meningkat sebesar Rp. 20,01 triliun dari tahun 2006, dan Jawa Timur sebesar Rp. 62,78 triliun atau meningkat sebesar Rp. 4,19 triliun dari tahun 2006. Dilihat dari pertumbuhannya, angka pertumbuhan impor barang dan jasa tertinggi terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga mencapai 608,2 persen dan 286,61 persen di Provinsi Gorontalo.
608,20
286,61
28,57
13,57
700 600 500 400 300 200 100 0 -100 -200
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar NTB NTT Maluku Malut Papua Barat Papua
140 120 100 80 60 40 20 0
%
Gambar 4-25. Nilai Impor Barang dan jasa (Harga konstan tahun 2000) Menurut Provinsi Tahun 2006 dan 2008. (dalam triliun rupiah)
Rp. Triliun
IV
Impor 2006 Sumatera
Impor 2008 Pertumbuhan 2006-2008 Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Nustra MalukuPapua
Sumber: BPS Tahun 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-13
PEREKONOMIAN DAERAH
4.2.
Penanaman Modal dan Investasi
4.2.1. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Penanaman modal atau investasi dalam suatu perekonomian sangat diperlukan baik untuk menunjang pertumbuhan ekonomi maupun perluasan tenaga kerja. Oleh sebab itu pemerintah melakukan upaya secara intensif untuk menarik para investor dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia antara lain dengan mempertahankan stabilitas nasional. Kebijakan tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ditetapkan pemerintah melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1968, kemudian disempurnakan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1970. Sedangkan kebijakan tentang PMA yang disetujui oleh pemerintah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang PMA, kemudian disempurnakan dengan berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 1970.
Pertumbuhan (%)
PMDN (Rp. miliar)
Penanaman Modal Dalam Negeri Gambar 4-26: yang telah disetujui pemerintah terbesar Perkembangan Realisasi PMDN Tahun 2004-2008. (dalam miliar rupiah) pada tahun 2009 tercatat sebanyak 248 proyek dengan total nilai investasi 37.799,54 sebesar 37.799,54 miliar rupiah dan 40000 100 34.878,7 tahun 2006 sebesar 20.648,8 miliar 85,63 80 rupiah dengan jumlah proyek sebanyak 68,91 30000 60 159 proyek. Dilihat perkembangannya 40 selama kurun waktu 2006-2009, nilai 20.648,8 20363.22 investasi PMDN menunjukan angka 20000 20 fluktuatif yang cukup tinggi, seperti 0 terlihat pada Gambar 4-26 10000 -20 perkembangan investasi pada tahun -40 -41,62 2007 meningkat cukup tajam dari tahun 0 -60 2006 yaitu tumbuh sebesar 68,91 2006 BKPM2007 2008 2009 persen, namun pada tahun 2008 Sumber: publikasi Tahun 2009 pertumbuhan investasi menurun drastis PMDN Pertumbuhan dengan angka pertumbuhan sebesar 41,62 persen. Namun perkembangan investasi PMDN pada tahun 2009 kembali meningkat dengan pertumbuhan sebesar 85,63 persen atau dengan nilai investasi sebesar 37.799,54 miliar rupiah. Pada Gambar 4-27 menunjukan bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang disetujui pemerintah selama periode 2006-2009, investasi terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Pada tahun 2006, sebesar 63,30 persen investasi PMDN berada di wilayah Jawa-Bali, 21,82 persen di wilayah Sumatera, dan 12,28 persen di wilayah Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah lainnya khususnya yang berada di Kawasan Timur Indonesia tingkat investasi PMDN cukup rendah, yaitu di wilayah Sulawesi sebesar 0,33 persen, wilayah Papua sebesar 1,95 persen, dan Nusa Tengara sebesar 0,31 persen. Investasi PMDN tahun 20098, PMDN untuk Pulau Jawa-Bali masih sebesar 63,30 persen, wilayah Sumatera menurun menjadi 20,69 persen daibandingkan tahun 2006, dan wilayah Kalimantan menurun menjadi sebesar 7,76 persen. Sementara investasi PMDN wilayah Sulawesi meningkat menjadi 3,14 persen, dan wilayah Papua menurun menjadi 0,11 persen
IV-14
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Gambar 4-27: Distribusi Persentase Realisasi PMDN Menurut Pulau Besar Tahun 2006 dan 2009. (dalam persen) Tahun 2006 Tahun 2009
0.33
0.31
3.14
1.95 Sumatera
12.28
21.82
0.11 Sumatera
7.76 20.69
Jawa+Bali
Jawa+Bali
Kalimantan
Kalimantan
Sulawesi
Sulawesi
Nusa Tenggara
63.30
Nusa Tenggara
68.30
Maluku
Maluku
Papua
Papua
Sumber: Publikasi BKPM, Tahun 2009
Perkembangan realisasi PMDN antarprovinsi tahun 2009, nilai investasi PMDN terbesar di Investasi terbesar di provinsi DKI Jakarta sebesar 9.693,8 miliar rupiah dengan 11 proyek, selanjutnya diikuti provinsi Jawa Barat sebesar 4.724,8 miliar rupiah, Jawa Timur sebesar 4.290,7 miliar rupiah, Banten sebesar 4.381,7 miliar rupiah, Riau sebesar 3.386,6 miliar rupiah, dan Sumatera Utara sebesar 2.060,8 miliar rupiah. Sementara nilai investasi paling rendah di Provinsi Papua dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 41,04 miliar rupiah dan 49,5 miliar rupiah. Hal ini memperlihatkan bahwa selain terdapat minat penanaman modal dalam negeri untuk melakukan rencana investasi baru, perusahaan PMDN yang sudah beroperasi di Indonesia masih dapat berkembang dan memperluas usahanya. Kondisi tersebut juga memperlihatkan bahwa ketimpangan dalam distribusi investasi PMDN cukup tinggi terutama untuk provinsiprovinsi di Kawasan Timur Indonesia, khususnya Kepulauan Maluku dan Pulau Papua. 4.2.2. Penanaman Modal Asing (PMA) Gambar 4-28: Perkembangan Realisasi PMA Tahun 2006-2009 20000
80
72,6
60
14.871,4 43.8
15000
40 10.815,2
10.341,4
10000
20 5.991,7
0
5000
Prtumbuhan (%)
Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) yang disetujui oleh pemerintah periode 2006-2009 juga mengalami fluktuasi. Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Selain dengan memobilisasikan dana dari dalam negeri yang berasal dari PMDN, dana investasi dari luar negeri di luar pinjaman pemerintah juga terus diupayakan. Penanaman Modal Asing yang telah disetujui pemerintah terbesar pada tahun 2009 tercatat sebanyak 1.221 proyek dengan total nilai investasi PMA sebesar 10.815,2 juta US$. Sementara dilihat perkembangannya selama kurun waktu 20062009 cukup fluktutif, pertumbuhan investasi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu tumbuh sebesar 72,6 persen, sementara pada
PMA (Juta US$)
IV
-20 -27,3
0 2006 2007 Nilai PMA
-40
2008 2009 Pertumbuhan
Sumber: publikasi BKPM Tahun 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-15
PEREKONOMIAN DAERAH
tahun 2008 tumbuh sebesar 43,8 persen atau menjadi 14.871,4 juta US$. Perkembangan investasi pada tahun 2009 menurun cukup tajam dibandingkan yaitu dengan angka pertumbuhan -27,3 persen terhadap tahun 2008 atau menjadi sebesar 10.815,2 juta US$ (Gambar 4-28). Kondisi saat ini menunjukkan kecenderungan investor asing mengalihkan berbagai investasinya dari negara maju ke negara-negara berkembang yang mempunyai peluang usaha dan pertumbuhan ekonominya sedang meningkat. Ini merupakan sebuah peluang bagi pemerintah Indonesia dalam upaya mencari dan menarik investor asing menanamkan kembali modalnya di Indonesia. Salah satu faktor yang menjadikan daya tarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah masih cukup tingginya potensi keuntungan investasi di Indonesia, hal ini terlihat dari selisih suku bunga dalam dan luar negeri yang masih cukup tinggi. Dan juga faktor resiko investasi di Indonesia yang mulai membaik yang di dorong oleh konsistensi dan koordinasi antara kebijakan fiskal (sektor riil) dan kebijakan moneter. Perkembangan aliran investasi asing ke pasar modal Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan pergerakan yang fluktuatif. Hal ini disebabkan karena belum adanya pergerakan yang signifikan dalam fundamental perekonomian di dalam negeri. Belum berkembangnya investasi asing yang masuk secara signifikan disebabkan karena investor asing masih sangat berhati-hati dan selektif dalam melakukan investasi untuk pengembangan kegiatan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2006 dan 2009 pola investasi PMA antarpulau (Gambar 4-29), terlihat adanya ketimpangan antar wilayah dalam realisasi ivestasi, dalam waktu tahun 2006 dan 2009, investasi terpusat di Wilayah Jawa-Bali (> 70 %). Nilai investasi PMA tahun 2006 sebesar 75,36 persen terpusat di wilayah Jawa-Bali, selanjutnya diikuti wilayah Sumatera sebesar 14,99 persen, dan wilayah Kalimantan sebesar 8,93 persen. Sedangkan untuk wilayah lainnya nilai investasi PMA cukup rendah khusunya di Kawasan Indonesia Timur, seperti di wilayah Sulawesi sebesar 0,26 persen, Nusa Tenggara sebesar 0,12 persen, Maluku sebesar 0,33 persen, dan Papua sebesar 0,01 persen. Pada tahun 2009, nilai invesatsi PMA Wilayah Jawa-Bali lebih besar dibandingkan nilai investasi tahun 2006, yaitu sebesar 88,74 persen, sementara untuk Wilayah Sumatera dan Kalimantan menurun, dan untuk wilayah Maluku, Papua, Nusa Tenggara relatif kecil, yaitu rata-rata dibawah 1 persen. Gambar 4-29: Perbandingan Distribusi Persentase Realisasi PMA Menurut Wilayah Tahun 2006 dan 2008. (dalam persen) Tahun 2009
Tahun 2006
1.31 0.03 Sumatera
8.93
14.99
75.36
2.63
7.18
Jawa+Bali
Sumatera Jawa+Bali
Kalimantan
Kalimantan
Sulawesi
Sulawesi
Nusa Tenggara
Nusa Tenggara
Maluku
Maluku 88.74
Papua
Sumber: diolah dari data publikasi BKPM Tahun 2010
IV-16
0.06 0.05
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Papua
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan realisasi PMA antarprovinsi tahun 2009, investasi PMA terbesar berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar 5.510,8 juta US$, Jawa Barat sebesar 1.934,4 juta US$, dan Banten sebesar 1.412 juta US$, sedangkan nilai PMA terkecil berada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, dan provinsi di Kawasan Timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat. Hal ini memperlihatkan bahwa selain terdapat minat penanaman modal dalam negeri untuk melakukan rencana investasi baru, perusahaan PMA yang sudah beroperasi di Indonesia juga masih berkembang dan semakin meluas. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa ketimpangan dalam distribusi PMA cukup tinggi terutama untuk provinsi-provinsi di Bagian Timur Indonesia
4.3.
Perdagangan Ekspor dan Impor
4.3.1. Ekspor Perkembangan nilai ekspor gas dan non Gambar 4-30: migas nasional selama tahun 2004-2008 Perkembangan Nilai Ekspor Gas dan Non Migas (Gambar 4-30), menunjukkan adanya Nasional Tahun 2004-2008, (dalam juta US $) peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan 120000 Nilai ekspor gas terbesar terjadi pada tahun 107.894,2 GAS NON MIGAS 2008 yaitu sebesar 31,86 persen. Perkembangan 100000 92.012,3 nilai ekspor gas tahun 2004 sebesar 15.645,3 juta 79.589,1 80000 US$ meningkat pada tahun 2005 menjadi 66.428,4 55.939,3 19.231,6 juta US$, dan hingga akhir tahun 2008 60000 mencapai 29.126,3 juta US$. Hal yang sama 40000 29.126,3 untuk perkembangan nilai ekspor migas, 19.231,6 21.209,5 22.088,6 15.645,3 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, 20000 dimana peningkatan terbesar terjadi pada tahun 0 2006, yaitu sebesar 19,75 persen. Perkembangan 2004 2005 2006 2007 2008 nilai ekspor non migas tahun 2004 sebesar 55.939 juta US$, selanjutnya meningkat pada tahun 2006 menjadi 79.589 juta US$ dan hingga Sumber: BPS, Tahun 2009 akhir tahun 2008 terus meningkat mencapai 107.892 juta US$. Nilai (juta US$)
IV
Gambar 4-31:
Gambar 4-31, menunjukkan besaran Peranan Wilayah dalam Total Eks por Non Migas kontribusi nilai ekspor non migas menurut Nasional Tahun 2008, (dal am persen) pulau pada tahun 2008, persentase nilai ekspor non migas terbesar di Wilayah Jawa-Bali yaitu 0,55% 0,40% 3,07% sebesar 46,84 persen dari total nilai ekspor non 3,71% Sumatera migas, selanjutnya wilayah Sumatera sebesar 34,42 persen, dan Wilayah Kalimantan sebesar Jawa-Bali 11,00% 11 persen. Sedangkan persentase nilai ekspor Kalimantan 34,43% non migas wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Sulawesi Maluku, dan Papua relatif kecil, yaitu masingNusa Tenggara masing sebesar 3,71 persen, 0,55 persen, 0,40 Maluku 46,84% persen, dan 3,07 persen. Papua
Sedangkan tingkat perbandingan nilai ekspor non migas antarprovinsi di Wilayah Sumatera tahun 2008, nilai ekspor non migas Sumber: BPS, Tahun 2009 terbesar berasal dari Provinsi Riau sebesar 12.458.31 juta US$ atau 43,53 persen dari total wilayah Sumatera diikuti oleh Sumatera Utara sebesar 7.412,77 juta US $ (25,85 %), Provinsi Sumatera Selatan sebesar 2.190,96 juta US$ (7,64 %), sedangkan nilai ekspor non migas terkecil berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-17
PEREKONOMIAN DAERAH
Darussalam sebesar 111 juta US$ dan Provinsi Bengkulu sebesar 142,84 juta US$. Perbandingan nilai ekspor non migas antarprovinsi di Wilayah Jawa-Bali tahun 2008 menunjukkan nilai ekspor non migas terbesar berasal dari Provinsi DKI Jakarta sebesar 26.574,75 juta US$ atau 68,14 persen dari total wilayah Jawa-Bali dan Jawa Timur sebesar 8.902,93 juta US$, sedangkan nilai ekspor non migas terkecil berasal dari Provinsi D.I Yogyakarta, Bali dan Banten, masing-masing sebesar 2,29 US$, 203,59 juta US$ dan 363,01 US$. Wilayah Kalimantan tahun 2008, nilai ekspor non migas terbesar berasal dari Provinsi Kalimantan Timur sebesar 5.302,87 juta US$ atau sebesar 57,93 persen dan Kalimantan Selatan sebesar 2.847.02 juta US$ atau sebesar 31,10 persen. Sedangkan nilai ekspor non migas paling rendah adalah di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan masing-masing nilai ekspor sebesar 254,25 juta US$ dan 750.32 juta US$. Wilayah Sulawesi tahun 2008 menunjukkan nilai ekspor non migas terbesar berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 1.757.95 juta US$ atau sebesar 56,87 persen, Sulawesi Tenggara sebesar 571,4 juta US$ atau sebesar 18,49 persen, dan Sulawesi Utara sebesar 568,61 juta US$ (18,39 %). Sedangkan nilai ekspor non migas paling rendah adalah di Provinsi Gorontalo yaitu sebesar 14,47 juta US$ atau sebesar 0,47 persen. Wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua tahun 2008 nilai ekspor non migas terbesar berasal dari Provinsi Papua sebesar 2.554,18 juta US$ atau sebesar 76,15 persen dan Nusa Tenggara Barat sebesar 461,42 juta US$ atau sebesar 13,76 persen. Sedangkan nilai ekspor non migas paling rendah adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 3,76 juta US$ atau sebesar 0,11 persen dan Maluku sebesar 9,41 juta US$ (0,28 %). Peranan masingmasing provinsi terhadap ekspor non migas nasional disajikan pada Tabel 4-4. Tabel 4-4: Peranan Wilayah Provinsi Terhadap Ekspor Non migas Nasional Tahun 2004-2008. Provinsi
2004 DKI Jakarta 23.638,90 Riau 7.111,60 Jawa Timur 6.426,80 Sumatera Utara 4.239,40 Kalimantan Timur 2.366,00 Kalimantan Selatan 1.596,30 Papua 1.003,50 Jawa Tengah 2.039,70 Sumatera Selatan 1.008,80 Lampung 669,7 Sumatera Barat 595 Sulawesi Selatan 1.106,00 Kep. Bangka Belitung 663,9 Kalimantan Barat 454,3 Jambi 359,2 Sulawesi Tenggara 115,1 Sulawesi Utara 214,1 Nusa Tenggara Barat 837,3 Banten 583,4 Jawa Barat 213,1 Maluku Utara 115,6 Kalimantan Tengah 87,1 Bali 236,7 Sulawesi Tengah 142 Bengkulu 37,4 Nanggroe Aceh Darussalam 25,6 Gorontalo 3,3 Maluku 44,3 Nusa Tenggara Timur 4,4 D.I Yogyakarta 0,9 TOTAL 55.939,40 Sumber: Departemen Perdagangan, Tahun 2008 Keterangan: * Januari-September
IV-18
2005 26.086,80 9.134,70 7.305,00 4.563,10 3.455,50 2.067,60 2.584,70 2.398,20 1.050,80 1.083,80 731.2 1.402,40 957,3 431,9 323,5 129,6 343,7 893,3 514,1 192,9 152,1 125,3 224,4 142 71,6 37,3 7,1 10,5 6 2,1 66.428,50
Nilai Juta US$ 2006 29.034,40 10.242,40 9.019,50 5.523,90 4.657,30 2.361,20 3.826,90 2.899,30 1.883,00 1.525,70 1.074,10 1.874,00 900,7 620,7 574,5 350,7 191,1 1.219,50 528,5 240,7 197,4 179,2 298,6 202 80,3 11 14,7 49,5 3,8 4,4 79.589,00
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2007 31.208,90 13.259,20 11.617,90 7.082,90 4.856,80 2.749,50 3.495,10 3.122,50 2.293,90 1.540,60 1.512,80 2.771,30 1.013,80 728,8 694,4 413,9 514,6 1.068,00 388,7 324 493,3 165 287,7 207,2 85 63,6 21,2 25,9 3,3 2,5 92.012,30
2008* 26.574,75 12.485,31 8.902,93 7.412,77 5.302,87 2.847,02 2.554,18 2.497,27 2.190,96 2.150,05 2.009,71 1.757,95 1.482,93 750,32 694,25 571,4 568,61 461,42 455,85 363,01 325,18 254,25 203,59 178,98 142,84 111,76 14,47 9,41 3,76 2,29 83.280,09
PERAN (%) 2008* 31,91 14,99 10,69 8,90 6,37 3,42 3,07 3,00 2,63 2,58 2,41 2,11 1,78 0,90 0,83 0,69 0,68 0,55 0,55 0,44 0,39 0,31 0,24 0,21 0,17 0,13 0,02 0,01 0,00 0,00 100,00
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
4.3.2. Impor Perkembangan nilai impor gas dan non migas nasional dari tahun 2004-2008 meningkat setiap tahunnya (Gambar 4-32). Peningkatan nilai impor terbesar terjadi pada tahun 2005 dan 2008, yaitu masing-masing sebesar 48,8 persen dan 39,30 persen. Sedangkan perkembangan nilai impor non migas terbesar terjadi 2008 mencapai 87,75 persen. Nilai impor gas tahun 2004 sebesar 11.732 juta US$, meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 17,457 juta US$, dan hingga akhir tahun 2008 masih terus mengalami peningkatan hingga mencapai sebesar 30.552 juta US $. Sedangkan perkembangan nilai impor non migas pada tahun 2004 sebesar 34.792 juta US$, meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 40.243 juta US$ dan hingga akhir tahun 2008 mencapai 98.644,4 juta US$. Gambar 4-33, menunjukkan kontribusi nilai impor non migas menurut pulau pada tahun 2008, persentase nilai impor non migas terbesar di Wilayah Jawa-Bali yaitu sebesar 81,27 persen dari total nilai impor non migas, selanjutnya diikuti wilayah Sumatera sebesar 15,28 persen, dan Wilayah Kalimantan sebesar 1,81 persen. Sedangkan persentase nilai impor non migas wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua relatif kecil, yaitu masingmasing sebesar 0,54 persen, 0,0,25 persen, 0,01 persen, dan 0,81 persen.
Gambar 4-32: Perkembangan Nilai Impor Gas dan Non Migas Nasional Tahun 2000-2007. (dalam juta US$) 120000 GAS
NON MIGAS
98.644,4
100000 Nilai (juta US$)
IV
80000
60000 40000 20000
52.540,6 34.792,5
11.732
40.243,2
42.102,6
17.457,7
18.962,9
21.932,8
2005
2006
2007
30.552,9
0 2004
2008
Sumber: BPS, Tahun 2009
Gambar 4-33: Peranan Wilayah dalam Impor non migas Nasional Tahun 2008 , (dalam persen) 0,25% 0,54% 1,81%
0,01% 0,84%
15.28%
SUMATERA
JAWA-BALI KALIMANTAN SULAWESI
NUSATENGGARA MALUKU
81.27%
PAPUA
Perbandingan nilai impor non migas antarprovinsi di Wilayah Sumatera tahun 2008, Sumber: BPS, Tahun 2009 nilai impor non migas terbesar berasal dari Provinsi Riau sebesar 8.229,16 juta US$ atau 71,38 persen dari total wilayah Sumatera, diikuti oleh Sumatera Utara sebesar 2.360,42 juta US $ (20,47 %), Provinsi Lampung sebesar 481,51 juta US$ (4,18 %), sedangkan nilai impor non migas terkecil berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 16.73 juta US$ (0,15 %). Perbandingan nilai impor non migas antarprovinsi di Wilayah Jawa-Bali tahun 2008, nilai impor non migas terbesar berasal dari Provinsi DKI Jakarta sebesar 46.258,38 juta US$ atau 75,46 persen dari total wilayah Jawa-Bali dan Jawa Timur sebesar 10.359,49 juta US $. Sedangkan nilai impor non migas terkecil berasal dari Provinsi D.I. Yogyakarta dan Bali, yaitu masing-masing sebesar 76,73 juta US$ dan 0.52 juta US$. Perbandingan nilai impor non migas antarprovinsi di Wilayah Kalimantan tahun 2008 (Tabel 4-7), nilai impor non migas terbesar berasal dari Provinsi Kalimantan Timur sebesar 1.074,05 juta US$ atau sebesar 78,59 persen dan Kalimantan Selatan sebesar 208,96 juta US$ atau sebesar 15,29 persen. Sedangkan nilai impor non migas paling rendah adalah di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan nilai impor non migas masing-masing sebesar 19,58 juta US$ dan 64,04 juta US$. Perbandingan nilai impor non migas antarprovinsi di Wilayah Kalimantan tahun 2008, nilai impor non migas terbesar berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 401,91 juta US$ atau sebesar 97,56 persen, dan nilai impor non migas terendah
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-19
PEREKONOMIAN DAERAH
berasal berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 0,39 juta US$ atau sebesar 0,09 persen, dan Sulawesi Tengah sebesar 1,09 juta US$ (0,26 %). Perbandingan nilai impor non migas antarprovinsi di Wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua tahun 2008, nilai impor non migas terbesar berasal dari Provinsi Papua, yaitu sebesar 632,12 juta US$ atau sebesar 76,39 persen dan Nusa Tenggara Barat sebesar 186,53 juta US$ atau sebesar 22,54 persen. Sedangkan nilai impor non migas paling rendah adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 1,15 juta US$ atau sebesar 0,14 persen dan Maluku Utara. Perbandingan nilai impor non migas antarprovinsi secara nasional tahun 2008, nilai impor non migas terbesar berasal dari Provinsi DKI Jakarta nilai impor sebesar 46.258,36 juta US$, selanjutnya diikuti oleh Provinsi Riau sebesar 8.229,16 juta US$, dan Provinsi Jawa Timur sebesar 10.359,49 juta US $, sedangkan nilai impor non migas paling rendah adalah di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, dengan nilai impor non migas masing sebesar 1,15 juta US$, 1,09 juta US$, 0,52 juta US$, 0,39 juta US$, dan 0,04 juta US$. Tingkat perkembangan nilai impor non migas provinsi tahun 2008, Tabel 4-5, menunjukkan setiap provinsi rata-rata mengalami peningkatan nilai impor dari tahun 2007 terhadap tahun 2008, kecuali di Provinsi Papua, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku mengalami penurunan. Peningkatan nilai impor non migas terbesar tahun 2008 (Januari-September) dibandingkan terhadap tahun 2007 (JanuariSeptember) terbesar adalah di Provinsi D.I. Yogyakarta yaitu sebesar 873,66 persen, Riau sebesar 664,51 persen, Sumatera Barat sebesar 167,77 persen, dan Bali sebesar 120,79 persen. Tabel 4-5: Peranan Provinsi Terhadap dalam Impor Non Migas Menurut Provinsi Tahun 2004-2008. PROPINSI
2004 DKI Jakarta 22.847,20 Jawa Timur 5.887,90 Riau 403,9 Banten 1.909,80 Sumatera Utara 919,2 Jawa Tengah 1.048,20 Kalimantan Timur 487,4 Papua 347,7 Lampung 137,3 Sulawesi Selatan 216,1 Kalimantan Selatan 109,5 Nusa Tenggara Barat 112,7 Sumatera Barat 15,6 Sumatera Selatan 84,7 Jambi 10,4 Jawa Barat 78,6 Bali 26,4 Kalimantan Barat 37,3 Kep. Bangka Belitung 17,6 Kalimantan Tengah 6,8 Nanggroe Aceh Darussalam 53 Sulawesi Utara 3,9 Maluku 3,3 Nusa Tenggara Timur 0,6 Sulawesi Tengah 3,2 D.I. Yogyakarta 1 Sulawesi Tenggara 22,5 Maluku Utara 0,4 Bengkulu Gorontalo NASIONAL 34.792,2 Sumber: Departemen Perdagangan, Tahun 2008 Keterangan: * Januari-September
IV-20
2005 25.677,60 6.313,20 1.159,30 1.683,60 1.137,90 1.210,10 999.6 520,3 230,1 306,3 182,9 201,5 0 169,1 115,7 46,9 88,4 59,6 27,1 11,7 18,4 6,9 4,8 2,1 5,3 0,9 50 3,1 10,9 40.243,3
Nilai Juta US$ 2006 2007 25.422,90 33.019,00 6.864,30 9.003,10 1.158,30 1.470,00 1.873,30 2.148,70 1.331,20 1.829,30 1.033,00 1.504,80 1.195,20 835.4 664 632,2 331,5 419,3 322,8 356,8 812,9 227,2 278,5 225,5 36,8 95,9 282,6 162,9 162,4 178 68,8 156,9 27,8 44,3 72,5 81,6 21,5 18 27,1 42,7 29,1 29,6 45,9 19,9 14 7,4 12 20,1 9,3 1,4 0,1 1,2 1,7 4,1 0,7 3 5.1 42.102,7 52.540,9
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2008* 46.258,36 10.359,49 8.229,16 2.577,74 2.360,42 1.911,79 1.074,05 632,12 481,51 401,91 208,96 186,53 153,4 144,4 121,48 118,37 76,73 64,04 22,13 19,58 16,73 8,59 7,66 1,15 1,09 0,52 0,39 0,04 75.438,34
PERAN (%) 2008 61,32 13,73 10,91 3,42 3,13 2,53 1,42 0,84 0,64 0,53 0,28 0,25 0,20 0,19 0,16 0,16 0,10 0,08 0,03 0,03 0,02 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0.00 100,00
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
4.4.
Moneter dan Perbankan Kredit dan Perbankan
Perkembangan posisi kredit usaha kecil yang diberikan rupiah bank umum dan kredit usaha kecil yang diberikan rupiah dan valas Bank Umum dari tahun 2004-2009 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya (Gambar 4-34). Jumlah kredit rupiah bank umum tahun 2004 sebesar 85.191 miliar rupiah, pada tahun 2009 mencapai sebesar 150.271 miliar rupiah dengan peningkatan rata-rata pertahun sebesar 12,95 persen, peningkatan jumlah kredit usaha kecil terbesar selama kurun waktu 2004-2008 terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 17,36 persen. Sementara untuk perkembangan kredit usaha kecil, jumlah kredit usaha kecil tahun 2004 sebesar 93.615 miliar rupiah, meningkat hingga tahun 2009 mencapai 142.986 miliar rupiah dengan peningkatan sebesar 13,16 persen per tahun, peningkatan jumlah kredit usaha kecil terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 26,26 persen.
30.00 26,56
25.00 20.00
17,36 17,27
15.00 10.00
13,46
13,28
13,74 14,91
13,37
5,64
5.00
10,34
7,32
0.00
3,41
2004
180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
Nilai (miliar)
Gambar 4-34: Nilai dan Pertumbuhan Kredit Usaha Kecil dan Kredit Bank Umum Tahun 2004 s.d. 2009.
Pertumbuhan (%)
IV
2005 2006 2007 2008 2009*) Kredit rupiah bank umum Kredit Usaha Kecil yang Diberikan Rupiah dan Valas Bank Umum Kredit rupiah bank umum Kredit Usaha Kecil yang Diberikan Rupiah dan Valas Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, tahun 2009
Perbandingan posisi kredit usaha kecil yang diberikan rupiah bank umum tahun 2009 seperti terlihat pada Gambar 4-35, menunjukkan Wilayah Jawa-Bali menempati posisi teratas dengan jumlah kredit sebesar Rp. 91.510 miliar atau 59,63 persen dari total nasional dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 12,59 persen pertahun, jumlah kredit di wilayah Jawa-Bali terbesar berada di Provinsi Jawa Timur sebesar Rp. 23.898 miliar (15,78 %), dan Jawa Barat sebesar Rp. 23.435 miliar (15,28 %). Wilayah Sumatera berada di urutan kedua dengan jumlah kredit sebesar 35.775 miliar rupah atau sebesar 23,31 persen dari total nasional dengan ratarata pertumbuhan sebesar 15,90 persen per tahun, sebagian besar berada di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 9.547 miliar (6,22 %) dan Riau sebesar Rp. 7.423 miliar (4,84%). Wilayah Sulawesi berada di urutan ketiga dengan jumlah kredit sebesar 12.358 miliar rupah atau sebesar 8,05 persen dari total nasional dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 15,31 persen per tahun, posisi kredit terbesar berada di Provinsi Selatan sebesar Rp. 6.200 miliar (4,04 %) dan Sulawesi Utara sebesar Rp. 2.735 (1,78 %). Sementara untuk posisi kredit usaha kecil paling rendah di wilayah Maluku sebesar 700 miliar rupiah atau 0,46 persen dari nasional dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 16,22 persen per tahun lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya kecuali terhadap Papua dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18,16 persen pertahun.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-21
PEREKONOMIAN DAERAH
15,28
25,07
30.00
15,78 22,06
19,88 6,22
25.00 20.00
16,64
15.00 4,84
10.00
4,04 1,39
5.00 0.00
Pertumbuhan (%)
18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
NAD Sumut Sumbar Riau jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung Banten DKI Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Malut Maluku Papua
Distribusi (%)
Gambar 4-35: Distribusi dan pertumbuhan Posisi Kredit Usaha Kecil yang Diberikan Rupiah dan Valas Bank Umum Menurut Provinsi Tahun 2004-2009. (dalam %)
Sumatera
Jawa-Bali Distribusi (%)
Nustra Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Pertumbuhan Rata-rata pertahun (%)
Sumber: Bank Indonesia, tahun 2009
IV-22
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Nilai (mi Rp. miliar)
Pertumbuhan (%)
Perkembangan posisi pinjaman rupiah yang diberikan bank umum dan BPR dalam kurun waktu 2004-2008 meningkat setiap tahunnya, peningkatan pinjaman terbesar terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 33,47 persen dengan jumlah pinjaman sebesar 802.265 miliar rupiah dan hingga akhir tahun 2009 bulan September junlah pinjaman rupiah tercatat sebesar 1.070.775 miliar rupiah. Tahun 2009 jumlah pinjaman rupiah yang diberikan bank umum dan BPR terbesar di Wilayah Jawa-Bali sebesar Gambar 4-36: 835.752 miliar rupiah atau sebesar 70,97 Perkembangan Posisi Pinjaman Rupiah yang persen dengan rata-rata peningkatan sebesar diberikan Bank Umum dan BPR Tahun 2004-2009. 22,52 persen per tahun, jumlah pinjaman 40.00 1,200,000 terbesar di wilayah Jawa-Bali di Provinsi DKI 35.00 1,000,000 Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Wilayah 30.00 Sumatera berada diurutan kedua dengan 800,000 25.00 jumlah pinjaman sebesar 177.835 miliar rupiah 20.00 600,000 (15,10 %) yang sebagian besar berada di 15.00 400,000 Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera 10.00 200,000 Selatan. Sementara urutan ketiga wilayah 5.00 Kalimantan dengan jumlah pinjaman sebesar 0.00 64.044 miliar rupiah (5,44 %) yang sebagian 2004 2005 2006 2007 2008 2009*) besar terdapat di Kalimantan Timur. Pinjaman Rupiah Bank Umum dan BPR Rata-rata pertumbuhan 2004-2009 Sementara jumlah pinjaman rupiah untuk Wilayah Maluku dan Papua relatif kecil, Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2009 masing-masing sebesar 5.252 miliar (0,45%) dan 8.931 miliar rupiah (0,76%), namun kedua wilayah tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan lebih besar dibandingkan wilayah lainnya yaitu masing-masing sebesar 38,09 persen dan 30,33 persen per tahun.
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
41,86
35,25
33,60
34,96 27,40
29,81
23,49
450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 -
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung Banten DKI Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Malut Maluku Papua
45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Rp. miliar
Gambar 4-37: Posisi Pinjaman Rupiah yang diberikan Bank Umum dan BPR Menurut Provinsi Tahun 2009.
%
IV
Sumatera
Jawa-Bali
Nustra Kalimantan
Posisi Pijaman Rupiah dari Bank Umum dan BPR '2009*)
Sulawesi Maluku, Papua
Rata-rata pertumbuhan 2004-2009
Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2009
Perkembangan posisi simpanan rupiah masyarakat pada bank umum dan BPR dalam kurun waktu 2004-2008 setiap provinsi rata-rata meningkat setiap tahunnya, kecuali untuk Provinsi Sulawesi Barat perkembanganya cukup fluktuatif dan rata-rata pertumbuhan negative (Tabel 4-6). Sementara posisi nilai simpanan masyarakat pada tahun 2009, provinsi DKI Jakarta berada di peringkat pertama sebesar 652.119 miliar rupiah dengan peningkatan ratarata pertahun sebesar 11,51 persen, selanjutnya diikuti oleh Provinsi Jawa Timur sebesar 165.041 miliar rupiah dengan peningkatan rata-rata pertahun sebesar 13,41 persen, dan Jawa Barat sebesar 139.228 miliar rupiah dengan peningkatan rata-rata sebesar 12,67 persen per tahun. Sementara untuk nilai simpanan terkecil adalah Provinsi Sulawesi Barat dengan jumlah simpanan sebesar 1.511 miliar rupiah dan Gorontalo sebesar 1.934 miliar rupiah. Perbandingan rasio kredit rupiah terhadap posisi simpanan rupiah masyarakat antara tahun 2004 dan 2009, seperti terlihat pada Gambar 4-31 pada tahun 2009 rasio kredit rupiah untuk setiap provinsi lebih kecil dibandingkan terhadap tahun 2004. Kecuali untuk provinsi Riau, Bengkulu, Jawa Barat, Nusa tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Papua, Jawa Timur, DIY memililiki rasio kredit tahun 2009 lebih besar dibanding tahun 2004. Rasio kredit rupiah terbesar tahun 2009, Provinsi Gorontalo berada di peringkat pertama, selanjutnya diikuti oleh Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Jambi (Gambar 4-38). Tabel 4-6: Posisi Simpanan Rupiah Masyarakat pada Bank Umum dan BPR Menurut Provinsi Tahun 2004-2009. (dalam miliar rupiah) PROVINSI
2004
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten D.K.I. Jakarta
6.389 40.485 7.570 21.071 4.960 12.635 3.110 1.620 7.116 16.790 364.536
2005
2006
2007
2008
9.337 44.875 8.046 26.079 5.286 15.213 3.730 1.789 8.009 19.226 402.948
17.988 53.240 10.700 26.186 7.045 18.312 4.773 2.377 10.012 22.614 446.251
16.177 64.089 13.671 28.731 9.047 22.244 6.004 3.372 12.087 27.080 543.758
18.090 73.960 14.925 30.118 9.621 27.153 6.768 4.034 13.920 33.041 592.293
2009* 16.595 79.723 15.482 29.404 9.756 27.027 7.732 3.909 14.613 34.430 652.119
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Perkembangan rata-rata 2004-2009 24,35 15,02 15,18 10,31 16,13 16,56 21,94 20,25 14,57 17,15 11,51
IV-23
PEREKONOMIAN DAERAH
PROVINSI
2004
Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Utara Maluku Papua Papua Barat Sulawesi Barat Kepulauan Riau Jumlah
2005
74.792 44.912 9.916 85.145 13.542 3.074 3.991 8.214 3.195 6.559 15.779 4.078 777 2.652 13.060 1.822 1.025 2.109 6.232 465 787.621
83.765 50.116 11.081 97.044 15.335 3.560 4.379 9.458 3.660 7.815 21.525 4.449 841 2.996 15.500 2.065 1.264 2.595 8.819 890.805
2006
2007
2008
2009*
97.194 59.460 13.347 110.870 17.122 4.461 6.032 11.896 4.992 10.125 28.326 5.338 1.256 3.961 18.858 3.193 1.894 3.709 14.430 874 10.260 1.047.096
113.195 69.934 15.218 129.055 21.901 5.181 7.038 14.541 6.494 12.040 31.668 6.712 1.579 5.027 23.185 4.066 2.438 4.542 12.045 4.396 1.107 11.157 1.248.779
127.184 79.559 16.555 153.083 26.230 6.241 7.585 16.562 6.770 15.069 37.559 8.334 1.826 5.445 26.825 4.325 2.657 4.542 13.161 5.060 1.556 12.974 1.403.025
139.228 85.917 18.737 165.041 28.782 6.922 8.630 17.513 7.622 15.796 39.041 9.327 1.934 5.614 28.744 4.264 2.544 5.267 15.209 4.744 1.511 13.317 1.516.494
Perkembangan rata-rata 2004-2009 12,67 13,56 13,78 13,41 17,17 17,99 16,18 19,16 18,79 20,42 19,04 16,69 20,05 14,97 15,43 17,65 20,43 18,61 21,56 4,43 -8,92 9,22 13,46
Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2009; *) sampai bulan September
Gambar 4-38: Rasio Kredit rupiah terhadap Posisi Simpanan Rupiah Masyarakat Menurut Provinsi Tahun 2004 dan 2009.
Papua
Maluku
Malut
Sulsel
Sultra
Sulteng
Sulut
Gorontalo
Kalsel
Kaltim
Kalteng
NTT
Kalbar
NTB
Bali
DIY
Jatim
Jabar
Jateng
Banten
2009*
Lampung
Bengkulu
Sumsel
Kep. Babel
Riau
Jambi
Sumbar
NAD
Sumut
2004
D.K.I. Jakarta
0.500 0.450 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000
Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2009; *) sampai bulan September
Indeks Harga Konsumen (IHK)/Inflasi Perkembangan harga berbagai komoditas pada bulan Desember 2009 terhadap bulan November 2009 secara umum menunjukkan adanya penurunan. Berdasarkan data pemantauan BPS di 66 kota besar pada bulan Desember 2009 terjadi inflas isebesar 0,33 persen, atau terjadi peingkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 116,65 pada bulan November 2009 menjadi 117,03 pada bulan Desember 2009. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh meningkatnya indeks pada kelompok karena makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; perumahan, listrik, air, gas, dan bahan bakar; kesehatan; dan transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan Sedangkan kelompok yang mengalami penurunadeks adalah kelompok sandang, pendidikan, rekreasi, dan olah raga. Sementara pada Desember 2009 kelompok komoditi yang memberikan
IV-24
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
andil/sumbangan inflasi adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,93; kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,35; dan kelompok sandang sebesar 0,95. Tabel 4-7, menunjukkan perkembangan laju inflasi tahun kalender 2006-2009 sama dengan inflasi “year on year”. Laju inflasi tahun 2009 (Desember 2009 terhadap Desember 2008) adalah 2,78 persen lebih rendah dibandingkan laju inflasi pada tahun 2008 yaitu sebesar 11,06 persen dan laju inflasi 2007 sebesar 6,59 persen. Kelompok pengeluaran dengan laju inflasi tertinggi pada tahun 2009 adalah kelompok bahan makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 7,81 persen. Laju inflasi kelompok pengeluaran pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan pada laju inflasi kelompok pengeluaran tahun 2008. Tabel 4-7: Laju Inflasi Gabungan 66 Kota Desember 2008, Tahun Kalender 2008 dan Laju Inflasi 2006-2008 Menurut Kelompok Pengeluaran(2007=100) 2009
Tahun/Bulan
Inflasi Tahunan
2008
Desember
2006
2007
2008
2009
Indeks Umum
0.33
-0.04
6.60
6.59
11.06
2.78
Bahan Makanan
-0.13
0.57
12.94
11.26
16.35
3.88
Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau
0.93
0.52
6.36
6.41
12.53
7.81
Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar
0.28
0.52
4.83
4.88
10.92
1.83
Sandang
0.95
1.13
6.84
8.42
7.33
6.00
Kesehatan
0.20
0.21
5.87
4.31
7.96
3.89
Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
0.01
0.16
8.13
8.83
6.66
3.89
Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 0.35 -2.74 1.02 1.25 7.49 *) Sejak Juni 2008, IHK berdasarkan pola konsumsi didapat dari 2007 Survei Biaya Hidup di 66 kota (2007=100)
-3.67
Pada bulan Desember 2009 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Dari 66 kota, tercatat 18 kota mengalami deflasi dan 48 kota mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Kota Cilegon, Serang, Dumai, dan Batam dan untuk inflasi tertinggi terjadi di Kota Manokwari, Tarakan, Lhoksemawe, dan Kupang. Sementara untuk IHK tertinggi terjadi kota Sorong sebesar 133,85 dan Manokwari sebesar 131,93, sementara IKH terrendah di kota Sumenep dan Bekasi masingmasing sebesar 114,2 dan 114,88. Gambar 4-39, menunjukkan perbandingan IHK di wilayah Pulau Sumatera pada bulan Desember 2009 dari 16 kota di Pulau Sumatera sebanyak 10 Kota mengalami deflasi dengan deflasi tertinggi di Kota Sibolga sebesar 0,71 dan Kota Padang sebesar 0,65, sementara inflasi tertinggi di Kota Medan sebesar 0,71 dan Pangkal Pinang sebesar 0,94. Perbandingan IHK kotakota besar di Pulau Jawa+Bali yang berjumlah 23 kota, tercatat 3 kota mengalami deflasi yaitu Kota Tangerang, Cilegon dan Serang, sementara 20 Kota lainnya mengalami inflasi dengan inflasi tertinggi terdapat di Kota Kediri, Jember, Surabaya, dan Jakarta. Perbandingan IHK kotakota di luar wilayah Pulau Jawa dan Sumatera yang berjumlah 27 kota, 4 kota mengalami deflasi yaitu Kota Maumere, Sampit, Pare-Pare, dan Gorontalo. Sementara kota lainnya mengalami inlasi dengan inflasi tertinggi terdapat di Kota Tarakan, Singkawang, Ambon, dan Manokwari.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-25
PEREKONOMIAN DAERAH
IV
Gambar 4-39: Laju Inflasi Gabungan 66 Kota Desember 2009 di Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, dan Luar Pulau Sumatera dan Jawa-Bali (2007=100) Inflasi
Inflasi 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
IHK
130.00
Inflasi
5.00
4.00 3.00
2.00 1.00
0.00
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00
Inflasi
125.00 IHK
Inflasi 6.00
JAKARTA BOGOR SUKABUMI BANDUNG CIREBON BEKASI DEPOK TASIKMALAYA PURWOKERTO SURAKARTA SEMARANG TEGAL YOGYAKARTA JEMBER SUMENEP KEDIRI MALANG PROBOLINGGO MADIUN SURABAYA SERANG TANGERANG CILEGON DENPASAR
BANDA ACEH LHOKSEUMAWE SIBOLGA PEMATANG SIANTAR MEDAN PADANG SIDEMPUAN PADANG PAKANBARU DUMAI JAMBI PALEMBANG BENGKULU BANDAR LAMPUNG PANGKAL PINANG BATAM TANJUNG PINANG
135.00
IHK
IHK 122.00 120.00 118.00 116.00 114.00 112.00 110.00 108.00 106.00 104.00
120.00 115.00
Inflasi
IHK
IHK 122.00 120.00 118.00 116.00 114.00 112.00 110.00 108.00 106.00
3.00 2.00 1.00 0.00
110.00 105.00
100.00
Sumber: BPS, Tahun 2010
0.56 4.96 5.54 6.75
4.5.
-0.44 2.87 1.44 4.75
584185
Perkembangan Produksi dan Sektor Unggulan Daerah
4.5.1. Tanaman Pangan dan Palawija Tabel 4-8, menunjukkan perkembangan produksi padi nasional dari tahun 2005-2009 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Produksi padi secara nasional pada tahun 2005 sebesar 54151097 ton meningkat menjadi 54.454.937 ton pada tahun 2006 atau sebesar (0,56 %) dari tahun 2005, kemudian produksi padi pada tahun 2009 meningkat mencapai 64.398.890 ton atau meningkat sebesar 6,75 persen dari produksi tahun 2008. Berdasarkan luas panen, perkembangan
IV-26
Tabel 4-8: Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Tahun 2004-2008 Luas Panen
Produktivitas
Produksi
(Ha)
(Qu/Ha)
(Ton)
2005
11839060
45,74
54151097
2006
11786430
46,20
54454937
2007
12124827
47.14
57157435
2008
12299391
49.05
60325925
2009
12883576
49.99
64398890
Tahun
Sumber: BPS Tahun 2008*) Preliminary; **) First Forecast
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
luas panen padi secara nasional dari tahun 2005-2009 mengalami peningkatan luas panen setiap tahunnya, dalam periode 2005-2009 peningkatan luas panen terbesar terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 4,75 persen atau Luas panen padi bertambah seluas 584.185. sedangkan dari sisi produktivitas, produktivitas tanakan padi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2005 produktivitas padi sebesar 45,74 kwintal/ha, tahun 2006 sebesar 46,20 kwinttal/ha, dan hingga akhir tahun 2009 produktivitas padi sebesar 49,99 kwintal/ha. Perbandingan produktivitas padi antarprovinsi tahun 2009, di Wilayah Sumatera tahun 2009, menunjukkan Produksi padi terbesar beasal dari Provinsi Sumatera Utara sebesar 3.527.899 ton dengan luas panen seluas 768.407 ha dan Sumatera Selatan sebesar 3.125.236 ton dengan luas panen seluas 746.465 ha. Sementara untuk produktivitas padi tertinggi Wilayah Sumatera tardapat di Provinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 47,91 kw/ha dan Lampung sebesar 46,88 kw/ha, sementara untuk produktivitas padi terendah terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (24,64 kw/ha) dan Kepulauan Riau (29,86 kw/ha). Perbandingan produksi padi antarprovinsi di Wilayah Jawa-Bali tahun 2009, produksi padi terbesar berasal dari Provinsi Jawa Barat sebesar 11.322.681 ton dengan luas panen seluas 1.950203 ha, dan Jawa Tengah sebesar 11.259.085 dengan luas panen seluas 1.725.034 ha. Sementara untuk tingkat produktivitas, produktivitas padi tertinggi terdapat di provinsi Jawa Timur sebesar 59,11 kw/ha dan Jawa Barat sebesar 58,09 kw/ha, sementara untuk produktivitas terrendah terdapat di Provinsi Banten yaitu sebesar 50,5 kw/ha. Tingkat produksi padi antar provinsi di Wilayah Kalimantan tahun 2009, produksi terbesar berasal dari Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 1.956.993 ton dengan luas panen seluas 490.069 ha dan Kalimantan Barat sebesar 1.300.798 ton dengan luas panen 418.929 ha. Sementara untuk produktivitas padi di wilayah Kalimantan jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas padi di wilayah Jawa+Bali dan Sumatera, produktivitas padi tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yaitu sebesar 39,93 kw/ha. Perbandingan produksi padi antarprovinsi di Wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua tahun 2009, Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 4.324.178 ton dengan luas panen 862.017 ha, dan Sulawesi Tengah sebesar 953.396 ton dengan luas panen 211.232 ha. Sementara untuk produktivitas padi tertinggi terdapat di Gorontalo dan Sulawesi Selatan masing-masing sebesar 53,48 kw/ha dan 50,16 kw/ha.. Tanaman palawija lainnya yang banyak diusahakn di Indonesia antara lain adalah Jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, dan ubi kayu. Produksi terbesar untuk tanaman palawija adalah pada tahun 2009 mencapai 21,99 juta ton per tahun dan kedua tanaman jagung yang merupakan unggulan nasional dengan jumlah produksi tahun 2009 mencapai 17,04 juta ton per tahun. Perkembangan produksi dari komoditi palawija dari tahun 2005-2009 fluktuatif terutama untuk produksi tanaman kedelai tercatat pada tahun 2007 mengalami penurunan jumlah produksi yang cukup tajam dari tahun 2006, namun pada tahun 2008 dan 2009 jumlah produksi kembali meningkat dengan produksi sebesar 924.511 ton. Sementara untuk produksi kacang hijau dari tahun 2007 hingga 2009 menurun setiap tahunnya, dan untuk komoditi palawija lainnya, seperti jagung, kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu menunjukan pada tahun 2009 tercatat jumlah produksi dari masing-masing tanakan tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 4-9).
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-27
PEREKONOMIAN DAERAH
Tabel 4-9: Produksi Tanaman Palawija Nasional Tahun 2005-2009. (dalam ton) Produksi Tanaman Pangan (Ton) Tahun
Jagung
Kacang Kedelai
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau
2005
12,523,894
808,353
836,295
19,321,183
1,856,969
320,963
2006
11,609,463
747,611
838,096
19,986,640
1,854,238
316,134
2007
13,287,527
592,534
788,532
16,364,961
1,886,852
322,487
2008
16,317,252
775,710
770,054
21,756,991
1,881,761
298,059
2009*)
17,041,215
924,511
763,507
21,990,381
1,947,311
286,234
Sumber: BPS Tahun 2010
Perbandingan tingkat produksi jagung menurut pulau besar secara nasional, menunjukkan produksi pada tahun 2008 sebesar 13.883.722 ton per tahun. Tingkat produksi rata-rata tertinggi berada di Pulau Jawa-Bali yaitu sebesar 7.724.757 ton atau sebesar 55,64 persen yang sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Timur (4.415.982 ton per tahun) dengan luas panen sebesar 4.415.982 hektar dan Jawa Tengah (2.355.619 ton per tahun) dengan luas panen sebesar 584.430 hektar. Perkembangan jumnlah produksi dan luas panen antarprovinsi tahun 2009, sentra produksi untuk tanaman jagung terdapat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Sentra produksi jagung di wilayah Jawa-Bali adalah di Jawa Timur dengan produksi sebesar 5,07 juta ton atau 29,79 persen dari produksi jagung nasional dan Jawa Tengah sebesar 2,7 juta ton, sementara sentra produksi jagung di wilayah Sumatera terdapat di Provinsi Lampung sebesar 2,06 juta ton atau 12 persen dari total produksi nasional dan Sumatera Utara sebesar 1,19 juta ton. Sementara untuk luas panen terbesar untuk tanaman jagung terdapat di Provinsi Jawa Timur sebesar 1,2 juta hektar dan Jawa Tengan sebesar 648,55 ribu hektar. Dari sisi produktivitas, produktivitas jagung tertinggi terdapat di Provinsi Sumatera Barat, yaitu sebesar 57,56 kw/ha, dan Provinsi Jawa Barat sebesar 55,45 kw/ha, sedangkan produktivitas terrendah terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 16,42 kw/ha, dan Maluku Utara sebesar 16,50 kwl/ha. Perkembangan produksi dan luas panen kedelai tahun 2009 terbesar berada di wilayah Jawa-Bali, Sumatera, dan Nusa Tenggara, produksi kedelai tahun 2009 di wilayah Jawa-Bali mencapai 584,49 ribu ton atau sebesar 63 persen dari produksi kedelai nasional dengan luas panen 436,03 ribu hektar, sentra produksi kedelai di wilayah Jawa-Bali dengan luas panen sebesar 364.333 hektar dan di Pulau Nusa Tenggara sebesar 103.796 ton dengan luas panen sebesar 85.243 hektar. Penghasil kedelai terbesar di Pulau Jawa-Bali dan Nusa Tenggara berasal dari Provinsi Jawa Timur sebesar 260.799 ton, Jawa Tengah sebesar 142.777 ton, Jawa Barat sebesar 34.715 ton, D.I. Yogyakarta sebesar 34.502 ton, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 100.175 ton. Untuk rata-rata produktivitas tanaman kedelai tertinggi berada di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 15,64 kterdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara untuk produksi kedelai di wilayah Sumatera sebesar 146,7 ribu ton atau 15 persen dari produksi kedelai nasional yang terkonsentrasi di Provinsi Naggroe Aceh Darrussalam, dan wilayah Nusa Tenggara sebesar 114,1 ribu ton atau 12 persen dari produksi kedelai nasional dan terkonsentrasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. 4.5.2. Tanaman Perkebunan Komoditi perkebunan merupakan salah satu komoditi unggulan dan ekspor nasional yang memberikan kontribusi nilai tambah cukup besar terhadap pendapatan nasional. Beberapa komoditi perkebunan besar yang menjadi unggulan nasional dan ekspor adalah kelapa sawit,
IV-28
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
karet, kakao, kopi, dan tembakau. Perkembangan produksi komoditi tersebut dari tahun 20052008 relatif meningkat setiap tahunnya (Tabel 4-10). Produksi kelapa sawit tahun 2005 sebesar 11.861.615 ton meningkat pada tahun 2008 menjadi 17.539.788 ribu ton pada tahun 2008, peningkatan produksi kelapa sawit tahun 2008 diiringi dengan peningkatan luas areal, luas areal kelapa sawit tahun 2005 sebesar 5,45 juta hektar bertambah menjadi 7,36 juta hektar pada tahun 2008. Hal ini juga terjadi peningkatan pada produksi karet yang disebabkan bertambahnya luas areal tanaman karet, pada tahun 2005 tercatat produksi karet sebesar 2,27 juta ton dengan luas areal 3,27 juta hektar meningkat pada tahun 2008 menjadi 2,75 juta ton dengan luas areal 3,42 juta hektar. Selain kelapa sawit dan karet, komoditi perkebunan lainnya yang menjadi unggulan nasional adalah kakao dan kopi, perkembangan produksi kakao tahun 2005-2008 meningkat setiap tahunnya, tahun 2005 tercatat sebesar 748.827 ton ribu ton dan hingga tahun 2008 produksi kakao mencapai 803.593 ton dengan luas areal 1,42 juta hektar. Tabel 4-10: Luas Areal Tanam dan Hasil Produksi Perkebunan Nasional Tahun 2005-2008. Produksi (ton) Komoditi
Luas areal (ha)
2005
2006
2007
2008
Kakao
748,827
769,386
740,006
803,593
1,167,046
1,320,820
1,379,279
1,425,216
Karet
2,270,891
2,637,231
2,755,172
2,751,286
3,279,391
3,346,427
3,413,717
3,424,217
11,861,615
17,350,848
17,664,725
17,539,788
5,453,817
6,594,914
6,766,836
7,363,847
Kopi
640,365
682,158
676,475
698,016
1,255,272
1,308,732
1,295,912
1,295,111
Tembakau
153,470
146,265
164,851
168,037
198,212
172,234
198,054
196,627
Kelapa Sawit
2005
2006
2007
2008
Sumber: BPS 2010
Kelapa Sawit Produksi kelapa sawit nasional sebagian besar berasal dari Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Tabel 4-11, memperlihatkan perkembangan produksi kelapa sawit dari tahun 2000-2005 sekitar 78 persen atau sebesar 10.483.051 ton produksi kelapa sawit berasal dari Pulau Sumatera dan 17 persen (2.400.947 ton) dari Pulau Kalimantan. Tabel 4-11: Produksi Kelapa Sawit Menurut Wilayah Tahun 2001-2006. (ribu ton) WILAYAH
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumatera
7.161,8
8.190,3
8.674,7
9.033,4
9.319,5
Jawa-Bali
32,4
38,3
49,0
26,8
35,8
40,2
Kalimantan
903,7
1.064,8
1.380,6
1.482,9
2.074,4
2.400,9
Sulawesi
233,0
261,3
246,4
220,7
324,1
347,2
Nusa Tenggara
-
-
-
-
-
-
Maluku
-
-
-
-
-
Papua NASIONAL
10.483,1
65,6
72,4
90,1
76,4
107,9
119,4
8.396,5
9.627,2
10.440,8
10.840,1
11.861,6
13.390,8
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan
Produksi kelapa sawit di Pulau Sumatera sebagian besar berasal dari provinsi Sumatera Utara sebesar 1.511.587 ton, Riau sebesar 2.370.466 ton, dan Sumatera Selatan sebesar 1.439.974 ton. Penghasil sawit terbesar di Pulau Kalimantan berasal dari Provinsi Kalimantan Barat sebesar 761.963 ton dan Kalimantan Tengah sebesar 908.301 ton. Rata-rata peningkatan produksi sawit selama periode 2001-2006 terbesar di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar 61,07 persen, Sulawesi Barat 55,3 persen, Kalimantan Tengah sebesar 54,13 persen, dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 33,52. Sementara untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-29
PEREKONOMIAN DAERAH
Sulawesi Tenggara setiap mengalami penurunan rata-rata produksi setiap tahunnya, masingmasing sebesar 13,17 persen dan 21,43 persen. Pola pemusatan areal perkebunan secara nasional berada di Provinsi Berdasarkan luas areal perkebunan sawit (Gambar 4-34), lokasi pemusatan areal sawit terkonsentrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua. Tabel 4-12: Produksi Karet Menurut Wilayah Tahun 2000-2006. (ribu ton) WILAYAH
2002
2003
2004
Sumatera 1.171,76 1.293,99 1.507,99 Jawa-Bali 96,46 85,19 89,77 Kalimantan 347,74 397,51 457,93 Sulawesi 10,90 14,26 9,26 Nusa Tenggara Maluku 1,39 1,35 Papua 2,11 0.05 0,88 Nasional 1.630,36 1.792,35 2.065.82 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dan BPS
2005 1.661,84 97,07 499,76 10,75 1,48 2.270,89
2006 1.732,22 101,18 520,93 11,20 1,54 2.367.07
Karet Penghasil karet nasional terbesar berada di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (Tabel 4-13), pada tahun 2006 produksi karet di Pulau Sumatera sebesar 1.732.217 ton atau 73,12 persen dari total produksi karet nasional sedangkan Pulau Kalimantan sebesar 520.927 ton atau 22,06 persen. Penghasil produksi karet terbesar di Pulau Sumatera berasal dari Provinsi Sumatera Selatan sebesar 469.574 ton, Sumatera Utara sebesar 407.974 ton, Riau sebesar 297.689 ton, dan Jambi sebesar 267.665 ton. Sedangkan di Pulau Kalimantan penghasil produksi karet terbesar berada di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan masing-masing sebesar 234.326 ton dan 181.433 ton. Selama kurun waktu 2002-2006, peningkatan terbesar rata-rata produksi karet per tahun berada di Provinsi Sulawesi Barat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18,66 persen per tahun, Sulawesi Tengah sebesar 13,40 persen per tahun, dan Sumatera Selatan sebesar 6,42 persen per tahun. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat dan Banten produksi karet mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,88 persen dan 2,39 persen setiap tahunnya. Lokasi pemusatan untuk luas areal perkebunan karet secara nasional (Gambar 4-35) berada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Kopi Perkembangan produksi kopi dari tahun 2002-2006 menurut pulau (Tabel 4-13), Penghasil produksi kopi nasional terbesar tahun 2006 berasal dari Pulau Sumatera sebesar 466.668 ton atau 71,50 persen dari total produksi kopi nasional, Pulau Jawa-Bali sebesar 87.054 ton (13,34 %), dan Pulau Sulawesi sebesar 57.505 ton (8,81 %). Produksi kopi di Pulau Sumatera sebagian besar berasal dari Provinsi
IV-30
Tabel 4-13: Produksi Kopi Menurut Wilayah Tahun 2000-2006. (dalam ribu ton) WILAYAH 2002 2003 2004 2005 Sumatera 494,96 476,41 463,44 457,75 Jawa-Bali 85,30 81,51 88,23 85,55 Kalimantan 15,21 15,77 15,31 5,88 Sulawesi 58,23 65,43 53,52 56,42 Nusa Tenggara 21,03 20,50 23,21 20,82 Maluku 1,86 1,33 0,97 1,15 Papua 5,45 2,63 2,72 2,80 Nasional 641,99 616,00 647,39 605,35 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dan BPS
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2006 466,67 87,05 6,19 57,51 21,23 1,17 2,86 652,67
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Lampung sebesar 145.544 ton, Sumatera Selatan sebesar 143.201 ton, dan Bengkulu sebesar 62.373 ton. Penghasil kopi terbesar di Pulau Sulawesi berasal dari Sulawesi Selatan sebesar 30.564 ton dan Sulawesi Barat sebesar 10.476 ton. Sedangkan penghasil kopi terbesar di Pulau Jawa-Bali berasal dari Provinsi Jawa Timur sebesar 43.756 ton, Bali sebesar 17.253 ton dan Jawa Tengah 14.493. Pola sebaran luas areal perkebunan kopi secara nasional, terlihat lokasi pemusatan untuk areal perkebunan kopi terkonsentrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Banten, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Rata-rata pertumbuhan produksi kopi antarprovinsi dari 2002-2006, peningkatan terbesar produksi kopi per tahun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 100,46 persen, Sulawesi Utara sebesar 33 persen, dan Kalimantan Tengah sebesar 25,08 persen, namun di beberapa provinsi rata-rata produksi kopi per tahun menurun, penurunan terbesar berada di Provinsi Kepulauan Riau dan Maluku Utara. Sementara pola persebaran luas areal perkebunan kopi, terlihat pemusatan areal perkebunan kopi secara nasional, terkonsentrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Papua. Kakao Perkembangan produksi kakao dari tahun 2002-2006 menurut pulau(Tabel 4-14), penghasil produksi kakao secara nasional terbesar tahun 2006 berasal dari Pulau Sulawesi sebesar 539.859 ton atau 71,29 persen dari total produksi kakao nasional dan Pulau Sumatera sebesar 118.683 ton atau 14,69 persen. Penghasil produksi kakao terbesar di Pulau Sulawesi berasal dari Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 153.955 ton, Sulawesi Selatan sebesar 180.578 ton, dan Sulawesi Tenggara sebesar 101.025 ton. Penghasil produksi kakao terbesar di Pulau Sumatera berasal dari Provinsi Sumatera Utara sebesar 55.446 ton dan Lampung sebesar 22.492 ton. Rata-rata pertumbuhan produksi kakao antarprovinsi dari 2002-2006, peningkatan terbesar rata-rata produksi kakao per tahun berada di Provinsi Banten sebesar 52.14 persen, Sulawesi Utara sebesar 51,66 persen, dan Kalimantan Selatan sebesar 46,38 persen, namun di beberapa provinsi mengalami penurunan produksi kakao, penurunan rata-rata produksi kakao terbesar berada di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 4,02 persen, Jambi sebesar 1,50 persen, dan Maluku Utara sebesar 0,33 persen. Sementara pola persebaran luas areal perkebunan kakao (Gambar 4-37), terlihat pemusatan areal perkebunan kakao secara nasional terkonsentrasi di Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, NTT, Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, Papau, dan Papua Barat. Tabel 4-14: Produksi Kakao Menurut Wilayah Tahun 2000-2006. (dalam ton) WILAYAH
2002
2003
2004
2005
2006*)
Share 2006
Sumatera
85.658
89.356
95.736
111.683
118.504
14,69
Jawa-Bali
28.501
29.238
22.742
24.074
42.716
4,03
Kalimantan
23.931
24.195
21.212
27.662
27.836
3,46
390.036
506.127
505.633
537.179
539.859
71,29
Sulawesi Nusa Tenggara
7.651
11.051
15.701
16.666
16.328
2,19
Maluku
19.883
19.131
18.543
16.826
17.898
2,40
Papua
15.495
18.068
12.137
14.738
16.332
1,95
571.155
697.166
691.704
748.828
779.473
100,00
Indonesia
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-31
PEREKONOMIAN DAERAH
Tembakau Tabel 4-15, menunjukkan perkembangan produksi tembakau antarpulau tahun 2002-2006. Penghasil produksi tembakau terbesar secara nasional berasal dari Pulau Jawa-bali dan Nusa Tenggara. Produksi tembakau tahun 2006 dari Pulau Jawa-Bali sebesar 137.211 ton atau sebesar 73,46 persen dari total nasional, penghasil tembakau terbesar di Pulau Jawa-Bali berasal dari Provinsi Jawa Timur sebesar 97.112 ton dan Jawa Tengah sebesar 29.896 ton. Sedangkan penghasil tembakau terbesar di Pulau Nusa Tenggara berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan jumlah produksi sebesar 36.021 ton. Pertumbuhan produksi tembakau pada tahun 2005-2006 tertinggi di Provinsi Lampung sebesar 26,67 persen, Jawa Timur sebesar 26,05 persen, dan Jawa Tengah sebesar 16,97 persen, dan penurunan produksi tembakau tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 13,33 persen, Sulawesi Selatan 9,85 persen dan Sumatera Utara sebesar 2,65 persen. Sementara pola persebaran luas areal perkebunan tembakau (Gambar 4-38), terlihat pemusatan areal perkebunan tembakau secara nasional terkonsentrasi di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Tabel 4-15: Produksi Tembakau Menurut Wilayah Tahun 2000-2006. (dalam ton) WILAYAH
2002
2003
2004
2005
2006
Sumatera
2.688
2.728
3.059
3.021
3.013
Jawa-Bali
165.567
162.879
123.562
112.742
137.211
Sulawesi
981
1.015
1.772
1.756
1.583
22.846
34.253
36.715
35.951
36.088
192.083
200.875
165.108
153.470
177.895
Nusa Tenggara Indonesia
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan
Gambar 4-40: Pola Spasial Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Provinsi Tahun 2006
IV-32
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Gambar 4-41: Pola Spasial Areal Perkebunan Karet Menurut Provinsi Tahun 2006
Gambar 4-42: Pola Spasial Areal Perkebunan Kopi Menurut Provinsi Tahun 2006
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-33
PEREKONOMIAN DAERAH Gambar 4-43: Pola Spasial Areal Perkebunan Kakao Menurut Provinsi Tahun 2006
Gambar 4-44: Pola Spasial Areal Perkebunan Tembakau Menurut Provinsi Tahun 2006
IV-34
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
4.5.3. Peternakan Peternakan besar yang banyak diusahakan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia meliputi sapi potong, sapi perah, kuda, kerbau, kamping, domba dan babi. Populasi ternak besar terbanyak adalah jenis sapi potong, kambing dan domba. Perkembangan populasi ternak besar dari tahun 2005-2009 untuk masing-masing jenis ternak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah populasi terbesar untuk ternak besar adalah Kambing, Sapi potong, dan domba, Berdasarkan Tabel 4-20 tercatat jumlah populasi ternak tahun 2009 untuk kambing sebanyak 15,65 juta ekonor, selanjutnya untuk domba 10,47 juta ekor, dan sapi potong 12,60 juta ekor. Sementara untuk jenis ternak lainnya yang populasinya cukup besar adalag Babi sebanyak 7,38 juta ekor dan kerbau 2,04 juta ekor. Tabel 4-16: Populasi Ternak Besar Nasional dari Tahun 2005-2009. (ekor) Jenis Ternak
2005
2006
2007
2008
2009
10,569,312
10,875,125
11,514,871
12,256,604
12,603,160
361,351
369,008
374,107
457,577
486,994
13,409,277
13,789,955
14,470,214
15,147,432
8,327,022
8,979,849
9,514,184
9,605,339
10,471,991
386,708
397,642
401,081
392,864
398,226
Kerbau
2,128,491
2,166,606
2,085,779
1,930,716
2,045,548
Babi
6,800,698
6,218,202
6,710,757
6,837,528
Sapi Potong Sapi Perah Kambing Domba Kuda
15,655,740
7,384,126
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, *) Angka sementara
Sebaran populasi sapi potong tahun 2009 terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 3.394.089 ekor, Jawa Tengah sebanyak 1.529.991 ekor, Bali sebanyak 688.373 ekor, dan Sulawesi Selatan sebanyak 703.968. Sebaran jumlah populasi ternak sapi perah terbesar terdapat di Jawa Timur dengan populasi sebanyak 221.944 ekor, Jawa Tengah 134.821 ekor, dan Jawa Barat sebanyak 114.588 ekor. Wilayah sentra peternakan kuda di Indonesia terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan populasi sebanyak 105.843 ekor, Nusa Tenggara Barat, 78.387 ekor, dan Sulawesi Selatan dengan jumlah populasi sebanyak 113.514 ekor. Sentra wilayah untuk ternak kerbau terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan jumlah populasi sebanyak 299.762 ekor, Sumatera Barat sebanyak 203.397 ekor, dan Nusa tenggara Barat sebanyak 179.120 ekor. Jumlah populasi ternak kambing terbesar terdapat di Provinsi Jawa Tengah dengan populasi sebanyak 3.491.073 ekor, Jawa Timur 2.780.822 ekor, Jawa Barat sebanyak 1.488.152 ekor, dan Lampung sebanyak 1.012.705 ekor. Populasi untuk ternak domba terbesar terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah populasi sebanyak 5.524.209 ekor dan Jawa Tengah sebanyak 2.661.731 ekor. Jumlah populasi ternak babi terbesar terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah populasi sebanyak 1,5 juta ekor, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Papua, dan Kalimantan Barat. Sebaran populasi ternak besar lebih rinci disajikan pada Tabel Lampiran 4. Populasi ternak unggas terbesar di Indonesia adalah jenis ayam ras pedaging dan ayam buras (bukan ras), jumlah populasi ayam ras pedaging tahun 2009 tercatat sebanyak 930.317.847 ekor dan ayam buras sebanyak 261.398.127 ekor. Perkembangan populasi unggas dari tahun 2005-2009 untuk mengalami peningkatan setiap tahunnya , kecuali untuk populasi jenis ternak ayam buras menurun pada tahun 2006, 2007, dan 2008, sementara untuk ternak unggas ayam ras petelur meningkat setiap tahunnya (Tabel 4-17).
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-35
PEREKONOMIAN DAERAH
Tabel 4-17: Populasi Ternak Unggas Nasional Dari Tahun 2005-2009. (ekor) Jenis ternak
2005
2006
2007
2008
811,188,684
797,527,446
891,659,346
902,052,418
2009*) 930,317,847
84,790,411
100,201,556
111,488,877
107,955,170
110,106,248
278,953,778
291,085,191
272,251,141
243,423,389
261,398,127
Itik 32,405,428 32,480,718 Sumber: Ditjen Peternakan, tahun 2010 Keterangan: *) angka sementara
35,866,833
39,839,520
42,090,110
Ayam Ras Pedaging Ayam Ras Petelur Ayam Buras
Populasi ternak untuk ayam ras pedaging terbesar tahun 2009 terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan populasi sebanyak 429.894.804 ekor, Jawa Timur sebanyak 144.206.177 ekor, dan Jawa Tengah sebanyak 56.282.509 ekor. Untuk populasi unggas jenis ayam ras pedaging terbesar terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah populasi sebesar 32.417.142 ekor, Jawa Tengah sebesar 16.557.198 ekor, dan Jawa Timur sebesar 10.610.582 ekor. Populasi ternak unggas untuk buras terbesar terdapat di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah populasi sebanyak 46.231.616 ekor, Jawa Barat sebanyak 28.593.845 ekor, dan Jawa Timur sebanyak 23.099.936 ekor. Sementara untuk populasi ternak unggas jenis itik terbesar terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah populasi sebanyak 8.200.958 ekor, Jawa Tengah sebanyak 5.430.199 ekor, Jawa Timur sebanyak 4.410.010 ekor, dan Kalimantan Selatan sebanyak 4.194.535 ekor.
4.5.4.
Perikanan dan Kelautan
4.5.4.1.
Perikanan Tangkap
Produksi (ton)
Gambar 4-45: Produksi perikanan nasional terdiri dari Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Menurut Wilayah Tahun 2005-2007. Perikanan tangkap berasal dari perikanan tangkap (dalam Ton) laut dan perairan umum, sedangkan produksi perikanan budidaya berasal dari budidaya laut, 6,000,000 tambak, kolam, karamba, jaring apung, dan sawah. 5.044.347 4.806.112 5,000,000 Produksi perikanan tangkap tahun 2005 sebesar 4.705.869 4.705.869 ton, meningkat pada tahun 2006 4,000,000 sebesar 2,13 persen atau menjadi 4.806.112 ton, 3.193.564 2.682,607 dan produksi perikanan tangkap hingga akhir 3,000,000 2.163.678 2007 mencapai 5.044.737 ton atau meningkat 2,000,000 sebesar 4,96 persen. Untuk produksi perikanan budidaya tahun 2005 sebesar 2.163.678 ton 1,000,000 meningkat pada tahun 2005 sebesar 23,98 persen atau menjadi 2.682.607 ton, dan hingga akhir 2007 0 mencapai 3.193.567 ton atau meningkat sebesar 2005 2006 2007 19,05 persen. Produksi perikanan budidaya tahun Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap 2007 sebagian besar berasal dari budidaya laut sebesar 47,27 persen, budidaya kolam sebesar 29,24 persen, dan budidaya kolam sebesar 12,25 persen. Sedangkan untuk perikanan tangkap sebagian besar berasal dari perikanan laut yaitu sebesar 93,84 persen dan perairan umum relatif kecil yaitu sebesar 6,16 persen.
IV-36
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Perbandingan tingkat produksi perikanan tangkap antar pulau tahun 2007, menunjukkan produksi perikanan tangkap laut terbesar berada di wilayah Sumatera dan JawaBali masing-masing sebesar 1.242.789 ton dan 1.021.367 ton, sementara produksi terrendah di Wilayah Nusa Tenggara dan Kalimantan masing-masing sebesar 200.771 ton dan 308.822 ton. Sedangkan untuk produksi perikanan tangkap perairan umum terbesar di Wilayah Kalimantan dan Sumatera masing-masing sebesar 136.324 ton dan 100.945 ton. Tabel 4-18: Produksi Perikanan Tangkap Menurut Wilayah Tahun 2005-2007. (dalam Ton) WILAYAH SUMATERA J A W A-BALI NUSA TENGGARA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA JUMLAH Sumber: BPS 2009
Perikanan Laut 2005 2006 2007 1.162.586 1.216.691 1.343.789 941.431 991.949 1.021.367 206.482 192.188 200.771 342.822 326.883 308.822 850.970 863.852 910.326 588.848 601.727 623.603 904.208 920.628 949.205 4.997.347 5.113.918 5.357.883
Perairan Umum 2005 2006 2007 102.979 93.217 100.945 37.106 43.106 37.053 2.851 1.936 2.577 121.198 120.365 136.324 26.301 28.332 26.507 210 89 124 6.935 6.965 7.051 297.580 294.010 310.581
2005 1.265.565 978.537 209.333 464.020 877.271 589.058 911.143 5.294.927
Sub Jumlah 2006 2007 1.309.908 1.444.734 1.035.055 1.058.420 194.124 203.348 447.248 445.146 892.184 936.833 601.816 623.727 927.593 956.256 5.407.928 5.668.464
Perkembangan produksi perikanan tangkap menurut provinsi tahun 2005 dan 2007. Tabel 4-18 dan Tabel 4-19 dan, menunjukkan perkembangan produksi perikanan tangkap untuk setiap provinsi rata-rata mengalami peningkatan, namun dibeberapa provinsi seperti di Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Riau, Sulawesi tenggara, Nusa tenggara Timur, Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah menurun. Peningkatan Produksi perikanan tangkap terbesar berada di Provinsi Sumatera Barat sebesar 79.540 ton, Jawa Timur sebesar 60.404 ton, Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 49.195 ton dan Bali sebesar 27.603 ton. Sementara pengingkatan produksi perikanan tangkap terkecil berada di Provinsi Papua Barat sebesar 913 ton, D.I. Yogyakarta sebesar 578, dan Jambi sebesar 308 ton. Tabel 4-19: Produksi Perikanan Tangkap Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2007. (dalam Ton) P r o vi n s i Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kapulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
Perikanan Laut 2005 2007 81.163 130.550 326.336 348.222 108.912 187.092 97.782 102.090 43.121 43.638 27.831 37.790 38.750 42.435 137.728 135.214 119.845 123.202 181.118 193.556 132.024 146.240 155.341 167.288 192.586 154.442 1.773 2.629 322.292 382.877 58.712 61.679 78.703 106.212 81.610 99.554 124.872 101.217
Perairan Umum 2005 2007 1.319 1.127 11.671 13.452 8.000 9.360 24.694 14.355 5.554 5.345 43.188 43.045 453 666 8.100 13.595 6.677 7.187 16.177 15.870 1.255 977 11.871 11.690 536 645 590 684 2.851 2.577 -
Sub Jumlah 2005 2007 82.482 131.677 338.007 361.674 116.912 196.452 122.476 116.445 48.675 48.983 71.019 80.835 39.203 43.101 145.828 148.809 119.845 123.202 181.118 193.556 132.024 146.240 162.018 174.475 208.763 170.312 3.028 3.606 334.163 394.567 59.248 62.324 79.293 106.896 84.461 102.131 124.872 101.217
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-37
PEREKONOMIAN DAERAH
P r o vi n s i Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Ka;imantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua J u m l a h (Nasional) Sumber: BPS 2009
Perikanan Laut 2005 2007 60.616 65.828 45.994 48.570 136.520 98.684 99.692 95.740 191.868 191.257 92.088 116.830 277.433 282.535 213.610 204.195 37.036 49.060 38.935 66.449 481.848 489.249 107.000 134.354 100.498 101.411 214.862 224.191 4.408.499 4,734,280
Perairan Umum 2005 2007 13.486 7.795 27.506 39.417 49.613 53.563 30.593 35.549 1.043 1.373 297 376 19.950 19.014 3.990 4.841 860 903 161 210 124 6.725 6.927 297.370 310.457
Sub Jumlah 2005 2007 74.102 73.623 73.500 87.987 186.133 152.247 130.285 131.289 192.911 192.630 92.385 117.206 297.383 301.549 217.600 209.036 37.896 49.963 39.096 66.449 482.058 489.373 107.000 134.354 100.498 101.411 221.587 231.118 4.705.869 5.044.737
4.5.4.2. Perikanan Budidaya Perbandingan produksi perikanan budidaya antar pulau tahun 2007. Tabel 4-20, menunjukkan tingkat perbandingan produksi Perikanan budidaya antar pulau tahun 2007, Produksi perikanan budidaya laut terbesar berada di Wilayah Jawa-Bali dan Nusa Tenggara; budidaya tambak di wilayah Sulawesi, Sumatera, dan Jawa-Bali; budidaya kolam di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera; budidaya karamba di Wilayah Sumatera dan Kalimantan; budidaya jaring apung di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera; dan budidaya sawah di Jawa-bali dan Sumatera. Sementara menurut perkembangannya selama tahun 2004 sampai 2007, produksi perikanan budidaya setiap wilayah mengalami peningkatan setiap tahunnya, kecuali untuk perikanan budidaya laut dan karamba di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera mengalami penurunan tingkat produksi. Tabel 4-20: Produksi Perikanan Budidaya Menurut Wilayah Tahun 2005-2007. (dalam ton) WILAYAH Sumatera J awa-Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua JUMLAH WILAYAH
2005 6.401 209.499 308.305 9.633 351.670 1.099 3.467 890.074
2005 Sumatera 32.594 J awa-Bali 3.827 Nusa Tenggara 350 Kalimantan 29.306 Sulawesi 1.561 Maluku Papua 251 JUMLAH 67.889 Sumber: BPS tahun 2008
IV-38
Budidaya Laut 2006 2007 2.743 7.573 196.070 185.208 541.814 580.365 4.376 24.651 616.776 692.318 4.066 18.613 77 801 1.365.922 1.509.528 Karamba 2006 2007 27.652 27.168 2.905 2.825 375 470 22.668 31.457 2.089 1.643 17 510 349 56.199 63.929
Tambak 2006 2007 225.453 250.773 218.306 285.197 13.409 23.609 28.577 41.962 140.789 331.554 158 166 2.921 574 629.613 933.832 Jaring Apung 2005 2006 2007 11.728 15.960 24.805 87.967 124.703 152.179 31 242 424 4.105 9.471 2.153 9.523 13 12 252 109.421 143.252 190.893 2005 179.793 253.895 11.449 35.966 161.650 842 380 643.975
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2005 120.776 187.622 2.511 6.244 13.283 290 1.240 331.966 2005 22.521 94.193 97 246 3.296 120.353
Kolam 2006 144.773 207.357 6.626 9.193 9.410 264 4.325 381.948 Sawah 2006 21.667 79.035 1.053 778 3.140 105.673
2007 168.294 211.707 3.167 14.337 11.252 335 1.284 410.373 2007 30.142 50.330 129 265 4.144 85.009
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Produksi perikanan budidaya antarprovinsi di Wilayah Sumatera tahun 2007 (Tabel 421), produksi terbesar berada di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, sementara produksi terrendah di Provinsi Bengkulu, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung. Perbandingan produksi perikanan budidaya di Wilaya Jawa-Bali, produksi terbesar di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah, sementara produksi terrendah di provinsi DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, dan Banten. Perbandingan produksi perikanan budidaya di Wilayah Kalimantan, produksi terbesar di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, sedangkan produksi terrendah di provinsi Kalimantan Tengah. Produksi Perikanan budidaya di Wilayah Sulawesi terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, dan Sulawesi Tenggara, sementara produksi perikanan budidaya terendah di Provinsi Sulawesi barat, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Perbandingan produksi perikanan budidaya di Wilayah Maluku, Nusa tenggara dan Papua, terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan produksi terrendah di Provinsi Maluku Utara dan Maluku. Tabel 4-21: Produksi Perikanan Budidaya Menurut Wilayah Tahun 2005-2007. (dalam Ton) P r ov I ns i
Budidaya Laut
Kolam
Karamba
Banten Bali Nusa Tenggara Barat
5.840 161.121 36.425
6.120 152.306 75.656
10.877 2.741 11.222
15.262 2.897 23.114
5.254 680 2.244
8.319 786 2.583
28 350
60 49 470
99 115 -
211 165 31
5.210 358 97
4.360 291 89
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
271.880 9.047 -
504.709 86 36
227 1.864 1.808
495 3.130 1.085
267 1.532 863
584 2.302 979
3.027 3.359
229 4.285
30 -
3.521 32
129
40 -
505 81 7.739
6.065 18.464 4.502
5.316 26.978 183
6.027 31.720 161
3.282 567 4.294
5.976 5.079 5.995
4.293 18.627 1.302
3.728 23.216 263
212
503 49 8.502
117 1.159
265 1.485
124.512 201.406 12.359 5.654 265 834 1.099 3.467 890.074
182.074 415.727 82.322 7.117 578 17.533 1.080 18.613 762 39 1.509.528
9.347 133.088 17.479 1.553
18.987 297.677 9.500 746 4.483 160 6 166 38 536 933.832
1.580 2.904 4.392 113 122 168 290 4 1.236 331.966
1.663 2.168 926 470 30 135 200 335 169 1.115 410.373
23 2 234
27 458 847 48 9 8 17 349 63.929
1.021 252 252 190.893
102 2.024 9 2 0 120.353
2.276 32 351 0 85.009
482 360 842 380 643.975
2005 8.733 14.243 14.174 24.769 5.531 34.768 4.427 13.417 536 178 6.830 110.247 25.360 8.225 31.026
2007 6.305 16.742 34.207 25.485 7.934 51.059 6.214 19.318 693 336 2.683 118.162 34.619 11.427 35.711
2005 342 234 9.558 987 3.627 17.401 39 406 514 375 112 2.798
0 251 67.889
2007
2005
4 323 4.294 2.864 371 18.325 60 927 1.068 495 47 1.106
Sawah
612 34 5 2.094 24 4.805 1.345 10.570 1.854 13.013
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara MALUKU Papua Barat Papua J u mlah
2007 26.451 22.171 4 507 1.252 33.194 786 165.990 165 253 1.751 92.302 67.819 301 104.865
Jaring Apung
548 126 26 821 24 4.856 1.909 10.089 25.984 4.556
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
2007
Tambak 2005 12.336 18.730 5 741 1.304 21.516 1.438 123.571 152 143 65.073 52.381 213 122.467
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulaua n Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur
2005
4.336 5.070 163 949 115 8 1.080 7 80.824 6.737 192 -
2007 479 3.939 10.825 8.073 418 11 1.040 20 143.244 7.169 18 1.372
2005 3.023 6.302 3.213 8 7.925 1.602 448 34.519 2.439 389 51.278
2007 2.428 9.623 6.243 8 8.873 2.357 611 26.223 2.051 157 17.248
7.965 923 583 13 13 109.421
Sumber: BPS 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-39
PEREKONOMIAN DAERAH
4.5.5. Nilai Tukar Petani (NTP)
NTP
IT & IB
Nilai Tukar Petani (NTP) yang Gambar 4-46: diperoleh dari perbandingan indeks Perkembangan Nilai Tukar Petani Nasional harga yang diterima petani terhadap Tahun 2000-2009. indeks harga yang dibayar petani (dalam persentase), merupakan salah 700 140 satu indikator untuk melihat tingkat 600 120 kemampuan/daya beli petani di 500 100 pedesaan. NTP juga menunjukkan daya 400 80 tukar (term of trade) dari produk 300 60 pertanian dengan barang dan jasa yang 200 40 dikonsumsi maupun untuk biaya 100 20 produksi. Semakin tinggi NTP, relatif 0 0 semakin kuat tingkat kemampuan/daya 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008**2009*** beli petani. Peningkatan dan IT 380. 434. 449. 436. 454. 517. 610. 642. 115. 118. penurunan NTP secara umum terjadi IB 323. 365. 401. 422. 449. 522. 573. 604. 116. 119. ketika panen tanaman pangan ataupun NTP 117. 118. 111. 103. 101. 98.9 106. 106. 99.2 99.5 tanaman perkebunan rakyat dimana produksi tinggi dan kemampuan pasar Sumber: BPS 2009 (demand) kapasitasnya terbatas dan harga produksi akan melemah, tetapi akan naik kembali pada waktu pasca panen. Kenaikan NTP umumnya disebabkan oleh kenaikan harga komoditas hasil tanaman pangan ataupun hasil tanaman perkebunan rakyat. Meskipun demikian, fluktuasi harga komoditas konsumsi rumah tangga dan biaya produksi serta penambahan barang modal juga mempengaruhi tinggi rendahnya NTP. Gambar 4-46, menunjukkan perkembangan NTP, IT, dan IB selama kurun waktu 20002009. Secara nasional terlihat bahwa NTP tertinggi yaitu sebesar 118,72 pada tahun 2001. Hal ini disebabkan nilai yang diterima petani lebih besar daripada nilai yang dibayarkan petani. Sedangkan pada tahun 2002-2004 NTP mengalami penurunan hingga mencapai 101,17 pada tahun 2004. Meskipun NTP menurun dari tahun 2003, namun nilai yang diterima petani masih lebih besar dari nilai yang dibayarkan petani. Pada awal periode 2005-2009 nilai NTP sebesar 98,92 dan besarannya meningkat setiap tahunnya hingga tahun 2007 (September) mencapai 106,30, namun pada tahun 2009 (Oktober) kembali menurun menjadi 99,5. Gambar 4-47, menunjukan dari 32 provinsi yang dilaporkan, perubahan NTP Juni 2009 terhadap NTP Mei 2009 ternyata sangat beragam, yaitu terjadi kenaikan di 20 provinsi, 1 provinsi stabil, sedangkan 11 provinsi terjadi penurunan. Kenaikan tertinggi pada Juni 2009 terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar 1,49 persen, sedangkan penurunan terbesar terjadi di Provinsi Sumatera Barat yang turun sebesar 1,29 persen. Kenaikan yang tinggi di Provinsi Sulawesi Selatan terutama disebabkan oleh kenaikan pada subsektor tanaman perkebunan rakyat, khususnya komoditi coklat yang naik 1,36 persen, sedangkan penurunan yang tajam di Provinsi Sumatera Barat terutama terjadi karena penurunan yang cukup signifikan pada subsektor tanaman pangan, khususnya komoditi padi yang turun sebesar 3,43 persen.
IV-40
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Gambar 4-47: Nilai Tukar Petani Menurut Provinsi Tahun 2009. 107,84
2
108,12
108 1,49
106
1.5
104
1
102
0.5
100 98
0
96
-0.5
94
Perubahan (%)
110
NTP
-1
92 90
-1.5
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Banten Jawa Tengah Dl Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
IV
NTP 2009
% Perb Mei-Juni 2009
Sumber: BPS 2009
4.6.
Keuangan Daerah
Kebijakan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001 telah membawa konsekuensi pada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Hal ini antara lain dapat dilihat dari semakin besarnya penyerahan sumber-sumber pendanaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang diimplementasikan dalam bentuk transfer belanja ke daerah dalam APBN. Selain itu, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing), serta bantuan keuangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta Dana Perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 4.6.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Perbandingan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Se-provinsi tahun 2007, Provinsi DKI Jakarta berada di urutan pertama dengan besaran PAD sebesar 10.084,26 miliar rupih, selanjutnya di urutan kedua Provinsi Jawa Barat sebesar 5.726,87 miliar rupiah, Jawa Timur berada di urutan ketiga dengan PAD sebesar 5.494,89 miliar rupih. Sementara Provinsi Papua Barat dan Sulawesi Barat berada di peringkat terrendah dengan PAD masing-masing sebesar 70,39 rupiah dan 79,15 miliar rupiah. Sementara dilihat dari perbandingan rasio PAD terhadap total pendapatan, DKI Jakarta cukup tinggi yaitu mencapai 0,55 atau kotribusi PAD terhadap total pendapatan daerah sebesar 55 persen, selanjutnya Provinsi Banten dan Bali memiliki kontribusi PAD cukup besar terhadap pendapatan daerah yaitu masing-masing sebesar 27 persen dan 25 persen. Sementara provinsi dengan rasio PAD terhadap pendapatan daerah paling rendah adalah Provinsi Papua Barat, Papua, dan Sulawesi Barat (Gambar 4-48).
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-41
PEREKONOMIAN DAERAH
Gambar 4-48: PAD dan Rasio PAD terhadap Total Pendapatan Menurut Provinsi Tahun 2007, 0.60
12,000 PAD (Rp. Miliar) 10,000
Rasio
0.40
8,000
0.30
6,000
0.20
4,000
0.10
2,000
0.00
0
PAD (Rp. miliar)
0.50
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali NTB NTT Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kep Riau Papua Barat Sulawesi Barat
rasio PAD/Pendapatan
0,55
S umber :Diolah dari data publikasi BPS
4.6.2. Dana Perimbangan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Dana perimbangan terdiri atas: Dana Bagi Hasil; Dana Alokasi Umum; dan Dana Alokasi Khusus. Ketiga jenis dana perimbangan tersebut mempunyai tujuan dan nature yang berlainan antara satu dengan yang lain. Perkembangan realisasi belanja ke daerah yang dialokasikan dalam PBN selama tujuh tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu dari tahun 2001 – 2007 disajikan dalam Gambar 4-49. Pada tahun 2001, alokasi belanja ke daerah baru mencakup dana perimbangan, dan sejak tahun 2002, alokasi belanja ke daerah juga mencakup dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua sebagai pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan dana penyeimbang atau dana penyesuaian yang dialokasikan kepada daerah-daerah yang menerima DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya. Gambar 4- 49 : Realisasi Dana Perimbangan Tahun 2005-2009. (miliar rupiah) 300,000
80 69,21
70
250,000
miliar rupiah
60 200,000 150,000
40
30
100,000 11,56
50,000
5,14
0
10 0
DAU
2005 DAK
2006 2007 DBH Dana Perimbangan
Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
IV-42
20
9,25
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2008 2009 Perkembangan Dana Perimbangan
%
50
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Sebagai komponen terbesar dari belanja ke daerah, dana perimbangan senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dengan rata-rata peningkatan sebesar 23,7 persen per tahun. Realisasi Dana Perimbangan tahun 2005 sebesar mencapai 127.711 miliar rupiah, maka pada tahun 2006 realisasi dana perimbangan mencapai 216.106 miliar rupiah atau meningkat cukup tajam yaitu sebesar 69,21 persen dari tahun sebelumnya. persen. Selanjutnya, dalam RAPBN-P tahun 2007 realisasi dana perimbangan sebesar 241.086 miliar rupiah atau meningkat sebesar 11,56 persen, dan hingga akhir tahun 2009, realisasi Dana Perimbangan mencapai 276.914 miliar rupiah. Alokasi dana perimbangan tersebut terdiri atas alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Komposisi Dana perimbangan tahun 2009, untuk DAU sebesar 186.414 miliar rupiah atau 67,31 persen dari total dana perimbangan, DAK sebesar 25.255 miliar rupiah (9,12 %), dan Dana Bagi Hasil sebesar 276.914 miliar rupiah (23,56 %). Dana Bagi Hasil (DBH) Salah satu bagian dari dana perimbangan adalah Dana Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah, yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Tujuan dari Dana Bagi Hasil ini adalah untuk mengatasi masalah ketimpangan vertikal (antara Pusat dan Daerah) yang dilakukan melalui pembagian hasil antara pemerintah pusat dan daerah penghasil, dari sebagian penerimaan perpajakan (nasional) dan penerimaan sumber daya alam. DBH dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam arti bahwa bagian yang diterima daerah didasarkan atas daerah penghasil. Prinsip tersebut berlaku untuk semua komponen DBH, kecuali DBH perikanan yang dibagi sa ma rata ke seluruh kabupaten/kota. Selain itu, penyaluran DBH baik pajak maupun SDA dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Kebijakan dana bagi hasil dimasa depan lebih dititikberatkan pada penyempurnaan dan percepatan dalam proses perhitungan, pengalokasian, dan penetapan dana bagi hasil ke daerah. Hal ini dilakukan agar penyaluran DBH ke daerah dapat dilakukan tepat waktu. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah terus melakukan langkah-langkah dalam penyempurnaan proses dan mekanisme penyaluran DBH ke daerah, antara lain melalui peningkatan koordinasi antardepartemen/instansi terkait serta peningkatan akurasi data oleh departemen/instansi terkait. Gambaran perkembangan Dana Bagi Hasil dapat dilihat pada Tabel 4-22. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa perkembangan Dana Bagi Hasil periode 2005-2009 terus meningkat. Meskipun rata-rata pertumbuhan Dana Bagi Hasil tidak meningkat secara pesat seperti Dana Alokasi Khusus yang mencapai 57,59 persen per tahun, namun peningkatan ratarata pertumbuhan Dana Bagi Hasil masih tetap terlihat signifikan yaitu 19,77 persen dengan peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2005/2006, yaitu mencapai 68,57 persen. Pada Tabel 4-23, di bawah terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan Dana Bagi Hasil Pajak hanya 15,56 persen, kalah jauh dibandingkan dana bagi hasil sektor sumber daya alam yang mencapai ratarata 35.75 persen. Pertumbuhan negatif untuk Dana Bagi Hasi Sumberdaya terjadi pada tahun 2007 dan 2009.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-43
PEREKONOMIAN DAERAH
Tabel 4-22. Dana Bagi Hasil Tahun 2005-2009. (dalam Rp. miliar) Tahun
2005
Pajak Sumber Daya Alam Total Proporsi Pajak (%) Proporsi SDA Perkembangan Pajak (%) Perkembangan SDA (%) Perkembangan (%)
23.352 11.580 34.931 66,85 33,15
2006 27.884 30.998 58.882 47,36 52,64 19,41 167,69 68,57
2007
2008
31.471 27.733 59.204 53,16 46,84 12,86 -10,53 0,55
2009
34.483 28.188 62.671 55,02 44,98 9,57 1,64 5,86
41.510 23.735 65.245 63,62 36,38 20,38 -15,80 4,11
Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
Sementara itu, gambaran DBH seluruh Indonesia (33 provinsi) disajikan pada Tabel 423, dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009, daerah yang menerima DBH tertinggi adalah Kalimantan Timur sebesar 10.937 miliar rupiah, selanjutnya diikuti oleh lima provinsi lainnya, yaitu Provinsi Riau sebesar 8.172 miliar rupiah, DKI Jakarta sebesar 9.370 miliar rupiah, Sumatera Selatan sebesar 3.871 miliar rupiah, dan Jawa Timur sebesar 4.446 miliar rupiah. Sedangkan daerah dengan nilai DBH terendah tahun 2009 adalah Provinsi Gorontalo yaitu sebesar 136 miliar rupiah, dan Sulawesi Barat sebesar 161 miliar rupiah. Sedangkan untuk perkembangan penerimaan DBH provinsi tahun 2008-2009 rata-rata setiap provinsi meningkat, kecuali seperti Provinsi NAD, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Papua Barat penerimaan DBH menurun dibandingkan terhadap penerimaan DBH tahun 2008. Peningkatan terbesar adalah untuk Provinsi Bali sebesar 45 persen dan Jawa Tengah sebesar 39 persen. Tabel 4-23: Realisasi Dana Bagi Hasil Menurut Provinsi Tahun 2005 s.d. 2009. (dalam Rp. miliar) Provinsi Nan ggro e Aceh Daruss alam Su mat era U tar a Su mat era B arat Riau Jambi Su mat era Selatan Bengku lu Lampun g Bangk a Belitu ng Kepulau an Riau DKI Jakart a Jawa B arat Jawa Tengah D.I. Yogyak arta Jawa Timur Banten Bali Nusa Ten ggar a Barat Nusa Ten ggar a Ti mur Kalimant an Bar at Kalimant an Ten gah Kalimant an Selatan Kalimant an Timur Sulaw esi Utar a Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Sulaw esi Tenggar a Gorontalo Sulaw esi Barat Maluku Maluku Ut ara Papu a Bar at Papu a Total
2005
2006
2007
2008
1.946 1.055 327 3.988 548 1.651 146 438 236 598 4.844 2.601 1.246 182 2.062 800 294 383 295 352 458 806 6.007 190 229 757 202 91 107 255 278 706 853 34. 931
3.717 1.243 432 10.521 1.080 2.521 200 792 289 2.157 5.586 3.058 1.474 192 2.554 887 321 415 322 439 585 1.014 14.145 228 282 896 254 106 143 327 339 1.091 1.274 58. 882
1.695 1.379 440 10.114 1.267 3.496 211 735 318 1.553 7.025 3.569 1.591 236 2.979 1.111 381 398 324 486 729 1.072 12.831 240 304 945 275 108 145 317 377 1.084 1.470 59. 204
1.778 1.525 480 9.482 1.357 3.713 239 725 478 1.574 7.590 3.778 1.793 249 3.377 1.175 401 361 347 545 741 1.250 13.127 280 336 1.043 311 117 161 336 454 1.147 2.401 62. 671
Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
IV-44
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2009 1.242 1.843 501 8.172 1.263 3.871 255 595 547 1.527 9.370 4.622 2.489 342 4.446 1.534 584 406 400 702 919 1.807 10.937 341 346 1.041 337 136 161 372 503 1.068 2.565 65. 245
Proporsi 2009 (%) 1,90 2,83 0,77 12,52 1,94 5,93 0,39 0,91 0,84 2,34 14,36 7,08 3,81 0,52 6,81 2,35 0,89 0.62 0.61 1.08 1.41 2.77 16.76 0.52 0.53 1.60 0.52 0.21 0.25 0.57 0.77 1.64 3.93 100.00
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Perhitungan dalam menentukan besarnya DAU untuk masing-masing daerah provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan menggunakan rumus tertentu. Selain itu perhitungan DAU juga mempertimbangkan faktor penyeimbang antara lain beban belanja masing-masing daerah yang diperkirakan berdasarkan besaran alokasi Dana Rutin Daerah, Dana Pembangunan Daerah serta beban belanja pegawai yang dialihkan dari instansi vertikal menjadi pegawai daerah. Perkembangan total Dana Alokasi Umum (DAU) dari tahun ke tahun terus meningkat terlihat dari laju pertumbuhan total DAU, Pada tahun 2004 total DAU sebesar 82.130 miliar rupiah. Peningkatan Total Dana Alokasi Umum pada tahun 2003/2004 mencapai 6,69 persen. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan Total DAU menjadi 88.766 miliar rupiah atau meningkat sebesar 8,08 persen. Sedangkan pada tahun 2006 peningkatan total DAU cukup signifikan dengan mencapai pertumbuhan sebesar 64,09 persen atau mencapai total sebesar 145.664 miliar rupiah, dan pada akhir tahun 2009 anggaran DAU mencapai 186.414 miliar rupiah meningkat sebesar 3,84 persen terhadap DAU tahun 2008. Tabel 4-24: Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun 2004-2009. (miliar rupiah) Tahun 2004 Provinsi 8.213 Kabupaten/Kota 73.918 Total 82.131 Perkembangan DAU 6,69 Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
2005 8.877 79.889 88.766 8,08
2006 14.566 131.098 145.664 64,09
2007 16.479 148.309 164.788 13,13
2008 17.951 161.556 179.507 8,93
2009 18.641 167.773 186.414 3,84
Berdasarkan perkembangan DAU di 33 provinsi tahun 2004-2009, penerimaan alokasi DAU terbesar tahun 2009 adalah Provinsi Jawa Timur sebesar 20.855 miliar rupiah atau 11,19 persen dari total anggaran DAU, selanjutnya diikuti oleh lima provinsi terbesar lainnya, seperti: Jawa Tengah sebesar 19.346 miliar rupiah, Jawa Barat sebesar 18.142 juta rupiah, Sumatera Utara 10.808 miliar rupiah, Sulawesi Selatan sebesar 8.263 miliar rupiah, dan Papua sebesar 9,125 miliar rupiah. Semetara penerima alokasi DAU dengan terkecil adalah Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp. 1.559 miliar rupiah dan Sulawesi Barat sebesar 1.768 miliar rupiah. Perkembangan alokasi DAU ke daerah dalam kurun waktu 2004-2009 disajikan pada Tabel 425.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-45
PEREKONOMIAN DAERAH
IV
Tabel 4-25: Realisasi Dana Alokasi Umum Se-Provinsi 1 Tahun 2003-2009. (Rp. Miliar)
NAD
2.556
3.102
5.021
5.666
6.349
6.834
Proporsi 2009 (%) 3,67
Sumatera Utara
4.484
4.823
8.334
9.512
10.404
10.808
5,80
18,33
Sumatera Barat
2.645
2.838
5.129
5.779
6.512
6.643
3,56
20,08
Riau
1.598
1.635
1.877
2.630
2.210
2.240
1,20
5,37
Jambi
1.648
1.805
2.799
3.134
3.381
3.441
1,85
15,05
Sumatera Selatan
2.333
2.514
4.251
4.948
5.452
5.363
2,88
17,82
Bengkulu
1.007
1.110
2.301
2.550
2.868
2.916
1,56
24,31
Lampung
Provinsi
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Perkembangan Rata-rata 2004-2009 22,33
2.479
2.694
4.262
4.719
5.201
5.422
2,91
16,07
Bangka Belitung
586
705
1.468
1.737
2.042
2.018
1,08
28,27
Kepulauan Riau
527
654
1.032
1.456
1.124
1.559
0,84
27,78
DKI Jakarta
744
768
768
120
-
-
-
-
Jawa Barat
8.416
8.971
13.262
15.734
17.145
18.142
9,73
15,44
Jawa Tengah
9.961
10.455
15.850
17.457
18.843
19.346
10,38
13,66
D.I. Yogyakarta
1.517
1.566
2.452
2.704
3.006
3.016
1,62
14,22
Jawa Timur
10.447
10.949
16.617
18.761
20.531
20.855
11,19
14,24
Banten
1.781
1.928
2.705
3.261
3.624
3.937
2,11
16,00
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat
1.743
1.825
2.854
3.293
3.555
3.654
1,96
15,12
1.717
1.912
2.999
3.479
3.919
4.068
2,18
17,59
2.778
2.906
4.529
5.059
5.577
6.206
3,33
16,54
2.276
2.461
4.655
5.080
5.647
5.853
3,14
21,06
Kalimantan Tengah
2.015
2.360
4.374
4.851
5.352
5.490
2,95
26,14
Kalimantan Selatan
1.745
1.972
3.360
3.744
4.114
4.234
2,27
18,34
Kalimantan Timur
1.690
1.697
2.208
2.995
2.629
2.179
1,17
11,16
Sulawesi Utara
1.339
1.538
2.759
3.072
3.428
4.051
2,17
23,88
Sulawesi Tengah
1.694
1.840
3.263
3.608
4.050
4.125
2,21
19,70
Sulawesi Selatan
4.376
4.776
6.586
7.352
8.096
8.263
4,43
12,66
Sulawesi Tenggara
1.353
1.470
2.893
3.243
3.706
4.132
2,22
24,42
717
766
1.406
1.421
1.643
1.844
0,99
21,22
0
0
1.326
1.468
1.688
1.768
0,95
10,14
1.248
1.301
2.462
2.782
3.066
3.092
1,66
21,01
784
892
1.864
2.149
2.379
2.377
1,28
25,94
1.002
1.222
2.746
3.159
3.459
3.412
1,83
33,97
Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
2.926
3.314
7.252
7.864
8.507
9.125
4,90
23,04
82.131
88.766
145.664
164.788
179.507
186.414
100,00
17,46
Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
1
Se-provinsi merupakan penjumlahan kabupaten, kota dan provinsi
IV-46
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Dana Alokasi Khusus (DAK) Sumber dana perimbangan lainnya yang dapat dikategorikan sebagai alokasi by specific assignment adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu/khusus. Dalam pengalokasian DAK, menurut UU No, 25 tahun 1999 mengisyaratkan bahwa pembiayaan program-program yang berlabel kebutuhan khusus perlu disertai biaya pendamping daerah yang berasal dari sumber APBD. Tantangan bagi daerah untuk pengalokasian dana ini adalah dari aspek manajemen fiskal daerah baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi pengeluaran. Artinya, kreatifitas di tingkat daerah sangat dituntut untuk membangun daerahnya melalui pemanfaatan dana ini. Tabel 4-26: Dana Alokasi Khusus Pertahun ( Rp. Milyar ) Tahun 2004 Provinsi Kabupaten/Kota 2.839 Total 2.839 DAK 2.839 Perubahan (%) 25,12 Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
2005 20 3.994 4.014 4.014 41,39
2006
2007
11.560 11.560 11.560 187,99
17.094 17.094 17.094 47,87
2008 763 20.440 21.202 21.203 24,04
2009 2.690 22.565 25.255 25.255 19,11
Perkembangan Dana Alokasi Khusus periode 2004-2009 terus meningkat terlihat setiap tahunnya. DAK tahun 2004 sebesar 2.839 miliar rupiah, meningkat sebesar 41,39 persen pada tahun 2005 menjadi 4.014 miliar rupiah. Perkembangan total DAK tahun 2006-2009 meningkat cukup signifikan hingga akhir tahun 2009 mencapai sebesar 25.255 miliar rupiah, peningkatan DAK terbesar dalam kurun waktu 2004-2009 tarjadi pada tahun 2006 yaitu mencapai 187,39 persen dari 4.014 miliar rupiah menjadi 11.560 miliar rupiah (Tabel 4-26). Perkembangan realisasi DAK per bidang periode 2005-2009, Alokasi DAK tahun dari tahun 2005-hingga 2009 sebagian besar masih dialokasikan untuk pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan. Alokasi DAK tahun 2009 untuk bidang pendidikan sebesar 9.334.882 miliar rupiah atau 37,61 persen dari total DAK meningkat terhadap realisasi DAK tahun 2008, bidang kesehatan sebesar 4.017.370 (16,19 %), dan bidang infrastruktur jalan sebesar 4.500.917 miliar rupiah (18,13 %). Sementara untuk bidang lingkungan hidup, Keluarga Berencana, Kehutanan, Sarana dan prasarana perdesaan, dan perdagangan relatif masih kecil DAK yang dialokasikan (Tabel 4-27). Tabel 4-27: Komposisi Alokasi dan Perkembangan Realisasi DAK Per Bidang Periode 2005-2009. Bidang Pendidikan Keseh atan Jalan Irigasi Air Minum Sar ana Pemerintah Kelautan & p erikan an Pertanian Lingkungan Hidup Kelu arga Berencana Kehutanan Prasn ana Perd essaan Perdagangan TOTAL
2005 Miliar 1221 620 945 384,5 203,5 148 322 170
4.014
% 30,42 15,45 23,54 9,58 5,07 3,69 8,02 4,24
100,00
2006 Miliar 2.919.525 2.406.795 2.575.705 627.675 608 438.675 775.675 1.094.875 112.875
11. 559, 8
% 25,26 20,82 22,28 5,43 5,26 3,79 6,71 9,47 0,98
100,00
2007 Miliar 5195,29 3381,27 3113,06 858,91 1062,37 539,06 1100,36 1492,17 351,61
17. 094, 1
% 30,39 19,78 18,21 5,02 6,21 3,15 6,44 8,73 2,06
100,00
2008 Miliar 7015,42 3817,37 4044,681 1497,23 1142,29 362 1100,36 1492,17 351,61 279,01 100
21. 202. 141
% 33,09 18,00 19,08 7,06 5,39 1,71 5,19 7,04 1,66 1,32 0,47
100,00
2009 Miliar % 9.334.882 37,61 4.017.370 16,19 4.500.917 18,13 1.548.980 6,24 1.142.290 4,60 562 2,26 1.100.360 4,43 1.492.170 6,01 351,61 1,42 329,01 1,33 100 0,40 190 0,77 150 0,60 24. 819. 589 100,00
Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-47
PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan realisasi DAK di 33 provinsi dalam kurun waktu 2004-2009 (Tabel 428), rata-rata mengalami peningkatan. Beberapa daerah penerimaan DAK memiliki tingkat perkembangan realisasi diatas 100 persen rata-rata per tahun adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jawa Barat Kepulauan Bangka Belitung, dan Papua Barat. Sementara realisasi alokasi DAK terbesar tahun 2009 ditempati oleh Provinsi Papua sebesar 2.009 miliar rupiah, selanjutnya diikuti oleh Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Tengah, sementara relaisasi DAK terrendah di Provinsi Kepulauan Riau, Banten dan Riau. Komposisi realisasi anggaran DAK terbesar untuk pembiayaan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan dan air minum yang menjadi prioritas untuk penyediaan pelayanan dasar masyarakat, realisasi DAK bidang pendidikan terbesar di Jawa Tengah sebesar 1.090.742 juta rupiah atau sekitar 11,68 persen dari realisasi DAK total, dan Jawa Timur sebesar 1.084.661 juta rupiah (11,62 %), sementara realisasi DAK bidang pendidikan terendah di Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Riau. Realisasi DAK untuk bidang kesehatan terbesar di Papua sebesar sebesar 420.327 juta rupiah atau sebesar 10,46 dari total realisasi DAK bidang kesehatan. Realisasi DAK untuk bidang infrastruktur jalan terbesar di Papua sebesar sebesar 349.526 juta rupiah atau sebesar 7,77 persen dari total realisasi DAK bidang infrastruktur jalan, diikuti Provinsi Sumatera Utara sebesar 256.436 juta rupiah (5,7 %), Nusa Tenggara Timur sebesar 253.824 juta rupiah (5,64 %), sementara relisasi DAK terrendah di Provinsi Kalimantan Timur. Realisasi DAK untuk bidang irigasi terbesar di Jawa Timur sebesar 106.663 juta rupiah atau sebesar 6,89 persen dari total realisasi DAK bidang irigasi, selanjutnya diikuti Provinsi Papua sebesar 85.655 juta rupiah (5,53 %), Sulawesi Selatan sebesar 88.881 juta rupiah (5,74 %), sementara untuk relisasi DAK terrendah di Provinsi Kalimantan Timur. Realisasi DAK untuk bidang air minum terbesar di Jawa Timur sebesar 101.703 juta rupiah atau sebesar 8.9 persen dari total realisasi DAK bidang air bersih, selanjutnya diikuti Provinsi Papua sebesar 75.668 juta rupiah (6,62 %), Sulawesi Selatan sebesar 59.732 juta rupiah (5,23 %), Sumatera Utara sebesar 63.792 juta rupiah, sementara untuk relisasi DAK terrendah di Provinsi Riau dan Kalimantan Timur. Tabel 4-28: Perkembangan Realisasi Dana Alokasi Khusus Se-Provinsi2 Tahun 2003-2009. ( Rp. Milyar ) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
2
2004 156 185 133 0 87 57 47 93 40 8 131 213 46 241 37 72 69 137 99 94
2005
2006
230 222 191 8 111 67 85 99 42 23 118 296 51 258 50 90 103 213 146 175
593 646 466 162 200 313 293 308 178 82 686 897 126 914 100 236 291 492 353 379
2007 801 1020 747 211 365 460 407 455 267 149 818 1.294 176 1362 240 348 406 748 565 493
Se-provinsi merupakan penjumlahan kabupaten, kota dan provinsi
IV-48
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2008 1.005 1.269 895 193 420 548 498 546 338 144 1 1.640 232 1.690 283 434 514 1.009 716 635
2009 1.127 1.326 940 301 493 542 574 632 371 298 797 1.367 285 1.538 303 525 578 1.387 849 820
Perkembangan Rata-Rata 20042009 (%) 52,54 66,90 57,94 648,91 44,58 93,43 79,75 67,55 105,52 124,47 109,32 66,94 49,48 73,08 63,28 61,88 62,97 56,60 59,96 47,13
IV
IV
PEREKONOMIAN DAERAH
Lanjutan Tabel 4-29: Provinsi Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
2004 95 5 70 91 220 67 44 37 52 51 53 110 2.839
2005 159 56 110 120 275 102 57 56 86 88 109 218 4.014
2006
2007
2008
2009
327 213 314 286 650 322 135 147 251 284 260 657 11.560
416 272 502 468 983 502 221 205 409 358 397 1028 17.094
563 262 674 579 1.220 645 288 285 500 451 512 1212 21.202
750 404 1.097 696 1.415 829 452 412 731 751 652 2009 25.255
Perkembangan Rata-Rata 20042009 (%) 48,46 252,02 72,80 54,84 59,00 78,97 63,51 63,98 64,49 84,63 100,96 88,63 65,28
Sumber: TKP2E-DAK Bappenas, 2009
4.6.3. Kapasitas Fiskal Daerah Kemampuan di bidang keuangan merupakan indikator penting untuk mengukur kinerja suatu daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Masih rendahnya kemampuan keuangan dalam pembiayaan merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan pembangunan. Salah satu indikator kinerja keuangan daerah dari sisi tingkat kemampuan atau kemadirian keuangan daerah dalam penganggaran pemabngunan yaitu berdasarkan kapasitas fiscal. Kapasitas Fiskal menunjukkan seberapa besar potensi penerimaan daerah yang bersumber dari daerah yang bersangkutan atau kapasitas fiskal dapat dipakai untuk mengukur seberapa besar potensi penerimaan PAD suatu daerah dibandingkan dengan daerah lainnya dalam suatu wilayah (negara, pulau, provinsi). Tabel 4-29. memperlihatkan perkembangan kapasitas fiskal daerah dari tahun 20062008, perkembangan kapasitas fiskal daerah secara nasional antara tahun 2006-2007 tercatat sekitar 13 provinsi cenderung menurun, provinsi dengan kapasitas fiskal daerah terbesar atau dengan kategori sangat tinggi DKI jakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur, 5 provinsi tergolong pada kategori kapasitas fiskal tinggi, dan 12 provinsi memiliki kapasitas fiskal rendah. Sedangkan perkembangan pada tahun 2008 tercatat kapsitas fiskal di 9 provinsi menurun dibandingkan tahun sebelumya, kapasitas fiskal terbesar (kategori sangat tinggi) masih di tempati oleh Provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, namun untuk DKI Jakarta menurun dibandingkan tahun sebelumnya, Provinsi Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur memiliki kapasitas fiskal terendah.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV-49
PEREKONOMIAN DAERAH
Tabel 4-29: Perkembangan Kapasitas Fiskal Daerah Menurut Provinsi Tahun 2006-2008 2006 Provinsi
Indeks Kapasitas Fiskal
2007
Kategori
Indeks Kapasitas Fiskal
2008 Kategori
Indeks Kapasitas Fiskal
Kategori
Nanggroe Aceh Darussalam
0,7098
Sedang
0,5749
Sedang
0,5758
Sedang
Sumatera Utara
0,3307
Rendah
0,2788
Rendah
0,3274
Rendah
Sumatera Barat
0,4576
Rendah
0,4165
Rendah
0,5324
Sedang
Riau
1,2343
Tinggi
1,3003
Tinggi
1,5154
Tinggi
Jambi
0,6796
Sedang
0,7056
Sedang
1,0579
Tinggi
Sumatera Selatan
0,2902
Rendah
0,3147
Rendah
0,4834
Rendah
Bengkulu
0,2987
Rendah
0,3213
Rendah
0,4847
Rendah
Lampung
0,1789
Rendah
1,7881
Rendah
0,2043
Rendah
Bangka Belitung
1,3834
Tinggi
1,4807
Tinggi
1,785
Tinggi
3,0161
Sangat Tinggi
1,6338
Tinggi
Kepulauan Riau DKI Jakarta
11,7261
Sangat Tinggi
8,116
Sangat Tinggi
7,601
Sangat Tinggi
Jawa Barat
0,3133
Rendah
0,234
Rendah
0,3155
Rendah
Jawa Tengah
0,1564
Rendah
0,1753
Rendah
D.I. Yogyakarta
0,3027
Rendah
0,2793
Rendah
0,5366
Sedang
Jawa Timur
0,2021
Rendah
0,4713
Rendah
0,2261
Rendah
Banten
0,6993
Sedang
0,5114
Sedang
0,6039
Sedang
Bali
1,1288
Tinggi
1,0095
Tinggi
1,4901
Tinggi
NTB
0,1414
Rendah
0,1344
Rendah
0,1633
Rendah
NTT
0,1296
Rendah
0,3481
Rendah
0,189
Rendah
Kalimantan Barat
0,3738
Rendah
0,4922
Rendah
Kalimantan Tengah
0,9519
Sedang
1,0173
Tinggi
1,2797
Tinggi
Kalimantan Selatan
0,9961
Sedang
1,0607
Tinggi
1,4816
Tinggi
Kalimantan Timur
3,2818
Sangat Tinggi
3,8209
Sangat Tinggi
4,2967
Sangat Tinggi
Sulawesi Utara
0,5576
Sedang
0,5848
Sedang
0,6174
Sedang
Sulawesi Tengah
0,2389
Rendah
0,2544
Rendah
0,3372
Rendah
Sulawesi Selatan
0,26
Rendah
0,299
Rendah
0,4365
Rendah
0,2727
Rendah
Sulawesi Tengggara Gorontalo
0 0,3234
Rendah
Sulawesi Barat
0,039
Rendah
0,3983
Rendah
0,3478
Rendah
0,4759
Rendah
Maluku
0,2653
Rendah
0,2848
Rendah
0,5824
Rendah
Maluku Utara
0,8484
Sedang
0,8178
Sedang
1,2168
Tinggi
0,5491
Sedang
0,7536
Sedang
0,4605
Rendah
Papua Barat Papua
0,5417
Sedang
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2006, 2007, dan 2008
IV-50
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
IV
PRASARANA WILAYAH
Jaringan Irigasi
Pembangunan jaringan irigasi merupakan langkah strategis dalam mendukung peningkatan produksi pangan, serta dalam upaya mewujudkan swasembada pangan nasional. Pada tahun 2004, luas fungsional jaringan irigasi seluas 5.227,47 ribu hektar, menurun seluas 644,20 ribu hektar atu 12,32 persen. Namun pada tahun 2006 hingga tahun 2007 luas fungsional meningkat tercatat pada tahun 2006 mejadi seluas 6.772,3 ribu hektar atau sebesar 46,67 persen, tahun 2007 menjadi 6.897,08 ribu hektar (2,60 %). Potensi lahan irigasi tahun 2007 sebesar 3.334,4 ribu hektar, namun pelaksanaannya hanya mencapai seluas 6.897,1 ribu hektar atau sekita 94,04 persen dari perencanaan.
Gambar 5-1: Perkembangan Luas Fungsional Irigasi Nasional Pada Tahun 2004-2007 7500
46.67 Luas Fungsional 6897.08 6722.30 Perubahan
7000
50 40
6500
30
6000
20
5500
10
5227.47 2.60
5000
Perubahan (%)
5.1.
(ribu Ha)
V
4583.27
4500
0 -10
-12.32
4000
-20
2004
2005
2006
2007
Pada tahun 2006, daerah irigasi yang memiliki jaringan utama tersebut meliputi 97 persen berupa sawah, dan 2,64 persen belum berupa sawah. Sementara berdasarkan kelengkapan bangunan irigasi, dari luasan 4.583 ribu hektar tersebut dapat dibedakan berdasarkan jenis irigasi teknis, semi teknis dan irigasi sederhana. Luas teknis tercatat seluas 3.383,7 irigasi semi teknis seluas 852.17 ribu hektar (73,87 %), dan irigasi sederhana seluas 523,12 ribu hektar (11,42 %). Rincian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5-1. Tabel 5-1: Daerah Irigasi Yang Memiliki Jaringan Utama Berdasarkan Tingkatannya Pada Tahun 2006 Ada Jaringan Utama - Ha Sudah Sawah Tingkatan
Optimal (000 Ha)
Belum Sawah
Belum Optimal %
(000 Ha)
%
Alih Fungsi Sawah
(000 Ha)
%
(000 Ha)
Teknis
3.235
75,7
79,8
46,8
59,4
49,0
10,9
Semi Teknis
772,9
18,1
35,3
20,7
42,4
35,0
Sederhana
454,7
10,6
53,3
31,3
12,2
10,1
4.275,8
100,0
170,4
100,0
121,3
100,0
Total
Jumlah
Blm Sawah %
(000 Ha)
%
(000 Ha)
%
73,8
0,6
64,6
3.385,8
73,9
1,2
8,4
0,3
36,0
852,2
18,6
3,1
21,0
0,0
0,4
523,3
11,4
14,8
100,0
1,0
100,0
4.583,3
100,0
Dicetak oleh : Unit Data Sumber Daya Air, Tanggal/Jam : 24/04/2006 15:35:26
Pada Gambar 5-2, Pada tahun 2007, daerah irigasi yang memiliki jaringan utama (fungsional) terluas berada di Pulau Jawa dengan luas mencapai 3.075,14 ribu hektar atau 44,59 persen dari nasional, yang terpusat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara empat provinsi terluas di luar Pulau Jawa-Bali berada di Provinsi Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara dilihat dari realisasi antara pelaksanaan dengan potensi lahan untuk pengembangan irigasi, tercatat 7 provinsi mencapai sesuai dengan luas lahan potensial yang direncanakan, 7 provinsi dengan capaian dibawah 90 persen, dan 19 provinsi dengan pencapaian lebih dari 90 persen. Perbandingan luas fungsinal lahan irigasi dan rasio tingkat pencapaian secara rinci disajikan pada Gambar 5-1. Disamping daerah irigasi yang sudah memiliki jaringan utama maupun yang belum memiliki jaringan utama, untuk pengembangan budidaya tanaman pangan nasional, juga terdapat irigasi desa seluas 1,34 juta hektar, irigasi pasang surut seluas 86,37 ribu hektar, dan irigasi lebak seluas 1,44 juta hektar (tahun 2004).
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-1
PRASARANA WILAYAH Pada tahun 2006, telah dilakukan peningkatan jaringan irigasi seluas 219,4 ribu hektar, rehabilitasi jaringan irigasi seluas 817,6 ribu hektar, operasi dan pemeliharaan pada jaringan irigasi dan rawa seluas 2,16 juta hektar yang merupakan kewenangan pemerintah pusat (lebih dari 3.000 hektar), rehabilitasi/ peningkatan jaringan rawa seluas 174 ribu hektar, serta pencetakan sawah-sawah baru beririgasi di wilayah layanan jaringan irigasi. Selain itu, juga dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi jaringan irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (kurang dari 3.000 hektar). Gambar 5-2: Perkembangan dan Distribusi Daerah Irigasi Yang Memiliki Jaringan Utama Berdasarkan Provinsi Tahun 2004 dan 2005. Tingkat Pencapaian 100.00 100.00
98.76
65
68.86 76.40
92.22
79.08
70
85.08 77.17
75
100.00 98.44 100.00 99.00 87.58 86.03
80
81.05
85
90.03
Capaian %
90
99.96 100.00 99.96 99.81 100.00
95
100.00 99.39 98.44 97.87 92.36 96.98 96.19 96.10
100
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Malut Papua Barat Papua
60
1,000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
ribu Ha
Luas Fungsional
Sumatera
5.2.
Jawa-Bali
Nustra Kalimantan
Sulawesi
MalukuPapua
Prasarana Transportasi
5.2.1. Prasarana Transportasi Darat Panjang jalan berdasarkan status pembinaannya pada tahun 2008 Tabel 5-2, Jalan Negara sepanjang 34,598 km, Jalan Provinsi sepanjang 40,122 km, dan Jalan Kabupaten sepanjang 363.006 km meningkat dibandingkan tahun 2005 (613 ribu km). berdasarkan kondisi jalan, jalan negara 80 persen dengan kondisi mantap (40,34 persen baik dan 43,31 persen sedang) dan 20 persen dengan kondisi jalan tidak mantap; kondisi jalan provinsi 75 persen dengan kondisi jalan mantap (50,65 persen baik dan 25,52 persen sedang), dan 25 persen dengan kondidi tidak mantap; sementara untuk kondisi jalan kabupaten kondisi jalan mantap 58 persen (36,16 kondisi baik dan 22,8 persen kondisi jalan sedang) dan kondisi tidak mantap masih cukup tinggi yaitu 42 persen yang terdiri dari 24,16 persen dengan kondisi rusak dan 16,28 dengan kondisi rusak berat. Sementara berdasarkan kondisi permukaan jalan (Tabel 5-3), panjang jalan pada tahun 2008 dari panjang jalan 437.756 km kondisi yang belum beraspal sebesar 40,89 persen menurun dibandingkan tahun 1999 (42,9 persen) dan 2005 (44,6 persen). Kondisi permukaan jalan kabupaten/kota tahun 2008 dari panjang jalan 363.006 km kondisi yang belum beraspal sebesar 46,9 persen (169.849 km), jalan provinsi dari 40.125 km kondisi yang belum beraspal sebesar 18,7 persen (7.503 km), dan jalan negara kondisi yang belum beraspal sebesar 4,18 persen (1.664 km)
V-2
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V
V
PRASARANA WILAYAH
Tabel 5.2: Panjang jalan menurut status pembinaannya dan kondisi jalan Tahun 2008 Status Jalan Jalan Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Negara Jumlah Jalan Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Negara Jumlah
Kondisi Jalan Baik 131,250 20321 13956 165,527 36.16 50.65 40.34 37.82
Sedang 82,750 10158 14984 107,892 22.80 25.32 43.31 24.65
Rusak 89,896 5814 3187 98,897 24.76 14.49 9.21 22.59
Rusak Berat 59,110 3829 2471 65,410 16.28 9.54 7.14 14.94
Jumlah 363,006 40,122 34,598 437,726 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: Statistik Transportasi 2009, BPS
Tabel 5.3: Panjang jalan menurut status pembinaannya dan Jenis Permukaan Tahun 2008 Status jalan Kabupaten/kota Provinsi Negara Jumlah Kabupaten/kota Provinsi Negara Jumlah
Aspal 193.157 32.622 32.964 258.743 53.21 81.30 95.19 59.11
Jenis Permuakaan Kerikil Tanah 66.959 4.311 1.664 72.934 18.45 10.74 4.81 16.66
88.432 3.012 91.444 24.36 7.51 0.00 20.89
Lainnya 14.458 180 14.638 3.98 0.45 0.00 3.34
Jumlah 363.006 40.125 4.628 437.759 100.00 100.00 100.00 100.00
Berdasarkan rasio panjang jalan dengan luas wilayah yang mengindikasikan kerapatan jalan untuk tingkat provinsi, kondisi kerapatan jalan tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta, DIY, Bali, dan Jawa Tengah, dengan kondisi tingkat kerapatan jalan meningkat dari tahun 2005 hingga tahun 2008. Seperti terlihat pada Gambar 5.3, kerapatan jalan pada tahun 2008 tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 9,3 km/km2 dan meningkat dari tahun 2005 (1,68 km/km2 ), D.I. Yogyakarta sebesar 1,55 km/km2 dan meningkat dibandingkan tahun 2005 (1,47 km/km2), Bali sebesar 1,27 km/km 2, dan Jawa Tengah sebesar 0,72 km/km2 tahun 2005 meningkat pada tahun 2008 menjadi 0,88 km/km2. Sementara tingkat kerapatan jalan terrendah tahun 2008 terdapat di Provinsi Papua sebesar 0,026 km/km2, NAD sebesar 0,029, Kalimantan Timur sebesar 0,047 km/km2, dan Papua Barat sebesar 0,049 km/km2. Sementara berdasarkan rasio panjang jalan dengan jumlah kendaraan roda empat yang mengindikasikan kapasitas jalan, tertinggi berada di Provinsi Maluku Utara sebesar 0,16 km/unit kendaraan, Nusa Tenggara Timur 0,032 km/unit kendaraan, dan Gorontalo sebesar 0,024 km/unit kendaraan. Sementara untuk kapasitas jalan terrendah terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 0,0005 km/unit kendaraan, NAD sebesar 0,001 km/unit kendaraan, dan Provinsi DIY sebesar 0,002 km/unit kendaraan. Gambaran rasio per provinsi dapat dilihat pada Gambar 5-3.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-3
PRASARANA WILAYAH Gambar 5-3: Gambaran Kapasitas Jalan dan Kerapatan Jalan Per Provinsi, Tahun 2008. 10.0300 9.0300
Kerapatan (Km/Km2)
7.0300 0.1205
6.0300 5.0300
0.0805
4.0300
Kapasitas (km/unit)
0.1605
8.0300
3.0300 0.0405
2.0300 1.0300
0.0005
NAD Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malup Papua Papua Barat
0.0300
Kerapatan jalan (km/Km2)
Kapasitas (km/unit kendaraan)
Sumber: Diolah dari data Statistik Transportasi 2009, BPS Keterangan: DKI Jakarta hanya meliputi jalan Nasional dan Provinsi
Kondisi kualitas jalan menurut kriteria IRI (International Roughness Index, Departemen PU), dengan total panjang jalan yang sama antara tahun 2007 dan 2008, perkembangan panjang jalan nasional dengan mantap menurun sepanjang 232,49 km atau sebesar 0,8 persen dibanding tahun 2007, sementara untuk kondisi jalan tidak mantap meningkat sepanjang 232,49 km atau sebesar 4,7 persen dibanding tahun 2007. Meningkatnya kondisi jalan tidak mantap selama 2007-2008 sebagian besar tersebar di wilayah Sumatera sepanjang 595,64 km, Jawa-Bali sepanjang 16,46 km, dan Sulawesi sepanjang 78,17 km. Sementara untuk wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua kondisi jalan mantap meningkat dibandingkan tahun 2007. Tercatat pada Tabel 5.4, kondisi jalan mantap di Kalimantan meningkat sepanjang 190,93 km dan di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua meningkat sepanjang 266,85 km. Tabel 5-4: Kondisi Jalan Nasional Pada Tahun 2007 dan 2008. (Km) Tahun 2007 Provinsi Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulaw esi Nusa Tenggara, Maluku & Papua Total Indonesia
Mantap
Tahun 2008
Tidak Mantap
10,118.10
470.82
5,400.72
220.04
4,052.29
1,653.68
6,027.91
1,063.59
3,454.55
2,167.13
29,053.57
5,575.26
Mantap
Tidak Mantap
9,522.46
1,066.46
5,384.26
236.50
4,243.22
1,462.75
5,949.74
1,141.76
3,721.40
1,900.28
28,821.08
5,807.75
Sumber : Subdit Data dan Informasi, Direktorat Bina Program, Bina Marga, Dep. PU 1)
V-4
Jalan nasional di Kepulauan Riau belum dit etapkan dengan SK Menteri
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
Perubahan Tidak Mantap
Total
Mantap
10,588.92
-595.64
595.64
-16.46
16.46
190.93
-190.93
-78.17
78.17
266.85
-266.85
-232.49
232.49
5,620.76 5,705.97 7,091.50 5,621.68 34,628.83
V
PRASARANA WILAYAH
Kondisi panjang jalan (Kabupaten/kota, provinsi, dan negara) pada tahun 2008 dengan kondisi baik mencapai 36,86 persen, kondisi sedang sebesar 24,73 persen, dan kondisi rusak dan rusak berat sebesar 38,40 persen. Panjang jalan dengan kategori rusak dan rusak berat tertinggi Provinsi Gorontalo sebesar 71,69 persen dari total panjang jalan, selanjutnya diikuti oleh provinsi Kalimantan Tengah (62,92 %), Kalimantan Barat 53,86 %), Jambi (45 %), Maluku Utara (60,70 %), Kepulauan Riau (54,94 %), Riau (49,85 %), Sumatera Barat (47,09 %), Nusa Tenggara Barat (45,11 %), Jambi (45 %), Sumatera Selatan (43,46 %), Kalimantan Timur (41,90 %), dan Jawa Barat (41,17 %). Sementara untuk kondisi baik tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 65,66 persen, selanjutnya diikuti oleh Provinsi Jawa Timur (54,60 %), Sulawesi Tengah (58,46 %), dan Bali (52,50 %) Kualitas kondisi jalan kabupaten/kota dengan kategori rusak dan rusak berat terbesar terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 85,72 persen, Maluku Utara (71,50 %), Kalimantan Tengah (71,14 %), Kalimantan Barat (58,06 %), Sumatera Barat dan Riau (54,94 %), Nusa Tenggara Barat (54,23 %), dan Jambi (52,78 %). Sementara untuk kondisi baik terbesar terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 64,49 persen, Sulawesi Tengah sebesar 60,45 persen, dan Jawa Timur sebesar 55,54 persen. Gambar 5-4: Kondisi Jalan Kabupaten/Kota Menurut Provinsi Tahun 2008 (Persen). 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 NAD Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltm Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra NTB NTT Maluku Malut Papua Papua Barat
V
rusak Sedang Baik
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara, Maluku & Papua
Kualitas kondisi jalan provinsi dengan kategori rusak dan rusak berat disetiap provinsi (Gambar 5.5), hampir merata yaitu rata-rata sebesar 24 persen dari panjang jalan provinsi, yang terdiri dari 14 persen dengan kondisi rusak dan 9 persen dengan kondisi rusak berat. Sementara untuk panjang jalan provinsi dengan kondisi baik rata-rata sebesar terbesar 50 persen dan 25 persen dengan kondisi sedang atau kualitas jalan provinsi disetiap provinsi sebagian besar berada dalam kondisi mantap yaitu hampir 75 persen dari panjang jalan provinsi yang ada. Kualitas kondisi jalan negara disetiap provinsi dengan kategori rusak dan rusak berat tertinggi terdapat di Provinsi Maluku sebesar 49,24 persen, Papua (46,30 %), Kalimantan Barat (36,32 %), Kalimantan tengah (35,45 %), Sulawesi Utara (31,84 %), dan Maluku Utara (30,35 %). Sementara untuk kondisi baik tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 100 persen dalam kondisi baik, selanjutnya diikiti oleh Provinsi Gorontalo sebesar 94,97 persen, Riau sebesar (78,42 %), Sulawesi Barat (85,28 %), Kepulauan Bangka Belitung (87,57 %), dan Sulawesi Utara (75,06 %). Gambar 5.5. P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-5
PRASARANA WILAYAH Gambar 5-5: Kondisi Jalan Provinsi di Indonesia Tahun 2008 (Persen).
NAD Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltm Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra NTB NTT Maluku Malut Papua Papua Barat
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
Sulawesi
rusak Sedang
Nusa Tenggara, Maluku & Papua
Baik
Gambar 5-6: Kondisi Jalan Negara di Indonesia Tahun 2008 (Persen).
NAD Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali Kalbar Kalteng Kalsel Kaltm Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra NTB NTT Maluku Malut Papua Papua Barat
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
rusak Sedang Baik
Sulawesi
Nusa Tenggara, Maluku & Papua
Perkembangan lalu lintas dan angkutan jalan selama 2005-2009, rata-rata pertumbuhan Jumlah Perusahaan Bus Antar Provinsi Menurut Provinsi mengalami peningkatan 2.55 %; Jumlah Bus Antar Provinsi Menurut Provinsi mengalami penurunan 0.40 %; Jumlah Perusahaan Bus Pariwisata Menurut Provinsi mengalami Peningkatan 14.96 %; Jumlah Bus Pariwisata Menurut Provinsi mengalami peningkatan 13.25 %; Jumlah Perusahaan angkutan alat berat mengalami penurunan 1.46 %; Jumlah perusahaan Bahan Berbahaya dan Antar jemput antar provinsi mengalami peningkatan 42.11% dan 49.06 %; Jumlah perusahaan sewa dan jumlah perusahaan taxi bandara tidak mengalami penurunan / peningkatan; Jumlah kendaraan alat berat dan barang berbahaya meningkat 1,41 % dan 33.26 %; Jumlah unit kendaraan antar V-6
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V
V
PRASARANA WILAYAH
jemput antar provinsi mengalami peningkatan 122.29 %; Jumlah unit kendaraan taksi bandara mengalami peningkatan 21.74%. Jumlah unit penimbangan kendaraan bermotor di Indonesia mengalami peningkatan 0.77 %; Jumlah Terminal Tipe A di Indonesia mengalami penurunan 0.89 %; Jumlah Indonesia terjadi peningkatan 9.57 % dan 9.50 %; Jumlah Unit Pengujian Kendaraan Bermotor di Indonesia mengalami peningkatan 0.89 %; Jumlah Bus dan Truk Siap Operasi Perum Damri terjadi peningkatan 0.98 %; Jumlah Bus dan Truk Siap Guna Operasi Perum Damri mengalami peningkatan 3,69 %; Produksi Angkutan Penumpang Bus Kota mengalami penurunan Angkutan Bandara, Wisata, Bus Perintis dan Bus Antar Negara mengalami peningkatan masing-masing 7.12%, 272.45%, 28.7%, 7.57% kecuali Produksi penumpang Bus Antar Kota mengalami penurunan 2.47%; Produksi kilometer Bus Perum Damri terjadi penurunan 2.01%; Produksi truk Box Perum Damri terjadi penurunan 2.17%; 5.2.2. Prasarana Transportasi Laut Lalu Lintas Angkutan Laut rata-rata pertumbuhan tahun (2005-2009) untuk Jumlah Armada Angkutan Laut Menurut Kepemilikan untuk Unit Armada terjadi peningkatan 3.39%, DWT penurunan 5.40%. GRT mengalami peningkatan 5.85% dan HP mengalami kenaikan 3.09%; Jumlah Armada Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran untuk Unit Armada terjadi peningkatan 11.15 %, DWT terjadi peningkatan 24.37 %. GRT mengalami peningkatan 6.79 % dan HP mengalami penurunan 7.61 %; Jumlah Armada dan Kapasitas Angkutan Laut Menurut Perusahaan Pelayaran BUMN utnuk Unit Armada terjadi peningkatan 1.70 % dan DWT mengalami penurunan 0.12 %; jumlah Perusahaan Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran terjadi peningkatan 7.18 %; jumlah Perusahaan Angkutan Laut Menurut Provinsi terjadi peningkatan 8,48 %; jumlah Perusahaan Non Pelayaran Menurut Provinsi terjadi peningkatan 4.82%; Jumlah Perusahaan Penunjang Angkutan Laut tidak mengalami peningkatan tidak terjadi penurunan; Produksi Angkutan Laut Di Indonesia untuk Perusahaan Nasional mengalami peningkatan 22.31 % dan Perusahaan Asing mengalami peningkatan 0.69%. Pelabuhan dan pengerukan rata-rata pertumbuhan jumlah pelabuhan yang Dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I s.d IV Menurut Kelas Pelabuhan tidak mengalami penurunan atau kenaikan; jumlah pelabuhan yang diusahakan di seluruh Indonesia tidak mengalami peningkatan / tidak terjadi penurunan; Jumlah Pelabuhan yang Tidak Diusahakan di Seluruh Indonesia terjadi penurunan 0.05%; Panjang Dermaga Pelabuhan yang dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I s.d IV mengalami peningkatan 5.93 %; Jumlah Alat Bongkar Muat Pelabuhan Indonesia I s.d IV Yang Dikelola PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I s.d IV mengalami peningkatan 9.16 %; Arus Kunjungan Kapal) PT (Persero) Pelabuhan yang dikelola PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I s.d IV untuk Unit Armada mengalami penurunan 0.48% dan GRT mengalami peningkatan 2.26 %; arus bongkar muat terjadi peningkatan 4.26%; Produksi Terminal Peti Kemas Pelabuhan yang dikelola PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I s.d IV.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-7
PRASARANA WILAYAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut cukup luas, prasarana perhubungan laut memiliki peranan cukup penting dan strategis guna menunjang mobilitas dan interaksi antarwilayah/ pulau, khususnya dalam menunjang pergerakan aliran barang dan penumpang. Berdasarkan data statistik transportasi (Dephub 2009), perkembangan jumlah pelabuhan yang dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I-IV Menurut Kelas Pelabuhan selama periode 2005-2009 yang masih diusahakan tidak mengalami perubahan yaitu sebanyak 111 pelabuhan yang terdiri dari: PT. Pelabuhan Indonesia I sebanyak 26 pelabuhan, PT. Pelabuhan Indonesia II sebanyak 29 pelabuhan, PT. Pelabuhan Indonesia III sebanyak 32 pelabuhan, dan PT. Pelabuhan Indonesia IV sebanyak 24 pelabuhan. Sementara jumlah pelabuhan yang tidak diusahakan sebanyak 533 pelabuhan yang tersebar di 33 provinsi, terutama di Papua sebanyak 107 pelabuhan, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara masingmasing sebanyak 42 pelabuhan. Perkembangan panjang dermaga pelabuhan yang dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I-IV selama periode 2005-2009 (Gambar 5-7), tercatat perkembangan panjang dermaga pelabuhan yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia I-IV rata-rata panjang dermaga pelabuhan mengalami penambahan. Panjang dermaga pelabuhan yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia I tahun 2005 sepanjang 7.904 m meningkat pada tahun 2009 menjadi 10.041 m, panjang dermaga pelabuhan yang dikelola PT. Pelabuhan Indonesia II tahun 2005 sepanjang 20.508 m meningkat pada tahun 2009 menjadi 23.122 m, panjang dermaga yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia III tahun 2005 sepanjang 30.649 m meningkat menjadi 41.375 m pada tahun 2009, dan panjang dermaga yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia IV tahun 2005 sepanjang 11.428 m meningkat menjadi 12.555 m pada tahun 2009. Gambar 5-7: Perkembangan Panjang Dermaga Pelabuhan yang dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I–IV Tahun 2005-2009 100000
21524 19567
90000
80000 70000
11428 30649
12555 11548
38522
38522
41375
PT. Pelabuhan Indonesia IV
35020 PT. Pelabuhan Indonesia III
60000 50000
40000
22559
22558
23122
7904
8694
9563
10041
2006
2007
2008
20508
20508
7904
2005
30000 20000
PT. Pelabuhan Indonesia I
10000 0
Sumber Data : Direktorat Jenderal Perhubungan
V-8
PT. Pelabuhan Indonesia II
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2009
V
V
PRASARANA WILAYAH
Perkembangan jumlah armada angkutan laut menurut kepemilikan selama periode 2005-2009, armada nasional mengalami peningkatan dari 6.021 unit (tahun 2005) menjadi 9.144 unit (tahun 2009). Sebaliknya untuk perkembangan armada charter asing, pada periode yang sama mengalami penurunan dari 1.955 unit (tahun 2005) menjadi 865 unit (tahun 2009), sementara untuk jumlah armada keagenan asing sebanyak 6.520 unit (tahun 2005) berkurang menjadi 6.510 unit pada tahun 2009, rincian lengkap lihat Tabel 5-5. Tabel 5-5: Perkembangan jumlah Armada Angkutan Menurut Kepemilikan Tahun 2005-2009 Kepemilikan Nasional Charter Asing Keagenan Asing Jumlah
2005 6,012 1,955 6,520 14,487
2006 6,428 1,448 6,594 14,470
2007 7,154 1,154 6,540 14,848
2008 8,165 977 6,616 15,758
2009 9,164 865 6,510 16,539
Sumber Data : Direktorat Jenderal Perhubungan, 2009
5.2.3. Prasarana Transportasi Udara Transportasi udara memiliki peran sangat penting dan strategis dalam menghubungkan antarwilayah, serta memiliki keunggulan dari segi waktu tempuh yang lebih singkat dibanding jenis transportasi lainnya. Berdasarkan klasifikasi bandara, Bandara dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu Bandara menurut fungsi (pusat penyebaran dan non penyebaran) dengan jumlah 188 Bandara; Bandara menurut klasifikasi (tipe Bandara A, B, dan C) dengan jumlah 187 Bandara yaitu terdiri dari 96 Bandara Tipe A, 49 Bandara Tipe B, dan 42 Bandara Tipe C; dan Bnadara menurut penggunaan yang terdiri dari 27 Bandara Internasional dan 163 Bandara Domestik. Hingga tahun 2009 jumlah bandar udara di seluruh Indonesia sebagian besar masih memiliki panjang landasan <800 m dan tercatat dari 187 B andara yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota sebanyak 119 bandara dan hanya dapat digunakan oleh jenis pesawat kecil (seperti tipe pesawat BN2A dan DHC6). Rincian selengkapnya lihat Tabel 5-6. Tabel 5-6: Perkembangan Jumlah Bandara 2005-2009 Klasifikasi Bandara A. Bandara menurut Fungsi Pusat Penyebaran Non Penyebaran B. Bandara menurut Klasifikasi A B C C. Bandara menurut Penggunaan Internasional Domestik
2005 188 19 169 187 96 49 42 190 27 163
2006 188 19 169 187 96 49 42 190 27 163
2007 188 19 169 187 96 49 42 190 27 163
2008 188 19 169 187 96 49 42 190 27 163
2009 188 19 169 187 96 49 42 190 27 163
Sumber Data : Direktorat Jenderal Perhubungan, 2009
Pembangunan sarana transportasi udara dalam kurun waktu terakhir meliputi: (i) persiapan pembangunan Bandar Udara Medan Baru, Makasar dan Ternate; (ii) perpanjangan landasan Bandar Udara Ahmad Yani Semarang, Palembang, Mamuju, dan Lampung; (iii) pembangunan lanjutan Bandar Udara di Banyuwangi dan Bawean (Jatim), Dr. F.L. TobingSibolga (Sumut), dan Domine Edward Osok-Sorong (Papua); (iv) pengembangan bandar udara
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-9
PRASARANA WILAYAH baru di daerah pedalaman dan perbatasan, antara lain di Sinak (Papua) dan Tangkepada (Sulsel); (v) pembangunan terminal di Bengkulu dan Kendari; (vi) rehabilitasi dan peningkatan fasilitas bandar udara yang melayani penerbangan perintis; (vii) penyediaan pelayanan angkutan udara perintis di Papua, Kalimantan, Sumatera, NTT, Maluku dan Sulawesi dengan jumlah rute sebanyak 94 rute di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua; serta (viii) peningkatan keandalan operasional keselamatan penerbangan berupa peralatan telekomunikasi, navigasi dan kelistrikan terutama di bandara-bandara kecil. Perkembangan realisasi pembangunan fasilitas landasan pacu antara tahun 2000 dan 2003 menunjukkan peningkatan yang drastis, namun terjadi penurunan pada tahun 2004 dan 2005, kemudian meningkat kembali sebesar 83,3 persen pada tahun 2006. Pada periode 20042006 telah dilakukan rehabilitasi landas pacu sebesar 1.865,19 km, dan pembangunan landas pacu sebesar 2.169,67 km. (lihat Gambar 5-8). Kecenderungan relatif sama terjadi pada pembangunan fasilitas bangunan, peningkatan secara signifikan terjadi pada periode 2002-2003 dan 2005-2006. (lihat Gambar 5-9). Gambar 5-9: Realisasi Pembangunan Fasilitas Bangunan, Tahun 2000 – 2006.
Gambar 5-8: Realisasi Pembangunan Fasilitas Landasan, Tahun 2000 – 2006.
45000
2000
35000
1500
42.441
41.248
40000
3.2741
30000 Km
M2
1000 500
2.3714
25000 20000 15000 10000
0
5000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
3.934
5.639
0
Rehabilitasi Landas Pacu
2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber Data : Direktorat Jenderal Perhubungan
5.3.
Kelistrikan
Pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia sebagian besar dipenuhi oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan ditambah dari perusahaan-perusahaan non PLN. Perkembangan energi yang diproduksi selama periode 1999-2004, energi yang dibangkitkan sendiri oleh PLN secara absolut meningkat sebesar 15,7 Ribu GWh (19,5%), sedangkan untuk energi yang dibeli meningkat sebesar 19,8 Ribu GWh atau meningkat sebesar 462,11 persen. Sedangkan pada periode 20042005, energi yang dibangkitkan sendiri meningkat sebesar 5,1 ribu GWh (5,29%)
V-10
Tabel 5-7: Perkembangan Energi yang Diproduksi (GWh) Tahun 1999-2005 Tahun
Dibangkitkan Sendiri Jumlah % (GWh)
Dibeli Jumlah (GWh)
%
Total (GWh)
1999
80.496,71
84,78
4.279,08
5,05
2000
84.190,14
90,21
9.135,14
9,79
93.325,28
2001
88.354,71
86,92
13.299,21
13,08
101.653,92
2002
89.293,24
82,40
19.066,61
17,60
108.359,85
2003
92.480,92
81,83
20.538,76
18,17
113.019,68
2004
96.191,17
80,00
24.053,14
20,00
120.244,31
2005
101.282,10
79,52
26.087,70
20,48
127.369,80
∆ (’99-’04)
15.694.45
19,50
19.774,06
462,11
35.468,51
∆ (’04-’05)
5.090,93
5,29
2.034.56
8,46
7.125,49
Sumber: Publikasi PT PLN
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
84.775,80
V
PRASARANA WILAYAH
dan energi yang dibeli meningkat sebesar 2,03 ribu GWh (8,5%). Pada Tabel 5-4. tergambarkan bahwa persentase energi yang dibangkitkan sendiri, sejak tahun 2000 persentasenya terus menurun, walaupun secara absolut mengalami peningkatan. Kondisi sebaliknya untuk energi yang dibeli terus menunjukkan peningkatan, dengan kondisi energi yang dibeli pada tahun 2005 mencapai 30,5 persen. Gambar 5-10, menunjukkan jenis pembangkit PT. PLN, sebagian besar bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas-Uap yang secara umum menunjukkan perkembangan yang terus meningkat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sementara untuk perkembangan sumber pembangkit energi lainnya hanya sedikit mengalami perkembangan. Namun demikian, dalam upaya mengatasi krisis listrik dan diversifikasi energi untuk pembangkit listrik, telah dan terus dilakukan upaya rehabilitasi dan repowering pembangkit listrik yang ada, peningkatan efisiensi penggunaan BBM, dan mulai dilakukannya persiapan program percepatan pembangunan 10.000 MW pada tahun 2006. Gambar 5-10: Perkembangan Energi Yang Diproduksi dan Jenis Pembangkit PT. PLN, Tahun 1994-2005 45.000 40.000 35.000
GWh
30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
0
1994
V
PLTA
PLTU
PLTG
PLTGU
PLTP
PLTD *)
Sew a
dibeli
S umber: Publikasi PT PLN
Total energi terjual pada tahun 2007 sebesar 171.733,29 GWh (Gambar 5-10.). Jumlah penjualan listrik terbesar adalah di Pulau Jawa Bali yaitu sebesar 140.117,20 GWh dengan penjualan terbesar adalah di wilayah Jawa Barat (termasuk Banten), DKI Jakarta sebesar 27.777,10 GWh, dan terrendah di Provinsi Bali sebesar 2.366,GWh. Selanjutnya di Pulau Sumatera yaitu sebesar 19.988,40 GWh dengan penjualan terbesar adalah di Provinsi Sumatera Utara sebesar 5.139,40 GWh, Sumatera Selatan (termasuk Jambi dan Bengkulu) sebesar 2.763 GWh, dan penjualan terrendah adalah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 318,10 GWh. Sedangkan untuk wilayah luar Palau Jawa-Bali dan Sumatera, penjualan terbesar adalah di provinsi Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 1.531,20 GWh, Kalimantan Barat sebesar 1.531 GWh, dan terrendah Sulawesi Selatan sebesar 27,53 GWh. Komposisi energi terjual menurut kelompok pelanggan (Tabel 5-8), sebagian besar untuk kelompok pelanggan di sektor rumah tangga yaitu sebesar 71.203 GWh atau sebesar 40 persen, berikutnya pelanggan untuk sektor industri sebesar 69.719 GWh atau sebesar 39 persen, sektor bisnis sebesar 25.940 GWh atau sebesar 15 persen. Perbandingan kelompok pelanggan energi listrik menurut pulau besar. Di Pulau Sumatera sebagian besar pelanggan energi listrik adalah di sektor Rumah Tangga sebesar 56,20 persen selanjutnya diikuti oleh pelanggan di sektor bisnis sebesar 17,45 persen, sektor industri sebesar 14,81 persen, dan terrendah
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-11
PRASARANA WILAYAH pelanggan di sektor sosial sebesar 4,68 persen. Di Pulau Jawa-Bali sebagian besar pelanggan energi listrik di sektor Industri sebesar 45,70 persen, selanjutnya diikuti oleh sektor rumah tangga sebesar 35,93 persen, sektor bisnis sebesar 13,38 persen, dan terrendah pelanggan di sektor sosial sebesar 2,12 persen. Perbandingan pelanggan energi listrik di luar Pulau Jawa-Bali dan Sumatera, sebagian besar di sektor rumah tangga sebesar 57,34 persen, sektor bisnis sebesar 20,70 persen, sektor publik 11,93 persen dan terrendah di sektor sosial sebesar 2,99 persen. Gambaran secara rinci untuk pelanggan energi listrik menurut sektor untuk setiap provinsi disajikan pada Gambar 5-12. Tabel 5-8: Komposisi Pelanggan Energi Listrik Menurut Sektor di Pulau Besar Tahun 2007 WILAYAH (GWh) Sumatera Jawa-Bali Luar Jawa-Bali dan Sumatera (%) Sumatera Jawa-Bali Luar Jawa-Bali dan Sumatera
Pelanggan Bisnis Industri
Sosial
RT
857,1 2.975,8 95,46
10.290,3 50.350,8 2.112,38
3.195,5 18.744,1 800,06
4,68 2,12 2,43
56,20 35,93 53,72
17,45 13,38 20,34
Publik
Jumlah
2.711,23 64.031,6 595,2
1.255,9 4015 329,46
18.310 140.117 3.932,56
14,81 45,70 15,14
6,86 2,87 8,38
100 100 100
Sumber: Publikasi PT PLN
Perkembangan ketenagalistrikan yang telah dicapai dalam periode tahun 2005 hingga tahun 2006, antara lain: (i) meningkatnya kapasitas daya listrik di Jawa sekitar 2.670 MW dan di luar Jawa sekitar 362 MW; (ii) terbangunnya jaringan transmisi 500 KV di bagian Selatan Jawa; (iii) berkembangnya berbagai jaringan transmisi dan distribusi di berbagai wilayah tanah air; serta (iv) meningkatnya rasio elektrifikasi dari sekitar 54,06 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 56,0 persen pada tahun 2006, dan pada tahun 2007 rasio elektrifikasi sedikit menurun menjadi 54,24 persen. Sementara untuk rasio desa berlistrik, meningkatnya rasio desa berlistrik dari 84,32 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 87,46 persen pada tahun 2006 dan hingga akhir 2007 rasio desa berlistrik menurun menjadi 84,01 persen lebih. Gambaran perbandingan rasio elektrifikasi antarprovinsi disajikan pada Gambar 5-11.
V-12
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V
PRASARANA WILAYAH
Papua
531.4
Malut
417.3
Maluku
417.3
Sulbar
27.53
Maluku Papua
Papau barat
1155.7
27.53
Sulsel
27.53
Papua Papau barat
RASIO ELEKTRIFIKASI (%) 2004
32.05 25.05 32.05 47.81 45.50 55.36 53.83
Malut Maluku Sulbar Gorontalo
Sulawesi
Sultra
Sultra
35.90 38.21 33.69
48.70
Sulteng
1155.7
Sulut
1155.7
Kaltim
1405.9
Sulut
Kalsel
1531.2
53.48
Kaltim
Kalteng
54.77
1531.2 877.7
NTT
305.8
NTB
Kalimantan
Kalbar
528.9
Bali
2366.7
Banten
13470.4
Jateng
13470.4
Jabar
32203.1
DKI 1106
babel
318.1
Lampung Sumasel
2763.3
Jambi
2763.3
Riau
1888.9
Sumbar
1749.0
Sumut NAD
26.42
57.49
Kepri
54.66
babel
54.39 47.66
Bengkulu Sumasel Jambi
35.33
30000
40000
20.00
78.94 72.45
68.72 62.74 69.32 67.43 74.91 58.80
Sumut
20000
100.00
50.08 42.97 49.80 39.71 48.85 33.92 54.66 34.73
NAD 10000
71.08
79.64 62.36 70.60 58.00 64.95 51.41
DIY Jateng
Riau
0 0
74.42 66.33 72.11
Sumbar
5139.4
71.39
45.65 42.62
Jatim
Lampung Sumatera
2763.3
NTT
NTB
24.24 22.12 31.99 25.34
68.37
DKI
1497.1
Bengkulu
33.25
Kalbar
66.62
59.36
44.33
Jabar
27777.1
Kepri
Kalteng
Banten
18626.4
DIY
Kalsel
Bali
32203.1
Jatim
54.90 55.24 47.64 39.94
Sulsel Sulteng
Nustra
Sulawesi Kalimantan Nustra
RASIO ELEKTRIFIKASI (%) 2007
531.4
Gorontalo
Jawa-Bali
Gambar 5-12: Jumlah Energi Listrik Terjual Menurut Provinsi Tahun 2007. (dalam GWh)
Jawa-Bali
Maluku Papua
Gambar 5-11: Jumlah Energi Listrik Terjual Menurut Provinsi Tahun 2007. (dalam GWh)
Sumatera
V
40.00
60.00
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
80.00
100.00
V-13
PRASARANA WILAYAH Gambar 5-13: Komposisi Energi Terjual per Kelompok Pelanggan Menurut Provinsi, Tahun 2007. (dalam persen)
Papua
3.79
59.22
26.68
Papua Barat
3.79
59.22
26.68
Maluku Utara
3.21
59.30
18.14
1.29
18.06
Maluku
3.21
59.30
18.14
1.29
18.06
Sulbar 2.92
44.54
Gorontalo
20.54
1.26 9.06
24.89
61.12
17.81
Sultra 2.92
44.54
20.54
24.89
44.54
20.54
24.89
61.12
Sulut
61.12
7.11 8.48
8.47
Sulsel 2.92 Sulteng
7.11 7.11
17.81
8.47
8.48
17.81
8.47
8.48
Kaltim 2.97
57.49
22.95
9.85
6.74
Kalsel 2.46
59.76
19.05
12.32
6.41
Kalteng 2.46
59.76
19.05
12.32
Kalbar 2.90
57.65
22.03
8.64
NTT
5.28
NTB
4.62
61.93
Bali 1.88 Jawa Timur 2.39
3.21
Jawa Tengah
3.21
11.17
48.04
48.67
10.65
48.67
Jawa Barat 1.27
10.65
31.41
2.90
7.22
4.58
32.89
4.58
1.43
29.05
27.41
30.02
33.58
Kep. Babel 2.37
3.37
32.89 58.67
34.01
Kep Riau
4.04 4.92 1.43
58.67
35.03
10.83
2.21 7.21
45.42 7.22
6.41 8.79
2.84
18.97
43.74 31.41
DI Yogyakarta
DKI Jakarta
19.12
66.99
Banten 1.27
4.03 3.58 1.99
33.44
73.84
11.39
7.56
4.84
Lampung 2.59
57.91
Bengkulu 2.76
58.40
15.46
17.82
5.57
Sumsel 2.76
58.40
15.46
17.82
5.57
Jambi 2.76
58.40
15.46
17.82
Riau
5.65
12.72
54.44
20.91
24.01
42.97
11.06
38.04
Sumut 2.38
42.73
13.05
35.47
4.22 0%
67.30 10%
SOSIAL
20%
30%
RUMAH TANGGA
40%
13.19 50%
60%
BISNIS
70% INDUSTRI
5.89
5.57
8.14
Sumbar 2.88 NAD
5.4.
1.26 9.06
80%
7.76
5.05 6.36 4.30
10.99
90%
100%
PUBLIK
Sumber Air Bersih
Ketersediaan air bersih yang sehat merupakan kebutuhan essensial bagi kehidupan manusia. Dari aspek penyediaannya yang bersumber dari Perusahaan Air Minum (PAM), pada tahun 2005 di Indonesia telah ada 478 buah perusahaan. Namun demikian, jika dibandingkan dengan perkembangan jumlah kebutuhan air bersih bagi masyarakat Indonesia, ketersediaan air bersih yang disalurkan sebanyak 2,36 juta M 3 tersebut masih sangat kecil (Lihat Tabel 5-9.). Masih terbatasnya pelayanan penyediaan air minum oleh perusahaan tersebut, maka alternatif penyediaan air minum bagi masyarakat menjadi sangat beragam sejalan dengan kondisi wilayah setempat. Gambaran sumber air bersih bagi masyarakat berdasarkan sumber Data PODES 2006 (Tabel 5-10), dibedakan bedasarkan sumber air PAM, pompa, sumur, mata air, air sungai dan air hujan. Sumber air sumur paling banyak digunakan di wilayah Pulau Sumatera, Jawa + Bali, dan Pulau Sulawesi. Sumber mata air paling banyak digunakan di Indonesia Bagian Timur,
V-14
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V
V
PRASARANA WILAYAH
terutama di Provinsi Papua sebesar 52,27 persen, dan Nusa Tenggara sebesar 49,03 persen. Sementara untuk persentase desa dengan sumber air bersih dari sungai sebagian besar digunakan di Wilayah Kalimantan sebesar 52,57 persen. Persentase desa/kelurahan yang masyarakatnya menggunakan air PAM untuk kebutuhan air minum dan memasak relatif masih rendah, berdasarkan data Podes 2008 tercatat sebagian besar terdapat di Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Persentase penggunaan air PAM di Wilayah Jawa-Bali terbesar di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 53,39 persen dan Provinsi Bali sebanyak 51,69 persen, di Wilayah Kalimantan sebagian besar terdapat di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dan di Wilayah Sulawesi di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Demikian pula untuk penggunaan air pompa sebagian besar terdapat Wilayah Jawa-Bali yang sebagian besar terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebanyak 43,82 persen dari total kelurahan yang ada (Gambar 5-14). Tabel 5-9: Perkembangan Perusahaan Air Minum (PAM), tahun 2001-2005 Rincian Banyaknya Perusahaan Banyaknya Pekerja (orang) Air Bersih yang Disalurkan (000 M 3)
2001
2002
2003
2004
2005
454
469
477
478
478
40.750
44.693
45.356
45.782
45.910
1.835
2.095
2.286
2.343
2.360
Biaya Input (juta Rp)
1.051.894
1.748.270
2.245.757
2.365.460
2.401.371
Biaya Output (Juta Rp) Sumber: Statistik Indonesia, BPS
2.323.006
3.900.975
4.462.863
4.857.892
4.976.401
Tabel 5-10: Persentase Desa Per Pulau dan Kawasan Menurut Sumber Air Minum/Memasak yang Umum di Gunakan Masyarakat, Tahun 2008. Persentase Desa Menurut Sumber Air untukMinum/ memasak Pada Umumnya PAM Pompa Sumur Mata Air Sungai Air Hujan Sumatera 9,46 3,18 61,37 13,17 7,59 4,50 Jawa-Bali 12,66 14,23 51,16 19,08 0,99 1,07 Kalimantan 11,99 5,82 23,80 9,71 37,87 10,08 Sulawesi 13,87 5,62 45,57 28,38 3,91 1,57 Nusa Tenggara 9,36 2,74 30,84 49,03 3,79 3,15 Maluku 8,24 1,39 59,63 21,06 5,30 3,71 Papua 2,41 1,26 15,50 52,57 14,04 12,38 Sumber: Hasil Pengolahan PODES 2008, BPS WILAYAH
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
V-15
PRASARANA WILAYAH Penggunaan sumber air hujan untuk kebutuhan air minum dan memasak, persentase desa tertinggi berada di Provinsi Riau sebanyak 28,42 persen desa, dan Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 25,28 persen desa. Kondisi sulitnya dalam memperoleh sumber air, disamping dihadapi oleh desa-desa yang tergantung pada sumber air hujan, juga dihadapi oleh sebagian masyarakat yang harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Gambaran dari persentase desa di setiap pulau-pulau besar/ kawasan yang di antara penduduknya perlu membeli air untuk kebutuhan sehari-hari dapat dilihat pada Tabel 5-11.
Tabel 5-11: Jumlah Des a yang Penduduknya M embeli Air untuk Minum dan M emas ak (Kecuali air dalam Kemasan) Wilayah Sumatera Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur Lainnya Luar ( Jawa + Bali ) Jawa + Bali Kawasan Barat Indonesia Kawasan Timur Indonesia INDONESIA
Jumlah (Desa) 2.156 1.037 1.019 595 4.807 5.311 7.467 2.651 10.118
% 10,22 16,86 2,48 7,01 10,95 20,79 16,01 1,63 14,57
Sumber: Hasil Pengolahan PODES 2008
Dalam upaya meningkatkan ketersediaan air, telah dilakukan operasi dan pemeliharaan bagi 121 buah waduk per tahun, pembangunan 2 waduk pada tahun 2006 dan 3 waduk pada tahun 2007, pembangunan 199 embung, serta pembangunan sumur-sumur air tanah (groundwater) di daerah-daerah kekurangan air. Selain itu, telah diupayakan hujan buatan untuk menambah ketersediaan air di beberapa waduk di Pulau Jawa. Gambar 5-14: Persentase Desa Per Provinsi Menurut Sumber Air Minum/ Memasak Yang Umum di Gunakan Masyarakat, Tahun 2008. Papua Irian Jaya Barat Maluku Utara Maluku Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bal i Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kepulauan Riau Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan J ambi Ri au Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam 0%
20%
40%
60%
Jumlah desa dengan sumber air bersih dari mata air Jumlah desa dengan sumber air bersih dari air hujan Jumlah desa dengan sumber air bersih dari PAM
V-16
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
80%
100%
V
VI
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
6.1.
Bencana Alam
Jenis bencana alam yang sering terjadi di Indonesia meliputi banjir, tsunami, tanah longsor, gempa bumi, dan angin ribut. Berdasarkan laporan Departemen Pekerjaan Umum (PU) tahun 2007 (Desember), frekuensi kejadian banjir secara nasional sebanyak 378, Tsunami sebanyak 13 kali, longsor 73 kali, gempa bumi sebanyak 289 kali, dan angin ribut sebanyak 80 kali.
Tabel 6-1: Rekapitulasi Kejadian Bencana Al am Tahun 2007 (Desember), frekuensi. WILAYA H
Banjir
Tsuna mi
Long sor
Gunung Meletus
Sumatera 88 0 19 Jawa Bali 188 3 40 Kalimantan 30 0 0 Sulawesi 39 0 4 Nusa Tenggara 27 4 4 Maluku 2 5 5 Papua 4 1 1 Nasional 378 13 73 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
1 4 0 1 0 1 0 7
Gem pa
89 67 1 43 13 52 24 289
Angi n Ribut
10 59 4 6 1 0 0 80
Wilayah kepulauan dengan frekuensi terbanyak untuk bencana alam banjir yaitu di Pulau Jawa Bali (188 kali), khususnya di Provinsi Jawa Tengah (57 kali) dan Jawa Barat (26 kali). Frekuensi kejadian bencana tsunami adalah di Pulau Nusa Tenggara khususnya di NTB sebanyak 4 kali. Frekuensi kejadian bencana alam tanah longsor banyak terjadi di Pulau Sumatera sebanyak 19 kali khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebanyak 4 kali dan Sumatera Barat sebanyak 9 kali, dan Pulau Jawa sebanyak 40 kali khususnya di Provinsi Jawa Barat sebanyak 14 kali dan Jawa Tengah sebanyak 16 kali. Sementara untuk bencana tsunami, frekuensi kejadian bencana alam tsunami tahun 2007 (Desember) di Pulau Jawa-Bali sebanyak 3 kali, Pulau Nusa Tenggara sebanyak 4 kali, Pulau Maluku sebanyak 5 kali, dan Pulau Papua sebanyak 1 kali. Bencana alam angin ribut frekwensi tertinggi terjadi di Pulau Jawa-Bali sebanyak 59 kali, khususnya di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
6.2.
Lingkungan
Berdasarkan data Potensi Desa 2008 (PODES) BPS, tercatat hingga tahun 2008 masih banyak desa yang berlokasi di lingkungan layak huni dan berbahaya dimana lahan-lahan yang digunakan untuk tempat tinggal merupakan lahan marginal dan berbahaya bagi kehidupan masyarakat, yaitu tinggal di sekitar bantaran sungai, di bawah jaringan tegangan tinggi, dan permukiman kumuh. Tabel 6-2, menunjukkan wilayah Kalimantan dan Sulawesi memiliki persentase terbesar desa dengan rumah tangga tinggal disekitar bantaran sungai, di Kalimantan sebanyak 3.632 desa (54 %) dan Sulawesi sebanyak 3.152 desa (33,99 %). Sementara unruk desa yang memiliki keluarga yang tinggal di bawah tegangan listrik tinggi dan dipermukiman kumuh persentase terbesar terdapat di Wilayah Jawa-Bali. Tabel 6-2: Jumlah dan Persentase Rumah Tangga yang Tinggal di Wilayah Marginal Menurut Pulau Tahun 2005
WILAYAH
Jumlah Desa
Sumatera 23.461 Jawa-Bali 25.871 Kalimantan 6.630 Sulawesi 9.274 Nusa Tenggara 3.716 Maluku 1.942 Papua 4.516 KBI 49.332 KTI 26.078 Sumber: PODES 2008, BPS
Permukiman dibantarn Sungai Unit % 6.491 27,67 6.323 24,44 3.632 54,78 3.152 33,99 1.000 26,91 331 17,04 610 13,51 12.814 25,98 8.725 33,46
Permukiman Kumuh Unit 1.012 1.817 366 457 105 49 75 2.829 1.052
% 4,31 7,02 5,52 4,93 2,83 2,52 1,66 5,73 4,03
Permukiman dibawah tegangan Tinggi (>500 KV) Unit % 750 3,20 2.561 9,90 97 1,46 205 2,21 2 0,05 2 0,10 10 0,22 3.311 6,71 316 1,21
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
VI-1
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
Gangguan lingkungan yang terjadi di wilayah perkotaan dan perdesaan sering disebabkan oleh pencemaran air dan tanah, polusi udara dan bau, berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH), dan pencemaran suara/bising (Tabel 6-3). Jumlah desa di Indonesia yang mengalami pencemaran udara, air, dan tanah sampai tahun 2004 mencapai 6.479 desa, terdiri dari 4.993 desa yang mengalami pencemaran air dan 1.486 desa mengalami pencemaran tanah. Desa-desa yang mengalami pencemaran air dan tanah sebagian besar terdapat di Kawasan Barat Indonesia (3.139 desa), yang tersebar di Pulau Jawa-Bali (1.802 desa), Pulau Sumatera (1.337 desa). Sedangkan desa-desa yang mengalami gangguan lingkungan akibat pencemaran air dan tanah di Kawasan Timur Indonesia sebagian besar di Pulau Kalimantan (1.088 desa). Sementara untuk persentase jumlah desa rawan tanah longsor terbesar terdapat di Wilayah Nusa tenggara sebanyak 17,47 persen dan rawan banjir terdapat di Wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara yang memiliki persentase jumlah desa di atas 20 persen. Tabel 6-3: Banyaknya Desa Yang Mengalami Gangguan Lingkungan Menurut Provinsi Tahun 2008 WILAYAH
suara-bising Unit % Sumatera 921 3,93 Jawa-Bali 1.768 6,83 Kalimantan 381 5,75 Sulawesi 456 4,92 Nusa Tenggara 151 4,06 Maluku 207 10,66 Papua 43 0,95 KBI 2.689 5,45 KTI 1.238 4,75 Sumber: PODES 2008, BPS
Pencemaran udara Air Unit % Unit % 1.740 7,42 2.361 10,06 3.271 12,64 2.792 10,79 5.43 8,19 1.297 19,56 471 5,08 640 6,90 201 5,41 188 5,06 65 3,35 250 12,87 34 0,75 126 2,79 5.011 10,16 5.153 10,45 1.314 5,04 2.501 9,59
Tanah Unit % 368 1,57 363 1,40 220 3,32 96 1,04 18 0,48 26 1,34 19 0,42 731 1,48 379 1,45
Jumlah desa yang mengalami gangguan lingkungan akibat pencemaran udara, suarabising, air dan tanah hampir sebagian besar terdapat di Kawasan Barat Indonesia. Di Kawasan Barat Indonesia, jumlah desa yang mengalami pencemaran udara, suara-bising, air dan tanah sebagian besar berada di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Sementara di Wilayah Timur Indonesia, persentase terbesar jumlah desa yang mengalami gangguan lingkungan akibat pencemaran suara (bising) di Kepulauan Maluku sebesar 10,66 persen. Persentase terbesar jumlah desa yang mengalami gangguan lingkungan akibat pencemaran air terdapat di Kalimantan dan Kepulauan Maluku masing-masing sebesar 19,56 persen, dan 12,87 persen. Persentase terbesar jumlah desa yang mengalami gangguan lingkungan akibat pencemaran tanah Ganbar 6-1: Jumlah Emisi yang berasal dari Kendaraan terdapat di Kalimantan sebesar 3,32 persen. Roda Empat Tahun 2006. (ton/tahun)
Selain itu, penyebab pencemaran khususnya di daerah perkotaan atau padat dengan penduduk Nitrogen: Debu: Sulful: dan tingginya aktivitas ekonomi, telah menyebabkan 4.25 % 0.42 % 0.33 % Hidro Karbon: pencemaran lingkungan yang cukup besar yaitu dari 7.65 % emisi kendaraan, jenis emisi yang dikeluarkan kendaraan roda empat diantaranya terdiri dari Hidro karbon, Karbon Monoksida, Nitrogen, Sulfur, dan debu. Permasalahan ini khususnya muncul pada daerah perkotaan dan kota-kota besar. Berdasarkan CO2: data statistik lingkungan hidup 2007. Perkembangan 87.36 % emisi dari kendaraan bermotor selama periode 20042006 meningkat setiap tahunnya (Gambar 6-1), jumlah emisi tahun 2004 sebesar 21.333.099 ton per tahun meningkat pada tahun 2005 sebesar 23,77 persen atau menjadi 26.403.763 ton per tahun
VI-2
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
VI
VI
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
dan pada tahun 2007 meningkat sebesar 17,50 persen atau mencapai 31.024.871 ton per tahun. Jenis emisi terbesar yang dihasilkan kendaraan bermotor tahun 2006, yaitu jenis Karbonmonoksida sebesar 27.102.178 ton per tahun (87,38 persen), Hidrokarbon sebesar 2.374.304 ton per tahun (7,65 %), Nitrogen sebesar 1.317.449 ton per tahun (4,25 %), sulfur, 101.642 ton per tahun (0,33 %), dan debu sebesar 129.297 ton per tahun (0,42 %). Jumlah emisi terbesar rata-rata dijumpai pada kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Bali, DI Yogyakarta, dan Riau, dimana daerah tersebut merupakan pusat pertumbuhan dengan kegiatan ekonomi yang cukup padat dan jumlah kendaraan motor jumlahnya sangat besar. Sedangkan tingkat emisi paling rendah dijumpai pada daerah-daerah yang perkembangannya relatif masih lambat atau jumlah kendaraan bermotor masih terbatas jumlahnya, daerah-daerah tersebut umumnya berada di Kawasan Timur Indonesia, seperti Maluku, Papua, dan Sulawesi.
6.3.
Hutan dan Lahan
6.3.1. Lahan Kritis Perkembangan kondisi lahan kritis di Indonesia antara tahun 2004-2007, luas lahan kritis meningkat sebesar 5,13 persen. Pada tahun 2007, luas lahan kritis mencapai 77.8 juta (Departemen Kehutanan). Sebaran lahan kritis paling besar berada di Provinsi Kalimantan Barat dengan luas 10,06 juta hektar, Kalimantan Timur sebesar 9,5 juta hektar dan Riau sebesar 7,11 juta hektar (Gambar 6-2). Sedangkan sebaran luas lahan kritis paling rendah berada di Provinsi DI Yogyakarta seluas 0,13 juta hektar, Bali seluas 0,17 juta hektar dan Banten seluas 0,20 juta hektar.
Gambar 6-2: Persentas e Luasan Lahan Kritis di Indonesia Tahun 2007. (dalam pers en)
29.95 %
Kritis Agak kritis
61.19 % 8.86 %
Sangat kritis
Berdasarkan tingkat kekritisan, kondisi lahan kritis dikategorikan ke dalam 3 jenis, yaitu: lahan sangat kritis, kritis, dan agak kritis. Luas lahan kritis dengan kategori sangan kritis seluas 47,61 juta hektar (61,17 %) meningkat cukup besar dibandingkan tahun 2004 (13,49 juta hektar), menurut persebarannya untuk kategori sangat kritis terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat seluas 1,8 juta hektar, Kalimantan Timur seluas 0,82 juta hektar, dan Riau seluas 0,25 juta hektar. Sedangkan untuk kategori kritis seluas 23,30 juta hektar (29,95 %) atau meningkat sebesar 16 persen dari tahun 2004, dengan sebaran paling luas berada di Provinsi Papua sebesar 2,65 juta hektar, Riau sebesar 2,30 juta hektar, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 2.234.587 hektar. Kondisi lahan kritis yang termasuk kategori agak kritis sebesar 40,43 juta hektar (8,86 %) atau menurun sebesar 82,69 persen dari tahun 2004, sebaran lahan dengan kategori agak kritis terbesar berada di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1,26 juta hektar, Nusa Tenggara Timur seluas 0,98 juta hektar, dan Sumatera Selatan seluas 0,73 juta hektar. Luasan dan penyebaran lahan kritis menurut provinsi tahun 2006 secara rinci disajikan pada Tabel 6-4. 6.3.2. Laju Deforestasi Hutan Indonesia yang mempunyai fungsi sebagai salah satu paru-paru dunia, selain mempunya fungsi ekonomis juga mempunyai fungsi ekologis. Banyaknya flora dan fauna di ekosistem hutan menunjukkan pentingnya pelestarian hutan di Indonesia. Tetapi karena tekanan kepentingan maka dampaknya besar bagi perubahan fungsi hutan di Indonesia. Deforestasi yang terjadi dl Indonesia berlangsung pada tingkat yang sangat tinggi. Seperti yang
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
VI-3
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
telah dilaporkan pada SLHI 2006, laju deforestasi pada kurun waktu 1982-1990 mencapai angka 900.000 hektar per tahun. Laju deforestasi meningkat menjadi 1,8 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1990-1997 dan meningkat lagi menjadi 2,83 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1997-2000. Pada kurun waktu 2000-2005, Departemen Kehutanan melakukan analisis yang lebih detail dengan ultra SPOT vegetasi resolusi 1 km diperoleh bahwa laju deforestasi menurun menjadi 1,09 juta hektar per tahun (sebelumnya dilaporkan 1,19 juta hektar per tahun untuk kurun waktu 2000-2006). Perkembangan laju deforestasi pada kurun waktu 2000-2005 disajikan pada Gambar 6-3. Berdasarkan data deforestasi 2000-2005, diketahui bahwa laju deforestasi tertinggi terjadi Sumatera dan Kalimantan. Selain itu dat a juga menunjukkan bahwa tahun 2002-2003 merupakan kurun waktu berlangsungnya deforestasi tertinggi yaitu sekitar 1,9 juta hektar (Sumber: Dep. Kehutanan) 1. Kerusakan hutan berdasarkan Data Statistik Lingkungan Hidup Tahun 2009 dibagi menjadi beberapa jenis penyebab kerusakan, yaitu perambahan hutan, perladangan berpindah dan penebangan liar. Perambahan hutan merupakan sumber penyebab kerusakan hutan terbesar. Hingga tahun 2006, kerusakan hutan di Indonesia yang disebabkan oleh perambahan hutan seluas 34.005,46 hektar, sedangkan perladangan berpindah seluas 10.663,41 hektar dan penebangan liar yang terdiri dari penebangan liar batang seluas 14.787 hektar dan kayu bulat seluas 7.420,64 hektar. Porsi perambahan terbesar terjadi di Provinsi Sulawesi Utara seluas 7.418 hektar, Banten seluas 6.491,20 hektar, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara menyumbang lebih dari 4.500 hektar kerusakan hutan akibat perambahan, sedangkan beberapa provinsi lainnya memberikan kontribusi kerusakan di bawah 2.500 hektar Gambar 6-3: Laju Deforestasi Menurut Pulau Kurun Waktu 2000-2005. (hektar per tahun)
Hektar per tahun
2500000 1,906,100
2000000 1500000
1000000
1,018,200
962,500
926,300
634,700
500000
0 2000-2001
1
2001-2002
2002-2003
2003-2004
Publikasi Departemen Kehutanan RI dalam Statistik Lingkungan Hidup Tahun 2009
VI-4
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2004-2005
VI
VI
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
Tabel 6-4: Luas dan Penyebaran Lahan Kritis di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2007. (dalam hektar) Tingkat Kekritisan Lahan 2007 WILAYAH
Sangat Kritis
Kritis
NAD 1.205.241,12 395.680,28 Sumatera Utara 3.256.903,12 1.526.958,63 R iau 4.701.516,41 2.306.658,70 Sumatera Barat 1.061.638,91 239.433,31 Jambi 1.586.684,30 614.116,78 Bengkulu 708.934,99 545.218,79 Sumatera Selatan 1.580.908,47 2.085.364,37 Bangka Belitung 95.756,22 261.615,48 Lampung 1.197.984,53 339.055,12 Banten 67.112,55 51.981,81 Jawa Barat 248.245,69 140.894,85 Jawa Tengah 685.547,72 233.299,68 DI Yogyakarta 94.064,13 43.548,56 Jawa Timur 1.008.648,30 533.841,36 Kalimantan Barat 8.203.886,00 1.840.181,35 Kalimantan Tengah 2.972.566,48 1.939.143,99 Kalimantan Selatan 1.531.973,01 511.820,80 Kalimantan Timur 8.526.149,49 1.015.615,61 Gorontalo 426.276,89 202.789,79 Sulawesi Utara 471.155,98 229.225,87 Sulawesi Tengah 206.797,99 113.179,20 Sulawesi Tenggara 1.520.034,94 919.467,23 Sulawesi Selatan 993.557,79 245.319,16 B ali 114.231,22 51.639,24 Nusa Tenggara Barat 547.557,85 236.898,58 Nusa Tenggara Timur 1.171.955,93 2.234.587,28 Maluku Utara 166.388,44 259.359,99 Maluku 1.073.577,70 488.315,23 Papua 1026403.35 1617745.87 Papua Barat 579190.67 1041638.05 NASIONAL 47.610.080,86 23.306.233,01 Sumber: Departemen Kehutanan RI, Tahun 2004/2007
Agak Kritis 67.343,19 434.767,22 108.355,77 169.598,16 4.774,00 163.729,81 739.484,54 314.842,51 186.408,04 90.426,98 19.487,31 28.225,94 1.110,19 247.114,92 16.123,99 1.267.743,46 54.770,81 38.074,08 62.987,70 28.039,70 103.308,45 365.133,59 330.936,08 4.281,36 68.833,23 985.223,89 291.390,06 123.904,31 47884.12 263131.75 6.890.566,91
Total 1.668.264.59 5.218.628.97 7.116.530.88 1.470.670.38 2.205.575.08 1.417.883.59 4.405.757.38 672.214.21 1.723.447.69 209.521.34 408.627.85 947.073.34 138.722.88 1.789.604.58 10.060.191.34 6.179.453.93 2.098.564.62 9.579.839.18 692.054.38 728.421.55 423.285.64 2.804.635.76 1.569.813.03 170.151.82 853.289.66 4.391.767.10 717.138.49 1.685.797.24 2.692.033.34 1.883.960.47 77.806.880,78
Persen Terhadap Luas Wilayah 28,79 71,51 81,78 35,01 44,06 71,18 48,10 40,93 49,78 21,68 11,55 28,87 44,28 37,44 68,29 40,24 54,16 46,84 61,48 52,59 6,84 73,67 33,60 29,44 45,94 90,15 22,42 35,93 5,91 27,75 40,73
6.3.3. Alih Fungsi Sawah dan Hutan Alih Fungsi Sawah Berdasarkan data luas lahan sawah tahun 2004 (Badan Pertanahan Nasional -BPN) dan tahun 2005 (BPS), telah terjadi konversi lahan sawah beririgasi seluas 1.541.862 hektar. Sebaliknya, untuk lahan sawah non-irigasi terjadi penambahan seluas 1.609.897 hektar. Dengan demikian, secara keseluruhan luas lahan sawah bertambah 68.035 hektar. Inventarisasi lahan sawah yang terakhir dilakukan oleh BPN pada tahun 2007. Hasil inventarisasi menunjukkan terjadinya berbagai perubahan luasan lahan sawah beririgasi teknis dan semi teknis di berbagai provinsi (Sumber: Dep. Kehutanan) 2. Alih Fungsi Hutan Dalam kurun waktu hingga tahun 2007, telah terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 4.741.194 hektar dan permukiman transmigrasi seluas 956.672,81 hektar. Perubahan kawasan hutan untuk perkebunan di Provinsi Riau merupakan yang terluas, mencapai angka 1.611.859,68 hektar dan di Kalimantan Tengah mencapai 619.868,37 hektar. Untuk permukiman transmigrasi, kawasan hutan yang diubah peruntukkannya berjumlah 956.673,16 hektar; yang terluas terdapat di Provinsi Lampung (134.147,20 hektar), Sumatera Selatan (120.593,28 hektar) dan Papua (117.194,48 hektar).
2
Publikasi Departemen Kehutanan RI dalam Statistik Lingkungan Hidup Tahun 2007/2008
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
VI-5
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
Selain kawasan hutan yang beralih fungsi, terdapat kawasan hutan yang dipinjam pakai Secara keseluruhan, pinjam pakai kawasan hutan sampai dengan tahun 2007 berjumlah 43.109,975 hektar; tertinggi di Kalimantan Timur seluas 24.955,640 hektar (atau sekitar 58% dari jumlah yang dipinjam pakai). Kawasan hutan yang dipinjam pakai dengan kompensasi hutan berjumlah 600,440 hektar, yang terdapat di Jawa Timur (532,300 hektar), Lampung (45,000 hektar) dan Jawa Barat (23,140 hektar). Untuk kawasan hutan yang dipinjam pakai tanpa kompensasi hutan, pada tahun 2007 tidak ada izin yang dikeluarkan. Namun, sampai dengan tahun 2007 terdapat 267.712,787 hektar yang sebagian besar terjadi sebelum tahun 2003. Secara keseluruhan pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi hutan, yang terluas terdapat di Kalimantan Timur yaitu seluas 155.395,410 hektar atau sekitar 58% dari jumlah yang dipinjam pakai (Sumber: Dep. Kehutanan) (Sumber: Dep. Kehutanan) 2. 6.3.4. Kebakaran Lahan dan Hutan Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan terjadi hampir setiap tahun seiring dengan datangnya musim kemarau dan secara nyata telah menimbulkan berbagai dampak negatif pada semua tingkatan, baik lokal, nasional, maupun regional. Kejadian kebakaran lahan dan hutan sangat sulit untuk dihentikan. Karena itu, upaya yang dilakukan adalah mengendalikannya. Untuk pengendalian kebakaran lahan dan hutan da n lahan ini agar tidak terjadi pencemaran asap lintas batas negara. Berdasarkan pemantauan ASMC Singapura, jumlah titik panas (hotspot) yang terpantau sejak tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 6-5, jumlah titik panas pada tahun 2005 sebanyak 17.667 titik dengan jumlah titik panas terbanyak terdapat di Provinsi Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, jumlah titik panas pada tahun 2006 meningkat hampir dua kalinya dari jumlah titik panas tahun 2006 yaitu menjadi 35.279 titik. Pada tahun 2007 pemerintah mengupayakan penurunan titik panas 50 persen dari tahun sebelumnya, jumlah titik panas tahun 2007 menurun sebesar 49,27 persen atau menjadi 17.898 titik dengan penyebaran terbanyak di Kalimantan Barat (3.109 titi), Kalimantan Tengah (2.827 titik), Sumatera Selatan (2.827 titik), dan Riau (2.373 titik). Sementara hasil pemantauan terakhir tahun 2009, tercatat jumlah titik panas mencapai 32.416 titik yang sebagian besar terdapat di Riau sebanyak 4.369 titik, Kalimantan Barat sebayak 7.276 titik dan Kalimantan Tengah sebanyak 4.942 titik Tabel 6-5. Jumlah Titik Panas Terpantau Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 Provinsi 2005 2006 2007 Bangka Belitung 100 703 477 Bengkulu 5 213 119 Daerah Istimewa Aceh 177 241 178 Jambi 414 1922 1311 Kalimantan Barat 1505 6507 3109 Kalimantan Selatan 548 1726 551 Kalimantan Tengah 1374 7853 2827 Kalimantan Timur 976 1771 1441 Kepulauan Ri au 68 34 Lampung 145 1019 481 Riau 7249 5199 2373 Sumatera Barat 52 370 182 Sumatera Selatan 601 5439 2538 Sumatera Utara 1334 876 516 t.a.d 3187 1372 1759 Jumlah 17,667 35,279 17,896 Sumber: Diolah dari data pemantauan ASMC, KLH, 2009
VI-6
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
2008 438 411 565 1691 2881 372 1852 1263 50 313 3110 647 2858 781 1960 19,192
2009 859 328 837 1672 7276 1291 4942 2115 57 270 4369 547 3568 963 3322 32,416
VI
VI
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
Sementara untuk taksiran luas kebakaran hutan (Tabel 6-6), tercatat luas kebakaran hutan dari tahun 2005-2008 semakin bertambah dan luas kebakaran hutan paling besar terjadi pada tahun 2007 dan 2008 dengan luas lahan hutan yang kebakar masing-masing sebesar 6.974 hektar dan 6.793 hektar. Luas kebakaran hutan dari tahun 2005-2008 sebagian besar terjadi pada Hutan Taman Nasional, tercatat pada tahun 2007 luas kebakaran di Taman Nasional sebesar 5.256 hektar dan 5.338 hektar pada tahun 2008. Selain Taman Nasional, luas kebakaran pada hutan produksi dan hutan suaka alam cukup besar, pada tahun 2008 tercatat luas kebakaran hutan produksi sebesar 592 hektar dan hutan suaka alam sebesar 631 hektar. Tabel 6-6: Taksiran Kebakaran Hutan Menurut Fungsi Hutan Tahun 2004 - 2008 FUNGSI HUTAN
Luas Kebakaran (Ha) 2004
2005
2006
2007
2008
Hutan Lindung
20,43
4.002,12
355,00
228,00
155,00
Hutan Produksi
886,00
82,00
1.508,34
987,10
592,52
1.080,45
651,80
508,70
349,60
631,02
33,52
4,50
350,50
40,00
55,50
1.261,59
595,05
1.324,55
5.256,42
5.338,79
47,00
-
30,00
4,00
2,00
Hutan Penelitian
9,00
-
2,00
-
-
Hutan Kota Taman Buru/ Game Hunting Park Hutan Kemasyarakatan JUMLAH
6,00
85,00
-
-
-
82,00
162,50
86,00
15,00
5.502,47
4.241,59
6.974,62
6.793,08
Hutan Suaka Alam Taman Wisata Alam Taman Nasional Taman Hutan Raya
3.343,99
Sumber : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Keterangan/ Note : ( - ) = Tidak ada data
Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia tidak hanya membuat udara di sebagian wilayah Indonesia menjadi tercemar, akan tetapi telah memberikan dampak yang buruk sampai ke negara tetangga akibat pencemaran asap lintas batas negara. Berdasarkan data Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, sebaran luas kebakaran hutan dari tahun 2005-2008 terbesar di wilayah Sumatera, Jawa-Bali, dan Nusa Tenggara. Pada tahun 2008, luas kebakaran hutan di wilayah Sumatera mencapai 3.680 hektar yang sebagian besar terkonsentrasi di Provinsi Lampung seluas 2.956 hektar dan Sumatera Barat seluas 234 hektar; di wilayah Jawa-Bali luas kebakaran sebesar 1.349 hektar yang sebagian besar terkonsentrasi di Provinsi Jawa Barat seluas 628 hektar dan Jawa Timur seluas 453 hektar; dan luas kebakaran di wilayah Nusa Tenggara seluas 1.384 hektar yang tersebar 630 hektar di provinsi Nusa tenggara Barat dan 754 hektar di Nusa Tenggara Timur, secara rinci luas kebakaran hutan disajikan pada Tabel 6-7.
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
VI-7
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP
Tabel 6-7. Taksiran Kebakaran Hutan Menurut Provinsi Tahun 2004 - 2008 Provinsi NAD
2005
2006
2007
2008
-
-
-
24,00
13,00
Sumatera Utara
586,00
4.000,12
315,50
131,00
170,00
Sumatera Barat
-
-
-
16,50
234,00
Riau
-
-
-
37,75
109,00
Kepulauan Ri au
-
-
-
-
-
Jambi
138,40
67,00
1.227,60
55,00
114,52
Bengkulu
-
-
-
-
-
Bangka Belitung
-
-
-
27,00
-
953,00
-
17,50
-
84,00
Lampung
-
-
-
2.532,25
2.956,00
DKI Jakarta
-
-
-
-
-
Jawa Barat
90,00
1,05
1.704,00
372,00
628,52
Banten
-
-
-
-
-
Jawa Tengah
-
-
-
516,50
49,52
DI. Yogyakarta
-
-
-
-
83,75
1.176,67
588,80
488,99
1.821,80
453,30
Bali
-
-
-
-
134,00
Nusa Tenggara Barat
-
-
-
-
630,00
13,62
657,50
300,00
1.415,82
754,47
Kalimantan Barat
-
4,00
85,00
-
200,00
Kalimantan Tengah
-
-
-
-
-
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Timur
302,00
102,00
-
-
0,25
Kalimantan Selatan
-
-
-
25,00
11,00
Gorontalo
-
-
-
-
-
Sulawesi Utara
-
-
-
-
20,00
Sulawesi Tengah
-
-
-
-
25,00
Sulawesi Sel atan
84,30
82,00
2,00
-
16,75
Sulawesi Tenggara
-
-
-
-
68,00
Sulawesi Barat
-
-
-
-
-
Maluku
-
-
-
-
-
Maluku Utara
-
-
-
-
Papua
-
-
-
-
Papua Barat
-
-
-
-
3.343,99
5.502,47
4.140,59
6.974,62
JUMLAH/Total
VI-8
2004
P EM BA NGU NA N DA ERA H DA L A M A NGKA 2 0 1 0
38,00 6.793,08
VI